Perawan Lembah Wilis Jilid 39 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 39

TIGA orang sakti itu mendengarkan dengan melongo. Hampir mereka tidak percaya bahwa yang bicara di depan mereka itu adalah seorang pemuda berusia dua puluhan tahun.

"Andika telah kesiku (terkutuk) kalau memisah-misahkan tiga sifat itu dan hanya menjadi penyembah Sang Bathara Syiwa saja, atau Sang Bathari Durgo yang hanya menjadi pelengkap dan pembantu, maupun juga Sang Bathara Kolo yang membantu tugas Bathara Syiwa. Di dunia ini, tidak mungkin hanya sifat pembinasa saja yang berkuasa, juga akan pincang kalau hanya sifat pencipta saja, atau sifat pemelihara saja. Harus ada ketiganya, maka disebut Trimurti, Tri-tunggal, tiga sifat dari SATU KEKUASAAN MAHA SEMPURNA yang saling bantu, saling mengisi. Demikianlah, wahai andika bertiga orang-orang yang telah mempergunakan sebagian besar umur andika untuk memipelajari ilmu, janganlah sia-siakan hidup kalian dengan penyelewengan daripada wajib hidup."

Tiga orang sakti itu melongo dan tertegun bukan untuk taat, sama sekali tidak, hanya terheran saja. Kini, setelah pemuda itu selesai bicara, bangkitlah kemarahan di hati mereka, terutama sekali Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro. Mereka berdua adalah kepala agama, seorang yang ahli dalam agama yang dianutnya, kini mereka dikuliahi seorang bocah tentang agama! Hal ini mereka terima sebagai penghinaan dan kesombongan si pemuda.

"Bocah sombong, katakan siapa gurumu? Gurumu tentulah musuh besar dari kami, atau musuh besar Sang Wasi Bagaspati!" bentak Ni Dewi Nilamanik.

Bagus Seta menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Heran ketiga orang itu melihat sikap yang demikian tenangnya, sama sekali tidak membayangkan kemarahan maupun permusuhan, lunak dan lembut penuh kesabaran dan pengertian.

"Guru manakah yang lebih besar daripada Yang Maha Kuasa? Kalau Yang Maha Kuasa dapat diumpamakan apinya matahari di dalam diri setiap orang manusia terdapat setitik bunga api. Kalau dapat diumpamakan air samudera, di dalam diri setiap orang manusia terdapat setetes airnya. Segala pengetahuan telah berada di dalam diri manusia yang tak pernah terpisah dari Gurunya, yang tak pernah ditinggalkan. Yang Maha Kuasa tidak pernah sedetikpun meninggalkan setiap orang manusia, hanya si manusialah yang terlalu sering meninggalkanNya. Guru yang berujud manusia hanyalah sebagai petunjuk dan penggali sehingga si manusia menemukan kembali pengertian yang terpendam di dalam dirinya, tertutup oleh sampah-sampah nafsu. Guruku yang berujud manusia sama dengan aku, tidak pernah mempunyai musuh dan tidak akan mempunyai musuh karena sudah terbebas daripada nafsu membenci. Benci menimbulkan dendam, dan dendam menimbulkan permusuhan. Tanpa benci berarti tidak akan punya musuh, namun dia sendiri tidak pernah mempunyai musuh. Kalau andika bertiga menganggap aku ini musuh, itu adalah kerugian bagi andika sendiri, akan tetapi aku tidak menganggap andika bertiga ini musuh karena aku tidak membenci siapa-siapa."

"Babo-babo! Lidahmu lemas seperti lidah ular, engkau pandai bicara, orang muda. Hendak kulihat apakah kesaktianmu juga sehebat bicaramu!" Sambil membentak keras, tongkat ular di tangan Cekel Wisangkoro sudah meluncur ke depan, menusuk ke dada pemuda itu.

Serangan ini diikuti oleh kebutan di tangan Ni Dewi Nilamanik yang mengeluarkan suara meledak keras, dan dibarengi pula oleh tusukan nenggala di tangan Ki Kolohangkoro. Hebat bukan main serangan berbareng yang dilakukan tiga orang sakti itu, datangnya dari tiga jurusan dan memiliki keampuhan masing-masing.

Akan tetapi Bagus Seta bersikap tenang saja, kemudian secara tiba-tiba tubuhnya lenyap seolah-olah ditelah bumi sehingga tongkat di tangan Cekel Wisangkoro hampir bertemu dengan nenggala Ki Kolohangkoro sendiri. Ketiganya terkejut sekali dan dengan hati ngeri menduga bahwa pemuda aneh itu memiliki kesaktian menghilang dari depan mata mereka!

Benarkah Bagus Seta pandai menghilang? Sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda sakti itu tidak menghilang, melainkan menggunakan aji kesaktian meringankan tubuh yang amat tinggi tingkatnya sehingga tubuhnya dapat berkelebat mengelak secara demikian cepatnya dan karena gerakannya jauh melampaui ketiga orang lawannya, sehingga mereka bertiga itu tidak dapat mengikuti gerakannya dengan pandang mata.

Tubuh Bagus Seta berkelebat cepat menghindarkan diri dari serangan lawan lalu melesat keluar kepungan dan pergi melarikan diri dari tempat itu menyusul dua pasang orang muda yang telah lebih dulu melarikan diri.

Tiga orang sakti itu akhirnya sadar akan hal ini dan benar saja, ketika memandang, bayangan pemuda itu telah pergi agak jauh dari tempat itu.

"Bocah keparat, hendak lari ke mana kau?" bentak Ki Kolohangkoro yang cepat melontarkan nenggalanya ke arah Bagus Seta. Juga Cekel Wisangkoro mengayun tongkat ularnya dan melontarkan tongkat itu menyusul nenggala ke arah tubuh Bagus Seta.

Lontaran nenggala dan tongkat ini tak boleh dipandang rendah karena tenaga lontarannya sedemikian kuatnya membuat kedua macam senjata itu meluncur lebih cepat daripada luncuran anak panah terlepas dari busurnya.

Bagus Seta mendengar angin luncuran dua buah senjata pusaka ampuh itu, dan ia hanya menoleh tanpa menghentikan langkahnya, mengangkat tangan kanannya menyampok kedua senjata itu berturut-turut sehingga nenggala dan tongkat itu runtuh ke atas tanah. Kemudian pemuda ini berlari terus dan sebentar saja lenyap dari pandangan mata ketiga orang lawannya.

Ki Kolohangkoro dan Cekel Wisangkoro dengan hati penasaran berlari dan mengambil senjata mereka. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa ujung nenggala dan tongkat ular itu telah hancur! Terpaksa mereka lalu memimpin para pengawal untuk terus melakukan pengejaran, namun pekerjaan ini dilakukan dengan setengah hati karena mereka bertiga kehilangan kepercayaan kepada kekuatan sendiri setelah bertemu dengan Bagus Seta, pemuda yang memiliki kesaktian yang tidak lumrah itu. Malah Cekel Wisangkoro tidak ikut melakukan pengejaran yang ia tahu akan sia-sia itu, melainkan ia tergesa-gesa pergi menghadap gurunya, Sang Wasi Bagaspati untuk memberi laporan tentang munculnya Bagus Seta yang memiliki kesaktian luar biasa itu.

Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih dan Pusporini cepat maju menyambut kedatangan Bagus Seta yang melangkah perlahan akan tetapi tidak lama telah dapat mengejar dan menyusul dua pasang orang muda itu dan serta-merta dua pasang orang muda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya.

"Tanpa bantuan paduka yang sakti mandraguna, kami berempat tentu tewas. Kami amat bersyukur dan berterima kasih..." Namun ucapan Setyaningsih ini diputus oleh ucapan halus Bagus Seta,

"Harap andika berempat bangun dan kalau perlu bersyukur dan berterima kasih, berterima kasihlah kepada Hyang Widhi Wisesa karena hanya dengan kehendak-Nya sajalah kita semua masih hidup di saat ini. Dan harap jangan menyembah saya, terutama sekali kedua bibi, karena sesungguhnya sayalah yang harus berlutut menyembah ke hadapan bibi berdua." Setelah tadi mengangkat bangun empat orang itu, kini Bagus Seta yang menjatuhkan diri berlutut dan menyembah dua orang wanita itu.

"Ahhhh, Raden.... bagaimana mungkin kami dapat menerima penghormatanmu yang tak pada tempatnya ini?"

Pusporini cepat berseru saking kagetnya. Biarpun pria ini masih amat muda, lebih muda daripadanya, akan tetapi betapa mungkin pemuda sakti mandraguna yang telah menyelamatkan nyawa mereka, bahkan lebih daripada itu, telah menyelamatkan mereka daripada ancaman bahaya penghinaan yang lebih hebat mengerikan daripada maut sendiri, kini menyembahnya?

"Bibi Setyaningsih dan Bibi Pusporini, harap suka pandang baik-baik kepada hamba. Tidakkah Bibi berdua dapat mengenal keponakanmu lagi?"

Setyaningsih dan Pusporini terkejut, memandang wajah tampan yang terangkat itu dengan seksama, kemudian keduanya menjerit, "Bagus Seta.... !!"

Setyaningsih dan Pusporini menubruk dan merangkul Bagus Seta sambil menangis. "Aduhai... Bagus Seta.... ke mana saja engkau pergi selama ini?" Setyaningsih terisak-isak dengan muka bersandar pundak Bagus Seta. "Semenjak engkau pergi, banyak sekali hal telah terjadi....

"Seta, anak nakal.... ! Mengapa engkau menghilang sekian lamanya? Ke mana saja engkau pergi? Aihhh, sekarang eyang-eyangmu...." Pusporini sukar melanjutkan kata-katanya karena lehernya tercekik oleh keharuan. Ia hanya dapat merangkul dan menciumi rambut kepala keponakannya itu.

Kalau kedua wanita itu menangis dan menumpahkan rasa haru, adalah Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono yang berdiri bengong. Tentu saja mereka sudah seringkali mendengar dari Setyaningsih dan Pusporini tentang Bagus Seta, putera Tejolaksono yang pergi dibawa orang sakti semenjak berusia sepuluh tahun. Kini ternyata anak itu telah menjadi seorang pemuda yang amat sakti dan yang kini hanya tersenyum-senyum dengan wajah sama sekali tidak dipengaruhi tangis kedua orang bibinya yang mengguguk mengharukan.

"Syukur engkau datang menolong, Bagus Seta. Kalau tidak, bagaimana akan jadinya dengan nasib kedua bibimu....!!"

Setyaningsih berkata lagi, suaranya terputus-putus, "Anakku Seta! Engkau telah menjadi seorang sakti, mari bantu kami menghancurkan yang mencengkeram dan menguasai Jenggala!" Pusporini berseru, mengepal tinju karena bangkit kemarahannya teringat kepada Suminten dan kaki tangannya.

Setelah membiarkan kedua bibinya itu menumpahkan rasa terharu mereke sejenak, akhirnya Bagus Seta yang tersenyum penuh pengertian itu lalu memegang tangan kedua orang bibinya, bangkit berdiri dan berkata,

"Harap Bibi berdua tenangkan hati dan mari kita bicara tentang Jenggala dan pengalaman-pengalaman Bibi sehingga menjadi tawanan di sana. Sebelumnya harap Bibi perkenalkan kedua Paman yang gagah perkasa in!."

"Bagus Seta, dia adalah Pamanmu Pangeran Panji Sigit, suamiku. Dan dia itu Dimas Joko Pramono, kakak seperguruan Bibimu Pusporini." Setyaningsih memperkenalkan.

Bagus Seta maju member! hormat.
"Girang sekali hati saya dapat berjumpa dengan Paman Pangeran Panji Sigit dan paman Joko Pramono. Saya Bagus Seta menghaturkan sembah dan hormat"

Sejenak kedua orang pria perkasa itu tertegun menyaksikan sikap penuh hormat dari pemuda remaja itu. Hati mereka menjadl makin kagum akan kerendahan hati Bagus Seta dan kehalusan tutur sapa dan sikapnya, sama sekali tidak tampak kebanggaan dan kesombongannya akan kesaktian luar biasa yang dimilikinya. Tersipu-sipu mereka
lalu menjawab,

"Ah, sudah lama aku mendengar akan dirimu dari bibimu Setyaningsih, Bagus. Dan amatlah bahagia hatiku kini bertemu dan melihat bahwa keponakan isteriku adalah seorang yang memiliki kesaktian."

Adapun Joko Pramono yang sejak tadi memandang Bagus Seta seperti termenung kini berkata, "Andika Bagus Seta.... seorang pemuda sakti yang akan muncul.... ah, Pusporini! Kini mengertilah aku! Yang dimaksudkan oleh Eyang Guru Resi Mahesapati bukan lain orang adalah Bagus Seta sendiri!"

"Ah, benar! Tidak salah lagi! Girang sekali hatiku kalau yang akan kubantu adalah keponakan sendiri."

Dari kedua orang bibinya itu Bagus Seta mendengar akan segala peristiwa yang menimpa keluarga di Selopenangkep, mendengar bahwa ayah bundanya kini telah berada di Kota Raja Panjalu, ayahnya menjabat pangkat patih muda. Kemudian ia mendengar penuturan kedua pasang orang muda itu tentang keadaan di Jenggala dan tentang usaha Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih Tejolaksono yang mulai mengadakan penyelidikan ke Jenggala. Setelah semua peristiwa didengarnya secara singkat namun jelas, Bagus Seta menghela napas panjang lalu berkata,

"Aku merasa girang sekali bahwa kedua Bibi dan Paman telah berusaha untuk menolong Jenggala. Terutama sekali bagi Paman Pangeran, memang sudahlah menjadi kewajiban setiap orang kawula untuk membela negaranya. Akan tetapi, urusan di Jenggala ternyata bukanlah urusan kecil dan menyangkut pencampuran tangan Negeri-negeri Sriwijaya dan Cola. Oleh karena itu, seyogyanya kalau kita lebih dahulu menghadap ke Panjalu memberi laporan dan sudah tiba saatnya pula aku harus menghadap Kanjeng Rama lbu."

Demikianlah, lima orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Panjalu untuk melaporkan segala peristiwa yang mereka alami di Jenggala. Akan tetapi, ketika mereka tiba di tapal batas kedua kerajaan itu, tiba-tiba perjalanan mereka terhadang oleh seorang laki-laki setengah tua yang menggeletak melintang di tengah jalan, masih bergerak-gerak di samping belasan buah mayat orang yang berserakan di tempat itu.

"Kalau tak salah, perajurit-perajurit Panjalu....!" seru Setyaningsih dan mereka segera menghampiri perajurit setengah tua yang belum tewas itu.

Karena mereka semua maklum akan kesaktian Bagus Seta yang luar biasa, maka otomatIs empat orang muda itu menganggap pemuda remaja itu sebagai pemimpin mereka, maka kini Bagus Seta pula yang berlutut memeriksa tubuh perajurit yang terluka itu. Lukanya parah sekali, tak mungkin dapat ditolong dan patut dikagumi daya tahan perajurit itu sehingga masih dapat mempertahankan hidupnya. Kiranya perajurit itu memang mempergunakan seluruh kekuatan berdasarkan kesetiaannya untuk menunda kematiannya agar dapat menyampaikan berita kepada orang yang lewat. Dapat dibayangkan betapa girang hatinya melihat bahwa yang lewat adalah lima orang muda yang di antaranya terdapat Pangeran Panji Sigit dan isterinya yang sudah ia kenal ketika pangeran itu datang ke Panjalu.

".... tolong.... lekas....Gusti Patih Tejolaksono dan kedua isteri beliau.... tertawan dibawa ke gunung itu....." Habislah kekuatan perajurit itu dan tubuhnya lemas, nyawanya terbang meninggalkan raganya.

Setyaningsih, Pusporini, Pangeran Panji Sigit, dan Joko Pramono terkejut bukan main mendengar ucapan terakhir perajurit itu. Betapa mungkin hal ltu terjadi? Ki Patih Tejolaksono adalah seorang yang sakti mandraguna, apalagi di situ terdapat dua orang isterinya yang berarti bahwa Endang Patibroto juga hadir, sedangkan Ayu Candra bukanlah seorang lemah pula. Bagaimana dapat ditawan orang dan siapakah penawannya?

Memang sungguh mengherankan dan meragukan pesan dalam ucapan terakhir perajurit Panjalu itu. Kalau memang benar yang memimpin para perajurit yang kini rebah malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi adalah Ki Patih Tejolaksono, Endang Patibroto dan Ayu Candra, bagaimana mereka itu dapat dikalahkan dan ditawan orang? Untuk mengetahui hal yang tak dapat terjawab oleh dua pasang orang muda itu, baiklah kita mengikuti sebentar apa yang telah terjadi di tempat itu pada pagi hari tadi.

Sebelum Ki Wiraman dan Widawati dengan nekat menyerbu ke penjara istana Jenggala untuk menolong dua pasang orang muda yang tertawan, Ki Wiraman telah mengirim pembantunya ke Panjalu untuk memberi kabar tentang penangkapan empat orang muda itu kepada Ki Patih Tejolaksono karena dia maklum bahwa kalau dia dan Widawati gagal, satu-satunya orang yang boleh diharapkan akan dapat menyelamatkan empat orang muda itu adalah ki patih muda di Panjalu yang sakti itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Ki Patih Tejolaksono ketika mendengar berita itu. Setyaningsih dan Pusporini ditangkap dan dipenjara di Jenggala! Juga Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono! Segera Tejolaksono menghadap Pangeran Darmokusumo untuk melaporkan hal itu, kemudian Tejolaksono mohon perkenan dari sang prabu dan dari Pangeran Darmokusumo untuk pergi sendiri turun tangan ke Jenggala, selain untuk menolong mereka yang tertawan, juga sekalian menanggulangi kekacauan di sana.

Permohonannya diperkenankan, maka berangkatlah Tejolaksono disertai Endang Patibroto dan Ayu Candra. Kedua orang isterinya ini tidak mau ditinggal, apalagi Endang Patibroto yang sudah marah-marah mendengar betapa Setyaningsih adik kandungnya itu ditangkap.

"Sedikit banyak sang prabu di Jenggala pernah menerima bantuan-bantuanku, dan juga bantuanmu, apalagi kalau diingat bahwa Suminten itu ternyata adalah bekas abdi dalemku. Kalau aku yang datang meminta, kiranya mereka itu akan segera dibebaskan," demikian kata Endang Patibroto. "Kalau tidak..... hem mm, Jenggala akan kuratakan dengan bumi!"

Tejolaksono tersenyum dan memandang wajah Endang Patibroto dengan sinar mata berseri dan kagum. isterinya ke dua ini tak pernah menjadi tua, masih selalu penuh semangat seperti di waktu masih menjadi perawan yang ganas dan liar.

"Aku kira tidak perlu kita menggunakan kekerasan. Apapun yang telah kudengar beritanya, aku tak percaya bahwa gusti sinuwun di Jenggala sampai demikian tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuasaan lagi di sana. Sebaiknya kita buktikan sendiri."

Ayu Candra menggerakkan alisnya. "Betapapun juga, kita harus selalu waspada dan hati-hati. Peristiwa yang melanda Jenggala bukanlah hal yang wajar, melainkan ada rahasia di balik semua itu. Lupakah Kakanda akan perjumpaan kita dengan dua orang kakek amat sakti di puncak gunung ketika kita mencari Bagus Seta?"

Tejolaksono mengangguk dan diam-diam ia harus membenarkan pendapat isterinya ini. Wasi Bagaspati dan Biku Janapati adalah dua orang pendeta yang amat sakti dan kalau betul seperti yang pernah disindirkan oleh Ki Tunggaljiwa, dan kedua orang pendeta itu mencampuri urusan kekacauan di Jenggala, maka dia bersama dua orang isterinya harus berhati-hati sekali.

"Engkau benar, Adinda Ayu Candra. Kita harus berhati-hati sekali. Aku akan membawa lima belas orang pengawal pilihan untuk melayani keperluan kita dalam perjalanan. Di sana aku akan menghadap secara resmi kepada sang prabu dan langsung mengajukan permohonan untuk kebebasan mereka."

Rombongan Tejolaksono melakukan perjalanan cepat sekali siang malam tanpa berhenti, bertukar kuda di dalam perjalanan. Pada keesokan harinya ketika rombongan ini memasuki tapal batas Jenggala, tiba-tiba dalam sebuah hutan mereka dihadang oleh puluhan orang laki dan perempuan yang kesemuanya memegang senjata, dan para penghadang itu dipimpin oleh seorang wanita cantik yang memegang pedang. Ketika Tejolaksono melihat wanita ini dan mengenalnya sebagai Sariwuni si penyembah Bathari Durgo, anak buah juga kekasih Wasi Bagaspati, tahulah dia bahwa fihak musuh sudah mulai turun tangan. Maka ia berbisik di dekat telinga kedua isterinya.

"Dia Sariwuni yang telah kuceritakan kepada kalian. Kita basmi saja mereka karena mereka pun merupakan sebagian daripada akar-akar pohon kekacauan di Jenggala." Setelah berbisik demikian, Tejolaksono memberi aba-aba kepada lima belas orang pengawal untuk menerjang maju.

Para pengawal maklum bahwa kalau ki patih serentak memberi perintah menyerang tanpa bertanya, tentu ki patih mempunyai alasan kuat dan mereka yakin bahwa rombongan orang-orang laki perempuan bercampur aduk merupakan barisan liar ini pastilah golongan musuh. Merekapun lalu menerjang maju, melarikan kudanya menyerbu di antara puluhan orang lawan yang juga sudah berteriak-teriak dan menyerang dalam sambutan mereka terhadap terjangan perajurit-perajurit Panjalu.

"Sariwuni perempuan jahat, kebetulan sekali andika muncul menyerahkan nyawa!" bentak Tejolaksono sambil menudingkan telunjuknya ke arah wanita itu yang tersenyum mengejek dengan gerakan mulut genit sekali.

"Heh-heh, Tejolaksono, engkau masih hidupkan? Aku memang sengaja menantimu di sini untuk menangkapmu!"

"Setan alas, mampuslah kamu.... Tiba-tiba Endang Patibroto melayang dari atas kudanya dan langsung tubuhnya meluncur dan menyambar ke arah Sariwuni bagaikan seekor burung elang menyambar anak ayam. Sariwuni terkejut sekali dan cepat menggerakkan pedangnya membacok tubuh lawan yang menyambar seperti burung itu.

"Krekk.... Aaliihhhhh....!" Sariwuni terpental ke belakang sampai tiga meter dan pedangnya sudah patah-patah ketika bertemu dengan jari tangan Endang Patibroto! Sariwuni memandang terbelalak dan berkata tertegun,

"Inikah.... Endang Patibroto....?"

Sudah lama dia mendengar akan kehebatan seorang wanita bernama Endang Patibroto dan karena akhir-akhir ini dia mendengar berita bahwa Endang Patibroto telah menjadi isteri Tejolaksono, kini menyaksikan terjangan yang ganas dan dahsyat itu, mudah saja dia menduga.

"Benar dugaanmu. Akulah Endang Patibroto yang dating untuk menghancurkan kepalamu yang hanya terisi hawa busuk itu. Nah, rasakan pukulan ini !"

Endang Patibroto tidak mau memberi kesempatan lagi kepada lawan yang kini sudah bertangan kosong, lalu menerjang maju dengan gerakan Bayu Tantra yang membuat tubuhnya menjadi gesit dan ringan, sambil memukul dengan aji pukulan Wisangnolo!

Sariwuni menjadi gentar, akan tetapi ia pun tidak mau menyerah mentah-mentah begitu saja. Begitu ia menggerakkan tangan dan memekik, berubahlah warna tangannya menjadi hitam sampai ke kukunya dan kedua lengannya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Itulah pengerahan ajinya yang sangat keji dan kotor, yaitu Aji Wisekenaka yang ia pelajari dari Wasi Bagaspati sebagai hadiah atas jasa-jasanya, terutama sekali dalam melayani nafsu sang wasi.

"Bressss !" Kembali tangan Endang Patibroto tertangkis oleh lengan yang mengandung hawa beracun, bahkan kuku-kuku tangan Sariwuni dalam tangkisan itu telah mencengkeram lengan Endang Patibroto yang berkulit halus putih. Akan tetapi akibatnya, tubuh Sariwuni terbanting ke kiri dan perempuan ini bergulingan sambil mengeluarkan rintihan karena lengannya seperti terbakar api neraka ketika bertemu dengan lengan Endang Patibroto yang mengandung hawa Wisangnolo !

Sementara itu, Tejolaksono dan Ayu Candra juga tidak tinggal diam melihat lima belas orang pengawal mereka bertempur dikeroyok oleh tiga puluh orang lebih gerombolan musuh. Ki patih dan isterinya sudah membedal kuda mereka maju memasuki gelanggang pertempuran dan sebentar saja, beberapa orang pengeroyok sudah roboh oleh tendangan-tendangan kaki Tejolaksono dan ayunan pedang Ayu Candra setelah dia merampas pedang dari tangan seorang pengeroyok. Dengan majunya suami isteri perkasa ini, biarpun fihak lawan dua kali lebih besar jumlahnya, tetap saja mereka menjadi kocar-kacir dan panik. Sepak terjang suami isteri itu, terutama sang patih, terlalu hebat dan kuat bagi mereka seperti terjangan angin badai.

Endang Patibroto yang melihat betapa Sariwuni sudah terluka, mengambil keputusan untuk menghabisi saja nyawa lawan itu, maka tubuhnya kembali mencelat ke depan dan kakinya bergerak . menendang ke arah kepala Sariwuni untuk memberi pukulan maut terakhir.

"Desss....!" Kini tubuh Endang Patibrpto yang terpental ke belakang dan kakinya terasa nyeri hampir lumpuh. Kiranya tendangan tadi telah ditangkis oleh sebuah lengan tangan berbulu yang kulitnya kemerahan.

Endang Patibroto cepat berdiri tegak memandang penuh perhatian. Orang yang menolong Sariwuni itu adalah seorang kakek tinggi kurus bermuka merah sekali, rambutnya panjang putih terurai dan pakaiannya terbuat dari kain berwarna merah darah!

"Hoah-hah-ha-ha! Inikah puteri yang bernama Endang Patibroto, murid dari Dibyo Mamangkoro?.... buruk...!"

Kakek itu lalu memegang lengan tangan Sariwuni yang terluka dan sekali menggosoknya dengan telapak tangan kiri, sembuhlah dan lenyaplah rasa panas.

"Wuni cah-ayu, lenganmu tidak apa-apa, sekarang lebih baik kau membantu anak buahmu itu yang terdesak," kata kakek itu lalu menggunakan tangannya meraba pinggul Sariwuni, membelai dan mendorongnya. Sariwuni terkekeh genit lalu berlari untuk membantu anak buahnya yang kocar-kacir.

"Kakanda, lihat siapa itu...." Tiba-tiba Ayu Candra berbisik dengan suara menggetar.

Tejolaksono cepat menoleh dan terkejutlah ia ketika melihat pendeta berjubah merah itu yang bukan lain adalah Wasi Bagaspati!

"Ah, Endang Patibroto terancam bahaya. Mari kita bantu....!" ia lalu meloncat turun dari kudanya, diikuti Ayu Candra, merobohkan dua orang pengeroyok lalu berlari menghampiri Endang Patibroto yang masih berdiri tegak di depan Wasi Bagaspati. Tejolaksono kini berdiri di sebelah kanan Endang Patibroto sedangkan Ayu Candra berdiri di sebelah kanannya.

"Wasi Bagaspati! Kiranya andika yang menghadang perjalanan kami ke Jenggala," kata Tejolaksono. "Ada maksud apakah menghadang perjalanan kami?"

"Ha-ha-ha, andika Tejolaksono, dahulu Adipati Selopenangkep dan sekarang kabarnya menjadi patih muda di Panjalu, bukan? Sebagai patih di Panjalu, mau apa gentayangan dan berkeliaran di daerah Jenggala? Andika melanggar tapal batas, harus ditangkap. Ha-ha-ha!"

"Wasi Bagaspati! Sejak kapan andika menjadi penjaga tapal batas?" Tejolaksono berseru keras.

"Kakangmas, perlu apa banyak bicara dengan raksasa tua bangka ini? Hantam saja!" Endang Patibroto sudah menerjang maju lagi, kini gerakannya hati-hati sekali karena ia maklum bahwa yang ia hadapi adalah lawan yang benar-benar amat sakti. Ia menerjang sambil mengerahkan Aji Bayu Tantra agar tubuhnya menjadi ringan dan gerakannya menjadi cepat, dan ia mengerahkan ajinya Pethit Nogo untuk menampar ke arah dada Sang Wasi Bagaspati. Keras sekali tamparan tangan itu, namun kakek bermuka merah ituhanya tertawa-tawa, sama sekali tidak mengelak dan menerima tamparan Aji Pethit Nogo dengan dadanya yang bidang.

"Plakkkk!!" Endang Patibroto merasa betapa jari-jari tangannya bertemu dengan getaran hawa yang kuat, yang melumpuhkan ajinya Pethit Nogo dan pada detik berikutnya ia berseru keras sambil melesat pergi karena hampir saja pundaknya kena dicengkeram oleh tangan Wasi Bagaspati yang sengaja menerima pukulan sambil berusaha menangkap Endang Patibroto.

Tejolaksono juga kaget menyaksikan betapa pukulan Endang Patibroto sedemikian ampuhnya sehingga jarang sekali ada tokoh yang akan mampu menerima pukulan Pethit Nogo kini ternyata tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap Wasi Bagaspati, cepat melambung tinggi dan menerjang dari atas. Ia mengerahkan aji keringanan tubuh Bayu Sakti dan dari atas ia menukik turun ke bawah dengan pukulan Bojro Dahono, mengarah ubun-ubun kepala Wasi Bagaspati!

Pada saat yang hampir berbareng dengan serangan Tejolaksono, kedua orang isterinya pun sudah menerjang maju. Ayu Candra kini mencabut keris pusakanya dan menyerang dengan tusukan ke arah Wasi Bagaspati, sedangkan Endang Patibroto menggunakan aji pukulan Wisangnolo, kini yang dipukul adalah tenggorokan lawan untuk mematahkan batang lehernya!

Menghadapi tiga serangan yang mematikan ini, yang amat berbahaya kalau dilawan dengan kekebalan karena yang diserang adalah bagian-bagian paling lemah, Wasi Bagaspati menjadi terkejut juga. Tadinya ia hendak menyambar lengan Tejolaksono dan sekaligus menangkapnya, akan tetapi keris yang menuju matanya dan pukulan panas yang mengarah tenggorokannya bukanlah hal yang boleh dipandang rendah begitu saja. Terpaksa ia menangkis saja pukulan Tejolaksono, menggeser kaki belakang dan miringkan tubuh menghindarkan serangan dua orang wanita sakti itu. Akan tetapi begitu ia terhindar dari serangan pertama, ketiga orang pengeroyoknya sudah menerjang lagi dengan serangan yang lebih hebat dan berbahaya.

Tejolaksono yang pernah bertanding dengan kakek sakti ini di lereng Merapi di depan Ki Tunggaljiwa dan hampir saja tewas, teringat akan nasehat Ki Tunggaljiwa kemudian bahwa biarpun dalam hal ilmu kedigdayaan kakek ini tidaklah terlalu banyak selisihnya dengan tingkatnya seridiri, akan tetapi dalam hal kekuatan batin ia kalah jauh dan ia harus mempergunakan aji kesaktian Triwikromo untuk menentang pengaruh mujijat yang keluar dart batin Sang Wasi Bagaspati. Kini Tejolaksono mengeluarkan suara menggereng keras yang menggetarkan seisi hutan dan ia sudah mengerahkan aji kesaktian Triwikromo.

Aji kesaktian ini dahulu dipelajari oleh Tejolaksono dari mendiang Sang Prabu Airlangga yang telah mengundurkah diri menjadi pertapa dengan sebutan Sang Resi Jentayu aaau Sang Bhagawan Jatinendra. Aji ini mendatangkan wibawa yang amat hebat dan sekiranya lawan yang menghadapinya bukan Wasi Bagaspati tentu telah luluh dan lemah segala natsu perlawanannya. Tejolaksono kini menerjang maju dan menyerang bawah pusar lawan dengan gerakan silat Kukilo Sakti. Adapun Endang Patibroto yang maklum pula akan kehebatan lawan, berturut-turut secepat kilat melepaskan tujuh batang panah tangah beracun yang diluncurkah ke arah tujuh bagian lemah dari tubuh Wasi Bagaspati, kemudian ia mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo dan menghantam dari belakang mengarah tengkuk.

Ayu Candra bukan seorang lemah dan dia telah mewarisi segala ilmu dan aji kesaktian dari ayahnya, Ki Adibroto, seorang tokoh warok Ponorogo aliran putih, dan di samping itu, telah banyak pula ia mendapat bimbingan suaminya. Namun dalam menghadapi Wasi Bagaspati ini, Ayu Candra maklum bahwa ilmu kepandaiannya masih terlalu rendah.

Begitu ia melihat suaminya menyerahkan Aji Triwikromo dan mendengar Endang Patibroto mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo yang membuat kedua kakinya sendiri sampai menggigil, Ayu Candra lalu mundur dan menyaksikan pertandingan dahsyat itu dari pinggir gelanggang pertandingan. Ketika ia menengok ke kiri, ke arah pertempuran antara para pengawal dan anak buah Sariwuni, ia terkejut sekali karena semua pengawal telah menggeletak tewas, pertempuran telah terhenti, Sariwuni dan sisa pasukannya juga sedang menonton pertandingan dahsyat antara Wasi Bagaspati yang dikeroyok dua oleh Tejolaksono dan Endang Patibroto.

Wasi Bagaspati juga terkejut bukan main ketika ia melihat pengaruh wibawa yang tiba-tiba mencuat keluar dari tubuh Tejolaksono! Wibawa yang begitu kuatnya sehingga ketika ia memandangnya, jantungnya tergetar hebat dan isi dadanya terguncang. Cepat kakek sakti Itu menggereng dan setelah ia dapat mengatasi wibawa Aji Triwikromo, lenyaplah guncangan hebat dalam dadanya. Cepat ia menggerakkan tangan menagkis pukulan Tejolaksono yang mengarah bawah pusar, dan sekali ini keduanya terdorong mundur.

Pada saat itu terdengar bunyi berciutan nyaring sekali, yaitu saat meluncurnya tujuh batang panah tangan yang dilepas oleh Endang Patibroto. Panah tangan yang merupakan anak panah kecil dan cara mempergunakannya adalah disambitkan dan disentil dengan jari tangan dengan dorongan tenaga sakti itu ujungnya sudah direndam racun. Kini dilepas dari jarak dekat oleh Endang Patibroto, menuju ke arah tujuh bagian tubuh yang berbahaya.

"Cet-cet-cetcet-cet-cet-cet...!!!"

Anak panah itu datangnya beruntun susul-menyusul. Yang dua pertama meluncur ke arah sepasang lutut kaki Wasi Bagaspati dan dapat ditendang runtuh oleh kakek sakti itu. Panah ke tiga dan ke empat yang menyerang pusat dan ulu hati ia terima begitu saja dan dua batang anak panah itu runtuh, tak dapat membikin lecet sedikitpun tubuhnya yang dilindungi kekebalan. Anak panah ke lima meluncur ke tenggorokan, sedangkan yang ke enam dan ke tujuh terbang meluncur ke arah sepasang matanya.

Wasi Bagaspati menggereng marah, merendahkan kepala sehingga anak panah yang menusuk tenggorokannya kini menusuk mulutnya. ia membuka mulut dan menangkap anak panah itu dengan bibirnya, sedangkan kedua tangannya menyambar dua batang anak panah yang tadi menyerang sepasang matanya. Pada saat itu, pukulan ke arah tengkuk yang dilakukan Endang Patibroto yang memekikkan Aji Sardulo Bairowo sudah tiba. Wasi Bagaspati secara tiba-tiba membanting tubuhnya kekanan dan terus bergulingan di atas tanah. Gerakan ini membuat terjangan Endang Patibroto gagal dan tiba-tiba tampak tiga sinar menyambar ke arah Endang Patibroto, Tejolaksono dan Ayu Candra yang sedang berdiri menonton. Itulah tiga buah anak panah yang tadi terampas oleh Wasi Bagaspati.

Tejolaksono dan Endang Patibroto cepat menggunakan Aji Pethit Nogo, memukul runtuh anak panah itu, sedangkan Ayu Candra yang sama sekali tidak mengira akan diserang dengan anak panah, menjadi kaget dan hampir saja menjadi korban kalau ia tidak cepat-cepat meloncat ke belakang sampai terhuyung-huyung. Masih untung baginya bahwa anak panah yang dipakai menyerangnya adalah anak panah yang tadi digigit Wasi Bagaspati dan dipergunakan menyerangnya dengan cara ditiupkan sehingga tenaga luncurannya tidaklah sehebat dua batang yang disambitkan kakek itu.

"Huah-ha-ha, kalian belum menyerah? Mau melihat kesaktian Wasi Bagaspati? Hemmm.... masih belum terlambat untuk menyerah menjadi tawananku, Patih Tejolaksono!" Biarpun di mulut kakek ini mentertawakan, namun di dalam hatinya ia mendongkol dan penasaran sekali mengapa dia, seorang tokoh besar yang selamanya tak pernah terkalahkan, yang telah mengorbankan waktu dan ketekunan selama puluhan tahun untuk mengejar ilmu yang kini menganggap bahwa aji kesaktiannya akan dapat mengalahkan dewa, sekarang melawan dua orang yang baginya merupakan tokoh-tokoh muda ini, dia selalu didesak dan belum dapat balas menyerang!

Harus ia akui bahwa Tejolaksono dan Endang Patibroto merupakan sepasang lawan yang hebat sekali, karena mereka itu dapat bekerja sama dalam penyerangan-penyerangan yang dahsyat. Ingin ia mengeluarkan jimat pusakanya, yaitu senjata Cakra. Akan tetapi ia merasa sungkan kalau harus mempergunakan pusakanya itu hanya untuk menghadapi dua orang lawan muda. Maka ia mengeluarkan gertakan karena kalau mereka ini suka menyerah, tidak perlu ia mengeluarkan aji-aji yang selama ini menjadi ilmu simpanan untuk dipergunakan melawan musuh yang seimbang.

"Sang Wasi Bagaspati! Andika mewakili negara asing yang hendak menjajah, yang berarti mewakili angkara murka, sedangkan kami berjuang untuk membela nusa bangsa yang berarti mewakili kebenaran. Mungkinkah kebenaran harus menyerah dan tunduk terhadap angkara murka? Tidak, Sang Wasi. Kami akan melawan terus karena yakin bahwa akhirnya kebenaranlah yang akan menang!"

"Babo-babo, tidak mendengar kata-kata halus andika, Tejolaksono. Nah, majulah, dan rasakan kesaktian Wasi Bagaspati!"

"Pendeta palsu dukun lepus, siapa sudi mendengar obrolanmu?" Endang Patibroto membentak sambil menghunus keris pusakanya.

cerita silat online karya kho ping hoo

Tejolaksono juga sudah mengeluarkan keris Megantoro dan kedua suami isteri ini lalu menerjang maju dari depan, arah kanan kiri. Tiba-tiba Wasi Bagaspati mengeluarkan pekik melengking dan kedua kakinya menggedrug (menjejak) tanah. Tanah seolah-olah tergetar hebat di bawah kaki Endang Patibroto dan Tejolaksono, membuat mereka seperti lumpuh seketika dan tubuh mereka terguling! Wasi Bagaspati menubruk dengan kedua tangan mengirim pukulan ke arah kepala dua orang lawannya yang sudah roboh terguling.

"Dess! Desss!!" Debu mengebul ketika tanah dihantam kedua tangan Wasi Bagaspati, sedangkan Endang Patibroto dan Tejolaksono sudah melesat pergi mengelak karena begitu tubuh mereka terbanting, mereka mempergunakan tangan menekan tanah dan meloncat.

Tejolaksono dan Endang Patibroto terkejut. Mereka maklum bahwa ilmu yang dikeluarkan oleh Wasi Bagaspati itu adalah sejenis dengan aji-aji mereka Sardulo Bairowo dan Dirodo Meta, akan tetapi yang jauh lebih kuat karena memang kakek itu memiliki kekuatan batin yang luar biasa. Selagi mereka berpikir bagaimana harus menghadapi ilmu yang dahsyat itu, Wasi Bagaspati yang merasa penasaran karena serangannya gagal, kembali melompat dekat dan menjejak bumi sambil melengking seperti tadi.

Tejolaksono dan Endang Patibroto yang sudah siap itu mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi tubuh, namun percuma karena kaki mereka tergetar hebat dan seketika mereka terguling lagi seperi tadi!

Segumpal sinar hitam seperti asap menyambar ke arah tubuh Tejolaksono dan Endang Patibroto. Keduanya terkejut dan hendak mengelak, namun mereka roboh kembali karena gerakan mereka terhalang oleh sebuah jala hitam yang amat tipis namun yang mempunyai kekuatan melebihi benang-benang baja! Mereka meronta-ronta, namun dengan gerakan tangannya Wasi Bagaspati yang tertawa-tawa itu membuat jala makin menyempit sehingga akhirnya Tejolaksono dan Endang Patibroto meringkuk dan terjepit menjadi satu tak mampu bergerak lagi.

"Pendeta keparat lepaskan mereka!" Ayu Candra melompat ke depan dan menggunakan keris menyerang, akan tetapi dengan tangan kanan memegang ujung jala Wasi Bagaspati mengangkat tangan kirinya, menyampok tangan Ayu Candra yang memegang keris sehingga senjata itu terpental jauh dan sekali kakek itu mengibaskan tangan kirinya menyentuh pangkal telinga Ayu Candra, isteri Patih Tejolaksono ini terbanting dalam keadaan pingsan.

"Huah-ha-ha, orang-orang muda kalau tidak dibunuh, kelak akan merepotkan saja!"

Kakek itu sudah mengangkat tangan kirinya ke atas dengan jari-jari terbuka dan membentuk cakar harimau, siap digerakan turun mencengkeram kepala dua orang tangkapannya yang sudah tak dapat membela diri itu.

"Kakanda Wasi jangan bunuh mereka!" Tiba-tiba Sarlwuni meloncat maju dan berteriak mencegah.

Memang lucu dan janggal kedengarannya kalau Sariwuni yang masih kelihatan cantik dan muda itu menyebut "kakanda" kepada Wasi Bagaspati yang sudah tua renta, lebih seratus tahun usianya itu. Memang, Wasi Bagaspati ini selain sakti mandraguna, juga mempunyai watak romantis sehingga setiap orang wanita yang menjadi pelayan nafsunya selalu diharuskan menyebutnya kakanda!

"Heh, mengapa kau berani mencegahku, Sariwuni?" Wasi Bagaspati mengerutkan keningnya dan suaranya tergetar tak senang.

"Malam ini bulan purnama, dan mereka bertiga itu bukan orang-orang sembarangan sehingga akan menjadi korban yang amat berharga untuk Sang Dewi Bathari.... Sariwuni tersenyum manis dan kerlingnya menyambar ke arah Tejolaksono dalam jala itu.

Sejenak Wasi Bagaspati meragu, kemudian tertawa. "Haha-ha-ha! Engkau ini makin mata keranjang saja, Sariwuni! Engkau ingin menikmati pria tampan ini sebelum dia dibunuh? Baiklah, membunuh mereka besok pagi juga belum terlambat!"

"Hamba hanya mendapatkan seorang, akan tetapi bukankah Kakanda Wasi mendapatkan dua orang?" jawab Sariwuni sambil melirik ke arah Endang Patibroto yang meringkuk seperti ikan di dalam jala dan tubuh Ayu Candra yang masih rebah pingsan di atas rumput.

Ucapan ini disambut tertawa bergelak oleh Wasi Bagaspati. Sariwuni lalu mengatur anak buahnya untuk membawa teman-teman yang terluka dan yang tewas, kemudian mereka meninggalkan lima belas buah mayat para pengawal Panjalu, tidak tahu bahwa seorang di antara mereka masih belum tewas sehingga dapat memberi tahu tentang tertawannya Tejolaksono dan dua orang isterinya yang dibawa ke puncak gunung yang tampak dari hutan itu.

********************

Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini menjadi gelisah sekali setelah mendengar pesan perajurit itu. Hanya Bagus Seta yang tetap tenang, kemudian tanpa banyak bicara pemuda remaja ini Ialu menggali lubang dan mengubur kelima belas sosok mayat para pengawal Panjalu itu. Melihat ini, tentu saja Joko Pramono, bahkan Pangeran Panji Sigit sendiri bergegas membantu, juga kedua orang bibi muda itu. Mereka terpaksa menekan perasaan gelisah mereka melihat sikap Bagus Seta yang tenang itu, dan mereka percaya penuh bahwa pemuda remaja itu akan dapat menanggulangi segala lawan dan mengatasi segala kesulitan.

Malam itu terang bulan dan kebetulan sekali angkasa bersih dan cerah, tidak tampak sedikitpun awan sehingga bulan tersenyum-senyum bebas menyinarkan cahayanya yang keemasan. Di puncak gunung kecil di luar hutan itu terjadilah pesta yang luar biasa. Puncak gunung ini merupakan tempat peristirahatan sementara dari Wasi Bagaspati yang ditemani oleh Sariwuni dan sejumlah anak buahnya sebanyak kurang lebih lima puluh orang.

Atas permintaan Sariwuni, tiga orang tawanan itu, Tejolaksono, Endang Patibroto dan Ayu Candra, tidak dibunuh oleh Sang Wasi Bagaspati. Dengan ilmu kepandaiannya, mudah saja bagi Wasi Bagaspati untuk membuat Tejolaksono dan Endang Patibroto yang sudah tak dapat bergerak di dalam jala itu roboh pingsan, kemudian bersama Ayu Candra yang juga sudah pingsan, mereka bertiga dibawa naik ke puncak pegunungan itu dan dalam keadaan pingsan itu mereka bertiga diberi minum secara paksa oleh Sariwuni.

Minuman itu adalah minuman yang mengandung racun perampas ingatan dan mengandung daya rangsang yang amat luar biasa. Kemudian tiga orang yang masih pingsan itu direbahkan di atas panggung yang terbuat daripada kayu dan bambu. Biasanya, pesta pemujaan Bathari Durgo ini dipimpin oleh Ni Dewi Nilamanik sebagai ketuanya, akan tetapi oleh karena Ni Dewi Nilamanik sedang berada di Kota Raja Jenggala memenuhi panggilan Ki Patih Warutama, maka pesta ini diwakili oleh Sariwuni.

Minuman beracun yang dipergunakan Sariwuni itupun adalah milik Ni Dewi Nilamanik. Selain Sariwuni, di situ terdapat tujuh orang wanita cantik yang kesemuanya adalah murid-murid Ni Dewi Nilamanik dan yang berada di situ untuk bertugas membantu Sariwuni dalam melayani Wasi Bagaspati.

Adapun yang lainnya, terdiri dari laki-laki dan wanita, hanyalah anak buah yang melakukan segala macam pekerjaan kasar melayani segenap kebutuhan dan keperluan sehari-hari, termasuk penjagaan dan kalau perlu bertempur menghadapi musuh.

Setelah bulan mulai bersinar, pesta pemujaan Bathari Durgo pun dimulailah. Sebuah arca Bathari Durgo diletakkan di atas panggung dan di sebelah kanannya duduklah Sang Wasi Bagaspati di atas sebuah kursi.

Sariwuni dan tujuh orang wanita yang kesemuanya berpakaian tipis serba putih itu duduk bersimpuh di depan Wasi Bagaspati dan arca Bathari Durgo. Karena tempat itu bukan menjadi pusat perkumpulan Agama Bathari Durgo, bukan sebuah Durgoloka (Taman Bathari Durgo), maka upacara pemujaan Bathari Durgo di waktu bulan purnama itu pun diadakan sederhana sekali, tidak teperti kalau Ni Dewi Nilamanik yang memimpinnya, lengkap dengan gamelan segala macam. Tidak ada gamelan di situ dan
semua anak buah di situ setelah mempersiapkan pesta makanan sederhana untuk Wasi Bagaspati, Sariwuni dan tujuh orang murid Ni Dewi Nilamanik yang muda-muda dan cantik-cantik itu, lalu berdiri mengelilingi panggung menonton.

Semenjak tadi, pandang mata Wasi Bagaspati tertuju kepada tubuh Ayu Candra dan Endang Patibroto yang rebah terlentang di atas panggung, di ujung kiri sedangkan di sudut kanan rebah tubuh Tejolaksono. Mereka bertiga masih dalam keadaan pingsan, seperti tidur nyenyak. Kemudian kakek itu mengangkat tangan kiri ke atas, tanda bahwa
pesta boleh dimulai.

Melihat ini, Sariwuni memimpin tujuh orang wanita muda itu menyembah di depan kaki Wasi Bagaspati, kemudian menghampiri arca Bathari Durgo dan menyembah, lalu bertelungkup hampir tiarap di depan arca itu sambil menyebar kembang setaman yang sudah disediakan di situ. Sariwuni lalu membakar dupa harum yang mengepulkan asap putih yang baunya semerbak memenuhi udara di sekeliling panggung.

Setelah upacara penyembahan arca itu selesai, tujuh orang wanita itu dipimpin oleh Sariwuni lalu bangkit berdiri, dan mulailah mereka itu menari dengan iringan tepuk tangan mereka dan berkerincingnya gelang-gelang yang dipasang pada kaki mereka. Tari-tarian itu biarpun hanya diiringi gamelan tepuk tangan dan berkerincingnya gelang-gelang kaki, namun teratur dan amat indah, sungguhpun gerakannya mengandung sifat-sifat yang merangsang berahi dengan gerakan-gerakan pundak dan perut. Mereka menari berputaran di sekeliling panggung dan Sariwuni merupakan penari yang terpandai dan yang paling indah gerakannya.

Makin lama bunyi tepuk tangan dan berkerincingnya gelang-gelang kaki makin cepat pula dan makin liar. Sariwuni sendiri menari mendekati tubuh Tejolaksono yang masih menggeletak terlentang dalam keadaan pingsan atau mungkin juga tertidur nyenyak. Sariwuni mengitari tubuh Tejolaksono itu, menari-nari dan makin lama makin merendah tubuhnya sampai akhirnya ia menari sambil berjongkok mengelilingi Tejolaksono, jari-jari tangannya yang bergerak-gerak seperti ular-ular kecil itu merayap-rayap dan menyentuh-nyentuh tubuh Tejolaksono, sepasang matanya makin lama makin bersinar penuh gairah.

Sementara itu, tujuh orang wanita masih bertepuk-tepuk tangan dan menghentak-hentakkan kakinya untuk mencipta bunyi yang berirama untuk mengiringi tari-tarian Sariwuni. Mereka bertujuh hanya berdiri dan melenggang-lenggok tidak pindah dari tempatnya, berjajar menghadapi Wasi Bagaspati.

Wasi Bagaspati tersenyum-senyum, menggerak-gerakkan kepalanya menurutkan irama tepukan tangan, sambil makan dan minum sajian yang dihidangkan di dekatnya. Kemudian ia memandang ke arah Sariwuni yang menyentuh-nyentuh dada dan leher Tejolaksono, kadang-kadang menundukkan muka didekatkan dengan muka Tejolaksono seperti orang menimang-nimang.

Perlahan-lahan Tejolaksono menggerakkan bulu mata, lalu membuka matanya seperti orang dalam mimpi. Ia bangkit perlahan, diikuti Sariwuni yang masih menari, dan ketika wanita itu menarik tangannya, Tejolaksono bangkit berdiri dan mulai menari!

Wasi Bagaspati tertawa dan bangkit lalu menghampiri tubuh Endang Patibroto dan Ayu Candra. Beberapa kali ia meraba dan memijit tengkuk dua orang wanita itu yang kemudian siuman dari pingsannya, bangkit berdiri dan perlahan-lahan mereka berdua inipun mulai menari-nari menurutkan irama tepukan tangan dan berdencingnya gelang-gelang kaki. Sambil tertawa gembira Wasi Bagaspati ikut pula bertepuk tangan dan kembali duduk di atas kursinya.

"Aduhh.... untuk kedua kalinya Pusporini menyaksikan hal yang mengerikan ini," bisik Joko Pramono.

Mereka berlima bersembunyi di tempat gelap dan hanya oleh cegahan Bagus Seta saja empat orang itu tidak meloncat naik dan mengamuk di tempat itu. Joko Pramono yang pernah diceritakan oleh Pusporini tentang pengalamannya ketika ia ditawan oleh Ni Dewi Nilamanik, kini menyaksikan dengan mata sendiri keadaan yang amat aneh dan yang pernah dialami oleh Pusporini. Dia merasa amat heran, demikian pula Pusporini, Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih melihat betapa orang-orang sakti seperti Tejolaksono, Endang Patibroto dan Ayu Candra dapat terpengaruh seperti itu, seperti manusia-manusia yang kehilangan pikiran!

Pusporini memandang dengan air mata bercucuran. Melihat rakandanya dan kedua ayundanya berhal seperti itu, melihat mereka yang telah bertahun-tahun tak dijumpainya, hatinya terharu bukan main. Kalau menurutkan hatinya, ingin ia meloncat dan menyerbu, membebaskan tiga orang yang dihormati itu dari keadaan mereka yang menyedihkan.

Akan tetapi Bagus Seta tadi memberi isyarat agar mereka jangan bergerak dan ketika ia melihat Wasi Bagaspati, mau tidak mau tengkuknya meremang. ia melihat jelas pengaruh yang hebat keluar dari sinar mata kakek itu, dari gerak-geriknya.

Dengan bukti tertawannya orang-orang sakti seperti ayundanya Endang Patibroto dan rakandanya Tejolaksono dapat dibayangkan betapa saktinya kakek itu yang dapat ia duga tentulah Sang Wasi Bagaspati. Maka ia menahan sabar dan menyerahkan keputusan dan pimpinan dalam tangan Bagus Seta yang ia percaya akan dapat menanggulangi Wasi Bagaspati yang mengerikan itu.

"Tanggalkan pakaian mereka!" Tiba-tiba terdengar perintah keluar dari mulut Wasi Bagaspati.

Sariwuni sudah sibuk hendak membuka pakaian Tejolaksono yang masih menari-nari seperti boneka hidup, sedangkan tujuh orang wanita lainnya telah menyerbu Endang Patibroto dan Ayu Candra untuk menanggalkan pakaian mereka. Pekerjaan ini mereka lakukan sambil tertawa terkekeh-kekeh dengan genit.

Tiba-tiba terdengar bentakan halus, "Wanita-wanita sesat, mundur kalian!" Dan Bagus Seta sudah meloncat ke atas panggung diikuti oleh empat orang pengikutnya.

Dengan tenang Bagus Seta mendorongkan tangannya dan Sariwuni berikut tujuh orang itu terhuyung ke belakang dan akhirnya roboh ke bawah panggung. Terdengar teriak-teriak panik dari anak buah Sarlwuni yang menonton dan keadaan seketika menjadi geger. Bagus Seta mendekati Tejolaksono, Ayu Candra dan Endang Patibroto. Ia menyembah lebih dulu sebelum mengusap wajah mereka bertiga itu satu kali dengan telapak tangan kanannya dan seketika tiga orang itu menjadi sadar, memandang terbelalak kepada Bagus Seta, Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini.

"Bagus Seta....! Engkau.... engkau Bagus Seta...!" Tiba-tiba Ayu Candra menjerit dan wanita itu roboh pingsan dalam pelukan Pusporini yang cepat menerima tubuh ayundanya yang pingsan saking kaget dan girang itu.

Tejolaksono merangkul puteranya yang berlutut dan menyembahnya, akan tetapi karena maklum akan keadaan yang gawat itu, Tejolaksono mengeraskan hatinya dan berbisik, "Hati-hatilah, Nak. Dia sakti sekali.... !!"

Bagus Seta mengangguk tenang. "Kita gempur dia! Bagus Seta, aku ibumu Endang Patibroto, mari kubantu engkau membasmi dukun lepus ini!" bentak Endang Patibroto.

"Harap ibunda serahkan saja kepada hamba," kata Bagus Seta sambil tersenyum, kemudian ia bangkit berdiri dan membalikkan tubuh melangkah maju menghadapi Wasi Bagaspati yang memandang semua kejadian itu dengan mata merah saking marahnya, juga saking herannya menyaksikan betapa seorang pemuda remaja dapat menyadarkan tiga orang itu dari pengaruh racun perampas pikiran dan perangsang.

Padahal kepandaian seperti itu hanya dapat dilakukan oleh brang-orang yang telah memiliki tenaga batin yang amat kuat, seperti dia sendiri misalnya. Dan cara pemuda itu mendorong para wanita turun dari panggung tanpa melukai mereka, benar-benar mengagumkan, menyatakan bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat pula.

"Heh, bocah yang berani mati. Siapa kah andika?"

"Sang Wasi Bagaspati, namaku adalah Bagus Seta. Sang Patih Muda Panjalu Tejolaksono adalah Ramandaku."

"Hemm, kulihat engkau seorang muda yang telah memiliki sedikit kesaktian, agaknya engkau murid seorang yang sakti. Ehhh.... sekarang aku ingat...! Bukankah engkau bocah yang dahulu bersama Bhagawan Ekadenta...?"

"Bapa guru, dia telah melarikan empat orang tawanan Jenggala! Itu mereka, mohon Bapa guru menangkap mereka kembali!" Tiba-tiba terdengar suara lantang dan muncullah Cekel Wisangkoro yang langsung melompat ke atas panggung.

Kembali Wasi Bagaspati tertegun. ia sudah mendengar kemajuan-kemajuan yang dicapai para murid dan anak buahnya dalam penyelundupan ke Jenggala dan penanaman pengaruh ke istana. Kini boleh dikata bahwa Jenggala telah berada di dalam telapak tangannya, tinggal menggenggam saja. Jenggala kini telah menjadi sekutu yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan oleh negaranya untuk diajak menyerang kerajaan-kerajaan lain seperti Panjalu dan lain-lain.

Kalau usaha itu berhasil dan kelak seluruh Jawa-dwipa telah dapat ditundukkan, tidak akan sukarlah untuk menentang raja yang duduk di singgasana Jenggala dan Jawadwipa yang lohjinawi itu akan menjadi milik Kerajaan Cola! Seringkali ia diam-diam menertawakan rekannya dari Sriwijaya, Biku Janapati yang tidak tampak mendapatkan kemajuan apa-apa.

Akhir-akhir ini dengan girang ia mendengar akan ditawannya Pangeran Panji Sigit dan tiga orang muda yang termasuk orang-orang bahaya bagi Jenggala. Maka kini mendengar ucapan muridnya bahwa pemuda remaja yang luar biasa inipun sudah membebaskan tawanan yang kini hadir pula di atas panggung, ia menjadi marah bukan main.

Melihat munculnya Cekel Wisangkoro, Tejolaksono yang maklum bahwa keadaan makin gawat, segera berkata kepada Setyaningsih, Pusporini, Pangeran Panji Sigit, dan Joko Pramono, "Kalian berempat lakukanlah tugasmu, hadapi Cekel Wisangkoro, Sariwuni dan kaki tangannya. Aku dan kedua ayundamu akan membantu Bagus Seta!"

Biarpun keadaan gawat dan menegangkan, akan tetapi jiwa kepemimpinan Tejolaksono tidak pernah tenggelam dan dalam keadaan seperti itu ia dapat mengatur tugas dan membagi-baginya dengan perhitungan masak. Ayu Candra yang sudah siuman kinipun sudah siap sedia membantu puteranya dan keharuan serta kebahagiaan yang datangnya demikian tiba-tiba kini tak dapat ditumpahkan, hanya ditelan dan disimpan dalam rongga dada, kini berdiri di dekat suaminya dan Endang Patibroto.

"Ha-ha-ha-ha! Tejolaksono, jangan kau bergirang lebih dulu dengan adanya bantuan-bantuan yang tiba. Makin banyak keluarga dan sekutumu berkumpul makin baiklah bagiku agar sekaligus aku dapat membasmi penghalang-penghalang bagi tugasku!" Setelah berkata demikian, Wasi Bagaspati lalu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau kelaparan dan ia menggerakkan kedua lengannya mendorong ke depan.

Serangkum tenaga dahsyat menyambar ke depan. Pada saat itu juga, Pusporini yang mendahului yang lain-lain setelah menerima perintah Tejolaksono, sudah menerjang Cekel Wisangkoro dengan pukulan Pethit Nogo yang ampuh. Demikian hebat terjangan dara perkasa ini sehingga tidak ada lain jalan bagi Cekel Wisangkoro untuk menyelamatkan diri kecuali melompat turun dari atas panggung. Pusporini mengejar dan melompat turun pula, diikuti oleh Joko Pramono, Pangeran Panji Sigit, dan Setyaningsih. Mereka ini disambut oleh Cekel Wisangkoro, Sariwuni dan tujuh orang murid-murid Ni Dewi Nilamanik, dibantu pula oleh anak buah yang dating menyerbu dengan senjata tombak dan golok.

Terjadilah pertandingan campuh yang hebat di bawah panggung, di mana Pangeran Panji Sigit dan tiga orang muda yang lain mengamuk. Pukulan jarak jauh yang dilakukan Wasi Bagaspati dengan jalan mendorongkan kedua lengannya amatlah hebatnya. Berbeda ketika kakek ini menghadapi Tejolaksono bertiga isteri-isterinya, sekali ini Wasi Bagaspati mengerahkan seluruh kekuatannya dan tenaga sakti yang terkandung dalam pukulan mendorong ini diperkuat oleh tenaga batinnya sehingga pukulan itu luar biasa dahsyatnya.

Seketika Tejolaksono dan kedua orang isterinya, terutama sekali Ayu Candra, terhuyung ke belakang, merasa seolah-olah ada gunung api menyerang mereka. Bagus Seta melompat ke depan ayah dan kedua orang ibundanya, melindungi mereka dengan tubuhnya dan mendorongkan pula lengannya ke depan sambil berkata dengan suara halus, "Yang menggunakan kekerasan akan menerima kekerasan pula, Sang Wasi!"

cerita silat online karya kho ping hoo

"Dessss !!" Terasa sekali oleh Tejolaksono dan dua orang isterinya akan pertemuan dua tenaga raksasa yang ampuh dan mujijat di tengah udara, di antara Wasi Bagaspati dan Bagus Seta, seolah-olah dua gunung api bertemu dan saling membakar, saling menindih. Bagus Seta masih berdiri tegak dan tenang, dan Wasi Bagaspati memandang terbelalak, agak menggigil seperti orang kedinginan, atau seperti orang yang merasa gentar akan sesuatu sehingga meremang bulu tengkuknya.

Tentu saja Wasi Bagaspati sama sekali tidak pernah merasa gentar, karena perasaan ini sudah lama terhapus dari hatinya bersamaan dengan timbulnya perasaan percaya kepada diri sendiri bahwa kesaktiannya sudah terlalu tinggi untuk dapat dikalahkan lawan yang manapun juga. Kalau ia kelihatan seperti menggigil adalah karena ia merasa terlalu heran dan terlalu penasaran melihat kenyataan betapa pukulannya yang ampuh dan mujijat tadi dapat ditahan dan didorong kembali oleh seorang yang masih begini muda!

Kemarahannya memuncak karena dorongan rasa penasaran ini dan sambil memekik dahsyat tubuhnya yang tinggi itu kini menerjang maju dan kedua lengannya yang panjang itu bergerak menyambar dari kanan kiri dengan jari-jari tangan terbuka, berusaha menangkap dan mencengkeram hancur tubuh Bagus Seta dengan tangannya yang kuat melebihi cengkeraman baja.

Bagus Seta tetap bersikap tenang menghadapi terkaman kedua lengan yang mengamuk seperti badai ini. Kelihatannya pemuda itu hanya menggerakkan tubuhnya lambat-lambat saja akan tetapi aneh sekali, kedua tangan yang menyambar-nyambar itu selalu menangkap angin, tak pernah dapat menyentuh tubuhnya.

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 40

Perawan Lembah Wilis Jilid 39

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 39

TIGA orang sakti itu mendengarkan dengan melongo. Hampir mereka tidak percaya bahwa yang bicara di depan mereka itu adalah seorang pemuda berusia dua puluhan tahun.

"Andika telah kesiku (terkutuk) kalau memisah-misahkan tiga sifat itu dan hanya menjadi penyembah Sang Bathara Syiwa saja, atau Sang Bathari Durgo yang hanya menjadi pelengkap dan pembantu, maupun juga Sang Bathara Kolo yang membantu tugas Bathara Syiwa. Di dunia ini, tidak mungkin hanya sifat pembinasa saja yang berkuasa, juga akan pincang kalau hanya sifat pencipta saja, atau sifat pemelihara saja. Harus ada ketiganya, maka disebut Trimurti, Tri-tunggal, tiga sifat dari SATU KEKUASAAN MAHA SEMPURNA yang saling bantu, saling mengisi. Demikianlah, wahai andika bertiga orang-orang yang telah mempergunakan sebagian besar umur andika untuk memipelajari ilmu, janganlah sia-siakan hidup kalian dengan penyelewengan daripada wajib hidup."

Tiga orang sakti itu melongo dan tertegun bukan untuk taat, sama sekali tidak, hanya terheran saja. Kini, setelah pemuda itu selesai bicara, bangkitlah kemarahan di hati mereka, terutama sekali Ni Dewi Nilamanik dan Ki Kolohangkoro. Mereka berdua adalah kepala agama, seorang yang ahli dalam agama yang dianutnya, kini mereka dikuliahi seorang bocah tentang agama! Hal ini mereka terima sebagai penghinaan dan kesombongan si pemuda.

"Bocah sombong, katakan siapa gurumu? Gurumu tentulah musuh besar dari kami, atau musuh besar Sang Wasi Bagaspati!" bentak Ni Dewi Nilamanik.

Bagus Seta menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Heran ketiga orang itu melihat sikap yang demikian tenangnya, sama sekali tidak membayangkan kemarahan maupun permusuhan, lunak dan lembut penuh kesabaran dan pengertian.

"Guru manakah yang lebih besar daripada Yang Maha Kuasa? Kalau Yang Maha Kuasa dapat diumpamakan apinya matahari di dalam diri setiap orang manusia terdapat setitik bunga api. Kalau dapat diumpamakan air samudera, di dalam diri setiap orang manusia terdapat setetes airnya. Segala pengetahuan telah berada di dalam diri manusia yang tak pernah terpisah dari Gurunya, yang tak pernah ditinggalkan. Yang Maha Kuasa tidak pernah sedetikpun meninggalkan setiap orang manusia, hanya si manusialah yang terlalu sering meninggalkanNya. Guru yang berujud manusia hanyalah sebagai petunjuk dan penggali sehingga si manusia menemukan kembali pengertian yang terpendam di dalam dirinya, tertutup oleh sampah-sampah nafsu. Guruku yang berujud manusia sama dengan aku, tidak pernah mempunyai musuh dan tidak akan mempunyai musuh karena sudah terbebas daripada nafsu membenci. Benci menimbulkan dendam, dan dendam menimbulkan permusuhan. Tanpa benci berarti tidak akan punya musuh, namun dia sendiri tidak pernah mempunyai musuh. Kalau andika bertiga menganggap aku ini musuh, itu adalah kerugian bagi andika sendiri, akan tetapi aku tidak menganggap andika bertiga ini musuh karena aku tidak membenci siapa-siapa."

"Babo-babo! Lidahmu lemas seperti lidah ular, engkau pandai bicara, orang muda. Hendak kulihat apakah kesaktianmu juga sehebat bicaramu!" Sambil membentak keras, tongkat ular di tangan Cekel Wisangkoro sudah meluncur ke depan, menusuk ke dada pemuda itu.

Serangan ini diikuti oleh kebutan di tangan Ni Dewi Nilamanik yang mengeluarkan suara meledak keras, dan dibarengi pula oleh tusukan nenggala di tangan Ki Kolohangkoro. Hebat bukan main serangan berbareng yang dilakukan tiga orang sakti itu, datangnya dari tiga jurusan dan memiliki keampuhan masing-masing.

Akan tetapi Bagus Seta bersikap tenang saja, kemudian secara tiba-tiba tubuhnya lenyap seolah-olah ditelah bumi sehingga tongkat di tangan Cekel Wisangkoro hampir bertemu dengan nenggala Ki Kolohangkoro sendiri. Ketiganya terkejut sekali dan dengan hati ngeri menduga bahwa pemuda aneh itu memiliki kesaktian menghilang dari depan mata mereka!

Benarkah Bagus Seta pandai menghilang? Sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda sakti itu tidak menghilang, melainkan menggunakan aji kesaktian meringankan tubuh yang amat tinggi tingkatnya sehingga tubuhnya dapat berkelebat mengelak secara demikian cepatnya dan karena gerakannya jauh melampaui ketiga orang lawannya, sehingga mereka bertiga itu tidak dapat mengikuti gerakannya dengan pandang mata.

Tubuh Bagus Seta berkelebat cepat menghindarkan diri dari serangan lawan lalu melesat keluar kepungan dan pergi melarikan diri dari tempat itu menyusul dua pasang orang muda yang telah lebih dulu melarikan diri.

Tiga orang sakti itu akhirnya sadar akan hal ini dan benar saja, ketika memandang, bayangan pemuda itu telah pergi agak jauh dari tempat itu.

"Bocah keparat, hendak lari ke mana kau?" bentak Ki Kolohangkoro yang cepat melontarkan nenggalanya ke arah Bagus Seta. Juga Cekel Wisangkoro mengayun tongkat ularnya dan melontarkan tongkat itu menyusul nenggala ke arah tubuh Bagus Seta.

Lontaran nenggala dan tongkat ini tak boleh dipandang rendah karena tenaga lontarannya sedemikian kuatnya membuat kedua macam senjata itu meluncur lebih cepat daripada luncuran anak panah terlepas dari busurnya.

Bagus Seta mendengar angin luncuran dua buah senjata pusaka ampuh itu, dan ia hanya menoleh tanpa menghentikan langkahnya, mengangkat tangan kanannya menyampok kedua senjata itu berturut-turut sehingga nenggala dan tongkat itu runtuh ke atas tanah. Kemudian pemuda ini berlari terus dan sebentar saja lenyap dari pandangan mata ketiga orang lawannya.

Ki Kolohangkoro dan Cekel Wisangkoro dengan hati penasaran berlari dan mengambil senjata mereka. Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka melihat bahwa ujung nenggala dan tongkat ular itu telah hancur! Terpaksa mereka lalu memimpin para pengawal untuk terus melakukan pengejaran, namun pekerjaan ini dilakukan dengan setengah hati karena mereka bertiga kehilangan kepercayaan kepada kekuatan sendiri setelah bertemu dengan Bagus Seta, pemuda yang memiliki kesaktian yang tidak lumrah itu. Malah Cekel Wisangkoro tidak ikut melakukan pengejaran yang ia tahu akan sia-sia itu, melainkan ia tergesa-gesa pergi menghadap gurunya, Sang Wasi Bagaspati untuk memberi laporan tentang munculnya Bagus Seta yang memiliki kesaktian luar biasa itu.

Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih dan Pusporini cepat maju menyambut kedatangan Bagus Seta yang melangkah perlahan akan tetapi tidak lama telah dapat mengejar dan menyusul dua pasang orang muda itu dan serta-merta dua pasang orang muda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya.

"Tanpa bantuan paduka yang sakti mandraguna, kami berempat tentu tewas. Kami amat bersyukur dan berterima kasih..." Namun ucapan Setyaningsih ini diputus oleh ucapan halus Bagus Seta,

"Harap andika berempat bangun dan kalau perlu bersyukur dan berterima kasih, berterima kasihlah kepada Hyang Widhi Wisesa karena hanya dengan kehendak-Nya sajalah kita semua masih hidup di saat ini. Dan harap jangan menyembah saya, terutama sekali kedua bibi, karena sesungguhnya sayalah yang harus berlutut menyembah ke hadapan bibi berdua." Setelah tadi mengangkat bangun empat orang itu, kini Bagus Seta yang menjatuhkan diri berlutut dan menyembah dua orang wanita itu.

"Ahhhh, Raden.... bagaimana mungkin kami dapat menerima penghormatanmu yang tak pada tempatnya ini?"

Pusporini cepat berseru saking kagetnya. Biarpun pria ini masih amat muda, lebih muda daripadanya, akan tetapi betapa mungkin pemuda sakti mandraguna yang telah menyelamatkan nyawa mereka, bahkan lebih daripada itu, telah menyelamatkan mereka daripada ancaman bahaya penghinaan yang lebih hebat mengerikan daripada maut sendiri, kini menyembahnya?

"Bibi Setyaningsih dan Bibi Pusporini, harap suka pandang baik-baik kepada hamba. Tidakkah Bibi berdua dapat mengenal keponakanmu lagi?"

Setyaningsih dan Pusporini terkejut, memandang wajah tampan yang terangkat itu dengan seksama, kemudian keduanya menjerit, "Bagus Seta.... !!"

Setyaningsih dan Pusporini menubruk dan merangkul Bagus Seta sambil menangis. "Aduhai... Bagus Seta.... ke mana saja engkau pergi selama ini?" Setyaningsih terisak-isak dengan muka bersandar pundak Bagus Seta. "Semenjak engkau pergi, banyak sekali hal telah terjadi....

"Seta, anak nakal.... ! Mengapa engkau menghilang sekian lamanya? Ke mana saja engkau pergi? Aihhh, sekarang eyang-eyangmu...." Pusporini sukar melanjutkan kata-katanya karena lehernya tercekik oleh keharuan. Ia hanya dapat merangkul dan menciumi rambut kepala keponakannya itu.

Kalau kedua wanita itu menangis dan menumpahkan rasa haru, adalah Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono yang berdiri bengong. Tentu saja mereka sudah seringkali mendengar dari Setyaningsih dan Pusporini tentang Bagus Seta, putera Tejolaksono yang pergi dibawa orang sakti semenjak berusia sepuluh tahun. Kini ternyata anak itu telah menjadi seorang pemuda yang amat sakti dan yang kini hanya tersenyum-senyum dengan wajah sama sekali tidak dipengaruhi tangis kedua orang bibinya yang mengguguk mengharukan.

"Syukur engkau datang menolong, Bagus Seta. Kalau tidak, bagaimana akan jadinya dengan nasib kedua bibimu....!!"

Setyaningsih berkata lagi, suaranya terputus-putus, "Anakku Seta! Engkau telah menjadi seorang sakti, mari bantu kami menghancurkan yang mencengkeram dan menguasai Jenggala!" Pusporini berseru, mengepal tinju karena bangkit kemarahannya teringat kepada Suminten dan kaki tangannya.

Setelah membiarkan kedua bibinya itu menumpahkan rasa terharu mereke sejenak, akhirnya Bagus Seta yang tersenyum penuh pengertian itu lalu memegang tangan kedua orang bibinya, bangkit berdiri dan berkata,

"Harap Bibi berdua tenangkan hati dan mari kita bicara tentang Jenggala dan pengalaman-pengalaman Bibi sehingga menjadi tawanan di sana. Sebelumnya harap Bibi perkenalkan kedua Paman yang gagah perkasa in!."

"Bagus Seta, dia adalah Pamanmu Pangeran Panji Sigit, suamiku. Dan dia itu Dimas Joko Pramono, kakak seperguruan Bibimu Pusporini." Setyaningsih memperkenalkan.

Bagus Seta maju member! hormat.
"Girang sekali hati saya dapat berjumpa dengan Paman Pangeran Panji Sigit dan paman Joko Pramono. Saya Bagus Seta menghaturkan sembah dan hormat"

Sejenak kedua orang pria perkasa itu tertegun menyaksikan sikap penuh hormat dari pemuda remaja itu. Hati mereka menjadl makin kagum akan kerendahan hati Bagus Seta dan kehalusan tutur sapa dan sikapnya, sama sekali tidak tampak kebanggaan dan kesombongannya akan kesaktian luar biasa yang dimilikinya. Tersipu-sipu mereka
lalu menjawab,

"Ah, sudah lama aku mendengar akan dirimu dari bibimu Setyaningsih, Bagus. Dan amatlah bahagia hatiku kini bertemu dan melihat bahwa keponakan isteriku adalah seorang yang memiliki kesaktian."

Adapun Joko Pramono yang sejak tadi memandang Bagus Seta seperti termenung kini berkata, "Andika Bagus Seta.... seorang pemuda sakti yang akan muncul.... ah, Pusporini! Kini mengertilah aku! Yang dimaksudkan oleh Eyang Guru Resi Mahesapati bukan lain orang adalah Bagus Seta sendiri!"

"Ah, benar! Tidak salah lagi! Girang sekali hatiku kalau yang akan kubantu adalah keponakan sendiri."

Dari kedua orang bibinya itu Bagus Seta mendengar akan segala peristiwa yang menimpa keluarga di Selopenangkep, mendengar bahwa ayah bundanya kini telah berada di Kota Raja Panjalu, ayahnya menjabat pangkat patih muda. Kemudian ia mendengar penuturan kedua pasang orang muda itu tentang keadaan di Jenggala dan tentang usaha Pangeran Darmokusumo dan Ki Patih Tejolaksono yang mulai mengadakan penyelidikan ke Jenggala. Setelah semua peristiwa didengarnya secara singkat namun jelas, Bagus Seta menghela napas panjang lalu berkata,

"Aku merasa girang sekali bahwa kedua Bibi dan Paman telah berusaha untuk menolong Jenggala. Terutama sekali bagi Paman Pangeran, memang sudahlah menjadi kewajiban setiap orang kawula untuk membela negaranya. Akan tetapi, urusan di Jenggala ternyata bukanlah urusan kecil dan menyangkut pencampuran tangan Negeri-negeri Sriwijaya dan Cola. Oleh karena itu, seyogyanya kalau kita lebih dahulu menghadap ke Panjalu memberi laporan dan sudah tiba saatnya pula aku harus menghadap Kanjeng Rama lbu."

Demikianlah, lima orang muda itu lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Panjalu untuk melaporkan segala peristiwa yang mereka alami di Jenggala. Akan tetapi, ketika mereka tiba di tapal batas kedua kerajaan itu, tiba-tiba perjalanan mereka terhadang oleh seorang laki-laki setengah tua yang menggeletak melintang di tengah jalan, masih bergerak-gerak di samping belasan buah mayat orang yang berserakan di tempat itu.

"Kalau tak salah, perajurit-perajurit Panjalu....!" seru Setyaningsih dan mereka segera menghampiri perajurit setengah tua yang belum tewas itu.

Karena mereka semua maklum akan kesaktian Bagus Seta yang luar biasa, maka otomatIs empat orang muda itu menganggap pemuda remaja itu sebagai pemimpin mereka, maka kini Bagus Seta pula yang berlutut memeriksa tubuh perajurit yang terluka itu. Lukanya parah sekali, tak mungkin dapat ditolong dan patut dikagumi daya tahan perajurit itu sehingga masih dapat mempertahankan hidupnya. Kiranya perajurit itu memang mempergunakan seluruh kekuatan berdasarkan kesetiaannya untuk menunda kematiannya agar dapat menyampaikan berita kepada orang yang lewat. Dapat dibayangkan betapa girang hatinya melihat bahwa yang lewat adalah lima orang muda yang di antaranya terdapat Pangeran Panji Sigit dan isterinya yang sudah ia kenal ketika pangeran itu datang ke Panjalu.

".... tolong.... lekas....Gusti Patih Tejolaksono dan kedua isteri beliau.... tertawan dibawa ke gunung itu....." Habislah kekuatan perajurit itu dan tubuhnya lemas, nyawanya terbang meninggalkan raganya.

Setyaningsih, Pusporini, Pangeran Panji Sigit, dan Joko Pramono terkejut bukan main mendengar ucapan terakhir perajurit itu. Betapa mungkin hal ltu terjadi? Ki Patih Tejolaksono adalah seorang yang sakti mandraguna, apalagi di situ terdapat dua orang isterinya yang berarti bahwa Endang Patibroto juga hadir, sedangkan Ayu Candra bukanlah seorang lemah pula. Bagaimana dapat ditawan orang dan siapakah penawannya?

Memang sungguh mengherankan dan meragukan pesan dalam ucapan terakhir perajurit Panjalu itu. Kalau memang benar yang memimpin para perajurit yang kini rebah malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi adalah Ki Patih Tejolaksono, Endang Patibroto dan Ayu Candra, bagaimana mereka itu dapat dikalahkan dan ditawan orang? Untuk mengetahui hal yang tak dapat terjawab oleh dua pasang orang muda itu, baiklah kita mengikuti sebentar apa yang telah terjadi di tempat itu pada pagi hari tadi.

Sebelum Ki Wiraman dan Widawati dengan nekat menyerbu ke penjara istana Jenggala untuk menolong dua pasang orang muda yang tertawan, Ki Wiraman telah mengirim pembantunya ke Panjalu untuk memberi kabar tentang penangkapan empat orang muda itu kepada Ki Patih Tejolaksono karena dia maklum bahwa kalau dia dan Widawati gagal, satu-satunya orang yang boleh diharapkan akan dapat menyelamatkan empat orang muda itu adalah ki patih muda di Panjalu yang sakti itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Ki Patih Tejolaksono ketika mendengar berita itu. Setyaningsih dan Pusporini ditangkap dan dipenjara di Jenggala! Juga Pangeran Panji Sigit dan Joko Pramono! Segera Tejolaksono menghadap Pangeran Darmokusumo untuk melaporkan hal itu, kemudian Tejolaksono mohon perkenan dari sang prabu dan dari Pangeran Darmokusumo untuk pergi sendiri turun tangan ke Jenggala, selain untuk menolong mereka yang tertawan, juga sekalian menanggulangi kekacauan di sana.

Permohonannya diperkenankan, maka berangkatlah Tejolaksono disertai Endang Patibroto dan Ayu Candra. Kedua orang isterinya ini tidak mau ditinggal, apalagi Endang Patibroto yang sudah marah-marah mendengar betapa Setyaningsih adik kandungnya itu ditangkap.

"Sedikit banyak sang prabu di Jenggala pernah menerima bantuan-bantuanku, dan juga bantuanmu, apalagi kalau diingat bahwa Suminten itu ternyata adalah bekas abdi dalemku. Kalau aku yang datang meminta, kiranya mereka itu akan segera dibebaskan," demikian kata Endang Patibroto. "Kalau tidak..... hem mm, Jenggala akan kuratakan dengan bumi!"

Tejolaksono tersenyum dan memandang wajah Endang Patibroto dengan sinar mata berseri dan kagum. isterinya ke dua ini tak pernah menjadi tua, masih selalu penuh semangat seperti di waktu masih menjadi perawan yang ganas dan liar.

"Aku kira tidak perlu kita menggunakan kekerasan. Apapun yang telah kudengar beritanya, aku tak percaya bahwa gusti sinuwun di Jenggala sampai demikian tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuasaan lagi di sana. Sebaiknya kita buktikan sendiri."

Ayu Candra menggerakkan alisnya. "Betapapun juga, kita harus selalu waspada dan hati-hati. Peristiwa yang melanda Jenggala bukanlah hal yang wajar, melainkan ada rahasia di balik semua itu. Lupakah Kakanda akan perjumpaan kita dengan dua orang kakek amat sakti di puncak gunung ketika kita mencari Bagus Seta?"

Tejolaksono mengangguk dan diam-diam ia harus membenarkan pendapat isterinya ini. Wasi Bagaspati dan Biku Janapati adalah dua orang pendeta yang amat sakti dan kalau betul seperti yang pernah disindirkan oleh Ki Tunggaljiwa, dan kedua orang pendeta itu mencampuri urusan kekacauan di Jenggala, maka dia bersama dua orang isterinya harus berhati-hati sekali.

"Engkau benar, Adinda Ayu Candra. Kita harus berhati-hati sekali. Aku akan membawa lima belas orang pengawal pilihan untuk melayani keperluan kita dalam perjalanan. Di sana aku akan menghadap secara resmi kepada sang prabu dan langsung mengajukan permohonan untuk kebebasan mereka."

Rombongan Tejolaksono melakukan perjalanan cepat sekali siang malam tanpa berhenti, bertukar kuda di dalam perjalanan. Pada keesokan harinya ketika rombongan ini memasuki tapal batas Jenggala, tiba-tiba dalam sebuah hutan mereka dihadang oleh puluhan orang laki dan perempuan yang kesemuanya memegang senjata, dan para penghadang itu dipimpin oleh seorang wanita cantik yang memegang pedang. Ketika Tejolaksono melihat wanita ini dan mengenalnya sebagai Sariwuni si penyembah Bathari Durgo, anak buah juga kekasih Wasi Bagaspati, tahulah dia bahwa fihak musuh sudah mulai turun tangan. Maka ia berbisik di dekat telinga kedua isterinya.

"Dia Sariwuni yang telah kuceritakan kepada kalian. Kita basmi saja mereka karena mereka pun merupakan sebagian daripada akar-akar pohon kekacauan di Jenggala." Setelah berbisik demikian, Tejolaksono memberi aba-aba kepada lima belas orang pengawal untuk menerjang maju.

Para pengawal maklum bahwa kalau ki patih serentak memberi perintah menyerang tanpa bertanya, tentu ki patih mempunyai alasan kuat dan mereka yakin bahwa rombongan orang-orang laki perempuan bercampur aduk merupakan barisan liar ini pastilah golongan musuh. Merekapun lalu menerjang maju, melarikan kudanya menyerbu di antara puluhan orang lawan yang juga sudah berteriak-teriak dan menyerang dalam sambutan mereka terhadap terjangan perajurit-perajurit Panjalu.

"Sariwuni perempuan jahat, kebetulan sekali andika muncul menyerahkan nyawa!" bentak Tejolaksono sambil menudingkan telunjuknya ke arah wanita itu yang tersenyum mengejek dengan gerakan mulut genit sekali.

"Heh-heh, Tejolaksono, engkau masih hidupkan? Aku memang sengaja menantimu di sini untuk menangkapmu!"

"Setan alas, mampuslah kamu.... Tiba-tiba Endang Patibroto melayang dari atas kudanya dan langsung tubuhnya meluncur dan menyambar ke arah Sariwuni bagaikan seekor burung elang menyambar anak ayam. Sariwuni terkejut sekali dan cepat menggerakkan pedangnya membacok tubuh lawan yang menyambar seperti burung itu.

"Krekk.... Aaliihhhhh....!" Sariwuni terpental ke belakang sampai tiga meter dan pedangnya sudah patah-patah ketika bertemu dengan jari tangan Endang Patibroto! Sariwuni memandang terbelalak dan berkata tertegun,

"Inikah.... Endang Patibroto....?"

Sudah lama dia mendengar akan kehebatan seorang wanita bernama Endang Patibroto dan karena akhir-akhir ini dia mendengar berita bahwa Endang Patibroto telah menjadi isteri Tejolaksono, kini menyaksikan terjangan yang ganas dan dahsyat itu, mudah saja dia menduga.

"Benar dugaanmu. Akulah Endang Patibroto yang dating untuk menghancurkan kepalamu yang hanya terisi hawa busuk itu. Nah, rasakan pukulan ini !"

Endang Patibroto tidak mau memberi kesempatan lagi kepada lawan yang kini sudah bertangan kosong, lalu menerjang maju dengan gerakan Bayu Tantra yang membuat tubuhnya menjadi gesit dan ringan, sambil memukul dengan aji pukulan Wisangnolo!

Sariwuni menjadi gentar, akan tetapi ia pun tidak mau menyerah mentah-mentah begitu saja. Begitu ia menggerakkan tangan dan memekik, berubahlah warna tangannya menjadi hitam sampai ke kukunya dan kedua lengannya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Itulah pengerahan ajinya yang sangat keji dan kotor, yaitu Aji Wisekenaka yang ia pelajari dari Wasi Bagaspati sebagai hadiah atas jasa-jasanya, terutama sekali dalam melayani nafsu sang wasi.

"Bressss !" Kembali tangan Endang Patibroto tertangkis oleh lengan yang mengandung hawa beracun, bahkan kuku-kuku tangan Sariwuni dalam tangkisan itu telah mencengkeram lengan Endang Patibroto yang berkulit halus putih. Akan tetapi akibatnya, tubuh Sariwuni terbanting ke kiri dan perempuan ini bergulingan sambil mengeluarkan rintihan karena lengannya seperti terbakar api neraka ketika bertemu dengan lengan Endang Patibroto yang mengandung hawa Wisangnolo !

Sementara itu, Tejolaksono dan Ayu Candra juga tidak tinggal diam melihat lima belas orang pengawal mereka bertempur dikeroyok oleh tiga puluh orang lebih gerombolan musuh. Ki patih dan isterinya sudah membedal kuda mereka maju memasuki gelanggang pertempuran dan sebentar saja, beberapa orang pengeroyok sudah roboh oleh tendangan-tendangan kaki Tejolaksono dan ayunan pedang Ayu Candra setelah dia merampas pedang dari tangan seorang pengeroyok. Dengan majunya suami isteri perkasa ini, biarpun fihak lawan dua kali lebih besar jumlahnya, tetap saja mereka menjadi kocar-kacir dan panik. Sepak terjang suami isteri itu, terutama sang patih, terlalu hebat dan kuat bagi mereka seperti terjangan angin badai.

Endang Patibroto yang melihat betapa Sariwuni sudah terluka, mengambil keputusan untuk menghabisi saja nyawa lawan itu, maka tubuhnya kembali mencelat ke depan dan kakinya bergerak . menendang ke arah kepala Sariwuni untuk memberi pukulan maut terakhir.

"Desss....!" Kini tubuh Endang Patibrpto yang terpental ke belakang dan kakinya terasa nyeri hampir lumpuh. Kiranya tendangan tadi telah ditangkis oleh sebuah lengan tangan berbulu yang kulitnya kemerahan.

Endang Patibroto cepat berdiri tegak memandang penuh perhatian. Orang yang menolong Sariwuni itu adalah seorang kakek tinggi kurus bermuka merah sekali, rambutnya panjang putih terurai dan pakaiannya terbuat dari kain berwarna merah darah!

"Hoah-hah-ha-ha! Inikah puteri yang bernama Endang Patibroto, murid dari Dibyo Mamangkoro?.... buruk...!"

Kakek itu lalu memegang lengan tangan Sariwuni yang terluka dan sekali menggosoknya dengan telapak tangan kiri, sembuhlah dan lenyaplah rasa panas.

"Wuni cah-ayu, lenganmu tidak apa-apa, sekarang lebih baik kau membantu anak buahmu itu yang terdesak," kata kakek itu lalu menggunakan tangannya meraba pinggul Sariwuni, membelai dan mendorongnya. Sariwuni terkekeh genit lalu berlari untuk membantu anak buahnya yang kocar-kacir.

"Kakanda, lihat siapa itu...." Tiba-tiba Ayu Candra berbisik dengan suara menggetar.

Tejolaksono cepat menoleh dan terkejutlah ia ketika melihat pendeta berjubah merah itu yang bukan lain adalah Wasi Bagaspati!

"Ah, Endang Patibroto terancam bahaya. Mari kita bantu....!" ia lalu meloncat turun dari kudanya, diikuti Ayu Candra, merobohkan dua orang pengeroyok lalu berlari menghampiri Endang Patibroto yang masih berdiri tegak di depan Wasi Bagaspati. Tejolaksono kini berdiri di sebelah kanan Endang Patibroto sedangkan Ayu Candra berdiri di sebelah kanannya.

"Wasi Bagaspati! Kiranya andika yang menghadang perjalanan kami ke Jenggala," kata Tejolaksono. "Ada maksud apakah menghadang perjalanan kami?"

"Ha-ha-ha, andika Tejolaksono, dahulu Adipati Selopenangkep dan sekarang kabarnya menjadi patih muda di Panjalu, bukan? Sebagai patih di Panjalu, mau apa gentayangan dan berkeliaran di daerah Jenggala? Andika melanggar tapal batas, harus ditangkap. Ha-ha-ha!"

"Wasi Bagaspati! Sejak kapan andika menjadi penjaga tapal batas?" Tejolaksono berseru keras.

"Kakangmas, perlu apa banyak bicara dengan raksasa tua bangka ini? Hantam saja!" Endang Patibroto sudah menerjang maju lagi, kini gerakannya hati-hati sekali karena ia maklum bahwa yang ia hadapi adalah lawan yang benar-benar amat sakti. Ia menerjang sambil mengerahkan Aji Bayu Tantra agar tubuhnya menjadi ringan dan gerakannya menjadi cepat, dan ia mengerahkan ajinya Pethit Nogo untuk menampar ke arah dada Sang Wasi Bagaspati. Keras sekali tamparan tangan itu, namun kakek bermuka merah ituhanya tertawa-tawa, sama sekali tidak mengelak dan menerima tamparan Aji Pethit Nogo dengan dadanya yang bidang.

"Plakkkk!!" Endang Patibroto merasa betapa jari-jari tangannya bertemu dengan getaran hawa yang kuat, yang melumpuhkan ajinya Pethit Nogo dan pada detik berikutnya ia berseru keras sambil melesat pergi karena hampir saja pundaknya kena dicengkeram oleh tangan Wasi Bagaspati yang sengaja menerima pukulan sambil berusaha menangkap Endang Patibroto.

Tejolaksono juga kaget menyaksikan betapa pukulan Endang Patibroto sedemikian ampuhnya sehingga jarang sekali ada tokoh yang akan mampu menerima pukulan Pethit Nogo kini ternyata tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap Wasi Bagaspati, cepat melambung tinggi dan menerjang dari atas. Ia mengerahkan aji keringanan tubuh Bayu Sakti dan dari atas ia menukik turun ke bawah dengan pukulan Bojro Dahono, mengarah ubun-ubun kepala Wasi Bagaspati!

Pada saat yang hampir berbareng dengan serangan Tejolaksono, kedua orang isterinya pun sudah menerjang maju. Ayu Candra kini mencabut keris pusakanya dan menyerang dengan tusukan ke arah Wasi Bagaspati, sedangkan Endang Patibroto menggunakan aji pukulan Wisangnolo, kini yang dipukul adalah tenggorokan lawan untuk mematahkan batang lehernya!

Menghadapi tiga serangan yang mematikan ini, yang amat berbahaya kalau dilawan dengan kekebalan karena yang diserang adalah bagian-bagian paling lemah, Wasi Bagaspati menjadi terkejut juga. Tadinya ia hendak menyambar lengan Tejolaksono dan sekaligus menangkapnya, akan tetapi keris yang menuju matanya dan pukulan panas yang mengarah tenggorokannya bukanlah hal yang boleh dipandang rendah begitu saja. Terpaksa ia menangkis saja pukulan Tejolaksono, menggeser kaki belakang dan miringkan tubuh menghindarkan serangan dua orang wanita sakti itu. Akan tetapi begitu ia terhindar dari serangan pertama, ketiga orang pengeroyoknya sudah menerjang lagi dengan serangan yang lebih hebat dan berbahaya.

Tejolaksono yang pernah bertanding dengan kakek sakti ini di lereng Merapi di depan Ki Tunggaljiwa dan hampir saja tewas, teringat akan nasehat Ki Tunggaljiwa kemudian bahwa biarpun dalam hal ilmu kedigdayaan kakek ini tidaklah terlalu banyak selisihnya dengan tingkatnya seridiri, akan tetapi dalam hal kekuatan batin ia kalah jauh dan ia harus mempergunakan aji kesaktian Triwikromo untuk menentang pengaruh mujijat yang keluar dart batin Sang Wasi Bagaspati. Kini Tejolaksono mengeluarkan suara menggereng keras yang menggetarkan seisi hutan dan ia sudah mengerahkan aji kesaktian Triwikromo.

Aji kesaktian ini dahulu dipelajari oleh Tejolaksono dari mendiang Sang Prabu Airlangga yang telah mengundurkah diri menjadi pertapa dengan sebutan Sang Resi Jentayu aaau Sang Bhagawan Jatinendra. Aji ini mendatangkan wibawa yang amat hebat dan sekiranya lawan yang menghadapinya bukan Wasi Bagaspati tentu telah luluh dan lemah segala natsu perlawanannya. Tejolaksono kini menerjang maju dan menyerang bawah pusar lawan dengan gerakan silat Kukilo Sakti. Adapun Endang Patibroto yang maklum pula akan kehebatan lawan, berturut-turut secepat kilat melepaskan tujuh batang panah tangah beracun yang diluncurkah ke arah tujuh bagian lemah dari tubuh Wasi Bagaspati, kemudian ia mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo dan menghantam dari belakang mengarah tengkuk.

Ayu Candra bukan seorang lemah dan dia telah mewarisi segala ilmu dan aji kesaktian dari ayahnya, Ki Adibroto, seorang tokoh warok Ponorogo aliran putih, dan di samping itu, telah banyak pula ia mendapat bimbingan suaminya. Namun dalam menghadapi Wasi Bagaspati ini, Ayu Candra maklum bahwa ilmu kepandaiannya masih terlalu rendah.

Begitu ia melihat suaminya menyerahkan Aji Triwikromo dan mendengar Endang Patibroto mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo yang membuat kedua kakinya sendiri sampai menggigil, Ayu Candra lalu mundur dan menyaksikan pertandingan dahsyat itu dari pinggir gelanggang pertandingan. Ketika ia menengok ke kiri, ke arah pertempuran antara para pengawal dan anak buah Sariwuni, ia terkejut sekali karena semua pengawal telah menggeletak tewas, pertempuran telah terhenti, Sariwuni dan sisa pasukannya juga sedang menonton pertandingan dahsyat antara Wasi Bagaspati yang dikeroyok dua oleh Tejolaksono dan Endang Patibroto.

Wasi Bagaspati juga terkejut bukan main ketika ia melihat pengaruh wibawa yang tiba-tiba mencuat keluar dari tubuh Tejolaksono! Wibawa yang begitu kuatnya sehingga ketika ia memandangnya, jantungnya tergetar hebat dan isi dadanya terguncang. Cepat kakek sakti Itu menggereng dan setelah ia dapat mengatasi wibawa Aji Triwikromo, lenyaplah guncangan hebat dalam dadanya. Cepat ia menggerakkan tangan menagkis pukulan Tejolaksono yang mengarah bawah pusar, dan sekali ini keduanya terdorong mundur.

Pada saat itu terdengar bunyi berciutan nyaring sekali, yaitu saat meluncurnya tujuh batang panah tangan yang dilepas oleh Endang Patibroto. Panah tangan yang merupakan anak panah kecil dan cara mempergunakannya adalah disambitkan dan disentil dengan jari tangan dengan dorongan tenaga sakti itu ujungnya sudah direndam racun. Kini dilepas dari jarak dekat oleh Endang Patibroto, menuju ke arah tujuh bagian tubuh yang berbahaya.

"Cet-cet-cetcet-cet-cet-cet...!!!"

Anak panah itu datangnya beruntun susul-menyusul. Yang dua pertama meluncur ke arah sepasang lutut kaki Wasi Bagaspati dan dapat ditendang runtuh oleh kakek sakti itu. Panah ke tiga dan ke empat yang menyerang pusat dan ulu hati ia terima begitu saja dan dua batang anak panah itu runtuh, tak dapat membikin lecet sedikitpun tubuhnya yang dilindungi kekebalan. Anak panah ke lima meluncur ke tenggorokan, sedangkan yang ke enam dan ke tujuh terbang meluncur ke arah sepasang matanya.

Wasi Bagaspati menggereng marah, merendahkan kepala sehingga anak panah yang menusuk tenggorokannya kini menusuk mulutnya. ia membuka mulut dan menangkap anak panah itu dengan bibirnya, sedangkan kedua tangannya menyambar dua batang anak panah yang tadi menyerang sepasang matanya. Pada saat itu, pukulan ke arah tengkuk yang dilakukan Endang Patibroto yang memekikkan Aji Sardulo Bairowo sudah tiba. Wasi Bagaspati secara tiba-tiba membanting tubuhnya kekanan dan terus bergulingan di atas tanah. Gerakan ini membuat terjangan Endang Patibroto gagal dan tiba-tiba tampak tiga sinar menyambar ke arah Endang Patibroto, Tejolaksono dan Ayu Candra yang sedang berdiri menonton. Itulah tiga buah anak panah yang tadi terampas oleh Wasi Bagaspati.

Tejolaksono dan Endang Patibroto cepat menggunakan Aji Pethit Nogo, memukul runtuh anak panah itu, sedangkan Ayu Candra yang sama sekali tidak mengira akan diserang dengan anak panah, menjadi kaget dan hampir saja menjadi korban kalau ia tidak cepat-cepat meloncat ke belakang sampai terhuyung-huyung. Masih untung baginya bahwa anak panah yang dipakai menyerangnya adalah anak panah yang tadi digigit Wasi Bagaspati dan dipergunakan menyerangnya dengan cara ditiupkan sehingga tenaga luncurannya tidaklah sehebat dua batang yang disambitkan kakek itu.

"Huah-ha-ha, kalian belum menyerah? Mau melihat kesaktian Wasi Bagaspati? Hemmm.... masih belum terlambat untuk menyerah menjadi tawananku, Patih Tejolaksono!" Biarpun di mulut kakek ini mentertawakan, namun di dalam hatinya ia mendongkol dan penasaran sekali mengapa dia, seorang tokoh besar yang selamanya tak pernah terkalahkan, yang telah mengorbankan waktu dan ketekunan selama puluhan tahun untuk mengejar ilmu yang kini menganggap bahwa aji kesaktiannya akan dapat mengalahkan dewa, sekarang melawan dua orang yang baginya merupakan tokoh-tokoh muda ini, dia selalu didesak dan belum dapat balas menyerang!

Harus ia akui bahwa Tejolaksono dan Endang Patibroto merupakan sepasang lawan yang hebat sekali, karena mereka itu dapat bekerja sama dalam penyerangan-penyerangan yang dahsyat. Ingin ia mengeluarkan jimat pusakanya, yaitu senjata Cakra. Akan tetapi ia merasa sungkan kalau harus mempergunakan pusakanya itu hanya untuk menghadapi dua orang lawan muda. Maka ia mengeluarkan gertakan karena kalau mereka ini suka menyerah, tidak perlu ia mengeluarkan aji-aji yang selama ini menjadi ilmu simpanan untuk dipergunakan melawan musuh yang seimbang.

"Sang Wasi Bagaspati! Andika mewakili negara asing yang hendak menjajah, yang berarti mewakili angkara murka, sedangkan kami berjuang untuk membela nusa bangsa yang berarti mewakili kebenaran. Mungkinkah kebenaran harus menyerah dan tunduk terhadap angkara murka? Tidak, Sang Wasi. Kami akan melawan terus karena yakin bahwa akhirnya kebenaranlah yang akan menang!"

"Babo-babo, tidak mendengar kata-kata halus andika, Tejolaksono. Nah, majulah, dan rasakan kesaktian Wasi Bagaspati!"

"Pendeta palsu dukun lepus, siapa sudi mendengar obrolanmu?" Endang Patibroto membentak sambil menghunus keris pusakanya.

cerita silat online karya kho ping hoo

Tejolaksono juga sudah mengeluarkan keris Megantoro dan kedua suami isteri ini lalu menerjang maju dari depan, arah kanan kiri. Tiba-tiba Wasi Bagaspati mengeluarkan pekik melengking dan kedua kakinya menggedrug (menjejak) tanah. Tanah seolah-olah tergetar hebat di bawah kaki Endang Patibroto dan Tejolaksono, membuat mereka seperti lumpuh seketika dan tubuh mereka terguling! Wasi Bagaspati menubruk dengan kedua tangan mengirim pukulan ke arah kepala dua orang lawannya yang sudah roboh terguling.

"Dess! Desss!!" Debu mengebul ketika tanah dihantam kedua tangan Wasi Bagaspati, sedangkan Endang Patibroto dan Tejolaksono sudah melesat pergi mengelak karena begitu tubuh mereka terbanting, mereka mempergunakan tangan menekan tanah dan meloncat.

Tejolaksono dan Endang Patibroto terkejut. Mereka maklum bahwa ilmu yang dikeluarkan oleh Wasi Bagaspati itu adalah sejenis dengan aji-aji mereka Sardulo Bairowo dan Dirodo Meta, akan tetapi yang jauh lebih kuat karena memang kakek itu memiliki kekuatan batin yang luar biasa. Selagi mereka berpikir bagaimana harus menghadapi ilmu yang dahsyat itu, Wasi Bagaspati yang merasa penasaran karena serangannya gagal, kembali melompat dekat dan menjejak bumi sambil melengking seperti tadi.

Tejolaksono dan Endang Patibroto yang sudah siap itu mengerahkan tenaga sakti untuk melindungi tubuh, namun percuma karena kaki mereka tergetar hebat dan seketika mereka terguling lagi seperi tadi!

Segumpal sinar hitam seperti asap menyambar ke arah tubuh Tejolaksono dan Endang Patibroto. Keduanya terkejut dan hendak mengelak, namun mereka roboh kembali karena gerakan mereka terhalang oleh sebuah jala hitam yang amat tipis namun yang mempunyai kekuatan melebihi benang-benang baja! Mereka meronta-ronta, namun dengan gerakan tangannya Wasi Bagaspati yang tertawa-tawa itu membuat jala makin menyempit sehingga akhirnya Tejolaksono dan Endang Patibroto meringkuk dan terjepit menjadi satu tak mampu bergerak lagi.

"Pendeta keparat lepaskan mereka!" Ayu Candra melompat ke depan dan menggunakan keris menyerang, akan tetapi dengan tangan kanan memegang ujung jala Wasi Bagaspati mengangkat tangan kirinya, menyampok tangan Ayu Candra yang memegang keris sehingga senjata itu terpental jauh dan sekali kakek itu mengibaskan tangan kirinya menyentuh pangkal telinga Ayu Candra, isteri Patih Tejolaksono ini terbanting dalam keadaan pingsan.

"Huah-ha-ha, orang-orang muda kalau tidak dibunuh, kelak akan merepotkan saja!"

Kakek itu sudah mengangkat tangan kirinya ke atas dengan jari-jari terbuka dan membentuk cakar harimau, siap digerakan turun mencengkeram kepala dua orang tangkapannya yang sudah tak dapat membela diri itu.

"Kakanda Wasi jangan bunuh mereka!" Tiba-tiba Sarlwuni meloncat maju dan berteriak mencegah.

Memang lucu dan janggal kedengarannya kalau Sariwuni yang masih kelihatan cantik dan muda itu menyebut "kakanda" kepada Wasi Bagaspati yang sudah tua renta, lebih seratus tahun usianya itu. Memang, Wasi Bagaspati ini selain sakti mandraguna, juga mempunyai watak romantis sehingga setiap orang wanita yang menjadi pelayan nafsunya selalu diharuskan menyebutnya kakanda!

"Heh, mengapa kau berani mencegahku, Sariwuni?" Wasi Bagaspati mengerutkan keningnya dan suaranya tergetar tak senang.

"Malam ini bulan purnama, dan mereka bertiga itu bukan orang-orang sembarangan sehingga akan menjadi korban yang amat berharga untuk Sang Dewi Bathari.... Sariwuni tersenyum manis dan kerlingnya menyambar ke arah Tejolaksono dalam jala itu.

Sejenak Wasi Bagaspati meragu, kemudian tertawa. "Haha-ha-ha! Engkau ini makin mata keranjang saja, Sariwuni! Engkau ingin menikmati pria tampan ini sebelum dia dibunuh? Baiklah, membunuh mereka besok pagi juga belum terlambat!"

"Hamba hanya mendapatkan seorang, akan tetapi bukankah Kakanda Wasi mendapatkan dua orang?" jawab Sariwuni sambil melirik ke arah Endang Patibroto yang meringkuk seperti ikan di dalam jala dan tubuh Ayu Candra yang masih rebah pingsan di atas rumput.

Ucapan ini disambut tertawa bergelak oleh Wasi Bagaspati. Sariwuni lalu mengatur anak buahnya untuk membawa teman-teman yang terluka dan yang tewas, kemudian mereka meninggalkan lima belas buah mayat para pengawal Panjalu, tidak tahu bahwa seorang di antara mereka masih belum tewas sehingga dapat memberi tahu tentang tertawannya Tejolaksono dan dua orang isterinya yang dibawa ke puncak gunung yang tampak dari hutan itu.

********************

Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini menjadi gelisah sekali setelah mendengar pesan perajurit itu. Hanya Bagus Seta yang tetap tenang, kemudian tanpa banyak bicara pemuda remaja ini Ialu menggali lubang dan mengubur kelima belas sosok mayat para pengawal Panjalu itu. Melihat ini, tentu saja Joko Pramono, bahkan Pangeran Panji Sigit sendiri bergegas membantu, juga kedua orang bibi muda itu. Mereka terpaksa menekan perasaan gelisah mereka melihat sikap Bagus Seta yang tenang itu, dan mereka percaya penuh bahwa pemuda remaja itu akan dapat menanggulangi segala lawan dan mengatasi segala kesulitan.

Malam itu terang bulan dan kebetulan sekali angkasa bersih dan cerah, tidak tampak sedikitpun awan sehingga bulan tersenyum-senyum bebas menyinarkan cahayanya yang keemasan. Di puncak gunung kecil di luar hutan itu terjadilah pesta yang luar biasa. Puncak gunung ini merupakan tempat peristirahatan sementara dari Wasi Bagaspati yang ditemani oleh Sariwuni dan sejumlah anak buahnya sebanyak kurang lebih lima puluh orang.

Atas permintaan Sariwuni, tiga orang tawanan itu, Tejolaksono, Endang Patibroto dan Ayu Candra, tidak dibunuh oleh Sang Wasi Bagaspati. Dengan ilmu kepandaiannya, mudah saja bagi Wasi Bagaspati untuk membuat Tejolaksono dan Endang Patibroto yang sudah tak dapat bergerak di dalam jala itu roboh pingsan, kemudian bersama Ayu Candra yang juga sudah pingsan, mereka bertiga dibawa naik ke puncak pegunungan itu dan dalam keadaan pingsan itu mereka bertiga diberi minum secara paksa oleh Sariwuni.

Minuman itu adalah minuman yang mengandung racun perampas ingatan dan mengandung daya rangsang yang amat luar biasa. Kemudian tiga orang yang masih pingsan itu direbahkan di atas panggung yang terbuat daripada kayu dan bambu. Biasanya, pesta pemujaan Bathari Durgo ini dipimpin oleh Ni Dewi Nilamanik sebagai ketuanya, akan tetapi oleh karena Ni Dewi Nilamanik sedang berada di Kota Raja Jenggala memenuhi panggilan Ki Patih Warutama, maka pesta ini diwakili oleh Sariwuni.

Minuman beracun yang dipergunakan Sariwuni itupun adalah milik Ni Dewi Nilamanik. Selain Sariwuni, di situ terdapat tujuh orang wanita cantik yang kesemuanya adalah murid-murid Ni Dewi Nilamanik dan yang berada di situ untuk bertugas membantu Sariwuni dalam melayani Wasi Bagaspati.

Adapun yang lainnya, terdiri dari laki-laki dan wanita, hanyalah anak buah yang melakukan segala macam pekerjaan kasar melayani segenap kebutuhan dan keperluan sehari-hari, termasuk penjagaan dan kalau perlu bertempur menghadapi musuh.

Setelah bulan mulai bersinar, pesta pemujaan Bathari Durgo pun dimulailah. Sebuah arca Bathari Durgo diletakkan di atas panggung dan di sebelah kanannya duduklah Sang Wasi Bagaspati di atas sebuah kursi.

Sariwuni dan tujuh orang wanita yang kesemuanya berpakaian tipis serba putih itu duduk bersimpuh di depan Wasi Bagaspati dan arca Bathari Durgo. Karena tempat itu bukan menjadi pusat perkumpulan Agama Bathari Durgo, bukan sebuah Durgoloka (Taman Bathari Durgo), maka upacara pemujaan Bathari Durgo di waktu bulan purnama itu pun diadakan sederhana sekali, tidak teperti kalau Ni Dewi Nilamanik yang memimpinnya, lengkap dengan gamelan segala macam. Tidak ada gamelan di situ dan
semua anak buah di situ setelah mempersiapkan pesta makanan sederhana untuk Wasi Bagaspati, Sariwuni dan tujuh orang murid Ni Dewi Nilamanik yang muda-muda dan cantik-cantik itu, lalu berdiri mengelilingi panggung menonton.

Semenjak tadi, pandang mata Wasi Bagaspati tertuju kepada tubuh Ayu Candra dan Endang Patibroto yang rebah terlentang di atas panggung, di ujung kiri sedangkan di sudut kanan rebah tubuh Tejolaksono. Mereka bertiga masih dalam keadaan pingsan, seperti tidur nyenyak. Kemudian kakek itu mengangkat tangan kiri ke atas, tanda bahwa
pesta boleh dimulai.

Melihat ini, Sariwuni memimpin tujuh orang wanita muda itu menyembah di depan kaki Wasi Bagaspati, kemudian menghampiri arca Bathari Durgo dan menyembah, lalu bertelungkup hampir tiarap di depan arca itu sambil menyebar kembang setaman yang sudah disediakan di situ. Sariwuni lalu membakar dupa harum yang mengepulkan asap putih yang baunya semerbak memenuhi udara di sekeliling panggung.

Setelah upacara penyembahan arca itu selesai, tujuh orang wanita itu dipimpin oleh Sariwuni lalu bangkit berdiri, dan mulailah mereka itu menari dengan iringan tepuk tangan mereka dan berkerincingnya gelang-gelang yang dipasang pada kaki mereka. Tari-tarian itu biarpun hanya diiringi gamelan tepuk tangan dan berkerincingnya gelang-gelang kaki, namun teratur dan amat indah, sungguhpun gerakannya mengandung sifat-sifat yang merangsang berahi dengan gerakan-gerakan pundak dan perut. Mereka menari berputaran di sekeliling panggung dan Sariwuni merupakan penari yang terpandai dan yang paling indah gerakannya.

Makin lama bunyi tepuk tangan dan berkerincingnya gelang-gelang kaki makin cepat pula dan makin liar. Sariwuni sendiri menari mendekati tubuh Tejolaksono yang masih menggeletak terlentang dalam keadaan pingsan atau mungkin juga tertidur nyenyak. Sariwuni mengitari tubuh Tejolaksono itu, menari-nari dan makin lama makin merendah tubuhnya sampai akhirnya ia menari sambil berjongkok mengelilingi Tejolaksono, jari-jari tangannya yang bergerak-gerak seperti ular-ular kecil itu merayap-rayap dan menyentuh-nyentuh tubuh Tejolaksono, sepasang matanya makin lama makin bersinar penuh gairah.

Sementara itu, tujuh orang wanita masih bertepuk-tepuk tangan dan menghentak-hentakkan kakinya untuk mencipta bunyi yang berirama untuk mengiringi tari-tarian Sariwuni. Mereka bertujuh hanya berdiri dan melenggang-lenggok tidak pindah dari tempatnya, berjajar menghadapi Wasi Bagaspati.

Wasi Bagaspati tersenyum-senyum, menggerak-gerakkan kepalanya menurutkan irama tepukan tangan, sambil makan dan minum sajian yang dihidangkan di dekatnya. Kemudian ia memandang ke arah Sariwuni yang menyentuh-nyentuh dada dan leher Tejolaksono, kadang-kadang menundukkan muka didekatkan dengan muka Tejolaksono seperti orang menimang-nimang.

Perlahan-lahan Tejolaksono menggerakkan bulu mata, lalu membuka matanya seperti orang dalam mimpi. Ia bangkit perlahan, diikuti Sariwuni yang masih menari, dan ketika wanita itu menarik tangannya, Tejolaksono bangkit berdiri dan mulai menari!

Wasi Bagaspati tertawa dan bangkit lalu menghampiri tubuh Endang Patibroto dan Ayu Candra. Beberapa kali ia meraba dan memijit tengkuk dua orang wanita itu yang kemudian siuman dari pingsannya, bangkit berdiri dan perlahan-lahan mereka berdua inipun mulai menari-nari menurutkan irama tepukan tangan dan berdencingnya gelang-gelang kaki. Sambil tertawa gembira Wasi Bagaspati ikut pula bertepuk tangan dan kembali duduk di atas kursinya.

"Aduhh.... untuk kedua kalinya Pusporini menyaksikan hal yang mengerikan ini," bisik Joko Pramono.

Mereka berlima bersembunyi di tempat gelap dan hanya oleh cegahan Bagus Seta saja empat orang itu tidak meloncat naik dan mengamuk di tempat itu. Joko Pramono yang pernah diceritakan oleh Pusporini tentang pengalamannya ketika ia ditawan oleh Ni Dewi Nilamanik, kini menyaksikan dengan mata sendiri keadaan yang amat aneh dan yang pernah dialami oleh Pusporini. Dia merasa amat heran, demikian pula Pusporini, Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih melihat betapa orang-orang sakti seperti Tejolaksono, Endang Patibroto dan Ayu Candra dapat terpengaruh seperti itu, seperti manusia-manusia yang kehilangan pikiran!

Pusporini memandang dengan air mata bercucuran. Melihat rakandanya dan kedua ayundanya berhal seperti itu, melihat mereka yang telah bertahun-tahun tak dijumpainya, hatinya terharu bukan main. Kalau menurutkan hatinya, ingin ia meloncat dan menyerbu, membebaskan tiga orang yang dihormati itu dari keadaan mereka yang menyedihkan.

Akan tetapi Bagus Seta tadi memberi isyarat agar mereka jangan bergerak dan ketika ia melihat Wasi Bagaspati, mau tidak mau tengkuknya meremang. ia melihat jelas pengaruh yang hebat keluar dari sinar mata kakek itu, dari gerak-geriknya.

Dengan bukti tertawannya orang-orang sakti seperti ayundanya Endang Patibroto dan rakandanya Tejolaksono dapat dibayangkan betapa saktinya kakek itu yang dapat ia duga tentulah Sang Wasi Bagaspati. Maka ia menahan sabar dan menyerahkan keputusan dan pimpinan dalam tangan Bagus Seta yang ia percaya akan dapat menanggulangi Wasi Bagaspati yang mengerikan itu.

"Tanggalkan pakaian mereka!" Tiba-tiba terdengar perintah keluar dari mulut Wasi Bagaspati.

Sariwuni sudah sibuk hendak membuka pakaian Tejolaksono yang masih menari-nari seperti boneka hidup, sedangkan tujuh orang wanita lainnya telah menyerbu Endang Patibroto dan Ayu Candra untuk menanggalkan pakaian mereka. Pekerjaan ini mereka lakukan sambil tertawa terkekeh-kekeh dengan genit.

Tiba-tiba terdengar bentakan halus, "Wanita-wanita sesat, mundur kalian!" Dan Bagus Seta sudah meloncat ke atas panggung diikuti oleh empat orang pengikutnya.

Dengan tenang Bagus Seta mendorongkan tangannya dan Sariwuni berikut tujuh orang itu terhuyung ke belakang dan akhirnya roboh ke bawah panggung. Terdengar teriak-teriak panik dari anak buah Sarlwuni yang menonton dan keadaan seketika menjadi geger. Bagus Seta mendekati Tejolaksono, Ayu Candra dan Endang Patibroto. Ia menyembah lebih dulu sebelum mengusap wajah mereka bertiga itu satu kali dengan telapak tangan kanannya dan seketika tiga orang itu menjadi sadar, memandang terbelalak kepada Bagus Seta, Pangeran Panji Sigit, Joko Pramono, Setyaningsih, dan Pusporini.

"Bagus Seta....! Engkau.... engkau Bagus Seta...!" Tiba-tiba Ayu Candra menjerit dan wanita itu roboh pingsan dalam pelukan Pusporini yang cepat menerima tubuh ayundanya yang pingsan saking kaget dan girang itu.

Tejolaksono merangkul puteranya yang berlutut dan menyembahnya, akan tetapi karena maklum akan keadaan yang gawat itu, Tejolaksono mengeraskan hatinya dan berbisik, "Hati-hatilah, Nak. Dia sakti sekali.... !!"

Bagus Seta mengangguk tenang. "Kita gempur dia! Bagus Seta, aku ibumu Endang Patibroto, mari kubantu engkau membasmi dukun lepus ini!" bentak Endang Patibroto.

"Harap ibunda serahkan saja kepada hamba," kata Bagus Seta sambil tersenyum, kemudian ia bangkit berdiri dan membalikkan tubuh melangkah maju menghadapi Wasi Bagaspati yang memandang semua kejadian itu dengan mata merah saking marahnya, juga saking herannya menyaksikan betapa seorang pemuda remaja dapat menyadarkan tiga orang itu dari pengaruh racun perampas pikiran dan perangsang.

Padahal kepandaian seperti itu hanya dapat dilakukan oleh brang-orang yang telah memiliki tenaga batin yang amat kuat, seperti dia sendiri misalnya. Dan cara pemuda itu mendorong para wanita turun dari panggung tanpa melukai mereka, benar-benar mengagumkan, menyatakan bahwa pemuda itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat pula.

"Heh, bocah yang berani mati. Siapa kah andika?"

"Sang Wasi Bagaspati, namaku adalah Bagus Seta. Sang Patih Muda Panjalu Tejolaksono adalah Ramandaku."

"Hemm, kulihat engkau seorang muda yang telah memiliki sedikit kesaktian, agaknya engkau murid seorang yang sakti. Ehhh.... sekarang aku ingat...! Bukankah engkau bocah yang dahulu bersama Bhagawan Ekadenta...?"

"Bapa guru, dia telah melarikan empat orang tawanan Jenggala! Itu mereka, mohon Bapa guru menangkap mereka kembali!" Tiba-tiba terdengar suara lantang dan muncullah Cekel Wisangkoro yang langsung melompat ke atas panggung.

Kembali Wasi Bagaspati tertegun. ia sudah mendengar kemajuan-kemajuan yang dicapai para murid dan anak buahnya dalam penyelundupan ke Jenggala dan penanaman pengaruh ke istana. Kini boleh dikata bahwa Jenggala telah berada di dalam telapak tangannya, tinggal menggenggam saja. Jenggala kini telah menjadi sekutu yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan oleh negaranya untuk diajak menyerang kerajaan-kerajaan lain seperti Panjalu dan lain-lain.

Kalau usaha itu berhasil dan kelak seluruh Jawa-dwipa telah dapat ditundukkan, tidak akan sukarlah untuk menentang raja yang duduk di singgasana Jenggala dan Jawadwipa yang lohjinawi itu akan menjadi milik Kerajaan Cola! Seringkali ia diam-diam menertawakan rekannya dari Sriwijaya, Biku Janapati yang tidak tampak mendapatkan kemajuan apa-apa.

Akhir-akhir ini dengan girang ia mendengar akan ditawannya Pangeran Panji Sigit dan tiga orang muda yang termasuk orang-orang bahaya bagi Jenggala. Maka kini mendengar ucapan muridnya bahwa pemuda remaja yang luar biasa inipun sudah membebaskan tawanan yang kini hadir pula di atas panggung, ia menjadi marah bukan main.

Melihat munculnya Cekel Wisangkoro, Tejolaksono yang maklum bahwa keadaan makin gawat, segera berkata kepada Setyaningsih, Pusporini, Pangeran Panji Sigit, dan Joko Pramono, "Kalian berempat lakukanlah tugasmu, hadapi Cekel Wisangkoro, Sariwuni dan kaki tangannya. Aku dan kedua ayundamu akan membantu Bagus Seta!"

Biarpun keadaan gawat dan menegangkan, akan tetapi jiwa kepemimpinan Tejolaksono tidak pernah tenggelam dan dalam keadaan seperti itu ia dapat mengatur tugas dan membagi-baginya dengan perhitungan masak. Ayu Candra yang sudah siuman kinipun sudah siap sedia membantu puteranya dan keharuan serta kebahagiaan yang datangnya demikian tiba-tiba kini tak dapat ditumpahkan, hanya ditelan dan disimpan dalam rongga dada, kini berdiri di dekat suaminya dan Endang Patibroto.

"Ha-ha-ha-ha! Tejolaksono, jangan kau bergirang lebih dulu dengan adanya bantuan-bantuan yang tiba. Makin banyak keluarga dan sekutumu berkumpul makin baiklah bagiku agar sekaligus aku dapat membasmi penghalang-penghalang bagi tugasku!" Setelah berkata demikian, Wasi Bagaspati lalu mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau kelaparan dan ia menggerakkan kedua lengannya mendorong ke depan.

Serangkum tenaga dahsyat menyambar ke depan. Pada saat itu juga, Pusporini yang mendahului yang lain-lain setelah menerima perintah Tejolaksono, sudah menerjang Cekel Wisangkoro dengan pukulan Pethit Nogo yang ampuh. Demikian hebat terjangan dara perkasa ini sehingga tidak ada lain jalan bagi Cekel Wisangkoro untuk menyelamatkan diri kecuali melompat turun dari atas panggung. Pusporini mengejar dan melompat turun pula, diikuti oleh Joko Pramono, Pangeran Panji Sigit, dan Setyaningsih. Mereka ini disambut oleh Cekel Wisangkoro, Sariwuni dan tujuh orang murid-murid Ni Dewi Nilamanik, dibantu pula oleh anak buah yang dating menyerbu dengan senjata tombak dan golok.

Terjadilah pertandingan campuh yang hebat di bawah panggung, di mana Pangeran Panji Sigit dan tiga orang muda yang lain mengamuk. Pukulan jarak jauh yang dilakukan Wasi Bagaspati dengan jalan mendorongkan kedua lengannya amatlah hebatnya. Berbeda ketika kakek ini menghadapi Tejolaksono bertiga isteri-isterinya, sekali ini Wasi Bagaspati mengerahkan seluruh kekuatannya dan tenaga sakti yang terkandung dalam pukulan mendorong ini diperkuat oleh tenaga batinnya sehingga pukulan itu luar biasa dahsyatnya.

Seketika Tejolaksono dan kedua orang isterinya, terutama sekali Ayu Candra, terhuyung ke belakang, merasa seolah-olah ada gunung api menyerang mereka. Bagus Seta melompat ke depan ayah dan kedua orang ibundanya, melindungi mereka dengan tubuhnya dan mendorongkan pula lengannya ke depan sambil berkata dengan suara halus, "Yang menggunakan kekerasan akan menerima kekerasan pula, Sang Wasi!"

cerita silat online karya kho ping hoo

"Dessss !!" Terasa sekali oleh Tejolaksono dan dua orang isterinya akan pertemuan dua tenaga raksasa yang ampuh dan mujijat di tengah udara, di antara Wasi Bagaspati dan Bagus Seta, seolah-olah dua gunung api bertemu dan saling membakar, saling menindih. Bagus Seta masih berdiri tegak dan tenang, dan Wasi Bagaspati memandang terbelalak, agak menggigil seperti orang kedinginan, atau seperti orang yang merasa gentar akan sesuatu sehingga meremang bulu tengkuknya.

Tentu saja Wasi Bagaspati sama sekali tidak pernah merasa gentar, karena perasaan ini sudah lama terhapus dari hatinya bersamaan dengan timbulnya perasaan percaya kepada diri sendiri bahwa kesaktiannya sudah terlalu tinggi untuk dapat dikalahkan lawan yang manapun juga. Kalau ia kelihatan seperti menggigil adalah karena ia merasa terlalu heran dan terlalu penasaran melihat kenyataan betapa pukulannya yang ampuh dan mujijat tadi dapat ditahan dan didorong kembali oleh seorang yang masih begini muda!

Kemarahannya memuncak karena dorongan rasa penasaran ini dan sambil memekik dahsyat tubuhnya yang tinggi itu kini menerjang maju dan kedua lengannya yang panjang itu bergerak menyambar dari kanan kiri dengan jari-jari tangan terbuka, berusaha menangkap dan mencengkeram hancur tubuh Bagus Seta dengan tangannya yang kuat melebihi cengkeraman baja.

Bagus Seta tetap bersikap tenang menghadapi terkaman kedua lengan yang mengamuk seperti badai ini. Kelihatannya pemuda itu hanya menggerakkan tubuhnya lambat-lambat saja akan tetapi aneh sekali, kedua tangan yang menyambar-nyambar itu selalu menangkap angin, tak pernah dapat menyentuh tubuhnya.

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 40