Iblis Penggali Kubur - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

IBLIS PENGGALI KUBUR


SATU
MATAHARI baru saja tergelincir di ufuk Barat, ketika penduduk Desa Kranggan meninggalkan tanah pekuburan yang terletak cukup jauh dari desa itu. Hanya seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang tertinggal, dan kini berdiri mematung sambil memandangi gundukan tanah merah yang masih baru. Sedikit pun tubuhnya tidak bergeming. Bahkan tanpa mempedulikan orang-orang yang meninggalkannya semakin jauh, dia masih terpaku di situ.

Pemuda itu terus berdiri tegak memandangi tanah kuburan yang masih baru didepannya. Tampak kedua bola matanya berkaca-kaca. Sesekali terlihat bahunya berguncang, disertai dengan suara isak tertahan. Kemudian perlahan dia berlutut. Tangannya tampak bergetar meraba gundukan tanah merah di depannya. Tidak ada lagi seorang pun yang terlihat di sekitarnya. Tanpa disadari, setitik air bening menggulir dari sudut matanya.

"Sudah sore. Kenapa kau belum pulang, Anak Muda...?"

"Oh..?!" Pemuda itu tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara serak dan kering dari arah belakang. Cepat-cepat dia menghapus air matanya, lalu bangkit berdiri sambil memutar tubuhnya. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu didepan pemuda itu sudah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh agak bungkuk, berjubah hitam panjang dan longgar.

"Semua orang sudah pulang. Kenapa kau masih tetap di sini, Anak Muda?" Tanya laki-laki tua berjubah hitam itu.

"Siapa Kakek ini?" Pemuda berwajah cukup tampan itu malah balik bertanya.

"Orang-orang biasa memanggilku Ki Jungut. Aku pengurus tanah kuburan ini," sahut laki-laki tua itu memperkenalkan diri. Walaupun suaranya terdengar kering dan serak, tapi nadanya terasa begitu hangat dan ramah.

Beberapa saat pemuda yang berbaju biru tua itu mengamati dari ujung kepala hingga ke ujung kaki laki-laki tua yang berdiri sekitar tiga langkah di depannya ini.

"Siapa namamu?" Tanya Ki Jungut.

"Kadik," sahut pemuda itu singkat.

"Yang dikuburkan tadi keluargamu?" Tanya Ki Jungut sambil menunjuk kuburan di belakang pemuda ini.

"Adikku," sahut Kadik, terdengar datar nada suaranya.

"Perempuan?" Tanya Ki Jungut lagi.

Kadik hanya mengangguk.

"Sudah bersuami?"

"Belum."

"Lalu, kenapa dia sampai meninggal? Sakit...?"

Kadik menggeleng.

"Kenapa...?" desak Ki Jungut lagi.

Tapi Kadik tidak menjawab. Matanya terlihat kembali merembang berkaca-kaca.

Sementara Ki Jungut memandangi dengan sinar mata yang begitu tajam, menusuk dalam ke bola mata pemuda berwajah cukup tampan di depannya.

Perlahan Kadik menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak. Kemudian dia melangkah mundur menjauhi laki-laki tua yang tidak dikenalnya ini. Dari bola matanya yang berkaca-kaca, dia memandangi laki-laki tua berjubah hitam itu dalam-dalam.

"Kau tidak perlu takut atau curiga padaku, Anak Muda. Justru kalau kau punya persoalan, aku bersedia membantumu," jelas Ki Jungut, seakan tahu isi hati pemuda itu.

"Aku tidak kenal denganmu, Ki. Kenapa kau ingin membantuku?" Tanya Kadik curiga.

Ki Jungut hanya tersenyum saja. Dia melangkah mendekati pemuda itu, dan menepuk pundaknya dengan lembut.

Sedangkan Kadik hanya diam saja, dan terus memandangi laki-laki tua itu tanpa berkedip sedikit pun. Saat itu dia merasakan adanya hawa sejuk mengalir dari tangan keriput yang menempel di pundaknya. Saat itu juga Kadik merasa lebih tenang. Dan dia tidak ingat lagi dengan kekasihnya yang baru saja dikuburkan. Kesedihan yang tadi melanda dirinya kini benar-benar lenyap tak berbekas.

"Ayo ikut aku," ajak Ki Jungut.

Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Kadik mengikuti ayunan langkah laki-laki tua berjubah hitam yang baru dikenalnya ini. Sedikit pun dia tidak berpaling pada kuburan adiknya. Dia terus melangkah mengikuti Ki Jungut.

********************

Matahari terus tergelincir semakin jauh ke kaki langit sebelah Barat. Sinarnya yang semula terasa terik, kini begitu lembut dan indah dipandang. Sedikit pun sang mentari tidak menghiraukan semua yang ada di muka bumi. Dia terus bergerak menggelincir semakin tenggelam. Hingga akhirnya hanya rona merah saja yang membias di kaki langit.

Gerit serangga mulai terdengar mengiringi kepergian sang mentari ke peraduannya. Angin pun mulai terasa menebarkan hawa dingin. Burung-burung kembali ke sarangnya masing-masing. Begitu riuh sekali senja ini. Namun hanya sebentar saja kesibukan itu berlangsung. Dan keadaan pun berubah menjadi sunyi senyap, hingga hanya gerit serangga malam saja yang terdengar menyayat.

Kegelapan langsung menyelimuti seluruh belahan permukaan bumi ini. Dan tugas sang mentari pun digantikan dewi bulan yang cantik dengan sinarnya yang keperakan, begitu lembut menyirami bumi. Malam terus merayap semakin larut, bergerak sejalan dengan sang waktu.

Sementara di tanah pekuburan Desa Kranggan, tak lagi terlihat seorang pun di sana. Begitu sunyi keadaannya. Bahkan tak terdengar sedikit pun gerit binatang malam. Satu-satunya cahaya yang menerangi hanya sang dewi malam yang menggantung di langit hitam.

Namun, tiba-tiba saja terlihat sesosok bayangan hitam berkelebat cepat di antara lebatnya pepohonan di sekitar tanah pekuburan itu. Hanya sebentar saja bayangan hitam itu menghilang. Kemudian dari balik sebatang pohon beringin yang besar, muncul seseorang mengenakan baju hitam panjang dan longgar.

Sulit untuk bisa mengenali wajahnya, karena seluruh kepalanya tertutup kain hitam seperti kerudung. Dia melangkah perlahan-lahan melewati beberapa gundukan tanah berbatu nisan. Ayunan kakinya baru berhenti setelah sampai di dekat sebuah gundukan tanah yang masih baru.

"Hm...." Terdengar gumaman kecil dari mulutnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan tidak ingin kehadirannya di tengah kuburan malam-malam begini diketahui orang lain.

Saat itu terdengar suara lolongan anjing hutan di kejauhan. Begitu memilukan sekali suara lolongan anjing hutan itu.

Sementara orang berjubah hitam longgar itu mengangkat tangannya ke atas perlahan-lahan. Dan perlahan pula kepalanya terdongak ke atas, mengikuti gerakan kedua tangannya. Dari bayang-bayang kerudung hitam, terlihat bibirnya yang merah bergerak-gerak perlahan. Beberapa saat dia menengadahkan kepalanya dengan kedua tangan terangkat ke atas. Tampak asap tipis mengepul dari bawah telapak kakinya. Lalu, mendadak saja....

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja cepat sekali dia melompat tinggi ke udara. Lalu dengan deras pula dia meluruk turun dengan kaki tetap merapat lurus ke bawah. Tepat di atas kuburan yang tampaknya masih baru dia menghentakkan tangannya hingga merapat dengan tubuhnya. Dan seketika itu juga....

Bresss!

Tiba-tiba tubuhnya menembus kuburan yang masih baru! Begitu cepat sekali gerakannya, hingga sulit untuk diikuti dengan pandangan mata biasa. Tahu-tahu orang itu sudah lenyap, tenggelam ke dalam kuburan. Namun tak berapa lama kemudian...

Brulll! "Yeaaah...!"

Kembali terdengar teriakan keras menggelegar dari dalam lubang kuburan yang sudah menganga cukup lebar. Tampak asap tebal mengepul tinggi ke udara dari dalam kuburan itu. Bergulung-gulung bagaikan sebuah tiang penyangga langit.

"Ha ha ha...!"

Malam yang begitu sunyi, seketika pecah oleh suara tawa kering menggelegar. Bersamaan dengan suara tawanya, orang aneh berbaju serba hitam itu muncul dari dalam lubang kuburan. Cepat sekali dia melompat keluar, sambil memondong sesosok tubuh yang terbungkus, kain putih bernoda tanah merah.

Perlahan dia menurunkan mayat itu dari pondongannya. Seperti memperlakukan sebuah barang yang mudah pecah, diletakkannya mayat itu dengan hati-hati sekali di tanah yang berumput basah tersapu embun. Diamatinya sejenak mayat itu. Kemudian mulai dibukanya ikatan kain putih yang membungkus.

Hati-hati sekali dia melakukannya. Seakan tidak ingin merusak mayat itu. Hanya bagian kepalanya saja yang dibuka. Tampak seraut wajah cantik yang pucat terlihat begitu kain putih bernoda tanah sudah terbuka.

"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja dia tertawa terbahak-bahak. Beberapa saat diamatinya wajah cantik memucat kaku itu. Jari-jari tangannya yang kurus, sedikit bergetar saat meraba wajah wanita itu.

"Cantik.... Sungguh cantik sekali," gumamnya perlahan. "Sayang sekali kalau gadis secantikmu harus terbaring sendiri di dalam sana. Aku percaya, kau pasti akan berterima kasih padaku. Dan tak ada seorang pun yang akan menyakitimu lagi. Hhh...!"

Kemudian dibungkusnya kembali kepala mayat wanita itu, dan mengikatnya dengan rapi. Lalu, dia pun memondong mayat wanita itu. Kepalanya terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan-akan takut ada orang lain yang melihatnya. Dan suara tawanya yang tergelak kembali terdengar memecah kesunyian malam di kuburan ini.

"Ha ha ha...!"

Sambil tertawa terbahak-bahak, orang aneh itu melangkah cepat membawa sosok mayat yang diambilnya dari dalam kuburan. Begitu cepat dan ringan sekali ayunan kakinya, hingga dalam sebentar saja sudah jauh meninggalkan tanah kuburan. Suara tawanya yang lepas, masih terus berderai memecah kesunyian malam.

"Ha ha ha...!"

Tak ada seorang pun yang menyaksikan. Hanya rembulan di langit yang menyaksikan kejadian aneh dan mengerikan itu. Sementara suara tawa itu menghilang, bersamaan dengan tak terlihatnya lagi orang aneh yang masuk ke dalam kuburan, dan mengeluarkan mayat dari kuburan itu.

********************

"Tidaaak...!" jerit Kadik histeris.

"Kadik...!"

"Oh...?!" Kadik terlonjak dengan napas tersengal memburu. Keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Kedua bola matanya terbuka nyalang.

Sementara seorang perempuan setengah baya memperhatikan dengan wajah diliputi kecemasan.

"Hhhh...!" Kadik menghembuskan napas panjang beberapa kali.

"Kau bermimpi, Kadik?" Tanya perempuan setengah baya itu. Jelas sekali suaranya mengandung kecemasan melihat pemuda ini seperti baru saja bermimpi sesuatu yang sangat mengerikan.

Sementara Kadik masih berusaha mencoba menenangkan dirinya. Kembali dihembuskannya napas panjang beberapa kali. Kemudian tangannya menyambar kendi yang terletak di atas meja, di samping pembaringannya. Air bening di dalam kendi dari tanah liat itu langsung berpindah ke tenggorokan pemuda ini.

Sementara, perempuan setengah baya yang duduk di tepi pembaringan itu terus memperhatikan dengan sinar matanya diliputi kecemasan. "Kau baru saja bermimpi, Kadik?" Tanya perempuan itu lagi.

"Iya, Mak," sahut Kadik pelan.

"Mimpi apa?" Tanya perempuan setengah baya yang ternyata ibu pemuda ini. Dan semua orang di Desa Kranggan biasa memanggilnya dengan sebutan Mak Itik. Entah karena bentuk tubuhnya yang kecil dan gemuk, hingga dia mirip dengan seekor itik. Terlebih lagi kalau sedang berjalan. Hingga semua orang selalu memanggilnya Mak Itik.

"Entahlah, Mak," sahut Kadik lesu.

"Tapi kenapa kau berteriak begitu?" Tanya Mak Itik.

Kadik hanya diam saja.

"Apa yang ada dalam mimpimu, Kadik?" Mak Itik terus mendesak ingin tahu.

"Hanya mimpi saja, Mak," sahut Kadik mengelak, tidak ingin membicarakan mimpinya.

Mak Itik mengangkat bahunya sedikit. Dia tahu kalau anaknya ini tidak mau membicarakan mimpinya barusan.

Sedangkan Kadik hanya diam saja dengan pandangan menerawang jauh ke depan. Mungkin dia sedang mengingat-ingat kembali mimpinya. Mimpi yang begitu menakutkan, membuatnya berteriak di tengah malam buta begini. Dia tidak tahu, ada pertanda apa dengan mimpinya barusan. Membuat perasaannya jadi tidak enak.

"Tidurlah lagi, Kadik," kata Mak Itik lembut.

Kadik menurut. Dia kembali merebahkan tubuhnya di pembaringan dari bambu ini. Sementara ibunya menyelimuti dengan kain yang sudah lusuh dan hampir memudar warnanya. Sebentar perempuan gemuk dan kecil itu memperhatikan wajah anaknya ini, kemudian ia melangkah pergi meninggalkannya seorang diri. Kadik hanya melirik sedikit saja, pada ibunya yang menutup pintu kamar ini perlahan-lahan.

"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Kadik bangkit dari pembaringannya. Dia duduk di tepi pembaringan itu. Perlahan kemudian dia bangkit berdiri dan berjalan menuju ke meja kayu yang terletak di sudut kamar berukuran tidak besar ini. Dia berdiri disana dengan tangan terkepal, bertumpu pada pinggiran meja. Jelas sekali terbayang di pelupuk matanya. Mimpi yang sangat menakutkan. Dia bertemu dengan kekasihnya yang baru siang tadi dikuburkan. Kekasihnya bangkit, dan hendak membunuhnya. Begitu mengerikan sekali. Sedangkan dia dalam keadaan seluruh tubuh terikat akar-akar pohon.

"Uh...!" Kadik menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayang-bayang mimpi yang mengerikan itu dari pelupuk matanya. Tapi wajah kekasihnya masih terus melekat, dengan wajah yang pucat dan kaku. Sorot matanya begitu tajam memerah, memancarkan api kebencian dan nafsu membunuh.

Kadik sendiri tidak mengerti, mengapa dia mendapatkan mimpi seperti itu. Padahal dia tahu kalau kekasihnya itu begitu mencintainya. Dan mereka memang sudah merencanakan untuk ke jenjang yang lebih jauh lagi. Tapi sebelum rencananya terlaksana, musibah itu sudah datang menimpa. Kekasihnya ditemukan mati gantung diri di dalam kamar.

Tidak ada yang tahu, kenapa gadis itu sampai mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Tidak seorang pun menduga akan demikian. Gadis itu terkenal ramah pada siapa saja. Dan semua orang di Desa Kranggan ini tahu, kalau tidak lama lagi Kadik akan mempersunting gadis itu.

"Kadik...!"

"Oh...?!" Kadik tersentak kaget setengah mati, begitu ti-ba-tiba terdengar suara kering dari belakangnya. Cepat diputar tubuhnya berbalik. Kedua bola matanya langsung terbeliak lebar, begitu melihat seorang laki-laki tua berjubah hitam, tahu-tahu sudah berada di dalam kamarnya!

"Ki Jungut...," desis Kadik langsung mengenali. "Bagaimana kau bisa masuk ke sini...?"

Ki Jungut hanya tersenyum saja. Dia melangkah beberapa tindak mendekat. Seulas senyum terukir di bibirnya yang hampir tertutup kumis putih dan panjang, hingga menyatu dengan jenggotnya yang sudah memutih juga. Dia berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar empat langkah lagi didepan Kadik.

"Ada sesuatu yang ingin kuperlihatkan padamu," kata Ki Jungut.

"Apa?" Tanya Kadik.

"Sebaiknya kau jangan banyak tanya. Ikut saja denganku," sahut Ki Jungut.

鈥淭api...,"

"Kau akan tahu nanti, Kadik," selak Ki Jungut cepat, memutuskan ucapan anak muda ini.

Kadik ingin menolak, tapi belum juga dia bisa membuka suara, Ki Jungut sudah memegang pundaknya dengan tangan kanan. Seketika itu juga Kadik merasakan hawa sejuk menyelimuti seluruh tubuhnya. Kesadarannya pun langsung menghilang. Dia tidak mendengar suara apa pun juga. Hanya suara Ki Jungut saja yang terdengar telinganya.

"Ayo, ikut aku," ajak Ki Jungut.

"Baik, Ki."

Seperti ketika berada di kuburan, Kadik mengikuti laki-laki tua itu keluar dari kamarnya. Dia melangkah perlahan-lahan di belakang. Pintu-pintu yang mereka lewati terbuka sendiri tanpa disentuh sedikit pun. Tapi kesadaran Kadik memang sudah hilang, dan dia tidak memperhatikan sama sekali, ke mana laki-laki tua aneh itu mengajaknya pergi.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara dingin di luar tidak lagi dirasakan. Kadik terus berjalan mengikuti laki-laki tua berjubah hitam itu tanpa sadar. Dan dia benar-benar tidak mampu menolak.

********************

DUA

Kadik tidak tahu lagi, apa yang akan dikatakan begitu melihat kuburan kekasihnya sudah terbongkar. Bahkan jasad kekasihnya tidak ada lagi di dalam sana. Dia hanya bisa berdiri mematung, memandangi lubang kuburan itu. Sementara, angin yang berhembus kencang menyebarkan hawa dingin pun tidak bisa lagi dirasakan. Dia juga seperti lupa kalau di sampingnya ada seorang laki-laki tua yang justru membawanya ke kuburan ini.

"Keparat...! Siapa yang melakukan perbuatan biadab ini...?!" Desis Kadik geram.

"Si Iblis Penggali Kubur," sahut Ki Jungut datar.

Kadik langsung berpaling menatap laki-laki tua di sebelahnya. Sedangkan yang ditatap hanya mengarahkan pandangnya ke dalam kuburan yang berlubang. Perlahan wajahnya dipalingkan dan langsung bertemu sorot mata Kadik yang begitu tajam menusuk. Seakan-akan sorot mata itu hendak menembus relung hati laki-laki tua berjubah hitam ini.

"Akan kubunuh iblis keparat itu!" Geram Kadik mendesis bagai ular.

"Kau tidak akan mampu menghadapinya sendiri, Kadik. Dia bukan manusia sembarangan," sergah Ki Jungut tetap datar dan tenang nada suaranya.

"Aku tidak peduli. Tunjukkan di mana tempat tinggal iblis keparat itu," dengus Kadik.

"Untuk apa?"

"Akan kubunuh dia!"

Ki Jungut tersenyum seraya menggelengkan kepala beberapa kali. Ditepuk-tepuknya pundak pemuda itu dengan lembut sekali. Kemudian tubuhnya berputar berbalik, dan langsung melangkah perlahan.

Sementara, Kadik hanya memandangi saja beberapa saat. Kemudian kakinya pun diayunkan mengikuti laki-laki tua berjubah hitam itu. Sebentar saja Kadik sudah mensejajarkan ayunan kakinya di sebelah kanan Ki Jungut.

"Kau sudah tahu, siapa yang melakukan perbuatan biadab itu, Ki. Kenapa tidak kau cegah...?" Tanya Kadik, menyesalkan.

"Tidak mudah menghentikan Iblis Penggali Kubur, Kadik. Tingkat kepandaiannya sukar diukur. Bahkan kesaktiannya melebihi iblis-iblis dasar neraka," sahut Ki Jungut tetap datar dan tenang suaranya.

"Kau orang yang berilmu tinggi, Ki."

"Siapa bilang...? Aku bukan tandingannya."

"Tapi, kenapa kau memberitahu ku sebelumnya? Bahkan setelah kejadian ini pun, kau malah mengajakku ke sini. Apa sebenarnya tujuanmu, Ki?" Tanya Kadik jadi curiga.

Tapi Ki Jungut hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan pemuda itu. Sedikit pun tidak dijawabnya. Seakan-akan, pertanyaan Kadik tadi memang tidak memerlukan jawaban yang tepat darinya. Dan Kadik juga tidak mendesak agar pertanyaannya terjawab.

"Kalau kau mau mendengar kata-kataku siang tadi, hal seperti ini tidak akan mungkin terjadi," kata Ki Jungut, setelah beberapa saat lamanya terdiam.

Kadik jadi terdiam. Laki-laki tua ini, memang sudah memperingatkannya siang tadi. Tapi Kadik memang tidak mempercayainya. Kadik disarankan oleh Ki Jungut untuk menyerahkan Batu Mustika Biru kepada Iblis Penggali Kubur. Tapi, Kadik dengan tegas mengatakan kalau sama sekali tidak tahu batu itu. Padahal kalau batu itu tidak diserahkan mayat kekasihnya akan hilang dari kuburnya. Dan sekarang, semuanya sudah terbukti nyata. Mayat kekasihnya hilang dari kuburan nya sendiri. Kadik tidak tahu lagi, apa yang akan dilakukannya. Dia juga tidak kenal siapa orang yang melakukan perbuatan biadab itu, meskipun tadi Ki Junggut sudah menyebutkannya.

"Ki...," pelan sekali suara Kadik.

"Apa...?" gumam Ki Jungut perlahan.

"Bagaimana aku bisa mendapatkan mayat kekasihku lagi, Ki?" Tanya Kadik.

"Kau tidak akan bisa mendapatkannya kembali, Kadik," sahut Ki Jungut.

"Apa maksudmu, Ki?" agak tinggi nada suara Kadik.

"Nanti juga kau akan tahu," sahut Ki Jungut kalem.

Kadik ingin bertanya lagi, tapi Ki Jungut sudah melangkah cepat meninggalkannya. Terpaksa Kadik harus berlari kecil mengejar laki-laki tua ini, tapi tetap saja tidak terkejar. Kadik mempercepat larinya, namun laki-laki tua berjubah hitam itu tetap tidak terkejar. Dan ini membuat Kadik jadi keheranan. Larinya semakin dipercepat, bahkan sampai napasnya mendengus bagai kuda dipacu.

Sementara itu, Ki Jungut tetap berjalan biasa. Namun sulit untuk dikejar. Begitu ringan ayunan langkah kakinya, sehingga telapak kakinya bagai tidak menyentuh tanah sama sekali. Kadik baru tersentak menyadari, dan cepat menghentikan larinya. Keringat mengucur begitu deras, dan nafasnya tersengal memburu cepat. Matanya tidak berkedip memandangi Ki Jungut yang semakin jauh berjalan meninggalkannya.

"Ki...!" panggil Kadik, berteriak.

Tapi, Ki Jungut terus mengayunkan kakinya meninggalkan pemuda itu. Sedikit pun kepalanya tidak berpaling. Ayunan kakinya kelihatan begitu ringan dan perlahan, tapi cepat sekali sudah jauh meninggalkan pemuda ini.

"Ki, tunggu...!" teriak Kadik sekuat-kuatnya. Namun, suara pemuda itu hilang ditelan hembusan angin malam yang dingin. Kadik hanya bisa berdiri mematung memandangi, hingga laki-laki tua berjubah hitam itu menghilang dari pandangan mata.

Pemuda itu baru melangkah setelah menyadari hanya seorang diri di tempat yang begitu sunyi, tanpa seorang pun terlihat. Terlebih lagi, tidak jauh di belakangnya adalah kuburan, dan sekitarnya hanya pepohonan saja.

"Huh...!" Sambil mendengus kesal, Kadik terus berjalan cepat kembali ke Desa Kranggan. Tidak dipedulikan lagi laki-laki tua aneh berjubah hitam yang memperkenalkan dirinya sebagai Ki Jungut.

Namun tetap saja benaknya terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya Ki Jungut itu...? Lalu, apa maksudnya dengan mendatanginya?

Begitu banyak pertanyaan mengalir di benaknya, tapi tak satu pun yang bisa terjawab. Kadik terus mengayunkan kakinya dengan kepala berputar, dikelilingi segudang pertanyaan yang tidak terjawab.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Matahari sudah mulai menampakkan diri di ufuk Timur. Cahaya yang begitu lembut menerobos masuk ke dalam kamar Kadik, melalui jendela yang terbuka lebar. Tampak pemuda desa yang berwajah cukup tampan itu berdiri tegak didepan jendela kamarnya. Sejak semalam Kadik berdiri di sana, memandang keluar. Entah, apa yang ada di dalam kepalanya saat ini.

"Aneh..," tiba-tiba saja Kadik mendesah perlahan.

Dan terlihat kepalanya bergerak menggeleng pelan beberapa kali. Tarikan nafasnya begitu panjang dan terasa amat berat. Beberapa kali mulutnya mendesah sambil menghembuskan napas panjang, tapi tanpa beranjak dari jendela itu. Dan pandangannya terus tertuju ke satu arah, tempat kuburan kekasihnya semalam terbongkar. Dan itu semua terjadi setelah mendapat peringatan dari orang tua yang aneh. Dari laki-laki tua itulah dia tahu kalau kuburan kekasihnya sudah terbongkar semalam.

"Biadab...! Aku harus mencari Iblis Penggali Kubur keparat itu!" desis Kadik geram.

Suaranya masih tetap terdengar perlahan, dan hampir tidak terdengar telinganya sendiri. Kedua tangan Kadik terkepal erat, membuat urat-uratnya bersembulan. Wajahnya terlihat memerah, menandakan kemarahannya sudah mencapai titik puncak.

Dan tiba-tiba saja, pemuda itu melompat keluar dari dalam kamarnya, melalui jendela yang terbuka lebar. Dan dia langsung berlari sekuat tenaga menuju ke arah kuburan yang berada agak jauh dari pinggiran Desa Kranggan ini. Kadik terus berlari cepat, tidak mempedulikan nafasnya yang sudah tersengal memburu.

Dia juga tidak peduli pada orang-orang yang memandanginya, dan beberapa orang yang menegurnya. Kadik terus berlari secepat-cepatnya menuju ke kuburan. Kadik baru menghentikan larinya setelah sampai di dekat kuburan kekasihnya. Saat itu juga, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Hampir-hampir pandangan matanya sendiri tidak dipercayainya.

"Oh...." Kadik hanya mampu mendesah perlahan. Sedangkan tubuhnya terasa jadi begitu lemas, bagai tak memiliki tenaga dan tulang. Pemuda itu jatuh berlutut, tepat di samping kuburan kekasihnya. Kedua bola matanya berputaran, memancarkan sesuatu yang sulit diterka.

Kuburan yang semalam dilihatnya terbongkar, kini seperti saat kekasihnya dikuburkan di sini. Sedikit pun tidak ada yang berubah. Apalagi terbongkar. Kuburan ini benar-benar masih utuh, tanpa cacat sedikit pun. Dan inilah yang membuat Kadik jadi terlenguh, dengan tubuh terasa begitu lemas.

Kadik jadi benar-benar tidak mengerti dengan semua yang telah terjadi. Seakan-akan, semuanya seperti sebuah mimpi yang teramat buruk dalam hidupnya. Sulit baginya untuk membedakan, apakah ini hanya sebuah mimpi atau benar-benar sebuah kenyataan yang sangat aneh dan sulit diterima akal pikiran manusia biasa.

"Aneh...? Kenapa kuburan ini tidak terbongkar...?" desah Kadik bertanya sendiri dalam hati.

Begitu banyak pertanyaan berkecamuk di dalam kepalanya, tapi tak ada satu pun yang terjawab. Dan rasa aneh pun terus menyelimuti hatinya. Dia benar-benar tidak mengerti terhadap semua yang telah terjadi. Dan dia begitu yakin kalau ini bukan hanya sekadar mimpi belaka, dan benar-benar suatu kenyataan. Tapi, Kenyataan yang begitu aneh dan sulit diterima akal manusia biasa.

"Oh...?!" Tiba-tiba Kadik tersentak, ketika tanpa sengaja tangannya menyentuh nisan yang terbuat dari belahan papan. Nisan itu bergoyang, dan langsung roboh seketika. Dan pada saat itu, gundukan tanah merah langsung melesak masuk ke dalam. Seketika Kadik langsung terlompat kaget setengah mati.

Wusss...!
"Hah...?!"

Kedua bola mata Kadik jadi terbeliak lebar, begitu tiba-tiba dari dalam kuburan yang kini berlubang mengepul asap putih yang begitu tebal bergulung-gulung ke atas. Dan pada saat itu juga, bumi terasa bergetar bagai diguncang gempa. Kembali Kadik terlompat ke belakang beberapa langkah. Kedua bola matanya masih terbeliak lebar, memandangi asap putih yang semakin lama semakin banyak menggumpal bagai awan di langit.

Tampak tanah kuburan yang melesak masuk ke dalam itu perlahan-lahan bergerak merapat kembali, seperti tidak pernah digali. Dan asap putih yang menggumpal tebal itu pun perlahan-lahan mulai menyebar, tertiup angin. Hingga akhirnya asap itu sirna sama sekali, menyatu dengan hembusan angin. Saat itu juga, Kadik jadi terlongong bengong seperti kerbau kehabisan rumput.

"Dewata Yang Agung.... Rengganis...," desis Kadik mendesah tanpa sadar.

Di atas tanah kuburan yang sudah rata kembali, kini terlihat seorang gadis yang begitu cantik berdiri tegak di sana. Namun, garis-garis wajahnya begitu kaku dan pucat sekali. Dan sorot matanya sangat datar, tanpa sedikit pun terlihat cahaya kehidupan. Dan bibirnya yang pucat membiru terkatup rapat.

Sementara Kadik semakin terpaku diam, dengan mulut ternganga dan mata terbuka lebar memandangi gadis yang begitu dikenal dan dicintainya selama ini. Sungguh tidak bisa dipercaya penglihatannya sendiri. Kali ini gadis yang begitu dicintai dan sudah meninggal kemarin, kini berdiri tegak di depannya.

"Rengganis...," desis Kadik hampir tidak terdengar suaranya.

"Hesss...."

Tiba-tiba saja gadis yang dikenali Kadik sebagai Rengganis, mendesis bagai ular. Dan ini membuat Kadik jadi terkesiap kaget setengah mati. Tanpa sadar, kakinya melangkah ke belakang beberapa tindak.

Sementara itu, Rengganis sudah bergerak melangkah kaku menghampiri. Sorot matanya yang kosong, tertuju lurus ke bola mata pemuda itu. Suara mendesis bagai ular terus terdengar dari bibirnya yang pucat membiru dan terkatup rapat.

"Hrsss...!"

Saat bibirnya bergerak menyeringai, terlihat baris-baris giginya yang runcing dan bertaring tajam. Seketika, wajah Kadik jadi memucat, dan tubuhnya menggeletar bagai terserang demam yang begitu tinggi. Seketika, kakinya terasa berat dan sulit untuk digerakkan lagi.

Sementara Rengganis terus bergerak melangkah, semakin mendekati pemuda itu. Perlahan-lahan kedua tangan gadis itu terangkat, dan menjulur lurus ke depan. Tampak ujung-ujung jari tangannya yang berkuku tajam dan hitam terkembang lebar, siap mencekik leher Kadik. Suara mendesis terus terdengar dari bibirnya yang menyeringai mengerikan.

"Akh...!" Kadik hanya mampu terpekik, begitu ujung-ujung kuku yang runcing terasa mulai menyentuh batang lehernya. Seluruh rubuh pemuda itu semakin keras menggeletar dan bersimbah keringat. Dan dia tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Kuku-kuku yang runcing hitam itu terus bergerak, menembus kulit leher pemuda ini. Namun belum juga kuku-kuku yang hitam runcing itu menembus lebih dalam lagi, ke leher Kadik, mendadak saja...

Slap!

Sebuah bayangan hitam tiba-tiba berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat. Dan...

Plak! "Argkh...!"

Rengganis terpekik agak tertahan, dan tubuhnya seketika terpental ke belakang. Akibatnya, cengkeramannya pada leher Kadik terlepas. Saat itu juga, Kadik terjatuh duduk dengan seluruh tubuh lemas bersimbah keringat. Pandangannya sudah nanar, namun masih bisa melihat kalau di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki tua mengenakan baju jubah panjang berwarna hitam.

"Ki Jungut...," desah Kadik langsung mengenali.

"Menyingkirlah, Kadik," datar dan tegas suara Ki Jungut.

Sementara itu Rengganis sudah bisa bangkit berdiri setelah jatuh terguling beberapa kali, akibat terkena terjangan Ki Jungut yang begitu cepat bagai kilat tadi. Dia menggereng sedikit seperti seekor harimau yang kelaparan melihat anak domba.

Kadik berusaha bergerak menggeser tubuhnya menjauhi tempat itu. Sedikit demi sedikit, pemuda itu mulai menjauh, dan baru berhenti setelah sampai di bawah pohon yang cukup rindang.

Sementara, Ki Jungut melangkah beberapa tindak ke depan, mendekati gadis cantik berwajah pucat dan kaku itu. Bau amis dan suara mendesis terus terasa, setiap kali Ki Jungut mendekati gadis itu.

********************

Bagaikan kilat, Rengganis melompat begitu cepat menerjang Ki Jungut. Namun dengan gerakan manis sekali, laki-laki tua berjubah hitam itu berhasil mengelakkan terjangan gadis yang sebenarnya sudah mati ini.

"Yeaaah...!"

Dengan tubuh setengah berputar, Ki Jungut melepaskan satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Ki Jungut, sehingga Rengganis tidak dapat lagi berkelit. Akibatnya, tendangan itu tepat menghantam dadanya yang membusung indah dengan keras sekali.

"Aaargkh...!"

Rengganis meraung dahsyat seperti seekor binatang buas terluka. Tubuhnya terpental jauh ke belakang. Bahkan beberapa batang pohon yang terlanda tubuhnya langsung hancur berkeping-keping. Setelah menghancurkan beberapa pohon, gadis itu baru berhenti, meluncur. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah. Namun begitu, cepat sekali dia bisa bangkit berdiri.

"Ghrrr...!"

Sambil menggerung dahsyat, gadis itu melangkah menghampiri Ki Jungut yang sudah siap bertarung. Tampak kedua bola matanya memerah, bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh laki-laki tua berjubah hitam itu.

Sementara, Kadik yang berada jauh dari tempat pertarungan itu terus memperhatikan dengan mata tidak berkedip. Sinar matanya masih memancarkan ketidakpercayaan kalau gadis itu adalah Rengganis. Gadis yang sangat dicintai, tapi sudah meninggal sejak kemarin. Bahkan kuburannya pun masih ada, walaupun kini sudah rata tak berbentuk lagi.

"Ghraaagkh...!"

Sambil meraung dahsyat yang menggetarkan jantung, Rengganis kembali melompat begitu cepat menyerang Ki Jungut. Kedua tangannya cepat dikibaskan, membuat Ki Jungut terpaksa harus meliuk-liukkan tubuhnya. Kebutan-kebutan tangan yang begitu cepat bagai sepasang cakar elang yang hendak mengoyak tubuhnya, bisa dihindarinya.

"Hup! Yeaaah...!"

Begitu memiliki kesempatan, Ki Jungut cepat melenting ke udara. Dan secepat itu pula, dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun, tendangan yang mengarah ke kepala itu dapat dihindari Rengganis dengan hanya mengegos sedikit saja.

"Ghraaagkh...!"

Tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba saja Rengganis melepaskan satu pukulan cepat menggeledek ke arah lambung Ki Jungut, sambil melompat ke udara mengejar. Begitu cepat serangannya, hingga Ki Jungut tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Begkh! "Akh...!"

Ki Jungut terpental jauh ke belakang disertai pekikan keras tertahan. Pukulan yang dilepaskan Rengganis tepat menghantam lambungnya, sehingga membuatnya terbanting ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Saat itu juga, Rengganis meluruk deras ke arahnya, dengan kedua tangan terentang lurus dan jari-jari terbuka lebar seperti sepasang cakar elang hendak menerkam mangsa.

"Ikh...!" Ki Jungut cepat-cepat melenting. Tapi belum juga bisa menghindar jauh, mendadak saja Rengganis sudah mengebutkan tangan kanannya dengan kecepatan tinggi sekali.

Bret! "Akh...!"

Untuk kedua kalinya, Ki Jungut terpekik. Tampak darah muncrat keluar dengan deras dari bahu kirinya yang tercabik kuku-kuku jari tangan kanan Rengganis yang begitu runcing dan hitam bagai mata pisau. Ki Jungut terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah sambil mendekap bahunya yang berlumuran darah. Dan sebelum laki-laki tua itu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Rengganis sudah kembali menyerang cepat bagai kilat. Satu pukulan keras menggeledek yang begitu dahsyat langsung dilepaskan.

Sementara, Ki Jungut masih belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Hingga....

"Ghraaagkh...!"
"Oh!"
Prak!
"Aaakh...!"

Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat. Tampak Ki Jungut terhuyung-huyung limbung sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya. Darah berhamburan deras keluar dari kepala yang retak terkena pukulan dahsyat menggeledek tadi.

"Ghraaagkh...!"

Saat itu, Rengganis sudah kembali melompat sambil menggerung dahsyat bagai binatang buas. Dan begitu cepat tangan kanannya menyodok ke depan tepat mengarah ke bagian tengah dada Ki Jungut. Saat itu, Ki Jungut benar-benar tidak dapat lagi menghindar.

Bresss!
"Aaa...!"

Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi yang begitu menyayat. Tampak tangan kanan Rengganis tenggelam masuk ke dalam dada laki-laki tua berjubah hitam itu, hingga sampai ke sikunya. Bahkan jari-jari tangannya menembus hingga ke punggung. Sambil melompat, Rengganis tahu-tahu melepaskan satu tendangan keras ke tubuh Ki Jungut.

Begkh!

Bersamaan terpentalnya laki-laki tua berjubah hitam itu ke belakang, tangan Rengganis pun tercabut dari dalam dada. Begitu keras tendangannya, sehingga sebongkah batu yang terlanda tubuh Ki Jungut hancur berkeping-keping seketika. Hanya sebentar saja Ki Jungut masih mampu menggeliat, kemudian tubuh tua itu diam tak bergerak-gerak lagi sedikit pun juga. Mati!

"Hik hik hik...!"

TIGA

Kadik yang menyaksikan kekejaman itu kontan terhenyak. Dia hanya mampu berdiri terpaku seperti patung, memandangi tubuh Ki Jungut yang menggeletak dengan kepala hancur, serta dada dan punggung berlubang berlumuran darah.

Sementara, Rengganis tertawa terkikik melihat lawannya dapat dikalahkan dengan mudah. Namun, sebentar kemudian suara tawanya terhenti. Dan kini, sorot matanya langsung tertuju pada Kadik yang berada agak jauh darinya. Saat itu juga, seluruh tubuh Kadik jadi bergidik menggigil seperti kedinginan. Rasa cintanya pada gadis itu kontan pudar, dan berubah menjadi ketakutan begitu melihat kekejaman kekasihnya.

"Tolooong...!"

Tiba-tiba saja Kadik menjerit keras sambil berlari sekencang-kencangnya. Sementara, dari arah belakang terdengar suara tawa mengikik yang begitu mengerikan. Kadik terus berlari kencang sambil berteriak-teriak meminta tolong. Dan suara tawa itu terus terdengar, seakan-akan mengikutinya dari belakang.

"Tolooong...!"

Tapi belum juga Kadik berlari jauh dari kuburan itu, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam memotong arah larinya. Dan tahu-tahu, didepan pemuda itu sudah berdiri seseorang berbaju jubah panjang berwarna hitam yang kotor berlumur tanah lumpur.

"Okh...?!" Kadik jadi terhenyak, dan cepat menghentikan larinya. Seluruh wajah dan tubuhnya sudah basah bersimbah keringat. Kedua matanya terbeliak lebar, memandangi orang yang tahu-tahu sudah ada di depannya. Hanya saja wajahnya, sulit dilihat, karena tertutup kain kerudung lusuh berwarna hitam, yang bagian atas kepalanya berbentuk runcing.

"Hik hik hik...!"

"Okh...?!" Kembali Kadik tersedak, begitu mendengar suara tawa terkikik dari belakangnya. Dan begitu berpaling, jantungnya seakan-akan langsung copot seketika. Dekat di belakangnya, sudah ada Rengganis yang tertawa mengikik memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam. Lemas seluruh tubuh Kadik. Dan tiba-tiba saja, dia terkulai dan terjatuh menggeletak di tanah.

"Ohhh...." Pandangan pemuda itu pun langsung mengabur berkunang-kunang. Kepalanya terasa berat. Dan tak lama kemudian, pemuda itu tak sadarkan diri. Bahkan sudah tidak mendengar suara sedikit pun juga. Entah apa yang terjadi, Kadik tidak tahu lagi. Tapi telinganya sempat mendengar dua suara tawa terkikik saling sambut di sekitarnya, sebelum kesadarannya benar-benar lenyap.

********************

"Oh...?!" Kadik tersentak bangun, begitu kesadarannya kembali pulih. Tapi belum juga bisa mengangkat tubuhnya, terasa sebuah tangan lembut telah menekan dadanya. Dan hal ini membuatnya harus kembali merebahkan tubuh. Sebentar matanya dipejamkan, kemudian perlahan-lahan dibuka kembali. Hanya sebentar saja pandangannya mengabur, dan perlahan-lahan kembali bisa melihat jelas. Tampak seraut wajah yang cantik berada dekat dengannya.

"Jangan bergerak dulu. Kau masih lemah," terdengar lembut sekali suara wanita cantik yang mengenakan baju biru muda itu.

Kadik kembali memejamkan matanya beberapa saat. Kembali terbayang peristiwa mengerikan yang dialaminya, hingga jatuh pingsan. Entah sudah berapa lama dia tidak sadarkan diri. tapi yang jelas, sekarang ini hari sudah malam. Dan tubuhnya terasa hangat oleh jilatan cahaya api yang mengusir udara dingin angin malam. Kadik kembali membuka matanya. Dan seraut wajah cantik masih berada dekat di sebelah kanan. Namun, sekarang dia melihat wajah tampan di samping wajah cantik itu.

"Di mana ini?" Tanya Kadik dengan suara lemah.

"Di hutan, tidak jauh dari Desa Kranggan," sahut gadis cantik berbaju biru muda itu lembut.

"Siapa kalian?" Tanya Kadik lagi. Masih dengan suara lemah.

"Aku Pandan Wangi, dan ini Kakang Rangga," sahut Gadis cantik itu memperkenalkan diri.

"Ahhh...," Kadik mendesah perlahan. Begitu panjang desahannya. Perlahan Kadik menggerakkan tubuhnya, mencoba duduk. Kali ini tidak ada yang mencegah. Dan dia bisa duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup besar.

Sementara, tidak jauh di sebelah kirinya api menyala cukup besar menghangatkan sekitarnya. Di depannya duduk gadis cantik dan seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang tadi mengenalkan diri bernama Pandan Wangi dan Rangga. Dan memang, mereka adalah Pandan Wangi dan Rangga, dua orang pendekar muda yang di kalangan rimba persilatan lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka juga dikenal sebagai pendekar muda dari Karang Setra.

"Kami menemukanmu tergeletak di pinggiran hutan. Sepertinya, kau baru saja mengalami peristiwa yang begitu berat, hingga tidak sadarkan diri," kata Rangga dengan nada suara lembut.

Kadik terdiam tidak menjawab kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Kembali ingatannya terbayang peristiwa mengerikan yang telah dialami siang tadi. Begitu mengerikan, hingga jatuh pingsan. Sulit bagi Kadik untuk bisa membayangkan peristiwa itu. Tubuhnya jadi bergidik menggigil setiap kali teringat kekasihnya bangkit kembali dari kubur, lalu membunuh Ki Jungut dengan sangat keji!

"Boleh tahu, siapa namamu, Kisanak...?" pinta Rangga sopan.

"Kadik," sahut Kadik menyebutkan namanya. Suara pemuda itu terdengar begitu pelan, hingga hampir saja tidak terdengar telinga Rangga dan Pandan Wangi.

Perlahan Kadik mengangkat kepalanya, dan langsung menatap kedua pendekar muda di depannya. Tampak wajahnya masih terlihat pucat. Memang berat peristiwa, yang baru dialaminya. Dan itu merupakan peristiwa pertama di dalam hidupnya. Ia benar-benar belum pernah melihat pembunuh yang begitu keji dengan mata kepalanya sendiri. Terlebih lagi, pembunuhan itu dilakukan kekasihnya yang bangkit dari kuburnya.

"Kau pingsan cukup lama juga tadi," jelas Rangga.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap Kadik.

Rangga Hanya tersenyum saja.

"Kau berasal dari Desa Kranggan?" Tanya Pandan Wangi menyelak.

Kadik mengangguk.

"Kenapa bisa tidak sadarkan diri tadi?" Tanya Pandan Wangi lagi.

Kadik terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaan gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu. Dipandanginya Pandan Wangi beberapa saat, kemudian beralih pada Pendekar Rajawali Sakti yang duduk bersila di samping gadis cantik berbaju biru muda ini. Terdengar tarikan nafasnya yang begitu panjang dan terasa berat.

"Mengerikan sekali...," desah Kadik disertai hembusan napas panjang.

"Mengerikan...? Apa yang terjadi, Kisanak?" Tanya Pandan Wangi jadi ingin tahu.

Kadik menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. Kembali ditariknya napas panjang-panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan, dia ingin melonggarkan rongga dadanya yang tiba-tiba saja jadi terasa begitu sesak, bagai dihimpit sebongkah batu teramat besar dan berat.

Kemudian, Kadik mulai menceritakan semua peristiwa aneh dan mengerikan yang dialaminya. Semua diceritakannya dengan jelas dan perlahan-lahan. Suaranya pun terdengar begitu pelan, hingga Rangga dan Pandan Wangi terpaksa menajamkan pendengarannya.

Kedua Pendekar muda dari Karang Setra itu jadi terdiam membisu setelah mendengar cerita yang dialami Kadik, hingga sampai pingsan cukup lama begitu. Mereka saling berpandangan beberapa saat, kemudian kembali memandang Kadik yang sudah menyelesaikan cerita pengalaman mengerikannya.

Dan untuk beberapa lama, mereka semua terdiam tak seorang pun yang berbicara. Begitu sunyi, hingga desir angin yang menyebarkan hawa dingin begitu terasa mengusik gendang telinga. Suara gerit serangga malam pun terdengar bagai nyanyian alam yang memberi peringatan akan bahaya yang bisa saja muncul setiap saat.

"Kau ingin pulang ke desamu?" Rangga menawarkan dengan sikap ramah.

"Entahlah...," sahut Kadik mendesah panjang.

"Kalau begitu, beristirahatlah di sini. Besok pagi kau bisa kembali ke desamu," kata Rangga lagi.

"Terima kasih," ucap Kadik lagi.

Rangga hanya tersenyum saja, kemudian menepuk pundak pemuda desa itu dengan penuh rasa persahabatan. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dan melangkah mendekati api unggun, dan duduk dekat api yang masih menyala cukup besar.

Sementara Pandan Wangi masih tetap duduk didepan Kadik yang juga tetap duduk bersandar pada sebatang pohon. Dan Rangga tampak sudah asyik dengan kelinci panggangannya. Tidak dipedulikan lagi, apa yang dibicarakan Pandan Wangi dan Kadik. Pendekar Rajawali Sakti terus menikmati daging kelinci panggangannya.

********************

Pagi-pagi sekali, Kadik baru kembali ke Desa Kranggan. Rangga dan Pandan Wangi yang diminta mengantar, tidak menolak sedikit pun. Mereka ke Desa Kranggan mengikuti jalan yang ditunjukkan Kadik. Namun, mereka tidak melalui jalan yang biasa ditempuh orang, melainkan menerobos melewati tepian hutan dan perkebunan. Hingga akhirnya, mereka tiba di rumah Kadik. Tapi, keadaan di rumah itu tampak sepi sekali seperti sudah tidak lagi ditempati.

"Kau tinggal sendiri di sini, Kadik?" Tanya Rangga, melihat keadaan rumah ini begitu sunyi.

"Ada emak ku," sahut Kadik.

Kadik membawa kedua pendekar muda itu melalui jalan samping, dan terus ke belakang. Dibukanya pintu belakang yang tidak terkunci, lalu dimintanya agar Rangga dan Pandan Wangi mengikuti. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah ini dari belakang, dan terus menuju ke depan. Kadik baru membuka pintu depan setelah mempersilakan Rangga dan Pandan Wangi duduk di ruangan depan yang tidak begitu besar ukurannya.

"Maaak...!" teriak Kadik memanggil ibunya. Tapi, tak ada seorang pun yang menyahuti. Kadik terus berteriak-teriak sambil mencari ke setiap kamar yang ada di rumah ini. Namun, tetap saja dia tidak menjumpai ibunya.

Sementara, Rangga dan Pandan Wangi saling melempar pandang. Mereka bersamaan bangkit berdiri begitu Kadik muncul dari dalam sebuah kamar yang berhubungan langsung dengan ruangan depan ini.

"Tidak biasanya Emak ku pergi," kata Kadik, tidak dapat lagi menyembunyikan kecemasannya.

"Mungkin ke rumah tetangga," kata Pandan Wangi.

"Tidak. Emak tidak pernah pergi, kecuali ke ladang di belakang rumah," bantah Kadik.

Kembali Pandan Wangi dan Rangga saling berpandangan. Sedangkan Kadik terlihat begitu cemas, karena tidak menjumpai ibunya. Pemuda itu menghempaskan lemas tubuhnya ke kursi, sambil menghembuskan napas cukup panjang. Pandan Wangi mendekati. Diseretnya kursi kayu ke dekat pemuda itu, lalu duduk disana. Di saat mereka semua tengah kebingungan, tiba-tiba saja...

Wusss!

"Awas...!" seru Rangga. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengebutkan tangan kanannya, ketika tiba-tiba melihat secercah cahaya kilat melesat masuk dari jendela. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya tepat di samping Pandan Wangi lagi.

"Apa itu, Kakang?" Tanya Pandan Wangi sambil menunjuk kepalan tangan Rangga.

"Panah," sahut Rangga sambil menunjukkan benda yang berhasil ditangkapnya. Di dalam genggaman tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti memang terdapat sebatang anak panah berwarna keperakan.

"Ada suratnya, Kakang," kata Pandan Wangi.

Saat itu, Rangga memang sedang membuka ikatan selembar daun lontar pada bagian tengah batang anak panah. Hanya selembar daun lontar kering yang terdapat sebaris kalimat, dan ditulis dengan darah yang sudah mengering. Rangga langsung menyerahkan lembaran daun lontar itu pada Kadik.

"Oh...." Kadik terkulai lemas setelah membaca sebaris kalimat pada daun lontar itu. Seluruh tubuhnya seperti tidak lagi memiliki tulang. Begitu lemas dan tak bertenaga, sehingga langsung terjatuh duduk di kursinya lagi. Sedangkan lembaran daun lontar itu tergenggam erat di tangannya.

"Apa isinya, Kakang?" Tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Ancaman," sahut Rangga singkat.

"Ancaman...?"

"Kadik harus menyerahkan Cupu yang berisi Batu Mustika Biru, kalau ibunya ingin kembali dengan selamat," sahut Rangga menjelaskan dengan singkat.

Pandan Wangi langsung terdiam. Mereka memandang Kadik yang masih terduduk lemas di kursi kayu. Pandangan pemuda itu terlihat kosong, dan lurus ke depan. Seakan-akan tidak lagi memiliki gairah hidup. Lembaran daun lontar berisi ancaman itu kini tergeletak di samping kakinya.

"Aku tidak tahu, apa yang diinginkannya. Kenapa dia menyangka aku menyimpan benda terkutuk itu...?" Desah Kadik lirih.

"Kelihatannya kau punya persoalan yang tidak kecil, Kadik. Kalau boleh tahu, persoalan apa yang sedang kau hadapi," ujar Rangga ingin membantu.

"Aku tidak tahu...," sahut Kadik lesu.

"Siapa orang yang mengirim ancaman itu, Kadik?" Tanya Pandan Wangi.

Kadik hanya menggelengkan kepalanya. Memang, di dalam lembaran surat ancaman daun lontar itu tidak disebutkan pengirimnya. Di situ hanya tertulis kalau Kadik harus menyerahkan Cupu yang berisi Batu Mustika Biru kalau ibunya ingin kembali dengan selamat. Tidak ada penjelasan lain.

Dan inilah yang membuat Kadik jadi tidak mengerti. Terlebih lagi, Rangga dan Pandan Wangi yang memang tidak mengetahui persoalan yang sedang dihadapi pemuda Desa Kranggan itu.

"Apa ini ada hubungannya dengan si Iblis Penggali Kubur yang membangkitkan kekasihmu dari kuburnya, Kadik?" Tanya Pandan Wangi lagi.

Lagi-lagi Kadik hanya menggelengkan kepala saja, kemudian mendesah perlahan. Dia sama sekali tidak tahu semua peristiwa yang dialaminya. Apalagi untuk bisa menghubungkan Iblis Penggali Kubur dengan surat ancaman dan Cupu Batu Mustika Biru. Sedangkan dia sendiri memang merasa tidak memiliki benda yang dianggapnya sebagai biang keonaran itu. Entah apa, sehingga benda yang belum pernah dilihatnya itu selalu menimbulkan bencana bagi semua orang.

"Aku benar-benar tidak tahu. Bahkan aku sendiri belum pernah melihat Cupu Batu Mustika Biru," tegas Kadik perlahan, seakan-akan bicara untuk diri sendiri.

"Tapi kau sudah tahu benda itu, bukan?" desak Pandan Wangi.

"Ya," sahut Kadik pelan, seraya menganggukkan kepala.

Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Memang aneh kalau Kadik mengatakan tidak tahu apa-apa tentang Cupu Batu Mustika Biru, padahal juga mengetahuinya. Bahkan mengatakan kalau itu adalah benda keparat yang selalu menimbulkan malapetaka. Apa yang dikatakan Kadik membuat kedua pendekar muda dari Karang Setra itu jadi bingung setengah mati.

"Kadik! Kau mengatakan belum pernah melihatnya. Dan tidak tahu apa-apa tentang benda itu. Tapi, kau mengatakan kalau benda itu membuat keonaran. Bagaimana ini, Kadik...?" Rangga meminta penjelasan.

"Aku memang belum pernah melihatnya, tapi pernah mendengar tentang Cupu Batu Mustika Biru itu," sahut Kadik mencoba menjelaskan.

"Kau hanya mendengar...?" selak Pandan Wangi tidak percaya.

Kadik hanya diam saja. Kepalanya tertunduk, menekuri ujung jari kakinya. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi terus memandangi. Mereka merasa yakin kalau pemuda Desa Kranggan ini menyembunyikan sesuatu yang terasa berat untuk diungkapkan. Dan mereka jadi terdiam untuk waktu yang cukup lama.

Rangga kemudian melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar. Matanya memandang keluar, merayapi keadaan jalan yang kelihatan sunyi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat melintasi jalan itu. Terasa begitu sunyi desa ini. Padahal, Desa Kranggan termasuk sebuah desa besar. Tapi, keadaannya yang begitu sunyi membuat Rangga menduga kalau telah terjadi sesuatu di desa ini.

"Coba jelaskan, apa saja yang kau ketahui tentang Cupu Batu Mustika Biru itu," ujar Rangga meminta, seraya membalikkan tubuhnya membelakangi jendela.

"Dulu aku pernah mendengar, memang ada ribut-ribut tentang Cupu Batu Mustika Biru. Tapi, itu sudah lama. Tepatnya ketika aku masih berusia sekitar lima tahun. Dan yang kudengar, cupu itu ada pada ayahku. Entah benar, atau tidak. Tapi setelah ayahku terbunuh, cupu itu juga menghilang entah ke mana. Malah, tidak ada lagi orang yang membicarakan atau memperebutkannya. Semua orang sudah melupakannya," kata Kadik mencoba menjelaskan dengan singkat.

"Ayahmu seorang pendekar?" selak Pandan Wangi.

"Panglima pertama kerajaan," sahut Kadik dengan suara bernada bangga.

Rangga dan Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepala. Pantas saja Kadik tidak seperti pemuda desa lainnya. Ternyata, dia seorang putra bekas panglima pertama kerajaan. Dan itu, berarti dalam tubuhnya mengalir darah kebangsawanan. Tapi anehnya, Kadik tidak memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan sedikit pun juga.

"Sayang, ibuku tidak mengizinkan aku mempelajari ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Dan aku sendiri sebenarnya memang tidak pernah tertarik untuk mempelajarinya. Aku lebih tertarik mempelajari ilmu-ilmu sastra dan sejarah," kata Kadik, seperti mengetahui isi kepala kedua pendekar muda itu.

Rangga dan Pandan Wangi masih tetap diam dengan kepala terangguk-angguk. Memang, mereka melihat kalau pemuda ini tidak memiliki kepandaian sedikit pun juga. Bahkan bisa dikatakan sebagai pemuda lemah. Dan itu memang sudah menjadi kebiasaan para pemuda bangsawan, yang biasanya selalu mengandalkan para pengawal. Tapi, tidak sedikit pun terlihat adanya keangkuhan pada diri Kadik. Atau mungkin, pemuda ini sudah terbiasa hidup di desa, sehingga tidak lagi terlihat kalau keturunan bangsawan.

"Aku hanya mempelajari sedikit pengerahan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. Hanya itu saja. Itu pun hanya sedikit sekali," sambung Kadik.

"Baiklah, Kadik. Kami akan mencoba membantumu. Mudah mudahan ibumu masih bisa diselamatkan," hibur Rangga sambil menepuk pundak pemuda itu dengan lembut dan penuh rasa persahabatan.

"Terima kasih," ucap Kadik perlahan.

Rangga hanya tersenyum saja, kemudian menghempaskan tubuhnya perlahan di kursi kayu sambil menghembuskan napas panjang.

"Akan ku siapkan makan untuk kalian," kata Pandan Wangi.

"Semua ada di belakang. Kalau butuh sayuran, ambil saja di kebun belakang," jelas Kadik.

"Kau bisa membantuku, Kadik?" pinta Pandan Wangi.

"Tentu saja," sahut Kadik cepat.

"Buatkan masakan yang enak. Aku ingin istirahat sebentar," selak Rangga.

"Huuu...!" Pandan Wangi mencibir.

Rangga hanya tersenyum saja. Sementara, Kadik sudah menghilang lebih dulu ke bagian belakang rumahnya yang cukup besar ini. Pandan Wangi bergegas menyusul pemuda itu. Sedangkan Rangga sudah memejamkan matanya sambil mengatur jalan pernapasan. Bagi seorang pendekar seperti Rangga, waktu yang sedikit sangat berguna untuk mengatur pernapasan dan meningkatkan kemampuan pengerahan tenaga dalam.

EMPAT

Malam ini udara di sekitar Desa Kranggan begitu dingin. Angin bertiup kencang, membuat daun-daun berguguran dan terhempas di tanah. Langit tampak menghitam kelam, tertutup awan hitam yang menggumpal bergulung-gulung menutupi cahaya rembulan dan bintang. Sesekali terlihat kilatan cahaya di langit yang disusul terdengarnya ledakan guntur bagai hendak memecahkan seluruh alam raya ini.

Tak ada seorang pun terlihat di luar. Jalan-jalan di seluruh Desa Kranggan satu pun tidak terlihat manusia berjalan. Begitu sunyi keadaannya, hingga deru angin yang begitu kencang terdengar bagai hendak menghancurkan desa ini. Dari kejauhan terdengar lolongan anjing hutan yang begitu panjang memilukan, membuat bulu kuduk siapa saja yang mendengarnya jadi meremang.

Saat itu, terlihat sesosok tubuh berbaju serba hitam yang panjang dan longgar tengah bergerak cepat menuju ke arah Timur Desa Kranggan. Gerakannya begitu cepat dan ringan, seakan-akan melayang di atas tanah. Sedikit pun tak terdengar suara dari ayunan kakinya yang begitu ringan bagai tidak menapak permukaan tanah. Sosok tubuh hitam itu baru berhenti bergerak setelah sampai di tanah pekuburan yang letaknya tidak seberapa jauh di sebelah Timur Desa Kranggan.

"He he he...!"

Terdengar tawanya yang terkekeh kering mengerikan. Dia berdiri tegak didepan sebuah gundukan tanah kuburan yang tampaknya masih baru dan terawat apik. Perlahan kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, seakan tidak ingin ada orang lain yang melihatnya. Kemudian, matanya menatap tajam pada kuburan di depannya dari balik kain kerudung berbentuk kerucut yang menutupi seluruh kepala dan sebagian wajahnya.

Memang sulit untuk bisa mengenali wajahnya, karena hampir tertutup kain kerudung hitam. Terlebih lagi, malam ini begitu gelap. Sedikit pun tak ada cahaya bulan dan bintang menghias angkasa raya. Sebentar orang itu berdiri mematung memandangi kuburan yang kelihatan masih baru, kemudian kedua tangannya perlahan terangkat ke atas. Kepalanya pun bergerak menengadah ke atas, mengikuti gerakan, kedua tangannya. Tampak bibirnya yang pucat bergerak-gerak seperti menggeletar. Kemudian...

"Hup!"

Begitu kedua tangannya merapat di samping pinggang, dia melompat tinggi ke udara. Lalu, tubuhnya menukik deras dengan kaki merapat tertuju lurus ke tengah kuburan itu. Dan....

Brus!

Cepat sekali orang aneh berbaju hitam pekat itu melesak masuk ke dalam kuburan. Tanah di sekitar kuburan jadi bergetar, bagai diguncang gempa kecil. Tampak asap putih mengepul ke udara bergulung-gulung dari kuburan yang berlubang cukup besar. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat orang aneh itu menyembul perlahan-lahan sambil memondong sesosok tubuh yang terbungkus kain putih bernoda tanah merah.

Orang itu bergerak melayang ke atas, lalu pelan-pelan sekali kakinya menjejak tanah di pinggir kuburan yang sudah berlubang. Asap putih yang menggumpal dari dalam kuburan itu pun menyebar tertiup angin. Tampak orang aneh berbaju serba hitam itu berdiri tegak memondong sesosok tubuh yang terbungkus kain putih bernoda tanah merah berlumpur. Perlahan diletakkannya mayat itu, kemudian dipandanginya beberapa saat. Hati-hati sekali ikatan kain putih di kepala mayat itu dibukanya.

"He he he...!"

Suara tawa terkekeh kembali terdengar saat terlihat seraut wajah wanita yang cukup cantik di balik kain putih yang membungkusnya. Dengan sikap hati-hati, kembali diikatnya ujung kain di kepala mayat wanita, dan dibungkusnya lagi dengan rapi.

"He he he...!"

Sambil tertawa terkekeh, orang aneh itu memondong lagi mayat perempuan yang diambilnya dari dalam kuburan itu. Kemudian tubuhnya berbalik da melangkah ringan meninggalkan kuburan. Ayunan langkah kakinya begitu ringan, seakan-akan telapak kakinya tidak menyentuh tanah sedikit pun juga. Sebentar saja, dia sudah tidak terlihat lagi ditelan gelapnya malam. Secercah cahaya kilat menyambar membelah langit yang kelam.

"He he he...!"

Suara tawa terkekeh masih terdengar, dan semakin menjauh. Kemudian suara itu menghilang terbawa hembusan angin kencang di malam pekat ini. Tidak ada seorang pun yang melihat kejadian itu. Dan malam terus merayap semakin bertambah larut. Titik-titik air hujan mulai merembes jatuh menyirami bumi. Tak berapa lama kemudian, hujan pun turun dengan deras sekali, bagaikan ditumpahkan dari langit. Kilat semakin sering menyambar disertai guntur yang menggelegar memecah angkasa.

********************

Kegemparan terjadi di Desa Kranggan, ketika salah seorang anak gembala melihat sebuah kuburan terbongkar pagi ini. Itu adalah kuburan seorang gadis yang baru meninggal kemarin. Dan ini, berarti sudah dua kuburan terbongkar. Rangga dan Pandan Wangi yang berada di rumah Kadik, juga mendengar berita itu. Mereka bergegas ke tanah kuburan yang berada di sebelah Timur di luar Desa Kranggan.

"Pasti dia akan menciptakan pasukan dari mayat yang dibangkitkan dari kuburnya," desis Kadik menggumam perlahan, seakan bicara pada diri sendiri.

Rangga yang mendengar gumaman kecil itu langsung memandanginya tajam-tajam. Sementara, Pandan Wangi yang tidak mendengar terus mengamati kuburan yang menganga cukup besar. Tidak ada lagi orang lain di sekitar tanah kuburan ini, selain mereka bertiga.

"Siapa dia, Kadik?" Tanya Rangga ingin tahu.

Kadik tidak langsung menjawab. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Lalu, kepalanya bergerak berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tepat di sebelah kanannya. sedangkan Rangga sendiri terus memandangi tanpa berkedip.

"Iblis Penggali Kubur," terdengar pelan sekali suara Kadik.

"Siapa dia?" Tanya Rangga lagi.

"Aku tidak tahu. Aku juga hanya mendengar namanya saja dari Ki Jungut. Tapi, dia sudah tewas oleh...," Kadik tidak meneruskan.

Rangga juga tidak mendesak lagi. Dia tahu, siapa Ki Jungut itu. Kadik sudah menceritakannya ketika sadar dari pingsannya dan ditolong Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dari cerita Kadik, belum ditemukan cahaya terang setitik pun. Rangga juga belum bisa menduga maksud si Iblis Penggali Kubur yang mengambil mayat-mayat dari dalam kubur. Entah, untuk apa mayat-mayat itu dikumpulkan. Tapi ada satu keanehan yang menjadi beban pikiran Rangga saat ini. Si Iblis Penggali Kubur hanya mengambil mayat-mayat gadis yang baru satu hari meninggal dan dikuburkan. Untuk apa mayat-mayat gadis yang baru meninggal itu...?

Pertanyaan ini yang terus mengganggu benak Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Pandan Wangi sudah selesai memeriksa sekitar kuburan yang berlubang menganga cukup besar itu. Gadis berbaju biru muda yang berjuluk si Kipas Maut itu menghampiri Rangga yang berada di sebelah kanan Kadik, pemuda dari Desa Kranggan yang ternyata putra bekas seorang panglima perang kerajaan.

"Bagaimana...? Ada yang kau temukan, Pandan?" Tanya Rangga langsung.

Pandan Wangi menggelengkan kepala perlahan. Sedikit nafasnya ditarik, kemudian dihembuskannya pelan sekali. Pandangannya langsung tertuju pada Kadik yang juga tengah memandanginya, kemudian beralih pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Dia bukan penggali kubur biasa, Kakang," duga Pandan Wangi perlahan.

"Maksudmu...?" Rangga tidak mengerti.

"Kau lihat saja sendiri. Sedikit pun tidak ada bekas galiannya. Tanah di sekitar lubang seperti hangus terbakar," sahut Pandan Wangi menjelaskan pengamatannya.

Rangga bergegas mendekati lubang kuburan itu. Pendekar Rajawali Sakti berjongkok sebentar mengamati, kemudian kembali mendekati Pandan Wangi dan Kadik. Saat itu, tiba-tiba saja bertiup angin kencang disertai suara menggemuruh bagai terjadi badai. Dan saat itu juga, langit jadi gelap tersapu awan hitam yang berrgulung-gulung menutupi seluruh angkasa. Rangga cepat melompat ke depan Kadik. Pandan Wangi juga segera menggeser kakinya mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Mendadak....

Crlark! Glarrr...!

Secercah cahaya kilat membersit terang di angkasa, disertai ledakan guntur yang menggelegar dahsyat menggetarkan jantung. Bahkan, sampai-sampai mengejutkan tiga orang yang ada di tengah-tengah tanah pekuburan ini. Dan belum lagi keterkejutan itu lenyap, kembali mereka dikejutkan oleh bergetarnya bumi yang dipijak.

Saat itu, terlihat asap tebal berwarna kemerahan mengepul bergulung-gulung dari dalam kuburan yang terbongkar. Tak berapa lama kemudian, tanah kuburan itu bergerak merapat. Dan asap kemerahan yang mengepul pun menghilang tersapu angin. Mendadak, langit kembali cerah. Angin pun tidak lagi berhembus kencang. Kemurkaan alam hanya terjadi sesaat, namun sudah membuat Rangga dan Pandan Wangi sempat berjaga-jaga untuk melindungi Kadik.

"Pertanda apa ini, Kakang?" Tanya Pandan Wangi setengah bergumam, seperti untuk diri sendiri.

"Hmmm...," namun Rangga hanya menggumam perlahan saja.

Sedangkan wajah Kadik sudah terlihat memucat. Dia teringat peristiwa yang pernah dialaminya kuburan ini, sebelum jatuh pingsan dan ditolong kedua pendekar muda dari Karang Setra itu. Kejadian yang hampir sama, tapi kali ini lebih dahsyat lagi. Hanya saja, sekarang tidak muncul mayat wanita seperti yang terjadi pada jasad kekasihnya.

Namun demikian, Kadik jadi cemas juga. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri dengan wajah pucat pasi dan tubuh gemetar. Tapi setelah beberapa saat keadaan tenang, ternyata tidak seorang pun yang terlihat muncul di kuburan ini. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak dengan kepala bergerak-gerak perlahan seperti tengah mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'.

Namun juga Pendekar Rajawali Sakti belum mendapatkan sesuatu. Sekitar kuburan ini begitu sunyi. Hanya desir angin lembut saja yang terdengar mengusik gendang telinga. Namun tiba-tiba saja...

"Kau merasakan sesuatu, Pandan...?" pelan sekali suara Rangga.

Pandan Wangi terdiam. Kepalanya dimiringkan sedikit, mempertajam pendengarannya. Sebentar kemudian wajahnya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti yang masih diam dengan sikap seperti hendak menghadapi musuh tangguh dan berbahaya.

"Aku tidak mendengar apa-apa," kata Pandan Wangi perlahan setengah berbisik.

"Pusatkan seluruh perasaanmu pada telapak kaki," ujar Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.

Tapi belum juga Pandan Wangi mengikuti kata-kata Pendekar Rajawali Sakti, mendadak....

Brul! Blar...!
"Heh...?!"
"Ohhh...!"

Pandan Wangi dan Kadik langsung berlompatan mundur dengan terkejut, begitu tiba-tiba saja didepan mereka menyembul dua sosok tubuh dari dalam tanah. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak pada kedua kakinya.

"Oh, makhluk apa ini...?!" Desis Pandan Wangi mendesah.

Hampir Pandan Wangi tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Ternyata dari dalam tanah muncul dua sosok makhluk yang sulit untuk bisa dikenali lagi. Dua sosok makhluk berbentuk mayat yang seluruh wajah dan tubuhnya sudah rusak. Kedua mayat hidup itu bergerak lamban, mendekati Pendekar Rajawali Sakti yang masih tetap berdiri tegak tak bergeming sedikit pun.

Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti begitu ta-jam tak berkedip sedikit pun saat mengamati dua sosok makhluk mayat hidup yang sudah rusak keadaannya. Bau busuk yang memualkan langsung menyebar menyengat hidung. Ulat-ulat kecil memenuhi hampir seluruh tubuh kedua makhluk itu yang sudah mengelupas daging-dagingnya.

"Hmm.... Sekali pun datang dari dasar neraka, tidak pantas kau ada di atas permukaan bumi ini," desis Rangga dingin menggetarkan.

Tiba-tiba saja, salah satu dari makhluk mayat hidup itu melompat menerjang Rangga begitu cepat. Kedua tangannya terulur ke depan, mengarah langsung ke leher Pendekar Rajawali Sakti.

"Hap!" Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya menghindari terjangan makhluk mayat hidup yang menyebarkan bau busuk memualkan perut itu. Tapi belum juga tubuhnya sempat ditarik tegak kembali, satu makhluk mayat hidup lainnya sudah memberikan serangan dengan kibasan tangan kanan yang berkuku runcing mengarah ke lambung kanan.

"Uts!" Rangga segera mengegoskan tubuhnya menghindari sambaran tangan rusak berkuku runcing dan hitam itu. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja dari dalam tanah menyembul sebuah tangan rusak dan kotor berlumpur. Langsung dicengkeramnya pergelangan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat yang bersamaan, mendadak Kadik menjerit keras.

"Heh...?!" Pandan Wangi yang berada dekat dengan pemuda desa itu jadi terkejut. Cepat Kipas Mautnya ditarik keluar, dan langsung dikebutkan ke tangan rusak yang menyembul dari dalam tanah yang mencengkeram pergelangan kaki Kadik.

Cras!

Tangan yang hampir tidak berdaging itu langsung buntung terbabat kipas baja putih yang terkenal maut Itu. Pada saat yang bersamaan, Rangga sudah berhasil melepaskan cengkeraman tangan rusak dan pergelangan kakinya. Cepat-cepat tubuhnya melenting, dan langsung mendarat dekat di samping Pandan Wangi. Begitu ringan gerakannya, hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun saat menjejak tanah yang berumput agak basah ini.

"Tinggalkan tempat ini, cepat...!" seru Rangga.

"Kau sendiri...?" Pandan Wangi ingin protes.

"Jauhkan Kadik dari sini. Nanti aku menyusul," potong Rangga cepat.

Pandan Wangi tidak membantah lagi. Cepat-cepat disambarnya tangan Kadik, dan diajaknya berlari meninggalkan tanah kuburan itu.

Sementara, Rangga sudah kembali sibuk menghadapi dua makhluk mayat hidup yang menyerangnya dengan cepat dan bergantian. Saat itu, tangan-tangan rusak dan kotor berlumpur semakin banyak bersembulan dari tanah, seakan-akan siap menerima Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya, pemuda berbaju rompi putih itu harus berjumpalitan di udara.

"Hup! Yeaaah...!"

Begitu memiliki kesempatan, Rangga cepat-cepat melenting ke udara, lalu manis sekali hinggap di atas dahan pohon. Lalu tubuhnya kembali melenting ke pohon lainnya. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berlompatan dari satu pohon ke pohon lain. Dan dengan gerakan indah kakinya mendarat di tanah, agak jauh dari tanah kuburan itu.

"Phuihhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang. Tampak mayat-mayat hidup dan tangan-tangan rusak yang bersembulan dari dalam tanah itu tidak berusaha mengejar. Bahkan kembali melesak masuk ke dalam tanah.

Sementara itu Rangga berdiri tegak memperhatikan. Pendekar Rajawali Sakti belum juga beranjak pergi, meskipun tidak ada lagi makhluk mayat hidup dan tangan-tangan rusak di sekitar tanah pekuburan itu. Beberapa saat lamanya, Rangga masih berdiri mematung memandangi tanah pekuburan. Kemudian tubuhnya berputar berbalik, dan melangkah pergi. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam memotong di depannya.

"Hup!" Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang sambil berputaran di udara dua kali. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah kembali.

"Hmmm...." Pendekar Rajawali Sakti bergumam kecil saat melihat di depannya sudah berdiri sesosok berbaju Jubah panjang warna hitam pekat. Sulit untuk bi-sa melihat wajahnya, karena tertutup kerudung hitam berbentuk kerucut yang menyelubungi seluruh kepala.

"Hmmm...," kembali Rangga menggumam perlahan.

"Tinggalkan desa ini. Pendekar Rajawali Sakti. Jangan coba-coba mencampuri urusanku," terasa dingin sekali nada suara orang itu.

"Heh...?! Kau tahu namaku?! Siapa kau?!" Rangga jadi terperanjat.

"Aku biasa dipanggil Iblis Penggali Kubur. Dan kuharap, kau cepat tinggalkan desa ini. Jangan coba-coba mencampuri urusanku di sini. Dan kalau kau keras kepala, kau akan menghadapi pasukan mayatku," desis orang aneh berbaju jubah hitam yang mengenalkan diri sebagai si Iblis Penggali Kubur.

Dari nada suaranya, jelas kalau orang itu laki-laki. Dan Rangga tahu kalau ancaman itu tidak bisa dianggap main-main. Tapi, apakah Pendekar Rajawali Sakti akan mengikuti begitu saja hanya karena ancaman? Rangga kini malah melangkah beberapa tindak, mendekati. Sikapnya begitu tenang. Bahkan senyuman tipis terukir di bibirnya. Dan kini, jarak mereka tinggal sekitar tujuh langkah lagi.

"Kau yang mencuri mayat-mayat di sini?" Tanya Rangga agak datar nada suaranya.

"Itu bukan urusanmu, Pendekar Rajawali Sakti!" Sahut si Iblis Penggali Kubur ketus.

"Untuk apa kau mencuri mayat?" Tanya Rangga lagi, tidak mempedulikan jawaban yang begitu ketus dan tidak bersahabat.

"Sudah kukatakan, itu bukan urusanmu!" Bentak Iblis Penggali Kubur lagi. "Kau tinggalkan desa ini secepatnya, atau mati di sini oleh pasukanku, Pendekar Rajawali Sakti!"

"Hmmm. Kau mengancamku, Kisanak," desis Rangga agak menggumam.

"Semua penduduk Desa Kranggan akan kujadikan mayat kalau kau masih terlihat besok pagi, Pendekar Rajawali Sakti. Dan, ingat! Aku tidak pernah main-main. Kalau kau tetap keras kepala, aku tidak segan-segan menghancurkan kerajaan mu dengan pasukan mayatku!" semakin dingin saja nada suara si Iblis Penggali Kubur.

Belum juga Rangga bisa membuka suara, si Iblis Penggali Kubur sudah melesat pergi cepat sekali. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak memandang ke arah kepergian laki-laki aneh yang mengaku berjuluk Iblis Penggali Kubur.

"Hmmm, siapa dia? Dan, dari mana dia tahu diriku...?' gumam Rangga perlahan, bertanya-tanya pada diri sendiri.

Memang sulit menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti sekarang ini. Dan bukan hanya itu saja pertanyaan yang muncul di kepala Rangga. Begitu banyak pertanyaan yang bermunculan, tapi tak satu pun yang bisa terjawab. Dan Rangga sen-diri belum bisa menduga apa-apa, karena semuanya masih belum jelas. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, untuk apa si Iblis Pengali Kubur itu membentuk pasukan dari mayat-mayat yang dicurinya dari dalam kubur.

"Apa pun ancamannya, aku tidak bisa tinggal diam begitu saja. Perbuatannya sudah menyalahi kodrat alam. Bagaimanapun caranya, semua ini harus bisa kuhentikan," desis Rangga bertekad.

Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah pergi dengan ayunan kaki yang begitu ringan. Seakan-akan, telapak kakinya tidak menyentuh tanah. Dan sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh meninggalkan kuburan itu. Bahkan kini sudah kembali bertemu Pandan Wangi dan Kadik di perbatasan sebelah Timur Desa Kranggan.

"Ayo kita ke rumahmu, Kadik," ajak Rangga langsung, sebelum Pandan Wangi melontarkan Pertanyaan.

Dan memang, mulut Pandan Wangi sudah terbuka ingin bertanya. Tapi, pertanyaan itu hanya tertinggal di tenggorokan saja, karena Rangga sudah melangkah mendahului. Sedangkan Kadik mengikuti dari belakang. Maka Pandan Wangi pun bergegas melangkah mengikuti kalau tidak ingin tertinggal. Sebentar saja mereka sudah berjalan berdampingan, memasuki Desa Kranggan yang tampak masih tetap sunyi.

LIMA

Satu pekan sudah berlalu, setelah kejadian yang mengerikan yang dialami Kadik, Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini setiap hari selalu saja ada yang meninggal di Desa Kranggan. Mereka yang meninggal adalah gadis-gadis muda, di bawah usia sembilan belas tahun. Dan setiap kali ada penguburan, esok harinya kuburan itu selalu ditemukan sudah terbongkar. Bahkan mayat yang dikuburkan lenyap entah ke mana.

Peristiwa ini tentu saja membuat seluruh penduduk Desa Kranggan jadi gempar. Mereka langsung dicekam kengerian yang menggelisahkan. Bahkan kini, tak ada seorang pun yang berani lagi keluar dari rumah kalau malam sudah menjelang. Sudah beberapa orang peronda melihat, gadis-gadis yang sudah meninggal waktu itu berkeliaran di desa ini. Namun, sampai saat ini belum ada korban. Tapi, hampir setiap hari ada saja gadis desa yang meninggal mendadak.

Rangga yang masih berada di desa itu juga teringat ancaman si Iblis Penggali Kubur. Maka kecemasan pun tidak dapat lagi disembunyikan. Hatinya benar-benar cemas kalau Iblis Penggali Kubur sampai benar-benar melaksanakan ancamannya. Iblis itu memang ingin membuat seluruh penduduk Desa Kranggan menjadi pasukan mayatnya, dan untuk menghancurkan Kerajaan Karang Setra. Dan kini sudah lebih dari sepuluh orang gadis meninggal dalam waktu kurang dari dua pekan saja.

"Ada yang meninggal lagi, Kakang."

Rangga mengangkat kepalanya sedikit, langsung menatap wajah Pandan Wangi yang kelihatan begitu cantik pagi ini. Tapi sinar matanya kelihatan begitu lelah. Pandan Wangi memang sudah lelah, karena sampai saat ini belum juga bisa memergoki si pencuri mayat.

"Gadis...?" Tanya Rangga terdengar pelan sekali suaranya.

Pandan Wangi mengangguk.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang.

Saat itu, terlihat Kadik datang menghampiri dari samping rumah. Pemuda keturunan bangsawan yang hidup di desa sejak masih kecil itu langsung menghempaskan tubuhnya di samping Rangga. Tampak keringat mengucur membasahi seluruh wajah, leher, dan tubuhnya. Nafasnya pun terdengar memburu. Bahkan seperti tidak peduli dengan pandangan mata Rangga dan Pandan Wangi yang menyorot begitu tajam.

"Dari mana pagi-pagi begini, Kadik?" Tanya Rangga tetap menatap pemuda desa itu.

"Mencari si Iblis Penggali Kubur," sahut Kadik datar.

"Untuk apa?"

"Iblis keparat itu telah menyandera emak ku, Rangga. Aku harus membunuhnya!" dengus Kadik bernada geram.

Rangga diam memandangi dengan sinar mata agak tajam, tak berkedip sedikit pun juga. Sementara, Pandan Wangi yang sudah duduk di sebelah Pendekar Rajawali Sakti juga memandangi Kadik yang masih sibuk mengatur jalan nafasnya. Sesekali punggung tangannya menyeka keringat di leher.

"Dia juga telah membuat kekasihku sengsara dalam kematiannya. Iblis itu akan membuat seluruh penduduk Desa Kranggan ini jadi mayat hidup!" sambung Kadik masih dengan nada suara menggeram berang.

"Dari mana kau tahu itu?" Tanya Rangga agak tersentak kaget.

"Semalam dia menemuiku, dan mengancam akan membuat seluruh penduduk desa ini menjadi mayat hidup kalau aku tidak segera menyerahkan Cupu Batu Mustika Biru. Dia juga meminta agar aku tidak mengizinkan kalian berdua tinggal di sini," sahut Kadik seraya berpaling menatap Rangga begitu dalam.

"Kau menghendaki begitu?" Tanya Rangga.

"Tidak. Biar kau tetap di sini, Rangga. Kita hadapi iblis keparat itu bersama-sama," tegas Kadik.

"Aku memang akan menghentikannya. Tapi, tidak dengan cara gegabah," kata Rangga juga tegas nada suaranya.

"Kau punya rencana, Rangga?" Tanya Kadik.

Rangga tidak langsung menjawab, dan jadi terdiam mendengar pertanyaan Kadik barusan. Sebenarnya, tidak terlalu sulit menjawab pertanyaan itu. Tapi, Rangga memang tidak pernah mengatakan setiap rencana yang ada dalam kepalanya. Karena, dia tidak pernah percaya penuh pada keberhasilan sebuah rencana. Pendiriannya, sematang apa pun rencana yang sudah disiapkan, tidak akan mencapai hasil sepenuh yang diinginkan.

Dan semua itu tergantung pelaksanaannya. Itu sebabnya, kenapa Rangga tidak pernah mengatakan setiap rencana yang ada di kepalanya. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti berdiri, dan melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di pohon kenanga, tepat di sudut sebelah kiri halaman rumah ini. Dielus-elusnya leher kuda hitam yang tinggi tegap dan bernama Dewa Bayu itu. Kuda hitam Dewa Bayu tampak kesenangan mendapat elusan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!" Dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung Dewa Bayu. Kemudian, dihentakkan tali kekang kudanya yang terbuat dari perak. Kuda itu pun berjalan perlahan-lahan, keluar dari halaman rumah Kadik yang cukup luas ini

Sementara, Pandan Wangi dan Kadik hanya memandangi saja kepergian Pendekar Rajawali Sakti dengan kuda tunggangannya.

"Mau ke mana dia?" Tanya Kadik.

Pandan Wangi hanya mengangkat bahunya sedikit saja. Dia sendiri tidak tahu, ke mana Rangga akan pergi. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu tidak lagi merasa heran atas sikap Rangga yang pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa. Dia tahu, persoalan yang sedang dihadapi Pendekar Rajawali Sakti dianggap berat. Dan biasanya, Rangga akan melakukan sesuatu tanpa ada satu rencana pun di kepalanya.

"Aku pergi dulu, Kadik," pamit Pandan Wangi seraya bangkit berdiri.

"Mau ke mana?" Tanya Kadik.

"Ke rumah kepala desa," sahut Pandan Wangi. Si Kipas Maut itu langsung saja berjalan menghampiri kudanya sebelum Kadik melontarkan pertanyaan lagi. Gadis itu langsung melompat naik ke punggung kuda putihnya.

Sementara, Kadik hanya bisa memandangi tanpa dapat berbuat apa-apa. Dia terus memandangi Pandan Wangi yang menuju ke rumah Kepala Desa Kranggan.

********************

Sementara itu, Rangga yang tengah menunggangi Dewa Bayu perlahan-lahan, tanpa disadari sudah tiba di kuburan yang terletak di sebelah Timur, di luar Desa Kranggan. Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kudanya, kemudian berjalan melewati beberapa gundukan tanah kuburan. Sepi sekali keadaan di tempat ini, sehingga tak seorang pun terlihat. Bahkan binatang pun seakan-akan enggan menginjakkan kakinya di sini.

Rangga terus melangkah perlahan-lahan. Sementara, matanya tidak berkedip merayapi sekitarnya. Pendengarannya pun dipasang tajam-tajam, tapi hanya desir angin saja yang terdengar mengusik gendang telinganya. Dia terus melangkah semakin ke tengah pekuburan ini, dan baru berhenti setelah tiba di sebuah kuburan yang tampaknya masih baru. Dia tahu, kuburan ini baru saja dibuat. Di dalamnya, terbujur seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun, yang baru saja meninggal pagi tadi.

"Ehm...! Ehm...!"

"Oh...?!" Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara orang mendehem dari belakang. Segera tubuhnya diputar berbalik.

Entah dari mana, tahu-tahu di belakang Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang gadis muda berparas cantik. Baju merah yang dikenakannya begitu ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Gagang sebilah pedang tampak menyembul dari balik punggungnya.

"Iblis...! Kukira kau sudah tua bangka. Ternyata, kau masih muda dan tampan," dingin sekali nada suara gadis cantik berbaju merah menyala ini.

Sorot mata gadis itu begitu tajam, menembus langsung ke bola mata pemuda tampan berbaju rompi putih di depannya. Wajahnya pun kelihatan kaku. Sedangkan kedua tangannya sudah terkepal erat, membuat urat-uratnya bersembulan.

Sementara, Rangga Jadi terperanjat mendengar kata-kata yang begitu ketus dari gadis ini. Sungguh tidak dimengerti, bahkan baru sekali ini melihat gadis itu. Tapi, dia sudah memakinya begitu pedas!

"Sudah lama aku mencarimu, Iblis Keparat. Ternyata kau bersembunyi di sini," kata gadis itu lagi. Masih bernada dingin dan ketus.

"Maaf, siapa Nisanak ini? Dan ada urusan apa mencariku?" Tanya Rangga semakin kebingungan tidak mengerti.

"Huh! Jangan pura-pura bodoh, Keparat! Sampai ke neraka pun aku akan tetap mengejarmu!" dengus gadis cantik itu semakin ketus.

Rangga semakin kebingungan tidak mengerti. Sungguh tidak jelas maksud gadis cantik yang tiba-tiba saja marah-marah padanya. Padahal, Rangga begitu yakin kalau di antara mereka belum pernah berjumpa. Tapi, gadis cantik ini seperti sudah menyimpan dendam yang begitu dalam dan lama, hingga kemarahannya langsung meluap tak terbendung lagi. Rangga melangkah beberapa tindak mendekati, dan masih mencoba bersikap tenang. Dia yakin gadis ini tentu salah duga.

"Maaf, Nisanak...."

"Jangan banyak mulut, Keparat!" sentak gadis itu cepat memotong ucapan Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung diam. Namun tiba-tiba saja....

"Saatnya kau mampus, Iblis Keparat! Hiyaaat...!"

Sret! Wuk!
"Heh...?!
Uts!"

Cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik tubuhnya ke belakang, begitu tiba-tiba saja gadis cantik berbaju merah menyala itu melompat cepat bagai kilat. Bahkan pedangnya sudah tercabut, dan langsung dikebutkan ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Hanya sedikit saja ujung pedang yang berkilatan tajam itu lewat didepan dada Pendekar Rajawali sakti. Namun, belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, gadis cantik berbaju merah itu sudah kembali mengebutkan pedangnya dengan kecepa-tan luar biasa.

"Hiyaaat...!"
Bet!
"Ikh...!"

Rangga jadi terkejut juga melihat gerakan pedang yang berputar begitu cepat, dan langsung mengibas ke arah dadanya kembali. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang sejauh dua langkah. Maka, ujung pedang itu kembali lewat didepan dada Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kembali melompat ke belakang beberapa langkah, begitu kakinya menjejak tanah. Dicobanya untuk menghindari serangan gadis cantik ini lagi.

"Cukup...!" sentak Rangga agak lantang.

"Siapa kau ini?! Dan kenapa menyerangku tanpa sebab...?!"

"Phuih! Masih juga berpura-pura terhadap perbuatan iblismu, Keparat!" dengus gadis cantik itu ketus.

"Aku Rahayu yang akan memenggal kepalamu, Iblis Penggali Kubur!"

"Heh...?!" Rangga jadi tersentak begitu mendengar tuduhan gadis ini yang menyangka dirinya adalah si Iblis Penggali Kubur. Tapi belum juga hilang keterkejutannya, mendadak saja gadis cantik berbaju merah menyala yang mengaku bernama Rahayu sudah kembali melompat secepat kilat.

"Mampus kau! Hiyaaat...!"

"Tunggu...! Uts!"

Rangga tidak dapat lagi mencegah. Cepat-cepat ia ditarik ke kanan, begitu Rahayu menusukkan pedangnya dengan kecepatan luar biasa. Namun, pada saat mata pedang berada di samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja gerakannya berubah dengan kecepatan sukar diikuti mata biasa. Pedang Rahayu berputar begitu cepat, langsung dibabatkan ke arah lambung Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, hanya dengan sedikit saja mengegoskan tubuhnya, pemuda berbaju rompi putih itu bisa menghindarinya.

"Hup!" Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang, setelah ujung pedang gadis cantik berbaju merah menyala itu lewat di depan perutnya. Dua kali Rangga berputaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya kembali di tanah berumput cukup tebal ini.

"Hhh! Tangguh juga kau, Iblis!" dengus Rahayu dingin.

"Tapi, coba hadapi jurus Tarian Dewi Pedangku ini."

Setelah berkata demikian, Rahayu langsung merubah jurusnya. Pedangnya bergerak-gerak gemulai disertai liukan tubuh yang begitu indah. Seakan-akan, dia tengah menyajikan sebuah tarian memikat Rangga sampai terpana beberapa saat, melihat jurus yang begitu indah, dengan gerakan-gerakan lembut dan gemulai.

"Uhhh...!" Saat itu juga, Rangga merasakan udara di sekitarnya jadi menipis. Bahkan nafasnya pun mulai terasa sesak. Cepat-cepat jalan pernafasannya dipindahkan ke perut Lalu, dilakukannya beberapa gerakan tangan. Hal ini untuk mengatasi udara yang semakin menipis, akibat jurus Tarian Dewi Pedang yang dimainkan Rahayu.

"Hiyaaat..!" Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Rahayu melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Rangga jadi terpana sesaat. Namun dengan gerakan tubuh yang manis sekali, Pendekar Rajawali sakti berhasil menghindari sabetan pedang yang begitu cepat dan beruntun.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Beberapa kali Rahayu melakukan serangan dengan pedangnya yang begitu dahsyat dan cepat luar biasa. Dan hal ini membuat Rangga terpaksa harus berjumpalitan sambil meliuk-liukkan tubuhnya, untuk menghindari serangan-serangan jurus Tarian Dewi Pedang yang sangat dahsyat. Namun dengan pengerahan jurus Sembilan Langkah Ajaib, rasanya masih terlalu sulit bagi Rahayu untuk mendesak Pendekar Rajawali Sakti.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan pertarungan itu masih terus berlangsung semakin gesit. Jelas sekali terlihat kalau Rahayu begitu bernafsu ingin menyudahi pertarungan. Tapi, tampaknya gadis itu benar-benar mendapat lawan yang sangat tangguh, dan sukar untuk bisa cepat-cepat disudahi. Gadis itu memang tidak tahu kalau saat ini berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti, yang namanya selalu menggetarkan tokoh-tokoh tingkat tinggi rimba persilatan.

Namun, dendam yang membakar sudah menutup mata hatinya. Hingga, mata hatinya tidak dapat lagi melihat kalau tingkat kepandaian yang dimilikinya belum bisa untuk menjatuhkan pemuda tampan berbaju rompi putih ini.

"Hup! Yeaaah...!" Tiba-tiba saja, Rangga melenting ke udara, tepat di saat Rahayu membabatkan pedangnya mengarah ke kaki. Dan begitu pedang Rahayu lewat di bawah telapak kakinya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya terbalik. Hingga, kepalanya cepat sekali berada di bawah. Pada saat itu juga, dengan kecepatan luar biasa tangan kanannya dikebutkan ke arah mata pedang gadis cantik berbaju merah menyala itu.

"Hap!"
Tap!
"Heh...?!"

Rahayu jadi terperanjat setengah mati, begitu tiba-tiba dua jari tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti sudah menggunting tepat di bagian tengah mata pedangnya. Saat itu, dengan gerakan manis sekali Rangga memutar tubuhnya berbalik kembali. Dan dengan indah sekali, kakinya menjejak tanah. Sementara jari tangan kanannya masih tetap menjepit mata pedang gadis cantik berbaju merah menyala ini.

"Hih!" Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, Rahayu mencoba menarik pedangnya dari jepitan dua jari tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, pedangnya sedikit pun tidak bergerak, seakan-akan berada di dalam penjepit baja yang teramat kuat.

"Setan! Lepaskan pedangku...!" bentak Rahayu geram.

"Baik. Akan kulepaskan. Hih...!"

"Ikh...!" Rahayu jadi terpekik tertahan begitu Rangga menghentakkan tangan kanannya, dan melepaskan jepitan jarinya pada pedang. Hentakan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna membuat Rahayu jadi terpental ke belakang. Mau tak mau gadis itu tidak dapat lagi menguasai tubuhnya.

"Akh...!" Pekikan tertahan terdengar begitu punggung Rahayu menghantam sebongkah batu yang cukup besar. Begitu kerasnya, sampai batu itu sampai retak. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak dengan bibir menyunggingkan senyuman tipis. Lalu, kakinya melangkah beberapa tindak ke depan. Saat itu, Rahayu sudah bisa bangkit berdiri lagi. Bibirnya meringis menahan sakit pada seluruh tubuhnya.

"Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu," ucap Rangga lembut.

"Huh!" Rahayu hanya mendengus saja. Ditatapnya lurus kedua bola mata Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu tajam, menyimpan dendam membara. Tapi, yang ditatap kelihatan tenang. Bahkan senyumannya masih tetap terukir menghiasi bibirnya yang sedikit kemerahan.

"Nisanak! Aku bukan Iblis Penggali Kubur yang kau cari," kata Rangga masih tetap terdengar kalem nada suaranya.

"Hhh! Bagaimana aku bisa mempercayaimu?! Sedangkan kau berada di kuburan itu!" dengus Rahayu sambil menujuk ke arah kuburan seorang gadis muda yang masih baru pagi tadi.

Rangga hanya tersenyum saja. Kembali kakinya diayunkan beberapa langkah mendekati gadis cantik berbaju merah menyala ini. Pedang masih tergenggam di tangan kanan gadis itu. Sedangkan Rangga seperti tidak peduli pada pedang yang sudah melintang didepan dada membentuk dua gundukan bukit indah itu. Langkahnya berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan gadis cantik yang mengenakan baju merah menyala ini.

"Namaku Rangga. Aku juga punya urusan dengan Iblis Penggali Kubur. Tapi, bukan untuk membalas dendam. Aku hanya ingin menghentikan perbuatannya saja. Bahkan kalau mungkin menyadarkannya," kata Rangga lagi, masih terdengar tenang nada suaranya.

"Hm...," gumam Rahayu perlahan.

Rangga membiarkan saja dirinya dijilati oleh tatapan mata yang memancarkan sinar menyelidik. Bahkan sikapnya terlihat tenang, dengan senyum terus terukir di bibir.

Sedangkan Rahayu kelihatan masih belum percaya pada keterangan Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu seakan-akan masih menuduh pemuda tampan yang mengenakan baju rompi putih itu adalah si Iblis Penggali Kubur.

Namun dengan ketenangan Pendekar Rajawali Sakti, Rahayu mulai kelihatan melemah. Bahkan ketegangannya mulai mengendur. Perlahan tangannya yang menggenggam pedang bergerak turun, lalu memasukkannya kembali ke warangkanya di punggung. Tapi, sinar matanya masih terlihat menyorot tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan di depannya.

"Aku tadi hanya ingin melihat saja, apakah si Iblis Penggali Kubur sudah mencuri mayat gadis itu di dalam kuburannya," kata Rangga setelah cukup lama tidak ada yang bicara.

"Hm...," tapi Rahayu hanya menggumam perlahan saja. Gadis itu seakan-akan tidak percaya terhadap pengakuan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Sorot matanya masih terlihat begitu tajam, mengamati pemuda tampan di depannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Kau sendiri, kenapa ingin membunuh Iblis Penggali Kubur?" Tanya Rangga.

"Aku harus membalas dendam," sahut Rara Anting tegas, tapi masih terdengar agak ketus nada suaranya.

"Dendam...?"

"Dia mencuri mayat adikku dari dalam kuburnya. Aku harus menemukan adikku, dan membunuh si iblis keparat itu dengan tanganku sendiri."

"Kau berasal dari mana?"

"Desa Tampuksari. Tidak jauh di sebelah Barat Kranggan ini."

"Hm...."

"Hampir semua gadis di sana meninggal, dan semua mayatnya hilang dicuri si Iblis Penggali Kubur. Termasuk mayat adikku," sambung Rahayu.

"Rupanya dia sudah lama melakukan ini...," gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.

"Kau sendiri, kenapa ingin mencari Iblis Penggali Kubur juga? Apa kau juga menyimpan dendam?" Tanya Rahayu.

"Tidak. Tidak ada dendam maupun persoalan antara aku dengannya. Aku hanya tidak bisa membiarkan kebiadaban terjadi di depan mataku. Perbuatan Iblis Penggali Kubur tidak bisa didiamkan. Sudah beberapa gadis mati, dan mayatnya hilang dari kuburnya di desa ini," sahut Rangga.

"Kebetulan, mayat kekasih sahabatku juga hilang. Jadi, aku tidak bisa tinggal diam begitu saja."

"Hm. Jadi kau benar bukan si Iblis Penggali Kubur?" Rahayu seakan-akan ingin meyakinkan diri, kalau pemuda tampan ini bukanlah orang yang sedang dicarinya.

Rangga tersenyum dan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Kakinya melangkah beberapa tindak mendekati gadis cantik berbaju merah yang sudah kelihatan tidak berang lagi seperti tadi. Rupanya, Rahayu sudah percaya kalau Rangga bukanlah si Iblis Penggali Kubur yang dicari-carinya selama ini.

"Sudah hampir sore. Apa kau akan menunggu di sini?" Tanya Rangga setelah beberapa saat terdiam.

"Hanya ini kesempatan ku untuk menemukannya," tegas Rahayu.

"Aku pun demikian," sambung Rangga.

Rahayu memandangi Wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang dipandangi malah mengarahkan pandangannya ke tempat lain.

Sementara, matahari terus menggelincir semakin jauh ke arah Barat. Sinarnya yang semula terasa begitu terik, kini mulai meredup berwarna kemrahan. Memang, sebentar lagi siang akan berganti senja. Dan di sekitar pekuburan ini kelihatan begitu sunyi, tak ada seorang pun terlihat lagi selain mereka berdua.

"Sebaiknya kita tidak menunggu di sini. Terlalu terbuka tempatnya," usul Rangga.

"Hm," Rahayu hanya menggumam perlahan saja.

Rangga mengayunkan kakinya, mendekati sebuah gerumbulan semak tidak jauh dari tempat itu. Beberapa bongkah batu berukuran besar seperti sebuah tempat untuk bersembunyi yang sudah disiapkan, menjadi tempat persembunyian Rangga. Begitu Pendekar Rajawali Sakti menghilang di balik bongkahan batu itu, Rahayu baru mengayunkan kakinya menghampiri.

Kening Rahayu jadi sedikit berkerut begitu tiba di balik bongkahan batu. Tampak Rangga sudah duduk bersandar di batu dengan sikap yang begitu enak, seakan-akan tidak ada persoalan sedikit pun. Rangga hanya melirik sedikit pada gadis cantik yang masih berdiri saja di dekatnya.

"Duduklah di sini. Kau bisa terlihat kalau terus berdiri di situ," kata Rangga kalem.

Rahayu kelihatan ragu-ragu, tapi akhirnya duduk juga di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada lagi yang berbicara. Mereka terpaksa menunggu di balik batu ini sampai hari gelap. Dan memang, ini merupakan kesempatan yang teramat penting untuk bisa memergoki si Iblis Penggali Kubur yang telah mencuri mayat-mayat dari dalam kubur.

Dan rupanya pula, si Iblis Penggali Kubur bukan hanya bertindak keji di Desa Kranggan ini, tapi sudah di desa-desa lain. Hanya saja sampai saat ini, belum ada yang bisa menghentikannya. Apakah Rangga dan Rahayu mampu menghentikan si Iblis Penggali Kubur itu malam ini?

ENAM

Waktu seakan-akan berjalan begitu lambat. Rahayu sudah kelihatan gelisah tidak sabar. Saat ini, matahari sudah benar-benar tenggelam di balik peraduannya. Dan sekeliling tanah pekuburan sudah terselimut gelap. Kabut terlihat menyelimuti sekitarnya. Sedikit pun tak terlihat cahaya bintang maupun bulan. Langit tampak sangat kelam terselimut awan hitam yang menggumpal tebal.

Beberapa kali Rahayu menyembulkan kepalanya, tapi belum juga melihat adanya tanda-tanda kalau Iblis Penggali Kubur bakal muncul. Sedangkan Rangga kelihatan tenang, masih tetap duduk dengan punggung bersandar batu. Bibirnya selalu mengukir senyuman bila melihat Rahayu kelihatan begitu gelisah tidak sabar menunggu seperti ini.

"Tenang saja, Rahayu. Kalau malam ini dia tidak muncul, pasti malam berikutnya," kata Rangga kalem, mencoba menenangkan kegelisahan gadis cantik itu.

"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Rahayu menghempaskan tubuhnya di samping Pendekar, Rajawali Sakti. Tubuhnya digeser sedikit, begitu pundaknya terasa bersentuhan dengan pundak pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Sekilas matanya melirik wajah tampan di sampingnya. Entah kenapa, setelah yakin kalau pemuda ini bukanlah si Iblis Penggali Kubur, dadanya selalu bergetar bila melirik wajah tampan yang memiliki senyum sangat memikat menggetarkan jantung ini.

"Lama sekali...," desah Rahayu. "Apa mungkin dia tidak muncul malam ini?"

"Tunggu saja dulu. Jangan banyak bicara," ujar Rangga memperingatkan.

Rahayu hanya mengeluh saja, dan kembali diam tidak bicara lagi. Sedangkan Rangga beranjak bangkit berdiri. Dan baru saja kepalanya menyembul keluar, kedua bola matanya langsung terbeliak lebar. Hampir gadis itu tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Saat itu, Rahayu yang tengah memperhatikan jadi berkerut keningnya. Bergegas dia berdiri, dan menyembulkan kepalanya keluar dari batu tempat persembunyian.

"Apa itu...?" Desis Rahayu seperti bertanya pada diri sendiri.

"Ssst...," Rangga meminta gadis itu diam.

Mereka tidak membuka suara lagi. Sementara, pandangan mata mereka tertuju lurus pada sesosok tubuh yang berjalan tergesa-gesa memasuki tanah pekuburan ini. Sesosok tubuh yang mengenakan baju jubah panjang, dan berwarna hitam pekat. Cukup sulit untuk bisa mengenali wajahnya, karena tertutup kerudung kain hitam berbentuk kerucut pada bagian atasnya. Ditambah lagi keadaan malam ini begitu gelap, tanpa ada cahaya sedikit pun.

Seluruh langit tersaput awan hitam yang begitu tebal bergulung-gulung, membuat bulan dan bintang tidak mampu menembuskan cahayanya ke permukaan bumi. Sosok tubuh berbaju serba hitam itu berhenti melangkah, tepat di dekat kuburan yang masih baru.

Sementara Rangga dan Rahayu yang menyaksikan terpaksa harus menahan nafasnya, dengan dada berdebar bergemuruh. Mereka menantikan, apa yang akan terjadi pada malam gelap di kuburan ini. Terlihat jelas kalau orang itu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, hingga melewati kepala yang bergerak menengadah ke atas. Namun sebentar kemudian, kedua tangannya dirapatkan di samping tubuhnya. Dan saat itu juga, dia melompat ke udara. Lalu, tubuhnya meluruk deras dengan kedua kaki tetap merapat ke bawah. Seketika itu juga...

Brusss!
"Heh...?!"
"Hah...?!"

Bukan hanya Rangga yang terkejut. Bahkan Rahayu juga sampai terjingkat setengah mati, begitu tiba-tiba orang yang diawasi melesak masuk ke dalam kuburan yang masih baru tadi pagi itu. Mereka sampai berdiri tegak, keluar dari tempat persembunyiannya. Seperti tidak sadar, mereka bergerak keluar dari batu yang menjadi tempat berlindung. Sementara, orang berbaju serba hitam yang diawasi masih belum juga kelihatan keluar dari dalam kuburan.

Wusss...!

Tiba-tiba saja dari dalam kuburan yang sudah menganga lebar mengepul segumpal asap berwarna kemerahan. Asap itu semakin lama semakin bertambah banyak, bergulung-gulung membumbung tinggi ke angkasa. Lalu, sosok tubuh berbaju jubah serba hitam itu terlihat menyembul keluar dari dalam kuburan. Tubuhnya bergerak melayang seperti sejumput kapas yang tertiup angin.

Sebentar kemudian, dia sudah terlihat di lubang kuburan. Tampak di dalam pondongan orang itu terdapat sesosok tubuh yang terbungkus kain putih bernoda tanah berlumpur. Namun begitu kakinya menjejak tepian tanah kuburan, mendadak tubuhnya berputar berbalik. Hal ini membuat Rangga dan Rahayu seketika jadi terperanjat setengah mati.

"Keparat...! Mau apa kalian di sini?!" Bentak orang itu lantang dan kasar nada suaranya.

Sesaat Rangga dan Rahayu tidak bisa menjawab. Mereka masih diliputi keterkejutan dan keheranan yang amat sangat oleh perbuatan orang aneh yang tidak dikenal ini. Namun, tampaknya Rangga cepat bisa menghilangkan keterpanaannya. Cepat kakinya melangkah ke depan beberapa tindak, meninggalkan Rahayu di belakang sekitar lima langkah. Namun, gadis itu cepat mendekati Pendekar Rajawali Sakti lagi, dan berdiri di sebelah kanannya.

Sementara orang berbaju serba hitam itu perlahan-lahan meletakkan mayat yang diambil dari dalam kuburan itu.

"Kau yang bernama si Penggali Kubur?" Tanya Rangga membuka suara lebih dahulu.

"Phuih!" Tapi orang berjubah hitam itu menjawab hanya dengan semburan ludahnya saja. Perlahan kakinya bergeser ke kanan, meninggalkan sosok tubuh terbungkus kain putih yang tergeletak di tanah. Gerakan kakinya terhenti setelah berjarak sekitar enam langkah lagi dari mayat yang diambil dari dalam kuburnya.

"Kalian harus membayar mahal, karena telah berani mengganggu pekerjaanku!" desis orang berbaju serba hitam yang tak lain si Iblis Penggali Kubur.

"Terutama kau, Pendekar Rajawali Sakti!"

Tiba-tiba saja, Iblis Penggali Kubur itu mengebutkan tangan kanannya cepat sekali ke arah Rangga dan Rahayu. Saat itu juga, terlihat secercah cahaya merah meluruk deras bagai kilat, keluar dari telapak tangan kanan yang terbuka lebar itu.

"Awas...!" seru Rangga.
"Hup!"
"Heh...?!"

Rangga cepat melompat ke samping, seraya mendorong tubuh Rahayu cepat sekali. Akibatnya gadis itu tersentak kaget, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dan saat itu juga, cahaya merah yang meluncur secepat kilat dari telapak tangan si Iblis Penggali Kubur, meluruk deras melewati tubuh kedua anak muda itu.

Glarrr...!

Ledakan begitu dahsyat seketika terdengar keras menggelegar, ketika cahaya merah itu menghantam batang pohon beringin yang sangat besar. Seketika, pohon itu hancur berkeping-keping, menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah, disertai kepulan debu dan asap yang membumbung tinggi ke angkasa.

"Gila...!" desis Rangga kagum.

Sementara, Rahayu yang tadi didorong Rangga hingga jatuh bergulingan di tanah, sudah bisa bangkit berdiri lagi. Gadis itu juga jadi terpana melihat pohon beringin yang begitu besar bisa hancur berkeping-keping terkena cahaya merah yang membersit dari telapak tangan kanan Iblis Penggali Kubur itu. Cepat-cepat gadis itu melompat mendekati Rangga.

Srettt! Rahayu langsung mencabut pedangnya yang tersampir di punggung. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak menatap tajam si Iblis Penggali Kubur. Hanya sekali saja matanya melirik sedikit pada sosok mayat terbungkus kain putih, yang tergeletak di tanah, tidak jauh dari lubang kuburannya.

"Bagus! Rupanya kalian punya kepandaian juga," terasa begitu dingin nada suara Iblis Penggali Kubur.

"Kau menyingkir dulu, Rahayu," pinta Rangga setengah berbisik.

"Hati-hati, dia sangat tangguh," Rahayu memperingatkan.

Gadis itu langsung melangkah ke belakang menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga sendiri melangkah ke depan mendekati si Iblis Penggali Kubur. Sorot matanya masih terlihat sangat tajam, menusuk langsung bagai hendak menembus selubung kain hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajah orang itu.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan kilat si Iblis Penggali Kubur melompat cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dua kali pukulan dahsyat dilepaskan secara beruntun dengan kecepatan luar biasa. Namun, Rangga yang memang sudah siap sejak tadi, cepat meliukkan tubuh menghindarinya.

"Yeaaah...!"

Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa bersiap kembali, si Iblis Penggali Kubur sudah menyerang lagi dengan kecepatan yang begitu tinggi. Terpaksa Rangga harus melenting dan berputaran di udara, menghindari serangan beruntun dari orang aneh berjubah hitam ini

"Utfs...!" Rangga sedikit melenguh begitu merasakan angin pukulan si Iblis Penggali Kubur yang menebarkan hawa panas menyengat. Sehingga membuat pernafasannya jadi terganggu. Tapi dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti memindahkan jalan pernafasannya melalui perut. Sehingga, gerakannya tidak terganggu. Begitu indah dan manis sekali gerakan tubuh Pendekar Rajawali Sakti, sehingga serangan-serangan cepat yang sangat berbahaya si Iblis Penggali Kubur tidak ada yang mengenai sasaran.

"Hiyaaat...!"

Menyadari kalau pemuda berbaju rompi putih itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi, Iblis Penggali Kubur cepat meningkatkan serangan-serangan. Pukulannya dilepaskan beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Udara di sekitar pertarungan itu pun semakin bertambah panas, menyesakkan dada. Tapi, rupanya Rangga memang sulit didekati. Gerakan-gerakan tubuhnya begitu lentur diimbangi gerakan kaki yang sangat cepat dan lincah. Sehingga si Iblis Penggali Kubur semakin bertambah geram, karena tidak satu pun serangan-serangannya yang berhasil mencapai sasaran.

"Hup!" Tiba-tiba saja Iblis Penggali Kubur melompat ke belakang, menghentikan pertarungan.

Sementara, Rangga kembali berdiri tegak di tempatnya. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Begitu tenang sikap Pendekar Rajawali sakti. Dan ketenangannya itu membuat si Iblis Penggali Kubur semakin bertambah geram. Jelas, dia merasa diremehkan pemuda tampan berbaju rompi putih ini.

"Phuih!" Beberapa kali si Iblis Penggali Kubur menyumpah, sambil menyemburkan ludah dengan geram. Perlahan kakinya bergerak menggeser ke samping mendekati sosok mayat yang masih tergeletak di tanah. Dia kemudian berdiri tepat di samping mayat yang terbungkus kain putih bernoda tanah berlumpur. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak di tempatnya, bersiap menerima serangan kembali.

"Aku tidak punya banyak waktu melayanimu, Anak Muda," kata Iblis Penggali Kubur dingin. Dan tiba-tiba saja, tangan kirinya mengebut cepat, lalu menghentakkan ke bawah. Seketika itu juga....

Brusss!
"Heh...?!"

Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba mengepul asap tebal di depan orang aneh berjubah hitam yang dikenal berjuluk Iblis Penggali Kubur. Hanya sebentar saja asap itu mengepul. Dan begitu menghilang tersapu angin, si Iblis Penggali Kubur sudah lenyap tak terlihat lagi, bersama mayat yang diambil dari dalam kuburannya.

"Keparat...!" geram Rangga merasa tertipu.

"Setan!" Rahayu juga ikut mengumpat geram.

Gadis itu bergegas menghampiri Rangga yang kini sudah berada di tempat si Iblis Penggali Kubur menghilang, setelah mengeluarkan asap tebal yang menutupi dirinya tadi. Sedikit pun tidak ada bekas, atau tanda-tanda ke mana perginya Iblis Penggali Kubur itu. Dan ini tentu saja, hal ini membuat Rangga jadi kebingungan juga. Pandangannya segera beredar berkeliling, tapi hanya kegelapan saja yang terlihat di sekitarnya.

"Ke mana dia pergi...?" gumam Rahayu seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Sedangkan Rangga tidak menjawab sedikit pun juga. Dia sendiri tidak tahu, ke arah mana perginya si Iblis Penggali Kubur tadi. Suatu cara menghindar yang belum pernah dilihatnya, selama Pendekar Rajawali Sakti mengembara menjelajahi rimba persilatan. Dia tidak tahu, ilmu apa yang digunakan si Iblis Penggali Kubur. Sedangkan saat bertarung tadi, jurus-jurusnya pun terasa sangat aneh. Rangga mengakui kalau tadi sedikit kewalahan juga menghadapinya.

"Ha ha ha...!"
"Heh...?!"

Rahayu jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara tawa keras menggelagar dan menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin. Sedangkan Rangga hanya menggumam saja perlahan.

"Tunggu saatnya nanti, Pendekar Rajawali Sakti. Kau akan menyesal! Ha ha ha...!"

"Hmmm...." Kembali Rangga hanya menggumam saja mendengar ancaman itu. Dikenalinya kalau betul itu suara si Iblis Penggali Kubur. Tapi, memang sulit untuk menentukan arah datangnya suara, karena terdengar menggema seperti datang dari segala penjuru mata angin.

Sementara, Rahayu langsung memandang pemuda tampan di sampingnya. Dan kini suara itu pun tidak terdengar lagi. Keadaan pun kembali sunyi, hanya angin saja yang terdengar menderu cukup kencang di sekitar tanah pekuburan ini.

"Kau Pendekar Rajawali Sakti...?" Desis Rahayu terus memandangi pemuda tampan berbaju rompi putih ini.

Rangga hanya diam saja. Matanya hanya melirik sedikit pada gadis yang berdiri di sebelahnya. Kemudian, kakinya terayun melangkah. Baginya, sudah tidak aneh lagi kalau ada orang yang terkejut setelah mengetahui kalau dirinya adalah Pendekar Rajawali Sakti yang namanya sudah kondang di seluruh rimba persilatan.

Rahayu bergegas menyusul, dan mensejajarkan ayunan kakinya di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. "Kenapa tidak bilang sejak tadi kalau kau Pendekar Rajawali Sakti...?"

Rahayu terus mengejar meminta penjelasan. Nada suara gadis itu seakan-akan menyesal, karena tidak bisa mengenali siapa pemuda tampan yang sangat digdaya ini. Sungguh Rahayu tidak tahu kalau pemuda ini adalah Pendekar Rajawali sakti yang nama maupun sepak terjangnya sudah seringkali terdengar dalam rimba persilatan.

"Maaf, tadi aku telah berlaku buruk padamu," ucap Rahayu.

"Lupakan saja," ujar Rangga terus melangkah.

Rahayu tidak bicara lagi, dan terus berjalan mengikuti ayunan langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti di sampingnya. Mereka terus berjalan meninggalkan kuburan di pinggiran Desa Kranggan ini. Sementara, malam terus merayap semakin larut.

Rangga menghampiri kudanya yang ditinggalkan agak jauh dari kuburan. Kuda hitam Dewa Bayu tidak dinaiki, tapi hanya dituntunnya sambil terus berjalan. Sedangkan Rahayu terus mengikuti sambil sesekali melirik wajah tampan yang tidak berpaling sedikit pun. Pendekar Rajawali Sakti terus memandang lurus ke depan, tanpa menghentikan ayunan kakinya.

TUJUH

"Siapa dia?" bisik Pandan Wangi sambil melirik tajam pada Rahayu.

"Namanya Rahayu. Dia punya dendam pada si Iblis Penggali Kubur. Aku semalam bertemu dengannya di kuburan," jelas Rangga singkat.

Pandan Wangi terus melirik tajam pada Rahayu. Sedangkan yang diperhatikan seperti tidak peduli, dan terus saja menyantap makanannya yang terhidang hampir penuh di meja. Sepertinya, gadis itu lapar sekali. Dan memang, baru pagi ini dia bisa menikmati makanan yang enak, setelah berhari-hari berkelana hanya untuk mencari si Iblis Penggali Kubur yang telah menculik mayat adiknya dari dalam kubur.

Kedatangan Rahayu yang bersama Rangga, tentu saja membuat Pandan Wangi jadi cemburu. Dan kecemburuan itu bisa dirasakan Rangga. Namun, Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Dia tahu, Pandan Wangi pasti cemburu kalau belum dijelaskan siapa Rahayu sebenarnya. Makanya Rangga langsung menjelaskan panjang lebar. Sementara, Pandan Wangi mendengarkan sambil terus memperhatikan gadis cantik yang mengenakan baju merah menyala itu.

"Ke mana Kadik? Sejak tadi aku tidak melihatnya," Tanya Rangga mengalihkan pembicaraan.

"Dia selalu pergi tanpa pamit dulu. Entah, ke mana perginya," sahut Pandan Wangi bernada kesal.

"Seharusnya kau selalu menjaganya, Pandan," kata Rangga.

"Dia bukan anak kecil lagi!" rungut Pandan Wangi.

"Keselamatannya terancam. Sedangkan dia tidak memiliki kepandaian sedikit pun juga. Anak itu bisa nekat demi menyelamatkan ibunya dari cengkeraman si Iblis Penggali Kubur, Pandan," kata Rangga lagi, seperti menyesali sikap Pandan Wangi yang tidak peduli terhadap keselamatan jiwa Kadik.

"Lalu, aku harus bagaimana...?" Tanya Pandan Wangi seperti mengeluh.

"Kau cari dia! Iblis Penggali Kubur bukan hanya berbuat di sini saja, tapi sudah beberapa desa didatangi. Dia benar-benar ingin membuat pasukan yang tercipta dari mayat-mayat," kata Rangga yang tanpa disadari mencemaskan Kadik.

Pandan Wangi terdiam, tidak berkata sedikit pun juga. Sambil menghembuskan napas panjang, gadis berjuluk si Kipas Maut itu bangkit berdiri dari kursi kayu yang didudukinya, kemudian melangkah keluar. Sedikit matanya masih sempat melirik Rahayu sebelum menghilang di balik pintu depan rumah Kadik yang cukup besar ini.

Tak berapa lama kemudian, terdengar suara kaki kuda dipacu cepat meninggalkan halaman rumah ini. Sedangkan Rangga masih tetap duduk di kursinya, memandangi kepergian Pandan Wangi, sampai tidak terlihat lagi. Rangga baru beranjak bangkit setelah Pandan Wangi benar-benar tidak terlihat lagi. Lalu, kakinya melangkah menghampiri Rahayu yang tampaknya sudah selesai makan.

Gadis itu hanya mengangkat kepalanya sedikit, menatap Pendekar Rajawali Sakti. Seulas senyuman tipis terukir di bibirnya yang merah. Rangga membalasnya dengan senyuman yang manis pula, kemudian duduk di seberang meja berbentuk lingkaran dan beralaskan baru pualam putih ini.

"Mau ke mana temanmu?" Tanya Rahayu.

"Ada urusan," sahut Rangga seenaknya.

"Sudah makannya?" Rahayu mengangguk.

"Ayo kita pergi," ajak Rangga seraya bangkit berdiri.

"Ke mana?" Tanya Rahayu juga ikut berdiri.

"Kita harus temukan tempat persembunyian si Penggali Kubur itu. Aku tidak ingin ada jatuh korban lagi," sahut Rangga.

"Dia tidak akan bisa berbuat banyak sebelum...," Rahayu tidak meneruskan.

"Sebelum apa, Rara?" desak Rangga ingin tahu.

"Mayat-mayat itu tidak akan hidup sempurna sebelum dimandikan air rendaman Batu Mustika Biru yang tersimpan dalam cupu emas berukir sepasang naga kembar," sambung Rahayu.

"Maksudmu, Cupu Batu Mustika Biru...?" Rangga tampak terperanjat.

"Benar," sahut Rahayu. "Kau sudah mendengarnya?"

Rangga terdiam, dan langsung ingat surat ancaman yang ditujukan Kadik. Surat ancaman itu meminta agar Kadik menyerahkan Cupu Batu Mustika Biru, jika ibunya ingin kembali dengan selamat. Kini, Pendekar Rajawali Sakti baru tahu kalau benda itu justru sangat dibutuhkan si Iblis Penggali Kubur untuk menyempurnakan pekerjaannya dalam menghidupkan kembali mayat-mayat yang dicuri dari dalam kubur.

"Lalu, selama ini dia terus mengumpulkan mayat-mayat?" ujar Rangga lagi bernada bertanya.

"Benar. Dan semuanya belum bisa sempurna tanpa Cupu Batu Mustika Biru," sahut Rahayu.

"Kau tahu, di mana benda itu berada?" Tanya Rangga.

"Guruku pernah bercerita kalau benda itu di simpan seorang panglima perang. Tapi, panglima itu sudah tidak ada lagi. Dan sampai sekarang, benda itu tidak ketahuan lagi di mana adanya," jelas Rahayu.

Rangga mengangguk-anggukkan kepala perlahan beberapa kali. Dia tahu, panglima yang dimaksudkan adalah ayahnya Kadik. Tapi, tidak mungkin hal ini diberitahukan pada Rahayu. Yang jelas Cupu Batu Mustika Biru yang diinginkan si Iblis Penggali Kubur tidak ada lagi. Dan ini merupakan satu kesempatan besar baginya untuk menghentikan sepak terjang si Iblis Penggali Kubur, sebelum bisa menyempurnakan kehidupan mayat-mayat yang dicuri dari dalam kubur.

"Kau tahu, siapa panglima itu?" Tanya Rangga memancing.

"Sayang sekali, guruku belum sempat mengatakannya lebih jauh lagi. Beliau tewas di tangan Iblis Penggali Kubur, ketika hendak menyelamatkan mayat adikku dari tangannya," sahut Rahayu perlahan suaranya.

Kembali Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti mengajak gadis itu keluar. Rahayu tidak menolak. Dan sebentar kemudian, mereka sudah meninggalkan rumah ini dengan menunggang kuda. Saat itu, matahari sudah jauh tinggi, tepat di atas kepala. Dua ekor kuda yang ditunggangi Rangga dan Rahayu terus berpacu cepat, menuju sebelah Barat Desa Kranggan.

********************

Sementara itu, Pandan Wangi sudah sampai di pinggiran hutan sebelah Timur Desa Kranggan. Gadis cantik berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu memperlambat lari kudanya. Dan begitu sampai di dalam hutan, lari kudanya dihentikan.

"Hup!" Dengan gerakan yang begitu indah dan ringan, Pandan Wangi melompat turun dari punggung kuda putihnya. Sebentar pandangannya beredar berkeliling, merayapi sekitarnya. Kemudian kakinya melangkah beberapa tindak meninggalkan kudanya yang langsung merumput di antara pepohonan yang cukup rapat ini. Pandan Wangi terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan semakin jauh meninggalkan kudanya. Dia terus berjalan perlahan-lahan, memasuki hutan yang cukup lebat ini.

"Hm. Apa mungkin Kadik datang lagi ke sini?" Gumam Pandan Wangi bertanya pada diri sendiri.

Pandan Wangi menghentikan ayunan langkahnya. Kembali pandangannya beredar berkeliling. Begitu sunyi sekali hutan ini. Bahkan sedikit pun tak terdengar suara binatang. Seakan-akan, seluruh binatang di hutan ini sudah pindah entah ke mana. Hanya desir angin saja yang terdengar mengusik telinga. Tanpa disadari, gadis itu sudah begitu jauh masuk ke dalam hutan.

"Hutan ini cocok sekali untuk tempat persembunyian. Hmmm...," gumam Pandan Wangi lagi. Kaki gadis itu kembali terayun melangkah. Dan pandangannya terus beredar tajam, mengamati keadaan sekitarnya. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak....

Wusss!
"Heh?! Utfs...!"

Cepat-cepat Pandan Wangi mengegoskan tubuhnya, begitu tiba-tiba mendengar desir angin halus dari arah sebelah kanan. Saat itu juga, terlihat sebatang anak panah meluncur deras melewati depan dadanya.

"Hup!" Bergegas Pandan Wangi melompat ke belakang sambil berputaran beberapa kali di udara. Begitu indah dan ringan gerakannya, karena ilmu meringankan tubuh yang dimiliki memang sudah mencapai tingkat sangat tinggi.

"Hap!" Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis cantik berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu menjejakkan kakinya di tanah yang tertutup dedaunan kering. Langsung mata dan telinganya dipasang tajam. Dan pandangannya pun segera tertuju ke arah anak panah yang menancap begitu dalam di batang pohon. Jelas sekali kalau panah itu dilepaskan lewat pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi.

"Hmmm...," Pandan Wangi menggumam perlahan.

Srak!

"Hup!" Pandan Wangi langsung melompat ke belakang beberapa langkah, begitu tiba-tiba bermunculan orang-orang dari balik semak dan pepohonan yang begitu rapat di dalam hutan ini. Sebentar saja, didepan si Kipas Maut sudah berdiri tidak kurang dari sepuluh orang gadis cantik yang semuanya mengenakan baju warna putih yang kotor bernoda tanah berlumpur.

"Oh...?!" Pandan Wangi jadi terkesiap begitu me-ngamati wajah gadis-gadis itu tampak pucat pasi bagai tidak teralirkan darah. Bahkan sikap mereka juga amat kaku. Pandan Wangi langsung menutup hidungnya begitu tercium bau bangkai yang sangat menyengat.

"Ugkh...!" Cepat-cepat si Kipas Maut melangkah ke belakang beberapa tindak. Perutnya mendadak saja jadi mual, saat mencium bau busuk yang begitu menyengat hidung. Disadarinya kalau sepuluh gadis di depannya ini adalah mayat-mayat hidup yang dibangkitkan dari dalam kubur. Dan mereka mulai bergerak kaku, mendekati si Kipas Maut.

Sementara, gadis-gadis mayat hidup itu terus bergerak mendekati dengan sikap kaku sekali. Sorot matanya begitu kosong, dan wajahnya yang pucat juga terlihat kaku. Benar-benar tidak ada kehidupan di dalam diri mereka, walaupun bisa bergerak.

"Mau apa kalian?!" Bentak Pandan Wangi sambil menahan rasa mual diperutnya.

Tapi tak ada satu pun dari mayat-mayat hidup itu yang menjawab. Mereka terus saja melangkah dengan gerakan kaku mendekati si Kipas Maut. Sedangkan Pandan Wangi sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Tangan kanannya sudah meraba senjata kipas mautnya yang terselip di balik ikat pinggang ber-warna kuning keemasan.

"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja salah satu dari gadis mayat hidup itu berteriak keras sekali. Dan saat itu juga, mereka semua berlompatan cepat menyerang Pandan Wangi. Begitu cepatnya, hingga membuat si Kipas Maut jadi terperangah sesaat. Sungguh tidak disangka kalau mayat-mayat hidup ini bisa bergerak begitu cepat Padahal, tadi ayunan langkahnya sangat kaku.

"Hup! Yeaaah...!" Cepat-cepat Pandan Wangi melenting ke udara, menghindari terjangan sepuluh gadis mayat hidup yang bergerak serempak dan cepat. Beberapa kali Pandan Wangi berputaran di udara, lalu manis sekali kembali menjejakkan kakinya di tanah. Namun belum juga berdiri tegak, mendadak satu mayat hidup sudah berputar cepat sambil mengibaskan tangannya.

Bet! "Hait..!"

Dengan gerakan begitu manis, Pandan Wangi bisa menghindari serangan gadis mayat hidup ini. Cepat kakinya bergeser ke kanan, dan langsung senjata kipas maut andalannya dicabut. Kipas berwarna keperakan itu sudah terkembang di depan dada. Sementara, gadis-gadis mayat hidup sudah kembali bergerak merangsek si Kipas Maut.

"Majulah, kalau kalian ingin kembali tidur di dalam kubur!" dengus Pandan Wangi dingin.

Sepuluh orang gadis yang seharusnya sudah menghuni lubang kubur itu berlompatan cepat menyerang si Kipas Maut. Begitu cepat sekali gerakan mereka, sehingga membuat Pandan Wangi terpaksa harus berjumpalitan menghindari.

"Hiya! Hiya! Hiyaaah...!"

Beberapa kali Pandan Wangi membalas menyerang dengan kebutan kipasnya yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Setiap kebutan kipasnya menimbulkan deru angin dahsyat. Namun, gadis-gadis mayat hidup itu bisa menghindar dengan gerakan begitu manis dan lentur sekali.

"Hiyaaat..!" Pandan Wangi terus berlompatan sambil mengebutkan kipasnya dengan kecepatan luar biasa sekali. Beberapa pukulan dan tendangan bertenaga dalam tinggi pun cepat dilepaskan, menyertai serangan kebutan kipas mautnya. Pandan Wangi memang sengaja melakukan serangan lebih dulu, sebelum mayat-mayat hidup ini membuatnya repot. Tapi beberapa jurus berlalu, dia belum juga berhasil memasukkan satu serangan pun pada mayat-mayat hidup ini.

"Edan...! Phuih!" dengus Pandan Wangi sambil menyemburkan ludahnya. Sebentar saja Pandan Wangi sudah menghabiskan lima jurus dahsyat, tapi belum juga mampu menundukkan mayat-mayat hidup ini. Bahkan tak satu pun dari serangan-serangannya yang bisa tepat mencapai sasaran. Dan ini membuat Pandan Wangi jadi berpikir juga untuk terus bertarung seperti ini. Bisa-bisa, tenaganya terkuras habis. Jelas, gadis itu tidak sudi mati konyol di dalam hutan ini. Terlebih lagi, jika harus mati di tangan mayat-mayat ini.

"Hup! Hiyaaa...!" Sambil berteriak nyaring melengking, Pandan Wangi melenting tinggi-tinggi ke udara. Lalu cepat sekali kipas mautnya dipindahkan ke tangan kiri. Dan sambil meluruk turun, tangan kanannya mencabut Pedang Naga Geni yang tersampir di punggung. Cahaya merah bagai api langsung membersit begitu Pedang Naga Geni tercabut.

"Hiyaaat...!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi langsung membabatkan pedangnya ke salah satu mayat gadis yang berada di dekatnya. Begitu cepat sekali kebutan Pedang Naga Geni, sehingga mayat hidup itu tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Cras!
"Aaakh...!"

Satu jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat, memecah kesunyian di dalam hutan ini. Tampak gadis mayat hidup itu terhuyung-huyung begitu lehernya terbabat Pedang Naga Geni di tangan kanan Pandan Wangi. Tapi, tak ada setetes darah pun keluar dari lehernya yang terbabat hampir buntung.

"Hiyaaa...!" Pandan Wangi tidak sudi lagi membuang-buang kesempatan. Begitu satu mayat hidup ambruk tergeletak di tanah, dia langsung berlompatan sambil mengebutkan Pedang Naga Geni yang begitu dahsyat. Pandan Wangi memang jarang sekali menggunakan pedangnya kalau tidak terpaksa. Dan kini keadaan memang memaksanya harus menggunakan Pedang Naga Geni.

Bet!
Wuk!
Cras!
Bret!

Dua kali kebutan Pedang Naga Geni, membuat dua gadis mayat hidup terbanting keras ke tanah dengan dada dan leher terbelah lebar. Begitu cepatnya gerakan jurus yang dilakukan, sehingga membuat mayat-mayat hidup ini tidak dapat lagi mengikutinya. Sementara pedang yang memancarkan sinar merah bagai api itu terus berkelebatan begitu cepat tanpa dapat dibendung lagi.

Crab!
"Aaah...!

Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terus terdengar semakin sering dan menyayat, diikuti tubuh-tubuh bergelimpangan terbabat Pedang Naga Geni. Tapi setetes pun tak ada darah yang terlihat keluar dari tubuh gadis-gadis mayat hidup ini.

"Hiya! Hiyaaa...!" Pandan Wangi benar-benar mengamuk, berlompatan ke segala arah sambil mengebutkan Kipas Mautnya di tangan kiri dan Pedang Naga Geni di tangan kanan. Hingga dalam beberapa jurus saja, sepuluh gadis mayat hidup itu sudah bergelimpangan tak mampu bangkit lagi. Pandan Wangi melompat menjauh, hingga jaraknya jadi sekitar tiga batang tombak dari mayat-mayat gadis itu.

"Phuih...!" Dengan punggung tangannya, Pandan Wangi menyeka keringat yang membanjiri wajah dan leher. Dadanya yang membusung indah bergerak cepat turun naik. Nafasnya pun terdengar keras memburu. Perlahan, dimasukkannya kembali Pedang Naga Geni ke dalam warangka di punggung. Kemudian, diselipkannya lagi Kipas Mautnya di balik ikat pinggang.

"Mereka pasti mayat-mayat yang diculik si Iblis Penggali Kubur. Hmmm.... Berarti tempat persembunyian iblis itu tidak jauh di sekitar sini," gumam Pandan Wangi berbicara sendiri.

Sebentar gadis itu mengamati keadaan sekitarnya, kemudian melangkah hendak me-ninggalkan tempat ini. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja....

"Ha ha ha...!"

"Oh...?!" Pandan Wangi jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terdengar suara tawa yang sangat keras menggelegar menyakitkan telinga. Langsung ayunan kakinya dihentikan. Dan belum juga bisa menghilangkan keterkejutannya, tahu-tahu di depannya mengepul segumpal asap kemerahan dari dalam tanah. Dan begitu asap itu menghilang, di depan si Kipas Maut ini sudah berdiri seseorang berjubah hitam panjang. Kain berbentuk kerucut tampak menutupi seluruh kepala, hingga sukar melihat jelas wajahnya.

"Iblis Penggali Kubur...," desis Pandan Wangi langsung mengenali. Pandan Wangi cepat bisa tahu kalau orang itu adalah si Iblis Penggali Kubur, setelah mendengar cerita Kadik. Begitu jelas Kadik menyebutkan ciri-cirinya, sehingga Pandan Wangi mudah sekali langsung bisa menebak tepat.

"He he he...!"

"Hmmm..."

DELAPAN

"Kau benar-benar bernyali besar, sehingga berani datang sendiri ke sini, Cah Ayu," terdengar besar dan berat sekali nada suara si Iblis Penggali Kubur ini.

Dari suaranya saja, sudah jelas kalau Iblis Penggali Kubur adalah laki-laki. Tapi sulit untuk bisa menduga, apakah masih muda atau sudah tua. Karena, wajahnya sukar dilihat. Sedangkan Pandan Wangi hanya menggumam saja perlahan. Sementara, tangan kanannya sudah meraba Kipas Maut yang selalu terselip di balik ikat pinggang.

Orang itu menggerakkan kepalanya, memandangi mayat-mayat gadis yang bergelimpangan di sekitarnya. Kemudian, dia kembali menatap Pandan Wangi dari balik kerudung kain hitam yang menutupi seluruh wajah dan kepala. Kalau saja bisa terlihat, tentu sorot matanya sangat tajam. Tapi, Pandan Wangi kelihatan tidak peduli. Bahkan malah menatap dengan sinar mata yang begitu tajam, seakan-akan hendak menembus kerudung hitam yang menutupi seluruh kepala laki-laki berjubah hitam ini.

"Kau yang membunuh mereka?" Tanya Iblis Penggali Kubur dingin.

"Kalau iya, kenapa...?" sahut Pandan Wangi sinis.

"Itu berarti kau harus menggantikan mereka," tegas Iblis Penggali Kubur.

"Jadi budak mayatmu...? Coba saja kalau memang mampu," tantang Pandan Wangi langsung.

"Kau benar-benar anak pemberani, Bocah. Siapa namamu?"

"Pandan Wangi."

"Nama yang bagus. Tapi, aku tidak peduli dengan namamu. Kau harus menggantikan kedudukan mereka menjaga hutan ini."

"Hm...," Pandan Wangi hanya menggumam kecil.

"Bersiaplah kau, Cah Ayu. Hiyaaa...!"

Cepat sekali Iblis Penggali Kubur melompat sambil melepaskan satu pukulan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Pukulannya terarah lurus ke dada si Kipas Maut. Tapi, Pandan Wangi memang sudah siap sejak tadi. Dan begitu tangan si Iblis Penggali Kubur dekat dengan dadanya, cepat sekali kipasnya ditarik dan lan-sung dikebutkan ke depan dada.

"Hih!"
Bet!
"Heh...?!
Utfs!"

Iblis Penggali Kubur tampak terkejut atas tindakan yang dilakukan Pandan Wangi. Gadis itu justru tidak berusaha menghindar, tapi malah memapak serangannya dengan kipas baja putih keperakan. Buru-buru Iblis Penggali Kubur menarik pulang tangannya yang sudah terulur ke arah dada. Dua kali tubuhnya diputar ke belakang, lalu manis sekali kakinya kembali menjejak tanah.

"Hap! Hiyaaa...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Iblis Penggali Kubur langsung melompat menyerang begitu kakinya menjejak tanah. Kali ini, serangannya lebih cepat dan dahsyat luar biasa. Akibatnya Pandan Wangi terpaksa harus melenting ke atas, menghindari terjangan laki-laki berjubah hitam ini.

"Hiyaaat...!" Tapi tanpa diduga sama sekali, Iblis Penggali Kubur bisa melenting selagi tidak menyentuh tanah sedikit pun. Bahkan begitu cepat sekali tangan kanannya mengibas ke punggung si Kipas Maut ini. Begitu cepat kebutan tangannya, sehingga Pandan Wangi tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Beghkh! "Akh...!"

Tak dapat dihindari lagi, Pandan Wangi jatuh tersungkur menghantam tanah dengan keras. Pada saat itu juga, si Iblis Penggali Kubur meluruk deras sambil melepaskan dua pukulan keras bertenaga dalam tinggi, secara beruntun dan cepat bagai kilat.

"Hiyaaa...!"
"Hait...!"

Cepat-cepat Pandan Wangi menggulingkan tubuhnya ke samping, sehingga pukulan Iblis Penggali Kubur hanya menghantam tanah kosong. Seketika tanah di sekitar pertarungan bergetar bagai diguncang gempa. Pandan Wangi cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri tegak, si Iblis Penggali Kubur sudah menyerang cepat sekali.

"Hiyaaa...!"
"Uts...!"

Cepat-cepat Pandan Wangi mengegoskan tubuhnya, menghindari tendangan menggeledek yang dilepaskan si Iblis Penggali Kubur. Tapi pada saat yang hampir bersamaan, si Iblis Penggali Kubur sudah melepaskan satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat pukulannya, sehingga Pandan Wangi tidak sempat lagi menghindar. Dan....

"Yeaaah...!"
Des!
"Akh...!"

Untuk kedua kalinya Pandan Wangi terpekik. Tubuhnya langsung terpental sejauh tiga batang tombak ke belakang, begitu dadanya terhantam pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Sebatang pohon yang cukup besar, seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya.

"Ugkh...!"

Segumpal darah kental agak kehitaman meloncat keluar dari mulutnya. Pandan Wangi merasakan dadanya seperti remuk. Malah nafasnya jadi tertahan, bagai disumbat sebongkah batu yang cukup besar di tenggorokannya. Pandangannya pun jadi berkunang-kunang. Sebentar kepalanya digeleng-gelengkan, dan mencoba bangkit berdiri. Namun baru saja bisa berdiri, tiba-tiba saja....

"Hiyaaat...!"
"Ohk...?!"
Des!
"Akh...!"

Pandan Wangi hanya bisa melenguh sedikit, begitu tahu-tahu satu tendangan keras menggeledek telah mendarat telak di dadanya. Akibatnya, si Kipas Maut itu kembali terpental deras ke belakang. Namun belum juga tubuhnya terbanting ke tanah, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat menyambar tubuh si Kipas Maut.

"Hei...?!" Iblis Penggali Kubur jadi tersentak kaget. Tapi belum juga rasa keterkejutannya hilang, di depannya sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tengah memondong tubuh Pandan Wangi.

"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Iblis Penggali Kubur langsung mengenali pemuda tampan berbaju rompi putih itu.

Dan pemuda itu memang Rangga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu, muncul Rahayu dari balik sebatang pohon. Gadis cantik berbaju merah itu langsung menghampiri Rangga yang memondong Pandan Wangi. Tampak kalau si Kipas Maut tengah tidak sadarkan diri setelah menerima tendangan keras menggeledek di dadanya tadi. Untung saja, Rangga cepat menangkapnya sebelum tubuhnya hancur terbanting ke tanah.

"Bawa ke tempat yang aman," pinta Rangga sambil menyerahkan Pandan Wangi pada Rahayu.

Tanpa membantah sedikit pun, Rahayu menerima Pandan Wangi dari pondongan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu, Pandan Wangi dibawanya pergi ke tempat yang lebih aman dan jauh dari jangkauan si Iblis Penggali Kubur. Sekilas Rangga melirik Rahayu yang sudah membawa Pandan Wangi ke tempat yang lebih aman. Kemudian, kakinya melangkah beberapa tindak mendekati Iblis Penggali Kubur. Sorot matanya terlihat begitu tajam seakan-akan hendak menembus kerudung hitam yang menutupi seluruh wajah dan kepala laki-laki berjubah hitam itu.

"Aku lawanmu, Iblis Penggali Kubur," Dingin sekali nada suara Rangga.

"Orang lain bisa terkencing-kencing mendengar namamu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi jangan harap kau mampu menandingi ku!" dengus Iblis Penggali Kubur tidak kalah dingin.

"Apa pun alasanmu, Dewa-dewa di Swargaloka mengutuk perbuatanmu," kata Rangga masih tetap dingin nada suaranya.

"Ha ha ha...! Jangan coba-coba menggurui ku Bocah! Dewa pun tidak akan berani menghentikan aku!" sambut Iblis Penggali Kubur pongah.

"Congkak sekali kau!" dengus Rangga jadi geram.

"Tidak perlu banyak omong, Bocah! Ayo, keluarkan semua kepandaianmu!" tantang Iblis Penggali Kubur lantang.

"Hm...."
"Hiyaaat...!"

Bagaikan kilat, si Iblis Penggali Kubur melompat menyerang. Beberapa pukulan bertenaga dalam tinggi dilepaskan beruntun dan cepat sekali. Sesaat Rangga terhenyak melihat kecepatan serangan si Iblis Penggali Kubur. Tapi dengan gerakan indah dan manis sekali, setiap pukulan yang datang mengancam tubuhnya bisa dihindarinya. Dan rupanya, si Iblis Penggali Kubur tidak sudi memberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti untuk membalas menyerang. Rangga dicecar dengan pukulan-pukulan dahsyat, cepat, dan beruntun. Itu dilakukan si Iblis Penggali Kubur sambil berlompatan mengitari tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
"Haiiit...!"

Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar bagai hendak menghancurkan hutan ini. Suara-suara ledakan pun terdengar saling susul, dari pukulan-pukulan bertenaga dalam tinggi yang tidak mengenai sasaran. Sebentar saja, sudah banyak pepohonan yang tumbang terkena hantaman pukulan yang dilepaskan si Iblis Penggali Kubur.

Sedangkan Rangga belum sekali pun melakukan serangan, dan masih terus berjumpalitan menghindar. Dan memang, Pendekar Rajawali Sakti tidak memiliki kesempatan sedikit pun untuk membalas serangan-serangan beruntun ini.

"Phuih! Bisa habis tenagaku kalau begini terus," dengus Rangga dalam hati.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara begitu satu tendangan lurus dilepaskan si Iblis Penggali Kubur kearah perutnya. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga manis sekali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara. Lalu dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya meluruk deras dengan kedua kaki berputaran cepat mengarah ke kepala lawan. Saat itu, Rangga mengerahkan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Satu serangan pertama yang bisa dilakukan.

"Yeaaah...!"
"Hap!"

Iblis Penggali Kubur jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Maka, kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti hanya menghantam tanah kosong hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar, menggetarkan seluruh tanah hutan ini.

"Hiyaaat...!"

Tanpa membuang-buang kesempatan lagi, Rangga cepat melompat ke arah kanan si Iblis Penggali Kubur. Satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dilepaskan dengan kecepatan kilat. Akibatnya si Iblis Penggali Kubur yang baru saja bisa berdiri jadi terpana sesaat. Tapi...

"Hait!"

Manis sekali si Iblis Penggali Kubur mengegoskan tubuhnya, menghindari pukulan dahsyat itu. Dia cepat melompat ke belakang begitu pukulan Rangga lewat di depan dadanya. Namun belum juga Iblis Penggali Kubur itu bisa memantapkan kedua kakinya, Rangga sudah kembali melesat cepat sambil mengibaskan tangannya.

"Yeaaah...!"
"Hap!"

Tidak ada lagi kesempatan bagi Iblis Penggali Kubur untuk menghindar. Dan dia terpaksa menangkis kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti dengan tangannya. Tak pelak lagi, dua tangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi beradu keras, tepat di depan dada si Iblis Penggali Kubur.

Plak!
"Akh...!"

Tampak si Iblis Penggali Kubur terpekik begitu tangannya beradu dengan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Cepat-cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah. Tapi pada saat itu terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat, meluruk ke arah si Iblis Penggali Kubur.

"Hiyaaa...!"

Tanpa diduga sama sekali, si Iblis Penggali Kubur memutar cepat tubuhnya sambil mengibaskan tangannya ke arah bayangan merah itu. Dan....

Des!
"Akh...!"

Suara pekikan tertahan terdengar. Tampak bayangan merah itu terpental balik ke belakang.

Brak!

Sebatang pohon seketika hancur terlanda bayangan merah itu.

"Rahayu...," desis Rangga terkejut.

"Ohhh...." Bayangan merah yang ternyata Rahayu merintih lirih sambil menggeliat di antara reruntuhan kayu pohon yang terlanda tubuhnya. Tampak darah mengalir dari sudut bibir dan lubang hidungnya. Sungguh dahsyat kibasan tangan Iblis Penggali Kubur, sehingga Rahayu tidak mampu lagi bangkit berdiri. Dan dia hanya bisa merintih sambil menggeliat.

"Hiyaaa...!" Saat itu juga, Iblis Penggali Kubur sudah melompat begitu cepat bagai kilat ke arah Rahayu yang masih menggeletak, menggeliat di antara kepingan kayu pohon.

"Hup! Yeaaah...!"

Rangga yang melihat kecurangan ini, langsung saja melompat memotong arah si Iblis Penggali Kubur itu. Satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan dengan kecepatan luar biasa sekali. Akibatnya si Iblis Penggali Kubur jadi terbeliak kaget tidak menyangka.

"Hap!"

Cepat-cepat si Iblis Penggali Kubur melenting kebelakang, menghindari terjangan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara, lalu mendarat kembali di tanah dengan manis sekali. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, Rangga sudah melepaskan satu pukulan keras dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir.

"Hiyaaa...!"
"Heh...?!"

Si Iblis Penggali Kubur hanya mampu terbeliak saja. Bahkan sepertinya tidak sempat lagi menghindari. Akibatnya, dadanya yang dalam keadaan kosong itu pasti terancam oleh pukulan maut Pendekar Rajawali Sakti!

Des!
"Aaakh...!"

Jeritan panjang melengking tinggi terdengar nyaring menyayat hati. Tampak tubuh si Iblis Penggali Kubur terpental jauh ke belakang. Tiga batang pohon yang terlanda tubuhnya seketika hancur berkeping-keping. Sementara itu, Rangga sudah kembali melesat mengejar.

"Hiyaaat...!"
Bet!

Dengan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega, tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti mengibas cepat dengan kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna. Tubuh Iblis Penggali Kubur yang masih melayang di atas tanah, tidak mampu lagi menghindari serangan yang begitu cepat dan dahsyat ini. Maka...

Plak!
"Aaa...!"

Bruk! Keras sekali kibasan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga kepala Iblis Penggali Kubur seketika pecah. Darah kontan menyembur deras dari kepala yang hancur itu. Dan tubuh iblis itu langsung terbanting keras menghantam tanah. Hanya sebentar saja Iblis Penggali Kubur menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Mati!

Sementara, Rangga berdiri tegak memandangi beberapa saat, kemudian melangkah mendekati. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti membungkuk, lalu membuka kain kerudung hitam yang menyelubungi kepala Iblis Penggali Kubur. Hampir Rangga terpekik begitu melihat kepala Iblis Penggali Kubur. Ternyata, wajahnya tidak lagi memiliki daging, dan benar-benar merupakan wajah tengkorak.

"Kakang..."

Rangga cepat menarik tubuhnya tegak kembali, dan melangkah mundur beberapa tindak. Kemudian, dia berbalik membelakangi si Iblis Penggali Kubur yang sudah tidak bernyawa lagi dengan kepala hancur berlumur darah. Tampak Pandan Wangi dan Rahayu saling berpapasan menghampiri. Kelihatannya, kedua gadis ini mengalami luka dalam yang cukup parah juga.

Saat itu, Kadik muncul sambil memondong sesosok tubuh terbungkus kain putih yang bernoda tanah berlumpur, didampingi seorang perempuan setengah baya. Rangga menunggu mereka sampai dekat dengannya.

"Itu kekasihmu?" Tanya Rangga langsung, begitu Kadik dekat.

"Benar," sahut Kadik.

"Dan ini emak ku."

"Syukurlah kau bisa menyelamatkan semuanya," ucap Rangga lega.

"Ini semua berkat jasamu, Rangga. Aku tidak mungkin bisa menyelinap masuk ke sarangnya, kalau kau tidak bertarung dengan iblis keparat itu," jelas Kadik.

"Oh...?! Jadi kau tahu semua kejadian di sini?" Tanya Rangga terkejut.

Kadik hanya tersenyum saja. Rangga menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menghampiri Pandan Wangi dan Rahayu. Sebentar diperiksa kedua gadis cantik ini. Keningnya jadi sedikit berkerut, mendapati kedua gadis ini benar-benar mengalami luka dalam yang cukup parah. Dan tentu saja mereka harus segera diobati.

"Kalian terluka?" Tanya Kadik.

Pandan Wangi dan Rahayu hanya menganggukkan kepala saja berbarengan.

"Sebaiknya, kita cepat pulang. Aku tahu tempat tinggal tabib yang ahli mengobati luka dalam akibat pertarungan," jelas Kadik lagi.

鈥淭erima kasih," ucap Pandan Wangi pelan.

"Oh ya, Kadik. Bagaimana tentang Cupu Batu Mustika Biru? Apakah iblis itu sudah menemukan, dan menggunakannya?" Tanya Rangga.

"Kalau dia sudah menggunakannya, mayat-mayat yang dibangkitkannya itu pasti akan hidup kembali. Jadi berarti batu itu belum ditemukan. Biarlah batu itu menjadi rahasia rimba persilatan. Dan aku menyerahkan padamu untuk memilikinya bila kau mampu mencarinya, Rangga," jelas Kadik yang memang telah menyatroni tempat tinggal si Iblis Penggali Kubur.

Rangga hanya tersenyum. Dalam hatinya, sama sekali tak ada niatan mencari Cupu Batu Mustika Biru. Baginya bila ada tokoh yang mencoba mencari batu itu dan menggunakannya untuk kejahatan, maka inilah tanggung jawabnya! Dan Cupu Batu Mustika Biru biar menjadi rahasia rimba persilatan.

SELESAI

KISAH BERIKUTNYA: MISTERI NAGA LAUT

Iblis Penggali Kubur

Pendekar Rajawali Sakti

IBLIS PENGGALI KUBUR


SATU
MATAHARI baru saja tergelincir di ufuk Barat, ketika penduduk Desa Kranggan meninggalkan tanah pekuburan yang terletak cukup jauh dari desa itu. Hanya seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang tertinggal, dan kini berdiri mematung sambil memandangi gundukan tanah merah yang masih baru. Sedikit pun tubuhnya tidak bergeming. Bahkan tanpa mempedulikan orang-orang yang meninggalkannya semakin jauh, dia masih terpaku di situ.

Pemuda itu terus berdiri tegak memandangi tanah kuburan yang masih baru didepannya. Tampak kedua bola matanya berkaca-kaca. Sesekali terlihat bahunya berguncang, disertai dengan suara isak tertahan. Kemudian perlahan dia berlutut. Tangannya tampak bergetar meraba gundukan tanah merah di depannya. Tidak ada lagi seorang pun yang terlihat di sekitarnya. Tanpa disadari, setitik air bening menggulir dari sudut matanya.

"Sudah sore. Kenapa kau belum pulang, Anak Muda...?"

"Oh..?!" Pemuda itu tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara serak dan kering dari arah belakang. Cepat-cepat dia menghapus air matanya, lalu bangkit berdiri sambil memutar tubuhnya. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu didepan pemuda itu sudah berdiri seorang laki-laki tua bertubuh agak bungkuk, berjubah hitam panjang dan longgar.

"Semua orang sudah pulang. Kenapa kau masih tetap di sini, Anak Muda?" Tanya laki-laki tua berjubah hitam itu.

"Siapa Kakek ini?" Pemuda berwajah cukup tampan itu malah balik bertanya.

"Orang-orang biasa memanggilku Ki Jungut. Aku pengurus tanah kuburan ini," sahut laki-laki tua itu memperkenalkan diri. Walaupun suaranya terdengar kering dan serak, tapi nadanya terasa begitu hangat dan ramah.

Beberapa saat pemuda yang berbaju biru tua itu mengamati dari ujung kepala hingga ke ujung kaki laki-laki tua yang berdiri sekitar tiga langkah di depannya ini.

"Siapa namamu?" Tanya Ki Jungut.

"Kadik," sahut pemuda itu singkat.

"Yang dikuburkan tadi keluargamu?" Tanya Ki Jungut sambil menunjuk kuburan di belakang pemuda ini.

"Adikku," sahut Kadik, terdengar datar nada suaranya.

"Perempuan?" Tanya Ki Jungut lagi.

Kadik hanya mengangguk.

"Sudah bersuami?"

"Belum."

"Lalu, kenapa dia sampai meninggal? Sakit...?"

Kadik menggeleng.

"Kenapa...?" desak Ki Jungut lagi.

Tapi Kadik tidak menjawab. Matanya terlihat kembali merembang berkaca-kaca.

Sementara Ki Jungut memandangi dengan sinar mata yang begitu tajam, menusuk dalam ke bola mata pemuda berwajah cukup tampan di depannya.

Perlahan Kadik menggeser kakinya ke kanan beberapa tindak. Kemudian dia melangkah mundur menjauhi laki-laki tua yang tidak dikenalnya ini. Dari bola matanya yang berkaca-kaca, dia memandangi laki-laki tua berjubah hitam itu dalam-dalam.

"Kau tidak perlu takut atau curiga padaku, Anak Muda. Justru kalau kau punya persoalan, aku bersedia membantumu," jelas Ki Jungut, seakan tahu isi hati pemuda itu.

"Aku tidak kenal denganmu, Ki. Kenapa kau ingin membantuku?" Tanya Kadik curiga.

Ki Jungut hanya tersenyum saja. Dia melangkah mendekati pemuda itu, dan menepuk pundaknya dengan lembut.

Sedangkan Kadik hanya diam saja, dan terus memandangi laki-laki tua itu tanpa berkedip sedikit pun. Saat itu dia merasakan adanya hawa sejuk mengalir dari tangan keriput yang menempel di pundaknya. Saat itu juga Kadik merasa lebih tenang. Dan dia tidak ingat lagi dengan kekasihnya yang baru saja dikuburkan. Kesedihan yang tadi melanda dirinya kini benar-benar lenyap tak berbekas.

"Ayo ikut aku," ajak Ki Jungut.

Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Kadik mengikuti ayunan langkah laki-laki tua berjubah hitam yang baru dikenalnya ini. Sedikit pun dia tidak berpaling pada kuburan adiknya. Dia terus melangkah mengikuti Ki Jungut.

********************

Matahari terus tergelincir semakin jauh ke kaki langit sebelah Barat. Sinarnya yang semula terasa terik, kini begitu lembut dan indah dipandang. Sedikit pun sang mentari tidak menghiraukan semua yang ada di muka bumi. Dia terus bergerak menggelincir semakin tenggelam. Hingga akhirnya hanya rona merah saja yang membias di kaki langit.

Gerit serangga mulai terdengar mengiringi kepergian sang mentari ke peraduannya. Angin pun mulai terasa menebarkan hawa dingin. Burung-burung kembali ke sarangnya masing-masing. Begitu riuh sekali senja ini. Namun hanya sebentar saja kesibukan itu berlangsung. Dan keadaan pun berubah menjadi sunyi senyap, hingga hanya gerit serangga malam saja yang terdengar menyayat.

Kegelapan langsung menyelimuti seluruh belahan permukaan bumi ini. Dan tugas sang mentari pun digantikan dewi bulan yang cantik dengan sinarnya yang keperakan, begitu lembut menyirami bumi. Malam terus merayap semakin larut, bergerak sejalan dengan sang waktu.

Sementara di tanah pekuburan Desa Kranggan, tak lagi terlihat seorang pun di sana. Begitu sunyi keadaannya. Bahkan tak terdengar sedikit pun gerit binatang malam. Satu-satunya cahaya yang menerangi hanya sang dewi malam yang menggantung di langit hitam.

Namun, tiba-tiba saja terlihat sesosok bayangan hitam berkelebat cepat di antara lebatnya pepohonan di sekitar tanah pekuburan itu. Hanya sebentar saja bayangan hitam itu menghilang. Kemudian dari balik sebatang pohon beringin yang besar, muncul seseorang mengenakan baju hitam panjang dan longgar.

Sulit untuk bisa mengenali wajahnya, karena seluruh kepalanya tertutup kain hitam seperti kerudung. Dia melangkah perlahan-lahan melewati beberapa gundukan tanah berbatu nisan. Ayunan kakinya baru berhenti setelah sampai di dekat sebuah gundukan tanah yang masih baru.

"Hm...." Terdengar gumaman kecil dari mulutnya. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan tidak ingin kehadirannya di tengah kuburan malam-malam begini diketahui orang lain.

Saat itu terdengar suara lolongan anjing hutan di kejauhan. Begitu memilukan sekali suara lolongan anjing hutan itu.

Sementara orang berjubah hitam longgar itu mengangkat tangannya ke atas perlahan-lahan. Dan perlahan pula kepalanya terdongak ke atas, mengikuti gerakan kedua tangannya. Dari bayang-bayang kerudung hitam, terlihat bibirnya yang merah bergerak-gerak perlahan. Beberapa saat dia menengadahkan kepalanya dengan kedua tangan terangkat ke atas. Tampak asap tipis mengepul dari bawah telapak kakinya. Lalu, mendadak saja....

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja cepat sekali dia melompat tinggi ke udara. Lalu dengan deras pula dia meluruk turun dengan kaki tetap merapat lurus ke bawah. Tepat di atas kuburan yang tampaknya masih baru dia menghentakkan tangannya hingga merapat dengan tubuhnya. Dan seketika itu juga....

Bresss!

Tiba-tiba tubuhnya menembus kuburan yang masih baru! Begitu cepat sekali gerakannya, hingga sulit untuk diikuti dengan pandangan mata biasa. Tahu-tahu orang itu sudah lenyap, tenggelam ke dalam kuburan. Namun tak berapa lama kemudian...

Brulll! "Yeaaah...!"

Kembali terdengar teriakan keras menggelegar dari dalam lubang kuburan yang sudah menganga cukup lebar. Tampak asap tebal mengepul tinggi ke udara dari dalam kuburan itu. Bergulung-gulung bagaikan sebuah tiang penyangga langit.

"Ha ha ha...!"

Malam yang begitu sunyi, seketika pecah oleh suara tawa kering menggelegar. Bersamaan dengan suara tawanya, orang aneh berbaju serba hitam itu muncul dari dalam lubang kuburan. Cepat sekali dia melompat keluar, sambil memondong sesosok tubuh yang terbungkus, kain putih bernoda tanah merah.

Perlahan dia menurunkan mayat itu dari pondongannya. Seperti memperlakukan sebuah barang yang mudah pecah, diletakkannya mayat itu dengan hati-hati sekali di tanah yang berumput basah tersapu embun. Diamatinya sejenak mayat itu. Kemudian mulai dibukanya ikatan kain putih yang membungkus.

Hati-hati sekali dia melakukannya. Seakan tidak ingin merusak mayat itu. Hanya bagian kepalanya saja yang dibuka. Tampak seraut wajah cantik yang pucat terlihat begitu kain putih bernoda tanah sudah terbuka.

"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja dia tertawa terbahak-bahak. Beberapa saat diamatinya wajah cantik memucat kaku itu. Jari-jari tangannya yang kurus, sedikit bergetar saat meraba wajah wanita itu.

"Cantik.... Sungguh cantik sekali," gumamnya perlahan. "Sayang sekali kalau gadis secantikmu harus terbaring sendiri di dalam sana. Aku percaya, kau pasti akan berterima kasih padaku. Dan tak ada seorang pun yang akan menyakitimu lagi. Hhh...!"

Kemudian dibungkusnya kembali kepala mayat wanita itu, dan mengikatnya dengan rapi. Lalu, dia pun memondong mayat wanita itu. Kepalanya terlihat menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan-akan takut ada orang lain yang melihatnya. Dan suara tawanya yang tergelak kembali terdengar memecah kesunyian malam di kuburan ini.

"Ha ha ha...!"

Sambil tertawa terbahak-bahak, orang aneh itu melangkah cepat membawa sosok mayat yang diambilnya dari dalam kuburan. Begitu cepat dan ringan sekali ayunan kakinya, hingga dalam sebentar saja sudah jauh meninggalkan tanah kuburan. Suara tawanya yang lepas, masih terus berderai memecah kesunyian malam.

"Ha ha ha...!"

Tak ada seorang pun yang menyaksikan. Hanya rembulan di langit yang menyaksikan kejadian aneh dan mengerikan itu. Sementara suara tawa itu menghilang, bersamaan dengan tak terlihatnya lagi orang aneh yang masuk ke dalam kuburan, dan mengeluarkan mayat dari kuburan itu.

********************

"Tidaaak...!" jerit Kadik histeris.

"Kadik...!"

"Oh...?!" Kadik terlonjak dengan napas tersengal memburu. Keringat membanjiri seluruh tubuhnya. Kedua bola matanya terbuka nyalang.

Sementara seorang perempuan setengah baya memperhatikan dengan wajah diliputi kecemasan.

"Hhhh...!" Kadik menghembuskan napas panjang beberapa kali.

"Kau bermimpi, Kadik?" Tanya perempuan setengah baya itu. Jelas sekali suaranya mengandung kecemasan melihat pemuda ini seperti baru saja bermimpi sesuatu yang sangat mengerikan.

Sementara Kadik masih berusaha mencoba menenangkan dirinya. Kembali dihembuskannya napas panjang beberapa kali. Kemudian tangannya menyambar kendi yang terletak di atas meja, di samping pembaringannya. Air bening di dalam kendi dari tanah liat itu langsung berpindah ke tenggorokan pemuda ini.

Sementara, perempuan setengah baya yang duduk di tepi pembaringan itu terus memperhatikan dengan sinar matanya diliputi kecemasan. "Kau baru saja bermimpi, Kadik?" Tanya perempuan itu lagi.

"Iya, Mak," sahut Kadik pelan.

"Mimpi apa?" Tanya perempuan setengah baya yang ternyata ibu pemuda ini. Dan semua orang di Desa Kranggan biasa memanggilnya dengan sebutan Mak Itik. Entah karena bentuk tubuhnya yang kecil dan gemuk, hingga dia mirip dengan seekor itik. Terlebih lagi kalau sedang berjalan. Hingga semua orang selalu memanggilnya Mak Itik.

"Entahlah, Mak," sahut Kadik lesu.

"Tapi kenapa kau berteriak begitu?" Tanya Mak Itik.

Kadik hanya diam saja.

"Apa yang ada dalam mimpimu, Kadik?" Mak Itik terus mendesak ingin tahu.

"Hanya mimpi saja, Mak," sahut Kadik mengelak, tidak ingin membicarakan mimpinya.

Mak Itik mengangkat bahunya sedikit. Dia tahu kalau anaknya ini tidak mau membicarakan mimpinya barusan.

Sedangkan Kadik hanya diam saja dengan pandangan menerawang jauh ke depan. Mungkin dia sedang mengingat-ingat kembali mimpinya. Mimpi yang begitu menakutkan, membuatnya berteriak di tengah malam buta begini. Dia tidak tahu, ada pertanda apa dengan mimpinya barusan. Membuat perasaannya jadi tidak enak.

"Tidurlah lagi, Kadik," kata Mak Itik lembut.

Kadik menurut. Dia kembali merebahkan tubuhnya di pembaringan dari bambu ini. Sementara ibunya menyelimuti dengan kain yang sudah lusuh dan hampir memudar warnanya. Sebentar perempuan gemuk dan kecil itu memperhatikan wajah anaknya ini, kemudian ia melangkah pergi meninggalkannya seorang diri. Kadik hanya melirik sedikit saja, pada ibunya yang menutup pintu kamar ini perlahan-lahan.

"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Kadik bangkit dari pembaringannya. Dia duduk di tepi pembaringan itu. Perlahan kemudian dia bangkit berdiri dan berjalan menuju ke meja kayu yang terletak di sudut kamar berukuran tidak besar ini. Dia berdiri disana dengan tangan terkepal, bertumpu pada pinggiran meja. Jelas sekali terbayang di pelupuk matanya. Mimpi yang sangat menakutkan. Dia bertemu dengan kekasihnya yang baru siang tadi dikuburkan. Kekasihnya bangkit, dan hendak membunuhnya. Begitu mengerikan sekali. Sedangkan dia dalam keadaan seluruh tubuh terikat akar-akar pohon.

"Uh...!" Kadik menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengusir bayang-bayang mimpi yang mengerikan itu dari pelupuk matanya. Tapi wajah kekasihnya masih terus melekat, dengan wajah yang pucat dan kaku. Sorot matanya begitu tajam memerah, memancarkan api kebencian dan nafsu membunuh.

Kadik sendiri tidak mengerti, mengapa dia mendapatkan mimpi seperti itu. Padahal dia tahu kalau kekasihnya itu begitu mencintainya. Dan mereka memang sudah merencanakan untuk ke jenjang yang lebih jauh lagi. Tapi sebelum rencananya terlaksana, musibah itu sudah datang menimpa. Kekasihnya ditemukan mati gantung diri di dalam kamar.

Tidak ada yang tahu, kenapa gadis itu sampai mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. Tidak seorang pun menduga akan demikian. Gadis itu terkenal ramah pada siapa saja. Dan semua orang di Desa Kranggan ini tahu, kalau tidak lama lagi Kadik akan mempersunting gadis itu.

"Kadik...!"

"Oh...?!" Kadik tersentak kaget setengah mati, begitu ti-ba-tiba terdengar suara kering dari belakangnya. Cepat diputar tubuhnya berbalik. Kedua bola matanya langsung terbeliak lebar, begitu melihat seorang laki-laki tua berjubah hitam, tahu-tahu sudah berada di dalam kamarnya!

"Ki Jungut...," desis Kadik langsung mengenali. "Bagaimana kau bisa masuk ke sini...?"

Ki Jungut hanya tersenyum saja. Dia melangkah beberapa tindak mendekat. Seulas senyum terukir di bibirnya yang hampir tertutup kumis putih dan panjang, hingga menyatu dengan jenggotnya yang sudah memutih juga. Dia berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal sekitar empat langkah lagi didepan Kadik.

"Ada sesuatu yang ingin kuperlihatkan padamu," kata Ki Jungut.

"Apa?" Tanya Kadik.

"Sebaiknya kau jangan banyak tanya. Ikut saja denganku," sahut Ki Jungut.

鈥淭api...,"

"Kau akan tahu nanti, Kadik," selak Ki Jungut cepat, memutuskan ucapan anak muda ini.

Kadik ingin menolak, tapi belum juga dia bisa membuka suara, Ki Jungut sudah memegang pundaknya dengan tangan kanan. Seketika itu juga Kadik merasakan hawa sejuk menyelimuti seluruh tubuhnya. Kesadarannya pun langsung menghilang. Dia tidak mendengar suara apa pun juga. Hanya suara Ki Jungut saja yang terdengar telinganya.

"Ayo, ikut aku," ajak Ki Jungut.

"Baik, Ki."

Seperti ketika berada di kuburan, Kadik mengikuti laki-laki tua itu keluar dari kamarnya. Dia melangkah perlahan-lahan di belakang. Pintu-pintu yang mereka lewati terbuka sendiri tanpa disentuh sedikit pun. Tapi kesadaran Kadik memang sudah hilang, dan dia tidak memperhatikan sama sekali, ke mana laki-laki tua aneh itu mengajaknya pergi.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Udara dingin di luar tidak lagi dirasakan. Kadik terus berjalan mengikuti laki-laki tua berjubah hitam itu tanpa sadar. Dan dia benar-benar tidak mampu menolak.

********************

DUA

Kadik tidak tahu lagi, apa yang akan dikatakan begitu melihat kuburan kekasihnya sudah terbongkar. Bahkan jasad kekasihnya tidak ada lagi di dalam sana. Dia hanya bisa berdiri mematung, memandangi lubang kuburan itu. Sementara, angin yang berhembus kencang menyebarkan hawa dingin pun tidak bisa lagi dirasakan. Dia juga seperti lupa kalau di sampingnya ada seorang laki-laki tua yang justru membawanya ke kuburan ini.

"Keparat...! Siapa yang melakukan perbuatan biadab ini...?!" Desis Kadik geram.

"Si Iblis Penggali Kubur," sahut Ki Jungut datar.

Kadik langsung berpaling menatap laki-laki tua di sebelahnya. Sedangkan yang ditatap hanya mengarahkan pandangnya ke dalam kuburan yang berlubang. Perlahan wajahnya dipalingkan dan langsung bertemu sorot mata Kadik yang begitu tajam menusuk. Seakan-akan sorot mata itu hendak menembus relung hati laki-laki tua berjubah hitam ini.

"Akan kubunuh iblis keparat itu!" Geram Kadik mendesis bagai ular.

"Kau tidak akan mampu menghadapinya sendiri, Kadik. Dia bukan manusia sembarangan," sergah Ki Jungut tetap datar dan tenang nada suaranya.

"Aku tidak peduli. Tunjukkan di mana tempat tinggal iblis keparat itu," dengus Kadik.

"Untuk apa?"

"Akan kubunuh dia!"

Ki Jungut tersenyum seraya menggelengkan kepala beberapa kali. Ditepuk-tepuknya pundak pemuda itu dengan lembut sekali. Kemudian tubuhnya berputar berbalik, dan langsung melangkah perlahan.

Sementara, Kadik hanya memandangi saja beberapa saat. Kemudian kakinya pun diayunkan mengikuti laki-laki tua berjubah hitam itu. Sebentar saja Kadik sudah mensejajarkan ayunan kakinya di sebelah kanan Ki Jungut.

"Kau sudah tahu, siapa yang melakukan perbuatan biadab itu, Ki. Kenapa tidak kau cegah...?" Tanya Kadik, menyesalkan.

"Tidak mudah menghentikan Iblis Penggali Kubur, Kadik. Tingkat kepandaiannya sukar diukur. Bahkan kesaktiannya melebihi iblis-iblis dasar neraka," sahut Ki Jungut tetap datar dan tenang suaranya.

"Kau orang yang berilmu tinggi, Ki."

"Siapa bilang...? Aku bukan tandingannya."

"Tapi, kenapa kau memberitahu ku sebelumnya? Bahkan setelah kejadian ini pun, kau malah mengajakku ke sini. Apa sebenarnya tujuanmu, Ki?" Tanya Kadik jadi curiga.

Tapi Ki Jungut hanya tersenyum saja mendengar pertanyaan pemuda itu. Sedikit pun tidak dijawabnya. Seakan-akan, pertanyaan Kadik tadi memang tidak memerlukan jawaban yang tepat darinya. Dan Kadik juga tidak mendesak agar pertanyaannya terjawab.

"Kalau kau mau mendengar kata-kataku siang tadi, hal seperti ini tidak akan mungkin terjadi," kata Ki Jungut, setelah beberapa saat lamanya terdiam.

Kadik jadi terdiam. Laki-laki tua ini, memang sudah memperingatkannya siang tadi. Tapi Kadik memang tidak mempercayainya. Kadik disarankan oleh Ki Jungut untuk menyerahkan Batu Mustika Biru kepada Iblis Penggali Kubur. Tapi, Kadik dengan tegas mengatakan kalau sama sekali tidak tahu batu itu. Padahal kalau batu itu tidak diserahkan mayat kekasihnya akan hilang dari kuburnya. Dan sekarang, semuanya sudah terbukti nyata. Mayat kekasihnya hilang dari kuburan nya sendiri. Kadik tidak tahu lagi, apa yang akan dilakukannya. Dia juga tidak kenal siapa orang yang melakukan perbuatan biadab itu, meskipun tadi Ki Junggut sudah menyebutkannya.

"Ki...," pelan sekali suara Kadik.

"Apa...?" gumam Ki Jungut perlahan.

"Bagaimana aku bisa mendapatkan mayat kekasihku lagi, Ki?" Tanya Kadik.

"Kau tidak akan bisa mendapatkannya kembali, Kadik," sahut Ki Jungut.

"Apa maksudmu, Ki?" agak tinggi nada suara Kadik.

"Nanti juga kau akan tahu," sahut Ki Jungut kalem.

Kadik ingin bertanya lagi, tapi Ki Jungut sudah melangkah cepat meninggalkannya. Terpaksa Kadik harus berlari kecil mengejar laki-laki tua ini, tapi tetap saja tidak terkejar. Kadik mempercepat larinya, namun laki-laki tua berjubah hitam itu tetap tidak terkejar. Dan ini membuat Kadik jadi keheranan. Larinya semakin dipercepat, bahkan sampai napasnya mendengus bagai kuda dipacu.

Sementara itu, Ki Jungut tetap berjalan biasa. Namun sulit untuk dikejar. Begitu ringan ayunan langkah kakinya, sehingga telapak kakinya bagai tidak menyentuh tanah sama sekali. Kadik baru tersentak menyadari, dan cepat menghentikan larinya. Keringat mengucur begitu deras, dan nafasnya tersengal memburu cepat. Matanya tidak berkedip memandangi Ki Jungut yang semakin jauh berjalan meninggalkannya.

"Ki...!" panggil Kadik, berteriak.

Tapi, Ki Jungut terus mengayunkan kakinya meninggalkan pemuda itu. Sedikit pun kepalanya tidak berpaling. Ayunan kakinya kelihatan begitu ringan dan perlahan, tapi cepat sekali sudah jauh meninggalkan pemuda ini.

"Ki, tunggu...!" teriak Kadik sekuat-kuatnya. Namun, suara pemuda itu hilang ditelan hembusan angin malam yang dingin. Kadik hanya bisa berdiri mematung memandangi, hingga laki-laki tua berjubah hitam itu menghilang dari pandangan mata.

Pemuda itu baru melangkah setelah menyadari hanya seorang diri di tempat yang begitu sunyi, tanpa seorang pun terlihat. Terlebih lagi, tidak jauh di belakangnya adalah kuburan, dan sekitarnya hanya pepohonan saja.

"Huh...!" Sambil mendengus kesal, Kadik terus berjalan cepat kembali ke Desa Kranggan. Tidak dipedulikan lagi laki-laki tua aneh berjubah hitam yang memperkenalkan dirinya sebagai Ki Jungut.

Namun tetap saja benaknya terus bertanya-tanya, siapa sebenarnya Ki Jungut itu...? Lalu, apa maksudnya dengan mendatanginya?

Begitu banyak pertanyaan mengalir di benaknya, tapi tak satu pun yang bisa terjawab. Kadik terus mengayunkan kakinya dengan kepala berputar, dikelilingi segudang pertanyaan yang tidak terjawab.

********************

Pendekar Rajawali Sakti

Matahari sudah mulai menampakkan diri di ufuk Timur. Cahaya yang begitu lembut menerobos masuk ke dalam kamar Kadik, melalui jendela yang terbuka lebar. Tampak pemuda desa yang berwajah cukup tampan itu berdiri tegak didepan jendela kamarnya. Sejak semalam Kadik berdiri di sana, memandang keluar. Entah, apa yang ada di dalam kepalanya saat ini.

"Aneh..," tiba-tiba saja Kadik mendesah perlahan.

Dan terlihat kepalanya bergerak menggeleng pelan beberapa kali. Tarikan nafasnya begitu panjang dan terasa amat berat. Beberapa kali mulutnya mendesah sambil menghembuskan napas panjang, tapi tanpa beranjak dari jendela itu. Dan pandangannya terus tertuju ke satu arah, tempat kuburan kekasihnya semalam terbongkar. Dan itu semua terjadi setelah mendapat peringatan dari orang tua yang aneh. Dari laki-laki tua itulah dia tahu kalau kuburan kekasihnya sudah terbongkar semalam.

"Biadab...! Aku harus mencari Iblis Penggali Kubur keparat itu!" desis Kadik geram.

Suaranya masih tetap terdengar perlahan, dan hampir tidak terdengar telinganya sendiri. Kedua tangan Kadik terkepal erat, membuat urat-uratnya bersembulan. Wajahnya terlihat memerah, menandakan kemarahannya sudah mencapai titik puncak.

Dan tiba-tiba saja, pemuda itu melompat keluar dari dalam kamarnya, melalui jendela yang terbuka lebar. Dan dia langsung berlari sekuat tenaga menuju ke arah kuburan yang berada agak jauh dari pinggiran Desa Kranggan ini. Kadik terus berlari cepat, tidak mempedulikan nafasnya yang sudah tersengal memburu.

Dia juga tidak peduli pada orang-orang yang memandanginya, dan beberapa orang yang menegurnya. Kadik terus berlari secepat-cepatnya menuju ke kuburan. Kadik baru menghentikan larinya setelah sampai di dekat kuburan kekasihnya. Saat itu juga, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Hampir-hampir pandangan matanya sendiri tidak dipercayainya.

"Oh...." Kadik hanya mampu mendesah perlahan. Sedangkan tubuhnya terasa jadi begitu lemas, bagai tak memiliki tenaga dan tulang. Pemuda itu jatuh berlutut, tepat di samping kuburan kekasihnya. Kedua bola matanya berputaran, memancarkan sesuatu yang sulit diterka.

Kuburan yang semalam dilihatnya terbongkar, kini seperti saat kekasihnya dikuburkan di sini. Sedikit pun tidak ada yang berubah. Apalagi terbongkar. Kuburan ini benar-benar masih utuh, tanpa cacat sedikit pun. Dan inilah yang membuat Kadik jadi terlenguh, dengan tubuh terasa begitu lemas.

Kadik jadi benar-benar tidak mengerti dengan semua yang telah terjadi. Seakan-akan, semuanya seperti sebuah mimpi yang teramat buruk dalam hidupnya. Sulit baginya untuk membedakan, apakah ini hanya sebuah mimpi atau benar-benar sebuah kenyataan yang sangat aneh dan sulit diterima akal pikiran manusia biasa.

"Aneh...? Kenapa kuburan ini tidak terbongkar...?" desah Kadik bertanya sendiri dalam hati.

Begitu banyak pertanyaan berkecamuk di dalam kepalanya, tapi tak ada satu pun yang terjawab. Dan rasa aneh pun terus menyelimuti hatinya. Dia benar-benar tidak mengerti terhadap semua yang telah terjadi. Dan dia begitu yakin kalau ini bukan hanya sekadar mimpi belaka, dan benar-benar suatu kenyataan. Tapi, Kenyataan yang begitu aneh dan sulit diterima akal manusia biasa.

"Oh...?!" Tiba-tiba Kadik tersentak, ketika tanpa sengaja tangannya menyentuh nisan yang terbuat dari belahan papan. Nisan itu bergoyang, dan langsung roboh seketika. Dan pada saat itu, gundukan tanah merah langsung melesak masuk ke dalam. Seketika Kadik langsung terlompat kaget setengah mati.

Wusss...!
"Hah...?!"

Kedua bola mata Kadik jadi terbeliak lebar, begitu tiba-tiba dari dalam kuburan yang kini berlubang mengepul asap putih yang begitu tebal bergulung-gulung ke atas. Dan pada saat itu juga, bumi terasa bergetar bagai diguncang gempa. Kembali Kadik terlompat ke belakang beberapa langkah. Kedua bola matanya masih terbeliak lebar, memandangi asap putih yang semakin lama semakin banyak menggumpal bagai awan di langit.

Tampak tanah kuburan yang melesak masuk ke dalam itu perlahan-lahan bergerak merapat kembali, seperti tidak pernah digali. Dan asap putih yang menggumpal tebal itu pun perlahan-lahan mulai menyebar, tertiup angin. Hingga akhirnya asap itu sirna sama sekali, menyatu dengan hembusan angin. Saat itu juga, Kadik jadi terlongong bengong seperti kerbau kehabisan rumput.

"Dewata Yang Agung.... Rengganis...," desis Kadik mendesah tanpa sadar.

Di atas tanah kuburan yang sudah rata kembali, kini terlihat seorang gadis yang begitu cantik berdiri tegak di sana. Namun, garis-garis wajahnya begitu kaku dan pucat sekali. Dan sorot matanya sangat datar, tanpa sedikit pun terlihat cahaya kehidupan. Dan bibirnya yang pucat membiru terkatup rapat.

Sementara Kadik semakin terpaku diam, dengan mulut ternganga dan mata terbuka lebar memandangi gadis yang begitu dikenal dan dicintainya selama ini. Sungguh tidak bisa dipercaya penglihatannya sendiri. Kali ini gadis yang begitu dicintai dan sudah meninggal kemarin, kini berdiri tegak di depannya.

"Rengganis...," desis Kadik hampir tidak terdengar suaranya.

"Hesss...."

Tiba-tiba saja gadis yang dikenali Kadik sebagai Rengganis, mendesis bagai ular. Dan ini membuat Kadik jadi terkesiap kaget setengah mati. Tanpa sadar, kakinya melangkah ke belakang beberapa tindak.

Sementara itu, Rengganis sudah bergerak melangkah kaku menghampiri. Sorot matanya yang kosong, tertuju lurus ke bola mata pemuda itu. Suara mendesis bagai ular terus terdengar dari bibirnya yang pucat membiru dan terkatup rapat.

"Hrsss...!"

Saat bibirnya bergerak menyeringai, terlihat baris-baris giginya yang runcing dan bertaring tajam. Seketika, wajah Kadik jadi memucat, dan tubuhnya menggeletar bagai terserang demam yang begitu tinggi. Seketika, kakinya terasa berat dan sulit untuk digerakkan lagi.

Sementara Rengganis terus bergerak melangkah, semakin mendekati pemuda itu. Perlahan-lahan kedua tangan gadis itu terangkat, dan menjulur lurus ke depan. Tampak ujung-ujung jari tangannya yang berkuku tajam dan hitam terkembang lebar, siap mencekik leher Kadik. Suara mendesis terus terdengar dari bibirnya yang menyeringai mengerikan.

"Akh...!" Kadik hanya mampu terpekik, begitu ujung-ujung kuku yang runcing terasa mulai menyentuh batang lehernya. Seluruh rubuh pemuda itu semakin keras menggeletar dan bersimbah keringat. Dan dia tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Kuku-kuku yang runcing hitam itu terus bergerak, menembus kulit leher pemuda ini. Namun belum juga kuku-kuku yang hitam runcing itu menembus lebih dalam lagi, ke leher Kadik, mendadak saja...

Slap!

Sebuah bayangan hitam tiba-tiba berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat. Dan...

Plak! "Argkh...!"

Rengganis terpekik agak tertahan, dan tubuhnya seketika terpental ke belakang. Akibatnya, cengkeramannya pada leher Kadik terlepas. Saat itu juga, Kadik terjatuh duduk dengan seluruh tubuh lemas bersimbah keringat. Pandangannya sudah nanar, namun masih bisa melihat kalau di depannya kini sudah berdiri seorang laki-laki tua mengenakan baju jubah panjang berwarna hitam.

"Ki Jungut...," desah Kadik langsung mengenali.

"Menyingkirlah, Kadik," datar dan tegas suara Ki Jungut.

Sementara itu Rengganis sudah bisa bangkit berdiri setelah jatuh terguling beberapa kali, akibat terkena terjangan Ki Jungut yang begitu cepat bagai kilat tadi. Dia menggereng sedikit seperti seekor harimau yang kelaparan melihat anak domba.

Kadik berusaha bergerak menggeser tubuhnya menjauhi tempat itu. Sedikit demi sedikit, pemuda itu mulai menjauh, dan baru berhenti setelah sampai di bawah pohon yang cukup rindang.

Sementara, Ki Jungut melangkah beberapa tindak ke depan, mendekati gadis cantik berwajah pucat dan kaku itu. Bau amis dan suara mendesis terus terasa, setiap kali Ki Jungut mendekati gadis itu.

********************

Bagaikan kilat, Rengganis melompat begitu cepat menerjang Ki Jungut. Namun dengan gerakan manis sekali, laki-laki tua berjubah hitam itu berhasil mengelakkan terjangan gadis yang sebenarnya sudah mati ini.

"Yeaaah...!"

Dengan tubuh setengah berputar, Ki Jungut melepaskan satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangan yang dilepaskan Ki Jungut, sehingga Rengganis tidak dapat lagi berkelit. Akibatnya, tendangan itu tepat menghantam dadanya yang membusung indah dengan keras sekali.

"Aaargkh...!"

Rengganis meraung dahsyat seperti seekor binatang buas terluka. Tubuhnya terpental jauh ke belakang. Bahkan beberapa batang pohon yang terlanda tubuhnya langsung hancur berkeping-keping. Setelah menghancurkan beberapa pohon, gadis itu baru berhenti, meluncur. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah. Namun begitu, cepat sekali dia bisa bangkit berdiri.

"Ghrrr...!"

Sambil menggerung dahsyat, gadis itu melangkah menghampiri Ki Jungut yang sudah siap bertarung. Tampak kedua bola matanya memerah, bagai sepasang bola api yang hendak membakar hangus seluruh tubuh laki-laki tua berjubah hitam itu.

Sementara, Kadik yang berada jauh dari tempat pertarungan itu terus memperhatikan dengan mata tidak berkedip. Sinar matanya masih memancarkan ketidakpercayaan kalau gadis itu adalah Rengganis. Gadis yang sangat dicintai, tapi sudah meninggal sejak kemarin. Bahkan kuburannya pun masih ada, walaupun kini sudah rata tak berbentuk lagi.

"Ghraaagkh...!"

Sambil meraung dahsyat yang menggetarkan jantung, Rengganis kembali melompat begitu cepat menyerang Ki Jungut. Kedua tangannya cepat dikibaskan, membuat Ki Jungut terpaksa harus meliuk-liukkan tubuhnya. Kebutan-kebutan tangan yang begitu cepat bagai sepasang cakar elang yang hendak mengoyak tubuhnya, bisa dihindarinya.

"Hup! Yeaaah...!"

Begitu memiliki kesempatan, Ki Jungut cepat melenting ke udara. Dan secepat itu pula, dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Namun, tendangan yang mengarah ke kepala itu dapat dihindari Rengganis dengan hanya mengegos sedikit saja.

"Ghraaagkh...!"

Tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba saja Rengganis melepaskan satu pukulan cepat menggeledek ke arah lambung Ki Jungut, sambil melompat ke udara mengejar. Begitu cepat serangannya, hingga Ki Jungut tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Begkh! "Akh...!"

Ki Jungut terpental jauh ke belakang disertai pekikan keras tertahan. Pukulan yang dilepaskan Rengganis tepat menghantam lambungnya, sehingga membuatnya terbanting ke tanah dan bergulingan beberapa kali. Saat itu juga, Rengganis meluruk deras ke arahnya, dengan kedua tangan terentang lurus dan jari-jari terbuka lebar seperti sepasang cakar elang hendak menerkam mangsa.

"Ikh...!" Ki Jungut cepat-cepat melenting. Tapi belum juga bisa menghindar jauh, mendadak saja Rengganis sudah mengebutkan tangan kanannya dengan kecepatan tinggi sekali.

Bret! "Akh...!"

Untuk kedua kalinya, Ki Jungut terpekik. Tampak darah muncrat keluar dengan deras dari bahu kirinya yang tercabik kuku-kuku jari tangan kanan Rengganis yang begitu runcing dan hitam bagai mata pisau. Ki Jungut terhuyung-huyung ke belakang beberapa langkah sambil mendekap bahunya yang berlumuran darah. Dan sebelum laki-laki tua itu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, Rengganis sudah kembali menyerang cepat bagai kilat. Satu pukulan keras menggeledek yang begitu dahsyat langsung dilepaskan.

Sementara, Ki Jungut masih belum bisa menguasai keseimbangan tubuhnya. Hingga....

"Ghraaagkh...!"
"Oh!"
Prak!
"Aaakh...!"

Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat. Tampak Ki Jungut terhuyung-huyung limbung sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya. Darah berhamburan deras keluar dari kepala yang retak terkena pukulan dahsyat menggeledek tadi.

"Ghraaagkh...!"

Saat itu, Rengganis sudah kembali melompat sambil menggerung dahsyat bagai binatang buas. Dan begitu cepat tangan kanannya menyodok ke depan tepat mengarah ke bagian tengah dada Ki Jungut. Saat itu, Ki Jungut benar-benar tidak dapat lagi menghindar.

Bresss!
"Aaa...!"

Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi yang begitu menyayat. Tampak tangan kanan Rengganis tenggelam masuk ke dalam dada laki-laki tua berjubah hitam itu, hingga sampai ke sikunya. Bahkan jari-jari tangannya menembus hingga ke punggung. Sambil melompat, Rengganis tahu-tahu melepaskan satu tendangan keras ke tubuh Ki Jungut.

Begkh!

Bersamaan terpentalnya laki-laki tua berjubah hitam itu ke belakang, tangan Rengganis pun tercabut dari dalam dada. Begitu keras tendangannya, sehingga sebongkah batu yang terlanda tubuh Ki Jungut hancur berkeping-keping seketika. Hanya sebentar saja Ki Jungut masih mampu menggeliat, kemudian tubuh tua itu diam tak bergerak-gerak lagi sedikit pun juga. Mati!

"Hik hik hik...!"

TIGA

Kadik yang menyaksikan kekejaman itu kontan terhenyak. Dia hanya mampu berdiri terpaku seperti patung, memandangi tubuh Ki Jungut yang menggeletak dengan kepala hancur, serta dada dan punggung berlubang berlumuran darah.

Sementara, Rengganis tertawa terkikik melihat lawannya dapat dikalahkan dengan mudah. Namun, sebentar kemudian suara tawanya terhenti. Dan kini, sorot matanya langsung tertuju pada Kadik yang berada agak jauh darinya. Saat itu juga, seluruh tubuh Kadik jadi bergidik menggigil seperti kedinginan. Rasa cintanya pada gadis itu kontan pudar, dan berubah menjadi ketakutan begitu melihat kekejaman kekasihnya.

"Tolooong...!"

Tiba-tiba saja Kadik menjerit keras sambil berlari sekencang-kencangnya. Sementara, dari arah belakang terdengar suara tawa mengikik yang begitu mengerikan. Kadik terus berlari kencang sambil berteriak-teriak meminta tolong. Dan suara tawa itu terus terdengar, seakan-akan mengikutinya dari belakang.

"Tolooong...!"

Tapi belum juga Kadik berlari jauh dari kuburan itu, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam memotong arah larinya. Dan tahu-tahu, didepan pemuda itu sudah berdiri seseorang berbaju jubah panjang berwarna hitam yang kotor berlumur tanah lumpur.

"Okh...?!" Kadik jadi terhenyak, dan cepat menghentikan larinya. Seluruh wajah dan tubuhnya sudah basah bersimbah keringat. Kedua matanya terbeliak lebar, memandangi orang yang tahu-tahu sudah ada di depannya. Hanya saja wajahnya, sulit dilihat, karena tertutup kain kerudung lusuh berwarna hitam, yang bagian atas kepalanya berbentuk runcing.

"Hik hik hik...!"

"Okh...?!" Kembali Kadik tersedak, begitu mendengar suara tawa terkikik dari belakangnya. Dan begitu berpaling, jantungnya seakan-akan langsung copot seketika. Dekat di belakangnya, sudah ada Rengganis yang tertawa mengikik memperlihatkan baris-baris giginya yang bertaring tajam. Lemas seluruh tubuh Kadik. Dan tiba-tiba saja, dia terkulai dan terjatuh menggeletak di tanah.

"Ohhh...." Pandangan pemuda itu pun langsung mengabur berkunang-kunang. Kepalanya terasa berat. Dan tak lama kemudian, pemuda itu tak sadarkan diri. Bahkan sudah tidak mendengar suara sedikit pun juga. Entah apa yang terjadi, Kadik tidak tahu lagi. Tapi telinganya sempat mendengar dua suara tawa terkikik saling sambut di sekitarnya, sebelum kesadarannya benar-benar lenyap.

********************

"Oh...?!" Kadik tersentak bangun, begitu kesadarannya kembali pulih. Tapi belum juga bisa mengangkat tubuhnya, terasa sebuah tangan lembut telah menekan dadanya. Dan hal ini membuatnya harus kembali merebahkan tubuh. Sebentar matanya dipejamkan, kemudian perlahan-lahan dibuka kembali. Hanya sebentar saja pandangannya mengabur, dan perlahan-lahan kembali bisa melihat jelas. Tampak seraut wajah yang cantik berada dekat dengannya.

"Jangan bergerak dulu. Kau masih lemah," terdengar lembut sekali suara wanita cantik yang mengenakan baju biru muda itu.

Kadik kembali memejamkan matanya beberapa saat. Kembali terbayang peristiwa mengerikan yang dialaminya, hingga jatuh pingsan. Entah sudah berapa lama dia tidak sadarkan diri. tapi yang jelas, sekarang ini hari sudah malam. Dan tubuhnya terasa hangat oleh jilatan cahaya api yang mengusir udara dingin angin malam. Kadik kembali membuka matanya. Dan seraut wajah cantik masih berada dekat di sebelah kanan. Namun, sekarang dia melihat wajah tampan di samping wajah cantik itu.

"Di mana ini?" Tanya Kadik dengan suara lemah.

"Di hutan, tidak jauh dari Desa Kranggan," sahut gadis cantik berbaju biru muda itu lembut.

"Siapa kalian?" Tanya Kadik lagi. Masih dengan suara lemah.

"Aku Pandan Wangi, dan ini Kakang Rangga," sahut Gadis cantik itu memperkenalkan diri.

"Ahhh...," Kadik mendesah perlahan. Begitu panjang desahannya. Perlahan Kadik menggerakkan tubuhnya, mencoba duduk. Kali ini tidak ada yang mencegah. Dan dia bisa duduk bersandar pada sebatang pohon yang cukup besar.

Sementara, tidak jauh di sebelah kirinya api menyala cukup besar menghangatkan sekitarnya. Di depannya duduk gadis cantik dan seorang pemuda tampan berbaju rompi putih yang tadi mengenalkan diri bernama Pandan Wangi dan Rangga. Dan memang, mereka adalah Pandan Wangi dan Rangga, dua orang pendekar muda yang di kalangan rimba persilatan lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut. Mereka juga dikenal sebagai pendekar muda dari Karang Setra.

"Kami menemukanmu tergeletak di pinggiran hutan. Sepertinya, kau baru saja mengalami peristiwa yang begitu berat, hingga tidak sadarkan diri," kata Rangga dengan nada suara lembut.

Kadik terdiam tidak menjawab kata-kata Pendekar Rajawali Sakti. Kembali ingatannya terbayang peristiwa mengerikan yang telah dialami siang tadi. Begitu mengerikan, hingga jatuh pingsan. Sulit bagi Kadik untuk bisa membayangkan peristiwa itu. Tubuhnya jadi bergidik menggigil setiap kali teringat kekasihnya bangkit kembali dari kubur, lalu membunuh Ki Jungut dengan sangat keji!

"Boleh tahu, siapa namamu, Kisanak...?" pinta Rangga sopan.

"Kadik," sahut Kadik menyebutkan namanya. Suara pemuda itu terdengar begitu pelan, hingga hampir saja tidak terdengar telinga Rangga dan Pandan Wangi.

Perlahan Kadik mengangkat kepalanya, dan langsung menatap kedua pendekar muda di depannya. Tampak wajahnya masih terlihat pucat. Memang berat peristiwa, yang baru dialaminya. Dan itu merupakan peristiwa pertama di dalam hidupnya. Ia benar-benar belum pernah melihat pembunuh yang begitu keji dengan mata kepalanya sendiri. Terlebih lagi, pembunuhan itu dilakukan kekasihnya yang bangkit dari kuburnya.

"Kau pingsan cukup lama juga tadi," jelas Rangga.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap Kadik.

Rangga Hanya tersenyum saja.

"Kau berasal dari Desa Kranggan?" Tanya Pandan Wangi menyelak.

Kadik mengangguk.

"Kenapa bisa tidak sadarkan diri tadi?" Tanya Pandan Wangi lagi.

Kadik terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaan gadis cantik yang berjuluk si Kipas Maut itu. Dipandanginya Pandan Wangi beberapa saat, kemudian beralih pada Pendekar Rajawali Sakti yang duduk bersila di samping gadis cantik berbaju biru muda ini. Terdengar tarikan nafasnya yang begitu panjang dan terasa berat.

"Mengerikan sekali...," desah Kadik disertai hembusan napas panjang.

"Mengerikan...? Apa yang terjadi, Kisanak?" Tanya Pandan Wangi jadi ingin tahu.

Kadik menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. Kembali ditariknya napas panjang-panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Seakan-akan, dia ingin melonggarkan rongga dadanya yang tiba-tiba saja jadi terasa begitu sesak, bagai dihimpit sebongkah batu teramat besar dan berat.

Kemudian, Kadik mulai menceritakan semua peristiwa aneh dan mengerikan yang dialaminya. Semua diceritakannya dengan jelas dan perlahan-lahan. Suaranya pun terdengar begitu pelan, hingga Rangga dan Pandan Wangi terpaksa menajamkan pendengarannya.

Kedua Pendekar muda dari Karang Setra itu jadi terdiam membisu setelah mendengar cerita yang dialami Kadik, hingga sampai pingsan cukup lama begitu. Mereka saling berpandangan beberapa saat, kemudian kembali memandang Kadik yang sudah menyelesaikan cerita pengalaman mengerikannya.

Dan untuk beberapa lama, mereka semua terdiam tak seorang pun yang berbicara. Begitu sunyi, hingga desir angin yang menyebarkan hawa dingin begitu terasa mengusik gendang telinga. Suara gerit serangga malam pun terdengar bagai nyanyian alam yang memberi peringatan akan bahaya yang bisa saja muncul setiap saat.

"Kau ingin pulang ke desamu?" Rangga menawarkan dengan sikap ramah.

"Entahlah...," sahut Kadik mendesah panjang.

"Kalau begitu, beristirahatlah di sini. Besok pagi kau bisa kembali ke desamu," kata Rangga lagi.

"Terima kasih," ucap Kadik lagi.

Rangga hanya tersenyum saja, kemudian menepuk pundak pemuda desa itu dengan penuh rasa persahabatan. Kemudian Pendekar Rajawali Sakti bangkit berdiri dan melangkah mendekati api unggun, dan duduk dekat api yang masih menyala cukup besar.

Sementara Pandan Wangi masih tetap duduk didepan Kadik yang juga tetap duduk bersandar pada sebatang pohon. Dan Rangga tampak sudah asyik dengan kelinci panggangannya. Tidak dipedulikan lagi, apa yang dibicarakan Pandan Wangi dan Kadik. Pendekar Rajawali Sakti terus menikmati daging kelinci panggangannya.

********************

Pagi-pagi sekali, Kadik baru kembali ke Desa Kranggan. Rangga dan Pandan Wangi yang diminta mengantar, tidak menolak sedikit pun. Mereka ke Desa Kranggan mengikuti jalan yang ditunjukkan Kadik. Namun, mereka tidak melalui jalan yang biasa ditempuh orang, melainkan menerobos melewati tepian hutan dan perkebunan. Hingga akhirnya, mereka tiba di rumah Kadik. Tapi, keadaan di rumah itu tampak sepi sekali seperti sudah tidak lagi ditempati.

"Kau tinggal sendiri di sini, Kadik?" Tanya Rangga, melihat keadaan rumah ini begitu sunyi.

"Ada emak ku," sahut Kadik.

Kadik membawa kedua pendekar muda itu melalui jalan samping, dan terus ke belakang. Dibukanya pintu belakang yang tidak terkunci, lalu dimintanya agar Rangga dan Pandan Wangi mengikuti. Mereka kemudian masuk ke dalam rumah ini dari belakang, dan terus menuju ke depan. Kadik baru membuka pintu depan setelah mempersilakan Rangga dan Pandan Wangi duduk di ruangan depan yang tidak begitu besar ukurannya.

"Maaak...!" teriak Kadik memanggil ibunya. Tapi, tak ada seorang pun yang menyahuti. Kadik terus berteriak-teriak sambil mencari ke setiap kamar yang ada di rumah ini. Namun, tetap saja dia tidak menjumpai ibunya.

Sementara, Rangga dan Pandan Wangi saling melempar pandang. Mereka bersamaan bangkit berdiri begitu Kadik muncul dari dalam sebuah kamar yang berhubungan langsung dengan ruangan depan ini.

"Tidak biasanya Emak ku pergi," kata Kadik, tidak dapat lagi menyembunyikan kecemasannya.

"Mungkin ke rumah tetangga," kata Pandan Wangi.

"Tidak. Emak tidak pernah pergi, kecuali ke ladang di belakang rumah," bantah Kadik.

Kembali Pandan Wangi dan Rangga saling berpandangan. Sedangkan Kadik terlihat begitu cemas, karena tidak menjumpai ibunya. Pemuda itu menghempaskan lemas tubuhnya ke kursi, sambil menghembuskan napas cukup panjang. Pandan Wangi mendekati. Diseretnya kursi kayu ke dekat pemuda itu, lalu duduk disana. Di saat mereka semua tengah kebingungan, tiba-tiba saja...

Wusss!

"Awas...!" seru Rangga. Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat sambil mengebutkan tangan kanannya, ketika tiba-tiba melihat secercah cahaya kilat melesat masuk dari jendela. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya tepat di samping Pandan Wangi lagi.

"Apa itu, Kakang?" Tanya Pandan Wangi sambil menunjuk kepalan tangan Rangga.

"Panah," sahut Rangga sambil menunjukkan benda yang berhasil ditangkapnya. Di dalam genggaman tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti memang terdapat sebatang anak panah berwarna keperakan.

"Ada suratnya, Kakang," kata Pandan Wangi.

Saat itu, Rangga memang sedang membuka ikatan selembar daun lontar pada bagian tengah batang anak panah. Hanya selembar daun lontar kering yang terdapat sebaris kalimat, dan ditulis dengan darah yang sudah mengering. Rangga langsung menyerahkan lembaran daun lontar itu pada Kadik.

"Oh...." Kadik terkulai lemas setelah membaca sebaris kalimat pada daun lontar itu. Seluruh tubuhnya seperti tidak lagi memiliki tulang. Begitu lemas dan tak bertenaga, sehingga langsung terjatuh duduk di kursinya lagi. Sedangkan lembaran daun lontar itu tergenggam erat di tangannya.

"Apa isinya, Kakang?" Tanya Pandan Wangi ingin tahu.

"Ancaman," sahut Rangga singkat.

"Ancaman...?"

"Kadik harus menyerahkan Cupu yang berisi Batu Mustika Biru, kalau ibunya ingin kembali dengan selamat," sahut Rangga menjelaskan dengan singkat.

Pandan Wangi langsung terdiam. Mereka memandang Kadik yang masih terduduk lemas di kursi kayu. Pandangan pemuda itu terlihat kosong, dan lurus ke depan. Seakan-akan tidak lagi memiliki gairah hidup. Lembaran daun lontar berisi ancaman itu kini tergeletak di samping kakinya.

"Aku tidak tahu, apa yang diinginkannya. Kenapa dia menyangka aku menyimpan benda terkutuk itu...?" Desah Kadik lirih.

"Kelihatannya kau punya persoalan yang tidak kecil, Kadik. Kalau boleh tahu, persoalan apa yang sedang kau hadapi," ujar Rangga ingin membantu.

"Aku tidak tahu...," sahut Kadik lesu.

"Siapa orang yang mengirim ancaman itu, Kadik?" Tanya Pandan Wangi.

Kadik hanya menggelengkan kepalanya. Memang, di dalam lembaran surat ancaman daun lontar itu tidak disebutkan pengirimnya. Di situ hanya tertulis kalau Kadik harus menyerahkan Cupu yang berisi Batu Mustika Biru kalau ibunya ingin kembali dengan selamat. Tidak ada penjelasan lain.

Dan inilah yang membuat Kadik jadi tidak mengerti. Terlebih lagi, Rangga dan Pandan Wangi yang memang tidak mengetahui persoalan yang sedang dihadapi pemuda Desa Kranggan itu.

"Apa ini ada hubungannya dengan si Iblis Penggali Kubur yang membangkitkan kekasihmu dari kuburnya, Kadik?" Tanya Pandan Wangi lagi.

Lagi-lagi Kadik hanya menggelengkan kepala saja, kemudian mendesah perlahan. Dia sama sekali tidak tahu semua peristiwa yang dialaminya. Apalagi untuk bisa menghubungkan Iblis Penggali Kubur dengan surat ancaman dan Cupu Batu Mustika Biru. Sedangkan dia sendiri memang merasa tidak memiliki benda yang dianggapnya sebagai biang keonaran itu. Entah apa, sehingga benda yang belum pernah dilihatnya itu selalu menimbulkan bencana bagi semua orang.

"Aku benar-benar tidak tahu. Bahkan aku sendiri belum pernah melihat Cupu Batu Mustika Biru," tegas Kadik perlahan, seakan-akan bicara untuk diri sendiri.

"Tapi kau sudah tahu benda itu, bukan?" desak Pandan Wangi.

"Ya," sahut Kadik pelan, seraya menganggukkan kepala.

Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Memang aneh kalau Kadik mengatakan tidak tahu apa-apa tentang Cupu Batu Mustika Biru, padahal juga mengetahuinya. Bahkan mengatakan kalau itu adalah benda keparat yang selalu menimbulkan malapetaka. Apa yang dikatakan Kadik membuat kedua pendekar muda dari Karang Setra itu jadi bingung setengah mati.

"Kadik! Kau mengatakan belum pernah melihatnya. Dan tidak tahu apa-apa tentang benda itu. Tapi, kau mengatakan kalau benda itu membuat keonaran. Bagaimana ini, Kadik...?" Rangga meminta penjelasan.

"Aku memang belum pernah melihatnya, tapi pernah mendengar tentang Cupu Batu Mustika Biru itu," sahut Kadik mencoba menjelaskan.

"Kau hanya mendengar...?" selak Pandan Wangi tidak percaya.

Kadik hanya diam saja. Kepalanya tertunduk, menekuri ujung jari kakinya. Sementara, Rangga dan Pandan Wangi terus memandangi. Mereka merasa yakin kalau pemuda Desa Kranggan ini menyembunyikan sesuatu yang terasa berat untuk diungkapkan. Dan mereka jadi terdiam untuk waktu yang cukup lama.

Rangga kemudian melangkah mendekati jendela yang terbuka lebar. Matanya memandang keluar, merayapi keadaan jalan yang kelihatan sunyi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat melintasi jalan itu. Terasa begitu sunyi desa ini. Padahal, Desa Kranggan termasuk sebuah desa besar. Tapi, keadaannya yang begitu sunyi membuat Rangga menduga kalau telah terjadi sesuatu di desa ini.

"Coba jelaskan, apa saja yang kau ketahui tentang Cupu Batu Mustika Biru itu," ujar Rangga meminta, seraya membalikkan tubuhnya membelakangi jendela.

"Dulu aku pernah mendengar, memang ada ribut-ribut tentang Cupu Batu Mustika Biru. Tapi, itu sudah lama. Tepatnya ketika aku masih berusia sekitar lima tahun. Dan yang kudengar, cupu itu ada pada ayahku. Entah benar, atau tidak. Tapi setelah ayahku terbunuh, cupu itu juga menghilang entah ke mana. Malah, tidak ada lagi orang yang membicarakan atau memperebutkannya. Semua orang sudah melupakannya," kata Kadik mencoba menjelaskan dengan singkat.

"Ayahmu seorang pendekar?" selak Pandan Wangi.

"Panglima pertama kerajaan," sahut Kadik dengan suara bernada bangga.

Rangga dan Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepala. Pantas saja Kadik tidak seperti pemuda desa lainnya. Ternyata, dia seorang putra bekas panglima pertama kerajaan. Dan itu, berarti dalam tubuhnya mengalir darah kebangsawanan. Tapi anehnya, Kadik tidak memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan sedikit pun juga.

"Sayang, ibuku tidak mengizinkan aku mempelajari ilmu olah kanuragan dan kesaktian. Dan aku sendiri sebenarnya memang tidak pernah tertarik untuk mempelajarinya. Aku lebih tertarik mempelajari ilmu-ilmu sastra dan sejarah," kata Kadik, seperti mengetahui isi kepala kedua pendekar muda itu.

Rangga dan Pandan Wangi masih tetap diam dengan kepala terangguk-angguk. Memang, mereka melihat kalau pemuda ini tidak memiliki kepandaian sedikit pun juga. Bahkan bisa dikatakan sebagai pemuda lemah. Dan itu memang sudah menjadi kebiasaan para pemuda bangsawan, yang biasanya selalu mengandalkan para pengawal. Tapi, tidak sedikit pun terlihat adanya keangkuhan pada diri Kadik. Atau mungkin, pemuda ini sudah terbiasa hidup di desa, sehingga tidak lagi terlihat kalau keturunan bangsawan.

"Aku hanya mempelajari sedikit pengerahan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. Hanya itu saja. Itu pun hanya sedikit sekali," sambung Kadik.

"Baiklah, Kadik. Kami akan mencoba membantumu. Mudah mudahan ibumu masih bisa diselamatkan," hibur Rangga sambil menepuk pundak pemuda itu dengan lembut dan penuh rasa persahabatan.

"Terima kasih," ucap Kadik perlahan.

Rangga hanya tersenyum saja, kemudian menghempaskan tubuhnya perlahan di kursi kayu sambil menghembuskan napas panjang.

"Akan ku siapkan makan untuk kalian," kata Pandan Wangi.

"Semua ada di belakang. Kalau butuh sayuran, ambil saja di kebun belakang," jelas Kadik.

"Kau bisa membantuku, Kadik?" pinta Pandan Wangi.

"Tentu saja," sahut Kadik cepat.

"Buatkan masakan yang enak. Aku ingin istirahat sebentar," selak Rangga.

"Huuu...!" Pandan Wangi mencibir.

Rangga hanya tersenyum saja. Sementara, Kadik sudah menghilang lebih dulu ke bagian belakang rumahnya yang cukup besar ini. Pandan Wangi bergegas menyusul pemuda itu. Sedangkan Rangga sudah memejamkan matanya sambil mengatur jalan pernapasan. Bagi seorang pendekar seperti Rangga, waktu yang sedikit sangat berguna untuk mengatur pernapasan dan meningkatkan kemampuan pengerahan tenaga dalam.

EMPAT

Malam ini udara di sekitar Desa Kranggan begitu dingin. Angin bertiup kencang, membuat daun-daun berguguran dan terhempas di tanah. Langit tampak menghitam kelam, tertutup awan hitam yang menggumpal bergulung-gulung menutupi cahaya rembulan dan bintang. Sesekali terlihat kilatan cahaya di langit yang disusul terdengarnya ledakan guntur bagai hendak memecahkan seluruh alam raya ini.

Tak ada seorang pun terlihat di luar. Jalan-jalan di seluruh Desa Kranggan satu pun tidak terlihat manusia berjalan. Begitu sunyi keadaannya, hingga deru angin yang begitu kencang terdengar bagai hendak menghancurkan desa ini. Dari kejauhan terdengar lolongan anjing hutan yang begitu panjang memilukan, membuat bulu kuduk siapa saja yang mendengarnya jadi meremang.

Saat itu, terlihat sesosok tubuh berbaju serba hitam yang panjang dan longgar tengah bergerak cepat menuju ke arah Timur Desa Kranggan. Gerakannya begitu cepat dan ringan, seakan-akan melayang di atas tanah. Sedikit pun tak terdengar suara dari ayunan kakinya yang begitu ringan bagai tidak menapak permukaan tanah. Sosok tubuh hitam itu baru berhenti bergerak setelah sampai di tanah pekuburan yang letaknya tidak seberapa jauh di sebelah Timur Desa Kranggan.

"He he he...!"

Terdengar tawanya yang terkekeh kering mengerikan. Dia berdiri tegak didepan sebuah gundukan tanah kuburan yang tampaknya masih baru dan terawat apik. Perlahan kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, seakan tidak ingin ada orang lain yang melihatnya. Kemudian, matanya menatap tajam pada kuburan di depannya dari balik kain kerudung berbentuk kerucut yang menutupi seluruh kepala dan sebagian wajahnya.

Memang sulit untuk bisa mengenali wajahnya, karena hampir tertutup kain kerudung hitam. Terlebih lagi, malam ini begitu gelap. Sedikit pun tak ada cahaya bulan dan bintang menghias angkasa raya. Sebentar orang itu berdiri mematung memandangi kuburan yang kelihatan masih baru, kemudian kedua tangannya perlahan terangkat ke atas. Kepalanya pun bergerak menengadah ke atas, mengikuti gerakan, kedua tangannya. Tampak bibirnya yang pucat bergerak-gerak seperti menggeletar. Kemudian...

"Hup!"

Begitu kedua tangannya merapat di samping pinggang, dia melompat tinggi ke udara. Lalu, tubuhnya menukik deras dengan kaki merapat tertuju lurus ke tengah kuburan itu. Dan....

Brus!

Cepat sekali orang aneh berbaju hitam pekat itu melesak masuk ke dalam kuburan. Tanah di sekitar kuburan jadi bergetar, bagai diguncang gempa kecil. Tampak asap putih mengepul ke udara bergulung-gulung dari kuburan yang berlubang cukup besar. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat orang aneh itu menyembul perlahan-lahan sambil memondong sesosok tubuh yang terbungkus kain putih bernoda tanah merah.

Orang itu bergerak melayang ke atas, lalu pelan-pelan sekali kakinya menjejak tanah di pinggir kuburan yang sudah berlubang. Asap putih yang menggumpal dari dalam kuburan itu pun menyebar tertiup angin. Tampak orang aneh berbaju serba hitam itu berdiri tegak memondong sesosok tubuh yang terbungkus kain putih bernoda tanah merah berlumpur. Perlahan diletakkannya mayat itu, kemudian dipandanginya beberapa saat. Hati-hati sekali ikatan kain putih di kepala mayat itu dibukanya.

"He he he...!"

Suara tawa terkekeh kembali terdengar saat terlihat seraut wajah wanita yang cukup cantik di balik kain putih yang membungkusnya. Dengan sikap hati-hati, kembali diikatnya ujung kain di kepala mayat wanita, dan dibungkusnya lagi dengan rapi.

"He he he...!"

Sambil tertawa terkekeh, orang aneh itu memondong lagi mayat perempuan yang diambilnya dari dalam kuburan itu. Kemudian tubuhnya berbalik da melangkah ringan meninggalkan kuburan. Ayunan langkah kakinya begitu ringan, seakan-akan telapak kakinya tidak menyentuh tanah sedikit pun juga. Sebentar saja, dia sudah tidak terlihat lagi ditelan gelapnya malam. Secercah cahaya kilat menyambar membelah langit yang kelam.

"He he he...!"

Suara tawa terkekeh masih terdengar, dan semakin menjauh. Kemudian suara itu menghilang terbawa hembusan angin kencang di malam pekat ini. Tidak ada seorang pun yang melihat kejadian itu. Dan malam terus merayap semakin bertambah larut. Titik-titik air hujan mulai merembes jatuh menyirami bumi. Tak berapa lama kemudian, hujan pun turun dengan deras sekali, bagaikan ditumpahkan dari langit. Kilat semakin sering menyambar disertai guntur yang menggelegar memecah angkasa.

********************

Kegemparan terjadi di Desa Kranggan, ketika salah seorang anak gembala melihat sebuah kuburan terbongkar pagi ini. Itu adalah kuburan seorang gadis yang baru meninggal kemarin. Dan ini, berarti sudah dua kuburan terbongkar. Rangga dan Pandan Wangi yang berada di rumah Kadik, juga mendengar berita itu. Mereka bergegas ke tanah kuburan yang berada di sebelah Timur di luar Desa Kranggan.

"Pasti dia akan menciptakan pasukan dari mayat yang dibangkitkan dari kuburnya," desis Kadik menggumam perlahan, seakan bicara pada diri sendiri.

Rangga yang mendengar gumaman kecil itu langsung memandanginya tajam-tajam. Sementara, Pandan Wangi yang tidak mendengar terus mengamati kuburan yang menganga cukup besar. Tidak ada lagi orang lain di sekitar tanah kuburan ini, selain mereka bertiga.

"Siapa dia, Kadik?" Tanya Rangga ingin tahu.

Kadik tidak langsung menjawab. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat. Lalu, kepalanya bergerak berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tepat di sebelah kanannya. sedangkan Rangga sendiri terus memandangi tanpa berkedip.

"Iblis Penggali Kubur," terdengar pelan sekali suara Kadik.

"Siapa dia?" Tanya Rangga lagi.

"Aku tidak tahu. Aku juga hanya mendengar namanya saja dari Ki Jungut. Tapi, dia sudah tewas oleh...," Kadik tidak meneruskan.

Rangga juga tidak mendesak lagi. Dia tahu, siapa Ki Jungut itu. Kadik sudah menceritakannya ketika sadar dari pingsannya dan ditolong Pendekar Rajawali Sakti. Tapi dari cerita Kadik, belum ditemukan cahaya terang setitik pun. Rangga juga belum bisa menduga maksud si Iblis Penggali Kubur yang mengambil mayat-mayat dari dalam kubur. Entah, untuk apa mayat-mayat itu dikumpulkan. Tapi ada satu keanehan yang menjadi beban pikiran Rangga saat ini. Si Iblis Penggali Kubur hanya mengambil mayat-mayat gadis yang baru satu hari meninggal dan dikuburkan. Untuk apa mayat-mayat gadis yang baru meninggal itu...?

Pertanyaan ini yang terus mengganggu benak Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Pandan Wangi sudah selesai memeriksa sekitar kuburan yang berlubang menganga cukup besar itu. Gadis berbaju biru muda yang berjuluk si Kipas Maut itu menghampiri Rangga yang berada di sebelah kanan Kadik, pemuda dari Desa Kranggan yang ternyata putra bekas seorang panglima perang kerajaan.

"Bagaimana...? Ada yang kau temukan, Pandan?" Tanya Rangga langsung.

Pandan Wangi menggelengkan kepala perlahan. Sedikit nafasnya ditarik, kemudian dihembuskannya pelan sekali. Pandangannya langsung tertuju pada Kadik yang juga tengah memandanginya, kemudian beralih pada Pendekar Rajawali Sakti.

"Dia bukan penggali kubur biasa, Kakang," duga Pandan Wangi perlahan.

"Maksudmu...?" Rangga tidak mengerti.

"Kau lihat saja sendiri. Sedikit pun tidak ada bekas galiannya. Tanah di sekitar lubang seperti hangus terbakar," sahut Pandan Wangi menjelaskan pengamatannya.

Rangga bergegas mendekati lubang kuburan itu. Pendekar Rajawali Sakti berjongkok sebentar mengamati, kemudian kembali mendekati Pandan Wangi dan Kadik. Saat itu, tiba-tiba saja bertiup angin kencang disertai suara menggemuruh bagai terjadi badai. Dan saat itu juga, langit jadi gelap tersapu awan hitam yang berrgulung-gulung menutupi seluruh angkasa. Rangga cepat melompat ke depan Kadik. Pandan Wangi juga segera menggeser kakinya mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Mendadak....

Crlark! Glarrr...!

Secercah cahaya kilat membersit terang di angkasa, disertai ledakan guntur yang menggelegar dahsyat menggetarkan jantung. Bahkan, sampai-sampai mengejutkan tiga orang yang ada di tengah-tengah tanah pekuburan ini. Dan belum lagi keterkejutan itu lenyap, kembali mereka dikejutkan oleh bergetarnya bumi yang dipijak.

Saat itu, terlihat asap tebal berwarna kemerahan mengepul bergulung-gulung dari dalam kuburan yang terbongkar. Tak berapa lama kemudian, tanah kuburan itu bergerak merapat. Dan asap kemerahan yang mengepul pun menghilang tersapu angin. Mendadak, langit kembali cerah. Angin pun tidak lagi berhembus kencang. Kemurkaan alam hanya terjadi sesaat, namun sudah membuat Rangga dan Pandan Wangi sempat berjaga-jaga untuk melindungi Kadik.

"Pertanda apa ini, Kakang?" Tanya Pandan Wangi setengah bergumam, seperti untuk diri sendiri.

"Hmmm...," namun Rangga hanya menggumam perlahan saja.

Sedangkan wajah Kadik sudah terlihat memucat. Dia teringat peristiwa yang pernah dialaminya kuburan ini, sebelum jatuh pingsan dan ditolong kedua pendekar muda dari Karang Setra itu. Kejadian yang hampir sama, tapi kali ini lebih dahsyat lagi. Hanya saja, sekarang tidak muncul mayat wanita seperti yang terjadi pada jasad kekasihnya.

Namun demikian, Kadik jadi cemas juga. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri dengan wajah pucat pasi dan tubuh gemetar. Tapi setelah beberapa saat keadaan tenang, ternyata tidak seorang pun yang terlihat muncul di kuburan ini. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak dengan kepala bergerak-gerak perlahan seperti tengah mengerahkan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'.

Namun juga Pendekar Rajawali Sakti belum mendapatkan sesuatu. Sekitar kuburan ini begitu sunyi. Hanya desir angin lembut saja yang terdengar mengusik gendang telinga. Namun tiba-tiba saja...

"Kau merasakan sesuatu, Pandan...?" pelan sekali suara Rangga.

Pandan Wangi terdiam. Kepalanya dimiringkan sedikit, mempertajam pendengarannya. Sebentar kemudian wajahnya berpaling menatap Pendekar Rajawali Sakti yang masih diam dengan sikap seperti hendak menghadapi musuh tangguh dan berbahaya.

"Aku tidak mendengar apa-apa," kata Pandan Wangi perlahan setengah berbisik.

"Pusatkan seluruh perasaanmu pada telapak kaki," ujar Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.

Tapi belum juga Pandan Wangi mengikuti kata-kata Pendekar Rajawali Sakti, mendadak....

Brul! Blar...!
"Heh...?!"
"Ohhh...!"

Pandan Wangi dan Kadik langsung berlompatan mundur dengan terkejut, begitu tiba-tiba saja didepan mereka menyembul dua sosok tubuh dari dalam tanah. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak pada kedua kakinya.

"Oh, makhluk apa ini...?!" Desis Pandan Wangi mendesah.

Hampir Pandan Wangi tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Ternyata dari dalam tanah muncul dua sosok makhluk yang sulit untuk bisa dikenali lagi. Dua sosok makhluk berbentuk mayat yang seluruh wajah dan tubuhnya sudah rusak. Kedua mayat hidup itu bergerak lamban, mendekati Pendekar Rajawali Sakti yang masih tetap berdiri tegak tak bergeming sedikit pun.

Sorot mata Pendekar Rajawali Sakti begitu ta-jam tak berkedip sedikit pun saat mengamati dua sosok makhluk mayat hidup yang sudah rusak keadaannya. Bau busuk yang memualkan langsung menyebar menyengat hidung. Ulat-ulat kecil memenuhi hampir seluruh tubuh kedua makhluk itu yang sudah mengelupas daging-dagingnya.

"Hmm.... Sekali pun datang dari dasar neraka, tidak pantas kau ada di atas permukaan bumi ini," desis Rangga dingin menggetarkan.

Tiba-tiba saja, salah satu dari makhluk mayat hidup itu melompat menerjang Rangga begitu cepat. Kedua tangannya terulur ke depan, mengarah langsung ke leher Pendekar Rajawali Sakti.

"Hap!" Cepat-cepat Rangga memiringkan tubuhnya menghindari terjangan makhluk mayat hidup yang menyebarkan bau busuk memualkan perut itu. Tapi belum juga tubuhnya sempat ditarik tegak kembali, satu makhluk mayat hidup lainnya sudah memberikan serangan dengan kibasan tangan kanan yang berkuku runcing mengarah ke lambung kanan.

"Uts!" Rangga segera mengegoskan tubuhnya menghindari sambaran tangan rusak berkuku runcing dan hitam itu. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah. Dan pada saat itu, tiba-tiba saja dari dalam tanah menyembul sebuah tangan rusak dan kotor berlumpur. Langsung dicengkeramnya pergelangan kaki Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat yang bersamaan, mendadak Kadik menjerit keras.

"Heh...?!" Pandan Wangi yang berada dekat dengan pemuda desa itu jadi terkejut. Cepat Kipas Mautnya ditarik keluar, dan langsung dikebutkan ke tangan rusak yang menyembul dari dalam tanah yang mencengkeram pergelangan kaki Kadik.

Cras!

Tangan yang hampir tidak berdaging itu langsung buntung terbabat kipas baja putih yang terkenal maut Itu. Pada saat yang bersamaan, Rangga sudah berhasil melepaskan cengkeraman tangan rusak dan pergelangan kakinya. Cepat-cepat tubuhnya melenting, dan langsung mendarat dekat di samping Pandan Wangi. Begitu ringan gerakannya, hingga tidak menimbulkan suara sedikit pun saat menjejak tanah yang berumput agak basah ini.

"Tinggalkan tempat ini, cepat...!" seru Rangga.

"Kau sendiri...?" Pandan Wangi ingin protes.

"Jauhkan Kadik dari sini. Nanti aku menyusul," potong Rangga cepat.

Pandan Wangi tidak membantah lagi. Cepat-cepat disambarnya tangan Kadik, dan diajaknya berlari meninggalkan tanah kuburan itu.

Sementara, Rangga sudah kembali sibuk menghadapi dua makhluk mayat hidup yang menyerangnya dengan cepat dan bergantian. Saat itu, tangan-tangan rusak dan kotor berlumpur semakin banyak bersembulan dari tanah, seakan-akan siap menerima Pendekar Rajawali Sakti. Akibatnya, pemuda berbaju rompi putih itu harus berjumpalitan di udara.

"Hup! Yeaaah...!"

Begitu memiliki kesempatan, Rangga cepat-cepat melenting ke udara, lalu manis sekali hinggap di atas dahan pohon. Lalu tubuhnya kembali melenting ke pohon lainnya. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti berlompatan dari satu pohon ke pohon lain. Dan dengan gerakan indah kakinya mendarat di tanah, agak jauh dari tanah kuburan itu.

"Phuihhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang. Tampak mayat-mayat hidup dan tangan-tangan rusak yang bersembulan dari dalam tanah itu tidak berusaha mengejar. Bahkan kembali melesak masuk ke dalam tanah.

Sementara itu Rangga berdiri tegak memperhatikan. Pendekar Rajawali Sakti belum juga beranjak pergi, meskipun tidak ada lagi makhluk mayat hidup dan tangan-tangan rusak di sekitar tanah pekuburan itu. Beberapa saat lamanya, Rangga masih berdiri mematung memandangi tanah pekuburan. Kemudian tubuhnya berputar berbalik, dan melangkah pergi. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan hitam memotong di depannya.

"Hup!" Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang sambil berputaran di udara dua kali. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah kembali.

"Hmmm...." Pendekar Rajawali Sakti bergumam kecil saat melihat di depannya sudah berdiri sesosok berbaju Jubah panjang warna hitam pekat. Sulit untuk bi-sa melihat wajahnya, karena tertutup kerudung hitam berbentuk kerucut yang menyelubungi seluruh kepala.

"Hmmm...," kembali Rangga menggumam perlahan.

"Tinggalkan desa ini. Pendekar Rajawali Sakti. Jangan coba-coba mencampuri urusanku," terasa dingin sekali nada suara orang itu.

"Heh...?! Kau tahu namaku?! Siapa kau?!" Rangga jadi terperanjat.

"Aku biasa dipanggil Iblis Penggali Kubur. Dan kuharap, kau cepat tinggalkan desa ini. Jangan coba-coba mencampuri urusanku di sini. Dan kalau kau keras kepala, kau akan menghadapi pasukan mayatku," desis orang aneh berbaju jubah hitam yang mengenalkan diri sebagai si Iblis Penggali Kubur.

Dari nada suaranya, jelas kalau orang itu laki-laki. Dan Rangga tahu kalau ancaman itu tidak bisa dianggap main-main. Tapi, apakah Pendekar Rajawali Sakti akan mengikuti begitu saja hanya karena ancaman? Rangga kini malah melangkah beberapa tindak, mendekati. Sikapnya begitu tenang. Bahkan senyuman tipis terukir di bibirnya. Dan kini, jarak mereka tinggal sekitar tujuh langkah lagi.

"Kau yang mencuri mayat-mayat di sini?" Tanya Rangga agak datar nada suaranya.

"Itu bukan urusanmu, Pendekar Rajawali Sakti!" Sahut si Iblis Penggali Kubur ketus.

"Untuk apa kau mencuri mayat?" Tanya Rangga lagi, tidak mempedulikan jawaban yang begitu ketus dan tidak bersahabat.

"Sudah kukatakan, itu bukan urusanmu!" Bentak Iblis Penggali Kubur lagi. "Kau tinggalkan desa ini secepatnya, atau mati di sini oleh pasukanku, Pendekar Rajawali Sakti!"

"Hmmm. Kau mengancamku, Kisanak," desis Rangga agak menggumam.

"Semua penduduk Desa Kranggan akan kujadikan mayat kalau kau masih terlihat besok pagi, Pendekar Rajawali Sakti. Dan, ingat! Aku tidak pernah main-main. Kalau kau tetap keras kepala, aku tidak segan-segan menghancurkan kerajaan mu dengan pasukan mayatku!" semakin dingin saja nada suara si Iblis Penggali Kubur.

Belum juga Rangga bisa membuka suara, si Iblis Penggali Kubur sudah melesat pergi cepat sekali. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejapan mata saja sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak memandang ke arah kepergian laki-laki aneh yang mengaku berjuluk Iblis Penggali Kubur.

"Hmmm, siapa dia? Dan, dari mana dia tahu diriku...?' gumam Rangga perlahan, bertanya-tanya pada diri sendiri.

Memang sulit menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti sekarang ini. Dan bukan hanya itu saja pertanyaan yang muncul di kepala Rangga. Begitu banyak pertanyaan yang bermunculan, tapi tak satu pun yang bisa terjawab. Dan Rangga sen-diri belum bisa menduga apa-apa, karena semuanya masih belum jelas. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, untuk apa si Iblis Pengali Kubur itu membentuk pasukan dari mayat-mayat yang dicurinya dari dalam kubur.

"Apa pun ancamannya, aku tidak bisa tinggal diam begitu saja. Perbuatannya sudah menyalahi kodrat alam. Bagaimanapun caranya, semua ini harus bisa kuhentikan," desis Rangga bertekad.

Pendekar Rajawali Sakti terus melangkah pergi dengan ayunan kaki yang begitu ringan. Seakan-akan, telapak kakinya tidak menyentuh tanah. Dan sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh meninggalkan kuburan itu. Bahkan kini sudah kembali bertemu Pandan Wangi dan Kadik di perbatasan sebelah Timur Desa Kranggan.

"Ayo kita ke rumahmu, Kadik," ajak Rangga langsung, sebelum Pandan Wangi melontarkan Pertanyaan.

Dan memang, mulut Pandan Wangi sudah terbuka ingin bertanya. Tapi, pertanyaan itu hanya tertinggal di tenggorokan saja, karena Rangga sudah melangkah mendahului. Sedangkan Kadik mengikuti dari belakang. Maka Pandan Wangi pun bergegas melangkah mengikuti kalau tidak ingin tertinggal. Sebentar saja mereka sudah berjalan berdampingan, memasuki Desa Kranggan yang tampak masih tetap sunyi.

LIMA

Satu pekan sudah berlalu, setelah kejadian yang mengerikan yang dialami Kadik, Pandan Wangi dan Pendekar Rajawali Sakti. Dan kini setiap hari selalu saja ada yang meninggal di Desa Kranggan. Mereka yang meninggal adalah gadis-gadis muda, di bawah usia sembilan belas tahun. Dan setiap kali ada penguburan, esok harinya kuburan itu selalu ditemukan sudah terbongkar. Bahkan mayat yang dikuburkan lenyap entah ke mana.

Peristiwa ini tentu saja membuat seluruh penduduk Desa Kranggan jadi gempar. Mereka langsung dicekam kengerian yang menggelisahkan. Bahkan kini, tak ada seorang pun yang berani lagi keluar dari rumah kalau malam sudah menjelang. Sudah beberapa orang peronda melihat, gadis-gadis yang sudah meninggal waktu itu berkeliaran di desa ini. Namun, sampai saat ini belum ada korban. Tapi, hampir setiap hari ada saja gadis desa yang meninggal mendadak.

Rangga yang masih berada di desa itu juga teringat ancaman si Iblis Penggali Kubur. Maka kecemasan pun tidak dapat lagi disembunyikan. Hatinya benar-benar cemas kalau Iblis Penggali Kubur sampai benar-benar melaksanakan ancamannya. Iblis itu memang ingin membuat seluruh penduduk Desa Kranggan menjadi pasukan mayatnya, dan untuk menghancurkan Kerajaan Karang Setra. Dan kini sudah lebih dari sepuluh orang gadis meninggal dalam waktu kurang dari dua pekan saja.

"Ada yang meninggal lagi, Kakang."

Rangga mengangkat kepalanya sedikit, langsung menatap wajah Pandan Wangi yang kelihatan begitu cantik pagi ini. Tapi sinar matanya kelihatan begitu lelah. Pandan Wangi memang sudah lelah, karena sampai saat ini belum juga bisa memergoki si pencuri mayat.

"Gadis...?" Tanya Rangga terdengar pelan sekali suaranya.

Pandan Wangi mengangguk.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napas panjang.

Saat itu, terlihat Kadik datang menghampiri dari samping rumah. Pemuda keturunan bangsawan yang hidup di desa sejak masih kecil itu langsung menghempaskan tubuhnya di samping Rangga. Tampak keringat mengucur membasahi seluruh wajah, leher, dan tubuhnya. Nafasnya pun terdengar memburu. Bahkan seperti tidak peduli dengan pandangan mata Rangga dan Pandan Wangi yang menyorot begitu tajam.

"Dari mana pagi-pagi begini, Kadik?" Tanya Rangga tetap menatap pemuda desa itu.

"Mencari si Iblis Penggali Kubur," sahut Kadik datar.

"Untuk apa?"

"Iblis keparat itu telah menyandera emak ku, Rangga. Aku harus membunuhnya!" dengus Kadik bernada geram.

Rangga diam memandangi dengan sinar mata agak tajam, tak berkedip sedikit pun juga. Sementara, Pandan Wangi yang sudah duduk di sebelah Pendekar Rajawali Sakti juga memandangi Kadik yang masih sibuk mengatur jalan nafasnya. Sesekali punggung tangannya menyeka keringat di leher.

"Dia juga telah membuat kekasihku sengsara dalam kematiannya. Iblis itu akan membuat seluruh penduduk Desa Kranggan ini jadi mayat hidup!" sambung Kadik masih dengan nada suara menggeram berang.

"Dari mana kau tahu itu?" Tanya Rangga agak tersentak kaget.

"Semalam dia menemuiku, dan mengancam akan membuat seluruh penduduk desa ini menjadi mayat hidup kalau aku tidak segera menyerahkan Cupu Batu Mustika Biru. Dia juga meminta agar aku tidak mengizinkan kalian berdua tinggal di sini," sahut Kadik seraya berpaling menatap Rangga begitu dalam.

"Kau menghendaki begitu?" Tanya Rangga.

"Tidak. Biar kau tetap di sini, Rangga. Kita hadapi iblis keparat itu bersama-sama," tegas Kadik.

"Aku memang akan menghentikannya. Tapi, tidak dengan cara gegabah," kata Rangga juga tegas nada suaranya.

"Kau punya rencana, Rangga?" Tanya Kadik.

Rangga tidak langsung menjawab, dan jadi terdiam mendengar pertanyaan Kadik barusan. Sebenarnya, tidak terlalu sulit menjawab pertanyaan itu. Tapi, Rangga memang tidak pernah mengatakan setiap rencana yang ada dalam kepalanya. Karena, dia tidak pernah percaya penuh pada keberhasilan sebuah rencana. Pendiriannya, sematang apa pun rencana yang sudah disiapkan, tidak akan mencapai hasil sepenuh yang diinginkan.

Dan semua itu tergantung pelaksanaannya. Itu sebabnya, kenapa Rangga tidak pernah mengatakan setiap rencana yang ada di kepalanya. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti berdiri, dan melangkah menghampiri kudanya yang tertambat di pohon kenanga, tepat di sudut sebelah kiri halaman rumah ini. Dielus-elusnya leher kuda hitam yang tinggi tegap dan bernama Dewa Bayu itu. Kuda hitam Dewa Bayu tampak kesenangan mendapat elusan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!" Dengan gerakan indah sekali, Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung Dewa Bayu. Kemudian, dihentakkan tali kekang kudanya yang terbuat dari perak. Kuda itu pun berjalan perlahan-lahan, keluar dari halaman rumah Kadik yang cukup luas ini

Sementara, Pandan Wangi dan Kadik hanya memandangi saja kepergian Pendekar Rajawali Sakti dengan kuda tunggangannya.

"Mau ke mana dia?" Tanya Kadik.

Pandan Wangi hanya mengangkat bahunya sedikit saja. Dia sendiri tidak tahu, ke mana Rangga akan pergi. Gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu tidak lagi merasa heran atas sikap Rangga yang pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa. Dia tahu, persoalan yang sedang dihadapi Pendekar Rajawali Sakti dianggap berat. Dan biasanya, Rangga akan melakukan sesuatu tanpa ada satu rencana pun di kepalanya.

"Aku pergi dulu, Kadik," pamit Pandan Wangi seraya bangkit berdiri.

"Mau ke mana?" Tanya Kadik.

"Ke rumah kepala desa," sahut Pandan Wangi. Si Kipas Maut itu langsung saja berjalan menghampiri kudanya sebelum Kadik melontarkan pertanyaan lagi. Gadis itu langsung melompat naik ke punggung kuda putihnya.

Sementara, Kadik hanya bisa memandangi tanpa dapat berbuat apa-apa. Dia terus memandangi Pandan Wangi yang menuju ke rumah Kepala Desa Kranggan.

********************

Sementara itu, Rangga yang tengah menunggangi Dewa Bayu perlahan-lahan, tanpa disadari sudah tiba di kuburan yang terletak di sebelah Timur, di luar Desa Kranggan. Pendekar Rajawali Sakti melompat turun dari punggung kudanya, kemudian berjalan melewati beberapa gundukan tanah kuburan. Sepi sekali keadaan di tempat ini, sehingga tak seorang pun terlihat. Bahkan binatang pun seakan-akan enggan menginjakkan kakinya di sini.

Rangga terus melangkah perlahan-lahan. Sementara, matanya tidak berkedip merayapi sekitarnya. Pendengarannya pun dipasang tajam-tajam, tapi hanya desir angin saja yang terdengar mengusik gendang telinganya. Dia terus melangkah semakin ke tengah pekuburan ini, dan baru berhenti setelah tiba di sebuah kuburan yang tampaknya masih baru. Dia tahu, kuburan ini baru saja dibuat. Di dalamnya, terbujur seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun, yang baru saja meninggal pagi tadi.

"Ehm...! Ehm...!"

"Oh...?!" Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara orang mendehem dari belakang. Segera tubuhnya diputar berbalik.

Entah dari mana, tahu-tahu di belakang Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang gadis muda berparas cantik. Baju merah yang dikenakannya begitu ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Gagang sebilah pedang tampak menyembul dari balik punggungnya.

"Iblis...! Kukira kau sudah tua bangka. Ternyata, kau masih muda dan tampan," dingin sekali nada suara gadis cantik berbaju merah menyala ini.

Sorot mata gadis itu begitu tajam, menembus langsung ke bola mata pemuda tampan berbaju rompi putih di depannya. Wajahnya pun kelihatan kaku. Sedangkan kedua tangannya sudah terkepal erat, membuat urat-uratnya bersembulan.

Sementara, Rangga Jadi terperanjat mendengar kata-kata yang begitu ketus dari gadis ini. Sungguh tidak dimengerti, bahkan baru sekali ini melihat gadis itu. Tapi, dia sudah memakinya begitu pedas!

"Sudah lama aku mencarimu, Iblis Keparat. Ternyata kau bersembunyi di sini," kata gadis itu lagi. Masih bernada dingin dan ketus.

"Maaf, siapa Nisanak ini? Dan ada urusan apa mencariku?" Tanya Rangga semakin kebingungan tidak mengerti.

"Huh! Jangan pura-pura bodoh, Keparat! Sampai ke neraka pun aku akan tetap mengejarmu!" dengus gadis cantik itu semakin ketus.

Rangga semakin kebingungan tidak mengerti. Sungguh tidak jelas maksud gadis cantik yang tiba-tiba saja marah-marah padanya. Padahal, Rangga begitu yakin kalau di antara mereka belum pernah berjumpa. Tapi, gadis cantik ini seperti sudah menyimpan dendam yang begitu dalam dan lama, hingga kemarahannya langsung meluap tak terbendung lagi. Rangga melangkah beberapa tindak mendekati, dan masih mencoba bersikap tenang. Dia yakin gadis ini tentu salah duga.

"Maaf, Nisanak...."

"Jangan banyak mulut, Keparat!" sentak gadis itu cepat memotong ucapan Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti langsung diam. Namun tiba-tiba saja....

"Saatnya kau mampus, Iblis Keparat! Hiyaaat...!"

Sret! Wuk!
"Heh...?!
Uts!"

Cepat Pendekar Rajawali Sakti menarik tubuhnya ke belakang, begitu tiba-tiba saja gadis cantik berbaju merah menyala itu melompat cepat bagai kilat. Bahkan pedangnya sudah tercabut, dan langsung dikebutkan ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti. Hanya sedikit saja ujung pedang yang berkilatan tajam itu lewat didepan dada Pendekar Rajawali sakti. Namun, belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, gadis cantik berbaju merah itu sudah kembali mengebutkan pedangnya dengan kecepa-tan luar biasa.

"Hiyaaat...!"
Bet!
"Ikh...!"

Rangga jadi terkejut juga melihat gerakan pedang yang berputar begitu cepat, dan langsung mengibas ke arah dadanya kembali. Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang sejauh dua langkah. Maka, ujung pedang itu kembali lewat didepan dada Pendekar Rajawali Sakti. Rangga kembali melompat ke belakang beberapa langkah, begitu kakinya menjejak tanah. Dicobanya untuk menghindari serangan gadis cantik ini lagi.

"Cukup...!" sentak Rangga agak lantang.

"Siapa kau ini?! Dan kenapa menyerangku tanpa sebab...?!"

"Phuih! Masih juga berpura-pura terhadap perbuatan iblismu, Keparat!" dengus gadis cantik itu ketus.

"Aku Rahayu yang akan memenggal kepalamu, Iblis Penggali Kubur!"

"Heh...?!" Rangga jadi tersentak begitu mendengar tuduhan gadis ini yang menyangka dirinya adalah si Iblis Penggali Kubur. Tapi belum juga hilang keterkejutannya, mendadak saja gadis cantik berbaju merah menyala yang mengaku bernama Rahayu sudah kembali melompat secepat kilat.

"Mampus kau! Hiyaaat...!"

"Tunggu...! Uts!"

Rangga tidak dapat lagi mencegah. Cepat-cepat ia ditarik ke kanan, begitu Rahayu menusukkan pedangnya dengan kecepatan luar biasa. Namun, pada saat mata pedang berada di samping tubuh Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja gerakannya berubah dengan kecepatan sukar diikuti mata biasa. Pedang Rahayu berputar begitu cepat, langsung dibabatkan ke arah lambung Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, hanya dengan sedikit saja mengegoskan tubuhnya, pemuda berbaju rompi putih itu bisa menghindarinya.

"Hup!" Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang, setelah ujung pedang gadis cantik berbaju merah menyala itu lewat di depan perutnya. Dua kali Rangga berputaran di udara, lalu manis sekali menjejakkan kakinya kembali di tanah berumput cukup tebal ini.

"Hhh! Tangguh juga kau, Iblis!" dengus Rahayu dingin.

"Tapi, coba hadapi jurus Tarian Dewi Pedangku ini."

Setelah berkata demikian, Rahayu langsung merubah jurusnya. Pedangnya bergerak-gerak gemulai disertai liukan tubuh yang begitu indah. Seakan-akan, dia tengah menyajikan sebuah tarian memikat Rangga sampai terpana beberapa saat, melihat jurus yang begitu indah, dengan gerakan-gerakan lembut dan gemulai.

"Uhhh...!" Saat itu juga, Rangga merasakan udara di sekitarnya jadi menipis. Bahkan nafasnya pun mulai terasa sesak. Cepat-cepat jalan pernafasannya dipindahkan ke perut Lalu, dilakukannya beberapa gerakan tangan. Hal ini untuk mengatasi udara yang semakin menipis, akibat jurus Tarian Dewi Pedang yang dimainkan Rahayu.

"Hiyaaat..!" Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Rahayu melompat menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Rangga jadi terpana sesaat. Namun dengan gerakan tubuh yang manis sekali, Pendekar Rajawali sakti berhasil menghindari sabetan pedang yang begitu cepat dan beruntun.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Beberapa kali Rahayu melakukan serangan dengan pedangnya yang begitu dahsyat dan cepat luar biasa. Dan hal ini membuat Rangga terpaksa harus berjumpalitan sambil meliuk-liukkan tubuhnya, untuk menghindari serangan-serangan jurus Tarian Dewi Pedang yang sangat dahsyat. Namun dengan pengerahan jurus Sembilan Langkah Ajaib, rasanya masih terlalu sulit bagi Rahayu untuk mendesak Pendekar Rajawali Sakti.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan pertarungan itu masih terus berlangsung semakin gesit. Jelas sekali terlihat kalau Rahayu begitu bernafsu ingin menyudahi pertarungan. Tapi, tampaknya gadis itu benar-benar mendapat lawan yang sangat tangguh, dan sukar untuk bisa cepat-cepat disudahi. Gadis itu memang tidak tahu kalau saat ini berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti, yang namanya selalu menggetarkan tokoh-tokoh tingkat tinggi rimba persilatan.

Namun, dendam yang membakar sudah menutup mata hatinya. Hingga, mata hatinya tidak dapat lagi melihat kalau tingkat kepandaian yang dimilikinya belum bisa untuk menjatuhkan pemuda tampan berbaju rompi putih ini.

"Hup! Yeaaah...!" Tiba-tiba saja, Rangga melenting ke udara, tepat di saat Rahayu membabatkan pedangnya mengarah ke kaki. Dan begitu pedang Rahayu lewat di bawah telapak kakinya, cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya terbalik. Hingga, kepalanya cepat sekali berada di bawah. Pada saat itu juga, dengan kecepatan luar biasa tangan kanannya dikebutkan ke arah mata pedang gadis cantik berbaju merah menyala itu.

"Hap!"
Tap!
"Heh...?!"

Rahayu jadi terperanjat setengah mati, begitu tiba-tiba dua jari tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti sudah menggunting tepat di bagian tengah mata pedangnya. Saat itu, dengan gerakan manis sekali Rangga memutar tubuhnya berbalik kembali. Dan dengan indah sekali, kakinya menjejak tanah. Sementara jari tangan kanannya masih tetap menjepit mata pedang gadis cantik berbaju merah menyala ini.

"Hih!" Sambil mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, Rahayu mencoba menarik pedangnya dari jepitan dua jari tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, pedangnya sedikit pun tidak bergerak, seakan-akan berada di dalam penjepit baja yang teramat kuat.

"Setan! Lepaskan pedangku...!" bentak Rahayu geram.

"Baik. Akan kulepaskan. Hih...!"

"Ikh...!" Rahayu jadi terpekik tertahan begitu Rangga menghentakkan tangan kanannya, dan melepaskan jepitan jarinya pada pedang. Hentakan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna membuat Rahayu jadi terpental ke belakang. Mau tak mau gadis itu tidak dapat lagi menguasai tubuhnya.

"Akh...!" Pekikan tertahan terdengar begitu punggung Rahayu menghantam sebongkah batu yang cukup besar. Begitu kerasnya, sampai batu itu sampai retak. Sedangkan Rangga tetap berdiri tegak dengan bibir menyunggingkan senyuman tipis. Lalu, kakinya melangkah beberapa tindak ke depan. Saat itu, Rahayu sudah bisa bangkit berdiri lagi. Bibirnya meringis menahan sakit pada seluruh tubuhnya.

"Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu," ucap Rangga lembut.

"Huh!" Rahayu hanya mendengus saja. Ditatapnya lurus kedua bola mata Pendekar Rajawali Sakti dengan sinar mata begitu tajam, menyimpan dendam membara. Tapi, yang ditatap kelihatan tenang. Bahkan senyumannya masih tetap terukir menghiasi bibirnya yang sedikit kemerahan.

"Nisanak! Aku bukan Iblis Penggali Kubur yang kau cari," kata Rangga masih tetap terdengar kalem nada suaranya.

"Hhh! Bagaimana aku bisa mempercayaimu?! Sedangkan kau berada di kuburan itu!" dengus Rahayu sambil menujuk ke arah kuburan seorang gadis muda yang masih baru pagi tadi.

Rangga hanya tersenyum saja. Kembali kakinya diayunkan beberapa langkah mendekati gadis cantik berbaju merah menyala ini. Pedang masih tergenggam di tangan kanan gadis itu. Sedangkan Rangga seperti tidak peduli pada pedang yang sudah melintang didepan dada membentuk dua gundukan bukit indah itu. Langkahnya berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan gadis cantik yang mengenakan baju merah menyala ini.

"Namaku Rangga. Aku juga punya urusan dengan Iblis Penggali Kubur. Tapi, bukan untuk membalas dendam. Aku hanya ingin menghentikan perbuatannya saja. Bahkan kalau mungkin menyadarkannya," kata Rangga lagi, masih terdengar tenang nada suaranya.

"Hm...," gumam Rahayu perlahan.

Rangga membiarkan saja dirinya dijilati oleh tatapan mata yang memancarkan sinar menyelidik. Bahkan sikapnya terlihat tenang, dengan senyum terus terukir di bibir.

Sedangkan Rahayu kelihatan masih belum percaya pada keterangan Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu seakan-akan masih menuduh pemuda tampan yang mengenakan baju rompi putih itu adalah si Iblis Penggali Kubur.

Namun dengan ketenangan Pendekar Rajawali Sakti, Rahayu mulai kelihatan melemah. Bahkan ketegangannya mulai mengendur. Perlahan tangannya yang menggenggam pedang bergerak turun, lalu memasukkannya kembali ke warangkanya di punggung. Tapi, sinar matanya masih terlihat menyorot tajam, menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan di depannya.

"Aku tadi hanya ingin melihat saja, apakah si Iblis Penggali Kubur sudah mencuri mayat gadis itu di dalam kuburannya," kata Rangga setelah cukup lama tidak ada yang bicara.

"Hm...," tapi Rahayu hanya menggumam perlahan saja. Gadis itu seakan-akan tidak percaya terhadap pengakuan Pendekar Rajawali Sakti barusan. Sorot matanya masih terlihat begitu tajam, mengamati pemuda tampan di depannya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Kau sendiri, kenapa ingin membunuh Iblis Penggali Kubur?" Tanya Rangga.

"Aku harus membalas dendam," sahut Rara Anting tegas, tapi masih terdengar agak ketus nada suaranya.

"Dendam...?"

"Dia mencuri mayat adikku dari dalam kuburnya. Aku harus menemukan adikku, dan membunuh si iblis keparat itu dengan tanganku sendiri."

"Kau berasal dari mana?"

"Desa Tampuksari. Tidak jauh di sebelah Barat Kranggan ini."

"Hm...."

"Hampir semua gadis di sana meninggal, dan semua mayatnya hilang dicuri si Iblis Penggali Kubur. Termasuk mayat adikku," sambung Rahayu.

"Rupanya dia sudah lama melakukan ini...," gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.

"Kau sendiri, kenapa ingin mencari Iblis Penggali Kubur juga? Apa kau juga menyimpan dendam?" Tanya Rahayu.

"Tidak. Tidak ada dendam maupun persoalan antara aku dengannya. Aku hanya tidak bisa membiarkan kebiadaban terjadi di depan mataku. Perbuatan Iblis Penggali Kubur tidak bisa didiamkan. Sudah beberapa gadis mati, dan mayatnya hilang dari kuburnya di desa ini," sahut Rangga.

"Kebetulan, mayat kekasih sahabatku juga hilang. Jadi, aku tidak bisa tinggal diam begitu saja."

"Hm. Jadi kau benar bukan si Iblis Penggali Kubur?" Rahayu seakan-akan ingin meyakinkan diri, kalau pemuda tampan ini bukanlah orang yang sedang dicarinya.

Rangga tersenyum dan menggelengkan kepalanya beberapa kali. Kakinya melangkah beberapa tindak mendekati gadis cantik berbaju merah yang sudah kelihatan tidak berang lagi seperti tadi. Rupanya, Rahayu sudah percaya kalau Rangga bukanlah si Iblis Penggali Kubur yang dicari-carinya selama ini.

"Sudah hampir sore. Apa kau akan menunggu di sini?" Tanya Rangga setelah beberapa saat terdiam.

"Hanya ini kesempatan ku untuk menemukannya," tegas Rahayu.

"Aku pun demikian," sambung Rangga.

Rahayu memandangi Wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang dipandangi malah mengarahkan pandangannya ke tempat lain.

Sementara, matahari terus menggelincir semakin jauh ke arah Barat. Sinarnya yang semula terasa begitu terik, kini mulai meredup berwarna kemrahan. Memang, sebentar lagi siang akan berganti senja. Dan di sekitar pekuburan ini kelihatan begitu sunyi, tak ada seorang pun terlihat lagi selain mereka berdua.

"Sebaiknya kita tidak menunggu di sini. Terlalu terbuka tempatnya," usul Rangga.

"Hm," Rahayu hanya menggumam perlahan saja.

Rangga mengayunkan kakinya, mendekati sebuah gerumbulan semak tidak jauh dari tempat itu. Beberapa bongkah batu berukuran besar seperti sebuah tempat untuk bersembunyi yang sudah disiapkan, menjadi tempat persembunyian Rangga. Begitu Pendekar Rajawali Sakti menghilang di balik bongkahan batu itu, Rahayu baru mengayunkan kakinya menghampiri.

Kening Rahayu jadi sedikit berkerut begitu tiba di balik bongkahan batu. Tampak Rangga sudah duduk bersandar di batu dengan sikap yang begitu enak, seakan-akan tidak ada persoalan sedikit pun. Rangga hanya melirik sedikit pada gadis cantik yang masih berdiri saja di dekatnya.

"Duduklah di sini. Kau bisa terlihat kalau terus berdiri di situ," kata Rangga kalem.

Rahayu kelihatan ragu-ragu, tapi akhirnya duduk juga di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada lagi yang berbicara. Mereka terpaksa menunggu di balik batu ini sampai hari gelap. Dan memang, ini merupakan kesempatan yang teramat penting untuk bisa memergoki si Iblis Penggali Kubur yang telah mencuri mayat-mayat dari dalam kubur.

Dan rupanya pula, si Iblis Penggali Kubur bukan hanya bertindak keji di Desa Kranggan ini, tapi sudah di desa-desa lain. Hanya saja sampai saat ini, belum ada yang bisa menghentikannya. Apakah Rangga dan Rahayu mampu menghentikan si Iblis Penggali Kubur itu malam ini?

ENAM

Waktu seakan-akan berjalan begitu lambat. Rahayu sudah kelihatan gelisah tidak sabar. Saat ini, matahari sudah benar-benar tenggelam di balik peraduannya. Dan sekeliling tanah pekuburan sudah terselimut gelap. Kabut terlihat menyelimuti sekitarnya. Sedikit pun tak terlihat cahaya bintang maupun bulan. Langit tampak sangat kelam terselimut awan hitam yang menggumpal tebal.

Beberapa kali Rahayu menyembulkan kepalanya, tapi belum juga melihat adanya tanda-tanda kalau Iblis Penggali Kubur bakal muncul. Sedangkan Rangga kelihatan tenang, masih tetap duduk dengan punggung bersandar batu. Bibirnya selalu mengukir senyuman bila melihat Rahayu kelihatan begitu gelisah tidak sabar menunggu seperti ini.

"Tenang saja, Rahayu. Kalau malam ini dia tidak muncul, pasti malam berikutnya," kata Rangga kalem, mencoba menenangkan kegelisahan gadis cantik itu.

"Hhh...!" Sambil menghembuskan napas panjang, Rahayu menghempaskan tubuhnya di samping Pendekar, Rajawali Sakti. Tubuhnya digeser sedikit, begitu pundaknya terasa bersentuhan dengan pundak pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Sekilas matanya melirik wajah tampan di sampingnya. Entah kenapa, setelah yakin kalau pemuda ini bukanlah si Iblis Penggali Kubur, dadanya selalu bergetar bila melirik wajah tampan yang memiliki senyum sangat memikat menggetarkan jantung ini.

"Lama sekali...," desah Rahayu. "Apa mungkin dia tidak muncul malam ini?"

"Tunggu saja dulu. Jangan banyak bicara," ujar Rangga memperingatkan.

Rahayu hanya mengeluh saja, dan kembali diam tidak bicara lagi. Sedangkan Rangga beranjak bangkit berdiri. Dan baru saja kepalanya menyembul keluar, kedua bola matanya langsung terbeliak lebar. Hampir gadis itu tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Saat itu, Rahayu yang tengah memperhatikan jadi berkerut keningnya. Bergegas dia berdiri, dan menyembulkan kepalanya keluar dari batu tempat persembunyian.

"Apa itu...?" Desis Rahayu seperti bertanya pada diri sendiri.

"Ssst...," Rangga meminta gadis itu diam.

Mereka tidak membuka suara lagi. Sementara, pandangan mata mereka tertuju lurus pada sesosok tubuh yang berjalan tergesa-gesa memasuki tanah pekuburan ini. Sesosok tubuh yang mengenakan baju jubah panjang, dan berwarna hitam pekat. Cukup sulit untuk bisa mengenali wajahnya, karena tertutup kerudung kain hitam berbentuk kerucut pada bagian atasnya. Ditambah lagi keadaan malam ini begitu gelap, tanpa ada cahaya sedikit pun.

Seluruh langit tersaput awan hitam yang begitu tebal bergulung-gulung, membuat bulan dan bintang tidak mampu menembuskan cahayanya ke permukaan bumi. Sosok tubuh berbaju serba hitam itu berhenti melangkah, tepat di dekat kuburan yang masih baru.

Sementara Rangga dan Rahayu yang menyaksikan terpaksa harus menahan nafasnya, dengan dada berdebar bergemuruh. Mereka menantikan, apa yang akan terjadi pada malam gelap di kuburan ini. Terlihat jelas kalau orang itu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, hingga melewati kepala yang bergerak menengadah ke atas. Namun sebentar kemudian, kedua tangannya dirapatkan di samping tubuhnya. Dan saat itu juga, dia melompat ke udara. Lalu, tubuhnya meluruk deras dengan kedua kaki tetap merapat ke bawah. Seketika itu juga...

Brusss!
"Heh...?!"
"Hah...?!"

Bukan hanya Rangga yang terkejut. Bahkan Rahayu juga sampai terjingkat setengah mati, begitu tiba-tiba orang yang diawasi melesak masuk ke dalam kuburan yang masih baru tadi pagi itu. Mereka sampai berdiri tegak, keluar dari tempat persembunyiannya. Seperti tidak sadar, mereka bergerak keluar dari batu yang menjadi tempat berlindung. Sementara, orang berbaju serba hitam yang diawasi masih belum juga kelihatan keluar dari dalam kuburan.

Wusss...!

Tiba-tiba saja dari dalam kuburan yang sudah menganga lebar mengepul segumpal asap berwarna kemerahan. Asap itu semakin lama semakin bertambah banyak, bergulung-gulung membumbung tinggi ke angkasa. Lalu, sosok tubuh berbaju jubah serba hitam itu terlihat menyembul keluar dari dalam kuburan. Tubuhnya bergerak melayang seperti sejumput kapas yang tertiup angin.

Sebentar kemudian, dia sudah terlihat di lubang kuburan. Tampak di dalam pondongan orang itu terdapat sesosok tubuh yang terbungkus kain putih bernoda tanah berlumpur. Namun begitu kakinya menjejak tepian tanah kuburan, mendadak tubuhnya berputar berbalik. Hal ini membuat Rangga dan Rahayu seketika jadi terperanjat setengah mati.

"Keparat...! Mau apa kalian di sini?!" Bentak orang itu lantang dan kasar nada suaranya.

Sesaat Rangga dan Rahayu tidak bisa menjawab. Mereka masih diliputi keterkejutan dan keheranan yang amat sangat oleh perbuatan orang aneh yang tidak dikenal ini. Namun, tampaknya Rangga cepat bisa menghilangkan keterpanaannya. Cepat kakinya melangkah ke depan beberapa tindak, meninggalkan Rahayu di belakang sekitar lima langkah. Namun, gadis itu cepat mendekati Pendekar Rajawali Sakti lagi, dan berdiri di sebelah kanannya.

Sementara orang berbaju serba hitam itu perlahan-lahan meletakkan mayat yang diambil dari dalam kuburan itu.

"Kau yang bernama si Penggali Kubur?" Tanya Rangga membuka suara lebih dahulu.

"Phuih!" Tapi orang berjubah hitam itu menjawab hanya dengan semburan ludahnya saja. Perlahan kakinya bergeser ke kanan, meninggalkan sosok tubuh terbungkus kain putih yang tergeletak di tanah. Gerakan kakinya terhenti setelah berjarak sekitar enam langkah lagi dari mayat yang diambil dari dalam kuburnya.

"Kalian harus membayar mahal, karena telah berani mengganggu pekerjaanku!" desis orang berbaju serba hitam yang tak lain si Iblis Penggali Kubur.

"Terutama kau, Pendekar Rajawali Sakti!"

Tiba-tiba saja, Iblis Penggali Kubur itu mengebutkan tangan kanannya cepat sekali ke arah Rangga dan Rahayu. Saat itu juga, terlihat secercah cahaya merah meluruk deras bagai kilat, keluar dari telapak tangan kanan yang terbuka lebar itu.

"Awas...!" seru Rangga.
"Hup!"
"Heh...?!"

Rangga cepat melompat ke samping, seraya mendorong tubuh Rahayu cepat sekali. Akibatnya gadis itu tersentak kaget, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Dan saat itu juga, cahaya merah yang meluncur secepat kilat dari telapak tangan si Iblis Penggali Kubur, meluruk deras melewati tubuh kedua anak muda itu.

Glarrr...!

Ledakan begitu dahsyat seketika terdengar keras menggelegar, ketika cahaya merah itu menghantam batang pohon beringin yang sangat besar. Seketika, pohon itu hancur berkeping-keping, menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah, disertai kepulan debu dan asap yang membumbung tinggi ke angkasa.

"Gila...!" desis Rangga kagum.

Sementara, Rahayu yang tadi didorong Rangga hingga jatuh bergulingan di tanah, sudah bisa bangkit berdiri lagi. Gadis itu juga jadi terpana melihat pohon beringin yang begitu besar bisa hancur berkeping-keping terkena cahaya merah yang membersit dari telapak tangan kanan Iblis Penggali Kubur itu. Cepat-cepat gadis itu melompat mendekati Rangga.

Srettt! Rahayu langsung mencabut pedangnya yang tersampir di punggung. Sementara, Rangga tetap berdiri tegak menatap tajam si Iblis Penggali Kubur. Hanya sekali saja matanya melirik sedikit pada sosok mayat terbungkus kain putih, yang tergeletak di tanah, tidak jauh dari lubang kuburannya.

"Bagus! Rupanya kalian punya kepandaian juga," terasa begitu dingin nada suara Iblis Penggali Kubur.

"Kau menyingkir dulu, Rahayu," pinta Rangga setengah berbisik.

"Hati-hati, dia sangat tangguh," Rahayu memperingatkan.

Gadis itu langsung melangkah ke belakang menjauhi Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, Rangga sendiri melangkah ke depan mendekati si Iblis Penggali Kubur. Sorot matanya masih terlihat sangat tajam, menusuk langsung bagai hendak menembus selubung kain hitam yang menutupi seluruh kepala dan wajah orang itu.

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan kilat si Iblis Penggali Kubur melompat cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Dua kali pukulan dahsyat dilepaskan secara beruntun dengan kecepatan luar biasa. Namun, Rangga yang memang sudah siap sejak tadi, cepat meliukkan tubuh menghindarinya.

"Yeaaah...!"

Namun belum juga Pendekar Rajawali Sakti bisa bersiap kembali, si Iblis Penggali Kubur sudah menyerang lagi dengan kecepatan yang begitu tinggi. Terpaksa Rangga harus melenting dan berputaran di udara, menghindari serangan beruntun dari orang aneh berjubah hitam ini

"Utfs...!" Rangga sedikit melenguh begitu merasakan angin pukulan si Iblis Penggali Kubur yang menebarkan hawa panas menyengat. Sehingga membuat pernafasannya jadi terganggu. Tapi dengan cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti memindahkan jalan pernafasannya melalui perut. Sehingga, gerakannya tidak terganggu. Begitu indah dan manis sekali gerakan tubuh Pendekar Rajawali Sakti, sehingga serangan-serangan cepat yang sangat berbahaya si Iblis Penggali Kubur tidak ada yang mengenai sasaran.

"Hiyaaat...!"

Menyadari kalau pemuda berbaju rompi putih itu memiliki kepandaian yang sangat tinggi, Iblis Penggali Kubur cepat meningkatkan serangan-serangan. Pukulannya dilepaskan beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali. Udara di sekitar pertarungan itu pun semakin bertambah panas, menyesakkan dada. Tapi, rupanya Rangga memang sulit didekati. Gerakan-gerakan tubuhnya begitu lentur diimbangi gerakan kaki yang sangat cepat dan lincah. Sehingga si Iblis Penggali Kubur semakin bertambah geram, karena tidak satu pun serangan-serangannya yang berhasil mencapai sasaran.

"Hup!" Tiba-tiba saja Iblis Penggali Kubur melompat ke belakang, menghentikan pertarungan.

Sementara, Rangga kembali berdiri tegak di tempatnya. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Begitu tenang sikap Pendekar Rajawali sakti. Dan ketenangannya itu membuat si Iblis Penggali Kubur semakin bertambah geram. Jelas, dia merasa diremehkan pemuda tampan berbaju rompi putih ini.

"Phuih!" Beberapa kali si Iblis Penggali Kubur menyumpah, sambil menyemburkan ludah dengan geram. Perlahan kakinya bergerak menggeser ke samping mendekati sosok mayat yang masih tergeletak di tanah. Dia kemudian berdiri tepat di samping mayat yang terbungkus kain putih bernoda tanah berlumpur. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak di tempatnya, bersiap menerima serangan kembali.

"Aku tidak punya banyak waktu melayanimu, Anak Muda," kata Iblis Penggali Kubur dingin. Dan tiba-tiba saja, tangan kirinya mengebut cepat, lalu menghentakkan ke bawah. Seketika itu juga....

Brusss!
"Heh...?!"

Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba mengepul asap tebal di depan orang aneh berjubah hitam yang dikenal berjuluk Iblis Penggali Kubur. Hanya sebentar saja asap itu mengepul. Dan begitu menghilang tersapu angin, si Iblis Penggali Kubur sudah lenyap tak terlihat lagi, bersama mayat yang diambil dari dalam kuburannya.

"Keparat...!" geram Rangga merasa tertipu.

"Setan!" Rahayu juga ikut mengumpat geram.

Gadis itu bergegas menghampiri Rangga yang kini sudah berada di tempat si Iblis Penggali Kubur menghilang, setelah mengeluarkan asap tebal yang menutupi dirinya tadi. Sedikit pun tidak ada bekas, atau tanda-tanda ke mana perginya Iblis Penggali Kubur itu. Dan ini tentu saja, hal ini membuat Rangga jadi kebingungan juga. Pandangannya segera beredar berkeliling, tapi hanya kegelapan saja yang terlihat di sekitarnya.

"Ke mana dia pergi...?" gumam Rahayu seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Sedangkan Rangga tidak menjawab sedikit pun juga. Dia sendiri tidak tahu, ke arah mana perginya si Iblis Penggali Kubur tadi. Suatu cara menghindar yang belum pernah dilihatnya, selama Pendekar Rajawali Sakti mengembara menjelajahi rimba persilatan. Dia tidak tahu, ilmu apa yang digunakan si Iblis Penggali Kubur. Sedangkan saat bertarung tadi, jurus-jurusnya pun terasa sangat aneh. Rangga mengakui kalau tadi sedikit kewalahan juga menghadapinya.

"Ha ha ha...!"
"Heh...?!"

Rahayu jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar suara tawa keras menggelagar dan menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin. Sedangkan Rangga hanya menggumam saja perlahan.

"Tunggu saatnya nanti, Pendekar Rajawali Sakti. Kau akan menyesal! Ha ha ha...!"

"Hmmm...." Kembali Rangga hanya menggumam saja mendengar ancaman itu. Dikenalinya kalau betul itu suara si Iblis Penggali Kubur. Tapi, memang sulit untuk menentukan arah datangnya suara, karena terdengar menggema seperti datang dari segala penjuru mata angin.

Sementara, Rahayu langsung memandang pemuda tampan di sampingnya. Dan kini suara itu pun tidak terdengar lagi. Keadaan pun kembali sunyi, hanya angin saja yang terdengar menderu cukup kencang di sekitar tanah pekuburan ini.

"Kau Pendekar Rajawali Sakti...?" Desis Rahayu terus memandangi pemuda tampan berbaju rompi putih ini.

Rangga hanya diam saja. Matanya hanya melirik sedikit pada gadis yang berdiri di sebelahnya. Kemudian, kakinya terayun melangkah. Baginya, sudah tidak aneh lagi kalau ada orang yang terkejut setelah mengetahui kalau dirinya adalah Pendekar Rajawali Sakti yang namanya sudah kondang di seluruh rimba persilatan.

Rahayu bergegas menyusul, dan mensejajarkan ayunan kakinya di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. "Kenapa tidak bilang sejak tadi kalau kau Pendekar Rajawali Sakti...?"

Rahayu terus mengejar meminta penjelasan. Nada suara gadis itu seakan-akan menyesal, karena tidak bisa mengenali siapa pemuda tampan yang sangat digdaya ini. Sungguh Rahayu tidak tahu kalau pemuda ini adalah Pendekar Rajawali sakti yang nama maupun sepak terjangnya sudah seringkali terdengar dalam rimba persilatan.

"Maaf, tadi aku telah berlaku buruk padamu," ucap Rahayu.

"Lupakan saja," ujar Rangga terus melangkah.

Rahayu tidak bicara lagi, dan terus berjalan mengikuti ayunan langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti di sampingnya. Mereka terus berjalan meninggalkan kuburan di pinggiran Desa Kranggan ini. Sementara, malam terus merayap semakin larut.

Rangga menghampiri kudanya yang ditinggalkan agak jauh dari kuburan. Kuda hitam Dewa Bayu tidak dinaiki, tapi hanya dituntunnya sambil terus berjalan. Sedangkan Rahayu terus mengikuti sambil sesekali melirik wajah tampan yang tidak berpaling sedikit pun. Pendekar Rajawali Sakti terus memandang lurus ke depan, tanpa menghentikan ayunan kakinya.

TUJUH

"Siapa dia?" bisik Pandan Wangi sambil melirik tajam pada Rahayu.

"Namanya Rahayu. Dia punya dendam pada si Iblis Penggali Kubur. Aku semalam bertemu dengannya di kuburan," jelas Rangga singkat.

Pandan Wangi terus melirik tajam pada Rahayu. Sedangkan yang diperhatikan seperti tidak peduli, dan terus saja menyantap makanannya yang terhidang hampir penuh di meja. Sepertinya, gadis itu lapar sekali. Dan memang, baru pagi ini dia bisa menikmati makanan yang enak, setelah berhari-hari berkelana hanya untuk mencari si Iblis Penggali Kubur yang telah menculik mayat adiknya dari dalam kubur.

Kedatangan Rahayu yang bersama Rangga, tentu saja membuat Pandan Wangi jadi cemburu. Dan kecemburuan itu bisa dirasakan Rangga. Namun, Pendekar Rajawali Sakti hanya diam saja. Dia tahu, Pandan Wangi pasti cemburu kalau belum dijelaskan siapa Rahayu sebenarnya. Makanya Rangga langsung menjelaskan panjang lebar. Sementara, Pandan Wangi mendengarkan sambil terus memperhatikan gadis cantik yang mengenakan baju merah menyala itu.

"Ke mana Kadik? Sejak tadi aku tidak melihatnya," Tanya Rangga mengalihkan pembicaraan.

"Dia selalu pergi tanpa pamit dulu. Entah, ke mana perginya," sahut Pandan Wangi bernada kesal.

"Seharusnya kau selalu menjaganya, Pandan," kata Rangga.

"Dia bukan anak kecil lagi!" rungut Pandan Wangi.

"Keselamatannya terancam. Sedangkan dia tidak memiliki kepandaian sedikit pun juga. Anak itu bisa nekat demi menyelamatkan ibunya dari cengkeraman si Iblis Penggali Kubur, Pandan," kata Rangga lagi, seperti menyesali sikap Pandan Wangi yang tidak peduli terhadap keselamatan jiwa Kadik.

"Lalu, aku harus bagaimana...?" Tanya Pandan Wangi seperti mengeluh.

"Kau cari dia! Iblis Penggali Kubur bukan hanya berbuat di sini saja, tapi sudah beberapa desa didatangi. Dia benar-benar ingin membuat pasukan yang tercipta dari mayat-mayat," kata Rangga yang tanpa disadari mencemaskan Kadik.

Pandan Wangi terdiam, tidak berkata sedikit pun juga. Sambil menghembuskan napas panjang, gadis berjuluk si Kipas Maut itu bangkit berdiri dari kursi kayu yang didudukinya, kemudian melangkah keluar. Sedikit matanya masih sempat melirik Rahayu sebelum menghilang di balik pintu depan rumah Kadik yang cukup besar ini.

Tak berapa lama kemudian, terdengar suara kaki kuda dipacu cepat meninggalkan halaman rumah ini. Sedangkan Rangga masih tetap duduk di kursinya, memandangi kepergian Pandan Wangi, sampai tidak terlihat lagi. Rangga baru beranjak bangkit setelah Pandan Wangi benar-benar tidak terlihat lagi. Lalu, kakinya melangkah menghampiri Rahayu yang tampaknya sudah selesai makan.

Gadis itu hanya mengangkat kepalanya sedikit, menatap Pendekar Rajawali Sakti. Seulas senyuman tipis terukir di bibirnya yang merah. Rangga membalasnya dengan senyuman yang manis pula, kemudian duduk di seberang meja berbentuk lingkaran dan beralaskan baru pualam putih ini.

"Mau ke mana temanmu?" Tanya Rahayu.

"Ada urusan," sahut Rangga seenaknya.

"Sudah makannya?" Rahayu mengangguk.

"Ayo kita pergi," ajak Rangga seraya bangkit berdiri.

"Ke mana?" Tanya Rahayu juga ikut berdiri.

"Kita harus temukan tempat persembunyian si Penggali Kubur itu. Aku tidak ingin ada jatuh korban lagi," sahut Rangga.

"Dia tidak akan bisa berbuat banyak sebelum...," Rahayu tidak meneruskan.

"Sebelum apa, Rara?" desak Rangga ingin tahu.

"Mayat-mayat itu tidak akan hidup sempurna sebelum dimandikan air rendaman Batu Mustika Biru yang tersimpan dalam cupu emas berukir sepasang naga kembar," sambung Rahayu.

"Maksudmu, Cupu Batu Mustika Biru...?" Rangga tampak terperanjat.

"Benar," sahut Rahayu. "Kau sudah mendengarnya?"

Rangga terdiam, dan langsung ingat surat ancaman yang ditujukan Kadik. Surat ancaman itu meminta agar Kadik menyerahkan Cupu Batu Mustika Biru, jika ibunya ingin kembali dengan selamat. Kini, Pendekar Rajawali Sakti baru tahu kalau benda itu justru sangat dibutuhkan si Iblis Penggali Kubur untuk menyempurnakan pekerjaannya dalam menghidupkan kembali mayat-mayat yang dicuri dari dalam kubur.

"Lalu, selama ini dia terus mengumpulkan mayat-mayat?" ujar Rangga lagi bernada bertanya.

"Benar. Dan semuanya belum bisa sempurna tanpa Cupu Batu Mustika Biru," sahut Rahayu.

"Kau tahu, di mana benda itu berada?" Tanya Rangga.

"Guruku pernah bercerita kalau benda itu di simpan seorang panglima perang. Tapi, panglima itu sudah tidak ada lagi. Dan sampai sekarang, benda itu tidak ketahuan lagi di mana adanya," jelas Rahayu.

Rangga mengangguk-anggukkan kepala perlahan beberapa kali. Dia tahu, panglima yang dimaksudkan adalah ayahnya Kadik. Tapi, tidak mungkin hal ini diberitahukan pada Rahayu. Yang jelas Cupu Batu Mustika Biru yang diinginkan si Iblis Penggali Kubur tidak ada lagi. Dan ini merupakan satu kesempatan besar baginya untuk menghentikan sepak terjang si Iblis Penggali Kubur, sebelum bisa menyempurnakan kehidupan mayat-mayat yang dicuri dari dalam kubur.

"Kau tahu, siapa panglima itu?" Tanya Rangga memancing.

"Sayang sekali, guruku belum sempat mengatakannya lebih jauh lagi. Beliau tewas di tangan Iblis Penggali Kubur, ketika hendak menyelamatkan mayat adikku dari tangannya," sahut Rahayu perlahan suaranya.

Kembali Rangga mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian, Pendekar Rajawali Sakti mengajak gadis itu keluar. Rahayu tidak menolak. Dan sebentar kemudian, mereka sudah meninggalkan rumah ini dengan menunggang kuda. Saat itu, matahari sudah jauh tinggi, tepat di atas kepala. Dua ekor kuda yang ditunggangi Rangga dan Rahayu terus berpacu cepat, menuju sebelah Barat Desa Kranggan.

********************

Sementara itu, Pandan Wangi sudah sampai di pinggiran hutan sebelah Timur Desa Kranggan. Gadis cantik berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu memperlambat lari kudanya. Dan begitu sampai di dalam hutan, lari kudanya dihentikan.

"Hup!" Dengan gerakan yang begitu indah dan ringan, Pandan Wangi melompat turun dari punggung kuda putihnya. Sebentar pandangannya beredar berkeliling, merayapi sekitarnya. Kemudian kakinya melangkah beberapa tindak meninggalkan kudanya yang langsung merumput di antara pepohonan yang cukup rapat ini. Pandan Wangi terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan semakin jauh meninggalkan kudanya. Dia terus berjalan perlahan-lahan, memasuki hutan yang cukup lebat ini.

"Hm. Apa mungkin Kadik datang lagi ke sini?" Gumam Pandan Wangi bertanya pada diri sendiri.

Pandan Wangi menghentikan ayunan langkahnya. Kembali pandangannya beredar berkeliling. Begitu sunyi sekali hutan ini. Bahkan sedikit pun tak terdengar suara binatang. Seakan-akan, seluruh binatang di hutan ini sudah pindah entah ke mana. Hanya desir angin saja yang terdengar mengusik telinga. Tanpa disadari, gadis itu sudah begitu jauh masuk ke dalam hutan.

"Hutan ini cocok sekali untuk tempat persembunyian. Hmmm...," gumam Pandan Wangi lagi. Kaki gadis itu kembali terayun melangkah. Dan pandangannya terus beredar tajam, mengamati keadaan sekitarnya. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak....

Wusss!
"Heh?! Utfs...!"

Cepat-cepat Pandan Wangi mengegoskan tubuhnya, begitu tiba-tiba mendengar desir angin halus dari arah sebelah kanan. Saat itu juga, terlihat sebatang anak panah meluncur deras melewati depan dadanya.

"Hup!" Bergegas Pandan Wangi melompat ke belakang sambil berputaran beberapa kali di udara. Begitu indah dan ringan gerakannya, karena ilmu meringankan tubuh yang dimiliki memang sudah mencapai tingkat sangat tinggi.

"Hap!" Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis cantik berbaju biru muda yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu menjejakkan kakinya di tanah yang tertutup dedaunan kering. Langsung mata dan telinganya dipasang tajam. Dan pandangannya pun segera tertuju ke arah anak panah yang menancap begitu dalam di batang pohon. Jelas sekali kalau panah itu dilepaskan lewat pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi.

"Hmmm...," Pandan Wangi menggumam perlahan.

Srak!

"Hup!" Pandan Wangi langsung melompat ke belakang beberapa langkah, begitu tiba-tiba bermunculan orang-orang dari balik semak dan pepohonan yang begitu rapat di dalam hutan ini. Sebentar saja, didepan si Kipas Maut sudah berdiri tidak kurang dari sepuluh orang gadis cantik yang semuanya mengenakan baju warna putih yang kotor bernoda tanah berlumpur.

"Oh...?!" Pandan Wangi jadi terkesiap begitu me-ngamati wajah gadis-gadis itu tampak pucat pasi bagai tidak teralirkan darah. Bahkan sikap mereka juga amat kaku. Pandan Wangi langsung menutup hidungnya begitu tercium bau bangkai yang sangat menyengat.

"Ugkh...!" Cepat-cepat si Kipas Maut melangkah ke belakang beberapa tindak. Perutnya mendadak saja jadi mual, saat mencium bau busuk yang begitu menyengat hidung. Disadarinya kalau sepuluh gadis di depannya ini adalah mayat-mayat hidup yang dibangkitkan dari dalam kubur. Dan mereka mulai bergerak kaku, mendekati si Kipas Maut.

Sementara, gadis-gadis mayat hidup itu terus bergerak mendekati dengan sikap kaku sekali. Sorot matanya begitu kosong, dan wajahnya yang pucat juga terlihat kaku. Benar-benar tidak ada kehidupan di dalam diri mereka, walaupun bisa bergerak.

"Mau apa kalian?!" Bentak Pandan Wangi sambil menahan rasa mual diperutnya.

Tapi tak ada satu pun dari mayat-mayat hidup itu yang menjawab. Mereka terus saja melangkah dengan gerakan kaku mendekati si Kipas Maut. Sedangkan Pandan Wangi sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Tangan kanannya sudah meraba senjata kipas mautnya yang terselip di balik ikat pinggang ber-warna kuning keemasan.

"Yeaaah...!" Tiba-tiba saja salah satu dari gadis mayat hidup itu berteriak keras sekali. Dan saat itu juga, mereka semua berlompatan cepat menyerang Pandan Wangi. Begitu cepatnya, hingga membuat si Kipas Maut jadi terperangah sesaat. Sungguh tidak disangka kalau mayat-mayat hidup ini bisa bergerak begitu cepat Padahal, tadi ayunan langkahnya sangat kaku.

"Hup! Yeaaah...!" Cepat-cepat Pandan Wangi melenting ke udara, menghindari terjangan sepuluh gadis mayat hidup yang bergerak serempak dan cepat. Beberapa kali Pandan Wangi berputaran di udara, lalu manis sekali kembali menjejakkan kakinya di tanah. Namun belum juga berdiri tegak, mendadak satu mayat hidup sudah berputar cepat sambil mengibaskan tangannya.

Bet! "Hait..!"

Dengan gerakan begitu manis, Pandan Wangi bisa menghindari serangan gadis mayat hidup ini. Cepat kakinya bergeser ke kanan, dan langsung senjata kipas maut andalannya dicabut. Kipas berwarna keperakan itu sudah terkembang di depan dada. Sementara, gadis-gadis mayat hidup sudah kembali bergerak merangsek si Kipas Maut.

"Majulah, kalau kalian ingin kembali tidur di dalam kubur!" dengus Pandan Wangi dingin.

Sepuluh orang gadis yang seharusnya sudah menghuni lubang kubur itu berlompatan cepat menyerang si Kipas Maut. Begitu cepat sekali gerakan mereka, sehingga membuat Pandan Wangi terpaksa harus berjumpalitan menghindari.

"Hiya! Hiya! Hiyaaah...!"

Beberapa kali Pandan Wangi membalas menyerang dengan kebutan kipasnya yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Setiap kebutan kipasnya menimbulkan deru angin dahsyat. Namun, gadis-gadis mayat hidup itu bisa menghindar dengan gerakan begitu manis dan lentur sekali.

"Hiyaaat..!" Pandan Wangi terus berlompatan sambil mengebutkan kipasnya dengan kecepatan luar biasa sekali. Beberapa pukulan dan tendangan bertenaga dalam tinggi pun cepat dilepaskan, menyertai serangan kebutan kipas mautnya. Pandan Wangi memang sengaja melakukan serangan lebih dulu, sebelum mayat-mayat hidup ini membuatnya repot. Tapi beberapa jurus berlalu, dia belum juga berhasil memasukkan satu serangan pun pada mayat-mayat hidup ini.

"Edan...! Phuih!" dengus Pandan Wangi sambil menyemburkan ludahnya. Sebentar saja Pandan Wangi sudah menghabiskan lima jurus dahsyat, tapi belum juga mampu menundukkan mayat-mayat hidup ini. Bahkan tak satu pun dari serangan-serangannya yang bisa tepat mencapai sasaran. Dan ini membuat Pandan Wangi jadi berpikir juga untuk terus bertarung seperti ini. Bisa-bisa, tenaganya terkuras habis. Jelas, gadis itu tidak sudi mati konyol di dalam hutan ini. Terlebih lagi, jika harus mati di tangan mayat-mayat ini.

"Hup! Hiyaaa...!" Sambil berteriak nyaring melengking, Pandan Wangi melenting tinggi-tinggi ke udara. Lalu cepat sekali kipas mautnya dipindahkan ke tangan kiri. Dan sambil meluruk turun, tangan kanannya mencabut Pedang Naga Geni yang tersampir di punggung. Cahaya merah bagai api langsung membersit begitu Pedang Naga Geni tercabut.

"Hiyaaat...!" Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pandan Wangi langsung membabatkan pedangnya ke salah satu mayat gadis yang berada di dekatnya. Begitu cepat sekali kebutan Pedang Naga Geni, sehingga mayat hidup itu tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Cras!
"Aaakh...!"

Satu jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat, memecah kesunyian di dalam hutan ini. Tampak gadis mayat hidup itu terhuyung-huyung begitu lehernya terbabat Pedang Naga Geni di tangan kanan Pandan Wangi. Tapi, tak ada setetes darah pun keluar dari lehernya yang terbabat hampir buntung.

"Hiyaaa...!" Pandan Wangi tidak sudi lagi membuang-buang kesempatan. Begitu satu mayat hidup ambruk tergeletak di tanah, dia langsung berlompatan sambil mengebutkan Pedang Naga Geni yang begitu dahsyat. Pandan Wangi memang jarang sekali menggunakan pedangnya kalau tidak terpaksa. Dan kini keadaan memang memaksanya harus menggunakan Pedang Naga Geni.

Bet!
Wuk!
Cras!
Bret!

Dua kali kebutan Pedang Naga Geni, membuat dua gadis mayat hidup terbanting keras ke tanah dengan dada dan leher terbelah lebar. Begitu cepatnya gerakan jurus yang dilakukan, sehingga membuat mayat-mayat hidup ini tidak dapat lagi mengikutinya. Sementara pedang yang memancarkan sinar merah bagai api itu terus berkelebatan begitu cepat tanpa dapat dibendung lagi.

Crab!
"Aaah...!

Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terus terdengar semakin sering dan menyayat, diikuti tubuh-tubuh bergelimpangan terbabat Pedang Naga Geni. Tapi setetes pun tak ada darah yang terlihat keluar dari tubuh gadis-gadis mayat hidup ini.

"Hiya! Hiyaaa...!" Pandan Wangi benar-benar mengamuk, berlompatan ke segala arah sambil mengebutkan Kipas Mautnya di tangan kiri dan Pedang Naga Geni di tangan kanan. Hingga dalam beberapa jurus saja, sepuluh gadis mayat hidup itu sudah bergelimpangan tak mampu bangkit lagi. Pandan Wangi melompat menjauh, hingga jaraknya jadi sekitar tiga batang tombak dari mayat-mayat gadis itu.

"Phuih...!" Dengan punggung tangannya, Pandan Wangi menyeka keringat yang membanjiri wajah dan leher. Dadanya yang membusung indah bergerak cepat turun naik. Nafasnya pun terdengar keras memburu. Perlahan, dimasukkannya kembali Pedang Naga Geni ke dalam warangka di punggung. Kemudian, diselipkannya lagi Kipas Mautnya di balik ikat pinggang.

"Mereka pasti mayat-mayat yang diculik si Iblis Penggali Kubur. Hmmm.... Berarti tempat persembunyian iblis itu tidak jauh di sekitar sini," gumam Pandan Wangi berbicara sendiri.

Sebentar gadis itu mengamati keadaan sekitarnya, kemudian melangkah hendak me-ninggalkan tempat ini. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, mendadak saja....

"Ha ha ha...!"

"Oh...?!" Pandan Wangi jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terdengar suara tawa yang sangat keras menggelegar menyakitkan telinga. Langsung ayunan kakinya dihentikan. Dan belum juga bisa menghilangkan keterkejutannya, tahu-tahu di depannya mengepul segumpal asap kemerahan dari dalam tanah. Dan begitu asap itu menghilang, di depan si Kipas Maut ini sudah berdiri seseorang berjubah hitam panjang. Kain berbentuk kerucut tampak menutupi seluruh kepala, hingga sukar melihat jelas wajahnya.

"Iblis Penggali Kubur...," desis Pandan Wangi langsung mengenali. Pandan Wangi cepat bisa tahu kalau orang itu adalah si Iblis Penggali Kubur, setelah mendengar cerita Kadik. Begitu jelas Kadik menyebutkan ciri-cirinya, sehingga Pandan Wangi mudah sekali langsung bisa menebak tepat.

"He he he...!"

"Hmmm..."

DELAPAN

"Kau benar-benar bernyali besar, sehingga berani datang sendiri ke sini, Cah Ayu," terdengar besar dan berat sekali nada suara si Iblis Penggali Kubur ini.

Dari suaranya saja, sudah jelas kalau Iblis Penggali Kubur adalah laki-laki. Tapi sulit untuk bisa menduga, apakah masih muda atau sudah tua. Karena, wajahnya sukar dilihat. Sedangkan Pandan Wangi hanya menggumam saja perlahan. Sementara, tangan kanannya sudah meraba Kipas Maut yang selalu terselip di balik ikat pinggang.

Orang itu menggerakkan kepalanya, memandangi mayat-mayat gadis yang bergelimpangan di sekitarnya. Kemudian, dia kembali menatap Pandan Wangi dari balik kerudung kain hitam yang menutupi seluruh wajah dan kepala. Kalau saja bisa terlihat, tentu sorot matanya sangat tajam. Tapi, Pandan Wangi kelihatan tidak peduli. Bahkan malah menatap dengan sinar mata yang begitu tajam, seakan-akan hendak menembus kerudung hitam yang menutupi seluruh kepala laki-laki berjubah hitam ini.

"Kau yang membunuh mereka?" Tanya Iblis Penggali Kubur dingin.

"Kalau iya, kenapa...?" sahut Pandan Wangi sinis.

"Itu berarti kau harus menggantikan mereka," tegas Iblis Penggali Kubur.

"Jadi budak mayatmu...? Coba saja kalau memang mampu," tantang Pandan Wangi langsung.

"Kau benar-benar anak pemberani, Bocah. Siapa namamu?"

"Pandan Wangi."

"Nama yang bagus. Tapi, aku tidak peduli dengan namamu. Kau harus menggantikan kedudukan mereka menjaga hutan ini."

"Hm...," Pandan Wangi hanya menggumam kecil.

"Bersiaplah kau, Cah Ayu. Hiyaaa...!"

Cepat sekali Iblis Penggali Kubur melompat sambil melepaskan satu pukulan keras yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Pukulannya terarah lurus ke dada si Kipas Maut. Tapi, Pandan Wangi memang sudah siap sejak tadi. Dan begitu tangan si Iblis Penggali Kubur dekat dengan dadanya, cepat sekali kipasnya ditarik dan lan-sung dikebutkan ke depan dada.

"Hih!"
Bet!
"Heh...?!
Utfs!"

Iblis Penggali Kubur tampak terkejut atas tindakan yang dilakukan Pandan Wangi. Gadis itu justru tidak berusaha menghindar, tapi malah memapak serangannya dengan kipas baja putih keperakan. Buru-buru Iblis Penggali Kubur menarik pulang tangannya yang sudah terulur ke arah dada. Dua kali tubuhnya diputar ke belakang, lalu manis sekali kakinya kembali menjejak tanah.

"Hap! Hiyaaa...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Iblis Penggali Kubur langsung melompat menyerang begitu kakinya menjejak tanah. Kali ini, serangannya lebih cepat dan dahsyat luar biasa. Akibatnya Pandan Wangi terpaksa harus melenting ke atas, menghindari terjangan laki-laki berjubah hitam ini.

"Hiyaaat...!" Tapi tanpa diduga sama sekali, Iblis Penggali Kubur bisa melenting selagi tidak menyentuh tanah sedikit pun. Bahkan begitu cepat sekali tangan kanannya mengibas ke punggung si Kipas Maut ini. Begitu cepat kebutan tangannya, sehingga Pandan Wangi tidak sempat lagi menghindar. Dan....

Beghkh! "Akh...!"

Tak dapat dihindari lagi, Pandan Wangi jatuh tersungkur menghantam tanah dengan keras. Pada saat itu juga, si Iblis Penggali Kubur meluruk deras sambil melepaskan dua pukulan keras bertenaga dalam tinggi, secara beruntun dan cepat bagai kilat.

"Hiyaaa...!"
"Hait...!"

Cepat-cepat Pandan Wangi menggulingkan tubuhnya ke samping, sehingga pukulan Iblis Penggali Kubur hanya menghantam tanah kosong. Seketika tanah di sekitar pertarungan bergetar bagai diguncang gempa. Pandan Wangi cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Tapi belum juga bisa berdiri tegak, si Iblis Penggali Kubur sudah menyerang cepat sekali.

"Hiyaaa...!"
"Uts...!"

Cepat-cepat Pandan Wangi mengegoskan tubuhnya, menghindari tendangan menggeledek yang dilepaskan si Iblis Penggali Kubur. Tapi pada saat yang hampir bersamaan, si Iblis Penggali Kubur sudah melepaskan satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat pukulannya, sehingga Pandan Wangi tidak sempat lagi menghindar. Dan....

"Yeaaah...!"
Des!
"Akh...!"

Untuk kedua kalinya Pandan Wangi terpekik. Tubuhnya langsung terpental sejauh tiga batang tombak ke belakang, begitu dadanya terhantam pukulan keras menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Sebatang pohon yang cukup besar, seketika hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya.

"Ugkh...!"

Segumpal darah kental agak kehitaman meloncat keluar dari mulutnya. Pandan Wangi merasakan dadanya seperti remuk. Malah nafasnya jadi tertahan, bagai disumbat sebongkah batu yang cukup besar di tenggorokannya. Pandangannya pun jadi berkunang-kunang. Sebentar kepalanya digeleng-gelengkan, dan mencoba bangkit berdiri. Namun baru saja bisa berdiri, tiba-tiba saja....

"Hiyaaat...!"
"Ohk...?!"
Des!
"Akh...!"

Pandan Wangi hanya bisa melenguh sedikit, begitu tahu-tahu satu tendangan keras menggeledek telah mendarat telak di dadanya. Akibatnya, si Kipas Maut itu kembali terpental deras ke belakang. Namun belum juga tubuhnya terbanting ke tanah, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat menyambar tubuh si Kipas Maut.

"Hei...?!" Iblis Penggali Kubur jadi tersentak kaget. Tapi belum juga rasa keterkejutannya hilang, di depannya sudah berdiri seorang pemuda tampan berbaju rompi putih tengah memondong tubuh Pandan Wangi.

"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Iblis Penggali Kubur langsung mengenali pemuda tampan berbaju rompi putih itu.

Dan pemuda itu memang Rangga yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu, muncul Rahayu dari balik sebatang pohon. Gadis cantik berbaju merah itu langsung menghampiri Rangga yang memondong Pandan Wangi. Tampak kalau si Kipas Maut tengah tidak sadarkan diri setelah menerima tendangan keras menggeledek di dadanya tadi. Untung saja, Rangga cepat menangkapnya sebelum tubuhnya hancur terbanting ke tanah.

"Bawa ke tempat yang aman," pinta Rangga sambil menyerahkan Pandan Wangi pada Rahayu.

Tanpa membantah sedikit pun, Rahayu menerima Pandan Wangi dari pondongan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu, Pandan Wangi dibawanya pergi ke tempat yang lebih aman dan jauh dari jangkauan si Iblis Penggali Kubur. Sekilas Rangga melirik Rahayu yang sudah membawa Pandan Wangi ke tempat yang lebih aman. Kemudian, kakinya melangkah beberapa tindak mendekati Iblis Penggali Kubur. Sorot matanya terlihat begitu tajam seakan-akan hendak menembus kerudung hitam yang menutupi seluruh wajah dan kepala laki-laki berjubah hitam itu.

"Aku lawanmu, Iblis Penggali Kubur," Dingin sekali nada suara Rangga.

"Orang lain bisa terkencing-kencing mendengar namamu, Pendekar Rajawali Sakti. Tapi jangan harap kau mampu menandingi ku!" dengus Iblis Penggali Kubur tidak kalah dingin.

"Apa pun alasanmu, Dewa-dewa di Swargaloka mengutuk perbuatanmu," kata Rangga masih tetap dingin nada suaranya.

"Ha ha ha...! Jangan coba-coba menggurui ku Bocah! Dewa pun tidak akan berani menghentikan aku!" sambut Iblis Penggali Kubur pongah.

"Congkak sekali kau!" dengus Rangga jadi geram.

"Tidak perlu banyak omong, Bocah! Ayo, keluarkan semua kepandaianmu!" tantang Iblis Penggali Kubur lantang.

"Hm...."
"Hiyaaat...!"

Bagaikan kilat, si Iblis Penggali Kubur melompat menyerang. Beberapa pukulan bertenaga dalam tinggi dilepaskan beruntun dan cepat sekali. Sesaat Rangga terhenyak melihat kecepatan serangan si Iblis Penggali Kubur. Tapi dengan gerakan indah dan manis sekali, setiap pukulan yang datang mengancam tubuhnya bisa dihindarinya. Dan rupanya, si Iblis Penggali Kubur tidak sudi memberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti untuk membalas menyerang. Rangga dicecar dengan pukulan-pukulan dahsyat, cepat, dan beruntun. Itu dilakukan si Iblis Penggali Kubur sambil berlompatan mengitari tubuh Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
"Haiiit...!"

Teriakan-teriakan keras menggelegar terdengar bagai hendak menghancurkan hutan ini. Suara-suara ledakan pun terdengar saling susul, dari pukulan-pukulan bertenaga dalam tinggi yang tidak mengenai sasaran. Sebentar saja, sudah banyak pepohonan yang tumbang terkena hantaman pukulan yang dilepaskan si Iblis Penggali Kubur.

Sedangkan Rangga belum sekali pun melakukan serangan, dan masih terus berjumpalitan menghindar. Dan memang, Pendekar Rajawali Sakti tidak memiliki kesempatan sedikit pun untuk membalas serangan-serangan beruntun ini.

"Phuih! Bisa habis tenagaku kalau begini terus," dengus Rangga dalam hati.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara begitu satu tendangan lurus dilepaskan si Iblis Penggali Kubur kearah perutnya. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki, sehingga manis sekali Pendekar Rajawali Sakti berputaran di udara. Lalu dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya meluruk deras dengan kedua kaki berputaran cepat mengarah ke kepala lawan. Saat itu, Rangga mengerahkan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Satu serangan pertama yang bisa dilakukan.

"Yeaaah...!"
"Hap!"

Iblis Penggali Kubur jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat tubuhnya dibanting ke tanah, dan bergulingan beberapa kali. Maka, kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti hanya menghantam tanah kosong hingga menimbulkan ledakan dahsyat menggelegar, menggetarkan seluruh tanah hutan ini.

"Hiyaaat...!"

Tanpa membuang-buang kesempatan lagi, Rangga cepat melompat ke arah kanan si Iblis Penggali Kubur. Satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dilepaskan dengan kecepatan kilat. Akibatnya si Iblis Penggali Kubur yang baru saja bisa berdiri jadi terpana sesaat. Tapi...

"Hait!"

Manis sekali si Iblis Penggali Kubur mengegoskan tubuhnya, menghindari pukulan dahsyat itu. Dia cepat melompat ke belakang begitu pukulan Rangga lewat di depan dadanya. Namun belum juga Iblis Penggali Kubur itu bisa memantapkan kedua kakinya, Rangga sudah kembali melesat cepat sambil mengibaskan tangannya.

"Yeaaah...!"
"Hap!"

Tidak ada lagi kesempatan bagi Iblis Penggali Kubur untuk menghindar. Dan dia terpaksa menangkis kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti dengan tangannya. Tak pelak lagi, dua tangan yang mengandung kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi beradu keras, tepat di depan dada si Iblis Penggali Kubur.

Plak!
"Akh...!"

Tampak si Iblis Penggali Kubur terpekik begitu tangannya beradu dengan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Cepat-cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah. Tapi pada saat itu terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat, meluruk ke arah si Iblis Penggali Kubur.

"Hiyaaa...!"

Tanpa diduga sama sekali, si Iblis Penggali Kubur memutar cepat tubuhnya sambil mengibaskan tangannya ke arah bayangan merah itu. Dan....

Des!
"Akh...!"

Suara pekikan tertahan terdengar. Tampak bayangan merah itu terpental balik ke belakang.

Brak!

Sebatang pohon seketika hancur terlanda bayangan merah itu.

"Rahayu...," desis Rangga terkejut.

"Ohhh...." Bayangan merah yang ternyata Rahayu merintih lirih sambil menggeliat di antara reruntuhan kayu pohon yang terlanda tubuhnya. Tampak darah mengalir dari sudut bibir dan lubang hidungnya. Sungguh dahsyat kibasan tangan Iblis Penggali Kubur, sehingga Rahayu tidak mampu lagi bangkit berdiri. Dan dia hanya bisa merintih sambil menggeliat.

"Hiyaaa...!" Saat itu juga, Iblis Penggali Kubur sudah melompat begitu cepat bagai kilat ke arah Rahayu yang masih menggeletak, menggeliat di antara kepingan kayu pohon.

"Hup! Yeaaah...!"

Rangga yang melihat kecurangan ini, langsung saja melompat memotong arah si Iblis Penggali Kubur itu. Satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan dengan kecepatan luar biasa sekali. Akibatnya si Iblis Penggali Kubur jadi terbeliak kaget tidak menyangka.

"Hap!"

Cepat-cepat si Iblis Penggali Kubur melenting kebelakang, menghindari terjangan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali dia melakukan putaran di udara, lalu mendarat kembali di tanah dengan manis sekali. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, Rangga sudah melepaskan satu pukulan keras dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir.

"Hiyaaa...!"
"Heh...?!"

Si Iblis Penggali Kubur hanya mampu terbeliak saja. Bahkan sepertinya tidak sempat lagi menghindari. Akibatnya, dadanya yang dalam keadaan kosong itu pasti terancam oleh pukulan maut Pendekar Rajawali Sakti!

Des!
"Aaakh...!"

Jeritan panjang melengking tinggi terdengar nyaring menyayat hati. Tampak tubuh si Iblis Penggali Kubur terpental jauh ke belakang. Tiga batang pohon yang terlanda tubuhnya seketika hancur berkeping-keping. Sementara itu, Rangga sudah kembali melesat mengejar.

"Hiyaaat...!"
Bet!

Dengan jurus Sayap Rajawali Membelah Mega, tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti mengibas cepat dengan kekuatan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna. Tubuh Iblis Penggali Kubur yang masih melayang di atas tanah, tidak mampu lagi menghindari serangan yang begitu cepat dan dahsyat ini. Maka...

Plak!
"Aaa...!"

Bruk! Keras sekali kibasan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga kepala Iblis Penggali Kubur seketika pecah. Darah kontan menyembur deras dari kepala yang hancur itu. Dan tubuh iblis itu langsung terbanting keras menghantam tanah. Hanya sebentar saja Iblis Penggali Kubur menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Mati!

Sementara, Rangga berdiri tegak memandangi beberapa saat, kemudian melangkah mendekati. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti membungkuk, lalu membuka kain kerudung hitam yang menyelubungi kepala Iblis Penggali Kubur. Hampir Rangga terpekik begitu melihat kepala Iblis Penggali Kubur. Ternyata, wajahnya tidak lagi memiliki daging, dan benar-benar merupakan wajah tengkorak.

"Kakang..."

Rangga cepat menarik tubuhnya tegak kembali, dan melangkah mundur beberapa tindak. Kemudian, dia berbalik membelakangi si Iblis Penggali Kubur yang sudah tidak bernyawa lagi dengan kepala hancur berlumur darah. Tampak Pandan Wangi dan Rahayu saling berpapasan menghampiri. Kelihatannya, kedua gadis ini mengalami luka dalam yang cukup parah juga.

Saat itu, Kadik muncul sambil memondong sesosok tubuh terbungkus kain putih yang bernoda tanah berlumpur, didampingi seorang perempuan setengah baya. Rangga menunggu mereka sampai dekat dengannya.

"Itu kekasihmu?" Tanya Rangga langsung, begitu Kadik dekat.

"Benar," sahut Kadik.

"Dan ini emak ku."

"Syukurlah kau bisa menyelamatkan semuanya," ucap Rangga lega.

"Ini semua berkat jasamu, Rangga. Aku tidak mungkin bisa menyelinap masuk ke sarangnya, kalau kau tidak bertarung dengan iblis keparat itu," jelas Kadik.

"Oh...?! Jadi kau tahu semua kejadian di sini?" Tanya Rangga terkejut.

Kadik hanya tersenyum saja. Rangga menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menghampiri Pandan Wangi dan Rahayu. Sebentar diperiksa kedua gadis cantik ini. Keningnya jadi sedikit berkerut, mendapati kedua gadis ini benar-benar mengalami luka dalam yang cukup parah. Dan tentu saja mereka harus segera diobati.

"Kalian terluka?" Tanya Kadik.

Pandan Wangi dan Rahayu hanya menganggukkan kepala saja berbarengan.

"Sebaiknya, kita cepat pulang. Aku tahu tempat tinggal tabib yang ahli mengobati luka dalam akibat pertarungan," jelas Kadik lagi.

鈥淭erima kasih," ucap Pandan Wangi pelan.

"Oh ya, Kadik. Bagaimana tentang Cupu Batu Mustika Biru? Apakah iblis itu sudah menemukan, dan menggunakannya?" Tanya Rangga.

"Kalau dia sudah menggunakannya, mayat-mayat yang dibangkitkannya itu pasti akan hidup kembali. Jadi berarti batu itu belum ditemukan. Biarlah batu itu menjadi rahasia rimba persilatan. Dan aku menyerahkan padamu untuk memilikinya bila kau mampu mencarinya, Rangga," jelas Kadik yang memang telah menyatroni tempat tinggal si Iblis Penggali Kubur.

Rangga hanya tersenyum. Dalam hatinya, sama sekali tak ada niatan mencari Cupu Batu Mustika Biru. Baginya bila ada tokoh yang mencoba mencari batu itu dan menggunakannya untuk kejahatan, maka inilah tanggung jawabnya! Dan Cupu Batu Mustika Biru biar menjadi rahasia rimba persilatan.

SELESAI

KISAH BERIKUTNYA: MISTERI NAGA LAUT