Dara Baju Merah Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ANG I NIO CU (DARA BAJU MERAH)

Karya Kho Ping Hoo

JILID 02

SONG LO KAI tinggal di Sui-chun, kini sudah menjadi seorang hartawan yang hidup berdua dengan cucunya, yakni Song Bi Li. Dahulunya Song Lo-kai sesuai dengan sebutannya, yakni lo-kai atau pengemis tua, adalah seorang pemimpin perkumpulan pengemis yang menjadi cabang atau anak buah dari Cap-si Kaipangcu.

Sejak cucunya kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal karena penyakit menular, kakek she Song ini sudah berubah pendiriannya. Tadinya dia memang tidak mempunyai tanggungan, hidup seorang diri dan senang hidup bebas sebagai pengemis. Akan tetapi, setelah anak dan mantunya meninggal dunia, dan Bi Li hidup seorang diri, ia memikirkan nasib cucunya itu.

Sungguh kebetulan sekali, Kakek Song mendapatkan sebuah surat wasiat tentang harta terpendam di sebuah goa rahasia. Dia pergi dan berhasil mendapatkan harta ini, maka ia lalu membeli rumah gedung dan sawah ladang, hidup sebagai hartawan besar. Kejadian inilah yang membuat dia ditangkap oleh Cap-si Kaipang dan hampir dibunuh kalau tidak tertolong oleh Kiang Liat.

Song Bi Li ternyata seorang gadis yang sangat cantik, berwajah ayu manis dan bertubuh langsing. Kulitnya putih halus dan pipinya kemerahan. Selain cantik jelita, juga dia sangat cerdas sehingga dengan mudah dia dapat menguasai kepandaian tulis dan baca, bahkan pandai sekali membuat sajak-sajak indah.

Di samping ini, dia pun sangat terkenal di kotanya dengan hasil sulamannya yang halus. Pendeknya di dalam kota Sui-chun, tidak ada gadis melebihi Bi Li cantik atau pandainya sehingga dia pun terkenal sebagai kembang kota Sui-chun. Lebih lagi sesudah kakeknya menjadi kaya raya, pakaiannya bagus-bagus, menambahkan kecantikannya.

Dua tahun yang lalu, ketika dia dan kakeknya baru pindah ke dalam gedung besar yang dibeli oleh kakek Song, terjadilah hal yang membuat hati Bi Li terguncang. Untuk pertama kalinya gadis yang pada waktu itu umurnya baru tujuh belas tahun, mengalami godaan asmara.

Waktu itu masih pagi sekali dan Bi Li berjalan-jalan di dalam kebun di belakang gedung kakeknya. Kebun ini masih kosong dan belum terpelihara, masih banyak pohon-pohon yang tidak berguna lagi bagi sebuah kebun yang seharusnya ditanami bunga-bunga yang indah.

Bi Li memang sedang memeriksa kebun ini untuk mengatur sendiri secara bagaimana kebun itu akan ditanami bunga-bunga, di mana harus membuat kolam dan sebagainya. Kakek Song memang sudah menyerahkan hal ini kepada cucunya.

Bi Li dikawani oleh Ceng Si, seorang gadis yang menjadi pelayan di rumah gedung itu. Kakek Song sengaja membeli gadis ini dari keluarga miskin di dusun, tidak saja untuk menolong orang tua gadis ini, juga karena ia ingin supaya cucunya mempunyai seorang kawan bermain yang sebaya. Ceng Si seorang gadis yang cantik juga, sederhana dan amat penurut, lagi cinta kepada Bi Li yang semenjak itu menjadi majikannya.

“Ceng Si, di ujung barat itu harus didirikan satu bangunan kecil untuk dapat beristirahat, di depannya digali empang yang dipasangi jembatan melengkung. Di ujung timur harus digali empang ikan emas dan juga diisi tanaman bunga teratai. Kembang botan ditanam di sebelah sini dan kembang cilan di sebelah sana. Kau nanti jelaskan semua ini kepada tukang kebun yang memborong pekerjaan ini, dan kalau ada yang belum jelas, biar aku sendiri yang akan menerangkan kepadanya,” kata Bi Li sambil menunjuk ke sana ke mari dengan telunjuknya yang kecil terpelihara.

“Baik, Siocia. Menurut Lo-ya (Tuan Tua, maksudnya Kakek Song), tukang kebun akan datang siang nanti dan akan mulai dengan menebangi pohon-pohon yang berada di sini.”

“Jangan ditebang semua. Pohon yang di kanan itu, yang berjajar tiga, tebang tengahnya saja, tetapi biarkan yang dua tumbuh terus. Dan sekumpulan yang-liu (cemara) itu jangan ditebang, hanya buangi cabang-cabang yang sudah kerig. Yang lain boleh dibuang. Dan jangan lupa, taman ini harus dikelilingi dinding tembok yang cukup tinggi sehingga tidak kelihatan dari luar. Sekarang ini hanya dikelilingi pagar, malah banyak yang sudah bobol. Kalau penuh tanaman kembang tentu akan habis dicabuti anak-anak nakal dan dimakan ayam dan kerbauku.”

“Memang benar, Siocia (Nona). Belum lagi kalau ada maling masuk,” kata Ceng Si.

Ceng Si menutupi mulutnya dengan ujung lengan baju, tertawa. Akan tetapi ketawanya segera terhenti dan ia berkata perlahan, agak ketakutan. “Aduh, dia benar-benar datang, Siocia…”

Bi Li terkejut dan bertanya, “Kau bilang ada maling…?” Sambil berkata demikian, ia cepat membalikkan tubuh menengok ke arah pelayannya itu memandang.

Ternyata benar ada seorang laki-laki yang menerobos masuk ke dalam kebun itu melalui pagar yang telah rusak. Mula-mula Bi Li terkejut sekali sehingga mukanya berubah, akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya setelah melihat bahwa lelaki yang menerobos ke dalam kebun itu tidak kelihatan seperti orang jahat.

“Dia tidak kelihatan jahat, Ceng Si, apakah bukan tukang kebun yang hendak bekerja di sini?”

“Ssttt, kau terlalu. Mana orang seperti itu dianggap tukang kebun? Dia bukan maling dan bukan pula tukang kebun, lihat saja pakaiannya seperti seorang kongcu (tuan muda) dan orangnya begitu… begitu tampan!”

“Hush, genit kau…!” Bi Li mencela, akan tetapi diam-diam ia harus mengakui bahwa yang datang itu memang seorang pemuda yang tampan dan ganteng, yang berpakaian seperti seorang siucai (pelajar), yang sikapnya halus dan sopan.

Bi Li dahulu tinggal bersama orang tuanya di kampung, maka ia tidak seperti nona-nona hartawan dan bangsawan yang selalu bersembunyi di dalam gedung dan jarang bertemu dengan laki-laki asing, maka kini ia tidak merasa terlalu kikuk. Juga ia tidak takut karena waktu itu matahari sudah naik tinggi dan ia berada di situ dengan pelayannya, sungguh pun mereka merasa curiga ketika memandang kepada pemuda ini. Dia merasa seperti pernah melihat pemuda ini, hanya dia lupa lagi bila mana dan di mana.

Pemuda itu menghampiri mereka dan memandang kepada Bi Li dengan senyum manis. Dia nampak ramah-tamah dan matanya berseri-seri ketika dia memandang kepada Bi Li, sungguh pun alisnya berkerut seakan-akan ada sesuatu yang menyusahkan hatinya.

“Kau siapakah dan mengapa berani lancang memasuki kebun orang?” Bi Li menegur, suaranya ketus dan matanya bersinar marah.

Pemuda itu nampak kecewa sekali mendengar teguran gadis ini. Ia pun menjura dengan hormat, lalu berkata, suaranya seperti orang penasaran,

“Song-siocia, benar-benarkah kau sudah lupa padaku? Benar-benarkah, setelah kini kau menjadi kaya-raya, kau lupa akan kampung halamanmu dan sekalian orang miskin yang menjadi penghuninya?”

Bi Li semakin marah. “Aku tidak kenal padamu, lekaslah pergi dari sini, kalau Kongkong (Kakek) tahu kau menerobos ke sini, kau tentu akan dipukul!”

Pemuda itu berdiri tegak dan tersenyum duka. “Jangankan dipukul, dibunuh pun aku rela. Kongkong-mu yang kaya-raya, yang merampas kau dari dusun kami, sudah begitu tinggi hati untuk menghinaku, dan sekarang aku hanya ingin menyaksikan, apakah Nona Song Bi Li juga begitu tinggi hati seperti kongkong-nya?”

“Siapakah kau? Mengapa kau begini kurang ajar?” Bi Li memandang pemuda itu dengan alis dikerutkan.

“Nona, lupakah kau kepada orang yang pernah menuliskan sajak di dinding kuil di dusun kita?” pemuda itu berkata.

Bi Li memandang makin tajam dan kini berubahlah mukanya menjadi kemerahan.

“Ahh, kau... kau Cia-siucai...,” katanya gagap.

Terbayanglah semua pengalamannya pada saat ia masih tinggal di dusunnya. Ketika itu, kedua orang tuanya secara berturut-turut sudah meninggal dunia karena penyakit yang merajalela di dusun itu. Banyak orang dusun datang pada waktu jenazah ayah bundanya dirawat di dalam kuil, yaitu satu-satunya kuil di dusun itu, tempat di mana sebagian besar orang-orang yang meninggal diurus dan disembahyangi.

Di antara mereka yang datang ini, terdapat seorang pemuda sasterawan yang baru saja pulang kembali ke dusun setelah bertahun-tahun menempuh pelajaran dan ujian di kota raja. Pemuda ini adalah Cia Sun atau yang segera terkenal dengan sebutan Cia-siucai.

Bi Li tahu bahwa hampir semua gadis dusun itu merindukan Cia-siucai, memuji-mujinya karena bukan saja ia merupakan pemuda yang paling tampan di dusun itu, juga ia sangat pandai membuat sajak. Semua tulisan pada lian yang digantung di kuil, tulisan yang amat indah itu, seluruhnya adalah buatan Cia Sun.

Pada saat itu Cia Sun baru pertama kali melihat Bi Li dan pemuda ini menjadi tergila-gila. Tiada bosannya ia melirik ke arah gadis itu yang tengah menjalani upacara sembahyang. Seorang gadis yang rambutnya awut-awutan, mukanya pucat penuh air mata, seorang gadis yang patah hati dan putus harapan karena ditinggal mati oleh ayah bundanya, yang tentu akan jatuh pingsan dan sakit kala tidak dihibur oleh seorang kakek tua yakni Song Lo-kai, Kongkong-nya.

Cia Sun demikian tergila-gila sehingga ketika ia sudah terlalu banyak minum arak, tanpa peduli apa-apa ia lalu mengambil pit dan menuliskan beberapa baris sajak di atas tembok kuil, dilihat dan dikagumi oleh semua tamu yang datang melayat.

Bi Li sampai sekarang masih ingat bunyi sajak itu, karena pada waktu itu ketika melihat ribut-ribut ia pun lalu ikut membaca tulisan itu yang berbunyi demikian:

Layu pucat Teratai Putih, kehilangan sinar matahari.
Mengembang di empang tanpa kawan
Hati siapa takkan rawan?
Nona suci hidup seorang diri
Hati siapa takkan perih?
Kasihan kumelihatnya.
Hancur pilu hati dibuatnya.
Apakah dayaku, si bodoh hina ini
Untuk menghibur Teratai suci?


Sajak itu tentu saja dengan sangat mudah dapat diterka maksudnya. Semua orang yang berada di situ memang merasa kasihan kepada Bi Li, gadis yang menjadi yatim piatu dan bunyi sajak itu otomatis merupakan pengakuan dari Cia Sun bahwa begitu bertemu dengan Bi Li, ia telah jatuh cinta.

Akan tetapi, Song Lo-kai tidak senang membaca sajak itu, dan dengan muka masam ia menarik tangan Bi Li masuk ke dalam. Semenjak saat itu mereka tidak pernah bertemu muka kembali. Peristiwa yang terjadi sewaktu Bi Li berada di puncak kesedihan itu tentu saja tidak terlalu membekas pada hatinya dan ia pun sudah lupa akan peristiwa itu. Akan tetapi siapa kira, sekarang tiba-tiba saja pemuda itu muncul di hadapannya, dengan jalan menerobos kebun!

Sementara itu, ketika Cia Sun melihat Bi Li mengenalnya, dia menjadi girang sekali dan wajahnya yang tampan berseri-seri.

“Aduh, terima kasih kepada Kwan Im Pousat, ternyata kau juga memikirkan diriku yang hina ini, Nona Song...”

“Siapa bilang?” Bi Li membentak marah. “Cia-siucai, kau lancang sekali! Kau masuk ke sini tanpa permisi dan kau sudah mengeluarkan kata-kata yang tidak pada tempatnya. Apa sebenarnya kehendakmu?”

“Kedatanganku hanya untuk mengulangi pernyataanku dahulu, Nona, yakni bahwa aku cinta kepadamu...”

“Tidak! Kurang ajar, pergi kau dari sini!” Bi Li membelalakkan matanya yang indah dan mukanya berubah-ubah, sebentar merah, dadanya berombak menahan gelora hatinya.

Cia Sun menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Li.

“Song-siocia, kakekmu telah menghinaku, telah menolak pinanganku, dan kini kau masih mengusirku pula?” Suara ini terdengar demikian lemah mengharukan sehingga Ceng Si yang mendengar ini menjadi pucat dan dua titik air mata membasahi pipinya.

Ada pun Bi Li ketika melihat pemuda itu tiba-tiba berlutut di depannya dan mengeluarkan kata-kata itu, menjadi makin bingung.

“Cia-siucai, jangan kau begini! Apa sih yang kau kehendaki?”

“Nona, Kongkong-mu dulu menolak pinanganku dengan alasan bahwa kau telah menjadi tunangan dengan orang lain. Aku bukan seorang yang tidak kenal aturan, aku tidak mau menjadi seorang yang tak kenal malu dan kurang ajar, katakanlah kepadaku secara terus terang, Nona, apakah betul kau sudah menjadi tunangan orang lain? Betulkah kau sudah bertunangan?”

“Kau peduli apakah dengan itu? Hal itu bukan urusanmu, Cia-siucai. Sudahlah, lebih baik kau lekas-lekas pergi dari sini.”

“Jawab dulu, Nona. Benar-benarkah kau sudah bertunangan dengan orang lain? Apa bila benar demikian, aku Cia Sun bersumpah tidak akan mau mengganggumu lagi.”

Bi Li tidak mampu menjawab. Dia memang belum bertunangan, hal ini dia ketahui benar, karena memang dahulu orang tuanya belum mengikat perjanjian dengan siapa pun juga. Namun, menjawab pertanyaan seorang pemuda asing begitu saja tentang pertunangan, bukanlah hal yang patut dilakukan oleh seorang gadis sopan.

Ceng Si melihat keraguan nonanya, maka ia yang mewakili Bi Li menjawab, “Sebenarnya Siocia belum bertunangan Cia-siucai. Sudahlah, harap kau sudi meninggalkan tempat ini, kalau diketahui oleh orang lain, bukankah hal ini buruk sekali bagi Siocia?”

Mendengar ini, Cia Sun lalu membanting-bantingkan jidatnya pada tanah dan dia masih tetap berlutut.

“Penasaran! Penasaran! Nona Song, mengapa kakekmu begitu membenciku? Memang ia membohong dan menolak pinanganku? Ketahuilah, tanpa kau di sampingku, aku tidak akan dapat hidup lebih lama lagi! Lebih baik aku mati saja di sini, Song-siocia...”

Mendengar ini, muka Bi Li menjadi pucat sekali dan ia menahan mulutnya yang hendak berteriak. Kemudian ia membalikkan tubuh dan berlari pergi meninggalkan pemuda yang masih berlutut itu, berlari kembali ke dalam gedung.

Bi Li tiba di kamarnya dengan terengah-engah, mukanya pucat. Baiknya kongkong-nya tidak ada. Di rumah gedung itu baru ada dia dan Ceng Si saja, karena memang belum memanggil pelayan-pelayan lain.

Hatinya berdebar, tidak karuan rasanya. Ada rasa takut, bingung dan juga girang. Entah kenapa, mengingat betapa pemuda tampan dan pandai yang menjadi kebanggaan dusun dan menjadi rebutan serta impian para gadis dusun itu kini bertekuk lutut kepadanya, menyatakan cinta kasih yang demikian besar, benar-benar menggirangkan hatinya. Akan tetapi dia sendiri tidak mengerti perasaan apakah ini yang membuat dia menjadi merasa kebingungan.

Tak lama kemudian, Ceng Si menyusul masuk ke dalam kamar.

“Siocia, bagaimana ini baiknya?” pelayan muda dan cantik itu langsung berkata sambil meremas-remas tangan. “Dia tidak mau pergi…”

“Dia tidak mau pergi…? Habis bagaimana baiknya…?” Bi Li memandang kepada Ceng Si dengan bingung dan air matanya sudah mulai memenuhi pelupuk matanya.

“Siocia, dia harus dikasihani. Dia benar-benar mencinta kepada Siocia dengan sepenuh hati dan nyawanya. Dia bilang bahwa dia akan tetap berlutut di sana sampai mati kalau Siocia tidak mau menyatakan sesuatu untuk menjawab cintanya. Demikian yang ia bilang kepadaku, Siocia.”

Sekarang air mata menitik turun ke atas pipi Bi Li. Ia menjadi terharu dan juga bingung, ditambah rasa takut. Kalau sampai kongkong-nya atau ada orang lain tahu akan halnya pemuda itu, bukankah akan terjadi geger? Bukankah orang lain akan menyangka yang tidak-tidak terhadap dirinya? Sampai lama ia tidak menjawab.

Ahh, Bi Li memang seorang gadis yang masih hijau dan bodoh, yang selamanya belum pernah mengalami perasaan seperti itu. Kalau saja ia tahu apa yang baru saja terjadi ketika ia pergi meninggalkan Cia Sun, tentu akan lain sikapnya.

Begitu dia pergi, Ceng Si yang begitu melihat Cia Sun menyatakan cinta kasih terhadap nonanya, segera memegang pundak pemuda itu dengan lemah-lembut, berkata seperti bisikan mesra,

“Siucai, kenapa kau begitu lemah? Bangunlah, urusan ini bisa diatur bagaimana baiknya. Hatiku tidak kuat melihat kau begini sengsara, Kongcu...”

Mula-mula Cia Sun terheran, ia mengangkat muka dan memandang wajah pelayan yang cantik itu, kemudian sesudah dua pasang mata bertemu, tahulah pemuda ini akan suara hati Ceng Si. Dia menjadi sangat girang dan memeluk pundak Nona pelayan itu sambil berkata,

“Nona manis yang baik, benar-benarkah kau menaruh hati kasihan terhadap diriku yang malang ini?”

Ceng Si pura-pura melepaskan diri dan berkata dengan sikap genit,

“Cih, tak tahu malu! Baru saja Siocia pergi, hatinya telah berubah dan hendak membujuk aku, benar-benar lelaki tidak setia!”

Cia Sun segera menjura dan berkata dengan suara memohon, “Nona yang baik, siapa orangnya tidak akan mencinta kau yang begini manis? Kasihanilah aku, aku benar-benar lebih baik mati kalau Siocia-mu tidak mempedulikan aku. Bantulah aku, bujuk siocia-mu supaya dia sudi sedikit menaruh perhatian kepadaku, dan aku berjanji, kelak kalau aku berhasil menjadi suami siocia-mu, engkaulah orang pertama yang akan menjadi Ji-hujin (Nyonya Ke Dua)!”

Ceng Si mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit, “Benar-benarkah janjimu ini? Atau hanya bujukan kosong belaka?”

“Demi langit dan bumi, aku bersumpah bahwa kelak apa bila aku berhasil menjadi suami Nona Song Bi Li, aku segera akan mengambil Nona... ehh, siapa namamu?”

Ceng Si mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit, “Benarkah itu? Namaku, ehh, Ceng Si,” jawabnya cepat-cepat.

“Ceng Si nama yang manis.” Kemudian ia berdongak ke arah langit dan melanjutkan lagi sumpahnya, “Aku akan mengambil Nona Ceng Si yang manis sebagai ji-hujin! Nah, langit dan bumi menjadi saksi atas sumpahku. Lekaslah kau datangi siocia-mu dan bujuk agar supaya dia suka menaruh sedikit perhatian kepadaku dan suka memberi sedikit tanda mata.”

“Baiklah, akan tetapi awas, kalau kau membohongiku, jangan kira Ceng Si takkan dapat menuntut balas!” Pelayan itu segera pergi berjalan-jalan dan menuju ke kamar Bi Li.

Demikianlah, semua ini tentu saja Bi Li tidak tahu sama sekali. la mendengar dari Ceng Si bahwa Cia Sun masih berlutut dan tidak mau pergi, hatinya menjadi sangat terharu. Demikian besarnya kasih sayangnya kepadaku sehingga dia rela mengorbankan nyawa, pikir gadis ini.

“Habis, apa yang harus kulakukan, Ceng Si?” kemudian ia bertanya, minta nasehat pada pelayannya yang ia anggap lebih mengerti dalam urusan seperti ini.

Berbeda dengan Bi Li, di dalam hal ini Ceng Si lebih cerdik dan gadis pelayan ini lebih mengenal watak laki-laki seperti Cia Sun. Dia sudah dapat menduga ke mana maksud tujuan Cia Sun, bukan karena oleh kecantikan siocia-nya yang memang amat cantik itu, akan tetapi di samping ini mengandung maksud yang lebih besar, yakni hendak menjadi suami Bi Li yang menjadi ahli waris tunggal dari Song-loya yang kaya-raya!

Aku harus berlaku cerdik, pikir Ceng Si. Kalau kubujuk sehingga siocia menerimanya dan kemudian sebelum mereka menjadi suami isteri, Cia Sun menyia-nyiakannya, maka akan gagallah semua niatnya. Aku harus berusaha agar Siocia menjadi isterinya agar Cia Sun bisa diterima menjadi suami Bi Li dan kelak akan menjadi nyonya ke dua, akan menjadi Ji-hujin (Nyonya Ke Dua).

Kedudukan nyonya kedua di masa itu memang cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kedudukan nyonya ke tiga, ke empat atau seterusnya. Apa lagi bila dibandingkan dengan kedudukan pelayan biasa, tentu saja jauh lebih tinggi!

“Siocia, apakah… apakah Siocia juga… suka kepadanya?”

Wajah Bi Li menjadi merah sekali dan ia memandang kepada pelayannya dengan mata terbuka lebar. Maksudnya hendak marah, namun dia tidak dapat, karena wajah Ceng Si memperlihatkan sikap sungguh-sungguh, ada pun ia sedang bingung dan membutuhkan pertolongan pelayan ini.

“Aku tidak tahu, Ceng Si, aku... tidak tahu...”

“Siocia, Cia-kongcu itu benar-benar cinta kepada Siocia dan kalau ia dibiarkan saja, tentu ia akan berkeras tidak mau pergi!”

“Aduh, bagaimana kalau Kongkong datang dan melihat dia di sana?” Bi Li ketakutan.

“Apa lagi kalau ada orang luar melihatnya, tentu timbul persangkaan yang bukan-bukan.” Ceng Si menambah kebingungan siocia-nya dengan maksud agar nona majikannya itu terdesak betul-betut dan akhirnya akan menurut apa yang ia nasehatkan.

Benar saja, mendengar kata-kata pelayannya ini, Bi Li lalu menangis karena bingung dan cemas. “Ceng Si, apakah yang harus kulakukan? Tolonglah aku, Ceng Si!”

Pelayan muda yang cantik itu tersenyum di dalam hatinya. Baik Cia Sun mau pun Bi Li sudah minta tolong kepadanya, sudah dapat dipastikan bahwa kelak cita-citanya pasti tercapai, menjadi Ji-hujin yang kaya dan terhormat!

“Siocia, tak baik menemui padanya di kebun, akan tetapi tidak baik pula membiarkan dia begitu saja sehingga dia tidak mau pergi. Lebih baik Siocia menghibur hatinya dengan jalan memberi sesuatu agar ia puas dan mau pergi!”

“Memberi apa, Ceng Si? Apa yang dapat kuberikan agar ia mau pergi?”

Ceng Si berpikir-pikir. Memang akan lebih sempurna apa bila memberikan barang yang berharga, yang menjadi tanda atau bukti seperti misalnya hiasan rambut dari batu giok itu yang menghias rambut Bi Li yang hitam dan halus, akan tetapi hal itu terlalu berbahaya untuk pertama kalinya. Dia masih belum tahu akan isi hati Cia Sun, belum tahu apakah pemuda itu bersungguh-sungguh atau tidak.

“Lebih baik Siocia memberikan sapu tangan Siocia itu, supaya ia merasa bahwa Siocia menaruh kasihan kepadanya dan akulah yang akan membujuk-bujuknya agar dia mau pergi dari kebun.”

Bi Li tentu saja ragu-ragu dan mukanya menjadi merah sekali. Ia melihat sapu tangannya yang tersulam indah dan yang basah dengan air matanya. Akan tetapi tidak ada jalan lain yang lebih baik. Kalau pemuda itu nekat tidak mau pergi, lebih celaka lagi!

“Baiklah, kau berikan ini dan bujuk agar dia jangan berlaku nekad dan tidak mau pergi.”

Ceng Si dengan girang menerima sapu tangan itu dan membawa benda itu ke kebun, di mana Cia Sun telah menantinya. Untuk beberapa lama dua orang ini berunding, akhirnya Cia Sun pergi keluar melalui pagar kebun yang rusak.

Demikianlah. Ceng Si menjalankan siasatnya secara licin sekali. Sampai kebun itu sudah berubah menjadi taman yang indah dan dikelilingi pagar tembok, selalu pelayan ini yang mengadakan hubungan dengan Cia Sun.

Dengan amat cerdiknya Ceng Si menjaga sedemikian rupa sehingga Bi Li mau memberi benda-benda tanda mata, membalas surat-surat dan sajak-sajak pemuda itu, bahkan Bi Li yang bagaikan seekor lalat terjebak dalam sarang laba-laba berani bersumpah bahwa dia hanya akan bersuamikan Cia Sun!

Sampai dua tahun perhubungan ini berjalan diam-diam. Memang betul bahwa Bi Li tidak pernah melakukan sesuatu yang melanggar kesusilaan, karena memang gadis ini teguh menjaga kesopanan, dan ini sesuai pula dengan rencana Ceng Si, akan tetapi di dalam hatinya, gadis ini sudah membalas cinta kasih Cia Sun.

Tentu saja Cia Sun menjadi besar hati, karena meski pun dia pernah ditolak lamarannya oleh Kakek Song, namun kalau Bi Li tidak mau dinikahkan dengan orang lain dan kelak kakek itu meninggal dunia, akhirnya tetap dialah yang akan menjadi suami Bi Li dan bisa menguasai semua harta benda yang besar itu!

Akan tetapi, setelah Bi Li berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari tiba-tiba Kakek Song pulang bersama seorang pemuda yang amat tampan dan gagah, yang berpakaian sebagai seorang pengemis, tambal-tambalan dan butut. Dan hebatnya, Bi Li dikenalkan kepada pemuda ini sebagai calon suaminya.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, sesudah berpisah dari suhu-nya, Kiang Liat langsung menuju ke dusun Sui-chun. Ia sengaja tidak mau pulang dulu ke kotanya di Sian-koan dan sengaja memakai pakaian seperti pengemis untuk melihat apakah Kakek Song dan cucunya masih tidak berubah pendiriannya melihat dia sudah menjadi seorang pengemis.

Tidak tahunya, baru saja dia tiba di luar dusun Sui-chun, dia sudah disambut oleh Kakek Song dengan segala kehormatan! Memang sudah berhari-hari kakek ini menunggu dari pagi sampai petang di luar kampung, ingat bahwa hari kedatangan pemuda yang pernah menolongnya itu sudah tiba.

Oleh karena itu, begitu melihat Kiang Liat, dia segera berlari menghampiri bersama para pelayannya, dan menyambut Kiang Liat dengan segala kehormatan.

“Kiang Taihiap, sudah tiga hari ini lohu selalu menanti di sini. Bagus sekali, kau kelihatan sehat-sehat saja dan lebih gagah!”

“Akan tetapi, aku telah menjadi pengemis yang miskin, Lopek.”

“Ha-ha-ha, dahulu pun aku seorang pengemis yang lebih miskin dari padamu, Taihiap. Sudah lupa lagikah kau akan hal itu? Marilah, kita bicara di rumah.”

Diam-diam Kiang Liat memuji kakek ini yang ternyata sikapnya tak berubah sama sekali. Memang dia suka mempunyai seorang mertua atau seorang kakek sebaik ini, akan tetapi dia masih belum melihat bagaimana macamnya cucu perempuan kakek ini yang hendak dijodohkan dengan dia.

Rumah gedung tempat tinggal kakek itu, sungguh pun untuk di Sui-chun termasuk paling baik, namun masih tidak sebesar dan sebaik rumah Kiang Liat sendiri di kota Sian-koan, maka pemuda ini sama sekali tidak merasa kagum atau kikuk ketika memasuki gedung ini.

“Suruh Siocia keluar menyambut tuan penolongku yang mulia!” kata Song Lo-kai dengan girang kepada seorang pelayan perempuan.

Berdebar hati Kiang Liat ketika ia mendengar suara tindakan kaki yang halus dari dalam, kemudian mulut pintu tersingkap dan segera muncul seorang bidadari dalam pandangan pemuda ini. Dia cepat bangun dari bangkunya dan merahlah muka Kiang Liat ketika dia teringat bahwa pakaiannya amat tidak baik.

Dia memandang wajah yang cantik jelita itu, yang mulutnya tersenyum manis dengan ramah tamah, yang wajah ayunya berseri-seri dengan sepasang matanya bersinar-sinar. Memang Bi Li sudah pernah diceritakan oleh kongkong-nya bahwa ketika menghadapi bencana maut kongkong-nya telah ditolong oleh seorang pendekar muda.

Tentu saja kini mendengar bahwa tuan penolong itu datang, sebagai cucu kongkong-nya dia harus menyatakan terima kasihnya. Hanya tak disangkanya bahwa tuan penolong itu ternyata adalah seorang yang masih muda dan luar biasa tampan serta gagahnya.

Kiang Liat menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada, memandang bagaikan dalam mimpi, tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa pemuda itu amat kikuk, maka timbullah rasa sungkan dan malu pada Bi Li sehingga gadis ini pun hanya menjura memberi hormat.

“Bi Li, mengapa kau diam saja terhadap tuan penolongku? Tidak saja Tuan penolong, dia pun calon suamimu, Nak!”

Sesudah berkata demikian, kakek ini mengejap-ngejapkan kedua matanya yang terasa panas hendak menitikkan air mata saking terharu dan girangnya.

Mendengar ucapan itu, Bi Li merasa seakan-akan dua kakinya terjeblos ke dalam jurang. Kagetnya setengah mati dan seketika itu wajahnya menjadi pucat sekali. Akan tetapi dia buru-buru menundukkan muka dan membalikkan tubuh, terus berlari ke dalam kamarnya, diikuti oleh Ceng Si yang tadi juga mengikuti nona majikannya keluar.

Bagi anggapan Kiang Liat dan kakek Song, nona itu tentu lari karena jengah dan malu, maka kakek Song tertawa bergelak-gelak saking senang hatinya.

“Lopek, sungguh pun aku sebatang kara dan sudah yatim-piatu, namun aku mempunyai rumah di Sian-koan. Biarlah aku pulang lebih dahulu, baru kemudian aku akan mengirim wakil untuk membicarakan urusan perjodohan ini.”

Kakek Song mengerutkan keningnya dengan rasa khawatir. “Akan tetapi kau… kau telah setuju, bukan?”

Muka Kiang Liat menjadi merah, tak dapat menjawab, maka dia hanya menganggukkan kepalanya dengan pasti! Kakek Song tertawa bergelak, kemudian dengan suara keras ia memberi perintah kepada para pelayannya untuk menyediakan jamuan yang hebat bagi calon mantunya.

Sesudah minum arak serta menikmati hidangan-hidangan yang disuguhkan oleh Kakek Song, Kiang Liat lalu berpamitan dan sebagai tanda mata, ia meninggalkan pedangnya. Dengan hati gembira pemuda ini lalu melakukan perjalanan cepat sekali ke kota tempat tinggalnya.

Ia disambut dengan girang oleh inang pengasuhnya, ia memang sudah seperti neneknya sendiri saja. Kiang Liat gembira karena melihat rumahnya tidak berubah dan tidak terjadi sesuatu atas diri inang pengasuhnya.

Dia lalu menceritakan pengalamannya secara singkat, dan terutama sekali dia bercerita tentang maksudnya hendak menikah dengan Nona Song di Sui-chun. Inang pengasuh itu girang bukan main, sambil berlinang air mata inang pengasuh ini lalu mengurus hal itu, mencarikan seorang wakil untuk menyampaikan warta ke Sui-chun mengenai ketetapan hari pernikahan.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
*****

Sementara itu, di rumah Kakek Song terjadi keributan. Bi Li menangis dan menyatakan tidak mau menikah.

“Anak bodoh, usiamu sudah sembilan belas tahun mau menunggu apa lagi? Apakah kau mau menunggu kakekmu mati?” akhirnya Kakek Song berkata lemas.

Bi Li menubruk kakeknya. “Tidak demikian Kongkong, akan tetapi aku… aku belum suka menikah...”

“Bi Li, jangan kau membikin bingung dan susah hati kongkong-mu. Perjodohan ini sudah kujanjikan kepada Kiang-taihiap setahun yang lalu. Sebentar lagi kalau utusannya datang mewartakan tentang hari pernikahan, kita harus menerima dengan baik. Kau tidak boleh berkeras kepala lagi, kecuali jika kau suka melihat kongkong-mu mampus saking jengkel dan susah.”

Bi Li tidak dapat menjawab, hanya menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis terisak-isak.

Pada saat itu, Ceng Si turun tangan. Gadis pelayan ini memberi isyarat kepada Kakek Song untuk keluar. Kakek ini heran akan tetapi dia menurut saja. Akhirnya mereka bicara di dalam ruangan belakang dan tak seorang pun pelayan lain boleh mendekati mereka.

“Ceng Si, ada apakah? Agaknya ada sesuatu yang dirahasiakan kepadaku!” Kakek Song berkata kurang senang.

Ceng Si berlutut. “Mohon beribu ampun Lo-ya. Sebetulnya saya sudah banyak berusaha untuk mencegah hal ini terjadi, akan tetapi apa hendak dikata, sebelum saya menjadi pelayan di sini, hal itu sudah terjadi.”

“Hal ini, hal itu, apa maksudmu? Bicaralah yang jelas!” Kakek Song membentak dengan hati kurang enak.

“Siocia tidak mau menikah karena sesungguhnya Siocia sudah mempunyai pilihan hati sendiri.”

“Apa? Kau tahu akan hal ini tetapi tidak memberi tahukan kepadaku? Berani benar kau membiarkan Siocia merusak nama baik keluarganya sendiri? Jahanam benar...” Wajah Kakek Song menjadi pucat sekali.

“Tidak demikian, Loya, harap jangan salah sangka. Walau pun Siocia sudah mempunyai pilihan hati, namun Siocia tidak pernah bertemu dengan dia, hanya berkirim-kiriman saja dan sebagainya.”

“Bedebah…!”

“Jika Loya benar-benar sayang kepada Siocia, saya harap Loya sudi mempertimbangkan keadaan Siocia yang patut dikasihani. Dan harap Loya suka mendengar penuturan saya dengan hati sabar. Loya, sebelum Loya membawa Siocia pindah ke sini, di antara Siocia dan pemuda itu memang telah ada pertalian batin yang erat. Mereka saling mencinta dan saling bersumpah tidak akan menikah dengan orang lain. Ada pun menurut penglihatan saya, pemuda itu adalah seorang pemuda terpelajar yang amat sopan-santun dan baik, tulisannya indah dan juga orangnya tak kalah oleh Kiang-taihiap. Siocia pasti akan hidup bahagia selama hidupnya kalau Loya membatalkan pertalian jodoh dengan Kiang-taihiap dan sebaliknya menjodohkan Siocia dengan pilihan hatinya sendiri.”

“Cukup, tutup mulutmu, kau seorang pelayan tahu apa? Siapakah adanya jahanam yang berani menggoda cucuku itu? Hayo katakan siapa dia?”

“Dia adalah seorang Siucai dan namanya Cia Sun dari dusun Lee-hiang.”

Kakek Song termenung dan mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggotnya. Dia lalu menyuruh Ceng Si pergi dan menghibur siocia-nya.

“Katakan kepada Siocia-mu bahwa aku akan memikirkan hal ini baik-baik,” katanya.

Kakek ini teringat akan pemuda she Cia yang dahulu pernah melamar Bi Li, dan menurut penglihatannya, memang pemuda itu cukup baik dan terpelajar. Akan tetapi, dulu ia telah menolak pinangan itu karena ia ingin menjodohkan Bi Li kepada seorang gagah supaya kelak dapat melindungi cucunya itu. Kakek Song sendiri adalah seorang ahli silat dan biar pun kepandaiannya tidak tinggi namun ia cukup tahu akan manfaat kegagahan pada jaman itu.

Apa lagi sekarang dia sudah menjodohkan cucunya kepada Kiang Liat, seorang pemuda gagah perkasa yang pernah menolongnya dan yang amat dikaguminya. Apa lagi karena pemuda itu kini menjadi murid dari seorang sakti.

“Sungguh menjemukan sekali, pinangannya sudah kutolak bagaimana dia masih berani mengganggu Bi Li? Sebenarnya apakah maksud pemuda she Cia itu?” Demikian Kakek Song berpikir-pikir.

Kemudian dia mendapatkan akal. Dia maklum akan keadaan keluarga Cia yang miskin, maka didatangilah rumah keluarga Cia di dusun Lee-hiang. Dia disambut oleh Janda Cia, yakni ibu dari Cia Sun dengan ramah-tamah dan penuh penghormatan, seperti biasanya seorang kaya-raya disambut oleh seorang dusun yang miskin.

Kakek Song minta kepada nyonya janda itu untuk memanggil puteranya dan Cia Sun lalu menghadap dengan muka pucat. Pemuda ini takut sekali karena ia telah dapat menduga bahwa kedatangan Kakek Song tentulah ada hubungannya dengan Bi Li, sedangkan dia selama beberapa hari ini belum mendapat berita apa pun dari Ceng Si. Hatinya gelisah sekali, akan tetapi dia menghadap Kakek Song dengan sikap sopan dan memberi hormat sebagaimana mestinya.

“Kedatanganku ini untuk membereskan persoalan yang ada antara Cia Sun dan cucuku,” kata Kakek Song kepada nyonya janda ibu Cia Sun. Tentu saja Nyonya Cia tidak tahu akan kelakuan puteranya, maka ia memandang dengan mata penuh pertanyaan.

“Cia-hujin, seperti kau tentu masih ingat, dulu pinangan puteramu terhadap cucuku sudah kutolak karena memang cucuku itu sudah mempunyai tunangan. Akan tetapi akhir-akhir ini ternyata puteramu selalu mendesak dan bahkan berani mencoba untuk berhubungan dengan cucuku. Yang sudah lewat sudahlah, akan tetapi mulai sekarang, kuperingatkan agar puteramu ini jangan sekali-kali berani menghubunginya. Ingat bahwa cucuku sudah bertunangan.”

“Hal itu tidak betul,” Cia Sun memotong, “Aku mendengar bahwa Song-siocia sama sekali belum bertunangan.”

“Hemm, begitukah?” Kakek Song tersenyum, hatinya mendongkol bukan main. “Itu hanya dugaanmu belaka. Dia sudah tunangan dengan seorang she Kiang di kota Sian-koan dan dalam beberapa pekan ini pun pernikahannya segera akan dilangsungkan. Oleh karena itu, sekali lagi kuperingatkan bahwa apa bila kau mencoba untuk berlaku tidak patut dan mendekati rumah kami, aku akan turun tangan dengan jalan kekerasan atau aku akan menyuruh yang berwajib menangkap dan menahanmu. Sebaliknya, kalau kau berjanji tak mengganggu dan mendekatinya lagi, orang she Song akan berterima kasih sekali dan tidak akan melupakan kebaikan ini. Nah, biarlah sedikit bekal ini untuk keperluan kalian sehingga tak perlu keluar rumah.” Kakek Song meninggalkan sekantong uang perak dan meletakkan itu di atas meja yang reot di depan Nyonya Cia.

Nyonya janda Cia merasa terkejut dan juga girang. Ia buru-buru berlutut menghaturkan terima kasih dan berkata kepada Kakek Song,

“Song-loya, harap suka mengampunkan puteraku yang masih belum tahu aturan hingga mengganggu Loya. Percayalah, aku yang akan melarangnya pergi ke sana. Terima kasih banyak atas kemurahan hati Song-loya. Sun-ji (Anak Sun), hayo lekas ucapkan terima kasih kepada Song-loya.”

Cia Sun menjadi pucat dan hanya karena takut kepada ibunya maka ia terpaksa menjura dan mengucapkan terima kasih dengan suara perlahan. Kakek Song menjadi puas dan segera pergi dari situ, pulang ke gedungnya.

Cia Sun menjatuhkan diri di atas kursi, dua titik air mata turun membasahi pipinya. Kini hancurlah cita-citanya untuk menjadi suami Bi Li, untuk mewarisi seluruh harta benda itu!

“Anakku, bagaimana sih kau ini? Song-siocia tentu saja bukan jodohmu, bagaimana bisa katak mencapai bulan? Kau betul-betul amat lancang dan sembrono berani mengganggu gadis dari keluarga demikian hartawan. Masih untung bagi kita bahwa Song-loya berhati pemurah dan sabar sehingga sebaliknya dari pada marah kepada kita, ia hanya memberi peringatan secara halus dan malah memberi uang begini banyak.”

Namun Cia Sun masih terbenam di dalam lamunannya yang sedih. Apakah artinya uang sekantung ini bila dibandingkan dengan diri Bi Li berikut harta benda dan rumah gedung ditambah sawah ladang yang demikian banyaknya? Ia memutar-mutar otak mencari jalan yang baik, akhirnya ia berkata seorang diri,

“Hanya Ceng Si yang akan dapat memecahkan hal ini! Ceng Si manisku... kekasihku... sebenarnya engkaulah yang patut menjadi isteriku. Tanpa kau yang cerdik aku merasa tak berdaya...”

Ada pun Kakek Song yang pulang ke rumah gedungnya, diam-diam menyuruh beberapa orang pelayan untuk mengamat-amati dan menjaga agar jangan sampai ada orang luar yang dapat masuk ke dalam taman dan agar supaya mengusir setiap orang muda yang mendekati tembok sekitar gedung dan pekarangannya. Dengan penjagaan ini, maka baik Cia Sun mau pun Ceng Si sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk saling bertemu atau menyampaikan berita.

Sementara itu, sepekan kemudian datanglah utusan dari Sian-koan. Kakek Song terkejut bercampur gembira bukan main, juga dia merasa heran sekali. Utusan yang datang itu adalah seorang setengah tua yang berpakaian mewah, datang membawa sebuah kereta yang penuh dengan barang-barang berharga. Tadinya Kakek Song mengira bahwa yang datang ini tentulah seorang saudagar kaya, akan tetapi dia menjadi melongo ketika tamu ini memperkenalkan diri sebagai utusan dari keluarga Kiang di Sian-koan!

“Saya datang atas perintah dari Kiang-kongcu sambil membawa sekedar hadiah untuk Song-siocia, dan juga untuk membicarakan tentang hari pernikahan,” kata utusan itu.

Pada saat barang-barang hadiah itu dibongkar, semua orang terheran-heran dan kagum bukan main. Lima belas kayu kain sutera yang paling halus dan mahal dan yang jarang sekali dilihat oleh orang-orang seisi rumah itu, lima buah barang ukiran dari perak yang amat indahnya, untuk hiasan dinding kamar, empat peti besar terisi kain-kain untuk muili, kelambu, dan lain-lain keperluan rumah tangga, sekantung uang emas dan sekantung pula uang perak, kemudian yang terakhir, sebuah hiasan rambut terbuat dari emas dan dihiasi batu kemala yang amat indahnya, berbentuk seekor kupu-kupu yang hinggap di atas setangkai bunga Cilan.

Jangankan para pelayan yang memandang semua itu dengan mata terbelalak sambil menahan napas, bahkan Kakek Song sendiri sampai melongo. Hanya orang yang kaya raya, bahkan jauh lebih kaya dari pada dirinya sendiri, yang akan sanggup mengirimkan hadiah kepada calon pengantin seroyal ini.

Kakek Song segera menjamu tamu itu dan dari tamu ini ia mendapat keterangan bahwa Kiang-kongcu merupakan ahli waris satu-satunya dari keluarga Kiang yang amat terkenal kekayaannya. Juga ia mendengar bahwa nenek moyang Kiang Liat adalah orang-orang ternama belaka, bangsawan-bangsawan tinggi yang bernama besar. Maka bukan main girangnya hati Kakek Song mendengar ini.

Mereka terus mengobrol sambil minum arak dan makan hidangan yang mahal. Kemudian utusan itu menyampaikan pesan dari Kiang-kongcu mengenai hari pernikahan yang akan dilangsungkan dalam bulan itu juga.

Sementara itu, Ceng Si yang cerdik segera mendengar bahwa pemuda she Kiang yang dahulu berpakaian sebagai seorang pengemis itu, ternyata adalah seorang pemuda yang kaya raya, bahkan lebih kaya dari pada keluarga Song sendiri! Apa lagi setelah ia melihat barang-barang hadiah yang dibawa oleh utusan keluarga Kiang, hatinya lantas berdebar dan matanya yang indah itu berseri-seri.

Diam-diam dia meremas-remas tangan sendiri dan mengatur siasat. Kemudian dia berlari menuju ke kamar Bi Li, diikuti oleh para pelayan yang memanggul barang-barang hadiah itu, sebab Kakek Song memberi perintah supaya barang-barang itu langsung dibawa ke kamar Bi Li.

“Siocia, kionghi!” Ceng Si berseru sambil memeluk nona majikannya.

“Ceng Si, apakah kau gila? Aku lagi berduka, kau datang-datang memberi selamat.”

“Kionghi, Siocia! Tidak tahunya, pemuda she Kiang yang kelihatan seperti pengemis itu, ternyata adalah seorang pangeran!”

“Apa katamu? Seorang pangeran?” Bu Li menggerakkan alis karena terheran-heran.

“Lihat saja, lihat saja semua barang-barang hadiahnya!”

Pintu terbuka dan mengalirlah barang-barang itu memasuki kamar.

Bi Li juga merasa kagum sekali melihat benda-benda mahal itu, apa lagi melihat hiasan rambut yang luar biasa indah itu, dia benar-benar amat suka, hanya merasa malu untuk menjamahnya. Ia hanya duduk dan melihat satu demi satu semua benda itu yang diambil dari tempatnya oleh Ceng Si. Gadis pelayan ini sambil memamerkan benda-benda itu, tiada hentinya bercakap-cakap.

“Siocia, sungguh kau gadis yang beruntung sekali. Memang orang baik selalu mendapat perlindungan dari Thian. Siapa sangka pemuda berpakaian tambalan itu ternyata adalah seorang yang kaya raya, bahkan jauh lebih kaya dari pada Song-loya sendiri? Lihatlah, begini indah dan mahalnya barang-barang ini.

“Ceng Si, aku bukan seorang yang haus akan benda-benda indah dan mahal.”

“Akan tetapi orangnya pun sangat gagah dan tampan! Siocia, terus terang saja, apa bila diingat-ingat, Kiang-kongcu itu malah lebih tampan dari pada... pemuda she Cia itu. Dan tentu saja jauh lebih gagah, ingat saja, ia pernah menolong nyawa Song-loya!”

“Ceng Si!” Bi Li membentak dan mukanya menjadi pucat. “Aku bukan orang yang begitu mudah lupa akan sumpah sendiri!”

“Siocia, dalam hal ini kita tak boleh menurutkan perasaan dan nafsu sendiri. Ingatlah dan pertimbangkan masak-masak. Memang betul Siocia sudah bersumpah, namun semua itu dilakukan dalam keadaan melamun dan tak sadar. Siocia juga tidak bersumpah di depan Cia-kongcu dan hubungan kalian juga hanya dengan surat-surat sajak saja. Sebaliknya, coba pikir baik-baik. Pemuda hartawan dan gagah perkasa she Kiang itu, pertama-tama dia telah menolong nyawa kongkong-mu, kedua kalinya dia memang patut menjadi suami Siocia karena ia memang tampan dan gagah sekali, ketiga kalinya, ia seorang hartawan besar, jadi seribu kali lebih cocok dari pada Cia-siucai yang miskin itu.”

“Ceng Si...! Aku... aku kasihan kepadanya, juga karena ia tidak berdaya dan miskin.”

Berseri wajah Ceng Si, memang inilah yang dinanti-nantinya. “Jika begitu, Siocia, mudah saja untuk menolongnya! Dia miskin, membutuhkan uang. Kalau Siocia selalu memberi sesuatu yang berharga kepadanya, bukankah itu berarti sudah menolongnya?”

“Ceng Si, bagaimana kau bisa bilang begitu? Kalau aku sudah menjadi isteri orang lain, bagaimana aku sudi dan berani mengadakan hubungan dengan laki-laki lain?”

“Mudah saja Siocia. Jika aku Ceng Si yang bodoh selalu menjadi pelayan pribadi Siocia, selalu berada di samping Siocia, apa sih sukarnya? Kalau Siocia masih selalu menolong pemuda she Cia itu, pendeknya mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan kalau perlu membiayai dia melanjutkan pelajarannya, di kota raja, bukankah itu berarti bahwa Siocia mempunyai pribudi yang tinggi?”

Bi Li berpikir dan ia berkali-kali menarik napas panjang. “Akan tetapi aku khawatir sekali, Ceng Si. Surat-suratku banyak yang berada di tangannya! Kalau kelak... orang yang menjadi suamiku mengetahui akan hal ini, bukankah ini akan mendatangkan malapetaka hebat!”

Dalam hatinya, Ceng Si tersenyum laksana iblis. Akan tetapi pada wajahnya yang manis itu tersungging senyuman manis yang penuh hiburan. “Jangan khawatir, Siocia. Akulah yang akan minta kembali semua tulisan-tulisan itu.”

Akhirnya Bi Li dapat dibujuk dan dihibur. Gadis ini mengeluarkan surat-surat dari Cia Sun yang tadinya disimpannya, lalu menyerahkan semua surat itu kepada Ceng Si dengan perintah agar semua surat ini dibakar.

Ceng Si memang melakukan perintah ini, akan tetapi tidak semua surat dibakarnya, ada beberapa helai yang diam-diam ia sembunyikan dan simpan. Dua helai surat dari Cia Sun ini merupakan senjataku yang paling ampuh terhadap Song-siocia, pikirnya.

Kita tunda dulu dan membiarkan nona Song Bi Li melamun tentang pernikahannya yang dihadapi, dan mari kita mengikuti peristiwa lain yang amat hebat.

*****

Di lembah Sungai Huang-ho, nampak dua orang setengah tua berjalan perlahan. Mereka ini adalah Bu Pun Su dan Han Le, dua kakak beradik seperguruan yang berilmu tinggi. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, mereka berdua baru saja meninggalkan Kiang Liat dan kini mereka jalan bersama-sama sambil bercakap-cakap.

“Lu-suheng, mengapa kau sekarang banyak berubah? Kau kelihatan seperti orang yang menderita kesedihan besar,” pertama-tama Han Le menegur suheng-nya.

“Sute, sebelum kita berbicara lebih lanjut, kuperingatkan padamu, jangan sekali-kali lagi kau menyebut Lu-suheng kepadaku. Jangan sekali-kali nama Lu Kwan Cu disebut lagi. Nama itu sudah mampus dan sekarang aku adalah Bu Pun Su, tidak ada sambungannya lagi, mengerti?” Suaranya terdengar keras dan kaku, tanda bahwa dia benar-benar tidak suka mendengar nama kecilnya disebut-sebut.

Han Le beberapa kali memandang kepada wajah Bu Pun Su penuh perhatian. Biasanya, pandangan mata Han Le tajam sekali dan dengan melihat wajah orang, dia akan dapat membaca isi hatinya. Akan tetapi tarikan wajah Bu Pun Su demikian sukar dimengerti, seolah-olah kulit muka orang sakti itu memakai kedok. Hanya garis-garis yang memenuhi muka dan rambut serta alis yang sudah tidak begitu hitam lagi saja yang bercerita bahwa selama ini, Bu Pun Su mengalami tekanan dan penderitaan batin yang hebat.

“Suheng, kau sudah banyak mengalami penderitaan. Maafkan Sute, meski Sute seorang yang bodoh dan lemah, namun Sute menyediakan raga dan nyawa untuk membantu Suheng memecahkan semua kesulitan itu.”

Bu Pun Su menoleh pada adik seperguruan ini. Untuk beberapa detik sepasang matanya hanya memandang, seakan-akan hendak mengalirkan air mata. Akan tetapi sepasang mata itu tiba-tiba berseri-seri dan meledaklah suara ketawa Bu Pun Su. Suara ketawanya demikian nyaring dan keras sehingga kalau di situ terdapat orang lain yang tidak berilmu tinggi, pasti orang ini akan lumpuh terkena daya tenaga lweekang-nya yang disalurkan dalam suara ketawa ini! Baiknya Han Le sendiri sudah memiliki tenaga lweekang yang tinggi, namun tetap saja ia merasa jantungnya memukul keras dan terpaksa ia menahan napasnya agar jangan terkena getaran hebat dan melukai jantungnya.

“Ha-ha-ha, kau masih tidak berubah, Sute! Kau masih dikuasai oleh perasaanmu, kau lemah dan baik hati. Tidak, Sute. Aku tidak menderita sesuatu. Bagaimana Bu Pun Su bisa menderita? Kalau si lemah Lu Kwan Cu yang sudah mampus, memang dia itu lemah hati, mudah dikuasai oleh nafsu, dia buta dan tuli, terlalu mengandalkan kepandaiannya yang tidak berarti, terlalu membanggakan tenaganya yang sebenarnya lemah. Ha-ha-ha, Lu Kwan Cu sudah mampus, demikian pula orang-orang yang seperti dia. Akan selalu mengalami suka duka dan hidup bagaikan benda mati yang dipermainkan oleh alam. Akan tetapi aku sekarang bukan seperti dia, aku sudah menguburkan Lu Kwan Cu. Aku Bu Pun Su hidup bukan sebagai bujang perasaan, aku hidup bebas, menggunakan akal budi dan pertimbangan, mengeluarkan segala yang pernah kupelajari untuk membantu pekerjaan alam!”

Han Le dapat mengerti akan kata-kata yang kedengarannya tidak karuan ini. Dia sendiri sudah banyak mengalami kepahitan hidup, sudah banyak menderita dan kecewa. Maka ia dapat menduga bahwa suheng-nya ini tentu telah mengalami hal-hal yang hebat luar biasa, hal-hal yang menghancurkan hatinya, mungkin sekali telah melakukan dosa yang dianggapnya terlalu berat dan besar sehingga suheng-nya ini mematikan dirinya sendiri, mematikan dan menghilangkan semua ingatan mengenai diri Lu Kwan Cu, seakan-akan dia memulai hidup baru menjadi seorang bernama Bu Pun Su atau Si Tiada Kepandaian, manusia aneh yang hidupnya hanya untuk membantu pekerjaan alam, yakni tegasnya membantu manusia lain.

Han Le menjura kepada suheng-nya dan berkata girang, “Jika begitu, aku mengucapkan selamat, Suheng. Dan demi Thian Yang Maha Kuasa, aku pun hendak mencoba sedapat mungkin untuk mencontoh perbuatanmu yang amat mulia ini. Tadi suheng bilang hendak menyampaikan sesuatu yang amat penting, apakah gerangan urusan itu?”

Karena dia sudah lupa lagi akan hal-hal dahulu mengenai diri Lu Kwan Cu, Bu Pun Su kembali pula kegembiraannya.

“Sute, aku perlu sekali bantuanmu, juga bantuan semua orang yang masih berbangsa dan berkebudayaan.”

“Eh, apakah yang terjadi, Suheng?” tanya Han Le terkejut, karena kata-kata suheng-nya ini terdengar menyeramkan.

Bu Pun Su mengajak sute-nya duduk di dekat pantai Sungai Huang-ho di mana tumbuh sebatang pohon besar yang akarnya bergantungan dan bermain-main di permukaan air sungai. Tempat itu amat indahnya dan setiap orang, apa lagi para pemancing ikan, pasti akan suka sekali duduk di situ.

“Sute, di dunia kang-ouw sudah terjadi hal yang hebat sekali dan amat membahayakan kedudukan orang-orang kang-ouw yang termasuk golongan putih. Apa lagi bagi mereka yang menganut sesuatu kepercayaan atau agama.”

“Kenapa, Suheng? Bukankah golongan Mo-kauw (Agama Sesat) pada hakekatnya tidak begitu kuat dan selalu dapat dikendalikan oleh golongan Beng-kauw (Agama Asli), ada pun golongan Beng-kauw walau pun agama dan kepercayaannya berlainan dan banyak sekali macamnya, akan tetapi dapat menjaga kerukunan dan menghormati kepercayaan masing-masing?”

“Betul kata-katamu itu, akan tetapi hal itu adalah keadaan pada beberapa tahun yang lalu. Memang jarang ada orang kang-ouw yang mengetahui kejadian ini, karena hal itu mereka sembunyikan dan selalu dijaga penuh rahasia agar jangan sampai bocor.”

“Eh, apa sih sebetulnya yang terjadi, Suheng? Aku menjadi tertarik dan ingin sekali lekas mendengar penjelasanmu.”

Bu Pun Su lalu menceritakan apa yang telah ia ketahui. Di dalam dunia kang-ouw terbagi menjadi dua golongan yang biasanya disebut golongan putih dan hitam. Golongan putih adalah para pendekar atau mereka yang memiliki kegagahan dan yang sepak terjangnya selalu bersih, sebaliknya golongan hitam adalah mereka yang selalu disebut pengikut hek-to (jalan hitam) atau lebih tepat lagi orang-orang yang mempunyai pekerjaan jahat seperti para perampok, bajak-bajak, maling, copet dan lain-lain. Antara kedua golongan itu telah dapat diselesaikan dengan kemenangan pihak golongan putih.

Untuk dapat mengendalikan golongan hitam ini banyak tokoh besar dunia kang-ouw yang sengaja menjadi perampok atau maling, yakni menjadi ketuanya dan selalu mengawasi sepak terjang anak buahnya sehingga mereka itu tidak menyeleweng, yakni dengan lain kata, tidak merampok atau mengganggu orang-orang yang dianggap tak patut diganggu. Bagi orang-orang gagah di waktu itu, merampok harta orang kaya yang pelit, membunuh mati orang yang berwatak jahat dan kejam, dianggap sebagai perbuatan yang bersih dan mulia juga.

Pendeknya, waktu itu golongan penjahat pun terpecah dua, yakni jahat yang dilakukan demi memberantas kejahatan, dan jahat sebab memang pada hakekatnya jahat dan keji. Golongan-golongan ini hanya kecil saja, atau boleh disebut golongan perorangan yang meliputi tokoh-tokoh yang hidup menyendiri.

Tapi ada pula golongan-golongan besar seperti perkumpulan-perkumpulan, dan terutama sekali perkumpulan agama dan partai-partai besar persilatan yang tak lepas dari agama dan kepercayaan, dan justru golongan-golongan besar ini menjadi induk dari golongan-golongan kecil. Dan di dalam golongan-golongan besar ini terdapat perpecahan pula!

Perpecahan ini tadinya meluas sehingga antara satu partai dengan partai lainnya terjadi bentrokan dan permusuhan hebat, hanya dikarenakan kepercayaan atau agama mereka berlainan. Akan tetapi, ratusan yang lalu, ketika muncul tokoh-tokoh besar seperti Tiat Mouw Couwsu dan lain-lain tokoh dari See-thian (Dunia Barat), bentrokan-bentrokan ini dapat diselesaikan dengan jalan rukun, sungguh pun kepercayaan mereka, bahkan ajaran limu silat mereka berlainan. Dan oleh tokoh-tokoh besar itu diletakkan garis yang memisahkan antara golongan yang disebut penganut Beng-kauw serta mereka yang menganut Mo-kauw.

Golongan Beng-kauw atau agama asli ini tentu saja mempunyai anggota paling banyak. Partai persilatan seperti Siauw-lim-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain, semua menyebut diri sebagai golongan Beng-kauw. Hal ini tentu saja dapat dimengerti karena siapakah yang mau menyebut dirinya bukan penganut ‘agama asli’? Golongan ini terdiri dari partai-partai besar yang menganut Agama Buddha, ajaran Locu atau To-kauw, penganut ajaran Khong Hu Cu, penganut Kwan Im Pouwsat, dan lain-lain.

Siapakah gerangan yang termasuk agama Mo-kauw? Sebetulnya tak ada golongan yang mau mengaku sebagai penganut Agama Sesat, akan tetapi golongan-golongan yang tak beragama atau orang-orang kasar, atau mereka yang pernah melakukan pelanggaran dan dianggap jahat, mereka ini yang oleh golongan Beng-kauw disebut sebagai golongan Kaum Sesat!

Mereka ini sebagian besar merupakan kelompok orang yang menyembunyikan diri, yang bersakit hati dan karena mereka didesak ke sudut oleh golongan yang menganggap diri bersih, mereka ini dengan sengaja kemudian berlaku keaneh-anehan, sengaja mereka membentuk sekumpulan tokoh-tokoh yang lihai ilmu silatnya, memisahkan diri dan tidak mau peduli lagi dengan urusan agama.

Mereka lalu melakukan apa saja yang mereka suka, dan hidup berkeliaran tidak tentu tempatnya. Akan tetapi mereka tidak pernah mendengar atau mencari perkara dengan golongan Beng-kauw, karena maklum bahwa golongan ini memiliki banyak orang pandai.

Akan tetapi, jangan dikira bahwa golongan Mo-kauw ini sedikit jumlahnya anggotanya. Mereka makin lama makin banyak, sebagian besar terdiri dari orang-orang yang putus asa, sakit hati, dan orang-orang yang berwatak aneh.

Beberapa tahun yang lalu, muncullah tiga orang aneh dari See-thian (Dunia Barat) yang sebentar saja sudah dapat merebut kekuasaan di golongan Mo-kauw. Ketiga orang ini mempunyai kepandaian yang amat tinggi, tidak saja kepandaian ilmu silat mereka amat tinggi, juga mereka adalah ahli-ahli hoatsut (ilmu sihir) yang aneh. Dalam beberapa bulan saja mereka dapat mengangkat diri di dalam golongan Mo-kauw sehingga semua orang penganut agama sesat ini menganggap mereka bertiga sebagai ketua atau pemimpin.

Tiga orang aneh ini tahu akan keadaan orang-orang kang-ouw golongan Mo-kauw yang sangat terdesak dan dianggap orang-orang jahat oleh orang-orang kang-ouw umumnya. Maka, dengan menggunakan rasa dendam dan sakit hati ini, mereka sebentar saja dapat membentuk sebuah perserikatan yang amat kuat. Hal ini terjadi tanpa banyak ribut-ribut, karena memang kehidupan para penganut Mo-kauw ini tersembunyi, tidak diketahui oleh masing-masing orang kang-ouw.

Apa bila persoalannya sampai di situ saja, kiranya tidak akan ada perubahan dan tidak akan menggegerkan. Akan tetapi ternyata bahwa tiga orang aneh ini mempunyai niat dan cita-cita yang lebih besar. Mereka ingin menguasai seluruh dunia kang-ouw, juga ingin menaklukkan partai-partai besar dan ingin mengangkat diri menjadi ketua perkumpulan yang paling berpengaruh di Tiongkok!

Setelah orang-orang Mo-kauw ini berada di bawah pimpinan mereka, terjadilah hal-hal yang aneh di dunia kang-ouw. Kitab pelajaran limu silat yang amat dipuja-puja oleh partai Siauw-lim-pai, yakni kitab peninggalan dari Tiat Mouw Couwsu, pada suatu hari tiba-tiba telah lenyap tanpa meninggalkan bekas!

Selagi Siauw-lim-pai geger dan semua tokoh Siauw-lim-pai berusaha mencari kitab yang hilang ini, tiba-tiba saja puncak Kun-lun-pai juga geger karena hilangnya pedang pusaka Pek-kong-kam yang ditaruh di ruangan suci kelenteng partai besar itu!

Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai merupakan partai-partai besar yang sudah berpuluh tahun terkenal sebagai partai persilatan yang berpengaruh dan memiliki banyak orang pandai. Oleh karena itu, kehilangan dua benda pusaka ini tentu saja membuat mereka menjadi amat penasaran dan juga malu.

Mereka menjaga rapat peristiwa ini agar jangan sampai tersiar di luaran, dan di samping itu mereka mengerahkan orang-orang pandai untuk mencari benda pusaka yang lenyap itu. Akan tetapi, betapa pun rapat mereka menjaga rahasia, berita itu tetap bocor juga dan sebentar saja seluruh kalangan kang-ouw mendengar bahwa kitab peninggalan Tiat Mouw Couwsu dari Sauw-lim-pai beserta pedang pusaka Pek-liong-kiam dari Kun-lun-pai telah dicuri orang.

Ini merupakan hal yang menggegerkan pula, karena biasanya tidak seorang pun anggota Siauw-lim-pai atau Kun-lun-pai yang berani membocorkan hal yang dirahasiakan. Maka timbullah dugaan bahwa kejadian ini memang sengaja dibocorkan oleh orang-orang atau seseorang yang melakukan pencurian itu. Akan tetapi apa kehendak mereka?

Tokoh besar di dunia persilatan, yang baru belasan tahun muncul akan tetapi namanya sudah dijunjung tinggi serta disegani dengan penuh kekaguman dan hormat oleh semua ketua partai besar, yakni Bu Pun Su mendengar pula akan hal ini. Ia cepat menyelidiki. Dengan kepandaiannya akhirnya Bu Pun Su menaruh pikiran curiga terhadap golongan Mo-kauw. Bahkan ia mendengar pula akan adanya tiga orang aneh di golongan Mo-kauw ini yang kabarnya memiliki kepandaian luar biasa tingginya.

“Demikianlah, Sute,” kata Bu Pun Su kepada Han Le sesudah menuturkan itu semua. “Kiranya tidak akan meleset terlalu jauh dugaanku bahwa tiga orang aneh itu mempunyai hubungan dengan kedua pencurian ini. Kalau bukan mereka, siapa lagi yang berani dan begitu gegabah mencuri dua barang pusaka keramat yang dipuja-puja oleh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai? Dan aku mendengar kabar pula bahwa Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, itu tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi dan bertabiat ganas, telah diambil murid oleh tiga orang itu. Apa bila Hek Pek Mo-ko dua bersaudara yang berkepandaian begitu tinggi masih menjadi murid mereka, dapat diduga bahwa kepandaian mereka memang benar tinggi sekali. Selain ini, aku masih mendengar kabar lagi bahwa kecuali Hek Pek Mo-ko, mereka bertiga masih memiliki seorang murid perempuan yang jauh lebih jahat, bahkan lebih pandai dari pada Hek Pek Mo-ko. Kalau pihak Mo-kauw mempunyai begitu banyak orang-orang pandai, sedangkan sepak terjang mereka selalu tersembunyi, aku merasa kuatir sekali.”

"Suheng, urusan itu sebenarnya tidak amat besar, tetapi kenapa tadi Suheng menyebut-nyebut mengenai kebangsaan dan kebudayaan? Apa hubungannya kehilangan kitab dari Siauw-lim-pai dan pedang dari Kun-lun-pai itu dengan kebangsaan dan kebudayaan?"



Dara Baju Merah Jilid 02

ANG I NIO CU (DARA BAJU MERAH)

Karya Kho Ping Hoo

JILID 02

SONG LO KAI tinggal di Sui-chun, kini sudah menjadi seorang hartawan yang hidup berdua dengan cucunya, yakni Song Bi Li. Dahulunya Song Lo-kai sesuai dengan sebutannya, yakni lo-kai atau pengemis tua, adalah seorang pemimpin perkumpulan pengemis yang menjadi cabang atau anak buah dari Cap-si Kaipangcu.

Sejak cucunya kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal karena penyakit menular, kakek she Song ini sudah berubah pendiriannya. Tadinya dia memang tidak mempunyai tanggungan, hidup seorang diri dan senang hidup bebas sebagai pengemis. Akan tetapi, setelah anak dan mantunya meninggal dunia, dan Bi Li hidup seorang diri, ia memikirkan nasib cucunya itu.

Sungguh kebetulan sekali, Kakek Song mendapatkan sebuah surat wasiat tentang harta terpendam di sebuah goa rahasia. Dia pergi dan berhasil mendapatkan harta ini, maka ia lalu membeli rumah gedung dan sawah ladang, hidup sebagai hartawan besar. Kejadian inilah yang membuat dia ditangkap oleh Cap-si Kaipang dan hampir dibunuh kalau tidak tertolong oleh Kiang Liat.

Song Bi Li ternyata seorang gadis yang sangat cantik, berwajah ayu manis dan bertubuh langsing. Kulitnya putih halus dan pipinya kemerahan. Selain cantik jelita, juga dia sangat cerdas sehingga dengan mudah dia dapat menguasai kepandaian tulis dan baca, bahkan pandai sekali membuat sajak-sajak indah.

Di samping ini, dia pun sangat terkenal di kotanya dengan hasil sulamannya yang halus. Pendeknya di dalam kota Sui-chun, tidak ada gadis melebihi Bi Li cantik atau pandainya sehingga dia pun terkenal sebagai kembang kota Sui-chun. Lebih lagi sesudah kakeknya menjadi kaya raya, pakaiannya bagus-bagus, menambahkan kecantikannya.

Dua tahun yang lalu, ketika dia dan kakeknya baru pindah ke dalam gedung besar yang dibeli oleh kakek Song, terjadilah hal yang membuat hati Bi Li terguncang. Untuk pertama kalinya gadis yang pada waktu itu umurnya baru tujuh belas tahun, mengalami godaan asmara.

Waktu itu masih pagi sekali dan Bi Li berjalan-jalan di dalam kebun di belakang gedung kakeknya. Kebun ini masih kosong dan belum terpelihara, masih banyak pohon-pohon yang tidak berguna lagi bagi sebuah kebun yang seharusnya ditanami bunga-bunga yang indah.

Bi Li memang sedang memeriksa kebun ini untuk mengatur sendiri secara bagaimana kebun itu akan ditanami bunga-bunga, di mana harus membuat kolam dan sebagainya. Kakek Song memang sudah menyerahkan hal ini kepada cucunya.

Bi Li dikawani oleh Ceng Si, seorang gadis yang menjadi pelayan di rumah gedung itu. Kakek Song sengaja membeli gadis ini dari keluarga miskin di dusun, tidak saja untuk menolong orang tua gadis ini, juga karena ia ingin supaya cucunya mempunyai seorang kawan bermain yang sebaya. Ceng Si seorang gadis yang cantik juga, sederhana dan amat penurut, lagi cinta kepada Bi Li yang semenjak itu menjadi majikannya.

“Ceng Si, di ujung barat itu harus didirikan satu bangunan kecil untuk dapat beristirahat, di depannya digali empang yang dipasangi jembatan melengkung. Di ujung timur harus digali empang ikan emas dan juga diisi tanaman bunga teratai. Kembang botan ditanam di sebelah sini dan kembang cilan di sebelah sana. Kau nanti jelaskan semua ini kepada tukang kebun yang memborong pekerjaan ini, dan kalau ada yang belum jelas, biar aku sendiri yang akan menerangkan kepadanya,” kata Bi Li sambil menunjuk ke sana ke mari dengan telunjuknya yang kecil terpelihara.

“Baik, Siocia. Menurut Lo-ya (Tuan Tua, maksudnya Kakek Song), tukang kebun akan datang siang nanti dan akan mulai dengan menebangi pohon-pohon yang berada di sini.”

“Jangan ditebang semua. Pohon yang di kanan itu, yang berjajar tiga, tebang tengahnya saja, tetapi biarkan yang dua tumbuh terus. Dan sekumpulan yang-liu (cemara) itu jangan ditebang, hanya buangi cabang-cabang yang sudah kerig. Yang lain boleh dibuang. Dan jangan lupa, taman ini harus dikelilingi dinding tembok yang cukup tinggi sehingga tidak kelihatan dari luar. Sekarang ini hanya dikelilingi pagar, malah banyak yang sudah bobol. Kalau penuh tanaman kembang tentu akan habis dicabuti anak-anak nakal dan dimakan ayam dan kerbauku.”

“Memang benar, Siocia (Nona). Belum lagi kalau ada maling masuk,” kata Ceng Si.

Ceng Si menutupi mulutnya dengan ujung lengan baju, tertawa. Akan tetapi ketawanya segera terhenti dan ia berkata perlahan, agak ketakutan. “Aduh, dia benar-benar datang, Siocia…”

Bi Li terkejut dan bertanya, “Kau bilang ada maling…?” Sambil berkata demikian, ia cepat membalikkan tubuh menengok ke arah pelayannya itu memandang.

Ternyata benar ada seorang laki-laki yang menerobos masuk ke dalam kebun itu melalui pagar yang telah rusak. Mula-mula Bi Li terkejut sekali sehingga mukanya berubah, akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya setelah melihat bahwa lelaki yang menerobos ke dalam kebun itu tidak kelihatan seperti orang jahat.

“Dia tidak kelihatan jahat, Ceng Si, apakah bukan tukang kebun yang hendak bekerja di sini?”

“Ssttt, kau terlalu. Mana orang seperti itu dianggap tukang kebun? Dia bukan maling dan bukan pula tukang kebun, lihat saja pakaiannya seperti seorang kongcu (tuan muda) dan orangnya begitu… begitu tampan!”

“Hush, genit kau…!” Bi Li mencela, akan tetapi diam-diam ia harus mengakui bahwa yang datang itu memang seorang pemuda yang tampan dan ganteng, yang berpakaian seperti seorang siucai (pelajar), yang sikapnya halus dan sopan.

Bi Li dahulu tinggal bersama orang tuanya di kampung, maka ia tidak seperti nona-nona hartawan dan bangsawan yang selalu bersembunyi di dalam gedung dan jarang bertemu dengan laki-laki asing, maka kini ia tidak merasa terlalu kikuk. Juga ia tidak takut karena waktu itu matahari sudah naik tinggi dan ia berada di situ dengan pelayannya, sungguh pun mereka merasa curiga ketika memandang kepada pemuda ini. Dia merasa seperti pernah melihat pemuda ini, hanya dia lupa lagi bila mana dan di mana.

Pemuda itu menghampiri mereka dan memandang kepada Bi Li dengan senyum manis. Dia nampak ramah-tamah dan matanya berseri-seri ketika dia memandang kepada Bi Li, sungguh pun alisnya berkerut seakan-akan ada sesuatu yang menyusahkan hatinya.

“Kau siapakah dan mengapa berani lancang memasuki kebun orang?” Bi Li menegur, suaranya ketus dan matanya bersinar marah.

Pemuda itu nampak kecewa sekali mendengar teguran gadis ini. Ia pun menjura dengan hormat, lalu berkata, suaranya seperti orang penasaran,

“Song-siocia, benar-benarkah kau sudah lupa padaku? Benar-benarkah, setelah kini kau menjadi kaya-raya, kau lupa akan kampung halamanmu dan sekalian orang miskin yang menjadi penghuninya?”

Bi Li semakin marah. “Aku tidak kenal padamu, lekaslah pergi dari sini, kalau Kongkong (Kakek) tahu kau menerobos ke sini, kau tentu akan dipukul!”

Pemuda itu berdiri tegak dan tersenyum duka. “Jangankan dipukul, dibunuh pun aku rela. Kongkong-mu yang kaya-raya, yang merampas kau dari dusun kami, sudah begitu tinggi hati untuk menghinaku, dan sekarang aku hanya ingin menyaksikan, apakah Nona Song Bi Li juga begitu tinggi hati seperti kongkong-nya?”

“Siapakah kau? Mengapa kau begini kurang ajar?” Bi Li memandang pemuda itu dengan alis dikerutkan.

“Nona, lupakah kau kepada orang yang pernah menuliskan sajak di dinding kuil di dusun kita?” pemuda itu berkata.

Bi Li memandang makin tajam dan kini berubahlah mukanya menjadi kemerahan.

“Ahh, kau... kau Cia-siucai...,” katanya gagap.

Terbayanglah semua pengalamannya pada saat ia masih tinggal di dusunnya. Ketika itu, kedua orang tuanya secara berturut-turut sudah meninggal dunia karena penyakit yang merajalela di dusun itu. Banyak orang dusun datang pada waktu jenazah ayah bundanya dirawat di dalam kuil, yaitu satu-satunya kuil di dusun itu, tempat di mana sebagian besar orang-orang yang meninggal diurus dan disembahyangi.

Di antara mereka yang datang ini, terdapat seorang pemuda sasterawan yang baru saja pulang kembali ke dusun setelah bertahun-tahun menempuh pelajaran dan ujian di kota raja. Pemuda ini adalah Cia Sun atau yang segera terkenal dengan sebutan Cia-siucai.

Bi Li tahu bahwa hampir semua gadis dusun itu merindukan Cia-siucai, memuji-mujinya karena bukan saja ia merupakan pemuda yang paling tampan di dusun itu, juga ia sangat pandai membuat sajak. Semua tulisan pada lian yang digantung di kuil, tulisan yang amat indah itu, seluruhnya adalah buatan Cia Sun.

Pada saat itu Cia Sun baru pertama kali melihat Bi Li dan pemuda ini menjadi tergila-gila. Tiada bosannya ia melirik ke arah gadis itu yang tengah menjalani upacara sembahyang. Seorang gadis yang rambutnya awut-awutan, mukanya pucat penuh air mata, seorang gadis yang patah hati dan putus harapan karena ditinggal mati oleh ayah bundanya, yang tentu akan jatuh pingsan dan sakit kala tidak dihibur oleh seorang kakek tua yakni Song Lo-kai, Kongkong-nya.

Cia Sun demikian tergila-gila sehingga ketika ia sudah terlalu banyak minum arak, tanpa peduli apa-apa ia lalu mengambil pit dan menuliskan beberapa baris sajak di atas tembok kuil, dilihat dan dikagumi oleh semua tamu yang datang melayat.

Bi Li sampai sekarang masih ingat bunyi sajak itu, karena pada waktu itu ketika melihat ribut-ribut ia pun lalu ikut membaca tulisan itu yang berbunyi demikian:

Layu pucat Teratai Putih, kehilangan sinar matahari.
Mengembang di empang tanpa kawan
Hati siapa takkan rawan?
Nona suci hidup seorang diri
Hati siapa takkan perih?
Kasihan kumelihatnya.
Hancur pilu hati dibuatnya.
Apakah dayaku, si bodoh hina ini
Untuk menghibur Teratai suci?


Sajak itu tentu saja dengan sangat mudah dapat diterka maksudnya. Semua orang yang berada di situ memang merasa kasihan kepada Bi Li, gadis yang menjadi yatim piatu dan bunyi sajak itu otomatis merupakan pengakuan dari Cia Sun bahwa begitu bertemu dengan Bi Li, ia telah jatuh cinta.

Akan tetapi, Song Lo-kai tidak senang membaca sajak itu, dan dengan muka masam ia menarik tangan Bi Li masuk ke dalam. Semenjak saat itu mereka tidak pernah bertemu muka kembali. Peristiwa yang terjadi sewaktu Bi Li berada di puncak kesedihan itu tentu saja tidak terlalu membekas pada hatinya dan ia pun sudah lupa akan peristiwa itu. Akan tetapi siapa kira, sekarang tiba-tiba saja pemuda itu muncul di hadapannya, dengan jalan menerobos kebun!

Sementara itu, ketika Cia Sun melihat Bi Li mengenalnya, dia menjadi girang sekali dan wajahnya yang tampan berseri-seri.

“Aduh, terima kasih kepada Kwan Im Pousat, ternyata kau juga memikirkan diriku yang hina ini, Nona Song...”

“Siapa bilang?” Bi Li membentak marah. “Cia-siucai, kau lancang sekali! Kau masuk ke sini tanpa permisi dan kau sudah mengeluarkan kata-kata yang tidak pada tempatnya. Apa sebenarnya kehendakmu?”

“Kedatanganku hanya untuk mengulangi pernyataanku dahulu, Nona, yakni bahwa aku cinta kepadamu...”

“Tidak! Kurang ajar, pergi kau dari sini!” Bi Li membelalakkan matanya yang indah dan mukanya berubah-ubah, sebentar merah, dadanya berombak menahan gelora hatinya.

Cia Sun menjatuhkan diri berlutut di depan Bi Li.

“Song-siocia, kakekmu telah menghinaku, telah menolak pinanganku, dan kini kau masih mengusirku pula?” Suara ini terdengar demikian lemah mengharukan sehingga Ceng Si yang mendengar ini menjadi pucat dan dua titik air mata membasahi pipinya.

Ada pun Bi Li ketika melihat pemuda itu tiba-tiba berlutut di depannya dan mengeluarkan kata-kata itu, menjadi makin bingung.

“Cia-siucai, jangan kau begini! Apa sih yang kau kehendaki?”

“Nona, Kongkong-mu dulu menolak pinanganku dengan alasan bahwa kau telah menjadi tunangan dengan orang lain. Aku bukan seorang yang tidak kenal aturan, aku tidak mau menjadi seorang yang tak kenal malu dan kurang ajar, katakanlah kepadaku secara terus terang, Nona, apakah betul kau sudah menjadi tunangan orang lain? Betulkah kau sudah bertunangan?”

“Kau peduli apakah dengan itu? Hal itu bukan urusanmu, Cia-siucai. Sudahlah, lebih baik kau lekas-lekas pergi dari sini.”

“Jawab dulu, Nona. Benar-benarkah kau sudah bertunangan dengan orang lain? Apa bila benar demikian, aku Cia Sun bersumpah tidak akan mau mengganggumu lagi.”

Bi Li tidak mampu menjawab. Dia memang belum bertunangan, hal ini dia ketahui benar, karena memang dahulu orang tuanya belum mengikat perjanjian dengan siapa pun juga. Namun, menjawab pertanyaan seorang pemuda asing begitu saja tentang pertunangan, bukanlah hal yang patut dilakukan oleh seorang gadis sopan.

Ceng Si melihat keraguan nonanya, maka ia yang mewakili Bi Li menjawab, “Sebenarnya Siocia belum bertunangan Cia-siucai. Sudahlah, harap kau sudi meninggalkan tempat ini, kalau diketahui oleh orang lain, bukankah hal ini buruk sekali bagi Siocia?”

Mendengar ini, Cia Sun lalu membanting-bantingkan jidatnya pada tanah dan dia masih tetap berlutut.

“Penasaran! Penasaran! Nona Song, mengapa kakekmu begitu membenciku? Memang ia membohong dan menolak pinanganku? Ketahuilah, tanpa kau di sampingku, aku tidak akan dapat hidup lebih lama lagi! Lebih baik aku mati saja di sini, Song-siocia...”

Mendengar ini, muka Bi Li menjadi pucat sekali dan ia menahan mulutnya yang hendak berteriak. Kemudian ia membalikkan tubuh dan berlari pergi meninggalkan pemuda yang masih berlutut itu, berlari kembali ke dalam gedung.

Bi Li tiba di kamarnya dengan terengah-engah, mukanya pucat. Baiknya kongkong-nya tidak ada. Di rumah gedung itu baru ada dia dan Ceng Si saja, karena memang belum memanggil pelayan-pelayan lain.

Hatinya berdebar, tidak karuan rasanya. Ada rasa takut, bingung dan juga girang. Entah kenapa, mengingat betapa pemuda tampan dan pandai yang menjadi kebanggaan dusun dan menjadi rebutan serta impian para gadis dusun itu kini bertekuk lutut kepadanya, menyatakan cinta kasih yang demikian besar, benar-benar menggirangkan hatinya. Akan tetapi dia sendiri tidak mengerti perasaan apakah ini yang membuat dia menjadi merasa kebingungan.

Tak lama kemudian, Ceng Si menyusul masuk ke dalam kamar.

“Siocia, bagaimana ini baiknya?” pelayan muda dan cantik itu langsung berkata sambil meremas-remas tangan. “Dia tidak mau pergi…”

“Dia tidak mau pergi…? Habis bagaimana baiknya…?” Bi Li memandang kepada Ceng Si dengan bingung dan air matanya sudah mulai memenuhi pelupuk matanya.

“Siocia, dia harus dikasihani. Dia benar-benar mencinta kepada Siocia dengan sepenuh hati dan nyawanya. Dia bilang bahwa dia akan tetap berlutut di sana sampai mati kalau Siocia tidak mau menyatakan sesuatu untuk menjawab cintanya. Demikian yang ia bilang kepadaku, Siocia.”

Sekarang air mata menitik turun ke atas pipi Bi Li. Ia menjadi terharu dan juga bingung, ditambah rasa takut. Kalau sampai kongkong-nya atau ada orang lain tahu akan halnya pemuda itu, bukankah akan terjadi geger? Bukankah orang lain akan menyangka yang tidak-tidak terhadap dirinya? Sampai lama ia tidak menjawab.

Ahh, Bi Li memang seorang gadis yang masih hijau dan bodoh, yang selamanya belum pernah mengalami perasaan seperti itu. Kalau saja ia tahu apa yang baru saja terjadi ketika ia pergi meninggalkan Cia Sun, tentu akan lain sikapnya.

Begitu dia pergi, Ceng Si yang begitu melihat Cia Sun menyatakan cinta kasih terhadap nonanya, segera memegang pundak pemuda itu dengan lemah-lembut, berkata seperti bisikan mesra,

“Siucai, kenapa kau begitu lemah? Bangunlah, urusan ini bisa diatur bagaimana baiknya. Hatiku tidak kuat melihat kau begini sengsara, Kongcu...”

Mula-mula Cia Sun terheran, ia mengangkat muka dan memandang wajah pelayan yang cantik itu, kemudian sesudah dua pasang mata bertemu, tahulah pemuda ini akan suara hati Ceng Si. Dia menjadi sangat girang dan memeluk pundak Nona pelayan itu sambil berkata,

“Nona manis yang baik, benar-benarkah kau menaruh hati kasihan terhadap diriku yang malang ini?”

Ceng Si pura-pura melepaskan diri dan berkata dengan sikap genit,

“Cih, tak tahu malu! Baru saja Siocia pergi, hatinya telah berubah dan hendak membujuk aku, benar-benar lelaki tidak setia!”

Cia Sun segera menjura dan berkata dengan suara memohon, “Nona yang baik, siapa orangnya tidak akan mencinta kau yang begini manis? Kasihanilah aku, aku benar-benar lebih baik mati kalau Siocia-mu tidak mempedulikan aku. Bantulah aku, bujuk siocia-mu supaya dia sudi sedikit menaruh perhatian kepadaku, dan aku berjanji, kelak kalau aku berhasil menjadi suami siocia-mu, engkaulah orang pertama yang akan menjadi Ji-hujin (Nyonya Ke Dua)!”

Ceng Si mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit, “Benar-benarkah janjimu ini? Atau hanya bujukan kosong belaka?”

“Demi langit dan bumi, aku bersumpah bahwa kelak apa bila aku berhasil menjadi suami Nona Song Bi Li, aku segera akan mengambil Nona... ehh, siapa namamu?”

Ceng Si mengerling, tersenyum-senyum dan berkata genit, “Benarkah itu? Namaku, ehh, Ceng Si,” jawabnya cepat-cepat.

“Ceng Si nama yang manis.” Kemudian ia berdongak ke arah langit dan melanjutkan lagi sumpahnya, “Aku akan mengambil Nona Ceng Si yang manis sebagai ji-hujin! Nah, langit dan bumi menjadi saksi atas sumpahku. Lekaslah kau datangi siocia-mu dan bujuk agar supaya dia suka menaruh sedikit perhatian kepadaku dan suka memberi sedikit tanda mata.”

“Baiklah, akan tetapi awas, kalau kau membohongiku, jangan kira Ceng Si takkan dapat menuntut balas!” Pelayan itu segera pergi berjalan-jalan dan menuju ke kamar Bi Li.

Demikianlah, semua ini tentu saja Bi Li tidak tahu sama sekali. la mendengar dari Ceng Si bahwa Cia Sun masih berlutut dan tidak mau pergi, hatinya menjadi sangat terharu. Demikian besarnya kasih sayangnya kepadaku sehingga dia rela mengorbankan nyawa, pikir gadis ini.

“Habis, apa yang harus kulakukan, Ceng Si?” kemudian ia bertanya, minta nasehat pada pelayannya yang ia anggap lebih mengerti dalam urusan seperti ini.

Berbeda dengan Bi Li, di dalam hal ini Ceng Si lebih cerdik dan gadis pelayan ini lebih mengenal watak laki-laki seperti Cia Sun. Dia sudah dapat menduga ke mana maksud tujuan Cia Sun, bukan karena oleh kecantikan siocia-nya yang memang amat cantik itu, akan tetapi di samping ini mengandung maksud yang lebih besar, yakni hendak menjadi suami Bi Li yang menjadi ahli waris tunggal dari Song-loya yang kaya-raya!

Aku harus berlaku cerdik, pikir Ceng Si. Kalau kubujuk sehingga siocia menerimanya dan kemudian sebelum mereka menjadi suami isteri, Cia Sun menyia-nyiakannya, maka akan gagallah semua niatnya. Aku harus berusaha agar Siocia menjadi isterinya agar Cia Sun bisa diterima menjadi suami Bi Li dan kelak akan menjadi nyonya ke dua, akan menjadi Ji-hujin (Nyonya Ke Dua).

Kedudukan nyonya kedua di masa itu memang cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kedudukan nyonya ke tiga, ke empat atau seterusnya. Apa lagi bila dibandingkan dengan kedudukan pelayan biasa, tentu saja jauh lebih tinggi!

“Siocia, apakah… apakah Siocia juga… suka kepadanya?”

Wajah Bi Li menjadi merah sekali dan ia memandang kepada pelayannya dengan mata terbuka lebar. Maksudnya hendak marah, namun dia tidak dapat, karena wajah Ceng Si memperlihatkan sikap sungguh-sungguh, ada pun ia sedang bingung dan membutuhkan pertolongan pelayan ini.

“Aku tidak tahu, Ceng Si, aku... tidak tahu...”

“Siocia, Cia-kongcu itu benar-benar cinta kepada Siocia dan kalau ia dibiarkan saja, tentu ia akan berkeras tidak mau pergi!”

“Aduh, bagaimana kalau Kongkong datang dan melihat dia di sana?” Bi Li ketakutan.

“Apa lagi kalau ada orang luar melihatnya, tentu timbul persangkaan yang bukan-bukan.” Ceng Si menambah kebingungan siocia-nya dengan maksud agar nona majikannya itu terdesak betul-betut dan akhirnya akan menurut apa yang ia nasehatkan.

Benar saja, mendengar kata-kata pelayannya ini, Bi Li lalu menangis karena bingung dan cemas. “Ceng Si, apakah yang harus kulakukan? Tolonglah aku, Ceng Si!”

Pelayan muda yang cantik itu tersenyum di dalam hatinya. Baik Cia Sun mau pun Bi Li sudah minta tolong kepadanya, sudah dapat dipastikan bahwa kelak cita-citanya pasti tercapai, menjadi Ji-hujin yang kaya dan terhormat!

“Siocia, tak baik menemui padanya di kebun, akan tetapi tidak baik pula membiarkan dia begitu saja sehingga dia tidak mau pergi. Lebih baik Siocia menghibur hatinya dengan jalan memberi sesuatu agar ia puas dan mau pergi!”

“Memberi apa, Ceng Si? Apa yang dapat kuberikan agar ia mau pergi?”

Ceng Si berpikir-pikir. Memang akan lebih sempurna apa bila memberikan barang yang berharga, yang menjadi tanda atau bukti seperti misalnya hiasan rambut dari batu giok itu yang menghias rambut Bi Li yang hitam dan halus, akan tetapi hal itu terlalu berbahaya untuk pertama kalinya. Dia masih belum tahu akan isi hati Cia Sun, belum tahu apakah pemuda itu bersungguh-sungguh atau tidak.

“Lebih baik Siocia memberikan sapu tangan Siocia itu, supaya ia merasa bahwa Siocia menaruh kasihan kepadanya dan akulah yang akan membujuk-bujuknya agar dia mau pergi dari kebun.”

Bi Li tentu saja ragu-ragu dan mukanya menjadi merah sekali. Ia melihat sapu tangannya yang tersulam indah dan yang basah dengan air matanya. Akan tetapi tidak ada jalan lain yang lebih baik. Kalau pemuda itu nekat tidak mau pergi, lebih celaka lagi!

“Baiklah, kau berikan ini dan bujuk agar dia jangan berlaku nekad dan tidak mau pergi.”

Ceng Si dengan girang menerima sapu tangan itu dan membawa benda itu ke kebun, di mana Cia Sun telah menantinya. Untuk beberapa lama dua orang ini berunding, akhirnya Cia Sun pergi keluar melalui pagar kebun yang rusak.

Demikianlah. Ceng Si menjalankan siasatnya secara licin sekali. Sampai kebun itu sudah berubah menjadi taman yang indah dan dikelilingi pagar tembok, selalu pelayan ini yang mengadakan hubungan dengan Cia Sun.

Dengan amat cerdiknya Ceng Si menjaga sedemikian rupa sehingga Bi Li mau memberi benda-benda tanda mata, membalas surat-surat dan sajak-sajak pemuda itu, bahkan Bi Li yang bagaikan seekor lalat terjebak dalam sarang laba-laba berani bersumpah bahwa dia hanya akan bersuamikan Cia Sun!

Sampai dua tahun perhubungan ini berjalan diam-diam. Memang betul bahwa Bi Li tidak pernah melakukan sesuatu yang melanggar kesusilaan, karena memang gadis ini teguh menjaga kesopanan, dan ini sesuai pula dengan rencana Ceng Si, akan tetapi di dalam hatinya, gadis ini sudah membalas cinta kasih Cia Sun.

Tentu saja Cia Sun menjadi besar hati, karena meski pun dia pernah ditolak lamarannya oleh Kakek Song, namun kalau Bi Li tidak mau dinikahkan dengan orang lain dan kelak kakek itu meninggal dunia, akhirnya tetap dialah yang akan menjadi suami Bi Li dan bisa menguasai semua harta benda yang besar itu!

Akan tetapi, setelah Bi Li berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari tiba-tiba Kakek Song pulang bersama seorang pemuda yang amat tampan dan gagah, yang berpakaian sebagai seorang pengemis, tambal-tambalan dan butut. Dan hebatnya, Bi Li dikenalkan kepada pemuda ini sebagai calon suaminya.

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, sesudah berpisah dari suhu-nya, Kiang Liat langsung menuju ke dusun Sui-chun. Ia sengaja tidak mau pulang dulu ke kotanya di Sian-koan dan sengaja memakai pakaian seperti pengemis untuk melihat apakah Kakek Song dan cucunya masih tidak berubah pendiriannya melihat dia sudah menjadi seorang pengemis.

Tidak tahunya, baru saja dia tiba di luar dusun Sui-chun, dia sudah disambut oleh Kakek Song dengan segala kehormatan! Memang sudah berhari-hari kakek ini menunggu dari pagi sampai petang di luar kampung, ingat bahwa hari kedatangan pemuda yang pernah menolongnya itu sudah tiba.

Oleh karena itu, begitu melihat Kiang Liat, dia segera berlari menghampiri bersama para pelayannya, dan menyambut Kiang Liat dengan segala kehormatan.

“Kiang Taihiap, sudah tiga hari ini lohu selalu menanti di sini. Bagus sekali, kau kelihatan sehat-sehat saja dan lebih gagah!”

“Akan tetapi, aku telah menjadi pengemis yang miskin, Lopek.”

“Ha-ha-ha, dahulu pun aku seorang pengemis yang lebih miskin dari padamu, Taihiap. Sudah lupa lagikah kau akan hal itu? Marilah, kita bicara di rumah.”

Diam-diam Kiang Liat memuji kakek ini yang ternyata sikapnya tak berubah sama sekali. Memang dia suka mempunyai seorang mertua atau seorang kakek sebaik ini, akan tetapi dia masih belum melihat bagaimana macamnya cucu perempuan kakek ini yang hendak dijodohkan dengan dia.

Rumah gedung tempat tinggal kakek itu, sungguh pun untuk di Sui-chun termasuk paling baik, namun masih tidak sebesar dan sebaik rumah Kiang Liat sendiri di kota Sian-koan, maka pemuda ini sama sekali tidak merasa kagum atau kikuk ketika memasuki gedung ini.

“Suruh Siocia keluar menyambut tuan penolongku yang mulia!” kata Song Lo-kai dengan girang kepada seorang pelayan perempuan.

Berdebar hati Kiang Liat ketika ia mendengar suara tindakan kaki yang halus dari dalam, kemudian mulut pintu tersingkap dan segera muncul seorang bidadari dalam pandangan pemuda ini. Dia cepat bangun dari bangkunya dan merahlah muka Kiang Liat ketika dia teringat bahwa pakaiannya amat tidak baik.

Dia memandang wajah yang cantik jelita itu, yang mulutnya tersenyum manis dengan ramah tamah, yang wajah ayunya berseri-seri dengan sepasang matanya bersinar-sinar. Memang Bi Li sudah pernah diceritakan oleh kongkong-nya bahwa ketika menghadapi bencana maut kongkong-nya telah ditolong oleh seorang pendekar muda.

Tentu saja kini mendengar bahwa tuan penolong itu datang, sebagai cucu kongkong-nya dia harus menyatakan terima kasihnya. Hanya tak disangkanya bahwa tuan penolong itu ternyata adalah seorang yang masih muda dan luar biasa tampan serta gagahnya.

Kiang Liat menjura dan mengangkat kedua tangan di depan dada, memandang bagaikan dalam mimpi, tak kuasa mengeluarkan kata-kata. Melihat betapa pemuda itu amat kikuk, maka timbullah rasa sungkan dan malu pada Bi Li sehingga gadis ini pun hanya menjura memberi hormat.

“Bi Li, mengapa kau diam saja terhadap tuan penolongku? Tidak saja Tuan penolong, dia pun calon suamimu, Nak!”

Sesudah berkata demikian, kakek ini mengejap-ngejapkan kedua matanya yang terasa panas hendak menitikkan air mata saking terharu dan girangnya.

Mendengar ucapan itu, Bi Li merasa seakan-akan dua kakinya terjeblos ke dalam jurang. Kagetnya setengah mati dan seketika itu wajahnya menjadi pucat sekali. Akan tetapi dia buru-buru menundukkan muka dan membalikkan tubuh, terus berlari ke dalam kamarnya, diikuti oleh Ceng Si yang tadi juga mengikuti nona majikannya keluar.

Bagi anggapan Kiang Liat dan kakek Song, nona itu tentu lari karena jengah dan malu, maka kakek Song tertawa bergelak-gelak saking senang hatinya.

“Lopek, sungguh pun aku sebatang kara dan sudah yatim-piatu, namun aku mempunyai rumah di Sian-koan. Biarlah aku pulang lebih dahulu, baru kemudian aku akan mengirim wakil untuk membicarakan urusan perjodohan ini.”

Kakek Song mengerutkan keningnya dengan rasa khawatir. “Akan tetapi kau… kau telah setuju, bukan?”

Muka Kiang Liat menjadi merah, tak dapat menjawab, maka dia hanya menganggukkan kepalanya dengan pasti! Kakek Song tertawa bergelak, kemudian dengan suara keras ia memberi perintah kepada para pelayannya untuk menyediakan jamuan yang hebat bagi calon mantunya.

Sesudah minum arak serta menikmati hidangan-hidangan yang disuguhkan oleh Kakek Song, Kiang Liat lalu berpamitan dan sebagai tanda mata, ia meninggalkan pedangnya. Dengan hati gembira pemuda ini lalu melakukan perjalanan cepat sekali ke kota tempat tinggalnya.

Ia disambut dengan girang oleh inang pengasuhnya, ia memang sudah seperti neneknya sendiri saja. Kiang Liat gembira karena melihat rumahnya tidak berubah dan tidak terjadi sesuatu atas diri inang pengasuhnya.

Dia lalu menceritakan pengalamannya secara singkat, dan terutama sekali dia bercerita tentang maksudnya hendak menikah dengan Nona Song di Sui-chun. Inang pengasuh itu girang bukan main, sambil berlinang air mata inang pengasuh ini lalu mengurus hal itu, mencarikan seorang wakil untuk menyampaikan warta ke Sui-chun mengenai ketetapan hari pernikahan.

Kho Ping Hoo Serial Bu Pun Su
*****

Sementara itu, di rumah Kakek Song terjadi keributan. Bi Li menangis dan menyatakan tidak mau menikah.

“Anak bodoh, usiamu sudah sembilan belas tahun mau menunggu apa lagi? Apakah kau mau menunggu kakekmu mati?” akhirnya Kakek Song berkata lemas.

Bi Li menubruk kakeknya. “Tidak demikian Kongkong, akan tetapi aku… aku belum suka menikah...”

“Bi Li, jangan kau membikin bingung dan susah hati kongkong-mu. Perjodohan ini sudah kujanjikan kepada Kiang-taihiap setahun yang lalu. Sebentar lagi kalau utusannya datang mewartakan tentang hari pernikahan, kita harus menerima dengan baik. Kau tidak boleh berkeras kepala lagi, kecuali jika kau suka melihat kongkong-mu mampus saking jengkel dan susah.”

Bi Li tidak dapat menjawab, hanya menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis terisak-isak.

Pada saat itu, Ceng Si turun tangan. Gadis pelayan ini memberi isyarat kepada Kakek Song untuk keluar. Kakek ini heran akan tetapi dia menurut saja. Akhirnya mereka bicara di dalam ruangan belakang dan tak seorang pun pelayan lain boleh mendekati mereka.

“Ceng Si, ada apakah? Agaknya ada sesuatu yang dirahasiakan kepadaku!” Kakek Song berkata kurang senang.

Ceng Si berlutut. “Mohon beribu ampun Lo-ya. Sebetulnya saya sudah banyak berusaha untuk mencegah hal ini terjadi, akan tetapi apa hendak dikata, sebelum saya menjadi pelayan di sini, hal itu sudah terjadi.”

“Hal ini, hal itu, apa maksudmu? Bicaralah yang jelas!” Kakek Song membentak dengan hati kurang enak.

“Siocia tidak mau menikah karena sesungguhnya Siocia sudah mempunyai pilihan hati sendiri.”

“Apa? Kau tahu akan hal ini tetapi tidak memberi tahukan kepadaku? Berani benar kau membiarkan Siocia merusak nama baik keluarganya sendiri? Jahanam benar...” Wajah Kakek Song menjadi pucat sekali.

“Tidak demikian, Loya, harap jangan salah sangka. Walau pun Siocia sudah mempunyai pilihan hati, namun Siocia tidak pernah bertemu dengan dia, hanya berkirim-kiriman saja dan sebagainya.”

“Bedebah…!”

“Jika Loya benar-benar sayang kepada Siocia, saya harap Loya sudi mempertimbangkan keadaan Siocia yang patut dikasihani. Dan harap Loya suka mendengar penuturan saya dengan hati sabar. Loya, sebelum Loya membawa Siocia pindah ke sini, di antara Siocia dan pemuda itu memang telah ada pertalian batin yang erat. Mereka saling mencinta dan saling bersumpah tidak akan menikah dengan orang lain. Ada pun menurut penglihatan saya, pemuda itu adalah seorang pemuda terpelajar yang amat sopan-santun dan baik, tulisannya indah dan juga orangnya tak kalah oleh Kiang-taihiap. Siocia pasti akan hidup bahagia selama hidupnya kalau Loya membatalkan pertalian jodoh dengan Kiang-taihiap dan sebaliknya menjodohkan Siocia dengan pilihan hatinya sendiri.”

“Cukup, tutup mulutmu, kau seorang pelayan tahu apa? Siapakah adanya jahanam yang berani menggoda cucuku itu? Hayo katakan siapa dia?”

“Dia adalah seorang Siucai dan namanya Cia Sun dari dusun Lee-hiang.”

Kakek Song termenung dan mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggotnya. Dia lalu menyuruh Ceng Si pergi dan menghibur siocia-nya.

“Katakan kepada Siocia-mu bahwa aku akan memikirkan hal ini baik-baik,” katanya.

Kakek ini teringat akan pemuda she Cia yang dahulu pernah melamar Bi Li, dan menurut penglihatannya, memang pemuda itu cukup baik dan terpelajar. Akan tetapi, dulu ia telah menolak pinangan itu karena ia ingin menjodohkan Bi Li kepada seorang gagah supaya kelak dapat melindungi cucunya itu. Kakek Song sendiri adalah seorang ahli silat dan biar pun kepandaiannya tidak tinggi namun ia cukup tahu akan manfaat kegagahan pada jaman itu.

Apa lagi sekarang dia sudah menjodohkan cucunya kepada Kiang Liat, seorang pemuda gagah perkasa yang pernah menolongnya dan yang amat dikaguminya. Apa lagi karena pemuda itu kini menjadi murid dari seorang sakti.

“Sungguh menjemukan sekali, pinangannya sudah kutolak bagaimana dia masih berani mengganggu Bi Li? Sebenarnya apakah maksud pemuda she Cia itu?” Demikian Kakek Song berpikir-pikir.

Kemudian dia mendapatkan akal. Dia maklum akan keadaan keluarga Cia yang miskin, maka didatangilah rumah keluarga Cia di dusun Lee-hiang. Dia disambut oleh Janda Cia, yakni ibu dari Cia Sun dengan ramah-tamah dan penuh penghormatan, seperti biasanya seorang kaya-raya disambut oleh seorang dusun yang miskin.

Kakek Song minta kepada nyonya janda itu untuk memanggil puteranya dan Cia Sun lalu menghadap dengan muka pucat. Pemuda ini takut sekali karena ia telah dapat menduga bahwa kedatangan Kakek Song tentulah ada hubungannya dengan Bi Li, sedangkan dia selama beberapa hari ini belum mendapat berita apa pun dari Ceng Si. Hatinya gelisah sekali, akan tetapi dia menghadap Kakek Song dengan sikap sopan dan memberi hormat sebagaimana mestinya.

“Kedatanganku ini untuk membereskan persoalan yang ada antara Cia Sun dan cucuku,” kata Kakek Song kepada nyonya janda ibu Cia Sun. Tentu saja Nyonya Cia tidak tahu akan kelakuan puteranya, maka ia memandang dengan mata penuh pertanyaan.

“Cia-hujin, seperti kau tentu masih ingat, dulu pinangan puteramu terhadap cucuku sudah kutolak karena memang cucuku itu sudah mempunyai tunangan. Akan tetapi akhir-akhir ini ternyata puteramu selalu mendesak dan bahkan berani mencoba untuk berhubungan dengan cucuku. Yang sudah lewat sudahlah, akan tetapi mulai sekarang, kuperingatkan agar puteramu ini jangan sekali-kali berani menghubunginya. Ingat bahwa cucuku sudah bertunangan.”

“Hal itu tidak betul,” Cia Sun memotong, “Aku mendengar bahwa Song-siocia sama sekali belum bertunangan.”

“Hemm, begitukah?” Kakek Song tersenyum, hatinya mendongkol bukan main. “Itu hanya dugaanmu belaka. Dia sudah tunangan dengan seorang she Kiang di kota Sian-koan dan dalam beberapa pekan ini pun pernikahannya segera akan dilangsungkan. Oleh karena itu, sekali lagi kuperingatkan bahwa apa bila kau mencoba untuk berlaku tidak patut dan mendekati rumah kami, aku akan turun tangan dengan jalan kekerasan atau aku akan menyuruh yang berwajib menangkap dan menahanmu. Sebaliknya, kalau kau berjanji tak mengganggu dan mendekatinya lagi, orang she Song akan berterima kasih sekali dan tidak akan melupakan kebaikan ini. Nah, biarlah sedikit bekal ini untuk keperluan kalian sehingga tak perlu keluar rumah.” Kakek Song meninggalkan sekantong uang perak dan meletakkan itu di atas meja yang reot di depan Nyonya Cia.

Nyonya janda Cia merasa terkejut dan juga girang. Ia buru-buru berlutut menghaturkan terima kasih dan berkata kepada Kakek Song,

“Song-loya, harap suka mengampunkan puteraku yang masih belum tahu aturan hingga mengganggu Loya. Percayalah, aku yang akan melarangnya pergi ke sana. Terima kasih banyak atas kemurahan hati Song-loya. Sun-ji (Anak Sun), hayo lekas ucapkan terima kasih kepada Song-loya.”

Cia Sun menjadi pucat dan hanya karena takut kepada ibunya maka ia terpaksa menjura dan mengucapkan terima kasih dengan suara perlahan. Kakek Song menjadi puas dan segera pergi dari situ, pulang ke gedungnya.

Cia Sun menjatuhkan diri di atas kursi, dua titik air mata turun membasahi pipinya. Kini hancurlah cita-citanya untuk menjadi suami Bi Li, untuk mewarisi seluruh harta benda itu!

“Anakku, bagaimana sih kau ini? Song-siocia tentu saja bukan jodohmu, bagaimana bisa katak mencapai bulan? Kau betul-betul amat lancang dan sembrono berani mengganggu gadis dari keluarga demikian hartawan. Masih untung bagi kita bahwa Song-loya berhati pemurah dan sabar sehingga sebaliknya dari pada marah kepada kita, ia hanya memberi peringatan secara halus dan malah memberi uang begini banyak.”

Namun Cia Sun masih terbenam di dalam lamunannya yang sedih. Apakah artinya uang sekantung ini bila dibandingkan dengan diri Bi Li berikut harta benda dan rumah gedung ditambah sawah ladang yang demikian banyaknya? Ia memutar-mutar otak mencari jalan yang baik, akhirnya ia berkata seorang diri,

“Hanya Ceng Si yang akan dapat memecahkan hal ini! Ceng Si manisku... kekasihku... sebenarnya engkaulah yang patut menjadi isteriku. Tanpa kau yang cerdik aku merasa tak berdaya...”

Ada pun Kakek Song yang pulang ke rumah gedungnya, diam-diam menyuruh beberapa orang pelayan untuk mengamat-amati dan menjaga agar jangan sampai ada orang luar yang dapat masuk ke dalam taman dan agar supaya mengusir setiap orang muda yang mendekati tembok sekitar gedung dan pekarangannya. Dengan penjagaan ini, maka baik Cia Sun mau pun Ceng Si sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk saling bertemu atau menyampaikan berita.

Sementara itu, sepekan kemudian datanglah utusan dari Sian-koan. Kakek Song terkejut bercampur gembira bukan main, juga dia merasa heran sekali. Utusan yang datang itu adalah seorang setengah tua yang berpakaian mewah, datang membawa sebuah kereta yang penuh dengan barang-barang berharga. Tadinya Kakek Song mengira bahwa yang datang ini tentulah seorang saudagar kaya, akan tetapi dia menjadi melongo ketika tamu ini memperkenalkan diri sebagai utusan dari keluarga Kiang di Sian-koan!

“Saya datang atas perintah dari Kiang-kongcu sambil membawa sekedar hadiah untuk Song-siocia, dan juga untuk membicarakan tentang hari pernikahan,” kata utusan itu.

Pada saat barang-barang hadiah itu dibongkar, semua orang terheran-heran dan kagum bukan main. Lima belas kayu kain sutera yang paling halus dan mahal dan yang jarang sekali dilihat oleh orang-orang seisi rumah itu, lima buah barang ukiran dari perak yang amat indahnya, untuk hiasan dinding kamar, empat peti besar terisi kain-kain untuk muili, kelambu, dan lain-lain keperluan rumah tangga, sekantung uang emas dan sekantung pula uang perak, kemudian yang terakhir, sebuah hiasan rambut terbuat dari emas dan dihiasi batu kemala yang amat indahnya, berbentuk seekor kupu-kupu yang hinggap di atas setangkai bunga Cilan.

Jangankan para pelayan yang memandang semua itu dengan mata terbelalak sambil menahan napas, bahkan Kakek Song sendiri sampai melongo. Hanya orang yang kaya raya, bahkan jauh lebih kaya dari pada dirinya sendiri, yang akan sanggup mengirimkan hadiah kepada calon pengantin seroyal ini.

Kakek Song segera menjamu tamu itu dan dari tamu ini ia mendapat keterangan bahwa Kiang-kongcu merupakan ahli waris satu-satunya dari keluarga Kiang yang amat terkenal kekayaannya. Juga ia mendengar bahwa nenek moyang Kiang Liat adalah orang-orang ternama belaka, bangsawan-bangsawan tinggi yang bernama besar. Maka bukan main girangnya hati Kakek Song mendengar ini.

Mereka terus mengobrol sambil minum arak dan makan hidangan yang mahal. Kemudian utusan itu menyampaikan pesan dari Kiang-kongcu mengenai hari pernikahan yang akan dilangsungkan dalam bulan itu juga.

Sementara itu, Ceng Si yang cerdik segera mendengar bahwa pemuda she Kiang yang dahulu berpakaian sebagai seorang pengemis itu, ternyata adalah seorang pemuda yang kaya raya, bahkan lebih kaya dari pada keluarga Song sendiri! Apa lagi setelah ia melihat barang-barang hadiah yang dibawa oleh utusan keluarga Kiang, hatinya lantas berdebar dan matanya yang indah itu berseri-seri.

Diam-diam dia meremas-remas tangan sendiri dan mengatur siasat. Kemudian dia berlari menuju ke kamar Bi Li, diikuti oleh para pelayan yang memanggul barang-barang hadiah itu, sebab Kakek Song memberi perintah supaya barang-barang itu langsung dibawa ke kamar Bi Li.

“Siocia, kionghi!” Ceng Si berseru sambil memeluk nona majikannya.

“Ceng Si, apakah kau gila? Aku lagi berduka, kau datang-datang memberi selamat.”

“Kionghi, Siocia! Tidak tahunya, pemuda she Kiang yang kelihatan seperti pengemis itu, ternyata adalah seorang pangeran!”

“Apa katamu? Seorang pangeran?” Bu Li menggerakkan alis karena terheran-heran.

“Lihat saja, lihat saja semua barang-barang hadiahnya!”

Pintu terbuka dan mengalirlah barang-barang itu memasuki kamar.

Bi Li juga merasa kagum sekali melihat benda-benda mahal itu, apa lagi melihat hiasan rambut yang luar biasa indah itu, dia benar-benar amat suka, hanya merasa malu untuk menjamahnya. Ia hanya duduk dan melihat satu demi satu semua benda itu yang diambil dari tempatnya oleh Ceng Si. Gadis pelayan ini sambil memamerkan benda-benda itu, tiada hentinya bercakap-cakap.

“Siocia, sungguh kau gadis yang beruntung sekali. Memang orang baik selalu mendapat perlindungan dari Thian. Siapa sangka pemuda berpakaian tambalan itu ternyata adalah seorang yang kaya raya, bahkan jauh lebih kaya dari pada Song-loya sendiri? Lihatlah, begini indah dan mahalnya barang-barang ini.

“Ceng Si, aku bukan seorang yang haus akan benda-benda indah dan mahal.”

“Akan tetapi orangnya pun sangat gagah dan tampan! Siocia, terus terang saja, apa bila diingat-ingat, Kiang-kongcu itu malah lebih tampan dari pada... pemuda she Cia itu. Dan tentu saja jauh lebih gagah, ingat saja, ia pernah menolong nyawa Song-loya!”

“Ceng Si!” Bi Li membentak dan mukanya menjadi pucat. “Aku bukan orang yang begitu mudah lupa akan sumpah sendiri!”

“Siocia, dalam hal ini kita tak boleh menurutkan perasaan dan nafsu sendiri. Ingatlah dan pertimbangkan masak-masak. Memang betul Siocia sudah bersumpah, namun semua itu dilakukan dalam keadaan melamun dan tak sadar. Siocia juga tidak bersumpah di depan Cia-kongcu dan hubungan kalian juga hanya dengan surat-surat sajak saja. Sebaliknya, coba pikir baik-baik. Pemuda hartawan dan gagah perkasa she Kiang itu, pertama-tama dia telah menolong nyawa kongkong-mu, kedua kalinya dia memang patut menjadi suami Siocia karena ia memang tampan dan gagah sekali, ketiga kalinya, ia seorang hartawan besar, jadi seribu kali lebih cocok dari pada Cia-siucai yang miskin itu.”

“Ceng Si...! Aku... aku kasihan kepadanya, juga karena ia tidak berdaya dan miskin.”

Berseri wajah Ceng Si, memang inilah yang dinanti-nantinya. “Jika begitu, Siocia, mudah saja untuk menolongnya! Dia miskin, membutuhkan uang. Kalau Siocia selalu memberi sesuatu yang berharga kepadanya, bukankah itu berarti sudah menolongnya?”

“Ceng Si, bagaimana kau bisa bilang begitu? Kalau aku sudah menjadi isteri orang lain, bagaimana aku sudi dan berani mengadakan hubungan dengan laki-laki lain?”

“Mudah saja Siocia. Jika aku Ceng Si yang bodoh selalu menjadi pelayan pribadi Siocia, selalu berada di samping Siocia, apa sih sukarnya? Kalau Siocia masih selalu menolong pemuda she Cia itu, pendeknya mencukupi kebutuhan hidupnya, bahkan kalau perlu membiayai dia melanjutkan pelajarannya, di kota raja, bukankah itu berarti bahwa Siocia mempunyai pribudi yang tinggi?”

Bi Li berpikir dan ia berkali-kali menarik napas panjang. “Akan tetapi aku khawatir sekali, Ceng Si. Surat-suratku banyak yang berada di tangannya! Kalau kelak... orang yang menjadi suamiku mengetahui akan hal ini, bukankah ini akan mendatangkan malapetaka hebat!”

Dalam hatinya, Ceng Si tersenyum laksana iblis. Akan tetapi pada wajahnya yang manis itu tersungging senyuman manis yang penuh hiburan. “Jangan khawatir, Siocia. Akulah yang akan minta kembali semua tulisan-tulisan itu.”

Akhirnya Bi Li dapat dibujuk dan dihibur. Gadis ini mengeluarkan surat-surat dari Cia Sun yang tadinya disimpannya, lalu menyerahkan semua surat itu kepada Ceng Si dengan perintah agar semua surat ini dibakar.

Ceng Si memang melakukan perintah ini, akan tetapi tidak semua surat dibakarnya, ada beberapa helai yang diam-diam ia sembunyikan dan simpan. Dua helai surat dari Cia Sun ini merupakan senjataku yang paling ampuh terhadap Song-siocia, pikirnya.

Kita tunda dulu dan membiarkan nona Song Bi Li melamun tentang pernikahannya yang dihadapi, dan mari kita mengikuti peristiwa lain yang amat hebat.

*****

Di lembah Sungai Huang-ho, nampak dua orang setengah tua berjalan perlahan. Mereka ini adalah Bu Pun Su dan Han Le, dua kakak beradik seperguruan yang berilmu tinggi. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, mereka berdua baru saja meninggalkan Kiang Liat dan kini mereka jalan bersama-sama sambil bercakap-cakap.

“Lu-suheng, mengapa kau sekarang banyak berubah? Kau kelihatan seperti orang yang menderita kesedihan besar,” pertama-tama Han Le menegur suheng-nya.

“Sute, sebelum kita berbicara lebih lanjut, kuperingatkan padamu, jangan sekali-kali lagi kau menyebut Lu-suheng kepadaku. Jangan sekali-kali nama Lu Kwan Cu disebut lagi. Nama itu sudah mampus dan sekarang aku adalah Bu Pun Su, tidak ada sambungannya lagi, mengerti?” Suaranya terdengar keras dan kaku, tanda bahwa dia benar-benar tidak suka mendengar nama kecilnya disebut-sebut.

Han Le beberapa kali memandang kepada wajah Bu Pun Su penuh perhatian. Biasanya, pandangan mata Han Le tajam sekali dan dengan melihat wajah orang, dia akan dapat membaca isi hatinya. Akan tetapi tarikan wajah Bu Pun Su demikian sukar dimengerti, seolah-olah kulit muka orang sakti itu memakai kedok. Hanya garis-garis yang memenuhi muka dan rambut serta alis yang sudah tidak begitu hitam lagi saja yang bercerita bahwa selama ini, Bu Pun Su mengalami tekanan dan penderitaan batin yang hebat.

“Suheng, kau sudah banyak mengalami penderitaan. Maafkan Sute, meski Sute seorang yang bodoh dan lemah, namun Sute menyediakan raga dan nyawa untuk membantu Suheng memecahkan semua kesulitan itu.”

Bu Pun Su menoleh pada adik seperguruan ini. Untuk beberapa detik sepasang matanya hanya memandang, seakan-akan hendak mengalirkan air mata. Akan tetapi sepasang mata itu tiba-tiba berseri-seri dan meledaklah suara ketawa Bu Pun Su. Suara ketawanya demikian nyaring dan keras sehingga kalau di situ terdapat orang lain yang tidak berilmu tinggi, pasti orang ini akan lumpuh terkena daya tenaga lweekang-nya yang disalurkan dalam suara ketawa ini! Baiknya Han Le sendiri sudah memiliki tenaga lweekang yang tinggi, namun tetap saja ia merasa jantungnya memukul keras dan terpaksa ia menahan napasnya agar jangan terkena getaran hebat dan melukai jantungnya.

“Ha-ha-ha, kau masih tidak berubah, Sute! Kau masih dikuasai oleh perasaanmu, kau lemah dan baik hati. Tidak, Sute. Aku tidak menderita sesuatu. Bagaimana Bu Pun Su bisa menderita? Kalau si lemah Lu Kwan Cu yang sudah mampus, memang dia itu lemah hati, mudah dikuasai oleh nafsu, dia buta dan tuli, terlalu mengandalkan kepandaiannya yang tidak berarti, terlalu membanggakan tenaganya yang sebenarnya lemah. Ha-ha-ha, Lu Kwan Cu sudah mampus, demikian pula orang-orang yang seperti dia. Akan selalu mengalami suka duka dan hidup bagaikan benda mati yang dipermainkan oleh alam. Akan tetapi aku sekarang bukan seperti dia, aku sudah menguburkan Lu Kwan Cu. Aku Bu Pun Su hidup bukan sebagai bujang perasaan, aku hidup bebas, menggunakan akal budi dan pertimbangan, mengeluarkan segala yang pernah kupelajari untuk membantu pekerjaan alam!”

Han Le dapat mengerti akan kata-kata yang kedengarannya tidak karuan ini. Dia sendiri sudah banyak mengalami kepahitan hidup, sudah banyak menderita dan kecewa. Maka ia dapat menduga bahwa suheng-nya ini tentu telah mengalami hal-hal yang hebat luar biasa, hal-hal yang menghancurkan hatinya, mungkin sekali telah melakukan dosa yang dianggapnya terlalu berat dan besar sehingga suheng-nya ini mematikan dirinya sendiri, mematikan dan menghilangkan semua ingatan mengenai diri Lu Kwan Cu, seakan-akan dia memulai hidup baru menjadi seorang bernama Bu Pun Su atau Si Tiada Kepandaian, manusia aneh yang hidupnya hanya untuk membantu pekerjaan alam, yakni tegasnya membantu manusia lain.

Han Le menjura kepada suheng-nya dan berkata girang, “Jika begitu, aku mengucapkan selamat, Suheng. Dan demi Thian Yang Maha Kuasa, aku pun hendak mencoba sedapat mungkin untuk mencontoh perbuatanmu yang amat mulia ini. Tadi suheng bilang hendak menyampaikan sesuatu yang amat penting, apakah gerangan urusan itu?”

Karena dia sudah lupa lagi akan hal-hal dahulu mengenai diri Lu Kwan Cu, Bu Pun Su kembali pula kegembiraannya.

“Sute, aku perlu sekali bantuanmu, juga bantuan semua orang yang masih berbangsa dan berkebudayaan.”

“Eh, apakah yang terjadi, Suheng?” tanya Han Le terkejut, karena kata-kata suheng-nya ini terdengar menyeramkan.

Bu Pun Su mengajak sute-nya duduk di dekat pantai Sungai Huang-ho di mana tumbuh sebatang pohon besar yang akarnya bergantungan dan bermain-main di permukaan air sungai. Tempat itu amat indahnya dan setiap orang, apa lagi para pemancing ikan, pasti akan suka sekali duduk di situ.

“Sute, di dunia kang-ouw sudah terjadi hal yang hebat sekali dan amat membahayakan kedudukan orang-orang kang-ouw yang termasuk golongan putih. Apa lagi bagi mereka yang menganut sesuatu kepercayaan atau agama.”

“Kenapa, Suheng? Bukankah golongan Mo-kauw (Agama Sesat) pada hakekatnya tidak begitu kuat dan selalu dapat dikendalikan oleh golongan Beng-kauw (Agama Asli), ada pun golongan Beng-kauw walau pun agama dan kepercayaannya berlainan dan banyak sekali macamnya, akan tetapi dapat menjaga kerukunan dan menghormati kepercayaan masing-masing?”

“Betul kata-katamu itu, akan tetapi hal itu adalah keadaan pada beberapa tahun yang lalu. Memang jarang ada orang kang-ouw yang mengetahui kejadian ini, karena hal itu mereka sembunyikan dan selalu dijaga penuh rahasia agar jangan sampai bocor.”

“Eh, apa sih sebetulnya yang terjadi, Suheng? Aku menjadi tertarik dan ingin sekali lekas mendengar penjelasanmu.”

Bu Pun Su lalu menceritakan apa yang telah ia ketahui. Di dalam dunia kang-ouw terbagi menjadi dua golongan yang biasanya disebut golongan putih dan hitam. Golongan putih adalah para pendekar atau mereka yang memiliki kegagahan dan yang sepak terjangnya selalu bersih, sebaliknya golongan hitam adalah mereka yang selalu disebut pengikut hek-to (jalan hitam) atau lebih tepat lagi orang-orang yang mempunyai pekerjaan jahat seperti para perampok, bajak-bajak, maling, copet dan lain-lain. Antara kedua golongan itu telah dapat diselesaikan dengan kemenangan pihak golongan putih.

Untuk dapat mengendalikan golongan hitam ini banyak tokoh besar dunia kang-ouw yang sengaja menjadi perampok atau maling, yakni menjadi ketuanya dan selalu mengawasi sepak terjang anak buahnya sehingga mereka itu tidak menyeleweng, yakni dengan lain kata, tidak merampok atau mengganggu orang-orang yang dianggap tak patut diganggu. Bagi orang-orang gagah di waktu itu, merampok harta orang kaya yang pelit, membunuh mati orang yang berwatak jahat dan kejam, dianggap sebagai perbuatan yang bersih dan mulia juga.

Pendeknya, waktu itu golongan penjahat pun terpecah dua, yakni jahat yang dilakukan demi memberantas kejahatan, dan jahat sebab memang pada hakekatnya jahat dan keji. Golongan-golongan ini hanya kecil saja, atau boleh disebut golongan perorangan yang meliputi tokoh-tokoh yang hidup menyendiri.

Tapi ada pula golongan-golongan besar seperti perkumpulan-perkumpulan, dan terutama sekali perkumpulan agama dan partai-partai besar persilatan yang tak lepas dari agama dan kepercayaan, dan justru golongan-golongan besar ini menjadi induk dari golongan-golongan kecil. Dan di dalam golongan-golongan besar ini terdapat perpecahan pula!

Perpecahan ini tadinya meluas sehingga antara satu partai dengan partai lainnya terjadi bentrokan dan permusuhan hebat, hanya dikarenakan kepercayaan atau agama mereka berlainan. Akan tetapi, ratusan yang lalu, ketika muncul tokoh-tokoh besar seperti Tiat Mouw Couwsu dan lain-lain tokoh dari See-thian (Dunia Barat), bentrokan-bentrokan ini dapat diselesaikan dengan jalan rukun, sungguh pun kepercayaan mereka, bahkan ajaran limu silat mereka berlainan. Dan oleh tokoh-tokoh besar itu diletakkan garis yang memisahkan antara golongan yang disebut penganut Beng-kauw serta mereka yang menganut Mo-kauw.

Golongan Beng-kauw atau agama asli ini tentu saja mempunyai anggota paling banyak. Partai persilatan seperti Siauw-lim-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai dan lain-lain, semua menyebut diri sebagai golongan Beng-kauw. Hal ini tentu saja dapat dimengerti karena siapakah yang mau menyebut dirinya bukan penganut ‘agama asli’? Golongan ini terdiri dari partai-partai besar yang menganut Agama Buddha, ajaran Locu atau To-kauw, penganut ajaran Khong Hu Cu, penganut Kwan Im Pouwsat, dan lain-lain.

Siapakah gerangan yang termasuk agama Mo-kauw? Sebetulnya tak ada golongan yang mau mengaku sebagai penganut Agama Sesat, akan tetapi golongan-golongan yang tak beragama atau orang-orang kasar, atau mereka yang pernah melakukan pelanggaran dan dianggap jahat, mereka ini yang oleh golongan Beng-kauw disebut sebagai golongan Kaum Sesat!

Mereka ini sebagian besar merupakan kelompok orang yang menyembunyikan diri, yang bersakit hati dan karena mereka didesak ke sudut oleh golongan yang menganggap diri bersih, mereka ini dengan sengaja kemudian berlaku keaneh-anehan, sengaja mereka membentuk sekumpulan tokoh-tokoh yang lihai ilmu silatnya, memisahkan diri dan tidak mau peduli lagi dengan urusan agama.

Mereka lalu melakukan apa saja yang mereka suka, dan hidup berkeliaran tidak tentu tempatnya. Akan tetapi mereka tidak pernah mendengar atau mencari perkara dengan golongan Beng-kauw, karena maklum bahwa golongan ini memiliki banyak orang pandai.

Akan tetapi, jangan dikira bahwa golongan Mo-kauw ini sedikit jumlahnya anggotanya. Mereka makin lama makin banyak, sebagian besar terdiri dari orang-orang yang putus asa, sakit hati, dan orang-orang yang berwatak aneh.

Beberapa tahun yang lalu, muncullah tiga orang aneh dari See-thian (Dunia Barat) yang sebentar saja sudah dapat merebut kekuasaan di golongan Mo-kauw. Ketiga orang ini mempunyai kepandaian yang amat tinggi, tidak saja kepandaian ilmu silat mereka amat tinggi, juga mereka adalah ahli-ahli hoatsut (ilmu sihir) yang aneh. Dalam beberapa bulan saja mereka dapat mengangkat diri di dalam golongan Mo-kauw sehingga semua orang penganut agama sesat ini menganggap mereka bertiga sebagai ketua atau pemimpin.

Tiga orang aneh ini tahu akan keadaan orang-orang kang-ouw golongan Mo-kauw yang sangat terdesak dan dianggap orang-orang jahat oleh orang-orang kang-ouw umumnya. Maka, dengan menggunakan rasa dendam dan sakit hati ini, mereka sebentar saja dapat membentuk sebuah perserikatan yang amat kuat. Hal ini terjadi tanpa banyak ribut-ribut, karena memang kehidupan para penganut Mo-kauw ini tersembunyi, tidak diketahui oleh masing-masing orang kang-ouw.

Apa bila persoalannya sampai di situ saja, kiranya tidak akan ada perubahan dan tidak akan menggegerkan. Akan tetapi ternyata bahwa tiga orang aneh ini mempunyai niat dan cita-cita yang lebih besar. Mereka ingin menguasai seluruh dunia kang-ouw, juga ingin menaklukkan partai-partai besar dan ingin mengangkat diri menjadi ketua perkumpulan yang paling berpengaruh di Tiongkok!

Setelah orang-orang Mo-kauw ini berada di bawah pimpinan mereka, terjadilah hal-hal yang aneh di dunia kang-ouw. Kitab pelajaran limu silat yang amat dipuja-puja oleh partai Siauw-lim-pai, yakni kitab peninggalan dari Tiat Mouw Couwsu, pada suatu hari tiba-tiba telah lenyap tanpa meninggalkan bekas!

Selagi Siauw-lim-pai geger dan semua tokoh Siauw-lim-pai berusaha mencari kitab yang hilang ini, tiba-tiba saja puncak Kun-lun-pai juga geger karena hilangnya pedang pusaka Pek-kong-kam yang ditaruh di ruangan suci kelenteng partai besar itu!

Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai merupakan partai-partai besar yang sudah berpuluh tahun terkenal sebagai partai persilatan yang berpengaruh dan memiliki banyak orang pandai. Oleh karena itu, kehilangan dua benda pusaka ini tentu saja membuat mereka menjadi amat penasaran dan juga malu.

Mereka menjaga rapat peristiwa ini agar jangan sampai tersiar di luaran, dan di samping itu mereka mengerahkan orang-orang pandai untuk mencari benda pusaka yang lenyap itu. Akan tetapi, betapa pun rapat mereka menjaga rahasia, berita itu tetap bocor juga dan sebentar saja seluruh kalangan kang-ouw mendengar bahwa kitab peninggalan Tiat Mouw Couwsu dari Sauw-lim-pai beserta pedang pusaka Pek-liong-kiam dari Kun-lun-pai telah dicuri orang.

Ini merupakan hal yang menggegerkan pula, karena biasanya tidak seorang pun anggota Siauw-lim-pai atau Kun-lun-pai yang berani membocorkan hal yang dirahasiakan. Maka timbullah dugaan bahwa kejadian ini memang sengaja dibocorkan oleh orang-orang atau seseorang yang melakukan pencurian itu. Akan tetapi apa kehendak mereka?

Tokoh besar di dunia persilatan, yang baru belasan tahun muncul akan tetapi namanya sudah dijunjung tinggi serta disegani dengan penuh kekaguman dan hormat oleh semua ketua partai besar, yakni Bu Pun Su mendengar pula akan hal ini. Ia cepat menyelidiki. Dengan kepandaiannya akhirnya Bu Pun Su menaruh pikiran curiga terhadap golongan Mo-kauw. Bahkan ia mendengar pula akan adanya tiga orang aneh di golongan Mo-kauw ini yang kabarnya memiliki kepandaian luar biasa tingginya.

“Demikianlah, Sute,” kata Bu Pun Su kepada Han Le sesudah menuturkan itu semua. “Kiranya tidak akan meleset terlalu jauh dugaanku bahwa tiga orang aneh itu mempunyai hubungan dengan kedua pencurian ini. Kalau bukan mereka, siapa lagi yang berani dan begitu gegabah mencuri dua barang pusaka keramat yang dipuja-puja oleh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai? Dan aku mendengar kabar pula bahwa Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, itu tokoh Mo-kauw yang berkepandaian tinggi dan bertabiat ganas, telah diambil murid oleh tiga orang itu. Apa bila Hek Pek Mo-ko dua bersaudara yang berkepandaian begitu tinggi masih menjadi murid mereka, dapat diduga bahwa kepandaian mereka memang benar tinggi sekali. Selain ini, aku masih mendengar kabar lagi bahwa kecuali Hek Pek Mo-ko, mereka bertiga masih memiliki seorang murid perempuan yang jauh lebih jahat, bahkan lebih pandai dari pada Hek Pek Mo-ko. Kalau pihak Mo-kauw mempunyai begitu banyak orang-orang pandai, sedangkan sepak terjang mereka selalu tersembunyi, aku merasa kuatir sekali.”

"Suheng, urusan itu sebenarnya tidak amat besar, tetapi kenapa tadi Suheng menyebut-nyebut mengenai kebangsaan dan kebudayaan? Apa hubungannya kehilangan kitab dari Siauw-lim-pai dan pedang dari Kun-lun-pai itu dengan kebangsaan dan kebudayaan?"