Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

05: PENGGANTI PENGANTIN BUNUH DIRI

Rombongan itu tiba dibawah pimpinan Theng-kauwsu yang galak dan bersikap garang. Kedatangannya disambut oleh Siok Kan yang sudah mengatur sikap dan pura-pura tidak tahu apa maksud kedatangan rombongan itu.

“Siok-sianseng, Bhong-kongcu mengutus kami untuk memboyong Sam-siocia ke Lan-hui Hendaknya Sianseng ketahui bahwa Ji-siocia telah melakukan perbuatan yang menghina Bhong-kongcu dan mengacaukan upacara pernikahan. Ji-siocia telah membunuh diri di tengah perjalanan di dalam jolinya.”

Siok Kan mengeluarkan seruan kaget dan wajahnya menjadi pucat. Ini bukan hanya aksi berpura-pura belaka, karena memang sewajarnya. Mendengar ucapan tukang pukul she Theng itu, Siok Kan teringat kembali kepada Siok Li yang membunuh diri dan kedukaannya timbul kembali, membuat wajahnya tampak pucat dan sedih sekali.

“Anakku membunuh diri karena dipaksa menikah, bagaimana Bhong-kongcu bisa marah kepadaku? Apa orang mengira aku tidak sedih kehilangan seorang anak?”

Betapapun juga Theng-kauwsu dapat menerima dan mengerti perasaan ayah yang kematian anaknya ini, maka sikapnya yang keras menjadi agak lunak. Bagaimanapun juga dia harus membela kepentingan Bhong-kongcu.

“Bhong-kongcu tidak marah kepadamu, Siok-sianseng. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa akan malunya Bhong-kongcu kalau pernikahannya dibatalkan. Semua tamu undangan sudah datang, tamu pembesar-pembesar berbagai kota. Oleh karena itu, untuk menolong dan menjaga nama baik Bhong-kongcu, dan untuk menjaga agar hubungan baik antara keluarga Siok dan keluarga Bhong tidak terganggu, Bhong-kongcu mengutus kami datang ke sini untuk memboyong Sam-siocia ke Lan-hui. Ia harus menggantikan kedudukan Ji-siocia dan melangsungkan pernikahan dengan Bhong-kongcu!”

Siok Kan mengangguk-angguk, kemudian berkata lirih. “Kedatanganmu ini tentu sudah membawa pesan bahwa kalau kami menolak, engkau akan membawa puteri bungsuku itu dengan paksa, bukan?”

Wajah Theng-kauwsu memerah. “Siok-sianseng, harap diingat bahwa aku hanyalah utusan yang menjalankan perintah majikanku. Dan harap diingat pula bahwa Bhong-kongcu pada saat ini sudah menunggu dengan tidak sabar lagi bersama para tamu yang memenuhi kelenteng Kwan Im Bio di Lan-hui, juga yang memenuhi ruangan gedung keluarga Bhong. Kuharap engkau tidak begitu bodoh untuk menolak yang hanya akan berakibat buruk bagi engkau dan puterimu.”

Siok Kun mengangguk-angguk dan terbatuk-batuk, kemudian dia menghela napas panjang. “Baiklah, baiklah, apa dayaku? Harap kalian suka menunggu sebentar. Biar aku memberitahu kepada puteri bungsuku supaya ia mempersiapkan diri untuk ikut ke Lan-hui dan membujuknya agar ia… agar ia menurut saja dan jangan... mencontoh kenekatan encinya...”

Siok Kan meninggalkan tamu-tamunya memasuki ruangan belakang. Tidak lama kemudian dia keluar lagi dan berkata kepada Theng-kauwsu.

“Anakku yang bungsu terlalu sedih mendengar akan kematian encinya dan ia terus-terusan menangis. Baiknya aku dapat membujuknya dan ia bersedia menggantikan tempat encinya. Akan tetapi ia tidak mau diajak keluar dan minta supaya jolinya dibawa masuk ke dalam kamarnya. Setelah ia nanti siap dan masuk ke dalam joli yang tirainya tertutup rapat, barulah joli digotong keluar dan berangkat ke Lan-hui. Harap Kauwsu memenuhi permintaannya ini. Maklumlah, ia baru berusia limabelas tahun, belum dewasa benar dan ia sedang berduka. Ia malu kalau dilihat orang lain sebagai seorang pengantin.”

Theng-kauwsu tidak menaruh curiga karena menganggap hal itu sudah sewajarnya, bahkan diam-diam dia merasa kasihan kepada keluarga Siok ini.

“Baiklah kalau begitu. Harap saja jangan terlalu lama berkemas.” Dia lalu menyuruh empat orang pemikul tandu membawa masuk tandu itu ke dalam rumah, langsung ke kamar calon pengantin wanita.

Empat orang pemikul tandu itu melihat Siok Eng masih menangis tersedu-sedu dalam kamarnya, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Diam-diam mereka kagum melihat kecantikan gadis remaja itu yang masih tampak walau kedua tangannya menutupi muka. Mereka menurunkan joli dan meninggalkan kamar itu dan akan diberitahu setelah persiapan selesai dan pengantin sudah berada dalam joli. Tidak lama kemudian, dengan wajah muram dan sedih Siok Kan keluar menemui para tamunya dan berkata. “Anakku sudah siap di dalam joli. Theng-kauwsu, aku menyerahkan puteriku ke dalam tanganmu untuk kaubawa ke Lan-hui. Aku percaya bahwa engkau akan menjaganya baik-baik dan tidak memperkenankan siapapun juga membuka tirai joli. Biarlah tangan Bhong-kongcu sendiri yang akan membuka tirai joli.”

Theng-kauwsu cepat menjura dan wajahnya gembira sekali. “Tentu saja, Siok-sianseng, jangan khawatir.”

Dia lalu menyuruh empat orang pemikul joli menggotong joli yang kini sudah terisi itu. Mereka masuk diantar oleh Siok Kan dan tak lama kemudian keluarlah mereka memikul joli pengantin.

“Theng-kauwsu, anakku tinggal yang seorang ini. Harap engkau menjaganya baik-baik. Aku rela anakku menjadi isteri Bhong-kongcu walaupun hanya selir, akan tetapi aku tidak rela kalau sampai anakku diganggu orang di tengah perjalanan.”

Theng-kauwsu tertawa bergelak dan meraba gagang pedangnya, sikapnya sombong sekali. “Ha-ha-ha, Siok-sianseng. Mengapa masih ragu? Andaikata ada orang yang begitu buta dan tuli sehingga berani mengganggu puterimu, kiranya dia tidak buta kalau berhadapan dengan aku dan mengenal siapa yang mengawal puterimu! Kepalan tanganku cukup besar dan pedangku cukup tajam. Kepalan tangan ini yang akan menghancurkan tangan yang berani menyentuh joli, dan pedangku akan memenggal leher orang yang berani mengganggu Sam-siocia, ha-ha-ha!”

“Syukurlah kalau begitu, Theng-kauwsu. Nah, selamat jalan, jagalah anakku baik-baik. Kelak kalau anakku mendapat tempat yang baik di gedung keluarga Bhong, kami tidak akan melupakan jasamu.”

Bukan main girangnya Theng-kauwsu dan setelah berkali-kali mengucapkan terima kasih, pengawal ini lalu mengiringkan joli pengantin yang digotong keluar. Setelah rombongan pengantin pergi jauh, kira-kira sudah keluar dari pintu gerbang kota, Siok Kan lalu menemui pemuda tampan yang datang bersama kakek itu. Sejak tadi pemuda itu memang berada di ruangan belakang.

“Bagaimana selanjutnya, Sicu (orang gagah)?” Siok Kan bertanya.

“Sekarang marilah aku antarkan Paman Siok bersama Nona Siok keluar dari kota ini dan lari mengungsi ke Shan-tung mencari anak dan mantu Paman di sana,” jawab pemuda itu dengan sikap tenang.

“Akan tetapi, Sicu, bagaimana kalau mereka tahu? Bagaimana dengan nasib gurumu? Bagaimana pula kalau mereka mengejar dan menyusul kita? Bukankah itu berarti kita semua mencari mati?”

Pemuda itu tersenyum. “Harap Paman jangan khawatir. Percayalah kepada Suhu. Adapun tentang keselamatan Paman dan Nona Siok Eng, akulah yang akan menjaga dan bertanggung-jawab kalau ada yang mengganggu.”

“Bagaimana dengan rumah kami ini? Ditinggal begitu sajakah? Dan bagaimana dengan... jenazah Siok Li anakku? Ah... aku bingung sekali...”

“Paman, yang sudah meninggal tidak perlu dipikirkan. Yang lebih penting adalah menyelamatkan diri Paman sendiri dan puteri Paman. Cepatlah berkemas, dan Nona Siok Eng sebaiknya menyamar sebagai pria agar lebih leluasa melakukan perjalanan jauh. Bawa saja barang yang ringkas dan berharga, yang lain-lain titipkan dulu kepada tetangga yang baik. Akan tetapi jangan sekali-sekali mengatakan ke mana Paman hendak pergi.”

Demikianlah, dalam keadaan tergesa-gesa Siok Kan dan Siok Eng berkemas, kemudian berangkatlah mereka bertiga meninggalkan kota Ci-bun.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Kita tinggalkan dulu perjalanan tiga orang itu dan marilah kita mengikuti rombongan pengantin wanita yang diarak dengan joli dari kota Ci-bun menuju kota Lan-hui. Kalau Siok Eng ternyata masih berada di rumah, bahkan kemudian melarikan diri bersama ayahnya dan pemuda itu, lalu siapakah yang duduk di dalam joli?

Kita ikuti saja perjalanan rombongan itu. Setelah tiba di kota Lan-hui, mereka disambut oleh rombongan pemain musik dan rombongan pengantin ini diarak dengan gembira menuju kelenteng Kwan Im Bio di kota Lan-hui.

Theng-kauwsu mendahului rombongan, berjalan dengan gagahnya, kemudian dia menemui Bhong-kongcu yang sudah menanti dengan tidak sabar. Pemuda kaya raya ini beberapa kali menyeka keringat dingin membayangkan akan betapa malunya kalau sampai pernikahan itu dibatalkan. Untuk mengaku bahwa pengantin wanita membunuh diri akan lebih memalukan lagi karena hal ini pasti akan mendatangkan kesan buruk bagi namanya.

Oleh karena itu, sejak tadi dia sudah menyuruh orang-orangnya menyebar berita bahwa pengantin wanita membunuh diri bukan karena dipaksa menikah, melainkan karena gadis itu menyimpan rahasia busuk dan ia membunuh diri karena takut dan malu kalau rahasianya diketahui suami setelah menikah nanti!

Kini harapan satu-satunya hanya tinggal mengharapkan agar Siok Eng, gadis bungsu keluarga Siok yang tidak kalah cantiknya dibandingkan encinya walaupun masih remaja, mau dengan suka rela menjadi selirnya, menggantikan encinya. Bagi Bhong-kongcu tidak ada ruginya karena Siok Eng memang tidak kalah cantiknya dibandingkan mendiang Siok Li.

Maka, dapat dibayangkan betapa girang dan bangganya ketika Theng-kauwsu datang dan menjura kepadanya lalu berkata, “Kiong-hi (selamat), Bhong-kongcu. Semua berjalan lancar sekali berkat keberhasilanku membujuk Siok-sianseng. Dia menyerahkan puterinya yang cantik molek itu kepada Kongcu dengan suka rela!”

Bhong-kongcu menepuk-nepuk pundak Theng-kauwsu dan memujinya, bahkan mengeluarkan kata-kata yang sifatnya menjanjikan hadiah besar. Kemudian dengan langkah lebar dia keluar menyambut datangnya joli di pekarangan depan kelenteng Kwan Im Bio.

“Bhong-kongcu, sambutlah Nona Pengantin!” kata Theng-kauwsu yang lupa akan tata susila saking girang dan bangganya.

Bhong-kongcu terkenal seorang pemuda mata keranjang. Tanpa mengenal malu, pemuda itu seperti tadi ketika menyambut Siok Li, melangkah lebar, cengar-cengir menjemukan dan tangannya menyingkap tirai joli. Untuk kedua kalinya, pemuda kaya raya yang suka mempermainkan gadis-gadis miskin itu menjadi pucat sekali. Akan tetapi kali ini tidak hanya pucat, bahkan tubuhnya tiba-tiba saja terlempar ke belakang dibarengi pekikannya.

“Aduuhhh...!”

Ketika orang-orang memandang ternyata pemuda mata keranjang itu sudah terbanting di atas lantai depan kelenteng dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Dari hidung dan mulutnya keluar darah! Untuk kedua kalinya keadaan di situ menjadi geger. Kini lebih hebat daripada tadi. Banyak di antara para tamu dan penonton melarikan diri.

“Pembunuhan...! Pembunuhan...!”

“Bhong-kongcu terbunuh!”

“Pengantin perempuan menjadi pembunuh!”

Demikianlah teriakan-teriakan yang simpang siur. Memang tadi ketika Bhong-kongcu menyingkap tirai, orang-orang belum sempat melihat ke dalam joli, tahu-tahu tubuh Bhong-kongcu sudah terlempar ke belakang dan terus mati. Akan tetapi, orang seperti Theng-kauwsu yang menjadi ahli silat dan sudah mempunyai banyak pengalaman, dalam sekelebatan saja tadi dapat melihat betapa sebuah tangan bergerak keluar dari tirai joli dan dengan amat cepatnya menghantam dada Bhong-kongcu.

“Keparat! Siapa berani main gila di sini?” Theng-kauwsu membentak dan dia melompat maju sambil mencabut pedangnya.

Untuk kota Lan-hui, nama Theng-kauwsu sudah amat terkenal sebagai seorang jagoan yang tiada tandingnya, ilmu silatnya amat tinggi, terutama sekali ilmu pedangnya yang ditakuti semua orang di Lan-hui. Banyak sudah jago silat yang roboh oleh pedang di tangan Theng-kauwsu. Maka melihat jago silat itu mencabut pedangnya yang berkilauan, orang menduga bahwa pembunuh dalam joli itu pasti akan tertangkap.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa aneh dan tirai joli itu tersingkap dari dalam! Semua orang berseru kaget dan heran ketika melihat siapa yang keluar dari dalam joli itu. Sama sekali bukan seorang gadis cantik jelita berpakaian pengantin, melainkan seorang kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua! Kakek ini menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan seperti seorang yang baru bangun tidur, lalu berkata,

“Aahh, enak-enak tidur di dalam joli dan diayun-ayun sepanjang jalan, tahu-tahu dihentikan di sini!” Dia memandang ke depan dan melihat meja-meja yang penuh hidangan, matanya dilebarkan. “Aha, ada perjamuan? Perayaan pernikahan? Wah, bagus. Aku harus mencicipi enaknya arak pengantin, ha-ha-ha!”

Dia melangkah maju ke arah ruangan yang dipenuhi tamu yang menghadap meja-meja di mana terdapat arak dan hidangan makanan.

“Bangsat! Pembunuh keparat, berani engkau main gila di sini? Tua bangka bosan hidup!” Theng-kauwsu melompat dengan marah sekali.

Bhong-kongcu dibunuh kakek ini dan dia merasa bersalah karena tadi dia lengah dan tertipu, tidak memeriksa lebih dulu siapa yang berada di dalam joli sebelum diangkut ke kelenteng. Maka kini dia menyerang dengan marah. Pedangnya menyambar dengan jurus Hu-in-toan-san (Awan Melintang Memotong Bukit), berubah menjadi sinar meluncur ke arah leher kakek itu. Kalau serangan dahsyat ini mengenai sasaran, tentu kepala kakek itu akan terpisah dari tubuhnya.

Akan tetapi kakek itu tampak tenang saja. Biarpun dia diserang dari samping kiri, dia sama sekali tidak memutar tubuh, seakan-akan tidak melihat datangnya sambaran pedang. Dia hanya menggerakkan tangan kirinya yang hampir tertutup oleh lengan baju yang panjang, digerakkan ke kiri menangkis pedang sambil berkata,

“Sayang banyak lalat di sini!”

Ucapan ini disusul bunyi nyaring berdentang ketika pedang yang menyerang kakek itu terlepas dari tangan Theng-kauwsu dan terlempar ke atas lantai!

Ketika ujung lengan baju kakek itu menangkis pedang, Theng-kauwsu merasa betapa tangannya tergetar hebat sehingga dia tidak mampu mempertahankan pedangnya yang terlepas dari tangannya dan dia sendiri terhuyung ke belakang sampai lima langkah. Muka guru silat yang menjadi kepala pengawal Bhong-kongcu itu berubah pucat sekali.

Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat tangan kanannya yang tadi memegang pedang, kini telah rusak. Ibu jarinya remuk dan buku-buku jari yang lain patah-patah. Kiranya ujung lengan baju kakek itu tadi telah menghantam dan meremukkan tangan kanannya yang tadi memegang pedang!

Seolah tidak terjadi apa-apa, kakek itu berjalan terus menghampiri meja, duduk di atas bangku, menuangkan arak dari guci langsung ke mulutnya. Terdengar suara menggelegak ketika arak yang banyak itu memasuki kerongkongan kakek itu. Setelah guci menjadi kosong, kakek itu menaruh guci di atas meja dan dia mengangguk-angguk puas.

“Hemmm, arak yang enak!” Diambilnya sepasang sumpit, lalu dia memilih masakan daging dan makan dengan enaknya, sama sekali tidak mempedulikan pandang mata para tamu yang masih belum pergi dari situ. Melihat kelihaian kakek itu, para tamu menjadi semakin ketakutan. Dengan perlahan dan tidak berani mengeluarkan suara, mereka lalu pergi meninggalkan ruangan kelenteng.

Kakek itu terus makan minum dengan asyiknya dan dia baru berhenti makan ketika dia mendengar suara ribut-ribut di luar dan dia melihat bahwa kelenteng itu kini telah dikurung oleh puluhan orang perajurit yang dipimpin dua orang perwira bangsa Mongol!

“Hei, kakek pembunuh dan pemberontak! Menyerahlah daripada mampus kami cincang!”

Perwira Mongol yang bertubuh gemuk pendek memaki sambil menudingkan goloknya ke arah kakek yang masih minum sisa arak yang tinggal sedikit di dalam guci kedua. Baru saja perwira Mongol itu menutup mulutnya, dia berseru,

“Celaka!” dan cepat merendahkan tubuhnya dengan gerakan cepat sekali. Rupanya perwira gemuk ini memiliki kepandaian yang lumayan, kalau dia tidak cepat mengelak tentu guci arak kosong yang dilontarkan kakek itu akan mengenai kepalanya yang besar. Guci itu meluncur lewat, menghantam tiang dan pecah berantakan.

“Bunuh dia!” Perwira Mongol kedua yang bertubuh tinggi besar memberi aba-aba dan puluhan orang anak buahnya menyerbu ke dalam ruangan.

Kakek itu masih duduk dan tersenyum mengejek. Ketika belasan ujung golok menyambar dan menyerangnya, barulah dia bergerak dengan cepat sekali, berkelebat dan lenyap dari pandang mata para pengeroyoknya!

“Hei, mana dia?”

“Eh, jangan serang kawan sendiri!”

“Aduh...!”

Ramai dan kacaulah para pengeroyok di sekeliling meja di mana kakek tadi makan minum. Belasan orang yang tadi menyerbu, tiba-tiba kehilangan lawan dan tahu-tahu kakek itu menghantam mereka dari belakang! Beberapa orang tentara roboh malang melintang tak dapat bangun kembali.

“Tangkap dia! Bunuh...!”

Akan tetapi aba-aba dari dua orang perwira Mongol itu berakibat hebat bagi mereka sendiri. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya sehingga yang tampak hanya bayangan yang sukar diikuti pandang mata, kakek itu bergerak ke arah dua orang perwira Mongol dan tiba-tiba keduanya roboh dan tewas!

Hal ini membuat semua perajurit yang mengeroyok menjadi terkejut sekali dan gentar. Kini kakek itu mengambil segenggam kacang dari atas meja, lalu dengan tertawa-tawa dia menyambit-nyambitkan kacang itu ke arah para perajurit sambil berkata,

“Kalian ini anjing-anjing peliharaan penjajah Mongol sungguh menjemukan!”

Kepandaian kakek itu sungguh hebat. Biarpun yang dia sambitkan itu hanya kacang yang sudah digoreng, akan tetapi begitu mengenai para perajurit segera terdengar pekik kesakitan dan beberapa orang dari mereka roboh terguling. Sambitan kacang itu tepat mengenai bagian tubuh yang lemah dan butir-butir kacang itu ketika disambitkan tangan yang memiliki tenaga sakti, meluncur seperti peluru besi!

Pasukan bantuan segera datang ke tempat itu, bahkan kini telah dipersiapkan pasukan panah untuk menangkap atau membunuh kakek yang amat Iihai itu. Akan tetapi ketika pasukan baru itu tiba di pekarangan kelenteng, kakek itu sudah lenyap dan hebatnya, jenazah Siok Li yang tadinya masih berada di dalam kelenteng ikut lenyap bersama kakek itu!

Para pembesar di Lan-hui segera mengerahkan tenaga untuk memburu dan menangkap keluarga Siok di Ci-bun, akan tetapi mereka mendapatkan rumah keluarga Siok telah kosong dan tak seorang pun mengetahui ke mana perginya Kakek Siok beserta puteri bungsunya. Juga kakek lihai yang mengamuk di kelenteng Kwan Im Bio di Lan-hui itu tidak muncul lagi dan tidak dapat ditemukan sungguhpun sudah dicari oleh pasukan yang dikerahkan para pembesar Mongol...

Pendekar Tanpa Bayangan Jilid 05

05: PENGGANTI PENGANTIN BUNUH DIRI

Rombongan itu tiba dibawah pimpinan Theng-kauwsu yang galak dan bersikap garang. Kedatangannya disambut oleh Siok Kan yang sudah mengatur sikap dan pura-pura tidak tahu apa maksud kedatangan rombongan itu.

“Siok-sianseng, Bhong-kongcu mengutus kami untuk memboyong Sam-siocia ke Lan-hui Hendaknya Sianseng ketahui bahwa Ji-siocia telah melakukan perbuatan yang menghina Bhong-kongcu dan mengacaukan upacara pernikahan. Ji-siocia telah membunuh diri di tengah perjalanan di dalam jolinya.”

Siok Kan mengeluarkan seruan kaget dan wajahnya menjadi pucat. Ini bukan hanya aksi berpura-pura belaka, karena memang sewajarnya. Mendengar ucapan tukang pukul she Theng itu, Siok Kan teringat kembali kepada Siok Li yang membunuh diri dan kedukaannya timbul kembali, membuat wajahnya tampak pucat dan sedih sekali.

“Anakku membunuh diri karena dipaksa menikah, bagaimana Bhong-kongcu bisa marah kepadaku? Apa orang mengira aku tidak sedih kehilangan seorang anak?”

Betapapun juga Theng-kauwsu dapat menerima dan mengerti perasaan ayah yang kematian anaknya ini, maka sikapnya yang keras menjadi agak lunak. Bagaimanapun juga dia harus membela kepentingan Bhong-kongcu.

“Bhong-kongcu tidak marah kepadamu, Siok-sianseng. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa akan malunya Bhong-kongcu kalau pernikahannya dibatalkan. Semua tamu undangan sudah datang, tamu pembesar-pembesar berbagai kota. Oleh karena itu, untuk menolong dan menjaga nama baik Bhong-kongcu, dan untuk menjaga agar hubungan baik antara keluarga Siok dan keluarga Bhong tidak terganggu, Bhong-kongcu mengutus kami datang ke sini untuk memboyong Sam-siocia ke Lan-hui. Ia harus menggantikan kedudukan Ji-siocia dan melangsungkan pernikahan dengan Bhong-kongcu!”

Siok Kan mengangguk-angguk, kemudian berkata lirih. “Kedatanganmu ini tentu sudah membawa pesan bahwa kalau kami menolak, engkau akan membawa puteri bungsuku itu dengan paksa, bukan?”

Wajah Theng-kauwsu memerah. “Siok-sianseng, harap diingat bahwa aku hanyalah utusan yang menjalankan perintah majikanku. Dan harap diingat pula bahwa Bhong-kongcu pada saat ini sudah menunggu dengan tidak sabar lagi bersama para tamu yang memenuhi kelenteng Kwan Im Bio di Lan-hui, juga yang memenuhi ruangan gedung keluarga Bhong. Kuharap engkau tidak begitu bodoh untuk menolak yang hanya akan berakibat buruk bagi engkau dan puterimu.”

Siok Kun mengangguk-angguk dan terbatuk-batuk, kemudian dia menghela napas panjang. “Baiklah, baiklah, apa dayaku? Harap kalian suka menunggu sebentar. Biar aku memberitahu kepada puteri bungsuku supaya ia mempersiapkan diri untuk ikut ke Lan-hui dan membujuknya agar ia… agar ia menurut saja dan jangan... mencontoh kenekatan encinya...”

Siok Kan meninggalkan tamu-tamunya memasuki ruangan belakang. Tidak lama kemudian dia keluar lagi dan berkata kepada Theng-kauwsu.

“Anakku yang bungsu terlalu sedih mendengar akan kematian encinya dan ia terus-terusan menangis. Baiknya aku dapat membujuknya dan ia bersedia menggantikan tempat encinya. Akan tetapi ia tidak mau diajak keluar dan minta supaya jolinya dibawa masuk ke dalam kamarnya. Setelah ia nanti siap dan masuk ke dalam joli yang tirainya tertutup rapat, barulah joli digotong keluar dan berangkat ke Lan-hui. Harap Kauwsu memenuhi permintaannya ini. Maklumlah, ia baru berusia limabelas tahun, belum dewasa benar dan ia sedang berduka. Ia malu kalau dilihat orang lain sebagai seorang pengantin.”

Theng-kauwsu tidak menaruh curiga karena menganggap hal itu sudah sewajarnya, bahkan diam-diam dia merasa kasihan kepada keluarga Siok ini.

“Baiklah kalau begitu. Harap saja jangan terlalu lama berkemas.” Dia lalu menyuruh empat orang pemikul tandu membawa masuk tandu itu ke dalam rumah, langsung ke kamar calon pengantin wanita.

Empat orang pemikul tandu itu melihat Siok Eng masih menangis tersedu-sedu dalam kamarnya, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Diam-diam mereka kagum melihat kecantikan gadis remaja itu yang masih tampak walau kedua tangannya menutupi muka. Mereka menurunkan joli dan meninggalkan kamar itu dan akan diberitahu setelah persiapan selesai dan pengantin sudah berada dalam joli. Tidak lama kemudian, dengan wajah muram dan sedih Siok Kan keluar menemui para tamunya dan berkata. “Anakku sudah siap di dalam joli. Theng-kauwsu, aku menyerahkan puteriku ke dalam tanganmu untuk kaubawa ke Lan-hui. Aku percaya bahwa engkau akan menjaganya baik-baik dan tidak memperkenankan siapapun juga membuka tirai joli. Biarlah tangan Bhong-kongcu sendiri yang akan membuka tirai joli.”

Theng-kauwsu cepat menjura dan wajahnya gembira sekali. “Tentu saja, Siok-sianseng, jangan khawatir.”

Dia lalu menyuruh empat orang pemikul joli menggotong joli yang kini sudah terisi itu. Mereka masuk diantar oleh Siok Kan dan tak lama kemudian keluarlah mereka memikul joli pengantin.

“Theng-kauwsu, anakku tinggal yang seorang ini. Harap engkau menjaganya baik-baik. Aku rela anakku menjadi isteri Bhong-kongcu walaupun hanya selir, akan tetapi aku tidak rela kalau sampai anakku diganggu orang di tengah perjalanan.”

Theng-kauwsu tertawa bergelak dan meraba gagang pedangnya, sikapnya sombong sekali. “Ha-ha-ha, Siok-sianseng. Mengapa masih ragu? Andaikata ada orang yang begitu buta dan tuli sehingga berani mengganggu puterimu, kiranya dia tidak buta kalau berhadapan dengan aku dan mengenal siapa yang mengawal puterimu! Kepalan tanganku cukup besar dan pedangku cukup tajam. Kepalan tangan ini yang akan menghancurkan tangan yang berani menyentuh joli, dan pedangku akan memenggal leher orang yang berani mengganggu Sam-siocia, ha-ha-ha!”

“Syukurlah kalau begitu, Theng-kauwsu. Nah, selamat jalan, jagalah anakku baik-baik. Kelak kalau anakku mendapat tempat yang baik di gedung keluarga Bhong, kami tidak akan melupakan jasamu.”

Bukan main girangnya Theng-kauwsu dan setelah berkali-kali mengucapkan terima kasih, pengawal ini lalu mengiringkan joli pengantin yang digotong keluar. Setelah rombongan pengantin pergi jauh, kira-kira sudah keluar dari pintu gerbang kota, Siok Kan lalu menemui pemuda tampan yang datang bersama kakek itu. Sejak tadi pemuda itu memang berada di ruangan belakang.

“Bagaimana selanjutnya, Sicu (orang gagah)?” Siok Kan bertanya.

“Sekarang marilah aku antarkan Paman Siok bersama Nona Siok keluar dari kota ini dan lari mengungsi ke Shan-tung mencari anak dan mantu Paman di sana,” jawab pemuda itu dengan sikap tenang.

“Akan tetapi, Sicu, bagaimana kalau mereka tahu? Bagaimana dengan nasib gurumu? Bagaimana pula kalau mereka mengejar dan menyusul kita? Bukankah itu berarti kita semua mencari mati?”

Pemuda itu tersenyum. “Harap Paman jangan khawatir. Percayalah kepada Suhu. Adapun tentang keselamatan Paman dan Nona Siok Eng, akulah yang akan menjaga dan bertanggung-jawab kalau ada yang mengganggu.”

“Bagaimana dengan rumah kami ini? Ditinggal begitu sajakah? Dan bagaimana dengan... jenazah Siok Li anakku? Ah... aku bingung sekali...”

“Paman, yang sudah meninggal tidak perlu dipikirkan. Yang lebih penting adalah menyelamatkan diri Paman sendiri dan puteri Paman. Cepatlah berkemas, dan Nona Siok Eng sebaiknya menyamar sebagai pria agar lebih leluasa melakukan perjalanan jauh. Bawa saja barang yang ringkas dan berharga, yang lain-lain titipkan dulu kepada tetangga yang baik. Akan tetapi jangan sekali-sekali mengatakan ke mana Paman hendak pergi.”

Demikianlah, dalam keadaan tergesa-gesa Siok Kan dan Siok Eng berkemas, kemudian berangkatlah mereka bertiga meninggalkan kota Ci-bun.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Kita tinggalkan dulu perjalanan tiga orang itu dan marilah kita mengikuti rombongan pengantin wanita yang diarak dengan joli dari kota Ci-bun menuju kota Lan-hui. Kalau Siok Eng ternyata masih berada di rumah, bahkan kemudian melarikan diri bersama ayahnya dan pemuda itu, lalu siapakah yang duduk di dalam joli?

Kita ikuti saja perjalanan rombongan itu. Setelah tiba di kota Lan-hui, mereka disambut oleh rombongan pemain musik dan rombongan pengantin ini diarak dengan gembira menuju kelenteng Kwan Im Bio di kota Lan-hui.

Theng-kauwsu mendahului rombongan, berjalan dengan gagahnya, kemudian dia menemui Bhong-kongcu yang sudah menanti dengan tidak sabar. Pemuda kaya raya ini beberapa kali menyeka keringat dingin membayangkan akan betapa malunya kalau sampai pernikahan itu dibatalkan. Untuk mengaku bahwa pengantin wanita membunuh diri akan lebih memalukan lagi karena hal ini pasti akan mendatangkan kesan buruk bagi namanya.

Oleh karena itu, sejak tadi dia sudah menyuruh orang-orangnya menyebar berita bahwa pengantin wanita membunuh diri bukan karena dipaksa menikah, melainkan karena gadis itu menyimpan rahasia busuk dan ia membunuh diri karena takut dan malu kalau rahasianya diketahui suami setelah menikah nanti!

Kini harapan satu-satunya hanya tinggal mengharapkan agar Siok Eng, gadis bungsu keluarga Siok yang tidak kalah cantiknya dibandingkan encinya walaupun masih remaja, mau dengan suka rela menjadi selirnya, menggantikan encinya. Bagi Bhong-kongcu tidak ada ruginya karena Siok Eng memang tidak kalah cantiknya dibandingkan mendiang Siok Li.

Maka, dapat dibayangkan betapa girang dan bangganya ketika Theng-kauwsu datang dan menjura kepadanya lalu berkata, “Kiong-hi (selamat), Bhong-kongcu. Semua berjalan lancar sekali berkat keberhasilanku membujuk Siok-sianseng. Dia menyerahkan puterinya yang cantik molek itu kepada Kongcu dengan suka rela!”

Bhong-kongcu menepuk-nepuk pundak Theng-kauwsu dan memujinya, bahkan mengeluarkan kata-kata yang sifatnya menjanjikan hadiah besar. Kemudian dengan langkah lebar dia keluar menyambut datangnya joli di pekarangan depan kelenteng Kwan Im Bio.

“Bhong-kongcu, sambutlah Nona Pengantin!” kata Theng-kauwsu yang lupa akan tata susila saking girang dan bangganya.

Bhong-kongcu terkenal seorang pemuda mata keranjang. Tanpa mengenal malu, pemuda itu seperti tadi ketika menyambut Siok Li, melangkah lebar, cengar-cengir menjemukan dan tangannya menyingkap tirai joli. Untuk kedua kalinya, pemuda kaya raya yang suka mempermainkan gadis-gadis miskin itu menjadi pucat sekali. Akan tetapi kali ini tidak hanya pucat, bahkan tubuhnya tiba-tiba saja terlempar ke belakang dibarengi pekikannya.

“Aduuhhh...!”

Ketika orang-orang memandang ternyata pemuda mata keranjang itu sudah terbanting di atas lantai depan kelenteng dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Dari hidung dan mulutnya keluar darah! Untuk kedua kalinya keadaan di situ menjadi geger. Kini lebih hebat daripada tadi. Banyak di antara para tamu dan penonton melarikan diri.

“Pembunuhan...! Pembunuhan...!”

“Bhong-kongcu terbunuh!”

“Pengantin perempuan menjadi pembunuh!”

Demikianlah teriakan-teriakan yang simpang siur. Memang tadi ketika Bhong-kongcu menyingkap tirai, orang-orang belum sempat melihat ke dalam joli, tahu-tahu tubuh Bhong-kongcu sudah terlempar ke belakang dan terus mati. Akan tetapi, orang seperti Theng-kauwsu yang menjadi ahli silat dan sudah mempunyai banyak pengalaman, dalam sekelebatan saja tadi dapat melihat betapa sebuah tangan bergerak keluar dari tirai joli dan dengan amat cepatnya menghantam dada Bhong-kongcu.

“Keparat! Siapa berani main gila di sini?” Theng-kauwsu membentak dan dia melompat maju sambil mencabut pedangnya.

Untuk kota Lan-hui, nama Theng-kauwsu sudah amat terkenal sebagai seorang jagoan yang tiada tandingnya, ilmu silatnya amat tinggi, terutama sekali ilmu pedangnya yang ditakuti semua orang di Lan-hui. Banyak sudah jago silat yang roboh oleh pedang di tangan Theng-kauwsu. Maka melihat jago silat itu mencabut pedangnya yang berkilauan, orang menduga bahwa pembunuh dalam joli itu pasti akan tertangkap.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa aneh dan tirai joli itu tersingkap dari dalam! Semua orang berseru kaget dan heran ketika melihat siapa yang keluar dari dalam joli itu. Sama sekali bukan seorang gadis cantik jelita berpakaian pengantin, melainkan seorang kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua! Kakek ini menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan seperti seorang yang baru bangun tidur, lalu berkata,

“Aahh, enak-enak tidur di dalam joli dan diayun-ayun sepanjang jalan, tahu-tahu dihentikan di sini!” Dia memandang ke depan dan melihat meja-meja yang penuh hidangan, matanya dilebarkan. “Aha, ada perjamuan? Perayaan pernikahan? Wah, bagus. Aku harus mencicipi enaknya arak pengantin, ha-ha-ha!”

Dia melangkah maju ke arah ruangan yang dipenuhi tamu yang menghadap meja-meja di mana terdapat arak dan hidangan makanan.

“Bangsat! Pembunuh keparat, berani engkau main gila di sini? Tua bangka bosan hidup!” Theng-kauwsu melompat dengan marah sekali.

Bhong-kongcu dibunuh kakek ini dan dia merasa bersalah karena tadi dia lengah dan tertipu, tidak memeriksa lebih dulu siapa yang berada di dalam joli sebelum diangkut ke kelenteng. Maka kini dia menyerang dengan marah. Pedangnya menyambar dengan jurus Hu-in-toan-san (Awan Melintang Memotong Bukit), berubah menjadi sinar meluncur ke arah leher kakek itu. Kalau serangan dahsyat ini mengenai sasaran, tentu kepala kakek itu akan terpisah dari tubuhnya.

Akan tetapi kakek itu tampak tenang saja. Biarpun dia diserang dari samping kiri, dia sama sekali tidak memutar tubuh, seakan-akan tidak melihat datangnya sambaran pedang. Dia hanya menggerakkan tangan kirinya yang hampir tertutup oleh lengan baju yang panjang, digerakkan ke kiri menangkis pedang sambil berkata,

“Sayang banyak lalat di sini!”

Ucapan ini disusul bunyi nyaring berdentang ketika pedang yang menyerang kakek itu terlepas dari tangan Theng-kauwsu dan terlempar ke atas lantai!

Ketika ujung lengan baju kakek itu menangkis pedang, Theng-kauwsu merasa betapa tangannya tergetar hebat sehingga dia tidak mampu mempertahankan pedangnya yang terlepas dari tangannya dan dia sendiri terhuyung ke belakang sampai lima langkah. Muka guru silat yang menjadi kepala pengawal Bhong-kongcu itu berubah pucat sekali.

Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat tangan kanannya yang tadi memegang pedang, kini telah rusak. Ibu jarinya remuk dan buku-buku jari yang lain patah-patah. Kiranya ujung lengan baju kakek itu tadi telah menghantam dan meremukkan tangan kanannya yang tadi memegang pedang!

Seolah tidak terjadi apa-apa, kakek itu berjalan terus menghampiri meja, duduk di atas bangku, menuangkan arak dari guci langsung ke mulutnya. Terdengar suara menggelegak ketika arak yang banyak itu memasuki kerongkongan kakek itu. Setelah guci menjadi kosong, kakek itu menaruh guci di atas meja dan dia mengangguk-angguk puas.

“Hemmm, arak yang enak!” Diambilnya sepasang sumpit, lalu dia memilih masakan daging dan makan dengan enaknya, sama sekali tidak mempedulikan pandang mata para tamu yang masih belum pergi dari situ. Melihat kelihaian kakek itu, para tamu menjadi semakin ketakutan. Dengan perlahan dan tidak berani mengeluarkan suara, mereka lalu pergi meninggalkan ruangan kelenteng.

Kakek itu terus makan minum dengan asyiknya dan dia baru berhenti makan ketika dia mendengar suara ribut-ribut di luar dan dia melihat bahwa kelenteng itu kini telah dikurung oleh puluhan orang perajurit yang dipimpin dua orang perwira bangsa Mongol!

“Hei, kakek pembunuh dan pemberontak! Menyerahlah daripada mampus kami cincang!”

Perwira Mongol yang bertubuh gemuk pendek memaki sambil menudingkan goloknya ke arah kakek yang masih minum sisa arak yang tinggal sedikit di dalam guci kedua. Baru saja perwira Mongol itu menutup mulutnya, dia berseru,

“Celaka!” dan cepat merendahkan tubuhnya dengan gerakan cepat sekali. Rupanya perwira gemuk ini memiliki kepandaian yang lumayan, kalau dia tidak cepat mengelak tentu guci arak kosong yang dilontarkan kakek itu akan mengenai kepalanya yang besar. Guci itu meluncur lewat, menghantam tiang dan pecah berantakan.

“Bunuh dia!” Perwira Mongol kedua yang bertubuh tinggi besar memberi aba-aba dan puluhan orang anak buahnya menyerbu ke dalam ruangan.

Kakek itu masih duduk dan tersenyum mengejek. Ketika belasan ujung golok menyambar dan menyerangnya, barulah dia bergerak dengan cepat sekali, berkelebat dan lenyap dari pandang mata para pengeroyoknya!

“Hei, mana dia?”

“Eh, jangan serang kawan sendiri!”

“Aduh...!”

Ramai dan kacaulah para pengeroyok di sekeliling meja di mana kakek tadi makan minum. Belasan orang yang tadi menyerbu, tiba-tiba kehilangan lawan dan tahu-tahu kakek itu menghantam mereka dari belakang! Beberapa orang tentara roboh malang melintang tak dapat bangun kembali.

“Tangkap dia! Bunuh...!”

Akan tetapi aba-aba dari dua orang perwira Mongol itu berakibat hebat bagi mereka sendiri. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya sehingga yang tampak hanya bayangan yang sukar diikuti pandang mata, kakek itu bergerak ke arah dua orang perwira Mongol dan tiba-tiba keduanya roboh dan tewas!

Hal ini membuat semua perajurit yang mengeroyok menjadi terkejut sekali dan gentar. Kini kakek itu mengambil segenggam kacang dari atas meja, lalu dengan tertawa-tawa dia menyambit-nyambitkan kacang itu ke arah para perajurit sambil berkata,

“Kalian ini anjing-anjing peliharaan penjajah Mongol sungguh menjemukan!”

Kepandaian kakek itu sungguh hebat. Biarpun yang dia sambitkan itu hanya kacang yang sudah digoreng, akan tetapi begitu mengenai para perajurit segera terdengar pekik kesakitan dan beberapa orang dari mereka roboh terguling. Sambitan kacang itu tepat mengenai bagian tubuh yang lemah dan butir-butir kacang itu ketika disambitkan tangan yang memiliki tenaga sakti, meluncur seperti peluru besi!

Pasukan bantuan segera datang ke tempat itu, bahkan kini telah dipersiapkan pasukan panah untuk menangkap atau membunuh kakek yang amat Iihai itu. Akan tetapi ketika pasukan baru itu tiba di pekarangan kelenteng, kakek itu sudah lenyap dan hebatnya, jenazah Siok Li yang tadinya masih berada di dalam kelenteng ikut lenyap bersama kakek itu!

Para pembesar di Lan-hui segera mengerahkan tenaga untuk memburu dan menangkap keluarga Siok di Ci-bun, akan tetapi mereka mendapatkan rumah keluarga Siok telah kosong dan tak seorang pun mengetahui ke mana perginya Kakek Siok beserta puteri bungsunya. Juga kakek lihai yang mengamuk di kelenteng Kwan Im Bio di Lan-hui itu tidak muncul lagi dan tidak dapat ditemukan sungguhpun sudah dicari oleh pasukan yang dikerahkan para pembesar Mongol...