Pendekar Rajawali Sakti
KABUT HITAM DI KARANG SETRA
SATU
SEORANG pemuda tampan berbaju rompi putih berdiri tegak di atas bukit. Sebatang pedang bergagang kepala burung rajawali tampak tersampir di balik badannya yang kekar. Pandangannya tertuju lurus, tanpa berkedip ke arah Kotaraja Karang Setra. Beberapa kali dihirupnya udara dalam-dalam, seakan-akan ingin merasakan nikmatnya harum tanah kelahirannya ini.Sementara tidak jauh, terlihat seorang gadis cantik berpakaian biru tengah duduk mencangkung di atas batu. Tangannya yang halus mungil melempar-lemparkan batu kerikil ke bawah bukit. Sesekali diliriknya pemuda yang tengah memandangi kota kelahirannya dari atas bukit ini.
"Setiap kali memandang Karang Setra, aku merasa seperti baru dilahirkan kembali, Pandan," desah pemuda itu menggumam perlahan, seakan-akan bicara pada diri sendiri.
"Kau beruntung, Kakang. Masih punya tanah kelahiran," kata gadis yang dipanggil Pandan. Dan memang, dia adalah Pandan Wangi. Sementara pemuda tampan itu tak lain dari Rangga. "Sedangkan aku..., tidak ada lagi yang tersisa di dalam hidupku."
Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tubuhnya sedikit. Dipandanginya gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu. Sedangkan Pandan Wangi tetap duduk mencangkung di atas batu. Batu-batu kerikil di tangannya sudah habis dilemparkan. Sedikit matanya melirik pemuda tampan yang selalu mengenakan baju rompi putih itu.
"Kau memiliki kekayaan yang tidak ternilai, Pandan," hibur Rangga.
"Hhh! Tidak ada yang berharga pada diriku, Kakang. Aku hanya anak kolong, yang tidak jelas asal-usulnya. Bahkan aku sendiri tidak tahu, ke mana arah hidupku nanti," terdengar agak sinis nada suara Pandan Wangi.
Rangga tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri gadis ini. Kini, dia berdiri dekat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Lembut sekali Pendekar Rajawali Sakti mengangkat dagu gadis itu dengan ujung jari tangannya. Sehingga membuat wajah Pandan Wangi terpaksa menengadah ke atas. Mau tak mau, mata mereka langsung bertemu.
"Semua orang memiliki masa lalu dan arah tujuan hidup yang berbeda. Aku pun demikian, Pandan. Aku juga tidak tahu, ke mana hidupku ini akan kubawa. Hanya Sang Hyang Widi yang tahu," tegas Rangga, namun lembut.
Pandan Wangi hanya diam saja memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan dia bangkit berdiri, dan melangkah menjauh beberapa tindak. Sementara, Rangga tetap diam sambil memandangi gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu.
"Berapa lama lagi kita akan berada di Karang Setra, Kakang?" tanya Pandan Wangi setelah cukup lama berdiam diri.
Gadis itu masih tetap berdiri tegak, memandang ke arah kota yang kelihatan tenang dan damai, di bawah kaki bukit ini. Sedikit pun wajahnya tidak berpaling pada Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti segera melangkah menghampiri, dan berdiri di samping kanannya. Pandangannya juga diarahkan ke arah yang sama dengan si Kipat Maut.
"Aku tidak bisa menentukannya sekarang," sahut Rangga. "Kenapa kau tanyakan itu, Pandan?"
"Aku hanya ingin tahu saja," sahut Pandan Wangi, seenaknya.
"Sudah lama sekali kita tidak pulang. Tentu sudah banyak perubahan yang terjadi," gumam Rangga, seperti bicara pada diri sendiri. Dan tentu saja untuk mengalihkan pembicaraan yang dirasakan kurang enak ini.
Sedangkan Pandan Wangi hanya diam saja. Bibirnya mengukir sebuah senyum kecil yang terasa begitu hambar. Rangga segera melingkarkan tangannya ke pundak gadis ini. Seketika, kemanjaan Pandan Wangi timbul. Segera kepalanya direbahkan di dada yang bidang dan tegap itu. Kembali mereka terdiam, memandang ke arah Kotaraja Karang Setra dari ketinggian di atas bukit ini.
"Bagaimana, Pandan...? Kita ke Karang Setra, atau ke tempat lain?" Rangga meminta pendapat.
"Kau pasti sudah rindu pada kedua adikmu, Kakang," sahut Pandan Wangi.
"Ya! Aku memang sudah rindu sekali," desah Rangga perlahan.
"Sebenarnya, aku tidak ingin ke sana dulu, Kakang. Tapi, aku juga rindu pada Cempaka, dan Danupaksi. Serta semua orang yang ada di istana," kata Pandan Wangi berterus terang.
Rangga tersenyum, dan semakin mengetatkan rangkulannya pada pundak si Kipas Maut ini. Tapi, Pandan Wangi malah melepaskan rangkulan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan berdirinya bergeser ke samping beberapa langkah, menjauhi Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo kita turun, Kakang," ajak Pandan Wangi.
Tanpa menunggu jawaban lagi, gadis cantik itu segera melangkah menuruni bukit ini. Rangga bergegas mengikuti, dan mensejajarkan ayunan kakinya di samping Pandan Wangi. Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata lagi, menuruni bukit yang tidak begitu terjal ini. Sepasang pendekar muda itu terus melangkah hingga sampai di jalan setapak, dan menuju gerbang perbatasan Kotaraja Karang Setra.
********************
Kedatangan Rangga di istana, disambut begitu hangat dan penuh kegembiraan. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti merasakan kalau kegembiraan orang-orang ini terasa lain, tidak seperti saat-saat sebelumnya. Mereka semua seperti menyembunyikan sesuatu. Pendekar Rajawali Sakti melihat adanya kemuraman pada sinar mata mereka.
Walaupun semua orang berusaha menunjukkan kegembiraan atas kepulangannya, tapi Rangga tidak memiliki banyak kesempatan untuk bertarjya atau berbicara pada Cempaka atau Danupaksi. Bahkan berbicara secara pribadi dengan para pembesar istana pun, Pendekar Rajawali Sakti tidak memiliki kesempatan sama sekali.
Kesempatan untuk berbicara secara pribadi pada kedua adik tirinya, baru bisa diperoleh setelah lewat tengah malam. Rangga sengaja memanggil Cempaka dan Danupaksi untuk datang ke kamar peristirahatan-nya. Sementara, Pandan Wangi dibiarkan beristirahat di dalam kamarnya sendiri. Memang, si Kipas Maut itu kelihatan lelah sekali. Dan sudah sejak sore tadi, mengurung diri di dalam kamar.
"Kalau kalian tahu, kenapa kupanggil malam-malam begini ke kamarku?" tanya Rangga, membuka pembicaraan lebih dahulu.
Danupaksi dan Cempaka hanya menggelengkan kepala saja, setelah saling berpandangan beberapa saat. Mereka memang tidak tahu, kenapa Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra ini memanggilnya di tengah malam buta seperti ini. Tidak biasanya Rangga memanggil mereka di saat semua orang tengah tertidur lelap. Dan dugaan mereka, pasti ada sesuatu yang sangat penting, yang akan disampaikan Pendekar Rajawali Sakti. Namun, semua dugaan itu hanya ada di dalam hati.
"Sejak memasuki gerbang kota siang tadi, aku merasa adanya keanehan di sini. Terlebih lagi, setelah masuk ke dalam istana ini. Keanehan itu semakin terasa sekali. Dan sikap kalian semua, juga tidak seperti biasa. Sambutan kalian terlalu berlebihan, seakan-akan aku baru saja kembali dari medan laga," kata Rangga setelah berdiam diri beberapa saat.
"Maaf, Kakang. Aku tidak mengerti maksud pembicaraan ini," selak Cempaka kebingungan.
"Kalian berdua tidak berasa kalau sikap kalian ini aneh...?" Rangga malah bertanya, bernada menyelidik.
Kembali Cempaka dan Danupaksi saling berpandangan. Kemudian kepala mereka bergerak menunduk, menekuri lantai yang beralaskan permadani berbulu tebal, warna biru muda. Sementara Rangga memandangi kedua adik tirinya dalam-dalam. Dia semakin yakin kalau ada sesuatu yang telah disembunyikan, dan tampaknya tidak boleh diketahuinya.
"Danupaksi, katakan padaku. Apa yang telah terjadi disini?" desak Rangga tegas.
"Tidak terjadi apa-apa selama Kakang pergi mengembara," sahut Danupaksi, tetap tertunduk kepalanya.
"Cempaka...?" Rangga menatap gadis cantik yang duduk di samping Danupaksi.
"Benar, Kakang. Tidak terjadi sesuatu di sini. Semua dalam keadaan wajar dan biasa," sahut Cempaka, mendukung pernyataan kakak tirinya.
"Benar tidak terjadi sesuatu...?" desak Rangga tidak percaya.
Berbarengan mereka mengangguk. Rangga menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskan kuat-kuat. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dan melangkah ke pintu. Sedikit dibukanya pintu kamar ini. Tampak dua orang prajurit berjaga-jaga di samping kiri dan kanan pintu kamar ini. Kedua prajurit itu segera menjura memberi hormat. Rangga hanya menganggukkan kepala saja sedikit, kemudian melangkah ke luar. Sementara pintu kamarnya dibiarkan tetap terbuka.
Sementara Danupaksi dan Cempaka hanya saling berpandangan saja. Kemudian, mereka bergegas bangkit berdiri dan melangkah ke luar. Tapi, Rangga sudah cukup jauh berjalan, menyusuri lorong yang cukup panjang ini. Kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu berdiri saja di depan pintu kamar yang masih terbuka. Danupaksi menutup pintu itu, dan melangkah perlahan diikuti Cempaka. Mereka masih tetap diam, tidak berbicara sedikit pun juga.
"Kenapa kita harus merahasiakannya, Kakang Danupaksi...? Seharusnya ceritakan saja semuanya," kata Cempaka, pelan suaranya.
"Ini sudah kesepakatan bersama, Pandan. Kakang Rangga tidak boleh tahu. Biar Panglima Rakatala yang menyelesaikannya," sahut Danupaksi, juga pelan suaranya.
"Tapi, Kakang... Aku merasa tidak enak. Aku tidak sanggup menentang sorot matanya," keluh Cempaka.
"Bagaimanapun juga, kita harus tetap bisa merahasiakannya, Cempaka," tegas Danupaksi.
Cempaka terdiam. Ayunan kakinya terhenti setelah sampai di depan pintu kamarnya yang dijaga dua orang prajurit bersenjata tombak. Kedua prajurit itu membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat, tapi Cempaka dan Danupaksi diam saja.
"Tidurlah. Biar aku yang bicara pada Kakang Rangga," kata Danupaksi lembut.
Cempaka hanya menganggukkah kepalanya saja. Kemudian pintu kamarnya dibuka, lalu melangkah masuk. Gadis itu baru menutup kembali pintu itu setelah Danupaksi melangkah meninggalkannya. Perlahan tubuhnya diputar berbalik, lalu saat itu juga....
"Ohhh...?!"
"Kau terkejut, Cempaka...?"
"Kakang...." desah Cempaka.
Seluruh wajah gadis itu jadi memucat, begitu melihat Rangga sudah ada di dalam kamarnya ini. Tapi, Cempaka cepat-cepat menguasai diri, dan mencoba untuk bisa bersikap biasa. Kakinya terayun mendekati Pendekar Rajawali Sakti yang duduk bersila di lantai beralaskan permadani tebal. Kemudian, gadis itu duduk di depannya.
"Kenapa Kakang ada di kamarku?" tanya Cempaka setelah membasahi tenggorokannya dengan secawan arak.
"Jendela kamarmu tidak terkunci. Dan lagi, aku memang ingin berbicara berdua saja denganmu," sahut Rangga kalem.
"Bicara apa?" tanya Cempaka, agak bergetar suaranya. Malah, seketika jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Belum juga Rangga berbicara, tiba-tiba saja terasa adanya desiran angin yang begitu halus, datang dari arah jendela. Dan...
"Hup!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya, dan berputar ke udara. Saat itu juga, terlihat secercah cahaya hijau agak kemerahan meluncur cepat bagai kilat, lewat di bawah tubuh pemuda berbaju rompi putih itu. Sementara Cempaka yang belum sempat menyadari, jadi terbeliak kaget. Namun cahaya hijau kemerahan itu tidak sempat lagi dihindarinya.
"Akh...!"
Cempaka jadi terpekik, begitu cahaya hijau yang meluncur cepat itu menghantam dadanya sebelah kiri. Gadis itu langsung terjungkal menggeletak di lantai.
"Cempaka...!" sentak Rangga terkejut.
Dan pada saat Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya di lantai, saat itu juga terlihat sebuah bayangan berkelebat begitu cepat sekali di luar jendela.
"Hup!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melesat keluar melalui jendela yang terbuka lebar sejak tadi. Cepat sekali gerakannya, karena ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Lalu tanpa menimbulkan suara sedikit pun juga, kakinya menjejak tanah. Sayang, dia tidak lagi melihat satu bayangan pun yang berkelebat. Keadaan di luar kamar Cempaka terlihat begitu sunyi. Tak ada seorang prajurit pun terlihat berjaga-jaga.
"Hap!"
Bergegas Rangga melompat kembali masuk ke dalam kamar adik tirinya ini. Langsung dihampirinya Cempaka yang tergeletak di lantai, dengan napas tersengal satu-satu. Di bagian dada kirinya terlihat bulatan hijau agak kemerahan, seperti terkena pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan di bagian tengah bulatan hijau kemerahan itu, terlihat sebuah benda kecil. Bentuknya bulat sebesar biji saga, berwarna hijau daun.
"Cempaka, kau tidak apa-apa...?" tanya Rangga cemas.
Perlahan bibir Cempaka bergerak tersenyum, namun sebentar kemudian kelopak matanya terpejam. Gadis itu langsung jatuh pingsan. Rangga jadi kelabakan sendiri. Pendekar Rajawali Sakti segera berteriak memanggil prajurit penjaga yang berada di luar. Dan begitu kedua prajurit penjaga masuk, Rangga segera memerintahkan untuk memanggil tabib istana. Tanpa menunggu perintah dua kali, kedua prajurit itu cepat bergegas pergi. Sementara, Rangga memindahkan Cempaka ke pembaringan.
Baru juga Rangga meletakkan tubuh adik tirinya ini ke pembaringan, Danupaksi tergesa-gesa menerobos masuk. Dia tampak terhenyak begitu melihat Cempaka terbaring pingsan di ranjangnya. Dan di samping gadis itu, tampak Pendekar Rajawali Sakti tengah memandanginya. Rangga berpaling sedikit, menatap Danupaksi yang baru datang itu.
"Apa yang terjadi, Kakang?" tanya Danupaksi seraya menghampiri.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Danupaksi," desis Rangga, agak dingin nada suaranya.
Danupaksi jadi terhenyak. Ludahnya seketika ditelan. Nada suara Rangga terdengar begitu dingin. Jelas, Pendekar Rajawali Sakti marah padanya. Danupaksi tidak bisa lagi berbuat sesuatu, kecuali berdiri diam sambil memandangi Cempaka yang terbaring dengan tarikan napas begitu lemah. Di dada kiri gadis itu terlihat noda bulatan hijau agak kemerahan.
"Kumpulkan semua pembesar di Balai Sema Agung," perintah Rangga tegas.
"Sekarang, Kakang...?" tanya Danupaksi seperti orang bodoh.
"Iya, sekarang. Cepat..!" sentak Rangga.
"Ba..., baik, Kakang...."
Danupaksi bergegas berlari meninggalkan kamar itu. Sementara, Rangga mengeluarkan benda bulat kecil berwarna hijau dari dada kiri Cempaka. Kemudian, diberikannya beberapa totokan di sekitar bulatan merah kehitaman itu. Sedangkan Cempaka masih tetap terbaring diam seperti tidur. Pendekar Rajawali Sakti melangkah mundur, dan berpaling saat mendengar langkah kaki memasuki kamar ini. Tampak seorang laki-laki tua berjubah kuning gading dan berkepala gundul, bergegas menghampiri. Tubuhnya dibungkukkan sambil meletakkan telapak tangannya di depan dada.
"Cepat tolong Cempaka, Eyang," kata Rangga tidak sabar lagi.
"Segera, Gusti Prabu," sahut orang tua yang ternyata tabib istana.
Sementara di depan pintu, terlihat dua orang prajurit berjaga-jaga. Tak berapa lama kemudian, muncul lagi sepuluh orang prajurit dan seorang punggawa. Mereka segera mengambil tempat, berjaga-jaga di sekitar kamar ini.
Rangga kembali bergerak mundur beberapa langkah. Sementara, tabib istana sudah mulai memeriksa sekitar luka di dada kiri Cempaka. Rangga berpaling sedikit ke arah pintu saat mendengar suara langkah kaki. Pandan Wangi menerobos masuk, diikuti Danupaksi. Pemuda yang selalu mengenakan baju biru itu membungkukkan tubuhnya sedikit pada Rangga.
"Semua sudah berkumpul di Balai Sema Agung, Kakang Prabu,'"' lapor Danupaksi bersikap hormat
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil saja.
Pendekar Rajawali Sakti kemudian melangkah menghampiri Pandan Wangi yang sudah berdiri di ujung kaki pembaringan. Gadis itu berpaling sedikit, menatap Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau tetap disini, Pandan," pesan Rangga.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Sedangkan Rangga segera bergegas keluar dari kamar, diikuti Danupaksi. Lalu Pandan Wangi menutup pintu, menurut permintaan tabib istana.
Sementara Rangga terus berjalan dengan langkah kaki lebar-lebar. Yang dituju adalah Balai Sema Agung, diikuti Danupaksi yang berjalan di belakangnya. Tak ada yang berbicara sedikit pun. Sedangkan Danupaksi beberapa kali memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti. Entah apa yang ada di dalam benaknya saat ini. Tapi yang jelas, saat itu Danupaksi kelihatan gelisah sekali.
DUA
Rangga memandangi wajah-wajah yang tertunduk dalam di depannya. Memang tidak banyak jumlah pembesar yang ada di Kerajaan Karang Setra ini. Mereka adalah, Ki Lintuk, Panglima Rakatala, Paman Wirapati, dan beberapa orang lagi yang dulu sama-sama berjuang mendirikan Kerajaan Karang Setra. Sekitar tiga puluh orang panglima dan patih tampak hadir pula di situ. Tak ada seorang pun dari mereka yang berbicara, sehingga keadaan di dalam ruangan besar yang disebut Balai Sema Agung ini jadi terasa begitu sunyi. Perlahan Rangga duduk di kursi yang indah dan berwarna kuning keemasan.
Meskipun masih mengenakan pakaian pendekarnya, tapi Rangga kelihatan begitu berwibawa jika sudah berada di atas kursi singgasana Kerajaan Karang Setra ini. Dan hal itu membuat tak ada seorang pun yang berani mengangkat kepalanya, walau hanya sedikit. Mereka semakin tertunduk dalam, menekuri lantai yang licin dan berkilat. Kembali Rangga memandangi orang-orang yang dipercayakan mengatur tata kepemerintahan kerajaan ini.
"Kalian tahu, kenapa aku meminta semua berkumpul di sini pada tengah malam begini...?" terdengar begitu dalam suara Rangga.
Tak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Mereka semua tetap diam dengan kepala tertunduk begitu dalam. Sementara, Rangga kembali mengedarkan pandangannya, merayapi kepala-kepala yang tertunduk menekuri lantai. Sedikit napasnya dihembuskan begitu kuat dan keras. Sementara, Danupaksi yang duduk agak jauh di sebelah kanan, juga hanya bisa diam membisu. Sesekali matanya sempat melirik wajah Rangga.
"Kalian tahu, apa yang telah terjadi malam ini?" tanya Rangga lagi, masih dengan suara begitu dalam.
Tetap tak ada seorang pun yang bersuara.
"Seseorang telah menyelinap masuk, dan menciderai Cempaka," sambung Rangga.
Mereka semua yang ada di Balai Sema Agung ini jadi terkejut, begitu mendengar kalau Cempaka mendapat celaka. Dan lebih terkejut lagi, karena ada seseorang yang menyelinap masuk ke dalam istana ini. Akibatnya adik tiri Raja Karang Setra ini mendapatkan celaka.
"Kalian tidak perlu berpura-pura terkejut. Aku tahu, kalian sebenarnya sudah tahu akan hal ini. Dan kalian menyembunyikan sesuatu dariku," kata Rangga lagi.
"Ampun, Gusti Prabu. Apa sebenarnya yang telah terjadi?" tanya Paman Wirapati seraya memberi sembah dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu, Paman Wirapati," agak mendesis suara Rangga.
Paman Wirapati langsung terdiam.
"Katakan, Panglima Rakatala. Apa yang terjadi sebenarnya?" desak Rangga sambil menatap Panglima Rakatala yang duduk bersila di samping Ki Lintuk.
Tapi, Panglima Rakatala hanya diam saja. Dia tidak tahu, apa yang harus dikatakan pada Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan saat ini, kabut hitam benar-benar tengah menyelimuti seluruh wilayah Kerajaan Karang Setra. Terlebih lagi, di dalam lingkungan istana ini. Peristiwa yang terjadi malam ini, merupakan awal datangnya kabut hitam itu.
"Ki Lintuk...?" Rangga beralih menatap Ki Lintuk.
Sedangkan laki-laki tua yang menjadi penasihat kerajaan itu hanya diam saja. Sedikit pun kepalanya tidak terangkat. Pandangan Rangga beralih ke arah Paman Wirapati, lalu kembali kepada Panglima Rakatala dan semua pembesar kerajaan lainnya yang ada di dalam ruangan Balai Sema Agung ini. Tak ada seorang pun yang berani mengangkat kepala. Demikian pula Danupaksi yang duduk di kursi sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti. Dia hanya diam saja, tidak berani memandang wajah yang kelihatan memerah tegang itu.
"Edan...! Apa-apaan kalian ini, heh...? Apa kalian sudah jadi bisu semua?!" bentak Rangga tidak bisa lagi menahan kekesalannya.
Namun, tetap tak ada seorang pun yang membuka suara. Sambil menghentakkan kakinya dengan kesal, Rangga bangkit berdiri dari singgasananya. Hatinya benar-benar kesal, karena tak ada seorang pun yang membuka mulut. Apalagi menceritakan apa yang tengah terjadi di dalam Istana Karang Setra ini.
"Baik! Jika kalian tidak bersedia mengatakan yang sebenarnya, aku tidak akan segan-segan memenjarakan kalian semua. Sikap ini sudah menandakan kalau kalian ingin memberontak!" terdengar tinggi nada suara Rangga.
Para pembesar itu jadi tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau Raja Karang Setra ini akan mengeluarkan ancaman seperti itu.
"Aku tunggu salah seorang dari kalian besok pagi. Kalau tidak ada yang menghadap, terpaksa kalian dipenjarakan sampai ada yang mau mengatakan rahasia ini," sambung Rangga lagi.
Setelah berkata demikian, Rangga segera meninggalkan Balai Sema Agung. Dan kepala-kepala yang tadi terangkat kaget, kembali bergerak tertunduk lesu. Tak ada seorang pun yang membuka suara, sampai Pendekar Rajawali Sakti tidak terlihat lagi di dalam ruangan yang besar dan megah ini.
********************
Semalaman Rangga tidak bisa memejamkan matanya barang sedikit pun. Sejak dari Balai Sema Agung semalam, tubuhnya tidak beranjak dari kursi di samping tempat tidur Cempaka. Gadis itu masih tetap terbaring diam seperti tidur pulas. Wajahnya tidak lagi pucat seperti semalam, walau di dada kirinya masih terlihat noda hijau kemerahan. Tapi, noda bulat itu sudah mulai berangsur hilang.
"Kakang..."
Rangga berpaling sedikit saat mendengar panggilan lembut dari arah belakang. Pundaknya terasa disentuh lembut oleh jari-jari tangan yang lentik dan halus. Entah kapan masuknya, tahu-tahu Pandan Wangi sudah berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti.
"Semalaman kau tidak tidur. Biar kugantikan menjaga Cempaka," kata Pandan Wangi lembut
"Biarkan aku di sini, Pandan," tolak Rangga halus.
"Tapi, kau juga perlu istirahat, Kakang. Sejak kemarin kau belum beristirahat," desak Pandan Wangi.
Rangga hanya tersenyum saja. Begitu getir senyumannya dirasakan Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti kembali berpaling memandangi wajah adik tirinya yang masih belum sadarkan diri sejak semalam. Sedangkan saat ini, matahari sudah muncul di ufuk Timur. Pandan Wangi melangkah mendekati jendela, dan membuka pintunya lebar-lebar. Sehingga, sinar matahari langsung menerobos masuk menyegarkan kamar ini. Rangga menggeliat sedikit, mengurangi rasa pegal tubuhnya.
"Cempaka tidak apa-apa, Kakang. Dia hanya keracunan sedikit. Sebentar lagi pasti siuman," jelas Pandan Wangi.
Rangga bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang. Tanpa diberitahu pun, dia sudah tahu kalau benda yang mengenai Cempaka semalam memang mengandung racun, walaupun sangat lemah dan lambat kerjanya. Namun begitu, bila tidak segera ditolong bisa merenggut nyawa Cempaka. Untungnya, Rangga cepat memberi totokan. Sehingga, racun itu tidak sampai menyebar. Dengan demikian, nyawa Cempaka masih bisa diselamatkan oleh tabib istana. Rangga melangkah perlahan menghampiri Pandan Wangi yang berdiri di samping jendela. Sebentar matanya memandang ke luar, memperhatikan matahari yang terus bergerak naik dari balik puncak gunung yang berkabut.
"Hm... Mereka menganggap ancamanku hanya main-main," gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.
"Seharusnya kau tidak perlu bersikap begitu, Kakang. Mungkin mereka mempunyai pertimbangan lain, hingga kau tidak diberitahu," keluh Pandan Wangi, menyesalkan tindakan Rangga yang akan memenjarakan semua pembesar kalau tidak mau mengatakan apa yang tengah terjadi di istana ini.
Pandan Wangi memang sudah tahu semua yang terjadi semalam di Balai Sema Agung. Bukan hanya Rangga yang mengatakannya sendiri, tapi juga Danupaksi, Ki Lintuk, dan Panglima Rakatala. Dan tampaknya, gadis itu sama sekali tidak menyetujui tindakan Rangga, kalau memang benar sampai akan memenjarakan mereka semua. Itu bisa berakibat kosongnya istana ini, tanpa ada seorang pun yang menjalankan roda pemerintahan lagi. Dan itu berarti juga, awal kehancuran yang mungkin saja bisa terjadi. Jelas ini pasti tidak akan diinginkan semua orang.
Bahkan semalam, saat Pandan Wangi baru keluar dari kamar ini, Danupaksi sudah memintanya untuk membujuk Rangga agar mencabut ancamannya. Tapi, Pandan Wangi juga jadi heran. Masalahnya, Danupaksi tetap tidak mau mengatakan hal sebenarnya yang tengah terjadi di lingkungan Istana Kerajaan Karang Setra ini. Demikian pula Ki Lintuk, Panglima Rakatala, dan Paman Wirapati. Semuanya bungkam setiap kali Pandan Wangi menanyakannya. Dan dalam persoalan ini, justru Pandan Wangi dituntut harus bisa bertindak bijaksana. Dia tidak mungkin bisa berpihak pada siapa pun juga, sebelum semuanya menjadi jelas.
"Aku terpaksa harus menggertak mereka, Pandan. Sikap mereka bisa membahayakan kelangsungan hidup Karang Setra. Hhh.... Seharusnya mereka tidak perlu bersikap seperti itu. Katakan saja apa adanya. Dan aku juga bisa mengambil sikap bijaksana," kata Rangga menjelaskan sikapnya semalam. "Bagaimanapun juga, aku adalah raja di sini, Pandan. Walaupun, hati kecilku tidak pernah mau mengakui kalau aku ini seorang raja. Namun, sudah sepatutnya mereka membicarakan semua persoalan yang sedang dihadapi padaku."
"Tidak semua, Kakang," bantah Pandan Wangi tegas.
Rangga langsung menatap gadis itu dalam-dalam.
"Menurutku, seharusnya kita membiarkan saja dulu, Kakang. Kita lihat saja, dan jangan terlalu memaksa mereka untuk mengatakannya. Kalau mereka tidak bisa lagi mengatasi persoalan, aku yakin mereka pasti akan mengatakannya juga padamu," kata Pandan Wangi lagi.
Rangga hanya diam saja.
"Aku juga tidak akan tinggal diam begitu saja, Kakang. Terlebih lagi, kalau persoalannya menyangkut kelangsungan hidup Karang Setra. Aku sudah merasa nenjadi bagian dari kerajaanmu ini," sambung Pandan Wangi.
Rangga masih tetap diam.
"Kuminta, cabutlah kembali kata-katamu, Kakang. Tidak ada gunanya memenjarakan mereka semua. Justru aku merasa akan semakin menambah buruk suasana."
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
"Kita harus mencari cara lain yang lebih halus, Kakang. Jangan dengan tindak kekerasan dan ancaman," sambung Pandan Wangi terus membujuk Pendekar Rajawali Sakti.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Rangga.
"Mungkin aku akan mencari keterangan di luar istana," sahut Pandan Wangi.
"Sampai sejauh itu...?"
"Kalau kau menduga persoalan ini menyangkut kelangsungan hidup Karang Setra, kurasa tidak berlebihan jika sampai melibatkan orang-orang di luar lingkungan istana, Kakang," sahut Pandan Wangi kalem.
"Apakah itu tidak terlalu jauh, Pandan?"
"Lebih baik, daripada memenjarakan semua pembesar."
Rangga kembali diam. Dipandanginya wajah Pandan Wangi beberapa saat, kemudian kakinya melangkah mendekati pintu yang tertutup rapat. Sebentar wajahnya berpaling, menatap si Kipas Maut itu. Kemudian dibukanya pintu lebar-lebar. Sedangkan Pandan Wangi tetap berdiri di samping jendela.
"Kau tetap di sini, Pandan. Jangan tinggalkan Cempaka, selama belum sadar," pesan Rangga.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja, sambil tersenyum. Memang tidak sulit bagi si Kipas Maut melunakkan kekerasan hati Pendekar Rajawali Sakti. Senyumnya terus terkembang, walaupun Rangga sudah menghilang di balik pintu yang tertutup kembali. Pandan Wangi baru menghampiri pembaringan Cempaka, dan duduk di kursi yang tadi diduduki Rangga.
********************
Tidak semua orang di Kerajaan Karang Setra ini bisa mengenali Rangga sebagai raja di sini, kalau sedang mengenakan baju rompi putih dan membawa Pedang Rajawali Sakti. Dan itu memang bisa membuat Pendekar Rajawali Sakti itu jadi leluasa berada di antara rakyatnya sendiri. Karena, mereka semua pasti akan menganggap kalau pemuda tampan berbaju rompi putih itu hanya seorang pendekar kelana.
Siang ini, Rangga memang sengaja keluar dari istananya setelah mencabut kembali ancamannya semalam pada para pembesar istana. Pendekar Rajawali Sakti keluar melalui pintu rahasia yang terletak di bagian belakang, dan dekat kandang kuda. Dengan menunggang kuda hitam Dewa Bayu, Pendekar Rajawali Sakti berkeliling kota sambil mencari keterangan tentang rahasia yang tersembunyi di dalam Istana Karang Setra. Tapi sampai matahari naik tinggi, belum juga diperoleh keterangan apa pun juga. Bahkan yang diperoleh hanya rasa lapar dan dahaga, karena setengah harian terus berada di punggung Dewa Bayu.
"Ramai sekali kedai itu," gumam Rangga begitu melihat sebuah kedai berada di ujung jalan tanah ini.
Dengan gerakan begitu ringan dan indah, Rangga melompat turun dari punggung kuda. Sebentar diamatinya kedai yang tampak begitu rampai di depannya. Padahal, kedai itu terletak cukup jauh dari lingkungan penduduk. Dan letaknya pun dekat perbatasan kota. Tapi, keramaian kedai itu membuat Rangga tertarik.
"Kau pasti sudah lapar dan lelah, Dewa Bayu. Bagaimana kalau singgah dulu di sana...?" Rangga berbicara pada kudanya.
Kuda hitam Dewa Bayu hanya mendengus saja sambil mengangguk-anggukkan kepala, seakan-akan mengerti ucapan Pendekar Rajawali Sakti. Sambil menuntun tali kekang kudanya, Rangga melangkah menghampiri kedai di ujung jalan itu. Memang ramai keadaannya. Tapi kening Rangga jadi berkerut setelah berada di depan pintu kedai ini.
"Hm.., mereka semua seperti bukan rakyatku," gumam Rangga dalam hati.
Saat itu, seorang laki-laki tua bertubuh gemuk tergopoh-gopoh datang menghampiri. Tubuhnya dibungkukkan di depan Rangga. Dan dengan ramah sekali, Pendekar Rajawali Sakti dipersilakan masuk. Rangga melangkah masuk mengikuti laki-laki tua bertubuh gemuk ini, yang membawanya. ke sebuah meja di sudut agak menyendiri.
"Ramai sekali kedaimu, Paman," kata Rangga setelah duduk di kursi yang dipilihkan laki-laki tua gemuk pemilik kedai itu.
"Sudah beberapa hari ini kedaiku selalu ramai, Den. Mereka setiap hari datang untuk makan dan minum di sini," sahut laki-laki tua itu ramah.
Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Sebentar pandangannya beredar berkeliling. Dan hampir semua orang yang memadati kedai ini juga tengah memperhatikannya. Bahkan terlihat beberapa orang tengah berbisik-bisik sambil memandang ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, Rangga seperti tidak peduli. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti meminta pemilik kedai itu menyediakan arak manis.
Hanya sebentar saja laki-laki tua pemilik kedai itu pergi, dan kini sudah kembali lagi sambil membawa seguci arak manis. Rangga cepat menahan ketika pemilik kedai itu hendak meninggalkannya lagi, setelah meletakkan guci arak dan gelas bambu ke meja yang ditempatinya.
"Sebentar, Paman."
"Ada apa, Den?"
"Boleh aku tahu namamu, Paman?" pinta Rangga sopan.
"Orang-orang biasa memanggilku Tampik," sahut pemilik kedai memperkenalkan namanya.
"Aku datang hanya seorang diri, Paman. Maukah kau menemaniku duduk di sini...?" pinta Rangga lagi.
"Sebenarnya mau saja, Den. Tapi mereka pasti juga membutuhkan aku. Maklum, Den.... Aku tidak punya pembantu di sini. Semuanya harus kukerjakan sendiri," dengan halus sekali Paman Tampik menolak ajakan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga hanya mengangkat bahunya saja, dan membiarkan pemilik kedai itu meninggalkannya. Lalu, dituangnya arak dari guci ke dalam gelas bambu. Seteguk arak langsung masuk ke dalam tenggorokannya. Namun baru saja gelasnya diletakkan, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, berpakaian hijau tua. Rangga mengangkat wajahnya perlahan, memperhatikan laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun yang tahu-tahu sudah ada di depannya.
Tampak pinggangnya terlilit sabuk dari kulit yang penuh pisau-pisau kecil. Di punggungnya, tersampir sebilah pedang. Meskipun sudah berusia hampir separuh baya, tapi wajahnya masih kelihatan gagah. Hanya saja ketampanannya nyaris hilang oleh sorot matanya yang tajam memancarkan keangkuhan. Sedikit pun tak terukir senyuman di bibirnya yang terkatup rapat
"Kau yang bernama Rangga si Pendekar Rajawali Sakti...?" terdengar begitu berat dan besar suara laki-laki berbaju hijau tua itu.
"Benar," sahut Rangga agak terkejut juga, karena ada orang yang langsung bisa mengenalinya. Bahkan orang yang sama sekali tidak dikenalnya ini, sudah tahu nama asli dan julukannya. Kembali Pendekar Rajawali Sakti memandangi dengan sinar mata penuh selidik. Dicobanya untuk mengingat-ingat, kalau-kalau pernah bertemu. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti memang belum pernah mengenalnya, dan baru kali ini bertemu.
"Sepertinya, di antara kita belum pernah bertemu," kata Rangga, tetap memandangi dengan sinar mata penuh selidik.
"Benar," sahutnya dingin.
"Kau sudah tahu namaku, Kisanak. Boleh kutahu namamu...?" tetap ramah nada suara Rangga.
"Aku tidak punya nama. Tapi, biasanya aku dipanggil si Setan Hijau Pisau Terbang," sahut laki-laki berbaju hijau tua itu. Suaranya tetap terdengar berat dan dingin. Bahkan sama sekali tidak menunjukkan adanya persahabatan.
"Ada perlu denganku?" tanya Rangga lagi, tetap bersikap ramah.
"Ya, ini...!"
"Heh!? Uts...!"
Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika tiba-tiba saja si Setan Hijau Pisau Terbang itu mengebutkan tangan kanannya dengan cepat sekali. Dan bertepatan dengan luncuran sebilah pisau yang berkilat tajam dari tangan kanan laki-laki berbaju hijau itu, Rangga bergegas menarik tubuhnya ke samping. Maka, pisau itu hanya lewat sedikit saja di samping bahunya.
"Hup!"
Cepat-cepat Rangga melompat dari kursinya. Sungguh manis dan ringan gerakan Pendekar Rajawali Sakti. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kedua kakinya menjejak lantai kedai ini. Dan pada saat itu, semua pengunjung kedai beranjak bangkit dari duduknya. Di luar dugaan, mereka langsung saja mengepung pemuda berbaju rompi putih ini.
Memang tidak disangka kalau semua orang yang ada di dalam kedai ini langsung rapat mengepungnya. Bahkan mereka langsung mencabut senjata masing-masing. Ada sekitar tiga puluh orang di dalam kedai ini. Dan rasanya, tidak mungkin bagi Rangga untuk bisa keluar dengan mudah. Saat itu, si Setan Hijau Pisau Terbang sudah melangkah menghampiri. Sorot matanya yang merah, semakin terlihat tajam, seakan-akan ingin menembus langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti.
"Sudah lama sekali kami menunggumu, Rangga. Dan sebaiknya, kau tidak mempersulit dirimu sendiri," kata Setan Hijau Pisau Terbang.
"Apa yang kalian inginkan dariku?" tanya Rangga, langsung menyadari kalau keadaannya saat ini sungguh tidak menguntungkan.
"Kami hanya diperintahkan untuk membawamu kepada pimpinan kami," sahut Setan Hijau Pisau Terbang.
"Untuk apa?" tanya Rangga.
"Kau tidak perlu banyak tanya, Pendekar Rajawali Sakti. Nanti juga akan tahu," sahut Setan Hijau Pisau Terbang, tetap dingin nada suaranya.
"Kau memaksaku, Kisanak," desis Rangga tidak senang.
"Kalau kau tidak banyak tingkah, tentu aku juga tidak akan memaksamu, Pendekar Rajawali Sakti."
"Hm.... Ke mana kau akan membawaku?"
"Sudah kukatakan, jangan banyak tanya!" sentak Setan Hijau Pisau Terbang.
"Kau terlalu memaksaku, Kisanak. Maaf, aku tidak bisa mengikutimu," tegas Rangga.
Setelah berkata demikian, Rangga melangkah hendak meninggalkan kedai ini. Tapi baru saja kakinya terayun tiga langkah, semua orang yang ada di dalam kedai ini langsung bergerak menghunus senjata ke arahnya. Terpaksa Rangga menghentikan langkahnya.
"Jangan coba-coba keluar dari sini tanpaku, Pendekar Rajawali Sakti," desis Setan Hijau Pisau Terbang dingin mengancam. "Mereka sudah diperintahkan untuk mencincangmu, kalau kau tetap banyak tingkah."
"Oh, begitukah...?" terdengar sinis nada suara Rangga.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya ke sekeliling, sambil memutar tubuhnya perlahan-lahan. Kemudian ditatapnya Setan Hijau Pisau Terbang dalam-dalam. Dan tiba-tiba saja....
"Hup!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas. Tahu-tahu saja Rangga sudah menjebol atap kedai ini, dan langsung meluncur ke luar. Begitu cepat gerakannya, sehingga membuat semua orang yang ada di dalam kedai itu jadi terlongong-longong.
"Kejar! Jangan biarkan lolos...!" seru Setan Hijau Pisau Terbang lantang menggelegar.
Seketika itu juga, mereka langsung beriompatan keluar dari kedai ini. Setan Hijau Pisau Terbang pun melesat cepat ke atas, mengikuti Rangga yang menjebol atap. Sebentar saja, tak ada seorang pun yang ada di dalam kedai ini lagi. Hanya pemilik kedai saja yang masih tinggal dengan mulut ternganga.
TIGA
"Hap!"
Ringan sekali Rangga menjejakkan kakinya di tanah, tepat di tengah-tengah halaman depan kedai. Tapi belum juga Pendekar Rajawali Sakti menghampiri kudanya yang tertambat di pohon, sudah cepat sekali terkepung rapat. Dan saat itu, Setan Hijau Pisau Terbang mendarat tepat sekitar satu batang tombak di depan pemuda berbaju rompi putih ini.
"Rupanya kau senang mencari kesulitan sendiri, Pendekar Rajawali Sakti," desis Setan Hijau Pisau Terbang, dingin.
"Aku tidak punya persoalan dengan kalian. Dan sebaiknya, kalian juga tidak perlu mencari persoalan denganku," balas Rangga tidak kalah dinginnya.
"Kau benar-benar angkuh, Pendekar Rajawali Sakti. Jangan menyesal atas kesombonganmu," dengus Setan Hijau Pisau Terbang mendesis dingin.
"Biarkan aku pergi, dan jangan membuka persoalan denganku," tetap dingin suara Rangga.
"Kau benar-benar memaksaku bertindak kasar, Pendekar Rajawali Sakti."
"Hhh!" Rangga hanya mendengus saja.
Trek!
Setan Hijau Pisau Terbang menjentikkan ujung jarinya. Maka saat itu juga, sekitar sepuluh orang yang semuanya menggenggam golok berlompatan ke depan, tepat di saat si Setan Hijau Pisau Terbang melompat mundur.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa diperintah lagi, mereka langsung berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Malah dua orang begitu cepat melompat dari arah depan, sambil membabatkan golok secara menyilang dan mengarah ke leher.
"Hap!"
Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti menarik tubuhnya hingga doyong ke belakang, menghindari tebasan dua bilah golok yang datang bersamaan itu. Tapi belum juga Rangga sempat menarik tegak tubuhnya kembali, dari arah kanan sudah datang serangan cepat
"Haiiit..!"
Cepat-cepat Rangga melenting ke kiri, menghindari tebasan golok dari arah kanan. Dan pada saat yang bersamaan, seorang penyerangnya sudah melepaskan satu pukulan keras ke arahnya. Tentu saja orang itu terkejut, karena tidak menyangka kalau justru Pendekar Rajawali Sakti melenting ke arahnya. Maka, orang itu tidak bisa lagi menarik serangannya yang sudah terlontar.
"Yeaaah...!"
Saat itu juga, Rangga melepaskan satu pukulan keras, namun hanya disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak begitu tinggi. Hanya saja kecepatan pukulannya tidak dapat lagi dihindari.
Begkh!
"Akh...!"
Meskipun tidak disertai pengerahan tenaga dalam penuh, namun pukulan Pendekar Rajawali Sakti demikian keras. Akibatnya, seorang lawan seketika terpental ke belakang, setelah dadanya terkena pukulan keras tadi. Dan kini, keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah.
"Hup! Hiyaaa...!"
Begitu kakinya menjejak tanah, Rangga langsung melenting ke udara, tepat di saat dua orang juga melesat ke udara mengejarnya sambil mengibaskan goloknya. Tapi, kedua tangan Rangga yang mengembang lebih cepat lagi bergerak mengelebat. Maka, kedua orang itu hanya bisa terpekik begitu kibasan-kibasan tangan Rangga yang menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' menghajar tubuhnya. Tak pelak lagi, mereka terbanting keras ke tanah, dan bergulingan beberapa kali sambil mengeluarkan pekikan nyaring sekali.
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Rangga meluruk turun. Saat itu juga, jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' dikerahkan. Kini kedua kakinya yang bergerak begitu cepat, terarah langsung kepada Setan Hijau Pisau Terbang.
"Keparat...!" maki Setan Hijau Pisau Terbang terhenyak kaget. "Hup! Hiyaaa...!"
Cepat-cepat dia melompat ke belakang, dan berputaran beberapa kali menghindari serangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, saat itu juga Rangga sudah mendarat seraya melepaskan satu pukulan lurus, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Cepat sekali pukulan yang dilepaskannya, sehingga Setan Hijau Pisau Terbang tidak dapat lagi berkelit menghindar. Dan...
"Hiyaaa...!"
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Setan Hijau Pisau Terbang, selain menyambut pukulan Pendekar Rajawali Sakti dengan pukulan yang bertenaga dalam tinggi pula. Hingga tak pelak lagi, dua pukulan mengandung pengerahan tenaga dalam itu bertemu di tengah-tengah.
Plak!
"Akh...!"
Setan Hijau Pisau Terbang jadi terpekik, begitu pukulannya beradu dengan pukulan Pendekar Rajawali Sakti. Seketika itu juga, tubuhnya terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali dia jatuh terguling di tanah berdebu.
Sementara, Rangga tetap berdiri tegak tanpa bergeser sedikit pun. Lalu perlahan-lahan kakinya melangkah menghampiri si Setan Hijau Pisau Terbang yang masih terkapar di tanah.
Memang sulit menandingi Pendekar Rajawali Sakti yang ilmu tenaga dalamnya sudah mencapai tingkat sempurna. Terlebih lagi, saat itu telah mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' meskipun, dalam tingkat pertama. Sehingga, tangan si Setan Hijau Pisau Terbang tidak sampai hancur ketika berbenturan tadi.
"Hih!"
Tiba-tiba saja, si Setan Hijau Pisau Terbang mengebutkan tangan kirinya cepat sekali, meski tubuhnya masih tergeletak di tanah. Dan saat itu juga, terlihat sebilah pisau berukuran kecil melesat bagai kilat ke arah Rangga. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti tidak berusaha menghindar sedikit pun. Malah, cepat sekali tangannya bergerak menangkap pisau itu.
Tap!
Tahu-tahu pisau berukuran kecil dan tipis itu sudah berada di dalam jepitan dua jari Pendekar Rajawali Sakti, tepat di depan dadanya yang terbuka. Kedua kakinya terayun perlahan-lahan mendekati laki-laki berbaju hijau tua itu.
Sementara itu tak ada seorang penyerang pun yang berani mendekat lagi. Sedangkan si Setan Hijau Pisau Terbang menggeser tubuhnya, lalu melompat bangkit berdiri dengan gerakan indah sekali.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, si Setan Hijau Pisau Terbang langsung menyerang dengan lontaran pisau-pisaunya yang memenuhi pinggangnya. "Hup! Hiyaaa...!"
Manis sekali Rangga melentingkan tubuhnya. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti berjumpalitan di udara, menghindari terjangan pisau-pisau itu. Sesekali tangannya dikebutkan, untuk menangkap pisau-pisau yang meluruk deras mengancam tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Rangga melesat tinggi ke atas. Dan dengan cepat sekali tubuhnya meluruk turun setelah melewati kepala si Setan Hijau Pisau Terbang. Dan begitu kakinya menjejak tanah, tepat di belakang laki-laki berbaju hijau tua itu, secepat kilat kakinya menghentak ke belakang. Langsung diberikannya tendangan menggeledek yang begitu dahsyat!
Diegkh!
"Akh...!"
Lagi-lagi si Setan Hijau Pisau Terbang memekik, tanpa dapat menghindari tendangan di punggungnya. Tak pelak lagi, dia jatuh tersungkur mencium tanah, namun cepat bisa bangkit kembali setelah bergulingan beberapa kali.
"Heh...?!"
Bukan main terkejutnya si Setan Hijau Pisau Terbang, begitu mengetahui tidak ada lagi pisaunya yang tersisa. Semuanya sudah habis, tapi tak satu pun yang bisa melukai tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
"Phuih!"
Sret! Cring!
Sambil menyemburkan ludahnya, si Setan Hijau Pisau Terbang langsung mencabut pedangnya yang sejak tadi tersampir di punggung. Langsung pedangnya disilangkan di depan dada. Dengan punggung tangan, disekanya darah yang merembes dari sudut bibirnya. Sementara, Rangga berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada. Saat itu, Setan Hijau Pisau Terbang sudah bergerak menggeser kakinya ke samping, sambil memainkan pedangnya. Gerakan-gerakannya begitu indah, tapi mengandung ancaman yang mematikan.
"Sebaiknya kau kembali saja, Kisanak. Katakan pada pemimpinmu. Kalau ingin bertemu denganku, biar dia sendiri yang harus datang menemuiku," tegas Rangga, terdengar lantang suaranya.
"Cukup kepalamu saja yang bertemu dengannya, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Setan Hijau Pisau Terbang.
"Hm..." Rangga menggumam kecil.
Sementara itu, Setan Hijau Pisau Terbang sudah semakin dekat saja jaraknya. Pedang yang tergenggam di tangan kanannya terlihat berkilatan, tertimpa cahaya matahari yang bersinar sangat terik siang ini. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun.
"Mampus kau, Pendekar Rajawali Sakti...! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, Setan Hijau Pisau Terbang melompat sambil mengebutkan pedang ke arah leher Pendekar Rajawali Sakti.
"Hait!"
Tapi dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil menghindari tebasan pedang pada lehernya. Lalu, Pendekar Rajawali Sakti cepat melangkah mundur dua tindak.
Namun, Setan Hijau Pisau Terbang tidak mau meninggalkan begitu saja. Gagal dengan serangan pertama, kembali dilakukannya serangan cepat luar biasa. Pedangnya berkelebatan di sekitar tubuh Rangga yang bergerak meliuk-liuk menghindarinya.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Tampaknya, Setan Hijau Pisau Terbang tidak sudi lagi memberi kesempatan pada Rangga untuk bisa balas menyerang. Jurus-jurus permainan pedangnya begitu cepat dan dahsyat luar biasa. Tapi, yang dihadapinya kali ini adalah Pendekar Rajawali Sakti. Hingga sudah beberapa jurus berlalu, belum juga bisa menghunjamkan pedangnya ke tubuh pemuda berbaju rompi putih itu. Bahkan untuk bisa mendesak pun, rasanya masih terlalu sulit. Padahal, Rangga saat itu hanya mengeluarkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
'Sembilan Langkah Ajaib' memang sebuah jurus aneh. Gerakan-gerakannya tidak seperti orang sedang bertarung. Bahkan kelihatan seperti orang kebanyakan minum arak. Seringkali tubuhnya doyong seperti hendak jatuh. Tapi, begitu cepat sekali berubah mengikuti arah kelebatan pedang si Setan Hijau Pisau Terbang. Sehingga, sangat sulit bagi si Setan Hijau Pisau Terbang untuk mengembangkan jurus-jurusnya.
"Keparat..!-Hiyaaa...!"
Sambil berteriak berang, Setan Hijau. Pisau Terbang semakin memperhebat jurus-jurusnya. Tapi pada saat itu juga, Rangga sudah cepat sekali merubah jurusnya. Dan tanpa diduga sama sekali, Pendekar Rajawali Sakti meiepaskan satu pukulan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.
"Hih!" Wuk!
Cepat-cepat Setan Hijau Pisau Terbang mengebutkan pedangnya, mencoba menggagalkan serangan balasan Pendekar Rajawali Sakti. Namun, rupanya Rangga lebih cepat lagi menarik tangannya. Dan begitu pedang lewat di depan dada si Setan Hijau Pisau Terbang, cepat sekali Rangga menghentakkan kakinya ke depan. Langsung diberikannya satu tendangan keras menggeledek sambil memutar tubuhnya sedikit. Begitu cepat tendangannya, sehingga si Setan Hijau Pisau Terbang tidak sempat lagi menghindar.
Desss!
"Akh...!"
Kembali si Setan Hijau Pisau Terbang deras terpental ke belakang. Dan sebelum tubuhnya menghantam tanah, Rangga sudah melesat begitu cepat bagai kilat. Kembali dilepaskannya satu tendangan di udara yang begitu sulit dan mencengangkan.
Bruk!
Lagi-lagi Setan Hijau Pisau Terbang tersuruk mencium tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, sebelum bisa bangkit berdiri lagi. Kini semakin banyak saja darah yang keluar dari mulutnya.
"Ugkh...!" Setan Hijau Pisau Terbang terbatuk beberapa kali.
Dan setiap kali terbatuk, Setan Hijau Pisau Terbang selalu menyemburkan darah dari mulut dan hidungnya. Memang sungguh dahsyat pukulan maupun tendangan yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Tapi untungnya, tidak disertai pengerahan kekuatan tenaga dalam yang penuh. Sehingga, tidak sampai menciderai si Setan Hijau Pisau Terbang lebih parah lagi.
"Jangan paksakan dirimu, Kisanak. Akan semakin parah bagi dirimu sendiri, kalau memaksa mengerahkan tenaga dalam," kata Rangga memperingatkan.
"Phuih!"
Tapi, rupanya bagi si Setan Hijau Pisau Terbang sudah kepalang basah. Peringatan Pendekar Rajawali Sakti tidak dipedulikan lagi. Dan dia malah melompat, melakukan serangan kembali. Pedangnya disilangkan begitu cepat sekali ke arah leher, disertai pengerahan tenaga dalam.
"Hap!"
Tapi dengan gerakan manis sekali, Rangga berhasil menangkap mata pedang itu hanya dengan dua jari tangannya saja, tepat di samping lehemya. Dan pada saat itu juga, Rangga melepaskan satu tendangan keras ke arah perut.
Desss!
"Hegkh!"
Begitu tubuh Setan Hijau Pisau Terbang terbungkuk, cepat sekali Rangga memberi satu pukulan keras di wajahnya. Seketika itu juga, kepala Setan Hijau Pisau Terbang terdongak ke atas.
"Hiyaaa...!"
Dan Rangga rupanya tidak ingin meninggalkannya begitu saja. Kembali dilepaskannya satu pukulan keras menggeledek, tepat menghantam dada si Setan Hijau Pisau Terbang. Akibatnya, si Setan Hijau Pisau Terbang tidak sadarkan diri seketika itu juga. Dan Rangga cepat menghampiri, lalu memeriksa urat nadi di lehemya sebelah kanan. Rangga kembali bangkit berdiri, setelah yakin kalau si Setan Hijau Pisau Terbang tidak tewas. Kemudian, Rangga melompat naik ke punggung kudanya yang tertambat tidak jauh dari situ, di bawah sebatang pohon randu.
"Hiyaaa...!"
Sekali gebah saja, kuda hitam Dewa Bayu itu sudah melesat cepat bagai kilat. Begitu cepatnya kuda itu berlari, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Hanya debu saja yang terlihat mengepul di udara. Sementara itu, Setan Hijau Pisau Terbang masih tergeletak tak sadarkan diri. Kemudian, anak buahnya segera membawanya pergi lari tempat itu.
********************
Saat matahari hampir tenggelam, Rangga baru kembali pulang ke istana melalui pintu rahasia di bagian belakang bangunan megah itu. Namun belum juga dia sempat turun dari punggung kuda, tampak Pandan Wangi melangkah lebar-lebar menghampiri.
"Hup!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kudanya. Saat itu, Pandan Wangi sudah berada dekat di depannya. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tjga langkah lagi di depan Rangga.
"Ada apa? Kau seperti dikejar setan saja, Pandan...," tegur Rangga, langsung.
"Aku sudah tahu rahasia yang tersimpan di istana ini, Kakang," kata Pandan Wangi langsung.
"Oh...?! Rahasia apa?" tanya Rangga terkejut "Cepat katakan, Pandan. Rahasia apa yang mereka sembunyikan."
"Kau ingat benda yang melukai Cempaka, Kakang?" Pandan Wangi malah bertanya.
Rangga hanya mengangguk saja.
"Aku telah membawa benda itu pada seorang ahli senjata di Desa Katung. Dia mengenali benda itu sebagai senjata rahasia, Kakang. Bahkan dia juga tahu, siapa pemilikinya," lapor Pandan Wangi.
"Siapa?" desak Rangga tidak sabar.
"Dewi Mata Hijau," sahut Pandan Wangi memberitahu.
"Dewi Mata Hijau...," Rangga menggumam perlahan.
Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut. Rasanya baru kali ini dia mendengar nama itu. Dan yang pasti, nama itu bukan nama sebenarnya. Pasti hanya nama julukan saja.
"Lalu, kenapa dia hendak mengacau ketenteraman istana, Pandan?" tanya Rangga lagi.
"Itulah yang belum kuketahui, Kakang," desah Pandan Wangi bemada mengeluh.
"Tidak ada yang bicara tentang persoalan ini padamu, Pandan?" desak Rangga lagi.
Pandan Wangi menggelengkan kepala. Matanya tak berkedip memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri di depannya ini. Bisa iirasakan adanya kekecewaan di dalam sinar mata pemuda tampan ini. Karena, rahasia sebenarnya yang disimpan semua orang di Istana Karang Setra ini justru maksud kemunculan orang yang mencelakai Cempaka. Sedangkan sampai saat ini, belum ada seorang pun yang bisa diajak bicara. Mereka semua masih tetap menyimpan rahasia itu rapat-rapat.
Rangga menuntun kudanya ke dalam istal, diikuti Pandan Wangi dari belakang. Setelah menyerahkan kuda itu pada seorang pengurus kuda istana, mereka keluar lagi dari dalam istal Sepasang pendekar muda itu melewati jendela kamar Cempaka yang terbuka lebar, dan sempat melihat Cempaka masih terbaring di pembaringan. Gadis itu sudah siuman dari pingsannya, tapi masih belum bisa meninggalkan pembaringannya.
Rangga terus mengayunkan kakinya menuju ke bagian belakang istana. Pandan Wangi terus mengikuti, dan mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Rajawali Sakti. Mereka terus melangkah menuju ke taman belakang istana, tanpa bicara lagi. Dua orang prajurit yang menjaga pintu Taman Kaputren segera membungkuk memberi hormat. Sementara Rangga terus masuk ke dalam taman ini, diikuti Pandan Wangi. Mereka kemudian duduk di bangku taman belakang istana.
"Kau tahu, siapa Dewi Mata Hijau itu, Pandan?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Katanya, dia datang dari Utara," sahut Pandan Wangi.
"Lalu, apa maksudnya datang ke sini?" tanya Rangga lagi.
"Entahlah.... Aku tidak tahu, Kakang."
Rangga kembali diam. Keningnya terlihat berkerut, pertanda tengah berpikir keras. Sulit untuk bisa diduga, apa yang akan terjadi di Kerajaan Karang Setra ini. Rangga jadi teringat kata-kata Panglima Rakatala. Kabut hitam memang tengah menyelimuti Kerajaan Karang Setra ini. Tapi, Rangga belum bisa melihat kabut hitam itu. Bahkan untuk melihat bayangan pun masih terlalu sulit.
Beberapa peristiwa setelah Pendekar Rajawali Sakti tiba di Karang Setra ini, belum bisa diambil kaitannya. Tapi yang jelas, ada satu kelompok yang menginginkannya. Entah untuk apa mereka ingin bertemu Pendekar Rajawali Sakti. Kemunculan orang aneh yang berjuluk Dewi Mata Hijau, dan kemunculan Setan Hijau Pisau Terbang, belum bisa dirangkaikan satu sama lain. Rangga masih terus mencari dan berpikir keras menyingkap teka-teki ini.
"Aku minta, kau terus mencari keterangan lebih banyak lagi, Pandan. Aku merasa ada suatu rencana tertentu di balik semua peristiwa ini," kata Rangga, agak menggumam suaranya.
Pandan Wangi hanya mengangguk saja. Saat itu, terlihat Danupaksi datang menghampiri bersama dua orang punggawa. Rangga dan Pandan Wangi langsung berdiri, begitu Danupaksi dekat. Pemuda itu segera membungkukkan tubuhnya memberi hormat Sementara, kedua punggawa itu merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.
"Ada apa, Danupaksi?" tanya Rangga.
"Ada orang hendak bertemu, Kakang Prabu," sahut Danupaksi dengan sikap hormat.
"Siapa?" tanya Rangga lagi.
"Dia tidak mau menyebutkan namanya, Kakang Prabu. Katanya, ini persoalan penting dan menyangkut keselamatan nyawa Kakang Prabu sendiri," sahut Danupaksi.
"Hm...," Rangga menggumam terkejut. Sekilas Pendekar Rajawali Sakti melirik Pandan Wangi yang juga menatapnya, setelah mendengar penuturan Danupaksi. "Di mana dia menunggu?" tanya Rangga setelah terdiam beberapa saat.
"Di alun-alun depan," jelas Danupaksi.
"Baiklah. Antarkan aku ke sana," pinta Rangga.
"Hamba, Kakang Prabu."
********************
EMPAT
Kelopak mata Rangga jadi agak menyipit, begitu melihat seorang gadis cantik sedang menunggunya di tengah alun-alun depan istana yang luas ini. Seorang gadis yang begitu cantik, mengenakan baju ketat wama merah muda. Sehingga, membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Sebilah pedang tertihat tersampir di punggungnya.
Tampak kakinya melangkah begitu melihat Pendekar Rajawali Sakti muncul didampingi Pandan Wangi, Danupaksi, dan dua orang punggawa. Di belakang mereka juga terlihat Ki Lintuk, Panglima Rakatala, Paman Wirapati, dan empat orang panglima, serta patih. Gadis itu berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada perlu denganku, Nisanak...?" tanya Rangga ramah.
"Kalau kau memang Pendekar Rajawali Sakti, aku ada perlu denganmu," tegas sekali jawaban gadis cantik itu.
"Hm. Siapa namamu, Nisanak?"
"Nini Ratih."
"Lalu, apa keperluanmu?"
"Aku hanya mengemban tugas untuk menjemputmu."
"Menjemputku? Untuk apa...?" tanya Rangga, terkejut.
Pendekar Rajawali Sakti jadi teringat Setan Pisau Terbang yang juga menunggunya, untuk membawanya menghadap pada pemimpinnya. Rangga jadi bertanyatanya sendiri dalam hati. Kenapa begitu banyak orang yang ingin bertemu dengannya?
Inikah rahasia yang selama ini disembunyikan para pembesar istana padanya? Rangga jadi tidak mengerti. Dia tidak tahu, siapa orang-orang yang ingin bertemu dengannya kali ini. Juga, apa maksud mereka hendak bertemu dengan cara sangat membingungkan ini.
"Kau akan tahu nanti setelah sampai di sana, Pendekar Rajawali Sakti. Dan kuharap, kau tidak menimbulkan kesulitan yang akan membuat semua orang sengsara," kata Nini Ratih bernada mengancam.
"Kurang ajar...!" desis Ki Lintuk jadi geram, melihat tingkah gadis itu.
"Nisanak! Kau tahu, dengan siapa kau berhadapan, heh...?" bentak Paman Wirapati.
Hampir saja Paman Wirapati yang berangasan itu melompat menerjang. Untung saja, Rangga segera mencegahnya. Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun itu hanya mendengus saja, memandang penuh kebencian pada gadis cantik yang berdiri angkuh di halaman alun-alun Istana Karang Setra itu.
Para panglima dan patih yang ada di belakang Pendekar Rajawali Sakti sudah bersiap hendak mencabut senjatanya. Diam-diam, mereka sudah menggeser dan saling merenggang menjauh. Sementara, beberapa orang prajurit juga sudah siaga, tinggal menunggu perintah saja. Kesigapan para panglima dan prajurit Karang Setra itu membuat gadis cantik yang mengaku bemama Nini Ratih jadi tersenyum. Sementara, Rangga melangkah ke depan beberapa tindak. Sehingga jarak di antara mereka jadi semakin bertambah dekat.
"Nisanak! Kuharap, kau bisa menyadari kalau sedang berada di mana saat ini. Aku tidak ingin terjadi sesuatu tanpa ada sebab yang pasti," kata Rangga.
"Aku tahu kau memang berkuasa di sini, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kedatanganku hanya mengemban tugas. Aku harus membawamu sekarang juga dengan cara apa pun. Kuharap kau juga bisa memakluminya, Pendekar Rajawali Sakti. Dan aku juga tidak ingin mereka semua jadi susah," terdengar sinis nada suara Nini Ratih.
"Sombong...!" dengus Pandan Wangi mendesis.
Sikap Nini Ratih yang angkuh dan tidak memandang sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra ini, membuat pembesar yang ada jadi berang. Bahkan para prajurit yang semakin banyak jumlahnya juga sudah tidak sabar lagi menunggu perintah. Tapi, memang tak ada seorang pun yang memberi perintah untuk mengenyahkan gadis itu. Karena, Rangga sendiri kelihatannya masih belum terpancing, walaupun sikap Nini Ratih jelas-jelas tidak memandang sebelah mata pun padanya. Bahkan senyuman yang begitu manis terukir di bibirnya.
"Kalau boleh kutahu, siapa nama pemimpinmu itu, Nisanak?" tanya Rangga, masih tetap bersikap ramah.
"Sudah kukatakan, kau tidak perluh tahu! Kau akan tahu sendiri kalau sudah bertemu dengannya, Pendekar Rajawali Sakti!" ketus sekali jawaban Nini Ratih.
"Hm...," Rangga menggumam kecil. Keningnya terlihat berkerut. Sedangkan kelopak matanya agak menyipit, memandangi gadis cantik di depannya. Sikap yang meremehkan dan dengan kata-kata begitu ketus, membuat kesabaran Pendekar Rajawali Sakti jadi teruji. Tapi, Rangga juga tidak ingin diremehkan begitu terus-menerus. Terlebih lagi, saat ini hampir semua pembesar kerajaan dan para prajurit Karang Setra sudah berkumpul memenuhi alun-alun depan Istana Karang Setra. Rangga juga menyadari kalau mereka semua tentu tidak sudi rajanya dipandang rendah seperti itu.
"Baiklah, Nisanak. Katakan pada pemimpinmu itu. Bila ingin bertemu denganku, biar dia datang sendiri ke sini," tegas Rangga.
"Sudah kuduga., kau pasti akan menolak, Pendekar Rajawali Sakti. Hhh...!" dengus Nini Ratih sinis.
"Maaf! Masih banyak yang harus kuselesaikan. Kalau pemimpinmu ingin bertemu, sebaiknya buat dulu perjanjian dengan Ki Lintuk," kata Rangga seraya memutar tubuhnya berbalik.
"Tunggu...!" sentak Nini Ratih cepat Rangga mengurungkan ayunan kakinya. Dan belum juga tubuhnya bergerak memutar kembali, tiba-tiba saja terasa adanya desir angin dari arah belakang.
"Hup!"
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melesat ke atas. Saat itu, terlihat sebuah benda berwama keperakan meluncur deras di bawah telapak kakinya. Benda bercahaya keperakan itu langsung menghantam dada seorang prajurit yang berada tidak jauh dari Pendekar Rajawali Sakti.
Crab!
"Aaakh...!"
Jeritan panjang melengking dan menyayat seketika terdengar, bersamaan dengan ambruknya prajurit yang malang itu ke tanah. Hanya sebentar saja prajurit itu menggelepar, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Sementara itu, manis sekali Rangga kembali menejakkan kakinya, sekitar lima langkah lagi di depan Nini Ratih. Sorot matanya terlihat begitu tajam. Dan wajahnya jadi memerah menahan geram.
"Kau harus ikut denganku, Pendekar Rajawali Sakti," desis Nini Ratih dingin.
"Hih...!"
Cepat sekali gadis itu menghentakkan tangan kanannya ke depan, memberi satu pukulan yang begitu cepat ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan kecepatan luar biasa sekali, Rangga mengegoskan tubuhnya. Sehingga, pukulan gadis cantik itu hanya menemui tempat kosong.
"Yeaaah...!"
Dengan tubuh sedikit miring ke kiri, Rangga cepat mengebutkan tangan kanannya. Langsung memberikannya satu sodokan yang begitu cepat, disertai pengerahan tenaga dalam tidak penuh. Sodokan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti itu tetap mengarah ke lambung kiri gadis cantik ini.
"Ikh...!"
Namun, cepat sekali Nini Ratih menarik mundur kakinya. Hingga, sodokan tangan Pendekar Rajawali Sakti hanya mengenai angin kosong saja.
"Hup! Hiyaaa...!"
"Heh...?!"
Rangga jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba saja dari arah belakang melesat bayangan biru muda. Dan belum juga hilang rasa keterkejutannya, tahu-tahu Pandan Wangi sudah terlihat menyerang Nini Ratih begitu gencar. Akibatnya, gadis cantik itu harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan yang begitu cepat dan beruntun dari si Kipas Maut.
"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Dengan jurus-jurus pendek yang begitu cepat, Pandan Wangi terus merangsek gadis cantik yang mengenakan baju warna merah muda agak ketat ini. Namun tampaknya, Pandan Wangi tidak memberi kesempatan sedikit pun pada lawan untuk balas menyerang. Dia terus berusaha mendesak dengan jurus-jurusnya yang cepat dan dahsyat. Sementara, Rangga tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa menyaksikan pertarungan itu dari jarak yang tidak begitu jauh.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja, Nini Ratih melenting tinggi-tinggi ke atas. Beberapa kali dia berputaran di udara, lalu cepat sekali meluruk turun menjauhi Pandan Wangi. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis cantik berbaju merah muda itu menjejakkan kakinya di tanah.
Sret!
Pedang yang tersampir di punggung, langsung tercabut keluar. Nini Ratih cepat-cepat menyilangkan pedangnya di depan dada, begitu melihat Pandan Wangi mengeluarkan senjata mautnya berupa sebuah kipas baja putih berkilat keperakan. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu membuat beberapa gerakan yang begitu indah. Kipasnya berkelebatan begitu cepat dan manis, sehingga sedap dipandang mata. Tapi, keindahan gerakannya itu justru mengandung maut yang menggetarkan.
"Kipas Maut...," desis Nini Ratih langsung mengenali.
"Hup! Hiyaaat...!"
Bagaikan kilat, Pandan Wangi melompat menerjang Kipasnya dikibaskan beberapa kali, mengarah kebagian-bagian tubuh Nini Ratih yang mematikan. Begitu cepat serangan yang dilancarkannya, sehingga membuat Nini Ratih jadi terkesiap sejenak. Namun dengan cepat pula wanita berbaju merah muda itu berkelit menghindari serangan-serangan cepat si Kipas Maut ini.
"Uts! Yeaaah...!"
Bet!
Begitu ada kesempatan, Nini Ratih cepat mengebutkan pedangnya ke arah dada. Tapi, Pandan Wangi sudah menempatkan kipasnya di depan dada. Hingga, benturan dua senjata tak dapat dihindari lagi.
Tring!
"Ikh...?!"
Nini Ratih jadi terpekik kaget setengah mati, begitu pedangnya beradu dengan kipas Pandan Wangi. Maka cepat-cepat wanita berbaju merah muda itu melompat mundur beberapa langkah. Saat itu juga tangan kanannya terasa bergetar. Hampir saja pedangnya terlepas dari genggaman, kalau tidak cepat-cepat dipindahkan ke tangan kiri. Nini Ratih langsung menyadari kalau tingkat ilmu tenaga dalam yang dimilikinya masih di bawah si Kipas Maut itu.
"Hiyaaa...!"
Belum juga Nini. Ratih bisa berbuat lebih banyak lagi, cepat sekali Pandan Wangi sudah melakukan serangan kilat
Wuk!
"Uts...!"
Nini Ratih cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang, begitu Kipas Maut milik Pandan Wangi mengibas mengancam tenggorokannya. Ujung kipas yang runcing itu lewat sedikit di depan tenggorokan gadis cantik berbaju merah muda ini. Dan belum juga Nini Ratih bisa menegakkan tubuhnya kembali, bagaikan kilat Pandan Wangi sudah menghentakkan kakinya. Langsung diberikannya tendangan dahsyat
"Hiyaaa...!"
"Oh...?!"
Desss!
"Akh...!"
Tidak ada kesempatan lagi bagi Nini Ratih untuk berkelit menghindar. Tendangan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi itu tepat mendarat di dadanya. Maka tak pelak lagi, gadis berbaju merah muda itu terpental beberapa batang tombak jauhnya ke belakang. Lalu, keras sekali tubuhnya menghantam tanah, dan bergulingan beberapa kali. Sementara, Pandan Wangi sudah melompat cepat mengejarnya. Secepat itu pula kipas mautnya dikebutkan ke arah leher gadis itu.
"Hiyaaat..!"
Wuk!
Trak!
"Heh...?! Hup!"
Bukan main terkejutnya Pandan Wangi, begitu ujung kipas mautnya yang hampir saja merobek leher Nini Ratih tiba-tiba saja terasa membentur sesuatu yang begitu keras dan kuat Akibatnya, kipas itu hampir saja terpental lepas dari tangannya. Maka cepat-cepat tubuhnya melenting, berputar dua kali ke belakang. Pada saat itu terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat melewati tubuhnya. Dan tahu-tahu, di samping tubuh Nini Ratih yang tergeletak di tanah, sudah berdiri Pendekar Rajawali Sakti. Satu kaki pemuda tampan berjubah putih itu menginjak pedang gadis cantik berbaju merah muda ini.
"Kau tidak perlu membunuhnya, Pandan," kata Rangga.
"Huh...!" Pandan Wangi hanya mendengus saja. Pandan Wangi menyimpan kembali Kipas Mautnya ke balik ikat pinggang. Sementara, Rangga mengambil pedang Nini Ratih yang diinjaknya. Kemudian dibangunkannya gadis itu hingga berdiri. Tampak darah kental mengalir keluar dari sudut bibirnya yang merah. Sorot matanya terlihat begitu tajam, tertuju lurus ke arah Pandan Wangi. Dari sorot matanya yang tajam, jelas kalau kekalahan ini tidak bisa diterimanya.
"Panglima Rakatala... Masukkan dia ke penjara," perintah Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut Panglima Rakatala.
Bergegas laki-laki hampir separuh baya yang masih keiihatan gagah itu menghampiri. Lalu dicengkeramnya lengan Nini Ratih yang sudah tak berdaya itu dekat ketiaknya. Tanpa berkata apa-apa lagi, Panglima Rakatala membawa gadis itu ke dalam penjara. Sementara, Nini Ratih sempat melirik tajam pada Pandan Wangi.
"Kenapa tidak kau biarkan saja aku membunuhnya, Kakang?" desis Pandan Wangi kurang puas.
"Ini bukan rimba persilatan, Pandan. Ini kerajaan yang memiliki hukum dan peraruran-peraturan. Kau tidak bisa bertindak seenaknya di sini," kata Rangga mengingatkan.
"Huh!" Pandan Wangi hanya mendengus saja.
Rangga hanya tersenyum dan mengajak gadis itu kembali masuk ke dalam istana. Sementara, para panglima dan patih langsung mengatur penjagaan lebih dekat lagi di sekitar bangunan istana ini. Kemudian Rangga meminta Ki Lintuk, Paman Wirapati, Danupaksi, serta beberapa pembesar istana untuk berkumpul di Balai Sema Agung. Tak ada seorang pun yang membantah, dan semuanya langsung me-nuju ke Balai Sema Agung. Sementara, Rangga sendiri membawa Pandan Wangi ke ruangan lain.
"Kau meminta mereka ke Balai Sema Agung, tapi mengapa malah membawaku ke sini, Kakang...?" rungut Pandan Wangi.
"Ada yang ingin kubicarakan secara pribadi denganmu, Pandan," sahut Rangga kalem.
"Tentang apa?" tanya Pandan Wangi sambil memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.
"Kau," sahut Rangga tegas.
"Aku...?!" Pandan Wangi jadi tidak mengerti.
"Ya, kau!"
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang. Ada apa denganku...?" Pandan Wangi jadi kebingungan, tidak mengerti maksud perkataan Pendekar Rajawali Sakti.
"Tadi hampir saja kau membunuh Nini Ratih di depan para patih, panglima, dan prajurit. Tindakanmu tadi bisa menjatuhkan citra baikmu selama ini di Karang Setra," tegur Rangga.
"Maafkan aku, Kakang. Aku paling benci jika kau direndahkan orang di depan umum," ucap Pandan Wangi.
"Ah..., sudahlah. Apa kau ingin ikut ke Balai Sema Agung?" Rangga mengalihkan pembicaraan.
"Aku akan melihat Cempaka," tolak Pandan Wangi.
Rangga segera melangkah menuju Balai Sema Agung. Sementara, Pandan Wangi terus saja berjalan menyusuri lorong yang menuju kamar Cempaka.
********************
Kabut hitam semakin tebal menyelimuti angkasa Karang Setra. Sudah dua hari ini Rangga selalu keluar dari istananya melalui pintu rahasia yang hanya beberapa orang kepercayaannya saja yang mengetahuinya. Sementara, Nini Ratih yang berada di dalam kamar tahanan tidak mau berbicara sedikit pun juga.
Padahal, sudah beberapa kali Rangga mencoba membujuk. Tapi gadis cantik itu tetap saja bungkam. Bahkan Danupaksi, Ki Lintuk, Paman Wirapati, dan Panglima Rakatala juga sudah berusaha membuka mulut gadis itu. Tapi, Nini Ratih tetap membisu. Dan ini adalah hari ketiga setelah Nini Ratih meringkuk dalam kamar tahanan yang terpisah di lorong bawah tanah.
Sementara, di saat matahari baru saja menampakkan diri di ufuk Timur, Rangga sudah mempersiapkan Kuda Dewa Bayu. Namun baru saja Pendekar Rajawali Sakti keluar dari istal yang ada di bagian belakang bangunan istana ini, terlihat Danupaksi bersama Ki Lintuk melangkah cepat menghampiri. Rangga berhenti melangkah di depan kudanya, menunggu sampai mereka dekat.
"Kakang, bisa aku bicara sebentar padamu...?" pinta Danupaksi mencegah kepergian Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa, Danupaksi?" tanya Rangga.
"Kalau boleh kusarankan, sebaiknya hari ini Kakang tidak perlu keluar dari istana," kata Danupaksi, benar-benar ingin mencegah Pendekar Rajawali Sakti pergi.
"Kenapa?" tanya Rangga lagi, sambil menatap dalam-dalam bola mata adik tirinya ini.
Sedangkan Danupaksi tidak langsung menjawab. Matanya malah melirik Ki Lintuk yang berada di samping kanannya. Sementara, Rangga memandangi Danupaksi dan Ki Lintuk bergantian. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut, melihat mereka seperti berat untuk mengatakan sesuatu.
"Ada apa, Danupaksi...? Ki Lintuk...?" desak Rangga tidak sabaran.
"Maaf, Kakang. Sebenarnya inilah yang kami rahasiakan padamu...," kata Danupaksi, agak terputus suaranya.
"Rahasia apa?" tanya Rangga lagi.
"Beberapa hari sebelum Nanda Prabu datang, kami telah kedatangan seseorang yang hendak mencari Nanda Prabu ke sini. Orang itu telah membunuh beberapa prajurit dan dua orang panglima. Katanya, kedatangannya untuk menantang Nanda Prabu bertarung di Bukit Hantu," tutur Ki Lintuk hati-hati.
"Hm..., siapa orang itu?" tanya Rangga.
"Dewi Mata Hijau," sahut Danupaksi.
"Benar, Nanda Prabu. Dia datang tidak sendiri. Katanya, dia akan menghancurkan kerajaan ini kalau Nanda Prabu tidak datang juga pada saat bulan purnama nanti," kata Ki Lintuk lagi.
"Bulan purnama. Hm... Itu berarti tinggal dua hari lagi," gumam Rangga perlahan, seakan-akan bicara pada diri sendiri. "Kenapa kalian baru mengatakannya sekarang padaku?"
"Semula, kami ingin menyelesaikannya sendiri, Nanda Prabu. Panglima Rakatala dan Wirapati sudah beberapa kali berusaha menggempur mereka di Bukit Hantu, tapi selalu gagal sampai saat ini. Kekuatan yang mereka miliki begitu besar. Bahkan mungkin dua kali lipat daripada kekuatan prajurit yang ada di Karang Setra ini. Demikian pula kepandaian mereka dalam ilmu olah kanuragan," jelas Ki Lintuk.
"Aku jadi tidak mengerti, kenapa kalian sampai merahasiakannya padaku...?" desak Rangga.
"Justru itu, Kakang. Karena kami telah mendahului dengan melakukan serangan ke Bukit Hantu, kami jadi takut kau marah. Asal kau tahu, Kakang. Puluhan prajurit telah tewas sewaktu kami menemukan kegagalan dalam menggempur Dewi Mata Hijau. Maka oleh sebab itu, kami merasa bersalah, takut, dan malu terhadapmu. Kami putus asa, dan ternyata hanya Kakanglah yang bisa menyelesaikan persoalan ini," tutur Danupaksi, takut-takut.
Tiba-tiba Rangga jadi teringat perkataan Pandan Wangi. Rasanya memang tidak perlu memenjarakan para pembesar istana, karena mereka menyimpan suatu rahasia yang selalu ditutup-tutupi. Buktinya, begitu mereka tidak bisa menghadapi, masalah itu segera diutarakan pada Rangga.
"Maafkan kami, Kakang," ucap Danupaksi.
"Lupakanlah. Di sisi lain, kalian benar. Tindakan kalian memang tak perlu menunggu kehadiranku, karena segala urusan pemerintahan telah kuserahkan pada kalian, selama aku mengembara. Tapi, dengan merahasiakan apa yang telah kalian perbuat, sama saja tidak menghargai kehadiranku sebagai raja di sini."
"Sekali lagi, kami mohon maaf, Nanda Prabu," tambah Ki Lintuk.
Rangga kemudian menepuk-nepuk pundak Ki Lintuk. "Lalu apa keinginan Dewi Mata Hijau sebenarnya?" tanya Rangga.
"Sebenarnya Dewi Mata Hijau ingin merebut Karang Setra, tanpa harus berperang, Nanda Prabu," tambah Ki Lintuk lagi. "Dia ingin mengalahkan Nanda Prabu, kemudian menduduki takhta. Lalu kami semua akan dijadikan budaknya."
Rangga jadi terdiam.
"Maafkan kami, Kakang. Serangan itu kami lakukan demi kejayaan Karang Setra. Kami semua tidak ingin melihat kehancuran Karang Setra. Dan...."
"Aku bisa mengerti, Danupaksi," cepat Rangga memutuskan kata-kata adik tirinya ini.
"Tapi aku juga tidak ingin kau menerima tantangannya, Kakang," kata Danupaksi lagi.
"Kenapa?" tanya Rangga.
"Dewi Mata Hijau sangat sakti, Kakang. Rasanya sukar dicari tandingannya. Dan yang pasti, dia tidak akan bertarung dengan jujur. Segala macam cara licik akan digunakan untuk mengalahkanmu," kata Danupaksi, tidak bisa lagi menahan kekhawatirannya.
Rangga jadi tersenyum saja mendengar kata-kata Danupaksi yang bernada cemas itu. Dihampiri, dan ditepuk-tepuknya pundak adik tirinya ini. Sementara, Danupaksi dan Ki Lintuk hanya diam saja. Mereka tahu, Pendekar Rajawali Sakti tidak akan diam begitu saja kalau ada orang lain yang menantangnya bertarung. Terlebih lagi. tantangan itu menyangkut kelangsungan hidup dan kejayaan Karang Setra. Dan sudah pasti Rangga tidak akan mengabaikan.
Sedangkan Rangga tahu, mereka semua merahasiakan ini karena terpaksa. Mereka takut Rangga akan marah, mengingat puluhan prajurit tewas di Bukit Hantu. Tapi untungnya, Rangga bisa memaklumi tindakan mereka. Biar bagaimanapun, masalah kerajaan telah diserahkan pada Danupaksi dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya, selama dia berada dalam pengembaraan.
"Kalian atur saja penjagaan di sini. Biar aku yang akan menanganinya," kata Rangga setelah cukup lama berdiam diri.
"Kakang akan menerima tantangannya?" tanya Danupaksi, yang tidak bisa lagi menyembunyikan kecemasannya.
Rangga hanya tersenyum saja. Dengan lembut, ditepuk-tepuknya pundak adik tirinya ini. Kemudian dengan gerakan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kudanya.
Sementara, Danupaksi dan Ki Lintuk hanya bisa memandangi saja, tanpa dapat lagi mencegah.
"Danupaksi! Kuminta kau tidak mengatakan hal ini pada Pandan Wangi," pesan Rangga sebelum pergi.
Danupaksi hanya mengangguk saja. Saat itu, Rangga sudah memutar kudanya, dan cepat menggebahnya. Seketika, kuda hitam Dewa Bayu berlari cepat menerobos pintu rahasia yang sudah terbuka sejak tadi. Dua orang punggawa yang menjaga pintu rahasia langsung menutup kembali, setelah Rangga melewati bersama kuda kesayangannya.
********************
LIMA
Rangga berdiri tegak memandangi Bukit Hantu yang berdiri angkuh dan tampak angker. Begitu sunyi di sekelilingnya, tanpa ada seorang pun terlihat. Bahkan suara yang terdengar pun hanya desir angin saja yang mempermainkan dedaunan di sekitar Pendekar Rajawali Sakti berdiri. Entah sudah berapa lama Rangga berada di sana.
Sedangkan saat ini, matahari sudah tepat berada di atas kepalanya. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak bergeming sedikit pun, seakan-akan tidak peduli terhadap panasnya sengatan sang mentari yang bagai hendak membakar semua yang ada di atas permukaan bumi ini.
"Dewi Mata Hijau. Hm... Siapa dia sebenarnya...?" gumam Rangga, berbicara pada diri sendiri.
Begitu pelan suaranya, sehingga langsung menghilang terbawa angin yang bertiup agak kencang siang ini. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti masih diam mematung, memandangi puncak Bukit Hantu ini. Kemudian, kakinya terayun perlahan ke depan. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja...
Wusss!
"Heh...?! Uts!"
Jleb!
Cepat sekali Rangga melompat ke belakang, ketika tiba-tiba saja sebatang tombak meluncur deras ke arahnya dari depan. Tombak itu menancap di tanah, tepat di ujung jari kaki Pendekar Rajawali Sakti.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya, kembali Rangga dikejutkan oleh munculnya dua orang laki-laki bertubuh tinggi besar dan tegap dari batik semak belukar. Mereka masing-masing menggenggam sebatang tombak yang berukuran panjang.
"Hm...," Rangga menggumam kecil.
"Belum waktunya kau datang ke sini, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak salah seorang yang mengenakan baju warna merah menyala.
"Aku ingin bertemu pemimpinmu," kata Rangga, tidak kalah tegasnya.
"Tunggu saja dua hari lagi," sahut seorang lagi yang mengenakan baju warna biru tua.
"Hm, lalu siapa kalian ini?" tanya Rangga.
"Aku Tombak Merah. Dan ini, Tombak Biru. Kami adalah Iblis Tombak Kembar," sahut laki-laki berbaju merah memperkenalkan diri.
Saat itu, Rangga baru menyadari kalau wajah kedua orang ini memang mirip. Hanya pakaiannya saja yang berbeda. Sedangkan bentuk tubuh dan tingginya sama persis. Wajah mereka hampir tidak bisa dibedakan lagi. Hanya saja, yang berbaju merah berwajah garang. Sedangkan yang berbaju biru tua kelihatan pucat, seperti mayat. Tombak mereka juga sama persis, baik bentuk maupun ukurannya.
"Kenapa kalian mencegahku? Sedangkan pemimpin kalian ingin bertemu denganku cepat-cepat. Bahkan sampai mengirim utusan untuk menjemputku," kata Rangga, tetap terdengar tegas nada suaranya.
"Pemimpin kami tidak pernah mengirim utusan untuk menjemputmu, Pendekar Rajawali Sakti. Kau memang ditunggu di sini, tapi dua hari lagi baru bisa datang," sahut si Tombak Merah, tidak kalah tegasnya.
Sedangkan dua orang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun berwajah kembar ini mengatakan, pemimpinnya tidak pernah mengirim seorang utusan pun untuk menjemputnya. Saat itu juga, Rangga merasakan adanya sesuatu yang ganjil. Langsung bisa diduganya kalau ada dua kelompok atau lebih yang menginginkan kematiannya.
"Sebaiknya kau kembali saja, Pendekar Rajawali Sakti. Baru purnama nanti kau bisa datang lagi ke sini," kata si Tombak Biru, mengusir Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga mengangkat bahunya sedikit. Rasanya memang tidak ada gunanya terus mendesak. Terlebih lagi, saat ini sebuah teka-teki masih belum jelas terungkap. Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, darimana lagi harus memulai. Tapi yang jelas, ada beberapa orang yang menghendaki kematiannya.
Dan dugaan itu sangat diyakininya saat ini. Hanya saja, Rangga tidak tahu, siapa orang-orang yang menginginkan kematiannya sekarang ini. Rasanya, juga sulit bila menduga satu persatu bekas lawan-lawannya yang masih tetap hidup sampai sekarang ini. Dan dia tidak tahu, siapa di antara sekian banyak yang mendalangi semua ini.
"Baik. Aku akan kembali nanti saat bulan purnama," kata Rangga mengalah.
Setelah berkata demikian, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya berbalik, dan melangkah menghampiri kudanya. Dewa Bayu memang ditinggalkan di bawah pohon beringin yang cukup rimbun, sehingga melindunginya dari sengatan sinar matahari. Dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung Dewa Bayu
"Hiyaaa...!" Sekali gebah saja, Dewa Bayu langsung melesat pergi begitu cepat.
Sementara, si Iblis Tombak Kembar masih terus berdiri tegak memandangi, sampai Pendekar Rajawali Sakti tak terlihat lagi.
********************
"Hooop...!"
"Hieeegkh...!"
Tiba-tiba saja Rangga menarik tali kekang kudanya kuat-kuat. Sehingga, membuat kuda hitam tegap itu meringkik keras, sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke udara. Maka seketika Dewa Bayu berhenti berlari. Dan saat itu, Rangga melompat turun dengan gerakan indah dan ringan sekali. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah.
Tatapan mata pemuda berbaju rompi putih itu langsung tertuju pada seorang perempuan tua bertubuh agak bungkuk. Dia berdiri dengan sikap menghadang di tengah jalan tanah berdebu ini. Pakaiannya yang panjang dan longgar berwarna kuning gading, tedihat berkibar dipermainkan angin. Sebatang tongkat kayu yang tidak beraturan bentuknya tampak tergenggam di tangan kanan. Sorot matanya begitu tajam, menentang tatapan mata Rangga yang memang sangat tajam menusuk.
"Bocah sombong! Kemari kau..!" bentak perempuan tua itu mendengus kasar.
"Heh...?!" Rangga jadi terkejut mendengar bentakan bernada kasar itu.
"Ke sini kataku!" bentak perempuan tua itu lagi.
"Maaf. Aku tidak mengenalmu, Nisanak. Siapa kau ini, dan mengapa menghadang jalanku...?" Rangga mencoba bersikap ramah, walaupun perempuan tua itu kelihatan garang sekali.
"Aku Nek Srinita yang akan mengajarmu untuk berlaku sopan santun pada orang tua, Bocah Sombong!" sahut perempuan tua itu, masih tetap terdengar kasar nada suaranya.
"Heh...?! Ada apa ini...?"
Rangga benar-benar terkejut dan tidak mengerti atas sikap dan kata-kata perempuan tua yang tadi mengaku bernama Nek Srinita. Dan lagi, Rangga merasa belum pernah mengenalnya. Sedangkan perempuan tua bertubuh agak bungkuk itu seperti sudah mengenalnya begitu lama, Seakan-akan, dia sudah tahu tentang Pendekar Rajawali Sakti sejak kecil.
"Kau seorang raja, juga seorang pendekar. Seharusnya, kau bisa memberi contoh yang baik bagi semua rakyatmu. Tapi, kau malah tidak sudi menghormati orang tua sepertiku. Malah panggilanku kau anggap remeh. Padahal, bukan hanya kau saja yang terancam kehancuran. Tapi seluruh rakyat Karang Setra terancam penderitaan seumur hidup. Huh! Kau benar-benar tidak pantas menjadi raja, Rangga!" masih terdengar kasar nada suara Nek Srinita.
"Kau memanggilku...?" Rangga jadi terlongong-longong.
Seketika itu juga, dia teringat dengan si Setan Hijau Pisau Terbang. Juga, gadis cantik yang kini meringkuk di dalam penjara Karang Setra. Mereka datang menemuinya, karena mendapat perintah dari pemimpinnya untuk membawanya menghadap. Saat itu juga, Rangga menduga kalau perempuan tua inilah pemimpin mereka. Tapi, apakah perempuan tua ini yang berjuluk Dewi Mata Hijau...?
"Nisanak. Aku benar-benar tidak mengerti sikapmu ini. Apa maksudmu sebenarnya...?" tanya Rangga meminta penjelasan.
"Kau kenal mereka, Rangga?"
Saat itu, dari balik semak dan pepohonan muncul sekitar tiga puluh orang yang semuanya menyandang golok terselip di pinggang. Dan salah seorang dari mereka adalah si Setan Hijau Pisau Terbang. Laki-laki yang mengenakan baju serba hijau itu menghampiri Nek Srinita, kemudian berdiri di samping kanannya. Tentu saja Rangga mengenali, karena mereka pernah mengeroyoknya di kedai dekat perbatasan Kotaraja Karang Setra.
"Dan yang seorang lagi, adalah orang yang kau tawan di kamar tahananmu, Rangga. Kau benar-benar tidak mengenal adat dan tata krama!" sambung Nek Srinita bernada geram.
"Oh..., jadi mereka semua orang-orangmu, Nisanak...?" desis Rangga, jadi agak sinis nada suaranya.
"Mereka semua muridku. Dan kau sama sekali tidak menghormati mereka. Itu sama saja tidak menghormatiku, Rangga. Huh...! Tidak kusangka, putra Arya Permadi yang kuhormati ternyata pemuda liar yang tidak mengenal sopan santun dan tata krama."
"Eh, tunggu dulu...!" sentak Rangga merasa tersinggung. "Apa maksudmu sebenarnya, Nisanak? Mengapa kau marah-marah padaku...?"
Rangga benar-benar tidak mengerti. Makanya perempuan tua itu diminta untuk menjelaskannya. Dia juga terkejut, karena perempuan tua yang tidak pernah dikenalnya ini tahu semua tentang dirinya. Bahkan tahu nama mendiang ayahnya. Dalam benaknya, Pendekar Rajawali Sakti jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya perempuan tua yang mengaku bernama Nek Srinita ini...? Dia seperti tahu betul tentang keadaan Kerajaan Karang Setra daripada rajanya sendiri.
"Aku adalah ibu suri ayahmu, Rangga. Aku tahu betul tentang dirimu. Juga orang tuamu. Seluruh tanah Karang Setra ini berada di dalam genggamanku. Tapi, selama ini aku tidak pernah ingin ikut campur, selama kau bisa mempertahankannya melalui orang-orang kepercayaanmu, dan kedua adik tirimu. Tapi sekarang..., aku terpaksa keluar dari pertapaan. Karena, kejayaan Karang Setra tengah terancam. Dan kau sendiri sepertinya tidak tahu keadaan kerajaanmu. Kau terlalu sibuk mengembara, hingga melalaikan tugasmu sebagai raja. Nah! Sekarang kau sudah jelas tentang diriku, Rangga...?"
Saat itu juga Rangga tidak bisa berkata-kata. Mulutnya ternganga, dan matanya terbuka lebar. Seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Sungguh tidak disangka kalau perempuan tua ini adalah ibu suri ayahnya. Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti menjatuhkan diri berlutut "Ampunkan aku, Nek. Aku sama sekali tidak tahu kalau kau...."
"Sudahlah, Rangga. Bangunlah. Tidak pantas kau bersikap begitu padaku. Kau seorang raja sekarang. Dan kau juga seorang pendekar digdaya pilih tanding. Bangunlah...," ujar Nek Srinita memutuskan ucapan Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga baru bangkit berdiri setelah pundaknya disentuh lembut. Kini, tidak lagi terlihat kegarangan di wajah dan sorot mata perempuan tua berjubah kuning gading ini. Bahkan yang ada sekarang adalah kelembutan seorang wanita tua. Cepat-cepat Rangga menjura, membungkukkan tubuhnya untuk memberi penghormatan. Nek Srinita tersenyum melihat sikap penghormatan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo ikut ke pertapaanku, Rangga," ajak Nek Srinita. "Banyak yang harus kita bicarakan."
"Tapi, Nek..."
"Ada apa lagi?! Kau akan menolak undanganku ini...?!" sentak Nek Srinita kembali mendelik matanya.
"Bukan..., bukan itu maksudku. Aku harus membebaskan Nini Ratih. Bukankah dia juga muridmu, Nek...?" ujar Rangga cepat-cepat.
"Kau bisa melakukannya nanti. Sekarang ada urusan yang lebih penting dari pada mengurus Ratih," dengus Nek Srinita.
"Ke mana kau akan membawaku, Nek?" tanya Rangga sambil mengambil tali kekang kudanya.
"Ke Pertapaan Gonggong," sahut Nek Srinita.
"Di mana itu?" "Sebelah Timur lereng Bukit Hantu."
Rangga tidak bertanya lagi, lalu melangkah mengikuti Nek Srinita yang sudah lebih dulu berjalan. Pendekar Rajawali Sakti mensejajarkan ayunan kakinya di samping kanan perempuan tua ini. Sedangkan Setan Hijau Pisau Terbang dan murid-murid Nek Srinita lainnya mengikuti di belakang. Tak ada seorang pun yang membuka suara. Mereka terus berjalan mengikuti perempuan tua berjubah kuning gading ini.
********************
Saat malam sudah mencapai puncaknya, Rangga baru tiba kembali ke Istana Karang Setra. Seperti biasanya, dia selalu lewat jalan rahasia di bagian belakang bangunan istana yang megah ini. Setelah menaruh kudanya di istal, Pendekar Rajawali Sakti langsung menuju ke bangunan penjara bawah tanah yang tidak beberapa jauh letaknya dari istal.
Dua orang prajurit penjaga segera membungkukkan tubuhnya memberi hormat, begitu melihat raja mereka datang menghampiri. Meskipun Rangga megenakan baju rompi putih, tapi semua prajurit yang ada di Kerajaan Karang Setra ini sudah mengetahuinya. Karena, Rangga memang seringkali muncul dengan pakaian kependekarannya.
"Buka pintunya," perintah Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut salah seorang prajurit seraya membungkuk memberi hormat Bergegas prajurit itu membuka pintu penjara bawah tanah ini lebar-lebar.
Sebentar Rangga mengamati keadaan lorong bawah tanah yang tampak terang oleh nyala obor, kemudian melangkah masuk. Dituruninya anak-anak tangga batu satu persatu. Pintu penjara itu kembali tertutup setelah Rangga berada dalam. Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah menelusuri lorong yang tidak seberapa besar dan pengap itu. Keadaannya cukup bersih dan terang oleh obor yang terpancang di kiri-kanan dinding batu lorong penjara ini.
Beberapa pintu yang terbuat dari jeruji besi sudah dilewati. Tapi, pemuda tampan berbaju rompi putih itu terus mengayunkan kakinya. Dan, dia baru berhenti setelah sampai di depan sebuah pintu besi baja yang tertutup rapat. Dua orang prajurit terlihat berdiri berjaga di samping kiri dan kanan pintu itu. Mereka segera membungkuk, menjura memberi hormat.
"Buka pintunya," perintah Rangga.
"Hamba, Gusti Prabu."
Salah seorang prajurit bergegas membuka pintu yang terbuat dari besi baja berukuran tebal itu lebar-lebar. Tampak di balik pintu itu terdapat sebuah ruangan yang cukup besar dan kelihatan bersih. sebuah pembaringan kecil yang terletak di sudut terlihat seorang gadis berbaju merah muda tengah terbaring diam. Rangga melangkah masuk, dan minta pintu ditutup kembali. Kedua prajurit itu menutup pintu setelah memberi hormat.
Perlahan Rangga menghampiri gadis cantik yang masih tetap terbaring diam. Gadis cantik berbaju merah muda yang tak lain Nini Ratih itu hanya berpaling sedikit, dan melirik Pendekar Rajawali Sakti. Dia tetap terbaring, walaupun Rangga sudah berada di sampingnya.
"Aku menyesal kau menderita begini, Nini Ratih," ajar Rangga, membuka suara lebih dulu.
"Kau raja di sini. Kau bisa berbuat apa saja sesukamu," dengus Nini Ratih ketus.
"Kalau kau memilih berterus terang, tidak bakal berada di sini, Nini Ratih," kata Rangga lagi, masih tetap terdengar lembut suaranya.
"Hhh!" Nini Ratih hanya tersenyum sinis. Tubuhnya digeser, lalu bangkit duduk di tepi pembaringan.
Sementara Rangga mengambil kursi kayu, kemudian duduk tidak jauh di depan gadis cantik itu. Beberapa hari terkurung didalam penjara, rupanya tidak juga memudarkan kecantikannya. Sementara Rangga sempat menikmati kecantikan gadis ini beberapa saat. Tapi cepat-cepat dibuangnya semua pikiran buruk yang tiba-tiba saja terlintas dalam benaknya tanpa disadari.
"Kau tidak akan bisa membujukku, Pendekar Rajawali Sakti," desis Nini Ratih dingin.
"Tidak akan ada yang membujukmu, Nini Ratih. Aku sudah tahu semua tentang dirimu. Juga gurumu. Demikian pula tugas yang kau emban dari gurumu, kata Rangga sambil tersenyum.
Begitu manis senyuman yang tersungging di bibir Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, Nini Ratih hanya melirik saja sedikit. Walaupun, dalam hatinya sempat juga terkejut mendengar kata-kata Rangga barusan. Dan dengan cepat keterkejutannya bisa dihilangkan. Bahkan langsung memalingkan muka ke arah lain. Sehingga, Rangga tidak sempat lagi melihat perubahan yang begitu cepat terjadi di wajah cantik itu.
"Kalau mau, kau bisa keluar sekarang juga, Nini Ratih. Tapi sebaiknya, kau bersihkan dulu dirimu. Emban-emban istana akan memenuhi semua yang kau perlukan," kata Rangga, tetap terdengar lembut nada suaranya.
"Kau tidak akan bisa membujukku dengan bermanis-manis begitu, Pendekar Rajawali Sakti," dengus Nini Ratih sinis.
Rangga hanya tersenyum saja. Dia bangkit berdiri dan melangkah ke pintu. Dua kali pintu dari besi baja yang kokoh ini diketuknya. Prajurit yang menjaga diluar segera membuka pintu itu lebar-lebar. Rangga berdiri saja di samping pintu yang sudah terbuka lebar. Ditatapnya Nini Ratih dengan bibir masih menyunggingkan senyum manis.
"Ayo! Kau bisa keluar sekarang," ujar Rangga lembut.
Nini Ratih jadi berkerut keningnya. Dipandangi pemuda tampan itu dalam-dalam, seakan-akan tidak percaya kalau dibebaskan begitu saja. Beberapa gadis itu masih duduk diam di pinggir pembaringan kayu ini, kemudian berdiri dengan mata masih memandangi Pendekar Rajawali Sakti. Perlahan kakinya melangkah ke pintu, dan terus melewatinya. Dua orang prajurit segera membungkuk memberi hormat begitu Rangga melewatinya.
"Kalian lanjutkan tugas," kata Rangga pada kedua prajurit itu.
"Hamba, Gusti Prabu," sahut kedua orang prajurit itu bersamaan, seraya menjura memberi hormat.
Sementara Rangga terus melangkah di samping Nini Ratih yang tampaknya masih belum mengerti sikap manis Pendekar Rajawali Sakti yang juga Raja Karang Setra ini. Berbagai macam pertanyaan dan dugaan berkecamuk dalam kepalanya. Tapi, tak ada satu pun yang bisa terjawab. Nini Ratih juga tidak bisa menentukan pilihan lagi. Dia terus saja berjalan di samping pemuda tampan yang selalu mengenakan baju rompi putih ini. Dan sesekali, matanya melirik wajah yang tampan itu. Entah kenapa, setiap kali lirikannya bertemu dengan sorot mata Rangga, ada getaran aneh terasa di dadanya.
********************
ENAM
Bukan hanya Danupaksi dan Pandan Wangi saja yang terheran-heran atas sikap Rangga dengan membebaskan Nini Ratih. Bahkan hampir semua pembesar yang ada dalam istana itu jadi telongong tak mengerti. Malah, Rangga memberikan empat orang emban untuk memenuhi segala kebutuhan gadis itu. Sampai-sampai Rangga juga memberi sebuah kamar yang indah. Tapi, tak ada seorang pun yang berani bertanya. Apalagi menegurnya.
Hanya Pandan Wangi dan Danupaksi saja yang berani bertanya. Dan itu juga saat mereka menemui Pendekar Rajawali Sakti di kamar Cempaka. Sedangkan Cempaka sendiri masih belum boleh meninggalkan pembaringan, walaupun sudah tampak pulih kembali kesehatannya.
"Kakang, kenapa kau bebaskan wanita itu?" tanya Pandan Wangi.
"Dia bukan musuh. Jadi, tidak layak diperlakukan demikian," sahut Rangga kalem.
"Tapi dia sudah mengganggu ketenangan istana, Kakang. Bahkan sudah menghina dan merendahkanmu," selak Danupaksi.
Rangga tidak menanggapi, tapi malah tersenyum. Kemudian tubuhnya dihempaskan di kursi panjang dekat jendela kamar ini. Sementara, Cempaka hanya memandanginya saja sambil duduk bersandar di pembaringannya. Pandan Wangi mengambil tempat di samping adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu. Sedangkan Danupaksi duduk agak jauh di depan Rangga.
Mereka semua memandangi Pendekar Rajawali Sakti, tapi yang dipandangi seperti tidak peduli. Rangga malah memejamkan mata. Kepalanya ditopang dengan kedua tangan yang dilipat di belakang kepala. Kakinya dijulurkan lurus ke depan. Sama sekali tidak dipedulikan pandangan-pandangan mata yang menuntut penjelasan dari sikapnya dengan membebaskan Nini Ratih begitu saja.
Bahkan gadis itu diperlakukan seperti seorang tamu agung yang perlu mendapat penghormatan. Cukup lama juga Rangga memejamkan matanya. Dan kelopak matanya baru terbuka setelah dirasakan tidak ada lagi yang bersuara. Senyuman kecil masih terus terlihat menyungging di bibirnya. Sebentar di-pandanginya Pandan Wangi dan kedua adik tirinya, yang juga tengah memandanginya.
"Kenapa kalian harus merisaukan Nini Ratih? Dia bukan musuh yang berbahaya. Justru kedatangannya sebenarnya ingin membantu menyelesaikan persoalan yang sedang kita hadapi sekarang ini. Persoalan besar yang menyangkut keutuhan serta kejayaan Kerajaan Karang Setra. Meskipun pada pokok utamanya, akulah yang menjadi sasaran," jelas Rangga kalem.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang," selak Pandan Wangi.
"Benar, Kakang. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan kalau dia bukan musuh, sedangkan jelas sekali sikapnya sangat bermusuhan? Bahkan dia sudah menghina, dan merendahkanmu di depan orang banyak. Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan yang sebaliknya, Kakang?" sambung Danupaksi meminta penjelasan.
"Aku tidak mengatakan yang sebaliknya, Danupaksi. Aku mengatakan kenyataan yang sebenarnya," bantah Rangga tegas.
"Tapi...," Danupaksi tidak meneruskan ucapannya. Beberapa saat Danupaksi memandangi Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian kepalanya terlihat bergerak menggeleng perlahan beberapa kali. Sedangkan Rangga hanya tersenyum saja, memandangi adik tirinya ini.
"Uh! Kau membalasku, Kakang. Kau membalas kami semua," rungut Danupaksi.
"Apa yang kubalas...?" tenang sekali nada suara Rangga.
"Baiklah, Kakang. Aku mengaku kalah. Aku memang salah, dan sudah mengakui semua kesalahanku, Kakang. Memang tidak enak bila sesuatu dirahasiakan oleh orang terdekat," ujar Danupaksi langsung merasa saat ini Rangga tengah membalasnya.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Rangga tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan Danupaksi hanya mendengus saja, sambil menekuk wajahnya sampai dagunya berlipat. Rangga bangkit dari kursinya, dan melangkah menghampiri adik tirinya ini. Ditepuknya pundak Danupaksi, lalu diajaknya berdiri. Danupaksi mengikuti saja keinginan Pendekar Rajawali Sakti yang membawanya ke pembaringan, tempat Pandan Wangi dan Cempaka berada di sana.
"Dengar! Kalian adalah orang-orang yang terdekat denganku. Kalian adalah saudara-saudaraku. Jadi, tidak sepatutnya di antara kita semua tersimpan rahasia. Kecuali, rahasia pribadi kalian masing-masing yang tidak perlu diketahui orang lain. Kalian sudah merasakan, bagaimana kalau sesuatu dirahasiakan, bukan...?" ujar Rangga lembut dan perlahan-lahan.
Danupaksi dan Cempaka hanya diam saja. Memang sulit bisa mengalahkan Rangga dalam segala hal. Merekalah yang pasti jadi pecundang. Kedua adik tiri Pendekar Rajawali Sakti saling melemparkan pandangan.
"Beberapa hari ini, aku selalu keluar menyelidiki rahasia apa yang kalian simpan. Dan Danupaksi sudah mengatakannya padaku, walaupun tidak seluruhnya terungkap. Tapi siang tadi, aku baru bisa mengetahui semua yang terjadi dan menjadi rahasia kalian semua. Walaupun aku sendiri masih belum tahu, siapa biang keladi semua ini sebenarnya," jelas Rangga.
"Tapi, Kakang...," selak Pandan Wangi cepat. "Apa ini ada hubungannya dengan pembebasan Nini Ratih?"
"Jelas ada, Pandan."
"Ada...?"
"Ya! Karena, aku sudah tahu, siapa dia sebenarnya. Dan apa maksudnya datang ke istana ini menemuiku. Semua itu dilakukan karena hanya ingin memancingku saja. Dan semua yang dilakukannya hanya karena menjalankan perintah dari gurunya," jelas Rangga lagi.
"Aku masih belum mengerti maksudmu, Kakang," selak Cempaka yang sejak tadi diam saja mendengarkan.
Rangga jadi tersenyum. Ditepuknya pundak gadis cantik adik tirinya ini dengan lembut penuh kasih, dan cinta seorang kakak terhadap adiknya.
"Sebaiknya, kau cepat sembuh, Cempaka. Latihlah otot-ototmu. Purnama nanti, aku pasti memerlukan tenaga dan kepandaianmu. Akan ada peristiwa besar yang akan menguras tenaga serta kepandaian kalian semua," kata Rangga masih juga belum membuka seluruh rahasianya.
"Bulan purnama...? Jadi, kau...," suara Danupaksi jadi tercekat di tenggorokan.
"Aku akan menyelesaikan semuanya saat itu, Danupaksi," kata Rangga seraya tersenyum manis.
"Kakang...," desah Danupaksi tidak dapat lagi berkata-kata.
Danupaksi memang sudah tahu, apa yang akan terjadi pada bulan purnama nanti. Dan dia tidak bisa lagi memendam kecemasannya. Danupaksi tahu, Rangga akan menerima tantangan Dewi Mata Hijau untuk bertarung sampai mati di puncak Bukit Hantu. Walaupun tidak pernah meragukan kepandaian dan kesaktian yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, tapi tetap saja Danupaksi merasa cemas. Karena seseorang yang berani menantang Pendekar Rajawali Sakti untuk bertarung sampai mati, pasti bukan orang sembarangan. Dan yang pasti, memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi.
"Persiapkanlah diri kalian sebaik mungkin. Aku tidak mau ada di antara kalian yang terluka," kata Rangga berpesan.
Setelah berkata demikian, Rangga melangkah meninggalkan kamar ini. Tinggal Danupaksi, Pandan Wangi, dan Cempaka masih saling berpandangan. Sementara, Pandan Wangi dan Cempaka benar-benar tidak mengerti semua yang dikatakan Rangga tadi. Hanya Danupaksi saja yang kelihatan sudah tahu, apa yang bakal terjadi pada bulan purnama nanti di puncak Bukit Hantu.
"Kenapa Kakang Rangga berkata seperti itu? Apa sebenarnya yang akan terjadi, Danupaksi...?" tanya Pandan Wangi. Nada suaranya terdengar seperti menggumam.
"Hhh...," Danupaksi hanya menghembuskan napas panjang saja.
"Ceritakan, Danupaksi. Tampaknya kau sudah tahu," desak Pandan Wangi.
Sebentar Danupaksi terdiam, kemudian menceritakan apa yang akan terjadi pada bulan purnama nanti. Tentu saja Pandan Wangi dan Cempaka jadi terkejut mendengarnya. Tapi, mereka juga sama seperti Danupaksi, tidak mungkin bisa mencegah Pendekar Rajawali Sakti untuk bertarung melawan Dewi Mata Hijau di puncak Bukit Hantu. Mereka semua tahu, apa yang sudah diucapkan Rangga, tidak akan bisa ditarik kembali. Terlebih hal ini sebuah tantangan pertarungan. Pantang bagi seorang pendekar untuk menolak tantangan seperti itu.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Cempaka setelah Danupaksi menyelesaikan ceritanya.
"Tidak ada yang bisa kita lakukan, selain menuruti semua keinginan Kakang Rangga," sahut Danupaksi, agak mendesah.
"Mempersiapkan diri untuk menghadapi orang-orangnya Dewi Mata Hijau...?" ujar Cempaka lagi.
"Benar!" sahut Danupaksi.
"Apa boleh buat..?" ujar Pandan Wangi seraya mengangkat bahunya sedikit.
Mereka tidak bicara lagi. Dan memang, tidak ada yang bisa dibicarakan, ataupun dilakukan lagi. Mereka hanya bisa mengikuti saja, apa yang dikatakan Pendekar Rajawali Sakti tadi. Mereka harus mempersiapkan diri untuk menyambut sebuah peristiwa besar yang akan menjadi sejarah bagi Kerajaan Karang Setra. Di puncak Bukit Hantu nanti, nasib Karang Setra selanjutnya ditentukan. Apakah pendekar-pendekar muda Karang Setra ini mampu mempertahankan kejayaan Kerajaan Karang Setra...?
********************
Pagi-pagi sekali, Rangga sudah berada di punggung kudanya. Seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap, dan dikenal bernama Dewa Bayu. Di sebelah kiri, terlihat seekor kuda lain berkulit coklat muda yang gagah. Bibir Pendekar Rajawali Sakti menyunggingkan senyuman begitu melihat Nini Ratih keluar dari dalam istana.
Gadis cantik berbaju merah muda itu melangkah menuruni anak-anak tangga istana. Dan tanpa berbicara sedikit punt dia melompat naik ke punggung kuda yang ada di sebelah Pendekar Rajawali Sakti. Gerakannya cukup indah dan ringan, pertanda tingkat kepandaiannya cukup tinggi.
Tak lama kemudian, kedua ekor kuda itu sudah bergerak meninggalkan Istana Karang Setra yang megah ini. Tampak di pintu depan istana, terlihat Pandan Wangi dan Danupaksi memandangi kepergian mereka.
"Mau ke mana mereka pergi, Danupaksi?" tanya Pandan Wangi, terus mengarahkan pandangan ke arah Rangga dan Nini Ratih, sampai lenyap di balik pintu gerbang.
"Entahlah. Kakang Rangga tidak mengatakannya padaku," sahut Danupaksi.
"Hm...," gumam Pandan Wangi.
Dan mereka tidak bicara lagi. Danupaksi meninggalkan si Kipas Maut itu sendirian di ambang pintu.
Sementara itu, Rangga dan Nini Ratih terus berkuda perlahan-lahan, semakin jauh meninggalkan Istana Karang Setra. Mereka terus bergerak menuju ke arah Timur. Beberapa kali Nini Ratih melirik wajah tampan yang berada di punggung kuda hitam itu.
"Bukankah jalan ini menuju Bukit Hantu...?" kata Nini Ratih begitu mereka berbelok memasuki jalan tanah yang tampaknya sudah jarang dilalui lagi.
"Benar," sahut Rangga tanpa menghentikan langkah kaki kudanya.
"Mau apa kau mengajakku ke sana?" tanya Nini Ratih beenada menggugat.
"Kau belum lupa dengan tujuanmu menemuiku, bukan...?" Rangga malah balik bertanya.
Nini Ratih hanya diam saja.
"Sekarang, bukan kau yang membawaku. Tapi, justru aku yang akan membawamu pada Nek Srinita," sambung Rangga kalem.
"Heh...?!" Nini Ratih jadi tersentak setengah mati, seperti mendengar suara petir rasanya. Padahal pagi ini langit kelihatan begitu cerah dan bening sekali. Tidak mungkin ada petir di pagi yang cerah ini. Tapi, kata-kata Rangga barusan membuat Nini Ratih seperti mendengar petir da siang hari bolong. Bahkan langkah kaki kudanya langsung dihentikan.
Maka, Rangga ikut berhenti. Pendekar Rajawali Sakti langsung menatap langsung ke bola mata gadis cantik ini. "Kenapa kau terkejut? Bukankah ini yang kau inginkan...?" tanya Rangga terus merayapi wajah gadis cantik ini.
"Tidak...," desis Nini Ratih.
"Eh, tidak...?!" Kali ini justru Rangga yang jadi terkejut
"Aku tahu, kau baik dan berbudi luhur. Maka kuminta, kau membiarkan aku pergi sendiri sekarang," kata Nini Ratih bernada memohon.
Rangga tidak bisa lagi menahan keheranannya. Hatinya benar-benar bingung dan tidak mengerti atas sikap gadis ini. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti turun dari punggung kudanya.
Sementara, Nini Ratih masih tetap duduk di punggung kuda coklat itu beberapa saat. Kemudian, gadis itu juga melompat turun dengan gerakan indah dan ringan.
"Kau ada masalah?" tanya Rangga ingin tahu.
"Aku tidak bisa kembali ke sana lagi. Maaf...," sahut Nini Ratih.
"Kenapa?"
"Aku sudah gagal. Aku tidak berani lagi menghadap Nek Srinita. Biarkan aku pergi. Katakan saja kalau aku kabur dari tahananmu," kata Nini Ratih kembali memohon.
"Tidak mungkin, Nini Ratih. Aku sudah berjanji akan membawamu kembali. Jangan khawatir. Kau tidak gagal dalam mengemban tugasmu. Dan lagi, bukan hanya kau sendiri yang mengemban tugas itu. Tapi ada lagi yang lainnya. Toh mereka juga tidak bisa membawaku untuk menemui gurunya. Tapi, mereka kembali lagi ke sana bukan sebagai orang yang gagal," bujuk Rangga lembut.
"Aku mohon, jangan paksa aku kembali ke sana," pinta Nini Ratih.
"Tentu ada alasan lain, sehingga kau tidak mau kembali lagi pada gurumu," desak Rangga meminta penjelasan.
Nini Ratih hanya diam saja.
"Katakan padaku, Nini Ratih. Mungkin aku bisa membantumu menyelesaikan persoalan," desak Rangga lagi.
"Kau tidak akan bisa membantu. Persoalanmu sendiri lebih besar dariku."
"Aku tinggal menunggu waktu saja. Dan persoalanku akan selesai kalau sudah sampai pada waktunya. Sedangkan kau sendiri, aku yakin kau butuh seseorang yang bisa membantu menyelesaikannya," kata Rangga lagi. "Percayalah. Aku akan membantu menyelesaikan persoalanmu."
"Kau yakin...?"
"Kenapa tidak...?"
"Tapi, aku sudah menghinamu. Merendahkanmu di depan orang banyak."
"Tidak ada persoalan, Nini Ratih. Mereka memaklumi semua yang kau lakukan. Kau hanya mengemban tugas saja. Dan mereka juga akan bersikap seperti itu kalau mendapat tugas yang harus dilaksanakan. Tidak ada seorang pun yang bisa mengelak dari tugas yang harus dijalankan," masih terdengar lembut sekali nada suara Rangga.
Nini Ratih terdiam membisu. Dan Rangga juga tidak berkata lagi. Dia tahu, Nini Ratih tengah memikirkan ucapannya tadi. Perlahan kepala yang tertunduk, bergerak terangkat. Dan pandangan matanya langsung bertemu sorot mata Rangga yang begitu lembut dan meneduhkan hati. Begitu panjang sekali gadis ini menghembuskan napasnya.
"Kau pasti akan membenci kalau sudah tahu persoalannya," kata Nini Ratih pelan.
"Katakan saja, Nini Ratih. Aku pasti bisa mempertimbangkan dari sudut pandang yang baik," ujar Rangga lembut.
"Aku telah mencuri kitab pusaka intisari ilmu-ilmu Nek Srinita," hampir tidak terdengar suara Nini Ratih.
Rangga tidak dapat lagi menyembunyikan keterkejutannya. Sementara, Nini Ratih menundukkan kepalanya, seakan-akan tidak sanggup lagi menentang sorot mata Pendekar Rajawali Sakti. Dan untuk beberapa saat lamanya, mereka terdiam membisu.
Perlahan Rangga mengangkat dagu gadis itu dengan ujung jarinya, sehingga mereka kembali saling berpandangan. "Kenapa kau lakukan itu?" tanya Rangga lembut
"Aku terpaksa. Nyawa adikku terancam," sahut Nini Ratih. Kedua bola mata bening gadis itu langsung terlihat berkaca-kaca.
Rangga mengajak ke tempat yang lebih teduh. Mereka kemudian duduk berhadapan di bawah rindangnya sebatang pohon, dan membiarkan kuda-kuda mereka merumput
"Nek Srinita tahu kalau keselamatan adikmu terancam?" tanya Rangga lagi.
"Tidak. Bahkan tidak tahu kalau aku masih punya seorang adik," sahut Nini Ratih.
Rangga jadi terdiam.
"Aku ikut Nek Srinita baru tiga tahun ini. Dan kepandaian yang kuperoleh pun belum banyak. Tapi, sebelumnya aku memang sudah menguasai jurus-jurus ilmu olah kanuragan yang kupelajari dari mendiang ayahku sebelum meninggal. Nek Srinita tidak tahu kalau aku masih punya adik. Dan sekarang, adikku menjadi tawanan. Adikku akan dibunuh bila aku tidak bisa mencuri kitab pusaka intisari ilmu-ilmu Nek Srinita. Juga, aku harus membunuhmu. Atau paling tidak, mencelakakanmu. Setelah itu, dia baru akan membebaskan adikku," cerita Nini Ratih dengan nada begitu sendu.
"Seharusnya, kau berterus terang pada Nek Srinita, Nini Ratih," ujar Rangga menyesalkan tindakan gadis ini.
"Aku tidak berani. Aku baru tiga tahun ikut dengannya."
"Lalu, kitab itu sudah kau serahkan?" tanya Rangga.
"Belum. Masih ada padaku, dan kusimpan di tempat yang tidak ada seorang pun mengetahuinya."
"Siapa yang menyandera adikmu?" tanya Rangga lagi.
"Dewi Mata Hijau. Dia juga yang membunuh kedua orangtuaku," sahut Nini Ratih, masih agak tersendat suaranya.
"Adikmu sudah besar?"
"Baru berumur lima tahun."
Rangga terdiam beberapa saat. Nini Ratih juga tidak berkata-kata lagi. Beberapa saat mereka terdiam. Entah apa yang ada dalam benak masing-masing.
"Serahkan semuanya padaku, Nini Ratih. Biar persoalanmu dengan Nek Srinita aku yang akan menyelesaikan. Aku yakin, Nek Srinita akan bertindak adil dan bijaksana," kata Rangga.
"Aku..., aku berhutang budi padamu..."
"Ah, sudahlah.... Lupakan saja. Ayo..." Rangga bangkit berdiri.
Tangannya diulurkan untuk membantu gadis cantik ini berdiri. Tak berapa lama kemudian, mereka sudah kembali berkuda menuju bagian Timur lereng Bukit Hantu.
"Rangga... boleh aku memanggilmu Kakang...?" tanya Nini Ratih setelah lama terdiam.
"Dengan senang hari, Ratih," sahut Rangga seraya tersenyum.
"Kau ingin membawa kitab itu juga?" Nini Ratih menawarkan.
"Aku rasa, itu akan lebih bagus lagi," sahut Rangga.
"Tapi, bagaimana dengan adikku?" tanya Nini Ratih.
"Percayalah. Aku akan membebaskannya," janji Rangga.
"Terima kasih, Kakang," desah Nini Ratih perlahan. Begitu pelannya, sehingga hampir tak terdengar di telinga Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga tersenyum senang. Mereka terus berkuda, tapi kali ini arah yang dituju bukan lereng sebelah Timur Bukit Hantu. Mereka akan mengambil dulu kitab yang dicuri Nini Ratih dari Nek Srinita, yang disembunyikan di tempat aman.
********************
TUJUH
Apa yang dikatakan Rangga memang benar. Nek Srinita bertindak sangat bijaksana setelah mengetahui muridnya sendiri mencuri kitab intisari dari ilmu-ilmu yang dimilikinya. Bahkan dia begitu prihatin mendengar adik Nini Ratih kini berada di tangan Dewi Mata Hijau, sebagai sandera untuk melemahkan Pendekar Rajawali Sakti.
Setelah menyelesaikan persoalan Nini Ratih pada gurunya, Rangga kemudian berpamitan. Tapi, Nek Srinita mencegahnya. Hal ini membuat Pendekar Rajawali Sakti tidak jadi meninggalkan pertapaan perempuan tua ini. Dan di dalam ruangan gua yang cukup besar ini, sekarang tinggal mereka berdua saja, setelah Nini Ratih mohon diri.
"Kau tetap akan memenuhi tantangannya malam nanti, Rangga?" tanya Nek Srinita ingin memastikan tekad Pendekar Rajawali Sakti dalam menanggapi tantangan Dewi Mata Hijau.
"Pantang bagiku untuk menolak tantangan, Nek," sahut Rangga mantap.
"Tapi kau harus berhati-hati, Rangga. Dewi Mata Hijau memiliki ilmu-ilmu yang sangat tinggi tingkatannya. Bahkan aku sendiri, rasanya tidak mungkin bisa mengalahkannya," pesan Nek Srinita.
Rangga hanya tersenyum saja. Entah apa arti senyumnya. Hanya dia sendiri yang bisa mengetahuinya. "Nek, apakah Dewi Mata Hijau memiliki banyak pengikut?" tanya Rangga ingin memastikan lagi.
"Lebih besar dari pasukan prajurit yang kau miliki, Rangga. Itulah sebabnya, kenapa aku ingin menemuimu. Aku hanya ingin memperingatkanmu saja, kalau lawan yang akan kau hadapi tidak bisa dipandang enteng. Buktinya, berpuluh-puluh prajuritmu telah tewas sewaktu berusaha menggempur Dewi Mata Hijau. Tapi, terutama sekali kau harus berhati-hati dengan senjata-senjatanya. Semua senjatanya mengandung racun yang sangat mematikan. Terlebih lagi, senjata rahasianya. Kau tidak boleh memandang enteng padanya. Perlu kau ingat, dia sangat ahli dalam menggunakannya," jelas Nek Srinita memperingatkan lagi.
Rangga terdiam.
"Dan satu lagi yang harus kau hindari, Rangga," sambung Nek Srinita.
"Apa itu?" tanya Rangga ingin tahu.
"Kau harus hindari tatapan matanya," sahut Nek Srinita.
"Maksudmu, Nek...?"
"Kalau matanya sudah berubah menjadi hijau, maka jangan sekali-sekali menentang sorot matanya. Kau akan lemah. Bahkan seluruh kekuatan yang ada padamu akan terisap habis. Kau bisa jadi kembali seperti bayi. Di matanya itulah sumber kekuatan yang dimiliki Dewi Mata Hijau. Dan ini yang paling berbahaya. Karena, selama ini tak ada seorang pun yang bisa mengalahkan sorot matanya. Kau harus bisa berusaha menghindar. Sekali saja matamu tertangkap, sulit untuk melepaskannya kembali."
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
"Tapi aku yakin, kau pasti bisa menandinginya. Karena, kau juga memiliki ilmu yang hampir sama dengan ilmu 'Mata Iblis' si Dewi Mata Hijau itu," sambung Nek Srinita.
Rangga agak terkejut. Sungguh tidak disangka kalau perempuan tua ini tahu benar akan dirinya. Sampai-sampai semua kepandaian yang dimilikinya juga diketahui. Dan memang benar, Pendekar Rajawali Sakti memiliki satu ilmu kesaktian yang hampir sama dengan ilmu 'Mata Iblis' si Dewi Mata Hijau.
Dan ilmu itu memang menjadi ilmu pamungkasnya yang sangat diandalkan. Ilmu yang dinamakan aji 'Cakra Buana Sukma memang sangat dahsyat. Terlebih lagi, Rangga sudah bisa menyempurnakannya sampai pada tingkat terakhir.
"Rangga! Kau adalah cucu suriku. Jadi, kau tidak perlu khawatir. Aku akan selalu berada di belakangmu. Semua yang kuketahui tentang Dewi Mata Hijau akan kuberikan, agar kau bisa mengambil titik kelemahannya," kata Nek Srinita lagi.
"Terima kasih, Nek," ucap Rangga terharu.
"Sudahlah. Ayo ikut aku," ajak Nek Srinita seraya bangkit berdiri.
Rangga juga ikut bangkit berdiri, dan melangkah mengikuti perempuan tua bertubuh agak bungkuk yang mengenakan jubah panjang warna kuning gading ini. Mereka berjalan menyusuri lorong gua yang cukup panjang tanpa berbicara lagi. Hingga akhirnya, mereka tiba di mulut gua yang sangat kecil ukurannya. Rangga terpaksa membungkukkan tubuhnya untuk melewati mulut gua ini. Dan tembusan mulut gua ini temyata adalah ke sebuah air terjun kecil yang sekelilingnya terlihat begitu indah. Rangga merasakan seperti berada di dalam sebuah taman yang begitu indah dan alami.
"Di balik air terjun itu, aku menyimpan banyak rahasia alam dan kehidupannya. Juga, semua manusia yang menghuni bumi ini. Kau akan menemukan rahasia terpendam dari Dewi Mata Hijau," jelas Nek Srinita.
"Hm.... Bagaimana kau bisa mengetahui segalanya tentang Dewi Mata Hijau, Nek?" tanya Rangga ingin tahu.
"Aku senang mengamati tokoh-tokoh persilatan yang hidup di mayapada ini, Rangga. Dan hampir semua tokoh persilatan tingkat tinggi, tidak luput dari perhatianku. Bahkan mereka kebanyakan tidak tahu kelemahannya sendiri. Tapi, aku bisa melihat dan mengetahui kelemahannya. Hanya saja, aku tidak pernah senang mencari perkara. Kalau mau, aku bisa menguasai seluruh rimba persilatan," jelas Nek Srinita, tanpa bermaksud menyombongkan diri.
"Hebat..," puji Rangga tulus.
"Kau masih punya waktu, Rangga. Sebaiknya pelajarilah dulu calon lawanmu. Terutama, kau harus bisa mengetahui kelemahannya. Aku yakin, kau akan mudah mengalahkannya, kalau sudah mengetahui kelemahannya," ujar Nek Srinita.
Tapi Rangga hanya tersenyum saja. Kemudian kepalanya menggeleng perlahan beberapa kali. "Maaf, Nek. Bukannya aku tidak menghargai usahamu. Tapi, aku merasa tindakan itu tidak jujur. Sedangkan aku menginginkan pertarungan jujur," tolak Rangga halus.
"Kau akan menghadapi kesulitan, Rangga."
"Serahkan saja segalanya pada Sang Hyang Widi, yang menguasai seluruh mayapada ini, Nek."
"Aku hanya ingin membantumu, Rangga. Aku tidak bisa melihat kau tewas di tangannya. Sedangkan aku mempunyai titik-titik kelemahan lawanmu," ujar Nek Srinita, terdengar perlahan suaranya.
"Terima kasih, Nek. Aku sangat menghargai usahamu itu. Tapi, maaf. Aku tidak bisa menerimanya. Aku hanya ingin sebuah pertarungan jujur dan bersih," Rangga tetap menolak halus.
"Tapi dia sangat licik, Rangga."
"Aku akan bertindak hati-hati. Mudah-mudahan Sang Hyang Widi berkehendak membantuku," ucap Rangga lembut
"Oh! Kau tidak jauh berbeda dengan ayahmu, Rangga. Keras dan sulit diubah pendiriannya," desak Nek Srinita terkenang pada cucu surinya.
"Maafkan aku, Nek," ucap Rangga menyesal, karena tidak menuruti keinginan perempuan tua ini.
"Ah, sudahlah... Aku bisa mengerti, Rangga. Aku justru menghargai tindakanmu. Aku hanya bisa berharap, kau mampu menandinginya. Hanya itu...."
"Terima kasih, Nek."
Sampai hari menjelang senja, Rangga baru meninggalkan pertapaan Nek Srinita. Dengan menunggang Dewa Bayu, Pendekar Rajawali Sakti langsung menuju puncak Bukit Hantu. Memang, sebenarnya tempat tinggal Nek Srinita di kaki Bukit Hantu. Tapi sampai sejauh ini, Dewi Mata Hijau memang tidak mengetahuinya. Apalagi, tempat itu memang tersembunyi sekali. Jarang orang yang dapat menemukan, kalau bukan bersama tuan rumahnya.
Sementara, secara diam-diam, Nek Srinita dan murid-muridnya mengikuti Pendekar Rajawali Sakti dari jarak yang cukup jauh. Sedangkan dari arah Kotaraja Karang Setra, terlihat Danupaksi, Cempaka, dan Pandan Wangi juga sudah bergerak menuju ke Bukit Hantu. Di belakang mereka, terlihat para prajurit yang berjumlah ratusan orang mengikuti.
Bahkan hampir semua panglima ikut dalam barisan itu. Seakan-akan Kerajaan Karang Setra benar-benar akan menghadapi perang besar. Mereka bergerak tidak terialu tergesa-gesa menuju Bukit Hantu, tempat bersemayamnya Dewi Mata Hijau yang belum jelas orangnya itu. Di situlah Dewi Mata Hijau menentukan tempat pertarungannya dengan Pendekar Rajawali Sakti.
Sementara, matahari terus merayap semakin tenggelam di belahan bumi bagian Barat. Cahayanya yang semula begitu terik, kini terasa lembut menyapu kulit. Terasa begitu lembut matahari tenggelam. Seakan-akan ingin turut menyaksikan pertarungan besar di puncak Bukit Hantu.
Sementara, Rangga sendiri sudah hampir tiba di puncak Bukit Hantu. Keadaan begitu sunyi dan sangat mencekam. Rangga melompat turun dari punggung kudanya. Sebentar matanya merayapi keadaan sekitarnya yang begitu sunyi senyap. Bahkan desiran angin pun serasa tidak terdengar lagi.
"Hm.... Kenapa begitu sunyi keadaannya...?" gumam Rangga dalam hati.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan berkeliling, kemudian menepuk leher Dewa Bayu. Kuda bertubuh tinggi tegap itu meringkik kecil, kemudian berlari cepat menuruni lereng Bukit Hantu ini. Binatang itu seperti mengerti kalau Rangga meminta agar ditinggalkan sendiri saja.
"Masih cukup banyak waktu. Sebaiknya, aku cari dulu tempat persembunyian Dewi Mata Hijau. Mudah-mudahan saja, aku masih sempat menyelamatkan adiknya Nini Ratih," gumam Rangga lagi, berbicara sendiri dalam hati.
Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu sempurnanya, sehingga bentuk tubuhnya jadi menghilang. Dan yang teriihat kini hanya sebuah bayangan putih yang berkelebat begitu cepat di antara lebatnya pepohonan di Bukit Hantu ini.
Hanya dalam waktu sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah tiba di puncak Bukit Hantu. Keadaan di puncak bukit ini semakin terasa angker dan mengerikan. Semua pepohonan yang tumbuh begitu besar dengan cabang-cabangnya yang menjulur, bagaikan tangan-tangan raksasa yang siap melumat siapa saja yang berani memasukinya. Rangga baru berhenti berlari setelah tiba di sebuah padang rumput yang tidak begitu luas di puncak Bukit Hantu ini.
"Hm..." Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut.
Sorot matanya begitu tajam, merayapi keadaan padang rumput yang tidak seberapa luas ini. Seakan-akan padang rumput ini merupakan sebuah gelanggang yang sudah siap menerima pertarungan antara hidup mati dua anak manusia. Pandangannya langsung tertuju pada sebuah bangunan batu yang tidak begitu besar, berdiri tegak di seberang padang rumput ini.
"Itukah tempat tinggal Dewi Mata Hijau...?" gumam Rangga perlahan, bertanya pada diri sendiri.
Setelah mengamati keadaan sekitamya beberapa saat, Rangga baru melangkah memasuki padang rumput yang tidak begitu besar ini. Telinganya dipasang tajam-tajam, mencoba mendengarkan suara yang sangat halus sekalipun. Bahkan Rangga mengerahkan aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah....
"Hih!" Cepat sekali Rangga melompat, ketika tiba-tiba saja dari dalam tanah di bawah kakinya menyembul sebuah tangan yang hampir mencengkeram kakinya. Dan begitu kakinya menjejak tanah lagi, saat itu juga bermunculan sekitar sepuluh sosok dari dalam tanah. Mereka langsung mengepung Pendekar Rajawali Sakti, dengan golok yang tajam berkilatan tergenggam di tangan masing-masing.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah..!"
Tanpa berbicara sedikit, orang-orang yang bermunculan dari da lam tanah itu langsung berlompatan menyerang. Cepat-cepat Rangga melenting ke udara, menghindari beberapa bilah golok yang berkelebatan di sekitar tubuhnya.
"Hiyaaa...!"
Saat itu juga, Rangga mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' Kedua tangannya terkembang lebar, dan membuat gerakan-gerakan yang begitu cepat luar biasa. Begitu cepat gerakannya, sehingga dua orang yang berada dekat dengannya tidak sempat lagi berkelit. Dua kali jeritan panjang melengking terdengar seketika, disusul ambruknya dua orang dengan kepala pecah terkena hantaman tangan Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna.
"Hiyaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga cepat memutar tubuhnya. Setelah berjumpalitan beberapa kali di udara, cepat sekali tubuhnya meluruk deras. Kedua kakinya tampak bergerak begitu cepat luar biasa.
Plak! "Akh...!"
Satu orang lagi terjungkal, begitu kepalanya terkena tendangan dari jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Memang sungguh cepat luar biasa gerakan jurus-jurus yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti. Sehingga, sangat sulit diikuti pandangan mata biasa. Belum lagi hilang jeritan melengking yang begitu menyayat, kembali terdengar pekikan keras yang kemudian disusul ambruknya dua orang lagi.
Dalam beberapa gebrakan saja, Rangga sudah berhasil melumpuhkan lima orang penyerangnya. Dan mereka yang masih tetap hidup, cepat-cepat berlompatan mundur. Tampak di mata mereka tedihat sinar kegentaran dalam menghadapi jurus-jurus maut yang begitu cepat dan dahsyat dari Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalau kalian ingin bernasib sama dengan mereka, ayo majulah!" dengus Rangga dingin, sambil menunjuk lima tubuh yang bergelimpangan tak bernyawa lagi.
Tampak lima orang yang masih tersisa itu saling berpandangan satu sama lain. Kegentaran begitu jelas tersirat dari sorot mata mereka. Sementara, Rangga sudah menyilangkan tangan kanannya di depan dada. Sorot matanya begitu tajam, merayapi wajah-wajah yang mencerminkan kegentaran itu.
"Ayo maju kalian semua!" sentak Rangga garang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
"Hup! Hiyaaat...!"
Begitu kelima orang itu berlompatan menyerang, bagai kilat Rangga melenting ke udara. Lalu, cepat sekali dilepaskannya beberapa pukulan bertenaga dalam tinggi secara beruntun. Begitu cepat pukulan yang dilepaskannya, sehingga tidak ada seorang pun dari lawan-lawannya yang bisa lagi menghindar.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar saling susul. Tampak kelima orang yang bersenjatakan golok itu bertumbangan ambruk menggelepar di atas tanah berumput cukup tebal yang sudah digenangi darah. Hanya beberapa gebrakan saja, lima orang itu sudah tidak mampu lagi menggerakkan tubuhnya. Mereka tewas seketika, terkena pukulan-pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Rangga berdiri tegak, memandangi sepuluh orang yang tergeletak tak bernyawa lagi Darah tampak semakin membasahi rerumputan.
"Hm.... Rupanya Dewi Mata Hijau benar-benar sudah mempersiapkan penyambutan untukku," gumam Rangga dalam hati.
Kembali Pendekar Rajawali Sakti mengayunkan kaki perlahan-lahan. Pandangan matanya tertuju lurus ke depan, ke arah bangunan kecil yang tampaknya terbuat dari batu di seberang padang rumput ini. Kembali, dikerahkannya aji 'Pembeda Gerak dan Suara'. Matanya pun terpentang lebar, tak berkedip sedikit pun. Kesunyian kembali menyelimuti padang rumput yang tidak seberapa luas ini.
Saat Pendekar Rajawali Sakti berada ditengah-tengah padang rumput ini, tiba-tiba saja kedua kelopak matanya jadi terbeliak lebar. Tampak tanah berumput di depannya menggembung dan bergerak cepat ke arahnya.
"Hup!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melenting ketika gundukan tanah yang bergerak itu hampir menyentuh ujung jari kakinya. Dua kali dia berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat di tanah berumput tebal ini. Dan pada saat itu....
Brusss!
Dari gundukan tanah yang bergerak itu menyembul seorang laki-laki tua berbaju hitam kumal yang kotor penuh lumpur. Rambutnya yang panjang, dibiarkan meriap tak terarur. Bahkan tampak kusut, penuh tanah melekat Tubuhnya agak bungkuk, disangga sebatang tongkat kayu di tangan kanan.
"He he he...! Tidak percuma kau dijuluki Pendekar Rajawali Sakti, Anak Muda. Rasanya, aku juga tidak akan sia-sia datang jauh-jauh ke sini," terasa begitu kering suara laki-laki tua bungkuk dan kumal itu.
"Siapa kau, Kisanak?" tanya Rangga dengan sorot mata tajam.
"He he he... Memang tidak enak rasanya kalau di antara kita tidak saling mengenal. Baik. Aku biasa dipanggil si Ular Tanah. Dan kau tidak perlu memperkenalkan diri, karena aku sudah tahu siapa julukan mu Anak Muda," kata laki-laki tua itu masih dengan suara kering sekali.
"Hm...," Rangga hanya menggumam perlahan. Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti masih terlihat begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata laki-laki tua berbaju kumal dan kotor penuh lumpur ini. Meskipun belum pemah bertemu, tapi Rangga yakin kalau laki-laki tua yang mengaku berjuluk Ular Tanah itu mempunyai maksud yang tidak berbeda dengan Dewi Mata Hijau. Dia pasti hendak menantang Pendekar Rajawali Sakti untuk bertarung sampai salah seorang di antara mereka ada yang mati.
"Aku mengakui, kau memang tangguh, Pendekar Rajawali Sakti. Kau sanggup mengalahkah sepuluh orang muridku dalam beberapa gebrakan saja. Tapi, itu belum berarti kau bisa mengalahkan aku dengan mudah," kata si Ular Tanah lagi.
"Oh..., jadi mereka itu muridmu?" desis Rangga agak sinis. "Lalu, apa maksudmu menghadangku di sini?"
entunya kau sudah tahu jawabannya, Pendekar Rajawali Sakti. Nah, bersiaplah...!" sahut si Ular Tanah dingin.
Bet!
Cepat sekali laki-laki tua itu mengebutkan tongkatnya ke depan. Dan seketika itu juga, dari ujung tongkatnya menyembur lidah api yang langsung menyambar ke arah pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hup!"
Namun dengan gerakan indah sekali, Rangga berhasil menghindari jilatan api dari ujung tongkat si Ular Tanah. Dan belum juga Rangga bisa menarik tubuhnya tegak kembali, mendadak saja si Ular Tanah sudah melompat begitu cepat. Langsung tongkatnya dikebutkan ke arah kepala.
"Hiyaaa...!"
"Hup! Yeaaah...!"
DELAPAN
Pertarungan antara Pendekar Rajawali Sakti melawan si Ular Tanah memang tidak dapat lagi dihindari Dan itu memang sudah diperhitungkan Rangga sebelumnya. Dia sudah tahu, tidak akan mungkin bisa bertemu langsung dengan si Dewi Mata Hijau. Jelas, tidak sedikit rintangan yang harus dihadapi.
Menyadari akan hal itu, Rangga tidak lagi tanggung-tanggung menghadapi si Ular Tanah ini. Langsung dikeluarkannya jurus-jurus dari rangkaian lima jurus 'Rajawali Sakti' yang begitu dahsyat dan sukar dicari tandingannya. Bahkan Rangga langsung mengerahkannya pada tingkatan yang terakhir dari setiap jurus yang dimainkannya ini.
"Uts! Setan...!" Si Ular Tanah jadi merutuk, begitu kepalanya hampir saja terkena sambaran tangan Rangga yang mengerahkan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' saat itu. Untung kepalanya cepat dirundukkan, sehingga serangan itu berhasil dihindari.
"Hiyaaat...!"
Tapi belum juga si Ular Tanah bisa menarik tegak kepalanya lagi, Rangga sudah begitu cepat merubah jurusnya. Seketika dikeluarkannya jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Cepat sekali pukulannya terlontar, begitu kepalan tangannya telah berwarna merah bagai berlumur darah.
"Yeaaah...!"
"Heh...?!"
Si Ular Tanah jadi terbeliak setengah mati. Cepat-cepat tokoh tua itu melompat ke belakang beberapa langkah. Tanpa diduga sama sekali, pukulan yang dilontarkan Rangga mengandung hempasan angin yang begitu kuat, dan mengandung hawa panas yang sangat menyengat. Si Ular Tanah yang sama sekali tidak menyangka, dan tidak dapat lagi berkelit menghindar. Maka...
Desss! "Akh...!"
Keras sekali tubuh tua itu terpental kebelakang, begitu angin pukulan dari jurus 'Pukulan Maut-Paruh Rajawali' tingkat terakhir menghantam dada yang kurus kerempeng
"Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat, Rangga melenting mengejar si Ular Tanah yang terpental akibat dadanya terkena sambaran angin pukulannya tadi. Begitu cepatnya lesatan pemuda berbaju rompi putih itu, sehingga satu pukulan lagi yang dilepaskannya langsung menghantam dada si Ular Tanah.
Diegkh! "Aaakh...!"
kembali si Ular Tanah memekik keras melengking tinggi. Tubuh si Ular Tanah meluncur deras, dan kembali menghantam tanah begitu keras. Sementara itu, Rangga sudah menjejakkan kakinya sekitar enam langkah lagi dari laki-laki tua ini. Tampak darah kental agak kehitaman merembes keluar dari sudut bibir si Ular Tanah.
"Kau.... Kau memang tangguh, Pendekar Rajawali Sakti," puji si Ular Tanah tersendat.
Belum juga si Ular Tanah berhasil mengangkat tangannya, langsung jatuh kembali dan tak bergerak-gerak lagi. Seketika itu juga, si Ular Tanah tewas dengan dada remuk terkena dua kali pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.
"Hm...," Rangga menggumam kecil. Sebentar dipandanginya tubuh si Ular Tanah yang sudah tidak bergerak lagi.
Kemudian tubuhnya diputar dan kembali melangkah menuju ke bangunan kecil yang terbuat dari baru di seberang padang rumput ini. Keadaan bangunan rumah itu masih tetap keUhatan sunyi, seperti tidak ada penghuninya. Dan letaknya pun sangat terpencil, sehingga hampir tersamar pepohonan dan bebatuan jika dilihat dari seberang padang rumput ini.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba saja Rangga dikejutkan lagi oleh bentakan keras yang menggelegar. Maka, ayunan kakinya kembali terhenti seketika. Saat itu, terlihat dua buah bayangan berkejebat begitu cepat di depannya. Dan tahu-tahu, sekitar satu batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri dua orang laki-laki bertubuh tinggi tegap dan berotot.
Bukan hanya bentuk tubuhnya saja yang sama, tapi juga wajah mereka begitu mirip. Hanya pakaiannya saja yang membedakan satu sama lain. Yang satu mengenakan baju warna merah, dan yang satunya lagi memakai baju warna biru tua. Mereka sama sama memegang sebatang tombak yang panjang ukurannya.
"Hm... Iblis Tombak Kembar," desis Rangga menggumam perlahan. Langsung bisa mengenali dua orang kembar ini.
"Kau terlalu cepat, Pendekar Rajawali Sakti. Matahari saja belum tenggelam, tapi kau sudah muncul di sini," terasa dingin nada suara Tombak Merah.
"Di mana aku bisa bertemu Dewi Mata Hijau?" tanya Rangga langsung.
"Tidak semudah itu bisa menemuinya, Pendekar Rajawali Sakti. Lagi pula, ini belum waktunya," sahut Tombak Merah agak sinis.
Rangga menatap tajam pada dua orang kembar ini. Kemudian kakinya terayun melangkah. Tapi baru saja berjalan tiga langkah, mendadak saja Iblis Tombak Kembar sudah menghunuskan tombaknya yang panjang ke depan. Ujung tombak yang bermata kuning keemasan itu tertuju lurus ke dada Pendekar Rajawali Sakti. Maka, terpaksa Rangga menghentikan langkahnya.
"Kau harus menunggu sampai tengah malam nanti, Pendekar Rajawali Sakti," desis si Tombak Merah, dingin.
"Kalau aku tidak mau...?!" dengus Rangga, tidak kalah dinginnya.
"Itu berarti kau harus melewati kami dulu," sahut si Tombak Merah tegas.
"Hhh...!" Rangga tersenyum sinis.
"Sebaiknya jangan terlalu memaksa, Pendekar Rajawali Sakti. Lihat sekelilingmu," selak si Tombak Biru yang sejak tadi hanya diam saja.
Begitu si Tombak Biru mengangkat tombaknya ke atas, saat itu juga bermunculan orang-orang yang semuanya menghunus senjata berbagai macam bentuk. Rangga jadi terkejut. Dalam waktu yang singkat, seluruh padang rumput ini sudah terkepung begitu rapat. Entah berapa jumlahnya. Kemunculan mereka bagaikan keluar dari dalam tanah.
Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Tampak dilihatnya juga tidak sedikit yang sudah siap dengan anak panah terpasang di busur. Saat itu disadari kalau keadaannya saat ini sangat tidak menguntungkan. Jelas Pendekar Rajawali Sakti tidak mungkin bisa melawan begitu banyak orang, yang jumlahnya bisa dikatakan dua kali lipat daripada jumlah prajurit yang ada di Kerajaan Karang Setra. Begitu banyaknya hingga padang rumput ini jadi penuh.
"Baik... Aku akan datang lagi tengah malam nanti," terpaksa Rangga harus mengalah, mengingat keadaan dirinya yang tidak menguntungkan sama sekali.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mundur. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah ke belakang, mendadak saja terdengar teriakan-teriakan keras melengking yang saling susul. Tampak orang-orang yang mengepung padang rumput, di puncak Bukit Hantu ini kontan jadi berantakan.
"Heh...?! Apa itu...?" sentak si Tombak Merah terkejut.
Keterkejutan si Tombak Merah langsung terjawab seketika. Ternyata, keributan yang terjadi itu karena para prajurit Karang Setra sudah datang. Bahkan langsung menggempur orang-orangnya Dewi Mata Hijau. Dan pada saat itu juga, terlihat Nek Srinita dan murid-muridnya sampai di sini. Mereka langsung saja terjun membantu para prajurit Karang Setra.
"Keparat kau, Pendekar Rajawali Sakti...!" desis si Tombak Merah.
"Hiyaaat...!"
"Yeaaah...!"
Cepat sekali si Iblis Tombak Kembar melompat bersamaan menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
"Hup! Yeaaah...!"
Namun dengan gerakan cepat dan ringan sekali, Rangga berhasil menghindari serangan yang dilancarkan laki-laki kembar ini.
Sementara, pertempuran di puncak Bukit Hantu ini terus berlangsung semakin sengit. Jeritan-jeritan kematian terdengar begitu menyayat, bercampur-baur dengan teriakan-teriakan pertempuran dan denting senjata beradu.
Sedangkan Rangga terpaksa harus menghadapi si Iblis Tombak Kembar. Tapi dengan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' rasanya memang terlalu sulit bagi si Iblis Tombak Kembar untuk mendesak Pendekar Rajawali Sakti. Gerakan-gerakan dari jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', membuat Pendekar Rajawali Sakti begitu sulit dijamah. Tubuhnya begitu lentur, diimbangi gerakan kaki yang sangat lincah. Bahkan terkadang seperti bukan gerakan-gerakan ilmu olah kanuragan. Namun begitu, masih terlalu sulit bagi si Iblis Tombak Kembar untuk memasukkan serangannya.
"Hup!" Tap!
Tiba-tiba saja, Rangga mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada, ketika si Tombak Biru menghunjamkan tombak ke arahnya. Begitu cepat gerakan tangannya, sehingga si Tombak Biru tidak sempat lagi menarik tombaknya. Dan seketika itu juga, ujung mata tombaknya sudah terjepit kuat di antara dua telapak tangan Rangga.
"Hih! Yeaaah...!"
Dan mendadak saja, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangannya ke depan, disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna.
"Akh...!" Si Tombak Biru jadi tersentak kaget, tapi tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Seketika tubuhnya terpental deras ke belakang. Begitu tubuhnya menghantam tanah, dia tidak bangun-bangun lagi. Pingsan! Dan pada saat itu juga, Rangga melesat cepat bagai kilat sambil melepaskan satu pukulan dahsyat menggeledek ke arah dada si Tombak Merah.
"Hap!"
Tapi si Tombak Merah sudah lebih cepat lagi berkelit menghindar. Namun belum juga bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, tiba-tiba saja Rangga sudah memberi satu tendangan keras menggeledek yang begitu dahsyat. Begitu cepatnya serangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga membuat si Tombak Merah tidak sempat lagi berbicara atau berbuat sesuatu. Karena, tendangan keras menggeledek yang dilepaskan Rangga menghantam telak dadanya.
Diegkh! "Akh...!"
Seketika itu juga si Tombak Merah terpental jauh ke belakang, sambil memekik keras.
"Hup! Hiyaaa...!"
Rangga tidak sudi lagi membuang-buang waktu. Di saat kedua lawannya tengah mengerang merasakan sakit, Rangga sudah melompat cepat ke rumah batu yang ada di seberang padang rumput ini. Hanya beberapa kali lompatan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah sampai di depan pintu yang tertutup rapat. Tapi baru saja Rangga menjejakkan kakinya sekitar satu batang tombak di depan pintu, mendadak saja....
Wusss!
"Uts...!"
Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya ke kanan, ketika tiba-tiba saja dari pintu yang mendadak terbuka melesat sebuah benda yang memancarkan cahaya kehijau-hijauan. Benda kecil bercahaya biru itu terus meluncur deras, melewati samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
Dan baru saja Rangga bisa menegakkan tubuhnya lagi, terlihat sebuah bayangan hijau meluncur keluar begitu cepat sekali dari dalam rumah baru ini. Dan kini tahu-tahu di depan Rangga sudah berdiri seorang wanita berwajah cantik. Bajunya warna hijau ketat. Kecantikan dan kemolekan tubuhnya agak menghilang oleh sorot mata dan raut wajah yang memancarkan kebengisan.
"Kau yang berjuluk Dewi Mata Hijau?" tanya Rangga langsung, bernada dingin sekali.
"Benar! Aku memang Dewi Mata Hijau," sahut wanita cantik berbaju hijau, membenarkan dugaan Rangga barusan.
"Kenapa kau lakukan semua ini, Nisanak?" tanya Rangga.
"Karena kau seorang pendekar yang begitu terkenal dan pilih tanding, juga namamu sudah terkenal di daerah Utara, itulah yang membuatku jadi penasaran. Dan aku memang sudah bertekad untuk menantangmu bertarung, Pendekar Rajawali Sakti," sahut Dewi Mata Hijau berterus terang.
"Kau hanya menantangku saja...?" Rangga seperti tidak percaya dengan alasan yang dikemukakan wanita cantik ini. Namun belum juga Rangga bisa menghilangkan keheranannya, tiba-tiba....
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Rangga cepat-cepat menarik tubuhnya kebelakang, ketika tiba-tiba saja Dewi Mata Hijau menyerang begitu cepat.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Dewi Mata Hijau terus merangsek Pendekar Rajawali Sakti dengan jurus-jurus dahsyat luar biasa. Akibatnya Rangga terpaksa harus menghindari serangan-serangan dahsyat ini dengan berjumpalitan di udara, sambil meliuk-liukkan tubuhnya. Jurus 'Sembilan Langkah Ajaib' yang dimainkan Rangga saat ini memang belum bisa untuk menjajagi kemampuan lawan.
Entah berapa jurus sudah berlalu, tapi pertarungan itu masih terus berjalan sengit. Dan Rangga seperti sengaja tidak memberi serangan balasan. Hingga pada satu saat, mereka sama-sama menghentakkan kedua tangan ke depan. Maka tak pelak lagi, dua pasang tangan itu beradu keras, sampai menimbulkan ledakan menggelegar bagai guntur.
"Hup!"
"Hap...!"
Secara bersamaan, mereka menjejakkan kaki di tanah. Tapi, jarak mereka memang tidak jauh, dan hanya sekitar tujuh langkah lagi saja.
Sementara, Dewi Mata Hijau sudah membuat gerakan-gerakan yang begitu cepat dengan kedua tangannya, setelah membuang tombaknya ke samping.
"Pandang mataku, Rangga...," desis Dewi Mata Hijau.
"Oh...?!" Rangga jadi terkejut, begitu tiba-tiba saja melihat sepasang bola mata Dewi Mata Hijau jadi berubah hijau menyala, seperti sepasang lampu pelita. Dia jadi ingat kata-kata Nek Srinita. Cepat-cepat pandangannya dialihkan ke arah lain. Tapi pada saat itu juga, Rangga merasakan seluruh tubuhnya seperti terserang hawa dingin yang semakin lama semakin menggigilkan.
"Oh, apa ini...?" desis Rangga bertanya sendiri dalam hati.
Betapa terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti ketika melihat tangannya jadi berwarna hijau. Bahkan seluruh tubuhnya juga seperti terselubung cahaya hijau. Dan lebih terkejut lagi, begitu merasakan adanya kekuatan yang begitu mendesak, seperti memerintah dirinya agar memandang bola mata wanita cantik yang dijuluki Dewi Mata Hijau. itu. Kekuatan itu semakin menggila, mendesak dirinya.
"Ugkh...!" Rangga mulai mengeluh. Cepat disadarinya kalau tadi memang sempat memandangi bola mata yang hijau itu. Dan apa yang dikatakan Nek Srinita memang benar. Kini, dia harus berjuang keras melawan gempuran maha dahsyat ini.
"Hih...!" Sret! Cring...!
Cepat sekali Rangga mencabut Pedang Rajawali Sakti dari punggungnya. Cahaya biru terang langsung menyemburat keluar begitu pedang di punggung Rangga tercabut dari warangka. Pendekar Rajawali Sakti langsung melintangkan pedangnya di depan dada. Kemudian, telapak tangan kirinya menempel di mata pedang yang memancarkan sinar biru menyilaukan mata itu.
Perlahan telapak tangan kiri itu bergerak menggosok mata pedang dari pangkal sampai ke ujung. Lalu, kembali lagi ke pangkal Pedang Rajawali Sakti. Saat itu juga, sinar biru yang memancar keluar dari mata pedang langsung menggumpal membentuk bulatan di ujung pedang.
"Aji Cakra Buana Sukma. Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan kilat Rangga menghentakkan pedangnya ke depan. Dan seketika itu juga, bulatan cahaya biru yang menggumpal di ujung pedang meluncur deras ke arah Mata Hijau.
Tapi pada saat yang bersamaan, dari kedua bola mata wanita cantik berbaju serba hijau itu juga meluncur cahaya hijau yang teramat terang.
Blarrr..!
Ledakan keras menggelegar seketika terdengar menggetarkan mayapada, begitu dua cahaya yang mengandung kekuatan dahsyat bertemu di tengah-tengah. Tampak Rangga tergeser dua langkah ke belakang. Sementara, Dewi Mata Hijau juga terdorong beberapa langkah ke belakang.
"Hap!"
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti menggosok lagi mata pedangnya dengan telapak tangan kiri. Dan begitu cehaya biru kembali menggumpal, langsung dipindahkan ke tangannya. Secepat pedang pusakanya dimasukkan kembali ke dalam warangkanya di punggung, secepat itu pula kedua tangannya yang memancarkan cahaya biru dihentakkan ke depan, sambil berteriak keras menggelegar.
"Aji Cakra Buana Sukma. Hiyaaa...!"
Slap!
"Yeaaah...!"
Dua cahaya kembali terlihat melesat begitu cepat. Tapi pada saat itu, tiba-tiba saja Rangga menggeser kakinya cepat-cepat ke kanan. Gerakan Pendekar Rajawali Sakti membuat Dewi Mata Hijau jadi terkejut setengah mati. Tapi, dia tidak sempat lagi berbuat sesuatu. Apalagi cahaya biru yang meluncur dari kedua telapak tangan. Pendekar Rajawali Sakti sudah menghantam tubuhnya. Sedangkan sinar hijau yang keluar dari bola matanya terus lewat di samping tubuh pemuda berbaju rompi putih ini.
"Akh...!"
"Hih!"
Rangga segera mengerahkan seluruh kekuatannya di dalam aji Cakra Buana Sukma, saat merasakan adanya perlawanan dari wanita cantik berbaju hijau ini. Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak kaget, saat merasakan kalau dirinya seperti tertarik kekuatan yang begitu besar. Sedikit demi sedikit kaki Pendekar Rajawali Sakti mulai bergerak ke depan. Namun, Rangga berusaha untuk tetap bertahan. Seluruh kekuatan di dalam aji Cakra Buana Sukma dikerahkan sampai tingkat terakhir. Sehingga dari telapak kakinya yang terus bergerak menyusur tanah, terlihat asap mengepul.
Sementara, seluruh tubuh Dewi Mata Hijau sudah berselubung cahaya biru yang memancar semakin terang dan menyilaukan dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, dari kedua bola matanya juga mengeluarkan sinar hijau yang menyelimuti seluruh tubuh pemuda berbaju rompi putih itu. Dua kekuatan dahsyat kini bertarung saling menarik kekuatan masing masing lawan.
"Hih!" Rangga mulai mengeluh. Keringat mulai terlihat menitik dari pori-pori tubuhnya. Bahkan keringat yang keluar bukan keringat biasa, melainkan titik-titik darah!
"Hm.... Akan kucoba menarik aji Cakra Buana Sukma," gumam Rangga dalam hati.
Dan begitu aji kesaktiannya yang sangat dahsyat itu ditarik, seketika tubuh Pendekar Rajawali Sakti terpental tertarik ke depan dengan cepat sekali. Hal ini membuat Dewi Mata Hijau jadi terperanjat setengah mati. Sungguh tidak disangka kalau Rangga akan mencabut aji kesaktiannya begitu cepat. Tapi belum juga hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba saja...
"Hiyaaa...!"
Sret! Bet!
"Heh...?!"
Bagaikan kilat, Rangga mencabut pedang pusakanya dan langsung dibabatkan ke leher wanita cantik berbaju hijau ini. Begitu cepatnya, sehingga Dewi Mata Hijau hanya mampu terbeliak saja. Sehingga...
Cras!
"Aaakh...!"
"Hup!"
Rangga cepat-cepat melenting ke belakang dan berputaran beberapa kali, begitu pedangnya membabat leher Dewi Mata Hijau. Manis sekali kakinya menjejak kembali ke tahah. Tampak Dewi Mata Hijau berdiri tegak dengan bola mata yang berwarna hijau terbeliak lebar. Mulutnya ternganga, seperti melihat hantu.
Tapi hal itu hanya sebentar saja. Karena beberapa saat kemudian, tubuhnya jadi limbung, dan langsung ambruk ke tanah dengan kepala terpisah dari leher. Darah langsung muncrat keluar dari lehernya yang buntung tak berkepala lagi. Dewi Mata Hijau langsung tewas seketika, begitu tubuhnya menyentuh tanah.
Jeritan panjang melengking tinggi tadi, rupanya mengejutkan mereka yang tengah bertempur. Saat itu, si Iblis Tombak Kembar yang melihat Dewi Mata Hijau dengan kepala buntung, langsung cepat melesat pergi. Maka, pengikut-pengikut wanita cantik itu jadi kalang-kabut, karena pemimpinnya sudah tewas di tangan Pendekar Rajawali Sakti. Hal ini membuat mereka tidak mampu lagi menahan gempuran para prajurit Karang Setra yang dibantu Nek Srinita dan murid-muridnya. Bahkan tidak sedikit yang melarikan diri mencari selamat Hingga tak berapa lama kemudian, pertarungan pun berhenti.
Sementara, Rangga berdiri tegak mematung memandangi mayat Dewi Mata Hijau. "Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang dan berat.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Dan bibirnya langsung tersenyum begitu melihat Nini Ratih melangkah menghampirinya sambil menuntun seorang anak kecil berusia sekitar lima tahun. Di belakangnya, mengikuti Nek Srinita, Pandan Wangi, Cempaka, dan Danupaksi.
Sementara para prajurit Karang Setra yang dipimpin panglimanya, membersihkan seluruh puncak Bukit Hantu ini dari sisa-sisa para pengikut Dewi Mata Hijau.
"Terima kasih, Kakang. Kau telah mengembalikan adikku," ucap Nini Ratih begitu dekat di depan Rangga.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Sejak semula, aku sudah yakin kalau kau pasti mampu mengalahkannya," kata Nek Srinita.
"Yaaah.... Aku sendiri hampir tidak kuat tadi," desah Rangga jujur mengakui.
Rangga kemudian mengajak mereka semua kembali ke Karang Setra.
SELESAI
BERIKUTNYA: IBLIS PENGGALI KUBUR