Kisah Sepasang Naga Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

KISAH SEPASANG NAGA JILID 01

Pada suatu senja, dikala angin pengantar malam tengah sibuk mengatur mega, memindahkan awan yang berkelompok dari barat ke timur dan matahari telah kehilangan cahayanya dan redup-redup mengintip di balik puncak Kam-Hong-San hingga langit di barat tampak ke merah-merahan dengan dasar biru laut, berdirilah seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun di pinggir sebuah jurang.

Anak itu dengan asyiknya melamun seorang diri sambil memandang kearah awan putih dan hitam yang berkejar-kejaran di puncak bukit-bukit dan membentuk gambar mahluk-mahluk yang aneh dan menimbulkan khayal ke dalam otak siapa yang memandangnya.

Anak itu berdiri di kaki pegunungan yang banyak terdapat di dataran tinggi Yunan di mana terdapat puncak tertinggi yang menjulang di udara seakan-akan merupakan cakar naga sedang mencengkram awan-awan yang bergerak didekatnya. Pakaian anak itu menunjukkan bahwa ia seorang anak petani.

Memang ia baru saja pulang menggembala dua ekor kerbau yang berkulit hitam abu-abu dan yang kini dengan senangnya berdiri dengan kepala kebawah dan mulut memilih-milih rumput tergemuk dan ekor mereka yang kecil bergerak-gerak tiada hentinya keperut mereka untuk mengusir lalat dan nyamuk. Baju anak itu berwarna kuning memakai sabuk biru mengikat pinggangnya, dan di pinggang kirinya terselip sebuah suling bambu yang berlubang lima.

Anak itu tenggelam dalam samudra lamunannya hingga ia tidak merasa betapa kedua ekor kerbaunya telah jauh meninggalkannya dan menuju ke kampung karena kedua binatang itu agaknya telah hafal akan jalan pulang ke kandang yang tiap hari dilaluinya itu.

Beberapa lama kemudian dari bawah kaki bukit tampak seorang tua yang berpakaian sebagai petani pula, jalan mendaki bukit itu menuju ke pinggir jurang dimana anak itu masih berdiri melamun.

Kakek ini usianya tidak kurang dari enam puluh tahun, tapi tubuhnya masih tampak sehat dan wajahnya kemerah-merahan sebagaimana lajimnya wajah seorang petani yang hidup di udara bebas dan tubuhnya tiap hari melakukan pergerakan yang sehat. Tapi yang sangat mengherankan ialah betapa Kakek itu mendaki bukit itu, Ia berlari demikian ringan dan cepat seakan-akan terbang saja!

Ternyata orang tua itu mengunakan ilmu lari cepat Hui-Heng-Sut dan dari keringanan tubuhnya yang seolah-olah burung kepinis terbang itu dapat diduga bahwa ginkangnya telah mencapai tingkat tinggi sekali. Melihat anak yang masih berdiri melamun dan agaknya lupa keadaan di sekelilingnya itu, Kakek tadi tersenyum lalu menghampiri perlahan.

“Sin Wan, kau sedang melamun apakah?” tanyanya halus, Anak itu ketika mendengar suara Kakeknya baru sadar dari lamunannya dan menengok cepat.

“Eh, Kong-kong, mana kerbau kita?”

Kakeknya tersenyum mentertawakan. “Mereka sudah pulang dan kini bermalas-malasan di kandang. Heran, apakah yang kau pikirkan hingga kau tidak tahu akan keadaan kerbaumu?”

Sin Wan putar tubuhnya ke arah puncak Kam-Hong-San dan menunding keatas. “Lihatkah kong, bukankah di atas puncak yang tinggi itu terbang dua ekor naga?”

Mendengar kata-kata ini, Kakek itu berubah air mukanya dan ia datang mendekat dan ikut memandang. Lalu dengan suara bersungut-sungut ia berkata, “Sin Wan, janganlah kau berkata yang bukan-bukan. Yang kau lihat itu ialah awan hitam dan mega putih.”

“Tapi, Ngkong, lihatlah yang jelas. Bukankah yang panjang-panjang itu seekor naga putih dan seekor naga hitam yang sedang mengulur lidah dan cakar depan? Lihatlah, lihatlah, mereka bergerak-gerak. Ngkong, mereka sedang terbang!”

“Anak bodoh! Yang putih itu adalah mega dan yang hitam awan. Karena tertiup angin maka awan-awan itu membentuk gambar yang aneh-aneh. Sebentar lagi gambar-gambar itu akan lenyap pula. Lihatlah, awan hitam telah mulai buyar.”

Tapi Sin Wan yang mempunyai daya kayal besar segera bersorak. “Ngkong, mereka bertempur! Nah, naga hitamnya yang kalah dan ia sekarang buyar, hancur digigit naga putih!”

Kakek pegang lengan cucunya. “Sudahlah, Sin Wan, mari kita pulang. Ibumu menanti-nantimu dengan tak sabar.”

“Ngkong, biarlah aku nonton perkelahian naga putih dan naga hitam dulu,” anak itu memohon.

“Sudah malam dan sebentar lagi gelap. Nanti saja kuceritakan tentang naga putih dan hitam yang dulu tinggal di puncak bukit itu, Sin Wan”

Sin Wan pandang Kakeknya dengan heran dan tertarik. “Betulkah, Ngkong? Mereka tinggal di puncak gunung itu?” Ia menuding ke arah puncak Kam-Hong-San yang kini agak tertutup gelap awan yang tak dapat melewati puncaknya yang tinggi.

“Sudahlah, nanti di rumah saja aku mendongeng"

Maka Sin Wan tidak membantah lagi. Keduanya lalu turun dari lereng itu.

“Sin Wan, hayo gunakan ilmu lari cepat yang belum lama ini kuajarkan kepadamu.”

Sin Wan tersenyum girang karena di dekat Kakeknya ia tak usah takut tergelincir atau jatuh. Maka keduanya lalu lari secepat angin menuruni lereng yang banyak jurangnyaitu. Jurang-jurang kecil diloncati begitu saja oleh Sin Wan dan Kakeknya dan jika melintasi jurang yang besar lagi curam maka Kakeknya pegang lengan Sin Wan dan bawa cucunya itu meloncat!

Sebentar saja mereka sudah tiba di sebuah kampung kecil yang hanya terdapat beberapa belas rumah sederhana. Di sekitar kampung itu adalah sawah-sawah sumber hasil dan makan orang-orang kampung itu yang hidup secara sederhana sekali. Ketika melangkah ambang pintu, seorang wanita cantik dan berwajah muram dan sedih menyambut mereka. Dengan kata-kata halus ia tegur Sin Wan yang disebut tidak tahu waktu.

“Kau hanya membikin kami orang-orang tua berkhawatir saja. Kalau hendak pergi bermain, pulanglah dulu agar kami tahu ke mana saja kau pergi!” Ibu itu menegur dan Sin Wan lalu menghampiri Ibunya.

“Ibu maafkan aku. Aku tadi nonton perkelahian naga putih dan naga hitam hingga lupa waktu. Biarlah lain kali aku tidak akan ulangi lagi Ibu, jangan marah padaku, ya?”

Dengan sikap manja ia pegang tangan Ibunya dan gesek-gesek tangan yang halus itu kepipinya dengan penuh kasih sayang. Nyonya muda yang cantik itu tiba-tiba merasa terharu dan sedapat mungkin ia tahan keluarnya air mata dari kedua matanya hingga matanya menjadi merah dan bibirnya gemetar. Ia hanya bisa dekap kepala puteranya dan ciumi kepala itu.

Siapakah nyonya muda cantik jelita yang berwajah sedih itu? Dan siapa pula Kakek yang lihai itu? Kakek itu bukan lain ialah seorang pendekar luar biasa yang pernah menjagoi di Kang Lam dan bernama Bun Gwat Kong, digelari orang Kang Lam Cuihiap atau Pendekar Arak dari Kang Lam.

Gelaran ini menunjukkan bahwa ia doyan sekali minum arak. Hal ini memang betul, karena bukan saja ia doyan sekali minum arak, bahkan dengan lweekangnya yang tinggi ia dapat gunakan itu sebagai senjata yang ampuh. Dengan semburkan arak dari mulutnya, ia sanggup menjatuhkan lawan yang lihai.

Kang Lam Cuihiap mempunyai seorang anak perempuan tunggal, yakni Ibu Sin Wan atau nyonya muda yang berwajah muram itu. Puterinya itu dijodohkan dengan seorang pembesar yang bijaksana di kota Kang Lam. Perjodohan puterinya cukup mendatangkan bahagia sampai terlahir Sin Wan. Tapi kemudian datanglah malapetaka, Ayah Sin Wan sebagai seorang pembesar yang jujur dan adil, sangat dimusui oleh rekan-rekannya yang curang dan korup. Maka ia kena fitnah dan mendapat hukuman mati yang diperintahkan oleh Raja yang dapat disebut buta karena mabok di bawah pengaruh para durna dan selirnya yang jahat.

Untung sebelum sekeluarga terbasmi habis, datang Kang Lam Ciuhiap yang cepat menyelamatkan puterinya dan telah menjadi janda dan cucunya, yakni Sin Wan. Setelah selamatkan anak cucunya, Kang Lam Ciuhiap lalu mengamuk dan membasmi para musuh mantunya yang telah memfitnah anak mantunya hingga menjadikannya matinya itu. Setelah itu, barulah ia merasa puas dan melarikan diri dengan anak cucunya ke sebuah kampung kecil di kaki gunung Kam-Hong-San itu.

Semenjak ditinggal mati suaminya yang tercinta, Ibu Sin Wan seakan-akan hidup tanpa semangat. Nyonya muda ini tiada hentinya bersedih dan menangis jika teringat akan kematian suaminya dalam cara yang sangat menyedihkan itu. Karena itu, ia sering jatuh sakit dan mempunyai semacam penyakit, yakni terganggu jantungnya dan kadang-kadang ia batuk-batuk dan keluar darah dari mulutnya!

Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong lalu didik cucunya dalam ilmu silat yang tinggi karena ia hendak turunkan seluruh kepandaiannya kepada cucunya yang tunggal itu, sedangkan Sin Wan oleh Ibunya dididik dalam hal ilmu surat. Demikianlah maka selama lima tahun atau enam tahun mereka tinggal dengan aman di kampung kecil di kaki Kamhongsan itu. Atas kehendak Ibunya, Sin Wan menggunakan she Ibunya, yakni she Bun hingga ia disebut Bun Sin Wan, sedangkan sebenarnya Ayahnya dari keluarga Liu.

Setelah makan malam, makan Sin Wan ingat akan janji Kakeknya, maka ia segera datangi Kakeknya itu di dalam kamarnya dan berkata, “Ngkong, hayo ceritakanlah padaku tentang naga itu.”

“Sin Wan, kau harus menghafal pelajaranmu yang kuberikan kemarin malam.” Ibunya menegur ketika mendengar suara anaknya di kamar Ayahnya.

“Biarlah aku besok bangun pagi-pagi sekali dan menghafal pelajaran membaca itu, Ibu. Kong-kong tadi sudah berjanji hendak mendongeng tentang naga putih dan naga hitam.”

Akhirnya Kakek dan Ibunya mengalah dan mulailah Bun Gwat Kong mendongeng. Dongeng itu demikian menarik, hingga Ibu Sin Wan dibalik bilik juga ikut mendengarkan dengan asik. Demikianlah dongeng itu.

Ratusan, atau mungkin ribuan tahun yang lalu, di puncak gunung Kam-Hong-San yang tinggi sekali, lebih tinggi dari keadaannya sekarang karena semenjak itu telah ratusan kali puncak itu gugur dan longsor, terdapat dua ekor naga sakti yang besar sekali.

Dua ekor naga itu sedang bertapa dan telah bertahun-tahun tidak bergerak dari gua Pertapaan masing-masing dalam memohon kepada yang Maha Kuasa untuk mengangkat mereka menjadi dewa. Dua ekor naga sakti itu seekor betina dan bersisik hitam mulus, sedangkan yang kedua adalah seekor naga jantan yang bersisik warna putih bersih. Mereka bertapa dalam gua masing-masing yang berjajar, melingkar merupakan bukit kecil dalam gua yang besar itu dan tumpangkan kepala di atas lingkaran tubuh.

Telah puluhan tahun mereka bertapa, tanpa mengisi perut, hanya beberapa tahun sekali mereka keluar dari gua untuk minum air telaga sebuah yang terdapat di puncak gunung itu. Mereka bercakap-cakap sebentar untuk bertukar pendapat, kemudian masuk ke dalam gua pula untuk melanjutkan pertapaan mereka.

Di pegunungan yang banyak puncaknya itu, terdapat sebuah puncak bukit kecil dan disitu terdapat lain gua pertapaan. Tapi yang bertapa disitu seorang manusia, seorang pertapa laki-laki yang gagah lagi sakti. Diapaun bertapa disitu menyucikan diri dan bermohon menjadi dewa.

Pada suatu hari, ketika seluruh puncak bukit-bukit di situ diliputi halimun putih tebal, pertapa itu keluar dari gua untuk pergi ke dalam hutan dan memetik buah yang dapat dimakan. Tapi ketika ia sedang berjalan perlahan menuruni puncak, tiba-tiba ia melihat dua batang sinar memancar dari puncak Kam-Hong-San. Ia terkejut sekali karena sinar itu cahayanya keemas-emasan dan tahulah ia bahwa dua ekor naga sakti yang bertapa disitu telah mendekati kesempurnaan dan boleh dibilang telah berhasil baik dalam pertapaan mereka!

Mungkin telah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, karena pada saat yang kebetulan sekali itu, pertapa itu kena asap hawa-hawa kotor yang keluar dari dunia ramai dan berkumpul diatas puncak, terbawa awan dan mega. Maka tiba-tiba saja timbullah iri hati dan kecewa dalam kepala dan hatinya. Ia merasa malu sekali mengapa ia seorang manusia sampai kalah oleh dua ekor naga itu. Buktinya, sedangkan ia sendiri belum berhasil apa-apa dalam pertapaannya, adalah dua ekor naga itu telah sampai di dekat pantai cita!

Rasa iri dan dengki mengamuk hebat di dadanya hingga ia menyerah terhadap godaan ini. Ia gunakan kesaktiannya untuk terbang melayang kepuncak Kam-Hong-San. Benar saja, dua cahaya terang itu mencorot keluar dari dua buah gua yang berdampingan. Timbullah marahnya dan ia membentak marah ke arah dua gua itu.

“Hai, siluman naga yang rendah! Kalian telah mengotorkan puncak bukit ini. Pergilah kalian sebelum Pinto mewakili Thian menghukum kalian!”

Kedua naga mendengar bentakan nyaring dan keras ini menjadi heran dan keluarlah mereka dari gua masing-masing. Naga jantan yang bersisik putih segera menegur pertapa itu.

“Engkau seorang manusia pertapa mengapa ganggu kami? Apakah salah kami? Maka kau bersikap seperti ini?”

“Eh, siluman jahat kau masih berpura-pura! Tak tahukah kau bahwa aku telah bertahun-tahun bertapa di puncak gunung ini? Kalian yang berhawa siluman sekarang mengotorkan tempat ini hingga mengganggu sekali pertapaanku. Hayo kalian pergi sekarang juga, kalau tidak terpaksa Pinto bersihkan tempat ini dan membunuh kalian.”

Naga betina yang bersisik hitam mulus menjadi gemas dan berkata kepada naga putih. “Saudaraku Pek-Liong (naga putih), Kakek ini begini sombong. Biarlah kucoba kesaktiannya!”

Maka bertempurlah pertapa itu melawan naga hitam. Mereka berkelahi dengan seru, saling mengeluarkan kesaktian hingga mereka dari atas tanah terbang ke atas mega-mega dan bertempur diantara awan hitam. Kilat menyambar-nyambar dan berhari-hari mereka bertempur tiada hentinya.

Melihat kesaktian pertapa itu, naga putih tidak sabar lagi. Ia melayang dan terjang pertapa itu, menggantikan naga hitam. Maka kalahlah pertapa itu dan ia kena ditiup pergi oleh naga putih. Karena sakit hati, pertapa itu menaruh dendam. Ia mencari daya untuk membalas, tapi apa daya? Sepasang naga itu terlampau sakti dan kuat baginya.

Tapi dasar ia manusia dan memiliki otak manusia yang penuh tipu daya dan muslihat, akhirnya ia mendapat akal juga. Ia tahu bahwa pada musim kemarau dan hawa sangat panasnya, kedua naga itu akan keluar gua dan minum air telaga diatas gunung itu. Maka ia menjaga dengan sabar di dekat telaga sambil mempersiapkan semacam ramuan obat beracun.

Benar saja, ketika musim sedang panas-panasnya, kedua naga itu keluar dari guha mereka dan dengan berbareng sambil bercakap-cakap mereka menuju ketelaga dengan gembira. Keduanya merasa gembira dan puas karena pertapaan mereka sudah mendekati hasil baik. Mereka tidak tahu sama sekali bahwa petapa itu dengan cepatnya melempar ramuan obat yang mempunyai pengaruh luar biasa ke dalam air yang hendak mereka minum.

Tanpa ragu-ragu sedikitpun mereka minum dengan segar dan nikmatnya. Kemudian mereka kembali ke puncak gunung. Si pertapa yang tadinya bersembunyi melihat betapa ke dua naga itu benar-benar telah minum air yang telah dicampurnya dengan racun hebat, menjadi girang sekali dan menanti-nanti hasil perbuatannya yang curang. Ternyata pengaruh racun itu mujijat sekali. Kalau hanya racun atau bisa yang berbahaya dan dapat menghanguskan isi perut saja, tak mungkin dapat mempengaruhi dan mencelakakan ke dua naga sakti itu.

Tapi racun atau obat yang dilepas oleh pertapa itu adalah racun yang langsung merangsang perasaan dan melemahkan iman, lalu membangkitkan nafsu-nafsu keduniaan yang telah lama dapat ditekan dan dipadamkan oleh kedua naga itu. Kini obat itu menjalar dan bekerja dengan hebat. Nafsu-nafsu yang telah padam dan terpandam di dasar hati kedua naga sakti itu kini mulai bernyala kembali dan timbul menguasai seluruh hati dan pikirannya.

Maka mulai merahlah kulit muka mereka dan mulai suramlah cahaya mata mereka dan mulai suramlah cahaya meling pandang dan timbullah hati suka dan tertarik kepada masing-masing dan lupalah mereka bahwa pantangan terbesar bagi pertapaan mereka ialah menurutkan napsu hati. Kesadaran mereka kini dikuasai hati, hati dikuasai pikiran dan pikiran dikuasai pancaindera mereka. Maka di bawah pengaruh ramuan obat mujijat itu, kedua naga sakti mulai bercumbu dan melupakan segala!

Ternyata obat itu tidak bertahan lama mempengaruhi kedua naga yang sebenarnya telah mempunyai batin yang teguh dan kuat itu. Beberapa hati kemudian, lenyaplah pengaruh obat itu dan keduanya kembali sadar kembali dari kekhilapan. Alangkah menyesal dan malunya hati mereka. Kedua perasaan ini lalu bersatu dan berubah menjadi perasaan marah yang hebat. Mereka dapat menduga bahwa keadaan mereka yang tidak sewajarnya dan bagaikan mabok itu tentu terkena pengaruh obat mujijat.

Maka dengan penuh kemarahan dan dendam, mereka berdua turun gunung dan mencari pertapa itu. Si pertapa yang ketahui pula akan hal ini, segera melarikan diri dari gunung ke gunung. Tapi sepasang naga itu tidak mau melepaskannya, dan tiada hentinya mengejar. Hati mereka terlampau menyesal dan sedih hingga kini hanya satu tujuan mereka, yakni membalas dendam!

Akhirnya di puncak sebuah gunung di pegunungan Thai-san, kedua naga dapat menangkap pertapa denga hati gemas mereka lalu membunuhnya dan menghancurkan tubuhnya. Namun mereka masih merasa penasaran karena hasil pertapaan yang puluhan tahun lamanya itu lenyap dan membuat hati mereka berduka. Mereka lalu bertapa kembali, tapi para dewa yang melihat pelanggaran yang mereka lakukan, lalu memberi hukuman kepada mereka.

Hukuman itu ialah bahwa mereka harus ke alam ramai dan memberi pertolongan kepada manusia untuk tebus dosa mereka. Sepasang naga sakti itu lalu mengubah diri menjadi sepasang pedang mustika, naga jantan bersisik putih berubah menjadi sebatang pedang warna putih dan naga betina bersisik hitam berubah menjadi sebatang pedang berwarna hitam!

Karena masih diliputi hawa nafsu mereka ketika mengubah diri menjadi pedang, maka kedua pedang itu masih penuh mengandung hawa Im dan Yang, yaitu hawa positip dan negatif!

Pedang putih dan pedang hitam lalu turun ke alam ramai dan keduanya berjuang melalui tangan orang-orang gagah untuk membasmi semua keturunan pertapa yang jahat, yakni manusia-manusia yang hanya mengotorkan dunia dengan perbuatan mereka yang sewenang-wenang dan menindas sesama manus!

“Demikianlah dongeng itu, Sin Wan, dan sampai sekarangpun orang-orang jahat, betapapun pandai dia itu pasti mereka takkan terluput dari hukuman. Maka kau yang mempelajari ilmu silat dariku, kelak harus mencontoh perjuangan suci dari sepasang naga sakti itu untuk membela keadilan kebenaran serta membasmi segala kejahatan.”

Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong akhiri ceritanya yang sangat menarik hati Sin Wan, hingga anak itu seakan-akan lupa akan segala dan melihat sendiri kedua naga dalam dongeng itu di depan mata khayalnya.

“Kalau begitu, bayang-bayang naga yang kulihat tadi adalah Pek-Liong dan Ouw-Liong yang sakti itu, Ngkong?”

“Aah, yang kuceritakan hanya dongeng, Sin Wan, dan telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Mana ada liong betul-betul di jaman ini?” kata Engkongnya sambil usap-usap jenggotnya yang putih.

“Sin Wan telah jauh malam, hayo kau tidur!” terdengar suara Ibu Sin Wan memerintah anaknya. Sin Wan bersungut-sungut, api ia tidak berani membantah kehendak Ibunya, dan Engkongnya berkata dengan tertawa.

“Benar kata Ibumu, Sin Wan. Tidak baik bagi anak-anak tidur terlampau malam. Kau tentu masih ingat kata-kata orang dahulu bahwa tidur tak terlambat bangun pagi-pagi, tubuh sehat banyak rejeki!”

Sin Wan tertawa pula lalu ia masuk ke biliknya di mana hanya terdapat sebuah dipan bambu sederhana. Seperti biasa menurut ajaran Kakeknya sebelum tidur ia bersemedhi membersihkan napas. Sin Wan adalah seorang anak yang rajin sekali, dan otaknya sangat cerdik. Baik dalam pelajaran silat yang diturunkan oleh Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong kepadanya, maupun dalam pelajaran menulis yang diajakankan Ibunya, ia sangat maju dan tekun belajar hingga dalam usia sepuluh tahun saja ia telah memiliki kepandaian gin-kang dan lwee kang yang cukup mengagumkan serta telah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi, juga dalam hal membaca dan menulis ia telah dapat melampai pengetahuan Kakeknya.

Semenjak mendengar dongeng tentang sepasang naga sakti yang diceritakan Kakeknya itu, Sin Wan seringkali duduk termenung di lereng gunung terendah sambil memandang ke arah puncak Kam-Hong-San dengan tertarik. Ia suka sekali memandang awan-awan yang bergerak-gerak dan membentuk lukisan binatang aneh.

Ia suka mengkhayalkan betapa di antara awan-awan hitam itu tampak terbang melayang dua ekor naga hitam dan putih saling berkejaran memperebutkan mustika, yaitu matahari yang hampir tenggelam dan berwarna merah keemasan! Seringkali Sin Wan memikirkan dengan hati tertarik sekali di mana gerangan sepasang naga itu. Kalau saja ia bisa memiliki pedang itu, alangkah senangnya!

Tidak jarang Kakeknya menyusul ketempat itu karena Sin Wan sering pulang terlambat hingga didahului kerbaunya yang pulang lebih dulu. Selain duduk melamun dan mengkhayal, Sin Wan juga senang sekali meniup suling bambunya. Ia memang mempunyai bakat akan seni suara, hingga tiupan sulingnya terdengar merdu sekali dan ia dapat memainkan beberapa lagu yang digubahnya sendiri.

Bahkan seringkali Ibunya diam-diam mengalirkan airmata karena terharu mendengar suara suling puteranya di tengah malam, membikin nyonya muda itu teringat akan suaminya yang juga pandai meniup suling! Juga Kang Lam Ciuhiap, seorang pendekar tua yang telah banyak mengalami pertempuran-pertempuran hebat dan hatinya menjadi keras, jika mendengar tiupan suling cucunya, diam-diam ia bengong dan terpesona. Seakan-akan dirinya dibawa terbang melayang-layang oleh suara suling yang mengalun itu, dibawa terbang kedunia halus dan suci!

Beberapa kali Sin Wan nyatakan keinginannya kepada Kakeknya untuk naik mendaki puncak Kam-Hong-San tapi selalu Kang Lam Ciuhiap mencegahnya dan bilang bahwa di atas Kam-Hong-San banyak terdapat hutan-hutan lebat yang penuh dengan binatang buas dan keadaannya berbahaya sekali.

“Sin Wan, ketahuilah. Beberapa tahun yang lalu aku sendiri pernah naik ke puncak itu,” kata Kakeknya sambil menunjuk ke arah puncak gunung yang dikelilingi awan putih itu.

“Aku tidak takut segala binatang buas, tapi aku sungguh-sungguh ngeri melihat jurang-jurang yang curam sekali dan dataran dataran palsu.”

“Apakah dataran palsu itu Engkong?” tanya Sin Wan heran.

“Tampaknya seperti tanah datar yang ditumbuhi rumput-rumput hijau segar dan gemuk, tapi kalau kau kurang hati-hati dan menginjaknya, maka kakimu akan terjeblos dan tubuhmu akan tenggelam dalam tanah lumpur yang berbahaya sekali karena sekali tubuh kita diisap olehnya sukarlah kita dapat melepaskan diri dari bahaya maut.”

Tapi Sin Wan adalah seorang anak yang semenjak kecilnya mengalami banyak kesukaran ketika ia dengan Ibunya dibawa mengungsi oleh Kakeknya hingga hidup secara sederhana dan sengsara di tempat sunyi, maka hatinya tabah sekali. Mendengar cerita Kakeknya ini, ia tidak merasa takut atau ngeri. Bahkan timbul keinginan yang besar dalam hatinya untuk melihat dengan mata sendiri semua keanehan itu!

Sebetulnya Kang Lam Ciuhiap tidak berkata bohong. Memang beberapa tahun yang lalu pernah ia naik ke Kam-Hong-San untuk mencari tempat yang lebih enak, tapi ia hanya ketemukan tempat-tempat berbahaya, maka ia turun kembali. Ia hanya membohong ketika ia berkata bahwa hatinya merasa ngeri melihat keadaan-keadaan berbahaya itu.

Seorang dengan kepandaian setinggi dia tak perlu merasa ngeri dan takut hanya menghadapi bahaya seperti itu saja. Memang Kakeknya itu sengaja membohong untuk membikin cucunya merasa jeri dan batalkan keinginannya mendaki bukit tinggi itu. Ia sama sekali tidak sangka bahwa cerita yang seram-seram itu bahkan menjadi pendorong bagi Sin Wan untuk melaksanakan keinginan hatinya!

Dan pada suatu hari, pagi-pagi sekali Sin Wan tinggalkan rumahnya dan pergi naik ke gunung Kam-Hong-San yang mengandung penuh rahasia-rahasia ganjil dan menarik baginya itu.

Tadinya Ibu dan Kakeknya tidak menyangka akan hal ini. Memang biasanya Sin Wan bangun pagi-pagi sekali dan anak itu tentu berlatih silat di pekarangan belakang atau berlatih ginkang sambil meloncati anak sungai berkali-kali seperti yang diajarkan Kakeknya, karena menurut Kakeknya. Berlatih silat di waktu hari masih pagi sekali adalah sangat bermanfaat bagi kesehatan dan baik sekali bagi kemajuan kepandaiannya.

Sin Wan tak pernah abaikan petunjuk ini. Karena itulah, maa pagi hari itu, Ibu dan Kakeknya tidak menyangka sedikit juga bahwa anak yang mereka sayang itu telah pergi mendaki gunung yang berbahaya itu. Setelah matahari naik tinggi, barulah hati Ibu Sin Wan merasa heran karena anaknya belum juga pulang.

“Ayah,” katanya kepada Kang Lam Ciuhiap yang sepagi itu telah minum arak buatannya sendiri “Mengapa Sin Wan belum juga pulang? Bukankah pagi ini ia harus bantu meluku sawah dengan kerbaunya?”

“Anakku, kuharap kau jangan terlampau keras kepada Sin Wan. Anak itu cukup rajin dan ia perlu hiburan. Biarkanlah ia bermain sebentar lagi, nanti ia tentu datang.”

Nyonya muda itu hanya menghela napas, ia tahu bahwa Ayahnya sangat sayang kepada cucunya itu hingga agak memanjakan. Ia khawatir sekali kalau Sin Wan kelak meniru kebiasaan Ayahnya yang hanya minum arak saja kerjanya itu!

Menurut keinginannya, ia akan suka sekali melihat puteranya menjadi seorang terpelajar, seorang ahli surat dan memangku jabatan tinggi seperti Ayahnya. Tapi hatinya makin sedih melihat betapa Sin Wan, biarpun tekun mempelajari ilmu surat, namun agaknya lebih menyukai ilmu silat. Pernah ia mengemukakan suara hatinya ini kepada Ayahnya, tapi Kang Lam Ciuhiap berkata dengan sungguh-sungguh kepada anak perempuannya itu.

“Kau agaknya tidak ingat bahwa karena tidak pandai ilmu silat tinggi maka suamimu sampai mengalami fitnahan dan hukuman mati. Masa sekarang banyak orang jahat yang tak mungkin dilawan dengan menggunakan coretan pit dan tinta hitam belaka. Gantilah pit dengan pedang tajam, maka kau akan dapat menjaga dirimu lebih baik daripada gaungguan orang jahat. Aku ingin sekali melihat cucuku itu menjadi seorang hohan yang gagah perkasa dan membasmi para manusia-manusia rendah yang suka ganggu orang lain!”

Mendengar ucapan yang bersemangat dari Ayahnya, nyonya muda itupun di dalam hati membenarkan, maka ia tidak mau ganggu lagi kesukaan Sin Wan belajar silat. Tapi tetap ia merasa kurang puas melihat betapa Kakek itu memanjakan Sin Wan.

Setelah hari hampir siang, maka Ibu yang mencinta anaknya ini makin gelisah bahwa Kanlam Ciuhiap yang biasanya tenang, nampak heran dan curiga. Ia lalu tunda guci araknya dan pergi mencari Sin Wan. Ketika di mana-mana tak dapat menemukan anak itu, Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong menjadi gelisah juga dan ia berdiri di tebing jurang sambil layangkan pandangannya ke arah gunung.

Timbul dugaannya bahwa cucunya itu tentu telah nekad dan mendaki Kam-Hong-San. Ia maklum akan ketabahan dan kekerasan hati cucunya yang pantang mundur menghadapi apapun untuk melaksanakan cita-citanya. Dengan hati mulai cemas ia lalu gunakan kepandainnya mendaki gunung yang sukar di lalui itu.

********************

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Ketika pagi hari itu Sin Wan tinggalkan rumahnya menuju ke gunung yang menarik hatinya, ia merasa gembira sekali dan dadanya berdebar karena tertarik oleh pengalaman-pengalaman dasyat yang ia harapkan akan ditemukan di puncak gunung.

Mula-mula perjalan mendaki gunung itu tidak sesukar yang diceritakan Kakeknya. Hutan-hutan kecil yang dilaluinya bahkan indah menarik, penuh dengan burung-burung yang berkicau merdu dan indah warna bulunya. Beberapa ekor monyet hitam berlari cepat dan bergantungan di puncak pohon karena takut melihat Sin Wan.

Anak itu merasa gembira sekali dan ia geli melihat betapa monyet kecil bergelantungan di dada induknya sambil perdengarkan suara cecowetan lucu. Karena jalan masih mudah dilalui bahwan penuh pemandangan indah, Sin Wan lari cepat seenaknya saja, terus mendaki sebuah lereng yang hijau penuh rumput.

Di pundaknya tergantung seutas tali yang kuat dan besi pengait, karena dari Engkongnya ia pernah diberitahu bahwa untuk mendaki gunung yang tinggi perlu membawa tambang dan besi seperti itu. Karena maksudnya mendaki puncak Kam-Hong-San telah lama terkandung dalam hatinya, maka Sin Wan telah siapkan segalanya. Bahkan tidak lupa ia membawa roti kering di dalam kantongnya!

Ketika ia sedang berlari terus naik makin tinggi, tiba-tiba ia melihat bayangan seorang anak perempuan berlari cepat dari balik lereng dan dengan sigapnya anak perempuan itu berloncat-loncatan menuju keatas!

Kisah Sepasang Naga Jilid 01

KISAH SEPASANG NAGA JILID 01

Pada suatu senja, dikala angin pengantar malam tengah sibuk mengatur mega, memindahkan awan yang berkelompok dari barat ke timur dan matahari telah kehilangan cahayanya dan redup-redup mengintip di balik puncak Kam-Hong-San hingga langit di barat tampak ke merah-merahan dengan dasar biru laut, berdirilah seorang anak laki-laki berusia kurang lebih sepuluh tahun di pinggir sebuah jurang.

Anak itu dengan asyiknya melamun seorang diri sambil memandang kearah awan putih dan hitam yang berkejar-kejaran di puncak bukit-bukit dan membentuk gambar mahluk-mahluk yang aneh dan menimbulkan khayal ke dalam otak siapa yang memandangnya.

Anak itu berdiri di kaki pegunungan yang banyak terdapat di dataran tinggi Yunan di mana terdapat puncak tertinggi yang menjulang di udara seakan-akan merupakan cakar naga sedang mencengkram awan-awan yang bergerak didekatnya. Pakaian anak itu menunjukkan bahwa ia seorang anak petani.

Memang ia baru saja pulang menggembala dua ekor kerbau yang berkulit hitam abu-abu dan yang kini dengan senangnya berdiri dengan kepala kebawah dan mulut memilih-milih rumput tergemuk dan ekor mereka yang kecil bergerak-gerak tiada hentinya keperut mereka untuk mengusir lalat dan nyamuk. Baju anak itu berwarna kuning memakai sabuk biru mengikat pinggangnya, dan di pinggang kirinya terselip sebuah suling bambu yang berlubang lima.

Anak itu tenggelam dalam samudra lamunannya hingga ia tidak merasa betapa kedua ekor kerbaunya telah jauh meninggalkannya dan menuju ke kampung karena kedua binatang itu agaknya telah hafal akan jalan pulang ke kandang yang tiap hari dilaluinya itu.

Beberapa lama kemudian dari bawah kaki bukit tampak seorang tua yang berpakaian sebagai petani pula, jalan mendaki bukit itu menuju ke pinggir jurang dimana anak itu masih berdiri melamun.

Kakek ini usianya tidak kurang dari enam puluh tahun, tapi tubuhnya masih tampak sehat dan wajahnya kemerah-merahan sebagaimana lajimnya wajah seorang petani yang hidup di udara bebas dan tubuhnya tiap hari melakukan pergerakan yang sehat. Tapi yang sangat mengherankan ialah betapa Kakek itu mendaki bukit itu, Ia berlari demikian ringan dan cepat seakan-akan terbang saja!

Ternyata orang tua itu mengunakan ilmu lari cepat Hui-Heng-Sut dan dari keringanan tubuhnya yang seolah-olah burung kepinis terbang itu dapat diduga bahwa ginkangnya telah mencapai tingkat tinggi sekali. Melihat anak yang masih berdiri melamun dan agaknya lupa keadaan di sekelilingnya itu, Kakek tadi tersenyum lalu menghampiri perlahan.

“Sin Wan, kau sedang melamun apakah?” tanyanya halus, Anak itu ketika mendengar suara Kakeknya baru sadar dari lamunannya dan menengok cepat.

“Eh, Kong-kong, mana kerbau kita?”

Kakeknya tersenyum mentertawakan. “Mereka sudah pulang dan kini bermalas-malasan di kandang. Heran, apakah yang kau pikirkan hingga kau tidak tahu akan keadaan kerbaumu?”

Sin Wan putar tubuhnya ke arah puncak Kam-Hong-San dan menunding keatas. “Lihatkah kong, bukankah di atas puncak yang tinggi itu terbang dua ekor naga?”

Mendengar kata-kata ini, Kakek itu berubah air mukanya dan ia datang mendekat dan ikut memandang. Lalu dengan suara bersungut-sungut ia berkata, “Sin Wan, janganlah kau berkata yang bukan-bukan. Yang kau lihat itu ialah awan hitam dan mega putih.”

“Tapi, Ngkong, lihatlah yang jelas. Bukankah yang panjang-panjang itu seekor naga putih dan seekor naga hitam yang sedang mengulur lidah dan cakar depan? Lihatlah, lihatlah, mereka bergerak-gerak. Ngkong, mereka sedang terbang!”

“Anak bodoh! Yang putih itu adalah mega dan yang hitam awan. Karena tertiup angin maka awan-awan itu membentuk gambar yang aneh-aneh. Sebentar lagi gambar-gambar itu akan lenyap pula. Lihatlah, awan hitam telah mulai buyar.”

Tapi Sin Wan yang mempunyai daya kayal besar segera bersorak. “Ngkong, mereka bertempur! Nah, naga hitamnya yang kalah dan ia sekarang buyar, hancur digigit naga putih!”

Kakek pegang lengan cucunya. “Sudahlah, Sin Wan, mari kita pulang. Ibumu menanti-nantimu dengan tak sabar.”

“Ngkong, biarlah aku nonton perkelahian naga putih dan naga hitam dulu,” anak itu memohon.

“Sudah malam dan sebentar lagi gelap. Nanti saja kuceritakan tentang naga putih dan hitam yang dulu tinggal di puncak bukit itu, Sin Wan”

Sin Wan pandang Kakeknya dengan heran dan tertarik. “Betulkah, Ngkong? Mereka tinggal di puncak gunung itu?” Ia menuding ke arah puncak Kam-Hong-San yang kini agak tertutup gelap awan yang tak dapat melewati puncaknya yang tinggi.

“Sudahlah, nanti di rumah saja aku mendongeng"

Maka Sin Wan tidak membantah lagi. Keduanya lalu turun dari lereng itu.

“Sin Wan, hayo gunakan ilmu lari cepat yang belum lama ini kuajarkan kepadamu.”

Sin Wan tersenyum girang karena di dekat Kakeknya ia tak usah takut tergelincir atau jatuh. Maka keduanya lalu lari secepat angin menuruni lereng yang banyak jurangnyaitu. Jurang-jurang kecil diloncati begitu saja oleh Sin Wan dan Kakeknya dan jika melintasi jurang yang besar lagi curam maka Kakeknya pegang lengan Sin Wan dan bawa cucunya itu meloncat!

Sebentar saja mereka sudah tiba di sebuah kampung kecil yang hanya terdapat beberapa belas rumah sederhana. Di sekitar kampung itu adalah sawah-sawah sumber hasil dan makan orang-orang kampung itu yang hidup secara sederhana sekali. Ketika melangkah ambang pintu, seorang wanita cantik dan berwajah muram dan sedih menyambut mereka. Dengan kata-kata halus ia tegur Sin Wan yang disebut tidak tahu waktu.

“Kau hanya membikin kami orang-orang tua berkhawatir saja. Kalau hendak pergi bermain, pulanglah dulu agar kami tahu ke mana saja kau pergi!” Ibu itu menegur dan Sin Wan lalu menghampiri Ibunya.

“Ibu maafkan aku. Aku tadi nonton perkelahian naga putih dan naga hitam hingga lupa waktu. Biarlah lain kali aku tidak akan ulangi lagi Ibu, jangan marah padaku, ya?”

Dengan sikap manja ia pegang tangan Ibunya dan gesek-gesek tangan yang halus itu kepipinya dengan penuh kasih sayang. Nyonya muda yang cantik itu tiba-tiba merasa terharu dan sedapat mungkin ia tahan keluarnya air mata dari kedua matanya hingga matanya menjadi merah dan bibirnya gemetar. Ia hanya bisa dekap kepala puteranya dan ciumi kepala itu.

Siapakah nyonya muda cantik jelita yang berwajah sedih itu? Dan siapa pula Kakek yang lihai itu? Kakek itu bukan lain ialah seorang pendekar luar biasa yang pernah menjagoi di Kang Lam dan bernama Bun Gwat Kong, digelari orang Kang Lam Cuihiap atau Pendekar Arak dari Kang Lam.

Gelaran ini menunjukkan bahwa ia doyan sekali minum arak. Hal ini memang betul, karena bukan saja ia doyan sekali minum arak, bahkan dengan lweekangnya yang tinggi ia dapat gunakan itu sebagai senjata yang ampuh. Dengan semburkan arak dari mulutnya, ia sanggup menjatuhkan lawan yang lihai.

Kang Lam Cuihiap mempunyai seorang anak perempuan tunggal, yakni Ibu Sin Wan atau nyonya muda yang berwajah muram itu. Puterinya itu dijodohkan dengan seorang pembesar yang bijaksana di kota Kang Lam. Perjodohan puterinya cukup mendatangkan bahagia sampai terlahir Sin Wan. Tapi kemudian datanglah malapetaka, Ayah Sin Wan sebagai seorang pembesar yang jujur dan adil, sangat dimusui oleh rekan-rekannya yang curang dan korup. Maka ia kena fitnah dan mendapat hukuman mati yang diperintahkan oleh Raja yang dapat disebut buta karena mabok di bawah pengaruh para durna dan selirnya yang jahat.

Untung sebelum sekeluarga terbasmi habis, datang Kang Lam Ciuhiap yang cepat menyelamatkan puterinya dan telah menjadi janda dan cucunya, yakni Sin Wan. Setelah selamatkan anak cucunya, Kang Lam Ciuhiap lalu mengamuk dan membasmi para musuh mantunya yang telah memfitnah anak mantunya hingga menjadikannya matinya itu. Setelah itu, barulah ia merasa puas dan melarikan diri dengan anak cucunya ke sebuah kampung kecil di kaki gunung Kam-Hong-San itu.

Semenjak ditinggal mati suaminya yang tercinta, Ibu Sin Wan seakan-akan hidup tanpa semangat. Nyonya muda ini tiada hentinya bersedih dan menangis jika teringat akan kematian suaminya dalam cara yang sangat menyedihkan itu. Karena itu, ia sering jatuh sakit dan mempunyai semacam penyakit, yakni terganggu jantungnya dan kadang-kadang ia batuk-batuk dan keluar darah dari mulutnya!

Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong lalu didik cucunya dalam ilmu silat yang tinggi karena ia hendak turunkan seluruh kepandaiannya kepada cucunya yang tunggal itu, sedangkan Sin Wan oleh Ibunya dididik dalam hal ilmu surat. Demikianlah maka selama lima tahun atau enam tahun mereka tinggal dengan aman di kampung kecil di kaki Kamhongsan itu. Atas kehendak Ibunya, Sin Wan menggunakan she Ibunya, yakni she Bun hingga ia disebut Bun Sin Wan, sedangkan sebenarnya Ayahnya dari keluarga Liu.

Setelah makan malam, makan Sin Wan ingat akan janji Kakeknya, maka ia segera datangi Kakeknya itu di dalam kamarnya dan berkata, “Ngkong, hayo ceritakanlah padaku tentang naga itu.”

“Sin Wan, kau harus menghafal pelajaranmu yang kuberikan kemarin malam.” Ibunya menegur ketika mendengar suara anaknya di kamar Ayahnya.

“Biarlah aku besok bangun pagi-pagi sekali dan menghafal pelajaran membaca itu, Ibu. Kong-kong tadi sudah berjanji hendak mendongeng tentang naga putih dan naga hitam.”

Akhirnya Kakek dan Ibunya mengalah dan mulailah Bun Gwat Kong mendongeng. Dongeng itu demikian menarik, hingga Ibu Sin Wan dibalik bilik juga ikut mendengarkan dengan asik. Demikianlah dongeng itu.

Ratusan, atau mungkin ribuan tahun yang lalu, di puncak gunung Kam-Hong-San yang tinggi sekali, lebih tinggi dari keadaannya sekarang karena semenjak itu telah ratusan kali puncak itu gugur dan longsor, terdapat dua ekor naga sakti yang besar sekali.

Dua ekor naga itu sedang bertapa dan telah bertahun-tahun tidak bergerak dari gua Pertapaan masing-masing dalam memohon kepada yang Maha Kuasa untuk mengangkat mereka menjadi dewa. Dua ekor naga sakti itu seekor betina dan bersisik hitam mulus, sedangkan yang kedua adalah seekor naga jantan yang bersisik warna putih bersih. Mereka bertapa dalam gua masing-masing yang berjajar, melingkar merupakan bukit kecil dalam gua yang besar itu dan tumpangkan kepala di atas lingkaran tubuh.

Telah puluhan tahun mereka bertapa, tanpa mengisi perut, hanya beberapa tahun sekali mereka keluar dari gua untuk minum air telaga sebuah yang terdapat di puncak gunung itu. Mereka bercakap-cakap sebentar untuk bertukar pendapat, kemudian masuk ke dalam gua pula untuk melanjutkan pertapaan mereka.

Di pegunungan yang banyak puncaknya itu, terdapat sebuah puncak bukit kecil dan disitu terdapat lain gua pertapaan. Tapi yang bertapa disitu seorang manusia, seorang pertapa laki-laki yang gagah lagi sakti. Diapaun bertapa disitu menyucikan diri dan bermohon menjadi dewa.

Pada suatu hari, ketika seluruh puncak bukit-bukit di situ diliputi halimun putih tebal, pertapa itu keluar dari gua untuk pergi ke dalam hutan dan memetik buah yang dapat dimakan. Tapi ketika ia sedang berjalan perlahan menuruni puncak, tiba-tiba ia melihat dua batang sinar memancar dari puncak Kam-Hong-San. Ia terkejut sekali karena sinar itu cahayanya keemas-emasan dan tahulah ia bahwa dua ekor naga sakti yang bertapa disitu telah mendekati kesempurnaan dan boleh dibilang telah berhasil baik dalam pertapaan mereka!

Mungkin telah menjadi kehendak Yang Maha Kuasa, karena pada saat yang kebetulan sekali itu, pertapa itu kena asap hawa-hawa kotor yang keluar dari dunia ramai dan berkumpul diatas puncak, terbawa awan dan mega. Maka tiba-tiba saja timbullah iri hati dan kecewa dalam kepala dan hatinya. Ia merasa malu sekali mengapa ia seorang manusia sampai kalah oleh dua ekor naga itu. Buktinya, sedangkan ia sendiri belum berhasil apa-apa dalam pertapaannya, adalah dua ekor naga itu telah sampai di dekat pantai cita!

Rasa iri dan dengki mengamuk hebat di dadanya hingga ia menyerah terhadap godaan ini. Ia gunakan kesaktiannya untuk terbang melayang kepuncak Kam-Hong-San. Benar saja, dua cahaya terang itu mencorot keluar dari dua buah gua yang berdampingan. Timbullah marahnya dan ia membentak marah ke arah dua gua itu.

“Hai, siluman naga yang rendah! Kalian telah mengotorkan puncak bukit ini. Pergilah kalian sebelum Pinto mewakili Thian menghukum kalian!”

Kedua naga mendengar bentakan nyaring dan keras ini menjadi heran dan keluarlah mereka dari gua masing-masing. Naga jantan yang bersisik putih segera menegur pertapa itu.

“Engkau seorang manusia pertapa mengapa ganggu kami? Apakah salah kami? Maka kau bersikap seperti ini?”

“Eh, siluman jahat kau masih berpura-pura! Tak tahukah kau bahwa aku telah bertahun-tahun bertapa di puncak gunung ini? Kalian yang berhawa siluman sekarang mengotorkan tempat ini hingga mengganggu sekali pertapaanku. Hayo kalian pergi sekarang juga, kalau tidak terpaksa Pinto bersihkan tempat ini dan membunuh kalian.”

Naga betina yang bersisik hitam mulus menjadi gemas dan berkata kepada naga putih. “Saudaraku Pek-Liong (naga putih), Kakek ini begini sombong. Biarlah kucoba kesaktiannya!”

Maka bertempurlah pertapa itu melawan naga hitam. Mereka berkelahi dengan seru, saling mengeluarkan kesaktian hingga mereka dari atas tanah terbang ke atas mega-mega dan bertempur diantara awan hitam. Kilat menyambar-nyambar dan berhari-hari mereka bertempur tiada hentinya.

Melihat kesaktian pertapa itu, naga putih tidak sabar lagi. Ia melayang dan terjang pertapa itu, menggantikan naga hitam. Maka kalahlah pertapa itu dan ia kena ditiup pergi oleh naga putih. Karena sakit hati, pertapa itu menaruh dendam. Ia mencari daya untuk membalas, tapi apa daya? Sepasang naga itu terlampau sakti dan kuat baginya.

Tapi dasar ia manusia dan memiliki otak manusia yang penuh tipu daya dan muslihat, akhirnya ia mendapat akal juga. Ia tahu bahwa pada musim kemarau dan hawa sangat panasnya, kedua naga itu akan keluar gua dan minum air telaga diatas gunung itu. Maka ia menjaga dengan sabar di dekat telaga sambil mempersiapkan semacam ramuan obat beracun.

Benar saja, ketika musim sedang panas-panasnya, kedua naga itu keluar dari guha mereka dan dengan berbareng sambil bercakap-cakap mereka menuju ketelaga dengan gembira. Keduanya merasa gembira dan puas karena pertapaan mereka sudah mendekati hasil baik. Mereka tidak tahu sama sekali bahwa petapa itu dengan cepatnya melempar ramuan obat yang mempunyai pengaruh luar biasa ke dalam air yang hendak mereka minum.

Tanpa ragu-ragu sedikitpun mereka minum dengan segar dan nikmatnya. Kemudian mereka kembali ke puncak gunung. Si pertapa yang tadinya bersembunyi melihat betapa ke dua naga itu benar-benar telah minum air yang telah dicampurnya dengan racun hebat, menjadi girang sekali dan menanti-nanti hasil perbuatannya yang curang. Ternyata pengaruh racun itu mujijat sekali. Kalau hanya racun atau bisa yang berbahaya dan dapat menghanguskan isi perut saja, tak mungkin dapat mempengaruhi dan mencelakakan ke dua naga sakti itu.

Tapi racun atau obat yang dilepas oleh pertapa itu adalah racun yang langsung merangsang perasaan dan melemahkan iman, lalu membangkitkan nafsu-nafsu keduniaan yang telah lama dapat ditekan dan dipadamkan oleh kedua naga itu. Kini obat itu menjalar dan bekerja dengan hebat. Nafsu-nafsu yang telah padam dan terpandam di dasar hati kedua naga sakti itu kini mulai bernyala kembali dan timbul menguasai seluruh hati dan pikirannya.

Maka mulai merahlah kulit muka mereka dan mulai suramlah cahaya mata mereka dan mulai suramlah cahaya meling pandang dan timbullah hati suka dan tertarik kepada masing-masing dan lupalah mereka bahwa pantangan terbesar bagi pertapaan mereka ialah menurutkan napsu hati. Kesadaran mereka kini dikuasai hati, hati dikuasai pikiran dan pikiran dikuasai pancaindera mereka. Maka di bawah pengaruh ramuan obat mujijat itu, kedua naga sakti mulai bercumbu dan melupakan segala!

Ternyata obat itu tidak bertahan lama mempengaruhi kedua naga yang sebenarnya telah mempunyai batin yang teguh dan kuat itu. Beberapa hati kemudian, lenyaplah pengaruh obat itu dan keduanya kembali sadar kembali dari kekhilapan. Alangkah menyesal dan malunya hati mereka. Kedua perasaan ini lalu bersatu dan berubah menjadi perasaan marah yang hebat. Mereka dapat menduga bahwa keadaan mereka yang tidak sewajarnya dan bagaikan mabok itu tentu terkena pengaruh obat mujijat.

Maka dengan penuh kemarahan dan dendam, mereka berdua turun gunung dan mencari pertapa itu. Si pertapa yang ketahui pula akan hal ini, segera melarikan diri dari gunung ke gunung. Tapi sepasang naga itu tidak mau melepaskannya, dan tiada hentinya mengejar. Hati mereka terlampau menyesal dan sedih hingga kini hanya satu tujuan mereka, yakni membalas dendam!

Akhirnya di puncak sebuah gunung di pegunungan Thai-san, kedua naga dapat menangkap pertapa denga hati gemas mereka lalu membunuhnya dan menghancurkan tubuhnya. Namun mereka masih merasa penasaran karena hasil pertapaan yang puluhan tahun lamanya itu lenyap dan membuat hati mereka berduka. Mereka lalu bertapa kembali, tapi para dewa yang melihat pelanggaran yang mereka lakukan, lalu memberi hukuman kepada mereka.

Hukuman itu ialah bahwa mereka harus ke alam ramai dan memberi pertolongan kepada manusia untuk tebus dosa mereka. Sepasang naga sakti itu lalu mengubah diri menjadi sepasang pedang mustika, naga jantan bersisik putih berubah menjadi sebatang pedang warna putih dan naga betina bersisik hitam berubah menjadi sebatang pedang berwarna hitam!

Karena masih diliputi hawa nafsu mereka ketika mengubah diri menjadi pedang, maka kedua pedang itu masih penuh mengandung hawa Im dan Yang, yaitu hawa positip dan negatif!

Pedang putih dan pedang hitam lalu turun ke alam ramai dan keduanya berjuang melalui tangan orang-orang gagah untuk membasmi semua keturunan pertapa yang jahat, yakni manusia-manusia yang hanya mengotorkan dunia dengan perbuatan mereka yang sewenang-wenang dan menindas sesama manus!

“Demikianlah dongeng itu, Sin Wan, dan sampai sekarangpun orang-orang jahat, betapapun pandai dia itu pasti mereka takkan terluput dari hukuman. Maka kau yang mempelajari ilmu silat dariku, kelak harus mencontoh perjuangan suci dari sepasang naga sakti itu untuk membela keadilan kebenaran serta membasmi segala kejahatan.”

Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong akhiri ceritanya yang sangat menarik hati Sin Wan, hingga anak itu seakan-akan lupa akan segala dan melihat sendiri kedua naga dalam dongeng itu di depan mata khayalnya.

“Kalau begitu, bayang-bayang naga yang kulihat tadi adalah Pek-Liong dan Ouw-Liong yang sakti itu, Ngkong?”

“Aah, yang kuceritakan hanya dongeng, Sin Wan, dan telah terjadi ribuan tahun yang lalu. Mana ada liong betul-betul di jaman ini?” kata Engkongnya sambil usap-usap jenggotnya yang putih.

“Sin Wan telah jauh malam, hayo kau tidur!” terdengar suara Ibu Sin Wan memerintah anaknya. Sin Wan bersungut-sungut, api ia tidak berani membantah kehendak Ibunya, dan Engkongnya berkata dengan tertawa.

“Benar kata Ibumu, Sin Wan. Tidak baik bagi anak-anak tidur terlampau malam. Kau tentu masih ingat kata-kata orang dahulu bahwa tidur tak terlambat bangun pagi-pagi, tubuh sehat banyak rejeki!”

Sin Wan tertawa pula lalu ia masuk ke biliknya di mana hanya terdapat sebuah dipan bambu sederhana. Seperti biasa menurut ajaran Kakeknya sebelum tidur ia bersemedhi membersihkan napas. Sin Wan adalah seorang anak yang rajin sekali, dan otaknya sangat cerdik. Baik dalam pelajaran silat yang diturunkan oleh Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong kepadanya, maupun dalam pelajaran menulis yang diajakankan Ibunya, ia sangat maju dan tekun belajar hingga dalam usia sepuluh tahun saja ia telah memiliki kepandaian gin-kang dan lwee kang yang cukup mengagumkan serta telah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi, juga dalam hal membaca dan menulis ia telah dapat melampai pengetahuan Kakeknya.

Semenjak mendengar dongeng tentang sepasang naga sakti yang diceritakan Kakeknya itu, Sin Wan seringkali duduk termenung di lereng gunung terendah sambil memandang ke arah puncak Kam-Hong-San dengan tertarik. Ia suka sekali memandang awan-awan yang bergerak-gerak dan membentuk lukisan binatang aneh.

Ia suka mengkhayalkan betapa di antara awan-awan hitam itu tampak terbang melayang dua ekor naga hitam dan putih saling berkejaran memperebutkan mustika, yaitu matahari yang hampir tenggelam dan berwarna merah keemasan! Seringkali Sin Wan memikirkan dengan hati tertarik sekali di mana gerangan sepasang naga itu. Kalau saja ia bisa memiliki pedang itu, alangkah senangnya!

Tidak jarang Kakeknya menyusul ketempat itu karena Sin Wan sering pulang terlambat hingga didahului kerbaunya yang pulang lebih dulu. Selain duduk melamun dan mengkhayal, Sin Wan juga senang sekali meniup suling bambunya. Ia memang mempunyai bakat akan seni suara, hingga tiupan sulingnya terdengar merdu sekali dan ia dapat memainkan beberapa lagu yang digubahnya sendiri.

Bahkan seringkali Ibunya diam-diam mengalirkan airmata karena terharu mendengar suara suling puteranya di tengah malam, membikin nyonya muda itu teringat akan suaminya yang juga pandai meniup suling! Juga Kang Lam Ciuhiap, seorang pendekar tua yang telah banyak mengalami pertempuran-pertempuran hebat dan hatinya menjadi keras, jika mendengar tiupan suling cucunya, diam-diam ia bengong dan terpesona. Seakan-akan dirinya dibawa terbang melayang-layang oleh suara suling yang mengalun itu, dibawa terbang kedunia halus dan suci!

Beberapa kali Sin Wan nyatakan keinginannya kepada Kakeknya untuk naik mendaki puncak Kam-Hong-San tapi selalu Kang Lam Ciuhiap mencegahnya dan bilang bahwa di atas Kam-Hong-San banyak terdapat hutan-hutan lebat yang penuh dengan binatang buas dan keadaannya berbahaya sekali.

“Sin Wan, ketahuilah. Beberapa tahun yang lalu aku sendiri pernah naik ke puncak itu,” kata Kakeknya sambil menunjuk ke arah puncak gunung yang dikelilingi awan putih itu.

“Aku tidak takut segala binatang buas, tapi aku sungguh-sungguh ngeri melihat jurang-jurang yang curam sekali dan dataran dataran palsu.”

“Apakah dataran palsu itu Engkong?” tanya Sin Wan heran.

“Tampaknya seperti tanah datar yang ditumbuhi rumput-rumput hijau segar dan gemuk, tapi kalau kau kurang hati-hati dan menginjaknya, maka kakimu akan terjeblos dan tubuhmu akan tenggelam dalam tanah lumpur yang berbahaya sekali karena sekali tubuh kita diisap olehnya sukarlah kita dapat melepaskan diri dari bahaya maut.”

Tapi Sin Wan adalah seorang anak yang semenjak kecilnya mengalami banyak kesukaran ketika ia dengan Ibunya dibawa mengungsi oleh Kakeknya hingga hidup secara sederhana dan sengsara di tempat sunyi, maka hatinya tabah sekali. Mendengar cerita Kakeknya ini, ia tidak merasa takut atau ngeri. Bahkan timbul keinginan yang besar dalam hatinya untuk melihat dengan mata sendiri semua keanehan itu!

Sebetulnya Kang Lam Ciuhiap tidak berkata bohong. Memang beberapa tahun yang lalu pernah ia naik ke Kam-Hong-San untuk mencari tempat yang lebih enak, tapi ia hanya ketemukan tempat-tempat berbahaya, maka ia turun kembali. Ia hanya membohong ketika ia berkata bahwa hatinya merasa ngeri melihat keadaan-keadaan berbahaya itu.

Seorang dengan kepandaian setinggi dia tak perlu merasa ngeri dan takut hanya menghadapi bahaya seperti itu saja. Memang Kakeknya itu sengaja membohong untuk membikin cucunya merasa jeri dan batalkan keinginannya mendaki bukit tinggi itu. Ia sama sekali tidak sangka bahwa cerita yang seram-seram itu bahkan menjadi pendorong bagi Sin Wan untuk melaksanakan keinginan hatinya!

Dan pada suatu hari, pagi-pagi sekali Sin Wan tinggalkan rumahnya dan pergi naik ke gunung Kam-Hong-San yang mengandung penuh rahasia-rahasia ganjil dan menarik baginya itu.

Tadinya Ibu dan Kakeknya tidak menyangka akan hal ini. Memang biasanya Sin Wan bangun pagi-pagi sekali dan anak itu tentu berlatih silat di pekarangan belakang atau berlatih ginkang sambil meloncati anak sungai berkali-kali seperti yang diajarkan Kakeknya, karena menurut Kakeknya. Berlatih silat di waktu hari masih pagi sekali adalah sangat bermanfaat bagi kesehatan dan baik sekali bagi kemajuan kepandaiannya.

Sin Wan tak pernah abaikan petunjuk ini. Karena itulah, maa pagi hari itu, Ibu dan Kakeknya tidak menyangka sedikit juga bahwa anak yang mereka sayang itu telah pergi mendaki gunung yang berbahaya itu. Setelah matahari naik tinggi, barulah hati Ibu Sin Wan merasa heran karena anaknya belum juga pulang.

“Ayah,” katanya kepada Kang Lam Ciuhiap yang sepagi itu telah minum arak buatannya sendiri “Mengapa Sin Wan belum juga pulang? Bukankah pagi ini ia harus bantu meluku sawah dengan kerbaunya?”

“Anakku, kuharap kau jangan terlampau keras kepada Sin Wan. Anak itu cukup rajin dan ia perlu hiburan. Biarkanlah ia bermain sebentar lagi, nanti ia tentu datang.”

Nyonya muda itu hanya menghela napas, ia tahu bahwa Ayahnya sangat sayang kepada cucunya itu hingga agak memanjakan. Ia khawatir sekali kalau Sin Wan kelak meniru kebiasaan Ayahnya yang hanya minum arak saja kerjanya itu!

Menurut keinginannya, ia akan suka sekali melihat puteranya menjadi seorang terpelajar, seorang ahli surat dan memangku jabatan tinggi seperti Ayahnya. Tapi hatinya makin sedih melihat betapa Sin Wan, biarpun tekun mempelajari ilmu surat, namun agaknya lebih menyukai ilmu silat. Pernah ia mengemukakan suara hatinya ini kepada Ayahnya, tapi Kang Lam Ciuhiap berkata dengan sungguh-sungguh kepada anak perempuannya itu.

“Kau agaknya tidak ingat bahwa karena tidak pandai ilmu silat tinggi maka suamimu sampai mengalami fitnahan dan hukuman mati. Masa sekarang banyak orang jahat yang tak mungkin dilawan dengan menggunakan coretan pit dan tinta hitam belaka. Gantilah pit dengan pedang tajam, maka kau akan dapat menjaga dirimu lebih baik daripada gaungguan orang jahat. Aku ingin sekali melihat cucuku itu menjadi seorang hohan yang gagah perkasa dan membasmi para manusia-manusia rendah yang suka ganggu orang lain!”

Mendengar ucapan yang bersemangat dari Ayahnya, nyonya muda itupun di dalam hati membenarkan, maka ia tidak mau ganggu lagi kesukaan Sin Wan belajar silat. Tapi tetap ia merasa kurang puas melihat betapa Kakek itu memanjakan Sin Wan.

Setelah hari hampir siang, maka Ibu yang mencinta anaknya ini makin gelisah bahwa Kanlam Ciuhiap yang biasanya tenang, nampak heran dan curiga. Ia lalu tunda guci araknya dan pergi mencari Sin Wan. Ketika di mana-mana tak dapat menemukan anak itu, Kang Lam Ciuhiap Bun Gwat Kong menjadi gelisah juga dan ia berdiri di tebing jurang sambil layangkan pandangannya ke arah gunung.

Timbul dugaannya bahwa cucunya itu tentu telah nekad dan mendaki Kam-Hong-San. Ia maklum akan ketabahan dan kekerasan hati cucunya yang pantang mundur menghadapi apapun untuk melaksanakan cita-citanya. Dengan hati mulai cemas ia lalu gunakan kepandainnya mendaki gunung yang sukar di lalui itu.

********************

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Ketika pagi hari itu Sin Wan tinggalkan rumahnya menuju ke gunung yang menarik hatinya, ia merasa gembira sekali dan dadanya berdebar karena tertarik oleh pengalaman-pengalaman dasyat yang ia harapkan akan ditemukan di puncak gunung.

Mula-mula perjalan mendaki gunung itu tidak sesukar yang diceritakan Kakeknya. Hutan-hutan kecil yang dilaluinya bahkan indah menarik, penuh dengan burung-burung yang berkicau merdu dan indah warna bulunya. Beberapa ekor monyet hitam berlari cepat dan bergantungan di puncak pohon karena takut melihat Sin Wan.

Anak itu merasa gembira sekali dan ia geli melihat betapa monyet kecil bergelantungan di dada induknya sambil perdengarkan suara cecowetan lucu. Karena jalan masih mudah dilalui bahwan penuh pemandangan indah, Sin Wan lari cepat seenaknya saja, terus mendaki sebuah lereng yang hijau penuh rumput.

Di pundaknya tergantung seutas tali yang kuat dan besi pengait, karena dari Engkongnya ia pernah diberitahu bahwa untuk mendaki gunung yang tinggi perlu membawa tambang dan besi seperti itu. Karena maksudnya mendaki puncak Kam-Hong-San telah lama terkandung dalam hatinya, maka Sin Wan telah siapkan segalanya. Bahkan tidak lupa ia membawa roti kering di dalam kantongnya!

Ketika ia sedang berlari terus naik makin tinggi, tiba-tiba ia melihat bayangan seorang anak perempuan berlari cepat dari balik lereng dan dengan sigapnya anak perempuan itu berloncat-loncatan menuju keatas!