Pendekar Sakti Jilid 32 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 32

Yok-ong tersenyum dan menjawab dengan suara kaku sekali, suara kasar dari orang dusun yang bodoh.

"Aku dan cucuku ini she Koai (Aneh), petani-petani di Gunung Tai-hang-san. Sekarang di atas gunung orang mengadakan keramaian, tentu saja kami datang untuk menonton." Setelah berkata demikian Yok-ong tertawa ha-ha-he-he-he dengan lagak amat lucu.

Kwa Ok Sin adalah seorang yang berpemandangan luas dan bermata tajam. Dia dapat menduga bahwa si muka hitam ini tentulah seorang kakek yang luar biasa, maka dia tidak berani berlaku lancang, lalu menoleh kepada Kwan Cu.

Akan tetapi pemuda ini juga sudah siap sedia. Begitu orang menoleh kepadanya, dia lalu meringis dan menyeringai, kemudian tertawa ha-ha-he-he-he pula seperti sikap Yok-ong.

"Cu-wi sekalian!" kata Kwa Ok Sin kepada orang-orang kedua fihak. "Kebetulan sekali di sini terdapat tempat untuk penonton, maka ijinkan siauwte berdiam di sini saja sebagai penonton."

Ia lalu duduk di atas batu hitam, dan mengajak Liok-te Mo-li duduk pula. Nenek ini melirik ke arah Yok-ong dan Kwan Cu, akan tetapi tidak berkata sesuatu, hanya menghampiri sebuah batu besar yang berada di ujung lapangan, agak jauh dari tempat itu.

Dengan tumit kakinya, dia mencongkel batu itu yang tiba-tiba saja melayang ke atas dan cepat nenek ini mengulur tangannya, menepuk batu itu sehingga mencelat ke atas lagi. Demikian sambil berjalan kembali, Liok-te Mo-li mempermainkan batu besar itu sampai ia tiba di dekat Kwa Ok Sin, lalu menurunkan batu itu untuk dipakai tempat duduk.

Semua orang, baik di fihak Kiam Ki Sianjin mau pun di fihak Pak-lo-sian Siangkoan Hai, melihat betapa nenek buruk rupa ini mempermainkan batu besar yang beratnya paling sedikit ada tiga ratus kati itu dengan demikian mudahnya, diam-diam memuji.

Nenek ini selamanya menyembunyikan diri sehingga jarang ada yang mengenal dirinya, kecuali beberapa orang tokoh besar yang berada di situ. Karenanya semua orang lalu menduga-duga, siapakah gerangan nenek yang datang bersama ketua Bun-bu-pai itu.

Setelah melihat bahwa para undangan telah mulai berkumpul dan terutama sekali semua orang terpenting sudah hadir, Kiam Ki Sianjin segera berdiri sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada seluruh yang hadir.

"Cu-wi sekalian, selamat datang di puncak dan banyak terima kasih atas perhatian Cu-wi sekalian yang sudi memenuhi undangan pinto."

Semua orang yang berada di sana segera mencurahkan perhatiannya kepada Kiam Ki Sianjin, kecuali Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Seng Thian Siansu yang masih saja asyik bermain catur.

Kiam Ki Sianjin lalu melanjutkan kata-katanya,

"Tanpa diatur terlebih dahulu, Cu-wi sekalian yang datang di sini ternyata telah memilih fihak masing-masing, dan sudah tentu saja yang berada di fihak kami adalah mereka yang membenci perang dan yang menghendaki keamanan dan perdamaian. Oleh karena itu, hendaknya dari fihak pembantu pemberontak yang pada saat ini menjadi tamu, suka mengajukan seorang ketua agar supaya dapat berunding dengan kami." Kiam Ki Sianjin menujukan kata-katanya ini kepada fihak Kiu-bwe Coa-li dan kawan-kawannya.

Kiu-bwe Coa-li hanya mengangkat cambuknya dan menggerakkannya di atas kepala.

"Tar! Tar! Tar!!"

Kiu-bwe Coa-li tak menjawab sesuatu, bahkan membuang muka tidak mau memandang kepada Kiam Ki Sianjin. Hanya terdengar bunyi ledakan cambuknya sebagai imbalan dari kata-kata yang dikeluarkan oleh Kiam Ki Sianjin tadi.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Seng Thian Siansu tertawa-tawa lalu berdiri.

"Pak-lo-sian, kau yang menang, lakukanlah tugasmu sebaiknya," kata Seng Thian Siansu yang sudah amat tua itu sambil tersenyum.

Pak-lo-sian menghadapi Kiam Ki Sianjin. Jarak antara mereka cukup jauh, ada dua puluh tombak. Sambil tertawa Pak-lo-sian berkata,

"Kiam Ki Sianjin, fihak kami tidak pandai bicara seperti kau! Kiu-bwe Coa-li hanya bicara melalui cambuknya, dan terpaksa aku dan Seng Thian Siansu tadi bertanding catur untuk menentukan siapa yang harus mewakili fihak kami. Memang benar kami telah membantu perjuangan rakyat dan bangsa kami, sekarang kami sudah datang di sini, ada omongan apa lekas keluarkan, kami mendengar!"

Sesudah berbicara demikian, Pak-lo-sian tertawa-tawa dan duduk lagi. Sikapnya seperti seorang anak kecil yang lucu.

"Tidak setuju!" tiba-tiba Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai berteriak. "Pinto tidak setuju kalau Pak-lo-sian atau Kiu-bwe Coa-li menjadi wakil fihak pembantu pejuang. Dua orang itu adalah manusia-manusia curang dan pengecut, tidak pantas menjadi wakil, tak boleh dipercaya omongannya!"

"Betul, aku pun sependapat dengan Bin Kong Toheng!" berkata Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai.

Merah wajah Kiu-bwe Coa-li, matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api.

"Kau monyet-monyet tua dari Bu-tong-pai, datang-datang mengeluarkan hawa busuk dari mulut. Majulah kalau kalian berani!" bentak nenek ini dengan marah sekali.

"Siapa takut padamu, siluman wanita yang keji?" Bin Kong Siansu berteriak.

Akan tetapi Kiam Ki Sianjin cepat memegang lengannya dan berkata, "Harap saja Siansu tidak merusak suasana dan dapat menyabarkan hati. Urusan pribadi dapat diurus kemudian, sekarang urusan negara yang harus didahulukan."

Di lain fihak, Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga menyabarkan hati Kiu-bwe Coa-li dengan kata-kata, "Setan perempuan, apa sih sukarnya menghancurkan kepala dua orang kura-kura tua itu nanti kalau urusan besar ini sudah beres? Sabarlah, nanti kita bagi seorang satu!"

Suasana yang sudah menegang menjadi tenang kembali. Kiam Ki Sianjin lalu berkata kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

"Pak-lo-sian, bagus jika kau menjadi wakil fihakmu. Nah, dengarlah baik-baik. Fihak kami tidak menghendaki pertempuran yang terus-menerus di antara kita sendiri. Kaisar yang bijaksana sudah memberi kekuasaan kepadaku untuk memaafkan mereka yang pernah memberontak, asal saja mulai sekarang pemberontakan itu dihentikan. Bagi kami yang menyadari keadaan dan yang mentaati kehendak Thian, sangat tidak enak kalau harus membunuhi bangsa sendiri, walau pun mereka itu pemberontak-pemberontak keji. Oleh karena itulah, sengaja kami mengundang kalian datang untuk berdamai dan menghabisi pemberontakan-pemberontakan yang hanya melemahkan keadaan negara dan bangsa saja."

Ucapan ini disambut oleh tertawa mengejek dari Kiu-bwe Coa-li dan kembali pecutnya mengeluarkan bunyi bergeletar nyaring sekali. Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa sambil mendongak ke atas.

"Kiam Ki Sianjin, kau memutar balikkan kenyataan, kau bukan mentaati kehendak Thian, bahkan ingin mengingkari dan hendak memutar jalannya sejarah! Rakyat yang berjuang melawan penindasan kekuasaan penjajah asing kau sebut sebagai pemberontak! Ada pun pemberontak asing yang hendak menjajah, bahkan yang kini telah menjadi penjajah kau sebut-sebut sebagai kaisar yang bijaksana! Kiam Ki Sianjin, di manakah mukamu sebagai orang Han? Hai, saudara-saudara sekalian yang sekarang berada di fihak Kiam Ki Sianjin, apakah kalian bukan orang-orang Han? Patutkah orang-orang gagah melihat bangsa sendiri ditindas, tidak membantu perjuangan rakyat yang mulia, sebaliknya membantu kaisar asing penjajah hina dan suka menjadi anjing penjilatnya?"

Pak-lo-sian Siangkoan Hai berkata dengan penuh nafsu. "Cukup! Pak-lo-sian, kami mengundang kalian bukan untuk mengumbar nafsumu, bukan pula untuk saling memaki. Kami mengajak berunding, berdamai dan menghabisi semua pertempuran."

"Mudah saja untuk menghabiskan pertempuran, asalkan tuntutan rakyat dipenuhi," kata Pak-lo-sian.

"Apakah tuntutan rakyat itu? Coba terangkan!"

"Tuntutan rakyat ialah menyeret turun kaisar asing, mengusir semua penjajah dari tanah air dan mengangkat seorang kaisar bangsa sendiri. Kalau kalian semua yang berada di sini insyaf dan membantu perjuangan rakyat, hal ini kiranya akan mudah dilakukan dan habislah semua pertempuran!"

"Pak-lo-sian, kau terlalu sekali! Apa kau kira akan dapat memperlihatkan kekuasaanmu di sini? Kau benar-benar hanya mengeluarkan ucapan tanpa kau pikir baik-baik. Kau berani mencoba untuk menyeret kami membantu pemberontak?" Kiam Ki Sianjin marah.

"Basmi saja pentolan-pentolan pemberontak itu!" teriak seorang anak murid di fihak yang pro kaisar. Akan tetapi para tokoh besar yang menghargai kedudukan sendiri, tidak mau sembarangan mengeluarkan kata-kata.

Teriakan murid yang berangasan itu disambut oleh kawan-kawannya dan sebentar saja fihak itu menjadi ramai, senjata-senjata dihunus, siap menyerbu kalau ada perintah. Akan tetapi Kiam Ki Sianjin mengangkat tangan mencegah mereka sehingga keadaan menjadi tenang kembali.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai serta kawan-kawannya hanya tersenyum-senyum mengejek, akan tetapi Sui Ceng, Swi Kiat, Kun Beng, dan empat orang tosu dari Kun-lun-pai telah kelihatan merah mukanya akibat menahan rasa marah.

"Pak-lo-sian, kau lihat sendiri betapa pernyataanmu yang tanpa dipikir itu membangkitkan rasa marah pada kawan-kawan kami. Pertentangan faham ini kiranya hanya akan beres menurut ketentuan senjata!" kata Kiam Ki Sianjin, yang kemudian disambungnya sambil tersenyum. "Kecuali kalau kalian suka mengubah pendirian."

"Pendirian kami sudah mantap, kami membenarkan perjuangan rakyat. Ada pun tentang penggunaan senjata di sini, kau yang mengundang kami dan kami datang bukan untuk berkelahi."

"Kau takut?" Kiam Ki Sianjin mengejek.

"Siapa takut kepadamu, tua bangka? Biar ada sepuluh Kiam Ki Sianjin, aku tidak takut!" tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li membentak marah.

"Tidak ada masalah takut atau tidak takut," kata Pak-lo-sian dengan suara seperti orang bernyanyi, "yang ada hanya dua kenyataan pahit. Pertama, kami diundang ke sini untuk berunding, bukan untuk berkelahi. Ke dua, apa bila tuan rumah sudah begitu tidak tahu malu untuk mengajak berkelahi, itu pun hanya memperlihatkan betapa rendah akhlaknya. Kami hanya berkawan sepuluh orang, sedangkan fihakmu ada seratus orang!"

Merah muka Kiam Ki Sianjin. "Tidak usah banyak mulut, Pak-lo-sian, memang kita sudah menjadi musuh lama. Pendeknya, kau berani atau tidak untuk memutuskan pertentangan faham ini di ujung senjata?"

"Aku datang bukan untuk berkelahi, kalau sudah tidak ada omongan lain, aku akan pergi dengan kawan-kawanku!"

Pak-lo-sian biar pun tua dan aneh wataknya, namun dia amat cerdik. la melihat bahwa fihak lawan amat besar jumlahnya, penuh dengan orang-orang pandai pula, maka kalau sampai terjadi pertempuran, fihaknya akan menghadapi bahaya. Dia sendiri dan Kiu-bwe Coa-li agaknya akan dapat meloloskan diri, akan tetapi yang lain-lain bagaimana?

"Ha-ha-ha, Pak-lo-sian, kau hendak melarikan diri?" Kiam Ki Sianjin berteriak mengejek. "Pak-lo-sian, kalau kau lari, terpaksa kami akan mengejarmu dan mencegah kau turun gunung sebelum persoalan ini dibereskan!"

Sekarang marahlah Pak-lo-sian. "Kiam Ki Sianjin, majulah kau, biar hanya kita berdua yang memutuskan hal ini di ujung senjata!"

Keadaan menjadi amat tegang dan mendadak terdengar suara Kwa Ok Sin yang cepat berdiri dan berseru,

"Cu-wi sekalian, harap tenang dulu. Sangat memalukan apa bila kita sebagai orang yang menjunjung kegagahan, bercekcok mulut seperti anak kecil yang hendak berkelahi! Apa sudah tidak ada jalan lain ke arah perdamaian antara kedua fihak? Bagaimana pun jalan pikiran dan faham masing-masing, harus diingat bahwa kita adalah segolongan, yakni orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan."

Semua orang berdiam diri. Tiba-tiba dari bawah puncak terdengar seruan keras,

"Cocok...! Memang pertempuran tak perlu dilanjutkan!"

Dari bawah puncak ‘menggelundung’ naik tubuh seorang hwesio yang gendut dan bulat, dan ternyata dia ini bukan lain adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!

Tangan Kwan Cu kembali menggigil melihat hwesio bundar ini. Sekarang musuh besar gurunya telah lengkap berada di tempat itu. Akan tetapi dia harus menekan dulu semua perasaannya karena persoalan yang dihadapi adalah persoalan besar, persoalan yang dulu pun diributkan oleh kongkong-nya, oleh gurunya sehingga mereka berkorban jiwa.

Dengan berbisik, tadi Kwan Cu bertanya kepada Yok-ong mengenai semua orang-orang yang berada di situ. Sesudah dia tahu siapa adanya hwesio tinggi kurus berjubah hitam yang pernah dilihatnya di malam hari, yakni Coa-tok Lo-ong sute dari Hek-i Hui-mo, dan melihat pula bahwa ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai berada di fihak Kiam Ki Sianjin, terbukalah mata Kwan Cu.

Sekarang tahulah dia akan rahasia peristiwa pembunuhan di kelenteng atas diri Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu dari Kim-san-pai. Kini dia sudah dapat menduga bahwa pembunuh kedua pendeta ini pasti Coa-tok Lo-ong yang membunuh secara diam-diam, kemudian meninggalkan kesalahan itu pada pundak Kiu-bwe Coa-li beserta Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Dengan cara ini fihak Kiam Ki Sianjin tentu saja bisa menarik Bu-tong-pai dan Kim-san-pai untuk membantu mereka menghadapi Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian!

"Locianpwe, mengapa yang datang hanya mereka sepuluh orang itu? Di mana adanya tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin pejuang rakyat yang lainnya?" Kwan Cu bisik-bisik bertanya kepada Yok-ong.

Raja tabib itu tersenyum, "Kiam Ki Siajin memang sangat cerdik. Selain merencanakan untuk membasmi musuh-musuh besar di sini juga dia hendak memancing keluar semua pemimpin sehingga dengan mudah dia akan mengetahui siapa-siapa adanya pemimpin pejuang rakyat. Akan tetapi aku mendahuluinya dan aku memperingatkan mereka yang menjadi pemimpin pejuang sehingga tak seorang pun di antara mereka mau datang ke sini memperlihatkan diri."

Diam-diam Kwan Cu memuji kecerdikan Hang-houw-siauw Yok-ong. Tetapi raja tabib itu mencegah dia membuka mulut lagi, karena melihat munculnya Jeng-kin-jiu, keadaan di sana tentu menjadi lebih ramai.

Begitu tiba di puncak, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata keras,

"Cu-wi sekalian dari kedua fihak. Stop semua pertempuran yang tidak ada artinya! Untuk apa mengotorkan tangan, bertempur melawan golongan sendiri hanya karena pengaruh urusan pemerintahan yang kotor. Orang-orang macam kita ini apa perlunya mencampuri urusan kota raja? Lebih baik pulang kembali ke gunungnya masing-masing, bertapa dan memperdalam ilmu. Pinceng sendiri karena terseret oleh pengaruh busuk di kota raja, sampai bentrok dan salah tangan menewaskan seorang bekas sahabat baik. Ahhh, kalau diingat-ingat, sampai sekarang pinceng merasa menyesal setengah mati. Apakah Cu-wi hendak mengulangi kejadian seperti itu? Kaisar boleh turun dan naik, kerajaan musnah dan timbul, akan tetapi kesatuan kaum persilatan jangan sekali-kali sampai terseret dan menjadi berantakan dan pecah belah! Nah, pinceng sudah selesai bicara, harap Cu-wi suka memikirkan dengan kepala dingin."

"Jeng-kin-jiu, omongan busuk apa yang kau keluarkan itu?" tiba-tiba saja Hek-i Hui-mo melompat maju sambil melototkan matanya kepada Jeng-kin-jiu. "Dahulu kita bersama melindungi kaisar, sekarang kau akan menjadi orang yang mengkhianati kawan sendiri? Apakah kau tidak lebih baik membantu kami agar dosamu tidak bertumpuk-tumpuk?"

"Agaknya dia ketakutan melihat Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li!" mengejek Toat-beng Hui-houw sambil tertawa yang terdengar seperti ringkik kuda.

"Jeng-kin-jiu, sia-sia saja kau mencoba menginsyafkan mereka. Lebih baik jangan turut mencampuri urusan ini!" seru Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sudah naik darah melihat sikap fihak lawan.

Jeng-kin-jiu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu duduk di atas batu karang, kelihatannya berduka sekali. Kwa Ok Sin lalu berkata dengan keras,

"Kalau dua fihak tetap menghendaki kekerasan, siauwte sebagai ketua Bun-bu-pai hanya mengharap agar kedua fihak memperhatikan peraturan orang-orang gagah. Adu senjata ini harus dilakukan dengan cara yang adil seperti dalam pibu."

"Tentu saja," kata Kiam Ki Sianjin. "Yang mati tidak boleh dibuat dendam, yang terluka tidak boleh menyalahkan lawan. Fihak yang kalah selanjutnya harus menurut serta taat kepada fihak yang menang!"

"Bagus, Kiam Ki Sianjin. Biarlah ini hari kita mengadu kepandaian sampai seribu jurus!" bentak Kiu-bwe Coa-li sambil melompat maju dan mengayun-ayun cambuknya dengan lagak menantang.

"Nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li. Bukankah tadi sudah diusulkan oleh Kwa-enghiong agar kita menggunakan peraturan? Nah, akulah yang akan memilih kawan-kawan di fihakku, siapa yang akan maju menghadapi fihakmu."

Setelah berkata demikian, Kiam Ki Sianjin mempersilakan kawan-kawannya yang hendak turun tangan. Serentak majulah dari fihaknya para tokoh besar yang memliki kepandaian tinggi seperti Toat-beng Hui-houw, Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang, Kam Cun Hong, Hek-i Hui-mo, Bian Kim Hosiang, Bin Kong Siansu, Coa-tok Lo-ong dan masih ada beberapa orang anak murid Bu-tong-pai, Kim-san-pai dan juga murid-murid dari para tokoh itu sendiri.

Ada pun fihak Pak-lo-sian tentu saja hanya ada sepuluh orang itu yang kesemuanya siap membela nama baik mereka. Bahkan Sui Ceng lalu berkata kepada gurunya.

"Suthai, biarkan teecu yang maju lebih dahulu. Kalau teecu tidak dapat menang, barulah Suthai yang maju."

Kiu-bwe Coa-li tersenyum pahit. "Sui Ceng, apakah kau tahu bahwa pertandingan kali ini adalah untuk mempertahankan nyawa? Lawan terlalu banyak. Hanya menang lima kali saja belum ada artinya, dan kalau sekali kalah harus ditebus dengan nyawa."

"Teecu tidak takut!" kata Sui Ceng gagah. Kiu-bwe Coa-li melirik ke arah Kun Beng dan pemuda ini pun berkata gagah,

"Teecu juga tidak takut dan akan mendampingi Ceng-moi."

Mendengar ini, Swi Kiat menjadi merah mukanya. Pemuda ini gemas sekali, akan tetapi juga berduka mengingat akan adiknya, Kui Lan. Namun pada saat yang genting seperti itu, dia tidak mau memikirkan tentang urusan pribadi dan dia pun bersiap-sedia untuk menghadapi fihak lawan yang amat banyak jumlahnya itu.

Yok-ong memberi isyarat kepada Kwan Cu, lalu berkata,

"Ah, kalau akan diadakan perang, lebih baik aku pergi. Hayo cucuku, kita pergi dari sini," katanya ketakutan.

Kwan Cu tidak mengerti akan maksud Yok-ong, akan tetapi dia tidak berkata sesuatu dan mengikuti kakek itu turun dari puncak. Orang-orang merasa geli melihat mereka, akan tetapi tidak ada yang ambil peduli.

Setelah tiba di belakang batu karang besar, Yok-ong lalu berkata, "Kwan Cu, mari kita periksa jalan keluar untuk mereka, supaya nanti dapat dipergunakan dengan baik."

Raja tabib ini berlari cepat sekali, diikuti oleh Kwan Cu. Setiba mereka di lereng, Yok-ong menunjuk ke bawah, "Kau lihat, serdadu kaisar telah mengurung bukit ini."

Benar saja, di kaki bukit itu, barisan besar sedang bergerak-gerak seperti semut. Kwan Cu terkejut dan gemas sekali.

"Tak usah khawatir, aku sudah mendapatkan jalan keluar. Lihatlah goa itu, kelihatan kecil hanya dapat dimasuki orang dengan jalan merangkak. Akan tetapi di dalamnya lebar sekali dan goa itu merupakan terowongan yang menembus bukit dan keluar di sebelah selatan pegunungan ini. Kalau kita semua mengambil jalan ini, takkan ada orang yang dapat mengejar atau mencegat kita. Kau ingatlah baik-baik, seorang di antara kita harus dapat menolong mereka keluar dari sini. Mengerti?"

Kwan Cu mengangguk. Memang, melihat keadaan lawan yang demikian banyaknya dan rata-rata terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi, Yok-ong merasa gelisah dan putus asa. Biar pun di fihaknya ada Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian dan Seng Thian Siansu, akan tetapi menghadapi sekian banyaknya orang dan di sana ada pula orang-orang sakti seperti Hek-i Hui-mo, Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw dan lain-lain, sudah dapat diperhitungkan bahwa fihak pembantu pejuang rakyat pasti akan kalah.

Setelah memberi petunjuk kepada Kwan Cu, mereka kembali ke puncak akan tetapi kini menonton ke tempat itu dari balik batu karang.

"Locianpwe, kita tidak dikenal, lebih baik nonton dari dekat," kata Kwan Cu.

"Begitu pun baik. Akhirnya kita harus turun tangan pula," jawab Raja Tabib itu.

Keduanya lalu duduk di tempatnya yang tadi. Semua orang memandang dan tertawa.

"Ehh, kalian berani datang lagi?" Kwa Ok Sin tidak dapat menahan keheranannya.

"Cucuku ini yang terus memaksa, katanya hendak melihat orang bermain senjata untuk menambah kegembiraan," jawab Yok-ong ketolol-tololan.

"Hemm, jangan terlalu dekat, jangan-jangan ada senjata yang mampir di lehermu," kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.

Yok-ong dan Kwan Cu memperlihatkan muka ketakutan, akan tetapi tetap saja duduk di tempat yang tadi.

Kalau di fihak Kiam Ki Sianjin semua orang sudah bersiap-siap, adalah orang-orang dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai saja yang masih kelihatan dingin saja. Bian Kim Hosiang dari Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai bukanlah penjilat-penjilat kaisar. Mereka adalah orang-orang gagah yang tidak mau peduli tentang urusan kerajaan.

Mereka berdua datang hanya karena marah terhadap Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Kiu-bwe Coa-li, karena dua orang tokoh itu sudah membunuh dua orang sute mereka. Kedatangan mereka untuk membalas dendam, atau untuk membuat perhitungan dengan Ku-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, bukan untuk mengurus soal kerajaan.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
Maka, melihat bahwa pertandingan yang akan diadakan adalah urusan kerajaan, kedua orang tua ini dan murid-muridnya tidak mau turun tangan dan diam menonton saja.

Ada pun tokoh-tokoh kawan-kawan Kiam Ki Sianjin, memberi kesempatan kepada para murid mereka untuk maju lebih dahulu, hitung-hitung mengukur kepandaian lawan. Akan tetapi, murid-murid yang masih rendah kepandaiannya tentu saja tidak boleh maju.

Kiam Ki Sianjin memberi tanda kepada Bu-eng Siang-hiap, dua hwesio bersaudara yang kini menjadi pembantu-pembantunya. Dengan bangga Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang melompat maju ke tengah lapangan, lalu Mo Beng Hosiang berkata,

"Pinceng dua saudara selalu maju berbareng, karena itu harap Siangkoan-lo-enghiong mengeluarkan jago-jagonya!" Sambil berkata demikian, dua saudara ini menjura kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Melihat bahwa yang maju adalah dua orang hwesio setengah tua, maka dua orang murid Kun-lun-pai yang bernama Tiong Ek Tosu dan Tong Seng Tosu minta ijin dari guru besar mereka, yakni Seng Thian Siansu yang sesungguhnya datang untuk menuntut balas atas gugurnya tiga orang muridnya, maka ia mengangguk menyetujui. Begitu pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai menyetujui.

Majulah dua orang murid Kun-lun-pai ini menghadapi Bu-eng Siang-hiap. Sesudah saling memperkenalkan nama, empat orang pendeta ini mulai saling serang dengan hebatnya.

Ilmu silat dari Kun-lun-pai memang sudah sangat terkenal, maka kepandaian dari dua orang muridnya ini juga amat lihai. Mereka mempergunakan pedang yang diputar dengan cepat dan tangguh, sesuai dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat.

Ada pun Mo Beng Hosiang berjuluk San-tian-jiu (Tangan Kilat) maka dalam pertempuran ini dia bertangan kosong, sedangkan adiknya, Mo Keng Hosiang berjuluk Hun-san-pian (Pian Pemecah Gunung). Sengaja mereka maju berdua karena dengan maju berdua, mereka merupakan pasangan yang benar-benar amat tangguh.

Mo Keng Hosiang bertugas menghadapi dan melindungi kakaknya dari serangan senjata lawan. Pian-nya amat kuat, dan tiap tangkisannya selalu membuat tangan lawan tergetar sehingga serangan kedua lawannya itu menjadi lambat. Di lain fihak, Mo Beng Hosiang mulai menjalankan serangan maut dengan tangan kosong!

"Celaka, dua totiang dari Kun-Iun-pai itu pasti roboh...," kata Kwan Cu perlahan kepada Yok-ong.

Diam-diam raja tabib ini memuji ketajaman mata Kwan Cu dan dia melihat pemuda itu diam-diam meraih dua butir batu kecil.

"Jangan, Kwan Cu. Di dalam pertandingan yang adil, tidak selayaknya kita turun tangan membantu, biar pun yang kita bantu adalah orang-orang yang berada di fihak benar. Ini sudah menjadi aturan kang-ouw yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun yang tidak menghendaki namanya terbenam di dalam lumpur."

Kwan Cu tertegun dan terpaksa melepaskan kembali dua butir batu kecil tadi. Hatinya penasaran dan tak senang sekali melihat fihak Pak-lo-sian dikalahkan. Dugaannya tepat karena dalam lima puluh jurus saja, terdengar suara keras disusul pekik dan robohlah Tiong Ek Tosu dengan kepala pecah terpukul oleh tangan Mo Beng Hosiang!

Murid ke dua dari Kun-lun-pai tidak menjadi gentar. Baginya adalah menang atau mati, maka dia cepat memutar pedangnya melakukan serangan nekat. Dia berhasil menusuk pangkal lengan Mo Keng Hosiang, namun hwesio ini dapat miringkan tubuh sehingga kulit lengannya saja yang tergurat pedang dan pada saat itu, Mo Beng Ho siang sudah turun tangan memukul dada Tiong Seng Tosu. Tosu ini menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan dadanya pecah! Ia roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi.

Fihak kaki tangan kaisar berseri wajahnya, bahkan ada orang-orang muda yang bersorak girang. Pak-lo-sian tersenyum pahit dan Seng Thian Siansu menjadi pucat.

Sebelum Kiu-bwe Coa-li dan yang lain-lain sempat mencegahnya, tahu-tahu bayangan Bun Sui Ceng sudah berkelebat. Kini nona ini sudah berdiri dengan pedang di tangan, menghadapi sepasang hwesio yang berdiri dengan lagak sombong dan bangga.

Pak-lo-sian tak dapat berbuat lain kecuali melompat dan menyambar dua jenazah murid Kun-lun-pai itu untuk diletakkan di atas tanah di dekat batu karang. Mereka tidak dapat ditolong lagi karena sudah tewas.

"Bu-eng Siang-hiap, aku Bun Sui Ceng maju sebagai jago dari fihak kami, kalian berdua boleh maju bersama!" tantang Sui Ceng sambil melintangkan pedang di depan dadanya.

Melihat bahwa penantangnya hanyalah seorang gadis muda yang cantik sekali, kedua orang hwesio itu saling pandang dan tertawa lebar.

"Nona, pinceng berdua tak mau berlaku licik. Biarlah kau memilih seorang di antara kami sebagai lawanmu!" kata Mo Beng Hosiang sambil tertawa menyeringai.

"Gundul sombong, kalian berdua majulah bersama, boleh ditambah lagi satu dua orang agar lebih ramai!"

Mendengar ucapan gadis ini, Bu-eng Siang-hiap menjadi naik darah.

"Semua orang yang berada di sini mendengar bahwa engkaulah yang minta kami maju bersama, kalau nanti kalah jangan bilang kami licik," kata Mo Beng Hosiang dengan mata merah.

"Tutup mulut dan majulah!" seru Sui Ceng yang sudah mulai menggerakkan pedangnya.

Mo Keng Hosiang masih merasa sayang untuk membunuh atau pun melukai gadis yang begini cantik dan muda, maka dia lalu mengeluarkan seruan keras dan pian di tangannya menyambar ke arah pedang Sui Ceng, dengan maksud membikin pedang itu terlempar dalam segebrakan saja.

Melihat datangnya gempuran pian ini yang memang bertenaga sangat kuat, Sui Ceng tersenyum dan sengaja tidak mau mengelakkan pedangnya. Alangkah kagetnya hati Mo Keng Hosiang ketika pian-nya membentur pedang gadis itu, karena dia merasa seakan pian-nya yang berat itu membentur sehelai bulu saja kemudian tenaganya lenyap dengan sendirinya.

Kekagetannya bertambah saat terdengar suara bergeletar dan pipinya lantas terasa amat pedas dan perih. Dia hanya melihat bayangan merah berkelebat di depan mukanya, dan itu adalah ujung sehelai ikat pinggang sutera berwarna merah! Sui Ceng telah mencabut senjatanya yang istimewa ini, yaitu sabuk merahnya.

Bukan main marahnya Mo Keng Hosiang ketika dia mendengar suara ketawa gadis itu. Dengan membuta dia lalu mengayun pian-nya dan menyerang bagai badai mengamuk. Juga Mo Beng Hosiang yang kini mengerti menghadapi seorang lawan tangguh, cepat maju dan melakukan pukulan-pukulan dengan kedua tangannya yang lihai.

"Ji-wi Beng-yu, hati-hatilah, kalian menghadapi murid dari Kiu-bwe Coa-li!" kata Kiam Ki Sianjin yang mengenal sabuk merah ini sebagai ilmu cambuk yang biasa dimainkan oleh Kiu-bwe Coa-li.

Bu-eng Siang-hiap terkejut dan kini mereka tak berani memandang ringan. Dengan amat hati-hati mereka lalu bergerak seperti saat menghadapi dua orang lawan dari Kun-lun-pai tadi, yakni Mo Keng Hosiang mempergunakan pian untuk mempertahankan diri mereka berdua, sedangkan Mo Beng Hosiang melakukan serangan dengan tangan kilatnya.

Akan tetapi, ilmu silat yang dimiliki oleh Sui Ceng adalah ilmu silat yang diturunkan oleh seorang ahli. Bukan main hebatnya pedang yang bergerak bagaikan hidup di tangannya, sedangkan sabuk merah di tangan kirinya lebih lihai lagi.

Dia pun menggunakan siasat untuk mengimbangi kedua orang itu. Sabuknya yang lemas menghadapi pian, berusaha menangkap dan merampas senjata itu, ada pun pedangnya menghadapi pukulan-pukulan Mo Beng Hosiang. Sebentar saja kedua orang hwesio itu terdesak hebat oleh dara perkasa ini.

"Dia hebat... dia hebat sekali...," tak terasa pula mulut Kwan Cu berbisik-bisik dan kedua matanya memandang kagum.

Melihat lagak pemuda ini, Yok-ong tersenyum. "Bagus, Kiam Ki Sianjin akan mengalami hajaran pertama!"

Belum habis kata-kata ini diucapkan, keadaan pertempuran sudah berubah sama sekali. Dengan ujung sabuknya, Sui Ceng tiba-tiba mengubah gerakan dan sekarang sabuk itu meninggalkan pian kemudian menyerang atau lebih tepat menangkis pukulan Mo Beng Hosiang.

Ujung sabuk merah ini membelit pergelangan tangan hwesio ini dan sekali disentakkan, tubuh Mo Beng Hosiang terpental ke atas. Sebelum hwesio itu sempat mengerahkan ginkang-nya, sabuk disentakkan kembali ke bawah sehingga tubuhnya terbanting ke atas lantai batu karang.

"Ngekkk!" Tubuh Mo Beng Hosiang tak dapat berkutik lagi!

Sementara itu, pedang di tangan Sui Ceng tidak tinggal diam. Ia melihat pian menyerang ke arah kepalanya, cepat ia mengerakkan tubuhnya, miring dan dari samping pedangnya menyambar. Mo Keng Hosiang menjerit kesakitan, pian-nya telah terlepas berikut tangan kanannya sebatas siku terbabat putus oleh pedang Sui Ceng!

Gadis ini tidak tega melihat penderitaan kedua lawannya. Pedangnya bergerak dua kali lagi dan putuslah urat besar di dekat leher dua orang hwesio itu yang seketika itu juga menghembuskan napas terakhir tanpa menderita lagi.

Lima orang-orang muda dari fihak Kiam Ki Sianjin melompat maju dan mengeroyok Sui Ceng. Mereka ini adalah perwira-perwira yang menjadi kaki tangannya Kam Cun Hong, panglima dari Si Su Beng.

"Curang...!" Dua orang murid Kun-lun-pai yang belum maju mencela dan cepat mereka melompat untuk membantu Sui Ceng.

Akan tetapi sebetulnya hal ini tidak perlu, karena dengan pedangnya, Sui Ceng menahan serangan lima orang perwira itu dan dalam beberapa jurus saja kembali dua orang lawan roboh mandi darah!

"Mundur!" teriak Kiam Ki Sianjin.

Tiga orang perwira itu segera melompat mundur dengan muka merah. Kiam Ki Sianjin menggerakkan tangan memberi tanda kepada orang-orangnya dan empat orang mayat kawannya itu ditarik ke belakang. Kemudian Kiam Ki Sianjin bertanya,

"Siapa di antara sahabat-sahabat yang berani menghadapi gadis liar itu?”

Terdengar suara ketawa bagaikan kuda meringkik dan tubuh Toat-beng Hui-houw yang berwajah menyeramkan itu melompat keluar.

"Kiam Ki Sianjin, biarlah aku menghadapinya. Aku sudah mengenal kuda betina liar ini!"

Melihat majunya Toat-beng Hui-houw, seketika muka Sui Ceng menjadi merah sekali. Sepasang matanya berapi-api dan bibirnya digigit untuk menahan hawa kemarahan yang naik dari dadanya.

"Toat-beng Hui-houw, siluman jahanam! Andai kata kau tidak muncul, aku pun pasti akan mencarimu untuk memenggal lehermu agar ibuku di alam baka dapat mengaso dengan tenteram!” Kedua tangan gadis ini gemetar saking hebatnya kemarahan yang menyerang dirinya.

"Sui Ceng, mundurlah, biarkan pinni menghadapi siluman ini!" seru Kiu-bwe Coa-li.

Akan tetapi mana Sui Ceng mau mendengar kata-kata guru ini? Dengan pura-pura tidak mendengar kata-kata gurunya, sambil berseru keras dan nyaring, gadis ini menyerang Toat-beng Hui-houw dengan pedangnya. Gerakannya laksana burung walet menyambar dan tubuhnya diselimuti oleh berkelebatnya sinar merah dari sabuknya.

Sesudah dahulu dikalahkan oleh Ang-bin Sin-kai dan berjumpa dengan Kiu-bwe Coa-li, kakek yang seperti siluman ini merasa gentar, dan dia melatih diri sehingga memperoleh kemajuan pesat. Apa bila dibandingkan dengan dahulu ketika dia menewaskan Pek-cilan Thio Loan Eng ibu dari Sui Ceng, kepandaiannya sekarang sudah maju pesat dan jauh sekali.

Namun dia tidak berani memandang rendah kepada gadis ini, karena tahu bahwa gadis ini adalah murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li. Kalau saja dia tidak berada di fihak Kiam Ki Sianjin dan tidak mengandalkan bantuan banyak kawan, sampai sekarang pun dia tidak akan berani mengganggu Sui Ceng.

Akan tetapi sekarang keadaannya lain lagi. Dalam pertempuran seperti ini, kalah menang atau kematian tidak boleh diurus panjang dan andai kata guru gadis ini akan membela, masih banyak kawan-kawannya yang gagah dan tangguh, oleh karena itu hati Toat-beng Hui-houw menjadi besar.

Serangan pedang dari Sui Ceng dielakkannya, dan ketika pedang itu bagaikan bermata terus mengejar dan menyerangnya, dia kemudian menggereng bagaikan harimau sambil menggerakkan kedua tangannya. Tiba-tiba sepuluh jari tangannya mengeluarkan kuku yang panjang-panjang seperti pisau. Tadi kuku-kuku jari ini tergulung dan hanya dengan gerakan lweekang yang amat dahsyat, kuku ini dapat menjadi kaku lantas dipergunakan sebagai senjata.

Pedang Sui Ceng menyambar lagi. Toat-beng Hui-houw menangkis dengan kukunya dan Sui Ceng merasa telapak tangannya tergetar hebat. Ia kaget dan tahu bahwa lawannya ini benar-benar tangguh. Akan tetapi ia tidak gentar. Nafsunya untuk membunuh musuh besar ini begitu memuncak sehingga ia menjadi nekat. Ujung sabuk merahnya menyusul pedangnya, menyambar dengan totokan ke arah leher Toat-beng Hui-houw.

"Pergilah!" Toat-beng Hui-houw membentak sambil menyambar ujung sabuk merah itu.

"Brettt!" sabuk itu putus menjadi dua!

"Ceng-moi, hati-hatilah...!" Kun Beng berseru dengan hati ngeri melihat betapa senjata sabuk dari tunangannya yang amat lihai itu telah dapat diputuskan.

Akan tetapi Sui Ceng masih menyerang dengan hebatnya. Sekarang ia mempergunakan pedangnya dan telah melemparkan sabuknya yang sudah tiada gunanya itu. Pedangnya dimainkan secara hebat, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk dapat mengalahkan musuh besarnya ini. Tubuh gadis itu lenyap terbungkus sinar pedang yang bergulung-gulung.

Diam-diam Toat-beng Hui-houw harus memuji kepandaian gadis muda ini. Jika sekiranya akhir-akhir ini dia tak memperdalam ilmu kepandaiannya, agaknya akan sulit dan lamalah baginya untuk mengalahkan gadis ini.

Kemarahan dan kenekatan Sui Ceng melihat musuh besar yang telah membunuh ibunya, membuat tenaganya berlipat ganda besarnya dan membuat gaya ilmu pedangnya amat ganas dan berbahaya. Karena kurang hati-hati, sebuah kuku jari kelingking dari tangan kiri Toat-beng Hui-houw kena terbabat putus ujungnya oleh pedang Sui Ceng.

Toat-beng Hui-houw marah sekali. Beberapa kali dia mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan tanah dan kini tubuhnya bergerak maju dengan serangan dahsyat sekali, menubruk ke sana ke mari tanpa mempedulikan pedang lawannya.

Memang mudah saja baginya. Hanya dengan sebuah kuku saja dia berhasil menyampok pedang lawannya, dan dengan cepat kuku-kuku jarinya menyerang tubuh gadis itu. Mau tidak mau Sui Ceng menjadi ngeri dan mulailah dia main mundur saja.

"Sui Ceng, mundurlah dan mengaku kalah!" kata Kiu-bwe Coa-li karena dia merasa ngeri dan gelisah melihat nyawa muridnya yang terkasih itu terancam.

"Biarkan teecu maju membantunya!" kata Kun Beng.

Akan tetapi Pak-lo-sian melarangnya.

"Tak boleh berlaku curang, biar pun nyawa kita akan habis semua di sini, kita harus mati sebagai orang-orang gagah!"

Terpaksa Kun Beng hanya memandang dengan hati seperti disayat-sayat melihat betapa tunangannya didesak terus.

Juga Kwan Cu yang mengerti bahwa tidak lama lagi Sui Ceng pasti akan roboh di bawah tangan Toat-beng Hui-houw yang lihai itu, berbisik kepada Yok-ong dengan hati gelisah.

"Locianpwe, andai kata nona itu terluka oleh kuku-kuku tangan Toat-beng Hui-houw yang mengandung bisa berbahaya, masih dapatkah dia tertolong?"

Yok-ong mengangguk. "Memang racun di setiap kuku jari Toat-beng Hui-houw itu dapat mematikan dan sukar diobati. Akan tetapi aku sudah mempunyai semacam obat penolak bisa yang luar biasa dan yang pasti akan dapat melawan bisa itu. Asal saja lukanya tidak amat berat."

Kwan Cu segera berdiri dari tempat duduknya dan dengan tindakan perlahan-lahan dia mendekati tempat pertempuran, agaknya tertarik sekali. Yok-ong hendak mencegah akan tetapi tidak keburu.

Orang-orang di kedua fihak juga melihat hal ini. Akan tetapi oleh karena pemuda muka merah yang mengaku petani Gunung Tai-hang-san itu bukan orang dari salah satu fihak dan dianggap sebagai petani biasa saja yang menonton, maka tak ada seorang pun yang memperhatikannya. Apa lagi keadaan sangat tegang dan semua mata memandang ke arah pertempuran yang hebat luar biasa itu.

Sui Ceng benar-benar terdesak hebat. Dia memang nekat dan biar pun dia mendengar perintah gurunya supaya mundur, namun mana bisa seorang gadis seperti Sui Ceng sudi mundur dan mengaku kalah? Apa lagi terhadap musuh besar yang sudah membunuh ibunya.

"Kalau aku tidak berhasil membalaskan dendam ibu, biarlah aku mampus di sini!" pikir gadis ini sambil memutar pedangnya yang makin kacau gerakannya.

Tiba-tiba Toat-beng Hui-houw tertawa seperti ringkik kuda, disusul oleh gerengan seperti harimau dan tangan kirinya yang penuh kuku panjang itu berhasil merampas pedang Sui Ceng. Sekali kuku-kukunya bergerak, terdengarlah suara nyaring.

"Krakkk!" dan pedang itu patah-patah menjadi tiga!

Sui Ceng masih tidak mau melompat atau mengaku kalah, bahkan dia lalu menghantam dengan tangan kiri ke dada lawan!

Toat-beng Hui-houw tertawa lebar dan sekali dia menangkis dengan tenaga sepenuhnya, Sui Ceng terhuyung ke kiri dan kesempatan ini dipergunakan oleh Toat-beng Hui-houw untuk menggunakan kuku-kukunya yang berbisa mencakar kearah dada Sui Ceng!

Nona ini maklum akan datangnya serangan maut. Segera dia miringkan tubuhnya, akan tetapi kalah cepat. Terdengar baju robek dan pundaknya terkena cengkeraman itu. Sui Ceng mengerahkah lweekang, lantas meronta sehingga cengkeraman itu dapat terlepas, akan tetapi dia lalu terhuyung-huyung dan roboh. Pundaknya terasa panas sekali sampai menembus ke jantungnya. Racun-racun berbahaya dari kuku sudah memasuki luka pada pundaknya.

"Ha-ha-ha, kau boleh menyusul ibumu!" seru Toat-beng Hui-houw sambil menghampiri tubuh nona yang telentang pingsan itu, siap untuk mengirim pukulan terakhir.

Kiu-bwe Coa-li meramkan mata, dan Kun Beng sudah siap melompat untuk menolong tunangannya.

Tiba-tiba kelihatan pemuda dusun bermuka merah itu berlari-lari dan berteriak-teriak,

"Tidak adil...! Tidak adil...!"

Ia berlari terus dengan kacau, menyeruduk Toat-beng Hui-houw yang hendak membunuh Sui Ceng. Melihat datangnya pemuda dusun ini, Toat-beng Hui-houw menjadi heran dan juga marah.

"Mau apa kau?!" bentaknya sambil mendorong pundak Kwan Cu.

Pemuda ini tahu bahwa dorongan itu pasti akan melukai dirinya. Akan tetapi karena dia mengandalkan kepandaian Yok-ong, dan pula dia ingin menolong nyawa Sui Ceng, maka dia pura-pura tidak tahu.

"Reeettt!” Robeklah baju pada pundaknya dan kulit pundaknya tergores oleh kuku tangan Toat-beng Hui-houw.

"Toat-beng Hui-houw, kau sungguh terlalu! Pemuda itu adalah orang luar, mengapa kau melukainya?!" bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Sebenarnya bukan Pak-lo-sian terlalu sayang kepada pemuda yang mukanya aneh itu, akan tetapi oleh karena pemuda itulah yang sudah menolong nyawa Sui Ceng, maka dia membelanya.

Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak dan mundur, lalu menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang kepada Kwan Cu sambil membentak,

"Ehh, kepiting rebus! Apa-apaan kau datang mencari kematian?"

Walau pun bertanya begini, di dalam hatinya Toat-beng Hui-houw merasa heran sekali. Bisa di kukunya amat hebat, sekali gurat saja orang tentu akan roboh dan pingsan atau sekaligus mampus. Akan tetapi mengapa pemuda yang terang-terangan sudah terluka pundaknya ini tidak lekas-lekas roboh pingsan?

la tidak tahu bahwa Kwan Cu telah mengerahkan tenaga dan seluruh hawa murni yang dia dapat dari latihan menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, sehingga bisa itu untuk sementara dapat tertahan oleh hawa yang mengepul naik dari pusarnya menuju ke pundak yang tergurat kuku berbisa tadi.

Dengan kedua tangan tuding sana tuding sini, Kwan Cu mengeluarkan suara mengomel panjang pendek dan berteriak-teriak, "Mana ada pertandingan macam ini? Masa seorang kakek-kakek tua melawan seorang gadis muda yang lemah? Tidak adil sekali. Harusnya, gadis melawan gadis, kakek melawan kakek, pemuda melawan pemuda dan bocah juga melawan bocah. Ini baru enak ditonton. Masa kakek yang kukunya panjang mengerikan ini harus bertanding dengan gadis yang begini halus?"

Kwan Cu menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengangkat tubuh Sui Ceng dan dengan lagak seperti orang merasa berat menggendong tubuh itu, dia cepat berlari-lari ke arah Yok-ong.

"He, kau mau bawa dia ke mana?" teriak Kun Beng yang segera mengejar.

"Dia mati, harus dikubur baik-baik," jawab Kwan Cu tanpa menoleh.

Yok-ong menyambut Kwan Cu dan tanpa dilihat orang lain, raja tabib ini segera menotok tiga jalan darah di tubuh Sui Ceng lalu menyuruh Kwan Cu memberikan tubuh gadis itu kepada Kun Beng yang datang berlari-lari.

"Berikan dia padaku!" kata Kun Beng.

"Eh, ehh, ehh, kau ini pemuda mau apakah? Kalau dia harus dibawa ke sana biarlah aku menggendongnya ke sana. Mengapa menggendong tubuhnya saja orang harus berebut? Kau agaknya ingin sekali menggendongnya!"

Kwan Cu segera membawa gadis itu berlari-larian kembali menuju ke tempat Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Semua orang memandang kepada pemuda muka merah ini dan merasa lucu juga kasihan. Bahkan Kiu-bwe Coa-li sendiri merasa terharu melihat seorang petani bodoh masih memiliki peri kemanusiaan yang begitu besar.

Kwan Cu tadi ketika membawa Sui Ceng kepada Yok-ong, memang sengaja memberi kesempatan kepada Yok-ong untuk mengobati gadis itu, kemudian tanpa diketahui oleh siapa pun juga, dia menerima sebuah pil besar berwarna putih dan mendapat bisikan dari Yok-ong. Kini pil besar itu telah dimasukkan ke dalam mulutnya. Ia menurunkan gadis itu di atas tanah.

"Kau baik sekali, orang muda," kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

"Sayang dia tak akan dapat tertolong lagi," kata Kiu-bwe Coa-li.

Suaranya tenang-tenang saja, akan tetapi kalau orang melihat matanya ia akan bergidik. Mata itu membayangkan nafsu amarah dan bayangan-bayangan maut terbayang di situ.

Akan tetapi Kwan Cu tak mempedulikan mereka semua, sekarang dia lalu mendekatkan mukanya pada leher Sui Ceng.

"Petani busuk, kau mau apa?!" Kun Beng membentak marah dan mengangkat tangan hendak memukul.

"Diamlah kau! Kenapa begitu ribut?" bentak Pak-lo-sian sambil memandang kepada anak muridnya dengan alis dikerutkan.



Pendekar Sakti Jilid 32

PENDEKAR SAKTI

Karya Kho Ping Hoo

JILID 32

Yok-ong tersenyum dan menjawab dengan suara kaku sekali, suara kasar dari orang dusun yang bodoh.

"Aku dan cucuku ini she Koai (Aneh), petani-petani di Gunung Tai-hang-san. Sekarang di atas gunung orang mengadakan keramaian, tentu saja kami datang untuk menonton." Setelah berkata demikian Yok-ong tertawa ha-ha-he-he-he dengan lagak amat lucu.

Kwa Ok Sin adalah seorang yang berpemandangan luas dan bermata tajam. Dia dapat menduga bahwa si muka hitam ini tentulah seorang kakek yang luar biasa, maka dia tidak berani berlaku lancang, lalu menoleh kepada Kwan Cu.

Akan tetapi pemuda ini juga sudah siap sedia. Begitu orang menoleh kepadanya, dia lalu meringis dan menyeringai, kemudian tertawa ha-ha-he-he-he pula seperti sikap Yok-ong.

"Cu-wi sekalian!" kata Kwa Ok Sin kepada orang-orang kedua fihak. "Kebetulan sekali di sini terdapat tempat untuk penonton, maka ijinkan siauwte berdiam di sini saja sebagai penonton."

Ia lalu duduk di atas batu hitam, dan mengajak Liok-te Mo-li duduk pula. Nenek ini melirik ke arah Yok-ong dan Kwan Cu, akan tetapi tidak berkata sesuatu, hanya menghampiri sebuah batu besar yang berada di ujung lapangan, agak jauh dari tempat itu.

Dengan tumit kakinya, dia mencongkel batu itu yang tiba-tiba saja melayang ke atas dan cepat nenek ini mengulur tangannya, menepuk batu itu sehingga mencelat ke atas lagi. Demikian sambil berjalan kembali, Liok-te Mo-li mempermainkan batu besar itu sampai ia tiba di dekat Kwa Ok Sin, lalu menurunkan batu itu untuk dipakai tempat duduk.

Semua orang, baik di fihak Kiam Ki Sianjin mau pun di fihak Pak-lo-sian Siangkoan Hai, melihat betapa nenek buruk rupa ini mempermainkan batu besar yang beratnya paling sedikit ada tiga ratus kati itu dengan demikian mudahnya, diam-diam memuji.

Nenek ini selamanya menyembunyikan diri sehingga jarang ada yang mengenal dirinya, kecuali beberapa orang tokoh besar yang berada di situ. Karenanya semua orang lalu menduga-duga, siapakah gerangan nenek yang datang bersama ketua Bun-bu-pai itu.

Setelah melihat bahwa para undangan telah mulai berkumpul dan terutama sekali semua orang terpenting sudah hadir, Kiam Ki Sianjin segera berdiri sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada seluruh yang hadir.

"Cu-wi sekalian, selamat datang di puncak dan banyak terima kasih atas perhatian Cu-wi sekalian yang sudi memenuhi undangan pinto."

Semua orang yang berada di sana segera mencurahkan perhatiannya kepada Kiam Ki Sianjin, kecuali Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Seng Thian Siansu yang masih saja asyik bermain catur.

Kiam Ki Sianjin lalu melanjutkan kata-katanya,

"Tanpa diatur terlebih dahulu, Cu-wi sekalian yang datang di sini ternyata telah memilih fihak masing-masing, dan sudah tentu saja yang berada di fihak kami adalah mereka yang membenci perang dan yang menghendaki keamanan dan perdamaian. Oleh karena itu, hendaknya dari fihak pembantu pemberontak yang pada saat ini menjadi tamu, suka mengajukan seorang ketua agar supaya dapat berunding dengan kami." Kiam Ki Sianjin menujukan kata-katanya ini kepada fihak Kiu-bwe Coa-li dan kawan-kawannya.

Kiu-bwe Coa-li hanya mengangkat cambuknya dan menggerakkannya di atas kepala.

"Tar! Tar! Tar!!"

Kiu-bwe Coa-li tak menjawab sesuatu, bahkan membuang muka tidak mau memandang kepada Kiam Ki Sianjin. Hanya terdengar bunyi ledakan cambuknya sebagai imbalan dari kata-kata yang dikeluarkan oleh Kiam Ki Sianjin tadi.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Seng Thian Siansu tertawa-tawa lalu berdiri.

"Pak-lo-sian, kau yang menang, lakukanlah tugasmu sebaiknya," kata Seng Thian Siansu yang sudah amat tua itu sambil tersenyum.

Pak-lo-sian menghadapi Kiam Ki Sianjin. Jarak antara mereka cukup jauh, ada dua puluh tombak. Sambil tertawa Pak-lo-sian berkata,

"Kiam Ki Sianjin, fihak kami tidak pandai bicara seperti kau! Kiu-bwe Coa-li hanya bicara melalui cambuknya, dan terpaksa aku dan Seng Thian Siansu tadi bertanding catur untuk menentukan siapa yang harus mewakili fihak kami. Memang benar kami telah membantu perjuangan rakyat dan bangsa kami, sekarang kami sudah datang di sini, ada omongan apa lekas keluarkan, kami mendengar!"

Sesudah berbicara demikian, Pak-lo-sian tertawa-tawa dan duduk lagi. Sikapnya seperti seorang anak kecil yang lucu.

"Tidak setuju!" tiba-tiba Bin Kong Siansu ketua Kim-san-pai berteriak. "Pinto tidak setuju kalau Pak-lo-sian atau Kiu-bwe Coa-li menjadi wakil fihak pembantu pejuang. Dua orang itu adalah manusia-manusia curang dan pengecut, tidak pantas menjadi wakil, tak boleh dipercaya omongannya!"

"Betul, aku pun sependapat dengan Bin Kong Toheng!" berkata Bian Kim Hosiang ketua Bu-tong-pai.

Merah wajah Kiu-bwe Coa-li, matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api.

"Kau monyet-monyet tua dari Bu-tong-pai, datang-datang mengeluarkan hawa busuk dari mulut. Majulah kalau kalian berani!" bentak nenek ini dengan marah sekali.

"Siapa takut padamu, siluman wanita yang keji?" Bin Kong Siansu berteriak.

Akan tetapi Kiam Ki Sianjin cepat memegang lengannya dan berkata, "Harap saja Siansu tidak merusak suasana dan dapat menyabarkan hati. Urusan pribadi dapat diurus kemudian, sekarang urusan negara yang harus didahulukan."

Di lain fihak, Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga menyabarkan hati Kiu-bwe Coa-li dengan kata-kata, "Setan perempuan, apa sih sukarnya menghancurkan kepala dua orang kura-kura tua itu nanti kalau urusan besar ini sudah beres? Sabarlah, nanti kita bagi seorang satu!"

Suasana yang sudah menegang menjadi tenang kembali. Kiam Ki Sianjin lalu berkata kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

"Pak-lo-sian, bagus jika kau menjadi wakil fihakmu. Nah, dengarlah baik-baik. Fihak kami tidak menghendaki pertempuran yang terus-menerus di antara kita sendiri. Kaisar yang bijaksana sudah memberi kekuasaan kepadaku untuk memaafkan mereka yang pernah memberontak, asal saja mulai sekarang pemberontakan itu dihentikan. Bagi kami yang menyadari keadaan dan yang mentaati kehendak Thian, sangat tidak enak kalau harus membunuhi bangsa sendiri, walau pun mereka itu pemberontak-pemberontak keji. Oleh karena itulah, sengaja kami mengundang kalian datang untuk berdamai dan menghabisi pemberontakan-pemberontakan yang hanya melemahkan keadaan negara dan bangsa saja."

Ucapan ini disambut oleh tertawa mengejek dari Kiu-bwe Coa-li dan kembali pecutnya mengeluarkan bunyi bergeletar nyaring sekali. Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa sambil mendongak ke atas.

"Kiam Ki Sianjin, kau memutar balikkan kenyataan, kau bukan mentaati kehendak Thian, bahkan ingin mengingkari dan hendak memutar jalannya sejarah! Rakyat yang berjuang melawan penindasan kekuasaan penjajah asing kau sebut sebagai pemberontak! Ada pun pemberontak asing yang hendak menjajah, bahkan yang kini telah menjadi penjajah kau sebut-sebut sebagai kaisar yang bijaksana! Kiam Ki Sianjin, di manakah mukamu sebagai orang Han? Hai, saudara-saudara sekalian yang sekarang berada di fihak Kiam Ki Sianjin, apakah kalian bukan orang-orang Han? Patutkah orang-orang gagah melihat bangsa sendiri ditindas, tidak membantu perjuangan rakyat yang mulia, sebaliknya membantu kaisar asing penjajah hina dan suka menjadi anjing penjilatnya?"

Pak-lo-sian Siangkoan Hai berkata dengan penuh nafsu. "Cukup! Pak-lo-sian, kami mengundang kalian bukan untuk mengumbar nafsumu, bukan pula untuk saling memaki. Kami mengajak berunding, berdamai dan menghabisi semua pertempuran."

"Mudah saja untuk menghabiskan pertempuran, asalkan tuntutan rakyat dipenuhi," kata Pak-lo-sian.

"Apakah tuntutan rakyat itu? Coba terangkan!"

"Tuntutan rakyat ialah menyeret turun kaisar asing, mengusir semua penjajah dari tanah air dan mengangkat seorang kaisar bangsa sendiri. Kalau kalian semua yang berada di sini insyaf dan membantu perjuangan rakyat, hal ini kiranya akan mudah dilakukan dan habislah semua pertempuran!"

"Pak-lo-sian, kau terlalu sekali! Apa kau kira akan dapat memperlihatkan kekuasaanmu di sini? Kau benar-benar hanya mengeluarkan ucapan tanpa kau pikir baik-baik. Kau berani mencoba untuk menyeret kami membantu pemberontak?" Kiam Ki Sianjin marah.

"Basmi saja pentolan-pentolan pemberontak itu!" teriak seorang anak murid di fihak yang pro kaisar. Akan tetapi para tokoh besar yang menghargai kedudukan sendiri, tidak mau sembarangan mengeluarkan kata-kata.

Teriakan murid yang berangasan itu disambut oleh kawan-kawannya dan sebentar saja fihak itu menjadi ramai, senjata-senjata dihunus, siap menyerbu kalau ada perintah. Akan tetapi Kiam Ki Sianjin mengangkat tangan mencegah mereka sehingga keadaan menjadi tenang kembali.

Pak-lo-sian Siangkoan Hai serta kawan-kawannya hanya tersenyum-senyum mengejek, akan tetapi Sui Ceng, Swi Kiat, Kun Beng, dan empat orang tosu dari Kun-lun-pai telah kelihatan merah mukanya akibat menahan rasa marah.

"Pak-lo-sian, kau lihat sendiri betapa pernyataanmu yang tanpa dipikir itu membangkitkan rasa marah pada kawan-kawan kami. Pertentangan faham ini kiranya hanya akan beres menurut ketentuan senjata!" kata Kiam Ki Sianjin, yang kemudian disambungnya sambil tersenyum. "Kecuali kalau kalian suka mengubah pendirian."

"Pendirian kami sudah mantap, kami membenarkan perjuangan rakyat. Ada pun tentang penggunaan senjata di sini, kau yang mengundang kami dan kami datang bukan untuk berkelahi."

"Kau takut?" Kiam Ki Sianjin mengejek.

"Siapa takut kepadamu, tua bangka? Biar ada sepuluh Kiam Ki Sianjin, aku tidak takut!" tiba-tiba Kiu-bwe Coa-li membentak marah.

"Tidak ada masalah takut atau tidak takut," kata Pak-lo-sian dengan suara seperti orang bernyanyi, "yang ada hanya dua kenyataan pahit. Pertama, kami diundang ke sini untuk berunding, bukan untuk berkelahi. Ke dua, apa bila tuan rumah sudah begitu tidak tahu malu untuk mengajak berkelahi, itu pun hanya memperlihatkan betapa rendah akhlaknya. Kami hanya berkawan sepuluh orang, sedangkan fihakmu ada seratus orang!"

Merah muka Kiam Ki Sianjin. "Tidak usah banyak mulut, Pak-lo-sian, memang kita sudah menjadi musuh lama. Pendeknya, kau berani atau tidak untuk memutuskan pertentangan faham ini di ujung senjata?"

"Aku datang bukan untuk berkelahi, kalau sudah tidak ada omongan lain, aku akan pergi dengan kawan-kawanku!"

Pak-lo-sian biar pun tua dan aneh wataknya, namun dia amat cerdik. la melihat bahwa fihak lawan amat besar jumlahnya, penuh dengan orang-orang pandai pula, maka kalau sampai terjadi pertempuran, fihaknya akan menghadapi bahaya. Dia sendiri dan Kiu-bwe Coa-li agaknya akan dapat meloloskan diri, akan tetapi yang lain-lain bagaimana?

"Ha-ha-ha, Pak-lo-sian, kau hendak melarikan diri?" Kiam Ki Sianjin berteriak mengejek. "Pak-lo-sian, kalau kau lari, terpaksa kami akan mengejarmu dan mencegah kau turun gunung sebelum persoalan ini dibereskan!"

Sekarang marahlah Pak-lo-sian. "Kiam Ki Sianjin, majulah kau, biar hanya kita berdua yang memutuskan hal ini di ujung senjata!"

Keadaan menjadi amat tegang dan mendadak terdengar suara Kwa Ok Sin yang cepat berdiri dan berseru,

"Cu-wi sekalian, harap tenang dulu. Sangat memalukan apa bila kita sebagai orang yang menjunjung kegagahan, bercekcok mulut seperti anak kecil yang hendak berkelahi! Apa sudah tidak ada jalan lain ke arah perdamaian antara kedua fihak? Bagaimana pun jalan pikiran dan faham masing-masing, harus diingat bahwa kita adalah segolongan, yakni orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan."

Semua orang berdiam diri. Tiba-tiba dari bawah puncak terdengar seruan keras,

"Cocok...! Memang pertempuran tak perlu dilanjutkan!"

Dari bawah puncak ‘menggelundung’ naik tubuh seorang hwesio yang gendut dan bulat, dan ternyata dia ini bukan lain adalah Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu!

Tangan Kwan Cu kembali menggigil melihat hwesio bundar ini. Sekarang musuh besar gurunya telah lengkap berada di tempat itu. Akan tetapi dia harus menekan dulu semua perasaannya karena persoalan yang dihadapi adalah persoalan besar, persoalan yang dulu pun diributkan oleh kongkong-nya, oleh gurunya sehingga mereka berkorban jiwa.

Dengan berbisik, tadi Kwan Cu bertanya kepada Yok-ong mengenai semua orang-orang yang berada di situ. Sesudah dia tahu siapa adanya hwesio tinggi kurus berjubah hitam yang pernah dilihatnya di malam hari, yakni Coa-tok Lo-ong sute dari Hek-i Hui-mo, dan melihat pula bahwa ketua Bu-tong-pai dan Kim-san-pai berada di fihak Kiam Ki Sianjin, terbukalah mata Kwan Cu.

Sekarang tahulah dia akan rahasia peristiwa pembunuhan di kelenteng atas diri Bian Ti Hosiang dan Bin Hong Siansu dari Kim-san-pai. Kini dia sudah dapat menduga bahwa pembunuh kedua pendeta ini pasti Coa-tok Lo-ong yang membunuh secara diam-diam, kemudian meninggalkan kesalahan itu pada pundak Kiu-bwe Coa-li beserta Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Dengan cara ini fihak Kiam Ki Sianjin tentu saja bisa menarik Bu-tong-pai dan Kim-san-pai untuk membantu mereka menghadapi Kiu-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian!

"Locianpwe, mengapa yang datang hanya mereka sepuluh orang itu? Di mana adanya tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin pejuang rakyat yang lainnya?" Kwan Cu bisik-bisik bertanya kepada Yok-ong.

Raja tabib itu tersenyum, "Kiam Ki Siajin memang sangat cerdik. Selain merencanakan untuk membasmi musuh-musuh besar di sini juga dia hendak memancing keluar semua pemimpin sehingga dengan mudah dia akan mengetahui siapa-siapa adanya pemimpin pejuang rakyat. Akan tetapi aku mendahuluinya dan aku memperingatkan mereka yang menjadi pemimpin pejuang sehingga tak seorang pun di antara mereka mau datang ke sini memperlihatkan diri."

Diam-diam Kwan Cu memuji kecerdikan Hang-houw-siauw Yok-ong. Tetapi raja tabib itu mencegah dia membuka mulut lagi, karena melihat munculnya Jeng-kin-jiu, keadaan di sana tentu menjadi lebih ramai.

Begitu tiba di puncak, Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu lalu mengangkat kedua tangannya ke atas dan berkata keras,

"Cu-wi sekalian dari kedua fihak. Stop semua pertempuran yang tidak ada artinya! Untuk apa mengotorkan tangan, bertempur melawan golongan sendiri hanya karena pengaruh urusan pemerintahan yang kotor. Orang-orang macam kita ini apa perlunya mencampuri urusan kota raja? Lebih baik pulang kembali ke gunungnya masing-masing, bertapa dan memperdalam ilmu. Pinceng sendiri karena terseret oleh pengaruh busuk di kota raja, sampai bentrok dan salah tangan menewaskan seorang bekas sahabat baik. Ahhh, kalau diingat-ingat, sampai sekarang pinceng merasa menyesal setengah mati. Apakah Cu-wi hendak mengulangi kejadian seperti itu? Kaisar boleh turun dan naik, kerajaan musnah dan timbul, akan tetapi kesatuan kaum persilatan jangan sekali-kali sampai terseret dan menjadi berantakan dan pecah belah! Nah, pinceng sudah selesai bicara, harap Cu-wi suka memikirkan dengan kepala dingin."

"Jeng-kin-jiu, omongan busuk apa yang kau keluarkan itu?" tiba-tiba saja Hek-i Hui-mo melompat maju sambil melototkan matanya kepada Jeng-kin-jiu. "Dahulu kita bersama melindungi kaisar, sekarang kau akan menjadi orang yang mengkhianati kawan sendiri? Apakah kau tidak lebih baik membantu kami agar dosamu tidak bertumpuk-tumpuk?"

"Agaknya dia ketakutan melihat Pak-lo-sian dan Kiu-bwe Coa-li!" mengejek Toat-beng Hui-houw sambil tertawa yang terdengar seperti ringkik kuda.

"Jeng-kin-jiu, sia-sia saja kau mencoba menginsyafkan mereka. Lebih baik jangan turut mencampuri urusan ini!" seru Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang sudah naik darah melihat sikap fihak lawan.

Jeng-kin-jiu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu duduk di atas batu karang, kelihatannya berduka sekali. Kwa Ok Sin lalu berkata dengan keras,

"Kalau dua fihak tetap menghendaki kekerasan, siauwte sebagai ketua Bun-bu-pai hanya mengharap agar kedua fihak memperhatikan peraturan orang-orang gagah. Adu senjata ini harus dilakukan dengan cara yang adil seperti dalam pibu."

"Tentu saja," kata Kiam Ki Sianjin. "Yang mati tidak boleh dibuat dendam, yang terluka tidak boleh menyalahkan lawan. Fihak yang kalah selanjutnya harus menurut serta taat kepada fihak yang menang!"

"Bagus, Kiam Ki Sianjin. Biarlah ini hari kita mengadu kepandaian sampai seribu jurus!" bentak Kiu-bwe Coa-li sambil melompat maju dan mengayun-ayun cambuknya dengan lagak menantang.

"Nanti dulu, Kiu-bwe Coa-li. Bukankah tadi sudah diusulkan oleh Kwa-enghiong agar kita menggunakan peraturan? Nah, akulah yang akan memilih kawan-kawan di fihakku, siapa yang akan maju menghadapi fihakmu."

Setelah berkata demikian, Kiam Ki Sianjin mempersilakan kawan-kawannya yang hendak turun tangan. Serentak majulah dari fihaknya para tokoh besar yang memliki kepandaian tinggi seperti Toat-beng Hui-houw, Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang, Kam Cun Hong, Hek-i Hui-mo, Bian Kim Hosiang, Bin Kong Siansu, Coa-tok Lo-ong dan masih ada beberapa orang anak murid Bu-tong-pai, Kim-san-pai dan juga murid-murid dari para tokoh itu sendiri.

Ada pun fihak Pak-lo-sian tentu saja hanya ada sepuluh orang itu yang kesemuanya siap membela nama baik mereka. Bahkan Sui Ceng lalu berkata kepada gurunya.

"Suthai, biarkan teecu yang maju lebih dahulu. Kalau teecu tidak dapat menang, barulah Suthai yang maju."

Kiu-bwe Coa-li tersenyum pahit. "Sui Ceng, apakah kau tahu bahwa pertandingan kali ini adalah untuk mempertahankan nyawa? Lawan terlalu banyak. Hanya menang lima kali saja belum ada artinya, dan kalau sekali kalah harus ditebus dengan nyawa."

"Teecu tidak takut!" kata Sui Ceng gagah. Kiu-bwe Coa-li melirik ke arah Kun Beng dan pemuda ini pun berkata gagah,

"Teecu juga tidak takut dan akan mendampingi Ceng-moi."

Mendengar ini, Swi Kiat menjadi merah mukanya. Pemuda ini gemas sekali, akan tetapi juga berduka mengingat akan adiknya, Kui Lan. Namun pada saat yang genting seperti itu, dia tidak mau memikirkan tentang urusan pribadi dan dia pun bersiap-sedia untuk menghadapi fihak lawan yang amat banyak jumlahnya itu.

Yok-ong memberi isyarat kepada Kwan Cu, lalu berkata,

"Ah, kalau akan diadakan perang, lebih baik aku pergi. Hayo cucuku, kita pergi dari sini," katanya ketakutan.

Kwan Cu tidak mengerti akan maksud Yok-ong, akan tetapi dia tidak berkata sesuatu dan mengikuti kakek itu turun dari puncak. Orang-orang merasa geli melihat mereka, akan tetapi tidak ada yang ambil peduli.

Setelah tiba di belakang batu karang besar, Yok-ong lalu berkata, "Kwan Cu, mari kita periksa jalan keluar untuk mereka, supaya nanti dapat dipergunakan dengan baik."

Raja tabib ini berlari cepat sekali, diikuti oleh Kwan Cu. Setiba mereka di lereng, Yok-ong menunjuk ke bawah, "Kau lihat, serdadu kaisar telah mengurung bukit ini."

Benar saja, di kaki bukit itu, barisan besar sedang bergerak-gerak seperti semut. Kwan Cu terkejut dan gemas sekali.

"Tak usah khawatir, aku sudah mendapatkan jalan keluar. Lihatlah goa itu, kelihatan kecil hanya dapat dimasuki orang dengan jalan merangkak. Akan tetapi di dalamnya lebar sekali dan goa itu merupakan terowongan yang menembus bukit dan keluar di sebelah selatan pegunungan ini. Kalau kita semua mengambil jalan ini, takkan ada orang yang dapat mengejar atau mencegat kita. Kau ingatlah baik-baik, seorang di antara kita harus dapat menolong mereka keluar dari sini. Mengerti?"

Kwan Cu mengangguk. Memang, melihat keadaan lawan yang demikian banyaknya dan rata-rata terdiri dari orang-orang yang berkepandaian tinggi, Yok-ong merasa gelisah dan putus asa. Biar pun di fihaknya ada Kiu-bwe Coa-li, Pak-lo-sian dan Seng Thian Siansu, akan tetapi menghadapi sekian banyaknya orang dan di sana ada pula orang-orang sakti seperti Hek-i Hui-mo, Kiam Ki Sianjin, Toat-beng Hui-houw dan lain-lain, sudah dapat diperhitungkan bahwa fihak pembantu pejuang rakyat pasti akan kalah.

Setelah memberi petunjuk kepada Kwan Cu, mereka kembali ke puncak akan tetapi kini menonton ke tempat itu dari balik batu karang.

"Locianpwe, kita tidak dikenal, lebih baik nonton dari dekat," kata Kwan Cu.

"Begitu pun baik. Akhirnya kita harus turun tangan pula," jawab Raja Tabib itu.

Keduanya lalu duduk di tempatnya yang tadi. Semua orang memandang dan tertawa.

"Ehh, kalian berani datang lagi?" Kwa Ok Sin tidak dapat menahan keheranannya.

"Cucuku ini yang terus memaksa, katanya hendak melihat orang bermain senjata untuk menambah kegembiraan," jawab Yok-ong ketolol-tololan.

"Hemm, jangan terlalu dekat, jangan-jangan ada senjata yang mampir di lehermu," kata Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu.

Yok-ong dan Kwan Cu memperlihatkan muka ketakutan, akan tetapi tetap saja duduk di tempat yang tadi.

Kalau di fihak Kiam Ki Sianjin semua orang sudah bersiap-siap, adalah orang-orang dari Bu-tong-pai dan Kim-san-pai saja yang masih kelihatan dingin saja. Bian Kim Hosiang dari Bu-tong-pai dan Bin Kong Siansu dari Kim-san-pai bukanlah penjilat-penjilat kaisar. Mereka adalah orang-orang gagah yang tidak mau peduli tentang urusan kerajaan.

Mereka berdua datang hanya karena marah terhadap Pak-lo-sian Siangkoan Hai dan Kiu-bwe Coa-li, karena dua orang tokoh itu sudah membunuh dua orang sute mereka. Kedatangan mereka untuk membalas dendam, atau untuk membuat perhitungan dengan Ku-bwe Coa-li dan Pak-lo-sian, bukan untuk mengurus soal kerajaan.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
Maka, melihat bahwa pertandingan yang akan diadakan adalah urusan kerajaan, kedua orang tua ini dan murid-muridnya tidak mau turun tangan dan diam menonton saja.

Ada pun tokoh-tokoh kawan-kawan Kiam Ki Sianjin, memberi kesempatan kepada para murid mereka untuk maju lebih dahulu, hitung-hitung mengukur kepandaian lawan. Akan tetapi, murid-murid yang masih rendah kepandaiannya tentu saja tidak boleh maju.

Kiam Ki Sianjin memberi tanda kepada Bu-eng Siang-hiap, dua hwesio bersaudara yang kini menjadi pembantu-pembantunya. Dengan bangga Mo Beng Hosiang dan Mo Keng Hosiang melompat maju ke tengah lapangan, lalu Mo Beng Hosiang berkata,

"Pinceng dua saudara selalu maju berbareng, karena itu harap Siangkoan-lo-enghiong mengeluarkan jago-jagonya!" Sambil berkata demikian, dua saudara ini menjura kepada Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Melihat bahwa yang maju adalah dua orang hwesio setengah tua, maka dua orang murid Kun-lun-pai yang bernama Tiong Ek Tosu dan Tong Seng Tosu minta ijin dari guru besar mereka, yakni Seng Thian Siansu yang sesungguhnya datang untuk menuntut balas atas gugurnya tiga orang muridnya, maka ia mengangguk menyetujui. Begitu pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai menyetujui.

Majulah dua orang murid Kun-lun-pai ini menghadapi Bu-eng Siang-hiap. Sesudah saling memperkenalkan nama, empat orang pendeta ini mulai saling serang dengan hebatnya.

Ilmu silat dari Kun-lun-pai memang sudah sangat terkenal, maka kepandaian dari dua orang muridnya ini juga amat lihai. Mereka mempergunakan pedang yang diputar dengan cepat dan tangguh, sesuai dengan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat.

Ada pun Mo Beng Hosiang berjuluk San-tian-jiu (Tangan Kilat) maka dalam pertempuran ini dia bertangan kosong, sedangkan adiknya, Mo Keng Hosiang berjuluk Hun-san-pian (Pian Pemecah Gunung). Sengaja mereka maju berdua karena dengan maju berdua, mereka merupakan pasangan yang benar-benar amat tangguh.

Mo Keng Hosiang bertugas menghadapi dan melindungi kakaknya dari serangan senjata lawan. Pian-nya amat kuat, dan tiap tangkisannya selalu membuat tangan lawan tergetar sehingga serangan kedua lawannya itu menjadi lambat. Di lain fihak, Mo Beng Hosiang mulai menjalankan serangan maut dengan tangan kosong!

"Celaka, dua totiang dari Kun-Iun-pai itu pasti roboh...," kata Kwan Cu perlahan kepada Yok-ong.

Diam-diam raja tabib ini memuji ketajaman mata Kwan Cu dan dia melihat pemuda itu diam-diam meraih dua butir batu kecil.

"Jangan, Kwan Cu. Di dalam pertandingan yang adil, tidak selayaknya kita turun tangan membantu, biar pun yang kita bantu adalah orang-orang yang berada di fihak benar. Ini sudah menjadi aturan kang-ouw yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun yang tidak menghendaki namanya terbenam di dalam lumpur."

Kwan Cu tertegun dan terpaksa melepaskan kembali dua butir batu kecil tadi. Hatinya penasaran dan tak senang sekali melihat fihak Pak-lo-sian dikalahkan. Dugaannya tepat karena dalam lima puluh jurus saja, terdengar suara keras disusul pekik dan robohlah Tiong Ek Tosu dengan kepala pecah terpukul oleh tangan Mo Beng Hosiang!

Murid ke dua dari Kun-lun-pai tidak menjadi gentar. Baginya adalah menang atau mati, maka dia cepat memutar pedangnya melakukan serangan nekat. Dia berhasil menusuk pangkal lengan Mo Keng Hosiang, namun hwesio ini dapat miringkan tubuh sehingga kulit lengannya saja yang tergurat pedang dan pada saat itu, Mo Beng Ho siang sudah turun tangan memukul dada Tiong Seng Tosu. Tosu ini menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan dadanya pecah! Ia roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi.

Fihak kaki tangan kaisar berseri wajahnya, bahkan ada orang-orang muda yang bersorak girang. Pak-lo-sian tersenyum pahit dan Seng Thian Siansu menjadi pucat.

Sebelum Kiu-bwe Coa-li dan yang lain-lain sempat mencegahnya, tahu-tahu bayangan Bun Sui Ceng sudah berkelebat. Kini nona ini sudah berdiri dengan pedang di tangan, menghadapi sepasang hwesio yang berdiri dengan lagak sombong dan bangga.

Pak-lo-sian tak dapat berbuat lain kecuali melompat dan menyambar dua jenazah murid Kun-lun-pai itu untuk diletakkan di atas tanah di dekat batu karang. Mereka tidak dapat ditolong lagi karena sudah tewas.

"Bu-eng Siang-hiap, aku Bun Sui Ceng maju sebagai jago dari fihak kami, kalian berdua boleh maju bersama!" tantang Sui Ceng sambil melintangkan pedang di depan dadanya.

Melihat bahwa penantangnya hanyalah seorang gadis muda yang cantik sekali, kedua orang hwesio itu saling pandang dan tertawa lebar.

"Nona, pinceng berdua tak mau berlaku licik. Biarlah kau memilih seorang di antara kami sebagai lawanmu!" kata Mo Beng Hosiang sambil tertawa menyeringai.

"Gundul sombong, kalian berdua majulah bersama, boleh ditambah lagi satu dua orang agar lebih ramai!"

Mendengar ucapan gadis ini, Bu-eng Siang-hiap menjadi naik darah.

"Semua orang yang berada di sini mendengar bahwa engkaulah yang minta kami maju bersama, kalau nanti kalah jangan bilang kami licik," kata Mo Beng Hosiang dengan mata merah.

"Tutup mulut dan majulah!" seru Sui Ceng yang sudah mulai menggerakkan pedangnya.

Mo Keng Hosiang masih merasa sayang untuk membunuh atau pun melukai gadis yang begini cantik dan muda, maka dia lalu mengeluarkan seruan keras dan pian di tangannya menyambar ke arah pedang Sui Ceng, dengan maksud membikin pedang itu terlempar dalam segebrakan saja.

Melihat datangnya gempuran pian ini yang memang bertenaga sangat kuat, Sui Ceng tersenyum dan sengaja tidak mau mengelakkan pedangnya. Alangkah kagetnya hati Mo Keng Hosiang ketika pian-nya membentur pedang gadis itu, karena dia merasa seakan pian-nya yang berat itu membentur sehelai bulu saja kemudian tenaganya lenyap dengan sendirinya.

Kekagetannya bertambah saat terdengar suara bergeletar dan pipinya lantas terasa amat pedas dan perih. Dia hanya melihat bayangan merah berkelebat di depan mukanya, dan itu adalah ujung sehelai ikat pinggang sutera berwarna merah! Sui Ceng telah mencabut senjatanya yang istimewa ini, yaitu sabuk merahnya.

Bukan main marahnya Mo Keng Hosiang ketika dia mendengar suara ketawa gadis itu. Dengan membuta dia lalu mengayun pian-nya dan menyerang bagai badai mengamuk. Juga Mo Beng Hosiang yang kini mengerti menghadapi seorang lawan tangguh, cepat maju dan melakukan pukulan-pukulan dengan kedua tangannya yang lihai.

"Ji-wi Beng-yu, hati-hatilah, kalian menghadapi murid dari Kiu-bwe Coa-li!" kata Kiam Ki Sianjin yang mengenal sabuk merah ini sebagai ilmu cambuk yang biasa dimainkan oleh Kiu-bwe Coa-li.

Bu-eng Siang-hiap terkejut dan kini mereka tak berani memandang ringan. Dengan amat hati-hati mereka lalu bergerak seperti saat menghadapi dua orang lawan dari Kun-lun-pai tadi, yakni Mo Keng Hosiang mempergunakan pian untuk mempertahankan diri mereka berdua, sedangkan Mo Beng Hosiang melakukan serangan dengan tangan kilatnya.

Akan tetapi, ilmu silat yang dimiliki oleh Sui Ceng adalah ilmu silat yang diturunkan oleh seorang ahli. Bukan main hebatnya pedang yang bergerak bagaikan hidup di tangannya, sedangkan sabuk merah di tangan kirinya lebih lihai lagi.

Dia pun menggunakan siasat untuk mengimbangi kedua orang itu. Sabuknya yang lemas menghadapi pian, berusaha menangkap dan merampas senjata itu, ada pun pedangnya menghadapi pukulan-pukulan Mo Beng Hosiang. Sebentar saja kedua orang hwesio itu terdesak hebat oleh dara perkasa ini.

"Dia hebat... dia hebat sekali...," tak terasa pula mulut Kwan Cu berbisik-bisik dan kedua matanya memandang kagum.

Melihat lagak pemuda ini, Yok-ong tersenyum. "Bagus, Kiam Ki Sianjin akan mengalami hajaran pertama!"

Belum habis kata-kata ini diucapkan, keadaan pertempuran sudah berubah sama sekali. Dengan ujung sabuknya, Sui Ceng tiba-tiba mengubah gerakan dan sekarang sabuk itu meninggalkan pian kemudian menyerang atau lebih tepat menangkis pukulan Mo Beng Hosiang.

Ujung sabuk merah ini membelit pergelangan tangan hwesio ini dan sekali disentakkan, tubuh Mo Beng Hosiang terpental ke atas. Sebelum hwesio itu sempat mengerahkan ginkang-nya, sabuk disentakkan kembali ke bawah sehingga tubuhnya terbanting ke atas lantai batu karang.

"Ngekkk!" Tubuh Mo Beng Hosiang tak dapat berkutik lagi!

Sementara itu, pedang di tangan Sui Ceng tidak tinggal diam. Ia melihat pian menyerang ke arah kepalanya, cepat ia mengerakkan tubuhnya, miring dan dari samping pedangnya menyambar. Mo Keng Hosiang menjerit kesakitan, pian-nya telah terlepas berikut tangan kanannya sebatas siku terbabat putus oleh pedang Sui Ceng!

Gadis ini tidak tega melihat penderitaan kedua lawannya. Pedangnya bergerak dua kali lagi dan putuslah urat besar di dekat leher dua orang hwesio itu yang seketika itu juga menghembuskan napas terakhir tanpa menderita lagi.

Lima orang-orang muda dari fihak Kiam Ki Sianjin melompat maju dan mengeroyok Sui Ceng. Mereka ini adalah perwira-perwira yang menjadi kaki tangannya Kam Cun Hong, panglima dari Si Su Beng.

"Curang...!" Dua orang murid Kun-lun-pai yang belum maju mencela dan cepat mereka melompat untuk membantu Sui Ceng.

Akan tetapi sebetulnya hal ini tidak perlu, karena dengan pedangnya, Sui Ceng menahan serangan lima orang perwira itu dan dalam beberapa jurus saja kembali dua orang lawan roboh mandi darah!

"Mundur!" teriak Kiam Ki Sianjin.

Tiga orang perwira itu segera melompat mundur dengan muka merah. Kiam Ki Sianjin menggerakkan tangan memberi tanda kepada orang-orangnya dan empat orang mayat kawannya itu ditarik ke belakang. Kemudian Kiam Ki Sianjin bertanya,

"Siapa di antara sahabat-sahabat yang berani menghadapi gadis liar itu?”

Terdengar suara ketawa bagaikan kuda meringkik dan tubuh Toat-beng Hui-houw yang berwajah menyeramkan itu melompat keluar.

"Kiam Ki Sianjin, biarlah aku menghadapinya. Aku sudah mengenal kuda betina liar ini!"

Melihat majunya Toat-beng Hui-houw, seketika muka Sui Ceng menjadi merah sekali. Sepasang matanya berapi-api dan bibirnya digigit untuk menahan hawa kemarahan yang naik dari dadanya.

"Toat-beng Hui-houw, siluman jahanam! Andai kata kau tidak muncul, aku pun pasti akan mencarimu untuk memenggal lehermu agar ibuku di alam baka dapat mengaso dengan tenteram!” Kedua tangan gadis ini gemetar saking hebatnya kemarahan yang menyerang dirinya.

"Sui Ceng, mundurlah, biarkan pinni menghadapi siluman ini!" seru Kiu-bwe Coa-li.

Akan tetapi mana Sui Ceng mau mendengar kata-kata guru ini? Dengan pura-pura tidak mendengar kata-kata gurunya, sambil berseru keras dan nyaring, gadis ini menyerang Toat-beng Hui-houw dengan pedangnya. Gerakannya laksana burung walet menyambar dan tubuhnya diselimuti oleh berkelebatnya sinar merah dari sabuknya.

Sesudah dahulu dikalahkan oleh Ang-bin Sin-kai dan berjumpa dengan Kiu-bwe Coa-li, kakek yang seperti siluman ini merasa gentar, dan dia melatih diri sehingga memperoleh kemajuan pesat. Apa bila dibandingkan dengan dahulu ketika dia menewaskan Pek-cilan Thio Loan Eng ibu dari Sui Ceng, kepandaiannya sekarang sudah maju pesat dan jauh sekali.

Namun dia tidak berani memandang rendah kepada gadis ini, karena tahu bahwa gadis ini adalah murid terkasih dari Kiu-bwe Coa-li. Kalau saja dia tidak berada di fihak Kiam Ki Sianjin dan tidak mengandalkan bantuan banyak kawan, sampai sekarang pun dia tidak akan berani mengganggu Sui Ceng.

Akan tetapi sekarang keadaannya lain lagi. Dalam pertempuran seperti ini, kalah menang atau kematian tidak boleh diurus panjang dan andai kata guru gadis ini akan membela, masih banyak kawan-kawannya yang gagah dan tangguh, oleh karena itu hati Toat-beng Hui-houw menjadi besar.

Serangan pedang dari Sui Ceng dielakkannya, dan ketika pedang itu bagaikan bermata terus mengejar dan menyerangnya, dia kemudian menggereng bagaikan harimau sambil menggerakkan kedua tangannya. Tiba-tiba sepuluh jari tangannya mengeluarkan kuku yang panjang-panjang seperti pisau. Tadi kuku-kuku jari ini tergulung dan hanya dengan gerakan lweekang yang amat dahsyat, kuku ini dapat menjadi kaku lantas dipergunakan sebagai senjata.

Pedang Sui Ceng menyambar lagi. Toat-beng Hui-houw menangkis dengan kukunya dan Sui Ceng merasa telapak tangannya tergetar hebat. Ia kaget dan tahu bahwa lawannya ini benar-benar tangguh. Akan tetapi ia tidak gentar. Nafsunya untuk membunuh musuh besar ini begitu memuncak sehingga ia menjadi nekat. Ujung sabuk merahnya menyusul pedangnya, menyambar dengan totokan ke arah leher Toat-beng Hui-houw.

"Pergilah!" Toat-beng Hui-houw membentak sambil menyambar ujung sabuk merah itu.

"Brettt!" sabuk itu putus menjadi dua!

"Ceng-moi, hati-hatilah...!" Kun Beng berseru dengan hati ngeri melihat betapa senjata sabuk dari tunangannya yang amat lihai itu telah dapat diputuskan.

Akan tetapi Sui Ceng masih menyerang dengan hebatnya. Sekarang ia mempergunakan pedangnya dan telah melemparkan sabuknya yang sudah tiada gunanya itu. Pedangnya dimainkan secara hebat, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk dapat mengalahkan musuh besarnya ini. Tubuh gadis itu lenyap terbungkus sinar pedang yang bergulung-gulung.

Diam-diam Toat-beng Hui-houw harus memuji kepandaian gadis muda ini. Jika sekiranya akhir-akhir ini dia tak memperdalam ilmu kepandaiannya, agaknya akan sulit dan lamalah baginya untuk mengalahkan gadis ini.

Kemarahan dan kenekatan Sui Ceng melihat musuh besar yang telah membunuh ibunya, membuat tenaganya berlipat ganda besarnya dan membuat gaya ilmu pedangnya amat ganas dan berbahaya. Karena kurang hati-hati, sebuah kuku jari kelingking dari tangan kiri Toat-beng Hui-houw kena terbabat putus ujungnya oleh pedang Sui Ceng.

Toat-beng Hui-houw marah sekali. Beberapa kali dia mengeluarkan suara gerengan yang menggetarkan tanah dan kini tubuhnya bergerak maju dengan serangan dahsyat sekali, menubruk ke sana ke mari tanpa mempedulikan pedang lawannya.

Memang mudah saja baginya. Hanya dengan sebuah kuku saja dia berhasil menyampok pedang lawannya, dan dengan cepat kuku-kuku jarinya menyerang tubuh gadis itu. Mau tidak mau Sui Ceng menjadi ngeri dan mulailah dia main mundur saja.

"Sui Ceng, mundurlah dan mengaku kalah!" kata Kiu-bwe Coa-li karena dia merasa ngeri dan gelisah melihat nyawa muridnya yang terkasih itu terancam.

"Biarkan teecu maju membantunya!" kata Kun Beng.

Akan tetapi Pak-lo-sian melarangnya.

"Tak boleh berlaku curang, biar pun nyawa kita akan habis semua di sini, kita harus mati sebagai orang-orang gagah!"

Terpaksa Kun Beng hanya memandang dengan hati seperti disayat-sayat melihat betapa tunangannya didesak terus.

Juga Kwan Cu yang mengerti bahwa tidak lama lagi Sui Ceng pasti akan roboh di bawah tangan Toat-beng Hui-houw yang lihai itu, berbisik kepada Yok-ong dengan hati gelisah.

"Locianpwe, andai kata nona itu terluka oleh kuku-kuku tangan Toat-beng Hui-houw yang mengandung bisa berbahaya, masih dapatkah dia tertolong?"

Yok-ong mengangguk. "Memang racun di setiap kuku jari Toat-beng Hui-houw itu dapat mematikan dan sukar diobati. Akan tetapi aku sudah mempunyai semacam obat penolak bisa yang luar biasa dan yang pasti akan dapat melawan bisa itu. Asal saja lukanya tidak amat berat."

Kwan Cu segera berdiri dari tempat duduknya dan dengan tindakan perlahan-lahan dia mendekati tempat pertempuran, agaknya tertarik sekali. Yok-ong hendak mencegah akan tetapi tidak keburu.

Orang-orang di kedua fihak juga melihat hal ini. Akan tetapi oleh karena pemuda muka merah yang mengaku petani Gunung Tai-hang-san itu bukan orang dari salah satu fihak dan dianggap sebagai petani biasa saja yang menonton, maka tak ada seorang pun yang memperhatikannya. Apa lagi keadaan sangat tegang dan semua mata memandang ke arah pertempuran yang hebat luar biasa itu.

Sui Ceng benar-benar terdesak hebat. Dia memang nekat dan biar pun dia mendengar perintah gurunya supaya mundur, namun mana bisa seorang gadis seperti Sui Ceng sudi mundur dan mengaku kalah? Apa lagi terhadap musuh besar yang sudah membunuh ibunya.

"Kalau aku tidak berhasil membalaskan dendam ibu, biarlah aku mampus di sini!" pikir gadis ini sambil memutar pedangnya yang makin kacau gerakannya.

Tiba-tiba Toat-beng Hui-houw tertawa seperti ringkik kuda, disusul oleh gerengan seperti harimau dan tangan kirinya yang penuh kuku panjang itu berhasil merampas pedang Sui Ceng. Sekali kuku-kukunya bergerak, terdengarlah suara nyaring.

"Krakkk!" dan pedang itu patah-patah menjadi tiga!

Sui Ceng masih tidak mau melompat atau mengaku kalah, bahkan dia lalu menghantam dengan tangan kiri ke dada lawan!

Toat-beng Hui-houw tertawa lebar dan sekali dia menangkis dengan tenaga sepenuhnya, Sui Ceng terhuyung ke kiri dan kesempatan ini dipergunakan oleh Toat-beng Hui-houw untuk menggunakan kuku-kukunya yang berbisa mencakar kearah dada Sui Ceng!

Nona ini maklum akan datangnya serangan maut. Segera dia miringkan tubuhnya, akan tetapi kalah cepat. Terdengar baju robek dan pundaknya terkena cengkeraman itu. Sui Ceng mengerahkah lweekang, lantas meronta sehingga cengkeraman itu dapat terlepas, akan tetapi dia lalu terhuyung-huyung dan roboh. Pundaknya terasa panas sekali sampai menembus ke jantungnya. Racun-racun berbahaya dari kuku sudah memasuki luka pada pundaknya.

"Ha-ha-ha, kau boleh menyusul ibumu!" seru Toat-beng Hui-houw sambil menghampiri tubuh nona yang telentang pingsan itu, siap untuk mengirim pukulan terakhir.

Kiu-bwe Coa-li meramkan mata, dan Kun Beng sudah siap melompat untuk menolong tunangannya.

Tiba-tiba kelihatan pemuda dusun bermuka merah itu berlari-lari dan berteriak-teriak,

"Tidak adil...! Tidak adil...!"

Ia berlari terus dengan kacau, menyeruduk Toat-beng Hui-houw yang hendak membunuh Sui Ceng. Melihat datangnya pemuda dusun ini, Toat-beng Hui-houw menjadi heran dan juga marah.

"Mau apa kau?!" bentaknya sambil mendorong pundak Kwan Cu.

Pemuda ini tahu bahwa dorongan itu pasti akan melukai dirinya. Akan tetapi karena dia mengandalkan kepandaian Yok-ong, dan pula dia ingin menolong nyawa Sui Ceng, maka dia pura-pura tidak tahu.

"Reeettt!” Robeklah baju pada pundaknya dan kulit pundaknya tergores oleh kuku tangan Toat-beng Hui-houw.

"Toat-beng Hui-houw, kau sungguh terlalu! Pemuda itu adalah orang luar, mengapa kau melukainya?!" bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

Sebenarnya bukan Pak-lo-sian terlalu sayang kepada pemuda yang mukanya aneh itu, akan tetapi oleh karena pemuda itulah yang sudah menolong nyawa Sui Ceng, maka dia membelanya.

Toat-beng Hui-houw tertawa bergelak dan mundur, lalu menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang kepada Kwan Cu sambil membentak,

"Ehh, kepiting rebus! Apa-apaan kau datang mencari kematian?"

Walau pun bertanya begini, di dalam hatinya Toat-beng Hui-houw merasa heran sekali. Bisa di kukunya amat hebat, sekali gurat saja orang tentu akan roboh dan pingsan atau sekaligus mampus. Akan tetapi mengapa pemuda yang terang-terangan sudah terluka pundaknya ini tidak lekas-lekas roboh pingsan?

la tidak tahu bahwa Kwan Cu telah mengerahkan tenaga dan seluruh hawa murni yang dia dapat dari latihan menurut petunjuk kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, sehingga bisa itu untuk sementara dapat tertahan oleh hawa yang mengepul naik dari pusarnya menuju ke pundak yang tergurat kuku berbisa tadi.

Dengan kedua tangan tuding sana tuding sini, Kwan Cu mengeluarkan suara mengomel panjang pendek dan berteriak-teriak, "Mana ada pertandingan macam ini? Masa seorang kakek-kakek tua melawan seorang gadis muda yang lemah? Tidak adil sekali. Harusnya, gadis melawan gadis, kakek melawan kakek, pemuda melawan pemuda dan bocah juga melawan bocah. Ini baru enak ditonton. Masa kakek yang kukunya panjang mengerikan ini harus bertanding dengan gadis yang begini halus?"

Kwan Cu menggeleng-geleng kepalanya, lalu mengangkat tubuh Sui Ceng dan dengan lagak seperti orang merasa berat menggendong tubuh itu, dia cepat berlari-lari ke arah Yok-ong.

"He, kau mau bawa dia ke mana?" teriak Kun Beng yang segera mengejar.

"Dia mati, harus dikubur baik-baik," jawab Kwan Cu tanpa menoleh.

Yok-ong menyambut Kwan Cu dan tanpa dilihat orang lain, raja tabib ini segera menotok tiga jalan darah di tubuh Sui Ceng lalu menyuruh Kwan Cu memberikan tubuh gadis itu kepada Kun Beng yang datang berlari-lari.

"Berikan dia padaku!" kata Kun Beng.

"Eh, ehh, ehh, kau ini pemuda mau apakah? Kalau dia harus dibawa ke sana biarlah aku menggendongnya ke sana. Mengapa menggendong tubuhnya saja orang harus berebut? Kau agaknya ingin sekali menggendongnya!"

Kwan Cu segera membawa gadis itu berlari-larian kembali menuju ke tempat Pak-lo-sian Siangkoan Hai. Semua orang memandang kepada pemuda muka merah ini dan merasa lucu juga kasihan. Bahkan Kiu-bwe Coa-li sendiri merasa terharu melihat seorang petani bodoh masih memiliki peri kemanusiaan yang begitu besar.

Kwan Cu tadi ketika membawa Sui Ceng kepada Yok-ong, memang sengaja memberi kesempatan kepada Yok-ong untuk mengobati gadis itu, kemudian tanpa diketahui oleh siapa pun juga, dia menerima sebuah pil besar berwarna putih dan mendapat bisikan dari Yok-ong. Kini pil besar itu telah dimasukkan ke dalam mulutnya. Ia menurunkan gadis itu di atas tanah.

"Kau baik sekali, orang muda," kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.

"Sayang dia tak akan dapat tertolong lagi," kata Kiu-bwe Coa-li.

Suaranya tenang-tenang saja, akan tetapi kalau orang melihat matanya ia akan bergidik. Mata itu membayangkan nafsu amarah dan bayangan-bayangan maut terbayang di situ.

Akan tetapi Kwan Cu tak mempedulikan mereka semua, sekarang dia lalu mendekatkan mukanya pada leher Sui Ceng.

"Petani busuk, kau mau apa?!" Kun Beng membentak marah dan mengangkat tangan hendak memukul.

"Diamlah kau! Kenapa begitu ribut?" bentak Pak-lo-sian sambil memandang kepada anak muridnya dengan alis dikerutkan.