Dara Baju Merah Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

DARA BAJU MERAH

Karya Kho Ping Hoo

JILID 01

"ORANG she Kiang! Melihat usiamu yang masih muda, kami masih menaruh hati kasihan kepadamu. Kami nasihatkan supaya kau pergi dari sini dan jangan mencampuri urusan kami," terdengar suara yang kecil dan nyaring.

"Kiang-enghiong, ucapan Hek-tung Beng-yu (Sahabat Tongkat Hitam) tadi memang amat tepat. Menilik gerak-gerikmu, kau adalah seorang ahli silat yang sudah pandai, mengapa kau tidak tahu akan aturan kang-ouw? Kami para ketua perkumpulan pengemis sedang mengurus persoalan kami sendiri, kenapa kau begitu tidak tahu malu untuk mencampuri urusan kami? Lebih baik lekaslah kau pergi sebelum terjadi hal-hal yang kurang baik bagi dirimu," kata pula suara ke dua yang parau dan kasar.

Suara dua orang ini disusul oleh gumaman banyak mulut yang menyatakan persetujuan. Dua orang yang bicara tadi, juga mereka yang menyatakan persetujuan adalah kumpulan orang tua yang sangat aneh, baik dilihat dari bentuk tubuh, pakaian, mau pun gerak-gerik mereka.

Mereka ini sudah jelas merupakan sekumpulan pengemis-pengemis, karena baju mereka penuh tambalan dan di tangan mereka terlihat tongkat dan tempat sedekah, seperti panci butut, batok, kaleng dan lain-lain. Jumlah mereka ada empat belas orang.

Akan tetapi kalau orang tahu siapakah adanya mereka ini, dia tentu akan terkejut, karena mereka ini bukan lain adalah ketua-ketua dari seluruh kaipang (perkumpulan pengemis) yang tersebar di seluruh Tiongkok dan merupakan ketua-ketua dari semua perkumpulan terbesar. Jangan ditanya lagi tentang kepandaian mereka!

Baru orang pertama yang tadi berbicara dengan suara kecil nyaring saja, yang tubuhnya tinggi kurus dan matanya buta sebelah kiri, yang dijuluki orang It-gan Sin-kai (Pengemis Sakti Mata Satu), kelihaiannya hanya di bawah kepandaian raja pengemis puluhan tahun yang lalu, yakni Ang-bin Sin-kai (Pengemis Sakti Muka Merah) yang menggemparkan dunia kang-ouw.

Seperti halnya Ang-bin Sin-kai yang sudah meninggal dunia, pengemis bermata satu ini juga beberapa kali pernah menggegerkan istana kaisar karena dia menyerbu dapur dan menyikat habis masakan-masakan yang paling lezat di dapur istana!

Juga orang ke dua yang suaranya parau dan kasar, yang bertubuh kate dengan perutnya saja yang besar dan gendut seperti anak cacingan, bukanlah sembarangan orang. Dia ini disebut Pat-jiu Siauw-kai (Pengemis Kecil Tangan Delapan) dan kelihaiannya dalam ilmu silat tidak kalah oleh It-gan Sin-kai!

Demikian pula dua belas orang pengemis yang lain, masing-masing adalah ketua-ketua pengemis yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw, dan kesemuanya boleh dibilang merupakan orang-orang yang menjunjung tinggi Pengemis Sakti Muka Merah, mendiang Ang-bin Sin-kai. Sebab itu pula, maka mereka terkenal sebagai pemimpin-pemimpin yang menjaga keras semua peraturan sehingga para anggota perkumpulan mereka berdisiplin.

Biar pun hidup sebagai pengemis-pengemis, akan tetapi mereka merupakan sekumpulan orang-orang gagah yang selalu siap sedia menolong kaum lemah yang tertindas! Mereka adalah golongan pendekar-pendekar yang menyamar sebagai pengemis-pengemis, atau lebih tepat lagi, yang suka memilih hidup bebas bagaikan burung di udara. Dan menurut anggapan mereka, hanya pengemis-pengemis saja yang bisa hidup bebas seperi burung di udara.

Empat belas orang ketua pengemis itu sekarang nampak tidak senang. Mereka sedang menghadapi seorang laki-laki muda yang umurnya kurang lebih dua puluh lima tahun.

Pemuda ini amat gagah, pakaiannya bersih dan indah, wajahnya tampan sekali dengan alis tebal dan hidung mancung. Bibirnya merah seperti bibir wanita. Dadanya bidang dan menonjol ke depan, sepasang lengannya kekar serta dia nampak lebih tegap dan gagah karena pedang yang tergantung pada punggungnya. Pemuda itu mempunyai sepasang mata yang tajam dan selalu berseri gembira.

Kini menghadapi empat belas orang kakek pengemis yang marah-marah itu, dia hanya tersenyum-senyum mengejek, sama sekali tidak merasa takut sungguh pun dia sudah mengenal, atau setidaknya pernah mendengar nama semua ketua pengemis ini dan telah maklum pula akan kelihaian mereka.

“Hm, Cuwi Lo-kai (Para Tuan Pengemis Tua) bicara tentang pelajaran ilmu silat, tentang peraturan kang-ouw, dan tentang tahu malu? Pernah siauwte mendengar ujar-ujar Guru Besar Khong Cu yang berbunyi seperti berikut: Ho Hak Kin Houw Ti, Lek Heng Houw Jin, Ti Thi Kin Houw Yong! Tahukah Cuwi akan artinya? Kalau tak salah, maksudnya begini: Suka belajar berarti mendekati pengetahuan, menjalankan ilmu pengetahuan itu artinya mendekati welas asih dan tahu malu berarti mendekati kegagahan!”

Pat-jiu Siauw-kai yang terkenal paling berangasan, menjadi marah dan ia pun melangkah maju, lalu menudingkan telunjuknya ke arah hidung pemuda itu, “Kau ini anak kecil bau pupuk, mau berlagak menjadi guru ilmu batin? Kau kutip-kutip segala isi kitab Tiong-yong (kitab pelajaran Guru Besar Khong Hu Cu) dengan maksud apakah?”

“Sabarlah, Lo-kai. Kau yang punya terlalu banyak tangan harus bisa bersikap tenang dan sabar,” kata pemuda itu yang menyindir pengemis kate ini yang berjuluk Pengemis Kecil Berlengan Delapan. “Bukankah tadi kau yang menyatakan bahwa aku telah mempelajari ilmu silat akan tetapi tidak tahu akan peraturan dunia kang-ouw dan tidak tahu malu? Nah, jawabku ialah isi ujar-ujar yang tepat itu.”

“Apa maksudmu?” Pat-jiu Siauw-kai membentak.

“Maksudku? Segala tindakanku kusesuaikan dengan ujar-ujar indah itulah. Aku bersusah payah belajar silat untuk mengejar ilmu. Sesudah ilmu kudapatkan, aku menjalankannya untuk menolong sesama manusia, ini berarti mendekati pribudi baik atau welas asih. Ada pun hal tahu malu seperti kau singgung-singgung tadi, Guru Besar berkata bahwa kalau kita tahu malu, itu artinya kita mendekati sifat gagah. Akan tetapi kalian ini, empat belas orang ketua perkumpulan besar, orang-orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa sekarang justru hendak menyiksa dan membunuh seorang kawan tua yang tak berdaya? Apakah itu namanya tahu malu? Kalianlah orang-orang yang tak tahu malu dan karenanya aku yang muda tidak dapat menganggap kalian ini orang-orang gagah!”

“Kiang Liat, kau sombong bukan main!” Seorang pengemis gemuk bundar yang berjuluk Tiat-tho Mo-kai (Pengemis Iblis Kepala Besi) melompat maju dan memaki marah, “Kau ini orang luar tahu apa? Dalam undang-undang partai pengemis nomor tujuh belas berbunyi begini: Segala keputusan rapat ketua tak boleh dicampuri oleh orang luar.”

Pemuda yang bernama Kiang Liat itu tersenyum. “Peraturan dan undang-undangmu itu hanya berlaku untuk kalian sendiri, aku peduli apa? Pendeknya, sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu silat, yang sudah bersumpah untuk hidup sebagai pendekar dan menolong si lemah yang tertindas, aku Kiang Liat tidak akan membiarkan kalian begitu saja menyiksa dan membunuh kakek itu. Habis perkara!”

“Kau menghina Cap-si Kaipangcu (Empat Belas Ketua Perkumpulan Pengemis)!” Tiat-tho Mo-kai membentak marah dan dengan cepat ia lalu menggerakkan tubuh.

Lucu dan mengagumkan sekali gerakannya ini. Walau pun tubuhnya gemuk dan bundar, namun gerakannya ternyata luar biasa cepatnya dan tahu-tahu tubuh itu telah meluncur seperti dilemparkan, dengan kepala di depan ia menyeruduk ke arah Kiang Liat!

Serangan ini lihai sekali dan jarang ada ahli silat berani menerima serangan kepala dari Tiat-tho Mo-kai ini. Sesuai dengan julukannya, yaitu Si Kepala Besi, kepala Si Pengemis yang botak kelimis ini luar biasa keras dan kuatnya, melebihi besi sehingga apa bila dia menyeruduk, seekor kerbau pun tak akan kuat menahan dengan kepalanya.

Para tokoh pengemis yang berada di situ menyangka bahwa pemuda itu tentunya akan mengelak dan kalau dia berbuat demikian, belum tentu dia akan mampu meluputkan diri, karena kedua tangan Tiat-tho Mo-kai tidak tinggal diam, melainkan dipentang dan siap untuk melakukan serangan dengan tangan apa bila lawan mengelak dari serudukannya.

Akan tetapi, apa yang mereka lihat? Benar-benar tak dapat dipercaya. Kiang Liat bukan mengelak, akan tetapi masih berdiri dengan tegak dan menerima serudukan itu dengan perutnya!

“Cappp!”

Kepala yang botak kelimis itu seakan-akan menancap pada perut pemuda itu, akan tetapi Kiang Liat hanya mundur selangkah, sama sekali tidak terlihat merasa sakit. Sebaliknya, Tiat-tho Mo-kai nampak lucu sekali, kepalanya tertanam di dalam perut berikut mulut dan hidung, ada pun kedua kakinya bergerak-gerak!

Dia mencoba untuk melepaskan diri dan mencabut kepalanya, akan tetapi sia-sia belaka sehingga hanya kedua kakinya saja yang terus bergerak-gerak ke atas dan ke bawah. Ia bermaksud mempergunakan kedua tangannya untuk menyerang, akan tetapi Kiang Liat sudah mendahuluinya dan secepat kilat dia menotok kedua lengannya menjadi lemas tak bertenaga lagi.

Setelah merasa cukup mempermainkan pengemis botak itu, tiba-tiba Kiang Liat berseru, “Pergilah!”

Bagaikan dilontarkan saja, tubuh pengemis botak itu terlempar sampai dua tombak lebih. Tiat-tho Mo-kai jatuh berdebuk, tetapi dia tidak merasa terluka dan setelah mengerahkan lweekang untuk membebaskan diri dari totokan pada pundaknya, ia lalu maju lagi dengan muka merah. Sikapnya kembali mengancam dan mulutnya mengeluarkan kata-kata yang tidak begitu jelas bahwa ia hendak mengadu nyawa.

“Tiat-tho Mo-kai, kau sungguh tidak tahu diri. Kalau aku mau berlaku kejam, bukankah kau sudah menjadi pengemis iblis tak bernyawa lagi?” kata Kiang Liat.

Mendengar ucapan ini, Tiat-tho Mo-kai cepat menghentikan langkahnya dan dia nampak ragu-ragu. Memang, dia bukan tidak tahu bahwa kalau saja Kiang Liat mau, tadi ketika kepalanya tertanam pada perut, dengan lweekang-nya yang sangat tinggi itu, pemuda ini tentu akan dapat membunuhnya.

Tadi pun dia sudah merasa terheran mengapa dia dapat keluar dari keadaan itu dengan selamat dan tidak terluka, dan kini mendengar ucapan Kiang Liat, dia merasa malu untuk maju lagi. Sudah jelas bahwa kepandaiannya masih kalah jauh bila dibandingkan dengan pemuda luar biasa itu.

It-gan Sin-kai Si Mata Satu melangkah maju. Matanya yang tinggal satu sebelah kanan itu memancarkan sinar menakutkan.

“Kiang-enghiong, kau benar-benar lihai sekali dan tidak percuma kau berjulukan Jeng-jiu Sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu)! Akan tetapi kali ini kau menghina dan merusak peraturan dari Cap-si Kaipangcu, maka sekali lagi aku atas nama semua kawan berharap supaya kau sudi mengalah dan pergi meninggalkan kami mengurus dan menyelesaikan urusan kami sendiri. Lain kali kami tentu akan mengunjungimu menghaturkan maaf.”

“Tidak mungkin, It-gan Sin-kai! Bagiku, biar pun aku Kiang Liat masih muda, akan tetapi berlaku kata-kata It-gan-ki-jut Su-ma-lam-twi (sekali kata-kata dikeluarkan, empat ekor kuda tak dapat menarik kembali)! Kalau kalian tidak mau melepaskan kakek itu, aku pun tidak akan pergi dari sini dan akan menghalangi siapa pun juga yang akan membunuh orang yang tak berdaya!” kata Kiang Liat dengan gagah.

“Tetap begitukah pendirianmu, Kiang-enghiong?” tanya It-gan Sin-kai marah.

“Tetap begitu dan tidak akan dapat dirubah oleh siapa pun juga!” kata Kiang Liat dengan suara tetap pula.

Dia sendiri pun sudah marah melihat betapa para tokoh pengemis itu begitu tidak tahu akan peri kemanusiaan dan akan membunuh seorang kakek yang kelihatan begitu tidak berdaya. Ia telah sering kali mendengar tentang Cap-si Kaipangcu ini, mendengar bahwa mereka merupakan pendekar-pendekar yang mempunyai kepandaian tinggi, yang selalu menjunjung tinggi kegagahan dan peri kebajikan, tapi kenapa sekarang mereka berkeras hendak berlaku kejam terhadap seorang kakek yang tak berdaya?

“Kalau begitu, terpaksa kami akan melakukan kekerasan dengan senjata, dan apa bila sekiranya semua orang kang-ouw berada di sini, pasti mereka akan membenarkan kami!” kata It-gan Sin-kai.

“Kalau mereka membenarkan kalian, mereka itu tidak pantas menyebut diri orang-orang kang-ouw, melainkan orang-orang berhati kejam yang tak mengenal peri kemanusiaan!” kata Kiang Liat.

Ketika melihat betapa empat belas orang ketua perkumpulan-perkumpulan pengemis itu mengeluarkan senjata mereka masing-masing, ia pun segera mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar gemerlapan.

Kedua pihak sudah bersiap-sedia untuk mempergunakan kekerasan, dan Kiang Liat yang maklum bahwa ia menghadapi orang-orang lihai, berlaku amat hati-hati. Ia pikir bahwa biar pun ia takkan menang dan sekali pun ia akan mati dikeroyok oleh Cap-si Kaipangcu ini, ia tidak akan merasa penasaran oleh karena ia membela kebenaran.

Dan benar saja seperti yang ia duga, empat belas orang pengemis itu bergerak serentak dan menyerang dari berbagai jurusan. Kiang Liat cepat memutar pedangnya menangkis dan terdengar suara berdentang-denting ketika pedangnya beradu dengan tongkat milik mereka.

Bukan main kagetnya Kiang Liat karena ternyata bahwa tenaga mereka itu rata-rata amat besar dan seimbang dengan tenaganya sendiri. Ia bergerak cepat, namun empat belas batang tongkat itu lebih cepat lagi dan dalam lima gebrakan saja pinggangnya sudah terkena pukulan tongkat!

Bukan main sakitnya, dan baiknya dia mempunyai tenaga lweekang yang sudah tinggi sehingga dia tidak terluka berat. Namun pukulan ini sudah mengacaukan pikirannya dan untuk menyelamatkan diri, dia melompat jauh sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi segunduk sinar yang menyelimuti seluruh tubuhnya.

Ketika keadaan Kiang Liat sangat terdesak karena kalau empat belas orang lawannya itu menyerang lagi pasti ia takkan dapat mempertahankan diri, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam dan terdengar seruan orang yang suaranya amat berpengaruh,

“Tahan dulu semua senjata! Kawan-kawan yang hidup bebas mengapa mengikatkan diri dengan pertempuran?”

Kiang Liat dan semua pengemis itu menengok. Mereka melihat seorang pengemis yang bertubuh tegap, berusia kurang lebih empat puluh tahun tahu-tahu telah berdiri di sana. Pengemis ini berwajah tampan dan gagah, kulit muka dan tangannya bersih terpelihara, akan tetapi rambutnya awut-awutan ke sana ke mari, begitu pula jenggot dan kumisnya.

Bajunya penuh tambal-tambalan, akan tetapi juga bersih. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kecil, hanya sebesar ibu jari kaki, dan di pinggangnya nampak gagang sebatang pedang.

Baik Kiang Liat mau pun para tokoh pengemis itu tak mengenal siapa adanya pengemis ini. Bagi Kiang Liat, masih tidak mengherankan kalau ia tidak mengenal pengemis yang baru datang ini, akan tetapi empat belas orang ketua partai pengemis yang terbesar sampai tidak mengenalnya, benar-benar adalah hal yang amat mengherankan.

“Siapakah kawan yang baru datang?” tanya It-gan Sin-kai.

Suaranya jelas menyatakan betapa hatinya terguncang dan malu karena memang sangat memalukan bagi seorang ketua perkumpulan pengemis kalau sampai menanyakan siapa adanya seorang pengemis yang baru datang. Sambil bertanya demikian, ia memandang kepada semua kaipangcu yang berada di situ, akan tetapi seorang pun tidak ada yang tahu dan mereka ini pun memandang kepada pengemis yang baru tiba itu dengan mata penuh pertanyaan.

Pengemis itu tersenyum dan wajahnya nampak tampan ketika ia tersenyum.

“Tidak ada artinya siapa adanya aku seorang pengemis hina-dina ini yang tidak terkenal, hanya karena kebetulan sekali aku lewat di sini, aku merasa tertarik sekali melihat orang hendak mengadu nyawa. Demikian mengerikan! Kenapa untuk membereskan persoalan harus mempergunakan tongkat dan pedang? Apakah gerangan yang terjadi di sini?”

Kiang Liat memang masih muda, akan tetapi dia sudah banyak merantau dan namanya sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Pandangan matanya amat tajam dan tadi ketika pengemis yang baru tiba ini berkelebat datang, ia dapat menduga bahwa pengemis yang datang ini memiliki kepandaian tinggi. Karena ia maklum bahwa ia memang takkan dapat menang menghadapi empat belas orang ketua yang lihai itu, maka ia lalu berkata kepada pengemis yang baru datang itu,

“Sahabat yang baru datang ini tentulah seorang kang-ouw yang mengenal keadilan, oleh karena itu kebetulan sekali kau datang bertanya mengenai persoalan ini. Sesungguhnya, aku sendiri pun hanya seorang perantau yang tak mempunyai sangkut paut dengan para kaipangcu ini, akan tetapi ketika sampai di sini aku melihat empat belas orang kaipangcu yang berkepandaian tinggi ini hendak menyiksa serta menghukum mati kepada seorang kakek yang tak berdaya itu. Oleh karena inilah maka terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri dan berusaha mencegah mereka melakukan hal yang amat kejam itu.”

Kiang Liat menunjuk kepada seorang kakek tua yang sejak tadi duduk bersandar pada sebatang pohon. Kakek ini kelihatan tak berdaya dan semenjak tadi hanya duduk sambil menundukkan mukanya yang pucat. Di dekatnya terdapat sebuah buntalan yang nampak berat, entah apa isinya.

Mendengar ucapan Kiang Liat ini, It-gan Sin-kai memandang pada kawan-kawannya dan berkata, “Apakah kami perlu memberi penjelasan kepada sahabat yang baru datang dan tidak mau memperkenalkan namanya ini?”

“Tentu saja,” kata Pat-jiu Siauw-kai, “kalau dia seorang kang-ouw tulen, tentu dia akan dapat membenarkan kami.”

It-gan Sin-kai menghadapi pengemis yang baru datang itu, kemudian berkata memberi penjelasan, “Begini, sobat. Kami empat belas orang ketua perkumpulan pengemis tengah berkumpul di sini untuk memberi hukuman terhadap seorang bekas ketua pengemis di daerah selatan yang sudah melanggar pantangan bagi kami semua. Dia sudah berlaku curang, mengumpulkan harta benda dan melepaskan diri dari tugas memimpin kawan-kawan, hendak hidup sebagai seorang kaya raya. Ini adalah kedosaan besar, melanggar peraturan kami nomor tujuh dan untuk kedosaan ini, harta bendanya harus disita, begitu pula nyawanya.”

“Bagus! Peraturan macam apakah itu? Merampas harta benda, merampas nyawa orang, benar-benar amat rendah!” Kiang Liat memotong marah.

“Kiang-enghiong, jangan kau membuka mulut sembarangan!” It-gan Sin-kai membentak marah pula, “Peraturan ini adalah buatan dari Locianpwe Ang-bin Sin-kai yang mulia, lalu bagaimana kau berani menyatakan rendah?”

Mendengar disebutnya nama Ang-bin Sin-kai, tiba-tiba saja pengemis yang baru datang itu berubah mukanya.

“Kawan-kawan sekalian, kalian tahu apakah mengenai Ang-bin Sin-kai?” tanyanya sambil memandang tajam.

Kini semua mata dari para pengemis itu ditujukan kepadanya dengan marah. “Locianpwe Ang-bin Sin-kai adalah pendiri dari partai-partai pengemis, mula-mula di selatan. Siapa yang tidak mengenalnya? Apa lagi orang yang hidup bebas sebagai pengemis, mereka harus mengenalnya. Kami memuliakan namanya, namun kau menyebut namanya begitu saja. Siapakah kau?”

“Kalian mau tahu? Aku bernama Han Le, dan Ang-bin Sin-kai adalah guruku!”

Kini semua mata memandang dengan terbelalak lebar dan mulut mereka bengong. Tidak hanya para tokoh pengemis yang menjadi terheran-heran, bahkan Kiang Liat sendiri pun memandang tak percaya. Dia tentu saja pernah mendengar nama besar Ang-bin Sin-kai, namun dia tidak pernah melihat orang tua sakti itu yang sudah meninggal dunia lama sekali. Maka kini ia hanya memandang saja.

“Benar-benarkah, kawan? Awas, jangan kau main-main. Sungguh pun kami tidak pernah mendapat kebahagiaan mengenal Locianpwe Ang-bin Sin-kai dari dekat, tetapi kami tahu betul bahwa muridnya hanyalah orang sakti yang disebut Bu Pun Su.”

Han Le tertawa lebar, “Bu Pun Su memang muridnya, akan tetapi kepandaiannya jauh lebih tinggi dari Suhu, dan aku yang rendah merasa mendapat kehormatan besar untuk mengaku bahwa Bu Pun Su adalah suheng (kakak seperguruan)-ku.”

Kembali semua orang menyatakan ketidak percayaannya. Akan tetapi It-gan Sin-kai lalu berkata, “Tak peduli apakah kau benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai atau pun bukan, apakah kau benar-benar sute dari Bu Pun Su atau bukan, akan tetapi setelah kau tiba di sini, bagaimana anggapanmu tentang urusan kami dengan Kiang-enghiong ini?”

“Ya, bagaimana keputusanmu, murid dari Ang-bin Sin-kai?” tanya Kiang Liat, suaranya mengejek. Memang Kiang Liat tidak percaya akan keterangan Han Le tadi, dan memang sifat Kiang Liat amat pemberani dan jenaka.

“Menurut pemandanganku yang amat bodoh, kalau memang sudah ada peraturan bahwa orang yang melanggar harus dihukum, hal itu sukar untuk dirubah lagi. Namun, aku tidak setuju jika hukuman itu hukuman mati, paling baik dia dilepaskan dan tak diakui menjadi anggota lagi. Betapa pun juga, dalam perselisihan ini, Kiang-enghiong terang berada di pihak yang salah. Tidak baik mencampuri urusan rumah tangga lain orang.”

Jawaban ini terang sekali bercabang dua, di satu pihak menyalahkan Kiang Liat, di lain pihak tidak menyetujui hukuman yang akan dijatuhkan kepada kakek itu. Ada pun kakek itu ketika mendengar kata-kata ini, lalu berkata seperti kepada diri sendiri,

“Aku orang she Song memang sudah merasa bersalah, namun sekali-kali bukan karena terdorong oleh keinginanku hidup mewah, hanya demi kebahagiaan cucu perempuanku yang satu-satunya. Jika kalian mau bunuh boleh bunuh, asal saja kalian suka mengingat akan kehidupan cucuku Bi Li!”

“Tutup mulutmu, jahanam rendah!” It-gan Sin-kai berkata keras, kemudian ia menghadapi Han Le. “Orang she Han, kau datang-datang mengaku sebagai muridnya Ang-bin Sin-kai Locianpwe, datang-datang kau berani mencela undang-undang kami yang diturunkan oleh Ang-bin Sin-kai Locianpwe. Buktikanlah bahwa kau benar-benar murid beliau, baru kami akan suka mendengarkan omonganmu. Apa bila tanpa bukti, lebih baik kau jangan turut mencampuri urusan kami.”

Semua tokoh pengemis mengangguk-anggukkan kepala, tanda menyatakan persetujuan mereka. Han Le tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang gondrong, sungguh pun kepala itu tidak gatal.

“Bagaimana aku harus membuktikannya?”

It-gan Sin-kai dan kawan-kawannya saling mendekati, lalu mereka bisik-bisik. Kemudian pengemis bermata satu itu berkata, “Kami pernah mendengar bahwa Locianpwe Ang-bin Sin-kai memiliki sebuah kiam-hoat (ilmu pedang) yang sangat lihai dan tiada keduanya di dunia ini, yang disebut sebagai Hun-khai Kiam-hoat. Kalau benar kau adalah muridnya, tentu kau dapat mainkan ilmu pedang itu.”

Han Le tertawa, “Sudahkah kalian melihat ilmu pedang itu?”

Mereka menggelengkan kepala.

“Kalau kalian belum pernah melihat ilmu pedang itu, bagaimana kalian bisa meminta aku memainkannya?”

Para pengemis itu saling pandang, kemudian It-gan Sin-kai berkata dengan suara keras, seakan-akan dia telah mendapatkan jalan yang terbaik untuk memecahkan hal ini.

“Kau boleh mainkan ilmu pedang itu dan kalau kau bisa menangkan kami seorang demi seorang, barulah kami akan percaya bahwa kau benar-benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai.”

Kembali semua pengemis itu menyatakan persetujuannya. Han Le tersenyum lagi dan ia menggerak-gerakkan tongkatnya yang kecil itu.

“Baiklah, tetapi bukan aku yang minta. Nah, kalian majulah seorang demi seorang untuk berkenalan dengan Hun-khai Kiam-hoat dari Suhu Ang-bin Sin-kai.”

It-gan Sin-kai maju terlebih dulu. Pengemis ini terkenal lihai sekali ilmu ginkang-nya dan juga ilmunya memainkan ilmu pedang yang dimainkan dengan tongkatnya. Tongkat itu pendek saja dan sekali dia menekan, ternyata bahwa tongkat itu dapat dilepas dan kini berubah menjadi sepasang!

“Keluarkanlah pedangmu untuk kulihat apakah betul-betul kau dapat mainkan Hun-khai Kiam-hoat!” katanya menantang.

“Bukankah kau adalah It-gan Sin-kai yang pandai mainkan ilmu pedang pasangan yang disebut Siang-hong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Burung Hong)? Kau sendiri akan menggunakan tongkat sebagai pedang, maka biarlah aku pun menirumu. Memang bagi pengemis-pengemis seperti kita lebih pantas bertongkat dari pada berpedang.”

“Sesukamulah!” Jawab It-gan Sin-kai.

Pengemis mata tunggal ini segera menyerang dengan tongkat kirinya, menusuk ke arah leher Han Le, disusul oleh tongkat kanan yang menyerang ke arah lambung.

Han Le cepat menggerakkan tongkat kecilnya sambil berkata, “Nah, inilah ilmu pedang Hun-khai Kiam-hoat bagian khai (membuka)!” katanya.

Dan It-gan Sin-kai lantas mengalami hal yang sangat aneh dan baru sekali ini dia alami dalam pertempuran-pertempuran yang sudah banyak dia lakukan.

Kemana pun juga sepasang tongkatnya menyerang, selalu saja tongkatnya itu bertemu dengan senjata lawan yang terbuka atau terpalang hingga semua serangannya terpental dan membuka. Kalau lawannya yang jauh lebih muda itu mau, dengan mudah Han Le tentu akan dapat membalas dengan memasuki bagian-bagian yang terbuka itu.

Akan tetapi, terang sekali bahwa Han Le tidak mau melukai lawan. Ia bahkan tidak mau membalas dengan serangan. Kurang lebih dua puluh jurus kemudian, Han Le berkata sambil tertawa,

“Dan inilah bagian hun (memecah)!”

Tongkatnya bergerak semakin cepat, dengan gerakan-gerakan yang amat aneh. Kali ini It-gan Sin-kai mengeluarkan suara tertahan ketika sepasang tongkatnya menjadi kacau balau gerakannya, dan benar-benar semua jurus yang ia keluarkan terpecah-belah oleh gerakan tongkat lawan. Sepasang tangannya menjadi pedas sekali dan apa bila dia tidak lekas-lekas melompat mundur, tentu sepasang tongkatnya akan terlepas dari pegangan.

“Lihai sekali!” serunya sambil menjura, “Sungguh pun aku tak dapat memastikan apakah yang kau mainkan itu betul-betul Hun-khai Kiam-hoat, tetapi harus kuakui bahwa selama hidupku belum pernah aku menghadapi ilmu silat seaneh dan selihai itu.”

Pat-jiu Sin-kai pengemis kate berperut gendut itu kini maju menggantikan It-gan Sin-kai. Senjata pengemis itu adalah tongkat panjang yang dimainkan sebagai toya. Akan tetapi, seperti halnya It-gan Sin-kai, ia pun hanya dapat bertahan tidak lebih dari tiga puluh jurus saja, sungguh pun Han Le tidak pernah menyerangnya sejurus pun.

Menghadapi tangkisan-tangkisan saja dia telah merasa bingung dan kewalahan. Bahkan pada jurus terakhir, tongkatnya membalik sedemikian rupa sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tongkat itu ujungnya menghantam kepalanya sendiri!

“Lihai benar, aku menyerah kalah!” katanya jujur.

Setelah dua orang ini yang dianggap kepandaiannya tertinggi dengan mudah menyerah kalah, semua pengemis mulai percaya.

“Kini kami mulai kehilangan keraguan bahwa kau benar-benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai,” kata It-gan Sin-kai kepada Han Le. “Sekarang bagaimana menurut pendapatmu, sahabat muda yang lihai?”

Han Le tersenyum senang. “Sudah lama aku mendengar nama Cap-si Kaipangcu yang terkenal adil serta gagah, dan ternyata memang benar demikian. Perkara kakek yang melanggar larangan perkumpulan kaipang, memang dia harus dihukum. Harta bendanya boleh dirampas dan dia juga boleh dihukum, akan tetapi bukan hukuman mati, melainkan hukuman cambuk lima puluh kali.”

“Setuju!” serentak para pengemis itu berseru. It-gan Sin-kai sendiri segera maju dan di tangannya sudah kelihatan sebatang cambuk.

Akan tetapi tiba-tiba Kiang Liat melompat ke dekat It-gan Sin-kai dan sebelum pengemis mata satu itu dapat mengelak, cambuk itu sudah dirampas oleh Kiang Liat!

“Aturan apa ini? Kau pengemis yang baru datang, betapa gagah pun kau tetap berjiwa pengemis dan berpikir bagai pengemis! Orang tua itu bosan hidup menjadi pengemis lalu menempuh hidup baru yang lebih pantas demi kebahagiaan cucunya, bukankah itu baik sekali? Kalian seharusnya meniru perbuatannya itu, benar-benar tak tahu malu! Apakah hukuman ini dilakukan karena kalian iri hati melihat dia kaya dan hidup bahagia ada pun kalian masih jadi jembel?”

Han Le memandang kepada Kiang Liat dengan mata bersinar-sinar gembira. Dia suka sekali melihat sikap pemuda itu, dan dia pun merasa kagum melihat caranya.

Kiang Liat merampas cambuk dari tangan It-gan Sin-kai. Gerakan yang dilakukan oleh pemuda itu ketika merampas cambuk, bukanlah gerakan ilmu silat yang aneh, melainkan gerakan biasa saja. Akan tetapi cara melakukannya demikian cepat dan hebat, ditambah dengan kembangan sendiri hingga It-gan Sin-kai sampai tak mengira bahwa cambuknya akan dirampas. Gerakan ini saja sudah membuktikan bahwa Kiang Liat memang memiliki bakat yang luar biasa sekali dalam ilmu silat.

Sebagian besar ahli silat, gerakan-gerakannya otomatis seperti pelajaran yang dipelajari dari guru masing-masing. Hanya orang yang berbakat tinggi saja dapat mengembangkan gerakan silat yang dipelajari dari gurunya menjadi gerakan yang sangat baik, disesuaikan dengan keadaan tubuh sendiri. Hal ini diketahui benar oleh Han Le, karena itu kini dia memandang dengan mata berseri.

“Orang muda, terhadap peraturan dan kehidupan orang-orang yang dianggap pengemis matamu seperti buta. Kau tidak tahu apa-apa, kenapa mau ikut campur? Pernahkah kau mendengar nama Ang-bin Sin-kai?” tanya Han Le.

“Tentu saja pernah,” jawab Kiang Liat mengedikkan kepala.

“Seperti apa kau mendengar tentang dia?”

“Ang-bin Sin-kai adalah seorang patriot sejati, seorang gagah yang berani membela si lemah yang tertindas sehingga ia berani menyerbu ke kota raja kemudian tewas sebagai seorang pahlawan,” jawab Kiang Liat.

Han Le makin gembira. “Apakah kau tidak mendengar bahwa dia juga seorang pengemis seperti telah disebutkan oleh julukannya?”

“Walau pun kau mengaku muridnya, akan tetapi aku tetap tidak percaya bahwa Ang-bin Sin-kai akan bersikap seperti kalian. Aku tidak dapat membayangkan bahwa pahlawan besar itu bisa direndengkan dengan orang-orang seperti kalian yang ingin menggunakan kekuatan dan jumlah banyak untuk menghina seorang kakek yang tidak berdosa, bahkan yang hendak menempuh jalan benar. Pendeknya kalian tidak boleh menyiksanya!”

“Kau lancang sekali, orang she Kiang, apakah kau juga berani menentangku?” Han Le menantang, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan matanya berseri.

“Kenapa tidak berani? Boleh jadi kau murid Ang-bin Sin-kai dan boleh jadi kau lihai, akan tetapi aku akan menentangmu apa bila kau hendak membantu pengemis-pengemis tua yang kejam ini.”

“Nah, kalau begitu mari kita bertaruh,” kata Han Le dengan wajah berseri. “Kita semua tidak mempunyai permusuhan sesuatu dan keributan ini pada hakekatnya hanya karena perbedaan paham belaka. Mari kau dan aku bertanding dan kita bertaruh.”

“Apa taruhannya?!” bentak Kiang Liat. “Untuk membela kaum lemah, aku pertaruhkan kepala dan nyawaku!”

Han Le menjadi kagum dan suka kepada pemuda tampan ini.

“Tak usah kepala dan nyawa. Mari kita bertanding dan kalau dalam dua puluh jurus aku tidak dapat merobohkanmu, aku boleh dianggap kalah.”

Semua pengemis terkejut mendengar ini. Betapa pun pandainya pengemis muda itu, tapi bagaimana dia bisa merobohkan Kiang Liat dalam dua puluh jurus? Mereka tadi sudah merasakan betapa lihainya Kiang Liat.

Kiang Liat menjadi panas perutnya. Itulah penghinaan namanya!

“Kau hendak bertaruh apa? Bagaimana kalau tidak mampu mengalahkan aku dalam dua puluh jurus?”

Han Le tersenyum. “Jika tidak mampu, berarti aku kalah dan kau boleh membunuh aku beserta semua ketua pengemis ini tanpa perlawanan sama sekali!”

Kembali semua pengemis itu terkejut sehingga ada yang pucat mukanya. Mereka tidak tahu bahwa Han Le memiliki pemandangan tajam dan sudah tahu akan kemuliaan hati Kiang Liat yang keras hati, akan tetapi dia sengaja memancing untuk melihat sampai di mana pribudi pemuda tampan ini.

“Siapa mau jiwa kalian? Apa bila aku yang menang dalam taruhan ini, cukup kalau kalian membebaskan kakek itu dan mengembalikan harta bendanya, untuk selanjutnya jangan mengganggunya lagi.” Dia berhenti sebentar lalu berkata, “Sebaliknya kalau aku kalah, kalau benar-benar dalam dua puluh jurus kau mampu merobohkanku, kau boleh berbuat sesuka hatimu kepadaku. Mau bunuh boleh bunuh!”

“Aha, enak saja kau bicara. Aku pun tak menghendaki nyawamu, orang muda. Kalau kau yang kalah, kau harus membiarkan kami menghukum pelanggar itu, ada pun kau sendiri, sebagai hukuman kau mesti menjalani kehidupan sebagai pengemis selama setahun dan ikut denganku ke mana pun aku pergi,” kata Han Le.

Merah muka Kiang Liat karena dia marah sekali. Dia membanting-banting kedua kakinya karena merasa terhina, akan tetapi mulutnya menjawab,

“Boleh, boleh! Aku tidak takut mati, mengapa takut menjadi pengemis? Bersiaplah kau!” Sambil berkata demikian, dia lalu mencabut pedangnya yang tadi sudah disarungkannya kembali.

Han Le memperlihatkan tongkatnya yang kecil. “Semenjak tadi aku sudah bersiap. Hayo majulah dengan jurus pertama!”

Melihat Han Le tersenyum-senyum seolah-olah memandang amat rendah, naiklah darah Kiang Liat. Dia telah dikenal sebagai Jeng-ciang-sian (Manusia Dewa Bertangan Seribu), kepandaiannya sudah amat tinggi sebab pemuda ini telah mewarisi seluruh ilmu silat dari ayahnya.

Ilmu silat keluarga Kiang merupakan turunan dari ilmu silat yang diciptakan oleh Jenderal Perang Kiang Bu Siong, yang ratusan tahun yang lampau pernah menggegerkan dunia karena kelihaiannya. Ilmu silat ini turun temurun dan akhirnya Kiang Liat adalah ahli waris terakhir, karena ayah bunda Kiang Liat telah meninggal dunia.

Selama beberapa tahun ini, setelah dewasa, Kiang Liat boleh dibilang telah mengangkat nama besar dengan ilmu silatnya. Tidak saja karena dia memang berkepandaian tinggi, juga orang-orang kang-ouw memandang tinggi pada keluarga Kiang ini sehingga mereka merasa segan untuk memusuhinya, karena memang mereka semua tahu belaka akan kelihaian ilmu silat keluarga Kiang.

Akan tetapi hari ini ia bertemu dengan seorang pengemis yang berambut gondrong, yang kelihatannya begitu lemah, akan tetapi begitu berani menghinanya dan menantang untuk merobohkannya dalam dua puluh jurus! Dan ini masih belum hebat. Yang lebih membikin hatinya mengkal adalah karena pengemis gondrong ini hendak menghadapi pedangnya hanya dengan sebatang tongkat kecil saja!

“Orang tua,” katanya sambil menekan hawa ke arah dadanya supaya kemarahannya tak memuncak. “Kau hendak merobohkan aku hanya dalam dua puluh jurus, itu saja sudah merupakan taruhan yang berat sebelah dan tidak adil, membikin aku merasa malu saja. Sekarang kau masih hendak menghadapiku dengan sebatang tongkat kecil, bukankah ini keterlaluan? Aku bukan seorang manusia yang hendak menang sendiri seperti itu. Kalau kau tidak mau mengeluarkan pedangmu, aku pun tidak akan menggunakan pedang dan aku melawan tongkatmu itu dengan tangan kosong.”

Han Le membelalakkan kedua matanya, kemudian tertawa terbahak, “Ha-ha-ha, Kiang Liat, kau memang patut menjadi muridku untuk setahun. Baiklah, kau lihat seranganku pertama dengan pedang!”

Kata-kata ini disusul dengan kejadian yang benar-benar hebat sekali sehingga Kiang Liat hampir berteriak kaget, dan buru-buru dia memutar pedang menangkis sambil melompat mundur. Ternyata bahwa begitu kata-katanya habis, tubuh Han Le segera bergerak dan tahu-tahu dia sudah memegang pedang yang langsung dipergunakan untuk menyerang pundak Kiang Liat. Ada pun tongkatnya yang tadi, entah dengan cara bagaimana dan kapan dilakukannya, tahu-tahu telah menancap di atas tanah!

Kiang Liat tidak mau berlaku lambat dan lemah. Begitu melihat bahwa dia sudah dapat mengelak dari serangan pertama, dia kemudian memasang kuda-kuda dan siap menanti serangan lebih lanjut. Hatinya mulai yakin bahwa ia kini menghadapi seorang lawan yang benar-benar amat lihai ilmu silatnya.

Han Le yang tidak mau membuang waktu sia-sia, segera maju lagi dan melakukan dua kali serangan beruntun. Serangannya ini begitu hebatnya serta cepatnya sehingga meski pun Kiang Liat berhasil menangkis namun dia sampai terhuyung-huyung ke belakang tiga langkah. Namun dengan pertahanan pedangnya yang amat kokoh kuat dari ilmu pedang keluarga Kiang, dia masih berhasil menggagalkan dua serangan itu sehingga kini ia telah melewati tiga jurus dengan selamat!

Kalau Kiang Liat amat terkejut melihat dua serangan yang amat aneh dan dahsyat itu, di lain pihak Han Le diam-diam harus memuji. Ia adalah murid Ang-bin Sin-kai dan ini masih belum hebat. Kepandaiannya menjadi luar biasa hebatnya karena dia telah mendapatkan Pulau Pek-hio-to (Pulau Daun Putih) ketika ia mencari suheng-nya, yakni Bu Pun Su Lu Kwan Cu, di mana ia melihat lukisan-lukisan di dinding goa kemudian melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang terukir di dinding itu. Selain ini, dalam beberapa belas tahun ini dia selalu merantau dan di dunia kang-ouw dia sudah melihat banyak sekali ilmu-ilmu silat yang tinggi, maka kepandaiannya makin matang.

Namun, melihat ilmu pedang dari keluarga Kiang yang pertahanannya demikian kokoh kuat, mau tidak mau dia harus memuji. Dari sifat pertahanan yang kuat sekali itu, secara diam-diam dia menduga bahwa tentu ilmu pedang keluarga Kiang yang dimainkan oleh pemuda ini masih satu sumber dengan Thian-san Kiam-hoat (Ilmu Pedang dari Gunung Thian-san), yang mendasarkan kepada pertahanan yang amat kuat.

“Orang tua, hayo teruskan seranganmu. Baru tiga jurus, masih kurang tujuh belas jurus lagi, akan kucoba mempertahankan diri!” Kiang Liat menantang dengan suara gembira.

Menghadapi seorang lawan yang benar-benar lihai ini, timbullah kegembiraan dalam hati pemuda yang tabah ini. Melihat wajah pengemis itu seperti ragu-ragu, dia menjadi besar hati dan timbul kesombongannya, maka ia lalu menantang.

Namun Han Le hanya tersenyum. Dalam hal taktik pertempuran, tentu saja ia jauh lebih menang dari pada Kiang Liat. Baru tiga jurus saja tahulah Han Le bahwa pemuda itu tentu akan mempertahankan diri secara mati-matian.

Dia sendiri tak bermaksud melukai atau membinasakan Kiang Liat, maka kiranya sampai dua puluh jurus belum tentu ia akan dapat merobohkan lawannya tanpa membinasakan dia. Jalan satu-satunya adalah membiarkan pemuda itu yang menyerangnya.

Ketika mempelajari ilmu silat yang aneh dari lukisan-lukisan pada dinding goa di Pulau Pek-hio-to dia mendapatkan ilmu silat yang sangat aneh gerakannya dan juga amat aneh tipu geraknya. Ilmu silat ini mendasarkan serangannya pada serangan lawan!

Memang agak aneh terdengarnya, namun memang demikianlah halnya. Ilmu silat yang ia pelajari itu sebenarnya merupakan pecahan atau sebagian kecil saja dari ilmu silat yang terdapat dalam kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Sari pelajaran dari sedikit bagian ini adalah membuka mata pelajarannya akan kekosongan atau kelemahan yang terdapat atau terbuka dalam setiap serangan lawan.

Sudah menjadi hukum alam bahwa segala sesuatu itu tentu mempunyai dua sifat yang bertentangan. Demikian pula dalam gerakan ilmu silat. Dalam penyerangan, walau pun penyerangan itu tentu saja bersifat kuat dan mengancam lawan, tentu terdapat lowongan yang bersifat lemah dan terancam. Misalnya saja seorang yang memukul dengan tangan kanan, otomatis kedudukannya akan lemah karena kuda-kudanya hanya di atas sebelah kaki saja, demikian seterusnya.

Han Le yang amat cerdik itu hendak menggunakan ketabahan dan kekerasan hati Kiang Liat untuk mengalahkannya. Maka ia tersenyum-senyum ketika ditantang, lalu menjawab, “Anak muda, setelah melihat tiga gebrakan, aku yakin bahwa tanpa menyerangmu pun aku akan sanggup merobohkanmu. Apa lagi kalau aku serang, sedangkan dengan hanya mempertahankan diri saja, sebelum tujuh belas jurus lagi kau pun tentu akan terpelanting sendiri kelelahan!”

Mendengar ini, bukan main marahnya hati Kiang Liat. Dia benar-benar sudah dipandang rendah oleh pengemis ini. Kalau saja ia tidak begitu muda dan keras hati, boleh jadi ia tahu akan siasat pengemis yang lihai itu. Namun kemarahan hatinya membuat dia tidak mau berpikir panjang lagi. Sambil memutar pedangnya ia berseru,

“Pengemis sombong, rasakan kelihaian ilmu pedangku!”

Ia lalu menyerang bagaikan gelombang ombak. Serangannya datang bergulung-gulung, susul-menyusul dengan gerak tipu yang paling lihai dari ilmu pedangnya. Pedangnya lalu lenyap dan berubah menjadi segulung sinar yang berkilauan, bagaikan seekor naga yang berlagak di angkasa.

Para tokoh pengemis yang berada di sana diam-diam kagum sekali, tidak hanya kagum melihat kehebatan ilmu pedang itu, terutama sekali kagum melihat keindahan gerakan-gerakan dari pemuda tampan itu.

Memang, ilmu pedang keluarga Kiang kuat pertahanannya seperti Thian-san Kiam-hoat, akan tetapi indah sekali gerak-geriknya, bahkan lebih indah dari pada gerakan-gerakan ilmu pedang Bu-tong-pai. Han Le sendiri diam-diam memuji dan kalau ia dahulu di waktu muda tidak mewarisi ilmu kepandaian dari lukisan pada dinding goa di Pulau Pek-hio-to, agaknya dengan Hun-khai Kiam-hoat saja ia tidak mungkin dapat mengalahkan pemuda ini tanpa melukainya dalam dua puluh jurus!

Sepuluh jurus lewat dan Kiang Liat merasa pening. Matanya kabur dan pedas karena lawan yang diserangnya itu seolah-olah bukan manusia, melainkan bayang-bayang atau asap saja. Ke mana pun juga ia menyerang, selalu mengenai angin saja dan bayangan lawannya berpindah tempat. Namun ia mendesak makin hebat. Sebelas jurus lewat, dua belas, tiga belas, lima belas jurus! Dengan tiga jurus yang pertama, delapan belas jurus telah lewat!

Para ketua perkumpulan pengemis berdebar-debar hatinya. Apa bila dalam dua jurus lagi pemuda itu tidak roboh, berarti mereka kalah bertaruh! Dan agaknya tidak mungkin akan roboh, karena Kiang Liat masih berada di pihak penyerang. Akan tetapi, bagi Kiang Liat sendiri, ia kaget setengah mati ketika kehilangan lawannya yang lenyap entah berada di mana.

Sebelum ia dapat mencari lawannya kembali, tahu-tahu punggungnya telah tertotok oleh jari tangan yang amat lunak dan kuat. Seluruh tubuhnya lemas dan sekali renggut saja Han Le dapat merampas pedangnya. Kiang Liat berusaha hendak mempertahankan diri agar jangan roboh, namun dengan enaknya Han Le mendorong dadanya dan Kiang Liat tak dapat menahan, roboh terjengkang! Tepat sembilan belas jurus ia benar-benar kena dirobohkan tanpa terluka sedikit pun.

Cap-si Kaipangcu bersorak sorai, tidak saja karena girang mendapat kemenangan dalam taruhan, akan tetapi terutama sekali karena merasa terkejut dan kagum. Tanpa ada yang perintah, mereka otomatis menjatuhkan diri berlutut di depan Han Le, dan It-gan Sin-kai berkata mewakili kawan-kawannya.

“Mohon Han-taihiap sudi memaafkan kami sekalian yang bermata buta sehingga sempat tidak percaya bahwa Taihiap adalah murid dari Locianpwe Ang-bin Sin-kai.”

Han Le menghadapi mereka dan mukanya bersungguh-sungguh.

“Cuwi Kai-yu yang baik. Suhu dahulu memang seorang pengemis seperti aku pula, dan memang dalam setiap perkumpulan, orang-orang harus mentaati peraturan. Akan tetapi segala macam hukuman itu harus disesuaikan dengan kedosaan orang yang melanggar aturan. Menurut yang kudengar tadi, Song-lokai (Pengemis Tua she Song) itu meski pun telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang perkumpulan, tetapi pelanggaran itu bukan karena dia jahat. Dia ingin keluar dari keanggotaan pengemis karena dia ingin mengangkat derajat cucunya perempuan. Dan hal ini harus kita maklumi bersama karena tidak dapat disangkal lagi bahwa derajat seorang gadis cucu pengemis memang sangat rendah!” Setelah berkata demikian, Han Le mengerling tajam ke arah Song Lo-kai.

Kakek itu cepat menghampiri Han Le, kemudian berkata, “Bukan demikian, Han-taihiap. Memang aku telah bersalah, dan untuk kesalahan itu, biar pun dihukum mati, aku Si Tua Bangka takkan penasaran. Hanya saja, cucuku hidup sebatang kara, tiada orang tuanya lagi dan kepada siapakah dia mengandalkan hidupnya kalau tidak kepadaku, kakeknya? Karena inilah, maka sebelum mati aku ingin meninggalkan sedikit kekayaan kepadanya, agar kelak dia tak akan hidup terlantar. Untuk kebenaran omonganku, aku Si Tua Bangka she Song bersedia bersumpah.”

Han Le mengangguk-angguk, kemudian berkata pada It-gan Sin-kai, “Kalian mendengar sendiri, maka bagaimana sekarang keputusan kalian?”

“Terserah kepada Han-taihiap. Dengan adanya Taihiap di sini dan tadi sudah memberi peringatan kepada kami, kami anggap bahwa Han-taihiap mewakili Locianpwe Ang-bin Sin-kai, dan kami menerima segala keputusan Taihiap.”

“Keputusanku, dia boleh dihukum cambuk lima puluh kali akan tetapi tidak boleh sampai mati. Hartanya boleh dia bawa pulang untuk cucunya.”

“Baik, Taihiap, kami akan menjalankan keputusan itu,” kata It-gan Sin-kai.

“Bagus, dan aku percaya bahwa di kemudian hari kalian akan memutuskan sesuatu lebih bijaksana lagi agar tidak terjadi hal-hal seperti sekarang. Sediakan seperangkat pakaian pengemis untuk muridku ini dan ganti pakaiannya yang terlalu bagus itu.”

Memang aneh sekali, di antara semua ketua perkumpulan pengemis itu hampir semua membawa pengganti pakaian, biar pun pakaian itu adalah pakaian tambal-tambalan yang buruk! Tidak heran apa bila pakaian mereka biar pun buruk dan penuh tambalan, namun selalu kelihatan bersih.

Seorang ketua yang mempunyai potongan tubuh hampir sama dengan Kiang Liat segera memberikan pakaiannya, lalu beramai-ramai sambil tertawa-tawa mereka menanggalkan semua pakaian Kiang Liat dan menggantikan pakaian butut itu kepada tubuh pemuda ini.

Kiang Liat tidak bisa berbuat sesuatu, oleh karena dia sudah tertotok dan lemas semua tubuhnya. Andai kata ia tidak tertotok, ia pun tentu takkan melawan, karena memang ia sudah merasa kalah bertaruh yang berarti bahwa dia harus menjalankan hidup seperti pengemis setahun lamanya, merantau ikut dengan Han Le yang sudah menjadi gurunya!

Sesudah Kiang Liat kini memakai pakaian pengemis, Han Le memandang dan tertawa, “Bagus, bagus! Kau sekarang kelihatan tampan, patut menjadi muridku!” Setelah berkata demikian, ia menyambar tubuh Kiang Liat dan sekali berkelebat saja ia lenyap bersama muridnya itu.

Cap-si Kaipangcu tidak berani mencegah, tapi pada saat itu kakek tua she Song berseru keras, “Han-taihiap, tunggu sebentar, lohu ada permohonan penting!”

Dalam sekejap mata saja, Han Le sudah kembali kelihatan di tempat itu dan tangannya masih mengempit tubuh Kiang Liat.

“Song Lo-kai, kau mau bicara apakah? Apa kau masih penasaran dengan keputusanku tadi?”

Song Lo-kai menjatuhkan diri berlutut di depan Han Le. “Sungguh mati, Han-taihiap, lohu mana berani penasaran? Keputusan itu bahkan terlampau murah bagi lohu. Hanya ada permohonan lohu mengenai cucu lohu yang bersama Song Bi Li.”

Han Le memandang heran. “Apa maksudmu? Apa yang dapat kulakukan untuk seorang gadis yang menjadi cucumu itu?”

Song Lo-kai memandang kepada Kiang Liat yang masih lemas dan sedang dikempit oleh Han Le seperti seorang anak kecil, lalu berkata, “Nyawa lohu yang tidak berharga sudah diselamatkan oleh Kiang-enghiong dan kiranya sampai mati pun lohu yang sudah tua bangka ini tak akan dapat membalas budinya. Cucuku Bi Li hidup sebatang kara dan kini usianya sudah delapan belas tahun. Hanya seorang pemuda gagah perkasa dan berjiwa budiman seperti Kiang-enghiong ini saja yang kiranya akan dapat menjamin kesentosaan hidup cucuku itu. Oleh karena ini, lohu ingin menyerahkan cucuku yang bodoh itu kepada Kiang-enghiong.”

Han Le tertawa bergelak dan Kiang Liat biar pun tidak berdaya akan tetapi masih dapat mendengar semua ucapan ini sehingga mukanya menjadi merah sekali.

“Ha-ha-ha, maksudmu ini baik sekali, Song-lokai. Akan tetapi aku tak berkuasa dalam hal ini, hanya saja aku berjanji bahwa sesudah Kiang Liat menghabiskan pelajarannya yang setahun lamanya, aku akan menyuruhnya mencarimu agar kalian berdua bisa berunding sendiri.” Setelah berkata demikian, kembali ia berkelebat dan kali ini ia tidak kembali lagi.

Song-lokai girang sekali, dan sambil tertawa-tawa dia lalu berkata, “Cuwi-pangcu, silakan menjalankan hukuman cambuk kepadaku.”

Hukuman lantas dilakukan dan disesuaikan dengan keputusan Han Le. Pencambukan itu dilakukan hanya untuk memenuhi bunyi hukuman saja, dan Song-lokai hanya menderita lecet-lecet pada kulit punggungnya.

*****

Kiang Liat sebetulnya adalah seorang pemuda yang kaya raya. Pada waktu orang tuanya meninggal dunia, mereka mewariskan sebuah rumah gedung yang megah dan dipenuhi dengan perabot rumah yang indah, selain ini masih banyak sawah ladang dan uang yang ditinggalkan.

Oleh karena Kiang Liat hidup seorang diri, hanya bersama seorang pelayan wanita tua yang menjadi inang pengasuhnya semenjak dia dilahirkan, maka kebutuhan hidupnya tak seberapa besar dan tentu saja hasil sawah ladangnya sudah lebih dari cukup baginya.

Hidupnya tidak mewah karena dia memang suka akan kesederhanaan, namun dia tidak sayang mengeluarkan uang, apa lagi untuk menolong orang dan untuk menjamu kawan-kawannya. Biasanya dia hidup senang, berpesiar atau merantau ke sana ke mari sampai bekal uangnya habis baru dia ingat untuk pulang ke rumahnya di kota Siankoan.

Kini sesudah dia bertemu dengan Han Le dan menerima hukuman selama setahun hidup sebagai pengemis, tentu saja pada mulanya dia merasa terhina dan bisa membayangkan bahwa dia akan sengsara sekali. Akan tetapi, alangkah girangnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa hidup seperti ini benar-benar bebas seperti burung di udara. Apa lagi ketika gurunya itu mulai menurunkan ilmu silat yang luar biasa sekali, dia girang bukan main.

Ia merasa amat berbahagia dapat bertemu dengan Han Le, dan tidak saja ia menerima latihan ilmu silat, tetapi dia juga mendapatkan banyak pelajaran tentang kebatinan yang membuka matanya. Kini dia tidak berani memandang rendah kepada para pengemis itu, yang sesungguhnya menjadi pengemis bukan karena malas, akan tetapi sengaja hidup sebagai pengemis untuk menyatakan bela sungkawa akan keadaan rakyat yang banyak menderita.

Mereka adalah pengemis-pengemis, namun sekali-kali bukan tukang minta-minta belaka. Mereka minta-minta seolah-olah hanya untuk menguji apakah manusia-manusia di waktu itu masih ingat akan nasib sesama manusia. Dan di balik semua sandiwara ini, ternyata mereka adalah pendekar-pendekar yang tidak saja selalu siap sedia dengan tenaga dan kepandaian untuk menolong mereka yang sengsara, bahkan mereka selalu siap sedia pula untuk mengulurkan tangan menolong dengan sumbangan uang yang ternyata cukup banyak disimpan di dalam perkumpulan-perkumpulan pengemis itu!

Sesudah menjadi murid Han Le, kepandaian Kiang Liat semakin maju dan matang. Kini seperti gurunya, jarang sekali ia mau mencabut pedangnya dan cukup dengan sebatang ranting kecil saja ia sudah mampu menjaga diri dan kalau perlu merobohkan tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai.

Kini terbukalah matanya betapa jauh perbedaan hidup antara orang-orang kaya raya dan orang-orang miskin, laksana bumi dengan langit. Terbuka pula matanya bahwa di dalam kemiskinan, ia bahkan banyak melihat orang-orang jujur dan berhati mulia.

Han Le adalah seorang yang berilmu tinggi. Melihat gerak-gerik ilmu pedang Kiang Liat, dia tidak ingin merusak kepandaian pemuda itu dengan memberi pelajaran ilmu pedang lain. Sebaliknya, ia hanya memberi pelajaran dari lukisan-lukisan pada dinding goa Pulau Pek-hio-to, mengajar gerakan-gerakan yang disesuaikan dengan ilmu pedang Kiang Liat sehingga kini ilmu pedang pemuda itu menjadi makin indah dan makin kuat.

Bahkan, dengan bantuan gurunya ini, akhirnya Kiang Liat bisa menciptakan ilmu pedang yang halus gerak-geriknya, tidak beda bagaikan orang menari-nari saja, akan tetapi di dalamnya terkandung kekuatan yang maha hebat.

Han Le membawa Kiang Liat merantau jauh dan selama satu tahun itu, banyak hal yang dilakukan oleh guru dan murid itu sehingga nama mereka makin meningkat tinggi dan menjadi terkenal di dunia kang-ouw. Kini nama Jeng-ciang-sian Kiang Liat amat disegani orang-orang kang-ouw, dan banyak orang tahu bahwa Kiang Liat sudah menjadi murid Han Le.

Setahun kemudian, Han Le dan muridnya berada di lembah Sungai Huang-ho, di dataran tinggi yang hijau segar, penuh tetumbuhan.

“Kiang Liat, waktumu telah lewat dan kau kini bebas. Kau boleh pulang dan agaknya kau sekarang sudah mengerti akan keadaan di dunia sehingga kelak kau tak akan melakukan kesalahan-kesalahan dalam tindakanmu.”

“Suhu, teecu masih ingin terus belajar kepada Suhu, kalau boleh, biar sepuluh tahun lagi teecu sanggup hidup seperti sekarang ini asal boleh menjadi murid Suhu,” jawab Kiang Liat.

Han Le tersenyum, “Kiang Liat, ketahuilah bahwa hanya karena aku suka kepadamu dan melihat bakatmu yang amat baik saja maka kau kuberi pelajaran ilmu silat itu. Namun sesungguhnya aku tidak berhak, karena ilmu silat yang kuajarkan kepadamu merupakan pecahan kecil dari isi Im-yang Bu-tek Cin-keng yang menjadi milik suheng-ku. Kau amat beruntung dapat bertemu dengan aku dan kini agaknya ilmu pedangmu sukar mendapat tandingan di dunia kang-ouw. Seorang laki-laki harus dapat memegang janji. Dahulu kita berjanji akan berkumpul selama satu tahun dan sekarang waktunya telah habis. Dan kau ingatlah, dulu aku berjanji kepada Kakek Song agar kau menemuinya untuk bicara soal perjodohan yang dia usulkan. Aku tidak mau berlaku lancang, soal perjodohan terserah padamu, hanya menurut pendapatku, Kakek Song itu adalah seorang tua yang memiliki semangat dan pribadi cukup baik. Kiranya cucunya tak akan mengecewakan. Akan tetapi semua keputusan terserah kepadamu sendiri, hanya kuminta supaya kau suka bertemu dengan dia agar janjiku terpenuhi.”

“Baiklah, Suhu. Terima kasih banyak atas segala pelajaran dan nasehat yang selama ini teecu terima dari Suhu. Setahun dekat dengan Suhu bagi teecu lebih berharga dari pada sepuluh tahun yang sudah-sudah.”

Pada saat itu, mendadak wajah Han Le berubah dan tiba-tiba pengemis sakti ini berseru keras sekali. Wajahnya nampak berseri girang dan juga kedua matanya terheran-heran. “Suheng…! Kau di sini…?”

Kiang Liat memandang ke arah gurunya memandang, namun dia tidak melihat sesuatu. Tiba-tiba dari jurusan itu, yang tidak kelihatan ada apa-apa, terdengar suara yang halus sekali, akan tetapi menusuk telinga karena mengandung tenaga luar biasa dan pengaruh besar.

“Sute, siapa anak muda itu?”

“Dia adalah Kiang Liat, muridku!”

Tiba-tiba saja debu mengebul dan tahu-tahu seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, sedikit lebih tua dari pada Han Le, berpakaian kusut sederhana akan tetapi tidak menyembunyikan kegagahan dan ketampanannya, telah berdiri di situ.

Kiang Liat memandang dengan mulut ternganga. Dia yang telah mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana sampai tidak mampu melihat dan mengikuti gerakan orang ini? Ibliskah dia?

Ketika laki-laki itu memandangnya, Kiang Liat hampir menundukkan mukanya. Demikian tajam pandangan mata itu menusuk matanya sendiri.

“Sute, kau kan tidak menurunkan Im-yang Bu-tek Cin-keng?” tanya orang itu.

Muka Han Le berubah dan kelihatan gugup. “Hanya sedikit, Suheng, bagian permainan pedang dan lweekang untuk memperkuat ilmu pedangnya sendiri, yakni ilmu pedang dari keluarga Kiang yang tersohor.”

“Hm, sute Han Le, betapa pun juga, kau telah berlaku sembrono sekali. Kau harus tahu bahwa ilmu kita itu sangat berbahaya kalau digunakan oleh orang yang beriman lemah. Sekarang kau sudah terlanjur menurunkan padanya, biar pun sedikit hal itu sudah berarti bahwa selamanya engkau dan aku harus selalu menyelidiki dan menjaga jangan sampai orang mempergunakannya tidak pada tempatnya!”

Han Le memandang kepada suheng-nya dengan mata penuh keheranan, apa lagi ketika ia kini melihat wajah suheng-nya amat kusut, matanya sayu dan kerut-merut pada wajah suheng-nya itu menunjukkan jelas bahwa suheng-nya telah mengalami penderitaan batin hebat selama ini. Sudah belasan tahun ia tidak bertemu dengan suheng-nya ini dan kini suheng-nya benar-benar telah berubah. Adatnya menjadi keras dan aneh. Akan tetapi, ia merasakan kebenaran ucapan suheng-nya itu dan ia pun mengangguk-angguk.

Orang itu lalu menghadapi Kiang Liat yang memandang kepadanya dengan perasaan tak senang. Sebelum orang itu bicara, Kiang Liat mendahului, bertanya kepada Han Le,

“Suhu, mohon memberi penerangan kepada teecu, siapakah adanya Lo-enghiong yang baru datang ini.”

“Bocah bodoh, dia inilah supek-mu. Dia suheng-ku bernama Lu Kwan Cu, berjuluk Bu Pun Su, ahli silat nomor satu di dunia ini!”

Kiang Liat terkejut bukan main. Tadi ia sudah menduga-duga ketika mendengar suhu-nya menyebut suheng kepada orang ini, akan tetapi dia masih penasaran dan sangsi, karena melihat orangnya, Bu Pun Su ini tidak begitu mengesankan sungguh pun kedatangannya tadi seperti siluman saja.

“Kiang Liat, berapa lama kau belajar kepada suhu-mu?”

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

Kiang Liat sudah menjatuhkan diri berlutut dan kini menjawab,

“Hanya satu tahun, Supek, karena menurut perjanjian memang teecu hanya boleh belajar satu tahun.”

“Perjanjian?” Lu Kwan Cu atau Bu Pun Su menoleh kepada Han Le.

Han Le tertawa dan menceritakan mengenai pertaruhan setahun yang lalu. Bu Pun Su mengerutkan keningnya yang tebal dan sudah mulai memutih.

“Tidak baik bagi seorang pemuda memiliki kesombongan dan terlalu keras. Orang-orang muda sering kali mendatangkan keributan di dunia, didorong oleh nafsunya sendiri tanpa mengingat akibat dari perbuatan yang ditunggangi oleh nafsu. Berdirilah kau!”

Kiang Liat berdiri, hatinya tidak enak.

“Cabut pedangmu!”

Kiang Liat ragu-ragu dan melirik ke arah Han Le, akan tetapi gurunya memberi isyarat dengan matanya agar pemuda itu menurut saja. Maka ia pun kemudian mencabut keluar pedangnya, pedang pusaka keturunan keluarga Kiang, memegang pedang itu lurus ke atas menempel jidat, tanda menghormat dan tidak mempunyai maksud buruk terhadap orang di depannya.

Akan tetapi Bu Pun Su tidak peduli kepadanya dan memerintah terus,

“Serang aku dengan pedangmu!”

Inilah keterlaluan, pikir Kiang Liat. Dia tidak mau berlaku kurang ajar dan lancang, maka bagaimana ia berani menyerang orang yang baru saja diperkenalkan kepadanya sebagai supek-nya?

“Hayo serang, bodoh!” Bu Pun Su membentak lagi dan bentakannya begitu berpengaruh sehingga di dalam tubuh Kiang Liat seakan-akan timbul aliran tenaga yang membuat dia otomatis bergerak!

Pedangnya menyambar, menusuk ke arah muka supek-nya itu. Namun dia segera ingat bahwa dia terlalu kurang ajar jika menyerang dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu selanjutnya ia mengendurkan gerakannya dan hanya memperlihatkan tipu-tipu serangan yang indah untuk membuktikan kepada supek-nya bahwa gurunya tidak memiliki murid secara sembarangan dan bahwa ia sebetulnya juga ‘berisi’!

Akan tetapi dia melihat Bu Pun Su sama sekali tidak menggerakkan kedua kaki, setapak pun tidak pindah dari tempat berdirinya semula. Kedua ujung lengan baju orang sakti itu bergerak-gerak ke depan dan bukan main hebatnya!

Dari sepasang tangan yang bersembunyi di dalam lengan baju itu lantas keluar tenaga luar biasa kuatnya sehingga angin tangkisannya saja selalu dapat menahan pedangnya. Pedangnya selalu terpental kembali seakan-akan terbentur pada benda yang amat keras.

“Jangan sungkan-sungkan, serang sungguh-sungguh!” Kembali Bu Pun Su membentak.

Kali ini Kiang Liat langsung menyerang dengan sungguh-sungguh. Bukan saja karena dia mendengar perintah ini, juga karena hatinya merasa penasaran sekali. Bagaimana orang dapat membikin semua serangan pedangnya tak berdaya hanya dengan hawa tangkisan belaka? Inilah aneh, seperti sihir atau dalam mimpi saja.

Ia mengerahkan seluruh lweekang-nya dan mengeluarkan tipu-tipu silat yang paling lihai. Ia mainkan pedangnya dengan ilmu pedang keluarga Kiang, ditambah dengan gerakan-gerakan halus dari ilmu silat yang ia pelajari dari Han Le.

Betul saja bahwa ilmu pedangnya memang hebat. Buktinya, Bu Pun Su kini tidak dapat menghadapinya dengan hawa tangkisan belaka, akan tetapi orang sakti itu bergerak ke sana ke mari dengan sangat lambat. Namun, betapa pun lambatnya gerakan kaki orang sakti itu, pedang di tangan Kiang Liat tak pernah mengenai sasaran, bahkan menyentuh baju Bu Pun Su saja tidak dapat!

Setelah Kiang Liat menyerang sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba pemuda ini merasa telapak tangan yang memegang pedang sakit sekali sehingga dia terpaksa melepaskan pedangnya. Ketika dia memandang, pedangnya itu sudah terampas oleh gulungan ujung lengan baju Bu Pun Su!

Bu Pun Su sekarang tersenyum dan mengembalikan pedang yang diterima oleh Kiang Liat dengan muka merah.

“Harap Supek tidak mentertawakan kebodohan teecu dan mohon petunjuk,” kata Kiang Liat merendah. Kini dia merasa tunduk dan takut sekali kepada orang sakti ini yang ilmu kepandaiannya benar-benar luar biasa sekali ini.

Bu Pun Su sekarang tertawa lantas berpaling kepada Han Le, “Ahh, Sute. Benar-benar matamu awas sekali. Dalam setahun telah dapat menggerakkan pedang seperti itu, ahh, kalau dia mempelajari semua ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, bahkan aku sendiri tak akan mampu melawannya. Kiang Liat, kulihat walau pun kau mempergunakan pedang seluruhnya atas dasar ilmu silat pedang dari keluarga Kiang, namun isinya mengandung tenaga rahasia dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Oleh sebab itu, kau memang telah menjadi murid kami. Hal ini tidak boleh kau anggap main-main. Sekali saja kau menyeleweng dan mempergunakan ilmu untuk melakukan kejahatan, meski pun kau berada di tempat yang selaksa li jauhnya, aku sendiri akan mencarimu dan mencabut nyawamu agar ilmu dari kami tidak dipergunakan untuk kejahatan. Mengerti?”

“Teecu bersumpah takkan tunduk terhadap godaan iblis dan nafsu jahat!” kata Kiang Liat sambil mengedikkan kepalanya. Ia benar-benar merasa marah karena ketidak percayaan supek-nya terhadap dirinya ini.

“Bagus, akan kita lihat bersama. Apa bila benar-benar kau tidak mengecewakan menjadi murid kami, kelak kalau ada jodoh aku sendiri akan menambah satu dua ilmu pukulan kepadamu. Sute, mari kita pergi dari sini, aku punya urusan yang penting sekali untuk dibicarakan!” Setelah berkata demikian, dengan sekali berkelebat Bu Pun Su lenyap dari pemandangan mata Kiang Liat.

“Muridku, berhati-hatilah dan kau cari Song Lo-kai. Sampai bertemu kembali kalau ada jodoh!” Han Le juga berkata kemudian melompat dan lenyap untuk menyusul suheng-nya yang luar biasa itu.

Seperginya kedua orang sakti itu, Kiang Liat lalu berlutut ke arah mereka menghilang. Kemudian ia berdiri dan menarik napas berulang-ulang.

“Hebat… tadinya kukira bahwa kepandaian Suhu sudah tidak ada taranya di muka bumi ini. Tidak tahunya kepandaian Supek Bu Pun Su bahkan jauh lebih tinggi lagi! Ah, sayang sekali aku hanya mendapat kesempatan satu tahun. Kalau saja aku bisa menjadi murid Supek, alangkah senangnya…”

Kemudian, sesudah menyimpan pedangnya, sambil membawa sebatang ranting seperti suhu-nya, Kiang Liat pergi meninggalkan tempat itu dan menuju ke dusun Sui-chun di mana tinggal Song Lo-kai. Diam-diam ia merasa tidak enak dan sungkan-sungkan, sebab kepergiannya ini adalah untuk menghadapi Song Lo-kai yang mengusulkan pernikahan, padahal ia sama sekali belum memikirkan persoalan pelik ini.

Namun, ada juga sedikit keinginan tahu melihat macamnya cucu perempuan dari Song Lo-kai! Sedikit kok.


*****


Dara Baju Merah Jilid 01

DARA BAJU MERAH

Karya Kho Ping Hoo

JILID 01

"ORANG she Kiang! Melihat usiamu yang masih muda, kami masih menaruh hati kasihan kepadamu. Kami nasihatkan supaya kau pergi dari sini dan jangan mencampuri urusan kami," terdengar suara yang kecil dan nyaring.

"Kiang-enghiong, ucapan Hek-tung Beng-yu (Sahabat Tongkat Hitam) tadi memang amat tepat. Menilik gerak-gerikmu, kau adalah seorang ahli silat yang sudah pandai, mengapa kau tidak tahu akan aturan kang-ouw? Kami para ketua perkumpulan pengemis sedang mengurus persoalan kami sendiri, kenapa kau begitu tidak tahu malu untuk mencampuri urusan kami? Lebih baik lekaslah kau pergi sebelum terjadi hal-hal yang kurang baik bagi dirimu," kata pula suara ke dua yang parau dan kasar.

Suara dua orang ini disusul oleh gumaman banyak mulut yang menyatakan persetujuan. Dua orang yang bicara tadi, juga mereka yang menyatakan persetujuan adalah kumpulan orang tua yang sangat aneh, baik dilihat dari bentuk tubuh, pakaian, mau pun gerak-gerik mereka.

Mereka ini sudah jelas merupakan sekumpulan pengemis-pengemis, karena baju mereka penuh tambalan dan di tangan mereka terlihat tongkat dan tempat sedekah, seperti panci butut, batok, kaleng dan lain-lain. Jumlah mereka ada empat belas orang.

Akan tetapi kalau orang tahu siapakah adanya mereka ini, dia tentu akan terkejut, karena mereka ini bukan lain adalah ketua-ketua dari seluruh kaipang (perkumpulan pengemis) yang tersebar di seluruh Tiongkok dan merupakan ketua-ketua dari semua perkumpulan terbesar. Jangan ditanya lagi tentang kepandaian mereka!

Baru orang pertama yang tadi berbicara dengan suara kecil nyaring saja, yang tubuhnya tinggi kurus dan matanya buta sebelah kiri, yang dijuluki orang It-gan Sin-kai (Pengemis Sakti Mata Satu), kelihaiannya hanya di bawah kepandaian raja pengemis puluhan tahun yang lalu, yakni Ang-bin Sin-kai (Pengemis Sakti Muka Merah) yang menggemparkan dunia kang-ouw.

Seperti halnya Ang-bin Sin-kai yang sudah meninggal dunia, pengemis bermata satu ini juga beberapa kali pernah menggegerkan istana kaisar karena dia menyerbu dapur dan menyikat habis masakan-masakan yang paling lezat di dapur istana!

Juga orang ke dua yang suaranya parau dan kasar, yang bertubuh kate dengan perutnya saja yang besar dan gendut seperti anak cacingan, bukanlah sembarangan orang. Dia ini disebut Pat-jiu Siauw-kai (Pengemis Kecil Tangan Delapan) dan kelihaiannya dalam ilmu silat tidak kalah oleh It-gan Sin-kai!

Demikian pula dua belas orang pengemis yang lain, masing-masing adalah ketua-ketua pengemis yang sudah amat terkenal di dunia kang-ouw, dan kesemuanya boleh dibilang merupakan orang-orang yang menjunjung tinggi Pengemis Sakti Muka Merah, mendiang Ang-bin Sin-kai. Sebab itu pula, maka mereka terkenal sebagai pemimpin-pemimpin yang menjaga keras semua peraturan sehingga para anggota perkumpulan mereka berdisiplin.

Biar pun hidup sebagai pengemis-pengemis, akan tetapi mereka merupakan sekumpulan orang-orang gagah yang selalu siap sedia menolong kaum lemah yang tertindas! Mereka adalah golongan pendekar-pendekar yang menyamar sebagai pengemis-pengemis, atau lebih tepat lagi, yang suka memilih hidup bebas bagaikan burung di udara. Dan menurut anggapan mereka, hanya pengemis-pengemis saja yang bisa hidup bebas seperi burung di udara.

Empat belas orang ketua pengemis itu sekarang nampak tidak senang. Mereka sedang menghadapi seorang laki-laki muda yang umurnya kurang lebih dua puluh lima tahun.

Pemuda ini amat gagah, pakaiannya bersih dan indah, wajahnya tampan sekali dengan alis tebal dan hidung mancung. Bibirnya merah seperti bibir wanita. Dadanya bidang dan menonjol ke depan, sepasang lengannya kekar serta dia nampak lebih tegap dan gagah karena pedang yang tergantung pada punggungnya. Pemuda itu mempunyai sepasang mata yang tajam dan selalu berseri gembira.

Kini menghadapi empat belas orang kakek pengemis yang marah-marah itu, dia hanya tersenyum-senyum mengejek, sama sekali tidak merasa takut sungguh pun dia sudah mengenal, atau setidaknya pernah mendengar nama semua ketua pengemis ini dan telah maklum pula akan kelihaian mereka.

“Hm, Cuwi Lo-kai (Para Tuan Pengemis Tua) bicara tentang pelajaran ilmu silat, tentang peraturan kang-ouw, dan tentang tahu malu? Pernah siauwte mendengar ujar-ujar Guru Besar Khong Cu yang berbunyi seperti berikut: Ho Hak Kin Houw Ti, Lek Heng Houw Jin, Ti Thi Kin Houw Yong! Tahukah Cuwi akan artinya? Kalau tak salah, maksudnya begini: Suka belajar berarti mendekati pengetahuan, menjalankan ilmu pengetahuan itu artinya mendekati welas asih dan tahu malu berarti mendekati kegagahan!”

Pat-jiu Siauw-kai yang terkenal paling berangasan, menjadi marah dan ia pun melangkah maju, lalu menudingkan telunjuknya ke arah hidung pemuda itu, “Kau ini anak kecil bau pupuk, mau berlagak menjadi guru ilmu batin? Kau kutip-kutip segala isi kitab Tiong-yong (kitab pelajaran Guru Besar Khong Hu Cu) dengan maksud apakah?”

“Sabarlah, Lo-kai. Kau yang punya terlalu banyak tangan harus bisa bersikap tenang dan sabar,” kata pemuda itu yang menyindir pengemis kate ini yang berjuluk Pengemis Kecil Berlengan Delapan. “Bukankah tadi kau yang menyatakan bahwa aku telah mempelajari ilmu silat akan tetapi tidak tahu akan peraturan dunia kang-ouw dan tidak tahu malu? Nah, jawabku ialah isi ujar-ujar yang tepat itu.”

“Apa maksudmu?” Pat-jiu Siauw-kai membentak.

“Maksudku? Segala tindakanku kusesuaikan dengan ujar-ujar indah itulah. Aku bersusah payah belajar silat untuk mengejar ilmu. Sesudah ilmu kudapatkan, aku menjalankannya untuk menolong sesama manusia, ini berarti mendekati pribudi baik atau welas asih. Ada pun hal tahu malu seperti kau singgung-singgung tadi, Guru Besar berkata bahwa kalau kita tahu malu, itu artinya kita mendekati sifat gagah. Akan tetapi kalian ini, empat belas orang ketua perkumpulan besar, orang-orang kang-ouw yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa sekarang justru hendak menyiksa dan membunuh seorang kawan tua yang tak berdaya? Apakah itu namanya tahu malu? Kalianlah orang-orang yang tak tahu malu dan karenanya aku yang muda tidak dapat menganggap kalian ini orang-orang gagah!”

“Kiang Liat, kau sombong bukan main!” Seorang pengemis gemuk bundar yang berjuluk Tiat-tho Mo-kai (Pengemis Iblis Kepala Besi) melompat maju dan memaki marah, “Kau ini orang luar tahu apa? Dalam undang-undang partai pengemis nomor tujuh belas berbunyi begini: Segala keputusan rapat ketua tak boleh dicampuri oleh orang luar.”

Pemuda yang bernama Kiang Liat itu tersenyum. “Peraturan dan undang-undangmu itu hanya berlaku untuk kalian sendiri, aku peduli apa? Pendeknya, sebagai seorang yang pernah mempelajari ilmu silat, yang sudah bersumpah untuk hidup sebagai pendekar dan menolong si lemah yang tertindas, aku Kiang Liat tidak akan membiarkan kalian begitu saja menyiksa dan membunuh kakek itu. Habis perkara!”

“Kau menghina Cap-si Kaipangcu (Empat Belas Ketua Perkumpulan Pengemis)!” Tiat-tho Mo-kai membentak marah dan dengan cepat ia lalu menggerakkan tubuh.

Lucu dan mengagumkan sekali gerakannya ini. Walau pun tubuhnya gemuk dan bundar, namun gerakannya ternyata luar biasa cepatnya dan tahu-tahu tubuh itu telah meluncur seperti dilemparkan, dengan kepala di depan ia menyeruduk ke arah Kiang Liat!

Serangan ini lihai sekali dan jarang ada ahli silat berani menerima serangan kepala dari Tiat-tho Mo-kai ini. Sesuai dengan julukannya, yaitu Si Kepala Besi, kepala Si Pengemis yang botak kelimis ini luar biasa keras dan kuatnya, melebihi besi sehingga apa bila dia menyeruduk, seekor kerbau pun tak akan kuat menahan dengan kepalanya.

Para tokoh pengemis yang berada di situ menyangka bahwa pemuda itu tentunya akan mengelak dan kalau dia berbuat demikian, belum tentu dia akan mampu meluputkan diri, karena kedua tangan Tiat-tho Mo-kai tidak tinggal diam, melainkan dipentang dan siap untuk melakukan serangan dengan tangan apa bila lawan mengelak dari serudukannya.

Akan tetapi, apa yang mereka lihat? Benar-benar tak dapat dipercaya. Kiang Liat bukan mengelak, akan tetapi masih berdiri dengan tegak dan menerima serudukan itu dengan perutnya!

“Cappp!”

Kepala yang botak kelimis itu seakan-akan menancap pada perut pemuda itu, akan tetapi Kiang Liat hanya mundur selangkah, sama sekali tidak terlihat merasa sakit. Sebaliknya, Tiat-tho Mo-kai nampak lucu sekali, kepalanya tertanam di dalam perut berikut mulut dan hidung, ada pun kedua kakinya bergerak-gerak!

Dia mencoba untuk melepaskan diri dan mencabut kepalanya, akan tetapi sia-sia belaka sehingga hanya kedua kakinya saja yang terus bergerak-gerak ke atas dan ke bawah. Ia bermaksud mempergunakan kedua tangannya untuk menyerang, akan tetapi Kiang Liat sudah mendahuluinya dan secepat kilat dia menotok kedua lengannya menjadi lemas tak bertenaga lagi.

Setelah merasa cukup mempermainkan pengemis botak itu, tiba-tiba Kiang Liat berseru, “Pergilah!”

Bagaikan dilontarkan saja, tubuh pengemis botak itu terlempar sampai dua tombak lebih. Tiat-tho Mo-kai jatuh berdebuk, tetapi dia tidak merasa terluka dan setelah mengerahkan lweekang untuk membebaskan diri dari totokan pada pundaknya, ia lalu maju lagi dengan muka merah. Sikapnya kembali mengancam dan mulutnya mengeluarkan kata-kata yang tidak begitu jelas bahwa ia hendak mengadu nyawa.

“Tiat-tho Mo-kai, kau sungguh tidak tahu diri. Kalau aku mau berlaku kejam, bukankah kau sudah menjadi pengemis iblis tak bernyawa lagi?” kata Kiang Liat.

Mendengar ucapan ini, Tiat-tho Mo-kai cepat menghentikan langkahnya dan dia nampak ragu-ragu. Memang, dia bukan tidak tahu bahwa kalau saja Kiang Liat mau, tadi ketika kepalanya tertanam pada perut, dengan lweekang-nya yang sangat tinggi itu, pemuda ini tentu akan dapat membunuhnya.

Tadi pun dia sudah merasa terheran mengapa dia dapat keluar dari keadaan itu dengan selamat dan tidak terluka, dan kini mendengar ucapan Kiang Liat, dia merasa malu untuk maju lagi. Sudah jelas bahwa kepandaiannya masih kalah jauh bila dibandingkan dengan pemuda luar biasa itu.

It-gan Sin-kai Si Mata Satu melangkah maju. Matanya yang tinggal satu sebelah kanan itu memancarkan sinar menakutkan.

“Kiang-enghiong, kau benar-benar lihai sekali dan tidak percuma kau berjulukan Jeng-jiu Sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu)! Akan tetapi kali ini kau menghina dan merusak peraturan dari Cap-si Kaipangcu, maka sekali lagi aku atas nama semua kawan berharap supaya kau sudi mengalah dan pergi meninggalkan kami mengurus dan menyelesaikan urusan kami sendiri. Lain kali kami tentu akan mengunjungimu menghaturkan maaf.”

“Tidak mungkin, It-gan Sin-kai! Bagiku, biar pun aku Kiang Liat masih muda, akan tetapi berlaku kata-kata It-gan-ki-jut Su-ma-lam-twi (sekali kata-kata dikeluarkan, empat ekor kuda tak dapat menarik kembali)! Kalau kalian tidak mau melepaskan kakek itu, aku pun tidak akan pergi dari sini dan akan menghalangi siapa pun juga yang akan membunuh orang yang tak berdaya!” kata Kiang Liat dengan gagah.

“Tetap begitukah pendirianmu, Kiang-enghiong?” tanya It-gan Sin-kai marah.

“Tetap begitu dan tidak akan dapat dirubah oleh siapa pun juga!” kata Kiang Liat dengan suara tetap pula.

Dia sendiri pun sudah marah melihat betapa para tokoh pengemis itu begitu tidak tahu akan peri kemanusiaan dan akan membunuh seorang kakek yang kelihatan begitu tidak berdaya. Ia telah sering kali mendengar tentang Cap-si Kaipangcu ini, mendengar bahwa mereka merupakan pendekar-pendekar yang mempunyai kepandaian tinggi, yang selalu menjunjung tinggi kegagahan dan peri kebajikan, tapi kenapa sekarang mereka berkeras hendak berlaku kejam terhadap seorang kakek yang tak berdaya?

“Kalau begitu, terpaksa kami akan melakukan kekerasan dengan senjata, dan apa bila sekiranya semua orang kang-ouw berada di sini, pasti mereka akan membenarkan kami!” kata It-gan Sin-kai.

“Kalau mereka membenarkan kalian, mereka itu tidak pantas menyebut diri orang-orang kang-ouw, melainkan orang-orang berhati kejam yang tak mengenal peri kemanusiaan!” kata Kiang Liat.

Ketika melihat betapa empat belas orang ketua perkumpulan-perkumpulan pengemis itu mengeluarkan senjata mereka masing-masing, ia pun segera mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar gemerlapan.

Kedua pihak sudah bersiap-sedia untuk mempergunakan kekerasan, dan Kiang Liat yang maklum bahwa ia menghadapi orang-orang lihai, berlaku amat hati-hati. Ia pikir bahwa biar pun ia takkan menang dan sekali pun ia akan mati dikeroyok oleh Cap-si Kaipangcu ini, ia tidak akan merasa penasaran oleh karena ia membela kebenaran.

Dan benar saja seperti yang ia duga, empat belas orang pengemis itu bergerak serentak dan menyerang dari berbagai jurusan. Kiang Liat cepat memutar pedangnya menangkis dan terdengar suara berdentang-denting ketika pedangnya beradu dengan tongkat milik mereka.

Bukan main kagetnya Kiang Liat karena ternyata bahwa tenaga mereka itu rata-rata amat besar dan seimbang dengan tenaganya sendiri. Ia bergerak cepat, namun empat belas batang tongkat itu lebih cepat lagi dan dalam lima gebrakan saja pinggangnya sudah terkena pukulan tongkat!

Bukan main sakitnya, dan baiknya dia mempunyai tenaga lweekang yang sudah tinggi sehingga dia tidak terluka berat. Namun pukulan ini sudah mengacaukan pikirannya dan untuk menyelamatkan diri, dia melompat jauh sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi segunduk sinar yang menyelimuti seluruh tubuhnya.

Ketika keadaan Kiang Liat sangat terdesak karena kalau empat belas orang lawannya itu menyerang lagi pasti ia takkan dapat mempertahankan diri, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam dan terdengar seruan orang yang suaranya amat berpengaruh,

“Tahan dulu semua senjata! Kawan-kawan yang hidup bebas mengapa mengikatkan diri dengan pertempuran?”

Kiang Liat dan semua pengemis itu menengok. Mereka melihat seorang pengemis yang bertubuh tegap, berusia kurang lebih empat puluh tahun tahu-tahu telah berdiri di sana. Pengemis ini berwajah tampan dan gagah, kulit muka dan tangannya bersih terpelihara, akan tetapi rambutnya awut-awutan ke sana ke mari, begitu pula jenggot dan kumisnya.

Bajunya penuh tambal-tambalan, akan tetapi juga bersih. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kecil, hanya sebesar ibu jari kaki, dan di pinggangnya nampak gagang sebatang pedang.

Baik Kiang Liat mau pun para tokoh pengemis itu tak mengenal siapa adanya pengemis ini. Bagi Kiang Liat, masih tidak mengherankan kalau ia tidak mengenal pengemis yang baru datang ini, akan tetapi empat belas orang ketua partai pengemis yang terbesar sampai tidak mengenalnya, benar-benar adalah hal yang amat mengherankan.

“Siapakah kawan yang baru datang?” tanya It-gan Sin-kai.

Suaranya jelas menyatakan betapa hatinya terguncang dan malu karena memang sangat memalukan bagi seorang ketua perkumpulan pengemis kalau sampai menanyakan siapa adanya seorang pengemis yang baru datang. Sambil bertanya demikian, ia memandang kepada semua kaipangcu yang berada di situ, akan tetapi seorang pun tidak ada yang tahu dan mereka ini pun memandang kepada pengemis yang baru tiba itu dengan mata penuh pertanyaan.

Pengemis itu tersenyum dan wajahnya nampak tampan ketika ia tersenyum.

“Tidak ada artinya siapa adanya aku seorang pengemis hina-dina ini yang tidak terkenal, hanya karena kebetulan sekali aku lewat di sini, aku merasa tertarik sekali melihat orang hendak mengadu nyawa. Demikian mengerikan! Kenapa untuk membereskan persoalan harus mempergunakan tongkat dan pedang? Apakah gerangan yang terjadi di sini?”

Kiang Liat memang masih muda, akan tetapi dia sudah banyak merantau dan namanya sudah amat terkenal di dunia kang-ouw. Pandangan matanya amat tajam dan tadi ketika pengemis yang baru tiba ini berkelebat datang, ia dapat menduga bahwa pengemis yang datang ini memiliki kepandaian tinggi. Karena ia maklum bahwa ia memang takkan dapat menang menghadapi empat belas orang ketua yang lihai itu, maka ia lalu berkata kepada pengemis yang baru datang itu,

“Sahabat yang baru datang ini tentulah seorang kang-ouw yang mengenal keadilan, oleh karena itu kebetulan sekali kau datang bertanya mengenai persoalan ini. Sesungguhnya, aku sendiri pun hanya seorang perantau yang tak mempunyai sangkut paut dengan para kaipangcu ini, akan tetapi ketika sampai di sini aku melihat empat belas orang kaipangcu yang berkepandaian tinggi ini hendak menyiksa serta menghukum mati kepada seorang kakek yang tak berdaya itu. Oleh karena inilah maka terpaksa aku melupakan kebodohan sendiri dan berusaha mencegah mereka melakukan hal yang amat kejam itu.”

Kiang Liat menunjuk kepada seorang kakek tua yang sejak tadi duduk bersandar pada sebatang pohon. Kakek ini kelihatan tak berdaya dan semenjak tadi hanya duduk sambil menundukkan mukanya yang pucat. Di dekatnya terdapat sebuah buntalan yang nampak berat, entah apa isinya.

Mendengar ucapan Kiang Liat ini, It-gan Sin-kai memandang pada kawan-kawannya dan berkata, “Apakah kami perlu memberi penjelasan kepada sahabat yang baru datang dan tidak mau memperkenalkan namanya ini?”

“Tentu saja,” kata Pat-jiu Siauw-kai, “kalau dia seorang kang-ouw tulen, tentu dia akan dapat membenarkan kami.”

It-gan Sin-kai menghadapi pengemis yang baru datang itu, kemudian berkata memberi penjelasan, “Begini, sobat. Kami empat belas orang ketua perkumpulan pengemis tengah berkumpul di sini untuk memberi hukuman terhadap seorang bekas ketua pengemis di daerah selatan yang sudah melanggar pantangan bagi kami semua. Dia sudah berlaku curang, mengumpulkan harta benda dan melepaskan diri dari tugas memimpin kawan-kawan, hendak hidup sebagai seorang kaya raya. Ini adalah kedosaan besar, melanggar peraturan kami nomor tujuh dan untuk kedosaan ini, harta bendanya harus disita, begitu pula nyawanya.”

“Bagus! Peraturan macam apakah itu? Merampas harta benda, merampas nyawa orang, benar-benar amat rendah!” Kiang Liat memotong marah.

“Kiang-enghiong, jangan kau membuka mulut sembarangan!” It-gan Sin-kai membentak marah pula, “Peraturan ini adalah buatan dari Locianpwe Ang-bin Sin-kai yang mulia, lalu bagaimana kau berani menyatakan rendah?”

Mendengar disebutnya nama Ang-bin Sin-kai, tiba-tiba saja pengemis yang baru datang itu berubah mukanya.

“Kawan-kawan sekalian, kalian tahu apakah mengenai Ang-bin Sin-kai?” tanyanya sambil memandang tajam.

Kini semua mata dari para pengemis itu ditujukan kepadanya dengan marah. “Locianpwe Ang-bin Sin-kai adalah pendiri dari partai-partai pengemis, mula-mula di selatan. Siapa yang tidak mengenalnya? Apa lagi orang yang hidup bebas sebagai pengemis, mereka harus mengenalnya. Kami memuliakan namanya, namun kau menyebut namanya begitu saja. Siapakah kau?”

“Kalian mau tahu? Aku bernama Han Le, dan Ang-bin Sin-kai adalah guruku!”

Kini semua mata memandang dengan terbelalak lebar dan mulut mereka bengong. Tidak hanya para tokoh pengemis yang menjadi terheran-heran, bahkan Kiang Liat sendiri pun memandang tak percaya. Dia tentu saja pernah mendengar nama besar Ang-bin Sin-kai, namun dia tidak pernah melihat orang tua sakti itu yang sudah meninggal dunia lama sekali. Maka kini ia hanya memandang saja.

“Benar-benarkah, kawan? Awas, jangan kau main-main. Sungguh pun kami tidak pernah mendapat kebahagiaan mengenal Locianpwe Ang-bin Sin-kai dari dekat, tetapi kami tahu betul bahwa muridnya hanyalah orang sakti yang disebut Bu Pun Su.”

Han Le tertawa lebar, “Bu Pun Su memang muridnya, akan tetapi kepandaiannya jauh lebih tinggi dari Suhu, dan aku yang rendah merasa mendapat kehormatan besar untuk mengaku bahwa Bu Pun Su adalah suheng (kakak seperguruan)-ku.”

Kembali semua orang menyatakan ketidak percayaannya. Akan tetapi It-gan Sin-kai lalu berkata, “Tak peduli apakah kau benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai atau pun bukan, apakah kau benar-benar sute dari Bu Pun Su atau bukan, akan tetapi setelah kau tiba di sini, bagaimana anggapanmu tentang urusan kami dengan Kiang-enghiong ini?”

“Ya, bagaimana keputusanmu, murid dari Ang-bin Sin-kai?” tanya Kiang Liat, suaranya mengejek. Memang Kiang Liat tidak percaya akan keterangan Han Le tadi, dan memang sifat Kiang Liat amat pemberani dan jenaka.

“Menurut pemandanganku yang amat bodoh, kalau memang sudah ada peraturan bahwa orang yang melanggar harus dihukum, hal itu sukar untuk dirubah lagi. Namun, aku tidak setuju jika hukuman itu hukuman mati, paling baik dia dilepaskan dan tak diakui menjadi anggota lagi. Betapa pun juga, dalam perselisihan ini, Kiang-enghiong terang berada di pihak yang salah. Tidak baik mencampuri urusan rumah tangga lain orang.”

Jawaban ini terang sekali bercabang dua, di satu pihak menyalahkan Kiang Liat, di lain pihak tidak menyetujui hukuman yang akan dijatuhkan kepada kakek itu. Ada pun kakek itu ketika mendengar kata-kata ini, lalu berkata seperti kepada diri sendiri,

“Aku orang she Song memang sudah merasa bersalah, namun sekali-kali bukan karena terdorong oleh keinginanku hidup mewah, hanya demi kebahagiaan cucu perempuanku yang satu-satunya. Jika kalian mau bunuh boleh bunuh, asal saja kalian suka mengingat akan kehidupan cucuku Bi Li!”

“Tutup mulutmu, jahanam rendah!” It-gan Sin-kai berkata keras, kemudian ia menghadapi Han Le. “Orang she Han, kau datang-datang mengaku sebagai muridnya Ang-bin Sin-kai Locianpwe, datang-datang kau berani mencela undang-undang kami yang diturunkan oleh Ang-bin Sin-kai Locianpwe. Buktikanlah bahwa kau benar-benar murid beliau, baru kami akan suka mendengarkan omonganmu. Apa bila tanpa bukti, lebih baik kau jangan turut mencampuri urusan kami.”

Semua tokoh pengemis mengangguk-anggukkan kepala, tanda menyatakan persetujuan mereka. Han Le tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya yang gondrong, sungguh pun kepala itu tidak gatal.

“Bagaimana aku harus membuktikannya?”

It-gan Sin-kai dan kawan-kawannya saling mendekati, lalu mereka bisik-bisik. Kemudian pengemis bermata satu itu berkata, “Kami pernah mendengar bahwa Locianpwe Ang-bin Sin-kai memiliki sebuah kiam-hoat (ilmu pedang) yang sangat lihai dan tiada keduanya di dunia ini, yang disebut sebagai Hun-khai Kiam-hoat. Kalau benar kau adalah muridnya, tentu kau dapat mainkan ilmu pedang itu.”

Han Le tertawa, “Sudahkah kalian melihat ilmu pedang itu?”

Mereka menggelengkan kepala.

“Kalau kalian belum pernah melihat ilmu pedang itu, bagaimana kalian bisa meminta aku memainkannya?”

Para pengemis itu saling pandang, kemudian It-gan Sin-kai berkata dengan suara keras, seakan-akan dia telah mendapatkan jalan yang terbaik untuk memecahkan hal ini.

“Kau boleh mainkan ilmu pedang itu dan kalau kau bisa menangkan kami seorang demi seorang, barulah kami akan percaya bahwa kau benar-benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai.”

Kembali semua pengemis itu menyatakan persetujuannya. Han Le tersenyum lagi dan ia menggerak-gerakkan tongkatnya yang kecil itu.

“Baiklah, tetapi bukan aku yang minta. Nah, kalian majulah seorang demi seorang untuk berkenalan dengan Hun-khai Kiam-hoat dari Suhu Ang-bin Sin-kai.”

It-gan Sin-kai maju terlebih dulu. Pengemis ini terkenal lihai sekali ilmu ginkang-nya dan juga ilmunya memainkan ilmu pedang yang dimainkan dengan tongkatnya. Tongkat itu pendek saja dan sekali dia menekan, ternyata bahwa tongkat itu dapat dilepas dan kini berubah menjadi sepasang!

“Keluarkanlah pedangmu untuk kulihat apakah betul-betul kau dapat mainkan Hun-khai Kiam-hoat!” katanya menantang.

“Bukankah kau adalah It-gan Sin-kai yang pandai mainkan ilmu pedang pasangan yang disebut Siang-hong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Sepasang Burung Hong)? Kau sendiri akan menggunakan tongkat sebagai pedang, maka biarlah aku pun menirumu. Memang bagi pengemis-pengemis seperti kita lebih pantas bertongkat dari pada berpedang.”

“Sesukamulah!” Jawab It-gan Sin-kai.

Pengemis mata tunggal ini segera menyerang dengan tongkat kirinya, menusuk ke arah leher Han Le, disusul oleh tongkat kanan yang menyerang ke arah lambung.

Han Le cepat menggerakkan tongkat kecilnya sambil berkata, “Nah, inilah ilmu pedang Hun-khai Kiam-hoat bagian khai (membuka)!” katanya.

Dan It-gan Sin-kai lantas mengalami hal yang sangat aneh dan baru sekali ini dia alami dalam pertempuran-pertempuran yang sudah banyak dia lakukan.

Kemana pun juga sepasang tongkatnya menyerang, selalu saja tongkatnya itu bertemu dengan senjata lawan yang terbuka atau terpalang hingga semua serangannya terpental dan membuka. Kalau lawannya yang jauh lebih muda itu mau, dengan mudah Han Le tentu akan dapat membalas dengan memasuki bagian-bagian yang terbuka itu.

Akan tetapi, terang sekali bahwa Han Le tidak mau melukai lawan. Ia bahkan tidak mau membalas dengan serangan. Kurang lebih dua puluh jurus kemudian, Han Le berkata sambil tertawa,

“Dan inilah bagian hun (memecah)!”

Tongkatnya bergerak semakin cepat, dengan gerakan-gerakan yang amat aneh. Kali ini It-gan Sin-kai mengeluarkan suara tertahan ketika sepasang tongkatnya menjadi kacau balau gerakannya, dan benar-benar semua jurus yang ia keluarkan terpecah-belah oleh gerakan tongkat lawan. Sepasang tangannya menjadi pedas sekali dan apa bila dia tidak lekas-lekas melompat mundur, tentu sepasang tongkatnya akan terlepas dari pegangan.

“Lihai sekali!” serunya sambil menjura, “Sungguh pun aku tak dapat memastikan apakah yang kau mainkan itu betul-betul Hun-khai Kiam-hoat, tetapi harus kuakui bahwa selama hidupku belum pernah aku menghadapi ilmu silat seaneh dan selihai itu.”

Pat-jiu Sin-kai pengemis kate berperut gendut itu kini maju menggantikan It-gan Sin-kai. Senjata pengemis itu adalah tongkat panjang yang dimainkan sebagai toya. Akan tetapi, seperti halnya It-gan Sin-kai, ia pun hanya dapat bertahan tidak lebih dari tiga puluh jurus saja, sungguh pun Han Le tidak pernah menyerangnya sejurus pun.

Menghadapi tangkisan-tangkisan saja dia telah merasa bingung dan kewalahan. Bahkan pada jurus terakhir, tongkatnya membalik sedemikian rupa sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tongkat itu ujungnya menghantam kepalanya sendiri!

“Lihai benar, aku menyerah kalah!” katanya jujur.

Setelah dua orang ini yang dianggap kepandaiannya tertinggi dengan mudah menyerah kalah, semua pengemis mulai percaya.

“Kini kami mulai kehilangan keraguan bahwa kau benar-benar murid Locianpwe Ang-bin Sin-kai,” kata It-gan Sin-kai kepada Han Le. “Sekarang bagaimana menurut pendapatmu, sahabat muda yang lihai?”

Han Le tersenyum senang. “Sudah lama aku mendengar nama Cap-si Kaipangcu yang terkenal adil serta gagah, dan ternyata memang benar demikian. Perkara kakek yang melanggar larangan perkumpulan kaipang, memang dia harus dihukum. Harta bendanya boleh dirampas dan dia juga boleh dihukum, akan tetapi bukan hukuman mati, melainkan hukuman cambuk lima puluh kali.”

“Setuju!” serentak para pengemis itu berseru. It-gan Sin-kai sendiri segera maju dan di tangannya sudah kelihatan sebatang cambuk.

Akan tetapi tiba-tiba Kiang Liat melompat ke dekat It-gan Sin-kai dan sebelum pengemis mata satu itu dapat mengelak, cambuk itu sudah dirampas oleh Kiang Liat!

“Aturan apa ini? Kau pengemis yang baru datang, betapa gagah pun kau tetap berjiwa pengemis dan berpikir bagai pengemis! Orang tua itu bosan hidup menjadi pengemis lalu menempuh hidup baru yang lebih pantas demi kebahagiaan cucunya, bukankah itu baik sekali? Kalian seharusnya meniru perbuatannya itu, benar-benar tak tahu malu! Apakah hukuman ini dilakukan karena kalian iri hati melihat dia kaya dan hidup bahagia ada pun kalian masih jadi jembel?”

Han Le memandang kepada Kiang Liat dengan mata bersinar-sinar gembira. Dia suka sekali melihat sikap pemuda itu, dan dia pun merasa kagum melihat caranya.

Kiang Liat merampas cambuk dari tangan It-gan Sin-kai. Gerakan yang dilakukan oleh pemuda itu ketika merampas cambuk, bukanlah gerakan ilmu silat yang aneh, melainkan gerakan biasa saja. Akan tetapi cara melakukannya demikian cepat dan hebat, ditambah dengan kembangan sendiri hingga It-gan Sin-kai sampai tak mengira bahwa cambuknya akan dirampas. Gerakan ini saja sudah membuktikan bahwa Kiang Liat memang memiliki bakat yang luar biasa sekali dalam ilmu silat.

Sebagian besar ahli silat, gerakan-gerakannya otomatis seperti pelajaran yang dipelajari dari guru masing-masing. Hanya orang yang berbakat tinggi saja dapat mengembangkan gerakan silat yang dipelajari dari gurunya menjadi gerakan yang sangat baik, disesuaikan dengan keadaan tubuh sendiri. Hal ini diketahui benar oleh Han Le, karena itu kini dia memandang dengan mata berseri.

“Orang muda, terhadap peraturan dan kehidupan orang-orang yang dianggap pengemis matamu seperti buta. Kau tidak tahu apa-apa, kenapa mau ikut campur? Pernahkah kau mendengar nama Ang-bin Sin-kai?” tanya Han Le.

“Tentu saja pernah,” jawab Kiang Liat mengedikkan kepala.

“Seperti apa kau mendengar tentang dia?”

“Ang-bin Sin-kai adalah seorang patriot sejati, seorang gagah yang berani membela si lemah yang tertindas sehingga ia berani menyerbu ke kota raja kemudian tewas sebagai seorang pahlawan,” jawab Kiang Liat.

Han Le makin gembira. “Apakah kau tidak mendengar bahwa dia juga seorang pengemis seperti telah disebutkan oleh julukannya?”

“Walau pun kau mengaku muridnya, akan tetapi aku tetap tidak percaya bahwa Ang-bin Sin-kai akan bersikap seperti kalian. Aku tidak dapat membayangkan bahwa pahlawan besar itu bisa direndengkan dengan orang-orang seperti kalian yang ingin menggunakan kekuatan dan jumlah banyak untuk menghina seorang kakek yang tidak berdosa, bahkan yang hendak menempuh jalan benar. Pendeknya kalian tidak boleh menyiksanya!”

“Kau lancang sekali, orang she Kiang, apakah kau juga berani menentangku?” Han Le menantang, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan matanya berseri.

“Kenapa tidak berani? Boleh jadi kau murid Ang-bin Sin-kai dan boleh jadi kau lihai, akan tetapi aku akan menentangmu apa bila kau hendak membantu pengemis-pengemis tua yang kejam ini.”

“Nah, kalau begitu mari kita bertaruh,” kata Han Le dengan wajah berseri. “Kita semua tidak mempunyai permusuhan sesuatu dan keributan ini pada hakekatnya hanya karena perbedaan paham belaka. Mari kau dan aku bertanding dan kita bertaruh.”

“Apa taruhannya?!” bentak Kiang Liat. “Untuk membela kaum lemah, aku pertaruhkan kepala dan nyawaku!”

Han Le menjadi kagum dan suka kepada pemuda tampan ini.

“Tak usah kepala dan nyawa. Mari kita bertanding dan kalau dalam dua puluh jurus aku tidak dapat merobohkanmu, aku boleh dianggap kalah.”

Semua pengemis terkejut mendengar ini. Betapa pun pandainya pengemis muda itu, tapi bagaimana dia bisa merobohkan Kiang Liat dalam dua puluh jurus? Mereka tadi sudah merasakan betapa lihainya Kiang Liat.

Kiang Liat menjadi panas perutnya. Itulah penghinaan namanya!

“Kau hendak bertaruh apa? Bagaimana kalau tidak mampu mengalahkan aku dalam dua puluh jurus?”

Han Le tersenyum. “Jika tidak mampu, berarti aku kalah dan kau boleh membunuh aku beserta semua ketua pengemis ini tanpa perlawanan sama sekali!”

Kembali semua pengemis itu terkejut sehingga ada yang pucat mukanya. Mereka tidak tahu bahwa Han Le memiliki pemandangan tajam dan sudah tahu akan kemuliaan hati Kiang Liat yang keras hati, akan tetapi dia sengaja memancing untuk melihat sampai di mana pribudi pemuda tampan ini.

“Siapa mau jiwa kalian? Apa bila aku yang menang dalam taruhan ini, cukup kalau kalian membebaskan kakek itu dan mengembalikan harta bendanya, untuk selanjutnya jangan mengganggunya lagi.” Dia berhenti sebentar lalu berkata, “Sebaliknya kalau aku kalah, kalau benar-benar dalam dua puluh jurus kau mampu merobohkanku, kau boleh berbuat sesuka hatimu kepadaku. Mau bunuh boleh bunuh!”

“Aha, enak saja kau bicara. Aku pun tak menghendaki nyawamu, orang muda. Kalau kau yang kalah, kau harus membiarkan kami menghukum pelanggar itu, ada pun kau sendiri, sebagai hukuman kau mesti menjalani kehidupan sebagai pengemis selama setahun dan ikut denganku ke mana pun aku pergi,” kata Han Le.

Merah muka Kiang Liat karena dia marah sekali. Dia membanting-banting kedua kakinya karena merasa terhina, akan tetapi mulutnya menjawab,

“Boleh, boleh! Aku tidak takut mati, mengapa takut menjadi pengemis? Bersiaplah kau!” Sambil berkata demikian, dia lalu mencabut pedangnya yang tadi sudah disarungkannya kembali.

Han Le memperlihatkan tongkatnya yang kecil. “Semenjak tadi aku sudah bersiap. Hayo majulah dengan jurus pertama!”

Melihat Han Le tersenyum-senyum seolah-olah memandang amat rendah, naiklah darah Kiang Liat. Dia telah dikenal sebagai Jeng-ciang-sian (Manusia Dewa Bertangan Seribu), kepandaiannya sudah amat tinggi sebab pemuda ini telah mewarisi seluruh ilmu silat dari ayahnya.

Ilmu silat keluarga Kiang merupakan turunan dari ilmu silat yang diciptakan oleh Jenderal Perang Kiang Bu Siong, yang ratusan tahun yang lampau pernah menggegerkan dunia karena kelihaiannya. Ilmu silat ini turun temurun dan akhirnya Kiang Liat adalah ahli waris terakhir, karena ayah bunda Kiang Liat telah meninggal dunia.

Selama beberapa tahun ini, setelah dewasa, Kiang Liat boleh dibilang telah mengangkat nama besar dengan ilmu silatnya. Tidak saja karena dia memang berkepandaian tinggi, juga orang-orang kang-ouw memandang tinggi pada keluarga Kiang ini sehingga mereka merasa segan untuk memusuhinya, karena memang mereka semua tahu belaka akan kelihaian ilmu silat keluarga Kiang.

Akan tetapi hari ini ia bertemu dengan seorang pengemis yang berambut gondrong, yang kelihatannya begitu lemah, akan tetapi begitu berani menghinanya dan menantang untuk merobohkannya dalam dua puluh jurus! Dan ini masih belum hebat. Yang lebih membikin hatinya mengkal adalah karena pengemis gondrong ini hendak menghadapi pedangnya hanya dengan sebatang tongkat kecil saja!

“Orang tua,” katanya sambil menekan hawa ke arah dadanya supaya kemarahannya tak memuncak. “Kau hendak merobohkan aku hanya dalam dua puluh jurus, itu saja sudah merupakan taruhan yang berat sebelah dan tidak adil, membikin aku merasa malu saja. Sekarang kau masih hendak menghadapiku dengan sebatang tongkat kecil, bukankah ini keterlaluan? Aku bukan seorang manusia yang hendak menang sendiri seperti itu. Kalau kau tidak mau mengeluarkan pedangmu, aku pun tidak akan menggunakan pedang dan aku melawan tongkatmu itu dengan tangan kosong.”

Han Le membelalakkan kedua matanya, kemudian tertawa terbahak, “Ha-ha-ha, Kiang Liat, kau memang patut menjadi muridku untuk setahun. Baiklah, kau lihat seranganku pertama dengan pedang!”

Kata-kata ini disusul dengan kejadian yang benar-benar hebat sekali sehingga Kiang Liat hampir berteriak kaget, dan buru-buru dia memutar pedang menangkis sambil melompat mundur. Ternyata bahwa begitu kata-katanya habis, tubuh Han Le segera bergerak dan tahu-tahu dia sudah memegang pedang yang langsung dipergunakan untuk menyerang pundak Kiang Liat. Ada pun tongkatnya yang tadi, entah dengan cara bagaimana dan kapan dilakukannya, tahu-tahu telah menancap di atas tanah!

Kiang Liat tidak mau berlaku lambat dan lemah. Begitu melihat bahwa dia sudah dapat mengelak dari serangan pertama, dia kemudian memasang kuda-kuda dan siap menanti serangan lebih lanjut. Hatinya mulai yakin bahwa ia kini menghadapi seorang lawan yang benar-benar amat lihai ilmu silatnya.

Han Le yang tidak mau membuang waktu sia-sia, segera maju lagi dan melakukan dua kali serangan beruntun. Serangannya ini begitu hebatnya serta cepatnya sehingga meski pun Kiang Liat berhasil menangkis namun dia sampai terhuyung-huyung ke belakang tiga langkah. Namun dengan pertahanan pedangnya yang amat kokoh kuat dari ilmu pedang keluarga Kiang, dia masih berhasil menggagalkan dua serangan itu sehingga kini ia telah melewati tiga jurus dengan selamat!

Kalau Kiang Liat amat terkejut melihat dua serangan yang amat aneh dan dahsyat itu, di lain pihak Han Le diam-diam harus memuji. Ia adalah murid Ang-bin Sin-kai dan ini masih belum hebat. Kepandaiannya menjadi luar biasa hebatnya karena dia telah mendapatkan Pulau Pek-hio-to (Pulau Daun Putih) ketika ia mencari suheng-nya, yakni Bu Pun Su Lu Kwan Cu, di mana ia melihat lukisan-lukisan di dinding goa kemudian melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang terukir di dinding itu. Selain ini, dalam beberapa belas tahun ini dia selalu merantau dan di dunia kang-ouw dia sudah melihat banyak sekali ilmu-ilmu silat yang tinggi, maka kepandaiannya makin matang.

Namun, melihat ilmu pedang dari keluarga Kiang yang pertahanannya demikian kokoh kuat, mau tidak mau dia harus memuji. Dari sifat pertahanan yang kuat sekali itu, secara diam-diam dia menduga bahwa tentu ilmu pedang keluarga Kiang yang dimainkan oleh pemuda ini masih satu sumber dengan Thian-san Kiam-hoat (Ilmu Pedang dari Gunung Thian-san), yang mendasarkan kepada pertahanan yang amat kuat.

“Orang tua, hayo teruskan seranganmu. Baru tiga jurus, masih kurang tujuh belas jurus lagi, akan kucoba mempertahankan diri!” Kiang Liat menantang dengan suara gembira.

Menghadapi seorang lawan yang benar-benar lihai ini, timbullah kegembiraan dalam hati pemuda yang tabah ini. Melihat wajah pengemis itu seperti ragu-ragu, dia menjadi besar hati dan timbul kesombongannya, maka ia lalu menantang.

Namun Han Le hanya tersenyum. Dalam hal taktik pertempuran, tentu saja ia jauh lebih menang dari pada Kiang Liat. Baru tiga jurus saja tahulah Han Le bahwa pemuda itu tentu akan mempertahankan diri secara mati-matian.

Dia sendiri tak bermaksud melukai atau membinasakan Kiang Liat, maka kiranya sampai dua puluh jurus belum tentu ia akan dapat merobohkan lawannya tanpa membinasakan dia. Jalan satu-satunya adalah membiarkan pemuda itu yang menyerangnya.

Ketika mempelajari ilmu silat yang aneh dari lukisan-lukisan pada dinding goa di Pulau Pek-hio-to dia mendapatkan ilmu silat yang sangat aneh gerakannya dan juga amat aneh tipu geraknya. Ilmu silat ini mendasarkan serangannya pada serangan lawan!

Memang agak aneh terdengarnya, namun memang demikianlah halnya. Ilmu silat yang ia pelajari itu sebenarnya merupakan pecahan atau sebagian kecil saja dari ilmu silat yang terdapat dalam kitab rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng. Sari pelajaran dari sedikit bagian ini adalah membuka mata pelajarannya akan kekosongan atau kelemahan yang terdapat atau terbuka dalam setiap serangan lawan.

Sudah menjadi hukum alam bahwa segala sesuatu itu tentu mempunyai dua sifat yang bertentangan. Demikian pula dalam gerakan ilmu silat. Dalam penyerangan, walau pun penyerangan itu tentu saja bersifat kuat dan mengancam lawan, tentu terdapat lowongan yang bersifat lemah dan terancam. Misalnya saja seorang yang memukul dengan tangan kanan, otomatis kedudukannya akan lemah karena kuda-kudanya hanya di atas sebelah kaki saja, demikian seterusnya.

Han Le yang amat cerdik itu hendak menggunakan ketabahan dan kekerasan hati Kiang Liat untuk mengalahkannya. Maka ia tersenyum-senyum ketika ditantang, lalu menjawab, “Anak muda, setelah melihat tiga gebrakan, aku yakin bahwa tanpa menyerangmu pun aku akan sanggup merobohkanmu. Apa lagi kalau aku serang, sedangkan dengan hanya mempertahankan diri saja, sebelum tujuh belas jurus lagi kau pun tentu akan terpelanting sendiri kelelahan!”

Mendengar ini, bukan main marahnya hati Kiang Liat. Dia benar-benar sudah dipandang rendah oleh pengemis ini. Kalau saja ia tidak begitu muda dan keras hati, boleh jadi ia tahu akan siasat pengemis yang lihai itu. Namun kemarahan hatinya membuat dia tidak mau berpikir panjang lagi. Sambil memutar pedangnya ia berseru,

“Pengemis sombong, rasakan kelihaian ilmu pedangku!”

Ia lalu menyerang bagaikan gelombang ombak. Serangannya datang bergulung-gulung, susul-menyusul dengan gerak tipu yang paling lihai dari ilmu pedangnya. Pedangnya lalu lenyap dan berubah menjadi segulung sinar yang berkilauan, bagaikan seekor naga yang berlagak di angkasa.

Para tokoh pengemis yang berada di sana diam-diam kagum sekali, tidak hanya kagum melihat kehebatan ilmu pedang itu, terutama sekali kagum melihat keindahan gerakan-gerakan dari pemuda tampan itu.

Memang, ilmu pedang keluarga Kiang kuat pertahanannya seperti Thian-san Kiam-hoat, akan tetapi indah sekali gerak-geriknya, bahkan lebih indah dari pada gerakan-gerakan ilmu pedang Bu-tong-pai. Han Le sendiri diam-diam memuji dan kalau ia dahulu di waktu muda tidak mewarisi ilmu kepandaian dari lukisan pada dinding goa di Pulau Pek-hio-to, agaknya dengan Hun-khai Kiam-hoat saja ia tidak mungkin dapat mengalahkan pemuda ini tanpa melukainya dalam dua puluh jurus!

Sepuluh jurus lewat dan Kiang Liat merasa pening. Matanya kabur dan pedas karena lawan yang diserangnya itu seolah-olah bukan manusia, melainkan bayang-bayang atau asap saja. Ke mana pun juga ia menyerang, selalu mengenai angin saja dan bayangan lawannya berpindah tempat. Namun ia mendesak makin hebat. Sebelas jurus lewat, dua belas, tiga belas, lima belas jurus! Dengan tiga jurus yang pertama, delapan belas jurus telah lewat!

Para ketua perkumpulan pengemis berdebar-debar hatinya. Apa bila dalam dua jurus lagi pemuda itu tidak roboh, berarti mereka kalah bertaruh! Dan agaknya tidak mungkin akan roboh, karena Kiang Liat masih berada di pihak penyerang. Akan tetapi, bagi Kiang Liat sendiri, ia kaget setengah mati ketika kehilangan lawannya yang lenyap entah berada di mana.

Sebelum ia dapat mencari lawannya kembali, tahu-tahu punggungnya telah tertotok oleh jari tangan yang amat lunak dan kuat. Seluruh tubuhnya lemas dan sekali renggut saja Han Le dapat merampas pedangnya. Kiang Liat berusaha hendak mempertahankan diri agar jangan roboh, namun dengan enaknya Han Le mendorong dadanya dan Kiang Liat tak dapat menahan, roboh terjengkang! Tepat sembilan belas jurus ia benar-benar kena dirobohkan tanpa terluka sedikit pun.

Cap-si Kaipangcu bersorak sorai, tidak saja karena girang mendapat kemenangan dalam taruhan, akan tetapi terutama sekali karena merasa terkejut dan kagum. Tanpa ada yang perintah, mereka otomatis menjatuhkan diri berlutut di depan Han Le, dan It-gan Sin-kai berkata mewakili kawan-kawannya.

“Mohon Han-taihiap sudi memaafkan kami sekalian yang bermata buta sehingga sempat tidak percaya bahwa Taihiap adalah murid dari Locianpwe Ang-bin Sin-kai.”

Han Le menghadapi mereka dan mukanya bersungguh-sungguh.

“Cuwi Kai-yu yang baik. Suhu dahulu memang seorang pengemis seperti aku pula, dan memang dalam setiap perkumpulan, orang-orang harus mentaati peraturan. Akan tetapi segala macam hukuman itu harus disesuaikan dengan kedosaan orang yang melanggar aturan. Menurut yang kudengar tadi, Song-lokai (Pengemis Tua she Song) itu meski pun telah melakukan pelanggaran terhadap undang-undang perkumpulan, tetapi pelanggaran itu bukan karena dia jahat. Dia ingin keluar dari keanggotaan pengemis karena dia ingin mengangkat derajat cucunya perempuan. Dan hal ini harus kita maklumi bersama karena tidak dapat disangkal lagi bahwa derajat seorang gadis cucu pengemis memang sangat rendah!” Setelah berkata demikian, Han Le mengerling tajam ke arah Song Lo-kai.

Kakek itu cepat menghampiri Han Le, kemudian berkata, “Bukan demikian, Han-taihiap. Memang aku telah bersalah, dan untuk kesalahan itu, biar pun dihukum mati, aku Si Tua Bangka takkan penasaran. Hanya saja, cucuku hidup sebatang kara, tiada orang tuanya lagi dan kepada siapakah dia mengandalkan hidupnya kalau tidak kepadaku, kakeknya? Karena inilah, maka sebelum mati aku ingin meninggalkan sedikit kekayaan kepadanya, agar kelak dia tak akan hidup terlantar. Untuk kebenaran omonganku, aku Si Tua Bangka she Song bersedia bersumpah.”

Han Le mengangguk-angguk, kemudian berkata pada It-gan Sin-kai, “Kalian mendengar sendiri, maka bagaimana sekarang keputusan kalian?”

“Terserah kepada Han-taihiap. Dengan adanya Taihiap di sini dan tadi sudah memberi peringatan kepada kami, kami anggap bahwa Han-taihiap mewakili Locianpwe Ang-bin Sin-kai, dan kami menerima segala keputusan Taihiap.”

“Keputusanku, dia boleh dihukum cambuk lima puluh kali akan tetapi tidak boleh sampai mati. Hartanya boleh dia bawa pulang untuk cucunya.”

“Baik, Taihiap, kami akan menjalankan keputusan itu,” kata It-gan Sin-kai.

“Bagus, dan aku percaya bahwa di kemudian hari kalian akan memutuskan sesuatu lebih bijaksana lagi agar tidak terjadi hal-hal seperti sekarang. Sediakan seperangkat pakaian pengemis untuk muridku ini dan ganti pakaiannya yang terlalu bagus itu.”

Memang aneh sekali, di antara semua ketua perkumpulan pengemis itu hampir semua membawa pengganti pakaian, biar pun pakaian itu adalah pakaian tambal-tambalan yang buruk! Tidak heran apa bila pakaian mereka biar pun buruk dan penuh tambalan, namun selalu kelihatan bersih.

Seorang ketua yang mempunyai potongan tubuh hampir sama dengan Kiang Liat segera memberikan pakaiannya, lalu beramai-ramai sambil tertawa-tawa mereka menanggalkan semua pakaian Kiang Liat dan menggantikan pakaian butut itu kepada tubuh pemuda ini.

Kiang Liat tidak bisa berbuat sesuatu, oleh karena dia sudah tertotok dan lemas semua tubuhnya. Andai kata ia tidak tertotok, ia pun tentu takkan melawan, karena memang ia sudah merasa kalah bertaruh yang berarti bahwa dia harus menjalankan hidup seperti pengemis setahun lamanya, merantau ikut dengan Han Le yang sudah menjadi gurunya!

Sesudah Kiang Liat kini memakai pakaian pengemis, Han Le memandang dan tertawa, “Bagus, bagus! Kau sekarang kelihatan tampan, patut menjadi muridku!” Setelah berkata demikian, ia menyambar tubuh Kiang Liat dan sekali berkelebat saja ia lenyap bersama muridnya itu.

Cap-si Kaipangcu tidak berani mencegah, tapi pada saat itu kakek tua she Song berseru keras, “Han-taihiap, tunggu sebentar, lohu ada permohonan penting!”

Dalam sekejap mata saja, Han Le sudah kembali kelihatan di tempat itu dan tangannya masih mengempit tubuh Kiang Liat.

“Song Lo-kai, kau mau bicara apakah? Apa kau masih penasaran dengan keputusanku tadi?”

Song Lo-kai menjatuhkan diri berlutut di depan Han Le. “Sungguh mati, Han-taihiap, lohu mana berani penasaran? Keputusan itu bahkan terlampau murah bagi lohu. Hanya ada permohonan lohu mengenai cucu lohu yang bersama Song Bi Li.”

Han Le memandang heran. “Apa maksudmu? Apa yang dapat kulakukan untuk seorang gadis yang menjadi cucumu itu?”

Song Lo-kai memandang kepada Kiang Liat yang masih lemas dan sedang dikempit oleh Han Le seperti seorang anak kecil, lalu berkata, “Nyawa lohu yang tidak berharga sudah diselamatkan oleh Kiang-enghiong dan kiranya sampai mati pun lohu yang sudah tua bangka ini tak akan dapat membalas budinya. Cucuku Bi Li hidup sebatang kara dan kini usianya sudah delapan belas tahun. Hanya seorang pemuda gagah perkasa dan berjiwa budiman seperti Kiang-enghiong ini saja yang kiranya akan dapat menjamin kesentosaan hidup cucuku itu. Oleh karena ini, lohu ingin menyerahkan cucuku yang bodoh itu kepada Kiang-enghiong.”

Han Le tertawa bergelak dan Kiang Liat biar pun tidak berdaya akan tetapi masih dapat mendengar semua ucapan ini sehingga mukanya menjadi merah sekali.

“Ha-ha-ha, maksudmu ini baik sekali, Song-lokai. Akan tetapi aku tak berkuasa dalam hal ini, hanya saja aku berjanji bahwa sesudah Kiang Liat menghabiskan pelajarannya yang setahun lamanya, aku akan menyuruhnya mencarimu agar kalian berdua bisa berunding sendiri.” Setelah berkata demikian, kembali ia berkelebat dan kali ini ia tidak kembali lagi.

Song-lokai girang sekali, dan sambil tertawa-tawa dia lalu berkata, “Cuwi-pangcu, silakan menjalankan hukuman cambuk kepadaku.”

Hukuman lantas dilakukan dan disesuaikan dengan keputusan Han Le. Pencambukan itu dilakukan hanya untuk memenuhi bunyi hukuman saja, dan Song-lokai hanya menderita lecet-lecet pada kulit punggungnya.

*****

Kiang Liat sebetulnya adalah seorang pemuda yang kaya raya. Pada waktu orang tuanya meninggal dunia, mereka mewariskan sebuah rumah gedung yang megah dan dipenuhi dengan perabot rumah yang indah, selain ini masih banyak sawah ladang dan uang yang ditinggalkan.

Oleh karena Kiang Liat hidup seorang diri, hanya bersama seorang pelayan wanita tua yang menjadi inang pengasuhnya semenjak dia dilahirkan, maka kebutuhan hidupnya tak seberapa besar dan tentu saja hasil sawah ladangnya sudah lebih dari cukup baginya.

Hidupnya tidak mewah karena dia memang suka akan kesederhanaan, namun dia tidak sayang mengeluarkan uang, apa lagi untuk menolong orang dan untuk menjamu kawan-kawannya. Biasanya dia hidup senang, berpesiar atau merantau ke sana ke mari sampai bekal uangnya habis baru dia ingat untuk pulang ke rumahnya di kota Siankoan.

Kini sesudah dia bertemu dengan Han Le dan menerima hukuman selama setahun hidup sebagai pengemis, tentu saja pada mulanya dia merasa terhina dan bisa membayangkan bahwa dia akan sengsara sekali. Akan tetapi, alangkah girangnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa hidup seperti ini benar-benar bebas seperti burung di udara. Apa lagi ketika gurunya itu mulai menurunkan ilmu silat yang luar biasa sekali, dia girang bukan main.

Ia merasa amat berbahagia dapat bertemu dengan Han Le, dan tidak saja ia menerima latihan ilmu silat, tetapi dia juga mendapatkan banyak pelajaran tentang kebatinan yang membuka matanya. Kini dia tidak berani memandang rendah kepada para pengemis itu, yang sesungguhnya menjadi pengemis bukan karena malas, akan tetapi sengaja hidup sebagai pengemis untuk menyatakan bela sungkawa akan keadaan rakyat yang banyak menderita.

Mereka adalah pengemis-pengemis, namun sekali-kali bukan tukang minta-minta belaka. Mereka minta-minta seolah-olah hanya untuk menguji apakah manusia-manusia di waktu itu masih ingat akan nasib sesama manusia. Dan di balik semua sandiwara ini, ternyata mereka adalah pendekar-pendekar yang tidak saja selalu siap sedia dengan tenaga dan kepandaian untuk menolong mereka yang sengsara, bahkan mereka selalu siap sedia pula untuk mengulurkan tangan menolong dengan sumbangan uang yang ternyata cukup banyak disimpan di dalam perkumpulan-perkumpulan pengemis itu!

Sesudah menjadi murid Han Le, kepandaian Kiang Liat semakin maju dan matang. Kini seperti gurunya, jarang sekali ia mau mencabut pedangnya dan cukup dengan sebatang ranting kecil saja ia sudah mampu menjaga diri dan kalau perlu merobohkan tokoh-tokoh kang-ouw yang lihai.

Kini terbukalah matanya betapa jauh perbedaan hidup antara orang-orang kaya raya dan orang-orang miskin, laksana bumi dengan langit. Terbuka pula matanya bahwa di dalam kemiskinan, ia bahkan banyak melihat orang-orang jujur dan berhati mulia.

Han Le adalah seorang yang berilmu tinggi. Melihat gerak-gerik ilmu pedang Kiang Liat, dia tidak ingin merusak kepandaian pemuda itu dengan memberi pelajaran ilmu pedang lain. Sebaliknya, ia hanya memberi pelajaran dari lukisan-lukisan pada dinding goa Pulau Pek-hio-to, mengajar gerakan-gerakan yang disesuaikan dengan ilmu pedang Kiang Liat sehingga kini ilmu pedang pemuda itu menjadi makin indah dan makin kuat.

Bahkan, dengan bantuan gurunya ini, akhirnya Kiang Liat bisa menciptakan ilmu pedang yang halus gerak-geriknya, tidak beda bagaikan orang menari-nari saja, akan tetapi di dalamnya terkandung kekuatan yang maha hebat.

Han Le membawa Kiang Liat merantau jauh dan selama satu tahun itu, banyak hal yang dilakukan oleh guru dan murid itu sehingga nama mereka makin meningkat tinggi dan menjadi terkenal di dunia kang-ouw. Kini nama Jeng-ciang-sian Kiang Liat amat disegani orang-orang kang-ouw, dan banyak orang tahu bahwa Kiang Liat sudah menjadi murid Han Le.

Setahun kemudian, Han Le dan muridnya berada di lembah Sungai Huang-ho, di dataran tinggi yang hijau segar, penuh tetumbuhan.

“Kiang Liat, waktumu telah lewat dan kau kini bebas. Kau boleh pulang dan agaknya kau sekarang sudah mengerti akan keadaan di dunia sehingga kelak kau tak akan melakukan kesalahan-kesalahan dalam tindakanmu.”

“Suhu, teecu masih ingin terus belajar kepada Suhu, kalau boleh, biar sepuluh tahun lagi teecu sanggup hidup seperti sekarang ini asal boleh menjadi murid Suhu,” jawab Kiang Liat.

Han Le tersenyum, “Kiang Liat, ketahuilah bahwa hanya karena aku suka kepadamu dan melihat bakatmu yang amat baik saja maka kau kuberi pelajaran ilmu silat itu. Namun sesungguhnya aku tidak berhak, karena ilmu silat yang kuajarkan kepadamu merupakan pecahan kecil dari isi Im-yang Bu-tek Cin-keng yang menjadi milik suheng-ku. Kau amat beruntung dapat bertemu dengan aku dan kini agaknya ilmu pedangmu sukar mendapat tandingan di dunia kang-ouw. Seorang laki-laki harus dapat memegang janji. Dahulu kita berjanji akan berkumpul selama satu tahun dan sekarang waktunya telah habis. Dan kau ingatlah, dulu aku berjanji kepada Kakek Song agar kau menemuinya untuk bicara soal perjodohan yang dia usulkan. Aku tidak mau berlaku lancang, soal perjodohan terserah padamu, hanya menurut pendapatku, Kakek Song itu adalah seorang tua yang memiliki semangat dan pribadi cukup baik. Kiranya cucunya tak akan mengecewakan. Akan tetapi semua keputusan terserah kepadamu sendiri, hanya kuminta supaya kau suka bertemu dengan dia agar janjiku terpenuhi.”

“Baiklah, Suhu. Terima kasih banyak atas segala pelajaran dan nasehat yang selama ini teecu terima dari Suhu. Setahun dekat dengan Suhu bagi teecu lebih berharga dari pada sepuluh tahun yang sudah-sudah.”

Pada saat itu, mendadak wajah Han Le berubah dan tiba-tiba pengemis sakti ini berseru keras sekali. Wajahnya nampak berseri girang dan juga kedua matanya terheran-heran. “Suheng…! Kau di sini…?”

Kiang Liat memandang ke arah gurunya memandang, namun dia tidak melihat sesuatu. Tiba-tiba dari jurusan itu, yang tidak kelihatan ada apa-apa, terdengar suara yang halus sekali, akan tetapi menusuk telinga karena mengandung tenaga luar biasa dan pengaruh besar.

“Sute, siapa anak muda itu?”

“Dia adalah Kiang Liat, muridku!”

Tiba-tiba saja debu mengebul dan tahu-tahu seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, sedikit lebih tua dari pada Han Le, berpakaian kusut sederhana akan tetapi tidak menyembunyikan kegagahan dan ketampanannya, telah berdiri di situ.

Kiang Liat memandang dengan mulut ternganga. Dia yang telah mempunyai kepandaian tinggi, bagaimana sampai tidak mampu melihat dan mengikuti gerakan orang ini? Ibliskah dia?

Ketika laki-laki itu memandangnya, Kiang Liat hampir menundukkan mukanya. Demikian tajam pandangan mata itu menusuk matanya sendiri.

“Sute, kau kan tidak menurunkan Im-yang Bu-tek Cin-keng?” tanya orang itu.

Muka Han Le berubah dan kelihatan gugup. “Hanya sedikit, Suheng, bagian permainan pedang dan lweekang untuk memperkuat ilmu pedangnya sendiri, yakni ilmu pedang dari keluarga Kiang yang tersohor.”

“Hm, sute Han Le, betapa pun juga, kau telah berlaku sembrono sekali. Kau harus tahu bahwa ilmu kita itu sangat berbahaya kalau digunakan oleh orang yang beriman lemah. Sekarang kau sudah terlanjur menurunkan padanya, biar pun sedikit hal itu sudah berarti bahwa selamanya engkau dan aku harus selalu menyelidiki dan menjaga jangan sampai orang mempergunakannya tidak pada tempatnya!”

Han Le memandang kepada suheng-nya dengan mata penuh keheranan, apa lagi ketika ia kini melihat wajah suheng-nya amat kusut, matanya sayu dan kerut-merut pada wajah suheng-nya itu menunjukkan jelas bahwa suheng-nya telah mengalami penderitaan batin hebat selama ini. Sudah belasan tahun ia tidak bertemu dengan suheng-nya ini dan kini suheng-nya benar-benar telah berubah. Adatnya menjadi keras dan aneh. Akan tetapi, ia merasakan kebenaran ucapan suheng-nya itu dan ia pun mengangguk-angguk.

Orang itu lalu menghadapi Kiang Liat yang memandang kepadanya dengan perasaan tak senang. Sebelum orang itu bicara, Kiang Liat mendahului, bertanya kepada Han Le,

“Suhu, mohon memberi penerangan kepada teecu, siapakah adanya Lo-enghiong yang baru datang ini.”

“Bocah bodoh, dia inilah supek-mu. Dia suheng-ku bernama Lu Kwan Cu, berjuluk Bu Pun Su, ahli silat nomor satu di dunia ini!”

Kiang Liat terkejut bukan main. Tadi ia sudah menduga-duga ketika mendengar suhu-nya menyebut suheng kepada orang ini, akan tetapi dia masih penasaran dan sangsi, karena melihat orangnya, Bu Pun Su ini tidak begitu mengesankan sungguh pun kedatangannya tadi seperti siluman saja.

“Kiang Liat, berapa lama kau belajar kepada suhu-mu?”

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su

Kiang Liat sudah menjatuhkan diri berlutut dan kini menjawab,

“Hanya satu tahun, Supek, karena menurut perjanjian memang teecu hanya boleh belajar satu tahun.”

“Perjanjian?” Lu Kwan Cu atau Bu Pun Su menoleh kepada Han Le.

Han Le tertawa dan menceritakan mengenai pertaruhan setahun yang lalu. Bu Pun Su mengerutkan keningnya yang tebal dan sudah mulai memutih.

“Tidak baik bagi seorang pemuda memiliki kesombongan dan terlalu keras. Orang-orang muda sering kali mendatangkan keributan di dunia, didorong oleh nafsunya sendiri tanpa mengingat akibat dari perbuatan yang ditunggangi oleh nafsu. Berdirilah kau!”

Kiang Liat berdiri, hatinya tidak enak.

“Cabut pedangmu!”

Kiang Liat ragu-ragu dan melirik ke arah Han Le, akan tetapi gurunya memberi isyarat dengan matanya agar pemuda itu menurut saja. Maka ia pun kemudian mencabut keluar pedangnya, pedang pusaka keturunan keluarga Kiang, memegang pedang itu lurus ke atas menempel jidat, tanda menghormat dan tidak mempunyai maksud buruk terhadap orang di depannya.

Akan tetapi Bu Pun Su tidak peduli kepadanya dan memerintah terus,

“Serang aku dengan pedangmu!”

Inilah keterlaluan, pikir Kiang Liat. Dia tidak mau berlaku kurang ajar dan lancang, maka bagaimana ia berani menyerang orang yang baru saja diperkenalkan kepadanya sebagai supek-nya?

“Hayo serang, bodoh!” Bu Pun Su membentak lagi dan bentakannya begitu berpengaruh sehingga di dalam tubuh Kiang Liat seakan-akan timbul aliran tenaga yang membuat dia otomatis bergerak!

Pedangnya menyambar, menusuk ke arah muka supek-nya itu. Namun dia segera ingat bahwa dia terlalu kurang ajar jika menyerang dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu selanjutnya ia mengendurkan gerakannya dan hanya memperlihatkan tipu-tipu serangan yang indah untuk membuktikan kepada supek-nya bahwa gurunya tidak memiliki murid secara sembarangan dan bahwa ia sebetulnya juga ‘berisi’!

Akan tetapi dia melihat Bu Pun Su sama sekali tidak menggerakkan kedua kaki, setapak pun tidak pindah dari tempat berdirinya semula. Kedua ujung lengan baju orang sakti itu bergerak-gerak ke depan dan bukan main hebatnya!

Dari sepasang tangan yang bersembunyi di dalam lengan baju itu lantas keluar tenaga luar biasa kuatnya sehingga angin tangkisannya saja selalu dapat menahan pedangnya. Pedangnya selalu terpental kembali seakan-akan terbentur pada benda yang amat keras.

“Jangan sungkan-sungkan, serang sungguh-sungguh!” Kembali Bu Pun Su membentak.

Kali ini Kiang Liat langsung menyerang dengan sungguh-sungguh. Bukan saja karena dia mendengar perintah ini, juga karena hatinya merasa penasaran sekali. Bagaimana orang dapat membikin semua serangan pedangnya tak berdaya hanya dengan hawa tangkisan belaka? Inilah aneh, seperti sihir atau dalam mimpi saja.

Ia mengerahkan seluruh lweekang-nya dan mengeluarkan tipu-tipu silat yang paling lihai. Ia mainkan pedangnya dengan ilmu pedang keluarga Kiang, ditambah dengan gerakan-gerakan halus dari ilmu silat yang ia pelajari dari Han Le.

Betul saja bahwa ilmu pedangnya memang hebat. Buktinya, Bu Pun Su kini tidak dapat menghadapinya dengan hawa tangkisan belaka, akan tetapi orang sakti itu bergerak ke sana ke mari dengan sangat lambat. Namun, betapa pun lambatnya gerakan kaki orang sakti itu, pedang di tangan Kiang Liat tak pernah mengenai sasaran, bahkan menyentuh baju Bu Pun Su saja tidak dapat!

Setelah Kiang Liat menyerang sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba pemuda ini merasa telapak tangan yang memegang pedang sakit sekali sehingga dia terpaksa melepaskan pedangnya. Ketika dia memandang, pedangnya itu sudah terampas oleh gulungan ujung lengan baju Bu Pun Su!

Bu Pun Su sekarang tersenyum dan mengembalikan pedang yang diterima oleh Kiang Liat dengan muka merah.

“Harap Supek tidak mentertawakan kebodohan teecu dan mohon petunjuk,” kata Kiang Liat merendah. Kini dia merasa tunduk dan takut sekali kepada orang sakti ini yang ilmu kepandaiannya benar-benar luar biasa sekali ini.

Bu Pun Su sekarang tertawa lantas berpaling kepada Han Le, “Ahh, Sute. Benar-benar matamu awas sekali. Dalam setahun telah dapat menggerakkan pedang seperti itu, ahh, kalau dia mempelajari semua ilmu dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, bahkan aku sendiri tak akan mampu melawannya. Kiang Liat, kulihat walau pun kau mempergunakan pedang seluruhnya atas dasar ilmu silat pedang dari keluarga Kiang, namun isinya mengandung tenaga rahasia dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Oleh sebab itu, kau memang telah menjadi murid kami. Hal ini tidak boleh kau anggap main-main. Sekali saja kau menyeleweng dan mempergunakan ilmu untuk melakukan kejahatan, meski pun kau berada di tempat yang selaksa li jauhnya, aku sendiri akan mencarimu dan mencabut nyawamu agar ilmu dari kami tidak dipergunakan untuk kejahatan. Mengerti?”

“Teecu bersumpah takkan tunduk terhadap godaan iblis dan nafsu jahat!” kata Kiang Liat sambil mengedikkan kepalanya. Ia benar-benar merasa marah karena ketidak percayaan supek-nya terhadap dirinya ini.

“Bagus, akan kita lihat bersama. Apa bila benar-benar kau tidak mengecewakan menjadi murid kami, kelak kalau ada jodoh aku sendiri akan menambah satu dua ilmu pukulan kepadamu. Sute, mari kita pergi dari sini, aku punya urusan yang penting sekali untuk dibicarakan!” Setelah berkata demikian, dengan sekali berkelebat Bu Pun Su lenyap dari pemandangan mata Kiang Liat.

“Muridku, berhati-hatilah dan kau cari Song Lo-kai. Sampai bertemu kembali kalau ada jodoh!” Han Le juga berkata kemudian melompat dan lenyap untuk menyusul suheng-nya yang luar biasa itu.

Seperginya kedua orang sakti itu, Kiang Liat lalu berlutut ke arah mereka menghilang. Kemudian ia berdiri dan menarik napas berulang-ulang.

“Hebat… tadinya kukira bahwa kepandaian Suhu sudah tidak ada taranya di muka bumi ini. Tidak tahunya kepandaian Supek Bu Pun Su bahkan jauh lebih tinggi lagi! Ah, sayang sekali aku hanya mendapat kesempatan satu tahun. Kalau saja aku bisa menjadi murid Supek, alangkah senangnya…”

Kemudian, sesudah menyimpan pedangnya, sambil membawa sebatang ranting seperti suhu-nya, Kiang Liat pergi meninggalkan tempat itu dan menuju ke dusun Sui-chun di mana tinggal Song Lo-kai. Diam-diam ia merasa tidak enak dan sungkan-sungkan, sebab kepergiannya ini adalah untuk menghadapi Song Lo-kai yang mengusulkan pernikahan, padahal ia sama sekali belum memikirkan persoalan pelik ini.

Namun, ada juga sedikit keinginan tahu melihat macamnya cucu perempuan dari Song Lo-kai! Sedikit kok.


*****