Siluman Goa Tengkorak Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PESTA pernikahan yang dirayakan orang di dusun biasanya jauh lebih meriah dari pada pesta pernikahan yang dirayakan orang di kota itu. Meriah di sini bukan berarti mewahnya perayaan itu, melainkan kemeriahan yang terasa benar di dalam hati mereka yang hadir, tercermin dari wajah mereka yang berseri-seri.

Pesta pernikahan di kota besar hanya merupakan pesta makan minum yang mewah dan berlebihan. Ada pun kegembiraan yang timbul lebih disebabkan oleh pengaruh arak yang terlalu banyak memenuhi perut, kemudian arak itu menguap memenuhi benak membuat orang menjadi lupa diri.

Pesta di kota hanyalah merupakan perlombaan memamerkan kekayaan saja. Akan tetapi di dusun lebih terasa keakraban dan kegotong royongan, sehingga para tamu seolah-olah merasa sebagai keluarga dan sebagai orang yang turut ambil bagian dalam perayaan itu, bahkan seperti keluarga yang merayakan, bukan sekedar tamu yang datang untuk makan minum.

Pesta pernikahan antara Thio Siang Ci dan The Si Kun di dusun Ban-ceng itu sungguh sangat meriah. Seluruh penghuni dusun Ban-ceng turut serta merayakannya. Hal ini tidak mengherankan karena keluarga Thio itu dikenal sebagai keluarga yang ramah dan baik, bahkan Thio Siang Ci dikenal sebagai kembangnya para gadis cantik di dusun itu.

Bahkan banyak pemuda luar dusun, sampai di kota Tai-goan, mengenal dan mendengar tentang kecantikan Siang Ci. Akan tetapi yang beruntung dan berhasil memetik kembang cantik ini adalah The Si Kun, yaitu putera seorang saudagar ikan yang cukup kaya di kota Tai-goan.

Seperti sudah menjadi kebiasaan para penduduk Ban-ceng yang berdasarkan ketahyulan dan perhitungan, pertemuan kedua pengantin juga dilakukan dengan dasar perhitungan dan menurut perhitungan para keluarga yang tua, pertemuan pada hari itu jatuh pada jam enam sore!

Sore itu, rumah keluarga Thio sudah penuh dengan tamu dan suasana menjadi semakin meriah dan gembira ketika sepasang mempelai dipertemukan di mana diadakan upacara sembahyang di depan meja para leluhur.

Biar pun wajah pengantin perempuan tidak bisa terlihat jelas karena terhalang oleh rumbai-rumbai atau hiasan kepala yang berjuntaian ke depan muka, akan tetapi masih kelihatan jelas bentuk tubuhnya yang langsing dan padat, juga sebagian dari kulit leher dan kulit tangannya yang putih halus.

Pengantin laki-laki juga kelihatan ganteng, wajahnya yang muda dan tampan itu nampak berseri-seri, mulutnya mengulum senyum malu-malu sebab banyak teman-temannya yang mengeluarkan suara atau membuat gerakan-gerakan yang menggodanya.

Kedua mempelai itu memang merupakan pasangan yang cocok dan manis sekali. Thio Siang Ci adalah seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita, seperti bunga yang tengah mekar. Ada pun The Si Kun adalah seorang pemuda yang usianya dua puluh tahun, tampan dan sehat, juga pandai berdagang karena semenjak kecil telah membantu ayahnya.

Keluarganya merupakan pedagang ikan yang membeli ikan dari para nelayan di Sungai Fen-ho, lalu mengumpulkan ikan-ikan itu, sebagian dijualnya ke kota Tai-goan dan sebagian lagi dibuat menjadi ikan asin.

Mula-mula pasangan mempelai melakukan upacara sembahyang, dan setelah itu mereka mohon doa restu dari para anggota keluarga yang lebih tua. Kemudian, setelah keduanya lelah menjalankan semua upacara itu, barulah mereka diperbolehkan duduk bersanding di tempat yang telah dipersiapkan, dan ketika itu para tamu mulai dengan perjamuan makan.

Hari telah mulai gelap, karena itu para pelayan mulai menyalakan lilin serta lampu-lampu yang diatur indah dan nyeni untuk menambah meriahnya suasana pesta pernikahan itu. Api lilin yang bergerak-gerak tertiup angin semilir sungguh elok seperti penari-penari yang sedang bergembira menari-nari.

Suasana gembira ini menjadi agak bising karena kini para tamu saling bicara sendiri dan bermacam-macamlah yang mereka bicarakan, dari membicarakan cantik dan tampannya sepasang mempelai hingga ke urusan yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan pesta pernikahan itu.

Tiba-tiba terdengar teriakan kaget dan salah seorang pelayan yang sedang memasang lilin di bagian luar, melepaskan tempat lilin sambil berteriak tadi. Semua orang menengok dan Thio Ki, ayah mempelai wanita cepat berlari keluar.

"Ada apa?" tanyanya pada pelayan itu dengan alis berkerut karena kecerobohan pelayan itu.

Akan tetapi tubuh pelayan itu nampak menggigil dan hanya menunjuk ke arah dinding di depannya. Tuan rumah lalu mengambil sebuah tempat lilin dan mengangkat benda itu ke atas sambil mendekati dinding, kemudian tiba-tiba mukanya pun berubah pucat ketika dia melihat sebuah gambar tengkorak merah dan agaknya, benda cair yang digunakan untuk menggambar tengkorak itu adalah darah yang masih basah, tanda bahwa gambaran itu baru saja dibuat orang!

Agaknya pelayan tadi menyalakan lilin di dekat dinding dan melihat lukisan itu, maka dia berseru kaget dan menjatuhkan tempat lilin. Thio Ki sendiri pun terkejut.

"Aihhh...!"

Para tamu berlari mendekat dan kini banyak orang mengerumuni tempat itu dan semua memandang kepada gambar tengkorak dari darah itu dengan muka pucat. Sudah ada tiga kali peristiwa seperti itu, ialah gambar-gambar tengkorak darah pada rumah-rumah orang, di pintu atau di dinding depan dan akibatnya, pada malam harinya ada tiga orang gadis terculik! Dan sekarang, justru pada saat gadis tuan rumah merayakan hari pernikahannya, terdapat gambar pada dinding rumah itu!

"Siluman Goa Tengkorak...!" Terdengar bisikan seorang tamu dan semua orang menggigil ketakutan. Nama ini, biar pun baru muncul beberapa kali, telah menjadi semacam momok yang menakutkan di daerah Tai-goan dan sekitarnya.

Pengantin pria, The Si Kun yang juga tertarik dan sudah mendekati dinding itu, mengepal tinjunya. Dia bukan seorang pemuda yang penakut dan lemah. Sejak semula dia sudah menduga bahwa yang membuat gambar-gambar tengkorak dan menculik gadis-gadis itu adalah gerombolan penjahat. Dan dia tidak takut karena para nelayan yang menjadi anak buahnya adalah orang-orang yang sudah biasa menghadapi kekerasan-kekerasan para penjahat dan para bajak sungai.

"Biarkan dia datang! Kami akan melawannya! Bukankah begitu, teman-teman?" teriaknya.

Belasan orang nelayan muda yang bertubuh tegap-tegap dan yang menjadi kawan-kawan pengantin pria, segera mengangkat kepalan tangan ke atas sambil berteriak, "Benar, kita akan lawan dia dan akan tangkap jahanam itu!"

Betapa pun juga, para tamu sudah merasa ketakutan sehingga perjamuan itu dilanjutkan dalam suasana tegang. Para tamu lalu berpamit dan seorang demi seorang bangkit dari tempat duduk, kemudian berbondong-bondong minta diri dan pulang meninggalkan rumah keluarga Thio.

Suasana menjadi sunyi setelah tempat itu tadinya bising dengan para tamu. Yang masih tinggal di situ hanya dua belas orang nelayan muda yang menjadi sahabat pengantin pria. Mereka ini masih tetap makan minum dengan gembira di tempat pesta yang telah kosong itu. Sementara itu, sepasang mempelai juga sudah meninggalkan ruangan dan mendapat kesempatan untuk mengaso dalam kamar mereka karena para tamu sudah tidak bernafsu lagi untuk menggoda sepasang mempelai di malam pertama itu.

Seluruh keluarga Thio yang telah memasuki kamar masing-masing tak bisa memejamkan mata karena hati mereka semua merasa tegang dan khawatir. Atas permintaan pihak tuan rumah, dua belas orang nelayan muda, kawan-kawan dari The Si Kun itu kini pindah ke ruangan yang berada di luar kamar pengantin. Mereka tetap dijamu di tempat itu, tempat yang berdekatan dengan kamar pengantin untuk menjaga kalau-kalau ada penjahat yang datang mengganggu.

Sesudah melihat dua belas orang laki-laki muda yang bertubuh kekar itu berada di depan kamar pengantin, barulah hati Thio Ki merasa lega dan dia pun pergi ke dalam kamamya untuk mengaso. Akan tetapi, di dalam kamar ini pun dia dan isterinya rebah dengan hati gelisah dan tidak dapat pulas sama sekali.

Malam semakin larut dan amat sunyi. Hanya terdengar suara anjing menggonggong dari kejauhan, suara gonggongan yang menyedihkan, yang kemudian berubah menjadi suara menyeramkan. Lolong anjing berkepanjangan ini biasanya dilakukan anjing-anjing sambil mengangkat muka tinggi-tinggi ke atas memandang bulan, dan orang menjadi ketakutan karena katanya saat seperti itu adalah saatnya para iblis bergentayangan di permukaan bumi!

Kedua belas orang nelayan muda itu sudah tidak lagi makan minum, melainkan duduk di ruangan depan kamar pengantin dengan sikap siap siaga. Pengantin pria juga tidak dapat menikmati malam pengantinnya, bahkan tadi sejenak dia terpaksa meninggalkan isterinya untuk turut berjaga bersama kawan-kawannya. Pengantin pria baru memasuki kamarnya lagi sesudah kawan-kawannya mendesaknya dengan sikap setengah menggoda agar dia tidak membiarkan isterinya kedinginan seorang diri dalam kamar.

"Aku mengandalkan penjagaan kalian di luar, sedangkan aku sendiri akan berjaga-jaga di dalam kamar," katanya, sebagian untuk menutupi rasa malunya kepada kawan-kawannya yang tentu sudah menggodanya pada malam pertama itu.

"Hayaaaa... kami mengerti, Si Kun!" kata seorang temannya.

"Sudahlah, engkau nikmati saja malam pengantinmu, biar kami yang berjaga di sini dan menangkap siluman itu kalau benar dia berani muncul."

"Hushh!" cela seorang kawan lain. "Jangan bicara sembarangan di malam seperti ini. Dan masuklah Si Kun, engkau pasti akan merasa aman di dalam pelukan istrimu, ha-ha-ha!" Dua belas orang itu tersenyum.

"Aihh, kalian ini bisa saja menggoda orang. Siapa yang dapat bersenang dalam keadaan seperti ini?" The Si Kun lantas membuka pintu kamar dan masuk ke dalam, menutupkan kembali kamarnya.

Isterinya juga tidak tidur, melainkan duduk di pinggir pembaringan sambil menundukkan muka karena malu. Muka yang cantik memang, dan kini setelah tidak tertutup kerudung, nampak betapa sepasang pipi itu halus kemerahan. Biar pun tadinya dia merasa tegang dan khawatir, kini melihat kecantikan istrinya, Si Kun tidak dapat menahan hatinya maka duduklah dia disamping isterinya, tangannya merangkul dan dengan lembut dia menarik muka itu untuk diciumnya.

Tiba-tiba saja lilin yang berada di atas meja kamar itu padam. Hal ini diketahui oleh para penjaga di luar kamar sehingga mereka pun tertawa-tawa karena padamnya lilin di dalam kamar itu membuat mereka mengira bahwa sepasang pengantin baru itu tentu merasa malu, memadamkan penerangan agar dapat mencurahkan perasaan hati mereka berdua dengan leluasa.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati dua belas orang itu ketika tiba-tiba terdengar teriakan The Si Kun disusul suara gedobrakan di dalam kamar dan tidak lama kemudian terdengarlah jeritan pengantin wanita, akan tetapi jeritan itu terdengar jauh dari situ!

Dua belas orang itu segera menghampiri pintu kamar lantas mendobraknya karena tidak ada jawaban dari dalam ketika mereka memanggil-manggil. Thio Ki dan isterinya beserta seluruh penghuni rumah yang tadinya memang sudah gelisah itu keluar semua dari kamar masing-masing dan berlarian menuju ke kamar pengantin. Pintu kamar didobrak jebol dan mereka berebut masuk. Dari penerangan lampu yang dibawa oleh mereka yang masuk, nampak pemandangan yang mengerikan.

The Si Kun, pengantin pria itu, dengan tubuh bagian atas telanjang, hanya mengenakan celana saja, rebah di lantai dengan leher hampir putus. Darah merah masih mengalir dari lehernya dan membasahi lantai. Pemuda ini sudah tewas, dan pengantin wanitanya tidak nampak bayangannya.

Langit-langit kamar itu terbuka dan berlubang. Maka tahulah semua orang bahwa penjahat itu telah masuk dari atas genteng dengan membobol langit-langit kamar. Tedengar suara para wanita menjerit-jerit dan riuh rendah suara orang menangis. Siluman Goa Tengkorak benar-benar telah datang, menculik pengantin wanita dan membunuh pengantin pria! Gegerlah dusun Ban-ceng!

Mengapa penjahat yang selama beberapa minggu ini mengacau di daerah Tai-goan dan sekitarnya dijuluki orang Siluman Goa Tengkorak? Pertama-tama adalah karena gambar itu. Setiap kali akan melakukan kejahatan, terutama sekali mencuri perhiasan-perhiasan yang serba mahal dan menculik gadis-gadis cantik, pada siang atau sore harinya penjahat itu selalu tentu memberi tanda gambar tengkorak darah pada pintu atau dinding rumah yang akan didatangi! Inilah yang mula-mula membuat dia dinamakan Siluman Tengkorak.

Kemudian, pernah dia dikejar-kejar dan penjahat itu dapat berlari cepat seperti iblis, dan larinya menuju daerah pegunungan yang gundul, dimana terdapat penuh batu-batu besar dan goa-goa. Tempat ini dikenal dengan sebutan Goa Tengkorak, karena memang di situ terdapat banyak sekali goa-goa yang besar dan di antaranya memang ada goa-goa yang bentuknya mirip seperti tengkorak. Karena ini, maka penjahat yang sudah menggegerkan daerah Tai-goan itu dinamakan Siluman Goa Tengkorak.

Pemerintah daerah dengan dibantu oleh para pendekar setempat sudah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu, namun hasilnya sia-sia. Goa-goa itu telah diperiksa, akan tetapi tak nampak sesuatu yang mencurigakan. Tempat itu memang berbahaya dan tandus, terdapat jurang-jurang dalam dan jalannya sangat licin sehingga tidak ada orang yang pernah datang ke tempat yang tidak ada gunanya itu. Pembunuhan The Si Kun yang menjadi pengantin itu dan penculikan isterinya, yaitu Thio Siang Ci, merupakan kejahatan yang keempat sejak penjahat itu muncul hampir dua bulan yang lalu.

Biar pun orang belum pernah dapat melihat wajahnya karena penjahat itu sangat pandai bergerak cepat seperti menghilang saja, akan tetapi orang-orang tahu bahwa penculikan-penculikan wanita dan pencurian itu dilakukan oleh orang yang sama, yang mereka juluki Siluman Goa Tengkorak karena cara-caranya yang sama, yaitu sebelum datang sudah memberi tanda gambar tengkorak darah, dan caranya bekerja juga sama, sangat cepat sehingga jarang dapat dilihat orang.

Seperti terjadinya penculikan atas diri Thio Siang Ci, sungguh sangat mengherankan dan menakutkan orang. Di luar kamar pengantin itu terdapat dua belas orang nelayan muda yang kuat-kuat dan yang masih berjaga, sama sekali tak ada yang tidur. Namun penjahat itu dapat memasuki kamar pengantin tanpa ada yang mengetahuinya, lantas membunuh pengantin pria yang mungkin melawan kemudian menculik pengantin wanita. Peristiwa itu terjadi sedemikian cepatnya sehingga yang terdengar hanya teriakan pengantin pria dan saat kamar didobrak, penjahat itu telah lenyap bersama pengantin wanita yang diculiknya.

Daerah Goa Tengkorak terletak di luar kota Tai-goan, yakni di sebelah selatan, di lereng Pegunungan Lu-liang-san di lembah Sungai Fen-ho. Goa-goa ini selain sukar dikunjungi dan tak pernah didatangi manusia, juga amat angker dan menurut penduduk yang masih percaya dengan cerita-cerita tahyul, kabarnya tempat itu merupakan sarang para iblis dan arwah-arwah yang penasaran.

Ada yang mengabarkan dengan sumpah betapa mereka mendengar suara-suara aneh dan menyaksikan penglihatan-penglihatan menyeramkan di daerah itu di waktu malam. Tentu saja cerita-cerita ini membuat tempat itu menjadi angker dan membuat orang semakin tidak berani mendekati.

Para pendekar dan juga para komandan penjaga keamanan tahu belaka bahwa tempat itu pun menjadi tempat pelarian para buronan. Bagi para penjahat yang menjadi buronan pemerintah, memang daerah itu amat baik untuk menyembunyikan diri.

Goa-goa itu memiliki banyak terowongan-terowongan di bawah gunung yang sambung-menyambung sehingga sekali sang buronan lari memasuki goa yang ada terowongannya, maka amat sukarlah untuk bisa ditemukan. Juga amat berbahaya bagi si pengejar karena tempat itu memang berbahaya sekali.

Daerah Goa Siluman ini hanya indah dilihat dari kejauhan, dari kaki bukit, dan dapat pula dilihat dari Sungai Fen-ho bila mana orang naik perahu lewat di kaki bukit itu. Dari jauh nampaklah dinding bukit yang berbatu-batu serta berlubang-lubang dengan lubang-lubang berbentuk tengkorak, sehingga dari jauh seakan-akan terlihat seperti tengkorak-tengkorak yang dipasang berderet-deret pada dinding batu karang itu.

Akan tetapi keindahan ini mengandung sesuatu yang sangat menyeramkan, seakan-akan ada sesuatu yang mengancam mereka yang terlalu lama memandang ke arah tempat itu. Para nelayan menganggap tempat ini sebagai tempat keramat, karena itu mereka selalu menundukkan muka apa bila melewati tempat ini dan tidak berani memandang langsung terlampau lama ke arah Goa-goa Tengkorak itu. Nama Siluman Goa Tengkorak sudah menggegerkan kota Tai-goan dan daerah sekitarnya selama kurang lebih dua bulan ini karena sepak terjangnya yang amat mengerikan itu.

Letak daerah Goa Tengkorak hanya tiga puluh li dari Tai-goan. Tentu saja para pendekar di kota Tai-goan merasa penasaran dan marah melihat betapa kota mereka dilanda mala petaka dengan munculnya seorang penjahat yang begitu beraninya. Perbuatan penjahat itu seolah-olah merupakan tamparan bagi mereka.

Mereka, bersama pasukan penjaga keamanan kota sudah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu. Namun, penjahat itu benar-benar seperti siluman, kalau nampak bayangannya, maka sukar disusul dan ketika dicari di daerah Goa Tengkorak, tidak dapat ditemukan jejaknya. Sudah ada dua orang gadis cantik di kota Tai-goan yang diculiknya, juga beberapa orang hartawan sudah dicuri barang-barang berharga berupa perhiasan-perhiasan mahal yang disimpan di dalam tempat-tempat rahasia.

Di antara para pendekar yang merasa penasaran terhadap Siluman Goa Tengkorak ini, terdapat seorang lelaki bernama Cia Kok Heng yang bekerja sebagai ahli bangunan pada bagian pertukangan kayu. Nama Cia Kok Heng ini sudah cukup terkenal di kota Tai-goan sebagai seorang ahli silat, bahkan seorang pendekar karena dia merupakan salah seorang murid lulusan perguruan Hong-kiam-pai (Perkumpulan Pedang Angin) di Tai-goan.

Hong-kiam-pai ini merupakan suatu perkumpulan silat pedang yang menjadi cabang dari perguruan besar Kun-lun-pai. Ilmu Pedang Hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin) adalah ilmu pedang dari Kun-lun-pai dan karena perguruan itu khusus mengajarkan ilmu pedang ini, maka tidak menggunakan nama Kun-lun-pai, melainkan Hong-kiam-pai. Yang menjadi anggota atau murid dari Hong-kiam-pai hanyalah orang-orang yang sudah memiliki dasar ilmu silat yang mahir dan boleh saja mempunyai dasar ilmu silat dari partai lain asalkan tingkatnya sudah cukup untuk mempelajari Ilmu Pedang Hong-kiam-sut.

Akan tetapi, Cia Kok Heng memang seorang murid Kun-lun-pai asli sehingga dia memiliki dasar-dasar ilmu silat Kunlun-pai. Dengan adanya perkumpulan Hong-kiam-pai ini maka para pendekar dari semua aliran dapat bersatu dengan menjadi murid atau anggota, dan karena dia sendiri adalah seorang anggota Hong-kiam-pai, maka tentu saja Cia Kok Heng mengenal banyak pendekar yang juga menjadi anggota perkumpulan itu.

Kok Heng hidup rukun bersama isterinya dan dua orang anaknya. Dia sendiri berusia tiga puluh tahun dan isterinya berusia dua puluh tujuh tahun. Isterinya adalah seorang wanita yang amat cantik jelita dan biar pun sekarang telah mempunyai dua orang anak, namun kecantikannya tak berkurang. Anak mereka, yang pertama lelaki berusia sembilan tahun dan yang kedua perempuan berusia tujuh tahun. Hidup mereka tidak bisa dikatakan kaya, namun penghasilan Kok Heng sebagai tukang kayu yang ahli sudah cukup untuk hidup pantas bagi keluarga itu.

Cia Kok Heng bukanlah seorang ahli silat biasa saja di kota Tai-goan. Dia adalah salah seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan! Dan biar pun di antara mereka bertujuh dia termasuk yang paling muda, akan tetapi bukan berarti bahwa kepandaiannya yang paling rendah.

Meski pun tujuh orang pendekar itu belum pernah bentrok sendiri dengan siluman yang mengacau kota mereka, namun mereka menaruh perhatian dan sudah sering mereka bertujuh itu berkumpul untuk membicarakan penjahat itu. Bahkan mereka saling berdebat, ada yang percaya akan desas-desus bahwa penjahat itu lihai seperti siluman dan pandai ilmu menghilang, ada pula yang tidak percaya.

Percaya dan tidak percaya memiliki dasar yang sama. Dasarnya adalah ketidak tahuan. Hanya orang yang tidak mengerti atau tidak tahu sendirilah yang bisa menjadi orang yang percaya atau yang tidak percaya. Oleh karena itu, orang yang percaya dan yang tidak percaya sesungguhnya tidak berhak membicarakan sesuatu yang mereka percaya atau tidak percaya itu, karena keduanya sama-sama tidak mengerti atau tidak tahu. Apa bila sudah tahu, maka tidak mungkin timbul percaya atau tidak percaya lagi.

Sebelum manusia bisa mendarat di bulan, gambaran tentang bulan tentu menimbulkan percaya atau tidak percaya, tergantung pada siapa yang menceritakan dan siapa yang mendengarkan. Akan tetapi sekarang hal itu tidak lagi membutuhkan percaya atau tidak percaya. Anehnya, bagaimana pun juga orang-orang yang percaya atau pun yang tidak percaya inilah, di dalam ketidak tahuan merupakan orang-orang yang paling suka untuk membicarakannya dan memperdebatkannya.

Pada pagi hari itu, dengan hati sedikit kesal Kok Heng berangkat ke tempat pekerjaannya di pusat kota di mana sedang dilakukan pembangunan oleh kepala daerah. Tadi malam pada saat berbelanja ke pasar, isterinya bertemu dengan Phang-kongcu, putera seorang pembesar yang kaya raya dan pemuda itu bersikap kurang ajar. Dengan lagak memikat, Phang-kongcu mengeluarkan kata-kata memuji kecantikannya lantas mengatakan sayang bahwa wanita secantik itu hidup miskin. Demikianlah kata isterinya.

Meski Kok Heng menganggap kekurang ajaran mulut pemuda bangsawan dan hartawan itu merupakan penyakit umum dan bukan sesuatu yang aneh, namun tetap saja hatinya diliputi oleh rasa cemburu dan penasaran. Namun, sebagai seorang pendekar dia mampu menenangkan batinnya dan berangkat kerja dengan wajah agak muram.

Siang hari itu dia pulang lebih pagi dari pada biasanya. Di depan rumah, dia melihat dua orang anaknya, Cia Liong dan Cia Ling, bermain-main dengan anak-anak tetangga. Akan tetapi timbul keheranannya pada saat melihat anak-anak itu berdiri berkerumun di depan dinding dekat pintu, dan terlihat keheranan memandang ke arah dinding sambil menunjuk-nunjuk.

Dia pun cepat melangkah, mendekat dan tiba-tiba saja wajah pendekar ini berubah merah lalu pucat, dan kembali merah lagi. Matanya terbelalak memandang ke arah dinding yang dirubung anak-anak itu. Pada permukaan dinding putih itu tampak jelas gambar tengkorak yang dilukis dengan darah yang masih mengkilat basah!

"Ayah, apakah itu?" tanya Cia Ling.

Kok Heng menggandeng tangan kedua orang anaknya, membawa mereka masuk rumah sesudah dia menyuruh anak-anak lain pulang ke rumahnya masing-masing. Jantungnya tergetar penuh ketegangan dan barulah hatinya terasa lega sesudah dia melihat isterinya menyongsong kedatangannya dari dalam dapur.

"Ehhh, ada apakah? Engkau kelihatan..." Isterinya bertanya khawatir ketika melihat wajah suaminya.

"Tidak apa, tenanglah. Mari kita bicarakan dalam kamar, ajak anak-anak," kata suaminya.

Walau pun sikap suaminya tenang, namun istri pendekar itu dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu. Mereka memasuki kamar dan Kok Heng lalu menceritakan gambar tengkorak yang dilihatnya di dinding rumah mereka.

"Siluman Goa Tengkorak...? Isterinya berbisik, bibirnya gemetar dan mukanya pucat.

"Jangan khawatir. Siapa pun adanya badut atau penjahat itu, sekarang dia akan ketemu batunya. Aku akan mempersiapkan saudara-saudaraku untuk menghadapinya. Telah tiba saatnya Tujuh Pendekar Tai-goan bergerak dan membasmi siluman itu," kata Kok Heng dengan penuh semangat.

Sikap dan ucapan suaminya ini membuat hati isterinya agak tenang, walau pun nyonya muda itu masih saja merasa khawatir. Kok Heng segera menulis sepucuk surat dan minta kepada seorang tetangganya untuk mengantarkan surat itu ke alamatnya.

Setelah itu keluarga Cia lalu makan siang dan sikap tenang pendekar itu mempengaruhi isterinya yang juga merasa tenang. Mereka melarang anak-anak mereka bermain-main di luar rumah dan karena kesal tidak boleh bermain di luar rumah, Cia Liong dan Cia Ling yang mentaati kedua orang tuanya itu lantas tidur di kamar mereka pada siang hari itu.

Kok Heng lalu bercakap-cakap dengan isterinya di ruangan dalam. Baru sekarang mereka mendapatkan kesempatan untuk membicarakan ancaman itu sesudah kedua orang anak mereka tertidur.

Kok Heng mengambil pedangnya, lantas mengeluarkan pedang itu dari sarungnya untuk memeriksanya. Dia sudah bersiap dan kini dia meggantungkan pedangnya di punggung, siap setiap saat menghadapi siluman yang mengancam keluarganya itu.

"Akan tetapi mengapa kita...?" isterinya bertanya dengan wajah yang agak pucat.

Kok Heng memegang lengan isterinya. "Tenanglah, wajahmu begini pucat. Percayalah, kami bertujuh akan dapat menghadapinya, bahkan mungkin menangkap atau membunuh siluman itu."

"Tapi... mengapa kita yang diancamnya? Kita bukan orang kaya..."

"Engkau tahu, isteriku. Siluman itu bukan hanya senang mencuri barang-barang berharga, bahkan suka pula menculik wanita..." Muka yang pucat itu kini berubah merah.

"Tapi... yang diculiknya selama ini adalah gadis-gadis cantik..."

Kok Heng menatap wajah isterinya lantas tersenyum bangga. "Dan engkau adalah wanita yang amat cantik, yang tercantik di antara mereka."

"Ah, jangan bergurau, suamiku. Aku adalah seorang wanita yang sudah mempunyai dua orang anak..."

"Aku tidak bergurau. Biar pun engkau sudah menjadi ibu dari dua orang anak, akan tetapi engkau masih kelihatan sangat muda dan cantik jelita. Ingat saja kekurang ajaran pemuda bangsawan itu..." Tiba-tiba saja pendekar itu mengerutkan alisnya dan memandang wajah isterinya dengan aneh. Wajah itu menjadi semakin merah.

"Si keparat itu... ahh, mengapa engkau memandangku seperti itu...?"

"Pemuda she Phang itu... kemarin dia sudah menggodamu dan pada hari ini siluman itu memberi tandanya! Hemm... ada hubungan apakah di antara kedua peristiwa ini...?"

"Hubungan bagaimana maksudmu?" tanya isterinya bingung. "Pemuda itu adalah putera seorang pembesar, sedangkan siluman itu... bukankah katamu dia itu seorang penjahat besar? Mana ada hubungannya...?"

"Aku pun merasa heran, kenapa begini kebetulan ? Ah, biarlah akan kubicarakan dengan saudara-saudaraku."

Jauh lewat tengah hari, menjelang sore, datanglah enam orang di rumah Cia Kok Heng, segera disambut oleh tuan rumah dengan hati gembira sekali dan juga penuh perasaan lega. Bahkan sekarang nyonya rumah sudah dapat tersenyum dan wajahnya tidak pucat lagi. Bagaimana pun juga, dengan berkumpulnya Tujuh Pendekar Tai-goan, apakah yang perlu ditakuti lagi? Tujuh orang yang terkenal dengan sebutan Tujuh Pendekar Tai-goan itu memang bukan orang-orang sembarangan.

Pertama adalah Cia Kok Heng sendiri yang menjadi orang termuda namun bukanlah yang paling rendah ilmunya. Orang ke dua ialah yang dikirimi surat oleh Kok Heng dan dimintai tolong untuk mengumpulkan semua saudara mereka dan datang ke tempat pendekar she Cia itu.

Orang ini bernama Kwee Siu, usianya sekitar empat puluh lima tahun. Dia adalah murid perguruan Siauw-lim-pai yang sangat lihai, dan kemudian belajar ilmu pedang pula dari Hong-kiam-pai sehingga dia pun masih terhitung saudara seperkumpulan dengan Cia Kok Heng. Walau pun dalam hal ilmu pedang dia masih kalah lihai dari Kok Heng karena Kok Heng memang murid Kun-lun-pai, akan tetapi Kwee Siu ini memiliki kelebihan lain, yaitu ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai.

Orang ke tiga adalah Louw Ciang Su, berusia empat puluh tahun, murid Bu-tong-pai yang sangat lihai dengan senjata rantai bajanya. Ada pun orang ke empat dan ke lima adalah kakak beradik she Ciok, yaitu Ciok Lun yang berusia lima puluh tahun dan Ciok Khim berusia empat puluh lima tahun, keduanya tokoh-tokoh dari Tiat-ciang-pai (Perkumpulan Tangan Besi) yang disegani dari kota raja.

Tentu saja keduanya memiliki tangan yang amat kuat dan terlatih sehingga mahir dalam ilmu tangan besi. Hanya bedanya, kalau Ciok Lun biasa menggunakan senjata toya, maka adiknya, Ciok Khim mempergunakan senjata golok.

Orang ke enam adalah Siok Bu Ham, berusia empat puluh tahun, tidak mempunyai partai dan murid seorang tosu perantau yang mahir mempergunakan senjata sepasang tombak pendek. Orang ke tujuh adalah Liu Ji, usianya empat puluh lima tahun, seorang tokoh Thian-kiam-pang, seorang ahli melempar piauw dan pedang. Pendeknya, untuk Tai-goan dan sekitarnya, nama tujuh pendekar ini sudah terkenal sebagai orang-orang gagah yang menentang kejahatan dan sering kali membantu pemerintah dalam menghadapi penjahat lihai.

Begitu enam orang saudaranya itu datang, Kok Heng lalu mengajak mereka ke depan dan mereka bertujuh memeriksa gambar tengkorak darah itu dengan teliti. Ciok Lun meraba lukisan itu sambil mengerahkan sinkang-nya. Tangannya yang mempunyai Ilmu Tiat-ciang (Tangan Besi) itu tergetar dan menjadi panas, lalu tercium bau amis.

"Hemm, darah tulen...!" gumamnya.

"Mungkin ini bukan darah manusia," kata Kok Heng. "Setiap kali mengancam, siluman itu menggunakan lukisan tengkorak darah, dan agaknya dia menggunakan darah binatang."

Louw Ciang Su, murid Bu-tong-pai, menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Belum tentu. Dahulu aku pernah mendengar mengenai seorang penjahat yang mempelajari ilmu hitam dan sering kali menggunakan darah dalam surat ancamannya dan ternyata darah itu darah manusia. Entah dari mana diambilnya karena memang orang-orang macam itu sudah sedemikian jahat dan kejamnya seperti iblis."

Para pendekar itu berdiam diri dan merasa ngeri juga. Yang akan mereka hadapi adalah seorang penjahat yang menurut kabar angin memiliki kepandaian seperti siluman, maka mereka pun harus bersikap hati-hati. Mereka lalu dijamu oleh nyonya rumah dan ketika Kok Heng menceritakan mengenai pemuda bangsawan Phang yang menggoda isterinya kemarin, enam orang pendekar itu mengerutkan alisnya. Lalu terdengar Liu Ji berkata,

"Tidak mungkin dia! Aku mengenal pemuda Phang itu"

"Memang, dia adalah seorang pemuda mata keranjang, terkenal di dunia pelacuran dan tak segan-segan untuk menggunakan kedudukan serta hartanya untuk bisa mendapatkan dan menguasai setiap wanita yang disukainya. Namun dia belum pernah mempergunakan kekerasan, terlebih lagi olehnya sendiri karena dia tidak becus apa-apa, bahkan tubuhnya lemah karena terlalu banyak mengobral nafsunya." Cia Kong Heng mengangguk-angguk.

"Aku pun tidak mencurigai dia karena kalau dia itu lihai tentu kita sudah mengetahuinya. Akan tetapi karena kemarin dia menggoda isteriku dan hari ini siluman itu muncul maka sungguh kebetulan sekali sehingga mau tidak mau, menimbulkan kecurigaan."

Tiba-tiba saja Kwee Siu, murid Siauw-lim-pai yang juga menjadi murid Hong-kiam-pai itu mengepal tinju lantas memukul meja.

"Brakkk!"

Semua orang memandang dan orang tinggi besar ini melotot dengan muka merah. "Siapa pun adanya iblis itu, harus kita hadapi dan malam ini kalau dia berani datang, kita akan menangkap atau membunuhnya!"

"Aku bersumpah, kalau dia berani menjamah sehelai rambut isteri Heng-te saja, aku akan mematahkan tangannya!" teriak Ciok Lun, orang tertua di antara mereka, lantas menarik napas panjang.

"Menghadapi seorang penjahat yang dikenal licin seperti siluman itu, yang pernah diserbu oleh pasukan dan para pendekar namun tetap dapat meloloskan diri, kita harus bersikap tenang. Betapa pun juga, seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, dia selalu memberi peringatan atau mengancam calon korban pada saat siang atau sore, kemudian baru dia turun tangan pada malam harinya. Maka, kita masih memiliki waktu untuk bersiap siaga. Kita harus mengatur penjagaan, membagi-bagi tugas namun harus diatur agar kita dapat saling membantu."

Setelah malam tiba, Tujuh Pendekar Tai-goan itu sudah mengatur siasat. Cia Kok Heng sendiri berjaga di dalam kamar, menjaga isteri serta dua orang anaknya dengan pedang tak pernah terpisah dari badannya. Kwee Siu yang tinggi besar dengan pedang di tangan menjaga di dalam ruangan di luar kamar, ditemani oleh Louw Ciang Su yang senjata rantai bajanya dililitkan di pinggang.

Siok Bu Ham dengan sepasang tombak pendeknya menjaga di belakang rumah. Liu Ji tokoh Thian-kiam-pang itu menjaga di luar, di depan rumah sambil meronda. Sedangkan kedua saudara Ciok Lun dan Ciok Khim telah berada di atas. Rumah dan kamar keluarga Cia itu telah dijaga ketat, dikepung oleh para pendekar dan agaknya iblis sendiri pun tidak akan sanggup memasuki kamar itu tanpa diketahui, dan akan mendapat rintangan yang amat ketat dan berat.

Malam semakin larut dan suasana semakin sunyi menegangkan. Seluruh penghuni rumah itu, kecuali dua orang anak kecil yang sudah tertidur pulas, tidak seorang pun yang dapat memejamkan mata barang sejenak. Semua merasa tegang. Yang ada di dalam rumah itu hanya Cia Kok Heng bersama isteri dan dua anaknya, serta enam orang rekannya. Dua orang pelayan telah disuruh mengungsi sore tadi.

Menjelang tengah malam, suasana sunyi itu menjadi makin lengang. Rumah keluarga Cia ini terletak agak di pinggir kota, semua perumahan di situ memiliki pekarangan dan kebun yang luas sehingga agak jauh dari tetangga.

Tidak ada bulan di langit, dan cahaya laksaan bintang yang lemah mendatangkan cuaca yang remang-remang menyeramkan. Kesunyian yang sangat mencekam itu kadang kala dipecahkan oleh suara burung malam yang mendatangkan suasana lebih menyeramkan, dan kadang-kadang terdengar bunyi lemah kelepak burung malam yang terbang berlalu. Gonggong anjing di kejauhan menambah dalamnya kesunyian yang mencekam di dalam hati, mengingatkan orang akan sesuatu yang tidak mereka lihat dan tidak mereka ketahui, menimbulkan dugaan-dugaan yang mendatangkan rasa gelisah dan takut.

Sudah beberapa kali ini para pendekar itu saling mengunjungi tempat penjagaan masing-masing dan juga memeriksa keluarga Cia yang masih berada dalam kamar. Hati mereka terasa lega dan diam-diam hati yang tegang itu mengharapkan agar siluman itu menjadi jeri dan tidak berani muncul melihat persiapan Tujuh Pendekar Tai-goan.

Akan tetapi ketika waktu telah menunjukkan tepat tengah malam, terdengar bunyi burung malam dan kelepak sayapnya, seolah-olah rumah keluarga Cia itu didatangi oleh burung-burung malam. Dan para pendekar itu mulai merasa seolah-olah mereka atau tempat itu sudah terkepung.

Terdengar suara batuk-batuk Siok Bu Ham yang berjaga di belakang rumah, batuk buatan yang biasa dilakukan orang untuk mengusir rasa seram dalam hati. Suara batuk-batuk ini segera dibalas oleh Ciok Khim yang menjaga di atas wuwungan bersama kakaknya, Ciok Lun. Mendengar suara dua orang rekannya batuk-batuk itu, hati para pendekar yang lain menjadi agak lega. Namun mereka tetap waspada karena naluri mereka yang membuat mereka peka terhadap ancaman lawan tergetar oleh sesuatu yang membuat mereka lebih waspada dan siap siaga. Tiba-tiba...

鈥淣geonggg...!" terdengar suara nyaring disusul geraman-geraman dan gedobrakan di atas genteng rumah tetangga.

Jantung mereka yang sedang tegang itu terasa seperti copot, akan tetapi mereka segera mengenal suara itu dan di dalam batin menyumpah-nyumpah karena itu adalah suara dua ekor kucing yang sedang berkelahi atau sedang bercanda! Karena kebisingan dua ekor kucing yang sedang bermain cinta ini sangat mengejutkan dan tiba-tiba, perhatian para pendekar itu sejenak tertumpah kepada suara itu.

Dan ketika perhatian dua saudara Ciok kembali kepada penjagaan mereka, dengan kaget mereka melihat sesosok bayangan orang tahu-tahu telah berdiri di atas wuwungan rumah keluarga Cia, hanya berjarak beberapa tombak saja dari mereka! Tentu saja kedua orang saudara Ciok itu terkejut sehingga sejenak mereka memandang bengong.

Kini mereka dapat melihat jelas. Orang itu memakai pakaian dan jubah serba putih dari sutera mengkilap dan di bagian dadanya terdapat gambar tengkorak darah, yaitu lukisan tengkorak dari darah merah yang menetes-netes.

"Iblis keparat!" Ciok Khim sudah membentak dan pendekar ini meloncat ke depan, lantas menyerang orang itu dengan goloknya.

Gerakannya amat cepat dan kuat, dan meski pun yang diinjaknya hanya wuwungan yang lebarnya tak lebih dari satu kaki saja, tetapi Ciok Khim dapat meloncat dengan sigap dan menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi, orang itu dengan tenang saja menggerakkan tangan menyambut ke depan.

"Tringgg...!"

Dan mata golok yang tajam itu sudah ditangkis begitu saja oleh jari-jari tangannya yang memakai cincin. Ciok Khim merasa betapa tangan kanannya yang menggenggam golok tergetar hebat, tanda alangkah kuatnya tangkisan itu. Orang itu pun sudah meloncat ke kanan, ke atas wuwungan melintang dengan cepat.

"Siluman jahat!" Ciok Lun sudah menerjang dengan toyanya.

Mula-mula toyanya menyambar ke arah kepala lawan. Ketika dengan gerakan ringan dan mudah toya itu dielakkan oleh lawan dan menyambar lewat, secepat kilat toya itu sudah dilanjutkannya dengan sebuah tusukan ke arah dada, tepat ke arah tengkorak merah itu. Akan tetapi, hebatnya, lawan itu sama sekali tidak menangkis, bahkan seperti memasang dadanya untuk ditusuk toya yang digerakkan dengan amat kuat.

"Dukkk!"

Toya itu tepat mengenai dada dan ternyata tusukan ini bahkan dipergunakan oleh lawan untuk meminjam tenaganya sehingga sekarang tubuh itu terjengkang jauh ke belakang, lantas membuat gerakan jungkir balik beberapa kali ketika melayang ke bawah. Sungguh gerakan yang indah, dan terutama sekali, menerima serangan tusukan toya dengan dada begitu saja menunjukkan bahwa orang itu benar-benar mempunyai kekebalan yang amat kuat.....!

"Keparat, mau lari ke mana kau?" Dua orang saudara Ciok ini mengejar dan melayang turun.

Setibanya di bawah, lawan mereka itu sekali lagi berkelebat sudah lenyap! Selagi mereka kebingungan dan mencari dengan pandangan matanya, mereka melihat lawan tadi sudah berada di belakang mereka, berdiri sambil bertolak pinggang! Diam-diam mereka terkejut.

Lawan ini sungguh dapat bergerak seperti setan saja cepatnya. Dan kini, di bawah sinar penerangan lampu, mereka baru dapat melihat wajah lawan. Ternyata orang itu memakai kedok siluman tengkorak! Mereka berdua segera berteriak keras dan menyerang.

Teriakan itu mereka lakukan untuk memberi tahu teman-teman mereka. Akan tetapi pada saat itu, teman-teman mereka pun sedang sibuk! Siok Bu Ham yang sedang berjaga di bagian belakang rumah, tadi pun terkejut sekali ketika mendengar suara kucing dan tentu saja perhatiannya langsung tertuju ke genteng tetangga dari mana suara hiruk-pikuk itu datang. Dan pada saat dia mengembalikan perhatiannya kepada tempat di sekelilingnya, tahu-tahu di belakangnya telah berdiri seorang yang memakai topeng tengkorak, dengan pakaian sutera putih yang pada dadanya terdapat gambar tengkorak darah!

"Siluman jahanam, berani engkau datang?" bentak Siok Bu Ham dan pendekar ini segera menerjang dengan sepasang siang-kek yang sejak tadi sudah dipersiapkan. Nampak dua cahaya menyambar ketika sepasang tombak pendek itu meluncur dan membuat gerakan menggunting, menyerang dari kanan kiri.

Akan tetapi, orang yang diserangnya dengan ringan meloncat ke belakang dan serangan berganda itu pun mengenai tempat kosong. Sebelum Siok Bu Ham menyerang lagi, orang itu sudah meloncat ke depan.

"Bangsat, jangan lari kau!" Siok Bu Ham membentak sambil mengejar menuju ke depan rumah.

Akan tetapi bayangan itu menghilang dan ketika dia tiba di depan rumah, dia melihat Liu Ji sedang bertanding dengan seseorang yang serupa dengan orang yang dikejarnya tadi. Orang bertopeng tengkorak, bertangan kosong akan tetapi lihai bukan main sehingga Liu Ji yang bersenjatakan pedang itu pun terdesak hebat.

Pada saat Siok Bu Ham datang, Liu Ji yang sedang terdesak itu terkena tamparan pada pundaknya sehingga pendekar itu jatuh, terus menggulingkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak.

Tahulah Siok Bu Ham bahwa rekannya itu tentu menggunakan senjata rahasianya, yaitu piauw yang memang menjadi keahliannya. Tiga cahaya menyambar ke arah perut, dada dan leher orang berkedok tengkorak itu. Akan tetapi orang itu tidak mengelak.

Terdengar suara nyaring ketika tiga batang piauw itu mengenai sasaran, akan tetapi tiga batang piauw itu runtuh tanpa melukai siluman tengkorak itu. Melihat hal ini, Siok Bu Ham maklum bahwa orang itu memang kebal. Ketika melihat orang itu hendak mendesak Liu Ji yang belum sempat meloncat bangun, dia pun membentak marah sambil menggerakkan sepasang tombaknya.

"Siluman keparat, rasakan tombakku!" Dan dia pun sudah menerjang dengan dahsyat.

Siluman itu mengeluarkan suara dari hidungnya dan langsung mengelak. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liu Ji untuk meloncat bangun dan menerjang lagi dengan pedangnya, membantu Siok Bu Ham mengeroyok siluman yang lihai ini. Pundak kanannya tergores kuku dan bajunya robek, terluka sedikit saja akan tetapi rasanya panas dan perih sekali.

Baru mengeroyok sebentar saja, dua orang pendekar ini maklum bahwa lawan mereka sungguh sangat lihai, maka mereka berdua pun bersuit-suit untuk memberi tanda kepada para teman mereka. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang muncul.

Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Ciok Khim dan Ciok Lun juga sedang mengeroyok seorang siluman, dan bagaimana dengan Kwee Siu dan Siu Louw Ciang Su yang berjaga di ruangan dalam, di depan kamar keluarga Cia? Sama saja!

Kedua orang ini tadi juga mendengar suara bising kucing di luar rumah itu, lantas tiba-tiba saja muncul seorang bertopeng tengkorak berjubah putih yang bagian dadanya digambari tengkorak darah. Karena orang ini berdiri di bawah lampu, mereka berdua dapat melihat jelas.

Tentu saja mereka berdua terkejut sekali karena munculnya siluman ini sungguh secara tiba-tiba, berbareng dengan suara ribut kucing tadi, seperti setan yang pandai menghilang saja. Tetapi karena mereka maklum bahwa inilah musuh yang ditunggu-tunggu, keduanya lalu menerjang ke depan dengan marah. Kwee Siu menggunakan pedangnya sedangkan Louw Ciang Su menggerakkan sabuk atau rantai baja yang dipakai sebagai ikat pinggang. Segera terjadi pertempuran seru ketika dua orang ini mengeroyok siluman itu.

"Cia-hiante, hati-hati...!" Kwee Siu berseru untuk memperingatkan Cia Kok Heng.

Akan tetapi Kok Heng sudah mendengar keributan di luar kamar. Dia pun tidak mungkin tinggal diam saja. Cepat dibukanya pintu kamar dan melihat betapa dua orang rekannya mengeroyok seorang bertopeng tengkorak yang gerakannya amat lihai, dia pun menyuruh isterinya menjaga kedua anak mereka dan dia sendiri langsung melompat keluar dengan pedang di tangan.

"Siluman keparat, engkau mengantar nyawa!" bentaknya dan dia pun membantu kedua orang rekannya mengeroyok.

Karena marah bukan main melihat musuh yang mengancam isterinya ini berani muncul di hadapannya, Cia Kok Heng segera menerjang dan menggunakan jurus paling ampuh dari Hong-kiam-hoat, yaitu jurus Hui-hong Bu-liu (Angin Meniup Pohon Cemara). Jurus ampuh ini dilakukan dengan tusukan pada pinggang lawan, akan tetapi itu hanyalah merupakan gertakan belaka karena jurus itu dilanjutkan dengan sambaran pedang secara berputar mengarah kaki dan naik terus sampai ke leher. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya.

Akan tetapi, alangkah kaget hati Kok Heng melihat lawan itu hanya mengeluarkan suara mendengus dan agaknya tidak mempedulikan tusukan gertakan itu, namun ketika pedang menyambar dengan gerakan memutar, orang itu sudah meloncat tinggi di udara sehingga jurus itu pun tidak ada gunanya sama sekali. Orang itu seolah-olah sudah mengenal baik jurus itu dan menggunakan kesempatan selagi meloncat, tidak hanya untuk memunahkan jurus Hui-hong-bu-liu, melainkan loncatan itu segera disambung dengan gerakan pok-sai (salto) jungkir balik dan tahu-tahu tubuh yang jangkung itu sudah meluncur dan melayang ke dalam kamar melalui pintunya yang terbuka.

Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah disangka oleh ketiga orang pendekar itu yang sejenak memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Cia Kok Heng sudah mengejar sambil membentak marah,

"Siluman curang, mari hadapi pedangku!"

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba di dalam kamar, dia melihat isterinya sudah dipanggul dalam keadaan lemas oleh siluman itu dan dua orang anaknya juga dicengkeram, kemudian sambil tertawa mengejek siluman itu meloncat keluar lewat jendela belakang!

"Lepaskan isteri dan anak-anakku!" Kok Heng membentak dan mengejar, dan dua orang rekannya, Kwee Siu dan Louw Ciang Su juga membentak dan mengejar.

Siluman itu sama sekali tidak menemukan perlawanan di belakang, karena Siok Bu Ham yang tadinya berjaga di belakang itu kini telah terlibat dalam perkelahian membantu Liu Ji di pekarangan depan rumah. Siluman itu masih memondong tubuh isteri Kok Heng sambil mengempit dua tubuh anak itu ketika dia melompat naik ke atas wuwungan rumah.

"Lepaskan mereka!" Kok Heng yang merasa gelisah dan marah itu mengejar secepatnya.

"Jahanam curang! Jangan lari!" Kwee Siu juga berteriak mengejar.

"Kalau jantan lawanlah kami!" Louw Ciang Su membentak sambil meloncat pula mengejar ke atas genteng.

"Kejar...!" Kok Heng berteriak lagi.

"Ha-ha-ha!" Suara ketawa dari balik topeng itu terdengar menyeramkan sekali.

Mendadak siluman itu menggerakkan tangan kirinya yang mencengkeram baju dua orang anak itu. Tubuh dua orang anak itu segera melayang ke arah Kwee Siu dan Louw Ciang Su! Tentu saja dua orang pendekar terkejut bukan main, juga Kok Heng lantas berteriak dengan gelisah.

"Sambut anak-anakku itu...!"

Untung bahwa dua orang pendekar itu benar-benar memiliki gerakan lincah. Melihat tubuh dua orang anak itu melayang ke bawah, mereka cepat melempar senjata mereka lantas membalik dan nyaris saja anak-anak itu terbanting remuk di atas tanah kalau tidak kedua orang pendekar itu berhasil menangkap tubuh mereka!

Terdengar suara ketawa dan kini siluman itu sudah mengelak dari sambaran pedang di tangan Kok Heng yang membabat ke arah kedua kakinya. Dia melompat ke atas, terus saja melompat jauh ke depan, turun dari atas wuwungan ke pekarangan belakang rumah tetangga.

Tentu saja Kok Heng cepat melakukan pengejaran sambil membentak nyaring, "Lepaskan isteriku!"

Kwee Siu agak terpincang karena ketika dia tadi menangkap tubuh Cia Liong, putera Kok Heng, terpaksa dia harus mendahului anak itu, menangkapnya dan membiarkan dirinya lebih dulu menimpa tanah. Karena ini, kakinya agaknya salah urat. Melihat ini Louw Ciang Su berkata,

"Kwee-twako, sebaiknya engkau menyelamatkan kedua orang anak ini dan biar aku yang akan membantu Cia-te mengejar siluman itu!" Louw Ciang Su sudah mengambil senjata rantai bajanya lagi yang tadi terpaksa dilepaskannya ketika dia menyelamatkan Cia Ling, anak perempuan itu.

"Baik!" kata Kwee Siu yang sudah merangkul dua orang anak kecil yang masih menggigil dan menahan isak tangis itu.

Louw Ciang Su melompat ke atas genteng dan melakukan pengejaran ke arah larinya siluman yang menculik nyonya Cia. Sambil menggandeng dua orang anak itu, Kwee Siu mengambil lagi pedangnya yang tadi dilepaskannya dan dia merasa sangat heran kenapa empat orang rekannya yang lain tidak muncul. Hatinya terasa amat tidak enak dan sambil menggandeng kedua orang anak itu, dia menuju ke samping rumah.

Hampir saja dia berteriak keras ketika dia melihat betapa dua orang rekannya, Siok Bu Ham dan Liu Ji sudah menggeletak di situ dengan badan mandi darah. Pada waktu dia menghampiri dan memeriksa, ternyata kedua orang rekannya ini sudah tewas! Sebatang tombak pendek, senjata dari Siok Bu Ham sendiri, nampak menembus dadanya, ada pun Liu Ji tewas dengan leher hampir putus oleh pedangnya sendiri yang terletak di dekatnya!

Dengan sepasang kaki menggigil dan menahan tangisnya, Kwee Siu membawa Cia Liong dan Cia Ling keluar. Kembali dia mengalami guncangan batin hebat sesudah melihat dua orang rekan lainnya lagi, yaitu kakak beradik Ciok Lun dan Ciok Khim ternyata juga telah menggeletak menjadi mayat di pekarangan depan. Dan seperti juga keadaan dua orang rekannya yang tewas di samping rumah, kedua orang saudara Ciok ini pun tewas oleh senjata mereka sendiri. Agaknya lawan mereka yang kuat dan bertangan kosong itu telah merobohkan mereka dengan merampas senjata mereka dan mempergunakan senjata itu untuk membunuh tuannya sendiri.

Melihat betapa empat orang rekan atau sahabat yang seakan sudah menjadi saudaranya sendiri itu tewas dalam keadaan yang begitu menyedihkan, hati Kwee Siu penuh dengan kedukaan dan kemarahan. Apa lagi dia mengingat bahwa masih ada dua orang rekannya lagi yang kini melakukan pengejaran terhadap siluman itu. Dia harus membantu mereka!

Maka, dia segera membawa dua orang anak itu kepada seorang tetangga yang langsung menjadi panik ketika mendengar bahwa di rumah keluarga Cia telah terjadi pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Siluman Goa Tengkorak. Tetangga ini memberi tahukan kepada semua penghuni rumah di sekitar tempat itu, dan sebentar saja gegerlah keadaan di perkampungan itu.

Akan tetapi, sesudah menitipkan dua orang anak she Cia itu, Kwee Siu sendiri langsung berloncatan dan cepat menyusul ke arah perginya siluman yang tadi dikejar oleh Cia Kok Heng dan Louw Ciang Su. Hatinya penuh dengan kekhawatiran dan juga dendam terhadap siluman yang telah membunuh empat orang saudaranya.

Akan tetapi Kwee Siu tidak perlu menyusul terlalu jauh. Di dekat tembok kota dia melihat bayangan yang berlari terhuyung-huyung, dan sesudah dia mendekati, ternyata bayangan itu adalah Cia Kok Heng yang berlari sambil terhuyung dan kedua tangannya mendekap leher karena dari situ bercucuran darah segar dari sebuah luka yang menganga!

"Cia-hiante...! Kau kenapa...?" Kwee Siu meloncat dan menubruk sahabatnya sekaligus juga saudara seperguruan di Hong-kiam-pai.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hatinya melihat luka di leher pendekar she Cia itu sungguh hebat sekali dan amat mengherankan jika Cia Kok Heng masih dapat berlari. Begitu melihat Kwee Siu, Cia Kok Heng langsung roboh terguling namun tubuhnya cepat disambar dan dipeluk oleh Kwee Siu.

"Anak-anakku...anak-anakku..." Cia Kok Heng berbisik dalam rangkulan sahabatnya itu.

"Mereka sudah kuselamatkan di tetangga..." kata Kwee Siu. "Mana Louw-te...?"

"Louw-twako... su... dah tewas... ahhh... Kwee-twako, bawa anak-anakku kepada suhu... cepat... ahhhh..." Cia Kok Heng berbisik-bisik akan tetapi dari lehernya hanya terdengar suara mengorok.

"Apa katamu, hiante? Kau bilang apa...?" Kwee Siu yang hatinya menjadi hancur itu cepat mendekatkan telinganya ke mulut yang masih tampak bergerak-gerak dan berbisik lemah sekali itu. Kwee Siu mendengarkan dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat sekali, sepucat muka Cia Kok Heng yang tiba-tiba terkulai dan tewas pula!

Kwee Siu tidak dapat menahan tangisnya lagi. Air matanya segera menetes-netes ketika dia memandang tubuh rekannya ini. Sambil menangis dia pun segera memondong tubuh yang kini sudah menjadi mayat itu, lalu berlari cepat kembali ke rumah keluarga Cia yang telah dipenuhi orang, yaitu para tetangga yang datang melayat.

Mereka semua yang sudah merasa ngeri menyaksikan empat mayat di dalam rumah itu, menjadi semakin ngeri dan ketakutan ketika melihat Kwee Siu datang membawa mayat Cia Kok Heng! Suasana menjadi semakin geger dan menyedihkan.

Sebelum malam terganti pagi, telah tersebarlah berita yang mengejutkan itu, bahwa enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan sudah tewas oleh Siluman Goa Tengkorak dan isteri pendekar Cia Kok Heng sudah diculik oleh siluman itu! Tentu saja berita ini bukan hanya menggegerkan seluruh Tai-goan, akan tetapi bahkan jauh sampai ke luar Tai-goan dan sebentar saja menjadi berita yang menggegerkan di dunia kang-ouw.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda itu dilarikan sangat cepat, menembus kabut pagi. Namun sesudah kereta itu memasuki hutan di sebelah barat daya, di sepanjang lembah Sungai Fen-ho, terpaksa larinya diperlambat karena jalannya buruk dan becek. Kwee Siu yang duduk di tempat kusir memegang cambuk, sementara mukanya masih sangat pucat dan diliputi kedukaan.

Di dalam kereta itu terdapat Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak keluarga Cia yang sudah hancur oleh perbuatan Siluman Goa Tengkorak itu. Dua orang anak ini tidak diberi kesempatan untuk berkabung, bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengantar jenazah ayah mereka yang penguburannya akan dilakukan oleh para tetangga. Setelah terjadinya peristiwa mengerikan semalam, pada keesokan harinya pagi-pagi buta Kwee Siu segera membawa mereka pergi dengan kereta ini.

"Paman Kwee, kita hendak pergi ke mana?" tanya Cia Liong yang matanya masih merah sambil merangkul adiknya ketika mereka dibangunkan dari tidur di pagi buta dan diajak pergi oleh Kwee Siu.

Dua orang anak ini sudah tahu bahwa ayah mereka tewas dan ibu mereka dilarikan oleh penjahat. Tentu saja mereka berdua menangis dan selain merasa berduka juga merasa ketakutan.

Akan tetapi, kedukaan hati seorang anak tidak sama dengan kedukaan hati seorang tua. Anak-anak tidak menyimpan dendam yang berlarut-larut, tidak menyimpan duka sampai menembus batin. Batin kanak-kanak masih bersih dan wajar, masih kuat seperti puncak cemara sehingga biar pun digerakkan angin ribut ke arah mana pun juga, sesudah angin lewat akan tegak kembali, tidak mudah patah.

Bagi anak-anak tangis adalah obat penenang yang mengusir kedukaan dari dalam batin. Sebaliknya orang tua malah menggunakan tangis untuk memperhebat luka di dalam hati dengan rasa iba diri yang berlebihan.

"Kita pergi ke tempat kakek gurumu, ke Kuil Thian-hong-bio. Ayahmu berpesan agar aku mengantarkan kalian ke sana, jadi untuk sementara kalian tinggal di situ bersama sukong kalian..."

"Aku tidak mau..." Tiba-tiba saja Cia Ling berkata merengek. "Aku mau tinggal di rumah bersama ibu!"

Kwee Siu merangkul anak perempuan berusia tujuh tahun itu, menghiburnya. "Tentu saja, bila mana ibumu sudah pulang, engkau akan tinggal di rumah bersama ibumu. Sementara kami mencari ibumu, engkau tinggal bersama kakek gurumu dahulu. Ayahmu berpesan demikian, kalian harus menurut pesan ayah kalian."

Akhirnya dua orang itu dapat dibujuk, lalu dengan membawa pakaian dan semua barang berharga yang terdapat dalam rumah itu, Kwe Siu segera mengantar dua orang anak itu pagi-pagi buta berangkat meninggalkan Tai-goan menuju kuil yang letaknya di luar kota, kira-kira tiga puluh li dari kota Tai-goan.

Setelah meninggalkan kota sejauh kurang lebih sepuluh li, kereta mulai memasuki hutan. Terpaksa Kwee Siu harus memperlambat laju kereta karena jalanan menjadi buruk, tidak rata dan becek.

Pagi itu sunyi sekali, dalam arti kata tidak ada seorang pun manusia nampak di sekeliling tempat itu. Akan tetapi suara burung-burung hutan menyambut pagi mengusir kesunyian dan mendatangkan suasana yang cerah gembira, walau pun kegembiraan itu sama sekali tidak dapat menyentuh hati Kwee Siu yang sedang dirundung kedukaan dan juga dendam membara.

Dia pun seorang murid Hong-kiam-pai, oleh karena itu, mala petaka yang menimpa diri Cia Kok Heng itu sungguh terasa olehnya sebagai dendam pribadi. Terlebih lagi, seluruh saudaranya, enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas dalam keadaan mengenaskan.

Jenazah Louw Ciang Su pun telah ditemukan dan dibawa dari tepi jalan itu ke rumahnya. Jenazah enam orang pendekar itu sekarang telah berada di dalam peti, di rumah masing-masing dan ditangisi keluarga masing-masing, kecuali jenazah Cia Kok Heng karena isteri dan anak-anaknya tidak berada di dekat peti mati.

"Aku harus membalas dendam ini!" Kwee Siu memegang cambuknya erat-erat dan sinar matanya berkilat.

Dia akan mohon bantuan gurunya, ketua Hong-kiam-pai. Kalau para tokoh Hong-kiam-pai mendengar tentang hal ini, tentu mereka tidak akan tinggal diam saja. Tiba-tiba Kwee Siu mengerutkan alisnya. Teringat dia akan bisikan-bisikan yang didengarnya sebagai pesan terakhir Cia Kok Heng kemudian hatinya menjadi bimbang dan bingung.

Jalan itu makin buruk dan masuk ke bagian hutan yang makin lebat, makin gelap karena sinar matahari pagi tidak dapat menembus sepenuhnya. Tiba-tiba saja dua ekor kuda itu meringkik-ringkik dan kelihatan panik. Kwee Siu cepat memegang kendali kuda erat-erat untuk menguasainya.

Kuda, seperti juga binatang-binatang lain memiliki naluri yang sangat kuat. Kepekaan ini terdapat di dalam diri semua makhluk hidup, sebagai pelengkap bawaan. Namun sayang, oleh nafsu-nafsu dalam mengejar kesenangan, oleh kesenangan-kesenangan itu sendiri yang tak pernah memuaskan hati dan selalu terasa kurang, untuk memiliki kepekaan ini manusia telah merusak kepekaan diri sendiri lahir batin.

Kesenangan untuk memenuhi nafsu keinginan, sebagian besar telah merusak kepekaan diri lahir batin dan hal ini tidak dipedulikan manusia. Makanan-makanan yang tidak baik bagi kesehatan badan pun dimakan saja karena terasa enak. Kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya merusak diri dilakukan saja karena enak dan menyenangkan. Hukum-hukum kesehatan lahir batin sering dilanggar demi memperoleh kepuasan nafsu keinginan. Tak mengherankan kalau manusia kehilangan kepekaan nalurinya. Badan dan batin menjadi bebal dan dungu, hanya menjadi alat pemuas nafsu belaka.

Kwee Siu masih belum curiga, hanya mengira bahwa hutan itu mungkin menakutkan dua ekor kudanya dan mungkin saja kudanya mencium bau binatang buas. Tentu saja dia tidak merasa takut, lalu dengan hati-hati dia mengendarai kereta itu dan menahan kendali untuk menguasai dua ekor kudanya.

Mendadak kedua ekor kuda itu meringkik lagi, bahkan mereka mencoba mengangkat kaki depan. Kwee Siu menarik kendali kuda dan tiba-tiba salah seekor di antara dua kuda itu mengeluarkan suara memekik kemudian roboh. Di lehernya menancap sebatang tombak sampai menembus dan kedua kuda itu tewas seketika, berkelojotan sebentar saja.

Barulah Kwee Siu terkejut dan dengan cekatan dia pun meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Matanya menatap ke depan dan bulu tengkuknya meremang pada waktu dia melihat sesosok tubuh melangkah perlahan-lahan menghampirinya dari depan.

Seorang laki-laki jangkung yang berpakaian jubah putih dengan gambar tengkorak darah pada dadanya, juga mukanya tertutup topeng tengkorak! Siluman Goa Tengkorak! Rasa takutnya lenyap sesudah dia membayangkan kematian enam orang saudaranya. Dengan suara penuh dendam Kwee Siu melangkah maju menyambut siluman itu sambil memutar pedangnya.

"Siluman keparat, sekarang aku akan mengadu nyawa denganmu!" Dan Kwee Siu segera menerjang ke depan, menyerang dengan pedangnya.

Siluman itu mengeluarkan suara ketawa panjang dan langsung menyambut serangan itu dengan gerakan-gerakannya yang lincah dan aneh. Tetapi Kwe Siu yang sedang dikuasai dendam dan kemarahan juga terus menerjang dengan dahsyat dan mati-matian.

Sementara itu, Cia Liong dan Cia Ling yang berada di dalam kereta, terkejut ketika kereta berhenti dan kuda meringkik-ringkik. Mereka membuka tirai dan melihat ke depan. Melihat Kwee Siu berkelahi dengan seorang berjubah putih yang mukanya menakutkan, Cia Ling menangis. Akan tetapi Cia Liong merangkulnya dan mendekap mulut adiknya.

"Diam... jangan menangis, kita harus pergi dari sini...," bisik anak laki-laki itu dan mereka berdua lalu diam-diam keluar dari dalam kereta itu, berindap-indap mereka menyelinap ke belakang sambil memandang ke arah Kwee Siu yang masih berkelahi dan didesak hebat oleh orang bertopeng tengkorak.

Kwee Siu melawan mati-matian, akan tetapi siluman itu sungguh sangat lihai, terlalu lihai baginya. Terlebih lagi karena semua serangannya agaknya telah dikenal baik oleh lawan sehingga lawan ini dapat menghindarkan semua serangannya itu dengan amat mudahnya dan balasan serangan lawan itu membuat Kwee Siu terdesak dan kewalahan. Bagaimana pun juga, pendekar yang merasa dendam, marah serta penasaran ini terus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melawan dengan tekad bulat melawan sampai mati.

Sementara itu, di lain bagian dari hutan itu, hanya dua tiga li dari tempat itu, terdapat dua orang yang sedang berburu kelinci dengan naik kuda. Mereka berdua itu nampak gembira sekali, berburu kelinci sambil bersenda gurau dengan sikap amat mesra. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan melihat sikap mereka, senyum mereka, pandang mata dan kata-kata mereka, dapat diketahui bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang saling mencinta. Dan mereka adalah pasangan yang amat setimpal.

Yang pria masih muda, antara dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, berwajah amat tampan, ganteng dan gagah, pakaiannya rapi, indah mewah. Biar pun dia bukan seorang pesolek, akan tetapi mukanya terawat baik-baik tanpa ia merias muka, sisiran rambutnya rapi, gelung rambutnya dihias oleh hiasan rambut terbuat dari batu kemala, pakaiannya terbuat dari pada sutera halus, sepatunya masih baru.

Pendek kata, dia seorang pemuda yang sangat ganteng dan gagah, pantasnya seorang pemuda terpelajar yang kaya, dan melihat cara dia menunggang kuda mengejar kelinci, dapat pula diketahui bahwa dia adalah seorang ahli menunggang kuda. Seorang pemuda yang akan membuat setiap orang gadis yang bersua dengannya pasti menengok sampai beberapa kali dengan pandang mata kagum!

Ada pun temannya yang gadis juga merupakan seorang wanita pilihan. Usianya sebaya dengan pemuda itu, wajahnya sungguh amat cantik jelita dan gagah perkasa dengan raut muka sempurna, dengan kulit halus kemerahan tanda sehat, dengan sepasang mata yang indah berkilauan seperti mata burung hong keramat, senyumnya yang semanis madu dan suaranya yang bening merdu.

Gadis ini juga memakai pakaian sutera halus yang indah. Gerakannya ketika mengejar kelinci juga sangat cekatan dan gagah. Seorang gadis yang cantik jelita dan gagah pula! Sungguh merupakan pasangan yang amat setimpal dan seimbang.

Kalau saja orang mengenal siapa kedua orang muda ini, dia tentu tak akan heran melihat kegagahan mereka dan mungkin orang itu akan memandang kagum atau juga mungkin lari menyembunyikan diri. Pemuda yang bertubuh tegap sedang dan berwajah tampan ini bukan lain adalah seorang pendekar yang dahulu namanya pernah menggemparkan kota raja, bahkan pernah menggegerkan seluruh dunia persilatan. Dia adalah Pendekar Sadis!

Dia adalah seorang pemuda yang berdarah bangsawan, karena ayah kandungnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis ini bernama Ceng Thian Sin, putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Ayahnya adalah putera kandung dari mendiang Kaisar Ceng Tung dan ibunya adalah Puteri Khamila isteri Raja Sabutai. Ayahnya itu, selain pangeran, juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang dulu pernah menggegerkan dunia persilatan dengan usahanya untuk menjadi Jagoan Nomor Satu Di Dunia.

Yang sudah mengenal Pendekar Sadis tentu telah mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis ini tidak kalah lihai dibandingkan mendiang ayahnya. Semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri, bahkan kemudian dia digembleng oleh ketua Cin-ling-pai, mewarisi ilmu silat yang hebat dari Cin-ling-pai.

Bukan hanya itu, dia malah mewarisi pula ilmu-ilmu mukjijat dari pendekar-pendekar sakti yang masih keluarga dari Cin-ling-pai, yaitu dari pendekar sakti Yap Kun Liong bersama isterinya, yaitu Cia Giok Keng. Kakek dan nenek ini menurunkan ilmu mereka kepadanya. Juga Pendekar Lembah Naga berkenan menurunkan ilmu-ilmu mukjijat kepadanya.

Di samping semua itu, dia masih mewarisi ilmu-ilmu peninggalan ayahnya, ilmu-ilmu aneh peninggalan Bu Beng Hud-couw. Pendek kata, Ceng Thian Sin adalah seorang pemuda gemblengan yang sukar dicari tandingannya untuk masa itu.

Temannya itu, dara yang cantik jelita dan gagah itu, bukan seorang wanita sembarangan pula. Jauh dari pada itu! Dara ini bahkan memiliki tingkat yang tidak jauh bedanya dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin.

Wanita ini bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena dia adalah puteri kandung dari mendiang Pangeran Toan Su Ong, seorang pangeran pemberontak yang memiliki ilmu silat yang tinggi, dan ibunya adalah seorang wanita yang telah mewarisi ilmu peninggalan Menteri Sakti The Hoo, yang bernama Ouwyang Ci.

Dengan ilmu kepandaian yang tinggi warisan dari ayah bundanya, Toan Kim Hong pernah menjagoi dunia selatan, bahkan dengan menyamar sebagai seorang nenek tua, gadis ini menaklukkan semua tokoh kang-ouw dan liok-lim, kemudian sebagai seorang nenek tua dia diangkat dan diakui oleh semua tokoh dunia persilatan sebagai seorang datuk selatan yang disebut Lam-sin (Malaikat Selatan).

Ilmu silatnya amat hebat dan ketika dia untuk pertama kalinya bertemu dengan Pendekar Sadis, mereka mengadu ilmu dan terjadi pertandingan yang luar biasa hebatnya. Hanya dengan amat susah payah sajalah Pendekar Sadis mampu mengalahkan nenek itu yang kemudian menanggalkan penyamarannya dan berubah menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena sumpahnya bahwa dia akan menyerahkan dirinya kepada pria yang mampu mengalahkannya, juga karena merasa saling tertarik, Kim Hong lalu menyerahkan diri kepada Thian Sin.

Semenjak itu keduanya lalu hidup bersama, merantau ke mana-mana, dan hidup sebagai suami istri tanpa pernikahan yang sah. Keduanya memang tak mau saling mengikat, akan tetapi di dalam hati mereka terdapat ikatan cinta kasih yang amat mendalam. Dua orang ini pernah ditentang oleh para pendekar, bahkan oleh keluarga Cin-ling-pai karena sepak terjang Thian Sin yang dulu terkenal sebagai Pendekar Sadis. Sepak terjangnya dianggap terlalu kejam sehingga para pendekar menentangnya.

Karena kemudian berhadapan dengan keluarga Cin-ling-pai, terutama sekali dengan ayah angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, maka Thian Sin mengalah dan tak berani melawan. Akhirnya dia beserta kekasihnya diampuni dan dia pun berjanji akan membuang jauh-jauh sifatnya yang kejam terhadap para penjahat itu.

Mereka berdua lalu pergi ke tempat yang terasing, yaitu di Pulau Teratai Merah. Tempat ini adalah tempat di mana dahulu mendiang Pangeran Toan Su Ong, ayah kandung Kim Hong, hidup bersama anak isterinya ketika dia masih menjadi buronan pemerintah karena sikapnya yang suka memberontak dan menentang kaisar.

Demikianlah perkenalan kita secara singkat dengan sepasang muda-mudi yang hebat ini. Di waktu-waktu tertentu kedua orang ini sering kali pergi meninggalkan pulau mereka dan melakukan perjalanan di daratan besar, merantau dan melakukan petualangan bersama, menikmati hidup dan bersama-sama menghadapi segala peristiwa dengan sikap sebagai sepasang pendekar yang selalu menentang kejahatan.

Pada hari itu, kebetulan sekali mereka yang hendak melakukan pejalanan pesiar ke kota Tai-goan, pada waktu melewati hutan itu timbul kegembiraan mereka untuk menangkap kelinci ketika mereka melihat beberapa ekor kelinci yang gemuk dan sehat.

"Lihat kelinci di sana itu!" Mula-mula Kim Hong berseru sambil menunjuk ke depan dan mereka melihat seekor kelinci putih yang muda dan gemuk muncul dari semak-semak.

"Gemuknya! Ihh, basah mulutku membayangkan dagingnya dipanggang. Tentu lezat dan sedaaappp...!" Thian Sin tertawa.

Mendengar suara tawa yang tak wajar itu, Kim Hong yang sudah menghentikan kudanya segera menengok lalu memandang wajah kekasihnya dengan sinar mata menyelidik dan menuntut. "Kenapa kau ketawa seperti itu? Mentertawakan aku?"

Thian Sin tertawa semakin geli. "Kim Hong, membayangkan dagingnya yang putih mulus dipanggang, menimbulkan selera seperti jika membayangkan tubuhmu... aihh, seperti ada persamaannya membayangkan antara kalian berdua..."

"Tarrrrr...!"

Pecut kuda di tangan Kim Hong meledak di dekat kepala kuda yang ditunggangi Thian Sin, membuat kuda itu meringkik kaget lantas mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Kalau bukan Pendekar Sadis yang berada pada punggungnya, tentu gerakan tiba-tiba ini akan membuat penunggangnya terlempar dari atas punggung kuda!

"Porno kau! Cabul kau!" Kim Hong memaki akan tetapi Tian Sin hanya tertawa. Mereka lalu berlomba untuk berburu kelinci.

"Yang dapat lebih dulu bagian makan, yang lain bagian membersihkan dan memanggang dagingnya!" kata Kim Hong. Akan tetapi sambil berkata demikian, kudanya telah meloncat ke depan dan dia pun segera mengejar seekor kelinci putih yang berlari-larian ketakutan setengah mati akibat dikejar kuda besar.

Thian Sin tertawa dan tidak mau kalah. Lalu dia pun membedal kudanya mengejar kelinci. Mereka berdua adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian silat tinggi, malah dapat dinamakan orang-orang sakti, akan tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka kadang kala bersikap seperti kanak-kanak.

Namun mereka bersikap jujur sekali. Kalau mereka menghendaki, dengan sekali gerakan tangan saja, tentu mereka akan merobohkan seekor kelinci. Akan tetapi pikiran ini sama sekali jauh meninggalkan benak mereka yang sedang bergembira dan begurau itu sebab mereka kini sungguh-sungguh mempergunakan kelincahan kuda mereka untuk berburu kelinci dan berlomba secara wajar dan jujur, sama sekali tak berniat untuk menggunakan ilmu kepandaian mereka.

Justru di sinilah letak kegembiraannya. Menggunakan kelincahan kuda saja untuk berburu kelinci tanpa mengandalkan senjata atau pun kepandaian, sungguh bukan merupakan hal yang mudah. Kelinci-kelinci itu terlampau gesit untuk kuda yang bertubuh besar, lagi pula beberapa kali kelinci-kelinci itu menyelinap kemudian lenyap di dalam semak-semak atau lenyap di dalam lubang.

Mereka tertawa-tawa, berebut hendak menangkap kelinci sampai mereka tidak tahu ke mana kuda mereka menuju. Mendadak mereka mendengar suara anak menahan tangis. Keduanya terkejut, menghentikan kuda mereka dan melihat ke depan.

Di situ, seorang anak laki-laki sedang merangkul seorang anak perempuan dan berusaha mendekap mulut anak perempuan itu agar jangan menjerit atau terisak. Akan tetapi, dua pasang mata mereka itu menatap kepada dua orang penunggang kuda dengan terbelalak dan penuh rasa takut. Mereka itu adalah Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak yang melarikan diri dari dalam kereta yang dihadang oleh siluman itu.

Pada saat mereka tiba di situ dan mendengar suara dua orang penunggang kuda yang tertawa-tawa sambil mengejar-ngejar kelinci, kemudian melihat mereka muncul, dua orang anak itu menjadi ketakutan, mengira bahwa yang muncul itu tentulah orang-orang jahat pula. Cia Ling sudah hampir menjerit dan menangis, akan tetapi mulutnya didekap oleh kakaknya dan kini mereka berdiri terbelalak memandang kepada dua orang penunggang kuda itu dengan ketakutan.

Melihat dua orang anak kecil yang ketakutan di dalam hutan ini, dengan sekali melompat Kim Hong sudah berada di depan mereka. Loncatannya itu memang amat luar biasa dan akan membuat seorang ahli silat atau seorang ahli ginkang melongo dan kagum disertai ketakjuban. Tidak mudah meloncat dari atas punggung kuda seperti itu, tanpa membuat kuda itu terkejut, lantas di udara membuat pok-sai (salto) sampai dua kali dan tahu-tahu meluncur turun di dekat dua orang anak itu. Seperti seekor burung terbang saja.

Dan memang ini adalah salah satu di antara keistimewaan gadis itu, yakni ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sangat hebat. Kim Hong sudah berjongkok di depan dua orang anak itu, tersenyum dan memandang manis agar mereka tidak menjadi ketakutan.

"Ehhh, siapakah kalian adik-adik kecil ini? Dan mengapa berdua saja di dalam hutan dan kelihatan ketakutan? Jangan takut kepadaku, aku akan menolong kalian!"

Dalam keadaan seperti itu, batin anak-anak kecil lebih peka dari pada orang tua. Cia Ling memandang wajah yang cantik itu, kemudian tiba-tiba merangkul dan menangis di atas pundak Kim Hong yang lalu memondongnya.

"Ceritakan, apa yang sudah terjadi? Kami akan menolongmu," kata Thian Sin yang juga sudah turun dari atas kudanya dan menghampiri dua orang anak itu.

Agaknya Cia Liong juga sudah bisa mempercayai kedua orang ini yang sama sekali tidak kelihatan seperti orang-orang jahat, "Ayah kami dibunuh siluman..."

"Apa...?!" Thian Sin terkejut sekali dan berseru keras, membuat Cia Liong terkejut.

Kim Hong mengerutkan alisnya dan merengut. "Kasarmu ini!" celanya dan dia pun segera mendekati anak laki-laki itu, "Mengapa ayahmu dibunuh siluman dan di mana? Ceritakan, jangan takut. Kami akan melawan siluman itu!" katanya.

"Ayah kami dibunuh malam tadi... dan ibu kami diculik siluman..."

"Ahhh...!" Kim Hong juga terkejut. "Dan bagaimana kalian bisa berada di sini?"

"Kami dibawa lari oleh paman Kwee Siu dengan naik kereta. Akan tetapi di tengah jalan... siluman... siluman itu menghadang dan sekarang sedang berkelahi dengan paman Kwee Siu... dan kami melarikan diri..."

"Di mana pamanmu itu sekarang?" Thian Sin bertanya.

"Di sana..." Cia Liong menuding ke belakang.

"Kim Hong, bawa mereka, aku akan ke sana!" Belum habis kata-katanya, orangnya sudah lenyap ketika Thian Sin melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap.

Kim Hong menuntun dua ekor kuda kemudian mendudukkan dua orang anak itu di atas punggung kuda, lalu dia pun menyusul ke arah larinya Thian Sin. Ketika Kim Hong tiba di tempat perkelahian itu, dia melihat Thian Sin sedang berjongkok di dekat sesosok tubuh yang nampaknya sudah menjadi mayat. Thian Sin sedang berusaha membuat orang yang belum tewas benar itu agar memperoleh kekuatan dengan jalan menotok sana-sini. Ia pun menurunkan dua orang anak itu dan cepat menghampiri.

"Paman Kwee..." Dan dua orang anak itu menangis.

Maka mengertilah Thian Sin dan Kim Hong bahwa korban ini adalah paman yang sudah melarikan dua orang anak itu, agaknya hendak menyelamatkan mereka dan melarikan diri dari bahaya, namun tetap saja bahaya maut itu datang menjemput.

Akhirnya usaha Thian Sin berhasil. Orang yang dadanya terluka oleh tusukan pedangnya sendiri dan pelipisnya retak karena pukulan itu mulai menggerakkan mata serta bibirnya, kemudian dia mengeluh panjang, lalu terdengar suaranya berbisik lemah,

"Si... siluman... goa... tengkorak... ahhhh... tewas semua... su... susiok..." Kwee Siu tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena lehernya terkulai dan nyawanya melayang.

"Paman...!" Dua orang anak itu yang dapat menduga apa yang telah terjadi, menangis.

Akan tetapi Kim Hong berhasil membujuk dan menghibur mereka, membawa mereka ke dalam kereta. Kemudian wanita perkasa ini membantu Thian Sin untuk mengubur jenazah Kwee Siu di dalam hutan itu.

Mereka berdua maklum bahwa di belakang semua ini tentu terdapat rahasia, dan mereka dapat merasakan bahaya maut mengancam dua orang anak itu. Oleh karena itulah maka mereka tidak mau ribut-ribut, melainkan dengan diam-diam mengubur jenazah Kwee Siu dan mengambil keputusan untuk menyelidiki urusan ini, dan selain menghukum penjahat-penjahatnya, juga berusaha menolong ibu anak-anak itu yang katanya diculik siluman. Apa lagi mereka mendengar pesan terakhir paman dua orang anak itu tentang Siluman Goa Tengkorak!

Mereka belum pernah mendengar nama ini, namun mudah diduga bahwa tentu penjahat-penjahat itulah yang memakai nama Siluman Goa Tengkorak. Sesudah selesai mengubur jenazah itu secara sederhana, mereka lantas menghampiri Cia Liong dan Cia Ling yang masih terisak-isak dan nampak bingung.

"Anak-anak, janganlah kalian khawatir. Kami akan mencari ibu kalian dan kami juga akan melindungi kalian. Sebaiknya sekarang ceritakan semuanya agar kami tahu ke mana kami harus mencari ibumu itu," kata Kim Hong dengan suara membujuk.

"Sebaiknya katakan dahulu, siapakah nama kalian dan siapa ayah kalian?" Thian Sin ikut bertanya sambil mengelus-elus rambut kepala Cia Ling. Cia Liong mengusap air matanya dengan punggung tangannya.

"Nama saya Cia Liong dan adik saya ini Cia Ling, ayah kami bernama Cia Kok Heng..."

"She Cia...?" Thian Sin membelalak dan di dalam hatinya timbul perasaan mesra terhadap mereka.

Hal ini tidak mengherankan. Nama keturunan Cia merupakan nama keturunan yang amat dekat dalam hatinya. Orang-orang she Cia dari keluarga Cia, yaitu keluarga Cia Sin Liong Pendekar Lembah Naga merupakan orang-orang yang paling dicintainya di dalam dunia semenjak dia masih kecil.

Oleh karena itu, begitu mendengar bahwa dua orang anak ini pun she Cia, maka timbul perasaan mesra terhadap mereka, walau pun dia tahu bahwa belum tentu persamaan she itu menunjukkan bahwa mereka berdua masih keluarga dekat dengan Pendekar Lembah Naga. Apa yang dirasakan oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin ini juga dirasakan oleh kebanyakan dari kita.

Hal ini timbul karena pengembangan dari si aku. Pementingan diri atau perhatian yang dipusatkan terhadap si aku inilah yang menimbulkan rasa suka tidak suka. Si aku tidak hanya terbatas pada pribadi belaka, melainkan dapat berkembang dan meluas menjadi keluargaku, milikku, sahabatku, golonganku, bangsaku, agamaku dan sebagainya. Jadi, sesungguhnya si akulah yang dipentingkan atau apa pun juga yang menguntungkan atau merugikan aku.

Kedua orang anak kecil itu pun sudah mempunyai arti yang lain bagi Thian Sin begitu dia mengetahui bahwa mereka itu bermarga Cia! Tentu sikap dan perlakuannya akan jauh berbeda andai kata mereka itu tidak bermarga Cia.

Di sini telah timbul penilaian yang membedakan, timbul pilih kasih, timbul ketidak adilan. Dan segala seuatu yang bersumber kepada pementingan si aku, baik aku sebagai diri pribadi mau pun aku yang telah berkembang, sudah pasti menimbulkan konflik dengan akunya orang lain pula.

Biar pun dia sendiri tidak mengetahui dengan jelas duduk persoalannya, namun Cia Liong bisa menceritakan dengan cukup jelas. Bahwa ayahnya menerima ancaman gambar dari Siluman Goa Tengkorak di dinding luar rumah mereka, kemudian ayahnya dan lima orang sahabat ayahnya tewas akibat penyerbuan siluman itu. Betapa kemudian mereka dibawa lari oleh Kwee Siu akan tetapi di dalam hutan itu dihadang oleh siluman.

"Jadi tadi malam ibumu diculik penjahat?" tanya Kim Hong sambil mengerutkan alisnya.

Sayang, anak ini tidak tahu mengapa penjahat yang disebut Siluman Goa Tengkorak itu melakukan perbuatan yang demikian kejamnya. Kim Hong tidak tahu apakah dia sedang menghadapi peristiwa kejahatan biasa ataukah ada sebab-sebab permusuhan di antara si penjahat dan orang tua anak-anak ini.

"Ibu dan kami dibawa terbang oleh siluman ke atas genteng, dan kami berdua kemudian dilempar ke bawah, untunglah ada paman-paman yang menyelamatkan kami. Akan tetapi ibu dilarikan entah ke mana," kata Cia Liong. Anak ini pun menceritakan bahwa ayahnya dan enam orang paman itu adalah Tujuh Pendekar Tai-goan.

"Kim Hong, sekarang kita harus membagi tugas. Kau bawalah mereka ini pergi dari sini, sebaiknya kau titipkan kepada keluarga yang boleh dipercaya di luar kota Tai-goan saja. Aku sendiri akan mencoba untuk mencari jejak penjahat itu, siapa tahu dia belum pergi jauh."

Kim Hong mengangguk. "Baik, aku akan memakai kereta ini. Lalu di manakah kita akan bertemu dan kapan?"

"Lewat tengah hari di tempat ini. Kita saling menanti sampai sore."

Kim Hong mengangguk. Dua orang yang tadinya bersenda gurau seperti kanak-kanak itu kini sama sekali sudah merubah sikap. Mereka bicara singkat, bersungguh-sungguh dan agaknya hanya dengan gerak-gerik serta pandang mata saja, mereka telah mampu untuk saling mengerti.

Memang, dua orang yang saling mencinta ini selain perasaan cinta kasih yang mendalam satu sama lain, juga mempunyai pengertian yang mendalam pula, yang membuat mereka dapat bekerja sama dengan baik dan kadang-kadang bahkan mereka merasa seolah-olah mereka terdiri dari dua badan namun satu perasaan.

Kim Hong segera mengikat kudanya di belakang kereta, kemudian membawa dua orang anak itu pergi meninggalkan hutan dan menuju ke kota Tai-goan dengan maksud hendak mencari dusun di luar kota untuk memilih keluarga yang hendak dititipi dua orang anak itu untuk sementara.

Sedangkan Thian Sin juga segera meloncat ke atas punggung kudanya dan mencari-cari jejak di sekeliling tempat itu. Kadang-kadang dia meloncat dari atas kudanya, memeriksa tanah dan rumput sehingga akhirnya dia menemukan jejak kaki, yaitu ujung sepatu yang menginjak tanah dan meninggalkan bekas atau jejak yang ringan sekali.

Dia tahu bahwa pemakai sepatu itu adalah seorang yang mempunyai ginkang yang amat tinggi, walau pun tidak sehebat ginkang yang dikuasai oleh Kim Hong, namun cukup jelas menyatakan bahwa orang ini merupakan lawan yang tangguh. Maka dia pun berhati-hati dan mulai mengikuti jejak itu.

Sementara itu, Kim Hong sudah berhasil menemukan keluarga yang dianggapnya cukup dapat dipercaya untuk dititipi dua orang anak itu. Keluarga petani itu sendiri mempunyai seorang anak kecil berusia lima tahun dan di dusun itu dia dianggap sebagai orang yang dihormati karena dia cukup pandai menulis dan terkenal sebagai orang yang jujur. Kim Hong memberinya uang, bahkan menyerahkan kereta berikut kudanya kepada petani itu dan menitipkan dua orang anak she Cia untuk selama beberapa pekan lamanya.

"Jaga mereka baik-baik dan jangan biarkan mereka bermain-main terlalu jauh, sebaiknya bermain di dalam rumah saja. Sesudah urusanku ini selesai, aku akan datang menjemput mereka," katanya dan kepada dua orang anak itu, Kim Hong berpesan agar mereka itu menutup mulut dan jangan menceritakan kepada siapa juga tentang urusan mereka. "Aku akan mencari ibu kalian sampai dapat." demikian dia menjanjikan. Tentu saja dua orang anak itu merasa girang dan terhibur.

********************

Siluman Goa Tengkorak Jilid 01

PESTA pernikahan yang dirayakan orang di dusun biasanya jauh lebih meriah dari pada pesta pernikahan yang dirayakan orang di kota itu. Meriah di sini bukan berarti mewahnya perayaan itu, melainkan kemeriahan yang terasa benar di dalam hati mereka yang hadir, tercermin dari wajah mereka yang berseri-seri.

Pesta pernikahan di kota besar hanya merupakan pesta makan minum yang mewah dan berlebihan. Ada pun kegembiraan yang timbul lebih disebabkan oleh pengaruh arak yang terlalu banyak memenuhi perut, kemudian arak itu menguap memenuhi benak membuat orang menjadi lupa diri.

Pesta di kota hanyalah merupakan perlombaan memamerkan kekayaan saja. Akan tetapi di dusun lebih terasa keakraban dan kegotong royongan, sehingga para tamu seolah-olah merasa sebagai keluarga dan sebagai orang yang turut ambil bagian dalam perayaan itu, bahkan seperti keluarga yang merayakan, bukan sekedar tamu yang datang untuk makan minum.

Pesta pernikahan antara Thio Siang Ci dan The Si Kun di dusun Ban-ceng itu sungguh sangat meriah. Seluruh penghuni dusun Ban-ceng turut serta merayakannya. Hal ini tidak mengherankan karena keluarga Thio itu dikenal sebagai keluarga yang ramah dan baik, bahkan Thio Siang Ci dikenal sebagai kembangnya para gadis cantik di dusun itu.

Bahkan banyak pemuda luar dusun, sampai di kota Tai-goan, mengenal dan mendengar tentang kecantikan Siang Ci. Akan tetapi yang beruntung dan berhasil memetik kembang cantik ini adalah The Si Kun, yaitu putera seorang saudagar ikan yang cukup kaya di kota Tai-goan.

Seperti sudah menjadi kebiasaan para penduduk Ban-ceng yang berdasarkan ketahyulan dan perhitungan, pertemuan kedua pengantin juga dilakukan dengan dasar perhitungan dan menurut perhitungan para keluarga yang tua, pertemuan pada hari itu jatuh pada jam enam sore!

Sore itu, rumah keluarga Thio sudah penuh dengan tamu dan suasana menjadi semakin meriah dan gembira ketika sepasang mempelai dipertemukan di mana diadakan upacara sembahyang di depan meja para leluhur.

Biar pun wajah pengantin perempuan tidak bisa terlihat jelas karena terhalang oleh rumbai-rumbai atau hiasan kepala yang berjuntaian ke depan muka, akan tetapi masih kelihatan jelas bentuk tubuhnya yang langsing dan padat, juga sebagian dari kulit leher dan kulit tangannya yang putih halus.

Pengantin laki-laki juga kelihatan ganteng, wajahnya yang muda dan tampan itu nampak berseri-seri, mulutnya mengulum senyum malu-malu sebab banyak teman-temannya yang mengeluarkan suara atau membuat gerakan-gerakan yang menggodanya.

Kedua mempelai itu memang merupakan pasangan yang cocok dan manis sekali. Thio Siang Ci adalah seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang cantik jelita, seperti bunga yang tengah mekar. Ada pun The Si Kun adalah seorang pemuda yang usianya dua puluh tahun, tampan dan sehat, juga pandai berdagang karena semenjak kecil telah membantu ayahnya.

Keluarganya merupakan pedagang ikan yang membeli ikan dari para nelayan di Sungai Fen-ho, lalu mengumpulkan ikan-ikan itu, sebagian dijualnya ke kota Tai-goan dan sebagian lagi dibuat menjadi ikan asin.

Mula-mula pasangan mempelai melakukan upacara sembahyang, dan setelah itu mereka mohon doa restu dari para anggota keluarga yang lebih tua. Kemudian, setelah keduanya lelah menjalankan semua upacara itu, barulah mereka diperbolehkan duduk bersanding di tempat yang telah dipersiapkan, dan ketika itu para tamu mulai dengan perjamuan makan.

Hari telah mulai gelap, karena itu para pelayan mulai menyalakan lilin serta lampu-lampu yang diatur indah dan nyeni untuk menambah meriahnya suasana pesta pernikahan itu. Api lilin yang bergerak-gerak tertiup angin semilir sungguh elok seperti penari-penari yang sedang bergembira menari-nari.

Suasana gembira ini menjadi agak bising karena kini para tamu saling bicara sendiri dan bermacam-macamlah yang mereka bicarakan, dari membicarakan cantik dan tampannya sepasang mempelai hingga ke urusan yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan pesta pernikahan itu.

Tiba-tiba terdengar teriakan kaget dan salah seorang pelayan yang sedang memasang lilin di bagian luar, melepaskan tempat lilin sambil berteriak tadi. Semua orang menengok dan Thio Ki, ayah mempelai wanita cepat berlari keluar.

"Ada apa?" tanyanya pada pelayan itu dengan alis berkerut karena kecerobohan pelayan itu.

Akan tetapi tubuh pelayan itu nampak menggigil dan hanya menunjuk ke arah dinding di depannya. Tuan rumah lalu mengambil sebuah tempat lilin dan mengangkat benda itu ke atas sambil mendekati dinding, kemudian tiba-tiba mukanya pun berubah pucat ketika dia melihat sebuah gambar tengkorak merah dan agaknya, benda cair yang digunakan untuk menggambar tengkorak itu adalah darah yang masih basah, tanda bahwa gambaran itu baru saja dibuat orang!

Agaknya pelayan tadi menyalakan lilin di dekat dinding dan melihat lukisan itu, maka dia berseru kaget dan menjatuhkan tempat lilin. Thio Ki sendiri pun terkejut.

"Aihhh...!"

Para tamu berlari mendekat dan kini banyak orang mengerumuni tempat itu dan semua memandang kepada gambar tengkorak dari darah itu dengan muka pucat. Sudah ada tiga kali peristiwa seperti itu, ialah gambar-gambar tengkorak darah pada rumah-rumah orang, di pintu atau di dinding depan dan akibatnya, pada malam harinya ada tiga orang gadis terculik! Dan sekarang, justru pada saat gadis tuan rumah merayakan hari pernikahannya, terdapat gambar pada dinding rumah itu!

"Siluman Goa Tengkorak...!" Terdengar bisikan seorang tamu dan semua orang menggigil ketakutan. Nama ini, biar pun baru muncul beberapa kali, telah menjadi semacam momok yang menakutkan di daerah Tai-goan dan sekitarnya.

Pengantin pria, The Si Kun yang juga tertarik dan sudah mendekati dinding itu, mengepal tinjunya. Dia bukan seorang pemuda yang penakut dan lemah. Sejak semula dia sudah menduga bahwa yang membuat gambar-gambar tengkorak dan menculik gadis-gadis itu adalah gerombolan penjahat. Dan dia tidak takut karena para nelayan yang menjadi anak buahnya adalah orang-orang yang sudah biasa menghadapi kekerasan-kekerasan para penjahat dan para bajak sungai.

"Biarkan dia datang! Kami akan melawannya! Bukankah begitu, teman-teman?" teriaknya.

Belasan orang nelayan muda yang bertubuh tegap-tegap dan yang menjadi kawan-kawan pengantin pria, segera mengangkat kepalan tangan ke atas sambil berteriak, "Benar, kita akan lawan dia dan akan tangkap jahanam itu!"

Betapa pun juga, para tamu sudah merasa ketakutan sehingga perjamuan itu dilanjutkan dalam suasana tegang. Para tamu lalu berpamit dan seorang demi seorang bangkit dari tempat duduk, kemudian berbondong-bondong minta diri dan pulang meninggalkan rumah keluarga Thio.

Suasana menjadi sunyi setelah tempat itu tadinya bising dengan para tamu. Yang masih tinggal di situ hanya dua belas orang nelayan muda yang menjadi sahabat pengantin pria. Mereka ini masih tetap makan minum dengan gembira di tempat pesta yang telah kosong itu. Sementara itu, sepasang mempelai juga sudah meninggalkan ruangan dan mendapat kesempatan untuk mengaso dalam kamar mereka karena para tamu sudah tidak bernafsu lagi untuk menggoda sepasang mempelai di malam pertama itu.

Seluruh keluarga Thio yang telah memasuki kamar masing-masing tak bisa memejamkan mata karena hati mereka semua merasa tegang dan khawatir. Atas permintaan pihak tuan rumah, dua belas orang nelayan muda, kawan-kawan dari The Si Kun itu kini pindah ke ruangan yang berada di luar kamar pengantin. Mereka tetap dijamu di tempat itu, tempat yang berdekatan dengan kamar pengantin untuk menjaga kalau-kalau ada penjahat yang datang mengganggu.

Sesudah melihat dua belas orang laki-laki muda yang bertubuh kekar itu berada di depan kamar pengantin, barulah hati Thio Ki merasa lega dan dia pun pergi ke dalam kamamya untuk mengaso. Akan tetapi, di dalam kamar ini pun dia dan isterinya rebah dengan hati gelisah dan tidak dapat pulas sama sekali.

Malam semakin larut dan amat sunyi. Hanya terdengar suara anjing menggonggong dari kejauhan, suara gonggongan yang menyedihkan, yang kemudian berubah menjadi suara menyeramkan. Lolong anjing berkepanjangan ini biasanya dilakukan anjing-anjing sambil mengangkat muka tinggi-tinggi ke atas memandang bulan, dan orang menjadi ketakutan karena katanya saat seperti itu adalah saatnya para iblis bergentayangan di permukaan bumi!

Kedua belas orang nelayan muda itu sudah tidak lagi makan minum, melainkan duduk di ruangan depan kamar pengantin dengan sikap siap siaga. Pengantin pria juga tidak dapat menikmati malam pengantinnya, bahkan tadi sejenak dia terpaksa meninggalkan isterinya untuk turut berjaga bersama kawan-kawannya. Pengantin pria baru memasuki kamarnya lagi sesudah kawan-kawannya mendesaknya dengan sikap setengah menggoda agar dia tidak membiarkan isterinya kedinginan seorang diri dalam kamar.

"Aku mengandalkan penjagaan kalian di luar, sedangkan aku sendiri akan berjaga-jaga di dalam kamar," katanya, sebagian untuk menutupi rasa malunya kepada kawan-kawannya yang tentu sudah menggodanya pada malam pertama itu.

"Hayaaaa... kami mengerti, Si Kun!" kata seorang temannya.

"Sudahlah, engkau nikmati saja malam pengantinmu, biar kami yang berjaga di sini dan menangkap siluman itu kalau benar dia berani muncul."

"Hushh!" cela seorang kawan lain. "Jangan bicara sembarangan di malam seperti ini. Dan masuklah Si Kun, engkau pasti akan merasa aman di dalam pelukan istrimu, ha-ha-ha!" Dua belas orang itu tersenyum.

"Aihh, kalian ini bisa saja menggoda orang. Siapa yang dapat bersenang dalam keadaan seperti ini?" The Si Kun lantas membuka pintu kamar dan masuk ke dalam, menutupkan kembali kamarnya.

Isterinya juga tidak tidur, melainkan duduk di pinggir pembaringan sambil menundukkan muka karena malu. Muka yang cantik memang, dan kini setelah tidak tertutup kerudung, nampak betapa sepasang pipi itu halus kemerahan. Biar pun tadinya dia merasa tegang dan khawatir, kini melihat kecantikan istrinya, Si Kun tidak dapat menahan hatinya maka duduklah dia disamping isterinya, tangannya merangkul dan dengan lembut dia menarik muka itu untuk diciumnya.

Tiba-tiba saja lilin yang berada di atas meja kamar itu padam. Hal ini diketahui oleh para penjaga di luar kamar sehingga mereka pun tertawa-tawa karena padamnya lilin di dalam kamar itu membuat mereka mengira bahwa sepasang pengantin baru itu tentu merasa malu, memadamkan penerangan agar dapat mencurahkan perasaan hati mereka berdua dengan leluasa.

Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati dua belas orang itu ketika tiba-tiba terdengar teriakan The Si Kun disusul suara gedobrakan di dalam kamar dan tidak lama kemudian terdengarlah jeritan pengantin wanita, akan tetapi jeritan itu terdengar jauh dari situ!

Dua belas orang itu segera menghampiri pintu kamar lantas mendobraknya karena tidak ada jawaban dari dalam ketika mereka memanggil-manggil. Thio Ki dan isterinya beserta seluruh penghuni rumah yang tadinya memang sudah gelisah itu keluar semua dari kamar masing-masing dan berlarian menuju ke kamar pengantin. Pintu kamar didobrak jebol dan mereka berebut masuk. Dari penerangan lampu yang dibawa oleh mereka yang masuk, nampak pemandangan yang mengerikan.

The Si Kun, pengantin pria itu, dengan tubuh bagian atas telanjang, hanya mengenakan celana saja, rebah di lantai dengan leher hampir putus. Darah merah masih mengalir dari lehernya dan membasahi lantai. Pemuda ini sudah tewas, dan pengantin wanitanya tidak nampak bayangannya.

Langit-langit kamar itu terbuka dan berlubang. Maka tahulah semua orang bahwa penjahat itu telah masuk dari atas genteng dengan membobol langit-langit kamar. Tedengar suara para wanita menjerit-jerit dan riuh rendah suara orang menangis. Siluman Goa Tengkorak benar-benar telah datang, menculik pengantin wanita dan membunuh pengantin pria! Gegerlah dusun Ban-ceng!

Mengapa penjahat yang selama beberapa minggu ini mengacau di daerah Tai-goan dan sekitarnya dijuluki orang Siluman Goa Tengkorak? Pertama-tama adalah karena gambar itu. Setiap kali akan melakukan kejahatan, terutama sekali mencuri perhiasan-perhiasan yang serba mahal dan menculik gadis-gadis cantik, pada siang atau sore harinya penjahat itu selalu tentu memberi tanda gambar tengkorak darah pada pintu atau dinding rumah yang akan didatangi! Inilah yang mula-mula membuat dia dinamakan Siluman Tengkorak.

Kemudian, pernah dia dikejar-kejar dan penjahat itu dapat berlari cepat seperti iblis, dan larinya menuju daerah pegunungan yang gundul, dimana terdapat penuh batu-batu besar dan goa-goa. Tempat ini dikenal dengan sebutan Goa Tengkorak, karena memang di situ terdapat banyak sekali goa-goa yang besar dan di antaranya memang ada goa-goa yang bentuknya mirip seperti tengkorak. Karena ini, maka penjahat yang sudah menggegerkan daerah Tai-goan itu dinamakan Siluman Goa Tengkorak.

Pemerintah daerah dengan dibantu oleh para pendekar setempat sudah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu, namun hasilnya sia-sia. Goa-goa itu telah diperiksa, akan tetapi tak nampak sesuatu yang mencurigakan. Tempat itu memang berbahaya dan tandus, terdapat jurang-jurang dalam dan jalannya sangat licin sehingga tidak ada orang yang pernah datang ke tempat yang tidak ada gunanya itu. Pembunuhan The Si Kun yang menjadi pengantin itu dan penculikan isterinya, yaitu Thio Siang Ci, merupakan kejahatan yang keempat sejak penjahat itu muncul hampir dua bulan yang lalu.

Biar pun orang belum pernah dapat melihat wajahnya karena penjahat itu sangat pandai bergerak cepat seperti menghilang saja, akan tetapi orang-orang tahu bahwa penculikan-penculikan wanita dan pencurian itu dilakukan oleh orang yang sama, yang mereka juluki Siluman Goa Tengkorak karena cara-caranya yang sama, yaitu sebelum datang sudah memberi tanda gambar tengkorak darah, dan caranya bekerja juga sama, sangat cepat sehingga jarang dapat dilihat orang.

Seperti terjadinya penculikan atas diri Thio Siang Ci, sungguh sangat mengherankan dan menakutkan orang. Di luar kamar pengantin itu terdapat dua belas orang nelayan muda yang kuat-kuat dan yang masih berjaga, sama sekali tak ada yang tidur. Namun penjahat itu dapat memasuki kamar pengantin tanpa ada yang mengetahuinya, lantas membunuh pengantin pria yang mungkin melawan kemudian menculik pengantin wanita. Peristiwa itu terjadi sedemikian cepatnya sehingga yang terdengar hanya teriakan pengantin pria dan saat kamar didobrak, penjahat itu telah lenyap bersama pengantin wanita yang diculiknya.

Daerah Goa Tengkorak terletak di luar kota Tai-goan, yakni di sebelah selatan, di lereng Pegunungan Lu-liang-san di lembah Sungai Fen-ho. Goa-goa ini selain sukar dikunjungi dan tak pernah didatangi manusia, juga amat angker dan menurut penduduk yang masih percaya dengan cerita-cerita tahyul, kabarnya tempat itu merupakan sarang para iblis dan arwah-arwah yang penasaran.

Ada yang mengabarkan dengan sumpah betapa mereka mendengar suara-suara aneh dan menyaksikan penglihatan-penglihatan menyeramkan di daerah itu di waktu malam. Tentu saja cerita-cerita ini membuat tempat itu menjadi angker dan membuat orang semakin tidak berani mendekati.

Para pendekar dan juga para komandan penjaga keamanan tahu belaka bahwa tempat itu pun menjadi tempat pelarian para buronan. Bagi para penjahat yang menjadi buronan pemerintah, memang daerah itu amat baik untuk menyembunyikan diri.

Goa-goa itu memiliki banyak terowongan-terowongan di bawah gunung yang sambung-menyambung sehingga sekali sang buronan lari memasuki goa yang ada terowongannya, maka amat sukarlah untuk bisa ditemukan. Juga amat berbahaya bagi si pengejar karena tempat itu memang berbahaya sekali.

Daerah Goa Siluman ini hanya indah dilihat dari kejauhan, dari kaki bukit, dan dapat pula dilihat dari Sungai Fen-ho bila mana orang naik perahu lewat di kaki bukit itu. Dari jauh nampaklah dinding bukit yang berbatu-batu serta berlubang-lubang dengan lubang-lubang berbentuk tengkorak, sehingga dari jauh seakan-akan terlihat seperti tengkorak-tengkorak yang dipasang berderet-deret pada dinding batu karang itu.

Akan tetapi keindahan ini mengandung sesuatu yang sangat menyeramkan, seakan-akan ada sesuatu yang mengancam mereka yang terlalu lama memandang ke arah tempat itu. Para nelayan menganggap tempat ini sebagai tempat keramat, karena itu mereka selalu menundukkan muka apa bila melewati tempat ini dan tidak berani memandang langsung terlampau lama ke arah Goa-goa Tengkorak itu. Nama Siluman Goa Tengkorak sudah menggegerkan kota Tai-goan dan daerah sekitarnya selama kurang lebih dua bulan ini karena sepak terjangnya yang amat mengerikan itu.

Letak daerah Goa Tengkorak hanya tiga puluh li dari Tai-goan. Tentu saja para pendekar di kota Tai-goan merasa penasaran dan marah melihat betapa kota mereka dilanda mala petaka dengan munculnya seorang penjahat yang begitu beraninya. Perbuatan penjahat itu seolah-olah merupakan tamparan bagi mereka.

Mereka, bersama pasukan penjaga keamanan kota sudah berusaha untuk mencari dan menangkap penjahat itu. Namun, penjahat itu benar-benar seperti siluman, kalau nampak bayangannya, maka sukar disusul dan ketika dicari di daerah Goa Tengkorak, tidak dapat ditemukan jejaknya. Sudah ada dua orang gadis cantik di kota Tai-goan yang diculiknya, juga beberapa orang hartawan sudah dicuri barang-barang berharga berupa perhiasan-perhiasan mahal yang disimpan di dalam tempat-tempat rahasia.

Di antara para pendekar yang merasa penasaran terhadap Siluman Goa Tengkorak ini, terdapat seorang lelaki bernama Cia Kok Heng yang bekerja sebagai ahli bangunan pada bagian pertukangan kayu. Nama Cia Kok Heng ini sudah cukup terkenal di kota Tai-goan sebagai seorang ahli silat, bahkan seorang pendekar karena dia merupakan salah seorang murid lulusan perguruan Hong-kiam-pai (Perkumpulan Pedang Angin) di Tai-goan.

Hong-kiam-pai ini merupakan suatu perkumpulan silat pedang yang menjadi cabang dari perguruan besar Kun-lun-pai. Ilmu Pedang Hong-kiam-hoat (Ilmu Pedang Angin) adalah ilmu pedang dari Kun-lun-pai dan karena perguruan itu khusus mengajarkan ilmu pedang ini, maka tidak menggunakan nama Kun-lun-pai, melainkan Hong-kiam-pai. Yang menjadi anggota atau murid dari Hong-kiam-pai hanyalah orang-orang yang sudah memiliki dasar ilmu silat yang mahir dan boleh saja mempunyai dasar ilmu silat dari partai lain asalkan tingkatnya sudah cukup untuk mempelajari Ilmu Pedang Hong-kiam-sut.

Akan tetapi, Cia Kok Heng memang seorang murid Kun-lun-pai asli sehingga dia memiliki dasar-dasar ilmu silat Kunlun-pai. Dengan adanya perkumpulan Hong-kiam-pai ini maka para pendekar dari semua aliran dapat bersatu dengan menjadi murid atau anggota, dan karena dia sendiri adalah seorang anggota Hong-kiam-pai, maka tentu saja Cia Kok Heng mengenal banyak pendekar yang juga menjadi anggota perkumpulan itu.

Kok Heng hidup rukun bersama isterinya dan dua orang anaknya. Dia sendiri berusia tiga puluh tahun dan isterinya berusia dua puluh tujuh tahun. Isterinya adalah seorang wanita yang amat cantik jelita dan biar pun sekarang telah mempunyai dua orang anak, namun kecantikannya tak berkurang. Anak mereka, yang pertama lelaki berusia sembilan tahun dan yang kedua perempuan berusia tujuh tahun. Hidup mereka tidak bisa dikatakan kaya, namun penghasilan Kok Heng sebagai tukang kayu yang ahli sudah cukup untuk hidup pantas bagi keluarga itu.

Cia Kok Heng bukanlah seorang ahli silat biasa saja di kota Tai-goan. Dia adalah salah seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan! Dan biar pun di antara mereka bertujuh dia termasuk yang paling muda, akan tetapi bukan berarti bahwa kepandaiannya yang paling rendah.

Meski pun tujuh orang pendekar itu belum pernah bentrok sendiri dengan siluman yang mengacau kota mereka, namun mereka menaruh perhatian dan sudah sering mereka bertujuh itu berkumpul untuk membicarakan penjahat itu. Bahkan mereka saling berdebat, ada yang percaya akan desas-desus bahwa penjahat itu lihai seperti siluman dan pandai ilmu menghilang, ada pula yang tidak percaya.

Percaya dan tidak percaya memiliki dasar yang sama. Dasarnya adalah ketidak tahuan. Hanya orang yang tidak mengerti atau tidak tahu sendirilah yang bisa menjadi orang yang percaya atau yang tidak percaya. Oleh karena itu, orang yang percaya dan yang tidak percaya sesungguhnya tidak berhak membicarakan sesuatu yang mereka percaya atau tidak percaya itu, karena keduanya sama-sama tidak mengerti atau tidak tahu. Apa bila sudah tahu, maka tidak mungkin timbul percaya atau tidak percaya lagi.

Sebelum manusia bisa mendarat di bulan, gambaran tentang bulan tentu menimbulkan percaya atau tidak percaya, tergantung pada siapa yang menceritakan dan siapa yang mendengarkan. Akan tetapi sekarang hal itu tidak lagi membutuhkan percaya atau tidak percaya. Anehnya, bagaimana pun juga orang-orang yang percaya atau pun yang tidak percaya inilah, di dalam ketidak tahuan merupakan orang-orang yang paling suka untuk membicarakannya dan memperdebatkannya.

Pada pagi hari itu, dengan hati sedikit kesal Kok Heng berangkat ke tempat pekerjaannya di pusat kota di mana sedang dilakukan pembangunan oleh kepala daerah. Tadi malam pada saat berbelanja ke pasar, isterinya bertemu dengan Phang-kongcu, putera seorang pembesar yang kaya raya dan pemuda itu bersikap kurang ajar. Dengan lagak memikat, Phang-kongcu mengeluarkan kata-kata memuji kecantikannya lantas mengatakan sayang bahwa wanita secantik itu hidup miskin. Demikianlah kata isterinya.

Meski Kok Heng menganggap kekurang ajaran mulut pemuda bangsawan dan hartawan itu merupakan penyakit umum dan bukan sesuatu yang aneh, namun tetap saja hatinya diliputi oleh rasa cemburu dan penasaran. Namun, sebagai seorang pendekar dia mampu menenangkan batinnya dan berangkat kerja dengan wajah agak muram.

Siang hari itu dia pulang lebih pagi dari pada biasanya. Di depan rumah, dia melihat dua orang anaknya, Cia Liong dan Cia Ling, bermain-main dengan anak-anak tetangga. Akan tetapi timbul keheranannya pada saat melihat anak-anak itu berdiri berkerumun di depan dinding dekat pintu, dan terlihat keheranan memandang ke arah dinding sambil menunjuk-nunjuk.

Dia pun cepat melangkah, mendekat dan tiba-tiba saja wajah pendekar ini berubah merah lalu pucat, dan kembali merah lagi. Matanya terbelalak memandang ke arah dinding yang dirubung anak-anak itu. Pada permukaan dinding putih itu tampak jelas gambar tengkorak yang dilukis dengan darah yang masih mengkilat basah!

"Ayah, apakah itu?" tanya Cia Ling.

Kok Heng menggandeng tangan kedua orang anaknya, membawa mereka masuk rumah sesudah dia menyuruh anak-anak lain pulang ke rumahnya masing-masing. Jantungnya tergetar penuh ketegangan dan barulah hatinya terasa lega sesudah dia melihat isterinya menyongsong kedatangannya dari dalam dapur.

"Ehhh, ada apakah? Engkau kelihatan..." Isterinya bertanya khawatir ketika melihat wajah suaminya.

"Tidak apa, tenanglah. Mari kita bicarakan dalam kamar, ajak anak-anak," kata suaminya.

Walau pun sikap suaminya tenang, namun istri pendekar itu dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu. Mereka memasuki kamar dan Kok Heng lalu menceritakan gambar tengkorak yang dilihatnya di dinding rumah mereka.

"Siluman Goa Tengkorak...? Isterinya berbisik, bibirnya gemetar dan mukanya pucat.

"Jangan khawatir. Siapa pun adanya badut atau penjahat itu, sekarang dia akan ketemu batunya. Aku akan mempersiapkan saudara-saudaraku untuk menghadapinya. Telah tiba saatnya Tujuh Pendekar Tai-goan bergerak dan membasmi siluman itu," kata Kok Heng dengan penuh semangat.

Sikap dan ucapan suaminya ini membuat hati isterinya agak tenang, walau pun nyonya muda itu masih saja merasa khawatir. Kok Heng segera menulis sepucuk surat dan minta kepada seorang tetangganya untuk mengantarkan surat itu ke alamatnya.

Setelah itu keluarga Cia lalu makan siang dan sikap tenang pendekar itu mempengaruhi isterinya yang juga merasa tenang. Mereka melarang anak-anak mereka bermain-main di luar rumah dan karena kesal tidak boleh bermain di luar rumah, Cia Liong dan Cia Ling yang mentaati kedua orang tuanya itu lantas tidur di kamar mereka pada siang hari itu.

Kok Heng lalu bercakap-cakap dengan isterinya di ruangan dalam. Baru sekarang mereka mendapatkan kesempatan untuk membicarakan ancaman itu sesudah kedua orang anak mereka tertidur.

Kok Heng mengambil pedangnya, lantas mengeluarkan pedang itu dari sarungnya untuk memeriksanya. Dia sudah bersiap dan kini dia meggantungkan pedangnya di punggung, siap setiap saat menghadapi siluman yang mengancam keluarganya itu.

"Akan tetapi mengapa kita...?" isterinya bertanya dengan wajah yang agak pucat.

Kok Heng memegang lengan isterinya. "Tenanglah, wajahmu begini pucat. Percayalah, kami bertujuh akan dapat menghadapinya, bahkan mungkin menangkap atau membunuh siluman itu."

"Tapi... mengapa kita yang diancamnya? Kita bukan orang kaya..."

"Engkau tahu, isteriku. Siluman itu bukan hanya senang mencuri barang-barang berharga, bahkan suka pula menculik wanita..." Muka yang pucat itu kini berubah merah.

"Tapi... yang diculiknya selama ini adalah gadis-gadis cantik..."

Kok Heng menatap wajah isterinya lantas tersenyum bangga. "Dan engkau adalah wanita yang amat cantik, yang tercantik di antara mereka."

"Ah, jangan bergurau, suamiku. Aku adalah seorang wanita yang sudah mempunyai dua orang anak..."

"Aku tidak bergurau. Biar pun engkau sudah menjadi ibu dari dua orang anak, akan tetapi engkau masih kelihatan sangat muda dan cantik jelita. Ingat saja kekurang ajaran pemuda bangsawan itu..." Tiba-tiba saja pendekar itu mengerutkan alisnya dan memandang wajah isterinya dengan aneh. Wajah itu menjadi semakin merah.

"Si keparat itu... ahh, mengapa engkau memandangku seperti itu...?"

"Pemuda she Phang itu... kemarin dia sudah menggodamu dan pada hari ini siluman itu memberi tandanya! Hemm... ada hubungan apakah di antara kedua peristiwa ini...?"

"Hubungan bagaimana maksudmu?" tanya isterinya bingung. "Pemuda itu adalah putera seorang pembesar, sedangkan siluman itu... bukankah katamu dia itu seorang penjahat besar? Mana ada hubungannya...?"

"Aku pun merasa heran, kenapa begini kebetulan ? Ah, biarlah akan kubicarakan dengan saudara-saudaraku."

Jauh lewat tengah hari, menjelang sore, datanglah enam orang di rumah Cia Kok Heng, segera disambut oleh tuan rumah dengan hati gembira sekali dan juga penuh perasaan lega. Bahkan sekarang nyonya rumah sudah dapat tersenyum dan wajahnya tidak pucat lagi. Bagaimana pun juga, dengan berkumpulnya Tujuh Pendekar Tai-goan, apakah yang perlu ditakuti lagi? Tujuh orang yang terkenal dengan sebutan Tujuh Pendekar Tai-goan itu memang bukan orang-orang sembarangan.

Pertama adalah Cia Kok Heng sendiri yang menjadi orang termuda namun bukanlah yang paling rendah ilmunya. Orang ke dua ialah yang dikirimi surat oleh Kok Heng dan dimintai tolong untuk mengumpulkan semua saudara mereka dan datang ke tempat pendekar she Cia itu.

Orang ini bernama Kwee Siu, usianya sekitar empat puluh lima tahun. Dia adalah murid perguruan Siauw-lim-pai yang sangat lihai, dan kemudian belajar ilmu pedang pula dari Hong-kiam-pai sehingga dia pun masih terhitung saudara seperkumpulan dengan Cia Kok Heng. Walau pun dalam hal ilmu pedang dia masih kalah lihai dari Kok Heng karena Kok Heng memang murid Kun-lun-pai, akan tetapi Kwee Siu ini memiliki kelebihan lain, yaitu ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai.

Orang ke tiga adalah Louw Ciang Su, berusia empat puluh tahun, murid Bu-tong-pai yang sangat lihai dengan senjata rantai bajanya. Ada pun orang ke empat dan ke lima adalah kakak beradik she Ciok, yaitu Ciok Lun yang berusia lima puluh tahun dan Ciok Khim berusia empat puluh lima tahun, keduanya tokoh-tokoh dari Tiat-ciang-pai (Perkumpulan Tangan Besi) yang disegani dari kota raja.

Tentu saja keduanya memiliki tangan yang amat kuat dan terlatih sehingga mahir dalam ilmu tangan besi. Hanya bedanya, kalau Ciok Lun biasa menggunakan senjata toya, maka adiknya, Ciok Khim mempergunakan senjata golok.

Orang ke enam adalah Siok Bu Ham, berusia empat puluh tahun, tidak mempunyai partai dan murid seorang tosu perantau yang mahir mempergunakan senjata sepasang tombak pendek. Orang ke tujuh adalah Liu Ji, usianya empat puluh lima tahun, seorang tokoh Thian-kiam-pang, seorang ahli melempar piauw dan pedang. Pendeknya, untuk Tai-goan dan sekitarnya, nama tujuh pendekar ini sudah terkenal sebagai orang-orang gagah yang menentang kejahatan dan sering kali membantu pemerintah dalam menghadapi penjahat lihai.

Begitu enam orang saudaranya itu datang, Kok Heng lalu mengajak mereka ke depan dan mereka bertujuh memeriksa gambar tengkorak darah itu dengan teliti. Ciok Lun meraba lukisan itu sambil mengerahkan sinkang-nya. Tangannya yang mempunyai Ilmu Tiat-ciang (Tangan Besi) itu tergetar dan menjadi panas, lalu tercium bau amis.

"Hemm, darah tulen...!" gumamnya.

"Mungkin ini bukan darah manusia," kata Kok Heng. "Setiap kali mengancam, siluman itu menggunakan lukisan tengkorak darah, dan agaknya dia menggunakan darah binatang."

Louw Ciang Su, murid Bu-tong-pai, menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya. "Belum tentu. Dahulu aku pernah mendengar mengenai seorang penjahat yang mempelajari ilmu hitam dan sering kali menggunakan darah dalam surat ancamannya dan ternyata darah itu darah manusia. Entah dari mana diambilnya karena memang orang-orang macam itu sudah sedemikian jahat dan kejamnya seperti iblis."

Para pendekar itu berdiam diri dan merasa ngeri juga. Yang akan mereka hadapi adalah seorang penjahat yang menurut kabar angin memiliki kepandaian seperti siluman, maka mereka pun harus bersikap hati-hati. Mereka lalu dijamu oleh nyonya rumah dan ketika Kok Heng menceritakan mengenai pemuda bangsawan Phang yang menggoda isterinya kemarin, enam orang pendekar itu mengerutkan alisnya. Lalu terdengar Liu Ji berkata,

"Tidak mungkin dia! Aku mengenal pemuda Phang itu"

"Memang, dia adalah seorang pemuda mata keranjang, terkenal di dunia pelacuran dan tak segan-segan untuk menggunakan kedudukan serta hartanya untuk bisa mendapatkan dan menguasai setiap wanita yang disukainya. Namun dia belum pernah mempergunakan kekerasan, terlebih lagi olehnya sendiri karena dia tidak becus apa-apa, bahkan tubuhnya lemah karena terlalu banyak mengobral nafsunya." Cia Kong Heng mengangguk-angguk.

"Aku pun tidak mencurigai dia karena kalau dia itu lihai tentu kita sudah mengetahuinya. Akan tetapi karena kemarin dia menggoda isteriku dan hari ini siluman itu muncul maka sungguh kebetulan sekali sehingga mau tidak mau, menimbulkan kecurigaan."

Tiba-tiba saja Kwee Siu, murid Siauw-lim-pai yang juga menjadi murid Hong-kiam-pai itu mengepal tinju lantas memukul meja.

"Brakkk!"

Semua orang memandang dan orang tinggi besar ini melotot dengan muka merah. "Siapa pun adanya iblis itu, harus kita hadapi dan malam ini kalau dia berani datang, kita akan menangkap atau membunuhnya!"

"Aku bersumpah, kalau dia berani menjamah sehelai rambut isteri Heng-te saja, aku akan mematahkan tangannya!" teriak Ciok Lun, orang tertua di antara mereka, lantas menarik napas panjang.

"Menghadapi seorang penjahat yang dikenal licin seperti siluman itu, yang pernah diserbu oleh pasukan dan para pendekar namun tetap dapat meloloskan diri, kita harus bersikap tenang. Betapa pun juga, seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, dia selalu memberi peringatan atau mengancam calon korban pada saat siang atau sore, kemudian baru dia turun tangan pada malam harinya. Maka, kita masih memiliki waktu untuk bersiap siaga. Kita harus mengatur penjagaan, membagi-bagi tugas namun harus diatur agar kita dapat saling membantu."

Setelah malam tiba, Tujuh Pendekar Tai-goan itu sudah mengatur siasat. Cia Kok Heng sendiri berjaga di dalam kamar, menjaga isteri serta dua orang anaknya dengan pedang tak pernah terpisah dari badannya. Kwee Siu yang tinggi besar dengan pedang di tangan menjaga di dalam ruangan di luar kamar, ditemani oleh Louw Ciang Su yang senjata rantai bajanya dililitkan di pinggang.

Siok Bu Ham dengan sepasang tombak pendeknya menjaga di belakang rumah. Liu Ji tokoh Thian-kiam-pang itu menjaga di luar, di depan rumah sambil meronda. Sedangkan kedua saudara Ciok Lun dan Ciok Khim telah berada di atas. Rumah dan kamar keluarga Cia itu telah dijaga ketat, dikepung oleh para pendekar dan agaknya iblis sendiri pun tidak akan sanggup memasuki kamar itu tanpa diketahui, dan akan mendapat rintangan yang amat ketat dan berat.

Malam semakin larut dan suasana semakin sunyi menegangkan. Seluruh penghuni rumah itu, kecuali dua orang anak kecil yang sudah tertidur pulas, tidak seorang pun yang dapat memejamkan mata barang sejenak. Semua merasa tegang. Yang ada di dalam rumah itu hanya Cia Kok Heng bersama isteri dan dua anaknya, serta enam orang rekannya. Dua orang pelayan telah disuruh mengungsi sore tadi.

Menjelang tengah malam, suasana sunyi itu menjadi makin lengang. Rumah keluarga Cia ini terletak agak di pinggir kota, semua perumahan di situ memiliki pekarangan dan kebun yang luas sehingga agak jauh dari tetangga.

Tidak ada bulan di langit, dan cahaya laksaan bintang yang lemah mendatangkan cuaca yang remang-remang menyeramkan. Kesunyian yang sangat mencekam itu kadang kala dipecahkan oleh suara burung malam yang mendatangkan suasana lebih menyeramkan, dan kadang-kadang terdengar bunyi lemah kelepak burung malam yang terbang berlalu. Gonggong anjing di kejauhan menambah dalamnya kesunyian yang mencekam di dalam hati, mengingatkan orang akan sesuatu yang tidak mereka lihat dan tidak mereka ketahui, menimbulkan dugaan-dugaan yang mendatangkan rasa gelisah dan takut.

Sudah beberapa kali ini para pendekar itu saling mengunjungi tempat penjagaan masing-masing dan juga memeriksa keluarga Cia yang masih berada dalam kamar. Hati mereka terasa lega dan diam-diam hati yang tegang itu mengharapkan agar siluman itu menjadi jeri dan tidak berani muncul melihat persiapan Tujuh Pendekar Tai-goan.

Akan tetapi ketika waktu telah menunjukkan tepat tengah malam, terdengar bunyi burung malam dan kelepak sayapnya, seolah-olah rumah keluarga Cia itu didatangi oleh burung-burung malam. Dan para pendekar itu mulai merasa seolah-olah mereka atau tempat itu sudah terkepung.

Terdengar suara batuk-batuk Siok Bu Ham yang berjaga di belakang rumah, batuk buatan yang biasa dilakukan orang untuk mengusir rasa seram dalam hati. Suara batuk-batuk ini segera dibalas oleh Ciok Khim yang menjaga di atas wuwungan bersama kakaknya, Ciok Lun. Mendengar suara dua orang rekannya batuk-batuk itu, hati para pendekar yang lain menjadi agak lega. Namun mereka tetap waspada karena naluri mereka yang membuat mereka peka terhadap ancaman lawan tergetar oleh sesuatu yang membuat mereka lebih waspada dan siap siaga. Tiba-tiba...

鈥淣geonggg...!" terdengar suara nyaring disusul geraman-geraman dan gedobrakan di atas genteng rumah tetangga.

Jantung mereka yang sedang tegang itu terasa seperti copot, akan tetapi mereka segera mengenal suara itu dan di dalam batin menyumpah-nyumpah karena itu adalah suara dua ekor kucing yang sedang berkelahi atau sedang bercanda! Karena kebisingan dua ekor kucing yang sedang bermain cinta ini sangat mengejutkan dan tiba-tiba, perhatian para pendekar itu sejenak tertumpah kepada suara itu.

Dan ketika perhatian dua saudara Ciok kembali kepada penjagaan mereka, dengan kaget mereka melihat sesosok bayangan orang tahu-tahu telah berdiri di atas wuwungan rumah keluarga Cia, hanya berjarak beberapa tombak saja dari mereka! Tentu saja kedua orang saudara Ciok itu terkejut sehingga sejenak mereka memandang bengong.

Kini mereka dapat melihat jelas. Orang itu memakai pakaian dan jubah serba putih dari sutera mengkilap dan di bagian dadanya terdapat gambar tengkorak darah, yaitu lukisan tengkorak dari darah merah yang menetes-netes.

"Iblis keparat!" Ciok Khim sudah membentak dan pendekar ini meloncat ke depan, lantas menyerang orang itu dengan goloknya.

Gerakannya amat cepat dan kuat, dan meski pun yang diinjaknya hanya wuwungan yang lebarnya tak lebih dari satu kaki saja, tetapi Ciok Khim dapat meloncat dengan sigap dan menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi, orang itu dengan tenang saja menggerakkan tangan menyambut ke depan.

"Tringgg...!"

Dan mata golok yang tajam itu sudah ditangkis begitu saja oleh jari-jari tangannya yang memakai cincin. Ciok Khim merasa betapa tangan kanannya yang menggenggam golok tergetar hebat, tanda alangkah kuatnya tangkisan itu. Orang itu pun sudah meloncat ke kanan, ke atas wuwungan melintang dengan cepat.

"Siluman jahat!" Ciok Lun sudah menerjang dengan toyanya.

Mula-mula toyanya menyambar ke arah kepala lawan. Ketika dengan gerakan ringan dan mudah toya itu dielakkan oleh lawan dan menyambar lewat, secepat kilat toya itu sudah dilanjutkannya dengan sebuah tusukan ke arah dada, tepat ke arah tengkorak merah itu. Akan tetapi, hebatnya, lawan itu sama sekali tidak menangkis, bahkan seperti memasang dadanya untuk ditusuk toya yang digerakkan dengan amat kuat.

"Dukkk!"

Toya itu tepat mengenai dada dan ternyata tusukan ini bahkan dipergunakan oleh lawan untuk meminjam tenaganya sehingga sekarang tubuh itu terjengkang jauh ke belakang, lantas membuat gerakan jungkir balik beberapa kali ketika melayang ke bawah. Sungguh gerakan yang indah, dan terutama sekali, menerima serangan tusukan toya dengan dada begitu saja menunjukkan bahwa orang itu benar-benar mempunyai kekebalan yang amat kuat.....!

"Keparat, mau lari ke mana kau?" Dua orang saudara Ciok ini mengejar dan melayang turun.

Setibanya di bawah, lawan mereka itu sekali lagi berkelebat sudah lenyap! Selagi mereka kebingungan dan mencari dengan pandangan matanya, mereka melihat lawan tadi sudah berada di belakang mereka, berdiri sambil bertolak pinggang! Diam-diam mereka terkejut.

Lawan ini sungguh dapat bergerak seperti setan saja cepatnya. Dan kini, di bawah sinar penerangan lampu, mereka baru dapat melihat wajah lawan. Ternyata orang itu memakai kedok siluman tengkorak! Mereka berdua segera berteriak keras dan menyerang.

Teriakan itu mereka lakukan untuk memberi tahu teman-teman mereka. Akan tetapi pada saat itu, teman-teman mereka pun sedang sibuk! Siok Bu Ham yang sedang berjaga di bagian belakang rumah, tadi pun terkejut sekali ketika mendengar suara kucing dan tentu saja perhatiannya langsung tertuju ke genteng tetangga dari mana suara hiruk-pikuk itu datang. Dan pada saat dia mengembalikan perhatiannya kepada tempat di sekelilingnya, tahu-tahu di belakangnya telah berdiri seorang yang memakai topeng tengkorak, dengan pakaian sutera putih yang pada dadanya terdapat gambar tengkorak darah!

"Siluman jahanam, berani engkau datang?" bentak Siok Bu Ham dan pendekar ini segera menerjang dengan sepasang siang-kek yang sejak tadi sudah dipersiapkan. Nampak dua cahaya menyambar ketika sepasang tombak pendek itu meluncur dan membuat gerakan menggunting, menyerang dari kanan kiri.

Akan tetapi, orang yang diserangnya dengan ringan meloncat ke belakang dan serangan berganda itu pun mengenai tempat kosong. Sebelum Siok Bu Ham menyerang lagi, orang itu sudah meloncat ke depan.

"Bangsat, jangan lari kau!" Siok Bu Ham membentak sambil mengejar menuju ke depan rumah.

Akan tetapi bayangan itu menghilang dan ketika dia tiba di depan rumah, dia melihat Liu Ji sedang bertanding dengan seseorang yang serupa dengan orang yang dikejarnya tadi. Orang bertopeng tengkorak, bertangan kosong akan tetapi lihai bukan main sehingga Liu Ji yang bersenjatakan pedang itu pun terdesak hebat.

Pada saat Siok Bu Ham datang, Liu Ji yang sedang terdesak itu terkena tamparan pada pundaknya sehingga pendekar itu jatuh, terus menggulingkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak.

Tahulah Siok Bu Ham bahwa rekannya itu tentu menggunakan senjata rahasianya, yaitu piauw yang memang menjadi keahliannya. Tiga cahaya menyambar ke arah perut, dada dan leher orang berkedok tengkorak itu. Akan tetapi orang itu tidak mengelak.

Terdengar suara nyaring ketika tiga batang piauw itu mengenai sasaran, akan tetapi tiga batang piauw itu runtuh tanpa melukai siluman tengkorak itu. Melihat hal ini, Siok Bu Ham maklum bahwa orang itu memang kebal. Ketika melihat orang itu hendak mendesak Liu Ji yang belum sempat meloncat bangun, dia pun membentak marah sambil menggerakkan sepasang tombaknya.

"Siluman keparat, rasakan tombakku!" Dan dia pun sudah menerjang dengan dahsyat.

Siluman itu mengeluarkan suara dari hidungnya dan langsung mengelak. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liu Ji untuk meloncat bangun dan menerjang lagi dengan pedangnya, membantu Siok Bu Ham mengeroyok siluman yang lihai ini. Pundak kanannya tergores kuku dan bajunya robek, terluka sedikit saja akan tetapi rasanya panas dan perih sekali.

Baru mengeroyok sebentar saja, dua orang pendekar ini maklum bahwa lawan mereka sungguh sangat lihai, maka mereka berdua pun bersuit-suit untuk memberi tanda kepada para teman mereka. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang muncul.

Mereka tidak tahu bahwa pada saat itu, Ciok Khim dan Ciok Lun juga sedang mengeroyok seorang siluman, dan bagaimana dengan Kwee Siu dan Siu Louw Ciang Su yang berjaga di ruangan dalam, di depan kamar keluarga Cia? Sama saja!

Kedua orang ini tadi juga mendengar suara bising kucing di luar rumah itu, lantas tiba-tiba saja muncul seorang bertopeng tengkorak berjubah putih yang bagian dadanya digambari tengkorak darah. Karena orang ini berdiri di bawah lampu, mereka berdua dapat melihat jelas.

Tentu saja mereka berdua terkejut sekali karena munculnya siluman ini sungguh secara tiba-tiba, berbareng dengan suara ribut kucing tadi, seperti setan yang pandai menghilang saja. Tetapi karena mereka maklum bahwa inilah musuh yang ditunggu-tunggu, keduanya lalu menerjang ke depan dengan marah. Kwee Siu menggunakan pedangnya sedangkan Louw Ciang Su menggerakkan sabuk atau rantai baja yang dipakai sebagai ikat pinggang. Segera terjadi pertempuran seru ketika dua orang ini mengeroyok siluman itu.

"Cia-hiante, hati-hati...!" Kwee Siu berseru untuk memperingatkan Cia Kok Heng.

Akan tetapi Kok Heng sudah mendengar keributan di luar kamar. Dia pun tidak mungkin tinggal diam saja. Cepat dibukanya pintu kamar dan melihat betapa dua orang rekannya mengeroyok seorang bertopeng tengkorak yang gerakannya amat lihai, dia pun menyuruh isterinya menjaga kedua anak mereka dan dia sendiri langsung melompat keluar dengan pedang di tangan.

"Siluman keparat, engkau mengantar nyawa!" bentaknya dan dia pun membantu kedua orang rekannya mengeroyok.

Karena marah bukan main melihat musuh yang mengancam isterinya ini berani muncul di hadapannya, Cia Kok Heng segera menerjang dan menggunakan jurus paling ampuh dari Hong-kiam-hoat, yaitu jurus Hui-hong Bu-liu (Angin Meniup Pohon Cemara). Jurus ampuh ini dilakukan dengan tusukan pada pinggang lawan, akan tetapi itu hanyalah merupakan gertakan belaka karena jurus itu dilanjutkan dengan sambaran pedang secara berputar mengarah kaki dan naik terus sampai ke leher. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya.

Akan tetapi, alangkah kaget hati Kok Heng melihat lawan itu hanya mengeluarkan suara mendengus dan agaknya tidak mempedulikan tusukan gertakan itu, namun ketika pedang menyambar dengan gerakan memutar, orang itu sudah meloncat tinggi di udara sehingga jurus itu pun tidak ada gunanya sama sekali. Orang itu seolah-olah sudah mengenal baik jurus itu dan menggunakan kesempatan selagi meloncat, tidak hanya untuk memunahkan jurus Hui-hong-bu-liu, melainkan loncatan itu segera disambung dengan gerakan pok-sai (salto) jungkir balik dan tahu-tahu tubuh yang jangkung itu sudah meluncur dan melayang ke dalam kamar melalui pintunya yang terbuka.

Tentu saja hal ini sama sekali tak pernah disangka oleh ketiga orang pendekar itu yang sejenak memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Cia Kok Heng sudah mengejar sambil membentak marah,

"Siluman curang, mari hadapi pedangku!"

Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tiba di dalam kamar, dia melihat isterinya sudah dipanggul dalam keadaan lemas oleh siluman itu dan dua orang anaknya juga dicengkeram, kemudian sambil tertawa mengejek siluman itu meloncat keluar lewat jendela belakang!

"Lepaskan isteri dan anak-anakku!" Kok Heng membentak dan mengejar, dan dua orang rekannya, Kwee Siu dan Louw Ciang Su juga membentak dan mengejar.

Siluman itu sama sekali tidak menemukan perlawanan di belakang, karena Siok Bu Ham yang tadinya berjaga di belakang itu kini telah terlibat dalam perkelahian membantu Liu Ji di pekarangan depan rumah. Siluman itu masih memondong tubuh isteri Kok Heng sambil mengempit dua tubuh anak itu ketika dia melompat naik ke atas wuwungan rumah.

"Lepaskan mereka!" Kok Heng yang merasa gelisah dan marah itu mengejar secepatnya.

"Jahanam curang! Jangan lari!" Kwee Siu juga berteriak mengejar.

"Kalau jantan lawanlah kami!" Louw Ciang Su membentak sambil meloncat pula mengejar ke atas genteng.

"Kejar...!" Kok Heng berteriak lagi.

"Ha-ha-ha!" Suara ketawa dari balik topeng itu terdengar menyeramkan sekali.

Mendadak siluman itu menggerakkan tangan kirinya yang mencengkeram baju dua orang anak itu. Tubuh dua orang anak itu segera melayang ke arah Kwee Siu dan Louw Ciang Su! Tentu saja dua orang pendekar terkejut bukan main, juga Kok Heng lantas berteriak dengan gelisah.

"Sambut anak-anakku itu...!"

Untung bahwa dua orang pendekar itu benar-benar memiliki gerakan lincah. Melihat tubuh dua orang anak itu melayang ke bawah, mereka cepat melempar senjata mereka lantas membalik dan nyaris saja anak-anak itu terbanting remuk di atas tanah kalau tidak kedua orang pendekar itu berhasil menangkap tubuh mereka!

Terdengar suara ketawa dan kini siluman itu sudah mengelak dari sambaran pedang di tangan Kok Heng yang membabat ke arah kedua kakinya. Dia melompat ke atas, terus saja melompat jauh ke depan, turun dari atas wuwungan ke pekarangan belakang rumah tetangga.

Tentu saja Kok Heng cepat melakukan pengejaran sambil membentak nyaring, "Lepaskan isteriku!"

Kwee Siu agak terpincang karena ketika dia tadi menangkap tubuh Cia Liong, putera Kok Heng, terpaksa dia harus mendahului anak itu, menangkapnya dan membiarkan dirinya lebih dulu menimpa tanah. Karena ini, kakinya agaknya salah urat. Melihat ini Louw Ciang Su berkata,

"Kwee-twako, sebaiknya engkau menyelamatkan kedua orang anak ini dan biar aku yang akan membantu Cia-te mengejar siluman itu!" Louw Ciang Su sudah mengambil senjata rantai bajanya lagi yang tadi terpaksa dilepaskannya ketika dia menyelamatkan Cia Ling, anak perempuan itu.

"Baik!" kata Kwee Siu yang sudah merangkul dua orang anak kecil yang masih menggigil dan menahan isak tangis itu.

Louw Ciang Su melompat ke atas genteng dan melakukan pengejaran ke arah larinya siluman yang menculik nyonya Cia. Sambil menggandeng dua orang anak itu, Kwee Siu mengambil lagi pedangnya yang tadi dilepaskannya dan dia merasa sangat heran kenapa empat orang rekannya yang lain tidak muncul. Hatinya terasa amat tidak enak dan sambil menggandeng kedua orang anak itu, dia menuju ke samping rumah.

Hampir saja dia berteriak keras ketika dia melihat betapa dua orang rekannya, Siok Bu Ham dan Liu Ji sudah menggeletak di situ dengan badan mandi darah. Pada waktu dia menghampiri dan memeriksa, ternyata kedua orang rekannya ini sudah tewas! Sebatang tombak pendek, senjata dari Siok Bu Ham sendiri, nampak menembus dadanya, ada pun Liu Ji tewas dengan leher hampir putus oleh pedangnya sendiri yang terletak di dekatnya!

Dengan sepasang kaki menggigil dan menahan tangisnya, Kwee Siu membawa Cia Liong dan Cia Ling keluar. Kembali dia mengalami guncangan batin hebat sesudah melihat dua orang rekan lainnya lagi, yaitu kakak beradik Ciok Lun dan Ciok Khim ternyata juga telah menggeletak menjadi mayat di pekarangan depan. Dan seperti juga keadaan dua orang rekannya yang tewas di samping rumah, kedua orang saudara Ciok ini pun tewas oleh senjata mereka sendiri. Agaknya lawan mereka yang kuat dan bertangan kosong itu telah merobohkan mereka dengan merampas senjata mereka dan mempergunakan senjata itu untuk membunuh tuannya sendiri.

Melihat betapa empat orang rekan atau sahabat yang seakan sudah menjadi saudaranya sendiri itu tewas dalam keadaan yang begitu menyedihkan, hati Kwee Siu penuh dengan kedukaan dan kemarahan. Apa lagi dia mengingat bahwa masih ada dua orang rekannya lagi yang kini melakukan pengejaran terhadap siluman itu. Dia harus membantu mereka!

Maka, dia segera membawa dua orang anak itu kepada seorang tetangga yang langsung menjadi panik ketika mendengar bahwa di rumah keluarga Cia telah terjadi pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Siluman Goa Tengkorak. Tetangga ini memberi tahukan kepada semua penghuni rumah di sekitar tempat itu, dan sebentar saja gegerlah keadaan di perkampungan itu.

Akan tetapi, sesudah menitipkan dua orang anak she Cia itu, Kwee Siu sendiri langsung berloncatan dan cepat menyusul ke arah perginya siluman yang tadi dikejar oleh Cia Kok Heng dan Louw Ciang Su. Hatinya penuh dengan kekhawatiran dan juga dendam terhadap siluman yang telah membunuh empat orang saudaranya.

Akan tetapi Kwee Siu tidak perlu menyusul terlalu jauh. Di dekat tembok kota dia melihat bayangan yang berlari terhuyung-huyung, dan sesudah dia mendekati, ternyata bayangan itu adalah Cia Kok Heng yang berlari sambil terhuyung dan kedua tangannya mendekap leher karena dari situ bercucuran darah segar dari sebuah luka yang menganga!

"Cia-hiante...! Kau kenapa...?" Kwee Siu meloncat dan menubruk sahabatnya sekaligus juga saudara seperguruan di Hong-kiam-pai.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri hatinya melihat luka di leher pendekar she Cia itu sungguh hebat sekali dan amat mengherankan jika Cia Kok Heng masih dapat berlari. Begitu melihat Kwee Siu, Cia Kok Heng langsung roboh terguling namun tubuhnya cepat disambar dan dipeluk oleh Kwee Siu.

"Anak-anakku...anak-anakku..." Cia Kok Heng berbisik dalam rangkulan sahabatnya itu.

"Mereka sudah kuselamatkan di tetangga..." kata Kwee Siu. "Mana Louw-te...?"

"Louw-twako... su... dah tewas... ahhh... Kwee-twako, bawa anak-anakku kepada suhu... cepat... ahhhh..." Cia Kok Heng berbisik-bisik akan tetapi dari lehernya hanya terdengar suara mengorok.

"Apa katamu, hiante? Kau bilang apa...?" Kwee Siu yang hatinya menjadi hancur itu cepat mendekatkan telinganya ke mulut yang masih tampak bergerak-gerak dan berbisik lemah sekali itu. Kwee Siu mendengarkan dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat sekali, sepucat muka Cia Kok Heng yang tiba-tiba terkulai dan tewas pula!

Kwee Siu tidak dapat menahan tangisnya lagi. Air matanya segera menetes-netes ketika dia memandang tubuh rekannya ini. Sambil menangis dia pun segera memondong tubuh yang kini sudah menjadi mayat itu, lalu berlari cepat kembali ke rumah keluarga Cia yang telah dipenuhi orang, yaitu para tetangga yang datang melayat.

Mereka semua yang sudah merasa ngeri menyaksikan empat mayat di dalam rumah itu, menjadi semakin ngeri dan ketakutan ketika melihat Kwee Siu datang membawa mayat Cia Kok Heng! Suasana menjadi semakin geger dan menyedihkan.

Sebelum malam terganti pagi, telah tersebarlah berita yang mengejutkan itu, bahwa enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan sudah tewas oleh Siluman Goa Tengkorak dan isteri pendekar Cia Kok Heng sudah diculik oleh siluman itu! Tentu saja berita ini bukan hanya menggegerkan seluruh Tai-goan, akan tetapi bahkan jauh sampai ke luar Tai-goan dan sebentar saja menjadi berita yang menggegerkan di dunia kang-ouw.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Kereta yang ditarik oleh dua ekor kuda itu dilarikan sangat cepat, menembus kabut pagi. Namun sesudah kereta itu memasuki hutan di sebelah barat daya, di sepanjang lembah Sungai Fen-ho, terpaksa larinya diperlambat karena jalannya buruk dan becek. Kwee Siu yang duduk di tempat kusir memegang cambuk, sementara mukanya masih sangat pucat dan diliputi kedukaan.

Di dalam kereta itu terdapat Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak keluarga Cia yang sudah hancur oleh perbuatan Siluman Goa Tengkorak itu. Dua orang anak ini tidak diberi kesempatan untuk berkabung, bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengantar jenazah ayah mereka yang penguburannya akan dilakukan oleh para tetangga. Setelah terjadinya peristiwa mengerikan semalam, pada keesokan harinya pagi-pagi buta Kwee Siu segera membawa mereka pergi dengan kereta ini.

"Paman Kwee, kita hendak pergi ke mana?" tanya Cia Liong yang matanya masih merah sambil merangkul adiknya ketika mereka dibangunkan dari tidur di pagi buta dan diajak pergi oleh Kwee Siu.

Dua orang anak ini sudah tahu bahwa ayah mereka tewas dan ibu mereka dilarikan oleh penjahat. Tentu saja mereka berdua menangis dan selain merasa berduka juga merasa ketakutan.

Akan tetapi, kedukaan hati seorang anak tidak sama dengan kedukaan hati seorang tua. Anak-anak tidak menyimpan dendam yang berlarut-larut, tidak menyimpan duka sampai menembus batin. Batin kanak-kanak masih bersih dan wajar, masih kuat seperti puncak cemara sehingga biar pun digerakkan angin ribut ke arah mana pun juga, sesudah angin lewat akan tegak kembali, tidak mudah patah.

Bagi anak-anak tangis adalah obat penenang yang mengusir kedukaan dari dalam batin. Sebaliknya orang tua malah menggunakan tangis untuk memperhebat luka di dalam hati dengan rasa iba diri yang berlebihan.

"Kita pergi ke tempat kakek gurumu, ke Kuil Thian-hong-bio. Ayahmu berpesan agar aku mengantarkan kalian ke sana, jadi untuk sementara kalian tinggal di situ bersama sukong kalian..."

"Aku tidak mau..." Tiba-tiba saja Cia Ling berkata merengek. "Aku mau tinggal di rumah bersama ibu!"

Kwee Siu merangkul anak perempuan berusia tujuh tahun itu, menghiburnya. "Tentu saja, bila mana ibumu sudah pulang, engkau akan tinggal di rumah bersama ibumu. Sementara kami mencari ibumu, engkau tinggal bersama kakek gurumu dahulu. Ayahmu berpesan demikian, kalian harus menurut pesan ayah kalian."

Akhirnya dua orang itu dapat dibujuk, lalu dengan membawa pakaian dan semua barang berharga yang terdapat dalam rumah itu, Kwe Siu segera mengantar dua orang anak itu pagi-pagi buta berangkat meninggalkan Tai-goan menuju kuil yang letaknya di luar kota, kira-kira tiga puluh li dari kota Tai-goan.

Setelah meninggalkan kota sejauh kurang lebih sepuluh li, kereta mulai memasuki hutan. Terpaksa Kwee Siu harus memperlambat laju kereta karena jalanan menjadi buruk, tidak rata dan becek.

Pagi itu sunyi sekali, dalam arti kata tidak ada seorang pun manusia nampak di sekeliling tempat itu. Akan tetapi suara burung-burung hutan menyambut pagi mengusir kesunyian dan mendatangkan suasana yang cerah gembira, walau pun kegembiraan itu sama sekali tidak dapat menyentuh hati Kwee Siu yang sedang dirundung kedukaan dan juga dendam membara.

Dia pun seorang murid Hong-kiam-pai, oleh karena itu, mala petaka yang menimpa diri Cia Kok Heng itu sungguh terasa olehnya sebagai dendam pribadi. Terlebih lagi, seluruh saudaranya, enam orang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, telah tewas dalam keadaan mengenaskan.

Jenazah Louw Ciang Su pun telah ditemukan dan dibawa dari tepi jalan itu ke rumahnya. Jenazah enam orang pendekar itu sekarang telah berada di dalam peti, di rumah masing-masing dan ditangisi keluarga masing-masing, kecuali jenazah Cia Kok Heng karena isteri dan anak-anaknya tidak berada di dekat peti mati.

"Aku harus membalas dendam ini!" Kwee Siu memegang cambuknya erat-erat dan sinar matanya berkilat.

Dia akan mohon bantuan gurunya, ketua Hong-kiam-pai. Kalau para tokoh Hong-kiam-pai mendengar tentang hal ini, tentu mereka tidak akan tinggal diam saja. Tiba-tiba Kwee Siu mengerutkan alisnya. Teringat dia akan bisikan-bisikan yang didengarnya sebagai pesan terakhir Cia Kok Heng kemudian hatinya menjadi bimbang dan bingung.

Jalan itu makin buruk dan masuk ke bagian hutan yang makin lebat, makin gelap karena sinar matahari pagi tidak dapat menembus sepenuhnya. Tiba-tiba saja dua ekor kuda itu meringkik-ringkik dan kelihatan panik. Kwee Siu cepat memegang kendali kuda erat-erat untuk menguasainya.

Kuda, seperti juga binatang-binatang lain memiliki naluri yang sangat kuat. Kepekaan ini terdapat di dalam diri semua makhluk hidup, sebagai pelengkap bawaan. Namun sayang, oleh nafsu-nafsu dalam mengejar kesenangan, oleh kesenangan-kesenangan itu sendiri yang tak pernah memuaskan hati dan selalu terasa kurang, untuk memiliki kepekaan ini manusia telah merusak kepekaan diri sendiri lahir batin.

Kesenangan untuk memenuhi nafsu keinginan, sebagian besar telah merusak kepekaan diri lahir batin dan hal ini tidak dipedulikan manusia. Makanan-makanan yang tidak baik bagi kesehatan badan pun dimakan saja karena terasa enak. Kebiasaan-kebiasaan yang sebenarnya merusak diri dilakukan saja karena enak dan menyenangkan. Hukum-hukum kesehatan lahir batin sering dilanggar demi memperoleh kepuasan nafsu keinginan. Tak mengherankan kalau manusia kehilangan kepekaan nalurinya. Badan dan batin menjadi bebal dan dungu, hanya menjadi alat pemuas nafsu belaka.

Kwee Siu masih belum curiga, hanya mengira bahwa hutan itu mungkin menakutkan dua ekor kudanya dan mungkin saja kudanya mencium bau binatang buas. Tentu saja dia tidak merasa takut, lalu dengan hati-hati dia mengendarai kereta itu dan menahan kendali untuk menguasai dua ekor kudanya.

Mendadak kedua ekor kuda itu meringkik lagi, bahkan mereka mencoba mengangkat kaki depan. Kwee Siu menarik kendali kuda dan tiba-tiba salah seekor di antara dua kuda itu mengeluarkan suara memekik kemudian roboh. Di lehernya menancap sebatang tombak sampai menembus dan kedua kuda itu tewas seketika, berkelojotan sebentar saja.

Barulah Kwee Siu terkejut dan dengan cekatan dia pun meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Matanya menatap ke depan dan bulu tengkuknya meremang pada waktu dia melihat sesosok tubuh melangkah perlahan-lahan menghampirinya dari depan.

Seorang laki-laki jangkung yang berpakaian jubah putih dengan gambar tengkorak darah pada dadanya, juga mukanya tertutup topeng tengkorak! Siluman Goa Tengkorak! Rasa takutnya lenyap sesudah dia membayangkan kematian enam orang saudaranya. Dengan suara penuh dendam Kwee Siu melangkah maju menyambut siluman itu sambil memutar pedangnya.

"Siluman keparat, sekarang aku akan mengadu nyawa denganmu!" Dan Kwee Siu segera menerjang ke depan, menyerang dengan pedangnya.

Siluman itu mengeluarkan suara ketawa panjang dan langsung menyambut serangan itu dengan gerakan-gerakannya yang lincah dan aneh. Tetapi Kwe Siu yang sedang dikuasai dendam dan kemarahan juga terus menerjang dengan dahsyat dan mati-matian.

Sementara itu, Cia Liong dan Cia Ling yang berada di dalam kereta, terkejut ketika kereta berhenti dan kuda meringkik-ringkik. Mereka membuka tirai dan melihat ke depan. Melihat Kwee Siu berkelahi dengan seorang berjubah putih yang mukanya menakutkan, Cia Ling menangis. Akan tetapi Cia Liong merangkulnya dan mendekap mulut adiknya.

"Diam... jangan menangis, kita harus pergi dari sini...," bisik anak laki-laki itu dan mereka berdua lalu diam-diam keluar dari dalam kereta itu, berindap-indap mereka menyelinap ke belakang sambil memandang ke arah Kwee Siu yang masih berkelahi dan didesak hebat oleh orang bertopeng tengkorak.

Kwee Siu melawan mati-matian, akan tetapi siluman itu sungguh sangat lihai, terlalu lihai baginya. Terlebih lagi karena semua serangannya agaknya telah dikenal baik oleh lawan sehingga lawan ini dapat menghindarkan semua serangannya itu dengan amat mudahnya dan balasan serangan lawan itu membuat Kwee Siu terdesak dan kewalahan. Bagaimana pun juga, pendekar yang merasa dendam, marah serta penasaran ini terus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melawan dengan tekad bulat melawan sampai mati.

Sementara itu, di lain bagian dari hutan itu, hanya dua tiga li dari tempat itu, terdapat dua orang yang sedang berburu kelinci dengan naik kuda. Mereka berdua itu nampak gembira sekali, berburu kelinci sambil bersenda gurau dengan sikap amat mesra. Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis, dan melihat sikap mereka, senyum mereka, pandang mata dan kata-kata mereka, dapat diketahui bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang saling mencinta. Dan mereka adalah pasangan yang amat setimpal.

Yang pria masih muda, antara dua puluh satu atau dua puluh dua tahun, berwajah amat tampan, ganteng dan gagah, pakaiannya rapi, indah mewah. Biar pun dia bukan seorang pesolek, akan tetapi mukanya terawat baik-baik tanpa ia merias muka, sisiran rambutnya rapi, gelung rambutnya dihias oleh hiasan rambut terbuat dari batu kemala, pakaiannya terbuat dari pada sutera halus, sepatunya masih baru.

Pendek kata, dia seorang pemuda yang sangat ganteng dan gagah, pantasnya seorang pemuda terpelajar yang kaya, dan melihat cara dia menunggang kuda mengejar kelinci, dapat pula diketahui bahwa dia adalah seorang ahli menunggang kuda. Seorang pemuda yang akan membuat setiap orang gadis yang bersua dengannya pasti menengok sampai beberapa kali dengan pandang mata kagum!

Ada pun temannya yang gadis juga merupakan seorang wanita pilihan. Usianya sebaya dengan pemuda itu, wajahnya sungguh amat cantik jelita dan gagah perkasa dengan raut muka sempurna, dengan kulit halus kemerahan tanda sehat, dengan sepasang mata yang indah berkilauan seperti mata burung hong keramat, senyumnya yang semanis madu dan suaranya yang bening merdu.

Gadis ini juga memakai pakaian sutera halus yang indah. Gerakannya ketika mengejar kelinci juga sangat cekatan dan gagah. Seorang gadis yang cantik jelita dan gagah pula! Sungguh merupakan pasangan yang amat setimpal dan seimbang.

Kalau saja orang mengenal siapa kedua orang muda ini, dia tentu tak akan heran melihat kegagahan mereka dan mungkin orang itu akan memandang kagum atau juga mungkin lari menyembunyikan diri. Pemuda yang bertubuh tegap sedang dan berwajah tampan ini bukan lain adalah seorang pendekar yang dahulu namanya pernah menggemparkan kota raja, bahkan pernah menggegerkan seluruh dunia persilatan. Dia adalah Pendekar Sadis!

Dia adalah seorang pemuda yang berdarah bangsawan, karena ayah kandungnya adalah seorang pangeran. Pendekar Sadis ini bernama Ceng Thian Sin, putera dari mendiang Pangeran Ceng Han Houw. Ayahnya adalah putera kandung dari mendiang Kaisar Ceng Tung dan ibunya adalah Puteri Khamila isteri Raja Sabutai. Ayahnya itu, selain pangeran, juga terkenal sebagai seorang ahli silat yang dulu pernah menggegerkan dunia persilatan dengan usahanya untuk menjadi Jagoan Nomor Satu Di Dunia.

Yang sudah mengenal Pendekar Sadis tentu telah mengetahui bahwa dalam hal ilmu silat Ceng Thian Sin si Pendekar Sadis ini tidak kalah lihai dibandingkan mendiang ayahnya. Semenjak kecil dia telah digembleng oleh ayah kandungnya sendiri, bahkan kemudian dia digembleng oleh ketua Cin-ling-pai, mewarisi ilmu silat yang hebat dari Cin-ling-pai.

Bukan hanya itu, dia malah mewarisi pula ilmu-ilmu mukjijat dari pendekar-pendekar sakti yang masih keluarga dari Cin-ling-pai, yaitu dari pendekar sakti Yap Kun Liong bersama isterinya, yaitu Cia Giok Keng. Kakek dan nenek ini menurunkan ilmu mereka kepadanya. Juga Pendekar Lembah Naga berkenan menurunkan ilmu-ilmu mukjijat kepadanya.

Di samping semua itu, dia masih mewarisi ilmu-ilmu peninggalan ayahnya, ilmu-ilmu aneh peninggalan Bu Beng Hud-couw. Pendek kata, Ceng Thian Sin adalah seorang pemuda gemblengan yang sukar dicari tandingannya untuk masa itu.

Temannya itu, dara yang cantik jelita dan gagah itu, bukan seorang wanita sembarangan pula. Jauh dari pada itu! Dara ini bahkan memiliki tingkat yang tidak jauh bedanya dengan Pendekar Sadis Ceng Thian Sin.

Wanita ini bernama Toan Kim Hong, juga berdarah bangsawan karena dia adalah puteri kandung dari mendiang Pangeran Toan Su Ong, seorang pangeran pemberontak yang memiliki ilmu silat yang tinggi, dan ibunya adalah seorang wanita yang telah mewarisi ilmu peninggalan Menteri Sakti The Hoo, yang bernama Ouwyang Ci.

Dengan ilmu kepandaian yang tinggi warisan dari ayah bundanya, Toan Kim Hong pernah menjagoi dunia selatan, bahkan dengan menyamar sebagai seorang nenek tua, gadis ini menaklukkan semua tokoh kang-ouw dan liok-lim, kemudian sebagai seorang nenek tua dia diangkat dan diakui oleh semua tokoh dunia persilatan sebagai seorang datuk selatan yang disebut Lam-sin (Malaikat Selatan).

Ilmu silatnya amat hebat dan ketika dia untuk pertama kalinya bertemu dengan Pendekar Sadis, mereka mengadu ilmu dan terjadi pertandingan yang luar biasa hebatnya. Hanya dengan amat susah payah sajalah Pendekar Sadis mampu mengalahkan nenek itu yang kemudian menanggalkan penyamarannya dan berubah menjadi seorang dara yang amat cantik jelita. Karena sumpahnya bahwa dia akan menyerahkan dirinya kepada pria yang mampu mengalahkannya, juga karena merasa saling tertarik, Kim Hong lalu menyerahkan diri kepada Thian Sin.

Semenjak itu keduanya lalu hidup bersama, merantau ke mana-mana, dan hidup sebagai suami istri tanpa pernikahan yang sah. Keduanya memang tak mau saling mengikat, akan tetapi di dalam hati mereka terdapat ikatan cinta kasih yang amat mendalam. Dua orang ini pernah ditentang oleh para pendekar, bahkan oleh keluarga Cin-ling-pai karena sepak terjang Thian Sin yang dulu terkenal sebagai Pendekar Sadis. Sepak terjangnya dianggap terlalu kejam sehingga para pendekar menentangnya.

Karena kemudian berhadapan dengan keluarga Cin-ling-pai, terutama sekali dengan ayah angkatnya, yaitu Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, maka Thian Sin mengalah dan tak berani melawan. Akhirnya dia beserta kekasihnya diampuni dan dia pun berjanji akan membuang jauh-jauh sifatnya yang kejam terhadap para penjahat itu.

Mereka berdua lalu pergi ke tempat yang terasing, yaitu di Pulau Teratai Merah. Tempat ini adalah tempat di mana dahulu mendiang Pangeran Toan Su Ong, ayah kandung Kim Hong, hidup bersama anak isterinya ketika dia masih menjadi buronan pemerintah karena sikapnya yang suka memberontak dan menentang kaisar.

Demikianlah perkenalan kita secara singkat dengan sepasang muda-mudi yang hebat ini. Di waktu-waktu tertentu kedua orang ini sering kali pergi meninggalkan pulau mereka dan melakukan perjalanan di daratan besar, merantau dan melakukan petualangan bersama, menikmati hidup dan bersama-sama menghadapi segala peristiwa dengan sikap sebagai sepasang pendekar yang selalu menentang kejahatan.

Pada hari itu, kebetulan sekali mereka yang hendak melakukan pejalanan pesiar ke kota Tai-goan, pada waktu melewati hutan itu timbul kegembiraan mereka untuk menangkap kelinci ketika mereka melihat beberapa ekor kelinci yang gemuk dan sehat.

"Lihat kelinci di sana itu!" Mula-mula Kim Hong berseru sambil menunjuk ke depan dan mereka melihat seekor kelinci putih yang muda dan gemuk muncul dari semak-semak.

"Gemuknya! Ihh, basah mulutku membayangkan dagingnya dipanggang. Tentu lezat dan sedaaappp...!" Thian Sin tertawa.

Mendengar suara tawa yang tak wajar itu, Kim Hong yang sudah menghentikan kudanya segera menengok lalu memandang wajah kekasihnya dengan sinar mata menyelidik dan menuntut. "Kenapa kau ketawa seperti itu? Mentertawakan aku?"

Thian Sin tertawa semakin geli. "Kim Hong, membayangkan dagingnya yang putih mulus dipanggang, menimbulkan selera seperti jika membayangkan tubuhmu... aihh, seperti ada persamaannya membayangkan antara kalian berdua..."

"Tarrrrr...!"

Pecut kuda di tangan Kim Hong meledak di dekat kepala kuda yang ditunggangi Thian Sin, membuat kuda itu meringkik kaget lantas mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Kalau bukan Pendekar Sadis yang berada pada punggungnya, tentu gerakan tiba-tiba ini akan membuat penunggangnya terlempar dari atas punggung kuda!

"Porno kau! Cabul kau!" Kim Hong memaki akan tetapi Tian Sin hanya tertawa. Mereka lalu berlomba untuk berburu kelinci.

"Yang dapat lebih dulu bagian makan, yang lain bagian membersihkan dan memanggang dagingnya!" kata Kim Hong. Akan tetapi sambil berkata demikian, kudanya telah meloncat ke depan dan dia pun segera mengejar seekor kelinci putih yang berlari-larian ketakutan setengah mati akibat dikejar kuda besar.

Thian Sin tertawa dan tidak mau kalah. Lalu dia pun membedal kudanya mengejar kelinci. Mereka berdua adalah orang-orang yang mempunyai kepandaian silat tinggi, malah dapat dinamakan orang-orang sakti, akan tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka kadang kala bersikap seperti kanak-kanak.

Namun mereka bersikap jujur sekali. Kalau mereka menghendaki, dengan sekali gerakan tangan saja, tentu mereka akan merobohkan seekor kelinci. Akan tetapi pikiran ini sama sekali jauh meninggalkan benak mereka yang sedang bergembira dan begurau itu sebab mereka kini sungguh-sungguh mempergunakan kelincahan kuda mereka untuk berburu kelinci dan berlomba secara wajar dan jujur, sama sekali tak berniat untuk menggunakan ilmu kepandaian mereka.

Justru di sinilah letak kegembiraannya. Menggunakan kelincahan kuda saja untuk berburu kelinci tanpa mengandalkan senjata atau pun kepandaian, sungguh bukan merupakan hal yang mudah. Kelinci-kelinci itu terlampau gesit untuk kuda yang bertubuh besar, lagi pula beberapa kali kelinci-kelinci itu menyelinap kemudian lenyap di dalam semak-semak atau lenyap di dalam lubang.

Mereka tertawa-tawa, berebut hendak menangkap kelinci sampai mereka tidak tahu ke mana kuda mereka menuju. Mendadak mereka mendengar suara anak menahan tangis. Keduanya terkejut, menghentikan kuda mereka dan melihat ke depan.

Di situ, seorang anak laki-laki sedang merangkul seorang anak perempuan dan berusaha mendekap mulut anak perempuan itu agar jangan menjerit atau terisak. Akan tetapi, dua pasang mata mereka itu menatap kepada dua orang penunggang kuda dengan terbelalak dan penuh rasa takut. Mereka itu adalah Cia Liong dan Cia Ling, dua orang anak yang melarikan diri dari dalam kereta yang dihadang oleh siluman itu.

Pada saat mereka tiba di situ dan mendengar suara dua orang penunggang kuda yang tertawa-tawa sambil mengejar-ngejar kelinci, kemudian melihat mereka muncul, dua orang anak itu menjadi ketakutan, mengira bahwa yang muncul itu tentulah orang-orang jahat pula. Cia Ling sudah hampir menjerit dan menangis, akan tetapi mulutnya didekap oleh kakaknya dan kini mereka berdiri terbelalak memandang kepada dua orang penunggang kuda itu dengan ketakutan.

Melihat dua orang anak kecil yang ketakutan di dalam hutan ini, dengan sekali melompat Kim Hong sudah berada di depan mereka. Loncatannya itu memang amat luar biasa dan akan membuat seorang ahli silat atau seorang ahli ginkang melongo dan kagum disertai ketakjuban. Tidak mudah meloncat dari atas punggung kuda seperti itu, tanpa membuat kuda itu terkejut, lantas di udara membuat pok-sai (salto) sampai dua kali dan tahu-tahu meluncur turun di dekat dua orang anak itu. Seperti seekor burung terbang saja.

Dan memang ini adalah salah satu di antara keistimewaan gadis itu, yakni ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang sangat hebat. Kim Hong sudah berjongkok di depan dua orang anak itu, tersenyum dan memandang manis agar mereka tidak menjadi ketakutan.

"Ehhh, siapakah kalian adik-adik kecil ini? Dan mengapa berdua saja di dalam hutan dan kelihatan ketakutan? Jangan takut kepadaku, aku akan menolong kalian!"

Dalam keadaan seperti itu, batin anak-anak kecil lebih peka dari pada orang tua. Cia Ling memandang wajah yang cantik itu, kemudian tiba-tiba merangkul dan menangis di atas pundak Kim Hong yang lalu memondongnya.

"Ceritakan, apa yang sudah terjadi? Kami akan menolongmu," kata Thian Sin yang juga sudah turun dari atas kudanya dan menghampiri dua orang anak itu.

Agaknya Cia Liong juga sudah bisa mempercayai kedua orang ini yang sama sekali tidak kelihatan seperti orang-orang jahat, "Ayah kami dibunuh siluman..."

"Apa...?!" Thian Sin terkejut sekali dan berseru keras, membuat Cia Liong terkejut.

Kim Hong mengerutkan alisnya dan merengut. "Kasarmu ini!" celanya dan dia pun segera mendekati anak laki-laki itu, "Mengapa ayahmu dibunuh siluman dan di mana? Ceritakan, jangan takut. Kami akan melawan siluman itu!" katanya.

"Ayah kami dibunuh malam tadi... dan ibu kami diculik siluman..."

"Ahhh...!" Kim Hong juga terkejut. "Dan bagaimana kalian bisa berada di sini?"

"Kami dibawa lari oleh paman Kwee Siu dengan naik kereta. Akan tetapi di tengah jalan... siluman... siluman itu menghadang dan sekarang sedang berkelahi dengan paman Kwee Siu... dan kami melarikan diri..."

"Di mana pamanmu itu sekarang?" Thian Sin bertanya.

"Di sana..." Cia Liong menuding ke belakang.

"Kim Hong, bawa mereka, aku akan ke sana!" Belum habis kata-katanya, orangnya sudah lenyap ketika Thian Sin melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap.

Kim Hong menuntun dua ekor kuda kemudian mendudukkan dua orang anak itu di atas punggung kuda, lalu dia pun menyusul ke arah larinya Thian Sin. Ketika Kim Hong tiba di tempat perkelahian itu, dia melihat Thian Sin sedang berjongkok di dekat sesosok tubuh yang nampaknya sudah menjadi mayat. Thian Sin sedang berusaha membuat orang yang belum tewas benar itu agar memperoleh kekuatan dengan jalan menotok sana-sini. Ia pun menurunkan dua orang anak itu dan cepat menghampiri.

"Paman Kwee..." Dan dua orang anak itu menangis.

Maka mengertilah Thian Sin dan Kim Hong bahwa korban ini adalah paman yang sudah melarikan dua orang anak itu, agaknya hendak menyelamatkan mereka dan melarikan diri dari bahaya, namun tetap saja bahaya maut itu datang menjemput.

Akhirnya usaha Thian Sin berhasil. Orang yang dadanya terluka oleh tusukan pedangnya sendiri dan pelipisnya retak karena pukulan itu mulai menggerakkan mata serta bibirnya, kemudian dia mengeluh panjang, lalu terdengar suaranya berbisik lemah,

"Si... siluman... goa... tengkorak... ahhhh... tewas semua... su... susiok..." Kwee Siu tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena lehernya terkulai dan nyawanya melayang.

"Paman...!" Dua orang anak itu yang dapat menduga apa yang telah terjadi, menangis.

Akan tetapi Kim Hong berhasil membujuk dan menghibur mereka, membawa mereka ke dalam kereta. Kemudian wanita perkasa ini membantu Thian Sin untuk mengubur jenazah Kwee Siu di dalam hutan itu.

Mereka berdua maklum bahwa di belakang semua ini tentu terdapat rahasia, dan mereka dapat merasakan bahaya maut mengancam dua orang anak itu. Oleh karena itulah maka mereka tidak mau ribut-ribut, melainkan dengan diam-diam mengubur jenazah Kwee Siu dan mengambil keputusan untuk menyelidiki urusan ini, dan selain menghukum penjahat-penjahatnya, juga berusaha menolong ibu anak-anak itu yang katanya diculik siluman. Apa lagi mereka mendengar pesan terakhir paman dua orang anak itu tentang Siluman Goa Tengkorak!

Mereka belum pernah mendengar nama ini, namun mudah diduga bahwa tentu penjahat-penjahat itulah yang memakai nama Siluman Goa Tengkorak. Sesudah selesai mengubur jenazah itu secara sederhana, mereka lantas menghampiri Cia Liong dan Cia Ling yang masih terisak-isak dan nampak bingung.

"Anak-anak, janganlah kalian khawatir. Kami akan mencari ibu kalian dan kami juga akan melindungi kalian. Sebaiknya sekarang ceritakan semuanya agar kami tahu ke mana kami harus mencari ibumu itu," kata Kim Hong dengan suara membujuk.

"Sebaiknya katakan dahulu, siapakah nama kalian dan siapa ayah kalian?" Thian Sin ikut bertanya sambil mengelus-elus rambut kepala Cia Ling. Cia Liong mengusap air matanya dengan punggung tangannya.

"Nama saya Cia Liong dan adik saya ini Cia Ling, ayah kami bernama Cia Kok Heng..."

"She Cia...?" Thian Sin membelalak dan di dalam hatinya timbul perasaan mesra terhadap mereka.

Hal ini tidak mengherankan. Nama keturunan Cia merupakan nama keturunan yang amat dekat dalam hatinya. Orang-orang she Cia dari keluarga Cia, yaitu keluarga Cia Sin Liong Pendekar Lembah Naga merupakan orang-orang yang paling dicintainya di dalam dunia semenjak dia masih kecil.

Oleh karena itu, begitu mendengar bahwa dua orang anak ini pun she Cia, maka timbul perasaan mesra terhadap mereka, walau pun dia tahu bahwa belum tentu persamaan she itu menunjukkan bahwa mereka berdua masih keluarga dekat dengan Pendekar Lembah Naga. Apa yang dirasakan oleh Pendekar Sadis Ceng Thian Sin ini juga dirasakan oleh kebanyakan dari kita.

Hal ini timbul karena pengembangan dari si aku. Pementingan diri atau perhatian yang dipusatkan terhadap si aku inilah yang menimbulkan rasa suka tidak suka. Si aku tidak hanya terbatas pada pribadi belaka, melainkan dapat berkembang dan meluas menjadi keluargaku, milikku, sahabatku, golonganku, bangsaku, agamaku dan sebagainya. Jadi, sesungguhnya si akulah yang dipentingkan atau apa pun juga yang menguntungkan atau merugikan aku.

Kedua orang anak kecil itu pun sudah mempunyai arti yang lain bagi Thian Sin begitu dia mengetahui bahwa mereka itu bermarga Cia! Tentu sikap dan perlakuannya akan jauh berbeda andai kata mereka itu tidak bermarga Cia.

Di sini telah timbul penilaian yang membedakan, timbul pilih kasih, timbul ketidak adilan. Dan segala seuatu yang bersumber kepada pementingan si aku, baik aku sebagai diri pribadi mau pun aku yang telah berkembang, sudah pasti menimbulkan konflik dengan akunya orang lain pula.

Biar pun dia sendiri tidak mengetahui dengan jelas duduk persoalannya, namun Cia Liong bisa menceritakan dengan cukup jelas. Bahwa ayahnya menerima ancaman gambar dari Siluman Goa Tengkorak di dinding luar rumah mereka, kemudian ayahnya dan lima orang sahabat ayahnya tewas akibat penyerbuan siluman itu. Betapa kemudian mereka dibawa lari oleh Kwee Siu akan tetapi di dalam hutan itu dihadang oleh siluman.

"Jadi tadi malam ibumu diculik penjahat?" tanya Kim Hong sambil mengerutkan alisnya.

Sayang, anak ini tidak tahu mengapa penjahat yang disebut Siluman Goa Tengkorak itu melakukan perbuatan yang demikian kejamnya. Kim Hong tidak tahu apakah dia sedang menghadapi peristiwa kejahatan biasa ataukah ada sebab-sebab permusuhan di antara si penjahat dan orang tua anak-anak ini.

"Ibu dan kami dibawa terbang oleh siluman ke atas genteng, dan kami berdua kemudian dilempar ke bawah, untunglah ada paman-paman yang menyelamatkan kami. Akan tetapi ibu dilarikan entah ke mana," kata Cia Liong. Anak ini pun menceritakan bahwa ayahnya dan enam orang paman itu adalah Tujuh Pendekar Tai-goan.

"Kim Hong, sekarang kita harus membagi tugas. Kau bawalah mereka ini pergi dari sini, sebaiknya kau titipkan kepada keluarga yang boleh dipercaya di luar kota Tai-goan saja. Aku sendiri akan mencoba untuk mencari jejak penjahat itu, siapa tahu dia belum pergi jauh."

Kim Hong mengangguk. "Baik, aku akan memakai kereta ini. Lalu di manakah kita akan bertemu dan kapan?"

"Lewat tengah hari di tempat ini. Kita saling menanti sampai sore."

Kim Hong mengangguk. Dua orang yang tadinya bersenda gurau seperti kanak-kanak itu kini sama sekali sudah merubah sikap. Mereka bicara singkat, bersungguh-sungguh dan agaknya hanya dengan gerak-gerik serta pandang mata saja, mereka telah mampu untuk saling mengerti.

Memang, dua orang yang saling mencinta ini selain perasaan cinta kasih yang mendalam satu sama lain, juga mempunyai pengertian yang mendalam pula, yang membuat mereka dapat bekerja sama dengan baik dan kadang-kadang bahkan mereka merasa seolah-olah mereka terdiri dari dua badan namun satu perasaan.

Kim Hong segera mengikat kudanya di belakang kereta, kemudian membawa dua orang anak itu pergi meninggalkan hutan dan menuju ke kota Tai-goan dengan maksud hendak mencari dusun di luar kota untuk memilih keluarga yang hendak dititipi dua orang anak itu untuk sementara.

Sedangkan Thian Sin juga segera meloncat ke atas punggung kudanya dan mencari-cari jejak di sekeliling tempat itu. Kadang-kadang dia meloncat dari atas kudanya, memeriksa tanah dan rumput sehingga akhirnya dia menemukan jejak kaki, yaitu ujung sepatu yang menginjak tanah dan meninggalkan bekas atau jejak yang ringan sekali.

Dia tahu bahwa pemakai sepatu itu adalah seorang yang mempunyai ginkang yang amat tinggi, walau pun tidak sehebat ginkang yang dikuasai oleh Kim Hong, namun cukup jelas menyatakan bahwa orang ini merupakan lawan yang tangguh. Maka dia pun berhati-hati dan mulai mengikuti jejak itu.

Sementara itu, Kim Hong sudah berhasil menemukan keluarga yang dianggapnya cukup dapat dipercaya untuk dititipi dua orang anak itu. Keluarga petani itu sendiri mempunyai seorang anak kecil berusia lima tahun dan di dusun itu dia dianggap sebagai orang yang dihormati karena dia cukup pandai menulis dan terkenal sebagai orang yang jujur. Kim Hong memberinya uang, bahkan menyerahkan kereta berikut kudanya kepada petani itu dan menitipkan dua orang anak she Cia untuk selama beberapa pekan lamanya.

"Jaga mereka baik-baik dan jangan biarkan mereka bermain-main terlalu jauh, sebaiknya bermain di dalam rumah saja. Sesudah urusanku ini selesai, aku akan datang menjemput mereka," katanya dan kepada dua orang anak itu, Kim Hong berpesan agar mereka itu menutup mulut dan jangan menceritakan kepada siapa juga tentang urusan mereka. "Aku akan mencari ibu kalian sampai dapat." demikian dia menjanjikan. Tentu saja dua orang anak itu merasa girang dan terhibur.

********************