Perawan Lembah Wilis Jilid 38 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 38

DARIPADA menolak dan mereka semua terbunuh, bukankah lebih menguntungkan kalau dia seorang saja yang tewas sedangkan mereka bertiga itu bebas? Suminten hanya menghendaki dirinya, maka jalan satu-satunya untuk menyelamatkan isterinya, Pusporini dan Joko Pramono adalah berpura-pura menyerah. Mereka masih muda-muda, berhak untuk hidup puluhan tahun lagi. Tiba-tiba terdengar suara Pusporini melengking nyaring, tertawa. Kemudian gadis yang agaknya menyelami pikiran Pangeran Panji Sigit itu berkata,

"Heh, Suminten perempuan tak bermalu! Kalau penawaran itu kau ajukan kepada orang lain, mungkin mereka itu akan menganggap amat baik mengorbankan diri sendiri demi kebebasan tiga orang yang dikasihinya. Akan tetapi andaikata aku yang kau tawari hal rendah itu aku akan mengatakan bahwa aku akan bangga menyaksikan tiga orang yang kukasihi tewas sebagai satria-satria sejati, berkorban demi negara dan demi kebenaran!"

Ucapan gadis perkasa ini seolah-olah percikan air sewindu yang dingin sejuk, menyadarkan Pangeran Panji Sigit dari lamunannya. Ia kini sadar bahwa yang terpenting bukanlah nyawa dan hidupnya tiga orang yang dikasihinya itu, melainkan kehormatan mereka sebagai pembela-pembela kebenaran. Kalau ia menyerah lalu tewas dan mereka bertiga itu terbebas, mereka bertiga akan hidup merana dan merasa terhina selamanya. Apalagi Setyaningsih, tentu akan tersiksa hidupnya dan menganggap suaminya seorang pengecut yang mudah tunduk terhadap rayuan seorang wanita iblis macam Suminten.

"Duh Yayi Pusporini, terima kasih! Suminten, kau sudah mendengar sendiri, dan begitulah jawabanku untuk penawaran dan rayuanmu yang keji dan palsu itu!"

Suminten merasa seperti ditampar mukanya, akan tetapi ia masih belum putus asa. Pendirian Pangeran Panji Sigit dan Pusporini seperti itu, akan tetapi belum tentu demikian pendirian Joko Pramono, pemuda yang bertubuh tegap dan kejantanannya menarik hatinya dan membangkitkan berahinya itu. Ia memandang kepada Joko Pramono dan berkata, "Bagaimana dengan engkau, Joko Pramono? Bagaimana pendapatmu kalau kau kuangkat menjadi komandan pengawal dalam istana, hidup di sini dengan aman dan makmur seorang diri atau berdua dengan Pusporini yang kaucinta?"

"Aku tidak sudi! Kalau engkau ingin menjilati telapak kaki iblis betina ini, Joko, silahkan akan tetapi aku lebih baik mati!" bentak Pusporini dengan galak.

Joko Pramono tersenyum. "Jangan khawatir, Rini dewi pujaan hati yang terkasih. Wanita ini kuanggap sebagai ular beracun, mana aku sudi mendengarkan bujukannya? Seribu kali lebih baik mati daripada menyerah kepada wanita ini!"

Suminten tidak merasa sakit hati mendengar jawaban ini, malah kini ia memandang kepada Setyaningsih yang sejak tadi memandangnya penuh kebencian, lalu berkata, "Setyaningsih, aku tahu betapa engkau mencinta suamimu. Mengapa engkau tega benar melihat suamimu terancam bahaya maut? Apakah kau akan tega kalau melihat suamimu disiksa sampai mati, sekerat demi sekerat, di depan kakimu? Kau bujuklah suamimu agar suka menyerah dan menuruti permintaanku dan engkau akan hidup bahagia di sini bersama suamimu yang akan menjadi pangeran mahkota dan kelak mungkin menjadi raja di Jenggala dan engkau menjadi permaisurinya!"

Setyaningsih memandangnya dengan sinar mata makin marah, lalu menjawab, "Suminten, aku mendengar bahwa engkau adalah bekas pelayan, bekas abdi dalem Ayunda Endang Patibroto. Biarpun sekarang dengan kelicikanmu engkau telah menduduki tempat tinggi, namun watakmu lebih rendah daripada watak seorang abdi dalem yang paling rendah. Lebih rendah daripada watak seorang Sudra yang paling hina! Aku adalah seorang wanita berdarah satria, apa yang diucapkan suamiku, apa yang menjadi pendirian suamiku adalah pendirianku pula sampai mati!"

Suminten merasa mendongkol sekali hatinya, akan tetapi patut dipuji wanita ini yang pandai menyembunyikan perasaan tidak senang ini di balik senyum manis. Senyumnya manis memikat, kerling matanya seperti kerling mata orang yang ramah, akan tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya sebelum meninggalkan empat orang tawanan itu mengandung ancaman yang mengerikan.

"Baiklah, saat ini kalian boleh merasa bangga akan kekerasan hati dan menganggap kalian gagah dan menang boleh menertawakan aku dan menganggap aku kalah. Akan tetapi kalian belum mengenal Suminten! Akan tiba saatnya kalian menyembah dan meratap minta diampuni." Setelah berkata demikian, wanita ini membalikkan tubuhnya dan pergi dari tempat itu, meninggalkan empat orang muda yang saling pandang dan sama sekali tidak bernapsu untuk mentertawakan Suminten.

********************

"Kita harus menolong mereka! Kalau tidak segera ditolong, keadaan mereka akan terancam bahaya besar..."

Wiraman berkata sambil mengepalkan tinju. Baru saja menerima laporan mata-matanya yang beroperasi di Kota Raja Jenggala, bahwa Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Pusparini dan Setyaningsih telah menjadi tawanan di dalam kamar tahanan istana, dan bahwa keselamatan nyawa mereka terancam karena didesas-desuskan keluar istana bahwa keempat orang muda itu telah memberontak. Widawati memandang suaminya, dan berkata, "Memang tidak ada jalan lain. Kita berdua harus menyelundup ke kota raja dan menolong mereka. Hanya kita yang dapat menolong mereka, karena kita yang lebih mengenal akan keadaan di istana."

Wiraman memegang tangan Widawati dengan penuh kasih sayang. Wanita muda ini telah menjadi selirnya dan di antara mereka biarpun terdapat perbedaan usia yang cukup banyak, telah terjalin cinta kasih dan pengertian yang kokoh kuat.

"Adinda Widawati isteriku yang tercinta. Tugas menolong mereka itu akan kulakukan sendiri dan engkau tak perlu ikut, Adinda. Tugas ini amat berbahaya dan akulah yang mengetahui dengan jelas akan seluk-beluk rumah tahanan di istana dengan semua alat rahasianya. Ingat, aku pernah bertugas sebagai kepala penjaga di sana."

"Tidak, Kakang Wiraman. Aku harus ikut karena ini juga menjadi tugasku. Dengan menentang Suminten berarti aku telah melaksanakan dharma baktiku terhadap keluargaku yang terbasmi gara-gara kekejaman Suminten. Di samping itu, sudah terlalu lama kita berkumpul dan sekarang aku tidak akan dapat berpisah lagi dari sampingmu. Ingatkah janjimu, Kakang? Kita hidup bersama mati berdua, senang sama dinikmati dan susah sama diderita?"

Wiraman menggeser duduknya, mendekat dan merangkul wanita muda dan cantik yang menjadi selirnya yang tercinta itu. Selama hidupnya, biarpun ia dahulu menjadi seorang pengawal pilihan yang berkedudukan tinggi di kepatihan Jenggala, belum pernah Wiraman mempunyai selir. Sekarang, setelah mereka berdua menjadi korban racun ular wilis sehingga melakukan hubungan sanggama dan terpaksa mereka saling terikat sebagai suami isteri, Wiraman merasa betapa kasih sayangnya terhadap wanita ini makin lama makin mendalam.

"Duhai Yayi Widawati, isteriku yang budiman. Alangkah akan bahagia rasa hatiku kalau dapat hidup aman dan tenteram dalam sebuah rumah tangga di sampingmu dan isteri tua serta putera-puteriku. Adinda akan merupakan cahaya matahari dalam rumah tanggaku. Isteriku akan bangga mempunyai madu seperti Adinda, dan putera-puteriku akan menganggap Adinda sebagai contoh dan guru yang pandai !"

Widawati tersenyum sehingga lesung pipit di samping bibirnya nampak makin jelas. "Semoga Dewata akan mengabulkan harapan Kakanda. Setelah tugas kita berhasil baik dan selesai, tentu akan tercapai idaman hati kita."

"Semoga begitulah, atau kalau gagal...!:

"Kita mati bersama," sambung Widawati, dan mereka berangkulan dengan hati penuh keharuan. Tidak ada kata-kata yang dapat dikeluarkan akan dapat lebih jelas menunjukkan perasaan hati mereka yang penuh cinta kasih dan penuh keprihatinan menghadapi tugas berat itu. Namun mereka berdua manusia yang saling mencinta ini memiliki pegangan yang amat kuat, yaitu cinta mereka dan keyakinan bahwa hidup atau mati, mereka takkan saling berpisah. Cinta yang demikian besar amatlah kuatnya, mengatasi segala keraguan dan kekhawatiran, bahkan dengan modal cinta seperti itu, mereka akan menghadapi maut dengan mulut tersenyum.

Demikianlah, pada keesokan harinya, menjelang senja, Wiraman dan Widawati berhasil menyelundup memasuki kota raja. Tentu saja tidaklah begitu sukar bagi Wiraman untuk menyelundup masuk dalam kota raja yang dahulu menjadi daerah dia bertugas. Tidak ada lorong atau jalan rahasia yang tak dikenalnya dan pada malam harinya Wiraman dan Widawati sudah berhasil pula menyelundup masuk ke dalam kompleks bangunan tahanan di istana.

Tentu saja mereka tidak menempuh jalan depan seperti yang dilakukan Joko Pramono, Pusporini dan Setyaningsih dua hari yang lalu, melainkan mengambil jalan rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang dalam saja.

Mereka berdua muncul dari lorong rahasia itu dan tiba di bagian belakang bangunan tahanan, menyelinap di bawah pohon dan bersembunyi di bayangan yang gelap. Untuk keperluan tugas penting menyelamatkan empat orang tawanan, Wiraman dan Widawati sudah bersiap-siap.

Widawati mengenakan pakaian ringkas, bahkan bajunya ringkas tak berlengan, sebatang keris pusaka terselip di pinggang, rambutnya yang hitam panjang diikat ke atas agar tidak mengganggu gerakannya. Adapun Wiraman sendiri bertelanjang baju sehingga tampak dadanya yang bidang dan kuat, sarung di luar celananya diikatkan ke pinggang dan tangannya memegang sebatang golok tajam, wajahnya serius dan penuh kewaspadaan.

Setelah digembleng selama dua tahun oleh Resi Mahesapati, kepandaian Wiraman meningkat dan kini ia menjadi seorang yang digdaya, sedangkan Widawati yang dahulunya seorang gadis yang lemah kini menjadi seorang gadis yang boleh diandalkan dalam pertandingan melawan musuh berat.

"Kita membobol jendela itu yang menuju ke dapur tahanan sang pangeran," bisik Wiraman.

Widawati memandang ke depan. Dari bawah pohon itu, sejauh lima puluh meter, tampaklah jendela itu, sebuah jendela besar yang atasnya pada dinding batu diukir muka seorang raksasa sehingga jendela dengan ruji-rujinya dari besi itu merupakan mulut raksasa. Akan tetapi di depan jendela itu terdapat empat orang penjaga yang berdiri tegak memegang tombak. Agaknya penjagaan di tempat tahanan itu amat kuat, sehingga jendela dapur saja dijaga oleh empat orang!

"Dijaga kuat...." bisik Widawati di dekat telinga Wiraman.

"Jendela itu jalan masuk yang paling mudah dan penjaganya hanya empat orang. Melalui jalan lain tak mungkin pintu-pintu dijaga oleh lebih banyak penjaga. Kita harus robohkan mereka. Wati engkau robohkan penjaga yang berdiri paling kiri, dialah yang paling lemah di antara mereka. Sanggupkah?"

Widawati mengangguk dan memandang calon lawan itu dengan mata bersinar sambil meraba gagang keris yang terselip di pinggangnya. Melihat Widawati sudah siap, Wiraman menyentuh lengan yang berkulit harus itu, berbisik,

"Tunggu sampai mereka menoleh ke arah sambitan batu dari tanganku, baru turun tangan secepatnya, jangan memberi kesempatan mereka memekik. Mari kita mendekat, ke bawah pohon depan jendela itu."

Kembali Widawati mengangguk dan mereka berdua lalu menyelinap melalui tempat gelap sehingga akhirnya mereka bersembunyi di balik batang pohon dekat jendela dan tempat para penjaga berdiri hanya beberapa meter saja dari mereka. Jantung kedua orang ini berdebar. Wiraman menyentuh lengan Widawati, kini tidak lagi mereka berani saling berbisik. Widawati menoleh, mereka berpandangan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi lampu yang tergantung di sudut atas, dekat jendela. Biarpun mulut mereka tidak berbicara, namun sepasang mata mereka berbicara banyak mencurahkan isi hati, sama-sama maklum bahwa saatnya telah tiba di mana mereka akan mempertaruhkan nyawa. Kalau berhasil, mereka akan dapat menyelamatkan empat orang tokoh penting yang mereka junjung tinggi, kalau gagal berarti mereka akan tewas dan tidak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk saling mengucapkan selamat berpisah di dunia ini.

Sedetik mereka terharu dan seperti ada yang menggerakkan, keduanya saling mendekatkan muka dan berciuman sebagai pengganti kata-kata. Ciuman yang amat mesra, ciuman yang mendatangkan semangat dan menambah keberanian karena dalam ciuman itu mereka dapat merasakan cita kasih masing-masing yang amat mendalam sehingga mereka yakin bahwa hidup atau mati, mereka takkan berpisah lagi. Setelah menghentikan ciuman, mereka saling pandang. Wiraman mengangguk sebagai pertanyaan dan Widawati mengangguk bagai jawaban bahwa ia telah siap.

Wiraman mengambil segenggam kerikil dari atas tanah, kemudian setelah mengukur jarak, ia menyambitkan genggaman itu ke arah kanan. Empat orang penjaga itu mendengar suara berkerosok di kanan, cepat menengok, bahkan memutar tubuh ke kanan dengan seluruh perhatian dicurahkan untuk melihat apa yang menimbulkan bunyi itu. Dan pada detik itu, Wiraman dan Widawati meloncat keluar dengan gerakan cepat bagaikan dua ekor harimau menerkam. Widawati yang sejak tadi sudah memperhatikan penjaga yang tadi di ujung kiri menerjang maju, kerisnya diayun. Penjaga itu terbelalak kaget, memutar tubuh dan menggerakkan tombak, namun terlambat karena pada saat itu, keris pusaka di tangan Widawati telah menancap tepat di ulu hatinya. Keris dicabut sambil meloncat ke samping agar tidak terkena muncratnya darah yang menyembur keluar dari dada, disusul robohnya penjaga itu.

Wiraman juga sudah menggerakkan goloknya sehingga tampak sinar putih berkelabat. Seorang penjaga roboh seketika dengan leher putus, penjaga ke dua roboh dengan perut robek dan isi perutnya keluar, akan tetapi penjaga ke tiga dapat menangkis sambaran golok dengan tombaknya. Tombak itu patah, akan tetapi ia dapat terhindar dari golok Wiraman. Namun, pada detik berikutnya, sebelum penjaga ini sempat berteriak keris di tangan Widawati telah amblas memasuki lambungnya dan robohlah penjaga itu pula. Tubuh keempat orang penjaga itu hanya berkelojotan sebentar lalu terdiam, tak bernyawa lagi.

Tanpa banyak cakap Wiraman lalu menyeret dan melempar empat batang mayat itu ke dalam semak-semak di bawah pohon, kemudian ia menggandeng tangan Widawati mendekati jendela yang kini tidak terjaga lagi. Mereka mengintai dari luar jendela melalui ruji-ruji jendela dan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa di sebelah dalam dapur rumah tahanan itu terdapat belasan orang penjaga lain yang sedang makan minum. Agaknya mereka adalah penjaga-penjaga yang tiba giliran beristirahat lalu mengenyangkan perut di dalam dapur itu.Wiraman dan Widawati cepat melompat menjauhi jendela, kembali ke bawah pohon.

"Tidak ada jalan lain, harus memancing semua penjaga keluar dari tempat tahanan, kemudian dalam keributan kita masuk melalui jendela, membebaskan mereka dan melarikan diri melalui terowongan rahasia yang terdapat dalam kakus kamar tahanan," bisiknya.

"Cara bagaimana memancingnya?"

Wiraman menunjuk ke arah lampu yang tergantung di atas jendela. "Dengan api."

Ketika melihat kekasihnya mengangguk, Wiraman berbisik lagi, "Kau tunggu di sini, aku akan membakar gudang perlengkapan di sebelah kanan itu. Setelah terjadi kebakaran dan keadaan geger, pergunakan golok ini untuk membabat putus ruji-ruji jendela."

Wiraman menyerahkan golok lalu menyelinap pergi. Widawati memandang ke arah lenyapnya bayangan suaminya dengan jantung berdebar tegang. Tak lama kemudian tampaklah api berkobar di sebelah kanan dan terdengar teriakan-teriakan orang. Widawati melihat betapa banyak penjaga lari berserabutan keluar dari dalam rumah tahanan. Ia cepat menghampiri jendela dan mengintai.

Girang hatinya melihat dapur itu kosong dan para penjaga yang tadi makan minum tidak nampak lagi, hanya tinggal bekas-bekas makanan dan minuman yang agaknya ditinggalkan dalam keadaan tergesa-gesa. Widawati lalu menggerakkan goloknya membabat ke arah jendela yang beruji besi.

"Trangggg...." Golok itu terpental dan terlepas dari tangan Widawati karena tertangkis oleh sebatang keris yang digerakkan sebuah lengan tangan yang kuat sekali.

"Ha-ha-ha, sudah kuduga! Menimbulkan kebakaran untuk memancing para penjaga keluar! Kiranya seorang wanita yang cantik manis berani mati hendak menolong para tawanan. Aha, engkau boleh juga, manis, patut menjadi tawananku dalam kamar tidurku. Ha-ha-ha, senangkan hatimu karena menjadi tawanan Patih Warutama adalah hal yang amat nikmat dan menyenangkan!"

Mendengar bahwa orang yang menangkis goloknya itu adalah Patih Warutama, kemarahan dan kebencian Widawati tak dapat ia bendung lagi. Tangan kanannya mencabut keluar kerisnya, dan telunjuk kirinya menuding.

"Si keparat! Kiranya engkau inilah Warutama manusia iblis yang bersekongkol dengan iblis betina Suminten dan menghancurkan seluruh keluarga kakekku, Eyang Patih Brotomenggala? tahanan laknat, rasakan pembalasan Widawati, cucunya!"

Ucapan ini disusul dengan terjangan Widawati yang marah sekali. Ia menyerang dengan kerisnya, dan biarpun kepandaiannya sama sekali belum ada artinya kalau dibandingkan dengan kesaktian Ki Patih Warutama, namun dalam keadaan marah dan benci itu ia menjadi nekat dan gerakannya amatlah dahsyat dan ganas.

Ki Patih Warutama juga terkejut nendengar bahwa wanita muda yang cantik ini adalah cucu mendiang Ki Patih Brotomenggala. Tentu saja keturunan Brotomenggala harus dibasmi, akan tetapi sifat mata keranjang Warutama membuat ia merasa sayang kalau wanita cantik ini harus dibunuh begitu saja. Sebelum dibunuh akan ia tangkap dulu, dan memaksa seorang wanita untuk menuruti nafsunya merupakan hal yang menyenangkan bagi laki-laki yang berwatak bejat ini.

Sambil tertawa ia mengelak, tangan kanannya mencengkeram ke arah pergelangan tangan Widawati dengan gerakan amat cepat sehingga Widawati kaget sekali dan tentu saja ia segera menarik kembali kerisnya agar jangan terampas lawan. Akan tetapi ternyata bahwa gerakan cengkeraman dengan tangan kanan itu hanya gertak belaka, atau pancingan karena yang sesungguhnya bergerak adalah tangan kirinya yang tahu-tahu telah menyelonong maju, memegang dan membelai dada Widawati dengan remasan!

"Jahanam...!" Widawati menjerit.

"Ha-ha-ha-ha, engkau denok menggairahkan, manis!" Warutama mengejek sambil tertawa-tawa.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan Wiraman telah muncul di situ. Ketika Wiraman melihat isterinya berhadapan dengan Ki Patih Warutama, ia terkejut bukan main. Cepat ia menyambar golok yang menggeletak di atas tanah.

"Yayi Widawati, isteriku yang terkasih. Saat bagi kita berdharma bakti telah tiba. Keparat ini adalah Warutama, kita harus menandinginya dan mengadu nyawa!"

"Aku sudah tahu, Kakang Wiraman. Mari kita basmi iblis ini!" jawab Widawati.

"Apa? Cucu Brotomenggala ini isterimu? Heh, keparat, siapakah engkau berani membikin kacau di sini?"

"Buka telingamu baik-baik, Warutama. Aku Wiraman bekas pengawal rahasia kepatihan Janggala dan aku pernah melihat ketika engkau melakukan permainan sandiwaramu menolong sang prabu...."

"Babo-babo, engkau mencari mampus....!" Warutama menjadi marah sekali karena orang ini merupakan orang yang amat berbahaya, yang mengetahui rahasianya ketika menjalankan siasat untuk menipu Raja Jenggala. Ia telah menghunus kerisnya sambil loncat menghindar ketika golok Wiraman menyambar, kemudian ia menangkis tusukan keris Widawati dengan kerisnya sendiri.

Widawati mengeluh karena telapak tangannya terasa panas dan hampir saja kerisnya terlepas dari pegangan tangannya. Akan tetapi ia menerjang terus dengan nekat. Juga Wiraman yang cukup maklum betapa saktinya patih baru dari Jenggala ini, menggerakkan goloknya dengan nekat dan menghujankan serangan bertubi-tubi yang selalu dapat dielakkan atau ditangkis oleh Patih Warutama.

Ki Patih Warutama menjadi penasaran dan juga heran. Setelah dua tahun yang lalu, ketika ia menghadapi para pengawal rahasia yang dikirim Patih Brotomenggala untuk melindungi sang prabu, ia menganggap para pengawal itu berkepandaian biasa saja. Akan tetapi mengapa pengawal ini memiliki kepandaian yang cukup hebat sehingga ia tidak dapat merobohkannya dalam waktu singkat? Juga cucu Patih Brotomenggala ini, biarpun gerakannya terlatih, akan tetapi memiliki dasar ilmu yang tinggi. Kalau tidak lekas dibasmi, pengawal ini amat berbahaya dan cucu Brotomenggala itu pun amat berbahaya, pertama sebagai cucu bekas musuh besarnya, ke dua sebagai isteri Wiraman yang tahu akan semua rahasianya dahulu.

Dengan penasaran, Ki Patih Warutama lalu mengeluarkan pekik dahsyat dan tiba-tiba tubuhnya bergulingan di atas tanah seperti seekor trenggiling. Itulah Aji Trenggiling-wesi yang amat dahsyat dan banyak gerak tipunya. Sambil bergulingan dia mencari kesempatan untuk meloncat dan mengirim serangan tiba-tiba. Menghadapi ilmu bertanding yang aneh itu, Wiraman dan Widawati menjadi bingung dan mereka hanya dapat mengikuti gerak lawan yang bergulingan itu untuk dipapaki serangan kalau bangkit berdiri.

"Haaiiiitttt !" Tiba-tiba tubuh Ki Patih Warutama mencelat ke atas dengan gerakan yang sukar diduga sebelumnya.

Sambil meloncat ini ia mengayun keris pusaka Naga-kikik yang bereluk tujuh itu dan mengeluarkan sinar hijau dingin. Sinar hijau berkelebat menyentuh dada Wiraman dan Widawati, tampaknya , hanya menyerempet saja, akan tetapi ujung keris Naga-kikik itu menjadi merah oleh darah yang memancur keluar dari ulu hati Wiraman dan Widawati.

Kedua orang gagah ini merintih, golok dan keris terlepas dari tangan. Keris Naga-kikik itu mengandung racun yang berhawa dingin sehingga siapa terkena akan menjadi beku darahnya. Wiraman dan Widawati pun yang tertusuk ulu hatinya hanya mengeluarkan darah sekali mancur lalu membeku, keduanya terhuyung, tangan meraih sambil membuka mata saling pandang berhasil saling peluk, roboh terguling bersama dan menghembuskan napas terakhir pada detik yang sama. Mereka tewas dalam keadaan saling berdekapan, mati bersama sesuai dengan janji-janji mesra di kala mereka memadu cinta.

Para pengawal berdatangan dan Ki Patih Warutama memberi perintah, "Seret mayat mereka ini, merekalah yang melakukan pembakaran dengan maksud merampas tawanan. Seret dan ikat di tengah alun-alun, biar besok semua rakyat dapat melihati"

Pada keesokan harinya, berduyun-duyun penduduk di sekitar kota raja berdatangan untuk melihat dua orang penjahat yang membakar gudang istana. Akan tetapi betapa kaget dan ngeri hati mereka ketika mengenal mayat laki-laki itu sebagai mayat Wiraman, seorang pengawal kepatihan dahulu yang amat disegani dan dihormati karena gagah perkasa dan baik budi. Apalagi ketika mereka mengenal mayat Widawati yang seringkali dikagumi tari-tariannya semenjak masih kecil. Biarpun tidak ada yang berani secara terang-terangan, namun banyaklah penduduk yang diam-diam menangisi kematian demikian menyedihkan dari dua orang itu, terutama sekali kematian Widawati.

Segala yang terjadi dan tampak oleh pandangan mata manusia keadaannya seringkali tidak sesuai dengan pendapat manusia yang menyaksikannya, bahkan kadang-kadang berlawanan. Orang-orang menjadi terharu, menangisi kematian Wiraman dan Widawati yang mereka anggap amat menyedihkan. Akan tetapi, bagaimanakah sesungguhnya? Adakah kematian mereka itu benar-benar menyedihkan, tentu saja terutama sekali bagi dua orang itu sendiri?

Hal ini amat diragukan dan sungguhpun keadaan mati tak dapat dibuktikan oleh manusia hidup, namun mengingat akan janji-janji mereka berdua sebelumnya, kematian bersama itu belum tentu merupakan peristiwa yang menyedihkan bagi Wiraman dan Widawati. Siapa tahu kalau arwah kedua orang yang saling mencinta ini bergandeng tangan sambil tersenyum-senyum bahagia menyaksikan dunia dengan segala leluconnya yang mereka tinggalkan untuk selamanya.

Patih Warutama menyuruh mempertontonkan kedua sosok mayat itu kepada penduduk dengan maksud agar mereka yang masih mempunyai niat memberontak menjadi gentar dan maklum akan kekuatan mereka yang kini menguasai Jenggala. Akan tetapi, keadaan sesungguhnya bukanlah demikian karena rakyat diam-diam menjadi makin muak dan benci akan kekejaman-kekejaman dan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi semenjak Suminten menjadi selir raja terkasih, semenjak Pangeran Kukutan menjadi putera mahkota, dan semenjak Ki Patih Warutama menjadi Patih Jenggala. Kebencian dan kemuakan yang menjadi rabuk berseminya rasa tak puas dan ingin memberontak dari rakyat!

Adapun tentang kematian Wiraman dan Widawati itu sendiri. Sia-siakah pengorbanan mereka? Sia-siakah usaha mereka membebaskan empat orang tawanan? Sia-siakah mereka mengorbankan nyawa sedang empat orang tawanan itu masih tetap tertawan? Kiranya tidaklah demikian dan hal ini akan terbukti dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya. Peristiwa yang menyusul karena terjadi pada siang harinya setelah malam keributan di bangunan tempat tahanan itu.

cerita silat online karya kho ping hoo

Ketika Suminten mendengar akan usaha Wiraman dan Widawati yang hendak merampas tawanan dengan jalan membakar gudang, ia menjadi marah sekali dan habis kesabarannya. Ia cepat memberi perintah kepada pengawalnya, kemudian dia sendiri datang ke tempat tahanan untuk menyaksikan pelaksanaan usahanya yang terakhir untuk memaksa Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono bertekuk lutut di depannya. Ia merasa yakin bahwa akalnya yang terakhir ini akan berhasil dan harus berhasil, karena kalau tidak, ia sudah mengambil keputusan untuk membunuh empat orang muda yang keras hati itu.

Keputusannya itu tentu saja mengecewakan hati Ki Patih Warutama dan Pangeran Kukutan yang mempunyai niat lain lagi terhadap dua orang wanita cantik yang menjadi tawanan. Pangeran Kukutan yang selalu merasa iri hati kepada Pangeran Panji Sigit, begitu melihat Setyaningsih sudah timbul hasrat hatinya untuk merampas isteri adik tirinya itu, atau setidaknya memperkosanya, baru akan puaslah hatinya.

Adapun Ki Patih Warutama tertarik akan kecantikan Pusporini, bahkan malam tadi ia sampai tersesat ke tempat tahanan semata-mata bermaksud untuk melihat Pusporini dan kalau mungkin, mendahului Suminten menggagahi gadis itu. Akan tetapi peristiwa pembakaran gudang membuat ia terpaksa membatalkan niatnya dan kini keputusan Suminten itu mengecewakan hatinya. Namun, baik Pangeran Kukutan maupun Patih Warutama tidak berani membantah lagi ketika Suminten berkata,

"Kalau yang dua jantan suka menyerah kepadaku, yang dua betina akan kuserahkan kepada kalian. Kalau tidak, keempatnya akan kubunuh hari ini juga!"

Di dalam ruangan tahanan berdinding batu tebal dan kokoh kuat itu, telah diatur persiapannya oleh para pengawal. Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono masih terbelenggu di dinding batu, akan tetapi Setyaningsih dan Pusporini telah dipindahkan. Kini kedua orang wanita itu diikat pada dua batang balok besar, diikat kaki, tangan dan lehernya pada balok itu sehingga mereka tak mampu bergerak.

Suminten duduk di luar kamar tahanan, menonton dari lubang jendela yang digerakkan dengan alat rahasia sehingga dinding yang berhadapan dengan kedua orang muda itu terbuka tengahnya dan kepala Suminten kelihatan dari dalam kamar tahanan. Melihat keadaan dua orang wanita itu, dan melihat munculnya kepala Suminten di balik lubang dinding, Pangeran Panji Sigit berseru,

"Suminten, andika seorang manusia dari darah daging, bukan siluman. Muslihat keji apakah yang hendak kaulakukan atas diri isteriku dan Pusporini? Kalau mau membunuh kami; bunuhlah karena kami tidak takut mati. Dan ingat, bahwa apapun juga yang anda lakukan, kami takkan menyerah dan andika akan melakukan hal yang sia-sia belaka."

Suminten tersenyum. "Pangeran, apa yang akan kulakukan bukanlah hal sia-sia, dan akan terjadi di depan mata kalian berdua. Baru dapat dihentikan dengan penyerahan diri kalian kepadaku tanpa syarat!"

Sehabis berkata demikian Suminten bertepuk tangan tiga kali memberi isyarat kepada kaki tangannya. Pintu kamar tahanan terbuka dan masuklah dua orang laki-laki yang keadaannya mengerikan hati Pusporini dan Setyaningsih. Mereka itu adalah dua orang laki-laki bertubuh besar dan bersikap kasar, bermuka liar dengan mata terbelalak lebar penuh nafsu, mulut yang besar dengan gigi yang menguning terkekeh-kekeh meneteskan air liur ketika mereka melangkah maju dan terkekeh-kekeh menghampiri dua batang balok berdiri di mana kedua orang wanita muda itu terikat tak berdaya!

Tanpa bicara sekalipun maklumlah Pusporini dan Setyaningsih, juga Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono, apa yang akan dilakukan oleh dua orang algojo setengah telanjang itu. Setyaningsih dan Pusporini menjadi pucat wajahnya, memandang kepada dua orang yang tubuhnya hanya ditutupi cawat kasar, tubuh setengah telanjang bulat yang berisi otot-otot melingkar seperti dadung dan begitu mereka masuk telah tercium bau keringat yang kecut dan apek.

"Mundur kalian! Jangan ganggu isteriku dan Pusporini!" bentak Pangeran Panji Sigit.

Akan tetapi dua orang raksasa itu hanya tertawa ha-hah-he-heh sambil langkah maju terus mendekati dua orang wanita itu.

"Kalau berani menjamah mereka, kuhancurkan lumat-lumat kepala kalian!" Joko Pramono juga berteriak yang dijawab dengan suara terkekeh-kekeh oleh dua orang itu.

Mereka sama sekali tidak memperdulikan ancaman kedua orang muda itu dan berdiri di depan Pusporini dan Setyaningsih, dekat sekali. Mereka kini kelihatan makin bernafsu dan air liur mereka menetes-netes menjijikkan. Keadaan mereka itu, ketika kedua orang wanita memandang wajah mereka, mengingatkan Pusporini dan Setyaningsih akan muka dua ekor anjing kelaparan melihat tulang. Napas mereka yang terengah engah keluar dari mulut menimbulkan bau yang lebih menjijikkan daripada bau keringat mereka, seperti bau sampah membusuk. Tidak akan mengherankanlah kiranya andaikata ada ulat-ulat berloncatan keluar dari mulut mereka, begitu busuk baunya.

Tadinya empat orang tawanan itu menyangka bahwa dua orang raksasa ini agaknya gagu, akan tetapi ternyata tidak demikian karena kini raksasa yang berdiri dekat Pusporini berkata, suaranya serak kasar seperti kaleng diseret.

"Wah-wah, Kakang Suro. Aku menjadi semlengeren (silau) melihat dua orang wanita denok montok dan segar ranum ini sehingga sukar untuk memilih. Kalau boleh keduanya saja untukku, ha-ha-ha!"

"Heessss, Adi Digdo, biar yang putih kuning dan denok montok ini untukku, yang manis legit itu untukmu!" jawab algojo yang berdiri di depan Setyaningsih sambil meraba dagunya dengan kepalan tangannya yang besar dan berbulu.

"Buaya darat, monyet kau! Celeng goteng kau! Coba lepaskan ikatanku dan aku akan menginjak-injak hancur kepala kalian berdua babi hutan! Kalau kalian begitu pengecut dan tidak berani melepaskan, bunuh saja kami berdua!" teriak Pusporini yang tak dapat menahan kemarahannya lagi.

"Wah-wah, eman-eman (sayang) kalau dibunuh, cah ayu...!" kata algojo yang bernama Digdo sambil memandang seolah-olah hendak menelan bulat-bulat tubuh Pusporini.

"Suro dan Digdo, jangan banyak cerewet! Lekas lakukan perintahku, tepat seperti yang kalian ketahui. Awas, kalau tidak tepat seperti perintahku, kusuruh penggal batang leher kalian!" Tiba-tiba terdengar suara Suminten dari balik lubang dinding.

Dua orang algojo itu terkejut, menoleh dan menyembah.

"Renggut baju mereka sampai habis lepas!" kembali Suminten berteriak.

Dua buah lengan penuh bulu dengan jari-jari tangan sebesar pisang ambon itu bergerak ke depan, mencengkeram baju Pusporini dan Setyaningsih.

"Breeettt.... breeeettt...!!"

Baju yang dipakai kedua orang wanita itu seperti kertas saja di tangan Suro dan Digdo dan dalam sekejap mata, sekali gentak dan renggut baju-baju itu robek semua dan terlepas dari tubuh bagian atas. Setyaningsih dan Pusporini memejamkan mata dan mereka menjadi telanjang dari pinggang ke atas.

Dua orang algojo itu memandang sambil menelan ludah, kedua tangan mencabik-cabik baju yang tadi menutupi tubuh atas Pusporini dan Setyaningsih. Diam-diam Suminten kagum dan iri hati menyaksikan keindahan tubuh atas kedua orang wanita itu. Harus ia akui bahwa biarpun tubuh atasnya sendiri pun indah dan terawat baik, namun tidaklah memiliki kesegaran seperti tubuh atas mereka.

Pada waktu itu, bertelanjang tubuh atas bagi wanita bukanlah merupakan hal yang terlalu berat. Akan tetapi keadaan mereka itu berbeda lagi, mereka tengah ditelanjangi oleh tangan kedua orang algojo itu dan hal ini merupakan penghinaan yang amat hebat.

Joko Pramono dan Pangeran Panji Sigit meronta-ronta namun hanya berhasil membuat rantai-rantai besar yang membelenggu mereka berkerontangan.

"Suminten, perempuan terkutuk! Bunuh saja Setyaningsih!" teriak Panji Sigit, hampir ia terisak menyaksikan penghinaan yang dihadapi isterinya tercinta.

"Suminten, engkau dan algojo-algojomu ini sekali waktu akan terjatuh ke tanganku, dan awaslah akan pembalasanku atas perlakuan yang kaujatuhkan pada Pusporini saat ini!" kata pula Joko Pramono, suaranya dingin akan tetapi mengandung ancaman yang jelas melebihi suara halilintar menyambar.

Suminten tersenyum penuh kemenangan. Memang itulah yang ia kehendaki. Menyiksa batin kedua orang pria itu agar suka tunduk dan berlutut di depan kakinya.

"Hi-hik, kalian merasa kasihan dan ngeri? Mengapa tidak menolong mereka dan membebaskan mereka dari keadaan yang lebih hebat lagi? Mudah saja dan ringan syaratnya, asal suka membantuku. Kalau kalian masih berkeras kepala, dengarkan apa yang akan dilakukan oleh kedua orang algojoku ini. Atas perintahku, mereka nanti akan merenggut lepas seluruh pakaian dua orang wanita itu. Setelah itu, mereka berdua akan membeIai dan meremas bagian-bagian tubuh Setyaningsih dan Pusporini, bagian-bagian yang kalian tak ingin dijamah laki-laki lain. Setelah puas, mereka itu akan kuperintahkan untuk memperkosa Setyaningsih dan Pusporini di depan mata kalian sekuat mereka sampai dua orang wanita pujaan hati kalian ini mati! Ya, akan kuperintahkan agar dua orang wanita ini diperkosa sampai mati di sini, tiada henti-henti sampai mereka berdua ini mati atau kedua orang algojo ini kurang kuat dan mereka yang diperkosa itu belum mati, akan kudatangkan dua orang algojo lain yang masih segar dan kuat untuk menggantikan mereka memperkosa Setyaningsih dan Pusporini, kemudian dua lagi, menjadi enam orang, sepuluh orang, dua puluh, sampai seratus orang, sampai Setyaningsih dan Pusporini kehabisan napas dan mati!"

"Perempuan iblis terkutuk..." Joko Pramono memekik, wajahnya pucat kini.

"Tidak... jangan... kau bunuh saja kami, Suminten, bunuh saja kami...!"

Pangeran Panji Sigit merintih suaranya lemah, air matanya bertitik menuruni pipinya. Melihat keadaan suaminya seperti itu, hati Setyaningsih seperti diiris-iris. Ia lupa akan keadaan dirinya sendiri, lenyap rasa ngerinya karena ia kasihan menyaksikan penderitaan batin yang ditanggung suaminya, maka ia lalu berkata lantang setengah menjerit,

"Kakangmas Pangeran, mengapa berduka? Tubuhku ini bukanlah milik paduka, bukan pula milikku, hanya tanah dan debu. Yang kita miliki adalah rasa cinta kasih yang takkan lenyap dan abadi, dan kita akan dapat berkumpul kembali setelah aku mati dan kemudian paduka menyusul. Biarlah mereka lakukan apa saja atas tubuh bukan milik kita ini, Kakangmas."

Semua orang tertegun bagaikan disiram air dingin mendengar ini. Suminten merasa seperti ditampar mukanya, bahkan dua orang algojo itu sejenak terbelalak.

"Duh Ayunda, engkau bijaksana sekali dan terima kasih...." bisik Pusporini di sampingnya dan kini gadis inipun dapat memandang kekasihnya dengan tabah dan wajah berseri-seri, seolah-olah apa yang akan dialami dan yang berakhir dengan kematian merupakan saat-saat dia hendak melangsungkan pernikahan dengan Joko Pramono, pernikahan di akhirat!

"Isteriku Setyaningsih yang tercinta! Maafkanlah kakanda yang diserang kelemahan tadi. Kini hatiku lega dan marilah kita hadapi hukuman tubuh yang penuh dosa dengan segala penyerahan kepada Hyang Widi. Suminten, jangan mengira bahwa kejahatan dapat mengalahkan kebajikan, bahwa iblis dapat mengalahkan dewata, lakukanlah sesuka hatimu, wahai perempuan malang calon intip neraka!" kata Pangeran Panji Sigit.

"Ha-ha-ha, engkau mau berkata apa lagi sekarang, Suminten perempuan rendah budi?" Joko Pramono tertawa bergelak, hatinya juga lapang setelah mendengar ucapan Setyaningsih tadi.

Suminten memandang dengan sinar mata penuh kemarahan dan muka pucat. Ia masih belum mau menerima kalah. Ia tidak percaya bahwa dua orang pria muda itu akan kuat bertahan menyaksikan kekasih-kekasih mereka diperkosa dan disiksa.

"Suro dan Digdo, renggut kain-kain mereka, telanjangi mereka!" perintahnya.

Sikap dan ucapan empat orang muda itu mengandung wibawa yang amat hebat, menggetarkan isi dada dua orang algojo yang kasar seperti binatang buas itu sehingga gairah dan nafsu berahi mereka sudah banyak mendingin. Akan tetapi perintah Suminten bagaikan cambuk yang memecut punggung mereka, membuat mereka tergesa-gesa mengulur tangan meraih ke depan hendak merenggut kain Setyaningsih dan Pusporini yang sudah memejamkan mata sambil bersamadhi mematikan raga dan rasa, sedangkan dua orang pria muda itu memandang dengan muka pucat akan tetapi dengan penuh keikhlasan dan penyerahan kepada Yang Maha Kuasa.

Pada saat itu terdengar jelas tarikan napas panjang yang entah dari mana datangnya dan tiba-tiba berkelebat dua sinar kecil menyambar tengkuk dua orang algojo itu. Bagaikan disambar petir dua orang algojo itu yang sudah menyentuh kain Setyaningsih dan Pusporini, mengejang dan berdiri kaku seolah-olah mereka telah berubah menjadi dua buah arca batu! Kembali datang menyambar sinar-sinar kecil, kini menuju ke arah tambang-tambang kuat yang mengikat leher, lengan, dan kaki kedua orang wanita itu dan seketika semua tambang pengikat tubuh mereka putus seperti dikerat pisau tajam!

Keadaan ini membuat semua orang tertegun, bahkan Setyaningsih dan Pusporini sendiri kini sudah sadar dari samadhi, membelalakkan mata memandang semua tali pengikat yang sudah putus. Sedemikian besar keheranan dan kekagetan mereka sehingga mereka tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan yang sudah bebas itu!

Hanya pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono yang sadar dan kini mereka menoleh ke arah pintu dari mana tadi menyambar sinar-sinar itu, setengah dapat menduga bahwa ada seorang sakti yang telah menolong mereka. Akan tetapi ketika perlahan-lahan daun pintu yang berat itu terbuka, mereka inipun melongo keheranan karena yang muncul bukanlah seorang kakek sakti mandraguna, juga bukan Resi Mahesapati seperti yang tadinya disangka oleh Joko Pramono, melainkan seorang pemuda remaja berpakaian sederhana berwajah tampan berkulit putih yang melangkah perlahan memasuki tempat itu dengan senyum tenang penuh kesabaran di bibir!

Pemuda remaja ini bukan lain adalah Bagus Seta. Kedatangannya yang tepat sekali pada waktunya itu merupakan hasil daripada usaha Wiraman dan Widawati semalam. Malam tadi, Bagus Seta masih berada di luar kota raja, mendapatkan sebuah tempat yang amat nyaman dalam hutan sehingga ia berhenti dan bersamadhi di tempat itu menikmati keindahan tetumbuhan dan kebersihan hawa segar. Akan tetapi pada malam harinya, Bagus Seta melihat sinar merah tanda kebakaran membubung tinggi.

Hal inilah yang membuat pemuda sakti mandraguna mempercepat kepergiannya ke kota raja dan begitu memasuki kota raja mendengar akan peristiwa ditawannya Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih dan Pusporini. Disebutnya nama kedua orang wanita ini membuat Bagus Seta langsung saja mendatangi tempat tahanan, mempergunakan kesaktiannya dan berhasil datang pada saat yang tepat sehingga kedua orang bibinya itu tertolong.

Dengan demikian maka tidak sia-sialah kiranya pengorbanan yang dilakukan oleh Wiraman dan Widawati. Kalau saja mereka tidak melakukan usaha itu dan tidak terjadi kebakaran tentu kedatangan Bagus Seta akan terlambat. Tentu saja segala macam liku-liku peristiwa yang kebetulan itu telah ada yang mengatur-Nya dan hanya atas kehendak-Nya sajalah maka dapat terjadi semua kebetulan itu !

Dengan langkah perlahan dan sikap tenang sekali Bagus Seta langsung menghampiri Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono, kemudian menggunakan jari-jari tangannya yang halus itu meraih ke arah rantai baja. Terdengar bunyi berkerotokan dan dalam sekejap mata saja kedua tangan merekapun bebas, rantai itu patah-patah dan jatuh ke atas lantai.

cerita silat online karya kho ping hoo

Bagaikan menerima komando, tubuh Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono meloncat ke depan dan menghantan dengan tangan yang mengandung aji kesaktian ke arah kepala Suro dan Digdo yang masih berdiri seperti arca. Terdengar suara keras "prakk!" dua kali dan tubuh tinggi besar kedua algojo itu roboh dengan kepala pecah dan tewas di saat itu juga. Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono dengan sikap beringas memutar tubuh hendak mencari Suminten, akan tetapi sudah sejak tadi wanita itu lenyap dari balik lubang dinding, bahkan dinding itu sendiri kini tidak berlubang lagi, tertutup oleh gerakan alat rahasia.

Karena tak dapat melihat Suminten, Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono menjatuhkan diri berlutut di depan Bagus Seta, demikian pula Setyaningsih dan Pusporini yang kini telah sadar dari keadaan terpesona, merekapun cepat berlutut hendak menyembah, lupa akan keadaan tubuh atas mereka yang masih telanjang.

"Harap jangan banyak penghormatan, kini bukan waktunya bicara, yang terpenting harap lekas ikut bersama saya keluar dari kota raja." Bagus Seta menggunakan kedua tangan menyentuh pundak mereka, akan tetapi sentuhan jari tangan itu mengandung kekuatan mujijat yang tak terlawan sehingga keempat orang itu seperti ditarik tenaga raksasa dan bangkit berdiri. Ucapan itu pun sekaligus mengingatkan mereka bahwa bahaya belumlah terhindar selama mereka masih berada di tempat itu.

Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono lalu menanggalkan baju masing-masing dan memberikan baju mereka untuk dipakai oleh Setyaningsih dan Pusporini sekedar untuk menutupi ketelanjangan tubuh atas mereka. Kemudian mereka melangkah keluar mengikuti Bagus Seta yang tenang-tenang saja berjalan keluar dari ruangan tahanan itu.

Mereka disambut oleh belasan orang pengawal yang bergerak kebingungan seperti rombongan semut diganggu. Melihat ini, empat orang muda itu siap untuk mengamuk, akan tetapi Bagus Seta berkata perlahan, "Harap tenang dan tidak perlu melayani mereka, lebih baik cepat keluar dari sini."

Dua pasang orang muda itu terheran. Dihadang rombongan pengawal tidak boleh melawan, habis bagaimana akan dapat meloloskan diri? Akan tetapi mereka berempat menjadi kagum dan terheran-heran ketika melihat pemuda remaja itu mengembangkan kedua lengan dengan perlahan, akan tetapi akibatnya, rombongan pengawal yang datang dari kanan kiri itu terlempar dan roboh saling tindih seperti tertiup angin badai yang amat kuat.

Kini yakinlah hati kedua pasang orang muda itu akan kesaktian penolong mereka dan mereka berjalan terus mengikuti Bagus Seta dengan cepat keluar dari bangunan. Setiap bagian yang mengandung alat rahasia menjadi macet tak dapat bergerak karena dari jauh Bagus Seta telah menggunakan hawa sakti yang meluncur tak tampak dari telapak tangannya untuk memukul rusak alat-alat rahasia yang tersembunyi di balik dinding atau di bawah lantai, dan setiap usaha para pengawal yang puluhan orang banyaknya untuk menghalangi pelarian mereka, roboh malang-melintang dan jatuh bangun oleh gerakan kedua lengan pemuda sakti mandraguna ini. Tak seorang pun di antara para pengawal itu tewas, akan tetapi karena tiupan angin kuat yang keluar dari gerakan kedua lengan pemuda baju putih, membuat mereka menjadi gentar dan jerih.

"Harap pergunakan aji berlari cepat," kata Bagus Seta setelah mereka berhasil keluar dari dinding istana.

Dua pasang orang muda itu cepat berlari mempergunakan ilmu mereka, sedang Bagus Seta berlari di belakang mereka sebagai perisai. Apabila ada pengawal berani menghadang, pukulan-pukulan dua pasang orang muda itu sambil berlari cukup untuk merobohkan para penghalang. Ratusan anak panah yang diluncurkan oleh para pengawal yang melakukan pengejaran dari belakang, runtuh semua hanya oleh lambaian tangan Bagus Seta sehingga para pengawal menjadi makin gentar.

Akan tetapi, ketika dua pasang orang muda itu sudah hampir keluar dari dinding kota raja melalui pintu gerbang yang terjaga kuat namun para penjaganya kembali dirobohkan secara mudah oleh Bagus Seta, tiba-tiba mereka tersusul oleh serombongan pengawal yang jumlahnya lima puluh orang menunggang kuda dan dipimpin oleh Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, dan Ki Kolohangkoro!

Mereka ini ternyata telah mengejar melalui pintu gerbang lain dan memotong jalan sehingga mereka dapat menyusul, apalagi karena mereka menunggang kuda. Begitu melihat empat orang tawanan yang lolos bersama penolong mereka yang muda belia dan aneh itu, tiga orang tokoh sakti ini meloncat turun dari kuda diikuti lima puluh orang pengawal anak buah mereka.

"Babo-babo! Siapakah gerangan bocah lancang yang berani mati membebaskan para tawanan Kerajaan Jenggala! Mengakulah, anak muda, siapa andika sebelum nenggalaku memenggal batang lehermu!" bentak Ki Kolohangkoro menyembunyikan rasa ragu dan gentarnya mendengar berita betapa pemuda berpakaian putih itu memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia biasa!

Akan tetapi, sebelum Bagus Seta menjawab, Joko Pramono yang sudah menjadi marah sekali melihat munculnya musuh-musuh besar itu, membentak,

"Ki Kolohangkoro, sekaranglah tiba saatnya kita boleh mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang!"

Joko Pramono sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya, menyerang Ki Kolohangkoro dan saking marahnya, begitu menyerang Joko Pramono sudah menggunakan aji kesaktiannya yang amat ampuh, yaitu Cantuka-sekti yang merupakan pukulan mendorong dari bawah dengan tubuh agak direndahkan hampir berjongkok.

Ki Kolohangkoro menggereng keras dan menggerakkan nenggalanya menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya, akan tetapi seperti ketika untuk pertama kalinya ia bentrok dengan pemuda sakti murid Resi Mahesapati ini, ia kalah tenaga dan tubuhnya terpental ke belakang.

Kekebalannya melindunginya sehingga hawa pukulan Cantuka-sekti itu tidak mampu merobohkannya. Bentrokan antara Joko Pramono dan Ki Kolohangkoro ini merupakan komando bagi para pengawal sehingga mereka menyerbu ke depan sambil berteriak-teriak. Ni Dewi Nilamanik dan Cekel Wisangkoro sudah pula menerjang maju, disambut oleh Pusporini yang menghadapi Ni Dewi Nilamanik, sedangkan Setyaningsih bersama Pangeran Panji Sigit menyambut terjangan Cekel Wisangkoro.

Serangan Ni Dewi Nilamanik yang menggunakan kebutan merah amat dahsyatnya. Ujung kebutan yang kadang-kadang dapat lemas seperti ujung cambuk kadang-kadang dapat mengeras dan runcing seperti ujung pedang itu meluncur cepat ke arah leher Pusporini. Namun secepat kilat Pusporini menggerakkan tangan kiri dari samping diputar dengan jari-jari tangan mencengkeram ujung kebutan sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mengirim tamparan dengan Aji Pethit Nogo yang ampuhnya menggila!

Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan suara menjerit, menarik kembali kebutannya dan menangkis tamparan dengan kebutan yang diputar ke kiri

"Prattt!"

Ujung kebutan bertemu dengan jari tangan yang mengandung Pethit Nogo itu menjadi bobol sedikit dan tubuh Ni Dewi Nilamanik agak terhuyung ke belakang. Akan tetapi Pusporini juga merasa betapa jari tangannya pedas dan panas, tanda bahwa lawannya ini bukanlah lawan yang ringan.

Yang hebat adalah Cekel Wisangkoro, murid terpandai dari Wasi Bagaspati. Tongkatnya yang hitam berbentuk ular itu berubah menjadi gulungan sinar yang mengurung Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih. Suami isteri ini bertangan kosong, maka mereka cepat mengelak, kemudian dari kanan kiri membalas dengan pukulan sakti yang mereka perdalam di bawah pimpinan mendiang Ki Datujiwa. Namun ternyata bahwa tingkat kesaktian suami isteri ini masih kalah oleh tingkat Cekel Wisangkoro yang sudah tinggi sehingga sekali memutar tongkatnya secara tepat, tidak saja cekel tua berhasil menggagalkan serangan mereka, bahkan sebaliknya membalas dengan pukulan dan tusukan tongkatnya bertubi-tubi membuat suami isteri itu sibuk mengelak.

Tiba-tiba gerakan tongkat ular itu terhenti di tengah udara oleh kekuatan yang tak tampak. Ternyata Bagus Seta sudah turun tangan, menggerakkan tangannya mendorong dengan pukulan jarak jauh, menahan gerakan tongkat sehingga suami isteri itu dapat meloncat mundur. Ketika Setyaningsih dan suaminya memandang, ternyata para pengawal yang tadi menyerbu dan berada di bagian paling depan, telah roboh terjengkang seperti yang dialami para pengawal yang menghadang di sepanjang jalan tadi.

"Harap andika berempat cepat melarikan diri dan menanti saja di dalam hutan menuju Panjalu!" Terdengar pemuda remaja itu berkata halus.

Mendengar ini, Pusporini dan Joko Pramono tidak suka membantah, mereka meloncat mundur karena maklum bahwa kalau dilanjutkan melawan, biarpun mereka tidak akan kalah menghadapi lawan itu seorang lawan seorang, namun kalau dikeroyok oleh puluhan orang pengawal akan memakan waktu lama. Apalagi kalau sampai Patih Warutama datang membawa barisan, akan berbahayalah keadaan mereka. Mereka berempat maklum akan kesaktian pemuda remaja itu, maka ucapannya merupakan perintah bagi mereka dan cepat mereka meloncat dan melarikan diri ke selatan.

"Kejar! Tangkap tawanan yang kabur. Bunuh!" teriak Ki Kolohangkoro dan sebagian besar para pengawal sudah berlari dan hendak menunggang kuda melakukan pengejaran.

Mereka semua maklum bahwa kalau mereka gagal menangkap para tawanan, mereka akan mendapat marah besar dari Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama, terutama sekali mereka ngeri kalau mengingat akan kemarahan Suminten. Sebaliknya kalau mereka berhasil menawan kembali empat orang pelarian itu, tentu mereka akan mendapat hadiah yang banyak. Karena inilah maka mereka seakan-akan berlumba hendak melakukan pengejaran.

"Berhenti!" terdengar suara halus namun amat berpengaruh sehingga semua orang seketika menghentikan gerakan mereka. Beberapa orang yang sudah meloncat ke atas kuda dan sudah melarikannya, tiba-tiba terguling dari atas punggung kuda ketika Bagus Seta mendorongkan tangan kirinya ke arah mereka.

"Bocah berilmu setan! Siapakah engkau sesungguhnya berani menentang para pengawal Jenggala?" Cekel Wisangkoro kini bertanya dengan hati tertarik karena selama hidupnya dalam perantauan, dia belum pernah mendengar tokoh muda seperti ini.

"Cekel Wisangkoro, ilmu apa pun juga di dunia ini kalau dipergunakan untuk melakukan kejahatan menjadi ilmu hitam atau ilmu setan. Akan tetapi aku akan selalu menggunakan sedikit pengertian yang kumiliki untuk mengabdi kebenaran dan keadilan."

"Babo-babo! Engkau telah mengenal aku?"

Kini tidak hanya Cekel Wisangkoro yang menghadapi pemuda ini, juga. Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik mendekat dan memandang penuh perhatian, penuh takjub dan menduga-duga.

"Aku mengenal siapa andika, Cekel Wisangkoro. Andika murid utama dari Sang Wasi Bagaspati, seorang pendatang dari Hindu yang memperjuangkan perkembangan Agama Syiwa, bukan? Aku mengenal pula Ni Dewi Nilamanik yang menjadi pemuka dari penyebaran Agama Bathari Durgo di Tanah Jawa, yang menganggap dirinya sebagai penitisan Sang Bathari Durgo sendiri. Aku mengenal pula Ki Kolohangkoro pemuka dari penyebaran Agama Bathara Kolo di Tanah Jawa, yang mengaku dirinya sebagai penitisan Sang Bathara Kolo sendiri. Wahai andika bertiga, mengapa mengabaikan perbedaan antara baik dan buruk, antara salah dan benar dan menjadi hamba nafsu pribadi yang hanya akan menimbulkan kebakaran dan kehangusan diri andika sekalian sendiri? Manusia bebas memeluk agama apa pun juga, memilih sesembahan mereka, bahkan bebas pula menyebarkannya. Akan tetapi, kalau penyebaran agama itu dilakukan dengan tipu muslihat, dengan kekerasan dan bahkan tidak segan-segan dengan kekacauan dan pembunuhan, hal ini sudah menyeleweng daripada kebenaran, merupakan pemerkosaan yang keji. Mengapa andika tidak mau sadar?"

Tiga orang tokoh sakti itu terbelalak keheranan. Orang-orang seperti mereka itu mana mungkin dapat mudah disadarkan? Betapa manusia dapat mudah sadar daripada penyelewengan kalau mereka menganggap bahwa penyelewengan itu bukanlah penyelewengan melainkan kebenaran! Berbahagialah manusia yang dapat mengenal penyelewengan mereka sendiri!

"Wahai bocah muda yang amat luar biasa. Siapakah sebenarnya andika?"

"Namaku Bagus Seta, dan sekali lagi kuperingatkan andika sekalian bahwa usaha Negeri Sriwijaya dan Negeri Cola untuk menanamkan kuku-kuku beracun mereka di Tanah Jawa akan mengalami kegagalan. Setiap kemenangan dari kejahatan pasti akan tersusul, cepat atau pun lambat, oleh kebenaran yang akan menggulung dan menghancurkannya. Belum terlambat kalau andika insyaf dan mengundurkan diri, menyampaikan kepada Sang Biku Janapati untuk tidak melanjutkan usaha mereka mengembangkan agama dengan tipu muslihat dan kekarasan. Terutama sekali, insyafkan mereka bahwa angkara murka yang datang dari negara-negara asing untuk menjajah Tanah Jawa takkan mendatangkan kebahagiaan melainkan hanya mendatangkan kehancuran dan kesengsaraan, terutama bagi fihak penjajah."

cerita silat online karya kho ping hoo

"Babo-babo, bocah sombong! Lagakmu seolah-olah engkaulah penitisan Sang Hyang Jagad Nata sendiri! Ataukah engkau bicara mewakili para penyembah Sang Hyang Wishnu dan sengaja hendak menentang kami?" bentak Cekel Wisangkoro marah.

Bagus Seta menggelengkan kepalanya dan sikapnya masih tenang sekali, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar yang membuat silau ketiga orang sakti itu.

"Agaknya andika bertiga lupa akan inti sari dan sumber daripada semua agama yang kalian anut. Apakah perbedaan antara Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Wishnu, dan Sang Hyang Syiwa? Ketiganya adalah sifat daripada Sang Hyang Widhi Wasesa, satu-satunya kekuasaan tertinggi yang menguasai seluruh jagad raya seisinya. Ketiga sifat Tritunggal, disebut tiga namun satu juga yang membuat jagad raya ini berputar terus. Kesatuan dari tiga sifat inilah yang merupakan lingkaran tak pernah putus. Hyang Brahma Maha Pencipta, yang mencipta seluruh alam mayapada seisinya. Hyang Wishnu Maha Pelindung dan memelihara, yang memelihara segala ciptaan tadi, yang bergerak maupun tidak. Hyang Syiwa Maha Pembinasa, yang menghancurkan dan membinasakan segala ciptaan itu. Ketiganya adalah Trimurti, selalu bersatu, tak pernah dapat terpisahkan karena ketiga sifat ini dengan kerja sama yang wajar dan tak terelakkan membuat alam mayapada seperti yang terjadi dahulu, yang kita lihat sekarang, dan yang akan terjadi kelak. Sebuah raja di antara Tiga Sifat Yang Maha Kuasa ini dipisahkan, segalanya akan terhenti. Sang Pencipta mencipta segala benda dan mahluk sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa, Sang Pemelihara memelihara ciptaan-ciptaan itu agar dapat berlangsung, dan Sang Pembinasa menghancurkan satu demi satu untuk memberi kelangsungan pula kepada ciptaan-ciptaan baru!"

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 39

Perawan Lembah Wilis Jilid 38

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 38

DARIPADA menolak dan mereka semua terbunuh, bukankah lebih menguntungkan kalau dia seorang saja yang tewas sedangkan mereka bertiga itu bebas? Suminten hanya menghendaki dirinya, maka jalan satu-satunya untuk menyelamatkan isterinya, Pusporini dan Joko Pramono adalah berpura-pura menyerah. Mereka masih muda-muda, berhak untuk hidup puluhan tahun lagi. Tiba-tiba terdengar suara Pusporini melengking nyaring, tertawa. Kemudian gadis yang agaknya menyelami pikiran Pangeran Panji Sigit itu berkata,

"Heh, Suminten perempuan tak bermalu! Kalau penawaran itu kau ajukan kepada orang lain, mungkin mereka itu akan menganggap amat baik mengorbankan diri sendiri demi kebebasan tiga orang yang dikasihinya. Akan tetapi andaikata aku yang kau tawari hal rendah itu aku akan mengatakan bahwa aku akan bangga menyaksikan tiga orang yang kukasihi tewas sebagai satria-satria sejati, berkorban demi negara dan demi kebenaran!"

Ucapan gadis perkasa ini seolah-olah percikan air sewindu yang dingin sejuk, menyadarkan Pangeran Panji Sigit dari lamunannya. Ia kini sadar bahwa yang terpenting bukanlah nyawa dan hidupnya tiga orang yang dikasihinya itu, melainkan kehormatan mereka sebagai pembela-pembela kebenaran. Kalau ia menyerah lalu tewas dan mereka bertiga itu terbebas, mereka bertiga akan hidup merana dan merasa terhina selamanya. Apalagi Setyaningsih, tentu akan tersiksa hidupnya dan menganggap suaminya seorang pengecut yang mudah tunduk terhadap rayuan seorang wanita iblis macam Suminten.

"Duh Yayi Pusporini, terima kasih! Suminten, kau sudah mendengar sendiri, dan begitulah jawabanku untuk penawaran dan rayuanmu yang keji dan palsu itu!"

Suminten merasa seperti ditampar mukanya, akan tetapi ia masih belum putus asa. Pendirian Pangeran Panji Sigit dan Pusporini seperti itu, akan tetapi belum tentu demikian pendirian Joko Pramono, pemuda yang bertubuh tegap dan kejantanannya menarik hatinya dan membangkitkan berahinya itu. Ia memandang kepada Joko Pramono dan berkata, "Bagaimana dengan engkau, Joko Pramono? Bagaimana pendapatmu kalau kau kuangkat menjadi komandan pengawal dalam istana, hidup di sini dengan aman dan makmur seorang diri atau berdua dengan Pusporini yang kaucinta?"

"Aku tidak sudi! Kalau engkau ingin menjilati telapak kaki iblis betina ini, Joko, silahkan akan tetapi aku lebih baik mati!" bentak Pusporini dengan galak.

Joko Pramono tersenyum. "Jangan khawatir, Rini dewi pujaan hati yang terkasih. Wanita ini kuanggap sebagai ular beracun, mana aku sudi mendengarkan bujukannya? Seribu kali lebih baik mati daripada menyerah kepada wanita ini!"

Suminten tidak merasa sakit hati mendengar jawaban ini, malah kini ia memandang kepada Setyaningsih yang sejak tadi memandangnya penuh kebencian, lalu berkata, "Setyaningsih, aku tahu betapa engkau mencinta suamimu. Mengapa engkau tega benar melihat suamimu terancam bahaya maut? Apakah kau akan tega kalau melihat suamimu disiksa sampai mati, sekerat demi sekerat, di depan kakimu? Kau bujuklah suamimu agar suka menyerah dan menuruti permintaanku dan engkau akan hidup bahagia di sini bersama suamimu yang akan menjadi pangeran mahkota dan kelak mungkin menjadi raja di Jenggala dan engkau menjadi permaisurinya!"

Setyaningsih memandangnya dengan sinar mata makin marah, lalu menjawab, "Suminten, aku mendengar bahwa engkau adalah bekas pelayan, bekas abdi dalem Ayunda Endang Patibroto. Biarpun sekarang dengan kelicikanmu engkau telah menduduki tempat tinggi, namun watakmu lebih rendah daripada watak seorang abdi dalem yang paling rendah. Lebih rendah daripada watak seorang Sudra yang paling hina! Aku adalah seorang wanita berdarah satria, apa yang diucapkan suamiku, apa yang menjadi pendirian suamiku adalah pendirianku pula sampai mati!"

Suminten merasa mendongkol sekali hatinya, akan tetapi patut dipuji wanita ini yang pandai menyembunyikan perasaan tidak senang ini di balik senyum manis. Senyumnya manis memikat, kerling matanya seperti kerling mata orang yang ramah, akan tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya sebelum meninggalkan empat orang tawanan itu mengandung ancaman yang mengerikan.

"Baiklah, saat ini kalian boleh merasa bangga akan kekerasan hati dan menganggap kalian gagah dan menang boleh menertawakan aku dan menganggap aku kalah. Akan tetapi kalian belum mengenal Suminten! Akan tiba saatnya kalian menyembah dan meratap minta diampuni." Setelah berkata demikian, wanita ini membalikkan tubuhnya dan pergi dari tempat itu, meninggalkan empat orang muda yang saling pandang dan sama sekali tidak bernapsu untuk mentertawakan Suminten.

********************

"Kita harus menolong mereka! Kalau tidak segera ditolong, keadaan mereka akan terancam bahaya besar..."

Wiraman berkata sambil mengepalkan tinju. Baru saja menerima laporan mata-matanya yang beroperasi di Kota Raja Jenggala, bahwa Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Pusparini dan Setyaningsih telah menjadi tawanan di dalam kamar tahanan istana, dan bahwa keselamatan nyawa mereka terancam karena didesas-desuskan keluar istana bahwa keempat orang muda itu telah memberontak. Widawati memandang suaminya, dan berkata, "Memang tidak ada jalan lain. Kita berdua harus menyelundup ke kota raja dan menolong mereka. Hanya kita yang dapat menolong mereka, karena kita yang lebih mengenal akan keadaan di istana."

Wiraman memegang tangan Widawati dengan penuh kasih sayang. Wanita muda ini telah menjadi selirnya dan di antara mereka biarpun terdapat perbedaan usia yang cukup banyak, telah terjalin cinta kasih dan pengertian yang kokoh kuat.

"Adinda Widawati isteriku yang tercinta. Tugas menolong mereka itu akan kulakukan sendiri dan engkau tak perlu ikut, Adinda. Tugas ini amat berbahaya dan akulah yang mengetahui dengan jelas akan seluk-beluk rumah tahanan di istana dengan semua alat rahasianya. Ingat, aku pernah bertugas sebagai kepala penjaga di sana."

"Tidak, Kakang Wiraman. Aku harus ikut karena ini juga menjadi tugasku. Dengan menentang Suminten berarti aku telah melaksanakan dharma baktiku terhadap keluargaku yang terbasmi gara-gara kekejaman Suminten. Di samping itu, sudah terlalu lama kita berkumpul dan sekarang aku tidak akan dapat berpisah lagi dari sampingmu. Ingatkah janjimu, Kakang? Kita hidup bersama mati berdua, senang sama dinikmati dan susah sama diderita?"

Wiraman menggeser duduknya, mendekat dan merangkul wanita muda dan cantik yang menjadi selirnya yang tercinta itu. Selama hidupnya, biarpun ia dahulu menjadi seorang pengawal pilihan yang berkedudukan tinggi di kepatihan Jenggala, belum pernah Wiraman mempunyai selir. Sekarang, setelah mereka berdua menjadi korban racun ular wilis sehingga melakukan hubungan sanggama dan terpaksa mereka saling terikat sebagai suami isteri, Wiraman merasa betapa kasih sayangnya terhadap wanita ini makin lama makin mendalam.

"Duhai Yayi Widawati, isteriku yang budiman. Alangkah akan bahagia rasa hatiku kalau dapat hidup aman dan tenteram dalam sebuah rumah tangga di sampingmu dan isteri tua serta putera-puteriku. Adinda akan merupakan cahaya matahari dalam rumah tanggaku. Isteriku akan bangga mempunyai madu seperti Adinda, dan putera-puteriku akan menganggap Adinda sebagai contoh dan guru yang pandai !"

Widawati tersenyum sehingga lesung pipit di samping bibirnya nampak makin jelas. "Semoga Dewata akan mengabulkan harapan Kakanda. Setelah tugas kita berhasil baik dan selesai, tentu akan tercapai idaman hati kita."

"Semoga begitulah, atau kalau gagal...!:

"Kita mati bersama," sambung Widawati, dan mereka berangkulan dengan hati penuh keharuan. Tidak ada kata-kata yang dapat dikeluarkan akan dapat lebih jelas menunjukkan perasaan hati mereka yang penuh cinta kasih dan penuh keprihatinan menghadapi tugas berat itu. Namun mereka berdua manusia yang saling mencinta ini memiliki pegangan yang amat kuat, yaitu cinta mereka dan keyakinan bahwa hidup atau mati, mereka takkan saling berpisah. Cinta yang demikian besar amatlah kuatnya, mengatasi segala keraguan dan kekhawatiran, bahkan dengan modal cinta seperti itu, mereka akan menghadapi maut dengan mulut tersenyum.

Demikianlah, pada keesokan harinya, menjelang senja, Wiraman dan Widawati berhasil menyelundup memasuki kota raja. Tentu saja tidaklah begitu sukar bagi Wiraman untuk menyelundup masuk dalam kota raja yang dahulu menjadi daerah dia bertugas. Tidak ada lorong atau jalan rahasia yang tak dikenalnya dan pada malam harinya Wiraman dan Widawati sudah berhasil pula menyelundup masuk ke dalam kompleks bangunan tahanan di istana.

Tentu saja mereka tidak menempuh jalan depan seperti yang dilakukan Joko Pramono, Pusporini dan Setyaningsih dua hari yang lalu, melainkan mengambil jalan rahasia yang hanya diketahui oleh orang-orang dalam saja.

Mereka berdua muncul dari lorong rahasia itu dan tiba di bagian belakang bangunan tahanan, menyelinap di bawah pohon dan bersembunyi di bayangan yang gelap. Untuk keperluan tugas penting menyelamatkan empat orang tawanan, Wiraman dan Widawati sudah bersiap-siap.

Widawati mengenakan pakaian ringkas, bahkan bajunya ringkas tak berlengan, sebatang keris pusaka terselip di pinggang, rambutnya yang hitam panjang diikat ke atas agar tidak mengganggu gerakannya. Adapun Wiraman sendiri bertelanjang baju sehingga tampak dadanya yang bidang dan kuat, sarung di luar celananya diikatkan ke pinggang dan tangannya memegang sebatang golok tajam, wajahnya serius dan penuh kewaspadaan.

Setelah digembleng selama dua tahun oleh Resi Mahesapati, kepandaian Wiraman meningkat dan kini ia menjadi seorang yang digdaya, sedangkan Widawati yang dahulunya seorang gadis yang lemah kini menjadi seorang gadis yang boleh diandalkan dalam pertandingan melawan musuh berat.

"Kita membobol jendela itu yang menuju ke dapur tahanan sang pangeran," bisik Wiraman.

Widawati memandang ke depan. Dari bawah pohon itu, sejauh lima puluh meter, tampaklah jendela itu, sebuah jendela besar yang atasnya pada dinding batu diukir muka seorang raksasa sehingga jendela dengan ruji-rujinya dari besi itu merupakan mulut raksasa. Akan tetapi di depan jendela itu terdapat empat orang penjaga yang berdiri tegak memegang tombak. Agaknya penjagaan di tempat tahanan itu amat kuat, sehingga jendela dapur saja dijaga oleh empat orang!

"Dijaga kuat...." bisik Widawati di dekat telinga Wiraman.

"Jendela itu jalan masuk yang paling mudah dan penjaganya hanya empat orang. Melalui jalan lain tak mungkin pintu-pintu dijaga oleh lebih banyak penjaga. Kita harus robohkan mereka. Wati engkau robohkan penjaga yang berdiri paling kiri, dialah yang paling lemah di antara mereka. Sanggupkah?"

Widawati mengangguk dan memandang calon lawan itu dengan mata bersinar sambil meraba gagang keris yang terselip di pinggangnya. Melihat Widawati sudah siap, Wiraman menyentuh lengan yang berkulit harus itu, berbisik,

"Tunggu sampai mereka menoleh ke arah sambitan batu dari tanganku, baru turun tangan secepatnya, jangan memberi kesempatan mereka memekik. Mari kita mendekat, ke bawah pohon depan jendela itu."

Kembali Widawati mengangguk dan mereka berdua lalu menyelinap melalui tempat gelap sehingga akhirnya mereka bersembunyi di balik batang pohon dekat jendela dan tempat para penjaga berdiri hanya beberapa meter saja dari mereka. Jantung kedua orang ini berdebar. Wiraman menyentuh lengan Widawati, kini tidak lagi mereka berani saling berbisik. Widawati menoleh, mereka berpandangan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi lampu yang tergantung di sudut atas, dekat jendela. Biarpun mulut mereka tidak berbicara, namun sepasang mata mereka berbicara banyak mencurahkan isi hati, sama-sama maklum bahwa saatnya telah tiba di mana mereka akan mempertaruhkan nyawa. Kalau berhasil, mereka akan dapat menyelamatkan empat orang tokoh penting yang mereka junjung tinggi, kalau gagal berarti mereka akan tewas dan tidak ada kesempatan lagi bagi mereka untuk saling mengucapkan selamat berpisah di dunia ini.

Sedetik mereka terharu dan seperti ada yang menggerakkan, keduanya saling mendekatkan muka dan berciuman sebagai pengganti kata-kata. Ciuman yang amat mesra, ciuman yang mendatangkan semangat dan menambah keberanian karena dalam ciuman itu mereka dapat merasakan cita kasih masing-masing yang amat mendalam sehingga mereka yakin bahwa hidup atau mati, mereka takkan berpisah lagi. Setelah menghentikan ciuman, mereka saling pandang. Wiraman mengangguk sebagai pertanyaan dan Widawati mengangguk bagai jawaban bahwa ia telah siap.

Wiraman mengambil segenggam kerikil dari atas tanah, kemudian setelah mengukur jarak, ia menyambitkan genggaman itu ke arah kanan. Empat orang penjaga itu mendengar suara berkerosok di kanan, cepat menengok, bahkan memutar tubuh ke kanan dengan seluruh perhatian dicurahkan untuk melihat apa yang menimbulkan bunyi itu. Dan pada detik itu, Wiraman dan Widawati meloncat keluar dengan gerakan cepat bagaikan dua ekor harimau menerkam. Widawati yang sejak tadi sudah memperhatikan penjaga yang tadi di ujung kiri menerjang maju, kerisnya diayun. Penjaga itu terbelalak kaget, memutar tubuh dan menggerakkan tombak, namun terlambat karena pada saat itu, keris pusaka di tangan Widawati telah menancap tepat di ulu hatinya. Keris dicabut sambil meloncat ke samping agar tidak terkena muncratnya darah yang menyembur keluar dari dada, disusul robohnya penjaga itu.

Wiraman juga sudah menggerakkan goloknya sehingga tampak sinar putih berkelabat. Seorang penjaga roboh seketika dengan leher putus, penjaga ke dua roboh dengan perut robek dan isi perutnya keluar, akan tetapi penjaga ke tiga dapat menangkis sambaran golok dengan tombaknya. Tombak itu patah, akan tetapi ia dapat terhindar dari golok Wiraman. Namun, pada detik berikutnya, sebelum penjaga ini sempat berteriak keris di tangan Widawati telah amblas memasuki lambungnya dan robohlah penjaga itu pula. Tubuh keempat orang penjaga itu hanya berkelojotan sebentar lalu terdiam, tak bernyawa lagi.

Tanpa banyak cakap Wiraman lalu menyeret dan melempar empat batang mayat itu ke dalam semak-semak di bawah pohon, kemudian ia menggandeng tangan Widawati mendekati jendela yang kini tidak terjaga lagi. Mereka mengintai dari luar jendela melalui ruji-ruji jendela dan betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa di sebelah dalam dapur rumah tahanan itu terdapat belasan orang penjaga lain yang sedang makan minum. Agaknya mereka adalah penjaga-penjaga yang tiba giliran beristirahat lalu mengenyangkan perut di dalam dapur itu.Wiraman dan Widawati cepat melompat menjauhi jendela, kembali ke bawah pohon.

"Tidak ada jalan lain, harus memancing semua penjaga keluar dari tempat tahanan, kemudian dalam keributan kita masuk melalui jendela, membebaskan mereka dan melarikan diri melalui terowongan rahasia yang terdapat dalam kakus kamar tahanan," bisiknya.

"Cara bagaimana memancingnya?"

Wiraman menunjuk ke arah lampu yang tergantung di atas jendela. "Dengan api."

Ketika melihat kekasihnya mengangguk, Wiraman berbisik lagi, "Kau tunggu di sini, aku akan membakar gudang perlengkapan di sebelah kanan itu. Setelah terjadi kebakaran dan keadaan geger, pergunakan golok ini untuk membabat putus ruji-ruji jendela."

Wiraman menyerahkan golok lalu menyelinap pergi. Widawati memandang ke arah lenyapnya bayangan suaminya dengan jantung berdebar tegang. Tak lama kemudian tampaklah api berkobar di sebelah kanan dan terdengar teriakan-teriakan orang. Widawati melihat betapa banyak penjaga lari berserabutan keluar dari dalam rumah tahanan. Ia cepat menghampiri jendela dan mengintai.

Girang hatinya melihat dapur itu kosong dan para penjaga yang tadi makan minum tidak nampak lagi, hanya tinggal bekas-bekas makanan dan minuman yang agaknya ditinggalkan dalam keadaan tergesa-gesa. Widawati lalu menggerakkan goloknya membabat ke arah jendela yang beruji besi.

"Trangggg...." Golok itu terpental dan terlepas dari tangan Widawati karena tertangkis oleh sebatang keris yang digerakkan sebuah lengan tangan yang kuat sekali.

"Ha-ha-ha, sudah kuduga! Menimbulkan kebakaran untuk memancing para penjaga keluar! Kiranya seorang wanita yang cantik manis berani mati hendak menolong para tawanan. Aha, engkau boleh juga, manis, patut menjadi tawananku dalam kamar tidurku. Ha-ha-ha, senangkan hatimu karena menjadi tawanan Patih Warutama adalah hal yang amat nikmat dan menyenangkan!"

Mendengar bahwa orang yang menangkis goloknya itu adalah Patih Warutama, kemarahan dan kebencian Widawati tak dapat ia bendung lagi. Tangan kanannya mencabut keluar kerisnya, dan telunjuk kirinya menuding.

"Si keparat! Kiranya engkau inilah Warutama manusia iblis yang bersekongkol dengan iblis betina Suminten dan menghancurkan seluruh keluarga kakekku, Eyang Patih Brotomenggala? tahanan laknat, rasakan pembalasan Widawati, cucunya!"

Ucapan ini disusul dengan terjangan Widawati yang marah sekali. Ia menyerang dengan kerisnya, dan biarpun kepandaiannya sama sekali belum ada artinya kalau dibandingkan dengan kesaktian Ki Patih Warutama, namun dalam keadaan marah dan benci itu ia menjadi nekat dan gerakannya amatlah dahsyat dan ganas.

Ki Patih Warutama juga terkejut nendengar bahwa wanita muda yang cantik ini adalah cucu mendiang Ki Patih Brotomenggala. Tentu saja keturunan Brotomenggala harus dibasmi, akan tetapi sifat mata keranjang Warutama membuat ia merasa sayang kalau wanita cantik ini harus dibunuh begitu saja. Sebelum dibunuh akan ia tangkap dulu, dan memaksa seorang wanita untuk menuruti nafsunya merupakan hal yang menyenangkan bagi laki-laki yang berwatak bejat ini.

Sambil tertawa ia mengelak, tangan kanannya mencengkeram ke arah pergelangan tangan Widawati dengan gerakan amat cepat sehingga Widawati kaget sekali dan tentu saja ia segera menarik kembali kerisnya agar jangan terampas lawan. Akan tetapi ternyata bahwa gerakan cengkeraman dengan tangan kanan itu hanya gertak belaka, atau pancingan karena yang sesungguhnya bergerak adalah tangan kirinya yang tahu-tahu telah menyelonong maju, memegang dan membelai dada Widawati dengan remasan!

"Jahanam...!" Widawati menjerit.

"Ha-ha-ha-ha, engkau denok menggairahkan, manis!" Warutama mengejek sambil tertawa-tawa.

Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan Wiraman telah muncul di situ. Ketika Wiraman melihat isterinya berhadapan dengan Ki Patih Warutama, ia terkejut bukan main. Cepat ia menyambar golok yang menggeletak di atas tanah.

"Yayi Widawati, isteriku yang terkasih. Saat bagi kita berdharma bakti telah tiba. Keparat ini adalah Warutama, kita harus menandinginya dan mengadu nyawa!"

"Aku sudah tahu, Kakang Wiraman. Mari kita basmi iblis ini!" jawab Widawati.

"Apa? Cucu Brotomenggala ini isterimu? Heh, keparat, siapakah engkau berani membikin kacau di sini?"

"Buka telingamu baik-baik, Warutama. Aku Wiraman bekas pengawal rahasia kepatihan Janggala dan aku pernah melihat ketika engkau melakukan permainan sandiwaramu menolong sang prabu...."

"Babo-babo, engkau mencari mampus....!" Warutama menjadi marah sekali karena orang ini merupakan orang yang amat berbahaya, yang mengetahui rahasianya ketika menjalankan siasat untuk menipu Raja Jenggala. Ia telah menghunus kerisnya sambil loncat menghindar ketika golok Wiraman menyambar, kemudian ia menangkis tusukan keris Widawati dengan kerisnya sendiri.

Widawati mengeluh karena telapak tangannya terasa panas dan hampir saja kerisnya terlepas dari pegangan tangannya. Akan tetapi ia menerjang terus dengan nekat. Juga Wiraman yang cukup maklum betapa saktinya patih baru dari Jenggala ini, menggerakkan goloknya dengan nekat dan menghujankan serangan bertubi-tubi yang selalu dapat dielakkan atau ditangkis oleh Patih Warutama.

Ki Patih Warutama menjadi penasaran dan juga heran. Setelah dua tahun yang lalu, ketika ia menghadapi para pengawal rahasia yang dikirim Patih Brotomenggala untuk melindungi sang prabu, ia menganggap para pengawal itu berkepandaian biasa saja. Akan tetapi mengapa pengawal ini memiliki kepandaian yang cukup hebat sehingga ia tidak dapat merobohkannya dalam waktu singkat? Juga cucu Patih Brotomenggala ini, biarpun gerakannya terlatih, akan tetapi memiliki dasar ilmu yang tinggi. Kalau tidak lekas dibasmi, pengawal ini amat berbahaya dan cucu Brotomenggala itu pun amat berbahaya, pertama sebagai cucu bekas musuh besarnya, ke dua sebagai isteri Wiraman yang tahu akan semua rahasianya dahulu.

Dengan penasaran, Ki Patih Warutama lalu mengeluarkan pekik dahsyat dan tiba-tiba tubuhnya bergulingan di atas tanah seperti seekor trenggiling. Itulah Aji Trenggiling-wesi yang amat dahsyat dan banyak gerak tipunya. Sambil bergulingan dia mencari kesempatan untuk meloncat dan mengirim serangan tiba-tiba. Menghadapi ilmu bertanding yang aneh itu, Wiraman dan Widawati menjadi bingung dan mereka hanya dapat mengikuti gerak lawan yang bergulingan itu untuk dipapaki serangan kalau bangkit berdiri.

"Haaiiiitttt !" Tiba-tiba tubuh Ki Patih Warutama mencelat ke atas dengan gerakan yang sukar diduga sebelumnya.

Sambil meloncat ini ia mengayun keris pusaka Naga-kikik yang bereluk tujuh itu dan mengeluarkan sinar hijau dingin. Sinar hijau berkelebat menyentuh dada Wiraman dan Widawati, tampaknya , hanya menyerempet saja, akan tetapi ujung keris Naga-kikik itu menjadi merah oleh darah yang memancur keluar dari ulu hati Wiraman dan Widawati.

Kedua orang gagah ini merintih, golok dan keris terlepas dari tangan. Keris Naga-kikik itu mengandung racun yang berhawa dingin sehingga siapa terkena akan menjadi beku darahnya. Wiraman dan Widawati pun yang tertusuk ulu hatinya hanya mengeluarkan darah sekali mancur lalu membeku, keduanya terhuyung, tangan meraih sambil membuka mata saling pandang berhasil saling peluk, roboh terguling bersama dan menghembuskan napas terakhir pada detik yang sama. Mereka tewas dalam keadaan saling berdekapan, mati bersama sesuai dengan janji-janji mesra di kala mereka memadu cinta.

Para pengawal berdatangan dan Ki Patih Warutama memberi perintah, "Seret mayat mereka ini, merekalah yang melakukan pembakaran dengan maksud merampas tawanan. Seret dan ikat di tengah alun-alun, biar besok semua rakyat dapat melihati"

Pada keesokan harinya, berduyun-duyun penduduk di sekitar kota raja berdatangan untuk melihat dua orang penjahat yang membakar gudang istana. Akan tetapi betapa kaget dan ngeri hati mereka ketika mengenal mayat laki-laki itu sebagai mayat Wiraman, seorang pengawal kepatihan dahulu yang amat disegani dan dihormati karena gagah perkasa dan baik budi. Apalagi ketika mereka mengenal mayat Widawati yang seringkali dikagumi tari-tariannya semenjak masih kecil. Biarpun tidak ada yang berani secara terang-terangan, namun banyaklah penduduk yang diam-diam menangisi kematian demikian menyedihkan dari dua orang itu, terutama sekali kematian Widawati.

Segala yang terjadi dan tampak oleh pandangan mata manusia keadaannya seringkali tidak sesuai dengan pendapat manusia yang menyaksikannya, bahkan kadang-kadang berlawanan. Orang-orang menjadi terharu, menangisi kematian Wiraman dan Widawati yang mereka anggap amat menyedihkan. Akan tetapi, bagaimanakah sesungguhnya? Adakah kematian mereka itu benar-benar menyedihkan, tentu saja terutama sekali bagi dua orang itu sendiri?

Hal ini amat diragukan dan sungguhpun keadaan mati tak dapat dibuktikan oleh manusia hidup, namun mengingat akan janji-janji mereka berdua sebelumnya, kematian bersama itu belum tentu merupakan peristiwa yang menyedihkan bagi Wiraman dan Widawati. Siapa tahu kalau arwah kedua orang yang saling mencinta ini bergandeng tangan sambil tersenyum-senyum bahagia menyaksikan dunia dengan segala leluconnya yang mereka tinggalkan untuk selamanya.

Patih Warutama menyuruh mempertontonkan kedua sosok mayat itu kepada penduduk dengan maksud agar mereka yang masih mempunyai niat memberontak menjadi gentar dan maklum akan kekuatan mereka yang kini menguasai Jenggala. Akan tetapi, keadaan sesungguhnya bukanlah demikian karena rakyat diam-diam menjadi makin muak dan benci akan kekejaman-kekejaman dan pembunuhan-pembunuhan yang terjadi semenjak Suminten menjadi selir raja terkasih, semenjak Pangeran Kukutan menjadi putera mahkota, dan semenjak Ki Patih Warutama menjadi Patih Jenggala. Kebencian dan kemuakan yang menjadi rabuk berseminya rasa tak puas dan ingin memberontak dari rakyat!

Adapun tentang kematian Wiraman dan Widawati itu sendiri. Sia-siakah pengorbanan mereka? Sia-siakah usaha mereka membebaskan empat orang tawanan? Sia-siakah mereka mengorbankan nyawa sedang empat orang tawanan itu masih tetap tertawan? Kiranya tidaklah demikian dan hal ini akan terbukti dalam peristiwa-peristiwa selanjutnya. Peristiwa yang menyusul karena terjadi pada siang harinya setelah malam keributan di bangunan tempat tahanan itu.

cerita silat online karya kho ping hoo

Ketika Suminten mendengar akan usaha Wiraman dan Widawati yang hendak merampas tawanan dengan jalan membakar gudang, ia menjadi marah sekali dan habis kesabarannya. Ia cepat memberi perintah kepada pengawalnya, kemudian dia sendiri datang ke tempat tahanan untuk menyaksikan pelaksanaan usahanya yang terakhir untuk memaksa Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono bertekuk lutut di depannya. Ia merasa yakin bahwa akalnya yang terakhir ini akan berhasil dan harus berhasil, karena kalau tidak, ia sudah mengambil keputusan untuk membunuh empat orang muda yang keras hati itu.

Keputusannya itu tentu saja mengecewakan hati Ki Patih Warutama dan Pangeran Kukutan yang mempunyai niat lain lagi terhadap dua orang wanita cantik yang menjadi tawanan. Pangeran Kukutan yang selalu merasa iri hati kepada Pangeran Panji Sigit, begitu melihat Setyaningsih sudah timbul hasrat hatinya untuk merampas isteri adik tirinya itu, atau setidaknya memperkosanya, baru akan puaslah hatinya.

Adapun Ki Patih Warutama tertarik akan kecantikan Pusporini, bahkan malam tadi ia sampai tersesat ke tempat tahanan semata-mata bermaksud untuk melihat Pusporini dan kalau mungkin, mendahului Suminten menggagahi gadis itu. Akan tetapi peristiwa pembakaran gudang membuat ia terpaksa membatalkan niatnya dan kini keputusan Suminten itu mengecewakan hatinya. Namun, baik Pangeran Kukutan maupun Patih Warutama tidak berani membantah lagi ketika Suminten berkata,

"Kalau yang dua jantan suka menyerah kepadaku, yang dua betina akan kuserahkan kepada kalian. Kalau tidak, keempatnya akan kubunuh hari ini juga!"

Di dalam ruangan tahanan berdinding batu tebal dan kokoh kuat itu, telah diatur persiapannya oleh para pengawal. Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono masih terbelenggu di dinding batu, akan tetapi Setyaningsih dan Pusporini telah dipindahkan. Kini kedua orang wanita itu diikat pada dua batang balok besar, diikat kaki, tangan dan lehernya pada balok itu sehingga mereka tak mampu bergerak.

Suminten duduk di luar kamar tahanan, menonton dari lubang jendela yang digerakkan dengan alat rahasia sehingga dinding yang berhadapan dengan kedua orang muda itu terbuka tengahnya dan kepala Suminten kelihatan dari dalam kamar tahanan. Melihat keadaan dua orang wanita itu, dan melihat munculnya kepala Suminten di balik lubang dinding, Pangeran Panji Sigit berseru,

"Suminten, andika seorang manusia dari darah daging, bukan siluman. Muslihat keji apakah yang hendak kaulakukan atas diri isteriku dan Pusporini? Kalau mau membunuh kami; bunuhlah karena kami tidak takut mati. Dan ingat, bahwa apapun juga yang anda lakukan, kami takkan menyerah dan andika akan melakukan hal yang sia-sia belaka."

Suminten tersenyum. "Pangeran, apa yang akan kulakukan bukanlah hal sia-sia, dan akan terjadi di depan mata kalian berdua. Baru dapat dihentikan dengan penyerahan diri kalian kepadaku tanpa syarat!"

Sehabis berkata demikian Suminten bertepuk tangan tiga kali memberi isyarat kepada kaki tangannya. Pintu kamar tahanan terbuka dan masuklah dua orang laki-laki yang keadaannya mengerikan hati Pusporini dan Setyaningsih. Mereka itu adalah dua orang laki-laki bertubuh besar dan bersikap kasar, bermuka liar dengan mata terbelalak lebar penuh nafsu, mulut yang besar dengan gigi yang menguning terkekeh-kekeh meneteskan air liur ketika mereka melangkah maju dan terkekeh-kekeh menghampiri dua batang balok berdiri di mana kedua orang wanita muda itu terikat tak berdaya!

Tanpa bicara sekalipun maklumlah Pusporini dan Setyaningsih, juga Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono, apa yang akan dilakukan oleh dua orang algojo setengah telanjang itu. Setyaningsih dan Pusporini menjadi pucat wajahnya, memandang kepada dua orang yang tubuhnya hanya ditutupi cawat kasar, tubuh setengah telanjang bulat yang berisi otot-otot melingkar seperti dadung dan begitu mereka masuk telah tercium bau keringat yang kecut dan apek.

"Mundur kalian! Jangan ganggu isteriku dan Pusporini!" bentak Pangeran Panji Sigit.

Akan tetapi dua orang raksasa itu hanya tertawa ha-hah-he-heh sambil langkah maju terus mendekati dua orang wanita itu.

"Kalau berani menjamah mereka, kuhancurkan lumat-lumat kepala kalian!" Joko Pramono juga berteriak yang dijawab dengan suara terkekeh-kekeh oleh dua orang itu.

Mereka sama sekali tidak memperdulikan ancaman kedua orang muda itu dan berdiri di depan Pusporini dan Setyaningsih, dekat sekali. Mereka kini kelihatan makin bernafsu dan air liur mereka menetes-netes menjijikkan. Keadaan mereka itu, ketika kedua orang wanita memandang wajah mereka, mengingatkan Pusporini dan Setyaningsih akan muka dua ekor anjing kelaparan melihat tulang. Napas mereka yang terengah engah keluar dari mulut menimbulkan bau yang lebih menjijikkan daripada bau keringat mereka, seperti bau sampah membusuk. Tidak akan mengherankanlah kiranya andaikata ada ulat-ulat berloncatan keluar dari mulut mereka, begitu busuk baunya.

Tadinya empat orang tawanan itu menyangka bahwa dua orang raksasa ini agaknya gagu, akan tetapi ternyata tidak demikian karena kini raksasa yang berdiri dekat Pusporini berkata, suaranya serak kasar seperti kaleng diseret.

"Wah-wah, Kakang Suro. Aku menjadi semlengeren (silau) melihat dua orang wanita denok montok dan segar ranum ini sehingga sukar untuk memilih. Kalau boleh keduanya saja untukku, ha-ha-ha!"

"Heessss, Adi Digdo, biar yang putih kuning dan denok montok ini untukku, yang manis legit itu untukmu!" jawab algojo yang berdiri di depan Setyaningsih sambil meraba dagunya dengan kepalan tangannya yang besar dan berbulu.

"Buaya darat, monyet kau! Celeng goteng kau! Coba lepaskan ikatanku dan aku akan menginjak-injak hancur kepala kalian berdua babi hutan! Kalau kalian begitu pengecut dan tidak berani melepaskan, bunuh saja kami berdua!" teriak Pusporini yang tak dapat menahan kemarahannya lagi.

"Wah-wah, eman-eman (sayang) kalau dibunuh, cah ayu...!" kata algojo yang bernama Digdo sambil memandang seolah-olah hendak menelan bulat-bulat tubuh Pusporini.

"Suro dan Digdo, jangan banyak cerewet! Lekas lakukan perintahku, tepat seperti yang kalian ketahui. Awas, kalau tidak tepat seperti perintahku, kusuruh penggal batang leher kalian!" Tiba-tiba terdengar suara Suminten dari balik lubang dinding.

Dua orang algojo itu terkejut, menoleh dan menyembah.

"Renggut baju mereka sampai habis lepas!" kembali Suminten berteriak.

Dua buah lengan penuh bulu dengan jari-jari tangan sebesar pisang ambon itu bergerak ke depan, mencengkeram baju Pusporini dan Setyaningsih.

"Breeettt.... breeeettt...!!"

Baju yang dipakai kedua orang wanita itu seperti kertas saja di tangan Suro dan Digdo dan dalam sekejap mata, sekali gentak dan renggut baju-baju itu robek semua dan terlepas dari tubuh bagian atas. Setyaningsih dan Pusporini memejamkan mata dan mereka menjadi telanjang dari pinggang ke atas.

Dua orang algojo itu memandang sambil menelan ludah, kedua tangan mencabik-cabik baju yang tadi menutupi tubuh atas Pusporini dan Setyaningsih. Diam-diam Suminten kagum dan iri hati menyaksikan keindahan tubuh atas kedua orang wanita itu. Harus ia akui bahwa biarpun tubuh atasnya sendiri pun indah dan terawat baik, namun tidaklah memiliki kesegaran seperti tubuh atas mereka.

Pada waktu itu, bertelanjang tubuh atas bagi wanita bukanlah merupakan hal yang terlalu berat. Akan tetapi keadaan mereka itu berbeda lagi, mereka tengah ditelanjangi oleh tangan kedua orang algojo itu dan hal ini merupakan penghinaan yang amat hebat.

Joko Pramono dan Pangeran Panji Sigit meronta-ronta namun hanya berhasil membuat rantai-rantai besar yang membelenggu mereka berkerontangan.

"Suminten, perempuan terkutuk! Bunuh saja Setyaningsih!" teriak Panji Sigit, hampir ia terisak menyaksikan penghinaan yang dihadapi isterinya tercinta.

"Suminten, engkau dan algojo-algojomu ini sekali waktu akan terjatuh ke tanganku, dan awaslah akan pembalasanku atas perlakuan yang kaujatuhkan pada Pusporini saat ini!" kata pula Joko Pramono, suaranya dingin akan tetapi mengandung ancaman yang jelas melebihi suara halilintar menyambar.

Suminten tersenyum penuh kemenangan. Memang itulah yang ia kehendaki. Menyiksa batin kedua orang pria itu agar suka tunduk dan berlutut di depan kakinya.

"Hi-hik, kalian merasa kasihan dan ngeri? Mengapa tidak menolong mereka dan membebaskan mereka dari keadaan yang lebih hebat lagi? Mudah saja dan ringan syaratnya, asal suka membantuku. Kalau kalian masih berkeras kepala, dengarkan apa yang akan dilakukan oleh kedua orang algojoku ini. Atas perintahku, mereka nanti akan merenggut lepas seluruh pakaian dua orang wanita itu. Setelah itu, mereka berdua akan membeIai dan meremas bagian-bagian tubuh Setyaningsih dan Pusporini, bagian-bagian yang kalian tak ingin dijamah laki-laki lain. Setelah puas, mereka itu akan kuperintahkan untuk memperkosa Setyaningsih dan Pusporini di depan mata kalian sekuat mereka sampai dua orang wanita pujaan hati kalian ini mati! Ya, akan kuperintahkan agar dua orang wanita ini diperkosa sampai mati di sini, tiada henti-henti sampai mereka berdua ini mati atau kedua orang algojo ini kurang kuat dan mereka yang diperkosa itu belum mati, akan kudatangkan dua orang algojo lain yang masih segar dan kuat untuk menggantikan mereka memperkosa Setyaningsih dan Pusporini, kemudian dua lagi, menjadi enam orang, sepuluh orang, dua puluh, sampai seratus orang, sampai Setyaningsih dan Pusporini kehabisan napas dan mati!"

"Perempuan iblis terkutuk..." Joko Pramono memekik, wajahnya pucat kini.

"Tidak... jangan... kau bunuh saja kami, Suminten, bunuh saja kami...!"

Pangeran Panji Sigit merintih suaranya lemah, air matanya bertitik menuruni pipinya. Melihat keadaan suaminya seperti itu, hati Setyaningsih seperti diiris-iris. Ia lupa akan keadaan dirinya sendiri, lenyap rasa ngerinya karena ia kasihan menyaksikan penderitaan batin yang ditanggung suaminya, maka ia lalu berkata lantang setengah menjerit,

"Kakangmas Pangeran, mengapa berduka? Tubuhku ini bukanlah milik paduka, bukan pula milikku, hanya tanah dan debu. Yang kita miliki adalah rasa cinta kasih yang takkan lenyap dan abadi, dan kita akan dapat berkumpul kembali setelah aku mati dan kemudian paduka menyusul. Biarlah mereka lakukan apa saja atas tubuh bukan milik kita ini, Kakangmas."

Semua orang tertegun bagaikan disiram air dingin mendengar ini. Suminten merasa seperti ditampar mukanya, bahkan dua orang algojo itu sejenak terbelalak.

"Duh Ayunda, engkau bijaksana sekali dan terima kasih...." bisik Pusporini di sampingnya dan kini gadis inipun dapat memandang kekasihnya dengan tabah dan wajah berseri-seri, seolah-olah apa yang akan dialami dan yang berakhir dengan kematian merupakan saat-saat dia hendak melangsungkan pernikahan dengan Joko Pramono, pernikahan di akhirat!

"Isteriku Setyaningsih yang tercinta! Maafkanlah kakanda yang diserang kelemahan tadi. Kini hatiku lega dan marilah kita hadapi hukuman tubuh yang penuh dosa dengan segala penyerahan kepada Hyang Widi. Suminten, jangan mengira bahwa kejahatan dapat mengalahkan kebajikan, bahwa iblis dapat mengalahkan dewata, lakukanlah sesuka hatimu, wahai perempuan malang calon intip neraka!" kata Pangeran Panji Sigit.

"Ha-ha-ha, engkau mau berkata apa lagi sekarang, Suminten perempuan rendah budi?" Joko Pramono tertawa bergelak, hatinya juga lapang setelah mendengar ucapan Setyaningsih tadi.

Suminten memandang dengan sinar mata penuh kemarahan dan muka pucat. Ia masih belum mau menerima kalah. Ia tidak percaya bahwa dua orang pria muda itu akan kuat bertahan menyaksikan kekasih-kekasih mereka diperkosa dan disiksa.

"Suro dan Digdo, renggut kain-kain mereka, telanjangi mereka!" perintahnya.

Sikap dan ucapan empat orang muda itu mengandung wibawa yang amat hebat, menggetarkan isi dada dua orang algojo yang kasar seperti binatang buas itu sehingga gairah dan nafsu berahi mereka sudah banyak mendingin. Akan tetapi perintah Suminten bagaikan cambuk yang memecut punggung mereka, membuat mereka tergesa-gesa mengulur tangan meraih ke depan hendak merenggut kain Setyaningsih dan Pusporini yang sudah memejamkan mata sambil bersamadhi mematikan raga dan rasa, sedangkan dua orang pria muda itu memandang dengan muka pucat akan tetapi dengan penuh keikhlasan dan penyerahan kepada Yang Maha Kuasa.

Pada saat itu terdengar jelas tarikan napas panjang yang entah dari mana datangnya dan tiba-tiba berkelebat dua sinar kecil menyambar tengkuk dua orang algojo itu. Bagaikan disambar petir dua orang algojo itu yang sudah menyentuh kain Setyaningsih dan Pusporini, mengejang dan berdiri kaku seolah-olah mereka telah berubah menjadi dua buah arca batu! Kembali datang menyambar sinar-sinar kecil, kini menuju ke arah tambang-tambang kuat yang mengikat leher, lengan, dan kaki kedua orang wanita itu dan seketika semua tambang pengikat tubuh mereka putus seperti dikerat pisau tajam!

Keadaan ini membuat semua orang tertegun, bahkan Setyaningsih dan Pusporini sendiri kini sudah sadar dari samadhi, membelalakkan mata memandang semua tali pengikat yang sudah putus. Sedemikian besar keheranan dan kekagetan mereka sehingga mereka tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan yang sudah bebas itu!

Hanya pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono yang sadar dan kini mereka menoleh ke arah pintu dari mana tadi menyambar sinar-sinar itu, setengah dapat menduga bahwa ada seorang sakti yang telah menolong mereka. Akan tetapi ketika perlahan-lahan daun pintu yang berat itu terbuka, mereka inipun melongo keheranan karena yang muncul bukanlah seorang kakek sakti mandraguna, juga bukan Resi Mahesapati seperti yang tadinya disangka oleh Joko Pramono, melainkan seorang pemuda remaja berpakaian sederhana berwajah tampan berkulit putih yang melangkah perlahan memasuki tempat itu dengan senyum tenang penuh kesabaran di bibir!

Pemuda remaja ini bukan lain adalah Bagus Seta. Kedatangannya yang tepat sekali pada waktunya itu merupakan hasil daripada usaha Wiraman dan Widawati semalam. Malam tadi, Bagus Seta masih berada di luar kota raja, mendapatkan sebuah tempat yang amat nyaman dalam hutan sehingga ia berhenti dan bersamadhi di tempat itu menikmati keindahan tetumbuhan dan kebersihan hawa segar. Akan tetapi pada malam harinya, Bagus Seta melihat sinar merah tanda kebakaran membubung tinggi.

Hal inilah yang membuat pemuda sakti mandraguna mempercepat kepergiannya ke kota raja dan begitu memasuki kota raja mendengar akan peristiwa ditawannya Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih dan Pusporini. Disebutnya nama kedua orang wanita ini membuat Bagus Seta langsung saja mendatangi tempat tahanan, mempergunakan kesaktiannya dan berhasil datang pada saat yang tepat sehingga kedua orang bibinya itu tertolong.

Dengan demikian maka tidak sia-sialah kiranya pengorbanan yang dilakukan oleh Wiraman dan Widawati. Kalau saja mereka tidak melakukan usaha itu dan tidak terjadi kebakaran tentu kedatangan Bagus Seta akan terlambat. Tentu saja segala macam liku-liku peristiwa yang kebetulan itu telah ada yang mengatur-Nya dan hanya atas kehendak-Nya sajalah maka dapat terjadi semua kebetulan itu !

Dengan langkah perlahan dan sikap tenang sekali Bagus Seta langsung menghampiri Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono, kemudian menggunakan jari-jari tangannya yang halus itu meraih ke arah rantai baja. Terdengar bunyi berkerotokan dan dalam sekejap mata saja kedua tangan merekapun bebas, rantai itu patah-patah dan jatuh ke atas lantai.

cerita silat online karya kho ping hoo

Bagaikan menerima komando, tubuh Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono meloncat ke depan dan menghantan dengan tangan yang mengandung aji kesaktian ke arah kepala Suro dan Digdo yang masih berdiri seperti arca. Terdengar suara keras "prakk!" dua kali dan tubuh tinggi besar kedua algojo itu roboh dengan kepala pecah dan tewas di saat itu juga. Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono dengan sikap beringas memutar tubuh hendak mencari Suminten, akan tetapi sudah sejak tadi wanita itu lenyap dari balik lubang dinding, bahkan dinding itu sendiri kini tidak berlubang lagi, tertutup oleh gerakan alat rahasia.

Karena tak dapat melihat Suminten, Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono menjatuhkan diri berlutut di depan Bagus Seta, demikian pula Setyaningsih dan Pusporini yang kini telah sadar dari keadaan terpesona, merekapun cepat berlutut hendak menyembah, lupa akan keadaan tubuh atas mereka yang masih telanjang.

"Harap jangan banyak penghormatan, kini bukan waktunya bicara, yang terpenting harap lekas ikut bersama saya keluar dari kota raja." Bagus Seta menggunakan kedua tangan menyentuh pundak mereka, akan tetapi sentuhan jari tangan itu mengandung kekuatan mujijat yang tak terlawan sehingga keempat orang itu seperti ditarik tenaga raksasa dan bangkit berdiri. Ucapan itu pun sekaligus mengingatkan mereka bahwa bahaya belumlah terhindar selama mereka masih berada di tempat itu.

Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono lalu menanggalkan baju masing-masing dan memberikan baju mereka untuk dipakai oleh Setyaningsih dan Pusporini sekedar untuk menutupi ketelanjangan tubuh atas mereka. Kemudian mereka melangkah keluar mengikuti Bagus Seta yang tenang-tenang saja berjalan keluar dari ruangan tahanan itu.

Mereka disambut oleh belasan orang pengawal yang bergerak kebingungan seperti rombongan semut diganggu. Melihat ini, empat orang muda itu siap untuk mengamuk, akan tetapi Bagus Seta berkata perlahan, "Harap tenang dan tidak perlu melayani mereka, lebih baik cepat keluar dari sini."

Dua pasang orang muda itu terheran. Dihadang rombongan pengawal tidak boleh melawan, habis bagaimana akan dapat meloloskan diri? Akan tetapi mereka berempat menjadi kagum dan terheran-heran ketika melihat pemuda remaja itu mengembangkan kedua lengan dengan perlahan, akan tetapi akibatnya, rombongan pengawal yang datang dari kanan kiri itu terlempar dan roboh saling tindih seperti tertiup angin badai yang amat kuat.

Kini yakinlah hati kedua pasang orang muda itu akan kesaktian penolong mereka dan mereka berjalan terus mengikuti Bagus Seta dengan cepat keluar dari bangunan. Setiap bagian yang mengandung alat rahasia menjadi macet tak dapat bergerak karena dari jauh Bagus Seta telah menggunakan hawa sakti yang meluncur tak tampak dari telapak tangannya untuk memukul rusak alat-alat rahasia yang tersembunyi di balik dinding atau di bawah lantai, dan setiap usaha para pengawal yang puluhan orang banyaknya untuk menghalangi pelarian mereka, roboh malang-melintang dan jatuh bangun oleh gerakan kedua lengan pemuda sakti mandraguna ini. Tak seorang pun di antara para pengawal itu tewas, akan tetapi karena tiupan angin kuat yang keluar dari gerakan kedua lengan pemuda baju putih, membuat mereka menjadi gentar dan jerih.

"Harap pergunakan aji berlari cepat," kata Bagus Seta setelah mereka berhasil keluar dari dinding istana.

Dua pasang orang muda itu cepat berlari mempergunakan ilmu mereka, sedang Bagus Seta berlari di belakang mereka sebagai perisai. Apabila ada pengawal berani menghadang, pukulan-pukulan dua pasang orang muda itu sambil berlari cukup untuk merobohkan para penghalang. Ratusan anak panah yang diluncurkan oleh para pengawal yang melakukan pengejaran dari belakang, runtuh semua hanya oleh lambaian tangan Bagus Seta sehingga para pengawal menjadi makin gentar.

Akan tetapi, ketika dua pasang orang muda itu sudah hampir keluar dari dinding kota raja melalui pintu gerbang yang terjaga kuat namun para penjaganya kembali dirobohkan secara mudah oleh Bagus Seta, tiba-tiba mereka tersusul oleh serombongan pengawal yang jumlahnya lima puluh orang menunggang kuda dan dipimpin oleh Cekel Wisangkoro, Ni Dewi Nilamanik, dan Ki Kolohangkoro!

Mereka ini ternyata telah mengejar melalui pintu gerbang lain dan memotong jalan sehingga mereka dapat menyusul, apalagi karena mereka menunggang kuda. Begitu melihat empat orang tawanan yang lolos bersama penolong mereka yang muda belia dan aneh itu, tiga orang tokoh sakti ini meloncat turun dari kuda diikuti lima puluh orang pengawal anak buah mereka.

"Babo-babo! Siapakah gerangan bocah lancang yang berani mati membebaskan para tawanan Kerajaan Jenggala! Mengakulah, anak muda, siapa andika sebelum nenggalaku memenggal batang lehermu!" bentak Ki Kolohangkoro menyembunyikan rasa ragu dan gentarnya mendengar berita betapa pemuda berpakaian putih itu memiliki kesaktian yang tidak lumrah manusia biasa!

Akan tetapi, sebelum Bagus Seta menjawab, Joko Pramono yang sudah menjadi marah sekali melihat munculnya musuh-musuh besar itu, membentak,

"Ki Kolohangkoro, sekaranglah tiba saatnya kita boleh mengadu tebalnya kulit kerasnya tulang!"

Joko Pramono sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya, menyerang Ki Kolohangkoro dan saking marahnya, begitu menyerang Joko Pramono sudah menggunakan aji kesaktiannya yang amat ampuh, yaitu Cantuka-sekti yang merupakan pukulan mendorong dari bawah dengan tubuh agak direndahkan hampir berjongkok.

Ki Kolohangkoro menggereng keras dan menggerakkan nenggalanya menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya, akan tetapi seperti ketika untuk pertama kalinya ia bentrok dengan pemuda sakti murid Resi Mahesapati ini, ia kalah tenaga dan tubuhnya terpental ke belakang.

Kekebalannya melindunginya sehingga hawa pukulan Cantuka-sekti itu tidak mampu merobohkannya. Bentrokan antara Joko Pramono dan Ki Kolohangkoro ini merupakan komando bagi para pengawal sehingga mereka menyerbu ke depan sambil berteriak-teriak. Ni Dewi Nilamanik dan Cekel Wisangkoro sudah pula menerjang maju, disambut oleh Pusporini yang menghadapi Ni Dewi Nilamanik, sedangkan Setyaningsih bersama Pangeran Panji Sigit menyambut terjangan Cekel Wisangkoro.

Serangan Ni Dewi Nilamanik yang menggunakan kebutan merah amat dahsyatnya. Ujung kebutan yang kadang-kadang dapat lemas seperti ujung cambuk kadang-kadang dapat mengeras dan runcing seperti ujung pedang itu meluncur cepat ke arah leher Pusporini. Namun secepat kilat Pusporini menggerakkan tangan kiri dari samping diputar dengan jari-jari tangan mencengkeram ujung kebutan sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka mengirim tamparan dengan Aji Pethit Nogo yang ampuhnya menggila!

Ni Dewi Nilamanik mengeluarkan suara menjerit, menarik kembali kebutannya dan menangkis tamparan dengan kebutan yang diputar ke kiri

"Prattt!"

Ujung kebutan bertemu dengan jari tangan yang mengandung Pethit Nogo itu menjadi bobol sedikit dan tubuh Ni Dewi Nilamanik agak terhuyung ke belakang. Akan tetapi Pusporini juga merasa betapa jari tangannya pedas dan panas, tanda bahwa lawannya ini bukanlah lawan yang ringan.

Yang hebat adalah Cekel Wisangkoro, murid terpandai dari Wasi Bagaspati. Tongkatnya yang hitam berbentuk ular itu berubah menjadi gulungan sinar yang mengurung Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih. Suami isteri ini bertangan kosong, maka mereka cepat mengelak, kemudian dari kanan kiri membalas dengan pukulan sakti yang mereka perdalam di bawah pimpinan mendiang Ki Datujiwa. Namun ternyata bahwa tingkat kesaktian suami isteri ini masih kalah oleh tingkat Cekel Wisangkoro yang sudah tinggi sehingga sekali memutar tongkatnya secara tepat, tidak saja cekel tua berhasil menggagalkan serangan mereka, bahkan sebaliknya membalas dengan pukulan dan tusukan tongkatnya bertubi-tubi membuat suami isteri itu sibuk mengelak.

Tiba-tiba gerakan tongkat ular itu terhenti di tengah udara oleh kekuatan yang tak tampak. Ternyata Bagus Seta sudah turun tangan, menggerakkan tangannya mendorong dengan pukulan jarak jauh, menahan gerakan tongkat sehingga suami isteri itu dapat meloncat mundur. Ketika Setyaningsih dan suaminya memandang, ternyata para pengawal yang tadi menyerbu dan berada di bagian paling depan, telah roboh terjengkang seperti yang dialami para pengawal yang menghadang di sepanjang jalan tadi.

"Harap andika berempat cepat melarikan diri dan menanti saja di dalam hutan menuju Panjalu!" Terdengar pemuda remaja itu berkata halus.

Mendengar ini, Pusporini dan Joko Pramono tidak suka membantah, mereka meloncat mundur karena maklum bahwa kalau dilanjutkan melawan, biarpun mereka tidak akan kalah menghadapi lawan itu seorang lawan seorang, namun kalau dikeroyok oleh puluhan orang pengawal akan memakan waktu lama. Apalagi kalau sampai Patih Warutama datang membawa barisan, akan berbahayalah keadaan mereka. Mereka berempat maklum akan kesaktian pemuda remaja itu, maka ucapannya merupakan perintah bagi mereka dan cepat mereka meloncat dan melarikan diri ke selatan.

"Kejar! Tangkap tawanan yang kabur. Bunuh!" teriak Ki Kolohangkoro dan sebagian besar para pengawal sudah berlari dan hendak menunggang kuda melakukan pengejaran.

Mereka semua maklum bahwa kalau mereka gagal menangkap para tawanan, mereka akan mendapat marah besar dari Pangeran Kukutan dan Ki Patih Warutama, terutama sekali mereka ngeri kalau mengingat akan kemarahan Suminten. Sebaliknya kalau mereka berhasil menawan kembali empat orang pelarian itu, tentu mereka akan mendapat hadiah yang banyak. Karena inilah maka mereka seakan-akan berlumba hendak melakukan pengejaran.

"Berhenti!" terdengar suara halus namun amat berpengaruh sehingga semua orang seketika menghentikan gerakan mereka. Beberapa orang yang sudah meloncat ke atas kuda dan sudah melarikannya, tiba-tiba terguling dari atas punggung kuda ketika Bagus Seta mendorongkan tangan kirinya ke arah mereka.

"Bocah berilmu setan! Siapakah engkau sesungguhnya berani menentang para pengawal Jenggala?" Cekel Wisangkoro kini bertanya dengan hati tertarik karena selama hidupnya dalam perantauan, dia belum pernah mendengar tokoh muda seperti ini.

"Cekel Wisangkoro, ilmu apa pun juga di dunia ini kalau dipergunakan untuk melakukan kejahatan menjadi ilmu hitam atau ilmu setan. Akan tetapi aku akan selalu menggunakan sedikit pengertian yang kumiliki untuk mengabdi kebenaran dan keadilan."

"Babo-babo! Engkau telah mengenal aku?"

Kini tidak hanya Cekel Wisangkoro yang menghadapi pemuda ini, juga. Ki Kolohangkoro dan Ni Dewi Nilamanik mendekat dan memandang penuh perhatian, penuh takjub dan menduga-duga.

"Aku mengenal siapa andika, Cekel Wisangkoro. Andika murid utama dari Sang Wasi Bagaspati, seorang pendatang dari Hindu yang memperjuangkan perkembangan Agama Syiwa, bukan? Aku mengenal pula Ni Dewi Nilamanik yang menjadi pemuka dari penyebaran Agama Bathari Durgo di Tanah Jawa, yang menganggap dirinya sebagai penitisan Sang Bathari Durgo sendiri. Aku mengenal pula Ki Kolohangkoro pemuka dari penyebaran Agama Bathara Kolo di Tanah Jawa, yang mengaku dirinya sebagai penitisan Sang Bathara Kolo sendiri. Wahai andika bertiga, mengapa mengabaikan perbedaan antara baik dan buruk, antara salah dan benar dan menjadi hamba nafsu pribadi yang hanya akan menimbulkan kebakaran dan kehangusan diri andika sekalian sendiri? Manusia bebas memeluk agama apa pun juga, memilih sesembahan mereka, bahkan bebas pula menyebarkannya. Akan tetapi, kalau penyebaran agama itu dilakukan dengan tipu muslihat, dengan kekerasan dan bahkan tidak segan-segan dengan kekacauan dan pembunuhan, hal ini sudah menyeleweng daripada kebenaran, merupakan pemerkosaan yang keji. Mengapa andika tidak mau sadar?"

Tiga orang tokoh sakti itu terbelalak keheranan. Orang-orang seperti mereka itu mana mungkin dapat mudah disadarkan? Betapa manusia dapat mudah sadar daripada penyelewengan kalau mereka menganggap bahwa penyelewengan itu bukanlah penyelewengan melainkan kebenaran! Berbahagialah manusia yang dapat mengenal penyelewengan mereka sendiri!

"Wahai bocah muda yang amat luar biasa. Siapakah sebenarnya andika?"

"Namaku Bagus Seta, dan sekali lagi kuperingatkan andika sekalian bahwa usaha Negeri Sriwijaya dan Negeri Cola untuk menanamkan kuku-kuku beracun mereka di Tanah Jawa akan mengalami kegagalan. Setiap kemenangan dari kejahatan pasti akan tersusul, cepat atau pun lambat, oleh kebenaran yang akan menggulung dan menghancurkannya. Belum terlambat kalau andika insyaf dan mengundurkan diri, menyampaikan kepada Sang Biku Janapati untuk tidak melanjutkan usaha mereka mengembangkan agama dengan tipu muslihat dan kekarasan. Terutama sekali, insyafkan mereka bahwa angkara murka yang datang dari negara-negara asing untuk menjajah Tanah Jawa takkan mendatangkan kebahagiaan melainkan hanya mendatangkan kehancuran dan kesengsaraan, terutama bagi fihak penjajah."

cerita silat online karya kho ping hoo

"Babo-babo, bocah sombong! Lagakmu seolah-olah engkaulah penitisan Sang Hyang Jagad Nata sendiri! Ataukah engkau bicara mewakili para penyembah Sang Hyang Wishnu dan sengaja hendak menentang kami?" bentak Cekel Wisangkoro marah.

Bagus Seta menggelengkan kepalanya dan sikapnya masih tenang sekali, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar yang membuat silau ketiga orang sakti itu.

"Agaknya andika bertiga lupa akan inti sari dan sumber daripada semua agama yang kalian anut. Apakah perbedaan antara Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Wishnu, dan Sang Hyang Syiwa? Ketiganya adalah sifat daripada Sang Hyang Widhi Wasesa, satu-satunya kekuasaan tertinggi yang menguasai seluruh jagad raya seisinya. Ketiga sifat Tritunggal, disebut tiga namun satu juga yang membuat jagad raya ini berputar terus. Kesatuan dari tiga sifat inilah yang merupakan lingkaran tak pernah putus. Hyang Brahma Maha Pencipta, yang mencipta seluruh alam mayapada seisinya. Hyang Wishnu Maha Pelindung dan memelihara, yang memelihara segala ciptaan tadi, yang bergerak maupun tidak. Hyang Syiwa Maha Pembinasa, yang menghancurkan dan membinasakan segala ciptaan itu. Ketiganya adalah Trimurti, selalu bersatu, tak pernah dapat terpisahkan karena ketiga sifat ini dengan kerja sama yang wajar dan tak terelakkan membuat alam mayapada seperti yang terjadi dahulu, yang kita lihat sekarang, dan yang akan terjadi kelak. Sebuah raja di antara Tiga Sifat Yang Maha Kuasa ini dipisahkan, segalanya akan terhenti. Sang Pencipta mencipta segala benda dan mahluk sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa, Sang Pemelihara memelihara ciptaan-ciptaan itu agar dapat berlangsung, dan Sang Pembinasa menghancurkan satu demi satu untuk memberi kelangsungan pula kepada ciptaan-ciptaan baru!"

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 39