Badai Laut Selatan Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 18

"Paman.....! Mengapa tanganmu....?

Ki Tejoranu menggeleng kepala, tersenyum pahit. "Kau carilah dulu getah pohon Gondang atau pohon Gebang untuk obat....."

Joko Wandiro cepat lari dari situ, mencari obat yang dikehendaki kakek itu. Ia tahu bahwa getah kedua pohon ini amat baik untuk mengobati luka. Setelah dapat, ia cepat kembali ke situ, membantu kakek itu mengobati kedua tangan itu dan membalutnya erat-erat dengan robekan kain bersih. Sejenak Ki Tejoranu meramkan kedua mata, mengatur napas. Kemudian ia membuka matanya dan berkata,

"Dia itu paman guruku, Joko....."

"Ahh ! Seorang paman guru mengapa begitu kejam? Mengapa kedua ibu jari tanganmu dipotong? Dan mengapa pula engkau membiarkannya saja, paman?"

"Kau tidak tahu, anakku. Dengarlah baik-baik ceritaku agar menjadi contoh bagimu betapa tidak baiknya orang mengagulkan kepandaian sendiri dan menjadi sombong lalu tersesat seperti aku ini......"

Kakek itu bersila di bawah pohon dan mulailah ia bercerita. Ki Tejoranu dahulu di Negeri Cina terkenal sebagai seorang pendekar ahli Ilmu Golok Lebah Putih yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Karena bakatnya yang baik, biarpun ia seorang murid termuda, namun ia paling pandai mainkan ilmu golok itu sehingga ia mengatasi saudara-saudara seperguruannya. Setelah keluar dari perguruan dan banyak sekali mengalahkan lawan, mulailah kesombongan mencengkeramnya dan ia menjadi seorang muda yang congkak dan sewenang-wenang, mengandalkan sepasang golok yang tak terkalahkan!

Akhirnya sepak terjangnya yang menodai nama baik perguruan ini terdengar oleh guru dan paman-paman gurunya. Ia dicari untuk dimintai pertanggungan jawabnya. Karena maklum betapa keras peraturan perguruannya, Ki Tejoranu lalu melarikan diri. Namun ia dikejar-kejar terus dan akhirnya ia ikut dengan perahu jong yang berlayar ke selatan sehingga akhirnya tibalah ia di Pulau Jawa dan menetap di sini. Tertarik oleh orang-orang sakti yang banyak terdapat di sini, akhirnya ia menjadi seorang pertapa dan bertahun-tahun Ki Tejoranu bertapa di tepi Danau Sarangan sehingga ia bertemu dengan Ki Warok Gendroyono dari Ponorogo, menjadi sahabat dan terbawa-bawa pula dalam rombongan sekutu Adipati Joyowiseso.

"Demikianlah riwayatku, anakku Joko Wandiro. Kakek itu adalah paman guruku. Dia merantau sampai di sini dan mendengar bahwa aku berada di sini pula, dia sekalian mencariku dan mencari keterangan kalau-kalau aku masih melakukan perbuatan-perbuatan yang menodai nama perguruan kami. Secara kebetulan sekali dia melihat engkau berlatih Ilmu Golok Lebah Putih, Joko. Dan ini merupakan pantangan yang paling berat bagi perguruan kami. Seorang murid tidak sekali-kali boleh menurunkan Ilmu Golok Lebah Putih tanpa seijin para ketua dan aku telah melakukan pelanggaran itu dengan mengajarkannya kepadamu! Untung peristiwa ini tidak terjadi di negaraku, karena kalau terjadi di sana, ketika ia melihat kau melatih ilmu golok itu, tentu dia sudah turun tangan dan merampas kembali ilmu itu darimu."

"Merampas ilmu golok? Bagaimana ia dapat merampas ilmu yang telah dipelajari orang?"

Ki Tejoranu tersenyum pahit dan mengangkat kedua tangannya yang sudah dibalut. "Dia telah merampas ilmu itu dariku."

Joko Wandiro tertegun, sejenak tidak mengerti. Kemudian ia teringat dan bergidik ngeri. Benar juga! Kalau dua buah ibu jari tangan dipotong, tidak mungkin lagi orang dapat bermain golok! Membuntungi kedua ibu jari tangan, sama saja artinya dengan merampas ilmu, karena ilmu golok itu tidak dapat dipergunakan lagi.

"Karena engkau orang asing, Joko, maka paman guruku tidak mau turun tangan sebelum mendengar keteranganku. Maka ia menanti di sini sampai aku pulang. Tadi ia hampir menjatuhkan hukuman itu kepadamu, akan tetapi aku mencegahnya, menceritakan keadaanmu lalu mewakilimu menerima hukuman"

"Paman.... !!" Joko Wandiro memegang lengan orang itu penuh keharuan.

"Memang aku yang bersalah, bukan engkau. Sudah sepatutnya aku pula yang menerima hukuman."

"Paman. Engkau sudah insyaf daripada kesalahan, bahkan sudah melarikan diri jauh dari negaramu. Mengapa kakek yang menjadi paman gurumu itu terus mendesak dan tidak mau memberi ampun? Mengapa engkau tadi tidak melawannya saja? Kalau melawan, tentu tadi aku akan membantu, paman."

"Ah, kau tidak mengerti, Joko. Mana bisa aku melawannya? Kalau hanya ibu jariku yang dipotong, hal itu masih amat ringan, Joko. Bararti paman guruku masih menaruh hati sayang kepadaku. Dosaku bertumpuk. Aku harus berani menghadapi hukumannya. Joko Wandiro, anakku. Kau boleh menerima sepasang golok ini dan boleh menggunakan Ilmu Golok Lebah Putih untuk membela kebenaran dan keadilan, untuk memberantas kejahatan. Akan tetapi berjanjilah bahwa kau takkan mengajarkannya kepada orang lain. Berjanjilah, anakku, agar tidak bertambah-tambah berat dosaku kelak."

"Aku berjanji, paman."

"Bagus! Sekarang, kau berangkatlah menyusul dan mencari eyang gurumu. Aku tidak mungkin dapat menyertaimu, anakku."

"Mengapa, paman?"

"Karena aku harus segera menyusul rombongan paman guruku ke pantai laut utara. Aku harus kembali ke negaraku...."

"Ahhh...... !" Joko Wandiro benar-benar kaget mendengar perubahan keadaan yang tak tersangka-sangka ini .

"Memang sebaiknya begitu, Joko. Sudah terlalu lama aku meninggalkan negeriku, meninggalkan keluargaku. Dan untunglah aku bertemu denganmu pada saat-saat terakhir, anakku. Kalau tidak....... hemmm, tak dapat kubayangkan apa jadinya. Kalau paman guruku mendapatkan aku bersama orang-orang..... macam Cekel Aksomolo belum tentu hukumanku seringan ini." Ia memandang ke arah kedua tangannya. "Sudahlah, tidak ada waktu lagi untuk banyak bicara, anakku. Kau pergilah sendiri menyusul eyang gurumu ke Jalatunda."

"Di manakah Jalatunda, paman?"

"Kau pergilah ke Gunung Bekel. Di lereng gunung itu terdapat gua-gua pertapaan yang bernama Gua Tirta dan di sanalah terdapat pertapaan Jalatunda. Andaikata eyang gurumu tidak berada di sana, tidak mengapa. Kau langsung saja menghadap Sang Resi Jatinendra atau Sang Resi Gentayu, mohon petunjuk. Beliau seorang pertapa yang sakti mandraguna, nak, karena beliau itu bukan lain adalah Sang Prabu Airlangga sendiri. Dalam keadaan perang saudara seperti sekarang, lebih baik kau tidak terburu nafsu dan lancang melibatkan diri sebelum mendapat petunjuk Sang Prabu Airlangga sendiri, karena hanya beliaulah yang akan dapat mengatasi semua keributan itu. Nah, berangkatlah, anakku, semoga Tuhan Yang Maha Tinggi selalu memayungimu."

Ki Tejoranu merangkul pundak anak itu dan mencium ubun-ubunnya dengan kedua mata basah. Ternyata Ki Tejoranu jatuh sayang kepada anak ini, anak yang menjadi penolongnya dan sekaligus menjadi muridnya, akan tetapi yang lebih daripada itu semua, menjadi titik tolak keinsyafannya!

Setelah Joko Wandiro menyimpan sepasang golok, memberi hormat lalu pergi sampai tidak tampak lagi, barulah Ki Tejoranu meloncat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu untuk pergi ke pantai laut utara, di mana teman-temannya senegara, termasuk paman gurunya yang keras hati, menanti saat perahu jong kembali ke negeri mereka.

********************


Gunung Bekel (sekarang Gunung Penanggungan) adalah sebuah gunung yang tidak begitu tinggi (1653 meter), namun merupakan sebuah gunung yang subur tanahnya, indah pemandangannya, dan bersih udaranya. Gunung Bekel inilah yang dianggap sebagai bayangan atau duplikat Gunung Mahameru dan karenanya dianggap suci! Apalagi karena Gunung Bekel ini dijadikan tempat bertapa Sang Prabu Airlangga, maka keadaannya menjadi lebih agung lagi. Banyak terdapat gua-gua yang dianggap sebagai tempat pertapaan yang suci dan disebut Gua Tirta. Di antara gua-gua ini terdapat sebuah gua yang besar, mempunyai pekarangan yang bersih dan amat teduh karena terlindung pohon-pohon besar di lereng sebelah atas gua. Inilah pertapaan Jalatunda, di mana terdapat sumber air yang jernih.

Pagi hari itu, pertapaan Jalatunda tampak lebih indah daripada biasanya. Sinar matahari pagi menerobos masuk dari celah-celah daun pohon di atas gua, menerangi sebagian tanah pekarangan yang bersih karena disapu setiap hari dua kali. Mutiara embun yang menghias ujung-ujung daun berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Suara burung ramai berkicau di pohon-pohon, seakan-akan mahluk-mahluk kecil ini bergembira ria menyambut datangnya matahari. Kegembiraan yang tulus dan murni, didasari kewajaran merupakan doa dan puja-puji yang paling suci dipanjatkan ke bawah kaki Tuhan Seru Sekalian Alam.

Di kanan kiri mulut gua besar tampak duduk bersila dua orang kakek. Mereka berdua, seperti juga gua pertapaan besar itu, menghadap ke timur. Jika tidak memperhatikan bagian dada mereka yang turun naik, tentu orang akan menyangka dua orang kakek itu arca-arca penjaga gua! Mereka duduk bersila tak bergerak sama sekali, kedua mata dipejamkan dan hening dalam samadhi. Yang duduk di sebelah kiri adalah seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua, digelung di atas kepala, jenggot dan kumishya juga bercampur uban, tubuhnya tegap membayangkan tenaga. Kakek ini bukan lain adalah Bhagawan Rukmoseto atau Sang Resi Bhargowo!

Seperti telah diketahui, Bhagawan Rukmoseto terluka hebat ketika ia dikeroyok di Pulau Sempu. Akan tetapi berkat kesaktiannya, luka hebat oleh pukulan penggada Wesi Ireng yang dilakukan Jokowanengpati itu tidak merenggut nyawanya. Setelah beristirahat dan mengumpulkan kekuatannya Sang Bhagawan Rukmoseto pergi meninggalkan Pulau Sempu, kemudian menuju ke Jalatunda menghadap Sang Resi Gentayu atau Sang Resi Jatinendra.

Di depan junjungannya ini, Raja Kahuripan yang telah menjadi pertapa, Bhagawan Rukmoseto dengan terus terang menceritakan semua pengalamannya semenjak ia merampas pusaka Mataram dari tangan Jokowanengpati. Cerita ini didengarkan juga oleh kakak seperguruannya, yaitu Sang Empu Bharodo yang dengan setia mengikuti rajanya bertapa. Kemudian Bhagawan Rukmoseto menceritakan pula tekadnya untuk tidak mengembalikan pusaka karena ia kecewa melihat Ki Patih Narotama hendak menangkapnya dengan tuduhan memberontak.

Menceritakan pula betapa ia khawatir kalau-kalau pusaka itu bahkan akan menjadi sebab perpecahan yang lebih hebat lagi antara Pangeran Sepuh dan Pangeran Anom, seperti yang ia ketahui ketika ia menyelidik ke kota raja. Juga di depan kakak seperguruannya ia membuka rahasia kejahatan Jokowanengpati yang kini menjadi orang kepercayaan Pangeran Anom. Sang Resi Jatinendra menghela napas panjang mendengar semua penuturan itu, kemudian bersabda,

"Kakang Resi Bhargowo, sudah bertahun-tahun menjadi pertapa, mengapa masih belum pandai menguasai nafsu pribadi? Engkau masih diombang-ambingkan cinta dan benci, menimbulkan puji dan cela, mengakibatkan kawan dan lawan. Kasihan engkau, kakang Bhargowo. Kenapa tidak tinggal saja di sini bersama aku dan kakangmu Empu Bharodo mencari ketepangan dan keseimbangan? Yang sudah lalu biarkanlah. Aku hanya ingin mendengar apa selanjutnya yang terjadi dengan pusaka Mataram yang terjatuh ke dalam tanganmu, kakang Resi Bhargowo."

"Karena melihat perang saudara mengancam di kota raja, hamba mengambil keputusan untuk menyembunyikan pusaka itu. Hamba mempunyai dua orang cucu, gusti."

"Eh, kakang Resi Bhargowo. Jangan engkau bergusti lagi kepadaku. Sekarang ini aku bukanlah raja gustimu, melainkan seorang rekan pertapa yang sama dengan engkau belajar menemukan kembali kesempurnaan sejati, kakang resi."

"Ampun eh, baiklah, adi resi."

"Nah, begitu lebih tepat. Selanjutnya, bagaimana, kakang?"

"Pusaka itu hamba berikan kepada kedua orang cucu hamba, dan hamba jadikan dua, yaitu keris pusaka dan patung kencana yang menjadi warangkanya. Oleh kedua cucu hamba itu lalu disembunyikan."

"Jagad Dewa Batara segala puji kepada Sang Hyang Wishnu, pemelihara segenap alam dan isinya.....!" Sang Resi Jatinendra mengeluh dan menyampaikan puja-puji kepada Sang Hyang Wishnu yang menjadi pusat pujaannya. "Segala kehendakMu terjadilah!"

Hening sejenak setelah pertapa bekas raja itu mencetuskan isi hati dan perasaannya. Resi Bhargowo sendiri terkejut sekali. Apakah salahnya kalau pusaka itu disembunyikan agar tidak terjatuh ke tangan orang yang tidak berhak?

"Untung sekali Dewata masih memayungi, adi resi. Hanya beberapa saat setelah hamba menyuruh kedua cucu hamba pergi menyembunyikan pusaka Mataram, muncul orang-orang yang katanya adalah utusan Gusti Pangeran Anom untuk merampas pusaka. Hamba dikeroyok dan roboh di tangan mereka, bahkan nyaris tewas kalau saja Dewata tidak melindungi hamba."

"Yang penting adalah pusaka itu sendiri, kakang Resi Bhargowo. Jika keris dan warangka terpisah, hal itu menjadi tanda akan terpisahnya kawula dan gusti, menjadi tanda bahwa persatuan akan terpecah-belah dan hal ini hanya berarti perang di antara saudara. Kakang Resi Bhargowo, dimanakah sekarang kedua cucumu yang memegang keris dan patung kencana?"

"Inilah yang menyusahkan hati hamba. Mereka itu lenyap. Lenyap tak meninggalkan jejak, seakan-akan ditelan bumi!"

"Hemmm, sudahlah. Segala hal sudah ditentukan oleh Hyang Wisesa. Kita tunggu saja perkembangannya."

Demikianlah, semenjak saat itu, Resi Bhargowo ikut bertapa di Jalatunda. Bersama kakak seperguruannya ia bertapa menemani dan melayani raja gustinya yang kini menjadi Sang Resi Jatinendra. Adapun kakek yang duduk bersila di sebelah kanan mulut Gua Tirta itu tubuhnya tidak setegap dan sekuat Resi Bhargowo, akan tetapi wajahnya membayangkan ketenangan yang mendalam.

Dia inilah Empu Bharodo, pendeta linuwih yang sakti mandraguna dan setia kepada rajanya. Di waktu mudanya, Empu Bharodo ini terkenal sekali karena kesaktiannya, terkenal sebagai ahli Ilmu Bayu Sakti sehingga gerakannya seperti kilat menyambar cepatnya, pandai lari seperti angin, melompat seperti terbang. Juga ilmu tombaknya yang disebut Jonggring Saloko menggemparkan seluruh Nusantara. Akan tetapi setelah tua, Empu Bharodo lebih tekun melakukan tapa brata, meninggalkan keramaian duniawi, lebih memperdalam ilmu kebatinan.

Dan inilah sebabnya maka muridnya yang tadinya merupakan murid terkasih, Jokowanengpati, sampai dapat menyeleweng berlarut-larut karena gurunya seperti tidak memperdulikan urusan dunia lagi, juga tidak memperdulikan sepak terjang muridnya. Ketika adik seperguruannya, Resi Bhargowo bercerita tentang kejahatan muridnya, kakek ini hanya tersenyum lemah.

Kini kakak beradik seperguruan yang telah menjadi pertapa-pertapa sakti itu duduk di kanan kiri mulut Gua Tirta, tekun bersamadhi menghadap ke timur sehingga wajah mereka tersinar matahari pagi yang kemerahan. Tak lama kemudian, seorang kakek lain melangkah keluar gua. Kakek ini langkahnya perlahan, tubuhnya tegak, sikapnya agung dan penuh wibawa. Biarpun sudah tua, namun dadanya bidang dan penuh membayangkan kekuatan lahir batin yang hebat. Jenggotnya yang panjang sudah penuh uban, sebagian menutupi dada bagian atas yang tidak seluruhnya tertutup jubah pertapaannya. Pakaiannya yang mengkilap dan indah, terbuat daripada kain yang amat halus itu menandakan bahwa dia seorang pertapa yang bukan sembarangan. Dan memang inilah dia Sang Resi Jatinendra atau Sang Resi Gentayu, Sang Prabu Airlangga Raja Kahuripan yang telah mengundurkan diri dan bertapa.

Setelah tiba di mulut gua, Sang Resi Jatinendra menoleh ke kanan kiri, wajahnya kini tersinar matahari pagi, gilang-gemilang seperti dilapis kencana. Sinar matanya penuh damai, mulutnya terhias senyum maklum, kemudian ia melangkah terus ke depan, lalu duduk di atas batu halus berbentuk bulat yang berada tepat di depan guha di tengah pekarangan.

Memang batu itu adalah batu tempat sang pertapa duduk setiap pagi, bersamadhi menghadap ke timur di waktu matahari muncul. Begitu duduk bersila, seluruh tubuh dan wajahnya tepat tertimpa sinar keemasan Sang Bhatara Surya, ia sudah tekun bersamadhi, tangan kiri di atas pangkuan, tangan kanan di atas lutut kanan. Sudah menjadi kebiasaan sang pertapa dan dua orang pengikutnya, setiap pagi duduk bersamadhi di depan Gua Tirta menghadap ke arah matahari.

Bukan sekali-kali Sang Resi Jatinendra menjadi pemuja Sang Bhatara Surya. Tidak. Sungguhpun mereka bertiga menghormati Sang Bhatara Surya yang bertugas menyinarkan kehidupan di permukaan bumi, namun sebenarnya Sang Resi Jatinendra adalah seorang pemuja Sri Bhatara Wishnu atau Sang Hyang Wishnu. Bersamadhi di waktu pagi hari di depan gua ini hanyalah kebiasaan belaka, dan memang hal ini merupakan kebiasaan yang amat baik. Selain menerima inti sari sinar Sang Surya, juga cahaya di waktu pagi amat bermanfaat bagi kesehatan jasmani.

Bagaikan tiga buah arca kencana, tiga orang pertapa itu tekun bersamadhi dan sebentar saja mereka dalam keadaan hening, menikmati kebahagiaan dari kekosongan yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang biasa bersamadhi. Mereka ini sama sekali tidak tahu bahwa seorang pemuda tanggung datang berindap-indap, membungkuk-bungkuk penuh hormat sambil memandang kepada tiga orang kakek yang duduk bersila di depan gua itu.

Pemuda tanggung itu adalah Joko Wandiro yang mentaati pesan Ki Tejoranu, datang mencari eyang gurunya di pertapaan Jalatunda. Ketika melihat kakek yang duduk terdepan, datang rasa takut dan hormat di hati Joko Wandiro. Kemudian betapa girang rasa hatinya ketika ia mengenal eyang gurunya yang duduk bersila di sebelah kiri mulut gua, di belakang kakek di depan itu. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut dan memanggil-manggil perlahan,

"Eyang.... saya datang menghadap, eyang.....!"

Tidak ada jawaban. Tiga orang kakek itu tetap duduk bersila tak bergerak. Sampai tiga kali Joko Wandiro mengulang ucapannya. Tiba-tiba Joko Wandiro merasa betapa tubuhnya terangkat dan melayang ke depan. Ia terkejut dan terheran. Tahu-tahu ia sudah pindah tempat, di belakang Resi Jatinendra! Entah bagaimana, tubuhnya tadi terangkat dan terlempar ke tempat itu, di tengah-tengah antara eyang gurunya dan kakek tua yang duduk diam meramkan mata. Selagi ia kebingungan, mendadak terdengar suara eyang gurunya di sebelah kiri.

"Diamlah, Joko. Diam jangan bergerak. Lihat saja apa yang akan terjadi!"

Suara eyangnya itu perlahan, akan tetapi mengandung wibawa dan juga Joko Wandiro dapat menangkap getaran tegang dalam suara itu, seakan-akan mereka bertiga yang tampak enak-enak duduk bersamadhi itu sedang menghadapi hal yang amat gawat dan menegangkan. Sebagai seorang anak yang berperasaan halus, Joko Wandiro segera dapat mengerti atau setidaknya menduga akan keadaan itu, maka iapun lalu duduk diam di antara Resi Bhargowo dan Empu Bharodo, di belakang Resi Jatinendra, menanti apa yang akan terjadi dan memasang mata penuh perhatian ke depan, kanan, dan kiri.

Akan tetapi keadaan di sekeliling tempat itu sunyi saja. Sunyi dan mengamankan hati. Joko Wandiro tidak melihat bahaya apapun yang mengancam ketentraman tempat suci ini. Sinar matahari sudah mulai bening. Halimun tebal sudah mulai lari ketakutan. Burung-burung makin gencar berkicau gembira menyambut sang raja siang yang mulai memperlihatkan kekuasaannya. Pagi yang cerah dan indah mengawali hari itu. Keadaan demikian indah dan tenang tenteram, mengapa eyang gurunya kelihatan seperti seorang yang menanti datangnya sesuatu penuh kekhawatiran?

Joko Wandiro mengerling ke kanan, menyapu wajah kakek di sebelah kanannya. Namun kakek itu masih tenang bersamadhi, kedua matanya dipejamkan, kedua tangan menyilang di atas pangkuannya, muka menunduk. Juga kakek di sebelah depan itu, yang hanya dapat ia lihat punggungnya, tidak bergerak-gerak. Tiba-tiba perhatian Joko Wandiro tertarik oleh sesuatu dan jantungnya berdebar keras, belakang kepalanya terasa dingin dan bulu tengkuknya meremang. Rasa serem dan ngeri memenuhi hatinya.

Apakah yang membuat Joko Wandiro merasa serem? Telinganya menangkap sesuatu yang amat aneh, perubahan yang luar biasa. Secara mendadak, semua suara yang serba merdu dan indah tadi, suara kicau burung yang berloncatan dari cabang ke cabang, pasangan-pasangan burung yang sedang bercumbu, pasangan burung yang tengah terbang melayang sambil memekik-mekik girang, semua itu secara mendadak telah berhenti sama sekali! Tidak terdengar apa-apa lagi. Bahkan kelepak sayap burung tidak kedengaran lagi. Keadaan tiba-tiba menjadi sunyi, sesunyi kuburan!

Joko Wandiro dengan bingung menoleh ke sana kemari untuk mencari tahu apa yang menyebabkan semua burung berhenti berkicau dan apa atau siapa gerangan yang menimbulkan suasana lengang dan serem itu. Namun tidak tampak sesuatu. Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi parau yang menusuk telinga, bunyi tidak sedap. Burung gagak! .

"Gaaok..... kraaaaakk..... kraaaakk...... gaaaaokkk....!!"

Joko Wandiro tentu saja sudah sering kali mendengar bunyi burung pemakan bangkai ini. Bahkan seringkali melihat burungnya, burung besar yang hitam mulus, jelek warna dan bentuknya. Akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia merasa begini serem dan ngeri mendengar suara burung gagak seperti yang didengarnya saat itu. Mungkinkah munculnya burung gagak membuat semua burung ketakutan, terbang pergi atau bersembunyi, tidak berani bersuara lagi? Tidak mungkin!

Burung gagak bukanlah burung elang rajawali yang suka menerkam burung lain. Burung gagak adalah burung yang bersifat pengecut, hanya menyerang lawan yang sudah menjadi bangkai. Akan tetapi mengapa keadaan menjadi begitu lengang bersamaan dengan munculnya suara burung gagak itu? Ataukah hanya kebetulan?

Ketika ia melirik ke kanan kiri, tampak perubahan pada eyang gurunya dan kakek di sebelah kanannya. Mereka masih duduk bersila dan meramkan mata, akan tetapi tubuh mereka lebih tegak daripada tadi dan kulit tubuh yang tak tertutup baju, jelas nampak getaran-getaran penuh ketegangan sehingga kening merekapun berkerut! Hanya kakek di depan agaknya tidak bergerak dan masih seperti tadi.

Tiba-tiba terdengar bunyi bercicit dari dalam gua dan tak lama kemudian muncullah burung-burung hitam kecil beterbangan dari dalam gua. Akan tetapi burung-burung sriti itu tidak keluar dari dalam gua, hanya beterbangan di sekitar mulut gua, seakan-akan silau melihat sinar matahari. Mendadak kakek di sebelah kanan Joko Wandiro, yaitu Empu Bharodo, mengangkat tangan kiri digerakkan ke arah dalam gua. Seketika burung-burung itu lenyap beterbangan masuk lagi ke dalam, seakan-akan gerak tangan Empu Bharodo tadi merupakan perintah kepada burung-burung itu agar jangan keluar dan kembali ke sarang mereka di bagian paling dalam di gua itu.

Tak lama kemudian terdengar suara riuh dari sebelah depan. Cahaya matahari yang tadinya menerangi pekarangan depan gua mendadak menjadi suram seakan-akan tertutup awan mendung. Dari dalam kesuraman ini terdengar kelepak sayap dan suara mencicit-cicit yang nyaring tinggi menusuk telinga.

Joko Wandiro membelalakkan matanya, memandang ke atas. Kini bukan hanya bulu tengkuknya yang meremang, bahkan setiap lembar bulu di tubuhnya berdiri semua! Tengkuknya terasa dingin, kepalanya seakan melar membesar. Matanya terbelalak memandang ke atas, mulutnya ternganga. Siapa orangnya takkan merasa heran, kaget, takut dan ngeri melihat ratusan, bahkan ribuan kelelawar hitam beterbangan menyerbu tempat itu? Melihat kelelawar di malam gelap tidaklah mengherankan, akan tetapi menyaksikan ribuan ekor kelelawar di pagi hari menyerbu ganas semacam itu benar-benar mendatangkan rasa ngeri, karena hal itu sudah pasti bukanlah hal yang sewajarnya!

Ribuan ekor kelelawar itu dengan suara mencicit yang memekakkan telinga, dari atas menyambar ke bawah dan kini tempat itu penuh dengan binatang-binatang kecil yang menjijikkan ini. Bau apak menyengat hidung dan menyesakkan pernapasan.

Joko Wandiro cepat-cepat mengatur pernapasannya dan setelah mengerahkan hawa sakti di dalam dada, barulah ia dapat bernapas lega. Akan tetapi hatinya ngeri melihat betapa kelelawar-kelelawar itu kini beterbangan rendah. Anehnya, tak seekorpun di antara mereka terus menyambar turun, seakan-akan ada sesuatu yang melindungi empat orang itu, atau ada sesuatu yang mendatangkan rasa takut pada binatang-binatang itu.

Setiap kali menyambar, serendah kira-kira semeter dari kepala empat orang itu, binatang-binatang ini terbang ke atas kembali sambil mengeluarkan pekik-pekik ketakutan. Maka makin penuh sesaklah bagian atas pekarangan itu dengan kelelawar yang beterbangan. Kini banyak di antara binatang-binatang itu yang hinggap di pohon-pohon, bergantungan dan menjerit-jerit. Penuh semua pohon di tempat itu dengan kelelawar. Bau apak makin tak tertahankan.

"Wirokolo benar-benar tak tahu diri, berani mengganggu Sang Agung Resi Jatinendra!" terdengar Empu Bharodo berkata perlahan.

Kakek ini lalu mengangkat kedua tangannya ke atas, melambai ke depan gua. Terdengar suara melengking nyaring dari dalam gua dan makin lama suara ini makin bergemuruh, mengatasi suara kelelawar-kelelawar yang menggila. Kiranya suara ini adalah suara ribuan ekor burung sriti yang menerobos keluar dari dalam gua sambil berbunyi marah. Bagaikan segulung asap hitam, rombongan burung sriti ini berserabutan keluar dari dalam guha dan terjadilah perang yang amat dahsyat dan mengherankan. Ribuan ekor burung sriti itu serta-merta menyerbu dan menyerang kelelawar-kelelawar tadi! .

Joko Wandiro melongong keheranan. Bukan main! Hebat perang tanding di udara itu. Patuk-mematuk, sambar-menyambar, cakar-mencangkar dan saling memukul dengan sayap. Pihak kelelawar juga melakukan perlawanan gigih. Namun mereka kalah gesit, juga kalah awas. Pandai sekali burung-burung sriti itu mengelak, kemudian dengan kecepatan kilat menyambar dan mematuk lawan dari samping. Payah kelelawar-kelelawar itu mempertahankan diri. Banyak sudah jatuh korban. Tidak mati dipatuk burung- burung sriti yang kecil itu, akan tetapi burung-burung itu mematuk ke arah mata sehingga kelelawar-kelelawar itu kini benar-benar menjadi buta, bukan hanya silau oleh sinar matahari.

Mulailah mereka beterbangan kacau-balau dalam ketakutan dan hendak melarikan diri. Terbang sejadinya dan tanpa arah tertentu sehingga banyak di antara mereka yang menabrak pohon dan jatuh ke dalam jurang. Burung-burung sriti yang gagah dan gesit itu terbang pula mengejar dan mengusir kelelawar-kelelawar dari depan gua. Peperangan yang dahsyat dan aneh, yang berlangsung tidak begitu lama, namun cukup mendebarkan hati Joko Wandiro. Sebentar saja burung-burung itu telah mengusir semua kelelawar sehingga tidak seekorpun tinggal. Mereka terus mengejar sampai tak terdengar lagi suara kelelawar yang kebingungan.

Tak lama kemudian tempat itu menjadi sunyi senyap dan bersih kembali seperti tadi. Bahkan bau apak kelelawar sudah lenyap pula tersapu angin gunung. Tiga orang kakek itu masih duduk seperti tadi.

"Gaaaaookk kraaaaak-kraaak gaaookkk!! ....... "

Suara burung gagak yang memecah kesunyian itu benar-benar amat menyeramkan bagi Joko Wandiro. Apalagi karena sekarang suara burung gagak ini terdengar jelas sekali. Agaknya burung itu berada di atas kepala mereka. Namun tak tampak sesuatu oleh Joko Wandiro.

" hiyeeehhh!! Keteprok-keteprok... hiyeeeeehhhhh"

Joko Wandiro sampai tersentak kaget. Suara kuda menegar-negar, derap kakinya yang rnenginjak-injak tanah, ringkiknya yang nyaring, benar-benar seperti kuda itu berada di depannya. Namun tidak tampak sesatu!

"Ha-ha-ha-ha-ha..... !!"

Suara ketawa inipun terdengar jelas, suara ketawa tanpa kelihatan orangnya. Joko Wandiro menoleh ke kanan kiri memandang eyang gurunya dan Empu Bharodo. Rasa takut membuat ia menggeser mendekati eyang gurunya. Namun ia teringat akan pesan eyang gurunya tadi, maka ia tidak berani membuka suara, hanya membuka mata lebar-lebar memandang ke depan dengan jantung berdebar dan leher serasa dicekik.

"Ha-ha-ha! Kahuripan akan menjadi karang abang (lautan api)! Sang Prabu Airlangga yang tadinya hidup mulia dan megah, kini menjadi pertapa jembel! Ha- ha-ha!"

Suara itu bergema seperti suara iblis dari dalam kuburan, mengaung dan terdengar dari jauh, namun amat jelas. Dan suara ini diiringi bau dupa yang aneh, harum sekali. Begitu wangi sehingga memabokkan, di dalam hidung sampai terasa sakit penuh dengan ganda wangi yang mendatangkan rasa manis.

Seketika Joko Wandiro merasa kepalanya pening, matanya berkunang. Alangkah kagetnya ketika ia berusaha menggerakkan kaki tangannya, ternyata seluruh tubuhnya kaku! Persis seperti keadaan orang yang tindihen (mimpi buruk), pikiran masih terang, panca indera masih sadar, namun seluruh tubuh kaku-kaku tak dapat bergerak! Dan ganda wangi itu makin menyengat, memenuhi hidung dan tenggorokan, mulai menyerang paru-paru. Joko Wandiro terengah-engah, dadanya terasa sakit!

"Joko Wandiro, tenanglah.... tidak apa-apa.... !"

Terdengar Bisikan dari sebelah kiri, suara eyang gurunya. Joko Wandiro sejak kecil memang digembleng oleh ayahnya, kemudian oleh eyang gurunya, bahkan akhir-akhir ini oleh Ki Tejoranu. Namun semua gemblengan itu hanya merupakan latihan ilmu-ilmu kesaktian dan dalam hal ilmu kebatinan ia hanya mendapat latihan untuk memperkuat batin dan menghimpun hawa sakti dalam tubuh. Berhadapan dengan ilmu hitam yang tidak sewajarnya seperti ini, ia sama sekali belum pernah mengalaminya. Tidak mengherankan apabila ia sudah menjadi korban.

Ucapan eyang gurunya seakan-akan menjadi akar pohon di tepi sungai di mana ia tenggelam dan hanyut Merupakan penolong dalam keadaan darurat. Cepat ia mengerahkan tenaga sakti, menahan napas, dan membuka matanya. Gelap dan kabur pandang matanya, tampak ribuan bintang menari-nari. Ganda wangi memabok kan masih keras terasa. Tiba-tiba ia merasa ada titik-titik air berjatuhan ke atas kepala dan mukanya. Terasa dingin sekali sampai menembus kulit daging dan mendinginkan pikiran dan hati. Ia dapat melihat jelas sekarang. Rasa dingin air itu mengusir kepeningannya. Kiranya kakek di sebelah kanannya, Empu Bharodo, sudah memercik-mecikkan air kepadanya, sambil berkemak-kemik membaca mantera.

"Pegang dan cium puspa (bunga) ini, Joko...."

Kembali terdengar suara eyang gurunya dan setangkai bunga berada di tangannya. Bunga cempaka putih. Joko Wandiro segera membawa bunga itu ke hidungnya. Berkuranglah ganda wangi menusuk hidung yang tadi memabokkannya. Makin terang pandang matanya dan ia kini tenang kembali.

Ketika ia memandang ke depan, jantungnya tergetar, akan tetapi ia dapat menenangkan kembali setelah teringat bahwa ia berada di antara orang-orang sakti. Sambil menekan kembang itu di depan hidung, Joko Wandiro memandang ke depan dengan mata terbelalak. Apa yang dilihatnya benar-benar membuat orang mati ketakutan. Amat menyeramkan dan tak masuk akal, seperti dalam mimpi buruk.

Di sebelah depan Sang Resi Jatinendra berdiri sebuah mahluk yang luar biasa sekali. Disebut manusia, jauh bedanya dengan manusia biasa. Kalau binatang, bentuknya menyerupai manusia. Mahluk itu tinggi besar, satu setengah kali tinggi besar seorang manusia biasa. Merupakankan seorang manusia betina, seorang nenek-nenek yang sukar ditaksir usianya.

Pendeknya seorang nenek yang sudah sangat tua. Rambutnya gimbal riap-riapan, sebagian menutup mukanya. Mukanya yang buruk penuh keriput dengan kulit kering mengelinting seperti tengkorak terbungkus kulit yang terlalu besar. Matanya cekung, seperti berlubang tak berbiji mata, akan tetapi dari dalam dua lubang mata yang hitam itu keluar sinar bagaikan sepasang mata harimau. Hidungnya pesek mulutnya lebar dengan bibir bawah menggantung sehingga tampak mulut yang tak bergigi lagi.

Tubuhnya kurus akan tetapi besar, dengan sepasang lengan kurus yang berujung jari-jari tangan meruncing karena kuku-kukunya dibiarkan memanjang tak terpelihara. Berbeda dengan kedua lengan yang kurus, di dadanya bergantungan sepasang buah dada yang besar dan panjang, begitu panjangnya sampai ujung tetek mendekati pusarnya! Tubuh atas yang bertetek besar panjang ini dibiarkan telanjang saja, akan tetapi perhiasan emas permata memenuhi leher, pergelangan tangan dan jari-jari tangannya! Tubuh bawah tertutup kain beraneka warna.

"Hi-hi-hi-hikk....!!"

Nenek mengerikan itu tertawa-tawa, terkekeh-kekeh dan bergerak-gerak di depan Resi Jatinendra yang semenjak tadi tak bergerak-gerak. Semenjak terjadi bermacam keanehan, sampai perang dahsyat antara barisan kelelawar melawan barisan sriti, sampai kini nenek yang sepatutnya disebut wewegombel ini bergerak-gerak di depannya, pendeta itu sama sekali tak bergerak maupun membuka mata.

"Hi-hi-hikk.... Airlanggaaaaa.... Airlangga.....!! Tiada guna kau bertapa.... hi-hi-hikk! Kahuripan akan menjadi karang abang ........ anak cucumu akan saling bunuh hi-hik, dan aku akan kenyang minum darah segar mengganyang daging hangat. Hi-hi-hikk....!!"

Joko Wandiro bergidik. Ketika sinar mata yang memancar keluar dari sepasang lubang hitam itu bertemu dengan pandang matanya, hampir ia pingsan. Untung ia cepat-cepat menggigit tangkai bunga dan mengerahkan seluruh tenaga mempertahankan diri sehingga ia sadar kembali dan menentang sinar mata itu penuh keberanian.

"Iiih-hi-hih, bocah ini makanan lezat..... iihh-hih-hih...!"

Nenek itu memutar ke belakang Sang Resi Jatinendra dan melangkah menghampiri Joko Wandiro! Joko Wandiro adalah seorang anak berdarah satria bertulang pendekar. Tadi ia memang merasa ngeri dan ketakutan menyaksikan pemandangan yang gaib dan tidak wajar ini. Akan tetapi begitu melihat dirinya terancam bahaya, bangkit semangat perlawanan dalam dirinya. Ia telah digembleng sejak kecil bagaimana harus membela diri daripada ancaman bahaya.

Melihat nenek itu menghampirinya dengan sikap mengancam dan menjijikkan, ia mengerahkan seluruh tenaga batin untuk menekan semua perasaan takut dan ngeri, kemudian sekali ia mengeluarkan seruan nyaring, tubuhnya sudah meloncat ke depan dan menyambut nenek itu dengan sebuah pukulan Aji Pethit Nogo! .

"Werrr...... werrr..... werrr...... !!"

Hebat bukan main pukulan ini, biarpun hanya dilakukan oleh seorang pemuda tanggung. Pukulan dengan jari-jari terbuka itu mendatangkan angin pukulan keras sehingga mengeluarkan Suara. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati Joko Wandlro ketika tiga kali pukulannya secara bertubi-tubi itu, yang mengenai sasaran tepat ternyata menembus tubuh si nenek seakan-akan menembus bayangan saja.

Nenek itu tidak berbadan seperti manusia agaknya. Akan tetapi ketika sambil terkekeh nenek itu menggerakkan tangan kirinya yang berlengan panjang, Joko Wandiro terkena hantaman pundaknya, terasa nyeri seperti dihantam palu godam dan ia terjungkal ke kiri!.


cerita silat online karya kho ping hoo

Bagaikan bola, begitu roboh Joko Wandiro sudah meloncat kembali dan kini kedua tangannya sudah memegang sepasang golok tipis yang tadinya ia sisipkan di pinggang tertutup baju. Karena marah dan penasaran, Joko Wandiro segera memutar sepasang goloknya, mainkan Ilmu Golok Lebah Putih yang belum lama ini ia pelajari dari Ki Tejoranu. Lenyaplah bentuk sepasang goloknya, berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara seperti banyak lebah beterbangan Gulungan sinar itu menyambar dan mengurung diri si nenek tinggi besar yang masih terkekeh-kekeh.

"Hihh-hih-hihh..... !"

Nenek itu terkekeh dan sepasang susunya yang besar panjang itu bergoyang-goyang mengerikan ketika ia tertawa sambil bertolak pinggang. Joko Wandiro membelalakkan kedua matanya melihat sepasang goloknya yang menyambar itu kembali tembus tanpa melukai tubuh si nenek iblis! .

"Hih-hih-hih, bocah bagus. Darahmu tentu manis, dagingmu gurih! Tapi kau berani melawan aku, hah? Hih-hih-hih-hikk! Lihat kekuasaanku bocah! Lihat baik-baik! Kau akan dimakan senjatamu sendiri, hih-hih-hik!"

Nenek buruk rupa itu menudingkan telunjuk kanannya ke arah Joko Wandiro. Dari tangan yang menunjuk ini seakan-akan keluar getaran aneh yang berputar-putar amat kuatnya sehingga Joko Wandiro tak dapat mempertahankan diri lagi. Pemuda tanggung ini merasa betapa dirinya seakan-akan dibawa angin puyuh yang kuat, serasa tubuhnya berpusing dan kepalanya menjadi pening, matanya berkunang. ILa meramkan matanya, yang masih terdengar suara eyang gurunya memanggil, akan tetapi suara itu datangnya dari jauh sekali, hanya terdengar gemanya saja,

"Joko.... ! Joko Wandiro......!"

Akan tetapi Joko Wandro tidak mengandalkan pertolongan dari luar lagi karena ia sudah terseret oleh perputaran getaran yang luar biasa itu. Ia melihat, sungguhpun kedua matanya dipejamkan, betapa di sekeliling tubuhnya tampak wajah nenek yang mengerikan itu, dengan bau mulutnya yang amis busuk, bercampur bau wangi yang memuakkan Maka ia lalu mengerahkan tenaganya, menggerakkan kedua goloknya untuk membacok dan menusuk !

"Hi-hi-hi-hik! Hayo bacok dan tusuk, biar kuhisap darahmu yang keluar, biar kuhisap darahmu yang keluar, biar kuganyang dagingmu, kukremus tulangmu!"

Dalam pandangan Joko Wandiro, ia membacok dan menusuk ke arah tubuh nenek iblis itu, padahal sebetulnya ia telah terjatuh di bawah pengaruh sihir dan dalam pandangan orang lain, sepasang goloknya itu ia bacok dan tusukkan ke arah tubuhnya sendiri!

Untung baginya bahwa pada saat itu ia berada bersama tiga orang kakek sakti mandraguna. Ketika tadi ia menerjang nenek iblis, Empu Bharodo sudah berdiri, tangan kirinya membawa tempat air dan tanah, tangan kanan memegang setangkai bunga cempaka. Kini kakek itu memercik-mercikkan air dengan bunga yang dicelupkan ke dalam tempat air, bibirnya membaca mantera.

Terjadilah pemandangan yang tak masuk akal bagi orang-orang biasa. Namun sungguh merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Seperti orang mabok, Joko Wandiro menggunakan kedua goloknya untuk membacok dan menusuk tubuhnya sendiri. Bajunya menjadi robek compang-camping akibat bacokan dan tusukan golok tajam pemberian Ki Tejoranu.

Akan tetapi anehnya, kulit tubuhnya sedikitpun tidak lecet, apalagi terluka. Sihir yang dilakukan nenek iblis itu membuat ia seperti mabok dan membacoki tubuh sendiri yang disangka tubuh si nenek, sebaliknya, percikan air Empu Bharodo membuat tubuhnya seakan-akan menjadi kebal. Sihir dibalas sihir. Kasihan Joko Wandiro yang menjadi korban, melakukan hal-hal yang sama sekali di luar kehendaknya.

Empu Bharodo menghampiri Joko Wandiro, menaruh tangan kiri di atas kepalanya, meraba ubun-ubunnya. Seketika Joko Wandiro sadar dan alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa sepasang goloknya itu ia gerakkan sendiri membacok paha dan menusuk perut. Cepat ia menahan kedua tangannya, bengong terlongong melihat bajunya compang-camping, melihat nenek iblis terkekeh-kekeh dan di depan nenek itu kini berdiri Empu Bharodo dengan sikap tenang.

Nenek itu mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau dan mukanya menjadi menakutkan sekali. Joko Wandiro yang masih berdiri terbelalak itu makin kaget ketika melihat api keluar dari mulut si nenek iblis. Apikah itu yang tersembur keluar dari mulut dan menerjang ke arah Empu Bharodo? Ataukah lidah si nenek yang panjang dan menyala-nyala? Empu Bharodo membaca mantera, lalu memercikkan air dari bunga cempaka yang dicelup dalam tempayan air. Percikan air itu berkilau putih menyambar ke arah lidah api.

"Cesssssss.....!" Asap mengepul tebal dan tercium bau sangit.

Si nenek iblis menjerit-jerit, tangan kiri menggaruk-garuk mulutnya yang kini tidak mengeluarkan lidah api lagi, sedangkan tangan kanan dengan jari-jari berkuku panjang itu diulur ke depan ketika ia menerjang maju dan untuk menubruk dan mencekik leher Empu Bharodo.

"Pergilah.... !!" bentak Empu Bharodo sambil menyambitkan kembang ke arah nenek iblis.

Nenek itu terhuyung ke belakang, mulutnya mengeluarkan jerit melengking panjang dan lenyaplah tubuhnya.

"Heh, Wirokolo!" Terdengar Empu Bharodo berkata lantang. "Kalau engkau hendak menghadap Sang Resi Jatinendra, datanglah saja. Apa perlunya engkau pamer dengan ilmu hitam Calon Arang yang hanya patut untuk menakut-nakuti anak kecil?"

Setelah berkata demikian, Empu Bharodo dengan langkah tenang kembali ke tempatnya di depan mulut gua lalu duduk bersila seperti tadi, tenang dan seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.

"Joko, kau kembalilah ke sini...." terdengar Resi Bhargowo berkata.

Akan tetapi sebelum Joko Wandiro sempat bergerak, tiba-tiba muncullah lima orang tinggi besar berloncatan ke depan Sang Resi Jatinendra. Lima orang tinggi besar itu muncul sambil tertawa bergelak, di tangan masing-masing memegang sebatang golok besar yang berkilauan tertimpa sinar matahari membayangkan ketajamannya. Tanpa bicara sesuatu, lima orang itu serentak lalu menerjang pertapa yang masih duduk bersamadhi itu.

Melihat hal ini, tentu saja Joko Wandiro tidak mau tinggal diam. Sepasang golok tipis pemberian Ki Tejoranu masih berada di kedua tangannya dan kini ia melihat bahwa lima orang itu walaupun tinggi besar, namun jelas adalah manusia-manusia biasa bukan iblis macam nenek tadi. Pula, menilik gerakan mereka, kelima orang ini hanya memiliki tenaga kasar yang besar saja. Maka cepat sekali tubuhnya mencelat ke depan dan kedua goloknya berkelebat membentuk gulungan sinar putih.

"Trang-trang-cringgg...!!"

Golok tiga orang musuh yang berada paling depan berhasil ditangkisnya dan tiga batang golok itu mental kembali. Lima orang pengeroyok yang tinggi besar itu berseru kaget dan membelalakkan mata. Tak seorangpun di antara mereka yang kini tertawa lagi. Sebaliknya, mereka mengeluarkan suara gerengan marah ketika mendapat kenyataan bahwa yang menangkis golok-golok mereka tadi hanyalah seorang pemuda tanggung .

"Bocah keparat! Kau kepingin mampus??" Lima orang itu serentak menerjang dengan golok besar mereka ke arah Joko Wandiro.

Melihat datangnya lima batang golok dengan kekuatan yang besar, Joko Wandiro maklum bahwa tenaganya tak mungkin menandingi lima erang ini sekaligus. Tadipun ketika menangkis tiga batang golok, ia merasa betapa kedua lengannya menjadi linu, tanda bahwa tenaga tiga orang itu benar-benar amat kuat. Maka, anak yang cerdik ini tidak lagi mau mengadu tenaga melawan lima orang sekaligus, melainkan cepat ia mempergunakan kegesitan tubuhnya, menggunakan Aji Bayu Tantra sehingga tubuhnya dengan ringan dan gesit sekali menyelinap ke samping sebelum lima batang golok datang membacok. Kemudian kedua kakinya bergerak menurut pelajaran ilmu silat yang ia pelajari dari Ki Tejoranu, golok-golok di kedua tangannya melakukan gerakan menggunting ke arah lawan yang paling depan.

Si tinggi besar itu kaget ketika tadi melihat bocah yang menjadi lawannya berkelebat ke samping dan kini melihat dua gulungan sinar putih menerjangnya. Ia berusaha untuk membabitkan golok besarnya sambil memutar tubuh menghadapi Joko Wandiro, namun ia kalah gesit. Tiba-tiba ia menjerit keras, lengan kanannya termakan golok Joko Wandiro yang menggunting sehingga terpaksa ia melepaskan golok besarnya sambil melompat mundur memegangi lengan kanan yang mengucurkan darah.

Joko Wandiro tidak berhenti sampai di situ saja. Melihat hasil serangannya, ia melanjutkan gerakan kakinya, dengan gerakan mantap mengatur langkah-langkah maju dalam gerak ilmu silat Ilmu Golok Lebah Putih, sepasang goloknya mendesing-desing ketika diputar ke depan. Empat orang lawannya juga sudah menghadapinya, marah sekali melihat seorang kawan mereka dikalahkan.

"Ommm... damai-damai-damai jangan kotorkan tempat ini dengan darah....!"

Terdengar suara halus dan tiba-tiba saja Joko Wandiro dan keempat orang lawannya merasa kedua lengan mereka lemas sehingga semua senjata yang dipegang terlepas dan runtuh ke atas tanah!

Joko Wandiro seorang yang cerdik. Ia tadi melirik dan melihat bahwa ucapan itu keluar dari mulut pendeta yang sejak tadi duduk diam di depan, kemudian melihat pula betapa tangan kiri pendeta itu digerakkan ke depan, maka tahulah ia bahwa yang menjatuhkan semua senjata itu adalah hawa pukulan jarak jauh yang hebat luar biasa! Ia tahu pula bahwa pendeta yang sakti itu tidak menghendaki pertumpahan darah. Adapun keempat orang tinggi besar itu menjadi makin marah, tidak mengerti mengapa semua senjata mereka terlepas begitu saja dari pegangan. Mereka mengira bahwa bocah itulah yang main gila, maka dengan gerakan ganas mereka lalu maju menubruk, kedua lengan dikembangkan, jari-jari tangan terbuka siap mencekik leher, mulut terbuka lebar tiada ubahnya harimau-harimau lapar menubruk mangsa!

Namun Joko Wandiro sudah bergerak lebih cepat daripada mereka yang lamban dan hanya mengandalkan kekuatan tubuh. Dengan menyelinap ke kiri, ia membuat tubrukan empat orang itu gagal, kemudian sebelum empat orang itu mampu menerjangnya lagi, selagi mereka terhuyung ke depan, dari samping Joko Wandiro menghantam seorang diantara mereka yang terdekat dengan menggunakan pukulan Pethit Nogo.

"Trakk!!"

Jari-jari tangan yang kecil itu dilecutkan ke arah iga dan biarpun jari tangan itu tidak berapa besar, namun mengandung Aji Pethit Nogo yang ampuhnya menggila. Seketika si tinggi besar itu menjerit kesakitan, roboh bergulingan dan mengaduh-aduh, tak dapat bangkit kembali karena dua buah tulang Iganya patah! Mendapatkan kemenangan ini, besar hati Joko Wandiro. Ia tidak menanti sisa lawannya yang tiga orang lagi itu bergerak.

Selagi mereka bengong saking heran melihat bocah itu mampu merobohkan seorang kawan lagi hanya dalam segebrakan, ia telah meloncat maju, gerakannya cepat, kaki tangannya bergerak laksana halilintar menyambar dan terdengarlah pekik susul-menyusul ketika tiga orang itu dihajar tendangan dan pukulan ampuh sehingga tubuh mereka bergelimpangan. Hebat sepak terjang Joko Wandiro, seperti Raden Gatotkaca mengamuk di antara keroyokan buto-buto (raksasa) galak!

Mendapat kesempatan ini, selagi para lawannya jatuh bangun, Joko Wandiro sudah menyambar sepasang goloknya lagi karena ia khawatir kalau-kalau sepasang goloknya itu dirampas lawan. Pada saat ia membungkuk dan mengambil sepasang goloknya, tiba-tiba ada angin keras menyambar dari depan. Joko Wandiro terkejut, maklum bahwa ada serangan yang hebat. Cepat ia mengelak sambil membabat dengan golok kanannya, akan tetapi tubuhnya terlempar dan golok kanannya terlepas ketika sebuah kaki menyambar dengan kekuatan yang dahsyat!

Joko Wandiro terbanting roboh, matanya berkunang-kunang akan tetapi ia tidak mengalami cedera. Cepat ia menggulingkan tubuhnya ke arah golok yang terlepas tadi dan begitu ia meloncat bangun, ia sudah siap dengan sepasang golok di tangan, menghadapi segala kemungkinan dengan sikap gagah dan memasang kuda-kuda amat kokohnya. Kiranya di sebelah depan telah berdiri dua orang laki-laki tinggi besar berkulit hitam, rambutnya panjang terurai dan sepatutnya dua orang ini menjadi raksasa-raksana dalam cerita jaman dahulu!

Tidak hanya segala-galanya pada kedua orang itu jauh lebih besar daripada orang biasa, juga mata mereka yang besar menonjol keluar itu kemerahan, wajah mereka buas dan mengerikan. Agaknya mereka itu saudara kembar, karena segala-galanya, dari rambut, wajah, bentuk tubuh sampai pakaian mereka, serupa. Sukar sekali membedakan satu dari yang lain kalau saja senjata mereka tidak berbeda. Yang seorang memegang sebatang tombak yang dihias rambut di leher tombak, sedangkan orang ke dua memegang sebatang ruyung yang bergigi, amat menyeramkan.

Namun Joko Wandiro tidak menjadi gentar. Sekali sudah terjun ke dalam gelanggang yuda, ia tidak mengenal takut lagi. Dengan hati-hati ia bersiap sedia menghadapi dua lawan yang nggegirisi (menggiriskan) ini. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan eyang gurunya,

"Joko, mundur kau!"

Joko Wandiro tidak berani membantah, dan ia lalu mengundurkan diri, kembali duduk bersila seperti tadi, di mulut gua di belakang Resi Jatinendra. Adapun Resi Bhargowo kini sudah berdiri dan dengan langkah tenang ia maju ke depan menyambut dua orang raksasa itu.

"Anak baik, kau patut menjadi cucu murid adi resi " demikian bisikan Empu Bharodo di sebelah kanan Joko Wandiro.

Anak ini menengok dan melihat betapa kakek itu tersenyum ramah, lalu membungkuk dengan sikap merendah. Kemudian mereka lalu memandang ke depan untuk menonton bagaimana Resi Bhargowo akan menghadapi dua orang lawan yang buas itu. Resi Bhargowo bersikap tenang saja. Sejenak ia beradu pandang dengan kedua lawannya, kemudian ia berkata,

"Kisanak, siapakah gerangan andika berdua? Dan mempunyai keperluan apa mendatangi pertapaan Jalatunda?"

"Heh-heh-heh, aku adalah Gagak Kunto!" jawab raksasa yang memegang lembing atau tobak berhias rambut.

"Dan akulah Gagak Rudro!" jawab orang ke dua sambil mengamang-amangkan senjata ruyungnya yang mengerikan.

Resi Bhargowo sudah menduga akan hal ini. Tentu saja dia sudah mendengar nama kedua orang ini yang merupakan jagoan-jagoan dari Kerajaan Wengker yang sudah hancur. Tadi ketika mendengar suara burung gagak yang diikuti oleh semua burung lain, dia sudah dapat menduga bahwa suara itu bukan keluar dari mulut burung gagak sewajarnya. Kiranya kedua orang Gagak inilah yang datang! Dia sudah mendengar bahwa Gagak Kunto dan Gagak Rudro (Gagak Bertombak dan Gagak Buas) adalah bekas perwira-perwira Kerajaan Wengker, orang-orang kepercayaan mendiang Sang Prabu Baka dan memiliki kesaktian-kesaktian tinggi, yang merupakan ahli-ahli ilmu hitam seperti biasa dimikili para jagoan Wengker. Maka ia bersikap hati-hati dan menanti keterangan selengkapnya.

Melihat betapa pertapa yang kelihatan kecil itu tidak kaget mendengar nama mereka, Gagak Kunto berkata lagi, suaranya membentak marah, "Tua bangka kecil kurus kering, kau minggirlah! Kami datang mewakili kakang Wirokolo!"

"Hemmm, kalau Wirokolo ada niat menghadap Sang Agung Resi Jatinendra, mengapa ia tidak langsung menghadap sendiri? Mengapa ia menyuruh pula kalian? Mundurlah, dan sampaikan kepada Wirokolo bahwa lebih baik dia sendiri yang maju."

Dua orang raksasa itu makin marah.
"Heh, keparat sombong, siapakah engkau berani menentang sepasang Gagak Sakti? Apakah kau sudah bosan hidup?"

"Gagak Kunto dan Gagak Rudro, aku bicara baik-baik kepada kalian, sebaliknya kalian begitu jumawa. Ketahuilah, aku adalah Bhagawan Rukmoseto."

"Bhagawan Rukmoseto??" Gagak Kunto mengulang, mengingat-ingat nama yang tak dikenalnya ini.

"Ya, dahulu disebut Resi Bhargowo."

"Ha-ha-ha! Resi Bhargowo kah kiranya engkau, tua Bangka kerdil? Minggirlah, apa kau belum mendengar nama Gagak Kunto? Minggir dan biarkan kami bicara dengan Sang Prabu Airlangga!"

"Hemm! Wirokolo hanya seorang senopati taklukan, namun masih mewakilkan orang-orang kasar macam kalian. Tentu saja kalian tidak cukup berharga untuk menghadap Sang Agung Resi Jatinendra, dan akulah wakil beliau untuk menandingi segala tingkahmu!"

"Aauugggh, bojleng iblis laknat! Bhargowo, berani engkau melawan senjata pusakaku ini?" Gagak Kunto mengamangkan tombaknya.

"Majulah, siapa takut kepadamu?"

"Keparat sombong! Hayo keluarkan senjatamu!"

"Senjataku adalah kebenaran. Majulah kalian berdua, aku takkan mundur setapakpun!"

"Babo-babo....!!"

Gagak Rudro tak dapat menahan kemarahannya lagi dan ia mendahului saudaranya, menerjang dengan ruyungnya yang mengerikan.

"Wuuuuuttt....!!" Angin besar menyambar ketika ruyung ini bergerak. Namun dengan gerakan ringan dan sikap tenang sekali Resi Bhargowo menggeser kaki miringkap tubuh. Ruyung itu lewat di samping tubuhnya bagaikan waringin tumbang, menghantam tanah membuat batu-batu kerikil pecah dan terbang berhamburan disusul debu mengepul tebal.

Serangan gagal ini dalam detik selanjutnya sudah disusul tombak meluncur bagaikan kilat menyambar, menusuk ke arah dada Resi Bhargowo. Demikian cepatnya serangan maut ini sehingga Joko Wandiro yang menonton merasa ngeri dan khawatir. Baginya, eyang gurunya terlalu tenang, sehingga tampaknya seperti lambat. Kalau dia yang diserang tombak seperti itu, tentu sudah cepat-cepat meloncat ke samping. Akan tetapi eyang gurunya seakan-akan menanti datangnya ujung mata tombak, dan setelah kurang sejengkal dari kulit dadanya, barulah eyang gurunya itu miringkan tubuh tanpa menggeser kaki! Sebuah kelitan yang amat berbahaya dan pula amat berani, namun juga merupakan awal jurus yang ampuhnya menggiriskan!

Hanya beberapa detik saja terjadinya, tahu-tahu tombak yang meluncur lewat itu telah tertangkap di bawah ketiak lengan kiri sang resi, dikempit dengan pengerahan tenaga dalam, kemudian dalam detik berikutnya disusul dengan tamparan yang menggunakan jari tangan kanan.

"Werr ....... plakkk!!"

Itulah tamparan Pethit Nogo yang tepat mengenai pundak kiri Gagak Kunto! Joko Wandiro hampir saja bersorak menyaksikan hasil mentakjubkan eyang gurunya dalam jurus pertama ini. Tubuh Gagak Kunto seperti kemasukan aliran halilintar, matanya terbelalak rambutnya bangkit berdiri kemudian tubuhnya mencelat ke belakang sampai lima meter jauhnya, lalu terbanting roboh dan di situ ia terengah-engah sambil memegangi pundaknya. Biarpun ia memiliki kekebalan, namun pukulan Pethit Nogo tadi berhasil meremukkan tulang pundaknya!

"Si keparat Bhargowo.....! Berani kau.... menjatuhkan saudaraku ??"

Dengan muka merah dan mata terbelalak mulut berliur sakiing marahnya, Gagak Rudro menubruk dan menggerakkan ruyungnya yang besar dan berat itu, mengancam kepala dan tubuh lawan. Gerakannya cepat dan amat kuat, serangannya susul-menyusul sehingga terpaksa Resi Bhargowo menggunakan ilmu kesaktiannya, dengan Aji Bayu Tantra ia berkelit ke sana ke mari dengan amat gesitnya.

Mengagumkan sekali kalau dilihat betapa seorang kakek yang sudah tua, rambutnya sudah putih semua seperti Resi Bhargowo ini, masih dapat bergerak sedemikian gesitnya, tiada ubahnya seekor burung sriti yang bergerak melesat ke sana-sini menghindarkan diri dar ipada ancaman ruyung maut.

BADAI LAUT SELATAN JILID 19


Badai Laut Selatan Jilid 18

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 18

"Paman.....! Mengapa tanganmu....?

Ki Tejoranu menggeleng kepala, tersenyum pahit. "Kau carilah dulu getah pohon Gondang atau pohon Gebang untuk obat....."

Joko Wandiro cepat lari dari situ, mencari obat yang dikehendaki kakek itu. Ia tahu bahwa getah kedua pohon ini amat baik untuk mengobati luka. Setelah dapat, ia cepat kembali ke situ, membantu kakek itu mengobati kedua tangan itu dan membalutnya erat-erat dengan robekan kain bersih. Sejenak Ki Tejoranu meramkan kedua mata, mengatur napas. Kemudian ia membuka matanya dan berkata,

"Dia itu paman guruku, Joko....."

"Ahh ! Seorang paman guru mengapa begitu kejam? Mengapa kedua ibu jari tanganmu dipotong? Dan mengapa pula engkau membiarkannya saja, paman?"

"Kau tidak tahu, anakku. Dengarlah baik-baik ceritaku agar menjadi contoh bagimu betapa tidak baiknya orang mengagulkan kepandaian sendiri dan menjadi sombong lalu tersesat seperti aku ini......"

Kakek itu bersila di bawah pohon dan mulailah ia bercerita. Ki Tejoranu dahulu di Negeri Cina terkenal sebagai seorang pendekar ahli Ilmu Golok Lebah Putih yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Karena bakatnya yang baik, biarpun ia seorang murid termuda, namun ia paling pandai mainkan ilmu golok itu sehingga ia mengatasi saudara-saudara seperguruannya. Setelah keluar dari perguruan dan banyak sekali mengalahkan lawan, mulailah kesombongan mencengkeramnya dan ia menjadi seorang muda yang congkak dan sewenang-wenang, mengandalkan sepasang golok yang tak terkalahkan!

Akhirnya sepak terjangnya yang menodai nama baik perguruan ini terdengar oleh guru dan paman-paman gurunya. Ia dicari untuk dimintai pertanggungan jawabnya. Karena maklum betapa keras peraturan perguruannya, Ki Tejoranu lalu melarikan diri. Namun ia dikejar-kejar terus dan akhirnya ia ikut dengan perahu jong yang berlayar ke selatan sehingga akhirnya tibalah ia di Pulau Jawa dan menetap di sini. Tertarik oleh orang-orang sakti yang banyak terdapat di sini, akhirnya ia menjadi seorang pertapa dan bertahun-tahun Ki Tejoranu bertapa di tepi Danau Sarangan sehingga ia bertemu dengan Ki Warok Gendroyono dari Ponorogo, menjadi sahabat dan terbawa-bawa pula dalam rombongan sekutu Adipati Joyowiseso.

"Demikianlah riwayatku, anakku Joko Wandiro. Kakek itu adalah paman guruku. Dia merantau sampai di sini dan mendengar bahwa aku berada di sini pula, dia sekalian mencariku dan mencari keterangan kalau-kalau aku masih melakukan perbuatan-perbuatan yang menodai nama perguruan kami. Secara kebetulan sekali dia melihat engkau berlatih Ilmu Golok Lebah Putih, Joko. Dan ini merupakan pantangan yang paling berat bagi perguruan kami. Seorang murid tidak sekali-kali boleh menurunkan Ilmu Golok Lebah Putih tanpa seijin para ketua dan aku telah melakukan pelanggaran itu dengan mengajarkannya kepadamu! Untung peristiwa ini tidak terjadi di negaraku, karena kalau terjadi di sana, ketika ia melihat kau melatih ilmu golok itu, tentu dia sudah turun tangan dan merampas kembali ilmu itu darimu."

"Merampas ilmu golok? Bagaimana ia dapat merampas ilmu yang telah dipelajari orang?"

Ki Tejoranu tersenyum pahit dan mengangkat kedua tangannya yang sudah dibalut. "Dia telah merampas ilmu itu dariku."

Joko Wandiro tertegun, sejenak tidak mengerti. Kemudian ia teringat dan bergidik ngeri. Benar juga! Kalau dua buah ibu jari tangan dipotong, tidak mungkin lagi orang dapat bermain golok! Membuntungi kedua ibu jari tangan, sama saja artinya dengan merampas ilmu, karena ilmu golok itu tidak dapat dipergunakan lagi.

"Karena engkau orang asing, Joko, maka paman guruku tidak mau turun tangan sebelum mendengar keteranganku. Maka ia menanti di sini sampai aku pulang. Tadi ia hampir menjatuhkan hukuman itu kepadamu, akan tetapi aku mencegahnya, menceritakan keadaanmu lalu mewakilimu menerima hukuman"

"Paman.... !!" Joko Wandiro memegang lengan orang itu penuh keharuan.

"Memang aku yang bersalah, bukan engkau. Sudah sepatutnya aku pula yang menerima hukuman."

"Paman. Engkau sudah insyaf daripada kesalahan, bahkan sudah melarikan diri jauh dari negaramu. Mengapa kakek yang menjadi paman gurumu itu terus mendesak dan tidak mau memberi ampun? Mengapa engkau tadi tidak melawannya saja? Kalau melawan, tentu tadi aku akan membantu, paman."

"Ah, kau tidak mengerti, Joko. Mana bisa aku melawannya? Kalau hanya ibu jariku yang dipotong, hal itu masih amat ringan, Joko. Bararti paman guruku masih menaruh hati sayang kepadaku. Dosaku bertumpuk. Aku harus berani menghadapi hukumannya. Joko Wandiro, anakku. Kau boleh menerima sepasang golok ini dan boleh menggunakan Ilmu Golok Lebah Putih untuk membela kebenaran dan keadilan, untuk memberantas kejahatan. Akan tetapi berjanjilah bahwa kau takkan mengajarkannya kepada orang lain. Berjanjilah, anakku, agar tidak bertambah-tambah berat dosaku kelak."

"Aku berjanji, paman."

"Bagus! Sekarang, kau berangkatlah menyusul dan mencari eyang gurumu. Aku tidak mungkin dapat menyertaimu, anakku."

"Mengapa, paman?"

"Karena aku harus segera menyusul rombongan paman guruku ke pantai laut utara. Aku harus kembali ke negaraku...."

"Ahhh...... !" Joko Wandiro benar-benar kaget mendengar perubahan keadaan yang tak tersangka-sangka ini .

"Memang sebaiknya begitu, Joko. Sudah terlalu lama aku meninggalkan negeriku, meninggalkan keluargaku. Dan untunglah aku bertemu denganmu pada saat-saat terakhir, anakku. Kalau tidak....... hemmm, tak dapat kubayangkan apa jadinya. Kalau paman guruku mendapatkan aku bersama orang-orang..... macam Cekel Aksomolo belum tentu hukumanku seringan ini." Ia memandang ke arah kedua tangannya. "Sudahlah, tidak ada waktu lagi untuk banyak bicara, anakku. Kau pergilah sendiri menyusul eyang gurumu ke Jalatunda."

"Di manakah Jalatunda, paman?"

"Kau pergilah ke Gunung Bekel. Di lereng gunung itu terdapat gua-gua pertapaan yang bernama Gua Tirta dan di sanalah terdapat pertapaan Jalatunda. Andaikata eyang gurumu tidak berada di sana, tidak mengapa. Kau langsung saja menghadap Sang Resi Jatinendra atau Sang Resi Gentayu, mohon petunjuk. Beliau seorang pertapa yang sakti mandraguna, nak, karena beliau itu bukan lain adalah Sang Prabu Airlangga sendiri. Dalam keadaan perang saudara seperti sekarang, lebih baik kau tidak terburu nafsu dan lancang melibatkan diri sebelum mendapat petunjuk Sang Prabu Airlangga sendiri, karena hanya beliaulah yang akan dapat mengatasi semua keributan itu. Nah, berangkatlah, anakku, semoga Tuhan Yang Maha Tinggi selalu memayungimu."

Ki Tejoranu merangkul pundak anak itu dan mencium ubun-ubunnya dengan kedua mata basah. Ternyata Ki Tejoranu jatuh sayang kepada anak ini, anak yang menjadi penolongnya dan sekaligus menjadi muridnya, akan tetapi yang lebih daripada itu semua, menjadi titik tolak keinsyafannya!

Setelah Joko Wandiro menyimpan sepasang golok, memberi hormat lalu pergi sampai tidak tampak lagi, barulah Ki Tejoranu meloncat dan berlari cepat meninggalkan tempat itu untuk pergi ke pantai laut utara, di mana teman-temannya senegara, termasuk paman gurunya yang keras hati, menanti saat perahu jong kembali ke negeri mereka.

********************


Gunung Bekel (sekarang Gunung Penanggungan) adalah sebuah gunung yang tidak begitu tinggi (1653 meter), namun merupakan sebuah gunung yang subur tanahnya, indah pemandangannya, dan bersih udaranya. Gunung Bekel inilah yang dianggap sebagai bayangan atau duplikat Gunung Mahameru dan karenanya dianggap suci! Apalagi karena Gunung Bekel ini dijadikan tempat bertapa Sang Prabu Airlangga, maka keadaannya menjadi lebih agung lagi. Banyak terdapat gua-gua yang dianggap sebagai tempat pertapaan yang suci dan disebut Gua Tirta. Di antara gua-gua ini terdapat sebuah gua yang besar, mempunyai pekarangan yang bersih dan amat teduh karena terlindung pohon-pohon besar di lereng sebelah atas gua. Inilah pertapaan Jalatunda, di mana terdapat sumber air yang jernih.

Pagi hari itu, pertapaan Jalatunda tampak lebih indah daripada biasanya. Sinar matahari pagi menerobos masuk dari celah-celah daun pohon di atas gua, menerangi sebagian tanah pekarangan yang bersih karena disapu setiap hari dua kali. Mutiara embun yang menghias ujung-ujung daun berkilauan tertimpa sinar matahari pagi. Suara burung ramai berkicau di pohon-pohon, seakan-akan mahluk-mahluk kecil ini bergembira ria menyambut datangnya matahari. Kegembiraan yang tulus dan murni, didasari kewajaran merupakan doa dan puja-puji yang paling suci dipanjatkan ke bawah kaki Tuhan Seru Sekalian Alam.

Di kanan kiri mulut gua besar tampak duduk bersila dua orang kakek. Mereka berdua, seperti juga gua pertapaan besar itu, menghadap ke timur. Jika tidak memperhatikan bagian dada mereka yang turun naik, tentu orang akan menyangka dua orang kakek itu arca-arca penjaga gua! Mereka duduk bersila tak bergerak sama sekali, kedua mata dipejamkan dan hening dalam samadhi. Yang duduk di sebelah kiri adalah seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua, digelung di atas kepala, jenggot dan kumishya juga bercampur uban, tubuhnya tegap membayangkan tenaga. Kakek ini bukan lain adalah Bhagawan Rukmoseto atau Sang Resi Bhargowo!

Seperti telah diketahui, Bhagawan Rukmoseto terluka hebat ketika ia dikeroyok di Pulau Sempu. Akan tetapi berkat kesaktiannya, luka hebat oleh pukulan penggada Wesi Ireng yang dilakukan Jokowanengpati itu tidak merenggut nyawanya. Setelah beristirahat dan mengumpulkan kekuatannya Sang Bhagawan Rukmoseto pergi meninggalkan Pulau Sempu, kemudian menuju ke Jalatunda menghadap Sang Resi Gentayu atau Sang Resi Jatinendra.

Di depan junjungannya ini, Raja Kahuripan yang telah menjadi pertapa, Bhagawan Rukmoseto dengan terus terang menceritakan semua pengalamannya semenjak ia merampas pusaka Mataram dari tangan Jokowanengpati. Cerita ini didengarkan juga oleh kakak seperguruannya, yaitu Sang Empu Bharodo yang dengan setia mengikuti rajanya bertapa. Kemudian Bhagawan Rukmoseto menceritakan pula tekadnya untuk tidak mengembalikan pusaka karena ia kecewa melihat Ki Patih Narotama hendak menangkapnya dengan tuduhan memberontak.

Menceritakan pula betapa ia khawatir kalau-kalau pusaka itu bahkan akan menjadi sebab perpecahan yang lebih hebat lagi antara Pangeran Sepuh dan Pangeran Anom, seperti yang ia ketahui ketika ia menyelidik ke kota raja. Juga di depan kakak seperguruannya ia membuka rahasia kejahatan Jokowanengpati yang kini menjadi orang kepercayaan Pangeran Anom. Sang Resi Jatinendra menghela napas panjang mendengar semua penuturan itu, kemudian bersabda,

"Kakang Resi Bhargowo, sudah bertahun-tahun menjadi pertapa, mengapa masih belum pandai menguasai nafsu pribadi? Engkau masih diombang-ambingkan cinta dan benci, menimbulkan puji dan cela, mengakibatkan kawan dan lawan. Kasihan engkau, kakang Bhargowo. Kenapa tidak tinggal saja di sini bersama aku dan kakangmu Empu Bharodo mencari ketepangan dan keseimbangan? Yang sudah lalu biarkanlah. Aku hanya ingin mendengar apa selanjutnya yang terjadi dengan pusaka Mataram yang terjatuh ke dalam tanganmu, kakang Resi Bhargowo."

"Karena melihat perang saudara mengancam di kota raja, hamba mengambil keputusan untuk menyembunyikan pusaka itu. Hamba mempunyai dua orang cucu, gusti."

"Eh, kakang Resi Bhargowo. Jangan engkau bergusti lagi kepadaku. Sekarang ini aku bukanlah raja gustimu, melainkan seorang rekan pertapa yang sama dengan engkau belajar menemukan kembali kesempurnaan sejati, kakang resi."

"Ampun eh, baiklah, adi resi."

"Nah, begitu lebih tepat. Selanjutnya, bagaimana, kakang?"

"Pusaka itu hamba berikan kepada kedua orang cucu hamba, dan hamba jadikan dua, yaitu keris pusaka dan patung kencana yang menjadi warangkanya. Oleh kedua cucu hamba itu lalu disembunyikan."

"Jagad Dewa Batara segala puji kepada Sang Hyang Wishnu, pemelihara segenap alam dan isinya.....!" Sang Resi Jatinendra mengeluh dan menyampaikan puja-puji kepada Sang Hyang Wishnu yang menjadi pusat pujaannya. "Segala kehendakMu terjadilah!"

Hening sejenak setelah pertapa bekas raja itu mencetuskan isi hati dan perasaannya. Resi Bhargowo sendiri terkejut sekali. Apakah salahnya kalau pusaka itu disembunyikan agar tidak terjatuh ke tangan orang yang tidak berhak?

"Untung sekali Dewata masih memayungi, adi resi. Hanya beberapa saat setelah hamba menyuruh kedua cucu hamba pergi menyembunyikan pusaka Mataram, muncul orang-orang yang katanya adalah utusan Gusti Pangeran Anom untuk merampas pusaka. Hamba dikeroyok dan roboh di tangan mereka, bahkan nyaris tewas kalau saja Dewata tidak melindungi hamba."

"Yang penting adalah pusaka itu sendiri, kakang Resi Bhargowo. Jika keris dan warangka terpisah, hal itu menjadi tanda akan terpisahnya kawula dan gusti, menjadi tanda bahwa persatuan akan terpecah-belah dan hal ini hanya berarti perang di antara saudara. Kakang Resi Bhargowo, dimanakah sekarang kedua cucumu yang memegang keris dan patung kencana?"

"Inilah yang menyusahkan hati hamba. Mereka itu lenyap. Lenyap tak meninggalkan jejak, seakan-akan ditelan bumi!"

"Hemmm, sudahlah. Segala hal sudah ditentukan oleh Hyang Wisesa. Kita tunggu saja perkembangannya."

Demikianlah, semenjak saat itu, Resi Bhargowo ikut bertapa di Jalatunda. Bersama kakak seperguruannya ia bertapa menemani dan melayani raja gustinya yang kini menjadi Sang Resi Jatinendra. Adapun kakek yang duduk bersila di sebelah kanan mulut Gua Tirta itu tubuhnya tidak setegap dan sekuat Resi Bhargowo, akan tetapi wajahnya membayangkan ketenangan yang mendalam.

Dia inilah Empu Bharodo, pendeta linuwih yang sakti mandraguna dan setia kepada rajanya. Di waktu mudanya, Empu Bharodo ini terkenal sekali karena kesaktiannya, terkenal sebagai ahli Ilmu Bayu Sakti sehingga gerakannya seperti kilat menyambar cepatnya, pandai lari seperti angin, melompat seperti terbang. Juga ilmu tombaknya yang disebut Jonggring Saloko menggemparkan seluruh Nusantara. Akan tetapi setelah tua, Empu Bharodo lebih tekun melakukan tapa brata, meninggalkan keramaian duniawi, lebih memperdalam ilmu kebatinan.

Dan inilah sebabnya maka muridnya yang tadinya merupakan murid terkasih, Jokowanengpati, sampai dapat menyeleweng berlarut-larut karena gurunya seperti tidak memperdulikan urusan dunia lagi, juga tidak memperdulikan sepak terjang muridnya. Ketika adik seperguruannya, Resi Bhargowo bercerita tentang kejahatan muridnya, kakek ini hanya tersenyum lemah.

Kini kakak beradik seperguruan yang telah menjadi pertapa-pertapa sakti itu duduk di kanan kiri mulut Gua Tirta, tekun bersamadhi menghadap ke timur sehingga wajah mereka tersinar matahari pagi yang kemerahan. Tak lama kemudian, seorang kakek lain melangkah keluar gua. Kakek ini langkahnya perlahan, tubuhnya tegak, sikapnya agung dan penuh wibawa. Biarpun sudah tua, namun dadanya bidang dan penuh membayangkan kekuatan lahir batin yang hebat. Jenggotnya yang panjang sudah penuh uban, sebagian menutupi dada bagian atas yang tidak seluruhnya tertutup jubah pertapaannya. Pakaiannya yang mengkilap dan indah, terbuat daripada kain yang amat halus itu menandakan bahwa dia seorang pertapa yang bukan sembarangan. Dan memang inilah dia Sang Resi Jatinendra atau Sang Resi Gentayu, Sang Prabu Airlangga Raja Kahuripan yang telah mengundurkan diri dan bertapa.

Setelah tiba di mulut gua, Sang Resi Jatinendra menoleh ke kanan kiri, wajahnya kini tersinar matahari pagi, gilang-gemilang seperti dilapis kencana. Sinar matanya penuh damai, mulutnya terhias senyum maklum, kemudian ia melangkah terus ke depan, lalu duduk di atas batu halus berbentuk bulat yang berada tepat di depan guha di tengah pekarangan.

Memang batu itu adalah batu tempat sang pertapa duduk setiap pagi, bersamadhi menghadap ke timur di waktu matahari muncul. Begitu duduk bersila, seluruh tubuh dan wajahnya tepat tertimpa sinar keemasan Sang Bhatara Surya, ia sudah tekun bersamadhi, tangan kiri di atas pangkuan, tangan kanan di atas lutut kanan. Sudah menjadi kebiasaan sang pertapa dan dua orang pengikutnya, setiap pagi duduk bersamadhi di depan Gua Tirta menghadap ke arah matahari.

Bukan sekali-kali Sang Resi Jatinendra menjadi pemuja Sang Bhatara Surya. Tidak. Sungguhpun mereka bertiga menghormati Sang Bhatara Surya yang bertugas menyinarkan kehidupan di permukaan bumi, namun sebenarnya Sang Resi Jatinendra adalah seorang pemuja Sri Bhatara Wishnu atau Sang Hyang Wishnu. Bersamadhi di waktu pagi hari di depan gua ini hanyalah kebiasaan belaka, dan memang hal ini merupakan kebiasaan yang amat baik. Selain menerima inti sari sinar Sang Surya, juga cahaya di waktu pagi amat bermanfaat bagi kesehatan jasmani.

Bagaikan tiga buah arca kencana, tiga orang pertapa itu tekun bersamadhi dan sebentar saja mereka dalam keadaan hening, menikmati kebahagiaan dari kekosongan yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang biasa bersamadhi. Mereka ini sama sekali tidak tahu bahwa seorang pemuda tanggung datang berindap-indap, membungkuk-bungkuk penuh hormat sambil memandang kepada tiga orang kakek yang duduk bersila di depan gua itu.

Pemuda tanggung itu adalah Joko Wandiro yang mentaati pesan Ki Tejoranu, datang mencari eyang gurunya di pertapaan Jalatunda. Ketika melihat kakek yang duduk terdepan, datang rasa takut dan hormat di hati Joko Wandiro. Kemudian betapa girang rasa hatinya ketika ia mengenal eyang gurunya yang duduk bersila di sebelah kiri mulut gua, di belakang kakek di depan itu. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut dan memanggil-manggil perlahan,

"Eyang.... saya datang menghadap, eyang.....!"

Tidak ada jawaban. Tiga orang kakek itu tetap duduk bersila tak bergerak. Sampai tiga kali Joko Wandiro mengulang ucapannya. Tiba-tiba Joko Wandiro merasa betapa tubuhnya terangkat dan melayang ke depan. Ia terkejut dan terheran. Tahu-tahu ia sudah pindah tempat, di belakang Resi Jatinendra! Entah bagaimana, tubuhnya tadi terangkat dan terlempar ke tempat itu, di tengah-tengah antara eyang gurunya dan kakek tua yang duduk diam meramkan mata. Selagi ia kebingungan, mendadak terdengar suara eyang gurunya di sebelah kiri.

"Diamlah, Joko. Diam jangan bergerak. Lihat saja apa yang akan terjadi!"

Suara eyangnya itu perlahan, akan tetapi mengandung wibawa dan juga Joko Wandiro dapat menangkap getaran tegang dalam suara itu, seakan-akan mereka bertiga yang tampak enak-enak duduk bersamadhi itu sedang menghadapi hal yang amat gawat dan menegangkan. Sebagai seorang anak yang berperasaan halus, Joko Wandiro segera dapat mengerti atau setidaknya menduga akan keadaan itu, maka iapun lalu duduk diam di antara Resi Bhargowo dan Empu Bharodo, di belakang Resi Jatinendra, menanti apa yang akan terjadi dan memasang mata penuh perhatian ke depan, kanan, dan kiri.

Akan tetapi keadaan di sekeliling tempat itu sunyi saja. Sunyi dan mengamankan hati. Joko Wandiro tidak melihat bahaya apapun yang mengancam ketentraman tempat suci ini. Sinar matahari sudah mulai bening. Halimun tebal sudah mulai lari ketakutan. Burung-burung makin gencar berkicau gembira menyambut sang raja siang yang mulai memperlihatkan kekuasaannya. Pagi yang cerah dan indah mengawali hari itu. Keadaan demikian indah dan tenang tenteram, mengapa eyang gurunya kelihatan seperti seorang yang menanti datangnya sesuatu penuh kekhawatiran?

Joko Wandiro mengerling ke kanan, menyapu wajah kakek di sebelah kanannya. Namun kakek itu masih tenang bersamadhi, kedua matanya dipejamkan, kedua tangan menyilang di atas pangkuannya, muka menunduk. Juga kakek di sebelah depan itu, yang hanya dapat ia lihat punggungnya, tidak bergerak-gerak. Tiba-tiba perhatian Joko Wandiro tertarik oleh sesuatu dan jantungnya berdebar keras, belakang kepalanya terasa dingin dan bulu tengkuknya meremang. Rasa serem dan ngeri memenuhi hatinya.

Apakah yang membuat Joko Wandiro merasa serem? Telinganya menangkap sesuatu yang amat aneh, perubahan yang luar biasa. Secara mendadak, semua suara yang serba merdu dan indah tadi, suara kicau burung yang berloncatan dari cabang ke cabang, pasangan-pasangan burung yang sedang bercumbu, pasangan burung yang tengah terbang melayang sambil memekik-mekik girang, semua itu secara mendadak telah berhenti sama sekali! Tidak terdengar apa-apa lagi. Bahkan kelepak sayap burung tidak kedengaran lagi. Keadaan tiba-tiba menjadi sunyi, sesunyi kuburan!

Joko Wandiro dengan bingung menoleh ke sana kemari untuk mencari tahu apa yang menyebabkan semua burung berhenti berkicau dan apa atau siapa gerangan yang menimbulkan suasana lengang dan serem itu. Namun tidak tampak sesuatu. Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi parau yang menusuk telinga, bunyi tidak sedap. Burung gagak! .

"Gaaok..... kraaaaakk..... kraaaakk...... gaaaaokkk....!!"

Joko Wandiro tentu saja sudah sering kali mendengar bunyi burung pemakan bangkai ini. Bahkan seringkali melihat burungnya, burung besar yang hitam mulus, jelek warna dan bentuknya. Akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia merasa begini serem dan ngeri mendengar suara burung gagak seperti yang didengarnya saat itu. Mungkinkah munculnya burung gagak membuat semua burung ketakutan, terbang pergi atau bersembunyi, tidak berani bersuara lagi? Tidak mungkin!

Burung gagak bukanlah burung elang rajawali yang suka menerkam burung lain. Burung gagak adalah burung yang bersifat pengecut, hanya menyerang lawan yang sudah menjadi bangkai. Akan tetapi mengapa keadaan menjadi begitu lengang bersamaan dengan munculnya suara burung gagak itu? Ataukah hanya kebetulan?

Ketika ia melirik ke kanan kiri, tampak perubahan pada eyang gurunya dan kakek di sebelah kanannya. Mereka masih duduk bersila dan meramkan mata, akan tetapi tubuh mereka lebih tegak daripada tadi dan kulit tubuh yang tak tertutup baju, jelas nampak getaran-getaran penuh ketegangan sehingga kening merekapun berkerut! Hanya kakek di depan agaknya tidak bergerak dan masih seperti tadi.

Tiba-tiba terdengar bunyi bercicit dari dalam gua dan tak lama kemudian muncullah burung-burung hitam kecil beterbangan dari dalam gua. Akan tetapi burung-burung sriti itu tidak keluar dari dalam gua, hanya beterbangan di sekitar mulut gua, seakan-akan silau melihat sinar matahari. Mendadak kakek di sebelah kanan Joko Wandiro, yaitu Empu Bharodo, mengangkat tangan kiri digerakkan ke arah dalam gua. Seketika burung-burung itu lenyap beterbangan masuk lagi ke dalam, seakan-akan gerak tangan Empu Bharodo tadi merupakan perintah kepada burung-burung itu agar jangan keluar dan kembali ke sarang mereka di bagian paling dalam di gua itu.

Tak lama kemudian terdengar suara riuh dari sebelah depan. Cahaya matahari yang tadinya menerangi pekarangan depan gua mendadak menjadi suram seakan-akan tertutup awan mendung. Dari dalam kesuraman ini terdengar kelepak sayap dan suara mencicit-cicit yang nyaring tinggi menusuk telinga.

Joko Wandiro membelalakkan matanya, memandang ke atas. Kini bukan hanya bulu tengkuknya yang meremang, bahkan setiap lembar bulu di tubuhnya berdiri semua! Tengkuknya terasa dingin, kepalanya seakan melar membesar. Matanya terbelalak memandang ke atas, mulutnya ternganga. Siapa orangnya takkan merasa heran, kaget, takut dan ngeri melihat ratusan, bahkan ribuan kelelawar hitam beterbangan menyerbu tempat itu? Melihat kelelawar di malam gelap tidaklah mengherankan, akan tetapi menyaksikan ribuan ekor kelelawar di pagi hari menyerbu ganas semacam itu benar-benar mendatangkan rasa ngeri, karena hal itu sudah pasti bukanlah hal yang sewajarnya!

Ribuan ekor kelelawar itu dengan suara mencicit yang memekakkan telinga, dari atas menyambar ke bawah dan kini tempat itu penuh dengan binatang-binatang kecil yang menjijikkan ini. Bau apak menyengat hidung dan menyesakkan pernapasan.

Joko Wandiro cepat-cepat mengatur pernapasannya dan setelah mengerahkan hawa sakti di dalam dada, barulah ia dapat bernapas lega. Akan tetapi hatinya ngeri melihat betapa kelelawar-kelelawar itu kini beterbangan rendah. Anehnya, tak seekorpun di antara mereka terus menyambar turun, seakan-akan ada sesuatu yang melindungi empat orang itu, atau ada sesuatu yang mendatangkan rasa takut pada binatang-binatang itu.

Setiap kali menyambar, serendah kira-kira semeter dari kepala empat orang itu, binatang-binatang ini terbang ke atas kembali sambil mengeluarkan pekik-pekik ketakutan. Maka makin penuh sesaklah bagian atas pekarangan itu dengan kelelawar yang beterbangan. Kini banyak di antara binatang-binatang itu yang hinggap di pohon-pohon, bergantungan dan menjerit-jerit. Penuh semua pohon di tempat itu dengan kelelawar. Bau apak makin tak tertahankan.

"Wirokolo benar-benar tak tahu diri, berani mengganggu Sang Agung Resi Jatinendra!" terdengar Empu Bharodo berkata perlahan.

Kakek ini lalu mengangkat kedua tangannya ke atas, melambai ke depan gua. Terdengar suara melengking nyaring dari dalam gua dan makin lama suara ini makin bergemuruh, mengatasi suara kelelawar-kelelawar yang menggila. Kiranya suara ini adalah suara ribuan ekor burung sriti yang menerobos keluar dari dalam gua sambil berbunyi marah. Bagaikan segulung asap hitam, rombongan burung sriti ini berserabutan keluar dari dalam guha dan terjadilah perang yang amat dahsyat dan mengherankan. Ribuan ekor burung sriti itu serta-merta menyerbu dan menyerang kelelawar-kelelawar tadi! .

Joko Wandiro melongong keheranan. Bukan main! Hebat perang tanding di udara itu. Patuk-mematuk, sambar-menyambar, cakar-mencangkar dan saling memukul dengan sayap. Pihak kelelawar juga melakukan perlawanan gigih. Namun mereka kalah gesit, juga kalah awas. Pandai sekali burung-burung sriti itu mengelak, kemudian dengan kecepatan kilat menyambar dan mematuk lawan dari samping. Payah kelelawar-kelelawar itu mempertahankan diri. Banyak sudah jatuh korban. Tidak mati dipatuk burung- burung sriti yang kecil itu, akan tetapi burung-burung itu mematuk ke arah mata sehingga kelelawar-kelelawar itu kini benar-benar menjadi buta, bukan hanya silau oleh sinar matahari.

Mulailah mereka beterbangan kacau-balau dalam ketakutan dan hendak melarikan diri. Terbang sejadinya dan tanpa arah tertentu sehingga banyak di antara mereka yang menabrak pohon dan jatuh ke dalam jurang. Burung-burung sriti yang gagah dan gesit itu terbang pula mengejar dan mengusir kelelawar-kelelawar dari depan gua. Peperangan yang dahsyat dan aneh, yang berlangsung tidak begitu lama, namun cukup mendebarkan hati Joko Wandiro. Sebentar saja burung-burung itu telah mengusir semua kelelawar sehingga tidak seekorpun tinggal. Mereka terus mengejar sampai tak terdengar lagi suara kelelawar yang kebingungan.

Tak lama kemudian tempat itu menjadi sunyi senyap dan bersih kembali seperti tadi. Bahkan bau apak kelelawar sudah lenyap pula tersapu angin gunung. Tiga orang kakek itu masih duduk seperti tadi.

"Gaaaaookk kraaaaak-kraaak gaaookkk!! ....... "

Suara burung gagak yang memecah kesunyian itu benar-benar amat menyeramkan bagi Joko Wandiro. Apalagi karena sekarang suara burung gagak ini terdengar jelas sekali. Agaknya burung itu berada di atas kepala mereka. Namun tak tampak sesuatu oleh Joko Wandiro.

" hiyeeehhh!! Keteprok-keteprok... hiyeeeeehhhhh"

Joko Wandiro sampai tersentak kaget. Suara kuda menegar-negar, derap kakinya yang rnenginjak-injak tanah, ringkiknya yang nyaring, benar-benar seperti kuda itu berada di depannya. Namun tidak tampak sesatu!

"Ha-ha-ha-ha-ha..... !!"

Suara ketawa inipun terdengar jelas, suara ketawa tanpa kelihatan orangnya. Joko Wandiro menoleh ke kanan kiri memandang eyang gurunya dan Empu Bharodo. Rasa takut membuat ia menggeser mendekati eyang gurunya. Namun ia teringat akan pesan eyang gurunya tadi, maka ia tidak berani membuka suara, hanya membuka mata lebar-lebar memandang ke depan dengan jantung berdebar dan leher serasa dicekik.

"Ha-ha-ha! Kahuripan akan menjadi karang abang (lautan api)! Sang Prabu Airlangga yang tadinya hidup mulia dan megah, kini menjadi pertapa jembel! Ha- ha-ha!"

Suara itu bergema seperti suara iblis dari dalam kuburan, mengaung dan terdengar dari jauh, namun amat jelas. Dan suara ini diiringi bau dupa yang aneh, harum sekali. Begitu wangi sehingga memabokkan, di dalam hidung sampai terasa sakit penuh dengan ganda wangi yang mendatangkan rasa manis.

Seketika Joko Wandiro merasa kepalanya pening, matanya berkunang. Alangkah kagetnya ketika ia berusaha menggerakkan kaki tangannya, ternyata seluruh tubuhnya kaku! Persis seperti keadaan orang yang tindihen (mimpi buruk), pikiran masih terang, panca indera masih sadar, namun seluruh tubuh kaku-kaku tak dapat bergerak! Dan ganda wangi itu makin menyengat, memenuhi hidung dan tenggorokan, mulai menyerang paru-paru. Joko Wandiro terengah-engah, dadanya terasa sakit!

"Joko Wandiro, tenanglah.... tidak apa-apa.... !"

Terdengar Bisikan dari sebelah kiri, suara eyang gurunya. Joko Wandiro sejak kecil memang digembleng oleh ayahnya, kemudian oleh eyang gurunya, bahkan akhir-akhir ini oleh Ki Tejoranu. Namun semua gemblengan itu hanya merupakan latihan ilmu-ilmu kesaktian dan dalam hal ilmu kebatinan ia hanya mendapat latihan untuk memperkuat batin dan menghimpun hawa sakti dalam tubuh. Berhadapan dengan ilmu hitam yang tidak sewajarnya seperti ini, ia sama sekali belum pernah mengalaminya. Tidak mengherankan apabila ia sudah menjadi korban.

Ucapan eyang gurunya seakan-akan menjadi akar pohon di tepi sungai di mana ia tenggelam dan hanyut Merupakan penolong dalam keadaan darurat. Cepat ia mengerahkan tenaga sakti, menahan napas, dan membuka matanya. Gelap dan kabur pandang matanya, tampak ribuan bintang menari-nari. Ganda wangi memabok kan masih keras terasa. Tiba-tiba ia merasa ada titik-titik air berjatuhan ke atas kepala dan mukanya. Terasa dingin sekali sampai menembus kulit daging dan mendinginkan pikiran dan hati. Ia dapat melihat jelas sekarang. Rasa dingin air itu mengusir kepeningannya. Kiranya kakek di sebelah kanannya, Empu Bharodo, sudah memercik-mecikkan air kepadanya, sambil berkemak-kemik membaca mantera.

"Pegang dan cium puspa (bunga) ini, Joko...."

Kembali terdengar suara eyang gurunya dan setangkai bunga berada di tangannya. Bunga cempaka putih. Joko Wandiro segera membawa bunga itu ke hidungnya. Berkuranglah ganda wangi menusuk hidung yang tadi memabokkannya. Makin terang pandang matanya dan ia kini tenang kembali.

Ketika ia memandang ke depan, jantungnya tergetar, akan tetapi ia dapat menenangkan kembali setelah teringat bahwa ia berada di antara orang-orang sakti. Sambil menekan kembang itu di depan hidung, Joko Wandiro memandang ke depan dengan mata terbelalak. Apa yang dilihatnya benar-benar membuat orang mati ketakutan. Amat menyeramkan dan tak masuk akal, seperti dalam mimpi buruk.

Di sebelah depan Sang Resi Jatinendra berdiri sebuah mahluk yang luar biasa sekali. Disebut manusia, jauh bedanya dengan manusia biasa. Kalau binatang, bentuknya menyerupai manusia. Mahluk itu tinggi besar, satu setengah kali tinggi besar seorang manusia biasa. Merupakankan seorang manusia betina, seorang nenek-nenek yang sukar ditaksir usianya.

Pendeknya seorang nenek yang sudah sangat tua. Rambutnya gimbal riap-riapan, sebagian menutup mukanya. Mukanya yang buruk penuh keriput dengan kulit kering mengelinting seperti tengkorak terbungkus kulit yang terlalu besar. Matanya cekung, seperti berlubang tak berbiji mata, akan tetapi dari dalam dua lubang mata yang hitam itu keluar sinar bagaikan sepasang mata harimau. Hidungnya pesek mulutnya lebar dengan bibir bawah menggantung sehingga tampak mulut yang tak bergigi lagi.

Tubuhnya kurus akan tetapi besar, dengan sepasang lengan kurus yang berujung jari-jari tangan meruncing karena kuku-kukunya dibiarkan memanjang tak terpelihara. Berbeda dengan kedua lengan yang kurus, di dadanya bergantungan sepasang buah dada yang besar dan panjang, begitu panjangnya sampai ujung tetek mendekati pusarnya! Tubuh atas yang bertetek besar panjang ini dibiarkan telanjang saja, akan tetapi perhiasan emas permata memenuhi leher, pergelangan tangan dan jari-jari tangannya! Tubuh bawah tertutup kain beraneka warna.

"Hi-hi-hi-hikk....!!"

Nenek mengerikan itu tertawa-tawa, terkekeh-kekeh dan bergerak-gerak di depan Resi Jatinendra yang semenjak tadi tak bergerak-gerak. Semenjak terjadi bermacam keanehan, sampai perang dahsyat antara barisan kelelawar melawan barisan sriti, sampai kini nenek yang sepatutnya disebut wewegombel ini bergerak-gerak di depannya, pendeta itu sama sekali tak bergerak maupun membuka mata.

"Hi-hi-hikk.... Airlanggaaaaa.... Airlangga.....!! Tiada guna kau bertapa.... hi-hi-hikk! Kahuripan akan menjadi karang abang ........ anak cucumu akan saling bunuh hi-hik, dan aku akan kenyang minum darah segar mengganyang daging hangat. Hi-hi-hikk....!!"

Joko Wandiro bergidik. Ketika sinar mata yang memancar keluar dari sepasang lubang hitam itu bertemu dengan pandang matanya, hampir ia pingsan. Untung ia cepat-cepat menggigit tangkai bunga dan mengerahkan seluruh tenaga mempertahankan diri sehingga ia sadar kembali dan menentang sinar mata itu penuh keberanian.

"Iiih-hi-hih, bocah ini makanan lezat..... iihh-hih-hih...!"

Nenek itu memutar ke belakang Sang Resi Jatinendra dan melangkah menghampiri Joko Wandiro! Joko Wandiro adalah seorang anak berdarah satria bertulang pendekar. Tadi ia memang merasa ngeri dan ketakutan menyaksikan pemandangan yang gaib dan tidak wajar ini. Akan tetapi begitu melihat dirinya terancam bahaya, bangkit semangat perlawanan dalam dirinya. Ia telah digembleng sejak kecil bagaimana harus membela diri daripada ancaman bahaya.

Melihat nenek itu menghampirinya dengan sikap mengancam dan menjijikkan, ia mengerahkan seluruh tenaga batin untuk menekan semua perasaan takut dan ngeri, kemudian sekali ia mengeluarkan seruan nyaring, tubuhnya sudah meloncat ke depan dan menyambut nenek itu dengan sebuah pukulan Aji Pethit Nogo! .

"Werrr...... werrr..... werrr...... !!"

Hebat bukan main pukulan ini, biarpun hanya dilakukan oleh seorang pemuda tanggung. Pukulan dengan jari-jari terbuka itu mendatangkan angin pukulan keras sehingga mengeluarkan Suara. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati Joko Wandlro ketika tiga kali pukulannya secara bertubi-tubi itu, yang mengenai sasaran tepat ternyata menembus tubuh si nenek seakan-akan menembus bayangan saja.

Nenek itu tidak berbadan seperti manusia agaknya. Akan tetapi ketika sambil terkekeh nenek itu menggerakkan tangan kirinya yang berlengan panjang, Joko Wandiro terkena hantaman pundaknya, terasa nyeri seperti dihantam palu godam dan ia terjungkal ke kiri!.


cerita silat online karya kho ping hoo

Bagaikan bola, begitu roboh Joko Wandiro sudah meloncat kembali dan kini kedua tangannya sudah memegang sepasang golok tipis yang tadinya ia sisipkan di pinggang tertutup baju. Karena marah dan penasaran, Joko Wandiro segera memutar sepasang goloknya, mainkan Ilmu Golok Lebah Putih yang belum lama ini ia pelajari dari Ki Tejoranu. Lenyaplah bentuk sepasang goloknya, berubah menjadi dua gulungan sinar putih yang mengeluarkan suara seperti banyak lebah beterbangan Gulungan sinar itu menyambar dan mengurung diri si nenek tinggi besar yang masih terkekeh-kekeh.

"Hihh-hih-hihh..... !"

Nenek itu terkekeh dan sepasang susunya yang besar panjang itu bergoyang-goyang mengerikan ketika ia tertawa sambil bertolak pinggang. Joko Wandiro membelalakkan kedua matanya melihat sepasang goloknya yang menyambar itu kembali tembus tanpa melukai tubuh si nenek iblis! .

"Hih-hih-hih, bocah bagus. Darahmu tentu manis, dagingmu gurih! Tapi kau berani melawan aku, hah? Hih-hih-hih-hikk! Lihat kekuasaanku bocah! Lihat baik-baik! Kau akan dimakan senjatamu sendiri, hih-hih-hik!"

Nenek buruk rupa itu menudingkan telunjuk kanannya ke arah Joko Wandiro. Dari tangan yang menunjuk ini seakan-akan keluar getaran aneh yang berputar-putar amat kuatnya sehingga Joko Wandiro tak dapat mempertahankan diri lagi. Pemuda tanggung ini merasa betapa dirinya seakan-akan dibawa angin puyuh yang kuat, serasa tubuhnya berpusing dan kepalanya menjadi pening, matanya berkunang. ILa meramkan matanya, yang masih terdengar suara eyang gurunya memanggil, akan tetapi suara itu datangnya dari jauh sekali, hanya terdengar gemanya saja,

"Joko.... ! Joko Wandiro......!"

Akan tetapi Joko Wandro tidak mengandalkan pertolongan dari luar lagi karena ia sudah terseret oleh perputaran getaran yang luar biasa itu. Ia melihat, sungguhpun kedua matanya dipejamkan, betapa di sekeliling tubuhnya tampak wajah nenek yang mengerikan itu, dengan bau mulutnya yang amis busuk, bercampur bau wangi yang memuakkan Maka ia lalu mengerahkan tenaganya, menggerakkan kedua goloknya untuk membacok dan menusuk !

"Hi-hi-hi-hik! Hayo bacok dan tusuk, biar kuhisap darahmu yang keluar, biar kuhisap darahmu yang keluar, biar kuganyang dagingmu, kukremus tulangmu!"

Dalam pandangan Joko Wandiro, ia membacok dan menusuk ke arah tubuh nenek iblis itu, padahal sebetulnya ia telah terjatuh di bawah pengaruh sihir dan dalam pandangan orang lain, sepasang goloknya itu ia bacok dan tusukkan ke arah tubuhnya sendiri!

Untung baginya bahwa pada saat itu ia berada bersama tiga orang kakek sakti mandraguna. Ketika tadi ia menerjang nenek iblis, Empu Bharodo sudah berdiri, tangan kirinya membawa tempat air dan tanah, tangan kanan memegang setangkai bunga cempaka. Kini kakek itu memercik-mercikkan air dengan bunga yang dicelupkan ke dalam tempat air, bibirnya membaca mantera.

Terjadilah pemandangan yang tak masuk akal bagi orang-orang biasa. Namun sungguh merupakan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Seperti orang mabok, Joko Wandiro menggunakan kedua goloknya untuk membacok dan menusuk tubuhnya sendiri. Bajunya menjadi robek compang-camping akibat bacokan dan tusukan golok tajam pemberian Ki Tejoranu.

Akan tetapi anehnya, kulit tubuhnya sedikitpun tidak lecet, apalagi terluka. Sihir yang dilakukan nenek iblis itu membuat ia seperti mabok dan membacoki tubuh sendiri yang disangka tubuh si nenek, sebaliknya, percikan air Empu Bharodo membuat tubuhnya seakan-akan menjadi kebal. Sihir dibalas sihir. Kasihan Joko Wandiro yang menjadi korban, melakukan hal-hal yang sama sekali di luar kehendaknya.

Empu Bharodo menghampiri Joko Wandiro, menaruh tangan kiri di atas kepalanya, meraba ubun-ubunnya. Seketika Joko Wandiro sadar dan alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa sepasang goloknya itu ia gerakkan sendiri membacok paha dan menusuk perut. Cepat ia menahan kedua tangannya, bengong terlongong melihat bajunya compang-camping, melihat nenek iblis terkekeh-kekeh dan di depan nenek itu kini berdiri Empu Bharodo dengan sikap tenang.

Nenek itu mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau dan mukanya menjadi menakutkan sekali. Joko Wandiro yang masih berdiri terbelalak itu makin kaget ketika melihat api keluar dari mulut si nenek iblis. Apikah itu yang tersembur keluar dari mulut dan menerjang ke arah Empu Bharodo? Ataukah lidah si nenek yang panjang dan menyala-nyala? Empu Bharodo membaca mantera, lalu memercikkan air dari bunga cempaka yang dicelup dalam tempayan air. Percikan air itu berkilau putih menyambar ke arah lidah api.

"Cesssssss.....!" Asap mengepul tebal dan tercium bau sangit.

Si nenek iblis menjerit-jerit, tangan kiri menggaruk-garuk mulutnya yang kini tidak mengeluarkan lidah api lagi, sedangkan tangan kanan dengan jari-jari berkuku panjang itu diulur ke depan ketika ia menerjang maju dan untuk menubruk dan mencekik leher Empu Bharodo.

"Pergilah.... !!" bentak Empu Bharodo sambil menyambitkan kembang ke arah nenek iblis.

Nenek itu terhuyung ke belakang, mulutnya mengeluarkan jerit melengking panjang dan lenyaplah tubuhnya.

"Heh, Wirokolo!" Terdengar Empu Bharodo berkata lantang. "Kalau engkau hendak menghadap Sang Resi Jatinendra, datanglah saja. Apa perlunya engkau pamer dengan ilmu hitam Calon Arang yang hanya patut untuk menakut-nakuti anak kecil?"

Setelah berkata demikian, Empu Bharodo dengan langkah tenang kembali ke tempatnya di depan mulut gua lalu duduk bersila seperti tadi, tenang dan seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.

"Joko, kau kembalilah ke sini...." terdengar Resi Bhargowo berkata.

Akan tetapi sebelum Joko Wandiro sempat bergerak, tiba-tiba muncullah lima orang tinggi besar berloncatan ke depan Sang Resi Jatinendra. Lima orang tinggi besar itu muncul sambil tertawa bergelak, di tangan masing-masing memegang sebatang golok besar yang berkilauan tertimpa sinar matahari membayangkan ketajamannya. Tanpa bicara sesuatu, lima orang itu serentak lalu menerjang pertapa yang masih duduk bersamadhi itu.

Melihat hal ini, tentu saja Joko Wandiro tidak mau tinggal diam. Sepasang golok tipis pemberian Ki Tejoranu masih berada di kedua tangannya dan kini ia melihat bahwa lima orang itu walaupun tinggi besar, namun jelas adalah manusia-manusia biasa bukan iblis macam nenek tadi. Pula, menilik gerakan mereka, kelima orang ini hanya memiliki tenaga kasar yang besar saja. Maka cepat sekali tubuhnya mencelat ke depan dan kedua goloknya berkelebat membentuk gulungan sinar putih.

"Trang-trang-cringgg...!!"

Golok tiga orang musuh yang berada paling depan berhasil ditangkisnya dan tiga batang golok itu mental kembali. Lima orang pengeroyok yang tinggi besar itu berseru kaget dan membelalakkan mata. Tak seorangpun di antara mereka yang kini tertawa lagi. Sebaliknya, mereka mengeluarkan suara gerengan marah ketika mendapat kenyataan bahwa yang menangkis golok-golok mereka tadi hanyalah seorang pemuda tanggung .

"Bocah keparat! Kau kepingin mampus??" Lima orang itu serentak menerjang dengan golok besar mereka ke arah Joko Wandiro.

Melihat datangnya lima batang golok dengan kekuatan yang besar, Joko Wandiro maklum bahwa tenaganya tak mungkin menandingi lima erang ini sekaligus. Tadipun ketika menangkis tiga batang golok, ia merasa betapa kedua lengannya menjadi linu, tanda bahwa tenaga tiga orang itu benar-benar amat kuat. Maka, anak yang cerdik ini tidak lagi mau mengadu tenaga melawan lima orang sekaligus, melainkan cepat ia mempergunakan kegesitan tubuhnya, menggunakan Aji Bayu Tantra sehingga tubuhnya dengan ringan dan gesit sekali menyelinap ke samping sebelum lima batang golok datang membacok. Kemudian kedua kakinya bergerak menurut pelajaran ilmu silat yang ia pelajari dari Ki Tejoranu, golok-golok di kedua tangannya melakukan gerakan menggunting ke arah lawan yang paling depan.

Si tinggi besar itu kaget ketika tadi melihat bocah yang menjadi lawannya berkelebat ke samping dan kini melihat dua gulungan sinar putih menerjangnya. Ia berusaha untuk membabitkan golok besarnya sambil memutar tubuh menghadapi Joko Wandiro, namun ia kalah gesit. Tiba-tiba ia menjerit keras, lengan kanannya termakan golok Joko Wandiro yang menggunting sehingga terpaksa ia melepaskan golok besarnya sambil melompat mundur memegangi lengan kanan yang mengucurkan darah.

Joko Wandiro tidak berhenti sampai di situ saja. Melihat hasil serangannya, ia melanjutkan gerakan kakinya, dengan gerakan mantap mengatur langkah-langkah maju dalam gerak ilmu silat Ilmu Golok Lebah Putih, sepasang goloknya mendesing-desing ketika diputar ke depan. Empat orang lawannya juga sudah menghadapinya, marah sekali melihat seorang kawan mereka dikalahkan.

"Ommm... damai-damai-damai jangan kotorkan tempat ini dengan darah....!"

Terdengar suara halus dan tiba-tiba saja Joko Wandiro dan keempat orang lawannya merasa kedua lengan mereka lemas sehingga semua senjata yang dipegang terlepas dan runtuh ke atas tanah!

Joko Wandiro seorang yang cerdik. Ia tadi melirik dan melihat bahwa ucapan itu keluar dari mulut pendeta yang sejak tadi duduk diam di depan, kemudian melihat pula betapa tangan kiri pendeta itu digerakkan ke depan, maka tahulah ia bahwa yang menjatuhkan semua senjata itu adalah hawa pukulan jarak jauh yang hebat luar biasa! Ia tahu pula bahwa pendeta yang sakti itu tidak menghendaki pertumpahan darah. Adapun keempat orang tinggi besar itu menjadi makin marah, tidak mengerti mengapa semua senjata mereka terlepas begitu saja dari pegangan. Mereka mengira bahwa bocah itulah yang main gila, maka dengan gerakan ganas mereka lalu maju menubruk, kedua lengan dikembangkan, jari-jari tangan terbuka siap mencekik leher, mulut terbuka lebar tiada ubahnya harimau-harimau lapar menubruk mangsa!

Namun Joko Wandiro sudah bergerak lebih cepat daripada mereka yang lamban dan hanya mengandalkan kekuatan tubuh. Dengan menyelinap ke kiri, ia membuat tubrukan empat orang itu gagal, kemudian sebelum empat orang itu mampu menerjangnya lagi, selagi mereka terhuyung ke depan, dari samping Joko Wandiro menghantam seorang diantara mereka yang terdekat dengan menggunakan pukulan Pethit Nogo.

"Trakk!!"

Jari-jari tangan yang kecil itu dilecutkan ke arah iga dan biarpun jari tangan itu tidak berapa besar, namun mengandung Aji Pethit Nogo yang ampuhnya menggila. Seketika si tinggi besar itu menjerit kesakitan, roboh bergulingan dan mengaduh-aduh, tak dapat bangkit kembali karena dua buah tulang Iganya patah! Mendapatkan kemenangan ini, besar hati Joko Wandiro. Ia tidak menanti sisa lawannya yang tiga orang lagi itu bergerak.

Selagi mereka bengong saking heran melihat bocah itu mampu merobohkan seorang kawan lagi hanya dalam segebrakan, ia telah meloncat maju, gerakannya cepat, kaki tangannya bergerak laksana halilintar menyambar dan terdengarlah pekik susul-menyusul ketika tiga orang itu dihajar tendangan dan pukulan ampuh sehingga tubuh mereka bergelimpangan. Hebat sepak terjang Joko Wandiro, seperti Raden Gatotkaca mengamuk di antara keroyokan buto-buto (raksasa) galak!

Mendapat kesempatan ini, selagi para lawannya jatuh bangun, Joko Wandiro sudah menyambar sepasang goloknya lagi karena ia khawatir kalau-kalau sepasang goloknya itu dirampas lawan. Pada saat ia membungkuk dan mengambil sepasang goloknya, tiba-tiba ada angin keras menyambar dari depan. Joko Wandiro terkejut, maklum bahwa ada serangan yang hebat. Cepat ia mengelak sambil membabat dengan golok kanannya, akan tetapi tubuhnya terlempar dan golok kanannya terlepas ketika sebuah kaki menyambar dengan kekuatan yang dahsyat!

Joko Wandiro terbanting roboh, matanya berkunang-kunang akan tetapi ia tidak mengalami cedera. Cepat ia menggulingkan tubuhnya ke arah golok yang terlepas tadi dan begitu ia meloncat bangun, ia sudah siap dengan sepasang golok di tangan, menghadapi segala kemungkinan dengan sikap gagah dan memasang kuda-kuda amat kokohnya. Kiranya di sebelah depan telah berdiri dua orang laki-laki tinggi besar berkulit hitam, rambutnya panjang terurai dan sepatutnya dua orang ini menjadi raksasa-raksana dalam cerita jaman dahulu!

Tidak hanya segala-galanya pada kedua orang itu jauh lebih besar daripada orang biasa, juga mata mereka yang besar menonjol keluar itu kemerahan, wajah mereka buas dan mengerikan. Agaknya mereka itu saudara kembar, karena segala-galanya, dari rambut, wajah, bentuk tubuh sampai pakaian mereka, serupa. Sukar sekali membedakan satu dari yang lain kalau saja senjata mereka tidak berbeda. Yang seorang memegang sebatang tombak yang dihias rambut di leher tombak, sedangkan orang ke dua memegang sebatang ruyung yang bergigi, amat menyeramkan.

Namun Joko Wandiro tidak menjadi gentar. Sekali sudah terjun ke dalam gelanggang yuda, ia tidak mengenal takut lagi. Dengan hati-hati ia bersiap sedia menghadapi dua lawan yang nggegirisi (menggiriskan) ini. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan eyang gurunya,

"Joko, mundur kau!"

Joko Wandiro tidak berani membantah, dan ia lalu mengundurkan diri, kembali duduk bersila seperti tadi, di mulut gua di belakang Resi Jatinendra. Adapun Resi Bhargowo kini sudah berdiri dan dengan langkah tenang ia maju ke depan menyambut dua orang raksasa itu.

"Anak baik, kau patut menjadi cucu murid adi resi " demikian bisikan Empu Bharodo di sebelah kanan Joko Wandiro.

Anak ini menengok dan melihat betapa kakek itu tersenyum ramah, lalu membungkuk dengan sikap merendah. Kemudian mereka lalu memandang ke depan untuk menonton bagaimana Resi Bhargowo akan menghadapi dua orang lawan yang buas itu. Resi Bhargowo bersikap tenang saja. Sejenak ia beradu pandang dengan kedua lawannya, kemudian ia berkata,

"Kisanak, siapakah gerangan andika berdua? Dan mempunyai keperluan apa mendatangi pertapaan Jalatunda?"

"Heh-heh-heh, aku adalah Gagak Kunto!" jawab raksasa yang memegang lembing atau tobak berhias rambut.

"Dan akulah Gagak Rudro!" jawab orang ke dua sambil mengamang-amangkan senjata ruyungnya yang mengerikan.

Resi Bhargowo sudah menduga akan hal ini. Tentu saja dia sudah mendengar nama kedua orang ini yang merupakan jagoan-jagoan dari Kerajaan Wengker yang sudah hancur. Tadi ketika mendengar suara burung gagak yang diikuti oleh semua burung lain, dia sudah dapat menduga bahwa suara itu bukan keluar dari mulut burung gagak sewajarnya. Kiranya kedua orang Gagak inilah yang datang! Dia sudah mendengar bahwa Gagak Kunto dan Gagak Rudro (Gagak Bertombak dan Gagak Buas) adalah bekas perwira-perwira Kerajaan Wengker, orang-orang kepercayaan mendiang Sang Prabu Baka dan memiliki kesaktian-kesaktian tinggi, yang merupakan ahli-ahli ilmu hitam seperti biasa dimikili para jagoan Wengker. Maka ia bersikap hati-hati dan menanti keterangan selengkapnya.

Melihat betapa pertapa yang kelihatan kecil itu tidak kaget mendengar nama mereka, Gagak Kunto berkata lagi, suaranya membentak marah, "Tua bangka kecil kurus kering, kau minggirlah! Kami datang mewakili kakang Wirokolo!"

"Hemmm, kalau Wirokolo ada niat menghadap Sang Agung Resi Jatinendra, mengapa ia tidak langsung menghadap sendiri? Mengapa ia menyuruh pula kalian? Mundurlah, dan sampaikan kepada Wirokolo bahwa lebih baik dia sendiri yang maju."

Dua orang raksasa itu makin marah.
"Heh, keparat sombong, siapakah engkau berani menentang sepasang Gagak Sakti? Apakah kau sudah bosan hidup?"

"Gagak Kunto dan Gagak Rudro, aku bicara baik-baik kepada kalian, sebaliknya kalian begitu jumawa. Ketahuilah, aku adalah Bhagawan Rukmoseto."

"Bhagawan Rukmoseto??" Gagak Kunto mengulang, mengingat-ingat nama yang tak dikenalnya ini.

"Ya, dahulu disebut Resi Bhargowo."

"Ha-ha-ha! Resi Bhargowo kah kiranya engkau, tua Bangka kerdil? Minggirlah, apa kau belum mendengar nama Gagak Kunto? Minggir dan biarkan kami bicara dengan Sang Prabu Airlangga!"

"Hemm! Wirokolo hanya seorang senopati taklukan, namun masih mewakilkan orang-orang kasar macam kalian. Tentu saja kalian tidak cukup berharga untuk menghadap Sang Agung Resi Jatinendra, dan akulah wakil beliau untuk menandingi segala tingkahmu!"

"Aauugggh, bojleng iblis laknat! Bhargowo, berani engkau melawan senjata pusakaku ini?" Gagak Kunto mengamangkan tombaknya.

"Majulah, siapa takut kepadamu?"

"Keparat sombong! Hayo keluarkan senjatamu!"

"Senjataku adalah kebenaran. Majulah kalian berdua, aku takkan mundur setapakpun!"

"Babo-babo....!!"

Gagak Rudro tak dapat menahan kemarahannya lagi dan ia mendahului saudaranya, menerjang dengan ruyungnya yang mengerikan.

"Wuuuuuttt....!!" Angin besar menyambar ketika ruyung ini bergerak. Namun dengan gerakan ringan dan sikap tenang sekali Resi Bhargowo menggeser kaki miringkap tubuh. Ruyung itu lewat di samping tubuhnya bagaikan waringin tumbang, menghantam tanah membuat batu-batu kerikil pecah dan terbang berhamburan disusul debu mengepul tebal.

Serangan gagal ini dalam detik selanjutnya sudah disusul tombak meluncur bagaikan kilat menyambar, menusuk ke arah dada Resi Bhargowo. Demikian cepatnya serangan maut ini sehingga Joko Wandiro yang menonton merasa ngeri dan khawatir. Baginya, eyang gurunya terlalu tenang, sehingga tampaknya seperti lambat. Kalau dia yang diserang tombak seperti itu, tentu sudah cepat-cepat meloncat ke samping. Akan tetapi eyang gurunya seakan-akan menanti datangnya ujung mata tombak, dan setelah kurang sejengkal dari kulit dadanya, barulah eyang gurunya itu miringkan tubuh tanpa menggeser kaki! Sebuah kelitan yang amat berbahaya dan pula amat berani, namun juga merupakan awal jurus yang ampuhnya menggiriskan!

Hanya beberapa detik saja terjadinya, tahu-tahu tombak yang meluncur lewat itu telah tertangkap di bawah ketiak lengan kiri sang resi, dikempit dengan pengerahan tenaga dalam, kemudian dalam detik berikutnya disusul dengan tamparan yang menggunakan jari tangan kanan.

"Werr ....... plakkk!!"

Itulah tamparan Pethit Nogo yang tepat mengenai pundak kiri Gagak Kunto! Joko Wandiro hampir saja bersorak menyaksikan hasil mentakjubkan eyang gurunya dalam jurus pertama ini. Tubuh Gagak Kunto seperti kemasukan aliran halilintar, matanya terbelalak rambutnya bangkit berdiri kemudian tubuhnya mencelat ke belakang sampai lima meter jauhnya, lalu terbanting roboh dan di situ ia terengah-engah sambil memegangi pundaknya. Biarpun ia memiliki kekebalan, namun pukulan Pethit Nogo tadi berhasil meremukkan tulang pundaknya!

"Si keparat Bhargowo.....! Berani kau.... menjatuhkan saudaraku ??"

Dengan muka merah dan mata terbelalak mulut berliur sakiing marahnya, Gagak Rudro menubruk dan menggerakkan ruyungnya yang besar dan berat itu, mengancam kepala dan tubuh lawan. Gerakannya cepat dan amat kuat, serangannya susul-menyusul sehingga terpaksa Resi Bhargowo menggunakan ilmu kesaktiannya, dengan Aji Bayu Tantra ia berkelit ke sana ke mari dengan amat gesitnya.

Mengagumkan sekali kalau dilihat betapa seorang kakek yang sudah tua, rambutnya sudah putih semua seperti Resi Bhargowo ini, masih dapat bergerak sedemikian gesitnya, tiada ubahnya seekor burung sriti yang bergerak melesat ke sana-sini menghindarkan diri dar ipada ancaman ruyung maut.

BADAI LAUT SELATAN JILID 19