Kisah Sepasang Naga Jilid 06

Serial jago pedang tak bernama episode kisah sepasang naga jilid 06 karya kho ping hoo

KISAH SEPASANG NAGA JILID 06

Biarpun para para penyerbu telah pergi lama, orang-orang yang telah terbinasa oleh Kang Lam Ciuhiap dalam amukannya tadi. Biarpun para penyerbu telah pergi lama, orang-orang kampung masih belum juga berani keluar dari tempat persembunyian mereka sampai Sin Wan dan Giok Cu datang!

Mendengar betapa lihainya musuh-musuh yang datang, maka Giok Ciu yang cerdik tahu mengapa empek gagah itu sengaja menyuruh Sin Wan pergi, karena kalau pemuda itu berada disitu, tentu takkan terluput dari kematian juga. Ketika orang-orang masih sibuk mengurus semua jenasah dan berkabung, malam hari itu datanglah Kwie Cu Ek ke kampung itu. Ia merasa terkejut sekali ketika Giok Ciu dan Sin Wan berlutut sambil menangis dengan sedih. Orang gagah itu menggertak gigi dan membangunkan kedua anak itu.

“Suma Cianbu, kau binantang kejam! Dan kalian Siauw-San Ngo-Sinto pertapa-pertapa busuk. Perbuatan kalian ini sungguh keterlaluan. Aku Kwie Cu Ek bersumpah hendak mengadu jiwa dengan kalian!”

Hui-Houw Kwie Cu Ek berseru keras dengan muka merah karena marahnya, dan suaranya yang keras menyeramkan penuh hawa marah itu di selingi isak tangis Sin Wan dan Giok Ciu hingga semua orang yang berada disitu tak dapat menahan turunnya air mata mereka. Untuk memudahkan pengurusannya, maka semua jenasah yang berjumlah tujuh belas orang itu dikumpulkan di satu rumah dan disitulah semua orang berkumpul dan bersembahyang. Pada keesokan harinya, dengan iringan ratap tangis mereka yang ditinggalkan, semua jenasah dikebumikan.

“Tia-tia, marilah kita bertiga mencari pembunuh-pembunuh itu dan menghajar mereka!” kata Giok Ciu kepada Ayahnya.

“Benar kata-kata Giok Ciu, Kwie Peh-peh. Aku harus mencari mereka dan membikin perhitungan!” kata Sin Wan penuh semangat.

Tapi Kwie Cu Ek menggeleng-gelengkan kepala. “Kalian bicara mudah saja. Lawan-lawan ini bukanlah orang lemah. Kita bertiga belum tentu bisa menangkan mereka, apalagi mereka berada di tengah-tengah pahlawan-pahlawan Kaisar yang berkepandaian tinggi. Sekarang belum waktunya membalas denam. Sin Wan, kau ikutlah dengan kami ke tempat tinggalku dan disana kau harus berlatih silat lebih lanjut. Kalau kepandaianmu sudah mencukupi barulah kau boleh turun gunung membalas sakit hati, dan percayalah, aku dan Giok Ciu tentu akan menyertaimu. Akupun gatal-gatal tangan untuk menghajar mereka, tapi segala hal lebih baik dilakukan dengan perhitungan masak-masak. Tahukah kau bahwa dengan menyuruh kau pergi hingga terbebas dari kematian adalah hal yang disengaja oleh Kakek dan Ibumu? Dan tahukah kau mengapa mereka lakukan hal itu? Tak lain agar kelak kau dapat membalas dendam ini! Dan kalau kau sekarang pergi membalas dendam lalu tidak berhasil bahkan kau sendiri terbinasa, bukankah itu sama dengan menyia-nyiakan pengharapan dan maksud Ibu dan Kakekmu?”

Sin Wan menundukkan kepala dan ia merasa betapa tepat dan benar sekali omongan orang tua itu. Maka ia mengalah dan hanya berkata, “Terserah kepadamu, Kwie Peh-peh semenjak sekarang, tidak ada orang lain yang pantas saya taati selain kau orang tua!” Dengan ujung lengan bajunya Sin Wan menyusut air matanya.

“Nah, begitulah seharusnya, Sin Wan. Nah bersiaplah dan sekarang juga kita pindah ketempatku.”

Dengan hati terharu Sin Wan lalu minta diri dari semua orang kampung sambil bertangis-tangisan, dan ia hanya membawa pakaian dan barang seperlunya saja. Diam-diam ia mencari sepatu kecil yang dipesankan Ibunya itu dan ia memasukkan itu ke dalam buntalannya. Giok Ciu calon isterinya? Hanya kedukaan peristiwa hebat itulah yang membuat ia tidak perhatikan kenyataan ini dan membuatnya seakan-akan lupa akan hal itu. Tapi ini ada baiknya karena sikapnya terhadap Giok Ciu jadi tidak malu-malu lagi. Barang-barang lainnya ia berikan kepada orang-orang kampung. Kemudian, ketika mereka hendak berangkat, Sin Wan berkata keras kepada semua orang kampung yang mengantarnya.

“Saudara-saudaraku sekalian. Dengarlah aku janji dan sumpahku. Aku Bun Sin Wan, bersumpah bahwa kelak aku harus pergi mencari pembunuh-pembunuh yang menjatuhkan malapetaka kepada kita ini. Aku berjanji hendak membalaskan sakit hati kalian, maka kalian hendaknya suka menenteramkan hati dan jangan penasaran.”

Maka berangkatlah mereka dengan jalan cepat ke atas gunung tempat kediaman Kwie Cu Ek dan anaknya. Dan semenjak hari itu, Sin Wan dan Giok Ciu mempergiat pelajaran silat mereka dibawah pimpinan Kwie Cu Ek yang dalam kelihaian ilmu silat tidak kalah jika dibandingkan dengan Kang Lam Ciuhiap. Dan tak terasa lagi dua tahun telah lewat. Hubungan antara Giok Ciu dan Sin Wan akrab sekali, bagaikan seorang kakak dan adik. Mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang pertunangan mereka karena jika hal ini disinggung.

Maka hanya mendatangkan rasa kikuk dan malu dalam hubungan mereka. Pada waktu itu, kepandaian Sin Wan dan Giok Ciu sudah mendapat banyak kemajuan karena mendapat gemblengan dari Kwie Cu Ek, yang memiliki kepandaian berbeda dengan kepandaian Kakek Sin Wan. Dengan belajar kepada Kwie Cu Ek, maka Sin Wan telah mempelajari dua macam ilmu silat lihai hingga boleh dibilang ia menang setingkat jika dibanding dengan Giok Ciu.

Tapi dalam hal ginkang atau ilmu meringankan tubuh, ia harus mengakui kalah setingkat oleh gadis yang bertubuh ringan itu, tapi sebaliknya Sin Wan lebih lihai dalam hal ilmu lweekang. Kwie Cu Ek maklum bahwa kedua anak muda itu telah memiliki ginkang dan lweekang yang luar biasa berkat buah-buah mujijat yang dulu mereka ketemukan dan makan secara kebetulan.

Maka ahli silat cabang Kun-Lun ini menggembleng mereka dengan penuh semangat dan tak kenal lelah. Tujuan satu-satunya dari orang tua ini ialah menurunkan seluruh kepandaian kepada Sin Wan dan Giok Ciu agar kedua anak mua itu dapat bersama-sama pergi dengan dia mencari musuh-musuhnya dan membalas dendam. Kini boleh dikata kepandaian Sin dan Giok Cu sudah hampir menyusul Kwie Cu Ek, dan usia Sin Wan juga sudah enam belas tahun dan termasuk dewasa.

Pemuda itu bertubuh tinggi sedang, dadanya bidang dengan pinggang kecil. Wajahnya yang tampan nyata sekali membayangkan keagungan watak dan kehalusan budi, sedangkan lekuk di bawah bibirnya dan sinar mata yang tajam itu menunjukkan sifat ksatria dan gagah berani. Giok Ciu juga sudah menjadi dewasaa, usianya kurang lebih lima belas tahun. Gadis ini makin besar makin cantik dan manis.

Sepasang matanya yang bersinar-sinar bagaikan sepasang bintang pagi merupakan bagian yang menarik sekali, sedangkan hidung dan mulu yang kecil dihiasi bibir yang berbentuk indah berwarna merah segar membuat orang takkan dapat bosan menatap wajahnya. Rambutnya yang gombyok dan hitam dikepang dua merupakan sepasang kuncir itu yang panjang dan hitam dan dua kucir itu bagaikan dua ekor ular melibat-libat dan bergantung di leher dan pundaknya.

Pada suatu sore, seperti biasa Sin Wan berlatih silat dengan Giok Ciu di belakang rumah. Mereka sedang tekun melatih gerak tipu ilmu pedang yang di sebut Pek-hong-koan-lit atau bianglala Putih Menutup Matahari. Tipu ini memang sukar digerakkan dan keduanya baru saja menerima pelajaran ini dari Kwie Cu Ek. Mereka silih berganti gunakan pedang melatih gerakan ini hingga sempurna betul.

“Mari kita berlatih,kau ambilah pedangmu,” ajak Sin Wan.

“Baik, kau tunggulah sebentar,” jawab Giok Ciu yang lalu pergi ke dalam rumah sambil berlari-lari kecil.

Sin Wan memandang gadis itu dengan gembira. Ia makin tertarik kepada gadis yang lincah dan gembira ini dan diam-diam ia menaruh rasa asmara yang mesra. Alangkah bahagianya kalau ia ingat bahwa gadis jelita ini akan menjadi isterinya kelak!

Sering kali pada malam hari, di dalam biliknya ia keluarkan sepatu kecil tanda tali perjodohan dari Giok Ciu itu dan mempermainkannya sambil membelainya penuh rasa kasih sayang. Darah kedewasaannya membuat ia sering merindukan gadis calon isterinya itu, tapi pada waktu mereka bertemu muka dan bercakap-cakap, dengan kekerasan hati luar biasa Sin Wan dapat menekan perasaannya dan sedikitpun tidak memperlihatkan sikap yang dapat menyinggung perasaan gadis itu.

Sebaliknya Giok Ciu selalu bergembira dan dengan sikapnya yang jenaka membuat hubungan mereka tidak kaku. Gadis itu seakan-akan tidak perdulikan atau sudah lupa akan pertalian jodoh yang mengikat mereka, tapi Sin Wan sedikitpun tidak menduga betapa pada malam hari, terutama di kala sinar bulan menyerbu masuk kamarnya melalui jendela.

Gadis itu sering melamun sambil memandang bulan dan tangannya memegang sebatang suling yang telah menjadi licin mengkilap karena sering digosok-gosok dan dibelai-belai! Ketika Giok Ciu masuk ke dalam kebun itu kembali sambil membawa sebaang pedang tajam, Sin Wan telah sadar dari lamunannya dan keduanya lalu berlatih silat pedang. Kedua pedang mereka saling sambar demikian cepatnya hingga sebentar saja tubuh mereka lenyap tertutup sinar pedang.

Sungguh permainan mereka selain luar biasa, juga indah dipandang. Gerakan mereka gesit dan cepat, namun di dalam latihan ini walaupun tampaknya pedang mereka saling sambar seakan-akan mengancam jiwa, sesungguhnya mereka berlaku sangat hati-hati, dan menjaga jangan sampai mereka berlaku salah tangan!

“Bagus!” terdengar seruan orang memuji.

Keduanya berhenti dan memberi hormat kepada Kwie Cu Ek yang memandang dengan girang. Sebetulnya, pujian orang tua ini tadi bukan ditujukan kepada permainan pedang mereka tapi pujian itu dikeluarkan rasa rasa girangnya melihat betapa di dalam latihan pedang itu tanpa disengaja keduanya memperlihatkan suara hati yang saling mencinta dan menyayangi! Inilah yang membuat Kwie Cu Ek merasa girang dan berseru 'Bagus' tadi.

“Sin Wan, telah tiba saatnya bagi kita untuk turun gunung dan mencari musuhmu,” kata Kwie Cu Ek dengan suara halus. Sin Wan terkejut dan girang sekali. Ia buru-buru berlutut dan berkata,

“Kwie Peh-peh, terima kasih atas keterangan ini. Saat ini telah lama teecu tunggu-tunggu!”

Karena kebiasaan, maka Sin Wan tetap menyebut 'Peh-peh' atau Uwak kepada Kwie Cu Ek, sedangkan untuk diri sendiri ia menyebut teecu atau murid karena ia merasa menjadi murid orang she Kwie ini. Seharusnya ia menyebut Gakhu atau 'Mertua', tapi ia merasa malu sekali untuk menyebut Ayah mertua, dan bersikap pura-pura belum tahu akan perjodohan itu. Kwie Cu Ek menghela napas.

“Aku maklum akan ketidaksabaranmu, Sin Wan, tapi segala hal harus dilakukan dengan pertimbangan masak-masak. Apa lagi dalam hal pembalasan sakit hati ini. Karena musuh-musuhmu bukanlah lawan ringan dan mudah dikalahkan. Bahkan sekarang uga aku masih selalu meragukan apakah kita akan sanggup membalas dendam keluargamu.”

“Ayah, aku tentu ikut, bukan? Serahkan saja musuh-musuh kak Sin Wan, kepadaku, akan kubasmi seorang demi seorang.” kata Giok Ciu dengan mata berseri.

Kali ini Kwie Cu Ek tak dapat menerima kegembiraan puterinya. Ia menghela napas dan berkata, “Kalian anak-anak muda memang sudah sepantasnya berhati tabah dan bersemangat besar, tapi hendaknya jangan kau pandang rendah musuh-musuh yang akan kita hadapi. Kalau kiranya aku tidak merasa telah menjadi makin tua dan berkurang tenaga hingga takut kalau-kalau takkan sempat membantumu lagi, barangkali sekarang aku belum mengijinkan kau pergi menemui musuh-musuhmu.”

“Kwie Peh-peh, sebenarnya urusan balas dendam ini hanya tanggung jawab teecu seorang. Harap saja Peh-peh dan adik Giok Ciu tidak ikut mencapaikan hati dan membahayakan keselamatan diri. Biarlah teecu sendiri yang pergi melakukan pembalasan. Teecu akan merasa sangat berdosa bila sampai terjadi apa-apa atas diri Peh-peh atau Giok Ciu…”

“Sin Wan! Omongan apakah yang kau ucapkan ini?” tiba-tiba Kwie Cu Ek membentak marah sambil melototkan matanya yang bundar besar, tapi ia dapat menekan perasaannya dan berkata lagi perlahan, “Aku mengerti maksudmu yang baik, Sin Wan. Tapi ketahuilah, biarpun tidak untuk membelamu, aku Kwie Cu Ek bukanlah orang yang dapat melihat terjadinya perkara penasaran ini dengan berpeluk tangan saja. Aku telah bersumpah di dalam hati untuk mengadu jiwa dengan binatang-binatang she Suma dan kelima bangsat dari Siauw-San. Mereka ini memang lihai, tapi kurasa kita akan dapat menghadapi mereka.”

Sin Wan lalu menghaturkan terima kasih dan menyatakan maaf telah menyinggung kehormatan dan kegagahan orang itu yang sebenarnya bukan menjadi maksudnya.

“Cuma saja,” demikian ia melanjutkan. “Bukan maksud teecu untuk merendahkan adik Giok Ciu, tapi kalau bisa lebih baik adik Giok Ciu jangan ikut melakukan perjalanan dan tugas yang sangat berbahaya ini.”

Giok Ciu yang tadinya duduk di atas pot kembang kosong tiba-tiba meloncat berdiri dan sepasang ali matanya bergerak-gerak dan mulutnya ditajamkan sambil menatap wajah Sin Wan.

“Apa?” serunya marah. “Enak saja kau mau meninggalkan orang! Apa kau kira aku takut menghadapi bahaya? Apakah kau merasa takut ketika dulu kita bersama memasuki gua ular itu? Kak Sin Wan, jangan kau bicara seperti itu, aku akan marah kepadamu!”

Kwie Cu Ek tersenyum melihat lagak anaknya. “Sin Wan, Giok Ciu harus turut, karena betapapun juga ia merupakan tenaga pembantu yang boleh diandalkan. Kurasa, binatang she Suma dan kelima Tosu siluman dari Siauw-San itu takkan sanggup mengalahkan kita bertiga. Asal saja disana tidak terdapat orang-orang kuat lain, pasti mereka itu akan roboh di tangan kita dan sakit hatimu terbalas.”

“Nah, apa kataku?” Giok Ciu berkata riang, lalu bertanya, “Kapan kita berangkat Ayah?”

Sin Wan dan Kwie Cu Ek kagum juga melihat ketabahan hati Giok Cu karena sikap gadis kecil itu seakan-akan bukan hendak menjumpai musuh-musuh kuat, tapi bagaikan hendak pergi pelesir dan bertamasya saja!

“Bersiaplah, anak-anak. Besok pagi-pagi kita berangkat.”

Malam hari itu Sin Wan tidak dapat tidur. Ia meramkan mata dan membayangkan kembali peristiwa pembunuhan besar-besaran di kampungnya dulu. Terbayanglah Ibu dan Kakeknya yang mandi darah, dan bayangan ini membuat ia menggeretakkan gigi dan ingin sekali segera berhadapan dengan musuh-musuhnya untuk menuntut balas!

Kemudian ia teringat akan Giok Ciu dan Ayahnya. Alangkah baik mereka itu hingga semenjak pertemuan pertama telah melepas budi yang besar sekali. Ia bersumpah di dalam hati bahwa ia tentu hendak membahagiakan hidup Giok Ciu, gadis yang ia cinta dan yang telah melepas budi besar kepadanya dan bahkan besok pagi hari bersikukuh hendak ikut ia membalas dendam kepada musuh-musuhnya, dan gadis itu rela ikut menempuh bahaya!

Mengingat ini semua, tak terasa pula kedua mata pemuda itu basah dengan air mata ang terdorong oleh rasa terharu, duka, dan girang. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali tampak Kwie Cu Ek, Sin Wan dan Giok Ciu turun gunung dengan mempergunakan ilmu lari cepat.

Kwie Cu Ek memakai pakaian serba biru sedangkan Sin Wan yang masih berkabung, berpakaian serba putih, bahkan pengikat rambutnya juga putih. Hanya sepatunya saja berwarna hitam, Giok Ciu mengenakan baju berwarna merah muda dan celana biru,pengikat rambut dan ikat pinggangnya dari sutera warna kuning emas yang berkibar-kibar di belakangnya ketika ia lari cepat. Sepatunya warna hijau dan potongan pakaiannya serba singset dan ringkas, hingga ia tampak cantik dan gagah.

Pada pinggang sebelah kiri ketiga orang itu tampak pedang tergantung yang menambah kegarangan dan kegagahan mereka. Kwie Cu Ek si Harimau Terbang mengajak kedua anak muda itu menujuke kota Wie-Kwan, karena mendengar dari hasil penyelidikannya bahwa Suma Cianbu kini telah dipindahkan ke sana dan memimpin pasukan penjaga keamanan di kota.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Pada waktu itu, para durna yang berkali-kali mengalami serangan tiba-tiba dan secara menggelap dari para pendekar gagah dan yang menewaskan banyak juga pembesar-pembesar korup, telah berlaku hati-hati. Tiap kota yang dicurigai lalu dijaga keras dan siapa saja yang dicurigai lalu ditangkap hingga banyaklah sudah orang-orang tak berdosa terhukum mati karena penangkapan yang dilakukan membabi buta itu.

Tapi sayang, tidak semua orang-orang gagah yang berkepandaian tinggi melakukan perbuatan membasmi kejahatan ini. Sebagian besar dari orang-orang ahli persilatan bahkan kena terbeli oleh para durna hingga mereka iu suka menghambakan diri.

Oleh karena inilah, maka usaha para pendekar gagah selalu mengalami kegagalan, bahkan orang-orang kang-ouw saling serang dan saling gempur serta tumbuhlah banyak sekali aliran. Untuk ini pulalah maka Suma Cianbu yang terkenal gagah dan pandai mengatur barisan keamanan, diutus mengamankan daerah Wie-Kwan yang pada akhir-akhir ini sering dikunjungi orang orang gagah.

Kwie Cu Ek dan kedua muridnya tak pernah berhenti, kecuali untuk mekan dan bermalam. Mereka sengaja mencari jalan-jalan yang sunyi agar dapat leluasa menggunakan ilmu lari cepat. Demikianlah, pada hari keempatnya, mereka bertiga akhirnya sampai juga di kota Wie-Kwan. Dan kedatangan mereka kebetulan sekali tepat pada waktu Suma Cianbu sedang menjamu beberapa orang gagah, termasuk Siauw-San Ngo-Sinto.

Dengan demikian, maka lengkaplah orang-orang yang dicari oleh Sin Wan. Ia selalu menganggap bahwa pembunuh Kakek dan Ibunya adalah Sum-Cianbu dan kelima Tosu itu, maka alangkah girangnya mendengar bahwa keenam musuhnya berkumpul di tempat itu.

Tapi kabar ini tidak menggirangkan hati Kwie Cu Ek, bahkan ia mengerutkan kening ketika diketahui bahwa selain Lima Golok Sakti dari Siauw-San itu, ada pula orang-orang gagah dari utara, diantaranya Phang Bu yang terkenal dengan ilmu tombaknya yang menggemparkan! Maka ia berpesan kepada Sin Wan dan Giok Ciu yang nampaknya gembira seakan-akan hendak pergi bertemu dan kawan-kawan lama yang telah lama dirindukan!

“Sin Wan, dan kau juga Giok Ciu. Kalian tahu bahwa aku bukan seorang penakut, tapi kali ini kita benar-benar menghadapi urusan besar dan kita benar-benar menghadapi urusan besar dan kita harus berlaku hati-hati sekali. Ternyata di kota ini berkumpul orang-orang kuat yang tak mudah dilawan. Kebetulan sekali, tadi telah kuselidiki dan pada malam ini Suma Cianbu hendak menjamu para tamunya di gedungnya. Karena malam ini gelap, maka baik sekali bagi kita untuk menyelidiki keadaan mereka. Tapi ingat, jangalah turun tangan dulu sebelum aku tahu jelas keadaan mereka. Aku ingin tahu, siapakah orang-orang yang berada disana agar aku dapat mengukur tenaga kita.”

Sin Wan dan Giok Ciu mengangguk-angguk tapi di dalam hati mereka, terutama Sin Wan tidak setuju melihat sikap hati-hati yang agaknya berlebihan ini. Mereka bertiga dan dengan tenaga mereka bertiga, apalagi yang ditakuti? Demikian Sin Wan dan Giok Ciu berpikir bagaikan dua ekor anak burung baru belajar terbang dan tidak takut akan apa saja yang dihadapinya!

Malam hari itu, digedung Suma Cianbu ramai sekali. Di ruang belakang duduk Suma Cianbu yang memakai pakaian kapten hingga tampak gagah sekali. Pakaian perangnya bersisik dan warnanya putih bagaikan perak, disana-sini terhias ronce-ronce merah. Pedangnya tergantung di pinggang dan ia tampak girang dan gembira. Topi pangkatnya di lepas dan ditaruh diatas meja yang penuh arak dan masakan. Meja yang bundar dan lebar itu dikelilingi kira-kira dua belas orang yang kesemuanya tampak gagah dan garang. Di antara mereka itu terdapat pula lima orang Tosu, yakni Siauw-San Ngo-Sinto.

Tapi yang paling menarik perhatian Kwie Cu Ek adalah hadirnya seorang Pendeta yang berjubah merah. Pendeta itu memelihara rambut yang digelungnya keatas dan diikat dengan gelas emas, sedangkan serenteng tasbeh gading tergantung di lehernya. Orangnya tinggi besar dan matanya bulat menakutkan. Kwie Cu Ek terkejut dan heran sekali, karena melihat pakaian dan potongan orang, ia dapat menduga bahwa Pendeta ini adalah seorang tokoh kenamaan di kalangan kang-ouw, termasuk seorang cianpwe yang memiliki kepandaian dari tingkat teratas!

Mengapa Pendeta ini juga hadir di tempat para anjing Kaisar berkumpul? Apakah Pendeta inipun sudah terbujuk? Kwie Cu Ek dan kedua muridnya dengan hati-hati sekali mengintai dari atas wuwungan rumah dan mendekam di tempat gelap. Biarpun agak jauh dari tempat duduk orang-orang yang diintainya, mereka dapat melihat jelas.

“Lihatlah baik-baik, Sin Wan dan Giok Ciu” bisiknya. “Itu yang berpakaian baju perang adalah Kapten Suma, nama lengkapnya adalah Suma Cianbu! Ia adalah ahli main sepasang pedang yang disebut Hong-Twi Siang-Kiam. Kepandaiannya cukup lihai. Dan lihatlah lima orang Tosu yang berpakaian kuning itu. Merekalah yang disebut Siauw-San Ngo-Sinto. Lima Golok Sakti dari Siauw-San. Kalau maju satu-satu, mereka tidak berbahaya, tapi bila kelimanya maju, mereka merupakan Ngo-Heng-Tin atau Barisan Ngo-Heng yang kuat karena permaianan golok mereka yang disebut Ngo-Heng To-Hwat.”

Kedua muridnya mendengar penuh perhatian.

“Yang lain-lain tak perlu dibicarakan, hanya perapa jubah merah itu harus diperhatikan. Ia…”

Tapi pada saat itu Sin Wan sudah tak sanggup menahan kesabarannya lagi. Melihat betapa musuh-musuhnya dan pembunuh-pembunuh Ibu dan Kakeknya berada disitu, hatinya telah terbakar hebat. Dengan melupakan segala, pemuda itu mencabut pedangnya dan meloncat ke bawah sambil berseru,

“Pembunuh-pembunuh kejam dan rendah, terimalah pembalasanku!”

Terkejutlah semua orang ketika tiba-tiba dari atas wuwungan melayang turun seorang pemuda dengan pedang di tangan. Suma Cianbu melihat bahwa yang turun hanya seorang pemuda yang masih hijau dan seorang diri pula, segera memandang rendah dan membentak,

“Bangsat kecil berani mati! Siapa kau dan apa maksudmu mengacau disini?” Kapten ini dengan wajah keren meloncat menyambut dengan sepasang pedang melintang. Sin Wan memandang musuh-musuhnya dengan mata bernyala.

“Orang she Suma! Jangan kau menjual lagak lagi, malam ini nyawamu akan kukirim ke alam baka untuk menghadap almarhum Kang Lam Ciuhiap!” Sehabis berkata demikian, Sin Wan maju menubruk dengan pedangnya dan mengirim serangan kilat.

Mendengar kata-kata anak muda itu, Suma Cianbu terkejut dan ia segera menangkis dengan kedua pedangnya membuat gerakan memotong dari kanan kiri dengan maksud merampas senjata lawan dalam sekali gebrakan. Tapi alangkah terkejutnya ketika bahwa anak muda itu selain bertenaga besar, juga gerakan pedangnya istimewa karena begitu pedangnya terjepit, ia telah membikin pedang itu menyusup ke bawah dan tahu-tahu menusuk perut Suma Cianbu! Kapten ini cepat meloncat mundur dan membentak untuk menghilangkan rasa kagetnya.

“Eh, binatang kecil! Kau pernah apakah dengan orang she Bun yang telah mampus itu?”

“Kapten pengecut! Lihat mukamu telah memucat. Kau mau tahu aku siapa? Dengarlah, aku Bun Sin Wan malam ini datang membalaskan sakit hati Ibu dan Kakekku yang telah kau bunuh secara kejam! Bersedialah untuk mampus!” Sebagai penutup kata-katanya ini, kembali Sin Wan meloncat maju dan menyerang dengan pedangnya.

“Saudara-saudara, lihatlah! Ini adalah putera pemberontak dan cucu penjahat besar bernama Bun Gwat Kong yang telah kita bunuh. Penjahat kecil ini agaknya tidak lebih baik daripada Ayah dan Kakeknya. Mari kita tangkap dia.”

Sin Wan menggerakkan pedangnya, tapi tiba-tiba dari samping pedang itu tertangkis oleh golok yang digerakkan secara istimewa dan lihai. Ternyata kelima Tosu yang dulu ikut menjadi pembunuh Kang Lam Ciuhiap, ketika mendengar bahwa Sin Wan datang menuntut balas, segera maju mengeroyok untuk cepat merobohkan musuh ini. Tapi Sin Wan memutar-mutar pedangnya dengan gerakan hebat sekali sehingga sebentar saja ia berhasil mendesak Suma Cianbu. Melihat kegagahan pemuda itu, kelima Tosu serempak maju mengepung dengan menggunakan barisan Ngo-Heng mereka yang lihai. Tapi pada saat itu, dari udara terdengar bentakan merdu,

“Koko Sin Wan, jangan takut aku datang membantu!”

Dan seorang gadis cantik dan gagah memutar-mutar pedangnya sambil meloncat turun dan menerjang para pengeroyok itu. Gerakannya demikian licah dan cepat hingga untuk sesaat para pengeroyok itu kena terdesak mundur.

Melihat bahwa Giok Ciu sudah terjun ke dalam medan pertempuran. Sin Wan makin besar hati dan ia mengamuk bagaikan seekor naga muda. Ilmu pedang sepasang anak muda ini memang bukan sembarang ilmu, hingga gerakan-gerakannya memang hebat. Apalagi Sin Wan dan Giok Ciu memiliki tenaga lweekang dan ginkang yang mengagumkan, maka tidak heran bahwa mereka dapat mendesak Suma Han dan kelima Tosu yang mengeroyok mereka.

Melihat betapa enam orang itu tak dapat mengalahkan dara dan taruna itu, semua tamu segera mencabut senjata masing-masing dan maju mengepung, kecuali si pertapa jubah merah yang masih duduk minum arak sambil mementang lebar sepasang matanya. Agaknya ia tertarik sekali melihat permainan pedang Sin Wan dan Giok Ciu.

Kini dikeroyok belasan orang, Sin Wan dan Giok Ciu merasa sibuk juga. Pengeroyoknya terdiri dari orang-orang yang memiliki keistimewaan dan kepandaian tinggi, ditambah dengan tekanan-tekanan yang dilancarkan oleh Suma Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto, kedua anak muda itu terdesak mundur.

“Ha ha ha, anak-anak kecil yang masih bau pupuk, kalian hendak lari kemana?” Suma Cianbu tertawa menyindir.

Tapi pada saat itu dari atas menyambar turun seorang tua dengan pedang di tangan sambil membentak keras, “Anjing-anjing penjilat jangan jual lagak!”

Pedangnya lalu diputar cepat dan segerakan saja seorang pengeroyok kena dirobohkan! Suma Cianbu mundur dengan kaget karena ilmu silat orang tua ini lihai sekali. Melihat kedatangan Kwie Cu Ek si Harimau Terbang, pertapa berjubah merah yang semenjak tadi duduk saja, lalu berdiri dan sekali gebrakan tubuh, maka ia telah melayang memapaki Kwie Cu Ek.

“Tidak tahunya Hui-Houw Kwie Cu Ek yang mempeloporinya, pantas saja, anak-anak itu demikian lihai,” katanya dengan tersenyum menyindir.

Kwie Cu Ek menjura. “Bukankah siauwte berhadapan dengan Cin Cin Hoatsu dari Tibet?” tegurnya hormat.

“Ha ha ha, kau juga bermata awas dan dapat mengenal Pinto. Aku pernah kenal dengan gurumu dan dari gerakanmu tadi tahulah aku bahwa kau tentu si Harimau Terbang. Bukankah kau memiliki kepandaian ilmu silat Rajawali Sakti? Hayo keluarkanlah, Pinto ingin melihatnya!”

“Lo-Cianpwe apakah sengaja menggabung kepada mereka yang tersesat ini?” tanya Kwie Cu Ek.

“Bukan urusanmu untuk mengetahui hal ini. Kalau aku menggabung, kau mau apa?” tantang Cin Cin Hoatsu, bekas Pendeta Lama itu.

“Kalau begitu percuma saja kau mengenakan jubah Pendeta!” kata Kwie Cu Ek dengan berani.

“Ah, orang tak tahu diri! Kematian sudah didepan mata masih berani membuka mulut besar.”

Dengan memandang rendah sekali Cin Cin Hoatsu maju dan mengebutkan ujung lengan bajunya ke arah Kwie Cu Ek yang terpaksa berkelit mundur dengan cepat karena dari ujung baju itu menyambar keluar angin pukulan yang berbahaya.

“Ha ha ha, tak berapa hebat kepandaianmu!” Cin Cin Hoatsu menyindir dan terus maju menyerang.

Kwie Cu Ek terpaksa melayani dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Ia mengeluarkan pula Sin-Tiauw Kiam-Sut yakni ilmu pedang Rajawali Sakti, sambil menyerang ia bersuit nyaring bagaikan seekor burung rajawali. Tapi kini ia berhadapan dengan seorang tokoh besar dari Tibet yang tidak saja tinggi ilmu silatnya, juga memiliki macam-macam ilmu gaib dan ilmu sihir...

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.