Titisan Ratu Pantai Selatan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Pendekar Rajawali Sakti

Titisan Ratu Pantai Selatan


SATU
MALAM sudah merambat begitu larut. Keheningan menyelimuti seluruh Pesisir Pantai Selatan. Yang terdengar hanya deburan ombak lemah, yang sekali-kali menjilati pantai. Langit tampak kelam, setitik pun tak terlihat cahaya bintang maupun rembulan. Bahkan sedikit pun tak terasa hembusan angin, membuat laut yang menghitam pekat terlihat tenang.

Di antara kerikil-kerikil batu karang dan pasir yarjg menghampar di sepanjang pesisir pantai, tampak seseorang bertubuh ramping tengah berjalan perlahan-lahan. Ayunan kakinya terasa begitu mantap, meskipun hanya satu-satu dan terlihat perlahan. Sorot matanya bersinar tajam, menatap lurus ke tengah laut yang menghitam pekat. Baju biru yang dikenakannya begitu ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan tampak indah. Melihat keadaannya, jelas dia adalah seorang wanita.

Di antara sela-sela rambut yang meriap lebat menghitam, terlihat seraut wajah cantik, berkulit putih halus. Bibirnya yang merah terkatup rapat, tanpa seulas senyum pun terlihat Kakinya terus melangkah mantap dan perlahan, semakin mendekati bibir pantai.

"Hhh..,!" terdengar tarikan napasnya yang begitu perlahan dan terasa berat sekali.

Ayunan kaki wanita itu baru berhenti setelah menyentuh lidah air laut di bibir pantai ini. Dia berdiri tegak memandang lurus ke tengah laut. Lalu, perlahan kepalanya berpaling ke kanan dan ke kiri. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar pesisir pantai ini. Begitu sunyinya, sehingga debur ombak yang sangat kecil begitu terasa mengusik gendang telinga.

"Sudah lewat tengah malam. Mengapa belum muncul juga...?" desah wanita cantik berbaju biru itu perlahan.

Sambil menghembuskan napas panjang, wanita itu kemudian duduk bersila di bibir pantai yang berpasir putih ini. Pandangannya tetap tertuju lurus ke tengah laut. Sedikit demi sedikit mulai dirasakan adanya hembusan angin yang menyebarkan udara begitu dingia Deburan ombak pun mulai keras menggetarkan jantung. Tapi, wanita cantik yang mengenakan baju biru ketat itu tetap duduk bersila. Padahal, lidah-lidah ombak mulai liar menghantam tubuhnya yang ramping dan indah.

"Hhh.... Datanglah, Nyai. Berikan tanda-tanda kedatanganmu padaku," desah wanita itu. Perlahan sekali, hampir tak terdengar suaranya.

Sementara angin semakin keras menimbulkan suara menderu. Dan ombak pun semakin menggelombang tinggi, menghantam batu-batu karang. Namun, wanita berwajah cantik yang mengenakan baju biru itu tetap duduk bersila sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Sikapnya tidak peduli, meskipun seluruh tubuhnya sudah basah oleh gelombang air laut yang semakin keras dan menggila. Bahkan saat air laut sudah menggenang mengubur pinggangnya, dia masih tak bergeming. Wanita itu tetap duduk bersila menatap lurus ke tengah laut.

Clraaat!

Glarrr...!

Tiba-tiba saja berkelebat secercah cahaya kilat yang langsung diikuti ledakan guntur. Kelihatannya, bagai hendak membelah angkasa yang pekat terselimut awan tebal menghitam ini. Seluruh pesisir pantai ini bagai bergetar akibat ledakan guntur yang terdengar dahsyat, begitu seleret cahaya kilat di tengah lautan.

Namun wanita itu masih tetap duduk bersila, walaupun tadi sempat terperanjat. Jelas sekali terlihat di matanya kalau ujung kilat yang menyambar begitu cepat itu, tepat menghantam permukaan di tengah laut. Kelopak matanya jadi menyipit begitu melihat kobaran api di tengah-tengah laut, tepat di tempat ujung kilat tadi menyambar.

Kobaran api itu tidak mengecil, juga tidak membesar. Tapi terlihat semakin dekat saja. Wanita itu kini semakin bisa melihat jelas. Dan ternyata, benda yang dilihatnya bukanlah kobaran api. Melainkan, segumpal cahaya besar yang menyelubungi bayang-bayang beberapa sosok tubuh dan sebuah kereta kuda yang begitu besar dan indah sekali.

Bahkan kini cahaya itu semakin memudar. Dan, akhirnya cahaya itu menghilang begitu sampai di pesisir pantai, tepat di depan wanita cantik yang sedang duduk bersila di tepi pantai. Kini tampak jelas di dalam kepekatan malam, di depan wanita itu berdiri sekitar sepuluh orang gadis cantik. Mereka mengawal sebuah kereta kencana berlapiskan emas, ditarik delapan ekor kuda gagah dan tegap berwarna putih. Di arasnya berdiri seorang wanita berwajah sangat cantik. Dia berpakaian begitu indah, dan bermahkota yang berkilatan oleh batu-batu mutiara.

Sementara, wanita berbaju biru yang masih tetap duduk bersila, jadi terpana menyaksikan semua itu. Matanya tidak berkedip memandangi wanita bermahkota yang berdiri di atas kereta kencana berlapiskan emas di depannya itu.

"Terimalah sembahku, Nyai Ratu...," Ucap wanita cantik berbaju biru itu seraya merapatkan kedua telapak tangan dan membawanya ke depan hidung.

Wanita cantik berpakaian indah itu melangkah turun dari kereta kencananya. Hebat! Dia bisa melangkah di atas permukaan air laut yang bergelombang, meriak di tepian pantai. Langkahnya berhenti setelah sampai di depan wanita berbaju biru yang masih tetap duduk bersila dengan telapak tangan kiri berada di atas lututnya.

"Bangunlah, Rampita...," ujar wanita bermahkota yang dipanggil Nyai Ratu itu,

"Baik, Nyai Ratu."

Perlahan wanita berbaju biru yang bernama Rampita itu bangkit berdiri, setelah memberi sembah kembali. Berdirinya agak membungkuk, dan sikapnya begitu hormat pada wanita bermahkota indah dan berpakaian bergemerlapan itu.

"Aku tahu semua, apa yang ada dalam hatimu, Rampita. Tidak, perlu disampaikan lagi padaku," kata Nyai Ratu. Suaranya terdengar begitu lembut.

"Aku mohon pertolonganmu, Nyai...," kata Rampita berharap.

"Tidak perlu kau pikirkan, Rampita. Aku pasti akan membantumu. Percayalah. Tak ada seorang pun yang bisa menghalangi lagi. Aku penguasa seluruh lautan di Mayapada ini. Tak ada seorang pun yang bisa menghalangi, jika aku sudah melakukan sesuatu," kata Nyai Rata

"Terima kasih, Nyai. Aku tidak tahu lagi, dengan apa aku bisa membalas semua budi dan kebaikan hari Nyai," ucap Rampita seraya kembali memberi sembah.

"Sekarang pulanglah. Aku membawa sepuluh orang yang akan mengawal ke mana saja kau pergi. Dan aku akan datang lagi jika kau memang benar-benar membutuhkan. Lakukan apa saja yang kau inginkan. Aku akan selalu melindungimu," kata Nyai Ratu lagi.

"Terima kasih, Nyai. Tapi...," Rampita tidak meneruskan ucapannya.

"Tapi, kenapa...?"

Rampita tidak menjawab. Dipandanginya sepuluh orang yang berada di sisi kereta kencana. Pakaian yang dikenakan wanita-wanita itu begitu menyolok persis seperti para putri bangsawan kaya atau putri-putri raja. Tentu saja akan menarik perhatian jika mereka mengenakan pakaian seperti itu.

"Pakaian mereka akan berganti setelah aku kembali nanti," kata Nyai Ratu seperti bisa membaca pikiran Rampita.

"Oh! Maafkan aku, Nyai...," ucap Rampita seraya memberi sembah.

Wanita cantik bermahkota itu hanya tersenyum saja, kemudian berbalik dan melangkah kembali ke kereta kencananya. Seperti melayang saja gerakannya saat naik ke atas kereta kencana yang begitu indah ini. Sebentar ditatapnya Rampita, kemudian delapan ekor kuda putih yang menarik kereta kencana itu bergerak memutar. Kini kereta kuda itu kembali melaju cepat bagai kilat ke tengah lautan.

Kilauan cahaya terang bagai api, kembali memancar terang di tengah lautan, kemudian perlahan-lahan lenyap tak terlihat lagi Sementara itu, sepuluh gadis cantik yang tadi datang bersamanya, tahu-tahu sudah berganti pakaian tanpa sedikit pun bisa terlihat Rampita. Dan mereka kemudian berdiri berjajar di belakang gadis cantik berbaju biru itu. Sungguh sukar dipercaya! Baju yang dikenakan Rampita, seketika itu juga jadi kering! Padahal dia tadi hampir tenggelam oleh gelombang lautan, saat Nyai Ratu datang dari tengah lautan bersama kereta kencana itu.

"Kami diperintahkan untuk menuruti apa saja yang kau perintahkan, Nini," kata salah seorang gadis itu.

"Kalian akan terus mendampingiku?" tanya Rampita seraya memutar tubuhnya, memandangi sepuluh gadis cantik yang kini sudah mengenakan pakaian biasa seperti dirinya.

"Selama Nini membutuhkan, dan selama Kanjeng Nyai Ratu belum memerintahkan untuk kembali," sahut gadis itu lagi.

"Baiklah. Tapi apa kalian tahu yang kuhadapi sekarang ini?" ujar Rampita sepera" menguji.

"Kami semua sudah tahu, Nini. Dan kami siap menghadapi segala yang terjadi. Kami rela mati demi menjunjung tinggi perintah Kanjeng Nyai Ratu. Dan sekarang ini kami harus mengabdi pada Nini."

Rampita tersenyum senang mendengar kata-kata itu. Kemudian wajahnya berpaling menatap ke tengah laut. Sebentar ditariknya napas panjang, lalu perlahan kakinya terayun meninggalkan Pesisir Pantai Selatan ini. Sepuluh orang gadis yang semuanya berwajah cantik itu mengikuti dari belakang.

"Kalian semua tidak membawa senjata. Apa kalian bisa bertarung tanpa senjata?" kata Rampita tanpa berpaling sedikit pun. Dan dia terus saja melangkah semakin jauh meninggalkan pantai.

"Senjata kami akan terlihat jika memang benar-benar dibutuhkan," sahut salah seorang dari delapan gadis itu.

"Berupa apa?" tanya Rampita.

"Jika Nini menggunakan pedang, kami semua akan menggunakan pedang. Senjata kami mengikuti senjata yang Nini gunakan."

Lagi-lagi Rampita hanya tersenyum saja. Bisa dimengerti semua jawaban yang diberikan gadis di belakangnya ini. Dan dia memang menyadari kalau kesepuluh gadis itu bukan manusia biasa. Malah bisa dikatakan, mereka memang bukanlah manusia. Jadi, segala apa yang dilakukan memang sulit diterima akal manusia biasa

Seperti kemunculannya yang dari dalam lautan, atau juga cara berganti pakaian. Begitu tiba-tiba saja pakaian mereka sudah berganti, tepat di saat ratu mereka sudah kembali ke tengah lautan. Tapi hal itu tidak membuat Rampita merasa heran. Bahkan apa yang disaksikannya ini, malah membuat hatinya senang. Dengan demikian, begitu banyak harapan yang terkandung di dalam harinya sekarang ini. Wajahnya pun kini terlihat begitu cerah. Sedangkan sinar matanya berbinar bagai bertaburkan bintang.

Sementara, gadis-gadis muda berparas cantik itu terus bergerak semakin jauh meninggalkan pantai. Dan mereka terus melangkah menuju sebuah perkampungan nelayan yang agak jauh dari pantai ini, dan merupakan satu-satunya perkampungan yang terdekat. Tak ada seorang pun yang berbicara lagi. Mereka terus melangkah tanpa membuka suara sedikit juga.

********************

Sementara itu, jauh dari Pesisir Pantai Selatan tampak berdiri sebuah bukit yang menjulang cukup tinggi, dikelilingi lebatnya hutan yang rimbun. Di atas puncak bukit yang biasanya disebut Bukit Rangkas, berdiri sebuah bangunan berukuran besar dan memanjang. Bangunan itu dikelilingi pagar tinggi dari kayu yang bagian atasnya runcing seperti tombak bambu.

Di atas sebuah bangunan kecil tinggi seperti sebuah menara pengintai, terlihat berdiri dua orang sedang memandang ke arah pesisir pantai. Yang seorang adalah laki-laki berusia lanjut, berjubahnya panjang dan longgar berwarna putih.

Sedangkan yang berdiri di sebelah kanan laki-laki tua itu adalah seorang laki-laki muda berusia sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya terlihat cukup tampan. Tubuhnya tegap dan otot-ototnya bersembulan keluar. Benar-benar seorang laki-laki kekar dan tegap. Sebilah pedang tampak tersampir di pinggangnya. Baju merah berukuran ketat, membungkus tubuhnya yang tegap dan padat berisi. Pandangannya juga diarahkan ke pesisir pantai yang terlihat begitu jelas dari Puncak Bukit Rangkas ini.

"Kau lihat, apa yang terjadi di sana, Sanjaya...?" ujar laki-laki tua berjubah putih yang dikenal bernama Eyang Danarpati. Suaranya terdengar begitu pelan. Sehingga seperti menggumam, bicara pada diri sendiri.

"Seseorang telah bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan, Eyang," sahut Sanjaya juga perlahan setengah menggumam.

"Aku tidak tahu, bencana apa yang akan terjadi...," desah Eyang Danarpati lirih.

"Jika Eyang mengizinkan, aku akan mencari manusia durhaka itu dan mencegahnya sebelum terjadi sesuatu," tegas Sanjaya bernada memohon.

"Tidak ada yang bisa kau lakukan, Sanjaya. Tak ada seorang pun yang bisa menghalangi, jika Ratu Pantai Selatan sudah berbuat sesuatu," kata Eyang Danarpati, masih tetap pdan suaranya.

"Lalu, apa yang bisa kita lakukan, Eyang?" tanya Sanjaya.

Eyang Danarpati hanya diam saja, tidak menjawab pertanyaan pemuda itu. Pandangannya masih tertuju lurus ke arah pantai yang kini nampak sudah terang, seperti hari-hari yang lalu. Bahkan awan hitam yang sejak tadi menyelimuti seluruh langit, sudah nampak mulai tersibak. Sedangkan cahaya bulan pun mulai menyemburat, menyinari alam yang gelap gulita ini.

Cukup lama juga Eyang Danarpati terdiam membisu. Pandangannya (urus ke arah pantai, tak berkedip sedikit pun. Sementara Sanjaya juga terdiam tidak bicara lagi, meskipun pertanyaannya tadi belum terjawab. Dia tahu, memang sulit bagi Eyang Danarpati untuk menjawab pertanyaannya tadi.

Semua orang sudah tahu, siapa Ratu Pantai Selatan itu. Dia adalah seorang tokoh wanita yang menguasai seluruh samudera di bumi ini. Tokoh wanita sakti yang sudah hidup ratusan, bahkan ribuan tahun. Dia tak akan pernah mati sepanjang bumi masih terus berputar mengiringi perputaran kehidupan seluruh penghuninya. Dan selama ini, memang tak ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya. Walaupun segala perbuatannya terkadang sangat merugikan banyak orang, tapi Ratu Pantai Selatan begitu dihormati dan disegani kaum nelayan. Memang, tidak sedikit perbuatan Ratu Pantai Selatan yang membantu kehidupan manusia di mayadapa ini. Sehingga, sulit untuk bisa dipastikan, apakah Ratu Pantai Selatan bisa dimasukkan ke dalam golongan hitam maupun putih.

"Ayo kita kembali ke bawah, Sanjaya," ajak Eyang Danarpati.

Tanpa menunggu jawaban pemuda itu, Eyang Danarpati segera saja turun dari puncak menara yang cukup tinggi ini. Gerakan kakinya begitu lincah dan ringan, saat menapaki anak-anak tangga yang sangat curam di sisi menara pengintai ini. Sanjaya bergegas mengikuti orang tua berjubah putih itu. Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan dikerahkan, untuk mengimbangi gerakan yang dilakukan Eyang Danarpati menuruni tangga menara ini.

Sebentar saja, mereka sudah menjejak tanah. Mereka terus melangkah menuju ke beranda depan rumah berukuran besar yang ada di tengah-tengah lingkaran pagar gelondong kayu yang tinggi dan kokoh ini. Kedua orang itu baru berhenti setelah berada di dalam beranda, lalu sama-sama duduk di lantai yang hanya beralaskan selembar tikar paridan yang sudah kelihatan lusuh. Tak ada seorang pun terlihat. Dan memang, malam sudah begitu larut. Suasana terasa begitu sunyi di Puncak Bukit Rangkas ini. Hanya desiran halus angin malam saja yang terdengar mengusik gendang telinga dua orang laki-laki yang usianya sangat jauh ini.

"Besok pagi, hentikan semadi mereka semuanya," kata Eyang Danarpati terdengar perlahan dan agak mendesah suaranya.

"Bukankah masih satu hari lagi mereka harus bersemadi, Eyang...?"

"Sudah cukup. Mereka tidak boleh terlalu lama bersemadi. Bisa mengurangi daya ketahanan tubuh. Mereka harus melatih sedikit demi sedikit. Aku tidak ingin mereka memaksakan diri dalam berlatih semadi," sahut Eyang Danarpati memberi alasan untuk menghentikan semadi seluruh muridnya.

Dan memang, seluruh muridnya sudah dua hari ini tengah melakukan semadi. Sehingga, tempat yang dikenal sebagai Padepokan Bukit Rangkas ini kelihatan begitu sepi,' seperti tidak ada penghuninya. Hanya Eyang Danarpati dan cucunya ini saja yang tidak melakukan semadi. Tingkat kepandaian yang dimiliki Sanjaya memang jauh lebih tinggi daripada seluruh murid Padepokan Bukit Rangkas ini. Itu bisa dimaklumi, karena dia adalah cucu satu-satunya Eyang Danarpati.

"Eyang! Apakah penghentian semadi mereka ada hubungannya dengan kejadian di pantai tadi?" tanya Sanjaya ingin tahu.

Eyang Danarpati tidak segera menjawab. Dia hanya menarik napas saja, dan menghembuskannya kuat sekali. Pandangannya menerawang jauh ke depan. Seperti ada sesuatu yang riba-riba saja menjadi satu ganjalan dalam hatinya. Sedangkan Sanjaya terus memandangi raut wajah tua yang sudah berkeringat itu. Meskipun usianya lebih dari tujuh puluh tahun, tapi Eyang Danarpati masih tampak kelihatan gagah.

"Padepokan ini satu-satunya yang terdekat dengan Desa Nelayan di Pantai Selatan. Aku merasa akan terjadi sesuatu di sini. Entah itu cepat atau lambat," pelan sekali suara Eyang Danarpati, seakan bicara pada diri sendiri.

Sanjaya jadi terdiam. Sudah sejak kecil pemuda itu tinggal bersama laki-laki tua ini. Dan dia tahu betul watak kakeknya. Kalau Eyang Danarpati sudah berbicara melalui dasar harinya, itu berarti suatu pertanda yang sukar dielakkan lagi. Pandangan mata hati Eyang Danarpati seribu kali lebih tajam daripada pandangan mata biasa.

"Aku akan menyelidiki orang yang bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan, Eyang," kata Sanjaya mantap.

Eyang Danarpati memandangi cucunya ini dalam-dalam.

"izinkan aku. Eyang...," mohon Sanjaya bersungguh-sungguh.

"Tapi kau jangan melakukan tindakan apa-apa. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu," kata Eyang Danarpati, tidak bisa menolak keinginan cucunya ini.

"Secepatnya akan kuberi tahu kalau sudah mengetahuinya, Eyang," janji Sanjaya.

Eyang Danarpati mengangguk-anggukkan kepala. Dia percaya dengan janji cucunya ini

"Kapan kau akan berangkat?" tanya Eyang Danarpati.

"Secepatnya, setelah membangunkan semua muridmu, Eyang," sahut Sanjaya.

Kembali Eyang Danarpati mengangguk-anggukkan kepala.

********************

DUA

Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru saja menampakkan cahayanya di ufuk Timur, Sanjaya sudah memacu kudanya. Ditinggalkannya Padepokan Bukit Rangkas yang terletak di atas Puncak Bukit Rangkas, tidak jauh dari Pesisir Pantai Selatan. Pemuda itu cepat sekali memacu kudanya, begitu sudah berada di luar lingkungan padepokan. Sengaja dia pergi sendiri tanpa ada seorang pun yang menemani. Kepergian pemuda itu diiringi Eyang Danarpati yang mengantarkannya sampai beranda depan bangunan padepokannya.

Sanjaya terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi Walau jalan yang dilalui menurun dan penuh batu-batu kerikil, kudanya tetap dipacu kencang Hingga sebelum matahari naik tinggi, pemuda itu sudah sampai di Kaki Bukit Rangkas. Kemudian lari kudanya baru diperlambat setelah sampai di pinggiran sebuah desa, yang tampaknya sebuah Desa Nelayan.

"Ada apa itu di sana...? Ramai sekali...," gumam Sanjaya bicara pada diri sendiri.

Memang, keramaian begitu tampak di tepi pantai. Sanjaya jadi tertarik ingin mengetahui. Dia tahu, pesisir pantai itu yang semalam diperhatikan bersama Eyang Danarpati. Bergegas dia melompat turun dari punggung kudanya, lalu melangkah cepat sambil menuntun kuda putih yang keempat kakinya belang hitam itu.

"Ada keramaian apa di sana, Ki...?" tanya Sanjaya ketika seorang nelayan tua melintas di depannya.

"Ada orang mati," sahut laki-laki tua nelayan itu.

"Orang mati...?!" Sanjaya mengerutkan keningnya.

"Benar! Tubuhnya penuh luka. Dia hampir tenggelam di laut," sahut laki-laki tua nelayan itu lagi. "Orangnya masih muda..., tapi kelihatannya bukan pemuda desa ini."

"Apa tidak ada yang mengenali, Ki?" tanya Sanjaya, ingin tahu.

"Tidak. Sekarang sudah diurus kepala desa," sahut laki-laki tua nelayan itu lagi.

Nelayan itu memandangi Sanjaya dalam-dalam, seakan ada sesuatu yang ingin diketahuinya. Sedangkan Sanjaya mengarahkan pandangannya pada kerumunan banyak orang di pantai. Tampak empat orang bergerak bersamaan, menggotong sebuah tandu berisikan sesosok tubuh yang tertutup selembar tikar. Semua orang yang berkerumun mengikuti empat orang laki-laki bertubuh kekar yang menggotong tandu itu. Mereka mengikuti seorang laki-laki setengah baya, bertubuh tegap dengan wajah masih mencerminkan ketampanannya. Baju yang dikenakannya juga sangat bagus untuk ukuran seorang nelayan.

Semua orang di Desa Nelayan itu sangat menghormatinya, karena laki-laki setengah baya itu adalah Kepala Desa Nelayan ini. Orang mengenalnya sebagai Ki Soma. Sanjaya juga sudah mengenal kepala desa yang masih berusia sekitar lima puluh tahun itu. Sanjaya masih terus memandangi iring-iringan itu, sampai tak menyadari kalau lelaki nelayan tua yang diajaknya bicara tadi meninggalkannya tanpa berpamitan lagi.

Sanjaya mengayunkan kakinya menuju ke sebuah kedai yang tidak jauh dari pesisir pantai ini, setelah iring-iringan orang yang membawa sosok mayat itu sudah jauh menuju ke tempat pemakaman yang ada di dekat hutan bakau. Kudanya kemudian ditambatkan di bawah sebatang pohon yang sudah mati. Kemudian kakinya melangkah masuk ke dalam kedai yang hanya ditunggui seorang wanita setengah baya bertubuh gembur, seperti tong kayu tempat air.

"Beli arak, Nyi," pinta Sanjaya.

"Arak putih, Den...?" tanya wanita itu ramah.

Sanjaya hanya menganggukkan kepala saja. Pemilik kedai bertubuh gembur itu kemudian menyediakan permintaan tamunya dengan sikap dibuat ramah. Sama sekali Sanjaya tidak menghiraukannya. Perhatiannya terus tertuju ke arah pantai yang sudah nampak sepi. Beberapa perahu tertambat di pesisir pantai itu. Tampak di lautan lepas, terlihat beberapa perahu nelayan terombang-ambing gelombang. Sanjaya lalu meneguk arak pesanannya sedikit

"Kelihatannya Aden ini baru datang ke sini, ya...?" tegur wanita gemuk pemilik kedai itu, dengan suara lembut

"Benar, Nyi," sahut Sanjaya seraya berpaling menatap wanita pemilik kedai yang sudah duduk di depannya

"Datang dari mana, Den?"

"Jauh," sahut Sanjaya seenaknya,

"Itu yang mati tadi juga pendatang, Den. Baru kemarin dia datang, dan menginap di rumah penginapan Nini Kalin. Kasihan dia. Padahal kedatangannya ke sini untuk mencari orang tuanya," jelas wanita gemuk pemilik kedai itu bercerita tanpa diminta.

"Apakah sering terjadi pembunuhan di sini, Nyi?" tanya Sanjaya jadi ingin tahu.

"Sejak peristiwa enam bulan yang lalu, baru kali ini ada pembunuhan lagi Tapi, yang sekarang kelihatannya lebih kejam. Tubuhnya sampai habis kena bacokan. Lehernya saja hampir buntung. Hih...! Ngeri, Den...," wanita gemuk yang sering dipanggil Nyi Koret itu nampak bergidik, tidak sanggup membayangkan keadaan tubuh pemuda yang ditemukan tewas terbunuh pagi ini di pantai.

"Peristiwa enam bulan yang lalu...? Peristiwa apa itu. Nyi?" tanya Sanjaya ingin tahu.

"Hanya orang gila yang mau cepat kaya, dan mencari pesugihan. Caranya, bersekutu dengan setan! Dia mencari tumbal, setiap sepekan sekali. Bayangkan saja, Den. Selama enam bulan..., entah sudah berapa orang yang mati jadi tumbalnya. Tapi untung saja perempuan itu cepat mati. Kalau tidak..., bisa habis seluruh penduduk desa ini dijadikan tumbal olehnya," Nyi Koret kembali bercerita.

Sanjaya mengangguk-angukkan kepala. Sungguh tidak diketahuinya kalau di Desa Nelayan ini pernah terjadi satu peristiwa mengerikan enam bulan yang lalu. Padahal, jarak dari desa ini dengan padepokan kakeknya tidaklah seberapa jauh. Dan memang, Sanjaya pada enam bulan yang lalu tidak ada di padepokan. Dia sedang menjalankan tugas dari kakek yang juga gurunya. Tapi, tak ada seorang pun yang bercerita tentang peristiwa mengerikan itu. Dan sekarang, timbul lagi satu peristiwa pembunuhan seperti itu. Tapi, Sanjaya belum bisa mengkaitkan dengan tugas yang sedang diembannya sekarang ini.

"Kata suamiku, anak muda itu mata dengan ciri-ciri yang hampir sama. Tapi sekarang lebih mengerikan lagi," sambung Nyi Koret. "Suamiku sendiri yang pertama kali menemukannya tadi pagi. Aku juga tidak tahan melihatnya."

"Apa mungkin ada orang yang mencari kekayaan dengan pesugihan lagi, Nyi?" tanya Sanjaya.

"Mungkin juga, Den. Tapi kenapa yang jadi korban justru pendatang, dan bukannya penduduk desa ini sendiri," sahut Nyi Koret.

Sanjaya jadi teringat yang dilihatnya semalam. Tapi, hatinya tidak yakin kalau dari peristiwa yang dilihatnya semalam, sudah menimbulkan korban begitu cepat. Lagi pula, sama sekali tidak terlihat adanya suatu pertarungan, ataupun pengambilan korban. Semalam, yang dilihatnya hanya seseorang yang memanggil Ratu Pantai Selatan untuk bersekutu. Dan orang yang tampaknya wanita itu meninggalkan pantai bersama sepuluh gadis yang dibawa Ratu Pantai Selatan dari dasar laut Sama sekali tidak ada peristiwa lain. Tapi sekarang, sudah ditemukannya korban yang belum diketahui penyebabnya. Masih terlalu dini bila ingin mengkaitkan dengan apa yang dilihatnya semalam.

Pendekar Rajawali Sakti
Cukup ramai juga penginapan Nini Kalin. Hampir semua kamar yang disewakan bagi para pendatang yang kemalaman, sudah terisi. Masih untung, Sanjaya bisa memilih kamar yang menghadap langsung ke jalan. Sehingga semua orang yang melalui jalan di depan penginapan ini bisa diamatinya. Dan dia juga bisa mengamati setiap orang yang keluar masuk penginapan ini.

"Sulit juga mencari orang itu. Seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami," desah Sanjaya perlahan, berbicara pada diri sendiri.

Memang, tidak mudah mencari orang yang bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan. Terlebih lagi, Sanjaya melihatnya dari jarak yang sangat jauh. Dan sejak matahari belum tenggelam tadi, dan sampai hampir tengah malam begini, belum juga bisa didapatkan satu orang pun yang bisa dicurigainya. Terlebih lagi saat dia tiba di Desa Nelayan ini. Di sini, satu pembunuhan penuh teka-teki sudah terjadi. Dan itu menambah kesulitan baginya untuk bisa mengetahui lebih cepat lagi. Semua orang di desa ini seperti sudah tercekam suatu kengerian. Dan mereka semua mengkaitkan pembunuhan aneh di pantai siang tadi dengan peristiwa yang pernah terjadi sekitar enam bulan yang lalu.

"Hmmm..., sepi sekali," gumam Sanjaya.

Pemuda itu terus merayapi jalan yang sudah kelihatan begitu sepi sekali. Tapi begitu pandangannya mengarah ke ujung jalan, mendadak saja....

"Heh...?! Apa itu...?!"

Kedua bola mata Sanjaya jadi terbeliak begitu melihat beberapa bayangan merah berkelebat di dalam kegelapan malam yang begitu sunyi dan senyap. Hanya sekilas saja bayangan-bayangan merah yang berkelebatan cepat bisa terlihat. Dan langsung menghilang, tak terlihat lagi.

"Hap...!"

Tanpa berpikir panjang lagi, Sanjaya langsung melompat keluar jendela kamarnya yang sejak siang tadi terus terbuka. Gerakannya begitu ringan, sehingga tak sedikit pun suara yang ditimbulkan saat kakinya menjejak tanah.

"Hap...!"

Pemuda dari Padepokan Bukit Rangkas itu kembali melenting dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sekali saja tubuhnya dikempos, kakinya langsung hinggap di atas atap sebuah rumah. Lalu, dia kembali melesat cepat bagai kilat menuju ke tempat beberapa bayangan merah yang berkelebatan bagai kilat tadi terlihat. Dan kini bayangan itu langsung menghilang begitu saja.

Beberapa kali Sanjaya berlompatan begitu ringan dari satu atap rumah, ke atap rumah yang lainnya. Hingga dalam waktu sebentar saja, kakinya sudah menjejak kembali di tanah, tempat tadi beberapa bayangan merah berkelebat bagai kilat terlihat. Pemuda itu segera mengedarkan pandangannya berkeliling begitu tajam. Tapi, tak terlihat seorang pun di sekitarnya. Yang ada hanya pepohonan dan kegelapan yang menyelimuti.

"Tak ada apa-apa di sini. Hmmm...," gumam Sanjaya perlahan. Kembali pandangannya beredar berkeliling. Namun begitu menatap ke arah kanan, tiba-tiba saja....

Wusss...!

"Heh...?!" Sanjaya jadi terbeliak setengah mati.

"Uts!" Buru-buru tubuhnya melenting berputaran ke belakang, begitu tiba-tiba sebuah bayangan berwarna merah berkelebat cepat ke arahnya. Sanjaya merasakan adanya satu hembusan angin yang begitu kuat dan terasa panas, saat bayangan merah itu lewat di atas rubuhnya yang berputaran ke belakang.

"Hap!"

Baru saja kaki pemuda dari Padepokan Bukit Rangkas itu menjejak tanah, kembali terlihat sebuah bayangan merah berkelebat cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di sekelilingnya sudah mengepung sekitar sepuluh orang gadis yang semuanya mengenakan baju warna merah menyala.

Hampir Sanjaya tidak dapat mempercayai semua yang dilihatnya. Keadaannya yang sudah terkepung tidak kurang oleh sepuluh gadis cantik yang mengenakan baju wama merah menyala, membungkus tubuhnya yang amat indah dan ramping menggiurkan. Namun sorot mata gadis-gadis itu sangat tajam, membuat hati Sanjaya jadi bergetar.

"Siapa kalian...?" tanya Sanjaya dengan nada suara dibuat begitu dingin.

"Mereka tidak akan menjawab pertanyaanmu...," terdengar sahutan yang begitu tajam dan terasa berat.

Perlahan Sanjaya memutar tubuhnya. Kening pemuda itu jadi berkerut melihat seorang wanita bertubuh ramping, mengenakan baju biru tengah berdiri di bawah pohon yang besar dan gelap. Sehingga, sulit baginya untuk bisa melihat wajah wanita itu. Apalagi cahaya bulan yang menggantung di langit tidak sanggup menembus rimbunnya pepohonan yang melindungi wanita bertubuh ramping itu.

"Siapa kau?" tanya Sanjaya. Kedua kelopak mata pemuda itu lebih menyipit, mencoba untuk bisa melihat lebih jelas lagi. Tapi kegelapan yang menyelimutinya, memang sukar ditembus dengan pandangan matanya.

"Kau berhadapan dengan Ratu Pantai Selatan, Bocah Bagus," sahut wanita itu.

Glek!

Sanjaya langsung menelan ludahnya, begitu mendengar wanita itu mengaku sebagai Ratu Pantai Selatan. Semua orang yang tinggal di sekitar Pesisir Pantai Selatan Ini sudah sering mendengar namanya! Dia adalah seorang wanita berwajah cantik, dan bertubuh menggiurkan. Seluruh samudera di bumi ini dikuasainya. Dan tinggalnya pun terletak di dasar samudera yang paling dalam. Tak ada seorang pun yang bisa selamat jika sudah dibawa ke dalam istananya di dasar samudera. Juga, tak ada seorang pun yang bisa selamat jika sudah berhadapan dengannya.

Sanjaya jadi teringat dengan apa yang dilihatnya malam itu, sehingga sekarang berada di Desa Nelayan ini. Langsung disadari kalau sekarang tengah berhadapan dengan seseorang yang tubuhnya sudah ditirisi jiwa Ratu Pantai Selatan. Dia juga menyadari, apa yang akan terjadi pada dirinya. Tidak mudah untuk bisa melepaskan diri jika sudah berhadapan seperti ini. Terlebih lagi, sekarang ada sepuluh orang gadis lain yang mengepungnya. Dan gadis-gadis itu bukanlah manusia biasa!

"Ikutlah denganku, Sanjaya...," ajak wanita itu lagi. Kali ini nada suaranya terdengar begitu lembut Sanjaya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia tidak heran kalau Ratu Pantai Selatan bisa mengetahui namanya, walaupun tidak memperkenalkan diri tadi.

Wanita itu memang bisa mengetahui, siapa saja yang dihadapinya. Bukan hanya namanya yang bisa diketahui, tapi juga seluruh kehidupan dan asal-usulnya. Itulah salah satu dari seribu kehebatan Ratu Pantai Selatan. Perlahan Sanjaya melangkah mundur. Tapi, langkahnya berhenti saat baru beberapa tindak saja.

Sanjaya teringat pesan kakeknya yang juga sekaligus gurunya, agar tidak melakukan tindakan apa pun dalam menghadapi pemuja Ratu Pantai Selatan. Terlebih lagi, kalau si pemuja itu sekarang sudah dititisi jiwa wanita cantik penguasa seluruh samudera di Mayapada ini.

"Maafkan aku, Kanjeng Ratu. Aku tadi tidak bermaksud buruk. Aku hanya...," ucapan Sanjaya terputus.

"Kau sudah mengusik pekerjaan abdi-abdiku, Sanjaya. Dan kesalahanmu itu harus ditebus," kata Ratu Pantai Selatan masih terdengar lembut nada suaranya. Tapi di balik kelembutannya itu, tersimpan sesuatu yang tak bisa dibayangkan Sanjaya.

"Maafkan aku, Kanjeng Ratu...," ucap Sanjaya dengan suara bergetar.

"Ikutlah denganku. Sanjaya. Untuk menebus kesalahanmu," ujar Ratu Pantai Selatan tegas.

Entah untuk keberapa kalinya Sanjaya terpaksa harus menelan ludahnya. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, merayapi gadis-gadis cantik berbaju merah yang mengepungnya dengan sorot mata begitu tajam. Seluruh wajah Sanjaya jadi memucat Tapi, pemuda ini tetap tidak ingin menuruti keinginan wanita titisan Ratu Pantai Selatan itu. Dia tahu, apa yang akan terjadi jika menuruti kehendak wanita penguasa samudera itu.

"Tidak!" sentak Sanjaya tiba-tiba.

"Hiyaaat..!" Cepat sekali Sanjaya melenting ke udara, mencoba meloloskan diri dari jeratan wanita penguasa samudera itu. Gerakannya begitu cepat dan tiba-tiba. Namun belum juga Sanjaya bisa jauh meninggalkan tempat itu, mendadak saja delapan orang gadis cantik berbaju merah itu sudah berlompatan bagai kilat mengejarnya.

"Ufs...! Sanjaya jadi tersedak begitu tiba-tiba di depannya sudah menghadang delapan gadis cantik berbaju merah yang tadi mengepungnya. Sungguh tidak disangka kalau gadis-gadis cantik pengawal Ratu Pantai Selatan mi bisa bergerak demikian cepat, bagaikan kilat behingga, mereka sudah berdiri menghadang di depan tanpa diketahui kapan bergeraknya.

Sanjaya cepat memutar tubuhnya. Tapi matanya kontan jadi terbeliak. Ternyata tidak jauh di depannya kini sudah berdiri gadis cantik berbaju biru, yang tadi berdiri di bawah pohon dan mengaku bernama Ratu Pantai Selatan. Begitu cantiknya, sehingga membuat Sanjaya jadi tak berkedip memandanginya.

"Hup...!" Tiba-tiba saja, gadis cantik berbaju biru yang tadi mengaku sebagai Ratu Pantai Selatan itu melompat cepat sambil menjulurkan tangan kanannya ke depan. Sementara, Sanjaya tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Dia hanya berdiri terpaku dengan kedua bola mata terbeliak lebar tanpa berkedip sedikit pun juga.

"Oh...?!" Sanjaya jadi terhenyak. Tiba-tiba saja dia jadi tersadar. Dan....

"Hait...!"

Hampir saja ujung jari tangan kanan titisan Ratu Pantai Selatan itu mengenai dadanya, untung Sanjaya cepat-cepat meliukkan tubuhnya menghindar. Kini bergegas tubuhnya melenting dan berputaran beberapa kali ke belakang. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, mendadak saja....

Wusss...!

"Heh...?! Hup!"

Buru-buru Sanjaya melambung tinggi ke udara, ketika tiba-tiba saja dari arah belakang terasa hembusan angin yang begitu halus. Ternyata, salah seorang gadis berbaju merah melesat cepat hendak menerkamnya. Untung saja Sanjaya sudah lebih cepat menghindar dengan melesat ke udara. Maka, gadis berbaju merah itu hanya lewat sedikit di bawah telapak kaki pemuda dari Padepokan Bukit Rangkas itu.

"Hiyaaat...!"

Belum lagi Sanjaya bisa menjejakkan kakinya kembali ke tanah, satu orang gadis berbaju merah lagi sudah melompat cepat menerjangnya. Dan Sanjaya terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari terjangan gadis cantik bertubuh indah yang mengenakan baju berwarna merah menyala itu.

Kali ini, Sanjaya benar-benar tidak dapat lagi berbuat lebih banyak. Tubuhnya terus berjumpalitan, sambil meliuk-liuk menghindari serangan-serangan yang dilakukan gadis-gadis cantik ini Sedikit pun tak ada kesempatan bagi Sanjaya untuk bisa membalas menyerang Bahkan sama sekali tidak mempunyai kesempatan mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Serangan-serangan yang dilancarkan sepuluh gadis cantik ini begitu cepat, dan dilakukan secara beruntun. Akibatnya, Sanjaya benar-benar kelabakan setengah mati menghindarinya.

"Hiyaaa...!"

"Hap,..!"

Sanjaya cepat-cepat menarik tubuhnya ke samping, ketika satu orang gadis penyerangnya memberi satu pukulan keras menggeledek ke arah dada. Tapi tanpa diduga sama sekali, mendadak saja dari arah belakang muncul seorang gadis cantik lain yang langsung melepaskan satu tendangan menggeledek. Begitu cepatnya tendangan itu, sehingga dia tidak dapat lagi menghindarinya. Padahal Sanjaya bisa menarik tubuhnya kembali tegak. Tapi...

Desss!

"Akh...!" Sanjaya terpekik keras agak tertahan.

Seketika itu juga, tubuhnya terjerembab mencium tanah. Pada saat yang bersamaan, satu orang gadis lagi sudah melompat sambil melepaskan satu pukulan ke arah pemuda yang masih tertelungkup di tanah itu.

"Ufs...!"

Sanjaya cepat-cepat menggelimpangkan tubuhnya ke samping. Sehingga, pukulan gadis itu tidak sampai mengenai sasaran. Dan pukulan itu hanya menghantam tanah kosong, hingga terbongkar mencintakan kepulan debu yang membumbung ke angkasa. Sanjaya sendiri sampai terperanjat, karena tanah jadi terguncang akibat pukulan gadis berbaju merah itu.

Tak bisa dibayangkan lagi, seandainya pukulan yang sangat keras itu menghantam tubuh pemuda ini. Jelas bisa hancur jadi debu seluruh tubuhnya. Sanjaya cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Namun ketika kakinya baru saja menjejak tanah, satu serangan lain sudah datang begitu cepat luar biasa. Akibatnya, pemuda itu jadi terperangah, dengan kedua bola mata terbeliak lebar.

"Hait...!"

Sanjaya cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Maka pukulan yang dilepaskan gadis itu hanya lewat sedikit saja dari dadanya. Pada saat yang bersamaan, mendadak saja gadis berbaju biru yang tadi mengaku dirinya adalah Ratu Pantai Selatan sudah melenting tinggi-tinggi ke udara. Dan pada saat yang bersamaan, satu orang gadis lain berbaju merah sudah mengibaskan satu tendangan menyamping ke arah kaki Sanjaya.

Wukkk!

"Hup! Yeaaah...!"

Sanjaya cepat-cepat melenting ke udara. Namun mendadak saja matanya jadi terbeliak. Sama sekali tidak disangka kalau di udara, sudah menunggu Tifisan Ratu Pantai Selatan. Dan ketika tangan kanan gadis cantik berbaju biru itu menjulur ke depan, Sanjaya tidak dapat lagi menghindarinya. Dan....

Tukkk!

"Aaah...."

Sanjaya hanya bisa mendesah lirih. Seketika itu juga tubuhnya jatuh terguling ke tanah. Dicobanya untuk bergerak bangkit, tapi jadi terperanjat setengah mati. Ternyata seluruh tubuhnya tidak lagi bisa digerakkan sedikit pun juga. Dan pada saat itu, Ratu Pantai Selatan sudah berdiri di sampingnya. Wanita cantik dengan bibir indah itu menyunggingkan senyum manis sekali.

"Bawa dia...!"

Tanpa menunggu perintah dua kali, salah seorang gadis berbaju merah segera menghampiri Sanjaya. Seperti mengangkat segumpal kapas saja, gadis itu memanggul Sanjaya di pundaknya. Tanpa ada seorang pun yang mengeluarkan suara, mereka bergegas berlompatan pergi meninggalkan pinggiran Desa Nelayan itu. Gerakan mereka begitu cepat dan ringan. Sehingga, dalam waktu sekejap mata saja sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuh sebelas orang gadis cantik itu.

Keadaan di pinggiran Desa Nelayan itu jadi sunyi kembali. Tak ada lagi suara yang terdengar, kecuali debur ombak di pantai dan sapuan angin saja yang terdengar menyebarkan alunan irama alam yang menggetarkan jantung Dan malam pun tenis merayap semakin larut. Tak ada seorang pun bisa melihat peristiwa di pinggiran Desa Nelayan Pesisir Pantai Selatan ini tadi.

********************

TIGA

"Ohhh...."

Sanjaya menggeliat sambil merintih lirih. Sebentar kepalanya digerak-gerakkan, kemudian kelopak matanya mulai dikerjapkan beberapa kali. Pemuda itu bergegas menggerinjang bangun begitu menyadari dirinya sekarang berada di sebuah ruangan berukuran sangat besar dan megah, seperti berada di dalam kamar istana.

"Oh.... Di mana ini? Apa yang terjadi padaku...?" keluh Sanjaya lirih, agak menggumam.

Pandangan pemuda itu beredar berkeliling, merayapi keadaan sekitar kamar yang begitu indah dan megah ini. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat sebuah kamar yang begitu indah dan megah. Sanjaya cepat menggerinjang turun dari pembaringan berukuran besar. Dia benar-benar terkejut melihat keadaan dirinya yang sudah berganti pakaian berupa jubah panjang dari bahan sutera halus yang berkilat dan berwarna biru laut.

Sanjaya berpaling saat mendengar suara dari arah pintu. Tampak pintu yang terbuat dari kayu jati tebal dan berukir itu bergerak terbuka perlahan-lahan. Dan dari balik pintu itu, muncul seorang gadis cantik mengenakan baju biru yang begitu tipis sekali. Sehingga, lekuk-lekuk tubuhnya membayang jelas. Tentu saja bola mata Sanjaya jadi terbeliak lebar tak berkedip memandanginya. Debar jantung pemuda itu seketika berpacu cepat. Sepertinya dia tengah berada dalam suatu perasaan yang dia sendiri tidak tahu.

"Bagaimana keadaanmu, Sanjaya...?" lembut sekali nada suara wanita Itu.

Sanjaya tidak bisa menjawab pertanyaan itu Entah kenapa, lidahnya jadi terasa begitu kelu dan tenggorokannya terasa begitu kering. Beberapa kali dia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya. Malah, debaran jantungnya yang begitu keras tidak juga bisa berkurang. Seluruh kesadaran dirinya seperti lenyap, seiring datangnya perasaan yang bergejolak. Perasaan seperti mengajaknya terbang ke langit tingkat tujuh.

Sementara, wanita cantik itu semakin dekat saja di depan Sanjaya. Aroma harum yang begitu tajam menyengat hidung, membuat seluruh kepala pemuda ini jadi terasa pening. Terlebih lagi jari-jari tangan yang lentik dan halus mulai bermain-main di dada Sanjaya yang bidang begitu lembut. Kesadaran Sanjaya benar-benar lenyap, saat bibir yang memerah indah milik wanita itu mengecup halus bibirnya.

Sanjaya tidak dapat lagi menguasai kesadaran dirinya. Tangannya segera dilingkarkan ke pinggang yang ramping terbungkus baju dari bahan yang begitu halus dan tipis. Sehingga, mereka bagai tidak memiliki pembatas lagi. Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Sanjaya menuruti saja saat wanita itu menuntun ke pembaringan.

"Peluklah aku, Sanjaya. Cumbulah sepuasmu...," desah wanita itu lirih dan lembut sekali.

"Kau... kau cantik sekali...," desis Sanjaya bergetar. Dadanya kian bergemuruh oleh gairah menggelegak dahsyat dalam dada.

"Lakukan, apa yang harus kau lakukan, Sanjaya. Puaskan dirimu. Cumbu aku...," bisik wanita itu.

Bisikan-bisikan yang halus dan lembut, disertai sapuan-sapuan lembut dari jari-jari tangan lentik, membuat Sanjaya tak mampu lagi mengendalikan diri. Perlahan-lahan direbahkannya tubuh wanita itu ke pembaringan. Lalu dengan tangan agak gemetar, pakaian yang dikenakan wanita itu mulai dilepaskannya. Kedua bola matanya tak berkedip merayapi bentuk tubuh yang begitu indah, terbaring polos tanpa selembar benang pun yang menutupinya. Dan saat itu pula, pakaian jubah Sanjaya juga telah terlepas.

Perlahan-lahan Sanjaya mendekatkan wajahnya ke wajah yang cantik menggairahkan itu. Lalu, lembut sekali bibir merah dan agak terbuka itu dikecupnya. Kedua tangan wanita itu melingkar di leher Sanjaya, membuat pemuda itu tidak bisa lagi melepaskan diri.

"Ohhh...!"

Rintihan dan desahan lirih terdengar begitu halus, membuat gairah mereka semakin menggelora. Tak ada lagi kata-kata yang terucapkan. Semua berganti rintihan lirih dan desahan-desahan menggelora yang membangkitkan gairah. Di dalam kamar yang berukuran besar dan megah itu, dua sosok tubuh bergelut dalam lautan birahi yang menggelora. Dan dua sosok tubuh itu kini mulai berkilatan oleh keringat

Entah berapa lama mereka bergelut mengarungi samudera keindahan asmara. Dan tahu-tahu, Sanjaya sudah menggulir disertai keluhan panjang dari tubuh wanita itu. Kelopak mata Sanjaya terpejam rapat. Gerakan di dadanya begitu cepat dan memburu. Butir-butir keringat membanjiri seluruh tubuhnya.

Sementara wanita cantik yang berbaring di sebelahnya, mulai bergerak turun dari pembaringan. Dia tersenyum menatap tubuh Sanjaya yang terbaring dengan dada telanjang Perlahan, pakaiannya dikenakan lagi. Lalu tanpa berbicara sedikit pun, kakinya melangkah meninggalkan kamar itu. Sementara Sanjaya masih tetap terbaring bersimbah keringat di seluruh tubuhnya.

********************

Tak ada seorang pun yang tahu, apa yang terjadi pada diri Sanjaya. Sementara itu, di Puncak Bukit Rangkas tampak seorang laki-laki tua berdiri tegak memandang ke tengah lautan dari atas menara yang sangat tinggi. Kedua bola matanya tidak berkedip memandangi gelombang lautan yang beriak tidak terlalu besar. Dari raut wajahnya, tercermin kekhawatiran yang begitu mendalam. Wajahnya baru berpaling saat merasakan ada seseorang yang naik ke atas menara ini. Tapi sebentar kemudian, pandangannya kembali diarahkan ke tengah lautan yang bagaikan tak bertepi itu.

Sedikit wajahnya tidak berpaling ketika seorang gadis muda berusia sekitar delapan belas tahun sudah berada di sampingnya. Baju warna merah muda yang dikenakannya, terlihat cukup ketat. Sehingga membentuk tubuh yang kecil dan mungil seperti gadis berumur tiga belas tahun. Gadis itu juga mengarahkan pandangan ke tengah laut yang tampak tenang, dengan gelombang kecil mengikuti hembusan angin.

"Kapan dia akan datang ke sini, Karina?" tanya laki-laki tua berjubah putih yang tak lain Eyang Danarpati.

"Kalau tidak ada halangan, besok pagi sudah sampai di sini. Eyang," sahut gadis yang dipanggil Karina itu.

Kembali mereka terdiam. Pandangan mereka terus tertuju ke arah lautan lepas yang tampak menghitam dan berkilauan oleh pantulan cahaya rembulan, bagai bertaburkan manik-manik mutiara yang begitu indah dipandang mata.

"Aku khawatir terjadi sesuatu pada Kakang Sanjaya, Eyang," kata Karina. Nada suaranya terdengar begitu cemas.

"Sanjaya sudah meninggal," pelan sekali suara Eyang Danarpati.

"Meninggal...?!" Karina tampak terkejut setengah mati.

"Mayatnya ditemukan penduduk desa dekat pantai."

"Oh...," Karina hanya bisa mendesah panjang. "Kapan itu terjadinya. Eyang?"

"Tiga hari yang lalu. Mayatnya sudah dikuburkan."

Karina tertunduk lesu. Pantas, wajah Eyang Danarpati tampak murung dang berduka. Sungguh! Hal itu baru diketahuinya sekarang. Gadis itu jadi menyesal menanyakan tentang Sanjaya. Jelas, pertanyaan itu membangkitkan kedukaan Eyang Danarpati yang semakin dalam.

Eyang Danarpati seperti tak tahan lagi menahan keharuan. Cucu satu-satunya kini telah tiada hilang sudah harapan yang dapat dibanggakannya. Mungkin kalau tidak ada Karina, iaki-laki tua itu sudah menggulirkan air mata. Untung perasaannya bisa ditahan, walaupun matanya merembang berkaca-kaca.

Laki-laki tua berjubah putih itu kemudian memutar tubuhnya berbalik, dan melangkah turun dari menara ini. Karina mengikuti dari belakang. Mereka terus bergerak turun tanpa berbicara iagi. Diam-diam Eyang Danarpati menghapus air matanya. Kedua orang itu terus melangkah menuju ke bangunan besar yang menjadi tanda kalau di Puncak Bukit Rangkas ini terdapat sebuah padepokan. Mereka kemudian duduk berhadapan di beranda depan bangunan besar itu, beralaskan selembar tikar.

"Aku berharap, dia bisa datang lebih cepat. Kudengar sudah begitu banyak korban yang jatuh. Dan yang terakhir adalah Sanjaya. Entah, apa yang akan terjadi lagi kalau iidak segera dihentikan," desah Eyang Danarpati perlahan, seakan bicara untuk diri sendiri.

"Maaf, Eyang. Apakah Eyang tidak bisa menghadapinya sendiri?" tanya Karina takut-takut

Eyang Danarpati tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan malah menatap begitu dalam pada gadis yang duduk bersila di depannya ini.

"Maaf, kalau pertanyaanku tadi menyinggungmu, Eyang," ucap Karina buru-buru.

"Hhh...!" Eyang Danarpati menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat sekali.

Sedangkan Karina jadi tertunduk, menyesali pertanyaannya yang bisa menyinggung perasaan Ketua Padepokan Bukit Rangkas ini. Memang, seharusnya dia tidak perlu mengajukan pertanyaan seperti itu tadi. Tapi, semuanya sudah terjadi. Dan dia memang merasa heran karena Eyang Danarpati seperti tidak mau menghadapi Ratu Pantai Selatan yang kini sedang merajalela, sehingga menimbulkan begitu banyak korban. Dan semua korbannya adalah pemuda, baik yang pandai ilmu olah kanuragan maupun yang sama sekali buta. Dan selama lebih dari dua pekan ini, sudah tidak terhitung lagi jumlah anak-anak muda yang menjadi korbannya.

"Kau tentu lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Sebaiknya, beristirahat dulu," ujar Eyang Danarpati.

"Aku pergi dulu, Eyang," pamit Karina.

Eyang Danarpati hanya menganggukkan kepala saja. Dia masih tetap duduk bersila di beranda depan bangunan padepokan ini. Sementara, Karina sudah tidak terlihat lagi di sana. Gadis itu sudah masuk ke dalam bangunan yang berukuran sangat besar ini. Dan malam terus merayap semakin bertambah larut Eyang Danarpati masih tetap duduk bersila memandang lurus ke depan, dengan sinar mata yang begitu kosong bagai tak bersemangat

Kegelapan masih terus menyelimuti seluruh Puncak Bukit Rangkas ini. Eyang Danarpati masih juga belum beranjak dari beranda depan rumah padepokannya, walaupun tidak berapa lama lagi pagi akan datang menjelang Entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang ini. Dia duduk bersila seperti bersemadi, namun tatapan matanya begitu kosong, tertuju lurus ke depan. Beberapa orang murid padepokan itu masih tampak terlihat berjaga-jaga di beberapa tempat.

"Heh! Siapa itu...?!" sentak Eyang Danarpati, ketika tiba-tiba saja melihat bayangan berkelebat cepat bagai kilat. Belum juga Eyang Danarpati melakukan sesuatu, tiba-tiba saja,...

"Aaa...!"
"Heh...?!"

Eyang Danarpati jadi tersentak setengah mati, begitu terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Cepat-cepat dia melompat keluar dari beranda itu. Dan pada saat kakinya baru menjejak tanah, mendadak saja dari atas atap bangunan padepokan itu meluncur sesosok tubuh ke arahnya.

"Hup...!"

Dengan satu gerakan indah sekali, Eyang Danarpati cepat-cepat melompat menghindari sosok tubuh yang meluncur begitu cepat dari atas atap.

Blukkk!
"Hah...?!"

Kedua bola mata Eyang Danarpati jadi terbeliak lebar, begitu di depannya jatuh sesosok tubuh seorang laki-laki muda yang dikenal sebagai muridnya. Seluruh tubuhnya penuh lubang dan mengucurkan darah. Tampak jelas kalau lehernya menganga lebar hampir buntung. Hanya bagian wajahnya saja yang tidak mendapatkan luka sedikit pun. Belum juga rasa keterkejutannya bisa dihilangkan, kembali dia dikejutkan oleh teriakan-teriakan keras dan jeritan melengking tinggi dari arah bagian belakang bangunan padepokan ini.

"Hup! Yeaaah...!"

Tanpa berpikir panjang iagi, laki-laki tua berjubah putih itu segera melenting ke udara. Gerakannya begitu ringan dan cepat, sehingga hanya sekali lesatan saja sudah berada di atas atap. Lalu kembali tubuhnya melesat cepat ke arah datangnya suara pertarungan yang didengarnya. Beberapa kali dia berlompatan dan melakukan putaran di udara, lalu ringan sekali meluruk turun begitu sampai di bagian belakang rumah besar padepokannya ini.

"Mundur kalian semua...!" seru Eyang Danarpati begitu kakinya menjejak tanah.

Di bagian halaman belakang yang cukup luas, laki-laki tua itu melihat murid-muridnya bertarung sengit melawan sepuluh orang gadis-gadis cantik berbaju serba merah. Dan teriakannya yang begitu keras menggelegar karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, membuat semua murid Padepokan Bukit Rangkas langsung berlompatan mundur meninggalkan kancah pertarungan.

"Edan...!" desis Eyang Danarpati menggeram.

Hampir sulit dipercaya melihat sebagian murid-muridnya sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Darah berhamburan membasahi tanah yang berumput di halaman belakang padepokan ini. Sementara itu, mereka yang masih hidup segera berjajar di belakang gurunya yang sudah berusia lanjut ini. Sedangkan sepuluh orang gadis cantik berbaju serba merah, berdiri berjajar sekitar tiga batang tombak jauhnya di depan Eyang Danarpati.

"Mau apa kalian mengacau padepokanku ini..?! Siapa kalian...?!" tanya Eyang Danarpati langsung.

Sinar mata laki-laki tua itu mencorong begitu tajam, merayapi wajah-wajah cantik yang berada sekitar tiga tombak di depannya. Tapi tak ada seorang pun dari kesepuluh gadis berbaju merah itu yang menjawab pertanyaan Eyang Danarpati tadi. Mereka hanya berdiri tegak membalas sorot mata laki-laki tua itu dengan tidak kalah tajamnya. Tak ada satu pun senjata yang tersandang. Tapi dalam waktu yang begitu singkat tadi, mereka sudah mencabut nyawa lebih dari dua puluh orang murid Padepokan Bukit Rangkas.

"Kalian hanya diam saja. Apa kalian tidak bisa bicara, heh...?!" dengus Eyang Danarpati jadi geram, melihat kesepuluh orang gadis yang telah membunuh lebih dari dua puluh muridnya hanya diam saja tidak menjawab pertanyaannya.

Mereka memang tetap diam tak bicara sedikit pun. Hal ini membuat Eyang Danarpati semakin bertambah berang Harga dirinya direndahkan atas sikap kesepuluh gadis berbaju merah ini. Perlahan laki-laki tua berjubah putih itu melangkah ke depan beberapa tindak. Sorot matanya masih tetap begitu tajam juga, terdengar gemeretuk gerahamnya yang menahan geram.

"Kalian datang untuk membunuh murid-muridku. Kalian harus bertanggung jawab...!" desis Eyang Danarpati dingin menggeletar.

Bettt!

Tiba-tiba saja sepuluh gadis cantik berbaju merah itu mengebutkan tangannya secara bersamaan ke depan. Dan tahu-tahu, dari tangan yang terkepal menyemburat secercah sinar berwarna-warni seperti pelangi. Lalu begitu sinar itu hilang, di tangan mereka masing-masing sudah tergenggam sebilah pedang yang bentuk dan ukurannya sama. Melihat senjata yang muncul begitu tiba-tiba dan sangat aneh, Eyang Danarpati jadi tersentak. Kedua bola matanya terbeliak lebar seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya.

"Apakah mereka para pengawal Ratu Pantai Selatan...?" desis Eyang Danarpati bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Cara kesepuluh orang gadis catik berpakaian merah itu mengeluarkan senjata berbentuk pedang yang begitu aneh, memang langsung membuat Eyang Danarpati berpikir sampai ke sana. Terlebih lagi, selama ini dia selalu memikirkan tentang Ratu Pantai Selatan yang kehadirannya sempat disaksikan dari Puncak Bukit Rangkas ini.

"Kami mendapat perintah untuk menghancurkan padepokan ini. Suka atau tidak, kalian semua harus mati malam ini juga," kata salah seorang gadis itu.

Suara gadis itu terdengar begitu datar dan dingin sekali. Tak ada tekanan sedikit pun pada nada suaranya. Bahkan saat berbicara pun, gerakan bibirnya hanya sedikit sekali. Seakan-akan bukan dia yang mengeluarkan suara tadi.

"Siapa yang memerintah kalian?!" tanya Eyang Danarpati dingin sekali nada suaranya.

"Kanjeng Ratu."

"Hhh! Tidak semudah itu kalian bisa menghancurkan padepokan ini. Kalian harus melangkahi dulu mayatku!" desis Eyang Danarpati.

Srettt!

Dari balik jubahnya yang panjang dan lebar, Eyang Danarpati langsung saja mencabut senjatanya berupa sebuah tombak berukuran pendek, yang bagian ujungnya bermata tiga. Tombak pendek bermata tiga itu langsung ditempatkan di depan dada. Senjentara, semua muridnya sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tampak di antara para pemuda murid Padepokan Bukit Rangkas ini, ada Karina di sana. Gadis itu juga sudah bersiap dengan pedang terhunus di tangan kanannya.

Bukan hanya Karina saja, wanita di padepokan ini. Masih ada lagi gadis-gadis muda yang menuntut ilmu di padepokan ini. Dan mereka semua sekarang sudah berada di halaman belakang, memperhatikan gurunya yang tengah berhadapan dengan sepuluh gadis mengawal Ratu Pantai Selatan.

"Hiyaaat...!"

Tiba-tiba saja Eyang Danarpati berteriak lantang menggelegar. Dan seketika itu juga, tubuhnya melesat cepat bagai kilat sambil mengebutkan tombak pendek bermata tiga ke arah salah seorang gadis pengawal Ratu Pantai Selatan.

Bettt!

Meskipun Eyang Danarpati sudah mengerahkan seluruh kecepatannya, tapi ujung tombak bermata tiga itu hanya lewat sedikit saja di depan dada gadis cantik berbaju merah itu yang hanya menarik sedikit tubuhnya ke belakang. Bahkan tanpa diduga sama sekali, serangan Eyang Danarpati dibalas dengan mengebutkan pedangnya ke arah perut

"Hait..!"
Wukkk!
Trang!

Percikan bunga api terlihat menyebar begitu tombak Eyang Danarpati menangkis pedang yang mengarah ke perutnya. Cepat-cepat laki-laki tua itu melompat ke belakang beberapa tindak. Tapi baru saja menjejak tanah yang berumput cukup tebal di halaman belakang bangunan Padepokan Bukit Rangkas ini, tiba-tiba saja satu orang gadis lainnya sudah melompat begitu cepat sambil mengebutkan pedang ke arah dada laki-laki tua berjubah putih itu.

"Hap!"

Hanya satu kali lompatan saja, Eyang Danarpati berhasil menghindari tebasan pedang yang mengarah dadanya. Namun, tubuhnya harus kembali melesat karena satu orang gadis lagi sudah menyerang begitu cepat, di saat kakinya baru saja menjejak tanah. Eyang Danarpati terpaksa harus berjumpalitan di udara, karena gadis-gadis berbaju merah itu terus mencecar secara bergantian dengan kecepatan sungguh luar biasa.

"Kenapa kalian bengong saja?! Ayo, bantu Eyang Guru...!" seru Karina tidak sanggup melihat gurunya teras didesak.

Mendengar teriakan Karina yang begitu keras menggelegar, semua murid-murid Eyang Danarpati seketika itu juga berhamburan, menyerang sepuluh orang gadis berbaju merah yang sedang mengeroyok laki-laki tua berjubah putih itu. Maka, pertarungan memang tidak bisa dihindari lagi. Jeritan-jeritan melengking tinggi langsung terdengar membelah kesunyian malam di Puncak Bukit Rangkas ini.

EMPAT

Sepuluh orang gadis cantik pengawal Ratu Pantai Selatan itu memang bukan manusia biasa. Meskipun dikeroyok puluhan orang yang memiliki kepandaian dalam ilmu olah kanuragan, mereka tidak mengalami satu kesulitan sedikit pun. Bahkan satu persatu murid Padepokan Bukit Rangkas dibuat tak berdaya. Tubuh-tubuh berlumur darah semakin banyak bergelimpangan. Namun pertarungan itu masih terus berlangsung sengit

Pertarungan itu terus berlangsung, hingga matahari membiaskan sinarnya di ufuk Timur. Meskipun sudah lebih dari setengah jumlah murid Padepokan Bukit Rangkas yang tewas, tapi tak ada seorang pun dari mereka yang mencoba keluar dari pertarungan. Terlebih lagi Eyang Danarpati. Dia bertarung seperti seekor banteng liar. Namun sampai begitu lama pertarungan berlangsung, satu orang pun belum juga berhasil dilumpuhkan.

"Khraaagkh...!"

Tiba-tiba saja terdengar suara keras yang begitu menggelegar di angkasa. Begitu kerasnya suara itu, sehingga seluruh Puncak Bukit Rangkas ini jadi bergetar bagaikan hendak runtuh. Dan suara itu rupanya mengejutkan sepuluh orang gadis berbaju merah pengawal Ratu Pantai Selatan. Hampir bersamaan, mereka mendongak ke atas. Lalu seperti ada yang memberi perintah, mereka langsung berlompatan pergi dari padepokan ini.

Rupanya ada sesosok tubuh berpakaian biru yang sejak tadi berada di atas pohon. Dialah yang memberi perintah kepada sepuluh gadis berbaju merah untuk pergi menghindar. Karena dia telah mengetahui kalau suara burung itu adalah burung rajawali tunggangan Rangga. Rampita yang merupakan Titisan Ratu Pantai Selatan, merasa belum waktunya untuk bentrok dengan Rangga maupun burung rajawali tunggangannya.

Gerakan mereka begitu cepat luar biasa. Sehingga dalam sekejapan mata saja, kesepuluh gadis itu sudah hilang dari pandangan. Maka pertarungan itu pun seketika jadi terhenti. Sementara, cahaya matahari semakin terang membias. Tampak Eyang Danarpati merayapi mayat-mayat muridnya yang bergelimpangan. Sedangkan Karina menghampiri laki-laki tua itu.

"Tinggal berapa orang yang masih hidup?" tanya Eyang Danarpati sambil memandangi murid-muridnya yang masih hidup.

"Tinggal lima belas orang lagi," sahut Karina.

"Hhh...!" Eyang Danarpati menghembuskan.

"Kenapa mereka tiba-tiba pergi, Eyang?" tanya Karina masih keheranan atas kepergian sepuluh orang pengawal Ratu Pantai Selatan yang begitu tiba-tiba.

"Aku sendiri tidak tahu," sahut Eyang Danarpati mendesah. "Tapi...."

"Tapi kenapa, Eyang?"

"Kau dengar sesuatu sebelum mereka pergi, Karina?" Eyang Danarpati malah balik bertanya.

"Ya! Seperti suara guntur," sahut Karina.

"Itu bukan guntur, Karina. Suara itu terasa aneh sekali. Yang jelas, baru kali Ini aku mendengarnya," kata Eyang Danarpati membantah jawaban Karina.

Perlahan laki-laki tua itu mengayunkan kakinya diikuti Karina yang selalu setia mendampingi. Dan itu memang sudah suatu kebiasaan. Jika Sanjaya yang merupakan cucu Eyang Danarpati tidak ada di padepokan ini, maka yang bertugas mendampinginya adalah gadis ini. Karena, Karina adalah orang kedua setelah Sanjaya di Padepokan Bukit Rangkas ini.

"Kalian bereskan semua ini," perintah Eyang Danarpati pada sisa muridnya yang masih hidup.

Tak ada seorang pun yang membantah. Meskipun dalam keadaan yang teramat lelah, murid-murid Padepokan Bukit Rangkas yang tinggal berjumlah sekitar rima belas orang itu segera melaksanakan perintah gurunya. Sementara, Eyang Danarpati sendiri terus melangkah didampingi Karina.

Tiba-tiba saja, ayunan langkah kaki Eyang Danarpati terhenti. Kepalanya langsung didongakkan ke atas langit, tepat ketika di angkasa terlihat seekor burung berputar-putar mengelilingi Puncak Bukit Rangkas ini. Kelopak mata laki-laki tua itu jadi berkerut Burung itu terbang begitu tinggi sekali, bagai menyatu dengan awan. Tapi, sangat jelas terlihat.

"Khraaagkh...!"

"Kau dengar suara itu, Karina...?" tanya Eyang Danarpati dengan suara setengah menggumam. Dia seakan-akan bertanya pada diri sendiri.

"Aku dengar, Eyang," sahut Karina yang juga memandangi burung itu di angkasa. "Tapi, apa mungkin suara tadi dari burung itu, Eyang...?"

"Hmmm...," Eyang Danarpati hanya menggumam perlahan saja.

Mereka terus memperhatikan burung yang tampak putih keperakan di angkasa. Burung yang sepertinya seekor rajawali itu terus berputar-putar di atas Puncak Bukit Rangkas. Kemudian tiba-tiba saja burung itu melesat cepat bagai kilat Begitu cepatnya, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu, burung itu sudah menghilang entah ke mana.

"Hhh...! Pertanda apa lagi ini,..? Kenapa sekarang ini banyak kejadian-kejadian aneh...?" keluh Eyang Danarpati, mendesah lirih.

Sebenarnya, apa yang dilihat Eyang Danarpati dan Karina tadi?

Memang di atas Bukit Rangkas tadi, ada seekor burung berbulu putih keperakan. Namun, burung itu bukanlah burung biasa, melainkan seekor rajawali raksasa. Terbangnya demikian tinggi. Sehingga, terlalu sulit untuk bisa melihat jelas, kalau di atas punggung burung raksasa itu tengah duduk dua orang.

Mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut Saat ini mereka memang sedang menunggang Rajawali Putih, seekor rajawali raksasa berbulu putih tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan burung raksasa itulah yang menjadikan Rangga seorang pendekar tangguh dan digdaya seperti sekarang ini. Hingga, pemuda berbaju'rompi putih itu sangat disegani oleh tokoh-tokoh persilatan, baik golongan putih maupun golongan hitam.

"Ke mana mereka menghilang, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Entahlah. Mereka tidak terlihat lagi setelah melewati tebing batu di sana itu," sahut Rangga sambil menunjuk sebuah tebing yang penuh batu-batu.

"Sebaiknya, kita lihat dulu keadaan di Padepokan Bukit Rangkas, Kakang," usul Pandan Wangi.

"Kau saja yang ke sana lebih duVu. Aku akan menyelidiki sekitar tebing batu itu," kata Rangga memberi perintah.

Pandan Wangi hanya mengangkat bahunya saja. "Katakan pada Eyang Danarpati, aku akan segera ke sana," kata Rangga lagi.

Rangga kemudian memerintahkan Rajawali Putih untuk mendarat di sebuah dataran yang cukup luas, tidak jauh dari Padepokan Bukit Rangkas. Kedua pendekar muda itu langsung berlompatan turun dari punggung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini, begitu sampai di tanah.

"Ingat, Pandan. Jangan bertindak sesuatu sampai aku datang ke sana," pesan Rangga.

Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala. Setelah itu, Rangga kembali melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Begitu Pendekar Rajawali Sakti menepuk leher burung itu, maka cepat sekali Rajawali Putih melambung tinggi ke udara sambil memperdengarkan suara yang begitu keras menggelegar seperti guntur. Sementara, Pandan Wangi masih tetap berdiri memandangi sampai Rajawali Putih hilang dari pandangannya.

Sedangkan Rangga yang masih menunggang Rajawali Putih, kembali ke tebing batu di Lereng Bukit Rangkas ini. Dia meminta Rajawali Putih untuk mendekati tebing batu itu.

"Jangan pergi jauh-jauh, Rajawali. Aku pasti akan membutuhkanmu," pesan Rangga.

"Khraaagkh!"

"Terus lebih dekat lagi, Rajawali." Rajawali Putih meluruk semakin dekat dengan tebing batu itu. Lalu....

"Hup...!"

Ringan sekali Rangga melompat dari punggung burung rajawali raksasa itu. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang sudah mencapai tingkat yang begitu sempurna. Sehingga, bagaikan selembar daun kering tubuhnya hinggap di atas tebing batu itu. Sementara, Rajawali Putih kembali melambung tinggi ke udara.

"Rasanya tidak mungkin kalau mereka bisa menghilang begitu saja. Pasti ada sesuatu di sekitar tebing batu ini," gumam Rangga berbicara sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Sorot matanya begitu tajam, merayapi sekitar tebing batu itu. Rangga terus berlompatan dari satu tonjolan batu, ke tonjolan batu lainnya. Hingga akhirnya, dia berhenti begitu kakinya menjejak sebuah batu yang permukaannya cukup besar dan datar.

"Hmmm...."

Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling, berharap menemukan sebuah gua. Tapi harapannya tidak juga terwujud. Yang dilihat hanya tumpukan bebatuan serta hamparan kerikil di sepanjang tebing Lereng Bukit Rangkas ini Tapi, hatinya begitu yakin kalau sepuluh orang yang dilihatnya tadi menghilang di sekitar tebing batu ini.

"Apa yang kau cari di sini, Cah Bagus...?"

"Heh...?!"

Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar teguran yang begitu halus dan lembut Cepat tubuhnya berputar berbalik. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar begitu tiba-tiba saja di atas tebing batu ini sudah berdiri seorang gadis berwajah cantik. Tubuhnya ramping, terbungkus baju warna biru ketat

Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak mengetahui kehadirannya. Tahu-tahu, di atas tebing batu itu sudah berdiri seorang gadis seperti bidadari. Baju yang dikenakannya juga terbuat dari bahan yang cukup tipis, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya membayang nyata sekali.

"Hup...!"

Hanya sekali mengempos tubuhnya saja, Rangga melesat tinggi ke udara. Begitu ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti melayang. Kemudian kakinya hingga di atas tebing batu, tidak jauh di depan gadis cantik berbaju biru itu, tanpa memperdengarkan suara sedikit pun.

"Kau mencari sesuatu di sini, Kisanak?" tanya gadis itu masih dengan suara lembut sekali.

"Ya! Aku mencari sepuluh orang gadis," sahut Rangga sambil mengamati wanita yang berdiri sekitar dua tombak di depannya ini.

"Aku tahu, di mana mereka," kata gadis itu lagi, masih dengan suara lembut

"Hm, di mana?" tanya Rangga dengan kening jadi berkerut

"Tidak jauh dari sini. Bahkan mereka ada di sekitar tebing ini," sahut gadis itu lagi.

Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi bertambah berkerut. Dipandanginya gadis Cantik yang berdiri di depannya ini dalam-dalam. Sepertinya, Pendekar Rajawali Sakti sedang mengamatinya. Sedangkan gadis itu hanya tersenyum saja dengan sikap seperti mengundang.

"Kau begitu tampan sekali. Siapa namamu, Kisa-nak?" tanya gadis itu disertai senyuman manis dan menggoda.

"Rangga. Dan kau sendiri siapa, Nisanak?" sahut Rangga langsung balik bertanya lagi.

"Rampita," sahut gadis itu masih dengan senyum manis tersungging di bibirnya.

"Nama yang cantik sekali," puji Rangga. "Tapi, kenapa kau berada di tempat sepi seperti ini...?"

"Seperti yang kukatakan tadi, aku tahu tempat mereka yang kau cari tadi," sahut Rampita kalem.

"Kau tahu apa yang kucari...?" Rangga jadi berkerut keningnya.

"Kau mencari mereka, bukan...?"

Rampita menunjuk ke arah samping kanan Pendekar Rajawali Sakti itu. Seketika kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar, begitu berpaling ke arah kanan. Sekitar tiga tombak di sebelah kanannya, tahu-tahu sepuluh orang gadis cantik berbaju merah menyala sudah berdiri di situ. Gadis-gadis itulah yang dilihatnya dari angkasa, ketika menggempur Padepokan Bukit Rangkas belum lama tadi.

Rangga benar-benar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sungguh dia tidak tahu kapan datangnya sepuluh gadis itu. Sama sekali tak terdengar suara, yang menandakan kedatangan gadis-gadis berbaju merah itu. Bahkan kemunculan gadis yang mengaku bernama Rampita pun, sama sekali tidak diketahuinya. Rangga cepat menyadari kalau sekarang ini sedang berhadapan dengan gadis-gadis cantik yang memiliki kemampuan tingkat tinggi. Sehingga, kehadiran mereka saja tidak menimbulkan suara sedikit pun juga, dan sama sekali tidak diketahuinya.

"Eh...?!"

Lagi-lagi Rangga terkejut begitu kembali berpaling pada Rampita. Gadis itu kini kelihatan lain sekali. Bukan hanya wajahnya yang bercahaya. Bahkan juga seluruh tubuhnya terselimut cahaya yang memendar terang, membuat wajahnya kelihatan begitu cantik. Seakan-akan, Rangga sedang berhadapan dengan dewi yang baru turun dari Kahyangan. Bahkan pakaian yang dikenakan gadis itu juga langsung berubah, begitu gemerlapan bagai bertaburkan intan berlian. Rangga merasakan kalau tidak lagi berhadapan dengan Rampita. Dan dia tidak tahu, siapa wanita yang begitu cantik bagai Dewi Kahyangan yang berada di depannya itu.

Perlahan Rampita yang kini sudah berubah ujudnya itu melangkah menghampiri Rangga yang masih berdiri terpaku, seperti tidak percaya kalau hal ini benar-benar terjadi. Pendekar Rajawali Sakti masih tetap memandangi, meskipun Rampita sudah berada sekitar lima langkah lagi di depannya.

Aroma yang sangat harum, begitu terasa menyengat hidung Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu juga, terasakan kalau aroma harum itu bukanlah wewangian biasa. Rangga sudah pernah menghadapi hal seperti ini. Dan....

"Hmmm...! Hap!"

Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti memindahkan pusat pemapasannya melalui perut. Cepat disadari kalau bau harum yang merasuk penciumannya mengandung sesuatu yang begitu kuat dan bisa cepat menghilangkan kesadarannya. Tapi hal itu bisa ditahannya setelah memindahkan pusat pemapasannya ke perut, dan menutup pusat peredaran darahnya lewat pengerahan hawa mumi. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mundur dua tindak.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga agak dingin nada suaranya.

"Bersujudlah, Cah Bagus. Kau pasti sudah tahu, dengan siapa kau berhadapan," sahut Rampita. Suaranya kini terdengar lain sekali.

Suara Rampita kali ini begitu lembut, sehingga membuat siapa saja yang mendengar bisa langsung hilang kesadarannya. Dan itu bisa dirasakan Rangga pada aliran darahnya yang sudah terjaga hawa murni yang cepat dikeluarkannya tadi. Pendekar Rajawali Sakti juga merasakan adanya sesuatu yang begitu lain. Bukan hanya udara di atas tebing batu ini saja yang lain, tapi juga suasana dan segala yang ada. Seolah-olah, Rangga bukan lagi berada di dalam dunia nyata. Untung Rangga tetap bertahan agar tidak kehilangan kesadarannya.

Kening Pendekar Rajawali Sakti kembali berkerut, saat melihat sepuluh orang gadis yang dikejarnya dari Puncak Bukit Rangkas juga sudah berubah pakaiannya. Mereka kini mengenakan pakaian seperti para putri raja atau bangsawan. Cahaya yang menyelimuti tubuh mereka, membuat mereka tampak begitu cantik dan menggairahkan sekali.

"Hmmm.... Apakah mereka ini yang diceritakan Karina...?" gumam Rangga berbicara sendiri dalam hati. "Kalau memang begitu, berarti aku berhadapan dengan Ratu Pantai Selatan dan pengawal-pengawalnya. Hmmm..., aku harus hati-hati. Mereka bukan manusia, tapi siluman yang seharusnya hidup di dasar samudera."

Sementara, Rangga melangkah mundur beberapa tindak. Matanya sempat melirik pada sepuluh orang gadis yang masih tetap diam di tempatnya. Setelah menyadari dengan siapa sekarang berhadapan, Rangga tidak mau berbuat gegabah yang bisa mencelakakan diri sendiri. Sudah sering didengarnya tentang ratu penguasa samudera ini. Dan dia sudah tahu, wanita cantik yang gemar pemuda-pemuda tampan ini tidak bisa dikalahkan oleh siapa pun juga! Dan memang, sampai saat ini belum ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya.

Rangga sendiri tidak yakin kalau bisa menandingi kesaktian yang dimiliki Ratu Pantai Selatan. Karena, wanita itu memang siluman yang memiliki kesaktian begitu tinggi. Sehingga, sulit diukur tingkatannya. Tapi bukan itu yang menjadi pikiran Pendekar Rajawali Sakti ini. Dari cerita-cerita yang didengarnya, belum ada seorang pun yang bisa lolos bila sudah berhadapan dengan Ratu Pantai Selatan. Bahkan tidak ada seorang pun yang bisa kembali dalam keadaan hidup.

"Hmmm.... Kalaupun aku harus mati, aku tidak boleh mati menjadi budaknya," desis Rangga bertekad dalam hati.

"Kenapa kau mengejar para pengawalku, Rangga?" tanya Ratu Pantai Selatan agak dingin nada suaranya.

"Seharusnya kau sudah tahu jawabannya, Nisanak," sahut Rangga tegas.

"Aku tahu, siapa kau sebenarnya, Rangga. Dan aku tahu betul mengenai kehidupanmu. Tapi, itu bukan berarti kau bisa seenaknya saja ingin mencampuri urusanku," tegas Ratu Pantai Selatan, semakin dingin nada suaranya.

"Aku tidak akan mencampuri urusanmu, kalau saja kau tidak menyakiti bangsaku!"

"Aku tidak pernah menyakiti seorang manusia pun. Aku justru banyak menolong mereka keluar dari kesulitan. Dan keberadaanku di sini pun karena menolong seseorang dengan satu perjanjian yang sangat adil. Aku bersedia menolong segala kesulitannya, dan dia juga bersedia memenuhi kebutuhanku. Cukup adil, bukan...?"

"Memang adil, tapi aku akan menghentikan perjanjian itu!" dengus Rangga tegas.

"Perjanjian itu akan berhenti kalau dia sudah tidak sanggup lagi menyediakan kebutuhanku. Jadi, tidak ada gunanya kau bersusah payah menghentikannya. Rangga. Tidak ada seorang pun yang bisa menghentikan perjanjianku dengan manusia," tegas Ratu Pantai Selatan memperingatkan.

"Aku yang akan menghentikannya!" tegas Rangga.

"Kau terlalu congkak, Rangga," desis Ratu Pantai Selatan dingin. "Walaupun kau sering disebut-sebut sebagai manusia setengah dewa, tapi kau belum cukup untuk menghentikanku. Sebelum telanjur, sebaiknya kembali saja ke Kulon. Dan, jangan mencampuri urusanku lagi. Kau akan menyesal. Rangga. Bahkan rohmu pun akan menyesal."

Rangga hanya tersenyum saja. Begitu tipis sekati senyumnya, sehingga hampir tak terlihat. Cepat disadari kalau keadaannya sudah semakin memanas. Bahkan bukannya tidak mungkin, bisa terjadi adu kesaktian. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi, walaupun sudah tahu dengan siapa berhadapan sekarang ini.

"Hmmm.... Kau begitu tampan, Rangga. Sayang kalau ketampananmu disia-siakan begitu saja," ujar Ratu Pantai Selatan lembut menggoda.

"Kau juga cantik. Tapi maaf, sama sekali aku tidak tertarik oleh kecantikanmu," balas Rangga sambil mengulas senyum.

"Keparat...! Kau sudah berani menghinaku, Bocah!" geram Ratu Pantai Selatan.

Balasan kata-kata Rangga memang membuat Ratu Pantai Selatan jadi berang setengah mati. Wajahnya seketika itu juga memerah. Tapi sebenarnya bukan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti yang membuatnya berang. Pesona yang biasanya tidak pernah gagal dalam menguasai laki-laki, kini tidak berarti sama sekali di hadapan Pendekar Rajawali Sakti itu. Inilah yang membuatnya geram. Padahal, semula dia mengira kalau kekuatan daya pesonanya sudah mempengaruhi kesadaran pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Tapi kenyataannya, justru malah membuatnya begitu berang!

"Anak-anak, ringkus dia! Bawa ke tempatku...!" perintah Ratu Pantai Selatan lantang.

Belum lagi suara ratu penguasa samudera itu menghilang dari pendengaran, sepuluh gadis cantik sudah berlompatan mengurung Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mereka kini sudah kembali berubah seperti pertama kali Rangga melihatnya. Mereka langsung berubah begitu berlompatan mengurung Pendekar Rajawali Sakti.

"Yeaaah...!"

Salah seorang dari gadis yang kini kembali mengenakan baju warna merah menyala, langsung saja memberi satu serangan menggeledek dengan melepaskan beberapa pukulan keras dan beruntun. Rangga sempat terhenyak beberapa saat, tapi cepat-cepat melenting untuk menghindarinya.

"Hap!"
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"

Gadis-gadis lainnya langsung berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Terpaksa pemuda berbaju rompi putih itu berjumpalitan, dan meliuk-liukkan tubuhnya dalam penggunaan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'

Tapi jurus yang biasanya begitu ampuh dan sukar sekali dihadapi, kini seperti tidak mempunyai arti sama sekali. Bahkan Rangga jadi kelabakan. Cepat-cepat jurusnya dirubah sebelum mengalami sesuatu yang bisa merugikannya. Rangga langsung mengerahkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Saku' lima jurus yang pertama kali diperolehnya, dan merupakan jurus jurus dahsyat luar biasa. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti bertarung tidak tanggung-tanggung lagi. Langsung dikeluarkannya jurus-jurus itu dalam tingkatan yang terakhir. Sehingga, membuat pertarungan di atas tebing batu Lereng Bukit Rangkas ini begitu dahsyat!

LIMA

"Mereka benar-benar tangguh. Hhh! Akan kucoba dengan aji 'Baju Bajra'," dengus Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat merapatkan kedua tangannya di depan dada. Lalu, napasnya segera ditahan. Dan sambil menghembuskan napas keras-keras. Rangga menghentakkan kedua tangannya, hingga merentang lebar ke belakang. Maka... "Aji 'Bayu Bajra'! Yeaaah...!"

Wesss...!

Seketika itu juga berhembus angin yang begitu keras sekali, melebihi badai topan yang amat dahsyat. Batu-batu di sekitar tebing itu seketika berhamburan ke udara. Bahkan pepohonan juga terbongkar ke akar-akarnya. Alam di sekitar tebing batu Lereng Bukit Rangkas ini benar-benar diamuk badai topan yang begitu dahsyat!

"Ha ha ha...!"

"Hmmm...."

Kening Rangga jadi berkerut melihat Ratu Pantai Selatan masih tetap berdiri tegak, dan malah tertawa terbahak-bahak. Bahkan sepuluh orang gadis pengawalnya juga tetap berdiri tegak, tak terpengaruh sedikit pun oleh aji "Bayu Bajra' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti.

Mereka terus tertawa terbahak-bahak. Bahkan begitu keras sekali, seakan-akan hendak mengalahkan deru angin dari badai topan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti. Hal itu malah membuat alam di sekitar tebing batu itu semakin hancur. Bebatuan di tebing itu kini tergetar hebat bagai hendak runtuh.

"Hap!"

Rangga tiba-tiba saja merapatkan kedua tangannya di depan dada. Maka seketika itu juga badai yang diciptakannya terhenti. Bersamaan dengan itu, suara tawa dari Ratu Pantai Selatan dan sepuluh gadis pengawalnya juga berhenti. Alam di sekitar tebing itu kembali tenang. Namun, keadaannya sudah demikian hancur!

"Ada lagi kesaktian yang kau miliki, Rangga...?" terasa begitu sinis sekali nada suara Ratu Pantai Selatan.

"Hmmm...," Rangga hanya menggumam pelan saja.

Pendekar Rajawali Sakti memandangi wanita cantik penguasa samudera itu. Memang, tidak mudah untuk mengalahkan Ratu Pantai Selatan. Dan selama ratusan tahun, tak ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya. Tapi, itu bukan berarti Rangga akan menyerah begitu saja. Perlahan-lahan tangan kanannya diangkat, dan dipegangnya gagang Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang berada di punggung.

Tatapan matanya masih tetap tajam, menusuk langsung ke bola mata wanita cantik penguasa samudera yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.

Srettt! Cring!

Cahaya biru berkilau tiba-tiba saja menyemburat terang, begitu Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangka di punggung. Perlahan-lahan pedang pusakanya disilangkan di depan dada. Sementara itu, Ratu Pantai Selatan tampak agak terkejut melihat pamor pedang yang tergenggam di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Wadyabala...!" seru Ratu Pantai Selatan keras menggelegar.

Sepuluh orang gadis cantik pengawal wanita penguasa samudera itu seketika berlompatan mengurung Pendekar Rajawali Saka. Tangan mereka terangkat ke atas, dan tiba-tiba saja mengeluarkan cahaya. Lalu begitu cahaya itu lenyap, di tangan mereka sudah tergenggam pedang yang memancarkan sinar merah membara bagai pedang api.

"Hmmm...," Rangga menggumam pelan. Rangga agak terkejut juga, melihat pedang sepuluh gadis cantik itu muncul secara begitu aneh. Belum pernah Pendekar Rajawali Sakti melihat senjata yang memiliki pamor begitu dahsyat, dan muncul tanpa di ketahui dari mana asalnya. Dan belum lagi rasa keterkejutan Pendekar Rajawali Saka itu lenyap, mendadak saja dua orang gadis yang mengenakan baju warna merah menyala Itu melompat cepat sambil mengebutkan pedang bagai kilat.

"Hiyaaat...!"

"Hup! Yeaaah...!"

Bergegas Rangga melenting, menghindari tebasan pedang yang mengarah ke kaki. Dan bersamaan dengan itu, pedangnya dibabarkan untuk menangkis pedang lain yang memancarkan cahaya merah bagai api.

Trang!

Tak pelak lagi, dua senjata berpamor dahsyat beradu tidak jauh di depan dada Pendekar Rajawali Sakti. Ledakan keras menggelegar terdengar begitu dahsyat, dari dua pedang yang beradu tadi. Rangga cepat-cepat melenting ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Bibirnya agak meringis merasakan getaran pada tangan, ketika pedangnya tadi beradu dengan pedang salah seorang gadis itu.

"Hiyaaat...!"

Pada saat itu, satu orang gadis lain sudah melompat cepat melakukan serangan. Pedangnya berkelebat begitu cepat, mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun hanya dengan sedikit saja mengegoskan kepala, ujung pedang itu lewat sedikit di samping kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Uts! Gilaaa...!" dengus Rangga terkejut. Betapa Pendekar Rajawali Sakti tidak terkejut..?

Pedang bercahaya merah bagai api itu mengeluarkan hawa yang begitu panas, seakan-akan ingin membakar seluruh kepalanya. Cepat-cepat Rangga menarik kakinya ke samping kanan dua langkah. Dan secepat itu pula pedangnya dikebutkan agak menyilang, tepat di saat satu orang gadis lainnya juga membabatkan pedang ke arah dada.

Trang!

Lagi-lagi dua pedang yang sama-sama memiliki pamor dahsyat beradu keras, menimbulkan ledakan yang begitu dahsyat bagai guntur di angkasa. Kembali Rangga terpaksa harus melompat mundur beberapa langkah, dan kembali harus meliukkan tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti memang bisa menghindari serangan yang cepat sekali datangnya, mengincar tubuhnya.

Rangga benar-benar terkejut menghadapi serangan-serangan dari sepuluh orang gadis cantik yang begitu cepat dan dahsyat itu. Mereka menyerang secara bergantian dan beruntun, bagai tidak memberikan kesempatan sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti untuk balas menyerang. Namun mereka juga tidak menyangka kalau pemuda berbaju rompi putih ini mampu menandingi serangan-serangan yang begitu cepat dan dahsyat. Bahkan Rangga masih sekali-sekali mampu memberi serangan-serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

Dan itu membuat Ratu Pantai Selatan yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan, jadi berkerut juga keningnya. Bahkan ada terselip perasaan khawatir dalam hatinya melihat ketangguhan Rangga yang tidak diduga sama sekali. Terlebih lagi, pertarungan sudah berjalan beberapa jurus, tapi belum juga ada tanda-tanda kalau sepuluh gadis pengawalnya bisa mendesak Pendekar Rajawali Sakti.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan Rangga bukan saja mengeluarkan jurus-jurus yang didapat dari Pendekar Rajawali, tapi juga mengeluarkan jurus-jurus yang didapatkan dari Satria Naga Emas. Jurus-jurus tingkat tinggi yang teramat dahsyat, dan selama ini belum ada tandingannya. Hal itu membuat sepuluh orang gadis pengawal Ratu Pantai Selatan kelihatan semakin sulit untuk mendesaknya. Apalagi untuk mengalahkannya. Bahkan beberapa kali Rangga malah membuat mereka kelabakan menghindari serangan-serangannya yang begitu dahsyat sekali.

"Mundur kalian semua...!" teriak Ratu Pantai Selatan tiba-tiba.

Belum lagi teriakan yang lantang menggelegar itu hilang dari pendengaran, sepuluh orang gadis cantik berbaju serba merah itu sudah melompat keluar dari pertarungan. Pada saat yang bersamaan, Ratu Pantai Selatan melompat cepat menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Tahu-tahu, dia sudah berdiri sekitar lima langkah lagi di depan pemuda tampan berbaju rompi putih itu.

"Aku akui, kau memang hebat, Rangga," puji Ratu Pantai Selatan tulus. 'Tapi sekarang saatnya kau harus menghadapiku...!"

"Hmmm...!" Rangga hanya menggumam pelan saja.

Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali menyilangkan pedang di depan dada. Sikapnya sama sekali tidak memandang rendah pada wanita cantik penguasa samudera ini Bahkan wanita itu malah dianggapnya sebagai lawan yang paling berat, sejak Pendekar Rajawali Sakti keluar dari Lembah Bangkai, dan melanglang buana menjelajahi ganasnya rimba persilatan. Rangga semakin meningkatkan kewaspadaannya menghadapi wanita yang dikenal sebagai Ratu Pantai Selatan ini

"Haaap...!"

Perlahan-lahan kedua tangan Ratu Pantai Selatan terangkat ke atas. Dan tiba-tiba saja, dari kedua telapak tangannya memancarkan cahaya yang berkilau terang menyilaukan mata. Rangga sampai menutupi wajahnya dengan punggung tangan kiri, menghalangi cahaya yang menyilaukan mata itu.

"Hmmm...."

Lagi-lagi Rangga menggumam perlahan ketika tiba-tiba cahaya yang memancar pada kedua telapak tangan Ratu Pantai Selatan lenyap. Dan tahu-tahu, di tangan wanita cantik penguasa samudera itu sudah tergenggam sebatang tongkat berukuran cukup besar. Ujung tongkat itu berbentuk seekor ular kobra yang lehernya berkembang mengerikan. Kedua mata ular kobra itu memancarkan sinar merah membara, seperti sepasang bola api yang siap membakar apa saja yang ada di depannya.

"Hadapilah aku, Pendekar Rajawali Sakti...!" desis Ratu Pantai Selatan dingin menggeletar.

"Memang sudah lama aku ingin bertarung denganmu," sahut Rangga tidak kalah dinginnya.

"Hmmm, bersiaplah kau!"

Bettt!

Wanita cantik penguasa samudera di seluruh Mayapada ini langsung mengebutkan tongkatnya ke depan. Seketika itu juga, dari bola mata tongkat ular kobra Ratu Pantai Selatan memancar cahaya merah seperti api yang langsung meluruk deras ke arah Rangga.

"Hup!"

Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke udara, sambil melakukan beberapa putaran. Sinar merah itu menghantam tanah, tempat tadi Rangga berdiri. Ledakan keras menggelegar terdengar begitu dahsyat sekati, membuat tanah berbatu itu terbongkar. Sehingga melontarkan bebatuan tinggi-tinggi ke udara. Sementara itu, Rangga kembali menjejakkan kakinya dengan gerakan ringan dan manis sekali.

"Hap!"

Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti meletakkan mata pedangnya di telapak tangan kiri, lalu menggosoknya perlahan-lahan, hingga ke ujung Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Kembali pedang itu digosoknya sampai ke pangkal tangkai. Dan kini cahaya biru yang memancar pada pedang itu menggumpal di ujungnya.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"

Cepat sekali Rangga menghentakkan ujung pedangnya ke depan, sambil menarik ke samping kedua kakinya sampai merentang lebar. Gumpalan sinar biru sebesar kepala, meluncur deras dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiyaaa...!"

Ratu Pantai Selatan cepat-cepat menyilangkan tongkatnya yang berbentuk ular kobra itu ke depan dada. Dan tak pelak lagi, cahaya biru yang menggumpal itu menghantam keras bagian tengah tongkat berbentuk ular kobra itu.

Glarrr...!

Kembali terdengar ledakan yang begitu keras menggelegar dahsyat. Tampak Ratu Pantai Selatan terdorong dua langkah ke belakang. Sedangkan Rangga kembali menghentakkan pedangnya ke depan sambil berteriak keras menggelegar, bagai hendak meruntuhkan tebing batu ini

Rrrt!

Cahaya biru yang berkilau menyilaukan mata, kembali meluncur deras dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat yang bersamaan, Ratu Pantai Selatan juga menghentakkan tongkatnya ke depan. Maka dari bola mata tongkat ular kobra itu, meluncur cahaya merah bagai api.

Glarrr...!

"Akh...!"

Tepat ketika dua sinar merah dan biru berbenturan di udara, tampak Rangga terpental ke belakang sambil memekik keras agak tertahan. Sedangkan Ratu Pantai Selatan hanya terdorong saja beberapa langkah ke belakang.

Rangga bergelimpangan beberapa kali, dan baru berhenti setelah punggungnya menghantam sebongkah batu yang begitu besar. Batu itu sampai retak terkena benturan punggung Rangga yang begitu keras. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menggeleng-gelengkan kepala, lalu berusaha bangkit berdiri. Tubuhnya terhuyung-huyung, dan dari mulutnya mengeluarkan darah kental agak kehitaman.

"Hiyaaat...!"

Pada saat itu, Ratu Pantai Selatan sudah melompat cepat bagai kilat sambil mengayunkan tongkatnya ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Serangannya begitu cepat, membuat Rangga yang belum bisa menguasai keadaan diri hanya bisa terperangah saja. Tidak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bisa menghindari serangan wanita cantik penguasa samudera ini.

"Dewata Yang Agung..," desah Rangga perlahan.

"Khraaagkh...!"

Tepat ketika tongkat berkepala ular kobra itu hampir menghantam kepala Rangga, tiba-tiba saja dari angkasa meluncur seekor burung raksasa putih keperakan. Burung itu kuat sekali mengepakkan sayapnya ke arah Ratu Pantai Selatan.

"Heh! Uts...!"

Wanita cantik penguasa samudera itu jadi terkejut setengah mati. Buru-buru tubuhnya melenting ke belakang menghindari kibasan sayap rajawali raksasa berbulu putih. Sehingga, membuat serangannya pada Rangga jadi gagal. Dan sebelum Ratu Pantai Selatan bisa menyadari apa yang terjadi, Rajawali Putih sudah menyambar Rangga dengan cakarnya yang kuat dan kokoh. Secepat kilat, burung raksasa itu melesat tinggi ke udara membawa pemuda berbaju rompi putih yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa itu...?" desis Ratu Pantai Selatan sambil memandang ke atas.

Masih terlihat sedikit bentuk burung rajawali raksasa itu, sebelum menghilang di balik awan. Ratu Pantai Selatan terus berdiri tegak memandang ke awan, tempat burung rajawali raksasa berbulu putih menghilang membawa Rangga dengan cakarnya yang begitu besar dan kokoh.

"Kalian lihat, apa itu tadi...?" tanya Ratu Pantai Selatan pada sepuluh orang gadis cantik berpakaian merah pengawalnya.

Sepuluh gadis cantik berbaju merah itu hanya menggelengkan kepala saja. Mereka juga terkejut dengan kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, sehingga tidak sempat lagi melihat kalau yang baru saja muncul dan menyelamatkan Rangga adalah seekor rajawali raksasa. Memang kejadiannya begitu cepat, sehingga sulit dilihat jelas. Terlebih lagi, gerakan Rajawali Putih dalam menyerang Ratu Pantai Selatan dan menyelamatkan Rangga.

"Hmmm..., itu tadi seperti burung rajawali. Tapi apa mungkin...?" gumam Ratu Pantai Selatan berbicara sendiri.

Sebentar wanita cantik penguasa samudera itu masih memandang ke atas, lalu perlahan matanya terpejam. Dan tiba-tiba saja, seluruh tubuhnya terselimut cahaya terang menyilaukan mata. Lalu begitu cahaya itu lenyap, wujudnya sudah berganti kembali menjadi Rampita. Sedangkan sepuluh orang gadis pengawal Ratu Pantai Selatan juga sudah tidak lagi menyandang senjata. Mereka kini sudah berdiri di belakang wanita berbaju biru yang sekarang bukan lagi Ratu Pantai Selatan, melainkan sudah berganti menjadi Rampita lagi.

"Ayo kita pergi dari sini," ajak Rampita.

"Baik, Nini," sahut sepuluh gadis berbaju merah itu bersamaan.

Tanpa ada yang bicara lagi, gadis-gadis cantik itu segera meninggalkan tebing batu Lereng Bukit Rangkas itu. Mereka bergerak cepat menuju ke arah Selatan dengan gerakan begitu ringan. Sehingga, kaki-kaki mereka seperti tidak menyentuh tanah sama sekali. Dan sebentar saja, mereka sudah jauh meninggalkan tebing batu itu, lalu menghilang ke dalam hutan di Lereng Bukit Rangkas ini.

********************

ENAM

"Ohhh...."

Rangga merintih lirih dan mencoba menggeliat bangkit Tapi sebuah tangan halus telah menahan dadanya. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti membuka kelopak matanya. Hatinya terkejut melihat seorang gadis cantik berbaju hitam, duduk di samping tubuhnya yang terbaring di atas rerumputan kering. Sebentar Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Langsung cepat disadari kalau saat ini dia berada dalam sebuah gua yang sangat besar.

Pendekar Rajawali Sakti kembali mengarahkan pandangannya pada gadis berwajah cantik yang mengenakan baju berwarna hitam ketat. Perlahan tubuhnya bergeser dan bergerak bangkit, lalu duduk bersandar pada dinding gua ini. Sedangkan gadis berbaju hitam itu tidak lagi mencegah. Dia tetap duduk di tempatnya sambil memandangi Rangga yang kini sudah duduk bersandar di dinding gua batu ini

"Berapa lama aku tidak sadarkan diri, Intan?" tanya Rangga yang memang sudah mengenal gadis berbaju hitam itu, sehingga tidak lagi terkejut saat melihatnya pertama kali tadi.

"Cukup lama juga," sahut Intan Kemuning.

Gadis cantik yang mengenakan baju serba hitam ketat itu memang Intan Kemuning, putri tunggal Patih Giling Wesi di Kerajaan Galung. Tapi, gadis ini sudah begitu dikenal di kalangan persilatan dengan julukan Putri Rajawali Hitam. Dan dia juga memiliki tunggangan seekor burung rajawali raksasa yang berbulu hitam pekat berkilat. Antara kedua pendekar muda yang sama-sama bergelar Rajawali itu memang sudah saling mengenal, dan sama-sama mempunyai seekor burung rajawali raksasa.

Dan di dunia ini, memang hanya ada dua burung rajawali raksasa. Mereka selalu dijuluki Sepasang Rajawali, jika muncul secara bersamaan. Namun, jarang sekali mereka terlihat muncul bersama-sama. Dan kalaupun terjadi, itu hanya secara kebetulan saja.

"Di mana ini, Intan?" tanya Rangga lagi.

"Masih di Kaki Bukit Rangkas, tidak jauh dari tempatmu bertarung," sahut Intan Kemuning.

"Kau tahu aku bertarung...?!" Rangga jadi terkejut

Intan Kemuning yang lebih dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam hanya tersenyum saja. Diambilnya sebatang ranting kering, dan dilemparkannya ke atas onggokan api unggun. Sehingga, keadaan di dalam gua ini semakin bertambah hangat. Suara gemeretak terdengar dari api yang melahap ranting-ranting kering. Sementara, Rangga memandangi gadis berbaju serba hitam itu.

"Kebetulan saja aku lewat di atas Bukit Rangkas, dan melihat kau terlempar. Tapi belum sempat membantu, Rajawali Putih sudah lebih dahulu menyambar dan membawamu terbang. Aku langsung saja mengikuti, dan mengajak Rajawali Putih ke gua ini," jelas Intan Kemuning dengan singkat. "Siapa lawanmu itu, Kakang? Kelihatan aneh sekali?"

"Titisan Ratu Pantai Selatan," sahut Rangga.

"Titisan Ratu Pantai Selatan...? Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang."

"Dia sebenarnya seorang gadis yang bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan. Aku tidak tahu, apa maksudnya. Tapi sudah banyak korban yang jatuh. Bahkan Padepokan Bukit Rangkas baru saja digempur. Hhh..., memang sulit jika berhadapan dengan penguasa samudera itu. Dia seperti dewa saja. Rasanya terlalu sukar untuk bisa menandingi kesaktiannya," dengan suara pelan, Rangga mencoba menjelaskan. "Tapi yang paling sulit, di dalam diri gadis itu sudah menitis Ratu Pantai Selatan. Ini yang terlalu sukar ditandinginya. Kau bisa melihat sendiri, aku hampir mati kalau Rajawali Putih tidak cepat menyelamatkanku."

Rangga jadi teringat dengan pengalamannya, ketika dia juga harus berhadapan dengan wanita penguasa samudera itu.

"Hanya ada satu cara untuk menghentikannya, Kakang," kata Intan Kemuning.

"Bagaimana?" tanya Rangga ingin tahu.

"Pisahkan Ratu Pantai Selatan dari gadis itu," sahut Intan Kemuning.

"Tidak mudah memisahkannya, Intan."

"Memang! Karena seperti katamu tadi, mereka sudah menyatu dalam satu raga."

"Lalu, bagaimana cara memisahkannya?" tanya Rangga lagi.

"Mereka tidak bisa dilawan oleh hanya satu orang saja."

"Maksudmu?"

"Harus dilawan sedikitnya dua orang, Kakang. Satu menyerang Ratu Pantai Selatan, satu lagi memusatkan diri menyerang gadis titisannya. Dia memang tidak akan terlihat Tapi kalau sudah terpisah, kita akan bisa melihatnya. Dan kalau mereka sudah terpisah, satu orang harus bisa membunuh gadis titisan itu. Paling tidak, melumpuhkannya. Dengan begitu, Ratu Pantai Selatan tidak akan bisa menitis lagi. Dan dia akan kembali ke istananya di dasar samudera. Kita tak mungkin bisa mengalahkannya, Kakang. Tapi kita bisa menghentikannya dengan membunuh sekutunya itu," kembali Intan Kemuning menjelaskan dengan panjang lebar.

"Hmmm.... Satu pekerjaan yang hampir mustahil dilakukan...," gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.

"Memang, Kakang. Tapi kalau tidak, dunia ini akan hancur. Semakin banyak dia mendapatkan korban, semakin kuat saja di alam nyata ini," sahut Intan Kemuning.

"Kau sepertinya tahu banyak tentang Ratu Pantai Selatan, Intan," ujar Rangga.

"Sebelum ayahku menjadi patih dia pernah menduduki jabatan sebagai panglima perang di lautan. Aku sering mendengar cerita-ceritanya tentang Ratu Pantai Selatan. Jadi, sedikitnya aku bisa mengerti, Kakang," sahut Intan Kemuning menjelaskan.

"Tapi pengetahuanmu yang sedikit itu sangat berguna untuk menghadapinya, Intan"

"Kau juga harus memulihkan kesehatanmu dulu, Kakang. Kau terluka dalam cukup parah. Aku tadi telah memberimu sedikit hawa murni," kata Intan Kemuning tidak ingin terlalu banyak menerima pujian Pendekar Rajawali Sakti.

"Itu juga sudah cukup banyak membantu, Aku tinggal bersemadi sebentar, dan keadaanku sudah bisa pulih kembali," sahut Rangga.

"Bersemadilah. Aku akan mencari makanan di luar. Barangkali saja setelah kau menyelesaikan semadi, aku sudah siap menyediakan makanan untukmu."

"Terima kasih, Intan."

Intin Kemuning hanya tersenyum saja, kemudian bangkit berdiri. Tapi belum juga beranjak pergi meninggalkan gua itu, Rangga sudah memanggilnya. Intan Kemuning berbalik memandang Pendekar Rajawali Sakti yang masih tetap duduk bersila dengan punggung tersandar pada dinding gua ini.

"Ada apa?" tanya Intan Kemuning.

"Kalau kau bersedia, tolong beri tahu keadaanku pada Pandan Wangi. Dia ada di Padepokan Bukit Rangkas," kata Rangga meminta.

"Akan kuberi tahu dia," sahut Intan Kemuning. "Apa kau ingin agar dia ada di sini selama kau bersemadi?"

"Tidak perlu. Dia harus menjaga keselamatan Padepokan Bukit Rangkas. Katakan saja, jangan tinggalkan padepokan sampai aku datang ke sana," pesan Rangga lagi.

Intan Kemuning hanya mengangguk saja, kemudian bergegas melangkah keluar gua ini. Sementara Rangga sudah bersiap melakukan semadi untuk memulihkan kesehatan rubuhnya yang mendapat luka dalam, akibat pertarungannya melawan Titisan Ratu Pantai Selatan.

********************

Sementara itu. Intan Kemuning sudah mengangkasa bersama Rajawali Hitam menuju Puncak Bukit Rangkas. Kelopak mata gadis berbaju hitam yang berjuluk Putri Rajawali Hitam itu jadi menyipit, begitu melihat kepulan asap hitam membumbung tinggi ke angkasa dari Puncak Bukit Rangkas.

"Lebih cepat lagi, Rajawali Hitam...!" perintah Intan Kemuning.

"Khraaagkh...!"

Burung rajawali raksasa berbulu hitam itu meluncur cepat menuju Puncak Bukit Rangkas. Begitu cepat burung raksasa itu meluncur di angkasa, sehingga dalam waktu sekejapan mata saja sudah sampai di atas Puncak Bukit Rangkas Intan Kemuning yang wajahnya kiri sudah tertutup cadar tipis berwarna hitam langsung melompat turun, sebelum Rajawali Hitam menyentuhkan kakinya di tanah.

"Oh.... Apa yang terjadi di sini...?!" desah Intan Kemuning seperti tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.

Putri Rajawali Hitam itu jadi terkejut setengah mati, melihat keadaan bangunan Padepokan Bukit Rangkas yang sudah hancur porak poranda. Asap tebal menghitam menggumpal, membumbung tinggi ke angkasa dari kobaran api yang cukup besar, menghancurkan bangunan padepokan di Puncak Bukit Rangkas ini.

Benar-benar sukar bisa dipercaya. Padepokan yang cukup besar ini, bisa hancur tak tersisa lagi Seluruh bangunannya tinggal puing-puing saja, karena hangus terbakar. Sementara, mayat-mayat tampak bergelimpangan saling tumpang tindih, hampir memeriuhi sekitar puing-puing reruntuhan Padepokan Bukit Rangkas ini.

Perlahan-lahan Putri Rajawali Hitam mengayunkan langkahnya sambil merayapi keadaan sekelilingnya. Tak ada seorang pun yang kelihatan masih hidup. Udara di sekitar daerah puncak bukit ini sudah tercemar bau anyir darah yang memualkan perut. Namun, Intan Kemuning tetap meneliti setiap rnayat yang bergelimpangan saling rumpang tindih tak teratur. Dicarinya Pandan Wangi di antara mayat-mayat yang bergelimpangan.

Tapi sudah semua mayat itu diperiksa, tidak juga menemukan Pandan Wangi. Bahkan Eyang Danarpati juga tidak terlihat di antara mereka yang tewas. Intan Kemuning terus mencari, mengelilingi padepokan yang sudah hancur tinggal puing-puing hangus terbakar itu.

"Ohhh...."

"Heh...?!"

Intan Kemuning tersentak begitu tiba-tiba mendengar rintihan lirih tidak jauh darinya. Cepat wajahnya berpaling ke arah sumber rintihan yang begitu lirih terdengar tadi. Tak ada satu pun dari mayat-mayat itu yang bergerak. Pandangan Putri Rajawali Hitam itu jadi tertumbuk pada sebuah gerumbulan semak belukar yang bergerak-gerak seperti ada sesuatu di dalamnya.

"Hup...!"

Hanya sekali lompatan saja, Intan Kemuning sudah sampai di gerumbulan semak belukar itu. Kedua bola matanya jadi terbeliak begitu melihat seorang gadis yang sebaya dengannya tengah tergolek di dalam semak, sambil merintih lirih menggerak-gerakkan kepalanya. Hampir di seluruh tubuhnya terdapat luka-luka menganga yang masih mengucurkan darah. Intan Kemuning bergegas mengeluarkan gadis itu dari dalam semak, dan membaringkannya di tempat yang cukup nyaman.

"Apa yang terjadi di sini, Nisanak?" tanya Intan Kemuning.

"Ohhh..., siapa kau?" gadis itu malah balik bertanya, dengan sinar mata yang begitu redup memandangi wajah Intan Kemuning yang tertutup cadar berwarna hitam tipis.

"Aku Putri Rajawali Hitam," sahut Intan Kemuning "Dan kau siapa?"

"Karina...," sahut gadis itu pelan sekali suaranya.

Karina meringis menahan rasa sakit yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Memang, luka-luka yang dideritanya begitu parah. Dan darah terus mengucur deras sekali dari luka-luka di seluruh tubuhnya. Warna baju yang dikenakannya sudah tak terlihat lagi, tertutup noda-noda darah.

"Apa yang terjadi di sini, Karina?" tanya Intan Kemuning lagi.

"Mereka datang lagi, dan langsung menghancurkan padepokan ini Mereka begitu tangguh. Ohhh...," Karina kembali meringis menahan sakit.

"Mereka siapa?" tanya Intan Kemuning mendesak.

"Ratu Pantai Selatan...," semakin lemah suara Karina.

"Lalu, ke mana Eyang Danarpati dan Pandan Wangi?" tanya Intan Kemuning lagi.

"Akkk..., aku tak tahu. Tadi Eyang, Danarpati terluka parah. Mungkin dia ditangkap. Sayang..., Pandang Wangi belum tiba di sini waktu Eyang Danarpati terluka parah.... mung..., mungkin! Mungkin Pandan Wangi sudah datang, tapi juga sudah tertangkap! Oh, aku tak kuat lagi. Akh...!"

"Karina..., Karina...."

Intan Kemuning mengguncang-guncangkan tubuh Karina, tapi gadis itu sudah tidak bernyawa lagi. Luka-luka yang begitu parah memang tidak mungkin lagi bisa menyelamatkan nyawanya. Sudah terlalu banyak darah yang keluar. Intan Kemuning hanya bisa menghembuskan napas panjang dan memandangi saja, tanpa dapat berbuat apa-apa lagi.

Perlahan Putri Rajawali Hitam bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya Karina yang sudah terbujur kaku tak bernyawa lagi. Kemudian pandangannya beredar berkeliling. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Putri Rajawali Hitam itu di Puncak Bukit Rangkas ini. Perlahan kakinya melangkah pergi menghampiri Rajawali Hitam tunggangannya yang menunggui tidak jauh dari padepokan yang sudah hancur tak tersisa lagi itu.

"Kakang Rangga harus tahu secepatnya keadaan di sini," gumam Intan Kemuning dalam hati.

********************

Rangga terdiam membisu dengan kepala tertunduk menekuri tanah, setelah mendengar penuturan Intan Kemuning tentang keadaan di Padepokan Bukit Rangkas. Pendekar Rajawali Sakti masih juga terdiam, walau Intan Kemuning yang lebih dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam sudah menyelesaikan ceritanya.

Memang sukar bisa dipercaya. Dalam waktu yang tidak berselang begitu lama, Ratu Pantai Selatan dan sepuluh orang gadis pengawalnya mampu menghancurkan. Padepokan Bukit Rangkas. Padahal sebelumnya, mereka harus berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan perbedaan waktunya juga tidaklah lama.

Hanya beberapa saat saja, setelah mereka bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi bagi Rangga, hal itu tidak terlalu aneh. Memang, kekuatan Padepokan Bukit Rangkas sudah begitu jauh berkurang. Terlebih lagi, yang melakukan penghancuran itu adalah Ratu Pantai Selatan, penguasa seluruh dasar samudera di Mayapada ini.

Hanya satu yang menjadi beban pikiran Pendekar Rajawali Sakti sekarang ini. Dia benar-benar mencemaskan keselamatan Pandan Wangi dan Eyang Danarpati, yang sekarang mungkin berada di tangan wanita penguasa samudera itu. Dan lagi, tidak mudah bisa mengetahui tempat persembunyian mereka. Lebih-lebih kalau mereka membawanya ke istana dasar samudera. Sudah pasti tidak akan mungkin bisa ditemukan lagi dalam keadaan hidup. Hal inilah yang membuatnya jadi begitu cemas memikirkannya.

"Kakang...," lembut sekali suara Intan Kemuning.

Perlahan Rangga mengangkat kepalanya. Pandangannya langsung bertemu pada sorot mata Intan Kemuning yang berada begitu dekat di depannya. Beberapa saat mereka saling pandang saja. Namun, gadis yang berjuluk Putri Rajawali Hitam itu memalingkan mukanya. Cepat-cepat pandangannya dialihkan ke arah lain. Entah kenapa, dia masih saja sulit untuk bisa membalas pandangan mata Rangga lama-lama. Rasanya memang tidak sanggup membalas lebih lama lagi pandangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Maaf, aku...."

"Sudahlah. Aku bisa mengerti, Kakang," cepat-cepat Intan Kemuning memutuskan ucapan Pendekar Rajawali Sakti.

"Sudah begitu lama aku selalu bersama-sama dengannya. Segala persoalan dan bahaya kulalui bersamanya. Tapi sekarang ini..., aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Lawan yang harus kuhadapi bukan manusia biasa. Tidak ada seorang pun yang sanggup menghadapinya. Kesaktiannya seperti dewa, tidak mudah menghadapinya begitu saja," Rangga jadi mengeluh memikirkan keadaan Pandan Wangi.

"Tapi kau harus ingat, Kakang. Bukan Ratu Pantai Selatan yang kita hadapi sekarang ini, melainkan hanya titisannya saja. Jadi sudah pasti dia memiliki kekurangan serta kelemahan. Kita masih bisa menghadapinya, Kakang," Intan Kemuning memberi semangat.

"Ya.... Kita memang masih bisa menghadapinya, Intan. Tapi kita harus tahu dulu, di mana tempat persembunyiannya. Sedangkan gadis yang ditirisi Ratu Pantai Selatan sama sekali tidak kukenal. Aku tidak tahu, siapa dia sebenarnya. Juga, di mana tempat tinggalnya," kata Rangga masih terdengar mengeluh nada suaranya.

"Kau tahu namanya...? Barangkali dia pemah menyebutkan namanya, atau namanya pernah kau dengar dari orang lain."

"Rampita. Hanya itu yang kutahu."

"Kalau begitu, kita bisa mencarinya di Desa Nelayan, Kakang. Hanya ada satu desa saja di sekitar Bukit Rangkas dekat Pesisir Pantai Selatan ini."

"Aku memang belum sempat menyelidikinya, Intan. Aku baru saja sampai di sini, dan langsung bentrok dengannya. Jadi, tidak ada kesempatan untuk mencari keterangan tentang gadis yang bernama Rampita itu," kata Rangga mengaku terus terang. "Hhh..., tindakannya begitu cepat. Aku benar-benar tidak menyangka kalau mereka akan datang lagi ke Padepokan Bukit Rangkas, dan langsung menghancurkannya. "

"Kau tentu tidak ingin ini terus berlarut-larut kan, Kakang...?"

Rangga menatap Putri Rajawali Hitam dalam-dalam. "Maaf...," ucap Rangga seraya bangkit berdiri.

Tanpa bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti menghampiri Rajawali Putih yang mendekam tidak seberapa jauh. Sedangkan Intan Kemuning menghampiri Rajawali Hitam. Entah, apa yang dikatakan kedua pendekar rajawali itu pada burung raksasa tunggangannya masing-masing. Yang jelas, mereka langsung melangkah berdampingan meninggalkan Kaki Bukit Rangkas ini Sedangkan kedua burung rajawali raksasa itu terus melambung tinggi ke angkasa tanpa menimbulkan suara apa pun juga. Hanya kepakan sayap mereka saja yang menimbulkan hembusan angin kencang seperti badai.

Sementara, Rangga dan Intan Kemuning terus mengayunkan kakinya tanpa mengerahkan ilmu meringankan tubuh sedikit pun juga. Mereka berjalan tanpa berbicara menuju Desa Nelayan yang berada di Pesisir Pantai Selatan, tidak jauh dari Kaki Bukit Rangkas ini. Mereka melalui jalan pintas, merambah hutan yang tidak begitu lebat di sekitar Kaki Bukit Rangkas ini.

"Kau seperti sudah tahu kalau di sini terjadi sesuatu, Kakang, Apa ada orang yang memberitahumu...?" tanya Intan Kemuning mengisi kekosongan yang terjadi cukup lama ini.

"Ya! Gadis yang kau temui di Padepokan Bukit Rangkas. Dialah yang memberitahuku, dan memintaku datang ke sini," sahut Rangga. "Tapi sayang, kedatanganku sudah terlambat Ratu Pantai Selatan sudah mengambil korban begitu banyak. Bahkan padepokan sahabatku dihancurkannya begitu saja. Hhh.... Aku benar-benar tidak tahu, apa sebenarnya yang dicarinya di sini."

"Biasanya orang yang bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan hanya mencari kejayaan, atau mencari kekuatan untuk membalas dendam," kata Intan Kemuning memberi tahu lagi. "Sayangnya lagi, kau tidak sempat bicara dengan Eyang Danarpati."

"Kau juga kenal Eyang Danarpati...?!" Rangga agak terkejut

Sungguh Pendekar Rajawali Sakti belum memberi tahu tentang Eyang Danarpati yang memimpin Padepokan Bukit Rangkas pada Putri Rajawali Hitam. Tapi, gadis yang selalu mengenakan baju berwarna hitam dan setiap kemunculannya selalu mengenakan cadar sudah mengetahui nama Eyang Danarpati. Dan itulah yang membuat Rangga jadi bertanya-tanya terkejut

"Ayahku dan Eyang Danarpati sahabat dekat Dan terus terang saja, kedatanganku ke sini ingin mengunjunginya. Tapi niatku terhalang saat melihatmu bertarung melawan Titisan Ratu Pantai Selatan. Aku juga jadi tidak sempat bertemu dengannya, Kakang."

"Kau ada perlu dengan Eyang Danarpati, Intan?" tanya Rangga.

"Tidak. Aku hanya ingin berkunjung saja. Tidak ada hal yang penting," sahut Intan Kemuning.

"Kedatanganmu benar-benar diharapkan sekali. Kita bisa sama-sama lagi menghadapi keangkara-murkaan," sambut Rangga diiringi senyuman lebar.

Intan Kemuning hanya tersenyum saja. Memang, sudah lama sekali mereka tidak saling berjumpa. Masing-masing disibuki oleh tugasnya sebagai pendekar kelana yang selalu berpindah-pindah tempat untuk memberantas keangkaramurkaan di atas bumi ini.

Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi. Sementara, keremangan sudah menyelimuti sekitar Kaki Bukit Rangkas ini. Dan saat itu hari memang sudah menjelang senja. Matahari sudah cukup jauh turun ke peraduannya. Keindahan senja hari ini sama sekali tidak bisa dinikmati. Terlebih lagi buat Rangga yang masih terus memikirkan keadaan Pandan Wangi yang sekarang berada di tangan Rampita, Titisan Ratu Pantai Selatan.

Sementara itu Desa Nelayan yang mereka tuju sudah terlihat berada di depan. Deburan ombak menghantam batu-batu karang di pantai pun sudah terdengar nyata, mengusik gendang telinga. Angin yang berhembus agak keras, menebarkan aroma laut yang begitu menyegarkan.

"Kita cari penginapan dulu di desa itu, Intan," kata Rangga sambil menunjuk sebuah desa yang berada tidak jauh lagi.

"Ya. Dari sana pula kita mencari keterangan," sahut Intan Kemuning.

"Kau tidak memakai cadarmu, Intan?" tanya Rangga yang melihat Putri Rajawali Hitam itu tidak mengenakan cadar yang menjadi cirinya.

"Untuk apa...? Hanya membuat perhatian orang saja."

Rangga mengangkat bahunya dan tersenyum mendengar jawaban gadis ini. Mereka kemudian tidak bicara lagi, dan terus melangkah mendekati Desa Nelayan yang tampak sunyi sepi. Memang, keadaan di desa itu jadi lain setelah muncul Ratu Pantai Selatan yang selalu mencari pemuda di desa itu. Entah, sudah berapa banyak pemuda yang jadi korban, lalu ditemukan tewas tidak berapa lama setelah diculik Ratu Pantai Selatan dan sepuluh orang gadis pengawalnya.

********************

TUJUH

Belum pernah Rangga melihat keadaan sebuah Desa Nelayan yang begitu indah. Bukan hanya pemandangannya, tapi juga keadaan rumah-rumahnya yang begitu bagus. Rasanya seperti bukan sebuah desa, tapi sebuah kota kadipaten. Walaupun, memang masih terlalu kecil untuk bisa dikatakan kota kadipaten. Hanya keadaannya saja yang tidak kalah dengan kota. Sayangnya, Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak bisa menikmati keindahan desa ini. Perhatiannya masih terpusat pada Pandan Wangi dan Eyang Danarpati yang sampai saat ini belum tentu di mana sekarang berada.

Sudah dua hari dua malam, Rangga dan Intan Kemuning mencari keterangan di Desa Nelayan ini. Tapi, mereka belum juga mendapat keterangan apa pun yang dicarinya. Bahkan tak ada seorang pun yang mengenal Rampita. Tapi, Rangga punya perasaan lain. Dan itu segera diutarakannya pada Intan Kemuning, ketika mereka berada di pinggiran desa tidak jauh dari pantai.

"Kau merasakan ada sesuatu yang janggal di desa ini, Intan...?" ujar Rangga bernada memberikan pertanyaan.

"Ya," sahut Intan Kemuning seraya menghentikan ayunan langkahnya. Tubuhnya berbalik dan memandang Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Apa...?" tanya Rangga ingin tahu. "Sikap penduduk yang seperti tidak mau tahu Mereka juga seperti takut jika kita bertanya tentang Rampita," sahut Intan Kemuning.

"Ya.... Itu juga yang kurasakan," desah Rangga, tidak mengira kalau Intan Kemuning juga punya pikiran yang sama dengannya.

"Aku yakin, cepat atau lambat mereka pasti akan menemui kita, Kakang. Bukannya kita yang mencari mereka, tapi justru merekalah yang mencari," kata Intan Kemuning.

"Kau yakin itu, Intan?"

"Tentu! Dari sikap penduduk, aku begitu yakin. Mereka pasti kenal orang yang bernama Rampita. Dan karena mendapat tekanan, sehingga mereka merasa takut untuk mengatakan tempat tinggalnya," sahut Intan Kemuning lagi.

"Di mana-mana, yang namanya desa pasti begitu. Hhh.?.," keluh Rangga perlahan, seperti untuk diri sendiri.

"Jangan menyalahkan mereka, Kakang. Mereka memang hanya bisa pasrah pada keadaan tanpa dapat berbuat sesuatu untuk keluar dari keadaan. Walaupun, kenyataan itu sangat buruk."

"Aku akan membebaskan mereka dari tekanan Ratu Pantai Selatan Keadaan seperti ini tidak bisa didiamkan terus-menerus, Intan. Perempuan itu akan menjarah ke desa-desa lain, kalau di sini sudah tidak ada pemuda-pemuda yang bisa diperolehnya lagi. Hhh..., apa sebenarnya yang dicari Rampita..?" lagi-lagi Rangga mengeluh.

"Kita pasti mengetahuinya, Kakang."

"Ya, kita harus mengetahui dan menghentikannya Harus...!" Rangga bertekad.

Mereka kembali melangkah menyusuri pantai yang berpasir putih seperti bertaburkan batu-batu mutiara ini. Tak ada lagi yang berbicara. Sementara, matahari sudah begitu jauh tenggelam di batas permukaan air laut Hanya cahayanya saja yang merah lembayung membias di cakrawala. Begitu indah untuk dinikmati. Namun Rangga dan Intan Kemuning tidak punya kesempatan untuk menikmati keindahan senja di pantai ini.

Mereka terus sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka belum bisa tenang kalau belum berhasil menghentikan semua tindakan Ratu Pantai Selatan yang menitis pada diri Rampita Bahkan mereka masih belum tahu, siapa sebenarnya Rampita itu. Dan untuk apa dilakukan persekutuan dengan Ratu Pantai Selatan yang dikenal sebagai penguasa seluruh samudera di Mayapada ini. Memang sulit untuk mencari tahu, karena mereka sama sekali tidak mendapat bantuan dari penduduk Desa Nelayannya ini.

Sebenarnya, penduduk desa ini bukannya tidak peduli, dan hanya merasa ketakutan. Namun, Rangga dan Intan Kemuning belum bisa menemukan alasan dari ketakutan mereka. Yang jelas, mereka pasti tahu tempat tinggal Rampita yang bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan, dan menimbulkan rasa takut di seluruh Desa Nelayan di Pesisir Pantai Selatan ini.

"Tolooong...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"

Rangga dan Intan Kemuning tiba-tiba saja dikejutkan teriakan panjang melengking tinggi. Teriakan meminta tolong, dan bersumber dari batik gundukan batu-batu karang tidak jauh di depan kedua pendekar rajawali itu. Sesaat mereka saling berpandangan, lalu tanpa berbicara lagi berlompatan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh ke arah sumber suara teriakan yang didengarnya barusan.

"Hup! Yeaaah...!"
"Hap!"

Hanya beberapa kali lompatan saja, kedua pendekar muda yang sama-sama memiliki tunggangan seekor burung rajawali raksasa itu sudah sampai di atas puncak gundukan batu karang yang tertinggi. Dari tempat itu bisa terlihat seorang wanita tengah menangis tertelungkup, meratapi seorang lelaki muda yang tengah mencoba melepaskan diri dari belitan tambang yang dipegangi empat orang gadis cantik berbaju merah menyala.

"Hup! Hiyaaa...!"

Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga segera melentingkan tubuhnya sambil mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu cepat dan ringan sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti Hanya dua kali lompatan saja, dia sudah berhasil mencapai tempat itu.

"Hap! Yeaaah...!"
Bettt!
Tasss!

Hanya sekali kebutan tangan kiri dari jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', tambang-tambang yang membelit tubuh pemuda desa itu langsung putus. Akibatnya empat gadis cantik berbaju merah itu terpental beberapa langkah ke belakang. Sedangkan pemuda itu jatuh bergulingan beberapa kali di atas hamparan pasir yang berbatu kerikil karang ini.

"Apa yang kalian lakukan di sini, heh...?!" bentak Rangga geram, melihat empat orang dari sepuluh gadis pengawal Ratu Pantai Selatan itu.

Empat orang gadis berwajah cantik yang mengenakan baju warna merah menyala itu melemparkan pandang beberapa saat Mereka memang saling berhadapan, dan sudah tahu kepandaian yang dimiliki masing-masing. Begitu bisa bangkit berdiri, keempat gadis berbaju serba merah itu langsung berlompatan mengepung Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup! Hiyaaa...!"

Rangga yang memang sudah geram oleh segala perbuatan gadis-gadis dari dasar samudera itu, tidak mau lagi tanggung-tanggung menghadapinya. Maka belum juga gadis-gadis itu menjejakkan kakinya di atas tanah berpasir putih, Rangga sudah melentingkan tubuhnya. Langsung dilepaskannya serangan cepat menggeledek pada salah seorang gadis itu, lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkat terakhir. Begitu dahsyatnya jurus yang dikeluarkan Rangga, sehingga membuat kedua kepalan tangannya jadi berwarna merah, bagai besi terbakar dalam tungku.

"Yeaaah...!"
"Uts...!"

Untung saja gadis itu cepat-cepat meliukkan tubuhnya, sehingga pukulan Rangga yang begitu dahsyat tidak sampai mengenainya. Tapi belum juga berhasil menjejakkan kakinya di tanah. Rangga sudah memberi satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.

"Jebol! Yeaaah...!"
Begkh!

Begitu cepatnya tendangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga gadis berbaju merah itu tidak sempat lagi menghindar. Telapak kaki Rangga tepat menghantam dada gadis berbaju merah itu.

"Aaakh...!"

Sambil memekik keras, gadis itu terpental deras sejauh tiga tombak. Keras sekali tubuhnya menghantam pasir pantai, dan bergulingan beberapa kali. Pada saat yang bersamaan, satu orang gadis lainnya sudah melompat menyerang Rangga dari belakang.

Rupanya, tanpa kehadiran Ratu Pantai Selatan keempat wanita itu seperti tidak berarti apa-apa. Memang, bila Ratu Pantai Selatan ada di samping mereka barulah mereka mendapat kesaktian secara langsung. Jadi tidak heran bila Ratu Pantai Selatan berubah wujud, mereka juga berubah wujud. Juga kalau Ratu Pantai Selatan menciptakan pedang, di tangan mereka juga akan ada pedang.

Yang jelas, mereka tergantung pada Ratu Pantai Selatan itu sendiri. Maka bila Ratu Pantai Selatan tidak ada, maka sama saja mereka tidak berarti apa-apa. Tentu saja hal ini membuat Rangga jadi berada di atas angin. Jadi tidak heran kalau Pendekar Rajawali Saka mampu membuat mereka kalang kabut!

"Hait..!"

Cepat Rangga memutar tubuhnya, dan melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Gerakan Rangga yang begitu cepat dan tiba-tiba itu, sama sekali tidak diduga gadis berbaju merah itu. Sehingga, pukulannya yang luput dari sasaran belum sempat ditarik kembali. Bahkan dia juga tidak sempat lagi menghindari pukulan keras bertenaga dalam sempurna yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, dalam waktu bersamaan. Sehingga...

Desss!
"Aaakh...!"

Gadis berbaju merah pengawal Ratu Pantai Selatan itu terjerembab beberapa tombak jauhnya dari Pendekar Rajawali Sakti. Sebongkah batu karang yang cukup besar ukurannya, seketika hancur berkeping-keping terhantam tubuhnya. Sementara, Rangga cepat memutar tubuhnya pada dua orang gadis lain yang sudah berhadapan dengan Intan Kemuning.

"Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat, Rangga melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan dahsyat mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah kepala seorang gadis yang bertarung melawan Intan Kemuning. Begitu cepatnya pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', sehingga gadis berbaju merah pengawal Ratu Pantai Selatan itu tidak dapat lagi menghindarinya. Akibatnya, pukulan Pendekar Rajawali Sakti itu tepat menghantam kepalanya.

Prakkk!

"Aaakh...!" satu jeritan panjang, melengking tinggi terdengar begitu menyayat.

Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Rangga, sehingga gadis itu langsung ambruk, menggelepar di atas tanah berpasir putih ini. Tampak darah mengucur deras dari kepalanya yang retak akibat terkena pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.

Hanya sebentar saja gadis itu masih mampu bergerak menggelepar meregang nyawa, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah terus berhamburan keluar dari kepalanya yang hampir hancur terkena pukulan bertenaga dalam sempurna dari Pendekar Rajawali Sakti. Kejadian ini membuat tiga orang gadis lain jadi terkejut setengah mati Terlebih lagi, yang tadi sempat menerima pukulan Rangga. Mereka langsung berlompatan menjauh, memandangi seorang temannya yang tergeletak tak bernyawa lagi, seakan-akan tidak percaya atas kematian temannya ini.

Slrattt! Glarrr!

Tiba-tiba saja membersit seleret kilat di.angkasa, disertai ledakan guntur yang begitu dahsyat menggelegar. Bukan hanya Rangga dan Intan Kemuning yang terkejut, tapi juga tiga orang gadis berbaju merah pengawal Ratu Pantai Selatan itu sampai mendongak ke langit

"Hup!"
"Hiyaaa!"
"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja ketiga gadis berbaju merah itu berlompatan cepat meninggalkan tempat yang berbatu karang itu, di saat Rangga maupun Intan Kemuning belum sempat menyadari apa yang terjadi. Tapi kepergian ketiga gadis cantik berbaju merah itu cepat diketahui Rangga, Dan....

"Intan, kau urusi mereka! Hiyaaat..!"

Cepat sekali Rangga melenting mengejar ketiga gadis cantik pengawal Ratu Pantai Selatan itu. Sedangkan Intan Kemuning hanya bisa memandangi saja, lalu cepat menatap satu orang pengawal Ratu Pantai Selatan yang sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Kemudian, bergegas dia menghampiri pemuda yang lolos dari cengkeraman gadis-gadis berbaju merah tadi. Tampak seorang wanita setengah baya, terus menangis sambil memeluki tubuh pemuda yang masih terikat tambang di seluruh tubuhnya.

********************

Sementara itu, Rangga masih terus berlarian cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan untuk mengejar tiga orang gadis cantik berbaju merah yang berlari begitu cepat seperti angin di depannya. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti sudah mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, tapi belum juga bisa mengejar ketiga gadis pengawal Ratu Pantai Selatan itu. Mereka berlari seperti terbang, dan tidak terlihat kalau menjejak tanah yang berpasir putih ini.

Namun sedikit demi sedikit. Rangga berhasil memperpendek jarak. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti tetap menjaga jarak, walau tidak mau lagi kehilangan jejak gadis-gadis berbaju merah pengawal Ratu Pantai Selatan itu lagi. Mereka terus berlarian, hingga masuk ke dalam hutan yang tidak begitu rapat Sedikit pun tidak ada yang mengurangi kecepatan larinya, walau hutan yang dimasuki semakin lebat saja.

Brusss!
"Heh...!"

Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba saja dari dalam tanah di sekitarnya bermunculan sosok-sosok tubuh yang menghentikan larinya. Dia jadi tersedak melihat tubuh-tubuh yang rusak seperti mayat hidup bermunculan dari dalam tanah. Bahkan sekarang sudah mengepungnya begitu rapat Sementara itu, tiga orang gadis berbaju merah yang dikejarnya sudah lenyap entah ke mana.

Sambil memperdengarkan suara mendengung seperti lebah, makhluk-makhluk bertubuh rusak seperti mayat hidup itu bergerak maju mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Perut Rangga langsung bergolak mual ingin muntah, mencium bau yang begitu busuk tersebar dari tubuh-tubuh yang berlumpur dan rusak itu. Sedangkan mereka semakin dekat saja, walaupun gerakannya begitu lamban. Sedangkan kedua tangan mereka menjulur ke depan, seperti hendak mencekik dan mencabik-cabik Pendekar Rajawali Sakti.

"Pergi kalian dari sini!" bentak Rangga lantang. Tapi makhluk-makhluk mayat hidup itu seperti tidak mengerti bentakan Rangga. Mereka tetap bergerak perlahan semakin dekat saja. Sementara, bau busuk yang begitu memuakkan seakan-akan sudah memenuhi seluruh udara di sekitar hutan ini.

"Hep!"

Rangga cepat-cepat memindahkan jalan pernapasannya ke perut, sebelum benar-benar mual dan ingin muntah. Apalagi, kepalanya mulai terasa begitu pening oleh bau busuk yang sangat menyengat hidungnya. Sedangkan mayat-mayat hidup itu terus saja bergerak maju mendekati. Jumlah mereka memang tidak terlalu banyak, tapi cukup membuat Pendekar Rajawali Sakti harus bekerja keras untuk bisa lolos dari kepungan makluk-makhluk bertubuh rusak ini.

"Tidak ada pilihan lagi. Kalian yang menginginkannya...!" desis Rangga dingin menggeletar.

"Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Lalu cepat sekali tubuhnya menukik tajam dengan gerakan kedua kaki yang juga begitu cepat, seperti membuat lingkaran. Begitu cepat gerakannya, sehingga sukar sekali untuk diikuti pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu, dia sudah memberi beberapa tendangan keras menggeledek kepada beberapa tubuh mayat hidup itu.

Makhluk-makhluk bertubuh rusak itu hanya mengeluarkan suara keluhan kecil saja, meskipun tendangan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dilakukan Rangga tepat menghantam tubuhnya, sehingga bertumbangan mencium tanah. Tapi sungguh tidak diduga sama sekali, mereka bisa cepat bangkit kembali tanpa sedikit pun terpengaruh oleh akibat tendangan dahsyat Pendekar Rajawali Saka tadi.

"Edan...! Akan kuhancurkan kepala mereka," dengus Rangga.

Memang hanya ada satu pilihan bagi Pendekar Rajawali Saka itu dalam menghadapi makhluk-makhluk seperti ini. Tanpa berpikir panjang lagi, Rangga langsung berlompatan sambil melepaskan pukulan-pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Gerakan yang dilakukannya memang begitu cepat sekali Sebaliknya mayat-mayat hidup itu bergerak lamban sekali, sehingga sama sekali tidak bisa menghindari setiap pukulan yang dilepaskan Rangga dengan cepat dan dahsyat

Kali ini bukan lagi keluhan-keluhan kecil yang terdengar, tapi raungan-raungan keras yang mengiringi gemeretak tulang-tulang kepala yang hancur terkena pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yg dilepaskan Rangga. Satu persatu, mayat hidup itu dibuat jungkir balik tidak bisa bangun-bangun lagi, dengan keadaan kepala hancur beran-takan. Tapi, mereka yang masih bisa berdiri terus bergerak maju. Seakan-akan mereka tidak mempunyai rasa gentar, walaupun sudah begitu banyak yang bergelimpangan tidak bisa bangkit lagi.

"Huh! Aku harus secepatnya pergi dari sini. Mereka seperti tidak ada habisnya saja!" dengus Rangga dalam hati.

Dan memang, mayat-mayat hidup itu terus bermunculan dari dalam tanah. Mereka yang sudah hancur kepalanya, kembali masuk ke dalam tanah. Tapi tak berapa lama berselang, kembali bermunculan mayat-mayat hidup dalam keadaan seluruh tubuh dan wajah rusak penuh lumpur dan ulat-ulat kecil. Tubuh mereka benar-benar sudah membusuk, menyebarkan bau yang tidak sedap dan memualkan perut

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga segera melenting ke udara, sambil melepaskan beberapa pukulan dahsyat ke arah kepala beberapa makhluk mayat hidup Itu. Ringan sekali gerakannya. Dan begitu kakinya menjejak dahan, langsung tubuhnya melenting cepat ke dahan pohon lainnya.

"Hup! Hiyaaa...!"

Rangga terus berlompatan dari satu dahan pohon, ke dahan pohon yang lain untuk meninggalkan kepungan mayat-mayat hidup itu. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai tingkat sempurna, sehingga sama sekali tidak mengalami kesulitan. Dia hanya sedikit saja menjejakkan ujung kakinya di pucuk dedaunan, untuk kembali melenting di udara. Dan sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh meninggalkan mayat-mayat hidup yang sempat membuatnya kehilangan jejak tiga orang gadis pengawal Ratu Pantai Selatan.

DELAPAN

Ringan sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah yang berumput cukup tebal. Sementara itu keadaan sekelilingnya sudah mulai terselimut gelap. Memang, saat itu senja sudah berganti malam. Walaupun, di ufuk Barat masih sedikit terlihat rona merah yang membias redup. Dan bulan pun sudah mulai nampak menggantung di langit dengan cahayanya yang kelihatan begitu redup.

Sebentar pandangan Rangga beredar ke sekeliling. Kemudian matanya menatap ke arah mayat-mayat hidup yang tadi muncul menghalanginya mengejar tiga orang gadis pengawal Ratu Pantai Selatan. Dan Pendekar Rajawali Sakti masih sempat melihat, ke arah mana gadis-gadis itu menghilang dari pandangannya. Dan dia yakin, ketiga gadis itu menghilang di sekitar tempat berdirinya sekarang ini.

"Hmmm...."

Kening Rangga jadi berkerut saat matanya menangkap jejak-jejak kaki yang tertera pada rerumputan. Hampir saja jejak-jejak itu tidak terlihat. Bergegas diikutinya jejak-jejak kaki yang begitu halus dan hampir tidak terlihat itu. Dan ternyata, jejak itu berakhir di depan sebuah mulut gua batu yang tidak begitu besar dan hampir tertutup semak belukar.

Hati-hati sekali Rangga menyibakkan semak belukar itu, lalu perlahan-lahan mengayunkan kakinya memasuki gua ini. Keadaan gua yang begitu gelap, memaksa Rangga harus menggunakan aji 'Tatar Netra'. Sehingga kini Pendekar Rajawali Sakti dapat melihat jelas, meskipun keadaan di dalam lorong gua ini begitu gelap. Jejak-jejak kaki itu kembali terlihat di dalam gua ini. Dan semakin jauh masuk ke dalam, jejak-jejak kaki itu semakin jelas terlihat Rangga terus mengikuti dengan sikap hati-hati sekali. Sikapnya benar-benar waspada, takut kalau-kalau ada jebakan yang bisa saja ditemui di dalam lorong gua yang sempit ini.

Tapi sampai Pendekar Rajawali Sakti menemukan mulut gua, tidak ada satu jebakan pun ditemui. Mulut gua ini begitu kecil, sehingga tubuhnya harus merendah saat melewati. Rangga jadi tertegun, karena sekarang berada di halaman belakang sebuah bangunan yang sangat besar. Dan bangunan ini pernah dilihat sebelumnya. Ya..., sekarang ini Rangga berada di salah satu rumah yang ada di Desa Nelayan. Dan dia tahu, rumah ini....

"Hebat..! Ternyata kau bisa juga sampai ke sini, Pendekar Rajawali Sakti...!"

Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara yang menggema di sekitarnya. Belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak dari dalam rumah itu bermunculan sembilan orang gadis cantik berbaju merah menyala yang langsung mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Tak berapa lama kemudian, dari dalam rumah itu keluar seorang wanita cantik mengenakan baju biru ketat Wanita itu melangkah menghampiri Rangga yang sudah dikepung sembilan orang gadis cantik berbaju merah, yang dikenal sebagai pengawal Ratu Pantai Selatan.

"Aku tidak mengira kau bisa melewati barisan mayat hidup...," kata gadis cantik berbaju biru yang tak lain Rampita.

"Di mana kau sembunyikan Pandan Wangi dan Eyang Danarpati?" tanya Rangga langsung, tanpa berbasa-basi lagi.

"Aku tidak pernah menyembunyikan seorang pun di sini. Apalagi wanita dan orang tua, yang tidak ada gunanya bagiku. Hanya laki-laki muda dan tampan saja yang bisa tinggal di sini," sahut Rampita, begitu tenang nada suaranya.

"Jangan bermain-main, Rampita!" dengus Rangga jadi geram.

"Untuk apa bermain-main. Rangga? Kanjeng Ratu begitu menginginkanmu. Dan aku sudah tidak perlu bersusah payah lagi mendapatkanmu. Sebaiknya, lupakan saja orang-orang tidak berguna itu. Kau akan senang jika bersama Kanjeng Ratu Pantai Selatan," kata Rampita masih terdengar tenang dan lembut suaranya.

"Hhh!" Rangga mendengus sinis.

"Pandang mataku. Rangga," ujar Rampita.

Rangga jadi tersentak, begitu tiba-tiba melihat mata Rampita memancarkan sinar yang begitu aneh sekali. Cepat-cepat dia membuang muka, menghindari sorot mata yang memancarkan kekuatan aneh, ke dalam dirinya.

"Heps...!"

Rangga segera menyalurkan hawa mumi keseluruh tubuhnya. Perlahan-lahan dirasakan ada hawa panas menjalar di seluruh rubuhnya. Pendekar Rajawali Saka langsung menyadari kalau Rampita mengerahkan suatu ilmu yang bisa melemahkan jiwa seseorang, sehingga menuruti segala keinginannya.

"Kau tidak akan bisa mempengaruhiku. Perempuan Iblis...!" desis Rangga menggeram.

"Hiyaaat...!"

Cepat sekali Pendekar Rajawali Saka menghentakkan kedua tangannya ke depan, melepaskan satu pukulan jarak jauh yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.

"Ufs...!" Rampita jadi terkejut setengah mati. Buru-buru tubuhnya melenting ke udara, begitu dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti tiba-tiba meluncur secercah cahaya merah yang meluruk deras ke arahnya. Sinar merah itu terus meluncur deras, dan menghantam dinding rumah hingga hancur beran-takan. Ledakan keras menggelegar terdengar begitu dahsyat, mengiringi hancurnya dinding rumah yang terbuat dari batu itu.

"Setan...!" rutuk Rampita sengit "Serang dia...!"

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Seketika itu juga sembilan orang gadis berbaju merah, berlompatan menyerang Rangga yang memang sudah siap sejak tadi. Pendekar Rajawali Sakti langsung melenting ke udara, dan melakukan beberapa kali putaran untuk menghindari serangan-serangan yang dilakukan gadis-gadis cantik berbaju merah itu.

Serangan-serangan kesembilan gadis pengawal Ratu Pantai Selatan itu memang dahsyat sekali Sehingga, membuat Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Bahkan, Pendekar Rajawali Sakti hanya punya kesempatan sedikit sekali untuk balas menyerang Itu pun belum berarti sama sekali.

"Khraaagh..!"

Tiba-tiba saja terdengar suara serak yang begitu keras menggelegar memecah angkasa. Suara itu demikian mengejutkan, sehingga membuat sembilan orang gadis cantik berbaju merah itu jadi berlompatan mundur menghentikan serangannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum bisa menyadari suara yang terdengar mengejutkan itu, tiba-tiba saja....

"Khraaagkh...!"
Wusss...!
"Hup!"

Rangga cepat-cepat melompat ke belakang, begitu melihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih meluruk cepat bagai kilat menyambar sembilan orang gadis berbaju merah menyala. Gadis-gadis itu jadi terkejut setengah mati, melihat seekor burung raksasa meluruk deras ke arah mereka. Mau tak mau mereka langsung berlompatan menyebar, menghindari serangan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.

Tapi, salah seorang terlambat untuk menghindari. Sehingga, dia tidak bisa lagi berkelit ketika cakar Rajawali Putih yang begitu besar dan kokoh menyambar tubuhnya. Dan sebelum ada yang sempat menyadari, tahu-tahu Rajawali Putih sudah melambung tinggi ke udara. Lalu, gadis yang sempat disambarnya tadi dilepaskan.

"Aaa...!"

Jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat membelah malam yang begitu sunyi ini. Tampak gadis berbaju merah yang disambar Rajawali Putih melayang di angkasa, meluncur deras dari ketinggian yang bisa menghancurkan apa saja bila menghantam tanah.

Dan memang sudah bisa diduga. Gadis pengawal Ratu Pantai Selatan itu langsung tewas, begitu tubuhnya menghantam tanah keras sekali. Kejadian itu membuat Rampita jadi terpana seperti tidak percaya. Dan belum lagi ada yang sempat menyadari, Rajawali Putih sudah kembali meluruk deras hendak menyambar gadis-gadis berbaju serba merah itu.

"Khraaagkh...!"

Pada saat yang bersamaan, juga terlihat seekor burung rajawali lain berbulu hitam. Tampak di atas punggungnya duduk seorang gadis berbaju warna hitam dengan wajah tertutup cadar tipis berwarna hitam.

"Hiyaaat..!"

Gadis berbaju hitam yang sudah dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam itu langsung meluncur ringan, begitu burung rajawali hitam tunggangannya dekat dengan tanah. Kaki Putri Rajawali Hitam langsung mendarat di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, dua ekor burung rajawali raksasa kini sudah menyerang delapan orang gadis pengawal Ratu Pantai Selaian.

Serangan-serangan kedua burung rajawali raksasa itu tentu saja membuat delapan orang pengawal Ratu Pantai Selatan jadi kelabakan setengah mati. Mereka berjumpalitan menghindari serangan-serangan sepasang Rajawali Raksasa itu. Sementara, Rangga dan Intan Kemuning yang lebih dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam sudah melangkah menghampiri Rampita.

"Kalian akan menyesal...!" dengus Rampita berang

Wukkk!

Tiba-tiba saja gadis itu mengebutkan tangannya, melakukan beberapa gerakan. Dan seketika itu juga, seluruh tubuhnya terselimut cahaya terang menyilaukan mata. Hal ini membuat Rangga dan Intan Kemuning harus menutupi mata dengan punggung tangan. Setelah cahaya itu lenyap, kini yang berada di depan kedua pendekar rajawali itu bukan lagi Rampita, melainkan seorang wanita cantik. Dia berpakaian indah gemerlap, bagai bertaburkan sejuta mutiara.

"Kau serang dari depan, Kakang. Aku akan menyerang dari belakang," ujar Intan Kemuning.

"Baik," sahut Rangga.

"Hiyaaat..!"

Intan Kemuning langsung saja melompat tinggi ke udara, melewati atas kepala wanita berpakaian gemerlap yang selama ini dikenal sebagai Ratu Pantai Selatan, penguasa seluruh dasar samudera di Mayapada ini.

"Hiyaaat..!"

Pada saat yang bersamaan, Rangga melepaskan satu pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dikenal dahsyat itu. Dua serangan yang datang cepat dan bersamaan itu, membuat Ratu Pantai Selatan jadi kelabakan juga. Namun, dia berhasil mengelakkannya dengan gerakan manis sekali.

Tapi Rangga tidak berhenti sampai di situ saja. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut pedang pusakanya. Langsung dipergunakannya jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang jarang sekali digunakan kalau tidak menghadapi lawan yang tangguh seperti Ratu Pantai Selatan ini.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Rangga benar-benar tidak ingin memberi kesempatan pada wanita cantik penguasa samudera itu. Dikeluarkannya jurus 'Pedang Pemecah Sukma' pada tingkat yang terakhir. Sehingga, gerakan-gerakannya begitu cepat bagai kilat dan sukar sekali diikuti pandangan mata biasa. Pedangnya berkelebat mengurung setiap bagian tubuh Ratu Pantai Selatan. Cahaya biru tampak menyemburat menyilaukan mata, sehingga tubuh wanita penguasa samudera itu benar-benar seperti tenggelam terselimut cahaya yang memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

Sementara itu, Intan Kemuning terus mencari celah untuk melepaskan Rampita dari kekuatan Ratu Pantai Selatan. Dan di tempat lain, sepasang rajawali raksasa masih terus menggempur delapan orang gadis pengawal Ratu Pantai Selatan. Dan kini, gadis-gadis itu benar-benar tidak berdaya lagi menghadapi gempuran sepasang rajawali raksasa itu.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar. Lalu cepat sekali tubuhnya melenting ke udara, dan meluruk deras dengan ujung pedang tertuju lurus ke arah bagian atas kepala Ratu Pantai Selatan. Pada saat yang bersamaan, Intan Kemuning yang sudah mengeluarkan pedang juga membabatkan senjata pusakanya itu ke arah punggung wanita penguasa samudera.

"Edan!" rutuk Ratu Pantai Selatan geram.

"Hiyaaa...!"

Cepat sekali gerakan yang dilakukan wanita penguasa samudera itu. Tubuhnya berputar begitu cepat, sehingga memancarkan cahaya yang berkilau menyilaukan mata. Tapi pada saat yang bersamaan, Rangga cepat-cepat menarik serangannya. Dan begitu kakinya menjejak tanah, secepat kilat pula pedangnya dihunjamkan ke arah dada, tepat di saat wanita penguasa samudera itu berhenti berputar. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Ratu Pantai Selatan tidak dapat lagi menghindari hunjaman pedang yang memancarkan sinar biru terang menyilaukan mata itu. Dan....

Jrebbb!

"Aaakh...!"

Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar nyaring dan menyayat. Tampak Ratu Pantai Selatan terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang tertembus pedang Pendekar Rajawali Saka tepat pada jantungnya. Memang jantung adalah pusat kehidupan. Itulah jalan satu-satunya untuk melenyapkan jasad kasar Rampita. Pada saat itu, Intan Kemuning melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke arah punggung. Dalam keadaan yang limbung dan kehilangan kendali, tidak mudah bagi Ratu Pantai Selatan untuk menghindari tendangan yang dilepaskan Putri Rajawali Hitam Itu. Sehingga....

Desss!

"Aaakh...!"

Tak pelak lagi, wanita 'cantik penguasa samudera itu jatuh terjerembab mencium tanah. Sebentar tubuhnya menggeliat lalu tiba-tiba saja bangkit berdiri tegak kembali. Hebat! Dia seperti tidak pernah menerima tusukan pedang Rangga maupun tendangan menggeledek dari Intan Kemuning.

Memang, inilah siasat yang diterapkan Pendekar Rajawali Sakti dari Intan Kemuning. Ratu Pantai Selatan harus dihadapi secara keroyokan jika ingin mengalahkannya. Sebab yang dihadapi mereka bukan seorang, melainkan dua roh dalam satu tubuh. Maka, keadaan itu memang harus dipisahkan. Dan tentu saja pemisahan itu harus membunuh jasad kasar dari Rampita.

"Hap...!"

Intan Kemuning cepat-cepat melompat ke samping Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu. Ratu Pantai Selatan masih tetap berdiri tegak. Sinar matanya menyorot tajam, menatap langsung pada kedua pendekar rajawali ini.

Brukkk!

Terbukti nyata! Tiba-tiba saja, ada sesuatu yang jatuh dari tubuh Ratu Pantai Selatan itu. Rupanya usaha Pendekar Rajawali Sakti dan Intan Kemuning berhasil. Tampak di depan wanita penguasa samudera itu tergolek sesosok tubuh ramping mengenakan baju biru yang ketat Dari dadanya, mengalir darah segar. Sementara, ujud Ratu Pantai Selatan itu kini terlihat seperti sebuah bayang-bayang. Dan perlahan-lahan, wanita cantik penguasa samudera itu melayang ke udara.

Pada saat yang bersamaan, delapan orang gadis yang bertarung dengan sepasang rajawali raksasa juga berubah ujudnya menjadi bayang-bayang. Hal ini membuat sepasang burung rajawali raksasa itu jadi terkejut. Mereka langsung melambung tinggi ke udara. Delapan orang gadis yang sudah berubah kembali kepada asalnya itu terus melayang terbang mengikuti Ratu Pantai Selatan.

Mereka terus melayang menuju lautan. Sementara, Rangga dan Intan Kemuning mengikuti dengan pandangan mata, sampai mereka benar-benar lenyap di tengah lautan. Memang, dari halaman belakang rumah ini, bisa langsung melihat lautan lepas.

"Hhh.... Memang tidak mungkin bisa melenyapkan wanita itu," desah Rangga pelan seperti berbicara pada diri sendiri.

"Yang penting, kita sudah bisa menghentikan Rampita," kata Intan Kemuning.

"Kakang...!"

Tiba-tiba saja mereka dikejutkan suara dari belakang. Rangga dan Intan Kemuning cepat memutar tubuhnya berbalik. Tampak Pandan Wangi dan Eyang Danarpati berlari-lari kecil menghampiri sepasang pendekar rajawali. Napas mereka agak tersengal saat sampai di depan Rangga dan Intan Kemuning

"Dari mana saja kau, Pandan?" Rangga langsung bertanya.

"Maaf, aku terpaksa membawa Eyang Danarpati ke tempat yang aman. Waktu aku datang, padepokan sudah hancur. Dan aku menemukan Eyang Danarpati terluka. Jadi, aku membawanya ke rumah tabib yang terdekat dari sini," sahut Pandan Wangi memberi penjelasan.

"Jadi..., kau tidak tertangkap oleh mereka?" Rangga jadi bingung.

"Tidak, Kakang."

"Oh, syukurlah. Lalu, bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?" tanya Rangga lagi.

"Semua orang tahu kalau di sini telah terjadi pertarungan, Kakang. Kau lihat saja. Di luar sana sudah banyak orang berkumpul. Mereka tahu, si pembuat keonaran adalah Rampita," sahut Pandan Wangi lagi.

"Dia putri seorang bajak laut yang menguasai seluruh lautan di sekitar Pantai Selatan ini...," sambung Eyang Danarpati. "Dia dendam, karena aku, murid-muridku, serta para penduduk berhasil menghancurkan gerombolan ayahnya. Dia memang bertekad dan sudah bersumpah untuk membalas dendam atas kematian ayahnya dan seluruh gerombolannya. Hhh.... Benar-benar tidak kusangka kalau dia bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan."

"Tapi semuanya sudah berakhir, Eyang," selak Putri Rajawali Hitam.

"Ya! Berkat kalian semua, pendekar-pendekar muda yang digdaya dan pembela kebenaran," puji Eyang Danarpati.

"Tapi sayang, kami tidak bisa melenyapkan Ratu Pantai Selatan," desah Putri Rajawali Hitam seperti menyesal.

"Tidak ada seorang pun yang bisa melenyapkannya, Nisanak. Ratu Pantai Selatan akan tetap abadi sepanjang zaman. Lagi pula, tidak selamanya dia bertindak jahat. Bahkan dia merupakan dewi penolong bagi nelayan di sini. Apa yang dilakukannya memang sulit dimengerti. Tapi, aku tidak pernah bisa mengatakan kalau dia jahat" kata Eyang Danarpati tidak ingin Putri Rajawali Hitam itu mendapat celaka oleh kata-katanya tadi

"Aku tahu itu, Eyang. Tapi padepokanmu hancur olehnya," Intan Kemuning yang dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam itu masih juga merasa belum puas.

"Bukan oleh Ratu Pantai Selatan, tapi oleh Rampita yang membalas dendam karena ayahnya dan gerombolan bajak laut ayahnya hancur oleh murid-muridku. Ah.... Aku bisa membangun kembali padepokanku. Masih banyak pemuda yang bersedia menjadi muridku," nada suara Eyang Danarpati terdengar merendah.

"Aku akan membantumu membangun kembali padepokanmu, Eyang," selak Rangga.

"Terima kasih," ucap Eyang Danarpati.

"Benar, Eyang. Kami semua akan membantumu membangun padepokan yang baru," sambung Pandan Wangi.

Eyang Danarpati tidak bisa lagi berkata-kata. Perasaannya terharu mendengar kesediaan pendekar-pendekar muda itu membantu membangun padepokannya kembali yang sudah hancur, akibat pembalasan Rampita yang membabi-buta.


SELESAI

Titisan Ratu Pantai Selatan

Pendekar Rajawali Sakti

Titisan Ratu Pantai Selatan


SATU
MALAM sudah merambat begitu larut. Keheningan menyelimuti seluruh Pesisir Pantai Selatan. Yang terdengar hanya deburan ombak lemah, yang sekali-kali menjilati pantai. Langit tampak kelam, setitik pun tak terlihat cahaya bintang maupun rembulan. Bahkan sedikit pun tak terasa hembusan angin, membuat laut yang menghitam pekat terlihat tenang.

Di antara kerikil-kerikil batu karang dan pasir yarjg menghampar di sepanjang pesisir pantai, tampak seseorang bertubuh ramping tengah berjalan perlahan-lahan. Ayunan kakinya terasa begitu mantap, meskipun hanya satu-satu dan terlihat perlahan. Sorot matanya bersinar tajam, menatap lurus ke tengah laut yang menghitam pekat. Baju biru yang dikenakannya begitu ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan tampak indah. Melihat keadaannya, jelas dia adalah seorang wanita.

Di antara sela-sela rambut yang meriap lebat menghitam, terlihat seraut wajah cantik, berkulit putih halus. Bibirnya yang merah terkatup rapat, tanpa seulas senyum pun terlihat Kakinya terus melangkah mantap dan perlahan, semakin mendekati bibir pantai.

"Hhh..,!" terdengar tarikan napasnya yang begitu perlahan dan terasa berat sekali.

Ayunan kaki wanita itu baru berhenti setelah menyentuh lidah air laut di bibir pantai ini. Dia berdiri tegak memandang lurus ke tengah laut. Lalu, perlahan kepalanya berpaling ke kanan dan ke kiri. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitar pesisir pantai ini. Begitu sunyinya, sehingga debur ombak yang sangat kecil begitu terasa mengusik gendang telinga.

"Sudah lewat tengah malam. Mengapa belum muncul juga...?" desah wanita cantik berbaju biru itu perlahan.

Sambil menghembuskan napas panjang, wanita itu kemudian duduk bersila di bibir pantai yang berpasir putih ini. Pandangannya tetap tertuju lurus ke tengah laut. Sedikit demi sedikit mulai dirasakan adanya hembusan angin yang menyebarkan udara begitu dingia Deburan ombak pun mulai keras menggetarkan jantung. Tapi, wanita cantik yang mengenakan baju biru ketat itu tetap duduk bersila. Padahal, lidah-lidah ombak mulai liar menghantam tubuhnya yang ramping dan indah.

"Hhh.... Datanglah, Nyai. Berikan tanda-tanda kedatanganmu padaku," desah wanita itu. Perlahan sekali, hampir tak terdengar suaranya.

Sementara angin semakin keras menimbulkan suara menderu. Dan ombak pun semakin menggelombang tinggi, menghantam batu-batu karang. Namun, wanita berwajah cantik yang mengenakan baju biru itu tetap duduk bersila sambil merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Sikapnya tidak peduli, meskipun seluruh tubuhnya sudah basah oleh gelombang air laut yang semakin keras dan menggila. Bahkan saat air laut sudah menggenang mengubur pinggangnya, dia masih tak bergeming. Wanita itu tetap duduk bersila menatap lurus ke tengah laut.

Clraaat!

Glarrr...!

Tiba-tiba saja berkelebat secercah cahaya kilat yang langsung diikuti ledakan guntur. Kelihatannya, bagai hendak membelah angkasa yang pekat terselimut awan tebal menghitam ini. Seluruh pesisir pantai ini bagai bergetar akibat ledakan guntur yang terdengar dahsyat, begitu seleret cahaya kilat di tengah lautan.

Namun wanita itu masih tetap duduk bersila, walaupun tadi sempat terperanjat. Jelas sekali terlihat di matanya kalau ujung kilat yang menyambar begitu cepat itu, tepat menghantam permukaan di tengah laut. Kelopak matanya jadi menyipit begitu melihat kobaran api di tengah-tengah laut, tepat di tempat ujung kilat tadi menyambar.

Kobaran api itu tidak mengecil, juga tidak membesar. Tapi terlihat semakin dekat saja. Wanita itu kini semakin bisa melihat jelas. Dan ternyata, benda yang dilihatnya bukanlah kobaran api. Melainkan, segumpal cahaya besar yang menyelubungi bayang-bayang beberapa sosok tubuh dan sebuah kereta kuda yang begitu besar dan indah sekali.

Bahkan kini cahaya itu semakin memudar. Dan, akhirnya cahaya itu menghilang begitu sampai di pesisir pantai, tepat di depan wanita cantik yang sedang duduk bersila di tepi pantai. Kini tampak jelas di dalam kepekatan malam, di depan wanita itu berdiri sekitar sepuluh orang gadis cantik. Mereka mengawal sebuah kereta kencana berlapiskan emas, ditarik delapan ekor kuda gagah dan tegap berwarna putih. Di arasnya berdiri seorang wanita berwajah sangat cantik. Dia berpakaian begitu indah, dan bermahkota yang berkilatan oleh batu-batu mutiara.

Sementara, wanita berbaju biru yang masih tetap duduk bersila, jadi terpana menyaksikan semua itu. Matanya tidak berkedip memandangi wanita bermahkota yang berdiri di atas kereta kencana berlapiskan emas di depannya itu.

"Terimalah sembahku, Nyai Ratu...," Ucap wanita cantik berbaju biru itu seraya merapatkan kedua telapak tangan dan membawanya ke depan hidung.

Wanita cantik berpakaian indah itu melangkah turun dari kereta kencananya. Hebat! Dia bisa melangkah di atas permukaan air laut yang bergelombang, meriak di tepian pantai. Langkahnya berhenti setelah sampai di depan wanita berbaju biru yang masih tetap duduk bersila dengan telapak tangan kiri berada di atas lututnya.

"Bangunlah, Rampita...," ujar wanita bermahkota yang dipanggil Nyai Ratu itu,

"Baik, Nyai Ratu."

Perlahan wanita berbaju biru yang bernama Rampita itu bangkit berdiri, setelah memberi sembah kembali. Berdirinya agak membungkuk, dan sikapnya begitu hormat pada wanita bermahkota indah dan berpakaian bergemerlapan itu.

"Aku tahu semua, apa yang ada dalam hatimu, Rampita. Tidak, perlu disampaikan lagi padaku," kata Nyai Ratu. Suaranya terdengar begitu lembut.

"Aku mohon pertolonganmu, Nyai...," kata Rampita berharap.

"Tidak perlu kau pikirkan, Rampita. Aku pasti akan membantumu. Percayalah. Tak ada seorang pun yang bisa menghalangi lagi. Aku penguasa seluruh lautan di Mayapada ini. Tak ada seorang pun yang bisa menghalangi, jika aku sudah melakukan sesuatu," kata Nyai Rata

"Terima kasih, Nyai. Aku tidak tahu lagi, dengan apa aku bisa membalas semua budi dan kebaikan hari Nyai," ucap Rampita seraya kembali memberi sembah.

"Sekarang pulanglah. Aku membawa sepuluh orang yang akan mengawal ke mana saja kau pergi. Dan aku akan datang lagi jika kau memang benar-benar membutuhkan. Lakukan apa saja yang kau inginkan. Aku akan selalu melindungimu," kata Nyai Ratu lagi.

"Terima kasih, Nyai. Tapi...," Rampita tidak meneruskan ucapannya.

"Tapi, kenapa...?"

Rampita tidak menjawab. Dipandanginya sepuluh orang yang berada di sisi kereta kencana. Pakaian yang dikenakan wanita-wanita itu begitu menyolok persis seperti para putri bangsawan kaya atau putri-putri raja. Tentu saja akan menarik perhatian jika mereka mengenakan pakaian seperti itu.

"Pakaian mereka akan berganti setelah aku kembali nanti," kata Nyai Ratu seperti bisa membaca pikiran Rampita.

"Oh! Maafkan aku, Nyai...," ucap Rampita seraya memberi sembah.

Wanita cantik bermahkota itu hanya tersenyum saja, kemudian berbalik dan melangkah kembali ke kereta kencananya. Seperti melayang saja gerakannya saat naik ke atas kereta kencana yang begitu indah ini. Sebentar ditatapnya Rampita, kemudian delapan ekor kuda putih yang menarik kereta kencana itu bergerak memutar. Kini kereta kuda itu kembali melaju cepat bagai kilat ke tengah lautan.

Kilauan cahaya terang bagai api, kembali memancar terang di tengah lautan, kemudian perlahan-lahan lenyap tak terlihat lagi Sementara itu, sepuluh gadis cantik yang tadi datang bersamanya, tahu-tahu sudah berganti pakaian tanpa sedikit pun bisa terlihat Rampita. Dan mereka kemudian berdiri berjajar di belakang gadis cantik berbaju biru itu. Sungguh sukar dipercaya! Baju yang dikenakan Rampita, seketika itu juga jadi kering! Padahal dia tadi hampir tenggelam oleh gelombang lautan, saat Nyai Ratu datang dari tengah lautan bersama kereta kencana itu.

"Kami diperintahkan untuk menuruti apa saja yang kau perintahkan, Nini," kata salah seorang gadis itu.

"Kalian akan terus mendampingiku?" tanya Rampita seraya memutar tubuhnya, memandangi sepuluh gadis cantik yang kini sudah mengenakan pakaian biasa seperti dirinya.

"Selama Nini membutuhkan, dan selama Kanjeng Nyai Ratu belum memerintahkan untuk kembali," sahut gadis itu lagi.

"Baiklah. Tapi apa kalian tahu yang kuhadapi sekarang ini?" ujar Rampita sepera" menguji.

"Kami semua sudah tahu, Nini. Dan kami siap menghadapi segala yang terjadi. Kami rela mati demi menjunjung tinggi perintah Kanjeng Nyai Ratu. Dan sekarang ini kami harus mengabdi pada Nini."

Rampita tersenyum senang mendengar kata-kata itu. Kemudian wajahnya berpaling menatap ke tengah laut. Sebentar ditariknya napas panjang, lalu perlahan kakinya terayun meninggalkan Pesisir Pantai Selatan ini. Sepuluh orang gadis yang semuanya berwajah cantik itu mengikuti dari belakang.

"Kalian semua tidak membawa senjata. Apa kalian bisa bertarung tanpa senjata?" kata Rampita tanpa berpaling sedikit pun. Dan dia terus saja melangkah semakin jauh meninggalkan pantai.

"Senjata kami akan terlihat jika memang benar-benar dibutuhkan," sahut salah seorang dari delapan gadis itu.

"Berupa apa?" tanya Rampita.

"Jika Nini menggunakan pedang, kami semua akan menggunakan pedang. Senjata kami mengikuti senjata yang Nini gunakan."

Lagi-lagi Rampita hanya tersenyum saja. Bisa dimengerti semua jawaban yang diberikan gadis di belakangnya ini. Dan dia memang menyadari kalau kesepuluh gadis itu bukan manusia biasa. Malah bisa dikatakan, mereka memang bukanlah manusia. Jadi, segala apa yang dilakukan memang sulit diterima akal manusia biasa

Seperti kemunculannya yang dari dalam lautan, atau juga cara berganti pakaian. Begitu tiba-tiba saja pakaian mereka sudah berganti, tepat di saat ratu mereka sudah kembali ke tengah lautan. Tapi hal itu tidak membuat Rampita merasa heran. Bahkan apa yang disaksikannya ini, malah membuat hatinya senang. Dengan demikian, begitu banyak harapan yang terkandung di dalam harinya sekarang ini. Wajahnya pun kini terlihat begitu cerah. Sedangkan sinar matanya berbinar bagai bertaburkan bintang.

Sementara, gadis-gadis muda berparas cantik itu terus bergerak semakin jauh meninggalkan pantai. Dan mereka terus melangkah menuju sebuah perkampungan nelayan yang agak jauh dari pantai ini, dan merupakan satu-satunya perkampungan yang terdekat. Tak ada seorang pun yang berbicara lagi. Mereka terus melangkah tanpa membuka suara sedikit juga.

********************

Sementara itu, jauh dari Pesisir Pantai Selatan tampak berdiri sebuah bukit yang menjulang cukup tinggi, dikelilingi lebatnya hutan yang rimbun. Di atas puncak bukit yang biasanya disebut Bukit Rangkas, berdiri sebuah bangunan berukuran besar dan memanjang. Bangunan itu dikelilingi pagar tinggi dari kayu yang bagian atasnya runcing seperti tombak bambu.

Di atas sebuah bangunan kecil tinggi seperti sebuah menara pengintai, terlihat berdiri dua orang sedang memandang ke arah pesisir pantai. Yang seorang adalah laki-laki berusia lanjut, berjubahnya panjang dan longgar berwarna putih.

Sedangkan yang berdiri di sebelah kanan laki-laki tua itu adalah seorang laki-laki muda berusia sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya terlihat cukup tampan. Tubuhnya tegap dan otot-ototnya bersembulan keluar. Benar-benar seorang laki-laki kekar dan tegap. Sebilah pedang tampak tersampir di pinggangnya. Baju merah berukuran ketat, membungkus tubuhnya yang tegap dan padat berisi. Pandangannya juga diarahkan ke pesisir pantai yang terlihat begitu jelas dari Puncak Bukit Rangkas ini.

"Kau lihat, apa yang terjadi di sana, Sanjaya...?" ujar laki-laki tua berjubah putih yang dikenal bernama Eyang Danarpati. Suaranya terdengar begitu pelan. Sehingga seperti menggumam, bicara pada diri sendiri.

"Seseorang telah bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan, Eyang," sahut Sanjaya juga perlahan setengah menggumam.

"Aku tidak tahu, bencana apa yang akan terjadi...," desah Eyang Danarpati lirih.

"Jika Eyang mengizinkan, aku akan mencari manusia durhaka itu dan mencegahnya sebelum terjadi sesuatu," tegas Sanjaya bernada memohon.

"Tidak ada yang bisa kau lakukan, Sanjaya. Tak ada seorang pun yang bisa menghalangi, jika Ratu Pantai Selatan sudah berbuat sesuatu," kata Eyang Danarpati, masih tetap pdan suaranya.

"Lalu, apa yang bisa kita lakukan, Eyang?" tanya Sanjaya.

Eyang Danarpati hanya diam saja, tidak menjawab pertanyaan pemuda itu. Pandangannya masih tertuju lurus ke arah pantai yang kini nampak sudah terang, seperti hari-hari yang lalu. Bahkan awan hitam yang sejak tadi menyelimuti seluruh langit, sudah nampak mulai tersibak. Sedangkan cahaya bulan pun mulai menyemburat, menyinari alam yang gelap gulita ini.

Cukup lama juga Eyang Danarpati terdiam membisu. Pandangannya (urus ke arah pantai, tak berkedip sedikit pun. Sementara Sanjaya juga terdiam tidak bicara lagi, meskipun pertanyaannya tadi belum terjawab. Dia tahu, memang sulit bagi Eyang Danarpati untuk menjawab pertanyaannya tadi.

Semua orang sudah tahu, siapa Ratu Pantai Selatan itu. Dia adalah seorang tokoh wanita yang menguasai seluruh samudera di bumi ini. Tokoh wanita sakti yang sudah hidup ratusan, bahkan ribuan tahun. Dia tak akan pernah mati sepanjang bumi masih terus berputar mengiringi perputaran kehidupan seluruh penghuninya. Dan selama ini, memang tak ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya. Walaupun segala perbuatannya terkadang sangat merugikan banyak orang, tapi Ratu Pantai Selatan begitu dihormati dan disegani kaum nelayan. Memang, tidak sedikit perbuatan Ratu Pantai Selatan yang membantu kehidupan manusia di mayadapa ini. Sehingga, sulit untuk bisa dipastikan, apakah Ratu Pantai Selatan bisa dimasukkan ke dalam golongan hitam maupun putih.

"Ayo kita kembali ke bawah, Sanjaya," ajak Eyang Danarpati.

Tanpa menunggu jawaban pemuda itu, Eyang Danarpati segera saja turun dari puncak menara yang cukup tinggi ini. Gerakan kakinya begitu lincah dan ringan, saat menapaki anak-anak tangga yang sangat curam di sisi menara pengintai ini. Sanjaya bergegas mengikuti orang tua berjubah putih itu. Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan dikerahkan, untuk mengimbangi gerakan yang dilakukan Eyang Danarpati menuruni tangga menara ini.

Sebentar saja, mereka sudah menjejak tanah. Mereka terus melangkah menuju ke beranda depan rumah berukuran besar yang ada di tengah-tengah lingkaran pagar gelondong kayu yang tinggi dan kokoh ini. Kedua orang itu baru berhenti setelah berada di dalam beranda, lalu sama-sama duduk di lantai yang hanya beralaskan selembar tikar paridan yang sudah kelihatan lusuh. Tak ada seorang pun terlihat. Dan memang, malam sudah begitu larut. Suasana terasa begitu sunyi di Puncak Bukit Rangkas ini. Hanya desiran halus angin malam saja yang terdengar mengusik gendang telinga dua orang laki-laki yang usianya sangat jauh ini.

"Besok pagi, hentikan semadi mereka semuanya," kata Eyang Danarpati terdengar perlahan dan agak mendesah suaranya.

"Bukankah masih satu hari lagi mereka harus bersemadi, Eyang...?"

"Sudah cukup. Mereka tidak boleh terlalu lama bersemadi. Bisa mengurangi daya ketahanan tubuh. Mereka harus melatih sedikit demi sedikit. Aku tidak ingin mereka memaksakan diri dalam berlatih semadi," sahut Eyang Danarpati memberi alasan untuk menghentikan semadi seluruh muridnya.

Dan memang, seluruh muridnya sudah dua hari ini tengah melakukan semadi. Sehingga, tempat yang dikenal sebagai Padepokan Bukit Rangkas ini kelihatan begitu sepi,' seperti tidak ada penghuninya. Hanya Eyang Danarpati dan cucunya ini saja yang tidak melakukan semadi. Tingkat kepandaian yang dimiliki Sanjaya memang jauh lebih tinggi daripada seluruh murid Padepokan Bukit Rangkas ini. Itu bisa dimaklumi, karena dia adalah cucu satu-satunya Eyang Danarpati.

"Eyang! Apakah penghentian semadi mereka ada hubungannya dengan kejadian di pantai tadi?" tanya Sanjaya ingin tahu.

Eyang Danarpati tidak segera menjawab. Dia hanya menarik napas saja, dan menghembuskannya kuat sekali. Pandangannya menerawang jauh ke depan. Seperti ada sesuatu yang riba-riba saja menjadi satu ganjalan dalam hatinya. Sedangkan Sanjaya terus memandangi raut wajah tua yang sudah berkeringat itu. Meskipun usianya lebih dari tujuh puluh tahun, tapi Eyang Danarpati masih tampak kelihatan gagah.

"Padepokan ini satu-satunya yang terdekat dengan Desa Nelayan di Pantai Selatan. Aku merasa akan terjadi sesuatu di sini. Entah itu cepat atau lambat," pelan sekali suara Eyang Danarpati, seakan bicara pada diri sendiri.

Sanjaya jadi terdiam. Sudah sejak kecil pemuda itu tinggal bersama laki-laki tua ini. Dan dia tahu betul watak kakeknya. Kalau Eyang Danarpati sudah berbicara melalui dasar harinya, itu berarti suatu pertanda yang sukar dielakkan lagi. Pandangan mata hati Eyang Danarpati seribu kali lebih tajam daripada pandangan mata biasa.

"Aku akan menyelidiki orang yang bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan, Eyang," kata Sanjaya mantap.

Eyang Danarpati memandangi cucunya ini dalam-dalam.

"izinkan aku. Eyang...," mohon Sanjaya bersungguh-sungguh.

"Tapi kau jangan melakukan tindakan apa-apa. Aku tidak ingin terjadi sesuatu padamu," kata Eyang Danarpati, tidak bisa menolak keinginan cucunya ini.

"Secepatnya akan kuberi tahu kalau sudah mengetahuinya, Eyang," janji Sanjaya.

Eyang Danarpati mengangguk-anggukkan kepala. Dia percaya dengan janji cucunya ini

"Kapan kau akan berangkat?" tanya Eyang Danarpati.

"Secepatnya, setelah membangunkan semua muridmu, Eyang," sahut Sanjaya.

Kembali Eyang Danarpati mengangguk-anggukkan kepala.

********************

DUA

Pagi-pagi sekali, di saat matahari baru saja menampakkan cahayanya di ufuk Timur, Sanjaya sudah memacu kudanya. Ditinggalkannya Padepokan Bukit Rangkas yang terletak di atas Puncak Bukit Rangkas, tidak jauh dari Pesisir Pantai Selatan. Pemuda itu cepat sekali memacu kudanya, begitu sudah berada di luar lingkungan padepokan. Sengaja dia pergi sendiri tanpa ada seorang pun yang menemani. Kepergian pemuda itu diiringi Eyang Danarpati yang mengantarkannya sampai beranda depan bangunan padepokannya.

Sanjaya terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi Walau jalan yang dilalui menurun dan penuh batu-batu kerikil, kudanya tetap dipacu kencang Hingga sebelum matahari naik tinggi, pemuda itu sudah sampai di Kaki Bukit Rangkas. Kemudian lari kudanya baru diperlambat setelah sampai di pinggiran sebuah desa, yang tampaknya sebuah Desa Nelayan.

"Ada apa itu di sana...? Ramai sekali...," gumam Sanjaya bicara pada diri sendiri.

Memang, keramaian begitu tampak di tepi pantai. Sanjaya jadi tertarik ingin mengetahui. Dia tahu, pesisir pantai itu yang semalam diperhatikan bersama Eyang Danarpati. Bergegas dia melompat turun dari punggung kudanya, lalu melangkah cepat sambil menuntun kuda putih yang keempat kakinya belang hitam itu.

"Ada keramaian apa di sana, Ki...?" tanya Sanjaya ketika seorang nelayan tua melintas di depannya.

"Ada orang mati," sahut laki-laki tua nelayan itu.

"Orang mati...?!" Sanjaya mengerutkan keningnya.

"Benar! Tubuhnya penuh luka. Dia hampir tenggelam di laut," sahut laki-laki tua nelayan itu lagi. "Orangnya masih muda..., tapi kelihatannya bukan pemuda desa ini."

"Apa tidak ada yang mengenali, Ki?" tanya Sanjaya, ingin tahu.

"Tidak. Sekarang sudah diurus kepala desa," sahut laki-laki tua nelayan itu lagi.

Nelayan itu memandangi Sanjaya dalam-dalam, seakan ada sesuatu yang ingin diketahuinya. Sedangkan Sanjaya mengarahkan pandangannya pada kerumunan banyak orang di pantai. Tampak empat orang bergerak bersamaan, menggotong sebuah tandu berisikan sesosok tubuh yang tertutup selembar tikar. Semua orang yang berkerumun mengikuti empat orang laki-laki bertubuh kekar yang menggotong tandu itu. Mereka mengikuti seorang laki-laki setengah baya, bertubuh tegap dengan wajah masih mencerminkan ketampanannya. Baju yang dikenakannya juga sangat bagus untuk ukuran seorang nelayan.

Semua orang di Desa Nelayan itu sangat menghormatinya, karena laki-laki setengah baya itu adalah Kepala Desa Nelayan ini. Orang mengenalnya sebagai Ki Soma. Sanjaya juga sudah mengenal kepala desa yang masih berusia sekitar lima puluh tahun itu. Sanjaya masih terus memandangi iring-iringan itu, sampai tak menyadari kalau lelaki nelayan tua yang diajaknya bicara tadi meninggalkannya tanpa berpamitan lagi.

Sanjaya mengayunkan kakinya menuju ke sebuah kedai yang tidak jauh dari pesisir pantai ini, setelah iring-iringan orang yang membawa sosok mayat itu sudah jauh menuju ke tempat pemakaman yang ada di dekat hutan bakau. Kudanya kemudian ditambatkan di bawah sebatang pohon yang sudah mati. Kemudian kakinya melangkah masuk ke dalam kedai yang hanya ditunggui seorang wanita setengah baya bertubuh gembur, seperti tong kayu tempat air.

"Beli arak, Nyi," pinta Sanjaya.

"Arak putih, Den...?" tanya wanita itu ramah.

Sanjaya hanya menganggukkan kepala saja. Pemilik kedai bertubuh gembur itu kemudian menyediakan permintaan tamunya dengan sikap dibuat ramah. Sama sekali Sanjaya tidak menghiraukannya. Perhatiannya terus tertuju ke arah pantai yang sudah nampak sepi. Beberapa perahu tertambat di pesisir pantai itu. Tampak di lautan lepas, terlihat beberapa perahu nelayan terombang-ambing gelombang. Sanjaya lalu meneguk arak pesanannya sedikit

"Kelihatannya Aden ini baru datang ke sini, ya...?" tegur wanita gemuk pemilik kedai itu, dengan suara lembut

"Benar, Nyi," sahut Sanjaya seraya berpaling menatap wanita pemilik kedai yang sudah duduk di depannya

"Datang dari mana, Den?"

"Jauh," sahut Sanjaya seenaknya,

"Itu yang mati tadi juga pendatang, Den. Baru kemarin dia datang, dan menginap di rumah penginapan Nini Kalin. Kasihan dia. Padahal kedatangannya ke sini untuk mencari orang tuanya," jelas wanita gemuk pemilik kedai itu bercerita tanpa diminta.

"Apakah sering terjadi pembunuhan di sini, Nyi?" tanya Sanjaya jadi ingin tahu.

"Sejak peristiwa enam bulan yang lalu, baru kali ini ada pembunuhan lagi Tapi, yang sekarang kelihatannya lebih kejam. Tubuhnya sampai habis kena bacokan. Lehernya saja hampir buntung. Hih...! Ngeri, Den...," wanita gemuk yang sering dipanggil Nyi Koret itu nampak bergidik, tidak sanggup membayangkan keadaan tubuh pemuda yang ditemukan tewas terbunuh pagi ini di pantai.

"Peristiwa enam bulan yang lalu...? Peristiwa apa itu. Nyi?" tanya Sanjaya ingin tahu.

"Hanya orang gila yang mau cepat kaya, dan mencari pesugihan. Caranya, bersekutu dengan setan! Dia mencari tumbal, setiap sepekan sekali. Bayangkan saja, Den. Selama enam bulan..., entah sudah berapa orang yang mati jadi tumbalnya. Tapi untung saja perempuan itu cepat mati. Kalau tidak..., bisa habis seluruh penduduk desa ini dijadikan tumbal olehnya," Nyi Koret kembali bercerita.

Sanjaya mengangguk-angukkan kepala. Sungguh tidak diketahuinya kalau di Desa Nelayan ini pernah terjadi satu peristiwa mengerikan enam bulan yang lalu. Padahal, jarak dari desa ini dengan padepokan kakeknya tidaklah seberapa jauh. Dan memang, Sanjaya pada enam bulan yang lalu tidak ada di padepokan. Dia sedang menjalankan tugas dari kakek yang juga gurunya. Tapi, tak ada seorang pun yang bercerita tentang peristiwa mengerikan itu. Dan sekarang, timbul lagi satu peristiwa pembunuhan seperti itu. Tapi, Sanjaya belum bisa mengkaitkan dengan tugas yang sedang diembannya sekarang ini.

"Kata suamiku, anak muda itu mata dengan ciri-ciri yang hampir sama. Tapi sekarang lebih mengerikan lagi," sambung Nyi Koret. "Suamiku sendiri yang pertama kali menemukannya tadi pagi. Aku juga tidak tahan melihatnya."

"Apa mungkin ada orang yang mencari kekayaan dengan pesugihan lagi, Nyi?" tanya Sanjaya.

"Mungkin juga, Den. Tapi kenapa yang jadi korban justru pendatang, dan bukannya penduduk desa ini sendiri," sahut Nyi Koret.

Sanjaya jadi teringat yang dilihatnya semalam. Tapi, hatinya tidak yakin kalau dari peristiwa yang dilihatnya semalam, sudah menimbulkan korban begitu cepat. Lagi pula, sama sekali tidak terlihat adanya suatu pertarungan, ataupun pengambilan korban. Semalam, yang dilihatnya hanya seseorang yang memanggil Ratu Pantai Selatan untuk bersekutu. Dan orang yang tampaknya wanita itu meninggalkan pantai bersama sepuluh gadis yang dibawa Ratu Pantai Selatan dari dasar laut Sama sekali tidak ada peristiwa lain. Tapi sekarang, sudah ditemukannya korban yang belum diketahui penyebabnya. Masih terlalu dini bila ingin mengkaitkan dengan apa yang dilihatnya semalam.

Pendekar Rajawali Sakti
Cukup ramai juga penginapan Nini Kalin. Hampir semua kamar yang disewakan bagi para pendatang yang kemalaman, sudah terisi. Masih untung, Sanjaya bisa memilih kamar yang menghadap langsung ke jalan. Sehingga semua orang yang melalui jalan di depan penginapan ini bisa diamatinya. Dan dia juga bisa mengamati setiap orang yang keluar masuk penginapan ini.

"Sulit juga mencari orang itu. Seperti mencari jarum di dalam tumpukan jerami," desah Sanjaya perlahan, berbicara pada diri sendiri.

Memang, tidak mudah mencari orang yang bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan. Terlebih lagi, Sanjaya melihatnya dari jarak yang sangat jauh. Dan sejak matahari belum tenggelam tadi, dan sampai hampir tengah malam begini, belum juga bisa didapatkan satu orang pun yang bisa dicurigainya. Terlebih lagi saat dia tiba di Desa Nelayan ini. Di sini, satu pembunuhan penuh teka-teki sudah terjadi. Dan itu menambah kesulitan baginya untuk bisa mengetahui lebih cepat lagi. Semua orang di desa ini seperti sudah tercekam suatu kengerian. Dan mereka semua mengkaitkan pembunuhan aneh di pantai siang tadi dengan peristiwa yang pernah terjadi sekitar enam bulan yang lalu.

"Hmmm..., sepi sekali," gumam Sanjaya.

Pemuda itu terus merayapi jalan yang sudah kelihatan begitu sepi sekali. Tapi begitu pandangannya mengarah ke ujung jalan, mendadak saja....

"Heh...?! Apa itu...?!"

Kedua bola mata Sanjaya jadi terbeliak begitu melihat beberapa bayangan merah berkelebat di dalam kegelapan malam yang begitu sunyi dan senyap. Hanya sekilas saja bayangan-bayangan merah yang berkelebatan cepat bisa terlihat. Dan langsung menghilang, tak terlihat lagi.

"Hap...!"

Tanpa berpikir panjang lagi, Sanjaya langsung melompat keluar jendela kamarnya yang sejak siang tadi terus terbuka. Gerakannya begitu ringan, sehingga tak sedikit pun suara yang ditimbulkan saat kakinya menjejak tanah.

"Hap...!"

Pemuda dari Padepokan Bukit Rangkas itu kembali melenting dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sekali saja tubuhnya dikempos, kakinya langsung hinggap di atas atap sebuah rumah. Lalu, dia kembali melesat cepat bagai kilat menuju ke tempat beberapa bayangan merah yang berkelebatan bagai kilat tadi terlihat. Dan kini bayangan itu langsung menghilang begitu saja.

Beberapa kali Sanjaya berlompatan begitu ringan dari satu atap rumah, ke atap rumah yang lainnya. Hingga dalam waktu sebentar saja, kakinya sudah menjejak kembali di tanah, tempat tadi beberapa bayangan merah berkelebat bagai kilat terlihat. Pemuda itu segera mengedarkan pandangannya berkeliling begitu tajam. Tapi, tak terlihat seorang pun di sekitarnya. Yang ada hanya pepohonan dan kegelapan yang menyelimuti.

"Tak ada apa-apa di sini. Hmmm...," gumam Sanjaya perlahan. Kembali pandangannya beredar berkeliling. Namun begitu menatap ke arah kanan, tiba-tiba saja....

Wusss...!

"Heh...?!" Sanjaya jadi terbeliak setengah mati.

"Uts!" Buru-buru tubuhnya melenting berputaran ke belakang, begitu tiba-tiba sebuah bayangan berwarna merah berkelebat cepat ke arahnya. Sanjaya merasakan adanya satu hembusan angin yang begitu kuat dan terasa panas, saat bayangan merah itu lewat di atas rubuhnya yang berputaran ke belakang.

"Hap!"

Baru saja kaki pemuda dari Padepokan Bukit Rangkas itu menjejak tanah, kembali terlihat sebuah bayangan merah berkelebat cepat bagai kilat. Dan tahu-tahu, di sekelilingnya sudah mengepung sekitar sepuluh orang gadis yang semuanya mengenakan baju warna merah menyala.

Hampir Sanjaya tidak dapat mempercayai semua yang dilihatnya. Keadaannya yang sudah terkepung tidak kurang oleh sepuluh gadis cantik yang mengenakan baju wama merah menyala, membungkus tubuhnya yang amat indah dan ramping menggiurkan. Namun sorot mata gadis-gadis itu sangat tajam, membuat hati Sanjaya jadi bergetar.

"Siapa kalian...?" tanya Sanjaya dengan nada suara dibuat begitu dingin.

"Mereka tidak akan menjawab pertanyaanmu...," terdengar sahutan yang begitu tajam dan terasa berat.

Perlahan Sanjaya memutar tubuhnya. Kening pemuda itu jadi berkerut melihat seorang wanita bertubuh ramping, mengenakan baju biru tengah berdiri di bawah pohon yang besar dan gelap. Sehingga, sulit baginya untuk bisa melihat wajah wanita itu. Apalagi cahaya bulan yang menggantung di langit tidak sanggup menembus rimbunnya pepohonan yang melindungi wanita bertubuh ramping itu.

"Siapa kau?" tanya Sanjaya. Kedua kelopak mata pemuda itu lebih menyipit, mencoba untuk bisa melihat lebih jelas lagi. Tapi kegelapan yang menyelimutinya, memang sukar ditembus dengan pandangan matanya.

"Kau berhadapan dengan Ratu Pantai Selatan, Bocah Bagus," sahut wanita itu.

Glek!

Sanjaya langsung menelan ludahnya, begitu mendengar wanita itu mengaku sebagai Ratu Pantai Selatan. Semua orang yang tinggal di sekitar Pesisir Pantai Selatan Ini sudah sering mendengar namanya! Dia adalah seorang wanita berwajah cantik, dan bertubuh menggiurkan. Seluruh samudera di bumi ini dikuasainya. Dan tinggalnya pun terletak di dasar samudera yang paling dalam. Tak ada seorang pun yang bisa selamat jika sudah dibawa ke dalam istananya di dasar samudera. Juga, tak ada seorang pun yang bisa selamat jika sudah berhadapan dengannya.

Sanjaya jadi teringat dengan apa yang dilihatnya malam itu, sehingga sekarang berada di Desa Nelayan ini. Langsung disadari kalau sekarang tengah berhadapan dengan seseorang yang tubuhnya sudah ditirisi jiwa Ratu Pantai Selatan. Dia juga menyadari, apa yang akan terjadi pada dirinya. Tidak mudah untuk bisa melepaskan diri jika sudah berhadapan seperti ini. Terlebih lagi, sekarang ada sepuluh orang gadis lain yang mengepungnya. Dan gadis-gadis itu bukanlah manusia biasa!

"Ikutlah denganku, Sanjaya...," ajak wanita itu lagi. Kali ini nada suaranya terdengar begitu lembut Sanjaya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dia tidak heran kalau Ratu Pantai Selatan bisa mengetahui namanya, walaupun tidak memperkenalkan diri tadi.

Wanita itu memang bisa mengetahui, siapa saja yang dihadapinya. Bukan hanya namanya yang bisa diketahui, tapi juga seluruh kehidupan dan asal-usulnya. Itulah salah satu dari seribu kehebatan Ratu Pantai Selatan. Perlahan Sanjaya melangkah mundur. Tapi, langkahnya berhenti saat baru beberapa tindak saja.

Sanjaya teringat pesan kakeknya yang juga sekaligus gurunya, agar tidak melakukan tindakan apa pun dalam menghadapi pemuja Ratu Pantai Selatan. Terlebih lagi, kalau si pemuja itu sekarang sudah dititisi jiwa wanita cantik penguasa seluruh samudera di Mayapada ini.

"Maafkan aku, Kanjeng Ratu. Aku tadi tidak bermaksud buruk. Aku hanya...," ucapan Sanjaya terputus.

"Kau sudah mengusik pekerjaan abdi-abdiku, Sanjaya. Dan kesalahanmu itu harus ditebus," kata Ratu Pantai Selatan masih terdengar lembut nada suaranya. Tapi di balik kelembutannya itu, tersimpan sesuatu yang tak bisa dibayangkan Sanjaya.

"Maafkan aku, Kanjeng Ratu...," ucap Sanjaya dengan suara bergetar.

"Ikutlah denganku. Sanjaya. Untuk menebus kesalahanmu," ujar Ratu Pantai Selatan tegas.

Entah untuk keberapa kalinya Sanjaya terpaksa harus menelan ludahnya. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, merayapi gadis-gadis cantik berbaju merah yang mengepungnya dengan sorot mata begitu tajam. Seluruh wajah Sanjaya jadi memucat Tapi, pemuda ini tetap tidak ingin menuruti keinginan wanita titisan Ratu Pantai Selatan itu. Dia tahu, apa yang akan terjadi jika menuruti kehendak wanita penguasa samudera itu.

"Tidak!" sentak Sanjaya tiba-tiba.

"Hiyaaat..!" Cepat sekali Sanjaya melenting ke udara, mencoba meloloskan diri dari jeratan wanita penguasa samudera itu. Gerakannya begitu cepat dan tiba-tiba. Namun belum juga Sanjaya bisa jauh meninggalkan tempat itu, mendadak saja delapan orang gadis cantik berbaju merah itu sudah berlompatan bagai kilat mengejarnya.

"Ufs...! Sanjaya jadi tersedak begitu tiba-tiba di depannya sudah menghadang delapan gadis cantik berbaju merah yang tadi mengepungnya. Sungguh tidak disangka kalau gadis-gadis cantik pengawal Ratu Pantai Selatan mi bisa bergerak demikian cepat, bagaikan kilat behingga, mereka sudah berdiri menghadang di depan tanpa diketahui kapan bergeraknya.

Sanjaya cepat memutar tubuhnya. Tapi matanya kontan jadi terbeliak. Ternyata tidak jauh di depannya kini sudah berdiri gadis cantik berbaju biru, yang tadi berdiri di bawah pohon dan mengaku bernama Ratu Pantai Selatan. Begitu cantiknya, sehingga membuat Sanjaya jadi tak berkedip memandanginya.

"Hup...!" Tiba-tiba saja, gadis cantik berbaju biru yang tadi mengaku sebagai Ratu Pantai Selatan itu melompat cepat sambil menjulurkan tangan kanannya ke depan. Sementara, Sanjaya tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Dia hanya berdiri terpaku dengan kedua bola mata terbeliak lebar tanpa berkedip sedikit pun juga.

"Oh...?!" Sanjaya jadi terhenyak. Tiba-tiba saja dia jadi tersadar. Dan....

"Hait...!"

Hampir saja ujung jari tangan kanan titisan Ratu Pantai Selatan itu mengenai dadanya, untung Sanjaya cepat-cepat meliukkan tubuhnya menghindar. Kini bergegas tubuhnya melenting dan berputaran beberapa kali ke belakang. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, mendadak saja....

Wusss...!

"Heh...?! Hup!"

Buru-buru Sanjaya melambung tinggi ke udara, ketika tiba-tiba saja dari arah belakang terasa hembusan angin yang begitu halus. Ternyata, salah seorang gadis berbaju merah melesat cepat hendak menerkamnya. Untung saja Sanjaya sudah lebih cepat menghindar dengan melesat ke udara. Maka, gadis berbaju merah itu hanya lewat sedikit di bawah telapak kaki pemuda dari Padepokan Bukit Rangkas itu.

"Hiyaaat...!"

Belum lagi Sanjaya bisa menjejakkan kakinya kembali ke tanah, satu orang gadis berbaju merah lagi sudah melompat cepat menerjangnya. Dan Sanjaya terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari terjangan gadis cantik bertubuh indah yang mengenakan baju berwarna merah menyala itu.

Kali ini, Sanjaya benar-benar tidak dapat lagi berbuat lebih banyak. Tubuhnya terus berjumpalitan, sambil meliuk-liuk menghindari serangan-serangan yang dilakukan gadis-gadis cantik ini Sedikit pun tak ada kesempatan bagi Sanjaya untuk bisa membalas menyerang Bahkan sama sekali tidak mempunyai kesempatan mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Serangan-serangan yang dilancarkan sepuluh gadis cantik ini begitu cepat, dan dilakukan secara beruntun. Akibatnya, Sanjaya benar-benar kelabakan setengah mati menghindarinya.

"Hiyaaa...!"

"Hap,..!"

Sanjaya cepat-cepat menarik tubuhnya ke samping, ketika satu orang gadis penyerangnya memberi satu pukulan keras menggeledek ke arah dada. Tapi tanpa diduga sama sekali, mendadak saja dari arah belakang muncul seorang gadis cantik lain yang langsung melepaskan satu tendangan menggeledek. Begitu cepatnya tendangan itu, sehingga dia tidak dapat lagi menghindarinya. Padahal Sanjaya bisa menarik tubuhnya kembali tegak. Tapi...

Desss!

"Akh...!" Sanjaya terpekik keras agak tertahan.

Seketika itu juga, tubuhnya terjerembab mencium tanah. Pada saat yang bersamaan, satu orang gadis lagi sudah melompat sambil melepaskan satu pukulan ke arah pemuda yang masih tertelungkup di tanah itu.

"Ufs...!"

Sanjaya cepat-cepat menggelimpangkan tubuhnya ke samping. Sehingga, pukulan gadis itu tidak sampai mengenai sasaran. Dan pukulan itu hanya menghantam tanah kosong, hingga terbongkar mencintakan kepulan debu yang membumbung ke angkasa. Sanjaya sendiri sampai terperanjat, karena tanah jadi terguncang akibat pukulan gadis berbaju merah itu.

Tak bisa dibayangkan lagi, seandainya pukulan yang sangat keras itu menghantam tubuh pemuda ini. Jelas bisa hancur jadi debu seluruh tubuhnya. Sanjaya cepat-cepat melompat bangkit berdiri. Namun ketika kakinya baru saja menjejak tanah, satu serangan lain sudah datang begitu cepat luar biasa. Akibatnya, pemuda itu jadi terperangah, dengan kedua bola mata terbeliak lebar.

"Hait...!"

Sanjaya cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Maka pukulan yang dilepaskan gadis itu hanya lewat sedikit saja dari dadanya. Pada saat yang bersamaan, mendadak saja gadis berbaju biru yang tadi mengaku dirinya adalah Ratu Pantai Selatan sudah melenting tinggi-tinggi ke udara. Dan pada saat yang bersamaan, satu orang gadis lain berbaju merah sudah mengibaskan satu tendangan menyamping ke arah kaki Sanjaya.

Wukkk!

"Hup! Yeaaah...!"

Sanjaya cepat-cepat melenting ke udara. Namun mendadak saja matanya jadi terbeliak. Sama sekali tidak disangka kalau di udara, sudah menunggu Tifisan Ratu Pantai Selatan. Dan ketika tangan kanan gadis cantik berbaju biru itu menjulur ke depan, Sanjaya tidak dapat lagi menghindarinya. Dan....

Tukkk!

"Aaah...."

Sanjaya hanya bisa mendesah lirih. Seketika itu juga tubuhnya jatuh terguling ke tanah. Dicobanya untuk bergerak bangkit, tapi jadi terperanjat setengah mati. Ternyata seluruh tubuhnya tidak lagi bisa digerakkan sedikit pun juga. Dan pada saat itu, Ratu Pantai Selatan sudah berdiri di sampingnya. Wanita cantik dengan bibir indah itu menyunggingkan senyum manis sekali.

"Bawa dia...!"

Tanpa menunggu perintah dua kali, salah seorang gadis berbaju merah segera menghampiri Sanjaya. Seperti mengangkat segumpal kapas saja, gadis itu memanggul Sanjaya di pundaknya. Tanpa ada seorang pun yang mengeluarkan suara, mereka bergegas berlompatan pergi meninggalkan pinggiran Desa Nelayan itu. Gerakan mereka begitu cepat dan ringan. Sehingga, dalam waktu sekejap mata saja sudah tidak terlihat lagi bayangan tubuh sebelas orang gadis cantik itu.

Keadaan di pinggiran Desa Nelayan itu jadi sunyi kembali. Tak ada lagi suara yang terdengar, kecuali debur ombak di pantai dan sapuan angin saja yang terdengar menyebarkan alunan irama alam yang menggetarkan jantung Dan malam pun tenis merayap semakin larut. Tak ada seorang pun bisa melihat peristiwa di pinggiran Desa Nelayan Pesisir Pantai Selatan ini tadi.

********************

TIGA

"Ohhh...."

Sanjaya menggeliat sambil merintih lirih. Sebentar kepalanya digerak-gerakkan, kemudian kelopak matanya mulai dikerjapkan beberapa kali. Pemuda itu bergegas menggerinjang bangun begitu menyadari dirinya sekarang berada di sebuah ruangan berukuran sangat besar dan megah, seperti berada di dalam kamar istana.

"Oh.... Di mana ini? Apa yang terjadi padaku...?" keluh Sanjaya lirih, agak menggumam.

Pandangan pemuda itu beredar berkeliling, merayapi keadaan sekitar kamar yang begitu indah dan megah ini. Seumur hidupnya, baru kali ini dia melihat sebuah kamar yang begitu indah dan megah. Sanjaya cepat menggerinjang turun dari pembaringan berukuran besar. Dia benar-benar terkejut melihat keadaan dirinya yang sudah berganti pakaian berupa jubah panjang dari bahan sutera halus yang berkilat dan berwarna biru laut.

Sanjaya berpaling saat mendengar suara dari arah pintu. Tampak pintu yang terbuat dari kayu jati tebal dan berukir itu bergerak terbuka perlahan-lahan. Dan dari balik pintu itu, muncul seorang gadis cantik mengenakan baju biru yang begitu tipis sekali. Sehingga, lekuk-lekuk tubuhnya membayang jelas. Tentu saja bola mata Sanjaya jadi terbeliak lebar tak berkedip memandanginya. Debar jantung pemuda itu seketika berpacu cepat. Sepertinya dia tengah berada dalam suatu perasaan yang dia sendiri tidak tahu.

"Bagaimana keadaanmu, Sanjaya...?" lembut sekali nada suara wanita Itu.

Sanjaya tidak bisa menjawab pertanyaan itu Entah kenapa, lidahnya jadi terasa begitu kelu dan tenggorokannya terasa begitu kering. Beberapa kali dia menelan ludah untuk membasahi tenggorokannya. Malah, debaran jantungnya yang begitu keras tidak juga bisa berkurang. Seluruh kesadaran dirinya seperti lenyap, seiring datangnya perasaan yang bergejolak. Perasaan seperti mengajaknya terbang ke langit tingkat tujuh.

Sementara, wanita cantik itu semakin dekat saja di depan Sanjaya. Aroma harum yang begitu tajam menyengat hidung, membuat seluruh kepala pemuda ini jadi terasa pening. Terlebih lagi jari-jari tangan yang lentik dan halus mulai bermain-main di dada Sanjaya yang bidang begitu lembut. Kesadaran Sanjaya benar-benar lenyap, saat bibir yang memerah indah milik wanita itu mengecup halus bibirnya.

Sanjaya tidak dapat lagi menguasai kesadaran dirinya. Tangannya segera dilingkarkan ke pinggang yang ramping terbungkus baju dari bahan yang begitu halus dan tipis. Sehingga, mereka bagai tidak memiliki pembatas lagi. Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Sanjaya menuruti saja saat wanita itu menuntun ke pembaringan.

"Peluklah aku, Sanjaya. Cumbulah sepuasmu...," desah wanita itu lirih dan lembut sekali.

"Kau... kau cantik sekali...," desis Sanjaya bergetar. Dadanya kian bergemuruh oleh gairah menggelegak dahsyat dalam dada.

"Lakukan, apa yang harus kau lakukan, Sanjaya. Puaskan dirimu. Cumbu aku...," bisik wanita itu.

Bisikan-bisikan yang halus dan lembut, disertai sapuan-sapuan lembut dari jari-jari tangan lentik, membuat Sanjaya tak mampu lagi mengendalikan diri. Perlahan-lahan direbahkannya tubuh wanita itu ke pembaringan. Lalu dengan tangan agak gemetar, pakaian yang dikenakan wanita itu mulai dilepaskannya. Kedua bola matanya tak berkedip merayapi bentuk tubuh yang begitu indah, terbaring polos tanpa selembar benang pun yang menutupinya. Dan saat itu pula, pakaian jubah Sanjaya juga telah terlepas.

Perlahan-lahan Sanjaya mendekatkan wajahnya ke wajah yang cantik menggairahkan itu. Lalu, lembut sekali bibir merah dan agak terbuka itu dikecupnya. Kedua tangan wanita itu melingkar di leher Sanjaya, membuat pemuda itu tidak bisa lagi melepaskan diri.

"Ohhh...!"

Rintihan dan desahan lirih terdengar begitu halus, membuat gairah mereka semakin menggelora. Tak ada lagi kata-kata yang terucapkan. Semua berganti rintihan lirih dan desahan-desahan menggelora yang membangkitkan gairah. Di dalam kamar yang berukuran besar dan megah itu, dua sosok tubuh bergelut dalam lautan birahi yang menggelora. Dan dua sosok tubuh itu kini mulai berkilatan oleh keringat

Entah berapa lama mereka bergelut mengarungi samudera keindahan asmara. Dan tahu-tahu, Sanjaya sudah menggulir disertai keluhan panjang dari tubuh wanita itu. Kelopak mata Sanjaya terpejam rapat. Gerakan di dadanya begitu cepat dan memburu. Butir-butir keringat membanjiri seluruh tubuhnya.

Sementara wanita cantik yang berbaring di sebelahnya, mulai bergerak turun dari pembaringan. Dia tersenyum menatap tubuh Sanjaya yang terbaring dengan dada telanjang Perlahan, pakaiannya dikenakan lagi. Lalu tanpa berbicara sedikit pun, kakinya melangkah meninggalkan kamar itu. Sementara Sanjaya masih tetap terbaring bersimbah keringat di seluruh tubuhnya.

********************

Tak ada seorang pun yang tahu, apa yang terjadi pada diri Sanjaya. Sementara itu, di Puncak Bukit Rangkas tampak seorang laki-laki tua berdiri tegak memandang ke tengah lautan dari atas menara yang sangat tinggi. Kedua bola matanya tidak berkedip memandangi gelombang lautan yang beriak tidak terlalu besar. Dari raut wajahnya, tercermin kekhawatiran yang begitu mendalam. Wajahnya baru berpaling saat merasakan ada seseorang yang naik ke atas menara ini. Tapi sebentar kemudian, pandangannya kembali diarahkan ke tengah lautan yang bagaikan tak bertepi itu.

Sedikit wajahnya tidak berpaling ketika seorang gadis muda berusia sekitar delapan belas tahun sudah berada di sampingnya. Baju warna merah muda yang dikenakannya, terlihat cukup ketat. Sehingga membentuk tubuh yang kecil dan mungil seperti gadis berumur tiga belas tahun. Gadis itu juga mengarahkan pandangan ke tengah laut yang tampak tenang, dengan gelombang kecil mengikuti hembusan angin.

"Kapan dia akan datang ke sini, Karina?" tanya laki-laki tua berjubah putih yang tak lain Eyang Danarpati.

"Kalau tidak ada halangan, besok pagi sudah sampai di sini. Eyang," sahut gadis yang dipanggil Karina itu.

Kembali mereka terdiam. Pandangan mereka terus tertuju ke arah lautan lepas yang tampak menghitam dan berkilauan oleh pantulan cahaya rembulan, bagai bertaburkan manik-manik mutiara yang begitu indah dipandang mata.

"Aku khawatir terjadi sesuatu pada Kakang Sanjaya, Eyang," kata Karina. Nada suaranya terdengar begitu cemas.

"Sanjaya sudah meninggal," pelan sekali suara Eyang Danarpati.

"Meninggal...?!" Karina tampak terkejut setengah mati.

"Mayatnya ditemukan penduduk desa dekat pantai."

"Oh...," Karina hanya bisa mendesah panjang. "Kapan itu terjadinya. Eyang?"

"Tiga hari yang lalu. Mayatnya sudah dikuburkan."

Karina tertunduk lesu. Pantas, wajah Eyang Danarpati tampak murung dang berduka. Sungguh! Hal itu baru diketahuinya sekarang. Gadis itu jadi menyesal menanyakan tentang Sanjaya. Jelas, pertanyaan itu membangkitkan kedukaan Eyang Danarpati yang semakin dalam.

Eyang Danarpati seperti tak tahan lagi menahan keharuan. Cucu satu-satunya kini telah tiada hilang sudah harapan yang dapat dibanggakannya. Mungkin kalau tidak ada Karina, iaki-laki tua itu sudah menggulirkan air mata. Untung perasaannya bisa ditahan, walaupun matanya merembang berkaca-kaca.

Laki-laki tua berjubah putih itu kemudian memutar tubuhnya berbalik, dan melangkah turun dari menara ini. Karina mengikuti dari belakang. Mereka terus bergerak turun tanpa berbicara iagi. Diam-diam Eyang Danarpati menghapus air matanya. Kedua orang itu terus melangkah menuju ke bangunan besar yang menjadi tanda kalau di Puncak Bukit Rangkas ini terdapat sebuah padepokan. Mereka kemudian duduk berhadapan di beranda depan bangunan besar itu, beralaskan selembar tikar.

"Aku berharap, dia bisa datang lebih cepat. Kudengar sudah begitu banyak korban yang jatuh. Dan yang terakhir adalah Sanjaya. Entah, apa yang akan terjadi lagi kalau iidak segera dihentikan," desah Eyang Danarpati perlahan, seakan bicara untuk diri sendiri.

"Maaf, Eyang. Apakah Eyang tidak bisa menghadapinya sendiri?" tanya Karina takut-takut

Eyang Danarpati tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dan malah menatap begitu dalam pada gadis yang duduk bersila di depannya ini.

"Maaf, kalau pertanyaanku tadi menyinggungmu, Eyang," ucap Karina buru-buru.

"Hhh...!" Eyang Danarpati menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat sekali.

Sedangkan Karina jadi tertunduk, menyesali pertanyaannya yang bisa menyinggung perasaan Ketua Padepokan Bukit Rangkas ini. Memang, seharusnya dia tidak perlu mengajukan pertanyaan seperti itu tadi. Tapi, semuanya sudah terjadi. Dan dia memang merasa heran karena Eyang Danarpati seperti tidak mau menghadapi Ratu Pantai Selatan yang kini sedang merajalela, sehingga menimbulkan begitu banyak korban. Dan semua korbannya adalah pemuda, baik yang pandai ilmu olah kanuragan maupun yang sama sekali buta. Dan selama lebih dari dua pekan ini, sudah tidak terhitung lagi jumlah anak-anak muda yang menjadi korbannya.

"Kau tentu lelah setelah menempuh perjalanan jauh. Sebaiknya, beristirahat dulu," ujar Eyang Danarpati.

"Aku pergi dulu, Eyang," pamit Karina.

Eyang Danarpati hanya menganggukkan kepala saja. Dia masih tetap duduk bersila di beranda depan bangunan padepokan ini. Sementara, Karina sudah tidak terlihat lagi di sana. Gadis itu sudah masuk ke dalam bangunan yang berukuran sangat besar ini. Dan malam terus merayap semakin bertambah larut Eyang Danarpati masih tetap duduk bersila memandang lurus ke depan, dengan sinar mata yang begitu kosong bagai tak bersemangat

Kegelapan masih terus menyelimuti seluruh Puncak Bukit Rangkas ini. Eyang Danarpati masih juga belum beranjak dari beranda depan rumah padepokannya, walaupun tidak berapa lama lagi pagi akan datang menjelang Entah apa yang sedang dipikirkannya sekarang ini. Dia duduk bersila seperti bersemadi, namun tatapan matanya begitu kosong, tertuju lurus ke depan. Beberapa orang murid padepokan itu masih tampak terlihat berjaga-jaga di beberapa tempat.

"Heh! Siapa itu...?!" sentak Eyang Danarpati, ketika tiba-tiba saja melihat bayangan berkelebat cepat bagai kilat. Belum juga Eyang Danarpati melakukan sesuatu, tiba-tiba saja,...

"Aaa...!"
"Heh...?!"

Eyang Danarpati jadi tersentak setengah mati, begitu terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Cepat-cepat dia melompat keluar dari beranda itu. Dan pada saat kakinya baru menjejak tanah, mendadak saja dari atas atap bangunan padepokan itu meluncur sesosok tubuh ke arahnya.

"Hup...!"

Dengan satu gerakan indah sekali, Eyang Danarpati cepat-cepat melompat menghindari sosok tubuh yang meluncur begitu cepat dari atas atap.

Blukkk!
"Hah...?!"

Kedua bola mata Eyang Danarpati jadi terbeliak lebar, begitu di depannya jatuh sesosok tubuh seorang laki-laki muda yang dikenal sebagai muridnya. Seluruh tubuhnya penuh lubang dan mengucurkan darah. Tampak jelas kalau lehernya menganga lebar hampir buntung. Hanya bagian wajahnya saja yang tidak mendapatkan luka sedikit pun. Belum juga rasa keterkejutannya bisa dihilangkan, kembali dia dikejutkan oleh teriakan-teriakan keras dan jeritan melengking tinggi dari arah bagian belakang bangunan padepokan ini.

"Hup! Yeaaah...!"

Tanpa berpikir panjang iagi, laki-laki tua berjubah putih itu segera melenting ke udara. Gerakannya begitu ringan dan cepat, sehingga hanya sekali lesatan saja sudah berada di atas atap. Lalu kembali tubuhnya melesat cepat ke arah datangnya suara pertarungan yang didengarnya. Beberapa kali dia berlompatan dan melakukan putaran di udara, lalu ringan sekali meluruk turun begitu sampai di bagian belakang rumah besar padepokannya ini.

"Mundur kalian semua...!" seru Eyang Danarpati begitu kakinya menjejak tanah.

Di bagian halaman belakang yang cukup luas, laki-laki tua itu melihat murid-muridnya bertarung sengit melawan sepuluh orang gadis-gadis cantik berbaju serba merah. Dan teriakannya yang begitu keras menggelegar karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, membuat semua murid Padepokan Bukit Rangkas langsung berlompatan mundur meninggalkan kancah pertarungan.

"Edan...!" desis Eyang Danarpati menggeram.

Hampir sulit dipercaya melihat sebagian murid-muridnya sudah bergelimpangan tak bernyawa lagi. Darah berhamburan membasahi tanah yang berumput di halaman belakang padepokan ini. Sementara itu, mereka yang masih hidup segera berjajar di belakang gurunya yang sudah berusia lanjut ini. Sedangkan sepuluh orang gadis cantik berbaju serba merah, berdiri berjajar sekitar tiga batang tombak jauhnya di depan Eyang Danarpati.

"Mau apa kalian mengacau padepokanku ini..?! Siapa kalian...?!" tanya Eyang Danarpati langsung.

Sinar mata laki-laki tua itu mencorong begitu tajam, merayapi wajah-wajah cantik yang berada sekitar tiga tombak di depannya. Tapi tak ada seorang pun dari kesepuluh gadis berbaju merah itu yang menjawab pertanyaan Eyang Danarpati tadi. Mereka hanya berdiri tegak membalas sorot mata laki-laki tua itu dengan tidak kalah tajamnya. Tak ada satu pun senjata yang tersandang. Tapi dalam waktu yang begitu singkat tadi, mereka sudah mencabut nyawa lebih dari dua puluh orang murid Padepokan Bukit Rangkas.

"Kalian hanya diam saja. Apa kalian tidak bisa bicara, heh...?!" dengus Eyang Danarpati jadi geram, melihat kesepuluh orang gadis yang telah membunuh lebih dari dua puluh muridnya hanya diam saja tidak menjawab pertanyaannya.

Mereka memang tetap diam tak bicara sedikit pun. Hal ini membuat Eyang Danarpati semakin bertambah berang Harga dirinya direndahkan atas sikap kesepuluh gadis berbaju merah ini. Perlahan laki-laki tua berjubah putih itu melangkah ke depan beberapa tindak. Sorot matanya masih tetap begitu tajam juga, terdengar gemeretuk gerahamnya yang menahan geram.

"Kalian datang untuk membunuh murid-muridku. Kalian harus bertanggung jawab...!" desis Eyang Danarpati dingin menggeletar.

Bettt!

Tiba-tiba saja sepuluh gadis cantik berbaju merah itu mengebutkan tangannya secara bersamaan ke depan. Dan tahu-tahu, dari tangan yang terkepal menyemburat secercah sinar berwarna-warni seperti pelangi. Lalu begitu sinar itu hilang, di tangan mereka masing-masing sudah tergenggam sebilah pedang yang bentuk dan ukurannya sama. Melihat senjata yang muncul begitu tiba-tiba dan sangat aneh, Eyang Danarpati jadi tersentak. Kedua bola matanya terbeliak lebar seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya.

"Apakah mereka para pengawal Ratu Pantai Selatan...?" desis Eyang Danarpati bertanya-tanya sendiri dalam hati.

Cara kesepuluh orang gadis catik berpakaian merah itu mengeluarkan senjata berbentuk pedang yang begitu aneh, memang langsung membuat Eyang Danarpati berpikir sampai ke sana. Terlebih lagi, selama ini dia selalu memikirkan tentang Ratu Pantai Selatan yang kehadirannya sempat disaksikan dari Puncak Bukit Rangkas ini.

"Kami mendapat perintah untuk menghancurkan padepokan ini. Suka atau tidak, kalian semua harus mati malam ini juga," kata salah seorang gadis itu.

Suara gadis itu terdengar begitu datar dan dingin sekali. Tak ada tekanan sedikit pun pada nada suaranya. Bahkan saat berbicara pun, gerakan bibirnya hanya sedikit sekali. Seakan-akan bukan dia yang mengeluarkan suara tadi.

"Siapa yang memerintah kalian?!" tanya Eyang Danarpati dingin sekali nada suaranya.

"Kanjeng Ratu."

"Hhh! Tidak semudah itu kalian bisa menghancurkan padepokan ini. Kalian harus melangkahi dulu mayatku!" desis Eyang Danarpati.

Srettt!

Dari balik jubahnya yang panjang dan lebar, Eyang Danarpati langsung saja mencabut senjatanya berupa sebuah tombak berukuran pendek, yang bagian ujungnya bermata tiga. Tombak pendek bermata tiga itu langsung ditempatkan di depan dada. Senjentara, semua muridnya sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tampak di antara para pemuda murid Padepokan Bukit Rangkas ini, ada Karina di sana. Gadis itu juga sudah bersiap dengan pedang terhunus di tangan kanannya.

Bukan hanya Karina saja, wanita di padepokan ini. Masih ada lagi gadis-gadis muda yang menuntut ilmu di padepokan ini. Dan mereka semua sekarang sudah berada di halaman belakang, memperhatikan gurunya yang tengah berhadapan dengan sepuluh gadis mengawal Ratu Pantai Selatan.

"Hiyaaat...!"

Tiba-tiba saja Eyang Danarpati berteriak lantang menggelegar. Dan seketika itu juga, tubuhnya melesat cepat bagai kilat sambil mengebutkan tombak pendek bermata tiga ke arah salah seorang gadis pengawal Ratu Pantai Selatan.

Bettt!

Meskipun Eyang Danarpati sudah mengerahkan seluruh kecepatannya, tapi ujung tombak bermata tiga itu hanya lewat sedikit saja di depan dada gadis cantik berbaju merah itu yang hanya menarik sedikit tubuhnya ke belakang. Bahkan tanpa diduga sama sekali, serangan Eyang Danarpati dibalas dengan mengebutkan pedangnya ke arah perut

"Hait..!"
Wukkk!
Trang!

Percikan bunga api terlihat menyebar begitu tombak Eyang Danarpati menangkis pedang yang mengarah ke perutnya. Cepat-cepat laki-laki tua itu melompat ke belakang beberapa tindak. Tapi baru saja menjejak tanah yang berumput cukup tebal di halaman belakang bangunan Padepokan Bukit Rangkas ini, tiba-tiba saja satu orang gadis lainnya sudah melompat begitu cepat sambil mengebutkan pedang ke arah dada laki-laki tua berjubah putih itu.

"Hap!"

Hanya satu kali lompatan saja, Eyang Danarpati berhasil menghindari tebasan pedang yang mengarah dadanya. Namun, tubuhnya harus kembali melesat karena satu orang gadis lagi sudah menyerang begitu cepat, di saat kakinya baru saja menjejak tanah. Eyang Danarpati terpaksa harus berjumpalitan di udara, karena gadis-gadis berbaju merah itu terus mencecar secara bergantian dengan kecepatan sungguh luar biasa.

"Kenapa kalian bengong saja?! Ayo, bantu Eyang Guru...!" seru Karina tidak sanggup melihat gurunya teras didesak.

Mendengar teriakan Karina yang begitu keras menggelegar, semua murid-murid Eyang Danarpati seketika itu juga berhamburan, menyerang sepuluh orang gadis berbaju merah yang sedang mengeroyok laki-laki tua berjubah putih itu. Maka, pertarungan memang tidak bisa dihindari lagi. Jeritan-jeritan melengking tinggi langsung terdengar membelah kesunyian malam di Puncak Bukit Rangkas ini.

EMPAT

Sepuluh orang gadis cantik pengawal Ratu Pantai Selatan itu memang bukan manusia biasa. Meskipun dikeroyok puluhan orang yang memiliki kepandaian dalam ilmu olah kanuragan, mereka tidak mengalami satu kesulitan sedikit pun. Bahkan satu persatu murid Padepokan Bukit Rangkas dibuat tak berdaya. Tubuh-tubuh berlumur darah semakin banyak bergelimpangan. Namun pertarungan itu masih terus berlangsung sengit

Pertarungan itu terus berlangsung, hingga matahari membiaskan sinarnya di ufuk Timur. Meskipun sudah lebih dari setengah jumlah murid Padepokan Bukit Rangkas yang tewas, tapi tak ada seorang pun dari mereka yang mencoba keluar dari pertarungan. Terlebih lagi Eyang Danarpati. Dia bertarung seperti seekor banteng liar. Namun sampai begitu lama pertarungan berlangsung, satu orang pun belum juga berhasil dilumpuhkan.

"Khraaagkh...!"

Tiba-tiba saja terdengar suara keras yang begitu menggelegar di angkasa. Begitu kerasnya suara itu, sehingga seluruh Puncak Bukit Rangkas ini jadi bergetar bagaikan hendak runtuh. Dan suara itu rupanya mengejutkan sepuluh orang gadis berbaju merah pengawal Ratu Pantai Selatan. Hampir bersamaan, mereka mendongak ke atas. Lalu seperti ada yang memberi perintah, mereka langsung berlompatan pergi dari padepokan ini.

Rupanya ada sesosok tubuh berpakaian biru yang sejak tadi berada di atas pohon. Dialah yang memberi perintah kepada sepuluh gadis berbaju merah untuk pergi menghindar. Karena dia telah mengetahui kalau suara burung itu adalah burung rajawali tunggangan Rangga. Rampita yang merupakan Titisan Ratu Pantai Selatan, merasa belum waktunya untuk bentrok dengan Rangga maupun burung rajawali tunggangannya.

Gerakan mereka begitu cepat luar biasa. Sehingga dalam sekejapan mata saja, kesepuluh gadis itu sudah hilang dari pandangan. Maka pertarungan itu pun seketika jadi terhenti. Sementara, cahaya matahari semakin terang membias. Tampak Eyang Danarpati merayapi mayat-mayat muridnya yang bergelimpangan. Sedangkan Karina menghampiri laki-laki tua itu.

"Tinggal berapa orang yang masih hidup?" tanya Eyang Danarpati sambil memandangi murid-muridnya yang masih hidup.

"Tinggal lima belas orang lagi," sahut Karina.

"Hhh...!" Eyang Danarpati menghembuskan.

"Kenapa mereka tiba-tiba pergi, Eyang?" tanya Karina masih keheranan atas kepergian sepuluh orang pengawal Ratu Pantai Selatan yang begitu tiba-tiba.

"Aku sendiri tidak tahu," sahut Eyang Danarpati mendesah. "Tapi...."

"Tapi kenapa, Eyang?"

"Kau dengar sesuatu sebelum mereka pergi, Karina?" Eyang Danarpati malah balik bertanya.

"Ya! Seperti suara guntur," sahut Karina.

"Itu bukan guntur, Karina. Suara itu terasa aneh sekali. Yang jelas, baru kali Ini aku mendengarnya," kata Eyang Danarpati membantah jawaban Karina.

Perlahan laki-laki tua itu mengayunkan kakinya diikuti Karina yang selalu setia mendampingi. Dan itu memang sudah suatu kebiasaan. Jika Sanjaya yang merupakan cucu Eyang Danarpati tidak ada di padepokan ini, maka yang bertugas mendampinginya adalah gadis ini. Karena, Karina adalah orang kedua setelah Sanjaya di Padepokan Bukit Rangkas ini.

"Kalian bereskan semua ini," perintah Eyang Danarpati pada sisa muridnya yang masih hidup.

Tak ada seorang pun yang membantah. Meskipun dalam keadaan yang teramat lelah, murid-murid Padepokan Bukit Rangkas yang tinggal berjumlah sekitar rima belas orang itu segera melaksanakan perintah gurunya. Sementara, Eyang Danarpati sendiri terus melangkah didampingi Karina.

Tiba-tiba saja, ayunan langkah kaki Eyang Danarpati terhenti. Kepalanya langsung didongakkan ke atas langit, tepat ketika di angkasa terlihat seekor burung berputar-putar mengelilingi Puncak Bukit Rangkas ini. Kelopak mata laki-laki tua itu jadi berkerut Burung itu terbang begitu tinggi sekali, bagai menyatu dengan awan. Tapi, sangat jelas terlihat.

"Khraaagkh...!"

"Kau dengar suara itu, Karina...?" tanya Eyang Danarpati dengan suara setengah menggumam. Dia seakan-akan bertanya pada diri sendiri.

"Aku dengar, Eyang," sahut Karina yang juga memandangi burung itu di angkasa. "Tapi, apa mungkin suara tadi dari burung itu, Eyang...?"

"Hmmm...," Eyang Danarpati hanya menggumam perlahan saja.

Mereka terus memperhatikan burung yang tampak putih keperakan di angkasa. Burung yang sepertinya seekor rajawali itu terus berputar-putar di atas Puncak Bukit Rangkas. Kemudian tiba-tiba saja burung itu melesat cepat bagai kilat Begitu cepatnya, sehingga sukar diikuti pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu, burung itu sudah menghilang entah ke mana.

"Hhh...! Pertanda apa lagi ini,..? Kenapa sekarang ini banyak kejadian-kejadian aneh...?" keluh Eyang Danarpati, mendesah lirih.

Sebenarnya, apa yang dilihat Eyang Danarpati dan Karina tadi?

Memang di atas Bukit Rangkas tadi, ada seekor burung berbulu putih keperakan. Namun, burung itu bukanlah burung biasa, melainkan seekor rajawali raksasa. Terbangnya demikian tinggi. Sehingga, terlalu sulit untuk bisa melihat jelas, kalau di atas punggung burung raksasa itu tengah duduk dua orang.

Mereka adalah Rangga dan Pandan Wangi yang lebih dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut Saat ini mereka memang sedang menunggang Rajawali Putih, seekor rajawali raksasa berbulu putih tunggangan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan burung raksasa itulah yang menjadikan Rangga seorang pendekar tangguh dan digdaya seperti sekarang ini. Hingga, pemuda berbaju'rompi putih itu sangat disegani oleh tokoh-tokoh persilatan, baik golongan putih maupun golongan hitam.

"Ke mana mereka menghilang, Kakang?" tanya Pandan Wangi.

"Entahlah. Mereka tidak terlihat lagi setelah melewati tebing batu di sana itu," sahut Rangga sambil menunjuk sebuah tebing yang penuh batu-batu.

"Sebaiknya, kita lihat dulu keadaan di Padepokan Bukit Rangkas, Kakang," usul Pandan Wangi.

"Kau saja yang ke sana lebih duVu. Aku akan menyelidiki sekitar tebing batu itu," kata Rangga memberi perintah.

Pandan Wangi hanya mengangkat bahunya saja. "Katakan pada Eyang Danarpati, aku akan segera ke sana," kata Rangga lagi.

Rangga kemudian memerintahkan Rajawali Putih untuk mendarat di sebuah dataran yang cukup luas, tidak jauh dari Padepokan Bukit Rangkas. Kedua pendekar muda itu langsung berlompatan turun dari punggung rajawali raksasa berbulu putih keperakan ini, begitu sampai di tanah.

"Ingat, Pandan. Jangan bertindak sesuatu sampai aku datang ke sana," pesan Rangga.

Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala. Setelah itu, Rangga kembali melompat naik ke punggung Rajawali Putih. Begitu Pendekar Rajawali Sakti menepuk leher burung itu, maka cepat sekali Rajawali Putih melambung tinggi ke udara sambil memperdengarkan suara yang begitu keras menggelegar seperti guntur. Sementara, Pandan Wangi masih tetap berdiri memandangi sampai Rajawali Putih hilang dari pandangannya.

Sedangkan Rangga yang masih menunggang Rajawali Putih, kembali ke tebing batu di Lereng Bukit Rangkas ini. Dia meminta Rajawali Putih untuk mendekati tebing batu itu.

"Jangan pergi jauh-jauh, Rajawali. Aku pasti akan membutuhkanmu," pesan Rangga.

"Khraaagkh!"

"Terus lebih dekat lagi, Rajawali." Rajawali Putih meluruk semakin dekat dengan tebing batu itu. Lalu....

"Hup...!"

Ringan sekali Rangga melompat dari punggung burung rajawali raksasa itu. Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya memang sudah mencapai tingkat yang begitu sempurna. Sehingga, bagaikan selembar daun kering tubuhnya hinggap di atas tebing batu itu. Sementara, Rajawali Putih kembali melambung tinggi ke udara.

"Rasanya tidak mungkin kalau mereka bisa menghilang begitu saja. Pasti ada sesuatu di sekitar tebing batu ini," gumam Rangga berbicara sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti kembali melenting sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Sorot matanya begitu tajam, merayapi sekitar tebing batu itu. Rangga terus berlompatan dari satu tonjolan batu, ke tonjolan batu lainnya. Hingga akhirnya, dia berhenti begitu kakinya menjejak sebuah batu yang permukaannya cukup besar dan datar.

"Hmmm...."

Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling, berharap menemukan sebuah gua. Tapi harapannya tidak juga terwujud. Yang dilihat hanya tumpukan bebatuan serta hamparan kerikil di sepanjang tebing Lereng Bukit Rangkas ini Tapi, hatinya begitu yakin kalau sepuluh orang yang dilihatnya tadi menghilang di sekitar tebing batu ini.

"Apa yang kau cari di sini, Cah Bagus...?"

"Heh...?!"

Pendekar Rajawali Sakti tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar teguran yang begitu halus dan lembut Cepat tubuhnya berputar berbalik. Kedua bola matanya jadi terbeliak lebar begitu tiba-tiba saja di atas tebing batu ini sudah berdiri seorang gadis berwajah cantik. Tubuhnya ramping, terbungkus baju warna biru ketat

Sama sekali Pendekar Rajawali Sakti tidak mengetahui kehadirannya. Tahu-tahu, di atas tebing batu itu sudah berdiri seorang gadis seperti bidadari. Baju yang dikenakannya juga terbuat dari bahan yang cukup tipis, sehingga lekuk-lekuk tubuhnya membayang nyata sekali.

"Hup...!"

Hanya sekali mengempos tubuhnya saja, Rangga melesat tinggi ke udara. Begitu ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti melayang. Kemudian kakinya hingga di atas tebing batu, tidak jauh di depan gadis cantik berbaju biru itu, tanpa memperdengarkan suara sedikit pun.

"Kau mencari sesuatu di sini, Kisanak?" tanya gadis itu masih dengan suara lembut sekali.

"Ya! Aku mencari sepuluh orang gadis," sahut Rangga sambil mengamati wanita yang berdiri sekitar dua tombak di depannya ini.

"Aku tahu, di mana mereka," kata gadis itu lagi, masih dengan suara lembut

"Hm, di mana?" tanya Rangga dengan kening jadi berkerut

"Tidak jauh dari sini. Bahkan mereka ada di sekitar tebing ini," sahut gadis itu lagi.

Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi bertambah berkerut. Dipandanginya gadis Cantik yang berdiri di depannya ini dalam-dalam. Sepertinya, Pendekar Rajawali Sakti sedang mengamatinya. Sedangkan gadis itu hanya tersenyum saja dengan sikap seperti mengundang.

"Kau begitu tampan sekali. Siapa namamu, Kisa-nak?" tanya gadis itu disertai senyuman manis dan menggoda.

"Rangga. Dan kau sendiri siapa, Nisanak?" sahut Rangga langsung balik bertanya lagi.

"Rampita," sahut gadis itu masih dengan senyum manis tersungging di bibirnya.

"Nama yang cantik sekali," puji Rangga. "Tapi, kenapa kau berada di tempat sepi seperti ini...?"

"Seperti yang kukatakan tadi, aku tahu tempat mereka yang kau cari tadi," sahut Rampita kalem.

"Kau tahu apa yang kucari...?" Rangga jadi berkerut keningnya.

"Kau mencari mereka, bukan...?"

Rampita menunjuk ke arah samping kanan Pendekar Rajawali Sakti itu. Seketika kedua bola mata Rangga jadi terbeliak lebar, begitu berpaling ke arah kanan. Sekitar tiga tombak di sebelah kanannya, tahu-tahu sepuluh orang gadis cantik berbaju merah menyala sudah berdiri di situ. Gadis-gadis itulah yang dilihatnya dari angkasa, ketika menggempur Padepokan Bukit Rangkas belum lama tadi.

Rangga benar-benar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sungguh dia tidak tahu kapan datangnya sepuluh gadis itu. Sama sekali tak terdengar suara, yang menandakan kedatangan gadis-gadis berbaju merah itu. Bahkan kemunculan gadis yang mengaku bernama Rampita pun, sama sekali tidak diketahuinya. Rangga cepat menyadari kalau sekarang ini sedang berhadapan dengan gadis-gadis cantik yang memiliki kemampuan tingkat tinggi. Sehingga, kehadiran mereka saja tidak menimbulkan suara sedikit pun juga, dan sama sekali tidak diketahuinya.

"Eh...?!"

Lagi-lagi Rangga terkejut begitu kembali berpaling pada Rampita. Gadis itu kini kelihatan lain sekali. Bukan hanya wajahnya yang bercahaya. Bahkan juga seluruh tubuhnya terselimut cahaya yang memendar terang, membuat wajahnya kelihatan begitu cantik. Seakan-akan, Rangga sedang berhadapan dengan dewi yang baru turun dari Kahyangan. Bahkan pakaian yang dikenakan gadis itu juga langsung berubah, begitu gemerlapan bagai bertaburkan intan berlian. Rangga merasakan kalau tidak lagi berhadapan dengan Rampita. Dan dia tidak tahu, siapa wanita yang begitu cantik bagai Dewi Kahyangan yang berada di depannya itu.

Perlahan Rampita yang kini sudah berubah ujudnya itu melangkah menghampiri Rangga yang masih berdiri terpaku, seperti tidak percaya kalau hal ini benar-benar terjadi. Pendekar Rajawali Sakti masih tetap memandangi, meskipun Rampita sudah berada sekitar lima langkah lagi di depannya.

Aroma yang sangat harum, begitu terasa menyengat hidung Pendekar Rajawali Sakti. Dan saat itu juga, terasakan kalau aroma harum itu bukanlah wewangian biasa. Rangga sudah pernah menghadapi hal seperti ini. Dan....

"Hmmm...! Hap!"

Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti memindahkan pusat pemapasannya melalui perut. Cepat disadari kalau bau harum yang merasuk penciumannya mengandung sesuatu yang begitu kuat dan bisa cepat menghilangkan kesadarannya. Tapi hal itu bisa ditahannya setelah memindahkan pusat pemapasannya ke perut, dan menutup pusat peredaran darahnya lewat pengerahan hawa mumi. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah mundur dua tindak.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Rangga agak dingin nada suaranya.

"Bersujudlah, Cah Bagus. Kau pasti sudah tahu, dengan siapa kau berhadapan," sahut Rampita. Suaranya kini terdengar lain sekali.

Suara Rampita kali ini begitu lembut, sehingga membuat siapa saja yang mendengar bisa langsung hilang kesadarannya. Dan itu bisa dirasakan Rangga pada aliran darahnya yang sudah terjaga hawa murni yang cepat dikeluarkannya tadi. Pendekar Rajawali Sakti juga merasakan adanya sesuatu yang begitu lain. Bukan hanya udara di atas tebing batu ini saja yang lain, tapi juga suasana dan segala yang ada. Seolah-olah, Rangga bukan lagi berada di dalam dunia nyata. Untung Rangga tetap bertahan agar tidak kehilangan kesadarannya.

Kening Pendekar Rajawali Sakti kembali berkerut, saat melihat sepuluh orang gadis yang dikejarnya dari Puncak Bukit Rangkas juga sudah berubah pakaiannya. Mereka kini mengenakan pakaian seperti para putri raja atau bangsawan. Cahaya yang menyelimuti tubuh mereka, membuat mereka tampak begitu cantik dan menggairahkan sekali.

"Hmmm.... Apakah mereka ini yang diceritakan Karina...?" gumam Rangga berbicara sendiri dalam hati. "Kalau memang begitu, berarti aku berhadapan dengan Ratu Pantai Selatan dan pengawal-pengawalnya. Hmmm..., aku harus hati-hati. Mereka bukan manusia, tapi siluman yang seharusnya hidup di dasar samudera."

Sementara, Rangga melangkah mundur beberapa tindak. Matanya sempat melirik pada sepuluh orang gadis yang masih tetap diam di tempatnya. Setelah menyadari dengan siapa sekarang berhadapan, Rangga tidak mau berbuat gegabah yang bisa mencelakakan diri sendiri. Sudah sering didengarnya tentang ratu penguasa samudera ini. Dan dia sudah tahu, wanita cantik yang gemar pemuda-pemuda tampan ini tidak bisa dikalahkan oleh siapa pun juga! Dan memang, sampai saat ini belum ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya.

Rangga sendiri tidak yakin kalau bisa menandingi kesaktian yang dimiliki Ratu Pantai Selatan. Karena, wanita itu memang siluman yang memiliki kesaktian begitu tinggi. Sehingga, sulit diukur tingkatannya. Tapi bukan itu yang menjadi pikiran Pendekar Rajawali Sakti ini. Dari cerita-cerita yang didengarnya, belum ada seorang pun yang bisa lolos bila sudah berhadapan dengan Ratu Pantai Selatan. Bahkan tidak ada seorang pun yang bisa kembali dalam keadaan hidup.

"Hmmm.... Kalaupun aku harus mati, aku tidak boleh mati menjadi budaknya," desis Rangga bertekad dalam hati.

"Kenapa kau mengejar para pengawalku, Rangga?" tanya Ratu Pantai Selatan agak dingin nada suaranya.

"Seharusnya kau sudah tahu jawabannya, Nisanak," sahut Rangga tegas.

"Aku tahu, siapa kau sebenarnya, Rangga. Dan aku tahu betul mengenai kehidupanmu. Tapi, itu bukan berarti kau bisa seenaknya saja ingin mencampuri urusanku," tegas Ratu Pantai Selatan, semakin dingin nada suaranya.

"Aku tidak akan mencampuri urusanmu, kalau saja kau tidak menyakiti bangsaku!"

"Aku tidak pernah menyakiti seorang manusia pun. Aku justru banyak menolong mereka keluar dari kesulitan. Dan keberadaanku di sini pun karena menolong seseorang dengan satu perjanjian yang sangat adil. Aku bersedia menolong segala kesulitannya, dan dia juga bersedia memenuhi kebutuhanku. Cukup adil, bukan...?"

"Memang adil, tapi aku akan menghentikan perjanjian itu!" dengus Rangga tegas.

"Perjanjian itu akan berhenti kalau dia sudah tidak sanggup lagi menyediakan kebutuhanku. Jadi, tidak ada gunanya kau bersusah payah menghentikannya. Rangga. Tidak ada seorang pun yang bisa menghentikan perjanjianku dengan manusia," tegas Ratu Pantai Selatan memperingatkan.

"Aku yang akan menghentikannya!" tegas Rangga.

"Kau terlalu congkak, Rangga," desis Ratu Pantai Selatan dingin. "Walaupun kau sering disebut-sebut sebagai manusia setengah dewa, tapi kau belum cukup untuk menghentikanku. Sebelum telanjur, sebaiknya kembali saja ke Kulon. Dan, jangan mencampuri urusanku lagi. Kau akan menyesal. Rangga. Bahkan rohmu pun akan menyesal."

Rangga hanya tersenyum saja. Begitu tipis sekati senyumnya, sehingga hampir tak terlihat. Cepat disadari kalau keadaannya sudah semakin memanas. Bahkan bukannya tidak mungkin, bisa terjadi adu kesaktian. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi, walaupun sudah tahu dengan siapa berhadapan sekarang ini.

"Hmmm.... Kau begitu tampan, Rangga. Sayang kalau ketampananmu disia-siakan begitu saja," ujar Ratu Pantai Selatan lembut menggoda.

"Kau juga cantik. Tapi maaf, sama sekali aku tidak tertarik oleh kecantikanmu," balas Rangga sambil mengulas senyum.

"Keparat...! Kau sudah berani menghinaku, Bocah!" geram Ratu Pantai Selatan.

Balasan kata-kata Rangga memang membuat Ratu Pantai Selatan jadi berang setengah mati. Wajahnya seketika itu juga memerah. Tapi sebenarnya bukan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti yang membuatnya berang. Pesona yang biasanya tidak pernah gagal dalam menguasai laki-laki, kini tidak berarti sama sekali di hadapan Pendekar Rajawali Sakti itu. Inilah yang membuatnya geram. Padahal, semula dia mengira kalau kekuatan daya pesonanya sudah mempengaruhi kesadaran pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Tapi kenyataannya, justru malah membuatnya begitu berang!

"Anak-anak, ringkus dia! Bawa ke tempatku...!" perintah Ratu Pantai Selatan lantang.

Belum lagi suara ratu penguasa samudera itu menghilang dari pendengaran, sepuluh gadis cantik sudah berlompatan mengurung Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mereka kini sudah kembali berubah seperti pertama kali Rangga melihatnya. Mereka langsung berubah begitu berlompatan mengurung Pendekar Rajawali Sakti.

"Yeaaah...!"

Salah seorang dari gadis yang kini kembali mengenakan baju warna merah menyala, langsung saja memberi satu serangan menggeledek dengan melepaskan beberapa pukulan keras dan beruntun. Rangga sempat terhenyak beberapa saat, tapi cepat-cepat melenting untuk menghindarinya.

"Hap!"
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"

Gadis-gadis lainnya langsung berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Terpaksa pemuda berbaju rompi putih itu berjumpalitan, dan meliuk-liukkan tubuhnya dalam penggunaan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'

Tapi jurus yang biasanya begitu ampuh dan sukar sekali dihadapi, kini seperti tidak mempunyai arti sama sekali. Bahkan Rangga jadi kelabakan. Cepat-cepat jurusnya dirubah sebelum mengalami sesuatu yang bisa merugikannya. Rangga langsung mengerahkan jurus-jurus dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Saku' lima jurus yang pertama kali diperolehnya, dan merupakan jurus jurus dahsyat luar biasa. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti bertarung tidak tanggung-tanggung lagi. Langsung dikeluarkannya jurus-jurus itu dalam tingkatan yang terakhir. Sehingga, membuat pertarungan di atas tebing batu Lereng Bukit Rangkas ini begitu dahsyat!

LIMA

"Mereka benar-benar tangguh. Hhh! Akan kucoba dengan aji 'Baju Bajra'," dengus Rangga dalam hati.

Pendekar Rajawali Sakti cepat-cepat merapatkan kedua tangannya di depan dada. Lalu, napasnya segera ditahan. Dan sambil menghembuskan napas keras-keras. Rangga menghentakkan kedua tangannya, hingga merentang lebar ke belakang. Maka... "Aji 'Bayu Bajra'! Yeaaah...!"

Wesss...!

Seketika itu juga berhembus angin yang begitu keras sekali, melebihi badai topan yang amat dahsyat. Batu-batu di sekitar tebing itu seketika berhamburan ke udara. Bahkan pepohonan juga terbongkar ke akar-akarnya. Alam di sekitar tebing batu Lereng Bukit Rangkas ini benar-benar diamuk badai topan yang begitu dahsyat!

"Ha ha ha...!"

"Hmmm...."

Kening Rangga jadi berkerut melihat Ratu Pantai Selatan masih tetap berdiri tegak, dan malah tertawa terbahak-bahak. Bahkan sepuluh orang gadis pengawalnya juga tetap berdiri tegak, tak terpengaruh sedikit pun oleh aji "Bayu Bajra' yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti.

Mereka terus tertawa terbahak-bahak. Bahkan begitu keras sekali, seakan-akan hendak mengalahkan deru angin dari badai topan yang diciptakan Pendekar Rajawali Sakti. Hal itu malah membuat alam di sekitar tebing batu itu semakin hancur. Bebatuan di tebing itu kini tergetar hebat bagai hendak runtuh.

"Hap!"

Rangga tiba-tiba saja merapatkan kedua tangannya di depan dada. Maka seketika itu juga badai yang diciptakannya terhenti. Bersamaan dengan itu, suara tawa dari Ratu Pantai Selatan dan sepuluh gadis pengawalnya juga berhenti. Alam di sekitar tebing itu kembali tenang. Namun, keadaannya sudah demikian hancur!

"Ada lagi kesaktian yang kau miliki, Rangga...?" terasa begitu sinis sekali nada suara Ratu Pantai Selatan.

"Hmmm...," Rangga hanya menggumam pelan saja.

Pendekar Rajawali Sakti memandangi wanita cantik penguasa samudera itu. Memang, tidak mudah untuk mengalahkan Ratu Pantai Selatan. Dan selama ratusan tahun, tak ada seorang pun yang bisa menandingi kesaktiannya. Tapi, itu bukan berarti Rangga akan menyerah begitu saja. Perlahan-lahan tangan kanannya diangkat, dan dipegangnya gagang Pedang Pusaka Rajawali Sakti yang berada di punggung.

Tatapan matanya masih tetap tajam, menusuk langsung ke bola mata wanita cantik penguasa samudera yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.

Srettt! Cring!

Cahaya biru berkilau tiba-tiba saja menyemburat terang, begitu Rangga mencabut Pedang Pusaka Rajawali Sakti dari warangka di punggung. Perlahan-lahan pedang pusakanya disilangkan di depan dada. Sementara itu, Ratu Pantai Selatan tampak agak terkejut melihat pamor pedang yang tergenggam di tangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Wadyabala...!" seru Ratu Pantai Selatan keras menggelegar.

Sepuluh orang gadis cantik pengawal wanita penguasa samudera itu seketika berlompatan mengurung Pendekar Rajawali Saka. Tangan mereka terangkat ke atas, dan tiba-tiba saja mengeluarkan cahaya. Lalu begitu cahaya itu lenyap, di tangan mereka sudah tergenggam pedang yang memancarkan sinar merah membara bagai pedang api.

"Hmmm...," Rangga menggumam pelan. Rangga agak terkejut juga, melihat pedang sepuluh gadis cantik itu muncul secara begitu aneh. Belum pernah Pendekar Rajawali Sakti melihat senjata yang memiliki pamor begitu dahsyat, dan muncul tanpa di ketahui dari mana asalnya. Dan belum lagi rasa keterkejutan Pendekar Rajawali Saka itu lenyap, mendadak saja dua orang gadis yang mengenakan baju warna merah menyala Itu melompat cepat sambil mengebutkan pedang bagai kilat.

"Hiyaaat...!"

"Hup! Yeaaah...!"

Bergegas Rangga melenting, menghindari tebasan pedang yang mengarah ke kaki. Dan bersamaan dengan itu, pedangnya dibabarkan untuk menangkis pedang lain yang memancarkan cahaya merah bagai api.

Trang!

Tak pelak lagi, dua senjata berpamor dahsyat beradu tidak jauh di depan dada Pendekar Rajawali Sakti. Ledakan keras menggelegar terdengar begitu dahsyat, dari dua pedang yang beradu tadi. Rangga cepat-cepat melenting ke belakang, dan berputaran beberapa kali. Bibirnya agak meringis merasakan getaran pada tangan, ketika pedangnya tadi beradu dengan pedang salah seorang gadis itu.

"Hiyaaat...!"

Pada saat itu, satu orang gadis lain sudah melompat cepat melakukan serangan. Pedangnya berkelebat begitu cepat, mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakti. Namun hanya dengan sedikit saja mengegoskan kepala, ujung pedang itu lewat sedikit di samping kepala Pendekar Rajawali Sakti.

"Uts! Gilaaa...!" dengus Rangga terkejut. Betapa Pendekar Rajawali Sakti tidak terkejut..?

Pedang bercahaya merah bagai api itu mengeluarkan hawa yang begitu panas, seakan-akan ingin membakar seluruh kepalanya. Cepat-cepat Rangga menarik kakinya ke samping kanan dua langkah. Dan secepat itu pula pedangnya dikebutkan agak menyilang, tepat di saat satu orang gadis lainnya juga membabatkan pedang ke arah dada.

Trang!

Lagi-lagi dua pedang yang sama-sama memiliki pamor dahsyat beradu keras, menimbulkan ledakan yang begitu dahsyat bagai guntur di angkasa. Kembali Rangga terpaksa harus melompat mundur beberapa langkah, dan kembali harus meliukkan tubuhnya. Pendekar Rajawali Sakti memang bisa menghindari serangan yang cepat sekali datangnya, mengincar tubuhnya.

Rangga benar-benar terkejut menghadapi serangan-serangan dari sepuluh orang gadis cantik yang begitu cepat dan dahsyat itu. Mereka menyerang secara bergantian dan beruntun, bagai tidak memberikan kesempatan sedikit pun pada Pendekar Rajawali Sakti untuk balas menyerang. Namun mereka juga tidak menyangka kalau pemuda berbaju rompi putih ini mampu menandingi serangan-serangan yang begitu cepat dan dahsyat. Bahkan Rangga masih sekali-sekali mampu memberi serangan-serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

Dan itu membuat Ratu Pantai Selatan yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan, jadi berkerut juga keningnya. Bahkan ada terselip perasaan khawatir dalam hatinya melihat ketangguhan Rangga yang tidak diduga sama sekali. Terlebih lagi, pertarungan sudah berjalan beberapa jurus, tapi belum juga ada tanda-tanda kalau sepuluh gadis pengawalnya bisa mendesak Pendekar Rajawali Sakti.

Jurus demi jurus berlalu cepat. Dan Rangga bukan saja mengeluarkan jurus-jurus yang didapat dari Pendekar Rajawali, tapi juga mengeluarkan jurus-jurus yang didapatkan dari Satria Naga Emas. Jurus-jurus tingkat tinggi yang teramat dahsyat, dan selama ini belum ada tandingannya. Hal itu membuat sepuluh orang gadis pengawal Ratu Pantai Selatan kelihatan semakin sulit untuk mendesaknya. Apalagi untuk mengalahkannya. Bahkan beberapa kali Rangga malah membuat mereka kelabakan menghindari serangan-serangannya yang begitu dahsyat sekali.

"Mundur kalian semua...!" teriak Ratu Pantai Selatan tiba-tiba.

Belum lagi teriakan yang lantang menggelegar itu hilang dari pendengaran, sepuluh orang gadis cantik berbaju serba merah itu sudah melompat keluar dari pertarungan. Pada saat yang bersamaan, Ratu Pantai Selatan melompat cepat menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Tahu-tahu, dia sudah berdiri sekitar lima langkah lagi di depan pemuda tampan berbaju rompi putih itu.

"Aku akui, kau memang hebat, Rangga," puji Ratu Pantai Selatan tulus. 'Tapi sekarang saatnya kau harus menghadapiku...!"

"Hmmm...!" Rangga hanya menggumam pelan saja.

Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali menyilangkan pedang di depan dada. Sikapnya sama sekali tidak memandang rendah pada wanita cantik penguasa samudera ini Bahkan wanita itu malah dianggapnya sebagai lawan yang paling berat, sejak Pendekar Rajawali Sakti keluar dari Lembah Bangkai, dan melanglang buana menjelajahi ganasnya rimba persilatan. Rangga semakin meningkatkan kewaspadaannya menghadapi wanita yang dikenal sebagai Ratu Pantai Selatan ini

"Haaap...!"

Perlahan-lahan kedua tangan Ratu Pantai Selatan terangkat ke atas. Dan tiba-tiba saja, dari kedua telapak tangannya memancarkan cahaya yang berkilau terang menyilaukan mata. Rangga sampai menutupi wajahnya dengan punggung tangan kiri, menghalangi cahaya yang menyilaukan mata itu.

"Hmmm...."

Lagi-lagi Rangga menggumam perlahan ketika tiba-tiba cahaya yang memancar pada kedua telapak tangan Ratu Pantai Selatan lenyap. Dan tahu-tahu, di tangan wanita cantik penguasa samudera itu sudah tergenggam sebatang tongkat berukuran cukup besar. Ujung tongkat itu berbentuk seekor ular kobra yang lehernya berkembang mengerikan. Kedua mata ular kobra itu memancarkan sinar merah membara, seperti sepasang bola api yang siap membakar apa saja yang ada di depannya.

"Hadapilah aku, Pendekar Rajawali Sakti...!" desis Ratu Pantai Selatan dingin menggeletar.

"Memang sudah lama aku ingin bertarung denganmu," sahut Rangga tidak kalah dinginnya.

"Hmmm, bersiaplah kau!"

Bettt!

Wanita cantik penguasa samudera di seluruh Mayapada ini langsung mengebutkan tongkatnya ke depan. Seketika itu juga, dari bola mata tongkat ular kobra Ratu Pantai Selatan memancar cahaya merah seperti api yang langsung meluruk deras ke arah Rangga.

"Hup!"

Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melentingkan tubuhnya ke udara, sambil melakukan beberapa putaran. Sinar merah itu menghantam tanah, tempat tadi Rangga berdiri. Ledakan keras menggelegar terdengar begitu dahsyat sekati, membuat tanah berbatu itu terbongkar. Sehingga melontarkan bebatuan tinggi-tinggi ke udara. Sementara itu, Rangga kembali menjejakkan kakinya dengan gerakan ringan dan manis sekali.

"Hap!"

Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti meletakkan mata pedangnya di telapak tangan kiri, lalu menggosoknya perlahan-lahan, hingga ke ujung Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Kembali pedang itu digosoknya sampai ke pangkal tangkai. Dan kini cahaya biru yang memancar pada pedang itu menggumpal di ujungnya.

"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"

Cepat sekali Rangga menghentakkan ujung pedangnya ke depan, sambil menarik ke samping kedua kakinya sampai merentang lebar. Gumpalan sinar biru sebesar kepala, meluncur deras dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti.

"Hiyaaa...!"

Ratu Pantai Selatan cepat-cepat menyilangkan tongkatnya yang berbentuk ular kobra itu ke depan dada. Dan tak pelak lagi, cahaya biru yang menggumpal itu menghantam keras bagian tengah tongkat berbentuk ular kobra itu.

Glarrr...!

Kembali terdengar ledakan yang begitu keras menggelegar dahsyat. Tampak Ratu Pantai Selatan terdorong dua langkah ke belakang. Sedangkan Rangga kembali menghentakkan pedangnya ke depan sambil berteriak keras menggelegar, bagai hendak meruntuhkan tebing batu ini

Rrrt!

Cahaya biru yang berkilau menyilaukan mata, kembali meluncur deras dari ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti. Dan pada saat yang bersamaan, Ratu Pantai Selatan juga menghentakkan tongkatnya ke depan. Maka dari bola mata tongkat ular kobra itu, meluncur cahaya merah bagai api.

Glarrr...!

"Akh...!"

Tepat ketika dua sinar merah dan biru berbenturan di udara, tampak Rangga terpental ke belakang sambil memekik keras agak tertahan. Sedangkan Ratu Pantai Selatan hanya terdorong saja beberapa langkah ke belakang.

Rangga bergelimpangan beberapa kali, dan baru berhenti setelah punggungnya menghantam sebongkah batu yang begitu besar. Batu itu sampai retak terkena benturan punggung Rangga yang begitu keras. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menggeleng-gelengkan kepala, lalu berusaha bangkit berdiri. Tubuhnya terhuyung-huyung, dan dari mulutnya mengeluarkan darah kental agak kehitaman.

"Hiyaaat...!"

Pada saat itu, Ratu Pantai Selatan sudah melompat cepat bagai kilat sambil mengayunkan tongkatnya ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti. Serangannya begitu cepat, membuat Rangga yang belum bisa menguasai keadaan diri hanya bisa terperangah saja. Tidak ada lagi kesempatan bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk bisa menghindari serangan wanita cantik penguasa samudera ini.

"Dewata Yang Agung..," desah Rangga perlahan.

"Khraaagkh...!"

Tepat ketika tongkat berkepala ular kobra itu hampir menghantam kepala Rangga, tiba-tiba saja dari angkasa meluncur seekor burung raksasa putih keperakan. Burung itu kuat sekali mengepakkan sayapnya ke arah Ratu Pantai Selatan.

"Heh! Uts...!"

Wanita cantik penguasa samudera itu jadi terkejut setengah mati. Buru-buru tubuhnya melenting ke belakang menghindari kibasan sayap rajawali raksasa berbulu putih. Sehingga, membuat serangannya pada Rangga jadi gagal. Dan sebelum Ratu Pantai Selatan bisa menyadari apa yang terjadi, Rajawali Putih sudah menyambar Rangga dengan cakarnya yang kuat dan kokoh. Secepat kilat, burung raksasa itu melesat tinggi ke udara membawa pemuda berbaju rompi putih yang dikenal berjuluk Pendekar Rajawali Sakti.

"Apa itu...?" desis Ratu Pantai Selatan sambil memandang ke atas.

Masih terlihat sedikit bentuk burung rajawali raksasa itu, sebelum menghilang di balik awan. Ratu Pantai Selatan terus berdiri tegak memandang ke awan, tempat burung rajawali raksasa berbulu putih menghilang membawa Rangga dengan cakarnya yang begitu besar dan kokoh.

"Kalian lihat, apa itu tadi...?" tanya Ratu Pantai Selatan pada sepuluh orang gadis cantik berpakaian merah pengawalnya.

Sepuluh gadis cantik berbaju merah itu hanya menggelengkan kepala saja. Mereka juga terkejut dengan kejadian yang begitu cepat dan tidak terduga sama sekali, sehingga tidak sempat lagi melihat kalau yang baru saja muncul dan menyelamatkan Rangga adalah seekor rajawali raksasa. Memang kejadiannya begitu cepat, sehingga sulit dilihat jelas. Terlebih lagi, gerakan Rajawali Putih dalam menyerang Ratu Pantai Selatan dan menyelamatkan Rangga.

"Hmmm..., itu tadi seperti burung rajawali. Tapi apa mungkin...?" gumam Ratu Pantai Selatan berbicara sendiri.

Sebentar wanita cantik penguasa samudera itu masih memandang ke atas, lalu perlahan matanya terpejam. Dan tiba-tiba saja, seluruh tubuhnya terselimut cahaya terang menyilaukan mata. Lalu begitu cahaya itu lenyap, wujudnya sudah berganti kembali menjadi Rampita. Sedangkan sepuluh orang gadis pengawal Ratu Pantai Selatan juga sudah tidak lagi menyandang senjata. Mereka kini sudah berdiri di belakang wanita berbaju biru yang sekarang bukan lagi Ratu Pantai Selatan, melainkan sudah berganti menjadi Rampita lagi.

"Ayo kita pergi dari sini," ajak Rampita.

"Baik, Nini," sahut sepuluh gadis berbaju merah itu bersamaan.

Tanpa ada yang bicara lagi, gadis-gadis cantik itu segera meninggalkan tebing batu Lereng Bukit Rangkas itu. Mereka bergerak cepat menuju ke arah Selatan dengan gerakan begitu ringan. Sehingga, kaki-kaki mereka seperti tidak menyentuh tanah sama sekali. Dan sebentar saja, mereka sudah jauh meninggalkan tebing batu itu, lalu menghilang ke dalam hutan di Lereng Bukit Rangkas ini.

********************

ENAM

"Ohhh...."

Rangga merintih lirih dan mencoba menggeliat bangkit Tapi sebuah tangan halus telah menahan dadanya. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti membuka kelopak matanya. Hatinya terkejut melihat seorang gadis cantik berbaju hitam, duduk di samping tubuhnya yang terbaring di atas rerumputan kering. Sebentar Rangga mengedarkan pandangannya berkeliling. Langsung cepat disadari kalau saat ini dia berada dalam sebuah gua yang sangat besar.

Pendekar Rajawali Sakti kembali mengarahkan pandangannya pada gadis berwajah cantik yang mengenakan baju berwarna hitam ketat. Perlahan tubuhnya bergeser dan bergerak bangkit, lalu duduk bersandar pada dinding gua ini. Sedangkan gadis berbaju hitam itu tidak lagi mencegah. Dia tetap duduk di tempatnya sambil memandangi Rangga yang kini sudah duduk bersandar di dinding gua batu ini

"Berapa lama aku tidak sadarkan diri, Intan?" tanya Rangga yang memang sudah mengenal gadis berbaju hitam itu, sehingga tidak lagi terkejut saat melihatnya pertama kali tadi.

"Cukup lama juga," sahut Intan Kemuning.

Gadis cantik yang mengenakan baju serba hitam ketat itu memang Intan Kemuning, putri tunggal Patih Giling Wesi di Kerajaan Galung. Tapi, gadis ini sudah begitu dikenal di kalangan persilatan dengan julukan Putri Rajawali Hitam. Dan dia juga memiliki tunggangan seekor burung rajawali raksasa yang berbulu hitam pekat berkilat. Antara kedua pendekar muda yang sama-sama bergelar Rajawali itu memang sudah saling mengenal, dan sama-sama mempunyai seekor burung rajawali raksasa.

Dan di dunia ini, memang hanya ada dua burung rajawali raksasa. Mereka selalu dijuluki Sepasang Rajawali, jika muncul secara bersamaan. Namun, jarang sekali mereka terlihat muncul bersama-sama. Dan kalaupun terjadi, itu hanya secara kebetulan saja.

"Di mana ini, Intan?" tanya Rangga lagi.

"Masih di Kaki Bukit Rangkas, tidak jauh dari tempatmu bertarung," sahut Intan Kemuning.

"Kau tahu aku bertarung...?!" Rangga jadi terkejut

Intan Kemuning yang lebih dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam hanya tersenyum saja. Diambilnya sebatang ranting kering, dan dilemparkannya ke atas onggokan api unggun. Sehingga, keadaan di dalam gua ini semakin bertambah hangat. Suara gemeretak terdengar dari api yang melahap ranting-ranting kering. Sementara, Rangga memandangi gadis berbaju serba hitam itu.

"Kebetulan saja aku lewat di atas Bukit Rangkas, dan melihat kau terlempar. Tapi belum sempat membantu, Rajawali Putih sudah lebih dahulu menyambar dan membawamu terbang. Aku langsung saja mengikuti, dan mengajak Rajawali Putih ke gua ini," jelas Intan Kemuning dengan singkat. "Siapa lawanmu itu, Kakang? Kelihatan aneh sekali?"

"Titisan Ratu Pantai Selatan," sahut Rangga.

"Titisan Ratu Pantai Selatan...? Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang."

"Dia sebenarnya seorang gadis yang bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan. Aku tidak tahu, apa maksudnya. Tapi sudah banyak korban yang jatuh. Bahkan Padepokan Bukit Rangkas baru saja digempur. Hhh..., memang sulit jika berhadapan dengan penguasa samudera itu. Dia seperti dewa saja. Rasanya terlalu sukar untuk bisa menandingi kesaktiannya," dengan suara pelan, Rangga mencoba menjelaskan. "Tapi yang paling sulit, di dalam diri gadis itu sudah menitis Ratu Pantai Selatan. Ini yang terlalu sukar ditandinginya. Kau bisa melihat sendiri, aku hampir mati kalau Rajawali Putih tidak cepat menyelamatkanku."

Rangga jadi teringat dengan pengalamannya, ketika dia juga harus berhadapan dengan wanita penguasa samudera itu.

"Hanya ada satu cara untuk menghentikannya, Kakang," kata Intan Kemuning.

"Bagaimana?" tanya Rangga ingin tahu.

"Pisahkan Ratu Pantai Selatan dari gadis itu," sahut Intan Kemuning.

"Tidak mudah memisahkannya, Intan."

"Memang! Karena seperti katamu tadi, mereka sudah menyatu dalam satu raga."

"Lalu, bagaimana cara memisahkannya?" tanya Rangga lagi.

"Mereka tidak bisa dilawan oleh hanya satu orang saja."

"Maksudmu?"

"Harus dilawan sedikitnya dua orang, Kakang. Satu menyerang Ratu Pantai Selatan, satu lagi memusatkan diri menyerang gadis titisannya. Dia memang tidak akan terlihat Tapi kalau sudah terpisah, kita akan bisa melihatnya. Dan kalau mereka sudah terpisah, satu orang harus bisa membunuh gadis titisan itu. Paling tidak, melumpuhkannya. Dengan begitu, Ratu Pantai Selatan tidak akan bisa menitis lagi. Dan dia akan kembali ke istananya di dasar samudera. Kita tak mungkin bisa mengalahkannya, Kakang. Tapi kita bisa menghentikannya dengan membunuh sekutunya itu," kembali Intan Kemuning menjelaskan dengan panjang lebar.

"Hmmm.... Satu pekerjaan yang hampir mustahil dilakukan...," gumam Rangga seperti bicara pada diri sendiri.

"Memang, Kakang. Tapi kalau tidak, dunia ini akan hancur. Semakin banyak dia mendapatkan korban, semakin kuat saja di alam nyata ini," sahut Intan Kemuning.

"Kau sepertinya tahu banyak tentang Ratu Pantai Selatan, Intan," ujar Rangga.

"Sebelum ayahku menjadi patih dia pernah menduduki jabatan sebagai panglima perang di lautan. Aku sering mendengar cerita-ceritanya tentang Ratu Pantai Selatan. Jadi, sedikitnya aku bisa mengerti, Kakang," sahut Intan Kemuning menjelaskan.

"Tapi pengetahuanmu yang sedikit itu sangat berguna untuk menghadapinya, Intan"

"Kau juga harus memulihkan kesehatanmu dulu, Kakang. Kau terluka dalam cukup parah. Aku tadi telah memberimu sedikit hawa murni," kata Intan Kemuning tidak ingin terlalu banyak menerima pujian Pendekar Rajawali Sakti.

"Itu juga sudah cukup banyak membantu, Aku tinggal bersemadi sebentar, dan keadaanku sudah bisa pulih kembali," sahut Rangga.

"Bersemadilah. Aku akan mencari makanan di luar. Barangkali saja setelah kau menyelesaikan semadi, aku sudah siap menyediakan makanan untukmu."

"Terima kasih, Intan."

Intin Kemuning hanya tersenyum saja, kemudian bangkit berdiri. Tapi belum juga beranjak pergi meninggalkan gua itu, Rangga sudah memanggilnya. Intan Kemuning berbalik memandang Pendekar Rajawali Sakti yang masih tetap duduk bersila dengan punggung tersandar pada dinding gua ini.

"Ada apa?" tanya Intan Kemuning.

"Kalau kau bersedia, tolong beri tahu keadaanku pada Pandan Wangi. Dia ada di Padepokan Bukit Rangkas," kata Rangga meminta.

"Akan kuberi tahu dia," sahut Intan Kemuning. "Apa kau ingin agar dia ada di sini selama kau bersemadi?"

"Tidak perlu. Dia harus menjaga keselamatan Padepokan Bukit Rangkas. Katakan saja, jangan tinggalkan padepokan sampai aku datang ke sana," pesan Rangga lagi.

Intan Kemuning hanya mengangguk saja, kemudian bergegas melangkah keluar gua ini. Sementara Rangga sudah bersiap melakukan semadi untuk memulihkan kesehatan rubuhnya yang mendapat luka dalam, akibat pertarungannya melawan Titisan Ratu Pantai Selatan.

********************

Sementara itu. Intan Kemuning sudah mengangkasa bersama Rajawali Hitam menuju Puncak Bukit Rangkas. Kelopak mata gadis berbaju hitam yang berjuluk Putri Rajawali Hitam itu jadi menyipit, begitu melihat kepulan asap hitam membumbung tinggi ke angkasa dari Puncak Bukit Rangkas.

"Lebih cepat lagi, Rajawali Hitam...!" perintah Intan Kemuning.

"Khraaagkh...!"

Burung rajawali raksasa berbulu hitam itu meluncur cepat menuju Puncak Bukit Rangkas. Begitu cepat burung raksasa itu meluncur di angkasa, sehingga dalam waktu sekejapan mata saja sudah sampai di atas Puncak Bukit Rangkas Intan Kemuning yang wajahnya kiri sudah tertutup cadar tipis berwarna hitam langsung melompat turun, sebelum Rajawali Hitam menyentuhkan kakinya di tanah.

"Oh.... Apa yang terjadi di sini...?!" desah Intan Kemuning seperti tidak percaya dengan apa yang disaksikannya.

Putri Rajawali Hitam itu jadi terkejut setengah mati, melihat keadaan bangunan Padepokan Bukit Rangkas yang sudah hancur porak poranda. Asap tebal menghitam menggumpal, membumbung tinggi ke angkasa dari kobaran api yang cukup besar, menghancurkan bangunan padepokan di Puncak Bukit Rangkas ini.

Benar-benar sukar bisa dipercaya. Padepokan yang cukup besar ini, bisa hancur tak tersisa lagi Seluruh bangunannya tinggal puing-puing saja, karena hangus terbakar. Sementara, mayat-mayat tampak bergelimpangan saling tumpang tindih, hampir memeriuhi sekitar puing-puing reruntuhan Padepokan Bukit Rangkas ini.

Perlahan-lahan Putri Rajawali Hitam mengayunkan langkahnya sambil merayapi keadaan sekelilingnya. Tak ada seorang pun yang kelihatan masih hidup. Udara di sekitar daerah puncak bukit ini sudah tercemar bau anyir darah yang memualkan perut. Namun, Intan Kemuning tetap meneliti setiap rnayat yang bergelimpangan saling rumpang tindih tak teratur. Dicarinya Pandan Wangi di antara mayat-mayat yang bergelimpangan.

Tapi sudah semua mayat itu diperiksa, tidak juga menemukan Pandan Wangi. Bahkan Eyang Danarpati juga tidak terlihat di antara mereka yang tewas. Intan Kemuning terus mencari, mengelilingi padepokan yang sudah hancur tinggal puing-puing hangus terbakar itu.

"Ohhh...."

"Heh...?!"

Intan Kemuning tersentak begitu tiba-tiba mendengar rintihan lirih tidak jauh darinya. Cepat wajahnya berpaling ke arah sumber rintihan yang begitu lirih terdengar tadi. Tak ada satu pun dari mayat-mayat itu yang bergerak. Pandangan Putri Rajawali Hitam itu jadi tertumbuk pada sebuah gerumbulan semak belukar yang bergerak-gerak seperti ada sesuatu di dalamnya.

"Hup...!"

Hanya sekali lompatan saja, Intan Kemuning sudah sampai di gerumbulan semak belukar itu. Kedua bola matanya jadi terbeliak begitu melihat seorang gadis yang sebaya dengannya tengah tergolek di dalam semak, sambil merintih lirih menggerak-gerakkan kepalanya. Hampir di seluruh tubuhnya terdapat luka-luka menganga yang masih mengucurkan darah. Intan Kemuning bergegas mengeluarkan gadis itu dari dalam semak, dan membaringkannya di tempat yang cukup nyaman.

"Apa yang terjadi di sini, Nisanak?" tanya Intan Kemuning.

"Ohhh..., siapa kau?" gadis itu malah balik bertanya, dengan sinar mata yang begitu redup memandangi wajah Intan Kemuning yang tertutup cadar berwarna hitam tipis.

"Aku Putri Rajawali Hitam," sahut Intan Kemuning "Dan kau siapa?"

"Karina...," sahut gadis itu pelan sekali suaranya.

Karina meringis menahan rasa sakit yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Memang, luka-luka yang dideritanya begitu parah. Dan darah terus mengucur deras sekali dari luka-luka di seluruh tubuhnya. Warna baju yang dikenakannya sudah tak terlihat lagi, tertutup noda-noda darah.

"Apa yang terjadi di sini, Karina?" tanya Intan Kemuning lagi.

"Mereka datang lagi, dan langsung menghancurkan padepokan ini Mereka begitu tangguh. Ohhh...," Karina kembali meringis menahan sakit.

"Mereka siapa?" tanya Intan Kemuning mendesak.

"Ratu Pantai Selatan...," semakin lemah suara Karina.

"Lalu, ke mana Eyang Danarpati dan Pandan Wangi?" tanya Intan Kemuning lagi.

"Akkk..., aku tak tahu. Tadi Eyang, Danarpati terluka parah. Mungkin dia ditangkap. Sayang..., Pandang Wangi belum tiba di sini waktu Eyang Danarpati terluka parah.... mung..., mungkin! Mungkin Pandan Wangi sudah datang, tapi juga sudah tertangkap! Oh, aku tak kuat lagi. Akh...!"

"Karina..., Karina...."

Intan Kemuning mengguncang-guncangkan tubuh Karina, tapi gadis itu sudah tidak bernyawa lagi. Luka-luka yang begitu parah memang tidak mungkin lagi bisa menyelamatkan nyawanya. Sudah terlalu banyak darah yang keluar. Intan Kemuning hanya bisa menghembuskan napas panjang dan memandangi saja, tanpa dapat berbuat apa-apa lagi.

Perlahan Putri Rajawali Hitam bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya Karina yang sudah terbujur kaku tak bernyawa lagi. Kemudian pandangannya beredar berkeliling. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan Putri Rajawali Hitam itu di Puncak Bukit Rangkas ini. Perlahan kakinya melangkah pergi menghampiri Rajawali Hitam tunggangannya yang menunggui tidak jauh dari padepokan yang sudah hancur tak tersisa lagi itu.

"Kakang Rangga harus tahu secepatnya keadaan di sini," gumam Intan Kemuning dalam hati.

********************

Rangga terdiam membisu dengan kepala tertunduk menekuri tanah, setelah mendengar penuturan Intan Kemuning tentang keadaan di Padepokan Bukit Rangkas. Pendekar Rajawali Sakti masih juga terdiam, walau Intan Kemuning yang lebih dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam sudah menyelesaikan ceritanya.

Memang sukar bisa dipercaya. Dalam waktu yang tidak berselang begitu lama, Ratu Pantai Selatan dan sepuluh orang gadis pengawalnya mampu menghancurkan. Padepokan Bukit Rangkas. Padahal sebelumnya, mereka harus berhadapan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan perbedaan waktunya juga tidaklah lama.

Hanya beberapa saat saja, setelah mereka bertarung melawan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi bagi Rangga, hal itu tidak terlalu aneh. Memang, kekuatan Padepokan Bukit Rangkas sudah begitu jauh berkurang. Terlebih lagi, yang melakukan penghancuran itu adalah Ratu Pantai Selatan, penguasa seluruh dasar samudera di Mayapada ini.

Hanya satu yang menjadi beban pikiran Pendekar Rajawali Sakti sekarang ini. Dia benar-benar mencemaskan keselamatan Pandan Wangi dan Eyang Danarpati, yang sekarang mungkin berada di tangan wanita penguasa samudera itu. Dan lagi, tidak mudah bisa mengetahui tempat persembunyian mereka. Lebih-lebih kalau mereka membawanya ke istana dasar samudera. Sudah pasti tidak akan mungkin bisa ditemukan lagi dalam keadaan hidup. Hal inilah yang membuatnya jadi begitu cemas memikirkannya.

"Kakang...," lembut sekali suara Intan Kemuning.

Perlahan Rangga mengangkat kepalanya. Pandangannya langsung bertemu pada sorot mata Intan Kemuning yang berada begitu dekat di depannya. Beberapa saat mereka saling pandang saja. Namun, gadis yang berjuluk Putri Rajawali Hitam itu memalingkan mukanya. Cepat-cepat pandangannya dialihkan ke arah lain. Entah kenapa, dia masih saja sulit untuk bisa membalas pandangan mata Rangga lama-lama. Rasanya memang tidak sanggup membalas lebih lama lagi pandangan Pendekar Rajawali Sakti.

"Maaf, aku...."

"Sudahlah. Aku bisa mengerti, Kakang," cepat-cepat Intan Kemuning memutuskan ucapan Pendekar Rajawali Sakti.

"Sudah begitu lama aku selalu bersama-sama dengannya. Segala persoalan dan bahaya kulalui bersamanya. Tapi sekarang ini..., aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Lawan yang harus kuhadapi bukan manusia biasa. Tidak ada seorang pun yang sanggup menghadapinya. Kesaktiannya seperti dewa, tidak mudah menghadapinya begitu saja," Rangga jadi mengeluh memikirkan keadaan Pandan Wangi.

"Tapi kau harus ingat, Kakang. Bukan Ratu Pantai Selatan yang kita hadapi sekarang ini, melainkan hanya titisannya saja. Jadi sudah pasti dia memiliki kekurangan serta kelemahan. Kita masih bisa menghadapinya, Kakang," Intan Kemuning memberi semangat.

"Ya.... Kita memang masih bisa menghadapinya, Intan. Tapi kita harus tahu dulu, di mana tempat persembunyiannya. Sedangkan gadis yang ditirisi Ratu Pantai Selatan sama sekali tidak kukenal. Aku tidak tahu, siapa dia sebenarnya. Juga, di mana tempat tinggalnya," kata Rangga masih terdengar mengeluh nada suaranya.

"Kau tahu namanya...? Barangkali dia pemah menyebutkan namanya, atau namanya pernah kau dengar dari orang lain."

"Rampita. Hanya itu yang kutahu."

"Kalau begitu, kita bisa mencarinya di Desa Nelayan, Kakang. Hanya ada satu desa saja di sekitar Bukit Rangkas dekat Pesisir Pantai Selatan ini."

"Aku memang belum sempat menyelidikinya, Intan. Aku baru saja sampai di sini, dan langsung bentrok dengannya. Jadi, tidak ada kesempatan untuk mencari keterangan tentang gadis yang bernama Rampita itu," kata Rangga mengaku terus terang. "Hhh..., tindakannya begitu cepat. Aku benar-benar tidak menyangka kalau mereka akan datang lagi ke Padepokan Bukit Rangkas, dan langsung menghancurkannya. "

"Kau tentu tidak ingin ini terus berlarut-larut kan, Kakang...?"

Rangga menatap Putri Rajawali Hitam dalam-dalam. "Maaf...," ucap Rangga seraya bangkit berdiri.

Tanpa bicara lagi, Pendekar Rajawali Sakti menghampiri Rajawali Putih yang mendekam tidak seberapa jauh. Sedangkan Intan Kemuning menghampiri Rajawali Hitam. Entah, apa yang dikatakan kedua pendekar rajawali itu pada burung raksasa tunggangannya masing-masing. Yang jelas, mereka langsung melangkah berdampingan meninggalkan Kaki Bukit Rangkas ini Sedangkan kedua burung rajawali raksasa itu terus melambung tinggi ke angkasa tanpa menimbulkan suara apa pun juga. Hanya kepakan sayap mereka saja yang menimbulkan hembusan angin kencang seperti badai.

Sementara, Rangga dan Intan Kemuning terus mengayunkan kakinya tanpa mengerahkan ilmu meringankan tubuh sedikit pun juga. Mereka berjalan tanpa berbicara menuju Desa Nelayan yang berada di Pesisir Pantai Selatan, tidak jauh dari Kaki Bukit Rangkas ini. Mereka melalui jalan pintas, merambah hutan yang tidak begitu lebat di sekitar Kaki Bukit Rangkas ini.

"Kau seperti sudah tahu kalau di sini terjadi sesuatu, Kakang, Apa ada orang yang memberitahumu...?" tanya Intan Kemuning mengisi kekosongan yang terjadi cukup lama ini.

"Ya! Gadis yang kau temui di Padepokan Bukit Rangkas. Dialah yang memberitahuku, dan memintaku datang ke sini," sahut Rangga. "Tapi sayang, kedatanganku sudah terlambat Ratu Pantai Selatan sudah mengambil korban begitu banyak. Bahkan padepokan sahabatku dihancurkannya begitu saja. Hhh.... Aku benar-benar tidak tahu, apa sebenarnya yang dicarinya di sini."

"Biasanya orang yang bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan hanya mencari kejayaan, atau mencari kekuatan untuk membalas dendam," kata Intan Kemuning memberi tahu lagi. "Sayangnya lagi, kau tidak sempat bicara dengan Eyang Danarpati."

"Kau juga kenal Eyang Danarpati...?!" Rangga agak terkejut

Sungguh Pendekar Rajawali Sakti belum memberi tahu tentang Eyang Danarpati yang memimpin Padepokan Bukit Rangkas pada Putri Rajawali Hitam. Tapi, gadis yang selalu mengenakan baju berwarna hitam dan setiap kemunculannya selalu mengenakan cadar sudah mengetahui nama Eyang Danarpati. Dan itulah yang membuat Rangga jadi bertanya-tanya terkejut

"Ayahku dan Eyang Danarpati sahabat dekat Dan terus terang saja, kedatanganku ke sini ingin mengunjunginya. Tapi niatku terhalang saat melihatmu bertarung melawan Titisan Ratu Pantai Selatan. Aku juga jadi tidak sempat bertemu dengannya, Kakang."

"Kau ada perlu dengan Eyang Danarpati, Intan?" tanya Rangga.

"Tidak. Aku hanya ingin berkunjung saja. Tidak ada hal yang penting," sahut Intan Kemuning.

"Kedatanganmu benar-benar diharapkan sekali. Kita bisa sama-sama lagi menghadapi keangkara-murkaan," sambut Rangga diiringi senyuman lebar.

Intan Kemuning hanya tersenyum saja. Memang, sudah lama sekali mereka tidak saling berjumpa. Masing-masing disibuki oleh tugasnya sebagai pendekar kelana yang selalu berpindah-pindah tempat untuk memberantas keangkaramurkaan di atas bumi ini.

Mereka terus berjalan tanpa berbicara lagi. Sementara, keremangan sudah menyelimuti sekitar Kaki Bukit Rangkas ini. Dan saat itu hari memang sudah menjelang senja. Matahari sudah cukup jauh turun ke peraduannya. Keindahan senja hari ini sama sekali tidak bisa dinikmati. Terlebih lagi buat Rangga yang masih terus memikirkan keadaan Pandan Wangi yang sekarang berada di tangan Rampita, Titisan Ratu Pantai Selatan.

Sementara itu Desa Nelayan yang mereka tuju sudah terlihat berada di depan. Deburan ombak menghantam batu-batu karang di pantai pun sudah terdengar nyata, mengusik gendang telinga. Angin yang berhembus agak keras, menebarkan aroma laut yang begitu menyegarkan.

"Kita cari penginapan dulu di desa itu, Intan," kata Rangga sambil menunjuk sebuah desa yang berada tidak jauh lagi.

"Ya. Dari sana pula kita mencari keterangan," sahut Intan Kemuning.

"Kau tidak memakai cadarmu, Intan?" tanya Rangga yang melihat Putri Rajawali Hitam itu tidak mengenakan cadar yang menjadi cirinya.

"Untuk apa...? Hanya membuat perhatian orang saja."

Rangga mengangkat bahunya dan tersenyum mendengar jawaban gadis ini. Mereka kemudian tidak bicara lagi, dan terus melangkah mendekati Desa Nelayan yang tampak sunyi sepi. Memang, keadaan di desa itu jadi lain setelah muncul Ratu Pantai Selatan yang selalu mencari pemuda di desa itu. Entah, sudah berapa banyak pemuda yang jadi korban, lalu ditemukan tewas tidak berapa lama setelah diculik Ratu Pantai Selatan dan sepuluh orang gadis pengawalnya.

********************

TUJUH

Belum pernah Rangga melihat keadaan sebuah Desa Nelayan yang begitu indah. Bukan hanya pemandangannya, tapi juga keadaan rumah-rumahnya yang begitu bagus. Rasanya seperti bukan sebuah desa, tapi sebuah kota kadipaten. Walaupun, memang masih terlalu kecil untuk bisa dikatakan kota kadipaten. Hanya keadaannya saja yang tidak kalah dengan kota. Sayangnya, Pendekar Rajawali Sakti sama sekali tidak bisa menikmati keindahan desa ini. Perhatiannya masih terpusat pada Pandan Wangi dan Eyang Danarpati yang sampai saat ini belum tentu di mana sekarang berada.

Sudah dua hari dua malam, Rangga dan Intan Kemuning mencari keterangan di Desa Nelayan ini. Tapi, mereka belum juga mendapat keterangan apa pun yang dicarinya. Bahkan tak ada seorang pun yang mengenal Rampita. Tapi, Rangga punya perasaan lain. Dan itu segera diutarakannya pada Intan Kemuning, ketika mereka berada di pinggiran desa tidak jauh dari pantai.

"Kau merasakan ada sesuatu yang janggal di desa ini, Intan...?" ujar Rangga bernada memberikan pertanyaan.

"Ya," sahut Intan Kemuning seraya menghentikan ayunan langkahnya. Tubuhnya berbalik dan memandang Pendekar Rajawali Sakti itu.

"Apa...?" tanya Rangga ingin tahu. "Sikap penduduk yang seperti tidak mau tahu Mereka juga seperti takut jika kita bertanya tentang Rampita," sahut Intan Kemuning.

"Ya.... Itu juga yang kurasakan," desah Rangga, tidak mengira kalau Intan Kemuning juga punya pikiran yang sama dengannya.

"Aku yakin, cepat atau lambat mereka pasti akan menemui kita, Kakang. Bukannya kita yang mencari mereka, tapi justru merekalah yang mencari," kata Intan Kemuning.

"Kau yakin itu, Intan?"

"Tentu! Dari sikap penduduk, aku begitu yakin. Mereka pasti kenal orang yang bernama Rampita. Dan karena mendapat tekanan, sehingga mereka merasa takut untuk mengatakan tempat tinggalnya," sahut Intan Kemuning lagi.

"Di mana-mana, yang namanya desa pasti begitu. Hhh.?.," keluh Rangga perlahan, seperti untuk diri sendiri.

"Jangan menyalahkan mereka, Kakang. Mereka memang hanya bisa pasrah pada keadaan tanpa dapat berbuat sesuatu untuk keluar dari keadaan. Walaupun, kenyataan itu sangat buruk."

"Aku akan membebaskan mereka dari tekanan Ratu Pantai Selatan Keadaan seperti ini tidak bisa didiamkan terus-menerus, Intan. Perempuan itu akan menjarah ke desa-desa lain, kalau di sini sudah tidak ada pemuda-pemuda yang bisa diperolehnya lagi. Hhh..., apa sebenarnya yang dicari Rampita..?" lagi-lagi Rangga mengeluh.

"Kita pasti mengetahuinya, Kakang."

"Ya, kita harus mengetahui dan menghentikannya Harus...!" Rangga bertekad.

Mereka kembali melangkah menyusuri pantai yang berpasir putih seperti bertaburkan batu-batu mutiara ini. Tak ada lagi yang berbicara. Sementara, matahari sudah begitu jauh tenggelam di batas permukaan air laut Hanya cahayanya saja yang merah lembayung membias di cakrawala. Begitu indah untuk dinikmati. Namun Rangga dan Intan Kemuning tidak punya kesempatan untuk menikmati keindahan senja di pantai ini.

Mereka terus sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka belum bisa tenang kalau belum berhasil menghentikan semua tindakan Ratu Pantai Selatan yang menitis pada diri Rampita Bahkan mereka masih belum tahu, siapa sebenarnya Rampita itu. Dan untuk apa dilakukan persekutuan dengan Ratu Pantai Selatan yang dikenal sebagai penguasa seluruh samudera di Mayapada ini. Memang sulit untuk mencari tahu, karena mereka sama sekali tidak mendapat bantuan dari penduduk Desa Nelayannya ini.

Sebenarnya, penduduk desa ini bukannya tidak peduli, dan hanya merasa ketakutan. Namun, Rangga dan Intan Kemuning belum bisa menemukan alasan dari ketakutan mereka. Yang jelas, mereka pasti tahu tempat tinggal Rampita yang bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan, dan menimbulkan rasa takut di seluruh Desa Nelayan di Pesisir Pantai Selatan ini.

"Tolooong...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"

Rangga dan Intan Kemuning tiba-tiba saja dikejutkan teriakan panjang melengking tinggi. Teriakan meminta tolong, dan bersumber dari batik gundukan batu-batu karang tidak jauh di depan kedua pendekar rajawali itu. Sesaat mereka saling berpandangan, lalu tanpa berbicara lagi berlompatan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh ke arah sumber suara teriakan yang didengarnya barusan.

"Hup! Yeaaah...!"
"Hap!"

Hanya beberapa kali lompatan saja, kedua pendekar muda yang sama-sama memiliki tunggangan seekor burung rajawali raksasa itu sudah sampai di atas puncak gundukan batu karang yang tertinggi. Dari tempat itu bisa terlihat seorang wanita tengah menangis tertelungkup, meratapi seorang lelaki muda yang tengah mencoba melepaskan diri dari belitan tambang yang dipegangi empat orang gadis cantik berbaju merah menyala.

"Hup! Hiyaaa...!"

Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga segera melentingkan tubuhnya sambil mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Begitu cepat dan ringan sekali gerakan Pendekar Rajawali Sakti Hanya dua kali lompatan saja, dia sudah berhasil mencapai tempat itu.

"Hap! Yeaaah...!"
Bettt!
Tasss!

Hanya sekali kebutan tangan kiri dari jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', tambang-tambang yang membelit tubuh pemuda desa itu langsung putus. Akibatnya empat gadis cantik berbaju merah itu terpental beberapa langkah ke belakang. Sedangkan pemuda itu jatuh bergulingan beberapa kali di atas hamparan pasir yang berbatu kerikil karang ini.

"Apa yang kalian lakukan di sini, heh...?!" bentak Rangga geram, melihat empat orang dari sepuluh gadis pengawal Ratu Pantai Selatan itu.

Empat orang gadis berwajah cantik yang mengenakan baju warna merah menyala itu melemparkan pandang beberapa saat Mereka memang saling berhadapan, dan sudah tahu kepandaian yang dimiliki masing-masing. Begitu bisa bangkit berdiri, keempat gadis berbaju serba merah itu langsung berlompatan mengepung Pendekar Rajawali Sakti.

"Hup! Hiyaaa...!"

Rangga yang memang sudah geram oleh segala perbuatan gadis-gadis dari dasar samudera itu, tidak mau lagi tanggung-tanggung menghadapinya. Maka belum juga gadis-gadis itu menjejakkan kakinya di atas tanah berpasir putih, Rangga sudah melentingkan tubuhnya. Langsung dilepaskannya serangan cepat menggeledek pada salah seorang gadis itu, lewat jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' pada tingkat terakhir. Begitu dahsyatnya jurus yang dikeluarkan Rangga, sehingga membuat kedua kepalan tangannya jadi berwarna merah, bagai besi terbakar dalam tungku.

"Yeaaah...!"
"Uts...!"

Untung saja gadis itu cepat-cepat meliukkan tubuhnya, sehingga pukulan Rangga yang begitu dahsyat tidak sampai mengenainya. Tapi belum juga berhasil menjejakkan kakinya di tanah. Rangga sudah memberi satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.

"Jebol! Yeaaah...!"
Begkh!

Begitu cepatnya tendangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga gadis berbaju merah itu tidak sempat lagi menghindar. Telapak kaki Rangga tepat menghantam dada gadis berbaju merah itu.

"Aaakh...!"

Sambil memekik keras, gadis itu terpental deras sejauh tiga tombak. Keras sekali tubuhnya menghantam pasir pantai, dan bergulingan beberapa kali. Pada saat yang bersamaan, satu orang gadis lainnya sudah melompat menyerang Rangga dari belakang.

Rupanya, tanpa kehadiran Ratu Pantai Selatan keempat wanita itu seperti tidak berarti apa-apa. Memang, bila Ratu Pantai Selatan ada di samping mereka barulah mereka mendapat kesaktian secara langsung. Jadi tidak heran bila Ratu Pantai Selatan berubah wujud, mereka juga berubah wujud. Juga kalau Ratu Pantai Selatan menciptakan pedang, di tangan mereka juga akan ada pedang.

Yang jelas, mereka tergantung pada Ratu Pantai Selatan itu sendiri. Maka bila Ratu Pantai Selatan tidak ada, maka sama saja mereka tidak berarti apa-apa. Tentu saja hal ini membuat Rangga jadi berada di atas angin. Jadi tidak heran kalau Pendekar Rajawali Saka mampu membuat mereka kalang kabut!

"Hait..!"

Cepat Rangga memutar tubuhnya, dan melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Gerakan Rangga yang begitu cepat dan tiba-tiba itu, sama sekali tidak diduga gadis berbaju merah itu. Sehingga, pukulannya yang luput dari sasaran belum sempat ditarik kembali. Bahkan dia juga tidak sempat lagi menghindari pukulan keras bertenaga dalam sempurna yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, dalam waktu bersamaan. Sehingga...

Desss!
"Aaakh...!"

Gadis berbaju merah pengawal Ratu Pantai Selatan itu terjerembab beberapa tombak jauhnya dari Pendekar Rajawali Sakti. Sebongkah batu karang yang cukup besar ukurannya, seketika hancur berkeping-keping terhantam tubuhnya. Sementara, Rangga cepat memutar tubuhnya pada dua orang gadis lain yang sudah berhadapan dengan Intan Kemuning.

"Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat, Rangga melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan dahsyat mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi ke arah kepala seorang gadis yang bertarung melawan Intan Kemuning. Begitu cepatnya pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali', sehingga gadis berbaju merah pengawal Ratu Pantai Selatan itu tidak dapat lagi menghindarinya. Akibatnya, pukulan Pendekar Rajawali Sakti itu tepat menghantam kepalanya.

Prakkk!

"Aaakh...!" satu jeritan panjang, melengking tinggi terdengar begitu menyayat.

Begitu kerasnya pukulan yang dilepaskan Rangga, sehingga gadis itu langsung ambruk, menggelepar di atas tanah berpasir putih ini. Tampak darah mengucur deras dari kepalanya yang retak akibat terkena pukulan dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir.

Hanya sebentar saja gadis itu masih mampu bergerak menggelepar meregang nyawa, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah terus berhamburan keluar dari kepalanya yang hampir hancur terkena pukulan bertenaga dalam sempurna dari Pendekar Rajawali Sakti. Kejadian ini membuat tiga orang gadis lain jadi terkejut setengah mati Terlebih lagi, yang tadi sempat menerima pukulan Rangga. Mereka langsung berlompatan menjauh, memandangi seorang temannya yang tergeletak tak bernyawa lagi, seakan-akan tidak percaya atas kematian temannya ini.

Slrattt! Glarrr!

Tiba-tiba saja membersit seleret kilat di.angkasa, disertai ledakan guntur yang begitu dahsyat menggelegar. Bukan hanya Rangga dan Intan Kemuning yang terkejut, tapi juga tiga orang gadis berbaju merah pengawal Ratu Pantai Selatan itu sampai mendongak ke langit

"Hup!"
"Hiyaaa!"
"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja ketiga gadis berbaju merah itu berlompatan cepat meninggalkan tempat yang berbatu karang itu, di saat Rangga maupun Intan Kemuning belum sempat menyadari apa yang terjadi. Tapi kepergian ketiga gadis cantik berbaju merah itu cepat diketahui Rangga, Dan....

"Intan, kau urusi mereka! Hiyaaat..!"

Cepat sekali Rangga melenting mengejar ketiga gadis cantik pengawal Ratu Pantai Selatan itu. Sedangkan Intan Kemuning hanya bisa memandangi saja, lalu cepat menatap satu orang pengawal Ratu Pantai Selatan yang sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Kemudian, bergegas dia menghampiri pemuda yang lolos dari cengkeraman gadis-gadis berbaju merah tadi. Tampak seorang wanita setengah baya, terus menangis sambil memeluki tubuh pemuda yang masih terikat tambang di seluruh tubuhnya.

********************

Sementara itu, Rangga masih terus berlarian cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan untuk mengejar tiga orang gadis cantik berbaju merah yang berlari begitu cepat seperti angin di depannya. Meskipun Pendekar Rajawali Sakti sudah mengerahkan seluruh kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, tapi belum juga bisa mengejar ketiga gadis pengawal Ratu Pantai Selatan itu. Mereka berlari seperti terbang, dan tidak terlihat kalau menjejak tanah yang berpasir putih ini.

Namun sedikit demi sedikit. Rangga berhasil memperpendek jarak. Hanya saja Pendekar Rajawali Sakti tetap menjaga jarak, walau tidak mau lagi kehilangan jejak gadis-gadis berbaju merah pengawal Ratu Pantai Selatan itu lagi. Mereka terus berlarian, hingga masuk ke dalam hutan yang tidak begitu rapat Sedikit pun tidak ada yang mengurangi kecepatan larinya, walau hutan yang dimasuki semakin lebat saja.

Brusss!
"Heh...!"

Rangga jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba saja dari dalam tanah di sekitarnya bermunculan sosok-sosok tubuh yang menghentikan larinya. Dia jadi tersedak melihat tubuh-tubuh yang rusak seperti mayat hidup bermunculan dari dalam tanah. Bahkan sekarang sudah mengepungnya begitu rapat Sementara itu, tiga orang gadis berbaju merah yang dikejarnya sudah lenyap entah ke mana.

Sambil memperdengarkan suara mendengung seperti lebah, makhluk-makhluk bertubuh rusak seperti mayat hidup itu bergerak maju mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Perut Rangga langsung bergolak mual ingin muntah, mencium bau yang begitu busuk tersebar dari tubuh-tubuh yang berlumpur dan rusak itu. Sedangkan mereka semakin dekat saja, walaupun gerakannya begitu lamban. Sedangkan kedua tangan mereka menjulur ke depan, seperti hendak mencekik dan mencabik-cabik Pendekar Rajawali Sakti.

"Pergi kalian dari sini!" bentak Rangga lantang. Tapi makhluk-makhluk mayat hidup itu seperti tidak mengerti bentakan Rangga. Mereka tetap bergerak perlahan semakin dekat saja. Sementara, bau busuk yang begitu memuakkan seakan-akan sudah memenuhi seluruh udara di sekitar hutan ini.

"Hep!"

Rangga cepat-cepat memindahkan jalan pernapasannya ke perut, sebelum benar-benar mual dan ingin muntah. Apalagi, kepalanya mulai terasa begitu pening oleh bau busuk yang sangat menyengat hidungnya. Sedangkan mayat-mayat hidup itu terus saja bergerak maju mendekati. Jumlah mereka memang tidak terlalu banyak, tapi cukup membuat Pendekar Rajawali Sakti harus bekerja keras untuk bisa lolos dari kepungan makluk-makhluk bertubuh rusak ini.

"Tidak ada pilihan lagi. Kalian yang menginginkannya...!" desis Rangga dingin menggeletar.

"Hiyaaat..!"

Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Lalu cepat sekali tubuhnya menukik tajam dengan gerakan kedua kaki yang juga begitu cepat, seperti membuat lingkaran. Begitu cepat gerakannya, sehingga sukar sekali untuk diikuti pandangan mata biasa. Dan tahu-tahu, dia sudah memberi beberapa tendangan keras menggeledek kepada beberapa tubuh mayat hidup itu.

Makhluk-makhluk bertubuh rusak itu hanya mengeluarkan suara keluhan kecil saja, meskipun tendangan jurus 'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa' yang dilakukan Rangga tepat menghantam tubuhnya, sehingga bertumbangan mencium tanah. Tapi sungguh tidak diduga sama sekali, mereka bisa cepat bangkit kembali tanpa sedikit pun terpengaruh oleh akibat tendangan dahsyat Pendekar Rajawali Saka tadi.

"Edan...! Akan kuhancurkan kepala mereka," dengus Rangga.

Memang hanya ada satu pilihan bagi Pendekar Rajawali Saka itu dalam menghadapi makhluk-makhluk seperti ini. Tanpa berpikir panjang lagi, Rangga langsung berlompatan sambil melepaskan pukulan-pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Gerakan yang dilakukannya memang begitu cepat sekali Sebaliknya mayat-mayat hidup itu bergerak lamban sekali, sehingga sama sekali tidak bisa menghindari setiap pukulan yang dilepaskan Rangga dengan cepat dan dahsyat

Kali ini bukan lagi keluhan-keluhan kecil yang terdengar, tapi raungan-raungan keras yang mengiringi gemeretak tulang-tulang kepala yang hancur terkena pukulan dahsyat dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yg dilepaskan Rangga. Satu persatu, mayat hidup itu dibuat jungkir balik tidak bisa bangun-bangun lagi, dengan keadaan kepala hancur beran-takan. Tapi, mereka yang masih bisa berdiri terus bergerak maju. Seakan-akan mereka tidak mempunyai rasa gentar, walaupun sudah begitu banyak yang bergelimpangan tidak bisa bangkit lagi.

"Huh! Aku harus secepatnya pergi dari sini. Mereka seperti tidak ada habisnya saja!" dengus Rangga dalam hati.

Dan memang, mayat-mayat hidup itu terus bermunculan dari dalam tanah. Mereka yang sudah hancur kepalanya, kembali masuk ke dalam tanah. Tapi tak berapa lama berselang, kembali bermunculan mayat-mayat hidup dalam keadaan seluruh tubuh dan wajah rusak penuh lumpur dan ulat-ulat kecil. Tubuh mereka benar-benar sudah membusuk, menyebarkan bau yang tidak sedap dan memualkan perut

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Rangga segera melenting ke udara, sambil melepaskan beberapa pukulan dahsyat ke arah kepala beberapa makhluk mayat hidup Itu. Ringan sekali gerakannya. Dan begitu kakinya menjejak dahan, langsung tubuhnya melenting cepat ke dahan pohon lainnya.

"Hup! Hiyaaa...!"

Rangga terus berlompatan dari satu dahan pohon, ke dahan pohon yang lain untuk meninggalkan kepungan mayat-mayat hidup itu. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti memang sudah mencapai tingkat sempurna, sehingga sama sekali tidak mengalami kesulitan. Dia hanya sedikit saja menjejakkan ujung kakinya di pucuk dedaunan, untuk kembali melenting di udara. Dan sebentar saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah jauh meninggalkan mayat-mayat hidup yang sempat membuatnya kehilangan jejak tiga orang gadis pengawal Ratu Pantai Selatan.

DELAPAN

Ringan sekali Rangga menjejakkan kakinya kembali ke tanah yang berumput cukup tebal. Sementara itu keadaan sekelilingnya sudah mulai terselimut gelap. Memang, saat itu senja sudah berganti malam. Walaupun, di ufuk Barat masih sedikit terlihat rona merah yang membias redup. Dan bulan pun sudah mulai nampak menggantung di langit dengan cahayanya yang kelihatan begitu redup.

Sebentar pandangan Rangga beredar ke sekeliling. Kemudian matanya menatap ke arah mayat-mayat hidup yang tadi muncul menghalanginya mengejar tiga orang gadis pengawal Ratu Pantai Selatan. Dan Pendekar Rajawali Sakti masih sempat melihat, ke arah mana gadis-gadis itu menghilang dari pandangannya. Dan dia yakin, ketiga gadis itu menghilang di sekitar tempat berdirinya sekarang ini.

"Hmmm...."

Kening Rangga jadi berkerut saat matanya menangkap jejak-jejak kaki yang tertera pada rerumputan. Hampir saja jejak-jejak itu tidak terlihat. Bergegas diikutinya jejak-jejak kaki yang begitu halus dan hampir tidak terlihat itu. Dan ternyata, jejak itu berakhir di depan sebuah mulut gua batu yang tidak begitu besar dan hampir tertutup semak belukar.

Hati-hati sekali Rangga menyibakkan semak belukar itu, lalu perlahan-lahan mengayunkan kakinya memasuki gua ini. Keadaan gua yang begitu gelap, memaksa Rangga harus menggunakan aji 'Tatar Netra'. Sehingga kini Pendekar Rajawali Sakti dapat melihat jelas, meskipun keadaan di dalam lorong gua ini begitu gelap. Jejak-jejak kaki itu kembali terlihat di dalam gua ini. Dan semakin jauh masuk ke dalam, jejak-jejak kaki itu semakin jelas terlihat Rangga terus mengikuti dengan sikap hati-hati sekali. Sikapnya benar-benar waspada, takut kalau-kalau ada jebakan yang bisa saja ditemui di dalam lorong gua yang sempit ini.

Tapi sampai Pendekar Rajawali Sakti menemukan mulut gua, tidak ada satu jebakan pun ditemui. Mulut gua ini begitu kecil, sehingga tubuhnya harus merendah saat melewati. Rangga jadi tertegun, karena sekarang berada di halaman belakang sebuah bangunan yang sangat besar. Dan bangunan ini pernah dilihat sebelumnya. Ya..., sekarang ini Rangga berada di salah satu rumah yang ada di Desa Nelayan. Dan dia tahu, rumah ini....

"Hebat..! Ternyata kau bisa juga sampai ke sini, Pendekar Rajawali Sakti...!"

Rangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara yang menggema di sekitarnya. Belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak dari dalam rumah itu bermunculan sembilan orang gadis cantik berbaju merah menyala yang langsung mengepung Pendekar Rajawali Sakti. Tak berapa lama kemudian, dari dalam rumah itu keluar seorang wanita cantik mengenakan baju biru ketat Wanita itu melangkah menghampiri Rangga yang sudah dikepung sembilan orang gadis cantik berbaju merah, yang dikenal sebagai pengawal Ratu Pantai Selatan.

"Aku tidak mengira kau bisa melewati barisan mayat hidup...," kata gadis cantik berbaju biru yang tak lain Rampita.

"Di mana kau sembunyikan Pandan Wangi dan Eyang Danarpati?" tanya Rangga langsung, tanpa berbasa-basi lagi.

"Aku tidak pernah menyembunyikan seorang pun di sini. Apalagi wanita dan orang tua, yang tidak ada gunanya bagiku. Hanya laki-laki muda dan tampan saja yang bisa tinggal di sini," sahut Rampita, begitu tenang nada suaranya.

"Jangan bermain-main, Rampita!" dengus Rangga jadi geram.

"Untuk apa bermain-main. Rangga? Kanjeng Ratu begitu menginginkanmu. Dan aku sudah tidak perlu bersusah payah lagi mendapatkanmu. Sebaiknya, lupakan saja orang-orang tidak berguna itu. Kau akan senang jika bersama Kanjeng Ratu Pantai Selatan," kata Rampita masih terdengar tenang dan lembut suaranya.

"Hhh!" Rangga mendengus sinis.

"Pandang mataku. Rangga," ujar Rampita.

Rangga jadi tersentak, begitu tiba-tiba melihat mata Rampita memancarkan sinar yang begitu aneh sekali. Cepat-cepat dia membuang muka, menghindari sorot mata yang memancarkan kekuatan aneh, ke dalam dirinya.

"Heps...!"

Rangga segera menyalurkan hawa mumi keseluruh tubuhnya. Perlahan-lahan dirasakan ada hawa panas menjalar di seluruh rubuhnya. Pendekar Rajawali Saka langsung menyadari kalau Rampita mengerahkan suatu ilmu yang bisa melemahkan jiwa seseorang, sehingga menuruti segala keinginannya.

"Kau tidak akan bisa mempengaruhiku. Perempuan Iblis...!" desis Rangga menggeram.

"Hiyaaat...!"

Cepat sekali Pendekar Rajawali Saka menghentakkan kedua tangannya ke depan, melepaskan satu pukulan jarak jauh yang mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat sempurna.

"Ufs...!" Rampita jadi terkejut setengah mati. Buru-buru tubuhnya melenting ke udara, begitu dari kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti tiba-tiba meluncur secercah cahaya merah yang meluruk deras ke arahnya. Sinar merah itu terus meluncur deras, dan menghantam dinding rumah hingga hancur beran-takan. Ledakan keras menggelegar terdengar begitu dahsyat, mengiringi hancurnya dinding rumah yang terbuat dari batu itu.

"Setan...!" rutuk Rampita sengit "Serang dia...!"

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Seketika itu juga sembilan orang gadis berbaju merah, berlompatan menyerang Rangga yang memang sudah siap sejak tadi. Pendekar Rajawali Sakti langsung melenting ke udara, dan melakukan beberapa kali putaran untuk menghindari serangan-serangan yang dilakukan gadis-gadis cantik berbaju merah itu.

Serangan-serangan kesembilan gadis pengawal Ratu Pantai Selatan itu memang dahsyat sekali Sehingga, membuat Rangga terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Bahkan, Pendekar Rajawali Sakti hanya punya kesempatan sedikit sekali untuk balas menyerang Itu pun belum berarti sama sekali.

"Khraaagh..!"

Tiba-tiba saja terdengar suara serak yang begitu keras menggelegar memecah angkasa. Suara itu demikian mengejutkan, sehingga membuat sembilan orang gadis cantik berbaju merah itu jadi berlompatan mundur menghentikan serangannya pada Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum bisa menyadari suara yang terdengar mengejutkan itu, tiba-tiba saja....

"Khraaagkh...!"
Wusss...!
"Hup!"

Rangga cepat-cepat melompat ke belakang, begitu melihat seekor burung rajawali raksasa berbulu putih meluruk cepat bagai kilat menyambar sembilan orang gadis berbaju merah menyala. Gadis-gadis itu jadi terkejut setengah mati, melihat seekor burung raksasa meluruk deras ke arah mereka. Mau tak mau mereka langsung berlompatan menyebar, menghindari serangan burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu.

Tapi, salah seorang terlambat untuk menghindari. Sehingga, dia tidak bisa lagi berkelit ketika cakar Rajawali Putih yang begitu besar dan kokoh menyambar tubuhnya. Dan sebelum ada yang sempat menyadari, tahu-tahu Rajawali Putih sudah melambung tinggi ke udara. Lalu, gadis yang sempat disambarnya tadi dilepaskan.

"Aaa...!"

Jeritan panjang melengking tinggi terdengar begitu menyayat membelah malam yang begitu sunyi ini. Tampak gadis berbaju merah yang disambar Rajawali Putih melayang di angkasa, meluncur deras dari ketinggian yang bisa menghancurkan apa saja bila menghantam tanah.

Dan memang sudah bisa diduga. Gadis pengawal Ratu Pantai Selatan itu langsung tewas, begitu tubuhnya menghantam tanah keras sekali. Kejadian itu membuat Rampita jadi terpana seperti tidak percaya. Dan belum lagi ada yang sempat menyadari, Rajawali Putih sudah kembali meluruk deras hendak menyambar gadis-gadis berbaju serba merah itu.

"Khraaagkh...!"

Pada saat yang bersamaan, juga terlihat seekor burung rajawali lain berbulu hitam. Tampak di atas punggungnya duduk seorang gadis berbaju warna hitam dengan wajah tertutup cadar tipis berwarna hitam.

"Hiyaaat..!"

Gadis berbaju hitam yang sudah dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam itu langsung meluncur ringan, begitu burung rajawali hitam tunggangannya dekat dengan tanah. Kaki Putri Rajawali Hitam langsung mendarat di samping Pendekar Rajawali Sakti. Sementara, dua ekor burung rajawali raksasa kini sudah menyerang delapan orang gadis pengawal Ratu Pantai Selaian.

Serangan-serangan kedua burung rajawali raksasa itu tentu saja membuat delapan orang pengawal Ratu Pantai Selatan jadi kelabakan setengah mati. Mereka berjumpalitan menghindari serangan-serangan sepasang Rajawali Raksasa itu. Sementara, Rangga dan Intan Kemuning yang lebih dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam sudah melangkah menghampiri Rampita.

"Kalian akan menyesal...!" dengus Rampita berang

Wukkk!

Tiba-tiba saja gadis itu mengebutkan tangannya, melakukan beberapa gerakan. Dan seketika itu juga, seluruh tubuhnya terselimut cahaya terang menyilaukan mata. Hal ini membuat Rangga dan Intan Kemuning harus menutupi mata dengan punggung tangan. Setelah cahaya itu lenyap, kini yang berada di depan kedua pendekar rajawali itu bukan lagi Rampita, melainkan seorang wanita cantik. Dia berpakaian indah gemerlap, bagai bertaburkan sejuta mutiara.

"Kau serang dari depan, Kakang. Aku akan menyerang dari belakang," ujar Intan Kemuning.

"Baik," sahut Rangga.

"Hiyaaat..!"

Intan Kemuning langsung saja melompat tinggi ke udara, melewati atas kepala wanita berpakaian gemerlap yang selama ini dikenal sebagai Ratu Pantai Selatan, penguasa seluruh dasar samudera di Mayapada ini.

"Hiyaaat..!"

Pada saat yang bersamaan, Rangga melepaskan satu pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang dikenal dahsyat itu. Dua serangan yang datang cepat dan bersamaan itu, membuat Ratu Pantai Selatan jadi kelabakan juga. Namun, dia berhasil mengelakkannya dengan gerakan manis sekali.

Tapi Rangga tidak berhenti sampai di situ saja. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut pedang pusakanya. Langsung dipergunakannya jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang jarang sekali digunakan kalau tidak menghadapi lawan yang tangguh seperti Ratu Pantai Selatan ini.

"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"

Rangga benar-benar tidak ingin memberi kesempatan pada wanita cantik penguasa samudera itu. Dikeluarkannya jurus 'Pedang Pemecah Sukma' pada tingkat yang terakhir. Sehingga, gerakan-gerakannya begitu cepat bagai kilat dan sukar sekali diikuti pandangan mata biasa. Pedangnya berkelebat mengurung setiap bagian tubuh Ratu Pantai Selatan. Cahaya biru tampak menyemburat menyilaukan mata, sehingga tubuh wanita penguasa samudera itu benar-benar seperti tenggelam terselimut cahaya yang memancar dari Pedang Pusaka Rajawali Sakti.

Sementara itu, Intan Kemuning terus mencari celah untuk melepaskan Rampita dari kekuatan Ratu Pantai Selatan. Dan di tempat lain, sepasang rajawali raksasa masih terus menggempur delapan orang gadis pengawal Ratu Pantai Selatan. Dan kini, gadis-gadis itu benar-benar tidak berdaya lagi menghadapi gempuran sepasang rajawali raksasa itu.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Rangga berteriak keras menggelegar. Lalu cepat sekali tubuhnya melenting ke udara, dan meluruk deras dengan ujung pedang tertuju lurus ke arah bagian atas kepala Ratu Pantai Selatan. Pada saat yang bersamaan, Intan Kemuning yang sudah mengeluarkan pedang juga membabatkan senjata pusakanya itu ke arah punggung wanita penguasa samudera.

"Edan!" rutuk Ratu Pantai Selatan geram.

"Hiyaaa...!"

Cepat sekali gerakan yang dilakukan wanita penguasa samudera itu. Tubuhnya berputar begitu cepat, sehingga memancarkan cahaya yang berkilau menyilaukan mata. Tapi pada saat yang bersamaan, Rangga cepat-cepat menarik serangannya. Dan begitu kakinya menjejak tanah, secepat kilat pula pedangnya dihunjamkan ke arah dada, tepat di saat wanita penguasa samudera itu berhenti berputar. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Ratu Pantai Selatan tidak dapat lagi menghindari hunjaman pedang yang memancarkan sinar biru terang menyilaukan mata itu. Dan....

Jrebbb!

"Aaakh...!"

Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar nyaring dan menyayat. Tampak Ratu Pantai Selatan terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang tertembus pedang Pendekar Rajawali Saka tepat pada jantungnya. Memang jantung adalah pusat kehidupan. Itulah jalan satu-satunya untuk melenyapkan jasad kasar Rampita. Pada saat itu, Intan Kemuning melepaskan satu tendangan keras menggeledek ke arah punggung. Dalam keadaan yang limbung dan kehilangan kendali, tidak mudah bagi Ratu Pantai Selatan untuk menghindari tendangan yang dilepaskan Putri Rajawali Hitam Itu. Sehingga....

Desss!

"Aaakh...!"

Tak pelak lagi, wanita 'cantik penguasa samudera itu jatuh terjerembab mencium tanah. Sebentar tubuhnya menggeliat lalu tiba-tiba saja bangkit berdiri tegak kembali. Hebat! Dia seperti tidak pernah menerima tusukan pedang Rangga maupun tendangan menggeledek dari Intan Kemuning.

Memang, inilah siasat yang diterapkan Pendekar Rajawali Sakti dari Intan Kemuning. Ratu Pantai Selatan harus dihadapi secara keroyokan jika ingin mengalahkannya. Sebab yang dihadapi mereka bukan seorang, melainkan dua roh dalam satu tubuh. Maka, keadaan itu memang harus dipisahkan. Dan tentu saja pemisahan itu harus membunuh jasad kasar dari Rampita.

"Hap...!"

Intan Kemuning cepat-cepat melompat ke samping Pendekar Rajawali Sakti. Sementara itu. Ratu Pantai Selatan masih tetap berdiri tegak. Sinar matanya menyorot tajam, menatap langsung pada kedua pendekar rajawali ini.

Brukkk!

Terbukti nyata! Tiba-tiba saja, ada sesuatu yang jatuh dari tubuh Ratu Pantai Selatan itu. Rupanya usaha Pendekar Rajawali Sakti dan Intan Kemuning berhasil. Tampak di depan wanita penguasa samudera itu tergolek sesosok tubuh ramping mengenakan baju biru yang ketat Dari dadanya, mengalir darah segar. Sementara, ujud Ratu Pantai Selatan itu kini terlihat seperti sebuah bayang-bayang. Dan perlahan-lahan, wanita cantik penguasa samudera itu melayang ke udara.

Pada saat yang bersamaan, delapan orang gadis yang bertarung dengan sepasang rajawali raksasa juga berubah ujudnya menjadi bayang-bayang. Hal ini membuat sepasang burung rajawali raksasa itu jadi terkejut. Mereka langsung melambung tinggi ke udara. Delapan orang gadis yang sudah berubah kembali kepada asalnya itu terus melayang terbang mengikuti Ratu Pantai Selatan.

Mereka terus melayang menuju lautan. Sementara, Rangga dan Intan Kemuning mengikuti dengan pandangan mata, sampai mereka benar-benar lenyap di tengah lautan. Memang, dari halaman belakang rumah ini, bisa langsung melihat lautan lepas.

"Hhh.... Memang tidak mungkin bisa melenyapkan wanita itu," desah Rangga pelan seperti berbicara pada diri sendiri.

"Yang penting, kita sudah bisa menghentikan Rampita," kata Intan Kemuning.

"Kakang...!"

Tiba-tiba saja mereka dikejutkan suara dari belakang. Rangga dan Intan Kemuning cepat memutar tubuhnya berbalik. Tampak Pandan Wangi dan Eyang Danarpati berlari-lari kecil menghampiri sepasang pendekar rajawali. Napas mereka agak tersengal saat sampai di depan Rangga dan Intan Kemuning

"Dari mana saja kau, Pandan?" Rangga langsung bertanya.

"Maaf, aku terpaksa membawa Eyang Danarpati ke tempat yang aman. Waktu aku datang, padepokan sudah hancur. Dan aku menemukan Eyang Danarpati terluka. Jadi, aku membawanya ke rumah tabib yang terdekat dari sini," sahut Pandan Wangi memberi penjelasan.

"Jadi..., kau tidak tertangkap oleh mereka?" Rangga jadi bingung.

"Tidak, Kakang."

"Oh, syukurlah. Lalu, bagaimana kau bisa tahu aku ada di sini?" tanya Rangga lagi.

"Semua orang tahu kalau di sini telah terjadi pertarungan, Kakang. Kau lihat saja. Di luar sana sudah banyak orang berkumpul. Mereka tahu, si pembuat keonaran adalah Rampita," sahut Pandan Wangi lagi.

"Dia putri seorang bajak laut yang menguasai seluruh lautan di sekitar Pantai Selatan ini...," sambung Eyang Danarpati. "Dia dendam, karena aku, murid-muridku, serta para penduduk berhasil menghancurkan gerombolan ayahnya. Dia memang bertekad dan sudah bersumpah untuk membalas dendam atas kematian ayahnya dan seluruh gerombolannya. Hhh.... Benar-benar tidak kusangka kalau dia bersekutu dengan Ratu Pantai Selatan."

"Tapi semuanya sudah berakhir, Eyang," selak Putri Rajawali Hitam.

"Ya! Berkat kalian semua, pendekar-pendekar muda yang digdaya dan pembela kebenaran," puji Eyang Danarpati.

"Tapi sayang, kami tidak bisa melenyapkan Ratu Pantai Selatan," desah Putri Rajawali Hitam seperti menyesal.

"Tidak ada seorang pun yang bisa melenyapkannya, Nisanak. Ratu Pantai Selatan akan tetap abadi sepanjang zaman. Lagi pula, tidak selamanya dia bertindak jahat. Bahkan dia merupakan dewi penolong bagi nelayan di sini. Apa yang dilakukannya memang sulit dimengerti. Tapi, aku tidak pernah bisa mengatakan kalau dia jahat" kata Eyang Danarpati tidak ingin Putri Rajawali Hitam itu mendapat celaka oleh kata-katanya tadi

"Aku tahu itu, Eyang. Tapi padepokanmu hancur olehnya," Intan Kemuning yang dikenal berjuluk Putri Rajawali Hitam itu masih juga merasa belum puas.

"Bukan oleh Ratu Pantai Selatan, tapi oleh Rampita yang membalas dendam karena ayahnya dan gerombolan bajak laut ayahnya hancur oleh murid-muridku. Ah.... Aku bisa membangun kembali padepokanku. Masih banyak pemuda yang bersedia menjadi muridku," nada suara Eyang Danarpati terdengar merendah.

"Aku akan membantumu membangun kembali padepokanmu, Eyang," selak Rangga.

"Terima kasih," ucap Eyang Danarpati.

"Benar, Eyang. Kami semua akan membantumu membangun padepokan yang baru," sambung Pandan Wangi.

Eyang Danarpati tidak bisa lagi berkata-kata. Perasaannya terharu mendengar kesediaan pendekar-pendekar muda itu membantu membangun padepokannya kembali yang sudah hancur, akibat pembalasan Rampita yang membabi-buta.


SELESAI