Geger Putri Istana

Pendekar Rajawali Sakti Episode Geger Putri Istana

Pendekar Rajawali Sakti

Geger Putri Istana


SATU
Blarrr...!

Guntur menggelegar memekakkan telinga, yang diiringi oleh sambaran lidah petir membelah angkasa, sehingga langit yang hitam tersaput awan tebal menggumpal jadi terang. Titik-titik air mulai jatuh merinai, menghantam bumi yang seakan-akan beku. Angin bertiup begitu kencang, membuat alam seakan benar-benar murka.

Klraaak!

Lidah kilat kembali menyambar, disertai ledakan guntur yang begitu menggelegar bagai hendak meruntuhkan seluruh alam ini. Kilatan cahaya yang hanya sesaat itu menyinari sesosok tubuh tegap yang melangkah mantap, menyusuri jalan setapak yang penuh batu kerikil. Sorot matanya begitu tajam, menatap lurus ke depan.

Kakinya terus terayun mantap sekali, menapaki batu-batu kerikil yang bertebaran di sepanjang jalan setapak ini. Sama sekali tidak dipedulikan rintik air hujan yang semakin deras bagai tumpah dari langit. Dia juga tidak peduli dengan kilat yang semakin sering menyambar disertai ledakan guntur yang menggelegar memekakkan telinga.

Ayunan kaki orang itu terhenti setelah sampai di depan sebuah bangunan yang sangat tinggi dan besar. Begitu sunyi, tak ada seorang pun yang terlihat. Sorot matanya masih tetap tajam, memandangi pintu yang berukuran sangat besar di depannya. Perlahan-lahan kakinya melangkah kembali, mendekati pintu dari kayu jati tebal dan berukuran raksasa. Perlahan-lahan tangannya terulur. Namun belum juga menyentuh pintu, tiba-tiba saja...

Kriyeeet...!

Pintu itu bergerak terbuka sendiri, sebelum tangan laki-laki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu menyentuhnya. Suara bergerit dari pintu yang bergerak terbuka sendiri itu sangat menggiris hati. Namun pemuda berwajah tampan, dan bertubuh tegap berotot itu tetap tegar berdiri di depan pintu yang kini sudah terbuka lebar.

"Hmmm...," dia menggumam perlahan.

Sebentar pemuda tampan itu masih berdiri, kemudian perlahan-lahan kembali bergerak melangkah. Dia terus melangkah memasuki bangu-nan yang sangat besar ukurannya ini. Sebuah bangunan istana tua yang seluruhnya terbuat dari batu. Bukan hanya dindingnya yang terbuat dari batu, tapi atapnya pun dari batu. Dinding-dinding batu itu memang sudah berlumut.

Brakkk!

"Oh...!" Pemuda itu jadi terkejut ketika tiba-tiba pintu yang baru saja dilalui bergerak menutup sendiri. Sehingga keadaan di dalam bangunan ini jadi gelap gulita. Sedikit pun tak ada cahaya yang bisa meneranginya. Dan pemuda itu berdiri tegak, tak bergeming sedikit pun. Begitu sunyi di dalam bangunan istana tua ini, sehingga detak jantungnya sendiri sampai terdengar jelas sekali.

Sementara hujan yang sudah jatuh begitu deras di luar sana, suaranya sama sekali tidak terdengar dari dalam bangunan istana tua ini. Kembali pemuda tampan berbaju rompi putih itu terkejut, ketika tiba-tiba saja ruangan ini jadi terang benderang. Sebentar matanya dikerjapkan, untuk membiasakan dengan keadaan terang yang begitu tiba-tiba. Kemudian, pandangannya beredar ke sekeliling.

"Hmmm..., tak ada apa-apa di sini. Kosong...," gumam pemuda itu berbicara sendiri.

Memang, ruangan berukuran sangat luas ini kosong. Satu pun tak ada benda yang terlihat. Atap ruangan ini tersangga empat buah soko guru berukuran besar. Satu pun tak ada jendela yang terlihat pada dinding ruangan ini. Tapi ada sepuluh pintu yang mengelilingi ruangan ini, selain pintu masuk tadi. Dan semua pintu itu dalam keadaan tertutup rapat. Ukurannya juga sangat besar, seperti pintu masuk tadi. Kemudian pemuda itu menatap ke arah tangga batu setengah melingkar yang terletak agak ke tengah dari ruangan berlantai batu pualam putih ini.

"Oh...!"

Lagi-lagi pemuda berbaju rompi putih itu mendesah terkejut, ketika tiba-tiba saja dari sebuah pintu di ujung atas tangga batu setengah melingkar, muncul seorang wanita yang begitu cantik. Pakaian yang dikenakannya juga sangat bergemerlapan, seperti seorang ratu. Namun bahan pakaian itu tipis sekali, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya yang begitu indah sangat jelas terlihat.

"Kau pasti Rangga, Pendekar Rajawali Sakti...," terasa begitu lembut dan halus suara wanita cantik itu.

Wanita itu masih tetap berdiri di ujung tangga batu berbentuk setengah melingkar itu. Dan bukan hanya suaranya yang begitu lembut, tapi senyumannya pun teramat lembut dan manis. Sehingga, wajahnya semakin bertambah cantik, bagai dewi dari kahyangan.

"Benar," sahut pemuda tampan berbaju rompi putih yang memang Rangga, atau berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

Pendekar Rajawali Sakti terus memandangi wanita cantik bagai dewi, dengan mata tidak berkedip sedikit pun juga. Selama hidup, rasanya baru kali ini Rangga melihat seorang wanita yang begitu cantik. Tapi bukan karena kecantikan wanita itu, sehingga dia sekarang berada di dalam bangunan berbentuk istana ini.

"Dan kau datang pasti seperti yang lain, mengira Cempaka ada di sini," kata wanita itu lagi.

"Hmmm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja.

Sinar mata Pendekar Rajawali Sakti masih tetap menyorot tajam, menatap lurus wanita cantik bertubuh indah itu. Perlahan kakinya terayun melangkah, mendekati tangga. Tapi baru saja dia berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja...

"Heh...?! Hup!"

Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti melompat, ketika tiba-tiba lantai di depannya bergerak membelah. Kedua bola matanya langsung jadi terbeliak lebar. Kini, di depannya menganga sebuah lubang yang cukup besar. Dan lubang itu ternyata berisi lumpur merah yang tengah bergolak mendidih, dan sesekali menyemburkan api. Lantai yang membelah sendiri, sehingga membentuk sebuah kolam lumpur berapi itu menghalanginya untuk menghampiri tangga.

"Kau tidak akan mendapatkan apa-apa di sini, Rangga. Sebaiknya pulang saja ke Karang Setra. Cempaka tidak ada di sini. Dan aku tidak ingin lagi ada orang-orang bodoh yang harus terkubur di dalam kolamku itu," ujar wanita cantik seperti ratu itu, bernada mengancam walau masih terdengar lembut.

Sedangkan Rangga sudah kembali menatap wanita cantik itu. Perlahan kakinya melangkah mundur beberapa tindak. Pendekar Rajawali Sakti kembali memandangi kolam lumpur yang bergolak mendidik dan mengeluarkan api serta asap kemerahan yang berbau tidak sedap.

"Untuk apa kau menculik Cempaka, Nisanak?" tanya Rangga tegas.

"Biasanya aku dipanggil Ratu Lembah Neraka. Tapi, sebenarnya aku lebih suka kalau ada yang memanggilku Dewi Anjungan. Karena, itu memang namaku yang sebenarnya," kata wanita cantik itu memperkenalkan diri, tanpa menghiraukan pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti tadi.

"Aku tidak peduli namamu! Yang kuinginkan kembalikan Cempaka!" sentak Rangga agak tinggi nada suaranya.

"Sudah kukatakan, Cempaka tidak ada di sini. Kau hanya sia-sia saja datang di istanaku ini, Rangga," sahut Dewi Anjungan yang lebih dikenal dengan julukan Ratu Lembah Neraka.

"Aku tidak ada waktu untuk bermain-main, Nisanak. Kembalikan Cempaka, atau aku terpaksa merebutnya darimu!" tegas Rangga sedikit mengancam.

"Ha ha ha...!" Dewi Anjungan jadi tertawa terbahak-bahak, mendengar kata-kata bernada ancaman itu.

Sedangkan Rangga hanya mendengus saja. Walaupun tawa Ratu Lembah Neraka itu terdengar merdu sekali, tapi di telinga Rangga justru terdengar begitu menyakitkan.

"Entah, sudah berapa orang yang mengaku jago Karang Setra datang ke sini. Dan mereka berakhir di dalam kolam lumpur itu. Aku tidak ingin kau juga bernasib sama dengan mereka, Rangga. Sekali lagi kukatakan, aku tidak menculik dan menyembunyikan Cempaka, adik tirimu itu," tegas Dewi Anjungan.

"Banyak orang yang melihatmu menculik Cempaka. Bahkan kau telah membunuh lebih dari dua puluh orang prajurit, dan delapan orang jago Istana Karang Setra. Maka sekarang aku datang untuk menjemput Cempaka, selain menuntut tanggung jawab atas perbuatanmu!" tegas Rangga.

"Kau sudah membuat kesabaranku hilang, Rangga...!" desis Dewi Anjungan jadi dingin nada suaranya.

"Hih...!" Tiba-tiba saja wanita itu menghentakkan tangan kanannya ke depan. Dan seketika itu juga berhembus angin kencang, yang begitu cepat dan keras sekali menerpa tubuh Rangga. Begitu cepatnya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat lagi menghindar.

Seketika itu juga, tubuh Rangga yang tinggi tegap jadi terpental ke belakang, seperti selembar daun kering tertiup angin. Begitu kerasnya hempasan angin itu, sehingga membuat punggung Rangga menghantam dinding batu bangunan istana ini. Rangga jadi terpekik sedikit, namun cepat-cepat melentingkan tubuh ke udara. Kemudian dia melakukan beberapa kali putaran, sebelum kakinya kembali menjejak lantai batu pualam ini.

Trikkk!

Dewi Anjungan menjentikkan dua ujung jemari tangannya. Maka saat itu juga, delapan daun pintu yang berada di sekeliling ruangan ini terbuka lebar. Dari balik pintu, bermunculan manusia-manusia bertubuh dua kali lipat tingginya daripada manusia biasa. Mereka semuanya mengenakan baju ketat warna merah. Masing-masing tampak menggenggam sebatang tombak sangat panjang.

Delapan orang laki-laki bertubuh dua kali manusia biasa itu bergerak perlahan mendekati Rangga. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti sudah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan memang semua ini sudah menjadi pertimbangannya, sebelum sampai di istana tua ini.

"Masih ada kesempatan untuk pergi, sebelum mereka melemparkanmu ke kolam lumpur itu, Rangga," kata Dewi Anjungan tegas.

"Aku tidak akan mundur setapak pun!" balas Rangga lantang.

"Huh! Rupanya orang-orang Karang Setra semuanya keras kepala. Kau akan merasakan akibatnya, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Dewi Anjungan.

Trekkk!

Kembali Ratu Lembah Neraka menjentikkan dua ujung jemari tangan kanannya sekali. Dan seketika itu juga, cepat sekali delapan orang yang tingginya dua kali dari manusia biasa langsung berlompatan menyerang Rangga, sambil berteriak-teriak keras menggelegar.

"Hup!"

Rangga cepat-cepat melenting ke udara, ketika delapan batang tombak meluncur deras ke arahnya. Dan pada saat berada di udara, cepat sekali dikeluarkannya jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Cepat sekali kaki Pendekar Rajawali Sakti bergerak, mengarah ke kepala salah seorang penyerangnya.

"Hiyaaa...!"

Plakkk!

Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga orang itu tidak sempat lagi menghindar. Dan tendangan yang begitu keras itu langsung menghantam kepala lawannya. Tapi Pendekar Rajawali Sakti itu jadi terkejut, karena manusia bertubuh raksasa itu hanya menggereng sedikit disertai kepalanya yang jadi berpaling ke samping. Betapa tidak...?

Biasanya, orang yang terkena tendangan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', langsung menggeletak jatuh dengan kepala retak. Tapi orang berbaju serba merah itu sama sekali tidak merasakan kalau kepalanya baru saja terkena tendangan keras.

"Hap!"

Baru saja Rangga menjejakkan kakinya di lantai yang putih dan licin berkilat ini, tiba-tiba saja salah seorang dari pengepungnya kembali melakukan serangan cepat. Tombaknya meluruk deras mengincar dada Pendekar Rajawali Sakti.

Wusss...!
"Hup!
Yeaaah...!"

Cepat-cepat Rangga menarik tubuhnya ke kanan, menghindari tusukan tombak berukuran besar dan panjang itu. Dan ketika tombak itu lewat di samping tubuhnya, secepat kilat tangannya dikebutkan ke arah bagian tengah tombak itu.

Takkk!
"Hah...?!"
"Hiyaaa...!"

Manusia raksasa berbaju merah itu jadi terkejut setengah mati, karena hanya sekali kibas saja tombaknya sudah patah jadi dua bagian. Dan sebelum keterkejutannya bisa hilang, tiba-tiba saja tangan kanan Rangga sudah melepaskan satu pukulan keras lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Kini, kepalan tangan Pendekar Rajawali Sakti jadi berwarna merah, seperti besi yang terbakar dalam tungku.

Begkh!

"Aaakh...!"

Serangan yang dilakukan Rangga memang sangat cepat luar biasa. Sehingga, sukar bisa ditangkap mata biasa. Dan si manusia raksasa itu benar-benar tidak dapat lagi berkelit menghindar, sehingga pukulan dahsyat itu tepat menghantam dadanya. Kontan dia terpekik keras sekali.

Begitu kerasnya pukulan itu, sehingga si manusia raksasa itu jadi terpental deras sekali ke belakang. Dan selagi dia belum bisa menyentuh lantai, Rangga sudah melompat bagai kilat. Langsung dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek.

"Hiyaaa...!"
Desss!
"Aaa...!"
Byurrr!

Tak pelak lagi, si manusia raksasa berbaju merah itu langsung tercebur ke dalam kolam lumpur yang bergolak mendidih. Dia berteriak-teriak sambil menggeliat-geliat dan menggapai-gapaikan tangannya. Tapi tak berapa lama kemudian, seluruh tubuhnya sudah tenggelam ke dalam kolam lumpur yang bergolak mendidih itu.

Sementara itu, tujuh orang lainnya jadi terpana kaget tidak menyangka sama sekali. Sedangkan Dewi Anjungan yang juga menyaksikan dari ujung atas tangga, jadi terbeliak lebar melihat Rangga berhasil menceburkan satu orang dari delapan manusia bertubuh raksasa itu. Dan kini, jumlah mereka tinggal tujuh orang lagi. Dan mereka tampaknya jadi ragu-ragu untuk kembali menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

"Kenapa kalian jadi bengong...? Hayo! Serang dia...!" seru Dewi Anjungan lantang menggelegar.

"Hiyaaa!"

"Yeaaah...!"

Mendengar teriakan bernada perintah, tujuh orang manusia bertubuh raksasa itu langsung saja berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Keraguan yang semula menghinggapi hati, seketika jadi lenyap. Dan kini mereka menjadi marah, karena Rangga berhasil melenyapkan satu orang dari mereka dalam kolam lumpur mendidih.

Rangga yang mendapat serangan dari tujuh penjuru itu memang tidak bisa berbuat lain, kecuali mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Suatu jurus aneh, dan gerakan-gerakannya seperti tidak sedang bertarung. Dan memang, jurus itu hanya dimaksudkan untuk menghindari pertarungan. Sehingga, tidak bisa digunakan untuk menyerang, meskipun beberapa kali Rangga memiliki kesempatan.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Rangga melenting ke udara, dan melakukan beberapa kali putaran di udara. Lalu cepat sekali meluncur deras, dan mendapat manis sekali di luar kepungan tujuh manusia berukuran raksasa itu.

"Hap! Hap!

Aji 'Bayu Bajra'! Yeaaah...!"

Rangga segera melakukan beberapa gerakan tangan. Kemudian, cepat sekali kedua tangannya dihentakkan ke samping, lalu secepat itu pula dihentakkan ke depan sambil berteriak keras menggelegar.

Wusss!

Seketika itu juga, dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti yang terbuka lebar berhembus angin kencang bagai topan. Serangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat dan mendadak sekali, sangat mengejutkan tujuh orang bertubuh raksasa itu. Bahkan mereka tidak dapat lagi berbuat banyak.

Tubuh-tubuh yang berukuran dua kali dari ukuran manusia biasa itu jadi berpentalan seperti daun kering tertiup angin. Jeritan panjang melengking tinggi terdengar sating sambut, ketika dua orang dari mereka tercebur ke dalam kolam lumpur mendidih. Sedangkan yang lima lagi berhasil menyelamatkan diri, dengan melakukan beberapa kali putaran di udara, sebelum menjejakkan kaki kembali ke lantai. Saat itu, Rangga sudah mencabut aji 'Baju Bajra'nya, sehingga tidak ada lagi badai topan yang terjadi begitu dahsyat.

"Hiyaaa...!"

Namun tiba-tiba saja, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan kanan ke depan. Kakinya terpentang lebar, dan lututnya sedikit tertekuk ke depan. Pada saat itu juga, dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti memancar secercah sinar merah yang langsung menghantam dada salah seorang dari manusia-manusia bertubuh raksasa itu.

Byurrr!

"Aaa...!"

Kembali terdengar jeritan nyaring melengking tinggi. Orang yang terkena pukulan jarak jauh Pendekar Rajawali Sakti kontan menggelepar-gelepar di dalam kolam berlumpur mendidih, sambil berteriak-teriak meminta tolong. Tapi tak ada seorang pun yang bisa menolong, sampai seluruh tubuhnya tenggelam tak terlihat lagi. Kini tinggal empat orang lagi yang tersisa. Dan mereka semua berdiri tidak jauh dari bibir kolam berlumpur mendidih itu. Sedangkan Rangga berada sekitar dua batang tombak di depannya.

"Kalau kalian ingin tetap hidup, cepat tinggalkan tempat ini!" desis Rangga.

Empat orang bertubuh raksasa itu saling bepandangan beberapa saat, kemudian tanpa berkata apapun juga berlarian hendak meninggalkan ruangan itu. Namun belum juga mereka mencapai pintu tempat tadi mereka masuk ke dalam ruangan ini, tiba-tiba saja...

"Pengecut! Hiyaaa...!"

Dewi Anjungan cepat mengebutkan kedua tangannya secara bergantian. Dari kedua tangannya, meluncur beberapa benda kecil berwarna merah. Benda-benda berbentuk bulat itu meluncur sangat cepat sekali, sehingga empat manusia bertubuh raksasa itu tidak sempat lagi menghindari. Dan Rangga sendiri pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat saling susul.

Benda-benda kecil bulat berwarna merah itu langsung menembus tubuh mereka, hingga jatuh menggelepar di lantai batu pualam putih ini. Hanya sebentar saja mereka menggelepar sambil mengerang, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Darah terus mengucur dari tubuhnya yang penuh lubang, tertembus benda-benda kecil berwarna merah yang dilepaskan si Ratu Lembah Neraka itu.

"Kejam...!" desis Rangga menggeram.

"Kau akan bernasib sama jika tidak segera angkat kaki dari sini, Rangga!" ancam Dewi An-jungan tegas.

"Aku akan pergi bersama Cempaka!" balas Rangga tidak kalah tegas.

"Keras kepala...!" desis Dewi Anjungan. "Kau akan mati di dalam lumpur berapi, Rangga!"

Setelah berkata demikian, Ratu Lembah Neraka berbalik dan melangkah masuk ke dalam pintu yang terbuka lebar. Sementara, Rangga yang hendak melompat mengejar jadi terbeliak lebar. Karena, lantai yang dipijaknya jadi bergetar, dan kolam lumpur mendidih itu semakin bertambah lebar saja.

"Gilaaa...!" desis Rangga seraya melangkah mundur. Rangga sempat melirik ke arah pintu masuk yang kini sudah terbuka lebar, seakan-akan memberi jalan Pendekar Rajawali Sakti untuk keluar dari istana tua yang aneh ini. Sementara, kolam lumpur mendidih itu semakin membesar saja. Hingga, Rangga benar-benar terpojok dan merapat ke dinding.

"Hup! Yeaaah...!"

Tidak ada pilihan lain lagi bagi Rangga untuk bisa selamat. Maka, terpaksa Pendekar Rajawali Sakti melompat keluar melalui pintu yang terbuka lebar itu. Dan begitu Rangga berada di luar, pintu itu langsung menutup sendiri dengan keras sekali.

Brakkk!

DUA

Rangga berdiri tegak sambil memandangi bangunan istana yang tampak angker itu. Sementara, hujan semakin lebat menyirami seluruh lembah ini. Entah, sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sakti berdiri mematung di depan istana tua di depannya ini. Secercah kilat bersinar terang, sehingga tampak membelah angkasa, disertai ledakan guntur yang menggelegar, menyentakkan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kali ini kau menang, Dewi Anjungan," desis Rangga. "Hhhh..., maafkan aku, Cempaka. Aku pasti akan datang kembali untuk membebaskanmu."

Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti masih memandangi bangunan istana tua yang tampak angker itu, kemudian memutar tubuhnya. Rangga kini melangkah perlahan-lahan meninggalkan istana tua di Lembah Neraka ini. Sementara, hujan masih terus turun begitu lebat mengguyur bumi. Rangga terus melangkah, tidak mempedulikan keadaan dirinya yang masih kuyup terguyur hujan.

"Kakang...!"

Rangga agak tersentak kaget ketika tiba-tiba saja mendengar sebuah suara memanggilnya. Pendekar Rajawali Sakti langsung berhenti melangkah. Wajahnya berpaling ke kanan, ke arah suara yang didengarnya tadi. Kelopak matanya jadi menyipit, melihat Pandan Wangi berdiri di ambang pintu mulut sebuah gua yang tidak jauh dari jalan setapak ini. Gadis itu tengah melambaikan tangan, memanggil.

Bergegas Rangga melangkah menghampirinya. Tampak kilatan cahaya api membersit dari dalam gua yang tidak begitu besar, namun hampir tertutup lebatnya semak belukar dan pepohonan. Rangga langsung menerobos masuk ke dalam gua itu, dan langsung duduk di dekat api. Sementara Pandan Wangi masih berdiri tidak jauh dari mulut gua. Gadis itu kemudian melangkah menghampiri kemudian duduk di depan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kenapa kau di sini, Pandan? Bukankah aku menyuruhmu tetap di istana...?" tegur Rangga langsung, begitu tubuhnya terasa hangat kembali.

"Aku tidak bisa tenang, Kakang. Apalagi mendengar cerita mereka tentang Dewi Anjungan dan Istana Neraka miliknya itu. Aku begitu khawatir, lalu terus saja menyusulmu ke sini. Tapi hujan ini menghalangiku, Kakang. Untung aku menemukan gua, dan menunggumu di sini," sahut Pandan Wangi beralasan.

"Terima kasih," ucap Rangga perlahan.

Pendekar Rajawali Sakti duduk diam. Pandangannya lurus ke depan, menikmati titik-titik air hujan yang masih turun deras sekali. Sedangkan Pandan Wangi memandanginya disertai berbagai macam perasaan berkecamuk di dalam dirinya. Bisa dirasakan, apa yang sedang dirasakan Rangga saat ini. Mereka memang langsung ke Karang Setra, begitu mendapat kabar Cempaka diculik seorang wanita yang menamakan diri Ratu Lembah Neraka.

Bahkan ketika menculik Cempaka di Istana Karang Setra, Ratu Lembah Neraka sempat menewaskan beberapa prajurit yang mencoba menghalanginya. Bahkan pula, satu orang panglima kerajaan itu tewas di tangannya. Dan tidak sedikit pula jago-jago Karang Setra yang tewas, saat mencoba merebut kembali Cempaka dari dalam Istana Neraka itu. Hingga sekarang ini, tak ada seorang pun yang berhasil mengeluarkan Cempaka dari dalam Istana Neraka.

"Kakang...," lembut sekali suara Pandan Wangi. Rangga mengangkat kepala, dan berpaling menatap Pandan Wangi yang masih tetap duduk dekat di depannya. Hanya sebuah api unggun saja yang menghalangi mereka berdua. Beberapa saat mereka terdiam, dan hanya saling pandang saja tanpa berbicara sedikit pun.

"Kau ketemu wanita itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi pelan sekali suaranya. Begitu pelannya, sehingga hampir tidak terdengar tertelan gemuruh air hujan yang masih turun deras sekali.

"Ya," sahut Rangga juga pelan suaranya.

"Lalu..., Cempaka ada di sana?"

Rangga hanya menggelengkan kepala saja.

"Tapi kau berhasil masuk ke dalam istana itu, kan?" tanya Pandan Wangi lagi, ingin tahu.

"Hhh...!" Rangga menghembuskan napasnya yang begitu berat sekali. Kembali Pendekar Rajawali Sakti memandang keluar, merayapi titik-titik air hujan yang masih turun deras sekali. Kemudian kembali dipandanginya Pandan Wangi. Perlahan Rangga menggeser duduknya mendekati gadis itu, dan melingkarkan tangannya ke pundak yang ramping. Pandan Wangi merapatkan tubuhnya, membenamkan diri ke pelukan Pendekar Rajawali Sakti.

"Memang tidak mudah masuk ke dalam istana itu, Pandan. Terlalu banyak rintangannya...," pelan sekali suara Rangga.

"Apa pun rintangannya, Cempaka harus bisa dikeluarkan dari sana, Kakang," tegas Pandan Wangi memberi semangat.

"Ya..., kita memang harus bisa mengeluarkan Cempaka dari Istana Neraka itu," desis Rangga.

Mereka saling berpandangan, kemudian berpelukan erat dan hangat sekali. Tak ada lagi yang bicara, karena masing-masing sudah tenggelam dengan pikiran yang berkecamuk dalam kepala.

********************

Hujan baru berhenti saat matahari menam-pakkan cahayanya di ufuk Timur. Rangga melangkah keluar dari dalam gua itu. Sementara, Pandan Wangi masih melingkar di dekat api unggun yang sudah hampir padam. Udara pagi ini begitu segar. Tanah masih terlalu basah. Titik-titik air pun masih terlihat membias di dedaunan. Rangga terus mengayunkan kakinya, meninggalkan gua itu.

Langkahnya baru berhenti setelah sampai di pinggir jalan setapak yang berbatu kerikil. Pandangannya langsung tertuju pada bangunan istana tua yang terletak di tengah-tengah sebuah lembah yang tidak begitu besar. Matahari tampak bersinar redup, karena terhalang kabut. Sehingga, bangunan tua yang disebut Istana Neraka itu semakin kelihatan angker.

Rangga berpaling saat telinganya mendengar suara-suara langkah kaki dari belakang menghampirinya. Bibirnya tersenyum begitu melihat Pandan Wangi menghampirinya. Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu berdiri di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

"Kau akan ke sana lagi, Kakang?" tanya Pandan Wangi, sambil mengarahkan pandangan ke bangunan istana tua itu.

"Ya! Aku memang harus ke sana lagi," sahut Rangga tegas dan agak mendesah suaranya.

"Tapi semalam kau mengatakan, tidak mudah untuk masuk ke sana."

"Memang. Tapi harus tetap kucoba untuk mengeluarkan Cempaka dari sana," tegas Rangga.

Mereka kembali terdiam, tak berkata-kata lagi. Namun pandangan mata mereka masih tetap tertuju lurus pada bangunan tua Istana Neraka itu. Sementara, matahari semakin naik tinggi. Cahayanya yang terang dan hangat menyibakkan kabut di sekitar Lembah Neraka ini.

"Kakang! Apa tidak sebaiknya kita cari keterangan dulu, kenapa wanita itu menculik Cempaka...?" ujar Pandan Wangi memberikan saran.

Rangga berpaling menatap gadis di samping kanannya ini.

"Tentu ada alasannya, kenapa dia menculik Cempaka, Kakang," sambung Pandan Wangi.

"Kehidupan Cempaka tidak jauh berbeda dengan diriku, Pandan. Bahkan juga tidak jauh berbeda dengan kehidupanmu sendiri. Sejak masih kecil dia sudah terpisah, dari orang tuanya. Cempaka kemudian dirawat seorang resi di Padepokan Baja Hitam," jelas Rangga, tentang diri Dewi Cempaka.

"Siapa resi itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi yang memang belum tahu betul tentang diri dan kehidupan Cempaka. Padahal mereka sudah lama saling mengenal.

"Eyang Balung Gading," sahut Rangga.

"Kalau begitu, kenapa tidak kau tanyakan saja, Kakang...?"

"Tanyakan apa?"

"Barangkali saja Eyang Balung Gading tahu, siapa itu Ratu Lembah Neraka. Aku merasa, hal ini ada hubungannya dengan kehidupan Cempaka di masa lalu. Tidak mungkin Ratu Lembah Neraka menculik Cempaka tanpa alasan pasti," Pandan Wangi memberikan alasan.

Rangga terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepala perlahan. Kembali dipandanginya bangunan tua Istana Neraka, kemudian berpaling menatap Pandan Wangi yang masih memandanginya sejak tadi. Beberapa saat lamanya kedua pendekar muda itu terdiam membisu.

"Di mana letak Padepokan Baja Hitam itu, Kakang?" tanya Pandan Wangi, setelah cukup lama berdiam diri.

"Di Gunung Puting," sahut Rangga.

"Tidak jauh dari sini," desah Pandan Wangi, seperti untuk diri sendiri. "Kenapa kau tidak ke sana saja dulu, Kakang? Barangkali saja bisa memperoleh sesuatu dari sana."

Rangga masih terdiam beberapa saat, kemudian memutar tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti terus saja melangkah tanpa berkata-kata lagi. Pandan Wangi bergegas mengikutinya. Dia juga tidak berkata-kata lagi sedikit pun. Tapi....

"Mau ke mana, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Ke Gunung Puting," sahut Rangga.

Pandan Wangi tersenyum mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata, Rangga suka juga mengikuti sarannya, mencari keterangan ten-tang diri Cempaka di Padepokan Baja Hitam yang terletak di Puncak Gunung Puting. Mereka terus melangkah cepat tanpa bicara apa-apa lagi, dan baru berhenti setelah sampai di sebuah tempat yang cukup lapang.

Rangga berdiri tegak memandang ke langit yang tampak cerah pagi ini. Sementara, Pandan Wangi diam saja memperhatikan. Dia tahu, pemuda berbaju rompi putih ini sedang menyatukan ji-wa dan pikirannya untuk memanggil Rajawali Putih. Seekor burung rajawali raksasa tunggangan Pendekar Rajawali Sakti ini.

"Suiiit...!"

Pandan Wangi sampai menutup kedua telinganya, ketika Rangga bersiul nyaring sekali. Nadanya panjang dan terdengar begitu aneh. Pendekar Rajawali Sakti masih tetap berdiri tegak tanpa berkedip menatap langit. Sedangkan Pandan Wangi masih tetap berdiri , di samping kanan, agak ke belakang sedikit dari Pendekar Rajawali Sakti.

"Suiiit...!"

Kembali Rangga bersiul. Nadanya masih terdengar sama, dan begitu nyaring melengking tinggi. Siulan itu terus terdengar menggema, terpantul batu-batu dan pepohonan. Cukup lama juga mereka menunggu. Dan bibir Pendekar Rajawali Sakti menyunggingkan senyuman, ketika melihat sebuah titik bercahaya keperakan jauh dari atas awan. Tak berapa lama kemudian, jelas terlihat kalau titik itu adalah seekor burung rajawali yang terbang melesat begitu cepat bagai kilat.

"Khraaagkh...!"

"Kemari, Rajawali...!" seru Rangga seraya melambaikan tangannya.

"Khraaagkh...!"

Debu seketika mengepul di udara. Sedangkan batu-batu kerikil berhamburan, ketika Rajawali Putih mendarat tidak jauh dari depan Rangga dan Pandan Wangi. Pemuda berbaju rompi putih itu langsung melompat naik ke punggung burung raksasa itu. Gerakannya tampak sangat indah dan ringan sekali.

Sedangkan Pandan Wangi masih tetap berdiri, memandangi burung raksasa yang tinggi dan sangat besar seperti bukit itu. Meskipun sudah sering kali melihat, tapi Pandan Wangi masih tetap saja merasa kagum terhadap burung raksasa ini. Dan setiap kali melihat, masih juga terselip kengerian di hatinya. Mungkin kalau tidak kenal Rangga, tidak akan mungkin bisa bertemu dan bersahabat dengan burung raksasa ini.

"Ayo, Pandan! Kita tidak punya waktu banyak...!" seru Rangga.

Pandan Wangi masih kelihatan ragu-ragu untuk naik ke punggung Rajawali Putih. Dia memang sudah beberapa kali menunggang burung rajawali raksasa itu bersama Rangga, tapi masih juga merasa ngeri dan ragu-ragu. Perlahan-lahan pun melangkah mendekati.

"Ayo, cepat...!" seru Rangga tidak sabar.

"Hup!" Sambil menguatkan diri, Pandan Wangi melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Dan gadis itu langsung hinggap di depan Rangga yang sudah sejak tadi berada di punggung burung raksasa itu. Rangga menepuk leher Rajawali Putih tiga kali.

"Khraaagkh...!" Wusss...!

Hanya sekali mengepakkan sayapnya saja, Rajawali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa. Pandan Wangi sempat memejamkan mata dengan wajah langsung memucat, begitu Rajawali Putih melesat secepat kilat ke angkasa. Dan matanya baru terbuka setelah merasakan berada di angkasa. Pandan Wangi langsung melompat turun, begitu Rajawali Putih itu mendarat di tempat yang agak lapang, di Puncak Gunung Puting. Sementara Rangga baru melompat turun, setelah Pandan Wangi menjejakkan kakinya di tanah.

"Kau tunggu di sini, Rajawali," ujar Rangga meminta.

"Khrrrk...!" Rajawali Putih mengkirik perlahan sambil menganggukkan kepala.

"Aku segera kembali," kata Rangga lagi.

Kembali Rajawali Putih menganggukkan kepala, dan menjulurkannya ke depan. Rangga menepuk-nepuk kepala burung yang sangat besar itu, kemudian melangkah menghampiri Pandan Wangi yang masih berdiri dengan mata terus memandangi tunggangan kekasihnya itu.

"Ayo, Pandan...," ajak Rangga sambil menepuk pundak gadis itu.

"Oh...?" Pandan Wangi agak tersentak.

Buru-buru gadis itu melangkah cepat menyusul Rangga yang sudah berjalan lebih dahulu. Sesekali, Pandan Wangi masih menoleh ke belakang. Tampak Rajawali Putih sudah mendekam di bawah pohon yang sangat besar dan tinggi. Mereka berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga hanya dalam waktu sebentar saja, sudah sampai di depan pintu gerbang Padepokan Baja Hitam yang dijaga dua orang murid dan masing-masing memegang senjata tombak berukuran panjang.

"Gusti Prabu...?!" Kedua orang murid Padepokan Baja Hitam itu terkejut, melihat Rangga dan Pandan Wangi tiba-tiba saja muncul di depan mereka.

Kedua penjaga itu langsung berlutut memberi hormat. Dan memang, seluruh murid di Padepokan Baja Hitam ini sudah mengenal Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka mengenal pemuda berbaju rompi putih itu bukan hanya sebagai seorang pendekar muda yang tangguh dan digdaya, tapi juga sebagai seorang raja di Karang Setra.

"Bangunlah kalian," ujar Rangga.

Perlahan kedua murid Padepokan Baja Hitam itu bangkit berdiri. Mereka segera merapatkan kedua tangan di depan hidung, memberi hormat sekali lagi pada Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan Pandan Wangi yang menyaksikan, hanya diam saja. Dia juga tidak menyangka kalau murid-murid di padepokan ini sudah mengenal Rangga yang sesungguhnya.

"Aku ingin bertemu Eyang Balung Gading. Apa dia ada?" tanya Rangga.

"Ada, Gusti. Silakan masuk...," sahut salah seorang murid padepokan itu.

Sedangkan yang seorang lagi bergegas membuka pintu gerbang. Rangga dan Pandan Wangi segera melangkah masuk ke dalam Padepokan Baja Hitam. Beberapa orang murid padepokan yang sedang berlatih ilmu olah kanuragan, segera menghentikan latihannya. Mereka langsung berlutut begitu melihat Rangga datang.

Hal ini tentu saja membuat Pandan Wangi jadi keheranan. Gadis itu memang tidak pernah tahu tentang padepokan ini. Dan lagi, Rangga maupun Cempaka tidak pernah menceritakannya. Kedua pendekar muda itu langsung saja menuju bangunan utama yang sangat besar ukurannya. Satu persatu mereka meniti anak-anak tangga, dan terus melangkah masuk ke dalam ruangan depan yang berukuran cukup luas.

Di ruangan depan itu, seorang laki-laki tua berjubah kuning gading yang pada bagian dadanya terdapat gambar rantai hitam dan dua pedang bersilang, tengah duduk tenang di lantai yang beralaskan permadani tebal berwarna biru muda. Rangga segera membungkukkan tubuh memberi hormat, diikuti Pandan Wangi yang berada di belakangnya.

"Silakan duduk, Rangga," ujar laki-laki tua berjubah kuning gading yang tak lain Eyang Balung Gading.

"Terima kasih," ucap Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti kemudian mengambil tempat di depan Eyang Balung Gading. Sedangkan Pandan Wangi ikut duduk di sampingnya. Rangga segera memperkenalkan Pandan Wangi pada laki-laki tua berjubah putih Ketua Padepokan Baja Hitam itu.

"Kau datang ke sini tentu ada hal yang penting, Rangga," ujar Eyang Balung Gading.

"Benar, Eyang. Ada sesuatu yang hendak kubicarakan. Dan ini menyangkut Cempaka," sahut Rangga langsung.

"Cempaka...? Kenapa dia? Apa dia membuatmu susah...?"

"Tenang, Eyang. Cempaka tidak apa-apa. Hanya...."

"Hanya apa?" desak Eyang Balung Gading tidak sabar lagi.

Sejak kecil laki-laki itu sudah mengasuh dan mendidik Cempaka. Maka dia tahu betul akan watak-watak gadis itu. Jelas sekali kalau Eyang Balung Gading jadi khawatir, begitu mengetahui kedatangan Pendekar Rajawali Sakti yang ada hubungannya dengan gadis itu. Memang, Cempaka bukan saja muridnya, tapi juga anak angkatnya sebelum diboyong Rangga ke Istana Karang Setra. Karena, Cempaka merupakan turunan dari Adipati Arya Permadi.

Meskipun lahir dari ibu selir, tapi Rangga tetap menganggap Cempaka adik kandungnya. Rangga melirik sedikit pada Pandan Wangi. Terasa sukar sekali bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk mengungkapkan apa yang sedang terjadi pada diri Cempaka sekarang ini. Sedangkan Eyang Balung Gading seperti tidak sabar lagi menunggu. Dan Pandan Wangi hanya diam saja, tidak mau bicara apa-apa sedikit pun juga.

"Katakan saja terus terang, Rangga. Apa sebenarnya yang terjadi pada Cempaka?" desak Eyang Balung Gading.

"Terus terang, Eyang. Sebenarnya aku sendiri tidak tahu. Aku dan Pandan Wangi sedang dalam pengembaraan. Lalu, seorang utusan dari istana datang menemui sambil membawa surat langsung dari Danupaksi. Maka aku langsung pergi ke Karang Setra. Tapi...," Rangga tidak melanjutkan.

"Terus, Rangga," desak Eyang Balung Gading.

"Aku sendiri tidak tahu, apa yang terjadi sesungguhnya, Eyang. Aku datang, Cempaka sudah tidak ada. Dan semua orang di istana mengatakan kalau Cempaka diculik," lanjut Rangga.

"Diculik...?!"

Eyang Balung Gading jadi terperanjat setengah mati. Sungguh tidak disangka kalau akan seperti ini yang didengarnya. Cempaka bukan lagi gadis kecil, tapi sudah berusia sembilan belas tahun. Dan kepandaian yang dimilikinya juga tidak bisa dipandang rendah, walaupun juga tidak bisa dianggap sempurna. Tapi, rasanya tidak mudah untuk bisa mengalahkan Cempaka begitu saja. Dan keterangan Rangga barusan, membuat laki-laki tua itu benar-benar tidak percaya. Rasanya memang sulit untuk bisa dipercaya kalau Cempaka diculik, seperti anak kecil saja.

"Siapa yang menculiknya, Rangga?" tanya Eyang Balung Gading ingin tahu, juga penasaran hatinya.

"Ratu Lembah Neraka," sahut Rangga agak ditekan nada suaranya.

"Maksudmu..., Dewi Anjungan ?!" Eyang Balung Gading tampak terperanjat mendengar nama Ratu Lembah Neraka disebut Rangga barusan.

"Benar, Eyang," sahut Rangga.

"Oh, Gusti...," desah Eyang Balung Gading mengeluh.

"Kenapa, Eyang...?!"

Kali ini Rangga yang jadi bengong keheranan tidak mengerti. Sedangkan Eyang Balung Gading jadi terdiam dengan kepala menengadah ke atas, memandangi langit-langit ruangan depan padepokannya. Bukan hanya Rangga saja yang jadi keheranan tidak mengerti. Malah Pandan Wangi juga jadi terlongong bengong, melihat Eyang Balung Gading mengeluh panjang, begitu mendengar nama Ratu Lembah Neraka disebut Pendekar Rajawali Sakti.

"Kapan peristiwa itu terjadi?" tanya Eyang Balung Gading, setelah cukup lama terdiam.

"Sudah hampir satu pekan ini, Eyang," sahut Rangga.

"Satu pekan...?! Kenapa tidak ada yang memberitahuku...?!" sentak Eyang Balung Gading.

"Aku sendiri baru tahu kemarin, Eyang. Danupaksi berusaha sendiri untuk mendapatkan Cempaka kembali, sambil menungguku pulang. Tapi semua usahanya gagal. Bahkan tidak sedikit jago-jago Karang Setra yang...," Rangga tidak meneruskan lagi ucapannya.

"Sudahlah, Rangga aku bisa mengerti," desah Eyang Balung Gading. "Hhh..., memang tidak mudah untuk menandinginya. Dia bukan manusia biasa, dan bisa dikatakan manusia setengah siluman."

"Jadi, Eyang kenal betul dengannya?" selak Pandan Wangi yang sejak tadi diam saja mendengarkan.

"Ya...," desah Eyang Balung Gading perlahan.

Rangga dan Pandan Wangi saling berpandangan. Dan kini mereka semua jadi terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Terlebih lagi Eyang Balung Gading. Tampaknya orang tua itu begitu khawatir setelah mengetahui murid yang sekaligus anak angkatnya sekarang berada di tangan Dewi Anjungan si Ratu Lembah Neraka.

********************

TIGA

Saat matahari tepat berada di atas kepala, Rangga meninggalkan Padepokan Baja Hitam. Sedangkan Pandan Wangi baru meninggalkan padepokan itu bersama Eyang Balung Gading, setelah beberapa lama Rangga pergi. Mereka menunggang kuda menuju Kotaraja Karang Setra. Sementara itu, Rangga kini telah berada di udara bersama Rajawali Putih.

Mereka melayang-layang di atas bangunan istana tua di Lembah Neraka. Bangunan itu sendiri dijuluki Istana Neraka. Entah, sudah berapa lama Pendekar Rajawali Sak-ti berada di udara bersama burung tunggangan raksasanya. Tapi, mereka tidak melihat adanya tanda-tanda kehidupan di sana. Sekitar lembah itu tampak sunyi sekali. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitarnya.

"Kau lihat di sebelah Timur sana, Rajawali...!" seru Rangga tiba-tiba, sambil menunjuk ke arah Timur.

"Khragkh...!"

"Dekati, Rajawali!" perintah Rangga.

Rajawali Putih tidak membantah sama sekali. Burung raksasa itu langsung meluncur ke arah Timur, mendekati kepulan debu yang terlihat dari angkasa ini. Sebentar saja mereka sudah berada di atas kepulan debu yang membumbung tinggi ke angkasa itu.

"Heh...?!" Kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar, begitu melihat di balik kepulan debu itu. Di sana, tampak Pandan Wangi dari Eyang Balung Gading tengah bertarung melawan sekitar dua puluh orang berpakaian serba merah dan bersenjatakan tombak panjang berwarna merah.

"Turunkan aku di sini, Rajawali!" seru Rangga.

"Khraaagkh...!"

Rajawali Putih langsung meluruk turun cepat sekali. Sedangkan Rangga segera berdiri di punggung burung raksasa itu. Lalu....

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali Rangga melompat turun dengan gerakan begitu manis, sebelum Rajawali Putih mencapai tanah. Sedangkan burung rajawali raksasa itu langsung melambung tinggi kembali ke angkasa. Sementara, Rangga berputaran beberapa kali di udara sambil mengembangkan kedua tangannya ke samping. Gerakannya seperti seekor burung yang menukik tajam hendak menyambar mangsa. Pendekar Rajawali Sakti memang mengerahkan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa', untuk mengimbangi tubuhnya yang melayang deras di udara.

"Hiyaaa...!"
Wukkk!
Plakkk!
"Aaakh...!"

Satu jeritan panjang dan menyayat tiba-tiba terdengar, mengalahkan pekikan-pekikan pertarungan serta dentingan senjata beradu. Itu terjadi ketika kaki Rangga yang bergerak begitu cepat, menghantam kepala salah seorang yang mengeroyok Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading. Laki-laki berbaju serba merah dan bertubuh tinggi besar itu langsung menggelepar di tanah, dengan kepala retak berlumuran darah.

"Hiyaaa...!"

Rangga tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu kakinya menjejak tanah, jurusnya langsung merubah menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Secara beruntun dan begitu cepat, segera dilepaskan pukulan-pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.

Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika langsung terdengar saling sambut. Hanya berapa gebrakan saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berhasil merobohkan lima orang yang mengeroyok Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading. Kehadiran Rangga yang begitu tiba-tiba, dan langsung merobohkan lima orang dalam waktu singkat membuat orang-orang berbaju serba merah itu jadi kalang kabut. Sebaliknya, kehadiran Pendekar Rajawali Sakti justru membuat Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading jadi gembira.

Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terus terdengar membelah angkasa. Tubuh-tubuh bergelimang darah terus berjatuhan tak bernyawa lagi. Hingga dalam waktu sebentar saja, sekitar dua puluh orang itu sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Rangga, Pandan Wangi, dan Eyang Balung Gading berdiri tegak memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Bau anyir darah langsung saja mengusik lubang hidung mereka.

"Tidak ada seorang pun yang hidup lagi," desah Pandan Wangi yang memeriksa semua mayat itu.

Gadis itu segera menghampiri Rangga yang berdiri di samping Eyang Balung Gading. Beberapa saat mereka tidak ada yang bicara. Mereka merayapi lagi orang-orang berbaju serba merah yang sudah tidak bernyawa lagi itu. Sedikit Rangga mendongak ke atas, melihat Rajawali Putih masih melayang-layang di angkasa. Begitu tinggi, sehingga sangat kecil kelihatannya.

"Bagaimana kalian bisa bentrok dengan mereka?" tanya Rangga setelah keadaan kembali tenang. Dan kini mereka sudah bisa mengatur napas kembali dengan sempurna.

"Kau kenal mereka, Rangga?" Eyang Balung Gading malah balik bertanya.

Laki-laki tua berjubah kuning gading yang pada dadanya terdapat gambar rantai hitam dan dua bilah pedang bersilang itu memang selalu memanggil Pendekar Rajawali Sakti dengan nama saja. Terutama, bila sedang berada di luar seperti ini. Dan tidak ada sikap tata krama seperti di dalam istana kerajaan. Dan memang, itulah yang selalu diinginkan Rangga. Dia tidak ingin ada orang yang memanggilnya Gusti Prabu bila tidak berada di dalam istana. Pendekar Rajawali Sakti lebih senang orang yang memanggilnya dengan nama, atau julukannya.

"Ya! Mereka memang orang-orangnya Ratu Lembah Neraka," sahut Rangga.

Eyang Balung Gading mengerutkan keningnya, sambil merayapi orang-orang yang bergelimpangan sudah tak bernyawa lagi itu. Laki-laki tua itu seperti tidak percaya atas jawaban Rangga barusaha. Dan sikapnya langsung cepat diketahui Rangga.

"Ada apa, Eyang...? Tampaknya kau tidak percaya kalau mereka orang-orangnya Ratu Lembah Neraka," tanya Rangga langsung mengemukakan perasaan hatinya.

"Setahuku, Dewi Anjungan tidak punya anak buah. Dia selalu hidup sendiri dan tidak ingin ditemani, kecuali oleh Cempaka. Itu sebabnya, kenapa dia selalu mencari kesempatan untuk membawa Cempaka pergi bersamanya," sanggah Eyang Balung Gading perlahan.

"Aku pernah bertemu beberapa orang dari mereka, Eyang. Pakaian dan senjata yang mereka kenakan sama persis," selak Rangga begitu yakin.

"Kau percaya kalau mereka orang-orang Ratu Lembah Neraka?" Eyang Balung Gading kembali melontarkan pertanyaan.

"Percaya...," sahut Rangga. Nadanya terdengar seperti ragu-ragu. "Malah aku juga bertemu dengannya di Istana Neraka, Eyang.

"Istana Neraka...?!" lagi-lagi Eyang Balung Gading terkejut dengan kening langsung makin berkerut.

"Kenapa Eyang terkejut mendengar Istana Neraka...?" selak Pandan Wangi, heran melihat perubahan pada wajah laki-laki tua berjubah kuning gading itu.

"Aku..., aku..., aku memang terkejut," ujar Eyang Balung Gading jadi tergagap. "Tapi, bagaimana mungkin dia bisa menemukan istananya kembali...?" Pertanyaan Eyang Balung Gading ini membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi saling melempar pandang.

Mereka jadi heran mendengar kata-kata laki-laki Ketua Padepokan Baja Hitam itu. Dan tampaknya, Eyang Balung Gading benar-benar mengenal wanita cantik seperti Dewi Anjungan yang berjuluk Ratu Lembah Neraka. Eyang Balung Gading juga memandangi Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, dia bergegas melangkah cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

Sejenak Rangga dan Pandan Wangi saling melempar pandang, kemudian bergegas menyusul laki-laki tua bejubah kuning gading yang sudah berjalan cukup jauh. Sementara Rangga sempat mendongakkan kepala ke atas. Rajawali Putih masih tampak berada di angkasa, memutari sekitar daerah ini.

"Ikuti terus, Rajawali," ujar Rangga menggunakan suara batin pada Rajawali Putih.

"Khraaagkh...!"

Suara serak yang keras, sempat mengejutkan Pandan Wangi. Dan gadis itu mendongak ke atas sebentar, kemudian berpaling menatap Rangga yang berjalan cepat sambil mempergunakan ilmu meringankan tubuh di sampingnya. Sedangkan Eyang Balung Gading berjalan sekitar enam batang tombak di depan mereka.

"Kau masih membiarkan Rajawali Putih di sana, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Sampai keadaan terkuasai," sahut Rangga.

Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Dia tahu, kalau Rangga sudah meminta Rajawali Putih untuk tidak pergi, artinya persoalan ini sudah dianggap gawat sekali. Pandan Wangi bisa mengerti kalau Rangga begitu mencemaskan Cempaka. Dan gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain tetap terus mendampinginya. Sementara mereka terus berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Jelas sekali kalau arah yang dituju adalah Lembah Neraka.

Tak ada lagi yang berbicara. Mereka terus berjalan tanpa berkata-kata lagi sedikit pun. Eyang Balung Gading seperti tidak percaya dengan penglihatannya sendiri. Mulutnya berdecak dan kepalanya menggeleng-geleng, memandangi bangunan tua berbentuk istana, yang berdiri di tengah-tengah sebuah lembah yang tampak angker dan menyeramkan ini. Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi mengapitnya di kanan dan kiri laki-laki tua berjubah kuning gading itu.

"Mustahil...," desis Eyang Balung Gading masih belum bisa mempercayai.

"Tidak mungkin dia bisa menemukannya kembali. Tidak mungkin...."

"Ada apa, Eyang? Kau jadi membingungkan sekali...," tanya Rangga.

"Bertahun-tahun istana ini sirna, dan tak akan mungkin bisa ditemukan kembali. Tapi...," Eyang Balung Gading menggeleng-gelengkan kepala, masih belum bisa mempercayai kenyataan yang terjadi di depan matanya. Sirna...?

"Apa maksudmu, Eyang?" selak Pandan Wangi juga jadi bingung.

"Ketika baru berusia sembilan tahun, Cempaka pernah juga diculiknya, dan dibawa ke dalam istana ini. Tidak sedikit sahabatku yang berkorban untuk merebut Cempaka kembali dari tangannya. Dan waktu itu, Dewi Anjungan menghilang entah kemana, setelah Cempaka berhasil kudapatkan kembali. Lalu, aku bersama enam orang sahabatku menghilangkan istana ini, sehingga tidak bisa terlihat lagi. Hanya satu orang yang bisa membuat istana ini muncul kembali," tutur Eyang Balung Gading mengisahkan.

"Siapa orang itu, Eyang?" tanya Rangga.

"Resi Wanapati," sahut Eyang Balung Gading.

"Resi Wanapati...? Bukankah dia sudah...?" Rangga tidak melanjutkan.

"Itulah yang membuatku tidak mengerti, Rangga," selak Eyang Balung Gading.

Rangga jadi terdiam. Memang sukar sekali persoalan yang sedang dihadapinya. Dia tahu Resi Wanapati sudah meninggal. Dan orang tua itulah yang mengasuh Danupaksi di padepokannya. Kematian Resi Wanapati pun sudah begitu lama sekali. Sedangkan Eyang Balung Gading masih tetap membisu sambil memandangi bangunan istana tua di tengah Lembah Neraka itu.

"Eyang, jelaskan semuanya. Siapa Dewi Anjungan itu? Dan kenapa menculik Cempaka?" pinta Rangga bersungguh-sungguh.

"Dia adik kandung Kunti Sulistya, ibu kandung Dewi Cempaka. Sejak aku membawa Ibu Kunti Sulistya yang sedang mengandung ke Gunung Puting, Dewi Anjungan selalu mengikuti terus. Dan setelah Cempaka lahir, dia berusaha mengambil anak itu. Terlebih lagi setelah Ibu Kunti Sulistya meninggal, begitu habis melahirkan Cempaka. Dia merasa berhak atas diri Cempaka, dan menuduhku telah menculiknya," jelas Eyang Balung Gading singkat.

"Lalu, apakah Cempaka tahu tentang ini semua?" selak Pandan Wangi bertanya.

"Ya," sahut Eyang Balung Gading. "Dan dia ti-dak pernah mau mengakui kalau Dewi Anjungan adalah bibinya. Karena, tindakan dan sifat-sifatnya begitu kejam, dan selalu menuruti kata hati iblis."

"Eyang! Tadi kau katakan, istana itu telah dilenyapkan. Bagaimana itu bisa terjadi...?" Rangga ingin tahu.

"Dari gabungan beberapa ilmu kesaktian, Rangga. Tujuh orang, termasuk aku, berusaha siang malam melenyapkan istana itu. Dan pekerjaan itu baru berhasil setelah tujuh hari kami berusaha. Sedangkan seluruh kuncinya berada di tangan Resi Wanapati," Eyang Balung Gading menjelaskan.

"Berupa apa, Eyang?"

"Tenaga batin," sahut Eyang Balung Gading.

"Tenaga batin...?!"

"Benar. Kenapa, Rangga?"

"Aku sering mendengar tentang beberapa ilmu kesaktian yang menggunakan tenaga batin. Dan biasanya, kekuatannya akan hilang jika yang memegang kunci kekuatan itu meninggal, tanpa sempat memindahkan ke orang lain. Sedangkan Resi Wanapati meninggal tanpa sempat mengatakan atau melakukan sesuatu," kata Rangga lagi.

"Jadi...?"

"Kekuatan dari gabungan tujuh ilmu kesaktian yang digunakan untuk melenyapkan istana itu, secara langsung menghilang begitu pemegang kuncinya meninggal. Dan itu berarti Dewi Anjungan bisa memiliki istananya kembali, tanpa harus bersusah payah merebutnya lagi," Rangga terus menjelaskan.

"Ohhh..., Dewata Yang Agung.... Kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana...?" desah Eyang Balung Gading.

"Maaf, Eyang. Bukannya aku menggurui," ucap Rangga.

"Tidak, Rangga. Kau benar sekali. Istana itu memang akan muncul kembali kalau pemegang kuncinya sudah meninggal. Dan aku sama sekali tidak ingat kalau Resi Wanapati yang memegang kunci gabungan tujuh ilmu kesaktian itu sudah meninggal. Ah...! Dasar aku sudah tua...!" Eyang Balung Gading menepuk keningnya sendiri.

Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi jadi tersenyum-senyum. Kini sudah jelas persoalannya. Dewi Anjungan yang dikenal berjuluk Ratu Lembah Neraka, sebenarnya adalah bibi dari Cempaka sendiri. Dan sebenarnya pula, dia berhak atas diri Cempaka. Tapi bagaimanapun juga, cara yang dilakukan menyusahkan orang banyak.

Dewi Anjungan memang termasuk tokoh persilatan golongan hitam. Jadi tidak heran kalau Cempaka sendiri tidak menyukainya. Bahkan sama sekali tidak menganggap wanita itu bibinya. Itu bisa dimaklumi, karena Cempaka sejak masih bayi mendapat bimbingan ilmu-ilmu putih dari Eyang Balung Gading, yang telah mengangkatnya sebagai anak.

"Lantas, apa yang akan kita lakukan sekarang...?" tanya Pandan Wangi memecah kebisuan yang terjadi di antara mereka.

"Itulah sulitnya, Pandan...," desah Eyang Balung Gading.

"Maksud, Eyang...?" tanya Pandan Wangi tidak mengerti.

"Terlalu sulit untuk bisa masuk ke dalam istana itu. Kau pasti tidak akan mengerti. Terlalu banyak hal yang tidak bisa kau pahami di sana. Istana itu benar-benar tempat iblis. Terlalu banyak jebakan yang sulit dilalui, meskipun kau memiliki ilmu kesaktian yang tinggi sekalipun. Aku sendiri tidak akan mungkin bisa masuk ke sana hanya seorang diri saja," kata Eyang Balung Gading mencoba menjelaskan.

Pandan Wangi langsung melirik Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mencoba masuk ke dalam istana itu. Dan semalam, Rangga memang sudah menceritakan semua yang dialaminya di dalam Istana Neraka itu. Rangga sendiri baru bisa mencapai ruangan depannya saja. Dan itu pun sudah mendapat halangan yang tidak mudah dilalui begitu saja. Bisa-bisa akan mati di sana, jika terus bertindak nekat.

"Kalau tidak bisa masuk ke sana, lalu bagaimana bisa membebaskan Cempaka...?" Pandan Wangi seperti bertanya pada diri sendiri.

Tidak ada seorang pun yang menjawab pertanyaan si Kipas Maut itu. Terlebih lagi Eyang Balung Gading, yang sudah pernah menghadapi Ratu Lembah Neraka di dalam Istana Neraka itu juga. Dan dia sendiri tidak tahu, dengan cara apa bisa masuk ke dalam sana. Meskipun, laki-laki tua itu tahu betul seluk beluknya.

Kembali mereka semua terdiam membisu. Benak mereka terus berputar, mencari cara agar bisa membebaskan Cempaka dari dalam Istana Neraka itu. Dan tampaknya, mereka benar-benar menemui jalan buntu. Rangga sendiri yang sudah mencoba masuk ke sana, terpaksa harus keluar lagi. Memang sulit sekali jika sudah berada di dalam bangunan istana tua di Lembah Neraka itu.

********************

EMPAT

Malam sudah menyelimuti seluruh daerah Lembah Neraka ini. Langit tampak gelap, karena terselimut awan tebal yang menggumpal hitam. Sehingga, rembulan sepertinya tak sanggup membagi cahayanya ke atas permukaan bumi ini. Sementara itu, Rangga berdiri tegak di depan mulut gua yang tampak terang oleh nyala api unggun. Dari depan gua ini, Pendekar Rajawali Sakti bisa memandang jelas ke Lembah Neraka, tempat sebuah bangunan istana tua berdiri di sana.

Sementara, Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading duduk menghadapi api unggun di dalam gua yang tidak begitu besar ini. Perlahan-lahan Rangga mengayunkan kakinya menuju ke jalan setapak yang penuh ditebari batu kerikil. Dia terus melangkah dengan pandangan tertuju lurus ke depan bangunan istana tua itu. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip. Seluruh perhatiannya tertumpah pada bangunan Istana Neraka itu, sehingga tidak menyadari kalau kakinya melangkah menuju ke bangunan istana tua di Lembah Neraka itu.

"Hmmm...."

Rangga baru berhenti melangkah, setelah berada dekat di depan pintu bangunan istana tua itu. Tidak seperti pertama kali datang dulu, pintu itu kini tertutup rapat, dan tampaknya sangat kokoh. Beberapa saat lamanya, bangunan yang sangat besar dan terbuat dari batu yang sudah berlumut itu diamati. Sunyi sekali keadaan sekitarnya. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar Lembah Neraka ini.

"Untuk apa kau datang ke sini, Rangga...?"

Tiba-tiba saja terdengar suara yang menggema, namun terasa begitu lembut di telinga. Rangga agak tersentak sedikit, dan sempat menarik kakinya ke belakang satu langkah. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitarnya. Tapi suara itu demikian jelas terdengar. Dan Rangga sadar kalau tidak sedang bermimpi.

Sebagai seorang pendekar yang sudah malang melintang menjelajahi rimba persilatan, Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau suara tadi dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga tidak bisa diketahui dari mana arah sumber suara itu datang.

"Siapa kau...?!" seru Rangga agak lantang suaranya.

"Kau tidak bisa melihatku, Rangga...? Aku ada di sini," terdengar sahutan lembut.

Pendekar Rajawali Sakti cepat mendongakkan kepala ke atas. Sungguh hatinya jadi terkejut, begitu melihat seorang wanita cantik tengah berdiri di bagian atas bangunan yang berbentuk beranda itu. Memang, tahu siapa wanita berwajah cantik dan dengan tubuh indah menggiurkan itulah wanita yang bernama Dewi Anjungan, dan dikenal berjuluk Ratu Lembah Neraka. Julukan itu diberikan, karena istananya ini berada di tengah-tengah Lembah Neraka.

"Aku tahu, kau pasti ingin masuk ke dalam istanaku ini. Naiklah ke sini, Rangga...," ujar Dewi Anjungan.

Suaranya masih tetap lembut, meskipun jelas sekali dikeluarkan menggunakan pengerahan tenaga dalam. Pendekar Rajawali Sakti masih tetap diam membisu memandangnya. Memang tidak sulit mencapai beranda atas itu. Tapi dia berpikir kalau-kalau ini hanya sebuah jebakan saja. Rangga teringat akan kata-kata Eyang Balung Gading, kalau Istana Neraka ini penuh berbagai bentuk jebakan yang sangat berbahaya dan mematikan. Dan hal itu sendiri sudah pernah dialaminya, meski-pun baru sampai di bagian ruangan depan saja.

"Kenapa kau diam saja, Rangga? Ayo naiklah ke sini...!" seru Dewi Anjungan mengajak.

"Kenapa tidak kau saja yang turun ke sini...?" balas Rangga.

"Ha ha ha...! Kau ini aneh, Rangga. Kau datang ke sini, itu berarti tamuku. Untuk apa aku harus turun ke bawah menemuimu...? Seharusnya, kaulah yang naik ke sini menemuiku, Rangga."

Rangga terdiam beberapa saat. Kemudian....

"Hup!"

Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke atas. Hanya sekali lompatan saja, sudah sampai di beranda atas itu, tepat di depan Dewi Anjungan. Wanita itu tersenyum manis sekali melihat cara Rangga yang melompat begitu indah dan ringan, ke atas beranda bangunan istana ini. Dan itu sudah menandakan kalau Rangga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan.

"Hebat...! Tidak banyak orang yang bisa naik ke sini hanya satu kali lompatan saja," puji Dewi Anjungan diiringi senyum lebar.

"Terima kasih," ucap Rangga.

"Kau ingin masuk ke dalam?" Dewi Anjungan menawarkan dengan sikap manis.

Rangga hanya mengangkat bahu saja sedikit. Sementara wanita cantik itu memutar tubuhnya berbalik, kemudian melangkah masuk ke dalam. Rangga mengikuti dari belakang. Pendekar Rajawali Sakti langsung berdecak kagum, begitu berada di dalam sebuah ruangan yang sangat besar dan indah. Bangunan ini benar-benar sebuah istana. Mereka terus berjalan melewati beberapa ruangan yang besar-besar dan indah, dan baru berhenti setelah sampai pada salah satu ruangan yang juga berukuran besar dan sangat indah juga Rangga tahu, ini merupakan sebuah ruangan untuk menjamu para tamu.

Mereka kemudian duduk menghadapi sebuah meja berukuran besar dan panjang, yang bagian atasnya berkilat penuh hi-dangan nikmat. Beberapa guci arak juga tersedia. Dan semua perabotan yang memenuhi ruangan ini terbuat dari perak yang sangat halus sekali buatannya. Tapi ada satu keanehan yang dirasakan Pendekar Rajawali Sakti. Sejak tadi, dia tidak melihat ada seorang pun di sini. Tidak ada penjaga, atau para pelayan. Keadaannya begitu sunyi. Dan di dalam ruangan yang berukuran besar ini, hanya ada dia dan Dewi Anjungan saja.

"Kau tinggal di sini sendiri?" tanya Rangga ingin tahu.

"Ya," sahut Dewi Anjungan singkat.

"Tidak ada yang menemanimu?"

Dewi Anjungan malah tertawa. Begitu renyah, dan merdu sekali suaranya terdengar di telinga. Rangga melihat kalau wanita ini tidaklah seperti yang digambarkan Eyang Balung Gading. Sama sekali tidak terlihat adanya kekejaman pada dirinya. Sorot matanya begitu indah dan wajahnya cantik sekali. Ditambah lagi bentuk tubuhnya be-gitu indah, membuat mata siapa saja pasti tidak akan berkedip memandangnya. Wanita ini benar-benar sempurna.

Dan tak terlihat sedikit pun kalau memiliki hati kejam, sekejam hati iblis. Rangga jadi bertanya-tanya sendiri, apa benar wanita secantik dan periang seperti ini bisa melakukan perbuatan sekeji iblis? Tapi ketika pertama kali bertemu di ruangan depan, sama sekali Rangga juga tidak melihat ada satu sorot kekejaman. Dan yang dilakukan Dewi Anjungan ketika itu memang sangat wajar bagi orang-orang yang hidup di dalam lingkungan rimba persilaian.

"Aku sengaja menunggu, dan menyediakan semua ini untukmu, Rangga," kata Dewi Anjungan lagi.

"Untuk apa kau lakukan semua ini?" tanya Rangga masih bersikap curiga, mengingat kata-kata Eyang Balung Gading mengenai wanita cantik ini.

"Aku suka melakukan sesuatu yang menyenangkan. Dan aku ingin menyenangkanmu, Rangga. Apakah berlebihan...?"

Lagi-lagi Rangga hanya mengangkat bahu saja. Sikap Dewi Anjungan memang sungguh membuatnya bingung. Wanita ini begitu cantik dan manis sikapnya, seperti wanita bangsawan saja. Dan Rangga jadi tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Sementara Dewi Anjungan sudah mengajaknya untuk menikmati hidangan yang sudah disediakan. Rangga sendiri tidak bisa lagi menolak kebaikan hati wanita ini.

Pendekar Rajawali Sakti
Malam itu, Dewi Anjungan menunjukkan seluruh bagian dari ruangan-ruangan yang ada di dalam istananya ini. Tak ada tanda-tanda sedikit pun kalau istana ini memiliki jebakan maut yang sangat berbahaya dan mematikan, seperti yang dikatakan Eyang Balung Gading. Meskipun dari luar kelihatan begitu angker dan sudah tua, tapi Rangga melihat kalau istana ini begitu indah dan menyenangkan. Tidak jauh berbeda dengan istana kerajaan lain, yang pernah dikunjunginya.

Bahkan Rangga merasa kalau keindahan dan kemegahan istana ini lebih daripada Istana Karang Setra. Kini mereka kembali ke teras depan di atas bangunan istana ini, seperti pertama kali Rangga datang tadi. Mereka duduk di sana menghadapi seguci arak, sambil memandang bulan yang tengah mengintip dari balik awan. Begitu indah sua-sana malam ini. Dan Rangga harus jujur mengakui, kalau keindahan ini justru Dewi Anjungan yang menciptakannya.

"Sekali lagi, aku minta maaf atas perlakuanku waktu itu, Rangga," ucap Dewi Anjungan, mengingatkan kejadian kemarin.

Rangga hanya tersenyum saja. "Kenapa kau kemarin begitu memusuhiku?" tanya Rangga ingin tahu sikap Dewi Anjungan yang sangat jauh perbedaannya saat ini.

"Terus terang, aku masih diliputi ketegangan, Rangga. Belum ada satu tahun aku bisa menghirup udara segar kembali, dan bisa lagi melihat indahnya bulan. Selama bertahun-tahun aku terkurung. Aku tak memiliki kepastian, apakah sudah mati atau hidup. Dan lagi..., belum juga hatiku merasa tenang, sudah muncul gangguan-gangguan tidak menyenangkan yang membuatku marah. Aku benar-benar merasa tegang waktu itu, Rangga. Sampai-sampai aku tidak tahu lagi, apa yang harus kulakukan, selain mengusir paksa siapa saja yang datang ke sini," jelas Dewi Anjungan.

"Lalu, apa sekarang kau sudah merasa tenang?" tanya Rangga ingin tahu.

"Sedikit," sahut Dewi Anjungan langsung meneguk arak, hingga tandas tak bersisa lagi. Rangga menuangkan arak dari guci ke dalam gelas Dewi Anjungan yang sudah kosong. Dan dia sendiri, sejak tadi belum juga habis satu gelas. Sedangkan wanita itu, entah sudah berapa gelas arak yang masuk ke dalam perutnya.

"Bibi Dewi, kau tahu maksud kedatanganku ke sini...?" tanya Rangga lagi.

"Ya, aku tahu," sahut Dewi Anjungan perlahan. "Kau mencari Cempaka, dan menyangka aku yang menculiknya. Yaaa..., seperti yang lain. Mereka langsung datang dan menuduhku menculik Cempaka. Padahal, sama sekali aku tidak melakukan itu. Aku baru saja kembali, dan sekarang belum punya pikiran untuk melakukan apa-apa. Aku harus membenahi istanaku dulu, setelah cukup lama terpenjara dalam tirai batin yang begitu kuat."

Rangga diam memandangi wajah cantik yang duduk tidak jauh di depannya. Dia jadi teringat cerita Eyang Balung Gading tentang wanita ini dan Istananya. Langsung bisa dipahami kalau apa yang dikatakan Eyang Balung Gading memang benar. Dan memang belum ada satu tahun Resi Wanapati meninggal. Dan itu berarti memang benar kalau istana ini telah dilenyapkan selama puluhan tahun, dan baru muncul kembali setelah Resi Wanapati meninggal dunia. Tapi Rangga baru tahu kalau Dewi Anjungan ternyata juga ikut lenyap bersama istananya ini. Itu berarti, Dewi Anjungan berada di dalam istana ini ketika dilenyapkan oleh tujuh orang tokoh sakti rimba persilatan. Dengan menggabungkan tujuh macam ilmu kesaktian tingkat tinggi, dan menguncinya di dalam batin Resi Wanapati.

"Kau pasti sudah tahu, siapa aku ini sebenarnya, Rangga," kata Dewi Anjungan lagi.

"Ya," sahut Rangga singkat.

"Bagaimana pendapatmu, jika aku menginginkan untuk mengurus dan mengasuh keponakanku sendiri...?" tanya Dewi Anjungan.

"Kau memang punya hak," sahut Rangga.

"Ya! Aku memang punya hak untuk mengurus Cempaka. Tapi mereka selalu menghalangi, dan tidak mengizinkan aku merawatnya. Mereka selalu saja menyangka aku wanita...," Dewi Anjungan tidak melanjutkan.

Sedangkan Rangga hanya diam saja menatap dalam-dalam wanita berwajah cantik dan menggairahkan ini. Ditunggunya lanjutan kata-kata si Ratu Lembah Neraka itu. Tapi cukup lama juga Dewi Anjungan terdiam, dengan mata lurus menatap rembulan yang mengintip dari balik awan.

"Sejak Cempaka lahir, aku sudah ingin merawatnya. Tapi mereka tidak pernah mengizinkan. Berbagai macam cara sudah kutempuh. Sampai-sampai, aku bertindak kasar. Dan hal itu semakin menjauhkan aku dari Cempaka. Mereka lalu memenjarakan aku dan istana ini, dalam tirai batin yang tidak bisa kutembus. Puluhan tahun aku berada dalam ketidakpastian antara hidup dan mati. Tapi sekarang..., setelah aku kembali sendiri. Hhh..., dunia ini benar-benar tidak adil. Selalu saja penderitaan yang kudapati. Sedikit pun aku tidak pernah merasa ada kebahagiaan menghampiri," nada suara Dewi Anjungan terdengar mengeluh.

"Jadi, kau benar-benar tidak tahu di mana Cempaka berada sekarang ini?" tanya Rangga ingin memastikan.

"Kau sudah lihat sendiri, Rangga. Seluruh ruangan di istana ini sudah kau periksa. Tidak ada lagi yang kusembunyikan di sini," tegas Dewi Anjungan. "Bertahun-tahun aku tidak pernah lagi melihat Cempaka. Dan aku tidak tahu lagi, bagaimana rupanya sekarang ini. Pasti dia sudah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik sekali."

"Ya, dia memang cantik. Dan aku sangat menyayanginya," sambut Rangga.

"Kau pantas menyayanginya, Rangga. Karena, kau adalah kakaknya. Dan sudah sepantasnya kalau kau menjaga dan melindunginya."

"Aku sudah berusaha sebaik mungkin."

Kembali mereka terdiam beberapa saat lamanya.

"Bibi Dewi! Beberapa orang di istanaku melihat, kau yang membawa Cempaka...," kata Rangga bernada terputus suaranya.

"Hm...," Dewi Anjungan jadi tersenyum sinis.

Dan Rangga jadi terdiam.

"Aku sudah lenyap selama puluhan tahun bersama istanaku ini, Rangga. Kenapa kau begitu mudah percaya pada omongan kosong seperti itu...? Apa kau tidak pernah berpikir, seseorang yang telah menghilang puluhan tahun bisa dengan mudah dikenali begitu saja? Dan terakhir kali aku melihat Cempaka, saat dia berumur sekitar.... Ah, entahlah. Aku tidak ingat lagi. Dan aku juga sudah lupa, bagaimana rupanya sekarang ini."

"Kau sudah tahu keponakanmu hilang, tapi kenapa diam saja, Bibi Dewi?"

"Aku tidak ingin lagi larut dengan segala macam urusan dunia, Rangga. Tapi, aku juga ikut memikirkan keadaan Cempaka saat ini. Hanya saja, aku sekarang tidak bisa berbuat apa-apa dulu. Penjara batin yang kuderita beberapa tahun telah menguras hampir seluruh kekuatanku. Dan kekuatanku itu harus kupulihkan dulu, sebelum kembali ke dunia ramai. Aku sama sekali tidak bisa melakukan apa-apa, sampai kekuatanku kembali pulih seperti semula," ujar Dewi Anjungan menjelaskan. "Tidak lama lagi, seluruh kekuatanku pulih kembali. Dan aku pasti akan mencari Cempaka. Tapi sekarang, aku tidak mau lagi memaksakan kehendakku. Aku akan menerima kalau Cempaka memang lebih senang tinggal di Karang Setra. Tapi, istana ini juga tidak tertutup baginya. Juga untukmu, Rangga."

Lagi-lagi Rangga hanya diam saja. Macam-macam pikiran langsung saja berkecamuk dalam kepalanya. Memang, apa yang dilihat dan didengarnya sekarang ini tidak bisa lagi dibantah. Setiap sudut istana ini sudah dilihatnya. Tidak ada satu ruangan pun yang terlewatkan, dan ternyata Cempaka memang tidak ada di dalamnya. Bahkan sikap Dewi Anjungan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda seperti yang dikatakan Eyang Balung Gading. Rangga tidak bisa lagi menuduh, kalau wanita ini yang menculik Cempaka. Kini semua persoalan baginya jadi buntu.

Sekarang Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu lagi di mana Cempaka berada, dan siapa yang menculiknya. Kepala pendekar muda itu jadi terasa pening memikirkannya. Memang, belum bisa dikatakan begitu saja kalau orang-orang di Istana Karang Setra melihat Cempaka diculik. Namun Pendekar Rajawali Sakti juga tidak menuduh kalau hal itu adalah dusta. Tapi kalau dilihat lenyapnya Dewi Anjungan yang sudah puluhan tahun, dan belum lama baru muncul kembali, rasanya memang mustahil jika ada orang yang langsung mengenalinya begitu saja.

Dan memang, tidak mungkin kalau Dewi Anjungan masih bisa mengenali rupa Cempaka sekarang ini. Karena, terakhir kali melihat, Cempaka masih terlalu kecil. Dan sekarang, Cempaka sadah menjadi seorang gadis cantik. Bahkan merupakan sekuntum bunga yang mengharumkan Istana Ka-rang Setra.

********************

Lewat tengah malam, Rangga baru meninggalkan Istana Neraka itu. Memang aneh kalau bangunan itu dinamakan Istana Neraka. Karena, keadaannya begitu indah dan megah sekali. Sungguh berlawanan jika dipandang dari luar, yang tampak menyeramkan sekali. Dewi Anjungan sendiri yang mengantarkan Pendekar Rajawali Sakti sampai di pintu depan. Dan Rangga terus berjalan meninggalkan istana itu tanpa berpaling lagi ke belakang.

Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti setelah tiba di jalan setapak yang menghubungkan lembah itu dengan dunia luar. Rangga baru memutar tubuhnya, dan memandang ke arah bangunan istana tua itu. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti berdiri mematung, memandangi bangunan Istana Neraka.

Kemudian, dia kembali melangkah menuju gua yang tidak seberapa jauh dari jalan setapak di sekitar Lembah Neraka ini. Di dalam gua itu, Rangga meninggalkan Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading. Sementara malam terus merayap semakin bertambah larut. Dan udara di sekitar lembah ini terasa begitu dingin merasuk sampai ke tulang.

"Dari mana, Kakang...?"

"Oh...?!" Rangga agak tersentak, ketika mendengar teguran lembut. Kepalanya yang tertunduk langsung terangkat. Di depannya, tahu-tahu sudah berdiri Pandan Wangi. Sungguh sama sekali tidak disadarinya kalau sudah berada dekat dengan gua kecil itu. Api unggun di dalam gua masih kelihatan menyala. Tampak Eyang Balung Gading duduk bersila, bersikap semadi. Sementara Pandan Wangi sudah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti, dan berdiri sekitar dua langkah lagi di depannya.

"Aku cari ke mana-mana, kau tidak ada. Ke mana saja sih...?" Pandan Wangi agak memberengut.

"Aku ke istana itu," sahut Rangga agak mendesah.

"Ke sana...?!" Pandan Wangi mendelik kaget.

"Iya," sahut Rangga lagi.

"Lalu...?" desak Pandan Wangi jadi ingin tahu.

Rangga hanya menghembuskan napas panjang seraya mengangkat bahu sedikit. Kemudian tubuhnya dihempaskan di atas sebatang akar yang menyembul keluar dari dalam tanah. Pandan Wangi ikut duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tampaknya, dia masih menunggu jawaban Rangga.

"Kau temukan Cempaka di sana, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi tidak sabar.

"Tidak," sahut Rangga. "Cempaka tidak ada di sana."

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...."

"Ketika ke sana, aku disambut baik Dewi Anjungan. Bahkan diantar berkeliling, memeriksa seluruh istana itu. Tidak ada yang terlewat, dan Cempaka memang tidak ada di sana," jelas Rangga.

"Terus...?" desak Pandan Wangi.

"Ya.... Tampaknya Dewi Anjungan memang tidak menculik Cempaka, Pandan. Dan dia sama sekali jauh berbeda dari yang dikatakan Eyang Balung Gading. Dia begitu ramah dan baik sekali. Tidak ada tanda-tanda kalau dirinya seorang wanita kejam. Sama sekali tidak terlihat kejanggalan di sana. Semuanya dalam keadaan wajar, dan tidak ada satu jebakan pun kutemui. Bahkan Dewi Anjungan mengakui kalau dia dan istananya terkurung oleh tirai batin yang kuat," jelas Rangga panjang lebar.

"Tapi kata Eyang Balung Gading, dia wanita licik, Kakang. Dia itu ular berkepala dua," sergah Pandan Wangi, seakan-akan tidak percaya atas cerita Rangga mengenai si Ratu Lembah Neraka dan istananya itu.

"Sekarang ini, aku belum bisa menentukannya dengan pasti, Pandan."

Pandan Wangi jadi terdiam. Dan Rangga juga diam membisu. Entah, berapa lama mereka berdiam diri. Berbagai macam pikiran berkecamuk di dalam kepala masing-masing.

"Pandan, kau ingat siapa-siapa saja yang melihat Cempaka diculik waktu itu?" tanya Rangga setelah cukup lama berdiam diri membisu.

"Hampir semua orang yang ada di istana, Kakang," sahut Pandan Wangi.

"Di istana, hanya Ki Lintuk saja yang tertua. Dan sama sekali Ki Lintuk tidak pernah berurusan dengan Dewi Anjungan. Sedangkan yang lain, tidak pernah melihat sebelumnya. Hmmm...," Rangga jadi bergumam, bicara pada diri sendiri.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...?" tanya Pandan Wangi semakin bertambah bingung.

"Aku merasa ada sesuatu yang aneh, Pandan," gumam Rangga, masih seperti untuk diri sendiri.

"Aneh...?"

"Ya," sahut Rangga. Pendekar Rajawali Sakti langsung bangkit berdiri. Sedangkan Pandan Wangi hanya bisa memandangi dengan sinar mata masih diliputi ketidakmengertian.

"Aku akan ke Karang Setra dulu, Pandan. Kau tetap di sini bersama Eyang Balung Gading. Dan besok pagi-pagi sekali, aku sudah ada di sini lagi," kata Rangga buru-buru.

"Eh...?!" Pandan Wangi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, karena Rangga sudah melesat begitu cepat. Sehingga dalam sekejap mata saja, bayangan tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap tak terlihat lagi. Pandan Wangi jadi termangu sendiri, terus menduga-duga dalam hati. Apa sebenarnya yang sedang terjadi sekarang ini...?

********************

LIMA

Kemunculan Rangga yang begitu tiba-tiba, membuat seluruh penghuni Istana Karang Setra jadi geger. Terlebih lagi, Rangga datang di tengah malam buta seperti ini. Padahal, semua orang sedang terlelap dalam buaian mimpi. Dan memang, Rangga tidak mengalami kesulitan sedikit pun, meskipun harus menempuh perjalanan yang begitu jauh. Karena Pendekar Rajawali Sakti memang menunggang Rajawali Putih. Sehingga, dia bisa begitu cepat sampai di Istana Karang Setra dari Lembah Neraka.

Rangga langsung membawa Danupaksi, Ki Lintuk, Paman Bayan Sudira ke dalam kamar pribadinya. Dan siapa pun dilarang untuk masuk ke dalam ruangan ini. Sikap yang aneh ini membuat mereka jadi bertanya-tanya di dalam hati. Mereka duduk melingkari sebuah meja bundar yang berada di tengah-tengah ruangan itu.

"Aku ingin bertanya pada kalian semua. Dan aku ingin jawaban jujur, tanpa harus ada yang ditutupi," ujar Rangga begitu sungguh-sungguh nada suaranya.

Danupaksi, Ki Lintuk, dan Paman Bayan Sudira hanya diam saja. Mereka saling melemparkan pandang, satu sama lain.

"Aku ada di sini bukan sebagai raja. Dan kalian tidak perlu bersikap sungkan padaku," kata Rangga lagi mengingatkan.

Belum ada seorang pun yang membuka suara. Dan untuk beberapa saat, keadaan menjadi sunyi. Rangga sendiri terdiam membisu beberapa saat, sambil merayapi wajah-wajah yang berada di depannya.

"Siapa saja di antara kalian yang melihat penculik Cempaka?" tanya Rangga langsung, dengan nada suara agak ditekan.

Semua kepala bergerak menggeleng.

"Jadi tidak ada seorang pun yang melihat?"

"Aku datang, si penculik itu sudah pergi, Kakang," jelas Danupaksi.

"Jadi, siapa yang melihat?" tanya Rangga lagi.

"Tidak ada," Ki Lintuk yang menyahuti.

"Semua prajurit yang memergokinya tewas," sambung Paman Bayan Sudira.

"Tidak ada...? Lalu, kenapa kalian bisa menyangka kalau Ratu Lembah Neraka yang menculik Cempaka...?" agak tinggi nada suara Rangga.

Tidak ada yang menjawab seorang pun.

"Ki Lintuk..., kau pernah berurusan dengan Ratu Lembah Neraka?" tanya Rangga seraya menatap tajam laki-laki tua itu.

"Tidak," sahut Ki Lintuk.

"Kau tahu, bagaimana rupa wanita itu?" tanya Rangga lagi.

Kali ini, jawaban Ki Lintuk hanya dengan gelengan kepala saja.

"Dan kau, Paman Bayan Sudira...?" Rangga beralih menatap Paman Bayan Sudira.

"Aku juga belum pernah bertemu dengannya. Namanya saja baru kudengar kali ini," sahut Paman Bayan Sudira.

"Dewata Yang Agung...," desah Rangga.

"Kalian semua tidak ada yang mengetahuinya, tapi kenapa bisa mengatakan penculik itu adalah Ratu Lembah Neraka...?"

"Kakang...," selak Danupaksi.

"Ya, ada apa...?"

"Cempaka pernah cerita, dia punya seorang bibi yang sudah bertahun-tahun menghilang. Dan Cempaka banyak cerita tentang bibinya memang menginginkannya. Dan ketika Cempaka diculik, aku langsung berpikir ke sana. Maka, kukirim beberapa orang telik sandi untuk menyelidiki Lembah Neraka. Mereka mengatakan, di sana memang ada sebuah bangunan istana. Lalu aku langsung mengirim beberapa jago istana, prajurit, dan beberapa panglima. Tapi mereka semua tidak ada yang kembali lagi. Bahkan aku sempat pergi ke sana, dan hampir saja tewas. Untung saja Paman Bayan Sudira segera datang menolongku," jelas Danupaksi.

"Kenapa kau sampai bisa berpikir ke sana, Danupaksi?" tanya Rangga meminta penjelasan.

"Aku hanya berpikir, tidak ada orang lain lagi yang menginginkan Cempaka selain Ratu Lembah Neraka, Kakang. Karena dia, adalah bibinya Cempaka. Dan Cempaka sendiri yang mengatakan kalau bibinya sudah beberapa kali mencoba merebutnya dari Eyang Balung Gading. Dan itu sebelum Ratu Lembah Neraka menghilang, Kakang," jelas Danupaksi panjang lebar.

"Kau sudah melakukan tindakan yang sangat ceroboh, Danupaksi," ujar Rangga tegas.

"Maafkan aku, Kakang," ucap Danupaksi menyesal.

"Hhh..., sudahlah," desah Rangga seraya bangkit berdiri dari kursinya.

Sementara Danupaksi hanya tertunduk saja. Ki Lintuk dan Paman Bayan Sudira juga terdiam, tidak berkata-kata sedikit pun juga. Sementara Rangga melangkah menghampiri jendela. Dibukanya jendela itu lebar-lebar, membuat angin malam yang dingin langsung menerobos masuk menerpa tubuhnya.

"Aku akan pergi lagi. Dan kuminta, jangan ada seorang pun dari kalian bertiga yang meninggalkan istana," pesan Rangga.

Dan belum juga ada yang memberi jawaban, Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat begitu cepat bagaikan kilat. Sehingga dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah tidak terlihat lagi. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar lenyap seperti tertelan bumi.

********************

Bukan hanya Rangga yang jadi bingung. Bahkan Eyang Balung Gading pun hampir tak percaya setelah mendengar semua yang diketahui Pendekar Rajawali Sakti. Jalan yang ditempuh sekarang ini benar-benar sudah buntu. Dan mereka tidak tahu lagi, ke mana harus mencari Cempaka. Tuduhan kalau Dewi Anjungan yang membawa lari Cempaka, hanya berdasar pada dugaan Danupaksi saja. Sedangkan adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu, sama sekali tidak mengenal Dewi Anjungan yang dijuluki Ratu Lembah Neraka.

Danupaksi sendiri menduga begitu, karena mendengar sendiri cerita dari Cempaka tentang dirinya. Maka dia langsung menuduh Dewi Anjungan, setelah mendapat berita dari telik sandi yang dikirimnya untuk menyelidiki Ratu Lembah Neraka itu. Dan sekarang, tidak ada alasan lagi untuk mencurigai Ratu Lembah Neraka, setelah Rangga mengetahui sikap dan keadaan istana itu.

"Eyang.... Kau masih ingat saat mengadakan sayembara di padepokan...?" ujar Rangga setelah cukup lama mereka berdiam diri.

Eyang Balung Gading mengangkat kepala perlahan-lahan. Pandangannya langsung tertuju pada bola mata Pendekar Rajawali Sakti, lalu perlahan kepalanya bergerak terangguk.

"Kau mengenal semua yang ikut sayembara mu? Terutama peserta laki-laki, Eyang," ujar Rangga lagi.

"Ya. Tapi tidak semua," sahut Eyang Balung Gading.

"Sekarang ini kita semua menghadapi jalan buntu, Eyang. Dan tidak ada salahnya kalau penyelidikan dimulai lagi dari satu persatu peserta sayembaramu waktu itu," kata Rangga.

"Maksudmu...?" "Mereka semua menderita malu dan kekecewaan yang dalam, Eyang. Jadi bukan mustahil kalau mereka menyimpan dendam, dan ingin menguasai Cempaka dengan cara apa pun juga," Rangga menjelaskan jalan pikirannya.

"Hmm.... Ya, memang ada kemungkinan juga, Rangga," gumam Eyang Balung Gading.

Sementara itu, Pandan Wangi yang tidak tahu apa-apa tentang pembicaraan itu, hanya bisa berdiam diri saja. Gadis itu terus mendengarkan dan mencoba bisa mengerti dari pembicaraan Eyang Balung Gading dan Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun sulit, tapi sedikit demi sedikit bisa juga memahaminya. Terlebih lagi setelah Rangga menjelaskan tentang sayembara yang diadakan Eyang Balung Gading beberapa waktu yang lalu. Sehing-ga, Rangga bisa bertemu kedua adik tirinya. Kini Pandan Wangi semakin bertambah mengerti.

"Tapi, bagaimana cara menyelidikinya, Kakang? Mereka kebanyakan orang pengembara yang tidak jelas tempat tinggalnya," kata Pandan Wangi.

"Memang itulah kesulitannya, Pandan Wangi. Hanya beberapa saja yang menetap," desah Rangga.

"Dan lagi, memang tidak mungkin menyelidiki mereka satu persatu, Rangga. Terlalu banyak yang ikut sayembara waktu itu. Dan lagi, tidak semuanya kukenal. Mereka datang dari segala penjuru," sambung Eyang Balung Gading.

Mereka kembali terdiam, dan menemui jalan buntu lagi. Memang tidak mudah menyelesaikan persoalan ini. Terlebih lagi, sekarang mereka tidak memiliki petunjuk sedikit pun juga. Sementara itu, Eyang Balung Gading mengarahkan pandangan pada bangunan tua Istana Neraka. Tatapan matanya begitu tajam dan tak berkedip sedikit pun juga.

Sementara, matahari sudah semakin condong ke arah Barat. Sinarnya tidak lagi terik seperti tadi. Dan angin yang berhembus perlahan di sekitar Lembah Neraka, sudah mulai terasa dingin. Tidak lama lagi, malam pasti akan datang menyelimuti seluruh daerah Lembah Neraka ini. Saat itu, Pandan Wangi sudah kembali masuk ke dalam gua. Sedangkan Rangga mencari ranting-ranting kering untuk dijadikan kayu bakar malam nanti.

Sementara, Eyang Balung Gading masih berdiri tegak memandang ke arah Istana Neraka yang berdiri angker di tengah-tengah Lembah Neraka itu. Matahari pun semakin jauh tenggelam di belahan bumi Barat. Cahayanya semakin meredup saja, mengiringi hembusan angin yang semakin terasa dingin. Entah disadari atau tidak, perlahan-lahan Eyang Balung Gading melangkahkan kakinya menuju Istana Neraka itu. Sorot matanya masih tetap tajam, tak berkedip sedikit pun juga.

Sedangkan Rangga dan Pandan Wangi sama sekali tidak tahu kalau Eyang Balung Gading menghampiri istana tua itu. Dan laki-laki tua berjubah kuning gading dengan sulaman bergambar rantai hitam dan dua bilah pedang bersilang di dadanya, semakin mendekati Istana Neraka saja. Meskipun ayunan kakinya kelihatan begitu perlahan, tapi Eyang Balung Gading sebenarnya bergerak cepat.

Dan itu berarti ilmu meringankan tubuhnya dikerahkan. Sehingga, sebentar saja dia sudah sampai di depan pintu bangunan megah yang kelihatan angker di Lembah Neraka ini. Eyang Balung Gading berhenti tepat sekitar lima langkah lagi di depan pintu berukuran sangat besar dan tampak tertutup rapat.

"Hmmm...," Eyang Balung Gading menggumam perlahan.

Kakinya kembali terayun melangkah mendekati pintu itu. Perlahan-lahan tangan kanannya menjulur ke depan, dan mendorong pintu istana. Keningnya jadi bertambah berkerut, ketika pintu yang terbuat dari kayu jati tebal dan besar itu bergerak terdorong.

Kryieeet...! Suara bergerit terdengar menggiris, saat pintu itu bergerak terbuka. Eyang Balung Gading melangkah memasuki istana itu, lalu berhenti sebentar di ambang pintu yang sudah terbuka cukup lebar. Sebentar diamatinya keadaan di dalam yang tampak terang benderang oleh beberapa pelita yang menggantung. Perlahan-lahan kaki laki-laki tua itu terayun melewati ambang pintu.

Kryieeet...!"

Brakkk!

"Oh...?!" Eyang Balung Gading agak terperanjat, ketika tiba-tiba saja pintu di belakangnya bergerak menutup sendiri. Cepat dia melompat menghampiri pintu itu, dan mencoba membukanya. Tapi, pintu yang berukuran sangat besar itu tidak bisa lagi dibuka, seperti terkunci dari luar. Perlahan tubuhnya berputar berbalik, dan mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan yang berukuran sangat besar dan tampak megah ini.

"Aku harus hati-hati. Ini pasti awal jebakan Istana Neraka," gumam Eyang Balung Gading.

Perlahan-lahan laki-laki tua Ketua Padepokan Baja Hitam itu melangkah menyeberangi lantai ruangan yang luas dan berkilat bagai terbuat dari batu permata itu. Pandangannya tertuju lurus pada tangga batu setengah melingkar yang ada di seberang ruangan ini. Sikapnya begitu waspada, tanpa mengedipkan kelopak mata sedikit pun. Kakinya terayun melangkah begitu ringan, sehingga sedikit pun tak ada suara yang terdengar saat menapak lantai batu yang licin dan berkilat itu.

Eyang Balung Gading berhenti sebentar begitu berada di ujung bawah tangga. Matanya menatap tajam ke ujung tangga di atas. Tak ada yang dilihat, kecuali sebuah pintu yang tertutup rapat. Hati-hati sekali Eyang Balung Gading melangkah meniti anak tangga pertama itu. Dengan tatapan mata yang tetap tertuju ke pintu di ujung tangga, kakinya terus melangkah satu persatu, meniti anak-anak tangga itu. Tapi ketika sampai di tengah-tengah, mendadak saja....

"Heh...?!"

Bukan main terkejutnya Eyang Balung Gading, karena tiba-tiba saja undakan tangga yang dipijaknya mendadak jadi datar. Dan lebih terkejut lagi, lantai di ujung bawah tangga tampak terbenam membentuk sebuah kolam lumpur yang bergolak mendidih, menyemburkan api dan asap panas berwarna kemerahan.

"Hap...!" Eyang Balung Gading cepat-cepat menempelkan kedua telapak tangan pada tangga yang kini sudah rata dan licin, sebelum merosot turun ke dalam lumpur berapi di bawah sana. Sungguh menakjubkan! Eyang Balung Gading bisa meletakkan tangannya seperti cecak, sehingga tidak sampai melorot turun ke dalam kolam lumpur yang bergolak mendidih mengeluarkan api itu.

"Phuih! Hampir saja...!" dengus Eyang Balung Gading seraya menghembuskan napas panjang.

Sebentar matanya menatap ke atas, pada pintu yang masih tertutup rapat. Kemudian, perlahan-lahan dia bergerak maju, sambil terus mengerahkan aji kesaktian yang bisa membuatnya berjalan seperti cecak. Namun belum juga jauh, tiba-tiba saja....

Slappp! Wusss!

"Oh...?! Hup...!" Lagi-lagi Eyang Balung Gading dibuat terkejut setengah mati. Karena dari atas, tahu-tahu bermunculan puluhan anak panah yang meluncur cepat bagai kilat ke arahnya. Terpaksa tubuhnya melenting tinggi-tinggi ke udara, sebelum puluhan anak panah itu mencapai tubuhnya. Lalu, manis sekali Eyang Balung Gading meletakkan kedua telapak tangannya pada atap yang terbuat dari batu. Lalu....

"Hup...!" Kembali laki-laki tua itu melenting dengan gerakan begitu manis. Begitu cepat dan indahnya gerakan tubuh Eyang Balung Gading di udara, dan tahu-tahu sudah menjejakkan kakinya di lantai, tepat di depan pintu di ujung atas tangga batu itu. Namun belum juga bisa menarik napas lega, tiba-tiba saja pintu itu terbuka. Dan....

"Heh...?!" Kedua bola mata Eyang Balung Gading jadi terbeliak lebar, begitu dari dalam pintu yang terbuka tiba-tiba itu muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar berpakaian ketat warna merah menyala. Tombak yang tergenggam di tangan kanannya langsung meluruk deras ke arah dada Ketua Padepokan Baja Hitam itu.

"Uts...!" Cepat-cepat Eyang Balung Gading memiringkan tubuhnya ke kanan, sehingga ujung tombak yang runcing itu lewat di depan dadanya. Dan pada saat itu juga, tangan kanan Eyang Balung Gading bergerak cepat menangkap bagian tengah batang tombak itu. Lalu sambil mengerahkan tenaga dalam, tombak itu dihentakkan ke belakang.

"Whaaa...!" laki-laki bertubuh tinggi besar itu jadi menjerit. Seperti daun kering tertiup angin, tubuhnya meluncur deras karena tidak dapat menahan hentakan tenaga dalam Eyang Balung Gading yang sudah mencapai tingkat tinggi itu. Begitu deras tubuhnya meluncur ke bawah, sehingga langsung tercebur kolam lumpur berapi yang menggolak mendidih itu.

"Hhh...!" Eyang Balung Gading menghembuskan napas panjang melihat laki-laki bertubuh tinggi besar itu berteriak-teriak dan menggelepar di dalam kolam lumpur berapi itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Eyang Balung Gading bergegas menerobos masuk ke dalam pintu yang sudah terbuka lebar. Dan kini, dia sudah berada di dalam sebuah ruangan yang juga berukuran luas. Kepalanya langsung berpaling, begitu pintu di belakangnya tertutup sendiri.

"Hmmm...," Eyang Balung Gading menggumam perlahan. Perlahan-lahan Eyang Balung Gading mengayunkan kakinya ke tengah-tengah ruangan yang begitu luas dan megah ini. Sikapnya masih begitu hati-hati dan waspada. Ayunan kakinya sangat ringan, karena memang mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Namun begitu sampai di tengah-tengah ruangan ini, mendadak saja....

Blakkk! "Heh...?!" Eyang Balung Gading tidak sempat lagi berbuat sesuatu, ketika tiba-tiba saja lantai yang dipijaknya membelah begitu cepat dan mendadak. Sehingga, tubuh laki-laki tua itu langsung meluncur ke bawah tanpa dapat terkendali lagi. Pada saat itu, lantai kembali cepat tertutup. Eyang Balung Gading segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh, sehingga ketika sampai di dasar dapat mengendalikan dirinya. Hingga, dia bisa mendarat manis sekali dengan kedua kakinya.

Eyang Balung Gading jadi terperanjat setengah mati. Ternyata kini dia berada pada sebuah ruangan berukuran tidak terlalu besar, dan tampak kotor sekali. Hampir seluruh lantainya dipenuhi rerumputan kering. Bahkan baunya sungguh tidak sedap. Keadaannya pun tidak begitu terang, karena hanya sebuah api obor kecil saja yang ada di dalam ruangan ini.

Eyang Balung Gading melangkah mendekati sebuah pintu yang tampaknya terbuat dari besi baja berukuran cukup tebal. Tangannya terulur, mencoba membuka pintu itu. Keningnya jadi berkerut, karena pintu itu tidak terkunci sama sekali. Sehingga, pintu itu mudah bisa dibukanya. Perlahan-lahan Eyang Balung Gading menjulurkan kepala keluar.

"Oh...?!" Lagi-lagi matanya jadi terbeliak lebar, begitu kepalanya menjulur dari ruangan pengap dan kotor ini. Hampir dia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tapi semua itu memang bukan mimpi. "Cempaka...," desis Eyang Balung Gading.

Bergegas Eyang Balung Gading menerobos masuk ke dalam ruangan yang berukuran tidak begitu besar ini, tapi tampak lebih bersih dan rapi daripada ruangan di balik pintu baja itu. Eyang Balung Gading tidak peduli dengan pintu yang kembali tertutup. Kakinya terus melangkah cepat menghampiri seorang gadis yang terbaring di atas kayu, beralaskan dari kain halus berwarna biru muda, dan dalam keadaan seperti tidak sadar.

Tak ada gerakan sedikit pun dari gadis yang mengenakan baju merah muda itu. Hanya gerakan halus pada dadanya saja yang menandakan kalau gadis itu masih hidup. Sesaat Eyang Balung Gading memandangi wajah yang cantik, dan seperti sedang tertidur pulas itu.

"Cempaka...," panggil Eyang Balung Gading, seraya menyentuh pundak gadis itu.

Tapi, gadis cantik yang terbaring itu tetap diam. Memang dia adalah Cempaka, adik tiri Pendekar Rajawali Sakti yang selama ini menghilang diculik seseorang dari Istana Karang Setra. Melihat Cempaka hanya diam saja, Eyang Balung Gading bergegas memeriksa seluruh tubuh gadis ini. Dan dia jadi melenguh panjang, begitu mengetahui kalau seluruh aliran jalan darah Dewi Cempaka sudah tertutup. Sehingga, gadis ini benar-benar tak berdaya lagi seperti sudah mati.

"Bertahanlah, Anakku. Aku akan mencoba membebaskanmu dari belenggu ini," ujar Eyang Balung Gading perlahan.

Laki-laki tua berjubah kuning gading itu kemudian naik ke atas pembaringan ini. Lalu, dia duduk bersila, bersikap bersemadi. Kelopak matanya langsung terpejam, dan bibirnya bergerak-gerak bagai menggeletar kedinginan. Sedangkan Cempaka masih tetap diam terbaring di depannya dengan mata terpejam rapat.

"Hesss...! Hep...!"

Tiba-tiba saja kedua tangan Eyang Balung Gading bergerak cepat. Jemari tangannya begitu lincah memberi totokan berkali-kali ke sekujur tubuh Dewi Cempaka. Tubuh gadis itu tampak jadi kejang-kejang menerima totokan yang berkali-kali dari Eyang Balung Gading. Dan ketika ujung jari telunjuk laki-laki tua itu menotok tepat di bagian tengah dada yang membusung indah itu, mendadak saja...

"Ugkh! Hoekkk...!"

Tubuh Cempaka terangkat naik, dan seketika itu juga memuntahkan gumpalan darah hitam dari mulutnya. Kemudian, sekujur tubuhnya langsung bersimbah keringat. Gadis itu tampak letih sekali, seperti baru saja melakukan sesuatu yang sangat melelahkan. Sementara Eyang Balung Gading langsung menyandarkan punggungnya ke dinding batu, dengan napas memburu. Keringat bercucuran membasahi seluruh tubuh laki-laki tua itu.

"Ohhh...."

"Oh, cempaka...."

ENAM

Eyang Balung Gading jadi gembira melihat Cempaka mulai merintih lirih dan menggerak-gerakkan kepalanya. Perlahan-lahan kelopak mata gadis itu mengerjap terbuka. Sementara Eyang Balung Gading sudah menghampirinya, dan kini berdiri di samping pembaringan. Cempaka masih merintih lirih, namun matanya kembali terpejam. Kepalanya terus bergerak perlahan. Beberapa saat kemudian, gadis itu membuka kelopak matanya kembali. Sebentar dikerjapkannya, lalu....

"Oh, Ayah...," desisnya tampak terkejut.

Bergegas Cempaka bangkit dari pembaringan, begitu melihat Eyang Balung Gading berada di dalam ruangan ini. Cempaka langsung berlutut dan memeluk kaki laki-laki tua berjubah kuning gading itu. Kedua bola mata Eyang Balung Gading jadi berkaca-kaca gembira mendapatkan kembali anak angkatnya yang dalam keadaan selamat. Meskipun tampaknya gadis itu masih kelihatan lelah sekali, setelah seluruh totokan yang menyumbat semua jalan darahnya terbebaskan.

"Bangunlah, Anakku," ujar Eyang Balung Gading sambil membangunkan Cempaka.

Perlahan gadis itu bangkit berdiri. Sementara Eyang Balung Gading melangkah mendekati sebuah kursi yang berada tidak jauh dari sebuah jendela kecil yang tertutup rapat. Letaknya cukup tinggi, jauh dari jangkauannya. Sedangkan Cempaka sudah duduk di pinggir pembaringan. Eyang Balung Gading mengedarkan pandangan berkeliling. Kini baru sempat diperhatikannya keadaan kamar ini. Tidak terlalu buruk, tapi tidak memungkinkan cahaya matahari bisa masuk ke dalam. Karena, satu-satunya jendela kecil dalam keadaan tertutup. Dan lagi, belum tentu seluruh dinding dan atap serta lantainya berhubungan langsung dengan luar. Eyang Balung Gading kemudian menatap Cempaka yang juga masih tetap diam memandangnya.

"Kau tahu, apa yang terjadi pada dirimu, Cempaka?" tanya Eyang Balung Gading.

"Aku.... Aku tidak tahu, Ayah," sahut Cempaka yang masih juga memanggil Eyang Balung Gading dengan panggilan ayah.

"Bagaimana kau bisa berada di tempat ini, Cempaka?" tanya Eyang Balung Gading lagi.

Cempaka terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaan laki-laki tua itu. Keningnya jadi sedikit berkerut, mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Perlahan-lahan kepalanya yang tadi tertunduk diangkat kembali, dan langsung pandangannya bertemu tatapan mata ayah angkatnya ini. Beberapa saat Cempaka masih terdiam, tidak menjawab pertanyaan Eyang Balung Gading.

"Bibi Anjungan, Ayah...," desis Cempaka tiba-tiba, "Oh..." Cempaka langsung menghambur, dan berlutut di dekat kaki Eyang Balung Gading.

Gadis itu langsung merebahkan kepalanya di pangkuan laki-laki tua berjubah kuning gading ini. Entah kenapa, tahu-tahu bahu gadis itu berguncang. Seketika terdengar isak tangisnya yang begitu perlahan. Jelas, Cempaka berusaha keras agar tidak menangis di depan laki-laki tua yang selama ini selalu dianggap ayahnya. Meskipun, dia tahu kalau Eyang Balung Gading bukanlah ayah kandungnya sendiri.

Agak lama juga Cempaka terisak. Sementara Eyang Balung Gading membiarkan saja gadis itu menangis di atas pangkuannya, meskipun Cempaka sendiri berusaha keras agar isak tangisnya tidak terdengar. Dengan ujung lengan baju, disekanya air mata yang membasahi pipinya. Kemudian perlahan kepalanya diangkat, langsung menatap wajah Eyang Balung Gading. Senyuman tipis terlihat tersungging di bibir laki-laki tua berjubah kuning gading itu.

"Bibi Anjungan membawaku dari istana, Ayah. Dia datang begitu tiba-tiba. Aku langsung dilumpuhkan, sebelum bisa berbuat sesuatu, Ayah...," agak tersentak suara Cempaka.

"Hmmm.... Jadi, benar-benar dia yang menculikmu, Cempaka...," gumam Eyang Balung Gading pelan sekali suaranya. Hampir tak terdengar di telinga Cempaka.

"Dia memaksa agar aku mengikutinya, Ayah. Aku tidak mau, lalu dia marah. Kemudian aku dilumpuhkannya, sehingga seperti mati saja rasanya," sambung Cempaka lagi.

"Apa yang dikehendakinya darimu, Cempaka?" tanya Eyang Balung Gading.

"Dia ingin mewariskan ilmu-ilmu setannya padaku. Bahkan diharuskan menikah dengan laki-laki pilihannya. Aku tidak menyukainya, Ayah. Dia begitu kasar dan mengerikan. Dia tidak lebih dari iblis...!" agak mendesis nada suara Cempaka.

"Siapa laki-laki itu, Cempaka?" tanya Eyang Balung Gading lagi.

"Naga Ireng," sahut Cempaka.

"Naga Ireng...," desis Eyang Balung Gading agak menggeram suaranya.

"Ayah mengenalnya?"

Eyang Balung Gading tidak langsung menjawab, tapi malah bangkit berdiri sambil menghembuskan napas panjang. Perlahan kakinya melangkah mendekati pintu dari besi baja yang tertutup rapat. Tangannya terulur, mencoba membuka pintu itu. Tapi pintu sudah terkunci, dan tidak bisa dibuka lagi. Perlahan Eyang Balung Gading memutar tubuhnya, memandang Cempaka yang sudah berdiri memandanginya juga. Eyang Balung Gading kembali melangkah, sambil mengamati setiap sudut dari dinding ruangan ini. Pada saat itu, tiba-tiba saja....

"Ha ha ha...!"
"Heh...?!"
"Oh...?!"

Suara tawa yang begitu keras menggema dan tiba-tiba, membuat Eyang Balung Gading dan Cempaka jadi terkejut. Cepat-cepat Cempaka melompat menghampiri ayah angkatnya ini. Pada saat itu pintu besi baja terbuka lebar, menimbulkan suara bergerit yang menggiris hati. Dan dari balik pintu, muncul seorang wanita berwajah cantik. Dia mengenakan baju warna merah muda yang begitu tipis, sehingga membayangkan lekuk-lekuk tubuhnya yang indah dan menggairahkan.

"Dewi Anjungan...," desis Eyang Balung Gading langsung mengenali.

"Sungguh pertemuan yang sangat mengharukan sekali," ucap Dewi Anjungan yang dikenal berjuluk Ratu Lembah Neraka. "Selamat datang kembali di istanaku ini, Balung Gading."

"Kenapa kau tidak pernah jera mengganggu ketenteraman kami, Dewi Anjungan?" dengus Eyang Balung Gading ketus.

"Aku tidak akan merasa jera sedikit pun untuk menuntut hakku, Balung Gading," sahut Dewi Anjungan kalem.

"Kau tidak punya hak sama sekali!" sentak Eyang Balung Gading semakin ketus.

"Oh, begitukah...? Lalu, apa kau yang lebih berhak untuk mengurus Cempaka? Kau bukan apa-apa, Balung Gading. Bahkan tidak ada setetes darahmu yang mengalir di tubuhnya. Sedangkan aku... Aku adalah bibinya, yang paling berhak untuk mengurus Cempaka!" tegas Dewi Anjungan.

"Kalau saja kau melakukannya dengan cara baik, dan tidak memaksakan kehendakmu pada Cempaka untuk maksud-maksud busukmu, tentu aku tidak akan keberatan. Tapi apa yang kau lakukan pada Cempaka, memaksaku untuk tidak memberikannya padamu!" balas Eyang Balung Gading semakin dingin.

"Lagakmu seperti manusia yang paling suci di jagad ini saja, Balung Gading. Aku rasa, kau tidak lebih kotor dariku!" dengus Dewi Anjungan ketus.

"Semua manusia memang tidak luput dari dosa, Dewi Anjungan. Tapi, aku berusaha untuk memperkecil dosa. Dan Cempaka tetap tidak akan kuserahkan padamu, jika kau masih tetap mempunyai maksud busuk padanya!"

"Ha ha ha...! Seharusnya kau sadar berada di mana sekarang ini, Balung Gading...?" lantang sekali suara Dewi Anjungan.

Eyang Balung Gading jadi terdiam. Disadari kalau sekarang ini berada di dalam Istana Neraka, tempat tinggal Dewi Anjungan. Sebuah istana yang penuh berbagai macam jebakan maut dan sangat mematikan. Dan berada di dalam istana ini, itu berarti sebagian besar nyawanya hampir melayang. Jadi hanya tinggal menunggu saat kematian saja.

"Ha ha ha...!" Sambil tertawa terbahak-bahak, Dewi Anjungan memutar tubuhnya berbalik.

Dan dengan tenang sekali wanita itu melangkah keluar dari ruangan itu. Pintu yang terbuat dari besi baja kokoh itu langsung tertutup saat Dewi Anjungan melewatinya. Suara tawa Ratu Lembah Neraka itu masih terdengar beberapa saat, kemudian suasana kembali jadi sunyi sekali.

"Ayah! Apa kita bisa keluar dari sini?" tanya Cempaka seperti anak kecil.

"Apa pun yang terjadi, kita harus berusaha keluar dari sini, Cempaka," sahut Eyang Balung Gading mantap.

********************

Sementara Eyang Balung Gading memikirkan cara untuk bisa keluar dari Istana Neraka Itu, di ruangan lain yang begitu besar dan megah Dewi Anjungan tampak tengah berbaring. Tubuhnya yang ramping tampak pasrah di lantai yang beralaskan permadani berbulu tebal, bercorak indah. Kepalanya disandarkan pada bantal yang berbentuk bulat, terbuat dari bahan berbulu halus berwarna merah muda. Dia merubah berbaringnya, ketika mendengar ketukan di pintu.

Tak lama kemudian, pintu yang terbuat dari kayu jadi berukir itu terlihat bergerak terbuka. Lalu, muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar. Dia mengenakan baju berwarna merah menyala. Laki-laki berperawakan dua kali dari manusia biasa itu membungkukkan tubuh dengan sikap begitu hormat.

"Ada apa kau ke sini?" tegur Dewi Anjungan.

"Ada orang datang ke sini, Gusti Ratu," sahut laki-laki bertubuh tinggi besar itu.

"Siapa?"

"Seorang pemuda yang pernah datang ke sini, Gusti Ratu."

"Rangga...," desah Dewi Anjungan langsung berbinar-binar matanya. Dewi Anjungan begitu yakin kalau yang datang pasti Rangga, seorang pemuda tampan dan bergelar Pendekar Rajawali Sakti, dan juga Raja Karang Setra.

"Biarkan dia masuk ke sini," perintah Dewi, Anjungan.

"Baik, Gusti Ratu." Laki-laki bertubuh tinggi besar itu segera membungkuk memberi hormat, kemudian berbalik dan melangkah keluar dari ruangan itu.

Pintu kembali tertutup rapat. Dewi Anjungan cepat-cepat membenahi dirinya. Sengaja bagian bawah pakaiannya dibiarkan tersingkap, sehingga menampakkan sebentuk paha yang putih dan indah sekali. Bagian dadanya juga dibiarkan agak terbuka. Padahal pakaian yang dikenakannya juga sudah begitu tipis sekali.

Tidak lama dia menunggu, kemudian pintu ruangan itu kembali terbuka. Tapi, Dewi Anjungan jadi terbeliak. Ternyata yang muncul di ruangan ini bukan Rangga, melainkan seorang laki-laki muda yang kulitnya hitam, seperti arang. Wajahnya begitu buruk. Bahkan mata sebelah kirinya tidak memiliki kelopak, sehingga terbuka lebar dan memerah. Rambutnya yang panjang dan melingkar, dibiarkan teriap. Sehingga penampilannya semakin mengerikan saja.

Dewi Anjungan cepat-cepat menarik selembar kain tebal di sampingnya, dan langsung menutupi tubuhnya yang tadi sengaja agak terbuka.

"Mau apa kau datang ke sini, Naga Ireng...?" sentak Dewi Anjungan mendelik tidak senang.

"Aku tidak tahan lagi, Dewi. Aku ingin cepat-cepat bersanding dengan keponakanmu," sahut laki-laki hitam bermuka buruk itu.

"Dia belum siap!" dengus Dewi Anjungan.

"Lalu, kapan siapnya...? Kau sudah janji, Dewi. Dan seharusnya, kemarin kau sudah menyerahkannya padaku. Aku tidak ingin kau ingkar janji lagi. Aku sudah membantumu mengembalikan istana ini. Bahkan sudah membuat para prajuritmu melebihi manusia biasa. Aku sekarang menagih janjimu, Dewi. Aku akan membawa Cempaka sekarang juga" tegas Naga Ireng.

"Sudah kukatakan, dia belum siap!" sentak Dewi Anjungan.

"Kalau dia sudah siap, pasti akan kuantarkan padamu."

"Kau jangan mempermainkan aku, Dewi. Ingat kau sudah ingkar dua kali. Dan aku tidak mau kau ingkar lagi," desak Naga Ireng. "Katakan saja terus terang, Cempaka itu keponakanmu atau bukan...? Atau kau hanya mempermainkan aku saja...?"

"Setan...! Dia sudah ada di sini, tahu...?! Tapi dia belum siap menemuimu."

"Kalau sudah ada, kenapa masih juga belum ditunjukkan padaku, Dewi?"

"Belum waktunya"

"Kau sudah membuat kepercayaanku hilang, Dewi Anjungan. Aku tahu, sebenarnya Cempaka bukan keponakanmu. Dan kau hanya mempermainkan aku saja. Kau harus mengganti semuanya, Dewi. Kau harus jadi istriku!" desis Naga Ireng dingin.

"Setan keparat...! Lancang benar mulutmu, Naga Ireng?! Apa kau tidak bisa melihat dirimu sendiri, heh...?! Apa pantas aku berdampingan denganmu?! Bahkan kau lebih pantas berdampingan dengan monyet!" geram Dewi Anjungan merasa terhina.

"Perempuan setan! Licik...!" geram Naga Ireng langsung memuncak kemarahannya.

Laki-laki bertubuh hitam dan berwajah buruk itu benar-benar tidak dapat lagi menahan kemarahannya, setelah mendapat penghinaan yang begitu menyakitkan. Padahal dia sudah bersusah payah memenuhi keinginan Ratu Lembah Neraka untuk mengembalikan istananya. Bahkan menjadikan seluruh prajurit Istana Neraka berukuran dua kali dari manusia biasa.

Meskipun tingkat kepandaiannya tidak bisa ditinggikan lagi, tapi itu sudah lebih memperkuat wanita ini untuk menguasai seluruh daerah sekitar Lembah Neraka. Semua itu dilakukan, karena Dewi Anjungan menjanjikan akan memberikan Cempaka pada Naga Ireng ini. Tapi, sudah dua kali Ratu Lembah Neraka itu ingkar janji. Bahkan ini yang ketiga kalinya Naga Ireng menagih janji.

Tapi, tampaknya Dewi Anjungan juga tidak mau memberikan keponakannya pada laki-laki hitam bermuka buruk itu. Hal inilah yang membuat Naga Ireng jadi tidak bisa menahan kesabarannya lagi. Dia merasa hanya dipermainkan Dewi Anjungan saja.

"Aku tidak akan memperistrimu, Dewi. Kau lebih pantas menjadi budakku. Dan kau harus menuruti semua kehendakku!" desis Naga Ireng menggeram sengit.

"Keparat...! Keluar kau!" bentak Dewi Anjungan langsung meluap amarahnya.

Cepat wanita itu melompat bangkit berdiri, dan tidak mempedulikan keadaan dirinya yang hanya mengenakan baju tipis. Sehingga, bentuk tubuhnya membayang jelas dari pakaian yang dikenakan. Dan ini membuat bola mata Naga Ireng jadi terbeliak. Terpaksa ludahnya harus ditelan, melihat tubuh wanita yang sangat indah dan menggairahkan itu.

"Apa yang kau pandangi, heh...?!" bentak Dewi Anjungan mendelik berang.

"Rasanya tidak ada ruginya kalau malam ini kau mau tidur bersamaku, Dewi. Biarlah semua hutangmu lunas malam ini. He he he...," Naga Ireng terkekeh.

"Keparat...! Hiyaaat!" Dewi Anjungan benar-benar berang setengah mati. Langsung saja dia melompat sambil melepaskan satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Naga Ireng jadi terperangah sesaat.

"Hiaat...!" Cepat-cepat Naga Ireng meliukkan tubuh, se-hingga serangan Dewi Anjungan dapat dihindari. Dan pada saat itu, tangan kanan Naga Ireng bergerak cepat ke arah dada Ratu Lembah Neraka.

"Kurang ajar...! Hih!" Dewi Anjungan jadi geram setengah mati. Buru-buru tangan kirinya dikebutkan, menepak tangan yang hendak menjamah dadanya yang membusung indah itu. Cepat sekali gerakan tangan kiri Dewi Anjungan, sehingga Naga Ireng tidak sempat lagi menarik tangan kanannya yang sudah terulur ke depan itu.

Plakkk!

"Akh...!" Naga Ireng jadi terpekik. Cepat-cepat pemuda hitam itu melompat ke belakang sambil memegangi tangan kanannya yang terasa begitu panas, bagai tersengat ribuan kala berbisa. Memang, tepakan tangan Dewi Anjungan mengandung pengerahan tenaga dalam yang sangat tinggi, sehingga hampir saja meremukkan tulang-tulang tangan laki-laki bertubuh hitam itu.

"Mampus kau, Jelek! Hiyaaat...!" Dewi Anjungan tidak ingin lagi memberi kesempatan pada laki-laki bertubuh hitam itu. Dengan cepat sekali wanita itu melompat sambil memberi beberapa pukulan keras yang beruntun.

Serangan wanita bergelar Ratu Lembah Neraka itu membuat Naga Ireng jadi kelabakan setengah mati. Dia berlompatan dan berjumpalitan, sambil meliuk-liukkan tubuh menghindari setiap pukulan yang meluruk deras di sekitar tubuhnya. Di dalam ruangan yang berukuran sangat besar dan megah itu, Dewi Anjungan terus mencecar Naga Ireng dengan jurus-jurus dahsyat.

Setiap pukulan yang terlontar, mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, menimbulkan angin pukulan yang menderu keras bagai topan. Sedikit pun Naga Ireng tidak diberi kesempatan untuk balas menyerang. Terpaksa laki-laki bertubuh hitam itu berjumpalitan sambil menyumpah serapah. Entah sudah berapa jurus berlalu. Yang jelas, keadaan di dalam ruangan yang semula sangat indah kini sudah porak poranda akibat pertempuran. Namun Dewi Anjungan masih juga belum bisa merobohkan lawannya, meskipun sudah begitu keras berusaha, dengan mengerahkan jurus-jurus mautnya.

"Ha ha ha...! Kau tidak akan bisa mengalahkan aku, Dewi. Ingat, kau masih lemah dan belum sempurna...!" ejek Naga Ireng, pongah.

"Phuih!" Setelah mengeluarkan kata-kata ejekan yang membuat wajah Dewi Anjungan jadi memerah, tiba-tiba saja.... "Hiyaaa...!"

Bagaikan kilat dan tanpa diduga sama sekali, tiba tiba saja Naga Ireng melenting ke udara. Lalu, secepat kilat pula dilepaskannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang begitu tinggi. Sehingga, angin pukulannya jadi berwarna merah bagai api.

"Ufffs...!" Dewi Anjungan jadi tersentak setengah mati. Buru-buru dia melompat ke belakang, dan menjatuh kan diri ke lantai. Beberapa kali Ratu Lembah Neraka itu bergelimpangan di lantai, menghindari pukulan-pukulan yang dilancarkan secara beruntun dari atas itu. Dan ketika melompat bangkit berdiri, mendadak saja....

"Yeaaah...!"

"Heh...?!" Dewi Anjungan hanya mampu terbeliak, ketika Naga Ireng meluruk deras dengan tangan kiri menjulur lurus ke depan. Sedangkan saat itu, keseimbangan tubuhnya masih belum bisa dikuasai. Sehingga, tak ada lagi kesempatan baginya untuk bisa menghindari serangan Naga Ireng itu.

Desss!

"Akh...!" Dewi Anjungan terpekik agak tertahan.

Satu pukulan yang cukup keras, telak bersarang di dada Ratu Lembah Neraka itu. Akibatnya wanita itu terpental ke belakang, sampai punggungnya menghantam dinding cukup keras juga. Dewi Anjungan kembali terpekik begitu merasakan kerasnya dinding batu kamar ini. Sementara itu, Naga Ireng sudah kembali bersiap melancarkan serangan. Dan....

"Hiyaaa...!"

Bettt! Wusss...!

Begitu tangan kanan Naga Ireng mengebut ke depan, seketika itu juga meluncur secercah cahaya kuning keemasan dari telapak tangannya. Dan tak pelak lagi, cahaya itu langsung menghantam bawah dada Dewi Anjungan. Akibatnya wanita cantik itu terpekik keras dan kedua bola mata terbeliak lebar. Seketika tubuh yang indah dan menggairahkan itu jatuh tersuruk ke lantai. Namun, Dewi Anjungan masih bisa bergerak, meskipun sangat lemah sekali. Hanya saja, dia sudah tidak sanggup lagi berdiri. Kedua kakinya terasa begitu lemas, dan sepertinya mengalami kelumpuhan dari bagian pinggang ke bawah.

"Ha ha ha...! Tidak terlalu sukar melumpuhkanmu, Dewi. Ha ha ha...!" Naga Ireng tertawa terbahak-bahak.

"Setan...! Bunuh aku, Naga Keparat!" sentak Dewi Anjungan menggeram berang.

"Kau terlalu nikmat kalau mati begitu saja, Dewi. Dan tentu saja, aku akan merasa rugi sekali kalau membiarkan kau mati begitu saja. Mulai sekarang, kau harus melayaniku sampai benar-benar tidak mampu lagi, Dewi Manis...," ujar Naga Ireng seraya diiringi tawanya yang begitu keras menggelegar.

"Setan keparat...!" geram Dewi Anjungan berusaha menggerakkan kakinya. Tapi, kedua kakinya benar-benar sudah lumpuh. Bahkan kedua tangannya saja hanya dapat digerakkan sedikit sekali. Begitu lemah tanpa ada daya sedikit pun juga. Dewi Anjungan benar-benar berang mendapati keadaan dirinya yang sudah tidak lagi memiliki daya.

Sementara itu, Naga Ireng melangkah menghampiri sambil menyeringai terkekeh.

"Penjaga...!" teriak Dewi Anjungan sekuat-kuatnya.

"He he he..., mereka tidak ada lagi yang mengabdi padamu, Dewi. Mereka semua adalah ciptaanku. Dan tentu saja sangat mudah bagiku untuk bisa membungkam mereka selamanya," ujar Naga Ireng diiringi tawanya yang terkekeh.

"Setan...! Kubunuh kau, Naga Keparat!" maki Dewi Anjungan bertambah berang.

"He he he.... Kau semakin menggairahkan kalau marah begitu, Dewi."

"Setan! Keparat...! Kubunuh kau, Setan...!"

"Ha ha ha...!"

TUJUH

Dewi Anjungan terus berteriak-teriak sambil berusaha bergerak. Sedangkan Naga Ireng sudah semakin dekat saja, sambil tertawa terkekeh dan menyeringai lebar. Bola matanya tak berkedip menjilati tubuh Dewi Anjungan yang indah dan menggairahkan itu. Terlebih lagi, pakaian tipis yang dikenakannya sudah, tidak karuan lagi. Maka beberapa bagian tubuhnya jadi terbuka lebar, membuat napas Naga Ireng semakin keras memburu.

"Ah..., kau cantik sekali, Dewi. Sungguh menggairahkan sekali...," desah Naga Ireng jadi tersengal napasnya.

"Akh...!" Dewi Anjungan jadi terpekik ketika tiba-tiba saja Naga Ireng menubruk, dan langsung memeluknya. Nafsunya benar-benar menggejolak tak tertahankan lagi. Dewi Anjungan terus berusaha meronta, sambil menjerit-jerit sekuatnya. Namun, dia memang sudah tidak lagi memiliki tenaga untuk berbuat lebih banyak. Sedangkan Naga Ireng semakin bertambah liar saja. Tubuh Dewi Anjungan yang menggeliat-geliat di bawah himpitan tubuhnya, membuat gairah Naga Ireng semakin menggelora tak tertahankan lagi.

"Keparat! Kurang ajar...! Lepaskan, Setan Jelek...!" maki Dewi Anjungan habis-habisan.

Naga Ireng sudah tidak mempedulikan lagi makian Ratu Lembah Neraka ini. Bahkan makian dan jeritan Dewi Anjungan, semakin membuatnya bergairah saja. Dewi Anjungan terpekik ketika dengan kasar sekali, Naga Ireng merenggut pakaian yang dikenakannya. Sehingga, kini tak ada lagi selembar kain pun yang menutupi tubuh wanita itu.

"Lepaskan, Biadab...!"

"Heh...?!" Naga Ireng tersentak kaget setengah mati, ketika tiba-tiba saja terdengar bentakan yang begitu keras dan menggelegar. Bahkan bentakan itu membuat seluruh dinding dan lantai ruangan ini jadi bergetar seperti diguncang gempa. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan putih yang berkelebat begitu cepat sekali bagai kilat. Belum juga Naga Ireng bisa berbuat sesuatu, tahu-tahu....

Begkh!

"Akh...!" Tubuh Naga Ireng tahu-tahu terpental ke udara, lalu keras sekali terbanting di lantai hingga bergulingan beberapa kali. Sebuah meja kecil dari kayu jati seketika hancur terlanda tubuh pemuda hitam itu. Namun, Naga Ireng cepat bisa melompat bangkit berdiri. Dan matanya jadi terbeliak, begitu tahu-tahu di dekat tubuh Dewi Anjungan sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Dia mengenakan baju rompi putih, dengan sebuah gagang pedang berbentuk kepala burung tersembul dari balik punggungnya.

"Pendekar Rajawali Sakti...," desis Naga Ireng langsung mengenali.

"Rangga..., oh..," Dewi Anjungan juga mendesah lega begitu melihat pemuda berbaju rompi putih menolongnya dari nafsu si Naga Ireng.

Pada saat itu, dari pintu yang terbuka lebar muncul seorang gadis cantik mengenakan baju berwarna biru muda yang agak ketat. Sebuah pedang tersampir di punggung. Dan di balik ikat pinggangnya, terselip sebuah kipas berwarna putih keperakan. Gadis itu langsung mengambil selembar kain yang tergolek di lantai, dan langsung menghampiri Dewi Anjungan. Ditutupinya tubuh Dewi Anjungan yang polos dengan kain itu

"Bawa dia menyingkir, Pandan," ujar Rangga.

"Baik, Kakang," sahut Pandan Wangi. Tanpa menunggu lagi, Pandan Wangi segera memondong Dewi Anjungan, dan membawanya keluar dari ruangan ini.

Sementara Rangga melangkah beberapa tindak mendekati Naga Ireng. "Siapa kau, Kisanak?! Apa yang kau lakukan pada Dewi Anjungan?" tanya Rangga agak dingin nada suaranya.

"Itu bukan urusanmu!" sentak Naga Ireng menyahut.

"Dewi Anjungan adalah bibi dari Cempaka, adikku. Dan itu berarti dia bibiku juga. Jadi, yang kau lakukan barusan menjadi urusanku juga!" dengus Rangga menjelaskan.

"Oh..., kebetulan sekali kalau begitu," ujar Naga Ireng.

"Apa maksudmu, Kisanak?" tanya Rangga jadi berkerut keningnya.

"Sudah terlalu lama aku menunggu. Kau pasti tahu, di mana Cempaka sekarang berada. Katakan, aku akan membawanya sekarang," kata Naga Ireng.

"Heh...?! Siapa kau ini sebenarnya?" tanya Rangga jadi terkejut.

"Aku Naga Ireng. Cempaka harus menjadi istriku. Dan itu sudah menjadi kesepakatan bersama," sahut Naga Ireng menjelaskan.

"Kesepakatan...? Kesepakatan apa?"

"Sepuluh tahun lebih Dewi Anjungan dan istananya ini terbelenggu kekuatan batin oleh gabungan tujuh ilmu kesaktian dari tujuh orang. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi untunglah, aku bisa menolongnya dengan satu syarat. Keponakannya harus diserahkan untuk kujadikan istri. Dan itu telah disetujuinya. Tapi, sudah dua kali dia ingkar setelah terbebas dari belenggu itu. Dan sekarang aku ingin menagih janjinya, Pendekar Rajawali Sakti," Naga Ireng menjelaskan lagi.

"Lalu, kenapa kau tadi akan memperkosa Dewi Anjungan?"

"Dia sudah ingkar tiga kali dan harus membayarnya, Pendekar Rajawali Sakti. Dia harus menggantikan Cempaka," sahut Naga Ireng.

"Aku tahu semuanya, Naga Ireng. Tapi kau tidak bisa menuntut apa-apa darinya. Kau tidak berbuat apa-apa," dingin sekali nada suara Rangga.

"Setan...! Jangan coba-coba membela perempuan jalang itu, Pendekar Rajawali Sakti!"

"Aku tidak membelanya. Tapi, aku akan melindungi adikku dari tangan-tangan kotor sepertimu!"

"Kurang ajar...!" desis Naga Ireng menggeram.

"Aku harap, kau segera angkat kaki dari sini, Naga Ireng. Kau tidak melakukan apa pun untuk melepaskan Dewi Anjungan dari belenggunya. Belenggu itu hilang dengan sendirinya setelah pemegang kuncinya meninggal. Jadi, kau tidak ada hak untuk menuntut apa-apa, Naga Ireng. Dan kau tidak bisa mengelabuiku, karena aku tahu semuanya," sergah Rangga kalem.

"Setan...!" geram Naga Ireng. Wajah yang hitam seperti arang.

Kini semakin kelihatan hitam, karena kebohongannya terbongkar Pendekar Rajawali Sakti itu. Naga Ireng memang tidak melakukan apa pun juga, dan memang tidak bisa melepaskan belenggu yang diderita Dewi Anjungan. Karena, kesaktiannya memang kalah jauh dibanding tujuh orang yang menggabungkan kesaktiannya untuk membelenggu Dewi Anjungan dan istananya ini dari dunia luar.

Keinginannya untuk mendapatkan Cempaka yang sudah begitu lama dinantikan jadi terbuka lebar, begitu tahu Dewi Anjungan sudah terbebas dari belenggu batin. Terutama setelah Eyang Resi Wanapati yang memegang kuncinya tewas oleh gerombolan Partai Tengkorak di Gunung Puting. Kesempatan ini benar-benar dimanfaatkan dengan baik. Tapi tanpa disangka sama sekali, Pendekar Rajawali Sakti sudah mengetahui semua itu. Dan Naga Ireng tidak bisa lagi berbuat apa-apa.

"Sekarang, kuminta kau pergi dari sini, Naga Ireng," usir Rangga langsung.

"Phuih! Seenaknya saja kau mengusirku, Pendekar Rajawali Sakti!" dengus Naga Ireng.

Srettt! Naga Ireng tiba-tiba saja mencabut pedangnya. Dan tindakan itu membuat Rangga harus melangkah mundur dua tindak. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti jadi menyipit, melihat pedang yang berwarna hitam pekat dan berkeluk seperti keris itu, Pegangannya berbentuk kepala seekor naga berwarna hitam, hampir mirip dengan pedang yang dimiliki Pandan Wangi.

"Aku akan pergi bersama Cempaka atau perempuan jalang itu. Dan kau tidak bisa menghalangiku, Pendekar Rajawali Sakti!" desis Naga Ireng seraya menyilangkan pedang yang berkeluk seperti keris itu di depan dada.

"Kau sudah keterlaluan, Naga Ireng," desis Rangga mulai bangkit marahnya.

"Hhh!"

"Sebaiknya kau cepat pergi sebelum pikiranku berubah, Naga Ireng," desis Rangga datar.

"Berikan dulu Cempaka padaku, baru aku pergi dari sini," tantang Naga Ireng semakin berani.

"Kurang ajar...," desis Rangga langsung mendidih darahnya. Kata-kata Naga Ireng benar-benar menyakitkan, dan sama sekali tidak memandang sebelah mata pada Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan dengan beraninya menghina dan merendahkan Cempaka di depan Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun Rangga hanya kakak tiri saja, tapi begitu menyayangi dan mencintai Cempaka. Jelas, dia tidak rela kalau adik tirinya itu mendapat penghinaan seperti ini.

"Kau sudah keterlaluan, Naga Ireng...," desis Rangga masih mencoba menahan kesabarannya.

"Oh, ya...? Kenapa kau tidak serang aku, Pendekar Rajawali Sakti...?" tantang Naga Ireng mengejek.

Rangga menatap tajam tanpa berkedip. Kemudian tubuhnya diputar berbalik, dan melangkah ke pintu hendak meninggalkan laki-laki bertubuh hitam bagai arang itu. Sikap Rangga yang seperti tidak mempedulikan ini, membuat Naga Ireng jadi tersinggung. Jelas, dia marah bukan main, karena merasa tidak dihargai sama sekali.

"Kembali kau...!" bentak Naga Ireng berang setengah mati.

Namun Rangga terus saja melangkah hampir mencapai pintu keluar ruangan ini

"Setan...! Hiiih!"

Bettt! Slap...! Cepat sekali Naga Ireng mengebutkan tangan kirinya. Dan seketika itu juga, dari telapak tangannya melesat sebuah pisau kecil yang langsung mengarah deras ke arah punggung Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup!" Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti memiringkan tubuhnya ke kanan, sehingga pisau kecil itu hanya lewat saja di samping bahunya. Begitu kuatnya tenaga dalam yang dikerahkan Naga Ireng dalam melemparkan pisau kecilnya, sehingga pisau yang hanya sepanjang jari tangan itu sampai tembus ke dinding batu ruangan ini. Perlahan Rangga memutar tubuhnya, kembali menghadap Naga Ireng. Sorot matanya begitu tajam, tertuju lurus ke bola mata laki-laki hitam itu.

"Kau tidak bisa pergi begitu saja dariku, Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada seorang pun yang boleh memandang sebelah mata padaku!" desis Naga Ireng dingin.

"Tidak ada gunanya membuang nyawa percuma, Naga Ireng," kata Rangga datar.

"Phuih! Kau terlalu angkuh, Pendekar Rajawali Sakti. Kau akan menyesal telah merendahkan Naga Ireng!"

"Hmmm...," Rangga hanya menggumam perlahan saja.

"Kau harus merasakan Pedang Naga Hitamku ini, Pendekar Rajawali Sakti. Pedangku ini tidak akan kalah dengan pedang kebanggaanmu!" desis Naga Ireng lagi.

"Hmmm...," lagi-lagi Rangga hanya menggumam saja.

"Bersiaplah, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat..!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Naga Ireng melompat cepat bagai kilat sambil mengebutkan pedang ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Sesaat Rangga hanya diam saja, memandangi gerakan pedang berwarna hitam pekat itu. Lalu di saat mata pedang itu tepat mengarah ke kepalanya, cepat sekali kepalanya ditarik ke belakang. Sehingga, ujung pedang hitam yang berkeluk seperti keris itu hanya lewat saja di depan wajahnya.

"Uts...!" Rangga jadi terkesiap. Cepat-cepat kakinya melangkah mundur beberapa tindak. Dan ketika ujung pedang itu lewat di depan hidungnya, Pendekar Rajawali Sakti langsung bisa merasakan adanya hawa racun ganas dan sangat mematikan pada pedang itu.

"Hiyaaat...!"

Pada saat itu, Naga Ireng sudah kembali melompat melakukan serangan. Maka Rangga cepat-cepat mengerahkan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Tebasan dan tusukan pedang Naga Ireng manis sekali dapat dihindari Rangga. Gerakan-gerakan tubuh Pendekar Rajawali Sakti memang cepat dan indah sekali. Bahkan masih diimbangi gerakan kaki yang begitu lincah, mengikuti gerak tubuh yang meliuk-liuk seperti belut.

Entah sudah berapa kali Naga Ireng melancarkan serangan, tapi tak satu pun yang berhasil disarangkan ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Jurus demi jurus dikeluarkan Naga Ireng, namun pertahanan Pendekar Rajawali Sakti memang terlalu sulit ditembus. Bahkan terkadang, Rangga melakukan gerakan-gerakan aneh, seperti bukan gerakan orang yang sedang bertarung. Dan ini membuat Naga Ireng jadi semakin berang saja. Harga dirinya benar-benar merasa direndahkan Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiyaaat...!"

Tiba-tiba saja Naga Ireng melenting ke belakang. Dan begitu kakinya menjejak lantai, langsung pedangnya dipindahkan ke tangan kiri. Dan seketika itu juga, tangan kanannya menghentak ke depan sambil berteriak keras menggelegar.

"Yeaah...!"

"Ufs...!" Cepat-cepat Rangga melompat ke atas, begitu dari kepalan tangan Naga Ireng keluar secercah sinar merah yang begitu deras bagai kilat. Cahaya merah itu lewat di bawah kaki Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung menghantam dinding ruangan yang terbuat dari batu ini.

Glarrr...!

Ledakan keras menggelegar terdengar begitu dahsyat sekali. Tampak dinding batu yang tebal itu hancur berkeping-keping, mengepulkan debu yang membuat ruangan ini jadi pengap seperti terselimut kabut tebal.

"Hiyaaa...!" Kembali Naga Ireng melepaskan satu pukulan jarak jauhnya yang sangat dahsyat, tepat ketika Rangga baru saja menjejakkan kakinya di lantai. Tak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Rajawali Sakti itu untuk menghindari serangan dahsyat Naga Ireng itu. Sehingga, terpaksa harus dipapak dengan mengerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.

"Yeaaah...!"

Wukkk!

Begitu kedua tangannya menghentak ke depan, dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti memancar sinar merah bagai api yang langsung menghantam sinar merah yang juga keluar dari tangan Naga Ireng. Tak dapat dihindari lagi. Dua sinar merah beradu di tengah-tengah, sehingga menimbulkan ledakan keras menggelegar. Seluruh dinding, atap, dan lantai ruangan ini bergetar hebat, seakan-akan hendak runtuh ketika terjadi ledakan yang begitu dahsyat akibat benturan dua cahaya merah tadi. Tampak Naga Ireng terpental ke belakang begitu keras. Sedangkan Rangga hanya terdorong dua langkah saja ke belakang. Punggung Naga Ireng menghantam dinding begitu keras, sehingga mengeluarkan pekikan agak tertahan.

"Setan keparat...!" geram Naga Ireng berang. "Hiyaaat.,.!"

Wukkk!

Naga Ireng langsung saja kembali melakukan serangan cepat, sambil mengebutkan pedangnya beberapa kali. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak. Cepat tubuhnya meliuk, begitu pedang hitam Naga Ireng berkelebat di sekitar tubuhnya. Beberapa kali Naga Ireng mengebutkan pedangnya, tapi tak satu pun yang berhasil mengenai sasaran. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tiba-tiba saja...

"Lepas! Yeaah...!" Sambil berteriak keras, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan kiri ke atas, tepat ketika Naga Ireng baru saja membalik arah pedangnya menuju kepala. Begitu cepatnya gerakan tangan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Naga Ireng tidak sempat lagi menyadari. Terlebih lagi, saat itu serangannya sedang terpusat pada pedang. Dan sebelum disadari apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, tahu-tahu...

Bettt! Plakkk!

"Akh...!"

Begitu kerasnya tamparan Rangga pada pergelangan tangan, hingga membuat Naga Ireng tak dapat lagi menguasai pedangnya yang langsung mencelat tinggi ke udara. Naga Ireng melompat, hendak mengejar pedangnya. Namun pada saat yang bersamaan, Rangga juga melenting ke udara sambil melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tidak begitu penuh.

"Yeaaah...!"

Desss!

"Akh...!" Lagi-lagi Naga Ireng terpekik, terkena tendangan cukup keras pada dadanya. Akibatnya, dia jatuh tersuruk begitu keras sekali ke lantai batu yang keras dan licin berkilat itu. Naga Ireng bergulingan beberapa kali, namun cepat bangkit berdiri. Dari mulutnya tampak mengeluarkan darah yang agak kental.

Sementara itu, Rangga manis sekali menjejakkan kakinya di lantai, sekitar satu tombak jauhnya dari laki-laki berkulit hitam itu Dan di tangan Pendekar Rajawali Sakti kini telah tergenggam pedang Naga Ireng.

Pada saat itu, Pandan Wangi yang tadi membawa Dewi Anjungan keluar sudah muncul lagi di ambang pintu. Gadis itu tampak terlongong melihat keadaan kamar ini begitu berantakan. Dia langsung tahu, kalau tadi baru saja terjadi pertempuran di dalam ruangan ini. Perlahan Pandan Wangi menghampiri Rangga yang berdiri tegak, memegang pedang lawannya.

"Kakang...," ujar Pandan Wangi begitu berada di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti.

"Bagaimana keadaan Dewi Anjungan?" tanya Rangga tanpa berpaling sedikit pun dari Naga Ireng yang masih berusaha menguasai pernapasannya yang sesak, akibat tendangan cukup keras pada dadanya tadi.

"Tidak terlalu parah. Dia sekarang sedang bersemadi," sahut Pandan Wangi menjelaskan keadaan Ratu Lembah Neraka.

"Sudah kau tanyakan, di mana Eyang Balung Gading?" tanya Rangga lagi.

"Belum," sahut Pandan Wangi polos. "Dia langsung bersemadi, setelah kubebaskan dari kelumpuhannya. Aku tidak bisa mengganggunya, Kakang."

"Ya, sudahlah. Nanti bisa kutanyakan," ujar Rangga.

Sementara itu Naga Ireng sudah pulih kembali keadaannya. Sorot matanya yang tajam langsung tertuju pada Pendekar Rajawali Sakti yang kini didampingi si Kipas Maut. Namun dari sorot mata yang tajam penuh dendam dan ketidakpuasan, terbersit nada kegentaran.

"Aku rasa tidak perlu lagi diperpanjang persoalan ini, Naga Ireng. Dan kuminta kau segera angkat kaki sebelum pikiranku berubah," kata Rangga agak dingin nada suaranya.

Naga Ireng hanya diam saja, menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun terbersit kegentaran di harinya, tapi tidak menujukkan sikap takluk. Padahal sudah jelas. Kalau Rangga mau, mudah sekali menewaskannya. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti masih memberi kesempatan pada laki-laki bertubuh hitam itu untuk bisa melihat mata-hari esok pagi.

"Ini pedangmu...!" Rangga melemparkan pedang di tangannya, dan tepat jatuh di ujung jari kaki Naga Ireng.

Perlahan Naga Ireng membungkuk, memungut pedangnya yang menggeletak di lantai. Kemudian pedang itu disarungkan kembali di pinggangnya. Sebentar ditatapnya Pendekar Rajawali Sakti itu. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, Naga Ireng langsung melangkah cepat meninggalkan ruangan yang sudah porak poranda itu.

Sementara Rangga dan Pandan Wangi mengiringinya dengan pandangan mata, sampai laki-laki hitam itu tidak terlihat lagi. Sejenak Rangga menghembuskan napas panjang, lalu menatap Pandan Wangi yang kini sudah berada di depannya. Gadis itu juga memandangnya dengan mata tidak berkedip.

"Ayo, kita temui Dewi Anjungan," ajak Rangga.

Pandan Wangi tidak berkata sedikit pun. Di-ikutinya saja saat Rangga melangkah meninggalkan ruangan yang sudah hancur berantakan itu. Mereka terus berjalan tanpa ada yang bicara lagi. Pandan Wangi menunjukkan ruangan di mana Dewi Anjungan yang sedang bersemadi ditinggalkan. Hanya melewati satu ruangan saja, mereka sudah sampai di salah satu ruangan di situ, tadi Pandan Wangi memang meninggalkan Dewi Anjungan. Tapi....

"Heh.... Mana dia...?!"

Pandan Wangi jadi terkejut.

DELAPAN

Dewi Anjungan memang sudah tidak ada lagi di sana. Dan ini membuat Rangga jadi sedikit geram juga pada wanita yang dijuluki Ratu Lembah Neraka itu. Kamar yang berukuran tidak begitu besar itu dalam keadaan kosong. Tak ada seorang pun terlihat di sana. Benar-benar kosong. Sedangkan Pandan Wangi begitu yakin, kalau tadi meninggalkan Dewi Anjungan yang sedang bersemadi di dalam kamar ini.

"Sebaiknya kau keluar, Pandan. Tunggu aku di depan," kata Rangga

"Kau sendiri...?" tanya Pandan Wangi.

"Aku akan memeriksa seluruh ruangan di sini," sahut Rangga.

"Kenapa tidak berpencar saja, Kakang?"

"Jangan.... Istana ini terlalu penuh jebakan. Maaf, bukannya aku merendahkanmu. Tapi kupikir, sebaiknya aku saja sendiri yang memeriksa seluruh bagian istana ini," kata Rangga memberi alasan.

"Baiklah, aku menunggumu sampai fajar," Pandan Wangi mengalah.

"Aku masuk ke sini. Kalau kau tidak keluar sampai fajar besok."

Rangga hanya mengangguk saja, kemudian melangkah meninggalkan Pandan Wangi yang juga terus berjalan keluar dari istana ini. Gadis itu melalui jalan yang sama, ketika masuk bersama Rangga tadi. Dan memang, tadi Pandan Wangi sempat dibuat repot oleh berbagai macam jebakan. Tapi untung saja Rangga berhasil menjinakkan semua jebakan yang terpasang pada setiap ruangan di dalam istana ini.

Sementara itu, Rangga terus mengayunkan kakinya memeriksa setiap ruangan yang ada di dalam istana ini. Entah, sudah berapa ruangan diperiksa. Namun, tak ada satu pun jebakan yang ditemuinya. Bahkan untuk menemukan jejak Dewi Anjungan saja, rasanya terlalu sulit di dalam istana yang besar ini, penuh ruangan besar-kecil dan lorong yang panjang berliku.

Sampai seluruh pelosok diperiksa, tapi tidak juga ditemukan tanda-tanda Dewi Anjungan. Dan Pendekar Rajawali Sakti kini berada di dalam sebuah beranda atas bangunan istana ini. Sebuah beranda yang cukup luas, dan bisa langsung melihat ke halaman depan Istana Neraka ini. Dan ketika Pendekar Rajawali Sakti mengarahkan pandangan ke halaman depan, mendadak saja....

"Heh...?!" Kedua bola mata Pendekar Rajawali Sakti jadi terbeliak lebar, begitu melihat ke halaman depan bangunan istana di Lembah Neraka ini. Tampak jelas di dalam keremangan sinar bulan, terlihat dua orang sedang bertarung di halaman itu. Dan Rangga langsung mengenali, kalau mereka yang sedang bertarung adalah Pandan Wangi dan Dewi Anjungan. Sedangkan tidak seberapa jauh dari tempat pertarungan, terlihat Eyang Balung Gading dan Cempaka terduduk di tanah dengan seluruh tubuh terikat rantai.

"Gila...! Apa-apaan ini...?!" desis Rangga.

Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga cepat berlari ke tepi beranda ini. Memang tinggi sekali, dan rasanya tidak akan mungkin ada orang yang bisa selamat kalau melompat dari ketinggian seperti ini. Rangga jadi berpikir juga, walaupun memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna. Tapi ketika melihat Pandan Wangi terus terdesak, Rangga jadi cemas juga. Sehingga....

"Hup! Yeaaah...!" Tanpa menghiraukan kalau tempat ini begitu tinggi, Rangga langsung saja melompat sambil mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya. Begitu ringan Pendekar Rajawali Sakti melayang di udara. Kedua tangannya dikembangkan seperti seekor burung rajawali yang sedang melayang di angkasa.

Pada saat itu, selembar daun kering melayang di dekatnya. Rangga cepat menangkap daun kering itu, kemudian melemparkannya ke bawah kaki. Dengan ujung jari kaki, ditotoknya daun kering tadi, untuk melenting dan berputaran beberapa kali. Lalu, manis sekali, kakinya menjejak tanah, tidak jauh dari pertarungan antara Pandan Wangi dan Dewi Anjungan.

"Kakang Rangga...," desah Cempaka yang langsung melihat kemunculan Pendekar Rajawali Sakti. Begitu gembiranya Cempaka melihat kedatangan Rangga. Kalau saja tidak terbelenggu rantai barang kali gadis itu sudah menghambur, memeluk Pendekar Rajawali Sakti. Tapi rantai yang mengikat seluruh tubuhnya, membuatnya hanya bisa memandangi pemuda tampan berbaju rompi putih itu dengan sinar mata berbinar. Dan Eyang Balung Gading hanya mendesah lega, melihat Rangga datang, tepat di saat Pandan Wangi benar-benar sudah kewalahan menghadapi Dewi Anjungan.

"Hiyaaa...!"

Desss!

"Akh...!" Pada saat itu, satu pukulan yang dilepaskan Dewi Anjungan tepat menghantam dada Pandan Wangi. Akibatnya si Kipas Maut itu jadi terhuyung-huyung kebelakang. Kalau saja Rangga tidak cepat menangkapnya, barangkali gadis itu sudah tersuruk jatuh. Pandan Wangi agak terkejut juga. Tapi begitu mengetahui orang yang menyangga tubuhnya, hatinya jadi gembira dan ter-senyum lebar.

"Kakang...," desah Pandan Wangi gembira.

"Rangga..,?!" desis Dewi Anjungan terkejut melihat Rangga.

"Kau tidak apa-apa, Pandan?" tanya Rangga.

"Tidak. Hanya, dadaku sesak sedikit," sahut Pandan Wangi.

"Menyingkirlah. Bebaskan Eyang Balung Gading dan Cempaka," kata Rangga.

"Hati-hati, Kakang. Dia tangguh sekali," Pandan Wangi memperingatkan.

Rangga hanya tersenyum saja, kemudian melepaskan rangkulannya pada gadis itu. Sementara Pandan Wangi bergegas menyingkir menghampiri Eyang Balung Gading dan Cempaka yang masih terduduk di tanah, dengan seluruh tubuh terikat rantai baja yang sangat kuat.

"Tidak kusangka. Wajahmu yang cantik, tutur katamu yang lembut, ternyata menyimpan secawan racun...," ujar Rangga mendesis dingin.

"Rangga! Bukankah kau katakan kalau aku punya hak atas Cempaka...? Aku hanya menuntut hakku! Dia keponakanku, anak dari kakak kandungku. Apa aku salah kalau ingin menyayangi dan mewariskan semua yang kumiliki padanya...? Kau seorang raja, Rangga. Seorang pendekar.... Seharusnya kau bisa melihat yang ada di sekelilingmu. Ingat, Rangga... Kau juga masih terhitung keponakanku. Aku ingin tahu, di mana kau berdiri saat ini...?" lantang sekali suara Dewi Anjungan.

"Aku berada di jalan keadilan, Dewi Anjungan," sahut Rangga kalem.

"Keadilan.... Hhh! Apa ini namanya keadilan, heh..?"

"Aku tahu, kau memang berhak atas diri Cempaka, Dewi Anjungan. Dan aku juga tidak akan menghalangi. Tapi, jika kau melakukannya secara benar."

"Apa kau anggap aku ini salah? Aku merasa harus mengganti kedudukan ibunya. Dan seorang ibu akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kembali anaknya yang hilang. Walau nyawa sekalipun taruhannya. Hhh!..! Aku tahu, kau pasti sulit mengerti perasaan wanita, Rangga. Kau pasti sudah terpengaruh cerita Balung Gading. Kau pasti menganggap diriku sebagai wanita rendah, kotor, dan hina! Wanita berhati iblis...!" agak tertahan nada suara Dewi Anjungan.

Rangga jadi terdiam, dan benar-benar merasa serba salah sekarang ini. Dan di satu pihak, dia harus menjaga dan membela Cempaka. Tapi di pihak lain, dia tidak bisa mengingkari kalau wanita yang dihadapinya masih terhitung bibinya juga. Karena, Dewi Anjungan adalah adik kandung dari ibu Cempaka. Sedangkan Cempaka adalah adik tirinya.

Memang sulit bagi Rangga dalam menghadapi persoalan ini. Dan dia merasa sedang menghadapi satu tuntutan untuk bertindak adil dan bijaksana. Rangga menyadari, kalau menggunakan ilmu kedigdayaan dan kesaktian bukanlah jalan terbaik dalam penyelesaian persoalan ini. Bahkan bukan tidak mungkin malah akan menambah buruk keadaannya.

Sementara itu, Pandan Wangi sudah berhasil memutuskan rantai yang membelenggu Cempaka dan Eyang Balung Gading mempergunakan Pedang Naga Geni. Mereka mendengar semua pembicaraan antara Rangga dengan Dewi Anjungan tadi. Pandan Wangi yang sudah mengerti seluruhnya, dan menyadari akan keadaannya, tidak mau jauh dari Cempaka. Bisa dirasakan, apa yang sedang dirasakan hati gadis ini.

Cempaka memang membenci Dewi Anjungan. Tapi, nalarnya harus menerima kalau wanita itu adalah bibinya. Adik kandung ibunya sendiri, walau yang sudah dilakukannya sungguh sangat menyakitkan hati.

"Rangga! Kupikir sudah saatnya menentukan, siapa yang berhak memiliki Cempaka! Kau, atau aku...," tegas Dewi Anjungan.

"Apa maksudmu, Dewi Anjungan?" tanya Rangga agak terkejut mendengar keputusan Ratu Lembah Neraka itu.

"Siapa yang lebih digdaya di antara kita, dialah yang berhak atas Cempaka," tegas Dewi Anjungan.

Rangga jadi terlongong tidak mengerti keinginan Ratu Lembah Neraka itu. Walaupun sudah diduga, tapi tetap saja terkejut mendengar kata-kata bernada tegas itu. Sekilas matanya melirik Cempaka yang berdiri diapit Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading. Tampak jelas raut wajah Cempaka memancarkan kecemasan. Kata-kata yang diucapkan Dewi Anjungan tadi, memang terdengar lantang dan jelas sekali. Sudah barang tentu, mereka semua tahu artinya. Rupanya Dewi Anjungan sudah melemparkan satu tantangan pada Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Bersiaplah, Rangga. Hadapilah aku...!" desis Dewi Anjungan dingin menggetarkan. "Hap...!" Ratu Lembah Neraka langsung saja membuka satu jurusnya.

Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak, seperti tidak ingin melayani tantangan wanita cantik itu. Sedangkan Dewi Anjungan tampak tidak peduli atas sikap Rangga.

"Tahan seranganku, Rangga! Hiyaaat..!" Sambil berteriak keras menggelegar, Ratu Lembah Neraka melompat begitu cepat bagai kilat sambil melontarkan satu pukulan menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Sementara, Rangga masih tetap berdiri tegak. Dan ini membuat Dewi Anjungan jadi terkejut.

"Cepat menyingkir...!" seru Dewi Anjungan tiba-tiba. Tapi memang sudah terlambat. Ternyata tadi Dewi Anjungan sudah melakukan serangan yang sudah tidak dapat ditarik kembali. Bahkan pukulannya sudah terlontar begitu cepat. Sehingga....

"Kakang...!" jerit Cempaka.

Glarrr...!

"Oh, tidaaak...!" jerit Pandan Wangi.

Memang sukar bisa dipercaya, kalau Rangga tetap diam menerima pukulan maut bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan Dewi Anjungan. Bahkan Ratu Lembah Neraka itu sendiri jadi terkejut setengah mati, karena serangannya juga tidak bisa lagi dihentikan. Sehingga, telak sekali pukulan yang dilepaskan menghantam dada Rangga yang sama sekali tidak terlindungi.

Ledakan keras menggelegar terdengar begitu dahsyat, ketika pukulan yang dilepaskan Dewi Anjungan menghantam dada Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat yang bersamaan, memercik bunga api disertai gumpalan asap tebal yang langsung menyelimuti seluruh tubuh Rangga. Sementara, Dewi Anjungan cepat-cepat melompat ke belakang beberapa langkah. Dan ketika asap yang menyelimuti seluruh tubuh Pendekar Rajawali Sakti memudar....

"Kakang...!" jerit Cempaka.

"Tidaaak...!" Pandan Wangi juga memekik menyayat. Kedua gadis itu langsung menghambur, berlari ke arah Rangga yang tampak tergolek di tanah.

Sementara, Dewi Anjungan jadi tertegun memandangi tubuh Rangga yang terbujur tidak bergerak-gerak sedikit pun juga. Sungguh tidak disangka sama sekali kalau Rangga akan berbuat seperti itu. Tubuhnya dibiarkan menjadi sasaran, tanpa melakukan perlawanan sedikit pun juga. Sementara, Pandan Wangi dan Cempaka sudah memeluk tubuh Rangga yang masih terbujur tidak bergerak sedikit pun juga.

Sedangkan Dewi Anjungan masih tetap berdiri terpaku, tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Sedangkan Eyang Balung Gading tampak berdiri tegak di belakang Cempaka. Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung pada Dewi Anjungan yang berdiri mematung memandangi Rangga yang kini berada dalam pelukan amarahnya.

Tiba-tiba saja gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu bangkit berdiri. Langsung kedua senjata pusakanya dicabut. Pedang Naga Geni berada di tangan kanan, Kipas Maut Baja Putih terkembang di tangan kiri. Napasnya mendengus memburu. Sinar matanya begitu tajam menatap langsung Dewi Anjungan.

"Hiyaaat...!" Bagaikan kilat, tiba-tiba saja Pandan Wangi melompat menyerang Ratu Lembah Neraka. Kedua senjata pusakanya berkelebat cepat sekali, membuat Dewi Anjungan jadi terperangah sesaat. Namun cepat-cepat tubuhnya meliuk, sambil menarik kakinya ke belakang menghindari serangan gencar yang dilancarkan si Kipas Maut itu.

Sementara, Cempaka juga sudah bangkit berdiri setelah meletakkan tubuh Rangga yang masih terbujur dengan mata terpejam. Gadis itu melangkah perlahan menghampiri Pandan Wangi yang sudah bertarung kembali melawan Dewi Anjungan. Tatapan matanya begitu tajam, tertuju langsung pada pertarungan itu.

Sedangkan Eyang Balung Gading jadi merasa serba salah. Berganti-ganti ditatapnya Rangga yang terbaring di tanah, lalu beralih ke arah dua wanita yang bertarung. Juga, ke arah Cempaka yang terus melangkah mendekati pertarungan.

"Hentikan pertarungan itu, Eyang...."

"Heh...?!" Eyang Balung Gading jadi terkejut setengah mati. Cepat kepalanya menoleh ke arah Rangga. Tampak Pendekar Rajawali Sakti sedang duduk dengan bibir tersenyum. Dan ini membuat laki-laki tua itu jadi ternganga. Sungguh tadi disangkanya kalau Pendekar Rajawali Sakti mati, tapi kenyataannya masih kelihatan segar, tanpa kurang suatu apa pun juga. Bahkan dengan enak sekali Rangga bangkit berdiri.

"Kau.... Kau masih hidup, Rangga...?" agak tergagap suara Eyang Balung Gading.

"Ya! Aku tidak apa-apa," sahut Rangga tetap tersenyum.

"Tapi tadi...."

"Aku tahu, Eyang. Aku memang sengaja tidak menghindar. Seluruh jalan darah dan pernapasan kututup ketika Dewi Anjungan memukulku tadi. Dan lagi aku tahu, kalau kekuatan wanita itu tidak ada setengahnya lagi. Tapi kuakui, dia memang wanita luar biasa. Hampir saja aku tidak kuat menahannya," ujar Rangga menjelaskan.

"Kau..., kau tidak menggunakan ilmu apa-apa, Rangga?"

Rangga tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja sambil melayangkan pandang ke arah pertarungan antara Pandan Wangi dan Dewi Anjungan. Tentu saja Rangga tidak akan mengatakan kalau tadi mengerahkan satu ilmu yang didapat dari Satria Naga Emas. Sebuah ilmu yang sangat langka dan tidak pernah digunakan selama ini. Sementara itu, Cempaka hanya berdiri saja tidak jauh dari pertarungan itu. Sepertinya Cempaka jadi bimbang, harus berpihak pada siapa.

"Berhenti, kalian...!" seru Rangga tiba-tiba.

Suara Rangga yang begitu keras menggelegar, seketika membuat pertarungan berhenti. Dan mereka langsung berpaling. Betapa terkejutnya ketiga wanita itu, ketika melihat Rangga berdiri tegak, dan tampak segar. Mereka hampir tidak percaya kalau Pendekar Rajawali Sakti masih hidup. Sedangkan tadi, sama sekali Rangga tidak bergerak sedikit pun juga. Bahkan detak jantungnya saja tidak terdengar sama sekali.

"Kakang, kau...," desis Pandan Wangi tertahan.

"Kakang...!" seru Cempaka gembira.

Kedua gadis itu langsung berlari menghampiri Rangga, dan melupakan Dewi Anjungan yang berdiri saja memandangi. Wanita itu masih belum percaya dengan apa yang terjadi. Padahal, dia tadi begitu yakin kalau Rangga sudah tewas akibat pukulannya yang telak mengenai dada. Tapi sekarang..., Pendekar Rajawali Sakti masih tetap tegar, tak kurang suatu apa pun juga.

Sementara Pandan Wangi dan Cempaka memeluk Pendekar Rajawali Sakti secara bersamaan, sehingga Rangga jadi kewalahan juga. Perlahan Rangga melepaskan kedua pelukan gadis itu, kemudian melangkah menghampiri Dewi Anjungan yang masih berdiri tegak memandanginya dengan sinar mata mengandung ketidakpercayaan.

"Kenapa kau berpura-pura, Rangga? Kau ingin mempermainkan aku, ya...?!" sentak Dewi Anjungan jadi geram.

"Tunggu dulu..., aku tidak bermaksud mempermainkanmu. Aku hanya ingin menyelesaikan persoalan ini tanpa harus ada pertumpahan darah di antara kita. Bagaimanapun juga, kita harus bersaudara," kata Rangga menenangkan.

"Apa maksudmu, Rangga?"

"Kau tentu menyayangi Cempaka, karena memang keponakanmu. Dan aku juga menyayanginya, karena memang adikku. Kita sama-sama menyayangi Cempaka, jadi tidak seharusnya ada pertengkaran di antara kita. Dan kurasa, biarlah Cempaka sendiri yang memutuskannya," kata Rangga memberi pilihan.

Dewi Anjungan terdiam. Sebentar dipandanginya Rangga, kemudian beralih pada Cempaka yang berdiri didampingi Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading. Beberapa saat lamanya Ratu Lembah Neraka itu terdiam. Tampak sekali kalau kata-kata yang diucapkan Rangga tadi tengah dipertimbangkannya.

Sementara itu Cempaka melangkah menghampiri. Dan kini gadis itu berdiri di tengah-tengah, antara Rangga dan Dewi Anjungan. Sedangkan Pandan Wangi dan Eyang Balung Gading sudah berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti.

"Dengar! Aku ingin memutuskan masalah ini. Dan tak ada seorang pun yang bisa merubah keputusanku," tegas Cempaka.

Semua perhatian tertuju pada gadis itu, dan tak ada seorang pun yang membuka suara.

"Aku tetap tinggal di Istana Karang Setra. Dan aku berjanji, selama tiga hari setiap bulan purnama akan tinggal di sini bersamamu, Bibi Dewi. Tapi, kau harus berjanji untuk membuang segala perbuatan buruk yang merugikan orang banyak. Aku bersedia menerima ilmu-ilmu yang akan diajarkan, asal kau sudi berdiri di atas keadilan dan membela orang-orang yang lemah, serta memerangi kejahatan. Bagaimana...?"

Dewi Anjungan tersenyum lebar, kemudian menghampiri Cempaka. Langsung direngkuhnya gadis itu ke dalam pelukan. Hal ini membuat Rangga, Pandan Wangi, dan Eyang Balung Gading tersenyum lega. Kini tak ada lagi pertentangan di antara mereka semua.

"Di dalam keterasingan bertahun-tahun, aku sudah banyak merenung. Dan aku memang berjanji untuk meninggalkan semua kebiasaan burukku selama ini. Dan aku akan belajar pada kakakmu, Pendekar Rajawali Sakti," ujar Dewi Anjungan.

"Oh, Bibi...." Cempaka membalas pelukan wanita cantik yang selama ini dijuluki Ratu Lembah Neraka.

Agak lama juga mereka berpelukan, kemudian Dewi Anjungan melepaskan pelukannya. Ditatapnya Rangga, Pandan Wangi, dan Eyang Balung Gading bergantian.

"Bagaimana kalau kalian kuundang ke istanaku...?" ujar Dewi Anjungan.

"Dengan satu syarat, jangan ada jebakan di dalam istanamu," sambut Eyang Balung Gading.

Dewi Anjungan tertawa terbahak-bahak. dan mereka semua jadi tertawa mendengar kelakar Eyang Balung Gading.

Sementara itu, matahari sudah mulai menyemburatkan cahayanya di ufuk Timur. Begitu cerah, secerah wajah-wajah yang berjalan menuju Istana Neraka. Di mata mereka, bangunan tua itu tidak lagi terlihat angker. Bahkan lembah ini juga terlihat begitu indah. Seindah hati Rangga yang telah berhasil menyatukan Cempaka dengan bibinya.


SELESAI

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.