Pendekar Sakti Jilid 31

Pendekar Sakti Jilid 31

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 31

DIAM-DIAM Kwan Cu memuji tenaga khikang orang itu, karena orangnya belum kelihatan, namun suara nyanyiannya demikian keras dan nyaring. Dia tidak merasa heran bahwa orang itu dapat pula mendengar suara sulingnya karena dia tadi bermain suling dengan memakai tiupan tenaga khikang sehingga suara sulingnya dapat terdengar dari tempat jauh.

Kalau saja pada saat itu ada orang lain di situ, tentu orang ini akan menjadi amat heran karena suara suling dan nyanyian itu merupakan paduan suara yang menjadi satu, akan tetapi penyuling dan penyanyinya terpisah jauh!

Yang sangat menarik hati Kwan Cu adalah kata-kata dalam nyanyian itu, maka dia lalu mencurahkan perhatiannya untuk mendengarkan nyanyian itu sehingga terdengar jelas olehnya kata demi kata. Mendengar suara ini, Kwan Cu menjadi makin kagum karena dari kata-kata nyanyian ini dia mendapatkan kesan bahwa penyanyinya bukanlah orang sembarangan atau penyanyi biasa saja.

Suara nyanyian itu terdengar penuh mengejek, akan tetapi di dalamnya tersembunyi pula semangat kegagahan. Kata-katanya sendiri merupakan filsafat sederhana yang sudah sering kali disyairkan oleh para pujangga.

Hutan sungai tetap murni tak berubah apa bila tiada tangan kotor orang menjamah, mengapa tempat tinggal orang kacau belaka!

Mengapa mereka saling bunuh tiada habisnya?


Katakan manusia berakal budi katakan manusia makhluk tertinggi aku lebih kagum melihat burung dan kelinci.


Katakan dusun kota indah dan damai, aku lebih cinta hutan dan sungai!


Baru saja kata-kata nyanyian ini habis dinyanyikan, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan di depan Kwan Cu berdiri seorang laki-laki muda yang tampan dan aneh pakaiannya. Bajunya lebar panjang berkembang-kembang, kepalanya ditutup oleh kopyah. Wajahnya tampan dan usianya tidak berselisih banyak dengan usia Kwan Cu. Tubuhnya tegap dan wajahnya selalu tersenyum-senyum mengejek.

Lagaknya kelihatan angkuh dan tinggi hati. Tapi sepasang matanya yang mengeluarkan cahaya berapi itu menandakan bahwa dia bersemangat besar serta memiliki kepandaian dan tenaga dalam yang sudah tinggi.

"Ehhh, bocah!" katanya dengan lagak sombong. "Siapa kau yang dapat meniup suling menyanyikan lagu itu?"

Kwan Cu tersenyum dan merasa betapa lucunya orang ini. Ia pun bangkit berdiri dengan tenang, memandang dengan penuh perhatian dan tidak segera memberi jawaban.

Yang membuat Kwan Cu tertarik dan merasa lucu adalah pakaian pemuda itu. Bajunya berkembang-kembang besar seperti yang biasa dipakai oleh kaum wanita dan alangkah lucunya topi itu! Topi bukan kopyah pun bukan, benar-benar sangat lucu. Memang aneh sekali manusia ini, aneh seperti nyanyiannya pula.

"Bocah tolol, mengapa kau tersenyum-senyum saja? Apakah kau tuli?"

"Aku tidak tuli dan juga tidak buta. Justru karena aku tidak tuli dan tidak buta maka aku mendengar dan melihat kau yang amat lucu ini."

"Apa katamu? Aku lucu?" la memandangi pakaiannya sendiri, lalu mengangkat dada dan tersenyum puas. "Memang, memang aku terkenal amat tampan dan lucu, lagi gagah!"

Kwan Cu menggerakkan hidungnya seperti kalau sedang mencium bau yang tidak enak. "Lucu memang lucu, tentang tampan boleh jugalah, akan tetapi gagah? Ahh, kau bahkan kelihatan seperti seorang perempuan!"

Pemuda aneh itu mengangkat alisnya. "Apa?! Kau jangan menghina, ya? Kau ini pemuda masih hijau berani lancang mulut. Kau kira berhadapan dengan siapa? Akulah seorang pemuda yang gagah dan tidak hanya gagah, tetapi juga terpelajar. Aku seorang Bun-bu Coan-jai (ahli silat dan surat). Kau lihat ini?" la menggerakkan kedua tangannya ke arah pinggang dan tahu-tahu kedua tangannya itu telah memegang sepasang poan-koan-pit (senjata yang berupa sepasang alat menulis atau pensil Tiongkok).

"Hemmm, itu adalah sepasang poan-koan-pit yang sering kali digunakan oleh anak-anak yang sedang belajar menulis," kata Kwan Cu sengaja mempermainkan. Kwan Cu timbul kejenakaan dan kegembiraannya bertemu dengan pemuda yang aneh ini.

"Belajar menulis telingamu!" Pemuda itu memaki gemas. "Dengan pit di tangan kanan aku dapat menuliskan syair-syair gubahan pujangga Tu Fu yang kukagumi! Dengan pit di tangan kiri aku dapat melukis gambar seperti yang dilakukan oleh ahli silat Siang Koan yang sakti! Itu kalau aku menjadi seorang ahli kesenian. Kalau aku menjadi ahli silat, pit di tangan kiriku ini dapat mencabut nyawa musuh dan pit pada tangan kanan ini dapat mengantarkan lawanku ke neraka!"

Kwan Cu tertawa bergelak. Perutnya sampai terasa kaku karena dia tertawa terpingkal-pingkal. Ia melihat betapa pemuda ini penar-benar amat lucu, karena dia dapat mengerti bahwa semua lagaknya yang kelihatan sombong luar biasa itu sesungguhnya hanyalah dibuat-buat belaka.

Di balik kelucuan dan kesombongan ini, dia melihat seorang pemuda berjiwa luhur dan berwatak aneh. Juga garis-garis pada jidatnya menandakan bahwa pemuda ini semuda itu telah mengalami kepatahan hati dan pernah mengalami kehancuran batin yang penuh kecewa dan duka.

"Kenapa kau tertawa lagi, Tolol?" bentak pemuda berkopyah itu.

Kwan Cu memperlihatkan sulingnya. "Aku sih tidak terlalu pintar seperti engkau. Namun dengan sulingku ini agaknya aku tidak usah mengaku kalah padamu, hai orang lucu yang pandai menyanyikan lagu aneh. Engkau masih pernah apakah dengan Hang-houw-siauw Yok-ong?"

Pemuda itu tidak menjawab, hanya matanya tertuju kepada suling itu dengan melongo. Kemudian dia menatap wajah Kwan Cu yang menjadi amat kaget ketika melihat betapa. sepasang mata itu kini berubah tajam menyelidik dan cerdik sekali.

"Hemm, kau tentulah Lu Kwan Cu murid Ang-bin Sin-kai!" katanya tiba-tiba dan lenyaplah untuk sesaat kelucuan mukanya.

Kwan Cu terkejut. "Ehh, kau siapakah, sahabat? Bagaimana pula kau dapat mengetahui namaku?" Kwan Cu menjadi curiga dan mengira bahwa pemuda ini jangan-jangan kawan dari An Kai Seng yang sengaja mencari perkara.

"Sulingmu adalah pemberian suhu."

Berseri-seri wajah Kwan Cu. "Aha, jadi kau adalah murid dari Hang-houw-siauw Yok-ong, locianpwe yang budiman itu? Pantas saja kau begini aneh. Siapakah namamu, saudara yang gagah perkasa?"

"Panggil saja aku Hok Peng. Sekarang berhati-hatilah, aku akan menyerangmu dengan poan-koan-pit!" Baru saja kata-kata ini selesai diucapkan, dia sudah menyerang Kwan Cu dengan hebatnya!

Kwan Cu kaget dan cepat melompat ke belakang. "Gilakah kau? Tiada hujan tiada angin menyerangku?" tanyanya mendongkol sekali.

"Kau berkenan mendapat hadiah suling wasiat dari suhu, kini hendak kulihat apakah kau patut menerima hadiah itu!" jawab pemuda aneh itu dan kembali dia menyerang dengan hebat. Pada waktu dia menyerang, gerakannya amat cepat dan tubuhnya ringan sekali, melompat-lompat seperti tidak mengambah bumi saja.

Kwan Cu merasa kagum sekali. Terang bahwa Hok Peng memiliki ginkang yang tinggi dan melihat cara dia menyerang, sepasang poan-koan-pit itu pun sangat lihai dan tidak boleh dipandang ringan. Cepat Kwan Cu memasang kuda-kuda dan melayaninya dengan suling di tangannya.

Pada saat dia melihat Hok Peng menusuk ke arah iganya dengan totokan yang lihai, dia cepat-cepat menggerakkan suling dari atas ke bawah, menindih pit kanan lawannya dan tubuhnya doyong ke belakang seperti mau jatuh. Akan tetapi sebetulnya bukan demikian, melainkan Kwan Cu siap siaga dengan tangan kirinya menjaga kalau-kalau pit di tangan kiri lawannya bergerak.

Benar saja, Hok Peng berseru, "Bagus sekali!"

Karena merasa betapa tindihan suling dan pit kanannya itu luar biasa beratnya sehingga lengan kanannya tergetar, dengan kecepatan kilat selagi kedua kakinya masih terapung seperti terbang, pit kirinya kemudian menusuk leher Kwan Cu.

Kwan Cu yang sudah menduga lebih dulu karena melihat gerakan pundak kiri Hok Peng, segera melepaskan tindihan sulingnya dan tangan kirinya cepat memapaki pit itu dengan jari-jemari ditekuk karena dia melakukan gerakan merampas dari ilmu silatnya Kong-ciak Sin-na yang lihai!

Hok Peng tertawa mengejek dan secepatnya menarik kembali pit kirinya. Pada saat itu kedua kakinya telah menginjak tanah lagi dan dengan gerakan saling susul, kedua pitnya kini melakukan serangan bertubi-tubi. la betul-betul mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menguji pemuda yang pernah dipuji-puji oleh Hang-houw-siauw Yok-ong dan yang telah menerima hadiah suling dari gurunya itu.

Kwan Cu tidak mau kalah dan menggerakkan sulingnya secara cepat sekali. Diam-diam dia mempelajari semua gerakan ilmu silat dari Hok Peng dan Kwan Cu harus mengaku bahwa pemuda aneh dan lucu itu benar-benar memiliki kepandaian yang hebat sekali.

Kalau dibandingkan, kepandaian Hok Peng ini bahkan masih mengatasi kepandaian An Kai Seng atau Wi Wi Toanio. Bahkan kalau dibandingkan pula dengan murid-murid tokoh besar, masih lebih menang sedikit dari pada Lu Thong. Kiranya hanya Sui Ceng seorang yang akan sanggup menghadapinya dengan kepandaian seimbang.

Bagi Kwan Cu sendiri, walau pun dia mengakui akan kelihaian sepasang senjata Hok Peng, namun sekali melihat saja dia sudah dapat menangkap inti sari dari pada ilmu silat lawannya. Ini berkat pengetahuannya tentang pokok dasar dari pada segala pergerakan tubuh dalam bersilat yang diwarisinya dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.

Kalau tadinya Hok Peng menyerang sambil tersenyum-senyum mengejek, kini berkali-kali dia mengeluarkan seruan kagum. la benar-benar merasa aneh dan tidak mengerti bagai mana semua jurus simpanan yang dia pelajari dan yang biasanya berupa jurus ampuh yang tidak sembarangan dapat dihindari oleh lawan-lawannya, kini dengan mudah dapat dipatahkan oleh Kwan Cu.

"Kau lihai sekali!" serunya sampai tiga kali. "Coba kau terima ini!"

Sekarang dia mengubah caranya bersilat. Sepasang poan-koan-pit di tangannya itu kini bergerak secara aneh dan luar biasa, datang dari depan bagaikan gelombang samudera dan menerjang bertubi-tubi dari atas laksana hujan badai. Hok Peng telah mengeluarkan ilmu silat paling hebat dari semua pelajarannya, ilmu silat yang boleh dimainkan dengan kedua tangan kosong mau pun dengan senjata yang sepasang, yang oleh gurunya dinamakan Ilmu Silat Badai dan Ombak.

Kwan Cu pun tercengang menghadapi serangan hebat ini. Dari kedua tangan Hok Peng seakan-akan keluar tenaga mukjijat yang luar biasa sekali, sedangkan sepasang pit itu menyambar-nyambar, sungguh hebat sekali ilmu silat pemuda aneh ini.

Satu kali ini Kwan Cu benar-benar menemui lawannya, lawan yang sangat tangguh dan lihai. Apa bila tadi dengan pandangan matanya yang awas serta dengan pengertiannya yang mutlak tentang pokok dasar segala gerakan silat Kwan Cu dapat menghadapi Ilmu Silat Badai dan Ombak ini, dia menjadi terkejut sekali. Ilmu silat ini dilakukan dengan kecepatan yang amat luar biasa sehingga dia tidak sempat untuk mempelajari sarinya.

Terpaksa Kwan Cu melawan dengan ilmu silatnya pula, dan dia tidak sekali-kali berani berlaku ayal, karena dia pun merasa penasaran kalau sampai kalah oleh pemuda aneh ini. Cepat-cepat Kwan Cu mengerahkan lweekang-nya dan mainkan ilmu pukulan Pek-in Hoat-sut dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya masih mainkan sulingnya, kini dengan Ilmu Pedang Hun-khai Kiam-hoat.

Bukan main hebatnya pertempuran ini. Keduanya sama lincah, sama cepat dan sama kuat. Makin kagum hati Kwan Cu, karena pemuda ini tahu bahwa kalau dia tidak pernah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, pasti dia akan kalah. Seratus jurus lewat dan masih saja belum ada yang kalah atau menang di antara mereka.

Sebaliknya, Hok Peng kini benar-benar terkejut. Dia telah memainkan seratus jurus ilmu silatnya yang dahsyat, namun tetap saja dia tidak mampu mengalahkan lawannya. Ilmu Silat Badai dan Ombak ada seratus dua puluh jurus dan kini dia sudah mainkan seratus jurus, masih tinggal dua puluh jurus lagi.

Tiba-tiba dia teringat, betapa semenjak tadi Kwan Cu tidak pernah membalasnya, hanya mengelak dan menangkis saja, sedangkan dari kedua lengan pemuda itu mengepul uap putih yang memiliki pengaruh hebat atas hawa pukulannya.

Aduh, celaka, pikirnya.

Tidak salah lagi! Kwan Cu tentu sedang mempelajari ilmu silatnya dan kalau sampai dia terus mainkan semua ilmu Silat Badai dan Ombak yang masih dua puluh jurus lagi, sama halnya dengan menghadiahkan ilmu silat itu kepada Kwan Cu!

Tiba-tiba Hok Peng menghentikan serangannya dan melompat mundur. Wajahnya pucat dan dia menyimpan kembali poan-koan-pitnya, lalu tersenyum pahit.

"Aku sudah kena kau akali! Kau tentu sudah mewarisi Im-yang Bu-tek Cin-keng!"

"Bagaimana kau bisa tahu?" Kwan Cu balas bertanya karena dia pun merasa amat suka dan kagum kepada pemuda lucu ini.

"Siapa pun juga yang tidak memiliki Im-yang Bu-tek Sin-kun (Ilmu Silat sakti dari Im-yang Bu-tek Cin-keng), tidak akan mungkin mampu menahan serangan-seranganku tadi tanpa membalas sedikit pun. Dan kau tentu sudah mencatat di dalam hatimu sebanyak seratus jurus ilmu silatku tadi."

Kwan Cu tersenyum. "Hok Peng, sahabat baik. Kau sudah beruntung sekali bisa menjadi murid Hang-houw-siauw Yok-ong, apa ruginya membagi sedikit kepadaku? Ilmu silatmu tadi benar-benar hebat, aku takluk padamu."

Merah wajah Hok Peng. "Sudahlah, bertemu dengan orang semacam kau apa gunanya membicarakan tentang ilmu silat? Suhu sendiri kiranya belum tentu dapat mengalahkan engkau, karena kata suhu, siapa yang mewarisi ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, tak akan terlawan oleh siapa pun juga. Baiknya Badai dan Ombak masih ada dua puluh jurus lagi yang belum kau lihat. Aku akan menggembleng yang dua puluh jurus itu dan siapa tahu kalau kelak yang dua puluh jurus ini akan dapat mengalahkan engkau."

"Ehh, saudara Hok Peng, apakah kau begitu haus akan kemenangan? Kau benar-benar murka sekali, kurang apa lagi kepandaianmu? Kau menjadi murid seorang sakti seperti Yok-ong locianpwe, pandai ilmu silat, pandai ilmu pengobatan, dan pandai meniup suling dan bernyanyi."

Mulut Hok Peng cemberut. "Sayang sekali, dalam ilmu pengobatan otakku terlalu keras sehingga hanya dapat mempelajari sedikit saja, ada pun mengenai menyuling, kau lebih pandai. Kalau tidak begitu, bagaimana suhu memberikan sulingnya padamu? Ahh, Kwan Cu, setelah kita saling mengukur kepandaian, aku tidak kecewa melihatmu. Hanya saja masih ada penasaran dalam hatiku melihat betapa kau benar-benar tidak kenal budi dan kebaktian terhadap gurumu."

Kwan Cu terkejut dan marah. "Ehh, omongan apa yang kau keluarkan ini? Membuta tuli menuduh orang lain tanpa alasan. Boleh jadi aku Lu Kwan Cu memang seorang bodoh dan kasar, akan tetapi bagaimana kau bisa bilang aku tidak kenal budi dan kebaktian?"

"Tentu saja kau tidak kenal budi dan kebaktian. Gurumu tewas dalam penasaran besar, dikeroyok orang-orang yang curang, mengapa kau diam saja dan enak-enak seperti tidak terjadi apa-apa, bukankah ini menandakan bahwa kau tak kenal..."

"Tahan lidahmu, Hok Peng! Aku sekarang juga sedang mencari-cari mereka yang sudah membunuh suhu-ku dan aku pasti akan membalaskan sakit hati suhu sekaligus menagih hutang nyawa mereka!"

Hok Peng tersenyum, dan matanya yang tajam memandang penuh selidik. "Bagus, kau tidak bohong. Aku tarik kembali tuduhanku bahwa kau tak kenal budi dan kebaktian, akan tetapi kau ternyata tolol."

"Ahh, apakah kau masih belum puas dan ingin mengajak berkelahi lagi?" tanya Kwan Cu gemas.

"Aku bukan sembarangan menuduh saja. Kau memang tolol kalau belum juga tahu siapa adanya orang-orang yang mengeroyok dan membunuh gurumu Ang-bin Sin-kai itu."

"Mereka adalah Jeng-kin-jiu, Hek-i Hui-mo, dan Toat-beng Hui-houw!" kata Kwan Cu.

Hok Peng melengak. "Eh, ehh, jadi kau sudah tahu pula? Memang tiga orang locianpwe itulah pembunuhnya, dengan jalan mengeroyok secara tak tahu malu dan curang sekali! Kalau begitu kau memang tidak tolol, hanya bodoh sekali."

"Hemm, apa lagi yang menyebabkan kebodohanku?" tanya Kwan Cu, kali ini tidak marah lagi karena memang semua kata-kata yang lucu dari Hok Peng beralasan dan agaknya orang ini boleh sekali dijadikan kawan baik.

"Karena kau tentu akan membuang waktu dengan sia-sia kalau kau mencari-cari mereka itu, padahal mereka berada di..."

"Puncak Tai-hang-san pada Gouw-gwe Cap-gouw!" Kwan Cu menyambung cepat.

Kembali Hok Peng melengak. Sepasang matanya yang bundar seperti kelereng itu lantas bergerak-gerak memandang, kemudian dia mengangguk-angguk.

"Hemm, jadi kau sudah tahu pula? Baik, baik, bagus! Akan tetapi tetap saja kau masih bodoh. Jalan yang terdekat ada mengapa mengambil jalan jauh? Bukankah itu bodoh namanya?"

"Hok Peng yang baik, dalam hal ini aku mengaku bodoh. Memang aku belum kenal jalan dan aku hanya melalui jalan menurut keterangan orang-orang yang kutemui. Aku mohon petunjukmu, jalan manakah yang terdekat ke Tai-hang-san itu?"

"Kalau dilihat dari jauh, memang agaknya puncak Tai-hang-san berada di sisi utara dan agaknya kalau mau ke puncak, jalan dari utara adalah jalan terdekat. Akan tetapi kalau kau lanjutkan kepercayaanmu ini, percayalah bahwa sampai waktu Gouw-gwe Cap-gouw tiba, kau belum dapat sampai ke puncak. Jalan dari utara ini banyak sekali halangannya, terhalang oleh jurang-jurang berbahaya dan oleh hutan-hutan lebat yang akan membikin kau tersesat jalan sehingga akhirnya kau akan terlambat. Kalau kau mengambil jalan dari timur, dari kaki pegunungan terus menanjak ke barat, kau akan sampai di sana dengan cepat dan kiranya masih belum terlambat jika sekarang juga kau melanjutkan perjalanan. Akan ramai sekali di sana " Setelah berkata demikian, pemuda aneh ini lalu pergi sambil bernyanyi-nyanyi, tidak mempedulikan lagi kepada Kwan Cu.

"Hok Peng, terima kasih, kau baik sekali!" Kwan Cu berseru girang ke arah pemuda itu yang sama sekali tidak mempedulikan seruannya.

Akan tetapi Kwan Cu juga tak mengharapkan jawaban dari pemuda yang aneh itu, sebab dia maklum bahwa orang-orang seperti Yok-ong dan muridnya ini adalah orang-orang yang wataknya memang aneh dan lain dari pada orang-orang biasa.

Dengan cepat Kwan Cu lalu melanjutkan perjalanannya. Sekarang dia mengubah arah perjalanannya, tidak lagi hendak mendaki Bukit Tai-hang-san dari utara, melainkan dari timur seperti yang dinasehatkan oleh Hok Peng.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
*****

Pada waktu yang bersamaan, banyak orang lain juga mendaki Bukit Tai-hang-san dari jurusan-jurusan yang berlawanan atau berlainan. Orang-orang tua yang kelihatannya aneh, orang-orang muda yang bertubuh tegap dan kekar, nenek-nenek yang aneh dan gagah, semua pergi mendaki Bukit Tai-hang-san dan kesemua orang ini berjalan dengan gerakan cepat seperti terbang.

Di antara sekian banyaknya orang-orang gagah yang naik ke Tai-hang-san, terdapat pula Kiu-bwe Coa-li, nenek yang menjadi tokoh besar dunia persilatan, yang namanya lebih ditakuti dari pada nama raja iblis oleh orang-orang dari jalan hitam (penjahat), karena Kiu-bwe Coa-li terkenal bertangan baja dan berjari maut.

Meski pun tokoh selatan ini sekarang sudah kelihatan amat tua, namun wajahnya masih saja kelihatan keras dan sepasang matanya benar-benar amat berpengaruh dan jarang ada orang berani menentang pandang matanya yang bagaikan pedang pusaka tajamnya. Nenek sakti ini naik Pegunungan Tai-hang-san dengan perlahan saja, namun dua orang muda yang berjalan di kanan kirinya harus mengerahkan ginkang agar jangan sampai tertinggal oleh Kiu-bwe Coa-li!

Dua orang muda itu adalah Bun Sui Ceng dan The Kun Beng. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sui Ceng dan Kun Beng melakukan perjalanan bersama menuju tempat tinggal Kiu-bwe Coa-li yang pada saat itu sudah mengundurkan diri dari dunia ramai dan ingin melanjutkan pelajarannya bertapa.

Akan tetapi, ketika Sui Ceng dan Kun Beng datang dan berlutut di depan wanita sakti ini, Kiu-bwe Coa-li terlihat sedang marah-marah. Hal ini dapat diketahui oleh Sui Ceng sebab gadis yang sejak kecil ikut gurunya ini tentu saja sudah kenal baik akan watak gurunya yang aneh.

"Kau datang padaku ada apakah, Sui Ceng?" tanya Kiu-bwe Coa-li tanpa mempedulikan Kun Beng yang juga berlutut di depannya.

"Teecu... teecu sudah kangen kepadamu, Suthai dan... dan teecu telah... telah bertemu dengan dia ini."

Kiu-bwe Coa-li memandang ke arah Kun Beng melalui ujung hidungnya, hanya sedetik saja sinar matanya yang tajam itu menyapu wajah dan tubuh Kun Beng.

"Siapa dia?" tanyanya, suaranya membuat Kun Beng merasa dingin tengkuknya.

Nenek sakti ini benar-benar hebat sekali, hebat serta menakutkan, pikirnya. Lebih aneh dari pada suhu-nya sendiri, Pak- lo-sian Siangkoan Hai yang sudah amat aneh.

"Maafkan teecu yang berani lancang menghadap tanpa diperintah," kata Kun Beng tanpa berani mengangkat mukanya, "teecu adalah The Kun Beng."

"Ahh, jadi kau adalah murid Pak-lo-sian Siangkoan Hai si tua bangka? Coba kau angkat mukamu!"

Kun Beng terpaksa mengangkat mukanya memandang dan dia terkejut sekali melihat sinar mata nenek itu penuh selidik memandang mukanya. Dia tidak tahan menatap sinar mata itu lebih lama lagi dan kembali dia menunduk.

"Apa maksudmu datang bersama Sui Ceng ke sini?" tanya Kiu-bwe Coa-li tegas.

"Teecu... teecu bersama Ceng-moi hendak... hendak mohon kepastian tentang... tentang perjodohan..." Sesudah mengucapkan kata-kata ini, Kun Beng menjadi merah mukanya, demikian pula Sui Ceng menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

Tiba-tiba saja tangan Kiu-bwe Coa-li bergerak dan entah kapan mengambilnya, tahu-tahu cambuknya yang berekor sembilan itu telah bergerak di tangannya dan meluncur cepat ke arah tubuh Kun Beng.

"Suthai!" Sui Ceng menjerit karena murid ini sudah mengenal betul sifat cambuk ini, yakni sekali digerakkan tentu mengambil sedikitnya satu nyawa orang!

Sembilan ekor cambuk itu melayang-layang di atas tubuh Kun Beng dan secepat kilat menyambar, lalu sebuah ekor cambuk menotok jalan darah di pundak pemuda itu tanpa dapat dielakkan lagi!

Kun Beng merasa sambaran angin yang luar biasa keras dan cepatnya. Dia tidak dapat mengelak atau menangkis lagi, maka cepat dia mengerahkan tenaga lweekang-nya yang dikumpulkan ke arah pundak sambil menahan napas untuk menerima datangnya totokan ini.

Kekhawatiran Sui Ceng sebetulnya tidak ada artinya. Dalam serangan ini Kiu-bwe Coa-li hanya mempergunakan sebagian tenaganya dan dia sudah tahu bahwa dengan tenaga sebesar itu, muridnya sendiri akan dapat menerima totokan tanpa menghadapi bahaya.

Oleh karena itu, kalau pemuda ini sanggup menerimanya, barulah dia terhitung memiliki kepandaian yang seimbang dengan muridnya sehingga patut menjadi suami muridnya. Pendeknya, serangan ini merupakan ujian atau percobaan terhadap Kun Beng!

Ketika jalan darah pada pundaknya terkena totokan ujung cambuk itu, Kun Beng merasa seluruh tubuhnya tergetar. Akan tetapi dia merasa lega karena ternyata dengan tenaga lweekang-nya dia dapat menahan totokan itu dan tidak sampai terluka. Kiu-bwe Coa-li menarik kembali cambuknya dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Kau cukup berharga menjadi suami Sui Ceng. Akan tetapi pada saat seperti ini jangan bicarakan tentang perjodohan!"

Sui Ceng mengangkat mukanya memandang kepada gurunya dengan penasaran. Gadis ini biar pun amat sayang dan taat kepada gurunya, akan tetapi kadang-kadang ia berani membantah. Memang di dunia ini orang satu-satunya yang berani menentang Kiu-bwe Coa-li, kiranya hanyalah Sui Ceng seorang.

Sebelum menghadap gurunya, Sui Ceng telah melakukan perjalanan bersama Kun Beng dan selama ini hubungan mereka semakin rapat. Sui Ceng tidak melihat sesuatu yang mengecewakan dalam diri tunangannya.

Kun Beng merupakan seorang pemuda tampan dan gagah berani, pula sopan santun. Timbullah rasa cinta di dalam hati Sui Ceng terhadap tunangannya ini sebagai jodohnya. Mendapatkan Kun Beng sebagai suami kiranya tidak mengecewakan, karena jarang ada pemuda seperti Kun Beng.

Oleh karena hatinya sudah bulat-bulat menyetujui perjodohan ini, tentu saja dia menjadi kaget mendengar omongan gurunya yang seakan-akan tidak menyetujui. Ia mengangkat muka dan memandang muka Kiu-bwe Coa-li.

Biar pun bibirnya tidak mengeluarkan sepatah pun kata, nenek tua itu sudah tahu akan isi hati muridnya, maka sambil tersenyum mengejek ia berkata,

"Sui Ceng, tentang perjodohan boleh diundurkan dulu. Sekarang pinni (aku) menghadapi urusan yang jauh lebih besar. Si bedebah Kiam Ki Sianjin agaknya terlalu memandang rendah kepadaku sehingga dia mengirimkan undangan untuk mengadakan pertemuan di puncak Tai-hang-san. Dalam suratnya dia menyatakan bahwa dia mengundangku karena mengingat bahwa aku pernah menyerang istana, hal ini berarti bahwa aku mencampuri urusan kerajaan. Ia hendak mengadakan pertemuan dengan orang-orang yang anti dan pro kaisar. Padahal dengan membongkar-bongkar urusan lama, dia akan mengingatkan aku bahwa aku pernah kalah ketika menyerbu ke istana! Bangsat tua tidak tahu malu, aku memang kalah pada waktu itu, akan tetapi aku kalah karena dikeroyok oleh banyak orang." Kiu-bwe Coa-li menghentikan kata-katanya, dan mukanya menunjukkan bahwa dia marah sekali.

"Kalau begitu, apakah kehendak Suthai selanjutnya?" tanya Sui Ceng.

"Aku tidak sudi mencampuri urusan kerajaan. Akan tetapi aku tetap seorang Han dan kalau disuruh memilih antara Kaisar Han dan kaisar asing, tentu saja aku memilih kaisar bangsa sendiri, betapa pun jahat dan lalimnya dia! Kiam Ki Sianjin memandang rendah kepadaku dan aku harus membasmi orang-orang itu yang menjadi penjilat kaisar asing dan mengkhianati bangsa sendiri. Sui Ceng, kau dan aku harus pergi ke Tai-hang-san. Kun Beng ini boleh ikut juga. Dalam pertemuan besar ini, tua bangka Pak-lo-sian pasti akan hadir juga sehingga sekalian kita bicarakan urusan perjodohan kalian dengan tua bangka itu."

Ucapan Kiu-bwe Coa-li ini merupakan perintah dan tidak boleh dibantah lagi. Sui Ceng menjadi girang sekali, akan tetapi Kun Beng menjadi gelisah.

Celaka, pikirnya. Kalau benar suhu-nya pergi ke Tai-hang-san, tentu suheng-nya Gouw Swi Kiat akan berada di sana pula. Bagaimana jika suheng-nya itu menceritakan semua peristiwa yang terjadi antara dirinya dan Kui Lan? Tentu suhu-nya akan marah besar dan akan celakalah dia. Tidak saja akan dimusuhi oleh suheng-nya, bahkan kalau Sui Ceng mengetahui akan hal itu, tentu tunangannya akan berubah benci kepadanya.

Akan tetapi Kun Beng memang cerdik dan dapat memandang jauh. Ia sudah kenal betul akan watak Swi Kiat yang keras dan angkuh. Sangat tidak mungkin suheng-nya itu mau membuka rahasia adik sendiri kepada orang lain, meski pun kepada suhu sendiri tentu tidak.

Urusan ini meski pun menjelekkan nama Kun Beng, namun yang akan lebih rusak nama dan kehormatan keluarganya adalah Gouw Kui Lan, karena sebagai seorang wanita ialah yang akan mengalami keburukan nama lebih hebat dari pada seorang pria. Dan Swi Kiat pasti tahu akan hal ini dan takkan membuka mulut. Siapa lagi kalau bukan Swi Kiat yang tahu akan urusan itu?

Kun Beng merasa lega hatinya. Ia tidak takut kalau hanya Swi Kiat yang memusuhinya, karena selain dia memiliki kepandaian yang tak kalah oleh Swi Kiat, juga dengan adanya Sui Ceng di sampingnya, Swi Kiat akan bisa berbuat apakah? Setelah berpikir demikian, hatinya lega dan dia ikut dengan Kiu-bwe Coa-li dan Sui Ceng ke Tai-hang-san.

Sesudah mulai menanjak ke pegunungan, rombongan Kiu-bwe Coa-li bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang juga hendak mendaki pegunungan itu, akan tetapi Kiu-bwe Coa-li sudah memesan kepada Kun Beng dan Sui Ceng agar supaya menutup mulut dan tidak menegur siapa pun juga, biar pun ada yang sudah mereka kenal.

"Menghadapi urusan besar ini, kalian harus membuka mata membuka telinga akan tetapi menutup mulut rapat-rapat!"

Kiu-bwe Coa-li dan dua orang muda itu mendaki bukit dari selatan maka mereka tidak bertemu dengan Kwan Cu yang naik dari jurusan timur. Pemuda ini berjalan seorang diri dengan cepatnya.

Puncak Gunung Tai-hang-san menjulang tinggi, bermain dengan mega-mega putih dan memang kelihatannya berada di sebelah utara. Akan tetapi benar seperti yang dikatakan oleh Hok Peng, perjalanannya dari timur sangat mudah dan selalu puncak itu kelihatan, tidak tertutup oleh hutan-hutan yang terlalu lebat sehingga dalam perjalanan ini Kwan Cu tak pernah takut kalau-kalau jalannya tersasar.

Ketika dia tiba di lereng Bukit Tai-hang-san dan sedang berjalan dengan cepat, tiba-tiba dia melompat dan hampir saja dia menubruk seorang tua yang sedang duduk di bawah pohon, menyandarkan tubuh pada batang pohon itu dengan kedua kakinya yang panjang dilonjorkan menghalang jalan.

Kwan Cu benar-benar merasa terkejut dan dia menggosok-gosok kedua matanya. Tadi dari jauh dia tidak melihat ada orang duduk di situ, bagaimana tiba-tiba saja ada kakek yang duduk dengan dua kaki menghalang jalan? Hampir saja dia menginjak kaki itu kalau dia tidak cepat-cepat melompat.

"Bocah-bocah jaman sekarang amat kurang ajar!" Kakek itu berkata menggerutu sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Ada orang tua duduk sengaja dilompati saja tanpa permisi. Benar-benar tidak sopan!"

Kwan Cu yang sudah berhasil menghindarkan diri sehingga tidak menginjak kaki orang cepat membalikkan tubuh memandang. la hendak menegur orang ini yang tentu sengaja ingin mempermainkannya karena dia sudah tahu bahwa orang itu sengaja menunjukkan kepandaiannya yang luar biasa, tahu-tahu duduk di situ hingga dia tidak tahu bila kakek itu datang. Akan tetapi sekarang kakek itu malah menegurnya!

Ketika melihat muka orang yang menegurnya, Kwan Cu merasa kaget dan heran. Yang duduk itu adalah seorang kakek yang mukanya hitam seperti pantat kuali, hitam sekali seperti malam gelap. Belum pernah selama hidupnya dia melihat muka sehitam ini.

Bangsa apakah dia? Apa bila dilihat dari potongan mukanya, terang bahwa dia adalah seorang bangsa Han biasa saja yang bertubuh jangkung kurus, akan tetapi kenapa kulit mukanya begitu hitam? Kulit tubuh bagian lain biasa saja, putih serta halus, hanya pada bagian muka yang amat hitam sehingga sulit untuk mengenal muka ini, kecuali sepasang matanya yang mencorong dan berpengaruh.

Kwan Cu merasa seperti pernah melihat mata seperti ini. Akan tetapi, oleh karena muka yang luar biasa warnanya itu, dia tidak dapat mengenal lagi.

"Ang-bin Sin-kai meninggalkan warisan ilmu silat, akan tetapi tidak meninggalkan warisan budi pekerti sehingga muridnya menjadi seorang kasar, tidak dapat menghormati orang yang lebih tua," Kakek itu bicara lagi, menggerendeng seorang diri.

Kembali Kwan Cu tertegun. Suara ini berbeda sekali dengan tadi, kalau suara tadi parau dan kasar, kini berubah menjadi halus dan tenang, suara yang telah pernah didengarnya. Agaknya orang ini sengaja mengeluarkan suara seperti itu agar dia mengenalnya, akan tetapi betapa pun dia memeras otak, tetap saja dia tidak dapat ingat lagi siapa adanya orang tua ini.

"Hari ini menerima hadiah, besok sudah lupa lagi akan pemberiannya, demikianlah watak manusia," lagi-lagi kakek itu berkata dan kali ini Kwan Cu hampir saja menempeleng kepalanya sendiri.

"Bodoh benar, mengapa aku begini pelupa?" pikirnya.

Serta-merta dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang masih duduk bersandar pada batang pohon itu sambil berkata dengan girang,

"Locianpwe, mohon ampun sebesarnya atas kekurang ajaran teecu yang semenjak tadi tidak mengenali Yok-ong Locianpwe. Bukan sekali-kali mendiang suhu Ang-bin Sin-kai yang salah, melainkan teecu sendiri yang kurang ajar dan bodoh."

Tiba-tiba tubuh orang itu melompat tinggi melampaui atas kepala Kwan Cu. Pemuda ini merasa sambaran angin ke arah lehernya, akan tetapi dia diam saja karena dia percaya penuh bahwa kakek raja tabib ini adalah seorang locianpwe yang berbudi mulia, tidak mungkin mau mencelakakan dirinya. Bahkan dia sama sekali tak mengerahkan lweekang untuk menjaga diri, karena takut kalau-kalau perbuatan ini malah akan dianggap sebagai pameran. Kwan Cu merasa leher bajunya disambar orang dan di lain saat tubuhnya telah ditarik dan dibawa pergi cepat sekali.

Ternyata bahwa kakek ini membawanya bersembunyi di belakang semak-semak belukar, mendekam di sana tanpa mengeluarkan kata-kata. Sebelum Kwan Cu sempat bertanya, dia mendengar tindakan kaki orang dari jauh.

Tindakan kaki ini berat sekali sehingga pohon-pohon serasa tergetar. Dengan telinganya yang tajam dia dapat mengetahui bahwa yang datang adalah empat orang, dan agaknya salah seorang sengaja menjatuhkan kaki dengan pengerahan tenaga luar biasa, ada pun yang tiga lagi sukar untuk ditangkap suara derap kakinya, demikian ringan tubuh mereka melayang di atas tanah.

Sebentar saja, meluncurlah empat orang di jalan itu. Tiba-tiba tubuh Kwan Cu menggigil dan seluruh tubuhnya terasa panas ketika dia melihat siapa adanya mereka ini. Orang pertama yang sengaja menjatuhkan kaki dengan kerasnya tidak lain adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, musuh besar yang telah mengeroyok dan membunuh suhu-nya! Ini yang membikin Kwan Cu naik darahnya dan membikin tubuhnya menjadi panas sekali.

Orang ke dua adalah seorang kakek tua yang juga berjubah hitam seluruhnya seperti Hek-i Hui-mo, juga kepalanya gundul dan tubuhnya tinggi kecil. Kembali dada Kwan Cu tergetar karena dia mengenal hwesio yang dijumpainya pada malam hari dekat kelenteng di mana Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu terbunuh. Tanpa terasa lagi Kwan Cu meraba sakunya dan teringat bahwa dia masih menyimpan sepotong robekan kain dari jubah hitam hwesio ini.

Ada pun orang ke tiga dan ke empat adalah seorang tosu yang sudah amat tua, akan tetapi Kwan Cu tidak mengenal mereka. Hanya sekejap saja dia dapat melihat mereka karena bagaikan bayang-bayang yang cepat gerakannya mereka telah lenyap lagi, naik ke atas gunung.

Kakek bermuka hitam itu berdiri dan menghela napas panjang.

"Heran sekali, Bian Kim Hosiang dari Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai juga datang, akan tetapi bersama-sama dengan Hek-i Hui-mo! Benar-benar lihai setan berbaju hitam itu, bisa menarik hati dua orang ketua partai ini. Hemm, bahkan Coa-tok Lo-ong juga datang, bakal ramai sekali ini..." Kakek ini berjalan perlahan keluar dari tempat persembunyian tanpa mempedulikan Kwan Cu.

Pemuda ini lalu bangkit berdiri dan mengikutinya. Tiba-tiba kakek itu berpaling padanya dan berkata,

"Kwan Cu, bagaimana kau bisa mengenalku?"

"Sesungguhnya teecu takkan mungkin dapat mengenal Locianpwe kalau saja Locianpwe tidak menolong teecu dengan suara asli itu." Kwan Cu mengaku terus terang.

Hang-hauw-siauw Yok-ong tertawa dan memandang ke atas.

"Memang itulah baiknya orang menyamar. Kita bisa mengenal orang lain tanpa dikenal. Bukankah itu menyenangkan sekali? Eh, Kwan Cu, bagaimana dengan kepandaianmu?"

"Teecu hanya bisa mainkan satu dua jurus pukulan, tiada harganya untuk diketahui oleh Locianpwe. Teecu hanya mohon petunjuk dan pimpinan."

"Ha-ha-ha, semenjak dulu kau memang pandai merendah. Sikap yang amat baik sekali, anakku. Kau tadi menjadi panas melihat mereka lewat, ada apa? Juga apa maksudmu berkeliaran di tempat ini?"

"Locianpwe, terus terang saja teecu hendak ke Tai-hang-san untuk menuntut balas atas kematian suhu. Teecu hendak membalas dendam terhadap mereka yang mengeroyok suhu secara pengecut, yakni Hek-i Hui-mo, Jeng-kin-jiu, dan Toat-beng Hui-houw!"

Yok-ong tersenyum lebar, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Memang itu sudah menjadi hak dan kewajibanmu. Akan tetapi, apakah kepandaianmu sudah begitu tinggi sehingga kau seorang diri berani menghadapi mereka bertiga?"

"Teecu datang bukan bermodalkan kepandaian, tapi bermodal semangat, kebenaran dan kebaktian terhadap suhu."

"Agaknya kau telah mempelajari ilmu dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, bukan? Kulihat sinkang (tenaga sakti) di dalam tubuhmu sudah tinggi sehingga dalam sekejap kau tadi dapat menindas hawa kemarahanmu ketika kau melihat Hek-i Hui-mo. Bagus, memang kau patut menerima ilmu yang tinggi, bakatmu amat besar. Akan tetapi harus kau ketahui bahwa tiga orang yang kau sebutkan tadi bukanlah lawan yang boleh dibuat main-main."

"Teecu mengerti, Locianpwe, akan tetapi dalam memenuhi tugas ini, teecu menyediakan selembar nyawa untuk taruhan. Tidak lain teecu hanya mohon petunjuk dari Locianpwe, mengingat akan baiknya hubungan antara Locianpwe dengan mendiang suhu."

Hang-houw-siauw Yok-ong tertawa bergelak. "Kau memang cerdik dan pandai membawa diri. Sudah kuketahui hal ini sejak kau masih kecil. Coba keluarkan sulingmu!"

Kwan Cu kagum. Kakek ini tanpa melihat sudah tahu bahwa suling pemberiannya dahulu masih dia bawa terus. Dengan cepat dia mencabut keluar suling hijau itu. Mata Yok-ong bersinar girang.

"Coba kau serang aku sampai sepuluh jurus. Hendak kulihat apakah kau tidak hanya membuang nyawa sia-sia dengan niatmu membalas dendam ini."

Kwan Cu tak berani membantah, akan tetapi dia ragu-ragu. Ilmu silat apa yang harus dia keluarkan untuk menyerang Yok-ong? Untuk mengeluarkan ilmu silat ciptaannya sendiri, dia tidak berani karena hal ini akan menimbulkan sangkaan bahwa dia menyombongkan diri dan memamerkan ilmu ciptaannya.

Kwan Cu maklum sedalam-dalamnya akan isi dari pada kepandaiannya. Dia lihai bukan karena mempunyai ilmu-ilmu silat yang tinggi-tinggi, akan tetapi lihai karena dia sudah menghirup pengertian tentang pokok dasar segala gerakan silat dari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng sehingga menghadapi musuh dengan ilmu silat betapa tingginya pun dia takkan merasa kaget dan mampu mengenal ilmu silat itu sampai ke dasarnya, bahkan dengan sekali melihat saja, dia dapat meniru segala macam ilmu silat itu. Jadi kalau dia disuruh menyerang, sebenarnya ilmu silatnya tidak aneh, lebih-lebih bagi seorang ahli silat kelas tinggi seperti Hang-houw-siauw Yok-ong.

"Harap maafkan teecu kalau berlaku kurang ajar!" katanya.

Dia lalu menyerang dengan sulingnya, dan memainkan jurus-jurus pilihan dari Hun-khai Kiam-hoat. Dengan kebutan lengan bajunya, Yok-ong menangkis sampai tiga jurus, lalu berkata,

"Jangan pergunakan Hun-khai Kiam-hoat, kau takkan bisa menang menghadapi mereka. Gunakanlah ilmu silat lain yang sudah kau pelajari!" celanya.

Kwan Cu mendongkol juga. Ilmu silat tinggalan Ang-bin Sin-kai dicela orang, ini sangat menyakitkan hatinya. Akan tetapi dia tak berani menyerang seorang locianpwe yang dia hormati dan sayang, maka dia lalu berkata,

"Teecu baru-baru ini mempelajari ilmu silat ini, harap Locianpwe tidak mencelanya!"

Tiba-tiba gerakan sulingnya diubah. Kini dia memainkan jurus-jurus dari Ilmu Silat Ombak dan Badai yang pernah dilihatnya ketika dia melawan Hok Peng.

"Ayaaa...!" Yok-ong terkejut bukan main dan untuk beberapa lama dia hanya mengelak saja, membiarkan Kwan Cu mainkan terus ilmu silat yang sesungguhnya adalah ilmu silat ciptaannya sendiri itu!

Diam-diam hati Kwan Cu menjadi geli dan dia mengerahkan ingatannya untuk mainkan terus ilmu silat itu sampai tiga puluh jurus! Tiap jurus dia mainkan sebaik-baiknya seperti seorang murid baru yang memperlihatkan latihan-latihannya kepada gurunya.

"Tahan...!" Yok-ong berteriak sambil berdiri dengan muka berkerut dan mata terbelalak. "Kwan Cu, bocah nakal. Jangan kau mempermainkan aku. Hayo katakan, dari mana kau bisa mainkan ilmu silat ini?"

Kwan Cu menjura. "Maafkan teecu, Locianpwe. Sesungguhnya beberapa hari yang lalu teecu kebetulan bertemu dengan Hok Peng Loheng dan mendapatkan ilmu silat ini dari dia."

“Bagaimana? Aku masih belum mengerti. Apakah Hok Peng mengajarkan ilmu silat ini padamu?"

"Tidak sama sekali, Locianpwe. Hok-loheng memaksa teecu untuk main-main dan dia mempergunakan ilmu silat ini mendesak teecu sehingga saking tertarik, teecu diam-diam mempelajari segala macam ilmu silat yang dia keluarkan."

"Hemm, kau tentu sudah mengalahkannya."

"Sesungguhnya di antara teecu dan dia tidak ada yang kalah atau menang, kemenangan teecu adalah berupa pelajaran ilmu silatnya itu Locianpwe." .

Yok-ong menggeleng-geleng kepala seperti orang tidak percaya. "Kau bertempur dengan dia, diserang dengan ilmu silat ini dan dalam pertempuran itu kau telah bisa mempelajari ilmu silatnya?"

"Teecu sekedar meniru-niru saja, Locianpwe. Teecu hanya mempergunakan mata dan ingatan."

"Sampai berapa jurus dia menyerangmu?"

"Sampai seratus jurus, Locianpwe."

"Dan kau hafal semua?"

Yok-ong terbelalak ketika Kwan Cu mengangguk sambil berkata,

"Maaf, Locianpwe. Teecu bukan hafal, hanya meniru-niru dan tentunya gerakan teecu tak karuan. Tadi teecu berani memperlihatkan karena Locianpwe minta supaya teecu jangan memainkan Hun-khai Kiam-hoat. Apa lagi yang harus teecu mainkan? Baiknya teecu lalu teringat akan ilmu silat yang teecu tiru-tiru dari Hok Peng Loheng...… "

"Cukup! Kalau tidak melihat sendiri, aku tak akan percaya! Kau bertempur, melihat dan hafal! Bukan main. Otakmu bukan otak manusia kiranya. Kau menjalankan tugas yang maha berat, meski pun aku percaya bahwa kau mempunyai kecerdikan yang tidak dimiliki manusia biasa namun aku akan berdosa kepada gurumu kalau tidak memberi sedikit petunjuk, sungguh pun mungkin tidak ada artinya bagimu. Nah, kau lihat baik-baik bagai mana aku mainkan sulingku."

Ia bergerak maju dan di lain detik suling di tangan Kwan Cu sudah dirampasnya. Kalau pemuda ini menghendaki tentu saja dia bisa menggagalkan perampasan suling ini, akan tetapi dia tak mau menghina kakek ini dan sengaja berlaku lambat sehingga suling yang dipegangnya dapat dirampas.

Yok-ong lalu memainkan ilmu silat yang terdiri dari tiga puluh enam jurus. Ia mainkan itu perlahan sekali, sulingnya hanya diubah-ubah kedudukannya, mirip seperti orang menari, bahkan suling itu setiap jurus dipindahkan dari tangan kanan ke kiri dan sebaliknya. Akan tetapi, setelah mainkan habis tiga puluh enam jurus, kakek ini melempar suling ke arah Kwan Cu. Pemuda ini menyambuti dan kagetlah dia karena suling itu seakan-akan terisi api bukan main panasnya!

Ia melihat kakek itu berdiri sambil mengatur napasnya, seakan-akan ilmu silat yang tadi dimainkannya amatlah sukar dan menghabiskan tenaganya.

"Itulah ilmu silatku yang selalu kusimpan baik-baik, bahkan Hok Peng sendiri tidak kuat mempelajarinya semua, baru tiga puluh jurus dia pelajari, akan tetapi itu pun takkan dia keluarkan karena aku telah memesan agar ilmu silat itu jangan sembarangan digunakan. Memang kuciptakan ilmu silat ini bukan untuk bertempur, melainkan untuk berlatih dan untuk landasan menciptakan ilmu-ilmu silat lain dan kuberi nama Hu-hiat I-kin-keng. Akan tetapi kalau terpaksa, dapat dipergunakan dan aku yakin dengan ilmu silat ini kau akan dapat memecahkan semua ilmu silat dari lawan-lawanmu yang amat tangguh itu. Sudah bisakah kau mainkan tiga puluh enam jurus tadi?"

"Akan teecu coba-coba, mohon Locianpwe memberi petunjuk."

Kwan Cu telah memiliki pengertian yang mendarah daging tentang pokok dasar gerakan ilmu silat. Tiap kali melihat jurus silat dia menangkap inti sarinya, bukan gerakan-gerakan kembangannya, maka tentu saja lebih mudah karena inti sari dari pada sejurus gerakan silat hanya sederhana saja. Yang berbelit-belit sehingga membingungkan orang adalah kembangannya.

Ia mulai bersilat dengan sulingnya dan karena dia memang sudah hafal akan inti sari tiga puluh enam jurus Ilmu Silat Hui-hiat I-kin-keng, dia dapat mainkan itu dengan kaku akan tetapi inti sarinya tepat sekali.

Yok-ong berdiri melongo sehingga mulutnya terbuka untuk beberapa lamanya. Sepasang matanya tak pernah berkedip semenjak Kwan Cu bersilat dari jurus pertama sampai jurus terakhir.

"Apakah aku bermimpi?" Akhirnya dia menarik napas, melangkah maju dan memeluk Kwan Cu, "Anak baik, kau bukan manusia kaulah dewa kalau memang di dunia ini ada dewa! Orang biasa saja kiranya akan menghabiskan waktu sedikitnya lima tahun untuk dapat menguasai inti dari Hui-hiat I-kin-keng, akan tetapi kau sekali melihat saja sudah memilikinya! Hebat, hebat...!"

Kwan Cu merasa dadanya sesak dan panas, juga suling yang dipakai bermain tadi amat panas, berkat daya dari Hun-hiat I-kin-keng. Karena di dalam tubuhnya sudah mengalir hawa sinkang yang luar biasa dari latihannya menurut petunjuk isi kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, sesungguhnya permainan silat yang membuat darahnya panas tadi dapat dia padamkan dengan hawa sinkang dalam tubuhnya. Akan tetapi oleh karena dia tidak mau berpamer di hadapan Yok-ong, dia pun segera meramkan mata dan mengatur napas. Kemudian dia menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-ong.

"Terima kasih banyak atas petunjuk dari Locianpwe yang budiman."

"Kau pakailah ini pada mukamu, Kwan Cu. Kita tengah menghadapi urusan besar sekali dan bukan hal yang bisa dibuat main-main. Kau ulas mukamu agar berubah warnanya."

Kwan Cu menerima bungkusan yang ketika dibuka berisi pupur warna merah. Yok-ong mengeluarkan guci arak dan mencampur bubukan itu dengan arak, lalu dia membantu Kwan Cu memupuri muka pemuda itu dengan ‘bedak’ istimewa ini.

Kwan Cu merasa mukanya kaku sekali, akan tetapi sebentar saja pupur itu telah menjadi kering dan ketika Kwan Cu meraba-raba mukanya, muka itu sudah menjadi kaku dan tebal kulitnya, akan tetapi dia tidak merasakan apa pun yang tidak enak.

Kalau saja dia dapat melihat mukanya sendiri, tentu dia akan langsung melonjak saking kagetnya sebab mukanya sekarang telah menjadi lain sekali. Pada sekitar mata dan bibir membengkak, ada pun kulit mukanya berubah merah sekali seperti udang direbus!

"Kelak kalau semua urusan sudah beres, dengan pekciu (arak putih) dan madu digosok-gosokkan pada mukamu, maka kedok itu akan lenyap mencair," kata Yok-ong.

"Locianpwe, mengapakah kita harus menyamar? Apakah keadaannya benar-benar amat berbahaya?"

"Kau tidak tahu, Kwan Cu, Kiam Ki Sianjin sengaja mengumpulkan tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw untuk mengadakan musyawarah tentang perselisihan faham antara para tokoh kang-ouw. Sebagian besar dapat dia beli dan bujuk sehingga membantu fihaknya karena kena dia tipu. Akan tetapi ada sebagian yang tetap anti penjajah dan membantu perjuangan rakyat. Pada lahirnya saja Kiam Ki Sianjin mengajak bermusyawarah, akan tetapi pada hakekatnya dia mengandung maksud yang buruk dan keji sekali. Dia hendak menumpas semua tokoh yang membantu perjuangan rakyat, dan dengan diam-diam dia sudah mengurung gunung ini kalau semua tokoh sudah berkumpul di puncak. Sedikitnya sepuluh laksa tentara akan mengurung bukit ini dan menumpas semua orang yang tjdak mau tunduk."

"Keparat curang!" kata Kwan Cu marah.

"Akan tetapi baiknya aku telah mengetahui akan hal ini dan aku juga sudah mencari jalan keluar yang sangat baik seandainya Kiam Ki Sianjin benar-benar hendak melaksanakan keinginannya yang keji. Sekarang mari kita naik ke puncak!"

Maka berangkatlah dua orang ini ke puncak. Di tengah jalan Yok-ong berkata,

"Aku sengaja melarang Hok Peng ikut, karena tidak ada gunanya kalau dia mencampuri urusan besar ini. Andai kata aku gagal dan gugur, masih ada dia yang akan melanjutkan usahaku. Kalau dia ikut dan kami berdua tewas, bukankah akan sia-sia semua usahaku mengajarnya selama ini? Kwan Cu, apa bila ada orang menanyakan namamu, pakailah nama Siauw Bu Beng (Si Kecil Tanpa Nama) dan aku bernama Lo Bu Beng (Si Tua Tanpa Nama)."

Kwan Cu mengangguk dan diam-diam merasa besar hati mendapat kawan seperti kakek sakti ini, sungguh pun untuk maju seorang diri pun dia tak merasa gentar. Hanya dengan adanya kakek ini, dia mempunyai kawan yang jauh lebih luas pengalamannya dan lebih matang pertimbangannya.

*****

Puncak Tai-hang-san merupakan dataran dari batu karang yang cukup luas. Di sana sini terdapat batu karang pendek dan lebar sehingga merupakan tempat duduk yang amat enak dan baik. Pohon-pohon menghias puncak, akan tetapi di bagian dataran itu, semua pohon telah dirobohkan dan dibuang oleh Kiam Ki Sianjin hingga dataran itu merupakan tempat yang luas, yang sekiranya cukup untuk menampung ratusan orang yang hendak mengadakan rapat raksasa.

Dari jauh sudah kelihatan bahwa orang-orang yang mendatangi puncak itu terbagi atas dua kelompok. Di bagian kiri terdapat kelompok mereka yang membantu kaisar. Di situ sudah berkumpul banyak sekali orang, sedikitnya ada seratus orang.

Di antara para pemimpin yang duduk di bagian depan, di atas batu-batu karang, terlihat Kiam Ki Sianjin, Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio dari Tibet, Toat-beng Hui-houw kakek yang berkuku panjang dan berwajah seperti siluman itu. Kelihatan pula Coa-tok Lo-ong, sute dari Hek-i Hui-mo, yakni hwesio yang tinggi kurus berjubah hitam, seorang tokoh besar yang tak kalah lihainya oleh Hek-i Hui-mo, karena hwesio ini merupakan ahli racun nomor satu di dunia!

Masih banyak pula tokoh-tokoh besar, di antaranya Mo Beng Hosiang serta Mo Keng Hosiang yang keduanya lebih terkenal sebagai Bu-eng Siang-hiap, lalu Kam Cun Hong panglima dari Si Su Beng, Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai, Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai. Di samping tokoh-tokoh besar ini, terdapat banyak sekali anak-anak murid mereka yang bersikap gagah.

Pada bagian kanan terdapat sekelompok orang yang jauh lebih kecil jumlahnya apa bila dibandingkan dengan kelompok di sebelah kiri. Pada bagian kanan inilah kelompok dari mereka yang menentang kaisar atau mereka yang membantu perjuangan rakyat dalam melawan penjajah. Mereka ini hanya terdiri dari sepuluh orang saja!

Kwan Cu memandang penuh perhatian dan dia mengenal semua orang di golongan ini. Tiba-tiba dadanya berdebar dan panas penuh cemburu dan iri hati ketika dia melihat Bun Sui Ceng berdiri di sebelah The Kun Beng di dekat Kiu-bwe Coa-li. Tak jauh dari situ terlihat Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Gouw Swi Kiat. Di sebelah ujung berdiri pula Seng Thian Siansu ketua Kun-lun-pai yang sudah amat tua usianya, disertai empat orang tosu, yakni murid-muridnya atau tokoh-tokoh dari Kun-lun-pai.

Kwan Cu mencari-cari dengan matanya. Ia heran tidak melihat adanya Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu. Dengan sikap tenang pemuda ini mengikuti Yok-ong naik ke puncak dan berdiri di sebelah timur, tidak jauh dari kedua kelompok itu. Yok-ong sengaja tidak mau mendekati sefihak karena dia mempunyai siasat lain.

Semua orang yang melihat naiknya seorang kakek bermuka hitam seperti pantat kuali serta seorang pemuda dengan muka merah tidak karuan seperti udang direbus, menjadi terheran-heran. Tak seorang pun di antara mereka mengenal dua orang ini, bahkan Sui Ceng yang berwatak jenaka itu tersenyum geli melihat dua orang ini. Ia berbisik kepada Kun Beng dan menudingkan telunjuknya ke arah Kwan Cu dan Yok-ong. Dengan hati panas Kwan Cu melihat Kun Beng tersenyum geli pula.

Akan tetapi diam-diam dia merasa sangat kagum juga melihat fihak yang anti penjajahan ini, karena sesungguhnya fihak mereka hanya ada sepuluh orang sedangkan fihak lawan ada seratus orang. Semuanya kelihatan tenang-tenang dan gembira saja, sedikit pun tak terlihat gentar. Yang lucu sekali adalah Siangkoan Hai karena kakek ini mengeluarkan kotak berisi biji catur, kemudian menggurat-gurat tanah dan mengajak Seng Thian Siansu bermain catur!

Sebagai seorang ketua Kun-lun-pai, Seng Thian Siansu sudah kenal baik dengan Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai. Karena itu dia mengangguk ke arah dua orang tua itu dan berkata dengan suara nyaring.

"Bian Kim dan Bin Kong Ji-wi Beng-cu, sambil menunggu upacara dibuka marilah temani pinto main catur dengan Pak-lo-sian. Bukankah lebih menggembirakan dari pada harus menunggu-nunggu?"

Bian Kim Hosiang dan Bin Kong Siansu buru-buru membalas penghormatan itu dengan menjura kepada ketua Kun-lun-pai yang usianya lebih tua dari pada mereka dan yang biasa mereka hormati itu.

"Seng Thian Lo-siansu, pinceng menghaturkan terima kasih atas ajakan Siansu ini. Akan tetapi pinceng takut berdekatan dengan pembunuh-pembunuh keji yang tak tahu aturan, yang hanya memiliki nama besar sebagai tokoh utara, akan tetapi ternyata seorang yang biadab dan curang!"

Makian ini terang-terangan ditujukan kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai, karena tokoh besar utara adalah Pak-lo-sian. Akan tetapi yang dimaki hanya tertawa bergelak saja dan berkata kepada Seng Thian Siansu,

"Siansu, kenapa mengajak fihak yang terang-terangan menjadi penjilat kaisar? Sudahlah, mari kita bermain catur, jangan memancing datang anjing kelaparan hingga kegembiraan kita akan lenyap."

Keadaan menjadi tegang. Akan tetapi kedua fihak tak melanjutkan saling maki ini sebab pada saat itu, dari bawah gunung melayang dua bayangan orang yang gerakannya cepat sekali. Mereka ini ternyata adalah Kwa Ok Sin, ketua Bun-bu-pai ada pun orang ke dua adalah nenek yang aneh dan menyeramkan, yakni Liok-te Mo-li, ibu dari Kong Hoat yang pernah bertemu dengan Kwan Cu.

"Ha, saudara Kwa yang baik, marilah kita bermain catur!" kata Pak-lo-sian girang melihat ketua Bun-bu-pai ini, seorang yang walau pun kepandaiannya tidak seberapa tinggi, akan tetapi disegani oleh semua orang kang-ouw karena dia menjadi ketua dari perserikatan orang-orang gagah dan sastrawan, yang terkenal adil dan bijaksana.

"Kwa-enghiong, terima kasih bahwa kau sudi memenuhi undanganku," berkata Kiam Ki Sianjin sebelum Kwa Ok Sin menjawab ajakan Pak-lo-sian. "Silakan duduk di sini."

Kwan Ok Sin bingung. la lalu menggeleng-geleng kepala dan berkata,

"Tak kusangka bahwa Cu-wi sekalian telah membentuk dua kelompok hingga membuat siauwte menjadi serba salah. Biarlah siauwte berdiri di tempat yang tidak berfihak."

Tiba-tiba dia melihat kakek muka hitam dan pemuda muka merah yang duduk nongkrong di atas batu, di tengah-tengah antara dua kelompok itu, agaknya seperti dua orang dusun yang aneh sekali dan yang sikapnya seperti penonton.

"Ji-wi siapakah dan mengapa di sini?" tanya Kwa Ok Sin dengan heran.

Di antara seluruh tokoh kang-ouw, agaknya Kwa Ok Sin boleh dibilang orang yang paling dikenal dan mengenal orang. Hampir seluruh tokoh kang-ouw sudah dikenal oleh Kwa Ok Sin, baik tokoh persilatan mau pun tokoh kesusastraan, maka melihat kakek muka hitam dan pemuda muka merah itu, heranlah hati Kwa Ok Sin. Selamanya belum pernah dia bertemu muka dengan dua orang ini. Jangankan bertemu muka, mendengar pun belum pernah adanya orang-orang yang begini aneh mukanya.



AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.