Setan Mata Satu - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat serial pendekar pulau neraka
Episode Setan Mata Satu

Karya Teguh S
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



Pendekar Pulau Neraka Episode setan mata satu



SATU

"Aaa...!"

JERITAN panjang melengking terdengar begitu keras memecah kesunyiaan malam yang harusnya sunyi dan tenang. Begitu kerasnya sehingga semua penduduk Desa Kalipasir yang sedang terlelap dalam tidurnya jadi terbangun. Sebentar saja, orang-orang satu persatu mulai keluar dari rumahnya, dengan obor di tangan. Dan kini desa itu pun Jadi terang benderang.

Begitu tiba di jalan utama desa itu, mereka dikejutkan oleh munculnya seorang laki-laki dalam keadaan terhuyung-huyung. Dia tengah berlari sambil mendekap dadanya. Tampak darah mengucur deras dari sela-sela jari tangannya yang mendekap dada. Dan begitu sampai, tubuhnya langsung menggelimpang di depan orang-orang yang baru keluar dari rumah sambil membawa obor.

"Kasdi...?!"

Penduduk Desa Kalipasir itu semakin terkejut, begitu mengenali siapa yang jatuh tersungkur dengan luka menganga di dadanya ini. Mereka semua tahu, Kasdi adalah murid Eyang Jambak, Ketua Padepokan Tongkat Putih yang terletak tidak jauh dari desa Kalipasir. Dan ketika melihat sebuah bintang perak tertanam di kening Kasdi, seketika itu juga merela mundur menjauhi tubuh yang sudah terbujur kaku dengan darah terus mengucur dari dadanya yang terluka cukup besar.

"Pendekar Pulau Neraka..."

Terdengar gumaman-gumaman kecil yang agak tertahan, begitu terlihat sebuah benda berwarna perak berbentuk bintang yang menancap di kening Kasdi. Entah kenapa, mereka begitu takut. Sehingga, tidak seorang pun yang berani mendekati tubuh anak muda yang malang itu. Dan mereka hanya memandangi saja dengan raut wajah pucat. Bahkan tidak sedikit yang kembali masuk ke dalam rumahnya, lalu mengunci pintu rapat-rapat.

"Ayo, kita kembali saja...!" ajak salah seorang, tiba-tiba. Dan seketika itu juga, mereka bergegas kembali ke rumah masing-masing, seperti tidak ingin menghiraukan Kasdi yang sudah tidak bernyawa lagi.

Sebentar saja jalan desa yang tadi ramai, kini jadi sunyi senyap tanpa seorang pun terlihat di sana. Tinggal tubuh Kasdi saja yang terbujur kaku dan semakin dingin di tengah-tengah jalan utama yang agak lembab berembun itu. Namun belum juga para penduduk desa masuk kembali ke dalam rumah masing-masing, dari ujung jalan terlihat seorang laki-laki tua berjalan tergesa-gesa. Jubah putihnya yang panjang berkibar-kibar tertiup angin malam yang cukup dingin ini.

Sementara di belakangnya sekitar dua puluh orang anak muda mengikuti dari belakang. Mereka semuanya tampak menyandang golok di pinggang. Laki-laki tua itu berjalan sambil mengayun-ayunkan tongkat kayu yang bagian atasnya berbentuk bulan berwarna putih. Dan begitu mereka sampai didekat tubuh Kasdi yang sudah terbujur kaku, mereka langsung berhenti.

"Angkat dia...! Bawa ke padepokan," perintah laki laki tua berjubah putih itu. Suaranya terdengar cukup berat.

Tanpa diperintah dua kali, empat orang anak muda yang mengikuti bergegas mendekati Kasdi. Segera digotong dan dibawanya mayat itu pergi dari tempat ini. Sedangkan yang lainnya tetap diam, seperti menunggu perintah selanjutnya. Sementara Itu, dari lubang-lubang di balik jendela rumah-rumah yang ada di sekitar jalan ini, terlihat beberapa bola mata mengintip memperhatikan. Tapi, tidak ada seorang pun yang berani menampakkan diri. Mereka tahu, orang tua berjubah putih yang baru datang itu adalah Eyang Jambak.
Sementara, Eyang Jambak sendiri mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tampak begitu tajam sorot matanya. Sementara bibirnya yang hampir tertutup kumis putih, tampak terkatup rapat. Sedangkan sepasang rahangnya yang keras bertonjolan, tampak bagai sedang menahan amarah yang sangat dalam hatinya. Wajahnya juga terlihat memerah. Sehingga, tidak ada seorang pun dari anak-anak muda yang mengikutinya berani memandang wajahnya.

"Kalian menyebar! Cari Pendekar Pulau Neraka keparat itu...!" perintah Eyang Jambak lagi. "Ingat..! Jangan ada seorang pun yang mengganggu ketentraman penduduk!"

Tanpa ada yang menjawab, murid-murid Padepokan Tongkat Putih itu bergerak cepat, menyebar ke segala arah. Sementara, Eyang Jambak sendiri masih tetap berdiri tegak ditengah-tengah jalan tanah yang membelah desa Kalipasir ini. Pandangannya terus beredar ke sekeliling, dan langsung tertuju pada seorang laki-laki berusia separo baya. Laki-laki berbaju agak lusuh itu, tiba-tiba saja muncul di depan pintu sebuah rumah yang berhalaman tidak begitu besar.

Sebentar Eyang Jambak memandangi. Kemudian melangkah menghampiri. Sementara, orang yang baru keluar dari rumahnya itu berjalan menyeberangi halaman depan rumahnya. Dan mereka bertemu tepat di pintu pagar yang terbuat dari potongan bambu. Beberapa saat mereka terdiam, hanya saling berpandangan.


***


"Maaf... Bukan maksudku mengganggu ketentraman desamu ini, Gataka," ucap Eyang Jambak agak datar nada suaranya.

"Kami merasa tidak terganggu, Eyang," sahut Gataka ramah. "Justru kami senang melihat kedatanganmu di sini." sahut laki laki separo baya yang dipanggil Gataka.

"Kau tahu, ke mana perginya Pendekar Pulau Neraka?" tanya Eyang Jambak langsung.

Gataka hanya menggelengkan kepalanya. "Hmmm...," Eyang Jambak jadi menggumam kecil.

"Tidak ada seorang pun yang melihat kejadiannya, Eyang. Dan lagi, semua penduduk di sini juga sudah tidur," jelas Gataka, seperti tidak ingin ikut terlibat dalam persoalan ini.

"Pembunuh muridku itu harus ditangkap dan dihukum setimpal dengan perbuatannya. Sudah lima orang muridku yang mati di tangannya. Bahkan sudah tiga orang penduduk desa mati dibunuhnya. Aku tidak ingin ada korban lebih banyak lagi. Maka kuharap, kau dan semua penduduk desa ini membantuku menangkap pembunuh itu," ujar Eyang Jambak.

"Kabarnya, Pendekar Pulau Neraka sangat tangguh dan sukar ditandingi, Eyang...," kata Gataka, agak ragu-ragu suaranya.

"Setangguh apapun dia, perbuatannya tidak bisa didiamkan begitu saja. Yang jelas, dia harus mendapat ganjaran setimpal, Hh...! Mana pantas dia menyandang gelar pendekar," terdengar agak tinggi nada suara Eyang Jambak

"Aku dan semua penduduk desa ini akan membantumu, Eyang. Tapi..., mungkin bantuan itu tidak ada artinya bagimu," sergah Gataka, bernada merendahkan diri.

"Justru bantuan penduduk di sini sangat aku perlukan, Gataka," selak Eyang Jambak cepat. "Tanpa bantuan penduduk desamu, rasanya sulit untuk membekuk pendekar murtad itu."

"Lalu, apa yang harus kulakukan untuk membantumu...?" tanya Gataka.

"Amati siapa saja yang masuk ke desa ini. Kalau sikapnya mencurigakan cepat laporkan padaku di padepokan." kata Eyang Jambak meminta.

"Baik, Eyang," sahut Gataka mantap.

Saat itu, murid-murid Eyang Jambak kembali tanpa membawa hasil yang diinginkan. Mereka lalu berkumpul di belakang gurunya Ini. Sementara, beberapa orang penduduk sudah mulai keluar dari rumahnya masing-masing. Tapi mereka hanya berdiri saja di depan pintu, tanpa ada seorang pun yang mendekati. Eyang Jambak kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling beberapa saat, kemudian kembali menatap Gataka.

"Kuharap semua ini bisa cepat berhasil, Gataka. Aku tunggu bantuanmu," kata Eyang Jambak.

"Kuusahakan, Eyang," sahut Gataka.

Tanpa bicara lagi, Eyang Jambak berbalik, dan melangkah pergi meninggalkan Gataka seorang diri. Dan murid-muridnya yang berjumlah sekitar tiga puluh orang mengikuti dari belakang tanpa ada seorang pun yang bersuara.

Sementara itu, Gataka terus memandangi sampai mereka lenyap dari pandangan, setelah berbelok ke kanan untuk kembali ke padepokan. Kini Gataka pun bergegas kembali ke rumahnya. Dan orang-orang yang tadi sempat keluar, bergegas masuk kembali ke dalam rumah masing-masing. Kini malam pun sunyi tanpa terdengar ada orang yang berbicara lagi. Hanya desir angin dan gerit binatang malam saja yang terdengar mengisi kesunyian malam.


***


Peristiwa yang terjadi di Desa Kalipasir, membuat Eyang Jambak jadi bertambah sibuk. Kini ketua Padepokan Tongkat Putih itu harus melayani tamu-tamu dari rimba persilatan yang datang ke padepokannya. Mereka sudah mendengar tentang pembantaian orang-orang tak bersalah yang konon dilakukan oleh Pendekar Pulau Neraka yang kini sangat jauh berubah.

Dan sebenarnya tidak sedikit yang menyangsikan kalau semua pembunuhan berantai itu adalah perbuatan Pendekar Pulau Neraka. Terutama, mereka yang sudah mengenal betul akan watak pendekar muda itu. Kesangsian memang tergambar pada wajah orang-orang persilatan yang datang ke padepokan Eyang Jambak. Mereka sengaja memang ingin mencari bukti kebenarannya.

Tapi setelah melihat senjata yang selalu ada pada setiap korban, kesangsian itu semakin dalam menyelimuti mereka semua. Dan kekacauan ini tentu saja membuat tokoh-tokoh golongan hitam jadi senang. Mereka yakin, dengan hasil itu orang-orang persilatan golongan putih akan menjadi pecah. Bahkan bukan tidak mungkin akan saling bunuh hanya untuk membuktikan, apakah Pendekar Pulau Neraka sekarang benar-benar menjadi pembunuh kejam.

Sementara itu jauh di luar Desa Kalipasir, Pendekar Pulau Neraka tengah duduk mencangkung di atas batu di pinggir sungai. Pemuda berwajah tampan yang selalu memakai baju kulit harimau itu begitu asyik mempermainkan permukaan air sungai dengan kakinya. Sementara seekor monyet kecil berbulu hitam, seperti tidak mempedulikan keadaan sekitarnya. Dia begitu nikmat menyantap setandan pisang.

"Sudah makanmu, Tiren...?" tanya Bayu sambil melirik sedikit pada monyet kecilnya.

"Nguk...!"

Tiren menyeringai, memperlihatkan baris-baris giginya yang kecil dan rapih. Kembali binatang itu menikmati makanannya tanpa peduli pada Bayu yang sudah mulai tidak sabar menunggu.

"Sudah sore, Tiren. Kita harus sampai di desa Kalipasir untuk bermalam," ujar Bayu lagi.

"Nguk!"

Tiren mendongakkan kepalanya ke atas, menatap matahari yang saat itu memang sudah tergelincir ke barat Dan sinarnya pun tidak lagi terasa terik seperti tadi. Sementara, Pendekar Pulau Neraka sudah mengeluarkan kakinya dari dalam sungai. Dia melompat turun dari atas batu yang didudukinya, kemudian melangkah menghampiri monyet kecilnya. Sedangkan Tiren jadi mencerecet ribut, seperti tidak suka makannya diganggu. Tapi binatang itu akhirnya melompat juga, dan langsung naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka yang tangannya sudah terulur.

Bayu mengayunkan kakinya pelahan ke arah selatan. Disepaknya sebatang ranting yang menghalangi jalan, dan langsung ditangkap dengan mudah sekali. Lalu, diayun-ayunkannya ranting itu seirama ayunan langkah kakinya. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, Tiren tiba-tiba saja jadi ribut. Binatang itu mencerecet tidak henti-hentinya sambil berjingkrakan di pundak pemuda berbaju kulit harimau ini.

"Diam, Tiren," pinta Bayu agak membentak suaranya.

"Nguk! Craaakh...!"

Tiren bukannya diam, tapi semakin ribut. Dan ini membuat Bayu terpaksa harus menghentikan ayunan kakinya Namun belum juga bisa membuka mulut untuk mendiamkan monyet kecilnya, tiba-tiba saja....

Slap!
"Heh...?! Hup!"

Bayu jadi tersentak, ketika tiba-tiba saja dari arah depan melesat bagai kilat sebatang anak panah yang langsung menuju ke arahnya. Tapi hanya memiringkan tubuh sedikit sambil menarik ke kirinya anak panah itu jadi meleset arah sasarannya. Tepat di saat anak panah itu berada di depan dadanya, tangan Pendekar Pulau Neraka mengibas. Dan...

Tap!
"Hih...!"

Begitu anak panah berada dalam genggaman tangannya, secepat kilat Bayu mengibaskannya kembali ke depan sambil menegakkan tubuhnya. Maka seketika anak panah itu kembali meluncur dengan kecepatan tidak kalah dari datangnya tadi. Begitu cepat lesatannya ke arah gerumbul semak yang tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka Dan begitu menembus semak....

Slak!
"Aaa...!"

Seketika terdengar jeritan panjang yang melengking, disusul munculnya seseorang dari dalam semak belukar dengan sebatang anak panah menembus leher. Orang itu terhuyung sebentar, lalu ambruk terguling keluar dari dalam semak. Sementara, Bayu sudah menurunkan Tiren dari pundaknya. Monyet kecil itu berlari mendekati pohon, lalu naik ke atas sambil mencerecet ribut Kemudian binatang itu nangkring diatas dahan yang rukup besar.

Sedangkan Bayu terlihat berdiri tegak, memandangi tubuh laki-laki yang sudah tidak bernyawa lagi dengan leher tertembus anak panah, tampak pada pinggangnya tergantung sekantung anak panah. Sementara sebuah busur menggeletak tidak jauh dari sampingnya. Pelahan Bayu melangkah menghampiri.

Namun belum juga sampai, kembali terlihat anak panah meluncur deras ke arahnya. Bahkan kali ini bukan hanya satu, tapi puluhan anak-anak panah Itu meluruk dari segala arah mengancam Bayu yang terkesiap. Maka seketika tubuhnya melenting ke atas sambil berputaran.

"Hiyaaa...!"

Diiringi teriakan menggelegar, cepat sekali Bayu mengibaskan tangan kanannya untuk menangkis serbuan anak panah yang datang bagaikan hujan. Puluhan anak panah itu kontan rontok, terkena kibasan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka yang begitu cepat Dan sebentar saja, tidak satu pun anak panah yang terlihat lagi menghujaninya. Bayu kembali menjejakkan kaki di tanah dengan ringan sekali. Sampai-sampai tidak terdengar suara sedikit pun juga saat mendarat.

Sementara keadaan kembali sunyi. Bayu mengedarkan pandangan ke sekeliling, sambil menajamkan pendengaran. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, kemudian terdengar gumamannya yang begitu pelahan seperti lebah. Malah kedua tangannya sudah mengepal erat. Sekarang dia tahu dirinya sudah terkepung tidak kurang dari tiga puluh orang yang bersembunyi di balik pohon dan gerumbul semak disekitarnya.


***


"Siapa kalian? Keluar...!" teriak Bayu dengan suara keras dan lantang. Begitu kerasnya suara Pendekar Pulau Neraka, sehingga daun-daun di sekitarnya jadi berguguran. Dan memang, Bayu mengeluarkannya dengan pengerahan tenaga dalam sempurna. Tapi teriakan Pendekar Pulau Neraka tidak mendapat sambutan sama sekali. Bayu sendiri hanya bisa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kendati tahu kalau sudah terkepung, tapi Bayu tidak mau berbuat gegabah untuk menyerang lebih dahulu.

Dua langkah Bayu mengayunkan kakinya ke depan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap ke depan. Dan begitu langkahnya berhenti, tiba-tiba saja kaki kanannya dihentakkan ke depan. Seketika sebatang ranting kering yang berada tepat
di ujung kakinya melesat begitu cepat bagai kilat Dan...

Srak!
"Aaa...!"

Kembali terdengar jeritan yang melengking menyayat, begitu ranting yang tersepak kaki Pendekar Pulau Neraka menembus semak belukar di depannya. Tak lama muncul seorang laki-laki dengan leher tertembus ranting kering dari dalam belukar. Tubuh yang cukup besar itu jatuh terguling ke tanah. Hanya sesaat saja dia mampu menggeliat, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati.

Dua orang sudah menggeletak di depan Pendekar Pulau Neraka dalam keadaan tidak bernyawa. Sementara, Bayu sendiri sudah memutar tubuhnya sedikit ke kiri. Dan kembali kakinya bergerak cepat, menyepak sepotong ranting kering yang berada di ujung jari kakinya. Kembali ranting itu melesat begitu cepat bagai anak panah, dan langsung menembus semak belukar yang ada di sebelah kirinya. Kembali jerit kematian pun kembali menyayat panjang.

Satu orang lagi muncul dengan leher terpanggang sepotong ranting. Bayu hanya memandangi saja dengan sinar mata begitu tajam pada sosok tubuh yang bergelimpangan didepannya dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Darah tampak sudah membanjiri tanah di dalam hutan ini.

"Kalian akan mati kalau tidak keluar...!" teriak Bayu dengan suara keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Suara Pendekar Pulau Neraka menggema kesekitar hutan ini Begitu sempurna tenaga dalam yang dikerahkan Pendekar Pulau Neraka, sehingga membuat tanah di sekitarnya jadi bergetar bagai diguncang gempa. Dan saat itu juga, terlihat seorang laki-laki tua berjubah putih keluar dari balik sebuah pohon yang cukup besar. Sebatang tongkat berwarna putih tergenggam di tangan kanannya seakan jadi penyangga tubuhnya yang sudah agak membungkuk.

"Sudah cukup permainan iblismu, Kisanak...," terasa begitu dingin suara orang tua berjubah putih ini.

"Hm... Siapa kau Orang Tua?" tanya Bayu, tidak kalah dingin.

"Aku Eyang Jambak, ketua Padepokan Tongkat Putih," sahut orang tua berjubah putih itu, memperkenalkan diri.

"Hm...," Bayu hanya menggumam saja pelan.

"Sudah terlalu banyak korban yang kau ambil dari Desa Kalipasir, Pendekar Pulau Neraka. Dan hari ini, kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan iblismu itu," cegat Eyang Jambak.

"Perbuatan apa...?" tanya Bayu tidak mengerti.

"Jangan berpura-pura tidak tahu!" bentak Eyang Jambak kasar.

Bayu jadi tersentak juga mendengar bentakan begitu kasar dari orang tua bernama Eyang Jambak Ini. Tapi keningnya jadi berkerut, memandangi wajah yang kelihatan menegang penuh kebencian itu. Sesaat saja, Bayu langsung bisa menyadari kalau dirinya sekarang berada dalam bahaya. Dan dia tidak tahu, apa yang menjadi sebabnya sehingga orang tua itu begitu membencinya. Bahkan sinar mata laki-laki itu jelas ingin membunuhnya.

"Kau kelihatannya ingin membunuhku, Eyang. Kenapa...?" Bayu meminta penjelasan.

"Rasanya tidak perlu lagi aku menjawab pertanyaan bodohmu itu, Anak Muda. Sekarang, bersiaplah menerima hukuman atas kekejamanmu selama ini!" sahut Eyang Jambak dingin.

Dan begitu kata-katanya selesai, Eyang Jambak langsung saja mengecutkan tongkat putihnya ke depan. Maka seketika itu juga dari ujung tongkatnya meluncur puluhan benda kecil seperti jarum berwarna putih keperakan, yang langsung meluruk deras ke arah Pendekar Pulau Neraka.

"Hup...!"


***


DUA

Tidak ada pilihan lain lagi bagi Bayu, kecuali cepat melenting ke atas. Tubuhnya langsung berputaran beberapa kali cepat sekali, menghindari serbuan jarum-jarum kecil keperakan yang keluar dari ujung tongkat Eyang Jambak. Dan begitu kakinya kembali menjejak tanah, Eyang Jambak sudah melesat cepat bagai kilat disertai kebutan tongkatnya yang tepat mengarah ke bagian kepala Pendekar Pulau Neraka

"Haiiit..!"

Cepat-cepat Bayu merundukkan kepala, sehingga sabetan tongkat ketua Padepokan Tongkat Putih itu hanya lewat sedikit saja di atas kepalanya Namun saat itu juga. Bayu merasakan adanya sambaran hawa panas menyengat di atas kepala, yang rupanya keluar dari sambaran tongkat Eyang Jambak. Cepat Bayu melompat ke belakang sambil memutar tubuhnya dua kali di atas tanah. Lalu, manis sekali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya kembali ke tanah.

Dan pada saat itu, juga Eyang Jambak sudah kembali melancarkan serangan dahsyat Seakan, dia tidak ingin memberikan kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka untuk balas menyerang.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Eyang Jambak mengebutkan tongkatnya beberapa kali. Ketepatannya begitu tinggi, mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Dan ini membuat Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan yang begitu cepat dan beruntun tanpa henti.

Sementara, hawa panas di sekitar tubuhnya semakin terasa begitu menyengat, membuat jalan pernapasannya jadi terganggu. Bayu cepat menyadari kalau terus-menerus bertahan seperti ini. Hawa panas yang keluar dari tongkat putih orang tua itu jelas bisa menguras habis udara untuk mengisi paru-parunya.

"Hup!"

Cepat Bayu melentingkan ke atas dan berputaran beberapa kali, tepat di saat tongkat Eyang Jambak mengibas ke arah kakinya. Lalu, manis sekali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya di atas dahan sebuah pohon, tepat di atas kepala Eyang Jambak. Tapi, tampaknya orang tua itu tidak mau kehilangan lawannya. Cepat dia melompat ke depan, dan...

"Yeaaah...!"
Bet!
Prak!
"Heh...?!"

Bayu jadi tersentak kaget, begitu pohon yang dipijaknya seketika bergetar tersabet tongkat Eyang Jambak. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, pohon itu jadi goyang. Lalu...

"Hup...!"

Cepat-cepat Bayu melenting ketika pohon itu roboh. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian manis sekali menjejak tanah kembali. Agak terbeliak juga kedua bola mata Pendekar Pulau Neraka melihat bagian bawah pohon itu hancur, akibat terkena pukulan dahsyat tongkat putih Eyang Jambak tadi. Dan matanya semakin terbeliak lebar, begitu melihat pohon yang sudah ambruk itu pelahan-lahan hancur jadi debu. Sehingga, bentuk pohon itu tidak lagi terlihat. Yang ada hanya tumpukan debu di atas tanah.

"Gila...! Ilmu apa yang dipakainya...?" desis Bayu dalam hati.

Memang dahsyat tongkat Eyang Jambak. Pohon yang begitu besar dan kuat, bisa hancur jadi debu. Bayu jadi berpikir kalau saja tongkat itu menyentuh tubuhnya. Sulit dibayangkan, apa yang akan terjadi. Mungkin nasibnya sama dengan pohon itu. Sementara Bayu tengah berpikir, Eyang Jambak sudah kembali melancarkan serangan dahsyatnya.

Tubuh orang tua itu meluncur begitu cepat bagai kilat, hingga sulit diikuti mata biasa. Hanya bayangan putih saja yang terlihat berkelebat begitu cepat meluruk deras ke arah Pendekar Pulau Neraka.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat Bayu melenting ke atas, sehingga terjangan Eyang Jambak tidak sampai menyambar tubuhnya. Dan bayangan putih dari jubah yang digunakan orang tua itu berkelebat, lewat di bawah Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat itu juga, Bayu memutar tubuhnya hingga kepalanya berada di bawah. Lalu dengan kecepatan luar biasa Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya ke arah Eyang Jambak yang baru saja berbalik, setelah serangannya gagal. Maka saat itu juga, Cakra Maut yang selalu berada di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat begitu cepat bagai kilat.

"Wusss...!
"Hiyaaa...!"
Bet!

Eyang Jambak langsung mengecutkan tongkatnya, hingga melintang di depan dada, tepat di saat Cakra Maut hampir menghantam dadanya. Sehingga, senjata maut Pendekar Pulau Neraka langsung menghantam tepat bagian tengah tongkat putih orang tua itu.

Tring!
"Heh...?!"

Bayu jadl terbeliak, melihat senjata andalannya terpental balik begitu membentur batang tongkat lawannya. Maka cepat tangan kanannya diangkat ke atas kepala, sehingga Cakra Maut berwarna putih keperakan kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.

"Hh!"

Bayu menghembuskan napas berat, sambil menyilangkan tangan kanan di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam memperhatikan gerak kaki Eyang Jambak yang menggeser ke kanan. Sedangkan orang tua itu sendiri mempermainkan tongkatnya di depan dada, lalu diputar cepat sekali, sampai seperti lenyap dari pandangan. Dan yang terlihat kini hanya lingkaran putih yang hampir menutupi seluruh tubuh orang tua itu.

"Hm.... Ilmu apa lagi yang akan digunakannya...?" gumam Bayu bertanya-tanya sendiri dalam hati. Sedikitpun Bayu tidak mengedipkan mata, terus memperhatikan setiap gerak Eyang Jambak. Putaran tongkatnya yang semakin cepat, juga menjadi perhatian Pendekar Pulau Neraka. Dan tanpa disadari, kini jarak mereka sudah begitu dekat. Dan tepat ketika jarak mereka tinggal sekitar lima langkah lagi...

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Eyang Jambak berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga, tongkatnya dikebutkan ke depan, tepat mengarah ke bagian perut Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat hentakan tongkat putih itu, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk berkelit menghindar. Namun...

"Hih!"

Cepat Bayu menarik tangannya melintang ke bawah, untuk melindungi perutnya dari sambaran longkat putih lawannya. Sehingga tongkat itu tepat menghantam bagian luar pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka ini. Dan...

Trang!

Seketika api memercik, begitu tongkat Ki Jambak beradu keras dengan Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka. Lalu saat itu juga, mereka sama-sama melompat ke belakang sejauh beberapa langkah. Dan hampir bersamaan pula, mereka kembali menjejakkan kakinya mantap di tanah. Bayu langsung menempatkan tangan kanannya kuat-kuat di depan ujung jari kakinya. Sorot mata orang tua itu terlihat begitu tajam menatap lurus ke bola mata Pendekar Pulau Neraka yang kini berada sekitar satu batang tombak di depannya. Dan Bayu sendiri membalas pandangan mata itu dengan sorotan yang tidak kalah tajam, beberapa saat mereka saling berpandangan tajam, seakan-akan tengah mengukur sampai sejauh apa tingkat kepandaian masing-masing.


***


Di saat dua orang yang berdiri berhadapan dan saling menatap tajam itu tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing, dari balik semak belukar dan pepohonan di sekeliling tempat ini bermunculan orang-orang bersenjatakan golok di pinggang. Bahkan busur anak panah yang juga dibawa mereka telah terentang di tangan. Di balik ikat pinggang mereka juga bukan hanya golok yang ada, tapi juga sebatang tongkat putih. Mereka langsung mengepung tempat ini dengan panah terpasang di busurnya, siap mengancam Pendekar Pulau Neraka.

Kemunculan murid-murid Eyang Jambak ini membuat Bayu jadi mendengus berat. Pandangannya segera beredar ke sekeliling beberapa saat, memperhatikan sekitarnya yang sudah terkepung rapat dalam waktu sebentar saja. Tidak ada celah sedikit pun untuk dapat meloloskan diri. Sementara, Eyang Jambak sendiri sudah menggeser kakinya ke belakang, menjauhi Pendekar Pulau Neraka Tapi, tatapan matanya tidak lepas dari pemuda berbaju kulit harimau ini.

"Sebaiknya kau menyerah saja, Anak Muda. Tidak ada gunanya melawan. Bukan hanya murid-muridku saja yang mengepung tempat ini. Kalau tak percaya lihat saja sekelilingmu...," ujar Eyang Jambak merasa menang.

Saat itu juga Bayu jadi terkejut, begitu melihat di sekelilingnya yang sudah terkepung oleh tokoh-tokoh persilatan beraliran putih. Dia tahu, mereka yang baru bermunculan itu tidak bisa dianggap sembarangan. Bayu benar-benar merasakan kalau keadaannya sekarang sama sekali tidak menguntungkan. Tapi, pantang baginya untuk menyerah begitu saja.

"Kenapa kalian seperti menginginkan kematianku?! Apa perbuatanku yang merugikan kalian semua...?!" tanya Bayu keras dan lantang.

"Sebaiknya, tanyakan saja nanti di neraka, Anak Muda," sahut Eyang Jambak ketus. Bayu langsung menatap tajam pada orang tua berbaju putih itu.

Memang, Eyang Jambak memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Dan menghadapi orang tua ini saja, Bayu merasa cukup berat. Apa lagi, harus menghadapi tokoh-tokoh persilatan yang begitu banyak, jumlahnya, ditambah murid-murid Eyang Jambak sendiri. Bayu benar benar harus berpikir keras untuk dapat keluar dari kepungan ini.

Tapi dia juga ingin tahu, mengapa mereka sampai memperlakukannya seperti ini...? Padahal, Bayu sama sekali tidak merasa melakukan sesuatu yang merugikan mereka semua. Apalagi dia tidak kenal mereka satu persatu. Tapi, tampaknya orang-orang yang mengepungnya ini benar-benar menginginkan kematiannya.

Bayu juga menyadari, keingintahuannya tidak akan bisa terjawab sekarang ini. Dan satu-satunya jalan, dia harus bisa lolos dari kepungan. Otak Pendekar Pulau Neraka seketika berputar, mencari cara yang tepat untuk bisa lolos dari maut yang begitu sempit kemungkinannya.

"Apapun yang terjadi, aku harus keluar dari tempat ini...," bisik Bayu dalam hati. Sebentar Pendekar Pulau Neraka mengedarkan pandangan ke sekeliling, kemudian matanya bertemu pada Tiren yang kelihatannya begitu ketakutan melihat majikannya terkurung rapat dalam bahaya maut ini. Entah kenapa, Bayu jadi tersenyum melihat monyet kecil yang selalu bersamanya.

"Tiren, kacaukan mereka dari sebelah kanan," bisik Bayu menggunakan suara perut yang disertai pengerahan tenaga dalam.

"Nguk!"

Tiren langsung bisa mendengar bisikan Pendekar Pulau Neraka. Tanpa diminta dua kali, monyet kecil itu langsung saja melompat ke ranting kecil tidak jauh dari tempatnya nangkring tadi. Dan ringan sekali tubuhnya berayun pada ranting, lalu meluruk deras ke arah kanan para pengepung.

"Nguk! Craaak...!"

Sambil menjerit nyaring, monyet kecil itu langsung saja menerkam kepala seorang pengepung yang sama sekali tidak menyadari akan serangan itu. Murid Eyang Jambak itu jadi menjerit, ketika gigi-gigi Tiren yang bertaring sangat tajam mengoyak kulit lehernya. Darah langsung menghambur keluar dari leher yang terkoyak cukup lebar.

"Bagus, Tiren...!" seru Bayu masih menggunakan suara perut. Tiren langsung berpindah ke orang satunya lagi. Dan kembali gigi-giginya yang bertaring sangat tajam itu menghunjam ke leher.

"Craaak...!"

Jeritan pun kembali terdengar begitu menyayat. Serangan Tiren yang cukup cepat dan tidak terduga, membuat keadaan di barisan kanan jadi kacau. Mereka yang cepat tersadar, berusaha menghentikan amukan monyet kecil itu. Tapi, Tiren memang seekor monyet yang sudah terlatih. Dia berlompatan dari satu kepala ke kepala lainnya, sambil berteriak-teriak ribut. Dan kekacauan itu semakin meluas. Sehingga, perhatian hampir semua mang tertumpah pada amukan monyet kecil itu. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan Bayu begitu saja.

"Hup! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu langsung saja melompat ke arah kanan. Dan tangan kanannya seketika mengibas cepat ke depan. Maka Cakra Maut yang selalu menempel pada pergelangan tangan kanannya langsung melesat begitu cepat bagai kilat.

Wusss!
Crasss!
"Aaa...!"

Satu orang langsung roboh seketika, tersambar Cakra Maut pada lehernya. Sementara, Bayu sudah melepaskan beberapa pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Jeritan-jeritan menyayat seketika menggema memenuhi hutan ini, di susul oleh tubuh-tubuh berlumuran darah yang berjatuhan saling susul.

"Hiya! Yeaaah...!"

Sementara Bayu terus berlompatan sambil melontarkan pukulan-pukulan dahsyatnya. Dan begitu mendaratkan satu pukulan terakhirnya, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat cepat ke atas pohon yang cukup tinggi.

"Hup! Yeaaah...!"

Dan hanya dengan menotokkan sedikit saja ujung jari kakinya, Bayu kembali melenting cepat ke pohon satunya. Dan, Pendekar Pulau Neraka terus melesat meninggalkan orang-orang yang mengepungnya. Sementara, Tiren sendiri langsung melompat naik ke atas pohon, begitu melihat Bayu sudah tidak terlihat lagi di tempat ini. Begitu cepat dan ringan gerakannya sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap tertelan lebatnya pepohonan di dalam hutan.

"Keparat..!"

Eyang Jambak jadi geram setengah mati, melihat Pendekar Pulau Neraka berhasil lolos dari kepungan yang sangat rapat. Bahkan tidak kurang dari lima belas orang muridnya tidak bernyawa lagi. Sedangkan puluhan orang menderita luka parah. Dalam beberapa gebrakan saja, Bayu berhasil lolos dari kepungan. Bahkan bisa menewaskan lima belas orang, dan melukai puluhan orang pengepungnya.


***


Eyang Jambak hanya dapat menyimpan kekesalannya di dalam hati. Sementara Bayu sudah berada di tempat yang cukup aman dari orang-orang yang menginginkan nyawanya. Larinya baru berhenti setelah dirasakan cukup aman, dan tidak ada seorang pun yang mengejarnya. Bibirnya tersenyum melihat Tiren berayun-ayun pada sulur pohon menghampirinya.

Monyet kecil itu mencerecet ribut sambil melompat ke pundak Pendekar Pulau Neraka. Tampak mulut dan seluruh giginya yang bertaring sangat tajam berlumuran darah. Bayu menepuk kepala monyet itu sambil tersenyum. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri sebuah telaga kecil di tengah hutan ini. Dibersihkannya darah dari mulut monyet kecil itu dengan air telaga yang jernih ini. Juga, senjata cakranya yang berlumuran darah.

"Kau sudah bersih lagi sekarang, Tiren," ujar Bayu seraya tersenyum.

"Nguk!"

Tiren kelihatan senang melihat dirinya tidak lagi berlumuran darah. Monyet kecil naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu hanya tersenyum saja saat merasakan pelukan hangat monyet kecil ini pada lehernya. Lalu kembali kakinya terayun menembus hutan yang sangat lebat ini. Dia tidak tahu lagi, arah mana yang harus dituju. Sementara, matahari sudah menenggelamkan diri di ufuk barat. Kegelapan menyelimuti seluruh hutan ini, membuat langkah kaki Pendekar Pulau Neraka jadi agak terhambat. Tapi, dia terus saja berjalan tanpa tentu arah tujuan.

Belum juga jauh Bayu berjalan menembus kegelapan dalam hutan ini, ayunan langkah kakinya mendadak saja terhenti. Kening Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut, melihat secercah cahaya api menyembul keluar dari balik belukar di depannya. Dan seketika, bau harum daging panggang tercium keras di lubang hidungnya, membuat perutnya seketika berbunyi minta diisi. Bayu baru menyadari, sejak siang tadi perutnya memang belum terisi makanan sedikit pun.

"Mudah-mudahan saja bukan orang yang mau membunuhku," gumam Bayu dalam hati.

Setelah memantapkan hatinya, Pendekar Pulau Neraka kembali meneruskan langkah kakinya mendekati api yang terlihat tidak jauh lagi di depannya. Sebentar langkahnya berhenti di dekat gerumbul belukar, kemudian pelahan tangannya mulai menyibakkan belukar itu. Tapi baru saja akan melangkah. tiba-tiba saja....

Bet!
"Upths...!"

Hampir saja ujung sebuah pedang membabat leher, kalau Bayu tidak cepat menarik kepalanya ke belakang. Dan Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat melompat sambil memutar tubuhnya dua kali ke belakang. Lalu pada saat kakinya menjejak tanah, di depannya sudah berdiri seorang gadis cantik. Baju merah muda yang dikenakannya cukup ketat, sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang begitu indah dipandang mata. Sebuah pedang bercahaya keperakan tergenggam erat di tangan kanannya. Ujung pedang itu tepat terarah ke dada Pendekar Pulau Neraka.

"Siapa kau? Dan mau apa mengintipku...?" tegur gadis itu.

"Sabar Nisanak. Aku tidak bermaksud jahat padamu. Aku hanya ingin menumpang bermalam di sini," ujar Bayu menyabarkan.

"Aku tanya siapa kau...?" bentak gadis itu tanpa menghiraukan ucapan pemuda berbaju kulit harimau ini.

"Namaku Bayu," sahut Bayu kalem. "Maaf kalau kehadiranku mengganggu istirahatmu. Sama sekali tidak ada maksud buruk di hatiku. Aku hanya ingin bermalam dekat api yang kau buat"

"Hm...," gadis itu menggumam sedikit dengan kening berkerut. Bola mata indah gadis itu memperhatikan Pendekar Pulau Neraka dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Kelopak matanya terlihat agak menyipit. Sedangkan Bayu hanya diam saja, tidak merasa jengah sedikit pun dipandangi dengan sinar mata memancarkan kecurigaan.

"Kau pengembara?" tanya gadis itu.
"Benar," sahut Bayu singkat.
"Apa julukanmu?" tanya gadis itu lagi.

"Julukan...? Ah! Aku tidak punya julukan sama sekali," sahut Bayu berdusta.

"Aku tidak percaya! Seorang pengembara pasti memiliki julukan. Dan aku bisa memutuskan kau boleh menumpang atau tidak, dari julukanmu!" tandas gadis itu.

Bayu jadi terdiam mendengar kata-kata bernada tegas dan tidak bisa dibantah lagi. Memang, di dalam rimba persilatan seorang pengembara seperti dirinya pasti memiliki julukan. Dan biasanya, julukan seorang pengembara memiliki arti yang sangat mendalam. Bahkan bisa menunjukkan watak pemilik julukan itu.

"Apakah itu perlu bagimu, Nisanak?" tanya Bayu masih mencoba berkilah. Pendekar Pulau Neraka sadar, sekarang ini julukan yang disandangnya sedang dirusak orang lain. Dan dia sendiri tidak tahu, apa sebabnya. Baru tadi Bayu mendapat kesulitan. Dan untung saja nyawanya selamat. Makanya, Bayu berhati-hati untuk memperkenalkan julukannya pada orang lain yang belum dikenalnya.

"Sebutkan saja julukanmu, Kisanak!" agak membentak suara gadis itu.

"Aku tidak tahu pasti. Tapi orang-orang selalu memanggilku Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu terpaksa juga memberitahu.

Gadis cantik itu terdiam, memandangi pemuda yang berada sekitar lima langkah di depannya. Seakan, dia sedang menilai diri Pendekar Pulau Neraka. Dan pelahan pedangnya ditarik, lalu dimasukkan ke dalam warangka yang tergantung di pinggang. Bayu langsung menarik napas panjang, begitu melihat gadis itu menyimpan kembali pedangnya.

Tanpa berkata apapun juga, gadis cantik berbaju merah muda agak ketat itu memutar tubuhnya. Dan kakinya langsung melangkah menyeruak belukar yang tadi sempat diterjangnya. Sedangkan Bayu masih terdiam beberapa saat, kemudian melangkah juga menembus belukar itu. Bayu melihat gadis itu sudah duduk bersila di depan api unggun yang menyala cukup besar. Dan tidak jauh di sebelah kirinya, terdapat tiga ekor ayam panggang yang cukup gemuk.

Sementara, Bayu hanya berdiri dekat, di sebelah kanan gadis itu. Kakinya baru melangkah, setelah gadis itu merentangkan tangannya sedikit. Bayu mengambil tempat tidak jauh dari panggangan ayam. Bau harum daging ayam panggang itu membuat air liurnya menitik keluar.

"Ambil saja kalau mau. Aku sudah habis satu tadi," kata gadis itu menawarkan.

Tanpa ditawarkan dua kali, Bayu segera mengambil satu. Kemudian, mulai dinikmatinya ayam panggang ini. Bagitu nikmat. Terlebih perutnya memang sudah terasa lapar sejak tadi. Dan sebentar saja, satu ekor sudah dihabiskannya.

"Kalau kurang, ambil saja lagi," gadis itu kembali menawarkan.

"Terima kasih, sudah cukup...," tolak Bayu halus. Bayu membersihkan tangannya dengan daun-daun kering. Lalu dipindahkannya Tiren yang sudah tidur di sampingnya. Kemudian, tubuh monyet kecil itu ditutupinya dengan daun-daun kering yang banyak berserakan di sekitarnya.

Bayu sedikit melirik gadis cantik disebelahnya yang masih tetap duduk bersila seperti sedang bersemadi. Tapi kedua matanya terbuka lebar, menatap api unggun di depannya. Sepertinya, ada yang sedang diperhatikan di dalam api itu.

"Kalau boleh tahu, siapa namamu, Nisanak...?" tanya Bayu dengan nada suara dibuat begitu ramah.

"Lestari," sahut gadis itu singkat, memperkenalkan namanya.
"Kau juga pengembara?" tanya Bayu lagi.
"Bukan."
"Lalu, kenapa berada di dalam hutan ini seorang diri?"

Lestari tidak menjawab. Matanya hanya melirik sedikit saja pada pemuda yang duduk di sebelahnya. Dan Bayu jadi terdiam, tidak mengharapkan jawaban atas pertanyaannya tadi. Dia tahu gadis Itu tidak ingin memberitahu keberadaannya dalam hutan yang sunyi dan lebat ini.

Melihat gadis itu tetap duduk diam seperti sedang bersemadi, Bayu tidak mau mengganggunya. Tubuhnya lantas direbahkan di samping Tiren yang sudah sejak tadi terlelap tidur. Matanya mencoba untuk dipejamkan, tapi tidak juga terlelap tidur. Meskipun sikap gadis ini begitu baik, tapi pada saat sekarang ini, dia tidak mau mudah percaya begitu saja pada orang yang baru dikenalnya.


***


TIGA

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari menampak kan diri, Bayu sudah bangun dan langsung berdiri. Tampak Lestari masih tidur dengan tubuh meringkuk seperti udang. Pendekar Pulau Neraka mengulurkan tangannya pada Tiren yang juga sudah bangun. Monyet kecil itu langsung nangkring di pundaknya. Saat Bayu mematikan api, Lestari menggelinjang bangun dari tidurnya.

Dia langsung bangkit berdiri, memandangi Bayu yang sudah mematikan api. Sementara, cahaya matahari mulai membias di ufuk timur. Begitu lembut cahayanya, saat menyentuh kulit Pelahan Bayu berdiri sambil mengambil sepotong kayu yang cukup kuat.

"Kita berpisah sekarang, Lestari. Terima kasih tumpangannya," ujar Bayu lembut.
"Tunggu...!" sentak Lestari, mencegah.

Bayu yang akan melangkah pergi, terpaksa jagi mengurungkan niatnya. Dipandangi wajah cantik gadis itu dengan kelopak mata agak menyipit.

"Kau harus ikut denganku, Bayu," kata Lestari.
"Untuk apa..? Kalau aku ikut denganmu, hanya akan membuat susah saja, Lestari," Bayu mencoba menolak halus ajakan gadis ini.

"Justru kalau tidak ikut denganku, kau akan jadi susah sendiri," balas Lestari tegas.
"Heh...?! Apa maksudmu, Lestari...?" tanya Bayu agak terkejut.

"Aku tahu siapa kau, Bayu. Kau Pendekar Pulau Neraka yang sedang dicari-cari orang sekarang ini. Kau dituduh pembunuh brutal yang sudah mengambil korban di mana-mana," kata Lestari kalem.

"Kau..., kau tahu...?" kali ini Bayu tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya.

"Sejak kau sebutkan namamu semalam, aku sudah tahu siapa dirimu, Bayu."
"Lalu, apa kau juga ingin membunuhku?"

Lestari hanya tersenyum saja. Kakinya melangkah beberapa tindak ke depan mendekati Pendekar Pulau Neraka. Tangannya terulur pelahan ke arah Tiren. Sedang Bayu hanya diam saja memperhatikan. Lestari mengambil monyet kecil itu dari pundak Bayu, lalu langsung menggendongnya dengan sebelah tangan. Dan ini membuat Tiren jadi manja, menyeruakkan tubuhnya ke dada yang.membusung indah itu. Lestari jadi tersenyum, melihat kenakalan monyet kecil ini.

Sementara Bayu hanya memperhatikan saja dengan berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam kepalanya.

"Semua orang bisa termakan fitnah dan pasti Ingin memburumu, Bayu. Tapi aku sama sekali tidak percaya kalau kau yang melakukan semua kekejaman itu," kata Lestari sambil mengangkat kepalanya menatap wajah Pendekar Pulau Neraka.

"Kenapa kau masih mempercayaiku, Lestari? Sedangkan semua orang sekarang sedang memburuku seperti binatang."

Lestari tidak menyahut. Hanya bahunya diangkat sedikit. Kemudian kakinya terayun melangkah sambil membelai-belai kepala Tiren yang masih berada dalam gendongannya. Sedangkan Bayu masih saja diam, memandangi gadis itu yang semakin jauh meninggalkannya. Kemudian bergegas Pendekar Pulau Neraka menyusul. Dan sebentar saja, dia sudah berada di samping gadis cantik ini.

"Kau tentu punya alasan sampai masih percaya padaku, Lestari...," kata Bayu meminta penjelasan.
"Memang," sahut Lestari singkat.
"Apa alasanmu?" desak Bayu.
"Hanya orang picik yang mau percaya begitu saja, kalau kau yang melakukan semua kekejaman itu. Dan...," Lestari tidak melanjutkan.

"Teruskan, Lestari," pinta Bayu.
"Hanya aku yang tahu, siapa pelakunya," sambung Lestari ringan.
"Kau tahu...?"
Lestari mengangguk saja.
"Siapa?"
"Setan Mata Satu."
"Setan Mata Satu. Apa aku pernah mendengar nama itu...?"

"Mungkin saja, Bayu. Tapi yang penting sekarang, kau harus bisa membersihkan namamu lagi. Carilah si Setan Mata Satu. Karena, dialah yang sebenarnya pelaku pembunuhan keji itu dengan menggunakan senjata seperti milikmu."
"Kenapa dia sampai berbuat seperti itu, Lestari?"

"Sebenarnya, dia memang selalu menggunakan senjata Bintang Perak, seperti yang kau miliki. Sedangkan semua orang sudah tahu, senjatamu adalah Cakra Maut yang juga mirip Bintang Perak. Jadi, jangan salahkan mereka kalau kau sampai dituduh melakukan semua pembunuhan keji itu," jelas Lestari.

"Bagaimana kau bisa tahu semua itu, Lestari?" tanya Bayu meminta penjelasan lagi.

Kembali Lestari tidak menjawab. Bibirnya hanya tersenyum saja tanpa menghentikan ayunan langkahnya. Sedangkan Bayu terus mengikuti, menjajarkan ayunan langkahnya di sebelah kiri gadis ini. Beberapa kali Bayu menatap wajah cantik gadis itu dari samping. Tapi, tampaknya Lestari tidak pernah mau mempedulikan. Dia terus berjalan dengan pandangan lurus kedepan.


***


Tepat di saat matahari berada di atas kepala, Pendekar Pulau Neraka dan Lestari baru keluar dar dalam hutan yang sangat lebat ini. Bayu menghentikan langkahnya, begitu melihat sebuah perkampungan tidak jauh di depannya. Lestari juga berhenti melangkah. Pandangannya tertuju pada perkampungan yang sudah terlihat, tidak jauh lagi di depan. Saat itu, mereka sama-sama berpaling dan langsung saling berpandangan beberapa saat.

Lestari cepat-cepat mengarahkan pandangannya pada perkampungan di depannya. Dan Bayu pun memandang ke arah yang sama. Untuk beberapa saat, mereka terdiam memandangi perkampungan yang kelihatan sunyi, seperti tidak ada penduduknya. Sementara Tiren kini sudah kembali berada di pundak Pendekar Pulau Neraka.

"Kau tahu desa apa itu, Bayu?" tanya Lestari tanpa sedikit pun berpaling pada pemuda di sebelahnya.

Sebentar Bayu memandang ke arah perkampungan didepannya, kemudian berpaling. Langsung ditatapnya wajah cantik Lestari di sampingnya. Namun gadis itu tetap mengarahkan pandangannya ke depan, seakan tidak tahu kalau Bayu memandanginya.

"Tidak," sahut Bayu sambil memalingkan wajah ke depan lagi.
"Desa itu sekarang tidak lagi berpenghuni," jelas Lestari.
"Kenapa?" tanya Bayu seperti orang bodoh.
"Dihancurkan."
"Dihancurkan...?!"

Agak berkerut kening Pendekar Pulau Neraka mendengar desa di depannya kini tidak lagi dihuni. Kembali ditatapnya wajah cantik di sebelahnya, lapi yang dipandangi tetap saja mengarahkan pandangannya ke depan. Bayu merasakan ada sesuatu yang terjadi di dalam hati gadis ini. Dugaannya pasti ada satu kenangan yang tidak bisa terlupakan gadis Ini pada desa itu.

"Siapa yang melakukannya, Lestari?" tanya Bayu jadi ingin tahu.
"Pendekar Pulau Neraka," sahut Lestari pelan.

Jelas sekali kalau suara gadis itu ditahan. Malah ada sedikit tekanan yang begitu sendu. Bayu semakin bertambah yakin kalau Lestari memiliki kenangan tersendiri di desa itu. Entah sadar atau tidak, terlihat kedua bola matanya yang bulat dan bening Itu mulai berkaca-kaca. Tapi, rupanya Lestari cepat menyadari. Maka cepat-cepat wajahnya berpaling ke arah lain. Sehingga pemuda itu tidak dapat lagi leluasa memandanginya.

Tapi Bayu tahu kalau ada kedukaan dalam hati gadis ini. "Kau yakin aku yang melakukan semua itu, Lestari? Sedangkan aku tidak tahu, apa nama desa Itu. Malah belum pernah datang ke sana. Jadi bagaimana mungkin kau bisa mengatakan aku yang menghancurkan desa itu?!" agak ditekan nada suara Bayu.

"Itulah yang tidak kumengerti, Bayu. Semua orang begitu percaya kalau kau sekarang sudah berubah menjadi iblis pembunuh. Tapi hanya aku yang tahu, siapa pelaku sebenarnya," kata Lestari pelan.

"Setan Mata Satu..?" tebak Bayu, menduga.
"Benar. Hanya dia yang bertanggung jawab. Bayu. Setan Mata Satu Iah pelaku sebenarnya."
"Dari mana kau tahu, Lestari?" tanya Bayu, menyelidik.

"Aku pernah melihatnya ketika...," Lestari tidak melanjutkan.
"Ketika apa, Lestari?" desak Bayu.
"Waktu dia..., dia membunuh kedua orangtua ku," sahut Lestari tidak dapat lagi menyembunyikan kedukaannya.

"Kau berasal dari desa itu, Lestari?" tebak Bayu langsung. Lestari hanya mengangguk kepala saja, dan tidak dapat lagi menyembunyikan air matanya yang seketika jatuh menitik membasahi pipinya yang putih kemerahan. Sementara, Bayu tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Pemuda itu memang paling tidak bisa menghadapi wanita yang menangis ditelan kedukaan.

Pendekar Pulau Neraka hanya bisa diam, dengan pikiran tidak menentu. Entah apa yang ada dalam benak Pendekar Pulau Neraka sekarang. Dia tahu, keadaan dirinya tidak lagi bisa aman di mana pun dia berada. Kini hanya Lestari saja yang percaya kalau bukan dia yang melakukan semua pembunuhan keji Ku. Tapi semua orang... Bahkan tokoh-tokoh persilatan pun sudah menuduhnya. Malah kemarin, hampir saja nyawanya melayang dikepung rapat dalam hutan. Kalau saja tidak ada Tiren yang membantu membuka jalan, entah bagaimana nasibnya sekarang. Bayu sadar, semua kesulitan yang harus dihadapinya sekarang tidak mudah terhapus begitu saja. Tidak mudah membersihkan nama yang sudah terlanjur cacat seperti ini.

"Semula aku sudah bertekad untuk membalas kematian orangtuaku padamu, Bayu. Tapi setelah bertemu denganmu...," kembali Lestari tidak bisa melanjutkan.

"Kau melihat Setan Mata Satu mirip denganku...?" tanya Bayu.
"Bukan kau yang melakukannya, Bayu. Aku masih ingat betul, bagaimana orangnya," sahut Lestari.

"Yaaah..., inilah sulitnya kalau punya senjata yang mudah ditiru orang lain." desah Bayu bernada mengeluh.

"Aku rasa, kau masih bisa membersihkan namamu. Bayu. Dengan menemukan Setan Mata Satu, orang tidak akan lagi menuduhmu," kata Lestari memberikan harapan.

"Tapi itu sulit, Lestari. Mereka semua sudah menuduhku begitu," terdengar agak mengeluh nada suara Bayu.

"Aku akan membantumu, Bayu. Tapi kau juga harus membantuku," kata Lestari tegas.

"Tentu saja. Kita akan saling membantu nanti," sambut Bayu seraya tersenyum.
"Kau ingin lihat senjata si Setan Mata Satu itu. Bayu?" Lestari menawarkan.
"Kau punya?" tanya Bayu.

"Banyak, di sana," sahut Lestari menunjuk ke arah desa didepannya.
"Baiknya kita ke sana, Lestari. Barangkali saja ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk," ajak Bayu.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka bergegas melangkah ke desa kelahiran Lestari yang sudah ditinggalkan penghuninya. Mereka berjalan tanpa ada yang berbicara lagi. Sementara, sesekali Bayu melirik gadis yang berjalan di sampingnya. Bisa dirasakannya kepedihan yang dirasakan Lestari saat ini. Duka yang begitu mendalam dan sulit dilupakan begitu saja.


***


Bayu memandangi Bintang Perak di atas telapak tangan kanannya. Memang, sama persis seperti yang pernah dimilikinya. Cakra Maut yang tidak pernah lepas dari pergelangan tangan kanannya. Begitu geram Pendekar Pulau Neraka melihat senjata yang begitu sama persis dan kini menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Tanpa sadar, Bayu meremas benda berbentuk bintang keperakan itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, senjata bintang itu hancur jadi debu dalam genggaman tangannya. Sementara, Lestari hanya memperhatikan saja. Dia tahu, hati Pendekar Pulau Neraka tengah berselimut api kemarahan yang tidak bisa ditakar lagi.

"Ayo kita pergi," ajak Bayu dengan kaki langsung terayun melangkah.

Lestari tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Diikutinya ayunan langkah kaki Pendekar Pulau Neraka meninggalkan desa ini. Agak kewalahan juga gadis itu mensejajarkan langkahnya di samping Bayu yang berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna tingkatannya. Dan ini membuat Lestari sesekali harus berlari kecil untuk mengimbanginya.

"Bayu...!" seru Lestari tiba-tiba memanggil.

Bayu langsung menghentikan langkahnya. Dan tepat saat itu juga, tampak puluhan orang sudah berdiri menghadang didepan. Lestari juga ikut berhenti melangkah. Memang gadis itu yang melihat lebih dulu. Entah, berapa jumlah orang yang menghadang di depan jalan itu. Bahkan mereka semua membawa senjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran.

"Siapa mereka?" tanya Bayu sambil melirik sedikit pada gadis di sebelahnya.
"Aku tidak tahu," sahut Lestari.
"Bukan penduduk desa ini?"

"Tidak ada lagi seorang pun yang hidup di sini."

"Hmmm..."
Sebentar mereka terdiam.
"Tidak ada yang kau kenal di antara mereka?" tanya Bayu lagi.

Lestari hanya menggelengkan kepala saja. Bayu sendiri tidak tahu, siapa mereka yang menghadang di depan itu. Tapi dari sikapnya, sudah bisa ditebak kalau mereka sama sekali tidak menunjukkan persahabatan. Bahkan dari senjata yang dibawa, jelas sekali kalau mereka menginginkan kematian Pendekar Pulau Neraka.

"Seberapa jauh kau menguasai ilmu silat?" tanya Bayu pelan.

"Cukup untuk menghancurkan dua puluh orang begundal," sahut Lestari tanpa ada rasa tersinggung sedikit pun oleh pertanyaan Pendekar Pulau Neraka.

"Kita harus menembus mereka, Lestari"
"Apa tidak ada jalan lain lagi?" tanya Lestari, merasa tidak mungkin menghadapi orang begitu banyak.
"Tidak," sahut Bayu seraya menggeleng.

Lestari hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Memang sulit menembus penghadang itu, walaupun diketahui Pendekar Pulau Neraka bukanlah orang sembarangan. Tapi walau bagaimanapun juga, tetap saja Pendekar Pulau Neraka manusia yang memiliki kelemahan dan keterbatasan. Lestari menyadari kalau tidak mungkin menghadapi penghadang itu hanya berdua saja.

Sementara, orang-orang yang menghadang itu sudah mulai bergerak mendekati. Dari raut wajah mereka yang tegang, sorot mata yang tajam penuh kebencian, rasanya mereka tidak akan mungkin bisa diajak damai lagi. Dan Bayu bisa merasakan kalau mereka tentu tidak akan puas sebelum melihat darahnya menyembur keluar.

Kini jarak mereka pun semakin dekat saja. sementara, Bayu sendiri belum punya satu cara untuk bisa menembus hadangan itu. Lestari sendiri tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Pelahan gadis itu melangkah mundur. Sementara, Bayu sendiri masih tetap berdiri tegak di tempatnya.

"Seraaang...!"
"Bunuh manusia iblis itu...!"

Bersama terdengarnya teriakan yang begitu keras, seketika itu juga mereka berlarian bagai banteng liar menyerbu Pendekar Pulau Neraka. Mereka berteriak-teriak, sambil mengayun-ayunkan senjata di atas kepala. Sementara, Bayu tetap berdiri tegak memandangi orang-orang yang meluruk deras ke arahnya tanpa berkedip sedikit pun lima. Dan begitu jarak mereka benar-benar sudah dekat...

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu menyebutkan tangan kanannya ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk. Maka saat itu juga Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan kanannya melesat cepat bagai kilat, dan langsung menyambar salah seorang yang berada paling depan.

"Aaaa...!"

Jeritan yang panjang dan menyayat mulai terdengar bersama ambruknya orang itu. Sementara, Bayu cepat menghentakkan tangan kanannya, sehingga Cakra Maut yang sudah mengambil satu korban, kembali melesat balik ke arahnya. Lalu...

"Yeaaah...!"

Kembali Bayu menghentakkan tangan kanannya, sebelum Cakra Maut menempel lagi di pergelangannya. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka kembali melesat cepat bagai kilat. Maka jeritan pantang pun kembali terdengar, disusul ambruknya satu orang lagi.


***


EMPAT

Diiringi teriakan menggelegar, beberapa kali Bayu menghentakkan tangan kanannya sambil berlompatan, mencoba menahan arus gempuran para penghadangnya. Dan korban pun terus berjatuhan mengiringi jeritan-jeritan panjang melengking yang begitu menyayat. Dalam waktu yang tidak berapa lama saja, sudah lebih dari sepuluh orang bergelimpangan berlumuran darah. Tapi, mereka seakan tidak mengenal gentar. Meskipun dengan gerak agall terhambat, mereka terus maju mendekati Pendekar Pulau Neraka.

Walaupun mereka terus merangsek tanpa mengenal rasa takut, tapi Bayu tidak gentar sedikit pun. Cakra Mautnya terus dilontarkan sambil melangkah mundur menjauh. Sementara, tidak jaun di belakangnya Lestari sudah siap dengan pedang di tangan kanan. Gadis ini jadi kagum juga melihat ketangkasan Bayu dalam melemparkan Cakra Mautnya, menghadang arus serangan orang-orang itu.

"Aku harus bertindak sebelum dia kehabisan! tenaga," gumam Lestari, bicara pada diri sendiri.

Tapi gadis ini agak kebingungan juga, karena tidak mungkin menerjang maju menyerang orang-orang itu. Dan ketika matanya menangkap sebuah Bintang Perak yang tergeletak tidak jauh darinya, bibirnya langsung menyunggingkan senyum. Memang cukup banyak Bintang Perak di sekitarnya. Maka tanpa berpikir panjang lagi, Lestari langsung memunguti Bintang-bintang Perak itu. Dan begitu terkumpul cukup banyak, tanpa membuang-buang waktu lagi, dia langsung melompat ke samping. Lalu...

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Lestari melemparkan bintang-bintang Perak itu ke arah orang-orang yang terus merangsek maju mendekati Pendekar Pulau Neraka. Lemparan Lestari rupanya membawa pengaruh besar juga. Bintang bintang perak itu menghambur bagai hujan yang ditumpahkan dari langit, sehingga jeritan-jeritan panjang semakin sering terdengar. Dan tubuh-tubuh berlumuran darah pun semakin banyak yang ambruk bergelimpangan.

"Hiya! Yeaaah...!"

Lestari terus melontarkan Bintang-bintang Perak itu, seperti tidak pernah kehabisan. Dan memang begitu banyak Bintang Perak bergeletakan di sekitarnya. Padahal, justru tindakannya membuat nama Pendekar Pulau Neraka itu menjadi semakin rusak. Tindakan Lestari rupanya membawa hasil juga. orang-orang itu merasa tidak ada gunanya terus mendesak. Sementara, jumlah mereka semakin berkurang saja. Hingga akhirnya, mereka berhenti bergerak dan malah melangkah mundur menjauhi.

Sementara Bayu sudah berhenti melemparkan Cakra Mautnya. Senjata andalannya itu kini sudah kembali menempel di pergelangan tangannya. Dan Lestari juga sudah tidak lagi melemparkan Bintang-bintang Perak, setelah orang-orang yang menyerang sudah cukup jauh jaraknya. Gadis itu bergegas menghampiri Bayu yang masih berdiri tegak di tengah jalan.

"Ayo kita pergi," ajak Lestari.
"Ke mana? Mereka masih menunggu, Lestari,� sahut Bayu bertanya.
"Ke sana," Lestari menunjuk ke arah hutan.

"Kembali lagi ke hutan sana...?" terang Bayu jadi berkerut.

"Tidak ada jalan lain lagi, Bayu. Hanya itu jalan satu-satunya untuk selamat. "

Bayu jadi terdiam. Memang tidak salah jalan pikiran Lestari. Hanya lewat hutan tempat mereka datang itulah jalan satu-satunya untuk bisa selamat. Sementara, jalan yang akan dilalui kini masih juga dihadang begitu banyak orang yang ingin membunuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi di dalam hutan itu, mereka juga akan bertemu orang-orang yang ingin melenyapkan Pendekar Pulau Neraka. Dan itu yang menjadi pemikiran Bayu, walaupun disadari tidak ada lagi tempat aman baginya. Semua orang kini sedang memburunya bagai binatang. Ke mana pun pergi, pasti akan berhadapan dengan mereka yang menghendaki kematiannya.

"Huh! Ini semua gara-gara si Setan Mata Satu keparat itu...!" dengus Bayu kesal dalam hati. Kekesalan hati Bayu memang tidak bisa lagi ditakar.

Baginya, hanya ada satu cara untuk membersihkan namanya kembali. Setan Mata Satu lah ynng harus bertanggung jawab! Dan Bayu tidak ingin terus-menerus menjadi buruan bagai binatang berbahaya yang harus dimusnahkan. Maka terpaksa dia harus mengikuti Lestari meninggalkan desa ini, kembali ke dalam hutan. Hanya gadis itu saja yang percaya kalau dirinya bukan pembunuh brutal dan keji, yang selama ini sudah meminta korban begitu banyak.


***


Malam yang begitu indah, sama sekali tidak dapat dinikmati Bayu. Bulan tampak bersinar penuh, memancarkan cahaya kuning keemasan yang lembut menyapu kulit. Langit tampak cerah bertaburkan bintang-bintang gemerlapan, menambah indahnya suasana malam ini. Tapi, keindahan malam sama sekali tidak bisa menghibur hati Bayu yang terus-menerus diliputi kegundahan. Kemarahan memang begitu menguasai hati Pendekar Pulau Neraka. Malah sejak siang tadi, makanan yang disediakan Lestari sedikit pun tidak disentuhnya.

"Apa yang kau pikirkan.Bayu?" tegur Lestari sambil menambahkan ranting ke dalam api yang dibuatnya.

Bayu tidak menjawab. Kepalanya berpaling saja sedikit, menatap gadis itu. Kemudian pandangannya kembali tertuju ke kaki bukit. Tampak di bawah sana kerlip lampu rumah-rumah penduduk Desa Kalipasir terlihat jelas.

"Aku bisa merasakan kesulitanmu sekarang ini Bayu. Tapi bila hanya berdiam diri dan terus berpikir, tidak akan menyelesaikan masalah begitu saja Kau harus bertindak lebih cepat lagi dalam mencari si Setan Mata Satu. Hanya dia yang bisa meluruskan dan membersihkan namamu," kata Lestari lagi mencoba menasehati.

"Kau tahu, di mana si Setan Mata Satu sekarang berada?" tanya Bayu tanpa berpaling sedik pun.

"Sulit untuk bisa menemukannya, Bayu. Dia tidak punya tempat tinggal tetap, dan akan pergi sesuka hatinya. Bahkan terus akan menyebarkan malapetaka di mana dia berada. Semakin banyak membunuh orang dengan senjata Bintang Peraknya, semakin sulit bagimu untuk bergerak lagi, Bayu. Semua orang tentu tidak akan menduga lagi tapi langsung memburumu untuk kemudian dibunuh. Apa kau akan merelakan nyawamu begitu saja, Bayu..?"

"Tidak akan ada seorang pun yang bisa menyentuh tubuhku," desis Bayu agak dingin nada suaranya.

揔alau begitu, secepatnya kau harus bisa menemukan si Setan Mata Satu itu," desak Lestari.

"Itu yang sedang menjadi beban pikiranku, Lestari. Sedangkan sampai sekarang, aku tidak tahu keberadaan Setan Mata Situ," kata Bayu seraya berbalik.

Pendekar Pulau neraka melangkah menghampiri gadis cantik ini, kemudian menghempaskan tubuhnya di sebelah kanannya. Lestari menggeser duduknya sedikit, menjauhi Pendekar Pulau Neraka. Lalu kembali ditambahkannya sepotong ranting kayu dalam api. Sementara, Bayu sudah merebahkan tubuhnya di atas tumpukan daun-daun kering. Tidak jauh di sebelahnya, Tiren sudah melingkar terlelap dalam buaian mimpi. Begitu lelap tidur monyet kecil ini, sehingga Bayu tidak mau mengusiknya. Matanya hanya melirik sedikit pada Lestari yang masih tetap duduk bersila dekat api unggun yang menyala cukup besar.

"Kau tidak tidur, Lestari?" tanya Bayu. Lestari hanya berpaling sedikit dan tersenyum menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu masih saja duduk bersila, seperti sedang bersemadi. Dan kembali pandangannya terarah ke api unggun, seakan-akan ada yang menarik dalam kobaran api itu. Sedangkan Bayu sudah mulai memejamkan matanya. Tapi baru saja kelopak matanya terpejam, tiba tiba saja...

"Suiit..!"
"Heh...?!"

Bayu jadi tedonjak kaget, begitu tiba-tiba terdengar siulan nyaring melengking tinggi. Bahkan sampai membuat telinganya seketika jadi terasa sakit dan berdenging. Bagitu terkejutnya, sampai! sampai Pendekar Pulau Neraka bangkit berdiri!

Sementara Lestari tetap duduk bersila tidak bergeming sedikit pun. Seakan, suara siulan itu tidak mengganggu sama sekali. Dan ini membuat Bayu yang sempat melirik pada gadis ini jadi berkerut keningnya.

"Kau tidak dengar siulan itu, Lestari?" tanya Bayu dengan kening masih berkerut memandangi gadis itu.

"Dengar," sahut Lestari singkat.
"Kenapa diam saja?" tanya Bayu lagi.
"Untuk apa..?" Lestari malah balik bertanya! sambil mengangkat wajahnya sedikit, menatap Pendekar Pulau Neraka.

"Untuk apa...? Kau tahu, Lestari. Keadaan kita sekarang dalam bahaya. Mungkin kau tidak. Tapi aku...." Bayu jadi agak mangkel juga mendengar kata-kata Lestari yang sepertinya tidak peduli terhadap keadaan yang sedang dihadapi sekarang ini.

"Siulan itu tidak ada arti apa-apa, Bayu. Tenang saja...," kata Lestari kalem.

Bayu jadi terdiam. Dia teringat ketika masa-masa baru keluar dari Pulau Neraka, setelah gurunya meninggal dunia. Setiap kali muncul untuk membalas dendam pada pembunuh-pembunuh orangtuanya, memang selalu didahului siulan melengking yang menyakitkan telinga. Dan sekarang, Bayu mendengar siulan yang sama. Dan suara itu kini jadi membuat hatinya gundah.

Sedangkan Lestari tetap saja duduk bersila bersemedi tenang, seakan tidak mempedulikan kegelisahan hati Pendekar Pulau Neraka. Bahkan kini kelopak matanya terpejam rapat, membuat bulu matanya yang lentik semakin terlihat indah. Namun kecantikan dan keindahan gadis itu sama sekali tidak membuat Bayu berpaling dari persoalan yang sedang dihadapinya sekarang ini. Dia masih berdiri tegak dengan kepala sebentar bergerak ke kanan, dan sebentar kemudian ke kiri. Dicobanya untuk mencari arah sumber siulan yang didengarnya tadi.

"Hh! Mungkin benar kata Lestari...," gumam Bayu bicara sendiri dalam hati. Baru saja Bayu hendak tidur lagi, tiba-tiba saja...

Seketika hati Bayu jadi terkesiap begitu mendengar hembusan angin begitu keras datang dari arah belakangnya. Dan begitu kepalanya berpaling, terlihat kilatan cahaya putih keperakan meluncur deras kearahnya. Seketika, darah Pendekar Pulau Neraka jadi berdesir cepat. Dan...

"Hih!"
Tring!

Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk berkelit menghindar. Cepat tangan kanannya ditarik ke depan dada. Sehingga, kilatan cahaya putih keperakan itu membentur tepat pada bagian pergelangan tangan kanannya yang terdapat senjata Cakra Maut persegi enam. Kilatan cahaya putih keperakan itu kontan terpental balik dengan cepat. Dan pada saat yang bersamaan, Bayu juga jadi terdorong ke belakang dua langkah. Agak terkejut juga hatinya merasakan hempasan tenaga yang begitu kuat dari kilatan cahaya putih keperakan tadi. Bahkan pergelangan tangannya jadi terasa bergetar dan sedikit nyeri.

"Hup...!"

Pendekar Pulau Neraka langsung melompat, mengerahkan Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai pada tingkat kesempurnaan. Begitu cepatnya, hingga dalam waktu sekejapan mata saja tubuhnya sudah berada dekat dengan sebuah pohon yang sangat besar.

"Hm..."

Kening Bayu jadi berkerut, begitu melihat sebuah benda berbentuk bintang persegi enam yang berwarna putih keperakan menancap begitu dalam pada batang pohon didepannya. Namun belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa berpikir lebih jauh lagi, kembali dikejutkan oleh terdengarnya hembusan angin keras dari arah belakang. Maka cepat tubuhnya diputar berbalik. Dan...

"Hup! Yeaaah...!"

Terpaksa Bayu harus berjumpalitan di udara, menghindari serbuan Bintang-bintang Perak yang datang begitu deras menghujaninya. Entah, berapa puluh senjata bintang itu menghambur menghujani Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu terus berjumpalitan menghindarinya, sambil sesekali mengebutkan tangan kanannya, mencoba menghalau Bintang-bintang Perak yang terus menghujaninya. Cakra Maut yang biasanya berada di pergelangan tangan kanannya, kini berada dalam genggamannya. Hampir-hampir Pendekar Pulau Neraka tidak pernah menjejakkan kakinya di tanah. Bintang-bintang Perak itu terus menghujaninya bagai tidak akan pernah berakhir. Pepohonan di sekitarnya sudah penuh tertembus Bintang-bintang Perak.

Sementara Bayu masih terus berjumpalitan di udara untuk menghindari serangan gelap yang tidak ketal huan arahnya. Dan di saat Pendekar Pulau Neraka mulai tampak kewalahan, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah muda, diikuti kilatan cahaya putih keperakan yang menghalau Bintang-bintang Perak itu. Bibirnya jadi tersenyum melihat Lestari cepat membantunya, membuat ruang gerak Bayu jadi lebih leluasa lagi. Dan begitu mendapat kesempatan, cepat sekali melenting tinggi. Dan seketika kedua tangannya dikebutkan cepat luar biasa sambil berteriak keras menggelegar.

"Hiyaaa...!"
Bet!
Wuk...!

Entah bagaimana caranya, Bayu berhasil menangkap beberapa Bintang Perak itu, dan langsung dilemparkan ke segala arah. Bintang-bintang Perak itu berbalik arah, menembus semak dan kegelapan malam yang sedikit berkabut ini. Tepat di saat itu juga, serbuan Bintang-bintang Perak itu berhenti seketika. Lalu manis sekali Bayu kembali menjejakkan kakinya di tanah, tepat di sebelah kiri Lestari yang sudah melintangkan pedangnya di depan dada.

"Tidak ada apa-apa katamu, he...?!" dengus Bayu agak mendongkol hatinya. Pendekar Pulau Neraka melirik sedikit pada lestari di sampingnya dengan sinar mata cukup tajam. Sedangkan Lestari seperti tidak tahu akan lirikan tajam Pendekar Pulau Neraka. Pandangannya beredar ke sekeliling dengan bola mata terbuka lebar, seperti ingin menembus kegelapan malam yang begitu pekat. Tapi, tidak seorang pun terlihat disekitarnya.

"Maaf, Bayu. Aku tidak tahu kalau..." Belum juga habis kata-kata yang diucapkan lestari, tiba-tiba saja terdengar tawa yang begitu keras menggelegar mengejutkan. Suaranya menggema bagai datang dari segala arah. Rasanya sulit ditentukan, dari mana datangnya suara tawa yang keras menggelegar itu.

"Kau kenali suara itu, Lestari?" tanya Bayu.
"Setan Mata Satu," sahut Lestari pelan.

Bayu sempat melirik gadis itu sedikit, ketika suara Lestari agak bergetar saat menyebut si Setan Mata Satu tadi. Jelas sekali kalau ada getaran dalam hari Lestari, yang menunjukkan dendam mendalam di hatinya. Belum lagi suara tawa itu menghilang dari pendengaran, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat bagai kilat ke arah Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepatnya, sampai seluruh darah di dalam tubuh bayu jadi berdesir dan jantung seakan jadi berhenti berdetak.

"Hap...!"

Cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan, sambil menarik kakinya sedikit ke kanan juga. Sehingga, bayangan putih itu lewat sedikit saja di samping tubuh Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat itu juga Bayu cepat berbalik, tepat di saat bayangan putih itu juga berputar berbalik, dan langsung meluruk deras ke arahnya.

"Hup! Yeaaah...!"

Kali ini Bayu tidak lagi sungkan-sungkan menghadapinya. Sambil berteriak keras menggelegar! Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas seraya! melepaskan satu pukulan keras disertai pengarahan! tenaga dalam sempurna, tepat di saat bayangan putih itu lewat di bawah tubuhnya yang sedikit berputar ke bawah. Tapi...

"Uphs...?!"

Bayu jadi terkejut juga, melihat bayangan putih itu berkelebat begitu cepat ke lain arah. Sehingga pukulannya tidak sampai mengenai sasaran. Cepat tubuhnya meluruk turun dan menjejakkan kakinya! kembali di tanah dengan gerakan indah dan ringani sekali. Dan pada saat itu juga, tangan kanannya dikibaskan ke depan dengan tubuh sedikit miringi ke kiri agak membungkuk

Wusss...!

Seketika Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat mengejar bayangan putih yang saat itu baru saja berputar berbalik arah. Terjangan Cakra Maut itu membuat bayangan putih itu jadi cepat melesat ke atas.

"Hup!"

Saat itu juga, Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas. Sehingga senjatanya langsung berputar balik ke arahnya. Dan begitu hendak menempel di pergelangan tangan kanannya lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung menghentakkan ke depan, tepat mengarah ke bayangan putih itu lagi Cakra Maut kembali melesat begitu cepat disertai desir angin yang menggiris hati siapa saja yang mendengarnya.

"Shaaa...!"

Melihat Cakra Maut kali ini juga tidak bisa tepat mengenai sasaran, Pendekar Pulau Neraka langsung saja melompat sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Bagitu cepat dan hampir bersamaan serangannya, sehingga bayangan putih itu tidak dapat lagi berkelit. Dan...

Dugkh!
"Akh...!"
"Hup...!"

Bayu cepat-cepat melenting dan berputar ke belakang, begitu merasakan pukulannya menghantam bayangan putih itu. Indah sekali gerakannya. Lalu begitu kedua kakinya kembali menjejak tanah dengan ringan, langsung tangan kanannya diangkat ke atas. Maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka Dan tepat pada saat itu, terlihat seseorang berpakaian serba putih yang ketat terhuyung-huyung ke belakang, sambil memegangi dadanya dengan tangan kiri.

Laki-laki berpakaian serba putih itu masih berusia muda. Mata kirinya tampak tertutup kulit hitam yang diikatkan ke belakang kepalanya. Di belakang punggung, menyembul sebuah gagang pedang yang bagian ujungnya berbentuk tengkorak manusia sebesar kepalan tangan. Walaupun usianya masih cukup muda, tapi goresan-goresan bekas luka di wajah membuatnya kelihatan lebih tua daripada usianya.

Dan sebelah matanya yang tertutup membuat dirinya kelihatan lebih menyeramkan. Dari sinar mata kanannya, terlihat cahaya kekejaman dan nafsu membunuh yang begitu memuncak.

"Kau yang bernama Setan Mata Satu?" tanya Bayu agak dingin suaranya.
"Benar," sahut laki-laki bermata satu itu.

"Tindakanmu benar-benar memalukan, Kisanak Apa kau tidak menyadari, kalau tindakanmu merugikan namaku...?" terdengar sengit nada suara Bayu.

"He he he he...! Justru itu yang kuharapkan. Pendekar Pulau Neraka," sahut Setan Mata Satu sambil terkekeh.

"Beleguk! Kau tahu apa akibatnya, heh...?!" Bayu jadi geram setengah mari mendengar jawaban yang begitu ringan. Seakan-akan si Setan Mata Satu itu tidak merasa bersalah apa-apa atas tindakannya yang merusak nama baik Pendekar Pulau Neraka.

"Semua sudah kupikirkan masak-masak, Pendekar Pulau Neraka. Hanya kau satu-satunya yang jadi penghalang bagiku untuk menguasai seluruh rimba persilatan. Ini baru kau, Pendekar Pulau Neraka. Kalau kau sudah musnah, semua orang persilatan yang menganggap dirinya paling baik di dunia ini, akan kuhancurkan dengan jalan seperti ini," tegas Setan Mata Satu.

"Edan...! Apa maksudmu, heh...?!" dengus bayu menggeram.

"Menghancurkan kalian semua yang berlagak sok suci!" tandas Setan Mata Satu tegas.

"Keparat...! Iblis macam kau sebaiknya tinggal di neraka!" geram Bayu sengit.

"Ha ha ha ha...! Justru aku yang akan mengirimmu ke neraka!"

"Phuih!"

Bayu benar-benar geram setengah mati dibuatnya. Ditatapnya wajah yang penuh guratan bekas luka begitu tajam itu. Wajah yang menyeramkan, dan memancarkan nafsu iblis yang haus darah. Tapi, Bayu tidak mau terpancing kemarahannya. Walaupun darahnya sudah bergolak mendidih, tapi harus bisa menahan kesabaran menghadap tingkah si Mata Satu yang sudah membuat namanya rusak di mata orang-orang rimba persilatan


***


LIMA

Kemarahan Bayu sudah begitu memuncak sampai ke ubun-ubun. Tapi dicobanya untuk tetap bersabar dan tidak mau terpancing yang akan dapat merugikan dirinya sendiri. Sementara, si Setan Mata Satu terus tertawa terbahak-bahak. Dan dengan ringan sekali tubuhnya berbalik, langsung berjalan hendak pergi meninggalkan tempat itu sambil terus tertawa terbahak-bahak. Seakan dia sama sekali tidak mempedulikan kemarahan Bayu yang sudah semakin memuncak melihat tingkahnya yang semakin meremehkan dirinya ini.

"Biar kubunuh dia!" dengus Lestari, tidak dapat lagi menahan kegeramannya.

"Jangan!" cegah Bayu cepat, segera merentangkan tangannya mencegah Lestari. "Biarkan dia pergi."

"Dia akan semakin merusak namamu, Bayu," tandas Lestari sengit.

"Tidak akan, Lestari. Kau lihat saja nanti," kata Bayu sambil tersenyum kecut.

Gadis itu diam saja sambil mendengus kesal. Dalam hatinya, dia sudah tidak tahan lagi melihat sikap si Setan Mata Satu yang meremehkan Bayu. Seakan-akan, laki-laki bermata satu itu sudah merasa menang. Tapi, Bayu sendiri malah diam saja sambil memandangi tanpa berkedip. Sementara, si Setan Mata Satu sudah semakin jauh meninggalkan! sambil tertawa terbahak-bahak. Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Dan langsung tubuhnya! memutar berbalik.

"Kau akan hancur, Pendekar Pulau Neraka! Ha ha ha ha...!" Kata-kata bernada mengejek itu membuat wajah Bayu jadi memerah. Terlebih lagi Lestari yang sudah tidak dapat lagi menguasai kemarahannya. Maka sambil berteriak keras menggelegar, gadis itu langsung saja melompat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi.

"Kubunuh kau, Iblis keparat! Hiyaaat...!"

"Lestari, jangan...!" teriak Bayu mencoba mencegah.

Tapi, gadis itu sudah lebih cepat melesat menerjang si Setan Mata Satu tanpa mempedulikan cegahan lagi. Dan begitu dekat, langsung saja pedangnya dikibaskan ke arah leher laki-laki bermata satu ini

Bet!
"Haiiit...!"

Namun hanya mengegoskan kepalanya sedikit saja, Setan Mata Satu berhasil menghindari tebasan pedang gadis itu. Malah tanpa diduga sama sekali, dengan satu sentakan tangan kanan yang cepat, laki-laki bermata satu itu melepaskan sodokan ke arah perut Lestari. Begitu cepat dan tidak terduga sodokan itu, sehingga Lestari yang sudah diliputi kemarahan itu tidak dapat lagi menghindarinya. Dan...

Dugkh!
"Akh...!"
"Lestari...!"

Bayu sampai menjerit, melihat Lestari terpental deras, ke belakang, begitu perutnya terkena sodokan keras dari si Setan Mata Satu. Begitu kerasnya, membuat Lestari jatuh terguling dan terbanting keras di tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, dan baru berhenti setelah tubuhnya menabrak sebongkah batu yang cukup besar. Kembali Lestari memekik agak tertahan, merasakan sakit yang amat sangat di tubuhnya yang membentur batu.

"Kejam...! Iblis!" desis Bayu.

Kemarahan Bayu sudah tidak tertahankan lagi, melihat Lestari tidak bisa bangkit lagi. Gadis itu hanya merintih sambil memegangi perutnya yang terkena sodokan keras si Setan Mata Satu tadi. Sambil mendesis geram, Pendekar Pulau Neraka menurunkan Tiren dari pundaknya. Monyet kecil itu langsung berlari sambil mencerecet ribut, menghampiri Lestari yang masih terduduk di tanah sambil memegangi perutnya.

Sedangkan pemuda berbaju dari kulit harimau itu sudah melangkah beberapa tindak ke depan mendekati si Setan Mata Satu yang masih tetap berdiri tegak, sambil berkacak pinggang bersikap menantang. Begitu angkuh sikapnya, seakan sedang meremehkan Pendekar Pulau Neraka.

"Aku lawanmu, Setan Mata Satu! Hiyaaat...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu melompat cepat bagai kilat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. Dan saat itu juga dilepaskannya satu pukulan tangan kanan yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat serangannya, sehingga si Setan Mata Satu sempat terhenyak tidak menyangka. Tapi ketika pukulan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka yang begitu keras dan cepat hampir menghantam kepalanya, cepat sekali si Setan Mata Satu mengegoskan kepalanya sambil melompat ke belakang.

"Hup!"

Cepat-cepat si Setan Mata Satu kembali melompat ke belakang sambil memutar tubuhnya dua kali di atas tanah, begitu melihat Bayu sudah kembali melancarkan serangan yang keras menggeledek dan cepat bagai kilat. Tapi rupanya serangan Pendekar Pulau Neraka itu tidak berhenti sampai di situ saja. Tepat di saat kedua kaki si Setan Mata Satu menjejak tanah, Bayu melepaskan pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna ke arah dada. Begitu cepatnya pukulannya, sehingga Setan Mata Satu tidak ada kesempatan lagi menghindarinya. Maka cepat-cepat kedua tangannya diangkat ke depan dada.

Hak!
"Ikh...?!"
"Upht....!"

Bayu sampai terpekik kaget, begitu pukulannya menghantam tepat tangan Setan Mata Satu yang melindungi dadanya. Cepat tubuhnya melompat mundur beberapa langkah sambil memegangi tangan kanannya yang terasa nyeri akibat benturan tadi. Sedangkan si Setan Mata Satu juga terperanjat setengah mati, begitu tulang-tulang tangannya terasa bagai remuk terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Dia juga melompat ke belakang beberapa langkah untuk menjaga jarak. Bibirnya langsung meringis menahan sakit pada tulang-tulang tangannya, begitu kakinya menjejak tanah. Sesaat satu sama lainnya berdiri saling berhadapan dengan wajah menyiratkan sesuatu yang sukar dilukiskan.

Tapi jelas sekali kalau sorot mata mereka berdua sama-sama tengah mengukur sampai di mana tingkat kepandaian satu sama lainnya. Dari adu kekuatan tenaga dalam tadi, jelas sekali kalau tingkat kekuatan tenaga dalam mereka berimbang, sehingga sama-sama merasakan akibat dari benturan keras tadi.

"Kau harus mampus di tanganku, Pendekar Pulau Neraka...," desis Setan Mata Satu dingin menggetarkan.

Sret! Cring...!

Sambil berkata begitu, Setan Mata Satu mencabut pedangnya yang sejak tadi tersampir di punggung. Kilatan pedang Itu sangat menggetarkan hati siapa saja yang memandangnya. Tapi bagi Bayu, sama sekali tidak ada artinya. Malah ditatapnya pedang itu dengan sinar mata tajam bagai api. Seakan pedang itu dilumatkan dengan sorotan matanya.

"Mampus kau, Pendekar Pulau Neraka keparat! Hiyaaat,..!" Disertai teriakan keras menggelegar, si Setan Mata Satu melompat cepat bagai kilat sambil mengangkat pedangnya ke atas kepala. Sementara, Bayu tetap berdiri tegak menanti serangan. Dan begitu Setan Mata Satu mengayunkan pedangnya ke atas kepala, cepat sekali Pendekar Pulau Neraka menarik kakinya ke belakang satu langkah, sambil memiringkan tubuhnya ke kiri. Dan pada saat itu juga, tangan kanannya dikibaskan ke depan sambil berteriak keras menggelegar.

"Yeaaah...!"


***


Wusss...!

Bagaikan sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya, Cakra Maut melesat begitu cepat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Serangan balasan yang begitu cepat dan tidak terduga ini, membuat si Setan Mata satu jadi tersentak kaget setengah mati.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat laki-laki bermata satu itu melenting ke atas, menghindari serangan Cakra Maut yang melesat begitu cepat. Sehingga senjata andalan Pendekar Pulau Neraka lewat tepat di bawah perutnya yang melayang di udara. Namun begitu lewat sedikit. Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya hampir ke atas kepala. Seketika itu juga Cakra Maut berputar kembali ke arahnya dengan cepat sekali. Putaran senjata bulat persegi enam itu membuat Setan Mata Satu jadi terbeliak kaget tidak menyangka. Cepat tubuhnya berputaran di udara sambil mengebutkan pedangnya beberapa kali untuk melindungi diri dari serangan balik senjata maut Pendekar Pulau Neraka.

Tapi sungguh tidak diduga sama sekali, Cakra Maut bagaikan memiliki mata saja. Begitu pedang Setan Mata Satu berputar melindungi dirinya, tiba-tiba saja senjata bulat persegi enam itu sudah melesat cepat, kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Sementara, Setan Mata Satu sudah kembali menjejakkan kakinya dengan ringannya di tanah. Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua telapak kakinya menjejak tanah.

"Rupanya, itu senjatamu yang ditakuti semua orang, Pendekar Pulau Neraka. Bagus...! Kau tandingi Pedang Nagaku ini," terasa dingin sekali nada suara Setan Mata Satu.

"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja sedikit. Sementara, Setan Mata Satu sudah mulai membuat beberapa gerakan cepat dengan pedang di depan dada.

Bayu sendiri hanya memperhatikan saja, dengan bola mata menatap tajam tanpa berkedip sedikit pun. Kebutan-kebutan pedang laki-laki bermata satu itu menimbulkan suara mencicit yang menggiris hati. Hempasan anginnya pun terasa begitu kuat membuat Bayu terpaksa harus menarik kakinya dua langkah ke belakang. Pedang itu meliuk-liuk, seolah-olah menjadi lentur bagai tubuh seekor naga yang memancarkan cahaya putih keperakan. Kalau orang lain yang dihadapinya, mungkin sudah mengambil langkah seribu sejak tadi. Tapi yang ada di depannya sekarang ini adalah pendekar kosen pilih tanding, dan selalu diperhitungkan dalam kancah rimba persilatan.

"Tahan jurus Pedang Ekor Nagaku, Pendekar Pulau Neraka! Hiyaaat,..!"

Sambil membentak nyaring, Setan Mata Satu melompat cepat bagai kilat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pedangnya terus berputaran begitu cepat, hingga bentuknya kini tidak lagi terlihat jelas. Hanya kilatan cahaya putih keperakan saja yang terlihat. Sementara, Bayu masih tetap berdiri tegak menanti beberapa saat. Dan begitu serangan Setan Mata Satu dekat...

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melenting ke atas, tepat di saat pedang Setan Mata Satu membabat kakinya. Dan pada saat itu juga, Bayu melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang bertenaga dalam tinggi ke arah kepala lawannya. Namun tanpa diduga sama sekali, Pedang Setan Mata Satu berputar begitu cepat ke atas kepalanya.

"Hap!"

Bayu cepat-cepat menarik pukulannya kembali, dan langsung memutar tubuhnya dua kali ke belakang. Tepat di saat kedua kakinya menjejak tanah kembali, Setan Mata Satu sudah meluruk bagai kilat sambil mengibaskan pedangnya beberapa kali.

"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
"Hup!"

Bayu terpaksa harus berjumpalitan, menghindari setiap serangan Setan Mata Satu. Begitu cepatnya Setan Mata Satu mengebutkan pedangnya, hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan bagai mengurung seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka. Namun sampai begitu jauh Setan Mata Satu melancarkan serangan, belum satu pun yang berhasil mengenai tubuh Pendekar Pulau Neraka telah beberapa jurus berlalu, Bayu masih bisa menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun dan cepat. Bahkan sesekali Bayu bisa membalas serangan dengan cepat dan tidak kalah berbahayanya.

Di saat pertarungan sedang berlangsung sengit. Lestari sudah bisa bangkit berdiri lagi, setelah melakukan semadi beberapa saat. Jalan pernapasannya juga sudah kembali seperti semula. Dan wajahnya tidak lagi kelihatan pucat. Tampak Tiren kini berada di pundaknya. Monyet kecil itu kelihatan tegang menyaksikan Bayu bertarung sengit menghadapi lawannya yang berkepandaian tinggi.

"Sayang... Aku tidak bisa membantu, Tiren,! ujar Lestari pelan.

"Nguk!"

Tiren seakan bisa mengerti kesulitan Lestari untuk membantu Pendekar Pulau Neraka. Keadaannya sendiri belum sepenuhnya begitu sehat kembali. Sementara pertarungan berjalan cepat, sehingga sulit bagi Lestari untuk ikut masuk ke dalamnya. Gadis itu hanya bisa menyaksikan pertarungan dari jarak yang cukup jauh. Entah kenapa, hatinya jadi agak bergetar juga melihat ketangguhan lawan Pendekar Pulau Neraka.

Dia berharap pemuda yang selalu mengenakan baju dari kulit harimau itu bisa mengungguli lawannya. Tapi, tampaknya si Setan Mata Satu juga tidak bisa dipandang remeh begitu saja. Meskipun kini hanya menggunakan senjatanya yang sudah digenggam tangan kanannya, tapi kelihatannya belum bisa mendesak lawannya. Entah berapa lama lagi pertarungan akan berlangsung. Sementara, Lestari terpaksa harus jadi penonton, tanpa bisa berbuat apapun juga.


***


Sementara, pertarungan terus berjalan semakin sengit. Malah Bayu sudah mengeluarkan jurus-jurus andalannya yang jarang sekali digunakan kalau tidak terpaksa. Sedangkan Setan Mata Satu juga sudah mengeluarkan jurus-jurus dahsyat. Kini pertarungan itu semakin berjalan cepat, sampai Lestari mendapat kesulitan untuk bisa melihat jelas lagi lurukkan tubuh mereka juga seakan lenyap dari pandangan.

Dan yang terlihat kini hanya bayangan-bayangan putih dan kuning saja yang berkelebat saling sambar. Entah berapa jurus sudah berlalu, tapi pertarungan tampaknya belum ada tanda-tanda akan berakhir. Bahkan semakin terlihat dahsyat, membuat pohon-pohon di sekitarnya bertumbangan terkena pukulan-pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi yang tidak tepat mengenai sasaran.

Tampak sekali Bayu sudah mulai melontarkan Cakra Maut untuk membantu serangannya. Melesatnya Cakra Maut dari tangan Pedekar Pulau Neraka, sempat juga membuat si Setan Mata Satu jadi kelabakan. Dia seakan-akan menghadapi lawan lebih dari satu orang. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka seakan memiliki mata saja, sehingga dapat menyerang dari segala arah. Padahal sudut serangan tampak begitu sulit dan mustahil dilakukan orang.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Bayu berteriak keras menggelegar, sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan kedua kaki terentang lebar ke samping. Hentakan yang begitu cepat dan tidak terduga, membuat si Setan Mata Satu jadi terperanjat setengah mati. Dan rasanya dia tidak lagi memiliki kesempatan menghindarinya. Sehingga, terpaksa serangan Pendekar Pulau Neraka harus ditahan dengan pedangnya yang dilintangkan ke depan. Sementara ujung pedangnya ditahan dengan telapak tangan kiri.

Yeaaah...!"

Tak pelak lagi, seketika itu juga kedua telapak tangan Bayu yang terbuka dan mendorong ke depan, menghantam bagian tengah batang pedang lawannya. Dan...

Trak!
"Akh...!"

Terdengar jeritan keras yang agak tertahan. Tampak Setan Mata Satu terdorong deras sekali ke belakang. Sedangkan Bayu sendiri sempat terdorong dua langkah ke belakang. Sementara, si Setan Mata Satu kembali terpekik begitu punggungnya menghantam sebuah pohon yang sangat besar, hingga hancur berkeping-keping.

"Hah...?!"

Lestari yang menyaksikan pertarungan tanpa berkedip, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Ternyata pedang Setan Mata Satu telah terpotong menjadi dua bagian, tepat di tengah-tengahnya. Bukan hanya Lestari saja yang terkejut. Tapi, Setan Mata Satu juga jadi terperanjat setengah mati, begitu mendapati pedangnya sudah menjadi dua bagian

"Keparat...!"

Setan Mata Satu jadi geram setengah mati mendapati pedangnya kini tidak dapat lagi digunakan. Sementara, Bayu berdiri tegak dengan bibir menyunggingkan senyum tipis. Terlihat jelas dari sorot Pendekar Pulau Neraka, kalau sudah merasa yakin akan menang setelah mematahkan pedang lawannya menjadi dua bagian. Dan di saat pertarungan terhenti untuk beberapa saat, terdengar suara-suara langkah kaki dari arah belakang Pendekar Pulau Neraka Belum lagi bisa disadari siapa yang datang ke tempat pertarungan, tahu-tahu sudah bermunculan orang-orang, membawa obor dan senjata dari berbagai macam bentuk dan jenis. Sebentar saja, hutan yang sudah rusak akibat pertarungan tadi sudah dipenuhi orang yang baru berdatangan.

"Itu dia yang membunuh keluargaku...!" salah seorang yang baru datang tiba-tiba.

Orang itu menunjuk langsung pada Setan Mata Satu dengan ujung goloknya. Maka semua orang langsung menatap Setan Mata Satu dengan sinar mata begitu tajam penuh dendam dan amarah. Teriakan yang keras itu, membuat wajah Setan Mata Satu jadi berubah merah bagai saga. Sementara, Bayu masih tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Matanya malah menatap tajam pada lawan yang sudah merusak namanya ini.

"Serang...! Bunuh iblis keparat itu...!" seru salah seorang lagi tiba-tiba, dengan suara keras menggelegar.

Dan seketika itu juga, mereka langsung melunak deras ke arah Setan Mata Satu yang masih diliputi kemarahan pada Pendekar Pulau Neraka, akibat pedangnya dapat dipatahkan menjadi dua bagian. Melihat orang berjumlah begitu banyak meluruk deras ke arahnya, Setan Mata Satu bukannya gentar.

"Kalian tidak bisa menangkapku! Hiyaaa...!" Sambil membentak keras menggelegar. Setan Mata Satu langsung saja melenting ke atas. Dan seketika itu juga, kedua tangannya bergerak cepat melontarkan Bintang-bintang Peraknya yang langsung menghambur menghujani orang-orang yang berlarian ke arahnya.

"Mundur kalian semua...!" teriak Bayu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, peringatan Pendekar Pulau Neraka sudah terlambat. Beberapa orang sudah menjerit tertembus Bintang Perak yang dilemparkan Setan Mata Satu. Seketika, tubuh-tubuh berlumuran darah berjatuhan ke tanah. Melihat kejadian ini, Bayu tidak bisa lagi menahan diri. Sambil berteriak keras menggelegar, tubuhnya melesat bagai kilat menerjang Setan Mata Satu yang masih melontarkan Bintang-bintang Peraknya.

"Hiyaaat..!"
Wut!


***


ENAM

Cepat sekali Bayu mengebutkan tangan kanannya, sehingga Cakra Maut langsung melesat begitu! cepat bagai anak panah lepas dari busur ke arah si Setan Mata Satu. Serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka ini membuat Setan Mata Satu jadi bertambah geram.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat laki-laki bermata satu itu melepaskan beberapa Bintang Peraknya, menyambut serangan Cakra Maut. Dan pada saat itu juga, di sertai ilmu meringankan tubuhnya yang hampir sempurna, Setan Mata Satu melesat pergi begitu Bintang-bintang! Peraknya menghantam Cakra Maut

"Hap!"

Bayu cepat-cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, begitu kakinya menjejak tanah. Maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Sementara, Setan Mata Satu sudah tidak terlihat bayangannya lagi. Bayu hanya bisa berdiri tegak memandang ke arah menghilangnya Setan Mata Satu, yang tertelan kegelapan malam dalam hutan.

Sementara, mereka yang baru berdatangan sudah berkumpul mengelilingi Pendekar Pulau Neraka. Lestari juga sudah berada di samping kiri pemuda berbaju kulit harimau ini. Tampak di antara mereka, Eyang Jambak bersama murid-muridnya. Juga, terdapat tokoh-tokoh persilatan yang berhasil dikumpulkan Eyang Jambak untuk menghadapi Setan Mata Satu yang selama ini dikira adalah Pendekar Pulau Neraka.

"Kenapa kalian diam...?! Seharusnya kalian malu, dan minta maaf pada Pendekar Pulau Neraka. Kalian orang-orang terhormat, tapi tidak sudi membuka mata lebar-lebar!" agak tinggi suara Lestari.

Kata-kata Lestari yang begitu tiba-tiba, membuat Bayu terkejut. Tidak ada seorang pun yang menyangka kalau gadis itu mengeluarkan kata-kata yang begitu pedas seperti ini. Dan perkataannya menyebabkan tidak ada seorang pun yang mampu lagi membuka suara. Bahkan Eyang Jambak sendiri jadi tertunduk, tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap di depan Pendekar Pulau Neraka.

"Ayo, Lestari. Kita pergi," ajak Bayu sambil menarik gadis ini.

"Tidak!" sentak Lestari keras. "Kau harus memberi pelajaran pada mereka agar tidak sembarangan menuduh orang!"

"Sudahlah, Lestari... Jangan diperpanjang lagi persoalan ini. Masih ada yang lebih penting yang harus dikerjakan," ujar Bayu tidak mau memperpanjang persoalan seperti ini.

Langsung saja Pendekar Pulau Neraka menarik tangan Lestari. Tapi, gadis ini malah menyentakkah tangan Bayu hingga cekalannya terlepas. Dengan wajah garang, dia berkacak pinggang seperti hendak menantang semua orang yang kini ada di depannya. Tapi, tidak seorang pun yang sanggup menentang sorotan mata Lestari yang sangat tajam ini. Sementara, Bayu semakin tidak enak hatinya. Dia tahu, mereka memang bersalah. Tapi, Pendekar Pulau Neraka juga tidak ingin menuntut apa-apa. Malah, Lestari yang seakan begitu kesal terhadap sikap orang-orang Ini. Bayu menghampiri gadis itu, dan kembali mencekal pergelangan tangannya.

"Ayo, Lestari. Kalau kau tidak mau ikut, aku akan pergi sendiri," ajak Bayu disertai sedikit ancaman.

Lestari melirik sedikit pada Pendekar Pulau Neraka itu. Lalu sambil mendengus kesal, tubuhnya berbalik dan melangkah mengikuti Pendekar Pulau Neraka meninggalkan orang-orang yang masih saja berdiam diri. Sesekali kepala gadis berpaling ke belakang. Tampak mereka tetap berada di sana memandangi kepergiannya bersama Pendekar Pulau Neraka yang pernah dibenci dan ingin dibunuh.

Sambil terus menggerutu kesal, Lestari mensejajarkan ayunan kakinya di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka. Di ambilnya monyet kecil dari pundak pemuda itu, dan didekap di depan dadanya. Tiren seakan kesenangan berada dalam dekapan hangat gadis ini. Sedangkan Bayu hanya melirik sedikit saja pada monyet kecil itu, seakan iri ingin menggantikannya. Mereka terus berjalan tanpa bicara sedikit pun juga. Tapi jelas kalau mereka berjalan ke arah jalan yang dituju Setan Mata Satu tadi.

Sampai jauh mereka berjalan, tidak ada seorang pun yang memulai bicara. Sedangkan sikap Lestari sudah mulai kembali seperti biasa. Raut wajahnya tidak lagi mencerminkan kekesalan. Dan Bayu sendiri tidak mau mengungkit lagi persoalan yang dianggap tidak perlu dipermasalahkan. Dia sudah menganggap biasa kalau orang-orang salah menduga pada dirinya. Dan memang, bukan sekali ini dia mendapatkan persoalan seperti itu. Tapi memang diakui, kali ini terasa begitu berat. Bahkan hampir saja dirinya mati terbunuh dikeroyok oleh mereka yang salah menuduh.

"Ke mana kita pergi, Bayu?" tanya Lestari setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Mengejar Setan Mata Satu," sahut Bayu.
"Kau sudah menduga ke mana arah kepergiannya?" tanya Lestari lagi
"Aku rasa tidak sulit mendapatkannya, Lestari?" sahut Bayu.

Lestari menatap wajah tampan Pendekar Pulau Neraka, seakan meminta penjelasan dari jawabannya tadi. Tapi Bayu seperti tidak tahu, dan terus saja berjalan dengan wajah lurus ke depan.

"Ke mana kira-kira perginya si Setan Mata Satu itu, Bayu?" tanya Lestari ingin tahu lagi.

"Dia memerlukan senjata bintang perak yang sangat banyak. Dan sudah barang tentu, harus memiliki tempat yang khusus untuk membuat senjatanya itu, Lestari," sahut Bayu sedikit menjelaskan.

"Kau tahu di mana tempatnya?" tanya Lestari lagi.

Entah kenapa, Bayu jadi tersenyum mendengar pertanyaan gadis itu. Malah, tidak menjawab sama sekali. Pendekar Pulau Neraka berhenti melangkah, begitu di depan terlihat sebuah sungai yang cukup besar dan airnya deras. Tidak ada satu sampah pun yang terlihat di sana. Tapi terlihat jelas kalau diseberang sungai itu terdapat sebuah perkampungan yang tampaknya cukup besar. Kening Lestari jadi berkerut juga, saat melihat Bayu terus memandang ke arah perkampungan di seberang sungai. Dia tidak tahu, apa yang ada dalam pikiran Pendekar Pulau Neraka. Terlalu sukar baginya untuk bisa menerka jalan pikiran Bayu sekarang ini. Lestari kembali mengarahkan pandangan ke depan, seperti ingin mencoba mencari tahu, apa yang sedang dipikirkan Pendekar Pulau Neraka.

"Kita akan menyeberangi sungai ini, Bayu..?" tanya Lestari bernada menduga.
"Ya," sahut Bayu singkat.
"Lalu, apa yang akan kita peroleh di sana?" tanya Lestari lagi.
"Setan Mata Satu," sahut Bayu tetap singkat datar nada suaranya.
"Kau yakin dia ada di sana?"

Bayu tidak menjawab, tapi bibirnya terlihat menyunggingkan senyum tipis sekali. Begitu tipisnya, hampir saja Lestari tidak melihat. Gadis itu sudah bisa menduga, sekarang ini Bayu sudah begitu yakin kalau si Setan Mata Satu sekarang berada di seberang sungai. Entah, apa yang membuat Bayu begitu percaya terhadap dugaannya. Sedangkan Lestari hanya bisa menduga-duga saja, tanpa dapat lagi melontarkan pertanyaan. Tapi yang menjadi persoalannya sekarang bagaimana mereka bisa menyeberangi sungai besar yang mengalir deras tanpa perahu...?


***


Bagi orang-orang persilatan yang berkepandaian tinggi seperti Pendekar Pulau Neraka, memang tidak ada persoalan sedikit pun untuk menyeberangi sungai besar yang mengalir deras seperti itu. Tapi, Bayu justru memikirkan Lestari. Dia tidak tahu, sampai di mana kepandaian gadis itu. Terutama sekali, tingkat ilmu meringankan tubuhnya Kalau Lestari hanya sampai pada tingkatan pertengahan saja, mustahil bisa menyeberanginya tanpa perahu.

Sedangkan Bayu bisa menggunakan ranting atau daun-daun untuk dijadikan jembatan menuju seberang sungai. Dan itu juga membutuhkan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Sedangkan Lestari.... Tidak mungkin gadis itu bisa melakukan hal yang sama dengannya. Ilmu meringankan tubuh gadis ini masih berada jauh dari Pendekar Pulau Neraka. Dan inilah yang sedang menjadi beban pikiran Bayu sekarang.

Sementara, pelahan-lahan matahari sudah mulai menampakkan diri di ufuk timur. Cahayanya begitu lembut dan indah membias dari pucuk-pucuk pepohonan di hulu sungai. Bias cahaya matahari membuat Bayu bisa leluasa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tapi, memang tidak ada satu perahu pun terdapat di sungai ini.

Udara yang semula terasa dingin, pelahan mulai menghangat menyapu kulit. Bayu melangkah menghampiri sebuah pohon yang besar dan rimbun daunnya. Kemudian dia duduk bersila di bawah pohon itu. Lestari mengikuti Pendekar Pulau Neraka, duduk di sebelah kirinya. Mereka sama-sama memandang ke seberang dengan pikiran masing-masing sukar diterka.

"Sudah pagi, Bayu. Kapan akan ke sana?" tanya Lestari tanpa berpaling sedikit pun.

"Hm...," Bayu hanya menjawab dengan gumaman saja.

"Kau ragu-ragu, Bayu?" terdengar agak sinis tiada suara Lestari.

Bayu melirik sedikit pada gadis di sebelahnya Ini. Dirasakannya kalau itu bukan pertanyaan biasa. Nadanya jelas sekali ingin memanasi hatinya. Malah terdengar begitu sinis. Tapi, Bayu tahu kalau sikap Lestari yang berubah sinis itu hanya memancing perasaannya saja. Menyadari akan hal itu, bayu malah tersenyum.

"Di seberang sana, adalah Desa Pangkar. Semua penduduknya hidup dari keahliannya mengolah besi. Bukan hanya peralatan dari besi saja yang dibuat, tapi banyak juga senjata yang berasal dari sana," kata Bayu seperti memberi tahu keadaan di desa seberang sungai ini pada gadis di sebelahnya.

"Lalu, apa hubungannya dengan Setan Mata Satu?" tanya Lestari tidak mengerti maksud Pendekar Pulau Neraka.

"Lihatlah ini, Lestari...? Coba perhatikan," Bayu mengeluarkan sebuah bintang dari balik saku ikat pinggangnya.

Pemuda itu menyerahkan senjata yang digunakan si Setan Mata Satu untuk merusak namanya pada Lestari. Sebentar gadis itu hanya memandanginya saja, kemudian mengambil benda itu dari tangan Pendekar Pulau Neraka. Dengan kelopak mata agak menyipit, Lestari mencoba untuk bisa memahami perkataan Bayu tadi sambil memperhatikan senjata berbentuk bintang di tangannya.

"Kau menduga senjata ini dibuat di sana, Bayu?" tanya Lestari mulai bisa menduga arah pembicaraan Bayu.

"Ya," sahut Bayu singkat.
"Kau yakin?" tanya Lestari lagi, seperti ingin meyakinkan dirinya.

Bayu hanya mengangguk saja dengan gerakan begitu mantap. Dan pandangan matanya kini tertuju lurus pada wajah cantik gadis itu. Sedangkan Lestari sendiri seakan tidak manyadari kalau wajahnya terus dipandangi, dengan mata tidak berkedip sedikit pun. Gadis itu terus memperhatikan Bintang Perak yang berada di telapak tangan kanannya. Dan ketika wajahnya diangkat seketika itu juga pandangan mata mereka langsung bertemu.

Entah kenapa, Lestari jadi bergetar seluruh tubuhnya. Dan dirasakan seakan-akan darahnya berhenti mengalir seketika. Detak jantungnya pun jadi semakin keras. Cepat-cepat Lestari memalingkan wajahnya ke seberang sungai, begitu seluruh paras wajahnya terasa jadi panas. Sekilas Bayu sempat melihat perubahan pada wajah gadis itu. Maka cepat-cepat wajahnya dipalingkan juga ke seberang. Untuk beberapa saat lamanya mereka jadi terdiam membisu. Entah, apa yang ada dalam kepala mereka masing-masing saat ini.

"Bayu...," terdengar begitu pelan suara Lestari.
"Hm...," Bayu hanya menjawab dengan sedikit gumaman.

"Kau tahu, siapa yang membuat senjata ini?" tanya Lestari lagi, mencoba menghilangkan perasaan aneh yang tiba-tiba saja menyelimuti hatinya, setelah pandangannya langsung bertemu pada pandangan mata Pendekar Pulau Neraka.

"Kau tidak lihat guratan di bagian tengahnya...?" Bayu malah balik bertanya.

Lestari langsung memperhatikan bagian tengah senjata bintang berwarna putih keperakan itu. Agak berkerut juga keningnya, begitu melihat sedikit guratan tepat di tengah-tengah Bintang Perak itu. Dan sebentar kemudian, wajahnya diangkat lagi. Kali ini, dia tidak langsung menatap bola mata Bayu. Pandangannya ke arah lain, walaupun wajahnya berhadapan dengan wajah Pendekar Pulau Neraka berjarak tidak begitu jauh. Tapi entah kenapa, Lestari masih juga merasakan getaran yang begitu kuat dalam dadanya. Dan dia tidak tahu, apa arti getaran di dadanya ini.

"Semua senjata bintang yang digunakan si Setan Mata Satu bertanda seperti itu. Dan aku tahu, siapa pembuatnya," kata Bayu memberi tahu.

"Siapa, Bayu?" tanya Lestari jadi semakin ingin tahu.
Bendawa," sahut Bayu singkat.
"Siapa dia...?" tanya Lestari meminta penjelasan lagi.

"Dia seorang pandai besi dan ahli membuat senjata yang sangat terkenal di Desa Pangkar. Tidak sedikit orang-orang dari kalangan persilatan yang memesan senjata padanya. Bahkan beberapa kerajaan pun memesan senjata untuk prajuritnya juga pada Ki Bendawa," jelas Bayu singkat.

"Kau tahu dari mana kalau guratan ini tanda buatan Ki Bendawa?" tanya Lestari lagi.

"Aku pernah ke sana, mengantarkan orang yang ingin membuat senjata pusaka dari bahan yang dibawanya sendiri. Begitu banyak hasil buatannya. Dan semua selalu memiliki tanda guratan seperti itu," sahut Bayu menjelaskan lagi.

"Tentu Ki Bendawa itu orang yang sangat pandai, ya...? Dan dia pasti juga memiliki kepandaian tidak rendah," ujar Lestari langsung memuji.

"Memang... Selain pandai membuat senjata, Ki Bendawa juga memiliki kepandaian yang tidak rendah. Itu sebabnya, tidak ada seorang pun yang mau sembarangan padanya. Bahkan di Desa Pangkar itu, nama Ki Bendawa begitu dihormati dan ditakuti. Tidak ada seorang pun yang berani berbuat curang padanya. Desa itu juga bisa terkenal, berkat kepandaian Ki Bendawa."

"Hebat...," puji Lestari tulus.
"Tapi terus terang saja, Lestari. Sejak aku tahu di mana senjata itu dibuat, aku jadi khawatir," kata Bayu. Wajahnya tiba-tiba berubah murung.

"Apa yang kau khawatirkan, Bayu?" tanya Lestari jadi heran tidak mengerti.

"Kau tahu, apa yang dilakukan si Setan Mata Satu selama ini, kan...?" Bayu malah balik bertanya.

Lestari hanya mengangguk saja sedikit

"Aku khawatir, kalau-kalau si Setan Mata Satu membunuh Ki Bendawa setelah mendapatkan senjatanya ini," kata Bayu mengutarakan rasa kekhawatirannya.

"Kalau begitu, kenapa tidak segera saja ke sana, Bayu..?" usul Lestari Langsung.

"Terlalu berbahaya menyeberangi sungai di siang hari begini, Lestari. Sedangkan kita belum tahu, bagaimana keadaan Desa Pangkar sekarang ini. Tunggu saja sampai gelap nanti," sahut Bayu menjelaskan lagi.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Lestari lagi.

"Istirahat sebanyak-banyaknya. Mungkin, malam nanti kita akan menghadapi cobaan dan rintangan yang tidak kecil," sahut Bayu kalem.

Lestari hanya diam saja. Dan dia memang tidak lagi mengeluarkan suaranya. Matanya melirik sedikit, saat Bayu merebahkan tubuhnya di atas rerumputan yang cukup tebal dibawah pohon berdaun lebat ini, hingga terlindung dari sengatan sinar matahari yang semakin terik.


***


Bayu baru membuka kelopak matanya, begitu merasakan angin yang berhembus mengusap kulit nya. Terasa begitu dingin. Cepat pemuda itu melompat bangkit berdiri dengan bola mata langsung beredar ke sekeliling. Memang ternyata Bayu tidak melihat Lestari lagi di tepian sungai ini. Apalagi, nyenyak sekali Bayu tidur tadi. Sampai-sampai, ketika matahari sudah hampir tenggelam di balik peraduannya dia baru bangun. Entah, sudah berapa malam Pendekar Pulau Neraka tidak tidur, dan baru siang ini bisa tidur begitu nyenyak.

"Lestari...!"

Sekuat-kuatnya Bayu memanggil, tapi tidak terdengar sahutan sedikit pun juga. Bayu terus mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia tidak tahu, ke mana Lestari pergi.

"Nguk...! Nguk...!"

Bayu cepat berpaling, begitu mendengar suara monyet dibelakangnya. Tampak Tiren berlari-lari kecil sambil mencerecet ribut menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Monyet kecil itu langsung melompat naik ke pundak Bayu.

"Kau lihat Lestari, Tiren?" tanya Bayu langsung.

"Nguk...!"
"Aku tahu dia pergi. Tapi, ke mana...?"
"Craaak...!"
"Kau tidak salah, Tiren?"

Kening Bayu jadi berkerut melihat Tiren menunjuk ke seberang sungai. Seakan, monyet kecil itu ingin mengatakan kalau telah melihat Lestari pergi ke desa yang ada di seberang sungai ini. Pendekar Pulau Neraka langsung mengarahkan pandangannya ke seberang sungai. Tidak terlihat ada satu perahu pun di seberang sana. Sebentar kemudian kembali ditatapnya monyet kecil berbulu hitam pekat yang duduk dipundak kanannya. Monyet kecil itu memperdengarkan suara seperti orang tidur mendengkur. Binatang itu juga terus mengarahkan pandangannya ke seberang sungai yang mulai dihiasi cahaya lampu pelita dari rumah-rumah yang berdiri ditepiannya.

"Dengan siapa dia pergi ke sana?" tanya Bayu lagi sambil terus memandangi monyet kecilnya.

"Nguk!"
"Hm..."

Kembali kening Tiren berkerut dengan kelopak mata sedikit menyipit, melihat Tiren membuat beberapa gerakan tangan sambil memperdengarkan suara. Seakan, monyet kecil itu ingin mengatakan sesuatu pada Pendekar Pulau Neraka. Tapi entah kenapa, seakan Bayu begitu sulit mengartikan bahasa monyet kecilnya. Pemuda itu terus memandangi dan mencoba bisa mengerti. Sedangkan Tiren terus berusaha memberitahu dengan gerakan-gerakan tangan dan suara yang tidak pernah berubah dalam pendengaran.

"Mustahil...," desis Bayu setelah bisa mengerti. Jelas sekali terlihat kepala Pendekar Pulau Neraka bergerak menggeleng pelahan dengan bibir terus memperdengarkan desisan seperti ular. Bayu benar-benar tidak percaya kalau Lestari menyeberangi sungai ini sendiri. Timbul di dalam pikirannya, dengan apa gadis itu bisa menyeberangi sungai yang sangat deras alirannya ini tanpa perahu...?

Sedangkan ilmu meringankan tubuhnya belum bisa dikatakan sempurna. Bahkan masih terlalu jauh, bila dibandingkan Pendekar Pulau Neraka. Bayu melangkah semakin mendekati tepian sungai ini. Kembali kelopak matanya sedikit menyipit, begitu mendapati jejak-jejak kaki tertera jelas di tanah tepi sungai yang cukup lembab ini. Walaupun hari sudah malam, tapi bulan yang menggantung di langit saat ini bersinar penuh. Sehingga, membuat keadaan sekelilingnya cukup terang dan cukup jelas untuk melihat jejak kaki di tepi sungai ini. Dan Bayu tahu, itu jejak kaki Lestari. Tidak terlihat ada jejak kaki orang lain disini. Itu berarti Lestari memang menyeberangi sungai ini hanya seorang diri saja.

"Kita harus cepat ke sana, Tiren. Bahaya kalau dia menghadapi Setan Mata Satu seorang diri, " kata Bayu sambil menepuk kepala monyet kecil di pundaknya.

"Nguk!"

"Pegang leherku kuat-kuat, Tiren. Kita akan menyeberangi sungai ini," pinta Bayu.

"Craaak...!"
"Hup! Yeaaah...!"


***


TUJUH

Sungguh sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar Pulau Neraka. Sehingga seakan tubuhnya bisa terbang melayang di atas permukaan air sungai yang mengalir deras itu. Hanya sesekali saja ujung jari kakinya menotok ranting-ranting yang hanyut terbawa arus sungai ini. Bayu terus melesat di atas permukaan air sungai bagai segumpal kapas terbawa angin. Dan sebentar saja, Pendekar Pulau Neraka sudah tiba di tepi seberang sungai ini. Begitu ringan kakinya menjejakkan tanah lembab dan sedikit berpasir. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Namun tidak terlihat seorang pun manusia disekitarnya. Begitu sunyi, hingga hanya desiran angin dan aliran sungai saja yang terdengar mengusiktelinganya.

"Hm..."

Bayu menggumam sedikit, melihat jejak kaki Lestari terlihat di tepi sungai ini. Tapi keningnya jadi berkerut ketika melihat ada guratan panjang yang cukup banyak di sekitar jejak-jejak kaki ini. Guratan panjang seperti bekas ular berlalu. Tapi..

"Pasti Lestari membuat rakit, hingga bisa sampai disini," gumam Bayu langsung bisa menduga.

Bibir Pendekar Pulau Neraka jadi tersenyum, membayangkan Lestari membuat rakit untuk menyeberangi sungai. Memang diakui di dalam hatinya, gadis itu memiliki otak cerdas. Tapi sayang. Lestari ke desa ini hanya seorang diri saja. Sedangkan dia tahu, Setan Mata Satu pasti berada di desa ini juga. Entah kenapa, Bayu jadi cemas memikirkan Lestari yang menghadang bahaya hanya seorang diri saja.

"Ayo, Tiren. Kita harus cepat menemukan Lestari. Jangan sampai dia bertemu si Setan Mata Satu, karena bukan tandingannya," kata Bayu sambil menepuk kepala monyet di pundaknya.

"Nguk"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera mengayunkan kakinya menuju desa yang sudah ada di depannya Lampu-lampu pelita tampak menyala dari beranda depan rumah-rumah yang ada di seberang sungai ini Pendekar Pulau Neraka terus mengayunkan kakinya, lebar-lebar. Bayu terus melangkah memasuki desa itu. Karena sudah pernah datang ke sini sebelumnya, jadi tidak merasa heran kalau keadaan desa ini begitu sunyi seperti tidak ada penduduknya.

Dan memang, semua orang di desa ini tidak ada yang keluar dari dalam rumah setelah malam tiba. Mereka terlalu lelah bekerja di siang hari, sehingga bila malam adalah waktu beristirahat. Bayu terus mengayunkan kakinya menyusuri jalan tanah setapak yang berdebu. Sepanjang jalan yang dilalui, tidak ada seorang pun dijumpai. Namun begitu sampai di sebuah tegalan yang berada di tengah-tengah desa itu, mendadak saja bermunculan orang-orang dari balik pepohonan dan dinding-dinding rumah yang ada di sekitar tanah lapangan berumput ini.

Dan sebelum Bayu bisa menyadari apa yang terjadi, sekelilingnya sudah terkepung puluhan orang dengan senjata tajam berbagai bentuk dan jenisnya. Bayu cepat menyadari kalau dirinya dalam keadaan bahaya.

"Tangkap..."

Tiba-tiba terdengar teriakan lantang memberi perintah. Dan seketika itu juga, sekitar sepuluh orang belarian ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dan begitu dekat, mereka langsung saja berlompatan hingga melewati atas kepala Bayu. Lalu saat itu juga...

Rrrrt..
"Heh...?"
"Craaakh..."

Bayu jadi terlonjak kaget setengah mati. Bahkan Tiren langsung melompat turun dari pundak Pendekar Pulau Neraka, ketika orang-orang yang berlompatan ini menebarkan jaring-jaring hitamnya dari atas.

"Hap"

Cepat-cepat Bayu membanting tubuhnya ke tanah dan cepat bergulingan ke arah kanan, sehingga serangan jaring-jaring hitam itu tidak sampai mengenai sasaran.

"Hup"

Begitu cepat dan manis Bayu melompat bangkit berdiri setelah dirasakan aman dari serangan, langsung tangan kanannya disilangkan di depan dada, dengan tubuh agak membungkuk ke depan. Sementara, sekitar sepuluh orang yang membawa jaring hitam itu sudah kembali mengurung rapat. Bahkan sekeliling tanah lapangan ini juga sudah terkepung rapat. Tidak sedikit yang membawa obor, hingga keadaan jadi semakin terang benderang.

"Ada apa ini? Kenapa kalian menyerangku...?" tanya Bayu, lantang.

"Jangan banyak bicara kau, Pendekar Pulau Neraka..."

Bayu langsung memutar tubuhnya, begitu mendengar bentakan sangat keras yang mengejutkan ini. Tampak seorang laki-laki berusia separo baya sudah berdiri sambil berkacak pinggang, terpisah dari yang lain. Baju warna biru muda yang ketat, membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebuah pedang berukuran panjang tampak tergantung di pinggang. Kakinya melangkah beberapa tindak mendekati Pendekar Pulau Neraka.

"Aku Jalapari, putra tunggal Ki Bendawa. Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu pada ayahku, Pendekar Pulau Neraka. Setelah memesan ribuan senjata bintang, lalu kau bunuh ayahku. Sekarang, kau datang lagi setelah puas membantai orang-orang yang tidak bersalah. Kau harus mati disini, Pendekar Pulau Neraka" lantang sekali suara Jalapari.

"Tidak... Bukan aku yang melakukan itu. Kalian salah..." bentak Bayu tidak kalah lantangnya.

"Kau tidak perlu mungkir, Pendekar Pulau Neraka. Semua orang sudah tahu perbuatan busuk mu" bentak Jalapari lagi, dengan tetap lantang menggelegar.

Bayu jadi terdiam. Memang tidak ada gunanya membantah semua tuduhan itu. Setan Mata Satu sudah menggunakan namanya untuk memesan senjata bintang dari Ki Bendawa di Desa Pangkar ini. Dan ternyata, si Setan Mata Satu juga telah membunuh Ki Bendawa. Sekarang semua orang didesa ini begitu membencinya. Bahkan ingin membunuhnya untuk menebus nyawa Ki Bendawa yang dihormati.

"Bersiaplah menerima hukumanmu, Pendekar Pulau Neraka" desis Jalapari dingin.

Cring!

Langsung saja laki-laki separo baya itu mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Agak terkejut juga Pendekar Pulau Neraka, melihat pedang itu bagai memancarkan cahaya merah kekuningan seperti matahari. Dan rasanya, senjata itu tidak bisa dianggap enteng begitu saja. Bayu menarik kakinya dua langkah kebelakang sambil mengedarkan pandangan kesekeliling. Tidak ada jalan sedikit pun untuk dapat meloloskan diri.

"Tahan seranganku, Iblis..." bentak Jalapari lantang.

Tapi belum juga putra Ki Bendawa itu melakukan serangan, tiba-tiba saja...

揟ahan..."


***


Bentakan keras menggelegar dan tiba-tiba itu bukan saja mengejutkan Jalapari. Tapi, semua orang yang ada di lapangan ini juga terkejut setengah mati. Bahkan Bayu sendiri sampai berpaling cepat ke arah datangnya bentakan yang begitu cepat di saat Jalapari hendak menyerangnya. Dan di saat itu juga, terlihat sebuah bayangan merah muda berkelebat begitu cepat melewati kepala orang-orang yang memenuhi lapangan ini. Tahu-tahu, di sebelah kiri Bayu sudah berdiri seorang gadis cantik berbaju merah muda yang ketat. Sebuah pedang tampak tergantung dipinggangnya.

"Lestari...," desis Bayu, tidak menyangka kalau Lestari yang datang mencegah serangan Jalapari.

"Kalian salah kalau menuduh Pendekar Pulau Neraka yang melakukan semua kejahatan ini. Aku tahu, siapa orangnya yang sebenarnya..." lantang sekali suara Lestari.

"Siapa kau...?" bentak Jalapari langsung bertanya.

"Aku Lestari, dari Desa Duri Batang. Semua orang di desaku habis dibantai. Dan kedua orangtua ku ikut menjadi korban. Hanya aku yang selamat dan tahu siapa pelakunya," sahut Lestari lantang.

Kata-kata Lestari membuat semua orang jadi menggumam, entah percaya atau tidak atas pembelaan gadis ini pada diri Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu sendiri hanya diam saja, memberi kesempatan pada Lestari untuk menjelaskan yang sebenarnya.

"Bukan hanya desa ini saja yang dirugikan. Tapi, banyak desa lain yang sudah menjadi korban kebuasannya. Kalau kalian tidak percaya, aku bawa saksi lain," sambung Lestari.

Dan begitu kata-kata gadis ini selesai, dari bagian kiri menyeruak beberapa orang memasuki lapangan berumput ini. Mereka adalah Eyang Jambak bersama dua puluh orang muridnya dan tujuh orang tokoh persilatan yang diundangnya. Mereka berhenti setelah berjarak beberapa langkah lagi dari Pendekar Pulau Neraka yang berdiri didampingi Lestari. Tidak ada seorang pun yang membuka suaranya. Bahkan wajah Jalapari sendiri jadi kelihatan bimbang.

"Kita semua memang salah menuduh. Memang bukan Pendekar Pulau Neraka yang melakukan semua kejahatan ini. Ada orang lain yang memakai nama Pendekar Pulau Neraka untuk memfitnah agar kita bisa diadu domba untuk membunuh Pendekar Pulau Neraka. Dan kalau rencana itu berhasil, maka penghalang utama para tokoh hitam akan lenyap. Dengan demikian, dunia persilatan akan dikuasai tokoh golongan hitam dengan kesewenang-wenangannya. Dan sekarang orang itu memakai julukan Setan Mata Satu. Sengaja hal ini dilakukan agar kita lemah dan tak berdaya!" kata Eyang Jambak.

"Bagaimana kau bisa tahu, Orang Tua?" kata Jalapari.

"Bukan hanya aku yang melihat sendiri. Tapi, semua orang yang ada di belakangku ini ikut menyaksikannya. Dan sekarang, kami sedang mengejar orang itu untuk menebus kesalahan kami pada Pendekar Pulau Neraka," sahut Eyang Jambak. Terus terang saja, kami semua juga sempat berbuat kesalahan seperti ini. Dan semua ini akan ditebus dengan nama semua orang mengaku bersalah, mohon maaf padamu, Pendekar Pulau Neraka."

Bayu hanya membungkuk saja sedikit, begitu melihat Eyang Jambak membungkuk sedikit meminta maaf padanya. Sikap yang ditunjukkan Eyang Jambak membuat semua penduduk Desa Pangkar yang mengepung lapangan ini jadi terlongong bengong. Bahkan Jalapari sendiri langsung menyarungkan pedangnya lagi. Kakinya lalu melangkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang tetap didampingi Lestari. Tanpa banyak bicara lagi, Jalapari langsung menyodorkan tangannya.

"Maaf, atas semua kesalahan dan kekhilafan kami semua," ucap Jalapari.

Bayu tidak bisa lagi berkata-kata. Disambutnya uluran tangan itu dengan hangat. Dan seketika itu juga, semua orang bersorak menyambut kembalinya nama harum Pendekar Pulau Neraka yang selama ini sempat dirusak oleh Setan Mata Satu. Bayu melepaskan jabatan tangannya pada tangan Jalapari.

"Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ki Bendawa," ucap Bayu.

"Ayahku korban pertamanya," ujar Jalapari agak sendu.

"Kita semua akan menghukum manusia iblis itu," selak Lestari.

"Sudah terlalu malam untuk memburu iblis itu. Sebaiknya, kalian semua beristirahat saja di sini," Jalapari menawarkan.

Dan memang, tawaran putra tunggal Ki Bendawa itu tidak bisa lagi ditolak. Terlebih lagi, Jalapari menyediakan rumahnya untuk mereka yang datang ke desa ini. Dan malam itu mereka banyak bicara untuk merencanakan pemburuan terhadap Setan Mata Satu yang sampai saat ini belum jelas.

Malam ini, Bayu sama sekali tidak bisa memejamkan mata barang sekejap pun. Walaupun udara malam ini begitu dingin, tapi pemuda ini merasa kepanasan. Sehingga keringatnya bercucuran bagai air yang keluar dari kulit gunung. Bayu melirik Eyang Jambak yang tidur satu kamar dengannya. Orang tua itu sudah sejak tadi mendengkur dengan tubuh terlipat seperti udang.

"Hhh...!"

Pelahan Bayu turun dari pembaringannya, sambil menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat. Kemudian kakinya melangkah keluar dari dalam kamar ini. Perlahan-lahan tangannya membuka pintu, kemudian menutupnya lagi dengan hati-hati sekali. Seakan dia tidak ingin seisi rumah ini terbangun.

Bayu terus berjalan pelahan-lahan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna tingkatannya. Begitu sempurnanya, sehingga setiap ayunan langkah kakinya tidak menimbulkan suara sedikit pun juga. Dan sebentar kemudian, Pendekar Pulau Neraka sudah berada di depan rumah Jalapari yang sangat besar ini.

Sementara saat ini sudah tengah malam. Bayu terus berjalan melintasi halaman depan rumah Jalapari yang cukup luas. Dan memang Jalapari termasuk orang terkaya di Desa Pangkar ini. Pendekar Pulau Neraka berjalan tanpa tujuan sama sekali. Tapi, kedua bola matanya beredar ke sekeliling, memandangi sekitarnya tanpa berkedip sedikit pun. Seakan, ada yang tengah dicarinya malam ini.

"Bayu..."
"Oh...?!"

Bayu tersentak kaget, begitu tiba-tiba mendengar panggilan dari belakang. Cepat tubuhnya berbalik. Keningnya langsung berkerut, begitu melihat sesosok tubuh ramping berdiri di tengah-tengah jalan ini. Malam yang cukup gelap ini, membuat Bayu terasa agak sulit melihat wajah orang itu. Tapi dari bentuk tubuhnya yang ramping dan indah, jelas sekali kalau dia seorang wanita. Perlahan Bayu melangkah mendekati.

"Lestari...," desis Bayu setelah bisa mengenali. Wanita yang memang Lestari itu menanti sampai Pendekar Pulau Neraka berada di depannya. Dan Bayu sendiri baru berhenti melangkah, setelah jaraknya sekitar tiga langkah lagi. Sesaat mereka hanya berdiri saja, tanpa mengeluarkan kata-kata.

"Kenapa kau ada di sini malam-malam?" tanya Bayu. "Kau tidak tidur...?"

"Aku tidak bisa tidur," sahut Lestari. "Mana Tiren?"

"Di kamarku. Tidur."

"Kau sendiri, kenapa berada di sini?" Lestari balik bertanya.

"Sama Aku juga tidak bisa tidur. Entah kenapa, aku merasa ingin keluar untuk jalan-jalan saja," sahut Bayu seenaknya.

"Bayu...," terputus suara Lestari.

"Hm...," Bayu hanya menggumam saja sedikit.

"Maaf, aku meninggalkanmu begitu saja siang tadi," ucap Lestari pelan.

"Dengan apa kau menyeberangi sungai?" tanya Bayu langsung.

"Rakit"

"Lalu, di mana kau bertemu Eyang Jambak dan yang lainnya?"

"Tidak jauh dari desa ini. Mereka juga sedang menuju ke sini. Maksudnya, untuk mencarimu."

"Mencariku...?"

"Ya... Mereka merasa bersalah, karena sudah menuduhmu jadi pembunuh sinting. Mereka ingin meminta maaf dan membersihkan namamu."

"Dari mana mereka tahu kalau kita menuju ke desa ini, Lestari?" tanya Bayu lagi.

"Salah seorang dari mereka tahu, senjata bintang itu dibuat di sini. Makanya, mereka langsung menuju ke sini lewat jalan lain."

"Maksudmu, mereka melintasi bukit?" Lestari mengangguk.

"Mereka melalui bukit, dan tidak bertemu si Setan Mata Satu. Sedangkan kita melalui sungai, juga tidak bertemu dengannya. Ke mana dia pergi...?" Bayu seperti bicara pada diri sendiri.

"Hanya satu tempat yang pasti ditujunya, Bayu," kata Lestari cepat.

"Di mana?" tanya Bayu.
"Lembah Bunga."

Kening Bayu jadi berkerut mendengar nama tempat yang disebutkan Lestari. Dia tahu, di mana letak Lembah Bunga itu. Namanya memang indah. Tapi, bukan berarti tempatnya juga indah seperti namanya. Lembah itu memang indah, kalau sedang musim bunga. Tapi di balik semua keindahannya, tersimpan keangkeran.

Sehingga, tidak ada seorang pun yang suka masuk ke sana. Lembah itu dihuni ribuan ular berbisa yang sangat mematikan. Makanya, banyak orang yang menyebutnya Lembah Bunga Berbisa. Bayu merasa tidak mungkin kalau Setan Mata Satu pergi ke sana. Setinggi apapun tingkat kepandaiannya sulit untuk bisa selamat bila memasuki lembah itu. Ular-ular berbisa yang menghuni lembah itu akan membunuhnya tanpa ampun lagi.

Tapi, memang tidak ada tempat lain lagi yang bisa dijadikan persembunyian si Setan Mata satu, selain di lembah Bunga. Dan untuk mencapai ke sana, harus menyusuri sungai sampai ke hilir. Belum lagi, harus melewati bukit batu yang terjal dan rapuh. Tidak sembarang orang bisa melewati bukit yang sewaktu-waktu bisa longsor itu.

"Akan kucoba ke sana," kata Bayu setelah cukup lama berpikir.

"Tidak sekarang, Bayu. Lagi pula, terlalu berbahaya pergi sendiri ke sana," cegah Lestari.

Bayu hanya tersenyum saja mendengar nada kecemasan dalam suara gadis ini. Dan tanpa bicara lagi, Pendekar Pulau Neraka melangkah pergi meninggalkan Lestari seorang diri. Sedangkan Lestari beberapa saat hanya diam memandangi. Kemudian bergegas dikejarnya Pendekar Pulau Neraka.

"Bayu, tunggu...!"

Bayu berhenti melangkah, dan menunggu Lestari sampai berada di depannya lagi. Beberapa saat gadis itu memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka.

"Tolong jaga Tiren. Hanya kau yang sudah dikenalnya," ujar Bayu berpesan.

"Kau akan tetap pergi ke sana malam ini juga?" tanya Lestari tidak dapat lagi menyembunyikan kecemasannya.

"Ya, sebelum lebih banyak korban jatuh lagi!"

"Aku tidak bisa mencegahmu. Bayu. Hati-hatilah...," ujar Lestari sambil menggigit bibir bawahnya sendiri.

Bayu tersenyum kecil. Ditepuknya pundak gadis itu, kemudian melangkah pergi meninggalkannya. Lestari hanya bisa memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka menempuh bahaya seorang diri. Dan setelah bayangan tubuh Bayu menghilang dari pandangan, bergegas tubuhnya berbalik dan berlari menuju ke rumah Jalapari.


***


Bayu berdiri tegak di atas tanah berbukit yang tidak seberapa tinggi. Dari tempat ini, Pendekar Pulau Neraka bisa memandang ke arah Lembah Bunga yang tidak begitu besar. Sungguh indah pemandangan lembah itu. Entah, berapa jenis bunga tumbuh di lembah ini. Tapi di balik semua keindahan itu, tersimpan sejuta bahaya yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Di lembah yang kelihatan indah itu, sebenarnya adalah sarang ular-ular berbisa yang sangat mematikan. Sehingga tidak ada seorang pun yang mau memasukinya. Bahkan untuk melewatinya saja, orang akan berpikir seribu kali.

"Apapun yang terjadi, aku harus tetap ke sana," gumam Bayu bicara sendiri dalam hati.

Bayu memang sudah bertekad masuk ke dalam lembah itu. Walaupun disadari bahaya yang akan menghadang, namun dengan hati mantap Pendekar Pulau Neraka mulai melangkah mendekati Lembah Bunga ini. Pendengarannya dipasang setajam mungkin. Dan kedua matanya dipentang lebar, mengamati setiap jengkal tanah yang dipijaknya. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya sehingga rerumputan yang dipijaknya tidak bergerak sedikit pun juga. Bahkan tidak terlihat adanya bekas pijakan kakinya.

"Hup...!"

Pendekar Pulau Neraka cepat melompat, ketika tiba-tiba saja seekor ular meluruk deras ke arahnya. Ular berbisa itu lewat sedikit saja di bawah telapak kakinya. Cepat tubuhnya berputaran di udara. Lalu, tangan kirinya langsung bergerak cepat menghantam kepala ular sebesar lengan itu. Seketika kepala ular itu hancur berantakan. Dan Bayu kembali menjejakkan kakinya di atas rerumputan Lembah Bunga ini dengan ringan sekali, bagai segumpal kapas jatuh ke tanah.

"Hampir saja...," desah Bayu sambil menghembuskan napas panjang.

Kembali Pendekar Pulau Neraka melangkah semakin masuk ke dalam lembah yang dipenuhi bunga beraneka warna dan jenis ini. Telinganya terus dipasang tajam, dan matanya juga tidak berkedip sedikit pun juga memperhatikan setiap jengkal langkahnya. Namun baru saja berjalan beberapa langkah...

Wusss...!
"Haps...!"

Cepat Pendekar Pulau Neraka mengangkat tangan kanannya, begitu terlihat kilatan cahaya putih keperakan meluruk deras ke arahnya. Dan benda berwarna putih keperakan itu tepat menghantam Cakra Maut yang ada dipergelangan tangannya.

Cring!

Benda itu kembali terpental. Sedangkan Bayu tetap berdiri tegak dengan tangan kanan masih berada di depan dada. Sekilas matanya melirik benda keperakan yang tergeletak tidak jauh di depannya. Sebuah benda berbentuk bintang persegi enam yang terbuat dari perak.

"Setan Mata Satu...," desis Bayu langsung mengenali senjata bintang itu.

Bayu semakin menajamkan pendengarannya. Serangan itu sudah menandakan, kalau di lembah inilah Setan Mata Satu bersembunyi. Dan belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa berpikir lebih jauh lagi, terdengar suara semak bergemerisik dari sebelah kanannya. Tepat di saat tubuhnya berputar ke kanan, melesat sebuah bayangan putih dengan kecepatan bagai kilat ke arahnya.

"Hup! Yeaaah...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka melenting ke atas. Dan seketika itu juga, kedua tangannya dihentakkan ke depan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan.

Plak!
"Hap...!"

Bayu cepat-cepat memutar tubuhnya ke belakang dua kali, begitu kedua telapak tangannya terasa membentur benda keras yang melesat begitu cepat ke arahnya. Tampak bayangan putih itu juga berputar balik ke belakang beberapa kali Dan hampir bersamaan, mereka sama-sama menjejak tanah berumput cukup tebal ini.

"Setan Mata Satu...," desis Bayu langsung mengenali laki-laki yang kini berada sekitar satu batang tombak di depannya.

Seorang laki-laki berwajah buruk dan penuh cacat goresan bekas luka. Sebelah matanya tertutup kulit berwarna hitam yang diikatkan ke belakang kepala dengan tali dari urat binatang. Sebuah pedang tampak tergantung di pinggangnya.

"Tidak percuma julukanmu Pendekar Pulau Neraka Kau berani masuk ke lembah ini, berarti berani mempertaruhkan nyawamu," terasa begitu dingin nasa suara Setan Mata Satu.

"Kita lihat nanti, siapa yang lebih dulu melayang nyawanya," sambut Bayu tidak kalah dinginnya.

"He he he he...! Kau sekarang berada di daerah kekuasaanku, Pendekar Pulau Neraka. Dulu aku boleh kalah. Tapi sekarang, jangan harap!"

"Di mana pun kau berada, hari ini juga kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu! Sekalian menuntaskan pertarungan kita," dengus Bayu dingin menggetarkan.

"Bagus! Tahan seranganku Hiyaaa...!"

Cring!

Sambil melompat disertai teriakan keras menggelegar, Setan Mata Satu langsung mencabut pedangnya. Dan seketika itu juga, dikibaskan tepat mengarah ke leher Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Bayu jadi terkesiap sesaat

"Hap! Yeaaah...!"

Tapi cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mengangkat tangan kanannya ke atas. Dan seketika itu juga, mata pedang Setan Mata Satu membentur Cakra Maut yagn selalu menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.

Tring!
"Ikh...?!"

Setan Mata Satu jadi terpekik kaget setengah mati, begitu tangannya terasa jadi bergetar akibat pedangnya membentur keras senjata maut Pendekar Pulau Neraka yang menempel dipergelangan tangan kanannya. Cepat dia melompat ke belakang sambil memutar tubuhnya dua kali. Tapi belum juga kakinya menjejak tanah, Bayu sudah melesat begitu cepat sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Maka Setan Mata Satu terpaksa harus memutar tubuhnya lagi ke belakang, menghindari serangan balasan Pendekar Pulau Neraka.

"Hih! Yeaaah...!"

Gagal dengan serangannya, Bayu segera membungkukkan tubuhnya sedikit miring ke kiri. Lalu, tangan kanannya mengibas begitu cepat ke depan.

"Wusss!

Seketika itu juga, Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangannya melesat bagai kilat Senjata bulat persegi enam itu melunak deras, menyerang Setan Mata Satu yang baru saja menjejak di tanah. Mendapat serangan beruntun dan sangat cepat ini, si Setan Mata Satu jadi kelabakan juga. Memang tidak ada lagi kesempatan baginya untuk berkelit menghindari senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Dan...

"Hih! Hiyaaa...!"
Bet!

Cepat Setan Mata Satu mengebutkan pedangnya, menangkis serangan Cakra Maut Lalu kakinya ditarik ke belakang dua langkah, begitu Cakra Maut terpental balik ke pemiliknya. Tapi tanpa diduga sama sekali, senjata maut Pendekar Pulau Neraka berputar begitu cepat dan kembali melunak deras menyerang si Setan Mata Satu.

"Gila...! Hih! Yeaaah...!"

Sambil membentak berang, Setan Mata Satu cepat melenting ke atas sambil mengebutkan pedangnya, menyampok Cakra Maut yang meluncur deras ke arahnya. Namun kedua bola mata Setan Mata Satu jadi terbeliak lebar, karena Cakra Maut bisa meliuk menghindari tebasan pedangnya. Bahkan benda berbahaya itu langsung melesat mengejar dada laki-laki bermata satu ini.

"Setan! Hih!"
Bet!

Cepat Setan Mata Satu menarik pedangnya, dan langsung dikebutkan menyilang ke depan tubuhnya. Dan seketika itu juga, mata pedangnya keras sekali membentur Cakra Maut sehingga sampai menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Setan Mata Satu cepat-cepat melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali.

Sementara, Cakra Maut kembali melesat balik dan menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Dan kini si Setan Mata Satu sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah berumput. Beberapa saat mereka hanya berdiri saling berhadapan saja, dengan tatapan mata begitu tajam menusuk. Seakan, mereka sama-sama sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

"Saatnya kematianmu menjemput, Setan Mata Satu! Yeaaah...!"

Sambil membentak keras menggelegar, Bayu tiba-tiba saja melompat begitu cepat bagai kilat. Dan seketika itu juga, satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan, tepat mengarah ke bagian dada lawannya.

"Hap! Yeaaah...!"
Bet!

Tapi, si Setan Mata Satu tidak tinggal diam begitu saja. Dengan cepat sekali pedangnya dikebutkan ke depan, mendahului pukulan Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat itu juga, tanpa diduga sama sekali Bayu cepat meluruk turun. Dan begitu kakinya menjejak tanah, cepat tangan kanannya dihentakkan ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk.

"Yeaaah...!"
Wusss...!

Kembali Cakra Maut melesat dari pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka, mengarah ke bagian kepala Setan Mata Satu. Tepat di saat si Setan Mata Satu mengebutkan pedangnya untuk menangkis serangan Cakra Maut, Bayu langsung saja meluruk deras sambil memberi satu sodokan keras ke perut lawannya.

Mendapat serangan dari dua arah yang begitu cepat dan hampir bersamaan waktunya, membuat si Setan Mata Satu jadi kelabakan juga. Bahkan sama sekali tidak punya waktu untuk berkelit, menghindari sodokan tangan kiri Pendekar Pulau Neraka. Hingga...

"Hih...!"

Terpaksa Setan Mata Satu menangkis sodokan itu dengan tangan kirinya Dan..

Plak!
"Akh...!"

Setan Mata Satu jadi terpekik agak tertahan, begitu sodokan tangan kiri Pendekar Pulau Neraka menghantam tepat pergelangan tangan kirinya. Cepat dia melompat ke belakang tiga langkah, tapi pada saat kedua kakinya menjejak tanah, Bayu sudah memberi satu tendangan begitu keras dan menggeledek

"Yeaaah...!"

Setan Mata Satu tidak punya kesempatan sedikit pun juga untuk menghindarinya. Terlebih lagi, keadaan tubuhnya sedang limbung akibat menahan sodokan keras tangan kiri Pendekar Pulau Neraka tadi. Akibatnya tendangan keras yang dilepaskan Bayu yang mengarah dadanya sulit dihindari.

Diegkh!
Diegkh!
"Akh...!"

Kembali Setan Mata Satu terpekik keras. Tubuhnya kontan terpental ke belakang tanpa dapat ditahan lagi, Setelah dadanya terkena tendangan dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Keras sekali punggung si Setan Mata Satu menghantam pohon berukuran cukup besar, hingga hancur berkeping-keping.

"Hap...!"

Namun Setan Mata Satu bisa cepat bangkit kembali. Dan langsung menyilangkan pedangnya di depan dada. Tampak pergelangan tangan kirinya membiru, akibat terkena tendangan yang begitu keras dan bertenaga dalam sempurna dari Pendekar Pulau Neraka tadi. Sudah barang tentu tulang-tulang kiri si Setan Mata Satu sudah tidak lagi bisa digunakan. Dan kesempatan ini sama sekali tidak disia-siakan Bayu.

Sambil berteriak keras menggelegar. Pendekar Pulau Neraka kembali melancarkan serangan yang begitu dahsyat luar biasa. Setiap pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka selalu menimbulkan hempasan angin begitu keras, membuat tubuh Setan Mata Satu selalu limbung. Tapi, laki-laki bermata sebelah itu masih bisa berkelit, menghindari setiap serangan yang datang beruntun itu. Dan sesekali, dia masih bisa memberikan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Tapi ketika Bayu memberi satu pukulan keras ke kepalanya....

"Haiiit..!"

Setan Mata Satu cepat-cepat merunduk menghindari pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka dengan tubuh sedikit terbungkuk. Dan pada saat itu juga, Bayu memutar tubuhnya ke kiri. Lalu dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaah...!"

Begitu cepat serangan Pendekar Pulau Neraka, sehingga Setan mata Satu tidak memiliki kesempatan menghindarinya. Dan tendangan keras Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam perutnya. Membuat si Setan Mata Satu jadi mengeluh dan terbungkuk. Dan Pada Saat Itu juga, Bayu melepaskan satu pukulan dahsyat ke wajah yang buruk penuh luka goresan itu

"Diegkh!
"Akh...!"

Kembali si Setan Mata Satu terpekik, begitu wajahnya terkena hantaman keras Pendekar Pulau Neraka. Dan seketika itu juga, darah muncrat keluar dari mulutnya. Tepat di saat kepala lawannya terdongak ke atas dengan tubuh terhuyung ke belakang, Bayu langsung saja mengebutkan tangan kanannya ke depan, tubuhnya membungkuk sedikit agak miring ke kiri.

"Yeaaah...!"
Slap!

Cakra Maut kembali melesat cepat bagai kilat menyerang si Setan Mata Satu. Sedangkan saat itu, si Setan Mata Satu dalam keadaan tidak menguntungkan. Akibatnya....

Crab!
"Aaaa...!"

Jeritan panjang yang melengking tinggi pun seketika terdengar memenuhi lembah ini, begitu Cakra Maut menembus dada laki-laki bermata sebelah ini. Sementara Bayu cepat melompat ke belakang sambil mengangkat tangannya ke atas. Maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangannya, setelah menembus dada si Setan Mata Satu sampai tembus ke punggungnya.

Tampak si Setan Mata Satu semakin limbung, tidak dapat lagi menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan belum lagi Bayu bisa berbuat sesuatu, Setan Mata Satu sudah ambruk ke tanah dengan memperdengarkan jeritan panjang dan keras menyayat hati. Tubuhnya bergulingan beberapa kali, sebelum berhenti menabrak sebongkah batu sebesar badan kerbau di belakangnya. Sebentar si Setan Mata Satu menggeliat sambil meregang nyawanya.

Sementara, Pendekar Pulau Neraka memandangi dengan tangan terlipat di depan dada. Dan begitu kakinya terayun hendak mendekati, si Setan Mata Satu sudah mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah masih terus berhamburan keluar dari dada dan punggungnya yang tertembus Cakra Maut tadi.

"Hhhh...!"

Bayu menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat setelah yakin kalau si Setan Mata Satu benar-benar sudah tidak bernyawa lagi. Sebentar Pendekar Pulau Neraka memandangi, kemudian tubuhnya berbalik hendak meninggalkan lembah ini.

"Hup! Hiyaaa...!"

Bayu tidak mau berlama-lama berada di dalam Lembah Bunga. Disadari betul bahaya yang bisa saja datang secara tiba-tiba di dalam lembah ini. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna, Pendekar Pulau Neraka berlari cepat meninggalkan lembah ini. Dan dia terus menuju daerah perbukitan, yang membatasi lembah ini dengan dunia sekelilingnya. Dan sebentar saja, Bayu sudah berada di atas bukit yang letaknya di luar dari Lembah Bunga.

"Aku harus kembali ke Desa Pangkar untuk memberitahukan kematian Setan Mata Satu," ujar Bayu dalam hati. Dan Pendekar Pulau Neraka terus berlari dengan kecepatan tinggi menuju Desa Pangkar lagi. Sementara malam pun terus merayap semakin larut, mengiringi kepergian Pendekar Pulau Neraka ke Desa Pangkar lagi.


SELESAI

Episode Selanjutnya SEPASANG BANGAU PUTIH

Setan Mata Satu

Cerita silat serial pendekar pulau neraka
Episode Setan Mata Satu

Karya Teguh S
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



Pendekar Pulau Neraka Episode setan mata satu



SATU

"Aaa...!"

JERITAN panjang melengking terdengar begitu keras memecah kesunyiaan malam yang harusnya sunyi dan tenang. Begitu kerasnya sehingga semua penduduk Desa Kalipasir yang sedang terlelap dalam tidurnya jadi terbangun. Sebentar saja, orang-orang satu persatu mulai keluar dari rumahnya, dengan obor di tangan. Dan kini desa itu pun Jadi terang benderang.

Begitu tiba di jalan utama desa itu, mereka dikejutkan oleh munculnya seorang laki-laki dalam keadaan terhuyung-huyung. Dia tengah berlari sambil mendekap dadanya. Tampak darah mengucur deras dari sela-sela jari tangannya yang mendekap dada. Dan begitu sampai, tubuhnya langsung menggelimpang di depan orang-orang yang baru keluar dari rumah sambil membawa obor.

"Kasdi...?!"

Penduduk Desa Kalipasir itu semakin terkejut, begitu mengenali siapa yang jatuh tersungkur dengan luka menganga di dadanya ini. Mereka semua tahu, Kasdi adalah murid Eyang Jambak, Ketua Padepokan Tongkat Putih yang terletak tidak jauh dari desa Kalipasir. Dan ketika melihat sebuah bintang perak tertanam di kening Kasdi, seketika itu juga merela mundur menjauhi tubuh yang sudah terbujur kaku dengan darah terus mengucur dari dadanya yang terluka cukup besar.

"Pendekar Pulau Neraka..."

Terdengar gumaman-gumaman kecil yang agak tertahan, begitu terlihat sebuah benda berwarna perak berbentuk bintang yang menancap di kening Kasdi. Entah kenapa, mereka begitu takut. Sehingga, tidak seorang pun yang berani mendekati tubuh anak muda yang malang itu. Dan mereka hanya memandangi saja dengan raut wajah pucat. Bahkan tidak sedikit yang kembali masuk ke dalam rumahnya, lalu mengunci pintu rapat-rapat.

"Ayo, kita kembali saja...!" ajak salah seorang, tiba-tiba. Dan seketika itu juga, mereka bergegas kembali ke rumah masing-masing, seperti tidak ingin menghiraukan Kasdi yang sudah tidak bernyawa lagi.

Sebentar saja jalan desa yang tadi ramai, kini jadi sunyi senyap tanpa seorang pun terlihat di sana. Tinggal tubuh Kasdi saja yang terbujur kaku dan semakin dingin di tengah-tengah jalan utama yang agak lembab berembun itu. Namun belum juga para penduduk desa masuk kembali ke dalam rumah masing-masing, dari ujung jalan terlihat seorang laki-laki tua berjalan tergesa-gesa. Jubah putihnya yang panjang berkibar-kibar tertiup angin malam yang cukup dingin ini.

Sementara di belakangnya sekitar dua puluh orang anak muda mengikuti dari belakang. Mereka semuanya tampak menyandang golok di pinggang. Laki-laki tua itu berjalan sambil mengayun-ayunkan tongkat kayu yang bagian atasnya berbentuk bulan berwarna putih. Dan begitu mereka sampai didekat tubuh Kasdi yang sudah terbujur kaku, mereka langsung berhenti.

"Angkat dia...! Bawa ke padepokan," perintah laki laki tua berjubah putih itu. Suaranya terdengar cukup berat.

Tanpa diperintah dua kali, empat orang anak muda yang mengikuti bergegas mendekati Kasdi. Segera digotong dan dibawanya mayat itu pergi dari tempat ini. Sedangkan yang lainnya tetap diam, seperti menunggu perintah selanjutnya. Sementara Itu, dari lubang-lubang di balik jendela rumah-rumah yang ada di sekitar jalan ini, terlihat beberapa bola mata mengintip memperhatikan. Tapi, tidak ada seorang pun yang berani menampakkan diri. Mereka tahu, orang tua berjubah putih yang baru datang itu adalah Eyang Jambak.
Sementara, Eyang Jambak sendiri mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tampak begitu tajam sorot matanya. Sementara bibirnya yang hampir tertutup kumis putih, tampak terkatup rapat. Sedangkan sepasang rahangnya yang keras bertonjolan, tampak bagai sedang menahan amarah yang sangat dalam hatinya. Wajahnya juga terlihat memerah. Sehingga, tidak ada seorang pun dari anak-anak muda yang mengikutinya berani memandang wajahnya.

"Kalian menyebar! Cari Pendekar Pulau Neraka keparat itu...!" perintah Eyang Jambak lagi. "Ingat..! Jangan ada seorang pun yang mengganggu ketentraman penduduk!"

Tanpa ada yang menjawab, murid-murid Padepokan Tongkat Putih itu bergerak cepat, menyebar ke segala arah. Sementara, Eyang Jambak sendiri masih tetap berdiri tegak ditengah-tengah jalan tanah yang membelah desa Kalipasir ini. Pandangannya terus beredar ke sekeliling, dan langsung tertuju pada seorang laki-laki berusia separo baya. Laki-laki berbaju agak lusuh itu, tiba-tiba saja muncul di depan pintu sebuah rumah yang berhalaman tidak begitu besar.

Sebentar Eyang Jambak memandangi. Kemudian melangkah menghampiri. Sementara, orang yang baru keluar dari rumahnya itu berjalan menyeberangi halaman depan rumahnya. Dan mereka bertemu tepat di pintu pagar yang terbuat dari potongan bambu. Beberapa saat mereka terdiam, hanya saling berpandangan.


***


"Maaf... Bukan maksudku mengganggu ketentraman desamu ini, Gataka," ucap Eyang Jambak agak datar nada suaranya.

"Kami merasa tidak terganggu, Eyang," sahut Gataka ramah. "Justru kami senang melihat kedatanganmu di sini." sahut laki laki separo baya yang dipanggil Gataka.

"Kau tahu, ke mana perginya Pendekar Pulau Neraka?" tanya Eyang Jambak langsung.

Gataka hanya menggelengkan kepalanya. "Hmmm...," Eyang Jambak jadi menggumam kecil.

"Tidak ada seorang pun yang melihat kejadiannya, Eyang. Dan lagi, semua penduduk di sini juga sudah tidur," jelas Gataka, seperti tidak ingin ikut terlibat dalam persoalan ini.

"Pembunuh muridku itu harus ditangkap dan dihukum setimpal dengan perbuatannya. Sudah lima orang muridku yang mati di tangannya. Bahkan sudah tiga orang penduduk desa mati dibunuhnya. Aku tidak ingin ada korban lebih banyak lagi. Maka kuharap, kau dan semua penduduk desa ini membantuku menangkap pembunuh itu," ujar Eyang Jambak.

"Kabarnya, Pendekar Pulau Neraka sangat tangguh dan sukar ditandingi, Eyang...," kata Gataka, agak ragu-ragu suaranya.

"Setangguh apapun dia, perbuatannya tidak bisa didiamkan begitu saja. Yang jelas, dia harus mendapat ganjaran setimpal, Hh...! Mana pantas dia menyandang gelar pendekar," terdengar agak tinggi nada suara Eyang Jambak

"Aku dan semua penduduk desa ini akan membantumu, Eyang. Tapi..., mungkin bantuan itu tidak ada artinya bagimu," sergah Gataka, bernada merendahkan diri.

"Justru bantuan penduduk di sini sangat aku perlukan, Gataka," selak Eyang Jambak cepat. "Tanpa bantuan penduduk desamu, rasanya sulit untuk membekuk pendekar murtad itu."

"Lalu, apa yang harus kulakukan untuk membantumu...?" tanya Gataka.

"Amati siapa saja yang masuk ke desa ini. Kalau sikapnya mencurigakan cepat laporkan padaku di padepokan." kata Eyang Jambak meminta.

"Baik, Eyang," sahut Gataka mantap.

Saat itu, murid-murid Eyang Jambak kembali tanpa membawa hasil yang diinginkan. Mereka lalu berkumpul di belakang gurunya Ini. Sementara, beberapa orang penduduk sudah mulai keluar dari rumahnya masing-masing. Tapi mereka hanya berdiri saja di depan pintu, tanpa ada seorang pun yang mendekati. Eyang Jambak kembali mengedarkan pandangan ke sekeliling beberapa saat, kemudian kembali menatap Gataka.

"Kuharap semua ini bisa cepat berhasil, Gataka. Aku tunggu bantuanmu," kata Eyang Jambak.

"Kuusahakan, Eyang," sahut Gataka.

Tanpa bicara lagi, Eyang Jambak berbalik, dan melangkah pergi meninggalkan Gataka seorang diri. Dan murid-muridnya yang berjumlah sekitar tiga puluh orang mengikuti dari belakang tanpa ada seorang pun yang bersuara.

Sementara itu, Gataka terus memandangi sampai mereka lenyap dari pandangan, setelah berbelok ke kanan untuk kembali ke padepokan. Kini Gataka pun bergegas kembali ke rumahnya. Dan orang-orang yang tadi sempat keluar, bergegas masuk kembali ke dalam rumah masing-masing. Kini malam pun sunyi tanpa terdengar ada orang yang berbicara lagi. Hanya desir angin dan gerit binatang malam saja yang terdengar mengisi kesunyian malam.


***


Peristiwa yang terjadi di Desa Kalipasir, membuat Eyang Jambak jadi bertambah sibuk. Kini ketua Padepokan Tongkat Putih itu harus melayani tamu-tamu dari rimba persilatan yang datang ke padepokannya. Mereka sudah mendengar tentang pembantaian orang-orang tak bersalah yang konon dilakukan oleh Pendekar Pulau Neraka yang kini sangat jauh berubah.

Dan sebenarnya tidak sedikit yang menyangsikan kalau semua pembunuhan berantai itu adalah perbuatan Pendekar Pulau Neraka. Terutama, mereka yang sudah mengenal betul akan watak pendekar muda itu. Kesangsian memang tergambar pada wajah orang-orang persilatan yang datang ke padepokan Eyang Jambak. Mereka sengaja memang ingin mencari bukti kebenarannya.

Tapi setelah melihat senjata yang selalu ada pada setiap korban, kesangsian itu semakin dalam menyelimuti mereka semua. Dan kekacauan ini tentu saja membuat tokoh-tokoh golongan hitam jadi senang. Mereka yakin, dengan hasil itu orang-orang persilatan golongan putih akan menjadi pecah. Bahkan bukan tidak mungkin akan saling bunuh hanya untuk membuktikan, apakah Pendekar Pulau Neraka sekarang benar-benar menjadi pembunuh kejam.

Sementara itu jauh di luar Desa Kalipasir, Pendekar Pulau Neraka tengah duduk mencangkung di atas batu di pinggir sungai. Pemuda berwajah tampan yang selalu memakai baju kulit harimau itu begitu asyik mempermainkan permukaan air sungai dengan kakinya. Sementara seekor monyet kecil berbulu hitam, seperti tidak mempedulikan keadaan sekitarnya. Dia begitu nikmat menyantap setandan pisang.

"Sudah makanmu, Tiren...?" tanya Bayu sambil melirik sedikit pada monyet kecilnya.

"Nguk...!"

Tiren menyeringai, memperlihatkan baris-baris giginya yang kecil dan rapih. Kembali binatang itu menikmati makanannya tanpa peduli pada Bayu yang sudah mulai tidak sabar menunggu.

"Sudah sore, Tiren. Kita harus sampai di desa Kalipasir untuk bermalam," ujar Bayu lagi.

"Nguk!"

Tiren mendongakkan kepalanya ke atas, menatap matahari yang saat itu memang sudah tergelincir ke barat Dan sinarnya pun tidak lagi terasa terik seperti tadi. Sementara, Pendekar Pulau Neraka sudah mengeluarkan kakinya dari dalam sungai. Dia melompat turun dari atas batu yang didudukinya, kemudian melangkah menghampiri monyet kecilnya. Sedangkan Tiren jadi mencerecet ribut, seperti tidak suka makannya diganggu. Tapi binatang itu akhirnya melompat juga, dan langsung naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka yang tangannya sudah terulur.

Bayu mengayunkan kakinya pelahan ke arah selatan. Disepaknya sebatang ranting yang menghalangi jalan, dan langsung ditangkap dengan mudah sekali. Lalu, diayun-ayunkannya ranting itu seirama ayunan langkah kakinya. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, Tiren tiba-tiba saja jadi ribut. Binatang itu mencerecet tidak henti-hentinya sambil berjingkrakan di pundak pemuda berbaju kulit harimau ini.

"Diam, Tiren," pinta Bayu agak membentak suaranya.

"Nguk! Craaakh...!"

Tiren bukannya diam, tapi semakin ribut. Dan ini membuat Bayu terpaksa harus menghentikan ayunan kakinya Namun belum juga bisa membuka mulut untuk mendiamkan monyet kecilnya, tiba-tiba saja....

Slap!
"Heh...?! Hup!"

Bayu jadi tersentak, ketika tiba-tiba saja dari arah depan melesat bagai kilat sebatang anak panah yang langsung menuju ke arahnya. Tapi hanya memiringkan tubuh sedikit sambil menarik ke kirinya anak panah itu jadi meleset arah sasarannya. Tepat di saat anak panah itu berada di depan dadanya, tangan Pendekar Pulau Neraka mengibas. Dan...

Tap!
"Hih...!"

Begitu anak panah berada dalam genggaman tangannya, secepat kilat Bayu mengibaskannya kembali ke depan sambil menegakkan tubuhnya. Maka seketika anak panah itu kembali meluncur dengan kecepatan tidak kalah dari datangnya tadi. Begitu cepat lesatannya ke arah gerumbul semak yang tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka Dan begitu menembus semak....

Slak!
"Aaa...!"

Seketika terdengar jeritan panjang yang melengking, disusul munculnya seseorang dari dalam semak belukar dengan sebatang anak panah menembus leher. Orang itu terhuyung sebentar, lalu ambruk terguling keluar dari dalam semak. Sementara, Bayu sudah menurunkan Tiren dari pundaknya. Monyet kecil itu berlari mendekati pohon, lalu naik ke atas sambil mencerecet ribut Kemudian binatang itu nangkring diatas dahan yang rukup besar.

Sedangkan Bayu terlihat berdiri tegak, memandangi tubuh laki-laki yang sudah tidak bernyawa lagi dengan leher tertembus anak panah, tampak pada pinggangnya tergantung sekantung anak panah. Sementara sebuah busur menggeletak tidak jauh dari sampingnya. Pelahan Bayu melangkah menghampiri.

Namun belum juga sampai, kembali terlihat anak panah meluncur deras ke arahnya. Bahkan kali ini bukan hanya satu, tapi puluhan anak-anak panah Itu meluruk dari segala arah mengancam Bayu yang terkesiap. Maka seketika tubuhnya melenting ke atas sambil berputaran.

"Hiyaaa...!"

Diiringi teriakan menggelegar, cepat sekali Bayu mengibaskan tangan kanannya untuk menangkis serbuan anak panah yang datang bagaikan hujan. Puluhan anak panah itu kontan rontok, terkena kibasan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka yang begitu cepat Dan sebentar saja, tidak satu pun anak panah yang terlihat lagi menghujaninya. Bayu kembali menjejakkan kaki di tanah dengan ringan sekali. Sampai-sampai tidak terdengar suara sedikit pun juga saat mendarat.

Sementara keadaan kembali sunyi. Bayu mengedarkan pandangan ke sekeliling, sambil menajamkan pendengaran. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri, kemudian terdengar gumamannya yang begitu pelahan seperti lebah. Malah kedua tangannya sudah mengepal erat. Sekarang dia tahu dirinya sudah terkepung tidak kurang dari tiga puluh orang yang bersembunyi di balik pohon dan gerumbul semak disekitarnya.


***


"Siapa kalian? Keluar...!" teriak Bayu dengan suara keras dan lantang. Begitu kerasnya suara Pendekar Pulau Neraka, sehingga daun-daun di sekitarnya jadi berguguran. Dan memang, Bayu mengeluarkannya dengan pengerahan tenaga dalam sempurna. Tapi teriakan Pendekar Pulau Neraka tidak mendapat sambutan sama sekali. Bayu sendiri hanya bisa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kendati tahu kalau sudah terkepung, tapi Bayu tidak mau berbuat gegabah untuk menyerang lebih dahulu.

Dua langkah Bayu mengayunkan kakinya ke depan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap ke depan. Dan begitu langkahnya berhenti, tiba-tiba saja kaki kanannya dihentakkan ke depan. Seketika sebatang ranting kering yang berada tepat
di ujung kakinya melesat begitu cepat bagai kilat Dan...

Srak!
"Aaa...!"

Kembali terdengar jeritan yang melengking menyayat, begitu ranting yang tersepak kaki Pendekar Pulau Neraka menembus semak belukar di depannya. Tak lama muncul seorang laki-laki dengan leher tertembus ranting kering dari dalam belukar. Tubuh yang cukup besar itu jatuh terguling ke tanah. Hanya sesaat saja dia mampu menggeliat, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi. Mati.

Dua orang sudah menggeletak di depan Pendekar Pulau Neraka dalam keadaan tidak bernyawa. Sementara, Bayu sendiri sudah memutar tubuhnya sedikit ke kiri. Dan kembali kakinya bergerak cepat, menyepak sepotong ranting kering yang berada di ujung jari kakinya. Kembali ranting itu melesat begitu cepat bagai anak panah, dan langsung menembus semak belukar yang ada di sebelah kirinya. Kembali jerit kematian pun kembali menyayat panjang.

Satu orang lagi muncul dengan leher terpanggang sepotong ranting. Bayu hanya memandangi saja dengan sinar mata begitu tajam pada sosok tubuh yang bergelimpangan didepannya dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Darah tampak sudah membanjiri tanah di dalam hutan ini.

"Kalian akan mati kalau tidak keluar...!" teriak Bayu dengan suara keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Suara Pendekar Pulau Neraka menggema kesekitar hutan ini Begitu sempurna tenaga dalam yang dikerahkan Pendekar Pulau Neraka, sehingga membuat tanah di sekitarnya jadi bergetar bagai diguncang gempa. Dan saat itu juga, terlihat seorang laki-laki tua berjubah putih keluar dari balik sebuah pohon yang cukup besar. Sebatang tongkat berwarna putih tergenggam di tangan kanannya seakan jadi penyangga tubuhnya yang sudah agak membungkuk.

"Sudah cukup permainan iblismu, Kisanak...," terasa begitu dingin suara orang tua berjubah putih ini.

"Hm... Siapa kau Orang Tua?" tanya Bayu, tidak kalah dingin.

"Aku Eyang Jambak, ketua Padepokan Tongkat Putih," sahut orang tua berjubah putih itu, memperkenalkan diri.

"Hm...," Bayu hanya menggumam saja pelan.

"Sudah terlalu banyak korban yang kau ambil dari Desa Kalipasir, Pendekar Pulau Neraka. Dan hari ini, kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan iblismu itu," cegat Eyang Jambak.

"Perbuatan apa...?" tanya Bayu tidak mengerti.

"Jangan berpura-pura tidak tahu!" bentak Eyang Jambak kasar.

Bayu jadi tersentak juga mendengar bentakan begitu kasar dari orang tua bernama Eyang Jambak Ini. Tapi keningnya jadi berkerut, memandangi wajah yang kelihatan menegang penuh kebencian itu. Sesaat saja, Bayu langsung bisa menyadari kalau dirinya sekarang berada dalam bahaya. Dan dia tidak tahu, apa yang menjadi sebabnya sehingga orang tua itu begitu membencinya. Bahkan sinar mata laki-laki itu jelas ingin membunuhnya.

"Kau kelihatannya ingin membunuhku, Eyang. Kenapa...?" Bayu meminta penjelasan.

"Rasanya tidak perlu lagi aku menjawab pertanyaan bodohmu itu, Anak Muda. Sekarang, bersiaplah menerima hukuman atas kekejamanmu selama ini!" sahut Eyang Jambak dingin.

Dan begitu kata-katanya selesai, Eyang Jambak langsung saja mengecutkan tongkat putihnya ke depan. Maka seketika itu juga dari ujung tongkatnya meluncur puluhan benda kecil seperti jarum berwarna putih keperakan, yang langsung meluruk deras ke arah Pendekar Pulau Neraka.

"Hup...!"


***


DUA

Tidak ada pilihan lain lagi bagi Bayu, kecuali cepat melenting ke atas. Tubuhnya langsung berputaran beberapa kali cepat sekali, menghindari serbuan jarum-jarum kecil keperakan yang keluar dari ujung tongkat Eyang Jambak. Dan begitu kakinya kembali menjejak tanah, Eyang Jambak sudah melesat cepat bagai kilat disertai kebutan tongkatnya yang tepat mengarah ke bagian kepala Pendekar Pulau Neraka

"Haiiit..!"

Cepat-cepat Bayu merundukkan kepala, sehingga sabetan tongkat ketua Padepokan Tongkat Putih itu hanya lewat sedikit saja di atas kepalanya Namun saat itu juga. Bayu merasakan adanya sambaran hawa panas menyengat di atas kepala, yang rupanya keluar dari sambaran tongkat Eyang Jambak. Cepat Bayu melompat ke belakang sambil memutar tubuhnya dua kali di atas tanah. Lalu, manis sekali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya kembali ke tanah.

Dan pada saat itu, juga Eyang Jambak sudah kembali melancarkan serangan dahsyat Seakan, dia tidak ingin memberikan kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka untuk balas menyerang.

"Hiya! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Eyang Jambak mengebutkan tongkatnya beberapa kali. Ketepatannya begitu tinggi, mengarah ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Dan ini membuat Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan yang begitu cepat dan beruntun tanpa henti.

Sementara, hawa panas di sekitar tubuhnya semakin terasa begitu menyengat, membuat jalan pernapasannya jadi terganggu. Bayu cepat menyadari kalau terus-menerus bertahan seperti ini. Hawa panas yang keluar dari tongkat putih orang tua itu jelas bisa menguras habis udara untuk mengisi paru-parunya.

"Hup!"

Cepat Bayu melentingkan ke atas dan berputaran beberapa kali, tepat di saat tongkat Eyang Jambak mengibas ke arah kakinya. Lalu, manis sekali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kakinya di atas dahan sebuah pohon, tepat di atas kepala Eyang Jambak. Tapi, tampaknya orang tua itu tidak mau kehilangan lawannya. Cepat dia melompat ke depan, dan...

"Yeaaah...!"
Bet!
Prak!
"Heh...?!"

Bayu jadi tersentak kaget, begitu pohon yang dipijaknya seketika bergetar tersabet tongkat Eyang Jambak. Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, pohon itu jadi goyang. Lalu...

"Hup...!"

Cepat-cepat Bayu melenting ketika pohon itu roboh. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian manis sekali menjejak tanah kembali. Agak terbeliak juga kedua bola mata Pendekar Pulau Neraka melihat bagian bawah pohon itu hancur, akibat terkena pukulan dahsyat tongkat putih Eyang Jambak tadi. Dan matanya semakin terbeliak lebar, begitu melihat pohon yang sudah ambruk itu pelahan-lahan hancur jadi debu. Sehingga, bentuk pohon itu tidak lagi terlihat. Yang ada hanya tumpukan debu di atas tanah.

"Gila...! Ilmu apa yang dipakainya...?" desis Bayu dalam hati.

Memang dahsyat tongkat Eyang Jambak. Pohon yang begitu besar dan kuat, bisa hancur jadi debu. Bayu jadi berpikir kalau saja tongkat itu menyentuh tubuhnya. Sulit dibayangkan, apa yang akan terjadi. Mungkin nasibnya sama dengan pohon itu. Sementara Bayu tengah berpikir, Eyang Jambak sudah kembali melancarkan serangan dahsyatnya.

Tubuh orang tua itu meluncur begitu cepat bagai kilat, hingga sulit diikuti mata biasa. Hanya bayangan putih saja yang terlihat berkelebat begitu cepat meluruk deras ke arah Pendekar Pulau Neraka.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat Bayu melenting ke atas, sehingga terjangan Eyang Jambak tidak sampai menyambar tubuhnya. Dan bayangan putih dari jubah yang digunakan orang tua itu berkelebat, lewat di bawah Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat itu juga, Bayu memutar tubuhnya hingga kepalanya berada di bawah. Lalu dengan kecepatan luar biasa Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya ke arah Eyang Jambak yang baru saja berbalik, setelah serangannya gagal. Maka saat itu juga, Cakra Maut yang selalu berada di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat begitu cepat bagai kilat.

"Wusss...!
"Hiyaaa...!"
Bet!

Eyang Jambak langsung mengecutkan tongkatnya, hingga melintang di depan dada, tepat di saat Cakra Maut hampir menghantam dadanya. Sehingga, senjata maut Pendekar Pulau Neraka langsung menghantam tepat bagian tengah tongkat putih orang tua itu.

Tring!
"Heh...?!"

Bayu jadl terbeliak, melihat senjata andalannya terpental balik begitu membentur batang tongkat lawannya. Maka cepat tangan kanannya diangkat ke atas kepala, sehingga Cakra Maut berwarna putih keperakan kembali menempel di pergelangan tangan kanannya.

"Hh!"

Bayu menghembuskan napas berat, sambil menyilangkan tangan kanan di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam memperhatikan gerak kaki Eyang Jambak yang menggeser ke kanan. Sedangkan orang tua itu sendiri mempermainkan tongkatnya di depan dada, lalu diputar cepat sekali, sampai seperti lenyap dari pandangan. Dan yang terlihat kini hanya lingkaran putih yang hampir menutupi seluruh tubuh orang tua itu.

"Hm.... Ilmu apa lagi yang akan digunakannya...?" gumam Bayu bertanya-tanya sendiri dalam hati. Sedikitpun Bayu tidak mengedipkan mata, terus memperhatikan setiap gerak Eyang Jambak. Putaran tongkatnya yang semakin cepat, juga menjadi perhatian Pendekar Pulau Neraka. Dan tanpa disadari, kini jarak mereka sudah begitu dekat. Dan tepat ketika jarak mereka tinggal sekitar lima langkah lagi...

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Eyang Jambak berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga, tongkatnya dikebutkan ke depan, tepat mengarah ke bagian perut Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat hentakan tongkat putih itu, sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk berkelit menghindar. Namun...

"Hih!"

Cepat Bayu menarik tangannya melintang ke bawah, untuk melindungi perutnya dari sambaran longkat putih lawannya. Sehingga tongkat itu tepat menghantam bagian luar pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka ini. Dan...

Trang!

Seketika api memercik, begitu tongkat Ki Jambak beradu keras dengan Cakra Maut Pendekar Pulau Neraka. Lalu saat itu juga, mereka sama-sama melompat ke belakang sejauh beberapa langkah. Dan hampir bersamaan pula, mereka kembali menjejakkan kakinya mantap di tanah. Bayu langsung menempatkan tangan kanannya kuat-kuat di depan ujung jari kakinya. Sorot mata orang tua itu terlihat begitu tajam menatap lurus ke bola mata Pendekar Pulau Neraka yang kini berada sekitar satu batang tombak di depannya. Dan Bayu sendiri membalas pandangan mata itu dengan sorotan yang tidak kalah tajam, beberapa saat mereka saling berpandangan tajam, seakan-akan tengah mengukur sampai sejauh apa tingkat kepandaian masing-masing.


***


Di saat dua orang yang berdiri berhadapan dan saling menatap tajam itu tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing, dari balik semak belukar dan pepohonan di sekeliling tempat ini bermunculan orang-orang bersenjatakan golok di pinggang. Bahkan busur anak panah yang juga dibawa mereka telah terentang di tangan. Di balik ikat pinggang mereka juga bukan hanya golok yang ada, tapi juga sebatang tongkat putih. Mereka langsung mengepung tempat ini dengan panah terpasang di busurnya, siap mengancam Pendekar Pulau Neraka.

Kemunculan murid-murid Eyang Jambak ini membuat Bayu jadi mendengus berat. Pandangannya segera beredar ke sekeliling beberapa saat, memperhatikan sekitarnya yang sudah terkepung rapat dalam waktu sebentar saja. Tidak ada celah sedikit pun untuk dapat meloloskan diri. Sementara, Eyang Jambak sendiri sudah menggeser kakinya ke belakang, menjauhi Pendekar Pulau Neraka Tapi, tatapan matanya tidak lepas dari pemuda berbaju kulit harimau ini.

"Sebaiknya kau menyerah saja, Anak Muda. Tidak ada gunanya melawan. Bukan hanya murid-muridku saja yang mengepung tempat ini. Kalau tak percaya lihat saja sekelilingmu...," ujar Eyang Jambak merasa menang.

Saat itu juga Bayu jadi terkejut, begitu melihat di sekelilingnya yang sudah terkepung oleh tokoh-tokoh persilatan beraliran putih. Dia tahu, mereka yang baru bermunculan itu tidak bisa dianggap sembarangan. Bayu benar-benar merasakan kalau keadaannya sekarang sama sekali tidak menguntungkan. Tapi, pantang baginya untuk menyerah begitu saja.

"Kenapa kalian seperti menginginkan kematianku?! Apa perbuatanku yang merugikan kalian semua...?!" tanya Bayu keras dan lantang.

"Sebaiknya, tanyakan saja nanti di neraka, Anak Muda," sahut Eyang Jambak ketus. Bayu langsung menatap tajam pada orang tua berbaju putih itu.

Memang, Eyang Jambak memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Dan menghadapi orang tua ini saja, Bayu merasa cukup berat. Apa lagi, harus menghadapi tokoh-tokoh persilatan yang begitu banyak, jumlahnya, ditambah murid-murid Eyang Jambak sendiri. Bayu benar benar harus berpikir keras untuk dapat keluar dari kepungan ini.

Tapi dia juga ingin tahu, mengapa mereka sampai memperlakukannya seperti ini...? Padahal, Bayu sama sekali tidak merasa melakukan sesuatu yang merugikan mereka semua. Apalagi dia tidak kenal mereka satu persatu. Tapi, tampaknya orang-orang yang mengepungnya ini benar-benar menginginkan kematiannya.

Bayu juga menyadari, keingintahuannya tidak akan bisa terjawab sekarang ini. Dan satu-satunya jalan, dia harus bisa lolos dari kepungan. Otak Pendekar Pulau Neraka seketika berputar, mencari cara yang tepat untuk bisa lolos dari maut yang begitu sempit kemungkinannya.

"Apapun yang terjadi, aku harus keluar dari tempat ini...," bisik Bayu dalam hati. Sebentar Pendekar Pulau Neraka mengedarkan pandangan ke sekeliling, kemudian matanya bertemu pada Tiren yang kelihatannya begitu ketakutan melihat majikannya terkurung rapat dalam bahaya maut ini. Entah kenapa, Bayu jadi tersenyum melihat monyet kecil yang selalu bersamanya.

"Tiren, kacaukan mereka dari sebelah kanan," bisik Bayu menggunakan suara perut yang disertai pengerahan tenaga dalam.

"Nguk!"

Tiren langsung bisa mendengar bisikan Pendekar Pulau Neraka. Tanpa diminta dua kali, monyet kecil itu langsung saja melompat ke ranting kecil tidak jauh dari tempatnya nangkring tadi. Dan ringan sekali tubuhnya berayun pada ranting, lalu meluruk deras ke arah kanan para pengepung.

"Nguk! Craaak...!"

Sambil menjerit nyaring, monyet kecil itu langsung saja menerkam kepala seorang pengepung yang sama sekali tidak menyadari akan serangan itu. Murid Eyang Jambak itu jadi menjerit, ketika gigi-gigi Tiren yang bertaring sangat tajam mengoyak kulit lehernya. Darah langsung menghambur keluar dari leher yang terkoyak cukup lebar.

"Bagus, Tiren...!" seru Bayu masih menggunakan suara perut. Tiren langsung berpindah ke orang satunya lagi. Dan kembali gigi-giginya yang bertaring sangat tajam itu menghunjam ke leher.

"Craaak...!"

Jeritan pun kembali terdengar begitu menyayat. Serangan Tiren yang cukup cepat dan tidak terduga, membuat keadaan di barisan kanan jadi kacau. Mereka yang cepat tersadar, berusaha menghentikan amukan monyet kecil itu. Tapi, Tiren memang seekor monyet yang sudah terlatih. Dia berlompatan dari satu kepala ke kepala lainnya, sambil berteriak-teriak ribut. Dan kekacauan itu semakin meluas. Sehingga, perhatian hampir semua mang tertumpah pada amukan monyet kecil itu. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan Bayu begitu saja.

"Hup! Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu langsung saja melompat ke arah kanan. Dan tangan kanannya seketika mengibas cepat ke depan. Maka Cakra Maut yang selalu menempel pada pergelangan tangan kanannya langsung melesat begitu cepat bagai kilat.

Wusss!
Crasss!
"Aaa...!"

Satu orang langsung roboh seketika, tersambar Cakra Maut pada lehernya. Sementara, Bayu sudah melepaskan beberapa pukulan beruntun yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Jeritan-jeritan menyayat seketika menggema memenuhi hutan ini, di susul oleh tubuh-tubuh berlumuran darah yang berjatuhan saling susul.

"Hiya! Yeaaah...!"

Sementara Bayu terus berlompatan sambil melontarkan pukulan-pukulan dahsyatnya. Dan begitu mendaratkan satu pukulan terakhirnya, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat cepat ke atas pohon yang cukup tinggi.

"Hup! Yeaaah...!"

Dan hanya dengan menotokkan sedikit saja ujung jari kakinya, Bayu kembali melenting cepat ke pohon satunya. Dan, Pendekar Pulau Neraka terus melesat meninggalkan orang-orang yang mengepungnya. Sementara, Tiren sendiri langsung melompat naik ke atas pohon, begitu melihat Bayu sudah tidak terlihat lagi di tempat ini. Begitu cepat dan ringan gerakannya sehingga dalam waktu sebentar saja sudah lenyap tertelan lebatnya pepohonan di dalam hutan.

"Keparat..!"

Eyang Jambak jadi geram setengah mati, melihat Pendekar Pulau Neraka berhasil lolos dari kepungan yang sangat rapat. Bahkan tidak kurang dari lima belas orang muridnya tidak bernyawa lagi. Sedangkan puluhan orang menderita luka parah. Dalam beberapa gebrakan saja, Bayu berhasil lolos dari kepungan. Bahkan bisa menewaskan lima belas orang, dan melukai puluhan orang pengepungnya.


***


Eyang Jambak hanya dapat menyimpan kekesalannya di dalam hati. Sementara Bayu sudah berada di tempat yang cukup aman dari orang-orang yang menginginkan nyawanya. Larinya baru berhenti setelah dirasakan cukup aman, dan tidak ada seorang pun yang mengejarnya. Bibirnya tersenyum melihat Tiren berayun-ayun pada sulur pohon menghampirinya.

Monyet kecil itu mencerecet ribut sambil melompat ke pundak Pendekar Pulau Neraka. Tampak mulut dan seluruh giginya yang bertaring sangat tajam berlumuran darah. Bayu menepuk kepala monyet itu sambil tersenyum. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri sebuah telaga kecil di tengah hutan ini. Dibersihkannya darah dari mulut monyet kecil itu dengan air telaga yang jernih ini. Juga, senjata cakranya yang berlumuran darah.

"Kau sudah bersih lagi sekarang, Tiren," ujar Bayu seraya tersenyum.

"Nguk!"

Tiren kelihatan senang melihat dirinya tidak lagi berlumuran darah. Monyet kecil naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu hanya tersenyum saja saat merasakan pelukan hangat monyet kecil ini pada lehernya. Lalu kembali kakinya terayun menembus hutan yang sangat lebat ini. Dia tidak tahu lagi, arah mana yang harus dituju. Sementara, matahari sudah menenggelamkan diri di ufuk barat. Kegelapan menyelimuti seluruh hutan ini, membuat langkah kaki Pendekar Pulau Neraka jadi agak terhambat. Tapi, dia terus saja berjalan tanpa tentu arah tujuan.

Belum juga jauh Bayu berjalan menembus kegelapan dalam hutan ini, ayunan langkah kakinya mendadak saja terhenti. Kening Pendekar Pulau Neraka jadi berkerut, melihat secercah cahaya api menyembul keluar dari balik belukar di depannya. Dan seketika, bau harum daging panggang tercium keras di lubang hidungnya, membuat perutnya seketika berbunyi minta diisi. Bayu baru menyadari, sejak siang tadi perutnya memang belum terisi makanan sedikit pun.

"Mudah-mudahan saja bukan orang yang mau membunuhku," gumam Bayu dalam hati.

Setelah memantapkan hatinya, Pendekar Pulau Neraka kembali meneruskan langkah kakinya mendekati api yang terlihat tidak jauh lagi di depannya. Sebentar langkahnya berhenti di dekat gerumbul belukar, kemudian pelahan tangannya mulai menyibakkan belukar itu. Tapi baru saja akan melangkah. tiba-tiba saja....

Bet!
"Upths...!"

Hampir saja ujung sebuah pedang membabat leher, kalau Bayu tidak cepat menarik kepalanya ke belakang. Dan Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat melompat sambil memutar tubuhnya dua kali ke belakang. Lalu pada saat kakinya menjejak tanah, di depannya sudah berdiri seorang gadis cantik. Baju merah muda yang dikenakannya cukup ketat, sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang begitu indah dipandang mata. Sebuah pedang bercahaya keperakan tergenggam erat di tangan kanannya. Ujung pedang itu tepat terarah ke dada Pendekar Pulau Neraka.

"Siapa kau? Dan mau apa mengintipku...?" tegur gadis itu.

"Sabar Nisanak. Aku tidak bermaksud jahat padamu. Aku hanya ingin menumpang bermalam di sini," ujar Bayu menyabarkan.

"Aku tanya siapa kau...?" bentak gadis itu tanpa menghiraukan ucapan pemuda berbaju kulit harimau ini.

"Namaku Bayu," sahut Bayu kalem. "Maaf kalau kehadiranku mengganggu istirahatmu. Sama sekali tidak ada maksud buruk di hatiku. Aku hanya ingin bermalam dekat api yang kau buat"

"Hm...," gadis itu menggumam sedikit dengan kening berkerut. Bola mata indah gadis itu memperhatikan Pendekar Pulau Neraka dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. Kelopak matanya terlihat agak menyipit. Sedangkan Bayu hanya diam saja, tidak merasa jengah sedikit pun dipandangi dengan sinar mata memancarkan kecurigaan.

"Kau pengembara?" tanya gadis itu.
"Benar," sahut Bayu singkat.
"Apa julukanmu?" tanya gadis itu lagi.

"Julukan...? Ah! Aku tidak punya julukan sama sekali," sahut Bayu berdusta.

"Aku tidak percaya! Seorang pengembara pasti memiliki julukan. Dan aku bisa memutuskan kau boleh menumpang atau tidak, dari julukanmu!" tandas gadis itu.

Bayu jadi terdiam mendengar kata-kata bernada tegas dan tidak bisa dibantah lagi. Memang, di dalam rimba persilatan seorang pengembara seperti dirinya pasti memiliki julukan. Dan biasanya, julukan seorang pengembara memiliki arti yang sangat mendalam. Bahkan bisa menunjukkan watak pemilik julukan itu.

"Apakah itu perlu bagimu, Nisanak?" tanya Bayu masih mencoba berkilah. Pendekar Pulau Neraka sadar, sekarang ini julukan yang disandangnya sedang dirusak orang lain. Dan dia sendiri tidak tahu, apa sebabnya. Baru tadi Bayu mendapat kesulitan. Dan untung saja nyawanya selamat. Makanya, Bayu berhati-hati untuk memperkenalkan julukannya pada orang lain yang belum dikenalnya.

"Sebutkan saja julukanmu, Kisanak!" agak membentak suara gadis itu.

"Aku tidak tahu pasti. Tapi orang-orang selalu memanggilku Pendekar Pulau Neraka," sahut Bayu terpaksa juga memberitahu.

Gadis cantik itu terdiam, memandangi pemuda yang berada sekitar lima langkah di depannya. Seakan, dia sedang menilai diri Pendekar Pulau Neraka. Dan pelahan pedangnya ditarik, lalu dimasukkan ke dalam warangka yang tergantung di pinggang. Bayu langsung menarik napas panjang, begitu melihat gadis itu menyimpan kembali pedangnya.

Tanpa berkata apapun juga, gadis cantik berbaju merah muda agak ketat itu memutar tubuhnya. Dan kakinya langsung melangkah menyeruak belukar yang tadi sempat diterjangnya. Sedangkan Bayu masih terdiam beberapa saat, kemudian melangkah juga menembus belukar itu. Bayu melihat gadis itu sudah duduk bersila di depan api unggun yang menyala cukup besar. Dan tidak jauh di sebelah kirinya, terdapat tiga ekor ayam panggang yang cukup gemuk.

Sementara, Bayu hanya berdiri dekat, di sebelah kanan gadis itu. Kakinya baru melangkah, setelah gadis itu merentangkan tangannya sedikit. Bayu mengambil tempat tidak jauh dari panggangan ayam. Bau harum daging ayam panggang itu membuat air liurnya menitik keluar.

"Ambil saja kalau mau. Aku sudah habis satu tadi," kata gadis itu menawarkan.

Tanpa ditawarkan dua kali, Bayu segera mengambil satu. Kemudian, mulai dinikmatinya ayam panggang ini. Bagitu nikmat. Terlebih perutnya memang sudah terasa lapar sejak tadi. Dan sebentar saja, satu ekor sudah dihabiskannya.

"Kalau kurang, ambil saja lagi," gadis itu kembali menawarkan.

"Terima kasih, sudah cukup...," tolak Bayu halus. Bayu membersihkan tangannya dengan daun-daun kering. Lalu dipindahkannya Tiren yang sudah tidur di sampingnya. Kemudian, tubuh monyet kecil itu ditutupinya dengan daun-daun kering yang banyak berserakan di sekitarnya.

Bayu sedikit melirik gadis cantik disebelahnya yang masih tetap duduk bersila seperti sedang bersemadi. Tapi kedua matanya terbuka lebar, menatap api unggun di depannya. Sepertinya, ada yang sedang diperhatikan di dalam api itu.

"Kalau boleh tahu, siapa namamu, Nisanak...?" tanya Bayu dengan nada suara dibuat begitu ramah.

"Lestari," sahut gadis itu singkat, memperkenalkan namanya.
"Kau juga pengembara?" tanya Bayu lagi.
"Bukan."
"Lalu, kenapa berada di dalam hutan ini seorang diri?"

Lestari tidak menjawab. Matanya hanya melirik sedikit saja pada pemuda yang duduk di sebelahnya. Dan Bayu jadi terdiam, tidak mengharapkan jawaban atas pertanyaannya tadi. Dia tahu gadis Itu tidak ingin memberitahu keberadaannya dalam hutan yang sunyi dan lebat ini.

Melihat gadis itu tetap duduk diam seperti sedang bersemadi, Bayu tidak mau mengganggunya. Tubuhnya lantas direbahkan di samping Tiren yang sudah sejak tadi terlelap tidur. Matanya mencoba untuk dipejamkan, tapi tidak juga terlelap tidur. Meskipun sikap gadis ini begitu baik, tapi pada saat sekarang ini, dia tidak mau mudah percaya begitu saja pada orang yang baru dikenalnya.


***


TIGA

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari menampak kan diri, Bayu sudah bangun dan langsung berdiri. Tampak Lestari masih tidur dengan tubuh meringkuk seperti udang. Pendekar Pulau Neraka mengulurkan tangannya pada Tiren yang juga sudah bangun. Monyet kecil itu langsung nangkring di pundaknya. Saat Bayu mematikan api, Lestari menggelinjang bangun dari tidurnya.

Dia langsung bangkit berdiri, memandangi Bayu yang sudah mematikan api. Sementara, cahaya matahari mulai membias di ufuk timur. Begitu lembut cahayanya, saat menyentuh kulit Pelahan Bayu berdiri sambil mengambil sepotong kayu yang cukup kuat.

"Kita berpisah sekarang, Lestari. Terima kasih tumpangannya," ujar Bayu lembut.
"Tunggu...!" sentak Lestari, mencegah.

Bayu yang akan melangkah pergi, terpaksa jagi mengurungkan niatnya. Dipandangi wajah cantik gadis itu dengan kelopak mata agak menyipit.

"Kau harus ikut denganku, Bayu," kata Lestari.
"Untuk apa..? Kalau aku ikut denganmu, hanya akan membuat susah saja, Lestari," Bayu mencoba menolak halus ajakan gadis ini.

"Justru kalau tidak ikut denganku, kau akan jadi susah sendiri," balas Lestari tegas.
"Heh...?! Apa maksudmu, Lestari...?" tanya Bayu agak terkejut.

"Aku tahu siapa kau, Bayu. Kau Pendekar Pulau Neraka yang sedang dicari-cari orang sekarang ini. Kau dituduh pembunuh brutal yang sudah mengambil korban di mana-mana," kata Lestari kalem.

"Kau..., kau tahu...?" kali ini Bayu tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya.

"Sejak kau sebutkan namamu semalam, aku sudah tahu siapa dirimu, Bayu."
"Lalu, apa kau juga ingin membunuhku?"

Lestari hanya tersenyum saja. Kakinya melangkah beberapa tindak ke depan mendekati Pendekar Pulau Neraka. Tangannya terulur pelahan ke arah Tiren. Sedang Bayu hanya diam saja memperhatikan. Lestari mengambil monyet kecil itu dari pundak Bayu, lalu langsung menggendongnya dengan sebelah tangan. Dan ini membuat Tiren jadi manja, menyeruakkan tubuhnya ke dada yang.membusung indah itu. Lestari jadi tersenyum, melihat kenakalan monyet kecil ini.

Sementara Bayu hanya memperhatikan saja dengan berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam kepalanya.

"Semua orang bisa termakan fitnah dan pasti Ingin memburumu, Bayu. Tapi aku sama sekali tidak percaya kalau kau yang melakukan semua kekejaman itu," kata Lestari sambil mengangkat kepalanya menatap wajah Pendekar Pulau Neraka.

"Kenapa kau masih mempercayaiku, Lestari? Sedangkan semua orang sekarang sedang memburuku seperti binatang."

Lestari tidak menyahut. Hanya bahunya diangkat sedikit. Kemudian kakinya terayun melangkah sambil membelai-belai kepala Tiren yang masih berada dalam gendongannya. Sedangkan Bayu masih saja diam, memandangi gadis itu yang semakin jauh meninggalkannya. Kemudian bergegas Pendekar Pulau Neraka menyusul. Dan sebentar saja, dia sudah berada di samping gadis cantik ini.

"Kau tentu punya alasan sampai masih percaya padaku, Lestari...," kata Bayu meminta penjelasan.
"Memang," sahut Lestari singkat.
"Apa alasanmu?" desak Bayu.
"Hanya orang picik yang mau percaya begitu saja, kalau kau yang melakukan semua kekejaman itu. Dan...," Lestari tidak melanjutkan.

"Teruskan, Lestari," pinta Bayu.
"Hanya aku yang tahu, siapa pelakunya," sambung Lestari ringan.
"Kau tahu...?"
Lestari mengangguk saja.
"Siapa?"
"Setan Mata Satu."
"Setan Mata Satu. Apa aku pernah mendengar nama itu...?"

"Mungkin saja, Bayu. Tapi yang penting sekarang, kau harus bisa membersihkan namamu lagi. Carilah si Setan Mata Satu. Karena, dialah yang sebenarnya pelaku pembunuhan keji itu dengan menggunakan senjata seperti milikmu."
"Kenapa dia sampai berbuat seperti itu, Lestari?"

"Sebenarnya, dia memang selalu menggunakan senjata Bintang Perak, seperti yang kau miliki. Sedangkan semua orang sudah tahu, senjatamu adalah Cakra Maut yang juga mirip Bintang Perak. Jadi, jangan salahkan mereka kalau kau sampai dituduh melakukan semua pembunuhan keji itu," jelas Lestari.

"Bagaimana kau bisa tahu semua itu, Lestari?" tanya Bayu meminta penjelasan lagi.

Kembali Lestari tidak menjawab. Bibirnya hanya tersenyum saja tanpa menghentikan ayunan langkahnya. Sedangkan Bayu terus mengikuti, menjajarkan ayunan langkahnya di sebelah kiri gadis ini. Beberapa kali Bayu menatap wajah cantik gadis itu dari samping. Tapi, tampaknya Lestari tidak pernah mau mempedulikan. Dia terus berjalan dengan pandangan lurus kedepan.


***


Tepat di saat matahari berada di atas kepala, Pendekar Pulau Neraka dan Lestari baru keluar dar dalam hutan yang sangat lebat ini. Bayu menghentikan langkahnya, begitu melihat sebuah perkampungan tidak jauh di depannya. Lestari juga berhenti melangkah. Pandangannya tertuju pada perkampungan yang sudah terlihat, tidak jauh lagi di depan. Saat itu, mereka sama-sama berpaling dan langsung saling berpandangan beberapa saat.

Lestari cepat-cepat mengarahkan pandangannya pada perkampungan di depannya. Dan Bayu pun memandang ke arah yang sama. Untuk beberapa saat, mereka terdiam memandangi perkampungan yang kelihatan sunyi, seperti tidak ada penduduknya. Sementara Tiren kini sudah kembali berada di pundak Pendekar Pulau Neraka.

"Kau tahu desa apa itu, Bayu?" tanya Lestari tanpa sedikit pun berpaling pada pemuda di sebelahnya.

Sebentar Bayu memandang ke arah perkampungan didepannya, kemudian berpaling. Langsung ditatapnya wajah cantik Lestari di sampingnya. Namun gadis itu tetap mengarahkan pandangannya ke depan, seakan tidak tahu kalau Bayu memandanginya.

"Tidak," sahut Bayu sambil memalingkan wajah ke depan lagi.
"Desa itu sekarang tidak lagi berpenghuni," jelas Lestari.
"Kenapa?" tanya Bayu seperti orang bodoh.
"Dihancurkan."
"Dihancurkan...?!"

Agak berkerut kening Pendekar Pulau Neraka mendengar desa di depannya kini tidak lagi dihuni. Kembali ditatapnya wajah cantik di sebelahnya, lapi yang dipandangi tetap saja mengarahkan pandangannya ke depan. Bayu merasakan ada sesuatu yang terjadi di dalam hati gadis ini. Dugaannya pasti ada satu kenangan yang tidak bisa terlupakan gadis Ini pada desa itu.

"Siapa yang melakukannya, Lestari?" tanya Bayu jadi ingin tahu.
"Pendekar Pulau Neraka," sahut Lestari pelan.

Jelas sekali kalau suara gadis itu ditahan. Malah ada sedikit tekanan yang begitu sendu. Bayu semakin bertambah yakin kalau Lestari memiliki kenangan tersendiri di desa itu. Entah sadar atau tidak, terlihat kedua bola matanya yang bulat dan bening Itu mulai berkaca-kaca. Tapi, rupanya Lestari cepat menyadari. Maka cepat-cepat wajahnya berpaling ke arah lain. Sehingga pemuda itu tidak dapat lagi leluasa memandanginya.

Tapi Bayu tahu kalau ada kedukaan dalam hati gadis ini. "Kau yakin aku yang melakukan semua itu, Lestari? Sedangkan aku tidak tahu, apa nama desa Itu. Malah belum pernah datang ke sana. Jadi bagaimana mungkin kau bisa mengatakan aku yang menghancurkan desa itu?!" agak ditekan nada suara Bayu.

"Itulah yang tidak kumengerti, Bayu. Semua orang begitu percaya kalau kau sekarang sudah berubah menjadi iblis pembunuh. Tapi hanya aku yang tahu, siapa pelaku sebenarnya," kata Lestari pelan.

"Setan Mata Satu..?" tebak Bayu, menduga.
"Benar. Hanya dia yang bertanggung jawab. Bayu. Setan Mata Satu Iah pelaku sebenarnya."
"Dari mana kau tahu, Lestari?" tanya Bayu, menyelidik.

"Aku pernah melihatnya ketika...," Lestari tidak melanjutkan.
"Ketika apa, Lestari?" desak Bayu.
"Waktu dia..., dia membunuh kedua orangtua ku," sahut Lestari tidak dapat lagi menyembunyikan kedukaannya.

"Kau berasal dari desa itu, Lestari?" tebak Bayu langsung. Lestari hanya mengangguk kepala saja, dan tidak dapat lagi menyembunyikan air matanya yang seketika jatuh menitik membasahi pipinya yang putih kemerahan. Sementara, Bayu tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Pemuda itu memang paling tidak bisa menghadapi wanita yang menangis ditelan kedukaan.

Pendekar Pulau Neraka hanya bisa diam, dengan pikiran tidak menentu. Entah apa yang ada dalam benak Pendekar Pulau Neraka sekarang. Dia tahu, keadaan dirinya tidak lagi bisa aman di mana pun dia berada. Kini hanya Lestari saja yang percaya kalau bukan dia yang melakukan semua pembunuhan keji Ku. Tapi semua orang... Bahkan tokoh-tokoh persilatan pun sudah menuduhnya. Malah kemarin, hampir saja nyawanya melayang dikepung rapat dalam hutan. Kalau saja tidak ada Tiren yang membantu membuka jalan, entah bagaimana nasibnya sekarang. Bayu sadar, semua kesulitan yang harus dihadapinya sekarang tidak mudah terhapus begitu saja. Tidak mudah membersihkan nama yang sudah terlanjur cacat seperti ini.

"Semula aku sudah bertekad untuk membalas kematian orangtuaku padamu, Bayu. Tapi setelah bertemu denganmu...," kembali Lestari tidak bisa melanjutkan.

"Kau melihat Setan Mata Satu mirip denganku...?" tanya Bayu.
"Bukan kau yang melakukannya, Bayu. Aku masih ingat betul, bagaimana orangnya," sahut Lestari.

"Yaaah..., inilah sulitnya kalau punya senjata yang mudah ditiru orang lain." desah Bayu bernada mengeluh.

"Aku rasa, kau masih bisa membersihkan namamu. Bayu. Dengan menemukan Setan Mata Satu, orang tidak akan lagi menuduhmu," kata Lestari memberikan harapan.

"Tapi itu sulit, Lestari. Mereka semua sudah menuduhku begitu," terdengar agak mengeluh nada suara Bayu.

"Aku akan membantumu, Bayu. Tapi kau juga harus membantuku," kata Lestari tegas.

"Tentu saja. Kita akan saling membantu nanti," sambut Bayu seraya tersenyum.
"Kau ingin lihat senjata si Setan Mata Satu itu. Bayu?" Lestari menawarkan.
"Kau punya?" tanya Bayu.

"Banyak, di sana," sahut Lestari menunjuk ke arah desa didepannya.
"Baiknya kita ke sana, Lestari. Barangkali saja ada sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk," ajak Bayu.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka bergegas melangkah ke desa kelahiran Lestari yang sudah ditinggalkan penghuninya. Mereka berjalan tanpa ada yang berbicara lagi. Sementara, sesekali Bayu melirik gadis yang berjalan di sampingnya. Bisa dirasakannya kepedihan yang dirasakan Lestari saat ini. Duka yang begitu mendalam dan sulit dilupakan begitu saja.


***


Bayu memandangi Bintang Perak di atas telapak tangan kanannya. Memang, sama persis seperti yang pernah dimilikinya. Cakra Maut yang tidak pernah lepas dari pergelangan tangan kanannya. Begitu geram Pendekar Pulau Neraka melihat senjata yang begitu sama persis dan kini menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.

Tanpa sadar, Bayu meremas benda berbentuk bintang keperakan itu disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sehingga, senjata bintang itu hancur jadi debu dalam genggaman tangannya. Sementara, Lestari hanya memperhatikan saja. Dia tahu, hati Pendekar Pulau Neraka tengah berselimut api kemarahan yang tidak bisa ditakar lagi.

"Ayo kita pergi," ajak Bayu dengan kaki langsung terayun melangkah.

Lestari tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Diikutinya ayunan langkah kaki Pendekar Pulau Neraka meninggalkan desa ini. Agak kewalahan juga gadis itu mensejajarkan langkahnya di samping Bayu yang berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna tingkatannya. Dan ini membuat Lestari sesekali harus berlari kecil untuk mengimbanginya.

"Bayu...!" seru Lestari tiba-tiba memanggil.

Bayu langsung menghentikan langkahnya. Dan tepat saat itu juga, tampak puluhan orang sudah berdiri menghadang didepan. Lestari juga ikut berhenti melangkah. Memang gadis itu yang melihat lebih dulu. Entah, berapa jumlah orang yang menghadang di depan jalan itu. Bahkan mereka semua membawa senjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran.

"Siapa mereka?" tanya Bayu sambil melirik sedikit pada gadis di sebelahnya.
"Aku tidak tahu," sahut Lestari.
"Bukan penduduk desa ini?"

"Tidak ada lagi seorang pun yang hidup di sini."

"Hmmm..."
Sebentar mereka terdiam.
"Tidak ada yang kau kenal di antara mereka?" tanya Bayu lagi.

Lestari hanya menggelengkan kepala saja. Bayu sendiri tidak tahu, siapa mereka yang menghadang di depan itu. Tapi dari sikapnya, sudah bisa ditebak kalau mereka sama sekali tidak menunjukkan persahabatan. Bahkan dari senjata yang dibawa, jelas sekali kalau mereka menginginkan kematian Pendekar Pulau Neraka.

"Seberapa jauh kau menguasai ilmu silat?" tanya Bayu pelan.

"Cukup untuk menghancurkan dua puluh orang begundal," sahut Lestari tanpa ada rasa tersinggung sedikit pun oleh pertanyaan Pendekar Pulau Neraka.

"Kita harus menembus mereka, Lestari"
"Apa tidak ada jalan lain lagi?" tanya Lestari, merasa tidak mungkin menghadapi orang begitu banyak.
"Tidak," sahut Bayu seraya menggeleng.

Lestari hanya mengangkat bahunya saja sedikit. Memang sulit menembus penghadang itu, walaupun diketahui Pendekar Pulau Neraka bukanlah orang sembarangan. Tapi walau bagaimanapun juga, tetap saja Pendekar Pulau Neraka manusia yang memiliki kelemahan dan keterbatasan. Lestari menyadari kalau tidak mungkin menghadapi penghadang itu hanya berdua saja.

Sementara, orang-orang yang menghadang itu sudah mulai bergerak mendekati. Dari raut wajah mereka yang tegang, sorot mata yang tajam penuh kebencian, rasanya mereka tidak akan mungkin bisa diajak damai lagi. Dan Bayu bisa merasakan kalau mereka tentu tidak akan puas sebelum melihat darahnya menyembur keluar.

Kini jarak mereka pun semakin dekat saja. sementara, Bayu sendiri belum punya satu cara untuk bisa menembus hadangan itu. Lestari sendiri tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Pelahan gadis itu melangkah mundur. Sementara, Bayu sendiri masih tetap berdiri tegak di tempatnya.

"Seraaang...!"
"Bunuh manusia iblis itu...!"

Bersama terdengarnya teriakan yang begitu keras, seketika itu juga mereka berlarian bagai banteng liar menyerbu Pendekar Pulau Neraka. Mereka berteriak-teriak, sambil mengayun-ayunkan senjata di atas kepala. Sementara, Bayu tetap berdiri tegak memandangi orang-orang yang meluruk deras ke arahnya tanpa berkedip sedikit pun lima. Dan begitu jarak mereka benar-benar sudah dekat...

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu menyebutkan tangan kanannya ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk. Maka saat itu juga Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan kanannya melesat cepat bagai kilat, dan langsung menyambar salah seorang yang berada paling depan.

"Aaaa...!"

Jeritan yang panjang dan menyayat mulai terdengar bersama ambruknya orang itu. Sementara, Bayu cepat menghentakkan tangan kanannya, sehingga Cakra Maut yang sudah mengambil satu korban, kembali melesat balik ke arahnya. Lalu...

"Yeaaah...!"

Kembali Bayu menghentakkan tangan kanannya, sebelum Cakra Maut menempel lagi di pergelangannya. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka kembali melesat cepat bagai kilat. Maka jeritan pantang pun kembali terdengar, disusul ambruknya satu orang lagi.


***


EMPAT

Diiringi teriakan menggelegar, beberapa kali Bayu menghentakkan tangan kanannya sambil berlompatan, mencoba menahan arus gempuran para penghadangnya. Dan korban pun terus berjatuhan mengiringi jeritan-jeritan panjang melengking yang begitu menyayat. Dalam waktu yang tidak berapa lama saja, sudah lebih dari sepuluh orang bergelimpangan berlumuran darah. Tapi, mereka seakan tidak mengenal gentar. Meskipun dengan gerak agall terhambat, mereka terus maju mendekati Pendekar Pulau Neraka.

Walaupun mereka terus merangsek tanpa mengenal rasa takut, tapi Bayu tidak gentar sedikit pun. Cakra Mautnya terus dilontarkan sambil melangkah mundur menjauh. Sementara, tidak jaun di belakangnya Lestari sudah siap dengan pedang di tangan kanan. Gadis ini jadi kagum juga melihat ketangkasan Bayu dalam melemparkan Cakra Mautnya, menghadang arus serangan orang-orang itu.

"Aku harus bertindak sebelum dia kehabisan! tenaga," gumam Lestari, bicara pada diri sendiri.

Tapi gadis ini agak kebingungan juga, karena tidak mungkin menerjang maju menyerang orang-orang itu. Dan ketika matanya menangkap sebuah Bintang Perak yang tergeletak tidak jauh darinya, bibirnya langsung menyunggingkan senyum. Memang cukup banyak Bintang Perak di sekitarnya. Maka tanpa berpikir panjang lagi, Lestari langsung memunguti Bintang-bintang Perak itu. Dan begitu terkumpul cukup banyak, tanpa membuang-buang waktu lagi, dia langsung melompat ke samping. Lalu...

"Hiyaaa...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Lestari melemparkan bintang-bintang Perak itu ke arah orang-orang yang terus merangsek maju mendekati Pendekar Pulau Neraka. Lemparan Lestari rupanya membawa pengaruh besar juga. Bintang bintang perak itu menghambur bagai hujan yang ditumpahkan dari langit, sehingga jeritan-jeritan panjang semakin sering terdengar. Dan tubuh-tubuh berlumuran darah pun semakin banyak yang ambruk bergelimpangan.

"Hiya! Yeaaah...!"

Lestari terus melontarkan Bintang-bintang Perak itu, seperti tidak pernah kehabisan. Dan memang begitu banyak Bintang Perak bergeletakan di sekitarnya. Padahal, justru tindakannya membuat nama Pendekar Pulau Neraka itu menjadi semakin rusak. Tindakan Lestari rupanya membawa hasil juga. orang-orang itu merasa tidak ada gunanya terus mendesak. Sementara, jumlah mereka semakin berkurang saja. Hingga akhirnya, mereka berhenti bergerak dan malah melangkah mundur menjauhi.

Sementara Bayu sudah berhenti melemparkan Cakra Mautnya. Senjata andalannya itu kini sudah kembali menempel di pergelangan tangannya. Dan Lestari juga sudah tidak lagi melemparkan Bintang-bintang Perak, setelah orang-orang yang menyerang sudah cukup jauh jaraknya. Gadis itu bergegas menghampiri Bayu yang masih berdiri tegak di tengah jalan.

"Ayo kita pergi," ajak Lestari.
"Ke mana? Mereka masih menunggu, Lestari,� sahut Bayu bertanya.
"Ke sana," Lestari menunjuk ke arah hutan.

"Kembali lagi ke hutan sana...?" terang Bayu jadi berkerut.

"Tidak ada jalan lain lagi, Bayu. Hanya itu jalan satu-satunya untuk selamat. "

Bayu jadi terdiam. Memang tidak salah jalan pikiran Lestari. Hanya lewat hutan tempat mereka datang itulah jalan satu-satunya untuk bisa selamat. Sementara, jalan yang akan dilalui kini masih juga dihadang begitu banyak orang yang ingin membunuh Pendekar Pulau Neraka. Tapi di dalam hutan itu, mereka juga akan bertemu orang-orang yang ingin melenyapkan Pendekar Pulau Neraka. Dan itu yang menjadi pemikiran Bayu, walaupun disadari tidak ada lagi tempat aman baginya. Semua orang kini sedang memburunya bagai binatang. Ke mana pun pergi, pasti akan berhadapan dengan mereka yang menghendaki kematiannya.

"Huh! Ini semua gara-gara si Setan Mata Satu keparat itu...!" dengus Bayu kesal dalam hati. Kekesalan hati Bayu memang tidak bisa lagi ditakar.

Baginya, hanya ada satu cara untuk membersihkan namanya kembali. Setan Mata Satu lah ynng harus bertanggung jawab! Dan Bayu tidak ingin terus-menerus menjadi buruan bagai binatang berbahaya yang harus dimusnahkan. Maka terpaksa dia harus mengikuti Lestari meninggalkan desa ini, kembali ke dalam hutan. Hanya gadis itu saja yang percaya kalau dirinya bukan pembunuh brutal dan keji, yang selama ini sudah meminta korban begitu banyak.


***


Malam yang begitu indah, sama sekali tidak dapat dinikmati Bayu. Bulan tampak bersinar penuh, memancarkan cahaya kuning keemasan yang lembut menyapu kulit. Langit tampak cerah bertaburkan bintang-bintang gemerlapan, menambah indahnya suasana malam ini. Tapi, keindahan malam sama sekali tidak bisa menghibur hati Bayu yang terus-menerus diliputi kegundahan. Kemarahan memang begitu menguasai hati Pendekar Pulau Neraka. Malah sejak siang tadi, makanan yang disediakan Lestari sedikit pun tidak disentuhnya.

"Apa yang kau pikirkan.Bayu?" tegur Lestari sambil menambahkan ranting ke dalam api yang dibuatnya.

Bayu tidak menjawab. Kepalanya berpaling saja sedikit, menatap gadis itu. Kemudian pandangannya kembali tertuju ke kaki bukit. Tampak di bawah sana kerlip lampu rumah-rumah penduduk Desa Kalipasir terlihat jelas.

"Aku bisa merasakan kesulitanmu sekarang ini Bayu. Tapi bila hanya berdiam diri dan terus berpikir, tidak akan menyelesaikan masalah begitu saja Kau harus bertindak lebih cepat lagi dalam mencari si Setan Mata Satu. Hanya dia yang bisa meluruskan dan membersihkan namamu," kata Lestari lagi mencoba menasehati.

"Kau tahu, di mana si Setan Mata Satu sekarang berada?" tanya Bayu tanpa berpaling sedik pun.

"Sulit untuk bisa menemukannya, Bayu. Dia tidak punya tempat tinggal tetap, dan akan pergi sesuka hatinya. Bahkan terus akan menyebarkan malapetaka di mana dia berada. Semakin banyak membunuh orang dengan senjata Bintang Peraknya, semakin sulit bagimu untuk bergerak lagi, Bayu. Semua orang tentu tidak akan menduga lagi tapi langsung memburumu untuk kemudian dibunuh. Apa kau akan merelakan nyawamu begitu saja, Bayu..?"

"Tidak akan ada seorang pun yang bisa menyentuh tubuhku," desis Bayu agak dingin nada suaranya.

揔alau begitu, secepatnya kau harus bisa menemukan si Setan Mata Satu itu," desak Lestari.

"Itu yang sedang menjadi beban pikiranku, Lestari. Sedangkan sampai sekarang, aku tidak tahu keberadaan Setan Mata Situ," kata Bayu seraya berbalik.

Pendekar Pulau neraka melangkah menghampiri gadis cantik ini, kemudian menghempaskan tubuhnya di sebelah kanannya. Lestari menggeser duduknya sedikit, menjauhi Pendekar Pulau Neraka. Lalu kembali ditambahkannya sepotong ranting kayu dalam api. Sementara, Bayu sudah merebahkan tubuhnya di atas tumpukan daun-daun kering. Tidak jauh di sebelahnya, Tiren sudah melingkar terlelap dalam buaian mimpi. Begitu lelap tidur monyet kecil ini, sehingga Bayu tidak mau mengusiknya. Matanya hanya melirik sedikit pada Lestari yang masih tetap duduk bersila dekat api unggun yang menyala cukup besar.

"Kau tidak tidur, Lestari?" tanya Bayu. Lestari hanya berpaling sedikit dan tersenyum menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka. Gadis itu masih saja duduk bersila, seperti sedang bersemadi. Dan kembali pandangannya terarah ke api unggun, seakan-akan ada yang menarik dalam kobaran api itu. Sedangkan Bayu sudah mulai memejamkan matanya. Tapi baru saja kelopak matanya terpejam, tiba tiba saja...

"Suiit..!"
"Heh...?!"

Bayu jadi tedonjak kaget, begitu tiba-tiba terdengar siulan nyaring melengking tinggi. Bahkan sampai membuat telinganya seketika jadi terasa sakit dan berdenging. Bagitu terkejutnya, sampai! sampai Pendekar Pulau Neraka bangkit berdiri!

Sementara Lestari tetap duduk bersila tidak bergeming sedikit pun. Seakan, suara siulan itu tidak mengganggu sama sekali. Dan ini membuat Bayu yang sempat melirik pada gadis ini jadi berkerut keningnya.

"Kau tidak dengar siulan itu, Lestari?" tanya Bayu dengan kening masih berkerut memandangi gadis itu.

"Dengar," sahut Lestari singkat.
"Kenapa diam saja?" tanya Bayu lagi.
"Untuk apa..?" Lestari malah balik bertanya! sambil mengangkat wajahnya sedikit, menatap Pendekar Pulau Neraka.

"Untuk apa...? Kau tahu, Lestari. Keadaan kita sekarang dalam bahaya. Mungkin kau tidak. Tapi aku...." Bayu jadi agak mangkel juga mendengar kata-kata Lestari yang sepertinya tidak peduli terhadap keadaan yang sedang dihadapi sekarang ini.

"Siulan itu tidak ada arti apa-apa, Bayu. Tenang saja...," kata Lestari kalem.

Bayu jadi terdiam. Dia teringat ketika masa-masa baru keluar dari Pulau Neraka, setelah gurunya meninggal dunia. Setiap kali muncul untuk membalas dendam pada pembunuh-pembunuh orangtuanya, memang selalu didahului siulan melengking yang menyakitkan telinga. Dan sekarang, Bayu mendengar siulan yang sama. Dan suara itu kini jadi membuat hatinya gundah.

Sedangkan Lestari tetap saja duduk bersila bersemedi tenang, seakan tidak mempedulikan kegelisahan hati Pendekar Pulau Neraka. Bahkan kini kelopak matanya terpejam rapat, membuat bulu matanya yang lentik semakin terlihat indah. Namun kecantikan dan keindahan gadis itu sama sekali tidak membuat Bayu berpaling dari persoalan yang sedang dihadapinya sekarang ini. Dia masih berdiri tegak dengan kepala sebentar bergerak ke kanan, dan sebentar kemudian ke kiri. Dicobanya untuk mencari arah sumber siulan yang didengarnya tadi.

"Hh! Mungkin benar kata Lestari...," gumam Bayu bicara sendiri dalam hati. Baru saja Bayu hendak tidur lagi, tiba-tiba saja...

Seketika hati Bayu jadi terkesiap begitu mendengar hembusan angin begitu keras datang dari arah belakangnya. Dan begitu kepalanya berpaling, terlihat kilatan cahaya putih keperakan meluncur deras kearahnya. Seketika, darah Pendekar Pulau Neraka jadi berdesir cepat. Dan...

"Hih!"
Tring!

Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk berkelit menghindar. Cepat tangan kanannya ditarik ke depan dada. Sehingga, kilatan cahaya putih keperakan itu membentur tepat pada bagian pergelangan tangan kanannya yang terdapat senjata Cakra Maut persegi enam. Kilatan cahaya putih keperakan itu kontan terpental balik dengan cepat. Dan pada saat yang bersamaan, Bayu juga jadi terdorong ke belakang dua langkah. Agak terkejut juga hatinya merasakan hempasan tenaga yang begitu kuat dari kilatan cahaya putih keperakan tadi. Bahkan pergelangan tangannya jadi terasa bergetar dan sedikit nyeri.

"Hup...!"

Pendekar Pulau Neraka langsung melompat, mengerahkan Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai pada tingkat kesempurnaan. Begitu cepatnya, hingga dalam waktu sekejapan mata saja tubuhnya sudah berada dekat dengan sebuah pohon yang sangat besar.

"Hm..."

Kening Bayu jadi berkerut, begitu melihat sebuah benda berbentuk bintang persegi enam yang berwarna putih keperakan menancap begitu dalam pada batang pohon didepannya. Namun belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa berpikir lebih jauh lagi, kembali dikejutkan oleh terdengarnya hembusan angin keras dari arah belakang. Maka cepat tubuhnya diputar berbalik. Dan...

"Hup! Yeaaah...!"

Terpaksa Bayu harus berjumpalitan di udara, menghindari serbuan Bintang-bintang Perak yang datang begitu deras menghujaninya. Entah, berapa puluh senjata bintang itu menghambur menghujani Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu terus berjumpalitan menghindarinya, sambil sesekali mengebutkan tangan kanannya, mencoba menghalau Bintang-bintang Perak yang terus menghujaninya. Cakra Maut yang biasanya berada di pergelangan tangan kanannya, kini berada dalam genggamannya. Hampir-hampir Pendekar Pulau Neraka tidak pernah menjejakkan kakinya di tanah. Bintang-bintang Perak itu terus menghujaninya bagai tidak akan pernah berakhir. Pepohonan di sekitarnya sudah penuh tertembus Bintang-bintang Perak.

Sementara Bayu masih terus berjumpalitan di udara untuk menghindari serangan gelap yang tidak ketal huan arahnya. Dan di saat Pendekar Pulau Neraka mulai tampak kewalahan, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan merah muda, diikuti kilatan cahaya putih keperakan yang menghalau Bintang-bintang Perak itu. Bibirnya jadi tersenyum melihat Lestari cepat membantunya, membuat ruang gerak Bayu jadi lebih leluasa lagi. Dan begitu mendapat kesempatan, cepat sekali melenting tinggi. Dan seketika kedua tangannya dikebutkan cepat luar biasa sambil berteriak keras menggelegar.

"Hiyaaa...!"
Bet!
Wuk...!

Entah bagaimana caranya, Bayu berhasil menangkap beberapa Bintang Perak itu, dan langsung dilemparkan ke segala arah. Bintang-bintang Perak itu berbalik arah, menembus semak dan kegelapan malam yang sedikit berkabut ini. Tepat di saat itu juga, serbuan Bintang-bintang Perak itu berhenti seketika. Lalu manis sekali Bayu kembali menjejakkan kakinya di tanah, tepat di sebelah kiri Lestari yang sudah melintangkan pedangnya di depan dada.

"Tidak ada apa-apa katamu, he...?!" dengus Bayu agak mendongkol hatinya. Pendekar Pulau Neraka melirik sedikit pada lestari di sampingnya dengan sinar mata cukup tajam. Sedangkan Lestari seperti tidak tahu akan lirikan tajam Pendekar Pulau Neraka. Pandangannya beredar ke sekeliling dengan bola mata terbuka lebar, seperti ingin menembus kegelapan malam yang begitu pekat. Tapi, tidak seorang pun terlihat disekitarnya.

"Maaf, Bayu. Aku tidak tahu kalau..." Belum juga habis kata-kata yang diucapkan lestari, tiba-tiba saja terdengar tawa yang begitu keras menggelegar mengejutkan. Suaranya menggema bagai datang dari segala arah. Rasanya sulit ditentukan, dari mana datangnya suara tawa yang keras menggelegar itu.

"Kau kenali suara itu, Lestari?" tanya Bayu.
"Setan Mata Satu," sahut Lestari pelan.

Bayu sempat melirik gadis itu sedikit, ketika suara Lestari agak bergetar saat menyebut si Setan Mata Satu tadi. Jelas sekali kalau ada getaran dalam hari Lestari, yang menunjukkan dendam mendalam di hatinya. Belum lagi suara tawa itu menghilang dari pendengaran, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat bagai kilat ke arah Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepatnya, sampai seluruh darah di dalam tubuh bayu jadi berdesir dan jantung seakan jadi berhenti berdetak.

"Hap...!"

Cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan, sambil menarik kakinya sedikit ke kanan juga. Sehingga, bayangan putih itu lewat sedikit saja di samping tubuh Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat itu juga Bayu cepat berbalik, tepat di saat bayangan putih itu juga berputar berbalik, dan langsung meluruk deras ke arahnya.

"Hup! Yeaaah...!"

Kali ini Bayu tidak lagi sungkan-sungkan menghadapinya. Sambil berteriak keras menggelegar! Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas seraya! melepaskan satu pukulan keras disertai pengarahan! tenaga dalam sempurna, tepat di saat bayangan putih itu lewat di bawah tubuhnya yang sedikit berputar ke bawah. Tapi...

"Uphs...?!"

Bayu jadi terkejut juga, melihat bayangan putih itu berkelebat begitu cepat ke lain arah. Sehingga pukulannya tidak sampai mengenai sasaran. Cepat tubuhnya meluruk turun dan menjejakkan kakinya! kembali di tanah dengan gerakan indah dan ringani sekali. Dan pada saat itu juga, tangan kanannya dikibaskan ke depan dengan tubuh sedikit miringi ke kiri agak membungkuk

Wusss...!

Seketika Cakra Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat mengejar bayangan putih yang saat itu baru saja berputar berbalik arah. Terjangan Cakra Maut itu membuat bayangan putih itu jadi cepat melesat ke atas.

"Hup!"

Saat itu juga, Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas. Sehingga senjatanya langsung berputar balik ke arahnya. Dan begitu hendak menempel di pergelangan tangan kanannya lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung menghentakkan ke depan, tepat mengarah ke bayangan putih itu lagi Cakra Maut kembali melesat begitu cepat disertai desir angin yang menggiris hati siapa saja yang mendengarnya.

"Shaaa...!"

Melihat Cakra Maut kali ini juga tidak bisa tepat mengenai sasaran, Pendekar Pulau Neraka langsung saja melompat sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Bagitu cepat dan hampir bersamaan serangannya, sehingga bayangan putih itu tidak dapat lagi berkelit. Dan...

Dugkh!
"Akh...!"
"Hup...!"

Bayu cepat-cepat melenting dan berputar ke belakang, begitu merasakan pukulannya menghantam bayangan putih itu. Indah sekali gerakannya. Lalu begitu kedua kakinya kembali menjejak tanah dengan ringan, langsung tangan kanannya diangkat ke atas. Maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka Dan tepat pada saat itu, terlihat seseorang berpakaian serba putih yang ketat terhuyung-huyung ke belakang, sambil memegangi dadanya dengan tangan kiri.

Laki-laki berpakaian serba putih itu masih berusia muda. Mata kirinya tampak tertutup kulit hitam yang diikatkan ke belakang kepalanya. Di belakang punggung, menyembul sebuah gagang pedang yang bagian ujungnya berbentuk tengkorak manusia sebesar kepalan tangan. Walaupun usianya masih cukup muda, tapi goresan-goresan bekas luka di wajah membuatnya kelihatan lebih tua daripada usianya.

Dan sebelah matanya yang tertutup membuat dirinya kelihatan lebih menyeramkan. Dari sinar mata kanannya, terlihat cahaya kekejaman dan nafsu membunuh yang begitu memuncak.

"Kau yang bernama Setan Mata Satu?" tanya Bayu agak dingin suaranya.
"Benar," sahut laki-laki bermata satu itu.

"Tindakanmu benar-benar memalukan, Kisanak Apa kau tidak menyadari, kalau tindakanmu merugikan namaku...?" terdengar sengit nada suara Bayu.

"He he he he...! Justru itu yang kuharapkan. Pendekar Pulau Neraka," sahut Setan Mata Satu sambil terkekeh.

"Beleguk! Kau tahu apa akibatnya, heh...?!" Bayu jadi geram setengah mari mendengar jawaban yang begitu ringan. Seakan-akan si Setan Mata Satu itu tidak merasa bersalah apa-apa atas tindakannya yang merusak nama baik Pendekar Pulau Neraka.

"Semua sudah kupikirkan masak-masak, Pendekar Pulau Neraka. Hanya kau satu-satunya yang jadi penghalang bagiku untuk menguasai seluruh rimba persilatan. Ini baru kau, Pendekar Pulau Neraka. Kalau kau sudah musnah, semua orang persilatan yang menganggap dirinya paling baik di dunia ini, akan kuhancurkan dengan jalan seperti ini," tegas Setan Mata Satu.

"Edan...! Apa maksudmu, heh...?!" dengus bayu menggeram.

"Menghancurkan kalian semua yang berlagak sok suci!" tandas Setan Mata Satu tegas.

"Keparat...! Iblis macam kau sebaiknya tinggal di neraka!" geram Bayu sengit.

"Ha ha ha ha...! Justru aku yang akan mengirimmu ke neraka!"

"Phuih!"

Bayu benar-benar geram setengah mati dibuatnya. Ditatapnya wajah yang penuh guratan bekas luka begitu tajam itu. Wajah yang menyeramkan, dan memancarkan nafsu iblis yang haus darah. Tapi, Bayu tidak mau terpancing kemarahannya. Walaupun darahnya sudah bergolak mendidih, tapi harus bisa menahan kesabaran menghadap tingkah si Mata Satu yang sudah membuat namanya rusak di mata orang-orang rimba persilatan


***


LIMA

Kemarahan Bayu sudah begitu memuncak sampai ke ubun-ubun. Tapi dicobanya untuk tetap bersabar dan tidak mau terpancing yang akan dapat merugikan dirinya sendiri. Sementara, si Setan Mata Satu terus tertawa terbahak-bahak. Dan dengan ringan sekali tubuhnya berbalik, langsung berjalan hendak pergi meninggalkan tempat itu sambil terus tertawa terbahak-bahak. Seakan dia sama sekali tidak mempedulikan kemarahan Bayu yang sudah semakin memuncak melihat tingkahnya yang semakin meremehkan dirinya ini.

"Biar kubunuh dia!" dengus Lestari, tidak dapat lagi menahan kegeramannya.

"Jangan!" cegah Bayu cepat, segera merentangkan tangannya mencegah Lestari. "Biarkan dia pergi."

"Dia akan semakin merusak namamu, Bayu," tandas Lestari sengit.

"Tidak akan, Lestari. Kau lihat saja nanti," kata Bayu sambil tersenyum kecut.

Gadis itu diam saja sambil mendengus kesal. Dalam hatinya, dia sudah tidak tahan lagi melihat sikap si Setan Mata Satu yang meremehkan Bayu. Seakan-akan, laki-laki bermata satu itu sudah merasa menang. Tapi, Bayu sendiri malah diam saja sambil memandangi tanpa berkedip. Sementara, si Setan Mata Satu sudah semakin jauh meninggalkan! sambil tertawa terbahak-bahak. Namun, tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Dan langsung tubuhnya! memutar berbalik.

"Kau akan hancur, Pendekar Pulau Neraka! Ha ha ha ha...!" Kata-kata bernada mengejek itu membuat wajah Bayu jadi memerah. Terlebih lagi Lestari yang sudah tidak dapat lagi menguasai kemarahannya. Maka sambil berteriak keras menggelegar, gadis itu langsung saja melompat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi.

"Kubunuh kau, Iblis keparat! Hiyaaat...!"

"Lestari, jangan...!" teriak Bayu mencoba mencegah.

Tapi, gadis itu sudah lebih cepat melesat menerjang si Setan Mata Satu tanpa mempedulikan cegahan lagi. Dan begitu dekat, langsung saja pedangnya dikibaskan ke arah leher laki-laki bermata satu ini

Bet!
"Haiiit...!"

Namun hanya mengegoskan kepalanya sedikit saja, Setan Mata Satu berhasil menghindari tebasan pedang gadis itu. Malah tanpa diduga sama sekali, dengan satu sentakan tangan kanan yang cepat, laki-laki bermata satu itu melepaskan sodokan ke arah perut Lestari. Begitu cepat dan tidak terduga sodokan itu, sehingga Lestari yang sudah diliputi kemarahan itu tidak dapat lagi menghindarinya. Dan...

Dugkh!
"Akh...!"
"Lestari...!"

Bayu sampai menjerit, melihat Lestari terpental deras, ke belakang, begitu perutnya terkena sodokan keras dari si Setan Mata Satu. Begitu kerasnya, membuat Lestari jatuh terguling dan terbanting keras di tanah. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, dan baru berhenti setelah tubuhnya menabrak sebongkah batu yang cukup besar. Kembali Lestari memekik agak tertahan, merasakan sakit yang amat sangat di tubuhnya yang membentur batu.

"Kejam...! Iblis!" desis Bayu.

Kemarahan Bayu sudah tidak tertahankan lagi, melihat Lestari tidak bisa bangkit lagi. Gadis itu hanya merintih sambil memegangi perutnya yang terkena sodokan keras si Setan Mata Satu tadi. Sambil mendesis geram, Pendekar Pulau Neraka menurunkan Tiren dari pundaknya. Monyet kecil itu langsung berlari sambil mencerecet ribut, menghampiri Lestari yang masih terduduk di tanah sambil memegangi perutnya.

Sedangkan pemuda berbaju dari kulit harimau itu sudah melangkah beberapa tindak ke depan mendekati si Setan Mata Satu yang masih tetap berdiri tegak, sambil berkacak pinggang bersikap menantang. Begitu angkuh sikapnya, seakan sedang meremehkan Pendekar Pulau Neraka.

"Aku lawanmu, Setan Mata Satu! Hiyaaat...!"

Sambil berteriak keras menggelegar, Bayu melompat cepat bagai kilat disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna. Dan saat itu juga dilepaskannya satu pukulan tangan kanan yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna. Begitu cepat serangannya, sehingga si Setan Mata Satu sempat terhenyak tidak menyangka. Tapi ketika pukulan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka yang begitu keras dan cepat hampir menghantam kepalanya, cepat sekali si Setan Mata Satu mengegoskan kepalanya sambil melompat ke belakang.

"Hup!"

Cepat-cepat si Setan Mata Satu kembali melompat ke belakang sambil memutar tubuhnya dua kali di atas tanah, begitu melihat Bayu sudah kembali melancarkan serangan yang keras menggeledek dan cepat bagai kilat. Tapi rupanya serangan Pendekar Pulau Neraka itu tidak berhenti sampai di situ saja. Tepat di saat kedua kaki si Setan Mata Satu menjejak tanah, Bayu melepaskan pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna ke arah dada. Begitu cepatnya pukulannya, sehingga Setan Mata Satu tidak ada kesempatan lagi menghindarinya. Maka cepat-cepat kedua tangannya diangkat ke depan dada.

Hak!
"Ikh...?!"
"Upht....!"

Bayu sampai terpekik kaget, begitu pukulannya menghantam tepat tangan Setan Mata Satu yang melindungi dadanya. Cepat tubuhnya melompat mundur beberapa langkah sambil memegangi tangan kanannya yang terasa nyeri akibat benturan tadi. Sedangkan si Setan Mata Satu juga terperanjat setengah mati, begitu tulang-tulang tangannya terasa bagai remuk terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Dia juga melompat ke belakang beberapa langkah untuk menjaga jarak. Bibirnya langsung meringis menahan sakit pada tulang-tulang tangannya, begitu kakinya menjejak tanah. Sesaat satu sama lainnya berdiri saling berhadapan dengan wajah menyiratkan sesuatu yang sukar dilukiskan.

Tapi jelas sekali kalau sorot mata mereka berdua sama-sama tengah mengukur sampai di mana tingkat kepandaian satu sama lainnya. Dari adu kekuatan tenaga dalam tadi, jelas sekali kalau tingkat kekuatan tenaga dalam mereka berimbang, sehingga sama-sama merasakan akibat dari benturan keras tadi.

"Kau harus mampus di tanganku, Pendekar Pulau Neraka...," desis Setan Mata Satu dingin menggetarkan.

Sret! Cring...!

Sambil berkata begitu, Setan Mata Satu mencabut pedangnya yang sejak tadi tersampir di punggung. Kilatan pedang Itu sangat menggetarkan hati siapa saja yang memandangnya. Tapi bagi Bayu, sama sekali tidak ada artinya. Malah ditatapnya pedang itu dengan sinar mata tajam bagai api. Seakan pedang itu dilumatkan dengan sorotan matanya.

"Mampus kau, Pendekar Pulau Neraka keparat! Hiyaaat,..!" Disertai teriakan keras menggelegar, si Setan Mata Satu melompat cepat bagai kilat sambil mengangkat pedangnya ke atas kepala. Sementara, Bayu tetap berdiri tegak menanti serangan. Dan begitu Setan Mata Satu mengayunkan pedangnya ke atas kepala, cepat sekali Pendekar Pulau Neraka menarik kakinya ke belakang satu langkah, sambil memiringkan tubuhnya ke kiri. Dan pada saat itu juga, tangan kanannya dikibaskan ke depan sambil berteriak keras menggelegar.

"Yeaaah...!"


***


Wusss...!

Bagaikan sebatang anak panah yang terlepas dari busurnya, Cakra Maut melesat begitu cepat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Serangan balasan yang begitu cepat dan tidak terduga ini, membuat si Setan Mata satu jadi tersentak kaget setengah mati.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat laki-laki bermata satu itu melenting ke atas, menghindari serangan Cakra Maut yang melesat begitu cepat. Sehingga senjata andalan Pendekar Pulau Neraka lewat tepat di bawah perutnya yang melayang di udara. Namun begitu lewat sedikit. Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya hampir ke atas kepala. Seketika itu juga Cakra Maut berputar kembali ke arahnya dengan cepat sekali. Putaran senjata bulat persegi enam itu membuat Setan Mata Satu jadi terbeliak kaget tidak menyangka. Cepat tubuhnya berputaran di udara sambil mengebutkan pedangnya beberapa kali untuk melindungi diri dari serangan balik senjata maut Pendekar Pulau Neraka.

Tapi sungguh tidak diduga sama sekali, Cakra Maut bagaikan memiliki mata saja. Begitu pedang Setan Mata Satu berputar melindungi dirinya, tiba-tiba saja senjata bulat persegi enam itu sudah melesat cepat, kembali menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Sementara, Setan Mata Satu sudah kembali menjejakkan kakinya dengan ringannya di tanah. Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua telapak kakinya menjejak tanah.

"Rupanya, itu senjatamu yang ditakuti semua orang, Pendekar Pulau Neraka. Bagus...! Kau tandingi Pedang Nagaku ini," terasa dingin sekali nada suara Setan Mata Satu.

"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja sedikit. Sementara, Setan Mata Satu sudah mulai membuat beberapa gerakan cepat dengan pedang di depan dada.

Bayu sendiri hanya memperhatikan saja, dengan bola mata menatap tajam tanpa berkedip sedikit pun. Kebutan-kebutan pedang laki-laki bermata satu itu menimbulkan suara mencicit yang menggiris hati. Hempasan anginnya pun terasa begitu kuat membuat Bayu terpaksa harus menarik kakinya dua langkah ke belakang. Pedang itu meliuk-liuk, seolah-olah menjadi lentur bagai tubuh seekor naga yang memancarkan cahaya putih keperakan. Kalau orang lain yang dihadapinya, mungkin sudah mengambil langkah seribu sejak tadi. Tapi yang ada di depannya sekarang ini adalah pendekar kosen pilih tanding, dan selalu diperhitungkan dalam kancah rimba persilatan.

"Tahan jurus Pedang Ekor Nagaku, Pendekar Pulau Neraka! Hiyaaat,..!"

Sambil membentak nyaring, Setan Mata Satu melompat cepat bagai kilat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pedangnya terus berputaran begitu cepat, hingga bentuknya kini tidak lagi terlihat jelas. Hanya kilatan cahaya putih keperakan saja yang terlihat. Sementara, Bayu masih tetap berdiri tegak menanti beberapa saat. Dan begitu serangan Setan Mata Satu dekat...

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka melenting ke atas, tepat di saat pedang Setan Mata Satu membabat kakinya. Dan pada saat itu juga, Bayu melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang bertenaga dalam tinggi ke arah kepala lawannya. Namun tanpa diduga sama sekali, Pedang Setan Mata Satu berputar begitu cepat ke atas kepalanya.

"Hap!"

Bayu cepat-cepat menarik pukulannya kembali, dan langsung memutar tubuhnya dua kali ke belakang. Tepat di saat kedua kakinya menjejak tanah kembali, Setan Mata Satu sudah meluruk bagai kilat sambil mengibaskan pedangnya beberapa kali.

"Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
"Hup!"

Bayu terpaksa harus berjumpalitan, menghindari setiap serangan Setan Mata Satu. Begitu cepatnya Setan Mata Satu mengebutkan pedangnya, hingga yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan bagai mengurung seluruh tubuh Pendekar Pulau Neraka. Namun sampai begitu jauh Setan Mata Satu melancarkan serangan, belum satu pun yang berhasil mengenai tubuh Pendekar Pulau Neraka telah beberapa jurus berlalu, Bayu masih bisa menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun dan cepat. Bahkan sesekali Bayu bisa membalas serangan dengan cepat dan tidak kalah berbahayanya.

Di saat pertarungan sedang berlangsung sengit. Lestari sudah bisa bangkit berdiri lagi, setelah melakukan semadi beberapa saat. Jalan pernapasannya juga sudah kembali seperti semula. Dan wajahnya tidak lagi kelihatan pucat. Tampak Tiren kini berada di pundaknya. Monyet kecil itu kelihatan tegang menyaksikan Bayu bertarung sengit menghadapi lawannya yang berkepandaian tinggi.

"Sayang... Aku tidak bisa membantu, Tiren,! ujar Lestari pelan.

"Nguk!"

Tiren seakan bisa mengerti kesulitan Lestari untuk membantu Pendekar Pulau Neraka. Keadaannya sendiri belum sepenuhnya begitu sehat kembali. Sementara pertarungan berjalan cepat, sehingga sulit bagi Lestari untuk ikut masuk ke dalamnya. Gadis itu hanya bisa menyaksikan pertarungan dari jarak yang cukup jauh. Entah kenapa, hatinya jadi agak bergetar juga melihat ketangguhan lawan Pendekar Pulau Neraka.

Dia berharap pemuda yang selalu mengenakan baju dari kulit harimau itu bisa mengungguli lawannya. Tapi, tampaknya si Setan Mata Satu juga tidak bisa dipandang remeh begitu saja. Meskipun kini hanya menggunakan senjatanya yang sudah digenggam tangan kanannya, tapi kelihatannya belum bisa mendesak lawannya. Entah berapa lama lagi pertarungan akan berlangsung. Sementara, Lestari terpaksa harus jadi penonton, tanpa bisa berbuat apapun juga.


***


Sementara, pertarungan terus berjalan semakin sengit. Malah Bayu sudah mengeluarkan jurus-jurus andalannya yang jarang sekali digunakan kalau tidak terpaksa. Sedangkan Setan Mata Satu juga sudah mengeluarkan jurus-jurus dahsyat. Kini pertarungan itu semakin berjalan cepat, sampai Lestari mendapat kesulitan untuk bisa melihat jelas lagi lurukkan tubuh mereka juga seakan lenyap dari pandangan.

Dan yang terlihat kini hanya bayangan-bayangan putih dan kuning saja yang berkelebat saling sambar. Entah berapa jurus sudah berlalu, tapi pertarungan tampaknya belum ada tanda-tanda akan berakhir. Bahkan semakin terlihat dahsyat, membuat pohon-pohon di sekitarnya bertumbangan terkena pukulan-pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi yang tidak tepat mengenai sasaran.

Tampak sekali Bayu sudah mulai melontarkan Cakra Maut untuk membantu serangannya. Melesatnya Cakra Maut dari tangan Pedekar Pulau Neraka, sempat juga membuat si Setan Mata Satu jadi kelabakan. Dia seakan-akan menghadapi lawan lebih dari satu orang. Senjata maut Pendekar Pulau Neraka seakan memiliki mata saja, sehingga dapat menyerang dari segala arah. Padahal sudut serangan tampak begitu sulit dan mustahil dilakukan orang.

"Hiyaaa...!"

Tiba-tiba saja Bayu berteriak keras menggelegar, sambil menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan kedua kaki terentang lebar ke samping. Hentakan yang begitu cepat dan tidak terduga, membuat si Setan Mata Satu jadi terperanjat setengah mati. Dan rasanya dia tidak lagi memiliki kesempatan menghindarinya. Sehingga, terpaksa serangan Pendekar Pulau Neraka harus ditahan dengan pedangnya yang dilintangkan ke depan. Sementara ujung pedangnya ditahan dengan telapak tangan kiri.

Yeaaah...!"

Tak pelak lagi, seketika itu juga kedua telapak tangan Bayu yang terbuka dan mendorong ke depan, menghantam bagian tengah batang pedang lawannya. Dan...

Trak!
"Akh...!"

Terdengar jeritan keras yang agak tertahan. Tampak Setan Mata Satu terdorong deras sekali ke belakang. Sedangkan Bayu sendiri sempat terdorong dua langkah ke belakang. Sementara, si Setan Mata Satu kembali terpekik begitu punggungnya menghantam sebuah pohon yang sangat besar, hingga hancur berkeping-keping.

"Hah...?!"

Lestari yang menyaksikan pertarungan tanpa berkedip, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Ternyata pedang Setan Mata Satu telah terpotong menjadi dua bagian, tepat di tengah-tengahnya. Bukan hanya Lestari saja yang terkejut. Tapi, Setan Mata Satu juga jadi terperanjat setengah mati, begitu mendapati pedangnya sudah menjadi dua bagian

"Keparat...!"

Setan Mata Satu jadi geram setengah mati mendapati pedangnya kini tidak dapat lagi digunakan. Sementara, Bayu berdiri tegak dengan bibir menyunggingkan senyum tipis. Terlihat jelas dari sorot Pendekar Pulau Neraka, kalau sudah merasa yakin akan menang setelah mematahkan pedang lawannya menjadi dua bagian. Dan di saat pertarungan terhenti untuk beberapa saat, terdengar suara-suara langkah kaki dari arah belakang Pendekar Pulau Neraka Belum lagi bisa disadari siapa yang datang ke tempat pertarungan, tahu-tahu sudah bermunculan orang-orang, membawa obor dan senjata dari berbagai macam bentuk dan jenis. Sebentar saja, hutan yang sudah rusak akibat pertarungan tadi sudah dipenuhi orang yang baru berdatangan.

"Itu dia yang membunuh keluargaku...!" salah seorang yang baru datang tiba-tiba.

Orang itu menunjuk langsung pada Setan Mata Satu dengan ujung goloknya. Maka semua orang langsung menatap Setan Mata Satu dengan sinar mata begitu tajam penuh dendam dan amarah. Teriakan yang keras itu, membuat wajah Setan Mata Satu jadi berubah merah bagai saga. Sementara, Bayu masih tetap berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Matanya malah menatap tajam pada lawan yang sudah merusak namanya ini.

"Serang...! Bunuh iblis keparat itu...!" seru salah seorang lagi tiba-tiba, dengan suara keras menggelegar.

Dan seketika itu juga, mereka langsung melunak deras ke arah Setan Mata Satu yang masih diliputi kemarahan pada Pendekar Pulau Neraka, akibat pedangnya dapat dipatahkan menjadi dua bagian. Melihat orang berjumlah begitu banyak meluruk deras ke arahnya, Setan Mata Satu bukannya gentar.

"Kalian tidak bisa menangkapku! Hiyaaa...!" Sambil membentak keras menggelegar. Setan Mata Satu langsung saja melenting ke atas. Dan seketika itu juga, kedua tangannya bergerak cepat melontarkan Bintang-bintang Peraknya yang langsung menghambur menghujani orang-orang yang berlarian ke arahnya.

"Mundur kalian semua...!" teriak Bayu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Tapi, peringatan Pendekar Pulau Neraka sudah terlambat. Beberapa orang sudah menjerit tertembus Bintang Perak yang dilemparkan Setan Mata Satu. Seketika, tubuh-tubuh berlumuran darah berjatuhan ke tanah. Melihat kejadian ini, Bayu tidak bisa lagi menahan diri. Sambil berteriak keras menggelegar, tubuhnya melesat bagai kilat menerjang Setan Mata Satu yang masih melontarkan Bintang-bintang Peraknya.

"Hiyaaat..!"
Wut!


***


ENAM

Cepat sekali Bayu mengebutkan tangan kanannya, sehingga Cakra Maut langsung melesat begitu! cepat bagai anak panah lepas dari busur ke arah si Setan Mata Satu. Serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka ini membuat Setan Mata Satu jadi bertambah geram.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat laki-laki bermata satu itu melepaskan beberapa Bintang Peraknya, menyambut serangan Cakra Maut. Dan pada saat itu juga, di sertai ilmu meringankan tubuhnya yang hampir sempurna, Setan Mata Satu melesat pergi begitu Bintang-bintang! Peraknya menghantam Cakra Maut

"Hap!"

Bayu cepat-cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, begitu kakinya menjejak tanah. Maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Sementara, Setan Mata Satu sudah tidak terlihat bayangannya lagi. Bayu hanya bisa berdiri tegak memandang ke arah menghilangnya Setan Mata Satu, yang tertelan kegelapan malam dalam hutan.

Sementara, mereka yang baru berdatangan sudah berkumpul mengelilingi Pendekar Pulau Neraka. Lestari juga sudah berada di samping kiri pemuda berbaju kulit harimau ini. Tampak di antara mereka, Eyang Jambak bersama murid-muridnya. Juga, terdapat tokoh-tokoh persilatan yang berhasil dikumpulkan Eyang Jambak untuk menghadapi Setan Mata Satu yang selama ini dikira adalah Pendekar Pulau Neraka.

"Kenapa kalian diam...?! Seharusnya kalian malu, dan minta maaf pada Pendekar Pulau Neraka. Kalian orang-orang terhormat, tapi tidak sudi membuka mata lebar-lebar!" agak tinggi suara Lestari.

Kata-kata Lestari yang begitu tiba-tiba, membuat Bayu terkejut. Tidak ada seorang pun yang menyangka kalau gadis itu mengeluarkan kata-kata yang begitu pedas seperti ini. Dan perkataannya menyebabkan tidak ada seorang pun yang mampu lagi membuka suara. Bahkan Eyang Jambak sendiri jadi tertunduk, tidak tahu lagi bagaimana harus bersikap di depan Pendekar Pulau Neraka.

"Ayo, Lestari. Kita pergi," ajak Bayu sambil menarik gadis ini.

"Tidak!" sentak Lestari keras. "Kau harus memberi pelajaran pada mereka agar tidak sembarangan menuduh orang!"

"Sudahlah, Lestari... Jangan diperpanjang lagi persoalan ini. Masih ada yang lebih penting yang harus dikerjakan," ujar Bayu tidak mau memperpanjang persoalan seperti ini.

Langsung saja Pendekar Pulau Neraka menarik tangan Lestari. Tapi, gadis ini malah menyentakkah tangan Bayu hingga cekalannya terlepas. Dengan wajah garang, dia berkacak pinggang seperti hendak menantang semua orang yang kini ada di depannya. Tapi, tidak seorang pun yang sanggup menentang sorotan mata Lestari yang sangat tajam ini. Sementara, Bayu semakin tidak enak hatinya. Dia tahu, mereka memang bersalah. Tapi, Pendekar Pulau Neraka juga tidak ingin menuntut apa-apa. Malah, Lestari yang seakan begitu kesal terhadap sikap orang-orang Ini. Bayu menghampiri gadis itu, dan kembali mencekal pergelangan tangannya.

"Ayo, Lestari. Kalau kau tidak mau ikut, aku akan pergi sendiri," ajak Bayu disertai sedikit ancaman.

Lestari melirik sedikit pada Pendekar Pulau Neraka itu. Lalu sambil mendengus kesal, tubuhnya berbalik dan melangkah mengikuti Pendekar Pulau Neraka meninggalkan orang-orang yang masih saja berdiam diri. Sesekali kepala gadis berpaling ke belakang. Tampak mereka tetap berada di sana memandangi kepergiannya bersama Pendekar Pulau Neraka yang pernah dibenci dan ingin dibunuh.

Sambil terus menggerutu kesal, Lestari mensejajarkan ayunan kakinya di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka. Di ambilnya monyet kecil dari pundak pemuda itu, dan didekap di depan dadanya. Tiren seakan kesenangan berada dalam dekapan hangat gadis ini. Sedangkan Bayu hanya melirik sedikit saja pada monyet kecil itu, seakan iri ingin menggantikannya. Mereka terus berjalan tanpa bicara sedikit pun juga. Tapi jelas kalau mereka berjalan ke arah jalan yang dituju Setan Mata Satu tadi.

Sampai jauh mereka berjalan, tidak ada seorang pun yang memulai bicara. Sedangkan sikap Lestari sudah mulai kembali seperti biasa. Raut wajahnya tidak lagi mencerminkan kekesalan. Dan Bayu sendiri tidak mau mengungkit lagi persoalan yang dianggap tidak perlu dipermasalahkan. Dia sudah menganggap biasa kalau orang-orang salah menduga pada dirinya. Dan memang, bukan sekali ini dia mendapatkan persoalan seperti itu. Tapi memang diakui, kali ini terasa begitu berat. Bahkan hampir saja dirinya mati terbunuh dikeroyok oleh mereka yang salah menuduh.

"Ke mana kita pergi, Bayu?" tanya Lestari setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Mengejar Setan Mata Satu," sahut Bayu.
"Kau sudah menduga ke mana arah kepergiannya?" tanya Lestari lagi
"Aku rasa tidak sulit mendapatkannya, Lestari?" sahut Bayu.

Lestari menatap wajah tampan Pendekar Pulau Neraka, seakan meminta penjelasan dari jawabannya tadi. Tapi Bayu seperti tidak tahu, dan terus saja berjalan dengan wajah lurus ke depan.

"Ke mana kira-kira perginya si Setan Mata Satu itu, Bayu?" tanya Lestari ingin tahu lagi.

"Dia memerlukan senjata bintang perak yang sangat banyak. Dan sudah barang tentu, harus memiliki tempat yang khusus untuk membuat senjatanya itu, Lestari," sahut Bayu sedikit menjelaskan.

"Kau tahu di mana tempatnya?" tanya Lestari lagi.

Entah kenapa, Bayu jadi tersenyum mendengar pertanyaan gadis itu. Malah, tidak menjawab sama sekali. Pendekar Pulau Neraka berhenti melangkah, begitu di depan terlihat sebuah sungai yang cukup besar dan airnya deras. Tidak ada satu sampah pun yang terlihat di sana. Tapi terlihat jelas kalau diseberang sungai itu terdapat sebuah perkampungan yang tampaknya cukup besar. Kening Lestari jadi berkerut juga, saat melihat Bayu terus memandang ke arah perkampungan di seberang sungai. Dia tidak tahu, apa yang ada dalam pikiran Pendekar Pulau Neraka. Terlalu sukar baginya untuk bisa menerka jalan pikiran Bayu sekarang ini. Lestari kembali mengarahkan pandangan ke depan, seperti ingin mencoba mencari tahu, apa yang sedang dipikirkan Pendekar Pulau Neraka.

"Kita akan menyeberangi sungai ini, Bayu..?" tanya Lestari bernada menduga.
"Ya," sahut Bayu singkat.
"Lalu, apa yang akan kita peroleh di sana?" tanya Lestari lagi.
"Setan Mata Satu," sahut Bayu tetap singkat datar nada suaranya.
"Kau yakin dia ada di sana?"

Bayu tidak menjawab, tapi bibirnya terlihat menyunggingkan senyum tipis sekali. Begitu tipisnya, hampir saja Lestari tidak melihat. Gadis itu sudah bisa menduga, sekarang ini Bayu sudah begitu yakin kalau si Setan Mata Satu sekarang berada di seberang sungai. Entah, apa yang membuat Bayu begitu percaya terhadap dugaannya. Sedangkan Lestari hanya bisa menduga-duga saja, tanpa dapat lagi melontarkan pertanyaan. Tapi yang menjadi persoalannya sekarang bagaimana mereka bisa menyeberangi sungai besar yang mengalir deras tanpa perahu...?


***


Bagi orang-orang persilatan yang berkepandaian tinggi seperti Pendekar Pulau Neraka, memang tidak ada persoalan sedikit pun untuk menyeberangi sungai besar yang mengalir deras seperti itu. Tapi, Bayu justru memikirkan Lestari. Dia tidak tahu, sampai di mana kepandaian gadis itu. Terutama sekali, tingkat ilmu meringankan tubuhnya Kalau Lestari hanya sampai pada tingkatan pertengahan saja, mustahil bisa menyeberanginya tanpa perahu.

Sedangkan Bayu bisa menggunakan ranting atau daun-daun untuk dijadikan jembatan menuju seberang sungai. Dan itu juga membutuhkan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Sedangkan Lestari.... Tidak mungkin gadis itu bisa melakukan hal yang sama dengannya. Ilmu meringankan tubuh gadis ini masih berada jauh dari Pendekar Pulau Neraka. Dan inilah yang sedang menjadi beban pikiran Bayu sekarang.

Sementara, pelahan-lahan matahari sudah mulai menampakkan diri di ufuk timur. Cahayanya begitu lembut dan indah membias dari pucuk-pucuk pepohonan di hulu sungai. Bias cahaya matahari membuat Bayu bisa leluasa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tapi, memang tidak ada satu perahu pun terdapat di sungai ini.

Udara yang semula terasa dingin, pelahan mulai menghangat menyapu kulit. Bayu melangkah menghampiri sebuah pohon yang besar dan rimbun daunnya. Kemudian dia duduk bersila di bawah pohon itu. Lestari mengikuti Pendekar Pulau Neraka, duduk di sebelah kirinya. Mereka sama-sama memandang ke seberang dengan pikiran masing-masing sukar diterka.

"Sudah pagi, Bayu. Kapan akan ke sana?" tanya Lestari tanpa berpaling sedikit pun.

"Hm...," Bayu hanya menjawab dengan gumaman saja.

"Kau ragu-ragu, Bayu?" terdengar agak sinis tiada suara Lestari.

Bayu melirik sedikit pada gadis di sebelahnya Ini. Dirasakannya kalau itu bukan pertanyaan biasa. Nadanya jelas sekali ingin memanasi hatinya. Malah terdengar begitu sinis. Tapi, Bayu tahu kalau sikap Lestari yang berubah sinis itu hanya memancing perasaannya saja. Menyadari akan hal itu, bayu malah tersenyum.

"Di seberang sana, adalah Desa Pangkar. Semua penduduknya hidup dari keahliannya mengolah besi. Bukan hanya peralatan dari besi saja yang dibuat, tapi banyak juga senjata yang berasal dari sana," kata Bayu seperti memberi tahu keadaan di desa seberang sungai ini pada gadis di sebelahnya.

"Lalu, apa hubungannya dengan Setan Mata Satu?" tanya Lestari tidak mengerti maksud Pendekar Pulau Neraka.

"Lihatlah ini, Lestari...? Coba perhatikan," Bayu mengeluarkan sebuah bintang dari balik saku ikat pinggangnya.

Pemuda itu menyerahkan senjata yang digunakan si Setan Mata Satu untuk merusak namanya pada Lestari. Sebentar gadis itu hanya memandanginya saja, kemudian mengambil benda itu dari tangan Pendekar Pulau Neraka. Dengan kelopak mata agak menyipit, Lestari mencoba untuk bisa memahami perkataan Bayu tadi sambil memperhatikan senjata berbentuk bintang di tangannya.

"Kau menduga senjata ini dibuat di sana, Bayu?" tanya Lestari mulai bisa menduga arah pembicaraan Bayu.

"Ya," sahut Bayu singkat.
"Kau yakin?" tanya Lestari lagi, seperti ingin meyakinkan dirinya.

Bayu hanya mengangguk saja dengan gerakan begitu mantap. Dan pandangan matanya kini tertuju lurus pada wajah cantik gadis itu. Sedangkan Lestari sendiri seakan tidak manyadari kalau wajahnya terus dipandangi, dengan mata tidak berkedip sedikit pun. Gadis itu terus memperhatikan Bintang Perak yang berada di telapak tangan kanannya. Dan ketika wajahnya diangkat seketika itu juga pandangan mata mereka langsung bertemu.

Entah kenapa, Lestari jadi bergetar seluruh tubuhnya. Dan dirasakan seakan-akan darahnya berhenti mengalir seketika. Detak jantungnya pun jadi semakin keras. Cepat-cepat Lestari memalingkan wajahnya ke seberang sungai, begitu seluruh paras wajahnya terasa jadi panas. Sekilas Bayu sempat melihat perubahan pada wajah gadis itu. Maka cepat-cepat wajahnya dipalingkan juga ke seberang. Untuk beberapa saat lamanya mereka jadi terdiam membisu. Entah, apa yang ada dalam kepala mereka masing-masing saat ini.

"Bayu...," terdengar begitu pelan suara Lestari.
"Hm...," Bayu hanya menjawab dengan sedikit gumaman.

"Kau tahu, siapa yang membuat senjata ini?" tanya Lestari lagi, mencoba menghilangkan perasaan aneh yang tiba-tiba saja menyelimuti hatinya, setelah pandangannya langsung bertemu pada pandangan mata Pendekar Pulau Neraka.

"Kau tidak lihat guratan di bagian tengahnya...?" Bayu malah balik bertanya.

Lestari langsung memperhatikan bagian tengah senjata bintang berwarna putih keperakan itu. Agak berkerut juga keningnya, begitu melihat sedikit guratan tepat di tengah-tengah Bintang Perak itu. Dan sebentar kemudian, wajahnya diangkat lagi. Kali ini, dia tidak langsung menatap bola mata Bayu. Pandangannya ke arah lain, walaupun wajahnya berhadapan dengan wajah Pendekar Pulau Neraka berjarak tidak begitu jauh. Tapi entah kenapa, Lestari masih juga merasakan getaran yang begitu kuat dalam dadanya. Dan dia tidak tahu, apa arti getaran di dadanya ini.

"Semua senjata bintang yang digunakan si Setan Mata Satu bertanda seperti itu. Dan aku tahu, siapa pembuatnya," kata Bayu memberi tahu.

"Siapa, Bayu?" tanya Lestari jadi semakin ingin tahu.
Bendawa," sahut Bayu singkat.
"Siapa dia...?" tanya Lestari meminta penjelasan lagi.

"Dia seorang pandai besi dan ahli membuat senjata yang sangat terkenal di Desa Pangkar. Tidak sedikit orang-orang dari kalangan persilatan yang memesan senjata padanya. Bahkan beberapa kerajaan pun memesan senjata untuk prajuritnya juga pada Ki Bendawa," jelas Bayu singkat.

"Kau tahu dari mana kalau guratan ini tanda buatan Ki Bendawa?" tanya Lestari lagi.

"Aku pernah ke sana, mengantarkan orang yang ingin membuat senjata pusaka dari bahan yang dibawanya sendiri. Begitu banyak hasil buatannya. Dan semua selalu memiliki tanda guratan seperti itu," sahut Bayu menjelaskan lagi.

"Tentu Ki Bendawa itu orang yang sangat pandai, ya...? Dan dia pasti juga memiliki kepandaian tidak rendah," ujar Lestari langsung memuji.

"Memang... Selain pandai membuat senjata, Ki Bendawa juga memiliki kepandaian yang tidak rendah. Itu sebabnya, tidak ada seorang pun yang mau sembarangan padanya. Bahkan di Desa Pangkar itu, nama Ki Bendawa begitu dihormati dan ditakuti. Tidak ada seorang pun yang berani berbuat curang padanya. Desa itu juga bisa terkenal, berkat kepandaian Ki Bendawa."

"Hebat...," puji Lestari tulus.
"Tapi terus terang saja, Lestari. Sejak aku tahu di mana senjata itu dibuat, aku jadi khawatir," kata Bayu. Wajahnya tiba-tiba berubah murung.

"Apa yang kau khawatirkan, Bayu?" tanya Lestari jadi heran tidak mengerti.

"Kau tahu, apa yang dilakukan si Setan Mata Satu selama ini, kan...?" Bayu malah balik bertanya.

Lestari hanya mengangguk saja sedikit

"Aku khawatir, kalau-kalau si Setan Mata Satu membunuh Ki Bendawa setelah mendapatkan senjatanya ini," kata Bayu mengutarakan rasa kekhawatirannya.

"Kalau begitu, kenapa tidak segera saja ke sana, Bayu..?" usul Lestari Langsung.

"Terlalu berbahaya menyeberangi sungai di siang hari begini, Lestari. Sedangkan kita belum tahu, bagaimana keadaan Desa Pangkar sekarang ini. Tunggu saja sampai gelap nanti," sahut Bayu menjelaskan lagi.

"Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Lestari lagi.

"Istirahat sebanyak-banyaknya. Mungkin, malam nanti kita akan menghadapi cobaan dan rintangan yang tidak kecil," sahut Bayu kalem.

Lestari hanya diam saja. Dan dia memang tidak lagi mengeluarkan suaranya. Matanya melirik sedikit, saat Bayu merebahkan tubuhnya di atas rerumputan yang cukup tebal dibawah pohon berdaun lebat ini, hingga terlindung dari sengatan sinar matahari yang semakin terik.


***


Bayu baru membuka kelopak matanya, begitu merasakan angin yang berhembus mengusap kulit nya. Terasa begitu dingin. Cepat pemuda itu melompat bangkit berdiri dengan bola mata langsung beredar ke sekeliling. Memang ternyata Bayu tidak melihat Lestari lagi di tepian sungai ini. Apalagi, nyenyak sekali Bayu tidur tadi. Sampai-sampai, ketika matahari sudah hampir tenggelam di balik peraduannya dia baru bangun. Entah, sudah berapa malam Pendekar Pulau Neraka tidak tidur, dan baru siang ini bisa tidur begitu nyenyak.

"Lestari...!"

Sekuat-kuatnya Bayu memanggil, tapi tidak terdengar sahutan sedikit pun juga. Bayu terus mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Dia tidak tahu, ke mana Lestari pergi.

"Nguk...! Nguk...!"

Bayu cepat berpaling, begitu mendengar suara monyet dibelakangnya. Tampak Tiren berlari-lari kecil sambil mencerecet ribut menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Monyet kecil itu langsung melompat naik ke pundak Bayu.

"Kau lihat Lestari, Tiren?" tanya Bayu langsung.

"Nguk...!"
"Aku tahu dia pergi. Tapi, ke mana...?"
"Craaak...!"
"Kau tidak salah, Tiren?"

Kening Bayu jadi berkerut melihat Tiren menunjuk ke seberang sungai. Seakan, monyet kecil itu ingin mengatakan kalau telah melihat Lestari pergi ke desa yang ada di seberang sungai ini. Pendekar Pulau Neraka langsung mengarahkan pandangannya ke seberang sungai. Tidak terlihat ada satu perahu pun di seberang sana. Sebentar kemudian kembali ditatapnya monyet kecil berbulu hitam pekat yang duduk dipundak kanannya. Monyet kecil itu memperdengarkan suara seperti orang tidur mendengkur. Binatang itu juga terus mengarahkan pandangannya ke seberang sungai yang mulai dihiasi cahaya lampu pelita dari rumah-rumah yang berdiri ditepiannya.

"Dengan siapa dia pergi ke sana?" tanya Bayu lagi sambil terus memandangi monyet kecilnya.

"Nguk!"
"Hm..."

Kembali kening Tiren berkerut dengan kelopak mata sedikit menyipit, melihat Tiren membuat beberapa gerakan tangan sambil memperdengarkan suara. Seakan, monyet kecil itu ingin mengatakan sesuatu pada Pendekar Pulau Neraka. Tapi entah kenapa, seakan Bayu begitu sulit mengartikan bahasa monyet kecilnya. Pemuda itu terus memandangi dan mencoba bisa mengerti. Sedangkan Tiren terus berusaha memberitahu dengan gerakan-gerakan tangan dan suara yang tidak pernah berubah dalam pendengaran.

"Mustahil...," desis Bayu setelah bisa mengerti. Jelas sekali terlihat kepala Pendekar Pulau Neraka bergerak menggeleng pelahan dengan bibir terus memperdengarkan desisan seperti ular. Bayu benar-benar tidak percaya kalau Lestari menyeberangi sungai ini sendiri. Timbul di dalam pikirannya, dengan apa gadis itu bisa menyeberangi sungai yang sangat deras alirannya ini tanpa perahu...?

Sedangkan ilmu meringankan tubuhnya belum bisa dikatakan sempurna. Bahkan masih terlalu jauh, bila dibandingkan Pendekar Pulau Neraka. Bayu melangkah semakin mendekati tepian sungai ini. Kembali kelopak matanya sedikit menyipit, begitu mendapati jejak-jejak kaki tertera jelas di tanah tepi sungai yang cukup lembab ini. Walaupun hari sudah malam, tapi bulan yang menggantung di langit saat ini bersinar penuh. Sehingga, membuat keadaan sekelilingnya cukup terang dan cukup jelas untuk melihat jejak kaki di tepi sungai ini. Dan Bayu tahu, itu jejak kaki Lestari. Tidak terlihat ada jejak kaki orang lain disini. Itu berarti Lestari memang menyeberangi sungai ini hanya seorang diri saja.

"Kita harus cepat ke sana, Tiren. Bahaya kalau dia menghadapi Setan Mata Satu seorang diri, " kata Bayu sambil menepuk kepala monyet kecil di pundaknya.

"Nguk!"

"Pegang leherku kuat-kuat, Tiren. Kita akan menyeberangi sungai ini," pinta Bayu.

"Craaak...!"
"Hup! Yeaaah...!"


***


TUJUH

Sungguh sempurna ilmu meringankan tubuh Pendekar Pulau Neraka. Sehingga seakan tubuhnya bisa terbang melayang di atas permukaan air sungai yang mengalir deras itu. Hanya sesekali saja ujung jari kakinya menotok ranting-ranting yang hanyut terbawa arus sungai ini. Bayu terus melesat di atas permukaan air sungai bagai segumpal kapas terbawa angin. Dan sebentar saja, Pendekar Pulau Neraka sudah tiba di tepi seberang sungai ini. Begitu ringan kakinya menjejakkan tanah lembab dan sedikit berpasir. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Namun tidak terlihat seorang pun manusia disekitarnya. Begitu sunyi, hingga hanya desiran angin dan aliran sungai saja yang terdengar mengusiktelinganya.

"Hm..."

Bayu menggumam sedikit, melihat jejak kaki Lestari terlihat di tepi sungai ini. Tapi keningnya jadi berkerut ketika melihat ada guratan panjang yang cukup banyak di sekitar jejak-jejak kaki ini. Guratan panjang seperti bekas ular berlalu. Tapi..

"Pasti Lestari membuat rakit, hingga bisa sampai disini," gumam Bayu langsung bisa menduga.

Bibir Pendekar Pulau Neraka jadi tersenyum, membayangkan Lestari membuat rakit untuk menyeberangi sungai. Memang diakui di dalam hatinya, gadis itu memiliki otak cerdas. Tapi sayang. Lestari ke desa ini hanya seorang diri saja. Sedangkan dia tahu, Setan Mata Satu pasti berada di desa ini juga. Entah kenapa, Bayu jadi cemas memikirkan Lestari yang menghadang bahaya hanya seorang diri saja.

"Ayo, Tiren. Kita harus cepat menemukan Lestari. Jangan sampai dia bertemu si Setan Mata Satu, karena bukan tandingannya," kata Bayu sambil menepuk kepala monyet di pundaknya.

"Nguk"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera mengayunkan kakinya menuju desa yang sudah ada di depannya Lampu-lampu pelita tampak menyala dari beranda depan rumah-rumah yang ada di seberang sungai ini Pendekar Pulau Neraka terus mengayunkan kakinya, lebar-lebar. Bayu terus melangkah memasuki desa itu. Karena sudah pernah datang ke sini sebelumnya, jadi tidak merasa heran kalau keadaan desa ini begitu sunyi seperti tidak ada penduduknya.

Dan memang, semua orang di desa ini tidak ada yang keluar dari dalam rumah setelah malam tiba. Mereka terlalu lelah bekerja di siang hari, sehingga bila malam adalah waktu beristirahat. Bayu terus mengayunkan kakinya menyusuri jalan tanah setapak yang berdebu. Sepanjang jalan yang dilalui, tidak ada seorang pun dijumpai. Namun begitu sampai di sebuah tegalan yang berada di tengah-tengah desa itu, mendadak saja bermunculan orang-orang dari balik pepohonan dan dinding-dinding rumah yang ada di sekitar tanah lapangan berumput ini.

Dan sebelum Bayu bisa menyadari apa yang terjadi, sekelilingnya sudah terkepung puluhan orang dengan senjata tajam berbagai bentuk dan jenisnya. Bayu cepat menyadari kalau dirinya dalam keadaan bahaya.

"Tangkap..."

Tiba-tiba terdengar teriakan lantang memberi perintah. Dan seketika itu juga, sekitar sepuluh orang belarian ke arah Pendekar Pulau Neraka. Dan begitu dekat, mereka langsung saja berlompatan hingga melewati atas kepala Bayu. Lalu saat itu juga...

Rrrrt..
"Heh...?"
"Craaakh..."

Bayu jadi terlonjak kaget setengah mati. Bahkan Tiren langsung melompat turun dari pundak Pendekar Pulau Neraka, ketika orang-orang yang berlompatan ini menebarkan jaring-jaring hitamnya dari atas.

"Hap"

Cepat-cepat Bayu membanting tubuhnya ke tanah dan cepat bergulingan ke arah kanan, sehingga serangan jaring-jaring hitam itu tidak sampai mengenai sasaran.

"Hup"

Begitu cepat dan manis Bayu melompat bangkit berdiri setelah dirasakan aman dari serangan, langsung tangan kanannya disilangkan di depan dada, dengan tubuh agak membungkuk ke depan. Sementara, sekitar sepuluh orang yang membawa jaring hitam itu sudah kembali mengurung rapat. Bahkan sekeliling tanah lapangan ini juga sudah terkepung rapat. Tidak sedikit yang membawa obor, hingga keadaan jadi semakin terang benderang.

"Ada apa ini? Kenapa kalian menyerangku...?" tanya Bayu, lantang.

"Jangan banyak bicara kau, Pendekar Pulau Neraka..."

Bayu langsung memutar tubuhnya, begitu mendengar bentakan sangat keras yang mengejutkan ini. Tampak seorang laki-laki berusia separo baya sudah berdiri sambil berkacak pinggang, terpisah dari yang lain. Baju warna biru muda yang ketat, membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Sebuah pedang berukuran panjang tampak tergantung di pinggang. Kakinya melangkah beberapa tindak mendekati Pendekar Pulau Neraka.

"Aku Jalapari, putra tunggal Ki Bendawa. Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu pada ayahku, Pendekar Pulau Neraka. Setelah memesan ribuan senjata bintang, lalu kau bunuh ayahku. Sekarang, kau datang lagi setelah puas membantai orang-orang yang tidak bersalah. Kau harus mati disini, Pendekar Pulau Neraka" lantang sekali suara Jalapari.

"Tidak... Bukan aku yang melakukan itu. Kalian salah..." bentak Bayu tidak kalah lantangnya.

"Kau tidak perlu mungkir, Pendekar Pulau Neraka. Semua orang sudah tahu perbuatan busuk mu" bentak Jalapari lagi, dengan tetap lantang menggelegar.

Bayu jadi terdiam. Memang tidak ada gunanya membantah semua tuduhan itu. Setan Mata Satu sudah menggunakan namanya untuk memesan senjata bintang dari Ki Bendawa di Desa Pangkar ini. Dan ternyata, si Setan Mata Satu juga telah membunuh Ki Bendawa. Sekarang semua orang didesa ini begitu membencinya. Bahkan ingin membunuhnya untuk menebus nyawa Ki Bendawa yang dihormati.

"Bersiaplah menerima hukumanmu, Pendekar Pulau Neraka" desis Jalapari dingin.

Cring!

Langsung saja laki-laki separo baya itu mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang. Agak terkejut juga Pendekar Pulau Neraka, melihat pedang itu bagai memancarkan cahaya merah kekuningan seperti matahari. Dan rasanya, senjata itu tidak bisa dianggap enteng begitu saja. Bayu menarik kakinya dua langkah kebelakang sambil mengedarkan pandangan kesekeliling. Tidak ada jalan sedikit pun untuk dapat meloloskan diri.

"Tahan seranganku, Iblis..." bentak Jalapari lantang.

Tapi belum juga putra Ki Bendawa itu melakukan serangan, tiba-tiba saja...

揟ahan..."


***


Bentakan keras menggelegar dan tiba-tiba itu bukan saja mengejutkan Jalapari. Tapi, semua orang yang ada di lapangan ini juga terkejut setengah mati. Bahkan Bayu sendiri sampai berpaling cepat ke arah datangnya bentakan yang begitu cepat di saat Jalapari hendak menyerangnya. Dan di saat itu juga, terlihat sebuah bayangan merah muda berkelebat begitu cepat melewati kepala orang-orang yang memenuhi lapangan ini. Tahu-tahu, di sebelah kiri Bayu sudah berdiri seorang gadis cantik berbaju merah muda yang ketat. Sebuah pedang tampak tergantung dipinggangnya.

"Lestari...," desis Bayu, tidak menyangka kalau Lestari yang datang mencegah serangan Jalapari.

"Kalian salah kalau menuduh Pendekar Pulau Neraka yang melakukan semua kejahatan ini. Aku tahu, siapa orangnya yang sebenarnya..." lantang sekali suara Lestari.

"Siapa kau...?" bentak Jalapari langsung bertanya.

"Aku Lestari, dari Desa Duri Batang. Semua orang di desaku habis dibantai. Dan kedua orangtua ku ikut menjadi korban. Hanya aku yang selamat dan tahu siapa pelakunya," sahut Lestari lantang.

Kata-kata Lestari membuat semua orang jadi menggumam, entah percaya atau tidak atas pembelaan gadis ini pada diri Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu sendiri hanya diam saja, memberi kesempatan pada Lestari untuk menjelaskan yang sebenarnya.

"Bukan hanya desa ini saja yang dirugikan. Tapi, banyak desa lain yang sudah menjadi korban kebuasannya. Kalau kalian tidak percaya, aku bawa saksi lain," sambung Lestari.

Dan begitu kata-kata gadis ini selesai, dari bagian kiri menyeruak beberapa orang memasuki lapangan berumput ini. Mereka adalah Eyang Jambak bersama dua puluh orang muridnya dan tujuh orang tokoh persilatan yang diundangnya. Mereka berhenti setelah berjarak beberapa langkah lagi dari Pendekar Pulau Neraka yang berdiri didampingi Lestari. Tidak ada seorang pun yang membuka suaranya. Bahkan wajah Jalapari sendiri jadi kelihatan bimbang.

"Kita semua memang salah menuduh. Memang bukan Pendekar Pulau Neraka yang melakukan semua kejahatan ini. Ada orang lain yang memakai nama Pendekar Pulau Neraka untuk memfitnah agar kita bisa diadu domba untuk membunuh Pendekar Pulau Neraka. Dan kalau rencana itu berhasil, maka penghalang utama para tokoh hitam akan lenyap. Dengan demikian, dunia persilatan akan dikuasai tokoh golongan hitam dengan kesewenang-wenangannya. Dan sekarang orang itu memakai julukan Setan Mata Satu. Sengaja hal ini dilakukan agar kita lemah dan tak berdaya!" kata Eyang Jambak.

"Bagaimana kau bisa tahu, Orang Tua?" kata Jalapari.

"Bukan hanya aku yang melihat sendiri. Tapi, semua orang yang ada di belakangku ini ikut menyaksikannya. Dan sekarang, kami sedang mengejar orang itu untuk menebus kesalahan kami pada Pendekar Pulau Neraka," sahut Eyang Jambak. Terus terang saja, kami semua juga sempat berbuat kesalahan seperti ini. Dan semua ini akan ditebus dengan nama semua orang mengaku bersalah, mohon maaf padamu, Pendekar Pulau Neraka."

Bayu hanya membungkuk saja sedikit, begitu melihat Eyang Jambak membungkuk sedikit meminta maaf padanya. Sikap yang ditunjukkan Eyang Jambak membuat semua penduduk Desa Pangkar yang mengepung lapangan ini jadi terlongong bengong. Bahkan Jalapari sendiri langsung menyarungkan pedangnya lagi. Kakinya lalu melangkah menghampiri Pendekar Pulau Neraka yang tetap didampingi Lestari. Tanpa banyak bicara lagi, Jalapari langsung menyodorkan tangannya.

"Maaf, atas semua kesalahan dan kekhilafan kami semua," ucap Jalapari.

Bayu tidak bisa lagi berkata-kata. Disambutnya uluran tangan itu dengan hangat. Dan seketika itu juga, semua orang bersorak menyambut kembalinya nama harum Pendekar Pulau Neraka yang selama ini sempat dirusak oleh Setan Mata Satu. Bayu melepaskan jabatan tangannya pada tangan Jalapari.

"Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ki Bendawa," ucap Bayu.

"Ayahku korban pertamanya," ujar Jalapari agak sendu.

"Kita semua akan menghukum manusia iblis itu," selak Lestari.

"Sudah terlalu malam untuk memburu iblis itu. Sebaiknya, kalian semua beristirahat saja di sini," Jalapari menawarkan.

Dan memang, tawaran putra tunggal Ki Bendawa itu tidak bisa lagi ditolak. Terlebih lagi, Jalapari menyediakan rumahnya untuk mereka yang datang ke desa ini. Dan malam itu mereka banyak bicara untuk merencanakan pemburuan terhadap Setan Mata Satu yang sampai saat ini belum jelas.

Malam ini, Bayu sama sekali tidak bisa memejamkan mata barang sekejap pun. Walaupun udara malam ini begitu dingin, tapi pemuda ini merasa kepanasan. Sehingga keringatnya bercucuran bagai air yang keluar dari kulit gunung. Bayu melirik Eyang Jambak yang tidur satu kamar dengannya. Orang tua itu sudah sejak tadi mendengkur dengan tubuh terlipat seperti udang.

"Hhh...!"

Pelahan Bayu turun dari pembaringannya, sambil menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat. Kemudian kakinya melangkah keluar dari dalam kamar ini. Perlahan-lahan tangannya membuka pintu, kemudian menutupnya lagi dengan hati-hati sekali. Seakan dia tidak ingin seisi rumah ini terbangun.

Bayu terus berjalan pelahan-lahan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna tingkatannya. Begitu sempurnanya, sehingga setiap ayunan langkah kakinya tidak menimbulkan suara sedikit pun juga. Dan sebentar kemudian, Pendekar Pulau Neraka sudah berada di depan rumah Jalapari yang sangat besar ini.

Sementara saat ini sudah tengah malam. Bayu terus berjalan melintasi halaman depan rumah Jalapari yang cukup luas. Dan memang Jalapari termasuk orang terkaya di Desa Pangkar ini. Pendekar Pulau Neraka berjalan tanpa tujuan sama sekali. Tapi, kedua bola matanya beredar ke sekeliling, memandangi sekitarnya tanpa berkedip sedikit pun. Seakan, ada yang tengah dicarinya malam ini.

"Bayu..."
"Oh...?!"

Bayu tersentak kaget, begitu tiba-tiba mendengar panggilan dari belakang. Cepat tubuhnya berbalik. Keningnya langsung berkerut, begitu melihat sesosok tubuh ramping berdiri di tengah-tengah jalan ini. Malam yang cukup gelap ini, membuat Bayu terasa agak sulit melihat wajah orang itu. Tapi dari bentuk tubuhnya yang ramping dan indah, jelas sekali kalau dia seorang wanita. Perlahan Bayu melangkah mendekati.

"Lestari...," desis Bayu setelah bisa mengenali. Wanita yang memang Lestari itu menanti sampai Pendekar Pulau Neraka berada di depannya. Dan Bayu sendiri baru berhenti melangkah, setelah jaraknya sekitar tiga langkah lagi. Sesaat mereka hanya berdiri saja, tanpa mengeluarkan kata-kata.

"Kenapa kau ada di sini malam-malam?" tanya Bayu. "Kau tidak tidur...?"

"Aku tidak bisa tidur," sahut Lestari. "Mana Tiren?"

"Di kamarku. Tidur."

"Kau sendiri, kenapa berada di sini?" Lestari balik bertanya.

"Sama Aku juga tidak bisa tidur. Entah kenapa, aku merasa ingin keluar untuk jalan-jalan saja," sahut Bayu seenaknya.

"Bayu...," terputus suara Lestari.

"Hm...," Bayu hanya menggumam saja sedikit.

"Maaf, aku meninggalkanmu begitu saja siang tadi," ucap Lestari pelan.

"Dengan apa kau menyeberangi sungai?" tanya Bayu langsung.

"Rakit"

"Lalu, di mana kau bertemu Eyang Jambak dan yang lainnya?"

"Tidak jauh dari desa ini. Mereka juga sedang menuju ke sini. Maksudnya, untuk mencarimu."

"Mencariku...?"

"Ya... Mereka merasa bersalah, karena sudah menuduhmu jadi pembunuh sinting. Mereka ingin meminta maaf dan membersihkan namamu."

"Dari mana mereka tahu kalau kita menuju ke desa ini, Lestari?" tanya Bayu lagi.

"Salah seorang dari mereka tahu, senjata bintang itu dibuat di sini. Makanya, mereka langsung menuju ke sini lewat jalan lain."

"Maksudmu, mereka melintasi bukit?" Lestari mengangguk.

"Mereka melalui bukit, dan tidak bertemu si Setan Mata Satu. Sedangkan kita melalui sungai, juga tidak bertemu dengannya. Ke mana dia pergi...?" Bayu seperti bicara pada diri sendiri.

"Hanya satu tempat yang pasti ditujunya, Bayu," kata Lestari cepat.

"Di mana?" tanya Bayu.
"Lembah Bunga."

Kening Bayu jadi berkerut mendengar nama tempat yang disebutkan Lestari. Dia tahu, di mana letak Lembah Bunga itu. Namanya memang indah. Tapi, bukan berarti tempatnya juga indah seperti namanya. Lembah itu memang indah, kalau sedang musim bunga. Tapi di balik semua keindahannya, tersimpan keangkeran.

Sehingga, tidak ada seorang pun yang suka masuk ke sana. Lembah itu dihuni ribuan ular berbisa yang sangat mematikan. Makanya, banyak orang yang menyebutnya Lembah Bunga Berbisa. Bayu merasa tidak mungkin kalau Setan Mata Satu pergi ke sana. Setinggi apapun tingkat kepandaiannya sulit untuk bisa selamat bila memasuki lembah itu. Ular-ular berbisa yang menghuni lembah itu akan membunuhnya tanpa ampun lagi.

Tapi, memang tidak ada tempat lain lagi yang bisa dijadikan persembunyian si Setan Mata satu, selain di lembah Bunga. Dan untuk mencapai ke sana, harus menyusuri sungai sampai ke hilir. Belum lagi, harus melewati bukit batu yang terjal dan rapuh. Tidak sembarang orang bisa melewati bukit yang sewaktu-waktu bisa longsor itu.

"Akan kucoba ke sana," kata Bayu setelah cukup lama berpikir.

"Tidak sekarang, Bayu. Lagi pula, terlalu berbahaya pergi sendiri ke sana," cegah Lestari.

Bayu hanya tersenyum saja mendengar nada kecemasan dalam suara gadis ini. Dan tanpa bicara lagi, Pendekar Pulau Neraka melangkah pergi meninggalkan Lestari seorang diri. Sedangkan Lestari beberapa saat hanya diam memandangi. Kemudian bergegas dikejarnya Pendekar Pulau Neraka.

"Bayu, tunggu...!"

Bayu berhenti melangkah, dan menunggu Lestari sampai berada di depannya lagi. Beberapa saat gadis itu memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka.

"Tolong jaga Tiren. Hanya kau yang sudah dikenalnya," ujar Bayu berpesan.

"Kau akan tetap pergi ke sana malam ini juga?" tanya Lestari tidak dapat lagi menyembunyikan kecemasannya.

"Ya, sebelum lebih banyak korban jatuh lagi!"

"Aku tidak bisa mencegahmu. Bayu. Hati-hatilah...," ujar Lestari sambil menggigit bibir bawahnya sendiri.

Bayu tersenyum kecil. Ditepuknya pundak gadis itu, kemudian melangkah pergi meninggalkannya. Lestari hanya bisa memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka menempuh bahaya seorang diri. Dan setelah bayangan tubuh Bayu menghilang dari pandangan, bergegas tubuhnya berbalik dan berlari menuju ke rumah Jalapari.


***


Bayu berdiri tegak di atas tanah berbukit yang tidak seberapa tinggi. Dari tempat ini, Pendekar Pulau Neraka bisa memandang ke arah Lembah Bunga yang tidak begitu besar. Sungguh indah pemandangan lembah itu. Entah, berapa jenis bunga tumbuh di lembah ini. Tapi di balik semua keindahan itu, tersimpan sejuta bahaya yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Di lembah yang kelihatan indah itu, sebenarnya adalah sarang ular-ular berbisa yang sangat mematikan. Sehingga tidak ada seorang pun yang mau memasukinya. Bahkan untuk melewatinya saja, orang akan berpikir seribu kali.

"Apapun yang terjadi, aku harus tetap ke sana," gumam Bayu bicara sendiri dalam hati.

Bayu memang sudah bertekad masuk ke dalam lembah itu. Walaupun disadari bahaya yang akan menghadang, namun dengan hati mantap Pendekar Pulau Neraka mulai melangkah mendekati Lembah Bunga ini. Pendengarannya dipasang setajam mungkin. Dan kedua matanya dipentang lebar, mengamati setiap jengkal tanah yang dipijaknya. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya sehingga rerumputan yang dipijaknya tidak bergerak sedikit pun juga. Bahkan tidak terlihat adanya bekas pijakan kakinya.

"Hup...!"

Pendekar Pulau Neraka cepat melompat, ketika tiba-tiba saja seekor ular meluruk deras ke arahnya. Ular berbisa itu lewat sedikit saja di bawah telapak kakinya. Cepat tubuhnya berputaran di udara. Lalu, tangan kirinya langsung bergerak cepat menghantam kepala ular sebesar lengan itu. Seketika kepala ular itu hancur berantakan. Dan Bayu kembali menjejakkan kakinya di atas rerumputan Lembah Bunga ini dengan ringan sekali, bagai segumpal kapas jatuh ke tanah.

"Hampir saja...," desah Bayu sambil menghembuskan napas panjang.

Kembali Pendekar Pulau Neraka melangkah semakin masuk ke dalam lembah yang dipenuhi bunga beraneka warna dan jenis ini. Telinganya terus dipasang tajam, dan matanya juga tidak berkedip sedikit pun juga memperhatikan setiap jengkal langkahnya. Namun baru saja berjalan beberapa langkah...

Wusss...!
"Haps...!"

Cepat Pendekar Pulau Neraka mengangkat tangan kanannya, begitu terlihat kilatan cahaya putih keperakan meluruk deras ke arahnya. Dan benda berwarna putih keperakan itu tepat menghantam Cakra Maut yang ada dipergelangan tangannya.

Cring!

Benda itu kembali terpental. Sedangkan Bayu tetap berdiri tegak dengan tangan kanan masih berada di depan dada. Sekilas matanya melirik benda keperakan yang tergeletak tidak jauh di depannya. Sebuah benda berbentuk bintang persegi enam yang terbuat dari perak.

"Setan Mata Satu...," desis Bayu langsung mengenali senjata bintang itu.

Bayu semakin menajamkan pendengarannya. Serangan itu sudah menandakan, kalau di lembah inilah Setan Mata Satu bersembunyi. Dan belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa berpikir lebih jauh lagi, terdengar suara semak bergemerisik dari sebelah kanannya. Tepat di saat tubuhnya berputar ke kanan, melesat sebuah bayangan putih dengan kecepatan bagai kilat ke arahnya.

"Hup! Yeaaah...!"

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka melenting ke atas. Dan seketika itu juga, kedua tangannya dihentakkan ke depan disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Dan.

Plak!
"Hap...!"

Bayu cepat-cepat memutar tubuhnya ke belakang dua kali, begitu kedua telapak tangannya terasa membentur benda keras yang melesat begitu cepat ke arahnya. Tampak bayangan putih itu juga berputar balik ke belakang beberapa kali Dan hampir bersamaan, mereka sama-sama menjejak tanah berumput cukup tebal ini.

"Setan Mata Satu...," desis Bayu langsung mengenali laki-laki yang kini berada sekitar satu batang tombak di depannya.

Seorang laki-laki berwajah buruk dan penuh cacat goresan bekas luka. Sebelah matanya tertutup kulit berwarna hitam yang diikatkan ke belakang kepala dengan tali dari urat binatang. Sebuah pedang tampak tergantung di pinggangnya.

"Tidak percuma julukanmu Pendekar Pulau Neraka Kau berani masuk ke lembah ini, berarti berani mempertaruhkan nyawamu," terasa begitu dingin nasa suara Setan Mata Satu.

"Kita lihat nanti, siapa yang lebih dulu melayang nyawanya," sambut Bayu tidak kalah dinginnya.

"He he he he...! Kau sekarang berada di daerah kekuasaanku, Pendekar Pulau Neraka. Dulu aku boleh kalah. Tapi sekarang, jangan harap!"

"Di mana pun kau berada, hari ini juga kau harus mempertanggungjawabkan semua perbuatanmu! Sekalian menuntaskan pertarungan kita," dengus Bayu dingin menggetarkan.

"Bagus! Tahan seranganku Hiyaaa...!"

Cring!

Sambil melompat disertai teriakan keras menggelegar, Setan Mata Satu langsung mencabut pedangnya. Dan seketika itu juga, dikibaskan tepat mengarah ke leher Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Bayu jadi terkesiap sesaat

"Hap! Yeaaah...!"

Tapi cepat sekali Pendekar Pulau Neraka mengangkat tangan kanannya ke atas. Dan seketika itu juga, mata pedang Setan Mata Satu membentur Cakra Maut yagn selalu menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.

Tring!
"Ikh...?!"

Setan Mata Satu jadi terpekik kaget setengah mati, begitu tangannya terasa jadi bergetar akibat pedangnya membentur keras senjata maut Pendekar Pulau Neraka yang menempel dipergelangan tangan kanannya. Cepat dia melompat ke belakang sambil memutar tubuhnya dua kali. Tapi belum juga kakinya menjejak tanah, Bayu sudah melesat begitu cepat sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Maka Setan Mata Satu terpaksa harus memutar tubuhnya lagi ke belakang, menghindari serangan balasan Pendekar Pulau Neraka.

"Hih! Yeaaah...!"

Gagal dengan serangannya, Bayu segera membungkukkan tubuhnya sedikit miring ke kiri. Lalu, tangan kanannya mengibas begitu cepat ke depan.

"Wusss!

Seketika itu juga, Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangannya melesat bagai kilat Senjata bulat persegi enam itu melunak deras, menyerang Setan Mata Satu yang baru saja menjejak di tanah. Mendapat serangan beruntun dan sangat cepat ini, si Setan Mata Satu jadi kelabakan juga. Memang tidak ada lagi kesempatan baginya untuk berkelit menghindari senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Dan...

"Hih! Hiyaaa...!"
Bet!

Cepat Setan Mata Satu mengebutkan pedangnya, menangkis serangan Cakra Maut Lalu kakinya ditarik ke belakang dua langkah, begitu Cakra Maut terpental balik ke pemiliknya. Tapi tanpa diduga sama sekali, senjata maut Pendekar Pulau Neraka berputar begitu cepat dan kembali melunak deras menyerang si Setan Mata Satu.

"Gila...! Hih! Yeaaah...!"

Sambil membentak berang, Setan Mata Satu cepat melenting ke atas sambil mengebutkan pedangnya, menyampok Cakra Maut yang meluncur deras ke arahnya. Namun kedua bola mata Setan Mata Satu jadi terbeliak lebar, karena Cakra Maut bisa meliuk menghindari tebasan pedangnya. Bahkan benda berbahaya itu langsung melesat mengejar dada laki-laki bermata satu ini.

"Setan! Hih!"
Bet!

Cepat Setan Mata Satu menarik pedangnya, dan langsung dikebutkan menyilang ke depan tubuhnya. Dan seketika itu juga, mata pedangnya keras sekali membentur Cakra Maut sehingga sampai menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Setan Mata Satu cepat-cepat melenting ke belakang sambil berputaran beberapa kali.

Sementara, Cakra Maut kembali melesat balik dan menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Dan kini si Setan Mata Satu sudah kembali menjejakkan kakinya di tanah berumput. Beberapa saat mereka hanya berdiri saling berhadapan saja, dengan tatapan mata begitu tajam menusuk. Seakan, mereka sama-sama sedang mengukur tingkat kepandaian masing-masing.

"Saatnya kematianmu menjemput, Setan Mata Satu! Yeaaah...!"

Sambil membentak keras menggelegar, Bayu tiba-tiba saja melompat begitu cepat bagai kilat. Dan seketika itu juga, satu pukulan keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dilepaskan, tepat mengarah ke bagian dada lawannya.

"Hap! Yeaaah...!"
Bet!

Tapi, si Setan Mata Satu tidak tinggal diam begitu saja. Dengan cepat sekali pedangnya dikebutkan ke depan, mendahului pukulan Pendekar Pulau Neraka. Dan pada saat itu juga, tanpa diduga sama sekali Bayu cepat meluruk turun. Dan begitu kakinya menjejak tanah, cepat tangan kanannya dihentakkan ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk.

"Yeaaah...!"
Wusss...!

Kembali Cakra Maut melesat dari pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka, mengarah ke bagian kepala Setan Mata Satu. Tepat di saat si Setan Mata Satu mengebutkan pedangnya untuk menangkis serangan Cakra Maut, Bayu langsung saja meluruk deras sambil memberi satu sodokan keras ke perut lawannya.

Mendapat serangan dari dua arah yang begitu cepat dan hampir bersamaan waktunya, membuat si Setan Mata Satu jadi kelabakan juga. Bahkan sama sekali tidak punya waktu untuk berkelit, menghindari sodokan tangan kiri Pendekar Pulau Neraka. Hingga...

"Hih...!"

Terpaksa Setan Mata Satu menangkis sodokan itu dengan tangan kirinya Dan..

Plak!
"Akh...!"

Setan Mata Satu jadi terpekik agak tertahan, begitu sodokan tangan kiri Pendekar Pulau Neraka menghantam tepat pergelangan tangan kirinya. Cepat dia melompat ke belakang tiga langkah, tapi pada saat kedua kakinya menjejak tanah, Bayu sudah memberi satu tendangan begitu keras dan menggeledek

"Yeaaah...!"

Setan Mata Satu tidak punya kesempatan sedikit pun juga untuk menghindarinya. Terlebih lagi, keadaan tubuhnya sedang limbung akibat menahan sodokan keras tangan kiri Pendekar Pulau Neraka tadi. Akibatnya tendangan keras yang dilepaskan Bayu yang mengarah dadanya sulit dihindari.

Diegkh!
Diegkh!
"Akh...!"

Kembali Setan Mata Satu terpekik keras. Tubuhnya kontan terpental ke belakang tanpa dapat ditahan lagi, Setelah dadanya terkena tendangan dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Keras sekali punggung si Setan Mata Satu menghantam pohon berukuran cukup besar, hingga hancur berkeping-keping.

"Hap...!"

Namun Setan Mata Satu bisa cepat bangkit kembali. Dan langsung menyilangkan pedangnya di depan dada. Tampak pergelangan tangan kirinya membiru, akibat terkena tendangan yang begitu keras dan bertenaga dalam sempurna dari Pendekar Pulau Neraka tadi. Sudah barang tentu tulang-tulang kiri si Setan Mata Satu sudah tidak lagi bisa digunakan. Dan kesempatan ini sama sekali tidak disia-siakan Bayu.

Sambil berteriak keras menggelegar. Pendekar Pulau Neraka kembali melancarkan serangan yang begitu dahsyat luar biasa. Setiap pukulan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka selalu menimbulkan hempasan angin begitu keras, membuat tubuh Setan Mata Satu selalu limbung. Tapi, laki-laki bermata sebelah itu masih bisa berkelit, menghindari setiap serangan yang datang beruntun itu. Dan sesekali, dia masih bisa memberikan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Tapi ketika Bayu memberi satu pukulan keras ke kepalanya....

"Haiiit..!"

Setan Mata Satu cepat-cepat merunduk menghindari pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka dengan tubuh sedikit terbungkuk. Dan pada saat itu juga, Bayu memutar tubuhnya ke kiri. Lalu dengan kecepatan bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

"Yeaaah...!"

Begitu cepat serangan Pendekar Pulau Neraka, sehingga Setan mata Satu tidak memiliki kesempatan menghindarinya. Dan tendangan keras Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam perutnya. Membuat si Setan Mata Satu jadi mengeluh dan terbungkuk. Dan Pada Saat Itu juga, Bayu melepaskan satu pukulan dahsyat ke wajah yang buruk penuh luka goresan itu

"Diegkh!
"Akh...!"

Kembali si Setan Mata Satu terpekik, begitu wajahnya terkena hantaman keras Pendekar Pulau Neraka. Dan seketika itu juga, darah muncrat keluar dari mulutnya. Tepat di saat kepala lawannya terdongak ke atas dengan tubuh terhuyung ke belakang, Bayu langsung saja mengebutkan tangan kanannya ke depan, tubuhnya membungkuk sedikit agak miring ke kiri.

"Yeaaah...!"
Slap!

Cakra Maut kembali melesat cepat bagai kilat menyerang si Setan Mata Satu. Sedangkan saat itu, si Setan Mata Satu dalam keadaan tidak menguntungkan. Akibatnya....

Crab!
"Aaaa...!"

Jeritan panjang yang melengking tinggi pun seketika terdengar memenuhi lembah ini, begitu Cakra Maut menembus dada laki-laki bermata sebelah ini. Sementara Bayu cepat melompat ke belakang sambil mengangkat tangannya ke atas. Maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangannya, setelah menembus dada si Setan Mata Satu sampai tembus ke punggungnya.

Tampak si Setan Mata Satu semakin limbung, tidak dapat lagi menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan belum lagi Bayu bisa berbuat sesuatu, Setan Mata Satu sudah ambruk ke tanah dengan memperdengarkan jeritan panjang dan keras menyayat hati. Tubuhnya bergulingan beberapa kali, sebelum berhenti menabrak sebongkah batu sebesar badan kerbau di belakangnya. Sebentar si Setan Mata Satu menggeliat sambil meregang nyawanya.

Sementara, Pendekar Pulau Neraka memandangi dengan tangan terlipat di depan dada. Dan begitu kakinya terayun hendak mendekati, si Setan Mata Satu sudah mengejang kaku, lalu diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah masih terus berhamburan keluar dari dada dan punggungnya yang tertembus Cakra Maut tadi.

"Hhhh...!"

Bayu menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat setelah yakin kalau si Setan Mata Satu benar-benar sudah tidak bernyawa lagi. Sebentar Pendekar Pulau Neraka memandangi, kemudian tubuhnya berbalik hendak meninggalkan lembah ini.

"Hup! Hiyaaa...!"

Bayu tidak mau berlama-lama berada di dalam Lembah Bunga. Disadari betul bahaya yang bisa saja datang secara tiba-tiba di dalam lembah ini. Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna, Pendekar Pulau Neraka berlari cepat meninggalkan lembah ini. Dan dia terus menuju daerah perbukitan, yang membatasi lembah ini dengan dunia sekelilingnya. Dan sebentar saja, Bayu sudah berada di atas bukit yang letaknya di luar dari Lembah Bunga.

"Aku harus kembali ke Desa Pangkar untuk memberitahukan kematian Setan Mata Satu," ujar Bayu dalam hati. Dan Pendekar Pulau Neraka terus berlari dengan kecepatan tinggi menuju Desa Pangkar lagi. Sementara malam pun terus merayap semakin larut, mengiringi kepergian Pendekar Pulau Neraka ke Desa Pangkar lagi.


SELESAI

Episode Selanjutnya SEPASANG BANGAU PUTIH