Pendekar Buta Jilid 22

Cerita silat karya kho ping hoo

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 22

Inilah wajah yang sering kali dia lihat di dalam mimpi, dan sekaligus hatinya jatuh. Kasih sayang dan keharuan memenuhi hatinya, membuat dua matanya tak dapat menahan lagi bertitiknya dua air mata. Mulutnya serasa kering, lehernya serasa tercekik dan jantung di dalam dada meloncat-loncat.

Nyonya itu juga seperti tercengang melihat Hui Kauw, keningnya berkerut mengingat-ingat karena ia merasa seperti pernah melihat wajah gadis ini. Hanya muka yang kehitaman itu membuat dia menjadi ragu-ragu karena seingatnya belum pernah dia mengenal seorang nona bermuka hitam seperti nona ini.

Melihat adanya The Sun dan Bhong Lo-koai yang sudah dikenalnya, ia segera menjura dengan hormat yang cepat dibalas oleh kedua orang tamu itu, kemudian ia menghadapi suaminya sambil berkata halus, "Ada keperluan apakah maka aku dipanggil ke sini?"

Karena hatinya masih merasa tegang, Kwee-taijin hanya menuding ke arah Hui Kauw sambil berkata, "Nona ini... dia bilang tahu tentang... Ling-ji (anak Ling)...”

Seketika wajah yang sudah pucat itu menjadi semakin pucat, kedua mata yang sayu itu memandang terbelalak kepada Hui Kauw. Kedua kakinya yang kecil lalu melangkah maju sampai dekat. "Kau tahu... kau tahu... mana dia Ling Ling anakku...?"

Hati Hui Kauw seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia terharu sekali dan diam-diam ia merasa bahagia karena ibu ini ternyata sangat kasih kepada puterinya yang hilang diculik orang. Akan tetapi dia tidak boleh sembrono, tak boleh begitu saja mengaku-aku sebagai anak mereka, karena biar pun hubungan darah di antara mereka telah menggetarkan jiwanya, akan tetapi ia tidak mempunyai bukti yang sah. Bagaimana kalau wanita ini bukan ibunya?

"Nyonya...," suaranya gemetar dan sukar keluarnya, "Dapatkah Nyonya katakan, apakah anakmu yang hilang itu memiliki tanda-tanda atau ciri-ciri tertentu sehingga dapat dikenal kembali?"

Nyonya itu memejamkan kedua matanya, seakan-akan hendak membayangkan kembali anak kecil yang lenyap di waktu malam itu, ingat ketika dengan amat gembira dan penuh bahagia dia memandikan anak itu setiap hari, anak tunggal yang sangat disayanginya.

Dengan jelas tampak dalam bayangan ini betapa anaknya memiiki sebuah tanda merah di belakang leher, seperti tahi lalat tapi merah, dan dulu sering kali ia menggosok-gosok agar tanda itu hilang. Malah suaminya menghiburnya bahwa tanda tahi lalat seperti itu tidaklah buruk. Apa lagi bila anak itu sudah besar kelak, tentu tanda itu akan tertutup oleh rambut. Pula, tanda sekecil itu kiranya malah menjadi penambah manis pada leher yang berkulit putih.

"Ada... ada..." katanya sambil membuka mata dan memandang suaminya. "...kau tentu masih ingat, tahi lalat merah di belakang leher..."

Kwee-taijin mengerutkan kening mengingat-ingat, kemudian dia berkata sambil tersenyum penuh harapan, "Betul, ada tahi lalat merah di tengkuk, ibunya selalu meributkan hal itu."

Mendengar ini menggigil kedua kaki Hui Kauw dan serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan nyonya itu, memeluk kedua kakinya sambil menangis!

The Sun dan Bhong Lo-koai sudah mencelat dari tempat duduk masing-masing karena mereka tadinya mengira bahwa gadis aneh itu hendak melakukan penyerangan. Akan tetapi melihat Hui Kauw hanya menangis sambil memeluk dan menciumi kaki nyonya itu, mereka saling pandang dan berdiri bengong. Juga Kwee-taijin berdiri dari kusinya dan memandang dengan penuh keheranan.

"Nyonya... kau periksalah ini..."

Sambil menangis dan dengan kepala tunduk Hui Kauw menyingkap rambutnya sehingga kulit tengkuknya dapat terlihat. Nyonya Kwee, suaminya dan juga kedua orang tamu itu memandang. Karena Hui Kauw berlutut di atas lantai, mudah bagi mereka untuk melihat betapa pada kulit yang kuning halus dari tengkuk itu ternoda oleh sebuah tahi lalat merah sebesar kedele.

Hening sejenak di situ, semua orang bagai kena sihir, kemudian Nyonya Kwee mengeluh, membungkuk meraba tengkuk Hui Kauw, memandang lagi, mulutnya berbisik-bisik, "...ah, mungkinkah ini...? Kau... Ling Ling...? Kau anakku...?"

Juga Kwee-taijin tak dapat menahan diri berseru, "Mungkinkah ini? Tidak kelirukah...?"

Mendengar keraguan suami isteri itu, dengan terisak-isak Hui Kauw bangkit berdiri, tegak memandang suami isteri itu dan berkata, suaranya tegas.

"Taijin dan Nyonya, memang sangatlah berat bagiku untuk memperkenalkan diri setelah melihat bahwa ayah dan ibuku adalah orang-orang kaya raya dari golongan bangsawan berpangkat. Alangkah mudahnya aku dituduh sebagai penipu! Lihatlah baik-baik mukaku, mataku, diriku, dan andai kata Taijin berdua memang tak mengenalku sebagai anak yang diculik orang belasan tahun yang lalu, biarlah aku pergi dari sini."

Keadaan tegang sekali. The Sun dan Bhong Lo-koai merasai ketegangan ini dan mereka hanya berdiri tegak menjadi penonton. Kwee-taijin nampak bingung sekali, ragu-ragu dan pandang matanya tidak pernah lepas dari pada wajah Hui Kauw.

Harus dia akui bahwa wajah ini cantik sekali dan mirip wajah isterinya pada waktu muda, akan tetapi mengapa hitam sehingga tampak buruk? Dia ingat betul bahwa dahulu Ling-ji tidak berwajah hitam, malah kulit muka anaknya dahulu itu putih sekali. Bagaimana dia bisa menerima gadis yang bermuka hitam, yang menjadi seorang gadis kang-ouw dengan pedang selalu di pinggang ini sebagai puterinya?

Nyonya Kwee mengejar maju kemudian memegang tangan kiri Hui Kauw dengan kedua tangannya yang dingin dan gemetar, bibirnya berbisik lirih, "...lihat tanganmu... aku ingat betul... di bawah jari manis kiri terdapat guratan seperti huruf THIAN..."

Dia membalikkan tangan gadis itu, menariknya dekat dan memandang penuh perhatian. Benar saja, di situ di antara guratan-guratan telapak tangan itu, terdapat guratan yang mirip dengan huruf THIAN, yaitu dua tumpuk garis melintang dipotong garis tegak lurus yang di bawahnya bercabang dua!

"...ahh... kau betul Ling Ling... kau anakku...!"

"Ibuuuu...!" Dua orang wanita itu berpelukan, berciuman dan mereka bertangis-tangisan. Pertemuan yang amat mengharukan.

"Ling Ling... inilah Ayahmu... berilah hormat kepada Ayahmu..."

Hui Kauw menjatuhkan diri berlutut di hadapan Kwee-taijin dan sambil terisak berkata, "Ayahhhh..."

Kwee-taijin mengerutkan kening. Diam-diam dia merasa kecewa sekali melihat nona ini yang ternyata adalah puterinya sendiri yang dulu diculik orang. Kecewa melihat anaknya bermuka hitam seperti ini. Ia menarik napas dan mengelus-elus rambut Hui Kauw setelah menerima sambaran pandang mata isterinya yang seakan-akan mencelanya.

"Ling-ji... anakku, alangkah banyaknya engkau telah mendatangkan sengsara dalam hati ibumu...," akhirnya dapat juga Kwee-taijin berkata.

Sementara itu, The Sun dan Bhong Lo-koai juga tercengang, kemudian menjadi girang sekali bahwa nona yang kosen itu ternyata adalah puteri Kwee-taijin yang hilang! Cepat keduanya lalu menjura dan menghaturkan selamat kepada Kwee-taijin.

"Kionghi (selamat), Kwee-taijin, kionghi! Siapa kira hari ini begitu baik sehingga tanpa dinyana puterimu sudah kembali!" kata The Sun.

"Tidak hanya sudah kembali, bahkan membawa kepandaian yang hebat. Kionghi, Taijin, selamat bahwa kau mempunyai puteri yang menjadi anak angkat Siauw-coa-ong Giam Kin yang sakti. Ha-ha-ha!" Bhong Lo-koai juga memberi selamat.

Kekecewaan Kwee-taijin agak terhibur pada saat mendengar bahwa puterinya ini ternyata memiliki kepandaian yang tinggi. Apa lagi nama besar Siauw-coa-ong tentu saja pernah dia mendengarnya. Maka ketika dua orang tamunya itu berpamit hendak pergi, dia cepat menahan mereka dan berkata,

"Ji-wi yang membawa datang puteri kami, sudah sepantasnya saya menghaturkan terima kasih dengan tiga cawan arak."

Dua orang itu tertawa-tawa dan tidak dapat menolak. Cepat hidangan disiapkan di meja, sedangkan Kwee-hujin segera mengajak puterinya itu ke dalam sambil memeluknya dan menciuminya.

Setelah berada di rumah ayah bundanya yang asli, Hui Kauw atau Kwee Ling mendengar banyak. Ternyata ibunya hanya mempunyai anak dia seorang saja, ada pun dua orang remaja yang dilihatnya itu adalah anak dari isteri muda Kwee-taijin.

Sebagai seorang kaya raya dan bangsawan yang mempunyai pangkat tinggi pula, Kwee Taijin mempunyai tiga orang isteri di samping beberapa orang selir yang juga dianggap sebagai pelayan. Isteri pertama yang disebut Kwee-huijin adalah ibu Hui Kauw itulah, isteri ke dua atau Ji-huijin (nyonya ke dua) tidak mempunyai anak sedangkan Sam-huijin (nyonya ke tiga) mempunyai anak dua orang yaitu yang bernama Kwee Kian, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun dan yang ke dua adalah seorang dara remaja bernama Kwee Siok. Dua orang inilah yang berjumpa dengan Hui Kauw pada waktu dia pertama datang di rumah orang tuanya.

Hui Kauw bisa merasakan betapa kecuali ibu kandungnya, kehadirannya di rumah gedung itu sangat tidak disukai oleh keluarga Kwee. Terutama sekali Sam-hujin dan dua orang anaknya. Hal ini mudah sekali dimengerti karena sebelum hadir Hui Kauw, maka Kwee Kian dan Kwee Siok merupakan dua orang keturunan keluarga Kwee yang menjadi ahli waris. Sekarang datang Hui Kauw yang ternyata adalah anak dari isteri pertama, tentu saja mereka merasa dirugikan dan merasa terancam kedudukan mereka!

Hal ini karena dapat dimengerti oleh Hui Kauw, maka tidak mendatangkan rasa sesal di hatinya. Yang membuat gadis ini selalu murung dan tak enak hati adalah sikap ayahnya. Ayahnya itu adalah ayah kandung, mengapa terhadap dia dingin saja, sikapnya tidak semanis terhadap Kwee Kian dan Kwee Siok? Juga sikap ayahnya terhadap ibunya tidak semanis sikapnya terhadap dua orang isterinya yang lain.

Hui Kauw merasa amat kasihan kepada ibunya dan diam-diam dia tidak puas terhadap ayahnya. Agaknya perasaan tidak puas inilah yang membuat Hui Kauw menyatakan kepada ayah bundanya bahwa dia lebih suka bernama Hui Kauw dari pada Kwee Ling, karena nama ini sudah dipakainya semenjak kecil, maka ia minta agar nama Hui Kauw dijadikan nama alias atau namanya sehari-hari. Hanya ibu kandungnya sajalah yang tetap menyebutnya Ling Ling, sedangkan orang lain menyebut dirinya Hui Kauw, juga ayahnya sendiri.

Pada suatu hari Hui Kauw diajak ayahnya menghadiri pesta yang diadakan di dalam istana oleh kaisar! Kejadian yang luar biasa, apa lagi kalau diingat bahwa kehadiran Hui Kauw itu adalah kehendak kaisar sendiri yang mendengar tentang kelihaian gadis itu dari The Sun.

"Ayah, perlu benarkah itu sehingga saya yang harus ikut ke istana? Saya tidak senang dengan pesta-pesta besar," kata Hui Kauw kepada ayahnya.

Aneh ayahnya kali ini, sikapnya manis sekali dan kini ayahnya tersenyum. "Hui Kauw, anak baik, kau tidak tahu. Adalah kaisar sendiri yang minta supaya kau ikut datang karena beliau telah mendengar bahwa anakku yang diculik dahulu telah pulang dan selain beliau hendak memberi selamat kepadaku, juga ingin bertemu sendiri denganmu. Ini merupakan hal yang baik sekali dan merupakan kehormatan besar, anakku. Baiklah kita berdua akan menggunakan kesempatan ini untuk menghaturkan selamat kepada kaisar atas pemilihan beberapa orang selir baru."

Diam-diam Hui Kauw merasa muak dalam hatinya. Banyak sudah ia mendengar dongeng mengenai kaisar-kaisar dan para pembesar tinggi yang selalu mengumpulkan sebanyak mungkin gadis-gadis cantik untuk dijadikan selir. Kejadian ini amat memanaskan hatinya. Laki-laki yang memiliki kedudukan tinggi benar-benar merupakan manusia-manusia yang hanya mau menangnya sendiri saja, yang bertindak sewenang-wenang dan menganggap wanita-wanita hanya sebagai benda permainan belaka!

Sebenarnya tak sudi ia harus menghadapi semua ini, tak sudi ia harus menghadiri pesta itu, akan tetapi bagaimana ia dapat membantah kehendak ayahnya? Baru beberapa hari ia berkumpul dengan ayahnya, tak mungkin ia mengecewakan hati orang tua itu.

Apa lagi dalam kesempatan ini, ayahnya juga mengajak Kwee Kian dan Kwee Siok yang kelihatan gembira bukan main. Pemuda dan gadis remaja ini berdandan dengan pakaian terbaru. Hui Kauw tidak dapat meniru ini, walau pun ia telah diberi banyak pakaian indah oleh orang tuanya. Gadis ini berpakaian sederhana saja, apa lagi ia pun maklum bahwa mukanya yang hitam itu membuat semua pakaian dan hiasan badan tetap tidak patut.

Bukan main meriahnya pesta yang diadakan dalam taman bunga istana itu. Kaisar baru muncul setelah para undangan memenuhi taman dan semua orang termasuk Hui Kauw menjatuhkan diri berlutut ketika kaisar berjalan dengan sikap agung menuju ke tempat duduk kehormatan yang telah disediakan untuknya. Dengan kerling mata Hui Kauw dapat melihat bahwa kaisar ini masih muda, berwajah tampan dan bersikap gagah dengan mulut selalu memperlihatkan senyum yang menyembunyikan keangkuhannya.

Sesudah semua orang diperkenankan duduk, Kwee Siok menyentuh lengannya sambil berkata, "Hui Kauw cici, lihat di sana itu duduk rombongan pengawal-pengawal istana dan jagoan-jagoan undangan, semua adalah tokoh-tokoh persilatan tingkat tertinggi."

Kwee Kian juga tidak mau ketinggalan berkata lirih. "Dan yang duduk di sebelah kiri itu, yang berpakaian serba merah, orang tua yang tinggi kurus dan tersenyum-senyum itu, dialah suhu (guru) kami. Dialah tokoh besar berilmu tinggi yang berjuluk Ang Mo-ko!"

Diam-diam Hui Kauw menaruh perhatian. Memang seorang kakek yang aneh, sudah tua tapi pakaiannya merah semua, duduknya tak jauh dari The Sun yang kelihatan berpakaian serba indah. Ia tahu bahwa dua orang adik tirinya ini belajar ilmu silat dari seorang tokoh pengawal istana yang berjuluk Ang Mo-ko, akan tetapi baru sekarang ia melihat orangnya.

"Cici," kata pula Kwee Siok, "di antara tujuh orang pengawal ketika kaisar masih menjadi pangeran mahkota, suhu adalah orang yang paling lihai di antara mereka."

"Mungkin tidak kalah oleh The-kongcu," kata Kwee Kian.

"Wah, kalau dibandingkan dengan The-kongcu mungkin masih kalah satu tingkat," kata Kwee Siok. "Kian-koko, kau tahu bahwa The-kongcu adalah seorang tokoh muda Go-bi yang mempunyai kesaktian luar biasa, masa di dunia ada keduanya? Akan tetapi, kalau hanya dengan Bhong Lo-koai saja sudah pasti suhu lebih menang!"

Hui Kauw tersenyum di dalam hatinya mendengar perdebatan antara kedua adik tirinya ini dan sekaligus ia dapat menduga bahwa adik tirinya Kwee Siok ini tergila-gila kepada The Sun. Ia termenung dan diam-diam ia berdoa semoga adik ini tak akan mengalami nasib buruk dalam percintaan seperti ia sendiri. Betapa pun adik tirinya ini di dalam hatinya tidak suka kepadanya, namun Hui Kauw memang memiliki watak yang penuh welas asih, dan pribudi yang mulia.

Dahulu pun di Pulau Ching-coa-to, meski ia tahu bahwa Hui Siang diam-diam membenci dirinya, namun ia selalu menaruh iba pada adik angkat ini. Apa lagi sekarang, dua orang ini betapa pun juga adalah adik tirinya, anak-anak dari ayah kandungnya!

Ternyata menurut percakapan yang ia dengar, Hui Kauw tahu bahwa kali ini kaisar telah memilih lima orang selir baru di antara puluhan orang gadis-gadis yang didatangkan dari pelbagai daerah. Seperti telah sering kali terjadi, gadis-gadis yang tidak diterima tentu saja menjadi bagian dari para pembesar yang mengurusnya. Tidaklah mengherankan apa bila mereka kini berpesta pora amat gembira, selain untuk memberi selamat kepada kaisar, juga untuk memberi selamat kepada diri mereka sendiri!

Hui Kauw merasa lega bahwa ayahnya tidak termasuk pembesar yang mengurus tentang penarikan gadis-gadis ini sehingga kali ini ayahnya tak ikut bergembira karena mendapat selir baru pula! Anehnya, selir-selir baru itu tidak hadir di tempat pesta dan yang tampak hanyalah para pengunjung yang membanjiri hadiah-hadiah berupa benda-benda berharga untuk para selir baru itu! Tentu saja hal ini dilakukan untuk menjilat kaisarnya, karena benda-benda berharga yang dikeluarkan itu hanya merupakan umpan untuk memancing ikan yang jauh lebih berharga dari pada umpannya, yaitu berupa kenaikan pangkat dan lain-lain.

Hui Kauw sudah merasa lega bahwa kaisar agaknya tak akan melihat dan mengenalnya, juga agaknya ayahnya tidak akan menyinggung-nyinggung tentang dirinya. Siapa kira tak lama kemudian, seorang pembesar mendatangi ayahnya dan berbisik-bisik. Wajah orang tua itu seketika menjadi berseri-seri gembira dan dengan suara bangga dia berkata,

"Hui Kauw... eh, Ling-ji... Kaisar memanggil aku dan kau menghadap. Mari...!"

Ayah yang bangga ini berdiri, lalu menggandeng tangan puterinya dan menjatuhkan diri berlutut di tempat itu juga untuk menghormati panggilan kaisar, kemudian dia mengajak Hui Kauw berdiri dan berjalan perlahan menuju ke tempat duduk kaisar. Di depan kaisar, ayah dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut lagi, menunduk tanpa berani mengangkat muka untuk memandang kaisar.

"Aha, inikah Nona yang lihai ilmu silatnya itu?"

Betapa pun juga, keadaan dan suara kaisar ini demikian berwibawa sehingga menekan perasaan Hui Kauw dan membuat nona ini merasa mulutnya kaku dan tenggorokannya kering. Tak dapat ia mengeluarkan suara untuk menjawab!

"Betul, Yang Mulia, inilah anak hamba Kwee... Hui Kauw yang bodoh. Hamba berdua menghaturkan selamat atas hari baik ini, semoga Yang Mulia bertambah kebahagiaan dan dikurniai panjang usia selaksa tahun!"

Kaisar ini tertawa senang. "Kwee Lai Kin, tidak kusangka kau mempunyai seorang anak perempuan yang lihai ilmu silatnya, yang katanya malah menjadi murid dan anak angkat Siauw-coa-ong Si Raja Ular! Ha-ha-ha! Eh, kau... Kwee Hui Kauw, benarkah kau diangkat anak oleh Si Raja Ular?"

Tanpa berani mengangkat muka sedikit pun, Hui Kauw yang telah mendapatkan kembali ketenangannya menjawab, "Tidak salah, Yang Mulia..."

"Bagus! Karena ayahmu adalah pembantuku, berarti kau pun pembantu istana pula. Hayo lekas kau mainkan beberapa jurus ilmu silat supaya dinilai oleh para pengawal dan agar menambah kegembiraan pesta ini."

Bingung dan mengkal hati Hui Kauw. Betapa ceriwisnya kaisar ini, pikirnya. Akan tetapi suasana di situ benar-benar amat berwibawa sehingga ia hampir kehilangan ketenangan hatinya, "Mohon ampun sebesarnya, Yang Mulia, hamba tidak berani memperlihatkan ilmu silat yang dangkal di hadapan Yang Mulia."

Semua orang yang hadir di situ kaget dan khawatir. Setiap penolakan kehendak kaisar dapat dianggap sebagai pembangkangan yang sama saja artinya dengan pemberontakan! Wajah Kwee Taijin sudah berubah pucat seperti kertas kosong.

The Sun mengerutkan keningnya. Akan tetapi pemuda yang cerdik ini cepat berlutut dan berkata, "Mohon Yang Mulia sudi mengampuninya. Sebagai seorang gadis yang baru kali ini berhadapan dengan Yang Mulia, dan baru kali ini menghadiri pertemuan agung, tentu saja Nona Kwee Hui Kauw merasa malu-malu dan canggung sekali. Hamba usulkan agar supaya salah seorang di antara para pengawal suka mengawani dia sehingga selain Nona Kwee tidak akan sungkan, juga akan lebih indah untuk ditonton dan lebih mudah dijadikan ukuran bagi kepandaian Nona Kwee yang hebat!"

Kaisar tertawa girang dan bertepuk tangan. "Bagus, kau memang pintar sekali, The Sun! Kau yang memuji Nona ini kepadaku, tentu kau sudah tahu sampai di mana tingkatnya dan aku beri ijin kepadamu untuk melakukan pemilihan di antara para pengawal itu."

The Sun tentu saja dapat menduga sampai di mana tingkat kepandaian Hui Kauw karena pernah dia melihat gadis itu bertanding melawan Bhong Lo-koai. Tadinya dia hendak mengusulkan supaya Bhong Lo-koai maju melayani nona ini, akan tetapi dia ragu-ragu karena siapa tahu kalau-kalau Bhong Lo-koai akan kalah.

Biar pun pertandingan kali ini hanya sebagai iseng-iseng dan menguji kepandaian belaka, namun kalau sampai pihak istana kalah, bukankah hal ini akan merendahkan nama besar kaisar sendiri yang dianggap mempunyai pengawal yang tidak becus? Oleh karena itu, dia segera memandang Ang Mo-ko, tersenyum dan berkata,

"Menurut pendapat hamba, hanya Ang Mo-ko lo-enghiong yang pantas untuk melayani Nona Kwee, mengingat bahwa kepandaian Nona Kwee sudah amat tinggi dan kalau lain orang yang melayaninya, akan sukarlah dapat digunakan sebagai ukuran."

Semua orang terkejut mendengar ini, sedangkan Bhong Lo-koai menjadi merah mukanya. Terang bahwa The Sun tidak percaya kepadanya, maka mengajukan Ang Mo-ko yang dianggap lebih pandai. Memang semua pengawal di istana juga maklum bahwa sebelum datang The Sun dan para tokoh undangan, di antara para pengawal lama, Ang Mo-ko merupakan tenaga yang paling boleh diandalkan karena ilmu kepandaiannya memang hebat.

Akan tetapi, banyak di antara para pengawal istana merasa penasaran. Untuk menguji kepandaian seorang nona yang begitu muda, mengapa mesti mengajukan Ang Mo-ko? Agaknya beberapa orang pengawal muda saja sudah cukuplah. Benar-benar The-kongcu sekali ini keterlaluan, pikir mereka.

Malah diam-diam Kwee Taijin juga kaget sekali dan melirik ke arah orang muda itu. Apa yang dikehendaki oleh orang muda ini, pikirnya tidak enak. Masa anakku harus diadu dengan Ang Mo-ko yang lihai? Hemm, apakah dia sengaja hendak membikin malu kepada Hui Kauw dan aku?

Akan tetapi The Sun tak mempedulikan semua pandang mata yang ditujukan kepadanya penuh pertanyaan itu. Juga kaisar yang tadinya terkejut pula, setelah memandang wajah The Sun yang bersungguh-sungguh, diam-diam merasa amat kagum. Benarkah gadis ini mempunyai kepandaian demikian tinggi sehingga patut dipertemukan dalam pertandingan melawan Ang Mo-ko?

Kaisar tertawa dan menjawab, "The Sun, kau lebih tahu dalam hal ini. Usulmu diterima, lakukanlah!"

The Sun lalu menghampiri Ang Mo-ko, berkata sambil tersenyum, "Ang lo-enghiong harap suka turun tangan menggembirakan suasana pesta. Akan tetapi hati-hatilah, Nona Kwee benar-benar lihai."

Ang Mo-ko bangkit berdiri, mengangguk-angguk dan berkata, cukup keras sehingga dapat terdengar oleh Hui Kauw. "Sungguh sebuah kehormatan besar untuk berkenalan dengan kelihaian anak angkat Siauw-coa-ong Giam Kin yang sakti."

Yang paling merasa tegang di saat itu adalah Kwee Kian dan Kwee Siok. Dua orang muda ini saling pandang dan muka mereka berubah sebentar pucat sebentar merah. Memang dari ayah mereka, mereka telah mendengar bahwa kakak tiri mereka memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka sendiri yang menjadi murid tokoh besar di istana, Ang Mo-ko, diam-diam memandang rendah kepada Hui Kauw. Malah diam-diam mereka mencari kesempatan baik untuk ‘mencoba’ kepandaian nona muka hitam itu. Siapa tahu sekarang di dalam pesta agung, di hadapan kaisar, kakak tiri itu akan dipertandingkan dengan guru mereka!

Karena yang memerintahnya adalah kaisar sendiri, Hui Kauw tentu saja tidak berani membantah. Setelah memberi hormat dengan berlutut, ia lalu memenuhi isyarat The Sun, bangkit berdiri dan berjalan tenang ke tengah ruangan, di mana terdapat tempat yang agak tinggi dan memang sengaja dikosongkan.

Di dalam taman itu, Kaisar dan para tamu duduknya mengelilingi tempat ini sehingga tempat itu menjadi pusat perhatian. Ang Mo-ko yang bertubuh tinggi kurus sudah berdiri di sana, menunggu dengan sikap tenang.

Kaisar memerintahkan sesuatu kepada pengawal pribadinya yang cepat lari menghampiri The Sun. Pemuda ini tersenyum mengangguk-angguk, kemudian berlari pula ke arena pertandingan, berkata kepada Hui Kauw dan Ang Mo-ko yang sudah bediri berhadapan.

"Menurut perintah Kaisar, karena di antara para tamu banyak yang tidak tahu ilmu silat, maka untuk menjaga kesusilaan dan mencegah persentuhan tangan, ji-wi (anda berdua) diperintahkan menggunakan senjata dalam pertandingan persahabatan ini. Silakan Nona Kwee memilih senjata apa yang dikehendaki, akan saya sediakan."

Hui Kauw memandang Ang Mo-ko untuk mengetahui pendapat orang tua yang diharuskan menjadi lawannya itu. Dia melihat kakek itu sambil tersenyum lebar sudah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang huncwe (pipa tembakau) yang putih kemilau bagai perak.

Hun-cwe ini panjangnya ada tiga perempat meter, ujungnya meruncing dan beberapa sentimeter sebelum ujungnya terdapat ‘buahnya’, yaitu merupakan tempat tembakau yang biasanya dinyalakan. Tahulah Hui Kauw bahwa lawannya adalah seorang ahli totok yang berbahaya karena senjata seperti itu memang tepat untuk menotok jalan darah, bentuknya meruncing tapi ujungnya tumpul.

"Aku tidak ingin berkelahi sungguh-sungguh, mengapa harus memakai senjata?" katanya ragu-ragu. "Pula, aku tidak membawa pedangku."

Memang semua pengunjung tidak diperbolehkan membawa senjata, tentu saja kecuali para pengawal yang sudah dipercaya penuh. Aturan ini belum lama diadakan setelah terjadi perebutan kekuasaan dan makin lama makin banyak terdapat mata-mata dari pihak yang anti kaisar berkeliaran di kota raja.

The Sun tersenyum dan mencabut pedangnya, "Kalau kau biasa berpedang, kau boleh mempergunakan pedangku, Nona."

"Terima kasih." Hui Kauw terpaksa menerima pedang The Sun.

"Nah, Kaisar telah memberi tanda. Kalian boleh mulai," kata The Sun yang segera mundur dan berdiri di pinggiran.

Para tamu menahan napas, apa lagi Kwee Taijin ketika melihat betapa anak gadisnya sudah berdiri dengan pedang terhunus di hadapan Ang Mo-ko yang masih berdiri sambil tersenyum-senyum itu.

Dengan gaya lucu Ang Mo-ko sekali lagi berlutut memberi hormat kepada kaisar, lalu berdiri dan berkata, "Nona Kwee, aku yang tua banyak mengharapkan petunjuk darimu."

"Ahh, lo-enghiong mengapa berlaku sungkan? Lekaslah bergerak dan lekas pula akhiri permainan ini, aku mana bisa menang dibandingkan dengan seorang tokoh tua?" jawab Hui Kauw hati-hati, pedangnya sudah melintang di depan dadanya.

Ang Mo-ko tertawa lagi, lalu menggerakkan huncwe-nya sambil berseru, "Awas Nona, aku mulai!"

Hui Kauw maklum bahwa lawannya bukanlah orang lemah, hal ini tidak hanya dapat ia duga dari sikap kakek itu, juga sekarang jelas dapat dilihat dari dahsyatnya sambaran huncwe yang melakukan totokan ke arah leher dan lambungnya. Dua bagian tubuh ini letaknya tidak berdekatan, akan tetapi ujung huncwe itu dapat menotok secara beruntun dengan cepat sekali sehingga sukar diduga bagian mana yang akan diserang lebih dahulu karena seakan-akan ujungnya berubah menjadi dua menyerang dengan berbareng!

"Tring! Tranggggg!"

Bunga api berhamburan menyilaukan mata pada saat pedang yang diputar Hui Kauw itu sekaligus bertemu dua kali dengan huncwe itu. Karena ia menggunakan pedang orang lain, Hui Kauw dengan tabah berani menangkis sekalian hendak menguji tenaga lawan. Ia merasa betapa tangannya tergetar hebat, akan tetapi dengan pengerahan hawa murni ia dapat mengusir getaran itu.

Di lain pihak, Ang Mo-ko berseru keras. Ia melompat mundur, cepat menarik huncwe-nya dan diamat-amati dengan penuh perhatian dan kekhawatiran.

"Wah-wah-wah, untungnya huncwe yang menjadi jimat hidupku ini tidak rusak!" katanya kemudian sambil tertawa. Tadi dia memang takut kalau-kalau huncwe kesayangannya ini lecet. Dengan lagak lucu kakek ini menerjang maju lagi mengirim serangan-serangan kilat.

Hui Kauw juga mainkan pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar putih. Makin cepat kakek itu menyerangnya, makin cepat pula ia menggerakkan pedangnya, kini tidak hanya untuk mempertahankan diri, juga untuk balas menyerang.

Hebat pertandingan itu dan juga indah sekali karena sambaran huncwe yang bagaikan kilat menyambar itu selalu lenyap digulung awan putih sinar pedang Hui Kauw. Kadang-kadang dari dalam gulungan awan itu muncrat bunga api dibarengi suara nyaring sekali seakan-akan halilintar menyambar dari gulungan awan mendung.

Tentu saja Ang Mo-ko sudah maklum akan maksud pertandingan ini. Tadinya dia hanya bermaksud menguji, tentu saja dia tidak akan menyerang sungguh-sungguh puteri Kwee Taijin yang juga menjadi kakak dari pada kedua orang muridnya. Akan tetapi makin lama penyerangannya menjadi makin dahsyat ketika dia mendapat kenyataan bahwa nona ini ilmu pedangnya sungguh tak boleh dipandang ringan.

Dia harus memeras keringat dan mengerahkan tenaga dan kepandaian kalau tidak mau dikalahkan dan mendapat malu di dalam pertandingan agung itu! Setelah bertanding lima puluh jurus lebih, Ang Mo-ko tidak berani main-main lagi dan terpaksa dia mengeluarkan kepandaiannya agar jangan sampai kalah.

Pada lain pihak, Hui Kauw juga hendak menjaga namanya, selain juga hendak menjaga muka ayahnya. Kalau ia mudah saja dikalahkan, bukan hanya dia yang akan ditertawakan orang, apa lagi oleh kedua orang adik tirinya, juga ayahnya tidak luput dari pada ejekan.

Namun, ia tetap tidak mau mempergunakan ilmu silatnya yang ia rahasiakan. Ia sengaja hanya mainkan ilmu pedang yang ia pelajari dari ibu angkatnya dan ternyata ilmu pedang itu sudah cukup untuk menandingi huncwe di tangan Ang Mo-ko.

Kaisar menjadi amat gembira menyaksikan pertandingan pedang tingkat tinggi melawan huncwe maut ini. Berkali-kali dia bertepuk tangan memuji karena kaisar ini pun seorang yang suka sekali akan ilmu silat.

Setelah seratus jurus lewat, Ang Mo-ko menjadi gelisah dan dia merasa khawatir sekali kalau-kalau akan ditertawai kaisar serta pangkatnya akan diturunkan gara-gara dia tidak dapat lekas-lekas mengalahkan nona muda itu dalam pertandingan ini.

Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras. Tangan kirinya bergerak melakukan serangan pukulan yang aneh sekali, dengan jari tangan terbuka dan dilakukan dari bawah ke atas, akan tetapi pukulan ini membawa angin panas yang luar biasa hebatnya. Kiranya inilah ilmu pukulan simpanan dari Ang Mo-ko atau Iblis Merah, karena sebutan ini bukan saja menyindir pakaiannya yang serba merah, akan tetapi juga ilmu pukulannya Ang-tok-jiu (Tangan Racun Merah).

Ilmu pukulan ini bukan main hebatnya, apa bila dilakukan, tangan kirinya berubah menjadi merah seperti kepiting direbus dan dari tangan ini selain keluar hawa pukulan yang panas dan dapat meremukkan tulang membakar kulit daging, juga mengandung hawa beracun!

Hui Kauw kaget bukan main ketika merasai hawa pukulan yang amat panas ini. Ia adalah puteri angkat dari Ching-toanio dan semenjak kecil ia tinggal di Pulau Ular Hijau, tentu saja ia tahu akan racun-racun berbahaya. Ia dapat menduga bahwa pukulan lawan ini tentu mengandung racun, maka ia tidak berani menerimanya dan cepat mengelak.

Ang Mo-ko semakin penasaran, huncwe-nya terus mendesak diselingi pukulan-pukulan Ang-tok-jiu. Kali ini dia sama sekali tidak mau memberi hati dan niat satu-satunya adalah menjatuhkan atau mengalahkan gadis ini, baik secara halus mau pun kasar. Hal ini dia anggap penting sekali untuk menjaga nama dan kedudukannya di hadapan kaisar.

Setelah Ang Mo-ko menggunakan ilmu pukulan Ang-tok-jiu ini, segera Hui Kauw menjadi terdesak hebat. Gadis ini tidak sanggup mempertahankan diri lagi karena ia harus selalu mengelak dari pukulan tangan kiri lawan sehingga permainan pedangnya tidak dapat lagi membendung banjir serangan huncwe yang bertubi-tubi dan terus menerus mendesaknya dengan totokan-totokan berbahaya.

Celaka, pikirnya, kakek merah ini agaknya tidak main-main lagi dan terlalu bernafsu untuk mengalahkanku, pikirnya. Dan ia tahu bahwa kalau kali ini ia kalah, itu akan terjadi dalam keadaan yang amat berbahaya karena sekali terkena totokan huncwe atau kena pukulan beracun, ia akan terluka parah. Baginya, kalah dari kakek ini di depan kaisar bukanlah hal yang terlalu ditakuti, akan tetapi tentu saja ia tidak sudi kalau harus menyerahkan diri untuk ditotok atau dipukul sampai terluka parah.

Mendadak dia mengeluarkan seruan nyaring dan ilmu pedangnya segera berubah hebat. Bila tadinya ilmu pedangnya bagaikan ombak-ombak kecil yang amat cepat menggelora, sekarang berubah tenang seperti gelombang lautan besar yang tampaknya tenang dan lambat, namun yang menelan segala yang dihadapinya. Gerakannya menjadi lambat dan aneh sekali.

Akan tetapi bagi Ang Mo-ko amat hebat kesudahannya, karena kakek ini tiba-tiba saja melihat betapa tangan kirinya tahu-tahu berhadapan dengan pedang yang mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Jika ia melanjutkan serangannya, berarti tangan kirinya akan buntung! Cepat dia menarik tangan kirinya.

Akan tetapi pedang itu dengan gerakan lambat dan aneh namun mengandung tenaga menempel yang luar biasa, tahu-tahu sudah menghantam huncwe-nya. Terdengar suara nyaring dan... huncwe itu terlepas dari tangan Ang Mo-ko yang tiba-tiba merasa betapa tangan kanannya setengah lumpuh!

Ang Mo-ko kaget sekali, mengeluarkan suara keras dan melompat ke belakang. Keringat dingin membasahi lehernya karena maklum bahwa tadi kalau lawannya berniat buruk, tentu dia akan terluka. Ternyata pedang itu tidak mengejarnya dan Hui Kauw hanya berdiri dengan pedang melintang di depan dada.

"Kiam-hoat bagus...!" Terdengar pujian dari salah seorang di antara mereka yang tempat duduknya di dekat The Sun, seorang laki-laki setengah tua yang gagah dan tampan, yang bermata tajam bersinar-sinar.

Terdengarlah tepuk tangan, ternyata kaisar sendiri yang bertepuk tangan memuji. Semua orang lalu mengikuti gerakan ini dan meledaklah tepuk tangan dan pujian di taman itu. Kaisar mengangkat tangan dan semua suara itu berhenti.

"Kwee Hui Kauw, sebagai seorang gadis muda, ilmu silatmu hebat bukan main. Apa bila engkau sampai mendapat pujian dari Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, itu berarti bahwa ilmu pedangmu sudah mencapai tingkat tinggi. Bagus sekali!" kaisar berkata dengan suara gembira.

Hui Kauw baru teringat bahwa ia berada di dalam pertemuan agung di mana kaisar hadir. Dan melihat betapa Ang Mo-ko sudah menjatuhkan diri berlutut, ia pun segera berlutut menghadap kepada kaisar dengan penuh hormat. Diam-diam ia mencatat ucapan kaisar tadi bahwa orang setengah tua yang memujinya itu adalah Sin-kiam-eng Tan Beng Kui yang amat tersohor sebagai juara ilmu pedang!

"Kwee Hui Kauw, menyaksikan kepandaianmu, kami mengangkatmu sebagai pembantu komandan pengawal istana. The Sun yang akan membagi tugas kepadamu. He, The Sun kau perkenalkan Nona perkasa ini kepada para enghiong yang hadir!"

Dengan sikap gembira sekali kaisar itu lalu melanjutkan makan minum dan suasana pesta makin gembira. Hui Kauw hanya dapat menghaturkan terima kasih sambil berlutut, lalu ia mengiringkan The Sun yang mengajaknya untuk berkenalan dengan beberapa orang tokoh yang duduk di bagian tamu kehormatan. Pertama-tama ia diperkenalkan dengan orang setengah tua yang tadi memujinya, yaitu Sin-kiam-eng Tan Beng Kui!

Tokoh pedang ini memandangnya dengan tajam penuh selidik, kemudian mengangguk dan berkata, "Nona Kwee, sebagai puteri angkat Giam Kin, aku tidak tahu dari mana kau mendapatkan ilmu pedang yang hebat tadi. Lain waktu bila ada kesempatan aku ingin sekali mengajak kau bercakap-cakap tentang ilmu pedangmu itu."

Suara itu terdengar manis memuji, akan tetapi mengandung sesuatu yang mendebarkan jantung Hui Kauw, karena jelas terasa olehnya bahwa tokoh pedang ini nampak tidak puas. Ia tidak dapat memperhatikan tokoh pedang ini lebih lanjut karena The Sun sudah memperkenalkan dia kepada tokoh-tokoh lain yang banyak terdapat di bagian itu.

Orang ke dua yang diperkenalkan oleh The Sun kepadanya adalah seorang kakek yang berpakaian seperti tosu tua, bertubuh pendek gemuk akan tetapi mempunyai sepasang lengan yang panjang sekali. Usianya sudah lebih dari lima puluh tahun namun mukanya halus seperti muka kanak-kanak. Tosu ini adalah seorang undangan dan dia bukanlah orang sembarangan karena dia ini bukan lain adalah paman guru The Sun sendiri!

Tosu pendek ini adalah seorang pertapa Go-bi, adik seperguruan Hek Lojin yang terkenal dengan sebutan Lui-kong atau Malaikat Guntur! Ada pun julukan atau nama pendetanya adalah Thian Te Cu. Menilik dari sebutan dan julukan ini, Lui-kong Thian Te Cu, sudah membuktikan bahwa betapa tokoh ini mempunyai watak jumawa. Akan tetapi kejumawaannya tidaklah kosong belaka karena dia memang memiliki kepandaian yang amat luar biasa dan dia bahkan pernah membikin ribut di Go-bi-pai, yaitu partai persilatan Go-bi-san yang amat tersohor.

Berbeda dengan watak suheng-nya, Hek Lojin, yang lebih suka menyembunyikan diri di puncak gunung, tosu pendek ini menerima undangan The Sun dengan gembira karena sesungguhnya dia masih suka bersenang-senang menikmati kemuliaan duniawi.

"Heh-heh, Nona Kwee masih amat muda tapi hebat ilmunya," kata Lui-kong Thian Te Cu sambil memandang dengan matanya yang sipit dan menggerak-gerakkan dua lengannya yang panjang. "Muka yang cantik jelita disembunyikan di balik kehitaman yang disengaja. Heh-heh-heh, Giam Kin si iblis cilik benar-benar luar biasa, sudah mati meninggalkan keturunan begini hebat!"

Bukan main mengkalnya hati Hui Kauw mendengar ini dan diam-diam dia pun terkejut karena kakek pendek itu benar-benar awas pandang matanya sehingga secara menyindir sudah membuka rahasia mukanya yang hitam, agaknya dapat menduga bahwa mukanya menjadi hitam karena racun. Lebih-lebih kagetnya ketika suara ketawa terkekeh yang terakhir dari kakek itu membuat ia hampir roboh karena badannya serasa tertekan hebat membuat kedua kakinya seperti lemah tak bertenaga.

Cepat-cepat nona ini mengerahkan hawa murni di dalam tubuh melindungi jantung karena ia pun maklum bahwa dengan suara ketawa itu, si kakek aneh telah menyerangnya atau menguji tenaga dalamnya. Itulah semacam ilmu khikang yang hebat sekali, yang dapat menggunakan suara ketawa untuk menyerang orang yang dikehendaki tanpa membawa pengaruh terhadap orang lain di sekelilingnya. Hanya seorang yang lweekang-nya sudah tinggi sekali dapat melakukan hal ini!

Cepat ia menjura kepada kakek itu dan mengucapkan kata-kata merendah, "Saya yang muda dan bodoh mana berani menerima pujian Locianpwe?"

Orang ke tiga yang diperkenalkan oleh The Sun adalah seorang yang tidak kalah aneh dan menariknya. Dia ini seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar, berjubah sederhana dengan dada setengah terbuka sehingga tampak bulu dadanya yang lebat. Usianya tentu tidak kurang dari lima puluh tahun, kepalanya gundul kelimis dan besar sekali sesuai dengan tubuhnya. Matanya lebar bundar tetapi jarang dibuka karena sering kali meram, alisnya tebal berbentuk golok.

Wajah hwesio ini tampak angker dan berwibawa, tidak mencerminkan sifat welas asih melainkan mendatangkan rasa segan dan hormat karena jelas dari pribadinya bersinar sifat keras dan kuat yang sukar ditundukkan. Berbeda dengan para tamu lain, hwesio ini menghadapi meja kecil di mana terdapat hidangan dari sayur-sayuran tanpa daging, tanda bahwa dia seorang yang ciak-jai (pantang daging) akan tetapi suka minum arak, terbukti dari guci besar arak yang disediakan untuknya.

"Nona Kwee, losuhu ini adalah Bhok Hwesio, tokoh besar dari Siauw-lim, seorang patriot sejati yang siap mengorbankan tenaga dan jiwa untuk mempertahankan negara. Apa kau pernah mendengar mengenai Heng-san Ngo-lo-mo (Lima Iblis Tua dari Heng-san)? Nah, begitu Bhok losuhu ini menginjakkan kaki ke Heng-san dan turun tangan, lima iblis tua itu terbasmi habis, sarangnya dibakar dan semua dilakukan oleh Bhok losuhu seorang diri saja!"

Hui Kauw terkejut. Pernah dia mendengar ketika masih berada di Ching-coa-to mengenai Heng-san Ngo-lo-mo ini, yang terkenal kejam dan amat tinggi kepandaiannya, apa lagi kalau maju berlima. Ibu angkatnya sendiri pernah menyatakan rasa jerinya kalau harus menghadapi lima orang iblis tua itu dan sekarang hwesio tua ini seorang diri saja mampu membasminya!

"Omitohud, kaum pemberontak dan pengacau negara kalau tidak dibasmi, tentu membikin sengsara rakyat," komentar hwesio itu tanpa membuka matanya, akan tetapi senyum yang membayang di bibirnya yang tebal itu menjadi tanda bahwa dia merasa senang akan pujian The Sun. "Syukur Nona Kwee sudah terlepas dari ayah angkat macam Giam Kin yang jahat, seterusnya harap meneladani ayah sendiri yang mengabdi kepada negara."

Hwesio itu selanjutnya menutup mata dan mulut tidak peduli lagi kepada Hui Kauw. Masih banyak tokoh-tokoh diperkenalkan oleh The Sun kepada Hui Kauw, akan tetapi selain dua orang yang sudah disebutnya tadi, hanya ada dua orang lagi yang menarik perhatian Hui Kauw, yaitu seorang laki-laki tinggi kurus berambut keriting berkulit hitam yang diperkenalkan sebagai Bhewakala, seorang pendeta Hindu yang tadinya adalah seorang pertapa di puncak Anapurna di Himalaya. Ia seorang bangsa Nepal yang berilmu tinggi dan dalam perantauannya di timur akhirnya dia bertemu dengan The Sun dan dapat dibujuk membantu kaisar baru dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Seorang lagi tokoh wanita yang usianya sudah mendekati lima puluh tahun, seorang ahli pedang dari Kun-lun-pai. Sebetulnya tokoh wanita ini merupakan seorang pelarian dari Kun-lun-pai beberapa tahun yang lampau karena sebagai anak murid Kun-lun-pai, dia sudah melakukan pelanggaran susila dan ketika ditegur oleh ketua Kun-lun-pai pada waktu itu, ialah Pek Gan Siansu, ia melawan dan akhirnya ia dikalahkan dan diusir oleh Pek Gan Siansu.

Semenjak itu, dia melakukan perantauan dan tidak berani kembali ke Kun-lun-pai. Akan tetapi dalam perantauannya ini dia malah mendapat penambahan ilmu kepandaian yang hebat sehingga dia kini merupakan tokoh yang lihai sekali. Wanita ini bernama Gui Hwa dan berjuluk It-to-kiam (Setangkai Pedang).

"Demikianlah, Kun Hong," berkata Hui Kauw mengakhiri penuturannya kepada Kun Hong. "Selanjutnya aku tinggal bersama orang tuaku. Karena tak berani menolak perintah kaisar, aku terpaksa membantu The Sun, akan tetapi bukan membantu di dalam istana, hanya aku berjanji kepada The Sun akan membantu setiap kali tenagaku dibutuhkan. Dia amat baik kepadaku dan memang keadaan di kota raja amat kuat, banyak terdapat tokoh-tokoh pandai. Oleh karena itu, pada saat mendengar bahwa ada seorang buta dikeroyok, hatiku terkejut bukan main. Cepat-cepat aku keluar dan menuju ke tempat pertempuran untuk mencegah mereka yang mengeroyokmu. Akan tetapi ternyata kau telah dapat melarikan diri dan aku tak berdaya melihat penyembelihan yang dilakukan para pengawal terhadap orang-orang Hwa-i Kaipang. Aku menyusul dan mencarimu dengan diam-diam dan aku melihat jejak The Sun di rumah ini..." Hui Kauw memandang kepada mayat janda Yo yang tak bergerak sambil menarik napas panjang. "Karena salah sangka setelah melihat The Sun dilayani janda ini aku pun menjadi marah, menghinanya dan merampasmu, Ah, aku menyesal sekali, Kun Hong."

Selama Hui Kauw berceritera, Kun Hong hanya mendengarkan dengan penuh perhatian. Terutama sekali penuturan Hui Kauw tentang orang-orang kosen di kota raja yang amat menarik hatinya. Agaknya hwesio yang mampu menghadapi jurusnya ‘Sakit Hati’ tentulah Bhok Hwesio, jago tua Siauw-lim itu. Wah, berat kalau begini.
cerita silat karya kho ping hoo

Dia merasa bersyukur bahwa mahkota kuno itu tidak terampas oleh mereka. Teringat akan ini, Kun Hong berkata heran. "Ahh, mengapa A Wan begini lama belum kembali?"

Karena sejak tadi Hui Kauw asyik berceritera, nona ini pun seperti lupa kepada A Wan. Sekarang ia pun merasa heran dan curiga. "Biar aku mencarinya di belakang rumah." Ia bangkit berdiri dan melompat ke luar dari pondok itu melalui pintu belakang. Baru beberapa menit seperginya Hui Kauw, tiba-tiba Kun Hong memiringkan kepalanya. Dia mendengar ada suara banyak kaki dengan gerakan ringan sekali di sekeliling rumah! Otomatis tangan kanannya menggenggam tongkatnya erat-erat, sedang seluruh tubuhnya tegang dalam persiapan.

Meski pun luka-lukanya masih terasa sakit, akan tetapi sudah tidak berbahaya lagi. Hanya punggungnya saja yang masih terasa kaku sekali. Dia masih tetap duduk bersila di atas tikar dengan sikap tenang namun dengan hati tegang.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang sudah amat dikenalnya, ketawa The Sun! "Ha-ha-ha, Kwa Kun Hong, kiranya benar kau yang secara pengecut bersembunyi di balik selimut janda muda, pura-pura menjadi seorang kakek. Ha-ha-ha!"

Berbareng dengan ucapan itu, tubuh The Sun melayang masuk ke dalam pondok, lalu dia tertawa-tawa lagi. "Perempuan keparat, berani kau menipuku, ya?"

Kun Hong mendengarkan penuh perhatian, namun dia sudah bersiap sedia membela diri. Terdengar The Sun hampiri jenazah janda Yo, kemudian pemuda itu menahan pekik.

"...ahhh…!"

Kun Hong tersenyum mengejek. "The Sun manusia keparat, kau lihat baik-baik wanita tak berdosa yang menjadi korbanmu!" Sehabis mengeluarkan ejekan ini, tubuhnya tiba-tiba melesat ke arah The Sun dan tongkatnya sudah mengirim tusukan maut.

The Sun kaget dan cepat membanting diri ke kanan sehingga dinding pondok yang tidak kuat itu menjadi jebol, terus tubuhnya menggelinding ke luar. Kun Hong mengejar terus, juga melalui dinding yang jebol itu. Setibanya di luar pondok, Pendekar Buta ini berhenti karena dia tidak mampu mengenali lagi di mana adanya The Sun. Di depan pondok itu ternyata telah menanti banyak orang yang kini menghadapinya setengah mengurung.

"Omitohud... sayang pemuda berilmu tinggi menjadi pemberontak." Suara ini mengejutkan hati Kun Hong karena dia segera mengenalinya sebagai suara hwesio kosen yang pernah memukul punggungnya.

Tentu inilah yang oleh Hui Kauw diceriterakan sebagai Bhok Hwesio, pikirnya. Entah ada berapa orang tokoh lihai lagi di samping hwesio ini dan The Sun. Namun dia tidak takut, hanya dia amat khawatir kalau-kalau mahkota kuno yang tadi sedang diambil oleh A Wan itu dapat terampas oleh musuh.

Kun Hong tidak dapat melihat bahwa selain Bhok Hwesio dan The Sun, di situ terdapat banyak pengawal dan masih ada lagi seorang kosen, yaitu si pertapa dari Nepal bernama Bhewakala yang berdiri tegak sambil memandang tajam dengan sepasang matanya yang mengandung pengaruh sihir!

Mendengar pujian Bhok Hwesio kepada pemuda buta ini, Bhewakala menaruh perhatian besar karena dia sudah cukup maklum akan kesaktian Bhok Hwesio.

"Mata buta tidak mengapa, tetapi kalau hati yang buta benar-benar amat sayang sekali," katanya dengan suaranya yang besar dan bahasanya yang kaku.

Mendengar suara ini, Kun Hong dapat menduga siapa tokoh ke dua ini karena dia sudah pula mendengar nama orang itu dari penuturan Hui Kauw.

"Bhok Hwesio dan pendeta Bhewakala adalah tokoh-tokoh tua yang memiliki ilmu tinggi, sudah tahu aku seorang muda yang buta mengapa masih memusuhiku tanpa sebab? Apa perbuatan ini tidak merendahkan derajat serta mencemarkan nama besar ji-wi (kalian)?" katanya dengan suara keras.

Bhok Hwesio melengak, lebih-lebih Bhewakala yang seketika itu menjadi pucat mukanya. Pendeta Nepal ini datang dari Himalaya di mana kepercayaan akan keajaiban dan tahyul masih sangat tebal. Sekarang mendengar seorang buta mengenal namanya begitu saja, tentu dia menjadi heran dan takut-takut. Siapa tahu pemuda ini adalah sebangsa ‘dewa’ yang menjelma menjadi manusia sehingga biar pun matanya buta akan tetapi tahu akan segala kejadian di dunia ini? Hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut untuk minta maaf kalau saja The Sun tidak membentak marah.

"Kwa Kun Hong! Janganlah engkau coba-coba mempengaruhi dua orang Locianpwe yang terhormat dengan ucapanmu yang amat beracun! Kau ternyata diakui sebagai ketua oleh pemberontak-pemberontak Hwa-i Kaipang, jelas bahwa kau adalah seorang pemberontak. Lebih baik kau menyerah dan kami berjanji akan mintakan ampun kepada kaisar, asal kau suka berjanji untuk bekerja sama membela negara dari pada rongrongan musuh. Melawan pun tak ada gunanya, kau sudah terluka dan apa artinya kepandaianmu jika menghadapi kesaktian Bhok Losuhu dan Bhewakala?"

"The Sun, dalam hatimu kau maklum bahwa kalau mau bicara tentang ucapan beracun dan perangai binatang, maka kaulah orangnya yang paling tepat. Selama hidupku aku tak pernah memusuhimu, mengapa kau mendesakku dan malah kau menjadi sebab kematian seorang janda yang tak berdosa?"

"Tak usah banyak cakap lagi, lebih baik surat rahasia yang kau terima dari Tan Hok kau serahkan kepadaku, jika tidak jangan harap engkau dapat meninggalkan kota raja dalam keadaan hidup!" The Sun membentak.

"Manusia rendah, sudah kukatakan bahwa aku tidak membawa surat apa-apa. Terserah kepadamu."

"Saudara The, biarlah aku mencoba menangkap tuna netra yang amat bandel ini!" kata Bhewakala yang amat tertarik mendengar percakapan itu dan kini ingin sekali dia menguji kepandaian si buta ini yang tadi sudah dipuji-puji oleh Bhok Hwesio.

Bhok Hwesio tertawa. "Saudara Bhewakala, berhati-hatilah kau, dia benar-benar sangat lihai."

Pendeta Nepal itu tersenyum. Dia adalah seorang pertapa Himalaya yang berilmu tinggi, dalam hal kepandaian dan kesaktian, dibandingkan dengan Bhok Hwesio kiranya hanya kalah setingkat, masa dia harus merasa jeri menghadapi seorang muda lagi buta seperti Kun Hong ini?

"Orang muda, menyerahlah, atau kalau tidak, bersiaplah kau kutangkap untuk kujadikan tawananku!" katanya.

Tiba-tiba tubuh Bhewakala sudah bergerak secara aneh, dua kakinya diangkat ujungnya sehingga tubuhnya mendoyong ke belakang seperti orang akan terjengkang. Benar-benar gerakan ini merupakan kuda-kuda yang sangat aneh dan lucu, terlebih lagi karena kedua lengannya diulur ke depan bagai seorang bapak hendak memondong anaknya, atau lebih mirip seorang yang akan jatuh ke belakang sedang minta tolong.

Kun Hong tak dapat melihat gerakan ini, namun dia dapat mendengarkan dan maklum bahwa orang yang akan menangkapnya ini memiliki kepandaian luar biasa dan berbeda dengan orang-orang lain. Maka dia pun tidak mau memandang rendah, tubuhnya sudah bergerak pula dengan perlahan, memasang kuda-kuda jurus Sakit Hati.

Kali ini dia tidak mau memusingkan lagi tentang kesabaran, karena maklum bahwa dia sudah terkurung dan berada dalam keadaan hidup atau mati. Apa lagi kalau teringat akan janda Yo, hatinya sakit sekali. Ingin sekali rasanya dia membunuh The Sun dengan hanya sekali pukul, ada pun semua orang yang membantu The Sun tentu saja akan dilawannya mati-matian.

Ketika Bhewakala melihat Pendekar Buta itu memasang kuda-kuda dan tidak menjawab permintaannya agar menyerah, tiba-tiba dia mengeluarkan suara bentakan panjang dalam bahasa asing. Kedua matanya menjadi lebar dan bercahaya seakan-akan mengeluarkan sinar kilat, lalu tubuh yang doyong ke belakang itu tiba-tiba bergerak maju dengan kedua tangan mencengkeram ke arah pundak dan dada Kun Hong.

Serangan ini hebat bukan main, terbukti dari hawa pukulan yang menggetarkan dada Kun Hong, jauh sebelum kedua tangan orang Nepal itu datang dekat. Bentakan Bhewakala itu juga mendatangkan perasaan aneh di kepalanya, seakan terdapat dorongan yang hendak memaksa dia menjadi lumpuh.

Kun Hong terkejut dan teringatlah dia akan ilmu ‘merampas semangat’ yang pernah dia pelajari dari paman gurunya, Sin-eng-cu Lui Bok. Dahulu sebelum dia buta, dia mampu mempergunakan ilmu ini untuk mengalahkan lawan, yaitu dengan kekuatan lweekang dan batin yang disalurkan melalui pandangan matanya. Sekarang setelah buta, tentu saja dia tidak dapat melakukan ilmu itu.

Teringat ini, dia menduga bahwa lawannya yang aneh ini agaknya menggunakan ilmu itu pula. Dia bersyukur bahwa kebutaan matanya membuat dia kebal terhadap penyerangan ilmu ini, karena ilmu ini menundukkan lawan melalui pandangan mata pula.

Dengan pengerahan tenaga batinnya, Kun Hong menghadapi serangan ini dengan jurus Sakit Hati. Tongkatnya berkelebat kemerahan dari kanan atas sedangkan tangan kirinya menyambar dengan jari-jari terbuka dari kiri bawah.

"Siuuuuuttttt!"

Inilah jurus Sakit Hati yang hebatnya bukan kepalang, sejurus ilmu pukulan gabungan dari Ilmu Silat Im-yang Sin-hoat dan Kim-tiauw Kun-hoat, gabungan aneh dari dua macam serangan yang memiliki dua tenaga gaib pula, yaitu Yang-kang dan Im-kang.

Bhewakala menjerit ngeri menyaksikan betapa serangannya dihadapi oleh Si Pendekar Buta dengan serangan pula yang luar biasa anehnya sehingga bulu tengkuknya berdiri semua karena kedua tangannya tanpa sebab telah terpental oleh semacam hawa yang tidak kelihatan, yang keluar dari gerakan Pendekar Buta itu. Tubuhnya yang tinggi kurus secepat kilat ditekuk ke kiri untuk menghindarkan diri dari sambaran tongkat yang memiliki hawa panas seperti baja membara ini, sedangkan kedua tangannya cepat dia gerakkan untuk menangkis sambil mencengkeram pukulan tangan kiri lawan yang menyambar dari bawah.

"Weeerrrrr... desssss! Auuuuuhh...!"

Bagaikan sebuah layangan putus talinya, tubuh Bhewakala melayang, terlempar sampai lima meter lebih, sebagian rambut kepalanya hangus terlanggar tongkat sedangkan kedua tangannya bertemu dengan tangan kiri Kun Hong tadi, membuat tubuhnya terpental jauh.

Bhewakala roboh terguling, akan tetapi cepat bangun lagi dengan kedua mata terbelalak keheran-heranan, mukanya merah padam. Dia berusaha mempertahankan diri tetapi tidak kuat karena tiba-tiba dia muntahkan segumpal darah merah dari mulutnya. Hanya dalam satu gebrakan tadi dia telah terluka!

Melihat Pendekar Buta itu masih memasang kuda-kuda Sakit Hati, tidak bergerak seperti patung, kaki kanan di depan berjungkit, kaki kiri di belakang dan ditekuk lututnya, tangan kanan memegang tongkat diangkat ke atas melintang, tangan kiri terbuka seperti cakar dan tergantung ke bawah, tokoh Nepal ini menjadi penasaran dan malu sekali.

Selama dua bulan dia berada di kota raja sebagai seorang tokoh undangan, belum pernah dia melakukan sesuatu jasa sungguh pun dia telah mendemonstrasikan kepandaiannya kepada para pengawal. Sekarang, sekali turun tangan, menghadapi seorang pengacau muda lagi buta saja, dalam segebrakan dia sudah muntah darah!

Dengan dada panas penuh hawa amarah, Bhewakala lalu merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan sebatang cambuk hitam yang ujungnya kecil dan panjang sekali. Cambuk ini tadinya digulung kecil dan dimasukkan saku, sekarang setelah berada di tangannya berubah menjadi cambuk panjang sekali, tidak kurang dari tiga meter panjangnya!

Dia merasa penasaran sekali dan hendak membalas kekalahannya. Sambil mengeluarkan bentakan aneh, dia sudah memutar cambuknya di atas kepala, makin lama makin cepat dan terdengarlah suara seperti suling ditiup orang. Aneh, makin cepat saja dia memutar cambuk, maka suara seperti suling itu menjadi makin keras seperti suara sirene!

Kun Hong masih memasang kuda-kuda tanpa bergerak, seluruh inderanya tegang dan dia siap menanti setiap serangan dengan jurus mautnya itu. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut ketika ada hawa serangan ujung cambuk yang mengeluarkan suara mengaung aneh itu.

Maklum bahwa tiada gunanya menangkis serangan senjata lemas seperti ini, dia hanya menggerakkan kedua kakinya dan dengan mudah saja mengelak. Namun ujung cambuk tetap mengejarnya dengan kecepatan kilat, seakan-akan cambuk itu memiliki mata pada ujungnya, dapat mengejar ke mana jua pun dia bergerak. Hebat ilmu cambuk dari orang Nepal ini, aneh dan berbahaya.

Baiknya Kun Hong memiliki ilmu langkah ajaib yang dinamai Hui-thian Jip-te, kalau tidak, tentu dia akan celaka menghadapi penyerangan ilmu cambuk aneh itu. Tak mudah untuk membalas serangan ini dengan serangan lagi karena lawannya yang memegang cambuk berada dalam jarak tiga meter sedangkan ujung senjata itu terus mengancamnya.

Terpaksa dia menggunakan langkah ajaib dan berkali-kali orang Nepal itu mengeluarkan seruan heran dan bingung sebab melihat betapa orang yang diserangnya itu enak-enakan saja berloncatan, kadang-kadang terhuyung-huyung dan jongkok berdiri, namun semua penyerangannya tidak pernah menyentuh kulit lawan!

Saking bingung dan herannya, dia marah-marah dan mengira bahwa Pendekar Buta itu memang sengaja mengejek dan mempermainkannya. Sama sekali dia tidak tahu bahwa sikap Kun Hong itu sama sekali bukan mengejek, melainkan mati-matian menyelamatkan diri dari kurungan ujung cambuk, karena langkah ajaib itu memang terlihat aneh dan lucu.

Kemarahan Bhewakala membuat dirinya tidak hati-hati lagi. Dia tidak tahu bahwa dalam melakukan langkah ajaib menghindarkan ujung cambuk, Kun Hong dengan cara memutar telah makin mendekatinya dan begitu ada kesempatan, pemuda buta ini cepat membalas serangan lawan dengan jurus Sakit Hatinya.

"Haaiiiiittttt…!"

Dengan amat hebatnya Kun Hong sudah menerjang lawannya dengan jurus mautnya itu. Bhewakala kaget sekali, akan tetapi dia sudah siap sedia. Cambuknya tiba-tiba melingkar pendek untuk memapaki tongkat lawan, sedangkan tangan kirinya sengaja dia kerahkan dengan tenaga penuh untuk memapaki tangan Si Pendekar Buta.

"Saudara Bhewakala, jangan...!" terdengar Bhok Hwesio berseru kaget. Namun terlambat.

"Deeesssss…! Blukkkkk!"

Cambuk itu putus berhamburan saat bertemu tongkat dan tubuh Bhewakala untuk ke dua kalinya melayang ke belakang, lalu roboh dan kali ini sampai lama dia tidak dapat bangkit, dari mulutnya mengalir darah segar dan napasnya terengah-engah. Bhok Hwesio segera menghampirinya.

"Omitohud...!" seru hwesio Siauw-lim yang kosen ini sambil mengurut dada orang Nepal itu beberapa kali.

Diam-diam dia merasa kagum juga kepada Bhewakala karena beberapa menit kemudian tokoh Nepal ini sudah sanggup bangun dan duduk bersila untuk memulihkan tenaganya. Agaknya dia tidak terluka terlalu hebat sehingga masih tidak membahayakan keselamatan nyawanya.

"Uuhh-uuhhh... aku tak dapat mempengaruhinya dengan pandangan mataku... uh-uh-uh, dia hebat... Bhok losuhu...," katanya dengan suara bernada kecewa.

Memang hatinya kecewa bukan main karena dia harus menderita kekalahan. Andai kata lawannya itu, biar pun memiliki ilmu silat luar biasa tingginya, tidak buta seperti sekarang, belum tentu dia akan kalah seperti sekarang ini. Dengan pandangan matanya dia dapat mengerahkan kekuatan batin, dapat menggunakan ilmu sihirnya untuk membuat lawannya bertekuk lutut tanpa mengulurkan tangan. Akan tetapi, apa daya, justru lawannya tidak mempunyai mata sehingga kekuatan batinnya tidak mendapatkan ‘pintu’ untuk memasuki tubuh lawan.

Pada lain pihak, diam-diam Kun Hong mengeluh. Dia telah menderita luka dalam akibat pukulan Bhok Hwesio di punggungnya, sedangkan luka di pangkal pahanya biar pun tidak berbahaya lagi, namun belum sembuh dan masih terasa nyeri dan perih, juga sebagian tenaganya sudah banyak dipergunakan untuk mengusir racun dan untuk menambah daya tahan terhadap luka-luka itu, sekarang dia harus menghadapi lawan tangguh.

Tadi, dalam dua kali bertemu tenaga dengan Bhewakala, walau pun dia berada di pihak unggul berkat sinkang di tubuhnya dan jurus luar biasa itu, akan tetapi tenaga yang dia gunakan sangatlah merugikan dirinya sendiri. Luka dalam di punggungnya menjadi makin nyeri sampai menyesakkan dada, luka di pangkal paha mengucurkan darah baru karena dorongan dari dalam ketika dia mengerahkan tenaga.

Namun pemuda perkasa ini tidak menyatakan sesuatu, tetap memasang kuda-kuda jurus Sakit Hati menghadapi segala kemungkinan, tetap tak bergerak seperti patung. Dia harus mempertahankan nyawanya dan untuk ini, mau tidak mau dia harus berani merobohkan lawan, kalau perlu membunuhnya!

Setelah banyak mengalami hal-hal penasaran di dunia kang-ouw, pengertian Kun Hong mulai terbuka mengapa banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal gagah perkasa dan dia kagumi itu sering kali melakukan pembunuhan. Kiranya di dunia ini memang terdapat banyak orang-orang yang sudah sepatutnya dibunuh sebab hidupnya hanya mengotorkan dunia dan menjadi sumber segala kejahatan!

Sekarang dia tak rela menyediakan nyawanya untuk dibunuh orang lain, karena hidupnya masih mempunyai banyak tugas yang penting sekali. Pertama, mencari musuh-musuh Thai-san-pai dan membantu paman Beng San membalas sakit hati. Ke dua, membantu mencari adik Cui Sian yang hilang diculik orang. Ke tiga, melanjutkan tugas dari paman Tan Hok untuk menyampaikan surat rahasia itu kepada yang berhak, yaitu Raja Muda Yung Lo di utara. Ke empat, mendidik A Wan sebagai muridnya agar dia dapat membalas budi mendiang Yo-twaso. Ke lima... Hui Kauw!

Ya, karena adanya Hui Kauw maka dia tidak mau mati dan harus terus mempertahankan hidupnya. Biar pun pikirannya melayang-layang seperti itu, namun Kun Hong tidak sedikit pun mengurangi kesiap siagaannya menghadapi para lawan yang sudah mengurungnya.

"Omitohud..., orang muda buta benar-benar lihai sekali. Pinceng kagum... sayang kalau harus membunuhnya. The-kongcu dan Tan-sicu, mari bersama-sama pinceng menangkap dia hidup-hidup!"

Mendengar kata-kata ini, Kun Hong mengerutkan kening. Hemmm, kiranya Sin-kiam-eng Tan Beng Kui sudah berada di situ pula. Inilah berbahaya, pikirnya. Kalau tertawan oleh orang-orang ini sama saja dengan mati. Kalau dia sudah tertawan, bagaimana mungkin melepaskan diri?

Dulu ketika dia belum buta, pernah pula dia ditawan di kota raja, akan tetapi dengan ilmu sihirnya dia berhasil melarikan diri. Sekarang, sekali dia tertawan, apa bedanya dengan mati? Tidak, dia tidak mau ditawan!

Begitu mendengar deru angin dari tiga jurusan, Kun Hong cepat menggunakan langkah-langkah ajaibnya untuk menyelamatkan diri, sedangkan kedua tangannya sudah siap dan selalu mencari kesempatan membalas. Sayang baginya, jurus Sakit Hati itu hanya sejurus saja, dan pula, hanya amat ampuh bila dipergunakan untuk menghadapi seorang lawan yang menyerang sehingga menjadi serangan balasan yang tak terhindarkan.

Sekarang, menghadapi serangan tiga orang yang demikian tinggi ilmu silatnya, Dia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakan jurusnya ini. Pedang di tangan Sin-kiam-eng bagaikan seekor garuda saja, menyambar-nyambar dari tempat yang tidak terduga-duga. Bukan main hebatnya Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut dari Sin-kiam-eng Tan Beng Kui ini sehingga pada saat menghadapinya, timbul keinginan aneh di hati Kun Hong untuk dapat mempergunakan mata melihat permainan pedang ini!

Tongkatnya sudah repot digunakan menangkis serangan Sin-kiam-eng, sehingga tinggal sedikit kesempatan untuk menangkis pedang The Sun yang juga amat ganas menyambar nyambar. Berkali-kali dia berusaha untuk memukul runtuh pedang The Sun yang dia tahu mengandung racun yang sangat berbahaya, lebih-lebih dari keinginan dan nafsu hatinya untuk mendapat kesempatan menerjang The Sun dan merenggut nyawa pemuda halus ini untuk membalas sakit hati janda Yo.

Akan tetapi baru menghadapi dua pedang ini saja dia sudah repot bukan main, ditambah lagi sambaran-sambaran aneh dan kuat bukan main dari kedua tangan Bhok Hwesio yang berusaha menangkapnya. Mana mungkin dia melakukan serangan balasan?

Jika sekarang Kun Hong kewalahan menghadapi lawan-lawannya, hal ini bukanlah terlalu aneh. Pertama, dia sudah terluka hebat sehingga tenaganya hanya tinggal tiga per empat bagian. Ke dua, dia sedang menghadapi pengeroyokan tiga orang lawan yang tergolong jagoan-jagoan kelas satu. Ke tiga, hatinya sudah gelisah sekali karena sampai saat itu dia tidak tahu ke mana perginya A Wan beserta Hui Kauw, dan apa jadinya dengan mahkota yang menyimpan surat rahasia penting itu.

Pada saat itu pedang The Sun menyambar ke arah kakinya dengan babatan cepat sekali. Kun Hong melompat ke atas dan cepat sekali menggunakan tongkatnya untuk menindih pedang ini, dengan maksud menggunakan kesempatan ini dia memukul The Sun dengan tangan kiri. Akan tetapi pada saat itu pedang Sin-kiam-eng sudah menusuknya, menusuk ke arah leher. Cepat-cepat dia miringkan tubuh dan tangan kirinya telah siap melanjutkan pukulan kepada The Sun yang masih berkutetan hendak menariknya tetapi tidak sanggup itu.

"Robohlah...!" tiba-tiba terdengar bentakan Bhok Hwesio yang mendorong dari samping.

Hebat tenaga dorongan hwesio ini, seperti angin puyuh saja datangnya. Kun Hong kaget sekali, terpaksa ia harus membatalkan pukulannya pada The Sun, dan sebaliknya ia lalu menggunakan tangan kirinya itu mendorong ke arah Bhok Hwesio.

"Deesssssss…!"

Tangan kiri Kun Hong bertemu dengan tangan Bhok Hwesio, dan dari kedua lengan ini mengalir hawa dorongan yang luar biasa saktinya. Bhok Hwesio berteriak perlahan, lalu tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, sedangkan Kun Hong merasa dadanya sesak dan dia pun terpaksa melompat ke belakang dan berusaha memulihkan napasnya.

Akan tetapi alangkah kaget hati Kun Hong saat merasa betapa punggungnya yang masih luka itu makin nyeri, membuat dia sulit bernapas. Kun Hong gugup, bingung, kecewa dan marah bukan main. Haruskah dia mati dalam keadaan begini? Haruskah dia mati sebelum menunaikan tugasnya?

Terlintas pikiran aneh pula. Haruskah dia mati sebelum menyampaikan cinta kasihnya kepada Hui Kauw? Tidak! Sekali-kali tidak boleh!

Dan terdengarlah pekik melengking tinggi keluar dari kerongkongannya, pekik yang amat mengerikan dan mendirikan bulu roma, dibarengi dengan melesatnya tubuhnya dengan jurus Sakit Hati. Hampir saja Sin-kiam-eng Tan Beng Kui menjadi korban karena jago tua ini yang berada di tempat terdekat.

Kun Hong tidak peduli lagi siapa yang berada di dekatnya, tentu terus saja diterjangnya dengan jurus Sakit Hati sambil mengeluarkan pekik melengking tinggi itu. Tan Beng Kui terkejut dan cepat melompat jauh menghindarkan diri, juga The Sun kaget bukan main sampai mukanya menjadi pucat dan dia pun menjauhkan diri. Hanya Bhok Hwesio yang tetap berdiri di tempatnya, memandang dengan penuh kekaguman.

"Dia sudah seperti harimau luka, tinggal merobohkan saja!" kata hwesio itu membesarkan hati.

The Sun dan Tan Beng Kui mendesak maju lagi, menggerakkan pedang. Keadaan Kun Hong benar-benar terancam hebat, kalau tidak akan roboh tewas, paling sedikit tentu dia akan tertawan seperti yang dia khawatirkan.

Tiba-tiba saja terdengar lengking panjang dari atas, lengking yang hampir sama dengan pekik yang keluar dari mulut Kun Hong, akan tetapi lebih panjang dan nyaring. Mendengar ini, Kun Hong terkejut dan mukanya berubah berseri-seri.

Dia lalu memekik lagi sambil mengamuk terus, menggerakkan tongkatnya dengan cepat sehingga tubuhnya tertutup sinar pedang kemerahan. Untuk menjaga dirinya dari desakan tiga orang lawannya yang amat tangguh, tidak ada ilmu lain kecuali ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam yang dapat melindungi tubuhnya. Lengking panjang itu makin keras dan tiba-tiba terdengar kelepak sayap di udara.

Bhok Hwesio berseru kagum, "Omitohud... apa lagi ini...?”

Kiranya yang datang ini adalah seekor burung rajawali yang besar bukan main. Indah dan gagah burung itu. Seekor burung rajawali yang jarang kelihatan oleh manusia, bulunya kuning bersih, paruh dan kuku kakinya seperti emas, matanya merah menyala.

Inilah kim-tiauw si rajawali emas yang datang karena tertarik oleh pekik melengking dari mulut Kun Hong tadi. Agaknya burung ini mengenal pekik sahabatnya dan begitu tiba di situ melihat Kun Hong dikeroyok, dia segera mengeluarkan pekik dahsyat dan tubuhnya yang keemasan itu menyambar turun dengan kekuatan ribuan kati!

"Awas...!" Bhok Hwesio memperingatkan dua orang temannya, juga para pengawal yang mengurung tempat itu.

Namun tetap saja empat orang pengawal roboh terguling terkena sambaran sayap yang memukul ke depan, dan paruh yang kuat itu menerjang Tan Beng Kui. Pendekar pedang yang berilmu tinggi ini cepat-cepat mengelak sambil membacokkan pedangnya pada leher burung.

Akan tetapi siapa kira, burung itu sama sekali tidak mengelak, melainkan menggunakan cakarnya untuk menyambar pedang yang membacoknya! Andai kata bukan Tan Beng Kui yang menyerangnya, pasti pedang itu akan terampas oleh kim-tiauw. Tetapi Sin-kiam-eng Tan Beng Kui segera menarik pedangnya, bahkan melompat mundur tiga langkah untuk menghindarkan diri dari serangan cakar kedua yang menerjangnya.

"Kim-tiauw-ko (kakak rajawali emas)!" seru Kun Hong girang ketika mendengar sepak terjang burung itu.

Burung itu bukan lain adalah burung kesayangannya, sahabat yang telah berpisah darinya lama sekali. Kegirangan mendatangkan tenaga berlipat ganda sehingga dengan bentakan hebat dia berhasil memukul pedang The Sun terlepas dari tangan pemuda itu.

"Serbu!" terdengar The Sun memberi aba-aba kepada para pengawal.

Akan tetapi burung rajawali itu sudah menyambar ke depan dan di lain detik Kun Hong telah melompat ke atas punggungnya, merangkul lehernya kemudian membiarkan dirinya dibawa terbang meninggi. Puluhan batang anak panah diiringi caci maki segera melayang mengejar burung itu, namun tak sebuah pun dapat mengenainya. Yang menyambar dekat dengan mudah diruntuhkan oleh gerakan cakar kaki yang menangkis! Benar-benar seekor burung yang amat tangguh dan kosen.

"Kim-tiauw ajaib... omitohud...!" Bhok Hwesio memuji.

Saking kagum dan herannya, kakek sakti ini tadi sampai terpesona dan tidak tahu harus berbuat apa. Hal ini menguntungkan Kun Hong dan rajawali emas, karena kalau kakek ini tidak terpaku dan menjadi pikun lalu tadi sempat turun tangan, agaknya tidak semudah itu kim-tiauw dapat menolong dan melarikan Kun Hong dari tempat yang berbahaya itu.

Kun Hong hampir pingsan saking lelahnya pada saat dia duduk di atas punggung rajawali sambil memeluk lehernya. Dengan terharu dia berbisik, "Tiauw-ko... ahh, kau baik sekali, terima kasih, tiauw-ko..."

Burung itu mengeluarkan bunyi perlahan seolah-olah dapat menerima ucapan Kun Hong, dan terbangnya semakin pesat membubung tinggi di udara sampai kelihatan kecil sekali, kemudian menukik ke barat dengan kecepatan kilat.

Belasan li di sebelah barat, di luar tembok kota raja, terdapat sebuah hutan besar. Daerah ini termasuk kaki Pegunungan Tapie-san. Burung rajawali emas yang membawa terbang Kun Hong itu menukik ke bawah, ke arah hutan ini dan tak lama kemudian dia sudah turun ke atas tanah di antara pohon-pohon besar di tengah hutan itu, lalu mendekam. Kun Hong segera melompat turun dari punggung kim-tiauw.

"Bagus, A-tiauw, kau berhasil menolong Kun Hong!" terdengar suara orang, halus dan tenang.

Kun Hong tercengang, mengingat sebentar kemudian dengan girang dia menjatuhkan diri berlutut sambil berseru. "Susiok (paman guru)..."

Kakek itu tertawa. Memang dia bukan lain adalah Sin-eng-cu Lui Bok, adik seperguruan manusia sakti Bu Beng Cu, guru Kwa Kun Hong yang tak pernah dia lihat orangnya itu.

Dalam cerita Rajawali Emas dituturkan bahwa dahulu sebelum Kun Hong buta, pernah dibawa oleh rajawali emas ini ke puncak Gunung Liong-thouw-san (Gunung Kepala Naga) dan di tempat rahasia inilah dia menemukan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng peninggalan Bu Beng Cu sehingga dengan bantuan rajawali emas, pemuda ini dapat mewarisi ilmu silat yang dia namakan Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas).

Dalam ceritera Rajawali Emas pula, pernah Kun Hong bertemu dengan adik seperguruan Bu Beng Cu, seorang aneh yang sakti pula, yaitu bukan lain adalah Sin-eng-cu (Si Garuda Sakti) Lui Bok inilah yang pernah mengajarnya ilmu sihir yang disebut ilmu merampas semangat.

Pada saat itu, selagi Kun Hong berlutut penuh keharuan karena tak mengira bahwa yang menyuruh rajawali emas menolongnya ternyata adalah susiok-nya sendiri ini, terdengar kaki-kaki kecil berlari mendekati dan suara yang amat dikenalnya berseru, "Suhu...!"

"A Wan, kau di sini?" Kun Hong memeluk anak itu, girang dan juga heran.

"Dan anak ini... siapakah?" Dia menoleh ke kiri karena telinganya juga dapat menangkap gerakan seorang anak kecil lagi yang agaknya tadi digandeng oleh A Wan dan sekarang duduk pula di dekatnya.

"Suhu, dia adalah Cui Sian, adik kecil yang baik dan lucu..."

"Cui San?! Anak paman Beng San...?" Kun Hong sampai berteriak keras saking heran dan kagetnya sehingga A Wan yang tak tahu apa-apa menjadi bingung. Dengan penuh keharuan tangannya meraih dan pada lain saat anak perempuan berusia empat tahun itu telah dipeluknya.

Terdengar suara anak perempuan itu, nyaring dan jelas suaranya, tidak seperti anak-anak kecil lain yang sebaya. "Paman buta, kau ini menangis ataukah tertawa? Karena aku tidak dapat membedakannya."

Kun Hong tertawa, pertanyaan bodoh seorang kanak-kanak namun mengandung makna demikian dalamnya, sedalam lautan, meliputi rahasia hidup karena kehidupan di dunia ini memang hanya berisi dua hal, tangis dan tawa!

"Anak baik... anak baik... aku menangis dan juga tertawa saking girangku mendengar kau selamat..."

Tiba-tiba dia teringat dan setelah melepaskan Cui Sian dari pelukan, dia bangkit berdiri, menoleh ke arah Sin-eng-cu Lui Bok. Keningnya berkerut-kerut ketika dia berkata, "Susiok... Cui Sian di sini bersama Susiok...? Bagaimanakah ini? Bukankah Cui Sian diculik orang dari Thai-san? Apakah Susiok..." dia tidak berani melanjutkan kata-katanya sungguh pun hatinya penuh kecurigaan yang bukan-bukan.

Kakek itu tertawa lembut. "Kenapa tidak kau lanjutkan, Kun Hong? Tak baik mengandung curiga di dalam hati, karena kecurigaan yang dipendam dapat menimbulkan fitnah tanpa disengaja. Kecurigaanmu keliru, Kun Hong. Aku bersama kim-tiauw ingin menjengukmu di Thai-san dan kulihat Thai-san diserang banyak orang. Di puncak kulihat nyonya ketua Thai-san yang gagah perkasa dikeroyok dan bangunan dibakar. Karena anak ini terancam bahaya, maka aku berlancang tangan membawanya pergi dari sana."

Mendengar ini, merah muka Kun Hong. Tidak dapat dia sangkal lagi, sebelum mendengar penjelasan ini, tadi dia telah menaruh curiga kepada susiok-nya. Dia segera menjatuhkan diri berlutut lagi sambil berkata, nada suaranya penuh permohonan dan juga penuh rasa dendam.

"Siapakah mereka itu, Susiok? Si...siapakah mereka yang menyerang Thai-san?"

Kembali kakek itu tertawa geli seakan-akan mendengar sesuatu yang amat lucu.

"Susiok, mengapa Susiok mentertawakan teecu (murid)?" Kun Hong merasa heran dan penasaran.

Apakah pertanyaannya itu dianggap lucu? Tak mengerti dia mengapa dalam urusan yang demikian pentingnya, orang tua itu malah tertawa-tawa dan seakan-akan mentertawakan dirinya.

"Kau hendak apakah menanyakan mereka yang menyerang Thai-san?"

"Keparat-keparat itu telah berlaku keji terhadap paman Beng San, tentu saja teecu harus membalas dendam sakit hati ini!"

"Ha-ha-ha, sudah kuduga! Sudah kukhawatirkan akan beginilah jadinya. Sayang..." Kakek itu tertawa lagi. "Balas-membalas, dendam-mendendam, roda karma terus berputar tiada hentinya..."

Kun Hong terkejut, lalu cepat bertanya, "Susiok, salahkah sikap teecu ini?" Dan setelah berpikir sebentar dia melanjutkan, "Susiok sudah sampai di Thai-san dan melihat semua itu, sudah berhasil menyelamatkan adik Cui Sian, kenapa Susiok tidak membantu paman Beng San membasmi orang-orang jahat itu?"

"Hemmm, aku tidak mempunyai urusan dengan mereka semua, sudah terlalu lama aku membebaskan diri dari pada libatan karma, Anakku. Sikapmu ini tidaklah salah, hanya hatiku menjadi geli mendengar kata-kata dan melihat sikapmu ini. Agaknya kau sudah lupa sama sekali beberapa tahun yang lalu ketika kau menasehati seorang kakek seperti aku ini pada saat aku hendak mencari dan membunuh Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lokai. Ha-ha-ha!"

Kun Hong tertegun dan seketika dia termenung. Terbayanglah kini semua pengalamannya dahulu, ketika dia masih belum buta. Pertemuannya pertama dengan Sin-eng-cu Lui Bok terjadi amat aneh, yaitu kakek itu menyatakan hendak mencari dan membunuh musuh besarnya, Sin-chio The Kok yang menyembunyikan diri dan mengubah namanya menjadi Hwa-i Lokai. Dialah yang dahulu menasehati orang tua ini agar jangan membalas dan membunuh, supaya jangan terikat oleh tali-temali yang sangat kusut dan sulit, yaitu tali dendam mendendam.

Dan sekarang, persis seperti beberapa tahun yang lalu, sekarang di depan kakek itu dia bersikeras hendak membalas dendam Thai-san-pai kepada orang-orang yang menyerbu Thai-san. Seketika mukanya menjadi merah dan dia tidak dapat berkata sesuatu.

Kakek itu menarik napas panjang, maklum akan isi hati Kun Hong. "Kau masih ingatkah, Kun Hong, betapa dahulu aku pernah datang ke Thai-san dan membujuk kau supaya ikut dengan aku menjadi pertapa, hidup bahagia membebaskan diri dari pada ikatan karma? Kau tidak mau dan aku hanya dapat tunduk akan kehendak Thian. Aku tak menyalahkan engkau. Pengertianmu tentang rahasia hidup memang sudah cukup, tetapi pengertian itu hanya menjadi pengetahuan dari teori buku-buku lama saja, akan tetapi kau belum dapat menguasai ilmu yang kau ketahui teorinya itu. Betapa pun juga, teori yang pernah kau nasehatkan kepadaku dulu itu telah menolongku, sebaliknya tak mampu menolong dirimu sendiri. Ini tidak aneh oleh karena kau memang masih muda, masih suka melibatkan diri dengan dunia beserta sekalian isi dan peristiwanya, kau masih belum mampu menguasai perasaan muda."

Kun Hong menunduk dan diam-diam dia dapat menangkap kebenaran kata-kata kakek ini.

"Kau masih terlalu muda untuk dapat menyelami semua teori tentang filsafat dan rahasia kehidupan, Anakku. Karena jiwamu belum masak, belum cukup kuat menghadapi gejolak perasaan sehingga mudah terpengaruh keadaan dan hawa nafsu. Sekarang pun karena bertemu dengan anak pamanmu, seluruh perasaanmu terpenuhi oleh urusan Thai-san-pai sehingga kau lupa akan tugas yang telah kau ikatkan dengan dirimu, tentang mahkota..."

Kakek itu kembali tertawa. Suara ketawanya lebih keras ketika tiba-tiba Kun Hong seperti orang tersentak kaget meraih A Wan dan serta merta bertanya,

"A Wan, di manakah adanya mahkota itu? Sudah dapat kau ambilkah?" Suaranya penuh harapan. Seperti yang tadi dikatakan oleh Sin-eng-cu Lui Bok, kini seluruh perhatiannya terpusat kepada benda rahasia itulah sehingga boleh dibilang dia lupa sama sekali akan urusan Thai-san-pai!

Sambil berlutut anak itu berkata, suaranya takut-takut, "...ampunkan, Suhu, mahkota itu... benda itu... telah dirampas orang..."

"Apa katamu?" Kun Hong marah dan kecewa sekali, kemudian sambungnya agak tenang setelah dia ingat bahwa seorang anak kecil seperti A Wan, mana sanggup melindungi mahkota itu?

“Siapakah yang merampasnya?"

Dengan suara mengandung takut kalau-kalau gurunya akan marah kepadanya, A Wan menuturkan pengalamannya.

"Tadinya benda itu teecu sembunyikan dan kubur di belakang rumah dekat sumur. Ketika Suhu menyuruh teecu mengambilnya, teecu segera pergi ke tempat itu dan menggalinya. Akan tetapi baru saja teecu mengambil benda itu dan teecu bersihkan dari tanah lumpur yang masuk ke dalam mahkota, teecu dibentak orang dan mahkota itu hendak dirampas."

''Hemmm, siapa dia? Laki-laki atau wanita?" tanya Kun Hong,

"Seorang laki-laki, akan tetapi karena keadaan gelap, teecu tidak mengenal wajahnya. Teecu mempertahankan mahkota itu, akan tetapi dia menggunakan kekerasan, lalu teecu didorong dan benda itu dapat dirampas. Pada saat itu muncul pula seorang wanita muda dan seorang laki-laki gagah dan masih muda pula. Serta merta orang muda itu menyerang orang yang tadi merampas mahkota tadi, ada pun wanita muda itu menolong teecu. Akan tetapi segera teecu ditinggalkan seorang diri ketika wanita itu melihat teecu tidak apa-apa, kemudian wanita itu membantu temannya mengeroyok laki-laki yang merampas mahkota. Entah bagaimana jadinya karena mereka bertempur sambil berlari dan berkejaran. Teecu ikut mengejar sambil berteriak-teriak minta agar benda itu dikembalikan. Tiba-tiba muncul banyak orang yang galak-galak. Teecu ditangkap dan dipaksa menyerahkan mahkota. Untung segera datang Kakek perkasa (Locianpwe) ini yang menolong teecu kemudian membawa teecu pergi seperti terbang cepatnya."

Kun Hong termenung mendengar ini. Kembali paman gurunya yang menolong A Wan, akan tetapi kenapa tidak sekalian merampas mahkota itu? Dia menjadi amat kecewa.

"Jadi mahkota itu dirampas orang?" katanya lambat-lambat dengan nada sedih.

"Suhu, apa sih gunanya benda mengkilap itu? Jika memang amat diperlukan dan sangat berharga bagi Suhu, biarlah teecu menyelundup masuk kembali ke kota raja dan pergi menyelidikinya." A Wan berkata dengan suara sedih pula sebab anak ini melihat suhunya demikian kecewa.

Kata-kata ini menyadarkan Kun Hong dan seketika mukanya berubah biasa lagi. "Ah, kau mana tahu, A Wan? Sebenarnya bukan benda emas itu yang berharga, melainkan surat yang tersembunyi di dalamnya..."

"Surat? Bertulis? Wahhh, kebetulan sekali Suhu! Teecu sudah menduga-duga surat apa ini. Surat yang disembunyikan di dalam mahkota ada pada teecu."

Sambil berkata demikian A Wan mengeluarkan segulung surat kekuning-kuningan dari dalam saku bajunya. Kun Hong segera menyambar surat itu dan meraba-raba dengan jari-jari tangannya, wajahnya berseri gembira dan bibirnya tersenyum.

"Bagaimana kau bisa mendapatkan ini? Di dalam mahkota katamu?"

"Benar, Suhu, Ketika teecu membersihkan mahkota itu, teecu menggosok-gosok sebelah dalamnya yang kotor. Tiba-tiba terdengar bunyi berdetak dan tersembullah kertas di sudut dalam mahkota. Lalu ketika mahkota itu hendak dirampas orang dan teecu pertahankan, tanpa sengaja teecu yang memegangi mahkota dengan sebelah tangan di dalamnya, mencengkeram keluar kertas ini. Teecu baru mengetahui bahwa kertas ini berada dalam genggaman teecu setelah mahkota itu dibawa lari orang."

Kun Hong mengangguk-angguk, meraba-raba kertas bergulung yang kecil itu, kemudian dia menoleh ke arah Sin-eng-cu Lui Bok yang sejak tadi hanya berdiri sambil membelai leher burung rajawali, sama sekali tidak mempedulikan percakapan antara Kun Hong dan A Wan.

"Susiok, tolonglah Susiok periksa gulungan kertas ini. Betulkah ini berisi perintah rahasia mendiang kaisar?"

Terdengar kakek itu tertawa lirih, lalu bergumam, "Terlalu dalam kau terjerumus ke dalam persoalan dunia."

Akan tetapi diterimanya juga gulungan kertas kecil itu, dibukanya dan dibacanya sebentar, lalu digulung kembali dan diangkatnya tinggi-tinggi surat itu di atas kepala sambil berkata, "Memang betul dan mendiang kaisar adalah seorang manusia yang telah berbuat banyak jasa selama hidupnya untuk bangsa. Seorang pejuang perkasa, seorang manusia berjiwa besar."

Dia mengembalikan gulungan kertas itu kepada Kun Hong yang segera menyimpannya di saku bajunya sebelah dalam. Lenyap semua kekecewaannya. Mahkota kuno itu sendiri baginya tidak mempunyai harga, yang penting adalah surat rahasia inilah.

"A Wan, kau anak baik! Kau telah berjasa besar..."

Akan tetapi A Wan yang dipuji gurunya hanya sebentar saja merasa girang karena dia teringat akan ibunya dan bertanya. "Suhu, bagaimana dengan... Ibu? Siapa yang merawat jenazahnya?"

Atas pertanyaan ini Kun Hong tak mampu menjawab. Jelas tidak mungkin baginya untuk ke rumah mendiang janda Yo yang menjadi pusat perhatian para pengawal istana. Akan tetapi dia percaya bahwa Hui Kauw tidak akan membiarkan jenazah janda itu terlantar. Dia percaya bahwa Hui Kauw yang bisa bergerak secara leluasa di kota raja akan dapat mengatur sehingga jenazah itu dapat dikubur baik-baik.

"Kau jangan khawatir, A Wan. Cici Hui Kauw tentu akan mengatur penguburan jenazah ibumu."

"Teecu hendak ke sana, Suhu! Teecu harus menunggui Ibu..." Sekarang anak itu mulai menangis.

Kun Hong mengerutkan keningnya dan menggeleng-gelengkan kepala.

"Tidak bisa, A Wan. Kau sudah dikenal, kau pun terlibat dalam urusan perebutan surat rahasia, kalau kau muncul pasti kau akan ditangkap."

"Biar teecu ditangkap, biar teecu dibunuh, teecu tidak takut. Teecu harus merawat jenazah Ibu...!"

Kun Hong amat bingung mendengar tangis muridnya yang amat menyedihkan itu. Karena tidak tahu bagaimana harus menghiburnya, dia membentak keras.

"Diam kau, A Wan! Muridku tidak boleh berhati lemah seperti ini! Pantang bagi laki-laki menangis!"

Seketika A Wan berhenti menangis, air matanya masih bercucuran ke luar dari sepasang matanya, akan tetapi mata itu kini dibuka terbelalak lebar memandang gurunya dan dia menggigit bibirnya menahan tangis. Hanya pundaknya saja yang digoyang-goyang oleh isak tangis yang tak mungkin ditahannya itu.

Kalau saja Kun Hong dapat melihat sikap muridnya ini, tentu dia akan menjadi terharu dan bangga sekali. Ketaatan bocah itu bukan sekali-kali karena takut. Semenjak kecil A Wan mendapatkan cinta kasih dari ibunya yang berwatak halus, tidak pernah dia mendapat perlakuan kasar sehingga dia tidak mempunyai sifat takut-takut. Ketaatannya kepada Kun Hong berdasarkan keseganan dan kepercayaan bahwa segala apa yang diperintahkan oleh gurunya yang dicintanya sebagai ibunya sendiri itu, pastilah benar dan baik serta harus ditaatinya.

"A Wan, muridku yang baik. Pergilah kau ke sana, ajaklah adikmu Cui Sian itu mencari kembang, aku hendak bicara dengan Susiok-couw-mu (Paman kakek gurumu)," kata Kun Hong.

Kemudian A Wan segera berdiri, menuntun tangan Cui Sian dan mereka pergi menjauh. Tak lama kemudian hanya terdengar suara ketawa Cui Sian yang nyaring ketika A Wan mengajaknya menangkap kupu-kupu yang bersayap indah.

Kini kakek itu berhadapan dengan Kun Hong. Pendekar Buta ini merasa lemah seluruh anggota tubuhnya, terbawa oleh derita batin yang ditanggungnya selama ini. Semua tugas yang dipikulnya belum ada yang terpenuhi dan kini dia menjadi bingung menghadapinya. Bagaimana dia akan dapat menunaikan semua tugas itu dengan sempurna?

"Susiok, bagaimanakah pendapat Susiok? Teecu merasa bingung... teecu yang buta ini benar-benar kehabisan akal, mohon petunjuk, Susiok."

Kembali Sin-eng-cu Lui Bok tertawa geli. "Duduklah, Kun Hong, dan mari kita bercakap-cakap."

Kun Hong lalu duduk di atas tanah, bersila di depan kakek itu yang sudah duduk bersila di atas rumput tebal...


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BUTA JILID 23


AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.