Jago Pedang Tak Bernama Jilid 04

Serial jago pedang tak bernama jilid 04 karya kho ping hoo

JAGO PEDANG TAK BERNAMA JILID 04

Kwee Ciang masih ada rasa kasihan kepada adik misannya maka ia tidak mau membunuhnya. Dan karena perbuatan biadab dari Kwee Liang ini maka Kwee Ciang mengurungkan niatnya hendak membawa lari Cin Eng untuk minta uang tebusan kelak, bahkan ia merasa malu sekali. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia menggunakan goloknya memutuskan tali pengikat kaki dan tangan Cin Eng, lalu melemparkan sehelai baju luar kearah Cin Eng untuk dipakai menutupi sebagian tubuh atasnya yang robek.

Sebagai seorang laki-laki, Kwee Ciang berdiri membelakangi Cin eng untuk memberi kesempatan kepada gadis itu memakai pakaian yang diberikannya itu. Tapi sungguh tidak nyana, setelah mengenakan baju luar Cin Eng melompat ke depan, menyambar pedang Kwee Liang dan menggunakannya untuk menyabet leher Kwee Liang. Dan kepala penjahat cabul itu menjadi terpisah dari lehernya.

Kwee Ciang kaget sekali dan mukanya menjadi pucat. “Ah, kau keterlaluan nona.”

Cin Eng menuding kearah mayat Kwee Liang. “Keterlaluan? Sudah sepatutnya binatang macam ini dibinasakan. Kalau kau merasa sakit hati, belalah adikmu itu aku tidak takut.”

Kwee Ciang tak menjawab, tapi dengan bercucuran air mata ia berjongkok dan menyelimuti mayat adik misannya sambil berkata lemah, “Ah Kwee Liang, Kwee Liang... mengapa kau tidak mau menurut nasehatku! Ah, sekarang kau terbunuh mati, aku malu kalau kelak berjumpa dengan paman di alam baka…”

Cin Eng melihat keadaan pemuda itu menjadi kesima dan juga terharu. Tiba-tiba dari luar berkelebat bayangan orang dan Bu Beng berdiri disitu dengan Hwee hong kiam di tangan. Sikapnya galak dan gagah sekali. Mukanya pucat tanda khawatir dan matanya menyinarkan cahaya menakutkan! Wajah yang pucat menjadi merah dan terdengar ia bernapas lega ketika melihat nona kekasihnya berdiri disitu dengan pedang berlumuran darah di tangan! Tapi ia heran melihat baju luar yang dipakai gadis itu. Kemudian ia melihat Kwee Ciang yang sedang berjongkok.

“Bangsat tak tahu malu! Kau harus mampus!” seru Bu Beng dengan marah.

Kwee Ciang meloncat berdiri dan ketika Bu Beng menyerangnya, ia menangkis. Tapi goloknya terlepas putus oleh Hwee hong kian! kwee Ciang menjadi pucat dan ia hanya memejamkan mata ketika Hwee hong kiam meluncur kearah lehernya. Tiba-tiba Cin Eng meloncat dan menangkis Hwee hong kiam dengan kerasnya! Pedangnya menjadi putus. Bu Beng kaget dan meloncat mundur sambil memandang kepada kekasihnya dengan heran.

“Sabar, koko,” kata Cin Eng. “Kau salah sangka. Kwee Ciang bukanlah seorang jahat. Bahkan ia telah menolong jiwaku.” Kemudian dengan singkat ia menceritakan tentang kekurangajaran Kwee Liang dan betapa Kwee Ciang menolongnya hingga ia dibebaskan dan dapat membunuh Kwee Liang.

Bu Beng menjuru dan berkata. “Maaf, Tai-ong. Tak kusangka seorang kepala bajak seperti kau ini masih mempunyai sifat satria dan gagah.”

Kwee Ciang membalas hormat dan air matanya turun kembali membasahi pipinya. “Taihiap, sungguh aku merasa malu. Aku dengan saudara misanku telah tersesat menjadi kepala bajak, walaupun kami tak pernah berlaku sewenang-wenang, tapi betapapun juga, bajak tetap penjahat dan dikutuk orang. Aku telah berlaku salah terhadap taihiap maka tak lain mohon maaf dan semoga taihiap juga sudi menyembuhkan semua kawan-kawanku yang menjadi korban karena aku. Kalau taihiap hendak menghukum, hukumlah aku yang menjadi kepala mereka, boleh aku kau bunuh atau kau serahkan kepada pembesar negeri, tapi sembuhkan kawan-kawanku.”

Mendengar ucapan dan melihat sifat setia kawan dari kepala bajak itu, Bu Beng merasa terharu dan juga girang karena dari sikapnya itu Kwee Ciang menunjukkan kejantanannya dan bahwa hatinya belum rusak. Maka Bu Beng segera menghampiri para bajak yang rebah tak bergerak karena totokan ketika mengamuk tadi dan sebentar saja tiga puluh orang lebih anak buah bajak telah dibebaskan dari pengaruh totokan.

“Saudara, Kwee Ciang,” katanya kemudian kepada Kwee Ciang, “Tadi kau sanggup memikul semua tanggung jawab. Nah, kuharap kau suka sadar akan kesesatan ini. Kau masih muda dan memiliki kepandaian tinggi. Buat apa menjadi bajak hingga membusukkan nama sendiri! Harimau mati meninggalkan kulit, manusia mati harus bisa meninggalkan nama baik! Selagi hidup mengapa kau tak gunakan kepandaianmu menolong sesama hidup dan melakukan kebajikan hingga hidupmu tidak kosong dan sia-sia? Kau bukan orang jahat, juga kau adalah seorang cerdik, kurasa kata-kataku ini sudah cukup kau mengerti. Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, terserah kepada kebijaksanaanmu sendiri.”

Kwee Ciang merasa terharu dan menghaturkan terima kasih sambil berlinang air mata. Kemudian Bu Beng mengajak Cin Eng ke tepi sungai dimana Hek Houw menanti dengan tidak sabat. Tapi ketika melihat bahwa Cin Eng telah tertolong dan selamat, ia menjadi girang. Meraka lalu berlayar lagi dengan cepat. Kwee Ciang yang merasa berterima kasih dan kagum kepada Bu Beng, mengirim orang-orang berkuda dan mendahului Bu Beng untuk memberi kabar kepada kawan-kawan bajak agar mereka jangan mengganggu Bu Beng Kiamhiap.

Demikianlah, dua minggu kemudian, setelah menikmati pelayaran di sepanjang sungai yang mempunyai tamasya, alam indah permai itu, mereka telah mendekati laut. Air sungai menjadi liar dan buas. Sungai menjadi lebar dan dalam dan alirannya cepat sekali hingga Cin Eng merasa ngeri. Tapi karena Bu Beng bertenaga besar dibantu oleh Hek Houw yang setia, mereka dapat meluncurkan perahu mereka dengan selamat memasuki lautan.

Berbeda dengan air sungai, air laut tenang seakan-akan tak bergerak sama sekali. Bu Beng dan Hek Houw yang tadinya tidak menggunakan tenaga sama sekali untuk mendayungperahu karena perahu telah laju terbawa aliran sungai hingga mereka hanya mengerahkan tenaga untuk menjaga keseimbangan dan tujuan perahu, kini merasa seakan-akan badan perahu berat sekali karena harus menempuh air diam.

Sebetulnya air laut tidak diam sama sekali bahkan dibawah permukaan air terdapat alunan gelombang, tapi permukaan laut karena luasnya tak tampak bergoyang. Pula karena mata mereka yang diatas perahu tadinya menyaksikan air sungai yang berlomba dan dengan buasnya menyerbu kearah laut, kini melihat air laut biru luas itu menjadi berkunang-kunang.

Bu Beng dan Cin Eng menggunakan tangan melindungi mata karena matahari bersinar panas berkilauan, dan mencari-cari dimana letak pulau yang dicari itu. Tiba-tiba Cin Eng menunjuk kearah timur laut.

“Koko, lihat itu!” cepat Bu Beng memandang dan nampaklah olehnya sebuah pulau panjang kecil yang berwarna hitam kehijauan.

“Tidak salah lagi, itulah Ang coat ho.” Kata Bu Beng gembira ketika samar-samar ia melihat puncak sebuah bukit menjulang tinggi di pulau itu.

Tapi tiba-tiba air laut yang tadinya diam bergelombang hebat. Anehnya yang bergelombang hanya air di depan mereka saja, seakan-akan air itu digerakkan dari bawah dan seperti ada apa-apa yang sengaja mencegat mereka! Bu Beng dan Cin Eng bersiap dengan pedang di tangan. Gelombang makin membesar dan alangkah terkejut mereka ketika tiba-tiba dari permukaan air tersembul keluar sebuah kepala ular air yang berwarna hitam!

Tapi kalau ular air di sungai paling besar hanya sepaha orang, ular air yang muncul ini sedikitnya tiga kali lebih besar dari yang biasa. Ular air itu menyemburkan air dari mulutnya dan dengn lidah terjulur panjang, ia naik sampai sebatas leher sambil memandang kearah perahu dengan mata berkilat. Kemudian ular itu menyelam kembali, tapi kini ekornya tampak makin mendekati perahu, tanda bahwa ia sedang berenang kearah perahu!

Tiba-tiba ular itu membentur perahu hingga terputar-putar, kemudian ia mengeluarkan kepala yang mengerikan itu di samping perahu, siap untuk menelan penumpangnya. Hek Houw mengangkat dayungnya dan dengan sekuat tenaga ia memukul kepala ular itu, tapi kulit ular itu licin dan keras sekali hingga dengan diiringi suara keras dayungnya patah bahkan gagangnya terlepas dari tangan karena ia merasakan telapak tangannya pedih dan panas.

Hek Houw adalah seorang pemuda berangasan dan tak kenal takut. Kejadian ini tak membikin ia kapok bahkan ia mengulurkan tangan mengambil dayung yang tadi digunakan Bu Beng dan siap hendak memukul lagi, tapi Bu Beng yang teringat bahwa dayung itu adalah dayung terakhir yang akan membawa mereka ke pulau segera merebut dayung itu.

“Jangan pukul, kau mau menghancurkan dayung ini lagi? Bentaknya.

Sementara itu, ular laut yang menerima pukulan dayung tadi seakan-akan tak merasa apa-apa, bahkan kini meletakkan kepada dan lehernya di pinggiran perahu hingga perahu menjadi miring! Binatang itu lalu bergerak hendak masuk ke dalam perahu. Cin Eng berseru keras, lalu dengan cepat ia menyambar dan mengayunkan pedangnya membacok.

Tapi pedangnyapun terpental kembali, karena leher ular itu tertutup oleh sisik yang keras bertumpuk-tumpuk lagi sangat licin hingga mata pedangnya tidak dapat melukainya. Tapi tenaga Cin Eng cukup membuat ular itu kaget dan bergerak cepat dengan mulut terbuka kearah Cin Eng, Bu Beng secepat kilat menyerang sambil berkata kepada Cin Eng.

“Jangan bacok, tusuk saja!” dan ia gunakan pokiamnya menusuk leher kanan ular itu dengan gerakan Panah Wasiat Menembus Baja.

Sementara itu Cin Eng yang tadinya hendak membacok pula, setelah mendengar nasehat Bu Beng segera merobah gerakannya dan menusuk dari kiri kearah leher ular itu. Benar saja dugaan Bu Beng, ujung pedang yang tajam walaupun tak dapat menembus sisik yang sangat licin dan keras itu, tapi dapat menerobos diantara sisik dan menancap di kulit ular itu!

Merasa betapa lehernya tertusuk dari kanan kiri hingga mengeluarkan darah dan sakit sekali, ular itu berontak dan menyentak-nyentakkan kepalanya ke kanan kiri. Tenaganya besar sekali hingga dengan kaget Cin Eng terpaksa melepaskan pedangnya yang masih menancap di leher ular. Tapi Bu Beng yang berkepandaian tinggi cepat menggunakan kegesitan dan tenaganya mencabut pedang yang merah karena darah ular.

Ular itu mendesis dan dari lubang hidungnya keluar asap hitam menyambar. Untung Cin Eng dan Bu Beng dapat berkelit jauh ke belakang. Kemudian ular itu menggerak-gerakkan kepada dan matanya melirik kearah pedang Cin Eng yang masih menancap di lehernya dan ronce pedang warna merah itu melambai-lambai tertiup angin. Ular itu menjadi marah sekali dan menggigit-gigit kearah gagang peadang di leher.

Tapi mulutnya tak dapat mencapainya. Ia menjadi bagaikan gila dan mencebur ke dalam air terus berenang kesana kemari setelah menimbulkan gelombang besar dan kacau yang membuat perahu itu terayun-ayun, ia menyelam kedalam air dan lenyap dari pemandangan, hanya meninggalkan darah merah diatas perahu dan gelombang -gelombang kecil, akibat dari amukannya tadi.

Bu Beng menghela napas lega dan Hek Houw menelan ludah. “Sungguh hebat dan berbahaya!” kata Hek Houw sambil menjulurkan lidah. Tapi akhirnya pedang kouwnio tentu dapat membunuhnya.”

“Mengapa begitu?” Tanya Cin Eng yang masih berdebar-debar karena kaget tadi.

“Ular itu kebingungan tak dapat melepaskan pedang yang menancap di lehernya hingga ia akan sibuk menggigit-gigit kearah pedang dan lupa makan lupa tidur dan akhirnya ia tentu mati kelaparan!”

Bu Beng dan Cin Eng tertawa mendengar obrolan ini.

“Untung kau tadi tidak menggunakan dayung ini untuk memukul lagi,” kata Bu Beng, “Kalau dayung ini patah bagaimana kita bisa sampai ke pulau itu?”

Kemudian Bu Beng menggunakan dayung itu untuk mendayung sekuat tenaga agar mereka dapat sampai ke pulau yang dituju secepat mungkin. Biarpun pulau itu dari situ tampak dekat saja, tapi setelah mendayung setengah hari baru mereka sampai di pantai pulau sebelah selatan.

Mereka segera mendarat dan Hek Houw menarik perahunya ke darat. Mau tak mau Bu Beng merasa ngeri juga ketika memandang keatas pulau yang merupakan bukit dengan puncak yang meruncing keatas karena pulau itu ternyata penuh dengan hutan yang agaknya belum pernah didatangi orang dan masih sangat liar. Karena pada waktu itu matahari telah bersembunyi di balik puncak dan cuaca telah mulai gelap, Bu Beng mengajak Cin Eng dan Hek Houw beristirahat di bawah pohon-pohon Siong yang besar. Tapi Cin Eng berkata,

“Dulu ayah menceritakan padaku bahwa ia ketika datang ke pulau itu telah membuat sebuah pondok kecil dari bambu di tepi pantai sebelah selatan. Mari kita cari pondok itu agar dapat mengaso dengan tenang.”

Maka mulailah mereka bertiga mencari pondok itu. Dan benar saja, di tempat yang agak tinggi terdapat sebuah pondok dengan kaki bambu panjang di empat sudut. Dengan ringan Bu Beng dan Cin Eng dapat meloncat keatas, memasuki pondok diatas yang terbentang lebar. Tapi Hek Houw yang belum tinggi kepandaiannya telah mencoba beberapa kali belum juga dapat berhasil mencapai pintu karena kaki pondok itu tingginya tak kurang dari dua tombak. Terpaksa sambil tertawa Bu Beng mengulurkan tangannya dan ketika Hek Houw meloncat lagi, ia tangkap lengan Hek Houw dan menariknya keatas.

Malam itu mereka sukar untuk dapat tidur nyenyak karena setelah hari menjadi gelap, banyak sekali binatang-binatang buas turun dari bukit dan keluar dari hutan menuju ke pantai. Binatang-binatang itu mengeluarkan suara hiruk-pikuk dan beberapa ekor diantara mereka bahkan jalan hilir mudik di bawah pondok. Tapi setelah fajar menyingsing, semua binatang buas itu kembali keatas bukit memasuki hutan.

“Kita harus berhati-hati nanti kalau naik bukit, tentu banyak pengganggu akan kita hadapi,” kata Bu Beng yang bersiap-siap hendak mulai mencari obat untuk tunangannya.

Mereka bertiga mulai naik bukit dengan senjata siap di tangan. Hek Houw membawa sebilah golok besar dan menggunakannya untuk membabat pohon-pohon kecil yang merintangi jalan. Dua kali mereka diganggu binatang buas. Pertama kali seekor harimau besar menyerang Hek Houw tapi harimau itu dengan mudah dapat dibunuh mati oleh Bu Beng.

Yang kedua kalinya seekor orang hutan hitam sebesar manusia mencoba menyerang mereka. Tapi kembali binatang ini dapat ditewaskan. Hampir saja mereka melawan mati-matian ketika kawan-kawan orang hutan itu sebanyak seratus ekor lebih datang menyerbu membela kematian kawannya. Tapi tiba-tiba Hek Houw mendapat akal. Ia membuat api dan dengan obor kayu-kayu kering di tangan ia berteriak-teriak keras sehinggga orang-orang hutan itu lari bercerai berai ketakutan.

Setelah melewati tiga buah hutan yang berbahaya dengan selamat akhirnya mereka sampai juga di tempat yang dituju. Mereka mendengar suara air bergemuruh. Ketika dicari, ternyata bunyi itu adalah sebuah air terjun yang curam dengan airnya yang putih bersih. Dan di kanan air terjun itu, di kaki puncak bukit, tampaklah goa yang mereka cari-cari. Hek Houw yang biasanya berhati tabah, menjadi ngeri dan seram juga ketika ia berdiri di depan goa itu.

Bu Beng memandang dengan penuh perhatian. Goa itu lebarnya tiga kaki lebih, lubangnya bundar dan gelap. Dinidng luar goa merupakan kepala ular besar dan lubang itu menjadi lubang mulutnya. Batu cadas yang berbentuk kepala ular besar itu mungkin terjadi karena alam, tapi bentuknya demikian sempurna seakan-akan ukiran seorang pemahat pandai atau seolah-olah memang tadinya seekor ular tulen yang telah berubah menjadi batu karena lamanya.

Ketika Bu Beng hendak masuk, dengan obor kayu kering di tangan, tiba-tiba ia mencium bau amis dan terdengar suara berkeresekan di dalam goa. Ia cepat mundur kembali dan memungut beberapa butir batu lalu melemparkannya kuat-kuat ke dalam. Terdengar batu-batu itu menghantam cadas tapi tidak terdengar suara lain. Bu Beng lalu menyuruh Hek Houw mengumpulkan kayu kering dan membakarnya di mulut goa. Ia kipas-kipas asapyang bergulung-gulung hingga masuk ke dalam goa.

Usahanya ini ternyata berhasil baik. Karena terserang asap yang memedihkan mata dan menyesakkan napas itu, penghuni goa terpaksa keluar untuk mencari hawa baru yang segar. Ketika penghuninya itu keluar dari lubang, terdengar suara mendesir-desir keras dan bau amis makin tajam menusuk hidung. Bu Beng cepat menyuruh Cin Eng dan Hek Houw menyingkir jauh, sedangkan ia sendiri dengan pedang di tangan menanti di luar goa.

Tiba-tiba terdengar desis keras sekali dan asap kayu yang tadinya menyerang ke dalam goa, tiba-tiba berbalik dan buyar bagaikan tertiup angin dan kini bergulung-gulung ke atas di luar goa. Maka tampaklah oleh Bu Beng makhluk yang dinanti-nantikannya itu. Seekor ular sebesar batang pohon liu bergerak perlahan keluar goa. Kulit ular itu indah sekali, berwarna merah dan merupakan kembang-kembang dengan bintik-bintik biru dan hitam. Panjangnya tak kurang dari dua puluh kaki. Kepalanya agak kecil tapi di tengah-tengah kepala itu tersembul sebuah tanduk daging yang dapat bergerak-gerak.

Melihat Bu Beng berdiri disitu dengan sikap menantang ular yang sedang marah mencari pengganggunya itu, memandangnya dengan mata tajam, sedangkan lidahnya yang hitam sebentar-sebentar menjilat bibir atas. Tiba-tiba tubuh ular itu mengkerut menjadi pendek dan dengan loncatan kilat bagaikan anak panah besar meluncur dari busurnya, tahu-tahu ia menyerang Bu Beng!

Hebat sekali serangan itu karena sambil menerjang mulutnya terbuka memperlihatkan taring-taring tajam dan dari dalam mlut keluar uap hitam yang berbau amis menimbulkan rasa muak. Maka Bu Beng cepat berkelit dan meloncat kesamping. Heran sekali, tubuh ular yang begitu besar ketika turun keatas tanah dapat diatur sedemikian rupa hingga seakan-akan tubuhnya itu ringan sekali.

Bu Beng tidak mau menyia-nyiakan waktu. Sebelum ular dapat membalik, ia maju dan menyabetkan pedangnya. Tapi ular aneh itu tanpa berpaling mengangkat ekornya dan menangkis pedang itu. Tenaganya besar sekali hingga hampir saja pedang Bu Beng terlepas dari pegangannya! Bu Beng terkejut sekali. Pantas saja ayah ibu Cin Eng tak dapat melawan ular ini, karena ia demikian hebat. Bu Beng diam-diam mengakui bahwa tenaganya yang terlatih kalah jauh oleh ular merah ini!

Maka ia berlaku hati-hati sekali. Manusia dan binatang itu saling serang mati-matian. Tubuh Bu Beng berkelit kesana kemari dan pedangnya berputar-putar secepat kilat menyambar. Tapi ular merah tak kalah cepat. Ia gunakan ekornya yang kuat untuk menangkis pedang dan serangan-serangannya selalu mematikan ditambah dengan taring beracun dan uap berbahaya yang selalu mengancam tubuh dan pernapasan Bu Beng!

Cin Eng yang merasa khawatir melihat tunangannya belum juga dapat membinasakan ular itu, tak peduli akan segala bahaya segera memburu dan ikut mengeroyok. Bu Beng berkali-kali menyuruh ia menjauhkan diri, tapi Cin Eng tak mau menurut. Ia tak mungkin dapat berdiri berpeluk tangan dengan hati aman melihat Bu Beng berkelahi mati-matian. Bu Beng menjadi bingung melihat gadis itu tak menurut. Kini ia harus memecah tenaganya untuk melindungi gadis itu lagi!

Dengan gemas Cin Eng menggunakan pedangnya menusuk leher ular itu dengan gerakan Tiang khing king thian atau pelangi panjang melengkung di langit. Ular itu agaknya tak melihat serangan ini karena sedang sibuk menghindari bacokan Bu Beng. Tapi ketika pedang Cin Eng sudah dekat dengan kulit lehernya, tiba-tiba ekornya menyambar kearah tangan Cin Eng yang memegang pedang!

Merasa betapa sambaran ekor itu membawa angin dingin kearah tangannya, gadis itu terkejut dan menarik tangannya tapi pedangnya tetap terpukul oleh ekor dan ia merasa telapak tanganya menjadi perih dan sakit. Terpaksa ia melepaskan pedangnya dan meloncat mundur jauh-jauh! Ia merasa belum puas. Sepasang pedangnya yang biasanya dapat menghadapi beberapa belas orang jahat bersenjata dengan tak terkalahkan, kini kedua pedang itu telah dipaksa lawan terlepas dari tangannya.

Pedang pertama lenyap menancap di leher ular laut, sedangkan pedang kedua terlempar ke jurang oleh sabetan ekor ular itu. Hampir-hampir ia menangis karena marah dan jengkel, juga karena khawatir melihat Bu Beng agaknya terdesak oleh ular itu. Hek Houw juga merasa penasaran karena tak dapat membantu. Ia menjadi marah sekali dan tiba-tiba ia memungut kayu yang dibakarnya untuk mengasapi goa itu, lalu dengan keras ia melontarkan kayu yang masih terbakar dan menyala itu kearah tubuh ular.

Tubuh ular bagian perut itu seakan-akan bermata karena ia tiba-tiba dapat menghindari lontaran itu, tapi api yang bernyala di kayu masih sempat menjilat kulit perutnya. Ular itu tiba-tiba bergerak bagaikan gila. Tubuhnya berkelojotan kesana kemari dan ia menjadi garang sekali.mulutnya berdesis-desis hebat dan ia menubruk Bu Beng dengan membabi buta. Pemuda ini melihat perubahan gerak lawannya, segera berteriak.

“Hek Houw! Cin Eng! lekas membikin api sebanyak-banyaknya! serang ia dengan api!”

Hek Houw girang sekali bahwa perbuatannya yang tak disengaja itu membuka rahasia kelemahan ular merah, maka cepat ia membuat api dan mengumpulkan kayu yang dibakar ujungnya dan dilontarkan kearah ular. Benar saja, tiap kali kulitnya terjilat api ular itu meloncat-loncat bagaikan gila dan gerakan-gerakannya tak karuan lagi. Tiba-tiba ia memutar tubuh dan menyerang kearah Cin Eng dan Hek Houw dengan satu lompatan jauh!

Pada saat itu, Cin Eng dan Hek Houw tak bersenjata apa-apa selain dua batang kayu yang menyala ujungnya. Melihat serangan hebat ini, mereka menggunakan kayu itu untuk melawan. Melihat api yang bernyala di ujung kayu, ular itu tak jadi menyambar dan turun kearah tanah, kemudian dengan merayap perlahan ia menghampiri Cin Eng dan Hek Houw yang berdiri menghadapinya dengan takut-takut.

Ular itu tampak marah sekali, tapi agaknya ia bukan marah kepada kedua orang itu, tapi marah kepada empat api merah yang menyala di ujung empat batang kayu itu. Tiba-tiba ia maju dengan mulut ternganga lebar. Ia serang ujung kayu di tangan kanan Hek Houw. Mulutnya bertemu dengan api dan ular itu bagaikan disambar petir. Ia mundur digores-goreskan bibirnya keatas tanah dan untuk menghilangkan rasa sakit di bibirnya.

Sementara itu api di ujung kayu itu menjadi padam. Kini ular itu menyerang kembali, meluncur kearah api di ujung kayu di tangan kiri Hek Houw. Karena serangannya keras, maka kali ini ia tidak hanya terjilat api, bahkan ujung kayu yang merah terbakar itu tepat bertemu dengan matanya. Hebat sekali akibatnya. Ular itu menggunakan ekornya menyabet-nyabet kesekelilingnya. Ia mebanting-banting kepalanya keatas tanah dan menggunakan ujung ekor menyabet-nyabet kepalanya yang terasa panas dan sakit.

Sementara itu Hek Houw berdiri pucat bagaikan mayat. Ia begitu takut dan bingung hingga ia hanya bisa berdiri diam sambil memandang dua batang kayu yang telah padam di kedua tangannya. Bu Beng girang sekali melihat hasil ini meloncat dan manarik lengan Hek Houw dari situ. Tepat sekali apa yang ia lakukan ini karena tiba-tiba ular itu menyerang kalang kabut kearah tempat Hek Houw tadi.

Kalau si hitam itu masih berada disitu, pasti ia takkan dapat melepaskan diri dari bencana hebat ini. Bu Beng segera minta dua batang kayu masih menyala dan dipegang oleh Cin Eng, lalu ia sendiri maju menghadapi ular itu dengan senjata istimewa ini. Karena ia dapat bertindak cepat dan gesit sekali, maka berkali-kali ujung kayu yang menyala itu bertemu dengan mata, muka, leher dan ekor ular itu, sehingga si ular makin lama makin tak berdaya. Hanya ekornya saja masih bergerak perlahan dan lemah. Bu Beng segera mencabut pedangnya dan dengan sepenuh tenaga membacok leher ular itu.

"Sraatt!" Dan putuslah leher ular merah yang dahsyat itu.

Setelah berhasil membunuh mati ular itu, Bu Beng menjatuhkan diri bersila diatas rumput dan memgumpulkan semangatnya untuk memulihkan tenaganya yang telah dikerahkan habis-habisan itu. Demikian juga Cin Eng memandang tubuh ular yang kini tak bergerak lagi itu. Setelah merasa tenaganya puluh kembali, Bu Beng dan Cin Eng mendekati kepala ular. Ternyata ular itu memang luar biasa. Sisik di kepalanya berwarna merah kekuning-kuningan bagaikan emas.

“Biarlah kita berdoa mudah-mudahan di kepala inilah adanya mustika penyembuh sakitmu itu,” kata Bu Beng yang lalu menggunakan pedangnya membelah kepala ular itu. Ternyata di dalam kepala itu terdapat benda bulat yang lembek tapi yang putih berkilauan bagaikan air perak.

“Inilah dia! Cin Eng berbisik suaranya gemetar. “Ayah dulu pernah menceritakan padaku bagaimana macamnya mustika ular itu. Inilah dia! Kalau sudah kering benda ini akan mengeras bagaikan mutiara. Lekas ambil jantungnya koko!”

Bu Beng segera membelah perut ular dan mengambil jantungnya yang merah dan kecil. Dengan bantuan Hek Houw mereka menyalakan api dan mencari air, lalu memasak jantung itu dengan campuran obat yang telah disediakan olehe Bu Beng menurut resep dari Lo Sam. Kemudian tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, ia memberikan obat itu kepada Cin Eng yang terus meminumnya sambil memejamkan matanya. Sebenarnya gadis ini merasa muak sekali, tapi karena terpaksa dan ingin sembuh, ia paksa menelan juga obat berbau amis itu.

Tapi alangkah kaget Bu Beng dan Hek Houw melihat keadaan Cin Eng setelah obat itu memasuki perutnya. Gadis itu memegang-megang kepalanya seakan-akan merasa peningsekali dan kedua matanya tetap dipejamkan. Lalu gadis itu berdiri dan sambil memegang kepala terhuyung-huyung hendak jatuh. Bu Beng memburu cepat dan memeluk tunangannya. Ia makin terkejut dan khawatir sekali ketika tangannya merasa betapa tubuh Cin Eng menjadi panas sekali seakan-akan terbakar.

“Eng-moi... moi-moi... kau kenapa?? tapi Cin Eng tak dapat menjawab, bahkan tubuhnya menjadi lemas dan ia jatuh pingsan dipelukan Bu Beng.

“Eng moi... Engmoi… ah Hek Houw bagaimana ini? Bu Beng kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa.

Hek Houw juga bingung, tapi ia tidak kehilangan akal. Ia lihat bahwa selain goa ular itu, masih ada lagi dua buah goa kecil dan dekat situ. Maka ia lalu menasehati Bu Beng supaya membawa Cin Eng yang masih pingsan ke dalam sebuah goa kecil, Bu Beng telah kehilangan akal, mendukung tubuh Cin Eng ke dalam goa itu dan meletakkan tubuh gadis itu diatas rumput kering yang disusun Hek Houw di dalam goa.

Bu Beng memegang nadi tangan Cin Eng dan hatinya agak lega ketika merasa bahwa denyut nadi gadis itu masih tetap dan biasa. Tapi hawa panas yang memancar dari tubuh gadis itu membuat ia khawatir sekali. Tapi apa daya? Ia hanya dapat menjaga dengan cemas di dekat tunangannya yang terlentang bagaikan sedang tidur nyenyak itu. Hek Houw meninggalkan Bu Beng dan duduk mengaso di dalam goa kecil disebelahnya.

Sampai semalam suntuk, Cin Eng belum juga siuman Bu Beng menjaga di sampingnya dengan tak bergerak-gerak. Mereka berdua merupakan dua buah patung hidup, seorang telentang dan yang seorang pula duduk bersila, Hek Houw menyalakan api di luar kedua goa kecil untuk menolak gangguan binatang hutan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, ketika Bu Beng mulai merasa sedih dan putus harapan, tiba-tiba Cin Eng bergerak dan mengeluh.

“Aduh... perutku sakit sekali...” gadis itu mengaduh-aduh sambil memegangi perutnya.

Bu Beng menjadi girang melihat tunangannya siuman tapi serentak juga merasa bingung melihat betapa gadis itu merintih-rintih. Tiba-tiba Cin Eng muntah-muntah dan dari perutnya keluar gumpalan-gumpalan hitam.

“Koko, keluarlah, pergilah dari sini!” Cin Eng berteriak kemalu-maluan mengusir Bu Beng.

Tapi Bu Beng menggeleng-gelengkan kepala dan bahkan menggunakan ujung baju mengusap mulut Cin Eng yang telah berhenti muntah.

“Koko, keluarlah!” Cin Eng berkata marah karena ia merasa malu sekali. “Dan tinggalkan baju luarmu!”

Terpaksa Bu Beng keluar mendengar ucapan yang mengandung paksaan ini. Tapi ia girang sekali melihat wajah Cin Eng yang kemerah-merahan dan biarpun berpura-pura marah tapi gadis itu masih tak dapat menyembunyikan senyum bibirnya. Ia menanti di luar gua dan segera memberitahu kepada Hek Houw yang masih mendengkur di gua sebelah.

“Hek Houw, Cin Eng sudah siuman dan sembuh.”

Hek Houw tersenyum girang. “Sukurlah. Ah, obat itu benar-benar terlalu manjur dan keras kerjanya hingga mengagetkan orang saja.”

Pada saat itu Cin Eng dengan memakai pakaian luar Bu Beng, lari keluar menuju ke sebuah anak sungai. Bu Beng mengejar, tapi ia tersenyum dan kembali lagi ketika melihat bahwa gadis itu pergi ke sungai hanya untuk mencuci pakaiannya yang kotor. Setelah yakin benar bahwa Cin Eng sudah sembuh, Bu Beng membuat obor dan sambil memegang obor menyala ia memasuki gua ular itu. Cin Eng mencegah, tapi Bu Beng mengatakan ia hanya ingin melihat apakah isi gua itu. Maka akhirnya Cin Eng menyetujui juga. Sedang Hek Houw yang hendak ikut ditolaknya.

Dengan tangan kiri memegang obor dan tangan kanan memegang Hwee hong kiam, ia memasuki gua itu dengan membongkok. Ternyata bahwa gua itu membelok ke kiri dan dalam sekali. Bu Beng terus maju dan setelah membelok tiga kali ke kiri dan tiga kali ke kanan, tiba-tiba ada angin meniup dan obornya padam! Bu Beng kaget sekali. Ia siap menjaga dengan pedangnya, tapi tidak ada apa-apa, hanya terdengar suara angin meniup dari depan tiada hentinya.

Dengan heran Bu Beng bertindak maju, ia dapat berjalan sambil berdiri lempang karena tempat itu makin melebar. Kemudian setelah membelok sekali lagi ke kiri, ia lihat di depannya ada cahaya terang menyinari dari atas memasuki gua, diiringi dengan masuknya angin yang bertiup keras dan membuat obornya padam tadi. Kini mengertilah ia bahwa gua itu merupakan sebuah sumur. Dan tepat dimana sinar itu masuk, ia melihat sebuah pintu.

Ketika daun pintu ditolaknya, ternyata tidak terkunci. Dengan hati hati Bu Beng memasuki kamar itu. Pandangan pertama-tama yang menyambutnya membuat ia kaget dan hamper berteriak. Sebuah kerangka ular yang besar sekali melingkar di situ dengan kepala menghadap ke pintu dengan mulut terbuka lebar seakan-akan hendak menggigitnya!

Di dekat kerangka ular besar itu rebah sebuah kerangka manusia. Dan sebuah pedang yang aneh bentuknya tersangkut diantara tulang-tulang di leher ular itu. Agaknya manusia yang kini sudah tinggal kerangkanya saja itu dulu telah membunuh ular ini dengan menggunakan pedang yang kini tersangkut di tulang leher ular. Bu Beng mengambil pedang itu dan membolak-balikkannya.

Gagang dan pedangnya menjadi satu, gagang merupakan kepala ular dan ujungnya yang runcing merupakan ekornya. Di bagian leher pedang itu agak berlekuk-lekuk tapi dari batas perut sampai ke ekor lurus dan tajam kanan kiri. Yang paling aneh, pedang itu berwarna merah. Di bagian kepala, yaitu gagangnya ada ukiran kecil tiga huruf yang berbunyi 'Ang coa kiam' atau Pedang Ular Merah.

Ketika ia memandang kearah rangka manusia itu, ia dapatkan sebuah sarung pedang tergantung dengan tali di tulang pinggangnya. Ia ambil sarung itu yang ternyata adalah sarung pedang istimewa untuk Ang coa kiam. Girang sekali hati Bu Beng mendapat pedang pusaka ini, lalu digantungkannya pedang itu di pinggang dan ia terus memeriksa keadaan kamar itu.

Di sudut kamar terdapat dua peti kecil. Hatinya berdebar. Barang pusaka apa lagi yang berada disitu? Ia maju menghampiri dan membuka peti pertama. Isinya hanya sebuah buku. Ketika ia membolak balik lembaran kitab tua itu, ternyata bahwa yang dipegangnya adalah Ang coa kiamsut Pit kip yakni Kitab Rahasia Ilmu Pedang Ang coa kiam! Di dalam buku terdapat pelajaran ilmu pedang yang sangat aneh berikut lukisan tentang gerakan-gerakan yang harus dibuat.

Peti kedua ketika dibuka membuat mata Bu Beng menjadi silau. Di dalamnya penuh dengan permata dan batu-batu giok yang indah dan tak ternilai harganya. Ketika ia memeriksa, maka barang-barang itu merupakan perhiasan-perhiasan kuno yang pantasnya hanya dimiliki oleh seorang permaisuri atau keluarga raja.

Bu Beng membawa dua peti itu dan hendak keluar gua. Tapi ketika ia memandang kearah rangka manusia itu, timbul rasa iba dalam hatinya. Bukankah manusia yang kini tinggal rangkanya itu mungkin pemilik semua barang berharga yang terjatuh ke dalam tangannya? Sudah sepatutnya ia membalas budi demikian besar itu. Maka ditaruhnya dua peti itu kembali, lalu ia mengumpulkan tulang-tulang rangka, diikat dengan saputangan.

Setelah semua tulang terkumpul lengkap, baru ia bawa semua barang itu keluar dari gua. Untuk jalan keluar biarpun ia tidak menggunakan obor dan keadaan sangat gelap hingga tangan sendiri pun tak dapat terlihat, namun karena tidak ada keragu-raguan dan kekhawatiran lagi, ia dapat merayap dan meraba-raba menuju keluar.

Cin Eng girang sekali melihat Bu Beng keluar dengan selamat. Ia tadinya sudah sangat khawatir dan kalau bukan Hek Houw yang menghidburnya dan melarangnya dengan alasan-alasan kuat, pasti ia tadi telah menyusul masuk! Alangkah senangnya mendengar tentang pusaka yang didapatkan Bu Beng. Kemudian dengan khidmat dan hati-hati mengubur rangka manusia itu di luar gua. Ketika Bu Beng memeriksa lagi kitab ilmu pedang itu, di bagian belakang terdapat tulisan yang indah sekali.

Ilmu pedang ini hanya boleh dipelajari di atas pulau Ang coat ho sesudah dipelajari harus segera dijadikan abu!

Bu Beng yang sangat tertarik akan isi kitab dan ia telah yakin bahwa ilmu pedang itu betul-betul hebat dan luar biasa sekali, segera mengajak Cin Eng turun bukit. Tapi ketika ia menengok, Hek Houw telah lenyap dari situ! Berkali-kali Bu Beng memanggil-manggil, tapi Hek Houw tidak ada. Bu Beng menjadi jengkel, dan terpaksa menunda maksudnya turun bukit.

Tadinya ia bermaksud tinggal di pondok dekat pantai itu dan mempelajari kita ilmu pedang itu di atas pulau, tapi tak sampai hatinya untuk meninggalkan Hek Houw turun gunung. Maka bersama Cin Eng mereka lalu masuk ke dalam gua kecil sebelah kiri. Bu Beng mulai membaca dan mempelajari Ang coa kiamsut, sedangkan Cin Eng pergi mencari buah-buahan sambil menikmati pemandangan indah pulau itu, sekalian mencari Hek Houw.

Setelah menanti setengah hari lebih dan hari sudah menjadi sore, ternyata Hek Houw belum juga kembali Bu Beng mulai khawatir kalau-kalau si dogol itu mendapat bencana. Ia berkata kepada Cin Eng bahwa mereka terpaksa harus menanti sampai besok. Cin Eng yang juga sayang kepada Hek Houw yang jujur dan setia, menyatakan persetujuannya.

Tapi tiba-tiba pada saat itu terdengar suara gemuruh dan mereka merasakan tanah bergoyang hebat! Setelah tanah seakan-akan berayun-ayun beberapa lama hingga Cin Eng menjadi takut dan memeganggi lengan Bu Beng dengan tubuh menggigil, maka goncangan menjadi reda dan tanah kini hanya tergetar saja. Tapi suara gemuruh masih saja terdengar.

“Mungkin gunung ini hendak meletus,” kata Bu Beng. Ia bawa dua peti kecil itu dan menarik lengan Cin Eng. “Mari kita tinggalkan tempat ini. Berbahaya!”

Dan sambil berlari-lari di atas tanah yang bergetar-getar mereka berdua turun bukit., dikejar oleh suara gemuruh di belakang mereka. Biarpun melalui tempat yang sudah mulai gelap, tapi karena dikejar rasa takut mereka tak mempedulikannya sehingga akhirnya mereka dapat juga keluar dari hutan dan akhirnya sampai juga mereka di tepi laut dengan napas terengah-engah. Mereka merasa ngeri. Suara bergemuruh itu masih saja terdengar dari situ, tapi getaran tanah hanya terasa sedikit. Mereka lalu menuju pondok buatan ayah Cin Eng dan naik, lalu beristirahat.

cerita silat online karya kho ping hoo

Demikianlah, hampir tiga bulan lamanya Bu Beng mempelajari ilmu pedang Ular Merah itu dengan tekun dan rajin. Selama itu, Cin Eng tak mau mengganggunya, karena gadis inipun maklum betapa calon suaminya sedang mempelajari sebuah ilmu pedang yang ampuh. Ia sendiripun ingin sekali mempelajarinya, tapi ia pikir bahwa kalau iapun ikut belajar, maka tentu akan memakan waktu lebih lama lagi. Mengapa terburu-buru? Masih banyak waktu baginya kelak untuk belajar dari Bu Beng!

Maka dengan pikiran itu, Cin Eng hanya melatih kepandaian sendiri dan tiap hari mencari buah-buahan untuk makan mereka. Yang mengganggu pikiran mereka ialah Hek Houw. Pemuda hitam itu sampai sekarang belum kembali! Mereka merasa pasti bahwa Hek Houw tentu sudah tewas. Diam-diam Bu Beng merasa sedih mengingat nasib muridnya itu.

Kasihan pemuda itu yang telah mengangkat guru padanya dan telah membela dan mengantarnya sampai ke pulau Ular Merah sehingga berhasil yang diusahakannya. Sedangkan sebagai balas budi, belum pernah ia mengajar silat kepada muridnya itu. Setelah hafal betul semua pelajaran ilmu pedang di dalam kitab itu dan dapat menangkap dasar-dasarnya dengan sempurna, Bu Beng lalu membakar kitab itu. Kemudia ia berkata kepada Cin Eng.

“Eng moi, kurasa sekarang sudah tiba waktunya bagi kita untuk pulang.”

Cin Eng mengangguk tapi wajahnya tampak sedih. Bu Beng maklum apa yang mengganggu pikiran tunangannya.

“Apa boleh buat, Eng moi. Hek Houw agaknya memang sudah ditakdirkan harus meninggal dunia di pulau ini. Sudah cukup lama kita menanti disini.”

Cin Eng menghela napas. “Yang kuherankan , koko, setelah kita kubur rangka di depan gua itu, tiba-tiba saja Hek Houw lenyap. Kemanakah gerangan ia pergi?”

Bu Beng mengangkat pundak. “Bagaimana kalau aku pergi keatas mencarinya?”

“Kurasa tiada gunanya dicari, kalau ia masih hidup tentu sudah lama ia datang kesini. Tapi kurasa tiada salahnya kalau sebelum meninggalkan pulau ini, kita naik sekali lagi dan mencoba mencari jejaknya,” kata Cin Eng.

Tapi pada saat itu tiba-tiba Bu Beng memagang lengan Cin Eng dan berkata kaget, “Eng moi, lihat!” Cin Eng menengok dan ia pegang lengan Bu Beng dengan hati bedebar-debar.

Dari atas bukit tampak seorang tinggi besar berlari secepat kilat. Gerakan orang itu ringan dan cepat sekali hingga sebentar saja ia sudah berada di depat mereka dengan muka tertawa senang.

“Hek Houw, kau??” teriak Bu Beng girang sekali sambil memegang pundak orang itu. Tapi lagi-lagi ia terkejut ketika terasa olehnya betapa pundak Hek Houw terasa keras bagaikan besi dan mengandung tenaga tersembunyi yang kuat! “Eh, kau kemana saja selama ini, Hek Houw?”

“Suhu... aku, eh... aku... hem…? Hek Houw berkata gugup dan tak karuan.

“Hek twako, tenangkanlah dirimu. Kami menanti sampai berbulan-bulan tapi mengapa kau tidak datang? Kemana sajakah kau, twako? Tanya Cin Eng yang juga merasa gembira sekali dengan kembalinya Hek Houw.

“Kouwnio, aku girang sekali kalian selamat. Aku... telah...” kembali ia berhenti dengan bingung.

“Sudahlah, Hek Houw kalau kau tidak suka menceritakan, kamipun takkan memaksamu,” kata Bu Beng dengan suara menghibur.

Mendengar kata-kata gurunya ini, wajah Hek Houw makin merah dan bingung. Kemudian ia mengangkat dada dan berkata dengan tetap. “Suhu sebetulnya teecu selama ini berada di dalam sebuah gua siluman.”

“Gua siluman??”

Hek Houw mengangguk, “Letak gua itu tak jauh dari gua ular. Ketika teecu melihat suhu mendapatkan pusaka dari dalam gua, saya lalu nekat memasuki gua yang seram itu. Dan di dalamnya. Selain setan-setan yang berkeliaran tanpa wujud, teecu dapatkan sejilid kitab pelajaran silat yang telah teecu pelajari sampai habis!”

“lmu silat apakah Hek Houw? Tanya Bu Beng dengan girang dan ingin tahu.

Kembali Hek Houw ragu-ragu tapi sekali lagi pemuda hitam itu mengangkat dadanya yang lebar dan kuat. “Ilmu silat Ang coa koat kunhwat yang mempunyai tiga belas kali gerakan!”

Sehabis berkata demikian Hek Houw menggerakkan tubuh dan dengan cepat sekali ia bersilat. Gerakan-gerakannya aneh membingungkan, tapi tiap pukulannya mendatangkan suatu angin. Sungguh ilmu silat yang jarang ada di dunia ini. Bu Beng dan Cin Eng kagum sekali. Dalam waktu tiga bulan saja pemuda hitam yang kasar dan bodoh ini telah dapat memiliki ilmu silat yang dalam keadaan biasa tak mungkin dapat ia pelajari selama sepuluh tahun.

Seperti ketika mulai, Hek Houw menghentikan permainan silatnya dengan tiba-tiba lalu ia tertawa gelak-gelak. Seram sekali suara tawa ini hingga Bu Beng terpaksa memandang wajah muridnya dengan pandangan ganjil. Juga Cin Eng tiba-tiba merasa takut melihat Hek Houw.

“Sudahlah, Hek Houw. Aku ikut girang sekali melihat peruntunganmu. Kurasa kini kepandaian silatmu tak kalah denganku. Hayo kita berlayar dan pulang ke daratan Tiongkok.”

“Benar, Hek Houw. Mari kita mengambil perahumu dan berlayar pulang,” kata Cin Eng.

“Pulang? Perahuku? Ha ha ha! kalian mau pakai perahuku? Ha ha ha! perahuku bukan untuk orang lain. Perahuku untukku sendiri. Ha ha ha.”

Bu Beng dan Cin Eng saling pandang dan gadis itu merasa bulu tengkuknya berdiri. Bu Beng memandang wajah Hek Houw dengan tajam dan ia merasa betapa sepasang mata Hek Houw telah berubah sinarnya, tidak seperti tadi lagi. Mata itu kini terputar-putar dan melirik ke kanan kiri dan sinarnya ganjil sekali. Juga bibir pemuda itu tertarik seakan-akan menyeringai dan mengejek.

“Hek Houw!” katanya tajam, tapi Hek Houw sudah mendahuluinya meloncat dan lari ke tempat dimana ia menambatkan perahunya. Bu Beng dan Cin Eng mengejar. Hek Houw yang sudah tiba disitu lebih dulu, menggunakan tangan kiri mengangkat perahunya. Bu Beng kagum sekali melihat tenaga Hek Houw yang sudah maju sedemikian hebat. Hek Houw dengan menyeringai menanti kedatangan mereka dan kembali berkata,

“Perahuku untuk aku sendiri. Orang lain tak boleh naik.”

“Hek Houw, tapi aku gurumu!” kata Bu Beng.

“Guru? Ha ha ha! Guruku ia iblis pulau Ang coat ho! Kalian jangan ganggu aku, pergi!"

Sambil berkata demikian ia gunakan tangan kanannya mendorong Bu Beng. Bu Beng segera menggunakan tangannya menangkis dorongan itu karena dari anginya ia tahu betapa kuat tenaga dorongan Hek Houw. Dan ketika kedua tangan mereka beradu. Bu Beng kena terdorong mundur beberapa tindak! Tapi Hek Houw sendiri terhuyung dan melepaskan perahunya yang jatuh bedebuk di atas pasir pantai.

“Hek Houw, ingatlah! Kenapakah kau ini?”

“Kau orang jahat, orang jahat! Kau mau ganggu aku, murid raja siluman Ang coat ho?” dan menyeranglah ia dengan hebat.

Bu Beng mengelak cepat dan mereka segera bertempur dengan hebat. Bu Beng harus berlaku hati-hati sekali, ternyata ilmu silat Hek Houw benar-benar aneh dan liar hingga beberapa kali hampir saja ia kena terpukul. Kalau lawannya bukan Hek Houw dan kalau ia tidak sudah tahu bahwa ada terjadi sesuatu dengan pikiran dan bathin pemuda hitam itu, tentu Bu Beng sudah menggunakan pedangnya. Ia tidak tega untuk menggunakan pedangnya terhadap Hek Houw, tapi dengan tangan kosong saja, rasanya tak mungkin ia bisa menjatuhkannya!

Gerakan-gerakan Hek Houw terlampau licin, sukar sekali dipukul, jangan kata hendak ditangkap! Tapi tiba-tiba Hek Houw meloncat ke belakang sambil berkata,

“Kau orang jahat, kau terlampau kuat. Aku tiada waktu lagi, mau pulang. Pulang ke kampong.”

Maka secepat kilat Hek Houw membungkuk dan sebelum tahu apa yang hendak dilakukan pemuda itu, Bu Beng tiba-tiba melihat pasir menyambar dari tangan Hek Houw menyerang mukanya. Ternyata pemuda hitam itu menggunakan pasir sebagai senjata rahasia. Biarpun hanya pasir, tapi karena dilepas dengan cara yang istimewa dan mengandung tenaga besar, pasir itu bukan tak berbahaya, lebih-lebih jika dapat mengenai mata! Bu Beng cepat mengelak dan ketika ia memandang lagi ke depan, ternyata Hek Houw sudah mengangkat perahunya dan lari ke laut.

“Kejar, koko!” teriak Cin Eng.

Tapi Bu Beng hanya menggelengkan kepala dan memungut sehelai kertas yang tadi melayang keluar dari saku baju Hek Houw ketika pemuda hitam itu membungkuk untuk mengangkat perahunya. Ia bolak balikkan kertas itu dan tiba-tiba berkata,

“Eng moi, lihatlah ini!” suaranya gemetar.

Cin Eng lari menghampiri dan ternyata kertas itu adalah sobekan kulit sebuah kitab yang ada tulisannya demikian 'Ang coa koai kunhwat ini diturunkan kepada dia yang menemukannya. Dia boleh mempelajarinya dan menjagoi di seluruh daratan, tapi jika dia ceritakan hal ilmu silat ini kepada orang lain, dia terkutuk menjadi gila'

Seperti juga bunyinya yang ngeri, tulisan itupun seperti cakar ayam dan kelihatan jelek sekali, tapi harus diakui bahwa yang menulisnya memiliki tenaga yang garang dan hebat. Ketika Cin Eng memandang wajah tunangannya yang sedih dan kecewa, ia maklum bahwa Bu Beng menyesali diri sendiri mengapa telah mendesak Hek Houw untuk mengaku hingga mengakibatkan pemuda itu menjadi gila, terkena kutukan sumpah iblis pengarang dan pencipta ilmu silat siluman ini!

Ia memegang lengan Bu Beng dengan halus dan berkata, “Koko, sudahlah jangan sedih. Kita lakukan itu tidak dengan sengaja, siapa tahu bahwa Hek Houw telah mempelajari ilmu yang memakai syarat demikian gila?”

Karena perahu satu-satunya telah dibawa minggat oleh Hek Houw terpaksa Bu Beng menebang sebatang pohon siong besar dan dari batang itu ia membuat sebuah perahu sederhana. Tapi karena ia tidak mempunyai kapak dan hanya bekerja dengan menggunakan pedang, maka setelah memakan waktu lima hari barulah perahu buruk dan sederhana itu selesai.

Maka berlayarlah Bu Beng dan Cin Eng, kembali ke daratan Tiongkok. Peti berisi harta pusaka itu dibungkus dan ditaruhnya dalam pauwhok (ransel) yang tergantung di punggungnya. Setelah mencapai daratan Bu Beng membeli dua ekor kuda dan mereka meneruskan perjalanan pulang dengan jalan darat. Bu Beng memberikan pedang Hwee hong kiamnya kepada Cin Eng dan ia sendiri menggantungkan Ang Coa kiam di pinggangnya.

Kebetulan sekali perjalanan mereka melalui kampong Lok leng chung dimana Lo Sam di Pengemis Kecil Tongkat Wasiat tinggal. Ketika itu musim Chun telah menjelang datang, maka teringatlah Bu Beng akan undangan Lo Sam untuk singgah di kapungnya dan ikut menghadiri pesta ulang tahun ketiga belas dari perserikatan pengemis.

Ketika tiba di kampong itu, mudah saja baginya mencari alamat Lo Sam karena Pengemis Kecil ini terkenal sekali. Berbeda dengan sebutannya dan pakaiannya yang selalu penuh tambalan, tempat pusat perkumpulan itu merupakan rumah besar sekali, biarpun tak dapat disebut mewah. Lo Sam menyambut Bu Beng dan Cin Eng dengan girang.

“Selamat datang, selamat datang!” si kate itu berulang-ulang berkata dengan wajah berseri-seri.

Disitu telah datang puluhan tamu yang terdiri dari orang-orang kang ouw ternama, karena nama Lo Sam cukup berpengaruh dan dihormati. Melihat para tamu itu memberi barang-barang sumbangan atau tanda hormat yang diletakkan berjajar-jajar di atas meja, Bu Beng diam-diam mengeluarkan sebuah perhiasan rambut permata dari kotaknya dan menaruhnya diatas meja sambil berkata kepada Lo Sam.

“Lo enghiong, kami tak dapat memberi apa-apa, harap barang kecil tak berarti ini dianggap sebagai tanda hormat.”

Tapi Lo Sam dan beberapa orang tamu yang berada di dekat situ memandang perhiasan dengan mata terbelalak. Permata-permata itu mengeluarkan cahaya gemerlapan yang warnanya macam-macam dan indah sekali, sungguh sebuah barang mustika yang jarang terlihat orang!

“Tapi... tapi... Bu Tahiap, barang ini tak ternilai harganya, aku pengemis hina dan tua tak berani menerimanya,” kata Lo Sam gugup.

Bu Beng tersenyum. “Apakah barang ini terlampau kecil dan tak berharga hingga tak dapat diterima?”

“Oh, tidak, tidak! Ah... serba susah, biarlah, kuterima Bu tahiap, terima kasih,”

Akhirnya Lo Sam berkata sambil memegang dan memutar-mutar barang itu di tangannya dan berkali-kali menghela napas. Ia dapat menaksir bahwa barang itu sedikitnya berharga sepuluh ribu tail.

Makin lama makin banyaklah tamu-tamu yang datang. Diantaranya tampak Kim Kong Tianglo yang segera memeluk sutenya dan mengobrol dengan gembira. Bu Beng menceritakan pengalamannya dengan singkat kepada suhengnya tercinta itu. Juga hadir disitu Sim Boan Lin dan Sim Tek Hin, Lui Im dan Ang Hwat Tojin! Sim Boan Lip dan puteranya memberi hormat kepada Bu Beng, agaknya mereka sudah mengubah adap hingga diam-diam Bu Beng merasa girang.

Lui Im merasa gembira sekali dapat bertemu kembali dengan Bu Beng. Sedangkan Ang Hwat Tojin yang datang bersama susioknya yang usianya hampir sebaya dengan ia sendiri agaknya tak suka memandang kepada Bu Beng. Ia rupa-rupanya merasa sombong karena ditemani susioknya yang terkenal bernama Pauw Hun Lin dengan julukan Naga Ekor Sepuluh!

Pauw Hun Lin adalah seorang saudagar kaya raya dan karena ilmu silatnya tinggi, maka ia terkenal di kalangan kang ouw hingga menerima undangan dari Lo Sam pula. Kini Pauw Kauwsu ini datang membawa sumbangan berupa arca Budha dari batu giok yagn indah dan mahal. Dulu sebelum menjadi guru silat, hingga orang-orang memanggil dia Pauw Kauwsu.

Pauw Kauwsu duduk semeja dengan Ang Hwat Tojin, Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin. Sedangkan Bu Beng dan Cin Eng ditemani Kim Kong Tianglo dan Lui Im. Lo Sam sendiri sebagai tuan rumah melayani para tamu kesana kemari, mengisi arak dan menawarkan hidangan, kadang-kadang keluar menyambut datangnya tamu-tamu baru. Para pelayan semua terdiri dari pemuda-pemuda tegap berbaju baru. Tapi baju mereka ini semua penuh tambalan! Karena hidangan yang dikeluarkan serba mewah dan nikmat, maka keadaan disitu agak ganjil, yakni jembel dan mewah bercampur aduk.

Tiba-tiba datang tamu baru terdiri dari lima orang. Banyak tamu yang melihat mereka masuk segera berdiri dan memberi hormat, Lo Sam sendiri menyambut mereka dengan hormat sekali, bahkan semua orang-orang di meja Ang Hwat Tojin bangun berdiri dan Pauw Hun Lin segera menghampiri tamu baru itu dan memberi hormat yang dibalas oleh kelima orang itu dengan hormat pula.

Melihat banyak orang menyambut kedatangan mereka, kelima orang itu mengangkat dada dengan sikap jumawa sekali, kemudian yang tertua diantara mereka mengeluarkan beberapa potong emas dan memberikannya kepada Lo Sam sebagai sumbangan.

Bu Beng sejak tadi memperhatikan mereka dengan hati tertarik dan menduga-duga siapakah kelima orang yang berpengaruh itu. Tiba-tiba Cin Eng memegang lengan kirinya dengan keras dari bawah meja. Pun Kim Kong Tianglo tampak terkejut dan segera berbisik padanya.

“Merekalah Ngo Houw dari Tiang san.”

Sementara Cin Eng berbisik. “Koko, mereka inilah pembunuh-pembunuh ayah ibuku!” suara Cin Eng bercampur isak dan kedua matanya mengeluarkan sinar marah. Gadis itu tak dapat menahan hatinya dan hendak mencabut Hwee hong kiamnya. Tapi baru saja ia meraba gagang pedangnya, Bu Beng memegang tangannya dan berkata.

“Eng moi, sabarlah. Kita harus menghormati Lo Sam lo enghiong dan jangan membikin kacau pestanya yang berarti menghinanya. Masih banyak waktu membalas dendam di luar tempat ini.”

Mendengar alasan kekasihnya yang penuh cengli ini terpaksa Cin Eng duduk kembali dan menahan perasaan marahnya. Ia hanya memandang kearah Lima Harimau dari Tiang an itu dengan mata menyala. Kim Kong Tianglo membenarkan pandangan Bu Beng dan ikut membujuk agar gadis itu bersabar.

Sementara itu, karena ajakan Pauw Hun Lin, Lima Hariamau dari Tiang-an itu duduk semeja dengan mereka. Sebentar saja di meja mereka terdengar suara tertawa gembira dan mereka makan minum penuh kegembiraan.

Ngo houw dari Tiang an berusia rata-rata diantara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Mereka bukanlah kakak beradik tapi saudara seperguruan yang membuka sebuah piauw kiok atau kantor ekspedisi pengantar barang. Mereka terkenal sekali dengan ilmu golok cabang Gobi karena sebenarnya Ngo houw ini adalah murid-murid dari Hok seng Hwesio seorang tokoh cabang Gobi, sayang sekali lima saudara ini beradat sombong dan takabur.

Mereka menganggap diri mereka hiapkek atau pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan mereka membasmi semua penjahat tanpa pilih bulu. Maka semua perampok dan bajak sangat takut kepada jago-jago dari Tiang-an ini. Dan Liu Pa San, ayah Cin Eng, biarpun ia seorang maling budiman, tapi ketika bertemu dengan mereka ini, tidak diberi ampun lagi.

Tiba-tiba Bu Ong, jago tertua dari Tiang-an itu setelah menghirup habis secawan arak, berkata sambil tertawa kepada Lo Sam yang berada di meja mereka untuk melayani.

“Lo enghiong, pesta ini cukup menyenangkan. Tapi sayang sekali ada beberapa orang dari golongan rendah ikut menyelundup masuk mengotorkan pesta ini.”

Lo Sam terkejut mendengar omongan ini. “Eh, kau main-main, sicu. Semua yang hadir disini adalah kenalan-kenalanku. Orang-orang kang ouw yang terhormat.”

Bu Houw, jago kedua, mengeluarkan suara ejekan dari hidung. “Hm, lo enghiong hendak menyamakan kaum maling dan anak maling itu termasuk orang-orang terhormat?”

“Maling? Anak maling? Siapa yang sicu maksudkan?” Tanya Lo Sam dengan heran.

“Ha ha ha! ada maling di depan mata masih belum tahu!” Bu Ong tertawa dan menggunakan sebatang sumpit menusuk sepotong paha ayam dan sekali menggerakkan jarinya, paha ayam itu terlepas dari ujung sumpit bagaikan anak panah dan menyambar kearah wajah Cin Eng!

Nona ini marah sekali dan hendak menusuk daging itu dengan sumpitnya, tapi Bu Beng mendahuluinya dan menggerakkan tangan, daging itu terbang kembali kearah muka Bu Ong dengan kecepatan dua kali lipat daripada datangnya tadi!

Bu Ong terkejut dan terpaksa menangkis daging yang hendak menghantam mukanya ini dengan tangan, tapi malang sekali bagi Bu Liong jago keempat yang duduk disebelahnya dan masih tertawa karena lagak suhengnya tadi hingga daging itu dengan tak tersangka-sangka menyambar cepat dan tepat memasuki mulutnya yang masih terbuka. Tentu saja ia menjadi gelagap.

Terdengar suara ketawa di meja Bu Beng, karena Lui Im , Kim Kong Tianglo dan Cin Eng tak dapat menahan geli hatinya dan tertawa gembira. Kelima saudara Bu itu marah sekali dan Bu Ong meloncat berdiri sambil memaki.

“Maling dan anak maling, sayang tempo hari kami tak sempat membasmi kalian. Kebetulan sekali hari ini kalian berani memperlihatkan muka, pasti taiyamu tak dapat memberi ampun padamu.”

“Bangsat kurang ajar! Memang kami sengaja mencari-carimu untuk membalas dendam ayah ibuku? Sekarang kita sudah ketemu jangan harap kau akan hidup lebih lama lagi!”

Lo Sam berdiri kebingungan melihat ini. Bu Beng segera menarik tangan Cin Eng dan berkata kepada Bu Ong dan kawan-kawannya. “Kalian disebut Ngo Houw dari Tiang-an yang sudah tersohor sebagai orang-orang gagah. Tapi mengapa kalian tidak kenal perikesopanan? Kita harus menghormati Lo Sam enghiong dan jangan membikin ribut di pesta ini. Kalau kalian memang laki-laki, mari kita keluar!”

“Eh, eh, setan kecil, siapa kau berani ikut campur?”

“Dia... dia adalah Bu Beng Kiamhiap, mari kuperkenalkan,” Lo Sam mencoba mendamaikan mereka karena ia sebenarnya tak tahu sebab musabab permusuhan mereka ini.

“Hm, pantas sombong sekali, kiranya Bu Beng siauwcut! Kau kira kami takut padamu?”

“Jangan banyak mulut! Kalau memang berani, hayo keluar!” teriak Cin Eng marah.

“Ha ha ha, galak benar si manis ini, berikan saja padaku Twa suheng,” kata Bu Kiat, jago yang termuda dan yang terkenal mata keranjang. Bu Ong hanya tertawa.

Bu Beng, Cin Eng, dan Kim Kong Tianglo sudah tak sabar lagi, mereka meloncat keluar dari pekarangan itu dan menanti di luar setelah menjuru kepada Lo Sam. Kelima Macan dari Tiang-an ikut keluar. Tentu saja menghadapi pertempuran yang pasti ramai dan menarik hati, semua tamu ikut keluar dengan makdud menonton, karena mereka semua terdiri dari para ahli silat. Maka kosonglah tempat pesta itu. Bu Beng memberi pesan kepada kawan-kawannya untuk tinggal diam karena ia hendak melawan sendiri kelima jago itu. Ia berdiri menanti dengan pedang Ang coa kiam di tangan dengan sikap tenang sekali,

Tapi, baru saja kelima harimau Tiang-an itu tiba disitu, tiba-tiba dari tempat yang gelap keluar seorang tinggi besar yang langsung menubruk dan menyerang mereka! Tentu saja hal ini sangat mengherankan orang. Gerakan-gerakan penyerang itu gesit dan aneh sekali, sedangkan tenaganya besar. Ketika orang memperhatikan dia ternyata ia adalah seorang muda yang berpakaian compang-camping dan rambutnya terurai kesana kemari tak terurus sama sekali! Ia kelihatan seram sekali hingga kelima saudara Bu terkejut dan marah. Melihat orang itu bertangan kosong, maka Bu Ong mencabut goloknya dan menyerang.

“Hek Houw! jangan ikut campur!” teriak Bu Beng yang segera mengenal pemuda itu. Demikian juga Cin Eng berseru. “Hek twako, jangan!” Tapi Hek Houw tak memperdulikan mereka. Lalu dengan tertawa haha hihi ia balas menyerang dengan buas! Segera kelima saudara itu mengeroyok Hek Houw karena mereka segera mengetahui bahwa pemuda gila itu hebat sekali. Tubuhnya bergerak-gerak aneh dan meloncat kesana kemari diantara sambaran lima batang golok yang dimainkan hebat tapi yang sama sekali tak berdaya seakan mengeluarkan sambaran angin menolak datangnya bacokan golok, bahkan pemuda itu mengeluarkan serangan-serangan berbahaya diiringi suara ketawa ha ha hi hi yang menyeramkan.

Keadaan genting dan seram hingga semua orang memandang dengan hati tegang berdebar-debar. Bahkan Cin Eng sendiri merasa tegang dan memegang lengan Bu Beng dengan keras. Tiba-tiba, Hek Houw tertawa keras dan berkata,

“Kudengar tadi kalian Harimau Tiang-an? kalau begitu biarlah aku mewakili suhu dan kouwnio membunuh kalian!”

Lalu ia mempercepat gerakannya dan tiba-tiba Bu Kiat menjerit ngeri. Orang-orang hanya mendengar suara “pletak!” dan melihat Bu Kiat terlempar jatuh tak berkutik, kepalanya pecah! Terdengar Hek Houw tertawa seram, lalu ia bergerak lagi, kini Bu Bouw mendapat giliran terlempar dan jatuh tak berkutik. Tiap kali merobohkan seorang lawan, Hek Houw tertawa terbahak-bahak dan sebentar saja lima Harimau Tiang-an itu menggeletak diatas tanah tak berkutik!

“Hek Houw,” Bu Beng memanggil lagi.

"Ha ha ha! suhuku dan kouwnio akan puas kali ini!” rupanya pemuda gila itu tidak mengenal lagi kepada Bu Beng.

“Hek Houw twako!” Cin Eng maju memanggil tapi Hek Houw memandangnya aneh, lalu pemuda itu meloncat ke tempat gelap dan menghilang hanya suara ketawanya masih terdengar sayup-sayup menyeramkan hati!

Ketika semua orang memeriksa, ternyata lima harimau Tiang-an itu telah mati semuanya. Tiga orang pecah kepala dan yang dua tulang iganya patah-patah. Diam-diam Bu Beng kagum dan terkejut menyaksikan kehebatan ilmu silat Hek Houw.

Lo Sam dengan suara bentakan keras memerintahkan anak buahnya merawat lima mayat itu dan ia persilakan semua tamunya kembali duduk dan minum arak. Diam-diam Lo Sam mendekati Bu Beng dan bertanya,

“Bu Beng taihiap siapakah pemuda hebat yang kau sebut Hek Houw tadi?”

“Ia... adalah...”

“Muridnya!” menyambut Cin Eng dengan bangga. Gadis itu merasa bangga dan gembira sekali karena musuh ayah-ibunya telah terbunuh semua dengan cara yang memuaskan.

Mendengar keterangan ini, Lo Sam memandang Bu Beng, dengan heran sekali, demikian juga Kim KongTianglo.

“Kau mempunyai murid sehebat itu, sute? Tanya Kim Kong Tianglo.

Bu Beng hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala sehingga Kim Kong Tianglo maklum bahwa pemuda itu tak hendak memberi keterangan di depan orang banyak, maka ia diam saja.

Tiba-tiba seorang anak buah perkumpulan pengemis itu berlari-lari mendatangi dan berkata kepada Lo Sam. “Celaka suhu, celaka Arca Giok pemberian Pauw Hun Lin tadi lenyap dicuri orang!”

Semua orang tercengan mendengar ini, lebih lebih Pauw Hun Lin si Naga Ekor Sepuluh. Ia berdiri dan berkata keras. “Siapa yang begitu kurang ajar dan berani main-main dengan aku? Matanya yang bundar dan lebar melirik-lirik ke kanan kiri dan alis matanya yang tebal seakan-akan berdiri.

Tiba-tiba Sim Boan Lip berdiri dan mendekat Pauw Hun Lin. Lalu berbisik perlahan. Pauw Kauwsu segera tujukan pandangan matanya kepada Bu Beng dan ia berkata kepada Lo Sam,

“Lo enghiong, kuharap suka periksa bungkusan Bu Beng Kiamhiap, karena ada yang melihat bahwa dia dan kawannya yang mencuri arca Giok itu.”

Tidak hanya Lo Sam yang sangat terkejut mendengar ini, bahkan Bu Beng sendiri merasa seakan disambar petir. Ia marah dan mendongkol sekali.

“Pauw lo enghiong jangan sembarangan menuduh orang!”

Cin Eng yang juga merasa sangat marah mendengar betapa kekasihnya dihina, segera mengambil bungkusan Bu Beng yang tadi ketika terjadi pertempuran, diletakkan di atas meja. Ia buka ikatan buntalan itu sambil berkata, “Ini, saksikan sendiri, siapa yang sudi mengambil barang macam...!”

Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya dan dengan mata terbelalak dan mulut ternganga memandang ke dalam bungkusan. Ternyata arca budha itu benar-benar berada dalam bungkusan Bu Beng!

Melihat hal ini Bu Beng merasa heran sekali dan Pauw Hun Lin tertawa menyindir, “Hm, dasar maling. Kalau begitu benar juga ucapan lima saudara dari Tiang an tadi bahwa kalian ini tak lain hanya maling-maling rendah saja!”

Dengan sekali ayun tubuh Bu Beng meloncat beberapa buah meja dan berdiri di depan Pauw Hun Lin. “Orang tua, jangan kau menghina sekali! Kau sendiri tadi melihat aku pergi keluar menghadapi lima pengacau itu. Bagaimana aku bias mengambil barangmu? Tentu ada orang yang memfitnah!” dan ia pandang wajah Sim Boan Lip dengan tajam.

“Alasan belaka! Akal maling rendah! Kau benar keluar, tapi siapa tahu ketika semua orang ikut keluar, kesempatan itu digunakan oleh kawan-kawanmu maling yang lain?”

“Pauw kauwsu! Sampai dimanakah tingginya kepandaianmu maka kau begitu sombong?” kata-kata ini mengandung tantangan.

Maka tentu saja Pauw Hun Lin merasa marah. “Ha, memang sudah kudengar dari Ang Hwat Tojin bahwa kau mempunyai sedikit kepandaian dan menjadi sombong karenanya. Mari kita boleh coba-coba sebentar!”

Pauw Hun Lin lalu meloncat ke ruangan yang agak lebar. Bu Beng yang merasa marah sekali segera mengejar. Mereka saling berhadapan dan memasang kuda-kuda ketika Lo Sam berseru,

“Tahan!” Dengan sekali loncatan pengemis pendek itu sudah berada di antara kedua jago yang hendak mengukur tenaga masing-masing itu. “Pauw enghiong,” kata Lo Sam, “Janganlah mendesak Bu Beng taihiap. Karena aku sendiri berani menanggung bahwa bukan Bu Beng taihiap yang mengambil barang itu.”

“Hm, begitu? Tapi mengapa arca itu bias masuk ke dalam bungkusannya?” Tanya Pauw Hun Lin.

“Dalam hal ini pasti ada tukang fitnahnya!” jawab Lo Sam.

“Hm, kau sebagai tuan rumah ternyata berat sebelah. Lo Enghiong! Biarlah, aku memang hendak mencoba kepandaian anak muda ini dan kalau bisa mengajar adap padanya.”

“Aku melarangnya. Pauw kauwsu. Aku tuan rumah dan aku tak suka orang merusak pestaku ini!”

“Kalau aku tetap hendak menghajarnya, kau mau apa?”

Lo Sam agak marah mendengar ini. “Pauw kauwsu! Kau adalah tamu undanganku, dan aku tuan rumah tempat ini mengerti? Sebagai tamu kau harus tunduk kepada peraturanku. Pendeknya jangan berkelahi atau kalau tidak lebih baik kau keluar saja dan bawalah lagi pemberianmu itu!” Lo Sam benar-benar marah karena merasa dihina dan tak dihargai oleh kauwsu itu.

“Ha ha ha agaknya kau sudah sekongkol dengan maling-maling itu. Kau sendiri memerlukan hajaran pengemis rendah!”

Mendengar ini, Lo Sam berseru marah dan ia segera menyerang! Maka bertempurlah kedua orang tua itu, Bu Beng tahu akan kepandaian Lo Sam, tapi ia terkejut sekali ketika melihat bahwa sebentar saja Lo Sam terdesak mundur oleh pukulan-pukulan Pauw kauwsu yang benar-benar hebat!

Tiba-tiba Lo Sam meloncat jauh ke sudut ruangan dan tahu-tahu ia sudah mengambil tongkatnya. “Untuk memukul anjing aku harus menggunakan tongkatku!” katanya.

“Ha ha ha! Bagus memang aku ingin sekali mencoba tongkat wasiatmu!” kata Pauw kauwsu dengan sombong sambil mencabut pedang.

Bu Beng pernah bertempur melawan Lo Sam dan tahu bahwa ilmu permainan tongkat dari pengemis ini benar-benar hebat dan boleh dikatakan setingkat dengan permainan pedang yang ia pelajari dari Hun San Tojin, gurunya. Maka ia berpikir kali ini Lo Sam pasti menang. Tapi di luar dugaannya, orang she Pauw itu benar-benar hebat hingga pedangnya dapat melayani ilmu tongkat Lo Sam dengan baik sekali, bahkan agaknya lebih unggul!

Lo Sam mengeluarkan ilmu tongkatnya Pat kwa mui yang gerakan-gerakannya sangat hebat serta berubah-ubah jurusannya dari delapan penjuru. Tapi ilmu pedang Pauw kauwsu tidak kalah hebatnya dan dapat mengatasi ilmu tongkat lawan. Lama-lama Bu Beng tahu bahwa biarpun dalam permainan senjata Lo Sam tidak kalah banyak, namun pengemis kate ini kalah tenaga, maka menjadi terdesak mundur.

Bu Beng mencabut pedang dan menggerakkan pedang ular merah diantara kedua orang yang sedang bertempur itu. Mereka melihat sebuah sinar merah panjang berkilat menyilaukan mata, maka masing-masing menarik senjata dan meloncat mundur.

Bu Beng menjuru kepada Lo Sam. “Lo enghiong, biarlah siauwte melawan orang sombong ini, karena sebenarnya siauw telah yang ia kehendaki. Siauwte tidak suka membiarkan lo enghiong mewakili siauwte yang muda.”

“Bagus Bu Beng siauwcut, majulah!” Pauw kauwsu menantang dan tanpa banyak kata lagi ia mengayunkan pedangnya menyerang!

Bu Beng yang merasa marah sekali kepada orang she Pauw yang kasar itu, segera memutar Ang coa kiamnya dan melakukan serangan bertubi-tubi dengan menggunakan ilmu pedangnya yang baru dan luar biasa yaitu Ang coa kiamsut. Pedang Ang coa kiam adalah pedang mustika yang hebat sekali ketajamannya dan merupakan senjata ampuh, apalagi dimainkan dalam tangan Bu Beng yang memiliki kepandaian tinggi.

Untunglah Pauw kauwsu juga menggunakan sebuah pedang pusaka, yaitu How kiam. Tapi menghadapi permainan pedang Ang coa kiamsut yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, bahkan belum pernah didengarnya, ia menjadi bingung sekali. Pedang Bu Beng yang membentuk ular merah itu berkilat-kilat merupakan sinar merah menyambar-nyambar hingga menyilaukan mata. Gerakan-gerakannya demikian aneh dan mempunyai tenaga mukzijat.

Sebenarnya Ang coa kiamsut memang luar biasa. Ilmu pedang ini mempunyai empat macam gerakan, memutar, menempel, mengait dan membabat. Jika Bu Beng menggunakan gerakan dan tenaga memutar, maka pedangnya dapat terputar dan ujungnya seakan-akan merupakan ekor ular yang melilit pedang lawan hingga lawan merasakan tangannya tergetar dan pedangnya hampir terlepas dari pegangan.

Jika menempel, maka pedang ular merah itu seakan-akan besi sambrani yang menempel pedang lawan hingga lawan sukar menggerakkan atau menarik pedangnya. Demikian juga pedang itu dapat digunakan untuk mengait atau mencongkel pedang lawan, karena dengan membalikkan telapak tangan dengan tiba-tiba, ujung Ang coa kiam dapat mengarah nadi orang dan menarik pedang lawan. Sebaliknya digunakan untuk membabat, maka gerakan ini bukanlah asal membacok saja, tapi dapat diubah membacok terus menerus, membacok lagi dan selalu berubah-ubah tak terduga.

Pauw Hun Lin yang selama hidupnya belum pernah menghadapi permainan pedang macam ini, baru belasan jurus saja menjadi bingung dan pening. Ia hanya dapat memutar-mutar pedangnya menutupi tubuh agar jangan sampai temakan oleh pedang ular merah itu, tapi sedikitpun ia tidak kuasa menyerang!

Bu Beng yang tak mempunyai permusuhan apa-apa dengan Pauw kauwsu tidak ingin melukainya, hanya ingin mempermainkan dan mengajar adap saja. Tapi pemuda inipun merasa terkejut dan gembira sekali melihat betapa ilmu pedang baru yang dimilikinya itu bisa begitu hebat. Sama sekali di luar dugaannya. Semua tamu yang melihat kehebatan Bu Beng, diam-diam meuji dan kagum. Juga Lo Sam sangat heran melihat permainan Bu Beng yang asing dan aneh.

“Ah, sungguh hebat anak muda ini, baru beberapa lama berpisah, telah memiliki kepandaian yang demikian hebat dan demikian pesat pula kemajuan yang dicapainya!” pikirnya.

Pada saat itu, Cin Eng yang sejak tadi heran melihat Kim Kong Tianglo tidak berada disitu lagi, tiba-tiba melihat suhengnya itu datang dari depan berlari-lari dan segera menghampiri mereka yang sedang bertempur.

“Sute, tahan pedangmu!”

Mendengar suara suhengnya. Bu Beng menahan serangannya dan meloncat mundur. Pauw kauwsu juga menghentikan putaran pedangnya dan memandang Kim Kong Tianglo dengan napas terengah-engah dan keringat membasahi jidat.

“Sute aku sudah tahu orang yang melakukan fitnah ini. Pauw kauwsu kau memang terburu napsu. Orang telah berlaku curang dan sengaja mengadu kau dengan suteku,” Kim Kong Tianglo lalu menarik tangan seorang anggota perkumpulan pengemis yang tadi ia ajak berlari kesitu. “Coba ceritakan apa yang kau lihat tadi!”

Dengan mata memandang kepalanya, anak buah itu berkata. “Ketika semua orang keluar tadi untuk menonton pertempuran maka siauwte lihat kedua tuan ini mengambil arca dari atas meja. Siauwte kaget sekali dan makin merasa heran ketika mereka memasukkan arca itu ke dalam bungkusan Bu Beng Kiamhiap!” sambil berkata demikian ia menunjuk kearah Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin yang berdiri dengan wajah pucat.

“Kau? Eh, mengapa... bagaimana pula ini?“ kata Pauw kauwsu sambil memandang wajah Sim Pangcu dan puteranya itu.

“Tak usah heran, Pauw kauwwsu,” kata Bu Beng tersenyum, “Mereka ini pernah melakukan kejahatan tapi berhasil saya halag-halangi, dan mungkin kini hendak membalas dendam. Ternyata mereka pengecut sekali dan tak berani membalas sendiri maka lalu menggunakan tanganmu hendak mencelakakan aku!”

“Betulkah ini? Kalian yang melakukan perbuatan terkutuk ini?” bentak Pauw kauwsu kepada Sim Boan Lip dan Sim Tek Hin.

Sim Pangcu diam saja tunduk, tapi Sim Tek Hin segera mengangkat dada dan berkata keras. “Betul, memang kami ingin melihat Bu Beng yang sombong ini terjatuh dalam tangan Pauw kauwsu. Tapi kami keliru memilih jago!” kata-kata ini dianggap lucu dan terdengar suara tawa ditahan dari sana sini.

Pauw Hun Lin merasa marah sekali dan pedangnya segera berkilat menyerang ayah anak itu! Serangan ini tak terduga sama sekali, hingga Sim Boan Lip kena terbacok lehernya dan sekali berteriak ngeri orang tua itu jatuh mandi darah dan mati disaat itu juga!

Sim Tek Hin berseru keras dan menggunakan pedangnya menyerang Pauw kauwsu. Tapi sekali bergerak Pauw kauwsu dapat menendang pemuda itu hingga terlempar jauh dan Pauw kauwsu yang sudah gemas dan marah itu meloncat mengejar dan mengayunkan pedangnya. Tapi tiba-tiba pedangnya tertahan oleh pedang lain yang bersinar merah. Ternyata Bu Beng yang mencegahnya.

“Pauw kauwsu tak perlu ditambah dengan pembunuhan kedua! Ampuni saja Sim Tek Hin ini. Ia masih muda masih banyak waktu baginya untuk mengubah wataknya yang buruk!”

Pauw kauwsu memandang kepada Tek Hin yagn sudah berdiri dengan meringis kesakitan, dan Pauw kauwsu membentaknya dengan keras. “Tidak minggat dari sini mau tunggu apa lagi?”

Sim Tek Hin dengan air mata mengucur mengangkat mayat ayahnya dan pergi dari situ dengan kepala tunduk. Dengan cegahannya ini ternyata Bu Beng seperti juga mencegah orang membasmi seekor binatang buas dan ia mendatangkan bencana kepada diri sendiri, karena Sim Tek Hin ini merupakan bencana besar di hari kemudian bagi rumah tangganya.

Pauw Hun Lin segera menyatakan maafnya kepada Bu Beng dan memuji pemuda itu dengan kagum sekali. Bu Beng merendahkan diri dan mereka lalu bicara dengan gembira sekali. Semua tamu makan minum pula dengan gembira sampai jauh malam. Tapi Pauw Hun Lin yang merasa malu karena sikap dan tindakannya yang tak menyenangkan tadi, segera menyatakan maaf kepada Lo Sam dan mengajak Ang Hwat Tojin meninggalkan tempat itu karena ia merasa betapa semua mata memandangnya dengan penuh penyesalan.

Kemudian Bu Beng dan Cin Eng diajak oleh Kim Kong Tianglo pergi ke Liong San. Kim KongTianglo memberi nasehat kepada mereka untuk melangsungkan perkawinan disitu. Mereka setuju dan perkawinan dirayakan dengan sederhana diatas gunung itu, dengan dikunjungi oleh para penduduk kampong yang dekat dengan tempat itu. Sepasang pengantin yang saling mencina itu hidup dengan penuh kebahagiaan di atas bukit, tiap hari menikmati tamasya alam dan menghirup hawa pengunungan yang bersih dan segar.

Kim Kong Tianglo membujuk agar Bu Beng dan istrinya suka tinggal saja di Liong San dan menggantikan kedudukan suhu mereka, karena Kim liong pai sekarang tidak ada bengcunya lagi. Suheng ini mengharap agar Bu Beng dapat menghidupkan cabang perguruan silat mereka kembali untuk menjunjung nama Kim Liong pai sebagai pembalas jasa terhadap Hun San Tojin, guru mereka yang tercinta.

Kemudian Kim Kong Tianglo pergi untuk mengambil kedua muridnya, yaitu adik dari Cin Eng, putera puteri dari Hun Gwat Go, Liu Cin Han dan Liu Cin Lan. Kedua saudara ini tadinya dititipkan dalam sebuah kelenteng dimana seorang kawan Kim Kong Tianglo menjadi ketuanya. Sudah tentu Cin Han dan Cin Lan girang sekali bertemu kembali dengan cici mereka, Cin Eng, hingga mereka bertiga bepelukan sambil menangis karena terharu dan girang.

Kedua anak ini seterusnya tinggal bersama dengan cici dan cihu mereka, dan mereka berdua belajar silat dengan rajinnya di bawah pimpinan Cin Eng dan Bu Beng. Cin Eng sendiri mempelajari Ang coa kiamsut dari suaminya hingga tak lama kemudian ia juga paham sekali ilmu pedang yang luar biasa ini.

********************

Dua tahun kemudian, Cin Eng melahirkan sepasang anak kembar laki perempuan yang diberi nama Kim Lian dan Kim San.

Demikianlah, Bu Beng anak yatim piatu yang di waktu kecilnya hidup sengsara dan penuh penderitaan itu, kini hidup beruntung dengan istrinya yang mencinta, kedua anaknya yang lucu dan mungil, serta kedua adik yang cerdik dan menurut semua petunjuknya.

Karena memenuhi pesan suhengnya yang pergi merantau. Bu Beng menerima beberapa orang murid dan hidup sebagai petani diatas gunung Liong San dengan aman dan damai...!

T A M A T

Serial Jago Pedang Tak Bernama Seri KISAH SEPASANG NAGA
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.