Kisah Sepasang Naga Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

KISAH SEPASANG NAGA JILID 07

Pertapa ini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyerang dan tiada hentinya mengeluarkan suara tertawa aneh dan menyeramkan. Baru beberapa puluh jurus saja Kwie Cu Ek telah terdesak hebat oleh pukulan-pukulan ujung lengan baju yang mantap dan luar biasa.

Sementara itu, Sin Wan dan Giok Ciu juga terkepung hebat dan berada dalam keadaan berbahaya sekali karena lawan mereka yang berjumlah banyak tidak mau memberi kelonggaran dan terus merangsek hebat. Kwie Cu Ek menyesal telah berlaku semberono hingga membahayakan jiwa Sin Wan dan Giok Ciu. Ia menjadi bingung karena pasti mereka bertiga akan segera dirobohkan. Tiba-tiba ia berteriak keras,

“Sin Wan dan Giok Ciu, larilah! Biar aku menjaga mereka!”

Mendengar perintah ini, Sin Wan dan Giok Ciu menurut. Segera pedang mereka diputar hebat dalam gerakan ilmu pedang Sin-Tiauw Kiam-Sut hingga mereka dapat menahan desakan senjata-senjata pengeroyok mereka, kemudian dengan cepat tubuh mereka melayang ke atas genteng!

Tapi pada saat itu mereka mendengar suara Kwie Cu Ek berseru keras dengan marah bagaikan seekor harimau terluka dan ketika kedua anak muda itu memandang ke bawah. Tak terasa pula mereka menjerit karena melihat betapa Kwie Cu Ek kena dihantam oleh ujung lengan baju Cin Cin Hoatsu yang hebat gerakannya itu!

Kwie Cu Ek terlempar beberapa kaki jauhnya tapi si Harimau Terbang yang gagah itu biarpun telah mendapat luka hebat di dalam dadanya, pedang di tangannya masih terpegang erat-erat dan ketika tubuhnya jatuh menimpa tanah. Ia menggerakkan tangannya dan pedang itu secepat kilat meluncur ke arah tenggorokan Cin Cin Hoatsu!

Inilah gerakan yang dinamai Rajawali Sakti Mengejar Maut, gerak tipu terakhir dari Sin-Tiauw Kiam-Sut yang hebat luar biasa itu. Kalau saja yang diserang bukan Cin Cin Hoatsu, orang berilmu tinggi dari Tibet yang selain berkepandaian tinggi, juga memiliki ketenangan luar biasa, tentu akan putuslah lehernya. Tapi Cin Cin Hoatsu dalam keadaan berbahaya itu masih sempat menyabet dengan ujung lengan bajunya.

“Srettt!” Putuslah ujung lengan baju itu.

Tapi pedang Kwie Cu Ek melayang kesamping dan terus menancap sampai menembus dada pengeroyok yang tidak ada kesempatan berkeliat lagi. Orang itu berteriak ngeri dan terdengarlah suara Kwie Cu Ek tertawa menyeramkan, menertawakan korbannya dan juga menertawakan Cin Cin Hoatsu yang terpotong ujung lengan bajunya.

Pertapa tua dari Tibet ini merasa gemas dan marah sekali. Ia meloncat ke tempat Kwie Cu Ek dan dengan sekali tendang saja putuslah nyawa Kwie Cu Ek tanpa dapat berteriak lagi. Kwie Giok Ciu memekik ngeri dan ia meloncat terjun dengan maksud hendak berkelahi dengan nekad dan mati-matian. Tapi Sin Wan cepat menyambarnya dan menariknya kembali ke atas genteng.

“Koko, lepaskan! Lepaskan aku!!” Giok Ciu menjerit-jerit dengan air mata bercucuran, tapi Sin Wan tetap tidak mau melepaskannya.

Pada saat itu dari belakang mendatangi tiga bayangan orang yang cepat gerakannya dan terdengar suara orang berkata, “Jiwi Enghiong, lekas lari, biar kami yang menahan mereka.”

Sin Wan melihat wajah seorang setengah tua dan dua orang lain adalah orang-orang tua yang gagah. Ia tahu itu tentu orang-orang gagah yang sering memusuhi para durna dan kaki tangannya, maka ia segera betot tangan Giok Ciu.

“Moi-moi, hayo kita pergi. Mudah lain kali kita datang membalas sakit hati.”

“Tidak! Tidak! Biarkan aku mati bersama Ayah!”

“Giok moi jangan bodoh! Mereka bukan lawan kita.”

Tiba-tiba Giok Ciu merenggut tangannya hingga terlepas dari pegangan Sin Wan. “Kau… kau... takut?? Kau hendak membiarkan dan meninggalkan Ayah yang mengorbankan jiwanya untukmu??”

Sin Wan mengertakan gigi dan memandang dengan mata bersinar. “Giok Ciu, kau anggap aku seorang macam apakah? Aku mengajak kau pergi bukan karena takut, tapi karena memenuhi kehendak dan maksud Ayahmu. Tadi kita telah berlaku sembrono sekali. Musuh terlampau kuat, untuk apa kita korbankan diri dengan sia-sia? Untuk apa kita mati kalau belum dapat membalas dendam? Lebih baik kita mencari daya upaya lain.”

“Tapi aah…”

“Sudahlah! Kalau kau ingin mati bersama, hayo kita turun lagi!” Akhirnya Sin Wan berlaku nekad juga dan hendak terjun. Tapi kini datang lebih banyak orang gagah yang mencegah mereka.

“Lie Enghiong, kawanmu ini berkata benar! Pihak mereka kuat sekali, kita bukan lawan mereka. Soal jenasah Ayahmu itu, biarlah kami yang akan mengurusinya dan akan berusaha mengambilnya..."

Karena sedih, marah, bingung dan tak berdaya, Giok Ciu menjerit keras dan jatuh pingsan dalam pelukan Sin Wan. Pada saat itu dari bawah melayang naik orang-orang dengan senjata di tangan dan sebentar lagi terjadi pertempuran seru di antara mereka dengan para Ho-han yang menyerbu. Tapi karena Cin Cin Hoatsu berada disana, para penyerbu itu terpaksa lari lagi setelah berhasil membawa serta jenasah Kwie Cu Ek.

Sin Wan yang memondong tubuh Giok Ciu, lari cepat keluar dari kota itu menuju ke Kam-Hong-San kembali. Setelah sadar, Giok Ciu menangis tersedu-sedu sambil berlutut di atas tanah dan memanggil-manggil nama Ayahnya. Sin Wan hanya dapat menghiburnya, tapi tak terasa ia sendiri mengalirkan air mata. Di samping merasa bersedih ia mengertakan giginya karena gemas dan marahnya.

Alangkah besarnya sakit hati ini. Kematian Ibu dan Kakeknya belum juga terbalas, kini ditambah lagi dengan kematian Kwie Cu Ek yang menjadi pembela, guru dan juga calon mertuanya! Dan musuhnya telah bertambah satu orang lagi, yaitu Cin Cin Hoatsu yang konsen dan sakti. Bagaimana juga pada suatu waktu, aku harus dapat membasmi mereka itu, demikian Sin Wan mengambil keputusan.

“Moi-moi, sudahlah jangan kau terlalu bersedih. Mari kita kembali ke tempat tinggal kita untuk memperdalam ilmu silat dan untuk mencari jalan bagaimana kita dapat membalas dendam ini.”

Tapi Giok Ciu makin hebat tangisnya. “Aku… Aku kini... sebatang kara...”

Karena terharu, Sin Wan tak terasa lagi memegang pundak Giok Ciu dan menghibur. “Moi-moi, bukankah masih ada aku? Aku juga sebatang kara, hidupku seorang diri di dunia ini, tapi aku masih merasa bahagia karena... Ada engkau, Giok Ciu. Bukankah kita masih bersama-sama...?”

Dalam usahanya menghibur Giok Ciu, Sin Wan berlutut di samping gadis itu dan Giok Ciu memandang wajah Sin Wan melalui air matanya, kemudian tak terasa lagi gadis itu perdengarkan sedu sedan dan menubruk Sin Wan. Mereka dalam keharuan hati masing-masing lalu saling peluk karena merasa betapa di dalam di dunia ini hanya ada seorang yang dapat diandalkan dan dapat ditumpangi diri, yakni orang yang dipeluknya.

Tapi setelah gelora keharuan hatinya mereda, Giok Ciu teringat bahwa ia sedang saling peluk dengan Sin Wan, maka buru-buru ia dorong tubuh pemuda itu hingga hampir jatuh terjengkang! Dengan muka merah karena jengah, Giok Ciu memandang wajah Sin Wan dan ketika melihat pandang mata pemuda itu juga menatapnya. Ia buru-buru tundukkan muka dengan rasa malu sekali. Kemudian ia mengangkat kaki dan meloncat jauh sambil berkata,

“Hayo kita melanjutkan perjalanan kita.”

Sin Wan maklum akan keadaan gadis itu, maka iapun tidak mau mengganggunya lagi, hanya meloncat mengejar dan mereka cepat sekali lari menuju Kam-Hong-San. Sin Wan mengajak Giok Ciu singgah di kampungnya untuk bersembahyang di depan makam Ibu dan Kakeknya. Disitu kedua anak muda itu kembali ulangi sumpah mereka untuk berusaha membelas dendam. Kemudian Sin Wan mengajak Giok Coi menemui orang-orang kampung yang menyambut Sin Wan yang telah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah dan mereka makin kagum melihat kawannya yang cantik jelita dan bersikap gagah pula.

Karena merasa senang bertemu dengan kawan-kawan lama, Sin Wan dan Giok Ciu bermalam disitu. Sin Wan menceritakan tentang usahanya membalas dendam yang gagal bahkan telah kehilangan pula Ayah Giok Ciu. Orang-orang kampung mendengar penuturannya ini dengan gemas, sementara Giok Ciu menahan-nahan kesedihannya dengan menggigit bibir.

Gadis ini selalu membayangkan keadaannya dan memikirkannya tiada habisnya, dimanakah makam Ayahnya. Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali ia melari dan kembali ke kota Wie-Kwan, tapi ia tahu bahwa hal itu tidak ada gunanya, karena selain sia-sia dan belum tentu dapat menemukan apa yang dicarinya, juga sangat berbahaya bagi keselamatan dirinya karena kota itu penuh dengan kaki tangan dan mata-mata Suma-Cianbu yang telah mengenalnya.

Karena itulah maka ia bersabar dan mengambil keputusan untuk mempergiat pelajaran silatnya hingga beberapa lama lagi, setelah mendapat kemajuan pesat, bersama Sin Wan pergi membalas dendam. Masih banyak ilmu silat yang mereka telah pelajari tapi belum dilatih masak-masak. Bahkan ilmu pedang Sin-Tiauw Kiam-Sut yang belum lama dipelajari juga belum dikuasai baik-baik dan perlu latihan yang lama dan rajin.

Setelah tinggal tiga hari di kampung itu, Sin Wan dan Giok Ciu lalu meninggalkan kampung itu dan menuju ke tempat tinggal Giok Ciu, karena mereka menganggap tempat itu lebih aman dan tersembunyi sehingga mereka dapat melatih silat tanpa menderita gangguan. Ketika mereka sedang berjalan perlahan mendaki bukit, tiba-tiba terdengar seruan orang dari belakang.

Mereka menahan tindakan kaki mereka dan berpaling. Alangkah terkejut mereka ketika melihat bahwa dengan cepat sekali, dari bawah bukit lari mengejar Cin Cin Hoatsu, Suma-Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto! Mereka itu mengejar sambil berteriak-terik dan Cin Cin Hoatsu telah berada dekat karena Pendeta Tibet ini larinya cepat sekali.

“Celaka, moi-moi. Kita lari saja, percuma melawan. Hayo kita lari cepat.”

Kedua anak muda itu lari secepat mungkin ke atas puncak, tetapi karena kepandaian ilmu lari cepat mereka masih kalah jika dibanding dengan Cin Cin Hoatsu, makin lama pengejar itu makin dekat jaraknya. Karena gugup dan bingung, Sin Wan dan Giok Ciu tanpa sengaja tiba di tempat yang selalu menjadi kenangan mereka, yaitu di dekat Sumur Naga dimana mereka dulu terjatuh.

“Mari kita masuk saja!” Sin Wan mengajak dan tanpa ragu-ragu lagi keduanya meloncat ke dalam sumur yang tertutup kabut tebal itu!

Mereka turun dengan selamat dan kaki mereka menyentuh pasir. Ternyata, keadaan sumur itu tidak berubah, dan ketika mereka berpaling, ternyata batu-batu cadas yang berbentuk kepala naga itu masih tetap ada. Tetapi alangkah terkejut mereka ketika mereka tiba-tiba melihat bahwa di sudut dekat batu naga itu terdapat seorang Kakek yang tua sekali duduk bersila di atas pasir sambil meramkan mata.

Kakek tua itu tubuhnya kurus kering bagaikan tengkorak hidup, rambutnya putih panjang terurai ke belakang punggungnya yang telanjang. Tubuh bagian bawah tertutup celana pendek yang lebar dan Kakek itu bersila dengan cara yang aneh. Kaki dan tubuhnya bersila seperti biasa dengan telapak kaki menghadap ke atas dan tertumpang di kedua paha, tetapi anehnya ia tidak duduk seperti biasa. Tubuhnya tidak terletak di atas tanah, karena tangan kirinya melalui renggang kakinya ditekannya ke atas pasir sehingga mengganjal tubuhnya yang terkatung-katung tidak menempel tanah sedikitpun.

Tangan Kakek itu diletakkan di atas pangkuan. Dapat dibayangkan kekuatan tangan kirinya yang menahan tubuh itu tanpa bergerak sedikitpun, seakan-akan tangan dan lengan itu berubah menjadi benda mati yang didudukinya. Karena maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang berilmu tinggi, Sin Wan dan Giok Ciu segera berlutut di hadapan Kakek itu sambil berkata,

“Mohon beribu maaf bahwa tanpa disengaja teecu berdua telah berani mengganggu kepada Lo-Cianpwe.”

Tapi Kakek itu sedikitpun tidak bergerak dan tidak menjawab. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu memandang, mereka kaget sekali karena Kakek itu tiada ubahnya seperti patung batu mati. Bahkan pada perut dan dadanya yang telajang itu tiada tampak tanda-tanda pernapasan! Sudah mati dan membatukah tubuh Kakek ini? Pada saat mereka masih ragu-ragu, tiba-tiba dari atas sumur itu terdengar bentakan Cin Cin Hoatsu,

“He, pemberontak-pemberontak muda, masih hidupkah kalian? Kalau masih hidup, naiklah dengan damai dan Pinto takkan membunuhmu!”

Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali karena tempat persembunyiannya ditemukan oleh pengejar-pengejar mereka, tapi mereka diam saja dan tetap berlutut di depan Kakek itu. Terdengar makian di atas sumur dan kini terdengar suara Suma-Cianbu.

“Binatang-binatang yang berada di dalam sumur. Lekas keluar, kalau tidak kami akan menghujani batu dan anak panah!”

Sin Wan dan Giok Ciu kuatir sekali kalau-kalau ancaman ini dijalankan. Tetapi tiba-tiba Kakek yang disangkanya patung mati itu bergerak dan membuka matanya. Sin Wan dan Giok Ciu makin heran karena ketika terbuka, kedua mata itu hampir seluruhnya putih dan hanya sedikit hitamnya di tengah-tengah. Kakek itu masih menahan tubuhnya, lalu terdengar ia berkata perlahan,

“Kalian sudah lama datang? Syukur, memang aku telah menantimu.”

Pada saat itu dari atas sumur orang melempar batu kebawah yang hampir saja menimpa kepala Sin Wan, tapi pemuda itu menggunakan tangan menyabet sehingga batu itu terlempar disampingnya.

“Ah orang-orang itu sungguh-sungguh tak tahu aturan,” kata Kakek itu yang lalu menggerak-gerakkan tangan kanannya ke atas.

Sin Wan dan Giok Ciu kaget sekali dan cepat menggeser tubuh mereka minggir karena dari tangan Kakek itu keluarlah angin pukuan yang berputar-putar naik ke atas sumur!

Tiba-tiba diatas sumur terdengar jeritan ngeri karena batu-batu dan anak-anak panah yang dilepas ke bawah, secara ajaib sekali tiba-tiba terbang kembali dan menghantam mereka yang tidak keburu berkelit! Beberapa orang anak buah Suma-Cianbu terkena batu dan anak panah mereka sendiri sehingga terluka dan berteriak-teriak kesakitan.

Cin Cin Hoatsu heran melihat keganjilan ini. Ia lalu menggunakan kedua lengan bajunya mengebut-ngebut ke dalam sumur sambil mengerahkan tenaga lweekangnya yang hebat. Dulu ketika melatih lweekang, ia menggunakan sumur untuk mencoba kekuatannya dan kalau ia menggerak-gerakkan tangannya ke dalam sumur, maka air di dalam sumur akan berombak dan bergolak makin keras sampai memercik keluar!

Kini menduga bahwa di dalam sumur ada apa-apa yang tidak beres, ia menggunakan tenaga lweekangnya itu untuk memukul ke bawah. Tetapi hampir saja ia berteriak karena kaget dan heran ketika merasa betapa tenaganya itu sebelum membentur dasar sumur, telah terpental kembali. Ia menarik kedua tangannya dan meloncat jauh agar tidak menjadi korban pukulannya sendiri! Wajahnya menjadi pucat, karena ia menyangka bahwa di dalam sumur itu tentu ada setannya karena mana mungkin ada orang yang dapat mengembalikan tenagan pukulannya secara demikian mudah dan luar biasa.

Melihat tiba-tiba Pendeta Tibet itu menjauhi sumur dengan wajah pucat, Suma-Cianbu bertanya, “Ada apakah, Lo-Suhu?”

Cin Cin Hoatsu malu untuk mengaku, maka ia hanya berkata, “Mari kita tinggalkan tempat ini. Kedua binatang kecil itu tentu telah mampus, karena sumur ini mengandung hawa beracun!”

Maka semua pengejar itu lalu kembali turun gunung dengan hati puas, karena mereka menyangka bahwa kini semua pengacau dan pemberontak berbahaya telah dapat ditumpas habis.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Sin Wan dan Giok Ciu yang berada di dalam sumur dapat mendengar semua percakapan di atas itu sehingga merasa kagum atas kesaktian Kakek aneh ini. Karena yakin bahwa yang berada di hadapan mereka tentu orang suci yang berilmu tinggi, maka Sin Wan menarik tangan Giok Ciu untuk maju dihadapan Kakek itu dan berlutut sambil mengangguk-angguk kepala.

Tiba-tiba Kakek itu tertawa, suaranya nyaring tinggi seperti suara wanita tertawa tapi ketika ia bicara, suaranya berubah besar dan parau, “Kalian yang dulu masuk ke sini dan makan buah-buah itu sampai habis, bukan?”

Sin Wan menjawab, “Betul Lo-Cianpwe, mohon maaf jika teecu berdua mengganggu.”

“Kalian dikejar-kejar orang, sedangkan kepandaianmu cukup baik, mengapa tidak kalian lawan saja? Lari pergi tanpa melawan adalah kelakuan pengecut.”

“Teecu berdua tidak sanggup melawan mereka, Lo-Cianpwe. Kepandaian teecu masih terlampau rendah. Mohon petunjuk dari Lo-Cianpwe yang mulia,” kata Sin Wan.

“Jika Lo-Cianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid.” Kata Giok-Ciu dengan langsung karena ia telah yakin benar bahwa Kakek ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi.

Kakek itu tertawa lagi dan mengangguk-angguk, tiba-tiba ia meloncat dan tahu-tahu ia sudah berada di dinding batu yang tingginya tidak kurang dari tiga tombak dengan punggung menempel di batu!

“Bagus, bagus memang kalian yang berjodoh dengan aku. Memang kalian yang berjodoh dengan sepasang naga itu.”

Sin Wan terkejut mendengar ucapan ini. Sepasang naga yang mana? Agaknya dari atas, Kakek aneh itu dapat melihat keraguan dan keheranannya, maka ia segera meloncat turun dan berdiri di depan mereka.

“Kalian berdirilah!”

Ketika Sin Wan dan Giok Ciu berdiri, mereka melihat betapa tubuh Kakek itu sebenarnya tinggi besar, hanya karena tubuhnya sama sekali tidak berdaging, maka tampak kurus kering. Yang mengherankan ialah warna segar kemerah-merahan pada kulit pipinya yang kurus itu dan biarpun manik matanya yang hitam itu kecil sekali, namun kalau bertemu pandang, Sin Wan dan Giok Ciu merasa betapa dari sepasang mata itu memancar dua sinar tajam dan berpengaruh.

“Mari kita masuk,” kata Kakek itu.

Berbeda dengan Sin Wan dan Giok Ciu yang dulu membuka pintu batu kepala naga itu dengan memutar-mutar kedua matanya, kini Kakek itu hanya menepuk sekali pada dinding itu. Tenaga tepukan itu biarpun hanya perlahan saja namun telah membuat dinding itu tergetar sehingga batu yang merupakan kedua mata naga itu bergerak-gerak dan pintu yang merupakan mulut naga itu terbukalah!

Ketika kedua orang muda itu mengikuti dan masuk, ternyata dua rangka ular yang besar itu tidak ada disitu pula, sebaliknya di pinggir dinding terdapat batu-batu yang bentuknya bundar dan licin. Kakek itu, segera menghampiri sebuah batu terbesar tapi yang paling kasar dan permukaannya tajam-tajam lalu ia duduk di atasnya dengan enak. Agaknya tubuh yang tak berdaging itu tidak merasa pula tusukan-tusukan batu yang kasar dan runcing.

“Nah, sekarang kalian boleh mengangkat guru padaku!”

Sin dan Giok Ciu saling pandang, kemudian keduanya maju berlutut sambil menyebut, “Suhu...!”

“Hai, tidak semudah ini! Berdirilah!”

Dan kedua anak muda itu merasa betapa tubuh mereka disendal ke atas sehingga terlempar tinggi, maka terpaka mereka menggunakan kepandaian mereka untuk turun dengan hati-hati dan berdiri memandang Kakek itu dengan terheran. Mereka lebih heran dan terkejut sekali ketika ternyata bahwa gerakan melempar Kakek tadi telah memberi kesempatan kepadanya untuk mengambil pedang mereka yang tergantung di punggung. Kini Kakek itu memegang kedua pedang itu di tangannya, melihatnya dengan mulut mengejek dan berkata,

“Pedang buruk, pedang buruk.” Sebelum mengerti harus berbuat apa, Kakek itu berkata kepada mereka.

“Ulur tangan kananmu!”

Sin Wan dan Giok Ciu mengulurkan tangan kanan dengan patuh. Tiba-tiba Kakek yang luar biasa itu lalu menggunakan pedang di tangan kiri kanannya untuk menusuk tangan Sin Wan dan Giok Ciu yang diulurkan. Kedua anak muda itu terperanjat sekali, tetapi mereka dapat menetapkan hati dan menaruh kepercayaan penuh kepada calon guru mereka, maka mereka melihat pedang itu dengan mata tak berkedip!

Ujung pedang itu walaupun di tusukkan dengan cepat dan kencang, ternyata hanya menusuk kulit tangan kedua anak muda itu sedikit saja, lalu cepat ditarik kembali. Di ujung kedua pedang tampak tanda merah yang ternyata adalah darah kedua anak muda itu. Juga di tangan mereka terdapat luka yang kecil sekali dan mengeluarkan sedikit darah. Jadi Kakek aneh itu ingin mengambil sedikit darah mereka diujung pedang masing-masing.

“Nah, sekarang dengan disaksikan oleh darahmu di ujung pedang, kalian harus bersumpah, yaitu jika kalian mempergunakann kepandaian yang kuajarkan untuk kejahatan, kalian akan binasa di ujung pedang!”

Sehabis berkata demikian, Kakek itu menyodorkan kedua pedang kepada Sin Wan dan Giok Ciu yang menerimanya dengan hormat. Kemudian, kedua anak muda itu sambil memegang pedang dengan kedua tangan dan ujung pedang mengacung ke atas, berlutut dan bersumpah. Sin Wan mengucapkan sumpah dengan suara nyaring, diikuti oleh Giok Ciu.

“Kami berdua, Bun Sin Wan dan Giok Ciu, hari ini telah diterima menjadi murid dan kami bersumpah jika kelak kami berani menggunakan kepandaian yang kami terima, untuk berbuat jahat kami akan binasa di ujung pedang yang tajam!”

Suara Sin Wan keras dan nyaring sehingga gemanya terdengar di empat penjuru dalam gua yang lebar itu.

Kakek itu tertawa girang, “Nah kau boleh ke sini sekarang, murid-muridku.”

Ketika Sin Wan dan Giok Ciu hendak berlutut, Kakek itu berkata,

“Kalian duduklah saja, Sin Wan di sebelah kananku dan Giok Ciu di sebelah kiri. Batu bundar hitam itulah tempat duduk kalian.”

Sin Wan dan Giok Ciu duduk di atas batu yang diperuntukkan mereka.

“Nah, sekarang kenalilah gurumu. Aku disebut orang Bu Beng Lojin, si Kakek Tak Bernama. Aku tidak mempunyai riwayat yang perlu diketahui, katakan saja bahwa aku datang dari tiada dan akan kembali kepada tiada pula jika sudah waktuku. Aku bukan ahli dari sesuatu cabang ternama atau tertentu, tapi aku mempunyai semacam permaianan pedang yang kusebut Sin-Liong Kiam-Sut, yakni ilmu Pedang Naga Sakti. Nah, ilmu pedang inilah yang hendak kuajarkan kepada kalian. Sin Wan, coba kau angkat batu di ujung kiri yang berwarna putih itu, di bawahnya ada sebuah peti dalam lubang. Ambillah itu kemari.”

Sin Wan melakukan perintah gurunya. Di sudut ruang itu sebelah kiri terdapat batu putih yang beratnya ratusan kati. Sin Wan mengerahkan tenaganya dan menggulingkan batu itu. Benar saja, di bawah batu terdapat lubang dan tampak sebuah peti kayu yang panjang. Ia mengeluarkan peti itu dan membawanya kepada Suhunya, lalu dengan hormat ia meletakkan peti di depan Suhunya.

“Kau, Giok Ciu, kau ambil peti yang di bawah batu hitam di ujung kanan itu.” Bu Beng Lojin menyuruh murid perempuannya.

Giok Ciu juga melakukan perintah itu seperti yang dikerjakan oleh Sin Wan. Kini dua buah peti itu telah berada di depan Bu Beng Lojin. Bu Beng Lojin membuka peti-peti itu dan mengeluarkan dua macam pedang yang luar biasa. Ketika ia mencabut pedang yang diambil oleh Sin Wan maka di dalam gua itu lalu terlihat sinar putih berkilauan dan kedua anak muda itu merasakan hawa dingin yang menyeramkan keluar dari pedang itu. Pedang berwarna putih berkilauan bagaikan perak dan gagangnya berukiran kepada naga bersisik putih.

“Inilah pedang pusaka keramat yang disebut Pek Liong Pokiam, Pedang Pusaka Naga Putih. Dan pedang ini berjodoh dengan Sin Wan.”

Anak muda itu menerima pemberian Suhunya dengan khidmat dan girang sekali. Ia cepat berlutut dari tempat duduknya dan menghaturkan terima kasih, lalu memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya yang berukiran naga putih indah sekali.

Bu Beng Lojin lalu mencabut pedang kedua dan tiba-tiba dalam kamar itu tampak cahaya kehitam-hitaman yang sangat menyeramkan, juga dari pedang ini memancar hawa yang panas dan aneh. Pedang ini berwarna hitam mulus dan mengkilap sedangkan gagangnya berukiran kepala naga bersisik hitam.

“Inilah pedang pusaka yang tidak kalah saktinya, yang disebut Ouw Liong Pokiam. Pedang Pusaka Naga Hitam. Pedang ini berjodoh padamu, Giok Ciu.”

Gadis itupun menerima hadiah gurunya dengan penuh hormat dan menghaturkan terima kasih pula.

Sin Wan teringat akan dongeng Kakeknya dulu tentang dua ekor naga yang menjelma menjadi sepasang pedang. Inikah pedang-pedang itu? Ia ingin sekali bertanya kepada Suhunya, tetapi tidak berani, karena bukankah Kakeknya dulu bilang bahwa itu hanya dongeng belaka. Bu Beng Lojin dapat melihat keraguan Sin Wan, maka katanya dengan sabar,

“Sin Wan, kau ingin bertanya sesuatu. Katakanlah, tak perlu ragu-ragu karena sudah menjadi hak seorang murid untuk bertanya dan sudah menjadi kewajiban seorang guru untuk menjawabnya.”

“Suhu, dulu teecu pernah mendengar dari mendiang engkong tentang dongeng sepasang naga putih dan hitam. Apakah dongeng itu ada hubungannya dengan kedua pedang ini?”

Bu Beng Lojin tersenyum. “Engkongmu adalah Kang-Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, bukan? Ia orang gagah yang patut dikagumi. Dongeng tinggal dongeng muridku, boleh dipercaya dan boleh juga tidak. Hal ini aku tidak berhak memecahkan. Nah, sekarang mari kita bicarakan hal yang penting. Kalian telah mendapat didikan silat dari orang-orang pandai sehingga aku tak perlu bersusah payah lagi. Juga kalian telah makan buah dewa sehingga tubuhmu cukup bersih dan kuat. Tapi jangan kau kira bahwa sedikit ilmu yang akan kuberikan kepada kalian akan mudah saja kalian pelajari secara mudah dan cepat. Pertama-tama aku akan memberi pelajaran silat pedang yang disebut Sin-Liong Kiam-Sut. Tetapi karena pedang yang kalian pergunakan berbeda sifatnya maka ilmu pedang ini akan kupecah menjadi dua, sesuai dengan keadaanmu masing-masing. Untuk Sin Wan akan kuberi ilmu pedang Pek Liong Kiam-Sut dan untuk Giok Ciu ilmu pedang Ouw Liong Kiam-Sut. Tapi terlebih dulu kalian harus mengetahui dan hafal benar rahasia-rahasia dari Sin-Liong Kiam-Sut.”

Kemudian Bu Beng Lojin lalu memberi pelajaran-pelajaran pertama dari Ilmu Pedang naga Sakti yang hebat itu. Karena dorongan hasrat ingin memiliki kepandaian tinggi dan melakukan balas dendam, ditambah memang berbakat baik dan berotak cerdas. Kedua anak muda itu cepat sekali dapat menguasai pelajaran-pelajaran pertama yang diajarkan oleh Suhu mereka. Tetapi ketika mereka mulai dengan pelajaran praktek, terasalah kesukarannya. Gerakan Sin-Liong Kiam-Sut benar-benar ganjil dan sukar, setiap gerakan pedang mempunyai rahasia-rahasia tersendiri yang takkan terduga oleh lawan.

Juga setiap gerakan pedang dari ilmu ini selalu dirangkai dengan keterangan-keterangan bahwa gerakan ini ialah untuk memunahkan serangan senjata pedang dari cabang lain. Oleh karena ini, tiap kali mempelajari satu macam tipu dari Sin-Liong Kiam sut, maka berarti mereka harus mengetahui pula tiga atau empat macam tipu serangan dari cabang-cabang lain. Misalnya Kun-Lun-Pai, Go-Bi-Pai, Bu-Tong-Pai, dan Siauw-Lim-Pai!

Untung sekali bahwa sebelum mempelajari Sin-Liong Kiam-Sut yang hebat ini, mereka telah mendapat latihan-latihan teliti dan keras dari Kwie Cu Ek, maka tipu-tipu silat dari lain cabang mereka sudah banyak mengerti. Tidak saja setiap gerakan dari Sin-Liong Kiam-Sut mempunyai rangkain yang panjang bagaikan mata rantai dengan cabang lain, juga untuk menggerakkan pedag pusaka mereka bukanlah hal yang mudah.

Pedang itu mempunyai ukuran dan timbangan yang tepat dan khusus, sehingga untuk menggerakkan mereka harus menggunakan takaran tenaga yang sempurna pula, untuk tusukan, sabetan, putaran, harus digunakan tenaga yang sesuai, tidak boleh terlalu besar, juga tidak boleh terlalu kecil. Maka tidak heran bahwa untuk mempelajari satu dua macam gerakan saja membutuhkan waktu sepekan lebih baru dapat dilakukan dengan baik!

Cara yang aneh dari Bu Beng Lojin dalam mengajar murid-muridnya ialah ia jarang sekali menyaksikan murid-muridnya belajar. Jika Sin Wan dan Giok Ciu menggerak-gerakkan pedang dan melatih gerakan-gerakan baru yang sedang dipejari, Kakek tua itu duduk bersemedhi dengan sikapnya yang aneh itu dan meramkan matanya. Tetapi yang mengherankan, tiap kali Sin Wan dan Giok Ciu membuat gerakan salah, biarpun hanya salah sedikit saja, Kakek itu tanpa membuka matanya lalu menegur! Bu Beng Lojin melarang keras kedua muridnya itu keluar dari gua naga dan menyuruh mereka siang dan malam tekun melatih diri.

Untuk makan mereka cukup dengan menangkap binatang-binatang dan burung yang lewat di atas gua, dan cara menangkap binatang inipun merupakan pelajaran yang baik bagi mereka. Jika ada burung yang terbang, atau ada binatang lewat di atas sumur, biarpun tidak tampak dari bawah, namun gerakan binatang yang meloncati sumur dapat tertangkap oleh telinga mereka yang tajam. Maka sekali sambit saja dengan batu, binatang itu akan terjungkal dan jatuh masuk ke dalam sumur dan menjadi mangsa mereka!

Sungguh suatu cara mencari makan yang aneh sekali. Kalau tidak karena dorongan semangat yang membaja, Sin Wan dan terutama Giok Ciu pasti takkan kuat menahan diri hidup seperti itu. Tetapi mereka heran sekali melihat Suhu mereka, karena orang tua yang aneh jarang sekali mau makan daging binatang tangkapan mereka, hanya kadang-kadang saja, ia minta hati binatang yang masih segar untuk dimakan begitu saja tanpa dibakar api dulu, atau makan buah-buah yang didapat dari balik jurang di mana dulu Sin Wan dan Giok Ciu dulu jatuh...

Kisah Sepasang Naga Jilid 07

KISAH SEPASANG NAGA JILID 07

Pertapa ini menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyerang dan tiada hentinya mengeluarkan suara tertawa aneh dan menyeramkan. Baru beberapa puluh jurus saja Kwie Cu Ek telah terdesak hebat oleh pukulan-pukulan ujung lengan baju yang mantap dan luar biasa.

Sementara itu, Sin Wan dan Giok Ciu juga terkepung hebat dan berada dalam keadaan berbahaya sekali karena lawan mereka yang berjumlah banyak tidak mau memberi kelonggaran dan terus merangsek hebat. Kwie Cu Ek menyesal telah berlaku semberono hingga membahayakan jiwa Sin Wan dan Giok Ciu. Ia menjadi bingung karena pasti mereka bertiga akan segera dirobohkan. Tiba-tiba ia berteriak keras,

“Sin Wan dan Giok Ciu, larilah! Biar aku menjaga mereka!”

Mendengar perintah ini, Sin Wan dan Giok Ciu menurut. Segera pedang mereka diputar hebat dalam gerakan ilmu pedang Sin-Tiauw Kiam-Sut hingga mereka dapat menahan desakan senjata-senjata pengeroyok mereka, kemudian dengan cepat tubuh mereka melayang ke atas genteng!

Tapi pada saat itu mereka mendengar suara Kwie Cu Ek berseru keras dengan marah bagaikan seekor harimau terluka dan ketika kedua anak muda itu memandang ke bawah. Tak terasa pula mereka menjerit karena melihat betapa Kwie Cu Ek kena dihantam oleh ujung lengan baju Cin Cin Hoatsu yang hebat gerakannya itu!

Kwie Cu Ek terlempar beberapa kaki jauhnya tapi si Harimau Terbang yang gagah itu biarpun telah mendapat luka hebat di dalam dadanya, pedang di tangannya masih terpegang erat-erat dan ketika tubuhnya jatuh menimpa tanah. Ia menggerakkan tangannya dan pedang itu secepat kilat meluncur ke arah tenggorokan Cin Cin Hoatsu!

Inilah gerakan yang dinamai Rajawali Sakti Mengejar Maut, gerak tipu terakhir dari Sin-Tiauw Kiam-Sut yang hebat luar biasa itu. Kalau saja yang diserang bukan Cin Cin Hoatsu, orang berilmu tinggi dari Tibet yang selain berkepandaian tinggi, juga memiliki ketenangan luar biasa, tentu akan putuslah lehernya. Tapi Cin Cin Hoatsu dalam keadaan berbahaya itu masih sempat menyabet dengan ujung lengan bajunya.

“Srettt!” Putuslah ujung lengan baju itu.

Tapi pedang Kwie Cu Ek melayang kesamping dan terus menancap sampai menembus dada pengeroyok yang tidak ada kesempatan berkeliat lagi. Orang itu berteriak ngeri dan terdengarlah suara Kwie Cu Ek tertawa menyeramkan, menertawakan korbannya dan juga menertawakan Cin Cin Hoatsu yang terpotong ujung lengan bajunya.

Pertapa tua dari Tibet ini merasa gemas dan marah sekali. Ia meloncat ke tempat Kwie Cu Ek dan dengan sekali tendang saja putuslah nyawa Kwie Cu Ek tanpa dapat berteriak lagi. Kwie Giok Ciu memekik ngeri dan ia meloncat terjun dengan maksud hendak berkelahi dengan nekad dan mati-matian. Tapi Sin Wan cepat menyambarnya dan menariknya kembali ke atas genteng.

“Koko, lepaskan! Lepaskan aku!!” Giok Ciu menjerit-jerit dengan air mata bercucuran, tapi Sin Wan tetap tidak mau melepaskannya.

Pada saat itu dari belakang mendatangi tiga bayangan orang yang cepat gerakannya dan terdengar suara orang berkata, “Jiwi Enghiong, lekas lari, biar kami yang menahan mereka.”

Sin Wan melihat wajah seorang setengah tua dan dua orang lain adalah orang-orang tua yang gagah. Ia tahu itu tentu orang-orang gagah yang sering memusuhi para durna dan kaki tangannya, maka ia segera betot tangan Giok Ciu.

“Moi-moi, hayo kita pergi. Mudah lain kali kita datang membalas sakit hati.”

“Tidak! Tidak! Biarkan aku mati bersama Ayah!”

“Giok moi jangan bodoh! Mereka bukan lawan kita.”

Tiba-tiba Giok Ciu merenggut tangannya hingga terlepas dari pegangan Sin Wan. “Kau… kau... takut?? Kau hendak membiarkan dan meninggalkan Ayah yang mengorbankan jiwanya untukmu??”

Sin Wan mengertakan gigi dan memandang dengan mata bersinar. “Giok Ciu, kau anggap aku seorang macam apakah? Aku mengajak kau pergi bukan karena takut, tapi karena memenuhi kehendak dan maksud Ayahmu. Tadi kita telah berlaku sembrono sekali. Musuh terlampau kuat, untuk apa kita korbankan diri dengan sia-sia? Untuk apa kita mati kalau belum dapat membalas dendam? Lebih baik kita mencari daya upaya lain.”

“Tapi aah…”

“Sudahlah! Kalau kau ingin mati bersama, hayo kita turun lagi!” Akhirnya Sin Wan berlaku nekad juga dan hendak terjun. Tapi kini datang lebih banyak orang gagah yang mencegah mereka.

“Lie Enghiong, kawanmu ini berkata benar! Pihak mereka kuat sekali, kita bukan lawan mereka. Soal jenasah Ayahmu itu, biarlah kami yang akan mengurusinya dan akan berusaha mengambilnya..."

Karena sedih, marah, bingung dan tak berdaya, Giok Ciu menjerit keras dan jatuh pingsan dalam pelukan Sin Wan. Pada saat itu dari bawah melayang naik orang-orang dengan senjata di tangan dan sebentar lagi terjadi pertempuran seru di antara mereka dengan para Ho-han yang menyerbu. Tapi karena Cin Cin Hoatsu berada disana, para penyerbu itu terpaksa lari lagi setelah berhasil membawa serta jenasah Kwie Cu Ek.

Sin Wan yang memondong tubuh Giok Ciu, lari cepat keluar dari kota itu menuju ke Kam-Hong-San kembali. Setelah sadar, Giok Ciu menangis tersedu-sedu sambil berlutut di atas tanah dan memanggil-manggil nama Ayahnya. Sin Wan hanya dapat menghiburnya, tapi tak terasa ia sendiri mengalirkan air mata. Di samping merasa bersedih ia mengertakan giginya karena gemas dan marahnya.

Alangkah besarnya sakit hati ini. Kematian Ibu dan Kakeknya belum juga terbalas, kini ditambah lagi dengan kematian Kwie Cu Ek yang menjadi pembela, guru dan juga calon mertuanya! Dan musuhnya telah bertambah satu orang lagi, yaitu Cin Cin Hoatsu yang konsen dan sakti. Bagaimana juga pada suatu waktu, aku harus dapat membasmi mereka itu, demikian Sin Wan mengambil keputusan.

“Moi-moi, sudahlah jangan kau terlalu bersedih. Mari kita kembali ke tempat tinggal kita untuk memperdalam ilmu silat dan untuk mencari jalan bagaimana kita dapat membalas dendam ini.”

Tapi Giok Ciu makin hebat tangisnya. “Aku… Aku kini... sebatang kara...”

Karena terharu, Sin Wan tak terasa lagi memegang pundak Giok Ciu dan menghibur. “Moi-moi, bukankah masih ada aku? Aku juga sebatang kara, hidupku seorang diri di dunia ini, tapi aku masih merasa bahagia karena... Ada engkau, Giok Ciu. Bukankah kita masih bersama-sama...?”

Dalam usahanya menghibur Giok Ciu, Sin Wan berlutut di samping gadis itu dan Giok Ciu memandang wajah Sin Wan melalui air matanya, kemudian tak terasa lagi gadis itu perdengarkan sedu sedan dan menubruk Sin Wan. Mereka dalam keharuan hati masing-masing lalu saling peluk karena merasa betapa di dalam di dunia ini hanya ada seorang yang dapat diandalkan dan dapat ditumpangi diri, yakni orang yang dipeluknya.

Tapi setelah gelora keharuan hatinya mereda, Giok Ciu teringat bahwa ia sedang saling peluk dengan Sin Wan, maka buru-buru ia dorong tubuh pemuda itu hingga hampir jatuh terjengkang! Dengan muka merah karena jengah, Giok Ciu memandang wajah Sin Wan dan ketika melihat pandang mata pemuda itu juga menatapnya. Ia buru-buru tundukkan muka dengan rasa malu sekali. Kemudian ia mengangkat kaki dan meloncat jauh sambil berkata,

“Hayo kita melanjutkan perjalanan kita.”

Sin Wan maklum akan keadaan gadis itu, maka iapun tidak mau mengganggunya lagi, hanya meloncat mengejar dan mereka cepat sekali lari menuju Kam-Hong-San. Sin Wan mengajak Giok Ciu singgah di kampungnya untuk bersembahyang di depan makam Ibu dan Kakeknya. Disitu kedua anak muda itu kembali ulangi sumpah mereka untuk berusaha membelas dendam. Kemudian Sin Wan mengajak Giok Coi menemui orang-orang kampung yang menyambut Sin Wan yang telah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah dan mereka makin kagum melihat kawannya yang cantik jelita dan bersikap gagah pula.

Karena merasa senang bertemu dengan kawan-kawan lama, Sin Wan dan Giok Ciu bermalam disitu. Sin Wan menceritakan tentang usahanya membalas dendam yang gagal bahkan telah kehilangan pula Ayah Giok Ciu. Orang-orang kampung mendengar penuturannya ini dengan gemas, sementara Giok Ciu menahan-nahan kesedihannya dengan menggigit bibir.

Gadis ini selalu membayangkan keadaannya dan memikirkannya tiada habisnya, dimanakah makam Ayahnya. Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali ia melari dan kembali ke kota Wie-Kwan, tapi ia tahu bahwa hal itu tidak ada gunanya, karena selain sia-sia dan belum tentu dapat menemukan apa yang dicarinya, juga sangat berbahaya bagi keselamatan dirinya karena kota itu penuh dengan kaki tangan dan mata-mata Suma-Cianbu yang telah mengenalnya.

Karena itulah maka ia bersabar dan mengambil keputusan untuk mempergiat pelajaran silatnya hingga beberapa lama lagi, setelah mendapat kemajuan pesat, bersama Sin Wan pergi membalas dendam. Masih banyak ilmu silat yang mereka telah pelajari tapi belum dilatih masak-masak. Bahkan ilmu pedang Sin-Tiauw Kiam-Sut yang belum lama dipelajari juga belum dikuasai baik-baik dan perlu latihan yang lama dan rajin.

Setelah tinggal tiga hari di kampung itu, Sin Wan dan Giok Ciu lalu meninggalkan kampung itu dan menuju ke tempat tinggal Giok Ciu, karena mereka menganggap tempat itu lebih aman dan tersembunyi sehingga mereka dapat melatih silat tanpa menderita gangguan. Ketika mereka sedang berjalan perlahan mendaki bukit, tiba-tiba terdengar seruan orang dari belakang.

Mereka menahan tindakan kaki mereka dan berpaling. Alangkah terkejut mereka ketika melihat bahwa dengan cepat sekali, dari bawah bukit lari mengejar Cin Cin Hoatsu, Suma-Cianbu dan Siauw-San Ngo-Sinto! Mereka itu mengejar sambil berteriak-terik dan Cin Cin Hoatsu telah berada dekat karena Pendeta Tibet ini larinya cepat sekali.

“Celaka, moi-moi. Kita lari saja, percuma melawan. Hayo kita lari cepat.”

Kedua anak muda itu lari secepat mungkin ke atas puncak, tetapi karena kepandaian ilmu lari cepat mereka masih kalah jika dibanding dengan Cin Cin Hoatsu, makin lama pengejar itu makin dekat jaraknya. Karena gugup dan bingung, Sin Wan dan Giok Ciu tanpa sengaja tiba di tempat yang selalu menjadi kenangan mereka, yaitu di dekat Sumur Naga dimana mereka dulu terjatuh.

“Mari kita masuk saja!” Sin Wan mengajak dan tanpa ragu-ragu lagi keduanya meloncat ke dalam sumur yang tertutup kabut tebal itu!

Mereka turun dengan selamat dan kaki mereka menyentuh pasir. Ternyata, keadaan sumur itu tidak berubah, dan ketika mereka berpaling, ternyata batu-batu cadas yang berbentuk kepala naga itu masih tetap ada. Tetapi alangkah terkejut mereka ketika mereka tiba-tiba melihat bahwa di sudut dekat batu naga itu terdapat seorang Kakek yang tua sekali duduk bersila di atas pasir sambil meramkan mata.

Kakek tua itu tubuhnya kurus kering bagaikan tengkorak hidup, rambutnya putih panjang terurai ke belakang punggungnya yang telanjang. Tubuh bagian bawah tertutup celana pendek yang lebar dan Kakek itu bersila dengan cara yang aneh. Kaki dan tubuhnya bersila seperti biasa dengan telapak kaki menghadap ke atas dan tertumpang di kedua paha, tetapi anehnya ia tidak duduk seperti biasa. Tubuhnya tidak terletak di atas tanah, karena tangan kirinya melalui renggang kakinya ditekannya ke atas pasir sehingga mengganjal tubuhnya yang terkatung-katung tidak menempel tanah sedikitpun.

Tangan Kakek itu diletakkan di atas pangkuan. Dapat dibayangkan kekuatan tangan kirinya yang menahan tubuh itu tanpa bergerak sedikitpun, seakan-akan tangan dan lengan itu berubah menjadi benda mati yang didudukinya. Karena maklum bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang berilmu tinggi, Sin Wan dan Giok Ciu segera berlutut di hadapan Kakek itu sambil berkata,

“Mohon beribu maaf bahwa tanpa disengaja teecu berdua telah berani mengganggu kepada Lo-Cianpwe.”

Tapi Kakek itu sedikitpun tidak bergerak dan tidak menjawab. Ketika Sin Wan dan Giok Ciu memandang, mereka kaget sekali karena Kakek itu tiada ubahnya seperti patung batu mati. Bahkan pada perut dan dadanya yang telajang itu tiada tampak tanda-tanda pernapasan! Sudah mati dan membatukah tubuh Kakek ini? Pada saat mereka masih ragu-ragu, tiba-tiba dari atas sumur itu terdengar bentakan Cin Cin Hoatsu,

“He, pemberontak-pemberontak muda, masih hidupkah kalian? Kalau masih hidup, naiklah dengan damai dan Pinto takkan membunuhmu!”

Sin Wan dan Giok Ciu terkejut sekali karena tempat persembunyiannya ditemukan oleh pengejar-pengejar mereka, tapi mereka diam saja dan tetap berlutut di depan Kakek itu. Terdengar makian di atas sumur dan kini terdengar suara Suma-Cianbu.

“Binatang-binatang yang berada di dalam sumur. Lekas keluar, kalau tidak kami akan menghujani batu dan anak panah!”

Sin Wan dan Giok Ciu kuatir sekali kalau-kalau ancaman ini dijalankan. Tetapi tiba-tiba Kakek yang disangkanya patung mati itu bergerak dan membuka matanya. Sin Wan dan Giok Ciu makin heran karena ketika terbuka, kedua mata itu hampir seluruhnya putih dan hanya sedikit hitamnya di tengah-tengah. Kakek itu masih menahan tubuhnya, lalu terdengar ia berkata perlahan,

“Kalian sudah lama datang? Syukur, memang aku telah menantimu.”

Pada saat itu dari atas sumur orang melempar batu kebawah yang hampir saja menimpa kepala Sin Wan, tapi pemuda itu menggunakan tangan menyabet sehingga batu itu terlempar disampingnya.

“Ah orang-orang itu sungguh-sungguh tak tahu aturan,” kata Kakek itu yang lalu menggerak-gerakkan tangan kanannya ke atas.

Sin Wan dan Giok Ciu kaget sekali dan cepat menggeser tubuh mereka minggir karena dari tangan Kakek itu keluarlah angin pukuan yang berputar-putar naik ke atas sumur!

Tiba-tiba diatas sumur terdengar jeritan ngeri karena batu-batu dan anak-anak panah yang dilepas ke bawah, secara ajaib sekali tiba-tiba terbang kembali dan menghantam mereka yang tidak keburu berkelit! Beberapa orang anak buah Suma-Cianbu terkena batu dan anak panah mereka sendiri sehingga terluka dan berteriak-teriak kesakitan.

Cin Cin Hoatsu heran melihat keganjilan ini. Ia lalu menggunakan kedua lengan bajunya mengebut-ngebut ke dalam sumur sambil mengerahkan tenaga lweekangnya yang hebat. Dulu ketika melatih lweekang, ia menggunakan sumur untuk mencoba kekuatannya dan kalau ia menggerak-gerakkan tangannya ke dalam sumur, maka air di dalam sumur akan berombak dan bergolak makin keras sampai memercik keluar!

Kini menduga bahwa di dalam sumur ada apa-apa yang tidak beres, ia menggunakan tenaga lweekangnya itu untuk memukul ke bawah. Tetapi hampir saja ia berteriak karena kaget dan heran ketika merasa betapa tenaganya itu sebelum membentur dasar sumur, telah terpental kembali. Ia menarik kedua tangannya dan meloncat jauh agar tidak menjadi korban pukulannya sendiri! Wajahnya menjadi pucat, karena ia menyangka bahwa di dalam sumur itu tentu ada setannya karena mana mungkin ada orang yang dapat mengembalikan tenagan pukulannya secara demikian mudah dan luar biasa.

Melihat tiba-tiba Pendeta Tibet itu menjauhi sumur dengan wajah pucat, Suma-Cianbu bertanya, “Ada apakah, Lo-Suhu?”

Cin Cin Hoatsu malu untuk mengaku, maka ia hanya berkata, “Mari kita tinggalkan tempat ini. Kedua binatang kecil itu tentu telah mampus, karena sumur ini mengandung hawa beracun!”

Maka semua pengejar itu lalu kembali turun gunung dengan hati puas, karena mereka menyangka bahwa kini semua pengacau dan pemberontak berbahaya telah dapat ditumpas habis.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Sin Wan dan Giok Ciu yang berada di dalam sumur dapat mendengar semua percakapan di atas itu sehingga merasa kagum atas kesaktian Kakek aneh ini. Karena yakin bahwa yang berada di hadapan mereka tentu orang suci yang berilmu tinggi, maka Sin Wan menarik tangan Giok Ciu untuk maju dihadapan Kakek itu dan berlutut sambil mengangguk-angguk kepala.

Tiba-tiba Kakek itu tertawa, suaranya nyaring tinggi seperti suara wanita tertawa tapi ketika ia bicara, suaranya berubah besar dan parau, “Kalian yang dulu masuk ke sini dan makan buah-buah itu sampai habis, bukan?”

Sin Wan menjawab, “Betul Lo-Cianpwe, mohon maaf jika teecu berdua mengganggu.”

“Kalian dikejar-kejar orang, sedangkan kepandaianmu cukup baik, mengapa tidak kalian lawan saja? Lari pergi tanpa melawan adalah kelakuan pengecut.”

“Teecu berdua tidak sanggup melawan mereka, Lo-Cianpwe. Kepandaian teecu masih terlampau rendah. Mohon petunjuk dari Lo-Cianpwe yang mulia,” kata Sin Wan.

“Jika Lo-Cianpwe sudi, teecu mohon diterima menjadi murid.” Kata Giok-Ciu dengan langsung karena ia telah yakin benar bahwa Kakek ini memiliki kepandaian yang sangat tinggi.

Kakek itu tertawa lagi dan mengangguk-angguk, tiba-tiba ia meloncat dan tahu-tahu ia sudah berada di dinding batu yang tingginya tidak kurang dari tiga tombak dengan punggung menempel di batu!

“Bagus, bagus memang kalian yang berjodoh dengan aku. Memang kalian yang berjodoh dengan sepasang naga itu.”

Sin Wan terkejut mendengar ucapan ini. Sepasang naga yang mana? Agaknya dari atas, Kakek aneh itu dapat melihat keraguan dan keheranannya, maka ia segera meloncat turun dan berdiri di depan mereka.

“Kalian berdirilah!”

Ketika Sin Wan dan Giok Ciu berdiri, mereka melihat betapa tubuh Kakek itu sebenarnya tinggi besar, hanya karena tubuhnya sama sekali tidak berdaging, maka tampak kurus kering. Yang mengherankan ialah warna segar kemerah-merahan pada kulit pipinya yang kurus itu dan biarpun manik matanya yang hitam itu kecil sekali, namun kalau bertemu pandang, Sin Wan dan Giok Ciu merasa betapa dari sepasang mata itu memancar dua sinar tajam dan berpengaruh.

“Mari kita masuk,” kata Kakek itu.

Berbeda dengan Sin Wan dan Giok Ciu yang dulu membuka pintu batu kepala naga itu dengan memutar-mutar kedua matanya, kini Kakek itu hanya menepuk sekali pada dinding itu. Tenaga tepukan itu biarpun hanya perlahan saja namun telah membuat dinding itu tergetar sehingga batu yang merupakan kedua mata naga itu bergerak-gerak dan pintu yang merupakan mulut naga itu terbukalah!

Ketika kedua orang muda itu mengikuti dan masuk, ternyata dua rangka ular yang besar itu tidak ada disitu pula, sebaliknya di pinggir dinding terdapat batu-batu yang bentuknya bundar dan licin. Kakek itu, segera menghampiri sebuah batu terbesar tapi yang paling kasar dan permukaannya tajam-tajam lalu ia duduk di atasnya dengan enak. Agaknya tubuh yang tak berdaging itu tidak merasa pula tusukan-tusukan batu yang kasar dan runcing.

“Nah, sekarang kalian boleh mengangkat guru padaku!”

Sin dan Giok Ciu saling pandang, kemudian keduanya maju berlutut sambil menyebut, “Suhu...!”

“Hai, tidak semudah ini! Berdirilah!”

Dan kedua anak muda itu merasa betapa tubuh mereka disendal ke atas sehingga terlempar tinggi, maka terpaka mereka menggunakan kepandaian mereka untuk turun dengan hati-hati dan berdiri memandang Kakek itu dengan terheran. Mereka lebih heran dan terkejut sekali ketika ternyata bahwa gerakan melempar Kakek tadi telah memberi kesempatan kepadanya untuk mengambil pedang mereka yang tergantung di punggung. Kini Kakek itu memegang kedua pedang itu di tangannya, melihatnya dengan mulut mengejek dan berkata,

“Pedang buruk, pedang buruk.” Sebelum mengerti harus berbuat apa, Kakek itu berkata kepada mereka.

“Ulur tangan kananmu!”

Sin Wan dan Giok Ciu mengulurkan tangan kanan dengan patuh. Tiba-tiba Kakek yang luar biasa itu lalu menggunakan pedang di tangan kiri kanannya untuk menusuk tangan Sin Wan dan Giok Ciu yang diulurkan. Kedua anak muda itu terperanjat sekali, tetapi mereka dapat menetapkan hati dan menaruh kepercayaan penuh kepada calon guru mereka, maka mereka melihat pedang itu dengan mata tak berkedip!

Ujung pedang itu walaupun di tusukkan dengan cepat dan kencang, ternyata hanya menusuk kulit tangan kedua anak muda itu sedikit saja, lalu cepat ditarik kembali. Di ujung kedua pedang tampak tanda merah yang ternyata adalah darah kedua anak muda itu. Juga di tangan mereka terdapat luka yang kecil sekali dan mengeluarkan sedikit darah. Jadi Kakek aneh itu ingin mengambil sedikit darah mereka diujung pedang masing-masing.

“Nah, sekarang dengan disaksikan oleh darahmu di ujung pedang, kalian harus bersumpah, yaitu jika kalian mempergunakann kepandaian yang kuajarkan untuk kejahatan, kalian akan binasa di ujung pedang!”

Sehabis berkata demikian, Kakek itu menyodorkan kedua pedang kepada Sin Wan dan Giok Ciu yang menerimanya dengan hormat. Kemudian, kedua anak muda itu sambil memegang pedang dengan kedua tangan dan ujung pedang mengacung ke atas, berlutut dan bersumpah. Sin Wan mengucapkan sumpah dengan suara nyaring, diikuti oleh Giok Ciu.

“Kami berdua, Bun Sin Wan dan Giok Ciu, hari ini telah diterima menjadi murid dan kami bersumpah jika kelak kami berani menggunakan kepandaian yang kami terima, untuk berbuat jahat kami akan binasa di ujung pedang yang tajam!”

Suara Sin Wan keras dan nyaring sehingga gemanya terdengar di empat penjuru dalam gua yang lebar itu.

Kakek itu tertawa girang, “Nah kau boleh ke sini sekarang, murid-muridku.”

Ketika Sin Wan dan Giok Ciu hendak berlutut, Kakek itu berkata,

“Kalian duduklah saja, Sin Wan di sebelah kananku dan Giok Ciu di sebelah kiri. Batu bundar hitam itulah tempat duduk kalian.”

Sin Wan dan Giok Ciu duduk di atas batu yang diperuntukkan mereka.

“Nah, sekarang kenalilah gurumu. Aku disebut orang Bu Beng Lojin, si Kakek Tak Bernama. Aku tidak mempunyai riwayat yang perlu diketahui, katakan saja bahwa aku datang dari tiada dan akan kembali kepada tiada pula jika sudah waktuku. Aku bukan ahli dari sesuatu cabang ternama atau tertentu, tapi aku mempunyai semacam permaianan pedang yang kusebut Sin-Liong Kiam-Sut, yakni ilmu Pedang Naga Sakti. Nah, ilmu pedang inilah yang hendak kuajarkan kepada kalian. Sin Wan, coba kau angkat batu di ujung kiri yang berwarna putih itu, di bawahnya ada sebuah peti dalam lubang. Ambillah itu kemari.”

Sin Wan melakukan perintah gurunya. Di sudut ruang itu sebelah kiri terdapat batu putih yang beratnya ratusan kati. Sin Wan mengerahkan tenaganya dan menggulingkan batu itu. Benar saja, di bawah batu terdapat lubang dan tampak sebuah peti kayu yang panjang. Ia mengeluarkan peti itu dan membawanya kepada Suhunya, lalu dengan hormat ia meletakkan peti di depan Suhunya.

“Kau, Giok Ciu, kau ambil peti yang di bawah batu hitam di ujung kanan itu.” Bu Beng Lojin menyuruh murid perempuannya.

Giok Ciu juga melakukan perintah itu seperti yang dikerjakan oleh Sin Wan. Kini dua buah peti itu telah berada di depan Bu Beng Lojin. Bu Beng Lojin membuka peti-peti itu dan mengeluarkan dua macam pedang yang luar biasa. Ketika ia mencabut pedang yang diambil oleh Sin Wan maka di dalam gua itu lalu terlihat sinar putih berkilauan dan kedua anak muda itu merasakan hawa dingin yang menyeramkan keluar dari pedang itu. Pedang berwarna putih berkilauan bagaikan perak dan gagangnya berukiran kepada naga bersisik putih.

“Inilah pedang pusaka keramat yang disebut Pek Liong Pokiam, Pedang Pusaka Naga Putih. Dan pedang ini berjodoh dengan Sin Wan.”

Anak muda itu menerima pemberian Suhunya dengan khidmat dan girang sekali. Ia cepat berlutut dari tempat duduknya dan menghaturkan terima kasih, lalu memasukkan kembali pedang itu ke dalam sarungnya yang berukiran naga putih indah sekali.

Bu Beng Lojin lalu mencabut pedang kedua dan tiba-tiba dalam kamar itu tampak cahaya kehitam-hitaman yang sangat menyeramkan, juga dari pedang ini memancar hawa yang panas dan aneh. Pedang ini berwarna hitam mulus dan mengkilap sedangkan gagangnya berukiran kepala naga bersisik hitam.

“Inilah pedang pusaka yang tidak kalah saktinya, yang disebut Ouw Liong Pokiam. Pedang Pusaka Naga Hitam. Pedang ini berjodoh padamu, Giok Ciu.”

Gadis itupun menerima hadiah gurunya dengan penuh hormat dan menghaturkan terima kasih pula.

Sin Wan teringat akan dongeng Kakeknya dulu tentang dua ekor naga yang menjelma menjadi sepasang pedang. Inikah pedang-pedang itu? Ia ingin sekali bertanya kepada Suhunya, tetapi tidak berani, karena bukankah Kakeknya dulu bilang bahwa itu hanya dongeng belaka. Bu Beng Lojin dapat melihat keraguan Sin Wan, maka katanya dengan sabar,

“Sin Wan, kau ingin bertanya sesuatu. Katakanlah, tak perlu ragu-ragu karena sudah menjadi hak seorang murid untuk bertanya dan sudah menjadi kewajiban seorang guru untuk menjawabnya.”

“Suhu, dulu teecu pernah mendengar dari mendiang engkong tentang dongeng sepasang naga putih dan hitam. Apakah dongeng itu ada hubungannya dengan kedua pedang ini?”

Bu Beng Lojin tersenyum. “Engkongmu adalah Kang-Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong, bukan? Ia orang gagah yang patut dikagumi. Dongeng tinggal dongeng muridku, boleh dipercaya dan boleh juga tidak. Hal ini aku tidak berhak memecahkan. Nah, sekarang mari kita bicarakan hal yang penting. Kalian telah mendapat didikan silat dari orang-orang pandai sehingga aku tak perlu bersusah payah lagi. Juga kalian telah makan buah dewa sehingga tubuhmu cukup bersih dan kuat. Tapi jangan kau kira bahwa sedikit ilmu yang akan kuberikan kepada kalian akan mudah saja kalian pelajari secara mudah dan cepat. Pertama-tama aku akan memberi pelajaran silat pedang yang disebut Sin-Liong Kiam-Sut. Tetapi karena pedang yang kalian pergunakan berbeda sifatnya maka ilmu pedang ini akan kupecah menjadi dua, sesuai dengan keadaanmu masing-masing. Untuk Sin Wan akan kuberi ilmu pedang Pek Liong Kiam-Sut dan untuk Giok Ciu ilmu pedang Ouw Liong Kiam-Sut. Tapi terlebih dulu kalian harus mengetahui dan hafal benar rahasia-rahasia dari Sin-Liong Kiam-Sut.”

Kemudian Bu Beng Lojin lalu memberi pelajaran-pelajaran pertama dari Ilmu Pedang naga Sakti yang hebat itu. Karena dorongan hasrat ingin memiliki kepandaian tinggi dan melakukan balas dendam, ditambah memang berbakat baik dan berotak cerdas. Kedua anak muda itu cepat sekali dapat menguasai pelajaran-pelajaran pertama yang diajarkan oleh Suhu mereka. Tetapi ketika mereka mulai dengan pelajaran praktek, terasalah kesukarannya. Gerakan Sin-Liong Kiam-Sut benar-benar ganjil dan sukar, setiap gerakan pedang mempunyai rahasia-rahasia tersendiri yang takkan terduga oleh lawan.

Juga setiap gerakan pedang dari ilmu ini selalu dirangkai dengan keterangan-keterangan bahwa gerakan ini ialah untuk memunahkan serangan senjata pedang dari cabang lain. Oleh karena ini, tiap kali mempelajari satu macam tipu dari Sin-Liong Kiam sut, maka berarti mereka harus mengetahui pula tiga atau empat macam tipu serangan dari cabang-cabang lain. Misalnya Kun-Lun-Pai, Go-Bi-Pai, Bu-Tong-Pai, dan Siauw-Lim-Pai!

Untung sekali bahwa sebelum mempelajari Sin-Liong Kiam-Sut yang hebat ini, mereka telah mendapat latihan-latihan teliti dan keras dari Kwie Cu Ek, maka tipu-tipu silat dari lain cabang mereka sudah banyak mengerti. Tidak saja setiap gerakan dari Sin-Liong Kiam-Sut mempunyai rangkain yang panjang bagaikan mata rantai dengan cabang lain, juga untuk menggerakkan pedag pusaka mereka bukanlah hal yang mudah.

Pedang itu mempunyai ukuran dan timbangan yang tepat dan khusus, sehingga untuk menggerakkan mereka harus menggunakan takaran tenaga yang sempurna pula, untuk tusukan, sabetan, putaran, harus digunakan tenaga yang sesuai, tidak boleh terlalu besar, juga tidak boleh terlalu kecil. Maka tidak heran bahwa untuk mempelajari satu dua macam gerakan saja membutuhkan waktu sepekan lebih baru dapat dilakukan dengan baik!

Cara yang aneh dari Bu Beng Lojin dalam mengajar murid-muridnya ialah ia jarang sekali menyaksikan murid-muridnya belajar. Jika Sin Wan dan Giok Ciu menggerak-gerakkan pedang dan melatih gerakan-gerakan baru yang sedang dipejari, Kakek tua itu duduk bersemedhi dengan sikapnya yang aneh itu dan meramkan matanya. Tetapi yang mengherankan, tiap kali Sin Wan dan Giok Ciu membuat gerakan salah, biarpun hanya salah sedikit saja, Kakek itu tanpa membuka matanya lalu menegur! Bu Beng Lojin melarang keras kedua muridnya itu keluar dari gua naga dan menyuruh mereka siang dan malam tekun melatih diri.

Untuk makan mereka cukup dengan menangkap binatang-binatang dan burung yang lewat di atas gua, dan cara menangkap binatang inipun merupakan pelajaran yang baik bagi mereka. Jika ada burung yang terbang, atau ada binatang lewat di atas sumur, biarpun tidak tampak dari bawah, namun gerakan binatang yang meloncati sumur dapat tertangkap oleh telinga mereka yang tajam. Maka sekali sambit saja dengan batu, binatang itu akan terjungkal dan jatuh masuk ke dalam sumur dan menjadi mangsa mereka!

Sungguh suatu cara mencari makan yang aneh sekali. Kalau tidak karena dorongan semangat yang membaja, Sin Wan dan terutama Giok Ciu pasti takkan kuat menahan diri hidup seperti itu. Tetapi mereka heran sekali melihat Suhu mereka, karena orang tua yang aneh jarang sekali mau makan daging binatang tangkapan mereka, hanya kadang-kadang saja, ia minta hati binatang yang masih segar untuk dimakan begitu saja tanpa dibakar api dulu, atau makan buah-buah yang didapat dari balik jurang di mana dulu Sin Wan dan Giok Ciu dulu jatuh...