Perawan Lembah Wilis Jilid 25 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 25

ENDANG Patibroto makin tunduk dan yakin bahwa kakek ini bukanlah orang sembarangan, maka ia pun terpaksa merelakan kepergian adik kandungnya, Setyaningsih bersama suaminya. Segera para anggota Padepokan Wilis mempersiapkan segala perbekalan pengantin baru ini, segala perbekalan untuk dipakai dalam perjalanan. Dua ekor kuda pilihan yang besar disediakan.

"Paman Pangeran dan Bibi yang baik, Kelak kalau aku sudah tamat belajar kepada Eyang Guru dan sudah dewasa, aku akan menyusul Paman dan Bibi. Aku ingin sekali melihat kerajaan!" kata Retna Wilis.

Setyaningsih memeluk dan menciumi muka keponakannya yang diasuhnya semenjak lahir itu. Ia menitikkan air mata, hal yang jarang sekali terjadi pada diri Setyaningsih.

"Iihhh, kenapa Bibi menangis? Apakah tidak girang pergi bersama Paman Pangeran?" Pertanyaan ini memancing keluar lebih banyak air mata lagi. Melihat ini, Endang Patibroto yang tidak suka kalau puterinya kelak juga menjadi seorang yang cengeng cepat berkata,

"Bibimu menangis karena girang, Retna. Sudahlah, Ningsih, ada waktunya berkumpul tentu ada waktu untuk berpisah. Ada saat berpisah tentu disusul pula saat pertemuan kembali. Berangkatlah dengan hati lapang, adikku sayang, karena engkau pergi mengikuti suamimu. Itulah kewajiban pertama bagi seorang isteri."

Demikian Endang Patibroto berkata menghibur. Akan tetapi Setyaningsih yang sudah menganggap ayundanya ini seperti lbunya sendiri, yang dicintanya sepenuh hati, menjadi makin terharu dan menubruk ayundanya, berlutut merangkul kaki dan menangis.

"Ayunda Endang.... selamat tinggal.... semoga kita dapat cepat berkumpul kembali, Ayunda...!"

Melihat keadaan isterinya ini, dengan penuh kasih sayang Pangeran Panji Sigit lalu merangkulnya, mengangkatnya bangun lalu menuntunnya ke tempat di mana dua ekor kuda mereka sudah menunggu. Kemudian mereka lalu melompat ke atas punggung kuda dan berangkatlah suami isteri ini, diikuti pandang mata sayu dari Endang Patibroto, sinar mata bersinar-sinar dari Retna Wills, dan pandang mata melamun dari Ki Datujiwa. Beberapa kali Setyaningsih menengok dan melambaikan tangan, dibalas oleh tiga orang ini yang terus berdiri memandang sampai bayangan kedua suami isteri itu lenyap di sebuah tikungan.

********************

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Bagus Seta yang kelak akan menjadi tokoh terpenting di samping Retna Wilis dalam cerita ini. Seperti telah kita ketahui, ketika berusia sepuluh tahun, Bagus Seta dibawa oleh Ki Tunggaljiwa, atau lebih tepat, anak itu yang datang naik di punggung Sardulo pethak, menemui Ki Tunggaljiwa dan diangkat sebagai muridnya.

Telah diceritakan pula betapa ramandanya, Adipati Tejolaksono dan isterinya, Ayu Candra, menyusul ke Gunung Merapi di mana Bagus Seta yang berusia sepuluh tahun itu digembleng oleh KI Tunggaljiwa. Akan tetapi akhirnya Tejolaksono dan isterinya merelakan puteranya menjadi murid sang pertapa sakti untuk digembleng selama lima tahun!

Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan Bagus Seta yang berdarah satria perkasa itu berlatih dengan penuh ketekunan. Memang hebat latihan yang diberikan oleh Ki Tunggaljiwa. Tidak hanya berendam air dingin dan kadang-kadang air panas sampai semalam suntuk, juga anak ini dilatih bersamadhi dan berpuasa sampai berhari-hari lamanya. Kadang-kadang disuruh mainkan jurus-jurus gerak silat yang telah ia pelajari dari ayahnya. Ternyata Ki Tunggaljiwa mengenal belaka semua jurus ilmu itu dan mulailah memberi petunjuk-petunjuk sehingga cepat sekali ilmu silat Bagus Seta meningkat. Tubuh anak ini menjadi kuat sekali, dan gerakannya cepat ringan mengagumkan.

Temannya berlatih adalah harimau putih yang sesungguhnya jauh berbeda dengan harimau-harimau biasa. Harimau ini terlatih melalui aji kesaktian Ki Tunggaljiwa sehingga memiliki kecerdikan luar biasa seperti manusia. Sungguhpun akal budinya seperti manusia tidak ada, namun Sardulo pethak mempunyai kelebihan daripada manusia, yaitu nalurinya yang amat kuat.

Sampai tiga empat tahun kemudian, biarpun dalam latihan akhirnya Bagus Seta dapat menangkan harimau itu, namun ia harus mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, dan setelah berkali-kali memukul mendorong dan membanting ia baru dapat menundukkannya. Akan tetapi ia sendiripun lecet-lecet dan napasnya terengah-engah, peluhnya membasahi seluruh tubuh.

Baru setelah genap lima tahun, ia benar-benar dapat menundukkan Sardulo pethak tanpa banyak sukar lagi. Kini Bagus Seta telah berusia lima belas tahun, telah menjadi seorang pemuda tanggung yang bertubuh tegap, bahunya bidang, dadanya menonjol membayangkan tenaga dahsyat, wajahnya tampan dan pandang matanya seperti dapat menembus dada orang. Namun sikapnya lemah lembut, bahkan gerak-geriknya kelihatan lamban, tidak tampak ketangkasannya di waktu biasa. Namun, kalau orang menyaksikan dia berlaga dalam latihan menghadapi Sardulo pethak, orang akan kagum dibuatnya.

Pagi hati itu, terdengar suara Sardulo pethak mengaum-aum, menggetarkan puncak Merapi. Beginilah kalau harimau itu sedang bersemangat dan bergembira dan biasanya hal itu terjadi kalau dia sedang bergurau atau berlatih dengan Bagus Seta. Pagi hari itupun Bagus Seta mengajaknya bertanding dalam latihan. Pemuda remaja dan harimau itu sudah berdiri berhadapan di lapangan rumput di bawah puncak.

"Paman Sardulo, kemarin dulu aku mengalahkanmu dalam sepuluh jurus. Kini aku telah menemukan akal yang baik sekali dan kurasa aku akan dapat membuatmu tidak berdaya kurang dari sepuluh jurus!"

Harimau itu sudah biasa diajak bercakap-cakap oleh Bagus Seta. Entah dia mengerti atau tidak, hal ini tak pernah dapat dibuktikan. Akan tetapi begitu mendengar ucapan Bagus Seta, ia lalu mengaum berkali-kali seperti menantang atau mentertawakan ucapan Bagus Seta yang hendak menundukkannya kurang dari sepuluh jurus!

cerita silat online karya kho ping hoo

Bagus Seta yang sudah lima tahun setiap hari bergaul dengan harimau ini dapat membedakan auman marah, senang, atau bahkan mengejek mentertawakan. Maka ia lalu memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lebar, tubuhnya agak merendah dengan kedua lutut ditekuk, kedua lengannya dikembangkan dengan jari-jari tangan terbuka, lalu ia berkata,

"Kau mentertawakan dan tidak percaya, Paman Sardulo? Hayo kita mulai! Awas jurus pertama!" Setelah berkata demikian, tubuh Bagus Seta menubruk ke depan.

Sardulo pethak itu adalah seekor harimau yang lain daripada harimau biasa, memiliki kecerdikan dan mendekati kecerdikan manusia. Setelah lima tahun menjadi kawan berlatih Bagus Seta, apalagi setelah akhir-akhir ini ia selalu dikalahkan, harimau putih inl maklum bahwa kalau dia yang menubruk dan menyerang, dia akan dapat dirobohkan dengan mudah.

Tentu saja ia tidak tahu dan tidak mengerti mengapa bisa demikian. Dia tidak tahu bahwa dalam setiap penyerangan, berarti membuka kelemahan pertahanan sendiri. Dia hanya tahu karena pengalaman kalah berkali-kali dan kekalahan ini selalu terjadi karena dia terlalu bernafsu menyerang. Maka akhir-akhir ini ia tidak lagi mau menyerang, hanya menanti serangan dan memusatkan perhatian pada pertahanan.

Bagus Seta tentu saja tahu akan siasat harimau itu, maka ia pun tidak mau ragu-ragu lagi untuk menerjang. Terjangannya dahsyat sekali. Melihat perawakannya, Bagus Seta yang berusia lima betas tahun itu tidaklah dapat disebut tinggi besar. Perawakannya sedang saja, bahkan kulit lengannya halus, kelihatannya lemah lembut.

Namun di bawah kulit itu tersembunyi hawa sakti yang dapat menciptakan tenaga dahsyat dan mujijat akibat gemblengan Ki Tunggaljiwa yang sakti mandraguna. Kulit yang halus itu memiliki kekebalan luar biasa, tidak dapat tergores kuku cakar harimau. Daging di bawah kulit dapat mengeras seperti baja, tidak mempan gigitan taring harimau. Biasanya, kalau menyerang Sardulopethak, Bagus Seta mempergunakan aji pukulan dan tendangan, namun tubuh harimau itu pun sudah kebal dan kuat sekali sehingga dalam latihan biasa, setelah sepuluh jurus baru ia membuat harimau putih itu roboh dan kalah.

Ketika Bagus Seta menerjang maju, Sardulo pethak menggereng dan berdiri di atas kedua kaki belakang. Cakarnya dengan kuku-kuku meruncing itu segera bergerak ke depan, tidak hanya untuk menangkis pukulan Bagus Seta, melainkan terutama sekali untuk mencengkeram ke arah dada. Kalau saja ia berhasil mencakar robek baju lawan, hal ini sudah merupakan sebagian kemenangan baginya. Mulutnya sudah dibuka lebar dan siap menggigit pundak atau leher. Kalau hal ini dapat dilakukan, ia dapat menekan tubuh lawan itu ke bawah, menindih dengan berat tubuhnya, mencengkeram dan menggigit sehingga Bagus Seta takkan dapat bangun kembali!

Terdengar Sardulo pethak mengaum penuh kegirangan. Tidak seperti biasanya, menggunakan kecepatan gerak tubuh pemuda itu menghindar, kali ini malah Bagus Seta menerima tangkisan dan cakaran lawan, kemudian kakinya terpeleset dan tubuhnya roboh terlentang di depan Sardulo pethak. Harimau itu mengaum gembira dan cepat menubruk untuk menindih tubuh kawan yang menjadi lawan berlatih. Kalau saja ia dapat bicara, tentu ia bersorak karena kemenangan yang sudah membayang di depan mata ini.

Akan tetapi, biarpun tubuhnya sedang rebah terlentang, gerakan Bagus Seta lebih cepat lagi. Tiba-tiba si harimau kehilangan lawannya yang bagaikan seekor belut telah melesat melalui bawah perutnya. Ketika Sardulo Pethak yang kebingungan itu membalikkan tubuh, ia sudah terlambat. Bagus Seta kini sudah menubruk dari belakang, memiting leher-nya dengan kedua lengan dengan erat sekali, melekat seperti seekor lintah menempel di punggung kerbau.

Sardulo Pethak mengeluarkan gerengan yang menggetarkan lembah gunung. Gerengan ini hebat bukan main, sampai semua binatang di hutan-hutan daerah Merapi lari ketakutan, harimau-harimau menyembunyikan diri tak berani berkutik, burung-burung yang sedang berteduh di pohon-pohon terbang kacau-balau dan ketakutan. Harimau putih ini berusaha menghempaskan tubuh yang menempel di punggungnya itu, menggerak-gerakkan kepala ke kanan kiri dalam usahanyamenggigit muka lawan. Akan tetapi Bagus Seta memiting kuat-kuat dan kepalanya sendiri menempel di belakang telinga Sardulo Pethak.

Kedua kakinya tergantung di kanan kiri perut harimau. Betapapun harimau itu berusaha untuk melepaskan diri dari pitingan, Bagus Seta tak pernah mengendurkan kempitannya, bahkan memperhebat pitingan, memperkuat tenaga sampai harimau itu terengah-engah karena lehernya terjepit. Akhirnya, setelah Bagus Seta mengerahkan aji kekuatannya, harimau itu tidak kuat bertahan lagi dan roboh miring, terus ditunggangi Bagus Seta, dipiting dan tidak dapat berkutik lagi.

"Nah, apa kataku, Paman Sardulo? Aku dapat menjatuhkanmu dalam satu dua jurus. Tidak percayakah Paman sekarang?" tanya Bagus Seta sambil melepaskan pitingan dan meloncat bangun dengan wajah berseri.

Harimau putih itu bangkit dan menengadahkan kepalanya, mengaum dengan suara panjang. Bagus Seta yang sudah dapat membedakan suara harimau itu lalu merangkulnya dan menempelkan plpinya di dekat telinga harimau yang disayangnya.

"Ah, Paman Sardulo, kau merasa sudah tua? Tidak, Paman. Aku dapat mengalahkanmu berkat latihan yang berkali-kali bersamamu, berkat bantuanmu! Kalau melawan lawan lain, ahhh, tidak banyak lawan akan dapat mengalahkanmu, Paman Sardulo."

Harimau itu menggereng dan Bagus Seta menjadi kaget. Inilah gerengan tanda marah! la mempererat rangkulannya dan berkata penuh sesal,

"Ah, engkau marah kepadaku karena kekalahan dalam dua jurus, Paman? Benarkah Paman bias marah kepadaku...?"

Akan tetapi ketika ia memandang, ternyata harimau itu telah berdiri dan pandang mata harimau itu sama sekali tidak ditujukan kepadanya, melainkan ke arah kiri. Ia menoleh dan bulu tengkuknya berdiri karena ngeri. Di situ, hanya tiga empat meter jauhnya, tahu-tahu telah berdiri tiga orang.

Kedatangan mereka itu begitu tiba-tiba seperti setan saja sehingga telinganya yang terlatih sama sekali tidak dapat menangkap kedatangan mereka. Apalagi ketika ia mengenal dua orang di antara mereka bertiga itu adalah Sang Biku Janapati dan Sang Wasi Bagaspati, ia menjadi khawatir sekali.

Dua orang ini bukanlah sahabat, melainkan orang-orang yang pernah datang dan menantang gurunya, Ki Tunggaljiwa. Akan tetapi melihat yang ke tiga, ia makin ngeri. Orang ini adalah seorang nenek yang hanya bentuk tubuhnya saja dapat dikenal sebagai seorang manusia, atau lebih tepat sebagai seorang wanita tua bertubuh tinggi kurus, masih tegak, pakaiannya serba hitam dan lengannya memakai gelang emas.

Kulitnya yang sudah keriputan itu masih berwarna putih bersih, pakaiannya bersih dan rapi. Akan tetapi mukanya sukar dikenal karena muka ini terlindung oleh sinar atau uap hitam, sehingga kepala dan muka itu hanya kelihatan bayangan saja, bayangan seorang wanita tua yang usianya sudah seratus tahun lebih, namun masih jelas tampak raut wajah yang cantik!

Dari pribadi wanita tua ini keluar getaran wibawa yang amat luar biasa, yang membuat harimau putih menggereng-gereng marah dan gentar dan yang membuat bulu tengkuk Bagus Seta berdiri! Tiba-tiba Sardulo Pethak mengeluarkan guman seperti orang menjerit dan tubuh yang besar dan kuat itu melompat maju menubruk ke arah nenek yang mengerikan itu,

"Paman Sardulo...! Jangan...!"

Bagus Seta berseru akan tetapi terlambat sudah. Terdengar suara terkekeh nyaring disusul gerengan Sardulo Pethak yang tiba-tiba saja terbanting dari tengah udara sebelum mampu menyentuh nenek itu. Bagus Seta hanya melihat nenek itu menudingkan telunjuk kiri ke arah Sardulo Pethak dan harimau putih itu terbanting dari tengah udara, roboh di atas tanah dan tak dapat bangkit kembali!

"Paman Sardulo...!" Ia menubruk harimau itu dan alangkah kagetnya mendapat kenyataan bahwa harimau putih itu sudah tidak bernapas lagi, dari mulut, hidung, telinga dan matanya mengalir darah menghitam! Harimau itu telah tewas secara aneh.

Dengan hati penuh kedukaan dan kemarahan, Bagus Seta bangkit berdiri perlahan-lahan, memandang ke arah nenek itu. Ia cukup terlatih dan dapat menekan perasaannya, namun mengingat akan kematian harimau yang dianggapnya sebagai keluarga sendiri, hatinya terasa sakit sekali.

"Andika... kejam sekali... Apakah dosanya Paman Sardulo maka andika tega menurunkan tangan maut dan merenggut nyawanya?"

Akan tetapi nenek itu hanya memperdengarkan suara tertawa perlahan dan berdiri diam tak bergerak seperti patung. Bagus Seta berusaha mengerahkan tenaga batinnya untuk menembus uap hitam yang menutupi wajah nenek itu, namun tak berhasil, bahkan jantungnya berdebar seperti terkena pengaruh mujijat yang amat berwibawa.

Betapapun juga, pemuda remaja ini adalah keturunan satria utama dan murid seorang sakti mandraguna, maka pengaruh mujijat itu tidak membuatnya menjadi gentar. Sebaliknya, ia menduga bahwa nenek ini tentulah seorang tokoh yang jahat seperti iblis, lebih jahat daripada dua orang kakek yang pernah memusuhi gurunya dan yang kini berdiri sambil tersenyum lebar. Maka ia lalu melangkah maju dan berkata dengan suara nyaring,

"Boleh jadi andika seorang tokoh yang ternama dan memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, namun perbuatan andika membunuh paman Sardulo yang tidak berdosa memaksa saya memberanikan diri untuk membalas. Jagalah seranganku!" Setelah berkata demikian, Bagus Seta mengerahkan semua aji kekuatan tubuhnya, lalu mengayun tubuh ke depan dengan Aji Bayu Tantra.

Selama belajar kepada Ki Tunggaljiwa, dia hanya melatih semua ilmu yang ia pelajari dari ayahnya, dan gurunya ini hanya menyempurnakan latihan-latihannya di samping "mengisi" tubuhnya dengan gemblengan untuk mendapatkan hawa sakti yang kuat. Karena itu, loncatannya ke depan amat cepatnya bagaikan gerakan seekor burung garuda, dan ketika kedua tangannya bergerak menampar dengan Aji Pethit Nogo, terdengar bersiutnya angin pukulan yang amat dahsyat.

Namun nenek itu sama sekali tidak bergerak, bahkan menangkispun tidak. Masih untung bagi Bagus Seta, karena kalau nenek itu menggerakkan tangannya sedikit saja, seperti halnya ketika menghadapi Sardulo-pethak tadi, tentu tubuh Bagus Seta akan roboh tak bernyawa pula! Kini nenek itu tidak menangkis, tidak mengelak dan terjangan Bagus Seta agaknya akan mengenai sasaran. Melihat lawan tidak membela diri, sifat satria timbul dan pemuda remaja itu cepat-cepat merubah sasaran pukulannya. Kalau tadinya jari tangan kiri menampar pelipis dan jari tangan kanan menusuk leher, kini kedua tangannya hanya menampar ke arah kedua pundak lawan yang sama sekali tidak membela diri itu.

Sifat satria inilah yang sesungguhnya menolong nyawa Bagus Seta. Kalau ia teruskan serangan mautnya, tentu lawannya yang aneh itu akan membalas. Akan tetapi melihat pemuda remaja itu merubah sasaran, nenek itu mengeluarkan suara mendengus aneh dan tiba-tiba Bagus Seta mengeluh, tubuhnya seperti membentur dinding baja, kedua tangan yang menampar tadi bertemu dengan uap hitam, membalik dan membuatnya terpelanting roboh di samping mayat harimau putih!

Kepala terasa pening dan matanya berkunang. Bagus Seta menggoyang-goyang kepalanya dan hatinya girang ketika akhirnya peningnya hilang dan ia melihat Ki Tunggaljiwa telah berdiri di situ dengan sikapnya yang tenang! Ia bangkit berdiri dan mundur, tidak berani sembarangan mengeluarkan kata-kata karena maklum bahwa gurunya menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi dan yang menurut firasat hatinya datang bukan dengan maksud yang bersih.

Sejenak Ki Tunggaljiwa memandang ke arah muridnya dengan penuh perhatian, kemudian menunduk dan memandang mayat Sardulo Pethak, lalu menarik napas panjang dan berkata sambil memandang Biku Janapati dan Wasi Bagaspati,

"Andika berdua, terutama Sang Wasi Bagaspati, telah menyebar malapetaka di antara rakyat jelata. Masih tidak puaskah nafsu itu? Kini andika datang ke tempat yang tenteram ini, menyebar maut kepada seekor harimau. Apakah sesungguhnya yang tersembunyi di balik perbuatan keji ini?"

"Ha-ha-ha-ha! Ki Tunggaljiwa, sampai sekarang engkau masih bersikap sombong! Kalau mau tahu tentang kematian harimau ini, kau tanyalah saja sendiri kepada dia yang melakukannya, kalau saja matamu masih saja buta untuk tidak mengenal siapa adanya tokoh yang kini berkenan hadir di hadapanmu!" Wasi Bagaspati menuding dengan ibu jarinya ke arah nenek yang berselimutkan uap hitam di depan mukanya itu. Uap atau sinar hitam itu seolah-olah selalu keluar dari bagian atas tubuhnya dan hawa di sekitarnya menjadi panas, padahal hawa udara di puncak itu amatlah dinginnya.

Ki Tunggaljiwa bukan seorang yang sempit pandangan. Bahkan ia sudah dapat menduga siapa adanya tokoh ini, namun dia sekali-kali bukan seorang sombong seperti yang dikatakan Wasi Bagaspati. Bahkan sebaliknya. Kalau dia tidak menyatakan kenal, hal ini sudah membuktikan kerendahan hatinya yang tidak hendak menonjolkan kewaspadaannya yang membuat ia seolah-olah dapat melihat segala peristiwa di dunia ini. Kini setelah Wasi Bagaspati mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu, ia lalu mengangkat kedua tangan, dirangkap seperti sembah depan dada, sambil membungkuk ia berkata,

"Sadhu-sadhu-sadhu, mohon maaf kiranya apabila saya yang lebih muda tidak menyambut andika seorang yang lebih tua sebagaimana mestinya. Sebutan saya Ki Tunggaljiwa dan sudah seringkali saya mendengar nama besar Nini Bumigarba yang dulu terkenal sebagai Sang Dewi Sarilangking. Namun karena belum pernah mendapatkan kehormatan bertemu muka, maafkan kalau saya keliru menduga. Benarkah andika yang bernama Nini Bumigarba?"

Tubuh nenek itu bergerak sedikit dan terdengar suaranya, halus melengking dan aneh. Bagus Seta yang menonton dengan mata terbelalak mendengar suara nenek Itu seolah-olah datang dari atas, dari mendung hitam di angkasa

"Tunggaljiwa, andika bukan anak kecil, dan kita sama-sama tahu akan rahasia perputaran segala peristiwa di dunia, yang lampau maupun yang akan datang. Akan tetapi berkali-kali andika menentang kehendak alam, mengandalkan sedikit kesaktian yang andika miliki. Apakah andika merasa lebih kuasa dan sakti daripada alam?"

"Sadhu.... Semua dewata menjadi saksi! Saya yang picik dan kecil ini, bagaimana berani menentang kehendak alam? Nini Bumigarba, harap andika jelaskan, bilamana, di mana, dan bagaimana saya menentang kehendak alam?"

Terdengar kekeh tawa nyaring dan merdu seperti suara ketawa wanita muda remaja, disambung kata-kata yang dingin suaranya namun panas isinya,

"Tunggaljiwa, andika berhadapan dengan aku yang tahu akan segala hal. Menyangkal dan berpura-pura tiada gunanya. Di jaman Mataram dan Kahuripan dahulu, engkau sudah berpihak, membela orang-orang Mataram. Kini, kau pun tidak buta dan tentu sudah dapat melihat masa depan bahwa keutuhan Kerajaan Panjalu dan Jenggala tidak dapat dipertahankan lagi. Biku Janapati dan Wasi Bagaspati hanya membantu pelaksanaan kehendak alam, mempercepat runtuhnya kerajaan-kerajaan itu, terutama Jenggala, akan tetapi kembali andika turun tangan menentang dan membela keturunan Mataram, padahal sudah tahu bahwa alam menghendaki runtuhnya kerajaan itu. Bukankah itu berarti menentang kehendak alam yang menjadi kehendak para dewara pula?"

Ki Tunggaljiwa tersenyum dan mengelus jenggotnya. "Sadhu-sadhu-sadhu.... Maaf, Nini Bumigarba, kalau saya berani mengatakan bahwa andikalah orangnya yang menentang kehendak Sang Hyang Widhi! Kewaspadaan mata batin adalah anugerah Sang Hyang Widhi, dan sekali-kali bukan dipergunakan untuk mendahului kehendak alam! Betapapun pandainya manusia, takkan dapat merubah kehendak alam! Betapapun pandainya manusia, dia tidak berhak untuk mencampuri rahasia Sang Hyang Widhi. Manusia mempunyai tugas kewajibannya sendiri, yaitu bertindak sesuai dengan kebajikan, menjauhkan kejahatan dan kemaksiatan. Adapun yang menjadi kehendak Hyang Widhi, baik maupun buruk bagi yang menerimanya, haruslah diterima dengan penuh kesadaran bahwa segala kehendak Hyang Widhi akan terjadi! Saya selalu bertindak menurutkan hukum-hukum perikemanusiaan, tidak mencampuri kehendak alam, tidak menentang tidak membantu. Orang-orang dari Sriwijaya dan Cola, bukan sekali-kali membantu pelaksanaan kehendak alam seperti yang andika katakan, melainkan bertindak untuk menurutkan dorongan nafsu duniawi, nafsu aluamah angkara murka, mengejar kesenangan pribadi. Namun semua itu termasuk kehendak Sang Hyang Widhi pula, juga kematian-kematian yang disebar orang-orang itu telah dikehendaki Hyang Widhi. Kalau Sang Hyang Widhi tidak menghendaki, jangankan membunuh orang lain, menyedot napas sendiripun tidak mungkin dapat dilakukan Sang Biku Janapati maupun Sang Wasi Bagaspati."

"Ihhhh Manusia sombong engkau, Ki Tunggaljiwa! Manusia adalah pembantu utama dari para dewata! Kalau aku menghendaki, bocah bagus ini tadi sudah kubikin mampus! Sebaliknya kalau aku tidak menghendaki, bagaimana harimau putih itu bisa mati?"

"Nini Bumigarba, sayang sekali bahwa terpaksa saya berlancang mulut. Yang sombong bukanlah saya. Andika hanya menjadi lantaran kematian Sardulo Pethak, akan tetapi, kalau Sang Hyang Widhi tidak menghendaki, jangankan membunuh Sardulo Pethak, menggerakkan jari tanganmu saja andika tidak mampu. Kalau muridku Bagus Seta ini tadi tidak tewas di tanganmu, itupun atas kehenda Hyang Widhi!"

"Babo-babo! Apakah engkau hendak mengatakan bahwa aku tidak akan dapat membunuhmu, Ki Tunggaljiwa?" bentak Wanita tua yang luar biasa itu...!

Ki Tunggaljiwa tetap tersenyum tenang dan menggeleng-geleng kepalanya. Bagus Seta makin sayang dan kagum menyaksikan sikap gurunya dan mendengar ucapan-ucapannya yang ia anggap jauh lebih bijaksana daripada ucapan Nini Bumigarba yang sombong itu. Sepasang mata Ki Tunggaljiwa mengeluarkan sinar terang ketika ia memandang wajah Nini Bumigarba yang tertutup uap hitam, kemudian suaranya terdengar tegas,

"Saya sudah mendengar akan kesaktian andika yang sudah mencapai tingkat yang sukar diukur kepandaian manusia, dan saya mengerti bahwa saya bukanlah tandingan andika. Akan tetapi, jangan mengira bahwa saya takut akan ancaman andika, karena saya merasa yakin bahwa apabila Sang Hyang Widhi tidak menghendaki, andika pasti tidak akan dapat membunuhku, Nini Bumigarba. Andaikata saya terbunuh olehmu, hal ini hanya terjadi atas kehendak Sang Hyang Widhi!"

"Hi-hi-hik! Hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!" kata Nini Bumigarba dan tiba-tiba wanita tua itu menggerakkan tangan kanannya, dengan jari-jari terbuka menampar ke bawah, ke arah tanah di depannya.

"Pyaarrr....!" Terdengar suara nyaring dan tanah di depannya itu seperti kayu terbakar, mengeluarkan asap menghitam. Sambil berdiri, Nini Bumigarba miringkan tangan di depan dada, melakukan gerakan mendorong. Asap hitam dari tanah itu seperti tertiup angin, bergerak ke arah Ki Tunggaljiwa!

"Sadhu-sadhu-sadhu....!" Ki Tunggaljiwa maklum akan kehebatan dan kedahsyatan ilmu nenek tua ini, maka cepat la menjatuhkan diri bersila di atas tanah, lalu mengerahkan seluruh tenaga batin dan hawa saktinya, melakukan gerakan mendorong ke depan dengan kedua tangan terbuka. Asap hitam yang tadinya bergerak ke arahnya itu kini tertahan dan berputaran.

Terjadilah adu tenaga sakti yang amat hebat, ditonton oleh Bagus Seta yang berusaha bersikap tenang sambil menekan guncangan perasaan hatinya karena ia maklum bahwa gurunya berjuang mati-matian sekali ini. Sang Biku Janapati dan Sang Wasi Bagaspati juga menonton dengan kening berkerut, diam-diam mereka mengharapkan kematian Ki Tunggaljiwa yang merupakan penghalang bagi cita-cita mereka.

Akan tetapi betapapun Ki Tunggaljiwa mengerahkan tenaga, kedahsyatan nenek itu sungguh jauh melampaui kekuatannya. Nenek itu bukanlah manusia biasa, dan pada dewasa itu, kiranya sudah mencapai tingkat tertinggi dalam ilmu aji kepandaian. Biasanya, nenek ini tidak pernah menampakkan diri di dunia ramai, dan munculnya nenek ini merupakan pertanda bahwa memang akan terjadi kegemparan. Asap hitam itu masih berputar-putar, di tengah-tengah antara kedua orang sakti itu, namun lambat laun, perlahan akan tetapi pasti, asap itu mulai bergerak mendorong ke arah Ki Tunggaljiwa.

Bagus Seta memandang dengan mata terbelalak. Sungguhpun tingkat ilmu yang dipelajarinya belum sedemikian tingginya, namun dia yang tergembleng aji kesaktian sejak kecil, maklum atau dapat menduga apa artinya mendoyongnya asap hitam ke arah gurunya. Tak terasa lagi kakinya melangkah tiga kali, mendekat di belakang gurunya dan memandang dengan mata terbelalak, wajahnya pucat. Kini asap itu sudah makin dekat dengan Ki Tunggaljiwa yang masih duduk bersila, kedua tangannya terjulur ke depan dengan jari tangan terbuka, matanya tajam memandang lawan, sedikitpun tidak tampak gentar, bibir yang tersembunyi di balik kumis dan jenggot masih tersenyum, seolah-olah kakek ini melihat datangnya cengkeraman maut sebagai satu hal yang wajar dan tidak aneh.

"Aiihhh...!" Terdengar Nini Bumigarba berseru, tangan kanannya bergerak dan menggetar keras.

cerita silat online karya kho ping hoo

Kini asap itu makin cepat bergerak, seperti mendung tertiup angin menghampiri Ki Tunggaljiwa. Mula-mula asap hitam itu menyentuh ujung jari tangan Ki Tunggaljiwa dan seketika ujung jari-jari tangan kakek itu menjadi hitam!

Makin dekat asap itu menghampiri Ki Tunggaljiwa, makin banyak pula bagian lengannya menjadi hitam. Ki Tunggaljlwa tetap tenang, menanti datangnya maut. Kedua lengannya kini sudah menjadi hitam semua, dijalari hawa beracun yang hebat. Kini dada dan mukanya tersentuh, juga lututnya yang kesemuanya menjadi hitam, dan akhirnya, tak lama kemudian, tubuh Ki Tunggaljiwa telah menjadi hitam semua. Namun kakek itu masih duduk bersila, seperti telah berubah menjadi sebuah arca yang terpahat dari batu hitam!

"Nenek jahat! Perbuatanmu sungguh keji di luar batas perikemanusiaan!" bentak Bagus Seta yang sudah melompat maju di samping gurunya dan mengerahkan tenaga, menerjang dengan lompatan Bayu Tantra hendak menggunakan pukulan dengan Ali Pethit Nogo yang ampuh. Akan tetapi begitu ia menerjang asap hitam, tubuhnya seperti terbakar rasanya dan ia roboh terguling.

Asap hitam itu menggulung-gulungnya diiringi suara gelak tawa Sang Wasi Bagaspati dan sebentar saja tubuh Bagus Seta juga menjadi hitam semua. Pemuda remaja ini seperti cacing terkena abu, seluruh tubuhnya panas dan kepalanya pening. Hanya dengan tekad luar biasa saja ia berhasil bangkit duduk bersila, kemudian tubuhnya menjadi kaku dan panasnya makin tak tertahankan.

"Hi-hik, Ki Tunggaljiwa. Katakan sekarang apakah Sang Hyang Widhi tidak menghendaki andika mati di tanganku?"

Pada saat itu, terdengar suara melengking halus, dibarengi datangnya angin bertiup dari arah kanan Ki Tunggaljiwa. Angin yang membawa datang hawa dingin, lalu tampak ampak-ampak (halimun) putih berarak. Ketika halimun ini nyentuh tubuh Ki Tunggaljiwa dari kanan, bagian tubuh yang tersentuh lalu berubah menjadi bersih kembali.

Halimun putih itu terus bergerak dan perlahan-lahan tubuh Ki Tunggaljiwa dan Bagus Seta yang tersentuh uap putih itu menjadi bersih daripada warna hitam! Nini Bumigarba dan kedua orang kawannya memandang dengan mata terbelalak. Ki Tunggaljiwa yang masih duduk bersila itu lalu tersenyum dan berkata,

"Kehendak Sang Hyang Widhi takkan dapat diubah oleh siapapun juga, Nini Bumigarba. Apalagi andika, para dewata sekalipun tidak kuasa mengubahnya. Buktinya, Sang Hyang Widhi belum menghendaki saya dan Bagus Seta mati, maka pada saat terakhir kami berdua terbebas daripada bencana maut dengan hadirnya seorang manusia yang maha sakti!" Setelah berkata demikian, Ki Tunggaljiwa memutar tubuh ke kanan lalu menyembah.

Bagus Seta mencontoh perbuatan gurunya, menyembah ke arah kanan. Adapun Nini Bumigarba, Biku Janapati dan Wasi Bagaspati juga telah memandang ke jurusan itu. Akan tetapi tidak ada seorangpun manusia tampak. Betapapun juga, tiba-tiba Nini Bumigarba mengeluarkan seruan tertahan ketika hawa yang dingin mengusap wajahnya, mendesak dan medorong hawa panas yang keluar dari tubuhnya sebagai akibat pengerahan aji kesaktiannya tadi.

Kalau saja orang dapat menembus kabut uap hitam, yang menyelimuti nenek ini, tentu akan melihat betapa nenek ini membelalakkan mata dan wajahnya berubah pucat, bibirnya yang sudah keriputan namun masih membayangkan bentuk yang cantik itu kini menggigil seperti orang menahan tangis, dan terdengar bisikannya penuh kekecewaan,

"Engkau.... engkau masih tidak suka mengalah kepadaku...?"

Bisikan ini bercampur dengan isak dan tubuh nenek itu membalik, kemudian pergi dari situ dengan langkah gontai. Melihat ini, Biku Janapati dan Wasi Bagaspati menjadi gentar. Mereka tidak melihat siapa-siapa, tidak tahu siapa yang telah menolong Ki Tunggaljiwa, akan tetapi jelas bahwa Nini Bumigarba sendiri agaknya gentar menghadapi lawan ini. Mereka menarik napas panjang, lalu pergi pula mengejar Nini Bumigarba.

Setelah tiga orang itu pergi, dari dalam halimun putih itu muncul keluar seorang kakek, atau lebih tepat lagi, halimun putih itu menipis seperti tirai diangkat dan tampaklah ujud seorang kakek tua renta berdiri di situ. Ketika Bagus Seta mengangkat muka memandang, ternyata kakek inipun terselimuti wajahnya seperti halnya Nini Bumigarba tadi, hanya bedanya kalau muka nenek itu terselimut uap hitam, kakek ini wajahnya terbungkus uap putih.

"Duh Eyang Bhagawan... sungguh besar kebahagiaan yang dilimpahkan para dewata kepada hamba sehingga saat ini hamba dapat bertemu dengan Eyang Bhagawan!" Terdengar Ki Tunggaljiwa berkata sambil menyembah.

Mendengar ini, Bagus seta tercengang. Gurunya adalah seorang kakek yang sudah amat tua, sukar ditaksir berapa usianya. Akan tetapi gurunya masih menyebut kakek luar biasa yang datang ini sebagai Eyang Bhagawan!

"Baik sekali, Tunggaljiwa. Andika telah memperoIeh kemajuan dan tidak menyeleweng daripada garis yang lurus. Aku datang karena berjodoh dengan muridmu ini yang kelak akan menggantikan dan mewakili kita membersihkan anasir-anasir sesat dari Nusantara."

"Aahhhhh...!" Sukar ditaksir apa arti seruan yang keluar dari dada Ki TunggaljIwa ini. Mungkin saking kaget dan herannya, atau saking girangnya, namun yang sudah pasti kakek ini cepat-cepat memegang lengan muridnya dan berbisik,

"Kulup, lekas menghaturkan terima kasih kepada Eyang Guru!"

Namun Bagus Seta yang sudah tergembleng sejak kecil tetap berpegang kepada kewaspadaannya. Ia membalas dengan bisikan pertanyaan,

"Siapakah gerangan Eyang ini?"

"Beliau adalah Sang Bhagawan Ekadenta, juga Sang Bhagawan Jitendrya dan boleh juga disebut Sang Bhagawan Sirnasarira!"

Tiga nama yang memiliki arti dalam ini agaknya cukup bagi Bagus Seta yang cepat menghadap dan menyembah di depan kakek tua luar biasa itu sambil berkata,

"Hamba menghaturkan terima kasih kepada Eyang yang berkenan hendak memberi bimbingan kepada hamba. Akan tetapi, lima tahun yang lalu Eyang Guru Tunggaljiwa berjanji kepada ramanda bahwa hamba hanya akan belajar selama Iima tahun dan kini telah tiba saatnya hamba kembali kepada orang tua hamba. Kalau hamba tidak pulang, bukankah hal ini berarti menyalahi janji dan amat tidak baik bagi Eyang Guru Tunggaljiwa?"

Sang Bhagawan Ekadenta tersenyum di balik tabir uap putih, dan sepasang mata yang bersinar-sinar itu mengeluarkan cahaya lembut.

"Ah, dasar keturunan satria! Jangan khawatir, Angger, memegang teguh janji bukan hanya menjadi kewajiban para satria, melainkan kewajiban setiap orang manusia, termasuk para pertapa seperti kami. Kalau andika suka menjadi muridku, sekarang juga aku akan membawa andika menemui ayahanda sebagai pelaksanaan daripada janji Ki Tunggaljiwa."

Bagus Seta menoleh ke arah gurunya dengan pandang mata penuh pertanyaan. Betapapun juga, selama lima tahun ia digembleng oleh kakek ini dan ia merasa terharu kalau harus meninggalkan gurunya yang dikasihinya. Namun gurunya tersenyum kepadanya dan berkata,

"Berangkatlah, Angger, dan doa restuku selalu mendampingimu."

Bagus Seta lalu menyembah ke arah Bhagawan Ekadenta, "Baiklah, ,Eyang. Hamba siap untuk pergi bersama Eyang."

"Bagus! Kau ikutlah aku, Angger... Ki Tunggaljiwa, sampai jumpa pula!"

Tubuh kakek itu bergerak, diselubungi halimun putih dan Bagus Seta cepat-cepat menyembah ke arah Ki Tunggaljiwa sebagai tanda pamit, lalu bergegas mengikuti halimun putih itu yang meninggalkan puncak bukit. Ki Tunggaljiwa bangkit berdiri, memandang kepergian muridnya dengan mulut tersenyum. Hatinya lega dan puas karena ia telah melaksanakan tugasnya selama lima tahun dan diam-diam ia berdoa semoga sinar terang selalu akan mengatasi kegelapan yang mengancam dunia, semoga kebenaran akhirnya akan unggul sehingga dunia menjadi tempat tinggal manusia yang penuh damai dan ketenteraman.

Cita-cita inilah yang menjadi kandungan hati setiap orang pertapa, sungguhpun Ki Tunggaljiwa sendiri maklum bahwa segala peristiwa telah diatur oleh Sang Hyang Widhi, dan bahwa manusia, betapapun pandainya, tidak kuasa mengubahnya. Dia maklum pula bahwa sudah menjadi kehendak alam bahwa dua sifat yang saling bertentangan, baik dan buruk, akan desak-mendesak, ganti-mengganti, berkuasa di dalam kehidupan manusia.

Bahwa selama masih ada yang disebut kebaikan, maka di sampingnya akan selalu ada pula keburukan. Bahwa selama manusia mengenal kebajikan, manusia takkan bebas daripada kejahatan, karena sesungguhnya baik dan jahat, seperti halnya dua unsur berlawanan di dunia ini, adalah saudara kembar yang tak terpisahkan. Betapapun juga, manusia berkewajiban untuk berikhtiar, manusia berakal budi dan sadar akan perbedaan antara kedua unsur berlawanan itu.

Dan ia mengerti pula bahwa kalau Sang Bhagawan Ekadenta sampai turun ke dunia ramai, hal ini hanyalah merupakan kewajibannya sebagai manusia maha sakti, untuk mengimbangi turunnya seorang tokoh seperti Nini Bumigarba! Ki Tunggaljiwa menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang.

"Panjalu dan terutama Jenggala akan geger... dan bocah itu telah terpilih menjadi orang yang akan menanggulangi dan mengimbangi kekuatan-kekuatan sesat. Alangkah berat tugasnya... !"

Kakek inipun menggerakkan kaki, perlahan-lahan menghampiri mayat Sardulo Pethak dan dikuburnya mayat binatang yang derajatnya sudah mendekati manusia itu dengan penuh kasih sayang.

Tanpa berkata-kata, kakek yang tubuhnya diselubungi halimun putih itu berjalan terus, dlikuti oleh Bagus Seta. Setelah mereka turun dari bukit, kakek itu menoleh, memegang tangan Bagus Seta, digandengnya dan Bagus Seta tertegun. Kini ia berada di dalam halimun putih dan tubuhnya terasa ringan sekali. Tampaknya saja mereka berjalan lambat-lambat, akan tetapi ia maklum bahwa sesungguhnya mereka melakukan perjalanan dengan kecepatan yang tak dapat ia bayangkan, karena mereka bukan berjalan biasa, melainkan bergerak maju didorong hawa sakti yang amat mujijat.

Seperti telah diceritakan dalam jilid terdahulu dari cerita ini, pada waktu itu Sang Adipati Tejolaksono sedang memimpin barisan Panjalu mengadakan pembersihan terhadap anak buah Sang Wasi Bagaspati. Telah diceritakan pula betapa Adipati Tejolaksono menyerbu ke Gunung Merak dan di gunung inilah dia terjebak, roboh oleh Sang Wasi Bagaspati dan tentu akan tewas di ujung senjata nenggala mIlik Ki Kolohangkoro kalau saja tidak muncul Sang Bhagawan Ekadenta yang datang bersama Bagus Seta.

Nyawa TejoIaksono tertolong dan baru pertama kali itu Sang Bhagawan Ekadenta menampakkan diri sehingga kelihatan oleh Wasi BagaspatI dan Biku Janapati, bahkan oleh para anak buah mereka. Pihak lawan terusir dan Tejolaksono dapat bertemu dengan puteranya yang telah pergi selama lima tahun lebih. Telah diceritakan pula betapa dalam pertemuan ini Bagus Seta memberikan setangkai bunga cempaka putih dengan pesan agar diberikannya bunga itu kepada ibundanya, kemudian Bagus Seta mengikuti gurunya meninggalkan ramandanya yang memandang penuh kagum dan haru.

Oleh kakek yang maha sakti itu, Bagus Seta dibawa ke puncak Gunung Mahameru, gunung yang tertinggi di seluruh Nusantara. Puncak gunung ini tertutup awan putih dan samar-samar tampak asap yang tak pernah berhenti mengepul dari kawah di puncak. Dapat dibayangkan betapa dinginnya puncak yang selalu diselimuti halimun tebal itu, akan tetapi juga dapat diduga betapa panasnya kawah yang selalu mengepulkan asap.

Namun, di antara pertemuan kedua hawa yang bertentangan ini, Bagus Seta dituntun Sang Bhagawan Ekadenta memasuki kawah di puncak Gunung Mahameru untuk memulai dengan gemblengan yang akan dIterimanya sebagai murid sang sakti! Mulai saat Itu, terbebaslah Bagus Seta daripada dunia ramai, hidup menggembleng diri seperti hidup di alam khayal, seolah-olah ia telah menjadi sebagian daripada puncak Mahameru, menjadi sebagian daripada alam.

********************

Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik maupun buruk, manis maupun pahit bagi manusia, sesungguhnya bukan lain adalah akibat-akibat daripada sebab-sebab yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Nafsu merajalela dalam diri manusia, menanggulangi kelemahan manusia sehingga manusia menjadi boneka-boneka atau hamba-hamba nafsu yang hidup semata-mata untuk melampiaskan dorongan nafsu.

Nafsu membuat manusia menjadi makhluk yang paling mementingkan pribadi (egois) dan yang selama hidupnya bersandar kepada sifat ini sehingga tanpa disadarinya setiap pikiran, setiap perbuatan, setiap ucapan selalu merupakan penonjolan daripada sifat egoistik ini. Mari kita renungkan dan bersiap-siap mengenal kelemahan kita sendiri. Pandangan baik dan buruk, adil dan tidak, semua dipengaruhi watak kita yang egoistik. Biarpun orang sekampung menganggap seorang itu jahat, kalau si orang itu selalu baik terhadap anda, dapatkah anda menganggap orang itu jahat?

Sebaiknya, andaikata orang sekampung menganggap seseorang itu baik, kalau si orang itu menjadi musuh anda, dapatkah anda menganggapnya seorang baik? Demikian pula tentang anggapan tentang adil atau tidak. Kalau adil untuk kita, maka kita anggap adillah! Atau lebih tepat, kalau MENGUNTUNGKAN kita, maka kita anggap adil. Kalau MERUGIKAN, maka itu tidak adil namanya! Memang kita (manusia) adalah makhluk-makhluk yang amat lemah, badut-badut yang selalu menimbulkan lelucon yang hambar.

Hari hujan, Bibi penjual makanan mengeluh, Paman tani bersorak. Yang seorang menganggapnya buruk dan tidak adil, yang lain menganggapnya baik dan adil, sesuai dengan sifat-sifat egoisme masing-masing. Baik atau tidakkah hari hujan? Adil atau tidakkah? Tidak baik tidak buruk. Hujan ya hujan! Wajar dan sudah semestinya begitu. Berbahagialah dia yang dapat menerima segala sesuatu yang terjadi atas dirinya SEBAGAI SUATU KEWAJARAN!


Kerajaan Jenggala diliputi mega mendung yang gelap. Suasana menjadi keruh oleh pengumbaran nafsu yang melanda istana. Semua keadaan berbalik karena merajalelanya nafsu. Yang putih nampak hItam, yang hitam diputihkan. Akibat daripada olah manusia penghamba nafsu yang dipelopori oleh sang prabu di Jenggala, yang menjadi gelap mata batinnya tanpa disadarinya, tenggelam ke dalam belaian nafsu yang digelorakan rayuan Suminten. Kalau kepalanya menyeleweng, tentu ekornya juga terbawa menyeleweng. Kalau pimpinannya tersesat, pembantu-pembantupya tentu ikut-ikutan tersesat, karena jalan menuju kemaksiatan amatlah menyenangkan!

Sang prabu mabuk oleh belaian nikmat, tenggelam dalam pelukan Suminten, tidak memperdulikan keadaan pemerintahan, bahkan menyerahkan segala urusan kepada selir yang terkasih ini. Pangeran Kukutan diangkat menjadi putera mahkota, orang-orang macam Tumenggung Wirokeling dan Tumenggung Sosrogali dijadikan ponggawa tinggi.

Bahkan satu demi satu para ponggawa tinggi digeser dan diganti oleh orang-orang kepercayaan Pangeran Kukutan sehingga akhirnya hanya tinggal Ki Patih Brotomenggala yang masih mempertahankan kedudukannya. Masih berat hati sang prabu untuk mengganti patihnya yang sudah mengabdi semenjak pemuda. Namun ki patih sendiri maklum betapa ia telah dikurung oleh musuh-musuh yang berbahaya.

Menghadapi musuh yang terang-terangan menentangnya dengan senjata di tangan, ki patih yang perkasa ini tidak akan undur selangkahpun. Namun kini musuh-musuhnya bergerak secara halus dan inilah yang amat berbahaya. Hanya karena kesetiaannya kepada sang prabu saja yang membuat ki patih masih memaksa diri mengabdi di Jenggala, untuk melindungi dan membela junjungannya.

Makin besar pengaruh Suminten terhadap sang prabu, makin berani pula wanita ini mendesak dan memperbesar kedudukan dan kekuasaannya. Dan ternyata bahwa Suminten bukan hanya seorang wanita yang gila akan kedudukan tinggi dan kekuasaan, juga gila akan pria-pria yang tampan. Untuk menutup ketidakpuasannya bersuamikan seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih seperti Sang Prabu Jenggala, Suminten tidak saja menarik Pangeran Kukutan yang muda dan tampan sebagai kekasihnya, juga pangeran-pangeran lain yang menjadi sekutu mereka banyak yang ia pikat untuk melayani nafsu berahinya yang tak kunjung padam!

Pengeran Kukutan tentu saja tahu akan hal ini akan tetapi dia yang telah jatuh ke dalam kekuasaan Suminten, tidak berani cemburu. Apalagi kalau diingat bahwa kegilaan pria yang menjadi watak Suminten ini merupakan semacam senjata yang ampuh pula untuk menundukkan dan menarik para pangeran itu menjadi sekutu sehingga kedudukan mereka menjadi makin kuat!

Suminten dan Pangeran Kukutan, sebagai pucuk pimpinan komplotan yang bercita-cita menguasai Kerajaan Jenggala ini, maklum bahwa kekuasaan mereka sudah cukup besar. Sebagian besar para ponggawa tinggi adalah kaki tangan mereka sehingga sebagian besar perajurit barisan Jenggala otomatis berada di bawah kekuasaan mereka. Kalau mereka bergerak dan terjadi bentrokan, mereka akan menang. Akan tetapi Suminten yang cerdik tidak mau mempergunakan kekerasan.

"Jangan terburu nafsu, Pangeranku yang gagah!" katanya mencela sambil membelai rambut Pangeran Kukutan yang merebahkan kepala di atas pangkuan sepasang paha yang bulat lunak Itu. "Betapapun kuat kedudukan kita, masih ada rintangan yang amat besar, yaitu Ki Patih Brotomenggolo dan antek-anteknya. Mereka ini masih memiliki pasukan pilihan yang masih bersetia kepada raja."

"Kita tidak perlu takut, Dewiku yang jelita" kata Pangeran Kukutan sambil melingkari pinggang ramping yang sudah amat dikenalnya itu dengan lengannya,

"Kalau sampai terjadi perang, pasukan kita lebih banyak dan kawan-kawan kita bergerak dari dalam, mudah saja menguasai istana dalam waktu singkat. Adapun Si tua bangka itu, aku sendiri sanggup untuk mencekiknya sampai mampus."

"Hisss...!" Suminten menunduk dan menggunakan sepasang bibirnya yang merah dan manis itu untuk menutup mulut kekasihnya.

Sejenak mereka berciuman. Kemudian Suminten mengangkat mukanya dan berbisik, "Jangan bodoh, Pangeran. Kita tidak boleh terlalu mengandalkan kekerasan. Mungkin kita bisa menang menghadapi pasukan Jenggala yang masih setia kepada sang prabu. Akan tetapi kita harus waspada dan ingat kepada Panjalu. Apakah engkau kira Panjalu akan diam saja kalau Jenggala direbut dengan kekerasan? Dan kita tahu betapa kuatnya Panjalu, apalagi setelah Adipati Tejolaksono menjadi patih muda di sana. Kita tentu akan dipukulnya dan akan hancur sebelum sempat menikmati kemenangan kita..."

Wajah Pangeran Kukutan menjadi pucat dan ia bangkit duduk. "Ah, kau benar juga, Dewiku..." Pangeran kukutan hanya gagah kalau menghadapi lawan yang lemah, sebetulnya dia seorang pengecut yang belum apa-apa sudah mundur ketakutan menghadapi lawan yang kuat. "Habis, bagaimana baiknya?"

"Tenanglah, Pangeran Pati, Engkau kan sudah menjadi putera mahkota, perlu apa tergesa-gesa? Kalau kekuasaan itu berpindah ke tangan kita, hal itu harus berlangsung secara wajar dan tanpa ada kekerasan sehingga Panjalu akan menerimanya pula dengan baik. Sekarang kita harus bersabar dan memperbesar dukungan. Hanya ki patih dan antek-anteknya yang masih menjadi duri dalam daging.... dan.... sang permaisuri!"

"Memang ki patih dan ibunda permaisuri agaknya memusuhi kita. Akan tetapi mereka itu terlalu kuat kedudukan mereka dan ramanda prabu terlalu sayang kepada mereka. Betapa mungkin menghalau mereka keluar Istana?"

"Eh, wong bagus, mengapa bingung? Serahkan saja mereka Itu kepadaku, dan kelak akan tiba masanya mereka jatuh ke tangan Suminten! Hanya Panjalu yang kukhawatirkan.... " Suminten menghentikan kata-katanya karena pangeran itu kembali telah memeluknya dan membelainya, yang membuatnya sesak napas.

Napasnya selalu menjadi sesak oleh dorongan nafsu apabila tubuhnya dibelai tangan-tangan pria muda yang sekaligus menghapus kekecewaan dan kemuakannya dalam melayani sang prabu yang sudah tua. Kedua orang yang sudah dimabuk nafsu ini mengadakan pertemuan di dalam kamar Suminten. Kini mereka lebih berani, tidak lagi mengadakan pertemuan rahasia di taman sari, karena selain mereka yakin bahwa malam itu sang prabu yang makin lemah tubuhnya tidak akan datang ke kamar Suminten, juga andaikata sang prabu datang, tentu lebih dulu mereka akan diperingatkan oleh para emban dan pengawal yang menjaga ketat. Pendeknya, mereka itu terjaga dan aman oleh para abdi yang sudah mereka percaya penuh. Setiap mengadakan pertemuan, mereka bermain cinta semalam suntuk dengan hati tenteram di dalam kamar yang indah dan mewah itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati kedua orang khianat ini ketika tiba-tiba terdengar suara ketawa di luar jendela kamar yang tadi sengaja mereka buka karena hawa udara malam hari itu agak panas. Mereka yakin bahwa tidak akan ada seorangpun abdi yang akan berani mendekati jendela karena hal itu berarti mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi sekarang tiba-tiba ada orang tertawa di luar jendela, disusul suara seorang laki-laki yang halus penuh ejekan,

"Dua orang muda yang masih hijau hanya mengandalkan kenekatan dan keberanian, tanpa menggunakan kecerdikan. Jika tidak kubantu, mana mungkin tercapai cita-cita dan dapat menanggulangi Panjalu? Ha-ha-ha!"

Pangeran Kukutan terkejut dan cepat melepaskan pelukannya, menyambar sebatang tombak di sudut kamar lalu meloncat keluar jendela itu sambil membentak, "Keparat! Siapa berani kurang ajar?"

Akan tetapi terdengar suara gedobrakan dan tubuh Pangeran Kukutan terpelanting kembali ke dalam kamar karena ada tangan yang amat kuat mendorongnya dari luar jendela, kemudian disusul melayangnya sesosok tubuh seorang pria yang tampan dan gagah. Pangeran Kukutan yang terbanting ke atas lantai, cepat meloncat berdiri, dan bersama Suminten dia memandang orang itu dengan mata terbelalak.

Orang itu adalah seorang laki-laki berusia antara empat puluh tahun, tampan dan gagah, sikapnya tenang sekali, wajahnya berseri, senyumnya memikat dengan kumisnya yang tipis menghias di atas bibir. Sungguh seorang pria yang tampan dan gagah, dan pandang matanya yang ditujukan kepada Suminten membuat wanita ini berdebar karena pandang mata itu demikian penuh pengertian dan penuh daya tarik. Seorang pria yang jantan dan matang!

Akan tetapi Pangeran Kukutan yang amat marah itu berseru keras, tombaknya bergerak menusuk dada yang telanjang itu. Pria itu hanya tersenyum memandang, sama sekali tidak mengelak.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Desss! Krakkk... Tombak yang menusuk dada yang bidang itu meleset kemudian gagangnya patah!

Terbelalak Pangeran Kukutan memandang gagang tombak yang berada di tangannya, wajahnya pucat sekali dan Suminten menahan jerit menutupi mulut dengan tangan. Laki-laki itu tersenyum lebar dan berkata, "Kalau sekarang kutangkap kalian berdua, lalu kuadukan kepada sang prabu, nasib apakah yang akan menanti kalian? Dibakar hidup-hidup? Atau dipenggal leher?"

Makin pucat wajah Pangeran Kukutan, teringat ia akan pengawalnya, maka ia lalu membuka mulut berseru memanggil para pengawal. Akan tetapi malam tetap sunyi, tidak ada jawaban para pengawal. Pria itu tersenyum dan menggeleng-geleng kepala, melangkah ke pintu kamar dan sekali dorong pintu kamar terbuka.

"Lihatlah. Seluruh pengawal dan abdimu telah pulas. Percuma andika berteriak Pangeran. Dan hentikan teriakanmu. Bagaimana kalau yang datang itu pengawal istana dan melihat kalian di dalam kamar ini? Apalagi kalau ki patih yang banyak memasang mata-mata sampai mengetahui pertemuan rahasia ini. Hemm... akan ramai!"

Pangeran Kukutan makin ketakutan dan hendak nekad melarikan diri, akan tetapi Suminten sudah menyentuh lengannya, kemudian wanita ini meiangkah maju menghampiri pria itu yang sudah menutupkan kembali daun pintu di depan dimana para pengawal telah tidur pulas dalam keadaan tidak wajar, ada yang duduk dan ada yang berdiri bersandar dinding!

"Siapakah andika? Dan apa maksud kedatangan andika seperti ini?"

Sebelum menjawab laki-laki itu memandang ke arah Suminten. Kamar itu diiterangi oleh sebuah lampu yang dibungkus sutera merah sehingga sinarnya kemerahan. Dengan pakaiannya yang kusut, Suminten kelihatan cantik jelita di dalam cahaya kemerahan. Laki-laki Itu memandang dengan pandang mata tajam penuh selidik. Suminten membalas pandang mata itu dan merasa betapa bulu-bulu di tubuhnya bergerak merinding.

Pandang mata laki-laki itu menjelajahi seluruh tubuhnya, seolah-olah jari-jari tangan yang membelai dan menyentuh mesra. Belum pernah ia bertemu dengan pria yang dapat membelainya hanya dengan pandang matanya, dan dapat membuat jantungnya berdebar, kulit tubuhnya merinding hanya dengan ulasan pandang mata!

"Cantik jelita! Hati siapa takkan tergila-gila? Pantas.... memang patut dilabuhi pati (dibela sampai mati) setiap orang pria! Andika yang bernama Suminten, bukan? Dan dia ini adalah Pangeran Kukutan, yang kini menjadi putera mahkota? Ketahuilah, saya bernama Raden Warutama dari Bali dwipa."

"Maksud kedatanganmu seperti ini?" kata Suminten, sikapnya tenang sekali.

Wanita ini memang hebat. Dalam keadaan seperti itu, sebentar saja ia telah dapat menguasai dirinya dan dapat bersikap tenang, berbeda dengan Pangeran Kukutan yang menjadi gelisah sekaIi. Diam-diam Raden Warutama menjadi kagum sekali dan mengertilah ia mengapa wanita ini dapat menguasai keadaan di dalam istana Jenggala, kiranya memang bukan wanita sembarangan.

"Maksud kedatanganku? Tidak lain hendak membantu cita-citamu! Kalian tadi mengatakan jerih menghadapi Panjalu, jerih menghadapi Tejolaksono. Tanpa bantuanku, cita-cita kalian takkan terlaksana. Akulah orangnya yang akan dapat membuat Pangeran Kukutan kelak menjadi raja, andika menjadi permaisurinya, dan aku.... ha-ha, aku menjadi patihnya. Bukan hanya Raja Jenggala, melainkan Raja Jenggala dan Panjalu menjadi satu!"

Suminten mengerutkan alisnya yang menjelirit (kecil panjang hitam), memandang tajam dan berkata, "Raden Warutama, ucapanmu yang muluk-muluk hanya membayangkan kesombongan yang tak berisi. Mungkin andika memiliki sedikit kedigdayaan sehingga sanggup mengalahkan Pangeran Kukutan, akan tetapi andika terlalu memandang remeh Panjalu. Apakah dengan sedikit kedigdayaanmu dan sikap menarikmu itu Panjalu akan dapat ditundukkan dengan mudah? Hendaknya andika jangan menjual lagak di sini, karena aku bukanlah seorang wanita yang mudah roboh oleh bujuk rayu!"

Makin kagum Raden Warutama. Wanita hebat seperti ini jarang dapat ditemukan dan akan menjadi sekutu yang amat berguna. "Bagus sekali, memang tepat apa yang paduka katakan, wahai Sang Dyah Ayu. Dan paduka sang pangeran, harap maafkan kelancangan saya tadi. Kini, mari kita bicara dengan sungguh-sungguh, karena kedatanganku membawa amanat penting sekali yang akan menguntungkan kita bersama."

Pangeran Kukutan masih ragu-ragu, akan tetapi Suminten yang maklum bahwa mempergunakan kekerasan terhadap orang ini tidak akan ada gunanya, apa-lagi karena semua abdi dan pengawal telah terkena sirep yang amat ampuh, lalu tersenyum ramah dan berniat untuk menghadapinya dengan jalan halus.

"Silahkan, Raden. Mari kita bicara dengan sungguh-sungguh. Duduklah."

Mereka bertiga kini sudah duduk berhadapan. Raden Warutama dan Pangeran Kukutan di atas bangku-bangku terbungkus sutera halus, adapun Suminten sendiri duduk di atas pembaringan yang lunak dan halus bertilam sutera merah jambon.

"Sebelum bicara tentang persekutuan, hendaknya paduka berdua mengetahui bahwa sesungguhnya saya adalah seorang anak kemenakan mendiang Sang Patih Narotama."

"Ahhh....!" Seruan ini keluar dari mulut Pangeran Kukutan yang dalam hal menekan perasaan masih kalah jauh oleh Suminten yang tetap tenang. Seruan ini adalah seruan kaget, karena Pangeran Kukutan yang sesungguhnya bukan keturunan Sang Prabu Jenggala, mengira bahwa keponakan Narotama yang setia kepada raja itu tentu saja akan membela sang prabu. la lupa dalam kegugupannya bahwa Warutama tentu saja tidak tahu bahwa dia bukanlah keturunan sang prabu.

Bagi Warutama sendiri, seruan disangkanya seruan kaget dan girang maka ia tersenyum dan berkata kepada Pangeran Kukutan.

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 26

Perawan Lembah Wilis Jilid 25

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Perawan Lembah Wilis Jilid 25

ENDANG Patibroto makin tunduk dan yakin bahwa kakek ini bukanlah orang sembarangan, maka ia pun terpaksa merelakan kepergian adik kandungnya, Setyaningsih bersama suaminya. Segera para anggota Padepokan Wilis mempersiapkan segala perbekalan pengantin baru ini, segala perbekalan untuk dipakai dalam perjalanan. Dua ekor kuda pilihan yang besar disediakan.

"Paman Pangeran dan Bibi yang baik, Kelak kalau aku sudah tamat belajar kepada Eyang Guru dan sudah dewasa, aku akan menyusul Paman dan Bibi. Aku ingin sekali melihat kerajaan!" kata Retna Wilis.

Setyaningsih memeluk dan menciumi muka keponakannya yang diasuhnya semenjak lahir itu. Ia menitikkan air mata, hal yang jarang sekali terjadi pada diri Setyaningsih.

"Iihhh, kenapa Bibi menangis? Apakah tidak girang pergi bersama Paman Pangeran?" Pertanyaan ini memancing keluar lebih banyak air mata lagi. Melihat ini, Endang Patibroto yang tidak suka kalau puterinya kelak juga menjadi seorang yang cengeng cepat berkata,

"Bibimu menangis karena girang, Retna. Sudahlah, Ningsih, ada waktunya berkumpul tentu ada waktu untuk berpisah. Ada saat berpisah tentu disusul pula saat pertemuan kembali. Berangkatlah dengan hati lapang, adikku sayang, karena engkau pergi mengikuti suamimu. Itulah kewajiban pertama bagi seorang isteri."

Demikian Endang Patibroto berkata menghibur. Akan tetapi Setyaningsih yang sudah menganggap ayundanya ini seperti lbunya sendiri, yang dicintanya sepenuh hati, menjadi makin terharu dan menubruk ayundanya, berlutut merangkul kaki dan menangis.

"Ayunda Endang.... selamat tinggal.... semoga kita dapat cepat berkumpul kembali, Ayunda...!"

Melihat keadaan isterinya ini, dengan penuh kasih sayang Pangeran Panji Sigit lalu merangkulnya, mengangkatnya bangun lalu menuntunnya ke tempat di mana dua ekor kuda mereka sudah menunggu. Kemudian mereka lalu melompat ke atas punggung kuda dan berangkatlah suami isteri ini, diikuti pandang mata sayu dari Endang Patibroto, sinar mata bersinar-sinar dari Retna Wills, dan pandang mata melamun dari Ki Datujiwa. Beberapa kali Setyaningsih menengok dan melambaikan tangan, dibalas oleh tiga orang ini yang terus berdiri memandang sampai bayangan kedua suami isteri itu lenyap di sebuah tikungan.

********************

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Bagus Seta yang kelak akan menjadi tokoh terpenting di samping Retna Wilis dalam cerita ini. Seperti telah kita ketahui, ketika berusia sepuluh tahun, Bagus Seta dibawa oleh Ki Tunggaljiwa, atau lebih tepat, anak itu yang datang naik di punggung Sardulo pethak, menemui Ki Tunggaljiwa dan diangkat sebagai muridnya.

Telah diceritakan pula betapa ramandanya, Adipati Tejolaksono dan isterinya, Ayu Candra, menyusul ke Gunung Merapi di mana Bagus Seta yang berusia sepuluh tahun itu digembleng oleh KI Tunggaljiwa. Akan tetapi akhirnya Tejolaksono dan isterinya merelakan puteranya menjadi murid sang pertapa sakti untuk digembleng selama lima tahun!

Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan Bagus Seta yang berdarah satria perkasa itu berlatih dengan penuh ketekunan. Memang hebat latihan yang diberikan oleh Ki Tunggaljiwa. Tidak hanya berendam air dingin dan kadang-kadang air panas sampai semalam suntuk, juga anak ini dilatih bersamadhi dan berpuasa sampai berhari-hari lamanya. Kadang-kadang disuruh mainkan jurus-jurus gerak silat yang telah ia pelajari dari ayahnya. Ternyata Ki Tunggaljiwa mengenal belaka semua jurus ilmu itu dan mulailah memberi petunjuk-petunjuk sehingga cepat sekali ilmu silat Bagus Seta meningkat. Tubuh anak ini menjadi kuat sekali, dan gerakannya cepat ringan mengagumkan.

Temannya berlatih adalah harimau putih yang sesungguhnya jauh berbeda dengan harimau-harimau biasa. Harimau ini terlatih melalui aji kesaktian Ki Tunggaljiwa sehingga memiliki kecerdikan luar biasa seperti manusia. Sungguhpun akal budinya seperti manusia tidak ada, namun Sardulo pethak mempunyai kelebihan daripada manusia, yaitu nalurinya yang amat kuat.

Sampai tiga empat tahun kemudian, biarpun dalam latihan akhirnya Bagus Seta dapat menangkan harimau itu, namun ia harus mengerahkan tenaga dan kepandaiannya, dan setelah berkali-kali memukul mendorong dan membanting ia baru dapat menundukkannya. Akan tetapi ia sendiripun lecet-lecet dan napasnya terengah-engah, peluhnya membasahi seluruh tubuh.

Baru setelah genap lima tahun, ia benar-benar dapat menundukkan Sardulo pethak tanpa banyak sukar lagi. Kini Bagus Seta telah berusia lima belas tahun, telah menjadi seorang pemuda tanggung yang bertubuh tegap, bahunya bidang, dadanya menonjol membayangkan tenaga dahsyat, wajahnya tampan dan pandang matanya seperti dapat menembus dada orang. Namun sikapnya lemah lembut, bahkan gerak-geriknya kelihatan lamban, tidak tampak ketangkasannya di waktu biasa. Namun, kalau orang menyaksikan dia berlaga dalam latihan menghadapi Sardulo pethak, orang akan kagum dibuatnya.

Pagi hati itu, terdengar suara Sardulo pethak mengaum-aum, menggetarkan puncak Merapi. Beginilah kalau harimau itu sedang bersemangat dan bergembira dan biasanya hal itu terjadi kalau dia sedang bergurau atau berlatih dengan Bagus Seta. Pagi hari itupun Bagus Seta mengajaknya bertanding dalam latihan. Pemuda remaja dan harimau itu sudah berdiri berhadapan di lapangan rumput di bawah puncak.

"Paman Sardulo, kemarin dulu aku mengalahkanmu dalam sepuluh jurus. Kini aku telah menemukan akal yang baik sekali dan kurasa aku akan dapat membuatmu tidak berdaya kurang dari sepuluh jurus!"

Harimau itu sudah biasa diajak bercakap-cakap oleh Bagus Seta. Entah dia mengerti atau tidak, hal ini tak pernah dapat dibuktikan. Akan tetapi begitu mendengar ucapan Bagus Seta, ia lalu mengaum berkali-kali seperti menantang atau mentertawakan ucapan Bagus Seta yang hendak menundukkannya kurang dari sepuluh jurus!

cerita silat online karya kho ping hoo

Bagus Seta yang sudah lima tahun setiap hari bergaul dengan harimau ini dapat membedakan auman marah, senang, atau bahkan mengejek mentertawakan. Maka ia lalu memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lebar, tubuhnya agak merendah dengan kedua lutut ditekuk, kedua lengannya dikembangkan dengan jari-jari tangan terbuka, lalu ia berkata,

"Kau mentertawakan dan tidak percaya, Paman Sardulo? Hayo kita mulai! Awas jurus pertama!" Setelah berkata demikian, tubuh Bagus Seta menubruk ke depan.

Sardulo pethak itu adalah seekor harimau yang lain daripada harimau biasa, memiliki kecerdikan dan mendekati kecerdikan manusia. Setelah lima tahun menjadi kawan berlatih Bagus Seta, apalagi setelah akhir-akhir ini ia selalu dikalahkan, harimau putih inl maklum bahwa kalau dia yang menubruk dan menyerang, dia akan dapat dirobohkan dengan mudah.

Tentu saja ia tidak tahu dan tidak mengerti mengapa bisa demikian. Dia tidak tahu bahwa dalam setiap penyerangan, berarti membuka kelemahan pertahanan sendiri. Dia hanya tahu karena pengalaman kalah berkali-kali dan kekalahan ini selalu terjadi karena dia terlalu bernafsu menyerang. Maka akhir-akhir ini ia tidak lagi mau menyerang, hanya menanti serangan dan memusatkan perhatian pada pertahanan.

Bagus Seta tentu saja tahu akan siasat harimau itu, maka ia pun tidak mau ragu-ragu lagi untuk menerjang. Terjangannya dahsyat sekali. Melihat perawakannya, Bagus Seta yang berusia lima betas tahun itu tidaklah dapat disebut tinggi besar. Perawakannya sedang saja, bahkan kulit lengannya halus, kelihatannya lemah lembut.

Namun di bawah kulit itu tersembunyi hawa sakti yang dapat menciptakan tenaga dahsyat dan mujijat akibat gemblengan Ki Tunggaljiwa yang sakti mandraguna. Kulit yang halus itu memiliki kekebalan luar biasa, tidak dapat tergores kuku cakar harimau. Daging di bawah kulit dapat mengeras seperti baja, tidak mempan gigitan taring harimau. Biasanya, kalau menyerang Sardulopethak, Bagus Seta mempergunakan aji pukulan dan tendangan, namun tubuh harimau itu pun sudah kebal dan kuat sekali sehingga dalam latihan biasa, setelah sepuluh jurus baru ia membuat harimau putih itu roboh dan kalah.

Ketika Bagus Seta menerjang maju, Sardulo pethak menggereng dan berdiri di atas kedua kaki belakang. Cakarnya dengan kuku-kuku meruncing itu segera bergerak ke depan, tidak hanya untuk menangkis pukulan Bagus Seta, melainkan terutama sekali untuk mencengkeram ke arah dada. Kalau saja ia berhasil mencakar robek baju lawan, hal ini sudah merupakan sebagian kemenangan baginya. Mulutnya sudah dibuka lebar dan siap menggigit pundak atau leher. Kalau hal ini dapat dilakukan, ia dapat menekan tubuh lawan itu ke bawah, menindih dengan berat tubuhnya, mencengkeram dan menggigit sehingga Bagus Seta takkan dapat bangun kembali!

Terdengar Sardulo pethak mengaum penuh kegirangan. Tidak seperti biasanya, menggunakan kecepatan gerak tubuh pemuda itu menghindar, kali ini malah Bagus Seta menerima tangkisan dan cakaran lawan, kemudian kakinya terpeleset dan tubuhnya roboh terlentang di depan Sardulo pethak. Harimau itu mengaum gembira dan cepat menubruk untuk menindih tubuh kawan yang menjadi lawan berlatih. Kalau saja ia dapat bicara, tentu ia bersorak karena kemenangan yang sudah membayang di depan mata ini.

Akan tetapi, biarpun tubuhnya sedang rebah terlentang, gerakan Bagus Seta lebih cepat lagi. Tiba-tiba si harimau kehilangan lawannya yang bagaikan seekor belut telah melesat melalui bawah perutnya. Ketika Sardulo Pethak yang kebingungan itu membalikkan tubuh, ia sudah terlambat. Bagus Seta kini sudah menubruk dari belakang, memiting leher-nya dengan kedua lengan dengan erat sekali, melekat seperti seekor lintah menempel di punggung kerbau.

Sardulo Pethak mengeluarkan gerengan yang menggetarkan lembah gunung. Gerengan ini hebat bukan main, sampai semua binatang di hutan-hutan daerah Merapi lari ketakutan, harimau-harimau menyembunyikan diri tak berani berkutik, burung-burung yang sedang berteduh di pohon-pohon terbang kacau-balau dan ketakutan. Harimau putih ini berusaha menghempaskan tubuh yang menempel di punggungnya itu, menggerak-gerakkan kepala ke kanan kiri dalam usahanyamenggigit muka lawan. Akan tetapi Bagus Seta memiting kuat-kuat dan kepalanya sendiri menempel di belakang telinga Sardulo Pethak.

Kedua kakinya tergantung di kanan kiri perut harimau. Betapapun harimau itu berusaha untuk melepaskan diri dari pitingan, Bagus Seta tak pernah mengendurkan kempitannya, bahkan memperhebat pitingan, memperkuat tenaga sampai harimau itu terengah-engah karena lehernya terjepit. Akhirnya, setelah Bagus Seta mengerahkan aji kekuatannya, harimau itu tidak kuat bertahan lagi dan roboh miring, terus ditunggangi Bagus Seta, dipiting dan tidak dapat berkutik lagi.

"Nah, apa kataku, Paman Sardulo? Aku dapat menjatuhkanmu dalam satu dua jurus. Tidak percayakah Paman sekarang?" tanya Bagus Seta sambil melepaskan pitingan dan meloncat bangun dengan wajah berseri.

Harimau putih itu bangkit dan menengadahkan kepalanya, mengaum dengan suara panjang. Bagus Seta yang sudah dapat membedakan suara harimau itu lalu merangkulnya dan menempelkan plpinya di dekat telinga harimau yang disayangnya.

"Ah, Paman Sardulo, kau merasa sudah tua? Tidak, Paman. Aku dapat mengalahkanmu berkat latihan yang berkali-kali bersamamu, berkat bantuanmu! Kalau melawan lawan lain, ahhh, tidak banyak lawan akan dapat mengalahkanmu, Paman Sardulo."

Harimau itu menggereng dan Bagus Seta menjadi kaget. Inilah gerengan tanda marah! la mempererat rangkulannya dan berkata penuh sesal,

"Ah, engkau marah kepadaku karena kekalahan dalam dua jurus, Paman? Benarkah Paman bias marah kepadaku...?"

Akan tetapi ketika ia memandang, ternyata harimau itu telah berdiri dan pandang mata harimau itu sama sekali tidak ditujukan kepadanya, melainkan ke arah kiri. Ia menoleh dan bulu tengkuknya berdiri karena ngeri. Di situ, hanya tiga empat meter jauhnya, tahu-tahu telah berdiri tiga orang.

Kedatangan mereka itu begitu tiba-tiba seperti setan saja sehingga telinganya yang terlatih sama sekali tidak dapat menangkap kedatangan mereka. Apalagi ketika ia mengenal dua orang di antara mereka bertiga itu adalah Sang Biku Janapati dan Sang Wasi Bagaspati, ia menjadi khawatir sekali.

Dua orang ini bukanlah sahabat, melainkan orang-orang yang pernah datang dan menantang gurunya, Ki Tunggaljiwa. Akan tetapi melihat yang ke tiga, ia makin ngeri. Orang ini adalah seorang nenek yang hanya bentuk tubuhnya saja dapat dikenal sebagai seorang manusia, atau lebih tepat sebagai seorang wanita tua bertubuh tinggi kurus, masih tegak, pakaiannya serba hitam dan lengannya memakai gelang emas.

Kulitnya yang sudah keriputan itu masih berwarna putih bersih, pakaiannya bersih dan rapi. Akan tetapi mukanya sukar dikenal karena muka ini terlindung oleh sinar atau uap hitam, sehingga kepala dan muka itu hanya kelihatan bayangan saja, bayangan seorang wanita tua yang usianya sudah seratus tahun lebih, namun masih jelas tampak raut wajah yang cantik!

Dari pribadi wanita tua ini keluar getaran wibawa yang amat luar biasa, yang membuat harimau putih menggereng-gereng marah dan gentar dan yang membuat bulu tengkuk Bagus Seta berdiri! Tiba-tiba Sardulo Pethak mengeluarkan guman seperti orang menjerit dan tubuh yang besar dan kuat itu melompat maju menubruk ke arah nenek yang mengerikan itu,

"Paman Sardulo...! Jangan...!"

Bagus Seta berseru akan tetapi terlambat sudah. Terdengar suara terkekeh nyaring disusul gerengan Sardulo Pethak yang tiba-tiba saja terbanting dari tengah udara sebelum mampu menyentuh nenek itu. Bagus Seta hanya melihat nenek itu menudingkan telunjuk kiri ke arah Sardulo Pethak dan harimau putih itu terbanting dari tengah udara, roboh di atas tanah dan tak dapat bangkit kembali!

"Paman Sardulo...!" Ia menubruk harimau itu dan alangkah kagetnya mendapat kenyataan bahwa harimau putih itu sudah tidak bernapas lagi, dari mulut, hidung, telinga dan matanya mengalir darah menghitam! Harimau itu telah tewas secara aneh.

Dengan hati penuh kedukaan dan kemarahan, Bagus Seta bangkit berdiri perlahan-lahan, memandang ke arah nenek itu. Ia cukup terlatih dan dapat menekan perasaannya, namun mengingat akan kematian harimau yang dianggapnya sebagai keluarga sendiri, hatinya terasa sakit sekali.

"Andika... kejam sekali... Apakah dosanya Paman Sardulo maka andika tega menurunkan tangan maut dan merenggut nyawanya?"

Akan tetapi nenek itu hanya memperdengarkan suara tertawa perlahan dan berdiri diam tak bergerak seperti patung. Bagus Seta berusaha mengerahkan tenaga batinnya untuk menembus uap hitam yang menutupi wajah nenek itu, namun tak berhasil, bahkan jantungnya berdebar seperti terkena pengaruh mujijat yang amat berwibawa.

Betapapun juga, pemuda remaja ini adalah keturunan satria utama dan murid seorang sakti mandraguna, maka pengaruh mujijat itu tidak membuatnya menjadi gentar. Sebaliknya, ia menduga bahwa nenek ini tentulah seorang tokoh yang jahat seperti iblis, lebih jahat daripada dua orang kakek yang pernah memusuhi gurunya dan yang kini berdiri sambil tersenyum lebar. Maka ia lalu melangkah maju dan berkata dengan suara nyaring,

"Boleh jadi andika seorang tokoh yang ternama dan memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, namun perbuatan andika membunuh paman Sardulo yang tidak berdosa memaksa saya memberanikan diri untuk membalas. Jagalah seranganku!" Setelah berkata demikian, Bagus Seta mengerahkan semua aji kekuatan tubuhnya, lalu mengayun tubuh ke depan dengan Aji Bayu Tantra.

Selama belajar kepada Ki Tunggaljiwa, dia hanya melatih semua ilmu yang ia pelajari dari ayahnya, dan gurunya ini hanya menyempurnakan latihan-latihannya di samping "mengisi" tubuhnya dengan gemblengan untuk mendapatkan hawa sakti yang kuat. Karena itu, loncatannya ke depan amat cepatnya bagaikan gerakan seekor burung garuda, dan ketika kedua tangannya bergerak menampar dengan Aji Pethit Nogo, terdengar bersiutnya angin pukulan yang amat dahsyat.

Namun nenek itu sama sekali tidak bergerak, bahkan menangkispun tidak. Masih untung bagi Bagus Seta, karena kalau nenek itu menggerakkan tangannya sedikit saja, seperti halnya ketika menghadapi Sardulo-pethak tadi, tentu tubuh Bagus Seta akan roboh tak bernyawa pula! Kini nenek itu tidak menangkis, tidak mengelak dan terjangan Bagus Seta agaknya akan mengenai sasaran. Melihat lawan tidak membela diri, sifat satria timbul dan pemuda remaja itu cepat-cepat merubah sasaran pukulannya. Kalau tadinya jari tangan kiri menampar pelipis dan jari tangan kanan menusuk leher, kini kedua tangannya hanya menampar ke arah kedua pundak lawan yang sama sekali tidak membela diri itu.

Sifat satria inilah yang sesungguhnya menolong nyawa Bagus Seta. Kalau ia teruskan serangan mautnya, tentu lawannya yang aneh itu akan membalas. Akan tetapi melihat pemuda remaja itu merubah sasaran, nenek itu mengeluarkan suara mendengus aneh dan tiba-tiba Bagus Seta mengeluh, tubuhnya seperti membentur dinding baja, kedua tangan yang menampar tadi bertemu dengan uap hitam, membalik dan membuatnya terpelanting roboh di samping mayat harimau putih!

Kepala terasa pening dan matanya berkunang. Bagus Seta menggoyang-goyang kepalanya dan hatinya girang ketika akhirnya peningnya hilang dan ia melihat Ki Tunggaljiwa telah berdiri di situ dengan sikapnya yang tenang! Ia bangkit berdiri dan mundur, tidak berani sembarangan mengeluarkan kata-kata karena maklum bahwa gurunya menghadapi orang-orang yang berilmu tinggi dan yang menurut firasat hatinya datang bukan dengan maksud yang bersih.

Sejenak Ki Tunggaljiwa memandang ke arah muridnya dengan penuh perhatian, kemudian menunduk dan memandang mayat Sardulo Pethak, lalu menarik napas panjang dan berkata sambil memandang Biku Janapati dan Wasi Bagaspati,

"Andika berdua, terutama Sang Wasi Bagaspati, telah menyebar malapetaka di antara rakyat jelata. Masih tidak puaskah nafsu itu? Kini andika datang ke tempat yang tenteram ini, menyebar maut kepada seekor harimau. Apakah sesungguhnya yang tersembunyi di balik perbuatan keji ini?"

"Ha-ha-ha-ha! Ki Tunggaljiwa, sampai sekarang engkau masih bersikap sombong! Kalau mau tahu tentang kematian harimau ini, kau tanyalah saja sendiri kepada dia yang melakukannya, kalau saja matamu masih saja buta untuk tidak mengenal siapa adanya tokoh yang kini berkenan hadir di hadapanmu!" Wasi Bagaspati menuding dengan ibu jarinya ke arah nenek yang berselimutkan uap hitam di depan mukanya itu. Uap atau sinar hitam itu seolah-olah selalu keluar dari bagian atas tubuhnya dan hawa di sekitarnya menjadi panas, padahal hawa udara di puncak itu amatlah dinginnya.

Ki Tunggaljiwa bukan seorang yang sempit pandangan. Bahkan ia sudah dapat menduga siapa adanya tokoh ini, namun dia sekali-kali bukan seorang sombong seperti yang dikatakan Wasi Bagaspati. Bahkan sebaliknya. Kalau dia tidak menyatakan kenal, hal ini sudah membuktikan kerendahan hatinya yang tidak hendak menonjolkan kewaspadaannya yang membuat ia seolah-olah dapat melihat segala peristiwa di dunia ini. Kini setelah Wasi Bagaspati mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu, ia lalu mengangkat kedua tangan, dirangkap seperti sembah depan dada, sambil membungkuk ia berkata,

"Sadhu-sadhu-sadhu, mohon maaf kiranya apabila saya yang lebih muda tidak menyambut andika seorang yang lebih tua sebagaimana mestinya. Sebutan saya Ki Tunggaljiwa dan sudah seringkali saya mendengar nama besar Nini Bumigarba yang dulu terkenal sebagai Sang Dewi Sarilangking. Namun karena belum pernah mendapatkan kehormatan bertemu muka, maafkan kalau saya keliru menduga. Benarkah andika yang bernama Nini Bumigarba?"

Tubuh nenek itu bergerak sedikit dan terdengar suaranya, halus melengking dan aneh. Bagus Seta yang menonton dengan mata terbelalak mendengar suara nenek Itu seolah-olah datang dari atas, dari mendung hitam di angkasa

"Tunggaljiwa, andika bukan anak kecil, dan kita sama-sama tahu akan rahasia perputaran segala peristiwa di dunia, yang lampau maupun yang akan datang. Akan tetapi berkali-kali andika menentang kehendak alam, mengandalkan sedikit kesaktian yang andika miliki. Apakah andika merasa lebih kuasa dan sakti daripada alam?"

"Sadhu.... Semua dewata menjadi saksi! Saya yang picik dan kecil ini, bagaimana berani menentang kehendak alam? Nini Bumigarba, harap andika jelaskan, bilamana, di mana, dan bagaimana saya menentang kehendak alam?"

Terdengar kekeh tawa nyaring dan merdu seperti suara ketawa wanita muda remaja, disambung kata-kata yang dingin suaranya namun panas isinya,

"Tunggaljiwa, andika berhadapan dengan aku yang tahu akan segala hal. Menyangkal dan berpura-pura tiada gunanya. Di jaman Mataram dan Kahuripan dahulu, engkau sudah berpihak, membela orang-orang Mataram. Kini, kau pun tidak buta dan tentu sudah dapat melihat masa depan bahwa keutuhan Kerajaan Panjalu dan Jenggala tidak dapat dipertahankan lagi. Biku Janapati dan Wasi Bagaspati hanya membantu pelaksanaan kehendak alam, mempercepat runtuhnya kerajaan-kerajaan itu, terutama Jenggala, akan tetapi kembali andika turun tangan menentang dan membela keturunan Mataram, padahal sudah tahu bahwa alam menghendaki runtuhnya kerajaan itu. Bukankah itu berarti menentang kehendak alam yang menjadi kehendak para dewara pula?"

Ki Tunggaljiwa tersenyum dan mengelus jenggotnya. "Sadhu-sadhu-sadhu.... Maaf, Nini Bumigarba, kalau saya berani mengatakan bahwa andikalah orangnya yang menentang kehendak Sang Hyang Widhi! Kewaspadaan mata batin adalah anugerah Sang Hyang Widhi, dan sekali-kali bukan dipergunakan untuk mendahului kehendak alam! Betapapun pandainya manusia, takkan dapat merubah kehendak alam! Betapapun pandainya manusia, dia tidak berhak untuk mencampuri rahasia Sang Hyang Widhi. Manusia mempunyai tugas kewajibannya sendiri, yaitu bertindak sesuai dengan kebajikan, menjauhkan kejahatan dan kemaksiatan. Adapun yang menjadi kehendak Hyang Widhi, baik maupun buruk bagi yang menerimanya, haruslah diterima dengan penuh kesadaran bahwa segala kehendak Hyang Widhi akan terjadi! Saya selalu bertindak menurutkan hukum-hukum perikemanusiaan, tidak mencampuri kehendak alam, tidak menentang tidak membantu. Orang-orang dari Sriwijaya dan Cola, bukan sekali-kali membantu pelaksanaan kehendak alam seperti yang andika katakan, melainkan bertindak untuk menurutkan dorongan nafsu duniawi, nafsu aluamah angkara murka, mengejar kesenangan pribadi. Namun semua itu termasuk kehendak Sang Hyang Widhi pula, juga kematian-kematian yang disebar orang-orang itu telah dikehendaki Hyang Widhi. Kalau Sang Hyang Widhi tidak menghendaki, jangankan membunuh orang lain, menyedot napas sendiripun tidak mungkin dapat dilakukan Sang Biku Janapati maupun Sang Wasi Bagaspati."

"Ihhhh Manusia sombong engkau, Ki Tunggaljiwa! Manusia adalah pembantu utama dari para dewata! Kalau aku menghendaki, bocah bagus ini tadi sudah kubikin mampus! Sebaliknya kalau aku tidak menghendaki, bagaimana harimau putih itu bisa mati?"

"Nini Bumigarba, sayang sekali bahwa terpaksa saya berlancang mulut. Yang sombong bukanlah saya. Andika hanya menjadi lantaran kematian Sardulo Pethak, akan tetapi, kalau Sang Hyang Widhi tidak menghendaki, jangankan membunuh Sardulo Pethak, menggerakkan jari tanganmu saja andika tidak mampu. Kalau muridku Bagus Seta ini tadi tidak tewas di tanganmu, itupun atas kehenda Hyang Widhi!"

"Babo-babo! Apakah engkau hendak mengatakan bahwa aku tidak akan dapat membunuhmu, Ki Tunggaljiwa?" bentak Wanita tua yang luar biasa itu...!

Ki Tunggaljiwa tetap tersenyum tenang dan menggeleng-geleng kepalanya. Bagus Seta makin sayang dan kagum menyaksikan sikap gurunya dan mendengar ucapan-ucapannya yang ia anggap jauh lebih bijaksana daripada ucapan Nini Bumigarba yang sombong itu. Sepasang mata Ki Tunggaljiwa mengeluarkan sinar terang ketika ia memandang wajah Nini Bumigarba yang tertutup uap hitam, kemudian suaranya terdengar tegas,

"Saya sudah mendengar akan kesaktian andika yang sudah mencapai tingkat yang sukar diukur kepandaian manusia, dan saya mengerti bahwa saya bukanlah tandingan andika. Akan tetapi, jangan mengira bahwa saya takut akan ancaman andika, karena saya merasa yakin bahwa apabila Sang Hyang Widhi tidak menghendaki, andika pasti tidak akan dapat membunuhku, Nini Bumigarba. Andaikata saya terbunuh olehmu, hal ini hanya terjadi atas kehendak Sang Hyang Widhi!"

"Hi-hi-hik! Hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!" kata Nini Bumigarba dan tiba-tiba wanita tua itu menggerakkan tangan kanannya, dengan jari-jari terbuka menampar ke bawah, ke arah tanah di depannya.

"Pyaarrr....!" Terdengar suara nyaring dan tanah di depannya itu seperti kayu terbakar, mengeluarkan asap menghitam. Sambil berdiri, Nini Bumigarba miringkan tangan di depan dada, melakukan gerakan mendorong. Asap hitam dari tanah itu seperti tertiup angin, bergerak ke arah Ki Tunggaljiwa!

"Sadhu-sadhu-sadhu....!" Ki Tunggaljiwa maklum akan kehebatan dan kedahsyatan ilmu nenek tua ini, maka cepat la menjatuhkan diri bersila di atas tanah, lalu mengerahkan seluruh tenaga batin dan hawa saktinya, melakukan gerakan mendorong ke depan dengan kedua tangan terbuka. Asap hitam yang tadinya bergerak ke arahnya itu kini tertahan dan berputaran.

Terjadilah adu tenaga sakti yang amat hebat, ditonton oleh Bagus Seta yang berusaha bersikap tenang sambil menekan guncangan perasaan hatinya karena ia maklum bahwa gurunya berjuang mati-matian sekali ini. Sang Biku Janapati dan Sang Wasi Bagaspati juga menonton dengan kening berkerut, diam-diam mereka mengharapkan kematian Ki Tunggaljiwa yang merupakan penghalang bagi cita-cita mereka.

Akan tetapi betapapun Ki Tunggaljiwa mengerahkan tenaga, kedahsyatan nenek itu sungguh jauh melampaui kekuatannya. Nenek itu bukanlah manusia biasa, dan pada dewasa itu, kiranya sudah mencapai tingkat tertinggi dalam ilmu aji kepandaian. Biasanya, nenek ini tidak pernah menampakkan diri di dunia ramai, dan munculnya nenek ini merupakan pertanda bahwa memang akan terjadi kegemparan. Asap hitam itu masih berputar-putar, di tengah-tengah antara kedua orang sakti itu, namun lambat laun, perlahan akan tetapi pasti, asap itu mulai bergerak mendorong ke arah Ki Tunggaljiwa.

Bagus Seta memandang dengan mata terbelalak. Sungguhpun tingkat ilmu yang dipelajarinya belum sedemikian tingginya, namun dia yang tergembleng aji kesaktian sejak kecil, maklum atau dapat menduga apa artinya mendoyongnya asap hitam ke arah gurunya. Tak terasa lagi kakinya melangkah tiga kali, mendekat di belakang gurunya dan memandang dengan mata terbelalak, wajahnya pucat. Kini asap itu sudah makin dekat dengan Ki Tunggaljiwa yang masih duduk bersila, kedua tangannya terjulur ke depan dengan jari tangan terbuka, matanya tajam memandang lawan, sedikitpun tidak tampak gentar, bibir yang tersembunyi di balik kumis dan jenggot masih tersenyum, seolah-olah kakek ini melihat datangnya cengkeraman maut sebagai satu hal yang wajar dan tidak aneh.

"Aiihhh...!" Terdengar Nini Bumigarba berseru, tangan kanannya bergerak dan menggetar keras.

cerita silat online karya kho ping hoo

Kini asap itu makin cepat bergerak, seperti mendung tertiup angin menghampiri Ki Tunggaljiwa. Mula-mula asap hitam itu menyentuh ujung jari tangan Ki Tunggaljiwa dan seketika ujung jari-jari tangan kakek itu menjadi hitam!

Makin dekat asap itu menghampiri Ki Tunggaljiwa, makin banyak pula bagian lengannya menjadi hitam. Ki Tunggaljlwa tetap tenang, menanti datangnya maut. Kedua lengannya kini sudah menjadi hitam semua, dijalari hawa beracun yang hebat. Kini dada dan mukanya tersentuh, juga lututnya yang kesemuanya menjadi hitam, dan akhirnya, tak lama kemudian, tubuh Ki Tunggaljiwa telah menjadi hitam semua. Namun kakek itu masih duduk bersila, seperti telah berubah menjadi sebuah arca yang terpahat dari batu hitam!

"Nenek jahat! Perbuatanmu sungguh keji di luar batas perikemanusiaan!" bentak Bagus Seta yang sudah melompat maju di samping gurunya dan mengerahkan tenaga, menerjang dengan lompatan Bayu Tantra hendak menggunakan pukulan dengan Ali Pethit Nogo yang ampuh. Akan tetapi begitu ia menerjang asap hitam, tubuhnya seperti terbakar rasanya dan ia roboh terguling.

Asap hitam itu menggulung-gulungnya diiringi suara gelak tawa Sang Wasi Bagaspati dan sebentar saja tubuh Bagus Seta juga menjadi hitam semua. Pemuda remaja ini seperti cacing terkena abu, seluruh tubuhnya panas dan kepalanya pening. Hanya dengan tekad luar biasa saja ia berhasil bangkit duduk bersila, kemudian tubuhnya menjadi kaku dan panasnya makin tak tertahankan.

"Hi-hik, Ki Tunggaljiwa. Katakan sekarang apakah Sang Hyang Widhi tidak menghendaki andika mati di tanganku?"

Pada saat itu, terdengar suara melengking halus, dibarengi datangnya angin bertiup dari arah kanan Ki Tunggaljiwa. Angin yang membawa datang hawa dingin, lalu tampak ampak-ampak (halimun) putih berarak. Ketika halimun ini nyentuh tubuh Ki Tunggaljiwa dari kanan, bagian tubuh yang tersentuh lalu berubah menjadi bersih kembali.

Halimun putih itu terus bergerak dan perlahan-lahan tubuh Ki Tunggaljiwa dan Bagus Seta yang tersentuh uap putih itu menjadi bersih daripada warna hitam! Nini Bumigarba dan kedua orang kawannya memandang dengan mata terbelalak. Ki Tunggaljiwa yang masih duduk bersila itu lalu tersenyum dan berkata,

"Kehendak Sang Hyang Widhi takkan dapat diubah oleh siapapun juga, Nini Bumigarba. Apalagi andika, para dewata sekalipun tidak kuasa mengubahnya. Buktinya, Sang Hyang Widhi belum menghendaki saya dan Bagus Seta mati, maka pada saat terakhir kami berdua terbebas daripada bencana maut dengan hadirnya seorang manusia yang maha sakti!" Setelah berkata demikian, Ki Tunggaljiwa memutar tubuh ke kanan lalu menyembah.

Bagus Seta mencontoh perbuatan gurunya, menyembah ke arah kanan. Adapun Nini Bumigarba, Biku Janapati dan Wasi Bagaspati juga telah memandang ke jurusan itu. Akan tetapi tidak ada seorangpun manusia tampak. Betapapun juga, tiba-tiba Nini Bumigarba mengeluarkan seruan tertahan ketika hawa yang dingin mengusap wajahnya, mendesak dan medorong hawa panas yang keluar dari tubuhnya sebagai akibat pengerahan aji kesaktiannya tadi.

Kalau saja orang dapat menembus kabut uap hitam, yang menyelimuti nenek ini, tentu akan melihat betapa nenek ini membelalakkan mata dan wajahnya berubah pucat, bibirnya yang sudah keriputan namun masih membayangkan bentuk yang cantik itu kini menggigil seperti orang menahan tangis, dan terdengar bisikannya penuh kekecewaan,

"Engkau.... engkau masih tidak suka mengalah kepadaku...?"

Bisikan ini bercampur dengan isak dan tubuh nenek itu membalik, kemudian pergi dari situ dengan langkah gontai. Melihat ini, Biku Janapati dan Wasi Bagaspati menjadi gentar. Mereka tidak melihat siapa-siapa, tidak tahu siapa yang telah menolong Ki Tunggaljiwa, akan tetapi jelas bahwa Nini Bumigarba sendiri agaknya gentar menghadapi lawan ini. Mereka menarik napas panjang, lalu pergi pula mengejar Nini Bumigarba.

Setelah tiga orang itu pergi, dari dalam halimun putih itu muncul keluar seorang kakek, atau lebih tepat lagi, halimun putih itu menipis seperti tirai diangkat dan tampaklah ujud seorang kakek tua renta berdiri di situ. Ketika Bagus Seta mengangkat muka memandang, ternyata kakek inipun terselimuti wajahnya seperti halnya Nini Bumigarba tadi, hanya bedanya kalau muka nenek itu terselimut uap hitam, kakek ini wajahnya terbungkus uap putih.

"Duh Eyang Bhagawan... sungguh besar kebahagiaan yang dilimpahkan para dewata kepada hamba sehingga saat ini hamba dapat bertemu dengan Eyang Bhagawan!" Terdengar Ki Tunggaljiwa berkata sambil menyembah.

Mendengar ini, Bagus seta tercengang. Gurunya adalah seorang kakek yang sudah amat tua, sukar ditaksir berapa usianya. Akan tetapi gurunya masih menyebut kakek luar biasa yang datang ini sebagai Eyang Bhagawan!

"Baik sekali, Tunggaljiwa. Andika telah memperoIeh kemajuan dan tidak menyeleweng daripada garis yang lurus. Aku datang karena berjodoh dengan muridmu ini yang kelak akan menggantikan dan mewakili kita membersihkan anasir-anasir sesat dari Nusantara."

"Aahhhhh...!" Sukar ditaksir apa arti seruan yang keluar dari dada Ki TunggaljIwa ini. Mungkin saking kaget dan herannya, atau saking girangnya, namun yang sudah pasti kakek ini cepat-cepat memegang lengan muridnya dan berbisik,

"Kulup, lekas menghaturkan terima kasih kepada Eyang Guru!"

Namun Bagus Seta yang sudah tergembleng sejak kecil tetap berpegang kepada kewaspadaannya. Ia membalas dengan bisikan pertanyaan,

"Siapakah gerangan Eyang ini?"

"Beliau adalah Sang Bhagawan Ekadenta, juga Sang Bhagawan Jitendrya dan boleh juga disebut Sang Bhagawan Sirnasarira!"

Tiga nama yang memiliki arti dalam ini agaknya cukup bagi Bagus Seta yang cepat menghadap dan menyembah di depan kakek tua luar biasa itu sambil berkata,

"Hamba menghaturkan terima kasih kepada Eyang yang berkenan hendak memberi bimbingan kepada hamba. Akan tetapi, lima tahun yang lalu Eyang Guru Tunggaljiwa berjanji kepada ramanda bahwa hamba hanya akan belajar selama Iima tahun dan kini telah tiba saatnya hamba kembali kepada orang tua hamba. Kalau hamba tidak pulang, bukankah hal ini berarti menyalahi janji dan amat tidak baik bagi Eyang Guru Tunggaljiwa?"

Sang Bhagawan Ekadenta tersenyum di balik tabir uap putih, dan sepasang mata yang bersinar-sinar itu mengeluarkan cahaya lembut.

"Ah, dasar keturunan satria! Jangan khawatir, Angger, memegang teguh janji bukan hanya menjadi kewajiban para satria, melainkan kewajiban setiap orang manusia, termasuk para pertapa seperti kami. Kalau andika suka menjadi muridku, sekarang juga aku akan membawa andika menemui ayahanda sebagai pelaksanaan daripada janji Ki Tunggaljiwa."

Bagus Seta menoleh ke arah gurunya dengan pandang mata penuh pertanyaan. Betapapun juga, selama lima tahun ia digembleng oleh kakek ini dan ia merasa terharu kalau harus meninggalkan gurunya yang dikasihinya. Namun gurunya tersenyum kepadanya dan berkata,

"Berangkatlah, Angger, dan doa restuku selalu mendampingimu."

Bagus Seta lalu menyembah ke arah Bhagawan Ekadenta, "Baiklah, ,Eyang. Hamba siap untuk pergi bersama Eyang."

"Bagus! Kau ikutlah aku, Angger... Ki Tunggaljiwa, sampai jumpa pula!"

Tubuh kakek itu bergerak, diselubungi halimun putih dan Bagus Seta cepat-cepat menyembah ke arah Ki Tunggaljiwa sebagai tanda pamit, lalu bergegas mengikuti halimun putih itu yang meninggalkan puncak bukit. Ki Tunggaljiwa bangkit berdiri, memandang kepergian muridnya dengan mulut tersenyum. Hatinya lega dan puas karena ia telah melaksanakan tugasnya selama lima tahun dan diam-diam ia berdoa semoga sinar terang selalu akan mengatasi kegelapan yang mengancam dunia, semoga kebenaran akhirnya akan unggul sehingga dunia menjadi tempat tinggal manusia yang penuh damai dan ketenteraman.

Cita-cita inilah yang menjadi kandungan hati setiap orang pertapa, sungguhpun Ki Tunggaljiwa sendiri maklum bahwa segala peristiwa telah diatur oleh Sang Hyang Widhi, dan bahwa manusia, betapapun pandainya, tidak kuasa mengubahnya. Dia maklum pula bahwa sudah menjadi kehendak alam bahwa dua sifat yang saling bertentangan, baik dan buruk, akan desak-mendesak, ganti-mengganti, berkuasa di dalam kehidupan manusia.

Bahwa selama masih ada yang disebut kebaikan, maka di sampingnya akan selalu ada pula keburukan. Bahwa selama manusia mengenal kebajikan, manusia takkan bebas daripada kejahatan, karena sesungguhnya baik dan jahat, seperti halnya dua unsur berlawanan di dunia ini, adalah saudara kembar yang tak terpisahkan. Betapapun juga, manusia berkewajiban untuk berikhtiar, manusia berakal budi dan sadar akan perbedaan antara kedua unsur berlawanan itu.

Dan ia mengerti pula bahwa kalau Sang Bhagawan Ekadenta sampai turun ke dunia ramai, hal ini hanyalah merupakan kewajibannya sebagai manusia maha sakti, untuk mengimbangi turunnya seorang tokoh seperti Nini Bumigarba! Ki Tunggaljiwa menggeleng-geleng kepalanya dan menghela napas panjang.

"Panjalu dan terutama Jenggala akan geger... dan bocah itu telah terpilih menjadi orang yang akan menanggulangi dan mengimbangi kekuatan-kekuatan sesat. Alangkah berat tugasnya... !"

Kakek inipun menggerakkan kaki, perlahan-lahan menghampiri mayat Sardulo Pethak dan dikuburnya mayat binatang yang derajatnya sudah mendekati manusia itu dengan penuh kasih sayang.

Tanpa berkata-kata, kakek yang tubuhnya diselubungi halimun putih itu berjalan terus, dlikuti oleh Bagus Seta. Setelah mereka turun dari bukit, kakek itu menoleh, memegang tangan Bagus Seta, digandengnya dan Bagus Seta tertegun. Kini ia berada di dalam halimun putih dan tubuhnya terasa ringan sekali. Tampaknya saja mereka berjalan lambat-lambat, akan tetapi ia maklum bahwa sesungguhnya mereka melakukan perjalanan dengan kecepatan yang tak dapat ia bayangkan, karena mereka bukan berjalan biasa, melainkan bergerak maju didorong hawa sakti yang amat mujijat.

Seperti telah diceritakan dalam jilid terdahulu dari cerita ini, pada waktu itu Sang Adipati Tejolaksono sedang memimpin barisan Panjalu mengadakan pembersihan terhadap anak buah Sang Wasi Bagaspati. Telah diceritakan pula betapa Adipati Tejolaksono menyerbu ke Gunung Merak dan di gunung inilah dia terjebak, roboh oleh Sang Wasi Bagaspati dan tentu akan tewas di ujung senjata nenggala mIlik Ki Kolohangkoro kalau saja tidak muncul Sang Bhagawan Ekadenta yang datang bersama Bagus Seta.

Nyawa TejoIaksono tertolong dan baru pertama kali itu Sang Bhagawan Ekadenta menampakkan diri sehingga kelihatan oleh Wasi BagaspatI dan Biku Janapati, bahkan oleh para anak buah mereka. Pihak lawan terusir dan Tejolaksono dapat bertemu dengan puteranya yang telah pergi selama lima tahun lebih. Telah diceritakan pula betapa dalam pertemuan ini Bagus Seta memberikan setangkai bunga cempaka putih dengan pesan agar diberikannya bunga itu kepada ibundanya, kemudian Bagus Seta mengikuti gurunya meninggalkan ramandanya yang memandang penuh kagum dan haru.

Oleh kakek yang maha sakti itu, Bagus Seta dibawa ke puncak Gunung Mahameru, gunung yang tertinggi di seluruh Nusantara. Puncak gunung ini tertutup awan putih dan samar-samar tampak asap yang tak pernah berhenti mengepul dari kawah di puncak. Dapat dibayangkan betapa dinginnya puncak yang selalu diselimuti halimun tebal itu, akan tetapi juga dapat diduga betapa panasnya kawah yang selalu mengepulkan asap.

Namun, di antara pertemuan kedua hawa yang bertentangan ini, Bagus Seta dituntun Sang Bhagawan Ekadenta memasuki kawah di puncak Gunung Mahameru untuk memulai dengan gemblengan yang akan dIterimanya sebagai murid sang sakti! Mulai saat Itu, terbebaslah Bagus Seta daripada dunia ramai, hidup menggembleng diri seperti hidup di alam khayal, seolah-olah ia telah menjadi sebagian daripada puncak Mahameru, menjadi sebagian daripada alam.

********************

Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baik maupun buruk, manis maupun pahit bagi manusia, sesungguhnya bukan lain adalah akibat-akibat daripada sebab-sebab yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Nafsu merajalela dalam diri manusia, menanggulangi kelemahan manusia sehingga manusia menjadi boneka-boneka atau hamba-hamba nafsu yang hidup semata-mata untuk melampiaskan dorongan nafsu.

Nafsu membuat manusia menjadi makhluk yang paling mementingkan pribadi (egois) dan yang selama hidupnya bersandar kepada sifat ini sehingga tanpa disadarinya setiap pikiran, setiap perbuatan, setiap ucapan selalu merupakan penonjolan daripada sifat egoistik ini. Mari kita renungkan dan bersiap-siap mengenal kelemahan kita sendiri. Pandangan baik dan buruk, adil dan tidak, semua dipengaruhi watak kita yang egoistik. Biarpun orang sekampung menganggap seorang itu jahat, kalau si orang itu selalu baik terhadap anda, dapatkah anda menganggap orang itu jahat?

Sebaiknya, andaikata orang sekampung menganggap seseorang itu baik, kalau si orang itu menjadi musuh anda, dapatkah anda menganggapnya seorang baik? Demikian pula tentang anggapan tentang adil atau tidak. Kalau adil untuk kita, maka kita anggap adillah! Atau lebih tepat, kalau MENGUNTUNGKAN kita, maka kita anggap adil. Kalau MERUGIKAN, maka itu tidak adil namanya! Memang kita (manusia) adalah makhluk-makhluk yang amat lemah, badut-badut yang selalu menimbulkan lelucon yang hambar.

Hari hujan, Bibi penjual makanan mengeluh, Paman tani bersorak. Yang seorang menganggapnya buruk dan tidak adil, yang lain menganggapnya baik dan adil, sesuai dengan sifat-sifat egoisme masing-masing. Baik atau tidakkah hari hujan? Adil atau tidakkah? Tidak baik tidak buruk. Hujan ya hujan! Wajar dan sudah semestinya begitu. Berbahagialah dia yang dapat menerima segala sesuatu yang terjadi atas dirinya SEBAGAI SUATU KEWAJARAN!


Kerajaan Jenggala diliputi mega mendung yang gelap. Suasana menjadi keruh oleh pengumbaran nafsu yang melanda istana. Semua keadaan berbalik karena merajalelanya nafsu. Yang putih nampak hItam, yang hitam diputihkan. Akibat daripada olah manusia penghamba nafsu yang dipelopori oleh sang prabu di Jenggala, yang menjadi gelap mata batinnya tanpa disadarinya, tenggelam ke dalam belaian nafsu yang digelorakan rayuan Suminten. Kalau kepalanya menyeleweng, tentu ekornya juga terbawa menyeleweng. Kalau pimpinannya tersesat, pembantu-pembantupya tentu ikut-ikutan tersesat, karena jalan menuju kemaksiatan amatlah menyenangkan!

Sang prabu mabuk oleh belaian nikmat, tenggelam dalam pelukan Suminten, tidak memperdulikan keadaan pemerintahan, bahkan menyerahkan segala urusan kepada selir yang terkasih ini. Pangeran Kukutan diangkat menjadi putera mahkota, orang-orang macam Tumenggung Wirokeling dan Tumenggung Sosrogali dijadikan ponggawa tinggi.

Bahkan satu demi satu para ponggawa tinggi digeser dan diganti oleh orang-orang kepercayaan Pangeran Kukutan sehingga akhirnya hanya tinggal Ki Patih Brotomenggala yang masih mempertahankan kedudukannya. Masih berat hati sang prabu untuk mengganti patihnya yang sudah mengabdi semenjak pemuda. Namun ki patih sendiri maklum betapa ia telah dikurung oleh musuh-musuh yang berbahaya.

Menghadapi musuh yang terang-terangan menentangnya dengan senjata di tangan, ki patih yang perkasa ini tidak akan undur selangkahpun. Namun kini musuh-musuhnya bergerak secara halus dan inilah yang amat berbahaya. Hanya karena kesetiaannya kepada sang prabu saja yang membuat ki patih masih memaksa diri mengabdi di Jenggala, untuk melindungi dan membela junjungannya.

Makin besar pengaruh Suminten terhadap sang prabu, makin berani pula wanita ini mendesak dan memperbesar kedudukan dan kekuasaannya. Dan ternyata bahwa Suminten bukan hanya seorang wanita yang gila akan kedudukan tinggi dan kekuasaan, juga gila akan pria-pria yang tampan. Untuk menutup ketidakpuasannya bersuamikan seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih seperti Sang Prabu Jenggala, Suminten tidak saja menarik Pangeran Kukutan yang muda dan tampan sebagai kekasihnya, juga pangeran-pangeran lain yang menjadi sekutu mereka banyak yang ia pikat untuk melayani nafsu berahinya yang tak kunjung padam!

Pengeran Kukutan tentu saja tahu akan hal ini akan tetapi dia yang telah jatuh ke dalam kekuasaan Suminten, tidak berani cemburu. Apalagi kalau diingat bahwa kegilaan pria yang menjadi watak Suminten ini merupakan semacam senjata yang ampuh pula untuk menundukkan dan menarik para pangeran itu menjadi sekutu sehingga kedudukan mereka menjadi makin kuat!

Suminten dan Pangeran Kukutan, sebagai pucuk pimpinan komplotan yang bercita-cita menguasai Kerajaan Jenggala ini, maklum bahwa kekuasaan mereka sudah cukup besar. Sebagian besar para ponggawa tinggi adalah kaki tangan mereka sehingga sebagian besar perajurit barisan Jenggala otomatis berada di bawah kekuasaan mereka. Kalau mereka bergerak dan terjadi bentrokan, mereka akan menang. Akan tetapi Suminten yang cerdik tidak mau mempergunakan kekerasan.

"Jangan terburu nafsu, Pangeranku yang gagah!" katanya mencela sambil membelai rambut Pangeran Kukutan yang merebahkan kepala di atas pangkuan sepasang paha yang bulat lunak Itu. "Betapapun kuat kedudukan kita, masih ada rintangan yang amat besar, yaitu Ki Patih Brotomenggolo dan antek-anteknya. Mereka ini masih memiliki pasukan pilihan yang masih bersetia kepada raja."

"Kita tidak perlu takut, Dewiku yang jelita" kata Pangeran Kukutan sambil melingkari pinggang ramping yang sudah amat dikenalnya itu dengan lengannya,

"Kalau sampai terjadi perang, pasukan kita lebih banyak dan kawan-kawan kita bergerak dari dalam, mudah saja menguasai istana dalam waktu singkat. Adapun Si tua bangka itu, aku sendiri sanggup untuk mencekiknya sampai mampus."

"Hisss...!" Suminten menunduk dan menggunakan sepasang bibirnya yang merah dan manis itu untuk menutup mulut kekasihnya.

Sejenak mereka berciuman. Kemudian Suminten mengangkat mukanya dan berbisik, "Jangan bodoh, Pangeran. Kita tidak boleh terlalu mengandalkan kekerasan. Mungkin kita bisa menang menghadapi pasukan Jenggala yang masih setia kepada sang prabu. Akan tetapi kita harus waspada dan ingat kepada Panjalu. Apakah engkau kira Panjalu akan diam saja kalau Jenggala direbut dengan kekerasan? Dan kita tahu betapa kuatnya Panjalu, apalagi setelah Adipati Tejolaksono menjadi patih muda di sana. Kita tentu akan dipukulnya dan akan hancur sebelum sempat menikmati kemenangan kita..."

Wajah Pangeran Kukutan menjadi pucat dan ia bangkit duduk. "Ah, kau benar juga, Dewiku..." Pangeran kukutan hanya gagah kalau menghadapi lawan yang lemah, sebetulnya dia seorang pengecut yang belum apa-apa sudah mundur ketakutan menghadapi lawan yang kuat. "Habis, bagaimana baiknya?"

"Tenanglah, Pangeran Pati, Engkau kan sudah menjadi putera mahkota, perlu apa tergesa-gesa? Kalau kekuasaan itu berpindah ke tangan kita, hal itu harus berlangsung secara wajar dan tanpa ada kekerasan sehingga Panjalu akan menerimanya pula dengan baik. Sekarang kita harus bersabar dan memperbesar dukungan. Hanya ki patih dan antek-anteknya yang masih menjadi duri dalam daging.... dan.... sang permaisuri!"

"Memang ki patih dan ibunda permaisuri agaknya memusuhi kita. Akan tetapi mereka itu terlalu kuat kedudukan mereka dan ramanda prabu terlalu sayang kepada mereka. Betapa mungkin menghalau mereka keluar Istana?"

"Eh, wong bagus, mengapa bingung? Serahkan saja mereka Itu kepadaku, dan kelak akan tiba masanya mereka jatuh ke tangan Suminten! Hanya Panjalu yang kukhawatirkan.... " Suminten menghentikan kata-katanya karena pangeran itu kembali telah memeluknya dan membelainya, yang membuatnya sesak napas.

Napasnya selalu menjadi sesak oleh dorongan nafsu apabila tubuhnya dibelai tangan-tangan pria muda yang sekaligus menghapus kekecewaan dan kemuakannya dalam melayani sang prabu yang sudah tua. Kedua orang yang sudah dimabuk nafsu ini mengadakan pertemuan di dalam kamar Suminten. Kini mereka lebih berani, tidak lagi mengadakan pertemuan rahasia di taman sari, karena selain mereka yakin bahwa malam itu sang prabu yang makin lemah tubuhnya tidak akan datang ke kamar Suminten, juga andaikata sang prabu datang, tentu lebih dulu mereka akan diperingatkan oleh para emban dan pengawal yang menjaga ketat. Pendeknya, mereka itu terjaga dan aman oleh para abdi yang sudah mereka percaya penuh. Setiap mengadakan pertemuan, mereka bermain cinta semalam suntuk dengan hati tenteram di dalam kamar yang indah dan mewah itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati kedua orang khianat ini ketika tiba-tiba terdengar suara ketawa di luar jendela kamar yang tadi sengaja mereka buka karena hawa udara malam hari itu agak panas. Mereka yakin bahwa tidak akan ada seorangpun abdi yang akan berani mendekati jendela karena hal itu berarti mempertaruhkan nyawa. Akan tetapi sekarang tiba-tiba ada orang tertawa di luar jendela, disusul suara seorang laki-laki yang halus penuh ejekan,

"Dua orang muda yang masih hijau hanya mengandalkan kenekatan dan keberanian, tanpa menggunakan kecerdikan. Jika tidak kubantu, mana mungkin tercapai cita-cita dan dapat menanggulangi Panjalu? Ha-ha-ha!"

Pangeran Kukutan terkejut dan cepat melepaskan pelukannya, menyambar sebatang tombak di sudut kamar lalu meloncat keluar jendela itu sambil membentak, "Keparat! Siapa berani kurang ajar?"

Akan tetapi terdengar suara gedobrakan dan tubuh Pangeran Kukutan terpelanting kembali ke dalam kamar karena ada tangan yang amat kuat mendorongnya dari luar jendela, kemudian disusul melayangnya sesosok tubuh seorang pria yang tampan dan gagah. Pangeran Kukutan yang terbanting ke atas lantai, cepat meloncat berdiri, dan bersama Suminten dia memandang orang itu dengan mata terbelalak.

Orang itu adalah seorang laki-laki berusia antara empat puluh tahun, tampan dan gagah, sikapnya tenang sekali, wajahnya berseri, senyumnya memikat dengan kumisnya yang tipis menghias di atas bibir. Sungguh seorang pria yang tampan dan gagah, dan pandang matanya yang ditujukan kepada Suminten membuat wanita ini berdebar karena pandang mata itu demikian penuh pengertian dan penuh daya tarik. Seorang pria yang jantan dan matang!

Akan tetapi Pangeran Kukutan yang amat marah itu berseru keras, tombaknya bergerak menusuk dada yang telanjang itu. Pria itu hanya tersenyum memandang, sama sekali tidak mengelak.

cerita silat online karya kho ping hoo

"Desss! Krakkk... Tombak yang menusuk dada yang bidang itu meleset kemudian gagangnya patah!

Terbelalak Pangeran Kukutan memandang gagang tombak yang berada di tangannya, wajahnya pucat sekali dan Suminten menahan jerit menutupi mulut dengan tangan. Laki-laki itu tersenyum lebar dan berkata, "Kalau sekarang kutangkap kalian berdua, lalu kuadukan kepada sang prabu, nasib apakah yang akan menanti kalian? Dibakar hidup-hidup? Atau dipenggal leher?"

Makin pucat wajah Pangeran Kukutan, teringat ia akan pengawalnya, maka ia lalu membuka mulut berseru memanggil para pengawal. Akan tetapi malam tetap sunyi, tidak ada jawaban para pengawal. Pria itu tersenyum dan menggeleng-geleng kepala, melangkah ke pintu kamar dan sekali dorong pintu kamar terbuka.

"Lihatlah. Seluruh pengawal dan abdimu telah pulas. Percuma andika berteriak Pangeran. Dan hentikan teriakanmu. Bagaimana kalau yang datang itu pengawal istana dan melihat kalian di dalam kamar ini? Apalagi kalau ki patih yang banyak memasang mata-mata sampai mengetahui pertemuan rahasia ini. Hemm... akan ramai!"

Pangeran Kukutan makin ketakutan dan hendak nekad melarikan diri, akan tetapi Suminten sudah menyentuh lengannya, kemudian wanita ini meiangkah maju menghampiri pria itu yang sudah menutupkan kembali daun pintu di depan dimana para pengawal telah tidur pulas dalam keadaan tidak wajar, ada yang duduk dan ada yang berdiri bersandar dinding!

"Siapakah andika? Dan apa maksud kedatangan andika seperti ini?"

Sebelum menjawab laki-laki itu memandang ke arah Suminten. Kamar itu diiterangi oleh sebuah lampu yang dibungkus sutera merah sehingga sinarnya kemerahan. Dengan pakaiannya yang kusut, Suminten kelihatan cantik jelita di dalam cahaya kemerahan. Laki-laki Itu memandang dengan pandang mata tajam penuh selidik. Suminten membalas pandang mata itu dan merasa betapa bulu-bulu di tubuhnya bergerak merinding.

Pandang mata laki-laki itu menjelajahi seluruh tubuhnya, seolah-olah jari-jari tangan yang membelai dan menyentuh mesra. Belum pernah ia bertemu dengan pria yang dapat membelainya hanya dengan pandang matanya, dan dapat membuat jantungnya berdebar, kulit tubuhnya merinding hanya dengan ulasan pandang mata!

"Cantik jelita! Hati siapa takkan tergila-gila? Pantas.... memang patut dilabuhi pati (dibela sampai mati) setiap orang pria! Andika yang bernama Suminten, bukan? Dan dia ini adalah Pangeran Kukutan, yang kini menjadi putera mahkota? Ketahuilah, saya bernama Raden Warutama dari Bali dwipa."

"Maksud kedatanganmu seperti ini?" kata Suminten, sikapnya tenang sekali.

Wanita ini memang hebat. Dalam keadaan seperti itu, sebentar saja ia telah dapat menguasai dirinya dan dapat bersikap tenang, berbeda dengan Pangeran Kukutan yang menjadi gelisah sekaIi. Diam-diam Raden Warutama menjadi kagum sekali dan mengertilah ia mengapa wanita ini dapat menguasai keadaan di dalam istana Jenggala, kiranya memang bukan wanita sembarangan.

"Maksud kedatanganku? Tidak lain hendak membantu cita-citamu! Kalian tadi mengatakan jerih menghadapi Panjalu, jerih menghadapi Tejolaksono. Tanpa bantuanku, cita-cita kalian takkan terlaksana. Akulah orangnya yang akan dapat membuat Pangeran Kukutan kelak menjadi raja, andika menjadi permaisurinya, dan aku.... ha-ha, aku menjadi patihnya. Bukan hanya Raja Jenggala, melainkan Raja Jenggala dan Panjalu menjadi satu!"

Suminten mengerutkan alisnya yang menjelirit (kecil panjang hitam), memandang tajam dan berkata, "Raden Warutama, ucapanmu yang muluk-muluk hanya membayangkan kesombongan yang tak berisi. Mungkin andika memiliki sedikit kedigdayaan sehingga sanggup mengalahkan Pangeran Kukutan, akan tetapi andika terlalu memandang remeh Panjalu. Apakah dengan sedikit kedigdayaanmu dan sikap menarikmu itu Panjalu akan dapat ditundukkan dengan mudah? Hendaknya andika jangan menjual lagak di sini, karena aku bukanlah seorang wanita yang mudah roboh oleh bujuk rayu!"

Makin kagum Raden Warutama. Wanita hebat seperti ini jarang dapat ditemukan dan akan menjadi sekutu yang amat berguna. "Bagus sekali, memang tepat apa yang paduka katakan, wahai Sang Dyah Ayu. Dan paduka sang pangeran, harap maafkan kelancangan saya tadi. Kini, mari kita bicara dengan sungguh-sungguh, karena kedatanganku membawa amanat penting sekali yang akan menguntungkan kita bersama."

Pangeran Kukutan masih ragu-ragu, akan tetapi Suminten yang maklum bahwa mempergunakan kekerasan terhadap orang ini tidak akan ada gunanya, apa-lagi karena semua abdi dan pengawal telah terkena sirep yang amat ampuh, lalu tersenyum ramah dan berniat untuk menghadapinya dengan jalan halus.

"Silahkan, Raden. Mari kita bicara dengan sungguh-sungguh. Duduklah."

Mereka bertiga kini sudah duduk berhadapan. Raden Warutama dan Pangeran Kukutan di atas bangku-bangku terbungkus sutera halus, adapun Suminten sendiri duduk di atas pembaringan yang lunak dan halus bertilam sutera merah jambon.

"Sebelum bicara tentang persekutuan, hendaknya paduka berdua mengetahui bahwa sesungguhnya saya adalah seorang anak kemenakan mendiang Sang Patih Narotama."

"Ahhh....!" Seruan ini keluar dari mulut Pangeran Kukutan yang dalam hal menekan perasaan masih kalah jauh oleh Suminten yang tetap tenang. Seruan ini adalah seruan kaget, karena Pangeran Kukutan yang sesungguhnya bukan keturunan Sang Prabu Jenggala, mengira bahwa keponakan Narotama yang setia kepada raja itu tentu saja akan membela sang prabu. la lupa dalam kegugupannya bahwa Warutama tentu saja tidak tahu bahwa dia bukanlah keturunan sang prabu.

Bagi Warutama sendiri, seruan disangkanya seruan kaget dan girang maka ia tersenyum dan berkata kepada Pangeran Kukutan.

PERAWAN LEMBAH WILIS JILID 26