Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

18: PEMBALASAN BAGI MANUSIA BEJAT!

“Engkau pembunuh Ayahku, berarti engkau musuh besarku pula. Tidak mungkin aku bekerja sama dengan engkau!” katanya ketus.

Cun Giok menghadapi makam bibinya dan berkata. “Arwah Bibi Pouw Sui Hong menjadi saksi bahwa aku melakukan pembunuhan itu dengan maksud untuk membalas dendam Bibi. Akan tetapi aku telah salah sangka dan salah bunuh, untuk itu aku siap sedia menerima hukuman. Kalau engkau mau membantuku sampai kita berdua dapat menewaskan Kong Tek Kok, aku bersumpah akan datang di makam ini dan di sini engkau boleh membalas dendam kematian Ayahmu terhadap aku. Aku akan menyerahkan nyawaku kalau kau menghendaki!” Kata-kata pemuda itu diucapkan sungguh-sungguh sehingga mengharukan hati Siang Ni.

Sampai lama keduanya tidak mengeluarkan kata-kata, akhirnya Siang Ni berkata, “Bagaimana rencanamu untuk dapat membunuh dia?”

Cun Giok tampak girang sekali. “Piauw-moi, terima kasih! Kita pasti berhasil!” Pemuda itu melompat dengan kecepatan yang amat mengagumkan dan tahu-tahu telah berada di depan Siang Ni.

Mereka lalu mengadakan perundingan dan mengatur siasat agar dapat berhasil membunuh Panglima Kong Tek Kok, musuh besar mereka itu. Setelah mengadakan perundingan dan mengatur siasat, sampai beberapa lama, akhirnya mereka memperoleh kesepakatan. Siang Ni lalu berlutut di depan makam ayahnya dan berkata perlahan.

“Ayah, ampunkan Anakmu. Bukan sekali-kali Anak lupa akan sakit hati Ayah, akan tetapi Anak hendak mendahulukan pembalasan sakit hati Ibu. Kalau Anak berhasil, barulah Anak akan menghilangkan penasaran Ayah...”

Mendengar ucapan Siang Ni, Cun Giok mendengarkan dengan hati menyesal bukan main mengapa tanpa menyelidiki lebih dulu dia telah membunuh ayah gadis ini. Ketika Siang Ni bangkit dan tanpa menoleh hendak pergi, Cun Giok berkata.

“Bolehkah aku mengetahui namamu?”

Siang Ni menjawab tanpa menoleh. “Namaku tidak ada harganya untuk dikenal. Aku sendiri sudah tidak sudi mengenal nama itu!” Gadis itu berkelebat dan lenyap di antara pohon-pohon yang tumbuh di tanah kuburan itu.

Cun Giok hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan dia merasa amat iba kepada adik misannya itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Dengan wajah gembira Panglima Kong Tek Kok berjalan seorang diri menuju ke tanah kuburan yang sunyi. Semalam ketika dia berada di kamarnya, dari atas genteng melayang sehelai surat. Dia tahu bahwa yang melemparkan surat itu adalah muridnya, maka dia merasa amat heran mengapa Siang Ni tidak masuk saja melainkan melemparkan sepucuk surat. Akan tetapi setelah surat itu dibacanya, dia tersenyum dan wajahnya yang sudah mulai keriputan itu berseri.

Di dalam suratnya, Siang Ni menyatakan bahwa tidak leluasa kalau ia datang berkunjung seperti biasanya, khawatir kalau hubungan mereka akan diketahui orang luar. Gadis itu dalam suratnya menyatakan, rindu dan juga ingin merundingkan sesuatu dengan gurunya, mengundang gurunya agar suka datang besok pada menjelang malam hari ke tanah kuburan bangsawan yang berada di pinggir kota. Di tempat itu sunyi dan tak seorang pun akan melihat kita, demikian bunyi penutup surat Siang Ni yang bernada mesra kepada Panglima Kong Tek Kok.

Panglima ini memang sedang tergila-gila kepada muridnya sendiri yang sekarang boleh dia anggap sebagai kekasihnya yang paling baru. Maka tentu saja undangan itu diterimanya dengan girang hati dan tanpa syak wasangka apa pun karena dia pun merasa rindu kepada gadis jelita yang masih muda itu. Betapapun juga, Panglima Kong Tek Kok adalah seorang yang berpengalaman, maka tentu saja dia tidak pernah lengah dan selalu berhati-hati.

Biarpun terhadap Siang Ni, muridnya dan juga kekasihnya itu, dia tidak menaruh curiga sedikit pun, namun dia maklum bahwa pemuda she Suma yang pernah malam-malam menyerbu gedungnya, sampai sekarang belum tertangkap dan tidak tampak tanda-tanda bahwa dia sudah meninggalkan kota raja.

Pemuda lihai itu tetap merupakan ancaman baginya. Karena itu, diam-diam dia memesan kepada kaki tangannya agar supaya menyusul dan menjaga di luar tanah kuburan sehingga mudah membantunya apabila terjadi serangan tiba-tiba dari musuh.

Setelah mengatur persiapan itu tanpa memberitahu kepada kaki tangannya apa keperluannya malam-malam datang ke tanah kuburan. Kong Tek Kok lalu mengenakan pakaian yang paling bagus, menyisiri rambut dan jenggotnya yang sudah beruban sampai rapi, memakai minyak wangi, lalu berjalan melenggang penuh gaya menuju ke tanah kuburan pada malam hari berikutnya, sesuai dengan permintaan Siang Ni dalam suratnya.

Bulan sedang purnama. Cahayanya menerangi bumi mengusir kegelapan malam sehingga suasananya tampak romantis dan menyenangkan sekali. Akan tetapi setelah tiba di luar tanah kuburan, Panglima Kong Tek Kok merasa bulu tengkuknya meremang. Dia seorang panglima gagah perkasa yang berilmu tinggi, akan tetapi melihat suasana yang menyeramkan di tanah kuburan itu, mau tidak mau dia merasa ngeri juga.

Menghadapi lawan manusia, biarpun dikeroyok belasan orang pun dia tidak akan merasa jerih. Akan tetapi melihat pemandangan menyeramkan di tanah kuburan yang menimbulkan bayangan-bayangan hantu, iblis dan siluman, hatinya merasa seram juga.

“Bocah setan, mengapa mengadakan pertemuan saja minta di tanah kuburan?”

Dia bersungut-sungut akan tetapi biarpun dia memaki, mulutnya tersenyum dan matanya membayangkan kecantikan wajah yang menggairahkan dari muridnya yang masih amat muda itu. Bayangan ini mengusir rasa ngerinya dan dengan langkah lebar dia memasuki tanah kuburan dan berjalan cepat di antara bongpai-bongpai yang berada di tempat itu.

“Siang Niii...!” Dia memanggil karena keadaan di situ amat sunyi dan tidak tampak bayangan muridnya yang tercinta itu.

“Di sini...!” Tiba-tiba terdengar jawaban.

Panglima Kong Tek Kok menengok dan bukan main girang hatinya ketika dia melihat muridnya berdiri di bawah sebatang pohon kembang di ujung kiri tanah kuburan itu. Kegirangan hatinya melihat muridnya yang dirindukannya itu membuat Panglima Kong Tek Kok lupa dan tidak menyadari bahwa Siang Ni yang memanggilnya itu berada di depan makam ayah ibunya. Dia tidak melihat pula bahwa keadaan gadis itu tidak sewajarnya. Pakaiannya kusut, rambutnya tidak teratur dan mukanya pucat. Dalam penglihatan panglima yang sudah dibakar berahinya itu, Siang Ni tampak cantik bagaikan bidadari.

“Ah, engkau ini ada-ada saja, mengajak bertemu di tanah kuburan!” Datang-datang Kong Tek Kok memegang kedua tangan muridnya sambil menegur, akan tetapi mulutnya tersenyum dan matanya memandang penuh kasih sayang.

Ketika dia hendak merangkul, Siang Ni merenggut lepas kedua tangannya dengan lembut sambil bertanya. “Nanti dulu. Tahukah engkau di mana kita berada?”

Panglima Kong Tek Kok terheran dan melepaskan kedua tangan yang halus dan hangat itu. “Di mana? Tentu di tanah kuburan. Bukankah engkau yang minta...?”

“Dan kenalkah engkau makam siapa ini?” Siang Ni menunjuk ke arah makam ibunya.

Panglima Kong Tek Kok menoleh dan kebetulan sekali bulan bersinar tanpa halangan awan dan menerangi permukaan bong-pai sehingga terbaca nama Pouw Sui Hong, isteri kesembilan dari Pangeran Lu Kok Kong. “Eh, Siang Ni! Kenapa engkau mengajak aku datang ke depan makam ibumu...?”

“Hemm, engkau tahu ia Ibuku? Engkau tahu ini makam Ibuku yang bernama Pouw Sui Hong, anggauta keluarga Pouw yang kau basmi habis kemudian Ibuku kau culik dan kau jual kepada Pangeran Lu Kok Kong? Dan engkau tahu mengapa aku mengundangmu ke sini? Engkau harus menyusul Ibuku mempertanggung-jawabkan dosa-dosamu! Engkau akan terpanggang di neraka jahanam! Juga engkau harus menebus dengan darah dan nyawa atas kekejianmu, engkau telah menipuku, engkau...” Siang Ni tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan secepat kilat ia mencabut Kim-kong-kiam lalu menyerang bekas gurunya dengan dahsyat.

Panglima Kong Tek Kok tentu saja kaget setengah mati. Dia maklum bahwa percuma saja kalau dia menyangkal setelah rahasianya terbuka. Dia maklum pula bahwa gadis yang telah dinodai dan digaulinya itu tentu tidak akan mau berhenti sebelum mengadu nyawa, maka timbullah kesombongannya dan kebenciannya. Sambil mengelak dia tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, bocah sombong! Engkau menerima ilmu silat dari aku, sekarang hendak kau pergunakan untuk membunuhku? Ha-ha-ha! Sungguh lucu sekali!”

Sambil berkata demikian, dia pun mencabut sepasang pedangnya dan di lain saat bekas guru dan murid itu sudah saling serang dengan dahsyat dan mati-matian. Bagaimanapun juga, tentu saja gerakan Siang Ni kalah mahir dibandingkan gurunya. Apalagi Panglima Kong Tek Kok menggunakan sepasang pedang dan gerakannya amat dahsyat sehingga sebentar saja Siang Ni terdesak hebat.

“Kong Tek Kok, jahanam busuk, bersiaplah untuk mampus!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sesosok bayangan yang luar biasa cepat gerakannya berkelebat datang dan sebatang pedang dengan gerakan kuat sekali menggempur sepasang pedang di tangan Kong Tek Kok.

“Trang-tranggg...!” Panglima Kong Tek Kok terhuyung ke belakang dan dia terkejut bukan main setelah mengenal penyerangnya itu bukan lain adalah Cun Giok! Dia menudingkan pedang di tangan kirinya ke arah muka Siang Ni. Lalu dengan muka merah karena marah dia memaki.

“Perempuan hina! Jadi engkau sengaja memancingku ke sini dan engkau bersekongkol dengan dia? Perempuan tak tahu diri! Aku ini gurumu, dan apa engkau lupa bahwa dia itu pembunuh Ayahmu?”

“Tutup mulutmu!” bentak Siang Ni dan ia sudah menyerang lagi menggunakan jurus terampuh dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Cun Giok juga menyerang dengan pedangnya dan tentu saja Panglima Kong Tek Kok segera menjadi kewalahan dan terdesak hebat. Sekarang panglima itu baru merasa menyesal. Karena terlalu sayang kepada Siang Ni, apalagi setelah gadis itu menyerahkan diri kepadanya dan menjadi kekasihnya, dia telah menurunkan seluruh kepandaiannya kepada muridnya itu sehingga biarpun dia masih dapat mengalahkan Siang Ni karena dia lebih berpengalaman, namun tetap saja gadis itu merupakan seorang lawan tangguh yang tidak mungkin dapat dia robohkan dalam waktu singkat.

Apalagi sekarang di situ muncul Suma Cun Giok, pemuda yang tingkat kepandaiannya sudah Iebih tinggi daripada tingkatnya sendiri. Menghadapi pemuda ini seorang diri saja amat sukar baginya untuk dapat mengalahkannya. Sekarang dua orang muda itu bergabung dan mengeroyoknya dan mereka menyerang seperti kesetanan, penuh kebencian sehingga Panglima Kong Tek Kok menjadi sibuk sekali. Dia merasa cemas dan segera dia bersuit nyaring, memberi tanda kepada para pengawalnya yang tentu kini sudah berkumpul di luar tanah kuburan.

Akan tetapi perhitungannya kali ini meleset. Tadi dia terlalu tergesa-gesa sehingga para pengawal yang menyusulnya ketinggalan jauh. Mereka pun tidak tahu mengapa harus berkumpul di tempat yang menyeramkan itu, maka mereka bersikap ayal-ayalan dan ogah-ogahan sehingga kurang cepat. Oleh karena itu, ketika Panglima Kong Tek Kok bersult memberi tanda bahaya, para pengawal itu belum tiba di tempat itu.

Siang Ni dan Cun Giok maklum apa artinya suitan itu, maka mereka menyerang lebih hebat dan mengerahkan seluruh kepandaian untuk merobohkan musuh besar yang tangguh itu. Siang Ni melompat ke belakang lalu menyerang bekas gurunya dengan panah tangan bertubi-tubi.

Kong Tek Kok menjadi sibuk sekali. Sebagai seorang ahli panah, tentu saja dia dapat menghindarkan diri dari panah-panah yang menyerangnya, akan tetapi karena di situ terdapat Cun Giok yang mendesak dengan ilmu pedangnya yang lihai, maka Kong Tek Kok harus memecah perhatiannya. Hal ini tentu saja membuat pertahanannya menjadi lemah dan akhirnya sebatang anak panah mengenai pundaknya!

“Aduhh...!” Kong Tek Kok berteriak kesakitan, lalu dia bersuit lagi berkali-kali. Akhirnya dari jauh terdengar suitan balasan.

“Para pengawal datang!” Cun Giok memperingatkan Siang Ni dan pedangnya bergerak lebih cepat.

Kong Tek Kok melempar tubuh ke belakang untuk mengelak, akan tetapi kesempatan ini dipergunakan oleh Siang Ni yang meluncurkan tiga batang anak panah. Panglima Kong Tek Kok maklum akan datangnya tiga batang anak panah ini. Akan tetapi pada saat itu Cun Giok sudah menusukkan pedangnya dengan kecepatan kilat. Panglima Kong Tek Kok tidak sempat menghindarkan diri lagi.

“Capp!” Pedang itu menusuk lambungnya.

“Auhhh...!” Panglima Kong Tek Kok menekan lambungnya yang mengucurkan darah dan dia terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat dia sempoyongan itu, tiga batang anak panah menyambar dan menancap didadanya. Panglima itu terpelanting roboh, sepasang pedangnya terlepas dari pegangannya.

Terdengar isak tangis Siang Ni dan gadis itu sudah berkelebat mendekati Panglima Kong Tek Kok yang sudah terluka dan tidak berdaya itu. Ia meludahi kepala panglima itu dan memaki-maki penuh kebencian, makian bercampur isak.

“Anjing rendah, jahanam keparat busuk! Manusia terkutuk! Ini rasakan pembalasan untuk Kakek dan Nenek Pouw!” Pedang sinar emas membabat dan Panglima Kong Tek Kok menjerit dua kali. Kedua kakinya buntung terbabat pedang, buntung sebatas lutut!

“Jahanam, rasakan ini pembalasanku untuk Paman Pouw Keng In dan isterinya!”

Kembali sinar emas berkelebat dua kali disusul jeritan yang masih nyaring dari Panglima Kong Tek Kok. Kini kedua lengannya yang buntung sebatas siku! Panglima itu mandi darah dan hanya dapat menggerakkan kepala ke kanan kiri dan merintih-rintih minta ampun!

“Dan ini pembalasan untuk Ibuku!” Kembali sinar emas berkelebat dan kini sinar pedang itu membabat buntung sepasang daun telinga dan hidung panglima itu! Panglima Kong Tek Kok hanya dapat mengeluarkan suara seperti babi disembelih dan mukanya penuh darah segar.

“Ini untuk pembalasan sakit hatiku!” Siang Ni membacok ke arah bawah perut dan sekali ini Panglima Kong Tek Kok tak dapat mengeluarkan suara lagi, sisa tubuhnya berkelejotan. Akan tetapi sambil menangis, Siang Ni masih terus menggerakkan pedangnya, menusuk, membacok sekuat tenaga.

Cun Giok memejamkan matanya. Ngeri hatinya melihat pemandangan itu. Siang Ni seperti gila! Sepasang matanya merah dan bercucuran air mata. Pedangnya terus digerakkan mencincang tubuh panglima itu sehingga darahnya muncrat ke mana-mana. Pakaian gadis itu penuh darah yang terpercik ke kanan kiri, namun ia tidak peduli. Seperti orang mencincang daging ia terus membacokkan pedangnya sambil menangis dan memaki.

“Mampus kau anjing busuk! Mampus kau keparat!” Tubuh panglima itu kini hanya sebagai seonggok daging yang tercincang. Bahkan tulang-tulangnya juga ikut terpotong-potong. Mengerikan sekali!

“Piauw-moi, larilah! Para pengawal sudah datang!” Cun Giok berteriak.

Akan tetapi Siang Ni seperti tidak mendengar suaranya dan masih terus membacoki tubuh bekas gurunya yang sudah menjadi onggokan daging dan darah. Dua orang pengawal muncul. Melihat Cun Giok, mereka segera menggunakan golok menyerang. Akan tetapi, dengan lincahnya Cun Giok mengelak. Dua orang pengawal itu mengeroyok dan hanya dalam beberapa jurus saja dia sudah merobohkan dua orang pengawal itu.

“Piauw-moi, larilah...!” Cun Giok berteriak lagi ketika berkelebatnya banyak bayangan para pengawal. Akan tetapi Siang Ni sudah kesetanan. Bahkan kini tangan kirinya mengambil sebatang pedang yang tadi dipergunakan Panglima Kong Tek Kok dan menghancur-lumatkan bekas tubuh panglima itu dengan sepasang pedang!

Para pengawal berdatangan dan melihat bahwa onggokan daging itu adalah bekas tubuh Panglima Kong Tek Kok, mereka menjadi marah sekali lalu menyerang gadis itu. Melihat bahwa gadis itu adalah Lu Siang Ni, murid panglima itu sendiri, para pengawal memandang dengan terheran-heran. Akan tetapi mereka tidak sempat bertanya, karena sudah terbukti bahwa gadis itu membunuh komandan mereka, para pengawal langsung saja mengeroyok. Sebagian lagi mengeroyok Cun Giok.

“He-he-he-hi-hik, ha-ha-ha!” Siang Ni tertawa. Suara tawanya terdengar mengerikan, bergema di tanah kuburan itu, bukan seperti suara manusia lagi. Setelah mengeluarkan suara tawa mengerikan itu, Siang Ni mengamuk dengan sepasang pedangnya.

Bukan main hebatnya pertempuran itu yang terbagi menjadi dua rombongan. Terdengar suara senjata beradu mengeluarkan suara berdentang, diselingi teriakan dan pekik kesakitan. Darah mengucur deras setiap kali pedang Siang Ni atau pedang Cun Giok merobohkan seorang pengeroyok.

Akan tetapi pasukan pengawal itu berdatangan lagi dan kini jumlah mereka menjadi banyak, sampai puluhan orang. Sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan pengawal-pengawal istana yang mendengar kabar bahwa pembunuh Pangeran Lu bersembunyi di tanah kuburan.

“Piauw-moi, mari kita lari!” berulang kali Cun Giok mengajak Siang Ni untuk melarikan diri.

Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak peduli. Tubuh Siang Ni yang langsing itu sudah penuh Iuka yang agaknya tidak dirasakan atau dipedulikannya. Perajurit dan perwira pengeroyok yang roboh oleh sepasang pedangnya bukan main banyaknya. Mayat mereka berserakan malang melintang dan darah mengalir dan tergenang, mengerikan.

Cun Giok juga sudah menderita beberapa luka ringan akan tetapi yang mengeluarkan banyak darah. Tubuhnya mulai terasa lemas. Dia melihat betapa keadaan Siang Ni jauh lebih parah daripada dirinya, akan tetapi gadis itu masih terus mengamuk dan gerakannya tidak pernah mengendur. Ia bagaikan seekor harimau terluka dikeroyok banyak anjing dan biarpun harimau sudah menderita banyak luka gigitan anjing-anjing itu, setiap kali ia bergerak pasti ada seekor anjing lagi yang roboh dan mati!

Cun Giok merasa khawatir sekali, akan tetapi dia tidak sempat membantu karena dia sendiri juga sibuk membela diri terhadap pengeroyokan banyak perajurit. Namun kini dia membagi perhatiannya, mengerling arah gadis yang masih mengamuk itu...

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 18

18: PEMBALASAN BAGI MANUSIA BEJAT!

“Engkau pembunuh Ayahku, berarti engkau musuh besarku pula. Tidak mungkin aku bekerja sama dengan engkau!” katanya ketus.

Cun Giok menghadapi makam bibinya dan berkata. “Arwah Bibi Pouw Sui Hong menjadi saksi bahwa aku melakukan pembunuhan itu dengan maksud untuk membalas dendam Bibi. Akan tetapi aku telah salah sangka dan salah bunuh, untuk itu aku siap sedia menerima hukuman. Kalau engkau mau membantuku sampai kita berdua dapat menewaskan Kong Tek Kok, aku bersumpah akan datang di makam ini dan di sini engkau boleh membalas dendam kematian Ayahmu terhadap aku. Aku akan menyerahkan nyawaku kalau kau menghendaki!” Kata-kata pemuda itu diucapkan sungguh-sungguh sehingga mengharukan hati Siang Ni.

Sampai lama keduanya tidak mengeluarkan kata-kata, akhirnya Siang Ni berkata, “Bagaimana rencanamu untuk dapat membunuh dia?”

Cun Giok tampak girang sekali. “Piauw-moi, terima kasih! Kita pasti berhasil!” Pemuda itu melompat dengan kecepatan yang amat mengagumkan dan tahu-tahu telah berada di depan Siang Ni.

Mereka lalu mengadakan perundingan dan mengatur siasat agar dapat berhasil membunuh Panglima Kong Tek Kok, musuh besar mereka itu. Setelah mengadakan perundingan dan mengatur siasat, sampai beberapa lama, akhirnya mereka memperoleh kesepakatan. Siang Ni lalu berlutut di depan makam ayahnya dan berkata perlahan.

“Ayah, ampunkan Anakmu. Bukan sekali-kali Anak lupa akan sakit hati Ayah, akan tetapi Anak hendak mendahulukan pembalasan sakit hati Ibu. Kalau Anak berhasil, barulah Anak akan menghilangkan penasaran Ayah...”

Mendengar ucapan Siang Ni, Cun Giok mendengarkan dengan hati menyesal bukan main mengapa tanpa menyelidiki lebih dulu dia telah membunuh ayah gadis ini. Ketika Siang Ni bangkit dan tanpa menoleh hendak pergi, Cun Giok berkata.

“Bolehkah aku mengetahui namamu?”

Siang Ni menjawab tanpa menoleh. “Namaku tidak ada harganya untuk dikenal. Aku sendiri sudah tidak sudi mengenal nama itu!” Gadis itu berkelebat dan lenyap di antara pohon-pohon yang tumbuh di tanah kuburan itu.

Cun Giok hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan dia merasa amat iba kepada adik misannya itu.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Dengan wajah gembira Panglima Kong Tek Kok berjalan seorang diri menuju ke tanah kuburan yang sunyi. Semalam ketika dia berada di kamarnya, dari atas genteng melayang sehelai surat. Dia tahu bahwa yang melemparkan surat itu adalah muridnya, maka dia merasa amat heran mengapa Siang Ni tidak masuk saja melainkan melemparkan sepucuk surat. Akan tetapi setelah surat itu dibacanya, dia tersenyum dan wajahnya yang sudah mulai keriputan itu berseri.

Di dalam suratnya, Siang Ni menyatakan bahwa tidak leluasa kalau ia datang berkunjung seperti biasanya, khawatir kalau hubungan mereka akan diketahui orang luar. Gadis itu dalam suratnya menyatakan, rindu dan juga ingin merundingkan sesuatu dengan gurunya, mengundang gurunya agar suka datang besok pada menjelang malam hari ke tanah kuburan bangsawan yang berada di pinggir kota. Di tempat itu sunyi dan tak seorang pun akan melihat kita, demikian bunyi penutup surat Siang Ni yang bernada mesra kepada Panglima Kong Tek Kok.

Panglima ini memang sedang tergila-gila kepada muridnya sendiri yang sekarang boleh dia anggap sebagai kekasihnya yang paling baru. Maka tentu saja undangan itu diterimanya dengan girang hati dan tanpa syak wasangka apa pun karena dia pun merasa rindu kepada gadis jelita yang masih muda itu. Betapapun juga, Panglima Kong Tek Kok adalah seorang yang berpengalaman, maka tentu saja dia tidak pernah lengah dan selalu berhati-hati.

Biarpun terhadap Siang Ni, muridnya dan juga kekasihnya itu, dia tidak menaruh curiga sedikit pun, namun dia maklum bahwa pemuda she Suma yang pernah malam-malam menyerbu gedungnya, sampai sekarang belum tertangkap dan tidak tampak tanda-tanda bahwa dia sudah meninggalkan kota raja.

Pemuda lihai itu tetap merupakan ancaman baginya. Karena itu, diam-diam dia memesan kepada kaki tangannya agar supaya menyusul dan menjaga di luar tanah kuburan sehingga mudah membantunya apabila terjadi serangan tiba-tiba dari musuh.

Setelah mengatur persiapan itu tanpa memberitahu kepada kaki tangannya apa keperluannya malam-malam datang ke tanah kuburan. Kong Tek Kok lalu mengenakan pakaian yang paling bagus, menyisiri rambut dan jenggotnya yang sudah beruban sampai rapi, memakai minyak wangi, lalu berjalan melenggang penuh gaya menuju ke tanah kuburan pada malam hari berikutnya, sesuai dengan permintaan Siang Ni dalam suratnya.

Bulan sedang purnama. Cahayanya menerangi bumi mengusir kegelapan malam sehingga suasananya tampak romantis dan menyenangkan sekali. Akan tetapi setelah tiba di luar tanah kuburan, Panglima Kong Tek Kok merasa bulu tengkuknya meremang. Dia seorang panglima gagah perkasa yang berilmu tinggi, akan tetapi melihat suasana yang menyeramkan di tanah kuburan itu, mau tidak mau dia merasa ngeri juga.

Menghadapi lawan manusia, biarpun dikeroyok belasan orang pun dia tidak akan merasa jerih. Akan tetapi melihat pemandangan menyeramkan di tanah kuburan yang menimbulkan bayangan-bayangan hantu, iblis dan siluman, hatinya merasa seram juga.

“Bocah setan, mengapa mengadakan pertemuan saja minta di tanah kuburan?”

Dia bersungut-sungut akan tetapi biarpun dia memaki, mulutnya tersenyum dan matanya membayangkan kecantikan wajah yang menggairahkan dari muridnya yang masih amat muda itu. Bayangan ini mengusir rasa ngerinya dan dengan langkah lebar dia memasuki tanah kuburan dan berjalan cepat di antara bongpai-bongpai yang berada di tempat itu.

“Siang Niii...!” Dia memanggil karena keadaan di situ amat sunyi dan tidak tampak bayangan muridnya yang tercinta itu.

“Di sini...!” Tiba-tiba terdengar jawaban.

Panglima Kong Tek Kok menengok dan bukan main girang hatinya ketika dia melihat muridnya berdiri di bawah sebatang pohon kembang di ujung kiri tanah kuburan itu. Kegirangan hatinya melihat muridnya yang dirindukannya itu membuat Panglima Kong Tek Kok lupa dan tidak menyadari bahwa Siang Ni yang memanggilnya itu berada di depan makam ayah ibunya. Dia tidak melihat pula bahwa keadaan gadis itu tidak sewajarnya. Pakaiannya kusut, rambutnya tidak teratur dan mukanya pucat. Dalam penglihatan panglima yang sudah dibakar berahinya itu, Siang Ni tampak cantik bagaikan bidadari.

“Ah, engkau ini ada-ada saja, mengajak bertemu di tanah kuburan!” Datang-datang Kong Tek Kok memegang kedua tangan muridnya sambil menegur, akan tetapi mulutnya tersenyum dan matanya memandang penuh kasih sayang.

Ketika dia hendak merangkul, Siang Ni merenggut lepas kedua tangannya dengan lembut sambil bertanya. “Nanti dulu. Tahukah engkau di mana kita berada?”

Panglima Kong Tek Kok terheran dan melepaskan kedua tangan yang halus dan hangat itu. “Di mana? Tentu di tanah kuburan. Bukankah engkau yang minta...?”

“Dan kenalkah engkau makam siapa ini?” Siang Ni menunjuk ke arah makam ibunya.

Panglima Kong Tek Kok menoleh dan kebetulan sekali bulan bersinar tanpa halangan awan dan menerangi permukaan bong-pai sehingga terbaca nama Pouw Sui Hong, isteri kesembilan dari Pangeran Lu Kok Kong. “Eh, Siang Ni! Kenapa engkau mengajak aku datang ke depan makam ibumu...?”

“Hemm, engkau tahu ia Ibuku? Engkau tahu ini makam Ibuku yang bernama Pouw Sui Hong, anggauta keluarga Pouw yang kau basmi habis kemudian Ibuku kau culik dan kau jual kepada Pangeran Lu Kok Kong? Dan engkau tahu mengapa aku mengundangmu ke sini? Engkau harus menyusul Ibuku mempertanggung-jawabkan dosa-dosamu! Engkau akan terpanggang di neraka jahanam! Juga engkau harus menebus dengan darah dan nyawa atas kekejianmu, engkau telah menipuku, engkau...” Siang Ni tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan secepat kilat ia mencabut Kim-kong-kiam lalu menyerang bekas gurunya dengan dahsyat.

Panglima Kong Tek Kok tentu saja kaget setengah mati. Dia maklum bahwa percuma saja kalau dia menyangkal setelah rahasianya terbuka. Dia maklum pula bahwa gadis yang telah dinodai dan digaulinya itu tentu tidak akan mau berhenti sebelum mengadu nyawa, maka timbullah kesombongannya dan kebenciannya. Sambil mengelak dia tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, bocah sombong! Engkau menerima ilmu silat dari aku, sekarang hendak kau pergunakan untuk membunuhku? Ha-ha-ha! Sungguh lucu sekali!”

Sambil berkata demikian, dia pun mencabut sepasang pedangnya dan di lain saat bekas guru dan murid itu sudah saling serang dengan dahsyat dan mati-matian. Bagaimanapun juga, tentu saja gerakan Siang Ni kalah mahir dibandingkan gurunya. Apalagi Panglima Kong Tek Kok menggunakan sepasang pedang dan gerakannya amat dahsyat sehingga sebentar saja Siang Ni terdesak hebat.

“Kong Tek Kok, jahanam busuk, bersiaplah untuk mampus!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan sesosok bayangan yang luar biasa cepat gerakannya berkelebat datang dan sebatang pedang dengan gerakan kuat sekali menggempur sepasang pedang di tangan Kong Tek Kok.

“Trang-tranggg...!” Panglima Kong Tek Kok terhuyung ke belakang dan dia terkejut bukan main setelah mengenal penyerangnya itu bukan lain adalah Cun Giok! Dia menudingkan pedang di tangan kirinya ke arah muka Siang Ni. Lalu dengan muka merah karena marah dia memaki.

“Perempuan hina! Jadi engkau sengaja memancingku ke sini dan engkau bersekongkol dengan dia? Perempuan tak tahu diri! Aku ini gurumu, dan apa engkau lupa bahwa dia itu pembunuh Ayahmu?”

“Tutup mulutmu!” bentak Siang Ni dan ia sudah menyerang lagi menggunakan jurus terampuh dan mengerahkan seluruh tenaganya.

Cun Giok juga menyerang dengan pedangnya dan tentu saja Panglima Kong Tek Kok segera menjadi kewalahan dan terdesak hebat. Sekarang panglima itu baru merasa menyesal. Karena terlalu sayang kepada Siang Ni, apalagi setelah gadis itu menyerahkan diri kepadanya dan menjadi kekasihnya, dia telah menurunkan seluruh kepandaiannya kepada muridnya itu sehingga biarpun dia masih dapat mengalahkan Siang Ni karena dia lebih berpengalaman, namun tetap saja gadis itu merupakan seorang lawan tangguh yang tidak mungkin dapat dia robohkan dalam waktu singkat.

Apalagi sekarang di situ muncul Suma Cun Giok, pemuda yang tingkat kepandaiannya sudah Iebih tinggi daripada tingkatnya sendiri. Menghadapi pemuda ini seorang diri saja amat sukar baginya untuk dapat mengalahkannya. Sekarang dua orang muda itu bergabung dan mengeroyoknya dan mereka menyerang seperti kesetanan, penuh kebencian sehingga Panglima Kong Tek Kok menjadi sibuk sekali. Dia merasa cemas dan segera dia bersuit nyaring, memberi tanda kepada para pengawalnya yang tentu kini sudah berkumpul di luar tanah kuburan.

Akan tetapi perhitungannya kali ini meleset. Tadi dia terlalu tergesa-gesa sehingga para pengawal yang menyusulnya ketinggalan jauh. Mereka pun tidak tahu mengapa harus berkumpul di tempat yang menyeramkan itu, maka mereka bersikap ayal-ayalan dan ogah-ogahan sehingga kurang cepat. Oleh karena itu, ketika Panglima Kong Tek Kok bersult memberi tanda bahaya, para pengawal itu belum tiba di tempat itu.

Siang Ni dan Cun Giok maklum apa artinya suitan itu, maka mereka menyerang lebih hebat dan mengerahkan seluruh kepandaian untuk merobohkan musuh besar yang tangguh itu. Siang Ni melompat ke belakang lalu menyerang bekas gurunya dengan panah tangan bertubi-tubi.

Kong Tek Kok menjadi sibuk sekali. Sebagai seorang ahli panah, tentu saja dia dapat menghindarkan diri dari panah-panah yang menyerangnya, akan tetapi karena di situ terdapat Cun Giok yang mendesak dengan ilmu pedangnya yang lihai, maka Kong Tek Kok harus memecah perhatiannya. Hal ini tentu saja membuat pertahanannya menjadi lemah dan akhirnya sebatang anak panah mengenai pundaknya!

“Aduhh...!” Kong Tek Kok berteriak kesakitan, lalu dia bersuit lagi berkali-kali. Akhirnya dari jauh terdengar suitan balasan.

“Para pengawal datang!” Cun Giok memperingatkan Siang Ni dan pedangnya bergerak lebih cepat.

Kong Tek Kok melempar tubuh ke belakang untuk mengelak, akan tetapi kesempatan ini dipergunakan oleh Siang Ni yang meluncurkan tiga batang anak panah. Panglima Kong Tek Kok maklum akan datangnya tiga batang anak panah ini. Akan tetapi pada saat itu Cun Giok sudah menusukkan pedangnya dengan kecepatan kilat. Panglima Kong Tek Kok tidak sempat menghindarkan diri lagi.

“Capp!” Pedang itu menusuk lambungnya.

“Auhhh...!” Panglima Kong Tek Kok menekan lambungnya yang mengucurkan darah dan dia terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat dia sempoyongan itu, tiga batang anak panah menyambar dan menancap didadanya. Panglima itu terpelanting roboh, sepasang pedangnya terlepas dari pegangannya.

Terdengar isak tangis Siang Ni dan gadis itu sudah berkelebat mendekati Panglima Kong Tek Kok yang sudah terluka dan tidak berdaya itu. Ia meludahi kepala panglima itu dan memaki-maki penuh kebencian, makian bercampur isak.

“Anjing rendah, jahanam keparat busuk! Manusia terkutuk! Ini rasakan pembalasan untuk Kakek dan Nenek Pouw!” Pedang sinar emas membabat dan Panglima Kong Tek Kok menjerit dua kali. Kedua kakinya buntung terbabat pedang, buntung sebatas lutut!

“Jahanam, rasakan ini pembalasanku untuk Paman Pouw Keng In dan isterinya!”

Kembali sinar emas berkelebat dua kali disusul jeritan yang masih nyaring dari Panglima Kong Tek Kok. Kini kedua lengannya yang buntung sebatas siku! Panglima itu mandi darah dan hanya dapat menggerakkan kepala ke kanan kiri dan merintih-rintih minta ampun!

“Dan ini pembalasan untuk Ibuku!” Kembali sinar emas berkelebat dan kini sinar pedang itu membabat buntung sepasang daun telinga dan hidung panglima itu! Panglima Kong Tek Kok hanya dapat mengeluarkan suara seperti babi disembelih dan mukanya penuh darah segar.

“Ini untuk pembalasan sakit hatiku!” Siang Ni membacok ke arah bawah perut dan sekali ini Panglima Kong Tek Kok tak dapat mengeluarkan suara lagi, sisa tubuhnya berkelejotan. Akan tetapi sambil menangis, Siang Ni masih terus menggerakkan pedangnya, menusuk, membacok sekuat tenaga.

Cun Giok memejamkan matanya. Ngeri hatinya melihat pemandangan itu. Siang Ni seperti gila! Sepasang matanya merah dan bercucuran air mata. Pedangnya terus digerakkan mencincang tubuh panglima itu sehingga darahnya muncrat ke mana-mana. Pakaian gadis itu penuh darah yang terpercik ke kanan kiri, namun ia tidak peduli. Seperti orang mencincang daging ia terus membacokkan pedangnya sambil menangis dan memaki.

“Mampus kau anjing busuk! Mampus kau keparat!” Tubuh panglima itu kini hanya sebagai seonggok daging yang tercincang. Bahkan tulang-tulangnya juga ikut terpotong-potong. Mengerikan sekali!

“Piauw-moi, larilah! Para pengawal sudah datang!” Cun Giok berteriak.

Akan tetapi Siang Ni seperti tidak mendengar suaranya dan masih terus membacoki tubuh bekas gurunya yang sudah menjadi onggokan daging dan darah. Dua orang pengawal muncul. Melihat Cun Giok, mereka segera menggunakan golok menyerang. Akan tetapi, dengan lincahnya Cun Giok mengelak. Dua orang pengawal itu mengeroyok dan hanya dalam beberapa jurus saja dia sudah merobohkan dua orang pengawal itu.

“Piauw-moi, larilah...!” Cun Giok berteriak lagi ketika berkelebatnya banyak bayangan para pengawal. Akan tetapi Siang Ni sudah kesetanan. Bahkan kini tangan kirinya mengambil sebatang pedang yang tadi dipergunakan Panglima Kong Tek Kok dan menghancur-lumatkan bekas tubuh panglima itu dengan sepasang pedang!

Para pengawal berdatangan dan melihat bahwa onggokan daging itu adalah bekas tubuh Panglima Kong Tek Kok, mereka menjadi marah sekali lalu menyerang gadis itu. Melihat bahwa gadis itu adalah Lu Siang Ni, murid panglima itu sendiri, para pengawal memandang dengan terheran-heran. Akan tetapi mereka tidak sempat bertanya, karena sudah terbukti bahwa gadis itu membunuh komandan mereka, para pengawal langsung saja mengeroyok. Sebagian lagi mengeroyok Cun Giok.

“He-he-he-hi-hik, ha-ha-ha!” Siang Ni tertawa. Suara tawanya terdengar mengerikan, bergema di tanah kuburan itu, bukan seperti suara manusia lagi. Setelah mengeluarkan suara tawa mengerikan itu, Siang Ni mengamuk dengan sepasang pedangnya.

Bukan main hebatnya pertempuran itu yang terbagi menjadi dua rombongan. Terdengar suara senjata beradu mengeluarkan suara berdentang, diselingi teriakan dan pekik kesakitan. Darah mengucur deras setiap kali pedang Siang Ni atau pedang Cun Giok merobohkan seorang pengeroyok.

Akan tetapi pasukan pengawal itu berdatangan lagi dan kini jumlah mereka menjadi banyak, sampai puluhan orang. Sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan pengawal-pengawal istana yang mendengar kabar bahwa pembunuh Pangeran Lu bersembunyi di tanah kuburan.

“Piauw-moi, mari kita lari!” berulang kali Cun Giok mengajak Siang Ni untuk melarikan diri.

Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak peduli. Tubuh Siang Ni yang langsing itu sudah penuh Iuka yang agaknya tidak dirasakan atau dipedulikannya. Perajurit dan perwira pengeroyok yang roboh oleh sepasang pedangnya bukan main banyaknya. Mayat mereka berserakan malang melintang dan darah mengalir dan tergenang, mengerikan.

Cun Giok juga sudah menderita beberapa luka ringan akan tetapi yang mengeluarkan banyak darah. Tubuhnya mulai terasa lemas. Dia melihat betapa keadaan Siang Ni jauh lebih parah daripada dirinya, akan tetapi gadis itu masih terus mengamuk dan gerakannya tidak pernah mengendur. Ia bagaikan seekor harimau terluka dikeroyok banyak anjing dan biarpun harimau sudah menderita banyak luka gigitan anjing-anjing itu, setiap kali ia bergerak pasti ada seekor anjing lagi yang roboh dan mati!

Cun Giok merasa khawatir sekali, akan tetapi dia tidak sempat membantu karena dia sendiri juga sibuk membela diri terhadap pengeroyokan banyak perajurit. Namun kini dia membagi perhatiannya, mengerling arah gadis yang masih mengamuk itu...