Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

04: HABIS BUNGA SETAMAN!

Akan tetapi tangis bayi yang menggembirakan itu segera disusul tangis para wanita yang membantu kelahiran dalam kamar itu. Alangkah jauh bedanya antara kedua tangis ini. Isak tangis para wanita itu mendatangkan haru dan pilu, mendatangkan awan hitam menutup sinar matahari.

Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Thio-ma keluar sambil memondong seorang bayi yang sudah dibungkus selimut. Bayi merah itu membuka mulut lebar dalam tangisnya. Thio-ma memberikan bayi itu kepada Suma Tiang Bun tampak wanita itu menangis. Air mata bercucuran di kedua pipinya.

“Ia begitu muda... begitu cantik... ahh, sayang....” Thio-ma terisak-isak lalu kembali ke dalam kamar.

Suma Tiang Bun memondong bayi itu dengan kedua tangan gemetar. Dia melangkah masuk kamar dan sekilas pandang saja dia tahu bahwa nyonya muda yang baru saja melahirkan itu sudah tidak bernyawa lagi, menggeletak telentang di atas pembaringannya dengan muka putih pucat, kedua mata terpejam akan tetapi bibir yang manis dan indah bentuknya itu tersenyum.

Melihat senyum itu, Suma Tiang Bun menutup kedua matanya sejenak dan terbayanglah dia betapa nyonya muda itu bertemu dan berpelukan dengan suaminya di alam lain. Tiba-tiba Suma Tiang Bun tertawa bergelak. Suara tawanya bukan suara tawa biasa, melainkan suara tawa yang keluar dari dasar hatinya, yang disuarakan dengan pengerahan sin-kang sehingga semua orang yang berada di situ terkejut bukan main. Pondok itu seolah-olah tergetar dan suara tawa itu terdengar sampai jauh, terdengar bergelombang dan mengerikan!

“Ha-ha-ha-ha! Mati diantar tangis, lahir disambut tawa! Ha-ha-ha, manusia memang buta. Thio-ma, apakah hal ini tidak terbalik? Bukankah seharusnya mati diantar tawa dan lahir disambut tangis? Lihat, bayi menangis ketika dilahirkan, pertanda dia memasuki alam yang penuh pertentangan! Yang mati itu tampak tersenyum dan tenang, pertanda ia memasuki alam yang penuh kedamaian!”

Entah mengapa, mungkin karena terkejut mendengar tawa yang dahsyat menggetarkan tadi, bayi yang tadinya menangis keras itu tiba-tiba saja berhenti menangis. Suma Tiang Bun menundukkan mukanya sehingga jenggotnya yang putih menutupi dada bayi itu. Dia tertawa lagi, kini tawanya biasa, dan dia berkata,

“Ha-ha-ha, anak yang baik! Orang lain terlahir disambut tawa gembira, akan tetapi engkau terlahir di tengah-tengah tangis. Begitu terlahir engkau sudah mengalami kepahitan hidup pertama, dengan meninggalnya ibumu! Biarlah, manis, terimalah saja. Siapa tahu kelak engkau akan menjadi seorang manusia yang berguna bagi Thian, bagi manusia dan dunia!”

Dengan wajah tampak gembira sekali, Suma Tiang Bun berjalan-jalan dalam ruangan itu sambil mengayun-ayun bayi dalam pondongannya.

“Thio-ma dan saudara-saudara sekalian, dengarlah. Bocah ini kuberi nama Cun Giok, Suma Cun Giok! Ya, dia memakai she (marga) Suma, seperti aku, dan dia menjadi anakku. Thio-ma menjadi ibu angkatnya, dan kalian menjadi saksinya!”

“Kasihan ibunya...” kembali Thio-ma berkata lirih. “Suma Lojin, apakah engkau tidak merasa kasihan kepada ibunya? Mengapa engkau begitu tega minta kepadaku untuk menyelamatkan anaknya sehingga ibunya tewas?”

Suma Tiang Bun memberikan bayi itu kepada Thio-ma. “Rawatlah dia baik-baik. Semua biaya aku yang menanggungnya. Engkau bertanya tentang ibunya? Thio-ma dan semua saudara, ketahuilah. Aku kasihan sekali kepada nyonya muda itu. Aku yang menolongnya dari Sungai Huai. Akan tetapi, sebagai seorang ahli pengobatan aku tahu bahwa nyawanya tidak akan dapat ditolong lagi, karena selain keracunan, ia kehilangan banyak darah dan batinnya terguncang hebat. Tahukah kalian apa artinya ini? Andaikata ia tertolong dalam kelahirannya ini dan anaknya yang tewas, hal itu tidak akan ada gunanya karena ia pun akan meninggal karena keadaannya itu. Maka ketika dihadapkan dua pilihan, aku minta agar anak ini yang diselamatkan. Dengan menolong anak ini berarti kita menolong kelanjutan keluarganya. Kalau anak ini tidak ditolong, berarti keduanya akan binasa! Tidak, lebih baik salah satu tewas dan berkorban untuk yang lain!”

Kini mengertilah semua orang dan mereka membenarkan tindakan yang diambil Suma Tiang Bun. Memang, kalau sudah mengetahui bahwa nyonya muda itu terluka parah dan tidak dapat disembuhkan lagi, lebih baik menyelamatkan anaknya. Tak seorang pun di antara mereka tahu bahwa pada saat itu, pada saat di dalam kamar Suma Tiang Bu banjir air mata, air mata gembira menyambut Suma Cun Giok dan air mata duka mengantar keberangkatan Tan Bi Lian ke alam baka, terdapat seorang gadis yang juga menangis dengan sedihnya.

Nun jauh di kota raja, dalam sebuah kamar yang indah sekali, kamar yang terletak di gedung dalam lingkungan istana, gadis itu menangis sedih dan pilu. Gadis cantik jelita itu bukan lain adalah Pouw Sui Hong, adik mendiang Pouw Keng In, bibi dari bayi yang lahir di rumah Suma Tiang Bun itu.

Tangis sedih seorang gadis yang putus asa, seperti juga tangis yang ratusan kali terdengar di kamar-kamar seperti itu, tangis para gadis seperti Pouw Sui Hong, gadis-gadis cantik jelita yang terjatuh ke dalam tangan para pangeran dan bangsawan lain di dalam atau di luar istana kaisar!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

“Pengantin..! Pengantin...!” Anak-anak bersorak dan tertawa-tawa mengikuti ronnbongan pengantin diarak. Suara tambur, canang dan suling mengiringi rombongan arak-arakan ini.

Sudah menjadi kebiasaan para penduduk kota Lan-hui, apabila ada pernikahan, selain dirayakan di rumah, juga diadakan perayaan di kelenteng Kwan Im Bio yang letaknya di tengah kota. Kini pengantin wanita yang duduk dalam tandu dan dipikul empat orang berpakaian seragam, juga dibawa ke kelenteng itu, di mana pengantin pria telah menanti untuk menyambutnya.

Dalam kelenteng itu akan diadakan upacara sembahyang oleh sepasang pengantin mohon berkat dari Kwan Im Pouwsat sebelum pengantin wanita diboyong ke rumah suaminya. Para pengiring pengantin kelihatan gembira, tertawa-tawa dan mengucapkan kata-kata yang sifatnya menggoda ke arah joli (tandu) pengantin.

“A Liuk, kau lihat, pengantinnya sekarang tidak mengeluarkan suara. Kau pikir ia sedang apa?” bertanya seorang pengiring kepada kawannya, sengaja bicara di dekat tandu agar terdengar oleh pengantin wanita yang duduk di dalamnya.

Orang yang bernama A Liuk itu tertawa keras dengan sengaja, karena kalau percakapan itu tidak dilakukan keras-keras, tentu tidak akan terdengar oleh pengantin wanita, tertutup oleh bunyi canang dan tambur.

“Ha-ha-ha, A Sam, masa engkau tidak mendengarnya? Aku mendengar ia tertawa-tawa gembira dan kulihat ia tersenyum-senyum!”

“Bohong kau!” kata A Sam sambil menyeringai. “Pengantin secantik dewi mana suaranya dapat terdengar? Dan tirai tandu demikian rapatnya, mana kau bisa melihatnya?”

Keduanya tertawa-tawa dan yang lain-lain juga ikut tertawa.

“A Liuk, A Sam, kalian jangan terlalu menggoda pengantin! Apa kalian ingin ia menangis lagi seperti tadi?”

Memang teguran yang diucapkan orang ketiga ini tidak bohong. Sejak meninggalkan rumahnya di kota Ci-bun beberapa mil jauhnya dari kota Lan-hui dan sejak memasuki tandu, pengantin wanita itu terus-menerus menangis. Akan tetapi setelah tiba di pintu gerbang kota Lan-hui, tangisnya terhenti dan tidak terdengar lagi pengantin mengeluarkan suara.

“Ha-ha, kau bodoh!” A Liuk mencela orang yang menegur tadi. “Tidak tahukah kau bahwa sudah sepatutnya bagi seorang pengantin yang muda dan cantik untuk menangis kalau diangkut dengan tandu? Agaknya kelak calon isterimu, kalau diangkut tandu dan menjadi pengantin, akan tertawa terbahak-bahak di sepanjang jalan!”

Kembali semua orang tertawa riuh mendengar kelakar ini, dan iring-iringan itu menjadi semakin gembira dengan adanya anak-anak dan penduduk Lan-hui yang menonton dan ikut mengiring di belakang rombongan menuju. kelenteng Kwan Im Bio. Setelah tiba dekat kelenteng, musik dibunyikan semakin gencar dan makin riuh pula teriakan dan sorakan para penonton.

Sambil menanti dimulainya upacara dan persiapan penyambutan, tandu diturunkan dari pundak empat orang pemikulnya dan diletakkan di atas tanah. Menurut kebiasaan, pengantin wanita tidak boleh keluar dulu, tidak boleh terlihat mata orang lain sebelum bertemu dengan calon suaminya dan biasanya setelah persiapan selesai, tandu akan digotong terus ke dalam kelenteng di mana sudah dipersiapkan meja sembahyang bagi sepasang pengantin untuk melakukan sembahyang bersama.

Akan tetapi ketika rombongan pengantin pria keluar dari kelenteng menyambut, dan pengantin pria tampak gagah dan tampan dengan pakaiannya yang gemerlapan, pengantin pria ini tampaknya tidak sabar lagi untuk segera dapat memandang wajah calon isterinya yang cantik. Sambil tersenyum-senyum dia melangkah ke depan, lalu tangan kanannya meraih dan menyingkap tirai hijau yang menutup joli.

“Hayaaaa...!” Tiba-tiba dia menjerit dan melepaskan lagi tirai itu. Matanya terbelalak lebar, mukanya berubah pucat sekali dan jelas tampak dia menggigil. Semua orang terkejut, baik para pengiring pengantin wanita maupun para penyambut dan pengiring pengantin pria.

“Mengapa...?”

“Ada apakah...?”

Orang-orang bertanya heran. Pengantin pria menunjukkan telunjuknya ke arah tandu, bibirnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara, akhirnya dapat juga dia berkata gagap.

“I... itu... ia... darah... telah mati..!”

Orang-orang terkejut. Seorang yang agak tabah cepat menyingkap tirai hijau penutup tandu dan menggantungkan tirai itu di ujung tandu sehingga tidak turun lagi. Kini semua mata memandang ke dalam tandu, ingin melihat apa gerangan yang membuat pengantin pria terkejut seperti itu. Dan mereka sendiri terkejut bukan main melihat pengantin wanita yang duduk dalam tandu sudah terkulai lemas. Sebuah pisau belati menancap di dadanya!

Darah membasahi pakaian dan bagian dalam tandu melihat keadaan tubuh gadis itu, mudah diduga bahwa ia sudah mati. Suasana menjadi gempar. Orang-orang bicara simpang siur dengan bermacam-macam komentar dan pendapat. Jenazah pengantin wanita itu segera diangkat ke dalam kelenteng. Pengantin pria tampak marah sekali.

“Ini penghinaan namanya!” ia berteriak sambil membanting-bantingkan kaki, lalu dia berteriak memanggil kepala pengawalnya. “Theng-kauwsu, cepat bawa teman-teman pergi ke rumah keluarga Siok, beritahukan bahwa Ji-siocia (Nona Kedua) telah membunuh diri dalam tandu dan agar Sam-siocia (Nona Ketiga) menggantikan cicinya menjadi pengantin. Hanya dengan penggantian itu kita akan terhindar dari penghinaan dan upacara pernikahan dapat dilangsungkan. Bawa tandu baru, boyong Sam-siocia ke sini, sekarang juga!”

Setelah memberi perintah dan marah-marah, pengantin pria ini kembali masuk ke ruangan dalam kelenteng itu. Yang dipanggil Theng-kauwsu (Guru Silat Theng) adalah seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh tahun, berperawakan tinggi besar dan tegap.

Begitu mendengar perintah dari pengantin pria, dia segera memimpin anak buahnya untuk membersihkan tandu dari noda darah. Setelah joli itu bersih, rombongan yang tadi mengantar pengantin wanita segera melakukan perjalanan cepat, kembali ke kota Ci-bun. Kini rombongan dikawal oleh Theng-kauwsu dan limabelas orang anak buahnya yang semua berpakaian seperti jago-jago silat.

Para penonton menjadi gempar. Mereka membicarakan peristiwa aneh itu, akan tetapi tentu saja tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani mencela sikap pengantin pria secara berterang. Pengantin pria itu adalah Bhong-kongcu (Tuan Muda Bhong) putera seorang hartawan besar di Lan-hui yang amat berpengaruh karena bukan saja dengan harta bendanya dia berhubungan erat dengan para pembesar, juga terutama sekali karena seorang pamannya menjabat kedudukan tinggi di kota raja!

“Kasihan sekali keluarga Siok, akan habislah bunga setaman, dipetik semua oleh tangan raja muda kota Lan-hui,” kata seorang penonton dengan berbisik kepada kawannya.

Di antara para penonton terdapat seorang kakek tua yang tadi datang bersama seorang pemuda. Baik kakek maupun pemuda itu agaknya merupakan orang-orang yang biasa disebut dengan poyokan 'kutu buku', yaitu orang-orang yang tekun menyenangi dan mempelajari kesusastraan di waktu itu. Hal ini tidak saja tampak dari cara mereka berpakaian, akan tetapi juga dari sikap dan gerak-gerik mereka yang halus.

Seperti juga orang-orang lain yang berada di depan kelenteng, kakek dan pemuda itu tadi juga melihat pengantin wanita yang telah menjadi mayat di dalam tandu dari mereka saling pandang dengan sinar mata heran dan penasaran. Kemudian, setelah mendengarkan ucapan-ucapan para penonton, lalu mendengar pula ucapan pengantin pria dan melihat sikapnya yang angkuh dan keras, diam-diam kakek itu menyentuh lengan pemuda itu, lalu keduanya meninggalkan tempat itu.

Kota Ci-bun hanya sembilan mil jauhnya dari kota Lan-hui, akan tetapi betapapun cepatnya orang berjalan, sedikitnya satu jam baru dapat sampai di kota itu. Akan tetapi, suatu keanehan terjadi. Lama sebelum rombongan Theng-kauwsu tiba di Ci-bun, kakek dan pemuda tadi telah lama berada di rumah keluarga Siok dan bercakap-cakap dengan Siok Kan, ayah pengantin wanita yang mati dalam tandu tadi!

Keluarga Siok terdiri dari Siok Kan yang berusia sekitar empatpuluh tahun lebih. Dia sudah kehilangan isterinya yang meninggal dunia dua tahun lalu dan dia hidup bertiga dengan dua orang anak perempuannya, yaitu Siok Li yang telah membunuh diri dalam tandu dan Siok Eng. Mereka ini merupakan anak kedua dan ketiga maka disebut Ji-siocia dan Sam-siocia. Adapun puteri sulungnya telah menikah dengan seorang yang tinggal di sebuah kota di Propinsi San-thung.

Kedatangan kakek dan pemuda itu disambut oleh Siok Kan dan puteri bungsunya, Siok Eng. Gadis berusia limabelas tahun itu menangis tersedu-sedu ketika mendengar bahwa encinya telah membunuh diri dalam tandu. Siok Eng adalah seorang gadis remaja yang cantik manis, dan melihat gadis ini menangis tersedu-sedu, pemuda yang datang bersama kakek itu merasa terharu.

Siok Kan menjadi pucat sekali wajahnya mendengar akan kematian puterinya yang kedua, dan tidak tahulah dia apa yang harus dia lakukan ketika mendengar betapa Bhong-kongcu marah-marah dan hendak memaksa Siok Eng menjadi pengganti encinya yang membunuh diri.

“Harap jangan takut dan bingung, Siok-sianseng (Tuan Siok),” kata kakek itu dengan sikap tenang. “Kami sengaja datang ke sini bukan hanya untuk menyampaikan berita duka ini, akan tetapi kami juga ingin menolong keluargamu. Sekarang masih banyak waktu karena mereka yang hendak menjemput puterimu masih jauh. Harap engkau suka menceritakan kepada kami mengapa engkau menyerahkan puterimu kepada Bhong-kongcu sehingga puterimu itu membunuh diri.”

Siok Kan tidak dapat menahan kesedihannya dan bercucuranlah air matanya. Setelah dapat menenangkan diri dan menghentikan tangisnya, dia berkata,

“Apa yang dapat kami lakukan? Kami keluarga miskin, dan satu-satunya yang dapat kami andalkan, hanyalah anak sulung dan mantu kami yang berada jauh di Shan-tung. Apalagi ketika isteriku sakit, sebelum meninggal dua tahun yang lalu, ia membutuhkan perawatan selama beberapa tahun sehingga terpaksa aku tenggelam dalam lautan hutang. Sawah habis terjual, rumah pun digadaikan dan akhirnya kami terjatuh ke dalam cengkeraman Bhong-kongcu. Aku pasti akan dituntut dan masuk penjara kalau aku tidak mau menyerahkan Siok Li sebagai selirnya, karena hutangku amat banyak dan semua surat hutang itu sudah jatuh ke dalam tangannya. Kalau sampai aku dihukum, bagiku sendiri tidak apa-apa, akan tetapi bagaimana dengan anak-anakku yang tidak berdaya? Mereka tentu akan diganggu orang kalau tidak ada aku di samping mereka.”

Kakek itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan pemuda yang pendiam dan tampan itu sebentar-sebentar melirik ke arah Siok Eng yang menangis terisak-isak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.

“Karena itulah maka aku tidak berdaya menolak ketika Bhong-kongcu melamar Siok Li. Di depanku Siok Li menyatakan rela berkorban demi keselamatan keluarganya. Tidak tahunya anak itu... anak itu mengambil jalan nekat... dan sekarang... sekarang Bhong-kongcu hendak merampas Siok Eng pula...”

Siok Kan menangis, kemudian tiba-tiba dia bangkit berdiri, mengepalkan tinjunya dan berseru. “Tidak bisa! Tidak boleh dia bertindak sewenang-wenang. Aku akan mempertahankan puteri bungsuku dan akan melawan sampai mati!” Kemudian dia menubruk dan merangkul puterinya yang tinggal seorang lagi itu. Ayah dan anak bertangisan dalam keadaan yang memilukan.

“Siok-sianseng, harap tenang dan jangan putus asa. Ada kami di sini yang akan menolong. Percayalah, si jahat itu pasti akan menemui kegagalan dan kehancuran, dan puterimu yang telah membunuh diri pasti akan dapat terbalas sakit hatinya,” kata kakek itu dengan suara lembut.

Siok Kan memandang kepada tamunya dengan mata merah dan basah, akan tetapi muncul harapan dalam pandang matanya. “Bagaimana kami dapat menghadapi Bhong-kongcu yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya itu? Kaki-tangannya banyak dan terkenal kejam, semua pembesar setempat adalah sahabat baiknya dan...”

“Serahkan saja kepada kami,” kakek itu memotong. “Nanti kalau mereka datang, sambutlah baik-baik dan terima saja permintaan mereka. Akan tetapi minta agar tandu dibawa masuk ke dalam kamar, katakan bahwa Sam-siocia masih terlalu muda dan pemalu sehingga tidak mau terlihat orang lain. Setelah puterimu memasuki tandu, baru boleh digotong keluar dengan tirai tertutup rapat.”

Kakek itu lalu bicara panjang lebar mengatur siasat yang didengarkan oleh Siok Kan dan puterinya dengan hati berdebar tegang. Dalam hatinya Siok Kan masih merasa ragu, akan tetapi karena semua itu dilakukan untuk menyelamatkan puteri bungsunya, dia menyatakan setuju. Siasat telah diatur dan mereka sudah siap menyambut datangnya rombongan utusan Bhong-kongcu.

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 04

04: HABIS BUNGA SETAMAN!

Akan tetapi tangis bayi yang menggembirakan itu segera disusul tangis para wanita yang membantu kelahiran dalam kamar itu. Alangkah jauh bedanya antara kedua tangis ini. Isak tangis para wanita itu mendatangkan haru dan pilu, mendatangkan awan hitam menutup sinar matahari.

Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Thio-ma keluar sambil memondong seorang bayi yang sudah dibungkus selimut. Bayi merah itu membuka mulut lebar dalam tangisnya. Thio-ma memberikan bayi itu kepada Suma Tiang Bun tampak wanita itu menangis. Air mata bercucuran di kedua pipinya.

“Ia begitu muda... begitu cantik... ahh, sayang....” Thio-ma terisak-isak lalu kembali ke dalam kamar.

Suma Tiang Bun memondong bayi itu dengan kedua tangan gemetar. Dia melangkah masuk kamar dan sekilas pandang saja dia tahu bahwa nyonya muda yang baru saja melahirkan itu sudah tidak bernyawa lagi, menggeletak telentang di atas pembaringannya dengan muka putih pucat, kedua mata terpejam akan tetapi bibir yang manis dan indah bentuknya itu tersenyum.

Melihat senyum itu, Suma Tiang Bun menutup kedua matanya sejenak dan terbayanglah dia betapa nyonya muda itu bertemu dan berpelukan dengan suaminya di alam lain. Tiba-tiba Suma Tiang Bun tertawa bergelak. Suara tawanya bukan suara tawa biasa, melainkan suara tawa yang keluar dari dasar hatinya, yang disuarakan dengan pengerahan sin-kang sehingga semua orang yang berada di situ terkejut bukan main. Pondok itu seolah-olah tergetar dan suara tawa itu terdengar sampai jauh, terdengar bergelombang dan mengerikan!

“Ha-ha-ha-ha! Mati diantar tangis, lahir disambut tawa! Ha-ha-ha, manusia memang buta. Thio-ma, apakah hal ini tidak terbalik? Bukankah seharusnya mati diantar tawa dan lahir disambut tangis? Lihat, bayi menangis ketika dilahirkan, pertanda dia memasuki alam yang penuh pertentangan! Yang mati itu tampak tersenyum dan tenang, pertanda ia memasuki alam yang penuh kedamaian!”

Entah mengapa, mungkin karena terkejut mendengar tawa yang dahsyat menggetarkan tadi, bayi yang tadinya menangis keras itu tiba-tiba saja berhenti menangis. Suma Tiang Bun menundukkan mukanya sehingga jenggotnya yang putih menutupi dada bayi itu. Dia tertawa lagi, kini tawanya biasa, dan dia berkata,

“Ha-ha-ha, anak yang baik! Orang lain terlahir disambut tawa gembira, akan tetapi engkau terlahir di tengah-tengah tangis. Begitu terlahir engkau sudah mengalami kepahitan hidup pertama, dengan meninggalnya ibumu! Biarlah, manis, terimalah saja. Siapa tahu kelak engkau akan menjadi seorang manusia yang berguna bagi Thian, bagi manusia dan dunia!”

Dengan wajah tampak gembira sekali, Suma Tiang Bun berjalan-jalan dalam ruangan itu sambil mengayun-ayun bayi dalam pondongannya.

“Thio-ma dan saudara-saudara sekalian, dengarlah. Bocah ini kuberi nama Cun Giok, Suma Cun Giok! Ya, dia memakai she (marga) Suma, seperti aku, dan dia menjadi anakku. Thio-ma menjadi ibu angkatnya, dan kalian menjadi saksinya!”

“Kasihan ibunya...” kembali Thio-ma berkata lirih. “Suma Lojin, apakah engkau tidak merasa kasihan kepada ibunya? Mengapa engkau begitu tega minta kepadaku untuk menyelamatkan anaknya sehingga ibunya tewas?”

Suma Tiang Bun memberikan bayi itu kepada Thio-ma. “Rawatlah dia baik-baik. Semua biaya aku yang menanggungnya. Engkau bertanya tentang ibunya? Thio-ma dan semua saudara, ketahuilah. Aku kasihan sekali kepada nyonya muda itu. Aku yang menolongnya dari Sungai Huai. Akan tetapi, sebagai seorang ahli pengobatan aku tahu bahwa nyawanya tidak akan dapat ditolong lagi, karena selain keracunan, ia kehilangan banyak darah dan batinnya terguncang hebat. Tahukah kalian apa artinya ini? Andaikata ia tertolong dalam kelahirannya ini dan anaknya yang tewas, hal itu tidak akan ada gunanya karena ia pun akan meninggal karena keadaannya itu. Maka ketika dihadapkan dua pilihan, aku minta agar anak ini yang diselamatkan. Dengan menolong anak ini berarti kita menolong kelanjutan keluarganya. Kalau anak ini tidak ditolong, berarti keduanya akan binasa! Tidak, lebih baik salah satu tewas dan berkorban untuk yang lain!”

Kini mengertilah semua orang dan mereka membenarkan tindakan yang diambil Suma Tiang Bun. Memang, kalau sudah mengetahui bahwa nyonya muda itu terluka parah dan tidak dapat disembuhkan lagi, lebih baik menyelamatkan anaknya. Tak seorang pun di antara mereka tahu bahwa pada saat itu, pada saat di dalam kamar Suma Tiang Bu banjir air mata, air mata gembira menyambut Suma Cun Giok dan air mata duka mengantar keberangkatan Tan Bi Lian ke alam baka, terdapat seorang gadis yang juga menangis dengan sedihnya.

Nun jauh di kota raja, dalam sebuah kamar yang indah sekali, kamar yang terletak di gedung dalam lingkungan istana, gadis itu menangis sedih dan pilu. Gadis cantik jelita itu bukan lain adalah Pouw Sui Hong, adik mendiang Pouw Keng In, bibi dari bayi yang lahir di rumah Suma Tiang Bun itu.

Tangis sedih seorang gadis yang putus asa, seperti juga tangis yang ratusan kali terdengar di kamar-kamar seperti itu, tangis para gadis seperti Pouw Sui Hong, gadis-gadis cantik jelita yang terjatuh ke dalam tangan para pangeran dan bangsawan lain di dalam atau di luar istana kaisar!

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

“Pengantin..! Pengantin...!” Anak-anak bersorak dan tertawa-tawa mengikuti ronnbongan pengantin diarak. Suara tambur, canang dan suling mengiringi rombongan arak-arakan ini.

Sudah menjadi kebiasaan para penduduk kota Lan-hui, apabila ada pernikahan, selain dirayakan di rumah, juga diadakan perayaan di kelenteng Kwan Im Bio yang letaknya di tengah kota. Kini pengantin wanita yang duduk dalam tandu dan dipikul empat orang berpakaian seragam, juga dibawa ke kelenteng itu, di mana pengantin pria telah menanti untuk menyambutnya.

Dalam kelenteng itu akan diadakan upacara sembahyang oleh sepasang pengantin mohon berkat dari Kwan Im Pouwsat sebelum pengantin wanita diboyong ke rumah suaminya. Para pengiring pengantin kelihatan gembira, tertawa-tawa dan mengucapkan kata-kata yang sifatnya menggoda ke arah joli (tandu) pengantin.

“A Liuk, kau lihat, pengantinnya sekarang tidak mengeluarkan suara. Kau pikir ia sedang apa?” bertanya seorang pengiring kepada kawannya, sengaja bicara di dekat tandu agar terdengar oleh pengantin wanita yang duduk di dalamnya.

Orang yang bernama A Liuk itu tertawa keras dengan sengaja, karena kalau percakapan itu tidak dilakukan keras-keras, tentu tidak akan terdengar oleh pengantin wanita, tertutup oleh bunyi canang dan tambur.

“Ha-ha-ha, A Sam, masa engkau tidak mendengarnya? Aku mendengar ia tertawa-tawa gembira dan kulihat ia tersenyum-senyum!”

“Bohong kau!” kata A Sam sambil menyeringai. “Pengantin secantik dewi mana suaranya dapat terdengar? Dan tirai tandu demikian rapatnya, mana kau bisa melihatnya?”

Keduanya tertawa-tawa dan yang lain-lain juga ikut tertawa.

“A Liuk, A Sam, kalian jangan terlalu menggoda pengantin! Apa kalian ingin ia menangis lagi seperti tadi?”

Memang teguran yang diucapkan orang ketiga ini tidak bohong. Sejak meninggalkan rumahnya di kota Ci-bun beberapa mil jauhnya dari kota Lan-hui dan sejak memasuki tandu, pengantin wanita itu terus-menerus menangis. Akan tetapi setelah tiba di pintu gerbang kota Lan-hui, tangisnya terhenti dan tidak terdengar lagi pengantin mengeluarkan suara.

“Ha-ha, kau bodoh!” A Liuk mencela orang yang menegur tadi. “Tidak tahukah kau bahwa sudah sepatutnya bagi seorang pengantin yang muda dan cantik untuk menangis kalau diangkut dengan tandu? Agaknya kelak calon isterimu, kalau diangkut tandu dan menjadi pengantin, akan tertawa terbahak-bahak di sepanjang jalan!”

Kembali semua orang tertawa riuh mendengar kelakar ini, dan iring-iringan itu menjadi semakin gembira dengan adanya anak-anak dan penduduk Lan-hui yang menonton dan ikut mengiring di belakang rombongan menuju. kelenteng Kwan Im Bio. Setelah tiba dekat kelenteng, musik dibunyikan semakin gencar dan makin riuh pula teriakan dan sorakan para penonton.

Sambil menanti dimulainya upacara dan persiapan penyambutan, tandu diturunkan dari pundak empat orang pemikulnya dan diletakkan di atas tanah. Menurut kebiasaan, pengantin wanita tidak boleh keluar dulu, tidak boleh terlihat mata orang lain sebelum bertemu dengan calon suaminya dan biasanya setelah persiapan selesai, tandu akan digotong terus ke dalam kelenteng di mana sudah dipersiapkan meja sembahyang bagi sepasang pengantin untuk melakukan sembahyang bersama.

Akan tetapi ketika rombongan pengantin pria keluar dari kelenteng menyambut, dan pengantin pria tampak gagah dan tampan dengan pakaiannya yang gemerlapan, pengantin pria ini tampaknya tidak sabar lagi untuk segera dapat memandang wajah calon isterinya yang cantik. Sambil tersenyum-senyum dia melangkah ke depan, lalu tangan kanannya meraih dan menyingkap tirai hijau yang menutup joli.

“Hayaaaa...!” Tiba-tiba dia menjerit dan melepaskan lagi tirai itu. Matanya terbelalak lebar, mukanya berubah pucat sekali dan jelas tampak dia menggigil. Semua orang terkejut, baik para pengiring pengantin wanita maupun para penyambut dan pengiring pengantin pria.

“Mengapa...?”

“Ada apakah...?”

Orang-orang bertanya heran. Pengantin pria menunjukkan telunjuknya ke arah tandu, bibirnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara, akhirnya dapat juga dia berkata gagap.

“I... itu... ia... darah... telah mati..!”

Orang-orang terkejut. Seorang yang agak tabah cepat menyingkap tirai hijau penutup tandu dan menggantungkan tirai itu di ujung tandu sehingga tidak turun lagi. Kini semua mata memandang ke dalam tandu, ingin melihat apa gerangan yang membuat pengantin pria terkejut seperti itu. Dan mereka sendiri terkejut bukan main melihat pengantin wanita yang duduk dalam tandu sudah terkulai lemas. Sebuah pisau belati menancap di dadanya!

Darah membasahi pakaian dan bagian dalam tandu melihat keadaan tubuh gadis itu, mudah diduga bahwa ia sudah mati. Suasana menjadi gempar. Orang-orang bicara simpang siur dengan bermacam-macam komentar dan pendapat. Jenazah pengantin wanita itu segera diangkat ke dalam kelenteng. Pengantin pria tampak marah sekali.

“Ini penghinaan namanya!” ia berteriak sambil membanting-bantingkan kaki, lalu dia berteriak memanggil kepala pengawalnya. “Theng-kauwsu, cepat bawa teman-teman pergi ke rumah keluarga Siok, beritahukan bahwa Ji-siocia (Nona Kedua) telah membunuh diri dalam tandu dan agar Sam-siocia (Nona Ketiga) menggantikan cicinya menjadi pengantin. Hanya dengan penggantian itu kita akan terhindar dari penghinaan dan upacara pernikahan dapat dilangsungkan. Bawa tandu baru, boyong Sam-siocia ke sini, sekarang juga!”

Setelah memberi perintah dan marah-marah, pengantin pria ini kembali masuk ke ruangan dalam kelenteng itu. Yang dipanggil Theng-kauwsu (Guru Silat Theng) adalah seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh tahun, berperawakan tinggi besar dan tegap.

Begitu mendengar perintah dari pengantin pria, dia segera memimpin anak buahnya untuk membersihkan tandu dari noda darah. Setelah joli itu bersih, rombongan yang tadi mengantar pengantin wanita segera melakukan perjalanan cepat, kembali ke kota Ci-bun. Kini rombongan dikawal oleh Theng-kauwsu dan limabelas orang anak buahnya yang semua berpakaian seperti jago-jago silat.

Para penonton menjadi gempar. Mereka membicarakan peristiwa aneh itu, akan tetapi tentu saja tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani mencela sikap pengantin pria secara berterang. Pengantin pria itu adalah Bhong-kongcu (Tuan Muda Bhong) putera seorang hartawan besar di Lan-hui yang amat berpengaruh karena bukan saja dengan harta bendanya dia berhubungan erat dengan para pembesar, juga terutama sekali karena seorang pamannya menjabat kedudukan tinggi di kota raja!

“Kasihan sekali keluarga Siok, akan habislah bunga setaman, dipetik semua oleh tangan raja muda kota Lan-hui,” kata seorang penonton dengan berbisik kepada kawannya.

Di antara para penonton terdapat seorang kakek tua yang tadi datang bersama seorang pemuda. Baik kakek maupun pemuda itu agaknya merupakan orang-orang yang biasa disebut dengan poyokan 'kutu buku', yaitu orang-orang yang tekun menyenangi dan mempelajari kesusastraan di waktu itu. Hal ini tidak saja tampak dari cara mereka berpakaian, akan tetapi juga dari sikap dan gerak-gerik mereka yang halus.

Seperti juga orang-orang lain yang berada di depan kelenteng, kakek dan pemuda itu tadi juga melihat pengantin wanita yang telah menjadi mayat di dalam tandu dari mereka saling pandang dengan sinar mata heran dan penasaran. Kemudian, setelah mendengarkan ucapan-ucapan para penonton, lalu mendengar pula ucapan pengantin pria dan melihat sikapnya yang angkuh dan keras, diam-diam kakek itu menyentuh lengan pemuda itu, lalu keduanya meninggalkan tempat itu.

Kota Ci-bun hanya sembilan mil jauhnya dari kota Lan-hui, akan tetapi betapapun cepatnya orang berjalan, sedikitnya satu jam baru dapat sampai di kota itu. Akan tetapi, suatu keanehan terjadi. Lama sebelum rombongan Theng-kauwsu tiba di Ci-bun, kakek dan pemuda tadi telah lama berada di rumah keluarga Siok dan bercakap-cakap dengan Siok Kan, ayah pengantin wanita yang mati dalam tandu tadi!

Keluarga Siok terdiri dari Siok Kan yang berusia sekitar empatpuluh tahun lebih. Dia sudah kehilangan isterinya yang meninggal dunia dua tahun lalu dan dia hidup bertiga dengan dua orang anak perempuannya, yaitu Siok Li yang telah membunuh diri dalam tandu dan Siok Eng. Mereka ini merupakan anak kedua dan ketiga maka disebut Ji-siocia dan Sam-siocia. Adapun puteri sulungnya telah menikah dengan seorang yang tinggal di sebuah kota di Propinsi San-thung.

Kedatangan kakek dan pemuda itu disambut oleh Siok Kan dan puteri bungsunya, Siok Eng. Gadis berusia limabelas tahun itu menangis tersedu-sedu ketika mendengar bahwa encinya telah membunuh diri dalam tandu. Siok Eng adalah seorang gadis remaja yang cantik manis, dan melihat gadis ini menangis tersedu-sedu, pemuda yang datang bersama kakek itu merasa terharu.

Siok Kan menjadi pucat sekali wajahnya mendengar akan kematian puterinya yang kedua, dan tidak tahulah dia apa yang harus dia lakukan ketika mendengar betapa Bhong-kongcu marah-marah dan hendak memaksa Siok Eng menjadi pengganti encinya yang membunuh diri.

“Harap jangan takut dan bingung, Siok-sianseng (Tuan Siok),” kata kakek itu dengan sikap tenang. “Kami sengaja datang ke sini bukan hanya untuk menyampaikan berita duka ini, akan tetapi kami juga ingin menolong keluargamu. Sekarang masih banyak waktu karena mereka yang hendak menjemput puterimu masih jauh. Harap engkau suka menceritakan kepada kami mengapa engkau menyerahkan puterimu kepada Bhong-kongcu sehingga puterimu itu membunuh diri.”

Siok Kan tidak dapat menahan kesedihannya dan bercucuranlah air matanya. Setelah dapat menenangkan diri dan menghentikan tangisnya, dia berkata,

“Apa yang dapat kami lakukan? Kami keluarga miskin, dan satu-satunya yang dapat kami andalkan, hanyalah anak sulung dan mantu kami yang berada jauh di Shan-tung. Apalagi ketika isteriku sakit, sebelum meninggal dua tahun yang lalu, ia membutuhkan perawatan selama beberapa tahun sehingga terpaksa aku tenggelam dalam lautan hutang. Sawah habis terjual, rumah pun digadaikan dan akhirnya kami terjatuh ke dalam cengkeraman Bhong-kongcu. Aku pasti akan dituntut dan masuk penjara kalau aku tidak mau menyerahkan Siok Li sebagai selirnya, karena hutangku amat banyak dan semua surat hutang itu sudah jatuh ke dalam tangannya. Kalau sampai aku dihukum, bagiku sendiri tidak apa-apa, akan tetapi bagaimana dengan anak-anakku yang tidak berdaya? Mereka tentu akan diganggu orang kalau tidak ada aku di samping mereka.”

Kakek itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan pemuda yang pendiam dan tampan itu sebentar-sebentar melirik ke arah Siok Eng yang menangis terisak-isak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.

“Karena itulah maka aku tidak berdaya menolak ketika Bhong-kongcu melamar Siok Li. Di depanku Siok Li menyatakan rela berkorban demi keselamatan keluarganya. Tidak tahunya anak itu... anak itu mengambil jalan nekat... dan sekarang... sekarang Bhong-kongcu hendak merampas Siok Eng pula...”

Siok Kan menangis, kemudian tiba-tiba dia bangkit berdiri, mengepalkan tinjunya dan berseru. “Tidak bisa! Tidak boleh dia bertindak sewenang-wenang. Aku akan mempertahankan puteri bungsuku dan akan melawan sampai mati!” Kemudian dia menubruk dan merangkul puterinya yang tinggal seorang lagi itu. Ayah dan anak bertangisan dalam keadaan yang memilukan.

“Siok-sianseng, harap tenang dan jangan putus asa. Ada kami di sini yang akan menolong. Percayalah, si jahat itu pasti akan menemui kegagalan dan kehancuran, dan puterimu yang telah membunuh diri pasti akan dapat terbalas sakit hatinya,” kata kakek itu dengan suara lembut.

Siok Kan memandang kepada tamunya dengan mata merah dan basah, akan tetapi muncul harapan dalam pandang matanya. “Bagaimana kami dapat menghadapi Bhong-kongcu yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya itu? Kaki-tangannya banyak dan terkenal kejam, semua pembesar setempat adalah sahabat baiknya dan...”

“Serahkan saja kepada kami,” kakek itu memotong. “Nanti kalau mereka datang, sambutlah baik-baik dan terima saja permintaan mereka. Akan tetapi minta agar tandu dibawa masuk ke dalam kamar, katakan bahwa Sam-siocia masih terlalu muda dan pemalu sehingga tidak mau terlihat orang lain. Setelah puterimu memasuki tandu, baru boleh digotong keluar dengan tirai tertutup rapat.”

Kakek itu lalu bicara panjang lebar mengatur siasat yang didengarkan oleh Siok Kan dan puterinya dengan hati berdebar tegang. Dalam hatinya Siok Kan masih merasa ragu, akan tetapi karena semua itu dilakukan untuk menyelamatkan puteri bungsunya, dia menyatakan setuju. Siasat telah diatur dan mereka sudah siap menyambut datangnya rombongan utusan Bhong-kongcu.