Badai Laut Selatan Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 19

Saking cepatnya gerakan ruyung, terdengar suara "werrwerr-werr!" tiada hentinya dan daun-daun di dahan pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras. Kelihatannya Sang Resi Bhargowo terdesak dan tak mampu membalas, padahal sesungguhnya, pertapa sakti yang tenang ini sedang menanti kesempatan baik untuk sekali pukul meruntuhkan lawan. Ketika ruyung itu lewat dari atas hendak menghantam kepalanya, ia menanti dan sengaja memperlambat gerakan.

"Remuk kepalamu!" Gagak Rudro sudah berseru girang sekali, yakin bahwa kali ini ruyungnya tentu akan mendapat "makanan" otak dan darah kepala yang remuk.

"Werr....wuuutttt!!"

Ruyung meluncur cepat karena Resi Bhargowo baru dekat, maka ruyung itu tidak dapat ditahan oleh Gagak Rudro, terus meluncur ke bawah dan menghantam tanah. Akan tetapi kali ini Resi Bhargowo sudah melihat kesempatan baik. Jari-jari tangan kirinya menyambar ke depan dan "krakk!!! " pangkal lengan kanan Gagak Rudro dekat pundak patah tulangnya dan ruyungnya terlepas dari pegangan.

"Aduhh... tobat.....!"

Gagak Rudro berteriak kesakitan dan menggulingkan tubuh menjauhi lawan, takut menerima hantaman ke dua. Akan tetapi Resi Bhargowo tidak menyerang lagi, melainkan berdiri tegak dan tersenyum pahit.

"Orang-orang macam kalian ini masih berani membikin ribut? Hayo, kalau masih belum bertobat, majulah lagi, keluarkan semua kedigdayaan kalian, sepasang Gagak yang jahat! Kalau sudah mengaku kalah, pergilah dan ajak kelima orang anak buahmu!"

Tiba-tiba terdengar suara mendeis-desis ketika Gagak Kunto dan Gagak Rudro pergi diikuti lima orang anak buah mereka yang tadi roboh oleh Joko Wandiro. Suara mendesis-desis ini makin tajam dan nyaring setelah tujuh orang itu tak tampak bayangannya lagi. Kemudian terdengar bentakan dengan suara parau.

"Babo-babo, Resi Bhargowo! Sumbarmu seperti dapat menumbangkan puncak Mahameru! Jangan takabur hanya karena dapat mengalahkan segala perajurit rendahan. Akulah lawanmu!!" mendadak terdengar suara keras seperti pohon beringin tumbang dan sesosok tubuh inggi besar menyambar turun, kini berdiri tegak di depan Resi Bhargowo.

Joko Wandiro yang memandang penuh perhatian, terkejut melihat raksasa yang baru muncul ini. Tubuhnya sama tinggi besar dengan sepasang gagak tadi, akan tetapi wajahnya lebih menyeram kan karena berwarna merah. Bibirnya yang pucat tak dapat rapat menutup giginya yang besar-besar dan di kedua ujungnya bertaring! Matanya melotot dan tak pernah kelihatan berkedip.

Tubuhnya bagian atas tidak berbaju sehingga tampak otototot sebesar dadung membelit-belit tubuh yang kulitnya berbulu itu. Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah lima ekor ular belang yang menghias tubuhnya. Seekor yang paling panjang membelit leher seperti kalung,dua ekor di kedua pergelangan tangan dan dua ekor pula membelit pergelangan kaki yang telanjang. Lima ekor ular berbisa inilah yang mengeluarkan suara mendesis-desis itu.

"Wirokolo! Akhirnya engkau muncul juga! Engkau mau apa? Jangan kira Resi Bhargowo takut kepadamu!"

"Haaaahhh! Sombong sekali engkau, keparat! Rasakanlah ampuhnya Anolo Hasto (Tangan Api)!"

Berkata demikian, Wirokolo menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan dari kedua telapak tangan yang saling digosokkan itu mengepul asap hitam dan tercium bau sangit seperti kulit atau rambut terbakar. Kedua telapak tangan itu kini tampak merah seperti besi dibakar. Kemudian Wirokolo bertepuk tangan. Terdengar ledakan seperti geledek dan tampak bunga api berpijar! Benar-benar ilmu yang mujijat dan dahsyat. Tiba-tiba Wirokolo membentak keras tubuhnya yang tinggi besar itu menerjang maju, kedua tangannya menampar bertubi-tubi.

Resi Bhargowo dengan sikapnya yang tenang itu mengelak sambil menangkis, karena gerakan lawan yang sedemikian cepatnya, mengimbangi gerakannya sendiri Aji Bayu Tantra, tak mungkin dihadapi dengan kelitan-kelitan saja, harus dihadapi dengan tangkisan, keras lawan keras.

"Desss.....!!"

Benturan kedua tangan orang-orang sakti ini merupakan pertemuan dua tenaga dahsyat. Dari tangan Wirokolo memercik bunga api menyilaukan mata dan terjangannya tertahan, Akan tetapi Resi Bhargowo terhuyung-huyung ke belakang, terdorong oleh tenaga lawan yang bukan main dahsyatnya!

"Huah-hah-hah-hah! Sebegitu saja kekuatanmu, Resi Bhargowo?"

Wirokolo mengejek sambil menerjang terus menggunakan kedua tangannya yang seakan-akan telah berubah menjadi dua tangan baja membara. Memang hebat kepandaian Wirokolo ini. Hal ini tidaklah amat mengherankan kalau diingat bahwa ia bekas senopati Kerajaan Wengker dan merupakan senopati yang sakti nomor dua sesudah Dibyo Mamangkoro. Wirokolo adalah adik seperguruan Dibyo Mamangkoro, dan dalam perang antara Wengker melawan pasukan Kahuripan dahulu, dia merupakan lawan tangguh yang hanya dapat dipukul mundur setelah banyak perwira tewas dan akhirnya Ki Patih Narotama sendiri yang turun tangan di medan yuda.

Semenjak kekalahannya dalam perang itu yang mengakibatkan tewasnya Sang Prabu Boko di tangan Sang Prabu Airlangga sendiri dan hancurnya Kerajaan Wengker, seperti juga Dibyo Mamangkoro, senopat Wirokolo ini lari menyembunyikan diri dan bertapa sambil menggembleng diri sehingga ilmu kepandaiannya meningkat tinggi.

Resi Bhargowo bukanlah tokoh sembarangan. Dengan Aji Bayu Tantra dan ilmu pukulan Phetit Nogo dia sudah merupakan seorang sakti yang jarang tandingannya, apalagi dia telah memiliki tenaga sakti yang bertingkat tinggi. Dalam pertandingan di Pulau Sempu, menghadapi serbuan para utusan Pangeran Anom, Resi Bhargowo telah membuktikan kesaktiannya. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan Wirokolo, dia benar-benar terdesak dan jelas bahwa tingkat kesaktiannya kalah tinggi Dengan ajinya Bayu Tantra, Resi Bhargowo hanya dapat mengelak untuk menyelamatkan diri dari serbuan kedua tangan membara itu.

Ada kalanya ia mampu membalas sekali dua dengan pukulan Pethit Nogo yang ampuh, namun pukulan inipun membalik ketika bertemu dengan hawa Anolo Hasto yang panas seperti Kawah Condrodimuka. Juga pukulan Pethit Nogo yang tidak terlalu tepat kenanya, tidak mempan terhadap tubuh Wirokolo yang keras dan kebal. Hanya dalam kecepatan saja Resi Bhargowo dapat mengimbangi lawan sehingga ia masih dapat bertahan, namun jelas bahwa pukulan-pukulannya kalah ampuh dan tenaga dalamnya kalah kuat.

"Huah-hah-hah! Resi Bhargowo, begini saja kekuatanmu? Hah-hah-hah!"

Wirokolo terkekeh-kekeh dan ia benar-benar menguasai pertandingan itu sehingga kini Resi Bhargowo sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membalas, melainkan meloncat ke sana ke mari, mengelak dan sedapat mungkin menangkis. Namun setiap kali menangkis, ia terpental dan terhuyung-huyung.

Wirokolo manusia iblis! Masih belum bertobat engkau sejak dahulu?"

Suara ini keluar dari mulut Empu Bharodo yang ternyata sudah maju dan membantu adik seperguruannya. Begitu suaranya terdengar, orangnya sudah datang dan tangannya sudah menampar. Bukan main cepatnya gerakan Empu Bharodo. Memang, dalam hal ilmu meringankan tubuh dan gerak cepat, agaknya sukar dicari bandingnya karena Empu Bharodo memiliki Aji Bayu Sakti! Gerakannya ringan dan cepat sekali sehingga tahu-tahu tangannya menampar seperti kilat, tak sempat ditangkis maupun dielakkan lagi oleh Wirokolo.

"Plakk!"

Tamparan itu tepat mengenai dada Wirokolo, sebuah tamparan dahsyat yang didasari ilmu pukulan Jonggring Saloko.

"Huah-hah-hah! Tanganmu empuk seperti tangan perempuan, Empu Bharodo pendeta cacingen!"

Wirokolo yang hanya tergeser selangkah oleh tamparan itu tertawa mengejek lalu balas memukul dengan tangannya yang merah membara. Namun dengan amat cepatnya Empu Bharodo mengelak sehingga pukulan ini mengenai tempat kosong. Juga desakan yang bertubi-tubi merupakan pukulan berantai sampai tujuh kali, sama sekali tidak dapat menyentuh ujung baju si pertapa yang amat cepat gerakannya ini. Setelah Empu Bharoflo turun tangan membantu Resi Bhargowo, pertandingan menjadi lebih ramai, tidak berat sebelah seperti tadi.

Kalau tadi Resi Bhargowo terdesak hebat dan hanya mampu mengelak ke sana ke mari, sekarang dengan bantuan Empu Bharodo keadaan berubah. Biarpun tubuh Wirokolo kebal dan amat sakti sehingga tidak roboh oleh pukulan Pethit Nogo maupun pukulan Jonggring Saloko, namun karena kini kedua orang pertapa itu menujukan pukulan-pukulan mereka ke bagian- bagian tubuh yang lemah, raksasa yang sakti itu menjadi repot juga. Ia sudah mengamuk dan balas memukul atau mencengkeram dengan kedua tangan yang membara, namun gerakan kedua orang lawannya itu terlalu gesit sehingga semua balasan serangannya gagal.

"Plakk !! Dess.... !!"

Tamparan Pethit Nogo oleh jari tangan Resi Bhargowo mengenai pundaknya dan selagi terhuyung, ia dihantam oleh tangan kiri Empu Bharodo yang mengenai lambungnya. Biarpun dua pukulan ampuh ini tidak merobohkannya, namun cukup membuat tulang pundak ngilu dan perut mulas. Bangkitlah kemarahan Wirokolo. Untuk mempergunakan ilmu hitam seperti tadi, ia maklum tidak akan ada gunanya karena Empu Bharodo adalah seorang ahli dalam hal ilmu sihir, sehingga ilmu hitam seperti yang telah ia keluarkan tadi, yaitu Calon Arang, juga dapat dipukul buyar.

Maka kini Wirokolo mengeluarkan teriakan keras sekali sehingga bumi seakan goncang, pohon-pohon bergoyang dan banyak daun pohon berguguran. Di saat lain Wirokolo telah menerjang maju dengan hebat sekali. Kini ular-ular yang tadinya melingkar di pergelangan tangannya, ikut bergerak dan setiap kali ia menghantam, maka ular di pergelangan tangan ikut pula menyambar dan menggigit. Demikian pula ular-ular di kedua kakinya. Bahkan ular di lehernya mengulur leher dan menyembur kan uap berbisa! Semua ini masih ditambah lagi dengan sepasang tombak pendek yang entah kapan telah dicabut oleh Wirokolo dari belakang pinggangnya.

Hebat bukan main raksasa ini sehingga Resi Bhargowo dan Empu Bharodo terkejut juga dan melompat mundur. Empu Bharodo cepat mengeluarkan tombaknya, tombak pusaka yang tadi ia letakkan di depan gua, sedangkan Resi Bhargowo juga menyambar tombak milik Gagak Kunto yang tadi ia rampas. Mereka kini sudah siap dengan senjata di tangan, siap untuk bertanding mati-matian menghadapi lawan yang amat sakti itu.

"Kakang berdua Bharodo dan Bhargowo, harap kalian mundur dan biarkan Wirokolo menjumpai aku."

Suara ini halus, namun mengandung getaran penuh wibawa. Mendengar suara ini, seketika kedua orang pertapa itu melangkah mundur dan kembali duduk bersila di tempat semula. Napas mereka agak terengah, tanda bahwa pertandingan melawan Wirokolo tadi benar-benar amat berat bagi mereka yang sudah berusia lanjut.

Diam-diam Joko Wandiro merasa khawatir sekali. Kalau kedua orang kakek sakti ini tidak mampu mengalahkan lawan, bagaimanakah kakek di depan itu akan menghadapinya seorang diri?

Sementara itu, Wirokolo dengan kedua tombak pendek di tangan, tertawa bergelak sampai perutnya yang besar bergerak-gerak dan mukanya yang beringas menengadah. Kemudian ia menghentikan tawanya dan melangkah maju menghampiri Resi Jatinendra yang masih duduk bersila, akan tetapi kini tidak bersamadhi lagi, sepasang matanya terbuka, memandang penuh kelembutan dan bibirnya tersenyum ramah.

"Kisanak, apakah kau yang bernama Wirokolo?" Pertanyaan ini terdengar halus dan sedikitpun tidak membayangkan kemarahan atau permusuhan.

"Huah-hah-hah! Sang Prabu Airlangga, betul aku Wirokolo!"

"Wirokolo, aku sekarang bukan lagi sang prabu, melainkan Resi Gentayu atau Resi Jatinendra. Andika bertekad datang ke Jalatunda, ada keperluan apakah? Katakan jangan meragu karena apapun permintaanmu, jika aku kuasa memberi, akan kuberikan kepadamu."

"Huah-hah, Raja Airlangga! Jangan coba bersembunyi di balik kedok pertapa! Setelah kedua orang jagoanmu tak dapat mengalahkan aku, engkau lalu menggunakan kata-kata manis untuk menyenangkan hatiku? Engkau menjadi ketakutan? Takut kepadaku? Hah-hah, Sang Prabu Airlangga yang dahulu disohorkan gagah perkasa itu kini menjadi seperti harimau kehilangan kukunya, garuda kehilangan sayapnya ! "

Di dalam hatinya Joko Wandiro terkejut ketika mendengar bahwa kakek pertapa yang tenang dan ramah itu ternyata adalah sang prabu sendiri! Hatinya berdebar penuh kekhawatiran, akan tetapi melihat sikap yang kurang ajar dan sombong dari Wirokolo, jiwa satrianya memberontak, semua urat syaraf di tubuhnya menegang dan hampir tak dapat ia menahan dirinya yang hendak meloncat dan menandingi raksasa sakti itu. Akan tetapi Sang Prabu Airlangga atau Resi Jatinendra sendiri sama sekali tidak kelihatan marah mendengar ejekan dan cemoohan itu, melainkan tersenyum dan suaranya tetap halus dan ramah,

"Satu-satunya hal yang kutakuti di dunia ini hanyalah kalau-kalau aku menyeleweng daripada kebenaran tanpa kusadari, Wirokolo. Selain itu, tidak ada yang kutakuti, juga engkau tidak. Aku telah sadar, Wirokolo, bahwa penggunaan kekerasan adalah penyelewengan manusia yang paling parah. Dari kekerasan inilah timbulnya segala perkosaan dan kerusakan, wahai kisanak, demi kebaikanmu sendiri, hentikanlah segala kekerasanmu dan katakanlah apa yang kau kehendaki dan aku akan memberikannya kepadamu."

Sejenak sunyi menyambut ucapan yang amat sedap didengar ini. Suasana sunyi yang mengaman kan hati, sunyi yang amat indah di mana tidak ada sesuatu yang mengganggu perasaan. Akan tetapi hanya sebentar karena segera terganggulah getaran damai yang timbul dari sabda sang resi itu oleh suara Wirokolo, "Heh, Airlangga! Siapa percaya obrolanmu? Kau tanya apa kehendakku? Aku menghendaki nyawamu! Lihat, aku akan membunuhmu!!"

Wirokolo mengamang-amangkan kedua tombaknya dengan sikap mengancam sambil melangkah makin dekat. Akan tetapi sang resi tersenyum, kemudian terdengar kata-katanya penuh wibawa sehingga ucapan yang keluar dari mulut sang resi mengandung getaran dan gema,

"Hai Wirokolo, dengarlah baik-baik selagi engkau mendapat kesempatan mendengar kebenaran ini. Siapakah engkau ini yang akan dapat membunuh Aku? Siapakah engkau ini yang akan dapat menentukan mati hidup seseorang? Yang tidak berawal takkan berakhir, dan Aku tidak berawal, maka tidak berakhir pula. Yang tidak terlahir, takkan mati, dan Aku tidak terlahir. Yang berawal dan terlahir hanyalah tubuhku, maka yang berakhir atau mati kelak hanya tubuhku. Jangan kira engkau akan dapat membunuhku, oh, Wirokolo, engkau tersesat amat jauh kalau berpikir demikian! Sebaliknya tubuhku ini takkan terluput daripada kematian, namun jangan pula mengira bahwa engkau yang akan menentukan mati hidup tubuhku, karena hal itu tidak berada dalam kekuasaanmu atau kekuasaan siapapun juga.Di samping bahwa engkau tidak berdaya untuk menguasai mati hidup seseorang, juga Aku telah diwajibkan menjaga wadah di mana Aku tinggal berupa tubuh ini, Wirokolo! Karena kalau tidak kulakukan hal itu, maka berarti meninggalkan wajib dan hal ini menyalahi keadaan!"

Kembali sunyi yang mendalam menyambut ucapan Sang Resi Jatinendra ini. Lebih lama daripada tadi. Tiada suara terdengar, bahkan angin sekalipun seperti berhenti bertiup untuk menghormati kata-kata yang merupakan untaian mutiara keluar dari mulut sang resi. Mutiara filsafat yang menjadi ajaran Sang Bhatara Wishnu, dituangkan dalam Bagawad Gita, yaitu ketika Sri Kresna (titisan Wishnu) memberi wejangan kepada Sang Arjuna dalam perang Bharatayuda. Akan tetapi, semua ajaran dan filsafat yang baik hanya dapat memasuki sanubari orang yang hatinya terbuka untuk kebajikan. Hati Wirokolo sama sekali tertutup oleh nafsu-nafsu duniawi yang menggelora sehingga kesadarannya terselimut oleh uap hitam yang timbul dari hawa nafsu, membuat mata sadarnya sementara menjadi buta akan kebenaran. Ia tertawa bergelak penuh ejekan, lalu berkata,

"Apapun yang kau katakan, Airlangga, takkan dapat menahan kehendakku membunuhmu. Hendak kulihat apakah engkau mampu mengelakkan diri daripada mati di tanganku, huah-hah-hah!"

"Sesukamulah, Wirokolo. Aku sudah memperingatkanmu !"

Wirokolo kemudian menggunakan sepasang tombaknya. Karena ia maklum bahwa pertapa tua yang duduk bersila itu adalah Sang Prabu Airlangga yang amat sakti. Dahulupun rajanya yang terkenal sakti, Sang Prabu Boko, tak sanggup melawan, maka kini ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ajinya. Sebelum menerjang maju, ia berkemak- kemik membaca mantera dan muncullah bayangan nenek tinggi besar yang tadi muncul dan kemudian mundur karena dikalahkan Empu Bharodo.

Nenek Calon Arang itu tampak bayangannya di belakang Wirokolo! Ketika Wirokolo menggereng, tidak hanya kedua telapak tangannya yang membara, bahkan mulutnya seakan-akan mengeluarkan api bernyala dahsyat, matanya mencorong seperti ada api di dalamnya. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

"Iblis jahat! Biar aku mengadu nyawa denganmu!"

Bentakan ini keluar dari mulut Joko Wandiro yang sudah meloncat maju sambil menggerakkan sepasang goloknya. Hati anak ini tidak dapat menahan lagi menyaksikan sikap Wirokolo yang dahsyat itu. Ia merasa ngeri membayangkan betapa pertapa bekas raja itu sama sekali tidak melawan menghadapi ancaman yang begitu buasnya. Maka tanpa berpikir panjang lagi, mengikuti getar hatinya, ia sudah meloncat dan menerjang Wirokolo dengan sepasang goloknya.

"Joko..... !"

Resi Bhargowo berteriak, namun terlambat karena anak itu sudah menggerakkan tubuh dan goloknya, bagaikan seekor harimau muda menerjang Wirokolo dengan kecepatan mengagumkan. Wirokolo sama sekali tidak menduga bahwa dirinya akan diserang seorang anak-anak, menjadi terheran-heran dan hanya memandang dengan mata terbelalak.

"Werr... werr....! Trangg..... trangg...!!"

"Heh-heh-heh!"

Wirokolo tertawa dan sekali lengannya bergerak, tubuh Joko Wandiro terlempar dan roboh bergulingan, pingsan! Tadi sepasang golok anak ini dengan tepat mengenai sasaran, yaitu di dada dan pundak. Akan tetapi, sepasang golok itu membalik seperti menghantam baja saja ketika bertemu dengan tubuh Wirokolo yang kebal, dan sekali raksasa itu menampar, Joko Wandiro terlempar dan pingsan.

"Huah-hah, Airlangga, setelah kehabisan jago tidak malukah engkau mengajukan seorang bocah? Nah, terimalah kematianmu!"

Tubuh yang tinggi besar itu kini menerjang maju, sepasang tombaknya diputar-putar. Akan tetapi Sang Resi Jatinendra sama sekali tidak bergerak, hanya memandang dengan senyum menghias bibir dan masih duduk bersila di atas batu.

"Wuuuuttt.... Desssss!!"

Bunga api berhamburan ketika batu yang diduduki Resi Jatinendra pecah ujungnya, dihantam tombak pendek di tangan kanan Wirokolo. Akan tetapi anehnya, Resi Jatinendra masih duduk bersila di situ sambil tersenyum, seujung rambutpun tidak bergeming, apalagi terluka, tombak itu tadi kelihatan tepat mengenai dada pertapa bekas raja ini!

Sejenak Wirokolo terbelalak kaget, akan tetapi ia menjadi makin marah dan penasaran. Ia sama sekali tidak merasa betapa bayangan nenek mengerikan Calon Arang di belakangnya mundur-mundur ketakutan satelah dekat dengan sang pertapa. Selagi Wirokolo melangkah mundur lalu mengambil ancang-ancang untuk menerjang lebih hebat lagi, tiba-tiba menyambar angin keras dari samping, dibarengi bentakan nyaring, "Bedebah Wirokolo, pergilah!!"

cerita silat online karya kho ping hoo

Angin itu menyambar datang, lalu tampak kaki tangan orang bergerak menerjang Wirokolo! Raksasa itu berusaha menangkis dan melawan, namun sia-sia belaka. Tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat seperti daun kering ditiup angin, terlempar sampai sepuluh meter jauhnya dan jatuh berdebuk seperti batang pohon pisang tumbang!

Ketika raksasa yang sejenak merasa nanar kepalanya itu merangkak bangun sambil menyumpah-nyumpah marah lalu memandang, kiranya yang menyambar dan menghantamnya seperti terjangan Sang Haryo Werkudoro itu bukan lain adalah Ki Patih Narotama!.

"Si keparat Wirokolo! Berani engkau mengganggu junjunganku? Hayo majulah dan kerahkan semua kedigdayaanmu. Inilah musuh lamamu, akulah tandingmu!"

Wirokolo merasa ngeri. Bertahun-tahun yang lalu, ia sudah merasai betapa keras pukulan tangan Ki Patih Narotama! betapa cepat tendangan kakinya. Bahkan kakak seperguruannya sendiri, Dibyo Mamangkoro yang lebih sakti, setelah mengerahkan semua kedigdayaannya dan bertanding yuda melawan patih ini, akhirnya harus mengakui keunggulan ki patih. Dan melihat akibat terjangan ki patih tadi, yang mampu melemparkan ia sampai jauh, membuktikan bahwa selama ini ilmu kesaktian ki patih juga maju pesat.

"Cukuplah, kakang Narotama! Jika engkau membalas kekerasan dengan kekerasan pula, akan berlarut-larut jadinya."

Suara ini diucapkan oleh Resi Jatinendra, dan Ki Patih Narotama merasa seakan-akan kepalanya disiram air wayu yang dingin. Ia segera sadar betapa ia berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang seperti Sang Werkudoro di depan junjungannya yang masih duduk bersila, maka cepat-cepat ia mengebutkan ujung kakinya, lalu duduk bersimpuh penuh hormat.

"Mohon maaf, yayi (adinda) prabu tidak kuat hati hamba menyaksikan kesombongan Wirokolo."

Pada saat itu, Joko Wandiro sudah siuman dari pingsannya. Ia lalu meraih sepasang goloknya yang terlepas dekat disitu lalu bersila lagi, terheran-heran betapa kakek yang dikenalnya sebagai Ki Patih Narotama yang sakti, kini sudah bersimpuh menghadap Sang Prabu Jatinendra.

Sementara itu Wirokolo yang gentar menghadapi Ki Patih Narotama, lalu bangkit dan mengamang-amangkan sepasang tombaknya, lalu berkata dengan penuh geram, "Airlangga dan Narotama! Sekarang kalian boleh tertawa-tawa atas kemenangan kalian. Akan tetapi awas, kelak akan datang saatnya kami membalas dendam! Kami akan selalu berusaha agar Kahuripan menjadi ajang perang saudara, sehingga terkutuklah semua keturunanmu sampai terbasmi habis. Huah-hah-hah!" Suara ketawa manusia iblis ini masih terdengar dari jauh biarpun orangnya sudah lenyap tak tampak lagi.

"Kakang Narotama, apakah yang menyebabkan kakang datang menemui aku? Bukankah engkau amat dibutuhkan di kota raja, kakang?"

"Duhai gusti junjungan hamba! Yayi prabu.... hamba datang membawa berita buruk. Kalau paduka tidak lekas datang ke istana dan melerai, agaknya akan terjadilah apa yang dikatakan Wirokolo tadi. Pertentangan antara Gusti Pangeran Sepuh dan Gusti Pangeran Anom tak dapat hamba cegah lagi, perang saudara sudah meletus secara terbuka. Duh yayi prabu, tegakah hati paduka membiarkan perang dan bunuh-membunuh antar keluarga?"

Resi Jatinendra mengerutkan kening memejamkan mata, lalu meraba dadanya sambil menarik napas panjang. "Duhai Dewata yang berwenang menguasai jagad raya! Sudah mulaikah malapetaka yang didahului lenyapnya pusaka Mataram dan terpisahnya keris dari warangkanya?"

Sejenak pertapa ini menundukkan mukanya, kemudian berkata kepada Ki Patih Narotama, "Wahai kakang Narotama, sampai sedemikian rupakah mereka berlomba memperebutkan kekuasaan, memperebutkan kedudukan selagi aku masih hidup?" Di dalam ucapan ini terkandung rasa duka.

"Gusti junjungan hamba. Sekali-kali bukan hamba berat sebelah atau memihak. Akan tetapi menurut pendapat hamba, Gusti Pangeran Anom yang berusaha mempergunakan kekerasan untuk merampas kekuasaan dari rakandanya. Banyak tokoh-tokoh sakti yang menyeleweng daripada kebenaran dipergunakan tenaganya oleh Gusti Pangeran Anom. Betapapun juga, andaikata perang berlarut-larut, hamba terpaksa memihak kepada Gusti Pangeran Sepuh, hanya karena mereka itu menjadi kaki tangan Gusti Pangeran Anom."

"Hemm, sampai sedemikian hebat? Kakang Narotama, tentu saja aku takkan membiarkan darah mengalir di antara mereka. Akan tetapi, kakang. Sungguh kecewa hatiku mendengar pelaporanmu dan mendapat kenyataan bahwa engkau masih memihak seorang di antara mereka. Kalau engkau tidak berada di atas keduanya dan memihak, tentu akan lebih hebat kesudahannya, kakang. Apakah kau menghendaki aku turun tangan pula membantu Pangeran Anom?"

"Duhai, yayi prabu..... bukan begitu maksud hamba..... "

Sang resi tersenyum pahit. "Kalau kau yang maju dalam medan yuda, kakang Narotama, siapa lagi yang akan menjadi lawanmu? Tentu keadaan menjadi berat sebelah dan agaknya baru akan seimbang kalau aku maju pula menjadi lawanmu agar seimbang dan adil."

"Ampun, yayi prabu...!"

"Kakang, ingatlah bahwa apapun yang terjadi, mereka itu keduanya adalah puteraku, keduanya adalah darah keturunanku. Oleh karena itu, berjanjilah bahwa sejak detik ini, engkau tidak akan turun tangan mencampuri pertikaian mereka, tidak akan turun tangan memusuhi seorang di antara putera-puteraku, ialah keponakan-keponakanmu sendiri."

"Hamba berjanji!" jawab Ki Patih Narotama, suaranya gemetar.

"Dan berjanji bahwa setelah aku tidak berada lagi di sini, kau tetap tidak akan turun tangan memusuhi seorang di antara putera-puteraku, kakang Narotama?"

"Hamba berjanji!"

"Nah, puaslah hatiku, kakang. Sekarang aku hendak datang sendiri ke istana untuk menghentikan keributan yang tiada guna itu. Kau tidak perlu ikut, kakang, karena aku tidak akan memerlukan bantuan kekerasan. Biarlah kedua kakang Empu Bharodo dan Resi Bhargowo menyertaiku."

Setelah berkata demikian, Resi Jatinendra atau Resi Gentayu itu memberi isyarat kepada dua orang pertapa yang segera bangkit berdiri, siap mengikuti perjalanan junjungan itu ke kota raja. Joko Wandiro cepat bangkit pula hendak mengikuti eyang gurunya, akan tetapi Resi Bhargowo segera melarangnya sambil berkata, "Joko Wandiro, engkau tinggallah di sini bersama gusti patih yang tentu akan sudi memberi petunjuk-petunjuk kepadamu. Perjalanan eyangmu mengantar sang agung Resi Jatinendra ke medan yuda takkan makan waktu terlalu lama."

Joko Wandiro menjadi kecewa sekali. Bukankah menurut Ki Tejoranu, sangat boleh jadi ayahnya berada pula di kota raja, ikut dalam perang? Akan tetapi, ia tidak berani membantah, apalagi ia amat takut kepada Resi Jatinendra yang bersikap agung dan penuh wibawa itu. Maka ia lalu bersimpuh kembali, menundukkan mukanya. Tiba-tiba Resi Jatinendra menahan langkahnya, menoleh ke arah Joko Wandiro, memandang sejenak, lalu berkatalah sang resi kepada Resi Bhargowo,

"Inikah cucumu, kakang Resi Bhargowo?"

"Betul, Joko Wandiro ini adalah cucu murid hamba, adi resi."

"Bagian apakah yang diterimanya? Keris ataukah warangka?"

"Dia mendapatkan warangkanya, patung kencana."

Resi Jatinendra mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. "Heh, orang muda! Sudah kau sembunyikan patung kencana itu?" Tiba-tiba sang resi bertanya.

Joko Wandiro mengangkat muka lalu menyembah. "Sudah, eyang."

"Bagus! Kakang Narotama, anak ini tadi sudah membuktikan kebulatan hatinya untuk menentang kejahatan. Hanya dia inilah yang kelak boleh kita harapkan. Engkau sudah sepatutnya mendidiknya, kakang."

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Sang Resi Jatinendra meninggalkan tempat itu, diikuti dari belakang oleh Empu Bharodo dan Resi Bhargowo. Setelah tiga orang kakek itu pergi, Narotama patih sakti itu memandang penuh perhatian kepada Joko Wandiro, wajahnya berseri ketika ia mengingat kembali ucapan Sang Resi Jatinendra junjungannya yang ia cinta seperti saudara kandung sendiri.

"Anak muda, apakah namamu Joko Wandiro?" Kemudian ia bertanya sambil menatap wajah yang menunduk itu.

"Betul sekali, gusti patih," jawab Joko Wandiro penuh hormat.

Ki Patih Narotama tercengang. "Heh? Engkau sudah tahu siapa aku?"

Joko Wandiro menyembah. "Hamba sudah tahu bahwa paduka adalah Gusti Patih Kanuruhan, juga disebut Gusti Patih Narotama."

"Joko Wandiro, pernahkan kita saling berjumpa?"

"Penah, gusti. Akan tetapi paduka tidak melihat hamba, yaitu ketika paduka bertanding dikeroyok oleh Cekel Aksomolo dan teman-temannya, karena hamba bersembunyi di atas pohon."

"Hemm.... hemmm...."

Narotama mengelus-elus jenggotnya "Mereka mengeroyokku dekat muara Sungai Lorog. Joko Wandiro, katanya engkau cucu murid Resi Bhargowo. Siapakah gurumu?"

"Guru hamba adalah ayah hamba sendiri yang bernama Pujo, yang dahulu datang membantu paduka dalam pertandingan."

"Aaaaahh.....?"

Narotama makin tertarik dan mengelus-elus jenggotnya, keningnya berkerut. Tepat sekali, pikirnya. Anak ini berdarah satria. Dipandang sekelebatan saja sudah nampak bakatnya menjadi satria perkasa. Dan terutama sekali, Sang Resi Jatinendra sendiri yang tentu saja awas paningal itu telah memujinya. Lebih-lebih lagi, anak ini agaknya menyimpan pusaka Mataram, patung kencana Sri Bathara Wishnu! Dia tadi telah berjanji takkan turun tangan mencampuri urusan antara para pangeran.

Hemm.... betapapun juga, junjungannya tak dapat melupakan kasih sayang terhadap putera, maklum bahwa kalau dia turun tangan, tentu ada puteranya yang menjadi korban. Akan tetapi, bagaimana kalau Pangeran Anom yang ia tahu benar mengadakan hubungan dan dibujuk-bujuk kakeknya, Maha Raja Sriwijaya untuk merebut kedudukan di Kahuripan? Dan Pangeran Anom yang ibunya seorang puteri Sriwijaya itu mempergunakan tokoh-tokoh bekas musuh Sang Prabu Airlangga! Bagaimana ia dapat mendiamkan saja kalau kelak Pangeran Anom membuat gara-gara? Akan tetapi ia telah berjanji kepada junjungannya dan ia maklum bahwa lebih baik ia mati daripada melanggar janjinya itu. "Engkau sudah sepatutnya mendidiknya, kakang."

Demikian ucapan Sang Resi Jatinendra tadi ketika hendak pergi. Narotama tersenyum. Betapapun juga ia hampir lupa akan kebijaksanaan junjungannya itu. Kini mengertilah dia. Sang Resi Jatinendra tidak menghendaki ia kelak turun tangan ikut berperang saudara, karena sang resi menganggap ia kakak sendiri, berarti paman putera-puteranya! Tentu saja tidak rela hati Sang Resi Jatinendra kalau Narotama ikut berperang antar saudara.

Dan tadi junjungannya telah memberi jalan keluar, yaitu dengan jalan menurunkan kepandaian kepada seorang murid yang tepat! Seorang murid yang kelak dapat menggantikannya menggunakan kepandaian untuk menjamin ketentraman kerajaan, membela yang benar menghancurkan yang salah, siapapun adanya yang benar atau yang salah itu. Menjadi penggantinya membela kebenaran dan keadilan, karena dia sendiri tidak mungkin dapat turun tangan, terbelenggu oleh janjinya tadi!

"Joko Wandiro, maukah engkau menjadi muridku?"

Saking heran, kaget dan juga girang Joko Wandiro mengangkat muka dan memandang dengan sepasang matanya yang bersinar-sinar. Ia tadi sudah menyaksikan betapa hebat sepak terjang ki patih yang sakti, bahkan dahulu pernah pula menikmati kesaktian kakek ini dikeroyok oleh tokoh-tokoh pandai. Tentu saja ia suka sekali menjadi murid Ki Patih Narotama yang menurut kabar adalah seorang yang paling sakti di Kahuripan, kecuali Sang Prabu Airlangga sendiri tentunya. Maka cepat-cepat ia menyembah.

"Hamba suka sekali, gusti patih....."

"Bagus, dan mulai sekarang jangan menyebut gusti patih kepadaku, melainkan bapa guru. Sekarang jawablah, apakah engkau tadi menyaksikan segala peristiwa yang terjadi di sini?"

Joko Wandiro mengangguk. Ki Patih Narotama bermaksud mengambil murid Joko Wandiro hanya dengan satu tujuan, yaitu agar kelak ia mempunyai wakil penjaga keselamatan Kerajaan Kahuripan yang ia cinta, agar ia dapat mewakilkan muridnya untuk mempertahankan kebenaran dan keadilan di Kahuripan tanpa dia sendiri turun tangan. Maka ia ingin agar anak yang menjadi muridnya ini mengerti benar akan keadaan di Kerajaan Kahuripan, mengenal pula musuh-musuh Sang Prabu Airlangga yang amat banyak dan amat sakti, di antaranya Wirokolo tadi.

"Mengertikah engkau akan segala peristiwa yang terjadi tadi, muridku? Kalau ada yang belum kau mengerti, sekarang juga kau boleh bertanya dan aku akan memberi penjelasan."

Berkata demikian, Narotama lalu duduk di atas batu di depan Joko Wandiro. Girang hati anak ini. Tidak saja ia diterima menjadi murid kakek sakti mandraguna ini, juga ia mendapat kenyataan bahwa gurunya ini amat peramah dan sabar. Maka ia lalu segera mengajukan pertanyaan tentang peristiwa yang amat mengesankan hatinya tadi.

"Bapa guru, sebelum manusia iblis Wirokolo tadi muncul, terjadi peristiwa aneh sekali. Serombongan kelelawar yang jumlahnya beribu-ribu datang menyerang ke sini, disambut ribuan burung sriti yang mengalahkan dan mengusir mereka. Bagaimana hal itu bisa terjadi, bapa guru?"

"Hal itu terjadi karena aji yang disebut Panji Satwo. Aji ini adalah aji penakluk segala macam binatang. Akan tetapi seperti juga semua ilmu di dunia ini, bisa dihitamkan atau diputihkan oleh pelakunya. Segala aji di dunia ini bisa menjadi ilmu yang baik, bisa juga buruk, tergantung dari si manusia sendiri. Wirokolo menggunakan Aji Panji Satwo untuk melakukan hal-hal keji, maka ia memilih rombongan kelelawar untuk menyesuaikan diri. Di lain pihak, kakang Empu Bharodo juga menggunakan aji itu dan barisannya adalah burung-burung sriti yang memang bersarang di dalam gua. Pilihan tepat untuk mengusir kelelawar itu."

Joko Wandiro merasa kagum, juga bangga. "Bapa guru, sesudah kelelawar-kelelawar itu dikalahkan dan pergi, lalu muncul nenek mengerikan yang mengeluarkan lidah api. Hamba pukul dan serang dia dengan golok, namun pukulan dan bacokan hamba tembus saja, seakan-akan tubuhnya hanya bayangan. Siapakah dia itu, bapa guru, dan mengapa setelah disambit puspa (bunga) oleh eyang Empu Bharodo, dia lenyap?"

"Aahhh, sungguh keji si Wirokolo." Kakek sakti itu menghela napas. "Untung ada kakang Empu Bharodo yang ahli dalam hal ilmu sihir. Kalau tidak kedigdayaan saja akan sukar mengalahkan Wirokolo. Ketahuilah, muridku. Nenek itu adalah iblis ciptaan ilmu hitam Calon Arang yang amat keji, juga amat dahsyat sukar dikalahkan. Kalau si Wirokolo sudah memiliki ilmu macam itu, sungguh ia merupakan manusia iblis yang berbahaya dan sudah selayaknya dibasmi. Sayang bahwa junjungan kita tadi melarang, kalau tidak, tentu sudah kubinasakan si jahat Wirokolo."

"Siapakah dia itu, bapa guru? Dan mengapa dia memusuhi Sang Prabu Airlangga ? "

"Dia seorang bekas senopati Kerajaan Wengker yang dahulu dikalahkan oleh tentara Kahuripan. Agaknya ia masih mendendam dan hendak menuntut balas."

Kemudian Ki Patih Narotama menyuruh muridnya memperlihatkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya, dan mulailah ia memberi petunjuk-petunjuk yang didengarkan oleh Joko Wandiro penuh perhatian. Mulailah Joko Wandiro menerima gemblengan dari kakek sakti ini dan dari permulaannya, anak ini sudah dapat melihat bahwa gemblengan dari kakek sakti ini, dan dari permulaannya, anak ini sudah dapat melihat bahwa gemblengan ini jauh bedanya dengan gemblengan-gemblengan yang pernah ia terima, dapat mengerti bahwa gurunya ini memiliki ilmu kesaktian yang amat hebat. Maka iapun amat tekun mengikuti pelajaran yang diberikan Ki Patih Narotama.

*******************


"Serbuuuuuu....! Hantam..... !!"

"Gempurr.....! Bunuh....!! Hidup Pangeran Anom...!!"

"Hayo maju.....! Habiskan antek antek Sriwijaya! Hidup Pangeran Sepuh....!!"

Teriak pekik menggegap-gempita. Debu mengebul tinggi menggelapkan udara. Kilatan keris, tombak, kelewang dan senjata-senjata lain menyilaukan mata. Derap kaki dan ringkik kuda menambah gaduh. Perang campuh terjadilah. Perang saudara antara pasukan-pasukan Pangeran Sepuh dan pasukan-pasukan Pangeran Anom! Kalau di waktu-waktu yang lalu hanya terjadi bentrokan-bentrokan kecil, pelototan mata dan saling melontarkan sindir ejek, kini meledaklah perang yang sekian lama ditekan-tekan.

Perang terbuka antar pasukan. Bertempat di alun-alun, dimana biasanya hanya dipergunakan untuk latihan-latihan perang. Darah mulai muncrat, mayat mulai berserakan, pekik kemarahan bercampur dengan jerit kesakitan, diseling sorak-sorai dan tangis. Udara makin gelap. Perang campuh yang liar, buas, dan kacau-balau. Amat sukar membedakan mana kawan mana lawan dalam perang campuh seperti itu. Apalagi banyak diantara mereka yang serupa pakaiannya, bahkan banyak yang dahulunya menjadi kawan kini menjadi lawan karena yang seorang berpihak Pangeran Sepuh, yang lain berpihak Pangeran Anom.

Riuh rendah suara mereka yang beryuda. Keris-keris pusaka yang biasanya hanya diberi "makan" kembang menyan pada hari-hari baik, kini dihunus dari warangka dan diberi kesempatan sebanyaknya untuk berpuas-puasan minum darah manusia yang masih segar dan panas! Banyak golok dan kelewang menyambar-nyambar, bacok-membacok, tusuk-menusuk. Tombak-tombak berluncuran mencari sasaran perut yang lunak. Ada pula yang sudah kehilangan pedang dan tameng (perisai), bergulat mengandalkan kaki tangan, saling hantam, saling tendang, bahkan ada yang dalam keadaan darurat tidak segan-segan menggunakan gigi menggigit. Hebat dan dahsyat perang itu. Keris mencari jantung, tombak mencari usus, golok menyambar leher, ruyung mencari otak!

"Kawan-kawan, maju terus....!! Habiskan lawan, hancur-leburkan anak buah Pangeran Sepuh yang khianat....!!!"

Teriakan nyaring ini mengatasi semua kegaduhan dan jelas bukan keluar dari mulut orang sembarangan. Orang yang dapat mengeluarkan teriakan sehebat itu tentulah memiliki ilmu kesaktian tinggi. Dan memang benar. Teriakan ini keluar dari mulut seorang laki-laki gagah perkasa, menunggang seekor kuda putih, bersenjatakan sebatang tombak yang bergagang panjang. Mata tombak yang berkilauan dan mengeluarkan cahaya kehijauan itu menandakan bahwa tombak itu adalah sebuah pusaka ampuh yang mengandung bisa maut. Melihat dia menunggang seekor kuda besar dan garang, pula melihat pakaiannya yang mentereng, mudah dimengerti bahwa laki-laki gagah itu tentulah seorang panglima Pangeran Anom, apalagi teriakannya jelas menyatakan fihak mana yang ia bela.

Siapakah panglima ini? Bukan lain dia adalah Joko Wanengpati! Setelah mengalami kekalahan di Kadipaten Selopenangkep, takut menghadapi Pujo dan Kartikosari yang dibantu oleh Roro Luhito dan bahkan kemudian oleh Resi Telomoyo, Jokowanengpati cepat melarikan diri kembali ke kota raja. Ia langsung menghadap junjungannya, yaitu Pangeran Anom, menceritakan bahwa Kadipaten Selopenangkep yang telah dikuasainya itu direbut kembali oleh Pujo dan kawan-kawannya.

"Tidak salah lagi, gusti pangeran! Pujo dan kawan-kawannya tentulah menjadi kaki tangan Pangeran Sepuh. Hamba tidak dapat menahan mereka oleh karena pasukan mereka jauh lebih kuat, pula hamba tidak mempunyai pembantu. Apabila paduka mengijinkan, biarlah hamba kembali ke sana membawa pasukan besar dan hamba akan mohon bantuan bibi Nogogini dan bibi Durgogini. Akan hamba seret semua pengkhianat itu ke bawah kaki paduka!"

Akan tetapi Pangeran Anom mempunyai rencana lain. Urusan perebutan Kadipaten Selopenangkep tidaklah begitu penting, karena hal itu dilakukan hanya untuk memberi hukuman kepada keluarga Wisangjiwo yang menyeberang kepada Pangeran Sepuh!

"Jokowanengpati, urusan di Selopenangkep itu cukuplah, karena aku sudah puas mendengar kau berhasil membasmi keluarga Adipati Joyowiseso. Kiranya hukuman itu sudah cukup untuk membuka mata Wisangjiwo si pengkhianat. Sekarang kita harus memusatkan tenaga di sini karena saatnya sudah cukup masak untuk memperlihatkan kekuatan kita disini. Kau pergilah menemui kedua bibimu itu, juga paman Cekel Aksomolo dan yang lain-lain, suruh mereka menghadap malam ini untuk berunding."

Persiapan yang diadakan Pangeran Anom untuk meledakkan perang saudara itu diatur sampai berbulan-bulan. Makin lama suasana makin tegang. Kedua pihak saling mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan masing-masing. Hanya karena mengingat bahwa Sang Prabu Airlangga masih hidup saja yang membuat perang terbuka masih selalu tertekan dan tertunda. Di samping itu, selalu ada Ki Patih Narotama yang berusaha sekuat tenaga mempergunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk mencegah segala macam pertentangan yang terjadi di kota raja.

Baik pihak pasukan Pangeran Sepuh maupun Pangeran Anom, tidak berani berkutik kalau ki patih muncul melerai pertikaian yang timbul di antara mereka. Tentu saja persiapan-persiapan kedua pihak yang makin menghebat dan makin menegangkan hati ini tak terlepas dari pandang mata Ki Patih Narotama yang amat waspada. Ia merasa prihatin sekali dan diam-diam di luar tahu para senopati dan punggawa keraton lainnya, ia menemui kedua pangeran itu. Pertama-tama ia menemui Pangeran Sepuh dan dengan cara halus menyatakan ke khawatirannya dan tidak persetujuannya akan persiapan-persiapan perang itu. Pangeran Sepuh mengerutkan keningnya dan menjawab,

"Paman patih, apakah paman mengira bahwa saya suka akan perang saudara? Akan tetapi sebagai saudara tua, tentu saja saya tidak sudi diperhina oleh saudara muda. Ramanda prabu mengundurkan diri pergi bertapa. Tugas pemerintahan memang diwakilkan kepada paman, akan tetapi untuk urusan dalam istana, sudah sepatutnya kalau saya sebagai putera tertua mewakili ramanda prabu. Kalau saudara muda saya hendak memberontak merampas kekuasaan, sayalah yang wajib memberi hajaran kepadanya!"

Ki Patih Narotama hanya menghela napas panjang. Ia maklum bahwa kesalahan memang diperbuat oleh Pangeran Anom, maka ia tidak membantah atau menyalahkan Pangeran Tua. Dengan pengharapan akan dapat memberi nasehat dan peringatan kepada Pangeran Anom Ki Patih Narotama pergi menghadap Pangeran Anom. Akan tetapi di sini ia malah penerima jawaban yang menyakitkan hati.

"Engkau hanya seorang patih, paman! Perlu apa mencampuri pertikaian antar saudara? Sudah jelas bahwa setelah rama prabu pergi bertapa, Pangeran Sepuh menjadi sombong dan mengagulkan diri sebagai putera sulung, seakan-akan rama prabu sudah seda (mati) dan dia yang menggantikan menjadi raja! Huh, kalau memang dia hendak menjadi raja mendasarkan kekerasan, akupun bisa berbuat serupa! Tinggal engkau pilih, paman patih, engkau membela Pangeran Sepuh, ataukah membantu aku!"'

Hati Ki Patih Narotama menjadi panas karena marah, namun ia menekan perasaannya dan berkata sabar, "Hamba adalah pepatih dalam rama paduka, oleh karena itu pula hanya sabda rama paduka yang akan hamba taati. Kalau paduka dan Gusti Pangeran Sepuh tidak suka mendengar nasehat orang tua, biarlah hamba pergi menghadap rama paduka dan mohon keputusan."

Demikianlah Ki Patih Narotama lalu pergi meninggalkan keraton menuju ke pertapaan Jalatunda seperti yang telah diceritakan di depan. Sepergi ki patih permusuhan semakin menghebat karena diantara para pasukan tidak ada lagi yang ditakuti. Pada saat tegang ituiah datangnya Wisangjiwo, Pujo, Kartikosari, Roro Luhito dan Resi Telomoyo, menghadap Pangeran Sepuh yang diterima dengan hati girang.

Akhirnya perang saudara pecah dan perang tanding mati-matian itu terjadi di alun-alun! Kedua pihak sama kuat, karena mereka itupun mendapatkan latihan perang yang sama pula. Makin lama perang campuh makin menghebat karena kedua fihak selalu mendapat tambahan bantuan. Ketika Jokowanengpati yang menunggang kuda putih muncul di medan yuda memberi semangat kepada para pasukan, sepak terjangnya bukan main hebatnya.

Tombaknya menyambar-nyambar dan kemana saja kudanya melompat, tentu beberapa orang perajurit pasukan Pangeran Sepuh roboh bergelimpangan. Ada yang tertombak perutnya sampai ususnya terurai keluar, atau kepalanya pecah karena hantaman gagang tombak, ada pula yang terinjak-injak kuda putih! Pendeknya, di mana kuda putih yang ditunggangi Jokowanengpati tiba, tentu terjadi geger. Tak seorangpun perajurit atau perwira sanggup menanggulangi sepak terjang Jokowanengpati.

Berita yang menggemparkan para perajurit Pangeran Sepuh ini terdengar oleh Wisangjiwo yang menyertai para senopati Pangeran Sepuh. Mendengar akan majunya Jokowanengpati ke medan yuda, Wisangjiwo menjadi marah sekali. Itulah musuh besarnya dan mendengar namanya saja sudah membuat dada serasa meledak. Sambil berkerot gigi, Wisangjiwo menyambar tombak dan melompat ke atas kudanya, langsung menyerbu ke medan yuda, mencari-cari di mana adanya musuh besar itu. Akhirnya ia melihat Jokowanengpati di ujung selatan. Dikepraknya kuda tunggangannya dan dengan kemarahan meluap-luap ia membalapkan kuda menghampiri musuhnya.

Dua ekor kuda berhadapan muka. Dua orang musuh beradu pandang penuh kebencian. Sejenak mereka hanya saling pandang seakan-akan dua ekor jago mengukur keadaan lawan. Para perajurit cepat-cepat mundur untuk memberi kesempatan kepada dua jagoan mereka bertanding. Demikian tegang keadaannya sehingga beberapa orang perajurit kedua fihak sampai sejenak lupa berperang dan menjadi penonton!

"Si bedebah Jokowanengpati!" Akhirnya dengan dada terengah-engah saking marahnya Wisangjiwo menudingkan telunjuk kirinya sambil mengempit tombak di ketiak kanan. "Engkau manusia berhati iblis, mencemarkan namaku dengan perbuatan terkutuk! Engkau telah menodai keluarga kami, dan akhirnya engkau telah menyerbu Selopenangkep melukai ayah, membunuh ibu dan sekeluarga! Aku bersumpah akan mengadu nyawa denganmu, keparat!"

"Babo-babo!! Wisangjiwo, kau manusia khianat! Urusan yang lain bukanlah urusanmu! Tentang keluargamu di Selopenangkep, mereka itu menjadi korban pengkhianatanmu sendiri sehingga menerima hukuman dari Gusti Pangeran Anom. Manusia tak tahu malu, tentang urusan wanita, engkau melebihi aku, mengapa banyak cerewet? Engkau bersumpah ingin mampus di tanganku? Mudah, sobat. Majulah, ha-ha-ha!"

Wisangjiwo tak dapat mengeluarkan kata-kata lagi. Dadanya terlalu panas sampai-sampai lehernya serasa tercekik. Dengan penuh kegeraman ia lalu menendang perut kudanya yang melonjak ke depan sambil memutar tombak dan menyerang dengan tusukan kilat. Jokowanengpati sudah siap dan menangkis.

"Traaangggg ........ !!"

Bunga api berpijar ketika dua senjata itu bertemu. Segera keduanya terlibat dalam perang tanding mati-matian. Keduanya sama cekatan, sama kuat dan sama pandai dalam seni tempur di atas kuda menggunakan lembing. Para perajurit yang menjadi penonton bersorak-sorak memberi semangat kepada jago masing-masing.

Di bagian lain dalam perang campuh itu, tampak orang-orang sakti yang membantu Pangeran Anom ikut pula memperlihatkan jasa mereka. Cekel Aksomolo sebetulnya merasa sungkan untuk berperang melawan perajurit-perajurit biasa yang sama sekali bukanlah lawannya. Demikian pula Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso. Akan tetapi anak buah Ki Krendoyakso yang jumlahnya seratus orang lebih itu tanpa menanti komando lagi sudah berpesta-pora dalam perang. Mereka adalah perampok-perampok yang liar dan ganas, tentu saja berperang dan membunuh orang merupakan kegemaran mereka!

Ni Nogogini dan Ni Durgogini juga berada di situ, akan tetapi dua orang wanita sakti itu kini bertugas menjaga keselamatan Pangeran Anom yang menunggang seekor kuda kemerahan dan berdiri dari tempat tinggi menonton perang. Keselamatan sang pangeran ini tentu saja penting, maka tugas menjamin keselamatannya diserahkan kepada dua orang wanita sakti itu. Hal ini menggembirakan hati Ni Durgogini dan Ni Nogogini, karena seperti juga yang lain- lain, mereka merasa tak senang harus bertanding melawan orang-orang yang tidak berarti!

Ketika dari dalam barisan Pangeran Sepuh muncul Pujo, Kartikosari, Roro Luhito, dan Resi Telomoyo yang mengamuk seperti badai mengganas, barulah timbul kegembiraan di hati Cekel Aksomolo dan teman-temannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat dan kesaktian, belum pernah belajar seni yuda di atas kuda, maka mereka ini maju bertanding dengan berloncatan ke sana ke mari seperti burung-burung menyambar.

"Heh-heh-hu-huhh! Munyuk monyet mendem (mabok)! Sungguh menggembirakan sekali dapat bertemu denganmu di sini. Resi Telomoyo munyuk monyet lutung keparat, sekarang kau takkan dapat melarikan diri lagi!"

Cekel Aksomolo segera menyambut amukan Resi Telomoyo ini dengan ayunan tasbihnya. Resi Telomoyo sudah mengenal keampuhan tasbih Cekel Aksomolo, maka ia cepat mengelak lalu meloncat ke samping dan kakinya tahu-tahu sudah menyepak dari samping ke arah lambung kiri, cepat sekali.

Untung Cekel Aksomolo juga sudah mengenal gerakan cepat manusia seperti raja kera ini, maka ia dapat cepat mengelak, akan tetapi hampir saja lambungnya tercium tungkan (tumit) ngapal sehingga ia kaget sekali dan meloncat mundur.

"Ha-ha-ha! Lagi-lagi cekel bongkok, tua bangka kurus kering matanya juling sumbarnya seperti gonggongan anjing tapi tukmis (gila perempuan)! Ke mana-mana bertemu si cekel bongkok, betul-betul sial dangkalan!"

Cekel Aksomolo merasa kalah kalau harus berdebat atau saling ejek dengan kakek Resi Telomoyo, maka sambil menggereng marah ia lalu menerjang lagi sambil memutar senjatanya yang luar biasa. Di lain pihak, Resi Telomoyo juga tidak berani main-main lagi dan ia harus memusatkan perhatiannya dalam pertandingan ini kalau tidak mau mati konyol, karena memang lawannya itu biarpun tua renta dan bongkok, sesungguhnya memiliki kesaktian yang menggiriskan.

Sementara itu, Pujo dan kedua orang isterinya juga mulai terjun ke medan yuda. Melihat betapa Resi Telomoyo sudah mulai berhantam menghadapi Cekel Aksomolo, Pujo sambil menghantam ke depan dan menendang ke kanan kiri, berkata kepada Kartikosari dan Roro Luhito, "Kalian bantu paman resi! Aku akan mencari Jokowanengpati"

Setelah berseru demikian, ia membuka jalan darah, merobohkan beberapa orang perajurit musuh lalu menerjang terus ke tengah untuk mencari musuh besarnya. Kartikosari dan Roro Luhito tadi memang bersama Pujo terjun ke dalam medan perang dengan maksud hendak mencari musuh besar itu. Kini melihat Pujo menerjang maju seorang diri, diam-diam mereka ingin menyertainya. Akan tetapi, mereka berduapun maklum bahwa Cekel Aksomolo adalah seorang yang sakti mandraguna, maka meninggalkan Resi Telomoyo menghadapinya seorang diri, juga tidak baik.

"Kita terjang dia, habiskan sekarang, kemudian menyusul kangmas Pujo!" kata Kartikosari.

Roro Luhito mengangguk lalu mereka lari mendekati tempat di mana Resi Telomoyo dan Cekel Aksomolo sedang bertanding. Beberapa orang perajurit lawan yang menghalang jalan roboh oleh mereka sehingga para perajurit lain makin gentar dan cepat menjauhi dua orang puteri yang tandangnya (sepak terjangnya) seperti dua ekor singa betina itu. Melihat datangnya dua orang wanita ini, Resi Telomoyo girang dan berkata,

"Ha! Bagus kalian datang. Mari bantu aku, kita rencak (sikat bersama) cekel kal-kel yang berbau busuk ini!!"

"Wuuut...... singgg...... !! " Hampir saja kepala Resi Telomoyo kena disambar tasbih.

"Jebol polomu!!" Cekel Aksomolo berseru penuh kemarahan.

Namun Resi Telomoyo memiliki gerakan yang amat gesit. Dengan jalan membanting tubuh ke belakang lalu berjumpalitan sampai tiga kali ia dapat terhindar dari ancaman maut dan ketika ia berdiri kembali, kedua tangannya sudah menggenggam tanah. Melihat lawannya menerjang datang, ia memekik dan kedua tangannya bergerak ke depan. Kagetlah Cekel Aksomoio ketika tanah dan debu menyambar ke arah mukanya.

"Uuuuh, setan keparat, curang kau....... !" teriaknya dan terpaksa ia melompat mundur kebelakang sambil meramkan mata. Saat itu dipergunakan oleh Resi Telomoyo untuk membalas dengan serangan kilat. Kaki tangannya bergerak seperti mesin cepatnya mengirim serangan bertubi-tubi dan berganti-ganti.

Namun semua serangannya dapat digagalkan lawan yang cepat memutar tasbih membentuk payung melindungi dirinya. Ketika Kartikosari dan Roro Luhito hendak meloncat maju membantu Resi Telomoyo, dari dalam barisan musuh meloncat keluar pula dua orang laki-laki tinggi besar seperti raksasa. Mereka ini bukan lain adalah Ki Warok Cendroyono dan Ki Krendoyakso yang semenjak tadi menanti-nanti datangnya lawan tangguh ! .

Mereka juga enggan bertempur dengan perajurit-perajurit yang sama sekali bukan tandingan mereka. Ketika melihat Cekel Aksomolo menemukan tanding Resi Telomoyo yang sakti, mereka sudah gatal-gatal tangan hendak ikut bertanding. Kemudian mereka melihat sepak terjang dua orang wanita cantik yang luar biasa itu, yang gerakannya merobohkan perajurit-perajurit seperti orang membabat rumput saja. Ketika melihat bahwa dua orang wanita cantik itu teman Resi Telomoyo, maka keduanya tanpa diperintah lagi lalu melompat maju dan menyambut dengan teriakan garang,

"Hemmm, biasanya aku pantang melawan wanita! Akan tetapi kulihat engkau bukan wanita biasa, melainkan seorang perajurit gemblengan. Kau siapakah? Kalau mempunyai kepandaian, hayo maju dan lawanlah Warok Gendroyono! Kalau kau takut, lebih baik lekas-lekas mundur, di sini bukan tempat wanita berlagak!"

Mendengar kata-kata kasar itu, Kartikosari menudingkan kerisnya ke arah hidung Warok Gendroyono sambil membentak, "Warok celaka tak perlu menyombong! Sebentar lagi kau tentu mampus di tangan Kartikosari!"

Baru saja terhenti kata-kata itu, tubuh Kartikosari sudah mencelat ke depan dengan gerakan cepat laksana burung terbang dan ujung kerisnya sudah mengancam ulu hati lawan!

"Haaaiiitttl"

Warok Gendroyono terkejut sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa wanita ini sedemikian cepat gerakannya. Untung baginya, ketika terjun ke gelanggang pertempuran tadi ia sudah melolos kolor mautnya sehingga kini menghadapi serangan kilat yang sukar dielakkan itu ia dapat memutar kolornya untuk menangkis.

"Desssss......!!"

Kartikosari merasa betapa tangannya yang memegang keris tergetar oleh tangkisan kolor. Diam- diam ia kaget dan cepat melompat mundur. Kini keduanya saling pandang dan diam-diam mereka mengerti bahwa lawan di depan adalah orang yang tak boleh dipandang ringan, merupakan lawan yang kuat. Dari getaran ujung kolornya Warok Gendroyono juga maklum bahwa wanita ini tidak hanya memiliki kecepatan laksana burung srikatan, akan tetapi juga memiliki tenaga dahsyat yang digerakkan hawa sakti yang kuat.

BADAI LAUT SELATAN JILID 20


Badai Laut Selatan Jilid 19

Cerita Silat Karya Kho Ping Hoo

Badai Laut Selatan Jilid 19

Saking cepatnya gerakan ruyung, terdengar suara "werrwerr-werr!" tiada hentinya dan daun-daun di dahan pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras. Kelihatannya Sang Resi Bhargowo terdesak dan tak mampu membalas, padahal sesungguhnya, pertapa sakti yang tenang ini sedang menanti kesempatan baik untuk sekali pukul meruntuhkan lawan. Ketika ruyung itu lewat dari atas hendak menghantam kepalanya, ia menanti dan sengaja memperlambat gerakan.

"Remuk kepalamu!" Gagak Rudro sudah berseru girang sekali, yakin bahwa kali ini ruyungnya tentu akan mendapat "makanan" otak dan darah kepala yang remuk.

"Werr....wuuutttt!!"

Ruyung meluncur cepat karena Resi Bhargowo baru dekat, maka ruyung itu tidak dapat ditahan oleh Gagak Rudro, terus meluncur ke bawah dan menghantam tanah. Akan tetapi kali ini Resi Bhargowo sudah melihat kesempatan baik. Jari-jari tangan kirinya menyambar ke depan dan "krakk!!! " pangkal lengan kanan Gagak Rudro dekat pundak patah tulangnya dan ruyungnya terlepas dari pegangan.

"Aduhh... tobat.....!"

Gagak Rudro berteriak kesakitan dan menggulingkan tubuh menjauhi lawan, takut menerima hantaman ke dua. Akan tetapi Resi Bhargowo tidak menyerang lagi, melainkan berdiri tegak dan tersenyum pahit.

"Orang-orang macam kalian ini masih berani membikin ribut? Hayo, kalau masih belum bertobat, majulah lagi, keluarkan semua kedigdayaan kalian, sepasang Gagak yang jahat! Kalau sudah mengaku kalah, pergilah dan ajak kelima orang anak buahmu!"

Tiba-tiba terdengar suara mendeis-desis ketika Gagak Kunto dan Gagak Rudro pergi diikuti lima orang anak buah mereka yang tadi roboh oleh Joko Wandiro. Suara mendesis-desis ini makin tajam dan nyaring setelah tujuh orang itu tak tampak bayangannya lagi. Kemudian terdengar bentakan dengan suara parau.

"Babo-babo, Resi Bhargowo! Sumbarmu seperti dapat menumbangkan puncak Mahameru! Jangan takabur hanya karena dapat mengalahkan segala perajurit rendahan. Akulah lawanmu!!" mendadak terdengar suara keras seperti pohon beringin tumbang dan sesosok tubuh inggi besar menyambar turun, kini berdiri tegak di depan Resi Bhargowo.

Joko Wandiro yang memandang penuh perhatian, terkejut melihat raksasa yang baru muncul ini. Tubuhnya sama tinggi besar dengan sepasang gagak tadi, akan tetapi wajahnya lebih menyeram kan karena berwarna merah. Bibirnya yang pucat tak dapat rapat menutup giginya yang besar-besar dan di kedua ujungnya bertaring! Matanya melotot dan tak pernah kelihatan berkedip.

Tubuhnya bagian atas tidak berbaju sehingga tampak otototot sebesar dadung membelit-belit tubuh yang kulitnya berbulu itu. Akan tetapi yang paling menyeramkan adalah lima ekor ular belang yang menghias tubuhnya. Seekor yang paling panjang membelit leher seperti kalung,dua ekor di kedua pergelangan tangan dan dua ekor pula membelit pergelangan kaki yang telanjang. Lima ekor ular berbisa inilah yang mengeluarkan suara mendesis-desis itu.

"Wirokolo! Akhirnya engkau muncul juga! Engkau mau apa? Jangan kira Resi Bhargowo takut kepadamu!"

"Haaaahhh! Sombong sekali engkau, keparat! Rasakanlah ampuhnya Anolo Hasto (Tangan Api)!"

Berkata demikian, Wirokolo menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan dari kedua telapak tangan yang saling digosokkan itu mengepul asap hitam dan tercium bau sangit seperti kulit atau rambut terbakar. Kedua telapak tangan itu kini tampak merah seperti besi dibakar. Kemudian Wirokolo bertepuk tangan. Terdengar ledakan seperti geledek dan tampak bunga api berpijar! Benar-benar ilmu yang mujijat dan dahsyat. Tiba-tiba Wirokolo membentak keras tubuhnya yang tinggi besar itu menerjang maju, kedua tangannya menampar bertubi-tubi.

Resi Bhargowo dengan sikapnya yang tenang itu mengelak sambil menangkis, karena gerakan lawan yang sedemikian cepatnya, mengimbangi gerakannya sendiri Aji Bayu Tantra, tak mungkin dihadapi dengan kelitan-kelitan saja, harus dihadapi dengan tangkisan, keras lawan keras.

"Desss.....!!"

Benturan kedua tangan orang-orang sakti ini merupakan pertemuan dua tenaga dahsyat. Dari tangan Wirokolo memercik bunga api menyilaukan mata dan terjangannya tertahan, Akan tetapi Resi Bhargowo terhuyung-huyung ke belakang, terdorong oleh tenaga lawan yang bukan main dahsyatnya!

"Huah-hah-hah-hah! Sebegitu saja kekuatanmu, Resi Bhargowo?"

Wirokolo mengejek sambil menerjang terus menggunakan kedua tangannya yang seakan-akan telah berubah menjadi dua tangan baja membara. Memang hebat kepandaian Wirokolo ini. Hal ini tidaklah amat mengherankan kalau diingat bahwa ia bekas senopati Kerajaan Wengker dan merupakan senopati yang sakti nomor dua sesudah Dibyo Mamangkoro. Wirokolo adalah adik seperguruan Dibyo Mamangkoro, dan dalam perang antara Wengker melawan pasukan Kahuripan dahulu, dia merupakan lawan tangguh yang hanya dapat dipukul mundur setelah banyak perwira tewas dan akhirnya Ki Patih Narotama sendiri yang turun tangan di medan yuda.

Semenjak kekalahannya dalam perang itu yang mengakibatkan tewasnya Sang Prabu Boko di tangan Sang Prabu Airlangga sendiri dan hancurnya Kerajaan Wengker, seperti juga Dibyo Mamangkoro, senopat Wirokolo ini lari menyembunyikan diri dan bertapa sambil menggembleng diri sehingga ilmu kepandaiannya meningkat tinggi.

Resi Bhargowo bukanlah tokoh sembarangan. Dengan Aji Bayu Tantra dan ilmu pukulan Phetit Nogo dia sudah merupakan seorang sakti yang jarang tandingannya, apalagi dia telah memiliki tenaga sakti yang bertingkat tinggi. Dalam pertandingan di Pulau Sempu, menghadapi serbuan para utusan Pangeran Anom, Resi Bhargowo telah membuktikan kesaktiannya. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan Wirokolo, dia benar-benar terdesak dan jelas bahwa tingkat kesaktiannya kalah tinggi Dengan ajinya Bayu Tantra, Resi Bhargowo hanya dapat mengelak untuk menyelamatkan diri dari serbuan kedua tangan membara itu.

Ada kalanya ia mampu membalas sekali dua dengan pukulan Pethit Nogo yang ampuh, namun pukulan inipun membalik ketika bertemu dengan hawa Anolo Hasto yang panas seperti Kawah Condrodimuka. Juga pukulan Pethit Nogo yang tidak terlalu tepat kenanya, tidak mempan terhadap tubuh Wirokolo yang keras dan kebal. Hanya dalam kecepatan saja Resi Bhargowo dapat mengimbangi lawan sehingga ia masih dapat bertahan, namun jelas bahwa pukulan-pukulannya kalah ampuh dan tenaga dalamnya kalah kuat.

"Huah-hah-hah! Resi Bhargowo, begini saja kekuatanmu? Hah-hah-hah!"

Wirokolo terkekeh-kekeh dan ia benar-benar menguasai pertandingan itu sehingga kini Resi Bhargowo sama sekali tidak diberi kesempatan untuk membalas, melainkan meloncat ke sana ke mari, mengelak dan sedapat mungkin menangkis. Namun setiap kali menangkis, ia terpental dan terhuyung-huyung.

Wirokolo manusia iblis! Masih belum bertobat engkau sejak dahulu?"

Suara ini keluar dari mulut Empu Bharodo yang ternyata sudah maju dan membantu adik seperguruannya. Begitu suaranya terdengar, orangnya sudah datang dan tangannya sudah menampar. Bukan main cepatnya gerakan Empu Bharodo. Memang, dalam hal ilmu meringankan tubuh dan gerak cepat, agaknya sukar dicari bandingnya karena Empu Bharodo memiliki Aji Bayu Sakti! Gerakannya ringan dan cepat sekali sehingga tahu-tahu tangannya menampar seperti kilat, tak sempat ditangkis maupun dielakkan lagi oleh Wirokolo.

"Plakk!"

Tamparan itu tepat mengenai dada Wirokolo, sebuah tamparan dahsyat yang didasari ilmu pukulan Jonggring Saloko.

"Huah-hah-hah! Tanganmu empuk seperti tangan perempuan, Empu Bharodo pendeta cacingen!"

Wirokolo yang hanya tergeser selangkah oleh tamparan itu tertawa mengejek lalu balas memukul dengan tangannya yang merah membara. Namun dengan amat cepatnya Empu Bharodo mengelak sehingga pukulan ini mengenai tempat kosong. Juga desakan yang bertubi-tubi merupakan pukulan berantai sampai tujuh kali, sama sekali tidak dapat menyentuh ujung baju si pertapa yang amat cepat gerakannya ini. Setelah Empu Bharoflo turun tangan membantu Resi Bhargowo, pertandingan menjadi lebih ramai, tidak berat sebelah seperti tadi.

Kalau tadi Resi Bhargowo terdesak hebat dan hanya mampu mengelak ke sana ke mari, sekarang dengan bantuan Empu Bharodo keadaan berubah. Biarpun tubuh Wirokolo kebal dan amat sakti sehingga tidak roboh oleh pukulan Pethit Nogo maupun pukulan Jonggring Saloko, namun karena kini kedua orang pertapa itu menujukan pukulan-pukulan mereka ke bagian- bagian tubuh yang lemah, raksasa yang sakti itu menjadi repot juga. Ia sudah mengamuk dan balas memukul atau mencengkeram dengan kedua tangan yang membara, namun gerakan kedua orang lawannya itu terlalu gesit sehingga semua balasan serangannya gagal.

"Plakk !! Dess.... !!"

Tamparan Pethit Nogo oleh jari tangan Resi Bhargowo mengenai pundaknya dan selagi terhuyung, ia dihantam oleh tangan kiri Empu Bharodo yang mengenai lambungnya. Biarpun dua pukulan ampuh ini tidak merobohkannya, namun cukup membuat tulang pundak ngilu dan perut mulas. Bangkitlah kemarahan Wirokolo. Untuk mempergunakan ilmu hitam seperti tadi, ia maklum tidak akan ada gunanya karena Empu Bharodo adalah seorang ahli dalam hal ilmu sihir, sehingga ilmu hitam seperti yang telah ia keluarkan tadi, yaitu Calon Arang, juga dapat dipukul buyar.

Maka kini Wirokolo mengeluarkan teriakan keras sekali sehingga bumi seakan goncang, pohon-pohon bergoyang dan banyak daun pohon berguguran. Di saat lain Wirokolo telah menerjang maju dengan hebat sekali. Kini ular-ular yang tadinya melingkar di pergelangan tangannya, ikut bergerak dan setiap kali ia menghantam, maka ular di pergelangan tangan ikut pula menyambar dan menggigit. Demikian pula ular-ular di kedua kakinya. Bahkan ular di lehernya mengulur leher dan menyembur kan uap berbisa! Semua ini masih ditambah lagi dengan sepasang tombak pendek yang entah kapan telah dicabut oleh Wirokolo dari belakang pinggangnya.

Hebat bukan main raksasa ini sehingga Resi Bhargowo dan Empu Bharodo terkejut juga dan melompat mundur. Empu Bharodo cepat mengeluarkan tombaknya, tombak pusaka yang tadi ia letakkan di depan gua, sedangkan Resi Bhargowo juga menyambar tombak milik Gagak Kunto yang tadi ia rampas. Mereka kini sudah siap dengan senjata di tangan, siap untuk bertanding mati-matian menghadapi lawan yang amat sakti itu.

"Kakang berdua Bharodo dan Bhargowo, harap kalian mundur dan biarkan Wirokolo menjumpai aku."

Suara ini halus, namun mengandung getaran penuh wibawa. Mendengar suara ini, seketika kedua orang pertapa itu melangkah mundur dan kembali duduk bersila di tempat semula. Napas mereka agak terengah, tanda bahwa pertandingan melawan Wirokolo tadi benar-benar amat berat bagi mereka yang sudah berusia lanjut.

Diam-diam Joko Wandiro merasa khawatir sekali. Kalau kedua orang kakek sakti ini tidak mampu mengalahkan lawan, bagaimanakah kakek di depan itu akan menghadapinya seorang diri?

Sementara itu, Wirokolo dengan kedua tombak pendek di tangan, tertawa bergelak sampai perutnya yang besar bergerak-gerak dan mukanya yang beringas menengadah. Kemudian ia menghentikan tawanya dan melangkah maju menghampiri Resi Jatinendra yang masih duduk bersila, akan tetapi kini tidak bersamadhi lagi, sepasang matanya terbuka, memandang penuh kelembutan dan bibirnya tersenyum ramah.

"Kisanak, apakah kau yang bernama Wirokolo?" Pertanyaan ini terdengar halus dan sedikitpun tidak membayangkan kemarahan atau permusuhan.

"Huah-hah-hah! Sang Prabu Airlangga, betul aku Wirokolo!"

"Wirokolo, aku sekarang bukan lagi sang prabu, melainkan Resi Gentayu atau Resi Jatinendra. Andika bertekad datang ke Jalatunda, ada keperluan apakah? Katakan jangan meragu karena apapun permintaanmu, jika aku kuasa memberi, akan kuberikan kepadamu."

"Huah-hah, Raja Airlangga! Jangan coba bersembunyi di balik kedok pertapa! Setelah kedua orang jagoanmu tak dapat mengalahkan aku, engkau lalu menggunakan kata-kata manis untuk menyenangkan hatiku? Engkau menjadi ketakutan? Takut kepadaku? Hah-hah, Sang Prabu Airlangga yang dahulu disohorkan gagah perkasa itu kini menjadi seperti harimau kehilangan kukunya, garuda kehilangan sayapnya ! "

Di dalam hatinya Joko Wandiro terkejut ketika mendengar bahwa kakek pertapa yang tenang dan ramah itu ternyata adalah sang prabu sendiri! Hatinya berdebar penuh kekhawatiran, akan tetapi melihat sikap yang kurang ajar dan sombong dari Wirokolo, jiwa satrianya memberontak, semua urat syaraf di tubuhnya menegang dan hampir tak dapat ia menahan dirinya yang hendak meloncat dan menandingi raksasa sakti itu. Akan tetapi Sang Prabu Airlangga atau Resi Jatinendra sendiri sama sekali tidak kelihatan marah mendengar ejekan dan cemoohan itu, melainkan tersenyum dan suaranya tetap halus dan ramah,

"Satu-satunya hal yang kutakuti di dunia ini hanyalah kalau-kalau aku menyeleweng daripada kebenaran tanpa kusadari, Wirokolo. Selain itu, tidak ada yang kutakuti, juga engkau tidak. Aku telah sadar, Wirokolo, bahwa penggunaan kekerasan adalah penyelewengan manusia yang paling parah. Dari kekerasan inilah timbulnya segala perkosaan dan kerusakan, wahai kisanak, demi kebaikanmu sendiri, hentikanlah segala kekerasanmu dan katakanlah apa yang kau kehendaki dan aku akan memberikannya kepadamu."

Sejenak sunyi menyambut ucapan yang amat sedap didengar ini. Suasana sunyi yang mengaman kan hati, sunyi yang amat indah di mana tidak ada sesuatu yang mengganggu perasaan. Akan tetapi hanya sebentar karena segera terganggulah getaran damai yang timbul dari sabda sang resi itu oleh suara Wirokolo, "Heh, Airlangga! Siapa percaya obrolanmu? Kau tanya apa kehendakku? Aku menghendaki nyawamu! Lihat, aku akan membunuhmu!!"

Wirokolo mengamang-amangkan kedua tombaknya dengan sikap mengancam sambil melangkah makin dekat. Akan tetapi sang resi tersenyum, kemudian terdengar kata-katanya penuh wibawa sehingga ucapan yang keluar dari mulut sang resi mengandung getaran dan gema,

"Hai Wirokolo, dengarlah baik-baik selagi engkau mendapat kesempatan mendengar kebenaran ini. Siapakah engkau ini yang akan dapat membunuh Aku? Siapakah engkau ini yang akan dapat menentukan mati hidup seseorang? Yang tidak berawal takkan berakhir, dan Aku tidak berawal, maka tidak berakhir pula. Yang tidak terlahir, takkan mati, dan Aku tidak terlahir. Yang berawal dan terlahir hanyalah tubuhku, maka yang berakhir atau mati kelak hanya tubuhku. Jangan kira engkau akan dapat membunuhku, oh, Wirokolo, engkau tersesat amat jauh kalau berpikir demikian! Sebaliknya tubuhku ini takkan terluput daripada kematian, namun jangan pula mengira bahwa engkau yang akan menentukan mati hidup tubuhku, karena hal itu tidak berada dalam kekuasaanmu atau kekuasaan siapapun juga.Di samping bahwa engkau tidak berdaya untuk menguasai mati hidup seseorang, juga Aku telah diwajibkan menjaga wadah di mana Aku tinggal berupa tubuh ini, Wirokolo! Karena kalau tidak kulakukan hal itu, maka berarti meninggalkan wajib dan hal ini menyalahi keadaan!"

Kembali sunyi yang mendalam menyambut ucapan Sang Resi Jatinendra ini. Lebih lama daripada tadi. Tiada suara terdengar, bahkan angin sekalipun seperti berhenti bertiup untuk menghormati kata-kata yang merupakan untaian mutiara keluar dari mulut sang resi. Mutiara filsafat yang menjadi ajaran Sang Bhatara Wishnu, dituangkan dalam Bagawad Gita, yaitu ketika Sri Kresna (titisan Wishnu) memberi wejangan kepada Sang Arjuna dalam perang Bharatayuda. Akan tetapi, semua ajaran dan filsafat yang baik hanya dapat memasuki sanubari orang yang hatinya terbuka untuk kebajikan. Hati Wirokolo sama sekali tertutup oleh nafsu-nafsu duniawi yang menggelora sehingga kesadarannya terselimut oleh uap hitam yang timbul dari hawa nafsu, membuat mata sadarnya sementara menjadi buta akan kebenaran. Ia tertawa bergelak penuh ejekan, lalu berkata,

"Apapun yang kau katakan, Airlangga, takkan dapat menahan kehendakku membunuhmu. Hendak kulihat apakah engkau mampu mengelakkan diri daripada mati di tanganku, huah-hah-hah!"

"Sesukamulah, Wirokolo. Aku sudah memperingatkanmu !"

Wirokolo kemudian menggunakan sepasang tombaknya. Karena ia maklum bahwa pertapa tua yang duduk bersila itu adalah Sang Prabu Airlangga yang amat sakti. Dahulupun rajanya yang terkenal sakti, Sang Prabu Boko, tak sanggup melawan, maka kini ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ajinya. Sebelum menerjang maju, ia berkemak- kemik membaca mantera dan muncullah bayangan nenek tinggi besar yang tadi muncul dan kemudian mundur karena dikalahkan Empu Bharodo.

Nenek Calon Arang itu tampak bayangannya di belakang Wirokolo! Ketika Wirokolo menggereng, tidak hanya kedua telapak tangannya yang membara, bahkan mulutnya seakan-akan mengeluarkan api bernyala dahsyat, matanya mencorong seperti ada api di dalamnya. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

"Iblis jahat! Biar aku mengadu nyawa denganmu!"

Bentakan ini keluar dari mulut Joko Wandiro yang sudah meloncat maju sambil menggerakkan sepasang goloknya. Hati anak ini tidak dapat menahan lagi menyaksikan sikap Wirokolo yang dahsyat itu. Ia merasa ngeri membayangkan betapa pertapa bekas raja itu sama sekali tidak melawan menghadapi ancaman yang begitu buasnya. Maka tanpa berpikir panjang lagi, mengikuti getar hatinya, ia sudah meloncat dan menerjang Wirokolo dengan sepasang goloknya.

"Joko..... !"

Resi Bhargowo berteriak, namun terlambat karena anak itu sudah menggerakkan tubuh dan goloknya, bagaikan seekor harimau muda menerjang Wirokolo dengan kecepatan mengagumkan. Wirokolo sama sekali tidak menduga bahwa dirinya akan diserang seorang anak-anak, menjadi terheran-heran dan hanya memandang dengan mata terbelalak.

"Werr... werr....! Trangg..... trangg...!!"

"Heh-heh-heh!"

Wirokolo tertawa dan sekali lengannya bergerak, tubuh Joko Wandiro terlempar dan roboh bergulingan, pingsan! Tadi sepasang golok anak ini dengan tepat mengenai sasaran, yaitu di dada dan pundak. Akan tetapi, sepasang golok itu membalik seperti menghantam baja saja ketika bertemu dengan tubuh Wirokolo yang kebal, dan sekali raksasa itu menampar, Joko Wandiro terlempar dan pingsan.

"Huah-hah, Airlangga, setelah kehabisan jago tidak malukah engkau mengajukan seorang bocah? Nah, terimalah kematianmu!"

Tubuh yang tinggi besar itu kini menerjang maju, sepasang tombaknya diputar-putar. Akan tetapi Sang Resi Jatinendra sama sekali tidak bergerak, hanya memandang dengan senyum menghias bibir dan masih duduk bersila di atas batu.

"Wuuuuttt.... Desssss!!"

Bunga api berhamburan ketika batu yang diduduki Resi Jatinendra pecah ujungnya, dihantam tombak pendek di tangan kanan Wirokolo. Akan tetapi anehnya, Resi Jatinendra masih duduk bersila di situ sambil tersenyum, seujung rambutpun tidak bergeming, apalagi terluka, tombak itu tadi kelihatan tepat mengenai dada pertapa bekas raja ini!

Sejenak Wirokolo terbelalak kaget, akan tetapi ia menjadi makin marah dan penasaran. Ia sama sekali tidak merasa betapa bayangan nenek mengerikan Calon Arang di belakangnya mundur-mundur ketakutan satelah dekat dengan sang pertapa. Selagi Wirokolo melangkah mundur lalu mengambil ancang-ancang untuk menerjang lebih hebat lagi, tiba-tiba menyambar angin keras dari samping, dibarengi bentakan nyaring, "Bedebah Wirokolo, pergilah!!"

cerita silat online karya kho ping hoo

Angin itu menyambar datang, lalu tampak kaki tangan orang bergerak menerjang Wirokolo! Raksasa itu berusaha menangkis dan melawan, namun sia-sia belaka. Tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat seperti daun kering ditiup angin, terlempar sampai sepuluh meter jauhnya dan jatuh berdebuk seperti batang pohon pisang tumbang!

Ketika raksasa yang sejenak merasa nanar kepalanya itu merangkak bangun sambil menyumpah-nyumpah marah lalu memandang, kiranya yang menyambar dan menghantamnya seperti terjangan Sang Haryo Werkudoro itu bukan lain adalah Ki Patih Narotama!.

"Si keparat Wirokolo! Berani engkau mengganggu junjunganku? Hayo majulah dan kerahkan semua kedigdayaanmu. Inilah musuh lamamu, akulah tandingmu!"

Wirokolo merasa ngeri. Bertahun-tahun yang lalu, ia sudah merasai betapa keras pukulan tangan Ki Patih Narotama! betapa cepat tendangan kakinya. Bahkan kakak seperguruannya sendiri, Dibyo Mamangkoro yang lebih sakti, setelah mengerahkan semua kedigdayaannya dan bertanding yuda melawan patih ini, akhirnya harus mengakui keunggulan ki patih. Dan melihat akibat terjangan ki patih tadi, yang mampu melemparkan ia sampai jauh, membuktikan bahwa selama ini ilmu kesaktian ki patih juga maju pesat.

"Cukuplah, kakang Narotama! Jika engkau membalas kekerasan dengan kekerasan pula, akan berlarut-larut jadinya."

Suara ini diucapkan oleh Resi Jatinendra, dan Ki Patih Narotama merasa seakan-akan kepalanya disiram air wayu yang dingin. Ia segera sadar betapa ia berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang seperti Sang Werkudoro di depan junjungannya yang masih duduk bersila, maka cepat-cepat ia mengebutkan ujung kakinya, lalu duduk bersimpuh penuh hormat.

"Mohon maaf, yayi (adinda) prabu tidak kuat hati hamba menyaksikan kesombongan Wirokolo."

Pada saat itu, Joko Wandiro sudah siuman dari pingsannya. Ia lalu meraih sepasang goloknya yang terlepas dekat disitu lalu bersila lagi, terheran-heran betapa kakek yang dikenalnya sebagai Ki Patih Narotama yang sakti, kini sudah bersimpuh menghadap Sang Prabu Jatinendra.

Sementara itu Wirokolo yang gentar menghadapi Ki Patih Narotama, lalu bangkit dan mengamang-amangkan sepasang tombaknya, lalu berkata dengan penuh geram, "Airlangga dan Narotama! Sekarang kalian boleh tertawa-tawa atas kemenangan kalian. Akan tetapi awas, kelak akan datang saatnya kami membalas dendam! Kami akan selalu berusaha agar Kahuripan menjadi ajang perang saudara, sehingga terkutuklah semua keturunanmu sampai terbasmi habis. Huah-hah-hah!" Suara ketawa manusia iblis ini masih terdengar dari jauh biarpun orangnya sudah lenyap tak tampak lagi.

"Kakang Narotama, apakah yang menyebabkan kakang datang menemui aku? Bukankah engkau amat dibutuhkan di kota raja, kakang?"

"Duhai gusti junjungan hamba! Yayi prabu.... hamba datang membawa berita buruk. Kalau paduka tidak lekas datang ke istana dan melerai, agaknya akan terjadilah apa yang dikatakan Wirokolo tadi. Pertentangan antara Gusti Pangeran Sepuh dan Gusti Pangeran Anom tak dapat hamba cegah lagi, perang saudara sudah meletus secara terbuka. Duh yayi prabu, tegakah hati paduka membiarkan perang dan bunuh-membunuh antar keluarga?"

Resi Jatinendra mengerutkan kening memejamkan mata, lalu meraba dadanya sambil menarik napas panjang. "Duhai Dewata yang berwenang menguasai jagad raya! Sudah mulaikah malapetaka yang didahului lenyapnya pusaka Mataram dan terpisahnya keris dari warangkanya?"

Sejenak pertapa ini menundukkan mukanya, kemudian berkata kepada Ki Patih Narotama, "Wahai kakang Narotama, sampai sedemikian rupakah mereka berlomba memperebutkan kekuasaan, memperebutkan kedudukan selagi aku masih hidup?" Di dalam ucapan ini terkandung rasa duka.

"Gusti junjungan hamba. Sekali-kali bukan hamba berat sebelah atau memihak. Akan tetapi menurut pendapat hamba, Gusti Pangeran Anom yang berusaha mempergunakan kekerasan untuk merampas kekuasaan dari rakandanya. Banyak tokoh-tokoh sakti yang menyeleweng daripada kebenaran dipergunakan tenaganya oleh Gusti Pangeran Anom. Betapapun juga, andaikata perang berlarut-larut, hamba terpaksa memihak kepada Gusti Pangeran Sepuh, hanya karena mereka itu menjadi kaki tangan Gusti Pangeran Anom."

"Hemm, sampai sedemikian hebat? Kakang Narotama, tentu saja aku takkan membiarkan darah mengalir di antara mereka. Akan tetapi, kakang. Sungguh kecewa hatiku mendengar pelaporanmu dan mendapat kenyataan bahwa engkau masih memihak seorang di antara mereka. Kalau engkau tidak berada di atas keduanya dan memihak, tentu akan lebih hebat kesudahannya, kakang. Apakah kau menghendaki aku turun tangan pula membantu Pangeran Anom?"

"Duhai, yayi prabu..... bukan begitu maksud hamba..... "

Sang resi tersenyum pahit. "Kalau kau yang maju dalam medan yuda, kakang Narotama, siapa lagi yang akan menjadi lawanmu? Tentu keadaan menjadi berat sebelah dan agaknya baru akan seimbang kalau aku maju pula menjadi lawanmu agar seimbang dan adil."

"Ampun, yayi prabu...!"

"Kakang, ingatlah bahwa apapun yang terjadi, mereka itu keduanya adalah puteraku, keduanya adalah darah keturunanku. Oleh karena itu, berjanjilah bahwa sejak detik ini, engkau tidak akan turun tangan mencampuri pertikaian mereka, tidak akan turun tangan memusuhi seorang di antara putera-puteraku, ialah keponakan-keponakanmu sendiri."

"Hamba berjanji!" jawab Ki Patih Narotama, suaranya gemetar.

"Dan berjanji bahwa setelah aku tidak berada lagi di sini, kau tetap tidak akan turun tangan memusuhi seorang di antara putera-puteraku, kakang Narotama?"

"Hamba berjanji!"

"Nah, puaslah hatiku, kakang. Sekarang aku hendak datang sendiri ke istana untuk menghentikan keributan yang tiada guna itu. Kau tidak perlu ikut, kakang, karena aku tidak akan memerlukan bantuan kekerasan. Biarlah kedua kakang Empu Bharodo dan Resi Bhargowo menyertaiku."

Setelah berkata demikian, Resi Jatinendra atau Resi Gentayu itu memberi isyarat kepada dua orang pertapa yang segera bangkit berdiri, siap mengikuti perjalanan junjungan itu ke kota raja. Joko Wandiro cepat bangkit pula hendak mengikuti eyang gurunya, akan tetapi Resi Bhargowo segera melarangnya sambil berkata, "Joko Wandiro, engkau tinggallah di sini bersama gusti patih yang tentu akan sudi memberi petunjuk-petunjuk kepadamu. Perjalanan eyangmu mengantar sang agung Resi Jatinendra ke medan yuda takkan makan waktu terlalu lama."

Joko Wandiro menjadi kecewa sekali. Bukankah menurut Ki Tejoranu, sangat boleh jadi ayahnya berada pula di kota raja, ikut dalam perang? Akan tetapi, ia tidak berani membantah, apalagi ia amat takut kepada Resi Jatinendra yang bersikap agung dan penuh wibawa itu. Maka ia lalu bersimpuh kembali, menundukkan mukanya. Tiba-tiba Resi Jatinendra menahan langkahnya, menoleh ke arah Joko Wandiro, memandang sejenak, lalu berkatalah sang resi kepada Resi Bhargowo,

"Inikah cucumu, kakang Resi Bhargowo?"

"Betul, Joko Wandiro ini adalah cucu murid hamba, adi resi."

"Bagian apakah yang diterimanya? Keris ataukah warangka?"

"Dia mendapatkan warangkanya, patung kencana."

Resi Jatinendra mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. "Heh, orang muda! Sudah kau sembunyikan patung kencana itu?" Tiba-tiba sang resi bertanya.

Joko Wandiro mengangkat muka lalu menyembah. "Sudah, eyang."

"Bagus! Kakang Narotama, anak ini tadi sudah membuktikan kebulatan hatinya untuk menentang kejahatan. Hanya dia inilah yang kelak boleh kita harapkan. Engkau sudah sepatutnya mendidiknya, kakang."

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Sang Resi Jatinendra meninggalkan tempat itu, diikuti dari belakang oleh Empu Bharodo dan Resi Bhargowo. Setelah tiga orang kakek itu pergi, Narotama patih sakti itu memandang penuh perhatian kepada Joko Wandiro, wajahnya berseri ketika ia mengingat kembali ucapan Sang Resi Jatinendra junjungannya yang ia cinta seperti saudara kandung sendiri.

"Anak muda, apakah namamu Joko Wandiro?" Kemudian ia bertanya sambil menatap wajah yang menunduk itu.

"Betul sekali, gusti patih," jawab Joko Wandiro penuh hormat.

Ki Patih Narotama tercengang. "Heh? Engkau sudah tahu siapa aku?"

Joko Wandiro menyembah. "Hamba sudah tahu bahwa paduka adalah Gusti Patih Kanuruhan, juga disebut Gusti Patih Narotama."

"Joko Wandiro, pernahkan kita saling berjumpa?"

"Penah, gusti. Akan tetapi paduka tidak melihat hamba, yaitu ketika paduka bertanding dikeroyok oleh Cekel Aksomolo dan teman-temannya, karena hamba bersembunyi di atas pohon."

"Hemm.... hemmm...."

Narotama mengelus-elus jenggotnya "Mereka mengeroyokku dekat muara Sungai Lorog. Joko Wandiro, katanya engkau cucu murid Resi Bhargowo. Siapakah gurumu?"

"Guru hamba adalah ayah hamba sendiri yang bernama Pujo, yang dahulu datang membantu paduka dalam pertandingan."

"Aaaaahh.....?"

Narotama makin tertarik dan mengelus-elus jenggotnya, keningnya berkerut. Tepat sekali, pikirnya. Anak ini berdarah satria. Dipandang sekelebatan saja sudah nampak bakatnya menjadi satria perkasa. Dan terutama sekali, Sang Resi Jatinendra sendiri yang tentu saja awas paningal itu telah memujinya. Lebih-lebih lagi, anak ini agaknya menyimpan pusaka Mataram, patung kencana Sri Bathara Wishnu! Dia tadi telah berjanji takkan turun tangan mencampuri urusan antara para pangeran.

Hemm.... betapapun juga, junjungannya tak dapat melupakan kasih sayang terhadap putera, maklum bahwa kalau dia turun tangan, tentu ada puteranya yang menjadi korban. Akan tetapi, bagaimana kalau Pangeran Anom yang ia tahu benar mengadakan hubungan dan dibujuk-bujuk kakeknya, Maha Raja Sriwijaya untuk merebut kedudukan di Kahuripan? Dan Pangeran Anom yang ibunya seorang puteri Sriwijaya itu mempergunakan tokoh-tokoh bekas musuh Sang Prabu Airlangga! Bagaimana ia dapat mendiamkan saja kalau kelak Pangeran Anom membuat gara-gara? Akan tetapi ia telah berjanji kepada junjungannya dan ia maklum bahwa lebih baik ia mati daripada melanggar janjinya itu. "Engkau sudah sepatutnya mendidiknya, kakang."

Demikian ucapan Sang Resi Jatinendra tadi ketika hendak pergi. Narotama tersenyum. Betapapun juga ia hampir lupa akan kebijaksanaan junjungannya itu. Kini mengertilah dia. Sang Resi Jatinendra tidak menghendaki ia kelak turun tangan ikut berperang saudara, karena sang resi menganggap ia kakak sendiri, berarti paman putera-puteranya! Tentu saja tidak rela hati Sang Resi Jatinendra kalau Narotama ikut berperang antar saudara.

Dan tadi junjungannya telah memberi jalan keluar, yaitu dengan jalan menurunkan kepandaian kepada seorang murid yang tepat! Seorang murid yang kelak dapat menggantikannya menggunakan kepandaian untuk menjamin ketentraman kerajaan, membela yang benar menghancurkan yang salah, siapapun adanya yang benar atau yang salah itu. Menjadi penggantinya membela kebenaran dan keadilan, karena dia sendiri tidak mungkin dapat turun tangan, terbelenggu oleh janjinya tadi!

"Joko Wandiro, maukah engkau menjadi muridku?"

Saking heran, kaget dan juga girang Joko Wandiro mengangkat muka dan memandang dengan sepasang matanya yang bersinar-sinar. Ia tadi sudah menyaksikan betapa hebat sepak terjang ki patih yang sakti, bahkan dahulu pernah pula menikmati kesaktian kakek ini dikeroyok oleh tokoh-tokoh pandai. Tentu saja ia suka sekali menjadi murid Ki Patih Narotama yang menurut kabar adalah seorang yang paling sakti di Kahuripan, kecuali Sang Prabu Airlangga sendiri tentunya. Maka cepat-cepat ia menyembah.

"Hamba suka sekali, gusti patih....."

"Bagus, dan mulai sekarang jangan menyebut gusti patih kepadaku, melainkan bapa guru. Sekarang jawablah, apakah engkau tadi menyaksikan segala peristiwa yang terjadi di sini?"

Joko Wandiro mengangguk. Ki Patih Narotama bermaksud mengambil murid Joko Wandiro hanya dengan satu tujuan, yaitu agar kelak ia mempunyai wakil penjaga keselamatan Kerajaan Kahuripan yang ia cinta, agar ia dapat mewakilkan muridnya untuk mempertahankan kebenaran dan keadilan di Kahuripan tanpa dia sendiri turun tangan. Maka ia ingin agar anak yang menjadi muridnya ini mengerti benar akan keadaan di Kerajaan Kahuripan, mengenal pula musuh-musuh Sang Prabu Airlangga yang amat banyak dan amat sakti, di antaranya Wirokolo tadi.

"Mengertikah engkau akan segala peristiwa yang terjadi tadi, muridku? Kalau ada yang belum kau mengerti, sekarang juga kau boleh bertanya dan aku akan memberi penjelasan."

Berkata demikian, Narotama lalu duduk di atas batu di depan Joko Wandiro. Girang hati anak ini. Tidak saja ia diterima menjadi murid kakek sakti mandraguna ini, juga ia mendapat kenyataan bahwa gurunya ini amat peramah dan sabar. Maka ia lalu segera mengajukan pertanyaan tentang peristiwa yang amat mengesankan hatinya tadi.

"Bapa guru, sebelum manusia iblis Wirokolo tadi muncul, terjadi peristiwa aneh sekali. Serombongan kelelawar yang jumlahnya beribu-ribu datang menyerang ke sini, disambut ribuan burung sriti yang mengalahkan dan mengusir mereka. Bagaimana hal itu bisa terjadi, bapa guru?"

"Hal itu terjadi karena aji yang disebut Panji Satwo. Aji ini adalah aji penakluk segala macam binatang. Akan tetapi seperti juga semua ilmu di dunia ini, bisa dihitamkan atau diputihkan oleh pelakunya. Segala aji di dunia ini bisa menjadi ilmu yang baik, bisa juga buruk, tergantung dari si manusia sendiri. Wirokolo menggunakan Aji Panji Satwo untuk melakukan hal-hal keji, maka ia memilih rombongan kelelawar untuk menyesuaikan diri. Di lain pihak, kakang Empu Bharodo juga menggunakan aji itu dan barisannya adalah burung-burung sriti yang memang bersarang di dalam gua. Pilihan tepat untuk mengusir kelelawar itu."

Joko Wandiro merasa kagum, juga bangga. "Bapa guru, sesudah kelelawar-kelelawar itu dikalahkan dan pergi, lalu muncul nenek mengerikan yang mengeluarkan lidah api. Hamba pukul dan serang dia dengan golok, namun pukulan dan bacokan hamba tembus saja, seakan-akan tubuhnya hanya bayangan. Siapakah dia itu, bapa guru, dan mengapa setelah disambit puspa (bunga) oleh eyang Empu Bharodo, dia lenyap?"

"Aahhh, sungguh keji si Wirokolo." Kakek sakti itu menghela napas. "Untung ada kakang Empu Bharodo yang ahli dalam hal ilmu sihir. Kalau tidak kedigdayaan saja akan sukar mengalahkan Wirokolo. Ketahuilah, muridku. Nenek itu adalah iblis ciptaan ilmu hitam Calon Arang yang amat keji, juga amat dahsyat sukar dikalahkan. Kalau si Wirokolo sudah memiliki ilmu macam itu, sungguh ia merupakan manusia iblis yang berbahaya dan sudah selayaknya dibasmi. Sayang bahwa junjungan kita tadi melarang, kalau tidak, tentu sudah kubinasakan si jahat Wirokolo."

"Siapakah dia itu, bapa guru? Dan mengapa dia memusuhi Sang Prabu Airlangga ? "

"Dia seorang bekas senopati Kerajaan Wengker yang dahulu dikalahkan oleh tentara Kahuripan. Agaknya ia masih mendendam dan hendak menuntut balas."

Kemudian Ki Patih Narotama menyuruh muridnya memperlihatkan semua ilmu yang pernah dipelajarinya, dan mulailah ia memberi petunjuk-petunjuk yang didengarkan oleh Joko Wandiro penuh perhatian. Mulailah Joko Wandiro menerima gemblengan dari kakek sakti ini dan dari permulaannya, anak ini sudah dapat melihat bahwa gemblengan dari kakek sakti ini, dan dari permulaannya, anak ini sudah dapat melihat bahwa gemblengan ini jauh bedanya dengan gemblengan-gemblengan yang pernah ia terima, dapat mengerti bahwa gurunya ini memiliki ilmu kesaktian yang amat hebat. Maka iapun amat tekun mengikuti pelajaran yang diberikan Ki Patih Narotama.

*******************


"Serbuuuuuu....! Hantam..... !!"

"Gempurr.....! Bunuh....!! Hidup Pangeran Anom...!!"

"Hayo maju.....! Habiskan antek antek Sriwijaya! Hidup Pangeran Sepuh....!!"

Teriak pekik menggegap-gempita. Debu mengebul tinggi menggelapkan udara. Kilatan keris, tombak, kelewang dan senjata-senjata lain menyilaukan mata. Derap kaki dan ringkik kuda menambah gaduh. Perang campuh terjadilah. Perang saudara antara pasukan-pasukan Pangeran Sepuh dan pasukan-pasukan Pangeran Anom! Kalau di waktu-waktu yang lalu hanya terjadi bentrokan-bentrokan kecil, pelototan mata dan saling melontarkan sindir ejek, kini meledaklah perang yang sekian lama ditekan-tekan.

Perang terbuka antar pasukan. Bertempat di alun-alun, dimana biasanya hanya dipergunakan untuk latihan-latihan perang. Darah mulai muncrat, mayat mulai berserakan, pekik kemarahan bercampur dengan jerit kesakitan, diseling sorak-sorai dan tangis. Udara makin gelap. Perang campuh yang liar, buas, dan kacau-balau. Amat sukar membedakan mana kawan mana lawan dalam perang campuh seperti itu. Apalagi banyak diantara mereka yang serupa pakaiannya, bahkan banyak yang dahulunya menjadi kawan kini menjadi lawan karena yang seorang berpihak Pangeran Sepuh, yang lain berpihak Pangeran Anom.

Riuh rendah suara mereka yang beryuda. Keris-keris pusaka yang biasanya hanya diberi "makan" kembang menyan pada hari-hari baik, kini dihunus dari warangka dan diberi kesempatan sebanyaknya untuk berpuas-puasan minum darah manusia yang masih segar dan panas! Banyak golok dan kelewang menyambar-nyambar, bacok-membacok, tusuk-menusuk. Tombak-tombak berluncuran mencari sasaran perut yang lunak. Ada pula yang sudah kehilangan pedang dan tameng (perisai), bergulat mengandalkan kaki tangan, saling hantam, saling tendang, bahkan ada yang dalam keadaan darurat tidak segan-segan menggunakan gigi menggigit. Hebat dan dahsyat perang itu. Keris mencari jantung, tombak mencari usus, golok menyambar leher, ruyung mencari otak!

"Kawan-kawan, maju terus....!! Habiskan lawan, hancur-leburkan anak buah Pangeran Sepuh yang khianat....!!!"

Teriakan nyaring ini mengatasi semua kegaduhan dan jelas bukan keluar dari mulut orang sembarangan. Orang yang dapat mengeluarkan teriakan sehebat itu tentulah memiliki ilmu kesaktian tinggi. Dan memang benar. Teriakan ini keluar dari mulut seorang laki-laki gagah perkasa, menunggang seekor kuda putih, bersenjatakan sebatang tombak yang bergagang panjang. Mata tombak yang berkilauan dan mengeluarkan cahaya kehijauan itu menandakan bahwa tombak itu adalah sebuah pusaka ampuh yang mengandung bisa maut. Melihat dia menunggang seekor kuda besar dan garang, pula melihat pakaiannya yang mentereng, mudah dimengerti bahwa laki-laki gagah itu tentulah seorang panglima Pangeran Anom, apalagi teriakannya jelas menyatakan fihak mana yang ia bela.

Siapakah panglima ini? Bukan lain dia adalah Joko Wanengpati! Setelah mengalami kekalahan di Kadipaten Selopenangkep, takut menghadapi Pujo dan Kartikosari yang dibantu oleh Roro Luhito dan bahkan kemudian oleh Resi Telomoyo, Jokowanengpati cepat melarikan diri kembali ke kota raja. Ia langsung menghadap junjungannya, yaitu Pangeran Anom, menceritakan bahwa Kadipaten Selopenangkep yang telah dikuasainya itu direbut kembali oleh Pujo dan kawan-kawannya.

"Tidak salah lagi, gusti pangeran! Pujo dan kawan-kawannya tentulah menjadi kaki tangan Pangeran Sepuh. Hamba tidak dapat menahan mereka oleh karena pasukan mereka jauh lebih kuat, pula hamba tidak mempunyai pembantu. Apabila paduka mengijinkan, biarlah hamba kembali ke sana membawa pasukan besar dan hamba akan mohon bantuan bibi Nogogini dan bibi Durgogini. Akan hamba seret semua pengkhianat itu ke bawah kaki paduka!"

Akan tetapi Pangeran Anom mempunyai rencana lain. Urusan perebutan Kadipaten Selopenangkep tidaklah begitu penting, karena hal itu dilakukan hanya untuk memberi hukuman kepada keluarga Wisangjiwo yang menyeberang kepada Pangeran Sepuh!

"Jokowanengpati, urusan di Selopenangkep itu cukuplah, karena aku sudah puas mendengar kau berhasil membasmi keluarga Adipati Joyowiseso. Kiranya hukuman itu sudah cukup untuk membuka mata Wisangjiwo si pengkhianat. Sekarang kita harus memusatkan tenaga di sini karena saatnya sudah cukup masak untuk memperlihatkan kekuatan kita disini. Kau pergilah menemui kedua bibimu itu, juga paman Cekel Aksomolo dan yang lain-lain, suruh mereka menghadap malam ini untuk berunding."

Persiapan yang diadakan Pangeran Anom untuk meledakkan perang saudara itu diatur sampai berbulan-bulan. Makin lama suasana makin tegang. Kedua pihak saling mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan masing-masing. Hanya karena mengingat bahwa Sang Prabu Airlangga masih hidup saja yang membuat perang terbuka masih selalu tertekan dan tertunda. Di samping itu, selalu ada Ki Patih Narotama yang berusaha sekuat tenaga mempergunakan pengaruh dan kekuasaannya untuk mencegah segala macam pertentangan yang terjadi di kota raja.

Baik pihak pasukan Pangeran Sepuh maupun Pangeran Anom, tidak berani berkutik kalau ki patih muncul melerai pertikaian yang timbul di antara mereka. Tentu saja persiapan-persiapan kedua pihak yang makin menghebat dan makin menegangkan hati ini tak terlepas dari pandang mata Ki Patih Narotama yang amat waspada. Ia merasa prihatin sekali dan diam-diam di luar tahu para senopati dan punggawa keraton lainnya, ia menemui kedua pangeran itu. Pertama-tama ia menemui Pangeran Sepuh dan dengan cara halus menyatakan ke khawatirannya dan tidak persetujuannya akan persiapan-persiapan perang itu. Pangeran Sepuh mengerutkan keningnya dan menjawab,

"Paman patih, apakah paman mengira bahwa saya suka akan perang saudara? Akan tetapi sebagai saudara tua, tentu saja saya tidak sudi diperhina oleh saudara muda. Ramanda prabu mengundurkan diri pergi bertapa. Tugas pemerintahan memang diwakilkan kepada paman, akan tetapi untuk urusan dalam istana, sudah sepatutnya kalau saya sebagai putera tertua mewakili ramanda prabu. Kalau saudara muda saya hendak memberontak merampas kekuasaan, sayalah yang wajib memberi hajaran kepadanya!"

Ki Patih Narotama hanya menghela napas panjang. Ia maklum bahwa kesalahan memang diperbuat oleh Pangeran Anom, maka ia tidak membantah atau menyalahkan Pangeran Tua. Dengan pengharapan akan dapat memberi nasehat dan peringatan kepada Pangeran Anom Ki Patih Narotama pergi menghadap Pangeran Anom. Akan tetapi di sini ia malah penerima jawaban yang menyakitkan hati.

"Engkau hanya seorang patih, paman! Perlu apa mencampuri pertikaian antar saudara? Sudah jelas bahwa setelah rama prabu pergi bertapa, Pangeran Sepuh menjadi sombong dan mengagulkan diri sebagai putera sulung, seakan-akan rama prabu sudah seda (mati) dan dia yang menggantikan menjadi raja! Huh, kalau memang dia hendak menjadi raja mendasarkan kekerasan, akupun bisa berbuat serupa! Tinggal engkau pilih, paman patih, engkau membela Pangeran Sepuh, ataukah membantu aku!"'

Hati Ki Patih Narotama menjadi panas karena marah, namun ia menekan perasaannya dan berkata sabar, "Hamba adalah pepatih dalam rama paduka, oleh karena itu pula hanya sabda rama paduka yang akan hamba taati. Kalau paduka dan Gusti Pangeran Sepuh tidak suka mendengar nasehat orang tua, biarlah hamba pergi menghadap rama paduka dan mohon keputusan."

Demikianlah Ki Patih Narotama lalu pergi meninggalkan keraton menuju ke pertapaan Jalatunda seperti yang telah diceritakan di depan. Sepergi ki patih permusuhan semakin menghebat karena diantara para pasukan tidak ada lagi yang ditakuti. Pada saat tegang ituiah datangnya Wisangjiwo, Pujo, Kartikosari, Roro Luhito dan Resi Telomoyo, menghadap Pangeran Sepuh yang diterima dengan hati girang.

Akhirnya perang saudara pecah dan perang tanding mati-matian itu terjadi di alun-alun! Kedua pihak sama kuat, karena mereka itupun mendapatkan latihan perang yang sama pula. Makin lama perang campuh makin menghebat karena kedua fihak selalu mendapat tambahan bantuan. Ketika Jokowanengpati yang menunggang kuda putih muncul di medan yuda memberi semangat kepada para pasukan, sepak terjangnya bukan main hebatnya.

Tombaknya menyambar-nyambar dan kemana saja kudanya melompat, tentu beberapa orang perajurit pasukan Pangeran Sepuh roboh bergelimpangan. Ada yang tertombak perutnya sampai ususnya terurai keluar, atau kepalanya pecah karena hantaman gagang tombak, ada pula yang terinjak-injak kuda putih! Pendeknya, di mana kuda putih yang ditunggangi Jokowanengpati tiba, tentu terjadi geger. Tak seorangpun perajurit atau perwira sanggup menanggulangi sepak terjang Jokowanengpati.

Berita yang menggemparkan para perajurit Pangeran Sepuh ini terdengar oleh Wisangjiwo yang menyertai para senopati Pangeran Sepuh. Mendengar akan majunya Jokowanengpati ke medan yuda, Wisangjiwo menjadi marah sekali. Itulah musuh besarnya dan mendengar namanya saja sudah membuat dada serasa meledak. Sambil berkerot gigi, Wisangjiwo menyambar tombak dan melompat ke atas kudanya, langsung menyerbu ke medan yuda, mencari-cari di mana adanya musuh besar itu. Akhirnya ia melihat Jokowanengpati di ujung selatan. Dikepraknya kuda tunggangannya dan dengan kemarahan meluap-luap ia membalapkan kuda menghampiri musuhnya.

Dua ekor kuda berhadapan muka. Dua orang musuh beradu pandang penuh kebencian. Sejenak mereka hanya saling pandang seakan-akan dua ekor jago mengukur keadaan lawan. Para perajurit cepat-cepat mundur untuk memberi kesempatan kepada dua jagoan mereka bertanding. Demikian tegang keadaannya sehingga beberapa orang perajurit kedua fihak sampai sejenak lupa berperang dan menjadi penonton!

"Si bedebah Jokowanengpati!" Akhirnya dengan dada terengah-engah saking marahnya Wisangjiwo menudingkan telunjuk kirinya sambil mengempit tombak di ketiak kanan. "Engkau manusia berhati iblis, mencemarkan namaku dengan perbuatan terkutuk! Engkau telah menodai keluarga kami, dan akhirnya engkau telah menyerbu Selopenangkep melukai ayah, membunuh ibu dan sekeluarga! Aku bersumpah akan mengadu nyawa denganmu, keparat!"

"Babo-babo!! Wisangjiwo, kau manusia khianat! Urusan yang lain bukanlah urusanmu! Tentang keluargamu di Selopenangkep, mereka itu menjadi korban pengkhianatanmu sendiri sehingga menerima hukuman dari Gusti Pangeran Anom. Manusia tak tahu malu, tentang urusan wanita, engkau melebihi aku, mengapa banyak cerewet? Engkau bersumpah ingin mampus di tanganku? Mudah, sobat. Majulah, ha-ha-ha!"

Wisangjiwo tak dapat mengeluarkan kata-kata lagi. Dadanya terlalu panas sampai-sampai lehernya serasa tercekik. Dengan penuh kegeraman ia lalu menendang perut kudanya yang melonjak ke depan sambil memutar tombak dan menyerang dengan tusukan kilat. Jokowanengpati sudah siap dan menangkis.

"Traaangggg ........ !!"

Bunga api berpijar ketika dua senjata itu bertemu. Segera keduanya terlibat dalam perang tanding mati-matian. Keduanya sama cekatan, sama kuat dan sama pandai dalam seni tempur di atas kuda menggunakan lembing. Para perajurit yang menjadi penonton bersorak-sorak memberi semangat kepada jago masing-masing.

Di bagian lain dalam perang campuh itu, tampak orang-orang sakti yang membantu Pangeran Anom ikut pula memperlihatkan jasa mereka. Cekel Aksomolo sebetulnya merasa sungkan untuk berperang melawan perajurit-perajurit biasa yang sama sekali bukanlah lawannya. Demikian pula Ki Warok Gendroyono dan Ki Krendoyakso. Akan tetapi anak buah Ki Krendoyakso yang jumlahnya seratus orang lebih itu tanpa menanti komando lagi sudah berpesta-pora dalam perang. Mereka adalah perampok-perampok yang liar dan ganas, tentu saja berperang dan membunuh orang merupakan kegemaran mereka!

Ni Nogogini dan Ni Durgogini juga berada di situ, akan tetapi dua orang wanita sakti itu kini bertugas menjaga keselamatan Pangeran Anom yang menunggang seekor kuda kemerahan dan berdiri dari tempat tinggi menonton perang. Keselamatan sang pangeran ini tentu saja penting, maka tugas menjamin keselamatannya diserahkan kepada dua orang wanita sakti itu. Hal ini menggembirakan hati Ni Durgogini dan Ni Nogogini, karena seperti juga yang lain- lain, mereka merasa tak senang harus bertanding melawan orang-orang yang tidak berarti!

Ketika dari dalam barisan Pangeran Sepuh muncul Pujo, Kartikosari, Roro Luhito, dan Resi Telomoyo yang mengamuk seperti badai mengganas, barulah timbul kegembiraan di hati Cekel Aksomolo dan teman-temannya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian silat dan kesaktian, belum pernah belajar seni yuda di atas kuda, maka mereka ini maju bertanding dengan berloncatan ke sana ke mari seperti burung-burung menyambar.

"Heh-heh-hu-huhh! Munyuk monyet mendem (mabok)! Sungguh menggembirakan sekali dapat bertemu denganmu di sini. Resi Telomoyo munyuk monyet lutung keparat, sekarang kau takkan dapat melarikan diri lagi!"

Cekel Aksomolo segera menyambut amukan Resi Telomoyo ini dengan ayunan tasbihnya. Resi Telomoyo sudah mengenal keampuhan tasbih Cekel Aksomolo, maka ia cepat mengelak lalu meloncat ke samping dan kakinya tahu-tahu sudah menyepak dari samping ke arah lambung kiri, cepat sekali.

Untung Cekel Aksomolo juga sudah mengenal gerakan cepat manusia seperti raja kera ini, maka ia dapat cepat mengelak, akan tetapi hampir saja lambungnya tercium tungkan (tumit) ngapal sehingga ia kaget sekali dan meloncat mundur.

"Ha-ha-ha! Lagi-lagi cekel bongkok, tua bangka kurus kering matanya juling sumbarnya seperti gonggongan anjing tapi tukmis (gila perempuan)! Ke mana-mana bertemu si cekel bongkok, betul-betul sial dangkalan!"

Cekel Aksomolo merasa kalah kalau harus berdebat atau saling ejek dengan kakek Resi Telomoyo, maka sambil menggereng marah ia lalu menerjang lagi sambil memutar senjatanya yang luar biasa. Di lain pihak, Resi Telomoyo juga tidak berani main-main lagi dan ia harus memusatkan perhatiannya dalam pertandingan ini kalau tidak mau mati konyol, karena memang lawannya itu biarpun tua renta dan bongkok, sesungguhnya memiliki kesaktian yang menggiriskan.

Sementara itu, Pujo dan kedua orang isterinya juga mulai terjun ke medan yuda. Melihat betapa Resi Telomoyo sudah mulai berhantam menghadapi Cekel Aksomolo, Pujo sambil menghantam ke depan dan menendang ke kanan kiri, berkata kepada Kartikosari dan Roro Luhito, "Kalian bantu paman resi! Aku akan mencari Jokowanengpati"

Setelah berseru demikian, ia membuka jalan darah, merobohkan beberapa orang perajurit musuh lalu menerjang terus ke tengah untuk mencari musuh besarnya. Kartikosari dan Roro Luhito tadi memang bersama Pujo terjun ke dalam medan perang dengan maksud hendak mencari musuh besar itu. Kini melihat Pujo menerjang maju seorang diri, diam-diam mereka ingin menyertainya. Akan tetapi, mereka berduapun maklum bahwa Cekel Aksomolo adalah seorang yang sakti mandraguna, maka meninggalkan Resi Telomoyo menghadapinya seorang diri, juga tidak baik.

"Kita terjang dia, habiskan sekarang, kemudian menyusul kangmas Pujo!" kata Kartikosari.

Roro Luhito mengangguk lalu mereka lari mendekati tempat di mana Resi Telomoyo dan Cekel Aksomolo sedang bertanding. Beberapa orang perajurit lawan yang menghalang jalan roboh oleh mereka sehingga para perajurit lain makin gentar dan cepat menjauhi dua orang puteri yang tandangnya (sepak terjangnya) seperti dua ekor singa betina itu. Melihat datangnya dua orang wanita ini, Resi Telomoyo girang dan berkata,

"Ha! Bagus kalian datang. Mari bantu aku, kita rencak (sikat bersama) cekel kal-kel yang berbau busuk ini!!"

"Wuuut...... singgg...... !! " Hampir saja kepala Resi Telomoyo kena disambar tasbih.

"Jebol polomu!!" Cekel Aksomolo berseru penuh kemarahan.

Namun Resi Telomoyo memiliki gerakan yang amat gesit. Dengan jalan membanting tubuh ke belakang lalu berjumpalitan sampai tiga kali ia dapat terhindar dari ancaman maut dan ketika ia berdiri kembali, kedua tangannya sudah menggenggam tanah. Melihat lawannya menerjang datang, ia memekik dan kedua tangannya bergerak ke depan. Kagetlah Cekel Aksomoio ketika tanah dan debu menyambar ke arah mukanya.

"Uuuuh, setan keparat, curang kau....... !" teriaknya dan terpaksa ia melompat mundur kebelakang sambil meramkan mata. Saat itu dipergunakan oleh Resi Telomoyo untuk membalas dengan serangan kilat. Kaki tangannya bergerak seperti mesin cepatnya mengirim serangan bertubi-tubi dan berganti-ganti.

Namun semua serangannya dapat digagalkan lawan yang cepat memutar tasbih membentuk payung melindungi dirinya. Ketika Kartikosari dan Roro Luhito hendak meloncat maju membantu Resi Telomoyo, dari dalam barisan musuh meloncat keluar pula dua orang laki-laki tinggi besar seperti raksasa. Mereka ini bukan lain adalah Ki Warok Cendroyono dan Ki Krendoyakso yang semenjak tadi menanti-nanti datangnya lawan tangguh ! .

Mereka juga enggan bertempur dengan perajurit-perajurit yang sama sekali bukan tandingan mereka. Ketika melihat Cekel Aksomolo menemukan tanding Resi Telomoyo yang sakti, mereka sudah gatal-gatal tangan hendak ikut bertanding. Kemudian mereka melihat sepak terjang dua orang wanita cantik yang luar biasa itu, yang gerakannya merobohkan perajurit-perajurit seperti orang membabat rumput saja. Ketika melihat bahwa dua orang wanita cantik itu teman Resi Telomoyo, maka keduanya tanpa diperintah lagi lalu melompat maju dan menyambut dengan teriakan garang,

"Hemmm, biasanya aku pantang melawan wanita! Akan tetapi kulihat engkau bukan wanita biasa, melainkan seorang perajurit gemblengan. Kau siapakah? Kalau mempunyai kepandaian, hayo maju dan lawanlah Warok Gendroyono! Kalau kau takut, lebih baik lekas-lekas mundur, di sini bukan tempat wanita berlagak!"

Mendengar kata-kata kasar itu, Kartikosari menudingkan kerisnya ke arah hidung Warok Gendroyono sambil membentak, "Warok celaka tak perlu menyombong! Sebentar lagi kau tentu mampus di tangan Kartikosari!"

Baru saja terhenti kata-kata itu, tubuh Kartikosari sudah mencelat ke depan dengan gerakan cepat laksana burung terbang dan ujung kerisnya sudah mengancam ulu hati lawan!

"Haaaiiitttl"

Warok Gendroyono terkejut sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa wanita ini sedemikian cepat gerakannya. Untung baginya, ketika terjun ke gelanggang pertempuran tadi ia sudah melolos kolor mautnya sehingga kini menghadapi serangan kilat yang sukar dielakkan itu ia dapat memutar kolornya untuk menangkis.

"Desssss......!!"

Kartikosari merasa betapa tangannya yang memegang keris tergetar oleh tangkisan kolor. Diam- diam ia kaget dan cepat melompat mundur. Kini keduanya saling pandang dan diam-diam mereka mengerti bahwa lawan di depan adalah orang yang tak boleh dipandang ringan, merupakan lawan yang kuat. Dari getaran ujung kolornya Warok Gendroyono juga maklum bahwa wanita ini tidak hanya memiliki kecepatan laksana burung srikatan, akan tetapi juga memiliki tenaga dahsyat yang digerakkan hawa sakti yang kuat.

BADAI LAUT SELATAN JILID 20