Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

17: PANGLIMA KONG TEK KOK DULUAN!

“Tidak mungkin! Kalau engkau benar anak Bibi Pouw Sui Hong, bagaimana mungkin engkau bisa menjadi murid Panglima Kong Tek Kok si jahanam besar itu? Tidak mungkin Bibi Pouw Sui Hong memperbolehkan puterinya menjadi murid panglima biadab itu!”

“Mengapa??” Siang Ni bertanya penasaran, akan tetapi ia mulai mendapatkan perasaan yang tidak enak dan jantungnya berdebar.

“Mengapa? Keluarga Pouw terbasmi habis oleh pasukan yang dipimpin oleh jahanam Kong Tek Kok. Ayah Ibuku, Kakek dan seisi rumah keluarga Pouw dibasmi dan dibunuhnya secara kejam. Bibi Pouw Sui Hong juga tertawan oleh Kong Tek Kok dan dibawa ke kota raja. Aku mendengar kabar dari orang banyak bahwa Bibi Pouw Sui Hong menjadi sengsara dan meninggal dunia di kota raja setelah oleh Kong Tek Kok diserahkan kepada Pangeran Lu sebagai selir. Bagaimana sekarang muncul engkau yang mengaku sebagai puteri Bibi Pouw Sui Hong akan tetapi juga mengaku menjadi murid jahanam Kong Tek Kok?”

Mendengar kata-kata itu, makin lama wajah Siang Ni menjadi semakin pucat. Kedua kakinya menggigil dan suaranya mendesis ketika ia berkata, “Jahanam Suma Cun Giok, pembunuh Ayahku! Jangan engkau membohong......” Akan tetapi suaranya tidak terdengar marah, melainkan penuh keraguan dan kekhawatiran.

“Kaukira aku berbohong? Mana Kakek pelayan tadi, mari kita tanya kepadanya, tentu dia masih ingat kalau memang betul dia itu bekas pelayan keluarga Pouw!”

Bagaikan diingatkan, Siang Ni berlari memasuki gedung yang sudah hampir gelap. Di situ kakek pelayan tadi masih berlutut ketakutan. Melihat masuknya Siang Ni dan pemuda yang keduanya dia anggap arwah Pouw Keng In dan Pouw Sui Hong, dia kembali menyembunyikan mukanya di balik kedua tangannya.

“Lopek, jangan takut,” kata Siang Ni. “Coba kau ceritakan yang sebenarnya kepadaku. Ketika terjadi penyerbuan dan pembasmian keluarga Pouw, apakah engkau tahu siapa komandan pasukan yang dengan kejam sekali membunuh semua anggauta keluarga Pouw?”

“Semua orang mengetahui, Nona. Dia itu...” Suaranya lirih, tampak ketakutan, “dia itu sekarang menjadi panglima besar, namanya Panglima Kong Tek Kok...”

Siang Ni menjerit aneh, sepasang pedangnya terlepas dan jatuh di atas lantai. Tubuhnya lemas terkulai dan di lain saat ia jatuh pingsan dalam pelukan Cun Giok yang cepat menolong sebelum gadis itu roboh. Kenyataan bahwa Kong Tek Kok sendiri orangnya yang telah menjadi musuh besarnya selama ini, merupakan pukulan batin yang amat hebat bagi Siang Ni sehingga ia tidak kuasa menahannya dan roboh pingsan.

Dan ia telah menjadi murid musuh besar itu, bahkan ia telah rela mengorbankan menyerahkan kehormatannya menjadi permainan Kong Tek Kok untuk dapat mewarisi ilmu tertinggi agar dapat membalas dendam kepada musuh besar keluarga Pouw!

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Lu Siang Ni baru siuman. Cun Giok yang mengetahui bahwa gadis itu menderita tekanan batin yang amat hebat, membiarkannya tidur pulas semalam, agar terlepas dari cengkeraman dan himpitan kaget, sesal dan duka. Ketika Siang Ni pingsan, dia memondongnya dan merebahkannya di atas sehelai tikar rombeng.

Kakek pelayan itu menjaga di dekatnya dan kakek inilah yang memasak air dan membuat api unggun. Setelah mendengar keterangan Cun Giok, kakek ini baru menyadari bahwa dia berhadapan dengan keturunan majikan-majikannya. Dia merasa gembira sekali, seolah-olah semua itu terjadi dalam mimpi.

Begitu siuman Siang Ni mengumpulkan hawa di dalam tubuhnya sehingga darahnya mengalir normal kembali dan hawa hangat memenuhi dadanya, mengembalikan tenaganya. Cepat ia melompat berdiri. Melihat dua batang pedangnya berada di sudut ruangan, ia melompat dan menyambarnya dan di lain saat kedua tangannya sudah memegang pedang dan siap hendak menyerang. Ia memandang kepada Cun Giok yang duduk bersila di atas lantai dengan mata merah.

“Suma Cun Giok, aku mengakui bahwa selama ini aku seperti buta, tidak tahu bahwa selama ini musuh besarku berada di dekatku. Akan tetapi engkau tetap musuh besarku pula karena engkau telah membunuh Ayahku. Bersiaplah engkau, kita tidak dapat hidup bersama di dunia ini. Seorang dari kita harus mati di ujung pedang!”

Cun Giok bangkit berdiri dan memandang gadis itu dengan hati penuh haru dan iba. Pemuda ini tampak susah sekali, apalagi kalau dia teringat bahwa satu-satunya keluarganya adalah gadis ini, akan tetapi mereka berjumpa bukan sebagai saudara misan, melainkan sebagai musuh yang harus saling bunuh!

“Betapapun juga, engkau adalah Adik misanku dan aku... aku sudah merasa bersalah, Piauw-moi (Adik Misan). Agaknya Ayahmu dahulu merasa malu mengambil Bibi Pouw Sui Hong sebagai isterinya sehingga dia membuat berita di luar bahwa Bibi Sui Hong sudah meninggal dunia. Andaikata aku tahu bahwa Bibi Sui Hong masih hidup, bahkan sudah mempunyai anak, kiranya aku tidak begitu gila untuk membunuh Ayahmu. Aku melakukan itu semata-mata untuk membalaskan sakit hati Bibi Pouw Sui Hong, yakni Ibumu! Siapa tahu kalau Bibi Sui Hong ternyata masih hidup... bahkan sekarang meninggal dunia karena duka melihat suaminya terbunuh... ahhh... sekarang aku ingat akan seorang wanita cantik yang menjerit, mengatakan bahwa Pangeran Lu tidak berdosa! Dan aku seperti orang gila. Adikku, aku sudah berdosa terhadap Bibi Sui Hong dan suaminya, terhadap Ayah Ibumu. Kalau engkau hendak membalas dendam, engkau boleh bunuh aku. Aku tidak akan melawan lagi...” Setelah berkata demikian, Cun Giok mengembangkan kedua lengannya, membuka dada menghadapi Siang Ni.

Melihat ini, hati Siang Ni yang keras menjadi lemas. Ia teringat akan kata-kata terakhir ibunya bahwa ia tidak boleh memusuhi kakak misannya ini dan bahwa sebetulnya ayahnya bukan tidak bersalah sama sekali. Melihat banyaknya isteri ayahnya, Siang Ni dapat menduga bahwa ayahnya tentu seorang laki-laki mata keranjang dan dahulu tentu telah tertarik kepada ibunya sehingga Panglima Kong Tek Kok memberikan ibunya sebagai hadiah! Sakit sekali rasa hatinya memikirkan ini dan kebenciannya tertumpuk kepada Kong Tek Kok.

“Cabut pedangmu!” ia membentak. “Tak mungkin keturunan Pouw lahir sebagai seorang pengecut! Kalau engkau benar laki-laki, pertahankan kehormatanmu. Kalau engkau tidak mau melawan, aku pun tidak akan membunuhmu begitu saja, akan tetapi selamanya engkau akan terkutuk sebagai seorang laki-laki pengecut yang mencemarkan nama dan kehormatan keluarga Pouw yang gagah perkasa!”

Mendengar ini, wajah Cun Giok menjadi merah sekali. Dia melangkah mundur dan berkata dengan suara tegas. “Dengarlah, bocah lancang mulut dan sombong! Siapa takut padamu? Aku tidak melawan karena aku memang menyesal sekali bahwa aku yang menjadi sebab kematian Bibi Pouw Sui Hong. Engkau mau aku melawanmu sehingga seorang di antara kita mati di ujung pedang? Hemm, aku sama sekali tidak takut padamu, akan tetapi aku tidak bermaksud mempergunakan senjata terhadap puteri Bibi Sui Hong. Senjata dan kepandaianku kusiapkan untuk membalas dendam kepada keparat jahanam Kong Tek Kok! Apakah engkau bertekad untuk melindungi gurumu itu dan menghalangi maksudku untuk membalas dendam kepadanya? Kalau engkau bertindak sebagai murid Kong Tek Kok dan membelanya, aku bersedia untuk mengadu kepandaian denganmu, karena kalau engkau membela Kong Tek Kok, berarti engkau pun menjadi musuh besar keluarga Pouw!”

“Jangan menghina!” Siang Ni menjerit. “Siapa sudi menjadi pelindung keparat jahanam itu? Aku tidak rela orang lain yang membunuhnya! Tanganku sendiri yang akan merenggut nyawanya dari tubuhnya yang hina dina. Akan tetapi, engkau adalah pembunuh Ayahku, karena itu sudah sepatutnya aku membalas dendam atas kematian Ayah!”

Sikap Cun Giok menjadi lemah kembali. Dia menarik napas panjang dan berkata lembut. “Kalau begitu soalnya, kalau engkau hendak membunuhku karena membalas dendam atas kematian Ayah Ibumu, aku rela menerima kematian di ujung pedangmu. Hanya sayang... aku belum sempat mencari si keparat Kong Tek Kok. Kalau saja aku sudah berhasil membunuhnya sebagai pembalasan terhadap keluargaku, aku rela kau apakan juga...”

Untuk beberapa lama Siang Ni ragu-ragu. Tiba-tiba ia melompat keluar dari ruangan itu dan terdengar suaranya dari luar. “Baik! Aku akan membunuh keparat Kong Tek Kok lebih dulu, baru kelak kita akan membuat perhitungan!”

Cun Giok mengejar keluar. “Piauw-moi...! Mari kita bersama membalas dendam keluarga kita...!”

Akan tetapi Siang Ni sudah pergi jauh dan tidak mau menjawab lagi. Cun Giok memberi beberapa potong emas kepada kakek bekas pelayan keluarganya itu dan berpesan agar segala yang dilihat dan didengarnya di dalam bekas gedung itu tidak diceritakan kepada orang lain. Juga bekas pelayan itu diminta untuk mengurus mayat Can Sui sebagaimana mestinya. Kakek bekas pelayan keluarga Pouw itu berterima kasih sekali dan menaati pesan Cun Giok. Setelah mengucapkan terima kasih, Cun Giok meninggalkan So-couw dan menyusul ke kota raja.

********************

Dalam perjalanan menuju kota raja, kadang-kadang Siang Ni menangis dengan air mata bercucuran. “Thian Yang Maha Kuasa, mengapa begini sengsara nasibku...?” Ia mengeluh berulang kali. Kebencian terhadap Panglima Kong Tek Kok meluap-luap.

Tadinya ia memang sudah mempunyai rasa muak yang luar biasa terhadap gurunya yang telah melakukan perbuatan keji terhadap dirinya. Kalau tadinya ia masih menahan-nahan perasaan benci itu karena tidak ada alasan, kini kebenciannya meluap. Sudah ia bayangkan bagaimana pertemuannya dengan gurunya itu nanti. Ia tidak akan bersabar lagi dan akan langsung menyerangnya sambil mencaci-maki.

Ia merasa kuat melawan gurunya, biarpun gurunya memiliki kepandaian karena ia merasa bahwa kepandaian tinggi gurunya itu sudah diwarisinya. Tingkat kepandaiannya sekarang tidak akan berselisih banyak dengan tingkat gurunya. Mungkin tenaga dalamnya masih kalah kuat, namun ia merasa yakin bahwa ia menang dalam kecepatan gerakan.

Pula, ia memegang Kim-kong-kiam, maka hatinya besar dan ia tidak perlu takut. Setiap hari dalam perjalanannya itu Siang Ni merencanakan bagaimana ia akan menyerang gurunya sehingga dalam perkelahian nanti gurunya itu takkan terhindar dari maut!

Kalau ia teringat akan Cun Giok, ia menjadi bingung. Setelah ia mengetahui duduknya persoalan, ia tidak merasa benci lagi kepada pemuda itu. Biarpun pemuda itu telah membunuh ayah kandungnya, akan tetapi kalau ia renungkan, Pangeran Lu, ayah kandungnya itu, seakan-akan menjadi sekutu Kong Tek Kok.

Kini mengertilah ia mengapa ibunya suka termenung dan ibunya menangis sedih mendengar ia bercerita tentang pertolongannya kepada para calon Siu-li. Mengapa ibunya sengaja menyembunyikan nama Kong Tek Kok darinya? Ibunya tentu maklum bahwa ia menjadi murid musuh besarnya sendiri, dan ibunya tentu tidak berdaya karena semua itu adalah kehendak ayahnya.

Dan ayahnya dibunuh Cun Giok karena pemuda itu hendak membalaskan dendam ibunya yang disangka tersiksa dan tewas oleh ayahnya! Ah, semakin ia pikir, makin tipis pula niatnya untuk kelak membuat perhitungan dengan kakak misannya itu.

Siang Ni tiba di kota raja pada senja hari. Ia tidak langsung menuju ke rumah gurunya, akan tetapi ia menuju ke gedung ayahnya. Ia disambut oleh semua ibu tirinya. Siang Ni menceritakan dengan singkat bahwa dalam mencari pembunuh ayahnya, ia belum berhasil. Kemudian dengan cerdik ia minta ibu tiri tertua bercerita tentang ibunya.

“Ibumu memang anggauta keluarga Pouw di So-couw. Tadinya ketika mula-mula memasuki gedung ini, ia tampak berduka sekali sehingga kami harus menjaga keras agar jangan sampai membunuh diri. Akan tetapi, setelah ia mengandung dan akhirnya melahirkan engkau, sikapnya berubah dan ia tampak bahagia. Ia orang yang baik dan halus budinya sehingga kami semua merasa sayang padanya, Siang Ni,” kata ibu tiri tertua.

“Ibu dahulu diberikan oleh Panglima Kong Tek Kok kepada Ayah, bukan?”

Semua ibu tirinya saling pandang. Hal ini sejak dahulu dirahasiakan sekali. Pangeran Lu Kok Kong dengan bengis mengancam akan menghukum siapa yang membuka rahasia ini kepada Siang Ni. Sekarang gadis itu sendiri mengatakan hal ini, mereka terheran-heran.

“Bagaimana engkau bisa mengetahuinya, Siang Ni?” ibu tiri tertua bertanya. Pertanyaan ini saja sudah melenyapkan keraguan di hati Siang Ni. Jelaslah bahwa Kong Tek Kok memang orang yang harus dibunuhnya!

Kini sudah tetap hati Siang Ni. Malam ini harus membunuh Kong Tek Kok. Biarpun untuk ini ia harus berkorban nyawa. Untuk membalas dendam orang tuanya, nyawa baginya tidak masuk hitungan. Bahkan ia sudah berani mengorbankan kehormatan dan kebahagiaan hidupnya untuk dapat mewarisi ilmu silat tinggi agar dapat membalas dendam. Maka tentang resiko dalam menghadapi gurunya, ia tidak peduli lagi. Kalau perlu, mati bersama akan ia hadapi dengan tabah!

Ia lalu meninggalkan semua ibu tirinya dan mengatakan ingin beristirahat. Ia memasuki kamarnya, membersihkan diri dan berganti pakaian lalu makan malam. Semua persiapan sudah ia lakukan, pedang dan anak panah tangan sudah tersedia lengkap. Setelah mengadakan persiapan, baru ia mengaso di pembaringan agar tidak terlalu letih dan tenaganya terkumpul untuk menghadapi usaha balas dendamnya nanti.

Setelah keadaan menjadi sunyi dan semua ibu tirinya sudah memasuki kamar masing-masing, Siang Ni keluar dari gedung itu melalui jendela dan melakukan perjalanan melalui genteng-genteng rumah dengan cepat sekali.

Ketika ia sudah berada dekat gedung Panglima Kong Tek Kok, dari jauh ia melihat pertempuran di atas genteng gedung itu. Ia mempercepat larinya dan dilihatnya seorang yang gesit sekali gerakannya melarikan diri, dikejar oleh belasan orang, di antaranya yang paling depan adalah Panglima Kong Tek Kok.

Dengan sembunyi-sembunyi Siang Ni mendekat dan melihat ada lima orang perwira yang dikenalnya berkepandaian tinggi dan menjadi pembantu-pembantu gurunya telah menggeletak di atas genteng, tewas. Ia lalu ikut mengejar, akan tetapi bukan mengejar bayangan yang ia duga tentu Cun Giok adanya, melainkan mengejar Kong Tek Kok.

Akan tetapi tiba-tiba Siang Ni mendapat pikiran lain yang lebih baik. Sudah pasti bahwa Cun Giok memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkatnya. Kalau tidak bagaimana mungkin pemuda itu sekarang tahu-tahu sudah melakukan penyerbuan pada gedung Panglima Kong Tek Kok padahal pemuda itu tadinya ia tinggalkan? Dan sekarang, kalau Cun Giok yang lebih lihai saja tidak mampu membunuh Kong Tek Kok yang mempunyai banyak pembantu, apalagi ia!

“Aku tidak boleh gagal seperti Cun Giok. Aku harus menggunakan akal,” pikir Siang Ni yang mengikuti mereka secara sembunyi.

Dilihatnya beberapa kali gurunya melepaskan anak panah ke arah bayangan di depan, akan tetapi semua anak panah dapat dielakkan secara mengagumkan oleh bayangan itu. Sebentar saja bayangan yang dikejar itu pun Ienyap dan terdengar Kong Tek Kok menyumpah-nyumpah.

“Bedebah! Kalau terjatuh ke tanganku, akan kucincang sampai lumat tubuh si laknat Suma Cun Giok! Mulai sekarang penjagaan harus diperkuat. Sungguh memalukan! Menghadapi seorang musuh saja sampai lima orang kawan kita tewas dan penjahatnya tidak tertangkap!”

Setelah Kong Tek Kok dan kawan-kawannya pergi dan Siang Ni mendengar gurunya akan mengatur penjagaan agar penjahat itu jangan sampai keluar dari kota raja, Siang Ni diam-diam lalu mengejar ke arah perginya Cun Giok.

Akan tetapi sia-sia belaka. Sampai tengah malam ia berputar-putar di kota raja, menghindari pertemuan dengan para penjaga. Akhirnya setelah mencari sampai ke ujung kota raja sebelah selatan dan tidak menemukan Cun Giok, Siang Ni menuju ke tanah kuburan di mana terdapat makam ayah bundanya.

Besok pagi-pagi ia hendak menemui gurunya dan dengan siasat ia hendak melakukan pembalasan. Sebelum ia melaksanakan balas dendam yang juga amat berbahaya bagi dirinya sendiri itu, gadis itu ingin mengunjungi makam ayah ibunya lebih dulu.

Malam itu terang bulan. Bulan hampir purnama karena sudah tanggal tiga belas. Keadaan di tanah kuburan itu sunyi senyap. Bayang-bayang yang ditimbulkan sinar bulan dan pohon-pohon amat menyeramkan. Seorang laki-laki sekalipun akan termangu dan ragu kalau disuruh memasuki tanah kuburan itu seorang diri pada saat seperti itu. Malam terang bulan di tanah kuburan! Orang yang tabah sekalipun akan kecil hati, bukan hanya takut bertemu penjahat, akan tetapi lebih lagi takut bertemu hantu!

Akan tetapi Siang Ni adalah seorang gadis yang sudah hancur hatinya, seorang yang sudah tidak punya harapan untuk hidup lebih lama lagi setelah mengalami kesengsaraan hebat. Bahkan ia seolah mengharapkan datangnya kematian agar terbebas dari perasaan hati yang hancur. Baginya tidak ada lagi rasa takut. Maut ditantangnya, apa lagi segala macam hantu dan siluman, ia tidak takut sama sekali.

Dengan langkah tetap ia memasuki gapura kuburan dan langsung menuju ke makam ayah ibunya. Dua tahun telah lewat, akan tetapi batu-batu bong-pai (nisan) kedua kuburan itu terawat baik dan kelihatan putih bersih di bawah sinar bulan.

Ada bayangan bergerak-gerak di depan bong-pai. Dari jauh Siang Ni sudah melihatnya, akan tetapi ia mengira bahwa itu tentu bayangan pohon yang digerakkan angin. Ia mendekati dan melihat bahwa bayangan itu bergerak seperti manusia. Orang lain tentu akan lari lintang pukang dan jatuh bangun melihat bayangan ini dan yakin bahwa ia adalah hantu yang berkeliaran di tanah kuburan. Akan tetapi sebaliknya Siang Ni malah lari menghampiri dengan pedang terhunus.

“Siapa engkau!” bentaknya sambil melompat.

Orang membalikkan tubuh menghadapinya, sikapnya tenang. Siang Ni menahan pedangnya ketika melihat bahwa orang itu bukan lain adalah Cun Giok!

“Mau apa engkau di sini?” Siang Ni bertanya dengan suara ketus.

“Aku di sini dengan tiga kepentingan. Pertama untuk bersembunyi dari kejaran kaki tangan Kong Tek Kok yang ternyata memiliki banyak pembantu sehingga masih sukar bagiku untuk membunuhnya. Kedua untuk mengunjungi makam Bibi Pouw Sui Hong dan minta ampun atas dosaku telah salah sangka sehingga membunuh suaminya. Ketiga aku sengaja menanti engkau di sini karena aku mempunyai harapan besar bahwa engkau pasti akan datang ke sini, cepat atau lambat. Tak kusangka bahwa malam ini juga engkau datang. Benar-benar Thian mengabulkan pengharapanku.” Wajah Cun Giok tampak penuh harapan dan pandang matanya penuh permohonan kepada Siang Ni.

“Ada keperluan apakah engkau ingin bertemu dengan aku?” suara Siang Ni masih kaku.

Cun Giok menarik napas panjang. “Nona, bagaimanapun juga, kita adalah saudara misan dan kita mempunyai tugas yang sama, yaitu membalas dendam sakit hati keluarga kita kepada Panglima Kong Tek Kok. Tadi telah kurasakan betapa lihainya musuh besar kita itu yang dibantu banyak pengawalnya. Kalau melawan dia seorang, kiraku aku tidak akan kalah, akan tetapi, dia mengandalkan bantuan kaki tangannya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi juga sehingga ketika dikeroyok aku merasa kewalahan.”

“Engkau hanya berhasil membunuh lima orang pengawal lalu melarikan diri,” kata Siang Ni.

“Eh, kau sudah tahu? Memang, aku tidak berguna. Terus terang saja, aku amat mengharapkan bantuanmu dalam hal ini. Kalau kita berdua yang maju, kiraku si jahanam Kong Tek Kok itu akan dapat kita binasakan agar arwah para leluhur kita dapat tenang.”

Siang Ni mengerutkan alisnya. Ingin ia mengatakan bahwa tanpa kerjasama dengan pemuda itu pun ia sendiri sanggup menewaskan musuh besarnya. Akan tetapi ia tidak mau bicara demikian karena ucapan itu akan kelihatan sombong. Kalau Cun Giok sendiri tidak sanggup, bagaimana pula ia akan dapat melakukan pembalasan itu? Ia tahu bahwa tingkat kepandaian pemuda itu masih berada di atas tingkatnya...

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 17

17: PANGLIMA KONG TEK KOK DULUAN!

“Tidak mungkin! Kalau engkau benar anak Bibi Pouw Sui Hong, bagaimana mungkin engkau bisa menjadi murid Panglima Kong Tek Kok si jahanam besar itu? Tidak mungkin Bibi Pouw Sui Hong memperbolehkan puterinya menjadi murid panglima biadab itu!”

“Mengapa??” Siang Ni bertanya penasaran, akan tetapi ia mulai mendapatkan perasaan yang tidak enak dan jantungnya berdebar.

“Mengapa? Keluarga Pouw terbasmi habis oleh pasukan yang dipimpin oleh jahanam Kong Tek Kok. Ayah Ibuku, Kakek dan seisi rumah keluarga Pouw dibasmi dan dibunuhnya secara kejam. Bibi Pouw Sui Hong juga tertawan oleh Kong Tek Kok dan dibawa ke kota raja. Aku mendengar kabar dari orang banyak bahwa Bibi Pouw Sui Hong menjadi sengsara dan meninggal dunia di kota raja setelah oleh Kong Tek Kok diserahkan kepada Pangeran Lu sebagai selir. Bagaimana sekarang muncul engkau yang mengaku sebagai puteri Bibi Pouw Sui Hong akan tetapi juga mengaku menjadi murid jahanam Kong Tek Kok?”

Mendengar kata-kata itu, makin lama wajah Siang Ni menjadi semakin pucat. Kedua kakinya menggigil dan suaranya mendesis ketika ia berkata, “Jahanam Suma Cun Giok, pembunuh Ayahku! Jangan engkau membohong......” Akan tetapi suaranya tidak terdengar marah, melainkan penuh keraguan dan kekhawatiran.

“Kaukira aku berbohong? Mana Kakek pelayan tadi, mari kita tanya kepadanya, tentu dia masih ingat kalau memang betul dia itu bekas pelayan keluarga Pouw!”

Bagaikan diingatkan, Siang Ni berlari memasuki gedung yang sudah hampir gelap. Di situ kakek pelayan tadi masih berlutut ketakutan. Melihat masuknya Siang Ni dan pemuda yang keduanya dia anggap arwah Pouw Keng In dan Pouw Sui Hong, dia kembali menyembunyikan mukanya di balik kedua tangannya.

“Lopek, jangan takut,” kata Siang Ni. “Coba kau ceritakan yang sebenarnya kepadaku. Ketika terjadi penyerbuan dan pembasmian keluarga Pouw, apakah engkau tahu siapa komandan pasukan yang dengan kejam sekali membunuh semua anggauta keluarga Pouw?”

“Semua orang mengetahui, Nona. Dia itu...” Suaranya lirih, tampak ketakutan, “dia itu sekarang menjadi panglima besar, namanya Panglima Kong Tek Kok...”

Siang Ni menjerit aneh, sepasang pedangnya terlepas dan jatuh di atas lantai. Tubuhnya lemas terkulai dan di lain saat ia jatuh pingsan dalam pelukan Cun Giok yang cepat menolong sebelum gadis itu roboh. Kenyataan bahwa Kong Tek Kok sendiri orangnya yang telah menjadi musuh besarnya selama ini, merupakan pukulan batin yang amat hebat bagi Siang Ni sehingga ia tidak kuasa menahannya dan roboh pingsan.

Dan ia telah menjadi murid musuh besar itu, bahkan ia telah rela mengorbankan menyerahkan kehormatannya menjadi permainan Kong Tek Kok untuk dapat mewarisi ilmu tertinggi agar dapat membalas dendam kepada musuh besar keluarga Pouw!

cerita silat online karya kho ping hoo

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Lu Siang Ni baru siuman. Cun Giok yang mengetahui bahwa gadis itu menderita tekanan batin yang amat hebat, membiarkannya tidur pulas semalam, agar terlepas dari cengkeraman dan himpitan kaget, sesal dan duka. Ketika Siang Ni pingsan, dia memondongnya dan merebahkannya di atas sehelai tikar rombeng.

Kakek pelayan itu menjaga di dekatnya dan kakek inilah yang memasak air dan membuat api unggun. Setelah mendengar keterangan Cun Giok, kakek ini baru menyadari bahwa dia berhadapan dengan keturunan majikan-majikannya. Dia merasa gembira sekali, seolah-olah semua itu terjadi dalam mimpi.

Begitu siuman Siang Ni mengumpulkan hawa di dalam tubuhnya sehingga darahnya mengalir normal kembali dan hawa hangat memenuhi dadanya, mengembalikan tenaganya. Cepat ia melompat berdiri. Melihat dua batang pedangnya berada di sudut ruangan, ia melompat dan menyambarnya dan di lain saat kedua tangannya sudah memegang pedang dan siap hendak menyerang. Ia memandang kepada Cun Giok yang duduk bersila di atas lantai dengan mata merah.

“Suma Cun Giok, aku mengakui bahwa selama ini aku seperti buta, tidak tahu bahwa selama ini musuh besarku berada di dekatku. Akan tetapi engkau tetap musuh besarku pula karena engkau telah membunuh Ayahku. Bersiaplah engkau, kita tidak dapat hidup bersama di dunia ini. Seorang dari kita harus mati di ujung pedang!”

Cun Giok bangkit berdiri dan memandang gadis itu dengan hati penuh haru dan iba. Pemuda ini tampak susah sekali, apalagi kalau dia teringat bahwa satu-satunya keluarganya adalah gadis ini, akan tetapi mereka berjumpa bukan sebagai saudara misan, melainkan sebagai musuh yang harus saling bunuh!

“Betapapun juga, engkau adalah Adik misanku dan aku... aku sudah merasa bersalah, Piauw-moi (Adik Misan). Agaknya Ayahmu dahulu merasa malu mengambil Bibi Pouw Sui Hong sebagai isterinya sehingga dia membuat berita di luar bahwa Bibi Sui Hong sudah meninggal dunia. Andaikata aku tahu bahwa Bibi Sui Hong masih hidup, bahkan sudah mempunyai anak, kiranya aku tidak begitu gila untuk membunuh Ayahmu. Aku melakukan itu semata-mata untuk membalaskan sakit hati Bibi Pouw Sui Hong, yakni Ibumu! Siapa tahu kalau Bibi Sui Hong ternyata masih hidup... bahkan sekarang meninggal dunia karena duka melihat suaminya terbunuh... ahhh... sekarang aku ingat akan seorang wanita cantik yang menjerit, mengatakan bahwa Pangeran Lu tidak berdosa! Dan aku seperti orang gila. Adikku, aku sudah berdosa terhadap Bibi Sui Hong dan suaminya, terhadap Ayah Ibumu. Kalau engkau hendak membalas dendam, engkau boleh bunuh aku. Aku tidak akan melawan lagi...” Setelah berkata demikian, Cun Giok mengembangkan kedua lengannya, membuka dada menghadapi Siang Ni.

Melihat ini, hati Siang Ni yang keras menjadi lemas. Ia teringat akan kata-kata terakhir ibunya bahwa ia tidak boleh memusuhi kakak misannya ini dan bahwa sebetulnya ayahnya bukan tidak bersalah sama sekali. Melihat banyaknya isteri ayahnya, Siang Ni dapat menduga bahwa ayahnya tentu seorang laki-laki mata keranjang dan dahulu tentu telah tertarik kepada ibunya sehingga Panglima Kong Tek Kok memberikan ibunya sebagai hadiah! Sakit sekali rasa hatinya memikirkan ini dan kebenciannya tertumpuk kepada Kong Tek Kok.

“Cabut pedangmu!” ia membentak. “Tak mungkin keturunan Pouw lahir sebagai seorang pengecut! Kalau engkau benar laki-laki, pertahankan kehormatanmu. Kalau engkau tidak mau melawan, aku pun tidak akan membunuhmu begitu saja, akan tetapi selamanya engkau akan terkutuk sebagai seorang laki-laki pengecut yang mencemarkan nama dan kehormatan keluarga Pouw yang gagah perkasa!”

Mendengar ini, wajah Cun Giok menjadi merah sekali. Dia melangkah mundur dan berkata dengan suara tegas. “Dengarlah, bocah lancang mulut dan sombong! Siapa takut padamu? Aku tidak melawan karena aku memang menyesal sekali bahwa aku yang menjadi sebab kematian Bibi Pouw Sui Hong. Engkau mau aku melawanmu sehingga seorang di antara kita mati di ujung pedang? Hemm, aku sama sekali tidak takut padamu, akan tetapi aku tidak bermaksud mempergunakan senjata terhadap puteri Bibi Sui Hong. Senjata dan kepandaianku kusiapkan untuk membalas dendam kepada keparat jahanam Kong Tek Kok! Apakah engkau bertekad untuk melindungi gurumu itu dan menghalangi maksudku untuk membalas dendam kepadanya? Kalau engkau bertindak sebagai murid Kong Tek Kok dan membelanya, aku bersedia untuk mengadu kepandaian denganmu, karena kalau engkau membela Kong Tek Kok, berarti engkau pun menjadi musuh besar keluarga Pouw!”

“Jangan menghina!” Siang Ni menjerit. “Siapa sudi menjadi pelindung keparat jahanam itu? Aku tidak rela orang lain yang membunuhnya! Tanganku sendiri yang akan merenggut nyawanya dari tubuhnya yang hina dina. Akan tetapi, engkau adalah pembunuh Ayahku, karena itu sudah sepatutnya aku membalas dendam atas kematian Ayah!”

Sikap Cun Giok menjadi lemah kembali. Dia menarik napas panjang dan berkata lembut. “Kalau begitu soalnya, kalau engkau hendak membunuhku karena membalas dendam atas kematian Ayah Ibumu, aku rela menerima kematian di ujung pedangmu. Hanya sayang... aku belum sempat mencari si keparat Kong Tek Kok. Kalau saja aku sudah berhasil membunuhnya sebagai pembalasan terhadap keluargaku, aku rela kau apakan juga...”

Untuk beberapa lama Siang Ni ragu-ragu. Tiba-tiba ia melompat keluar dari ruangan itu dan terdengar suaranya dari luar. “Baik! Aku akan membunuh keparat Kong Tek Kok lebih dulu, baru kelak kita akan membuat perhitungan!”

Cun Giok mengejar keluar. “Piauw-moi...! Mari kita bersama membalas dendam keluarga kita...!”

Akan tetapi Siang Ni sudah pergi jauh dan tidak mau menjawab lagi. Cun Giok memberi beberapa potong emas kepada kakek bekas pelayan keluarganya itu dan berpesan agar segala yang dilihat dan didengarnya di dalam bekas gedung itu tidak diceritakan kepada orang lain. Juga bekas pelayan itu diminta untuk mengurus mayat Can Sui sebagaimana mestinya. Kakek bekas pelayan keluarga Pouw itu berterima kasih sekali dan menaati pesan Cun Giok. Setelah mengucapkan terima kasih, Cun Giok meninggalkan So-couw dan menyusul ke kota raja.

********************

Dalam perjalanan menuju kota raja, kadang-kadang Siang Ni menangis dengan air mata bercucuran. “Thian Yang Maha Kuasa, mengapa begini sengsara nasibku...?” Ia mengeluh berulang kali. Kebencian terhadap Panglima Kong Tek Kok meluap-luap.

Tadinya ia memang sudah mempunyai rasa muak yang luar biasa terhadap gurunya yang telah melakukan perbuatan keji terhadap dirinya. Kalau tadinya ia masih menahan-nahan perasaan benci itu karena tidak ada alasan, kini kebenciannya meluap. Sudah ia bayangkan bagaimana pertemuannya dengan gurunya itu nanti. Ia tidak akan bersabar lagi dan akan langsung menyerangnya sambil mencaci-maki.

Ia merasa kuat melawan gurunya, biarpun gurunya memiliki kepandaian karena ia merasa bahwa kepandaian tinggi gurunya itu sudah diwarisinya. Tingkat kepandaiannya sekarang tidak akan berselisih banyak dengan tingkat gurunya. Mungkin tenaga dalamnya masih kalah kuat, namun ia merasa yakin bahwa ia menang dalam kecepatan gerakan.

Pula, ia memegang Kim-kong-kiam, maka hatinya besar dan ia tidak perlu takut. Setiap hari dalam perjalanannya itu Siang Ni merencanakan bagaimana ia akan menyerang gurunya sehingga dalam perkelahian nanti gurunya itu takkan terhindar dari maut!

Kalau ia teringat akan Cun Giok, ia menjadi bingung. Setelah ia mengetahui duduknya persoalan, ia tidak merasa benci lagi kepada pemuda itu. Biarpun pemuda itu telah membunuh ayah kandungnya, akan tetapi kalau ia renungkan, Pangeran Lu, ayah kandungnya itu, seakan-akan menjadi sekutu Kong Tek Kok.

Kini mengertilah ia mengapa ibunya suka termenung dan ibunya menangis sedih mendengar ia bercerita tentang pertolongannya kepada para calon Siu-li. Mengapa ibunya sengaja menyembunyikan nama Kong Tek Kok darinya? Ibunya tentu maklum bahwa ia menjadi murid musuh besarnya sendiri, dan ibunya tentu tidak berdaya karena semua itu adalah kehendak ayahnya.

Dan ayahnya dibunuh Cun Giok karena pemuda itu hendak membalaskan dendam ibunya yang disangka tersiksa dan tewas oleh ayahnya! Ah, semakin ia pikir, makin tipis pula niatnya untuk kelak membuat perhitungan dengan kakak misannya itu.

Siang Ni tiba di kota raja pada senja hari. Ia tidak langsung menuju ke rumah gurunya, akan tetapi ia menuju ke gedung ayahnya. Ia disambut oleh semua ibu tirinya. Siang Ni menceritakan dengan singkat bahwa dalam mencari pembunuh ayahnya, ia belum berhasil. Kemudian dengan cerdik ia minta ibu tiri tertua bercerita tentang ibunya.

“Ibumu memang anggauta keluarga Pouw di So-couw. Tadinya ketika mula-mula memasuki gedung ini, ia tampak berduka sekali sehingga kami harus menjaga keras agar jangan sampai membunuh diri. Akan tetapi, setelah ia mengandung dan akhirnya melahirkan engkau, sikapnya berubah dan ia tampak bahagia. Ia orang yang baik dan halus budinya sehingga kami semua merasa sayang padanya, Siang Ni,” kata ibu tiri tertua.

“Ibu dahulu diberikan oleh Panglima Kong Tek Kok kepada Ayah, bukan?”

Semua ibu tirinya saling pandang. Hal ini sejak dahulu dirahasiakan sekali. Pangeran Lu Kok Kong dengan bengis mengancam akan menghukum siapa yang membuka rahasia ini kepada Siang Ni. Sekarang gadis itu sendiri mengatakan hal ini, mereka terheran-heran.

“Bagaimana engkau bisa mengetahuinya, Siang Ni?” ibu tiri tertua bertanya. Pertanyaan ini saja sudah melenyapkan keraguan di hati Siang Ni. Jelaslah bahwa Kong Tek Kok memang orang yang harus dibunuhnya!

Kini sudah tetap hati Siang Ni. Malam ini harus membunuh Kong Tek Kok. Biarpun untuk ini ia harus berkorban nyawa. Untuk membalas dendam orang tuanya, nyawa baginya tidak masuk hitungan. Bahkan ia sudah berani mengorbankan kehormatan dan kebahagiaan hidupnya untuk dapat mewarisi ilmu silat tinggi agar dapat membalas dendam. Maka tentang resiko dalam menghadapi gurunya, ia tidak peduli lagi. Kalau perlu, mati bersama akan ia hadapi dengan tabah!

Ia lalu meninggalkan semua ibu tirinya dan mengatakan ingin beristirahat. Ia memasuki kamarnya, membersihkan diri dan berganti pakaian lalu makan malam. Semua persiapan sudah ia lakukan, pedang dan anak panah tangan sudah tersedia lengkap. Setelah mengadakan persiapan, baru ia mengaso di pembaringan agar tidak terlalu letih dan tenaganya terkumpul untuk menghadapi usaha balas dendamnya nanti.

Setelah keadaan menjadi sunyi dan semua ibu tirinya sudah memasuki kamar masing-masing, Siang Ni keluar dari gedung itu melalui jendela dan melakukan perjalanan melalui genteng-genteng rumah dengan cepat sekali.

Ketika ia sudah berada dekat gedung Panglima Kong Tek Kok, dari jauh ia melihat pertempuran di atas genteng gedung itu. Ia mempercepat larinya dan dilihatnya seorang yang gesit sekali gerakannya melarikan diri, dikejar oleh belasan orang, di antaranya yang paling depan adalah Panglima Kong Tek Kok.

Dengan sembunyi-sembunyi Siang Ni mendekat dan melihat ada lima orang perwira yang dikenalnya berkepandaian tinggi dan menjadi pembantu-pembantu gurunya telah menggeletak di atas genteng, tewas. Ia lalu ikut mengejar, akan tetapi bukan mengejar bayangan yang ia duga tentu Cun Giok adanya, melainkan mengejar Kong Tek Kok.

Akan tetapi tiba-tiba Siang Ni mendapat pikiran lain yang lebih baik. Sudah pasti bahwa Cun Giok memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkatnya. Kalau tidak bagaimana mungkin pemuda itu sekarang tahu-tahu sudah melakukan penyerbuan pada gedung Panglima Kong Tek Kok padahal pemuda itu tadinya ia tinggalkan? Dan sekarang, kalau Cun Giok yang lebih lihai saja tidak mampu membunuh Kong Tek Kok yang mempunyai banyak pembantu, apalagi ia!

“Aku tidak boleh gagal seperti Cun Giok. Aku harus menggunakan akal,” pikir Siang Ni yang mengikuti mereka secara sembunyi.

Dilihatnya beberapa kali gurunya melepaskan anak panah ke arah bayangan di depan, akan tetapi semua anak panah dapat dielakkan secara mengagumkan oleh bayangan itu. Sebentar saja bayangan yang dikejar itu pun Ienyap dan terdengar Kong Tek Kok menyumpah-nyumpah.

“Bedebah! Kalau terjatuh ke tanganku, akan kucincang sampai lumat tubuh si laknat Suma Cun Giok! Mulai sekarang penjagaan harus diperkuat. Sungguh memalukan! Menghadapi seorang musuh saja sampai lima orang kawan kita tewas dan penjahatnya tidak tertangkap!”

Setelah Kong Tek Kok dan kawan-kawannya pergi dan Siang Ni mendengar gurunya akan mengatur penjagaan agar penjahat itu jangan sampai keluar dari kota raja, Siang Ni diam-diam lalu mengejar ke arah perginya Cun Giok.

Akan tetapi sia-sia belaka. Sampai tengah malam ia berputar-putar di kota raja, menghindari pertemuan dengan para penjaga. Akhirnya setelah mencari sampai ke ujung kota raja sebelah selatan dan tidak menemukan Cun Giok, Siang Ni menuju ke tanah kuburan di mana terdapat makam ayah bundanya.

Besok pagi-pagi ia hendak menemui gurunya dan dengan siasat ia hendak melakukan pembalasan. Sebelum ia melaksanakan balas dendam yang juga amat berbahaya bagi dirinya sendiri itu, gadis itu ingin mengunjungi makam ayah ibunya lebih dulu.

Malam itu terang bulan. Bulan hampir purnama karena sudah tanggal tiga belas. Keadaan di tanah kuburan itu sunyi senyap. Bayang-bayang yang ditimbulkan sinar bulan dan pohon-pohon amat menyeramkan. Seorang laki-laki sekalipun akan termangu dan ragu kalau disuruh memasuki tanah kuburan itu seorang diri pada saat seperti itu. Malam terang bulan di tanah kuburan! Orang yang tabah sekalipun akan kecil hati, bukan hanya takut bertemu penjahat, akan tetapi lebih lagi takut bertemu hantu!

Akan tetapi Siang Ni adalah seorang gadis yang sudah hancur hatinya, seorang yang sudah tidak punya harapan untuk hidup lebih lama lagi setelah mengalami kesengsaraan hebat. Bahkan ia seolah mengharapkan datangnya kematian agar terbebas dari perasaan hati yang hancur. Baginya tidak ada lagi rasa takut. Maut ditantangnya, apa lagi segala macam hantu dan siluman, ia tidak takut sama sekali.

Dengan langkah tetap ia memasuki gapura kuburan dan langsung menuju ke makam ayah ibunya. Dua tahun telah lewat, akan tetapi batu-batu bong-pai (nisan) kedua kuburan itu terawat baik dan kelihatan putih bersih di bawah sinar bulan.

Ada bayangan bergerak-gerak di depan bong-pai. Dari jauh Siang Ni sudah melihatnya, akan tetapi ia mengira bahwa itu tentu bayangan pohon yang digerakkan angin. Ia mendekati dan melihat bahwa bayangan itu bergerak seperti manusia. Orang lain tentu akan lari lintang pukang dan jatuh bangun melihat bayangan ini dan yakin bahwa ia adalah hantu yang berkeliaran di tanah kuburan. Akan tetapi sebaliknya Siang Ni malah lari menghampiri dengan pedang terhunus.

“Siapa engkau!” bentaknya sambil melompat.

Orang membalikkan tubuh menghadapinya, sikapnya tenang. Siang Ni menahan pedangnya ketika melihat bahwa orang itu bukan lain adalah Cun Giok!

“Mau apa engkau di sini?” Siang Ni bertanya dengan suara ketus.

“Aku di sini dengan tiga kepentingan. Pertama untuk bersembunyi dari kejaran kaki tangan Kong Tek Kok yang ternyata memiliki banyak pembantu sehingga masih sukar bagiku untuk membunuhnya. Kedua untuk mengunjungi makam Bibi Pouw Sui Hong dan minta ampun atas dosaku telah salah sangka sehingga membunuh suaminya. Ketiga aku sengaja menanti engkau di sini karena aku mempunyai harapan besar bahwa engkau pasti akan datang ke sini, cepat atau lambat. Tak kusangka bahwa malam ini juga engkau datang. Benar-benar Thian mengabulkan pengharapanku.” Wajah Cun Giok tampak penuh harapan dan pandang matanya penuh permohonan kepada Siang Ni.

“Ada keperluan apakah engkau ingin bertemu dengan aku?” suara Siang Ni masih kaku.

Cun Giok menarik napas panjang. “Nona, bagaimanapun juga, kita adalah saudara misan dan kita mempunyai tugas yang sama, yaitu membalas dendam sakit hati keluarga kita kepada Panglima Kong Tek Kok. Tadi telah kurasakan betapa lihainya musuh besar kita itu yang dibantu banyak pengawalnya. Kalau melawan dia seorang, kiraku aku tidak akan kalah, akan tetapi, dia mengandalkan bantuan kaki tangannya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi juga sehingga ketika dikeroyok aku merasa kewalahan.”

“Engkau hanya berhasil membunuh lima orang pengawal lalu melarikan diri,” kata Siang Ni.

“Eh, kau sudah tahu? Memang, aku tidak berguna. Terus terang saja, aku amat mengharapkan bantuanmu dalam hal ini. Kalau kita berdua yang maju, kiraku si jahanam Kong Tek Kok itu akan dapat kita binasakan agar arwah para leluhur kita dapat tenang.”

Siang Ni mengerutkan alisnya. Ingin ia mengatakan bahwa tanpa kerjasama dengan pemuda itu pun ia sendiri sanggup menewaskan musuh besarnya. Akan tetapi ia tidak mau bicara demikian karena ucapan itu akan kelihatan sombong. Kalau Cun Giok sendiri tidak sanggup, bagaimana pula ia akan dapat melakukan pembalasan itu? Ia tahu bahwa tingkat kepandaian pemuda itu masih berada di atas tingkatnya...