Sepasang Garuda Putih Jilid 16 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Sepasang Garuda Putih Jilid 16

TEJOLAKSONO meninggalkan para perwira pembantu dan lima ribu pasukan Panjalu dan Jenggala untuk menjaga dan mengatur ketenteraman di Kadipaten Blambangan, kemudian menggiring Sang Adipati Menak Sampar berikut semua keluarganya menuju ke Jenggala. Rombongan pasukan yang menang perang ini singgah di Nusabarung untuk mengambil tawanan Adipati Martimpang dari Nusabarung sekeluarganya untuk juga dibawa sebagai tawanan ke Jenggala.

Ki Patih Tejolaksono singgah di istana Jenggala, melaporkan tentang kemenangannya dan bahwa kedua orang adipati yang memberontak itu telah dijadikan tawanan dan dibawa menghadap. Akan tetapi Sang Prabu di Jenggala menolak dan berkata,

"Kakang Patih Tejolaksono, sesungguhnya yang menggerakkan pasukan untuk menaklukkan kedua orang adipati yang memberontak adalah Panjalu, dan kami dari Jenggala hanya membantu belaka. Oleh karena itu, kedua orang tawanan ini dan sekeluarganya kami pasrahkan kepada andika untuk dibawa menghadap Paman Prabu di Panjalu dan terserah kepada beliau untuk memutuskannya. Juga sampaikan salam hormat dan terima kasihku kepada beliau yang telah menenteramkan daerah Jenggala yang dilanda pemberontakan."

Karena penolakan ini, Ki Patih Tejolaksono terpaksa membawa dua rombongan tawanan itu terus ke Panjalu. Kedatangan pasukan yang menang perang ini disambut meriah oleh rakyat Panjalu. Gamelan dibunyikan dimana-mana dan rakyat menyambut dengan sorak sorai di sepanjang jalan. Sang Prabu di Panjalu juga menyambut kedatangan Ki Patih Tejolaksono dan para senopati dengan gembira. Ketika mendengar pelaporan Ki Patih Tejolaksono tentang kemenangan di kedua kadipaten itu, dan betapa Sang Prabu di Jenggala menyerahkan pengadilan terhadap para tawanan kepada Sang Prabu di Panjalu, beliau mengangguk-angguk senang.

"Hei, Adipati Menak Sampar, benarkah andika sekarang telah menyadari kesalahan andika dan benar-benar telah takluk kepada Panjalu dan Jenggala?" tanya Sang Prabu Panjalu kepada adipati itu yang menghadap sambil menundukkan kepalanya.

Sang Adipati Menak Sampar yang sudah tidak berdaya itu lalu menyembah dan berkata lirih, "Hamba telah menyadari kesalahan hamba, dan hamba telah menyatakan takluk, terserah kepada kebijaksanaan paduka untuk menjatuhkan pidana terhadap hamba sekeluarga, Kanjeng Gusti."

"Dan bagaimana dengan andika, Adipati Martimpang dari Nusabarung?" tanya pula Sang Prabu kepada Adipati Martimpang.

"Hamba pun sudah menyadari kesalahan hamba, kalau diperkenankan hamba mohon pengampunan dan selanjutnya terserah kepada kebijaksanaan paduka, Kanjeng Gusti."

"Bagus, kalau andika berdua sudah mengakui kesalahan, kami pun dapat mempertimbangkan. Akan tetapi sebelum kami memperoleh keputusan dari musyawarah yang akan kami adakan dengan para nayaka praja, kalian menjadi tawanan terhormat dan akan diperlakukan dengan baik-baik. Kakang Patih Tejolaksono terserah bagaimana andika akan mengaturnya untuk menawan kedua keluarga bekas adipati ini. Pilihkan tempat pengasingan di daerah istana dan suruh awasi mereka."

"Sendiko dawuh, Kanjeng Gusti," kata Ki Patih Tejolaksono dan dia segera membawa pasukan pengawal untuk mengawal dua keluarga tawanan itu menuju kebagian belakang istana dan menahan mereka di dua bagian ruangan belakang, lalu memerintahkan para pengawal untuk menjaga mereka, akan tetapi juga agar mereka diperlakukan dengan hormat dan baik sesuai dengan kehendak Sang Prabu.

Setelah memberi pujian dan hadiah kepada semua orang yang berjasa, persidangan lalu dibubarkan. Ki Patih Tejolaksono lalu mengundang semua orang yang telah membantunya dalam peperangan itu untuk singgah di gedungnya. Ki Patih Tejolaksono dan dua orang isterinya mengadakan pesta makan bersama. Perjamuan itu selain untuk merayakan kemenangan, juga untuk menghormati mereka yang telah membantunya.

Semua berkumpul di situ. Jarot, Ki Haryosakti, Ki Bajramusti yang dijamu oleh Ki Patih Tejolaksono, Endang Patibroto, Ayu Candra, Retno Wilis, dan Bagus Seto serta para senopati Panjalu. Pada awal perjamuan itu, datanglah beberapa orang tamu yang segera diundang untuk duduk bersama ikut dalam perjamuan. Mereka itu adalah Saroji dan Sarmini, putera dan puteri Ki Haryosakti yang menyusul ayahnya ketika mendengar kemenangan di pihak Panjalu dan Jenggala yang dibantu ayah mereka.

Muncul pula Harjadenta, pemuda Gunung Raung yang pernah membantu Bagus Seto dan Retno Wilis, dan datang pula Adipati Kertajaya dari kadipaten Pasisiran yang datang menyusul puteranya Jarot dan untuk memberi selamat atas kemenangan Panjalu. Lalu yang terakhir muncul Jayawijaya seorang diri. Diapun mendengar akan kemenangan Panjalu dan datang untuk berkunjung dan memberi selamat.

Semua tamu ini dipersilakan masuk dan ikut dalam perjamuan karena mereka semua pernah membantu ketika Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto melakukan penyelidikan ke Nusabarung dan Blambangan.

Setelah perjamuan selesai, mereka bercakap-cakap di ruangan depan yang luas. Sekali ini, para senopati mengundurkan diri dan yang hadir hanyalah tamu-tamu kehormatan. Dalam kesempatan ini, Adipati Kertajaya dari kadipaten Pasisiran berkata sambil memandang kepada Ki Patih Tejolaksono yang duduk diapit kedua orang isterinya, sedangkan di sebelah kiri Endang Patibroto duduk Retno Wilis berjajar dengan Bagus Seto.

"Kakangmas Patih Tejolaksono, kedatangan saya di sini pertama-tama untuk menghaturkan selamat atas kemenangan pasukan Panjalu yang kakangmas pimpin."

"Hasil kemenangan kami juga karena dukungan putera andika, adimas Adipati Kertajaya," jawab Ki Patih Tejolaksono merendah.

"Adapun maksud kunjungan saya yang kedua kalinya, sebelum saya matur mohon terlebih dulu kakangmas Patih memberi maaf yang sebesar-besarnya kalau pembicaraan saya lancang dan menyinggung perasaan."

Ki Patih Tejolaksono tersenyum. "Adimas Adipati, mengapa bicara dengan sungkan-sungkan? Kita berada di antara golongan sendiri yang mengabdi kepada Panjalu dan Jenggala, tidak ada yang perlu disembunyikan. Kalau ada persoalan, kemukakanlah saja terus terang, kami berjanji tidak akan menyalahkan andika dan andaikata ada yang perlu dimaafkan, kami senantiasa bersedia untuk memaafkan."

"Begini maksud saya, kakangmas Patih. Mengenai anak saya yang bodoh, yaitu Jarot yang sekarang telah berusia dua puluh dua tahun dan belum memiliki calon pasangan hidup. Kami ditangisi anak kami Jarot yang kasmaran terhadap puteri kakangmas, anak mas ayu Retno Wilis. Oleh karena itu, saya memberanikan diri berlancang mulut untuk mengajukan pinangan terhadap puteri kakangmas Patih. Sekali lagi maafkan kelancangan saya."

Ki Patih Tejolaksono tersenyum dan memandang kepada Jarot dengan penuh perhatian. "Kami telah menyaksikan kemampuan dan kegagahan puteramu, adimas Adipati Kertajaya. Murid siapakah puteramu ini?'

"Jarot, engkau ditanya oleh Uwa Patih, jawablah." Kata Adipati Kertajaya kepada puteranya.

Jarot menyembah lalu menjawab dengan muka tunduk penuh hormat. "Hamba menerima petunjuk ilmu dari Bapa Bhagawan Dewondaru, pertapa di lereng Semeru, Uwa Patih."

"Jagad Dewa Bathara...!" Ki Tejolaksono mengucap kagum. "Jadi gurumu adalah Kakang Bhagawan Dewondaru yang sakti mandraguna itu? Pantas engkau memiliki kemampuan yang tinggi, anak mas Jarot." Kemudian dia menoleh lagi kepada Adipati Kertajaya dan berkata, "Adimas Adipati Kertajaya, puteramu berkenan dihatiku, akan tetapi karena urusan perjodohan bagi kami tergantung kepada anak yang hendak menjalani, maka kami harus berunding lebih dulu dengan segenap keluarga dan juga dengan anak kami Retno Wilis."

"Pendapat kakangmas Patih itu memang tepat sekali dan memang seharusnya demikian. Maka saya persilakan kakangmas untuk memperbincangkan urusan penting ini dengan keluarga kakangmas yang kebetulan sekarang berkumpul semua di sini."

Ki Patih Tejolaksono lalu menoleh kepada Endang Patibroto dan tersenyum lalu bertanya, "Bagaimana pendapatmu, diajeng Endang Patibroto? Anakmu si Retno Wilis agaknya sekarang sudah dewasa benar dan sudah dipinang orang! Engkau sudah mendengar sendiri pinangan yang diajukan oleh adimas Adipati Kertajaya, bagaimana pendapatmu, diajeng?"

Endang Patibroto memandang kepada suaminya dengan alis berkerut, lalu menoleh kepada Retno Wilis. la melihat betapa puterinya itu juga mengerutkan alis dan puterinya melirik ke arah Jayawijaya yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya. Ia tahu bahwa melihat gelagatnya suaminya condong untuk menerima pinangan Adipati Kertajaya, menjodohkan Retno Wilis dengan Jarot. Ia sendiri suka kepada pemuda yang gagah perkasa, tampan, dan baik budi itu, akan tetapi pilihan hatinya jatuh kepada Jayawijaya, pemuda yang tidak digdaya akan tetapi memiliki daya yang mujijat dan luar biasa.

"Bagaimana, diajeng?" desak Tejolaksono ketika melihat Endang Patibroto diam saja. Terpaksa Endang Patbroto menjawab.

"Terus terang saja, kakangmas. Aku sendiri sangat suka kepada anakmas Jarot. Dia seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa. Akan tetapi sebetulnya aku sudah mempunyai pilihan seorang pemuda lain untuk menjadi calon jodoh Retno Wilis."

"Ibu.....!" Retno Wilis berseru dengan nada memprotes.

"Begitukah, diajeng? Nah, katakan siapa pilihanmu yang kau calonkan menjadi jodoh anak kita itu."

"Orangnya berada di sini, dialah itu, anakmas Jayawijaya," kata Endang Patibroto sambil menunjuk ke arah Jayawijaya.

Bagus Seto tersenyum melihat ulah ibunya. Dan aneh sekali, Retno Wilis yang tadinya seperti hendak membantah, kini menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan dan diam seribu bahasa! Kini Tejolaksono yang mengerutkan alis sambil menatap ke arah pemuda yang menunduk itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.

"Akan tetapi, ketika terjadi perang, dia tidak membantu. Putera siapakah andika, anakmas Jayawijaya?"

"Ayah saya adalah Pertapa Panji Kelana yang bertapa di bukit Tengger, paman Patih," jawab Jayawijaya sederhana.

"Dan siapa gurumu yang mengajarkan ilmu kanuragan dan kadigdayaan kepadamu?"

"Tidak ada, paman Patih. Saya tidak pernah mempelajari ilmu kadigdayaan."

"Ahh, kalau begitu...."

Pada saat itu, seorang pengawal datang menghaturkan sembah dan melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang katanya merupakan ayah dari Jayawijaya dan mohon menghadap Sang Patih. Mendengar ini, Ki Patih Tejolaksono tertegun. Orang yang baru saja dibicarakan muncul! Kebetulan sekali, urusan dapat segera diselesaikan dengan orang tua yang bersangkutan.

"Persilakan dia masuk!" katanya kepada pengawal yang melapor, sedangkan Jayawijaya menoleh keluar dengan heran.

Tak lama kemudian pengawal mengantarkan seorang yang usianya sekitar limapuluh tahun, bertubuh tegap sedang dengan punggung lurus dan wajahnya masih tampak muda dan tampan. Mulutnya dihias senyuman yang ramah dan pandang matanya sedemikian lembutnya sehingga Tejolaksono cepat mempersilakan tamunya duduk di atas sebuah bangku yang disodorkan oleh pengawal. Pengawal itu atas isarat Ki Patih lalu meninggalkan ruangan itu.

"Selamat datang di kepatihan, Ki Sanak. Siapakah andika yang memberi kehormatan dengan kunjungan ini?" tanya Ki Tejolaksono dengan sikap hormat karena kepribadian orang itu sungguh mendatangkan rasa hormat dalam hatinya.

Orang itu tersenyum lebar dan memandang kepada Ki Tejolaksono dengan sinar mata kagum. "Sudah lama mendengar akan nama besar Ki Patih Tejolaksono sebagai seorang yang bijaksana, dan sekarang baru saya dapat melihat buktinya! Ki Patih, nama saya adalah Panji Kelana, seorang pertapa di bukit Tengger dan saya adalah ayah dari Jayawijaya yang sekarang hadir. di sini. Karena mendengar bahwa Ki Patih telah berhasil memadamkan pemberontakan di Nusabarung dan Blambangan, juga mencegah penyebar luasan agama sesat, maka saya sengaja datang menyusul anak saya untuk menyampaikan rasa kagum dan ucapan selamat kepada Ki Patih."

"Kebetulan sekali andika datang berkunjung, Sang Pertapa Panji Kelana. Justeru kami sedang memperbincangkan tentang putera andika, anak mas Jayawijaya. Benarkah puteramu mempunyai niat untuk mempersunting puteri kami, Si Retno Wilis?"

Panji Kelana menoleh kepada puteranya dan tersenyum. "Demikianlah dia pernah menyatakan kepada saya, Ki Patih, bahwa antara dia dan anak mas ayu Retno Wilis terjalin saling Kasih."

"Tidak mungkin! Benarkah itu, Retno Wilis?'' tanya Ki Patih Tejolaksono sambil menoleh dan memandang kepada puterinya. Retno Wilis balas memandang kepada ayahnya, kemudian dengan hati tabah ia mengangguk.

"Tidak mungkin ini terlaksana! Puteriku harus memperoleh jodoh seorang satria yang sakti mandraguna, bukan seorang pemuda lemah!" bentak Tejolaksono dengan suara nyaring.

"Kanjeng romo....!" seru Retno Wilis.

"Kakangmas....!" Endang Patibroto juga memprotes.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara lantang sekali yang datangnya dari luar gedung. "Ki Patih Tejolaksono! Endang Patibroto, Bagus Seto dan Retno Wilis! Keluarlah kalian, kami datang untuk membuat perhitungan!" Suara itu begitu lantang sampai menggetarkan seisi gedung ruangan gedung itu sehingga tentu saja membuat semua orang menjadi terkejut bukan main.

Seorang perwira pengawal berlari-larian dari luar dan menghaturkan sembah kepada Ki Patih Tejolaksono dan langsung melapor.

"Gusti Patih, di luar gedung terdapat dua orang kakek yang menantang-nantang. Belasan orang pengawal yang mencoba untuk mengusirnya, dengan lambaian tangan saja dirobohkan semua oleh dua orang kakek itu!"

"Keparat!" bentak Ki Patih Tejolaksono dan tanpa banyak cakap lagi diapun bangkit dan melangkah keluar, diikuti oleh Endang Patibroto, Bagus Seto, Retno Wilis, Ayu Candra, dan semua tamu yang hadir di situ, semua lalu keluar untuk melihat siapa orangnya yang berani menantang keluarga Ki Patih Tejolaksono yang sakti mandraguna itu.

Para tamu itu adalah Adipati Kertajaya dan Jarot, Ki Haryosakti dan putera puterinya Saroji dan Sarmini, Ki Bajramusti, Harjadenta, kemudian paling akhir Jayawijaya melangkah keluar bersama ayahnya, Ki Panji Kelana. Mereka berdua ini keluar tanpa tergesa-gesa seperti yang lain, bahkan dengan senyum tersungging di bibir seolah tidak ada terjadi sesuatu yang hebat dan menegangkan.

Setelah tiba di luar, Ki Patih Tejolaksono dan rombongannya melihat para pengawal masih berserakan dan mulailah mereka bangun dengan wajah ketakutan. Di sana berdiri dua orang kakek yang seorang adalah Wasi Shiwamurti yang berjubah kuning, jenggot dan kumisnya yang panjang sudah putih semua, tangannya memegang tongkat kepala naga, dan usianya yang sudah enam puluh lima tahun itu.

"Siapakah andika berdua?" bentak Ki Patih Tejolaksono yang memang belum pernah bertemu dengan Wasi Shiwamurti. "Dan apa sebabnya kalian datang menantang-nantang kami?"

Sang Wasi Shiwamurti memukul-mukulkan ujung tongkatnya ke atas tanah sehingga terdengar suara duk-dukduk dan tanah di sekitar tempat itu seperti tergetar.

"Ha-ha-ha, Ki Patih Tejolaksono. Andika memang belum mengenal aku, akan tetapi puteramu Bagus Seto sudah mengenalku. Aku adalah Wasi Shiwamurti dan ini adalah kakak seperguruanku yang berjuluk Wasi Shiwasakti dan yang sedang bertugas di Bali-dwipa. Kami berdua datang untuk membuat perhitungan dan kami menantang kalian untuk bertanding satu lawan satu untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita!"

Kakek ke dua yang disebut Wasi Shiwasakti itu hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia lebih tua dari Wasi Shiwamurti, sedikitnya enam.puluh delapan tahun, tangannya memegang sebatang tongkat bambu kuning yang sederhana, tubuhnya tinggi kurus dan tampaknya lemah, namun sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga!

"Hemm, andika berdua menantang mengadu kesaktian, dengan dasar dan maksud apa?" tanya pula Ki Patih Tejolaksono dengan lantang.

"Ha-ha-ha, Ki Patih Tejolaksono. Kami hanya hendak memperebutkan hak kami untuk menyebar luaskan agama kami. Kalau kami kalah bertanding dengan pihakmu, sudahlah kami tidak akan banyak cakap lagi dan akan kembali ke Cola dan tidak akan menyebar luaskan agama kami di daerah Nusa Jawa dan Bali Dwipa. Akan tetapi kalau pihakmu tidak mampu mengalahkan kami, kami berhak menyebar luaskan agama kami tanpa gangguan dari kalian. Bagaimana pendapatmu?" kata Wasi Shiwamurti dengan tidak kalah lantangnya.

Tiba-tiba Endang Patibroto melompat ke depan dan bertolak pinggang, telunjuk kirinya menuding ke arah dua orang pendeta dari Cola itu.

"Pendeta-pendeta cabul dan palsu! Bagaimana kami dapat membiarkan kalian menyebar agama yang cabul dan menyesatkan rakyat jelata kami. Hayo kalian cepat pergi dari sini sebelum kuhajar!"

"Ha-ha, Endang Patibroto! Sejak muda andika telah memusuhi kami yang datang dari negeri Cola. Andika bahkan memusuhi pula Paman Wasi Bagaspati. Sudah kami katakan. Kami akan mundur dan pergi kalau di antara kalian ada yang mampu mengalahkan kami dalam pertandingan satu lawan satu. Engkau sendiri lebih baik mundur saja, Endang Patibroto karena engkau tidak akan becus mengalahkan kami!"

Ucapan ini amat memanaskan hati Endang Patibroto. Seperti telah kita kenal, Endang Patibroto adalah seorang wanita gagah perkasa yang tidak pernah merasa gentar melawan siapa saja. Maka mendengar tantangan yang meremehkannya itu, wajahnya berubah merah dan kedua matanya bersinar kilat! Ia mengerahkan tenaga saktinya dan tiba-tiba ia membentak,

"Wasi palsu, sambutlah seranganku ini!" Dan ia lalu mengeluarkan pekik melengking panjang yang amat dahsyat. Itulah pekik Aji Sardulo Bairowo dan tubuhnya melayang ke atas lalu menerjang ke arah Wasi Shiwamurti dengan pukulan Gelap Musti yang hebat dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menghantam dengan jari-jari tangan yang diisi Aji Pethit Naga! Hebat bukan main serangan Endang Patibroto ini. Udara di sekitar situ seolah tergetar dengan dikeluarkannya kedua aji pukulan yang amat ampuh ini.

Akan tetapi, Sang Wasi Shiwamurti dengan tenangnya menggerakkan tongkat kepala naga itu ke atas untuk menangkis pukulan Aji Gelap Musti dan Aji Pethit Naga itu.

"Wuuuuttt..... bressss...!!" Dua tenaga raksasa bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Endang Patibroto terpental ke belakang.

Akan tetapi wanita perkasa ini tidak roboh, melainkan berjungkir balik menjaga keseimbangan tubuhnya dan ia dapat hinggap di atas tanah dengan kedua kakinya. Endang Patibroto menjadi marah dan kembali tubuhnya mencelat ke udara. Ia menggunakan Aji Bayutantra seperti menunggang angin melayang kembali ke arah lawan dan sekali ini ia menyerang dengan menggunakan pukulan Aji Wisangoolo dan mengandung hawa beracun. Serangan ini bahkan lebih ganas dari pada tadi.

"Pergilah!" Wasi Shiwamurti membentak dan kini dia menancapkan tongkat kepala naga di atas tanah, lalu menggunakan kedua tangan yang terbuka untuk menerima serangan Endang Patibroto dengan dorongan kuat.

"Wuuuuttt.....desss ....!" Kembali tubuh Endang Patibroto terpental lebih keras daripada tadi dan kembali Endang Patibroto harus menggunakan kelincahannya untuk membuat salto jungkir balik sampai tiga kali sebelum ia hinggap kembali ke atas tanah. Sekali ini wajahnya agak pucat karena hawa pukulannya tadi membalik dan membuat pernapasannya agak sesak.

"Keparat!" Ki Patih Tejolaksono tidak dapat menahan kemarahannya ketika melihat isterinya dikalahkan sedemikian mudahnya oleh Wasi Shiwamurti. Kekalahan isterinya di depan orang banyak itupun membuatnya merasa terhina. Dalam kemarahannya Ki Patih Tejolaksono sudah mengerahkan Aji Triwikromo! Tubuhnya yang menjadi besar seperti raksasa itu menerjang ke depan dan dengan suara menggereng yang mengandung getaran kuat dia menyerang dengan pukulan Aji Bajra Dahono yang mengandung hawa panas membakar!

Itulah serangan yang amat dahsyat dan jarang ada orang yang akan mampu menahan serangan itu. Akan tetapi kembali Wasi Shiwamurti menyambut serangan dahsyat ini dengan dorongan kedua tangannya. Angin menyambar dahsyat dari kedua telapak tangannya itu, mengandung hawa dingin sekali.

"Wuuuutttt.... desssss....!" Tubuh Wasi Shiwamurti melangkah mundur tiga tindak, akan tetapi tubuh Ki Patih Tejolaksono terhuyung ke belakang sampai lima langkah dan mungkin dia akan terjengkang kalau saja tiba-tiba Retno Wilis tidak menahan punggung ayahnya itu dari belakang.

Ki Patih Tejolaksono tidak roboh, akan tetapi wajahnya juga pucat, tanda bahwa ia masih kalah kuat dibandingkan Wasi Shiwamurti.

"Wasi Shiwamurti jahanam, terimalah kematianmu!" Retno Wilis sudah mencabut pedang Sapudenta dan sekali melompat tubuhnya sudah melayang ke atas lalu menukik ke arah di mana Wasi Shiwamurti berdiri.

Menghadapi serangan pedang ini, Wasi Shiwamurti mencabut tongkat yang tadi dia tancapkan di atas tanah dan diapun memutar tongkat kepala naga itu untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.

"Trangggg....!" Tampak bunga api berpijar-pijar dan tubuh Retno Wilis terpental ke belakang. Akan tetapi begitu kakinya menginjak tanah, gadis perkasa ini sudah mencelat lagi ke atas dan kembali ia menyerang dengan pedangnya, sekali ini lebih hebat karena ia telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghantamkan pedangnya ke arah kepala kakek itu.

"Retno Wilis, pergilah engkau!" Wasi Shiwamurti membentak dan tongkat kepala naga itu menangkis lagi dengan gerakan memutar.

"Cringggg...!" Beradunya kedua senjata sekali ini lebih dahsyat lagi dan akibatnya tubuh Retno Wilis terpental semakin jauh. la berjungkir balik sampai jauh dan ketika hinggap di atas tanah ia hendak menerjang lagi dengan nekat.

Akan tetapi sebuah tangan memegang lengannya. Ia menoleh dan melihat Bagus Seto yang memegang lengannya.

"Diajeng Retno Wilis, dia terlampau sakti untukmu. Biarkan aku yang maju menghadapinya." kata Bagus Seto dengan sikap tenang.

Retno Wilis mengangguk. Memang dari semula dara ini sudah maklum bahwa Satu-satunya orang yang akan mampu menandingi Wasi Shiwamurti hanyalah kakaknya ini. Dengan langkah tenang Bagus Seto maju menghampiri Wasi Shiwamurti. Dia memandang tajam wajah sang wasi dan berkata dengan sikap berwibawa namun lembut.

"Paman Wasi Shiwamurti, mengapa andika masih saja hendak membuat kekacauan? Apakah andika pikir bahwa perbuatan andika ini layak dan patut dilakukan seorang wasi seperti andika? Harap andika menyadari kesalahan dan pergi meninggalkan Nusa Jawa, kembali ke tempat asalmu dan menyudahi permusuhan yang tidak ada artinya ini."

Sepasang alis yang putih itu berkerut dan sepasang mata Wasi Shiwamurti mengeluarkan sinar berapi-api. Dia pernah dikalahkan pemuda ini dan di dasar hatinya dia masih belum mau menerima kekalahan itu. Walaupun kini dia memiliki orang andalan, yaitu kakak seperguruannya, namun dia masih penasaran dan ingin mencoba lagi mengadu kesaktian melawan pemuda berpakaian serba putih ini.

"Bagus Seto, hari ini aku datang untuk membalas kekalahanku terdahulu! Sambutlah tongkat kepala nagaku!" Berkata demikian, Wasi Shiwamurti lalu menyerang dengan tongkatnya. Terdengar suara bersiutan ketika tongkat itu menyambar ganas. Bagus Seto mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan kembali terulang pertandingan seperti yang terjadi di bukit daerah Blambangan itu. Tongkat itu berubah menjadi sinar melayang-layang seperti seekor naga terbang, namun tubuh Bagus Seto seperti berubah menjadi bayang-bayang atau awan di mana naga itu bermain-main dan tidak pernah naga itu mampu menjamahnya. Bagus Seto sudah melolos kain pengikat kepalanya dan kini kain putih itu menyambar-nyambar bagaikan kilat yang keluar dari awan mendung.

"Tar-tar-tarrr....!" Kain pengikat kepala itu meledak-ledak dan Wasi Shiwamurti terhuyung-huyung ke belakang. Dia melompat jauh ke belakang dan tiba-tiba melontarkan tongkat kepala naga itu ke arah tubuh Bagus Seto yang masih melayang di atas. Bagus Seto menangkis dengan kain ikat kepalanya.

"Darrr....!" Tongkat itu membalik seperti anak panah menuju ke arah dada Wasi Shiwamurti sendiri.

Sang wasi terkejut, cepat menangkap tongkatnya, akan tetapi dia terbawa terpelanting saking kuatnya luncuran tongkat itu. Bagus Seto sudah turun lagi ke atas tanah, berdiri dengan tenang dan waspada memandang lawannya.

"Adi Wasi Shiwamurti, mundurlah. Bocah ini harus aku yang menandinginya!" terdengar suara yang kecil tinggi seperti suara wanita dan Sang Wasi Shiwasakti sudah melangkah maju membawa tongkat bambu kuningnya. Telunjuk tangan kirinya menuding ke arah muka Bagus Seto dan diapun berkata.

"Orang muda, semuda ini andika telah memiliki kesaktian yang memadai. Katakanlah siapa yang menjadi gurumu?"

"Paman Wasi Shiwasakti, guruku bernama Ki Tunggaljiwo dan Bhagawan Ekadenta," jawab Bagus Seto dengan sejujurnya.

Kakek itu tampak terkejut. "Wah, dia adalah adik seperguruan dari Ki Satyadarma? Pantas! Pantas andika memiliki ilmu yang tinggi dan sakti mandraguna. Akan tetapi sekali ini andika berhadapan dengan Wasi Shiwasakti! Maka, demi kebaikanmu sendiri, mundurlah dan jangan berani menandingi aku, Bagus Seto!"

"Paman Wasi Shiwasakti, bukan aku yang mencari permusuhan. Melainkan andika yang datang mencari keributan. Demi membela keluarga ayah bundaku, terpaksa aku memberanikan diri untuk menandingi andika!"

"Babo-babo, Bagus Seto. Kalau begitu, waspada dan bersiaplah untuk menerima Aji Suryo Dahono dariku!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba kakek itu menancapkan tongkat bambu kuningnya di atas tanah di sebelah kirinya, kemudian dia mengembangkan kedua tangannya dari kanan kiri, menyembah ke atas lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Bagus Seto.

Terdengar suara gemuruh dan tampak api keluar dari kedua telapak tangan itu, berkobar-kobar dan semakin membesar menerjang ke arah Bagus Seto. Dan di dalam kobaran api itu seperti tampak bentuk-bentuk yang mengerikan dari binatang-binatang aneh menyeramkan dan muka-muka raksasa berambut api! Dahsyat sekali serangan ini sehingga Retno Wilis, Endang Patibroto dan Tejolaksono memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang. Melihat serangan yang luar biasa ini, Bagus Seto tidak berani berlaku lengah. Cepat dia mengeluarkan setangkai bunga cempaka dari rambut kepalanya dan menimpuk ke arah api berkobar-kobar itu dengan bunga cempaka putih.

"Syuuuuttt.... wirrrr...!" Api yang berkobar dan bergulung-gulung itu tertahan, tidak dapat maju dan bunga cempaka putih terpental kembali ke tangan Bagus Seto.

"Aji Surya Candra!" terdengar kakek itu berseru lagi dengan suara yang mengandung getaran penuh wibawa. Dia mendorongkan kedua tangannya dan kobaran api itu maju lagi, kini tampak dua cahaya yang menyilaukan mata, merah dan kuning mendorong kobaran api itu, seperti cahaya matahari dan cahaya bulan, dua inti tenaga yang dikerahkan oleh Wasi Shiwamukti!

Bagus Seto yang maklum akan kehebatan lawan, juga merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya, kemudian diapun mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan itu, menggunakan Aji Mego Gemulung sehingga dari kedua telapak tangannya tampak awan bergulung-gulung menyambut kobaran api itu.

"Wuuuuttt.... bressss.....!" Tubuh Bagus Seto terpental ke belakang. Dia tidak roboh, melainkan jatuh berdiri di dekat Ki Tejolaksono. Wajahnya agak pucat dan napasnya agak terengah.

"Bagaimana kulup?" tanya Ki Tejolaksono kepada puteranya.

Bagus Seto menghela napas dan menggelengkan kepalanya. "Kanjeng Romo, dia terlalu tangguh untuk dapat saya tundukkan."

Ki Tejolaksono menjadi bingung. Kalau Bagus Seto saja kalah, lalu siapa lagi yang dapat diajukan sebagai jago untuk menanggulangi Wasi Shiwasakti itu? Wasi Shiwasakti tertawa, suara tawanya juga seperti suara tawa wanita.

"Hi-hi-hik, begitu saja kesaktianmu, Bagus Seto! Hayo, orang Panjalu, siapa lagi yang dapat menandingi aku Wasi Shiwasakti? Majulah!"

Ditantang begitu, Ki Patih Tejolaksono menjadi semakin gugup dan dia teringat sesuatu. "Siapa yang mampu mengalahkan dia, pinangannya terhadap puteriku akan kupertimbangkan!"

Mendengar ini, Harjadenta yang sejak tadi hanya menonton dan mendengarkan, hendak mencari jasa dan dia sudah mencabut keris pusakanya, yaitu Ki Mengeng dan dia berseru, Paman Patih, perkenankan saya menandinginya!" Tanpa menanti jawaban, pemuda itu meloncat ke depan dengan keris di tangan.

Ki Tejolaksono tidak mencegah, namun dari sikap dan tindakan pemuda ini diapun tahu bahwa Harjadenta ternyata juga mencinta puterinya, Retno Wilis. Hal ini tentu saja sudah diketahui oleh Retno Wilis karena pemuda itu pernah menyatakan cinta kepadanya walaupun tidak ia tanggapi. Kini dara itu memandang dengan penuh kekhawatiran, la tahu sampai di mana tingkat kepandaian pemuda itu. Kalau ia sendiri dan kakaknya tidak mampu menandingi Wasi Shiwasakti, apa pula pemuda dari Gunung Raung itu.

"Wasi jahat, akulah lawanmu!" Harjadenta membentak dan melompat ke depan kakek itu. Melihat gerakan ini, Wasi Shiwasakti terkekeh.

"Hi-hi-hik, bocah kemarin sore berani maju? Apakah hendak mengantar nyawa?"

"Terimalah pusakaku Ki Mengeng!" Harjadenta lalu menerjang dan menusukkan keris Ki Mengeng ke arah dada kakek itu. Akan tetapi Wasi Shiwasakti tidak mengelak atau menangkis sama sekali. Dia menerima tusukan keris itu dengan dadanya.

"Tukkk!" Keris itu seperti mengenai dinding baja, bahkan tangan Harjadenta yang terpental dan terguncang hebat.

Wasi Shiwasakti mengebutkan lengan baju tangan kirinya dan ujung lengan baju itu menyambar ke arah dada Harjadenta.

"Wirrr.... bukkk!" Tubuh pemuda itu terlempar sampai lima meter jauhnya dan jatuh terbanting keras ke atas tanah.

Masih untung baginya bahwa Wasi Shiwasakti tidak ingin membunuh, maka dia hanya terkejut saja, tidak mengalami luka parah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani maju lagi. Kini Jarot melompat ke depan. Melihat Harjadenta berani maju melawan kakek itu, Jarot yang tadi mendengar ucapan Ki Patih Tejolaksono, lalu menjadi nekat. Dia harus memperlihatkan dirinya sebagai seorang satria sejati yang tidak takut menghadapi lawan tangguh, tidak takut mati. Karena dengan demikian barulah pantas dia menjadi pasangan Retno Wilis, dara perkasa itu. Dengan gerakan ringan sekali dia melompat ke depan Wasi Shiwasakti.

"Wasi Shiwasakti, akulah lawanmu!" katanya dengan sikap gagah.

Wasi Shiwasakti melihat betapa gerakan pemuda ini berbeda dengan gerakan Harjadenta. Dia memandang penuh perhatian, lalu bertanya, "Orang muda, siapakah andika dan murid siapakah andika?"

"Namaku Jarot dan aku adalah murid Bapa Bhagawan Dewondaru dari Gunung Semeru."

"Hemm, bagus! Pernah aku mendengar tentang Bhagawan Dewondaru yang kabarnya memiliki kesaktian yang cukup tinggi. Nah, majulah, Jarot dan perlihatkan kemampuanmu kepadaku!"

Jarot mencabut senjata kerisnya yang bernama Nogo Ireng. Sinar kehitaman tampak ketika keris itu dicabut. "Jaga serangank'u, Wasi Shiwasakti!" kata Jarot yang mulai menyerang dengan kerisnya. Serangannya cukup kuat dan cepat dan agaknya sekali ini Wasi Shiwasakti ingin menguji kepandaian silat pemuda itu. Diapun mengelak dan tongkat bambu kuning ditangannya membalas, menyambar dari samping dengan tusukan ke arah lambung Jarot. Akan tetapi pemuda ini dengan gesitnya dapat pula mengelak lalu menubruk maju lagi dengan kerisnya, menusuk kearah perut lawan. Gerakannya licin bagaikan belut dan Wasi Shiwasakti terkekeh.

"Hi-hi-hik, andika boleh juga, Jarot!" katanya sambil memutar tongkat bambu kuningnya untuk menghalau keris Jarot yang menyerang secara bertubi-tubi.

"Trang-trang-cring....!"

Jarot terkejut bukan main. Tigakali beradu senjata itu membuat tangan kanannya seperti lumpuh karena tergetar hebat sekali, dan sebelum dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, tiba-tiba kaki Sang Wasi Shiwasakti mencuat dan tak dapat dihindarkannya lagi tubuhnya terkena tendangan.

"Bukkk....!" Tubuh Jarot terlempar jauh dan terbanting ke atas tanah. Akan tetapi seperti juga halnya Harjadenta, dia tidak menderita luka parah karena agaknya Wasi Shiwasakti memang sengaja tidak mau membunuhnya.

Melihat betapa semua orang telah kalah oleh Wasi Shiwasakti, Ki Patih Tejolaksono mulai merasa gelisah. Siapa lagi yang akan mampu menandingi wasi yang sakti mandraguna itu? Sebetulnya sejak tadi, setelah melihat kekalahan Bagus Seto, dia sudah putus asa.

"Adimas Jayawijaya, hanya andikalah tumpuan harapan kami. Harap andika suka maju menghadapi Wasi Shiwasakti!" tiba-tiba Bagus Seto mendekati Jayawijaya dan berkata dengan suara lembut.

Jayawijaya memandang kepadanya dan sejenak dua pasang mata bertemu pandang, dua pasang mata yang penuh pengertian dan Jayawijaya tersenyum mengangguk.

"Mohon doa restu, kakangmas Bagus Seto," bisiknya.

"Majulah dan jangan ragu, adimas." Jayawijaya lalu menghampiri ayahnya dan menyembah, "Kanjeng Romo, hamba mohon doa restu untuk menghadapi Wasi Shiwasakti."

Ayahnya tersenyum, mengangguk. "Sang Hyang Widhi melindungimu, kulup," katanya.

Jayawijaya menghampiri Ki Patih Tejolaksono dan berkata lirih, "Kanjeng Paman, hamba mohon doa restu untuk menghadapi Wasi Shiwasakti."

Ki Tejolaksono terbelalak heran, tak dapat berkata-kata saking herannya dan hanya mampu mengangguk. Setelah itu, Jayawijaya menghampiri Endang Patibroto dan berkata hormat.

"Kanjeng Bibi Endang Patibroto, hamba mohon doa restu."

Endang Patibroto yang sudah mendengar ucapan Jayawijaya kepada suaminya tadi, tersenyum mengangguk. "Berhati-hatilah, anakmas Jayawijaya."

Paling akhir Jayawijaya menghampiri Retno Wilis dan berkata, "Diajeng, aku mohon doa restumu."

"Kakang Jaya, jaga dirimu baik-baik," kata Retno Wilis sambil mencoba untuk menahan kegelisahannya. Kekasihnya hendak menandingi Wasi Shiwasakti yang sakti madraguna itu. Pada hal ia sendiri dan kakaknya sudah kalah! Kekasihnya sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan. Biarpun ia juga tahu bahwa kekasihnya itu mempunyai sesuatu yang luar biasa, namun tetap saja ia merasa khawatir sekali.

Kini Jayawijaya melangkah maju dengan tenang, langkahnya perlahan-lahan, menghampiri Wasi Shiwasakti yang masih menanti tanding. Melihat seorang pemuda yang berwajah terang dan bersikap lemah-lembut menghampirinya, dia merasa heran. Akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata pemuda itu, dia terkejut bukan main. Dia merasa seolah olah sinar matanya yang tajam amblas dan tenggelam ke dalam samudera ketenangan yang terkandung dalam sepasang mata pemuda itu.

"Hati-hati, kakang Wasi. Pemuda ini memiliki kelebihan," dia mendengar Wasi Shiwamurti berbisik di belakangnya.

Akan tetapi Wasi Shiwasakti adalah seorang sakti mandraguna yang jiwanya tersesat. Karena dia memiliki kedigdayaan yang linuwih, maka timbul kesombongan dalam hatinya. Dia merasa bahwa di dunia ini tidak ada seorangpun yang akan mampu menandingi kesaktiannya. Apa lagi hanya seorang pemuda seperti ini! Maka dia tertawa cekikikan ketika melihat Jayawijaya menghadapinya.

"Hi-hi-hi-hik, bocah yang masih berbau kencur! Mau apa engkau datang menghadapi aku?"

Jayawijaya bersikap sabar dan dia mengangkat mukanya, memandang kepada wajah kakek itu dengan tenang. Lalu katanya, dengan suara yang lemah lembut pula.

"Paman Wasi Shiwasakti, masihkah andika belum juga mau menyadari kesalahan andika sendiri? Ingat, Paman Wasi, kejahatan kalau dilanjut-lanjutkan akhirnya akan menjerat leher sendiri. Permusuhan dan kebencian kalau dibiarkan akan menjadi racun bagi bathin sendiri. Hentikanlah semua ini, Paman Wasi, dan kembalilah ke tempat asalmu, hidup dengan aman tenteram penuh damai. Bukankah hal itu akan menjadi baik sekali?"

"Hi-hi-hi-hik! Bocah masih berbau pupuk berani berkhotbah di depanku! Aku melihat engkau seorang pemuda yang masih bersih, hanya itu kelebihanmu. Dengan apa engkau hendak melawanku? Lebih baik engkau mundur, aku tidak tega untuk mencelakai orang seperti engkau."

"Nah, hati nuranimu sudah bicara, Paman Wasi. Turutilah suara hati nuranimu itu, larutkan kebencian dan permusuhan ini. Yang kalah atau menang akan sama saja, tidak ada artinya memperebutkan kemenangan karena akhirnya akan kalah juga pada saatnya. Biarkan Kekuasaan Hyang Widhi yang akan mengatur segalanya. Andika tidak perlu mencampuri pekerjaan Hyang Widhi."

"Heh, bocah lancang! Bagaimana mungkin aku tidak mencampuri pekerjaan Hyang Widhi? Penyebar luasan agama kalau tidak kubantu, bagaimana Hyang Widhi dapat bekerja sendiri?" kata Wasi Shiwasakti yang tadinya tertunduk akan tetapi lalu membantah.

"Memang menjadi tugas kita setiap orang manusia untuk membantu pekerjaan Sang Hyang Widhi. Akan tetapi membantu bukan berarti mencampuri, karena mencampuri itu bersifat menentang, sedangkan membantu bersifat mendukung! Yang andika lakukan adalah menentang kehendak Sang Hyang Widhi, Paman Wasi. Andika mengajarkan agama yang sesat, yang membawa manusia menjadi hamba nafsu yang akan menyeret mereka ke lembah duka. Karena itu insaflah, Paman Wasi, dan hendaknya andika suka mundur dan tidak melanjutkan pekerjaan yang tidak benar itu, sebelum terlambat."

"Sebelum terlambat? Bocah sombong, apa yang akan dapat kau lakukan terhadap diriku kalau aku tidak mau mundur?"

"Aku tidak dapat berbuat apa-apa, Paman Wasi Shiwasakti, akan tetapi aku yakin bahwa Kekuasaan Sang Hyang Widhi yang akan bekerja untuk menghentikan tindakan yang menyimpang dari kebenaran."

"Babo-babo, Jayawijaya! Ucapanmu semakin lancang dan engkau menantang aku! Apa engkau kira akan mampu untuk melindungi dirimu sendiri terhadap serangan aji kesaktianku?"

"Aku tidak mampu melindungi diriku sendiri, akan tetapi aku bersandar kepada Kekuasaan Sang Hyang Widhi, Paman Wasi."

"Engkau tidak takut mati?"

"Mati atau hidup berada di tangan Sang Hyang Widhi. Kalau Sang Hyang Widhi tidak menghendaki aku mati, bahkan engkau sekalipun tidak akan mampu membunuhku, Sang Wasi! Kalau Sang Hyang Widhi menghendaki kematianku di tanganmu, akupun akan menerimanya dengan ikhlas dan penuh penyerahan, tidak akan menyesal seujung rambut sekalipun!"

"Hati-hati, kakang Wasi. Bocah ini mengerikan," bisik Wasi Shiwamurti di belakang kakak seperguruannya.

"Biar aku membinasakannya, Adi Wasi!" Wasi Shiwasakti berseru dan dia menancapkan tongkat bambu kuningnya di atas tanah, kemudian kedua tangannya berkembang, membentuk sembah lalu dibuka lagi, mulutnya mengeluarkan pekik menggetarkan. "Aji Suryo Dahono...!"

Seperti tadi ketika menyerang Bagus Seto, tampak api keluar dari sepasang telapak tangan itu, api yang makin lama semakin berkobar, di sebelah dalam kobaran itu terdapat bentuk-bentuk yang menggiriskan, seperti binatang-binatang buas dan kepala-kepala setan, semua hendak menyergap berikut kobaran api ke arah Jayawijaya! Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak tampak gentar. Dengan tabah dia malah maju menghampiri dan menyambut kobaran api itu, kedua lengannya bersedekap, matanya dipejamkan dan dari mulutnya terdengar ucapan yang jelas dan lembut.

"Hong, nir boyo sedyo rahayu! Hong, nir ing sambekala sedyo rahayu!" Kobaran api itu kini menelan tubuh Jayawijaya.

Semua orang yang menyaksikan menjadi tegang dan khawatir sekali, terutama Retno Wilis yang khawatir kalau kekasihnya akan terbakar hangus dan menemui kematiannya. Ki Patih Tejolaksono juga memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Belum pernah dia melihat peristiwa seperti itu! Dia tahu benar betapa saktinya aji yang dikeluarkan Wasi Shiwasakti itu, akan tetapi pemuda yang tampak lemah lembut dan tidak memiliki kedigdayaan itu berani memasuki kobaran api yang bernyala-nyala dan di dalamnya terkandung sosok-sosok binatang buas dan kepala-kepala setan itu!

Dan terjadilah keanehan yang membuat semua orang terbelalak kagum dan terpesona. Bentuk-bentuk mengerikan dalam kobaran api itu begitu bertemu dengan Jayawijaya, tampak ketakutan seperti sekawanan anjing dibawakan cambuk! Mereka mundur-mundur dan kobaran api itu dengan sendirinya juga mundur ke belakang dan semakin menyempit dan mengecil.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Aji Surya Candra...!" Wasi Shiwasakti mengeluarkan pekik mengerikan lagi dan kini kedua telapak tangannya mendorong sehingga api mulai berkobar lagi ditambah dua cahaya mengkilat yang menyilaukan mata. Kobaran api itu menyambar ke arah Jayawijaya yang masih bersedakap dan kini pemuda itu terhuyung ke belakang. Demikian kuatnya Aji Surya Candra itu sehingga seolah-olah Jayawijaya tidak akan kuat bertahan!

Retno Wilis menahan napas, matanya terbelalak memandang kekasihnya yang terancam bahaya, tangan kirinya menutup mulutnya seolah hendak menahan agar ia tidak menjerit. Semua orang juga merasa gelisah sekali, kecuali Bagus Seto dan Ki Panji Kelana yang masih menonton dengan sikap tenang sekali. Bagus Seto bersikap tenang karena dia maklum bahwa dia bertemu dengan seorang yang telah dilindungi oleh Kekuasaan Sang Hyang Widhi.

Kekuatan atau kekuasaan apakah di dunia ini yang akan mampu menandingi Kekuasaan Sang Hyang Widhi yang sudah melindungi seseorang? Karena pengertian inilah maka dia bersikap tenang saja, yakin bahwa tidak ada sesuatu yang akan mampu mencelakai Jayawijaya. Adapun Ki Panji Kelana bersikap tenang karena dia adalah seorang yang sudah sepenuh nya menyerah kepada Kehendak Sang Hyang Widhi, seperti yang diajarkannya kepada puteranya sejak Jayawijaya kecil.

Kepasrahan dan penyerahan ini yang membuat dia tenang dan tidak pernah gelisah karena apapun yang akan terjadi menimpa diri Jayawijaya sudah diikhlaskan karena semua itu sudah dikehendaki Sang Hyang Widhi. Kalau Sang Hyang Widhi menghendaki kematian Jayawijaya atau dirinya sendiri, setiap saat dia ikhlas dan dia akan merelakan tanpa rasa penyesalan sedikitpun. Dengan penyerahan yang mutlak lahir bathin ini, bagaimana hati Ki Panji Kelana dapat menjadi khawatir?

Tubuh Jayawijaya bergoyang-goyang ke belakang dan ke depan, seperti di dorong-dorong oleh kekuatan gaib yang amat besar. Seolah-olah setiap saat dia akan roboh terjengkang. Akan tetapi tiba-tiba terjadi perubahan. Kedua lengannya yang tadinya bersedakap, bergerak lepas, kemudian kedua tangan itu dirangkap dan dia melakukan gerakan menyembah ke atas. Gerakan yang wajar dan sama sekali tidak dibuat-buat karena gerakan ini memang terjadi dengan sendirinya, gerakan yang bukan digerakkan oleh hati akal pikiran, melainkan gerakan langsung dari jiwanya.

Kemudian, kedua tangan yang menyembah itu meluncur lurus ke depan, kedua telapak tangan menghadap ke depan seperti orang mendorong. Gerakan inipun wajar dan lembut, sama sekali tidak mengandung tenaga, hanya kedua tangan itu tergetar dan.... kobaran api itu tertiup mundur, sosok-sosok dan bentuk-bentuk mengerikan terjengkang ke dalam kobaran api dan kobaran api itu terus mundur sampai mengenai tubuh Wasi Shiwasakti sendiri.

Terdengar jerit mengerikan keluar dari mulut Wasi Shiwasakti! "Auuugrgghh...! Taubat.... taubat.... hamba menyerah....!" Dan tubuhnya bergulingan di atas tanah.

Wasi Shiwamurti cepat membantu kakak seperguruannya bangkit berdiri lagi. Kobaran api telah lenyap dan kini tampak betapa semua rambut, kumis dan jenggot Wasi Shiwasakti terbakar habis dan mukanya masih terbungkus hangus sehingga kelihatan lucu dan juga mengerikan. Wasi Shiwamurti memondong tubuh yang lunglai itu, yang kini hanya dapat mendesis-desis seperti kepanasan, dan Wasi Shiwamurti menyeret tongkat kepala naganya, lalu pergi dari tempat itu sambil memondong tubuh kakak seperguruannya yang sudah tidak berdaya sama sekali.

Semua orang yang menonton pertunjukan luar biasa hebatnya itu bersorak sorai atas kemenangan Jayawijaya. Pemuda itu bersikap biasa saja dan ketika Ki Tejolaksono menghampirinya dan memegang kedua pundaknya sambil memuji, dia berkata lirih.

"Sang Hyang Widhi yang menalukkannya, bukan saya...."

Semua orang mendekat dan merubung Jayawijaya dan saking girang hatinya, Ki Tejolaksono memandang Adipati Kertajaya sambil berkata, "Maafkan kami, adimas Adipati, terpaksa sekali kami tidak dapat menerima pinangan andika kepada puteri kami untuk puteramu itu, karena Retno Wilis telah memiliki seorang calon jodohnya, yaitu anak mas Jayawijaya."

Adipati Kertajaya menghela napas dan menoleh kepada Jarot yang mengangguk sambil tersenyum, rela menerima kekalahan itu.

"Kami mengerti, Kakangmas Patih. Kami menjadi saksi bahwa yang mampu menandingi Wasi Shiwasakti tadi adalah anakmas Jayawijaya, maka sudah sepantasnya kalau dia yang berhak mempersunting puterimu."

Ki Patih Tejolaksono lalu menghadapi Ki Panji Kelana dan berkata dengan sikap ramah. "Marilah, adimas Panji Kelana, kita semua bicara di dalam karena pinanganmu kepada Retno Wilis untuk putera andika Jayawijaya kami terima dengan senang hati."

Semua orang dipersilakan masuk dan kembali mereka disuguhi perjamuan kecil untuk merayakan kemenangan atas kedua orang wasi dari Cola itu. Suasana meriah dan biarpun Jarot ditolak pinangannya namun dia tidak menjadi kecil hati. Dia maklum benar bahwa memang Jayawijaya lebih berhak, bukan saja pemuda itu telah menandingi dan mengusir Wasi Shiwasakti, akan tetapi lebih-lebih lagi karena dia merupakan pilihan hati Retno Wilis. Juga Harjadenta tidak merasa penasaran walaupun cintanya bertepuk tangan sebelah. Retno Wilis memang terlalu tinggi baginya untuk dijangkau. Jarot segera mengalihkan perhatiannya, yaitu kepada puteri Adipati Blambangan yang bernama Dyah Ayu Kerti.

Jarot membisikkan kehendak hatinya kepada ayahnya dan orang tua itu tidak merasa ragu untuk mengajukan pinangan kepada keluarga yang menjadi tawanan terhormat itu. Ayah Jarot adalah seorang adipati pula, dan dia sendiri sedang menjadi tawanan, maka melihat uluran tangan yang meminang puterinya itu, Adipati Menak Sampar dari Blambangan tidak melihat jalan lain yang lebih terhormat kecuali menerimanya. Apa lagi dia melihat bahwa Jarot adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, dan kelak menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Adipati di Pasisiran. Juga Dyah Ayu Kerti tidak menolak ketika ditanya ayahnya karena puteri inipun sudah melihat kegagahan dan ketampanan Jarot.

Saroji, putera Ki Haryosakti pemimpin perkumpulan Jambuko Cemeng, memiliki, pilihan lain. Dia segera tertarik sekali kepada Dyah Candramanik, puteri Adipati Martimpang dari Nusabarung. Maka dia memberanikan diri dengan perantaraan ayahnya dan didukung oleh keluarga Ki Patih Tejolaksono yang telah hutang budi atas bantuan Jambuko Cemeng, dia meminang Dyah Candramanik. Adipati Martimpang juga menerima pinangan ini dengan senang hati mengingat bahwa ayah pemuda itu, Ki Haryosakti merupakan ketua dari perkumpulan Jambuko Cemeng yang cukup terkenal kesaktiannya.

Harjadenta tidak mau kalah. Dia telah melihat Sarmini, puteri Ki Haryosakti yang cantik manis dan lembut, maka dengan-bantuan Bagus Seto dan Retno Wilis, dia minta pertolongan kepada Ki Patih Tejolaksono untuk sudi menjadi walinya karena dia sudah yatim piatu dan gurunya berada jauh. di Gunung Raung, untuk meminangkan puteri Ki Haryosakti itu. Pinangan inipun diterima dengan senang hati.

Maka lengkaplah sudah orang-orang muda itu mendapatkan jodoh masing-masing, Hanya Bagus Seto seorang yang belum mendapatkan jodoh. Ayu Chandra, ibunya menoleh kepada puteranya dan memberi isyarat kepadanya untuk mengikutinya masuk ke dalam gedung. Setelah berada berdua saja, ibu ini bertanya dengan suara terharu.

"Dan engkau sendiri bagaimana, angger? Kapan engkau akan menentukan pilihan hatimu dan menikah? Ibumu sudah rindu menimang cucu darimu."

Bagus Seto tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Belum tiba saatnya, ibu. Saya masih suka menyendiri, mengarungi Bumi Nusantara yang luas ini."

Pada saat itu, Ki Patih Tejolaksono memasuki ruangan tengah itu. Ketika melihat isterinya menggapai Bagus Seto masuk ke dalam, hati Ki Patih ini sudah dapat menduga maka diapun menyusul ke dalam.

"Bagus Seto, bagaimana dengan engkau? Siapa yang akan menjadi jodohmu?"

"Baru saja kami membicarakannya kakangmas." kata Ayu Candra dengan suara kecewa. "Akan tetapi dia masih belum menentukan pilihannya, masih suka menyendiri dan ingin berkelana mengarungi Bumi Nusantara."

"Hemm, bagaimanakah engkau ini, kulup? Usiamu sudah tiga puluh tahun. Akan menanti kapan lagi? Tunjukan puteri mana yang kau.kehendaki dan aku tentu akan meminangkan untukmu," kata Ki Patih Tejolaksono.

"Terima kasih, kanjeng romo. Akan tetapi jodoh berada di Tangan Sang Hyang Widhi. Kalau belum jodohnya tentu tidak akan bertemu. Pula, hati saya belum tertarik untuk urusan perjodohan, kanjeng romo. Harap kanjeng romo dan kanjeng ibu tidak menjadi kecewa dan suka memaafkan puteranda."

"Akan tetapi, kulup Bagus Seto. Adikmu Retno Wilis sudah memperoleh jodoh, kenapa engkau malah belum? Apakah adikmu harus menikah lebih dulu?" tanya Ki Patih Tejolaksono.

Bagus Seto tersenyum. "Saya merasa berbahagia sekali bahwa diajeng Retno Wilis telah memperoleh jodoh seorang pemuda yang bijaksana dan budiman. Saya merasa yakin bahwa diajeng Retno Wilis akan memperoleh kebahagiaan hidup dibawah bimbingan adimas Jayawijaya. Tidak mengapa kalau ia menikah lebih dulu, kanjeng romo. Jodoh masing-masing tidaklah dapat ditentukan."

"Aku hanya khawatir kalau-kalau engkau tidak mau menikah dan akan hidup sebagai seorang pertapa. Ingat, hanya engkau yang menjadi tumpuan harapanku untuk memperoleh keturunan dari ayah, anakku."

Bagus Seto kembali tersenyum. "Kalau Sang Hyang Widhi menghendaki, apapun yang akan terjadi kepada saya tentu akan saya terima dengan rela, kanjeng romo. Untuk penyerahan seperti ini kita harus banyak belajar dari adimas Jayawijaya."

Para tamu mulai berpamitan meninggalkan kepatihan dan kembali ke tempat masing-masing. Ki Patih Tejolaksono lalu mengawal para tawanan menuju ke istana Sang Prabu di Panjalu di persidangan dan di situ Sang Prabu memutuskan tindakan apa yang akan dijatuhkan kepada kedua orang adipati itu.

Sang Prabu Panjalu adalah seorang yang bijaksana. Beliau mengerti bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh dua orang adipati terutama sekali karena ada dorongan, dan dari para utusan Cola dan persekutuan mereka dengan Bali dwipa. Maka Sang Prabu memaafkan mereka, mengangkat Adipati Martimpang kembali menjadi adipati di Nusabarung. Juga beliau mengangkat Adipati Menak Sampar kembali menjadi adipati di Blambangan dengan disertai janji dan sumpah bahwa mereka tidak lagi akan mengulang perbuatan mereka yang memberontak terhadap Panjalu dan Jenggala.

Tentu saja kedua orang adipati itu sekeluarga merasa bersyukur sekali dan setelah menghaturkan sembah dan terima kasih, mereka semua lalu kembali ke kadipaten masing-masing, siap untuk mengadakan, pesta pernikahan bagi anak-anak mereka.

Jayawijaya melangsungkan pernikahannya dengan Retno Wilis. Pernikahan ini dilangsungkan secara meriah sekali dan mengingat akan jasa Ki Patih Tejolaksono, Sang Prabu di Panjalu dan Jenggala berkenan menghadiri pesta pernikahan itu.

Setelah menikah, di dalam kamar mereka, Jayawijaya berkata kepada isterinya. "Diajeng, setelah sebulan tinggal di sini, aku akan mengajakmu ke Tengger dan kita tinggal di sana, Tentu engkau suka tinggal bersamaku di sana, bukan?"

Retno Wilis melirik manja. "Tentu saja. Di mana engkau tinggal, di sanalah tempatku berada, kakangmas."

"Akan tetapi, diajeng. Engkau terbiasa hidup di kepatihan yang serba mewah dan hidup senang. Apakah engkau akan betah tinggal di pegunungan yang sunyi, sebagai seorang petani yang hidup bersahaja?"

Retno Wilis tersenyum. "Hidup di manapun sama saja kakangmas. Aku sudah pernah hidup di dalam hutan, pernah hidup di kota raja, dan pernah menjadi pengembara. Kebahagiaan bukan ditentukan oleh keadaan lahir, melainkan keadaan batin. Di mana saja aku hidup, kalau berada di sampingmu, aku akan selalu merasa bahagia, kakangmas!"

Jayawijaya merangkul isterinya dengan hati bahagia. "Berbahagia sekali aku mendapatkan seorang isteri seperti engkau, diajeng."

"Aku hanya isterimu yang bodoh dan membutuhkan bimbinganmu dalam hidup ini, kakangmas. Aku akan merasa berbahagia kalau engkau bahagia."

Sepekan kemudian, keluarga Ki Patih Tejolaksono mengantarkan Bagus Seto yang berpamit untuk pergi mengembara. Mereka mengantar pemuda itu sampai keluar kota raja dan baru berhenti setelah tiba di luar batas kota, melihat pemuda itu berjalan perlahan mendaki sebuah bukit di timur. Makin ke atas, gerakan pemuda itu semakin cepat sehingga akhirnya yang tampak hanya titik putih seperti seekor garuda putih yang melayang menjauh.

Ayu Candra mengusap matanya yang menjadi basah. Ki Patih Tejolaksono merangkulnya. "Relakanlah, diajeng. Dia menuju kepada kebahagiaannya dan kalau memang Sang Hyang Widhi menghendaki, kita tentu akan bertemu lagi dengan dia, putera kita."

Mereka lalu kembali ke kepatihan dan sebulan kemudian Retno Wilis diajak pergi Jayawijaya, suaminya, menuju ke Tengger untuk menemui ayahnya, Ki Panji Kelana. Sementara itu, Jarot melaksanakan pernikahannya dengan Dyah Ayu Kerti yang diboyongnya ke kadipaten Pasisiran. Saroji, putera Ki Haryosakti, menikah dengan Dyah Candramanik dan oleh Adipati Martimpang di Nusabarung, mantunya itu disuruh tinggal di Nusabarung dan diberi kedudukan senopati. Adapun Harjadenta memboyong Sarmini puteri Ki Haryosakti ke Gunung Raung di mana dia tinggal bersama Empu Gandawijaya, gurunya. Harjadenta ini kemudian kelak menjadi seorang empu pembuat keris yang pandai.

Sementara itu, Kerajaan Jenggala tampak semakin mundur. Kejayaannya kalah oleh Kerajaan Panjalu dan akhirnya, melihat betapa daerah-daerah di timur, terutama Bali dwipa masih selalu merupakan daerah rawan, Kerajaan Jenggala bersatu dengan Kerajaan Panjalu dan berubah kembali menjadi Kerajaan Kediri yang semakin besar, kuat dan jaya.

Sampai di sini, selesailah sudah kisah Sepasang Garuda Putih ini dengan harapan pengarang bahwa selain sebagai bacaan hiburan, kisah ini mengandung manfaat semua. Sampai Jumpa di lain cerita!

TAMAT


Sepasang Garuda Putih Jilid 16

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Sepasang Garuda Putih Jilid 16

TEJOLAKSONO meninggalkan para perwira pembantu dan lima ribu pasukan Panjalu dan Jenggala untuk menjaga dan mengatur ketenteraman di Kadipaten Blambangan, kemudian menggiring Sang Adipati Menak Sampar berikut semua keluarganya menuju ke Jenggala. Rombongan pasukan yang menang perang ini singgah di Nusabarung untuk mengambil tawanan Adipati Martimpang dari Nusabarung sekeluarganya untuk juga dibawa sebagai tawanan ke Jenggala.

Ki Patih Tejolaksono singgah di istana Jenggala, melaporkan tentang kemenangannya dan bahwa kedua orang adipati yang memberontak itu telah dijadikan tawanan dan dibawa menghadap. Akan tetapi Sang Prabu di Jenggala menolak dan berkata,

"Kakang Patih Tejolaksono, sesungguhnya yang menggerakkan pasukan untuk menaklukkan kedua orang adipati yang memberontak adalah Panjalu, dan kami dari Jenggala hanya membantu belaka. Oleh karena itu, kedua orang tawanan ini dan sekeluarganya kami pasrahkan kepada andika untuk dibawa menghadap Paman Prabu di Panjalu dan terserah kepada beliau untuk memutuskannya. Juga sampaikan salam hormat dan terima kasihku kepada beliau yang telah menenteramkan daerah Jenggala yang dilanda pemberontakan."

Karena penolakan ini, Ki Patih Tejolaksono terpaksa membawa dua rombongan tawanan itu terus ke Panjalu. Kedatangan pasukan yang menang perang ini disambut meriah oleh rakyat Panjalu. Gamelan dibunyikan dimana-mana dan rakyat menyambut dengan sorak sorai di sepanjang jalan. Sang Prabu di Panjalu juga menyambut kedatangan Ki Patih Tejolaksono dan para senopati dengan gembira. Ketika mendengar pelaporan Ki Patih Tejolaksono tentang kemenangan di kedua kadipaten itu, dan betapa Sang Prabu di Jenggala menyerahkan pengadilan terhadap para tawanan kepada Sang Prabu di Panjalu, beliau mengangguk-angguk senang.

"Hei, Adipati Menak Sampar, benarkah andika sekarang telah menyadari kesalahan andika dan benar-benar telah takluk kepada Panjalu dan Jenggala?" tanya Sang Prabu Panjalu kepada adipati itu yang menghadap sambil menundukkan kepalanya.

Sang Adipati Menak Sampar yang sudah tidak berdaya itu lalu menyembah dan berkata lirih, "Hamba telah menyadari kesalahan hamba, dan hamba telah menyatakan takluk, terserah kepada kebijaksanaan paduka untuk menjatuhkan pidana terhadap hamba sekeluarga, Kanjeng Gusti."

"Dan bagaimana dengan andika, Adipati Martimpang dari Nusabarung?" tanya pula Sang Prabu kepada Adipati Martimpang.

"Hamba pun sudah menyadari kesalahan hamba, kalau diperkenankan hamba mohon pengampunan dan selanjutnya terserah kepada kebijaksanaan paduka, Kanjeng Gusti."

"Bagus, kalau andika berdua sudah mengakui kesalahan, kami pun dapat mempertimbangkan. Akan tetapi sebelum kami memperoleh keputusan dari musyawarah yang akan kami adakan dengan para nayaka praja, kalian menjadi tawanan terhormat dan akan diperlakukan dengan baik-baik. Kakang Patih Tejolaksono terserah bagaimana andika akan mengaturnya untuk menawan kedua keluarga bekas adipati ini. Pilihkan tempat pengasingan di daerah istana dan suruh awasi mereka."

"Sendiko dawuh, Kanjeng Gusti," kata Ki Patih Tejolaksono dan dia segera membawa pasukan pengawal untuk mengawal dua keluarga tawanan itu menuju kebagian belakang istana dan menahan mereka di dua bagian ruangan belakang, lalu memerintahkan para pengawal untuk menjaga mereka, akan tetapi juga agar mereka diperlakukan dengan hormat dan baik sesuai dengan kehendak Sang Prabu.

Setelah memberi pujian dan hadiah kepada semua orang yang berjasa, persidangan lalu dibubarkan. Ki Patih Tejolaksono lalu mengundang semua orang yang telah membantunya dalam peperangan itu untuk singgah di gedungnya. Ki Patih Tejolaksono dan dua orang isterinya mengadakan pesta makan bersama. Perjamuan itu selain untuk merayakan kemenangan, juga untuk menghormati mereka yang telah membantunya.

Semua berkumpul di situ. Jarot, Ki Haryosakti, Ki Bajramusti yang dijamu oleh Ki Patih Tejolaksono, Endang Patibroto, Ayu Candra, Retno Wilis, dan Bagus Seto serta para senopati Panjalu. Pada awal perjamuan itu, datanglah beberapa orang tamu yang segera diundang untuk duduk bersama ikut dalam perjamuan. Mereka itu adalah Saroji dan Sarmini, putera dan puteri Ki Haryosakti yang menyusul ayahnya ketika mendengar kemenangan di pihak Panjalu dan Jenggala yang dibantu ayah mereka.

Muncul pula Harjadenta, pemuda Gunung Raung yang pernah membantu Bagus Seto dan Retno Wilis, dan datang pula Adipati Kertajaya dari kadipaten Pasisiran yang datang menyusul puteranya Jarot dan untuk memberi selamat atas kemenangan Panjalu. Lalu yang terakhir muncul Jayawijaya seorang diri. Diapun mendengar akan kemenangan Panjalu dan datang untuk berkunjung dan memberi selamat.

Semua tamu ini dipersilakan masuk dan ikut dalam perjamuan karena mereka semua pernah membantu ketika Endang Patibroto, Retno Wilis dan Bagus Seto melakukan penyelidikan ke Nusabarung dan Blambangan.

Setelah perjamuan selesai, mereka bercakap-cakap di ruangan depan yang luas. Sekali ini, para senopati mengundurkan diri dan yang hadir hanyalah tamu-tamu kehormatan. Dalam kesempatan ini, Adipati Kertajaya dari kadipaten Pasisiran berkata sambil memandang kepada Ki Patih Tejolaksono yang duduk diapit kedua orang isterinya, sedangkan di sebelah kiri Endang Patibroto duduk Retno Wilis berjajar dengan Bagus Seto.

"Kakangmas Patih Tejolaksono, kedatangan saya di sini pertama-tama untuk menghaturkan selamat atas kemenangan pasukan Panjalu yang kakangmas pimpin."

"Hasil kemenangan kami juga karena dukungan putera andika, adimas Adipati Kertajaya," jawab Ki Patih Tejolaksono merendah.

"Adapun maksud kunjungan saya yang kedua kalinya, sebelum saya matur mohon terlebih dulu kakangmas Patih memberi maaf yang sebesar-besarnya kalau pembicaraan saya lancang dan menyinggung perasaan."

Ki Patih Tejolaksono tersenyum. "Adimas Adipati, mengapa bicara dengan sungkan-sungkan? Kita berada di antara golongan sendiri yang mengabdi kepada Panjalu dan Jenggala, tidak ada yang perlu disembunyikan. Kalau ada persoalan, kemukakanlah saja terus terang, kami berjanji tidak akan menyalahkan andika dan andaikata ada yang perlu dimaafkan, kami senantiasa bersedia untuk memaafkan."

"Begini maksud saya, kakangmas Patih. Mengenai anak saya yang bodoh, yaitu Jarot yang sekarang telah berusia dua puluh dua tahun dan belum memiliki calon pasangan hidup. Kami ditangisi anak kami Jarot yang kasmaran terhadap puteri kakangmas, anak mas ayu Retno Wilis. Oleh karena itu, saya memberanikan diri berlancang mulut untuk mengajukan pinangan terhadap puteri kakangmas Patih. Sekali lagi maafkan kelancangan saya."

Ki Patih Tejolaksono tersenyum dan memandang kepada Jarot dengan penuh perhatian. "Kami telah menyaksikan kemampuan dan kegagahan puteramu, adimas Adipati Kertajaya. Murid siapakah puteramu ini?'

"Jarot, engkau ditanya oleh Uwa Patih, jawablah." Kata Adipati Kertajaya kepada puteranya.

Jarot menyembah lalu menjawab dengan muka tunduk penuh hormat. "Hamba menerima petunjuk ilmu dari Bapa Bhagawan Dewondaru, pertapa di lereng Semeru, Uwa Patih."

"Jagad Dewa Bathara...!" Ki Tejolaksono mengucap kagum. "Jadi gurumu adalah Kakang Bhagawan Dewondaru yang sakti mandraguna itu? Pantas engkau memiliki kemampuan yang tinggi, anak mas Jarot." Kemudian dia menoleh lagi kepada Adipati Kertajaya dan berkata, "Adimas Adipati Kertajaya, puteramu berkenan dihatiku, akan tetapi karena urusan perjodohan bagi kami tergantung kepada anak yang hendak menjalani, maka kami harus berunding lebih dulu dengan segenap keluarga dan juga dengan anak kami Retno Wilis."

"Pendapat kakangmas Patih itu memang tepat sekali dan memang seharusnya demikian. Maka saya persilakan kakangmas untuk memperbincangkan urusan penting ini dengan keluarga kakangmas yang kebetulan sekarang berkumpul semua di sini."

Ki Patih Tejolaksono lalu menoleh kepada Endang Patibroto dan tersenyum lalu bertanya, "Bagaimana pendapatmu, diajeng Endang Patibroto? Anakmu si Retno Wilis agaknya sekarang sudah dewasa benar dan sudah dipinang orang! Engkau sudah mendengar sendiri pinangan yang diajukan oleh adimas Adipati Kertajaya, bagaimana pendapatmu, diajeng?"

Endang Patibroto memandang kepada suaminya dengan alis berkerut, lalu menoleh kepada Retno Wilis. la melihat betapa puterinya itu juga mengerutkan alis dan puterinya melirik ke arah Jayawijaya yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya. Ia tahu bahwa melihat gelagatnya suaminya condong untuk menerima pinangan Adipati Kertajaya, menjodohkan Retno Wilis dengan Jarot. Ia sendiri suka kepada pemuda yang gagah perkasa, tampan, dan baik budi itu, akan tetapi pilihan hatinya jatuh kepada Jayawijaya, pemuda yang tidak digdaya akan tetapi memiliki daya yang mujijat dan luar biasa.

"Bagaimana, diajeng?" desak Tejolaksono ketika melihat Endang Patibroto diam saja. Terpaksa Endang Patbroto menjawab.

"Terus terang saja, kakangmas. Aku sendiri sangat suka kepada anakmas Jarot. Dia seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa. Akan tetapi sebetulnya aku sudah mempunyai pilihan seorang pemuda lain untuk menjadi calon jodoh Retno Wilis."

"Ibu.....!" Retno Wilis berseru dengan nada memprotes.

"Begitukah, diajeng? Nah, katakan siapa pilihanmu yang kau calonkan menjadi jodoh anak kita itu."

"Orangnya berada di sini, dialah itu, anakmas Jayawijaya," kata Endang Patibroto sambil menunjuk ke arah Jayawijaya.

Bagus Seto tersenyum melihat ulah ibunya. Dan aneh sekali, Retno Wilis yang tadinya seperti hendak membantah, kini menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan dan diam seribu bahasa! Kini Tejolaksono yang mengerutkan alis sambil menatap ke arah pemuda yang menunduk itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.

"Akan tetapi, ketika terjadi perang, dia tidak membantu. Putera siapakah andika, anakmas Jayawijaya?"

"Ayah saya adalah Pertapa Panji Kelana yang bertapa di bukit Tengger, paman Patih," jawab Jayawijaya sederhana.

"Dan siapa gurumu yang mengajarkan ilmu kanuragan dan kadigdayaan kepadamu?"

"Tidak ada, paman Patih. Saya tidak pernah mempelajari ilmu kadigdayaan."

"Ahh, kalau begitu...."

Pada saat itu, seorang pengawal datang menghaturkan sembah dan melapor bahwa di luar datang seorang tamu yang katanya merupakan ayah dari Jayawijaya dan mohon menghadap Sang Patih. Mendengar ini, Ki Patih Tejolaksono tertegun. Orang yang baru saja dibicarakan muncul! Kebetulan sekali, urusan dapat segera diselesaikan dengan orang tua yang bersangkutan.

"Persilakan dia masuk!" katanya kepada pengawal yang melapor, sedangkan Jayawijaya menoleh keluar dengan heran.

Tak lama kemudian pengawal mengantarkan seorang yang usianya sekitar limapuluh tahun, bertubuh tegap sedang dengan punggung lurus dan wajahnya masih tampak muda dan tampan. Mulutnya dihias senyuman yang ramah dan pandang matanya sedemikian lembutnya sehingga Tejolaksono cepat mempersilakan tamunya duduk di atas sebuah bangku yang disodorkan oleh pengawal. Pengawal itu atas isarat Ki Patih lalu meninggalkan ruangan itu.

"Selamat datang di kepatihan, Ki Sanak. Siapakah andika yang memberi kehormatan dengan kunjungan ini?" tanya Ki Tejolaksono dengan sikap hormat karena kepribadian orang itu sungguh mendatangkan rasa hormat dalam hatinya.

Orang itu tersenyum lebar dan memandang kepada Ki Tejolaksono dengan sinar mata kagum. "Sudah lama mendengar akan nama besar Ki Patih Tejolaksono sebagai seorang yang bijaksana, dan sekarang baru saya dapat melihat buktinya! Ki Patih, nama saya adalah Panji Kelana, seorang pertapa di bukit Tengger dan saya adalah ayah dari Jayawijaya yang sekarang hadir. di sini. Karena mendengar bahwa Ki Patih telah berhasil memadamkan pemberontakan di Nusabarung dan Blambangan, juga mencegah penyebar luasan agama sesat, maka saya sengaja datang menyusul anak saya untuk menyampaikan rasa kagum dan ucapan selamat kepada Ki Patih."

"Kebetulan sekali andika datang berkunjung, Sang Pertapa Panji Kelana. Justeru kami sedang memperbincangkan tentang putera andika, anak mas Jayawijaya. Benarkah puteramu mempunyai niat untuk mempersunting puteri kami, Si Retno Wilis?"

Panji Kelana menoleh kepada puteranya dan tersenyum. "Demikianlah dia pernah menyatakan kepada saya, Ki Patih, bahwa antara dia dan anak mas ayu Retno Wilis terjalin saling Kasih."

"Tidak mungkin! Benarkah itu, Retno Wilis?'' tanya Ki Patih Tejolaksono sambil menoleh dan memandang kepada puterinya. Retno Wilis balas memandang kepada ayahnya, kemudian dengan hati tabah ia mengangguk.

"Tidak mungkin ini terlaksana! Puteriku harus memperoleh jodoh seorang satria yang sakti mandraguna, bukan seorang pemuda lemah!" bentak Tejolaksono dengan suara nyaring.

"Kanjeng romo....!" seru Retno Wilis.

"Kakangmas....!" Endang Patibroto juga memprotes.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara lantang sekali yang datangnya dari luar gedung. "Ki Patih Tejolaksono! Endang Patibroto, Bagus Seto dan Retno Wilis! Keluarlah kalian, kami datang untuk membuat perhitungan!" Suara itu begitu lantang sampai menggetarkan seisi gedung ruangan gedung itu sehingga tentu saja membuat semua orang menjadi terkejut bukan main.

Seorang perwira pengawal berlari-larian dari luar dan menghaturkan sembah kepada Ki Patih Tejolaksono dan langsung melapor.

"Gusti Patih, di luar gedung terdapat dua orang kakek yang menantang-nantang. Belasan orang pengawal yang mencoba untuk mengusirnya, dengan lambaian tangan saja dirobohkan semua oleh dua orang kakek itu!"

"Keparat!" bentak Ki Patih Tejolaksono dan tanpa banyak cakap lagi diapun bangkit dan melangkah keluar, diikuti oleh Endang Patibroto, Bagus Seto, Retno Wilis, Ayu Candra, dan semua tamu yang hadir di situ, semua lalu keluar untuk melihat siapa orangnya yang berani menantang keluarga Ki Patih Tejolaksono yang sakti mandraguna itu.

Para tamu itu adalah Adipati Kertajaya dan Jarot, Ki Haryosakti dan putera puterinya Saroji dan Sarmini, Ki Bajramusti, Harjadenta, kemudian paling akhir Jayawijaya melangkah keluar bersama ayahnya, Ki Panji Kelana. Mereka berdua ini keluar tanpa tergesa-gesa seperti yang lain, bahkan dengan senyum tersungging di bibir seolah tidak ada terjadi sesuatu yang hebat dan menegangkan.

Setelah tiba di luar, Ki Patih Tejolaksono dan rombongannya melihat para pengawal masih berserakan dan mulailah mereka bangun dengan wajah ketakutan. Di sana berdiri dua orang kakek yang seorang adalah Wasi Shiwamurti yang berjubah kuning, jenggot dan kumisnya yang panjang sudah putih semua, tangannya memegang tongkat kepala naga, dan usianya yang sudah enam puluh lima tahun itu.

"Siapakah andika berdua?" bentak Ki Patih Tejolaksono yang memang belum pernah bertemu dengan Wasi Shiwamurti. "Dan apa sebabnya kalian datang menantang-nantang kami?"

Sang Wasi Shiwamurti memukul-mukulkan ujung tongkatnya ke atas tanah sehingga terdengar suara duk-dukduk dan tanah di sekitar tempat itu seperti tergetar.

"Ha-ha-ha, Ki Patih Tejolaksono. Andika memang belum mengenal aku, akan tetapi puteramu Bagus Seto sudah mengenalku. Aku adalah Wasi Shiwamurti dan ini adalah kakak seperguruanku yang berjuluk Wasi Shiwasakti dan yang sedang bertugas di Bali-dwipa. Kami berdua datang untuk membuat perhitungan dan kami menantang kalian untuk bertanding satu lawan satu untuk menentukan siapa yang lebih unggul di antara kita!"

Kakek ke dua yang disebut Wasi Shiwasakti itu hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia lebih tua dari Wasi Shiwamurti, sedikitnya enam.puluh delapan tahun, tangannya memegang sebatang tongkat bambu kuning yang sederhana, tubuhnya tinggi kurus dan tampaknya lemah, namun sepasang matanya mencorong seperti mata seekor naga!

"Hemm, andika berdua menantang mengadu kesaktian, dengan dasar dan maksud apa?" tanya pula Ki Patih Tejolaksono dengan lantang.

"Ha-ha-ha, Ki Patih Tejolaksono. Kami hanya hendak memperebutkan hak kami untuk menyebar luaskan agama kami. Kalau kami kalah bertanding dengan pihakmu, sudahlah kami tidak akan banyak cakap lagi dan akan kembali ke Cola dan tidak akan menyebar luaskan agama kami di daerah Nusa Jawa dan Bali Dwipa. Akan tetapi kalau pihakmu tidak mampu mengalahkan kami, kami berhak menyebar luaskan agama kami tanpa gangguan dari kalian. Bagaimana pendapatmu?" kata Wasi Shiwamurti dengan tidak kalah lantangnya.

Tiba-tiba Endang Patibroto melompat ke depan dan bertolak pinggang, telunjuk kirinya menuding ke arah dua orang pendeta dari Cola itu.

"Pendeta-pendeta cabul dan palsu! Bagaimana kami dapat membiarkan kalian menyebar agama yang cabul dan menyesatkan rakyat jelata kami. Hayo kalian cepat pergi dari sini sebelum kuhajar!"

"Ha-ha, Endang Patibroto! Sejak muda andika telah memusuhi kami yang datang dari negeri Cola. Andika bahkan memusuhi pula Paman Wasi Bagaspati. Sudah kami katakan. Kami akan mundur dan pergi kalau di antara kalian ada yang mampu mengalahkan kami dalam pertandingan satu lawan satu. Engkau sendiri lebih baik mundur saja, Endang Patibroto karena engkau tidak akan becus mengalahkan kami!"

Ucapan ini amat memanaskan hati Endang Patibroto. Seperti telah kita kenal, Endang Patibroto adalah seorang wanita gagah perkasa yang tidak pernah merasa gentar melawan siapa saja. Maka mendengar tantangan yang meremehkannya itu, wajahnya berubah merah dan kedua matanya bersinar kilat! Ia mengerahkan tenaga saktinya dan tiba-tiba ia membentak,

"Wasi palsu, sambutlah seranganku ini!" Dan ia lalu mengeluarkan pekik melengking panjang yang amat dahsyat. Itulah pekik Aji Sardulo Bairowo dan tubuhnya melayang ke atas lalu menerjang ke arah Wasi Shiwamurti dengan pukulan Gelap Musti yang hebat dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya menghantam dengan jari-jari tangan yang diisi Aji Pethit Naga! Hebat bukan main serangan Endang Patibroto ini. Udara di sekitar situ seolah tergetar dengan dikeluarkannya kedua aji pukulan yang amat ampuh ini.

Akan tetapi, Sang Wasi Shiwamurti dengan tenangnya menggerakkan tongkat kepala naga itu ke atas untuk menangkis pukulan Aji Gelap Musti dan Aji Pethit Naga itu.

"Wuuuuttt..... bressss...!!" Dua tenaga raksasa bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Endang Patibroto terpental ke belakang.

Akan tetapi wanita perkasa ini tidak roboh, melainkan berjungkir balik menjaga keseimbangan tubuhnya dan ia dapat hinggap di atas tanah dengan kedua kakinya. Endang Patibroto menjadi marah dan kembali tubuhnya mencelat ke udara. Ia menggunakan Aji Bayutantra seperti menunggang angin melayang kembali ke arah lawan dan sekali ini ia menyerang dengan menggunakan pukulan Aji Wisangoolo dan mengandung hawa beracun. Serangan ini bahkan lebih ganas dari pada tadi.

"Pergilah!" Wasi Shiwamurti membentak dan kini dia menancapkan tongkat kepala naga di atas tanah, lalu menggunakan kedua tangan yang terbuka untuk menerima serangan Endang Patibroto dengan dorongan kuat.

"Wuuuuttt.....desss ....!" Kembali tubuh Endang Patibroto terpental lebih keras daripada tadi dan kembali Endang Patibroto harus menggunakan kelincahannya untuk membuat salto jungkir balik sampai tiga kali sebelum ia hinggap kembali ke atas tanah. Sekali ini wajahnya agak pucat karena hawa pukulannya tadi membalik dan membuat pernapasannya agak sesak.

"Keparat!" Ki Patih Tejolaksono tidak dapat menahan kemarahannya ketika melihat isterinya dikalahkan sedemikian mudahnya oleh Wasi Shiwamurti. Kekalahan isterinya di depan orang banyak itupun membuatnya merasa terhina. Dalam kemarahannya Ki Patih Tejolaksono sudah mengerahkan Aji Triwikromo! Tubuhnya yang menjadi besar seperti raksasa itu menerjang ke depan dan dengan suara menggereng yang mengandung getaran kuat dia menyerang dengan pukulan Aji Bajra Dahono yang mengandung hawa panas membakar!

Itulah serangan yang amat dahsyat dan jarang ada orang yang akan mampu menahan serangan itu. Akan tetapi kembali Wasi Shiwamurti menyambut serangan dahsyat ini dengan dorongan kedua tangannya. Angin menyambar dahsyat dari kedua telapak tangannya itu, mengandung hawa dingin sekali.

"Wuuuutttt.... desssss....!" Tubuh Wasi Shiwamurti melangkah mundur tiga tindak, akan tetapi tubuh Ki Patih Tejolaksono terhuyung ke belakang sampai lima langkah dan mungkin dia akan terjengkang kalau saja tiba-tiba Retno Wilis tidak menahan punggung ayahnya itu dari belakang.

Ki Patih Tejolaksono tidak roboh, akan tetapi wajahnya juga pucat, tanda bahwa ia masih kalah kuat dibandingkan Wasi Shiwamurti.

"Wasi Shiwamurti jahanam, terimalah kematianmu!" Retno Wilis sudah mencabut pedang Sapudenta dan sekali melompat tubuhnya sudah melayang ke atas lalu menukik ke arah di mana Wasi Shiwamurti berdiri.

Menghadapi serangan pedang ini, Wasi Shiwamurti mencabut tongkat yang tadi dia tancapkan di atas tanah dan diapun memutar tongkat kepala naga itu untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.

"Trangggg....!" Tampak bunga api berpijar-pijar dan tubuh Retno Wilis terpental ke belakang. Akan tetapi begitu kakinya menginjak tanah, gadis perkasa ini sudah mencelat lagi ke atas dan kembali ia menyerang dengan pedangnya, sekali ini lebih hebat karena ia telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghantamkan pedangnya ke arah kepala kakek itu.

"Retno Wilis, pergilah engkau!" Wasi Shiwamurti membentak dan tongkat kepala naga itu menangkis lagi dengan gerakan memutar.

"Cringggg...!" Beradunya kedua senjata sekali ini lebih dahsyat lagi dan akibatnya tubuh Retno Wilis terpental semakin jauh. la berjungkir balik sampai jauh dan ketika hinggap di atas tanah ia hendak menerjang lagi dengan nekat.

Akan tetapi sebuah tangan memegang lengannya. Ia menoleh dan melihat Bagus Seto yang memegang lengannya.

"Diajeng Retno Wilis, dia terlampau sakti untukmu. Biarkan aku yang maju menghadapinya." kata Bagus Seto dengan sikap tenang.

Retno Wilis mengangguk. Memang dari semula dara ini sudah maklum bahwa Satu-satunya orang yang akan mampu menandingi Wasi Shiwamurti hanyalah kakaknya ini. Dengan langkah tenang Bagus Seto maju menghampiri Wasi Shiwamurti. Dia memandang tajam wajah sang wasi dan berkata dengan sikap berwibawa namun lembut.

"Paman Wasi Shiwamurti, mengapa andika masih saja hendak membuat kekacauan? Apakah andika pikir bahwa perbuatan andika ini layak dan patut dilakukan seorang wasi seperti andika? Harap andika menyadari kesalahan dan pergi meninggalkan Nusa Jawa, kembali ke tempat asalmu dan menyudahi permusuhan yang tidak ada artinya ini."

Sepasang alis yang putih itu berkerut dan sepasang mata Wasi Shiwamurti mengeluarkan sinar berapi-api. Dia pernah dikalahkan pemuda ini dan di dasar hatinya dia masih belum mau menerima kekalahan itu. Walaupun kini dia memiliki orang andalan, yaitu kakak seperguruannya, namun dia masih penasaran dan ingin mencoba lagi mengadu kesaktian melawan pemuda berpakaian serba putih ini.

"Bagus Seto, hari ini aku datang untuk membalas kekalahanku terdahulu! Sambutlah tongkat kepala nagaku!" Berkata demikian, Wasi Shiwamurti lalu menyerang dengan tongkatnya. Terdengar suara bersiutan ketika tongkat itu menyambar ganas. Bagus Seto mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dan kembali terulang pertandingan seperti yang terjadi di bukit daerah Blambangan itu. Tongkat itu berubah menjadi sinar melayang-layang seperti seekor naga terbang, namun tubuh Bagus Seto seperti berubah menjadi bayang-bayang atau awan di mana naga itu bermain-main dan tidak pernah naga itu mampu menjamahnya. Bagus Seto sudah melolos kain pengikat kepalanya dan kini kain putih itu menyambar-nyambar bagaikan kilat yang keluar dari awan mendung.

"Tar-tar-tarrr....!" Kain pengikat kepala itu meledak-ledak dan Wasi Shiwamurti terhuyung-huyung ke belakang. Dia melompat jauh ke belakang dan tiba-tiba melontarkan tongkat kepala naga itu ke arah tubuh Bagus Seto yang masih melayang di atas. Bagus Seto menangkis dengan kain ikat kepalanya.

"Darrr....!" Tongkat itu membalik seperti anak panah menuju ke arah dada Wasi Shiwamurti sendiri.

Sang wasi terkejut, cepat menangkap tongkatnya, akan tetapi dia terbawa terpelanting saking kuatnya luncuran tongkat itu. Bagus Seto sudah turun lagi ke atas tanah, berdiri dengan tenang dan waspada memandang lawannya.

"Adi Wasi Shiwamurti, mundurlah. Bocah ini harus aku yang menandinginya!" terdengar suara yang kecil tinggi seperti suara wanita dan Sang Wasi Shiwasakti sudah melangkah maju membawa tongkat bambu kuningnya. Telunjuk tangan kirinya menuding ke arah muka Bagus Seto dan diapun berkata.

"Orang muda, semuda ini andika telah memiliki kesaktian yang memadai. Katakanlah siapa yang menjadi gurumu?"

"Paman Wasi Shiwasakti, guruku bernama Ki Tunggaljiwo dan Bhagawan Ekadenta," jawab Bagus Seto dengan sejujurnya.

Kakek itu tampak terkejut. "Wah, dia adalah adik seperguruan dari Ki Satyadarma? Pantas! Pantas andika memiliki ilmu yang tinggi dan sakti mandraguna. Akan tetapi sekali ini andika berhadapan dengan Wasi Shiwasakti! Maka, demi kebaikanmu sendiri, mundurlah dan jangan berani menandingi aku, Bagus Seto!"

"Paman Wasi Shiwasakti, bukan aku yang mencari permusuhan. Melainkan andika yang datang mencari keributan. Demi membela keluarga ayah bundaku, terpaksa aku memberanikan diri untuk menandingi andika!"

"Babo-babo, Bagus Seto. Kalau begitu, waspada dan bersiaplah untuk menerima Aji Suryo Dahono dariku!" Setelah berkata demikian, tiba-tiba kakek itu menancapkan tongkat bambu kuningnya di atas tanah di sebelah kirinya, kemudian dia mengembangkan kedua tangannya dari kanan kiri, menyembah ke atas lalu mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Bagus Seto.

Terdengar suara gemuruh dan tampak api keluar dari kedua telapak tangan itu, berkobar-kobar dan semakin membesar menerjang ke arah Bagus Seto. Dan di dalam kobaran api itu seperti tampak bentuk-bentuk yang mengerikan dari binatang-binatang aneh menyeramkan dan muka-muka raksasa berambut api! Dahsyat sekali serangan ini sehingga Retno Wilis, Endang Patibroto dan Tejolaksono memandang dengan mata terbelalak dan hati tegang. Melihat serangan yang luar biasa ini, Bagus Seto tidak berani berlaku lengah. Cepat dia mengeluarkan setangkai bunga cempaka dari rambut kepalanya dan menimpuk ke arah api berkobar-kobar itu dengan bunga cempaka putih.

"Syuuuuttt.... wirrrr...!" Api yang berkobar dan bergulung-gulung itu tertahan, tidak dapat maju dan bunga cempaka putih terpental kembali ke tangan Bagus Seto.

"Aji Surya Candra!" terdengar kakek itu berseru lagi dengan suara yang mengandung getaran penuh wibawa. Dia mendorongkan kedua tangannya dan kobaran api itu maju lagi, kini tampak dua cahaya yang menyilaukan mata, merah dan kuning mendorong kobaran api itu, seperti cahaya matahari dan cahaya bulan, dua inti tenaga yang dikerahkan oleh Wasi Shiwamukti!

Bagus Seto yang maklum akan kehebatan lawan, juga merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lututnya, kemudian diapun mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan itu, menggunakan Aji Mego Gemulung sehingga dari kedua telapak tangannya tampak awan bergulung-gulung menyambut kobaran api itu.

"Wuuuuttt.... bressss.....!" Tubuh Bagus Seto terpental ke belakang. Dia tidak roboh, melainkan jatuh berdiri di dekat Ki Tejolaksono. Wajahnya agak pucat dan napasnya agak terengah.

"Bagaimana kulup?" tanya Ki Tejolaksono kepada puteranya.

Bagus Seto menghela napas dan menggelengkan kepalanya. "Kanjeng Romo, dia terlalu tangguh untuk dapat saya tundukkan."

Ki Tejolaksono menjadi bingung. Kalau Bagus Seto saja kalah, lalu siapa lagi yang dapat diajukan sebagai jago untuk menanggulangi Wasi Shiwasakti itu? Wasi Shiwasakti tertawa, suara tawanya juga seperti suara tawa wanita.

"Hi-hi-hik, begitu saja kesaktianmu, Bagus Seto! Hayo, orang Panjalu, siapa lagi yang dapat menandingi aku Wasi Shiwasakti? Majulah!"

Ditantang begitu, Ki Patih Tejolaksono menjadi semakin gugup dan dia teringat sesuatu. "Siapa yang mampu mengalahkan dia, pinangannya terhadap puteriku akan kupertimbangkan!"

Mendengar ini, Harjadenta yang sejak tadi hanya menonton dan mendengarkan, hendak mencari jasa dan dia sudah mencabut keris pusakanya, yaitu Ki Mengeng dan dia berseru, Paman Patih, perkenankan saya menandinginya!" Tanpa menanti jawaban, pemuda itu meloncat ke depan dengan keris di tangan.

Ki Tejolaksono tidak mencegah, namun dari sikap dan tindakan pemuda ini diapun tahu bahwa Harjadenta ternyata juga mencinta puterinya, Retno Wilis. Hal ini tentu saja sudah diketahui oleh Retno Wilis karena pemuda itu pernah menyatakan cinta kepadanya walaupun tidak ia tanggapi. Kini dara itu memandang dengan penuh kekhawatiran, la tahu sampai di mana tingkat kepandaian pemuda itu. Kalau ia sendiri dan kakaknya tidak mampu menandingi Wasi Shiwasakti, apa pula pemuda dari Gunung Raung itu.

"Wasi jahat, akulah lawanmu!" Harjadenta membentak dan melompat ke depan kakek itu. Melihat gerakan ini, Wasi Shiwasakti terkekeh.

"Hi-hi-hik, bocah kemarin sore berani maju? Apakah hendak mengantar nyawa?"

"Terimalah pusakaku Ki Mengeng!" Harjadenta lalu menerjang dan menusukkan keris Ki Mengeng ke arah dada kakek itu. Akan tetapi Wasi Shiwasakti tidak mengelak atau menangkis sama sekali. Dia menerima tusukan keris itu dengan dadanya.

"Tukkk!" Keris itu seperti mengenai dinding baja, bahkan tangan Harjadenta yang terpental dan terguncang hebat.

Wasi Shiwasakti mengebutkan lengan baju tangan kirinya dan ujung lengan baju itu menyambar ke arah dada Harjadenta.

"Wirrr.... bukkk!" Tubuh pemuda itu terlempar sampai lima meter jauhnya dan jatuh terbanting keras ke atas tanah.

Masih untung baginya bahwa Wasi Shiwasakti tidak ingin membunuh, maka dia hanya terkejut saja, tidak mengalami luka parah. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani maju lagi. Kini Jarot melompat ke depan. Melihat Harjadenta berani maju melawan kakek itu, Jarot yang tadi mendengar ucapan Ki Patih Tejolaksono, lalu menjadi nekat. Dia harus memperlihatkan dirinya sebagai seorang satria sejati yang tidak takut menghadapi lawan tangguh, tidak takut mati. Karena dengan demikian barulah pantas dia menjadi pasangan Retno Wilis, dara perkasa itu. Dengan gerakan ringan sekali dia melompat ke depan Wasi Shiwasakti.

"Wasi Shiwasakti, akulah lawanmu!" katanya dengan sikap gagah.

Wasi Shiwasakti melihat betapa gerakan pemuda ini berbeda dengan gerakan Harjadenta. Dia memandang penuh perhatian, lalu bertanya, "Orang muda, siapakah andika dan murid siapakah andika?"

"Namaku Jarot dan aku adalah murid Bapa Bhagawan Dewondaru dari Gunung Semeru."

"Hemm, bagus! Pernah aku mendengar tentang Bhagawan Dewondaru yang kabarnya memiliki kesaktian yang cukup tinggi. Nah, majulah, Jarot dan perlihatkan kemampuanmu kepadaku!"

Jarot mencabut senjata kerisnya yang bernama Nogo Ireng. Sinar kehitaman tampak ketika keris itu dicabut. "Jaga serangank'u, Wasi Shiwasakti!" kata Jarot yang mulai menyerang dengan kerisnya. Serangannya cukup kuat dan cepat dan agaknya sekali ini Wasi Shiwasakti ingin menguji kepandaian silat pemuda itu. Diapun mengelak dan tongkat bambu kuning ditangannya membalas, menyambar dari samping dengan tusukan ke arah lambung Jarot. Akan tetapi pemuda ini dengan gesitnya dapat pula mengelak lalu menubruk maju lagi dengan kerisnya, menusuk kearah perut lawan. Gerakannya licin bagaikan belut dan Wasi Shiwasakti terkekeh.

"Hi-hi-hik, andika boleh juga, Jarot!" katanya sambil memutar tongkat bambu kuningnya untuk menghalau keris Jarot yang menyerang secara bertubi-tubi.

"Trang-trang-cring....!"

Jarot terkejut bukan main. Tigakali beradu senjata itu membuat tangan kanannya seperti lumpuh karena tergetar hebat sekali, dan sebelum dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, tiba-tiba kaki Sang Wasi Shiwasakti mencuat dan tak dapat dihindarkannya lagi tubuhnya terkena tendangan.

"Bukkk....!" Tubuh Jarot terlempar jauh dan terbanting ke atas tanah. Akan tetapi seperti juga halnya Harjadenta, dia tidak menderita luka parah karena agaknya Wasi Shiwasakti memang sengaja tidak mau membunuhnya.

Melihat betapa semua orang telah kalah oleh Wasi Shiwasakti, Ki Patih Tejolaksono mulai merasa gelisah. Siapa lagi yang akan mampu menandingi wasi yang sakti mandraguna itu? Sebetulnya sejak tadi, setelah melihat kekalahan Bagus Seto, dia sudah putus asa.

"Adimas Jayawijaya, hanya andikalah tumpuan harapan kami. Harap andika suka maju menghadapi Wasi Shiwasakti!" tiba-tiba Bagus Seto mendekati Jayawijaya dan berkata dengan suara lembut.

Jayawijaya memandang kepadanya dan sejenak dua pasang mata bertemu pandang, dua pasang mata yang penuh pengertian dan Jayawijaya tersenyum mengangguk.

"Mohon doa restu, kakangmas Bagus Seto," bisiknya.

"Majulah dan jangan ragu, adimas." Jayawijaya lalu menghampiri ayahnya dan menyembah, "Kanjeng Romo, hamba mohon doa restu untuk menghadapi Wasi Shiwasakti."

Ayahnya tersenyum, mengangguk. "Sang Hyang Widhi melindungimu, kulup," katanya.

Jayawijaya menghampiri Ki Patih Tejolaksono dan berkata lirih, "Kanjeng Paman, hamba mohon doa restu untuk menghadapi Wasi Shiwasakti."

Ki Tejolaksono terbelalak heran, tak dapat berkata-kata saking herannya dan hanya mampu mengangguk. Setelah itu, Jayawijaya menghampiri Endang Patibroto dan berkata hormat.

"Kanjeng Bibi Endang Patibroto, hamba mohon doa restu."

Endang Patibroto yang sudah mendengar ucapan Jayawijaya kepada suaminya tadi, tersenyum mengangguk. "Berhati-hatilah, anakmas Jayawijaya."

Paling akhir Jayawijaya menghampiri Retno Wilis dan berkata, "Diajeng, aku mohon doa restumu."

"Kakang Jaya, jaga dirimu baik-baik," kata Retno Wilis sambil mencoba untuk menahan kegelisahannya. Kekasihnya hendak menandingi Wasi Shiwasakti yang sakti madraguna itu. Pada hal ia sendiri dan kakaknya sudah kalah! Kekasihnya sama sekali tidak pernah mempelajari ilmu kanuragan. Biarpun ia juga tahu bahwa kekasihnya itu mempunyai sesuatu yang luar biasa, namun tetap saja ia merasa khawatir sekali.

Kini Jayawijaya melangkah maju dengan tenang, langkahnya perlahan-lahan, menghampiri Wasi Shiwasakti yang masih menanti tanding. Melihat seorang pemuda yang berwajah terang dan bersikap lemah-lembut menghampirinya, dia merasa heran. Akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata pemuda itu, dia terkejut bukan main. Dia merasa seolah olah sinar matanya yang tajam amblas dan tenggelam ke dalam samudera ketenangan yang terkandung dalam sepasang mata pemuda itu.

"Hati-hati, kakang Wasi. Pemuda ini memiliki kelebihan," dia mendengar Wasi Shiwamurti berbisik di belakangnya.

Akan tetapi Wasi Shiwasakti adalah seorang sakti mandraguna yang jiwanya tersesat. Karena dia memiliki kedigdayaan yang linuwih, maka timbul kesombongan dalam hatinya. Dia merasa bahwa di dunia ini tidak ada seorangpun yang akan mampu menandingi kesaktiannya. Apa lagi hanya seorang pemuda seperti ini! Maka dia tertawa cekikikan ketika melihat Jayawijaya menghadapinya.

"Hi-hi-hi-hik, bocah yang masih berbau kencur! Mau apa engkau datang menghadapi aku?"

Jayawijaya bersikap sabar dan dia mengangkat mukanya, memandang kepada wajah kakek itu dengan tenang. Lalu katanya, dengan suara yang lemah lembut pula.

"Paman Wasi Shiwasakti, masihkah andika belum juga mau menyadari kesalahan andika sendiri? Ingat, Paman Wasi, kejahatan kalau dilanjut-lanjutkan akhirnya akan menjerat leher sendiri. Permusuhan dan kebencian kalau dibiarkan akan menjadi racun bagi bathin sendiri. Hentikanlah semua ini, Paman Wasi, dan kembalilah ke tempat asalmu, hidup dengan aman tenteram penuh damai. Bukankah hal itu akan menjadi baik sekali?"

"Hi-hi-hi-hik! Bocah masih berbau pupuk berani berkhotbah di depanku! Aku melihat engkau seorang pemuda yang masih bersih, hanya itu kelebihanmu. Dengan apa engkau hendak melawanku? Lebih baik engkau mundur, aku tidak tega untuk mencelakai orang seperti engkau."

"Nah, hati nuranimu sudah bicara, Paman Wasi. Turutilah suara hati nuranimu itu, larutkan kebencian dan permusuhan ini. Yang kalah atau menang akan sama saja, tidak ada artinya memperebutkan kemenangan karena akhirnya akan kalah juga pada saatnya. Biarkan Kekuasaan Hyang Widhi yang akan mengatur segalanya. Andika tidak perlu mencampuri pekerjaan Hyang Widhi."

"Heh, bocah lancang! Bagaimana mungkin aku tidak mencampuri pekerjaan Hyang Widhi? Penyebar luasan agama kalau tidak kubantu, bagaimana Hyang Widhi dapat bekerja sendiri?" kata Wasi Shiwasakti yang tadinya tertunduk akan tetapi lalu membantah.

"Memang menjadi tugas kita setiap orang manusia untuk membantu pekerjaan Sang Hyang Widhi. Akan tetapi membantu bukan berarti mencampuri, karena mencampuri itu bersifat menentang, sedangkan membantu bersifat mendukung! Yang andika lakukan adalah menentang kehendak Sang Hyang Widhi, Paman Wasi. Andika mengajarkan agama yang sesat, yang membawa manusia menjadi hamba nafsu yang akan menyeret mereka ke lembah duka. Karena itu insaflah, Paman Wasi, dan hendaknya andika suka mundur dan tidak melanjutkan pekerjaan yang tidak benar itu, sebelum terlambat."

"Sebelum terlambat? Bocah sombong, apa yang akan dapat kau lakukan terhadap diriku kalau aku tidak mau mundur?"

"Aku tidak dapat berbuat apa-apa, Paman Wasi Shiwasakti, akan tetapi aku yakin bahwa Kekuasaan Sang Hyang Widhi yang akan bekerja untuk menghentikan tindakan yang menyimpang dari kebenaran."

"Babo-babo, Jayawijaya! Ucapanmu semakin lancang dan engkau menantang aku! Apa engkau kira akan mampu untuk melindungi dirimu sendiri terhadap serangan aji kesaktianku?"

"Aku tidak mampu melindungi diriku sendiri, akan tetapi aku bersandar kepada Kekuasaan Sang Hyang Widhi, Paman Wasi."

"Engkau tidak takut mati?"

"Mati atau hidup berada di tangan Sang Hyang Widhi. Kalau Sang Hyang Widhi tidak menghendaki aku mati, bahkan engkau sekalipun tidak akan mampu membunuhku, Sang Wasi! Kalau Sang Hyang Widhi menghendaki kematianku di tanganmu, akupun akan menerimanya dengan ikhlas dan penuh penyerahan, tidak akan menyesal seujung rambut sekalipun!"

"Hati-hati, kakang Wasi. Bocah ini mengerikan," bisik Wasi Shiwamurti di belakang kakak seperguruannya.

"Biar aku membinasakannya, Adi Wasi!" Wasi Shiwasakti berseru dan dia menancapkan tongkat bambu kuningnya di atas tanah, kemudian kedua tangannya berkembang, membentuk sembah lalu dibuka lagi, mulutnya mengeluarkan pekik menggetarkan. "Aji Suryo Dahono...!"

Seperti tadi ketika menyerang Bagus Seto, tampak api keluar dari sepasang telapak tangan itu, api yang makin lama semakin berkobar, di sebelah dalam kobaran itu terdapat bentuk-bentuk yang menggiriskan, seperti binatang-binatang buas dan kepala-kepala setan, semua hendak menyergap berikut kobaran api ke arah Jayawijaya! Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak tampak gentar. Dengan tabah dia malah maju menghampiri dan menyambut kobaran api itu, kedua lengannya bersedekap, matanya dipejamkan dan dari mulutnya terdengar ucapan yang jelas dan lembut.

"Hong, nir boyo sedyo rahayu! Hong, nir ing sambekala sedyo rahayu!" Kobaran api itu kini menelan tubuh Jayawijaya.

Semua orang yang menyaksikan menjadi tegang dan khawatir sekali, terutama Retno Wilis yang khawatir kalau kekasihnya akan terbakar hangus dan menemui kematiannya. Ki Patih Tejolaksono juga memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Belum pernah dia melihat peristiwa seperti itu! Dia tahu benar betapa saktinya aji yang dikeluarkan Wasi Shiwasakti itu, akan tetapi pemuda yang tampak lemah lembut dan tidak memiliki kedigdayaan itu berani memasuki kobaran api yang bernyala-nyala dan di dalamnya terkandung sosok-sosok binatang buas dan kepala-kepala setan itu!

Dan terjadilah keanehan yang membuat semua orang terbelalak kagum dan terpesona. Bentuk-bentuk mengerikan dalam kobaran api itu begitu bertemu dengan Jayawijaya, tampak ketakutan seperti sekawanan anjing dibawakan cambuk! Mereka mundur-mundur dan kobaran api itu dengan sendirinya juga mundur ke belakang dan semakin menyempit dan mengecil.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Aji Surya Candra...!" Wasi Shiwasakti mengeluarkan pekik mengerikan lagi dan kini kedua telapak tangannya mendorong sehingga api mulai berkobar lagi ditambah dua cahaya mengkilat yang menyilaukan mata. Kobaran api itu menyambar ke arah Jayawijaya yang masih bersedakap dan kini pemuda itu terhuyung ke belakang. Demikian kuatnya Aji Surya Candra itu sehingga seolah-olah Jayawijaya tidak akan kuat bertahan!

Retno Wilis menahan napas, matanya terbelalak memandang kekasihnya yang terancam bahaya, tangan kirinya menutup mulutnya seolah hendak menahan agar ia tidak menjerit. Semua orang juga merasa gelisah sekali, kecuali Bagus Seto dan Ki Panji Kelana yang masih menonton dengan sikap tenang sekali. Bagus Seto bersikap tenang karena dia maklum bahwa dia bertemu dengan seorang yang telah dilindungi oleh Kekuasaan Sang Hyang Widhi.

Kekuatan atau kekuasaan apakah di dunia ini yang akan mampu menandingi Kekuasaan Sang Hyang Widhi yang sudah melindungi seseorang? Karena pengertian inilah maka dia bersikap tenang saja, yakin bahwa tidak ada sesuatu yang akan mampu mencelakai Jayawijaya. Adapun Ki Panji Kelana bersikap tenang karena dia adalah seorang yang sudah sepenuh nya menyerah kepada Kehendak Sang Hyang Widhi, seperti yang diajarkannya kepada puteranya sejak Jayawijaya kecil.

Kepasrahan dan penyerahan ini yang membuat dia tenang dan tidak pernah gelisah karena apapun yang akan terjadi menimpa diri Jayawijaya sudah diikhlaskan karena semua itu sudah dikehendaki Sang Hyang Widhi. Kalau Sang Hyang Widhi menghendaki kematian Jayawijaya atau dirinya sendiri, setiap saat dia ikhlas dan dia akan merelakan tanpa rasa penyesalan sedikitpun. Dengan penyerahan yang mutlak lahir bathin ini, bagaimana hati Ki Panji Kelana dapat menjadi khawatir?

Tubuh Jayawijaya bergoyang-goyang ke belakang dan ke depan, seperti di dorong-dorong oleh kekuatan gaib yang amat besar. Seolah-olah setiap saat dia akan roboh terjengkang. Akan tetapi tiba-tiba terjadi perubahan. Kedua lengannya yang tadinya bersedakap, bergerak lepas, kemudian kedua tangan itu dirangkap dan dia melakukan gerakan menyembah ke atas. Gerakan yang wajar dan sama sekali tidak dibuat-buat karena gerakan ini memang terjadi dengan sendirinya, gerakan yang bukan digerakkan oleh hati akal pikiran, melainkan gerakan langsung dari jiwanya.

Kemudian, kedua tangan yang menyembah itu meluncur lurus ke depan, kedua telapak tangan menghadap ke depan seperti orang mendorong. Gerakan inipun wajar dan lembut, sama sekali tidak mengandung tenaga, hanya kedua tangan itu tergetar dan.... kobaran api itu tertiup mundur, sosok-sosok dan bentuk-bentuk mengerikan terjengkang ke dalam kobaran api dan kobaran api itu terus mundur sampai mengenai tubuh Wasi Shiwasakti sendiri.

Terdengar jerit mengerikan keluar dari mulut Wasi Shiwasakti! "Auuugrgghh...! Taubat.... taubat.... hamba menyerah....!" Dan tubuhnya bergulingan di atas tanah.

Wasi Shiwamurti cepat membantu kakak seperguruannya bangkit berdiri lagi. Kobaran api telah lenyap dan kini tampak betapa semua rambut, kumis dan jenggot Wasi Shiwasakti terbakar habis dan mukanya masih terbungkus hangus sehingga kelihatan lucu dan juga mengerikan. Wasi Shiwamurti memondong tubuh yang lunglai itu, yang kini hanya dapat mendesis-desis seperti kepanasan, dan Wasi Shiwamurti menyeret tongkat kepala naganya, lalu pergi dari tempat itu sambil memondong tubuh kakak seperguruannya yang sudah tidak berdaya sama sekali.

Semua orang yang menonton pertunjukan luar biasa hebatnya itu bersorak sorai atas kemenangan Jayawijaya. Pemuda itu bersikap biasa saja dan ketika Ki Tejolaksono menghampirinya dan memegang kedua pundaknya sambil memuji, dia berkata lirih.

"Sang Hyang Widhi yang menalukkannya, bukan saya...."

Semua orang mendekat dan merubung Jayawijaya dan saking girang hatinya, Ki Tejolaksono memandang Adipati Kertajaya sambil berkata, "Maafkan kami, adimas Adipati, terpaksa sekali kami tidak dapat menerima pinangan andika kepada puteri kami untuk puteramu itu, karena Retno Wilis telah memiliki seorang calon jodohnya, yaitu anak mas Jayawijaya."

Adipati Kertajaya menghela napas dan menoleh kepada Jarot yang mengangguk sambil tersenyum, rela menerima kekalahan itu.

"Kami mengerti, Kakangmas Patih. Kami menjadi saksi bahwa yang mampu menandingi Wasi Shiwasakti tadi adalah anakmas Jayawijaya, maka sudah sepantasnya kalau dia yang berhak mempersunting puterimu."

Ki Patih Tejolaksono lalu menghadapi Ki Panji Kelana dan berkata dengan sikap ramah. "Marilah, adimas Panji Kelana, kita semua bicara di dalam karena pinanganmu kepada Retno Wilis untuk putera andika Jayawijaya kami terima dengan senang hati."

Semua orang dipersilakan masuk dan kembali mereka disuguhi perjamuan kecil untuk merayakan kemenangan atas kedua orang wasi dari Cola itu. Suasana meriah dan biarpun Jarot ditolak pinangannya namun dia tidak menjadi kecil hati. Dia maklum benar bahwa memang Jayawijaya lebih berhak, bukan saja pemuda itu telah menandingi dan mengusir Wasi Shiwasakti, akan tetapi lebih-lebih lagi karena dia merupakan pilihan hati Retno Wilis. Juga Harjadenta tidak merasa penasaran walaupun cintanya bertepuk tangan sebelah. Retno Wilis memang terlalu tinggi baginya untuk dijangkau. Jarot segera mengalihkan perhatiannya, yaitu kepada puteri Adipati Blambangan yang bernama Dyah Ayu Kerti.

Jarot membisikkan kehendak hatinya kepada ayahnya dan orang tua itu tidak merasa ragu untuk mengajukan pinangan kepada keluarga yang menjadi tawanan terhormat itu. Ayah Jarot adalah seorang adipati pula, dan dia sendiri sedang menjadi tawanan, maka melihat uluran tangan yang meminang puterinya itu, Adipati Menak Sampar dari Blambangan tidak melihat jalan lain yang lebih terhormat kecuali menerimanya. Apa lagi dia melihat bahwa Jarot adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, dan kelak menggantikan kedudukan ayahnya menjadi Adipati di Pasisiran. Juga Dyah Ayu Kerti tidak menolak ketika ditanya ayahnya karena puteri inipun sudah melihat kegagahan dan ketampanan Jarot.

Saroji, putera Ki Haryosakti pemimpin perkumpulan Jambuko Cemeng, memiliki, pilihan lain. Dia segera tertarik sekali kepada Dyah Candramanik, puteri Adipati Martimpang dari Nusabarung. Maka dia memberanikan diri dengan perantaraan ayahnya dan didukung oleh keluarga Ki Patih Tejolaksono yang telah hutang budi atas bantuan Jambuko Cemeng, dia meminang Dyah Candramanik. Adipati Martimpang juga menerima pinangan ini dengan senang hati mengingat bahwa ayah pemuda itu, Ki Haryosakti merupakan ketua dari perkumpulan Jambuko Cemeng yang cukup terkenal kesaktiannya.

Harjadenta tidak mau kalah. Dia telah melihat Sarmini, puteri Ki Haryosakti yang cantik manis dan lembut, maka dengan-bantuan Bagus Seto dan Retno Wilis, dia minta pertolongan kepada Ki Patih Tejolaksono untuk sudi menjadi walinya karena dia sudah yatim piatu dan gurunya berada jauh. di Gunung Raung, untuk meminangkan puteri Ki Haryosakti itu. Pinangan inipun diterima dengan senang hati.

Maka lengkaplah sudah orang-orang muda itu mendapatkan jodoh masing-masing, Hanya Bagus Seto seorang yang belum mendapatkan jodoh. Ayu Chandra, ibunya menoleh kepada puteranya dan memberi isyarat kepadanya untuk mengikutinya masuk ke dalam gedung. Setelah berada berdua saja, ibu ini bertanya dengan suara terharu.

"Dan engkau sendiri bagaimana, angger? Kapan engkau akan menentukan pilihan hatimu dan menikah? Ibumu sudah rindu menimang cucu darimu."

Bagus Seto tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Belum tiba saatnya, ibu. Saya masih suka menyendiri, mengarungi Bumi Nusantara yang luas ini."

Pada saat itu, Ki Patih Tejolaksono memasuki ruangan tengah itu. Ketika melihat isterinya menggapai Bagus Seto masuk ke dalam, hati Ki Patih ini sudah dapat menduga maka diapun menyusul ke dalam.

"Bagus Seto, bagaimana dengan engkau? Siapa yang akan menjadi jodohmu?"

"Baru saja kami membicarakannya kakangmas." kata Ayu Candra dengan suara kecewa. "Akan tetapi dia masih belum menentukan pilihannya, masih suka menyendiri dan ingin berkelana mengarungi Bumi Nusantara."

"Hemm, bagaimanakah engkau ini, kulup? Usiamu sudah tiga puluh tahun. Akan menanti kapan lagi? Tunjukan puteri mana yang kau.kehendaki dan aku tentu akan meminangkan untukmu," kata Ki Patih Tejolaksono.

"Terima kasih, kanjeng romo. Akan tetapi jodoh berada di Tangan Sang Hyang Widhi. Kalau belum jodohnya tentu tidak akan bertemu. Pula, hati saya belum tertarik untuk urusan perjodohan, kanjeng romo. Harap kanjeng romo dan kanjeng ibu tidak menjadi kecewa dan suka memaafkan puteranda."

"Akan tetapi, kulup Bagus Seto. Adikmu Retno Wilis sudah memperoleh jodoh, kenapa engkau malah belum? Apakah adikmu harus menikah lebih dulu?" tanya Ki Patih Tejolaksono.

Bagus Seto tersenyum. "Saya merasa berbahagia sekali bahwa diajeng Retno Wilis telah memperoleh jodoh seorang pemuda yang bijaksana dan budiman. Saya merasa yakin bahwa diajeng Retno Wilis akan memperoleh kebahagiaan hidup dibawah bimbingan adimas Jayawijaya. Tidak mengapa kalau ia menikah lebih dulu, kanjeng romo. Jodoh masing-masing tidaklah dapat ditentukan."

"Aku hanya khawatir kalau-kalau engkau tidak mau menikah dan akan hidup sebagai seorang pertapa. Ingat, hanya engkau yang menjadi tumpuan harapanku untuk memperoleh keturunan dari ayah, anakku."

Bagus Seto kembali tersenyum. "Kalau Sang Hyang Widhi menghendaki, apapun yang akan terjadi kepada saya tentu akan saya terima dengan rela, kanjeng romo. Untuk penyerahan seperti ini kita harus banyak belajar dari adimas Jayawijaya."

Para tamu mulai berpamitan meninggalkan kepatihan dan kembali ke tempat masing-masing. Ki Patih Tejolaksono lalu mengawal para tawanan menuju ke istana Sang Prabu di Panjalu di persidangan dan di situ Sang Prabu memutuskan tindakan apa yang akan dijatuhkan kepada kedua orang adipati itu.

Sang Prabu Panjalu adalah seorang yang bijaksana. Beliau mengerti bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh dua orang adipati terutama sekali karena ada dorongan, dan dari para utusan Cola dan persekutuan mereka dengan Bali dwipa. Maka Sang Prabu memaafkan mereka, mengangkat Adipati Martimpang kembali menjadi adipati di Nusabarung. Juga beliau mengangkat Adipati Menak Sampar kembali menjadi adipati di Blambangan dengan disertai janji dan sumpah bahwa mereka tidak lagi akan mengulang perbuatan mereka yang memberontak terhadap Panjalu dan Jenggala.

Tentu saja kedua orang adipati itu sekeluarga merasa bersyukur sekali dan setelah menghaturkan sembah dan terima kasih, mereka semua lalu kembali ke kadipaten masing-masing, siap untuk mengadakan, pesta pernikahan bagi anak-anak mereka.

Jayawijaya melangsungkan pernikahannya dengan Retno Wilis. Pernikahan ini dilangsungkan secara meriah sekali dan mengingat akan jasa Ki Patih Tejolaksono, Sang Prabu di Panjalu dan Jenggala berkenan menghadiri pesta pernikahan itu.

Setelah menikah, di dalam kamar mereka, Jayawijaya berkata kepada isterinya. "Diajeng, setelah sebulan tinggal di sini, aku akan mengajakmu ke Tengger dan kita tinggal di sana, Tentu engkau suka tinggal bersamaku di sana, bukan?"

Retno Wilis melirik manja. "Tentu saja. Di mana engkau tinggal, di sanalah tempatku berada, kakangmas."

"Akan tetapi, diajeng. Engkau terbiasa hidup di kepatihan yang serba mewah dan hidup senang. Apakah engkau akan betah tinggal di pegunungan yang sunyi, sebagai seorang petani yang hidup bersahaja?"

Retno Wilis tersenyum. "Hidup di manapun sama saja kakangmas. Aku sudah pernah hidup di dalam hutan, pernah hidup di kota raja, dan pernah menjadi pengembara. Kebahagiaan bukan ditentukan oleh keadaan lahir, melainkan keadaan batin. Di mana saja aku hidup, kalau berada di sampingmu, aku akan selalu merasa bahagia, kakangmas!"

Jayawijaya merangkul isterinya dengan hati bahagia. "Berbahagia sekali aku mendapatkan seorang isteri seperti engkau, diajeng."

"Aku hanya isterimu yang bodoh dan membutuhkan bimbinganmu dalam hidup ini, kakangmas. Aku akan merasa berbahagia kalau engkau bahagia."

Sepekan kemudian, keluarga Ki Patih Tejolaksono mengantarkan Bagus Seto yang berpamit untuk pergi mengembara. Mereka mengantar pemuda itu sampai keluar kota raja dan baru berhenti setelah tiba di luar batas kota, melihat pemuda itu berjalan perlahan mendaki sebuah bukit di timur. Makin ke atas, gerakan pemuda itu semakin cepat sehingga akhirnya yang tampak hanya titik putih seperti seekor garuda putih yang melayang menjauh.

Ayu Candra mengusap matanya yang menjadi basah. Ki Patih Tejolaksono merangkulnya. "Relakanlah, diajeng. Dia menuju kepada kebahagiaannya dan kalau memang Sang Hyang Widhi menghendaki, kita tentu akan bertemu lagi dengan dia, putera kita."

Mereka lalu kembali ke kepatihan dan sebulan kemudian Retno Wilis diajak pergi Jayawijaya, suaminya, menuju ke Tengger untuk menemui ayahnya, Ki Panji Kelana. Sementara itu, Jarot melaksanakan pernikahannya dengan Dyah Ayu Kerti yang diboyongnya ke kadipaten Pasisiran. Saroji, putera Ki Haryosakti, menikah dengan Dyah Candramanik dan oleh Adipati Martimpang di Nusabarung, mantunya itu disuruh tinggal di Nusabarung dan diberi kedudukan senopati. Adapun Harjadenta memboyong Sarmini puteri Ki Haryosakti ke Gunung Raung di mana dia tinggal bersama Empu Gandawijaya, gurunya. Harjadenta ini kemudian kelak menjadi seorang empu pembuat keris yang pandai.

Sementara itu, Kerajaan Jenggala tampak semakin mundur. Kejayaannya kalah oleh Kerajaan Panjalu dan akhirnya, melihat betapa daerah-daerah di timur, terutama Bali dwipa masih selalu merupakan daerah rawan, Kerajaan Jenggala bersatu dengan Kerajaan Panjalu dan berubah kembali menjadi Kerajaan Kediri yang semakin besar, kuat dan jaya.

Sampai di sini, selesailah sudah kisah Sepasang Garuda Putih ini dengan harapan pengarang bahwa selain sebagai bacaan hiburan, kisah ini mengandung manfaat semua. Sampai Jumpa di lain cerita!

TAMAT