Siluman Goa Tengkorak Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MENANTI merupakan pekerjaan yang paling mengesalkan hati dan juga melelahkan. Waktu rasanya berhenti berjalan atau berjalan juga dengan merayap perlahan seperti gerak maju seekor siput. Apa lagi kalau di balik penantian itu terdapat urusan yang menggelisahkan hati seperti halnya Kim Hong ketika dia menanti kedatangan Thian Sin di dalam hutan, di tempat yang telah dijanjikan tadi.

Kim Hong membiarkan kudanya makan rumput dan dia sendiri duduk di atas batu besar di pinggir jalan. Kadang-kadang pandang matanya ditujukan ke arah gundukan tanah yang menjadi kuburan Kwee Siu, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan. Berada seorang diri di dekat kuburan baru itu menimbulkan rasa kesepian yang mencekam, menimbulkan bayangan pikiran yang bukan-bukan.

Orang yang dikubur itu adalah seorang pendekar, yang agaknya tewas dalam tugasnya sebagai seorang pendekar, dalam usahanya hendak menyelamatkan dua orang anak itu. Begitukah saat-saat terakhir seorang pendekar? Tewas di tempat sunyi, tanpa ada yang mengetahui, malah mungkin juga orang she Kwee ini meninggalkan keluarga yang masih belum tahu akan kematiannya. Betapa menyedihkan! Akan seperti itu jugakah nasibnya? Nasib Thian Sin? Betapa menyedihkan.

Mendadak gadis itu menepuk mati seekor semut yang merayap dan menggigit punggung tangannya. Ahh, mengapa tiba-tiba dia menjadi selemah itu? Kalau perlu, boleh saja mati seperti yang dialami oleh orang she Kwee itu!

Kematian tak akan mungkin dapat dihindarkan oleh siapa pun juga, soal kapan waktunya merupakan rahasia yang tidak terpecahkan dari manusia. Dan mati seperti yang dialami oleh orang she Kwee ini cukup terhormat! Mati sebagai seorang pendekar yang sedang melaksanakan tugasnya sebagai pendekar, yaitu menolong orang lain, melindungi yang lemah tertindas dan menentang yang kuat menindas. Kalah atau menang dengan akibat mati atau hidup hanyalah akibat dari pada perjuangan dan bukankah hidup ini perjuangan juga? Bukankah kematian mengelilingi kita setiap saat?

Bukan kematian yang penting untuk direnungkan, melainkan cara dari kematian itu. Mati dalam kebenaran, mati sebagai seorang pendekar perkasa penentang kejahatan seperti yang dialami orang she Kwee itu adalah kematian yang patut dibanggakan dan dikagumi orang. Kematian itu sendiri bukanlah soal, melainkan suatu kewajaran. Akan tetapi dalam keadaan bagaimana seseorang mati, itulah yang paling penting.

Andai kata yang menanti datangnya Thian Sin di tempat seperti itu bukan seorang wanita seperti Kim Hong, tentu hati wanita itu sudah menjadi kesal bukan main dan tentu akan marah-marah pada orang yang dinanti-nantinya. Akan tetapi Kim Hong bukanlah seorang wanita cengeng. Sama sekali bukan, bahkan sebaliknya dari pada itu dia adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa yang biasa menggunakan akal budinya dan sama sekali tidak menuruti perasaannya dalam menghadapi urusan penting dan gawat.

Maka, biar pun dia telah menanti sampai matahari condong ke barat dan Thian Sin belum juga muncul, dia sama sekali tak pernah mempunyai perasaan menyalahkan pemuda itu. Kepercayaannya terhadap Thian Sin sudah penuh dan tidak dapat diragukan lagi seperti juga kepercayaan pemuda itu terhadap dirinya. Dia merasa yakin bahwa kalau Thian Sin belum muncul, hal itu hanya berarti bahwa pemuda itu memang belum sempat datang, dan ini berarti bahwa kekasihnya itu telah menemukan sesuatu dalam penyelidikannya!

Dan, meski pun kecil sekali kemungkinannya karena dia tahu dan mengenal benar orang macam apa adanya Thian Sin, mungkin saja terjadi bahwa kekasihnya itu mendapatkan halangan! Hal inilah yang dipikirkannya dan setelah hari mulai gelap, kekhawatiran mulai menyelubungi hatinya. Satu-satunya jalan baginya hanya menyelidiki dan menyusul! Akan tetapi, menyelidiki jejak kaki kuda yang ditunggangi Thian Sin tidak mungkin dilakukan di malam hari, maka tidak ada jalan baginya kecuali menanti sampai terlewatnya malam itu.

Malam yang tidak menyedapkan hati! Malam sunyi sepi, di dekat kuburan baru, menanti kedatangan orang yang tidak kunjung muncul. Untunglah masih ada kudanya, setidaknya merupakan makhluk yang membuktikan adanya kehidupan yang dapat bergerak.

Kim Hong membuat api unggun, mencoba untuk tidur akan tetapi bayangan tentang Thian Sin tertimpa bencana menggoda pikirannya sehingga harapan satu-satunya hanyalah agar malam itu cepat berlalu dan dia dapat segera mulai menyusul kekasihnya. Malam seperti itu tentu menjadi malam yang sangat menyeramkan dan menakutkan bagi orang lain, apa lagi bagi seorang wanita yang berada di tempat sunyi seorang diri saja.

Orang mudah dihinggapi rasa takut di tempat sunyi, apa lagi di malam hari yang sangat gelap seperti itu, lebih-lebih pula kalau di sana terdapat sebuah kuburan yang baru siang tadi diisi jenazah yang mandi darah, pula kalau diketahui bahwa ada musuh yang sangat tangguh dan berbahaya yang mungkin saja mengancam diri. Namun, seorang pendekar seperti Toan Kim Hong sudah dapat mengatasi rasa takut ini.

Seperti para pendekar lainnya, dara ini sudah maklum apa yang menimbulkan rasa takut, maka dia pun dapat meniadakan sebab timbulnya rasa takut ini. Setiap orang, biar yang tidak memiliki ilmu silat seperti Kim Hong, tidak mempunyai andalan untuk melindungi diri sebaiknya, bisa saja menjadi orang yang memiliki ketabahan dan ketenangan hati seperti Kim Hong! Yang perlu diselidiki adalah rasa takut itu sendiri.

Apakah rasa takut itu? Dan dari mana timbulnya? Rasa takut tidak terpisah dari pada batin, karena rasa takut adalah keadaan batin itu sendiri pada saat itu. Rasa takut timbul karena ingatan membayangkan sesuatu yang akan amat tidak menyenangkan diri. Rasa takut tak pernah terpisahkan dari bayangan yang diciptakan oleh pikiran yang sering kali mengingat-ingat hal-hal yang lalu dan membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi pada masa depan.

Rasa takut sudah pasti merupakan pengintaian atau penjengukan ke masa depan yang dibayangkan itu, atau rasa takut itu tentu takut akan sesuatu yang tidak ada atau belum ada! Yang takut akan setan belum pernah melihat setan itu sendiri, rasa takutnya timbul akibat pikiran membayangkan kemungkinan munculnya setan.

Demikian pula yang takut dengan bencana tentu belum tertimpa bencana itu, yang takut akan kematian tentu karena hal yang ditakutkan itu belum ada maka timbul bayangan-bayangan yang mengerikan. Orang yang tidak membayangkan setan tidak mungkin takut akan setan, yang tak pernah membayangkan kematian tak mungkin takut kematian dan sebagainya. Hal ini merupakan kenyatan yang dapat kita selidiki sendiri.

Maka jelaslah bahwa rasa takut merupakan bayangan pikiran kita yang dipengaruhi oleh pengalaman di masa lalu, baik itu pengalaman sendiri mau pun pengalaman orang lain, kemudian pikiran menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang tak menguntungkan diri. Lantas timbullah rasa takut. Dan rasa takut ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagi hidup. Malah rasa takut ini membuat kita kehilangan kewaspadaan, segala tindakan kita terpengaruh olehnya.

Biasanya kita menghadapi rasa takut sebagai sesuatu yang terpisah dari batin kita. Kita ingin menghindari rasa takut, maka muncullah hiburan-hiburan untuk melupakan hal-hal yang mendatangkan rasa takut itu. Akan tetapi hal ini hanyalah merupakan pelarian yang sia-sia belaka.

Rasa takut akan setan umpamanya, tidak mungkin bisa lenyap hanya dengan melarikan diri dari rasa takut, dengan jalan menghiburnya, mencari kawan, pergi ke tempat-tempat ramai dan sebagainya. Lain waktu rasa takut itu akan muncul lagi setiap kali pikiran kita membayangkan tentang kengerian-kengerian bertemu setan.

Mengapa tidak kita hadapi saja rasa takut itu? Kita amati saja kalau sewaktu-waktu rasa takut itu muncul dan ini merupakan sesuatu yang teramat menarik dan teramat berharga untuk diselami dan dihayati sendiri. Kalau rasa takut muncul, baik rasa takut akan setan, rasa takut akan bencana, mala petaka, mau pun rasa takut akan kematian, kenapa kita tidak menghadapi rasa takut itu saja tanpa ingin melarikan diri darinya?

Hadapi saja, amati saja penuh perhatian sehingga kita bisa melihat dengan sepenuhnya, dapat mengerti sepenuhnya, apa sesungguhnya rasa takut itu sehingga bukan kita yang menghindarkan diri dari rasa takut melainkan rasa takut itu sendiri yang lenyap dari lubuk hati kita? Kenapa kita tidak membebaskan diri dari rasa takut yang dapat menimbulkan berbagai macam akibat dalam sikap dan tindakan dalam hidup kita?


Semalam suntuk Kim Hong hanya duduk bersila di dekat api unggun, tak pernah bergerak seperti patung. Hanya kadang-kadang saja kalau harus menambah kayu bakar, maka dia bergerak sebentar kemudian duduk lagi.

Suara api membakar kayu menimbulkan bunyi yang menarik perhatiannya sehingga tidak mendengar suara lain dan tidak tahu bahwa ada sosok tubuh orang menyelinap di antara pohon-pohon di sekelilingnya dan sejak tadi ada sepasang mata mengintainya. Ketika itu malam sudah hampir habis dan fajar mulai menyingsing di ufuk timur.

Akan tetapi karena nyamuk masih belum meninggalkan tempat yang masih gelap itu, Kim Hong masih terus menyalakan api unggun sambil duduk dengan tenangnya. Hatinya mulai gembira melihat bahwa di sebelah timur telah mulai nampak sinar kemerahan.

Ringkik kudanya yang mula-mula membuat gadis ini waspada. Dia segera mencurahkan perhatiannya ke sekeliling sehingga pandangan matanya yang tajam itu bisa menangkap berkelebatnya bayangan di balik pohon di sebelah kirinya. Kudanya mendengus-dengus dan Kim Hong mengambil sikap tenang, pura-pura tidak tahu bahwa waktu itu ada orang yang mengintainya. Mengapa orang itu mengintai saja dan tidak turun tangan sejak tadi, pikirnya.

Apakah kemunculan orang ini ada hubungannya dengan penjahat yang menculik ibu dua orang anak itu? Ataukah ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin? Apa bila orang itu adalah si penjahat yang suka menculik wanita, mungkin sekali dia mengintaiku untuk kemudian turun tangan menangkap dan menculikku. Akan tetapi kalau ternyata ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin, kalau ternyata orang itu sudah tahu akan kelihaian Thian Sin, mungkin sekali dia pun berhati-hati terhadapnya. Sungguh tidak enak hanya menunggu sambil menduga-duga seperti ini. Lebih baik memberi kesempatan dan memancing supaya orang itu bergerak turun tangan.

Kini api unggun mulai padam, sengaja dibiarkan saja oleh Kim Hong dan dalam duduknya, dara itu nampak melenggut. Kemudian dia membiarkan dirinya diserang hawa dingin pagi, menggigil sedikit lalu menguap, menutupkan punggung tangan di depan mulut, kemudian merebahkan dirinya bersandar pada batang pohon dan tidur.

Sikap serta gerakannya demikian wajar sehingga siapa pun juga tentu akan menyangka bahwa gadis ini merasa kedinginan dan mengantuk lantas dengan mudahnya jatuh pulas ketika merebahkan diri dan bersandar pada batang pohon itu. Dan agaknya, orang yang mengintainya dari balik batang pohon itu pun menduga demikian.

Dia membiarkan sampai gadis itu tertidur selama setengah jam, barulah dengan gerakan kaki yang sangat ringan dia keluar dari balik pohon dan menghampiri. Sejenak dia berdiri memandang wajah dan tubuh yang terlentang di hadapannya itu dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar kagum.

Memang, melihat Kim Hong rebah terlentang setengah duduk bersandar batang pohon di pagi hari itu merupakan pemandangan yang indah menarik. Hati siapa tak akan tergerak melihat tubuh yang padat serta matang itu setengah terlentang, dan melihat wajah yang luar biasa cantiknya itu, sedikit tertutup uraian rambut, dengan mata terpejam dilindungi bulu mata yang lentik, bibirnya kemerahan mengulum senyum, lehernya yang panjang itu nampak terbuka sehingga kulit leher putih mulus itu menantang pandang mata?

Ada pun Kim Hong sejak tadi sudah melihat orang itu dan jantungnya berdebar tegang. Orang itu adalah seorang laki-laki yang memakai sutera putih dan pada dadanya terdapat lukisan tengkorak dari tinta merah atau pun darah, dan muka orang itu memakai topeng tengkorak pula! Sungguh mengerikan dan tentu akan menakutkan orang melihat siluman ini muncul di pagi hari buta dan di tempat sunyi seperti itu.

Akan tetapi di dalam hatinya Kim Hong merasa geli, namun juga marah. Inikah orangnya yang telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan, dan sudah menculik ibu dua orang anak itu? Apakah dia ini berhasil menghindarkan diri dari pencarian Thian Sin, kemudian malah datang ke sini untuk menculiknya?

Orang bertopeng itu agaknya sudah puas memandang Kim Hong. Dia pun mengangguk-angguk, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dari dalam saku bajunya. Dia melangkah dekat, lalu kertas dari dalam itu dibukanya dan begitu dia mengebutkan kertas itu, bubukan berwarna merah berhamburan ke arah muka Kim Hong! Akan tetapi, pada saat itu Kim Hong sudah bergerak dengan sangat cepatnya, meloncat dan menggunakan kakinya untuk menendang.

"Wuuuttt...! Dukkk!" Tubuh orang bertopeng itu terpelanting dan terlempar ke belakang.

Tentu saja siluman itu terkejut setengah mati. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa dara yang cantik jelita itu, yang nampak tidur pulas, tahu-tahu dapat mengirim tendangan yang demikian cepat dan hebatnya. Dia tadi masih dapat menangkis, akan tetapi karena kurang cepat dan kurang mengerahkan tenaga, maka tendangan yang luar biasa kuatnya itu membuat tubuhnya terpelanting bahkan terlempar ke belakang.

Akan tetapi, begitu tubuhnya terbanting, cepat orang itu sudah mampu meloncat bangun kembali! Dan dia menjadi semakin heran melihat betapa gadis itu tidak terpengaruh oleh bubuk obat biusnya! Padahal bubuk obat bius merah itu amat kuat dan sukar dilawan oleh orang yang pandai sekali pun. Dia tadi tidak melihat betapa dengan sehelai sapu tangan, Kim Hong mengebut bubuk merah itu dengan pengerahan sinkang sehingga bubuk merah itu tertiup pergi dan tidak ada yang mengenai mukanya.

Karena kecelik, siluman itu agaknya merasa penasaran sekali. Dia segera mengeluarkan gerengan marah dan tiba-tiba saja tubuhnya telah meluncur ke depan dan dia pun sudah menyerang Kim Hong dengan dahsyat. Tangan kanannya meraih ke arah leher bagaikan hendak mencengkeram, ada pun jari tangan kirinya meluncur dan menotok ke arah jalan darah di pundak. Totokan ke arah pundak inilah yang bahaya karena selain tertutup? oleh cengkeraman tangan kanan, juga yang diarah itu jalan darah yang penting dan yang akan membuat orang yang kena ditotoknya menjadi lemas tak akan mampu bergerak lagi!

Akan tetapi, tentu saja serangan semacam itu bukan apa-apa bagi Kim Hong. Gadis ini sudah dapat mengukur dalam tendangannya tadi bahwa biar pun siluman ini mempunyai kepandaian lumayan yang lebih dari pada penjahat-penjahat biasa dan mempunyai tubuh yang kuat, namun bukan merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya.

Oleh karena itu Kim Hong menjadi marah. Dia ingin mempermainkan lawan, hendak lebih dulu menghajarnya, baru kemudian dia akan melucuti kedoknya dan akan memaksanya mengaku tentang peran Siluman Goa Tengkorak dan ibu anak-anak yang telah diculiknya itu.

Maka, begitu serangan itu datang, dia cepat menyambutnya dengan mudah sekali. Tanpa mengerahkan banyak tenaga dan kecepatan, dia telah dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu. Ia sengaja tidak mau membalas dan membiarkan siluman itu menyerangnya secara bertubi-tubi untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaian lawan.

Setelah dia membiarkan lawannya menyerangnya sampai belasan jurus, dia pun mengerti bahwa lawan ini memiliki dasar ilmu silat campuran dan tidak dapat digolongkan sebagai seorang ahli yang sudah matang. Karena itu dia pun ingin menghentikan perkelahian itu dan pada waktu orang itu kembali menyerangnya dengan tangan kanan mencengkeram ke arah dada, serangan yang sungguh tidak tahu malu dari seorang lawan pria terhadap seorang wanita, Kim Hong sudah menyelinap ke samping dan begitu kakinya melayang, dia telah menendang perut orang itu dengan keras.

"Desss...!"

Tubuh orang itu melayang untuk kedua kalinya, sekali ini melayang jauh lantas terbanting jatuh dekat dengan kuda tunggangan Kim Hong yang menjadi kaget dan meringkik.

Tendangan tadi amat keras dan biar pun Kim Hong tidak bermaksud membunuhnya, atau belum lagi, akan tetapi tendangan itu cukup kuat untuk membuat orang itu memuntahkan darah segar dari mulutnya. Akan tetapi orang itu memang memiliki tubuh yang kuat dan tahan uji, karena begitu terbanting jatuh, dengan mulut mengeluarkan darah, dia langsung meloncat dan tahu-tahu dia sudah berada di atas punggung kuda tunggangan Kim Hong. Kuda itu pun dibedalkannya dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu.

"Hei, badut keparat! Hendak lari ke mana engkau?" Kim Hong terkejut dan marah sekali, lalu menggerakkan kedua kakinya mengejar.

Dara ini adalah seorang ahli ginkang, maka gerakannya luar biasa cepatnya, larinya tidak kalah oleh larinya kuda. Akan tetapi karena siluman itu tampaknya jeri sekali dan tak mau tersusul, maka kuda itu dibalapkannya dan dipukulinya dengan tangan terbuka sehingga kuda itu berlari sangat cepat. Kim Hong terus mengejar, bukan saja hendak menangkap si penjahat melainkan juga untuk mendapatkan kembali kudanya.

Sekarang kuda itu meninggalkan jalan dan memasuki hutan. Kim Hong tetap mengejarnya sampai si penunggang kuda itu tiba di tepi jurang, jurang yang menganga lebar dan amat dalam, selebar kurang lebih empat tombak. Dan Kim Hong melihat siluman itu terus saja membedalkan kudanya, bahkan hendak membawa kudanya meloncati jurang!

"Heiii, jangan...!" Kim Hong berteriak karena dari jauh saja dia sudah dapat melihat bahwa perbuatan itu merupakan tindakan nekat dan mempertaruhkan nyawa dengan sia-sia.

Jurang itu terlalu lebar untuk dapat diloncati oleh kudanya. Kuda itu kini terbang di atas jurang dan dengan mata terbelalak Kim Hong berhenti dan memandang, melihat betapa kaki depan kuda itu memang telah mencapai tepi jurang di seberang, akan tetapi karena sebagian besar badannya yang belakang belum sampai, maka kuda itu terjengkang dan bersama dengan penunggangnya meluncur jatuh ke dalam jurang yang amat dalam itu!

Kim Hong mengepal tinju sambil lari ke tepi jurang, menjenguk ke bawah dan dia melihat betapa kuda serta penunggangnya terbanting-banting ke lereng bukit yang berbatu-batu, kemudian berhenti dan tidak bergerak-gerak lagi.

"Keparat!" Kim Hong mendesis.

Dia merasa kecewa dan menyesal sekali mengapa tidak sejak tadi dia merobohkan saja orang itu agar dapat dikorek keterangan darinya. Sekarang, bukan saja penjahat itu telah mati dan tidak ada gunanya lagi, juga kudanya ikut mati. Terpaksa dia kembali ke tempat tadi dan mulailah dia mencari jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin kemarin siang.

Tentu saja tidaklah mudah untuk mencari jejak kuda yang sudah lewat sehari semalam. Rumput yang diinjak kuda sudah berdiri lagi dan menutupi jejak pada tanah. Tapi untung baginya, tanah di hutan itu lembab sehingga hal ini membuat jejak kaki kuda itu menjadi agak tahan lama.

Dengan hati-hati dia mencari, menemukan jejak kaki kuda itu lantas mengikutinya dengan jalan kaki. Dia harus menemukan Thian Sin. Dia tak percaya bahwa riwayat Siluman Goa Tongkorak akan habis begitu saja bersama jatuhnya orang tadi dengan kudanya ke dalam jurang. Kalau siluman atau penjahat itu hanya seorang yang kepandaiannya semacam itu, maka tak mungkin orang-orang yang telah dijuluki Tujuh Pendekar Tai-goan begitu mudah dibunuhnya.

Apa lagi, tak mungkin bila Thian Sin sampai tak mampu menemukannya setelah pemuda itu mencari selama sehari semalam. Tentu ada apa-apa di balik semua ini, ada kekuatan yang jauh lebih hebat dari pada sekedar penjahat bertopeng tengkorak tadi.

Tanpa setahu Kim Hong, jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin itu membawanya kepada daerah Goa Tongkorak! Dia tidak menyadari hal ini karena memang dia belum mengenal daerah itu. Belum ada kesempatan baginya dan juga bagi Thian Sin untuk menyelidiki keadaan Siluman Goa Tengkorak yang baru pertama kali mereka dengar dari mulut Kwee Siu ketika pendekar itu dalam keadaan sekarat, lalu peristiwa demi peristiwa terjadi susul menyusul demikian cepatnya.

Mula-mula pertemuan mereka dengan dua orang anak-anak yang menuturkan bahwa ayah dan paman-paman mereka terbunuh siluman dan bahwa ibu mereka terculik. Kemudian pertemuan mereka dengan Kwee Siu yang menghadapi maut. Lalu menghilangnya Thian Sin yang mengikuti jejak siluman dan tak kunjung kembali ke dalam hutan seperti yang sudah mereka janjikan. Kemudian muncul siluman yang mencoba untuk membiusnya, yang berakhir dengan kematian mengerikan bagi siluman itu sebelum Kim Hong sempat membuka rahasianya. Semua itu terjadi hanya dalam waktu semalam saja dan kini dia telah mengikuti jejak kekasihnya.

Melihat keadaan yang sangat liar dan sunyi dari tempat ke mana jejak itu membawanya, Kim Hong mulai merasa khawatir. Agaknya dia dibawa ke tempat yang berbahaya, karena makin lama tempat itu semakin sunyi. Tak nampak ada seorang pun manusia dan ketika jejak itu tiba di tepi Sungai Fen-ho yang berbatu-batu karang, jejak itu pun lenyap.

Tentu Thian Sin melanjutkannya dengan jalan kaki, pikirnya. Jalan itu mendaki tebing dan sangat sukar dilewati manusia, apa lagi kuda. Kim Hong tidak melanjutkan perjalanannya. Dia meragu, sebab tidak tahu ke mana dia harus melanjutkan perjalanan. Yang berada di depannya itu merupakan jalan pendakian ke sebuah tebing yang curam dan dia tidak tahu ada apa di balik tebing atau di sebelah atas itu. Dia juga tidak tahu ke mana Thian Sin melanjutkan perjalanannya dan tidak dapat menduga pula apa yang telah terjadi sesudah kekasihnya itu tiba di tempat ini.

Tiba-tiba, ketika dia memeriksa keadaan sekeliling dan melihat-lihat, di atas bukit kecil pada sebelah kiri terlihat sebuah bangunan kuil kecil kuno yang berdiri terpencil. Agaknya sebuah kuil yang tidak dipergunakan lagi, dan mungkin saja untuk tempat tinggal seorang pertapa, namun bukan tidak mungkin tempat terpencil itu menjadi tempat persembunyian penjahat!

Timbul semangatnya karena dia berpendapat bahwa jika Thian Sin sudah tiba di sini dan melihat kuil itu, tentu kekasihnya itu juga akan mengunjungi serta memeriksa tempat itu sebagai langkah pertama dalam penyelidikan mengenai Siluman Goa Tengkorak itu. Kim Hong lalu mulai mendaki tebing yang amat sukar itu. Akan tetapi karena dia mempunyai ginkang yang amat hebat, dia pun dapat mendaki tempat itu dengan cepat dan tidak lama kemudian, tanpa banyak kesukaran dia sudah tiba di pekarangan kuil kuno.

Namun pekarangan itu nampak bersih dan ada bekas sapuan di situ. Hal ini menandakan bahwa tempat itu berpenghuni! Siapa tahu penghuninya adalah penjahat yang kini sedang dicari-carinya. Pikiran ini membuat Kim Hong bersikap hati-hati, maka dia pun menyelinap dan menghampiri kuil kuno itu dari belakang. Ketika dia melihat seekor kuda ditambatkan di bagian belakang dari kuil itu, jantungnya segera berdebar tegang dan girang.

Dia mengenal kuda itu, kuda tunggangan Thian Sin! Dihampirinya kuda itu dan ditepuk-tepuknya punggung kuda itu. Kuda itu pun mengenal Kim Hong, lantas membelai tangan dara itu dengan mukanya. Ah, kalau saja kuda ini mampu bicara, tentu banyak yang bisa diceritakannya dan dia tidak perlu bingung-bingung mencari tahu apa yang sudah terjadi dengan Thian Sin sehingga pemuda itu tidak kembali ke hutan.

"Hei, siapa yang berani mencoba mencuri kuda?"

Kim Hong terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya yang menegurnya itu adalah seorang lelaki berusia enam puluhan tahun, mengenakan pakaian seperti seorang tosu, tubuhnya kurus serta kedua pipinya cekung sehingga tanpa kedok tengkorak sekali pun muka itu sudah hampir mendekati bentuk tengkorak.

Namun kakek itu jelas seorang tosu, bukan seorang penjahat yang memakai jubah putih bergambar tengkorak, tidak pula memakai kedok. Akan tetapi Kim Hong bermaksud ingin mengejutkan hati pendeta itu dengan pertanyaan yang tiba-tiba datangnya.

"Totiang, ke mana perginya pemilik kuda ini?"

Tosu itu berjalan menghampiri dan sejenak menatap Kim Hong penuh perhatian. "Pemilik kuda ini? Ahhh, apakah nona yang menjadi sahabatnya dan yang malam tadi menunggu dia di dalam hutan?"

Kim Hong mengangguk lantas memandang tajam. "Totiang, ke mana perginya sahabatku itu? Mengapa dia tidak kembali ke hutan?"

"Ahh, pinto telah menanti-nantimu, nona. Pinto merasa khawatir sekali akan nasib kongcu itu..."

"Ada apakah, totiang? Harap suka cepat ceritakan!" Kim Hong tertarik sekali namun juga merasa khawatir.

"Kemarin siang kongcu yang menjadi temanmu itu datang ke sini dan menitipkan kudanya ini. Kemarin dia menanyakan jalan menuju ke Goa Tengkorak." Dia berhenti sebentar dan memandang jauh ke depan dengan sinar mata kosong namun mengandung rasa takut.

"Lanjutkanlah, totiang," Kim Hong mendesak tak sabar.

"Pinto sudah memperingatkan bahwa tempat itu bukan merupakan tempat pesiar namun tempat berbahaya sekali yang tidak pernah dikunjungi orang. Akan tetapi dia membujuk pinto sehingga akhirnya pinto mengantarnya ke daerah itu. Ketika kami tiba di sana, pinto sudah mengajaknya untuk segera pulang saja, akan tetapi kongcu itu memaksa hendak memasuki sebuah goa besar di sana. Pinto segera memperingatkan dan mencegahnya, akan tetapi kongcu itu nekat memaksa, bahkan meninggalkan pesan kepada pinto bahwa dia mempunyai seorang teman wanita yang sedang menanti di dalam hutan, dan apa bila pinto berjumpa dengan nona supaya pinto memberi tahukan semuanya. Nah, pinto tidak berhasil membujuknya dan dia pun memasuki goa. Pinto menunggu di luar goa sampai malam dan dia belum juga keluar. Terpaksa pinto pulang sendirian..."

Kim Hong mengerutkan alisnya. "Apakah totiang tidak menyusul dan memanggilnya?"

Tosu itu nampak terkejut. "Ahh, nona belum tahu rupanya. Tempat itu amat keramat dan juga berbahaya. Apa bila pinto tahu bahwa kongcu itu hendak memasuki goa, tentu pinto tidak berani dan tidak mau mengantarnya. Goa-goa itu merupakan goa-goa keramat yang tak pernah didatangi manusia dan kabarnya siapa yang berani masuk goa tak akan dapat keluar kembali. Maka pinto tidak berani memasukinya untuk menyusul kongcu."

"Hemmm, apakah totiang pernah mendengar tentang Siluman Goa Tengkorak? Di situkah sarangnya?"

Tosu itu menggelengkan kepala. "Pinto hanya tahu bahwa tempat seperti itu sudah pasti menjadi sarang para siluman dan iblis. Ah, pinto khawatir sekali kalau-kalau kongcu telah mengalami hal-hal yang tidak baik dan tertimpa mala petaka di dalam goa itu..."

"Totiang, kalau begitu tolong antar saya ke tempat itu!" Kim Hong yang merasa khawatir sekali itu mendesaknya.

"Apa...?! Nona... nona hendak menyusul ke sana?"

"Benar, akan saya susul dia ke dalam goa! Habis, kalau tidak ada yang berani memasuki goa menyusulnya, bagaimana dapat menemukannya?"

"Tapi itu berbahaya sekali, nona! Pinto tidak berani!"

"Totiang tidak usah masuk, biarlah aku sendiri yang masuk!" kata Kim Hong agak jengkel karena melihat pendeta itu ketakutan, padahal dari gerak-gerik pendeta ini dapat diduga bahwa pendeta ini bukanlah orang sembarangan, bukan orang yang lemah.

"Tapi itu pun berbahaya sekali, nona. Lihat, kongcu masuk ke dalam goa dan tidak keluar lagi. Kalau sekarang nona juga masuk ke sana dan terjadi apa-apa, bukankah pinto yang menerima dosanya? Sebaiknya kalau nona minta bantuan susiok..."

"Susiok? Siapa dia?"

"Pinto mempunyai seorang susiok (paman guru) yang pandai melihat hal-hal jauh, pandai melihat hal-hal yang telah lampau. Susiok tentu akan dapat membantu kita memberi tahu bagaimana keadaan kongcu sekarang dan di mana dia berada."

Kim Hong tidak mau percaya segala macam ketahyulan dan segala macam ilmu ramalan ini. Yang terpenting dia harus turun tangan mencari dan kalau perlu menolong Thian Sin. Tentu telah terjadi sesuatu dengan pemuda itu.

"Tidak, totiang, aku ingin mencarinya sendiri. Mari totiang tunjukkan di mana tempatnya. Totiang tidak usah mencampuri, aku akan mencarinya sendiri."

Kakek itu menarik napas panjang dan setelah menggeleng-gelengkan kepalanya dia pun berkata, "Siancai... orang-orang muda sekarang sungguh mempunyai hati yang keras dan berani. Selama ini pinto hidup tenteram di sini, akan tetapi kini pinto melihat orang-orang muda seperti kongcu dan nona berani menempuh bahaya. Sungguh membuat hati pinto berduka dan penasaran. Marilah, nona, pinto antarkan ke daerah Goa Tengkorak."

Berangkatlah mereka dan ternyata jalan yang mereka lalui sekarang jauh lebih sukar dari pada jalan menuju ke kuil kuno yang dilalui Kim Hong seorang diri tadi. Dan di sini dara perkasa itu mendapatkan kenyataan bahwa dugaannya memang benar, tosu itu bukanlah seorang lemah karena dapat berjalan melalui jalan yang sukar, terjal dan licin, dan untuk dapat melalui jalan seperti ini membutuhkan ginkang yang lumayan. Karena itu, di tengah perjalanan mendaki tebing dia pun tidak dapat menahan keinginan tahunya.

"Kulihat totiang bukan seorang lemah dan juga memiliki ilmu kepandaian, kenapa totiang begitu ketakutan terhadap Goa Tengkorak? Ada apanya sih di sana?"

Pendeta itu berhenti kemudian berpegangan pada batu karang yang menonjol. "Aih, apa sih artinya kepandaian manusia kalau harus berhadapan dengan para siluman?"

Lalu dia berjalan lagi dan kali ini dia bergerak lebih cepat, agaknya hendak meninggalkan Kim Hong atau menurut persangkaan dara itu, si tosu ini sengaja hendak memperlihatkan kepandaian atau sengaja hendak mencoba dan mengujinya.....

Tentu saja Kim Hong menganggap perjalanan itu mudah saja dan kalau dia mau, dia bisa bergerak cepat, jauh lebih cepat dari pada si tosu. Akan tetapi dia tak mau memamerkan kepandaian maka dia hanya bergerak mengikuti tosu itu saja. Akhirnya, tibalah mereka di daerah berbatu-batu, di hadapan mereka terbentang dinding batu karang yang tinggi dan penuh dengan goa-goa yang bentuknya menyeramkan, karena banyak di antara goa goa itu yang bentuknya mirip seperti tengkorak manusia.

"Inikah Goa Tengkorak...?" Kim Hong bertanya, seperti kepada diri sendiri ketika melihat kakek itu berhenti bergerak kemudian memandang ke arah dinding karang yang tinggi dan panjang itu.

Memang tempat itu sangat sunyi dan kering kerontang, tempat yang terpencil dan sukar sekali didatangi. Tempat yang sangat patut menjadi tempat sembunyi sebangsa siluman atau setidaknya para penjahat besar yang hendak menghindarkan diri dari pengejaran.

"Lalu di goa yang manakah temanku itu masuk?"

"Di goa yang sana itu, nona. Tapi... tapi nona jangan masuk... ahhh, sungguh berbahaya sekali, nona."

"Bagaimana totiang tahu bahwa masuk ke sana berbahaya?" Kim Hong bertanya secara tiba-tiba sambil menatap tajam wajah kakek itu.

"Bukankah kongcu masuk ke sana dan tidak keluar lagi? Bagaimana kalau nona juga tak keluar lagi?"

"Sudahlah, lebih baik totiang kembali saja dan biarkan aku sendiri mencari temanku. Jadi, di goa itu masuknya?"

"Benar, nona. Dan pinto akan menanti di sini..."

Kim Hong sudah berloncatan menuju ke goa yang ditunjukkan oleh kakek itu. Sebuah goa yang bentuknya seperti tengkorak dan kelihatan hitam gelap karena cahaya matahari tak dapat memasukinya. Ia bersikap waspada, mengerahkan sinkang-nya dan memasuki goa itu dengan seluruh urat syaraf tubuhnya siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Di tempat seperti ini mungkin saja dipasangi alat-alat rahasia dan jebakan-jebakan, pikirnya.

Akan tetapi kkhawatirannya itu tak terbukti. Di dalam goa itu tidak ditemukan sesuatu pun juga. Goa yang lebar dan dalam akan tetapi kosong, dan penyelidikannya terbentur pada dinding-dinding batu goa itu. Tidak terdapat terowongan atau pintu rahasia, tidak terdapat jebakan-jebakan dan di situ dia tidak menemukan jejak Thian Sin.

Dengan kecewa dia pun keluar lagi dan ternyata tosu itu masih menunggu di tempat yang tadi. Melihat dia muncul kembali, tosu itu cepat menghampiri.

"Siancai... siancai... sungguh gembira sekali hati pinto melihat nona sudah keluar dalam keadaan selamat!"

"Totiang, benarkah temanku itu masuk ke dalam goa ini?"

"Benar, nona."

"Namun tidak kutemukan apa-apa di dalamnya. Goa biasa dan tidak ada jalan tembusan. Bagaimana mungkin temanku itu lenyap begitu saja di dalamnya?"

"Aih, nona, di tempat seperti ini, apakah yang tak mungkin? Siapa tahu akan rahasianya. Pinto rasa, yang dapat membantu dan menerangkan kepada nona hanyalah susiok pinto itu seorang. Kalau nona mau, mari pinto antarkan nona ke sana menjumpainya."

Hati Kim Hong mulai tertarik. Apa bila dia harus mencari sendiri tanpa adanya jejak sama sekali, mana mungkin? Tempat ini penuh dengan goa-goa dan daerah ini berbatu-batu, sedikit pun tidak kelihatan jejak Thian Sin. Pemuda itu lenyap secara aneh di dalam goa yang biasa saja. Ataukah kakek ini yang berbohong padanya? Dan kakek ini menjanjikan bantuan lewat seorang susiok-nya yang pandai ilmu sihir. Hemm, sungguh mencurigakan, dan menarik sekali.

Ada dua kemungkinan yang menguntungkan baginya. Pertama, siapa tahu kalau-kalau paman guru dari pendeta ini benar-benar sakti dan dapat memberi tahu di mana adanya Thian Sin. Ke dua, andai kata pendeta ini berbohong, tentu ada sebabnya dan tentu ada hubungannya dengan lenyapnya Thin Sin.

Agaknya inilah satu-satunya jejak yang harus ditelusurinya dan dihadapinya, sungguh pun bukan tidak mungkin kalau dia akan menghadapi bahaya. Untuk menolong Thian Sin, dia sanggup menghadapi bahaya yang bagaimana pun juga besarnya.

"Baiklah, totiang. Tentu saja aku mau memperoleh segala macam bentuk bantuan untuk dapat menemukan sahabatku itu. Akan tetapi aku belum mengenal totiang dan susiok dari totiang itu..."

"Nama pinto Siok Cin Cu dan sudah bertahun-tahun pinto bertapa di kuil itu, hidup aman tenteram sampai munculnya kongcu dan nona. Ada pun susiok pinto itu adalah seorang pertapa tua yang tidak lagi mau dikenal namanya, namun tentu saja nona boleh mencoba untuk bertanya kepada beliau kalau berhadapan sendiri. Beliau tidak lagi mau berurusan dengan orang luar, akan tetapi kalau pinto yang membawa nona menghadap, tentu beliau akan mau menolong nona. Hanya susiok sajalah yang akan dapat mengetahui di mana adanya teman nona itu. Marilah, nona."

Kim Hong mengikutinya dan secara diam-diam dia berpikir. Mengapa tosu ini tidak pernah menanyakan namanya atau nama Thian Sin? Sikap ini memperlihatkan sikap tidak peduli, akan tetapi pada lain pihak, kakek ini mau bersusah payah mengantar mereka ke goa dan sekarang sedang berusaha untuk menolong dengan membawanya kepada susiok-nya. Ini menunjukkan sikap yang sangat peduli.

Dan bila mana ada sikap yang amat bertentangan ini, tentu ada apa-apanya! Atau tosu ini memang orang aneh sekali atau memang bermain sandiwara. Maka sebaiknya kalau dia pun ikut saja bermain sandiwara agar dapat melihat apa yang sedang terjadi di balik layar.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Gubuk kecil itu berada di atas bukit di balik dinding batu karang. Letaknya mengingatkan Kim Hong kepada kuil tempat tinggal Siok Cin Cu, yaitu di puncak bukit dari mana dapat nampak pemandangan di bawah, sampai ke permukaan Sungai Fen-ho dengan jelasnya. Sebuah tempat penjagaan yang amat baik, seperti juga di kuil itu, pikir Kim Hong. Mereka tiba di depan gubuk kecil panjang itu menjelang sore.

"Harap nona menunggu sebentar di luar, pinto hendak menghadap dan membujuk susiok agar suka menerima nona."

Kim Hong mengangguk. Akan tetapi pada waktu tosu itu memasuki pintu depan pondok, dia segera mempergunakan ginkang-nya untuk menyelinap mendekati pondok kemudian memasukinya dari belakang.

Pondok itu kecil namun panjang. Ketika dia mendengar suara orang bercakap-cakap dari ruangan dalam, dia cepat mengintai dari balik jendela. Ia melihat sebuah ruangan panjang yang gelap, dan Siok Cin Cu telah berada di situ, berlutut di atas lantai di depan seorang pendeta lain yang duduk di tempat yang gelap, hanya nampak bentuk tubuhnya saja yang jangkung dan sepasang matanya yang seperti mencorong di dalam gelap.

Pendeta itu, yang dapat dikenal dari pakaiannya yang bentuknya seperti jubah kebesaran, duduk bersila di atas bantalan bundar, tidak bergerak seperti patung yang menyeramkan karena matanya seperti mata harimau, atau seperti mata setan.

"Susiok, harap susiok memaafkan teecu yang lancang datang menghadap. Teecu sedang mengantarkan seorang nona yang menghadapi kegelisahan besar karena dia kehilangan seorang sahabatnya. Teecu mohon kerelaan hati susiok untuk bisa memberikan petunjuk kepadanya."

"Siancai... siancai...! Orang-orang muda yang ceroboh, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri untuk mencampuri urusan orang lain. Sungguh berani sekali mereka itu menentang siluman-siluman Goa Tengkorak... siancai...! Akan tetapi karena engkau sudah mengajak nona itu ke sini, Siok Cin Cu, biarlah akan kucoba menolongnya. Suruh dia masuk."

Setelah melibat dan mendengar ini, cepat Kim Hong meloncat keluar lagi dan jantungnya berdebar heran. Bagaimana kakek itu langsung dapat mengetahui bahwa dia dan Thian Sin menentang siluman-siluman Goa Tengkorak? Melihat sikap Siok Cin Cu pada waktu menghadap tadi, maka keraguannya bahwa pendeta itu menipunya mulai berkurang dan dia pun mulai percaya bahwa susiok dari pendeta itu boleh jadi memang mempunyai ilmu kepandaian yang luar biasa.

Ketika tosu itu muncul, Kim Hong berlagak seperti sedang melihat-lihat keadaan di bawah bukit. Dia mendapat kenyataan bahwa dari bukit itu, seperti juga dari kuil si tosu, bagian bawah dari daerah Goa Siluman dapat nampak sehingga setiap ada orang yang mendaki menuju ke tempat itu, tentu dapat terlihat dari kedua tempat ini.

"Nona, sungguh beruntung sekali. Susiok mau menerimamu. Mari, nona, silakan masuk."

Kim Hong mengangguk lantas mengikuti tosu itu masuk ke dalam pintu depan dan begitu masuk, dia melihat betapa di sebelah dalam rumah itu gelap sekali karena semua jendela tertutup. Hanya ada sedikit cahaya yang menerobos masuk melewati celah-celah dinding, membuat cuaca di dalam ruangan dalam rumah itu remang-remang.

"Silakan, nona," bisik Siok Cin Cu yang memberi isyarat kepada dara itu untuk maju ketika mereka tiba di ruangan yang tadi diintai oleh Kim Hong. Kim Hong masih tetap bersikap waspada.

Memang sudah semestinya seorang pendekar tidak pernah meninggalkan kecurigaan dan kewaspadaannya, begitulah pelajaran yang sejak dahulu ditekankan di dalam hatinya oleh orang tuanya. Maka, biar pun dia mulai percaya kepada Siok Cin Cu yang dianggapnya tidak mempunyai iktikad buruk, tetap saja dara perkasa ini bersikap waspada dan selalu siap menghadapi bahaya dari mana pun juga datangnya. Dia memandang kepada sosok tubuh yang duduk bersila di sudut ruangan, lalu menjura kepada sosok tubuh itu.

"Ahhh, selamat datang, nona. Silakan duduk dan maafkan, di sini pinto tidak memiliki kursi dan meja, maka terpaksa kita duduk di atas lantai saja. Silakan." Sosok tubuh itu berkata tanpa bergerak.

"Terima kasih, locianpwe," jawab Kim Hong yang segera duduk bersimpuh di atas lantai.

Dia lalu menggunakan tangannya menekan lantai sambil mengerahkan sinkang-nya untuk melihat apakah lantai itu asli ataukah ada rahasianya dan merupakan perangkap. Namun hatinya terasa lega ketika mendapatkan kenyataan bahwa lantai itu merupakan lantai batu yang tidak mongandung sesuatu yang mencurigakan.

"Sekarang katakan, apakah yang dapat pinto lakukan untuk membantumu, nona?"

Diam-diam Kim Hong memuji kakek itu. Biar pun dia tidak dapat melihat dengan jelas, dia dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang pria yang sudah tua, apa lagi bukankah pria ini merupakan paman guru dari tosu Siok Cin Cu? Betapa pun juga, kakek ini tidak sombong, biar pun sudah jelas tahu apa yang menjadi kesulitannya, akan tetapi kakek itu masih bertanya dan tidak mendahuluinya menyombongkan pengetahuannya.

"Locianpwe, saya mencari seorang sahabat saya yang hilang setelah dia memasuki salah sebuah goa dan saya tak dapat menemukan jejaknya lagi. Mohon pertolongan locianpwe untuk memberi petunjuk di mana adanya sahabat saya itu."

Hening sejenak dan Kim Hong mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan jawaban dari sosok tubuh yang masih bersila tanpa tergerak itu. Akhirnya, setelah menunggu agak lama, kakek itu menjawab.

"Hemm, bukankah temanmu itu seorang pemuda perkasa dan berdarah bangsawan tinggi, she-nya Ceng?"

Diam-diam Kim Hong terkejut. Ternyata orang ini benar-benar hebat!

"Dan engkau sendiri juga berdarah bangsawan tinggi she Toan, bukan?"

Kim Hong makin terkejut dan makin tertarik. "Benar, locianpwe," jawabnya dan kini dia mulai percaya bahwa dia memang berhadapan dengan seorang tua yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bahkan dia mulai memelihara harapan bahwa kakek ini benar-benar akan dapat menolongnya dan dapat memberi tahu di mana adanya Thian Sin.

"Kalau begitu, engkau pandanglah ke sini, nona. Lihatlah baik-baik dan apakah yang bisa nampak olehmu?"

Kim Hong mengangkat mukanya memandang. Matanya terbelalak melihat sebuah wajah yang remang-remang, akan tetapi di atas kepala itu nampak sebuah sinar laksana lampu yang amat terang dan menyilaukan mata.

"Engkau merasa silau, nona? Jika silau, pejamkanlah matamu sejenak. Nah... begitulah, pejamkan matamu dan terasa amat nikmat bukan? Nikmat untuk tidur. Kini engkau mulai mengantuk, karena itu tidurlah, nona. Di sini aman, dan aku akan melindungimu, tidurlah, nona, tidurlah dengan nyenyak."

Kim Hong tadinya tidak tahu bahwa dia sudah terseret oleh kekuatan yang luar biasa dan begitu dia menuruti permintaan suara itu tadi untuk memandang dan menjadi silau melihat sinar menyilaukan, dia seakan-akan telah membiarkan semangatnya dikuasai orang yang memiliki ilmu sihir!

Ketika suara itu dengan lembutnya menyuruhnya memejamkan mata, maka otomatis dia pun memejamkan matanya, dan ketika mendengar suara menyuruhnya tidur, dia seperti tidak sanggup lagi menahan rasa kantuknya yang membuat matanya berat dan tak dapat dibukanya lagi. Ia ingin tidur, sungguh ingin sekali untuk tidur dan betapa nikmatnya kalau dapat tidur pulas pada saat itu!

Akan tetapi, Kim Hong bukanlah seorang dara biasa. Selain memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan tenaga sinkang amat kuat, juga dia sudah hidup berdua bersama Ceng Thian Sin selama beberapa tahun ini sehingga dalam percakapan mereka kadang-kadang Ceng Thian Sin membuka rahasia tentang kekuatan sihir. Walau pun dia tidak mempelajari ilmu itu, akan tetapi dia sudah mulai mengerti akan seluk-beluknya.

Karena itu, ketika kekuatan sihir dari kakek itu mulai mempengaruhi serta membelenggu dirinya, dia terkejut dan teringat lalu mengerahkan sinkang-nya untuk memberontak! Kim Hong berhasil meronta, bahkan lalu meloncat berdiri. Akan tetapi, saat dia masih sedang bersitegang melepaskan diri dari keadaan tidak sadar itu, tiba-tiba ada sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua pundak Kim Hong telah ditotok orang.

Dara perkasa ini baru dalam keadaan setengah sadar, masih terpengaruh oleh kekuatan sihir, maka biar pun nalurinya yang amat kuat itu membuat dia berusaha mengelak, tetapi tetap saja totokan pada pundak kirinya mengenai sasaran dan tubuhnya yang sebelah kiri seketika menjadi kehilangan tenaga seperti lumpuh.

Pada saat itu pula dia langsung diringkus lantas kaki tangannya dibelenggu, kemudian jari tangan yang kuat menekan pundak kanannya dan habislah kekuatannya. Dia tertotok dan tidak mampu bergerak lagi!

"Bagus!" katanya sambil menekan kemarahannya. "Ternyata engkau adalah Siluman Goa Tengkorak!"

Akan tetapi yang menjawabnya hanya suara ketawa saja. Tanpa dapat melawannya, Kim Hong melihat dirinya dimasukkan ke dalam sebuah karung hitam kemudian dia dipondong orang dan dibawa pergi dari situ. Ia tahu bahwa yang memondongnya bukan Siok Cin Cu, karena orang ini memiliki ginkang yang jauh lebih lihai dari pada tosu itu.

Kim Hong tidak tahu ke mana dirinya dibawa. Dari dalam karung hitam itu dia tidak dapat melihat sesuatu dan dia hanya merasa dibawa naik turun dengan cepat. Sesudah lewat waktu cukup lama, akhirnya dia dikeluarkan dari dalam karung dan dilemparkan ke dalam sebuah kamar, di atas dipan, dalam keadaan tertotok dan terbelenggu kaki tangannya!

Ternyata kamar itu hanya sebuah kamar yang tidak begitu besar, dari tembok tebal dan pintunya dari besi, ada lubang-lubang angin di bawah dan di atas. Sebuah kamar tahanan yang sangat kuat. Pintu itu sudah dikunci, akan tetapi dari jeruji yang terdapat di bagian atas pintu besi, dia dapat melihat ada orang di luar pintu. Seorang laki-laki yang berjubah sutera putih, dengan gambar tengkorak darah di dadanya dan mukanya tertutup topeng tengkorak!

Tentu saja Kim Hong merasa ngeri. Bukankah siluman itu sudah tewas bersama kudanya di dasar jurang? Akan tetapi dia segera dapat menenangkan dirinya dan mengertilah dia bahwa Siluman Goa Tengkorak bukan hanya terdiri dari seorang penjahat saja.

Hari sudah menjadi malam dan kamar itu hanya menerima cahaya lampu yang berada di luar kamar, melewati lubang-lubang angin dan jeruji pintu besi. Kim Hong mengumpulkan kekuatannya dan menjelang tengah hari dia pun berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan.

Setelah pengaruh totokan itu punah, dengan pengerahan sinkang dia dapat mematahkan belenggu di kaki tangannya. Akan tetapi, baru saja dia bangkit dan hendak mencari jalan keluar, terdengar suara mendesis-desis dan dia melihat asap putih menyembur-nyembur masuk dari lubang-lubang angin.

Begitu mencium asap ini maka tahulah dia bahwa asap itu adalah asap yang mengandung racun bius! Maka dia pun cepat-cepat bertiarap di atas lantai, akan tetapi tindakannya ini hanya memperpanjang sedikit waktu saja karena akhirnya dia terpaksa menyedot asap itu dan jatuh pingsan.

Malam telah larut ketika Kim Hong siuman kembali. Kamar telah bersih dari asap, tapi dia merasakan kepalanya agak pening. Kaki tangannya telah terbelenggu kembali, malah kini tubuhnya sudah diletakkan orang di atas dipan. Terdengar suara di pintu dan ketika dia menengok, dia melihat ada orang bertopeng tengkorak di luar pintu.

"Nona, jika sekali lagi engkau melepaskan belenggu dan mencoba lari, hukumannya tentu lebih berat. Asap bius itu tidak mungkin nona lawan. Sebaiknya nona menyerah saja dan kami akan memperlakukan nona dengan baik-baik." Sesudah berkata demikian, orang itu meninggalkan pintu.

Kim Hong maklum bahwa dia terjatuh ke dalam tangan gerombolan yang lihai sekali dan dia pun tahu bahwa pada saat itu dia tidak berdaya sehingga tak mungkin meloloskan diri dengan kekerasan. Asap pembius yang sewaktu-waktu bisa masuk melalui lubang-lubang angin itu memang tak mungkin dapat dilawan dan dihindarkan, dan biar pun tidak nampak adanya penjaga, dia tahu bahwa ada penjaga-penjaga bersembunyi dan selalu mengamati gerak-geriknya.

Celaka, pikirnya. Tentu Thian Sin juga sudah tertawan oleh mereka. Tenang, dia mencela diri sendiri. Tenang! Hanya ketenangan batin sajalah satu-satunya hal yang mungkin akan dapat menolongnya dan juga menolong Thian Sin. Maka dia pun lalu memejamkan mata untuk tidur agar kekuatannya dapat pulih kembali.

********************

Ke manakah perginya Ceng Thian Sin? Apa yang dikhawatirkan oleh Kim Hong memang benar. Pemuda itu pasti akan kembali ke dalam hutan seperti yang sudah dijanjikannya kepada Kim Hong kalau tidak ada hal yang membuatnya tidak mungkin melakukan hal itu.

Seperti yang telah kita ketahui, setelah bertemu dengan Cia Liong dan Cia Ling kemudian mendengar pesan terakhir dari Kwee Siu, setelah mengubur jenazah pendekar itu, Thian Sin lantas membagi tugas dengan kekasihnya. Dia menyuruh Kim Hong menyelamatkan dua orang anak itu dan menitipkannya kepada orang di tempat yang aman, kemudian dia sendiri lalu mencari jejak siluman yang telah membunuh Kwee Siu.

Jejak itu membawanya ke daerah Goa Tengkorak. Akan tetapi setelah tiba di kaki bukit di mana terdapat tebing Goa Tengkorak, seperti juga Kim Hong, dia melihat kuil kuno itu dan hatinya tentu saja tertarik sekali. Dia sendiri belum tahu di mana adanya Goa Tengkorak, tidak tahu bahwa daerah goa itu terdapat di atas tebing, maka dia pun lalu turun dari atas punggung kudanya dan menuntun kuda itu mendaki bukit menuju ke kuil yang berdiri di puncak bukit.

Ketika tiba di depan kuil, dia melihat seorang tosu sedang menyapu pelataran depan kuil itu. Tosu itu berhenti menyapu dan menyambut kedatangan pemuda itu dengan pandang mata heran.

"Maaf totiang apa bila saya mengganggu ketenteraman tempat ini," kata Thian Sin sambil menjura dengan hormat.

Tosu itu cepat membalas dengan anggukan dan kedua tangan dirangkap di depan dada. "Siancai... siancai...! Sungguh merupakan hal yang sangat mengherankan melihat tempat ini kedatangan tamu seperti kongcu!" jawab tosu itu yang bukan lain adalah tosu yang kemudian mengaku bernama Siok Cin Cu pada Kim Hong. "Bagaimanakah kongcu dapat tiba di tempat yang terasing ini dan apakah gerangan keperluan kongcu bersusah payah mendaki tempat ini?"

"Maaf, totiang. Saya hendak mohon petunjuk totiang tentang tempat yang dinamakan Goa Tengkorak. Saya sedang mencari tempat itu."

Tosu itu tidak menunjukkan perubahan pada wajahnya, tetapi pandang matanya bersinar dan tentu saja sedikit hal ini tidak terlewat dari ketajaman pandang mata Thian Sin.

"Goa Tengkorak...?"

"Benar, apakah totiang mengetahui tempat itu?"

Kakek itu mengangguk kemudian memandang pada wajah pemuda itu dengan ragu-ragu. "Tapi... ada keperluan apakah kongcu datang ke tempat seperti itu?"

"Tempat seperti itu? Apakah yang totiang maksudkan? Ada apakah dengan tempat itu?" Thian Sin balas bertanya.

Tosu itu nampak bingung oleh serangan kata-kata Thian Sin ini, lalu menggeleng kepala. "Tidak apa-apa, hanya... selama bertahun-tahun ini belum pernah pinto melihat ada orang mencari tempat itu, maka pinto merasa terkejut dan heran ketika tiba-tiba kongcu muncul dan mencari tempat itu."

Jawaban yang teratur sekali, pikir Thian Sin. Menghadapi tosu yang sangat pintar ini tidak ada gunanya berputar lidah, maka dia pun segera berkata, "Sesungguhnya saya hendak menyelidiki Goa Tengkorak dan hendak mencari Siluman Goa Tengkorak, totiang."

Sekarang tosu itu nampak terkejut dan agaknya dia tidak menyembunyikan rasa kagetnya mendengar disebutnya Siluman Goa Tengkorak. Akan tetapi tosu itu menentang pandang mata Thian Sin yang tajam penuh selidik itu, lalu menarik napas panjang.

"Siancai... jangan-jangan kongcu mengira bahwa pintolah orangnya yang terkenal dengan sebutan Siluman Goa Tengkorak!"

Diam-diam Thian Sin kagum dengan kecerdikan orang ini dan dia semakin waspada. Dia tersenyum ramah lantas berkata, "Baru saja aku mendengar nama itu, totiang, tentu saja aku tak berani menuduh dan menduga sembarangan. Dan karena totiang juga mengenal nama itu, maka aku ingin mohon petunjuk totiang di mana kiranya aku bisa menemukan siluman itu. Di mana dia tinggal? Apakah di Goa Tengkorak dan di mana letak goa itu?"

Kakek itu kembali menghela napas. "Siapakah yang tidak mendengar namanya, kongcu? Akan tetapi siapa pula yang tahu di mana tempat tinggalnya? Baru kurang lebih sebulan lamanya, pasukan keamanan bersama banyak pendekar telah datang ke sini dan mereka mencari di daerah tebing Goa Tengkorak akan tetapi tak berhasil menemukan apa-apa."

Thian Sin mengangguk-angguk. "Ahh, jadi nama itu sudah terkenal sekali dan dicari oleh pasukan keamanan dan para pendekar, totiang?"

Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin begitu. Pinto sendiri yang selamanya bertapa di sini tidak tahu menahu akan hal itu. Baru sesudah pasukan itu mencari di daerah ini pinto tahu bahwa semenjak dua tiga bulan ini nama itu dikenal orang. Akan tetapi apakah benar dia berada di sini, tak seorang pun yang tahu. Maka, pinto rasa akan percuma saja kalau kongcu mencarinya, dan pula, amat berbahaya, kongcu."

Thian Sin memandang tajam. "Kenapa berbahaya, totiang?"

"Pinto sudah mendengar berita dari anggota pasukan itu bahwa orang ini amat lihai, ilmu kepandaiannya bagaikan dewa... dan goa-goa itu merupakan tempat berbahaya, kabarnya keramat dan siapa berani memasukinya takkan dapat keluar lagi."

"Aku tidak takut, totiang. Harap totiang suka menunjukkan di mana tempatnya dan kalau memang benar Siluman Goa Tengkorak berada di situ, totiang tidak usah turut campur, biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya."

Kakek itu memandang kepada Thian Sin mulai dari kepala sampai ke kaki, kemudian dia mengangguk-angguk. "Ahhh, kiranya kongcu adalah seorang pendekar muda yang gagah berani. Baiklah kalau begitu, mari pinto antar sampai ke tempatnya. Tetapi tidak mungkin membawa kuda mendaki tempat itu dan setelah tiba di sana, pinto akan segera kembali."

"Terima kasih, totiang," Thian Sin berkata girang dan tosu itu menyuruh dia menambatkan kuda di belakang kuil.

Maka berangkatlah mereka mendaki tebing yang curam itu dan akhirnya Thian Sin berdiri memandang dinding batu karang yang penuh dengan goa yang menyeramkan, goa-goa yang sebagian besar berbentuk tengkorak manusia. Tempat yang sangat sunyi dan tidak ada tanda-tanda bahwa di tempat itu ada manusianya.

"Goa-goa itu telah diperiksa oleh pasukan akan tetapi tidak ada hasilnya," tosu itu berkata dengan suara datar dan terdengar dingin.

"Lalu kenapa mereka mengejar dan mencari ke tempat ini, totiang?"

"Itulah, mungkin karena desas-desus bahwa orang yang sedang mereka cari itu kelihatan memasuki goa itu," kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah sebuah goa, nomor tiga dari kiri yang bentuknya juga mirip tengkorak.

"Nomor tiga dari kiri itu?"

"Betul. Nah, sudahlah, kini pinto terpaksa harus meninggalkan kongcu seorang diri di sini. Ataukah kongcu sudah berbalik pikir dan hendak ikut turun kembali bersama pinto?"

Thian Sin memaksa tersenyum. "Kalau totiang mengira bahwa aku menjadi jeri atau takut sesudah mendengar cerita totiang atau sesudah melihat tempat ini, totiang sudah salah duga. Tidak, aku akan mencari Siluman Goa Tengkorak dan aku yakin pasti akan dapat menemukan dia di sini kalau memang benar di sini tempat tinggalnya." Pemuda perkasa itu melihat betapa pandangan tosu itu bersinar seperti orang tersinggung, akan tetapi tosu itu segera menundukkan mukanya.

"Siancai...! semoga kongcu tidak menemui halangan apa pun." Dan tosu itu pun kemudian membalikkan tubuhnya dan turun kembali dari atas tebing.

Setelah tosu itu lenyap di tikungan tebing yang curam itu, Thian Sin lalu berloncatan cepat sekali menghampiri goa-goa di sebelah kiri. Dia memeriksa goa-goa itu, dari goa pertama sampai lima buah goa banyaknya hingga mendapatkan kenyataan bahwa goa ke tiga itu memang yang terbesar dan dalam.

Dia lalu memasuki goa ke tiga ini, sebuah goa yang dalamnya tidak kurang dari dua puluh meter dan lebarnya ada empat meter. Goa ini merupakan ruangan yang cukup luas akan tetapi tentu saja tidak enak apa bila dijadikan tempat tinggal karena lantainya terbuat dari batu-batu yang tidak rata dan bahkan makin ke dalam makin menurun, merupakan lereng dan juga tajam-tajam seperti batu karang di lautan.

Dengan amat waspada dan hati-hati sekali, Thian Sin lalu memeriksa goa ini. Dipandang sepintas lalu saja, tidak mungkin ada yang bersembunyi di sini, karena walau pun goa itu merupakan tempat yang terasing akan tetapi sungguh sangat tidak enak untuk dijadikan tempat tinggal.

Akan tetapi Thian Sin terus memeriksa ruang yang gelap itu dan tiba-tiba dia menemukan sebuah terowongan di sudut kanan, tempat yang paling gelap. Kalau tidak mendekat dan meraba, sulit untuk menemukan terowongan ini. Dia tidak segera masuk, melainkan lebih dahulu memeriksa dengan seksama. Kalau memang tempat ini pernah diperiksa pasukan, tidak mungkin kalau pasukan tidak menemukan terowongan ini.

Ketika dia memeriksa dengan meraba-raba bagian ambang pintu terowongan, jantungnya berdebar meraba papan besi di balik batu yang agaknya tadinya menutup terowongan itu. Jelaslah bahwa terowongan ini merupakan pintu rahasia yang belum lama dibuka orang.

Jika pintu itu dikembalikan ke tempatnya, maka pintu itu akan lenyap dan dinding di sudut itu akan lenyap pula, ada pun dinding di balik batu itu ada terowongannya. Dan tentu saja, sedikit pun tidak akan ada orang yang menduga karena pintu itu nampaknya menjadi satu dengan dinding goa. Penemuan yang kebetulan saja? Ataukah umpan jebakan?

Apa pun juga, inikah jalan satu-satunya, pikir Thian Sin dan aku akan mencari siluman itu sampai dapat! Sesudah mengambil keputusan ini, dengan tabah Thian Sin lalu memasuki terowongan yang gelap itu.

Terowongan itu ternyata cukup besar biar pun dia harus memasukinya dengan tubuh agak membungkuk. Akan tetapi ternyata lantainya lebih rata dari pada lantai di ruangan depan goa itu. Hal ini mendatangkan dugaan bahwa tempat ini memang sengaja dibuat orang.

Ketika dia melangkah maju dengan hati-hati di tempat yang remang-remang dan semakin gelap itu, kurang lebih dua puluh langkah, tiba-tiba terdengar suara keras di belakangnya! Thian Sin cepat membalikkan tubuhnya dan siap siaga menghadapi serangan, akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada dirinya. Suara keras itu diikuti kegelapan yang menelan dirinya, maka tahulah Thian Sin bahwa ada alat rahasia yang sudah menggerakkan batu yang kini menutup lubang terowongan!

Dia menahan senyum dan tidak mau memperlihatkan kepanikan dengan kembali ke mulut terowongan lalu mencoba membuka pintu itu. Tidak, biar pun dia telah terjebak, dia harus terus ke dalam dan menghadapi bahaya apa pun juga! Maka dengan sikap tenang sekali Thian Sin melanjutkan perjalanannya, melalui jalan terowongan yang gelap itu dan melaju terus. Dia mencurahkan seluruh panca inderanya, bersiap untuk menghadapi kalau-kalau ada bahaya serangan dari sekelilingnya.

Lantai terowongan itu tetap rata, bahkan kalau turun ada anak tangganya yang terpasang rapi. Terowongan itu berbelak-belok dan menurut perhitungan Thian Sin, jarak yang telah ditempuhnya semenjak dia memasuki terowongan tidak kurang dari satu li! Akan tetapi dia pun maklum bahwa tempat itu masih berada di dalam daerah Goa Tengkorak, karena biar pun jauh, terowongan itu berlika-liku.

Dengan merentangkan kedua lengannya, dia bisa mengukur lebar sempitnya terowongan itu, juga tinggi rendahnya langit-langit karena dia harus selalu menjaga supaya kepalanya jangan sampai terbentur batu karang yang bergantungan di langit-langit. Ketika dia tiba di sebuah ruangan persegi empat, dia berhenti, lalu meraba-raba dengan kedua tangannya karena dia merasa bahwa dia berada di tempat yang lebih lebar dan luas. Dan tiba-tiba terdengar suara seperti besi bertemu dengan batu.

Karena keadaan masih gelap, Thian Sin tidak berani sembarangan bergerak, melainkan berdiri dan siap siaga untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada dirinya, tidak ada serangan yang datang sungguh pun dia tadi merasakan ada sambaran angin dari benda-benda yang bergerak sangat cepat dan kuat. Dan suara hiruk-pikuk tadi pun sudah berhenti lagi.

Thian Sin menduga bahwa tentu telah terjadi pergerakan yang merupakan jebakan seperti pada waktu pintu batu terowongan tadi menutup. Dengan hati-hati kakinya meraba-raba ke depan, demikian pula jari tangan kirinya sedangkan tangan kanannya siap siaga untuk menangkis atau menyerang. Kaki serta tangan kirinya itu segera menemukan kenyataan bahwa kini dirinya telah terkurung! Kanan dan kirinya adalah dinding batu yang dingin dan keras, sedangkan di sebelah depannya adalah dinding besi atau baja yang setebal lengan manusia. Dia telah terkurung!

Mendadak tempat itu menjadi terang sekali dan ternyata ada bagian dinding di luar jeruji besi itu yang terbuka. Sebuah pintu besi tiba-tiba saja muncul dan terbuka dan dari situlah datangnya cahaya yang terang itu. Agaknya sinar matahari dapat memasuki tempat yang diduganya tentu berada di bawah tanah ini.

Agak silau juga mata Thian Sin sehingga ia terpaksa memejamkan kedua matanya tanpa mengurangi kewaspadaannya dan kini dia menjaga diri dengan mengandalkan ketajaman pendengaran telinganya. Walau pun dia sedang memejamkan kedua matanya, namun dia mengetahui dari pendengarannya bahwa di luar jeruji besi itu terdapat sedikitnya sepuluh orang yang semuanya mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi, terbukti dari gerakan kaki mereka yang gesit dan ringan ketika mereka itu datang mendekat.

Ketika dia membuka kedua matanya, dia melihat bahwa di luar jeruji itu berdiri dua belas orang. Semua orang itu memakai jubah sutera putih dengan gambar tengkorak merah di dada mereka dan muka mereka semuanya memakai topeng tengkorak! Dengan sekilas pandang saja tahulah pemuda perkasa itu bahwa keadaannya sungguh terjepit dan tidak ada harapan baginya untuk dapat meloloskan diri mempergunakan kekerasan.

Dia benar-benar berada di dalam bahaya, terjebak di dalam terowongan bawah tanah dan harus menghadapi banyak musuh yang agaknya tangguh juga. Akan tetapi, bukan watak Pendekar Sadis Ceng Thian Sin untuk berkecil hati dalam keadaan bagaimana pun juga.

Dia berdiri di tengah ruangan itu, menghadapi dua belas orang siluman sambil tersenyum lebar. "Ha-ha-ha, ternyata Siluman Goa Tongkorak yang disohorkan orang itu tiada lain hanyalah kumpulan tikus-tikus gunung yang kehebatannya cuma mengandalkan lubang-lubang tikus jebakan dan pengeroyokan belaka!"

Belasan pasang mata di balik topeng-topeng tengkorak itu mengeluarkan cahaya berkilat tanda bahwa mereka marah sekali mendengar ucapan ini yang sangat merendahkan dan menghina mereka. Seorang dari mereka yang berdiri di pinggir berkata, suaranya halus namun penuh mengandung ancaman.

"Orang muda, engkau sudah tertawan dan nyawamu berada di telapak tangan kami, akan tetapi masih berani bersikap berani dan menghina. Engkau sungguh seorang muda yang gagah perkasa akan tetapi juga bodoh dan bosan hidup. Siapa pun orangnya yang berani lancang memasuki daerah kami tanpa ijin, tentu mati. Akan tetapi karena Sian-su (Guru Dewa) ingin bertemu dan berbicara denganmu, maka engkau selamat. Kini menyerahlah untuk kami bawa menghadap Sian-su, siapa tahu engkau akan diampuni. Akan tetapi bila engkau melawan, tentu nanti akan dibunuh."

Orang itu memberi isyarat dengan tangannya dan sepuluh orang temannya tiba-tiba saja mengeluarkan busur dan anak panah, menodongkan anak panah ke arah Thian Sin. Lain orang di antara mereka melangkah maju, dan jeruji besi itu tiba-tiba saja tertarik ke atas, tentu digerakkan oleh alat rahasia yang tersembunyi. Orang yang bicara itu sendiri sudah mengeluarkan sebatang pedang, agaknya mereka bersiap-siap menyerang apa bila Thian Sin menggunakan kekerasan.

Thian Sin tidak berpikir panjang untuk mengambil keputusan. Apa bila dia menghendaki, kiranya dia akan mampu merobohkan dua belas orang ini dan lolos dari dalam kurungan pada saat kurungan itu dibuka. Akan tetapi dia tahu bahwa perbuatan ini tidak bijaksana.

Mereka ini hanyalah anak buah saja dan dia perlu bertemu dan berhadapan muka dengan pemimpinnya, yang disebut Sian-su oleh orang yang bicara tadi. Dia pun dapat menduga bahwa yang berbicara tadi adalah tosu yang mengantarnya ke tempat itu. Hal ini dapat dikenalnya dari kedudukan kepala orang itu yang agak miring ke kiri. Kepala yang agak miring ke kiri itu sudah dicatatnya sebagai tanda atau ciri dari tosu yang mengantarnya dan orang bertopeng ini pun kepalanya agak miring ke kiri!

Dan andai kata dia bisa lolos dari sini, belum tentu dia akan dapat lolos dari terowongan ini. Mungkin banyak dipasang alat-alat jebakan yang berbahaya, dan dia sendiri belum tahu berapa banyaknya anak buah mereka dan sampai di mana kelihaian Sian-su mereka itu. Pula, dia ingin mengetahui sampai sedalamnya dan ingin menolong pula ibu dari dua orang anak. Kalau sekarang dia mengamuk, mungkin saja dia akan menggagalkan semua usahanya.

"Kepala kalian ingin bicara denganku? Baiklah, aku pun ingin bicara dengan dia!" katanya, kemudian dia membiarkan saja orang bertopeng yang masuk ke dalam ruangan tahanan itu membelenggu kedua pergelangan tangannya ke belakang.

Belenggu itu berupa rantai baja yang cukup kuat. Orang yang bertugas membelenggunya itu agaknya tahu akan tugasnya. Sesudah membelenggu kedua pergelangan tangannya, dia segera menggerakkan tangannya, menggunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya untuk monotok jalan darah tiong-cu-hiat di tengkuk Thian Sin. Pendekar Sadis melihat dan tahu akan hal ini, akan tetapi dia tak bergerak dan pura-pura tidak tahu saja.

"Tukkk!"

Dua jari tangan itu dengan tepatnya menotok bagian di mana terdapat jalan darah tiong-cu-hiat dan biasanya, totokan di tempat ini akan membuat orang yang ditotoknya roboh pingsan. Akan tetapi orang bertopeng itu mengeluarkan seruan kaget sesudah kedua jari tangannya bertemu dengan kulit yang membungkus daging lunak, seolah-olah tanpa urat darah di situ, lunak sekali membuat totokannya itu meleset bagaikan menotok agar-agar saja! Dan orang yang ditotoknya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda hendak pingsan, apa lagi pingsan, bahkan mengedipkan mata pun tidak, seakan-akan totokannya tadi seperti seekor lalat yang hinggap saja!

Tentu saja orang bertopeng itu bukan hanya terkejut, melainkan juga malu dan penasaran sekali. Apa bila dia tidak memakai topeng, tentu akan nampak betapa wajahnya berubah merah bukan main.

Karena merasa betapa kulit daging tawanan itu tadi melunak lembek sekali, dia menduga bahwa orang ini mungkin tidak mempunyai kepandaian apa-apa, atau justru memiliki ilmu melembekkan daging sehingga jalan darah yang ditotok itu bisa meleset ke sana-sini jika ditotok. Cepat dia menggerakkan kembali tangan kanannya dan kini kedua jari tangannya itu menotok dengan pengerahan tenaga keras pula untuk melawan tenaga lembek lawan. Sekali ini, dia memilih jalan darah di belakang pundak, yaitu jalan darah hong-hu-hiat.

"Tukkk...!"

Sekali ini orang bertopeng itu tidak dapat menahan teriakannya, teriakan kesakitan karena tulang dua buah jari tangannya itu rasanya seperti akan patah-patah. Totokannya dengan pengerahan tenaga tadi bertemu dengan kulit yang demikian keras, seperti kulit baja tulen saja sehingga dua jari tangannya terasa nyeri bukan kepalang.

Kini orang kedua yang bertubuh tinggi besar itu menghampiri Thian Sin. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan teriakan nyaring lantas tangan kirinya telah bergerak ke depan dan jari-jari tangannya sudah menotok ke arah dada Thian Sin. Gerakannya mantap dan kuat.

Melihat gerakan itu, tahulah Thian Sin bahwa orang tinggi besar ini mempergunakan Ilmu Totok Tiam-hwe-louw, yaitu ilmu totok dari perguruan Siauw-lim-pai! Seperti juga tadi, dia pura-pura tidak tahu akan tetapi dengan diam-diam mengerahkan sinkang ke arah dada yang ditotok.

"Dukk!"

Dan orang tinggi besar itu pun meloncat ke belakang sambil menahan teriakannya karena jari tangannya bertemu dengan benda keras yang panas sekali!

Beberapa orang lain maju dan menotok tubuh Thian Sin, menggunakan bermacam cara, namun semuanya gagal. Dan Thian Sin sendiri menjadi terkejut. Orang-orang ini ternyata terdiri dari berbagai aliran perguruan silat, dan beberapa orang di antaranya adalah murid dari partai-partai bersih seperti Siauw-lim-pai dan Thian-san-pai. Tentu saja kenyataan ini membuat dia merasa heran bukan main.

"Hemm, orang muda, agaknya engkau mempunyai Ilmu I-kiong Hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah). Akan tetapi di depan kami tidak ada gunanya engkau berlagak," kata orang pertama atau orang yang diduga oleh Thian Sin tentulah tosu itu. Kini orang ini tiba-tiba menggerakkan tangan menotok dengan cara aneh, yaitu tanpa memilih jalan darah.

Thian Sin tahu bahwa ini adalah Ilmu Totok Coat-meh-hoat dari Bu-tong-pai! Tetapi sekali ini Thian Sin ingin memperlihatkan kelihaiannya, juga hendak memberi pelajaran kepada orang yang memandang rendah kapadanya ini, maka begitu totokan itu tiba, dia sengaja melontarkan tenaga sinkang dari tempat yang ditotok.

"Dukkk!"

Orang yang menotok itu mengaduh dan melangkah mundur, memegangi tangannya yang tadi menotok karena buku-buku tulang jari tangannya terasa remuk dan salah urat!

Semua orang bertopeng yang berada di situ siap dengan anak panah mereka. Thian Sin melihat hal ini dan dia pun berkata, "Aku sudah membiarkan diriku dibelenggu, mengapa kalian masih menghinaku? Kalau aku tidak ingin bertemu dengan pimpinan kalian, apakah semudah ini kalian dapat membelengguku? Nah, sekarang tidak perlu main-main dengan totokan lagi, mari bawa aku kepada pimpinan kalian!"

Seluruh mata di balik topeng itu memandang ragu dan agaknya kini mereka semua baru tahu bahwa tawanan muda itu sebenarnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bahwa sejak tadi sudah mempermainkan mereka dengan membiarkan mereka menotoknya berganti-ganti!

Pemimpin kelompok itu cepat memberi isyarat dan tanpa banyak cakap lagi Thian Sin lalu diiringkan keluar dari tempat itu. Salah seorang anggota sebagai petunjuk jalan berjalan di depan, diikuti oleh Thian Sin yang sepasang tangannya dibelenggu. Di belakang Thian Sin berjalan si pemimpin yang terus menodongkan pedangnya pada tengkuk tawanan itu dan di belakangnya berbaris sepuluh orang anak buah yang menodongkan anak panah.

Sementara itu, melihat dari lampu-lampu yang dipasang di sepanjang lorong terowongan, maka maklumlah Thian Sin bahwa hari telah berganti malam. Jalan terowongan itu makin menaik dan dia melihat banyak sekali kamar-kamar di kanan kiri, ada yang kosong akan tetapi ada pula yang terisi karena dia mendengar suara orang-orang, laki-laki dan wanita, dari dalam kamar-kamar itu.

Akhirnya dia sampai di sebuah ruangan yang luas sekali dan melihat dindingnya yang dari batu dan langit-langitnya yang juga dari batu, dia menduga bahwa tentu dia masih berada di bawah tanah, walau pun tanah pegunungan karena sekarang dia tentu sudah mendaki cukup tinggi. Ruangan itu diterangi cahaya banyak lampu, dan di sana sudah berkumpul banyak orang.

Dengan pandangan matanya Thian Sin menyapu ruangan itu dan diam-diam dia merasa heran. Di situ berkumpul sedikitnya dua puluh lima orang, akan tetapi orang-orang biasa dan rata-rata mereka berpakaian sebagai orang-orang hartawan, malah ada yang bersikap seperti orang berpangkat, dan ada beberapa orang pula yang sikapnya seperti seorang ahli silat atau pendekar! Mereka semua memandang kepadanya dengan sinar mata orang memandang seorang penjahat atau seorang pengacau!

Ada pula belasan orang lainnya yang berpakaian seperti siluman tengkorak, berdiri sambil berjaga di sekitar tempat itu. Di belakang ruangan itu terdapat anak tangga yang menuju ke atas, lebar dan lantainya ditutup permadani merah. Akan tetapi yang sekarang menjadi perhatian Thian Sin adalah seorang pria yang memakai jubah sutera putih dengan gambar tengkorak darah di dadanya.

Jubah yang sama dengan yang dipakai oleh para anggotanya, akan tetapi ada perbedaan potongannya, karena yang dipakai orang ini sedikit longgar seperti jubah pendeta dengan lengan baju yang panjang dan lebar, dan jika para anggota itu mengenakan ikat pinggang putih, orang ini memiliki ikat pinggang yang keemasan.

Topeng yang menutupi mukanya juga topeng tengkorak, akan tetapi kalau para anggota itu topengnya nampak jelas, orang ini seakan-akan tidak bertopeng, melainkan mukanya memang muka tengkorak, hanya kulit pembungkus tulang belaka! Dan sepasang matanya mencorong menakutkan.

Thian Sin dapat menduga bahwa orang ini menggunakan topeng dari kulit yang tipis, akan tetapi dia harus mengaku dalam hati bahwa orang ini merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan karena dari pandangan matanya itu berpancar kekuatan yang dia tahu kekuatan ilmu hitam atau sihir!

Mereka yang mengiringi Thian Sin kini berhenti dan Thian Sin dibiarkan berdiri di tengah ruangan. Pemuda ini berdiri tegak dengan dua tangan dibelenggu ke belakang. Suasana di dalam ruangan itu seperti sedang pesta atau menjamu tamu-tamu, dan perjamuan itu agaknya baru akan dimulai.

Thian Sin merasa betapa dia sudah mengganggu sebuah perjamuan, karena dia melihat kemarahan serta kejengkelan pada wajah orang-orang yang hadir di situ. Tiba-tiba orang yang memakai jubah dan topeng siluman itu bangkit dari tempat duduknya dan ternyata tubuhnya cukup jangkung.

"Ahh, ternyata kita sudah kedatangan seorang tamu kehormatan! Harap cu-wi yang hadir melihat baik-baik, bukankah benar bahwa tamu kita ini adalah Pendekar Sadis atau Sang Pangeran Ceng Thian Sin?"

Thian Sin terkejut bukan main. Dia mengerling ke arah para hadirin dan melihat beberapa orang di antara mereka mengangguk-angguk membenarkan. Ternyata dia sudah dikenal orang! Tentu mereka itu adalah orang-orang penting dan sesudah kini dia memperhatikan mereka, dia melihat bahwa di antara mereka itu terdapat pula pembesar-pembesar yang pernah dilihatnya di kota raja! Dia pun menanti dengan hati tegang, tidak dapat menduga dengan siapa dia sebenarnya berhadapan dan dengan perkumpulan macam apa pula.

Siluman itu kini berkata langsung kepadanya, "Orang muda yang gagah, tidak kelirukah dugaan kami bahwa engkau adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"

Thian Sin merasa tidak perlu untuk menyembunyikan diri lagi maka dia pun mengangguk. Kini terdengar para hadirin saling berbisik dan suasana menjadi sangat tegang. Agaknya kenyataan yang telah diakui oleh beberapa orang bahwa tempat itu kedatangan Pendekar Sadis, merupakan hal yang mengejutkan mereka. Akan tetapi, siluman itu lalu melangkah maju dan menjura.

"Ahhh, selamat datang, Ceng-taihiap. Selamat datang! Hayo cepat lepaskan belenggunya dan kalian minta maaf!" katanya kepada dua belas orang yang tadi mengawal Thian Sin.

"Tak perlu repot-repot!" Thian Sin berkata dan sekali dia menggerakkan kedua lengannya yang terbelenggu di belakang tubuhnya, maka terdengarlah suara.

"Krekk! Krekkk!" dan belenggu rantai besi pada kedua tangan itu patah-patah dan runtuh ke atas lantai.

Karena semua orang memandang dengan hati tegang dan suasana amat sunyinya, maka ketika belenggu itu jatuh ke atas lantai batu, terdengar suara nyaring berdenting. Siluman Tengkorak itu tertawa, suaranya terdengar lebih nyaring dari pada denting rantai belenggu yang beradu dengan lantai.

"Hebat, Ceng-taihiap memang hebat. Silakan duduk!"

"Terima kasih!" kata Thian Sin dan dia menerima bangku yang disodorkan oleh seorang di antara para anggota Siluman Tengkorak, lalu duduk menghadapi ketua siluman yang telah duduk pula itu. "Ingin sekali saya mendengar apa artinya semua ini. Mengapa sambutan terhadap saya seperti ini?" Thian Sin mulai membuka kartu, tentu saja dengan maksud hendak memancing pembukaan kartu lawan dan untuk melihat apa yang tersembunyi di dalam hati pihak lawan.

Siluman itu tersenyum tetapi wajahnya nampak menyeramkan. Kini Thin Sin merasa yakin bahwa orang itu mengenakan topeng terbuat dari pada kain atau karet tipis, tidak sehalus topeng yang pernah dipakai oleh Kim Hong ketika dia menyamar sebagai nenek Lam-sin, akan tetapi juga tidak sekasar yang dipakai para anak buah Siluman Tengkorak itu.

"Sebetulnya pertanyaan itu harus dikembalikan kepadamu taihiap. Seingat kami, kami tak pernah bersimpang jalan dengan Pendekar Sadis, akan tetapi taihiap sudah mendatangi bahkan melakukan penyelidikan terhadap tempat kami. Sebenarnya, kami baru menduga saja bahwa taihiap adalah Pendekar Sadis, namun karena taihiap telah memasuki daerah terlarang kami, terpaksa teman-teman kami harus menangkapmu. Sesudah berada di sini dan kami yakin siapa adanya diri taihiap, tentu saja kami pun tak berani mengambil sikap sebagai musuh. Nah, harap taihiap suka menjelaskan, mengapa taihiap memasuki daerah kami? Mengapa taihiap mencampuri urusan kami?"

Thian Sin mengangguk-angguk. "Sebelum memberikan penjelasan dan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan itu, lebih dulu saya ingin mengetahui, sebetulnya dengan siapakah saya bicara?"

"Perlukah hal itu taihiap tanyakan lagi? Apa bila taihiap sudah datang menyelidiki tempat kami kiranya taihiap sudah dapat menduga siapa adanya saya."

"Memang saya mendengar tentang nama Siluman Goa Tengkorak, akan tetapi saya juga mendengar anak buah Siluman Tengkorak menyebut Sian-su."

"Siancai... siancai...! Apa yang taihiap dengar itu sudah lebih dari cukup, maka terserah kepada taihiap."

"Baiklah, saya pun akan menyebut Sian-su padamu. Terus terang saja, selama ini belum pernah saya mendengar mengenai Siluman Goa Tengkorak dan hanya secara kebetulan saya melihat seorang bernama Kwee Siu tewas oleh seorang yang memakai pakaian dan topeng sebagai anggota Siluman Goa Tengkorak. Saya belum pernah bertindak tanpa sebab. Saya mendengar dari mendiang Kwee Siu bahwa Siluman Goa Tengkorak sudah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan. Karena itulah saya datang ke sini hendak bertemu dengan Siluman Goa Tengkorak dan bertanya mengapa tujuh orang pendekar itu dibunuh tanpa dosa?"

"Ha-ha-ha, sungguh pertanyaan ini terdengar lucu jika keluar dari mulut Pendekar Sadis! Taihiap sendiri dinamakan Pendekar Sadis akibat tindakan taihiap terhadap musuh-musuh taihiap jadi semua tindakan tentu ada sebabnya, bukan? Nah, demikian pula dengan tujuh orang itu. Mereka sudah berani menentang kami, maka anehkah kalau mereka itu roboh dan tewas di tangan kami? Kami hanya membela diri, dan di dalam perkelahian, wajarlah kalau terjadi kematian bagi yang kalah."

"Memang, sebab melahirkan akibat dan akibat menjadi sebab lagi. Kalau Tujuh Pendekar Taigoan menentang dan melawan Sian-su bersama para anggotanya, hal itu tentu ada sebabnya pula."

"Dan sebabnya itu apa, taihiap?"

"Ada seorang ibu muda keluarga Cia yang diculik orang dan suaminya, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, dibunuh. Apakah peristiwa itu bukan merupakan suatu sebab yang cukup berat?"

"Siancai... siancai! Cu-wi yang hadir tentu sudah mendengar fitnah-fitnah itu. Ceng-taihiap rupanya juga terkena pengaruh fitnah keji yang dilontarkan kepada kami. Taihiap, lihatlah orang-orang terhormat yang hadir di sini! Kalau memang kami demikian jahatnya, apakah mereka itu akan sudi hadir di sini dan juga menjadi pengikut dan saudara sekepercayaan kami? Ketahuilah bahwa kami mengajak semua orang untuk menikmati hidup dan menjadi anggota agama baru kami. Dan tentang ibu muda keluarga Cia itu... ah, sebaiknya taihiap menyaksikan sendiri. Kebetulan sekali kami kini sedang mengadakan pesta dan upacara pengangkatan seorang anggota wanita baru. Lebih baik taihiap menyaksikan sendiri dari pada mendengar fitnah dari mulut lain orang."

Thian Sin tak bisa membantah lagi. Siluman itu lalu mempersilakan dengan suara lantang supaya semua orang suka mengikutinya ke apa yang dinamakannya sebagai panggung Puncak Bahagia dan semua orang pun berdiri dengan wajah gembira.

"Saatnya sudah hampir tiba, mari kita bersiap-siap menyambut turunnya Dewi Cinta dan mempersiapkan upacaranya." Demikian dia berkata sambil menghampiri Thian Sin yang masih duduk. "Ceng-taihiap, engkau menjadi tamu kehormatan, silakan mengikuti kami ke tempat upacara."

Thian Sin hanya mengangguk, lalu bangkit berdiri dan berjalan mengikuti siluman itu yang diiringkan pula oleh semua yang hadir. Para anggota siluman menjaga di kanan kiri dan ada pula yang berada di depan dan belakang. Mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan gerakan kaki mereka hampir tidak menimbulkan suara.


Siluman Goa Tengkorak Jilid 02

MENANTI merupakan pekerjaan yang paling mengesalkan hati dan juga melelahkan. Waktu rasanya berhenti berjalan atau berjalan juga dengan merayap perlahan seperti gerak maju seekor siput. Apa lagi kalau di balik penantian itu terdapat urusan yang menggelisahkan hati seperti halnya Kim Hong ketika dia menanti kedatangan Thian Sin di dalam hutan, di tempat yang telah dijanjikan tadi.

Kim Hong membiarkan kudanya makan rumput dan dia sendiri duduk di atas batu besar di pinggir jalan. Kadang-kadang pandang matanya ditujukan ke arah gundukan tanah yang menjadi kuburan Kwee Siu, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan. Berada seorang diri di dekat kuburan baru itu menimbulkan rasa kesepian yang mencekam, menimbulkan bayangan pikiran yang bukan-bukan.

Orang yang dikubur itu adalah seorang pendekar, yang agaknya tewas dalam tugasnya sebagai seorang pendekar, dalam usahanya hendak menyelamatkan dua orang anak itu. Begitukah saat-saat terakhir seorang pendekar? Tewas di tempat sunyi, tanpa ada yang mengetahui, malah mungkin juga orang she Kwee ini meninggalkan keluarga yang masih belum tahu akan kematiannya. Betapa menyedihkan! Akan seperti itu jugakah nasibnya? Nasib Thian Sin? Betapa menyedihkan.

Mendadak gadis itu menepuk mati seekor semut yang merayap dan menggigit punggung tangannya. Ahh, mengapa tiba-tiba dia menjadi selemah itu? Kalau perlu, boleh saja mati seperti yang dialami oleh orang she Kwee itu!

Kematian tak akan mungkin dapat dihindarkan oleh siapa pun juga, soal kapan waktunya merupakan rahasia yang tidak terpecahkan dari manusia. Dan mati seperti yang dialami oleh orang she Kwee ini cukup terhormat! Mati sebagai seorang pendekar yang sedang melaksanakan tugasnya sebagai pendekar, yaitu menolong orang lain, melindungi yang lemah tertindas dan menentang yang kuat menindas. Kalah atau menang dengan akibat mati atau hidup hanyalah akibat dari pada perjuangan dan bukankah hidup ini perjuangan juga? Bukankah kematian mengelilingi kita setiap saat?

Bukan kematian yang penting untuk direnungkan, melainkan cara dari kematian itu. Mati dalam kebenaran, mati sebagai seorang pendekar perkasa penentang kejahatan seperti yang dialami orang she Kwee itu adalah kematian yang patut dibanggakan dan dikagumi orang. Kematian itu sendiri bukanlah soal, melainkan suatu kewajaran. Akan tetapi dalam keadaan bagaimana seseorang mati, itulah yang paling penting.

Andai kata yang menanti datangnya Thian Sin di tempat seperti itu bukan seorang wanita seperti Kim Hong, tentu hati wanita itu sudah menjadi kesal bukan main dan tentu akan marah-marah pada orang yang dinanti-nantinya. Akan tetapi Kim Hong bukanlah seorang wanita cengeng. Sama sekali bukan, bahkan sebaliknya dari pada itu dia adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa yang biasa menggunakan akal budinya dan sama sekali tidak menuruti perasaannya dalam menghadapi urusan penting dan gawat.

Maka, biar pun dia telah menanti sampai matahari condong ke barat dan Thian Sin belum juga muncul, dia sama sekali tak pernah mempunyai perasaan menyalahkan pemuda itu. Kepercayaannya terhadap Thian Sin sudah penuh dan tidak dapat diragukan lagi seperti juga kepercayaan pemuda itu terhadap dirinya. Dia merasa yakin bahwa kalau Thian Sin belum muncul, hal itu hanya berarti bahwa pemuda itu memang belum sempat datang, dan ini berarti bahwa kekasihnya itu telah menemukan sesuatu dalam penyelidikannya!

Dan, meski pun kecil sekali kemungkinannya karena dia tahu dan mengenal benar orang macam apa adanya Thian Sin, mungkin saja terjadi bahwa kekasihnya itu mendapatkan halangan! Hal inilah yang dipikirkannya dan setelah hari mulai gelap, kekhawatiran mulai menyelubungi hatinya. Satu-satunya jalan baginya hanya menyelidiki dan menyusul! Akan tetapi, menyelidiki jejak kaki kuda yang ditunggangi Thian Sin tidak mungkin dilakukan di malam hari, maka tidak ada jalan baginya kecuali menanti sampai terlewatnya malam itu.

Malam yang tidak menyedapkan hati! Malam sunyi sepi, di dekat kuburan baru, menanti kedatangan orang yang tidak kunjung muncul. Untunglah masih ada kudanya, setidaknya merupakan makhluk yang membuktikan adanya kehidupan yang dapat bergerak.

Kim Hong membuat api unggun, mencoba untuk tidur akan tetapi bayangan tentang Thian Sin tertimpa bencana menggoda pikirannya sehingga harapan satu-satunya hanyalah agar malam itu cepat berlalu dan dia dapat segera mulai menyusul kekasihnya. Malam seperti itu tentu menjadi malam yang sangat menyeramkan dan menakutkan bagi orang lain, apa lagi bagi seorang wanita yang berada di tempat sunyi seorang diri saja.

Orang mudah dihinggapi rasa takut di tempat sunyi, apa lagi di malam hari yang sangat gelap seperti itu, lebih-lebih pula kalau di sana terdapat sebuah kuburan yang baru siang tadi diisi jenazah yang mandi darah, pula kalau diketahui bahwa ada musuh yang sangat tangguh dan berbahaya yang mungkin saja mengancam diri. Namun, seorang pendekar seperti Toan Kim Hong sudah dapat mengatasi rasa takut ini.

Seperti para pendekar lainnya, dara ini sudah maklum apa yang menimbulkan rasa takut, maka dia pun dapat meniadakan sebab timbulnya rasa takut ini. Setiap orang, biar yang tidak memiliki ilmu silat seperti Kim Hong, tidak mempunyai andalan untuk melindungi diri sebaiknya, bisa saja menjadi orang yang memiliki ketabahan dan ketenangan hati seperti Kim Hong! Yang perlu diselidiki adalah rasa takut itu sendiri.

Apakah rasa takut itu? Dan dari mana timbulnya? Rasa takut tidak terpisah dari pada batin, karena rasa takut adalah keadaan batin itu sendiri pada saat itu. Rasa takut timbul karena ingatan membayangkan sesuatu yang akan amat tidak menyenangkan diri. Rasa takut tak pernah terpisahkan dari bayangan yang diciptakan oleh pikiran yang sering kali mengingat-ingat hal-hal yang lalu dan membayangkan hal-hal yang mungkin terjadi pada masa depan.

Rasa takut sudah pasti merupakan pengintaian atau penjengukan ke masa depan yang dibayangkan itu, atau rasa takut itu tentu takut akan sesuatu yang tidak ada atau belum ada! Yang takut akan setan belum pernah melihat setan itu sendiri, rasa takutnya timbul akibat pikiran membayangkan kemungkinan munculnya setan.

Demikian pula yang takut dengan bencana tentu belum tertimpa bencana itu, yang takut akan kematian tentu karena hal yang ditakutkan itu belum ada maka timbul bayangan-bayangan yang mengerikan. Orang yang tidak membayangkan setan tidak mungkin takut akan setan, yang tak pernah membayangkan kematian tak mungkin takut kematian dan sebagainya. Hal ini merupakan kenyatan yang dapat kita selidiki sendiri.

Maka jelaslah bahwa rasa takut merupakan bayangan pikiran kita yang dipengaruhi oleh pengalaman di masa lalu, baik itu pengalaman sendiri mau pun pengalaman orang lain, kemudian pikiran menciptakan kemungkinan-kemungkinan yang tak menguntungkan diri. Lantas timbullah rasa takut. Dan rasa takut ini sama sekali tidak ada manfaatnya bagi hidup. Malah rasa takut ini membuat kita kehilangan kewaspadaan, segala tindakan kita terpengaruh olehnya.

Biasanya kita menghadapi rasa takut sebagai sesuatu yang terpisah dari batin kita. Kita ingin menghindari rasa takut, maka muncullah hiburan-hiburan untuk melupakan hal-hal yang mendatangkan rasa takut itu. Akan tetapi hal ini hanyalah merupakan pelarian yang sia-sia belaka.

Rasa takut akan setan umpamanya, tidak mungkin bisa lenyap hanya dengan melarikan diri dari rasa takut, dengan jalan menghiburnya, mencari kawan, pergi ke tempat-tempat ramai dan sebagainya. Lain waktu rasa takut itu akan muncul lagi setiap kali pikiran kita membayangkan tentang kengerian-kengerian bertemu setan.

Mengapa tidak kita hadapi saja rasa takut itu? Kita amati saja kalau sewaktu-waktu rasa takut itu muncul dan ini merupakan sesuatu yang teramat menarik dan teramat berharga untuk diselami dan dihayati sendiri. Kalau rasa takut muncul, baik rasa takut akan setan, rasa takut akan bencana, mala petaka, mau pun rasa takut akan kematian, kenapa kita tidak menghadapi rasa takut itu saja tanpa ingin melarikan diri darinya?

Hadapi saja, amati saja penuh perhatian sehingga kita bisa melihat dengan sepenuhnya, dapat mengerti sepenuhnya, apa sesungguhnya rasa takut itu sehingga bukan kita yang menghindarkan diri dari rasa takut melainkan rasa takut itu sendiri yang lenyap dari lubuk hati kita? Kenapa kita tidak membebaskan diri dari rasa takut yang dapat menimbulkan berbagai macam akibat dalam sikap dan tindakan dalam hidup kita?


Semalam suntuk Kim Hong hanya duduk bersila di dekat api unggun, tak pernah bergerak seperti patung. Hanya kadang-kadang saja kalau harus menambah kayu bakar, maka dia bergerak sebentar kemudian duduk lagi.

Suara api membakar kayu menimbulkan bunyi yang menarik perhatiannya sehingga tidak mendengar suara lain dan tidak tahu bahwa ada sosok tubuh orang menyelinap di antara pohon-pohon di sekelilingnya dan sejak tadi ada sepasang mata mengintainya. Ketika itu malam sudah hampir habis dan fajar mulai menyingsing di ufuk timur.

Akan tetapi karena nyamuk masih belum meninggalkan tempat yang masih gelap itu, Kim Hong masih terus menyalakan api unggun sambil duduk dengan tenangnya. Hatinya mulai gembira melihat bahwa di sebelah timur telah mulai nampak sinar kemerahan.

Ringkik kudanya yang mula-mula membuat gadis ini waspada. Dia segera mencurahkan perhatiannya ke sekeliling sehingga pandangan matanya yang tajam itu bisa menangkap berkelebatnya bayangan di balik pohon di sebelah kirinya. Kudanya mendengus-dengus dan Kim Hong mengambil sikap tenang, pura-pura tidak tahu bahwa waktu itu ada orang yang mengintainya. Mengapa orang itu mengintai saja dan tidak turun tangan sejak tadi, pikirnya.

Apakah kemunculan orang ini ada hubungannya dengan penjahat yang menculik ibu dua orang anak itu? Ataukah ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin? Apa bila orang itu adalah si penjahat yang suka menculik wanita, mungkin sekali dia mengintaiku untuk kemudian turun tangan menangkap dan menculikku. Akan tetapi kalau ternyata ada hubungannya dengan menghilangnya Thian Sin, kalau ternyata orang itu sudah tahu akan kelihaian Thian Sin, mungkin sekali dia pun berhati-hati terhadapnya. Sungguh tidak enak hanya menunggu sambil menduga-duga seperti ini. Lebih baik memberi kesempatan dan memancing supaya orang itu bergerak turun tangan.

Kini api unggun mulai padam, sengaja dibiarkan saja oleh Kim Hong dan dalam duduknya, dara itu nampak melenggut. Kemudian dia membiarkan dirinya diserang hawa dingin pagi, menggigil sedikit lalu menguap, menutupkan punggung tangan di depan mulut, kemudian merebahkan dirinya bersandar pada batang pohon dan tidur.

Sikap serta gerakannya demikian wajar sehingga siapa pun juga tentu akan menyangka bahwa gadis ini merasa kedinginan dan mengantuk lantas dengan mudahnya jatuh pulas ketika merebahkan diri dan bersandar pada batang pohon itu. Dan agaknya, orang yang mengintainya dari balik batang pohon itu pun menduga demikian.

Dia membiarkan sampai gadis itu tertidur selama setengah jam, barulah dengan gerakan kaki yang sangat ringan dia keluar dari balik pohon dan menghampiri. Sejenak dia berdiri memandang wajah dan tubuh yang terlentang di hadapannya itu dan sepasang mata itu mengeluarkan sinar kagum.

Memang, melihat Kim Hong rebah terlentang setengah duduk bersandar batang pohon di pagi hari itu merupakan pemandangan yang indah menarik. Hati siapa tak akan tergerak melihat tubuh yang padat serta matang itu setengah terlentang, dan melihat wajah yang luar biasa cantiknya itu, sedikit tertutup uraian rambut, dengan mata terpejam dilindungi bulu mata yang lentik, bibirnya kemerahan mengulum senyum, lehernya yang panjang itu nampak terbuka sehingga kulit leher putih mulus itu menantang pandang mata?

Ada pun Kim Hong sejak tadi sudah melihat orang itu dan jantungnya berdebar tegang. Orang itu adalah seorang laki-laki yang memakai sutera putih dan pada dadanya terdapat lukisan tengkorak dari tinta merah atau pun darah, dan muka orang itu memakai topeng tengkorak pula! Sungguh mengerikan dan tentu akan menakutkan orang melihat siluman ini muncul di pagi hari buta dan di tempat sunyi seperti itu.

Akan tetapi di dalam hatinya Kim Hong merasa geli, namun juga marah. Inikah orangnya yang telah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan, dan sudah menculik ibu dua orang anak itu? Apakah dia ini berhasil menghindarkan diri dari pencarian Thian Sin, kemudian malah datang ke sini untuk menculiknya?

Orang bertopeng itu agaknya sudah puas memandang Kim Hong. Dia pun mengangguk-angguk, kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dari dalam saku bajunya. Dia melangkah dekat, lalu kertas dari dalam itu dibukanya dan begitu dia mengebutkan kertas itu, bubukan berwarna merah berhamburan ke arah muka Kim Hong! Akan tetapi, pada saat itu Kim Hong sudah bergerak dengan sangat cepatnya, meloncat dan menggunakan kakinya untuk menendang.

"Wuuuttt...! Dukkk!" Tubuh orang bertopeng itu terpelanting dan terlempar ke belakang.

Tentu saja siluman itu terkejut setengah mati. Sama sekali tidak pernah diduganya bahwa dara yang cantik jelita itu, yang nampak tidur pulas, tahu-tahu dapat mengirim tendangan yang demikian cepat dan hebatnya. Dia tadi masih dapat menangkis, akan tetapi karena kurang cepat dan kurang mengerahkan tenaga, maka tendangan yang luar biasa kuatnya itu membuat tubuhnya terpelanting bahkan terlempar ke belakang.

Akan tetapi, begitu tubuhnya terbanting, cepat orang itu sudah mampu meloncat bangun kembali! Dan dia menjadi semakin heran melihat betapa gadis itu tidak terpengaruh oleh bubuk obat biusnya! Padahal bubuk obat bius merah itu amat kuat dan sukar dilawan oleh orang yang pandai sekali pun. Dia tadi tidak melihat betapa dengan sehelai sapu tangan, Kim Hong mengebut bubuk merah itu dengan pengerahan sinkang sehingga bubuk merah itu tertiup pergi dan tidak ada yang mengenai mukanya.

Karena kecelik, siluman itu agaknya merasa penasaran sekali. Dia segera mengeluarkan gerengan marah dan tiba-tiba saja tubuhnya telah meluncur ke depan dan dia pun sudah menyerang Kim Hong dengan dahsyat. Tangan kanannya meraih ke arah leher bagaikan hendak mencengkeram, ada pun jari tangan kirinya meluncur dan menotok ke arah jalan darah di pundak. Totokan ke arah pundak inilah yang bahaya karena selain tertutup? oleh cengkeraman tangan kanan, juga yang diarah itu jalan darah yang penting dan yang akan membuat orang yang kena ditotoknya menjadi lemas tak akan mampu bergerak lagi!

Akan tetapi, tentu saja serangan semacam itu bukan apa-apa bagi Kim Hong. Gadis ini sudah dapat mengukur dalam tendangannya tadi bahwa biar pun siluman ini mempunyai kepandaian lumayan yang lebih dari pada penjahat-penjahat biasa dan mempunyai tubuh yang kuat, namun bukan merupakan lawan yang terlalu tangguh baginya.

Oleh karena itu Kim Hong menjadi marah. Dia ingin mempermainkan lawan, hendak lebih dulu menghajarnya, baru kemudian dia akan melucuti kedoknya dan akan memaksanya mengaku tentang peran Siluman Goa Tengkorak dan ibu anak-anak yang telah diculiknya itu.

Maka, begitu serangan itu datang, dia cepat menyambutnya dengan mudah sekali. Tanpa mengerahkan banyak tenaga dan kecepatan, dia telah dapat menghindarkan diri dari dua serangan itu. Ia sengaja tidak mau membalas dan membiarkan siluman itu menyerangnya secara bertubi-tubi untuk mengukur sampai di mana tingkat kepandaian lawan.

Setelah dia membiarkan lawannya menyerangnya sampai belasan jurus, dia pun mengerti bahwa lawan ini memiliki dasar ilmu silat campuran dan tidak dapat digolongkan sebagai seorang ahli yang sudah matang. Karena itu dia pun ingin menghentikan perkelahian itu dan pada waktu orang itu kembali menyerangnya dengan tangan kanan mencengkeram ke arah dada, serangan yang sungguh tidak tahu malu dari seorang lawan pria terhadap seorang wanita, Kim Hong sudah menyelinap ke samping dan begitu kakinya melayang, dia telah menendang perut orang itu dengan keras.

"Desss...!"

Tubuh orang itu melayang untuk kedua kalinya, sekali ini melayang jauh lantas terbanting jatuh dekat dengan kuda tunggangan Kim Hong yang menjadi kaget dan meringkik.

Tendangan tadi amat keras dan biar pun Kim Hong tidak bermaksud membunuhnya, atau belum lagi, akan tetapi tendangan itu cukup kuat untuk membuat orang itu memuntahkan darah segar dari mulutnya. Akan tetapi orang itu memang memiliki tubuh yang kuat dan tahan uji, karena begitu terbanting jatuh, dengan mulut mengeluarkan darah, dia langsung meloncat dan tahu-tahu dia sudah berada di atas punggung kuda tunggangan Kim Hong. Kuda itu pun dibedalkannya dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu.

"Hei, badut keparat! Hendak lari ke mana engkau?" Kim Hong terkejut dan marah sekali, lalu menggerakkan kedua kakinya mengejar.

Dara ini adalah seorang ahli ginkang, maka gerakannya luar biasa cepatnya, larinya tidak kalah oleh larinya kuda. Akan tetapi karena siluman itu tampaknya jeri sekali dan tak mau tersusul, maka kuda itu dibalapkannya dan dipukulinya dengan tangan terbuka sehingga kuda itu berlari sangat cepat. Kim Hong terus mengejar, bukan saja hendak menangkap si penjahat melainkan juga untuk mendapatkan kembali kudanya.

Sekarang kuda itu meninggalkan jalan dan memasuki hutan. Kim Hong tetap mengejarnya sampai si penunggang kuda itu tiba di tepi jurang, jurang yang menganga lebar dan amat dalam, selebar kurang lebih empat tombak. Dan Kim Hong melihat siluman itu terus saja membedalkan kudanya, bahkan hendak membawa kudanya meloncati jurang!

"Heiii, jangan...!" Kim Hong berteriak karena dari jauh saja dia sudah dapat melihat bahwa perbuatan itu merupakan tindakan nekat dan mempertaruhkan nyawa dengan sia-sia.

Jurang itu terlalu lebar untuk dapat diloncati oleh kudanya. Kuda itu kini terbang di atas jurang dan dengan mata terbelalak Kim Hong berhenti dan memandang, melihat betapa kaki depan kuda itu memang telah mencapai tepi jurang di seberang, akan tetapi karena sebagian besar badannya yang belakang belum sampai, maka kuda itu terjengkang dan bersama dengan penunggangnya meluncur jatuh ke dalam jurang yang amat dalam itu!

Kim Hong mengepal tinju sambil lari ke tepi jurang, menjenguk ke bawah dan dia melihat betapa kuda serta penunggangnya terbanting-banting ke lereng bukit yang berbatu-batu, kemudian berhenti dan tidak bergerak-gerak lagi.

"Keparat!" Kim Hong mendesis.

Dia merasa kecewa dan menyesal sekali mengapa tidak sejak tadi dia merobohkan saja orang itu agar dapat dikorek keterangan darinya. Sekarang, bukan saja penjahat itu telah mati dan tidak ada gunanya lagi, juga kudanya ikut mati. Terpaksa dia kembali ke tempat tadi dan mulailah dia mencari jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin kemarin siang.

Tentu saja tidaklah mudah untuk mencari jejak kuda yang sudah lewat sehari semalam. Rumput yang diinjak kuda sudah berdiri lagi dan menutupi jejak pada tanah. Tapi untung baginya, tanah di hutan itu lembab sehingga hal ini membuat jejak kaki kuda itu menjadi agak tahan lama.

Dengan hati-hati dia mencari, menemukan jejak kaki kuda itu lantas mengikutinya dengan jalan kaki. Dia harus menemukan Thian Sin. Dia tak percaya bahwa riwayat Siluman Goa Tongkorak akan habis begitu saja bersama jatuhnya orang tadi dengan kudanya ke dalam jurang. Kalau siluman atau penjahat itu hanya seorang yang kepandaiannya semacam itu, maka tak mungkin orang-orang yang telah dijuluki Tujuh Pendekar Tai-goan begitu mudah dibunuhnya.

Apa lagi, tak mungkin bila Thian Sin sampai tak mampu menemukannya setelah pemuda itu mencari selama sehari semalam. Tentu ada apa-apa di balik semua ini, ada kekuatan yang jauh lebih hebat dari pada sekedar penjahat bertopeng tengkorak tadi.

Tanpa setahu Kim Hong, jejak kuda yang ditunggangi Thian Sin itu membawanya kepada daerah Goa Tongkorak! Dia tidak menyadari hal ini karena memang dia belum mengenal daerah itu. Belum ada kesempatan baginya dan juga bagi Thian Sin untuk menyelidiki keadaan Siluman Goa Tengkorak yang baru pertama kali mereka dengar dari mulut Kwee Siu ketika pendekar itu dalam keadaan sekarat, lalu peristiwa demi peristiwa terjadi susul menyusul demikian cepatnya.

Mula-mula pertemuan mereka dengan dua orang anak-anak yang menuturkan bahwa ayah dan paman-paman mereka terbunuh siluman dan bahwa ibu mereka terculik. Kemudian pertemuan mereka dengan Kwee Siu yang menghadapi maut. Lalu menghilangnya Thian Sin yang mengikuti jejak siluman dan tak kunjung kembali ke dalam hutan seperti yang sudah mereka janjikan. Kemudian muncul siluman yang mencoba untuk membiusnya, yang berakhir dengan kematian mengerikan bagi siluman itu sebelum Kim Hong sempat membuka rahasianya. Semua itu terjadi hanya dalam waktu semalam saja dan kini dia telah mengikuti jejak kekasihnya.

Melihat keadaan yang sangat liar dan sunyi dari tempat ke mana jejak itu membawanya, Kim Hong mulai merasa khawatir. Agaknya dia dibawa ke tempat yang berbahaya, karena makin lama tempat itu semakin sunyi. Tak nampak ada seorang pun manusia dan ketika jejak itu tiba di tepi Sungai Fen-ho yang berbatu-batu karang, jejak itu pun lenyap.

Tentu Thian Sin melanjutkannya dengan jalan kaki, pikirnya. Jalan itu mendaki tebing dan sangat sukar dilewati manusia, apa lagi kuda. Kim Hong tidak melanjutkan perjalanannya. Dia meragu, sebab tidak tahu ke mana dia harus melanjutkan perjalanan. Yang berada di depannya itu merupakan jalan pendakian ke sebuah tebing yang curam dan dia tidak tahu ada apa di balik tebing atau di sebelah atas itu. Dia juga tidak tahu ke mana Thian Sin melanjutkan perjalanannya dan tidak dapat menduga pula apa yang telah terjadi sesudah kekasihnya itu tiba di tempat ini.

Tiba-tiba, ketika dia memeriksa keadaan sekeliling dan melihat-lihat, di atas bukit kecil pada sebelah kiri terlihat sebuah bangunan kuil kecil kuno yang berdiri terpencil. Agaknya sebuah kuil yang tidak dipergunakan lagi, dan mungkin saja untuk tempat tinggal seorang pertapa, namun bukan tidak mungkin tempat terpencil itu menjadi tempat persembunyian penjahat!

Timbul semangatnya karena dia berpendapat bahwa jika Thian Sin sudah tiba di sini dan melihat kuil itu, tentu kekasihnya itu juga akan mengunjungi serta memeriksa tempat itu sebagai langkah pertama dalam penyelidikan mengenai Siluman Goa Tengkorak itu. Kim Hong lalu mulai mendaki tebing yang amat sukar itu. Akan tetapi karena dia mempunyai ginkang yang amat hebat, dia pun dapat mendaki tempat itu dengan cepat dan tidak lama kemudian, tanpa banyak kesukaran dia sudah tiba di pekarangan kuil kuno.

Namun pekarangan itu nampak bersih dan ada bekas sapuan di situ. Hal ini menandakan bahwa tempat itu berpenghuni! Siapa tahu penghuninya adalah penjahat yang kini sedang dicari-carinya. Pikiran ini membuat Kim Hong bersikap hati-hati, maka dia pun menyelinap dan menghampiri kuil kuno itu dari belakang. Ketika dia melihat seekor kuda ditambatkan di bagian belakang dari kuil itu, jantungnya segera berdebar tegang dan girang.

Dia mengenal kuda itu, kuda tunggangan Thian Sin! Dihampirinya kuda itu dan ditepuk-tepuknya punggung kuda itu. Kuda itu pun mengenal Kim Hong, lantas membelai tangan dara itu dengan mukanya. Ah, kalau saja kuda ini mampu bicara, tentu banyak yang bisa diceritakannya dan dia tidak perlu bingung-bingung mencari tahu apa yang sudah terjadi dengan Thian Sin sehingga pemuda itu tidak kembali ke hutan.

"Hei, siapa yang berani mencoba mencuri kuda?"

Kim Hong terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Kiranya yang menegurnya itu adalah seorang lelaki berusia enam puluhan tahun, mengenakan pakaian seperti seorang tosu, tubuhnya kurus serta kedua pipinya cekung sehingga tanpa kedok tengkorak sekali pun muka itu sudah hampir mendekati bentuk tengkorak.

Namun kakek itu jelas seorang tosu, bukan seorang penjahat yang memakai jubah putih bergambar tengkorak, tidak pula memakai kedok. Akan tetapi Kim Hong bermaksud ingin mengejutkan hati pendeta itu dengan pertanyaan yang tiba-tiba datangnya.

"Totiang, ke mana perginya pemilik kuda ini?"

Tosu itu berjalan menghampiri dan sejenak menatap Kim Hong penuh perhatian. "Pemilik kuda ini? Ahhh, apakah nona yang menjadi sahabatnya dan yang malam tadi menunggu dia di dalam hutan?"

Kim Hong mengangguk lantas memandang tajam. "Totiang, ke mana perginya sahabatku itu? Mengapa dia tidak kembali ke hutan?"

"Ahh, pinto telah menanti-nantimu, nona. Pinto merasa khawatir sekali akan nasib kongcu itu..."

"Ada apakah, totiang? Harap suka cepat ceritakan!" Kim Hong tertarik sekali namun juga merasa khawatir.

"Kemarin siang kongcu yang menjadi temanmu itu datang ke sini dan menitipkan kudanya ini. Kemarin dia menanyakan jalan menuju ke Goa Tengkorak." Dia berhenti sebentar dan memandang jauh ke depan dengan sinar mata kosong namun mengandung rasa takut.

"Lanjutkanlah, totiang," Kim Hong mendesak tak sabar.

"Pinto sudah memperingatkan bahwa tempat itu bukan merupakan tempat pesiar namun tempat berbahaya sekali yang tidak pernah dikunjungi orang. Akan tetapi dia membujuk pinto sehingga akhirnya pinto mengantarnya ke daerah itu. Ketika kami tiba di sana, pinto sudah mengajaknya untuk segera pulang saja, akan tetapi kongcu itu memaksa hendak memasuki sebuah goa besar di sana. Pinto segera memperingatkan dan mencegahnya, akan tetapi kongcu itu nekat memaksa, bahkan meninggalkan pesan kepada pinto bahwa dia mempunyai seorang teman wanita yang sedang menanti di dalam hutan, dan apa bila pinto berjumpa dengan nona supaya pinto memberi tahukan semuanya. Nah, pinto tidak berhasil membujuknya dan dia pun memasuki goa. Pinto menunggu di luar goa sampai malam dan dia belum juga keluar. Terpaksa pinto pulang sendirian..."

Kim Hong mengerutkan alisnya. "Apakah totiang tidak menyusul dan memanggilnya?"

Tosu itu nampak terkejut. "Ahh, nona belum tahu rupanya. Tempat itu amat keramat dan juga berbahaya. Apa bila pinto tahu bahwa kongcu itu hendak memasuki goa, tentu pinto tidak berani dan tidak mau mengantarnya. Goa-goa itu merupakan goa-goa keramat yang tak pernah didatangi manusia dan kabarnya siapa yang berani masuk goa tak akan dapat keluar kembali. Maka pinto tidak berani memasukinya untuk menyusul kongcu."

"Hemmm, apakah totiang pernah mendengar tentang Siluman Goa Tengkorak? Di situkah sarangnya?"

Tosu itu menggelengkan kepala. "Pinto hanya tahu bahwa tempat seperti itu sudah pasti menjadi sarang para siluman dan iblis. Ah, pinto khawatir sekali kalau-kalau kongcu telah mengalami hal-hal yang tidak baik dan tertimpa mala petaka di dalam goa itu..."

"Totiang, kalau begitu tolong antar saya ke tempat itu!" Kim Hong yang merasa khawatir sekali itu mendesaknya.

"Apa...?! Nona... nona hendak menyusul ke sana?"

"Benar, akan saya susul dia ke dalam goa! Habis, kalau tidak ada yang berani memasuki goa menyusulnya, bagaimana dapat menemukannya?"

"Tapi itu berbahaya sekali, nona! Pinto tidak berani!"

"Totiang tidak usah masuk, biarlah aku sendiri yang masuk!" kata Kim Hong agak jengkel karena melihat pendeta itu ketakutan, padahal dari gerak-gerik pendeta ini dapat diduga bahwa pendeta ini bukanlah orang sembarangan, bukan orang yang lemah.

"Tapi itu pun berbahaya sekali, nona. Lihat, kongcu masuk ke dalam goa dan tidak keluar lagi. Kalau sekarang nona juga masuk ke sana dan terjadi apa-apa, bukankah pinto yang menerima dosanya? Sebaiknya kalau nona minta bantuan susiok..."

"Susiok? Siapa dia?"

"Pinto mempunyai seorang susiok (paman guru) yang pandai melihat hal-hal jauh, pandai melihat hal-hal yang telah lampau. Susiok tentu akan dapat membantu kita memberi tahu bagaimana keadaan kongcu sekarang dan di mana dia berada."

Kim Hong tidak mau percaya segala macam ketahyulan dan segala macam ilmu ramalan ini. Yang terpenting dia harus turun tangan mencari dan kalau perlu menolong Thian Sin. Tentu telah terjadi sesuatu dengan pemuda itu.

"Tidak, totiang, aku ingin mencarinya sendiri. Mari totiang tunjukkan di mana tempatnya. Totiang tidak usah mencampuri, aku akan mencarinya sendiri."

Kakek itu menarik napas panjang dan setelah menggeleng-gelengkan kepalanya dia pun berkata, "Siancai... orang-orang muda sekarang sungguh mempunyai hati yang keras dan berani. Selama ini pinto hidup tenteram di sini, akan tetapi kini pinto melihat orang-orang muda seperti kongcu dan nona berani menempuh bahaya. Sungguh membuat hati pinto berduka dan penasaran. Marilah, nona, pinto antarkan ke daerah Goa Tengkorak."

Berangkatlah mereka dan ternyata jalan yang mereka lalui sekarang jauh lebih sukar dari pada jalan menuju ke kuil kuno yang dilalui Kim Hong seorang diri tadi. Dan di sini dara perkasa itu mendapatkan kenyataan bahwa dugaannya memang benar, tosu itu bukanlah seorang lemah karena dapat berjalan melalui jalan yang sukar, terjal dan licin, dan untuk dapat melalui jalan seperti ini membutuhkan ginkang yang lumayan. Karena itu, di tengah perjalanan mendaki tebing dia pun tidak dapat menahan keinginan tahunya.

"Kulihat totiang bukan seorang lemah dan juga memiliki ilmu kepandaian, kenapa totiang begitu ketakutan terhadap Goa Tengkorak? Ada apanya sih di sana?"

Pendeta itu berhenti kemudian berpegangan pada batu karang yang menonjol. "Aih, apa sih artinya kepandaian manusia kalau harus berhadapan dengan para siluman?"

Lalu dia berjalan lagi dan kali ini dia bergerak lebih cepat, agaknya hendak meninggalkan Kim Hong atau menurut persangkaan dara itu, si tosu ini sengaja hendak memperlihatkan kepandaian atau sengaja hendak mencoba dan mengujinya.....

Tentu saja Kim Hong menganggap perjalanan itu mudah saja dan kalau dia mau, dia bisa bergerak cepat, jauh lebih cepat dari pada si tosu. Akan tetapi dia tak mau memamerkan kepandaian maka dia hanya bergerak mengikuti tosu itu saja. Akhirnya, tibalah mereka di daerah berbatu-batu, di hadapan mereka terbentang dinding batu karang yang tinggi dan penuh dengan goa-goa yang bentuknya menyeramkan, karena banyak di antara goa goa itu yang bentuknya mirip seperti tengkorak manusia.

"Inikah Goa Tengkorak...?" Kim Hong bertanya, seperti kepada diri sendiri ketika melihat kakek itu berhenti bergerak kemudian memandang ke arah dinding karang yang tinggi dan panjang itu.

Memang tempat itu sangat sunyi dan kering kerontang, tempat yang terpencil dan sukar sekali didatangi. Tempat yang sangat patut menjadi tempat sembunyi sebangsa siluman atau setidaknya para penjahat besar yang hendak menghindarkan diri dari pengejaran.

"Lalu di goa yang manakah temanku itu masuk?"

"Di goa yang sana itu, nona. Tapi... tapi nona jangan masuk... ahhh, sungguh berbahaya sekali, nona."

"Bagaimana totiang tahu bahwa masuk ke sana berbahaya?" Kim Hong bertanya secara tiba-tiba sambil menatap tajam wajah kakek itu.

"Bukankah kongcu masuk ke sana dan tidak keluar lagi? Bagaimana kalau nona juga tak keluar lagi?"

"Sudahlah, lebih baik totiang kembali saja dan biarkan aku sendiri mencari temanku. Jadi, di goa itu masuknya?"

"Benar, nona. Dan pinto akan menanti di sini..."

Kim Hong sudah berloncatan menuju ke goa yang ditunjukkan oleh kakek itu. Sebuah goa yang bentuknya seperti tengkorak dan kelihatan hitam gelap karena cahaya matahari tak dapat memasukinya. Ia bersikap waspada, mengerahkan sinkang-nya dan memasuki goa itu dengan seluruh urat syaraf tubuhnya siap siaga menghadapi segala kemungkinan. Di tempat seperti ini mungkin saja dipasangi alat-alat rahasia dan jebakan-jebakan, pikirnya.

Akan tetapi kkhawatirannya itu tak terbukti. Di dalam goa itu tidak ditemukan sesuatu pun juga. Goa yang lebar dan dalam akan tetapi kosong, dan penyelidikannya terbentur pada dinding-dinding batu goa itu. Tidak terdapat terowongan atau pintu rahasia, tidak terdapat jebakan-jebakan dan di situ dia tidak menemukan jejak Thian Sin.

Dengan kecewa dia pun keluar lagi dan ternyata tosu itu masih menunggu di tempat yang tadi. Melihat dia muncul kembali, tosu itu cepat menghampiri.

"Siancai... siancai... sungguh gembira sekali hati pinto melihat nona sudah keluar dalam keadaan selamat!"

"Totiang, benarkah temanku itu masuk ke dalam goa ini?"

"Benar, nona."

"Namun tidak kutemukan apa-apa di dalamnya. Goa biasa dan tidak ada jalan tembusan. Bagaimana mungkin temanku itu lenyap begitu saja di dalamnya?"

"Aih, nona, di tempat seperti ini, apakah yang tak mungkin? Siapa tahu akan rahasianya. Pinto rasa, yang dapat membantu dan menerangkan kepada nona hanyalah susiok pinto itu seorang. Kalau nona mau, mari pinto antarkan nona ke sana menjumpainya."

Hati Kim Hong mulai tertarik. Apa bila dia harus mencari sendiri tanpa adanya jejak sama sekali, mana mungkin? Tempat ini penuh dengan goa-goa dan daerah ini berbatu-batu, sedikit pun tidak kelihatan jejak Thian Sin. Pemuda itu lenyap secara aneh di dalam goa yang biasa saja. Ataukah kakek ini yang berbohong padanya? Dan kakek ini menjanjikan bantuan lewat seorang susiok-nya yang pandai ilmu sihir. Hemm, sungguh mencurigakan, dan menarik sekali.

Ada dua kemungkinan yang menguntungkan baginya. Pertama, siapa tahu kalau-kalau paman guru dari pendeta ini benar-benar sakti dan dapat memberi tahu di mana adanya Thian Sin. Ke dua, andai kata pendeta ini berbohong, tentu ada sebabnya dan tentu ada hubungannya dengan lenyapnya Thin Sin.

Agaknya inilah satu-satunya jejak yang harus ditelusurinya dan dihadapinya, sungguh pun bukan tidak mungkin kalau dia akan menghadapi bahaya. Untuk menolong Thian Sin, dia sanggup menghadapi bahaya yang bagaimana pun juga besarnya.

"Baiklah, totiang. Tentu saja aku mau memperoleh segala macam bentuk bantuan untuk dapat menemukan sahabatku itu. Akan tetapi aku belum mengenal totiang dan susiok dari totiang itu..."

"Nama pinto Siok Cin Cu dan sudah bertahun-tahun pinto bertapa di kuil itu, hidup aman tenteram sampai munculnya kongcu dan nona. Ada pun susiok pinto itu adalah seorang pertapa tua yang tidak lagi mau dikenal namanya, namun tentu saja nona boleh mencoba untuk bertanya kepada beliau kalau berhadapan sendiri. Beliau tidak lagi mau berurusan dengan orang luar, akan tetapi kalau pinto yang membawa nona menghadap, tentu beliau akan mau menolong nona. Hanya susiok sajalah yang akan dapat mengetahui di mana adanya teman nona itu. Marilah, nona."

Kim Hong mengikutinya dan secara diam-diam dia berpikir. Mengapa tosu ini tidak pernah menanyakan namanya atau nama Thian Sin? Sikap ini memperlihatkan sikap tidak peduli, akan tetapi pada lain pihak, kakek ini mau bersusah payah mengantar mereka ke goa dan sekarang sedang berusaha untuk menolong dengan membawanya kepada susiok-nya. Ini menunjukkan sikap yang sangat peduli.

Dan bila mana ada sikap yang amat bertentangan ini, tentu ada apa-apanya! Atau tosu ini memang orang aneh sekali atau memang bermain sandiwara. Maka sebaiknya kalau dia pun ikut saja bermain sandiwara agar dapat melihat apa yang sedang terjadi di balik layar.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Gubuk kecil itu berada di atas bukit di balik dinding batu karang. Letaknya mengingatkan Kim Hong kepada kuil tempat tinggal Siok Cin Cu, yaitu di puncak bukit dari mana dapat nampak pemandangan di bawah, sampai ke permukaan Sungai Fen-ho dengan jelasnya. Sebuah tempat penjagaan yang amat baik, seperti juga di kuil itu, pikir Kim Hong. Mereka tiba di depan gubuk kecil panjang itu menjelang sore.

"Harap nona menunggu sebentar di luar, pinto hendak menghadap dan membujuk susiok agar suka menerima nona."

Kim Hong mengangguk. Akan tetapi pada waktu tosu itu memasuki pintu depan pondok, dia segera mempergunakan ginkang-nya untuk menyelinap mendekati pondok kemudian memasukinya dari belakang.

Pondok itu kecil namun panjang. Ketika dia mendengar suara orang bercakap-cakap dari ruangan dalam, dia cepat mengintai dari balik jendela. Ia melihat sebuah ruangan panjang yang gelap, dan Siok Cin Cu telah berada di situ, berlutut di atas lantai di depan seorang pendeta lain yang duduk di tempat yang gelap, hanya nampak bentuk tubuhnya saja yang jangkung dan sepasang matanya yang seperti mencorong di dalam gelap.

Pendeta itu, yang dapat dikenal dari pakaiannya yang bentuknya seperti jubah kebesaran, duduk bersila di atas bantalan bundar, tidak bergerak seperti patung yang menyeramkan karena matanya seperti mata harimau, atau seperti mata setan.

"Susiok, harap susiok memaafkan teecu yang lancang datang menghadap. Teecu sedang mengantarkan seorang nona yang menghadapi kegelisahan besar karena dia kehilangan seorang sahabatnya. Teecu mohon kerelaan hati susiok untuk bisa memberikan petunjuk kepadanya."

"Siancai... siancai...! Orang-orang muda yang ceroboh, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri untuk mencampuri urusan orang lain. Sungguh berani sekali mereka itu menentang siluman-siluman Goa Tengkorak... siancai...! Akan tetapi karena engkau sudah mengajak nona itu ke sini, Siok Cin Cu, biarlah akan kucoba menolongnya. Suruh dia masuk."

Setelah melibat dan mendengar ini, cepat Kim Hong meloncat keluar lagi dan jantungnya berdebar heran. Bagaimana kakek itu langsung dapat mengetahui bahwa dia dan Thian Sin menentang siluman-siluman Goa Tengkorak? Melihat sikap Siok Cin Cu pada waktu menghadap tadi, maka keraguannya bahwa pendeta itu menipunya mulai berkurang dan dia pun mulai percaya bahwa susiok dari pendeta itu boleh jadi memang mempunyai ilmu kepandaian yang luar biasa.

Ketika tosu itu muncul, Kim Hong berlagak seperti sedang melihat-lihat keadaan di bawah bukit. Dia mendapat kenyataan bahwa dari bukit itu, seperti juga dari kuil si tosu, bagian bawah dari daerah Goa Siluman dapat nampak sehingga setiap ada orang yang mendaki menuju ke tempat itu, tentu dapat terlihat dari kedua tempat ini.

"Nona, sungguh beruntung sekali. Susiok mau menerimamu. Mari, nona, silakan masuk."

Kim Hong mengangguk lantas mengikuti tosu itu masuk ke dalam pintu depan dan begitu masuk, dia melihat betapa di sebelah dalam rumah itu gelap sekali karena semua jendela tertutup. Hanya ada sedikit cahaya yang menerobos masuk melewati celah-celah dinding, membuat cuaca di dalam ruangan dalam rumah itu remang-remang.

"Silakan, nona," bisik Siok Cin Cu yang memberi isyarat kepada dara itu untuk maju ketika mereka tiba di ruangan yang tadi diintai oleh Kim Hong. Kim Hong masih tetap bersikap waspada.

Memang sudah semestinya seorang pendekar tidak pernah meninggalkan kecurigaan dan kewaspadaannya, begitulah pelajaran yang sejak dahulu ditekankan di dalam hatinya oleh orang tuanya. Maka, biar pun dia mulai percaya kepada Siok Cin Cu yang dianggapnya tidak mempunyai iktikad buruk, tetap saja dara perkasa ini bersikap waspada dan selalu siap menghadapi bahaya dari mana pun juga datangnya. Dia memandang kepada sosok tubuh yang duduk bersila di sudut ruangan, lalu menjura kepada sosok tubuh itu.

"Ahhh, selamat datang, nona. Silakan duduk dan maafkan, di sini pinto tidak memiliki kursi dan meja, maka terpaksa kita duduk di atas lantai saja. Silakan." Sosok tubuh itu berkata tanpa bergerak.

"Terima kasih, locianpwe," jawab Kim Hong yang segera duduk bersimpuh di atas lantai.

Dia lalu menggunakan tangannya menekan lantai sambil mengerahkan sinkang-nya untuk melihat apakah lantai itu asli ataukah ada rahasianya dan merupakan perangkap. Namun hatinya terasa lega ketika mendapatkan kenyataan bahwa lantai itu merupakan lantai batu yang tidak mongandung sesuatu yang mencurigakan.

"Sekarang katakan, apakah yang dapat pinto lakukan untuk membantumu, nona?"

Diam-diam Kim Hong memuji kakek itu. Biar pun dia tidak dapat melihat dengan jelas, dia dapat menduga bahwa orang itu tentulah seorang pria yang sudah tua, apa lagi bukankah pria ini merupakan paman guru dari tosu Siok Cin Cu? Betapa pun juga, kakek ini tidak sombong, biar pun sudah jelas tahu apa yang menjadi kesulitannya, akan tetapi kakek itu masih bertanya dan tidak mendahuluinya menyombongkan pengetahuannya.

"Locianpwe, saya mencari seorang sahabat saya yang hilang setelah dia memasuki salah sebuah goa dan saya tak dapat menemukan jejaknya lagi. Mohon pertolongan locianpwe untuk memberi petunjuk di mana adanya sahabat saya itu."

Hening sejenak dan Kim Hong mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan jawaban dari sosok tubuh yang masih bersila tanpa tergerak itu. Akhirnya, setelah menunggu agak lama, kakek itu menjawab.

"Hemm, bukankah temanmu itu seorang pemuda perkasa dan berdarah bangsawan tinggi, she-nya Ceng?"

Diam-diam Kim Hong terkejut. Ternyata orang ini benar-benar hebat!

"Dan engkau sendiri juga berdarah bangsawan tinggi she Toan, bukan?"

Kim Hong makin terkejut dan makin tertarik. "Benar, locianpwe," jawabnya dan kini dia mulai percaya bahwa dia memang berhadapan dengan seorang tua yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bahkan dia mulai memelihara harapan bahwa kakek ini benar-benar akan dapat menolongnya dan dapat memberi tahu di mana adanya Thian Sin.

"Kalau begitu, engkau pandanglah ke sini, nona. Lihatlah baik-baik dan apakah yang bisa nampak olehmu?"

Kim Hong mengangkat mukanya memandang. Matanya terbelalak melihat sebuah wajah yang remang-remang, akan tetapi di atas kepala itu nampak sebuah sinar laksana lampu yang amat terang dan menyilaukan mata.

"Engkau merasa silau, nona? Jika silau, pejamkanlah matamu sejenak. Nah... begitulah, pejamkan matamu dan terasa amat nikmat bukan? Nikmat untuk tidur. Kini engkau mulai mengantuk, karena itu tidurlah, nona. Di sini aman, dan aku akan melindungimu, tidurlah, nona, tidurlah dengan nyenyak."

Kim Hong tadinya tidak tahu bahwa dia sudah terseret oleh kekuatan yang luar biasa dan begitu dia menuruti permintaan suara itu tadi untuk memandang dan menjadi silau melihat sinar menyilaukan, dia seakan-akan telah membiarkan semangatnya dikuasai orang yang memiliki ilmu sihir!

Ketika suara itu dengan lembutnya menyuruhnya memejamkan mata, maka otomatis dia pun memejamkan matanya, dan ketika mendengar suara menyuruhnya tidur, dia seperti tidak sanggup lagi menahan rasa kantuknya yang membuat matanya berat dan tak dapat dibukanya lagi. Ia ingin tidur, sungguh ingin sekali untuk tidur dan betapa nikmatnya kalau dapat tidur pulas pada saat itu!

Akan tetapi, Kim Hong bukanlah seorang dara biasa. Selain memiliki ilmu silat yang amat tinggi dan tenaga sinkang amat kuat, juga dia sudah hidup berdua bersama Ceng Thian Sin selama beberapa tahun ini sehingga dalam percakapan mereka kadang-kadang Ceng Thian Sin membuka rahasia tentang kekuatan sihir. Walau pun dia tidak mempelajari ilmu itu, akan tetapi dia sudah mulai mengerti akan seluk-beluknya.

Karena itu, ketika kekuatan sihir dari kakek itu mulai mempengaruhi serta membelenggu dirinya, dia terkejut dan teringat lalu mengerahkan sinkang-nya untuk memberontak! Kim Hong berhasil meronta, bahkan lalu meloncat berdiri. Akan tetapi, saat dia masih sedang bersitegang melepaskan diri dari keadaan tidak sadar itu, tiba-tiba ada sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu kedua pundak Kim Hong telah ditotok orang.

Dara perkasa ini baru dalam keadaan setengah sadar, masih terpengaruh oleh kekuatan sihir, maka biar pun nalurinya yang amat kuat itu membuat dia berusaha mengelak, tetapi tetap saja totokan pada pundak kirinya mengenai sasaran dan tubuhnya yang sebelah kiri seketika menjadi kehilangan tenaga seperti lumpuh.

Pada saat itu pula dia langsung diringkus lantas kaki tangannya dibelenggu, kemudian jari tangan yang kuat menekan pundak kanannya dan habislah kekuatannya. Dia tertotok dan tidak mampu bergerak lagi!

"Bagus!" katanya sambil menekan kemarahannya. "Ternyata engkau adalah Siluman Goa Tengkorak!"

Akan tetapi yang menjawabnya hanya suara ketawa saja. Tanpa dapat melawannya, Kim Hong melihat dirinya dimasukkan ke dalam sebuah karung hitam kemudian dia dipondong orang dan dibawa pergi dari situ. Ia tahu bahwa yang memondongnya bukan Siok Cin Cu, karena orang ini memiliki ginkang yang jauh lebih lihai dari pada tosu itu.

Kim Hong tidak tahu ke mana dirinya dibawa. Dari dalam karung hitam itu dia tidak dapat melihat sesuatu dan dia hanya merasa dibawa naik turun dengan cepat. Sesudah lewat waktu cukup lama, akhirnya dia dikeluarkan dari dalam karung dan dilemparkan ke dalam sebuah kamar, di atas dipan, dalam keadaan tertotok dan terbelenggu kaki tangannya!

Ternyata kamar itu hanya sebuah kamar yang tidak begitu besar, dari tembok tebal dan pintunya dari besi, ada lubang-lubang angin di bawah dan di atas. Sebuah kamar tahanan yang sangat kuat. Pintu itu sudah dikunci, akan tetapi dari jeruji yang terdapat di bagian atas pintu besi, dia dapat melihat ada orang di luar pintu. Seorang laki-laki yang berjubah sutera putih, dengan gambar tengkorak darah di dadanya dan mukanya tertutup topeng tengkorak!

Tentu saja Kim Hong merasa ngeri. Bukankah siluman itu sudah tewas bersama kudanya di dasar jurang? Akan tetapi dia segera dapat menenangkan dirinya dan mengertilah dia bahwa Siluman Goa Tengkorak bukan hanya terdiri dari seorang penjahat saja.

Hari sudah menjadi malam dan kamar itu hanya menerima cahaya lampu yang berada di luar kamar, melewati lubang-lubang angin dan jeruji pintu besi. Kim Hong mengumpulkan kekuatannya dan menjelang tengah hari dia pun berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan.

Setelah pengaruh totokan itu punah, dengan pengerahan sinkang dia dapat mematahkan belenggu di kaki tangannya. Akan tetapi, baru saja dia bangkit dan hendak mencari jalan keluar, terdengar suara mendesis-desis dan dia melihat asap putih menyembur-nyembur masuk dari lubang-lubang angin.

Begitu mencium asap ini maka tahulah dia bahwa asap itu adalah asap yang mengandung racun bius! Maka dia pun cepat-cepat bertiarap di atas lantai, akan tetapi tindakannya ini hanya memperpanjang sedikit waktu saja karena akhirnya dia terpaksa menyedot asap itu dan jatuh pingsan.

Malam telah larut ketika Kim Hong siuman kembali. Kamar telah bersih dari asap, tapi dia merasakan kepalanya agak pening. Kaki tangannya telah terbelenggu kembali, malah kini tubuhnya sudah diletakkan orang di atas dipan. Terdengar suara di pintu dan ketika dia menengok, dia melihat ada orang bertopeng tengkorak di luar pintu.

"Nona, jika sekali lagi engkau melepaskan belenggu dan mencoba lari, hukumannya tentu lebih berat. Asap bius itu tidak mungkin nona lawan. Sebaiknya nona menyerah saja dan kami akan memperlakukan nona dengan baik-baik." Sesudah berkata demikian, orang itu meninggalkan pintu.

Kim Hong maklum bahwa dia terjatuh ke dalam tangan gerombolan yang lihai sekali dan dia pun tahu bahwa pada saat itu dia tidak berdaya sehingga tak mungkin meloloskan diri dengan kekerasan. Asap pembius yang sewaktu-waktu bisa masuk melalui lubang-lubang angin itu memang tak mungkin dapat dilawan dan dihindarkan, dan biar pun tidak nampak adanya penjaga, dia tahu bahwa ada penjaga-penjaga bersembunyi dan selalu mengamati gerak-geriknya.

Celaka, pikirnya. Tentu Thian Sin juga sudah tertawan oleh mereka. Tenang, dia mencela diri sendiri. Tenang! Hanya ketenangan batin sajalah satu-satunya hal yang mungkin akan dapat menolongnya dan juga menolong Thian Sin. Maka dia pun lalu memejamkan mata untuk tidur agar kekuatannya dapat pulih kembali.

********************

Ke manakah perginya Ceng Thian Sin? Apa yang dikhawatirkan oleh Kim Hong memang benar. Pemuda itu pasti akan kembali ke dalam hutan seperti yang sudah dijanjikannya kepada Kim Hong kalau tidak ada hal yang membuatnya tidak mungkin melakukan hal itu.

Seperti yang telah kita ketahui, setelah bertemu dengan Cia Liong dan Cia Ling kemudian mendengar pesan terakhir dari Kwee Siu, setelah mengubur jenazah pendekar itu, Thian Sin lantas membagi tugas dengan kekasihnya. Dia menyuruh Kim Hong menyelamatkan dua orang anak itu dan menitipkannya kepada orang di tempat yang aman, kemudian dia sendiri lalu mencari jejak siluman yang telah membunuh Kwee Siu.

Jejak itu membawanya ke daerah Goa Tengkorak. Akan tetapi setelah tiba di kaki bukit di mana terdapat tebing Goa Tengkorak, seperti juga Kim Hong, dia melihat kuil kuno itu dan hatinya tentu saja tertarik sekali. Dia sendiri belum tahu di mana adanya Goa Tengkorak, tidak tahu bahwa daerah goa itu terdapat di atas tebing, maka dia pun lalu turun dari atas punggung kudanya dan menuntun kuda itu mendaki bukit menuju ke kuil yang berdiri di puncak bukit.

Ketika tiba di depan kuil, dia melihat seorang tosu sedang menyapu pelataran depan kuil itu. Tosu itu berhenti menyapu dan menyambut kedatangan pemuda itu dengan pandang mata heran.

"Maaf totiang apa bila saya mengganggu ketenteraman tempat ini," kata Thian Sin sambil menjura dengan hormat.

Tosu itu cepat membalas dengan anggukan dan kedua tangan dirangkap di depan dada. "Siancai... siancai...! Sungguh merupakan hal yang sangat mengherankan melihat tempat ini kedatangan tamu seperti kongcu!" jawab tosu itu yang bukan lain adalah tosu yang kemudian mengaku bernama Siok Cin Cu pada Kim Hong. "Bagaimanakah kongcu dapat tiba di tempat yang terasing ini dan apakah gerangan keperluan kongcu bersusah payah mendaki tempat ini?"

"Maaf, totiang. Saya hendak mohon petunjuk totiang tentang tempat yang dinamakan Goa Tengkorak. Saya sedang mencari tempat itu."

Tosu itu tidak menunjukkan perubahan pada wajahnya, tetapi pandang matanya bersinar dan tentu saja sedikit hal ini tidak terlewat dari ketajaman pandang mata Thian Sin.

"Goa Tengkorak...?"

"Benar, apakah totiang mengetahui tempat itu?"

Kakek itu mengangguk kemudian memandang pada wajah pemuda itu dengan ragu-ragu. "Tapi... ada keperluan apakah kongcu datang ke tempat seperti itu?"

"Tempat seperti itu? Apakah yang totiang maksudkan? Ada apakah dengan tempat itu?" Thian Sin balas bertanya.

Tosu itu nampak bingung oleh serangan kata-kata Thian Sin ini, lalu menggeleng kepala. "Tidak apa-apa, hanya... selama bertahun-tahun ini belum pernah pinto melihat ada orang mencari tempat itu, maka pinto merasa terkejut dan heran ketika tiba-tiba kongcu muncul dan mencari tempat itu."

Jawaban yang teratur sekali, pikir Thian Sin. Menghadapi tosu yang sangat pintar ini tidak ada gunanya berputar lidah, maka dia pun segera berkata, "Sesungguhnya saya hendak menyelidiki Goa Tengkorak dan hendak mencari Siluman Goa Tengkorak, totiang."

Sekarang tosu itu nampak terkejut dan agaknya dia tidak menyembunyikan rasa kagetnya mendengar disebutnya Siluman Goa Tengkorak. Akan tetapi tosu itu menentang pandang mata Thian Sin yang tajam penuh selidik itu, lalu menarik napas panjang.

"Siancai... jangan-jangan kongcu mengira bahwa pintolah orangnya yang terkenal dengan sebutan Siluman Goa Tengkorak!"

Diam-diam Thian Sin kagum dengan kecerdikan orang ini dan dia semakin waspada. Dia tersenyum ramah lantas berkata, "Baru saja aku mendengar nama itu, totiang, tentu saja aku tak berani menuduh dan menduga sembarangan. Dan karena totiang juga mengenal nama itu, maka aku ingin mohon petunjuk totiang di mana kiranya aku bisa menemukan siluman itu. Di mana dia tinggal? Apakah di Goa Tengkorak dan di mana letak goa itu?"

Kakek itu kembali menghela napas. "Siapakah yang tidak mendengar namanya, kongcu? Akan tetapi siapa pula yang tahu di mana tempat tinggalnya? Baru kurang lebih sebulan lamanya, pasukan keamanan bersama banyak pendekar telah datang ke sini dan mereka mencari di daerah tebing Goa Tengkorak akan tetapi tak berhasil menemukan apa-apa."

Thian Sin mengangguk-angguk. "Ahh, jadi nama itu sudah terkenal sekali dan dicari oleh pasukan keamanan dan para pendekar, totiang?"

Kakek itu mengangguk-angguk. "Mungkin begitu. Pinto sendiri yang selamanya bertapa di sini tidak tahu menahu akan hal itu. Baru sesudah pasukan itu mencari di daerah ini pinto tahu bahwa semenjak dua tiga bulan ini nama itu dikenal orang. Akan tetapi apakah benar dia berada di sini, tak seorang pun yang tahu. Maka, pinto rasa akan percuma saja kalau kongcu mencarinya, dan pula, amat berbahaya, kongcu."

Thian Sin memandang tajam. "Kenapa berbahaya, totiang?"

"Pinto sudah mendengar berita dari anggota pasukan itu bahwa orang ini amat lihai, ilmu kepandaiannya bagaikan dewa... dan goa-goa itu merupakan tempat berbahaya, kabarnya keramat dan siapa berani memasukinya takkan dapat keluar lagi."

"Aku tidak takut, totiang. Harap totiang suka menunjukkan di mana tempatnya dan kalau memang benar Siluman Goa Tengkorak berada di situ, totiang tidak usah turut campur, biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya."

Kakek itu memandang kepada Thian Sin mulai dari kepala sampai ke kaki, kemudian dia mengangguk-angguk. "Ahhh, kiranya kongcu adalah seorang pendekar muda yang gagah berani. Baiklah kalau begitu, mari pinto antar sampai ke tempatnya. Tetapi tidak mungkin membawa kuda mendaki tempat itu dan setelah tiba di sana, pinto akan segera kembali."

"Terima kasih, totiang," Thian Sin berkata girang dan tosu itu menyuruh dia menambatkan kuda di belakang kuil.

Maka berangkatlah mereka mendaki tebing yang curam itu dan akhirnya Thian Sin berdiri memandang dinding batu karang yang penuh dengan goa yang menyeramkan, goa-goa yang sebagian besar berbentuk tengkorak manusia. Tempat yang sangat sunyi dan tidak ada tanda-tanda bahwa di tempat itu ada manusianya.

"Goa-goa itu telah diperiksa oleh pasukan akan tetapi tidak ada hasilnya," tosu itu berkata dengan suara datar dan terdengar dingin.

"Lalu kenapa mereka mengejar dan mencari ke tempat ini, totiang?"

"Itulah, mungkin karena desas-desus bahwa orang yang sedang mereka cari itu kelihatan memasuki goa itu," kakek itu menudingkan telunjuknya ke arah sebuah goa, nomor tiga dari kiri yang bentuknya juga mirip tengkorak.

"Nomor tiga dari kiri itu?"

"Betul. Nah, sudahlah, kini pinto terpaksa harus meninggalkan kongcu seorang diri di sini. Ataukah kongcu sudah berbalik pikir dan hendak ikut turun kembali bersama pinto?"

Thian Sin memaksa tersenyum. "Kalau totiang mengira bahwa aku menjadi jeri atau takut sesudah mendengar cerita totiang atau sesudah melihat tempat ini, totiang sudah salah duga. Tidak, aku akan mencari Siluman Goa Tengkorak dan aku yakin pasti akan dapat menemukan dia di sini kalau memang benar di sini tempat tinggalnya." Pemuda perkasa itu melihat betapa pandangan tosu itu bersinar seperti orang tersinggung, akan tetapi tosu itu segera menundukkan mukanya.

"Siancai...! semoga kongcu tidak menemui halangan apa pun." Dan tosu itu pun kemudian membalikkan tubuhnya dan turun kembali dari atas tebing.

Setelah tosu itu lenyap di tikungan tebing yang curam itu, Thian Sin lalu berloncatan cepat sekali menghampiri goa-goa di sebelah kiri. Dia memeriksa goa-goa itu, dari goa pertama sampai lima buah goa banyaknya hingga mendapatkan kenyataan bahwa goa ke tiga itu memang yang terbesar dan dalam.

Dia lalu memasuki goa ke tiga ini, sebuah goa yang dalamnya tidak kurang dari dua puluh meter dan lebarnya ada empat meter. Goa ini merupakan ruangan yang cukup luas akan tetapi tentu saja tidak enak apa bila dijadikan tempat tinggal karena lantainya terbuat dari batu-batu yang tidak rata dan bahkan makin ke dalam makin menurun, merupakan lereng dan juga tajam-tajam seperti batu karang di lautan.

Dengan amat waspada dan hati-hati sekali, Thian Sin lalu memeriksa goa ini. Dipandang sepintas lalu saja, tidak mungkin ada yang bersembunyi di sini, karena walau pun goa itu merupakan tempat yang terasing akan tetapi sungguh sangat tidak enak untuk dijadikan tempat tinggal.

Akan tetapi Thian Sin terus memeriksa ruang yang gelap itu dan tiba-tiba dia menemukan sebuah terowongan di sudut kanan, tempat yang paling gelap. Kalau tidak mendekat dan meraba, sulit untuk menemukan terowongan ini. Dia tidak segera masuk, melainkan lebih dahulu memeriksa dengan seksama. Kalau memang tempat ini pernah diperiksa pasukan, tidak mungkin kalau pasukan tidak menemukan terowongan ini.

Ketika dia memeriksa dengan meraba-raba bagian ambang pintu terowongan, jantungnya berdebar meraba papan besi di balik batu yang agaknya tadinya menutup terowongan itu. Jelaslah bahwa terowongan ini merupakan pintu rahasia yang belum lama dibuka orang.

Jika pintu itu dikembalikan ke tempatnya, maka pintu itu akan lenyap dan dinding di sudut itu akan lenyap pula, ada pun dinding di balik batu itu ada terowongannya. Dan tentu saja, sedikit pun tidak akan ada orang yang menduga karena pintu itu nampaknya menjadi satu dengan dinding goa. Penemuan yang kebetulan saja? Ataukah umpan jebakan?

Apa pun juga, inikah jalan satu-satunya, pikir Thian Sin dan aku akan mencari siluman itu sampai dapat! Sesudah mengambil keputusan ini, dengan tabah Thian Sin lalu memasuki terowongan yang gelap itu.

Terowongan itu ternyata cukup besar biar pun dia harus memasukinya dengan tubuh agak membungkuk. Akan tetapi ternyata lantainya lebih rata dari pada lantai di ruangan depan goa itu. Hal ini mendatangkan dugaan bahwa tempat ini memang sengaja dibuat orang.

Ketika dia melangkah maju dengan hati-hati di tempat yang remang-remang dan semakin gelap itu, kurang lebih dua puluh langkah, tiba-tiba terdengar suara keras di belakangnya! Thian Sin cepat membalikkan tubuhnya dan siap siaga menghadapi serangan, akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada dirinya. Suara keras itu diikuti kegelapan yang menelan dirinya, maka tahulah Thian Sin bahwa ada alat rahasia yang sudah menggerakkan batu yang kini menutup lubang terowongan!

Dia menahan senyum dan tidak mau memperlihatkan kepanikan dengan kembali ke mulut terowongan lalu mencoba membuka pintu itu. Tidak, biar pun dia telah terjebak, dia harus terus ke dalam dan menghadapi bahaya apa pun juga! Maka dengan sikap tenang sekali Thian Sin melanjutkan perjalanannya, melalui jalan terowongan yang gelap itu dan melaju terus. Dia mencurahkan seluruh panca inderanya, bersiap untuk menghadapi kalau-kalau ada bahaya serangan dari sekelilingnya.

Lantai terowongan itu tetap rata, bahkan kalau turun ada anak tangganya yang terpasang rapi. Terowongan itu berbelak-belok dan menurut perhitungan Thian Sin, jarak yang telah ditempuhnya semenjak dia memasuki terowongan tidak kurang dari satu li! Akan tetapi dia pun maklum bahwa tempat itu masih berada di dalam daerah Goa Tengkorak, karena biar pun jauh, terowongan itu berlika-liku.

Dengan merentangkan kedua lengannya, dia bisa mengukur lebar sempitnya terowongan itu, juga tinggi rendahnya langit-langit karena dia harus selalu menjaga supaya kepalanya jangan sampai terbentur batu karang yang bergantungan di langit-langit. Ketika dia tiba di sebuah ruangan persegi empat, dia berhenti, lalu meraba-raba dengan kedua tangannya karena dia merasa bahwa dia berada di tempat yang lebih lebar dan luas. Dan tiba-tiba terdengar suara seperti besi bertemu dengan batu.

Karena keadaan masih gelap, Thian Sin tidak berani sembarangan bergerak, melainkan berdiri dan siap siaga untuk melindungi tubuhnya. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu pada dirinya, tidak ada serangan yang datang sungguh pun dia tadi merasakan ada sambaran angin dari benda-benda yang bergerak sangat cepat dan kuat. Dan suara hiruk-pikuk tadi pun sudah berhenti lagi.

Thian Sin menduga bahwa tentu telah terjadi pergerakan yang merupakan jebakan seperti pada waktu pintu batu terowongan tadi menutup. Dengan hati-hati kakinya meraba-raba ke depan, demikian pula jari tangan kirinya sedangkan tangan kanannya siap siaga untuk menangkis atau menyerang. Kaki serta tangan kirinya itu segera menemukan kenyataan bahwa kini dirinya telah terkurung! Kanan dan kirinya adalah dinding batu yang dingin dan keras, sedangkan di sebelah depannya adalah dinding besi atau baja yang setebal lengan manusia. Dia telah terkurung!

Mendadak tempat itu menjadi terang sekali dan ternyata ada bagian dinding di luar jeruji besi itu yang terbuka. Sebuah pintu besi tiba-tiba saja muncul dan terbuka dan dari situlah datangnya cahaya yang terang itu. Agaknya sinar matahari dapat memasuki tempat yang diduganya tentu berada di bawah tanah ini.

Agak silau juga mata Thian Sin sehingga ia terpaksa memejamkan kedua matanya tanpa mengurangi kewaspadaannya dan kini dia menjaga diri dengan mengandalkan ketajaman pendengaran telinganya. Walau pun dia sedang memejamkan kedua matanya, namun dia mengetahui dari pendengarannya bahwa di luar jeruji besi itu terdapat sedikitnya sepuluh orang yang semuanya mempunyai ilmu silat yang cukup tinggi, terbukti dari gerakan kaki mereka yang gesit dan ringan ketika mereka itu datang mendekat.

Ketika dia membuka kedua matanya, dia melihat bahwa di luar jeruji itu berdiri dua belas orang. Semua orang itu memakai jubah sutera putih dengan gambar tengkorak merah di dada mereka dan muka mereka semuanya memakai topeng tengkorak! Dengan sekilas pandang saja tahulah pemuda perkasa itu bahwa keadaannya sungguh terjepit dan tidak ada harapan baginya untuk dapat meloloskan diri mempergunakan kekerasan.

Dia benar-benar berada di dalam bahaya, terjebak di dalam terowongan bawah tanah dan harus menghadapi banyak musuh yang agaknya tangguh juga. Akan tetapi, bukan watak Pendekar Sadis Ceng Thian Sin untuk berkecil hati dalam keadaan bagaimana pun juga.

Dia berdiri di tengah ruangan itu, menghadapi dua belas orang siluman sambil tersenyum lebar. "Ha-ha-ha, ternyata Siluman Goa Tongkorak yang disohorkan orang itu tiada lain hanyalah kumpulan tikus-tikus gunung yang kehebatannya cuma mengandalkan lubang-lubang tikus jebakan dan pengeroyokan belaka!"

Belasan pasang mata di balik topeng-topeng tengkorak itu mengeluarkan cahaya berkilat tanda bahwa mereka marah sekali mendengar ucapan ini yang sangat merendahkan dan menghina mereka. Seorang dari mereka yang berdiri di pinggir berkata, suaranya halus namun penuh mengandung ancaman.

"Orang muda, engkau sudah tertawan dan nyawamu berada di telapak tangan kami, akan tetapi masih berani bersikap berani dan menghina. Engkau sungguh seorang muda yang gagah perkasa akan tetapi juga bodoh dan bosan hidup. Siapa pun orangnya yang berani lancang memasuki daerah kami tanpa ijin, tentu mati. Akan tetapi karena Sian-su (Guru Dewa) ingin bertemu dan berbicara denganmu, maka engkau selamat. Kini menyerahlah untuk kami bawa menghadap Sian-su, siapa tahu engkau akan diampuni. Akan tetapi bila engkau melawan, tentu nanti akan dibunuh."

Orang itu memberi isyarat dengan tangannya dan sepuluh orang temannya tiba-tiba saja mengeluarkan busur dan anak panah, menodongkan anak panah ke arah Thian Sin. Lain orang di antara mereka melangkah maju, dan jeruji besi itu tiba-tiba saja tertarik ke atas, tentu digerakkan oleh alat rahasia yang tersembunyi. Orang yang bicara itu sendiri sudah mengeluarkan sebatang pedang, agaknya mereka bersiap-siap menyerang apa bila Thian Sin menggunakan kekerasan.

Thian Sin tidak berpikir panjang untuk mengambil keputusan. Apa bila dia menghendaki, kiranya dia akan mampu merobohkan dua belas orang ini dan lolos dari dalam kurungan pada saat kurungan itu dibuka. Akan tetapi dia tahu bahwa perbuatan ini tidak bijaksana.

Mereka ini hanyalah anak buah saja dan dia perlu bertemu dan berhadapan muka dengan pemimpinnya, yang disebut Sian-su oleh orang yang bicara tadi. Dia pun dapat menduga bahwa yang berbicara tadi adalah tosu yang mengantarnya ke tempat itu. Hal ini dapat dikenalnya dari kedudukan kepala orang itu yang agak miring ke kiri. Kepala yang agak miring ke kiri itu sudah dicatatnya sebagai tanda atau ciri dari tosu yang mengantarnya dan orang bertopeng ini pun kepalanya agak miring ke kiri!

Dan andai kata dia bisa lolos dari sini, belum tentu dia akan dapat lolos dari terowongan ini. Mungkin banyak dipasang alat-alat jebakan yang berbahaya, dan dia sendiri belum tahu berapa banyaknya anak buah mereka dan sampai di mana kelihaian Sian-su mereka itu. Pula, dia ingin mengetahui sampai sedalamnya dan ingin menolong pula ibu dari dua orang anak. Kalau sekarang dia mengamuk, mungkin saja dia akan menggagalkan semua usahanya.

"Kepala kalian ingin bicara denganku? Baiklah, aku pun ingin bicara dengan dia!" katanya, kemudian dia membiarkan saja orang bertopeng yang masuk ke dalam ruangan tahanan itu membelenggu kedua pergelangan tangannya ke belakang.

Belenggu itu berupa rantai baja yang cukup kuat. Orang yang bertugas membelenggunya itu agaknya tahu akan tugasnya. Sesudah membelenggu kedua pergelangan tangannya, dia segera menggerakkan tangannya, menggunakan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya untuk monotok jalan darah tiong-cu-hiat di tengkuk Thian Sin. Pendekar Sadis melihat dan tahu akan hal ini, akan tetapi dia tak bergerak dan pura-pura tidak tahu saja.

"Tukkk!"

Dua jari tangan itu dengan tepatnya menotok bagian di mana terdapat jalan darah tiong-cu-hiat dan biasanya, totokan di tempat ini akan membuat orang yang ditotoknya roboh pingsan. Akan tetapi orang bertopeng itu mengeluarkan seruan kaget sesudah kedua jari tangannya bertemu dengan kulit yang membungkus daging lunak, seolah-olah tanpa urat darah di situ, lunak sekali membuat totokannya itu meleset bagaikan menotok agar-agar saja! Dan orang yang ditotoknya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda hendak pingsan, apa lagi pingsan, bahkan mengedipkan mata pun tidak, seakan-akan totokannya tadi seperti seekor lalat yang hinggap saja!

Tentu saja orang bertopeng itu bukan hanya terkejut, melainkan juga malu dan penasaran sekali. Apa bila dia tidak memakai topeng, tentu akan nampak betapa wajahnya berubah merah bukan main.

Karena merasa betapa kulit daging tawanan itu tadi melunak lembek sekali, dia menduga bahwa orang ini mungkin tidak mempunyai kepandaian apa-apa, atau justru memiliki ilmu melembekkan daging sehingga jalan darah yang ditotok itu bisa meleset ke sana-sini jika ditotok. Cepat dia menggerakkan kembali tangan kanannya dan kini kedua jari tangannya itu menotok dengan pengerahan tenaga keras pula untuk melawan tenaga lembek lawan. Sekali ini, dia memilih jalan darah di belakang pundak, yaitu jalan darah hong-hu-hiat.

"Tukkk...!"

Sekali ini orang bertopeng itu tidak dapat menahan teriakannya, teriakan kesakitan karena tulang dua buah jari tangannya itu rasanya seperti akan patah-patah. Totokannya dengan pengerahan tenaga tadi bertemu dengan kulit yang demikian keras, seperti kulit baja tulen saja sehingga dua jari tangannya terasa nyeri bukan kepalang.

Kini orang kedua yang bertubuh tinggi besar itu menghampiri Thian Sin. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan teriakan nyaring lantas tangan kirinya telah bergerak ke depan dan jari-jari tangannya sudah menotok ke arah dada Thian Sin. Gerakannya mantap dan kuat.

Melihat gerakan itu, tahulah Thian Sin bahwa orang tinggi besar ini mempergunakan Ilmu Totok Tiam-hwe-louw, yaitu ilmu totok dari perguruan Siauw-lim-pai! Seperti juga tadi, dia pura-pura tidak tahu akan tetapi dengan diam-diam mengerahkan sinkang ke arah dada yang ditotok.

"Dukk!"

Dan orang tinggi besar itu pun meloncat ke belakang sambil menahan teriakannya karena jari tangannya bertemu dengan benda keras yang panas sekali!

Beberapa orang lain maju dan menotok tubuh Thian Sin, menggunakan bermacam cara, namun semuanya gagal. Dan Thian Sin sendiri menjadi terkejut. Orang-orang ini ternyata terdiri dari berbagai aliran perguruan silat, dan beberapa orang di antaranya adalah murid dari partai-partai bersih seperti Siauw-lim-pai dan Thian-san-pai. Tentu saja kenyataan ini membuat dia merasa heran bukan main.

"Hemm, orang muda, agaknya engkau mempunyai Ilmu I-kiong Hoan-hiat (Memindahkan Jalan Darah). Akan tetapi di depan kami tidak ada gunanya engkau berlagak," kata orang pertama atau orang yang diduga oleh Thian Sin tentulah tosu itu. Kini orang ini tiba-tiba menggerakkan tangan menotok dengan cara aneh, yaitu tanpa memilih jalan darah.

Thian Sin tahu bahwa ini adalah Ilmu Totok Coat-meh-hoat dari Bu-tong-pai! Tetapi sekali ini Thian Sin ingin memperlihatkan kelihaiannya, juga hendak memberi pelajaran kepada orang yang memandang rendah kapadanya ini, maka begitu totokan itu tiba, dia sengaja melontarkan tenaga sinkang dari tempat yang ditotok.

"Dukkk!"

Orang yang menotok itu mengaduh dan melangkah mundur, memegangi tangannya yang tadi menotok karena buku-buku tulang jari tangannya terasa remuk dan salah urat!

Semua orang bertopeng yang berada di situ siap dengan anak panah mereka. Thian Sin melihat hal ini dan dia pun berkata, "Aku sudah membiarkan diriku dibelenggu, mengapa kalian masih menghinaku? Kalau aku tidak ingin bertemu dengan pimpinan kalian, apakah semudah ini kalian dapat membelengguku? Nah, sekarang tidak perlu main-main dengan totokan lagi, mari bawa aku kepada pimpinan kalian!"

Seluruh mata di balik topeng itu memandang ragu dan agaknya kini mereka semua baru tahu bahwa tawanan muda itu sebenarnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan bahwa sejak tadi sudah mempermainkan mereka dengan membiarkan mereka menotoknya berganti-ganti!

Pemimpin kelompok itu cepat memberi isyarat dan tanpa banyak cakap lagi Thian Sin lalu diiringkan keluar dari tempat itu. Salah seorang anggota sebagai petunjuk jalan berjalan di depan, diikuti oleh Thian Sin yang sepasang tangannya dibelenggu. Di belakang Thian Sin berjalan si pemimpin yang terus menodongkan pedangnya pada tengkuk tawanan itu dan di belakangnya berbaris sepuluh orang anak buah yang menodongkan anak panah.

Sementara itu, melihat dari lampu-lampu yang dipasang di sepanjang lorong terowongan, maka maklumlah Thian Sin bahwa hari telah berganti malam. Jalan terowongan itu makin menaik dan dia melihat banyak sekali kamar-kamar di kanan kiri, ada yang kosong akan tetapi ada pula yang terisi karena dia mendengar suara orang-orang, laki-laki dan wanita, dari dalam kamar-kamar itu.

Akhirnya dia sampai di sebuah ruangan yang luas sekali dan melihat dindingnya yang dari batu dan langit-langitnya yang juga dari batu, dia menduga bahwa tentu dia masih berada di bawah tanah, walau pun tanah pegunungan karena sekarang dia tentu sudah mendaki cukup tinggi. Ruangan itu diterangi cahaya banyak lampu, dan di sana sudah berkumpul banyak orang.

Dengan pandangan matanya Thian Sin menyapu ruangan itu dan diam-diam dia merasa heran. Di situ berkumpul sedikitnya dua puluh lima orang, akan tetapi orang-orang biasa dan rata-rata mereka berpakaian sebagai orang-orang hartawan, malah ada yang bersikap seperti orang berpangkat, dan ada beberapa orang pula yang sikapnya seperti seorang ahli silat atau pendekar! Mereka semua memandang kepadanya dengan sinar mata orang memandang seorang penjahat atau seorang pengacau!

Ada pula belasan orang lainnya yang berpakaian seperti siluman tengkorak, berdiri sambil berjaga di sekitar tempat itu. Di belakang ruangan itu terdapat anak tangga yang menuju ke atas, lebar dan lantainya ditutup permadani merah. Akan tetapi yang sekarang menjadi perhatian Thian Sin adalah seorang pria yang memakai jubah sutera putih dengan gambar tengkorak darah di dadanya.

Jubah yang sama dengan yang dipakai oleh para anggotanya, akan tetapi ada perbedaan potongannya, karena yang dipakai orang ini sedikit longgar seperti jubah pendeta dengan lengan baju yang panjang dan lebar, dan jika para anggota itu mengenakan ikat pinggang putih, orang ini memiliki ikat pinggang yang keemasan.

Topeng yang menutupi mukanya juga topeng tengkorak, akan tetapi kalau para anggota itu topengnya nampak jelas, orang ini seakan-akan tidak bertopeng, melainkan mukanya memang muka tengkorak, hanya kulit pembungkus tulang belaka! Dan sepasang matanya mencorong menakutkan.

Thian Sin dapat menduga bahwa orang ini menggunakan topeng dari kulit yang tipis, akan tetapi dia harus mengaku dalam hati bahwa orang ini merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan karena dari pandangan matanya itu berpancar kekuatan yang dia tahu kekuatan ilmu hitam atau sihir!

Mereka yang mengiringi Thian Sin kini berhenti dan Thian Sin dibiarkan berdiri di tengah ruangan. Pemuda ini berdiri tegak dengan dua tangan dibelenggu ke belakang. Suasana di dalam ruangan itu seperti sedang pesta atau menjamu tamu-tamu, dan perjamuan itu agaknya baru akan dimulai.

Thian Sin merasa betapa dia sudah mengganggu sebuah perjamuan, karena dia melihat kemarahan serta kejengkelan pada wajah orang-orang yang hadir di situ. Tiba-tiba orang yang memakai jubah dan topeng siluman itu bangkit dari tempat duduknya dan ternyata tubuhnya cukup jangkung.

"Ahh, ternyata kita sudah kedatangan seorang tamu kehormatan! Harap cu-wi yang hadir melihat baik-baik, bukankah benar bahwa tamu kita ini adalah Pendekar Sadis atau Sang Pangeran Ceng Thian Sin?"

Thian Sin terkejut bukan main. Dia mengerling ke arah para hadirin dan melihat beberapa orang di antara mereka mengangguk-angguk membenarkan. Ternyata dia sudah dikenal orang! Tentu mereka itu adalah orang-orang penting dan sesudah kini dia memperhatikan mereka, dia melihat bahwa di antara mereka itu terdapat pula pembesar-pembesar yang pernah dilihatnya di kota raja! Dia pun menanti dengan hati tegang, tidak dapat menduga dengan siapa dia sebenarnya berhadapan dan dengan perkumpulan macam apa pula.

Siluman itu kini berkata langsung kepadanya, "Orang muda yang gagah, tidak kelirukah dugaan kami bahwa engkau adalah Pendekar Sadis Ceng Thian Sin?"

Thian Sin merasa tidak perlu untuk menyembunyikan diri lagi maka dia pun mengangguk. Kini terdengar para hadirin saling berbisik dan suasana menjadi sangat tegang. Agaknya kenyataan yang telah diakui oleh beberapa orang bahwa tempat itu kedatangan Pendekar Sadis, merupakan hal yang mengejutkan mereka. Akan tetapi, siluman itu lalu melangkah maju dan menjura.

"Ahhh, selamat datang, Ceng-taihiap. Selamat datang! Hayo cepat lepaskan belenggunya dan kalian minta maaf!" katanya kepada dua belas orang yang tadi mengawal Thian Sin.

"Tak perlu repot-repot!" Thian Sin berkata dan sekali dia menggerakkan kedua lengannya yang terbelenggu di belakang tubuhnya, maka terdengarlah suara.

"Krekk! Krekkk!" dan belenggu rantai besi pada kedua tangan itu patah-patah dan runtuh ke atas lantai.

Karena semua orang memandang dengan hati tegang dan suasana amat sunyinya, maka ketika belenggu itu jatuh ke atas lantai batu, terdengar suara nyaring berdenting. Siluman Tengkorak itu tertawa, suaranya terdengar lebih nyaring dari pada denting rantai belenggu yang beradu dengan lantai.

"Hebat, Ceng-taihiap memang hebat. Silakan duduk!"

"Terima kasih!" kata Thian Sin dan dia menerima bangku yang disodorkan oleh seorang di antara para anggota Siluman Tengkorak, lalu duduk menghadapi ketua siluman yang telah duduk pula itu. "Ingin sekali saya mendengar apa artinya semua ini. Mengapa sambutan terhadap saya seperti ini?" Thian Sin mulai membuka kartu, tentu saja dengan maksud hendak memancing pembukaan kartu lawan dan untuk melihat apa yang tersembunyi di dalam hati pihak lawan.

Siluman itu tersenyum tetapi wajahnya nampak menyeramkan. Kini Thin Sin merasa yakin bahwa orang itu mengenakan topeng terbuat dari pada kain atau karet tipis, tidak sehalus topeng yang pernah dipakai oleh Kim Hong ketika dia menyamar sebagai nenek Lam-sin, akan tetapi juga tidak sekasar yang dipakai para anak buah Siluman Tengkorak itu.

"Sebetulnya pertanyaan itu harus dikembalikan kepadamu taihiap. Seingat kami, kami tak pernah bersimpang jalan dengan Pendekar Sadis, akan tetapi taihiap sudah mendatangi bahkan melakukan penyelidikan terhadap tempat kami. Sebenarnya, kami baru menduga saja bahwa taihiap adalah Pendekar Sadis, namun karena taihiap telah memasuki daerah terlarang kami, terpaksa teman-teman kami harus menangkapmu. Sesudah berada di sini dan kami yakin siapa adanya diri taihiap, tentu saja kami pun tak berani mengambil sikap sebagai musuh. Nah, harap taihiap suka menjelaskan, mengapa taihiap memasuki daerah kami? Mengapa taihiap mencampuri urusan kami?"

Thian Sin mengangguk-angguk. "Sebelum memberikan penjelasan dan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan itu, lebih dulu saya ingin mengetahui, sebetulnya dengan siapakah saya bicara?"

"Perlukah hal itu taihiap tanyakan lagi? Apa bila taihiap sudah datang menyelidiki tempat kami kiranya taihiap sudah dapat menduga siapa adanya saya."

"Memang saya mendengar tentang nama Siluman Goa Tengkorak, akan tetapi saya juga mendengar anak buah Siluman Tengkorak menyebut Sian-su."

"Siancai... siancai...! Apa yang taihiap dengar itu sudah lebih dari cukup, maka terserah kepada taihiap."

"Baiklah, saya pun akan menyebut Sian-su padamu. Terus terang saja, selama ini belum pernah saya mendengar mengenai Siluman Goa Tengkorak dan hanya secara kebetulan saya melihat seorang bernama Kwee Siu tewas oleh seorang yang memakai pakaian dan topeng sebagai anggota Siluman Goa Tengkorak. Saya belum pernah bertindak tanpa sebab. Saya mendengar dari mendiang Kwee Siu bahwa Siluman Goa Tengkorak sudah membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan. Karena itulah saya datang ke sini hendak bertemu dengan Siluman Goa Tengkorak dan bertanya mengapa tujuh orang pendekar itu dibunuh tanpa dosa?"

"Ha-ha-ha, sungguh pertanyaan ini terdengar lucu jika keluar dari mulut Pendekar Sadis! Taihiap sendiri dinamakan Pendekar Sadis akibat tindakan taihiap terhadap musuh-musuh taihiap jadi semua tindakan tentu ada sebabnya, bukan? Nah, demikian pula dengan tujuh orang itu. Mereka sudah berani menentang kami, maka anehkah kalau mereka itu roboh dan tewas di tangan kami? Kami hanya membela diri, dan di dalam perkelahian, wajarlah kalau terjadi kematian bagi yang kalah."

"Memang, sebab melahirkan akibat dan akibat menjadi sebab lagi. Kalau Tujuh Pendekar Taigoan menentang dan melawan Sian-su bersama para anggotanya, hal itu tentu ada sebabnya pula."

"Dan sebabnya itu apa, taihiap?"

"Ada seorang ibu muda keluarga Cia yang diculik orang dan suaminya, seorang di antara Tujuh Pendekar Tai-goan, dibunuh. Apakah peristiwa itu bukan merupakan suatu sebab yang cukup berat?"

"Siancai... siancai! Cu-wi yang hadir tentu sudah mendengar fitnah-fitnah itu. Ceng-taihiap rupanya juga terkena pengaruh fitnah keji yang dilontarkan kepada kami. Taihiap, lihatlah orang-orang terhormat yang hadir di sini! Kalau memang kami demikian jahatnya, apakah mereka itu akan sudi hadir di sini dan juga menjadi pengikut dan saudara sekepercayaan kami? Ketahuilah bahwa kami mengajak semua orang untuk menikmati hidup dan menjadi anggota agama baru kami. Dan tentang ibu muda keluarga Cia itu... ah, sebaiknya taihiap menyaksikan sendiri. Kebetulan sekali kami kini sedang mengadakan pesta dan upacara pengangkatan seorang anggota wanita baru. Lebih baik taihiap menyaksikan sendiri dari pada mendengar fitnah dari mulut lain orang."

Thian Sin tak bisa membantah lagi. Siluman itu lalu mempersilakan dengan suara lantang supaya semua orang suka mengikutinya ke apa yang dinamakannya sebagai panggung Puncak Bahagia dan semua orang pun berdiri dengan wajah gembira.

"Saatnya sudah hampir tiba, mari kita bersiap-siap menyambut turunnya Dewi Cinta dan mempersiapkan upacaranya." Demikian dia berkata sambil menghampiri Thian Sin yang masih duduk. "Ceng-taihiap, engkau menjadi tamu kehormatan, silakan mengikuti kami ke tempat upacara."

Thian Sin hanya mengangguk, lalu bangkit berdiri dan berjalan mengikuti siluman itu yang diiringkan pula oleh semua yang hadir. Para anggota siluman menjaga di kanan kiri dan ada pula yang berada di depan dan belakang. Mereka itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi dan gerakan kaki mereka hampir tidak menimbulkan suara.