Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

16: PERTEMUAN DI RERUNTUHAN GEDUNG LELUHUR

“Lopek, ceritakanlah kepadaku peristiwa keluarga Pouw itu,” kata Siang Ni dalam perjalanan. Sekali lagi Siang Ni mendengar cerita yang pernah didengar dari mulut ibunya dahulu.

“Mereka semua tewas,” kata kakek itu mengakhiri ceritanya dengan muka berduka. “Tak seorang pun selamat, seluruh anggauta keluarga itu dibantai. Bahkan Nona Sui Hong... ah, kasihan sekali ia, telah tertawan dan kabarnya tewas karena sengsara di kota raja. Siapakah yang akan tahan hidup menjadi tawanan? Ah, kasihan sekali Nona Sui Hong yang cantik jelita, yang dulu terkenal sebagai Kembang So-couw. Ah, tentu anjing-anjing biadab itu telah merusaknya...”

“Engkau tadi menceritakan bahwa dalam peristiwa pembasmian keluarga Pouw itu ada pengkhianatnya. Siapakah dia, Lopek?” tanya Siang Ni dengan suara biasa, padahal di dalam hatinya ia menjerit mendengar kakek itu menyebut nama ibunya.

“Bajingan itu bernama Can Sui. Dikutuk Thian setan keparat itu! Dia tergila-gila kepada Nona Pouw Sui Hong! Memang Nona Pouw... eh...” kakek itu memandang Siang Ni. “Ketika itu, Nona Pouw Sui Hong seperti engkau ini, Nona. Sama tinggi langsingnya, sama usianya dan eh... hampir serupa juga wajah Nona dengan wajahnya...”

Siang Ni merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Ia segera bertanya. “Lopek, dimanakah adanya pengkhianat itu sekarang? Masih hidupkah dia?”

Tiba-tiba pelayan itu tertawa geli dan tampak puas. “Dia masih hidup, biarpun hanya setengah hidup! Ha, rasakan sekarang bedebah itu!”

“Eh, apa maksudmu, Lopek?”

“Engkau lihat saja sendiri, Nona. Kita sudah dekat dengan reruntuhan gedung yang sudah dibakar itu. Engkau lihat sendiri saja...”

“Melihat Can Sui...?” Hati Siang Ni berdebar tegang.

Kakek itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Mereka mempercepat perjalanan mereka menuju ke sebuah gedung yang tinggal tembok-temboknya saja, yang keadaannya kotor tidak terawat dan menjadi sarang laba-laba dan mungkin menjadi sarang hantu dan roh-roh penasaran. Keadaannya demikian menyeramkan dan letaknya di jalan yang sepi lagi.

Mungkin di waktu malam, jarang ada orang yang berani lewat di depan bekas rumah yang tinggal reruntuhan itu. Kakek itu mengajak Siang Ni memasuki halaman bekas gedung dan terdengar napas kakek itu terisak ketika mereka tiba di situ. Ternyata kakek pelayan itu tidak dapat menahan keharuan hatinya dan air mata menitik turun ke atas pipinya yang kurus.

“Inilah gedung bekas keluarga Pouw Nona. Semenjak berusia sepuluh tahun aku menjadi pelayan mereka, dan aku tinggal di sini sampai berusia tigapuluh tahun lebih. Aku sudah merasa menjadi anggauta keluarga sendiri... kasihan sekali mereka itu...”

Siang Ni menahan keharuan hatinya dan diam-diam ia menghapus air mata yang sudah membasahi pelupuk matanya dengan tangan. “Dan mana itu pengkhianat she Can yang kaukatakan, Lopek?”

Mendengar pertanyaan ini, wajah kakek itu tiba-tiba berseri kembali, seakan-akan nama itu merupakan hiburan baginya. Tiba-tiba terdengar orang batuk-batuk dari sebelah dalam dan kakek itu berkata,

“Nah, itu dia! Kalau sudah mulai gelap begini dia datang dan bermalam di bekas gedung ini, menangis seorang diri. Kalau siang dia keluar untuk mengemis makanan.”

“Kaumaksudkan, si pengkhianat Can Sui itu kini menjadi pengemis?”

“He-heh, bukan mengemis saja, juga otaknya sudah miring. Memang Thian Maha Adil dan tidak menghendaki manusia berbuat jahat tanpa hukuman yang setimpal.”

Dengan tidak sabar Siang Ni melangkah masuk, diikuti kakek pelayan itu yang mulai merasa heran mengapa nona ini begitu tabah dan berani memasuki bekas gedung yang kelihatan begitu menyeramkan. Banyak laki-laki kota So-couw tidak berani mendekati gedung itu di waktu matahari sudah terbenam karena orang percaya bahwa bekas gedung ini telah menjadi rumah hantu!

Mereka berjalan masuk sampai ke ruangan dalam dan cuaca di situ masih belum begitu gelap karena tidak ada atapnya sehingga sinar matahari sore masih dapat menerangi ruangan itu. Setelah memasuki ruangan, Siang Ni dan kakek pelayan itu berhenti melangkah. Siang Ni memandang ke sudut ruangan di mana seorang laki-laki sedang berlutut dan menangis!

“Itulah dia manusia keparat bernama Can Sui!” kakek itu berkata dengan nada membenci.

“Jahanam!!”

Siang Ni membentak sedemikian kerasnya sehingga tidak saja kakek pelayan itu yang menjadi kaget sekali, juga orang yang sedang menangis itu terkejut dan dia melompat berdiri sambil membalikkan tubuhnya menghadapi Siang Ni dan kakek pelayan itu. Akibat pertemuan ini benar-benar mendatangkan rasa kaget dan heran bagi mereka bertiga sungguhpun kekagetan dan keheranan mereka itu masing-masing berbeda sebabnya.

“Kau...?!?” seru orang yang menangis tadi ketika dia melihat Siang Ni, menunjukkan bahwa dia mengenal gadis itu.

“Suma Cun Giok jahanam keparat! Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Bersiaplah untuk mampus!” bentak Siang Ni kepada orang itu yang bukan lain adalah Suma Cun Giok.

Memang, pemuda ini datang mengunjungi gedung bekas tempat tinggal keluarga ayahnya yang telah terbasmi habis dan ketika dia tiba di situ, dia tidak dapat menahan kesedihannya dan menangis tersedu-sedu seorang diri.

Reaksi yang diperlihatkan kakek pelayan itu lebih hebat lagi. Dia memandang kepada Cun Giok dengan mata melotot, lalu menoleh kepada Siang Ni, dan tiba-tiba dia menangis sambil menjatuhkan diri berlutut.

“Aku melihat... aku melihat... mohon arwah Tuan Muda Pouw Keng In dan Nona Pouw Sui Hong sudi mengampuni hamba...”

Dia berulang-ulang memberi hormat dengan kedua tangan diangkat terkepal sambil membungkuk dalam kepada Siang Ni yang dia sebut Nona Pouw Sui Hong dan kepada Cun Giok yang dia sebut Tuan Muda Pouw Keng In. Kemudian dia menangis perlahan sambil terus berlutut. Dalam anggapan kakek yang tenggelam dalam kesedihan itu, dia bertemu dengan arwah kedua orang majikannya yang sudah tewas.

Ucapan kakek itu membuat Siang Ni dan Cun Giok saling pandang. Siang Ni sudah maklum apa yang dimaksud kakek itu, akan tetapi Cun Giok tidak mengerti dan terheran-heran mendengar kakek itu menyebut-nyebut nama ayah dan bibinya.

“Kau... mengapa engkau datang ke tempat ini? Engkau siapakah, Nona? Dan kakek ini siapa pula?” tanya Cun Giok.

Tentu saja dia masih ingat kepada Siang Ni sebagai gadis lihai yang pernah menyerangnya ketika dia dahulu menyerbu ke rumah gedung Pangeran Lu Kok Kong di kota raja.

“Di sini bekas rumah Ibuku, mengapa aku tidak boleh datang? Engkau ini keparat jahanam, mengapa pula berani mengotori tempat yang suci ini?” bentak Siang Ni.

Suma Cun Giok terbelalak. “Apa...? Engkau... anak Bibi Pouw Sui Hong? Tidak mungkin! Ah, bagaimana ini...? Tidak mungkin...!” Dia menjadi bingung sekali.

“Manusia jahat, engkaulah yang mengaku-aku! Siapa itu Bibimu? Ibuku bukan Bibimu dan engkau bukan anggauta keluarga Pouw!”

“Aku putera tunggal ayahku Pouw Keng In!” jawab Suma Cun Giok marah.

“Bohong! Margamu bukan Pouw melainkan Suma, dan kalau engkau benar putera mendiang Paman Pouw Keng In, tidak mungkin engkau datang membunuh Ayah Ibuku!”

“Siapa Ayahmu? Bagaimana engkau berani bilang aku membunuh Ibumu?” Cun Giok berteriak, penasaran.

“Ayahku adalah Pangeran Lu Kok Kong. Tanpa sebab engkau telah membunuhnya secara keji dan Ibuku menyusul ke alam baka karena berduka. Bukankah berarti engkau telah membunuh Ibuku pula? Dan engkau mau mengaku bahwa Ibuku itu Bibimu? Anjing jahanam, terimalah pembalasanku!” Siang Ni tidak dapat menahan sabar lagi dan cepat ia menyerang dengan pedangnya.

Mendengar ucapan ini, Cun Giok kaget setengah mati. Benarkah apa yang dikatakan gadis itu? Sebelum membunuh Pangeran Lu, dia mendengar keterangan bahwa bibinya sudah tewas dalam keadaan sengsara. Apakah benar bibinya menjadi isteri Pangeran Lu dan bahkan telah mempunyai seorang puteri, yaitu gadis ini?

Akan tetapi dia tidak sempat memikirkan lebih lanjut karena sinar emas telah menyambar ke arah dadanya dengan gerakan yang amat dahsyat. Namun tingkat kepandaian Cun Giok sudah jauh Iebih maju daripada dahulu. Dia telah digembleng selama setahun lebih oleh Pak Kong Lojin, yaitu Susiok-couwnya yang bertapa di puncak Ta-pie-san.

Selain ilmu pukulan, terutama sekali dia mewarisi gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa dari kakek gurunya sehingga kini Cun Giok memiliki gerakan yang luar biasa ringan dan cepatnya. Saking hebatnya kecepatan gerak pemuda itu, dia mendapat julukan Bu-eng-cu.

cerita silat online karya kho ping hoo

Kini menghadapi serangan Siang Ni, hampir saja dia menjadi korban. Gerakannya yang amat cepat untuk mengelak itu ternyata masih belum dapat membebaskan sepenuhnya dari serangan pedang yang seperti kilat menyambar itu. Sinar kuning emas itu masih menyerempet dan mengenai pundaknya, mendatangkan luka walau hanya sedikit kulit pundak berikut bajunya yang terobek.

Kelambatan Cun Giok dikarenakan dua hal. Pertama karena kaget dan heran mendengar pengakuan Siang Ni sebagai anak bibinya, dan kedua karena dia kaget pula melihat sinar pedang kuning emas yang dikenalnya sebagai pedang mendiang gurunya!

Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa aneh disusul isak tangis. Dari luar tersaruk-saruk masuklah seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping, tangan kirinya memegang sebuah mangkok retak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat.

“Sui Hong... aku berdosa padamu, Sui Hong...” demikian ratap tangis laki-laki itu, “ampunkan aku, Sui Hong...”

Mendengar ini, Siang Ni terkejut dan menghentikan serangannya kepada Cun Giok. Ia dan Cun Giok menatap wajah laki-laki jembel yang baru masuk, laki-laki ini berusia kurang lebih empatpuluh tahun, rambutnya riap-riapan, pakaiannya compang-camping, mukanya kotor dan matanya merah berputar-putar mengerikan.

“Can Sui...!” Kakek pelayan itu membentak. “Lihat, siapa yang datang ini!”

Mendengar bentakan ini, orang jembel itu cepat mengangkat muka memandang kepada Siang Ni dan Cun Giok berganti-ganti. Matanya terbelalak lebar dan tiba-tiba tubuhnya menggigil lalu dia menangis dan menjatuhkan diri berlutut di samping kakek pelayan yang masih berlutut dan meratap-ratap.

“Aduh... Tuan Muda Pouw Keng In... dan Nona Pouw Sui Hong... ampunkan aku... ampunkan aku yang berdosa...!”

Seperti juga kakek pelayan itu, orang gila ini agaknya mengira bahwa pemuda dan gadis itu adalah arwah dari bekas kedua orang majikannya dan mereka datang untuk menghukumnya!

“Keparat, engkau harus mampus!” bentak Cun Giok melihat orang yang mengkhianati dan yang menyebabkan terbasminya seluruh keluarga Pouw itu.

“Jahanam, rasakan pembalasanku!” Siang Ni juga membentak.

Orang gila itu adalah Can Sui yang dahulu menjadi pelayan keluarga Pouw dan agaknya setelah keluarga Pouw terbasmi, dan dia sudah menghabiskan upah yang dia dapatkan sebagai hasil pengkhianatannya untuk berfoya-foya, merasa tersiksa batinnya sehingga menjadi gila. Mendengar bentakan dua orang muda itu dia menjerit-jerit sambil berlari keluar dari bekas gedung itu.

Siang Ni dan Cun Giok seperti terkesima karena hati mereka terguncang sehingga setelah orang gila itu keluar dari bekas gedung, barulah mereka bergerak mengejar keluar. Gerakan mereka berbareng dan Siang Ni terkejut sekali mendapat kenyataan betapa gerakan pemuda itu luar biasa cepatnya dan ia tertinggal jauh! Ia merasa penasaran sekali dan ia sudah mempersiapkan sebatang panah tangan.

Pada saat Cun Giok mengangkat pedang hendak dibacokkan ke arah leher orang gila itu, tiba-tiba terdengar angin berdesir dan tubuh Can Sui terjungkal. Sebatang anak panah menancap di lambungnya dan menewaskannya di saat itu juga!

Cun Giok tertegun dan menengok. Dia tahu bahwa gadis itulah yang melepaskan anak panah secara istimewa sekali dan melihat cara gadis itu melepaskan panah tangan, dia menjadi terkejut dan terheran-heran. Mereka kini sudah tiba di luar gedung, di halaman gedung di mana dahulu orang tua mereka seringkali bermain-main.

Kini mereka berhadapan sebagai musuh dan saling memandang dengan sinar mata tajam. Kembali Cun Giok melihat sesuatu yang membuatnya semakin heran, yaitu pedang Kim-kong-kiam di tangan gadis itu. Bagaimana ia dapat memegang pedang yang dulu adalah milik Suma Tiang Bun, gurunya?

“Ibu, lihatlah! Pengkhianat Can Sui sudah kubunuh. Pembalasan pertama sudah terlaksana, Ibu. Sekarang lihat bagaimana aku membalaskan sakit hatimu dan Ayah terhadap bangsat rendah ini!” kata Siang Ni seperti berdoa dan matanya kini ditujukan kepada Cun Giok penuh ancaman.

Kemudian, tanpa memberi kesempatan kepada Cun Giok yang masih bengong memandangnya, Siang Ni menyerang. Kini ia mengeluarkan pedang kedua lalu bersama Kim-kong-kiam, ia mainkan ilmu pedang yang paling diandalkan, yaitu Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis)! Sinar kuning emas dan putih bergulung-gulung menerjang ke arah Cun Giok.

Pemuda ini cepat memutar pedangnya menangkis. Dia hanya melakukan pertahanan dengan mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling kokoh kuat sehingga gulungan sinar pedangnya membentuk perisai yang amat kuat. Akan tetapi dia tidak membalas serangan gadis itu. Berkali-kali dia membentak agar Siang Ni menghentikan serangannya untuk bicara, akan tetapi Siang Ni tidak peduli dan terus menyerang dengan ganas.

Tiba-tiba Siang Ni terkejut karena begitu tubuh lawannya berkelebat, ia kehilangan lawannya itu! Ini merupakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah hampir mencapai puncaknya! Ia teringat kepada kakek pertapa di Ta-pie-san dan diam-diam ia pun kagum sekali, walaupun kekaguman itu tidak dapat mengusir dendam kebenciannya.

“Tahan!” Tiba-tiba terdengar Cun Giok berseru di belakangnya.

Siang Ni membalikkan tubuhnya dan memandang pemuda itu dengan mata seolah berapi. “Mau bicara apalagi?” bentaknya.

“Engkau mengaku keturunan keluarga Pouw, mengaku anak Bibiku Pouw Sui Hong, akan tetapi aku tidak percaya! Mari kita bicara lebih dulu sebelum pedang kita merobohkan seorang di antara kita!”

“Pembunuh keji! Jangan banyak cakap!” Siang Ni membentak dan ia pun sudah menyerang lagi dengan dahsyat.

Terpaksa Cun Giok mengeluarkan kepandaiannya dan untuk beberapa jurus dia terpaksa mencurahkan tenaga saktinya untuk bertahan dan tidak sempat bicara. Akhirnya dia dapat membuat Siang Ni bingung lagi karena dia telah menggunakan gin-kang yang amat tinggi tingkatnya untuk berkelebatan dan terkadang lenyap dari penglihatan gadis itu. Setelah mendapat kesempatan, Cun Giok berkata lagi dengan lantang.

“Engkau mencurigakan sekali! Kalau engkau memang anak Bibiku, bagaimana mungkin pedang Kim-kong-kiam milik Guruku bisa berada di tanganmu? Engkau penipu!”

Mendengar makian ini, Siang Ni marah bukan main. Ia melompat mundur, menahan sepasang pedangnya. Mukanya menjadi merah, matanya berapi dan dadanya turun naik. Kemarahan menggelora dahsyat di dalam hatinya.

“Anjing keparat! Engkau masih berani memaki aku penipu! Kaulah penipu besar, mengaku anak Pek-hu (Liwa) Pouw Keng In akan tetapi marganya Suma! Cih, tak tahu malu! Engkau mau tahu bagaimana pedang ini berada di tanganku? Setelah gurumu mampus di tangan guruku, pedang ini diberikan kepadaku oleh Suhu.”

Cun Giok begitu kaget sampai dia mundur dua langkah dan matanya terbelalak. “Apa? Engkau murid Kong Tek Kok?”

“Betul! Engkau takut mendengar nama Suhu?” jawab Siang Ni dan entah mengapa, mukanya berubah merah sekali. Kong Tek Kok memang gurunya, akan tetapi, bukan sebagai guru saja. Lebih dari itu! Jauh lebih dari sekadar guru! Hanya sebentar Siang Ni merasa malu, karena ia menjadi terheran melihat keadaan Cun Giok. Pemuda itu menjadi pucat dan matanya memandang kepadanya dengan bengis.

“Nona, kalau engkau memang murid Kong Tek Kok dan hendak mengadu nyawa dengan aku, silakan! Akan tetapi jangan engkau mempermainkan aku. Jangan engkau berani mengaku sebagai anak Bibiku Pouw Sui Hong!”

“Orang gila! Memang Pouw Sui Hong itu Ibuku, Ibu kandungku! Ibuku hidup berbahagia dengan Ayah sampai engkau datang membunuh Ayah sehingga Ibu juga meninggal menyusul Ayah saking dukanya. Engkau keparat masih hendak memutar lidah lagi?”

“Nanti dulu!” Cun Giok mengangkat tangan kiri ke atas melihat gadis itu hendak menyerang lagi. “Engkau bilang bahwa engkau anak Pangeran Lu Kok Kong dan Ibumu adalah Pouw Sui Hong?”

“Apa kau kira aku memalsukan nama Ayah dan Ibu kandungku sendiri? Kakek bekas pelayan keluarga Pouw tadi berkata sendiri bahwa aku serupa benar dengan ibuku, Pouw Sui Hong!”

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 16

16: PERTEMUAN DI RERUNTUHAN GEDUNG LELUHUR

“Lopek, ceritakanlah kepadaku peristiwa keluarga Pouw itu,” kata Siang Ni dalam perjalanan. Sekali lagi Siang Ni mendengar cerita yang pernah didengar dari mulut ibunya dahulu.

“Mereka semua tewas,” kata kakek itu mengakhiri ceritanya dengan muka berduka. “Tak seorang pun selamat, seluruh anggauta keluarga itu dibantai. Bahkan Nona Sui Hong... ah, kasihan sekali ia, telah tertawan dan kabarnya tewas karena sengsara di kota raja. Siapakah yang akan tahan hidup menjadi tawanan? Ah, kasihan sekali Nona Sui Hong yang cantik jelita, yang dulu terkenal sebagai Kembang So-couw. Ah, tentu anjing-anjing biadab itu telah merusaknya...”

“Engkau tadi menceritakan bahwa dalam peristiwa pembasmian keluarga Pouw itu ada pengkhianatnya. Siapakah dia, Lopek?” tanya Siang Ni dengan suara biasa, padahal di dalam hatinya ia menjerit mendengar kakek itu menyebut nama ibunya.

“Bajingan itu bernama Can Sui. Dikutuk Thian setan keparat itu! Dia tergila-gila kepada Nona Pouw Sui Hong! Memang Nona Pouw... eh...” kakek itu memandang Siang Ni. “Ketika itu, Nona Pouw Sui Hong seperti engkau ini, Nona. Sama tinggi langsingnya, sama usianya dan eh... hampir serupa juga wajah Nona dengan wajahnya...”

Siang Ni merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Ia segera bertanya. “Lopek, dimanakah adanya pengkhianat itu sekarang? Masih hidupkah dia?”

Tiba-tiba pelayan itu tertawa geli dan tampak puas. “Dia masih hidup, biarpun hanya setengah hidup! Ha, rasakan sekarang bedebah itu!”

“Eh, apa maksudmu, Lopek?”

“Engkau lihat saja sendiri, Nona. Kita sudah dekat dengan reruntuhan gedung yang sudah dibakar itu. Engkau lihat sendiri saja...”

“Melihat Can Sui...?” Hati Siang Ni berdebar tegang.

Kakek itu hanya mengangguk sambil tersenyum. Mereka mempercepat perjalanan mereka menuju ke sebuah gedung yang tinggal tembok-temboknya saja, yang keadaannya kotor tidak terawat dan menjadi sarang laba-laba dan mungkin menjadi sarang hantu dan roh-roh penasaran. Keadaannya demikian menyeramkan dan letaknya di jalan yang sepi lagi.

Mungkin di waktu malam, jarang ada orang yang berani lewat di depan bekas rumah yang tinggal reruntuhan itu. Kakek itu mengajak Siang Ni memasuki halaman bekas gedung dan terdengar napas kakek itu terisak ketika mereka tiba di situ. Ternyata kakek pelayan itu tidak dapat menahan keharuan hatinya dan air mata menitik turun ke atas pipinya yang kurus.

“Inilah gedung bekas keluarga Pouw Nona. Semenjak berusia sepuluh tahun aku menjadi pelayan mereka, dan aku tinggal di sini sampai berusia tigapuluh tahun lebih. Aku sudah merasa menjadi anggauta keluarga sendiri... kasihan sekali mereka itu...”

Siang Ni menahan keharuan hatinya dan diam-diam ia menghapus air mata yang sudah membasahi pelupuk matanya dengan tangan. “Dan mana itu pengkhianat she Can yang kaukatakan, Lopek?”

Mendengar pertanyaan ini, wajah kakek itu tiba-tiba berseri kembali, seakan-akan nama itu merupakan hiburan baginya. Tiba-tiba terdengar orang batuk-batuk dari sebelah dalam dan kakek itu berkata,

“Nah, itu dia! Kalau sudah mulai gelap begini dia datang dan bermalam di bekas gedung ini, menangis seorang diri. Kalau siang dia keluar untuk mengemis makanan.”

“Kaumaksudkan, si pengkhianat Can Sui itu kini menjadi pengemis?”

“He-heh, bukan mengemis saja, juga otaknya sudah miring. Memang Thian Maha Adil dan tidak menghendaki manusia berbuat jahat tanpa hukuman yang setimpal.”

Dengan tidak sabar Siang Ni melangkah masuk, diikuti kakek pelayan itu yang mulai merasa heran mengapa nona ini begitu tabah dan berani memasuki bekas gedung yang kelihatan begitu menyeramkan. Banyak laki-laki kota So-couw tidak berani mendekati gedung itu di waktu matahari sudah terbenam karena orang percaya bahwa bekas gedung ini telah menjadi rumah hantu!

Mereka berjalan masuk sampai ke ruangan dalam dan cuaca di situ masih belum begitu gelap karena tidak ada atapnya sehingga sinar matahari sore masih dapat menerangi ruangan itu. Setelah memasuki ruangan, Siang Ni dan kakek pelayan itu berhenti melangkah. Siang Ni memandang ke sudut ruangan di mana seorang laki-laki sedang berlutut dan menangis!

“Itulah dia manusia keparat bernama Can Sui!” kakek itu berkata dengan nada membenci.

“Jahanam!!”

Siang Ni membentak sedemikian kerasnya sehingga tidak saja kakek pelayan itu yang menjadi kaget sekali, juga orang yang sedang menangis itu terkejut dan dia melompat berdiri sambil membalikkan tubuhnya menghadapi Siang Ni dan kakek pelayan itu. Akibat pertemuan ini benar-benar mendatangkan rasa kaget dan heran bagi mereka bertiga sungguhpun kekagetan dan keheranan mereka itu masing-masing berbeda sebabnya.

“Kau...?!?” seru orang yang menangis tadi ketika dia melihat Siang Ni, menunjukkan bahwa dia mengenal gadis itu.

“Suma Cun Giok jahanam keparat! Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Bersiaplah untuk mampus!” bentak Siang Ni kepada orang itu yang bukan lain adalah Suma Cun Giok.

Memang, pemuda ini datang mengunjungi gedung bekas tempat tinggal keluarga ayahnya yang telah terbasmi habis dan ketika dia tiba di situ, dia tidak dapat menahan kesedihannya dan menangis tersedu-sedu seorang diri.

Reaksi yang diperlihatkan kakek pelayan itu lebih hebat lagi. Dia memandang kepada Cun Giok dengan mata melotot, lalu menoleh kepada Siang Ni, dan tiba-tiba dia menangis sambil menjatuhkan diri berlutut.

“Aku melihat... aku melihat... mohon arwah Tuan Muda Pouw Keng In dan Nona Pouw Sui Hong sudi mengampuni hamba...”

Dia berulang-ulang memberi hormat dengan kedua tangan diangkat terkepal sambil membungkuk dalam kepada Siang Ni yang dia sebut Nona Pouw Sui Hong dan kepada Cun Giok yang dia sebut Tuan Muda Pouw Keng In. Kemudian dia menangis perlahan sambil terus berlutut. Dalam anggapan kakek yang tenggelam dalam kesedihan itu, dia bertemu dengan arwah kedua orang majikannya yang sudah tewas.

Ucapan kakek itu membuat Siang Ni dan Cun Giok saling pandang. Siang Ni sudah maklum apa yang dimaksud kakek itu, akan tetapi Cun Giok tidak mengerti dan terheran-heran mendengar kakek itu menyebut-nyebut nama ayah dan bibinya.

“Kau... mengapa engkau datang ke tempat ini? Engkau siapakah, Nona? Dan kakek ini siapa pula?” tanya Cun Giok.

Tentu saja dia masih ingat kepada Siang Ni sebagai gadis lihai yang pernah menyerangnya ketika dia dahulu menyerbu ke rumah gedung Pangeran Lu Kok Kong di kota raja.

“Di sini bekas rumah Ibuku, mengapa aku tidak boleh datang? Engkau ini keparat jahanam, mengapa pula berani mengotori tempat yang suci ini?” bentak Siang Ni.

Suma Cun Giok terbelalak. “Apa...? Engkau... anak Bibi Pouw Sui Hong? Tidak mungkin! Ah, bagaimana ini...? Tidak mungkin...!” Dia menjadi bingung sekali.

“Manusia jahat, engkaulah yang mengaku-aku! Siapa itu Bibimu? Ibuku bukan Bibimu dan engkau bukan anggauta keluarga Pouw!”

“Aku putera tunggal ayahku Pouw Keng In!” jawab Suma Cun Giok marah.

“Bohong! Margamu bukan Pouw melainkan Suma, dan kalau engkau benar putera mendiang Paman Pouw Keng In, tidak mungkin engkau datang membunuh Ayah Ibuku!”

“Siapa Ayahmu? Bagaimana engkau berani bilang aku membunuh Ibumu?” Cun Giok berteriak, penasaran.

“Ayahku adalah Pangeran Lu Kok Kong. Tanpa sebab engkau telah membunuhnya secara keji dan Ibuku menyusul ke alam baka karena berduka. Bukankah berarti engkau telah membunuh Ibuku pula? Dan engkau mau mengaku bahwa Ibuku itu Bibimu? Anjing jahanam, terimalah pembalasanku!” Siang Ni tidak dapat menahan sabar lagi dan cepat ia menyerang dengan pedangnya.

Mendengar ucapan ini, Cun Giok kaget setengah mati. Benarkah apa yang dikatakan gadis itu? Sebelum membunuh Pangeran Lu, dia mendengar keterangan bahwa bibinya sudah tewas dalam keadaan sengsara. Apakah benar bibinya menjadi isteri Pangeran Lu dan bahkan telah mempunyai seorang puteri, yaitu gadis ini?

Akan tetapi dia tidak sempat memikirkan lebih lanjut karena sinar emas telah menyambar ke arah dadanya dengan gerakan yang amat dahsyat. Namun tingkat kepandaian Cun Giok sudah jauh Iebih maju daripada dahulu. Dia telah digembleng selama setahun lebih oleh Pak Kong Lojin, yaitu Susiok-couwnya yang bertapa di puncak Ta-pie-san.

Selain ilmu pukulan, terutama sekali dia mewarisi gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa dari kakek gurunya sehingga kini Cun Giok memiliki gerakan yang luar biasa ringan dan cepatnya. Saking hebatnya kecepatan gerak pemuda itu, dia mendapat julukan Bu-eng-cu.

cerita silat online karya kho ping hoo

Kini menghadapi serangan Siang Ni, hampir saja dia menjadi korban. Gerakannya yang amat cepat untuk mengelak itu ternyata masih belum dapat membebaskan sepenuhnya dari serangan pedang yang seperti kilat menyambar itu. Sinar kuning emas itu masih menyerempet dan mengenai pundaknya, mendatangkan luka walau hanya sedikit kulit pundak berikut bajunya yang terobek.

Kelambatan Cun Giok dikarenakan dua hal. Pertama karena kaget dan heran mendengar pengakuan Siang Ni sebagai anak bibinya, dan kedua karena dia kaget pula melihat sinar pedang kuning emas yang dikenalnya sebagai pedang mendiang gurunya!

Pada saat itu, terdengar suara orang tertawa aneh disusul isak tangis. Dari luar tersaruk-saruk masuklah seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping, tangan kirinya memegang sebuah mangkok retak, tangan kanannya memegang sebatang tongkat.

“Sui Hong... aku berdosa padamu, Sui Hong...” demikian ratap tangis laki-laki itu, “ampunkan aku, Sui Hong...”

Mendengar ini, Siang Ni terkejut dan menghentikan serangannya kepada Cun Giok. Ia dan Cun Giok menatap wajah laki-laki jembel yang baru masuk, laki-laki ini berusia kurang lebih empatpuluh tahun, rambutnya riap-riapan, pakaiannya compang-camping, mukanya kotor dan matanya merah berputar-putar mengerikan.

“Can Sui...!” Kakek pelayan itu membentak. “Lihat, siapa yang datang ini!”

Mendengar bentakan ini, orang jembel itu cepat mengangkat muka memandang kepada Siang Ni dan Cun Giok berganti-ganti. Matanya terbelalak lebar dan tiba-tiba tubuhnya menggigil lalu dia menangis dan menjatuhkan diri berlutut di samping kakek pelayan yang masih berlutut dan meratap-ratap.

“Aduh... Tuan Muda Pouw Keng In... dan Nona Pouw Sui Hong... ampunkan aku... ampunkan aku yang berdosa...!”

Seperti juga kakek pelayan itu, orang gila ini agaknya mengira bahwa pemuda dan gadis itu adalah arwah dari bekas kedua orang majikannya dan mereka datang untuk menghukumnya!

“Keparat, engkau harus mampus!” bentak Cun Giok melihat orang yang mengkhianati dan yang menyebabkan terbasminya seluruh keluarga Pouw itu.

“Jahanam, rasakan pembalasanku!” Siang Ni juga membentak.

Orang gila itu adalah Can Sui yang dahulu menjadi pelayan keluarga Pouw dan agaknya setelah keluarga Pouw terbasmi, dan dia sudah menghabiskan upah yang dia dapatkan sebagai hasil pengkhianatannya untuk berfoya-foya, merasa tersiksa batinnya sehingga menjadi gila. Mendengar bentakan dua orang muda itu dia menjerit-jerit sambil berlari keluar dari bekas gedung itu.

Siang Ni dan Cun Giok seperti terkesima karena hati mereka terguncang sehingga setelah orang gila itu keluar dari bekas gedung, barulah mereka bergerak mengejar keluar. Gerakan mereka berbareng dan Siang Ni terkejut sekali mendapat kenyataan betapa gerakan pemuda itu luar biasa cepatnya dan ia tertinggal jauh! Ia merasa penasaran sekali dan ia sudah mempersiapkan sebatang panah tangan.

Pada saat Cun Giok mengangkat pedang hendak dibacokkan ke arah leher orang gila itu, tiba-tiba terdengar angin berdesir dan tubuh Can Sui terjungkal. Sebatang anak panah menancap di lambungnya dan menewaskannya di saat itu juga!

Cun Giok tertegun dan menengok. Dia tahu bahwa gadis itulah yang melepaskan anak panah secara istimewa sekali dan melihat cara gadis itu melepaskan panah tangan, dia menjadi terkejut dan terheran-heran. Mereka kini sudah tiba di luar gedung, di halaman gedung di mana dahulu orang tua mereka seringkali bermain-main.

Kini mereka berhadapan sebagai musuh dan saling memandang dengan sinar mata tajam. Kembali Cun Giok melihat sesuatu yang membuatnya semakin heran, yaitu pedang Kim-kong-kiam di tangan gadis itu. Bagaimana ia dapat memegang pedang yang dulu adalah milik Suma Tiang Bun, gurunya?

“Ibu, lihatlah! Pengkhianat Can Sui sudah kubunuh. Pembalasan pertama sudah terlaksana, Ibu. Sekarang lihat bagaimana aku membalaskan sakit hatimu dan Ayah terhadap bangsat rendah ini!” kata Siang Ni seperti berdoa dan matanya kini ditujukan kepada Cun Giok penuh ancaman.

Kemudian, tanpa memberi kesempatan kepada Cun Giok yang masih bengong memandangnya, Siang Ni menyerang. Kini ia mengeluarkan pedang kedua lalu bersama Kim-kong-kiam, ia mainkan ilmu pedang yang paling diandalkan, yaitu Siang-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Iblis)! Sinar kuning emas dan putih bergulung-gulung menerjang ke arah Cun Giok.

Pemuda ini cepat memutar pedangnya menangkis. Dia hanya melakukan pertahanan dengan mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling kokoh kuat sehingga gulungan sinar pedangnya membentuk perisai yang amat kuat. Akan tetapi dia tidak membalas serangan gadis itu. Berkali-kali dia membentak agar Siang Ni menghentikan serangannya untuk bicara, akan tetapi Siang Ni tidak peduli dan terus menyerang dengan ganas.

Tiba-tiba Siang Ni terkejut karena begitu tubuh lawannya berkelebat, ia kehilangan lawannya itu! Ini merupakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah hampir mencapai puncaknya! Ia teringat kepada kakek pertapa di Ta-pie-san dan diam-diam ia pun kagum sekali, walaupun kekaguman itu tidak dapat mengusir dendam kebenciannya.

“Tahan!” Tiba-tiba terdengar Cun Giok berseru di belakangnya.

Siang Ni membalikkan tubuhnya dan memandang pemuda itu dengan mata seolah berapi. “Mau bicara apalagi?” bentaknya.

“Engkau mengaku keturunan keluarga Pouw, mengaku anak Bibiku Pouw Sui Hong, akan tetapi aku tidak percaya! Mari kita bicara lebih dulu sebelum pedang kita merobohkan seorang di antara kita!”

“Pembunuh keji! Jangan banyak cakap!” Siang Ni membentak dan ia pun sudah menyerang lagi dengan dahsyat.

Terpaksa Cun Giok mengeluarkan kepandaiannya dan untuk beberapa jurus dia terpaksa mencurahkan tenaga saktinya untuk bertahan dan tidak sempat bicara. Akhirnya dia dapat membuat Siang Ni bingung lagi karena dia telah menggunakan gin-kang yang amat tinggi tingkatnya untuk berkelebatan dan terkadang lenyap dari penglihatan gadis itu. Setelah mendapat kesempatan, Cun Giok berkata lagi dengan lantang.

“Engkau mencurigakan sekali! Kalau engkau memang anak Bibiku, bagaimana mungkin pedang Kim-kong-kiam milik Guruku bisa berada di tanganmu? Engkau penipu!”

Mendengar makian ini, Siang Ni marah bukan main. Ia melompat mundur, menahan sepasang pedangnya. Mukanya menjadi merah, matanya berapi dan dadanya turun naik. Kemarahan menggelora dahsyat di dalam hatinya.

“Anjing keparat! Engkau masih berani memaki aku penipu! Kaulah penipu besar, mengaku anak Pek-hu (Liwa) Pouw Keng In akan tetapi marganya Suma! Cih, tak tahu malu! Engkau mau tahu bagaimana pedang ini berada di tanganku? Setelah gurumu mampus di tangan guruku, pedang ini diberikan kepadaku oleh Suhu.”

Cun Giok begitu kaget sampai dia mundur dua langkah dan matanya terbelalak. “Apa? Engkau murid Kong Tek Kok?”

“Betul! Engkau takut mendengar nama Suhu?” jawab Siang Ni dan entah mengapa, mukanya berubah merah sekali. Kong Tek Kok memang gurunya, akan tetapi, bukan sebagai guru saja. Lebih dari itu! Jauh lebih dari sekadar guru! Hanya sebentar Siang Ni merasa malu, karena ia menjadi terheran melihat keadaan Cun Giok. Pemuda itu menjadi pucat dan matanya memandang kepadanya dengan bengis.

“Nona, kalau engkau memang murid Kong Tek Kok dan hendak mengadu nyawa dengan aku, silakan! Akan tetapi jangan engkau mempermainkan aku. Jangan engkau berani mengaku sebagai anak Bibiku Pouw Sui Hong!”

“Orang gila! Memang Pouw Sui Hong itu Ibuku, Ibu kandungku! Ibuku hidup berbahagia dengan Ayah sampai engkau datang membunuh Ayah sehingga Ibu juga meninggal menyusul Ayah saking dukanya. Engkau keparat masih hendak memutar lidah lagi?”

“Nanti dulu!” Cun Giok mengangkat tangan kiri ke atas melihat gadis itu hendak menyerang lagi. “Engkau bilang bahwa engkau anak Pangeran Lu Kok Kong dan Ibumu adalah Pouw Sui Hong?”

“Apa kau kira aku memalsukan nama Ayah dan Ibu kandungku sendiri? Kakek bekas pelayan keluarga Pouw tadi berkata sendiri bahwa aku serupa benar dengan ibuku, Pouw Sui Hong!”