Perawan Lembah Wilis Jilid 24 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 24

ENDANG Patibroto bersikap tenang-tenang saja. Dia dapat melihat jelas dan mengerti akan siasat Setyaningsih. Dara itupun merasa bingung karena lawannya terlampau kuat sehingga sukar dirobohkan, maka biarpun tidak kentara oleh siapapun, juga oleh lawannya, ia sengaja memperlambat gerak tangan kirinya sehingga dapat tertangkap lawan.

Pada saat Joko Bono merasa kegirangan, tiba-tiba tubuh Setyaningsih mencelat ke atas dan berjungkir balik sambil memutar lengan kirinya yang terpegang. Gerakan ini tentu saja membawa pula tangan kanan Joko Bono sehingga terpuntir. Joko Bono kesakitan namun tetap mempertahankan cengkeramannya dan dari atas sambil meloncat ini, Setyaningsih memukul tengkuk Joko Bono dengan jari-jari tangan kanannya, dengan Aji Pethit Nogo sepenuhnya.

"Dess.... ! Aduhhh.... !"

Joko Bono terhuyung, cengkeramannya lepas, akan tetapi ia benar-benar kuat karena pukulan dahsyat itu belum merobohkannya. Namun Setyaningsih sudah meloncat turun ke belakang tubuhnya, kedua kakinya bergantian menendang belakang lutut, membuat kaki Joko Bono melengkung dan berlutut. Saat itulah dipergunakan oleh Setyaningsih untuk mendorongkan kedua tangannya ke punggung lawan dengan sekuat tenaga. Joko Bono yang sudah berlutut itu tentu saja tidak mampu mempertahankan diri lagi dan tubuhnya bergulingan terus terjatuh dari atas panggung!

"Hebat, aku mengaku kalah..." teriaknya sambil bangkit berdiri dan pergi meninggalkan tempat itu dengan terhuyung-huyung.

Tepuk tangan riuh gemuruh menyambut kemenangan itu. Dara itu menyusut peluhnya dan melompat turun terus bersama Endang Patibroto dan Retna Wills kembali ke tempat duduk mereka.

Makin gentarlah hati para muda yang hendak ikut sayembara. Jelas sudah bahwa amat sukar menandingi kedigdayaan perawan Lembah Wilis itu. Joko Bono yang demikian perkasapun tidak mampu menandinginya. Hanya ada beberapa orang pemuda, termasuk Pangeran Panji Sigit, yang masih menanti kesempatan mereka. Melihat betapa agaknya tidak ada pengikut lagi yang berani naik ke panggung, Pangeran Panjl Sigit memandang Ki Datujiwa yang menganggukkan kepalanya perlahan-lahan.

Pangeran itu lalu bangkit, akan tetapi selagi ia hendak melangkah maju mendekati panggung, tiba-tiba tampak sesosok bayangan tubuh seorang pria kurus kering melompat ke panggung mendahuluinya. Terpaksa pangeran itu duduk kembali dan semua mata kini memandang ke arah pria kurus kering yang berada di atas panggung.

Cara orang itu melompat amat mengagumkan, karena tubuhnya mencelat ke atas, tinggi sekali, kemudian dari atas ia turun dengan cara berjungkir, kepalanya di bawah. Semua orang terkejut, bahkan ada yang menahan pekik, mengira bahwa kepala itu akan remuk terbanting pada papan panggung. Akan tetapi anehnya, kepala itu mendarat dengan lunaknya di atas papan dan laki-laki itu berdiri di atas kepalanya. Kemudian sekali ia bersuara seperti orang terbatuk, tubuhnya sudah berjumpalitan dan kini ia berdiri di tengah panggung sambil tersenyum menyeringai.

Semua orang tercengang. Laki-laki itu usianya tentu sudah mendekati lima puluh tahun, mukanya kurus seperti tengkorak hidup, matanya berlubang dalam sekali dan kepalanya gundul. Pakaiannya serba merah berkembang dan tubuhnya juga kurus kering, kaki kirinya memegang tongkat bambu yang baru saja dicabutnya dari ikat pinggang. Kakinya yang telanjang itulah yang menambah keanehannya, karena kalau tubuhnya kurus kering, adalah kakinya itu besar dengan jari-jari kaki mekar seperti cakar bebek. Wajah yang buruk menjijikkan, akan tetapi setiap orang dapat menduga bahwa laki-laki ini tentu memiliki kesaktian luar biasa.

"Hemmm, si Hantu Kelabang Purwoko berani mencari bencana....!" terdengar oleh Pangeran Panji Sigit suara Ki Datujiwa berbisik lirih. la segera mendekati kakek penolongnya itu dan bertanya dalam bisikan.

"Orang apakah Purwoko ini, Eyang?"

"Tokoh hitam di pesisir utara, pertapa di Bukit Muria. Kalau ia mengenalku di sini, tentu dia tak akan berani main gila," jawab kakek itu sambil mangerutkan kening.

Munculnya orang-orang macam Si Hantu Kelabang ini menandakan bahwa negara mulai lemah dan tidak aman sehingga kaum sesat dan golongan hitam mulai keluar dari sarang mencari kesempatan baik untuk mengacau dan merampas kedudukan serta keuntungan.

Sementara itu, laki-laki buruk rupa itu sudah melambaikan tanganhya yang hanya tinggal tulang terbungkus kulit ke arah Setyaningsih dan terdengarlah suaranya nyaring tinggi seperti suara wanita,

"Bocah denok ayu Setyaningsih! Ke sinilah, manis! Mari kita main-main sebentar. Engkau layanilah aku sang sakti Purwoko dan kutanggung engkau akan merasa puas, heh-heh-heh!"

Kaum tua yang berada di situ terkejut mendengar nama ini dan terdengarlah suara berisik membisikkan sebutan "Si Hantu Kelabang". Suara berisik ini terdengar oleh Purwoko yang segera menyeringai ke arah para tamu sambil berkata,

"Kalian sudah mendengar dan mangenal nama julukanku? Heh-heh, benar aku Si Hantu Kelabang!"

Setyaningsih menjadi marah sekali. Mukanya yang jelita itu sebentar pucat sebentar merah mendengar ucapan yang tIdak senonoh dari pria gundul kurus kering itu. Ia sudah bangkit berdiri, tangan kiri mengepal tinju, tangan kanan meraba gagang keris. Akan tetapi lengannya disentuh Endang Patibroto yang memberinya isyarat supaya duduk kembali. Kemudian Endang Patibroto bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang mengatasi semua suara hiruk-pikuk,

"Heh, engkau orang yang bernama Purwoko! Suruh walimu naik dan bertanding melawan aku! Kalau walimu menang, barulah engkau berhak menandingi adikku. Pada saat ini adikku enggan bertanding dengan orang macam engkau!"

Suara berisik terhenti seketika dan semua mata memandang bahwa pasti akan terjadi hal-hal hebat setelah kini ketua Padepokan Wilis memperlihatkan kemarahannya. Akan tetapi Purwoko terkekeh sambil memandang ke arah Endang Patibroto dan menudingkan telunjuknya yang kecil panjang,

"Heh-heh-heh, engkau tentu Endang Patibroto, bukan? Denok ayu! Hebat bukan main, tidak kalah oleh adiknya. Ketahuilah, ayah bundaku telah mati semua, guruku banyak sekali dan sudah mati. Aku tidak punya wali. Bagiku sama saja, engkau juga denok, boleh maju main-main ke sini. Hadiahnya engkau atau adikmu sama juga! Memang aku datang untuk berkenalan dengan engkau, Endang Patibroto, dan kebetulan ada sayembara ini, heh-heh!"

Endang Patibroto tersenyum. Senyum yang manis sekali akan tetapi siapa yang sudah mengenal wanita ini di waktu mudanya akan maklum bahwa senyum itu adalah senyum yang menyembunyikan kemarahan hebat dan bahwa senyum ini dapat menjadi senyum maut yang akan merenggut nyawa lawan. Terdengar ia bersuara, "Hemmm...!" dan tahu-tahu tubuhnya sudah meloncat ke atas panggung.

Cara meloncat ini dalam keadaan tegak berdiri, seolah-olah dari tempat ia berdiri tadi tubuhnya dibawa angin mujijat dan ia sudah berhadapan dengan Purwoko di atas panggung. Itulah aji Meringankan tubuh Bayu Tantra yang sudah mencapai puncaknya! Biarpun apa yang diperlihatkan Endang Patibroto ini hebat, akan tetapi tidak ada yang bertepuk tangan. Suasana terlalu menegangkan sehingga semua orang memandang dan menahan napas, lupa untuk bersorak memuji.

"Purwoko, alangkah sombongnya engkau! Kita tidak saling mengenal dan aku tidak tahu orang macam apa engkau ini, akan tetapi melihat lagakmu dan mendengar ucapanmu, mudah saja menilai bahwa engkau ini seorang yang masih kosong melompong!"

"Gentong kosong suaranya nyaring!" Tiba-tiba terdengar suara Retna Wilis menyela kata-kata ibunya.

Semua orang mau tak mau tertawa geli karena ucapan bocah itu membuyarkan keadaan yang tegang.

"Gasak saja, Ibu, habiskan giginya yang tinggal dua!"

Endang Patibroto tidak memperdulikan kenakalan puterinya, lalu berkata lagi, "Purwoko, kalau saja engkau tidak muncul di atas panggung sayembara, tentu aku tidak akan dapat mengampunimu. Akan tetapi karena kau muncul di sini, marilah kita buktikan apakah kepandaianmu juga sehebat suaramu."

cerita silat online karya kho ping hoo

"Heh-heh-heh! Engkaupun seorang wanita sombong, Endang Patibroto. Aku sudah banyak mendengar tentang sepak terjangmu. Nah, kau bersiaplah!" Belum juga habis gema suaranya, kakek gundul itu sudah menerjang maju dengan tongkatnya, menusuk perut Endang Patibroto dengan tongkat di tangan kanan sedangkan tangan kirinya mencengkeram dengan kuku tangan kiri yang tiba-tiba saja sudah berubah merah seperti dicat!

Endang Patibroto cepat melangkah mundur dan menyentil ujung tongkat dengan telunjuk kirinya. Ia mengerti bahwa tangan kiri lawan yang berubah merah itu amat berbahaya, tentu mengandung racun yang hebat. Inilah agaknya mengapa orang ini mendapat julukan Si Hantu Kelabang. Agaknya tangan kiri itu telah dilatih dengan sari racun kelabang sehingga sekali gores dengan kuku, atau sekali sentuh dengan tangan itu saja sudah cukup untuk mengirim nyawa lawan meninggalkan raganya.

SI gundul itu berseru kaget ketika tongkatnya tiba-tiba membalik seperti didorong tenaga raksasa begitu kena disentil telunjuk tangan wanita itu. Diam-diam ia kagum dan tahu bahwa tangan wanita itu mengandung hawa sakti yang kuatnya menggila. Tidak berani lagi ia memandang ringan dan mulailah kakek ini melakukan serangan dengan hati-hati sekali.

Ia tadi sudah melihat kelincahan Setyaningsih, maka ia pun dapat menduga bahwa Endang Patibroto tentu memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa pula. Dia sendiri biarpun tidak dapat mengimbangi ilmu meringankan diri yang dibuktikan dengan cara meloncat Endang Patibroto tadi, namun ia mengandalkan ajinya tangan beracun dan kekuatan hawa sakti yang timbul dari cara bertempur berjungkir-balik seperti yang ia demonstrasikan ketika meloncat tadi.

Namun sesungguhnya sudah terlambat bagi Purwoko untuk menyadari bahwa dia tadi terlalu memandang rendah Endang Patibroto. Kini wanita sakti itu sudah terlampau marah dan tubuh yang masih langsing itu tiba-tiba lenyap dan berkelebatan di sekeliling dirinya, menyerangnya dengan pukulan bertubi-tubi.

Purwoko memutar tongkatnya melindungi tubuh, dan gerakan yang cepat ini membuat tongkatnya menimbulkan gulungan sinar yang menyelimuti dirinya. Pertandingan berlangsung cepat, sukar diikuti pandang mata biasa. Hanya tampak gulungan sinar dan bayang-bayang tubuh berkelebatan, dan terdengar suara bersiutan.

"Plakkk.... krakkk.... !!"

Tubuh Purwoko terhuyung ke belakang dan tongkatnya telah patah-patah dan remuk! Kiranya tadi tongkatnya kena dicengkeram tangan Endang Patibroto dan direnggutkan sehingga patah-patah dan remuk, Purwoko yang berusaha merampas tongkat, kini hanya memegang sepotong kecil saja dan terbawa oleh tenaga betotannya sendiri. la terhuyung ke belakang. Marahlah si gundul. Ia mengeluarkan suara mendesis dari mulutnya dan berseru,

"Aku belum kalah, belum turun dari panggung. Endang Patibroto, kau tidak mau disayang, rasakan kedigdayaan Si Hantu Kelabang!" Tiba-tiba saja kedua tangan yang tadi sudah kemerahan kini berubah hitam dan tercium bau yang wengur seperti bau binatang kelabang atau ular-ular berbisa. Tubuh yang kurus kering itu melompat berjungkir balik dan.... ia menyerang Endang Patibroto dengan kepala di bawah kaki di atas!

Hebat bukan main serangan ini. Hebat dan juga aneh. Karena keanehan inilah maka amat berbahaya, sukar diduga dan setiap serangan mengandung hawa beracun yang dapat merenggut nyawa. Kepala gundul yang berubah kegunaannya menjadi kaki itu berloncatan dengan suara "dak-duk-dak-duk!" di atas panggung, kedua kaki di atas dan bergerak-gerak seperti dua batang tongkat, juga kedua lengannya bergerak-gerak mencari sasaran, bukan hanya untuk memukul atau mencengkeram, bahkan kini kedua tangan itu bergantian menyambitkan jarum-jarum beracun ke arah Endang Patibroto!

"Serr-serr-serrr...!" Jarum-jarum berwarna merah menyambar dari bawah ke arah tubuh Endang Patibroto. Ketua Padepokan Wilis ini maklum betapa bahayanya jarum-jarum beracun ini, maka ia menggunakan kegesitannya untuk melayang ke atas dan menyampok runtuh jarum-jarum itu dengan angin pukulan tangannya.

"Manusia keji tak dapat diberi hati!" kata Endang Patibroto dan ketika tubuhnya melayang, tangannya bergerak dan "cuat-cuat...!" dua batang anak panah telah menyambar ke arah kedua kaki Purwoko. Namun kedua kaki si gundul itu ternyata hebat juga, karena secara cepat menendang runtuh dua batang anak panah itu dari samping. Mendadak Purwoko berseru keras dan kedua tangannya menangkis ke belakang karena tahu-tahu Endang Patibroto sudah berada di belakangnya dan menendang ke arah kepalanya.

Kiranya panah tangan yang dilepas Endang Patibroto tadi hanya sebagai jawaban terhadap kiriman jarum-jarum beracun, sekalian dipergunakan untuk gertak sehingga ia dapat meloncat ke belakang lawan dan mengirim tendangan-tendangan kilat. Si Hantu Kelabang Purwoko ternyata dapat menangkis tendangan-tendangan itu dan kepalanya di atas papan itu berputar sehingga tubuhnya membaiik ke belakang. Melihat ini, Endang Patibroto menggeser kakinya, cepat sekali dan ia menyerang dari arah belakang tubuh si kurus kering, melancarkan pukulan-pukulan Pethit Nogo ke arah punggung dan tendangan-tendangan ke arah tengkuk.

Diserang dari belakang, Purwoko kembali berputar akan tetapi bayangan Endang Patibroto sudah lenyap karena wanita itu sudah menggeser kaki pula dan berada di belakangnya. Demikianlah, bagaikan seekor kucing mempermainkan tikus, tubuh Endang Patibroto berkelebatan dengan geseran-geseran kaki indah teratur serta cepat sekali, sedangkan Purwoko yang maklum akan bahayanya diserang dari belakang, kini berpuat-putar seperti gasing di atas kepalanya.

Hebat sekali pertandingan itu, Setyaningsih memandang dengan wajah tegang. Diam-diam ia bersyukur bahwa ayundanya mencegah ia turun tangan, karena kini jelas tampak olehnya bahwa akan sukar sekali bagi dia untuk mengalahkan si gundul yang luar biasa itu. Adapun Retna Wills yang menonton penuh perhatian, menjadi kagum dan diam-diam memperhatikan. Gadis cilik ini dapat menduga bahwa ada persamaannya antara cara si gundul berjungkir balik dengan cara berlatih samadhi seperti diajarkan ibunya, yaitu dengan menggantung jungkir balik di cabang pohon.

Para penontong juga memandang ke atas panggung dengan mata terbelalak. Sebagian besar di antara mereka tidak dapat mengikuti jalan-nya pertandingan karena terlampau cepat. Mereka ini hanya melihat tubuh si gundul berputaran seperti gasing dan tubuh Endang Patibroto berkelebatan seperti seekor burung srikatan menyambar nyamuk-nyamuk di udara.

Memang tak dapat disangsikan lagi bahwa Si Hantu Kelabang Purwoko akan menjadi lawan yang terlampau berat bagi Setyaningsih. Akan tetapi menghadapi Endang Patibroto ia masih kalah jauh. Andaikata Endang Patibroto bertanding dengan pamrih membunuh, agaknya pertempuran itu tidak akan berlangsung sedemikian lamanya dan tentu sekarang juga Purwoko sudah menggeletak tewas sebagai korban pukulan Gelap Musti atau Aji Wisangnala. Akan tetapi Endang Patibroto dalam kedudukannya sebagai ketua Padepokan Wilis, tentu saja memegang teguh peraturan yang ia keluarkan sendiri, maka ia berusaha untuk mengalahkan Purwoko tanpa membunuhnya, dan hal inilah yang membuat ia membutuhkan waktu yang agak lama karena Purwoko merupakan seorang lawan yang tidak ringan.

"Robohlah....!" Tiba-tiba terdengar suara bentakan Endang Patibroto ketika dengan keras ia sengaja menangkls serangan kedua kaki Purwoko dengan tamparan jari-jari tangan yang penuh dengan getaran Aji Pethit Nogo.

Hebat tangkisan itu sehingga tubuh Purwoko mendoyong miring. Kesempatan itu dipergunakan oleh Endang Patibroto untuk membentak dan mendorongkan kedua lengannya ke depan, dengan Aji Wisangnala. Aji ini kalau dipergunakan untuk memukul, mungkin tidak akan kuat ditahan oleh seorang sakti seperti Purwoko sekalipun, akan tetapi sekali ini hanya dipergunakan oleh Endang Patibroto sebagai pukulan jarak jauh sehingga hanya hawa pukulan-nya saja yang mendorong tubuh lawan.

"Aduhhh...!!" Tubuh Purwoko terguling karena ia tidak dapat menahan hawa dorongan yang mengandung rasa panas luar biasa itu. Akan tetapi, begitu tubuhnya rebah di atas papan panggung, tubuh itu lalu menerjang maju cepat sekali dengan jalan merayap seperti seekor kelabang.

Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Endang Patibroto. Belum pernah ia menyaksikan hal sepertI itu, juga ketika masih berguru kepada Dibyo Mamangkoro ia belum pernah mendengar gurunya bercerita tentang ilmu aneh seperti itu sungguhpun sudah banyak ia ketahul tentang pelbagai aji kesaktian golongan hitam dan kaum sesat. Karena kaget ia tidak dapat mencegah lagi ketika tangan kiri Purwoko mencengkeram ujung kainnya!

"Aihhhh...!" Dalam keadaan terancam mengalami penghinaan yang memalukan itu, Endang Patibroto tidak kehilangan akal. Cepat tubuhnya membungkuk dan jari-jari tangan kanannya menyambar tengkuk Purwoko, mengirim tamparan Pethit Nogo dengan sebagian tenaga saja.

"Brettt...! Kekkk...!!"

Ujung kain Endang Patibroto robek sedikit akan tetapi Purwoko roboh pingsan! Dengan menahan gemas Endang Patibroto menggunakan kakinya, mencokel tubuh itu sehingga terlempar ke bawah panggung dalam keadaan tubuh masih pingsan.

Penonton yang tadi menahan napas menyaksikan pertandingan hebat itu, kini berisik saling membicarakan pertandingan itu dan kini makin gentarlah hati mereka. Tidak hanya Setyaningsih sudah memperlihatkan kedigdayaan yang mengagumkan, juga kini Endang Patibroto membuktikan bahwa dia memang seorang wanita sakti sukar dicari bandingnya. Setelah Endang Patibroto meloncat turun dan kembali duduk ke tempatnya, suasana kembali menjadi hening.

"Ayunda benar, dia berbahaya sekali...." kata Setyaningsih.

"Ibu, ilmu apakah itu, berjungkir balik seperti yang dilakukan si gundul?" tanya Retna Wilis.

Endang Patibroto menarik napas panjang dan memeriksa ujung kainnya yang robek. "Dia tidak sangat sakti, hanya memiliki siasat-siasat berbahaya. Seperti seekor kelabang yang curang. Ilmunya berjungkir-balik sungguhpun cukup kuat, namun dilatih dengan sesat sehingga hanya tampaknya saja menyeramkan, sebetulnya tidak ada apa-apanya. Lebih baik lanjutkan latihan samadhi sambil menggantung di pohon, Retna."

Pada saat itu, keheningan suasana telah pecah oleh berisiknya para penonton karena kini di atas panggung telah berdiri seorang pemuda tampan sekali. Pemuda itu bukan lain adalah Pangeran Panji Sigit. Ia memberi hormat ke arah Endang Patibroto dan berkata halus,

"Mohon banyak maaf kepada Ayunda. Dorongan kasih membuat saya nekat memasuki sayembara dan membawa seorang wali, yaitu Eyang Datujiwa. Mudah-mudahan saja para dewata melindungi hamba dan akan tercapai apa yang hamba idam-idamkan. Marilah, Adinda Setyaningsih, kita menguji kedigdayaan. Hanya sedikit harapan saya hendaknya Adinda menaruh kasihan kepada saya."

Wajah Setyaningsih sudah menjadi merah sekali ketika melihat pemuda yang selama ini membuatnya tak enak tidur tak sedap makan itu telah berdiri menanti di atas panggung. Saat inilah yang dinanti-nantinya. Dia sudah bertekat bulat untuk melawan siapa saja secara mati-matian, kalau perlu mengadu nyawa di atas panggung sayembara karena ia tidak rela berjodoh dengan laki-laki lain kecuali pemuda yang kini berada di atas panggung ini!

Namun setelah saatnya tiba, ia merasa kedua kakinya menggigil dan mukanya panas. Betapapun juga, tanpa disadarinya seperti orang terkena hikmat gaib, dara jelita itu bangkit berdiri dan tanpa menoleh sedikitpun kepada ayundanya seperti tadi, langsung ia menghampiri panggung lalu melompat naik diiringi sorak-sorai para penonton yang timbul kembali kegembiraan mereka.

Dara jelita itu kini kembali akan bertanding dan lawannya begitu tampan seperti Sang Harjuna! Melihat perawakan kedua muda-mudi ini, melihat wajah mereka, sungguh mereka itu merupakan pasangan yang amat setimpal, seperti Dewa Komajaya dan Dewi Komaratih, seperti Sang Harjuna dan Dewi Sembadra. Sama-sama muda remaja, sama-sama tampan rupawan, sama-sama agung berwibawa dan sakti mandraguna!

Sejenak mereka berdua berdiri saling berhadapan. Pangeran Panji Sigit memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar, membayangkan kasih sayang dan kemesraan yang tidak dibuat-buat yang langsung memancar dari lubuk hatinya, namun yang membuatnya terpesona sehingga sukar untuk mengeluarkan kata-kata. Hatinya terharu sekali. Kalau mungkin, ia ingin sekali memeluk dan mencumbu rayu dara ini, bukan sekali-kali menghadapinya sebagai lawan bertanding!

Betapa mungkin ia bertanding sebagai lawan dan menyerang dara yang dikasihinya ini? Kalau perlu ia bahkan rela mati di bawah kakinya, rela mengorbankan apa saja demi cinta kasihnya yang mendalam! Namun, untuk dapat tercapai cita-cita dan idaman hatinya, ia harus dapat mengalahkan dara ini dalam adu kesaktian! Tiada jalan lain karena ia cukup mengenal watak Endang Patibroto yang keras dan kemauannya yang sukar ditundukkan oleh apapun juga.

Adapun Setyaningsih, berbeda sekali dengan tadi ketika menghadapi calon-calon lain, agung berwibawa, tenang dan memandang dengan mata tajam, kini menundukkan mukanya, berdiri dengan pundak meringkus (menyempit), memandang ke arah ujung ibu jari kakinya yang utak-utik bergerak-gerak menggores-gores papan panggung! Sampai lama kedua remaja ini berhadapan tanpa mengeluarkan suara, bahkan tanpa bergerak, lebih gugup dan bingung lagi karena beberapa orang penonton yang agaknya dapat menangkap arti gerak-gerik mereka ada yang mulai terkekeh mentertawakan.

"Bibi.... Jangan melupakan pesanku, lho! Awas, kalau melanggar, Bibi akan kujothak (kumusuhi)!" Tiba-tiba terdengar teriakan Retna Wilis dan semua orang tertawa sambil bertanya-tanya dalam hati apa gerangan pesan puteri ketua Padepokan Wilis itu. Hanya Endang Patibroto dan Setyaningsih yang mengetahuinya, juga Pangeran Panji Sigit dapat menduganya maka hatinya menjadi lega, maka sambil melempar senyum ke arah bocah itu ia berkata,

"Terima kasih, keponakanku yang manis!"

Setyaningsih menjadi makin jengah dan malu, mukanya makin menunduk. Seperti dalam mimpi ia mendengar suara yang halus penuh getaran asmara itu, "Diajeng, marilah kita mulai, tidak enak dijadikan tontonan orang."

Barulah ia berani mengangkat muka. Sejenak pandang mata mereka bertemu, bertaut dan melekat mesra. Kemudian dara itu berbisik,

"Marilah.... Silahkan....!"

Berbareng keduanya bergerak dan terjadilah pertandingan yang amat menarik hati. Keduanya sama-sama memiliki gerakan yang trengginas dan cepat, dengan gerak silat yang indah seperti tarian lemah gemulai. Tampaknya kedua orang muda ini bukan seperti tengah bertanding yuda, melainkan sedang berlagak dengan tarian indah di atas panggung. Namun, bagi para penonton yang kesemuanya memiliki kepandaian, jelas bahwa kedua orang muda itu benar-benar saling serang dengan cepat dan kuat. Pertandingan yang amat seru.

Sesungguhnya hal ini hanya kelihatannya saja, karena bagi Endang Patibroto, juga bagi Ki Datujiwa dan beberapa orang yang hadir di situ dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, kedua orang remaja itu tidak bertanding sungguh-sungguh.

Memang tampaknya melakukan pukulan dan tendangan sungguh-sungguh, dengan gerak silat yang sempurna dan daya serang yang dahsyat, namun tenaga dalam penyerangan ini selalu dikendalikan sehingga andaikata lawan akan terkena, dapat ditarik mundur atau dihilangkan tenaganya sehingga tidak akan melukai lawan! Mereka itu seolah-olah sedang berlatih saja!

Namun gerakan mereka yang gesit menyuguhkan tontonan yang indah menarik dan menegangkan bagi mereka yang tidak tahu sehingga mereka bersorak-sorak setiap kali seorang di antara mereka tampak terdesak sampai ke pinggir panggung. Hanya sebentar saja desakan ini karena segera yang terdesak dapat menguasai keadaan dan balas mendesak.

Tentu saja Setyaningsih tidak menghendaki pemuda idaman hatinya ini kalah dan terpelanting ke bawah panggung. Karena hal itu akan berarti bahwa pemuda ini tidak mungkin menjadi jodohnya! Bukan hanya karena pesan Retna Wilis saja maka ia mengalah dan tidak sungguh-sungguh penyerangannya, melainkan juga karena dia sendiri di dalam hatinya sudah memilih Pangeran Panji Sigit sebagai calon suaminya. Akan tetapi, Setyaningsih adalah seorang dara yang pendiam, serius, berpemandangan luas, berwatak adil dan keras hati, tak mengenal takut asal bersandarkan kebenaran.

Watak ini mendatangkan sifat angkuh dan tidak mau kalah, serta ingin dihargai. Apalagi oleh orang yang dicintanya. Ia ingin memperlihatkan kepada pangeran muda ini bahwa dia bukan seorang lemah, bahwa dia mampu menandingi pangeran itu kalau dikehendakinya, maka dalam pertempuran inipun, sungguhpun ia tidak ingin mengalahkan si pangeran yang menjadi pilihan hatinya, akan tetapi ia ingin membuktikan bahwa dia sebetulnya tidak kalah!

Ketika ia mendapat kesempatan setelah pukulannya ditangkis pemuda itu, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dengan Aji Bayu Tantra, demikian cepatnya ia meloncat sehingga bagaikan terbang saja dan sambil meloncat, ketika melewati dekat kepala Pangeran Panji Sigit, tangan kirinya menjangkau dan cepat ia menyambar ikat kepala pangeran itu, direnggutnya terlepas dari kepala pangeran Itu.

Pangeran Panji Sigit maklum akan isi hati dara yang dicintanya. Kalau ia mau, tentu saja ia dapat mempertahankan ikat kepalanya, atau dapat ia mengirim pukulan maut ke perut dara yang sedang melambung di atasnya itu andaikata dara itu seorang musuh. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau melakukan hal ini, sebaliknya ia membiarkan ikat kepalanya dirampas dan cepat sekali lengannya menyambar dan memeluk pinggang yang ramping dari Setyaningsih dan langsung membawa dara itu meloncat turun panggung!

Setyaningsih terkejut, namun tidak dapat meronta karena pelukan lengan pada pinggangnya itu membuat ia menjadi lemas dan seperti lumpuh! Ketika turun ke atas tanah, Pangeran Panji Sigit lebih dulu menurunkan dara itu, baru ia turun belakangan. Dengan demikian, berarti bahwa Setyaningsih yang lebih dulu turun dari panggung dan ia berada di fihak menang. Akan tetapi untuk tidak menyinggung perasaan orang yang dicintanya, ia membungkuk dan berkata sambil tersenyum dan memegangi rambutnya,

"Engkau hebat, Diajeng, telah berhasil merampas ikat kepalaku. Aku mengaku kalah..."

Setyaningsih memandang dengan mata bersinar-sinar dan muka merah karena girang dan juga jengah, mulutnya berkata gagap,

"Ohhh... tidak... kau... tidak kalah... aku yang lebih dulu turun..." Setelah berkata demikian dara ini lari menuju ke tempat dudu Endang Patibroto dan lupa bahwa tangannya masih membawa ikat kepala pangeran muda itu.

Pangeran Panji Sigit mengejarnya dan bersama Setyaningsih ia lalu menjatuhkan diri bertekuk lutut di depan Endang Patibroto sambil berkata, "Mohon Ayunda sudi memaafkan dan tentang hasil pertandingan tadi, saya hanya taat akan keputusan Ayunda."

"Sudah terang Bibi Setyaningsih yang kalah!" Retna Wilis berteriak. "Semua, orang juga melihatnya. Bibi Setyaningsih yang lebih dulu menginjak tanah, berarti dia yang lebih dulu dipaksa turun!"

Semua orang yang menonton tertawa Mereka inipun merasa suka akan pemuda yang tampan, tangkas serta lemah lembut dan sopan itu. Seperti mendapat aba-aba, sebagian besar di antara mereka berseru,

"Pemuda itu menang.... !!"

Diam-diam Endang Patibroto merasa terharu sekali, namun sedikit juga tidak tampak pada wajahnya. Ia cukup yakin sekarang bahwa adik kandungnya benar-benar telah jatuh cinta kepada Pangeran Panji Sigit. Terkenanglah ia kepada Joko Wandiro atau Tejolaksono, satu-satunya pria yang dicintanya dengan tulus ikhlas dan seluruh jiwa raganya. Betapa merana dan sengsara hidup ini dipisahkan dari orang yang dicinta.

Tentu saja ia tidak tega untuk membuat adik kandungnya sendiri merana dan menderita sengsara. Pangeran Panji Sigit memang cukup berharga untuk menjadi suami Setyaningsih. Akan tetapi sebagai seorang wanita yang memegang teguh aturan dan amat keras hati, apalagi karena marah teringat betapa Ki Datujiwa mengambil puterinya sebagai murid tanpa minta perkenannya, ia lalu berkata,

"Anggap saja dalam babak pertama ini engkau menang. Akan tetapi masih ada babak ke dua sebagai babak yang akan menentukan. Suruh walimu naik ke panggung!"

Wajah Pangeran Panji Sigit menjadi pucat. Dari suara ayundanya ini ia dapat menarik kesimpulan bahwa Endang Patibroto tidak cocok menerimanya sebagai calon jodoh Setyaningsih. Biarpun ia maklum bahwa Ki Datujiwa amat sakti, namun ia masih meragu apakah kakek itu akan dapat menandingi Endang Patibroto yang demikian tinggi ilmunya. Ia menoleh ke arah Setyaningsih, bertukar pandang dengan sayu, kemudian bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Ki Datujiwa, menjatuhkan diri berlutut sambil berkata, "Duh, Eyang.... nasib saya berada di tangan Eyang."

Ki Datujiwa tertawa dan mengangkat bangun pemuda itu. "Tenanglah, Angger. Memang mencapai segala cita-cita yang baik selalu tidak mudah, namun kita tidak boleh putus asa." Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menghampiri panggung dan melompat naik dengan gerakan sederhana.

Semua penonton tercengang. Pemuda yang tampan dan gagah perkasa tadi mengapa membawa wali seorang kakek petani yang begini sederhana dan sama sekali tidak kelihatan sakti? Seorang kakek pendek kecil yang rambutnya tak terpelihara, pakaiannya sederhana dan sikapnya tidak agung. Mana mungkin dapat menandingi Endang Patibroto?

"Ibu, jangan lupa, harap mengalah. Dia itu guruku," bisik Retna Wilis yang tidak tahu bahwa bisikan itu menambah rasa penasaran di hati Endang Patibroto. "Dia sudah menolongku, dia baik sekaIi...."

"Kau anak kecil tahu apa tentang baik dan jahat!" bentak Endang Patibroto yang sekali berkelebat sudah meloncat naik ke atas panggung, berhadapan dengan Ki Datujiwa.

Sejenak keduanya saling pandang, seperti dua ekor ayam hendak mengadu kekuatan lebih dahulu memperhatikan calon lawan dengan pandang mata menilai.

"Jadi andika inikah yang menjadi wali Panji Sigit?"

"Benar, Sang Dewi. Aku kasihan melihatnya dan bersedia membantu tercapainya cita-cita murni seorang pemuda, demi bersatunya dua hati yang saling mencinta."

"Hemmm, andika telah menolong puteriku, sebetulnya sudah selayaknya kalau aku mengalah. Akan tetapi andika telah lancang mengangkat puteriku sebagai murid, ini merupakan penghinaan yang hanya dapat ditebus dengan nyawa. Mengingat akan pertolongan andika terhadap Retna Wilis, akupun melupakan penghinaan itu. Tidak ada budi apa-apa lagi dan karena itu kita harus bertanding sesuai peraturan."

Semua orang yang hadir terheran-heran karena kedua orang di panggung itu hanya berdiri berhadapan tanpa mengeluarkan suara, hanya melihat betapa bibir kedua orang itu agak bergerak-gerak. Memang ketika mengeluarkan kata-kata ini, Endang Patibroto yang tidak ingin orang lain mendengarnya, telah mengerahkan aji kesaktiannya, bicara dari dalam perut hanya dengan menggerakkan bibir tanpa mengeluarkan suara keras sehingga hanya terdengar oleh orang yang diajak bicara.

Ki Datujiwa tersenyum, maklum bahwa perbuatan itu mempunyai dua maksud. Pertama agar tidak terdengar orang lain. Kedua untuk mendemonstrasikan kesaktian, karena memang hanya mereka yang sudah memiliki hawa sakti amat kuat saja yang dapat bicara dalam perut. Maka iapun menjawab dengan cara yang sama.

"Angger, Sang Dewi Endang Patibroto. Tidak ada yang menolong, tidak ada pula yang lancang. Semua terjadi karena memang semestinya demikian. Andika mengajak aku yang tua bertanding, boleh saja. Akan tetapi karena dasarnya pengangkatan murid, kalau dibolehkan dewata dan aku menang, aku akan mengajar ilmu kepada puterimu selama sepuluh tahun. Bagaimana?"

Endang Patibroto mengerutkan kening dan berpikir. Betapa mungkin ia berpisah dari puterinya? Akan tetapi permintaan itupun sudah patut. Kalau kakek ini dapat memenangkannya, tentu berharga menjadi guru Retna Wilts. Agar puterinya jangan terbawa pergi, ia harus bisa menangl Akan tetapi kalau ia menang, berarti akan membuat hidup adiknya merana!

"Baiklah, Ki Datujiwa. Akan tetapi mengajarnya harus di sini, andika harus tinggal di puncak Wilis."

Kembali kakek itu tersenyum sabar dan memandang ke sekeliling, ke arah tamasya alam yang amat indah. "Memang aku berjodoh dengan Wilis. Boleh, aku menerima syarat itu."

Kini Endang Patibroto berkata dengan mulutnya, suaranya nyaring, "Bersiaplah andika!" Dan tubuhnya bergerak maju dengan serangan kilat. Ia mengerahkan Aji Bayu Tantra dan menggunakan pukulan Pethit Nogo yang amat dahsyat.

Namun yang dipukulnya hanya angin kosong karena tahu-tahu kakek itu telah lenyap dari depannya dan telah berada di sebelah kiri sambil berkata, "Biarlah andika yang menahan serangan-seranganku!"

cerita silat online karya kho ping hoo

Sambil berkata demikian, Ki Datujiwa sudah melancarkan pukulan dengan tangan kanan dikepal. Sambil memukul, kakek itu meloncat ke depan dan sementara tubuhnya berada di atas ia memukul. Endang Patibroto menggunakan lengannya menangkis sambil mengipatkan jari tangan yang mengandung Aji Pethit Nogo.

"Dess.... !" Tubuh Endang Patibroto terdorong ke belakang sungguhpun ia mampu menangkis pukulan itu. Ia terkejut dan kagum. Pukulan dengan tubuh melambung tidaklah sekuat kalau kedua kaki memasang kuda-kuda, akan tetapi tenaga pukulan kakek itu bukan main kuatnya, mengandung hawa sakti yang tak terlawan olehnya. Sebelum ia sempat membalas, kakek itu sudah meloncat dan memukul lagi. Endang Patibroto bertubi-tubi menangkis datangnya pukulan yang seperti hujan dan berkali-kali ia tertolak ke belakang sehingga akhirnya ia mundur-mundur dan berputeran.

Belum juga ia mampu membalas karena kakek itu setiap kali ditangkis sudah melambung lagi dan memukul seolah-olah tubuh kakek itu melambung karena tangkisan dan otomatis menyerang kembali. Makin lama pukulan itu makin kuat sehingga Endang Patibroto cepat-cepat menahan napas, mengerahkan tenaga tangkisan yang didahului hawa panas. Hawa pukulan kedua fihak kini bertemu di udara dan sebelum kulit lengan mereka bersentuhan, tubuh Endang Patibroto sudah terpental. Wanita sakti itu makin kaget.

Para penonton yang mengharapkan pertandingan seru, menjadi kecewa dan terheran-heran. Kalau tadinya mereka berdua itu saling tangkis, kini mereka berdiri dalam jarak hampir dua meter dan memukul dari jauh, ditangkis dari jauh pula, sama sekali lengan mereka tidak pernah bersentuhan lagi. Namun setiap kali tubuh Endang Patibroto terdorong ke belakang. Kiranya dua orang sakti ini telah mempergunakan pukulan jarak jauh dan hanya mengandalkan hawa sakti masing-masing.

Baik ketika menangkis, maupun ketika ia memukul dan ditangkis, Endang Patibroto selalu terdorong tubuh atasnya, terbawa oleh lengannya. Ia maklum bahwa ia kalah kuat, maka dalam penasarannya ia lalu mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo yang dahsyat. Beberapa orang penontong seketika merasa lumpuh kedua kakinya karena jantung mereka tergetar hebat.

"Sadhu-sadhu-sadhu.... " Ki Datujiwa berkata lembut namun tidak terpengaruh, hanya memandang tubuh lawan yang kini berkelebat seperti seekor burung kepinis, sambil melancarkan pukulan-pukulan sakti yang luar biasa dahsyatnya.

Mula-mula Endang Patibroto menerjang tubuh kakek yang berdiri tegak itu sambil memukul dengan Aji Pethit Nogo sepenuhnya. Namun pukulan dan tubuhnya terhenti di tengah jalan, terhalang dan dihalau oleh tangkisan yang keluar dari dorongan tangan Ki Datujiwa. la menerjang lagi, berselang-seling mempergunakan aji pukulan Pethit Nogo, Wisangnala, dan Gelap Musti. Namun kesemuanya tidak berhasil, selalu kandas di tengah jalan, buyar oleh hawa pukulan yang menangkis.

Di samping rasa penasaran, juga Endang Patibroto hendak menguji benar-benar kakek ini. Seorang yang menjadi guru puterinya harus mempunyai kesaktian yang jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Maka ia lalu memperhebat serangannya. Betapa heran dan kagum hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa makin hebat diserang, kakek Itu makin tenang, berdiri tegak, hanya menyambut setiap serangan dengan dorongan tangan kanan atau kiri berganti-ganti.

Namun, dorongan-dorongan itu saja sudah cukup membuat semua serangan Endang Patibroto gagal! Bahkan lebih daripada itu. Makin keras pukulannya, makin keras pula ia terpental! Aji Argoselo untuk memperberat tubuhnya sama sekali tidak ada hasilnya, bahkan kalau pukulannya keras sekali, ia terpental dan terhuyung sampai ke tepi papan panggung.

Benarkah Ki Datujiwa memiliki tenaga sakti seampuh itu? Ia merasa penasaran lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mendorong dengan kedua tangannya melancarkan pukulan dengan Aji Gelap Musti! Hebat bukan main pukulannya ini. Baru hawanya saja sudah cukup merobohkan seorang lawan sakti. Akan tetapi lebih hebat lagi kesudahannya karena kakek itupun mendorongkan kedua tangan dan.... tak dapat ditahannya lagi tubuh Endang Patibroto mencelat ke belakang sampai melewati tepi panggung!

Semua orang berteriak karena betapapun saktinya seseorang, kalau sudah terlempar melewati tepi papan panggung, tentu akan jatuh ke bawah dan berarti kalah. Akan tetapi Endang Patibroto, ketua Padepokan Wills, bukanlah seorang sakti yang biasa. Dia semenjak kecil telah di gembleng berbagai ilmu, bahkan menjadi murid terkasih Sang Dibyo Mamangkoro kemudian selama lima tahun lebih di puncak Wills telah mematangkan Ilmu-ilmunya dengan tekun sehingga kini merupakan seorang tokoh yang sukar dicari bandingnya.

Biarpun tubuhnya sudah terlempar melewati tepi papan panggung, namun di udara tubuhnya itu dapat berjungkir balik dan melayang kembali ke arah panggung. Itulah Aji Bayu Tantra yang sudah mencapai tingkat tertingt sehingga dalam melompat dia dapat berjungkir balik dan mengubah arah, membalik ke arah berlawanan mengandalkan tenaga luncuran tadi!

"Bagus sekali....! " seru Ki Datujiwa di antara tepuk sorak penonton yang merasa kagum bukan main.

Gerakan Endang Patibroto itu seolah-olah gerakan seekor burung garuda yang terbang membalik. Akan tetapi Ki Datujiwa maklum bahwa kalau wanita sakti yang ganas ini tidak segera ditundukkan, pertandingan akan berlarut-larut. Sekali ini Endang Patibroto bertemu tanding yang jauh lebih tinggi ilmunya. Ki Datujiwa adalah adik angkat dan adik seperguruan Ki Tunggaljiwa dan dibandingkan dengan Endang Patibroto, ia masih menang jauh.

Bahkan kakek ini masih lebih sakti daripada mendiang Dbya Mamangkoro! Dengan berdiri tegak, kakek Itu kembali mendorong dan.... tubuh Endang Patibroto yang sudah meluncur kembali ke arah panggung itu kini terdorong lagi keluar panggung. Endang Patibroto mengeluarkan pekik dan tubuhnya kembali membalik di udiara, namun sekali lagi didorong keluar oleh lawannya!

Bagaikan seekor burung garuda yang berusaha melawan terjangan angin membadai, Endang Patibroto berkali-kali terdorong keluar dan akhirnya wanita sakti ini terpaksa mengakui keunggulan lawan. Ia membiarkan dirinya terdorong lalu menukik ke bawah, langsung ia menyerang papan panggung dengan kedua tangannya.

Pukulan Gelap Musti mengenai papan panggung dan terdengarlah suara hiruk-pikuk karena papan di mana Ki Datujiwa berdiri menjadi ambrol, papan-papannya terlempar tinggal balok-baloknya sajal Endang Patibroto sendiri terpaksa turun ke atas tanah dan peluhnya membasahi muka dan leher, mukanya pucat dan napasnya agak terengah.

Ketika ia memandang, ternyata serangan terakhir inipun gagal karena kakek itu tidak terlempar turun seperti yang dikehendakinya, melainkan masih berdiri dl tempat tadi, hanya kini bukan berdiri di atas papan melainkan berdiri di atas sebuah di antara balok-balok penunjang papan. Separoh dari panggung itu telah ambrol papannya!

Endang Patibroto menghela napas panjang, lalu iapun melompat ke atas sebuah balok di samping Ki Datujiwa sambil berkata, "Kepandaian Eyang terlampau hebat, saya mengaku takluk." Kemudian ia memandang ke arah para tamu dan berkata, "Hendaknya semua saudara yang hadir maklum bahwa pemenang sayembara adalah Pangeran Panji Sigit yang berhak menjadi jodoh adikku Setyaningsih. Dengan ini sayembara ditutup dan dibubarkan!"

Orang-orang menjadi terkejut dan kagum.

"Ah, dia Pangeran Panji Sigit?"
"Pangeran Jenggala!"
"Pantas gagah dan tampan, walinyapun hebat!"

Endang Patibroto telah melompat turun, diikuti oleh Ki Datujiwa yang tersenyum-senyum, di samping oleh Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit yang berseri-seri wajahnya. Setyaningsih merangkul ayundanya dan menangis saking terharu dan bahagia.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ketawa mengejek dan ketika mereka semua menengok, kiranya si gundul Purwoko telah berdiri di atas panggung yang tinggal separoh. Kakek gundul ini telah siuman dan pulih kesehatannya. Kini ia berdiri di atas panggung sambil tertawa lalu berkata dengan suaranya yang melengking tinggi,

"Wah, Padepokan Wills bermain curang! Endang Patibroto sungguh memalukan sebagai ketua Padepokan Wilis. Kiranya yang menang adalah seorang Pangeran Jenggala. Tentu saja menang karena memang dimenangkan! Siapa tidak mengetahui adanya sayembara menggelikan ini? Kalau memang suka mendapat ipar seorang pangeran, mengapa mengadakan sayembara palsu ini? Pantas saja, pangeran itu tadi dilayani oleh Setyaningsih sambil main-main belaka, dan kakek petani itupun seperti badut karena Endang Patibroto sengaja mengalah! Kalau memang bertanding betul-betul, tak mungkin kalah. Saudara-saudara sekalian kalau tidak percaya, boleh suruh pangeran itu atau walinya maju melawan aku! Aku sudah kalah terhadap Endang Patibroto, akan tetapi kakek petani itu akan kubikin jungkir balik!"

Ucapan Si Hantu Kelabang ini bukan ucapan seorang tolol. Memang tadi ia melihat pertandingan antara Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih, maka iapun tahu bahwa pertandingan itu tidak sungguh-sungguh. Adapun tentang Ki Datujiwa, ia hanya melihatnya sebagai seorang petani tua sederhana, tidak mengenal namanya karena sejak tadi tidak disebut, dan tingkat kakek ini sudah sedemikian tingginya sehingga memang tadi tidak kelihatan menggunakan kesaktian.

Sebaliknya, Endang Patibrotolah yang kelihatan memperlihatkan ketangkasan luar biasa. Kakek itu hanya berdiri dan mendorong-dorongkan kedua tangannya. Siapa mau percaya? Hanya satu kali kakek itu memperlihatkan kepandaiannya, yaitu ketika papan panggung tergempur la meloncat ke atas kemudian turun lagi hinggap di atas balok. Namun, kepandaian ini bagi Si Hantu Kelabang Purwoko tidaklah mengherankan. Inilah sebabnya mengapa ia menjadi iri hati dan menuduh yang bukan-bukan.

"Eh, tua bangka seperti cecak kering! Kau melantur tidak karuan, ya?" Tiba-tiba Retna Wilis sudah melompat ke atas panggung dan berdiri berhadapan dengan Purwoko di atas panggung yang tinggal separoh, lalu bertolak pinggang dan menudingkan telunjuk kirinya. "Kau berani menantang paman pangeran? Berani menantang eyang guruku? Huh, tidak memandang tengkuk sendiri! Tak usah mereka turun tangan, kau lawanlah aku saja! Belum tentu kau menang, tahu?"

Semua orang yang tadinya sudah mau bubaran, kini tertarik kembali dan menonton sambil tertawa-tawa. Modar! Ketanggor kau sekarang, ketemu batunya! Demikian bisik mereka yang merasa tidak senang menyaksikan lagak Si Hantu Kelabang.

Endang Patibroto sudah bergerak hendak menegur dan menyuruh puterinya turun, akan tetapi Ki Datujiwa berbisik, "Biarlah, memang Purwoko perlu dihajar agar mundur dan tidak berani sewenang-wenang." Tanpa menanti jawaban, Ki Datujiwa lalu menghampiri panggung dan meloncat ke atas, berdiri di sudut sambil berkata, "Retna Wilis, beranikah engkau mewakili gurumu dan ibumu memberi hajaran kepada setan gundul yang tidak sopan ini?"

Melihat gurunya sudah berada di situ, nyali Retna Wilis makin bertambah. Dengan menjebikan mulutnya ke arah Purwoko, ia menjawab, "Mengapa tidak berani, Eyang Guru? Biar ditambah lima lagi macam dia, aku tidak takut!"

Si Hantu Kelabang yang tadinya hendak mengejek dan mengumpat caci orang, kini benar-benar kalah desak dan bertemu batunya menghadapi Retna Wills. Mau turun tangan, masa dia seorang tokoh besar harus melayanl seorang anak kecil yang baru enam tahun umurnya? Tidak dilayani, dia dimaki-maki di depan orang banyak! Kini melihat kakek petani yang ia pandang rendah itu sudah maju, cepat ia berkata,

"Eh, kebetulan sekali kau muncul, petani busuk! Hayo mengakulah bahwa engkau dan Endang Patibroto memang hanya bermain dagelan, pertandingan tadi tidak sungguh-sungguh. Kalau memang kau ada kepandaian, coba kaukalahkan aku!"

Dengan suara tenang Ki Datujiwa menjawab, "Muridku sudah bicara. Aku wakilkan kepada muridku ini, Retna Wilis. Kalau kau mampu mengalahkan Retna Wilis, anggap saja aku sudah kalah oleh-mu. Biarlah semua yang hadir menjadi saksi."

"Heh....??" Si Hantu Kelabang khawatir kalau-kalau ia dipermainkan dan ditipu dengan ucapan itu. Bocah masih begini kecil? Sedangkan ibu bocah inipun yang berilmu tinggi, tadi menghadapi dia tidak dapat mengalahkannya dengan mudah. "Sesungguhnyakah omonganmu itu, petani tua bangka?"

"Heeiii, engkau si hantu coro busuk bau! Mengapa kau memaki-maki orang? Omongan kami semua adalah sungguh-sungguh, tidak seperti omonganmu yang merupakan angin bau busuk belaka! Hayo lawan aku!" Retna Wilis kembali memaki.

Purwoko melototkan matanya karena dimaki hantu coro sehingga banyak orang menertawakannya. Ingin ia sekali gebrak menelan bocah itu bulat-bulat. "Kalau memang betul, biarlah semua orang menjadi saksi. Hayo, perlihatkan kepandaianmu, bocah edan!"

"Seranglah dia, muridku."

Suara Ki Datujiwa ini menambah semangat Retna Wilis yang memang sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada gurunya. Bukankah ketika menghadapi tiga orang jahat Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Raden Warutama kemarin dulu itupun dia telah mendapat kemenangan hanya karena kepercayaannya kepada gurunya?

"Baik, Eyang," jawabnya dan tubuh yang kecil itu lalu menerjang maju, mengirim pukulan ke perut Purwoko.

Si Hantu Kelabang itu hanya menyeringai dan tidak mengelak maupun menangkis. Perlu apa menangkis pukulan bocah cilik ini? Akan tetapi mukanya yang menyeringai itu mendadak berubah masam ketika kepalan kecil itu tepat mengenai perutnya,

"Bukkk!" Memang tidak amat sakit, akan tetapi yang membuat ia kaget sekali adalah karena pada saat la hendak mengerahkan tenaga dalam ke perut, tenaganya itu molos dan tidak dapat dikerahkan!

Retna Wilis yang berhasil menghantam perut itu menjadi girang. Ia melompat ke atas dengan gerakan ringan karena memang terlatih baik oleh ibunya semenjak kecil sehingga ia dapat mencapai muka Si Hantu Kelabang, lalu menghantamkan kepalan kanannya ke arah hidung si gundul.

"Punggg....!!"

Kembali Purwoko meringis. Kulit perutnya masih tebal sehingga biarpun ia tidak dapat mengerahkan kekebalan ke arah perut, pukulan bocah itu tidak terasa nyeri. Akan tetapi hidungnya yang dipukul terasa nyeri juga, apalagi yang terkena adalah tulang muda hidung di ujung. Seperti akan patah rasanyal Tadi kaki tangannya sama sekali tidak dapat digerakkan ketika bocah itu memukul, dan baru sekarang dapat ia gerakkan ketika ia menggosok-gosok hidungnya dengan mata merah dan mulut pringisan.

"Wah, badanmu bau Tanganku jadi kotor!" kata Retna Wilis sambil mengipat-ngipatkan tangan, lalu bocah ini menyambar sepotong kayu pecahan papan dan kembali ia menerjang, kini menggunakan kayu itu, dipukulkan sekenanya bertubi-tubi.

"Plak-plek-prok.... !!"

Kasihan sekali Si Hantu Kelabang. Ia mulai bergidik ketakutan. Ngeri dia karena setiap kali bocah ini menyerang, tubuhnya tak dapat digerakkan dan hawa sakti di tubuh tak dapat ia kerahkan sehingga ia harus mandah saja dijadikan bulan-bulan gebukan. Biarpun tidak terlalu sakit, akan tetapi amat memalukan karena para penonton kini bersorak-sorak melihat dia berjingkrakan tidak karuan dihujani gebukan bocah setan itu. MulaiIah otaknya yang kental mengerti bahwa semua ini adalah perbuatan si kakek petani dan ia bergidik ngeri. Orang dengan kesaktian seperti itu tadi ia olok-olok dan ia tantang! Mengerti pula dia bahwa kekalahan Endang Patibroto adalah kekalahan wajar.

"Masih tidak mengaku kalah? Plenggg! Dessss...!" Retna Wilis meloncat tinggi dan muka Purwoko menjadi korban hantaman dan kini si gundul ini benar-benar merasa tobat. Muka dan kepalanya mulai mengeluarkan darah karena kulitnya ada yang pecah dihantam potongan papan yang runcing.

"Sudah... sudah.... tobatt.... aku kalah....'" katanya dan baru setelah Purwoko menyatakan tobat, Retna Wilis menghentikan serangannya dan mundur, berdiri gagah di dekat Ki Datujiwa.

Purwoko berdiri terbungkuk di depan kakek sakti itu. "Siapa.... siapakah gerangan andika...

Ki Datujiwa berkata perlahan, "Purwoko, kau pandang baik-baik. Lupakah engkau kepadaku? Setelah aku memberi ampun kepadamu di hutan Muria, ternyata engkau kini berani lagi menambah kekacauan dunia...!!"

"Oohhhh... celaka awakku... sial dangkalan.... Ki Datujiwa kiranya.... Walah tobat.... !" Si Hantu Kelabang lalu melompat turun dan lari pergi tanpa pamit.

Kiranya belasan tahun yang lalu, Purwoko ini pernah roboh di tangan Ki Datujiwa ketika melakukan kejahatan dan diampuni kakek sakti ini. Dalam kesombongannya, tadi ia pangling maka berani ia memandang rendah yang mengakibatkan ia mendapat malu di depan orang banyak.

Larinya Si Hantu Kelabang diikuti oleh perginya para pengikut sayembara dan para penonton karena sesungguhnya sebagian besar di antara mereka tidak jadi memasuki sayembara dan hanya menjadi penonton. Mereka diantar oleh rombongan anak buah Padepokan Wilis yang dipimpin oleh Limanwilis dan dua orang adiknya. Di sepanjang perjalanan tiada hentinya mereka :mempercakapkan peristiwa hebat dalam sayembara tanding itu.

Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih lalu dinikahkan beberapa hari kemudian di puncak Wilis. Upacara pernikahan yang sederhana kalau diingat bahwa yang menikah adalah seorang Pangeran Jenggala, akan tetapi cukup meriah selain dihadiri oleh seluruh anggauta Padepokan Wills, juga dihadiri pula oleh para penduduk di sekitar Wills. Pula, apakah yang lebih membahagiakan hati sepasang mempelai kecuali pertalian cinta kasih di antara mereka?

Malam itu, setelah mereka hanya berada berdua saja di dalam kamar mempelai, merupakan malam terindah daripada hidup mereka. Malam pencurahan kasih sayang yang semesra-mesranya, penuh kemurnian, di mana dua hati terlekat menjadi satu, diikat sumpah saling setia sampai mati, senasib sependeritaan suka sama dinikmati, duka sama diderita.

Di malam pengantin ketika sepasang pengantin sedang bermesra-mesraan memadu kasih, dan Retna Wilis sudah tidur nyenyak saking kelelahan setelah sehari berpesta, dan Ki Datujiwa duduk bersamadhi dengan heningnya di dalam kamar yang disediakan untuknya, Endang Patibroto seorang diri menangis di kamarnya. Ia membenamkan muka di bantal untuk menahan isak tangisnya dan hanya bantal itu yang menjadi basah kuyup. Endang Patibroto tidak hanya teringat dan merasa rindu kepada Tejolaksono, juga ia teringat kepada Raden Sindupati.

Teringat akan aib dan penghinaan yang ia derita dari Sindupati baru-baru ini, membuat hatinya hancur dan kini di samping derita merana dan rindu kepada Tejolaksono yang dicintanya, juga dendam dan sakit hati terhadap Sindupati merupakan duri yang menusuk di hatinya. Ingin ia mencari Sindupati sampai dapat, untuk melaksanakan sumpahnya merobek dada mencabut jantung musuh besarnya.

Akan tetapi setelah Setyaningsih menikah, tentu adik kandungnya itu akan pergi bersama suaminya. Bagaimana la tega untuk meninggalkan Retna Wills, hanya ditemani Ki Datujiwa? Ia harus bersabar sampai beberapa tahun lagi, sampai Retna Wills sudah agak dewasa sehingga ia tega untuk meninggalkannya.

"Aduh Kakangmas Tejolaksono... "berulang-ulang ia mengeluh. "Si keparat engkau Sindupati... kau tunggu saja pembalasanku... !" Ia memaki dan menjadi beringas. Akan tetapi segera ia menangis kembali, teringat akan nasib ibunya yang malang, teringat akan nasib sendiri, kemudian, melihat kepada Retna Wilis, ia menangis sambil memeluk anaknya itu sampai ia tertidur di samping Retna Wilis.

Pada hari-hari berikutnya, kesedihan hati Endang Patibroto yang disembunyi-sembunyikan agak terhibur melihat betapa adik kandungnya, Setyaningsih, hidup amat mesra dengan Pangeran Panji Sigit. Mereka berdua itu bagaikan sepasang merpati, tak pernah berpisah, begitu rukun dan amat damai, setiap pandang mata, senyum, kata-kata dan gerak tubuh sepenuhnya diselimuti cinta kasih yang mendalam. Sampai satu bulan lamanya pengantin baru itu tinggal di puncak Wilis. Kemudian mereka menghadap Endang Patibroto, menyatakan bahwa mereka hendak pergi ke Jenggala.

Endang Patibroto yang sedang duduk bercengkerama dengan Ki Datujiwa, dihadiri pula oleh Retna Wilis, berdebar jantungnya dan ia berkata,

"Bukankah lebih baik kalian tinggal di sini saja? Aku mendengar bahwa keadaan Jenggala sedang kacau. Pula, menurut penuturanmu sendiri, Adi Pangeran, di sana ramandamu berada dalam cengkeraman selir jahat dan ponggawa-ponggawa tidak jujur. Mengingat pengalaman-mu yang tidak baik dengan selir ramandamu itu, apakah pulangmu ke sana tidak akan mendatangkan hal-hal yang tidak enak?"

"Sesungguhnyalah apa yang dikatakan Ayunda itu, dan memang tepat dan benar sekali," jawab Pangeran Panji Sigit. "Akan tetapi, setelah saya pikir secara mendalam, bahkan keadaan seburuk itulah yang mengharuskan saya berada di dekat kanjeng rama. Kanjeng rama tentu akan berbahagia sekali kalau melihat bahwa saya telah berjodoh dengan Setyaningsih, adik kandung Ayunda sendiri. Dan saya bersama Adinda Setyaningsih akan berusaha menyadarkan kanjeng rama, dan kalau perlu membela beliau apabila terancam bahaya."

Endang Patibroto menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang. "Sejak dahulu, keadaan Jenggala sungguh tak dapat dikatakan baik. Alangkah jauh bedanya dengan Panjalu. Adi Pangeran, sang prabu di Panjalu juga masih uwamu sendiri. Apakah tidak lebih baik Adi bersuwita di sana?"

Pangeran Panji Sigit menggeleng kepala. "Kalau hal itu saya lakukan, berarti seolah-olah saya melarikan diri daripada kesulitan, Ayunda."

Kembali Endang Patibroto menghela napas panjang.

"Aku hanya khawatir.... ah, Eyang Datujiwa, bagaimana baiknya? Mohon petunjuk Eyang." Endang Patibroto kini telah mengenal siapa adanya Ki Datujiwa dan makin segan serta hormatlah ia terhadap kakek sakti mandraguna ini. Bahkan ia merasa berbahagia sekali puterinya mendapatkan seorang guru seperti kakek ini yang berarti bahwa kelak puterinya akan menjadi orang yang lebih sakti daripada dia sendiri.

Ki Datujiwa yang selalu diam saja kalau tidak diajak bicara itu lalu berkata dengan suaranya yang tenang dan mendatangkan rasa tenteram di hati,

"Menurut pendapat saya, wawasan Angger Pangeran tadi memang banyak kebenarannya. Angger adalah seorang Pangeran Jenggala, berdarah satria utama, keturunan Sang Sakti Prabu Airlangga. Sudah menjadi kewajiban seorang satria untuk melakukan tridharma bakti, tiga kebaktian utama. Pertama, berbakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa, ke dua berbakti kepada rama ibu, dan ke tiga berbakti kepada negara dan bangsa. Kalau keadaan negara sedang makmur ikut menikmati, akan tetapi kalau negara sedang kacau lalu menjauhkan diri mencari kesenangan dan keselamatan pribadi, itu bukanlah watak seorang satria utama, Angger. Memang, dalam keadaan Kerajaan Jenggala seperti sekarang ini, bukan tidak ada bahayanya kalau Angger berdua pergi ke Jenggala. Akan tetapi, bahaya itu terdapat di mana-mana dan bahaya yang terbesar terdapat dalam pribadi sendiri. Adapun selamat, sakit sampai pun mati sepenuhnya mutlak menjadi wewenang Sang Hyang Widhi. Karena itu Angger, dengan dasar dan iktikad baik, seorang satria tidak akan gentar menghadapi apa pun juga karena biar hidup maupun mati, ia menjadi pengemban kebenaran dan keadilan. Seribu lebih baik tewas sebagai seorang satria daripada hidup sebagai seorang durjana."

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 25

Perawan Lembah Wilis Jilid 24

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 24

ENDANG Patibroto bersikap tenang-tenang saja. Dia dapat melihat jelas dan mengerti akan siasat Setyaningsih. Dara itupun merasa bingung karena lawannya terlampau kuat sehingga sukar dirobohkan, maka biarpun tidak kentara oleh siapapun, juga oleh lawannya, ia sengaja memperlambat gerak tangan kirinya sehingga dapat tertangkap lawan.

Pada saat Joko Bono merasa kegirangan, tiba-tiba tubuh Setyaningsih mencelat ke atas dan berjungkir balik sambil memutar lengan kirinya yang terpegang. Gerakan ini tentu saja membawa pula tangan kanan Joko Bono sehingga terpuntir. Joko Bono kesakitan namun tetap mempertahankan cengkeramannya dan dari atas sambil meloncat ini, Setyaningsih memukul tengkuk Joko Bono dengan jari-jari tangan kanannya, dengan Aji Pethit Nogo sepenuhnya.

"Dess.... ! Aduhhh.... !"

Joko Bono terhuyung, cengkeramannya lepas, akan tetapi ia benar-benar kuat karena pukulan dahsyat itu belum merobohkannya. Namun Setyaningsih sudah meloncat turun ke belakang tubuhnya, kedua kakinya bergantian menendang belakang lutut, membuat kaki Joko Bono melengkung dan berlutut. Saat itulah dipergunakan oleh Setyaningsih untuk mendorongkan kedua tangannya ke punggung lawan dengan sekuat tenaga. Joko Bono yang sudah berlutut itu tentu saja tidak mampu mempertahankan diri lagi dan tubuhnya bergulingan terus terjatuh dari atas panggung!

"Hebat, aku mengaku kalah..." teriaknya sambil bangkit berdiri dan pergi meninggalkan tempat itu dengan terhuyung-huyung.

Tepuk tangan riuh gemuruh menyambut kemenangan itu. Dara itu menyusut peluhnya dan melompat turun terus bersama Endang Patibroto dan Retna Wills kembali ke tempat duduk mereka.

Makin gentarlah hati para muda yang hendak ikut sayembara. Jelas sudah bahwa amat sukar menandingi kedigdayaan perawan Lembah Wilis itu. Joko Bono yang demikian perkasapun tidak mampu menandinginya. Hanya ada beberapa orang pemuda, termasuk Pangeran Panji Sigit, yang masih menanti kesempatan mereka. Melihat betapa agaknya tidak ada pengikut lagi yang berani naik ke panggung, Pangeran Panjl Sigit memandang Ki Datujiwa yang menganggukkan kepalanya perlahan-lahan.

Pangeran itu lalu bangkit, akan tetapi selagi ia hendak melangkah maju mendekati panggung, tiba-tiba tampak sesosok bayangan tubuh seorang pria kurus kering melompat ke panggung mendahuluinya. Terpaksa pangeran itu duduk kembali dan semua mata kini memandang ke arah pria kurus kering yang berada di atas panggung.

Cara orang itu melompat amat mengagumkan, karena tubuhnya mencelat ke atas, tinggi sekali, kemudian dari atas ia turun dengan cara berjungkir, kepalanya di bawah. Semua orang terkejut, bahkan ada yang menahan pekik, mengira bahwa kepala itu akan remuk terbanting pada papan panggung. Akan tetapi anehnya, kepala itu mendarat dengan lunaknya di atas papan dan laki-laki itu berdiri di atas kepalanya. Kemudian sekali ia bersuara seperti orang terbatuk, tubuhnya sudah berjumpalitan dan kini ia berdiri di tengah panggung sambil tersenyum menyeringai.

Semua orang tercengang. Laki-laki itu usianya tentu sudah mendekati lima puluh tahun, mukanya kurus seperti tengkorak hidup, matanya berlubang dalam sekali dan kepalanya gundul. Pakaiannya serba merah berkembang dan tubuhnya juga kurus kering, kaki kirinya memegang tongkat bambu yang baru saja dicabutnya dari ikat pinggang. Kakinya yang telanjang itulah yang menambah keanehannya, karena kalau tubuhnya kurus kering, adalah kakinya itu besar dengan jari-jari kaki mekar seperti cakar bebek. Wajah yang buruk menjijikkan, akan tetapi setiap orang dapat menduga bahwa laki-laki ini tentu memiliki kesaktian luar biasa.

"Hemmm, si Hantu Kelabang Purwoko berani mencari bencana....!" terdengar oleh Pangeran Panji Sigit suara Ki Datujiwa berbisik lirih. la segera mendekati kakek penolongnya itu dan bertanya dalam bisikan.

"Orang apakah Purwoko ini, Eyang?"

"Tokoh hitam di pesisir utara, pertapa di Bukit Muria. Kalau ia mengenalku di sini, tentu dia tak akan berani main gila," jawab kakek itu sambil mangerutkan kening.

Munculnya orang-orang macam Si Hantu Kelabang ini menandakan bahwa negara mulai lemah dan tidak aman sehingga kaum sesat dan golongan hitam mulai keluar dari sarang mencari kesempatan baik untuk mengacau dan merampas kedudukan serta keuntungan.

Sementara itu, laki-laki buruk rupa itu sudah melambaikan tanganhya yang hanya tinggal tulang terbungkus kulit ke arah Setyaningsih dan terdengarlah suaranya nyaring tinggi seperti suara wanita,

"Bocah denok ayu Setyaningsih! Ke sinilah, manis! Mari kita main-main sebentar. Engkau layanilah aku sang sakti Purwoko dan kutanggung engkau akan merasa puas, heh-heh-heh!"

Kaum tua yang berada di situ terkejut mendengar nama ini dan terdengarlah suara berisik membisikkan sebutan "Si Hantu Kelabang". Suara berisik ini terdengar oleh Purwoko yang segera menyeringai ke arah para tamu sambil berkata,

"Kalian sudah mendengar dan mangenal nama julukanku? Heh-heh, benar aku Si Hantu Kelabang!"

Setyaningsih menjadi marah sekali. Mukanya yang jelita itu sebentar pucat sebentar merah mendengar ucapan yang tIdak senonoh dari pria gundul kurus kering itu. Ia sudah bangkit berdiri, tangan kiri mengepal tinju, tangan kanan meraba gagang keris. Akan tetapi lengannya disentuh Endang Patibroto yang memberinya isyarat supaya duduk kembali. Kemudian Endang Patibroto bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang mengatasi semua suara hiruk-pikuk,

"Heh, engkau orang yang bernama Purwoko! Suruh walimu naik dan bertanding melawan aku! Kalau walimu menang, barulah engkau berhak menandingi adikku. Pada saat ini adikku enggan bertanding dengan orang macam engkau!"

Suara berisik terhenti seketika dan semua mata memandang bahwa pasti akan terjadi hal-hal hebat setelah kini ketua Padepokan Wilis memperlihatkan kemarahannya. Akan tetapi Purwoko terkekeh sambil memandang ke arah Endang Patibroto dan menudingkan telunjuknya yang kecil panjang,

"Heh-heh-heh, engkau tentu Endang Patibroto, bukan? Denok ayu! Hebat bukan main, tidak kalah oleh adiknya. Ketahuilah, ayah bundaku telah mati semua, guruku banyak sekali dan sudah mati. Aku tidak punya wali. Bagiku sama saja, engkau juga denok, boleh maju main-main ke sini. Hadiahnya engkau atau adikmu sama juga! Memang aku datang untuk berkenalan dengan engkau, Endang Patibroto, dan kebetulan ada sayembara ini, heh-heh!"

Endang Patibroto tersenyum. Senyum yang manis sekali akan tetapi siapa yang sudah mengenal wanita ini di waktu mudanya akan maklum bahwa senyum itu adalah senyum yang menyembunyikan kemarahan hebat dan bahwa senyum ini dapat menjadi senyum maut yang akan merenggut nyawa lawan. Terdengar ia bersuara, "Hemmm...!" dan tahu-tahu tubuhnya sudah meloncat ke atas panggung.

Cara meloncat ini dalam keadaan tegak berdiri, seolah-olah dari tempat ia berdiri tadi tubuhnya dibawa angin mujijat dan ia sudah berhadapan dengan Purwoko di atas panggung. Itulah aji Meringankan tubuh Bayu Tantra yang sudah mencapai puncaknya! Biarpun apa yang diperlihatkan Endang Patibroto ini hebat, akan tetapi tidak ada yang bertepuk tangan. Suasana terlalu menegangkan sehingga semua orang memandang dan menahan napas, lupa untuk bersorak memuji.

"Purwoko, alangkah sombongnya engkau! Kita tidak saling mengenal dan aku tidak tahu orang macam apa engkau ini, akan tetapi melihat lagakmu dan mendengar ucapanmu, mudah saja menilai bahwa engkau ini seorang yang masih kosong melompong!"

"Gentong kosong suaranya nyaring!" Tiba-tiba terdengar suara Retna Wilis menyela kata-kata ibunya.

Semua orang mau tak mau tertawa geli karena ucapan bocah itu membuyarkan keadaan yang tegang.

"Gasak saja, Ibu, habiskan giginya yang tinggal dua!"

Endang Patibroto tidak memperdulikan kenakalan puterinya, lalu berkata lagi, "Purwoko, kalau saja engkau tidak muncul di atas panggung sayembara, tentu aku tidak akan dapat mengampunimu. Akan tetapi karena kau muncul di sini, marilah kita buktikan apakah kepandaianmu juga sehebat suaramu."

cerita silat online karya kho ping hoo

"Heh-heh-heh! Engkaupun seorang wanita sombong, Endang Patibroto. Aku sudah banyak mendengar tentang sepak terjangmu. Nah, kau bersiaplah!" Belum juga habis gema suaranya, kakek gundul itu sudah menerjang maju dengan tongkatnya, menusuk perut Endang Patibroto dengan tongkat di tangan kanan sedangkan tangan kirinya mencengkeram dengan kuku tangan kiri yang tiba-tiba saja sudah berubah merah seperti dicat!

Endang Patibroto cepat melangkah mundur dan menyentil ujung tongkat dengan telunjuk kirinya. Ia mengerti bahwa tangan kiri lawan yang berubah merah itu amat berbahaya, tentu mengandung racun yang hebat. Inilah agaknya mengapa orang ini mendapat julukan Si Hantu Kelabang. Agaknya tangan kiri itu telah dilatih dengan sari racun kelabang sehingga sekali gores dengan kuku, atau sekali sentuh dengan tangan itu saja sudah cukup untuk mengirim nyawa lawan meninggalkan raganya.

SI gundul itu berseru kaget ketika tongkatnya tiba-tiba membalik seperti didorong tenaga raksasa begitu kena disentil telunjuk tangan wanita itu. Diam-diam ia kagum dan tahu bahwa tangan wanita itu mengandung hawa sakti yang kuatnya menggila. Tidak berani lagi ia memandang ringan dan mulailah kakek ini melakukan serangan dengan hati-hati sekali.

Ia tadi sudah melihat kelincahan Setyaningsih, maka ia pun dapat menduga bahwa Endang Patibroto tentu memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa pula. Dia sendiri biarpun tidak dapat mengimbangi ilmu meringankan diri yang dibuktikan dengan cara meloncat Endang Patibroto tadi, namun ia mengandalkan ajinya tangan beracun dan kekuatan hawa sakti yang timbul dari cara bertempur berjungkir-balik seperti yang ia demonstrasikan ketika meloncat tadi.

Namun sesungguhnya sudah terlambat bagi Purwoko untuk menyadari bahwa dia tadi terlalu memandang rendah Endang Patibroto. Kini wanita sakti itu sudah terlampau marah dan tubuh yang masih langsing itu tiba-tiba lenyap dan berkelebatan di sekeliling dirinya, menyerangnya dengan pukulan bertubi-tubi.

Purwoko memutar tongkatnya melindungi tubuh, dan gerakan yang cepat ini membuat tongkatnya menimbulkan gulungan sinar yang menyelimuti dirinya. Pertandingan berlangsung cepat, sukar diikuti pandang mata biasa. Hanya tampak gulungan sinar dan bayang-bayang tubuh berkelebatan, dan terdengar suara bersiutan.

"Plakkk.... krakkk.... !!"

Tubuh Purwoko terhuyung ke belakang dan tongkatnya telah patah-patah dan remuk! Kiranya tadi tongkatnya kena dicengkeram tangan Endang Patibroto dan direnggutkan sehingga patah-patah dan remuk, Purwoko yang berusaha merampas tongkat, kini hanya memegang sepotong kecil saja dan terbawa oleh tenaga betotannya sendiri. la terhuyung ke belakang. Marahlah si gundul. Ia mengeluarkan suara mendesis dari mulutnya dan berseru,

"Aku belum kalah, belum turun dari panggung. Endang Patibroto, kau tidak mau disayang, rasakan kedigdayaan Si Hantu Kelabang!" Tiba-tiba saja kedua tangan yang tadi sudah kemerahan kini berubah hitam dan tercium bau yang wengur seperti bau binatang kelabang atau ular-ular berbisa. Tubuh yang kurus kering itu melompat berjungkir balik dan.... ia menyerang Endang Patibroto dengan kepala di bawah kaki di atas!

Hebat bukan main serangan ini. Hebat dan juga aneh. Karena keanehan inilah maka amat berbahaya, sukar diduga dan setiap serangan mengandung hawa beracun yang dapat merenggut nyawa. Kepala gundul yang berubah kegunaannya menjadi kaki itu berloncatan dengan suara "dak-duk-dak-duk!" di atas panggung, kedua kaki di atas dan bergerak-gerak seperti dua batang tongkat, juga kedua lengannya bergerak-gerak mencari sasaran, bukan hanya untuk memukul atau mencengkeram, bahkan kini kedua tangan itu bergantian menyambitkan jarum-jarum beracun ke arah Endang Patibroto!

"Serr-serr-serrr...!" Jarum-jarum berwarna merah menyambar dari bawah ke arah tubuh Endang Patibroto. Ketua Padepokan Wilis ini maklum betapa bahayanya jarum-jarum beracun ini, maka ia menggunakan kegesitannya untuk melayang ke atas dan menyampok runtuh jarum-jarum itu dengan angin pukulan tangannya.

"Manusia keji tak dapat diberi hati!" kata Endang Patibroto dan ketika tubuhnya melayang, tangannya bergerak dan "cuat-cuat...!" dua batang anak panah telah menyambar ke arah kedua kaki Purwoko. Namun kedua kaki si gundul itu ternyata hebat juga, karena secara cepat menendang runtuh dua batang anak panah itu dari samping. Mendadak Purwoko berseru keras dan kedua tangannya menangkis ke belakang karena tahu-tahu Endang Patibroto sudah berada di belakangnya dan menendang ke arah kepalanya.

Kiranya panah tangan yang dilepas Endang Patibroto tadi hanya sebagai jawaban terhadap kiriman jarum-jarum beracun, sekalian dipergunakan untuk gertak sehingga ia dapat meloncat ke belakang lawan dan mengirim tendangan-tendangan kilat. Si Hantu Kelabang Purwoko ternyata dapat menangkis tendangan-tendangan itu dan kepalanya di atas papan itu berputar sehingga tubuhnya membaiik ke belakang. Melihat ini, Endang Patibroto menggeser kakinya, cepat sekali dan ia menyerang dari arah belakang tubuh si kurus kering, melancarkan pukulan-pukulan Pethit Nogo ke arah punggung dan tendangan-tendangan ke arah tengkuk.

Diserang dari belakang, Purwoko kembali berputar akan tetapi bayangan Endang Patibroto sudah lenyap karena wanita itu sudah menggeser kaki pula dan berada di belakangnya. Demikianlah, bagaikan seekor kucing mempermainkan tikus, tubuh Endang Patibroto berkelebatan dengan geseran-geseran kaki indah teratur serta cepat sekali, sedangkan Purwoko yang maklum akan bahayanya diserang dari belakang, kini berpuat-putar seperti gasing di atas kepalanya.

Hebat sekali pertandingan itu, Setyaningsih memandang dengan wajah tegang. Diam-diam ia bersyukur bahwa ayundanya mencegah ia turun tangan, karena kini jelas tampak olehnya bahwa akan sukar sekali bagi dia untuk mengalahkan si gundul yang luar biasa itu. Adapun Retna Wills yang menonton penuh perhatian, menjadi kagum dan diam-diam memperhatikan. Gadis cilik ini dapat menduga bahwa ada persamaannya antara cara si gundul berjungkir balik dengan cara berlatih samadhi seperti diajarkan ibunya, yaitu dengan menggantung jungkir balik di cabang pohon.

Para penontong juga memandang ke atas panggung dengan mata terbelalak. Sebagian besar di antara mereka tidak dapat mengikuti jalan-nya pertandingan karena terlampau cepat. Mereka ini hanya melihat tubuh si gundul berputaran seperti gasing dan tubuh Endang Patibroto berkelebatan seperti seekor burung srikatan menyambar nyamuk-nyamuk di udara.

Memang tak dapat disangsikan lagi bahwa Si Hantu Kelabang Purwoko akan menjadi lawan yang terlampau berat bagi Setyaningsih. Akan tetapi menghadapi Endang Patibroto ia masih kalah jauh. Andaikata Endang Patibroto bertanding dengan pamrih membunuh, agaknya pertempuran itu tidak akan berlangsung sedemikian lamanya dan tentu sekarang juga Purwoko sudah menggeletak tewas sebagai korban pukulan Gelap Musti atau Aji Wisangnala. Akan tetapi Endang Patibroto dalam kedudukannya sebagai ketua Padepokan Wilis, tentu saja memegang teguh peraturan yang ia keluarkan sendiri, maka ia berusaha untuk mengalahkan Purwoko tanpa membunuhnya, dan hal inilah yang membuat ia membutuhkan waktu yang agak lama karena Purwoko merupakan seorang lawan yang tidak ringan.

"Robohlah....!" Tiba-tiba terdengar suara bentakan Endang Patibroto ketika dengan keras ia sengaja menangkls serangan kedua kaki Purwoko dengan tamparan jari-jari tangan yang penuh dengan getaran Aji Pethit Nogo.

Hebat tangkisan itu sehingga tubuh Purwoko mendoyong miring. Kesempatan itu dipergunakan oleh Endang Patibroto untuk membentak dan mendorongkan kedua lengannya ke depan, dengan Aji Wisangnala. Aji ini kalau dipergunakan untuk memukul, mungkin tidak akan kuat ditahan oleh seorang sakti seperti Purwoko sekalipun, akan tetapi sekali ini hanya dipergunakan oleh Endang Patibroto sebagai pukulan jarak jauh sehingga hanya hawa pukulan-nya saja yang mendorong tubuh lawan.

"Aduhhh...!!" Tubuh Purwoko terguling karena ia tidak dapat menahan hawa dorongan yang mengandung rasa panas luar biasa itu. Akan tetapi, begitu tubuhnya rebah di atas papan panggung, tubuh itu lalu menerjang maju cepat sekali dengan jalan merayap seperti seekor kelabang.

Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah disangka oleh Endang Patibroto. Belum pernah ia menyaksikan hal sepertI itu, juga ketika masih berguru kepada Dibyo Mamangkoro ia belum pernah mendengar gurunya bercerita tentang ilmu aneh seperti itu sungguhpun sudah banyak ia ketahul tentang pelbagai aji kesaktian golongan hitam dan kaum sesat. Karena kaget ia tidak dapat mencegah lagi ketika tangan kiri Purwoko mencengkeram ujung kainnya!

"Aihhhh...!" Dalam keadaan terancam mengalami penghinaan yang memalukan itu, Endang Patibroto tidak kehilangan akal. Cepat tubuhnya membungkuk dan jari-jari tangan kanannya menyambar tengkuk Purwoko, mengirim tamparan Pethit Nogo dengan sebagian tenaga saja.

"Brettt...! Kekkk...!!"

Ujung kain Endang Patibroto robek sedikit akan tetapi Purwoko roboh pingsan! Dengan menahan gemas Endang Patibroto menggunakan kakinya, mencokel tubuh itu sehingga terlempar ke bawah panggung dalam keadaan tubuh masih pingsan.

Penonton yang tadi menahan napas menyaksikan pertandingan hebat itu, kini berisik saling membicarakan pertandingan itu dan kini makin gentarlah hati mereka. Tidak hanya Setyaningsih sudah memperlihatkan kedigdayaan yang mengagumkan, juga kini Endang Patibroto membuktikan bahwa dia memang seorang wanita sakti sukar dicari bandingnya. Setelah Endang Patibroto meloncat turun dan kembali duduk ke tempatnya, suasana kembali menjadi hening.

"Ayunda benar, dia berbahaya sekali...." kata Setyaningsih.

"Ibu, ilmu apakah itu, berjungkir balik seperti yang dilakukan si gundul?" tanya Retna Wilis.

Endang Patibroto menarik napas panjang dan memeriksa ujung kainnya yang robek. "Dia tidak sangat sakti, hanya memiliki siasat-siasat berbahaya. Seperti seekor kelabang yang curang. Ilmunya berjungkir-balik sungguhpun cukup kuat, namun dilatih dengan sesat sehingga hanya tampaknya saja menyeramkan, sebetulnya tidak ada apa-apanya. Lebih baik lanjutkan latihan samadhi sambil menggantung di pohon, Retna."

Pada saat itu, keheningan suasana telah pecah oleh berisiknya para penonton karena kini di atas panggung telah berdiri seorang pemuda tampan sekali. Pemuda itu bukan lain adalah Pangeran Panji Sigit. Ia memberi hormat ke arah Endang Patibroto dan berkata halus,

"Mohon banyak maaf kepada Ayunda. Dorongan kasih membuat saya nekat memasuki sayembara dan membawa seorang wali, yaitu Eyang Datujiwa. Mudah-mudahan saja para dewata melindungi hamba dan akan tercapai apa yang hamba idam-idamkan. Marilah, Adinda Setyaningsih, kita menguji kedigdayaan. Hanya sedikit harapan saya hendaknya Adinda menaruh kasihan kepada saya."

Wajah Setyaningsih sudah menjadi merah sekali ketika melihat pemuda yang selama ini membuatnya tak enak tidur tak sedap makan itu telah berdiri menanti di atas panggung. Saat inilah yang dinanti-nantinya. Dia sudah bertekat bulat untuk melawan siapa saja secara mati-matian, kalau perlu mengadu nyawa di atas panggung sayembara karena ia tidak rela berjodoh dengan laki-laki lain kecuali pemuda yang kini berada di atas panggung ini!

Namun setelah saatnya tiba, ia merasa kedua kakinya menggigil dan mukanya panas. Betapapun juga, tanpa disadarinya seperti orang terkena hikmat gaib, dara jelita itu bangkit berdiri dan tanpa menoleh sedikitpun kepada ayundanya seperti tadi, langsung ia menghampiri panggung lalu melompat naik diiringi sorak-sorai para penonton yang timbul kembali kegembiraan mereka.

Dara jelita itu kini kembali akan bertanding dan lawannya begitu tampan seperti Sang Harjuna! Melihat perawakan kedua muda-mudi ini, melihat wajah mereka, sungguh mereka itu merupakan pasangan yang amat setimpal, seperti Dewa Komajaya dan Dewi Komaratih, seperti Sang Harjuna dan Dewi Sembadra. Sama-sama muda remaja, sama-sama tampan rupawan, sama-sama agung berwibawa dan sakti mandraguna!

Sejenak mereka berdua berdiri saling berhadapan. Pangeran Panji Sigit memandang dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar, membayangkan kasih sayang dan kemesraan yang tidak dibuat-buat yang langsung memancar dari lubuk hatinya, namun yang membuatnya terpesona sehingga sukar untuk mengeluarkan kata-kata. Hatinya terharu sekali. Kalau mungkin, ia ingin sekali memeluk dan mencumbu rayu dara ini, bukan sekali-kali menghadapinya sebagai lawan bertanding!

Betapa mungkin ia bertanding sebagai lawan dan menyerang dara yang dikasihinya ini? Kalau perlu ia bahkan rela mati di bawah kakinya, rela mengorbankan apa saja demi cinta kasihnya yang mendalam! Namun, untuk dapat tercapai cita-cita dan idaman hatinya, ia harus dapat mengalahkan dara ini dalam adu kesaktian! Tiada jalan lain karena ia cukup mengenal watak Endang Patibroto yang keras dan kemauannya yang sukar ditundukkan oleh apapun juga.

Adapun Setyaningsih, berbeda sekali dengan tadi ketika menghadapi calon-calon lain, agung berwibawa, tenang dan memandang dengan mata tajam, kini menundukkan mukanya, berdiri dengan pundak meringkus (menyempit), memandang ke arah ujung ibu jari kakinya yang utak-utik bergerak-gerak menggores-gores papan panggung! Sampai lama kedua remaja ini berhadapan tanpa mengeluarkan suara, bahkan tanpa bergerak, lebih gugup dan bingung lagi karena beberapa orang penonton yang agaknya dapat menangkap arti gerak-gerik mereka ada yang mulai terkekeh mentertawakan.

"Bibi.... Jangan melupakan pesanku, lho! Awas, kalau melanggar, Bibi akan kujothak (kumusuhi)!" Tiba-tiba terdengar teriakan Retna Wilis dan semua orang tertawa sambil bertanya-tanya dalam hati apa gerangan pesan puteri ketua Padepokan Wilis itu. Hanya Endang Patibroto dan Setyaningsih yang mengetahuinya, juga Pangeran Panji Sigit dapat menduganya maka hatinya menjadi lega, maka sambil melempar senyum ke arah bocah itu ia berkata,

"Terima kasih, keponakanku yang manis!"

Setyaningsih menjadi makin jengah dan malu, mukanya makin menunduk. Seperti dalam mimpi ia mendengar suara yang halus penuh getaran asmara itu, "Diajeng, marilah kita mulai, tidak enak dijadikan tontonan orang."

Barulah ia berani mengangkat muka. Sejenak pandang mata mereka bertemu, bertaut dan melekat mesra. Kemudian dara itu berbisik,

"Marilah.... Silahkan....!"

Berbareng keduanya bergerak dan terjadilah pertandingan yang amat menarik hati. Keduanya sama-sama memiliki gerakan yang trengginas dan cepat, dengan gerak silat yang indah seperti tarian lemah gemulai. Tampaknya kedua orang muda ini bukan seperti tengah bertanding yuda, melainkan sedang berlagak dengan tarian indah di atas panggung. Namun, bagi para penonton yang kesemuanya memiliki kepandaian, jelas bahwa kedua orang muda itu benar-benar saling serang dengan cepat dan kuat. Pertandingan yang amat seru.

Sesungguhnya hal ini hanya kelihatannya saja, karena bagi Endang Patibroto, juga bagi Ki Datujiwa dan beberapa orang yang hadir di situ dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, kedua orang remaja itu tidak bertanding sungguh-sungguh.

Memang tampaknya melakukan pukulan dan tendangan sungguh-sungguh, dengan gerak silat yang sempurna dan daya serang yang dahsyat, namun tenaga dalam penyerangan ini selalu dikendalikan sehingga andaikata lawan akan terkena, dapat ditarik mundur atau dihilangkan tenaganya sehingga tidak akan melukai lawan! Mereka itu seolah-olah sedang berlatih saja!

Namun gerakan mereka yang gesit menyuguhkan tontonan yang indah menarik dan menegangkan bagi mereka yang tidak tahu sehingga mereka bersorak-sorak setiap kali seorang di antara mereka tampak terdesak sampai ke pinggir panggung. Hanya sebentar saja desakan ini karena segera yang terdesak dapat menguasai keadaan dan balas mendesak.

Tentu saja Setyaningsih tidak menghendaki pemuda idaman hatinya ini kalah dan terpelanting ke bawah panggung. Karena hal itu akan berarti bahwa pemuda ini tidak mungkin menjadi jodohnya! Bukan hanya karena pesan Retna Wilis saja maka ia mengalah dan tidak sungguh-sungguh penyerangannya, melainkan juga karena dia sendiri di dalam hatinya sudah memilih Pangeran Panji Sigit sebagai calon suaminya. Akan tetapi, Setyaningsih adalah seorang dara yang pendiam, serius, berpemandangan luas, berwatak adil dan keras hati, tak mengenal takut asal bersandarkan kebenaran.

Watak ini mendatangkan sifat angkuh dan tidak mau kalah, serta ingin dihargai. Apalagi oleh orang yang dicintanya. Ia ingin memperlihatkan kepada pangeran muda ini bahwa dia bukan seorang lemah, bahwa dia mampu menandingi pangeran itu kalau dikehendakinya, maka dalam pertempuran inipun, sungguhpun ia tidak ingin mengalahkan si pangeran yang menjadi pilihan hatinya, akan tetapi ia ingin membuktikan bahwa dia sebetulnya tidak kalah!

Ketika ia mendapat kesempatan setelah pukulannya ditangkis pemuda itu, tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dengan Aji Bayu Tantra, demikian cepatnya ia meloncat sehingga bagaikan terbang saja dan sambil meloncat, ketika melewati dekat kepala Pangeran Panji Sigit, tangan kirinya menjangkau dan cepat ia menyambar ikat kepala pangeran itu, direnggutnya terlepas dari kepala pangeran Itu.

Pangeran Panji Sigit maklum akan isi hati dara yang dicintanya. Kalau ia mau, tentu saja ia dapat mempertahankan ikat kepalanya, atau dapat ia mengirim pukulan maut ke perut dara yang sedang melambung di atasnya itu andaikata dara itu seorang musuh. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau melakukan hal ini, sebaliknya ia membiarkan ikat kepalanya dirampas dan cepat sekali lengannya menyambar dan memeluk pinggang yang ramping dari Setyaningsih dan langsung membawa dara itu meloncat turun panggung!

Setyaningsih terkejut, namun tidak dapat meronta karena pelukan lengan pada pinggangnya itu membuat ia menjadi lemas dan seperti lumpuh! Ketika turun ke atas tanah, Pangeran Panji Sigit lebih dulu menurunkan dara itu, baru ia turun belakangan. Dengan demikian, berarti bahwa Setyaningsih yang lebih dulu turun dari panggung dan ia berada di fihak menang. Akan tetapi untuk tidak menyinggung perasaan orang yang dicintanya, ia membungkuk dan berkata sambil tersenyum dan memegangi rambutnya,

"Engkau hebat, Diajeng, telah berhasil merampas ikat kepalaku. Aku mengaku kalah..."

Setyaningsih memandang dengan mata bersinar-sinar dan muka merah karena girang dan juga jengah, mulutnya berkata gagap,

"Ohhh... tidak... kau... tidak kalah... aku yang lebih dulu turun..." Setelah berkata demikian dara ini lari menuju ke tempat dudu Endang Patibroto dan lupa bahwa tangannya masih membawa ikat kepala pangeran muda itu.

Pangeran Panji Sigit mengejarnya dan bersama Setyaningsih ia lalu menjatuhkan diri bertekuk lutut di depan Endang Patibroto sambil berkata, "Mohon Ayunda sudi memaafkan dan tentang hasil pertandingan tadi, saya hanya taat akan keputusan Ayunda."

"Sudah terang Bibi Setyaningsih yang kalah!" Retna Wilis berteriak. "Semua, orang juga melihatnya. Bibi Setyaningsih yang lebih dulu menginjak tanah, berarti dia yang lebih dulu dipaksa turun!"

Semua orang yang menonton tertawa Mereka inipun merasa suka akan pemuda yang tampan, tangkas serta lemah lembut dan sopan itu. Seperti mendapat aba-aba, sebagian besar di antara mereka berseru,

"Pemuda itu menang.... !!"

Diam-diam Endang Patibroto merasa terharu sekali, namun sedikit juga tidak tampak pada wajahnya. Ia cukup yakin sekarang bahwa adik kandungnya benar-benar telah jatuh cinta kepada Pangeran Panji Sigit. Terkenanglah ia kepada Joko Wandiro atau Tejolaksono, satu-satunya pria yang dicintanya dengan tulus ikhlas dan seluruh jiwa raganya. Betapa merana dan sengsara hidup ini dipisahkan dari orang yang dicinta.

Tentu saja ia tidak tega untuk membuat adik kandungnya sendiri merana dan menderita sengsara. Pangeran Panji Sigit memang cukup berharga untuk menjadi suami Setyaningsih. Akan tetapi sebagai seorang wanita yang memegang teguh aturan dan amat keras hati, apalagi karena marah teringat betapa Ki Datujiwa mengambil puterinya sebagai murid tanpa minta perkenannya, ia lalu berkata,

"Anggap saja dalam babak pertama ini engkau menang. Akan tetapi masih ada babak ke dua sebagai babak yang akan menentukan. Suruh walimu naik ke panggung!"

Wajah Pangeran Panji Sigit menjadi pucat. Dari suara ayundanya ini ia dapat menarik kesimpulan bahwa Endang Patibroto tidak cocok menerimanya sebagai calon jodoh Setyaningsih. Biarpun ia maklum bahwa Ki Datujiwa amat sakti, namun ia masih meragu apakah kakek itu akan dapat menandingi Endang Patibroto yang demikian tinggi ilmunya. Ia menoleh ke arah Setyaningsih, bertukar pandang dengan sayu, kemudian bangkit berdiri dan berjalan menghampiri Ki Datujiwa, menjatuhkan diri berlutut sambil berkata, "Duh, Eyang.... nasib saya berada di tangan Eyang."

Ki Datujiwa tertawa dan mengangkat bangun pemuda itu. "Tenanglah, Angger. Memang mencapai segala cita-cita yang baik selalu tidak mudah, namun kita tidak boleh putus asa." Setelah berkata demikian, kakek itu lalu menghampiri panggung dan melompat naik dengan gerakan sederhana.

Semua penonton tercengang. Pemuda yang tampan dan gagah perkasa tadi mengapa membawa wali seorang kakek petani yang begini sederhana dan sama sekali tidak kelihatan sakti? Seorang kakek pendek kecil yang rambutnya tak terpelihara, pakaiannya sederhana dan sikapnya tidak agung. Mana mungkin dapat menandingi Endang Patibroto?

"Ibu, jangan lupa, harap mengalah. Dia itu guruku," bisik Retna Wilis yang tidak tahu bahwa bisikan itu menambah rasa penasaran di hati Endang Patibroto. "Dia sudah menolongku, dia baik sekaIi...."

"Kau anak kecil tahu apa tentang baik dan jahat!" bentak Endang Patibroto yang sekali berkelebat sudah meloncat naik ke atas panggung, berhadapan dengan Ki Datujiwa.

Sejenak keduanya saling pandang, seperti dua ekor ayam hendak mengadu kekuatan lebih dahulu memperhatikan calon lawan dengan pandang mata menilai.

"Jadi andika inikah yang menjadi wali Panji Sigit?"

"Benar, Sang Dewi. Aku kasihan melihatnya dan bersedia membantu tercapainya cita-cita murni seorang pemuda, demi bersatunya dua hati yang saling mencinta."

"Hemmm, andika telah menolong puteriku, sebetulnya sudah selayaknya kalau aku mengalah. Akan tetapi andika telah lancang mengangkat puteriku sebagai murid, ini merupakan penghinaan yang hanya dapat ditebus dengan nyawa. Mengingat akan pertolongan andika terhadap Retna Wilis, akupun melupakan penghinaan itu. Tidak ada budi apa-apa lagi dan karena itu kita harus bertanding sesuai peraturan."

Semua orang yang hadir terheran-heran karena kedua orang di panggung itu hanya berdiri berhadapan tanpa mengeluarkan suara, hanya melihat betapa bibir kedua orang itu agak bergerak-gerak. Memang ketika mengeluarkan kata-kata ini, Endang Patibroto yang tidak ingin orang lain mendengarnya, telah mengerahkan aji kesaktiannya, bicara dari dalam perut hanya dengan menggerakkan bibir tanpa mengeluarkan suara keras sehingga hanya terdengar oleh orang yang diajak bicara.

Ki Datujiwa tersenyum, maklum bahwa perbuatan itu mempunyai dua maksud. Pertama agar tidak terdengar orang lain. Kedua untuk mendemonstrasikan kesaktian, karena memang hanya mereka yang sudah memiliki hawa sakti amat kuat saja yang dapat bicara dalam perut. Maka iapun menjawab dengan cara yang sama.

"Angger, Sang Dewi Endang Patibroto. Tidak ada yang menolong, tidak ada pula yang lancang. Semua terjadi karena memang semestinya demikian. Andika mengajak aku yang tua bertanding, boleh saja. Akan tetapi karena dasarnya pengangkatan murid, kalau dibolehkan dewata dan aku menang, aku akan mengajar ilmu kepada puterimu selama sepuluh tahun. Bagaimana?"

Endang Patibroto mengerutkan kening dan berpikir. Betapa mungkin ia berpisah dari puterinya? Akan tetapi permintaan itupun sudah patut. Kalau kakek ini dapat memenangkannya, tentu berharga menjadi guru Retna Wilts. Agar puterinya jangan terbawa pergi, ia harus bisa menangl Akan tetapi kalau ia menang, berarti akan membuat hidup adiknya merana!

"Baiklah, Ki Datujiwa. Akan tetapi mengajarnya harus di sini, andika harus tinggal di puncak Wilis."

Kembali kakek itu tersenyum sabar dan memandang ke sekeliling, ke arah tamasya alam yang amat indah. "Memang aku berjodoh dengan Wilis. Boleh, aku menerima syarat itu."

Kini Endang Patibroto berkata dengan mulutnya, suaranya nyaring, "Bersiaplah andika!" Dan tubuhnya bergerak maju dengan serangan kilat. Ia mengerahkan Aji Bayu Tantra dan menggunakan pukulan Pethit Nogo yang amat dahsyat.

Namun yang dipukulnya hanya angin kosong karena tahu-tahu kakek itu telah lenyap dari depannya dan telah berada di sebelah kiri sambil berkata, "Biarlah andika yang menahan serangan-seranganku!"

cerita silat online karya kho ping hoo

Sambil berkata demikian, Ki Datujiwa sudah melancarkan pukulan dengan tangan kanan dikepal. Sambil memukul, kakek itu meloncat ke depan dan sementara tubuhnya berada di atas ia memukul. Endang Patibroto menggunakan lengannya menangkis sambil mengipatkan jari tangan yang mengandung Aji Pethit Nogo.

"Dess.... !" Tubuh Endang Patibroto terdorong ke belakang sungguhpun ia mampu menangkis pukulan itu. Ia terkejut dan kagum. Pukulan dengan tubuh melambung tidaklah sekuat kalau kedua kaki memasang kuda-kuda, akan tetapi tenaga pukulan kakek itu bukan main kuatnya, mengandung hawa sakti yang tak terlawan olehnya. Sebelum ia sempat membalas, kakek itu sudah meloncat dan memukul lagi. Endang Patibroto bertubi-tubi menangkis datangnya pukulan yang seperti hujan dan berkali-kali ia tertolak ke belakang sehingga akhirnya ia mundur-mundur dan berputeran.

Belum juga ia mampu membalas karena kakek itu setiap kali ditangkis sudah melambung lagi dan memukul seolah-olah tubuh kakek itu melambung karena tangkisan dan otomatis menyerang kembali. Makin lama pukulan itu makin kuat sehingga Endang Patibroto cepat-cepat menahan napas, mengerahkan tenaga tangkisan yang didahului hawa panas. Hawa pukulan kedua fihak kini bertemu di udara dan sebelum kulit lengan mereka bersentuhan, tubuh Endang Patibroto sudah terpental. Wanita sakti itu makin kaget.

Para penonton yang mengharapkan pertandingan seru, menjadi kecewa dan terheran-heran. Kalau tadinya mereka berdua itu saling tangkis, kini mereka berdiri dalam jarak hampir dua meter dan memukul dari jauh, ditangkis dari jauh pula, sama sekali lengan mereka tidak pernah bersentuhan lagi. Namun setiap kali tubuh Endang Patibroto terdorong ke belakang. Kiranya dua orang sakti ini telah mempergunakan pukulan jarak jauh dan hanya mengandalkan hawa sakti masing-masing.

Baik ketika menangkis, maupun ketika ia memukul dan ditangkis, Endang Patibroto selalu terdorong tubuh atasnya, terbawa oleh lengannya. Ia maklum bahwa ia kalah kuat, maka dalam penasarannya ia lalu mengeluarkan pekik Sardulo Bairowo yang dahsyat. Beberapa orang penontong seketika merasa lumpuh kedua kakinya karena jantung mereka tergetar hebat.

"Sadhu-sadhu-sadhu.... " Ki Datujiwa berkata lembut namun tidak terpengaruh, hanya memandang tubuh lawan yang kini berkelebat seperti seekor burung kepinis, sambil melancarkan pukulan-pukulan sakti yang luar biasa dahsyatnya.

Mula-mula Endang Patibroto menerjang tubuh kakek yang berdiri tegak itu sambil memukul dengan Aji Pethit Nogo sepenuhnya. Namun pukulan dan tubuhnya terhenti di tengah jalan, terhalang dan dihalau oleh tangkisan yang keluar dari dorongan tangan Ki Datujiwa. la menerjang lagi, berselang-seling mempergunakan aji pukulan Pethit Nogo, Wisangnala, dan Gelap Musti. Namun kesemuanya tidak berhasil, selalu kandas di tengah jalan, buyar oleh hawa pukulan yang menangkis.

Di samping rasa penasaran, juga Endang Patibroto hendak menguji benar-benar kakek ini. Seorang yang menjadi guru puterinya harus mempunyai kesaktian yang jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. Maka ia lalu memperhebat serangannya. Betapa heran dan kagum hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa makin hebat diserang, kakek Itu makin tenang, berdiri tegak, hanya menyambut setiap serangan dengan dorongan tangan kanan atau kiri berganti-ganti.

Namun, dorongan-dorongan itu saja sudah cukup membuat semua serangan Endang Patibroto gagal! Bahkan lebih daripada itu. Makin keras pukulannya, makin keras pula ia terpental! Aji Argoselo untuk memperberat tubuhnya sama sekali tidak ada hasilnya, bahkan kalau pukulannya keras sekali, ia terpental dan terhuyung sampai ke tepi papan panggung.

Benarkah Ki Datujiwa memiliki tenaga sakti seampuh itu? Ia merasa penasaran lalu mengerahkan seluruh tenaganya, mendorong dengan kedua tangannya melancarkan pukulan dengan Aji Gelap Musti! Hebat bukan main pukulannya ini. Baru hawanya saja sudah cukup merobohkan seorang lawan sakti. Akan tetapi lebih hebat lagi kesudahannya karena kakek itupun mendorongkan kedua tangan dan.... tak dapat ditahannya lagi tubuh Endang Patibroto mencelat ke belakang sampai melewati tepi panggung!

Semua orang berteriak karena betapapun saktinya seseorang, kalau sudah terlempar melewati tepi papan panggung, tentu akan jatuh ke bawah dan berarti kalah. Akan tetapi Endang Patibroto, ketua Padepokan Wills, bukanlah seorang sakti yang biasa. Dia semenjak kecil telah di gembleng berbagai ilmu, bahkan menjadi murid terkasih Sang Dibyo Mamangkoro kemudian selama lima tahun lebih di puncak Wills telah mematangkan Ilmu-ilmunya dengan tekun sehingga kini merupakan seorang tokoh yang sukar dicari bandingnya.

Biarpun tubuhnya sudah terlempar melewati tepi papan panggung, namun di udara tubuhnya itu dapat berjungkir balik dan melayang kembali ke arah panggung. Itulah Aji Bayu Tantra yang sudah mencapai tingkat tertingt sehingga dalam melompat dia dapat berjungkir balik dan mengubah arah, membalik ke arah berlawanan mengandalkan tenaga luncuran tadi!

"Bagus sekali....! " seru Ki Datujiwa di antara tepuk sorak penonton yang merasa kagum bukan main.

Gerakan Endang Patibroto itu seolah-olah gerakan seekor burung garuda yang terbang membalik. Akan tetapi Ki Datujiwa maklum bahwa kalau wanita sakti yang ganas ini tidak segera ditundukkan, pertandingan akan berlarut-larut. Sekali ini Endang Patibroto bertemu tanding yang jauh lebih tinggi ilmunya. Ki Datujiwa adalah adik angkat dan adik seperguruan Ki Tunggaljiwa dan dibandingkan dengan Endang Patibroto, ia masih menang jauh.

Bahkan kakek ini masih lebih sakti daripada mendiang Dbya Mamangkoro! Dengan berdiri tegak, kakek Itu kembali mendorong dan.... tubuh Endang Patibroto yang sudah meluncur kembali ke arah panggung itu kini terdorong lagi keluar panggung. Endang Patibroto mengeluarkan pekik dan tubuhnya kembali membalik di udiara, namun sekali lagi didorong keluar oleh lawannya!

Bagaikan seekor burung garuda yang berusaha melawan terjangan angin membadai, Endang Patibroto berkali-kali terdorong keluar dan akhirnya wanita sakti ini terpaksa mengakui keunggulan lawan. Ia membiarkan dirinya terdorong lalu menukik ke bawah, langsung ia menyerang papan panggung dengan kedua tangannya.

Pukulan Gelap Musti mengenai papan panggung dan terdengarlah suara hiruk-pikuk karena papan di mana Ki Datujiwa berdiri menjadi ambrol, papan-papannya terlempar tinggal balok-baloknya sajal Endang Patibroto sendiri terpaksa turun ke atas tanah dan peluhnya membasahi muka dan leher, mukanya pucat dan napasnya agak terengah.

Ketika ia memandang, ternyata serangan terakhir inipun gagal karena kakek itu tidak terlempar turun seperti yang dikehendakinya, melainkan masih berdiri dl tempat tadi, hanya kini bukan berdiri di atas papan melainkan berdiri di atas sebuah di antara balok-balok penunjang papan. Separoh dari panggung itu telah ambrol papannya!

Endang Patibroto menghela napas panjang, lalu iapun melompat ke atas sebuah balok di samping Ki Datujiwa sambil berkata, "Kepandaian Eyang terlampau hebat, saya mengaku takluk." Kemudian ia memandang ke arah para tamu dan berkata, "Hendaknya semua saudara yang hadir maklum bahwa pemenang sayembara adalah Pangeran Panji Sigit yang berhak menjadi jodoh adikku Setyaningsih. Dengan ini sayembara ditutup dan dibubarkan!"

Orang-orang menjadi terkejut dan kagum.

"Ah, dia Pangeran Panji Sigit?"
"Pangeran Jenggala!"
"Pantas gagah dan tampan, walinyapun hebat!"

Endang Patibroto telah melompat turun, diikuti oleh Ki Datujiwa yang tersenyum-senyum, di samping oleh Setyaningsih dan Pangeran Panji Sigit yang berseri-seri wajahnya. Setyaningsih merangkul ayundanya dan menangis saking terharu dan bahagia.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara ketawa mengejek dan ketika mereka semua menengok, kiranya si gundul Purwoko telah berdiri di atas panggung yang tinggal separoh. Kakek gundul ini telah siuman dan pulih kesehatannya. Kini ia berdiri di atas panggung sambil tertawa lalu berkata dengan suaranya yang melengking tinggi,

"Wah, Padepokan Wills bermain curang! Endang Patibroto sungguh memalukan sebagai ketua Padepokan Wilis. Kiranya yang menang adalah seorang Pangeran Jenggala. Tentu saja menang karena memang dimenangkan! Siapa tidak mengetahui adanya sayembara menggelikan ini? Kalau memang suka mendapat ipar seorang pangeran, mengapa mengadakan sayembara palsu ini? Pantas saja, pangeran itu tadi dilayani oleh Setyaningsih sambil main-main belaka, dan kakek petani itupun seperti badut karena Endang Patibroto sengaja mengalah! Kalau memang bertanding betul-betul, tak mungkin kalah. Saudara-saudara sekalian kalau tidak percaya, boleh suruh pangeran itu atau walinya maju melawan aku! Aku sudah kalah terhadap Endang Patibroto, akan tetapi kakek petani itu akan kubikin jungkir balik!"

Ucapan Si Hantu Kelabang ini bukan ucapan seorang tolol. Memang tadi ia melihat pertandingan antara Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih, maka iapun tahu bahwa pertandingan itu tidak sungguh-sungguh. Adapun tentang Ki Datujiwa, ia hanya melihatnya sebagai seorang petani tua sederhana, tidak mengenal namanya karena sejak tadi tidak disebut, dan tingkat kakek ini sudah sedemikian tingginya sehingga memang tadi tidak kelihatan menggunakan kesaktian.

Sebaliknya, Endang Patibrotolah yang kelihatan memperlihatkan ketangkasan luar biasa. Kakek itu hanya berdiri dan mendorong-dorongkan kedua tangannya. Siapa mau percaya? Hanya satu kali kakek itu memperlihatkan kepandaiannya, yaitu ketika papan panggung tergempur la meloncat ke atas kemudian turun lagi hinggap di atas balok. Namun, kepandaian ini bagi Si Hantu Kelabang Purwoko tidaklah mengherankan. Inilah sebabnya mengapa ia menjadi iri hati dan menuduh yang bukan-bukan.

"Eh, tua bangka seperti cecak kering! Kau melantur tidak karuan, ya?" Tiba-tiba Retna Wilis sudah melompat ke atas panggung dan berdiri berhadapan dengan Purwoko di atas panggung yang tinggal separoh, lalu bertolak pinggang dan menudingkan telunjuk kirinya. "Kau berani menantang paman pangeran? Berani menantang eyang guruku? Huh, tidak memandang tengkuk sendiri! Tak usah mereka turun tangan, kau lawanlah aku saja! Belum tentu kau menang, tahu?"

Semua orang yang tadinya sudah mau bubaran, kini tertarik kembali dan menonton sambil tertawa-tawa. Modar! Ketanggor kau sekarang, ketemu batunya! Demikian bisik mereka yang merasa tidak senang menyaksikan lagak Si Hantu Kelabang.

Endang Patibroto sudah bergerak hendak menegur dan menyuruh puterinya turun, akan tetapi Ki Datujiwa berbisik, "Biarlah, memang Purwoko perlu dihajar agar mundur dan tidak berani sewenang-wenang." Tanpa menanti jawaban, Ki Datujiwa lalu menghampiri panggung dan meloncat ke atas, berdiri di sudut sambil berkata, "Retna Wilis, beranikah engkau mewakili gurumu dan ibumu memberi hajaran kepada setan gundul yang tidak sopan ini?"

Melihat gurunya sudah berada di situ, nyali Retna Wilis makin bertambah. Dengan menjebikan mulutnya ke arah Purwoko, ia menjawab, "Mengapa tidak berani, Eyang Guru? Biar ditambah lima lagi macam dia, aku tidak takut!"

Si Hantu Kelabang yang tadinya hendak mengejek dan mengumpat caci orang, kini benar-benar kalah desak dan bertemu batunya menghadapi Retna Wills. Mau turun tangan, masa dia seorang tokoh besar harus melayanl seorang anak kecil yang baru enam tahun umurnya? Tidak dilayani, dia dimaki-maki di depan orang banyak! Kini melihat kakek petani yang ia pandang rendah itu sudah maju, cepat ia berkata,

"Eh, kebetulan sekali kau muncul, petani busuk! Hayo mengakulah bahwa engkau dan Endang Patibroto memang hanya bermain dagelan, pertandingan tadi tidak sungguh-sungguh. Kalau memang kau ada kepandaian, coba kaukalahkan aku!"

Dengan suara tenang Ki Datujiwa menjawab, "Muridku sudah bicara. Aku wakilkan kepada muridku ini, Retna Wilis. Kalau kau mampu mengalahkan Retna Wilis, anggap saja aku sudah kalah oleh-mu. Biarlah semua yang hadir menjadi saksi."

"Heh....??" Si Hantu Kelabang khawatir kalau-kalau ia dipermainkan dan ditipu dengan ucapan itu. Bocah masih begini kecil? Sedangkan ibu bocah inipun yang berilmu tinggi, tadi menghadapi dia tidak dapat mengalahkannya dengan mudah. "Sesungguhnyakah omonganmu itu, petani tua bangka?"

"Heeiii, engkau si hantu coro busuk bau! Mengapa kau memaki-maki orang? Omongan kami semua adalah sungguh-sungguh, tidak seperti omonganmu yang merupakan angin bau busuk belaka! Hayo lawan aku!" Retna Wilis kembali memaki.

Purwoko melototkan matanya karena dimaki hantu coro sehingga banyak orang menertawakannya. Ingin ia sekali gebrak menelan bocah itu bulat-bulat. "Kalau memang betul, biarlah semua orang menjadi saksi. Hayo, perlihatkan kepandaianmu, bocah edan!"

"Seranglah dia, muridku."

Suara Ki Datujiwa ini menambah semangat Retna Wilis yang memang sudah menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada gurunya. Bukankah ketika menghadapi tiga orang jahat Ni Dewi Nilamanik, Ki Kolohangkoro, dan Raden Warutama kemarin dulu itupun dia telah mendapat kemenangan hanya karena kepercayaannya kepada gurunya?

"Baik, Eyang," jawabnya dan tubuh yang kecil itu lalu menerjang maju, mengirim pukulan ke perut Purwoko.

Si Hantu Kelabang itu hanya menyeringai dan tidak mengelak maupun menangkis. Perlu apa menangkis pukulan bocah cilik ini? Akan tetapi mukanya yang menyeringai itu mendadak berubah masam ketika kepalan kecil itu tepat mengenai perutnya,

"Bukkk!" Memang tidak amat sakit, akan tetapi yang membuat ia kaget sekali adalah karena pada saat la hendak mengerahkan tenaga dalam ke perut, tenaganya itu molos dan tidak dapat dikerahkan!

Retna Wilis yang berhasil menghantam perut itu menjadi girang. Ia melompat ke atas dengan gerakan ringan karena memang terlatih baik oleh ibunya semenjak kecil sehingga ia dapat mencapai muka Si Hantu Kelabang, lalu menghantamkan kepalan kanannya ke arah hidung si gundul.

"Punggg....!!"

Kembali Purwoko meringis. Kulit perutnya masih tebal sehingga biarpun ia tidak dapat mengerahkan kekebalan ke arah perut, pukulan bocah itu tidak terasa nyeri. Akan tetapi hidungnya yang dipukul terasa nyeri juga, apalagi yang terkena adalah tulang muda hidung di ujung. Seperti akan patah rasanyal Tadi kaki tangannya sama sekali tidak dapat digerakkan ketika bocah itu memukul, dan baru sekarang dapat ia gerakkan ketika ia menggosok-gosok hidungnya dengan mata merah dan mulut pringisan.

"Wah, badanmu bau Tanganku jadi kotor!" kata Retna Wilis sambil mengipat-ngipatkan tangan, lalu bocah ini menyambar sepotong kayu pecahan papan dan kembali ia menerjang, kini menggunakan kayu itu, dipukulkan sekenanya bertubi-tubi.

"Plak-plek-prok.... !!"

Kasihan sekali Si Hantu Kelabang. Ia mulai bergidik ketakutan. Ngeri dia karena setiap kali bocah ini menyerang, tubuhnya tak dapat digerakkan dan hawa sakti di tubuh tak dapat ia kerahkan sehingga ia harus mandah saja dijadikan bulan-bulan gebukan. Biarpun tidak terlalu sakit, akan tetapi amat memalukan karena para penonton kini bersorak-sorak melihat dia berjingkrakan tidak karuan dihujani gebukan bocah setan itu. MulaiIah otaknya yang kental mengerti bahwa semua ini adalah perbuatan si kakek petani dan ia bergidik ngeri. Orang dengan kesaktian seperti itu tadi ia olok-olok dan ia tantang! Mengerti pula dia bahwa kekalahan Endang Patibroto adalah kekalahan wajar.

"Masih tidak mengaku kalah? Plenggg! Dessss...!" Retna Wilis meloncat tinggi dan muka Purwoko menjadi korban hantaman dan kini si gundul ini benar-benar merasa tobat. Muka dan kepalanya mulai mengeluarkan darah karena kulitnya ada yang pecah dihantam potongan papan yang runcing.

"Sudah... sudah.... tobatt.... aku kalah....'" katanya dan baru setelah Purwoko menyatakan tobat, Retna Wilis menghentikan serangannya dan mundur, berdiri gagah di dekat Ki Datujiwa.

Purwoko berdiri terbungkuk di depan kakek sakti itu. "Siapa.... siapakah gerangan andika...

Ki Datujiwa berkata perlahan, "Purwoko, kau pandang baik-baik. Lupakah engkau kepadaku? Setelah aku memberi ampun kepadamu di hutan Muria, ternyata engkau kini berani lagi menambah kekacauan dunia...!!"

"Oohhhh... celaka awakku... sial dangkalan.... Ki Datujiwa kiranya.... Walah tobat.... !" Si Hantu Kelabang lalu melompat turun dan lari pergi tanpa pamit.

Kiranya belasan tahun yang lalu, Purwoko ini pernah roboh di tangan Ki Datujiwa ketika melakukan kejahatan dan diampuni kakek sakti ini. Dalam kesombongannya, tadi ia pangling maka berani ia memandang rendah yang mengakibatkan ia mendapat malu di depan orang banyak.

Larinya Si Hantu Kelabang diikuti oleh perginya para pengikut sayembara dan para penonton karena sesungguhnya sebagian besar di antara mereka tidak jadi memasuki sayembara dan hanya menjadi penonton. Mereka diantar oleh rombongan anak buah Padepokan Wilis yang dipimpin oleh Limanwilis dan dua orang adiknya. Di sepanjang perjalanan tiada hentinya mereka :mempercakapkan peristiwa hebat dalam sayembara tanding itu.

Pangeran Panji Sigit dan Setyaningsih lalu dinikahkan beberapa hari kemudian di puncak Wilis. Upacara pernikahan yang sederhana kalau diingat bahwa yang menikah adalah seorang Pangeran Jenggala, akan tetapi cukup meriah selain dihadiri oleh seluruh anggauta Padepokan Wills, juga dihadiri pula oleh para penduduk di sekitar Wills. Pula, apakah yang lebih membahagiakan hati sepasang mempelai kecuali pertalian cinta kasih di antara mereka?

Malam itu, setelah mereka hanya berada berdua saja di dalam kamar mempelai, merupakan malam terindah daripada hidup mereka. Malam pencurahan kasih sayang yang semesra-mesranya, penuh kemurnian, di mana dua hati terlekat menjadi satu, diikat sumpah saling setia sampai mati, senasib sependeritaan suka sama dinikmati, duka sama diderita.

Di malam pengantin ketika sepasang pengantin sedang bermesra-mesraan memadu kasih, dan Retna Wilis sudah tidur nyenyak saking kelelahan setelah sehari berpesta, dan Ki Datujiwa duduk bersamadhi dengan heningnya di dalam kamar yang disediakan untuknya, Endang Patibroto seorang diri menangis di kamarnya. Ia membenamkan muka di bantal untuk menahan isak tangisnya dan hanya bantal itu yang menjadi basah kuyup. Endang Patibroto tidak hanya teringat dan merasa rindu kepada Tejolaksono, juga ia teringat kepada Raden Sindupati.

Teringat akan aib dan penghinaan yang ia derita dari Sindupati baru-baru ini, membuat hatinya hancur dan kini di samping derita merana dan rindu kepada Tejolaksono yang dicintanya, juga dendam dan sakit hati terhadap Sindupati merupakan duri yang menusuk di hatinya. Ingin ia mencari Sindupati sampai dapat, untuk melaksanakan sumpahnya merobek dada mencabut jantung musuh besarnya.

Akan tetapi setelah Setyaningsih menikah, tentu adik kandungnya itu akan pergi bersama suaminya. Bagaimana la tega untuk meninggalkan Retna Wills, hanya ditemani Ki Datujiwa? Ia harus bersabar sampai beberapa tahun lagi, sampai Retna Wills sudah agak dewasa sehingga ia tega untuk meninggalkannya.

"Aduh Kakangmas Tejolaksono... "berulang-ulang ia mengeluh. "Si keparat engkau Sindupati... kau tunggu saja pembalasanku... !" Ia memaki dan menjadi beringas. Akan tetapi segera ia menangis kembali, teringat akan nasib ibunya yang malang, teringat akan nasib sendiri, kemudian, melihat kepada Retna Wilis, ia menangis sambil memeluk anaknya itu sampai ia tertidur di samping Retna Wilis.

Pada hari-hari berikutnya, kesedihan hati Endang Patibroto yang disembunyi-sembunyikan agak terhibur melihat betapa adik kandungnya, Setyaningsih, hidup amat mesra dengan Pangeran Panji Sigit. Mereka berdua itu bagaikan sepasang merpati, tak pernah berpisah, begitu rukun dan amat damai, setiap pandang mata, senyum, kata-kata dan gerak tubuh sepenuhnya diselimuti cinta kasih yang mendalam. Sampai satu bulan lamanya pengantin baru itu tinggal di puncak Wilis. Kemudian mereka menghadap Endang Patibroto, menyatakan bahwa mereka hendak pergi ke Jenggala.

Endang Patibroto yang sedang duduk bercengkerama dengan Ki Datujiwa, dihadiri pula oleh Retna Wilis, berdebar jantungnya dan ia berkata,

"Bukankah lebih baik kalian tinggal di sini saja? Aku mendengar bahwa keadaan Jenggala sedang kacau. Pula, menurut penuturanmu sendiri, Adi Pangeran, di sana ramandamu berada dalam cengkeraman selir jahat dan ponggawa-ponggawa tidak jujur. Mengingat pengalaman-mu yang tidak baik dengan selir ramandamu itu, apakah pulangmu ke sana tidak akan mendatangkan hal-hal yang tidak enak?"

"Sesungguhnyalah apa yang dikatakan Ayunda itu, dan memang tepat dan benar sekali," jawab Pangeran Panji Sigit. "Akan tetapi, setelah saya pikir secara mendalam, bahkan keadaan seburuk itulah yang mengharuskan saya berada di dekat kanjeng rama. Kanjeng rama tentu akan berbahagia sekali kalau melihat bahwa saya telah berjodoh dengan Setyaningsih, adik kandung Ayunda sendiri. Dan saya bersama Adinda Setyaningsih akan berusaha menyadarkan kanjeng rama, dan kalau perlu membela beliau apabila terancam bahaya."

Endang Patibroto menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang. "Sejak dahulu, keadaan Jenggala sungguh tak dapat dikatakan baik. Alangkah jauh bedanya dengan Panjalu. Adi Pangeran, sang prabu di Panjalu juga masih uwamu sendiri. Apakah tidak lebih baik Adi bersuwita di sana?"

Pangeran Panji Sigit menggeleng kepala. "Kalau hal itu saya lakukan, berarti seolah-olah saya melarikan diri daripada kesulitan, Ayunda."

Kembali Endang Patibroto menghela napas panjang.

"Aku hanya khawatir.... ah, Eyang Datujiwa, bagaimana baiknya? Mohon petunjuk Eyang." Endang Patibroto kini telah mengenal siapa adanya Ki Datujiwa dan makin segan serta hormatlah ia terhadap kakek sakti mandraguna ini. Bahkan ia merasa berbahagia sekali puterinya mendapatkan seorang guru seperti kakek ini yang berarti bahwa kelak puterinya akan menjadi orang yang lebih sakti daripada dia sendiri.

Ki Datujiwa yang selalu diam saja kalau tidak diajak bicara itu lalu berkata dengan suaranya yang tenang dan mendatangkan rasa tenteram di hati,

"Menurut pendapat saya, wawasan Angger Pangeran tadi memang banyak kebenarannya. Angger adalah seorang Pangeran Jenggala, berdarah satria utama, keturunan Sang Sakti Prabu Airlangga. Sudah menjadi kewajiban seorang satria untuk melakukan tridharma bakti, tiga kebaktian utama. Pertama, berbakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa, ke dua berbakti kepada rama ibu, dan ke tiga berbakti kepada negara dan bangsa. Kalau keadaan negara sedang makmur ikut menikmati, akan tetapi kalau negara sedang kacau lalu menjauhkan diri mencari kesenangan dan keselamatan pribadi, itu bukanlah watak seorang satria utama, Angger. Memang, dalam keadaan Kerajaan Jenggala seperti sekarang ini, bukan tidak ada bahayanya kalau Angger berdua pergi ke Jenggala. Akan tetapi, bahaya itu terdapat di mana-mana dan bahaya yang terbesar terdapat dalam pribadi sendiri. Adapun selamat, sakit sampai pun mati sepenuhnya mutlak menjadi wewenang Sang Hyang Widhi. Karena itu Angger, dengan dasar dan iktikad baik, seorang satria tidak akan gentar menghadapi apa pun juga karena biar hidup maupun mati, ia menjadi pengemban kebenaran dan keadilan. Seribu lebih baik tewas sebagai seorang satria daripada hidup sebagai seorang durjana."

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 25