Pendekar Buta Jilid 23 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 23

"Kun Hong, kalau aku dahulu membujukmu supaya ikut denganku ke puncak gunung dan bertapa, sekarang sudah tak mungkin lagi. Kau telah mengikatkan dirimu dengan pelbagai urusan dunia dan sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan engkau harus terus melanjutkan semua tugasmu sampai selesai. Selama ini aku selalu mengikuti sepak terjangmu, dan jurus yang kau mainkan untuk membunuhi lawan-lawanmu itu sungguh-sungguh keji sekali!"

Kun Hong terkejut sekali, mengeluh dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. "Ahh, Susiok... berilah petunjuk..."

Diam-diam dia merasa malu terhadap diri sendiri. Kiranya susiok-nya ini sekarang sudah menjadi orang yang demikian saktinya sehingga dapat mengikuti semua pengalamannya. Benar-benar hebat.

"Dahulu teecu pernah berlancang mulut memberi nasehat kepada Susiok supaya jangan membunuh Hwa-i Lokai, sekarang teecu sendiri malah telah banyak membunuh orang."

"Kun Hong, aku tidak bisa menyalahkanmu karena perbuatanmu itu semata-mata hanya dalam tugas membela diri, sama sekali tidak ada niat sebelumnya di dalam hatimu untuk membunuh. Kau masih muda, tapi banyak kali hatimu terluka, terutama oleh peristiwa di puncak Thai-san di mana kau kehilangan kekasih dan sekaligus kehilangan sepasang mata. Semua itu terjadi karena kau terlalu diperhamba oleh perasaan dan sekarang pun masih menjadi hamba perasaanmu sendiri sehingga tanpa kau sengaja kau malah telah menghancurkan pengharapan dan kebahagiaan seorang wanita mulia seperti nona muka hitam itu."

Kakek itu menarik napas panjang dan Kun Hong tiba-tiba menjadi merah mukanya. Bukan main kakek ini. Sampai urusannya dengan Hui Kauw sekali pun sudah diketahuinya.

"Susiok, mohon petunjuk...," dia hanya dapat mengulang kata-kata ini.

"Agaknya sudah menjadi kehendak alam bahwa manusia ini hidupnya dipengaruhi dan dibimbing oleh rasa. Rasa menimbulkan kehendak dan kehendak melahirkan perbuatan. Jadi setiap perbuatan merupakan pelaksanaan dari pada kehendak yang akan menuruti dorongan rasa. Rasa ini halus sekali dan karenanya sering kali dipermainkan oleh nafsu. Nafsu inilah pokok pangkal segala peristiwa di dunia, karena nafsulah yang mendorong segala sesuatu di dunia ini sehingga dapat berputar. Nafsu ini besar kecilnya tergantung pada pihak ke’aku’an yang ada pada diri setiap manusia. Orang yang selalu memikirkan diri sendiri, orang yang selalu mementingkan diri pribadi, dialah seorang hamba nafsu dan sering sekali melakukan perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran."

Kun Hong adalah seorang pemuda yang sejak kecil banyak membaca filsafat, dan filsafat di atas sudah pula diketahuinya. Akan tetapi, selama ini tidak pernah dia mendapatkan seorang teman untuk diajak berdebat tentang kebenaran filsafat-filsafat itu, maka saat ini berhadapan dengan seorang sakti, dia sengaja ingin memperdalam arti pengetahuannya dan minta petunjuk agar tidak terlalu risau hatinya.

"Susiok, kalau begitu, apakah sebaiknya kita membunuh saja nafsu diri sendiri sehingga terhindar dari pada penyelewengan dalam hidup?"

Sin-eng-cu Lui Bok tertawa. "Aku tahu bahwa kau sudah mengerti akan hal ini akan tetapi agaknya menghendaki keyakinan. Baiklah, akan kucoba untuk menjelaskan. Ada orang yang bertapa dan sengaja berusaha untuk membunuh nafsunya sendiri. Sudah tentu bagi orang-orang yang melakukan hal demikian usaha ini benar. Akan tetapi bagi aku pribadi, usaha seperti itu bukanlah merupakan jalan untuk mencapai kesempurnaan. Nafsu tidak boleh dibunuh karena seperti yang sudah kukatakan tadi, nafsu adalah pendorong hidup, pendorong segala di dunia ini hingga dapat berputar dan berjalan sebagaimana mestinya menurut hukum alam. Tanpa adanya nafsu, dunia akan sunyi, akhirnya segala akan mati dan diam tak berputar lagi. Karena itulah maka kuanggap keliru bila ada yang berusaha mencari kesempurnaan dengan jalan membunuh nafsu-nafsunya sendiri."

Kun Hong mengangguk-angguk. Dia pun pernah membaca mengenai orang-orang yang berkeyakinan bahwa jalan menuju arah keutamaan dan kesempurnaan adalah membunuh nafsunya sendiri. Dan dia dapat menerima pendapat paman gurunya ini.

"Kalau begitu, bagaimana seyogyanya menghadapi nafsu-nafsu sendiri yang kadang kala menyeret kita dalam perbuatan-perbuatan maksiat itu, Susiok?"

"Nafsu adalah pelengkap yang lahir bersama hidup itu sendiri. Tubuh manusia kalau boleh diumpamakan sebuah kereta yang lengkap, maka nafsu merupakan kuda-kudanya yang dipasang di depan kereta. Si kereta tidak akan dapat bergerak maju sendiri tanpa tarikan tenaga kuda-kuda nafsu itu. Kuda-kuda nafsunya memang liar dan binal, kalau dibiarkan saja kuda-kuda itu tentu meliar dan membedal semauaya sendiri, tentu ada bahayanya kuda-kuda itu, akan dapat menjerumuskan kereta ke dalam jurang kesengsaraan hidup, mungkin berikut kusirnya sekalian karena kereta itu juga ada kusirnya, yaitu si aku yang sejati, jiwa yang menguasai seluruh kereta. Kalau kusir itu cukup pandai mengendalikan kuda-kuda liar itu dengan tali-temali berupa kesadaran, maka kuda-kuda nafsu yang liar dan binal itu dapat dipergunakan tenaganya untuk menarik maju si kereta menuju ke jalan yang benar, sesuai dengan kehendak alam. Segala sesuatu harus bergerak maju, namun kemajuan yang lurus dan benar, karena siapa yang maju dalam keadaan menyeleweng pasti akan hancur ke dalam jurang kesengsaraan. Mengertikah kau, Kun Hong?"

Kun Hong mengangguk-angguk. "Teecu mengerti, Susiok. Sungguh teecu tak menyangka bahwa Susiok tahu akan segala peristiwa yang menimpa teecu, bahkan secara kebetulan Susiok turut menyaksikan pula diserbunya Thai-san-pai oleh orang-orang jahat sehingga Susiok berhasil menyelamatkan Cui Sian. Akan tetapi, Susiok, bolehkah teecu bertanya, mengapa Susiok tidak membantu paman Beng San menghadapi orang-orang jahat yang merusak Thai-san-pai?"

"Aku tidak perlu mencampuri urusan pertempuran-pertempuran orang lain, hal itu bukan urusanku. Akan tetapi aku tidak dapat membiarkan seorang anak kecil seperti Cui Sian menjadi korban pertentangan orang-orang tua itu."

Kun Hong merasa tidak puas, dia mengerutkan keningnya. "Maaf, Susiok, terpaksa teecu harus membantah. Sungguh pun pertempuran itu bukan urusan Susiok, namun kiranya Susiok dapat membela kebenaran. Bukankah sikap seorang gagah harus selalu membela kebenaran dan keadilan di dunia ini?"

Sin-eng-cu Lui Bok tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, Kun Hong, kau bilang kebenaran dan keadilan, akan tetapi kebenaran yang mana dan keadilan yang mana? Kebenaran untuk siapa dan keadilan untuk siapa? Anakku, tahukah kau bahwa dunia ini menjadi kacau, manusia saling bermusuhan, tidak lain dan tidak bukan hanya karena mereka itu saling memperebutkan kebenaran? Kebenaran itu hanya satu, akan tetapi menjadi banyak sekali sifatnya karena tiap orang mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri! Benar dan adil bagi yang satu, belum tentu benar dan adil bagi yang lain. Dan apa bila ada dua orang saling bermusuhan untuk memperebutkan kebenaran, katanya, maka jelaslah bahwa keduanya sudah menyeleweng dari pada kebenaran sejati dan yang mereka perebutkan itu adalah kebenaran palsu, karena kebenaran untuk dirinya sendiri, kebenaran dan keadilan demi kepentingan masing-masing. Kalau di waktu itu aku membantu Thai-san-pai, apa kau kira mereka yang memusuhi Thai-san-pai menganggap aku benar dan adil? Ha-ha-ha, kurasa tidak, muridku."

Tentu saja Kun Kong dapat menerima ini karena dia pun sudah tahu akan filsafat tentang kebenaran ini. Akan tetapi dia masih penasaran karena dia amat yakin bahwa kebenaran berada di pihak pamannya.

"Maaf, Sosiok. Memang tepat apa yang Susiok uraikan itu, akan tetapi, Susiok, teecu yang bodoh berpendapat bahwa dengan melihat watak orangnya, mudah ditarik kesimpulan siapa yang benar di antara dua orang yang bermusuhan. Juga dengan pertimbangan dan akal, dapat pula kita menilai dari urusan-urusannya, siapa yang patut disebut berada di pihak kebenaran. Saya kira, tidak mungkin apa bila paman Tan Beng San yang terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa dan luhur budi pekertinya, tidak berada di pihak benar."

"Belum tentu juga, Kun Hong. Yang datang menyerbu adalah orang-orang yang hendak membalas dendam atas kematian orang-orang yang mereka kasihi dan dalam hal ini, isi hati mereka sama sekali tidak ada bedanya dengan isi hatimu sekarang yang hendak membalas dendam Thai-san-pai terhadap mereka yang telah merusaknya."

"Ahhh... begitukah kiranya...??" Kun Hong tercengang. "Bagaimana, Susiok apakah yang teecu harus lakukan? Harap beri petunjuk."

"Kau masih muda, Kun Hong. Kau sudah melibatkan dirimu dalam tali-temali karma, tidak mungkin kau dapat membebaskan dirimu sekarang. Akan tetapi, jalan satu-satunya untuk mendapatkan karma yang baik adalah bertindak selaras dengan kebajikan. Dengan dasar kebajikan dan kesadaran, kau boleh menentukan sendiri yang mana yang harus kau bela. Engkau berbeda dengan aku, engkau adalah seorang pendekar muda, harus melangkah atas dasar jejak satria. Aku seorang pertapa yang sudah mencuci tangan, sudah bebas dari pada ikatan duniawi, atau setidaknya, yang sedang berusaha untuk pembebasan itu. Kau lanjutkan saja pelaksanaan tugas-tugasmu karena semua itu tidak menyeleweng dari pada kebenaran. Kalau kau menimbang bahwa menyampaikan surat rahasia kepada raja muda yang berhak menerimanya itu sudah benar dan patut, kau lakukanlah itu. Kalau kau merasa bahwa orang-orang yang menyerbu Thai-san-pai itu berada di pihak keliru, kau boleh mencari dan menghajar mereka. Mereka adalah orang-orang Ching-coa-to bersama teman-temannya, hampir semuanya mempunyai dendam terhadap Thai-san Paicu (ketua Thai-san-pai). Ada pun tentang diri nona muka hitam itu, dialah wanita satu-satunya yang tepat untuk menggantikan kedudukan mendiang nona Tan Cui Bi di sampingmu."

Mendengar kata-kata ini muka Kun Hong berubah menjadi merah dan hatinya berdebar tidak karuan. Disinggung-singgungnya Hui Kauw dalam percakapan ini membuat dia tidak dapat membuka mulut lagi.

"Sekarang perhatikan baik-baik nasehatku yang terakhir, Kun Hong. Aku sudah melihat sebuah jurusmu yang sangat hebat dan keji itu, jurus perkawinan antara Im-yang Sin-hoat dan Kim-tiauw-kun. Dari dua macam ilmu kesaktian yang amat lurus dan bersih, kenapa bisa diciptakan menjadi sebuah jurus yang demikian keji? Siapa yang memberi petunjuk kepadamu?"

"Locianpwe Song-bun-kwi,” jawab Kun Hong terus terang.

"Ha-ha-ha, pantas, pantas saja kalau dia, si tua bangka dimabuk nafsunya sendiri itu! Kun Hong, seandainya gurumu, Bu Beng Cu masih hidup dan dapat melihat jurusmu itu, sudah pasti beliau akan merasa sedih dan malu sekali. Juga kalau pamanmu Tan Beng San melihatnya, kau tentu akan mendapat marah. Jurus apa itu namanya?"

Dengan perasaan sungkan dan malu Kun Hong menjawab lirih, "Locianpwe Song-bun-kwi yang memberi nama... ehh, jurus Sakit Hati..."

"Ha-ha-ha, namanya sama jahatnya dengan jurusnya. Tepat, tepat!" dia terkekeh-kekeh geli. "Tahukah engkau untuk apa gunanya orang mempelajari ilmu silat?"

"Untuk membela diri, menjaga diri dari pada serangan dari luar, dan untuk membela pihak yang tertindas, kaum lemah yang membutuhkan pertolongan, juga untuk menundukkan pihak yang mempergunakan kekuatan untuk berbuat sewenang-wenang, untuk membela kebenaran dan keadilan."

"Hemmm, kalau kau sudah tahu ini, kenapa menciptakan jurus yang khusus hanya untuk membunuh orang?"

Suara kakek ini demikian bengis sehingga buru-buru Kun Hong berkata, "Teecu salah selanjutnya tidak akan berani menggunakan jurus sesat itu lagi..."

Suara kakek itu lunak kembali ketika berkata, "Bukan begitu maksudku. Kau juga berhak menggabungkan Im-yang Sin-hoat dengan Kim-tiauw-kun, apa lagi kalau diingat bahwa kedua ilmu silat itu sumbernya sama, yaitu peninggalan dari Sucouw Bu Pun Su. Tanpa dasar dendam dan sakit hati kau akan dapat menciptakan jurus-jurus sakti dari kedua ilmu itu, malah tidak terbatas hanya satu jurus saja. Biarlah aku menggunakan kesempatan sekarang ini untuk memberi petunjuk kepadamu. Nah, kau bersilatlah dengan Im-yang Sin-kiam-sut kemudian Kim-tiauw-kun agar dapat kulihat kemungkinan dan letak rahasia penggabungannya nanti."

Dengan girang Kun Hong lalu bersilat, mainkan tongkatnya dengan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut yang telah dia pelajari dari Tan Beng San. Kemudian dia bersilat lagi dengan Kim-tiauw-kun, dengan langkah-langkahnya yang ajaib beserta gerakan-gerakannya yang aneh.

Berkali-kali Sin-eng-cu Lui Bok berseru menyatakan kekagumannya dan pada akhirnya dia berkata, "Hebat sekali! Aku tua bangka Lui Bok benar-benar berbahagia sekali, mata tua ini masih dapat menyaksikan kedua ilmu silat sakti dimainkan olehmu begitu baiknya. Gurumu, mendiang Suheng Bu Beng Cu tentu akan bangga sekali bila dapat melihatmu, malah Sucouw Bu Pun Su sendiri tentu tidak pernah mengira bahwa ilmu ciptaannya akan dapat dimainkan sehebat ini oleh seorang cucu murid yang buta."

Selanjutnya kakek yang sakti ini, yang selama berdiam di puncak Liong-thouw-san sudah memperdalam ilmunya, memberi petunjuk-petunjuk kepada Kun Hong bagaimana caranya menggabungkan kedua ilmu kesaktian itu menjadi sebuah ilmu silat gabungan yang luar biasa.

Hebatnya, ilmu ini masih menggunakan tenaga yang bertentangan, yaitu tenaga Im dan tenaga Yang seperti dalam ilmu sakti Im-yang Sin-hoat, akan tetapi gerakan-gerakannya dicampur dengan Kim-tiauw-kun sehingga boleh dikatakan bahwa kalau tangan kanan yang memegang tongkat pengganti pedang mainkan Im-yang Sin-kiam-sut, adalah kedua kaki mainkan langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun dan tangan kiri juga mainkan jurus-jurus serangan Kim-tiauw-kun.

Malah jurus yang disebut jurus Sakit Hati dapat dimasukkan dalam ilmu silat gabungan ini, hanya kini lain sifatnya, tidak seganas tadinya yang sekali bergerak tentu merupakan jurus maut. Biar pun daya serangannya masih hebat, tapi sekarang gerakannya dilakukan dengan penuh kesadaran sehingga dapat digunakan menurut ukuran, tidak seperti tadinya yang gerakannya dipengaruhi perasaan sakit hati dan hawa amarah sehingga dilakukan secara membuta dengan tujuan membunuh untuk memuaskan nafsu belaka.

Dengan amat tekun Kun Hong menerima petunjuk teori penggabungan itu dan diam-diam dia mencatat semuanya dalam ingatan. Malah dia lalu bersilat dengan gerakan gabungan ini, disaksikan oleh Sin-eng-cu Lui Bok yang memberi petunjuk-petunjuk di bagian yang kurang tepat.

Sementara itu, A Wan dan Cui Sian sudah kembali ke tempat ini dan dua orang bocah itu dengan bengong duduk di atas tanah sambil menonton Kun Hong bersilat. Cui Sian adalah puteri suami isteri pendekar besar sehingga semenjak kecil dia sudah sering kali melihat orang bersilat, maka tidak mengherankan apa bila sekarang ia amat tertarik dan gembira menyaksikan Kun Hong bergerak-gerak seperti itu.

Yang mengherankan adalah A Wan. Bocah ini tak pernah melihat seorang bersilat, akan tetapi sekarang amat tertarik hatinya dan hal ini saja menunjukkan bahwa dia memang berbakat dan berminat.

"Nah, sekarang kita harus berpisah, Kun Hong. Aku akan kembali ke Liong-thouw-san. A Wan akan kubawa serta karena selama kau melanjutkan usahamu untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sangat penting dan berat itu, A Wan hanya akan menjadi penghalang bagimu. Lagi pula, kurang baik kalau anak ini kau bawa menempuh bahaya-bahaya dan pertempuran, karena dia belum mempunyai dasar batin yang kuat sehingga aku khawatir kalau-kalau kelak anak ini akan menjadi tukang pukul yang kerjanya hanya memamerkan kepandaian untuk memukul orang. Juga Cui Sian kubawa, kelak kalau sudah tiba saatnya akan kukembalikan kepada orang tuanya."

Kun Hong membungkam. Mendadak hatinya terasa sunyi mendengar ucapan ini. Semua akan meninggalkannya, orang-orang yang dikasihinya ini. Apa lagi ketika terdengar suara burung rajawali emas merintih perlahan. Makin sedih hatinya.

Tiba-tiba dia berkata, "Susiok, ijinkanlah kepada Kim-tiauw-ko (kakak rajawali emas) untuk menemani teecu beberapa waktu lamanya. Teecu masih amat rindu kepadanya."

Sin-eng-cu Lui Bok tertawa. "Dia bebas, kalau dia mau boleh saja. Nah, selamat berpisah, Kun Hong."

Kakek itu menggandeng tangan kedua orang anak itu dan mengajak mereka pergi. A Wan beberapa kali menengok kepada gurunya, hanya kedua matanya saja yang memandang sedih, akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak kakek itu.

Yang luar biasa sekali adalah burung rajawali emas. Agaknya dia dapat menangkap arti percakapan tadi. Buktinya sesudah dia diberi kebebasan, agaknya dia suka memenuhi permintaan Kun Hong. Matanya memandang ke arah Lui Bok yang pergi bersama kedua orang bocah itu, akan tetapi dia tidak kelihatan bergerak hendak pergi.

Kun Hong bangkit berdiri dan merangkul lehernya. "Tiauw-ko, kau tentu suka menemani aku, bukan? Aku kesepian sekali, Tiauw-Ko..."

Burung itu mengeluarkan suara perlahan, paruhnya yang besar mengkilap dan kokoh kuat itu membelai jari-jari tangan Kun Hong. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara aneh lalu mendorong Kun Hong dengan sayapnya. Tubuh Kun Hong terpental dan burung itu sudah menyerbu dan menyerangnya!

"Ha-ha-ha-ha, Tiauw-ko, kau mengajak latihan?" Kun Hong tertawa-tawa gembira, teringat akan kebiasaan mereka dahulu di puncak Bukit Kepala Naga.

Dahulu pun burung inilah yang menjadi teman berlatih, malah boleh dibilang burung inilah yang menjadi guru pertama dalam ilmu silat! Dia sudah mengenal suara burung itu kalau mengajak berlatih dan dia tahu pula bahwa burung ini kalau mengajak latihan berkelahi, selalu berkelahi seperti sungguh-sungguh dan tidak boleh dipandang ringan sedikit pun juga!

Timbul kegembiraannya dan tiba-tiba dia teringat akan usahanya yang telah dibantu oleh Sin-eng-cu Lui Bok tadi, yaitu menggabungkan kedua ilmu silat sakti. Segera dia bergerak menghadapi dengan ilmu silat gabungan ini, menggunakan tongkatnya yang ampuh.

Kim-tiauw memang hebat luar biasa. Dari gerakan-gerakannya tahulah Kun Hong bahwa selama beberapa tahun ini, kim-tiauw sudah mendapatkan kemajuan pesat dan hebat. Kini gerakan-gerakannya jauh lebih cepat, lebih matang, sedang pancingan-pancingannya lebih bertambah.

Tetapi harus dia akui dengan hati iba bahwa dalam hal tenaga, burung ini sudah mundur banyak sekali, tanda bahwa burung ini sudah mulai tua! Sebaliknya, kim-tiauw beberapa kali mengeluarkan seruan-seruan yang bagi telinga Kun Hong terdengar seperti terkejut dan kadang-kadang kagum.

Memang baginya, dengan ilmu silat gabungan ini, amatlah mudah menghadapi kim-tiauw. Langkah ajaibnya dapat mengimbangi gerakan kim-tiauw itu, tongkatnya bisa menandingi paruh dan tangan kirinya dapat membalas semua serangan sayap. Malah, dengan amat mudahnya dapatlah dia berkali-kali menampar burung itu sebagai pengganti tusukan atau hantaman maut.

Girang hatinya bahwa kini dia dapat mempergunakan jurus Sakit Hati dengan berhasil baik tanpa membinasakan lawan. Hal ini adalah karena dia dapat menimbang tenaganya. Biar pun tenaga sakti yang amat hebat dan dahsyat itu tersalur dari dalam melalui setiap pukulannya, tetapi dia dalam keadaan sadar dan dapat mengurangi atau pun menambah tenaga, bahkan dapat menariknya kembali setiap saat dia kehendaki. Karena inilah maka kini dengan mudah dia dapat mengganti pukulan maut dengan tepukan atau tamparan tak berarti pada semua bagian tubuh rajawali emas itu tanpa melukainya.

Setelah berlatih ratusan jurus, akhirnya rajawali emas merintih perlahan lalu mendekam di atas tanah, berkali-kali mulutnya mengeluarkan suara pujian.

Kun Hong merangkulnya dan tertawa-tawa gembira. "Wah, Tiauw-ko, dengan adanya kau di sampingku, teringat aku akan masa lalu yang sangat menggembirakan. Dengan kau di sini aku tidak akan merasa kesepian lagi!"

Sehari itu Kun Hong bermain-main dengan rajawali emas yang mencarikan buah-buahan untuknya. Setelah beristirahat mereka lalu berlatih kembali. Burung itu selalu memenuhi permintaannya untuk berlatih dan makin lama makin payahlah kim-tiauw melawannya.

Bukan main girangnya hati Kun Hong dan dia amat berterima kasih kepada Sin-eng-cu Lui Bok karena berkat petunjuk kakek sakti itu, dia benar-benar telah menciptakan ilmu silat yang luar biasa, yang kehebatannya setingkat dengan jurus Sakit Hati akan tetapi tidak sekeji itu. Sehari suntuk dia berlatih dan menciptakan jurus-jurus baru yang sekiranya cocok, diambil dari pada gabungan dua ilmu silat sakti itu.

Malah sedikit banyak terdapat pula unsur saripati Ilmu Silat Hoa-san-pai yang juga dia masukkan ke dalam ilmu silat ini bila mana terdapat kecocokan. Bagaimana pun juga, Hoa-san-pai adalah partai yang dipimpin ayahnya, maka dia tidak mau meninggalkan ilmu silat partai ini.

Setelah malam tiba, Kun Hong yang sejak sore tadi beristirahat sambil bersemedhi, duduk bersila mengheningkan cipta untuk menyempurnakan hasil ciptaan ilmu silat gabungan itu sambil memulihkan tenaga dan sekalian menyembuhkan luka-lukanya, sekarang bangkit dari duduknya. Telinganya mendengar suara mengiang-ngiang dan kiranya di tempat itu terdapat banyak sekali nyamuk yang mulai beroperasi setelah sinar matahari menghilang.

Kun Hong membuat api dengan jalan mencetuskan ujung tongkatnya kepada batu hitam, membakar daun-daun kering dan sebentar kemudian di sana telah menyala api unggun. Kim-tiauw sudah biasa pula dengan pekerjaan ini, maka tanpa diperintah burung sakti ini mengumpulkan kayu-kayu kering dengan paruhnya dan menjajarkan dekat api unggun.

Setelah itu, dua orang makhluk yang bersahabat itu melayang ke atas pohon. Kun Hong duduk bersila di atas sebuah cabang pohon besar, sedangkan kim-tiauw mendekam di dekatnya. Kehangatan bulu-bulu burung itu membuat Kun Hong lebih cepat dapat terlena dalam semedhinya.

Tanpa terasa malam merayap cepat dan bulan purnama mulai muncul di ufuk timur. Api unggun masih bernyala sambil mengeluarkan bunyi gemeretak memakan kayu-kayu dan daun-daun kering.

Nyanyian burung malam yang menyambut munculnya bulan purnama menyadarkan Kun Hong dari semedhinya. Dia kemudian termenung dan diam-diam memikirkan keterangan Sin-eng-cu Lui Bok tentang orang-orang yang menyerbu Thai-san-pai.

Jadi ternyata musuh-musuh Thai-san-pai itu adalah Ching-toanio dan teman-temannya? Pantas saja mampu menyerbu Thai-san-pai, ternyata orang-orang sakti yang berada di Ching-coa-to itu adalah musuh-musuh Thai-san-pai. Dia lalu mengingat-ingat.

Menurut keterangan Hui Kauw, memang ada permusuhan antara pihak mereka dengan Thai-san-pai. Ching-toanio sendiri adalah kekasih Siauw-coa-ong Giam Kin yang tewas di Thai-san-pai, tentu nyonya galak itu memusuhi Thai-san-pai, terutama memusuhi Tan Beng San.

Orang ke dua adalah Bouw Si Ma, murid Pak Thian Lo-cu yang juga tewas di Thai-san ketika bertanding melawannya. Ada pun Ang Hwa Sam-ci-moi, tiga orang wanita sakti yang juga menjadi tamu dan sahabat Ching-toanio, adalah adik-adik seperguruan dari Hek-hwa Kui-bo yang merupakan musuh besar Tan Beng San pula.

Hanya Ka Chong Hoatsu dan Pangeran Souw Bu Lai yang tidak mempunyai permusuhan secara langsung dengan Thai-san-pai. Akan tetapi menilik hasil yang dicapai oleh para penyerbu, bukanlah hal yang dapat disangsikan lagi bahwa kakek Mongol itu tentu ikut pula membantu.

Bagaimana dengan Bun Wan putera ketua Kun-lun-pai yang dulu juga berada di Ching-coa-to? Apakah ia ikut pula membasmi Thai-san-pai? Tak mungkin dan Kun Hong menjadi lega hatinya ketika teringat bahwa ketika dia merampas kembali mahkota di Pulau Ching-coa-to bersama Hui Kauw, pemuda Kun-lun-pai itu berada di sana sedangkan Ching-toanio dan semua orang kosen tidak berada di pulau itu. Ini hanya berarti bahwa mereka sedang pergi menyerbu ke Thai-san-pai dan pemuda Kun-lun itu tidak ikut.

"Hemmm, sewaktu-waktu aku akan membalaskan penasaran ini dan akan menghadapi mereka seorang demi seorang."

Pikirannya mengingat tokoh-tokoh tadi, akan tetapi sekarang dia tak lagi dipanaskan oleh dendam dan sakit hati. Kalau dia berniat melawan mereka, adalah karena dia yakin bahwa mereka itu bukanlah orang baik-baik.

Hal ini dapat dibuktikan dari sepak terjang mereka terhadap dirinya ketika di Pulau Ching-coa-to, juga mengingat akan tokoh-tokoh yang mereka balaskan sakit hatinya adalah tokoh-tokoh jahat seperti Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-coa-ong Giam Kin. Maka tak perlu diragukan lagi bahwa mereka tentu termasuk golongan hitam yang selalu ditentang oleh para pendekar yang menjunjung tinggi kegagahan, kebenaran dan keadilan.

Bulan purnama sudah mulai naik ke atas puncak pohon-pohon di sebelah timur dan hawa malam makin dingin. Api unggun yang tadi masih bernyala gembira itu mendatangkan kehangatan yang nikmat selain mengusir nyamuk.

Tiba-tiba rajawali emas mengeluarkan suara melengking. Kun Hong kaget dan biar pun dia masih duduk bersila di atas cabang, namun seluruh perhatiannya dia tujukan kepada pendengarannya. Suara burung itu menandakan bahwa dia marah dan curiga, dan hal ini hanya bisa terjadi kalau burung itu melihat orang asing mendatangi tempat itu.

Anehnya, burung itu mendadak mengubah suaranya seperti merintih dan ragu-ragu, kini berdiri di atas cabang, tidak mendekam lagi dan kedua sayapnya bergerak-gerak. Kun Hong juga sudah dapat menangkap langkah-langkah kaki dua orang mendekati tempat itu, langkah-langkah dua orang yang mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

Burung rajawali makin aneh sikapnya, sebentar marah sebentar ragu-ragu, dan pada saat itu terdengar seruan seorang wanita.

"Paman Hong...!"

Suara seorang laki-laki yang nyaring menyusul terdengar, "Betul, paman Kun Hong dan kim-tiauw...!"

Bukan main girang dan kagetnya hati Kun Hong. Dia mengenal baik suara dua orang itu. Sin Lee dan Hui Cu! Saking girangnya Kun Hong lalu melompat turun diikuti melayangnya burung rajawali itu dari atas cabang pohon.

Rajawali itu masih kelihatan curiga dan marah, akan tetapi dia tidak bergerak menyerang. Apa lagi melihat betapa Kun Hong segera berangkulan dengan Sin Lee dan memegangi tangan Hui Cu dengan girang sekali.

Tan Sin Lee, laki-laki yang tegap dan tampan ini adalah keponakannya sendiri, karena ibu Sin Lee adalah mendiang Kwa Hong, kakak perempuan lain ibu tunggal ayah. Sin Lee adalah putera tunggal Kwa Hong dan Tan Beng San.

Sedangkan Thio Hui Cu adalah puteri tunggal paman gurunya, Thio Ki dan bibi Lee Giok. Telah kurang lebih lima tahun dia tak bertemu dengan mereka, semenjak dia menghadiri pernikahan mereka di Hoa-san dahulu.

Rajawali emas ketika melihat betapa Kun Hong bersikap ramah terhadap dua orang itu, segera menghampiri Sin Lee dan mengeluarkan suara lirih sambil menggosok-gosokkan kepalanya pada pundak orang gagah itu.

Sin Lee merangkulnya dan suaranya terharu ketika berkata, "Kim-tiauw-ko, ternyata kau tidak lupa kepadaku..." Di dalam suaranya ini terkandung penyesalan besar mengingat akan sikapnya yang buruk terhadap burung ini dahulu.

Dahulu, di waktu masih kecil, burung ini adalah teman bermain Sin Lee. Malah sebelum Kun Hong bertemu dengan rajawali emas ini, lebih dahulu Sin Lee sudah menjadi teman bermain-main dan berlatih silat. Akan tetapi karena Sin Lee bersikap keras, burung ini akhirnya pergi meninggalkannya.

"Sin Lee, Hui Cu, benar-benar amat mengejutkan kedatangan kalian ini! Sama sekali tak pernah aku mimpi bertemu dengan kalian di tempat seperti ini. Kalian hendak ke manakah dan dari mana? Dan sudah berapa orangkah anak kalian?"

Sin Lee tertawa dan Hui Cu menjadi merah mukanya.

"Ahh... paman Hong...!" cela Hui Cu.

"Ha-ha-ha-ha, Hui Cu, kau masih seperti dahulu, pemalu sekali. Apa salahnya bertanya keturunan? Sudah jamak sanak keluarga mau pun handai taulan, kalau saling bertemu setelah berpisah lama, tentulah anak yang ditanyakan lebih dulu, bukannya harta benda. Anak-anaklah harta benda dunia akhirat yang paling berharga. Bukahkah begitu?"

"Ha-ha-ha, paman Hong betul sekali. Anak kami hanya satu orang, baru berusia empat tahun, laki-laki dan sehat."

"Wah, bagus! Tetapi mengapa masih begitu kecil sudah kalian tinggalkan?" Dia cepat menegur.

"Kami titipkan kepada para inang pengasuh yang sudah kami percaya penuh," jawab Hui Cu. "Terpaksa anak itu ditinggalkan setelah kami mendengar berita buruk dari locianpwe Song-bun-kwi..."

Wajah Kun Hong menjadi sungguh-sungguh. "Hemmm, jadi kalian telah mendengar akan peristiwa di Thai-san itu?"

"Betul, paman Hong. Setelah mendengar peristiwa yang menimpa keluarga ayah, kami segera meninggalkan Lu-liang-san. Aku berpendapat bahwa yang melakukan perbuatan biadab itu adalah musuh-musuh ayah dahulu dan agaknya untuk mencari jejak mereka, tempat yang paling baik adalah di kota raja. Karena itu kami akan menuju ke kota raja. Sungguh tidak kami sangka akan bertemu dengan paman Hong di sini."

"Berbesar hatilah kalian. Adikmu Cui San sudah tertolong, baru siang tadi aku bertemu dengannya."

"Benarkah? Di mana dia? Bersama siapa?" Sin Lee cepat mendesak.

Kun Hong lalu menceriterakan pertemuannya dengan kakek Sin-eng-cu Lui Bok dan Cui Sian. Dia hanya menceriterakan yang penting saja, yaitu tentang diselamatkannya Cui Sian, tidak menceriterakan tentang hal A Wan dan lain-lain.

"Cui Sian sudah selamat dan sekarang sementara dibawa pergi oleh Susiok. Kelak tentu akan dikembalikan kepada ayahmu."

Lega rasa hati Sin Lee dan Hui Cu. Akan tetapi dengan amat penasaran Sin Lee bertanya, "Dan siapakah orang-orang yang menyerbu ke Thai-san?"

Kun Hong mengerutkan kening. Dia maklum akan kepandaian dan watak Sin Lee. Orang ini kepandaiannya cukup tinggi, akan tetapi agaknya akan berbahaya sekali kalau diberi tahu bahwa musuh-musuh itu adalah orang-orang di Ching-coa-to, karena di tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai. Apa lagi Sin Lee pergi bersama Hui Cu yang dia tahu tingkat kepandaiannya tidak setinggi suaminya.

Watak Sin Lee amat keras, kalau sudah tahu tentu tidak akan mau sudah kalau belum dapat membalas dendam. Maka dia segera berkata,

"Sin Lee dan Hui Cu, tentang itu, untuk sementara ini kiranya tidak perlu kalian ketahui. Serahkan saja hal itu kepadaku karena aku pun tidak akan tinggal diam sebelum memberi hajaran pada mereka. Soalnya memang berbelit-belit, berpangkal pada balas membalas urusan dahulu! Sekarang, ada tugas yang amat penting yang hendak kuserahkan kepada kalian, tugas yang lebih penting dari pada urusan balas membalas ini. Cui Sian sudah selamat, malah ayah dan ibumu sudah pergi meninggalkan Thai-san, tentu akan mencari orang-orang jahat itu pula. Kebetulan sekali kalian datang sehingga dapat mewakili aku melakukan tugas ini. Bersediakah kalian?"

Semenjak dahulu, Sin Lee sudah mempunyai hati kagum dan tunduk kepada Pendekar Buta ini. Dia maklum bahwa Pendekar Buta ini biar pun sikapnya seperti orang lemah dan bodoh, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, yang sudah dia saksikan dahulu ketika terjadi adu kepandaian di Thai-san.

Lagi pula, mereka meninggalkan Lu-liang-san terutama karena terdorong rasa khawatir akan keselamatan Cui Sian. Sekarang setelah Cui Sian berada dalam keadaan selamat, memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

"Baiklah, Paman Hong. Urusan apakah itu, lekas beri tahukan kepada kami, pasti akan kami laksanakan," jawabnya.

Dengan singkat akan tetapi jelas Kun Hong menceriterakan mengenai surat rahasia dari mendiang kaisar untuk disampaikan kepada Raja Muda Yung Lo di utara, menceriterakan pula betapa surat rahasia ini dijadikan perebutan karena amatlah penting artinya.

"Mengingat akan perjuangan Paman Tan Hok yang sampai mengorbankan nyawanya itu, aku telah mengambil keputusan akan melindungi surat ini dan menyampaikannya kepada yang berhak, walau pun untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawaku. Akan tetapi aku seorang buta, agaknya lebih sukar bagiku untuk dapat menyampaikannya kepada yang berhak. Oleh karena itu, aku minta bantuan kalian, bawalah surat ini dan sampaikanlah kepada Raja Muda Yung Lo di utara. Tugasmu ini tidaklah ringan dan apa bila sampai terpenuhi, jasamu untuk negara bukanlah kecil. Aku yakin surat wasiat ini akan banyak mengurangi pertumpahan darah kalau sampai terjadi perang saudara, karena tentu para pembesar di selatan yang masih setia kepada mendiang kaisar, akan tunduk terhadap seluruh isi surat wasiat ini dan tidak akan membantu kaisar muda."

Sin Lee menerima surat itu, menyimpannya dan menyanggupi untuk melaksanakan tugas itu.

"Setelah selesai tugasmu, kalian kembalilah saja ke Lu-liang-san. Kasihan anak kalian ditinggal ayah bundanya terlalu lama. Kelak aku pasti akan datang ke Lu-liang-san, ingin aku memondong anakmu itu!"

Malam itu mereka bermalam di hutan, semalam suntuk tidak dapat tidur karena mereka bercakap-cakap menceriterakan pengalaman masing-masing. Terlebih lagi Hui Cu yang merasa amat kasihan kepada pamannya ini, membujuk-bujuk agar Kun Hong kembali ke Hoa-san dan suka memilih jodoh.

Bujukan ini hanya disambut dengan senyum pahit oleh Kun Hong yang sama sekali tidak berani berceritera tentang Hui Kauw. Sementara itu, Sin Lee melepaskan rindunya kepada rajawali emas dengan mengajak burung itu bercakap-cakap seperti dulu ketika dia masih kecil. Banyak dia bicara dengan burung itu yang mendengarkan dengan terharu. Karena memang sudah bertahun-tahun burung ini hidup di samping Sin Lee, maka dia dapat mengerti banyak apa yang dibicarakan pendekar ini.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Lee dan Hui Cu berangkat meninggalkan Kun Hong. Tujuan mereka adalah ibu kota di utara. Dengan terharu Hui Cu memegang tangan Kun Hong dan berkali-kali ia berkata dengan suara penuh permohonan agar sang paman ini benar-benar akan segera datang menjenguk anaknya di Lu-liang-san.

Akhirnya mereka berpisah, suami isteri itu pergi ke utara, sedangkan Kun Hong bersama rajawali berjalan perlahan keluar dari hutan, hendak pergi ke Ching-coa-to, karena Kun Hong ingin menghadapi orang-orang yang telah merusak Thai-san-pai….
cerita silat karya kho ping hoo

Loan Ki dan Nagai Ici dengan mudah dapat memasuki kota raja. Gadis ini adalah seorang yang berwatak jujur, juga memang sedikit banyak dia sangat membanggakan ayahnya, maka siapa yang bertanya, ia pun akan mengaku terang-terangan bahwa ia adalah puteri tunggal Sin-kiam-eng Tan Beng Kui!

Justru sikapnya ini menguntungkannya, karena begitu para penjaga pintu gerbang kota raja mendengar bahwa gadis itu puteri Sin-kiam-eng dan pemuda tampan itu seorang sahabat baiknya, tanpa banyak cerewet lagi mereka mempersilakan mereka berdua masuk tanpa diperiksa lagi. Siapa orangnya di antara para penjaga tidak mengenal tokoh besar yang sekarang sudah menjadi seorang di antara para tokoh undangan The-kongcu itu?

Para mata-mata dan penyelidik pun sesudah tahu bahwa gadis ini adalah puteri tunggal Sin-kiam-eng, otomatis tidak berani sembarangan melakukan pengintaian sehingga Loan Ki dan Nagai Ici menjadi bebas dapat berkeliaran di kota raja tanpa ada yang mencurigai mereka.

Setelah melakukan perjalanan bersama Nagai Ici selama beberapa pekan ini, Loan Ki merasa makin tertarik kepada pemuda perkasa dari Jepang itu. Memang harus diakui bahwa pemuda itu adalah seorang ksatria Jepang yang berwatak gagah dan berperibudi luhur.

Meski pun seorang kesatria Samurai, akan tetapi Nagai Ici tidak seperti sebagian besar golongannya yang suka menghambakan diri sebagai tukang-tukang pukul bayaran. Dia benar-benar seorang pemuda berwatak pendekar pembela kebenaran dan keadilan.

Dia banyak berceritera kepada Loan Ki tentang negerinya sehingga gadis lincah ini tertarik sekali dan beberapa kali menyatakan keinginan hatinya hendak menyeberangi lautan dan menyaksikan negeri aneh itu dengan matanya sendiri. Tentu saja diam-diam Nagai Ici merasa berbahagia sekali. Dia sudah jatuh cinta betul-betul kepada gadis yang demikian gagahnya, yang dapat mainkan pedang sedemikian hebatnya, mampu melawan Samurai merahnya!

Juga di sepanjang perjalanan, di waktu beristirahat, keduanya bertukar ilmu dan saling mengisi sehingga bagi Nagai Ici, mulailah dia melihat kehebatan ilmu silat yang tentu saja dapat dia jadikan bahan untuk mempertinggi ilmu pedangnya.

Kedatangan Loan Ki di kota raja itu terutama sekali hendak mencari ayahnya karena ia bermaksud untuk memperkenalkan Nagai Ici kepada ayahnya dan ingin minta kepada ayahnya agar supaya suka menerima pemuda Jepang itu sebagai murid. Ketika pada hari itu ia tiba di kota raja dan mencari kamar di rumah penginapan, pelayan yang menyambut mereka dengan manis budi menyuruh mereka mengisi nama pada buku daftar tamu.

Dengan lagak gagah Loan Ki menuliskan namanya, ditambah ‘puteri Sin-kiam-eng dari Pek-tiok-lim’, sedangkan nama Nagai Ici ia tuliskan sebagai nama Han, yaitu Na Gai It!

Girang hatinya karena pengurus rumah penginapan itu serta merta memberi hormat dan berkata manis penuh hormat, "Ah, kiranya puteri dari Tan-taihiap (pendekar besar Tan)!"

Lalu pengurus ini membentak para pelayan, "He, mengapa kalian begini sembrono, tidak cepat-cepat menyambut kedatangan Tan-lihiap (pendekar wanita Tan)? Hayo lekas antar lihiap ke kamar yang paling besar! Totol kalian ini, apakah tidak tahu bahwa lihiap adalah puteri Tan-taihiap yang menjadi jagoan undangan kaisar?"

Kalau tadinya hati Loan Ki merasa girang dan bangga sekali, adalah kalimat terakhir itu menimbulkan penasaran dan tidak enak di hatinya. Ayahnya menjadi jagoan undangan kaisar. Menjadi hamba kaisar yang begitu buruk wataknya?

Ia masih teringat betapa orang-orang jahat menangkap-nangkapi gadis-gadis cantik untuk dijadikan selir kaisar baru. Malah ia bersama Nagai Ici telah membasmi orang-orang jahat yang menawan gadis-gadis itu. Di dalam hatinya, ia sudah menjadi tidak senang kepada kaisar baru, kenapa sekarang ayahnya malah membantu kaisar itu? Akan tetapi tentu saja ia tidak menyatakan sesuatu, hanya mengikuti para pelayan dan ia minta disediakan dua buah kamar.

Malam harinya, ia bersama Nagai Ici melakukan perjalanan berkeliling kota raja. Setelah mendengar bahwa ayahnya menjadi hamba kaisar, ia merasa ragu-ragu untuk menemui ayahnya di kota raja ini.

Kebetulan sekali malam hari itu dia mendengar tentang keributan yang terjadi pada hari kemarin, tentang seorang penjahat buta yang dikejar-kejar kemudian dikeroyok oleh para pengawal istana. Hatinya menjadi berdebar. Teringat ia akan Kun Hong. Kalau bukan Kun Hong, siapa lagi di dunia ini ada seorang buta yang demikian perkasa sehingga dikeroyok oleh pengawal-pengawal istana?

"Wah, agaknya gawat di kota raja ini," bisiknya kepada Nagai Ici. "Kalau benar Hong-ko (kakak Hong) orang buta yang dikeroyok itu, kita harus menyelidikinya dan kalau perlu menolongnya."

Dengan singkat dia lalu menuturkan kepada Nagai Ici tentang orang buta itu. Pemuda Jepang ini lalu bangkit semangatnya mendengar tentang diri Pendekar Buta yang gagah perkasa itu, tidak hanya ingin membantu, malah ingin bertemu dan bersahabat. Selama ini, baru sekali dia bertemu orang pandai, bukan lain gadis lincah inilah.

Demikianlah, pada keesokan malamnya, kembali Loan Ki mengajak Nagai Ici menyelidiki sampai jauh malam. Kemudian secara kebetulan dia mendengar ribut-ribut pertempuran di pondok janda Yo karena ia dan Nagai Ici berada di dekat tempat itu.

Cepat dia bersama pemuda Jepang itu lari mendekati dan alangkah terkejut hati Loan Ki pada saat dia melihat bahwa orang yang dikeroyok adalah benar-benar Kun Hong sendiri. Lebih kaget lagi hatinya ketika dia melihat ayahnya adalah seorang di antara mereka yang mengeroyok Kun Hong.

"Kita bantu dia,... wah, dia hebat...!" bisik Nagai Ici.

"Sssttt..." Loan Ki menarik tangan pemuda itu dan mengajaknya menyelinap ke tempat gelap, "...jangan..."

Nagai Ici terheran-heran dan Loan Ki menjadi pucat wajahnya. Tentu saja tidak mungkin dia membantu Kun Hong apa bila ayahnya pun berada di situ melawan Kun Hong. Mana mungkin dia melawan ayahnya sendiri?

Lagi pula, dia dapat melihat betapa orang-orang yang mengeroyok Kun Hong terdiri dari orang-orang yang luar biasa tinggi kepandaiannya. Pemuda berpedang itu, hwesio tinggi besar itu. Hebat mereka, tidak kalah oleh ayahnya! Membantu Kun Hong pun tidak akan ada gunanya.

"Wah-wah... celaka...," katanya, wajahnya yang pucat itu tampak bingung.

"Kenapa? Nona, kenapa kita tidak cepat membantunya? Dia hebat... luar biasa, hampir tidak dapat aku percaya seorang buta sehebat itu gerakannya..."

"Sssttttt... mari ikut aku..."

Loan Ki mengajak Nagai Ici menyelinap mengitari pondok itu. Ia adalah seorang gadis cerdik dan ia ingin mencari kesempatan membantu secara menggelap. Kalau perlu, dari dalam pondok itu atau dari samping pondok dia akan mempergunakan senjata rahasia menyerang orang-orang yang mengeroyok Kun Hong biar pun ia tahu hal ini tidak akan banyak berarti karena musuh-musuh Kun Hong amat sakti, akan tetapi sedikitnya dapat menganggu mereka dan dapat merupakan hiburan hatinya bahwa ia sudah menolong.

Kalau saja di situ tidak ada ayahnya, sudah pasti ia akan langsung menyerbu dan nekat serta mati-matian mengajak Nagai Ici membantu Kun Hong. Dengan adanya ayahnya di situ, nyalinya kuncup dan ia tidak berani lagi!

Ketika dia menyelinap di belakang pondok, dia melihat bayangan seorang laki-laki sedang merampas sebuah benda dari tangan seorang anak laki-laki kecil yang mempertahankan benda itu sambil berteriak-teriak, "Lepaskan... ini punyaku, lepaskan!"

Loan Ki memandang penuh perhatian. Waktu itu fajar hampir menyingsing dan di dalam keadaan gelap, Loan Ki serasa telah mengenal laki-laki yang sedang berusaha merampas benda di tangan anak itu. Timbul amarahnya ketika orang itu mendorong si anak sampai terguling roboh.

"Serang dia, rampas benda itu!" katanya kepada Nagai Ici yang tidak menanti komando ke dua lagi, serta merta memekik dan menyerbu.

Loan Ki sendiri meloncat ke dekat anak itu. Lega hatinya ketika melihat bahwa anak itu tak terluka, hanya menderita lecet-lecet saja. Perhatiannya kembali kepada Nagai Ici yang menyerbu orang itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika melihat betapa orang itu ternyata bukanlah orang sembarangan. Buktinya Nagai Ici masih belum mampu merampas benda tadi. Jangankan merampas benda, malah kini mereka sudah bertempur mempergunakan pedang dan Si Samurai Merah nampaknya terdesak!

"Keparat, lihat pedangku!" Loan Ki marah dan serta merta mencabut pedangnya sambil menyerbu.

Orang itu kaget menyaksikan berkelebatnya pedang di tangan Loan Ki yang amat gesit. Dia bergerak miring, menyambut pedang Loan Ki dengan tangkisan.....

"Traaanggggg…!"

Loan Ki merasa tangannya tergetar dan lebih kagetlah ia pada saat mengenal muka orang itu setelah kini berdekatan. Kiranya orang itu adalah Bun Wan, pemuda Kun-lun-pai yang pernah ia lihat ketika ia menjadi tawanan di Ching-coa-to! Ia makin marah ketika sekarang mengenal pula bahwa benda yang dirampas oleh Bun Wan dari tangan anak itu ternyata adalah mahkota kuno yang dahulu diperebutkan di Ching-coa-to.

"Ehh, kiranya kau, keparat! Kembalikan mahkota itu!"

Ia menerjang marah, pedangnya menjadi sinar bergulung-gulung. Nagai Ici juga memekik dengan penasaran, menggerakkan pedang samurainya mengeroyok laki-laki itu.

Orang itu memang Bun Wan adanya, putera ketua Kun-lun-pai! Ketika dia mengenal Loan Ki dia terkejut dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu melompat ke belakang, menggunakan ginkang-nya terus melarikan diri!

"Keparat, jangan lari!" Loan Ki membentak dan mengejar.

Nagai Ici ikut pula mengejar. Pemuda Jepang ini tertinggal jauh karena dalam hal ilmu lari cepat, dia kalah jauh oleh Bun Wan mau pun Loan Ki. Hal ini menyulitkan Loan Ki karena ia tidak ingin meninggalkan Nagai Ici di tempat asing dan berbahaya itu.

"Hayo, cepat kita kejar dia!" Loan Ki menunggu Nagai Ici, kemudian setelah temannya itu mendekat, ia menyambar tangannya dan diajaknya membalap untuk mengejar Bun Wan.

"Wah, hebat bukan main larinya. Kau kejarlah dulu, Nona, biar aku mengejar di belakang. Jangan biarkan dia minggat!"

Akan tetapi Loan Ki terpaksa memperlambat larinya. Memang ia harus mengejar Bun Wan dan merampas kembali mahkota itu yang agaknya sangat penting bagi Kun Hong. Akan tetapi sekali-kali dia tidak mau membiarkan Nagai Ici tertinggal di tempat ini, salah-salah bisa ditangkap dan didakwa mata-mata oleh para pengawal istana!

Karena waktu itu sinar matahari pagi sudah mulai mengusir kegelapan malam, maka biar pun tertinggal jauh, dapat juga Loan Ki melihat ke mana arah larinya Bun Wan. Ia terus mengajak Nagai Ici mengejar dan dengan kagum ia melihat betapa Bun Wan secara nekat sudah menerjang para penjaga pintu gerbang. Pemuda Kun-lun-pai yang berilmu pedang lihai sekali itu ternyata berhasil lolos dari pintu gerbang dan kabur keluar kota raja dengan cepat!

Pada saat Loan Ki dan Nagai Ici mengejar sampai di situ, gadis ini cepat berteriak membentak para penjaga yang agaknya hendak menghalangi mereka berdua.

"Tolol kalian semua! Tidak tahu jika aku puteri Sin-kiam-eng? Aku dan temanku bertugas mengejar bangsat yang kalian lepaskan tadi. Minggir, keparat!"

Di antara para penjaga ada yang mengenal gadis ini pada saat kemarin berjaga di pintu gerbang di mana Loan Ki masuk, maka mereka segera memberi jalan Loan Ki bersama Nagai Ici mengejar terus.

Belum lama mereka mengejar, tampak bayangan berkelebat dari sebelah kanan. Loan Ki memandang dan kagetlah dia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Hui Kauw, nona muka hitam yang pernah dilihatnya di Ching-coa-to.

Wah, agaknya orang-orang Ching-coa-to sudah menyelundup ke kota raja, pikirnya. Tentu nona itu bersekongkol dengan Bun Wan. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu melompat dan menerjang dengan pedangnya.

"Perempuan berhati palsu!" bentaknya karena ia lalu teringat akan semua pengalamannya ketika di Ching-coa-to, di mana wanita ini hampir dijadikan pengantin dengan Kun Hong.

Hui Kauw memang sedang mengejar Bun Wan. Seperti telah dituturkan di bagian depan, gadis ini meninggalkan Kun Hong untuk mencari A Wan yang sudah terlalu lama tak juga kembali.

Ketika mencari di belakang pondok, ia tidak dapat menemukan A Wan karena tidak tahu di mana anak itu menyimpan mahkota kuno. Dia berputar-putar mencari, lalu mendengar suara ribut-ribut dan masih sempat melihat A Wan dikurung beberapa orang pengawal. Hatinya kebat-kebit penuh kekhawatiran, kemudian terjadilah hal yang amat luar biasa.

Seorang kakek entah dari mana datangnya, dengan gerakan ringan seolah-olah bayangan sehingga bukan merupakan manusia lumrah lagi, tahu-tahu telah berada di tengah-tengah tempat itu. Sekali menggerakkan tangan dan kaki, A Wan telah disambar dan dibawanya pergi seakan-akan melayang!

Para pengawal melongo menyaksikan hal ini, kemudian maklum bahwa kakek itu tentulah seorang sakti. Mereka melakukan pengejaran, tapi kakek itu telah lenyap dari pandangan mata.

Hui Kauw mengerahkan kepandaiannya, berlari cepat mengejar pula. Ia dapat mendahului para pengawal dan dengan cepatnya ia mengejar sampai ke luar pintu gerbang.

Kakek itu seperti bukan manusia, melarikan diri bukan melalui pintu gerbang, melainkan melayang naik ke atas tembok kota yang luar biasa tinggi itu! Dia sendiri dengan mudah dibiarkan lewat pintu gerbang oleh para penjaga. Akan tetapi sesampainya di luar tembok kota, ia tidak melihat lagi bayangan kakek aneh itu.

Selagi dia kebingungan, dia melihat seorang laki-laki berlari tergesa-gesa keluar dari pintu gerbang. Ketika dia mengenal bahwa orang itu adalah Bun Wan dan gerak-geriknya amat mencurigakan, dia cepat-cepat mengejar, tidak memperhatikan lagi dua orang yang sudah mengejar lebih dahulu. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu Loan Ki memaki dan menerjangnya.

"Aiihhh, kiranya kau di sini?" tegurnya seraya mengelak.

"Kau dan manusia she Bun itu bersekongkol, ya? Awas, hari ini aku tak akan ampunkan kalian berdua!" seru Loan Ki mendongkol.

Memang telah menjadi kebiasaannya untuk bersikap menang-menangan sendiri sehingga ucapannya pun jumawa sekali, padahal ia tahu bahwa baik Bun Wan mau pun Hui Kauw ini memiliki kepandaian yang melebihi dirinya!

"Hee, kau jangan sembarangan menuduh!" seru Hui Kauw mendongkol. "Siapa yang sudi bersekongkol dengan dia itu? Aku pun hendak mengejarnya, karena dia kelihatan sangat mencurigakan."

Sambil berkata demikian, tanpa mempedulikan Loan Ki lagi, Hui Kauw cepat mengejar Bun Wan. Loan Ki dan Nagai Ici juga mengejar.

Dalam ilmu lari cepat, ternyata Bun Wan masih kalah setingkat oleh Hui Kauw. Memang ibu angkat nona ini, Ching-toanio, terkenal lihai ilmu lari cepatnya yang disebut Chouw-siang-hui (Terbang di Atas Rumput) dan ilmu lari cepat yang luar biasa ini juga sudah diturunkan kepada Hui Kauw. Maka sesudah lewat sepuluh li jauhnya, Hui Kauw sudah dapat menyusul Bun Wan. Sambil mencabut pedangnya Hui Kauw berseru keras,

"Berhenti dulu!" Nona ini sudah melihat betapa tangan kiri Bun Wan memegang mahkota kuno itu. "Kembalikan mahkota itu kepadaku!"

Bun Wan memandang heran dan penasaran. "Nona Hui Kauw, ketahuilah, aku merampas mahkota ini untuk ibumu!"

"Tidak peduli, kau harus serahkan kepadaku dan pergilah dengan aman."

"Tapi... bagaimanakah kau ini? Mahkota ini hendak kuserahkan ke Ching-coa-to..."

"Berikan kepadaku!"

"Nona, apakah kau sekarang membalik dan memusuhi ibumu sendiri!"

"Tak usah banyak cakap, kembalikan kepadaku!"

Bangkit kemarahan Bun Wan. Kesempatan ketika berhenti lari ini dia pergunakan untuk memasukkan mahkota kuno yang tidak besar itu ke dalam saku bajunya, kemudian dia menggerakkan pedang yang sejak tadi sudah berada di tangan kanan.

"Heemmm, banyak sekali aku mengalah kepadamu. Sekarang terpaksa aku tidak dapat menyerahkan mahkota itu kepadamu, apa yang hendak kau lakukan terhadapku?"

"Pedangku akan memaksamu!" Hui Kauw membentak dan pedangnya langsung bergerak melakukan penyerangan kilat.

Bun Wan cepat menangkis dan pemuda ini maklum akan kepandaian nona yang ternyata lebih lihai dari pada Hui Siang ini, maka dia pun mengerahkan tenaga dan mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang kuat. Dia maklum bahwa dirinya sedang menjadi kejaran para pengawal kerajaan, maka dia tidak mau membuang banyak waktu lagi.

Semua jurus yang dimainkannya adalah jurus pilihan dari Kun-lun Kiam-sut sehingga lihainya bukan kepalang. Dia mengira bahwa dalam beberapa jurus saja, paling banyak dalam sepuluh atau belasan jurus, dia akan sudah mampu menundukkan lawannya ini.

Akan tetapi alangkah heran, kaget dan penasarannya ketika dia menghadapi ilmu pedang yang aneh dan kuat bukan main, ilmu pedang yang jauh berbeda dengan ilmu pedang yang dia kenal dimiliki oleh Hui Siang dan Ching-toanio. Hebat ilmu pedang gadis muka hitam ini, malah agaknya tidak kalah oleh kepandaian Ching-toanio sendiri.

"Kau benar-benar tidak tahu orang mengalah!" bentak Bun Wan.

Pedangnya sekarang melakukan serangan kilat yang mematikan, karena dia tidak mau memberi hati lagi, apa lagi setelah melihat betapa dari jauh datang berlarian dua orang yang tadi di kota raja sudah mengeroyoknya, yaitu nona lincah galak yang dahulu pernah dia lihat di Ching-coa-to bersama Kun Hong, dan seorang pemuda yang dia tidak kenal, akan tetapi yang mempunyai pedang panjang aneh serta ilmu pedang yang ganjil pula.

Menghadapi kedua orang yang pernah mengeroyoknya tadi itu, dia tidak merasa gentar, akan tetapi ilmu pedang milik Hui Kauw ini benar-benar membuat dia pusing. Hendak lari, selain malu, juga akan percuma saja sebab tadi sudah ternyata olehnya betapa hebatnya ilmu lari cepat nona ini, sama dengan Hui Siang hebatnya.

Dengan seluruh kepandaiannya Bun Wan menyerang Hui Kauw. Terasalah oleh nona ini betapa kuat ilmu pedang pemuda Kun-lun-pai itu. Ia mulai terdesak, karena sungguh pun ilmu pedang rahasia yang dia pelajari itu adalah ilmu pedang yang aneh dan luar biasa, namun selama ini ia hanya berlatih seorang diri saja, tidak pernah ia pergunakan untuk bertempur sehingga sekarang kurang berhasil.

Tetapi betapa pun juga, daya pertahanan ilmu pedang ini jauh lebih kuat dari pada ilmu pedang yang dia pelajari dari Ching-toanio. Sungguh pun sekarang ia mulai terdesak dan jarang dapat membalas serangan lawan, namun untuk mengalahkan ilmu pedangnya ini, kiranya membutuhkan waktu yang tidak pendek.

Sementara itu, Loan Ki dan Nagai Ici yang mengejar cepat, sekarang telah tiba di tempat pertempuran. Melihat betapa Hui Kauw benar-benar bertempur melawan Bun Wan, Loan Ki dapat cepat mengambil pihak. Ia memberi tanda kepada Nagai Ici dan menyerbulah mereka berdua, langsung mengeroyok Bun Wan!

Tentu saja pemuda Kun-lun-pai itu menjadi repot bukan main, apa lagi ilmu pedang Loan Ki terhitung ilmu pedang yang tinggi juga, gayanya indah membingungkan karena ilmu pedang ini adalah Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut. Hanya saja nona ini belum matang betul kepandaiannya, karena memang dia anak manja yang sering kali malas-malasan untuk berlatih.

Juga ilmu pedang pemuda tampan gagah yang sangat aneh itu membingungkan dirinya, karena ilmu pedang pemuda itu mempunyai daya serang yang berbahaya dan luar biasa kuatnya. Walau pun jarang sekali menyerang karena gayanya banyak diam menanti saat dan kesempatan, akan tetapi sekali menyerang amat mengagetkan dan membahayakan.

Setiap ada kesempatan, pedang panjang itu lalu berkelebat seperti halilintar menyambar dan jika sekali terkena sabetannya, tentu tubuh akan putus menjadi dua potong! Apa lagi pekiknya yang sangat nyaring serta mengandung tenaga dalam, benar-benar menambah ampuhnya serangan itu.

Bun Wan mulai gelisah dan akhirnya dia dikurung rapat, menangkis kanan kiri, mengelak ke sana ke mari tanpa sanggup balas menyerang. Akhirnya dia berkata dengan suara keras, "Kalian bertiga ini apakah telah menjadi anjing-anjing istana pula? Nona Hui Kauw, apakah kau selain memusuhi ibu sendiri juga menghambakan diri kepada kaisar?"

Marah sekali Loan Ki karena dia dibawa-bawa dalam tuduhan ini. "Tutup mulutmu yang rusak! Siapa menjadi anjing istana? Kembalikan mahkota itu kepadaku. Benda itu dahulu milikku sebelum dirampas di Ching-coa-to!"

"Hemm, manusia-manusia goblok yang hanya mengejar harta benda!" Sambil menangkis pedang Loan Ki, Bun Wan kembali berteriak. "Kalau kalian menghendaki mahkota ini, aku pun tidak membutuhkannya. Akan tetapi tunggulah aku mencari sesuatu di dalamnya, setelah benda tersembunyi itu kuambil, biarlah mahkota ini kuberikan kepadamu. Bagai mana?"

Memang yang dia perebutkan adalah surat rahasia, bukan mahkotanya, maka setelah dia terdesak hebat, Bun Wan mencari akal dengan jalan damai. Kalau surat itu sudah dapat dia temukan, untuk apakah baginya mahkota emas ini?

Loan Ki dan Nagai Ici tidak tahu-menahu mengenai surat rahasia, maka mendengar ini mereka meragu dan mengendurkan penyerangan. Loan Ki masih ingat betapa di Ching-coa-to, pemuda Kun-lun-pai ini telah menolong Kun Hong dan minta kepada orang-orang Ching-coa-to untuk membebaskan Kun Hong. Oleh karena itu, ia pun tak pernah berniat membunuhnya dan kalau tidak terpaksa karena memperebutkan mahkota emas, ia pun tidak akan memusuhi pemuda ini.

Akan tetapi tidak demikian dengan Hui Kauw. Mendengar omongan Bun Wan itu, ia pun terkejut sekali. Ia mempertahankan mahkota kuno itu demi kepentingan Kun Hong dan ia telah mendengar dari Kun Hong bahwa Pendekar Buta itu sama sekali tidak menginginkan mahkota, melainkan surat rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Apa pun juga jadinya, ia harus membantu Kun Hong, dan surat itu harus dapat ia berikan kepada Kun Hong, kalau bisa tentu saja berikut mahkotanya.

"Tak usah banyak cakap, berikan mahkota itu kepadaku atau mampuslah!" pedangnya menyambar hebat sehingga terpaksa dengan gugup dan cepat Bun Wan lalu menangkis sekuatnya.

"Trannggggg...!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika kedua batang pedang itu bertemu dengan kerasnya. Alangkah kagetnya hati Bun Wan ketika tiba-tiba pedang di tangan Hui Kauw itu begitu bertemu, terus saja menyelinap dari samping dan langsung mengirim bacokan ke arah pundaknya.

Dia segera menjatuhkan diri ke kiri dan bergulingan, maksudnya hendak menggunakan cara ini untuk menjauhkan diri, dan mencari kesempatan untuk meloncat dan melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba menyambar angin disusul bersiutnya sambaran pedang bersinar merah.

Dia lebih kaget lagi, cepat melompat bangun sambil menggerakkan pedang menangkis. Itulah pedang samurai merah dari Nagai Ici yang sudah menerjangnya, disusul pedang Loan Ki. Dalam sekejap mata saja Bun Wan sudah dikurung dan dikeroyok tiga lagi.

"Baiklah, aku akan mengadu nyawa!" teriak Bun Wan dan dia menjadi nekat, membalas serangan tiga orang pengeroyoknya dengan jurus-jurus terlihai.

Akan tetapi kenekatannya tiada guna, malah membahayakan karena memang tiga orang pengeroyoknya itu berada di pihak yang jauh lebih kuat. Lewat belasan jurus, pedang Hui Kauw berhasil melukai pundaknya yang sebelah kanan. Pada saat itu, pedang samurai merah di tangan Nagai Ici menyambar ganas ke arah lehernya.

Bun Wan tidak sempat lagi mengelak. Pundaknya terasa sakit dan menghadapi samurai merah yang berkelebat itu, dia menangkis dan pedangnya terlepas dari tangan. Tenaga Nagai Ici amat besar dan pada saat itu, pundak kanan Bun Wan sudah terluka sehingga tenaga tangan kanannya berkurang dan ketika menangkis, tanpa dapat dia pertahankan lagi pedangnya terlepas dari tangan.

Secepat kilat Hui Kauw menyambar dengan pedangnya. Terdengar kain robek dan di lain saat mahkota itu sudah berada di tangan si nona muka hitam dan baju Bun Wan sudah terobek ujung pedang.

Loan Ki dan Nagai Ici berbareng mengirim tusukan. Bun Wan maklum bahwa tak mungkin dia dapat menghindarkan dua tusukan ini, maka dia meramkan mata menanti maut.

"Traanggg! Traanggg!"

Loan Ki dan Nagai Ici cepat menarik pedang masing-masing dan merasa tangan mereka tergetar. Kiranya Hui Kauw yang menangkis senjata mereka tadi.

"Jangan bunuh dia!" kata Hui Kauw, suaranya gemetar. "Dia calon suami Hui Siang..."

Loan Ki memandang tajam pada Hui Kauw, dapat mengerti perasaan nona ini dan tidak terus menyerang.

Hui Kauw melihat Bun Wan menundukkan kepala akan tetapi sepasang mata pemuda itu melirik dengan penuh kekecewaan. Dia lalu berkata perlahan, "Pergilah!"

Bun Wan membanting kakinya. "Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan!"

Akan tetapi karena dia tidak berdaya lagi, dia memungut pedangnya lalu pergi dari tempat itu dengan cepat.

"Berikan benda itu kepadaku!" Loan Ki berkata, kini menghadapi Hui Kauw dengan sikap mengancam.

Nagai Ici juga sudah berdiri di sampingnya, siap untuk membantu nona kekasih hatinya ini menghadapi siapa pun juga. Hatinya mulai merasa kagum. Dalam waktu singkat dia telah menyaksikan banyak orang yang memiliki kepandaian hebat.

Pemuda yang dikeroyok tadi juga sangat mengagumkan hatinya. Luar biasa sekali ilmu pedangnya. Lalu nona muka hitam ini, bukan main. Apa lagi Si Pendekar Buta tadi yang dikeroyok oleh banyak orang pandai. Mulai dia merasa girang, timbul harapannya untuk mendapatkan guru sakti seperti yang dicita-citakannya.

Melihat sikap Loan Ki, Hui Kauw tersenyum. Ia maklum bahwa Loan Ki ini adalah sahabat baik Kun Hong, maka tentu saja ia tidak mau memusuhinya. Dengan halus ia berkata,

"Adik Loan Ki, ketahuilah, aku memperebutkan mahkota ini untuk kuserahkan kepada Kun Hong." Mendadak mukanya yang menghitam itu menjadi gelap karena dia merasa jengah menyebutkan nama ini di depan Loan Ki yang dahulu menyaksikan peristiwa pengantin gagal di Ching-coa-to.

"Kau bohong! Kulihat tadi Kun Hong dikeroyok dan hampir celaka oleh banyak orang pandai, kau tidak membantunya malah ikut memperebutkan mahkota."

Kaget sekali hati Hui Kauw mendengar ini. "Betulkah itu? Siapa yang mengeroyoknya?"

"Kulihat ada seorang hwesio kosen, seorang laki-laki hitam, seorang pemuda berpedang dan... dan..." Loan Ki lantas tergagap karena berat rasa lidahnya untuk menyebut nama ayahnya.

"Dan ayahmu juga?" Hui Kauw menegas dengan muka berubah pucat dan hati berdebar penuh kecemasan.

Celaka kalau Kun Hong sudah dilihat musuh dan dikeroyok. Pantas saja A Wan juga diganggu, kiranya para jagoan istana sudah datang. Ia tahu bahwa pasti ayah Loan Ki, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui juga ikut pula mengeroyok, biar pun Loan Ki diam saja namun sinar mata gadis lincah itu nampak gugup dan malu.

"Adik Loan Ki, kau berpihak kepada siapakah? Kun Hong atau ayahmu?" Mendadak Hui Kauw bertanya dengan sungguh-sungguh.

Bingunglah Loan Ki saat ditanya begini oleh Hui Kauw, "Ahh... aku tak bisa memilih..." akhirnya dia menjawab juga. "Kalau tadi aku tidak melihat ayah di sana, pasti temanku ini aku ajak membantu Kun Hong..."

Hui Kauw segera mengambil keputusan cepat.

"Bagus, adikku." katanya sambil memegang tangan Loan Ki yang menjadi kaget melihat perubahan sikap ini. "Kau terimalah mahkota ini dan kau wakililah Kun Hong. Kau tentu mau membantunya, bukan?"

Melihat Loan Ki mengangguk tanpa menjawab, Hui Kauw cepat menyambung, "Tidak ada banyak waktu lagi. Mahkota ini mengandung sebuah surat rahasia yang menjadi rebutan. Kau wakili Kun Hong, bawa mahkota ini ke utara dan berikan kepada Raja Muda Yung Lo. Dengan begini tidak akan sia-sia Kun Hong mempunyai sahabat yang dia aku sebagai adik seperti kau ini, Maukah kau?"

Loan Ki adalah seorang yang jujur, dia percaya kepada Hui Kauw. "Dan kau sendiri?" tanyanya. "Kenapa bukan kau sendiri yang mewakilinya?"

"Bodoh kau! Bukankah Kun Hong dikeroyok di sana? Aku harus membantunya, aku harus menolong... suamiku...!" Berkata begini, Hui Kauw melepaskan mahkota di tangan Loan Ki, lalu melesat pergi dengan kecepatan kilat.

Loan Ki melongo sampai lama. Dia baru sadar ketika Nagai Ici menegurnya. Cepat-cepat mahkota itu dia simpan dalam buntalan pakaian.

"Jadi Pendekar Buta yang gagah itu adalah suami nona muka hitam ini, nona Loan Ki?"

"Bukan... ehh, tapi... ohhh,... begitulah agaknya...," jawabnya tidak karuan. Kemudian dia memandang tajam kepada jago muda Jepang itu. "Nagai Ici, aku akan pergi memenuhi permintaannya. Aku akan membawa mahkota ini ke utara dan akan kusampaikan kepada Raja Muda Yung Lo. Apakah kau suka ikut denganku?"

Serta merta Nagai Ici mengangguk. "Tentu saja, Nona, Ke mana pun kau pergi, kalau kau menghendaki, tentu aku menyertaimu. Malah... kalau kau mengijinkan, aku... aku akan membantumu dalam segala hal, biar kupertaruhkan nyawaku, selamanya..."

Kaku dan tidak karuan kalimat yang keluar dari mulut Nagai Ici, karena sukar sekali dia mengeluarkan isi hatinya yang berdebar-debar itu dengan bahasa yang belum betul-betul dikuasainya.

Sepasang mata yang jeli itu melebar, kemudian meledaklah suara tawa dari mulut yang berbibir manis mungil dan merah segar itu, yang segera ditutupnya dengan tangan. "Kau lucu... hi-hik. Tetapi kau baik sekali, Nagai Ici. Mulai sekarang, jangan sebut aku dengan nona-nonaan segala, cukup sebut namaku saja."

Dengan hati penuh kebahagiaan, Nagai Ici mengangguk-angguk. Akan tetapi mukanya berubah ketika dia melihat ke belakang Loan Ki dan cepat dia menuding. "Lihat, siapa mereka?"

Loan Ki cepat membalikkan tubuh dan melihat beberapa orang berlari cepat sekali dari arah kota raja. Ada empat orang yang berlari cepat ini dan melihat cara mereka berlari, kagetlah Loan Ki.

"Cepat, kita harus segera pergi. Mereka itu jagoan-jagoan istana yang mengejar!"

Para pengejar itu masih terlalu jauh sehingga Loan Ki tidak dapat melihat siapa adanya mereka. Akan tetapi dengan hati kebat-kebit ia menduga apakah ayahnya juga terdapat di antara mereka yang mengejarnya itu. Tanpa banyak cakap lagi ia menyambar tangan Nagai Ici dan berlari-larilah kedua orang muda itu menuju ke timur.

Celakanya, empat orang itu kini memutar arah dan jelas bahwa mereka itu mengejar dua orang muda ini. Lebih payah lagi, jalan menuju ke timur ini melalui tegal rumput yang gundul, tidak ada pohonnya sama sekali sehingga mereka berdua mudah tampak dari jauh.

Di depan, kurang lebih lima li dari situ, kelihatanlah sebuah hutan yang hijau tebal. Melihat hutan di depan ini Loan Ki mengajak Nagai Ici mempergunakan seluruh kekuatan untuk berlari cepat karena jika sampai mereka berdua dapat mencapai hutan sebelum tersusul, mereka akan mendapatkan tempat bersembunyi.

Sampai tersengal-sengal napas dua orang muda itu akibat mereka menggunakan tenaga melewati ukuran dalam usaha mereka membalap ini.

Nagai Ici agaknya kurang setuju dan beberapa kali sambil terengah-engah dia berkata, "Kenapa kita harus berlari-lari seperti dikejar setan? Empat orang itu kita lawan saja, takut apa?"

Memang, sebagai seorang pendekar, pantang baginya berlari-lari seperti ini, melarikan diri dari hanya empat orang yang mengejar mereka.

Loan Ki tadi sudah menengok beberapa kali dan jantungnya serasa hampir copot ketika ia mengenal bahwa seorang di antara keempat pengejar itu adalah... ayahnya! Mendengar ucapan Nagai Ici, dengan tersengal-sengal dia menjawab, "Kau tahu apa...? Seorang di antara mereka adalah ayah!"

Nagai Ici terkejut, akan tetapi anehnya, dia malah mengendurkan larinya.

"Hee, hayo lari cepat. Bagaimana sih engkau ini?"

Nagai Ici tersenyum, tampan sekali. "Kau aneh, Nona... ehh, Loan Ki. Kalau dia ayahmu, mengapa takut setengah mati? Bukankah kita pergi ke kota raja justru untuk mencari beliau?"

Dengan habis sabar Loan Ki menggoyang-goyang kepalanya sehingga rambutnya yang awut-awutan karena dipakai berlari itu kini sebagian menutupi pipinya, manis sekali. Dia menyambar tangan Nagai Ici lagi dan ditariknya untuk berlari lebih cepat.

"Kau tidak tahu...! Ayah membantu mereka, membantu kaisar..."

Nagai Ici tidak mengerti. "Biar pun begitu, masa hendak menyerang anak sendiri? Takut apa?"

"Iihhh, bodohnya! Aku tidak takut mereka menyerangku, tapi aku takut mereka merampas mahkota ini. Hayo!"

Nagai Ici mulai mengerti dan dia mau berlari lebih cepat lagi. Diam-diam dia bingung juga. Benar-benar kacau-balau. Sang ayah membantu kaisar, tapi si anak memusuhinya. Bagai mana ini? Mana yang benar? Apa pun juga jadinya, dia akan membantu dan membela Loan Ki, salah atau benar!

"Heeeiiiii... Loan Ki...! Berhenti...!" Mendadak terdengar suara bentakan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui.

Loan Ki pucat. Mereka sudah tiba di pinggir hutan, tetapi suara ayahnya sudah dekat di belakang. Ketika ia menengok ternyata empat orang pengejar itu sudah dekat sekali. Tak mungkin dapat bersembunyi lagi, biar pun sudah tiba di pinggir hutan.

Loan Ki putus asa dan terpaksa dia berhenti, membalikkan tubuh, tangan Nagai Ici dia lepaskan, sepasang matanya yang jeli bersinar-sinar memandang ke depan. Nagai Ici juga berdiri tegak, dadanya yang bidang turun naik karena napasnya memburu. Dia pun bersiap-siap membela nona itu, mempertaruhkan segalanya.

Empat orang pengejar itu bukan lain adalah tokoh-tokoh istana, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, Lui-kong Thian Te Cu, Bhok Hwesio dan It-to-kiam Cui Hwa! Cepat sekali gerakan mereka dan dalam beberapa menit saja mereka sudah tiba di situ, dan tidak seorang pun di antara mereka yang terengah-engah seperti halnya Loan Ki dan Nagai Ici.

Empat orang ini tadinya mengejar keluar kota raja ketika melihat rajawali emas membawa lari Kun Hong. Sebelum keluar dari kota raja, mereka mendengar pula dari beberapa orang pengawal istana tentang mahkota kuno yang katanya dirampas oleh seorang pria tidak dikenal dan yang dikejar oleh sepasang orang muda, yaitu puteri Sin-kiam-eng dan temannya.

Mendengar ini, Tan Beng Kui terkejut. Tak disangkanya bahwa Loan Ki sudah berada di kota raja, bersama seorang pemuda tampan yang gagah. Siapakah pemuda itu? Karena khawatir akan keadaan anaknya, maka dia lalu mengejar, bersama tiga orang itu yang juga ingin mengejar Kun Hong.

"Loan Ki, kenapa engkau berlari-lari?" ayahnya bertanya, suaranya bengis dan matanya menatap wajah puterinya dengan tajam.

Tan Beng Kui lalu mengerling penuh curiga kepada pemuda tampan di sebelah puterinya. Diam-diam dia harus mengakui bahwa pemuda itu tampan dan gagah, dengan pedang panjang yang melengkung di pinggang. Pemuda yang sama tidak dikenalnya.

"Ayah... aku... aku menyusul Ayah ke kota raja dan..."

"Omitohud, kiranya puteri Tan-sicu? Benar-benar hebat, ayah harimau anak pun harimau pula. Nona, apakah kau sudah berhasil merampas mahkota kuno itu?" tanya Bhok-Hwesio sambil tertawa bergelak dan matanya yang lebar memandang ke arah buntalan pakaian di punggung Loan Ki. Buntalan itu menjendol dan mencurigakan.

Loan Ki tidak menjawab, pura-pura tidak mendengar pertanyaan ini, matanya menatap wajah ayahnya, penuh permohonan dan pengharapan. Akan tetapi wajah Tan Beng Kui dengan bengis tidak memberi hati kepadanya, malah terdengar orang tua itu bertanya,

"Loan Ki kau dengar pertanyaan Bhok Losuhu? Mana mahkota itu, apakah kau sudah merampasnya?"

Biar pun ia sudah biasa dimanja, akan tetapi Loan Ki selamanya tak pernah berbohong kepada ayahnya karena ayahnya sangat benci kepada kebohongan dan semenjak kecil menanamkan dalam hati anaknya agar tidak suka berbohong.

"Sudah, Ayah. Akan tetapi mahkota kuno ini adalah milikku. Dahulu akulah yang sudah merampasnya dari tangan para perampok, dan kini sudah kembali kepadaku. Benda itu punyaku, Ayah. Sungguh, punyaku dan tidak boleh diminta oleh orang lain!"

Sin-kiam-eng cukup mengenal watak puterinya. Jujur dan keras hati. Sekali berkata tidak boleh, tentu akan mempertahankannya! Dia menjadi ragu-ragu dan berkata kepada Bhok Hwesio.

"Ada betulnya juga ucapan anak ini. Benda itu dahulu lenyap, lalu terjatuh ke tangan perampok dan anakku yang merampasnya."

Bhok Hwesio tertawa pula. "Menurut The-kongcu, yang terpenting bukanlah mahkotanya, melainkan surat yang tersimpan di dalamnya. Nona, biarkan pinceng (aku) memeriksa sebentar mahkota itu, untuk mencari surat rahasia yang tersembunyi di dalam benda itu. Pinceng hanya membutuhkan surat itu, apa bila sudah terdapat, biarlah benda emas itu pinceng berikan kepadamu untuk main-main. Ha-ha-ha!"

Loan Ki mengerutkan kerungnya. Ia pun bukan seorang bodoh. Ia tahu bahwa Kun Hong mempertahankan mahkota itu bukan semata-mata karena emasnya, akan tetapi karena rahasia yang dikandungnya itulah. Susah payah mahkota itu hendak disampaikan kepada Raja Muda Yung Lo, tentu saja bukan karena benda itu terbuat dari pada emas berharga, melainkan karena hendak menyampaikan surat rahasia itulah. Sekarang surat itu hendak diambil, habis untuk apa mahkota itu dibawa-bawa ke utara? Apa kepentingannya lagi kalau suratnya sudah diambil?

"Siapa yang percaya omonganmu? Aku tak mengenalmu!" jawabnya sambil memandang hwesio itu dengan sinar mata berapi, sedikit pun juga tidak memperlihatkan rasa takut.

"Ha-ha-ha, betul-betul anak harimau! Nona, pinceng adalah sahabat baik ayahmu, masa kau tidak percaya?" kata hwesio itu.

"Loan Ki, kau berikan mahkota itu untuk diperiksa oleh Bhok-losuhu."

Loan Ki merengut kemudian ia menepuk-nepuk buntalan pada punggungnya. "Ayah, aku mendapatkan ini dengan susah payah, dengan pedang dan dengan bahaya maut. Masa sekarang orang lain begini mudah hendak menerimanya dariku? Aku mendapatkan benda ini dengan mengandalkan kepandaian, masa orang lain tanpa mengandalkan kepandaian boleh mengambil begitu saja? Ayah, di mana kehormatan kita?"

"Omitohud, benar-benar cerdik dan gagah anakmu, Tan-sicu. Eh, saudara Lui-kong Thian Te Cu, maukah kau mewakili kita dan memperlihatkan sedikit kepandaian kepada Nona ini untuk memindahkan mahkota itu ke tangan kita?"

Lui-kong Thian Te Cu terkekeh ketawa, kemudian melangkah maju. Loan Ki memandang tajam. Kalau saja keadaannya tidak begitu menegangkan hati, tentu ia sudah tertawa geli melihat orang ini. Seorang kakek bertubuh pendek gemuk tetapi tangannya panjang sekali sampai hampir mencapai tanah, mukanya bulat seperti muka kanak-kanak. Mau apakah badut ini, pikirnya.

"Nona, kepandaian manusia tiada batasnya, akan tetapi kau hendak main-main dengan kepandaian. Jangan katakan aku orang tua keterlaluan terhadapmu kalau terpaksa aku mempergunakan kebodohan untuk mengambil mahkota itu dari buntalan di punggungmu. Tan-sicu, maafkan aku, bukan maksudku menghina puterimu. Nona, awas!"

Tiba-tiba tangannya yang kanan terulur panjang, tangan itu bergerak cepat dan tahu-tahu sudah melewati kepala Loan Ki kemudian melengkung hendak merenggut buntalan dari punggung!

Loan Ki terkejut sekali dan cepat ia menggerakkan kaki mengelak. Berkat ilmu langkah ajaib yang dia pelajari dari Kun Hong, dengan tiga kali gerakan kaki dia dapat berhasil membebaskan diri dari kurungan lengan panjang itu.

"Ho-ho-ho, kau hebat, Nona!" kata Thian Te Cu yang kini tidak berani memandang rendah lagi. Tubuhnya berkelebat dan seperti seekor burung menyambar-nyambar, dia berusaha merenggut buntalan dari punggung Loan Ki.

"Jangan kurang ajar!" tiba-tiba Nagai Ici membentak dan sekali dia menggerakkan dua tangannya, dia sudah berhasil menangkap kakek itu dan di lain saat kakek itu sudah terlempar ke udara oleh ilmu gulatnya.

Hebat kejadian ini, sampai-sampai membuat Bhok Hwesio, Tan Beng Kui dan Gui Hwa melongo saking kaget dan herannya, mengira bahwa pemuda teman Loan Ki itu begitu saktinya sehingga Thian Te Cu yang demikian lihai itu dalam satu gebrakan saja dapat dilempar ke udara!

Padahal kejadian itu bisa timbul karena Thian Te Cu terlalu memandang rendah kepada pemuda ini dan tidak mengenal keanehan ilmu gulat Jepang sehingga tanpa dapat dia pertahankan lagi, kakek gemuk pendek ini melayang ke udara bagaikan sebuah peluru kendali. Akan tetapi segera Thian Te Cu dapat menguasai kekagetannya dan dengan cekatan dia dapat melayang turun kembali lalu tiba-tiba dia menyerang Nagai Ici.

Pemuda Jepang ini karena marah hendak melindungi Loan Ki, menyambut serangan si kakek dengan kepalan tangannya. Akan tetapi kali ini dia kaget, karena begitu kepalan tangannya bertemu dengan telapak tangan kakek itu, dia berteriak kesakitan dan menarik kembali tangannya yang sudah menjadi bengkak. Sambil meringis kesakitan Nagai Ici memegangi kepalan tangan kiri itu dengan tangan kanannya.

"Kakek jahat, berani kau melukai temanku!" Loan Ki berseru dan kini ia sudah mencabut pedang, langsung ia menerjang Thian Te Cu.

Namun kakek yang lihai ini sudah bersiap sekarang. Dengan gerakan aneh dia miringkan tubuhnya, tangan kirinya diulur mencengkeram tangan Loan Ki yang memegang pedang.

Gadis itu kaget, cepat menarik kembali pedangnya, akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa buntalan pada punggungnya sudah direnggut orang. Ketika ia menoleh, kiranya tangan kanan yang panjang dari Thian Te Cu sudah berhasil merampas buntalan itu. Kini kakek itu sambil terkekeh-kekeh menyerahkan mahkota kepada Bhok Hwesio dan melemparkan buntalan pakaian kembali kepada Loan Ki yang menyambutnya dengan uring-uringan.

"Bagaimana tanganmu?" Ia menghampiri Nagai Ici yang memperlihatkan kepalan tangan kiri yang membengkak.

Loan Ki mengurut pergelangan lengan itu beberapa kali dan sebentar saja bengkak itu mengempis. Memang tangan Nagai Ici itu tidak terluka, hanya keseleo saja ketika bertemu dengan telapak tangan Thian Te Cu yang mengandung tenaga lweekang amat kuat.

Diam-diam Sin-kiam-eng menyaksikan semua peristiwa itu. Jantungnya serasa tertikam ketika dia menyaksikan sikap mesra Loan Ki terhadap pemuda itu, dan dia pun terharu menyaksikan betapa pemuda aneh itu tadi tanpa mengukur kepandaian sendiri sudah berani membela Loan Ki mati-matian.

Sementara itu, Bhok Hwesio sudah mulai memeriksa mahkota. Diputar-putar ke sana ke mari, lalu diperiksa sebelah dalamnya. Dipencet sana, pencet sini, akan tetapi tidak dapat dia menemukan sesuatu. Dengan kening berkerut hwesio itu lalu menggunakan tenaga tangannya yang luar biasa. Sekali dia berseru keras, kedua tangannya telah mematahkan mahkota menjadi dua! Dia memeriksa secara teliti dan tampaklah olehnya tempat rahasia di dalam mahkota yang sudah kosong!

"Omitohud... orang muda hendak mengakali orang tua!"

Dia melemparkan potongan mahkota ke atas tanah dan kini memandang kepada Loan Ki dengan muka merah. "Nona, di dalam mahkota ini terdapat surat rahasianya, tetapi kini ternyata sudah kosong. Harap kau jangan main-main dan lekas serahkan surat itu kepada pinceng."

Loan Ki sendiri heran dan penasaran ketika melihat bahwa mahkota itu ternyata tidak mengandung sesuatu. Hampir saja dia melakukan perjalanan jauh dengan sia-sia. Apa artinya dia membawa benda itu jauh-jauh ke utara kalau ternyata tidak ada apa-apanya? Siapakah yang telah mengambil isi mahkota itu?

"Aku tidak tahu tentang surat-surat segala," katanya.

Bhok Hwesio menoleh kepada It-to-kiam Gui Hwa. "It-to-kiam lihiap, kau seorang wanita, maka sepantasnya kaulah yang menggeledah Nona ini. Tentu surat itu telah diambil dan disimpannya."

It-to-kiam Gui Hwa adalah seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya kecil kurus, gerak-geriknya gesit. Ia melangkah maju dan siap menggeledah tubuh Loan Ki.

Nona ini mengerutkan keningnya. "Jangan sentuh aku!" bentaknya.

"Nona cilik, harap kau jangan mempermainkan kami orang-orang tua. Serahkan saja surat itu dari pada aku terpaksa harus menggunakan kekerasan," Gui Hwa mengancam.

"Ayah, apakah kau akan membiarkan saja anakmu dihina orang?" Loan Ki menjerit sambil memandang ayahnya.

Sin-kiam-eng Tan Beng Kui bingung. Tentu saja dia pun tidak senang melihat puterinya didesak begitu rupa dan diperlakukan dengan cara menghina.

"Loan Ki, kalau kau memang sudah mengambil surat itu, kau serahkan saja, jangan kau mencampuri urusan negara ini," katanya dengan suara bengis dan berpengaruh.

"Aku tidak tahu menahu tentang surat, Ayah," kata Loan Ki, suaranya tegas karena dia memang tidak membohong.

"Lebih baik jika kau berterus terang saja, Nona. Jangan main-main!" It-to-kiam Gui Hwa mengancam.

"Nenek buruk, aku sudah berterus terang, tidak tahu-menahu tentang surat itu. Kau mau apa?!" bentak Loan Ki.

"Baik, kalau begitu jangan salahkan aku jika pedangku akan merobek-robek bajumu dan menelanjangimu di sini." Gui Hwa berseru marah sambil mencabut pedangnya yang tipis dan panjang.

"Srattttt!"

Loan Ki juga mencabut pedangnya dan berkata kepada ayahnya dengan suara getir, "Ayah, bila kau tetap membiarkan anakmu dihina orang, biarlah sekarang pedangku yang akan melindungiku, lihatlah betapa anakmu tidak akan membiarkan begitu saja dihina lain orang!"

Tan Beng Kui bingung, akan tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Sementara itu, Gui Hwa telah menerjang maju menggerakkan pedangnya dengan maksud merobek-robek pakaian Loan Ki agar surat yang disembunyikan dapat dirampas, karena kalau digeledah begitu saja gadis ini tentu tidak akan mau menyerah.

Loan Ki dengan marah juga menggerakkan pedang sehingga dua orang wanita tua dan muda ini sudah bertempur dengan hebat, seru dan mati-matian.

"Jangan menghina Loan Ki!" Nagai Ici yang sudah sembuh tangan kirinya, ternyata telah mencabut pedang samurainya dan kini maju hendak membantu Loan Ki. Sikapnya garang dan bersemangat seperti seekor singa muda.

"Ho-ho-ho-ho, pemuda sombong, jangan bergerak!" Lui-kong Thian Te Cu melompat ke depan, menghadang gerakan Nagai Ici dan dia pun sudah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang tanduk seperti tanduk rusa yang panjangnya kurang lebih empat kaki, runcing dan bengkok-bengkok.

Dengan gerakan cepat dia mendahului pemuda ini, mengirim pukulan dengan senjata aneh ini ke arah pundak kanan untuk membuat tangan pemuda itu lumpuh. Dia pun sama sekali tidak berniat membunuh pemuda ini, hanya untuk merobohkan dan mengalahkan pemuda ini.

"Traaanggg... singgg... Hiaaaaattttt!!"

Kaget bukan main Lui-kong Thian Te Cu. Seperti juga tadi, kali ini dia dibikin kaget oleh gerakan aneh pemuda ini karena begitu menangkis, pedang panjang itu langsung saja menyambarnya dengan kecepatan luar biasa dan tenaga yang amat kuat. Hampir saja dia celaka oleh serangan balasan yang otomatis dari Nagai Ici ini, karena kalau dia tidak cepat-cepat membuang diri ke belakang dan lehernya terkena sambaran pedang panjang itu, tentu sekarang dia sudah menjadi setan tanpa kepala.

"Wah-wah, ilmu pedang ganas seperti iblis mengamuk! Kau ini orang apakah?" bentak kakek itu yang cepat menerjang kembali, kini dengan hati-hati sekali mainkan senjatanya yang aneh.

Karena memang tingkat kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi dari pada Nagai Ici, maka sebentar saja jago muda Jepang itu sudah menjadi repot sekali, terpaksa menggerakkan pedang samurainya ke sana sini untuk menangkis tanduk rusa yang sepertinya sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya, mengurung dirinya dari segala penjuru. Juga Loan Ki amat repot menghadapi pedang It-to-kiam Gui Hwa. Nenek ini merupakan seorang tokoh Kun-lun-pai dan dalam hal ilmu pedang, kepandaiannya bahkan lebih matang dari pada kepandaian Bun Wan. Tentu saja tingkatnya jauh lebih tinggi dari pada Loan Ki.

Dengan mudah saja nenek ini mempermainkan Loan Ki yang terpaksa mempergunakan langkah ajaib untuk menyelamatkan diri. Namun, mana bisa orang bertempur hanya main tangkis dan kelit saja? Kalau diteruskan, akhirnya dia tentu akan celaka, akan terobek bajunya dan mengalami hinaan yang hebat. Melihat keadaan itu, Tan Beng Kui menjadi lemas kaki tangannya, jantungnya berdebar dan kerongkongannya terasa kering.

Tiba-tiba saja terdengar suara keras dan... pedang samurai di tangan Nagai Ici sudah terlempar ke atas kemudian jatuh menancap tanah, sedangkan pangkal lengan kanan pemuda itu sendiri sudah terluka oleh pukulan senjata Thian Te Cu. Pukulan keras yang membuat lengan itu serasa lumpuh dan pemuda ini hanya berdiri memegangi lengannya, tidak mampu berdaya lagi menghadapi kakek yang lihai itu. Thian Te Cu tertawa-tawa bergelak atas kemenangannya. Akan tetapi, melihat betapa Loan Ki didesak hebat oleh Gui Hwa, Nagai Ici mengeluarkan pekik menyeramkan dan dengan tangan kosong dia maju menyerbu, menerkam Gui Hwa tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri!


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BUTA JILID 24


Pendekar Buta Jilid 23

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

PENDEKAR BUTA JILID 23

"Kun Hong, kalau aku dahulu membujukmu supaya ikut denganku ke puncak gunung dan bertapa, sekarang sudah tak mungkin lagi. Kau telah mengikatkan dirimu dengan pelbagai urusan dunia dan sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan engkau harus terus melanjutkan semua tugasmu sampai selesai. Selama ini aku selalu mengikuti sepak terjangmu, dan jurus yang kau mainkan untuk membunuhi lawan-lawanmu itu sungguh-sungguh keji sekali!"

Kun Hong terkejut sekali, mengeluh dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. "Ahh, Susiok... berilah petunjuk..."

Diam-diam dia merasa malu terhadap diri sendiri. Kiranya susiok-nya ini sekarang sudah menjadi orang yang demikian saktinya sehingga dapat mengikuti semua pengalamannya. Benar-benar hebat.

"Dahulu teecu pernah berlancang mulut memberi nasehat kepada Susiok supaya jangan membunuh Hwa-i Lokai, sekarang teecu sendiri malah telah banyak membunuh orang."

"Kun Hong, aku tidak bisa menyalahkanmu karena perbuatanmu itu semata-mata hanya dalam tugas membela diri, sama sekali tidak ada niat sebelumnya di dalam hatimu untuk membunuh. Kau masih muda, tapi banyak kali hatimu terluka, terutama oleh peristiwa di puncak Thai-san di mana kau kehilangan kekasih dan sekaligus kehilangan sepasang mata. Semua itu terjadi karena kau terlalu diperhamba oleh perasaan dan sekarang pun masih menjadi hamba perasaanmu sendiri sehingga tanpa kau sengaja kau malah telah menghancurkan pengharapan dan kebahagiaan seorang wanita mulia seperti nona muka hitam itu."

Kakek itu menarik napas panjang dan Kun Hong tiba-tiba menjadi merah mukanya. Bukan main kakek ini. Sampai urusannya dengan Hui Kauw sekali pun sudah diketahuinya.

"Susiok, mohon petunjuk...," dia hanya dapat mengulang kata-kata ini.

"Agaknya sudah menjadi kehendak alam bahwa manusia ini hidupnya dipengaruhi dan dibimbing oleh rasa. Rasa menimbulkan kehendak dan kehendak melahirkan perbuatan. Jadi setiap perbuatan merupakan pelaksanaan dari pada kehendak yang akan menuruti dorongan rasa. Rasa ini halus sekali dan karenanya sering kali dipermainkan oleh nafsu. Nafsu inilah pokok pangkal segala peristiwa di dunia, karena nafsulah yang mendorong segala sesuatu di dunia ini sehingga dapat berputar. Nafsu ini besar kecilnya tergantung pada pihak ke’aku’an yang ada pada diri setiap manusia. Orang yang selalu memikirkan diri sendiri, orang yang selalu mementingkan diri pribadi, dialah seorang hamba nafsu dan sering sekali melakukan perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran."

Kun Hong adalah seorang pemuda yang sejak kecil banyak membaca filsafat, dan filsafat di atas sudah pula diketahuinya. Akan tetapi, selama ini tidak pernah dia mendapatkan seorang teman untuk diajak berdebat tentang kebenaran filsafat-filsafat itu, maka saat ini berhadapan dengan seorang sakti, dia sengaja ingin memperdalam arti pengetahuannya dan minta petunjuk agar tidak terlalu risau hatinya.

"Susiok, kalau begitu, apakah sebaiknya kita membunuh saja nafsu diri sendiri sehingga terhindar dari pada penyelewengan dalam hidup?"

Sin-eng-cu Lui Bok tertawa. "Aku tahu bahwa kau sudah mengerti akan hal ini akan tetapi agaknya menghendaki keyakinan. Baiklah, akan kucoba untuk menjelaskan. Ada orang yang bertapa dan sengaja berusaha untuk membunuh nafsunya sendiri. Sudah tentu bagi orang-orang yang melakukan hal demikian usaha ini benar. Akan tetapi bagi aku pribadi, usaha seperti itu bukanlah merupakan jalan untuk mencapai kesempurnaan. Nafsu tidak boleh dibunuh karena seperti yang sudah kukatakan tadi, nafsu adalah pendorong hidup, pendorong segala di dunia ini hingga dapat berputar dan berjalan sebagaimana mestinya menurut hukum alam. Tanpa adanya nafsu, dunia akan sunyi, akhirnya segala akan mati dan diam tak berputar lagi. Karena itulah maka kuanggap keliru bila ada yang berusaha mencari kesempurnaan dengan jalan membunuh nafsu-nafsunya sendiri."

Kun Hong mengangguk-angguk. Dia pun pernah membaca mengenai orang-orang yang berkeyakinan bahwa jalan menuju arah keutamaan dan kesempurnaan adalah membunuh nafsunya sendiri. Dan dia dapat menerima pendapat paman gurunya ini.

"Kalau begitu, bagaimana seyogyanya menghadapi nafsu-nafsu sendiri yang kadang kala menyeret kita dalam perbuatan-perbuatan maksiat itu, Susiok?"

"Nafsu adalah pelengkap yang lahir bersama hidup itu sendiri. Tubuh manusia kalau boleh diumpamakan sebuah kereta yang lengkap, maka nafsu merupakan kuda-kudanya yang dipasang di depan kereta. Si kereta tidak akan dapat bergerak maju sendiri tanpa tarikan tenaga kuda-kuda nafsu itu. Kuda-kuda nafsunya memang liar dan binal, kalau dibiarkan saja kuda-kuda itu tentu meliar dan membedal semauaya sendiri, tentu ada bahayanya kuda-kuda itu, akan dapat menjerumuskan kereta ke dalam jurang kesengsaraan hidup, mungkin berikut kusirnya sekalian karena kereta itu juga ada kusirnya, yaitu si aku yang sejati, jiwa yang menguasai seluruh kereta. Kalau kusir itu cukup pandai mengendalikan kuda-kuda liar itu dengan tali-temali berupa kesadaran, maka kuda-kuda nafsu yang liar dan binal itu dapat dipergunakan tenaganya untuk menarik maju si kereta menuju ke jalan yang benar, sesuai dengan kehendak alam. Segala sesuatu harus bergerak maju, namun kemajuan yang lurus dan benar, karena siapa yang maju dalam keadaan menyeleweng pasti akan hancur ke dalam jurang kesengsaraan. Mengertikah kau, Kun Hong?"

Kun Hong mengangguk-angguk. "Teecu mengerti, Susiok. Sungguh teecu tak menyangka bahwa Susiok tahu akan segala peristiwa yang menimpa teecu, bahkan secara kebetulan Susiok turut menyaksikan pula diserbunya Thai-san-pai oleh orang-orang jahat sehingga Susiok berhasil menyelamatkan Cui Sian. Akan tetapi, Susiok, bolehkah teecu bertanya, mengapa Susiok tidak membantu paman Beng San menghadapi orang-orang jahat yang merusak Thai-san-pai?"

"Aku tidak perlu mencampuri urusan pertempuran-pertempuran orang lain, hal itu bukan urusanku. Akan tetapi aku tidak dapat membiarkan seorang anak kecil seperti Cui Sian menjadi korban pertentangan orang-orang tua itu."

Kun Hong merasa tidak puas, dia mengerutkan keningnya. "Maaf, Susiok, terpaksa teecu harus membantah. Sungguh pun pertempuran itu bukan urusan Susiok, namun kiranya Susiok dapat membela kebenaran. Bukankah sikap seorang gagah harus selalu membela kebenaran dan keadilan di dunia ini?"

Sin-eng-cu Lui Bok tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, Kun Hong, kau bilang kebenaran dan keadilan, akan tetapi kebenaran yang mana dan keadilan yang mana? Kebenaran untuk siapa dan keadilan untuk siapa? Anakku, tahukah kau bahwa dunia ini menjadi kacau, manusia saling bermusuhan, tidak lain dan tidak bukan hanya karena mereka itu saling memperebutkan kebenaran? Kebenaran itu hanya satu, akan tetapi menjadi banyak sekali sifatnya karena tiap orang mempunyai kebenarannya sendiri-sendiri! Benar dan adil bagi yang satu, belum tentu benar dan adil bagi yang lain. Dan apa bila ada dua orang saling bermusuhan untuk memperebutkan kebenaran, katanya, maka jelaslah bahwa keduanya sudah menyeleweng dari pada kebenaran sejati dan yang mereka perebutkan itu adalah kebenaran palsu, karena kebenaran untuk dirinya sendiri, kebenaran dan keadilan demi kepentingan masing-masing. Kalau di waktu itu aku membantu Thai-san-pai, apa kau kira mereka yang memusuhi Thai-san-pai menganggap aku benar dan adil? Ha-ha-ha, kurasa tidak, muridku."

Tentu saja Kun Kong dapat menerima ini karena dia pun sudah tahu akan filsafat tentang kebenaran ini. Akan tetapi dia masih penasaran karena dia amat yakin bahwa kebenaran berada di pihak pamannya.

"Maaf, Sosiok. Memang tepat apa yang Susiok uraikan itu, akan tetapi, Susiok, teecu yang bodoh berpendapat bahwa dengan melihat watak orangnya, mudah ditarik kesimpulan siapa yang benar di antara dua orang yang bermusuhan. Juga dengan pertimbangan dan akal, dapat pula kita menilai dari urusan-urusannya, siapa yang patut disebut berada di pihak kebenaran. Saya kira, tidak mungkin apa bila paman Tan Beng San yang terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa dan luhur budi pekertinya, tidak berada di pihak benar."

"Belum tentu juga, Kun Hong. Yang datang menyerbu adalah orang-orang yang hendak membalas dendam atas kematian orang-orang yang mereka kasihi dan dalam hal ini, isi hati mereka sama sekali tidak ada bedanya dengan isi hatimu sekarang yang hendak membalas dendam Thai-san-pai terhadap mereka yang telah merusaknya."

"Ahhh... begitukah kiranya...??" Kun Hong tercengang. "Bagaimana, Susiok apakah yang teecu harus lakukan? Harap beri petunjuk."

"Kau masih muda, Kun Hong. Kau sudah melibatkan dirimu dalam tali-temali karma, tidak mungkin kau dapat membebaskan dirimu sekarang. Akan tetapi, jalan satu-satunya untuk mendapatkan karma yang baik adalah bertindak selaras dengan kebajikan. Dengan dasar kebajikan dan kesadaran, kau boleh menentukan sendiri yang mana yang harus kau bela. Engkau berbeda dengan aku, engkau adalah seorang pendekar muda, harus melangkah atas dasar jejak satria. Aku seorang pertapa yang sudah mencuci tangan, sudah bebas dari pada ikatan duniawi, atau setidaknya, yang sedang berusaha untuk pembebasan itu. Kau lanjutkan saja pelaksanaan tugas-tugasmu karena semua itu tidak menyeleweng dari pada kebenaran. Kalau kau menimbang bahwa menyampaikan surat rahasia kepada raja muda yang berhak menerimanya itu sudah benar dan patut, kau lakukanlah itu. Kalau kau merasa bahwa orang-orang yang menyerbu Thai-san-pai itu berada di pihak keliru, kau boleh mencari dan menghajar mereka. Mereka adalah orang-orang Ching-coa-to bersama teman-temannya, hampir semuanya mempunyai dendam terhadap Thai-san Paicu (ketua Thai-san-pai). Ada pun tentang diri nona muka hitam itu, dialah wanita satu-satunya yang tepat untuk menggantikan kedudukan mendiang nona Tan Cui Bi di sampingmu."

Mendengar kata-kata ini muka Kun Hong berubah menjadi merah dan hatinya berdebar tidak karuan. Disinggung-singgungnya Hui Kauw dalam percakapan ini membuat dia tidak dapat membuka mulut lagi.

"Sekarang perhatikan baik-baik nasehatku yang terakhir, Kun Hong. Aku sudah melihat sebuah jurusmu yang sangat hebat dan keji itu, jurus perkawinan antara Im-yang Sin-hoat dan Kim-tiauw-kun. Dari dua macam ilmu kesaktian yang amat lurus dan bersih, kenapa bisa diciptakan menjadi sebuah jurus yang demikian keji? Siapa yang memberi petunjuk kepadamu?"

"Locianpwe Song-bun-kwi,” jawab Kun Hong terus terang.

"Ha-ha-ha, pantas, pantas saja kalau dia, si tua bangka dimabuk nafsunya sendiri itu! Kun Hong, seandainya gurumu, Bu Beng Cu masih hidup dan dapat melihat jurusmu itu, sudah pasti beliau akan merasa sedih dan malu sekali. Juga kalau pamanmu Tan Beng San melihatnya, kau tentu akan mendapat marah. Jurus apa itu namanya?"

Dengan perasaan sungkan dan malu Kun Hong menjawab lirih, "Locianpwe Song-bun-kwi yang memberi nama... ehh, jurus Sakit Hati..."

"Ha-ha-ha, namanya sama jahatnya dengan jurusnya. Tepat, tepat!" dia terkekeh-kekeh geli. "Tahukah engkau untuk apa gunanya orang mempelajari ilmu silat?"

"Untuk membela diri, menjaga diri dari pada serangan dari luar, dan untuk membela pihak yang tertindas, kaum lemah yang membutuhkan pertolongan, juga untuk menundukkan pihak yang mempergunakan kekuatan untuk berbuat sewenang-wenang, untuk membela kebenaran dan keadilan."

"Hemmm, kalau kau sudah tahu ini, kenapa menciptakan jurus yang khusus hanya untuk membunuh orang?"

Suara kakek ini demikian bengis sehingga buru-buru Kun Hong berkata, "Teecu salah selanjutnya tidak akan berani menggunakan jurus sesat itu lagi..."

Suara kakek itu lunak kembali ketika berkata, "Bukan begitu maksudku. Kau juga berhak menggabungkan Im-yang Sin-hoat dengan Kim-tiauw-kun, apa lagi kalau diingat bahwa kedua ilmu silat itu sumbernya sama, yaitu peninggalan dari Sucouw Bu Pun Su. Tanpa dasar dendam dan sakit hati kau akan dapat menciptakan jurus-jurus sakti dari kedua ilmu itu, malah tidak terbatas hanya satu jurus saja. Biarlah aku menggunakan kesempatan sekarang ini untuk memberi petunjuk kepadamu. Nah, kau bersilatlah dengan Im-yang Sin-kiam-sut kemudian Kim-tiauw-kun agar dapat kulihat kemungkinan dan letak rahasia penggabungannya nanti."

Dengan girang Kun Hong lalu bersilat, mainkan tongkatnya dengan Ilmu Pedang Im-yang Sin-kiam-sut yang telah dia pelajari dari Tan Beng San. Kemudian dia bersilat lagi dengan Kim-tiauw-kun, dengan langkah-langkahnya yang ajaib beserta gerakan-gerakannya yang aneh.

Berkali-kali Sin-eng-cu Lui Bok berseru menyatakan kekagumannya dan pada akhirnya dia berkata, "Hebat sekali! Aku tua bangka Lui Bok benar-benar berbahagia sekali, mata tua ini masih dapat menyaksikan kedua ilmu silat sakti dimainkan olehmu begitu baiknya. Gurumu, mendiang Suheng Bu Beng Cu tentu akan bangga sekali bila dapat melihatmu, malah Sucouw Bu Pun Su sendiri tentu tidak pernah mengira bahwa ilmu ciptaannya akan dapat dimainkan sehebat ini oleh seorang cucu murid yang buta."

Selanjutnya kakek yang sakti ini, yang selama berdiam di puncak Liong-thouw-san sudah memperdalam ilmunya, memberi petunjuk-petunjuk kepada Kun Hong bagaimana caranya menggabungkan kedua ilmu kesaktian itu menjadi sebuah ilmu silat gabungan yang luar biasa.

Hebatnya, ilmu ini masih menggunakan tenaga yang bertentangan, yaitu tenaga Im dan tenaga Yang seperti dalam ilmu sakti Im-yang Sin-hoat, akan tetapi gerakan-gerakannya dicampur dengan Kim-tiauw-kun sehingga boleh dikatakan bahwa kalau tangan kanan yang memegang tongkat pengganti pedang mainkan Im-yang Sin-kiam-sut, adalah kedua kaki mainkan langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun dan tangan kiri juga mainkan jurus-jurus serangan Kim-tiauw-kun.

Malah jurus yang disebut jurus Sakit Hati dapat dimasukkan dalam ilmu silat gabungan ini, hanya kini lain sifatnya, tidak seganas tadinya yang sekali bergerak tentu merupakan jurus maut. Biar pun daya serangannya masih hebat, tapi sekarang gerakannya dilakukan dengan penuh kesadaran sehingga dapat digunakan menurut ukuran, tidak seperti tadinya yang gerakannya dipengaruhi perasaan sakit hati dan hawa amarah sehingga dilakukan secara membuta dengan tujuan membunuh untuk memuaskan nafsu belaka.

Dengan amat tekun Kun Hong menerima petunjuk teori penggabungan itu dan diam-diam dia mencatat semuanya dalam ingatan. Malah dia lalu bersilat dengan gerakan gabungan ini, disaksikan oleh Sin-eng-cu Lui Bok yang memberi petunjuk-petunjuk di bagian yang kurang tepat.

Sementara itu, A Wan dan Cui Sian sudah kembali ke tempat ini dan dua orang bocah itu dengan bengong duduk di atas tanah sambil menonton Kun Hong bersilat. Cui Sian adalah puteri suami isteri pendekar besar sehingga semenjak kecil dia sudah sering kali melihat orang bersilat, maka tidak mengherankan apa bila sekarang ia amat tertarik dan gembira menyaksikan Kun Hong bergerak-gerak seperti itu.

Yang mengherankan adalah A Wan. Bocah ini tak pernah melihat seorang bersilat, akan tetapi sekarang amat tertarik hatinya dan hal ini saja menunjukkan bahwa dia memang berbakat dan berminat.

"Nah, sekarang kita harus berpisah, Kun Hong. Aku akan kembali ke Liong-thouw-san. A Wan akan kubawa serta karena selama kau melanjutkan usahamu untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sangat penting dan berat itu, A Wan hanya akan menjadi penghalang bagimu. Lagi pula, kurang baik kalau anak ini kau bawa menempuh bahaya-bahaya dan pertempuran, karena dia belum mempunyai dasar batin yang kuat sehingga aku khawatir kalau-kalau kelak anak ini akan menjadi tukang pukul yang kerjanya hanya memamerkan kepandaian untuk memukul orang. Juga Cui Sian kubawa, kelak kalau sudah tiba saatnya akan kukembalikan kepada orang tuanya."

Kun Hong membungkam. Mendadak hatinya terasa sunyi mendengar ucapan ini. Semua akan meninggalkannya, orang-orang yang dikasihinya ini. Apa lagi ketika terdengar suara burung rajawali emas merintih perlahan. Makin sedih hatinya.

Tiba-tiba dia berkata, "Susiok, ijinkanlah kepada Kim-tiauw-ko (kakak rajawali emas) untuk menemani teecu beberapa waktu lamanya. Teecu masih amat rindu kepadanya."

Sin-eng-cu Lui Bok tertawa. "Dia bebas, kalau dia mau boleh saja. Nah, selamat berpisah, Kun Hong."

Kakek itu menggandeng tangan kedua orang anak itu dan mengajak mereka pergi. A Wan beberapa kali menengok kepada gurunya, hanya kedua matanya saja yang memandang sedih, akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak kakek itu.

Yang luar biasa sekali adalah burung rajawali emas. Agaknya dia dapat menangkap arti percakapan tadi. Buktinya sesudah dia diberi kebebasan, agaknya dia suka memenuhi permintaan Kun Hong. Matanya memandang ke arah Lui Bok yang pergi bersama kedua orang bocah itu, akan tetapi dia tidak kelihatan bergerak hendak pergi.

Kun Hong bangkit berdiri dan merangkul lehernya. "Tiauw-ko, kau tentu suka menemani aku, bukan? Aku kesepian sekali, Tiauw-Ko..."

Burung itu mengeluarkan suara perlahan, paruhnya yang besar mengkilap dan kokoh kuat itu membelai jari-jari tangan Kun Hong. Tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara aneh lalu mendorong Kun Hong dengan sayapnya. Tubuh Kun Hong terpental dan burung itu sudah menyerbu dan menyerangnya!

"Ha-ha-ha-ha, Tiauw-ko, kau mengajak latihan?" Kun Hong tertawa-tawa gembira, teringat akan kebiasaan mereka dahulu di puncak Bukit Kepala Naga.

Dahulu pun burung inilah yang menjadi teman berlatih, malah boleh dibilang burung inilah yang menjadi guru pertama dalam ilmu silat! Dia sudah mengenal suara burung itu kalau mengajak berlatih dan dia tahu pula bahwa burung ini kalau mengajak latihan berkelahi, selalu berkelahi seperti sungguh-sungguh dan tidak boleh dipandang ringan sedikit pun juga!

Timbul kegembiraannya dan tiba-tiba dia teringat akan usahanya yang telah dibantu oleh Sin-eng-cu Lui Bok tadi, yaitu menggabungkan kedua ilmu silat sakti. Segera dia bergerak menghadapi dengan ilmu silat gabungan ini, menggunakan tongkatnya yang ampuh.

Kim-tiauw memang hebat luar biasa. Dari gerakan-gerakannya tahulah Kun Hong bahwa selama beberapa tahun ini, kim-tiauw sudah mendapatkan kemajuan pesat dan hebat. Kini gerakan-gerakannya jauh lebih cepat, lebih matang, sedang pancingan-pancingannya lebih bertambah.

Tetapi harus dia akui dengan hati iba bahwa dalam hal tenaga, burung ini sudah mundur banyak sekali, tanda bahwa burung ini sudah mulai tua! Sebaliknya, kim-tiauw beberapa kali mengeluarkan seruan-seruan yang bagi telinga Kun Hong terdengar seperti terkejut dan kadang-kadang kagum.

Memang baginya, dengan ilmu silat gabungan ini, amatlah mudah menghadapi kim-tiauw. Langkah ajaibnya dapat mengimbangi gerakan kim-tiauw itu, tongkatnya bisa menandingi paruh dan tangan kirinya dapat membalas semua serangan sayap. Malah, dengan amat mudahnya dapatlah dia berkali-kali menampar burung itu sebagai pengganti tusukan atau hantaman maut.

Girang hatinya bahwa kini dia dapat mempergunakan jurus Sakit Hati dengan berhasil baik tanpa membinasakan lawan. Hal ini adalah karena dia dapat menimbang tenaganya. Biar pun tenaga sakti yang amat hebat dan dahsyat itu tersalur dari dalam melalui setiap pukulannya, tetapi dia dalam keadaan sadar dan dapat mengurangi atau pun menambah tenaga, bahkan dapat menariknya kembali setiap saat dia kehendaki. Karena inilah maka kini dengan mudah dia dapat mengganti pukulan maut dengan tepukan atau tamparan tak berarti pada semua bagian tubuh rajawali emas itu tanpa melukainya.

Setelah berlatih ratusan jurus, akhirnya rajawali emas merintih perlahan lalu mendekam di atas tanah, berkali-kali mulutnya mengeluarkan suara pujian.

Kun Hong merangkulnya dan tertawa-tawa gembira. "Wah, Tiauw-ko, dengan adanya kau di sampingku, teringat aku akan masa lalu yang sangat menggembirakan. Dengan kau di sini aku tidak akan merasa kesepian lagi!"

Sehari itu Kun Hong bermain-main dengan rajawali emas yang mencarikan buah-buahan untuknya. Setelah beristirahat mereka lalu berlatih kembali. Burung itu selalu memenuhi permintaannya untuk berlatih dan makin lama makin payahlah kim-tiauw melawannya.

Bukan main girangnya hati Kun Hong dan dia amat berterima kasih kepada Sin-eng-cu Lui Bok karena berkat petunjuk kakek sakti itu, dia benar-benar telah menciptakan ilmu silat yang luar biasa, yang kehebatannya setingkat dengan jurus Sakit Hati akan tetapi tidak sekeji itu. Sehari suntuk dia berlatih dan menciptakan jurus-jurus baru yang sekiranya cocok, diambil dari pada gabungan dua ilmu silat sakti itu.

Malah sedikit banyak terdapat pula unsur saripati Ilmu Silat Hoa-san-pai yang juga dia masukkan ke dalam ilmu silat ini bila mana terdapat kecocokan. Bagaimana pun juga, Hoa-san-pai adalah partai yang dipimpin ayahnya, maka dia tidak mau meninggalkan ilmu silat partai ini.

Setelah malam tiba, Kun Hong yang sejak sore tadi beristirahat sambil bersemedhi, duduk bersila mengheningkan cipta untuk menyempurnakan hasil ciptaan ilmu silat gabungan itu sambil memulihkan tenaga dan sekalian menyembuhkan luka-lukanya, sekarang bangkit dari duduknya. Telinganya mendengar suara mengiang-ngiang dan kiranya di tempat itu terdapat banyak sekali nyamuk yang mulai beroperasi setelah sinar matahari menghilang.

Kun Hong membuat api dengan jalan mencetuskan ujung tongkatnya kepada batu hitam, membakar daun-daun kering dan sebentar kemudian di sana telah menyala api unggun. Kim-tiauw sudah biasa pula dengan pekerjaan ini, maka tanpa diperintah burung sakti ini mengumpulkan kayu-kayu kering dengan paruhnya dan menjajarkan dekat api unggun.

Setelah itu, dua orang makhluk yang bersahabat itu melayang ke atas pohon. Kun Hong duduk bersila di atas sebuah cabang pohon besar, sedangkan kim-tiauw mendekam di dekatnya. Kehangatan bulu-bulu burung itu membuat Kun Hong lebih cepat dapat terlena dalam semedhinya.

Tanpa terasa malam merayap cepat dan bulan purnama mulai muncul di ufuk timur. Api unggun masih bernyala sambil mengeluarkan bunyi gemeretak memakan kayu-kayu dan daun-daun kering.

Nyanyian burung malam yang menyambut munculnya bulan purnama menyadarkan Kun Hong dari semedhinya. Dia kemudian termenung dan diam-diam memikirkan keterangan Sin-eng-cu Lui Bok tentang orang-orang yang menyerbu Thai-san-pai.

Jadi ternyata musuh-musuh Thai-san-pai itu adalah Ching-toanio dan teman-temannya? Pantas saja mampu menyerbu Thai-san-pai, ternyata orang-orang sakti yang berada di Ching-coa-to itu adalah musuh-musuh Thai-san-pai. Dia lalu mengingat-ingat.

Menurut keterangan Hui Kauw, memang ada permusuhan antara pihak mereka dengan Thai-san-pai. Ching-toanio sendiri adalah kekasih Siauw-coa-ong Giam Kin yang tewas di Thai-san-pai, tentu nyonya galak itu memusuhi Thai-san-pai, terutama memusuhi Tan Beng San.

Orang ke dua adalah Bouw Si Ma, murid Pak Thian Lo-cu yang juga tewas di Thai-san ketika bertanding melawannya. Ada pun Ang Hwa Sam-ci-moi, tiga orang wanita sakti yang juga menjadi tamu dan sahabat Ching-toanio, adalah adik-adik seperguruan dari Hek-hwa Kui-bo yang merupakan musuh besar Tan Beng San pula.

Hanya Ka Chong Hoatsu dan Pangeran Souw Bu Lai yang tidak mempunyai permusuhan secara langsung dengan Thai-san-pai. Akan tetapi menilik hasil yang dicapai oleh para penyerbu, bukanlah hal yang dapat disangsikan lagi bahwa kakek Mongol itu tentu ikut pula membantu.

Bagaimana dengan Bun Wan putera ketua Kun-lun-pai yang dulu juga berada di Ching-coa-to? Apakah ia ikut pula membasmi Thai-san-pai? Tak mungkin dan Kun Hong menjadi lega hatinya ketika teringat bahwa ketika dia merampas kembali mahkota di Pulau Ching-coa-to bersama Hui Kauw, pemuda Kun-lun-pai itu berada di sana sedangkan Ching-toanio dan semua orang kosen tidak berada di pulau itu. Ini hanya berarti bahwa mereka sedang pergi menyerbu ke Thai-san-pai dan pemuda Kun-lun itu tidak ikut.

"Hemmm, sewaktu-waktu aku akan membalaskan penasaran ini dan akan menghadapi mereka seorang demi seorang."

Pikirannya mengingat tokoh-tokoh tadi, akan tetapi sekarang dia tak lagi dipanaskan oleh dendam dan sakit hati. Kalau dia berniat melawan mereka, adalah karena dia yakin bahwa mereka itu bukanlah orang baik-baik.

Hal ini dapat dibuktikan dari sepak terjang mereka terhadap dirinya ketika di Pulau Ching-coa-to, juga mengingat akan tokoh-tokoh yang mereka balaskan sakit hatinya adalah tokoh-tokoh jahat seperti Hek-hwa Kui-bo dan Siauw-coa-ong Giam Kin. Maka tak perlu diragukan lagi bahwa mereka tentu termasuk golongan hitam yang selalu ditentang oleh para pendekar yang menjunjung tinggi kegagahan, kebenaran dan keadilan.

Bulan purnama sudah mulai naik ke atas puncak pohon-pohon di sebelah timur dan hawa malam makin dingin. Api unggun yang tadi masih bernyala gembira itu mendatangkan kehangatan yang nikmat selain mengusir nyamuk.

Tiba-tiba rajawali emas mengeluarkan suara melengking. Kun Hong kaget dan biar pun dia masih duduk bersila di atas cabang, namun seluruh perhatiannya dia tujukan kepada pendengarannya. Suara burung itu menandakan bahwa dia marah dan curiga, dan hal ini hanya bisa terjadi kalau burung itu melihat orang asing mendatangi tempat itu.

Anehnya, burung itu mendadak mengubah suaranya seperti merintih dan ragu-ragu, kini berdiri di atas cabang, tidak mendekam lagi dan kedua sayapnya bergerak-gerak. Kun Hong juga sudah dapat menangkap langkah-langkah kaki dua orang mendekati tempat itu, langkah-langkah dua orang yang mempergunakan ilmu meringankan tubuh.

Burung rajawali makin aneh sikapnya, sebentar marah sebentar ragu-ragu, dan pada saat itu terdengar seruan seorang wanita.

"Paman Hong...!"

Suara seorang laki-laki yang nyaring menyusul terdengar, "Betul, paman Kun Hong dan kim-tiauw...!"

Bukan main girang dan kagetnya hati Kun Hong. Dia mengenal baik suara dua orang itu. Sin Lee dan Hui Cu! Saking girangnya Kun Hong lalu melompat turun diikuti melayangnya burung rajawali itu dari atas cabang pohon.

Rajawali itu masih kelihatan curiga dan marah, akan tetapi dia tidak bergerak menyerang. Apa lagi melihat betapa Kun Hong segera berangkulan dengan Sin Lee dan memegangi tangan Hui Cu dengan girang sekali.

Tan Sin Lee, laki-laki yang tegap dan tampan ini adalah keponakannya sendiri, karena ibu Sin Lee adalah mendiang Kwa Hong, kakak perempuan lain ibu tunggal ayah. Sin Lee adalah putera tunggal Kwa Hong dan Tan Beng San.

Sedangkan Thio Hui Cu adalah puteri tunggal paman gurunya, Thio Ki dan bibi Lee Giok. Telah kurang lebih lima tahun dia tak bertemu dengan mereka, semenjak dia menghadiri pernikahan mereka di Hoa-san dahulu.

Rajawali emas ketika melihat betapa Kun Hong bersikap ramah terhadap dua orang itu, segera menghampiri Sin Lee dan mengeluarkan suara lirih sambil menggosok-gosokkan kepalanya pada pundak orang gagah itu.

Sin Lee merangkulnya dan suaranya terharu ketika berkata, "Kim-tiauw-ko, ternyata kau tidak lupa kepadaku..." Di dalam suaranya ini terkandung penyesalan besar mengingat akan sikapnya yang buruk terhadap burung ini dahulu.

Dahulu, di waktu masih kecil, burung ini adalah teman bermain Sin Lee. Malah sebelum Kun Hong bertemu dengan rajawali emas ini, lebih dahulu Sin Lee sudah menjadi teman bermain-main dan berlatih silat. Akan tetapi karena Sin Lee bersikap keras, burung ini akhirnya pergi meninggalkannya.

"Sin Lee, Hui Cu, benar-benar amat mengejutkan kedatangan kalian ini! Sama sekali tak pernah aku mimpi bertemu dengan kalian di tempat seperti ini. Kalian hendak ke manakah dan dari mana? Dan sudah berapa orangkah anak kalian?"

Sin Lee tertawa dan Hui Cu menjadi merah mukanya.

"Ahh... paman Hong...!" cela Hui Cu.

"Ha-ha-ha-ha, Hui Cu, kau masih seperti dahulu, pemalu sekali. Apa salahnya bertanya keturunan? Sudah jamak sanak keluarga mau pun handai taulan, kalau saling bertemu setelah berpisah lama, tentulah anak yang ditanyakan lebih dulu, bukannya harta benda. Anak-anaklah harta benda dunia akhirat yang paling berharga. Bukahkah begitu?"

"Ha-ha-ha, paman Hong betul sekali. Anak kami hanya satu orang, baru berusia empat tahun, laki-laki dan sehat."

"Wah, bagus! Tetapi mengapa masih begitu kecil sudah kalian tinggalkan?" Dia cepat menegur.

"Kami titipkan kepada para inang pengasuh yang sudah kami percaya penuh," jawab Hui Cu. "Terpaksa anak itu ditinggalkan setelah kami mendengar berita buruk dari locianpwe Song-bun-kwi..."

Wajah Kun Hong menjadi sungguh-sungguh. "Hemmm, jadi kalian telah mendengar akan peristiwa di Thai-san itu?"

"Betul, paman Hong. Setelah mendengar peristiwa yang menimpa keluarga ayah, kami segera meninggalkan Lu-liang-san. Aku berpendapat bahwa yang melakukan perbuatan biadab itu adalah musuh-musuh ayah dahulu dan agaknya untuk mencari jejak mereka, tempat yang paling baik adalah di kota raja. Karena itu kami akan menuju ke kota raja. Sungguh tidak kami sangka akan bertemu dengan paman Hong di sini."

"Berbesar hatilah kalian. Adikmu Cui San sudah tertolong, baru siang tadi aku bertemu dengannya."

"Benarkah? Di mana dia? Bersama siapa?" Sin Lee cepat mendesak.

Kun Hong lalu menceriterakan pertemuannya dengan kakek Sin-eng-cu Lui Bok dan Cui Sian. Dia hanya menceriterakan yang penting saja, yaitu tentang diselamatkannya Cui Sian, tidak menceriterakan tentang hal A Wan dan lain-lain.

"Cui Sian sudah selamat dan sekarang sementara dibawa pergi oleh Susiok. Kelak tentu akan dikembalikan kepada ayahmu."

Lega rasa hati Sin Lee dan Hui Cu. Akan tetapi dengan amat penasaran Sin Lee bertanya, "Dan siapakah orang-orang yang menyerbu ke Thai-san?"

Kun Hong mengerutkan kening. Dia maklum akan kepandaian dan watak Sin Lee. Orang ini kepandaiannya cukup tinggi, akan tetapi agaknya akan berbahaya sekali kalau diberi tahu bahwa musuh-musuh itu adalah orang-orang di Ching-coa-to, karena di tempat itu terdapat banyak sekali orang pandai. Apa lagi Sin Lee pergi bersama Hui Cu yang dia tahu tingkat kepandaiannya tidak setinggi suaminya.

Watak Sin Lee amat keras, kalau sudah tahu tentu tidak akan mau sudah kalau belum dapat membalas dendam. Maka dia segera berkata,

"Sin Lee dan Hui Cu, tentang itu, untuk sementara ini kiranya tidak perlu kalian ketahui. Serahkan saja hal itu kepadaku karena aku pun tidak akan tinggal diam sebelum memberi hajaran pada mereka. Soalnya memang berbelit-belit, berpangkal pada balas membalas urusan dahulu! Sekarang, ada tugas yang amat penting yang hendak kuserahkan kepada kalian, tugas yang lebih penting dari pada urusan balas membalas ini. Cui Sian sudah selamat, malah ayah dan ibumu sudah pergi meninggalkan Thai-san, tentu akan mencari orang-orang jahat itu pula. Kebetulan sekali kalian datang sehingga dapat mewakili aku melakukan tugas ini. Bersediakah kalian?"

Semenjak dahulu, Sin Lee sudah mempunyai hati kagum dan tunduk kepada Pendekar Buta ini. Dia maklum bahwa Pendekar Buta ini biar pun sikapnya seperti orang lemah dan bodoh, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, yang sudah dia saksikan dahulu ketika terjadi adu kepandaian di Thai-san.

Lagi pula, mereka meninggalkan Lu-liang-san terutama karena terdorong rasa khawatir akan keselamatan Cui Sian. Sekarang setelah Cui Sian berada dalam keadaan selamat, memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

"Baiklah, Paman Hong. Urusan apakah itu, lekas beri tahukan kepada kami, pasti akan kami laksanakan," jawabnya.

Dengan singkat akan tetapi jelas Kun Hong menceriterakan mengenai surat rahasia dari mendiang kaisar untuk disampaikan kepada Raja Muda Yung Lo di utara, menceriterakan pula betapa surat rahasia ini dijadikan perebutan karena amatlah penting artinya.

"Mengingat akan perjuangan Paman Tan Hok yang sampai mengorbankan nyawanya itu, aku telah mengambil keputusan akan melindungi surat ini dan menyampaikannya kepada yang berhak, walau pun untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawaku. Akan tetapi aku seorang buta, agaknya lebih sukar bagiku untuk dapat menyampaikannya kepada yang berhak. Oleh karena itu, aku minta bantuan kalian, bawalah surat ini dan sampaikanlah kepada Raja Muda Yung Lo di utara. Tugasmu ini tidaklah ringan dan apa bila sampai terpenuhi, jasamu untuk negara bukanlah kecil. Aku yakin surat wasiat ini akan banyak mengurangi pertumpahan darah kalau sampai terjadi perang saudara, karena tentu para pembesar di selatan yang masih setia kepada mendiang kaisar, akan tunduk terhadap seluruh isi surat wasiat ini dan tidak akan membantu kaisar muda."

Sin Lee menerima surat itu, menyimpannya dan menyanggupi untuk melaksanakan tugas itu.

"Setelah selesai tugasmu, kalian kembalilah saja ke Lu-liang-san. Kasihan anak kalian ditinggal ayah bundanya terlalu lama. Kelak aku pasti akan datang ke Lu-liang-san, ingin aku memondong anakmu itu!"

Malam itu mereka bermalam di hutan, semalam suntuk tidak dapat tidur karena mereka bercakap-cakap menceriterakan pengalaman masing-masing. Terlebih lagi Hui Cu yang merasa amat kasihan kepada pamannya ini, membujuk-bujuk agar Kun Hong kembali ke Hoa-san dan suka memilih jodoh.

Bujukan ini hanya disambut dengan senyum pahit oleh Kun Hong yang sama sekali tidak berani berceritera tentang Hui Kauw. Sementara itu, Sin Lee melepaskan rindunya kepada rajawali emas dengan mengajak burung itu bercakap-cakap seperti dulu ketika dia masih kecil. Banyak dia bicara dengan burung itu yang mendengarkan dengan terharu. Karena memang sudah bertahun-tahun burung ini hidup di samping Sin Lee, maka dia dapat mengerti banyak apa yang dibicarakan pendekar ini.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sin Lee dan Hui Cu berangkat meninggalkan Kun Hong. Tujuan mereka adalah ibu kota di utara. Dengan terharu Hui Cu memegang tangan Kun Hong dan berkali-kali ia berkata dengan suara penuh permohonan agar sang paman ini benar-benar akan segera datang menjenguk anaknya di Lu-liang-san.

Akhirnya mereka berpisah, suami isteri itu pergi ke utara, sedangkan Kun Hong bersama rajawali berjalan perlahan keluar dari hutan, hendak pergi ke Ching-coa-to, karena Kun Hong ingin menghadapi orang-orang yang telah merusak Thai-san-pai….
cerita silat karya kho ping hoo

Loan Ki dan Nagai Ici dengan mudah dapat memasuki kota raja. Gadis ini adalah seorang yang berwatak jujur, juga memang sedikit banyak dia sangat membanggakan ayahnya, maka siapa yang bertanya, ia pun akan mengaku terang-terangan bahwa ia adalah puteri tunggal Sin-kiam-eng Tan Beng Kui!

Justru sikapnya ini menguntungkannya, karena begitu para penjaga pintu gerbang kota raja mendengar bahwa gadis itu puteri Sin-kiam-eng dan pemuda tampan itu seorang sahabat baiknya, tanpa banyak cerewet lagi mereka mempersilakan mereka berdua masuk tanpa diperiksa lagi. Siapa orangnya di antara para penjaga tidak mengenal tokoh besar yang sekarang sudah menjadi seorang di antara para tokoh undangan The-kongcu itu?

Para mata-mata dan penyelidik pun sesudah tahu bahwa gadis ini adalah puteri tunggal Sin-kiam-eng, otomatis tidak berani sembarangan melakukan pengintaian sehingga Loan Ki dan Nagai Ici menjadi bebas dapat berkeliaran di kota raja tanpa ada yang mencurigai mereka.

Setelah melakukan perjalanan bersama Nagai Ici selama beberapa pekan ini, Loan Ki merasa makin tertarik kepada pemuda perkasa dari Jepang itu. Memang harus diakui bahwa pemuda itu adalah seorang ksatria Jepang yang berwatak gagah dan berperibudi luhur.

Meski pun seorang kesatria Samurai, akan tetapi Nagai Ici tidak seperti sebagian besar golongannya yang suka menghambakan diri sebagai tukang-tukang pukul bayaran. Dia benar-benar seorang pemuda berwatak pendekar pembela kebenaran dan keadilan.

Dia banyak berceritera kepada Loan Ki tentang negerinya sehingga gadis lincah ini tertarik sekali dan beberapa kali menyatakan keinginan hatinya hendak menyeberangi lautan dan menyaksikan negeri aneh itu dengan matanya sendiri. Tentu saja diam-diam Nagai Ici merasa berbahagia sekali. Dia sudah jatuh cinta betul-betul kepada gadis yang demikian gagahnya, yang dapat mainkan pedang sedemikian hebatnya, mampu melawan Samurai merahnya!

Juga di sepanjang perjalanan, di waktu beristirahat, keduanya bertukar ilmu dan saling mengisi sehingga bagi Nagai Ici, mulailah dia melihat kehebatan ilmu silat yang tentu saja dapat dia jadikan bahan untuk mempertinggi ilmu pedangnya.

Kedatangan Loan Ki di kota raja itu terutama sekali hendak mencari ayahnya karena ia bermaksud untuk memperkenalkan Nagai Ici kepada ayahnya dan ingin minta kepada ayahnya agar supaya suka menerima pemuda Jepang itu sebagai murid. Ketika pada hari itu ia tiba di kota raja dan mencari kamar di rumah penginapan, pelayan yang menyambut mereka dengan manis budi menyuruh mereka mengisi nama pada buku daftar tamu.

Dengan lagak gagah Loan Ki menuliskan namanya, ditambah ‘puteri Sin-kiam-eng dari Pek-tiok-lim’, sedangkan nama Nagai Ici ia tuliskan sebagai nama Han, yaitu Na Gai It!

Girang hatinya karena pengurus rumah penginapan itu serta merta memberi hormat dan berkata manis penuh hormat, "Ah, kiranya puteri dari Tan-taihiap (pendekar besar Tan)!"

Lalu pengurus ini membentak para pelayan, "He, mengapa kalian begini sembrono, tidak cepat-cepat menyambut kedatangan Tan-lihiap (pendekar wanita Tan)? Hayo lekas antar lihiap ke kamar yang paling besar! Totol kalian ini, apakah tidak tahu bahwa lihiap adalah puteri Tan-taihiap yang menjadi jagoan undangan kaisar?"

Kalau tadinya hati Loan Ki merasa girang dan bangga sekali, adalah kalimat terakhir itu menimbulkan penasaran dan tidak enak di hatinya. Ayahnya menjadi jagoan undangan kaisar. Menjadi hamba kaisar yang begitu buruk wataknya?

Ia masih teringat betapa orang-orang jahat menangkap-nangkapi gadis-gadis cantik untuk dijadikan selir kaisar baru. Malah ia bersama Nagai Ici telah membasmi orang-orang jahat yang menawan gadis-gadis itu. Di dalam hatinya, ia sudah menjadi tidak senang kepada kaisar baru, kenapa sekarang ayahnya malah membantu kaisar itu? Akan tetapi tentu saja ia tidak menyatakan sesuatu, hanya mengikuti para pelayan dan ia minta disediakan dua buah kamar.

Malam harinya, ia bersama Nagai Ici melakukan perjalanan berkeliling kota raja. Setelah mendengar bahwa ayahnya menjadi hamba kaisar, ia merasa ragu-ragu untuk menemui ayahnya di kota raja ini.

Kebetulan sekali malam hari itu dia mendengar tentang keributan yang terjadi pada hari kemarin, tentang seorang penjahat buta yang dikejar-kejar kemudian dikeroyok oleh para pengawal istana. Hatinya menjadi berdebar. Teringat ia akan Kun Hong. Kalau bukan Kun Hong, siapa lagi di dunia ini ada seorang buta yang demikian perkasa sehingga dikeroyok oleh pengawal-pengawal istana?

"Wah, agaknya gawat di kota raja ini," bisiknya kepada Nagai Ici. "Kalau benar Hong-ko (kakak Hong) orang buta yang dikeroyok itu, kita harus menyelidikinya dan kalau perlu menolongnya."

Dengan singkat dia lalu menuturkan kepada Nagai Ici tentang orang buta itu. Pemuda Jepang ini lalu bangkit semangatnya mendengar tentang diri Pendekar Buta yang gagah perkasa itu, tidak hanya ingin membantu, malah ingin bertemu dan bersahabat. Selama ini, baru sekali dia bertemu orang pandai, bukan lain gadis lincah inilah.

Demikianlah, pada keesokan malamnya, kembali Loan Ki mengajak Nagai Ici menyelidiki sampai jauh malam. Kemudian secara kebetulan dia mendengar ribut-ribut pertempuran di pondok janda Yo karena ia dan Nagai Ici berada di dekat tempat itu.

Cepat dia bersama pemuda Jepang itu lari mendekati dan alangkah terkejut hati Loan Ki pada saat dia melihat bahwa orang yang dikeroyok adalah benar-benar Kun Hong sendiri. Lebih kaget lagi hatinya ketika dia melihat ayahnya adalah seorang di antara mereka yang mengeroyok Kun Hong.

"Kita bantu dia,... wah, dia hebat...!" bisik Nagai Ici.

"Sssttt..." Loan Ki menarik tangan pemuda itu dan mengajaknya menyelinap ke tempat gelap, "...jangan..."

Nagai Ici terheran-heran dan Loan Ki menjadi pucat wajahnya. Tentu saja tidak mungkin dia membantu Kun Hong apa bila ayahnya pun berada di situ melawan Kun Hong. Mana mungkin dia melawan ayahnya sendiri?

Lagi pula, dia dapat melihat betapa orang-orang yang mengeroyok Kun Hong terdiri dari orang-orang yang luar biasa tinggi kepandaiannya. Pemuda berpedang itu, hwesio tinggi besar itu. Hebat mereka, tidak kalah oleh ayahnya! Membantu Kun Hong pun tidak akan ada gunanya.

"Wah-wah... celaka...," katanya, wajahnya yang pucat itu tampak bingung.

"Kenapa? Nona, kenapa kita tidak cepat membantunya? Dia hebat... luar biasa, hampir tidak dapat aku percaya seorang buta sehebat itu gerakannya..."

"Sssttttt... mari ikut aku..."

Loan Ki mengajak Nagai Ici menyelinap mengitari pondok itu. Ia adalah seorang gadis cerdik dan ia ingin mencari kesempatan membantu secara menggelap. Kalau perlu, dari dalam pondok itu atau dari samping pondok dia akan mempergunakan senjata rahasia menyerang orang-orang yang mengeroyok Kun Hong biar pun ia tahu hal ini tidak akan banyak berarti karena musuh-musuh Kun Hong amat sakti, akan tetapi sedikitnya dapat menganggu mereka dan dapat merupakan hiburan hatinya bahwa ia sudah menolong.

Kalau saja di situ tidak ada ayahnya, sudah pasti ia akan langsung menyerbu dan nekat serta mati-matian mengajak Nagai Ici membantu Kun Hong. Dengan adanya ayahnya di situ, nyalinya kuncup dan ia tidak berani lagi!

Ketika dia menyelinap di belakang pondok, dia melihat bayangan seorang laki-laki sedang merampas sebuah benda dari tangan seorang anak laki-laki kecil yang mempertahankan benda itu sambil berteriak-teriak, "Lepaskan... ini punyaku, lepaskan!"

Loan Ki memandang penuh perhatian. Waktu itu fajar hampir menyingsing dan di dalam keadaan gelap, Loan Ki serasa telah mengenal laki-laki yang sedang berusaha merampas benda di tangan anak itu. Timbul amarahnya ketika orang itu mendorong si anak sampai terguling roboh.

"Serang dia, rampas benda itu!" katanya kepada Nagai Ici yang tidak menanti komando ke dua lagi, serta merta memekik dan menyerbu.

Loan Ki sendiri meloncat ke dekat anak itu. Lega hatinya ketika melihat bahwa anak itu tak terluka, hanya menderita lecet-lecet saja. Perhatiannya kembali kepada Nagai Ici yang menyerbu orang itu.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika melihat betapa orang itu ternyata bukanlah orang sembarangan. Buktinya Nagai Ici masih belum mampu merampas benda tadi. Jangankan merampas benda, malah kini mereka sudah bertempur mempergunakan pedang dan Si Samurai Merah nampaknya terdesak!

"Keparat, lihat pedangku!" Loan Ki marah dan serta merta mencabut pedangnya sambil menyerbu.

Orang itu kaget menyaksikan berkelebatnya pedang di tangan Loan Ki yang amat gesit. Dia bergerak miring, menyambut pedang Loan Ki dengan tangkisan.....

"Traaanggggg…!"

Loan Ki merasa tangannya tergetar dan lebih kagetlah ia pada saat mengenal muka orang itu setelah kini berdekatan. Kiranya orang itu adalah Bun Wan, pemuda Kun-lun-pai yang pernah ia lihat ketika ia menjadi tawanan di Ching-coa-to! Ia makin marah ketika sekarang mengenal pula bahwa benda yang dirampas oleh Bun Wan dari tangan anak itu ternyata adalah mahkota kuno yang dahulu diperebutkan di Ching-coa-to.

"Ehh, kiranya kau, keparat! Kembalikan mahkota itu!"

Ia menerjang marah, pedangnya menjadi sinar bergulung-gulung. Nagai Ici juga memekik dengan penasaran, menggerakkan pedang samurainya mengeroyok laki-laki itu.

Orang itu memang Bun Wan adanya, putera ketua Kun-lun-pai! Ketika dia mengenal Loan Ki dia terkejut dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu melompat ke belakang, menggunakan ginkang-nya terus melarikan diri!

"Keparat, jangan lari!" Loan Ki membentak dan mengejar.

Nagai Ici ikut pula mengejar. Pemuda Jepang ini tertinggal jauh karena dalam hal ilmu lari cepat, dia kalah jauh oleh Bun Wan mau pun Loan Ki. Hal ini menyulitkan Loan Ki karena ia tidak ingin meninggalkan Nagai Ici di tempat asing dan berbahaya itu.

"Hayo, cepat kita kejar dia!" Loan Ki menunggu Nagai Ici, kemudian setelah temannya itu mendekat, ia menyambar tangannya dan diajaknya membalap untuk mengejar Bun Wan.

"Wah, hebat bukan main larinya. Kau kejarlah dulu, Nona, biar aku mengejar di belakang. Jangan biarkan dia minggat!"

Akan tetapi Loan Ki terpaksa memperlambat larinya. Memang ia harus mengejar Bun Wan dan merampas kembali mahkota itu yang agaknya sangat penting bagi Kun Hong. Akan tetapi sekali-kali dia tidak mau membiarkan Nagai Ici tertinggal di tempat ini, salah-salah bisa ditangkap dan didakwa mata-mata oleh para pengawal istana!

Karena waktu itu sinar matahari pagi sudah mulai mengusir kegelapan malam, maka biar pun tertinggal jauh, dapat juga Loan Ki melihat ke mana arah larinya Bun Wan. Ia terus mengajak Nagai Ici mengejar dan dengan kagum ia melihat betapa Bun Wan secara nekat sudah menerjang para penjaga pintu gerbang. Pemuda Kun-lun-pai yang berilmu pedang lihai sekali itu ternyata berhasil lolos dari pintu gerbang dan kabur keluar kota raja dengan cepat!

Pada saat Loan Ki dan Nagai Ici mengejar sampai di situ, gadis ini cepat berteriak membentak para penjaga yang agaknya hendak menghalangi mereka berdua.

"Tolol kalian semua! Tidak tahu jika aku puteri Sin-kiam-eng? Aku dan temanku bertugas mengejar bangsat yang kalian lepaskan tadi. Minggir, keparat!"

Di antara para penjaga ada yang mengenal gadis ini pada saat kemarin berjaga di pintu gerbang di mana Loan Ki masuk, maka mereka segera memberi jalan Loan Ki bersama Nagai Ici mengejar terus.

Belum lama mereka mengejar, tampak bayangan berkelebat dari sebelah kanan. Loan Ki memandang dan kagetlah dia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Hui Kauw, nona muka hitam yang pernah dilihatnya di Ching-coa-to.

Wah, agaknya orang-orang Ching-coa-to sudah menyelundup ke kota raja, pikirnya. Tentu nona itu bersekongkol dengan Bun Wan. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu melompat dan menerjang dengan pedangnya.

"Perempuan berhati palsu!" bentaknya karena ia lalu teringat akan semua pengalamannya ketika di Ching-coa-to, di mana wanita ini hampir dijadikan pengantin dengan Kun Hong.

Hui Kauw memang sedang mengejar Bun Wan. Seperti telah dituturkan di bagian depan, gadis ini meninggalkan Kun Hong untuk mencari A Wan yang sudah terlalu lama tak juga kembali.

Ketika mencari di belakang pondok, ia tidak dapat menemukan A Wan karena tidak tahu di mana anak itu menyimpan mahkota kuno. Dia berputar-putar mencari, lalu mendengar suara ribut-ribut dan masih sempat melihat A Wan dikurung beberapa orang pengawal. Hatinya kebat-kebit penuh kekhawatiran, kemudian terjadilah hal yang amat luar biasa.

Seorang kakek entah dari mana datangnya, dengan gerakan ringan seolah-olah bayangan sehingga bukan merupakan manusia lumrah lagi, tahu-tahu telah berada di tengah-tengah tempat itu. Sekali menggerakkan tangan dan kaki, A Wan telah disambar dan dibawanya pergi seakan-akan melayang!

Para pengawal melongo menyaksikan hal ini, kemudian maklum bahwa kakek itu tentulah seorang sakti. Mereka melakukan pengejaran, tapi kakek itu telah lenyap dari pandangan mata.

Hui Kauw mengerahkan kepandaiannya, berlari cepat mengejar pula. Ia dapat mendahului para pengawal dan dengan cepatnya ia mengejar sampai ke luar pintu gerbang.

Kakek itu seperti bukan manusia, melarikan diri bukan melalui pintu gerbang, melainkan melayang naik ke atas tembok kota yang luar biasa tinggi itu! Dia sendiri dengan mudah dibiarkan lewat pintu gerbang oleh para penjaga. Akan tetapi sesampainya di luar tembok kota, ia tidak melihat lagi bayangan kakek aneh itu.

Selagi dia kebingungan, dia melihat seorang laki-laki berlari tergesa-gesa keluar dari pintu gerbang. Ketika dia mengenal bahwa orang itu adalah Bun Wan dan gerak-geriknya amat mencurigakan, dia cepat-cepat mengejar, tidak memperhatikan lagi dua orang yang sudah mengejar lebih dahulu. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tahu-tahu Loan Ki memaki dan menerjangnya.

"Aiihhh, kiranya kau di sini?" tegurnya seraya mengelak.

"Kau dan manusia she Bun itu bersekongkol, ya? Awas, hari ini aku tak akan ampunkan kalian berdua!" seru Loan Ki mendongkol.

Memang telah menjadi kebiasaannya untuk bersikap menang-menangan sendiri sehingga ucapannya pun jumawa sekali, padahal ia tahu bahwa baik Bun Wan mau pun Hui Kauw ini memiliki kepandaian yang melebihi dirinya!

"Hee, kau jangan sembarangan menuduh!" seru Hui Kauw mendongkol. "Siapa yang sudi bersekongkol dengan dia itu? Aku pun hendak mengejarnya, karena dia kelihatan sangat mencurigakan."

Sambil berkata demikian, tanpa mempedulikan Loan Ki lagi, Hui Kauw cepat mengejar Bun Wan. Loan Ki dan Nagai Ici juga mengejar.

Dalam ilmu lari cepat, ternyata Bun Wan masih kalah setingkat oleh Hui Kauw. Memang ibu angkat nona ini, Ching-toanio, terkenal lihai ilmu lari cepatnya yang disebut Chouw-siang-hui (Terbang di Atas Rumput) dan ilmu lari cepat yang luar biasa ini juga sudah diturunkan kepada Hui Kauw. Maka sesudah lewat sepuluh li jauhnya, Hui Kauw sudah dapat menyusul Bun Wan. Sambil mencabut pedangnya Hui Kauw berseru keras,

"Berhenti dulu!" Nona ini sudah melihat betapa tangan kiri Bun Wan memegang mahkota kuno itu. "Kembalikan mahkota itu kepadaku!"

Bun Wan memandang heran dan penasaran. "Nona Hui Kauw, ketahuilah, aku merampas mahkota ini untuk ibumu!"

"Tidak peduli, kau harus serahkan kepadaku dan pergilah dengan aman."

"Tapi... bagaimanakah kau ini? Mahkota ini hendak kuserahkan ke Ching-coa-to..."

"Berikan kepadaku!"

"Nona, apakah kau sekarang membalik dan memusuhi ibumu sendiri!"

"Tak usah banyak cakap, kembalikan kepadaku!"

Bangkit kemarahan Bun Wan. Kesempatan ketika berhenti lari ini dia pergunakan untuk memasukkan mahkota kuno yang tidak besar itu ke dalam saku bajunya, kemudian dia menggerakkan pedang yang sejak tadi sudah berada di tangan kanan.

"Heemmm, banyak sekali aku mengalah kepadamu. Sekarang terpaksa aku tidak dapat menyerahkan mahkota itu kepadamu, apa yang hendak kau lakukan terhadapku?"

"Pedangku akan memaksamu!" Hui Kauw membentak dan pedangnya langsung bergerak melakukan penyerangan kilat.

Bun Wan cepat menangkis dan pemuda ini maklum akan kepandaian nona yang ternyata lebih lihai dari pada Hui Siang ini, maka dia pun mengerahkan tenaga dan mainkan Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-sut yang kuat. Dia maklum bahwa dirinya sedang menjadi kejaran para pengawal kerajaan, maka dia tidak mau membuang banyak waktu lagi.

Semua jurus yang dimainkannya adalah jurus pilihan dari Kun-lun Kiam-sut sehingga lihainya bukan kepalang. Dia mengira bahwa dalam beberapa jurus saja, paling banyak dalam sepuluh atau belasan jurus, dia akan sudah mampu menundukkan lawannya ini.

Akan tetapi alangkah heran, kaget dan penasarannya ketika dia menghadapi ilmu pedang yang aneh dan kuat bukan main, ilmu pedang yang jauh berbeda dengan ilmu pedang yang dia kenal dimiliki oleh Hui Siang dan Ching-toanio. Hebat ilmu pedang gadis muka hitam ini, malah agaknya tidak kalah oleh kepandaian Ching-toanio sendiri.

"Kau benar-benar tidak tahu orang mengalah!" bentak Bun Wan.

Pedangnya sekarang melakukan serangan kilat yang mematikan, karena dia tidak mau memberi hati lagi, apa lagi setelah melihat betapa dari jauh datang berlarian dua orang yang tadi di kota raja sudah mengeroyoknya, yaitu nona lincah galak yang dahulu pernah dia lihat di Ching-coa-to bersama Kun Hong, dan seorang pemuda yang dia tidak kenal, akan tetapi yang mempunyai pedang panjang aneh serta ilmu pedang yang ganjil pula.

Menghadapi kedua orang yang pernah mengeroyoknya tadi itu, dia tidak merasa gentar, akan tetapi ilmu pedang milik Hui Kauw ini benar-benar membuat dia pusing. Hendak lari, selain malu, juga akan percuma saja sebab tadi sudah ternyata olehnya betapa hebatnya ilmu lari cepat nona ini, sama dengan Hui Siang hebatnya.

Dengan seluruh kepandaiannya Bun Wan menyerang Hui Kauw. Terasalah oleh nona ini betapa kuat ilmu pedang pemuda Kun-lun-pai itu. Ia mulai terdesak, karena sungguh pun ilmu pedang rahasia yang dia pelajari itu adalah ilmu pedang yang aneh dan luar biasa, namun selama ini ia hanya berlatih seorang diri saja, tidak pernah ia pergunakan untuk bertempur sehingga sekarang kurang berhasil.

Tetapi betapa pun juga, daya pertahanan ilmu pedang ini jauh lebih kuat dari pada ilmu pedang yang dia pelajari dari Ching-toanio. Sungguh pun sekarang ia mulai terdesak dan jarang dapat membalas serangan lawan, namun untuk mengalahkan ilmu pedangnya ini, kiranya membutuhkan waktu yang tidak pendek.

Sementara itu, Loan Ki dan Nagai Ici yang mengejar cepat, sekarang telah tiba di tempat pertempuran. Melihat betapa Hui Kauw benar-benar bertempur melawan Bun Wan, Loan Ki dapat cepat mengambil pihak. Ia memberi tanda kepada Nagai Ici dan menyerbulah mereka berdua, langsung mengeroyok Bun Wan!

Tentu saja pemuda Kun-lun-pai itu menjadi repot bukan main, apa lagi ilmu pedang Loan Ki terhitung ilmu pedang yang tinggi juga, gayanya indah membingungkan karena ilmu pedang ini adalah Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut. Hanya saja nona ini belum matang betul kepandaiannya, karena memang dia anak manja yang sering kali malas-malasan untuk berlatih.

Juga ilmu pedang pemuda tampan gagah yang sangat aneh itu membingungkan dirinya, karena ilmu pedang pemuda itu mempunyai daya serang yang berbahaya dan luar biasa kuatnya. Walau pun jarang sekali menyerang karena gayanya banyak diam menanti saat dan kesempatan, akan tetapi sekali menyerang amat mengagetkan dan membahayakan.

Setiap ada kesempatan, pedang panjang itu lalu berkelebat seperti halilintar menyambar dan jika sekali terkena sabetannya, tentu tubuh akan putus menjadi dua potong! Apa lagi pekiknya yang sangat nyaring serta mengandung tenaga dalam, benar-benar menambah ampuhnya serangan itu.

Bun Wan mulai gelisah dan akhirnya dia dikurung rapat, menangkis kanan kiri, mengelak ke sana ke mari tanpa sanggup balas menyerang. Akhirnya dia berkata dengan suara keras, "Kalian bertiga ini apakah telah menjadi anjing-anjing istana pula? Nona Hui Kauw, apakah kau selain memusuhi ibu sendiri juga menghambakan diri kepada kaisar?"

Marah sekali Loan Ki karena dia dibawa-bawa dalam tuduhan ini. "Tutup mulutmu yang rusak! Siapa menjadi anjing istana? Kembalikan mahkota itu kepadaku. Benda itu dahulu milikku sebelum dirampas di Ching-coa-to!"

"Hemm, manusia-manusia goblok yang hanya mengejar harta benda!" Sambil menangkis pedang Loan Ki, Bun Wan kembali berteriak. "Kalau kalian menghendaki mahkota ini, aku pun tidak membutuhkannya. Akan tetapi tunggulah aku mencari sesuatu di dalamnya, setelah benda tersembunyi itu kuambil, biarlah mahkota ini kuberikan kepadamu. Bagai mana?"

Memang yang dia perebutkan adalah surat rahasia, bukan mahkotanya, maka setelah dia terdesak hebat, Bun Wan mencari akal dengan jalan damai. Kalau surat itu sudah dapat dia temukan, untuk apakah baginya mahkota emas ini?

Loan Ki dan Nagai Ici tidak tahu-menahu mengenai surat rahasia, maka mendengar ini mereka meragu dan mengendurkan penyerangan. Loan Ki masih ingat betapa di Ching-coa-to, pemuda Kun-lun-pai ini telah menolong Kun Hong dan minta kepada orang-orang Ching-coa-to untuk membebaskan Kun Hong. Oleh karena itu, ia pun tak pernah berniat membunuhnya dan kalau tidak terpaksa karena memperebutkan mahkota emas, ia pun tidak akan memusuhi pemuda ini.

Akan tetapi tidak demikian dengan Hui Kauw. Mendengar omongan Bun Wan itu, ia pun terkejut sekali. Ia mempertahankan mahkota kuno itu demi kepentingan Kun Hong dan ia telah mendengar dari Kun Hong bahwa Pendekar Buta itu sama sekali tidak menginginkan mahkota, melainkan surat rahasia yang tersembunyi di dalamnya. Apa pun juga jadinya, ia harus membantu Kun Hong, dan surat itu harus dapat ia berikan kepada Kun Hong, kalau bisa tentu saja berikut mahkotanya.

"Tak usah banyak cakap, berikan mahkota itu kepadaku atau mampuslah!" pedangnya menyambar hebat sehingga terpaksa dengan gugup dan cepat Bun Wan lalu menangkis sekuatnya.

"Trannggggg...!"

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika kedua batang pedang itu bertemu dengan kerasnya. Alangkah kagetnya hati Bun Wan ketika tiba-tiba pedang di tangan Hui Kauw itu begitu bertemu, terus saja menyelinap dari samping dan langsung mengirim bacokan ke arah pundaknya.

Dia segera menjatuhkan diri ke kiri dan bergulingan, maksudnya hendak menggunakan cara ini untuk menjauhkan diri, dan mencari kesempatan untuk meloncat dan melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba menyambar angin disusul bersiutnya sambaran pedang bersinar merah.

Dia lebih kaget lagi, cepat melompat bangun sambil menggerakkan pedang menangkis. Itulah pedang samurai merah dari Nagai Ici yang sudah menerjangnya, disusul pedang Loan Ki. Dalam sekejap mata saja Bun Wan sudah dikurung dan dikeroyok tiga lagi.

"Baiklah, aku akan mengadu nyawa!" teriak Bun Wan dan dia menjadi nekat, membalas serangan tiga orang pengeroyoknya dengan jurus-jurus terlihai.

Akan tetapi kenekatannya tiada guna, malah membahayakan karena memang tiga orang pengeroyoknya itu berada di pihak yang jauh lebih kuat. Lewat belasan jurus, pedang Hui Kauw berhasil melukai pundaknya yang sebelah kanan. Pada saat itu, pedang samurai merah di tangan Nagai Ici menyambar ganas ke arah lehernya.

Bun Wan tidak sempat lagi mengelak. Pundaknya terasa sakit dan menghadapi samurai merah yang berkelebat itu, dia menangkis dan pedangnya terlepas dari tangan. Tenaga Nagai Ici amat besar dan pada saat itu, pundak kanan Bun Wan sudah terluka sehingga tenaga tangan kanannya berkurang dan ketika menangkis, tanpa dapat dia pertahankan lagi pedangnya terlepas dari tangan.

Secepat kilat Hui Kauw menyambar dengan pedangnya. Terdengar kain robek dan di lain saat mahkota itu sudah berada di tangan si nona muka hitam dan baju Bun Wan sudah terobek ujung pedang.

Loan Ki dan Nagai Ici berbareng mengirim tusukan. Bun Wan maklum bahwa tak mungkin dia dapat menghindarkan dua tusukan ini, maka dia meramkan mata menanti maut.

"Traanggg! Traanggg!"

Loan Ki dan Nagai Ici cepat menarik pedang masing-masing dan merasa tangan mereka tergetar. Kiranya Hui Kauw yang menangkis senjata mereka tadi.

"Jangan bunuh dia!" kata Hui Kauw, suaranya gemetar. "Dia calon suami Hui Siang..."

Loan Ki memandang tajam pada Hui Kauw, dapat mengerti perasaan nona ini dan tidak terus menyerang.

Hui Kauw melihat Bun Wan menundukkan kepala akan tetapi sepasang mata pemuda itu melirik dengan penuh kekecewaan. Dia lalu berkata perlahan, "Pergilah!"

Bun Wan membanting kakinya. "Kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan!"

Akan tetapi karena dia tidak berdaya lagi, dia memungut pedangnya lalu pergi dari tempat itu dengan cepat.

"Berikan benda itu kepadaku!" Loan Ki berkata, kini menghadapi Hui Kauw dengan sikap mengancam.

Nagai Ici juga sudah berdiri di sampingnya, siap untuk membantu nona kekasih hatinya ini menghadapi siapa pun juga. Hatinya mulai merasa kagum. Dalam waktu singkat dia telah menyaksikan banyak orang yang memiliki kepandaian hebat.

Pemuda yang dikeroyok tadi juga sangat mengagumkan hatinya. Luar biasa sekali ilmu pedangnya. Lalu nona muka hitam ini, bukan main. Apa lagi Si Pendekar Buta tadi yang dikeroyok oleh banyak orang pandai. Mulai dia merasa girang, timbul harapannya untuk mendapatkan guru sakti seperti yang dicita-citakannya.

Melihat sikap Loan Ki, Hui Kauw tersenyum. Ia maklum bahwa Loan Ki ini adalah sahabat baik Kun Hong, maka tentu saja ia tidak mau memusuhinya. Dengan halus ia berkata,

"Adik Loan Ki, ketahuilah, aku memperebutkan mahkota ini untuk kuserahkan kepada Kun Hong." Mendadak mukanya yang menghitam itu menjadi gelap karena dia merasa jengah menyebutkan nama ini di depan Loan Ki yang dahulu menyaksikan peristiwa pengantin gagal di Ching-coa-to.

"Kau bohong! Kulihat tadi Kun Hong dikeroyok dan hampir celaka oleh banyak orang pandai, kau tidak membantunya malah ikut memperebutkan mahkota."

Kaget sekali hati Hui Kauw mendengar ini. "Betulkah itu? Siapa yang mengeroyoknya?"

"Kulihat ada seorang hwesio kosen, seorang laki-laki hitam, seorang pemuda berpedang dan... dan..." Loan Ki lantas tergagap karena berat rasa lidahnya untuk menyebut nama ayahnya.

"Dan ayahmu juga?" Hui Kauw menegas dengan muka berubah pucat dan hati berdebar penuh kecemasan.

Celaka kalau Kun Hong sudah dilihat musuh dan dikeroyok. Pantas saja A Wan juga diganggu, kiranya para jagoan istana sudah datang. Ia tahu bahwa pasti ayah Loan Ki, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui juga ikut pula mengeroyok, biar pun Loan Ki diam saja namun sinar mata gadis lincah itu nampak gugup dan malu.

"Adik Loan Ki, kau berpihak kepada siapakah? Kun Hong atau ayahmu?" Mendadak Hui Kauw bertanya dengan sungguh-sungguh.

Bingunglah Loan Ki saat ditanya begini oleh Hui Kauw, "Ahh... aku tak bisa memilih..." akhirnya dia menjawab juga. "Kalau tadi aku tidak melihat ayah di sana, pasti temanku ini aku ajak membantu Kun Hong..."

Hui Kauw segera mengambil keputusan cepat.

"Bagus, adikku." katanya sambil memegang tangan Loan Ki yang menjadi kaget melihat perubahan sikap ini. "Kau terimalah mahkota ini dan kau wakililah Kun Hong. Kau tentu mau membantunya, bukan?"

Melihat Loan Ki mengangguk tanpa menjawab, Hui Kauw cepat menyambung, "Tidak ada banyak waktu lagi. Mahkota ini mengandung sebuah surat rahasia yang menjadi rebutan. Kau wakili Kun Hong, bawa mahkota ini ke utara dan berikan kepada Raja Muda Yung Lo. Dengan begini tidak akan sia-sia Kun Hong mempunyai sahabat yang dia aku sebagai adik seperti kau ini, Maukah kau?"

Loan Ki adalah seorang yang jujur, dia percaya kepada Hui Kauw. "Dan kau sendiri?" tanyanya. "Kenapa bukan kau sendiri yang mewakilinya?"

"Bodoh kau! Bukankah Kun Hong dikeroyok di sana? Aku harus membantunya, aku harus menolong... suamiku...!" Berkata begini, Hui Kauw melepaskan mahkota di tangan Loan Ki, lalu melesat pergi dengan kecepatan kilat.

Loan Ki melongo sampai lama. Dia baru sadar ketika Nagai Ici menegurnya. Cepat-cepat mahkota itu dia simpan dalam buntalan pakaian.

"Jadi Pendekar Buta yang gagah itu adalah suami nona muka hitam ini, nona Loan Ki?"

"Bukan... ehh, tapi... ohhh,... begitulah agaknya...," jawabnya tidak karuan. Kemudian dia memandang tajam kepada jago muda Jepang itu. "Nagai Ici, aku akan pergi memenuhi permintaannya. Aku akan membawa mahkota ini ke utara dan akan kusampaikan kepada Raja Muda Yung Lo. Apakah kau suka ikut denganku?"

Serta merta Nagai Ici mengangguk. "Tentu saja, Nona, Ke mana pun kau pergi, kalau kau menghendaki, tentu aku menyertaimu. Malah... kalau kau mengijinkan, aku... aku akan membantumu dalam segala hal, biar kupertaruhkan nyawaku, selamanya..."

Kaku dan tidak karuan kalimat yang keluar dari mulut Nagai Ici, karena sukar sekali dia mengeluarkan isi hatinya yang berdebar-debar itu dengan bahasa yang belum betul-betul dikuasainya.

Sepasang mata yang jeli itu melebar, kemudian meledaklah suara tawa dari mulut yang berbibir manis mungil dan merah segar itu, yang segera ditutupnya dengan tangan. "Kau lucu... hi-hik. Tetapi kau baik sekali, Nagai Ici. Mulai sekarang, jangan sebut aku dengan nona-nonaan segala, cukup sebut namaku saja."

Dengan hati penuh kebahagiaan, Nagai Ici mengangguk-angguk. Akan tetapi mukanya berubah ketika dia melihat ke belakang Loan Ki dan cepat dia menuding. "Lihat, siapa mereka?"

Loan Ki cepat membalikkan tubuh dan melihat beberapa orang berlari cepat sekali dari arah kota raja. Ada empat orang yang berlari cepat ini dan melihat cara mereka berlari, kagetlah Loan Ki.

"Cepat, kita harus segera pergi. Mereka itu jagoan-jagoan istana yang mengejar!"

Para pengejar itu masih terlalu jauh sehingga Loan Ki tidak dapat melihat siapa adanya mereka. Akan tetapi dengan hati kebat-kebit ia menduga apakah ayahnya juga terdapat di antara mereka yang mengejarnya itu. Tanpa banyak cakap lagi ia menyambar tangan Nagai Ici dan berlari-larilah kedua orang muda itu menuju ke timur.

Celakanya, empat orang itu kini memutar arah dan jelas bahwa mereka itu mengejar dua orang muda ini. Lebih payah lagi, jalan menuju ke timur ini melalui tegal rumput yang gundul, tidak ada pohonnya sama sekali sehingga mereka berdua mudah tampak dari jauh.

Di depan, kurang lebih lima li dari situ, kelihatanlah sebuah hutan yang hijau tebal. Melihat hutan di depan ini Loan Ki mengajak Nagai Ici mempergunakan seluruh kekuatan untuk berlari cepat karena jika sampai mereka berdua dapat mencapai hutan sebelum tersusul, mereka akan mendapatkan tempat bersembunyi.

Sampai tersengal-sengal napas dua orang muda itu akibat mereka menggunakan tenaga melewati ukuran dalam usaha mereka membalap ini.

Nagai Ici agaknya kurang setuju dan beberapa kali sambil terengah-engah dia berkata, "Kenapa kita harus berlari-lari seperti dikejar setan? Empat orang itu kita lawan saja, takut apa?"

Memang, sebagai seorang pendekar, pantang baginya berlari-lari seperti ini, melarikan diri dari hanya empat orang yang mengejar mereka.

Loan Ki tadi sudah menengok beberapa kali dan jantungnya serasa hampir copot ketika ia mengenal bahwa seorang di antara keempat pengejar itu adalah... ayahnya! Mendengar ucapan Nagai Ici, dengan tersengal-sengal dia menjawab, "Kau tahu apa...? Seorang di antara mereka adalah ayah!"

Nagai Ici terkejut, akan tetapi anehnya, dia malah mengendurkan larinya.

"Hee, hayo lari cepat. Bagaimana sih engkau ini?"

Nagai Ici tersenyum, tampan sekali. "Kau aneh, Nona... ehh, Loan Ki. Kalau dia ayahmu, mengapa takut setengah mati? Bukankah kita pergi ke kota raja justru untuk mencari beliau?"

Dengan habis sabar Loan Ki menggoyang-goyang kepalanya sehingga rambutnya yang awut-awutan karena dipakai berlari itu kini sebagian menutupi pipinya, manis sekali. Dia menyambar tangan Nagai Ici lagi dan ditariknya untuk berlari lebih cepat.

"Kau tidak tahu...! Ayah membantu mereka, membantu kaisar..."

Nagai Ici tidak mengerti. "Biar pun begitu, masa hendak menyerang anak sendiri? Takut apa?"

"Iihhh, bodohnya! Aku tidak takut mereka menyerangku, tapi aku takut mereka merampas mahkota ini. Hayo!"

Nagai Ici mulai mengerti dan dia mau berlari lebih cepat lagi. Diam-diam dia bingung juga. Benar-benar kacau-balau. Sang ayah membantu kaisar, tapi si anak memusuhinya. Bagai mana ini? Mana yang benar? Apa pun juga jadinya, dia akan membantu dan membela Loan Ki, salah atau benar!

"Heeeiiiii... Loan Ki...! Berhenti...!" Mendadak terdengar suara bentakan Sin-kiam-eng Tan Beng Kui.

Loan Ki pucat. Mereka sudah tiba di pinggir hutan, tetapi suara ayahnya sudah dekat di belakang. Ketika ia menengok ternyata empat orang pengejar itu sudah dekat sekali. Tak mungkin dapat bersembunyi lagi, biar pun sudah tiba di pinggir hutan.

Loan Ki putus asa dan terpaksa dia berhenti, membalikkan tubuh, tangan Nagai Ici dia lepaskan, sepasang matanya yang jeli bersinar-sinar memandang ke depan. Nagai Ici juga berdiri tegak, dadanya yang bidang turun naik karena napasnya memburu. Dia pun bersiap-siap membela nona itu, mempertaruhkan segalanya.

Empat orang pengejar itu bukan lain adalah tokoh-tokoh istana, Sin-kiam-eng Tan Beng Kui, Lui-kong Thian Te Cu, Bhok Hwesio dan It-to-kiam Cui Hwa! Cepat sekali gerakan mereka dan dalam beberapa menit saja mereka sudah tiba di situ, dan tidak seorang pun di antara mereka yang terengah-engah seperti halnya Loan Ki dan Nagai Ici.

Empat orang ini tadinya mengejar keluar kota raja ketika melihat rajawali emas membawa lari Kun Hong. Sebelum keluar dari kota raja, mereka mendengar pula dari beberapa orang pengawal istana tentang mahkota kuno yang katanya dirampas oleh seorang pria tidak dikenal dan yang dikejar oleh sepasang orang muda, yaitu puteri Sin-kiam-eng dan temannya.

Mendengar ini, Tan Beng Kui terkejut. Tak disangkanya bahwa Loan Ki sudah berada di kota raja, bersama seorang pemuda tampan yang gagah. Siapakah pemuda itu? Karena khawatir akan keadaan anaknya, maka dia lalu mengejar, bersama tiga orang itu yang juga ingin mengejar Kun Hong.

"Loan Ki, kenapa engkau berlari-lari?" ayahnya bertanya, suaranya bengis dan matanya menatap wajah puterinya dengan tajam.

Tan Beng Kui lalu mengerling penuh curiga kepada pemuda tampan di sebelah puterinya. Diam-diam dia harus mengakui bahwa pemuda itu tampan dan gagah, dengan pedang panjang yang melengkung di pinggang. Pemuda yang sama tidak dikenalnya.

"Ayah... aku... aku menyusul Ayah ke kota raja dan..."

"Omitohud, kiranya puteri Tan-sicu? Benar-benar hebat, ayah harimau anak pun harimau pula. Nona, apakah kau sudah berhasil merampas mahkota kuno itu?" tanya Bhok-Hwesio sambil tertawa bergelak dan matanya yang lebar memandang ke arah buntalan pakaian di punggung Loan Ki. Buntalan itu menjendol dan mencurigakan.

Loan Ki tidak menjawab, pura-pura tidak mendengar pertanyaan ini, matanya menatap wajah ayahnya, penuh permohonan dan pengharapan. Akan tetapi wajah Tan Beng Kui dengan bengis tidak memberi hati kepadanya, malah terdengar orang tua itu bertanya,

"Loan Ki kau dengar pertanyaan Bhok Losuhu? Mana mahkota itu, apakah kau sudah merampasnya?"

Biar pun ia sudah biasa dimanja, akan tetapi Loan Ki selamanya tak pernah berbohong kepada ayahnya karena ayahnya sangat benci kepada kebohongan dan semenjak kecil menanamkan dalam hati anaknya agar tidak suka berbohong.

"Sudah, Ayah. Akan tetapi mahkota kuno ini adalah milikku. Dahulu akulah yang sudah merampasnya dari tangan para perampok, dan kini sudah kembali kepadaku. Benda itu punyaku, Ayah. Sungguh, punyaku dan tidak boleh diminta oleh orang lain!"

Sin-kiam-eng cukup mengenal watak puterinya. Jujur dan keras hati. Sekali berkata tidak boleh, tentu akan mempertahankannya! Dia menjadi ragu-ragu dan berkata kepada Bhok Hwesio.

"Ada betulnya juga ucapan anak ini. Benda itu dahulu lenyap, lalu terjatuh ke tangan perampok dan anakku yang merampasnya."

Bhok Hwesio tertawa pula. "Menurut The-kongcu, yang terpenting bukanlah mahkotanya, melainkan surat yang tersimpan di dalamnya. Nona, biarkan pinceng (aku) memeriksa sebentar mahkota itu, untuk mencari surat rahasia yang tersembunyi di dalam benda itu. Pinceng hanya membutuhkan surat itu, apa bila sudah terdapat, biarlah benda emas itu pinceng berikan kepadamu untuk main-main. Ha-ha-ha!"

Loan Ki mengerutkan kerungnya. Ia pun bukan seorang bodoh. Ia tahu bahwa Kun Hong mempertahankan mahkota itu bukan semata-mata karena emasnya, akan tetapi karena rahasia yang dikandungnya itulah. Susah payah mahkota itu hendak disampaikan kepada Raja Muda Yung Lo, tentu saja bukan karena benda itu terbuat dari pada emas berharga, melainkan karena hendak menyampaikan surat rahasia itulah. Sekarang surat itu hendak diambil, habis untuk apa mahkota itu dibawa-bawa ke utara? Apa kepentingannya lagi kalau suratnya sudah diambil?

"Siapa yang percaya omonganmu? Aku tak mengenalmu!" jawabnya sambil memandang hwesio itu dengan sinar mata berapi, sedikit pun juga tidak memperlihatkan rasa takut.

"Ha-ha-ha, betul-betul anak harimau! Nona, pinceng adalah sahabat baik ayahmu, masa kau tidak percaya?" kata hwesio itu.

"Loan Ki, kau berikan mahkota itu untuk diperiksa oleh Bhok-losuhu."

Loan Ki merengut kemudian ia menepuk-nepuk buntalan pada punggungnya. "Ayah, aku mendapatkan ini dengan susah payah, dengan pedang dan dengan bahaya maut. Masa sekarang orang lain begini mudah hendak menerimanya dariku? Aku mendapatkan benda ini dengan mengandalkan kepandaian, masa orang lain tanpa mengandalkan kepandaian boleh mengambil begitu saja? Ayah, di mana kehormatan kita?"

"Omitohud, benar-benar cerdik dan gagah anakmu, Tan-sicu. Eh, saudara Lui-kong Thian Te Cu, maukah kau mewakili kita dan memperlihatkan sedikit kepandaian kepada Nona ini untuk memindahkan mahkota itu ke tangan kita?"

Lui-kong Thian Te Cu terkekeh ketawa, kemudian melangkah maju. Loan Ki memandang tajam. Kalau saja keadaannya tidak begitu menegangkan hati, tentu ia sudah tertawa geli melihat orang ini. Seorang kakek bertubuh pendek gemuk tetapi tangannya panjang sekali sampai hampir mencapai tanah, mukanya bulat seperti muka kanak-kanak. Mau apakah badut ini, pikirnya.

"Nona, kepandaian manusia tiada batasnya, akan tetapi kau hendak main-main dengan kepandaian. Jangan katakan aku orang tua keterlaluan terhadapmu kalau terpaksa aku mempergunakan kebodohan untuk mengambil mahkota itu dari buntalan di punggungmu. Tan-sicu, maafkan aku, bukan maksudku menghina puterimu. Nona, awas!"

Tiba-tiba tangannya yang kanan terulur panjang, tangan itu bergerak cepat dan tahu-tahu sudah melewati kepala Loan Ki kemudian melengkung hendak merenggut buntalan dari punggung!

Loan Ki terkejut sekali dan cepat ia menggerakkan kaki mengelak. Berkat ilmu langkah ajaib yang dia pelajari dari Kun Hong, dengan tiga kali gerakan kaki dia dapat berhasil membebaskan diri dari kurungan lengan panjang itu.

"Ho-ho-ho, kau hebat, Nona!" kata Thian Te Cu yang kini tidak berani memandang rendah lagi. Tubuhnya berkelebat dan seperti seekor burung menyambar-nyambar, dia berusaha merenggut buntalan dari punggung Loan Ki.

"Jangan kurang ajar!" tiba-tiba Nagai Ici membentak dan sekali dia menggerakkan dua tangannya, dia sudah berhasil menangkap kakek itu dan di lain saat kakek itu sudah terlempar ke udara oleh ilmu gulatnya.

Hebat kejadian ini, sampai-sampai membuat Bhok Hwesio, Tan Beng Kui dan Gui Hwa melongo saking kaget dan herannya, mengira bahwa pemuda teman Loan Ki itu begitu saktinya sehingga Thian Te Cu yang demikian lihai itu dalam satu gebrakan saja dapat dilempar ke udara!

Padahal kejadian itu bisa timbul karena Thian Te Cu terlalu memandang rendah kepada pemuda ini dan tidak mengenal keanehan ilmu gulat Jepang sehingga tanpa dapat dia pertahankan lagi, kakek gemuk pendek ini melayang ke udara bagaikan sebuah peluru kendali. Akan tetapi segera Thian Te Cu dapat menguasai kekagetannya dan dengan cekatan dia dapat melayang turun kembali lalu tiba-tiba dia menyerang Nagai Ici.

Pemuda Jepang ini karena marah hendak melindungi Loan Ki, menyambut serangan si kakek dengan kepalan tangannya. Akan tetapi kali ini dia kaget, karena begitu kepalan tangannya bertemu dengan telapak tangan kakek itu, dia berteriak kesakitan dan menarik kembali tangannya yang sudah menjadi bengkak. Sambil meringis kesakitan Nagai Ici memegangi kepalan tangan kiri itu dengan tangan kanannya.

"Kakek jahat, berani kau melukai temanku!" Loan Ki berseru dan kini ia sudah mencabut pedang, langsung ia menerjang Thian Te Cu.

Namun kakek yang lihai ini sudah bersiap sekarang. Dengan gerakan aneh dia miringkan tubuhnya, tangan kirinya diulur mencengkeram tangan Loan Ki yang memegang pedang.

Gadis itu kaget, cepat menarik kembali pedangnya, akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa buntalan pada punggungnya sudah direnggut orang. Ketika ia menoleh, kiranya tangan kanan yang panjang dari Thian Te Cu sudah berhasil merampas buntalan itu. Kini kakek itu sambil terkekeh-kekeh menyerahkan mahkota kepada Bhok Hwesio dan melemparkan buntalan pakaian kembali kepada Loan Ki yang menyambutnya dengan uring-uringan.

"Bagaimana tanganmu?" Ia menghampiri Nagai Ici yang memperlihatkan kepalan tangan kiri yang membengkak.

Loan Ki mengurut pergelangan lengan itu beberapa kali dan sebentar saja bengkak itu mengempis. Memang tangan Nagai Ici itu tidak terluka, hanya keseleo saja ketika bertemu dengan telapak tangan Thian Te Cu yang mengandung tenaga lweekang amat kuat.

Diam-diam Sin-kiam-eng menyaksikan semua peristiwa itu. Jantungnya serasa tertikam ketika dia menyaksikan sikap mesra Loan Ki terhadap pemuda itu, dan dia pun terharu menyaksikan betapa pemuda aneh itu tadi tanpa mengukur kepandaian sendiri sudah berani membela Loan Ki mati-matian.

Sementara itu, Bhok Hwesio sudah mulai memeriksa mahkota. Diputar-putar ke sana ke mari, lalu diperiksa sebelah dalamnya. Dipencet sana, pencet sini, akan tetapi tidak dapat dia menemukan sesuatu. Dengan kening berkerut hwesio itu lalu menggunakan tenaga tangannya yang luar biasa. Sekali dia berseru keras, kedua tangannya telah mematahkan mahkota menjadi dua! Dia memeriksa secara teliti dan tampaklah olehnya tempat rahasia di dalam mahkota yang sudah kosong!

"Omitohud... orang muda hendak mengakali orang tua!"

Dia melemparkan potongan mahkota ke atas tanah dan kini memandang kepada Loan Ki dengan muka merah. "Nona, di dalam mahkota ini terdapat surat rahasianya, tetapi kini ternyata sudah kosong. Harap kau jangan main-main dan lekas serahkan surat itu kepada pinceng."

Loan Ki sendiri heran dan penasaran ketika melihat bahwa mahkota itu ternyata tidak mengandung sesuatu. Hampir saja dia melakukan perjalanan jauh dengan sia-sia. Apa artinya dia membawa benda itu jauh-jauh ke utara kalau ternyata tidak ada apa-apanya? Siapakah yang telah mengambil isi mahkota itu?

"Aku tidak tahu tentang surat-surat segala," katanya.

Bhok Hwesio menoleh kepada It-to-kiam Gui Hwa. "It-to-kiam lihiap, kau seorang wanita, maka sepantasnya kaulah yang menggeledah Nona ini. Tentu surat itu telah diambil dan disimpannya."

It-to-kiam Gui Hwa adalah seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya kecil kurus, gerak-geriknya gesit. Ia melangkah maju dan siap menggeledah tubuh Loan Ki.

Nona ini mengerutkan keningnya. "Jangan sentuh aku!" bentaknya.

"Nona cilik, harap kau jangan mempermainkan kami orang-orang tua. Serahkan saja surat itu dari pada aku terpaksa harus menggunakan kekerasan," Gui Hwa mengancam.

"Ayah, apakah kau akan membiarkan saja anakmu dihina orang?" Loan Ki menjerit sambil memandang ayahnya.

Sin-kiam-eng Tan Beng Kui bingung. Tentu saja dia pun tidak senang melihat puterinya didesak begitu rupa dan diperlakukan dengan cara menghina.

"Loan Ki, kalau kau memang sudah mengambil surat itu, kau serahkan saja, jangan kau mencampuri urusan negara ini," katanya dengan suara bengis dan berpengaruh.

"Aku tidak tahu menahu tentang surat, Ayah," kata Loan Ki, suaranya tegas karena dia memang tidak membohong.

"Lebih baik jika kau berterus terang saja, Nona. Jangan main-main!" It-to-kiam Gui Hwa mengancam.

"Nenek buruk, aku sudah berterus terang, tidak tahu-menahu tentang surat itu. Kau mau apa?!" bentak Loan Ki.

"Baik, kalau begitu jangan salahkan aku jika pedangku akan merobek-robek bajumu dan menelanjangimu di sini." Gui Hwa berseru marah sambil mencabut pedangnya yang tipis dan panjang.

"Srattttt!"

Loan Ki juga mencabut pedangnya dan berkata kepada ayahnya dengan suara getir, "Ayah, bila kau tetap membiarkan anakmu dihina orang, biarlah sekarang pedangku yang akan melindungiku, lihatlah betapa anakmu tidak akan membiarkan begitu saja dihina lain orang!"

Tan Beng Kui bingung, akan tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Sementara itu, Gui Hwa telah menerjang maju menggerakkan pedangnya dengan maksud merobek-robek pakaian Loan Ki agar surat yang disembunyikan dapat dirampas, karena kalau digeledah begitu saja gadis ini tentu tidak akan mau menyerah.

Loan Ki dengan marah juga menggerakkan pedang sehingga dua orang wanita tua dan muda ini sudah bertempur dengan hebat, seru dan mati-matian.

"Jangan menghina Loan Ki!" Nagai Ici yang sudah sembuh tangan kirinya, ternyata telah mencabut pedang samurainya dan kini maju hendak membantu Loan Ki. Sikapnya garang dan bersemangat seperti seekor singa muda.

"Ho-ho-ho-ho, pemuda sombong, jangan bergerak!" Lui-kong Thian Te Cu melompat ke depan, menghadang gerakan Nagai Ici dan dia pun sudah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang tanduk seperti tanduk rusa yang panjangnya kurang lebih empat kaki, runcing dan bengkok-bengkok.

Dengan gerakan cepat dia mendahului pemuda ini, mengirim pukulan dengan senjata aneh ini ke arah pundak kanan untuk membuat tangan pemuda itu lumpuh. Dia pun sama sekali tidak berniat membunuh pemuda ini, hanya untuk merobohkan dan mengalahkan pemuda ini.

"Traaanggg... singgg... Hiaaaaattttt!!"

Kaget bukan main Lui-kong Thian Te Cu. Seperti juga tadi, kali ini dia dibikin kaget oleh gerakan aneh pemuda ini karena begitu menangkis, pedang panjang itu langsung saja menyambarnya dengan kecepatan luar biasa dan tenaga yang amat kuat. Hampir saja dia celaka oleh serangan balasan yang otomatis dari Nagai Ici ini, karena kalau dia tidak cepat-cepat membuang diri ke belakang dan lehernya terkena sambaran pedang panjang itu, tentu sekarang dia sudah menjadi setan tanpa kepala.

"Wah-wah, ilmu pedang ganas seperti iblis mengamuk! Kau ini orang apakah?" bentak kakek itu yang cepat menerjang kembali, kini dengan hati-hati sekali mainkan senjatanya yang aneh.

Karena memang tingkat kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi dari pada Nagai Ici, maka sebentar saja jago muda Jepang itu sudah menjadi repot sekali, terpaksa menggerakkan pedang samurainya ke sana sini untuk menangkis tanduk rusa yang sepertinya sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya, mengurung dirinya dari segala penjuru. Juga Loan Ki amat repot menghadapi pedang It-to-kiam Gui Hwa. Nenek ini merupakan seorang tokoh Kun-lun-pai dan dalam hal ilmu pedang, kepandaiannya bahkan lebih matang dari pada kepandaian Bun Wan. Tentu saja tingkatnya jauh lebih tinggi dari pada Loan Ki.

Dengan mudah saja nenek ini mempermainkan Loan Ki yang terpaksa mempergunakan langkah ajaib untuk menyelamatkan diri. Namun, mana bisa orang bertempur hanya main tangkis dan kelit saja? Kalau diteruskan, akhirnya dia tentu akan celaka, akan terobek bajunya dan mengalami hinaan yang hebat. Melihat keadaan itu, Tan Beng Kui menjadi lemas kaki tangannya, jantungnya berdebar dan kerongkongannya terasa kering.

Tiba-tiba saja terdengar suara keras dan... pedang samurai di tangan Nagai Ici sudah terlempar ke atas kemudian jatuh menancap tanah, sedangkan pangkal lengan kanan pemuda itu sendiri sudah terluka oleh pukulan senjata Thian Te Cu. Pukulan keras yang membuat lengan itu serasa lumpuh dan pemuda ini hanya berdiri memegangi lengannya, tidak mampu berdaya lagi menghadapi kakek yang lihai itu. Thian Te Cu tertawa-tawa bergelak atas kemenangannya. Akan tetapi, melihat betapa Loan Ki didesak hebat oleh Gui Hwa, Nagai Ici mengeluarkan pekik menyeramkan dan dengan tangan kosong dia maju menyerbu, menerkam Gui Hwa tanpa mempedulikan keselamatannya sendiri!


BERSAMBUNG KE PENDEKAR BUTA JILID 24