Sepasang Bangau Putih - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita silat serial pendekar pulau neraka
Episode Sepasang Bangau Putih

Karya Teguh S
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



Pendekar Pulau Neraka Episode sepasang bangau putih



SATU

Debu berkepul membumbung tinggi ke angkasa, ketika kaki-kaki dua ekor kuda yang dipacu dengan kecepatan ringgi, melintasi jalan tanah berdebu di kaki lereng Gunung Jambik. Dua anak muda yang sudah kotor berdebu seluruh tubuhnya itu, semakin cepat menggebah kuda mereka yang sudah terengah kecapaian. Sementara matahari sudah condong ke sebelah barat. Cahayanya ridak lagi terasa terik dan menyengat.

"Berhenti dulu, Kakang...!"

Tiba-tiba salah satunya yang ternyata seorang gadis berusia muda berteriak keras sambil menarik tali kekang kuda. Kuda yang ditungganginya meringkik nyaring, sambil mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Hampir saja gadis itu terpelanting, kalau dia tidak cepat mengendalikan kudanya. Dan seorang lagi yang ternyata pemuda berwajah tampan, langsung menghentikan lari kudanya.

"Ada apa, Untari? Kenapa mendadak kau berhenti?" tanya pemuda itu sambil mendekatkan kudanya ke kuda yang ditunggangi gadis ini.

"Kita berhenti dulu di sini, Kakang Perbawa," sahut gadis cantik bernama Untari itu.

Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, Untari melompat turun dari punggung kudanya. Dari gerakannya saja, sudah bisa dipastikan kalau gadis itu memiliki kepandaian yang tidak bisa dikatakan rendah. Dia berdiri tegak di samping kudanya. Sedangkan pemuda yang bernama Perbawa masih tetap berada di punggung kudanya. Dia hanya memandangi saja gadis cantik yang mengenakan baju putih ketat itu, sama seperti yang dikenakannya. Dan keduanya juga sama-sama menyandang sebilah pedang di punggung masing-masing.

"Padepokan Tangan Baja sudah tidak jauh lagi. Kalau kita terus, belum gelap sudah sampai di sana, Kakang. Apa kau lupa, kita harus sampai di sana dalam suasana gelap?" kata Untari mengingatkan.

"Hup!"

Tanpa banyak bicara lagi, Perbawa melompat turun dari punggung kudanya. Begitu indah dan ringan gerakannya, hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua telapak kakinya menjejak tanah. Dia membiarkan saja kudanya melangkah ke tepi jalan yang ditumbuhi rerumputan. Sedangkan kuda milik Untari, sudah sejak tadi mengisi perutnya di pinggiran jalan tanah berdebu itu.

"Ini yang ke berapa, Untari?" tanya Perbawa seraya menghenyakkan tubuhnya, duduk bersandar di bawah pohon yang tumbuh di pinggir jalan.

"Tiga," sahut Untari juga ikut duduk di sebelah Perbawa.

"Berapa lagi yang harus kita datangi?" tanya Perbawa lagi.

"Kalau dengan yang ini, semuanya tujuh lagi."

Perbawa hanya diam saja. Keningnya tampak ber-kerut, dengan tatapan mata tertuju lurus ke depan. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Sedangkan Untari sudah kembali berdiri dan meng-hampiri kudanya. Dia membereskan pelana kuda tunggangannya itu, kemudian melompat naik. Perbawa hanya memperhatikan dari sudut ekor mata-nya.

"Mau ke mana kau, Untari?" tanya Perbawa tanpa beranjak dari duduknya.

"Aku mau melihat ke ujung jalan itu dulu," sahut Untari. "Hiyaaa...!"

Tanpa menunggu jawaban dari Perbawa, Untari langsung menggebah kudanya dengan cepat Se-mentara Perbawa kembali menyandarkan punggung-nya ke batang pohon. Dan kelopak matanya langsung terpejam.
Sementara itu Untari sudah sampai ke ujung jalan yang bercabang. Dihentikan lari kudanya di ujung jalan itu. Matanya yang bulat dan indah, langsung beredar memperhatikan jalan bercabang di kanan dan kirinya. Keadaan sepi sekali. Sejauh mata memandang, tidak seorang pun terlihat di sepanjang jalan.

Saat itu matahari sudah hampir tenggelam di balik peraduannya. Hanya rona merah yang tampak membias di kaki langit barat Untari memutar kudanya kembali ke jalan semula. Namun belum juga dia menggebah kudanya lagi, tiba-tiba....

Srak!
"Heh...?!"
"Heaaaa...!"

Belum sempat Untari bisa menghilangkan keterkejutannya, tiba-tiba saja sudah muncul sesosok bayangan merah berkelebat cepat sekali. Sosok itu keluar dari balik gerumbul semak yang ada tepat di samping kiri jalan. Bayangan merah itu langsung meluruk deras menyerang Untari. Tapi....

"Haiiittt..!"
Cring!
Wut!
Cras!
"Aaaa...!"

Cepat sekali Untari mencabut pedang, yang langsung dikebutkan ke atas kepala, sambil membungkukkan tubuh hingga hampir merapat dengan punggung kudanya. Dan kibasan pedangnya menyambar bayangan merah itu. Seketika terdengar suara jeritan panjang melengking tinggi.

"Hup!"
Bruk!

Tepat ketika Untari melompat turun dari punggung kuda, sesosok tubuh mengenakan baju merah terjatuh dengan keras sekali di samping kanan kuda. Sementara Untari menjejakkan kaki dengan ringan sekali di pinggir jalan. Tatapan tajam matanya langsung memandangi sosok tubuh yang tergeletak di jalan tanah berdebu. Darah tampak mengucur deras dari dadanya yang robek cukup lebar.

Ketika Untari masih memandangi sosok tubuh lelaki yang sudah tak bemyawa terkena sabetan pedangnya itu, tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari arah belakang. Cepat dia memutar tubuhnya berbalik. Saat itu juga, terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat menerjang ke arahnya.

"Hup! Yeaaah...!"


***


Untari cepat melompat ke belakang, sambil mengebutkan pedang ke arah bayangan merah yang menerjangnya dengan kecepatan tinggi bagai kilat itu. Namun tampaknya orang ini lebih gesit dari yang pertama. Dia bisa menghindari sabetan pedang dengan melenting kembali ke belakang. Dan tepat secara bersamaan mereka menjejakkan kaki di tanah. Kini di depan Untari berdiri seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahunan. Tubuhnya yang tegap terbalut pakaian merah menyala, sama persis seperti yang dikenakan penyerang pertama. Sebuah pedang tergantung di pinggangnya.

"Siapa kau? Kenapa menyerangku?" tanya Untari.

Laki-laki berbaju merah itu tidak menjawab sedikit pun. Dia malah menatap wajah Untari dengan sinar mata yang begitu tajam menysuk. Perlahan dia menggeser kakinya ke kanan sambil menyentuh gagang pedang yang tergantung di pinggang dengan siku tangan kiri.

Tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara siulan melengking tinggi, dengan nada yang terdengar aneh dan menyakitkan telinga. Untari tersentak kaget mendengar siulan itu. Namun belum sempat dia bisa menghilangkan keterkejutannya, mendadak dari segala arah di sekelilingnya sudah berlompatan sosok-sosok tubuh berbaju merah menyala. Sebentar saja gadis itu sudah terkepung tidak kurang dari lima belas orang lelaki berpakaian serba merah, yang semuanya sudah menghunus pedang.

"Seraaang...! Bunuh gadis itu...!"

Tiba-tiba orang yang muncul menyerang tadi berteriak dengan suaranya yang keras dan menggelegar. Seketika orang-orang berbaju serba merah menyala itu langsung berlompatan menyerang Untari sambil berteriak-teriak keras menggetarkan jantung. Dalam sekejap Untari sudah terkepung kelebatan kilatan-kilatan pedang yang mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan.

"Hep! Yeaaah...!"

Untari tidak punya pilihan lain lagi. Dengan cepat ia melenting sambil berputar. Dan secepat itu juga tangannya mencabut pedang dan menangkis sebuah pedang yang berkelebat begitu cepat mengarah ke dadanya.

"Hih!"
Tring!

Secepat kilat Untari menarik tubuh hingga doyong ke belakang untuk menghindari sabetan pedang yang datang dari arah samping. Dan secepat itu pula dilepaskannya satu tendangan ke depan yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangan yang dilepaskan gadis berbaju putih itu, sehingga lawan yang berada di depannya tidak sempat bergerak menghindar ataupun menangkisnya.

Diegkh!
"Akh...!"

Orang itu memekik keras, begitu dadanya terkena tendangan menggeledek yang bertenaga dalam tinggi dari Untari. Seketika tubuhnya terpental cukup jauh ke belakang. Sementara Untari sendiri sudah harus menempatkan pedangnya ke belakang punggung, ketika satu serangan pedang lawan yang lain membabat ke arah punggungnya.

Trang!

Kembali pedang Untari berhasil menangkis serangan pedang lawannya. Pada saat itu juga, satu pukulan yang dilepaskannya berhasil menghantam tubuh lawan yang berada tepat di sebelah kirinya. Jeritan panjang pun terdengar menyayat. Satu orang lawannya terjungkal mencium tanah. Untari kembali berlompatan sambil membabatkan pedangnya, menghantam setiap lawan yang datang menyerang secara cepat dan beruntun.

Namun mendadak terdengar jeritan-jeritan kematian yang panjang dan melengking tinggi. Disusul dengan berpentalannya lawan-lawan Untari ke atas disertai dengan semburat darah segar yang membasahi tanah sekitar pertarungan.

Melihat keadaan itu Untari terkejut dan keheranan. Tapi dia tidak sempat lagi untuk bertanya walau di dalam hati.

Pandangan matanya yang tajam, langsung dapat melihat seorang pemuda berbaju putih tengah melesat cepat sekali menghajar orang-orang berbaju serba merah dengan pedangnya yang berkelebatan bagai kilat. Tak satu pun lawan-lawannya yang mampu membendung serangan kilat itu. Untari tahu siapa pemuda yang tiba-tiba datang membantunya.

"Kakang Perbawa...," desis Untari dengan perasaan lega.

"Hiyaaat..!"
Bet! Cras!
"Aaaa...!"

Jeritan-jeritan kematian pun semakin sering terdengar saling sambut Dan tubuh-tubuh bersimbah darah terus berjatuhan tanpa ampun lagi. Kedatangan Perbawa membuat semangat Untari kembali berkobar menyala. Dengan ganas sekali dia mengayunkan pedang, membabat setiap lawan yang berada dalam jangkauannya. Sementara Perbawa sendiri dengan gerakan-gerakan yang begitu cepat juga tidak terbendung lagi.

Hingga dalam waktu tidak berapa lama, sekitar lima belas orang berpakaian serba merah tidak ada lagi yang bisa berdiri. Mereka semua terbujur kaku tanpa nyawa dengan darah berhamburan membasahi jalan tanah berdebu. Untari dan Perbawa segera menyarungkan pedang yang bemoda darah ke dalam warangka seraya menghela napas lega melihat lawan-lawannya yang bergelimpangan.

"Ayo, Untari. Tinggalkan tempat ini," ajak Perbawa sambil melangkah menghampiri kudanya.

Untari juga segera mendekati kudanya yang berada tidak jauh dari tempat pertarungan. Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, mereka berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Dan tanpa bicara sedikit pun, keduanya langsung menggebah kuda perlahan meninggalkan tempat pertarungan itu. Meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih, dengan darah membanjiri sekitarnya.


***


"Untung kau tadi cepat datang, Kakang," ujar Untari setelah mereka cukup jauh meninggalkan tempat pertarungan tadi.

"Tanpa aku, kau juga bisa menghabiskan mereka, Untari," sahut Perbawa kalem.

"Mereka memang tidak ada apa-apanya, Kakang," ujar Untari bangga mendapat sanjungan Perbawa.

Pemuda itu hanya tersenyum dikulum. Dia tahu kalau Untari senang mendapat sanjungan. Dan mereka tidak bicara lagi, terus mengendalikan kudanya perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu.

"Kau tahu siapa mereka, Untari?" tanya Perbawa setelah beberapa saat terdiam.

Untari menggelengkan kepalanya.

"Tapi kenapa kau sampai bentrok dengan mereka?" tanya Perbawa lagi.

"Aku tidak tahu, Kakang. Tiba-tiba saja mereka muncul dan langsung menyerang," sahut Untari menjelaskan.

"Mustahil kalau mereka menyerang tanpa ada maksud apa-apa," desis Perbawa tidak percaya.

"Kau tidak percaya padaku, Kakang...?" dengus Untari.

"Aku percaya. Tapi apa mungkin ada orang yang menyerang tanpa sebab...? Mereka menyerangmu pasti karena ada sebabnya. Apalagi tanpa bicara sedikit pun. Kau sama sekali tak mengenal mereka, Untari?"

"Tidak," sahut Untari tegas.

"Juga tidak mengenali pakaiannya?" selidik Perbawa lagi.

Untari terdiam mendengar pertanyaan yang bernada menyelidik itu. Keningnya terlihat berkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu. Namun tidak lama kemudian, kepalanya menggeleng perlahan. Dia sama sekali tidak mengenal orang-orang yang menyerangnya tadi. Bahkan tidak sempat mengenali pakaian yang mereka kenakan, walaupun jelas mereka mengenakan pakaian yang sama, baik corak maupun warnanya. Bahkan semua menggunakan pedang yang sama persis bentuk dan ukurannya. Namun Untari benar-benar tidak tahu siapa mereka itu semua.

"Aku sama sekali tidak tahu, Kakang," terdengar pelan suara Untari.

"Ya, sudahlah...," desah Perbawa disertai hem-busan napas panjang.

Untari jadi terdiam lagi. Keningnya masih tetap berkerut, dengan pandangan mata tertuju lurus ke depan. Agaknya dia masih tetap berusaha mengingat siapa orang-orang yang menyerangnya tadi. Namun semakin keras dia berusaha mencari tahu, semakin sulit untuk mengetahuinya. Untari benar-benar tidak mengenali orang-orang yang berbaju merah tadi. Sedangkan Perbawa juga tidak bicara lagi.

Mereka terus menjalankan kuda perlahan-lahan. Sementara malam sudah turun menyelimuti kaki lereng Gunung Jambik. Kegelapan sudah menyelimuti sekitarnya. Angin yang beraup pun mulai terasa dingin menyengat kulit. Namun kedua anak muda itu terus menjalankan kuda mereka perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu itu.

Lama juga keduanya terdiam tanpa berbicara, hingga tiba di suatu tempat tanah lapang dan berumput. Tampak di seberang mereka berdiri sebuah bangunan yang dikelilingi pagar kayu tinggi, seperti sebuah benteng pertahanan.

Rupanya bangunan di lereng Gunung Jambik inilah yang mereka tuju. Sebuah bangunan padepokan milik Ki Ampal. Seorang tokoh sakti yang dulu pernah malang melintang di rimba persilatan. Tokoh ini dikenal dengan julukan si Tangan Baja. Itu sebabnya padepokan yang didirikannya pun diberi nama Padepokan Tangan Baja. Sesuai dengan nama julukan yang disandangnya. Bahkan sampai sekarang, masih banyak orang yang memanggilnya dengan nama si Tangan Baja, daripada Ki Ampal. Namun ketika usianya tua, Ki Ampal mendirikan sebuah padepokan di kaki lereng Gunung Jambik ini. Lebih dari lima puluh orang menjadi muridnya.

Sementara Untari dan Perbawa masih tetap berada di punggung kuda masing-masing, me-mandangi padepokan yang masih berada cukup jauh dari mereka. Namun bangunan padepokan itu sudah terlihat jelas, tanpa satu pohon pun yang meng-halanginya. Untuk mencapai ke sana, mereka harus melewati tanah lapang yang tentu saja akan terlihat dari bangunan padepokan itu.

"Kau lihat, Untari. Ketat sekali penjagaannya," ujar Perbawa tanpa memalingkan sedikit pun pandangan-nya dari banguan padepokan yang mirip benteng pertahanan itu.

"Aku tahu," sahut Untari juga tidak memalingkan perhatiannya dari bangunan itu.

"Kau tetap akan ke sana?" tanya Perbawa lagi, seakan ingin memastikan.

"Ya," sahut Untari mantap.

"Kau tahu berapa jumlah murid si Tangan Baja?" tanya Perbawa lagi, bernada menyelidik.

"Sekitar lima puluh orang. Itu juga kalau mereka semua ada di sana."

"Lima puluh orang..." gumam Perbawa pelan. "Sedangkan kita hanya berdua. Apa mungkin kita bisa menghadapi mereka, Untari?"

"Aku heran, kenapa kau jadi ragu-ragu begitu, Kakang? Apa yang membuatmu jadi ragu...?" tanya Untari keheranan, sambil menatap wajah tampan Pemuda di sebelahnya.

"Bukannya aku ragu, Untari. Aku hanya ingin tahu, apakah kau sudah menyelidikinya lebih dahulu seperti padepokan-padepokan lainnya?" ujar Perbawa bernada bertanya.

"Tidak ada satu padepokan pun yang terlewat dari penyelidikanku, Kakang. Aku sudah tahu seberapa kekuatan mereka. Dan semua, hanya guru-gurunya yang perlu diberi perhatian lebih. Sedangkan murid-muridnya.... Hm, aku sendiri juga sanggup menghabisi mereka semua dalam waktu singkat," jelas Untari dengan bibir agak mencibir merendahkan.

Perbawa hanya melirik sedikit memperhatikan wajah cantik gadis itu. Namun di balik kecantikan wajahnya itu, terlihat guratan-guratan kekerasan yang tidak dapat disembunyikan. Bahkan sorot matanya terlihat berapi-api, bagai menyimpan sesuatu yang begitu dahsyat.

"Kita ambil jalan memutar, Kakang," kata Untari mengajak.

"Lewat mana?" tanya Purbawa.

Untari tidak sempat lagi menjawab. Dia sudah memutar kuda dan menggebahnya dengan cepat. Perbawa bergegas mengikuti gadis itu dari belakang. Keduanya meninggalkan tanah lapang itu dan kembali melintasi jalan yang mereka lalui tadi ketika datang.


***


DUA

Sementara itu di dalam bangunan Padepokan Tangan Baja, Ki Ampal sedang menerima seorang tamu, sahabat kentalnya. Seorang lelaki berusia sebaya dengan dirinya. Hanya sebelah mata orang itu tertutup kulit hitam yang diikatkan ke belakang kepala. Dan terlihat sebuah golok berukuran besar berwarna hitam tersandang di punggungnya. Dia bernama Ki Denggis, yang lebih dikenal dengan julukan Golok Setan Penyambar Nyawa.

Walaupun dalam usia yang sudah mencapai tujuh puluh tahun, Ki Denggis masih kelihatan kekar dan berotot. Lain dengan Ki Ampal yang kini selalu mengenakan baju jubah panjang wama hijau muda. Tubuhnya sudah kelihatan kurus dan mengendur. Hanya sinar matanya yang masih terlihat bersorot tajam, penuh dengan gairah kehidupan yang menyala-nyala.

"Maaf, dengan penyambutan murid-muridku tadi padamu," ucap Ki Ampal dengan sikap penuh hormat

"Penyambutan yang wajar, Ampal. Aku bisa memaklumi. Murid-muridmu memang tak ada yang kenal denganku. Selama kau mendirikan padepokan di sini, baru kali ini aku datang, kan...? Sudah barang tentu mereka tak ada yang mengenalku," sambut Ki Denggis maklum.

"Terima kasih, Kakang," ucap Ki Ampal.

"Sebenarnya aku datang ke sini untuk memberitahukan sesuatu yang sangat penting padamu, Ampal," ujar Ki Denggis langsung pada persoalannya.

"Hm, berita apa itu...?"

"Berita yang mungkin akan membuatmu terkejut," sahut Ki Denggis datar.

Ki Ampal tampak mengerutkan kening. Dia memandangi tamunya dengan tatapan mata yang cukup dalam.

"Dalam beberapa hari ini, sudah dua padepokan sahabat kita yang hancur. Bahkan tidak ada seorang pun yang dibiarkan hidup...," ujar Ki Denggis meng-awali ceritanya.

"Padepokan apa itu?" tanya Ki Ampal.

"Padepokan Cakar Naga dan Padepokan Tongkat Hitam," sahut Ki Denggis.

"Ah...!"

Ki Ampal menghembuskan napas panjang, mendengar dua padepokan yang sudah dikenalnya dengan baik kini hancur tak bersisa lagi. Dia tahu siapa ketua kedua padepokan itu. Mereka memang sahabat-sahabat kentalnya.

"Siapa yang menghancurkannya?" tanya Ki Ampal setelah beberapa saat terdiam.

"Sepasang Bangau Putih," sahut Ki Denggis.

"Sepasang Bangau Putih...?"

Kening Ki Ampal kembali berkerut dengan kelopak mata sedikit menyipit. Seakan dia sedang berpikir, mengingat-ingat nama yang baru saja disebutkan sahabatnya itu. Tidak lama kemudian, kepalanya terlihat bergerak menggeleng beberapa kali dengan perlahan.

"Rasanya aku tak pernah mendengar nama itu...," desah Ki Ampal perlahan.

"Kau memang tidak pernah mendengarnya, Ampal. Aku sendiri baru mendengar setelah kedua padepokan itu mereka hancurkan. Tapi dari apa yang sudah aku ketahui, mereka hanya dua orang anak muda yang berkepandaian tinggi," sambung Ki Denggis.

"Hm.... Lalu apa hubungannya denganku?" tanya Ki Ampal lagi.

"Dengar, Ampal. Kau masih ingat berapa orang dari kelompok kita yang mendirikan padepokan sepertimu...?"

"Sepuluh, termasuk aku."

"Dan berapa orang yang tetap sendiri seperti aku?"

"Lima, termasuk kau."

"Empat orang sudah tewas di tangan mereka. Dan dua padepokan sahabat kita sudah hancur. Aku yakin, tak lama lagi mereka akan datang ke sini lebih dulu, atau mungkin ke padepokan-padepokan yang lainnya," terdengar agak ditekan nada suara Ki Denggis.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...."

"Mereka yang tewas dalam beberapa hari ini, semua sahabat-sahabat kita, merupakan satu kelompok tangguh yang pernah jaya dan tidak ada tandingannya. Dan sekarang, ada dua orang yang menamakan dirinya Sepasang Bangau Putih sudah mengalahkan sebagian dari kita. Aku yakin, mereka akan menghancurkan kita satu persatu," hati-hati sekali Ki Denggis mengutarakan isi hatinya.

"Aku mengerti jalan pikiranmu, Kakang. Tapi siapa mereka...?" ujar Ki Ampal seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Siapa mereka, itu tidak penting. Yang penting, sekarang kita semua harus waspada! Aku yakin, cepat atau lambat mereka akan datang ke sini. Dan kau harus siap menghadapinya!" sahut Ki Denggis.

"Kau yakin, Kakang?"

"Aku sudah peringatkan ke Padepokan Cakar Naga. Tapi tidak ditangggapi. Dan kenyataannya, baru aku tinggal satu hari, sudah kudengar mereka hancur."

"Dari mana kau tahu semua ini?" tanya Ki Ampal menyelidik.

"Aku sudah menduga setelah empat orang sahabat kita yang tidak mendirikan padepokan tewas di tangan orang yang sama. Ditambah lagi dengan hancurnya Padepokan Tongkat Hitam. Lalu disusul dengan hancurnya Padepokan Cakar Naga tiga hari yang lalu. Aku yakin, sekarang mereka menuju ke sini. Karena jarak dari Padepokan Cakar Naga dengan padepokanmu ini tidak terlalu jauh. Kalau mereka langsung menuju ke sini, aku yakin malam ini mereka sudah sampai," jelas Ki Denggis gamblang.

Ki Ampal masih saja diam dengan kening berkerut

"Kau siapkan saja murid-muridmu, Ampal! Malam ini juga aku akan pergi memberitahu yang lain. Aku harus bergerak cepat mendahului mereka," kata Ki Denggis lagi.

Orang tua bersenjata golok itu langsung saja bangkit berdiri. Ki Ampal ikut berdiri. Setelah memberikan pesan sekali lagi, Ki Denggis segera melangkah keluar dari bangunan utama Padepokan Tangan Baja. Dia diantarkan Ki Ampal sampai ke depan pintu gerbang yang dijaga hanya oleh dua orang muridnya.

"Dengar, Ampal. Hati-hatilah mulai sekarang! Aku yakin mereka sudah sampai malam ini," pesan Ki Denggis lagi.

"Ya, terima kasih," ucap Ki Ampal pelan.

Memang hanya itu yang bisa diucapkan Ki Ampal. Sementara Ki Denggis sudah menggebah kudanya dengan cepat sekali, menembus malam yang cukup pekat. Dan memang saat itu di langit tidak terlihat sedikit pun cahaya bintang maupun rembulan. Awan hitam yang tebal menyelimuti seluruh angkasa di atas Gunung Jambik.

Ki Ampal baru kembali ke bangunan utama padepokannya, setelah kuda yang ditunggangi Ki Denggis tidak terlihat, menghilang di seberang tanah lapang berumput yang menghampar di depan padepokan.

Ki Ampal segera masuk ke rumah besarnya itu. Namun, baru saja beberapa langkah dia melewati pintu, ayunan kakinya langsung berhenti. Dan ber-gegas dia melangkah keluar lagi. Namun pada saat itu juga....

Wusss!
"Heh?! Hup...?!"


***


Kalau saja Ki Ampal tidak cepat menarik tubuhnya ke kanan, tentu sepotong ranting yang meluncur bagai kilat ke arahnya, pasti menembus jantungnya. Ranting itu menancap cukup dalam ke daun pintu yang ada di belakang Ki Ampal. Tampak asap tipis mengepul dari ranting kering yang menancap pada daun pintu itu. Ki Ampal segera melompat keluar dari beranda depan rumahnya. Dia langsung menyadari kalau orang yang melemparkan ranting itu memiliki tenaga dalam yang sempurna.

Beberapa kali Ki Ampal berputaran di udara, sebelum kedua telapak kakinya menjejak tanah, sekitar satu batang tombak dari rumah ?besar yang menjadi tempat tinggalnya. Dia mengedarkan pan-dangannya berkeliling. Beberapa muridnya yang melihat jadi keheranan. Dan perlahan mereka ber-gerak mendekati.

"Panggil yang lain semua di sini! Cepaaat..!" perintah Ki Ampal dengan suaranya yang keras menggelegar.

Salah seorang muridnya bergegas berbalik meninggalkan halaman depan padepokan, menuju ke belakang melalui bagian samping bangunan utama. Sedangkan yang lainnya sudah berkumpul di belakang Ki Ampal. Mereka semua tidak ada yang mengenakan baju, karena sedang berlatih di halaman depan padepokan. Beberapa saat Ki Ampal menanti Mendadak hatinya terkejut, begitu melihat murid yang tadi ke belakang berlari-lari mendatanginya dengan wajah pucat.

"Heh...?! Gopar, ada apa...?!" bentak Ki Ampal langsung bertanya.

"Aduh.... Celaka, Ki. Celaka...!" lapor Gopar dengan napas tersengal memburu.

"Ada apa...? Kenapa dengan mereka?" tanya Ki Ampal dengan dada bergemuruh.

"Mereka.... Mereka sudah mati semua, Ki," lanjut Gopar, gemetaran.

"Apa...?!"

Ki Ampal terlonjak kaget bagai disengat ribuan kala berbisa, mendengar laporan dari muridnya. Seketika lelaki tua itu langsung mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia jadi ingat dengan kata-kata sahabatnya yang belum lama pergi.

"Oh, begitu cepat mereka datang...?" desah Ki Ampal dengan nada suara yang terdengar agak bergetar.

Belum juga Ki Ampal bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara tawa keras yang menggelegar dari atas atap bangunan besar Padepokan Tangan Baja. Ki Ampal langsung mendonggakkan kepala ke atas atap. Saat itu juga terlihat sepasang anak muda berdiri tegak di atap bangunan padepokan. Dua orang yang mengenakan baju ketat serba putih, dengan pedang tersampir di punggung masing-masing. Mereka ternyata Untari dan Perbawa.

"Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan di padepokanku ini...?" bentak Ki Ampal dengan suaranya yang keras menggelegar.

"Aku inginkah nyawamu, Ki Ampal. Juga seluruh nyawa murid-muridmu," sahut Perbawa lantang.

"Setan...! Aku tak kenal dengan kalian. Ada urusan apa kalian menginginkan kematianku...?" geram Ki Ampal membentak.

"Ingat-ingatlah dengan masa lalumu, Ki Ampal! Apa saja yang sudah kau perbuat di masa lalumu...? Orang-orang sepertimu tidak akan bisa sadar, dan menjadi ancaman dunia. Aku tahu, untuk apa kau dan semua sahabatmu mendirikan padepokan. Kami, Sepasang Bangau Putih akan menghentikan maksud buruk kalian semua untuk menghancurkan dunia," kata Perbawa masih dengan suaranya yang lantang.

"Phuih! Sudah lama aku tinggalkan dunia persilatan. Aku tak ada urusan lagi dengan semua urusan dunia!" dengus Ki Ampal menolak tuduhan pemuda itu.

"Apa pun yang ada dalam pikiranmu, tidak akan menyurutkan pengadilan dunia ini, Ki Ampal. Bersiaplah kau untuk menerima hukuman kematianmu...!" bentak Perbawa.

Setelah berkata begitu, Perbawa langsung melompat turun dari atap dengan gerakan yang begitu indah dan ringan sekali. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda ini. Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah, tepat sekitar lima langkah di depan Ki Ampal.

Untari cepat mengikuti pemuda itu, meluruk turun dari atap dengan gerakan yang indah dan ringan sekali. Tampaknya kepandaian yang dimiliki gadis ini seimbang dengan Perbawa. Dan dia menjejakkan kaki tepat di sebelah kiri pemuda pasangannya. Tanpa sungkan-sungkan lagi, mereka segera men-cabut pedang dan langsung disilangkan di depan dada. Sementara Ki Ampal menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Murid-muridnya yang tinggal sekitar dua puluh orang, segera berlompatan mengepung sepasang muda-mudi berpakaian serba putih itu.

"Aku tidak akan melayani orang-orang yang tak kukenal. Katakan, siapa kalian sebenarnya...?" terdengar dingin sekali nada suara Ki Ampal.

"Sudah kukatakan, kau tidak perlu tahu siapa kami berdua, Ki Ampal. Kau hanya perlu tahu, kami adalah Sepasang Bangau Putih yang akan menghakimi semua perbuatanmu!" sahut Perbawa tegas.

"Keparat...! Siapa yang menyuruhmu menghakimiku, heh...?!" bentak Ki Ampal geram.

"Kami berdua," sahut Untari yang sejak tadi diam saja.

"Phuih! Kalian hanya mau bunuh diri saja datang ke sini," dengus Ki Ampal seraya menyemburkan ludah dengan sengit.

Kedua anak muda yang menamakan dirinya Sepasang Bangau Putih itu hanya diam, memandangi orang tua itu dengan sinar mata tajam dan memerah. Dan tiba-tiba saja Untari menggerakkan pedangnya lurus ke depan, hingga ujungnya tertuju langsung ke dada si Tangan Baja.

"Lihat pedangku, Tangan Baja! Yeaaah...!"

Sambil membentak keras menggelegar, tiba-tiba Untari melompat dengan cepat. Secepat itu pula dia mengebutkan pedangnya mengarah ke leher si Tangan Baja. Begitu cepat serangan yang dibuka gadis itu, hingga membuat kedua bola mata Ki Ampal terbeliak lebar.

"Upths!"

Namun hanya dengan sedikit saja Ki Ampal mengegoskan kepala, tebasan pedang gadis si Bangau Putih lewat sedikit di depan tenggorokannya. Cepat dia menarik kakinya dua langkah ke belakang. Dan langsung mengegoskan tubuhnya ke kanan, begitu Untari menyodokkan pedangnya lagi dengan cepat. Di saat pedang gadis itu lewat di samping tubuhnya, dengan cepat sekali Ki Ampal menggerakkan tangan hendak menyambar pergelangan tangan lawan.

"Haiiittt...!"

Namun tanpa diduga sama sekali, secepat kilat Untari memutar pedangnya ke atas. Kemudian langsung dikebutkan ke leher si Tangan Baja. Gerakan Untari yang begitu cepat dan tidak terduga, membuat Ki Ampal tersentak kaget. Cepat dia menarik tubuhnya ke belakang. Namun gerakannya sedikit terlambat, hingga....

"Akh...?!"

Ki Ampal terpekik kaget, begitu merasakan ujung pedang Untari merobek bahunya. Darah seketika mengalir keluar dari bahu yang sobek tersambar ujung pedang. Ki Ampal cepat-cepat melompat ke belakang dengan memutar tubuh dua kali, hingga antara dia dan gadis lawannya ada jarak sekitar satu batang tombak.


***


"Hebat kau, Nak...," desis Ki Ampal sambil meringis menahan perih pada luka di bahunya.

Untari hanya tersenyum sinis. Sementara Perbawa memperhatikan murid-murid si Tangan Baja yang sudah mengepung, tinggal menunggu perintah untuk menyerang. Sedangkan Ki Ampal sendiri langsung memberikan beberapa totokan di sekitar luka pada bahunya. Seketika itu juga darah berhenti mengalir. Sebentar lelaki tua itu memperhatikan murid-muridnya yang sudah siap dengan senjata terhunus mengepung tempat pertarungan.

Ki Ampal menyadari kalau murid-muridnya tidak akan mampu menghadapi kedua anak muda yang berjuluk Sepasang Bangau Putih ini. Namun hatinya juga tidak ingin menyerah begitu saja. Apa pun yang terjadi, dia harus bisa mempertahankan padepokannya. Baginya lebih baik mati bersama murid-muridnya daripada harus menyerah tanpa berlawanan sama sekali.

"Serang mereka...!" teriak Ki Ampal memberi perintah.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Seketika itu juga, murid-murid Padepokan Tangan Baja yang hanya berjumlah sekitar dua puluh orang meluruk deras menyerang Sepasang Bangau Putih. Namun belum juga mereka bisa melakukan serangan, Perbawa dan Untari sudah melompat dengan kecepatan bagai kilat, menyambut murid-murid si Tangan Baja. Pedang mereka seketika berkelebatan begitu cepat bagai kilat, hingga bentuk pedangnya lenyap dari pandangan mata. Kini yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan, berkelebatan begitu cepat menyambar lawan-lawannya.

"Hiyaaa!"
"Yeaaah...!"
Bettt!
Cras!
Bret!
"Aaaa...!"

Seketika itu juga, jeritan-jeritan panjang melengking terdengar menyayat, bersamaan dengan ambruknya tubuh-tubuh bersimbah darah. Pedang Sepasang Bangau Putih memang tidak dapat lagi dibendung. Setiap kali kedua pedang itu berkelebat, korban langsung berjatuhan berlumuran darah. Hingga dalam waktu tidak berapa lama, sudah tidak ada lagi murid-murid Ki Ampal yang masih bisa berdiri. Mereka semua menggeletak diam tidak bernyawa lagi, dengan tubuh berlumuran darah.

Sepasang Bangau Putih langsung menghampiri Ki Ampal yang sudah pucat dan tegang, melihat murid-muridnya tidak ada lagi yang bergerak dalam waktu singkat sekali.

"Sekarang tinggal giliranmu, Ki Ampal. Bersiaplah kau menerima kematianmu...!" dingin sekali nada suara Untari. "Phuih...!"

Ki Ampal hanya menyemburkan ludah, menutupi kegentaran yang sudah sejak tadi melanda hatinya. Dia tahu kalau anak muda yang ada di depannya ini mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari-nya. Sementara jarak mereka sudah semakin dekat.

"Hadapi kami, Ki Ampal! Gunakan jurus Pukulan Tangan Baja yang kau banggakan!" tantang Untari dengan suara terdengar sinis.

"Phuih!"

Lagi-lagi Ki Ampal hanya menyemburkan ludah dengan sengit. Tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan pada kedua anak muda di hadapannya.

Bahkan juga tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Hatinya benar-benar sudah gentar melihat ketangguhan Sepasang Bangau Putih ini.

"Terimalah kematianmu, hai,, Tangan Baja! Yeaaah...!"

Sambil membentak keras menggelegar, Perbawa langsung melesat dengan kecepatan bagai kilat, disertai kibasan pedangnya yang dahsyat. Dan pada saat yang bersamaan, Untari pun melesat menyerang dengan tebasan pedang mengarah ke dada laki-laki tua ini. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Sepasang Bangau Putih, membuat Ki Ampal tidak sempat berbuat sesuatu. Dia hanya bisa terbeliak melihat sepasang pedang berkelebat begitu cepat di depannya.

Brettt!
Cras!
"Aaaa...!"

Jeritan panjang yang melengking seketika terdengar menyayat. Tampak Ki Ampal masih tetap berdiri dengan leher bergores merah dan dada terbelah terkena sambaran pedang Sepasang Bangau Putih tadi. Sementara sepasang anak muda itu sudah berlompatan ke belakang menjauhinya.

Beberapa saat Ki Ampal masih tetap berdiri. Namun tidak lama kemudian, tubuhnya terlihat limbung, lalu ambruk ke tanah dengan kepala menggelinding terpisah dari leher. Seketika darah menyemburat keluar dengan deras sekali dari batang lehernya yang buntung.

"Ayo Kakang, kita pergi dari sini! Masih banyak yang harus kita datangi," ajak Untari.

"Tidak kau bakar padepokan ini seperti yang lainnya?" tanya Perbawa seraya melirik sedikit pada Untari.

"Untari hanya tersenyum dengan menggelengkan kepala perlahan. Kemudian diayunkan kakinya melangkah sambil memasukkan pedang ke dalam warangkanya yang tersampir di punggung. Perbawa mengikuti ayunan langkah gadis itu. Pedangnya sudah sejak tadi tersimpan di dalam warangka. Dia mensejajarkan ayunan langkah kakinya di samping kanan Untari. Mereka terus melangkah keluar dari padepokan itu tanpa bicara lagi sedikit pun.

"Suiiittt..!"

Tiba-tiba saja Perbawa bersiul nyaring. Sesaat kemudian terlihat dua ekor kuda berlari cepat menghampiri. Mereka langsung berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Kemudian mereka menggebahnya dengan cepat, membuat debu-debu berkepul membumbung tinggi ke angkasa. Sebentar saja Sepasang Bangau Putih itu sudah lenyap tertelan kegelapan malam.


***


TIGA

Sepak terjang pasangan anak muda yang dikenal dengan julukan Sepasang Bangau Putih cepat tersebar ke seluruh rimba persilatan. Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti maksud dan alasan sepak terjang mereka. Dalam beberapa hari saja, sudah enam padepokan yang dihancurkan. Dan tidak seorang pun dari penghuni padepokan-padepokan itu yang dibiarkan hidup.

Kabar tentang sepak terjang Sepasang Bangau Putih pun akhirnya sampai di telinga Pendekar Pulau Neraka yang saat itu berada di sebuah kedai di Dewa Watukan. Orang-orang di dalam kedai membicarakan perbuatan pasangan anak muda yang digdaya dan tidak kenal ampun itu. Perhatian pemuda berbaju kulit harimau itu terpusat pada pembicaraan dua orang yang duduk tidak jauh di belakangnya. Dari suara mereka, Bayu bisa mengetahui kalau yang satu orang lelaki tua, dan lawan bicaranya seorang perempuan yang juga sudah tua.

"Kau yakin kalau mereka juga akan datang ke sini menemuiku, Kakang Denggis?" tanya wanita tua yang mengenakan baju longgar warna merah.

Sebuah tongkat kayu yang tidak beraturan bentuk-nya menggeletak di atas meja, tepat di depannya. Sebelah ujungnya tergenggam di tangan kanannya yang sudah keriput, hingga seperti tulang terbalut kulit. Bayu yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan tahu kalau wanita tua itu bernama Nyai Kantil. Dia tahu ketika Ki Denggis menyebutkan nama itu dalam pembicaraan.

"Semua sudah aku peringatkan. Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka masih saja bisa dihancurkan," ujar Ki Denggis dengan suaranya yang pelan, hingga hampir tidak terdengar.

"Kau tahu apa maksudnya menghancurkan padepokan milik sahabat kita, Kakang?" tanya Nyai Kantil ingin tahu.

"Entahlah...," sahut Ki Denggis mendesah pendek.

"Kau tahu siapa mereka sebenarnya?" tanya Nyai Kantil lagi.

"Itu yang membuat aku tak mengerti sampai sekarang ini, Nyai. Tidak seorang pun yang tahu siapa mereka, dan dari mana asalnya. Mereka tiba-tiba saja muncul dan membuat keresahan di antara kita semua."

"Hm..., dari semua yang sudah mereka lakukan, aku yakin kalau mereka menyimpan dendam pada kita, Kakang," gumam Nyai Kantil perlahan, seakan dia bicara pada dirinya sendiri.

"Sejak semula aku sudah menduga begitu. Tapi apa mungkin kita bisa tahu siapa mereka, atau siapa yang memerintahkan begitu...? Sayang, aku belum pernah bertemu dengan keduanya, jadi tidak tahu jurus-jurus yang mereka gunakan. Sehingga sampai begitu jauh tak seorang pun dari teman-teman kita yang sanggup menghadapinya."

"Kau merasa sanggup menghadapinya, Kakang?" tanya Nyai Kantil bernada menyelidik.

"Entahlah.... Ampal sendiri tak sanggup menghadapi mereka. Aku jadi ragu...," ujar Ki Denggis pelan.

"Kalau kita hadapi mereka sendiri-sendiri, jelas tidak mungkin, Kakang. Masih ada tiga orang lagi di antara kita. Aku rasa sebaiknya kita kumpulkan saja mereka untuk menghadapi Sepasang Bangau Putih. Aku yakin, kalau kita bersatu, mereka tak akan mampu menghadapi kita, Kakang," ujar Nyai Kantil mantap.

"Itu yang aku harapkan, sebelum banyak korban yang jatuh. Tapi sekarang, aku merasa tidak ada gunanya lagi, Nyai. Coba saja kau pikirkan. Berapa orang lagi sahabat kita yang tersisa...?" ujar Ki Denggis seperti putus asa.

Nyai Kantil hanya terdiam mendapat pertanyaan seperti itu. Memang rasanya tidak mungkin mereka semua bisa menghadapi Sepasang Bangau Putih, yang diduga sedang mengincar keselamatan nyawa mereka semua. Dugaan itu bisa dipastikan dari kejadian yang menimpa sahabat-sahabat mereka.

Pendekar Pulau Neraka terus mendengarkan pembicaraan kedua orang tua itu sambil menikmati makanannya. Sesekali dia mengelus kepala monyet kecil yang selalu mengikuti ke mana saja dia pergi. Monyet kecil itu seperti tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya. Dia terus saja mengisi perutnya dengan pisang-pisang yang masak dan ranum.

"Ayo kita pergi, Nyai!" ajak Ki Denggis.

Nyai Kantil tidak menjawab. Dia bangkit berdiri mengikuti Ki Denggis. Setelah membayar pada pemilik kedai, mereka segera keluar tanpa bicara lagi. Namun di ambang pintu, Bayu masih sempat mendengar Ki Denggis bicara.

"Mungkin mereka sudah sampai di padepokanmu, Nyai...."

Bayu yang mendengar semua pembicaraan itu jadi tertarik. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera beranjak bangkit dari duduknya. Setelah membayar semua makanannya pada pemilik kedai, Pendekar Pulau Neraka itu segera beranjak pergi. Dia masih sempat melihat dua orang tua itu menunggang kuda, sebelum hilang di tikungan jalan.

"Mereka menuju ke Bukit Angsa. Aku tahu ke mana tujuan mereka," gumam Bayu dalam hari.

Setelah yakin akan tujuan yang ditempuh dua orang tua itu, Bayu segera mengambil arah memotong, jalan agar lebih cepat. Dia melangkah dengan mempergunakan sedikit ilmu meringankan tubuh, hingga tanpa terasa Pendekar Pulau Neraka sudah jauh meninggalkan Desa Watukan.


***


"Kakang Bayu...!" "Heh...?!"

Bayu tersentak kaget, ketika terdengar suara nyaring memanggil namanya. Dia langsung berhenti. Dan saat itu juga Tiren yang berada di pundaknya melompat turun, membuat Pendekar Pulau Neraka semakin tersentak kaget. Dan belum juga rasa keterkejutannya lenyap, tahu-tahu sudah muncul seorang gadis dari balik semak-semak belukar. Gadis cantik bertubuh ramping dan indah itu melangkah menghampirinya. Tiren langsung melompat pada gadis itu dengan memperdengarkan suaranya yang mencerecet ribut. Sementara Bayu ternganga dengan mata tak berkedip, seperti tak percaya pada apa yang dilihatnya.

"Kenapa kau bengong begitu, Kakang? Kau tak menduga aku bakal muncul di sini, kan...?" tegur gadis itu lembut, dengan senyuman yang manis sekali menghiasi bibirnya.

"Wulan...," desis Bayu masih belum percaya dengan apa yang terjadi saat ini.

Bayu menghampiri gadis cantik itu. Mereka memang sudah saling mengenal sejak lama. Bahkan Wulan berhutang nyawa pada Pendekar Pulau Neraka. Dia sempat diselamatkan ketika menghadapi gerombolan begal di Bukit Setan. Hampir saja Wulan mati tercincang dan terhina kalau saja Bayu tidak cepat datang menolongnya.

Dan sekarang, tiba-tiba saja gadis itu muncul di depannya. Entah apa perlunya Wulan berada di kaki Bukit Angsa. Sedangkan Bayu sendiri sedang mengejar dua orang tua yang ditemuinya di kedai di Desa Watukan.

"Wulan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Bayu, sambil memandangi gadis yang mengenakan baju putih ketat, dengan sebilah pedang tersandang di punggungnya.

Wulan tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil mengelus-elus kepala Tiren yang berada dalam gendongannya. Monyet kecil itu kelihatan manja, merapatkan wajahnya ke dada Wulan.

"Aku sedang tidak ada waktu, Wulan...," kata Bayu dengan suara terputus.

"Aku tahu...," ujar Wulan ringan, dengan senyuman terus terkembang menghiasi bibirnya. "Kau sedang mengejar dua orang, kan...?"

"Heh...?! Dari mana kau tahu...?"

Bayu tersentak kaget. Dia memandangi gadis itu, sementara yang dipandangi kelihatan tenang dengan senyuman lebar masih mengembang menghiasi bibirnya. Bayu jadi penasaran. Kakinya melangkah beberapa tindak mendekati. Dengan lembut disentuhnya pundak gadis itu. Wulan mengangkat wajahnya sedikit, kemudian melirik tangan Bayu yang kekar di pundaknya. Bayu cepat-cepat melepaskan tangannya dari pundak gadis itu.

"Bagaimana kau tahu aku sedang mengejar orang, Wulan?" tanya Bayu penasaran.

"Sejak dari Desa Watukan," sahut Wulan ringan.

"Kau mengikutiku...?" tanya Bayu lagi dengan nada suara jelas terdengar tidak senang karena diikuti.

"Tidak," sahut Wulan tetap ringan suaranya.

"Lalu, untuk apa kau...?" pertanyaan Bayu terputus.

"Aku juga sedang membuntuti mereka, Kakang," sahut Wulan kalem, memotong ucapan Pendekar Pulau Neraka.

"Mengikuti mereka...?"

Lagi-lagi Bayu terkesiap. Dia jadi terlongong bengong mendengar jawaban yang diberikan Wulan barusan. Hatinya benar-benar tidak mengerti dengan semua ini. Wulan berada di kaki Bukit Angsa ini ternyata dengan tujuan yang sama. Apa sebenarnya yang diinginkan Wulan pada kedua orang tua itu di Bukit Angsa ini...? Pertanyaan itu terus menggayuti kepala Bayu.

Bayu terus memperhatikan gadis itu. Keningnya tampak berkerut melihat Wulan yang sedikit gefisah, seperti sedang menunggu seseorang. Meskipun Wulan sudah berusaha menutupi, tapi Bayu bisa melihat kegelisahannya.

"Ada yang kau tunggu, Wulan?" tegur Bayu langsung.

"Ah...."

Wulan hanya mendesah menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka. Sikapnya langsung berubah. Dan senyumnya kembali mengembang. Namun kali ini Bayu bisa merasa kalau senyuman itu sangat dipaksakan. Dan tampak begitu hambar.

"Siapa yang kau tunggu?" tanya Bayu lagi.

"Ah, bukan siapa-siapa. Hanya...," Wulan tidak melanjutkan ucapannya.

"Kekasihmu?" tukas Bayu.

"Bukan."

"Lalu...?"

"Saudara seperguruanku," sahut Wulan pelan.

"Laki-laki?" cecar Bayu.

Wulan hanya mengangguk perlahan.

"Kalau begitu, aku pergi dulu," ujar Bayu. Bayu langsung mengambil Tiren dari pelukan gadis itu, dan menaruhnya di pundak kanan. Sementara Wulan hanya diam memandangi. Entah apa yang ada di dalam hatinya. Sedangkan Bayu hanya menatap sebentar, kemudian memutar tubuhnya berbalik. Tanpa bicara apa pun, Pendekar Pulau Neraka melangkah meninggalkannya. Sengaja Bayu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sempurna, sehingga dengan cepat dia sudah jauh meninggalkan Wulan seorang diri.

Wulan masih berdiri mematung memandang ke arah perginya Pendekar Pulau Neraka. Padahal bayangan tubuh Bayu saja sudah tidak terlihat lagi, lenyap tertelan lebatnya pepohonan di sekitar lereng Bukit Angsa. Wulan terus memandang kosong ke depan, dengan pikiran yang tidak menentu. Dan tiba-tiba saja....

Plakkk!
"Oh...?!"


***


"Kakang...! Bikin kaget saja!" dengus Wulan, begitu melihat seorang pemuda mengenakan baju dengan warna sama seperti yang dipakainya.

"Siapa itu tadi?" tanya pemuda tampan itu.

"Kakang Bayu," sahut Wulan.

"Kekasihmu?"

"Bukan," sahut Wulan singkat. "Eh, bagaimana kau bisa tahu...?"

"Aku perhatikan sejak tadi. Kau seperti ada sesuatu dengannya. Aku lihat pandangan matamu padanya tadi," kata pemuda tampan berbaju putih dengan sebuah pedang tersandang di ptlnggungnya.

Bentuk gagang pedang itu sama persis dengan yang ada di punggung Wulan. Berbentuk kepala seekor angsa berwarna putih keperakan.

"Lama sekali pergimu, Kakang. Ke mana saja kau tadi?" tanya Wulan mengalihkan pembicaraan.

"Aku mampir dulu ke rumah pamanku," sahut pemuda itu.

"Ada pamanmu di Desa Watukan?" tanya Wulan lagi, "Kau tak pernah menceritakannya padaku, Kakang Perbawa. Kenapa...?"

Pemuda yang ternyata Perbawa hanya tersenyum mendengar pertanyaan Wulan.

"Aku dengar tadi dia memanggilmu Wulan. Siapa namamu sebenarnya, Untari?" tanya Perbawa, kembali mempersoalkan hubungan Wulan yang di-kenalnya bernama Untari dengan Pendekar Pulau Neraka.

Wulan tampak hanya tersenyum mendengar pertanyaan Perbawa. Dan tanpa menjawab sedikit pun, gadis itu langsung mengayunkan kaki menuju arah yang dituju Pendekar Pulau Neraka tadi. Perbawa segera mengikutinya dari belakang.

"Siapa dia, Untari?" kejar Perbawa masih penasaran, belum tahu siapa pemuda yang tadi bicara dengan Wulan.

"Temanku," sahut Wulan yang menggunakan nama Untari pada pemuda ini.

"Kenal di mana?" Perbawa terus saja mengejar ingin tahu.

"Dia pernah menyelamatkan nyawaku, ketika aku berurusan dengan gerombolan begal di Bukit Setan."

"Lalu...?"

"Ya, waktu itu aku menggunakan nama Wulan," sambung Untari.

"Dan namamu yang sebenarnya siapa?" tanya Perbawa semakin menyelidik ingin tahu.

"Semua sama," sahut Untari ringan.

"Semua sama...? Apa maksudmu, Untari?" Perbawa terus minta penjelasan.

"Ya, sama.... Aku selalu menggunakan nama lain setiap kali berada di tempat yang berbeda," jelas Untari.

"Aku benar-benar tak mengerti denganmu, Untari...," desah Perbawa dengan kepala menggeleng perlahan beberapa kali.

Sedangkan Untari hanya tersenyum. Dia terus mengayunkan kaki tanpa peduli dengan kebingungan Perbawa terhadap dirinya yang aneh dan misterius.

"Kau tinggalkan di mana kuda kita, Untari?" tanya Perbawa, melihat Untari enak saja berjalan kaki, seperti tidak ingat kalau mereka memiliki kuda tunggangan masing-masing.

"Aku tinggalkan di dekat danau," sahut Untari ringan.

Perbawa terdiam. Dia tahu kalau arah yang mereka tempuh sekarang ini menuju ke danau. Tempat yang sempat mereka singgahi sebentar di Desa Watukan. Mereka memang tidak perlu khawatir pada kuda-kuda yang sudah jinak itu. Dan kuda-kuda mereka juga mengerti jika pemiliknya memanggil dengan siulan.

Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi. Sementara itu di dalam benak Perbawa terus bergelut dengan pikiran yang entah berpusat pada persoalan apa. Untari sendiri tidak bicara sedikit pun.

"Kau membohongi guru, Untari," tukas Perbawa dengan suara datar.

"Tidak ada yang aku bohongi, Kakang. Ki Sarpakenaka juga sudah tahu," sahut Untari ringan.

"Tahu...? Tapi kenapa ..?" Perbawa tidak melanjutkan pertanyaannya.

"Ketika itu Ki Sarpakenaka mencari orang yang bisa diandalkan untuk mendampingimu, Kakang. Dan aku berjanji akan mendampingimu untuk membalaskan dendamnya pada mereka. Ki Sarpakenaka membekali dengan jurus-jurus Bangau Putih seperti yang diajarkan padamu. Jurus-jurus yang ringan dan mudah dipelajari, tapi sangat dahsyat. Aku bisa dengan mudah mempelajari dan menguasainya, karena aku sudah punya dasar jurus-jurus pedang. Jadi Ki Sarpakenaka tinggal memoles dan memperhalus saja dengan jurus-jurus Bangau Putih. Dia tidak peduli siapa aku sebenarnya. Tapi antara aku dan Ki Sarpakenaka memang punya satu ikatan," jelas Untari panjang lebar.

"Ikatan apa?" tanya Perbawa.

"Selamanya aku harus bersamamu menggunakan jurus Bangau Putih. Karena jurus itu tidak bisa dipisahkan, harus digunakan secara berpasangan. Itu sebabnya kenapa Ki Sarpakenaka menjuluki kita Sepasang Bangau Putih," jelas Untari lagi.

Sekarang Perbawa hanya diam membisu. Dia tidak bisa lagi membantah penjelasan gadis itu. Memang diakuinya kalau jurus Bangau Putih tidak bisa digunakan seorang diri saja. Kalaupun digunakan, tidak ada artinya sama sekali. Dan semua unsur kekuatannya akan lenyap begitu saja. Dia juga tahu kalau gurunya yang bernama Ki Sarpakenaka sebenarnya memiliki teman seorang wanita. Bukan hanya teman, tapi istri dan sahabat yang paling setia. Sayang, istrinya tewas di tangan orang-orang yang kini sedang dikejarnya.

"Aku benar-benar tidak menyangka kau seorang gadis yang penuh keanehan seperti itu," ujar Perbawa pelan, setelah cukup lama berdiam diri membisu. Suaranya hampir tidak terdengar, seakan bicara pada dirinya sendiri.

"Seharusnya kau sudah tahu sejak pertama kali kita bertemu, Kakang," kata Untari ringan.

"Aku ingin mendengarkan kalau kau bersedia menceritakan riwayat hidupmu," kata Perbawa bernada memohon.

"Satu saat nanti, Kakang," sambut Untari tanpa senyum sedikit pun.

Sementara mereka berjalan sudah cukup jauh. Dan sebuah danau yang cukup luas tampak mem-iientang di depan. Dua ekor kuda yang masih berpelana tampak sedang merumput di tepi danau itu lengan nikmat sekali. Sepasang Bangau Putih ini rnenghampiri kuda mereka. Tanpa banyak bicara lagi, keduanya langsung melompat naik ke punggung kuda masing-masing. Dan langsung menggebah dengan kencang. Sehingga kuda-kuda itu melesat dengan cepat sekali bagai anak panah dilepas-kan dari busumya.

Arah yang mereka tuju jelas sekali ke puncak Bukit Angsa. Mereka terus menggebah kuda masing-masing tanpa bicara lagi sedikit pun. Kedua kuda itu berpacu dengan kecepatan tinggi, membuat debu-debu berkepul membumbung tinggi di angkasa.


***


EMPAT

Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di atas sebongkah batu besar memandangi sebuah bangunan padepokan yang menyerupai benteng pertahanan, tidak jauh di depannya. Entah sudah berapa lama pemuda tampan berambut panjang itu berdiri di sana. Dia tadi sempat melihat dua orang tua yang ditemuinya di kedai di Desa Watukan, memasuki bangunan yang tinggi dan kokoh itu.

Tidak lama kemudian, berdatangan orang-orang dari arah yang berlainan. Mereka semua langsung masuk ke bangunan seperti benteng itu. Bayu tahu kalau bangunan besar dikelilingi pagar kayu gelondongan besar-besar dan tinggi itu merupakan Padepokan Teratai Emas. Sebuah perguruan yang dipimpin seorang perempuan tua berkepandaian tinggi. Perempuan tua yang dulunya satu kelompok dengan Ki Denggis.

Cukup lama Pendekar Pulau Neraka menunggu. Namun tidak ada seorang pun yang keluar dari dalam bangunan padepokan seperti benteng pertahanan itu. Dia melihat penjagaan di sekitar bangunan demikian ketat sekali. Sepertinya mereka akan menghadapi serangan dahsyat dari luar. Terlihat orang-orang bersenjata panah berada di bagian ujung atas pagar benteng itu. Sedangkan di depan pintu, hanya terlihat dua orang berusia muda tengah berjaga-jaga. Keduanya tampak memegang sebatang tombak berukuran panjang. Sebilah pedang tergantung di pinggang mereka.

Pada saat itu, rjba-tiba terlihat sesosok bayangan putih berkelebat begitu cepat ke arah dua orang penjaga pintu gerbang. Begitu cepatnya bayangan putih itu bergerak, sehingga kedua penjaga pintu tidak sempat menyadarinya.

"Akh...!"
"Aaaa...!"
"Heh...?!"

Bayu tersentak kaget, mendengar dua orang penjaga pintu menjerit Tubuh mereka langsung ambruk ke tanah dengan darah berhamburan deras dari dada yang robek seperti tertebas sebuah pedang sangat tajam. Pendekar Pulau Neraka tadi sempat melihat satu kilatan cahaya putih berkelebat begitu cepat menyertai bayangan putih saat menyambar kedua orang penjaga pintu gerbang.

Jeritan penjaga pintu rupanya mengejutkan orang-orang yang ada di atas pagar benteng padepokan. Mereka langsung saja memasang anak panah pada busumya. Namun bayangan putih itu sudah tidak terlihat sedikit pun. Dia langsung lenyap seketika, begitu masuk ke dalam hutan di puncak Bukit Angsa ini.

Belum ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu, kembali terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat ke depan pintu gerbang Padepokan Teratai Emas. Dan tahu-tanu, sekitar dua batang tombak di depan pintu gerbang padepokan sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, dengan sebuah pedang tersampir di punggungnya.

"Heh...?!"

Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget setengah mati, begitu melihat gagang pedang yang ada di punggung pemuda itu. Gagang pedangnya sama persis dengan yang dimiliki Wulan. Tidak ada per-bedaan sedikit pun. Namun belum sempat pemuda berpakaian kulit harimau itu bisa berpikir lebih jauh, orang-orang yang ada di atas pagar benteng bangunan padepokan sudah bertindak dengan melepas-kan anak panah.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali pemuda itu melompat ke belakang sambil memutar tubuh menghindari anak-anak panah yang menghujaninya. Beberapa kali dia berputaran di udara, kemudian dengan manis sekali kedua kakinya menjejak tanah, jauh dari jangkauan panah itu. Dia berdiri tegak sambil berkacak pinggang memandang ke atas pagar benteng padepokan.

Sementara Pendekar Pulau Neraka yang berada di tempat cukup jauh dan tersembunyi, terus memper-hatikan dengan mata tidak berkedip.

"Hm, siapa dia? Apa yang akan dilakukannya di padepokan ini...?" gumam Bayu bertanya pada dirinya sendiri.

Baru saja bibir Bayu terkatup mendadak dia kembali dikejutkan,dengan tepukan halus di pundaknya.

"Eh...?!"

Bayu sampai terlompat dan berbalik. Kedua bola matanya terbelalak kaget melihat seorang gadis cantik berbaju putih tahu-tahu sudah ada di dekatnya.

"Wulan...," desis Bayu hampir tidak terdengar suaranya.

Gadis cantik yang ternyata Wulan itu hanya tersenyum melihat Bayu terlongong bengong seperti melihat hantu. Tanpa bicara lagi, dia langsung mengambil Tiren dari pundak Pendekar Pulau Neraka.

"Apa yang kau lihat di sini, Kakang?" tegur Wulan dengan suaranya yang halus dan lembut menyentuh hati.

"Ah...," Bayu hanya mendesah menjawab pertanyaan gadis itu.

Dia kembali memutar tubuhnya, memperhatikan pemuda berbaju putih yang masih berdiri tegak berkacak pinggang agak jauh dari bangunan Padepokan Teratai Emas. Sedangkan di atas pagar benteng, terlihat ratusan orang siap dengan anak panah terpasang pada busumya. Tampak jelas sekali kalau pemuda itu kebingungan untuk menembus benteng padepokan. Tidak mungkin dia bisa menembusnya. Mendekatinya saja sudah harus berpikir seribu kali.

Sementara Wulan sudah ada di samping kanan Pendekar Pulau Neraka. Entah kenapa dia tersenyum melihat keadaan di Padepokan Teratai Emas itu. Senyumnya semakin lebar melihat seorang pemuda berbaju putih yang berdiri berkacak pinggang dengan jarak cukup jauh dari jangkauan anak panah.

"Dia temanmu, Wulan...?" tanya Bayu tanpa berpaling ke arah gadis di sebelahnya.

Wulan tidak menjawab, seakan tidak mendengar pertanyaan itu. Merasa pertanyaan tidak terjawab sedikit pun, Bayu memalingkan wajahnya sedikit. Tatapan matanya langsung menangkap wajah cantik gadis di sebelahnya. Namun wajah itu kelihatan datar saja, tanpa ada perubahan sedikit pun.

"Aku lihat pedang yang dimilikinya sama persis dengan pedangmu. Dia itu temanmu, Wulan...?"

Bayu mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab tadi.

"Ya," sahut Wulan singkat, dengan suaranya yang terdengar pelan sekali.

"Mau apa dia di sana?" tanya Bayu lagi, semakin ingin tahu.

Kening Pendekar Pulau Neraka terlihat berkerut, Jelas sekali kalau di dalam benaknya muncul berbagai macam pertanyaan dan dugaan yang tidak bisa dijawabnya sendiri. Dia terus memandangi wajah cantik gadis di sebelahnya.

"Ada urusan dengan orang-orang di dalam sana," jawab Wulan singkat

"Maksudmu dengan Ki Denggis dan Nyai Kantil?" duga Bayu.

Wulan tidak langsung menjawab. Dia hanya tersenyum dengan pandangan tetap tertuju ke arah bangunan padepokan seperti benteng pertahanan itu. Tampaknya sikap gadis itu membenarkan dugaan Pendekar Pulau Neraka.


***


"Wulan..., kaliankah yang dinamakan Sepasang Bangau Putih...?" kali ini nada suara Bayu terdengar agak ditahan dan hati-hati sekali.

Wulan langsung berpaling dan menatap Bayu dengan sinar mata yang sulit sekali untuk diartikan. Bayu sendiri membalasnya dengan sinar mata yang tajam dan penuh dengan tuntutan penjelasan dari gadis itu. Beberapa saat mereka terdiam dan hanya saling berpandangan dengan sinar mata yang sukar untuk diartikan.

"Bagaimana menurutmu dengan tindakanku dan Kakang Perbawa?" tanya Wulan akhimya, sambil mengarahkan pandangan lagi ke depan.

Seluruh aliran darah Bayu berdesir lebih cepat mendengar pertanyaan Wulan. Sejak semula hatinya memang sudah menduga, tapi tidak menyangka kalau Wulan akan melontarkan pertanyaan yahg begitu sulit untuk dijawab dengan cepat. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya Bayu hanya bisa diam memandangi gadis itu. Mulutnya terasa bagai terkunci. Dan kerongkongannya tersekat, sulit untuk mengeluarkan kata-kata. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

Dalam beberapa hari ini dirinya memang sudah mendengar tentang sepak terjang Sepasang Bangau Putih. Namun tidak menyangka kalau salah satu dari pasangan itu ternyata seorang gadis yang pernah diselamatkan nyawanya. Dan sekarang, gadis itu sama sekali tidak merasa memiliki beban dalam tindakannya selama ini. Seakan dia melakukan semua itu karena memang sudah menjadi kewajibannya.

Sedangkan Pendekar Pulau Neraka tahu, mereka yang menjadi buruan Sepasang Bangau Putih ter-nyata orang-orang persilatan dan pemilik padepokan yang dikenal baik dan berada pada jalan benar. Sulit bagi Bayu untuk bisa langsung memberikan pendapat terhadap semua yang sudah dilakukan Wulan bersama temannya selama beberapa hari ini.

"Kenapa kau lakukan semua itu, Wulan? Kau tahu siapa mereka yang kau kejar selama ini...?" tanya Pendekar Pulau Neraka, seakan menyesali perbuatan Wulan.

"Panjang ceritanya, Kakang," sahut Wulan singkat, dengan nada suara agak mendesah.

"Lalu, apa yang kau cari dari mereka?"

Wulan tidak langsung menjawab. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan kuat.

Sementara itu terlihat pemuda berbaju putih yang berdiri di depan bangunan padepokan sudah memutar tubuhnya berbalik. Dan dia terus melangkah masuk ke dalam lebatnya pepohonan di puncak Bukit Angsa. Dan orang-orang di atas pagar benteng padepokan tampak menurunkan busur panah, saat melihat pemuda berbaju putih itu sudah tidak ada lagi.

Wulan sendiri segera berbalik dan melangkah hendak meninggalkan Pendekar Pulau Neraka. Namun baru saja dia berjalan beberapa langkah, Bayu mencekal pergelangan tangannya. Gadis itu terpaksa berhenti. Wajahnya berpaling sedikit dan langsung menatap Pendekar Pulau Neraka dengan sinar mata yang cukup tajam.

"Sebaiknya kau jangan ikut campur dalam persoalan ini, Kakang. Aku tak mau namamu rusak karena membela diriku," ujar Wulan dengan suara datar.

"Tidak, sebelum kau ceritakan semuanya dengan jujur padaku," pinta Bayu tegas.

"Aku tidak bisa, Kakang. Masih ada yang lebih berhak daripada aku," tolak Wulan halus.

"Siapa?" desak Bayu.

"Kakang Perbawa," sahut Wulan terus terang.

"Ajak aku menemuinya," pinta Bayu.

"Aku minta jangan sekarang, Kakang. Nanti saja kalau semuanya sudah selesai. Tinggal sedikit lagi...," jawab Wulan, meminta pengertian Pendekar Pulau Neraka.

"Wulan...! Kau sadar apa yang selama ini sudah kau lakukan?"

"Aku tahu. Tidak ada seorang pun yang menekanku. Aku sadar semua yang aku lakukan."

"Kau tahu siapa mereka yang menjadi buruanmu?"

Wulan hanya menganggukkan kepalanya perlahan.

"Kau tahu apa akibatnya...?"

"Semua sudah kuperhitungkan baik dan buruknya, Kakang. Percayalah, kalau semuanya sudah selesai, nama Sepasang Bangau Putih akan menghilang sendiri begitu saja. Kalaupun masih ada, akan harum namanya," kata Wulan masih meminta pengertian Pendekar Pulau Neraka.

"Wulan...."

"Sudahlah, Kakang! Nanti aku temui kau lagi kalau semuanya sudah selesai," cepat Wulan memotong.

Gadis itu menyerahkan Tiren kembali pada Pendekar Pulau Neraka. Setelah memberikan se-nyuman yang manis, Wulan langsung melesat pergi dengan kecepatan luar biasa. Hingga dalam sekejap mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap bagai tertelan angin. Bayu tampak terpana melihatnya.

"Hebat..! Dari mana dia mendapatkan kepandaian yang begitu tinggi...?" desis Bayu, bertanya-tanya sendiri di dalam hatinya.

Bayu tahu kalau kepandaian yang dimiliki Wulan masih bisa ditakar. Dan dia tahu kalau tingkat kepandaian yang dimiliki gadis itu tidak akan sanggup melesat begitu cepat seperti bayangan. Kecepatan gerak yang dilakukannya membuat Bayu untuk beberapa saat tercengang keheranan.

"Tentu ada sesuatu yang sudah terjadi pada dirinya. Hm..., aku harus tahu. Wulan tidak boleh terperangkap dalam peristiwa yang bisa membuat dirinya hancur. Dia masih muda, masa depannya masih terlalu panjang. Aku harus bisa mencegah sebelum dia terlanjur jauh dalam kesesatan," ujar Bayu dalam hati.


***


Sementara itu Wulan yang juga bernama Untari sudah kembali bersama Perbawa. Kedua anak muda yang selama ini menjadi bahan pembicaraan di kalangan orang-orang persilatan itu masih belum beranjak jauh dari bangunan Padepokan Teratai Emas. Entah berapa lama mereka berdiri memandangi bangunan yang masih tetap terjaga dengan ketat itu.

Sementara matahari sudah mulai condong ke sebelah barat. Sinarnya juga sudah mulai terasa tidak terik lagi. Cahayanya yang keemasan kini terasa lembut menyapu kulit.

"Mereka benar-benar mempersiapkan diri untuk menyambut kita...," ujar Untari setengah bergumam, seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Ya, kurasa mereka sudah bergabung di sini," sambut Perbawa.

"Aku rasa itu malah bagus, Kakang. Tidak perlu lagi kita bersusah payah mencari mereka. Tinggal kita hancurkan saja mereka semua di sini," kata Untari lagi.

"Justru itu yang sulit, Untari. Kau lihat sendiri, kekuatan mereka berlipat ganda. Untuk mendekatinya saja sudah sulit,"

"Harus ada cara yang tepat untuk menembus ke dalam. Masih ada waktu untuk memikirkannya, Kakang. Tapi kita harus tetap memperhatikan, jangan sampai ada yang keluar atau masuk ke sana," kata Untari lagi.

"Kau punya cara?" tanya Perbawa.

Untari tidak langsung menjawab. Dia hanya diam sambil terus memandangi bangunan padepokan yang seperti benteng pertahanan dari dijaga sangat ketat itu. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis ini sekarang. Sedangkan Perbawa sendiri tampak tidak menginginkan jawaban dari pertanyaannya tadi. Dia seakan sudah tahu kalau Untari juga belum punya cara yang tepat untuk menerobos masuk ke Padepokan Teratai Emas.

Dan untuk beberapa saat lamanya mereka kembali terdiam membisu. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terdengar Perbawa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kuat. Untari melirik sedikit pada pemuda yang ada di sebelah kirinya ini.

"Ada apa, Kakang?" tanya Untari menegur.

"Tidak ada apa-apa," sahut Perbawa agak mendesah.

Untari kembali diam.

"Untari, kau sudah temui temanmu itu?" tanya Perbawa tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan.

"Kakang Bayu, maksudmu...?" Untari menegaskan.

"Ya."

"Sudah. Kenapa...?"

"Apa dia bisa membantu kita menghadapi mereka?" tanya Perbawa seperti tidak dipikirkan lagi.

Entah kenapa, Untari malah tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dia memutar tubuhnya berbalik, dan melangkah mendekati sebuah pohon besar, dengan akar-akarnya bersembularf di permukaan tanah. Gadis itu duduk di atas sebatang akar yang cukup besar. Sementara Perbawa hanya memperhati-kannya. Dia kemudian duduk di atas rerumputan, membelakangi Padepokan Teratai Emas yang masih kelihatan lengang, tapi terjaga ketat.

"Dia seorang pendekar, Kakang. Dia tidak akan bisa begitu saja dipengaruhi. Dia akan membantu kalau memang dipandang perlu. Kalau memang dia merasa perlu membantu kita, tanpa diminta pun pasti akan turun tangan sendiri," kata Untari menjelaskan.

"Dia tahu permasalahannya?" tanya Perbawa lagi.

"Belum," sahut Untari singkat.

"Kau tidak katakan?"

"Sedikit."

"Lalu, apa tanggapannya?"

"Dia malah memintaku agar meninggalkan semua ini. Katanya kita berada di pihak yang salah."

"Kau pasti tidak mengatakan alasannya kenapa kita memburu mereka," agak ketus nada suara Perbawa.

Untari hanya menggelengkan kepalanya perlahan.

"Seharusnya kau katakan saja padanya, Untari. Aku yakin, kalau dia sudah tahu yang sebenarnya, dia akan berpihak pada kita. Kau tahu, Untari.... Dengan sikapnya yang seperti itu, dia bisa saja berpihak pada mereka. Dan kalau itu terjadi...," Perbawa tidak melanjutkan.

"Kau sepertinya takut pada Pendekar Pulau Neraka, Kakang. Kenapa...?" tukas Untari.

"Aku bukannya takut, tapi Ki Sarpakenaka sendiri sudah berpesan, bahwa kita harus menghindari bentrokan dengan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan kalau perlu, kita harus bisa merebut hatinya agar dia berpihak pada kita, Untari. Apa kau sudah lupa pada pesannya...?" ujar Perbawa mengingatkan.

Untari tampak terdiam saja. Jelas dia tidak bisa melupakan kata-kata terakhir Ki Sarpakenaka yang sudah menurunkan ilmu Bangau Putih padanya. Memang Ki Sarpakenaka pernah menyebut nama Pendekar Pulau Neraka. Mereka diminta meng-hindarinya, kalau tidak bisa menarik pendekar itu untuk berpihak padanya. Namun Untari tidak tahu, kenapa guru mereka berpesan seperti itu.

"Kau masih ingat pesannya, Untari...?" tanya Perbawa membangunkan lamunan gadis itu.

"Ya...," sahut Untari pelan, dengan suara agak mendesah. "Tapi aku tidak mengerti, kenapa Ki Sarpakenaka sepertinya takut pada Pendekar Pulau Neraka...?"

"Ki Sarpakenaka bukannya takut."

"Lalu, kenapa...?"

Belum juga Perbawa bisa menjawab pertanyaan Untari, tiba-tiba terdengar suara yang langsung menjawab pertanyaan gadis itu. Keduanya tersentak kaget, dan langsung berlompatan berdiri. Seketika kedua bola mata Sepasang Bangau Putih terbeliak. Di depan mereka tahu-tahu sudah berdiri seorang pemuda berbaju kulit harimau, dengan seekor monyet kecil di pundak kanannya.

"Bayu...," desis Untari agak bergetar suaranya.

"Pendekar Pulau Neraka...."

Pemuda yang mengenakan baju dari kulit harimau itu memang Pendekar Pulau Neraka. Dengan bibir menyunggingkan senyuman, dia melangkah meng-hampiri Sepasang Bangau Putih. Saat itu monyet kecil yang ada di pundaknya langsung melompat turun, dan berlari sambil mencerecet ribut menghampiri Untari. Gadis itu segera mengambil Tiren dan langsung menggendongnya di dada.

"Seharusnya kau katakan padaku, kalau kau mendapat ilmu-ilmu Bangau Putih dari Ki Sarpakenaka, " kata Bayu dengan suara ringan, sambil menatap Untari.

Untari hanya terdiam. Perbawa juga ikut memandangi gadis itu.

"Kau kenal dengan guruku...?" tanya Perbawa ingin tahu.

"Aku memang tidak kenal. Tapi Ki Sarpakenaka sudah tentu kenal denganku. Dan dia juga pasti tahu siapa guruku. Karena antara dia dan guruku masih bersaudara," sahut Bayu menjeleskan.

Baik Untari maupun Perbawa jadi terlongong bengong. Mereka tak menyangka, kalau Ki Sarpakenaka dan guru Pendekar Pulau Neraka ternyata bersaudara. Dan sudah barang tentu mereka juga bisa dikatakan bersaudara. Namun dari pandangan matanya, Perbawa tampak tidak percaya dengan semua yang baru dikatakan Bayu.

"Aku tahu nama Ki Sarpakenaka dari guruku. Sebenarnya aku juga dipesan untuk menemuinya. Tapi sampai sekarang aku tidak pernah bertemu dengannya. Karena dari dia aku bisa tahu siapa-siapa saja musuh guruku yang belum bisa kutemukan," ujar Bayu lagi menjelaskan.

"Kalau memang antara gurumu dengan Ki Sarpakenaka bersaudara, itu berarti kita memiliki musuh yang sama, Pendekar Pulau Neraka," tukas Perbawa.

"Ah, jangan panggil aku begitu! Panggil saja aku seperti yang Wulan lakukan padaku!" pinta Bayu merendah.

"Wulan...?"

Perbawa kembali menatap pada Untari. "Aku memang bernama Wulan, Kakang Perbawa. Tapi aku juga bernama Untari," kata Wulan seraya menoleh ke arah Perbawa.

"Eh, mana yang benar ini...?" sentak Perbawa.

"Keduanya benar. Terserah kalian saja mau memanggilku apa," sahut Untari tetap kalem.

Kali ini Perbawa dan Bayu saling berpandangan. Mereka mengenal gadis ini dengan nama yang berlainan. Sudah barang tentu sulit untuk bisa me-nyamakan panggilan lagi. Sedangkan Wulan tidak peduli dengan namanya sendiri.

"Bagaimana...?" tanya Bayu meminta pendapat Perbawa.

"Terserah kau saja, Kakang," sahut Perbawa langsung membiasakan diri menuakan Pendekar Pulau Neraka.

"Ya, kita panggil saja dia...," Bayu tidak melanjutkan.

"Wulan Untari...."

"Cocok!" sambut Bayu sambil tersenyum. "Eh, kenapa bergabung begitu...?" sentak Wulan.

"Kau punya dua nama, Wulan. Jadi apa salahnya kalau digabungkan...?" ujar Bayu kalem.

"Benar, Wulan. Lagi pula, kedua namamu tidak hilang," sambung Perbawa yang langsung memanggil gadis itu dengan nama Wulan.

"Terserah kalian sajalah...!" dengus Wulan tidak peduli.

Dan kedua pemuda itu tersenyum. Wulan sendiri tampaknya tak lagi mempedulikan hal itu. Baru pada kedua pemuda ini dia memberikan nama yang berlainan. Padahal di tempat-rempat lain, entah sudah berapa nama yang digunakan untuk dirinya. Dan memang tidak ada seorang pun yang tahu nama gadis ini sebenarnya. Karena kemunculannya juga sudah menggunakan nama begitu banyak, hingga pernah dikenal dengan julukan Gadis Seribu Nama.


Namun sekarang nama julukan itu sudah tidak terdengar lagi di kalangan rimba persilatan. Gadis Seribu Nama seakan menghilang begitu saja. Dan kini yang muncul Sepasang Bangau Putih, julukan yang sudah membuat geger rimba persilatan.

"Aku rasa tidak perlu lagi mempersoalkan nama Wulan sekarang. Aku ingin tahu, kenapa kalian sampai mengejar mereka...?" tanya Bayu setelah beberapa saat terdiam.

"Panjang ceritanya, Kakang," sahut Perbawa.

"Ceritakan saja! Kalau memang alasan kalian benar, aku tak akan segan-segan membantu," kata Bayu mantap.

Seketika itu juga wajah Perbawa langsung cerah mendengar kesediaan Pendekar Pulau Neraka untuk membantu tugas mereka. Dan tanpa banyak bicara lagi, Perbawa langsung menceritakan pada Bayu hal yang membuat mereka melakukan sepak terjang selama ini. Bayu mendengarkan dengan penuh perhatian. Sementara Wulan sendiri sudah tidak peduli lagi, karena keasyikan bermain dengan Tiren. Monyet kecil berbulu hitam sahabat Pendekar Pulau Neraka.


www.sonnyogawa.com


LIMA

"Jadi mereka yang membunuh istri Ki Sarpakenaka dan membuatnya tidak memiliki kaki lagi...?" ujar Bayu setelah Perbawa selesai dengan ceritanya.

"Benar, Kakang. Sekarang Ki Sarpakenaka sudah tidak ada lagi. Namun guru berpesan agar kami berdua membalaskan dendamnya," sahut Perbawa.

"Hm..., siapa sebenarnya mereka?" tanya Bayu dengan suara agak bergumam.

"Sebagian dari mereka adalah para begal Bukit Setan, Kakang," selak Wulan.

"Oh, kau tahu dari mana...?" tanya Bayu agak terkejut

"Tiga orang dari mereka aku kenali. Tapi mereka sudah mati semuanya. Dan yang sekarang ini, para pemimpin yang dulunya menguasai daerah selatan. Mereka tentunya lebih tangguh dan sulit dihadapi," kata Wulan menjelaskan lagi.

"Hm, tinggal berapa orang lagi mereka?" tanya Bayu.

"Lima," sahut Perbawa. "Sekarang mereka berkumpul semua di sini. Juga semua murid-muridnya," sambung Wulan.

"Dan kalian akan menghadapinya dengan berdua saja...?"

Perbawa dan Wulan Untari bersamaan meng-anggukkan kepala. Bayu tampak menggeleng-gelengkan kepala. Walaupun belum pernah bertemu, tapi dia sering mendengar lima orang tokoh persilatan yang menguasai daerah selatan. Sudah barang tentu mereka tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Sehingga tidak mungkin menghadapi mereka hanya dengan bertiga. Sebab, jumlah murid mereka yang kini berkumpul di Padepokan Teratai Emas ini, bisa lebih dari dua ratus orang. Setangguh apa pun kepandaian yang dimiliki mereka bertiga, tidak akan mungkin menghadapi lawan sebanyak itu. Apalagi di antara mereka ada lima tokoh persilatan yang pernah menguasai daerah selatan. Bayu merasa itu hanya mimpi belaka.

"Apa yang akan kalian lakukan sekarang?" tanya Bayu setelah cukup lama terdiam.

"Yaaah..., tunggu sampai mereka lengah," sahut Wulan seraya mengangkat bahunya sedikit

"Kalian sudah cukup banyak berbuat Sebaiknya tinggalkan saja mereka," kata Bayu lagi menyarankan.

"Apa...?! Tidak...!" sentak Wulan dengan mata mendelik. "Kau pikir semua ini akan berakhir begitu saja, selama mereka masih hidup...? Tidak! Aku tak akan berhenti sebelum mereka semua kuhancurkan!"

"Benar, Kakang. Semua yang sudah kami lakukan tidak akan berhenti sebelum mereka semua lenyap dari muka bumi ini. Kami sudah berjanji untuk mem-balas dendam kematian istri guru kami. Tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi," sambung Perbawa membela Wulan Untari.

"Tapi kalian tidak mungkin menghadapi mereka semua hanya berdua saja. Pikirkan itu...!" kata Bayu menyarankan.

"Itulah yang sedang kami pikirkan, Kakang. Harus ada cara yang tepat untuk menghancurkan mereka semua," kata Wulan Untari.

"Lalu, apa rencanamu?" tanya Bayu.

Wulan tidak langsung menjawab. Dia hanya mengangkat bahunya sedikit.

"Aku akan menyelidiki dulu kekuatan mereka malam nanti," kata Perbawa.

"Sudah jelas kekuatan mereka lebih dari dua ratus orang. Apa lagi yang akan kau selidiki, Perbawa...?" ujar Bayu menegaskan.

"Paling tidak, malam nanti aku bisa mengurangi sedikit jumlah mereka. Aku akan terus bergerak dengan sembunyi-sembunyi, sampai kekuatan mereka benar-benar berkurang dan bisa ditembus dengan mudah," sahut Perbawa mengemukakan rencananya.

"Lalu..., kau sendiri bagaimana, Wulan?" tanya

Bayu sambil menatap pada Wulan Untari.

"Mungkin sama seperti yang Kakang Perbawa lakukan. Tapi aku bergerak dari arah lain," sahut Wulan Untari langsung menyetujui rencana Perbawa.

Bayu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dalam rimba persilatan, tindakan yang mereka rencanakan itu bisa dikatakan pengecut. Memang tidak ada jalan lain bagi Sepasang Bangau Putih untuk mengurangi kekuatan lawan. Namun Bayu tidak ingin nama Sepasang Bangau Putih rusak hanya karena mengikuti rasa dendam di hati guru mereka, yang terbawa sampai mati tanpa dapat melaksanakan pembalasan-nya.

"Kalau kalian setuju, aku punya rencana yang tak akan merusak nama kalian berdua," kata Bayu.

"Apa rencanamu, Kakang...?"


***


"Edan...! Kau akan biarkan begitu saja murid-muridnya? Membiarkan mereka tetap hidup berkeliaran dan melakukan kejahatan dengan bebas...? Tidak! Aku tak akan membiarkan itu terjadi, Kakang," sentak Wulan Untari begitu mendengar rencana yang diutarakan Bayu.

"Tapi dengan menantang pemimpin mereka, nama kalian bisa lebih harum lagi," kata Bayu beralasan.

"Maaf, Kakang...," selak Perbawa. "Kami berdua harus melenyapkan mereka tanpa sisa. Dan itu sesuai dengan apa yang sudah mereka lakukan pada guru kami serta murid-muridnya. Hanya Ki Sarpakenaka waktu itu masih bisa menyelamatkan diri. Sedangkan istri, anak-anak serta semua murid-nya mereka bantai tanpa ampun lagi. Jadi semua yang sudah kami lakukan berdua, sesuai dengan perbuatan mereka, Kakang."

"Dendam tidak akan menyelesaikan masalah," ujar Bayu pelan.

"Karena itu, Kakang. Kalau membiarkan satu orang muridnya saja tetap hidup, persoalan ini tak akan selesai. Kami berdua sudah berjanji tak akan lagi berpetualang dalam dendam kalau mereka sudah lenyap semuanya," kata Perbawa lagi.

"Jadi kalian tetap akan melaksanakan...?" tanya Bayu ingin ketegasan.

"Benar," sahut Perbawa mantap.

"Dengan mempertaruhkan nama baik kalian...?" tegas Bayu lagi.

Sepasang Bangau Putih itu mengangguk dengan mantap. Bayu tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Dan hanya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kuat. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk melunakkan hati Sepasang Bangau Putih. Dendam guru mereka sudah terbawa sampai ke relung hati yang paling dalam dan mendarah daging. Sehingga sulit untuk bisa dipisahkan lagi. Dengan cara apa pun, mereka tetap akan membalaskan dendam sang Guru.

Tidak ada yang dapat dibicarakan lagi. Mereka terdiam bergelut dengan pikiran masing-masing. Sementara Perbawa sudah kembali memperhatikan barftjunan Padepokan Teratai Emas yang seperti sebuah benteng pertahanan, terjaga ketat itu. Diakui, memang tidak mudah untuk menembus ke dalam sana. Terlebih lagi beberapa perguruan sudah bergabung menjadi satu, hingga kekuatan yang ada dalam padepokan itu demikian besar.

Bayu kini duduk di samping Wulan Untari. Gadis itu masih asyik bermain dengan Tiren. Digelitiknya perut monyet itu hingga bergulingan di atas rerumputan sambil mencerecet ribut. Wulan baru berhenti bercanda dengan Tiren saat Bayu menepuk lembut pundaknya. Dia mengambil monyet kecil itu, dan ditaruh di pangkuannya.

"Bagaimana kau bisa menjadi murid Ki Sarpakenaka, Wulan?" tanya Bayu dengan suara pelan, hingga Perbawa yang berada cukup jauh tidak mendengar.

"Aku menemukannya sudah hampir mati, dengan luka-luka yang parah. Aku merawatnya sampai dia sembuh. Tapi aku tak bisa menyembuhkan kelumpuhan pada kedua kakinya, hingga dia tidak bisa jalan lagi," ujar Wulan menceritakan pertemuan-nya dengan Ki Sarpakenaka.

"Kau tahu kenapa dia sampai terluka begitu?" tanya Bayu lagi.

"Ya, dia menceritakan padaku," sahut Wulan Untari.

"Lalu...?"

"Setelah sembuh, dia memintaku untuk mencari seorang muridnya yang sedang mengembara. Aku melaksanakan semua perintahnya. Aku bertemu dengan Kakang Perbawa dan membawanya pulang pada gurunya. Semula Kakang Perbawa ingin langsung membalas kekalahan gurunya. Tapi Ki Sarpakenaka tidak mengizinkan. Akhirnya kami berdua diberi jurus-jurus Sepasang Bangau Putih. Juga pedang ini...," sambung Wulan menyentuh pedang di pundaknya.

Bayu mengangguk-anggukkan kepala. Dirinya kini baru mengerti, kenapa kepandaian yang dimiliki Wulan begitu pesat berkembang. Memang tidak mengherankan, karena gadis itu menemukan seorang tokoh sakti yang memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi. Dan Bayu tahu kalau kepandaian yang dimiliki Ki Sarpakenaka hanya berada setingkat di bawah kepandaian yang dimiliki gurunya sendiri.

Ki Sarpakenaka mungkin tidak akan sampai kalah begitu, kalau saja lawan-lawannya tidak bermain curang dan dikeroyok sepuluh orang yang ber-kepandaian tinggi. Bayu juga bisa mengerti kalau api dendam yang ada di dalam dada Perbawa tidak bisa dipadamkan begitu saja. Dia juga tidak akan mem-biarkan orang-orang yang sudah membuat gurunya cacat, hidup lebih lama lagi. Namun tindakan yang dilakukannya tidak seperti yang dilakukan Perbawa dan Wulan Untari sekarang ini. Mereka benar-benar menghancurleburkan semuanya tanpa seorang pun dibiarkan tetap hidup. Bahkan murid-murid yang tidak tahu persoalannya juga dihancurkan tanpa sisa.

"Aku sudah bersumpah untuk membantu Kakang Perbawa menghancurkan mereka. Bahkan Ki Sarpakenaka sendiri sudah berpesan, aku tidak boleh berpisah dengan Kakang Perbawa," sambung Wulan Untari.

Bayu tetap diam. Dia bisa mengerti semua yang dikatakan Wulan barusan. Dirinya tahu jurus-jurus Bangau Putih bisa lebih dahsyat lagi kalau dikerahkan secara bersamaan. Dan tidak bisa dilakukan oleh satu orang, karena jurus itu memang harus berpasangan. Ki Sarpakenaka sendiri bisa dikalahkan oleh lawan-lawannya, karena mereka tahu kelemahan jurus Bangau Putih. Mereka membunuh istrinya lebih dulu, hingga jurus Bangau Putih yang dikuasai Ki Sarpakenaka tidak berarti. Akhirnya dengan mudah mereka bisa mengalahkannya.

"Aku sebenarnya berharap, kau bersedia membantuku menghadapi mereka, Kakang," ujar Wulan Untari dengan suaranya yang pelan, namun jelas sekali bernada mengharapkan kesediaan Pendekar Pulau Neraka.

Bayu tampak diam saja membisu. Entah apa yang ada di dalam hatinya saat ini.

"Wulan, sini...!" panggil Perbawa tiba-tiba.

Wulan langsung beranjak bangkit berdiri, dan menyerahkan Tiren pada Pendekar Pulau Neraka. Bergegas dia menghampiri pemuda itu. Perbawa langsung menunjuk, begitu Wulan berada dekat di sampingnya. Sementara Bayu hanya memperhatikan tanpa berkeinginan mendekati mereka. Dia me-masang pendengarannya dengan tajam, agar bisa mendengar apa yang dibicarakan Sepasang Bangau Putih.

"Mereka tentu akan mencari kita, Kakang," kata Wulan pelan, seperti berbisik.

"Aku akan menghadang mereka," kata Perbawa mantap.

"Kau sanggup sendiri saja?" tanya Wulan.

"Paling hanya dua puluh orang, Wulan."

"Tapi hati-hati, Kakang. Mungkin itu hanya jebakan saja," Wulan memperingatkan.

Pada saat itu, keluar lagi satu kelompok yang berjumlah sekitar dua puluh orang. Mereka bergerak dengan arah yang berlawanan dengan kelompok yang pertama.

"Itu bagianku, Kakang," ujar Wulan langsung dengan bibir tersenyum. "Kita tunggu dulu sampai mereka cukup jauh dari benteng itu," kata Perbawa.

Sepasang Bangau Putih tampak tersenyum, melihat dua kelompok yang masing-masing berjum-lah sekitar dua puluh orang keluar dari lingkungan padepokan. Kedua kelompok itu bergerak menuju arah yang berlawanan. Entah apa maksud mereka keluar dari padepokan. Mungkin memang benar dugaan Wulan Untari barusan. Mereka memang sengaja keluar mencari Sepasang Bangau Putih. Atau hanya suatu jebakan untuk memancing Sepasang Bangau Putih keluar dari persembunyiannya.

"Ayo, Kakang! Kita bergerak sekarang," ajak Wulan Untari.

"Hup...!"
"Hap!"

Tanpa membuang-buang waktu mereka langsung saja melesat dengan cepat, ke arah tujuannya masing-masing. Dan pada saat itu Bayu segera mengambil alih tempat mereka tadi berdiri. Dari tempat yang agak tinggi ini, dia bisa melihat dengan jelas, Sepasang Bangau Putih bergerak terpisah, menghampiri dua kelompok lawan yang juga terpisah dengan arah berlawanan. Namun pada saat itu juga.... "Heh...?!"


***


Apa yang disaksikan Bayu, membuat kedua bola matanya terbeliak lebar, seperti melihat ribuan hantu yang akan menghancurkan dunia ini. Bersamaan dengan melesatnya Sepasang Bangau Putin, dari dalam padepokan keluar empat orang tokoh persilatan yang sedang mereka kejar. Keempat orang itu memisahkan diri ke arah yang berbeda. Dan pada saat itu juga, sekitar tiga puluh orang yang dipimpin langsung oleh Ki Denggis bergerak menuju ke arah Pendekar Pulau Neraka berdiri.

"Gila...! Rupanya mereka lebih cepat bertindak. Ini bisa berbahaya bagi Wulan dan Perbawa. Tidak..."

Bayu tidak bisa lagi berpikir lebih jauh. Saat itu Ki Denggis yang diikuti sekitar tiga puluh orang sudah dekat dengannya. Mendadak orang tua itu berteriak memberi perintah untuk menyerang Pendekar Pulau Neraka. Hal itu membuat Bayu tidak sempat lagi memperhatikan Wulan Untari dan Perbawa yang juga terkejut melihat kedatangan dua orang buruan mereka masing-masing ke tempat yang berbeda dan berjarak sangat jauh.

"Seraaang...! Bunuh dia...!" teriak Ki Denggis memberi perintah menyerang Pendekar Pulau Neraka.

"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"

"Nguk! Craaakh...!"

"Menjauh dariku, Tiren!" seru Bayu.

"Nguk!"

Tiren langsung melompat turun dari pundak Pendekar Pulau Neraka. Dia segera berlari menjauh, dan naik ke pohon. Sementara Bayu sendiri sudah harus berlompatan, menghindari serangan-serangan yang datang bagai ombak di lautan. Serangan-serangan itu demikian gencar, membuat Bayu tidak punya kesempatan sedikit pun untuk memberikan serangan balasan. Sedangkan Ki Denggis sendiri selalu mencari kesempatan untuk menghantamkan pukulannya di saat pemuda berpakaian kulit harimau itu sibuk menghindari serangan-serang-an mereka.

Di tempat lain, Wulan Untari juga tengah kewalahan menghadapi gempuran dahsyat, dari dua puluh orang murid Padepokan Teratai Emas yang ditambah dua orang tokoh persilatan pimpinan mereka. Keadaan yang sama pun dialami Perbawa. Mereka benar-benar tidak sempat menghindari je-bakan itu. Tidak mungkin lagi bagi keduanya untuk menyatu, karena jarak mereka sangat berjauhan. Akhirnya mereka terpaksa menghadapi lawannya masing-masing seorang diri. Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus menggunakan Cakra Maut untuk bisa keluar dari keroyokan yang cukup banyak itu.

Jeritan-jeritan panjang melengking dan menyayat pun seketika terdengar saling sambung. Dan baru beberapa saat saja pertarungan itu berlangsung, Bayu sudah merobohkan lebih dari sepuluh orang lawannya. Sementara Ki Denggis semakin mem-perhebat serangan-serangannya. Dia selalu mencari kelengahan Pendekar Pulau Neraka. Namun tampak-nya tidak mudah untuk memasukkan serangannya, karena setiap gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka memang sulit diduga dan hampir tidak terlihat dengan pandangan mata biasa.

Satu persaru Bayu berhasil merobohkan lawanlawannya. Hingga akhirnya tinggal sekitar lima orang ditambah dengan Ki Denggis yang mulai kelihatan gentar. Namun tiba-tiba terdengar suara genderang dipukul bertalu-talu dari arah bangunan Padepokan Teratai Emas.

"Cepat tinggalkan dia...!" teriak Ki Denggis tiba-tiba.

"Hup! Yeaaah...!"

Tanpa membuang waktu lagi, Ki Denggis langsung melesat meninggalkan Pendekar Pulau Neraka dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Kelima orang anak buahnya yang tersisa tidak sempat mengikuti. Karena dengan gerakan yang begitu cepat, Bayu memberikan pukulan-pukulan beruntun dan mengandung tenaga dalam. Seketika lima orang itu menjerit keras, dan ambruk dengan nyawa melayang.

"Keparat...!"

Bayu menggeram melihat Ki Denggis sudah masuk kembali ke dalam benteng Padepokan Teratai Emas. Dan dia jadi tersentak kaget setengah mati, begitu melihat Wulan terseret masuk ke dalam benteng itu. Sementara Perbawa tampak menggeletak di antara mayat-mayat lawannya. Dari tempat itu lawan yang masih hidup bergerak cepat masuk kembali ke benteng padepokan.



"Hup!"

Pendekar Pulau Neraka bergegas menghampiri Perbawa yang sudah berlumuran darah, tapi tampak masih bergerak. Sebentar saja Bayu sudah sampai. Dia langsung mendekati Perbawa yang masih bergerak hidup.

"Oh...?!"

Bayu terkejut setengah mati, melihat hampir sekujur tubuh Perbawa sudah terluka. Darah mengalir deras dari luka-luka yang menganga. Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka mengangkat dan membawa pergi dari tempat itu. Dan pada saat Bayu melesat, Perbawa terkulai pingsan.

Bayu membawa Perbawa ke tempat yang cukup jauh dan aman dari jangkauan orang-orang Teratai Emas, yang kini dibantu oleh tiga padepokan sahabatnya. Dia merebahkan tubuh pemuda itu di atas rerumputan yang cukup tebal, di bawah pohon rindang. Sehingga terlindung dari sengatan sinar matahari yang sudah condong ke arah barat.

Bayu memberikan totokan di beberapa bagian tubuh Perbawa. Darah yang semula mengalir pun seketika terhenti. Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka bekerja merawat luka-luka di tubuh Perbawa. Dia juga menyalurkan hawa mumi untuk membantu Perbawa mengembalikan tenaga dalamnya. Sehingga dapat bertahan, meskipun luka-luka yang dideritanya cukup parah.

"Aku akan membawamu pada tabib, Perbawa. Kau harus sembuh...," ujar Bayu dengan suara berdesis di telinga Perbawa.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera membawa pemuda itu. Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna tingkatan-nya, Pendekar Pulau Neraka bergerak dengan cepat menuruni lereng Bukit Angsa. Dia tidak ingat pada monyet kecil sahabatnya yang ditinggalkan di puncak bukit itu. Bayu terus berlari menuruni lereng bukit membawa Perbawa yang teriuka cukup parah.


***


ENAM

Sementara itu di dalam lingkungan Padepokan Teratai Emas, tubuh Wulan Untari telah diikat pada tongkat kayu, tepat di tengah-tengah halaman padepokan yang sangat luas. Tampak wajahnya sudah sembab membiru, akibat terkena beberapa pukulan. Dan di sudut bibirnya darah kering masih melekat. Baju yang dikenakannya juga sudah terkoyak. Sehingga beberapa bagian tubuhnya yang berkulit putih mulus terlihat, membuat puluhan pasang mata yang ada di dalam padepokan itu tidak berkedip memandanginya.

Kepala gadis itu terkulai, seakan dia sudah tidak bernyawa lagi. Hanya gerakan perlahan dadanya yang menandakan Wulan masih hidup. Saat itu dari dalam bangunan besar yang merupakan bangunan utama Padepokan Teratai Emas, keluar Nyai Kantil bersama Ki Denggis dan tiga orang tua lainnya. Diikuti sekitar sepuluh orang laki-laki bertubuh tegap, yang merupa-kan sepuluh orang murid andalan Nyai Kantil, Ketua Padepokan Teratai Emas. Mereka melangkah meng-hampiri Wulan yang terikat dengan kepala terkulai di tonggak kayu. Sementara itu matahari sudah hampir tenggelam di balik peraduannya. Cahayanya yang redup, seakan ikut merasakan penderitaan yang dialami Gadis Seribu Nama ini.

Nyai Kantil menunjuk ember kayu yang ada di depan Wulan Untari. Seorang muridnya langsung menghampiri, dan mengambil ember kayu itu. Tanpa banyak bicara lagi, dia menumpahkan semua air di dalam ember itu ke tubuh Wulan. Membuat gadis itu jadi gelagapan setengah mati. Dia langsung meringis, merasa nyeri pada seluruh tubuhnya yang penuh luka tersiram air dingin ini. Namun sesaat saja sinar matanya sudah menyorot tajam pada orang-orang tua yang berada tepat di depannya.

"Siapa namamu, Cah Ayu...?" tanya Ki Denggis.

Wulan tidak langsung menjawab. Ditatapnya laki-laki tua itu dengan sinar mata yang tajam. Kemudian memandangi yang lainnya. Di sebelah Ki Denggis berdiri Nyai Kantil. Dan di belakang mereka ada dua tiga orang lelaki tua lagi yang usianya mungkin sebaya dengan Ki Denggis. Wulan Untari tahu kalau mereka adalah Ki Tampul, Ki Balung, dan Ki Rampak. Semua memang satu kelompok dengan Ki Denggis dan Nyai Kantil. Dan mereka inilah yang menjadi buruan pembalasan dendam Ki Sarpakenaka.

"Siapa namamu, Nisanak...?" Ki Denggis me-ngulangi pertanyaannya lagi.

"Nama yang mana yang kau inginkan...?" balas Wulan ketus.

"Aku tanya namamu...," agak ditekan nada suara Ki Denggis.

"Banyak," sahut Wulan Untari smis. "Mana yang kau inginkan...? Untari, Cempaka, Wulan, Melati, atau kau ingin memberiku nama lain...? Aku tidak keberatan."

Kening Ki Denggis jadi berkerut mendengar jawaban gadis int. Sementara Nyai Kantil langsung tahu kalau gadis ini tentu yang dikenal dengan nama julukan si Gadis Seribu Nama. Dan dia jadi ingat dengan peristiwa di Bukit Setan. Nyai Kantil langsung membisikkannya pada Ki Denggis. Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepala dengan senyuman lebar terkembang di bibirnya. Entah apa arti senyumannya itu.

"Kau tentu si Gadis Seribu Nama. Benar...?" ujar Ki Denggis dengan bibir masih menyunggingkan senyuman.

Wulan Untari hanya mencibirkan bibirnya. Tatapan matanya masih terlihat tajam, bersorot langsung ke bola mata Ki Denggis yang berada tepat di depannya.

"Kalau memang kau benar si Gadis Seribu Nama, itu berarti tidak ada lagi pengadilan di sini. Kau tahu apa maksudku...?" ujar Ki Denggis lagi.

Wulan masih tetap diam membisu dengan tatapan mata yang tajam sekali, bersorot langsung ke bola mata laki-laki tua di depannya ini. Namun sebentar kemudian dia menatap dengan bola mata berapi-api pada Nyai Kantil yang tadi mengenalinya lebih dulu. Wulan yakin kalau perempuan tua ini ada ketika dia hampir mati dan temoda di Bukit Setan. Hanya saja dia tidak sempat mengenalinya waktu itu.

"Bagaimana...?" tanya Ki Denggis meminta pendapat pada yang lainnya.

"Ya.... Bagaimana lagi...?" desah Nyai Kantil sambil mengangkat bahunya.

"Dia bisa menjadi duri dalam daging kita, Kakang. Sudah pantas kalau dia mendapat hukuman mati," selak Ki Balung.

Ki Denggis mengangguk-anggukkan kepala dengan bibir tersenyum menatap gadis di depannya. Kemudian dia memutar tubuh berbalik, dan melangkah pergi meninggalkan si Gadis Seribu Nama. Namun baru beberapa langkah, terdengar perintahnya pada murid-murid Padepokan Teratai Emas.

"Kalian boleh lakukan apa saja padanya, sebelum dia mendapat hukuman besok pagi," kata Ki Denggis.

Seketika itu juga seluruh wajah Wulan Untari berubah pucat pasi seperti mayat. Dia tahu apa yang dimaksudkan Ki Denggis barusan. Terbayang lagi peristiwa di Bukit Setan. Wulan tidak ingin peristiwa itu terulang lagi sekarang. Dan dia sadar tidak ada lagi keajaiban seperti yang pernah dialaminya dulu, hingga dirinya tetap suci dan bertahan hidup sampai sekarang.

"Keparat kau, Denggis! Akan kubunuh kau...!" teriak Wulan memaki.

"Ha ha ha...!"

Ki Denggis hanya tertawa terbahak-bahak, seakan tidak menghiraukan makian gadis itu. Dia terus berjalan ke dalam bangunan besar padepokan, diikuti Nyai Kantil dan yang lainnya. Sementara itu puluhan laki-laki sudah mengelilingi Gadis Seribu Nama. Pandangan mata mereka begitu liar, melahap seluruh tubuh yang sudah sebagian terbuka, dengan pakaian yang tercabik akibat pertarungan tadi. Kulit tubuh Wulan yang putih dan halus, membuat tenggorokan mereka turun naik menahan gejolak nafsu yang seketika itu juga menggelegar liar. Melihat mereka sudah begitu dekat, seluruh tubuh Wulan merasa bergidik. Dan wajahnya semakin pucat seperti mayat. Suara-suara tawa penuh mengejek terus terdengar di telinganya.

"Kubunuh kalian kalau berani menyentuhku...!" bentak Wulan mengancam.

Namun dalam keadaan tubuh terikat seperti ini, tentu saja ancamannya hanya disambut dengan seringai dan tawa terkekeh. Wulan sadar kalau ke-adaannya memang tidak menguntungkan dirinya sama sekali. Dan dia tahu, tidak akan ada lagi keajaiban yang bisa menolongnya dari kesulitan ini Dia merasa lebih baik langsung mati, daripada harus ternoda dan terhina seperti ini. Dia tidak rela tangan-tangan mereka menjamah tubuhnya. Namun apa daya, tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Sementara mereka sudah semakin mendekat dengan sinar mata penuh nafsu yang membara tanpa dapat dibendung lagi.

Kini, Wulan hanya bisa berharap ada satu keajaiban lagi yang membantunya melepaskan diri dari siksaan yang bakal dialami. Dia tidak sanggup lagi memandang mereka yang sudah dirasuki hawa nafsu menggejolak membara di dalam dada. Pandangan yang liar menjilati sekujur tubuh yang sudah terkoyak pakaiannya. Wulan benar-benar tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Hatinya sudah pasrah, apa pun yang akan terjadi.

Namun pada saat yang sangat kritis itu, tiba-tiba saja...

"Craaakh...!"

"Oh...?!"


***


Wulan tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar suara nyaring yang sudah dikenalnya dengan baik. Belum sempat ada seorang pun yang bisa menyadari, tahu-tahu sudah terlihat sebuah bayangan hitam kecil meluruk deras dari atas. Dan langsung hinggap pada tonggak kayu yang mengikat Gadis Seribu Nama ini dengan tambang yang cukup besar. Wulan melirik sedikit dengan kepala menoleh ke belakang.

"Tiren...," desisnya, begitu melihat seekor monyet tengah menggigit tambang yang mengikat tubuhnya.

Gigi-gigi Tiren yang tajam dan bertaring, dengan mudah memutuskan tambang itu, hingga WuIan terlepas dari ikatannya. Tanpa banyak membuang waktu lagi, Wulan segera melompat menerjang dua orang laki-laki yang berada tepat di depannya. Dua kali pukulannya dilepaskan dengan kecepatan tinggi, disertai pengerahan tenaga dalam yang masih tersisa. Begitu cepat terjangannya, sehingga dua orang itu tidak sempat lagi bergerak.

Begkh!
Des!
"Akh...!"
"Aaaa...!"

Keduanya menjerit melengking, begitu dada dan kepala mereka terkena pukulan yang keras dan bertenaga dalam.

"Hup! Hiyaaa...!"

Tanpa membuang-buang waktu, Wulan langsung melentingkan tubuhnya ke atas dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatannya. Dan gadis itu langsung meluruk deras ke belakang orang-orang yang sudah mau mengeroyoknya. Begitu kakinya menyentuh tanah, dengan cepat sekali dia melesat tinggi ke atas. Langsung naik ke pagar benteng yang mengelilingi padepokan.

Dua orang yang berada di atas pagar benteng itu tersentak kaget setengah mati. Mereka tidak sempat berbuat sesuatu. Wulan sudah memberikan pukulan-pukulan beruntun yang begitu cepat, disertai dengan pengerahan tenaga dalam. Seketika kedua orang yang memegang busur itu terbanting jatuh dengan keras sekali, disertai suara jeritan melengking dan menyayat hati. Sementara Wulan sempat melihat Tiren sudah naik ke atas pagar dengan tangkas sekali. Monyet kecil itu langsung melompat keluar melalui dahan pohon yang menjuntai melewati pagar benteng padepokan itu.

"Akan kuhancurkan kalian semua! Hiyaaa...!"

Sambil membentak nyaring, Wulan langsung melompat keluar dari atas pagar benteng padepokan. Ringan sekali kedua kakinya menjejak tanah diluar benteng. Dia langsung berlari cepat dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, menjauhi padepokan itu. Sementara dari atas pohon, Tiren terus mengikuti melalui dahan pohon yang satu ke dahan pohon lainnya. Begitu ringan gerakan monyet kecil itu. Sehingga dalam waktu sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan benteng Padepokan Teratai Emas. Sedangkan Wulan terus berlari dengan kecepatan tinggi, menembus hutan yang cukup lebat di puncak bukit itu.

Berhasilnya Wulan melepaskan diri, membuat keadaan di dalam lingkungan Padepokan Teratai Emas gempar. Ki Denggis yang mendapat laporan jadi berang setengah mati. Bahkan Nyai Kantil memarahi semua muridnya. Tidak ada yang bisa dilakukan mereka, kecuali berusaha mengejar si Gadis Seribu Nama itu keluar dari benteng padepokan. Tapi mana mungkin bisa terkejar? Wulan sudah begitu jauh pergi masuk ke dalam hutan. Jejaknya pun tidak terlihat lagi, karena saat itu matahari sudah tenggelam di balik peraduannya. Sehingga pencarian mereka hanya pekerjaan sia-sia belaka.

Lolosnya Wulan tidak hanya menimbulkan kegeraman di hati Ki Denggis, melainkan juga membuat mereka gelisah. Terlebih lagi mereka tidak menemukan tubuh Perbawa di tempatnya, yang mereka tinggalkan dengan tubuh terluka parah. Nyai Kantil langsung memberi perintah pada murid-muridnya untuk mengadakan penjagaan lebih ketat lagi. Bahkan Ki Balung, Ki Tampul, dan Ki Rampak juga memerintahkan para muridnya untuk memperkuat pertahanan Padepokan Teratai Emas. Ki Denggis sendiri memutuskan untuk tetap mencari Wulan di sekitar bagian luar padepokan. Dia merasa yakin kalau gadis itu tidak bisa lagi berlari jauh dengan tubuh yang terluka. Dia tampaknya tidak menyadari kalau luka yang diderita Wulan tidak seberapa parah. Dan gadis itu sudah jauh berada di lereng Bukit Angsa bersama Tiren, sahabat kecil Pendekar Pulau Neraka yang membuat keajaiban bagi dirinya.


***


Di pinggir sebuah telaga di lereng Bukit Angsa, Wulan membersihkan darah kering yang melekat di tubuhnya. Dia juga mengganti pakaiannya yang sudah koyak. Dia memang membawa pakaian ganti disimpan di pelana kudanya yang ditinggalkan di tepi telaga itu. Namun pakaian penggantinya pun tetap berwarna putih.

Selesai membersihkan diri, Wulan melakukan semadi, ditemani Tiren yang duduk dekat di depannya. Monyet kecil itu tampak diam saja memperhatikan Wulan melakukan semadi untuk memulihkan kembali tenaga dan kekuatannya yang berkurang jauh, akibat pertarungannya sore tadi.

Sementara itu Pendekar Pulau Neraka sudah berada kembali di puncak Bukit Angsa. Dia berada tidak jauh dari bangunan Padepokan Teratai Emas yang seperti benteng pertahanan. Entah sudah berapa lama dia mengamati keadaan di sekitar padepokan itu. Tujuannya sudah pasti, akan mem-bebaskan Wulan Untari yang ditawan di dalam sana. Dirinya tidak tahu kalau Gadis Seribu Nama itu sudah keluar ditolong Tiren.

Ketika Pendekar Pulau Neraka baru saja mau melangkah mendekati bangunan Padepokan Teratai Emas, tiba-tiba saja....

"Apa yang kau cari di sini, Kisanak...?"

"Heh...?!"

Pendekar Pulau Neraka terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara berat dari arah belakang. Dan belum sempat dia memutar tubuhnya berbalik, tahu-tahu sudah terasa desiran angin kencang dari belakang. Bayu tidak sempat lagi menyadari apa yang terjadi. Tahu-tahu satu pukulan keras dan bertenaga dalam tinggi sudah menghantam punggungnya.

Diegkh!
"Akh...!"

Pendekar Pulau Neraka tersungkur jatuh mencium tanah. Tubuhnya bergulingan beberapa kali hingga menumbangkan dua batang pohon. Namun cepat dia bisa bangkit berdiri dan memutar tubuhnya berbalik. Pada saat itu juga, sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menerjangnya.

"Haiiittt...!"

Cepat Bayu memiringkan tubuh ke kanan, hingga terjangan bayangan itu tidak sampai mengenainya. Dengan cepat Bayu mengibaskan tangan kiri, men-coba untuk menghantam bayangan yang lewat di sebelah kirinya. Namun hantamannya lewat tanpa mengenai sasaran sedikit pun. Pemuda berambut gondrong itu cepat memutar tubuh berbalik, tepat di saat bayangan yang menyerangnya juga berputar balik menghadapinya.

"Ki Denggis...," desis Bayu langsung mengenali orang itu.

"Mau apa kau datang ke sini?" bentak Ki Denggis.

"Aku mau bebaskan Wulan," sahut Bayu tegas.

"Ha ha ha...!" Ki Denggis tertawa terbahak-bahak.

Suara tawanya begitu keras menggelegar, mem-buat telinga Bayu terasa pekak seakan hendak pecah. Bayu bisa merasakan kalau suara tawa itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam, hingga dia terpaksa harus melawannya dengan pengerahan tenaga dalam juga.

"Dia sudah mampus! Dan kau datang juga mengantarkan nyawa!" bentak Ki Denggis lantang.

"Keparat...! Kau harus menebus nyawanya...!" dengus Bayu geram, mendengar Wulan Untari sudah mati di padepokan itu.

"Ha ha ha...!"

Ki Denggis hanya tertawa terbahak-bahak. Seakan dia merasa menang sudah membuat Pendekar Pulau Neraka jadi berang. Bayu memang marah mendengar Wulan Untari sudah mati. Wajahnya langsung memerah. Namun Pendekar Pulau Neraka ternyata tidak mudah terpancing begitu saja. Walau hatinya sudah membara, dia tetap benlsaha tenang.

"Kedatanganmu akan menemaninya di neraka, Bocah...!" desis Ki Denggis dingin menggetarkan.

Bayu hanya diam dengan geraham bergemeletuk menahan geram. Dia tetap menunjukkan ketenangan, walau Ki Denggis sudah berusaha keras memancing kemarahannya.

Melihat Pendekar Pulau Neraka tetap bersikap tenang, wajah Ki Denggis tampak meregang kaku menahan geram.

"Mampus kau, Bocah Keparat! Hiyaaattt...!"

Sambil membentak keras, Ki Denggis melesat cepat bagai kilat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Satu pukulan yang sangat keras dan bertenaga dalam tinggi langsung dilepaskan tepat mengarah ke dada pemuda berbaju kulit harimau itu. Namun sedikit pun Bayu tidak terlihat berusaha menghindari. Begitu pukulan tangan kanan orang tua itu hampir menghantam dadanya, tiba-tiba saja Bayu meng-angkat tangan kanan ke depan dada. Hingga...

Plak!
"Akh...!"


***


Ki Denggis terpekik, saat pukulannya menghantam pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Di pergelangan tangan kanan pemuda itu menempel Cakra Maut yang menjadi senjata andalannya. Sudah barang tentu Ki Dejiggis merasa seluruh tulang tangannya seperti remuk berpatahan menghantam senjata maut itu.

Dan belum sempat dia berbuat sesuatu, Bayu sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek dengan gerakan secepat kilat. Kecepatan tendangan geledek Pendekar Pulau Neraka itu tidak dapat lagi terlihat, hingga Ki Denggis sama sekali tidak dapat berkelit menghindarinya.

Buk!
"Ugkh...!"

Ki Denggis terbungkuk sambil mengeluarkan keluhan pendek, begitu tendangan dahsyat Pendekar Pulau Neraka menghantam tepat di perutnya. Bersamaan dengan itu Bayu melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam, menghantam telak wajah lawan.

Plak!
"Akh...!"

Untuk kedua kalinya Ki Denggis memekik kesakitan, begitu wajahnya seakan diremukkan dengan pukulan menggeledek Pendekar Pulau Neraka. Begitu kerasnya, hingga membuat orang tua itu terhuyung-huyung ke belakang. Tampak darah mengalir sangat deras dari kedua lubang hidung dan mulutnya.

Sementara Bayu sama sekali tidak memberi kesempatan pada lawan. Sambil membentak keras menggelegar, Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya, dengan tubuh agak membungkuk doyong ke kiri.

"Yeaaah...!"
Slap!

Seketika itu juga, Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan melesat dengan kecepatan bagai kilat. Sementara Ki Denggis sendiri belum bisa menguasai keadaan dirinya, hingga dia tidak dapat lagi menghindari sambaran senjata dahsyat berbentuk lempengan persegi enam itu.

Crabb!
"Aaaa...!"

Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar memecah kesunyian di puncak Bukit Angsa. Ki Denggis terhuyung-huyung ke belakang, dengan Cakra Maut membenam dalam di dadanya. Darah seketika muncrat, menyemburat dengan deras sekali, begitu Cakra Maut melesat keluar bersamaan dengan menghentaknya tangan Bayu ke atas kepala. Senjata itu kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.

Sementara Ki Denggis masih terhuyung-huyung memegangi dadanya yang beriubang dan berlumuran darah. Tidak lama kemudian, tubuhnya, ambruk dengan keras sekali menghantam tanah.

Dan hanya sebentar dia bergerak menggeliat meregang nyawa. Kemudian mengejang kaku, dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Ki Denggis tewas seketika.

Jeritan Ki Denggis yang keras dan melengking sebelum tewas tadi, terdengar sampai ke dalam benteng Padepokan Teratai Emas. Semua orang yang ada di dalam bangunan seperti benteng itu jadi tersentak kaget. Dan mereka yang berada di atas pagar benteng melihat kematian Ki Denggis di tangan seorang pemuda berbaju kulit harimau, tidak jauh di sebelah kanan depan padepokan. Orang-orang itu berteriak keras memberitahu pemimpin mereka yang juga sudah keluar dari dalam bangunan utama padepokan, ketika mendengar jeritan panjang kematian Ki Denggis tadi.

Sementara Pendekar Pulau Neraka segera melesat dengan cepat, masuk kembali ke hutan, tepat di saat puluhan orang bersama Nyai Kantil dan tiga orang sahabatnya keluar dari dalam padepokan. Mereka langsung menuju ke tempat Ki Denggis bertarung dengan Pendekar Pulau Neraka.

Mereka tidak dapat lagi menahan kemarahan, mendapati Ki Denggis tewas dengan dada berlubang berlumuran darah. Pemimpin-pemimpin padepokan itu langsung memerintahkan para muridnya menyebar, mencari pembunuh Ki Denggis.

Tidak ada seorang pun yang berani membantah. Mereka segera melaksanakan perintah, walau di dalam hati mencuat kegentaran.


***


TUJUH

Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau sebenarnya Bayu berputar mengelilingi bangunan Padepokan Teratai Emas. Sehingga kini dia sudah ada di bagian belakang bangunan itu. Bayu melihat kalau bagian belakang tidak terjaga dengan ketat. Tanpa banyak kesulitan, Pendekar Pulau Neraka melompat naik ke atas pagar benteng yang tinggi.

"Hup!"

Mengagumkan sekali ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Hanya sekali genjot, dia melesat tinggi ke atas, dan tahu-tahu sudah berada di atas pagar benteng padepokan. Hanya sebentar saja dia mengamati keadaan sekitarnya. Kemudian dengan gerakan yang ringan sekali, tubuhnya melompat turun dari atas pagar benteng. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua telapak kakinya menjejak tanah. Bayu cepat merundukkan tubuh, ketika melihat dua orang berjalan dari arah samping bangunan utama padepokan menuju ke bagian belakang.

"Hep!"

Kembali Bayu melesat dengan kecepatan tinggi sekali. Sehingga, tahu-tahu dirinya sudah berada di belakang kedua orang penjaga itu. Sebelum ada yang menyadari, Bayu sudah memberikan satu totokan tepat pada tengkuk mereka, hingga tanpa bersuara lagi, kedua orang itu ambruk tidak sadarkan diri. Sebentar Bayu mengamati keadaan sekitarnya. Kemudian dia kembali melentingkan tubuh ke atas, langsung hinggap di atas atap bangunan utama Padepokan Teratai Emas.

Saat itu juga kening Bayu jadi berkerut. Dia melihat di tengah-tengah halaman depan padepokan terdapat sebatang tonggak dengan tambang yang menggeletak di sekitarnya. Di sekitar tonggak itu juga banyak terdapat tumpukan ranting kering. Sepertinya padepokan ini sedang mempersiapkan sebuah hukuman bakar hidup-hidup. Namun tidak ada seorang pun yang terikat pada tonggak kayu itu.

"Hm..., apakah Wulan bisa menyelamatkan diri? Siapa yang menyelamatkannya...?" pikir Bayu, bertanya-tanya sendiri di dalam hati. "Atau mungkin mereka mengurungnya di tempat lain...?"

Bayu berpikir keras mencari segala kemungkinan yang terjadi pada diri si Gadis Seribu Nama itu. Beberapa saat dia masih mengedarkan pandangan berkeliling, merayapi keadaan sekitarnya yang terjaga dengan ketat di bagian depan.

"Hm, sebaiknya aku periksa dulu seluruh tempat di sini selagi masih malam," gumam Bayu bicara sendiri di dalam hati.

Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Pulau Neraka langsung bergerak seperti seekor kucing, memeriksa setiap bagian di lingkungan padepokan yang seperti benteng pertahanan ini. Dengan ilmu meringankan tubuh yang dikuasainya, membuat setiap gerakan langkahnya tidak menimbulkan suara sedikit pun. Sehingga tidak ada seorang pun penjaga yang mengetahuinya.

Bayu bergerak cepat memeriksa sampai ke bagian dalam bangunan utama, dan beberapa bangunan lainnya yang ada di lingkungan benteng Padepokan Teratai Emas. Sudah seluruh bagian ditelitinya, tapi Bayu tidak juga menemukan di mana adanya Wulan Untari. Kini dia kembali ke bagian belakang padepokan. Kemudian melesat keluar melompati pagar benteng yang tinggi dan kokoh itu. Keadaan yang gelap, membuat gerakan Pendekar Pulau Neraka bisa lebih leluasa. Sebentar saja dirinya sudah berada di luar padepokan.

"Aku yakin Wulan sudah bisa menyelamatkan diri," gumam Bayu bicara pada diri sendiri, setelah berada di luar lingkungan benteng padepokan.

Beberapa saat dia memperhatikan padepokan yang masih tenaga cjengan ketat itu. Kemudian dia mengayunkan kaki meninggalkan Padepokan Teratai Emas. Cepat sekali dia berjalan, karena meng-gunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga sebentar saja dia sudah jauh dari padepokan milik Nyai Kantil itu.

Sementara itu Nyai Kantil memerintahkan murid-muridnya membawa masuk mayat Ki Denggis. Kemudian bersama ketiga sahabatnya dia membicarakan keadaan yang semakin terasa memburuk. Mereka merasa bahwa keadaan seperti ini tidak akan cepat berakhir, sebelum Sepasang Bangau Putih bisa dilenyapkan untuk selamanya. Dan sekarang ini, tidak diketahui di mana mereka berada. Meski begitu, tokoh-tokoh tua itu merasa sedikit lega, karena sudah bisa membuat lawan-lawan mereka terpencar-pencar. Nyai Kantil sudah tahu kalau kedua anak muda itu adalah murid Ki Sarpakenaka, yang memiliki ilmu Bangau Putih. Mereka, juga tahu kelemahannya, hingga memisahkan keduanya untuk mendapatkan kelemahan ilmu Bangau Putih itu.

Sedangkan Bayu yang merasa yakin kalau Wulan Untari sudah selamat dari tangan musuh-musuhnya, berusaha mencari gadis itu di sekitar puncak Bukit Angsa. Bahkan dia terus mencari sampai ke lereng bukit. Namun sampai jauh malam, tidak juga dia bisa menemukan jejak si Gadis Seribu Nama itu. Wulan seakan lenyap tertelan bumi di malam yang gelap tanpa bulan dan bintang ini. Bayu tetap mencari gadis itu di sekitar lereng Bukit Angsa. Dia bertekad akan terus mencari sampai Wulan Untari ditemukan, meskipun hanya tinggal jasadnya. Tekad itu terus membara di dada Pendekar Pulau Neraka, hingga tidak peduli malam terus merambat semakin larut. Tidak peduli udara di seluruh bu itu sudah terasa begitu dingin menusuk sampai ke tulang.


***


Matahari baru saja muncul dari balik bukit. Cahayanya menerangi sekitar Bukit Angsa yang keli-hatan sunyi dan lengang. Sementara tidak jauh dari kaki bukit itu, Perbawa duduk bersila dengan sikap bersemadi di sebuah ruangan kecil, dalam sebuah pondok yang sederhana. Di depan pemuda itu duduk bersila seorang laki-laki tua berjubah putih yang sudah memutih semua rambut dan janggutnya. Orang tua itu tidak lepas memandangi Perbawa yang masih bersemadi memulihkan kekuatan dan tenaga di dalam tubuhnya.

Orang tua itu tampak tersenyum, saat melihat Perbawa membuka kelopak matanya. Dia langsung menyodorkan semangkuk air putih yang sejak tadi ada di depannya. Tanpa ragu-ragu lagi, Perbawa menerima mangkuk dari tanah Hat itu. Lalu meneguk habis semua air di dalamnya. Dia meletakkan mangkuk yang sudah kosong di atas balai bambu yang didudukinya.

"Terima kasih, Ki Marunta," ucap Perbawa.

"Bagaimana? Sudah enak kan tubuhmu...?" tanya orang tua yang bernama Ki Marunta itu.

"Aku merasa seperti hidup kembali dari kematian, Ki. Terima kasih, kau sudah menolong menyembuh-kan lukaku," sahut Perbawa.

"Syukurlah...! Aku senang kalau kau sudah sehat kembali," ujar Ki Marunta.

Perbawa melihat pakaiannya teronggok di sebelah-nya dalam keadaan sudah bersih. Ki Marunta ter-senyum melihat Perbawa mengambil pakaian dan langsung mengenakannya. Pedangnya disampirkan ke punggung. Pemuda itu turun dari balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar lusuh. Dia berlutut di depan Ki Marunta. Tapi orang tua itu cepat menyentuh pundak Perbawa dan membangunkannya.

"Tidak perlu kau bersikap begitu padaku, Perbawa. Aku senang kalau kau sudah sembuh dan pulih seperti sedia kala," kata Ki Marunta lembut.

"Di mana Kakang Bayu, Ki?" tanya Perbawa, begitu teringat dengan Pendekar Pulau Neraka yang membawanya ke tabib tua ini semalam.

"Dia kembali ke Bukit Angsa. Katanya mau membebaskan adikmu yang ditawan mereka," sahut Ki Marunta.

"Oh, Wulan.... Dia ditawan mereka...?"

Perbawa tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Dia tidak tahu kalau Wulan Untari ter-tangkap.

"Kau tunggu saja di sini sampai Bayu kembali," kata Ki Marunta.

"Tapi, Ki. Aku harus membantunya. Kekuatan mereka besar sekali," kata Perbawa.

"Aku kenal betul siapa Bayu.. Aku yakin dia tak akan berbuat gegabah menyelamatkan adikmu. Percayalah, dia pasti kembali bersama adikmu yang ditawan mereka!" kata Ki Marunta menyabarkan.

Walaupun perasaannya tidak bisa tenang, Perbawa tidak mau mengecewakan hati tabib tua yang sudah menolong nyawanya ini. Dia kembali duduk di tepi balai bambu. Namun Ki Marunta malah bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan yang berukuran kecil itu. Perbawa mengikutinya dari belakang. Keduanya langsung keluar dari gubuk kecil yang sangat sederhana itu. Mereka kemudian duduk di bangku yang terbuat dari bambu di depan rumah. Sebuah pohon beringin melindungi mereka dari sengatan sinar matahari.

"Sudah berapa lama kau kenal dengan Kakang Bayu, Ki?" tanya Perbawa setelah beberapa saat mereka terdiam.

"Lama juga...," sahut Ki Marunta tanpa memalingkan pandangannya sedikit pun dari puncak Bukit Angsa.

"Apakah dia seorang pendekar tangguh, Ki?" tanya Perbawa lagi, ingin tahu siapa sebenarnya pemuda, berbaju kulit harimau itu.

"Benar, Perbawa. Kepandaian yang dimilikinya sukar dicari tandingannya. Dan dia itu dikenal dengan nama Pendekar Pulau Neraka," sahut Ki Marunta menjelaskan.

"Pendekar Pulau Neraka...?" .

Lagi-lagi Perbawa terkejut, meskipun sebelumnya sudah tahu kalau pemuda berbaju kulit harimau itu Pendekar Pulau Neraka. Sebab kemarin Untari telah menjelaskannya tentang pendekar muda yang sangat disegani semua orang di kalangan rimba persilatan itu. Sering dia mendengar sepak terjang Pendekar Pulau Neraka, tapi baru kali ini dirinya yakin, setelah mendengar dari Ki Marunta, bahwa ternyata pendekar muda digdaya itu yang menyelamatkan nyawanya dari kematian di puncak Bukit Angsa. Pantas saja Ki Marunta begitu percaya pada Bayu, karena kemampuannya bisa diandalkan untuk menembus benteng pertahanan Padepokan Teratai Emas.

"Ki, itu mereka...!" seru Perbawa tiba-tiba.

Ki Marunta hanya tersenyum saja melihat Bayu berjalan sambil menggendong seorang gadis berbaju putih yang terkulai lemah seperti mati. Melihat keadaan Wulan seperti itu, Perbawa jadi terkesiap. Bergegas dia mengejar Pendekar Pulau Neraka. Perbawa langsung menggantikan Bayu menggendong Wulan dan membawanya ke pondok Ki Marunta.

"Dia masih hidup?" tanya Ki Marunta langsung, begitu kedua pemuda ini sampai di depannya.

"Masih, Ki," sahut Bayu.

"Bawa dia ke dalam, Perbawa!" pinta Ki Marunta.

Perbawa segera membawa Wulan Untari masuk ke pondok tabib tua ini. Sementara Bayu menunggu di luar bersama Tiren yang tetap berada di pundaknya. Tidak lama Perbawa keluar lagi. Dia langsung duduk di samping Pendekar Pulau Neraka.

"Untung kau cepat menyelamatkannya, Kakang. Tapi keadaannya tidak separah dari yang aku derita," kata Perbawa.

Bayu hanya menghembuskan napasnya panjang-panjang. Pandangannya tertuju lurus ke arah puncak Bukit Angsa. Perbawa juga terdiam membisu. Matanya juga memandang ke arah yang sama. Entah apa yang ada di dalam benak kedua pemuda itu.

Sementara Ki Marunta sibuk mengobati luka-luka yang diderita Wulan Untari di dalam pondoknya.


***


Dua hari Wulan Untari berada dalam perawatan tabib tua Ki Marunta. Keadaan gadis itu sudah kembali pulih seperti semula. Selama dua hari itu, Bayu pun terus menyelidiki keadaan di Padepokan Teratai Emas. Sedangkan Perbawa harus menunggui Wulan hingga gadis itu benar-benar pulih keadaannya. Dan setiap kali Bayu kembali ke pondok Ki Marunta, dia selalu mengatakan kalau Keadaan di puncak Bukit Angsa masih tetap sama. Bahkan penjagaannya semakin bertambah ketat. Bukan hanya di dalam saja, penjagaan juga dilakukan di luar bangunan padepokan yang seperti benteng pertahanan itu.

"Lalu, bagaimana kita menembusnya...?" tanya Wulan Untari, ketika sore itu mereka berkumpul di depan pondok Ki Marunta.

Bayu hanya diam mendengar pertanyaan Wulan. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya untuk menyenangkan hati gadis ini. Karena memang tidak ada satu cara pun yang terbaik untuk menembus ketatnya penjagaan di Padepokan Teratai Emas. Namun Bayu juga tidak ingin membuat Sepasang Bangau Putih jadi kecewa. Dia merasa sudah terlalu dalam mencampuri urusan mereka. Apa pun yang terjadi, dirinya sudah berada di pihak Sepasang Bangau Putih.

"Malam nanti kita ke sana. Kita coba menembus pertahanan mereka," kata Bayu memutuskan.

"Kau sudah punya cara, Bayu?" tanya Ki Marunta yang ikut dalam pembicaraan itu.

"Belum, Ki," sahut Bayu.

"Lalu, bagaimana kau akan menembus pertahanan mereka?" tanya Ki Marunta lagi.

"Mudah-mudahan saja malam nanti pertahanan mereka berkurang," sahut Bayu seraya tersenyum.

Ki Marunta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia seakan bisa memahami arti senyuman Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan Wulan Untari dan Perbawa hanya saling berpandangan. Mereka memang tidak bisa mengetahui jalan pikiran Pendekar Pulau Neraka. Mereka terus diliputi kebimbangan, karena tidak tahu cara yang tepat untuk menembus pertahanan yang ketat di Padepokan Teratai Emas.

"Sebaiknya kalian persiapkan diri untuk malam nanti," kata Bayu seraya menatap pada Wulan Untari dan Perbawa.

"Benar, mungkin saja malam nanti kalian akan menguras seluruh kemampuan yang kalian miliki," sambung Ki Marunta.

"Tapi ingat, kalian jangan lagi terpisah. Kalian bisa lemah dan mudah ditaklukkan kalau terpisah. Ingat dengan pengalaman yang sudah terjadi pada diri kalian sendiri. Bukankah hal itu sudah pernah terjadi pada guru kalian?" tukas Bayu memperingat kan.


Wulan dan Perbawa hanya menganggukkan kepala. Sudah tentu keduanya tidak mau lagi mengulangi kesalahan yang hampir saja membuat nyawa mereka berdua melayang.

"Pergilah kalian ke belakang! Ada tempat yang cocok untuk kalian mempersiapkan diri," ujar Ki Marunta.

Sebentar kedua anak muda yang dijuluki Sepasang Bangau Putih itu saling berpandangan. Kemudian mereka beranjak pergi dari depan pondok tabib tua Ki Marunta. Keduanya langsung menuju ke belakang melalui jalan samping pondok. Sementara Bayu hanya memandangi dengan bibir menyunggingkan senyuman.

Tidak lama kemudian, sudah terdengar teriakan-teriakan kedua anak muda itu berlatih, mempersiapkan diri untuk menghadapi orang-orang di Padepokan Teratai Emas. Bayu kembali memandang pada Ki Marunta. Terlihat kepala orang tua itu bergerak terangguk-angguk perlahan-lahan beberapa kali.

"Kenapa kau sembunyikan hal sebenarnya pada mereka, Bayu?" tanya Ki Marunta langsung menegur Pendekar Pulau Neraka itu.

"Aku tidak ingin mereka menganggap enteng lawan-lawannya, Ki. Mereka sudah melakukan kesalahan sekali. Dan aku tidak ingin kesalahan itu terulang kembali. Biar mereka menganggap lawan kali ini merupakan lawan yang berat," sahut Bayu.

"Tapi sebenarnya kau sudah mengurangi kekuatan mereka, kan...?" desak Ki Marunta.

"Ya.... Begitulah, Ki. Aku sudah mengurangi tiga orang dari kekuatan mereka. Tinggal Nyai Kantil dan Ki Rampak saja yang belum. Juga orang-orang mereka kini tinggal sedikit lagi," sahut Bayu.

"Selama dua hari ini kau sudah mengurangi kekuatan mereka begitu banyak...?" Kali ini Ki Marunta jadi terlongong heran.

"Sebenarnya kekuatan mereka tidak seberapa, Ki. Hanya saja Perbawa dan Wulan terlalu yakin akan kemampuannya sendiri, hingga mereka menganggap kecil lawan-lawannya. Dan itu satu kesalahan yang sangat besar. Kesalahan itu tidak boleh terulang kembali kalau keduanya ingin berhasil menumpas mereka," kata Bayu menjelaskan.

"Kau memang pintar, Bayu," puji Ki Marunta.

"Sebenarnya aku sendiri tidak ingin mencampuri urusan ini, Ki. Tapi karena guru mereka adalah sahabat guruku, bahkan bisa dikatakan bersaudara, jadi aku tidak bisa melihat mereka menghadapi bahaya sendiri. Bagaimanapun aku harus turun tangan membantu. Dan mereka memang sudah pantas mendapat ganjaran seperti itu. Apalagi tujuan mereka mendirikan padepokan, untuk memperkuat diri dan mengulangi kejayaan mereka di masa lalu. Kau bisa bayangkan, Ki. Bagaimana kalau mereka benar-benar kuat dan menguasai seluruh rimba persilatan...? Dunia ini akan hancur kalau sampai orang-orang seperti mereka menguasainya," panjang lebar Bayu menjelaskan.

Ki Marunta. hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar penuturan Pendekar Pulau Neraka itu. Dia sendiri sebenarnya sudah tahu kalau Nyai Kantil dan yang lainnya mendirikan padepokan hanya untuk membangun kembali kekuatan dan kejayaan masa lalunya. Orang tua itu sebenarnya senang kalau orang-orang itu dapat dihancurkan sebelum bisa menguasai seluruh dunia ini dengan menyebar kejahatan di mana-mana. Apalagi dalam persoalan ini, Pendekar Pulau Neraka ikut campur tangan. Walaupun kehadirannya tanpa disengaja. Dan mungkin ini memang sudah menjadi kehendak Sang Hyang Widi, yang tidak menginginkan orang-orang seperti Nyai Kantil dan Ki Denggis menguasai dunia yang memang sudah hancur ini.

"Aku pergi dulu, Ki," ujar Bayu tiba-tiba seraya bangkit berdiri.

"Kau mau ke mana, Bayu?" tanya Ki Marunta.

"Aku akan mengurangi kekuatan mereka sedikit lagi untuk malam nanti," sahut Bayu seraya tersenyum.

"Hati-hatilah kau, Bayu! Jangan sampai kau celaka karenanya," ujar Ki Marunta menasihati.

Bayu hanya tersenyum. Setelah dia menjura mem-beri hormat pada orang tua itu, kakinya langsung saja terayun melangkah pergi meninggalkannya. Ki Marunta hanya memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka. Sementara dari belakang pondoknya masih terdengar teriakan-teriakan Sepasang Bangau Putih yang sedang mempersiapkan diri untuk pertarungan malam nanti di Padepokan Teratai Emas.

Ki Marunta baru beranjak ke belakang pondoknya, setelah tidak lagi melihat Pendekar Pulau Neraka yang lenyap tertelan lebatnya hutan di kaki Bukit Angsa.


www.sonnyogawa.com


DELAPAN

MALAM begitu pekat. Tidak sedikit pun terlihat cahaya bintang maupun bulan di langit yang gelap berselimut awan hitam menggumpal. Angin yang berhembus di seluruh daerah Bukit Angsa terasa begitu dingin menusuk sampai ke tulang. Namun keadaan alam yang seakan tidak ramah ini, sama sekali tidak menghalangi tiga orang pendekar muda yang menuju ke puncak bukit itu. Mereka melangkah dengan ayunan kaki yang mantap, tanpa peduli kegelapan menyelimuti sekitarnya. Tidak peduli terpaan angin dingin yang menggigilkan. Tidak peduli dengan kabut yang menghalangi pandangan mata. Mereka terus melangkah dengan hati mantap mendaki lereng bukit yang menghitam pekat terselimut kabut.

Langkah mereka baru berhenti setelah sampai di depan sebuah bangunan padepokan. Tampak bangunan itu seperti tidak terjaga dengan ketat. Keadaannya lengang sekali. Seakan-akan bangunan besar bagai benteng itu sudah ditinggalkan penghuni-nya. Sepasang Bangau Putih yang mengapit Pendekar Pulau Neraka jadi saling berpandangan melihat keadaan yang sungguh di luar dugaan. Tidak seperti ketika pertama kali mereka datang ke tempat ini, penjagaannya ketat sekali. Bahkan kini di atas pagar benteng, tidak terlihat seorang pun di sana dengan anak panah siap dilepaskan dari busurnya.

"Jangan-jangan mereka sudah pergi...," gumam Wulan Untari.

"Mungkin juga ini jebakan," selak Perbawa. "Kita harus hati-hati dengan keadaan seperti ini."

Sepasang Bangau Putih itu terus menduga-duga. Sedangkan Bayu nampak diam saja. Dia tahu kalau kekuatan yang dimiliki Nyai Kantil dan Ki Rampak tidak bisa lagi mengatur penjagaan yang ketat di dalam bangunan benteng padepokan itu. Dan murid-murid yang mereka miliki juga tidak seberapa lagi jumlahnya. Sudah barang tentu keadaan di Padepokan Teratai Emas sunyi, seperti tidak ber-penghuni lagi.

"Ayo, kita dekati!" ajak Bayu. Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Pulau Neraka melangkah mendekati bangunan Padepokan Teratai Emas. Sementara Perbawa dan Wulan Untari mengikuti dari belakang, setelah mereka saling berpandangan sejenak. Tanpa ada halangan apa pun, mereka sampai di depan pintu gerbang benteng padepokan itu. Sebentar Bayu mengamati. Kemudian....

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka berteriak. keras menggelegar. Dan bagaikan kilat dia mengibaskan tangan kanannya ke depan, bersamaan dengan tubuhnya yang bergerak membungkuk. Seketika Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan kanannya melesat dengan kecepatan bagai kilat. Senjata maut andalan Pendekar Pulau Neraka itu langsung menghantam pintu gerbang Padepokan Teratai Emas.

Glarrr!

Sungguh dahsyat sekali senjata Pendekar Pulau Neraka itu. Pintu gerbang yang tebal seketika hancur berkeping-keping diterjangnya. Dan senjata bundar bersegi enam itu melesat balik, langsung menempel di pergelangan tangan kanan Bayu yang terangkat ke atas kepala.

"Hup!"

Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat dengan cepat sekali menerobos pintu gerbang yang sudah hancur berkeping-keping. Namun begitu kakinya menjejak tanah, seketika puluhan batang anak panah menyam-butnya dengan gencar bagai hujan.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali Bayu melentingkan tubuh ke atas, dan berputaran menghindari terjangan panah yang menghujaninya. Tangan kanannya mengibas dengan cepat, menyampok anak-anak panah itu dengan Cakra Maut yang menempel dipergelangan.

Sementara Sepasang Bangau Putih juga sudah menerobos ke dalam bangunan benteng Padepokan Teratai Emas. Mereka langsung melompat sambil mencabut pedang dan menghalau panah-panah yang menghujani Pendekar Pulau Neraka. Tidak satu batang anak panah pun yang bisa menembus tubuh mereka. Bahkan pendekar-pendekar muda itu mampu menerobos, dan langsung menghantam murid-murid Padepokan Teratai Emas ini.

"Hiyaaaa...!"
"Yeaaaah...!"


***


Jeritan-jeritan panjang menyayat seketika terdengar bersahutan. Disusul dengan ambruknya tubuh-tubuh bersimbah darah. Bayu dan Sepasang Bangau Putih memang bukan tandingan mereka. Hingga dalam waktu singkat saja sudah tidak terhitung lagi berapa orang yang mati terkapar berlumuran darah. Sementara itu Bayu sudah mendekati bangunan utama Padepokan Teratai Emas. Namun, begitu dia hendak menerobos ke dalam bangunan itu, mendadak saja melesat dua bayangan dan langsung menerjangnya.

"Hup! Yeaaah...!"

Dengan cepat Bayu melenting ke atas, hingga dua bayangan yang menerjangnya lewat sedikit di bawah tubuhnya yang berputaran di udara. Manis sekali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kaki kembali ke tanah. Cepat dia memutar tubuh berbalik, bersamaan dengan meluruknya dua orang tua ke arahnya dengan kecepatan tinggi.

"Hiyaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka langsung mengebutkan tangan kanannya ke depan. Dan bersamaan dengan itu dia melesat ke atas, lalu meluruk deras ke arah Nyai Kantil. Satu pukulan menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi seketika dilepaskan dengan cepat sekali. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan pemuda berbaju kulit harimau itu, membuat Nyai Kantil jadi terbeliak kaget setengah mati. Sementara itu Ki Rampak terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan Cakra Maut yang bagai memiliki mata, berkelebatan mengincar tubuhnya.

"Hap!"

Nyai Kantil cepat meliukkan tubuhnya, menghindari pukulan yang dilepaskan pemuda berbaju kulit harimau itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Bayu memutar tubuhnya dengan cepat sambil melepaskan satu tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Serangan beruntun yang dilancarkan dengan kecepatan tinggi itu membuat lawan tidak dapat lagi menghindari.

Diegkh!
"Akh...!"

Perempuan tua itu memekik keras agak tertahan, begitu tendangan yang dilepaskan Bayu menghantam telak dadanya. Tubuh perempuan tua itu terpental cukup jauh ke belakang dan dengan keras sekali menghantam tanah. Kembali Nyai Kantil memekik keras agak tertahan. Pada saat yang bersamaan, Bayu menghentakkan tangan kanan ke arah perempuan tua itu. Seketika Cakra Maut yang sedang menyerang Ki Rampak langsung berputar arah dengan cepat, memburu Nyai Kantil.

Wusss!

Begitu cepatnya Cakra Maut melesat, membuat Nyai Kantil tidak punya kesempatan lagi menghindar. Terlebih lagi dia belum bisa mengurangi rasa nyeri yang menghantam dadanya, akibat tendangan keras Pendekar Pulau Neraka tadi. Hingga...,

Crab!
"Aaaa...!"

Nyai Kantil menjerit melengking ketika Cakra Maut menghujam deras dadanya hingga langsung melesat keluar lagi melalui punggung. Perempuan tua itu terhuyung-huyung ke belakang dengan darah berhamburan deras dari lubang di dada dan punggungnya. Hanya beberapa saat perempuan tua itu masih mampu bertahan berdiri. Kemudian tubuhnya ambruk menggelimpang ke tanah. Sebentar dia menggeliat meregang nyawa. Kemudian mengejang kaku, dan diam tidak bergerak-gerak lagi-

Kematian Nyai Kantil membuat Ki Rampak tampak pucat dan tegang. Kegentaran seketika menyelimuti seluruh rongga dadanya. Sementara Bayu berdiri tegak dengan Cakra Maut sudah kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Dalam pandangan Ki Rampak, Pendekar Pulau Neraka bagaikan sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawanya.

Sementara di lain tempat, tampak Sepasang Bangau Putih sudah menguasai jalannya pertarungan. Tidak ada lagi yang bisa menahan gempuran sepasang pendekar muda itu. Jeritan-jeritan kematian pun terus terdengar saling sambut menggiriskan hati. Namun Perbawa dan Wulan Untari benar-benar tidak memberi kesempatan pada lawan-lawannya untuk tetap hidup. Walaupun tidak ada lagi yang sanggup menahan gempurannya, mereka tetap menghajar semua lawan tanpa memberi ampun sedikit pun. Hingga jeritan-jeritan kematian pun terus terdengar saling sambut.

Sementara Ki Rampak sendiri tidak punya pilihan lain lagi. Walau sudah menyadari tidak akan mampu menghadapi Pendekar Pulau Neraka, dia tetap melompat melakukan serangan.


***


Malam yang dingin ini terasa hangat di puncak Bukit Angsa. Jeritan-jeritan kematian terus terdengar sating sambut dan menyayat. Sementara Wulan Untari sudah meninggalkan lawan-lawannya. Dengan sebuah obor, dia membakar seluruh bangunan Padepokan Teratai Emas.

Api cepat sekali berkobar membakar seluruh bangunan padepokan di puncak Bukit Angsa itu. Membuat suasananya yang memang sudah hangat semakin bertambah panas membara. Api yang melumat habis bangunan padepokan membuat suasana seakan bagai berada dalam neraka. Sementara Bayu masih menghadapi Ki Rampak yang menyerangnya dengan gencar. Orang tua itu seakan tidak ingin memberi kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka untuk memberikan serangan balasan.

"Berikan dia padaku, Kakang...!"

Bayu cepat melompat ke belakang, ketika melihat Wulan Untari melesat dengan cepat sekali menerjang Ki Rampak. Dengan pedangnya, Wulan mencecar, hingga orang tua itu terpaksa harus berjumpalitan menghindariya. Dan kali ini Ki Rampak sendiri yang tidak punya kesempatan untuk melakukan serangan. Gempuran yang dilakukan Wulan begitu cepat dan beruntun, membuat dirinya kian terdesak.

Sementara Bayu terpaksa harus jadi penonton. Dia melihat kalau Perbawa sudah hampir menyelesaikan pertarungannya. Hanya tinggal lima orang yang menjadi lawannya. Namun dalam waktu tidak berapa lama, pemuda itu sudah dapat menghabiskan lawan-lawannya tanpa tersisa seorang pun. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Perbawa langsung melompat membantu Wulan Untari menyerang Ki Rampak.

"Gunakan jurus Bangau Putih, Untari...!" seru Perbawa.

"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"

Sepasang Bangau Putih langsung mengerahkan jurus andalan mereka yang begitu cepat. Serangan-serangan mereka sangat beruntun dan silih berganti, membuat Ki Rampak semakin kelabakan menghadapinya. Sementara Bayu yang kini hanya menjadi penonton, bisa melihat kalau Ki Rampak tidak akan mampu bertahan lebih lama menghadapi serangan Sepasang Bangau Putih yang begitu gencar dan silih berganti dengan cepat.

"Awas kaki...!" seru Perbawa tiba-tiba.

Wuttt!
"Heh ..?!
Ups!"

Ki Rampak terkejut setengah mati, ketika tiba-tiba pedang Perbawa berkelebat cepat mengarah ke kakinya. Cepat dia melompat ke atas menghindari serangan lawan. Dan pada saat yang bersamaan, Wulan Untari sudah melesat ke atas sambil menghunjamkan pedangnya tepat ke dada orang tua itu. Begitu cepat serangan yang hampir bersamaan itu membuat Ki Rampak tidak dapat lagi menghindari hunjaman pedang Wulan Untari. Dan....

Jreps!
"Aaaa...!"

Orang tua itu menjerit nyaring, ketika pedang di tangan Wulan Untari menghunjam dalam sekali ke dadanya, hingga langsung tembus ke punggung. Dan ketika Wulan mencabutnya, darah menyemburat keluar dari dada orang tua itu.

Tampak Ki Rampak terhuyung-huyung sambil men-dekap dadanya. Dan pada saat itu, Perbawa sudah melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dan secepat kilat dikibaskan pedangnya tepat mengarah ke leher lawan yang sudah tidak mungkin lagi bisa berkelit menghindarinya.

Cras!

Tidak ada lagi suara jeritan terdengar, ketika pedang Perbawa menebas leher Ki Rampak hingga buntung. Kepala orang tua itu jatuh menggelinding ke tanah. Sementara tubuhnya beberapa saat masih bisa berdiri, tapi kemudian jatuh menggelimpang di antara mayat-mayat yang sudah sejak tadi memenuhi halaman depan Padepokan Teratai Emas. Hanya beberapa saat tubuh yang sudah tidak berkepala itu menggelepar. Setelah itu diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah terus berhamburan keluar dari dada, punggung, dan lehemya yang sudah buntung.

Sepasang Bangau Putih segera menghampiri Bayu yang sejak tadi hanya memperhatikan tindakan mereka. Sementara itu, api semakin besar berkobar menghanguskan seluruh bangunan Padepokan Teratai Emas. Cahayanya seakan menerangi seluruh puncak Bukit Angsa yang gelap berselimut kabut tebal. Udara yang tadi terasa dingin, kini hangat oleh kobaran api yang membakar hangus seluruh bangunan padepokan.

"Ayo, kita pergi!" ajak Bayu.

Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Pulau Neraka melangkah meninggalkan padepokan yang sudah hancur itu. Sepasang Bangau Putih pun segera beranjak pergi tanpa banyak bicara lagi. Dendam mereka benar-benar sudah terbalas. Entah apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Sedangkan Bayu sendiri terus berjalan tanpa mengucap sepatah kata pun. Dia juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya melihat tindakan pendekar-pendekar muda itu dalam membalaskan dendam guru mereka.


SELESAI

Episode Selanjutnya PERISAI KULIT NAGA

Sepasang Bangau Putih

Cerita silat serial pendekar pulau neraka
Episode Sepasang Bangau Putih

Karya Teguh S
Penerbit pertama Cintamedia, Jakarta



Pendekar Pulau Neraka Episode sepasang bangau putih



SATU

Debu berkepul membumbung tinggi ke angkasa, ketika kaki-kaki dua ekor kuda yang dipacu dengan kecepatan ringgi, melintasi jalan tanah berdebu di kaki lereng Gunung Jambik. Dua anak muda yang sudah kotor berdebu seluruh tubuhnya itu, semakin cepat menggebah kuda mereka yang sudah terengah kecapaian. Sementara matahari sudah condong ke sebelah barat. Cahayanya ridak lagi terasa terik dan menyengat.

"Berhenti dulu, Kakang...!"

Tiba-tiba salah satunya yang ternyata seorang gadis berusia muda berteriak keras sambil menarik tali kekang kuda. Kuda yang ditungganginya meringkik nyaring, sambil mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi. Hampir saja gadis itu terpelanting, kalau dia tidak cepat mengendalikan kudanya. Dan seorang lagi yang ternyata pemuda berwajah tampan, langsung menghentikan lari kudanya.

"Ada apa, Untari? Kenapa mendadak kau berhenti?" tanya pemuda itu sambil mendekatkan kudanya ke kuda yang ditunggangi gadis ini.

"Kita berhenti dulu di sini, Kakang Perbawa," sahut gadis cantik bernama Untari itu.

Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, Untari melompat turun dari punggung kudanya. Dari gerakannya saja, sudah bisa dipastikan kalau gadis itu memiliki kepandaian yang tidak bisa dikatakan rendah. Dia berdiri tegak di samping kudanya. Sedangkan pemuda yang bernama Perbawa masih tetap berada di punggung kudanya. Dia hanya memandangi saja gadis cantik yang mengenakan baju putih ketat itu, sama seperti yang dikenakannya. Dan keduanya juga sama-sama menyandang sebilah pedang di punggung masing-masing.

"Padepokan Tangan Baja sudah tidak jauh lagi. Kalau kita terus, belum gelap sudah sampai di sana, Kakang. Apa kau lupa, kita harus sampai di sana dalam suasana gelap?" kata Untari mengingatkan.

"Hup!"

Tanpa banyak bicara lagi, Perbawa melompat turun dari punggung kudanya. Begitu indah dan ringan gerakannya, hingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua telapak kakinya menjejak tanah. Dia membiarkan saja kudanya melangkah ke tepi jalan yang ditumbuhi rerumputan. Sedangkan kuda milik Untari, sudah sejak tadi mengisi perutnya di pinggiran jalan tanah berdebu itu.

"Ini yang ke berapa, Untari?" tanya Perbawa seraya menghenyakkan tubuhnya, duduk bersandar di bawah pohon yang tumbuh di pinggir jalan.

"Tiga," sahut Untari juga ikut duduk di sebelah Perbawa.

"Berapa lagi yang harus kita datangi?" tanya Perbawa lagi.

"Kalau dengan yang ini, semuanya tujuh lagi."

Perbawa hanya diam saja. Keningnya tampak ber-kerut, dengan tatapan mata tertuju lurus ke depan. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Sedangkan Untari sudah kembali berdiri dan meng-hampiri kudanya. Dia membereskan pelana kuda tunggangannya itu, kemudian melompat naik. Perbawa hanya memperhatikan dari sudut ekor mata-nya.

"Mau ke mana kau, Untari?" tanya Perbawa tanpa beranjak dari duduknya.

"Aku mau melihat ke ujung jalan itu dulu," sahut Untari. "Hiyaaa...!"

Tanpa menunggu jawaban dari Perbawa, Untari langsung menggebah kudanya dengan cepat Se-mentara Perbawa kembali menyandarkan punggung-nya ke batang pohon. Dan kelopak matanya langsung terpejam.
Sementara itu Untari sudah sampai ke ujung jalan yang bercabang. Dihentikan lari kudanya di ujung jalan itu. Matanya yang bulat dan indah, langsung beredar memperhatikan jalan bercabang di kanan dan kirinya. Keadaan sepi sekali. Sejauh mata memandang, tidak seorang pun terlihat di sepanjang jalan.

Saat itu matahari sudah hampir tenggelam di balik peraduannya. Hanya rona merah yang tampak membias di kaki langit barat Untari memutar kudanya kembali ke jalan semula. Namun belum juga dia menggebah kudanya lagi, tiba-tiba....

Srak!
"Heh...?!"
"Heaaaa...!"

Belum sempat Untari bisa menghilangkan keterkejutannya, tiba-tiba saja sudah muncul sesosok bayangan merah berkelebat cepat sekali. Sosok itu keluar dari balik gerumbul semak yang ada tepat di samping kiri jalan. Bayangan merah itu langsung meluruk deras menyerang Untari. Tapi....

"Haiiittt..!"
Cring!
Wut!
Cras!
"Aaaa...!"

Cepat sekali Untari mencabut pedang, yang langsung dikebutkan ke atas kepala, sambil membungkukkan tubuh hingga hampir merapat dengan punggung kudanya. Dan kibasan pedangnya menyambar bayangan merah itu. Seketika terdengar suara jeritan panjang melengking tinggi.

"Hup!"
Bruk!

Tepat ketika Untari melompat turun dari punggung kuda, sesosok tubuh mengenakan baju merah terjatuh dengan keras sekali di samping kanan kuda. Sementara Untari menjejakkan kaki dengan ringan sekali di pinggir jalan. Tatapan tajam matanya langsung memandangi sosok tubuh yang tergeletak di jalan tanah berdebu. Darah tampak mengucur deras dari dadanya yang robek cukup lebar.

Ketika Untari masih memandangi sosok tubuh lelaki yang sudah tak bemyawa terkena sabetan pedangnya itu, tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari arah belakang. Cepat dia memutar tubuhnya berbalik. Saat itu juga, terlihat sebuah bayangan merah berkelebat begitu cepat menerjang ke arahnya.

"Hup! Yeaaah...!"


***


Untari cepat melompat ke belakang, sambil mengebutkan pedang ke arah bayangan merah yang menerjangnya dengan kecepatan tinggi bagai kilat itu. Namun tampaknya orang ini lebih gesit dari yang pertama. Dia bisa menghindari sabetan pedang dengan melenting kembali ke belakang. Dan tepat secara bersamaan mereka menjejakkan kaki di tanah. Kini di depan Untari berdiri seorang lelaki berusia tiga puluh lima tahunan. Tubuhnya yang tegap terbalut pakaian merah menyala, sama persis seperti yang dikenakan penyerang pertama. Sebuah pedang tergantung di pinggangnya.

"Siapa kau? Kenapa menyerangku?" tanya Untari.

Laki-laki berbaju merah itu tidak menjawab sedikit pun. Dia malah menatap wajah Untari dengan sinar mata yang begitu tajam menysuk. Perlahan dia menggeser kakinya ke kanan sambil menyentuh gagang pedang yang tergantung di pinggang dengan siku tangan kiri.

Tiba-tiba saja dia mengeluarkan suara siulan melengking tinggi, dengan nada yang terdengar aneh dan menyakitkan telinga. Untari tersentak kaget mendengar siulan itu. Namun belum sempat dia bisa menghilangkan keterkejutannya, mendadak dari segala arah di sekelilingnya sudah berlompatan sosok-sosok tubuh berbaju merah menyala. Sebentar saja gadis itu sudah terkepung tidak kurang dari lima belas orang lelaki berpakaian serba merah, yang semuanya sudah menghunus pedang.

"Seraaang...! Bunuh gadis itu...!"

Tiba-tiba orang yang muncul menyerang tadi berteriak dengan suaranya yang keras dan menggelegar. Seketika orang-orang berbaju serba merah menyala itu langsung berlompatan menyerang Untari sambil berteriak-teriak keras menggetarkan jantung. Dalam sekejap Untari sudah terkepung kelebatan kilatan-kilatan pedang yang mengincar bagian-bagian tubuh yang mematikan.

"Hep! Yeaaah...!"

Untari tidak punya pilihan lain lagi. Dengan cepat ia melenting sambil berputar. Dan secepat itu juga tangannya mencabut pedang dan menangkis sebuah pedang yang berkelebat begitu cepat mengarah ke dadanya.

"Hih!"
Tring!

Secepat kilat Untari menarik tubuh hingga doyong ke belakang untuk menghindari sabetan pedang yang datang dari arah samping. Dan secepat itu pula dilepaskannya satu tendangan ke depan yang disertai dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat tendangan yang dilepaskan gadis berbaju putih itu, sehingga lawan yang berada di depannya tidak sempat bergerak menghindar ataupun menangkisnya.

Diegkh!
"Akh...!"

Orang itu memekik keras, begitu dadanya terkena tendangan menggeledek yang bertenaga dalam tinggi dari Untari. Seketika tubuhnya terpental cukup jauh ke belakang. Sementara Untari sendiri sudah harus menempatkan pedangnya ke belakang punggung, ketika satu serangan pedang lawan yang lain membabat ke arah punggungnya.

Trang!

Kembali pedang Untari berhasil menangkis serangan pedang lawannya. Pada saat itu juga, satu pukulan yang dilepaskannya berhasil menghantam tubuh lawan yang berada tepat di sebelah kirinya. Jeritan panjang pun terdengar menyayat. Satu orang lawannya terjungkal mencium tanah. Untari kembali berlompatan sambil membabatkan pedangnya, menghantam setiap lawan yang datang menyerang secara cepat dan beruntun.

Namun mendadak terdengar jeritan-jeritan kematian yang panjang dan melengking tinggi. Disusul dengan berpentalannya lawan-lawan Untari ke atas disertai dengan semburat darah segar yang membasahi tanah sekitar pertarungan.

Melihat keadaan itu Untari terkejut dan keheranan. Tapi dia tidak sempat lagi untuk bertanya walau di dalam hati.

Pandangan matanya yang tajam, langsung dapat melihat seorang pemuda berbaju putih tengah melesat cepat sekali menghajar orang-orang berbaju serba merah dengan pedangnya yang berkelebatan bagai kilat. Tak satu pun lawan-lawannya yang mampu membendung serangan kilat itu. Untari tahu siapa pemuda yang tiba-tiba datang membantunya.

"Kakang Perbawa...," desis Untari dengan perasaan lega.

"Hiyaaat..!"
Bet! Cras!
"Aaaa...!"

Jeritan-jeritan kematian pun semakin sering terdengar saling sambut Dan tubuh-tubuh bersimbah darah terus berjatuhan tanpa ampun lagi. Kedatangan Perbawa membuat semangat Untari kembali berkobar menyala. Dengan ganas sekali dia mengayunkan pedang, membabat setiap lawan yang berada dalam jangkauannya. Sementara Perbawa sendiri dengan gerakan-gerakan yang begitu cepat juga tidak terbendung lagi.

Hingga dalam waktu tidak berapa lama, sekitar lima belas orang berpakaian serba merah tidak ada lagi yang bisa berdiri. Mereka semua terbujur kaku tanpa nyawa dengan darah berhamburan membasahi jalan tanah berdebu. Untari dan Perbawa segera menyarungkan pedang yang bemoda darah ke dalam warangka seraya menghela napas lega melihat lawan-lawannya yang bergelimpangan.

"Ayo, Untari. Tinggalkan tempat ini," ajak Perbawa sambil melangkah menghampiri kudanya.

Untari juga segera mendekati kudanya yang berada tidak jauh dari tempat pertarungan. Dengan gerakan yang indah dan ringan sekali, mereka berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Dan tanpa bicara sedikit pun, keduanya langsung menggebah kuda perlahan meninggalkan tempat pertarungan itu. Meninggalkan mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih, dengan darah membanjiri sekitarnya.


***


"Untung kau tadi cepat datang, Kakang," ujar Untari setelah mereka cukup jauh meninggalkan tempat pertarungan tadi.

"Tanpa aku, kau juga bisa menghabiskan mereka, Untari," sahut Perbawa kalem.

"Mereka memang tidak ada apa-apanya, Kakang," ujar Untari bangga mendapat sanjungan Perbawa.

Pemuda itu hanya tersenyum dikulum. Dia tahu kalau Untari senang mendapat sanjungan. Dan mereka tidak bicara lagi, terus mengendalikan kudanya perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu.

"Kau tahu siapa mereka, Untari?" tanya Perbawa setelah beberapa saat terdiam.

Untari menggelengkan kepalanya.

"Tapi kenapa kau sampai bentrok dengan mereka?" tanya Perbawa lagi.

"Aku tidak tahu, Kakang. Tiba-tiba saja mereka muncul dan langsung menyerang," sahut Untari menjelaskan.

"Mustahil kalau mereka menyerang tanpa ada maksud apa-apa," desis Perbawa tidak percaya.

"Kau tidak percaya padaku, Kakang...?" dengus Untari.

"Aku percaya. Tapi apa mungkin ada orang yang menyerang tanpa sebab...? Mereka menyerangmu pasti karena ada sebabnya. Apalagi tanpa bicara sedikit pun. Kau sama sekali tak mengenal mereka, Untari?"

"Tidak," sahut Untari tegas.

"Juga tidak mengenali pakaiannya?" selidik Perbawa lagi.

Untari terdiam mendengar pertanyaan yang bernada menyelidik itu. Keningnya terlihat berkerut, seperti sedang memikirkan sesuatu. Namun tidak lama kemudian, kepalanya menggeleng perlahan. Dia sama sekali tidak mengenal orang-orang yang menyerangnya tadi. Bahkan tidak sempat mengenali pakaian yang mereka kenakan, walaupun jelas mereka mengenakan pakaian yang sama, baik corak maupun warnanya. Bahkan semua menggunakan pedang yang sama persis bentuk dan ukurannya. Namun Untari benar-benar tidak tahu siapa mereka itu semua.

"Aku sama sekali tidak tahu, Kakang," terdengar pelan suara Untari.

"Ya, sudahlah...," desah Perbawa disertai hem-busan napas panjang.

Untari jadi terdiam lagi. Keningnya masih tetap berkerut, dengan pandangan mata tertuju lurus ke depan. Agaknya dia masih tetap berusaha mengingat siapa orang-orang yang menyerangnya tadi. Namun semakin keras dia berusaha mencari tahu, semakin sulit untuk mengetahuinya. Untari benar-benar tidak mengenali orang-orang yang berbaju merah tadi. Sedangkan Perbawa juga tidak bicara lagi.

Mereka terus menjalankan kuda perlahan-lahan. Sementara malam sudah turun menyelimuti kaki lereng Gunung Jambik. Kegelapan sudah menyelimuti sekitarnya. Angin yang beraup pun mulai terasa dingin menyengat kulit. Namun kedua anak muda itu terus menjalankan kuda mereka perlahan-lahan menyusuri jalan tanah berdebu itu.

Lama juga keduanya terdiam tanpa berbicara, hingga tiba di suatu tempat tanah lapang dan berumput. Tampak di seberang mereka berdiri sebuah bangunan yang dikelilingi pagar kayu tinggi, seperti sebuah benteng pertahanan.

Rupanya bangunan di lereng Gunung Jambik inilah yang mereka tuju. Sebuah bangunan padepokan milik Ki Ampal. Seorang tokoh sakti yang dulu pernah malang melintang di rimba persilatan. Tokoh ini dikenal dengan julukan si Tangan Baja. Itu sebabnya padepokan yang didirikannya pun diberi nama Padepokan Tangan Baja. Sesuai dengan nama julukan yang disandangnya. Bahkan sampai sekarang, masih banyak orang yang memanggilnya dengan nama si Tangan Baja, daripada Ki Ampal. Namun ketika usianya tua, Ki Ampal mendirikan sebuah padepokan di kaki lereng Gunung Jambik ini. Lebih dari lima puluh orang menjadi muridnya.

Sementara Untari dan Perbawa masih tetap berada di punggung kuda masing-masing, me-mandangi padepokan yang masih berada cukup jauh dari mereka. Namun bangunan padepokan itu sudah terlihat jelas, tanpa satu pohon pun yang meng-halanginya. Untuk mencapai ke sana, mereka harus melewati tanah lapang yang tentu saja akan terlihat dari bangunan padepokan itu.

"Kau lihat, Untari. Ketat sekali penjagaannya," ujar Perbawa tanpa memalingkan sedikit pun pandangan-nya dari banguan padepokan yang mirip benteng pertahanan itu.

"Aku tahu," sahut Untari juga tidak memalingkan perhatiannya dari bangunan itu.

"Kau tetap akan ke sana?" tanya Perbawa lagi, seakan ingin memastikan.

"Ya," sahut Untari mantap.

"Kau tahu berapa jumlah murid si Tangan Baja?" tanya Perbawa lagi, bernada menyelidik.

"Sekitar lima puluh orang. Itu juga kalau mereka semua ada di sana."

"Lima puluh orang..." gumam Perbawa pelan. "Sedangkan kita hanya berdua. Apa mungkin kita bisa menghadapi mereka, Untari?"

"Aku heran, kenapa kau jadi ragu-ragu begitu, Kakang? Apa yang membuatmu jadi ragu...?" tanya Untari keheranan, sambil menatap wajah tampan Pemuda di sebelahnya.

"Bukannya aku ragu, Untari. Aku hanya ingin tahu, apakah kau sudah menyelidikinya lebih dahulu seperti padepokan-padepokan lainnya?" ujar Perbawa bernada bertanya.

"Tidak ada satu padepokan pun yang terlewat dari penyelidikanku, Kakang. Aku sudah tahu seberapa kekuatan mereka. Dan semua, hanya guru-gurunya yang perlu diberi perhatian lebih. Sedangkan murid-muridnya.... Hm, aku sendiri juga sanggup menghabisi mereka semua dalam waktu singkat," jelas Untari dengan bibir agak mencibir merendahkan.

Perbawa hanya melirik sedikit memperhatikan wajah cantik gadis itu. Namun di balik kecantikan wajahnya itu, terlihat guratan-guratan kekerasan yang tidak dapat disembunyikan. Bahkan sorot matanya terlihat berapi-api, bagai menyimpan sesuatu yang begitu dahsyat.

"Kita ambil jalan memutar, Kakang," kata Untari mengajak.

"Lewat mana?" tanya Purbawa.

Untari tidak sempat lagi menjawab. Dia sudah memutar kuda dan menggebahnya dengan cepat. Perbawa bergegas mengikuti gadis itu dari belakang. Keduanya meninggalkan tanah lapang itu dan kembali melintasi jalan yang mereka lalui tadi ketika datang.


***


DUA

Sementara itu di dalam bangunan Padepokan Tangan Baja, Ki Ampal sedang menerima seorang tamu, sahabat kentalnya. Seorang lelaki berusia sebaya dengan dirinya. Hanya sebelah mata orang itu tertutup kulit hitam yang diikatkan ke belakang kepala. Dan terlihat sebuah golok berukuran besar berwarna hitam tersandang di punggungnya. Dia bernama Ki Denggis, yang lebih dikenal dengan julukan Golok Setan Penyambar Nyawa.

Walaupun dalam usia yang sudah mencapai tujuh puluh tahun, Ki Denggis masih kelihatan kekar dan berotot. Lain dengan Ki Ampal yang kini selalu mengenakan baju jubah panjang wama hijau muda. Tubuhnya sudah kelihatan kurus dan mengendur. Hanya sinar matanya yang masih terlihat bersorot tajam, penuh dengan gairah kehidupan yang menyala-nyala.

"Maaf, dengan penyambutan murid-muridku tadi padamu," ucap Ki Ampal dengan sikap penuh hormat

"Penyambutan yang wajar, Ampal. Aku bisa memaklumi. Murid-muridmu memang tak ada yang kenal denganku. Selama kau mendirikan padepokan di sini, baru kali ini aku datang, kan...? Sudah barang tentu mereka tak ada yang mengenalku," sambut Ki Denggis maklum.

"Terima kasih, Kakang," ucap Ki Ampal.

"Sebenarnya aku datang ke sini untuk memberitahukan sesuatu yang sangat penting padamu, Ampal," ujar Ki Denggis langsung pada persoalannya.

"Hm, berita apa itu...?"

"Berita yang mungkin akan membuatmu terkejut," sahut Ki Denggis datar.

Ki Ampal tampak mengerutkan kening. Dia memandangi tamunya dengan tatapan mata yang cukup dalam.

"Dalam beberapa hari ini, sudah dua padepokan sahabat kita yang hancur. Bahkan tidak ada seorang pun yang dibiarkan hidup...," ujar Ki Denggis meng-awali ceritanya.

"Padepokan apa itu?" tanya Ki Ampal.

"Padepokan Cakar Naga dan Padepokan Tongkat Hitam," sahut Ki Denggis.

"Ah...!"

Ki Ampal menghembuskan napas panjang, mendengar dua padepokan yang sudah dikenalnya dengan baik kini hancur tak bersisa lagi. Dia tahu siapa ketua kedua padepokan itu. Mereka memang sahabat-sahabat kentalnya.

"Siapa yang menghancurkannya?" tanya Ki Ampal setelah beberapa saat terdiam.

"Sepasang Bangau Putih," sahut Ki Denggis.

"Sepasang Bangau Putih...?"

Kening Ki Ampal kembali berkerut dengan kelopak mata sedikit menyipit. Seakan dia sedang berpikir, mengingat-ingat nama yang baru saja disebutkan sahabatnya itu. Tidak lama kemudian, kepalanya terlihat bergerak menggeleng beberapa kali dengan perlahan.

"Rasanya aku tak pernah mendengar nama itu...," desah Ki Ampal perlahan.

"Kau memang tidak pernah mendengarnya, Ampal. Aku sendiri baru mendengar setelah kedua padepokan itu mereka hancurkan. Tapi dari apa yang sudah aku ketahui, mereka hanya dua orang anak muda yang berkepandaian tinggi," sambung Ki Denggis.

"Hm.... Lalu apa hubungannya denganku?" tanya Ki Ampal lagi.

"Dengar, Ampal. Kau masih ingat berapa orang dari kelompok kita yang mendirikan padepokan sepertimu...?"

"Sepuluh, termasuk aku."

"Dan berapa orang yang tetap sendiri seperti aku?"

"Lima, termasuk kau."

"Empat orang sudah tewas di tangan mereka. Dan dua padepokan sahabat kita sudah hancur. Aku yakin, tak lama lagi mereka akan datang ke sini lebih dulu, atau mungkin ke padepokan-padepokan yang lainnya," terdengar agak ditekan nada suara Ki Denggis.

"Aku tidak mengerti maksudmu, Kakang...."

"Mereka yang tewas dalam beberapa hari ini, semua sahabat-sahabat kita, merupakan satu kelompok tangguh yang pernah jaya dan tidak ada tandingannya. Dan sekarang, ada dua orang yang menamakan dirinya Sepasang Bangau Putih sudah mengalahkan sebagian dari kita. Aku yakin, mereka akan menghancurkan kita satu persatu," hati-hati sekali Ki Denggis mengutarakan isi hatinya.

"Aku mengerti jalan pikiranmu, Kakang. Tapi siapa mereka...?" ujar Ki Ampal seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Siapa mereka, itu tidak penting. Yang penting, sekarang kita semua harus waspada! Aku yakin, cepat atau lambat mereka akan datang ke sini. Dan kau harus siap menghadapinya!" sahut Ki Denggis.

"Kau yakin, Kakang?"

"Aku sudah peringatkan ke Padepokan Cakar Naga. Tapi tidak ditangggapi. Dan kenyataannya, baru aku tinggal satu hari, sudah kudengar mereka hancur."

"Dari mana kau tahu semua ini?" tanya Ki Ampal menyelidik.

"Aku sudah menduga setelah empat orang sahabat kita yang tidak mendirikan padepokan tewas di tangan orang yang sama. Ditambah lagi dengan hancurnya Padepokan Tongkat Hitam. Lalu disusul dengan hancurnya Padepokan Cakar Naga tiga hari yang lalu. Aku yakin, sekarang mereka menuju ke sini. Karena jarak dari Padepokan Cakar Naga dengan padepokanmu ini tidak terlalu jauh. Kalau mereka langsung menuju ke sini, aku yakin malam ini mereka sudah sampai," jelas Ki Denggis gamblang.

Ki Ampal masih saja diam dengan kening berkerut

"Kau siapkan saja murid-muridmu, Ampal! Malam ini juga aku akan pergi memberitahu yang lain. Aku harus bergerak cepat mendahului mereka," kata Ki Denggis lagi.

Orang tua bersenjata golok itu langsung saja bangkit berdiri. Ki Ampal ikut berdiri. Setelah memberikan pesan sekali lagi, Ki Denggis segera melangkah keluar dari bangunan utama Padepokan Tangan Baja. Dia diantarkan Ki Ampal sampai ke depan pintu gerbang yang dijaga hanya oleh dua orang muridnya.

"Dengar, Ampal. Hati-hatilah mulai sekarang! Aku yakin mereka sudah sampai malam ini," pesan Ki Denggis lagi.

"Ya, terima kasih," ucap Ki Ampal pelan.

Memang hanya itu yang bisa diucapkan Ki Ampal. Sementara Ki Denggis sudah menggebah kudanya dengan cepat sekali, menembus malam yang cukup pekat. Dan memang saat itu di langit tidak terlihat sedikit pun cahaya bintang maupun rembulan. Awan hitam yang tebal menyelimuti seluruh angkasa di atas Gunung Jambik.

Ki Ampal baru kembali ke bangunan utama padepokannya, setelah kuda yang ditunggangi Ki Denggis tidak terlihat, menghilang di seberang tanah lapang berumput yang menghampar di depan padepokan.

Ki Ampal segera masuk ke rumah besarnya itu. Namun, baru saja beberapa langkah dia melewati pintu, ayunan kakinya langsung berhenti. Dan ber-gegas dia melangkah keluar lagi. Namun pada saat itu juga....

Wusss!
"Heh?! Hup...?!"


***


Kalau saja Ki Ampal tidak cepat menarik tubuhnya ke kanan, tentu sepotong ranting yang meluncur bagai kilat ke arahnya, pasti menembus jantungnya. Ranting itu menancap cukup dalam ke daun pintu yang ada di belakang Ki Ampal. Tampak asap tipis mengepul dari ranting kering yang menancap pada daun pintu itu. Ki Ampal segera melompat keluar dari beranda depan rumahnya. Dia langsung menyadari kalau orang yang melemparkan ranting itu memiliki tenaga dalam yang sempurna.

Beberapa kali Ki Ampal berputaran di udara, sebelum kedua telapak kakinya menjejak tanah, sekitar satu batang tombak dari rumah ?besar yang menjadi tempat tinggalnya. Dia mengedarkan pan-dangannya berkeliling. Beberapa muridnya yang melihat jadi keheranan. Dan perlahan mereka ber-gerak mendekati.

"Panggil yang lain semua di sini! Cepaaat..!" perintah Ki Ampal dengan suaranya yang keras menggelegar.

Salah seorang muridnya bergegas berbalik meninggalkan halaman depan padepokan, menuju ke belakang melalui bagian samping bangunan utama. Sedangkan yang lainnya sudah berkumpul di belakang Ki Ampal. Mereka semua tidak ada yang mengenakan baju, karena sedang berlatih di halaman depan padepokan. Beberapa saat Ki Ampal menanti Mendadak hatinya terkejut, begitu melihat murid yang tadi ke belakang berlari-lari mendatanginya dengan wajah pucat.

"Heh...?! Gopar, ada apa...?!" bentak Ki Ampal langsung bertanya.

"Aduh.... Celaka, Ki. Celaka...!" lapor Gopar dengan napas tersengal memburu.

"Ada apa...? Kenapa dengan mereka?" tanya Ki Ampal dengan dada bergemuruh.

"Mereka.... Mereka sudah mati semua, Ki," lanjut Gopar, gemetaran.

"Apa...?!"

Ki Ampal terlonjak kaget bagai disengat ribuan kala berbisa, mendengar laporan dari muridnya. Seketika lelaki tua itu langsung mengedarkan pandangannya berkeliling. Dia jadi ingat dengan kata-kata sahabatnya yang belum lama pergi.

"Oh, begitu cepat mereka datang...?" desah Ki Ampal dengan nada suara yang terdengar agak bergetar.

Belum juga Ki Ampal bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara tawa keras yang menggelegar dari atas atap bangunan besar Padepokan Tangan Baja. Ki Ampal langsung mendonggakkan kepala ke atas atap. Saat itu juga terlihat sepasang anak muda berdiri tegak di atap bangunan padepokan. Dua orang yang mengenakan baju ketat serba putih, dengan pedang tersampir di punggung masing-masing. Mereka ternyata Untari dan Perbawa.

"Siapa kalian? Apa yang kalian inginkan di padepokanku ini...?" bentak Ki Ampal dengan suaranya yang keras menggelegar.

"Aku inginkah nyawamu, Ki Ampal. Juga seluruh nyawa murid-muridmu," sahut Perbawa lantang.

"Setan...! Aku tak kenal dengan kalian. Ada urusan apa kalian menginginkan kematianku...?" geram Ki Ampal membentak.

"Ingat-ingatlah dengan masa lalumu, Ki Ampal! Apa saja yang sudah kau perbuat di masa lalumu...? Orang-orang sepertimu tidak akan bisa sadar, dan menjadi ancaman dunia. Aku tahu, untuk apa kau dan semua sahabatmu mendirikan padepokan. Kami, Sepasang Bangau Putih akan menghentikan maksud buruk kalian semua untuk menghancurkan dunia," kata Perbawa masih dengan suaranya yang lantang.

"Phuih! Sudah lama aku tinggalkan dunia persilatan. Aku tak ada urusan lagi dengan semua urusan dunia!" dengus Ki Ampal menolak tuduhan pemuda itu.

"Apa pun yang ada dalam pikiranmu, tidak akan menyurutkan pengadilan dunia ini, Ki Ampal. Bersiaplah kau untuk menerima hukuman kematianmu...!" bentak Perbawa.

Setelah berkata begitu, Perbawa langsung melompat turun dari atap dengan gerakan yang begitu indah dan ringan sekali. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda ini. Sehingga sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak tanah, tepat sekitar lima langkah di depan Ki Ampal.

Untari cepat mengikuti pemuda itu, meluruk turun dari atap dengan gerakan yang indah dan ringan sekali. Tampaknya kepandaian yang dimiliki gadis ini seimbang dengan Perbawa. Dan dia menjejakkan kaki tepat di sebelah kiri pemuda pasangannya. Tanpa sungkan-sungkan lagi, mereka segera men-cabut pedang dan langsung disilangkan di depan dada. Sementara Ki Ampal menarik kakinya ke belakang beberapa langkah. Murid-muridnya yang tinggal sekitar dua puluh orang, segera berlompatan mengepung sepasang muda-mudi berpakaian serba putih itu.

"Aku tidak akan melayani orang-orang yang tak kukenal. Katakan, siapa kalian sebenarnya...?" terdengar dingin sekali nada suara Ki Ampal.

"Sudah kukatakan, kau tidak perlu tahu siapa kami berdua, Ki Ampal. Kau hanya perlu tahu, kami adalah Sepasang Bangau Putih yang akan menghakimi semua perbuatanmu!" sahut Perbawa tegas.

"Keparat...! Siapa yang menyuruhmu menghakimiku, heh...?!" bentak Ki Ampal geram.

"Kami berdua," sahut Untari yang sejak tadi diam saja.

"Phuih! Kalian hanya mau bunuh diri saja datang ke sini," dengus Ki Ampal seraya menyemburkan ludah dengan sengit.

Kedua anak muda yang menamakan dirinya Sepasang Bangau Putih itu hanya diam, memandangi orang tua itu dengan sinar mata tajam dan memerah. Dan tiba-tiba saja Untari menggerakkan pedangnya lurus ke depan, hingga ujungnya tertuju langsung ke dada si Tangan Baja.

"Lihat pedangku, Tangan Baja! Yeaaah...!"

Sambil membentak keras menggelegar, tiba-tiba Untari melompat dengan cepat. Secepat itu pula dia mengebutkan pedangnya mengarah ke leher si Tangan Baja. Begitu cepat serangan yang dibuka gadis itu, hingga membuat kedua bola mata Ki Ampal terbeliak lebar.

"Upths!"

Namun hanya dengan sedikit saja Ki Ampal mengegoskan kepala, tebasan pedang gadis si Bangau Putih lewat sedikit di depan tenggorokannya. Cepat dia menarik kakinya dua langkah ke belakang. Dan langsung mengegoskan tubuhnya ke kanan, begitu Untari menyodokkan pedangnya lagi dengan cepat. Di saat pedang gadis itu lewat di samping tubuhnya, dengan cepat sekali Ki Ampal menggerakkan tangan hendak menyambar pergelangan tangan lawan.

"Haiiittt...!"

Namun tanpa diduga sama sekali, secepat kilat Untari memutar pedangnya ke atas. Kemudian langsung dikebutkan ke leher si Tangan Baja. Gerakan Untari yang begitu cepat dan tidak terduga, membuat Ki Ampal tersentak kaget. Cepat dia menarik tubuhnya ke belakang. Namun gerakannya sedikit terlambat, hingga....

"Akh...?!"

Ki Ampal terpekik kaget, begitu merasakan ujung pedang Untari merobek bahunya. Darah seketika mengalir keluar dari bahu yang sobek tersambar ujung pedang. Ki Ampal cepat-cepat melompat ke belakang dengan memutar tubuh dua kali, hingga antara dia dan gadis lawannya ada jarak sekitar satu batang tombak.


***


"Hebat kau, Nak...," desis Ki Ampal sambil meringis menahan perih pada luka di bahunya.

Untari hanya tersenyum sinis. Sementara Perbawa memperhatikan murid-murid si Tangan Baja yang sudah mengepung, tinggal menunggu perintah untuk menyerang. Sedangkan Ki Ampal sendiri langsung memberikan beberapa totokan di sekitar luka pada bahunya. Seketika itu juga darah berhenti mengalir. Sebentar lelaki tua itu memperhatikan murid-muridnya yang sudah siap dengan senjata terhunus mengepung tempat pertarungan.

Ki Ampal menyadari kalau murid-muridnya tidak akan mampu menghadapi kedua anak muda yang berjuluk Sepasang Bangau Putih ini. Namun hatinya juga tidak ingin menyerah begitu saja. Apa pun yang terjadi, dia harus bisa mempertahankan padepokannya. Baginya lebih baik mati bersama murid-muridnya daripada harus menyerah tanpa berlawanan sama sekali.

"Serang mereka...!" teriak Ki Ampal memberi perintah.

"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"

Seketika itu juga, murid-murid Padepokan Tangan Baja yang hanya berjumlah sekitar dua puluh orang meluruk deras menyerang Sepasang Bangau Putih. Namun belum juga mereka bisa melakukan serangan, Perbawa dan Untari sudah melompat dengan kecepatan bagai kilat, menyambut murid-murid si Tangan Baja. Pedang mereka seketika berkelebatan begitu cepat bagai kilat, hingga bentuk pedangnya lenyap dari pandangan mata. Kini yang terlihat hanya kilatan cahaya putih keperakan, berkelebatan begitu cepat menyambar lawan-lawannya.

"Hiyaaa!"
"Yeaaah...!"
Bettt!
Cras!
Bret!
"Aaaa...!"

Seketika itu juga, jeritan-jeritan panjang melengking terdengar menyayat, bersamaan dengan ambruknya tubuh-tubuh bersimbah darah. Pedang Sepasang Bangau Putih memang tidak dapat lagi dibendung. Setiap kali kedua pedang itu berkelebat, korban langsung berjatuhan berlumuran darah. Hingga dalam waktu tidak berapa lama, sudah tidak ada lagi murid-murid Ki Ampal yang masih bisa berdiri. Mereka semua menggeletak diam tidak bernyawa lagi, dengan tubuh berlumuran darah.

Sepasang Bangau Putih langsung menghampiri Ki Ampal yang sudah pucat dan tegang, melihat murid-muridnya tidak ada lagi yang bergerak dalam waktu singkat sekali.

"Sekarang tinggal giliranmu, Ki Ampal. Bersiaplah kau menerima kematianmu...!" dingin sekali nada suara Untari. "Phuih...!"

Ki Ampal hanya menyemburkan ludah, menutupi kegentaran yang sudah sejak tadi melanda hatinya. Dia tahu kalau anak muda yang ada di depannya ini mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari-nya. Sementara jarak mereka sudah semakin dekat.

"Hadapi kami, Ki Ampal! Gunakan jurus Pukulan Tangan Baja yang kau banggakan!" tantang Untari dengan suara terdengar sinis.

"Phuih!"

Lagi-lagi Ki Ampal hanya menyemburkan ludah dengan sengit. Tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan pada kedua anak muda di hadapannya.

Bahkan juga tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Hatinya benar-benar sudah gentar melihat ketangguhan Sepasang Bangau Putih ini.

"Terimalah kematianmu, hai,, Tangan Baja! Yeaaah...!"

Sambil membentak keras menggelegar, Perbawa langsung melesat dengan kecepatan bagai kilat, disertai kibasan pedangnya yang dahsyat. Dan pada saat yang bersamaan, Untari pun melesat menyerang dengan tebasan pedang mengarah ke dada laki-laki tua ini. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Sepasang Bangau Putih, membuat Ki Ampal tidak sempat berbuat sesuatu. Dia hanya bisa terbeliak melihat sepasang pedang berkelebat begitu cepat di depannya.

Brettt!
Cras!
"Aaaa...!"

Jeritan panjang yang melengking seketika terdengar menyayat. Tampak Ki Ampal masih tetap berdiri dengan leher bergores merah dan dada terbelah terkena sambaran pedang Sepasang Bangau Putih tadi. Sementara sepasang anak muda itu sudah berlompatan ke belakang menjauhinya.

Beberapa saat Ki Ampal masih tetap berdiri. Namun tidak lama kemudian, tubuhnya terlihat limbung, lalu ambruk ke tanah dengan kepala menggelinding terpisah dari leher. Seketika darah menyemburat keluar dengan deras sekali dari batang lehernya yang buntung.

"Ayo Kakang, kita pergi dari sini! Masih banyak yang harus kita datangi," ajak Untari.

"Tidak kau bakar padepokan ini seperti yang lainnya?" tanya Perbawa seraya melirik sedikit pada Untari.

"Untari hanya tersenyum dengan menggelengkan kepala perlahan. Kemudian diayunkan kakinya melangkah sambil memasukkan pedang ke dalam warangkanya yang tersampir di punggung. Perbawa mengikuti ayunan langkah gadis itu. Pedangnya sudah sejak tadi tersimpan di dalam warangka. Dia mensejajarkan ayunan langkah kakinya di samping kanan Untari. Mereka terus melangkah keluar dari padepokan itu tanpa bicara lagi sedikit pun.

"Suiiittt..!"

Tiba-tiba saja Perbawa bersiul nyaring. Sesaat kemudian terlihat dua ekor kuda berlari cepat menghampiri. Mereka langsung berlompatan naik ke punggung kuda masing-masing. Kemudian mereka menggebahnya dengan cepat, membuat debu-debu berkepul membumbung tinggi ke angkasa. Sebentar saja Sepasang Bangau Putih itu sudah lenyap tertelan kegelapan malam.


***


TIGA

Sepak terjang pasangan anak muda yang dikenal dengan julukan Sepasang Bangau Putih cepat tersebar ke seluruh rimba persilatan. Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti maksud dan alasan sepak terjang mereka. Dalam beberapa hari saja, sudah enam padepokan yang dihancurkan. Dan tidak seorang pun dari penghuni padepokan-padepokan itu yang dibiarkan hidup.

Kabar tentang sepak terjang Sepasang Bangau Putih pun akhirnya sampai di telinga Pendekar Pulau Neraka yang saat itu berada di sebuah kedai di Dewa Watukan. Orang-orang di dalam kedai membicarakan perbuatan pasangan anak muda yang digdaya dan tidak kenal ampun itu. Perhatian pemuda berbaju kulit harimau itu terpusat pada pembicaraan dua orang yang duduk tidak jauh di belakangnya. Dari suara mereka, Bayu bisa mengetahui kalau yang satu orang lelaki tua, dan lawan bicaranya seorang perempuan yang juga sudah tua.

"Kau yakin kalau mereka juga akan datang ke sini menemuiku, Kakang Denggis?" tanya wanita tua yang mengenakan baju longgar warna merah.

Sebuah tongkat kayu yang tidak beraturan bentuk-nya menggeletak di atas meja, tepat di depannya. Sebelah ujungnya tergenggam di tangan kanannya yang sudah keriput, hingga seperti tulang terbalut kulit. Bayu yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan tahu kalau wanita tua itu bernama Nyai Kantil. Dia tahu ketika Ki Denggis menyebutkan nama itu dalam pembicaraan.

"Semua sudah aku peringatkan. Aku sendiri tidak tahu, kenapa mereka masih saja bisa dihancurkan," ujar Ki Denggis dengan suaranya yang pelan, hingga hampir tidak terdengar.

"Kau tahu apa maksudnya menghancurkan padepokan milik sahabat kita, Kakang?" tanya Nyai Kantil ingin tahu.

"Entahlah...," sahut Ki Denggis mendesah pendek.

"Kau tahu siapa mereka sebenarnya?" tanya Nyai Kantil lagi.

"Itu yang membuat aku tak mengerti sampai sekarang ini, Nyai. Tidak seorang pun yang tahu siapa mereka, dan dari mana asalnya. Mereka tiba-tiba saja muncul dan membuat keresahan di antara kita semua."

"Hm..., dari semua yang sudah mereka lakukan, aku yakin kalau mereka menyimpan dendam pada kita, Kakang," gumam Nyai Kantil perlahan, seakan dia bicara pada dirinya sendiri.

"Sejak semula aku sudah menduga begitu. Tapi apa mungkin kita bisa tahu siapa mereka, atau siapa yang memerintahkan begitu...? Sayang, aku belum pernah bertemu dengan keduanya, jadi tidak tahu jurus-jurus yang mereka gunakan. Sehingga sampai begitu jauh tak seorang pun dari teman-teman kita yang sanggup menghadapinya."

"Kau merasa sanggup menghadapinya, Kakang?" tanya Nyai Kantil bernada menyelidik.

"Entahlah.... Ampal sendiri tak sanggup menghadapi mereka. Aku jadi ragu...," ujar Ki Denggis pelan.

"Kalau kita hadapi mereka sendiri-sendiri, jelas tidak mungkin, Kakang. Masih ada tiga orang lagi di antara kita. Aku rasa sebaiknya kita kumpulkan saja mereka untuk menghadapi Sepasang Bangau Putih. Aku yakin, kalau kita bersatu, mereka tak akan mampu menghadapi kita, Kakang," ujar Nyai Kantil mantap.

"Itu yang aku harapkan, sebelum banyak korban yang jatuh. Tapi sekarang, aku merasa tidak ada gunanya lagi, Nyai. Coba saja kau pikirkan. Berapa orang lagi sahabat kita yang tersisa...?" ujar Ki Denggis seperti putus asa.

Nyai Kantil hanya terdiam mendapat pertanyaan seperti itu. Memang rasanya tidak mungkin mereka semua bisa menghadapi Sepasang Bangau Putih, yang diduga sedang mengincar keselamatan nyawa mereka semua. Dugaan itu bisa dipastikan dari kejadian yang menimpa sahabat-sahabat mereka.

Pendekar Pulau Neraka terus mendengarkan pembicaraan kedua orang tua itu sambil menikmati makanannya. Sesekali dia mengelus kepala monyet kecil yang selalu mengikuti ke mana saja dia pergi. Monyet kecil itu seperti tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya. Dia terus saja mengisi perutnya dengan pisang-pisang yang masak dan ranum.

"Ayo kita pergi, Nyai!" ajak Ki Denggis.

Nyai Kantil tidak menjawab. Dia bangkit berdiri mengikuti Ki Denggis. Setelah membayar pada pemilik kedai, mereka segera keluar tanpa bicara lagi. Namun di ambang pintu, Bayu masih sempat mendengar Ki Denggis bicara.

"Mungkin mereka sudah sampai di padepokanmu, Nyai...."

Bayu yang mendengar semua pembicaraan itu jadi tertarik. Tanpa membuang-buang waktu lagi, dia segera beranjak bangkit dari duduknya. Setelah membayar semua makanannya pada pemilik kedai, Pendekar Pulau Neraka itu segera beranjak pergi. Dia masih sempat melihat dua orang tua itu menunggang kuda, sebelum hilang di tikungan jalan.

"Mereka menuju ke Bukit Angsa. Aku tahu ke mana tujuan mereka," gumam Bayu dalam hari.

Setelah yakin akan tujuan yang ditempuh dua orang tua itu, Bayu segera mengambil arah memotong, jalan agar lebih cepat. Dia melangkah dengan mempergunakan sedikit ilmu meringankan tubuh, hingga tanpa terasa Pendekar Pulau Neraka sudah jauh meninggalkan Desa Watukan.


***


"Kakang Bayu...!" "Heh...?!"

Bayu tersentak kaget, ketika terdengar suara nyaring memanggil namanya. Dia langsung berhenti. Dan saat itu juga Tiren yang berada di pundaknya melompat turun, membuat Pendekar Pulau Neraka semakin tersentak kaget. Dan belum juga rasa keterkejutannya lenyap, tahu-tahu sudah muncul seorang gadis dari balik semak-semak belukar. Gadis cantik bertubuh ramping dan indah itu melangkah menghampirinya. Tiren langsung melompat pada gadis itu dengan memperdengarkan suaranya yang mencerecet ribut. Sementara Bayu ternganga dengan mata tak berkedip, seperti tak percaya pada apa yang dilihatnya.

"Kenapa kau bengong begitu, Kakang? Kau tak menduga aku bakal muncul di sini, kan...?" tegur gadis itu lembut, dengan senyuman yang manis sekali menghiasi bibirnya.

"Wulan...," desis Bayu masih belum percaya dengan apa yang terjadi saat ini.

Bayu menghampiri gadis cantik itu. Mereka memang sudah saling mengenal sejak lama. Bahkan Wulan berhutang nyawa pada Pendekar Pulau Neraka. Dia sempat diselamatkan ketika menghadapi gerombolan begal di Bukit Setan. Hampir saja Wulan mati tercincang dan terhina kalau saja Bayu tidak cepat datang menolongnya.

Dan sekarang, tiba-tiba saja gadis itu muncul di depannya. Entah apa perlunya Wulan berada di kaki Bukit Angsa. Sedangkan Bayu sendiri sedang mengejar dua orang tua yang ditemuinya di kedai di Desa Watukan.

"Wulan, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Bayu, sambil memandangi gadis yang mengenakan baju putih ketat, dengan sebilah pedang tersandang di punggungnya.

Wulan tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil mengelus-elus kepala Tiren yang berada dalam gendongannya. Monyet kecil itu kelihatan manja, merapatkan wajahnya ke dada Wulan.

"Aku sedang tidak ada waktu, Wulan...," kata Bayu dengan suara terputus.

"Aku tahu...," ujar Wulan ringan, dengan senyuman terus terkembang menghiasi bibirnya. "Kau sedang mengejar dua orang, kan...?"

"Heh...?! Dari mana kau tahu...?"

Bayu tersentak kaget. Dia memandangi gadis itu, sementara yang dipandangi kelihatan tenang dengan senyuman lebar masih mengembang menghiasi bibirnya. Bayu jadi penasaran. Kakinya melangkah beberapa tindak mendekati. Dengan lembut disentuhnya pundak gadis itu. Wulan mengangkat wajahnya sedikit, kemudian melirik tangan Bayu yang kekar di pundaknya. Bayu cepat-cepat melepaskan tangannya dari pundak gadis itu.

"Bagaimana kau tahu aku sedang mengejar orang, Wulan?" tanya Bayu penasaran.

"Sejak dari Desa Watukan," sahut Wulan ringan.

"Kau mengikutiku...?" tanya Bayu lagi dengan nada suara jelas terdengar tidak senang karena diikuti.

"Tidak," sahut Wulan tetap ringan suaranya.

"Lalu, untuk apa kau...?" pertanyaan Bayu terputus.

"Aku juga sedang membuntuti mereka, Kakang," sahut Wulan kalem, memotong ucapan Pendekar Pulau Neraka.

"Mengikuti mereka...?"

Lagi-lagi Bayu terkesiap. Dia jadi terlongong bengong mendengar jawaban yang diberikan Wulan barusan. Hatinya benar-benar tidak mengerti dengan semua ini. Wulan berada di kaki Bukit Angsa ini ternyata dengan tujuan yang sama. Apa sebenarnya yang diinginkan Wulan pada kedua orang tua itu di Bukit Angsa ini...? Pertanyaan itu terus menggayuti kepala Bayu.

Bayu terus memperhatikan gadis itu. Keningnya tampak berkerut melihat Wulan yang sedikit gefisah, seperti sedang menunggu seseorang. Meskipun Wulan sudah berusaha menutupi, tapi Bayu bisa melihat kegelisahannya.

"Ada yang kau tunggu, Wulan?" tegur Bayu langsung.

"Ah...."

Wulan hanya mendesah menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka. Sikapnya langsung berubah. Dan senyumnya kembali mengembang. Namun kali ini Bayu bisa merasa kalau senyuman itu sangat dipaksakan. Dan tampak begitu hambar.

"Siapa yang kau tunggu?" tanya Bayu lagi.

"Ah, bukan siapa-siapa. Hanya...," Wulan tidak melanjutkan ucapannya.

"Kekasihmu?" tukas Bayu.

"Bukan."

"Lalu...?"

"Saudara seperguruanku," sahut Wulan pelan.

"Laki-laki?" cecar Bayu.

Wulan hanya mengangguk perlahan.

"Kalau begitu, aku pergi dulu," ujar Bayu. Bayu langsung mengambil Tiren dari pelukan gadis itu, dan menaruhnya di pundak kanan. Sementara Wulan hanya diam memandangi. Entah apa yang ada di dalam hatinya. Sedangkan Bayu hanya menatap sebentar, kemudian memutar tubuhnya berbalik. Tanpa bicara apa pun, Pendekar Pulau Neraka melangkah meninggalkannya. Sengaja Bayu mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sempurna, sehingga dengan cepat dia sudah jauh meninggalkan Wulan seorang diri.

Wulan masih berdiri mematung memandang ke arah perginya Pendekar Pulau Neraka. Padahal bayangan tubuh Bayu saja sudah tidak terlihat lagi, lenyap tertelan lebatnya pepohonan di sekitar lereng Bukit Angsa. Wulan terus memandang kosong ke depan, dengan pikiran yang tidak menentu. Dan tiba-tiba saja....

Plakkk!
"Oh...?!"


***


"Kakang...! Bikin kaget saja!" dengus Wulan, begitu melihat seorang pemuda mengenakan baju dengan warna sama seperti yang dipakainya.

"Siapa itu tadi?" tanya pemuda tampan itu.

"Kakang Bayu," sahut Wulan.

"Kekasihmu?"

"Bukan," sahut Wulan singkat. "Eh, bagaimana kau bisa tahu...?"

"Aku perhatikan sejak tadi. Kau seperti ada sesuatu dengannya. Aku lihat pandangan matamu padanya tadi," kata pemuda tampan berbaju putih dengan sebuah pedang tersandang di ptlnggungnya.

Bentuk gagang pedang itu sama persis dengan yang ada di punggung Wulan. Berbentuk kepala seekor angsa berwarna putih keperakan.

"Lama sekali pergimu, Kakang. Ke mana saja kau tadi?" tanya Wulan mengalihkan pembicaraan.

"Aku mampir dulu ke rumah pamanku," sahut pemuda itu.

"Ada pamanmu di Desa Watukan?" tanya Wulan lagi, "Kau tak pernah menceritakannya padaku, Kakang Perbawa. Kenapa...?"

Pemuda yang ternyata Perbawa hanya tersenyum mendengar pertanyaan Wulan.

"Aku dengar tadi dia memanggilmu Wulan. Siapa namamu sebenarnya, Untari?" tanya Perbawa, kembali mempersoalkan hubungan Wulan yang di-kenalnya bernama Untari dengan Pendekar Pulau Neraka.

Wulan tampak hanya tersenyum mendengar pertanyaan Perbawa. Dan tanpa menjawab sedikit pun, gadis itu langsung mengayunkan kaki menuju arah yang dituju Pendekar Pulau Neraka tadi. Perbawa segera mengikutinya dari belakang.

"Siapa dia, Untari?" kejar Perbawa masih penasaran, belum tahu siapa pemuda yang tadi bicara dengan Wulan.

"Temanku," sahut Wulan yang menggunakan nama Untari pada pemuda ini.

"Kenal di mana?" Perbawa terus saja mengejar ingin tahu.

"Dia pernah menyelamatkan nyawaku, ketika aku berurusan dengan gerombolan begal di Bukit Setan."

"Lalu...?"

"Ya, waktu itu aku menggunakan nama Wulan," sambung Untari.

"Dan namamu yang sebenarnya siapa?" tanya Perbawa semakin menyelidik ingin tahu.

"Semua sama," sahut Untari ringan.

"Semua sama...? Apa maksudmu, Untari?" Perbawa terus minta penjelasan.

"Ya, sama.... Aku selalu menggunakan nama lain setiap kali berada di tempat yang berbeda," jelas Untari.

"Aku benar-benar tak mengerti denganmu, Untari...," desah Perbawa dengan kepala menggeleng perlahan beberapa kali.

Sedangkan Untari hanya tersenyum. Dia terus mengayunkan kaki tanpa peduli dengan kebingungan Perbawa terhadap dirinya yang aneh dan misterius.

"Kau tinggalkan di mana kuda kita, Untari?" tanya Perbawa, melihat Untari enak saja berjalan kaki, seperti tidak ingat kalau mereka memiliki kuda tunggangan masing-masing.

"Aku tinggalkan di dekat danau," sahut Untari ringan.

Perbawa terdiam. Dia tahu kalau arah yang mereka tempuh sekarang ini menuju ke danau. Tempat yang sempat mereka singgahi sebentar di Desa Watukan. Mereka memang tidak perlu khawatir pada kuda-kuda yang sudah jinak itu. Dan kuda-kuda mereka juga mengerti jika pemiliknya memanggil dengan siulan.

Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi. Sementara itu di dalam benak Perbawa terus bergelut dengan pikiran yang entah berpusat pada persoalan apa. Untari sendiri tidak bicara sedikit pun.

"Kau membohongi guru, Untari," tukas Perbawa dengan suara datar.

"Tidak ada yang aku bohongi, Kakang. Ki Sarpakenaka juga sudah tahu," sahut Untari ringan.

"Tahu...? Tapi kenapa ..?" Perbawa tidak melanjutkan pertanyaannya.

"Ketika itu Ki Sarpakenaka mencari orang yang bisa diandalkan untuk mendampingimu, Kakang. Dan aku berjanji akan mendampingimu untuk membalaskan dendamnya pada mereka. Ki Sarpakenaka membekali dengan jurus-jurus Bangau Putih seperti yang diajarkan padamu. Jurus-jurus yang ringan dan mudah dipelajari, tapi sangat dahsyat. Aku bisa dengan mudah mempelajari dan menguasainya, karena aku sudah punya dasar jurus-jurus pedang. Jadi Ki Sarpakenaka tinggal memoles dan memperhalus saja dengan jurus-jurus Bangau Putih. Dia tidak peduli siapa aku sebenarnya. Tapi antara aku dan Ki Sarpakenaka memang punya satu ikatan," jelas Untari panjang lebar.

"Ikatan apa?" tanya Perbawa.

"Selamanya aku harus bersamamu menggunakan jurus Bangau Putih. Karena jurus itu tidak bisa dipisahkan, harus digunakan secara berpasangan. Itu sebabnya kenapa Ki Sarpakenaka menjuluki kita Sepasang Bangau Putih," jelas Untari lagi.

Sekarang Perbawa hanya diam membisu. Dia tidak bisa lagi membantah penjelasan gadis itu. Memang diakuinya kalau jurus Bangau Putih tidak bisa digunakan seorang diri saja. Kalaupun digunakan, tidak ada artinya sama sekali. Dan semua unsur kekuatannya akan lenyap begitu saja. Dia juga tahu kalau gurunya yang bernama Ki Sarpakenaka sebenarnya memiliki teman seorang wanita. Bukan hanya teman, tapi istri dan sahabat yang paling setia. Sayang, istrinya tewas di tangan orang-orang yang kini sedang dikejarnya.

"Aku benar-benar tidak menyangka kau seorang gadis yang penuh keanehan seperti itu," ujar Perbawa pelan, setelah cukup lama berdiam diri membisu. Suaranya hampir tidak terdengar, seakan bicara pada dirinya sendiri.

"Seharusnya kau sudah tahu sejak pertama kali kita bertemu, Kakang," kata Untari ringan.

"Aku ingin mendengarkan kalau kau bersedia menceritakan riwayat hidupmu," kata Perbawa bernada memohon.

"Satu saat nanti, Kakang," sambut Untari tanpa senyum sedikit pun.

Sementara mereka berjalan sudah cukup jauh. Dan sebuah danau yang cukup luas tampak mem-iientang di depan. Dua ekor kuda yang masih berpelana tampak sedang merumput di tepi danau itu lengan nikmat sekali. Sepasang Bangau Putih ini rnenghampiri kuda mereka. Tanpa banyak bicara lagi, keduanya langsung melompat naik ke punggung kuda masing-masing. Dan langsung menggebah dengan kencang. Sehingga kuda-kuda itu melesat dengan cepat sekali bagai anak panah dilepas-kan dari busumya.

Arah yang mereka tuju jelas sekali ke puncak Bukit Angsa. Mereka terus menggebah kuda masing-masing tanpa bicara lagi sedikit pun. Kedua kuda itu berpacu dengan kecepatan tinggi, membuat debu-debu berkepul membumbung tinggi di angkasa.


***


EMPAT

Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di atas sebongkah batu besar memandangi sebuah bangunan padepokan yang menyerupai benteng pertahanan, tidak jauh di depannya. Entah sudah berapa lama pemuda tampan berambut panjang itu berdiri di sana. Dia tadi sempat melihat dua orang tua yang ditemuinya di kedai di Desa Watukan, memasuki bangunan yang tinggi dan kokoh itu.

Tidak lama kemudian, berdatangan orang-orang dari arah yang berlainan. Mereka semua langsung masuk ke bangunan seperti benteng itu. Bayu tahu kalau bangunan besar dikelilingi pagar kayu gelondongan besar-besar dan tinggi itu merupakan Padepokan Teratai Emas. Sebuah perguruan yang dipimpin seorang perempuan tua berkepandaian tinggi. Perempuan tua yang dulunya satu kelompok dengan Ki Denggis.

Cukup lama Pendekar Pulau Neraka menunggu. Namun tidak ada seorang pun yang keluar dari dalam bangunan padepokan seperti benteng pertahanan itu. Dia melihat penjagaan di sekitar bangunan demikian ketat sekali. Sepertinya mereka akan menghadapi serangan dahsyat dari luar. Terlihat orang-orang bersenjata panah berada di bagian ujung atas pagar benteng itu. Sedangkan di depan pintu, hanya terlihat dua orang berusia muda tengah berjaga-jaga. Keduanya tampak memegang sebatang tombak berukuran panjang. Sebilah pedang tergantung di pinggang mereka.

Pada saat itu, rjba-tiba terlihat sesosok bayangan putih berkelebat begitu cepat ke arah dua orang penjaga pintu gerbang. Begitu cepatnya bayangan putih itu bergerak, sehingga kedua penjaga pintu tidak sempat menyadarinya.

"Akh...!"
"Aaaa...!"
"Heh...?!"

Bayu tersentak kaget, mendengar dua orang penjaga pintu menjerit Tubuh mereka langsung ambruk ke tanah dengan darah berhamburan deras dari dada yang robek seperti tertebas sebuah pedang sangat tajam. Pendekar Pulau Neraka tadi sempat melihat satu kilatan cahaya putih berkelebat begitu cepat menyertai bayangan putih saat menyambar kedua orang penjaga pintu gerbang.

Jeritan penjaga pintu rupanya mengejutkan orang-orang yang ada di atas pagar benteng padepokan. Mereka langsung saja memasang anak panah pada busumya. Namun bayangan putih itu sudah tidak terlihat sedikit pun. Dia langsung lenyap seketika, begitu masuk ke dalam hutan di puncak Bukit Angsa ini.

Belum ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu, kembali terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat ke depan pintu gerbang Padepokan Teratai Emas. Dan tahu-tanu, sekitar dua batang tombak di depan pintu gerbang padepokan sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, dengan sebuah pedang tersampir di punggungnya.

"Heh...?!"

Pendekar Pulau Neraka tersentak kaget setengah mati, begitu melihat gagang pedang yang ada di punggung pemuda itu. Gagang pedangnya sama persis dengan yang dimiliki Wulan. Tidak ada per-bedaan sedikit pun. Namun belum sempat pemuda berpakaian kulit harimau itu bisa berpikir lebih jauh, orang-orang yang ada di atas pagar benteng bangunan padepokan sudah bertindak dengan melepas-kan anak panah.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali pemuda itu melompat ke belakang sambil memutar tubuh menghindari anak-anak panah yang menghujaninya. Beberapa kali dia berputaran di udara, kemudian dengan manis sekali kedua kakinya menjejak tanah, jauh dari jangkauan panah itu. Dia berdiri tegak sambil berkacak pinggang memandang ke atas pagar benteng padepokan.

Sementara Pendekar Pulau Neraka yang berada di tempat cukup jauh dan tersembunyi, terus memper-hatikan dengan mata tidak berkedip.

"Hm, siapa dia? Apa yang akan dilakukannya di padepokan ini...?" gumam Bayu bertanya pada dirinya sendiri.

Baru saja bibir Bayu terkatup mendadak dia kembali dikejutkan,dengan tepukan halus di pundaknya.

"Eh...?!"

Bayu sampai terlompat dan berbalik. Kedua bola matanya terbelalak kaget melihat seorang gadis cantik berbaju putih tahu-tahu sudah ada di dekatnya.

"Wulan...," desis Bayu hampir tidak terdengar suaranya.

Gadis cantik yang ternyata Wulan itu hanya tersenyum melihat Bayu terlongong bengong seperti melihat hantu. Tanpa bicara lagi, dia langsung mengambil Tiren dari pundak Pendekar Pulau Neraka.

"Apa yang kau lihat di sini, Kakang?" tegur Wulan dengan suaranya yang halus dan lembut menyentuh hati.

"Ah...," Bayu hanya mendesah menjawab pertanyaan gadis itu.

Dia kembali memutar tubuhnya, memperhatikan pemuda berbaju putih yang masih berdiri tegak berkacak pinggang agak jauh dari bangunan Padepokan Teratai Emas. Sedangkan di atas pagar benteng, terlihat ratusan orang siap dengan anak panah terpasang pada busumya. Tampak jelas sekali kalau pemuda itu kebingungan untuk menembus benteng padepokan. Tidak mungkin dia bisa menembusnya. Mendekatinya saja sudah harus berpikir seribu kali.

Sementara Wulan sudah ada di samping kanan Pendekar Pulau Neraka. Entah kenapa dia tersenyum melihat keadaan di Padepokan Teratai Emas itu. Senyumnya semakin lebar melihat seorang pemuda berbaju putih yang berdiri berkacak pinggang dengan jarak cukup jauh dari jangkauan anak panah.

"Dia temanmu, Wulan...?" tanya Bayu tanpa berpaling ke arah gadis di sebelahnya.

Wulan tidak menjawab, seakan tidak mendengar pertanyaan itu. Merasa pertanyaan tidak terjawab sedikit pun, Bayu memalingkan wajahnya sedikit. Tatapan matanya langsung menangkap wajah cantik gadis di sebelahnya. Namun wajah itu kelihatan datar saja, tanpa ada perubahan sedikit pun.

"Aku lihat pedang yang dimilikinya sama persis dengan pedangmu. Dia itu temanmu, Wulan...?"

Bayu mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab tadi.

"Ya," sahut Wulan singkat, dengan suaranya yang terdengar pelan sekali.

"Mau apa dia di sana?" tanya Bayu lagi, semakin ingin tahu.

Kening Pendekar Pulau Neraka terlihat berkerut, Jelas sekali kalau di dalam benaknya muncul berbagai macam pertanyaan dan dugaan yang tidak bisa dijawabnya sendiri. Dia terus memandangi wajah cantik gadis di sebelahnya.

"Ada urusan dengan orang-orang di dalam sana," jawab Wulan singkat

"Maksudmu dengan Ki Denggis dan Nyai Kantil?" duga Bayu.

Wulan tidak langsung menjawab. Dia hanya tersenyum dengan pandangan tetap tertuju ke arah bangunan padepokan seperti benteng pertahanan itu. Tampaknya sikap gadis itu membenarkan dugaan Pendekar Pulau Neraka.


***


"Wulan..., kaliankah yang dinamakan Sepasang Bangau Putih...?" kali ini nada suara Bayu terdengar agak ditahan dan hati-hati sekali.

Wulan langsung berpaling dan menatap Bayu dengan sinar mata yang sulit sekali untuk diartikan. Bayu sendiri membalasnya dengan sinar mata yang tajam dan penuh dengan tuntutan penjelasan dari gadis itu. Beberapa saat mereka terdiam dan hanya saling berpandangan dengan sinar mata yang sukar untuk diartikan.

"Bagaimana menurutmu dengan tindakanku dan Kakang Perbawa?" tanya Wulan akhimya, sambil mengarahkan pandangan lagi ke depan.

Seluruh aliran darah Bayu berdesir lebih cepat mendengar pertanyaan Wulan. Sejak semula hatinya memang sudah menduga, tapi tidak menyangka kalau Wulan akan melontarkan pertanyaan yahg begitu sulit untuk dijawab dengan cepat. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya Bayu hanya bisa diam memandangi gadis itu. Mulutnya terasa bagai terkunci. Dan kerongkongannya tersekat, sulit untuk mengeluarkan kata-kata. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

Dalam beberapa hari ini dirinya memang sudah mendengar tentang sepak terjang Sepasang Bangau Putih. Namun tidak menyangka kalau salah satu dari pasangan itu ternyata seorang gadis yang pernah diselamatkan nyawanya. Dan sekarang, gadis itu sama sekali tidak merasa memiliki beban dalam tindakannya selama ini. Seakan dia melakukan semua itu karena memang sudah menjadi kewajibannya.

Sedangkan Pendekar Pulau Neraka tahu, mereka yang menjadi buruan Sepasang Bangau Putih ter-nyata orang-orang persilatan dan pemilik padepokan yang dikenal baik dan berada pada jalan benar. Sulit bagi Bayu untuk bisa langsung memberikan pendapat terhadap semua yang sudah dilakukan Wulan bersama temannya selama beberapa hari ini.

"Kenapa kau lakukan semua itu, Wulan? Kau tahu siapa mereka yang kau kejar selama ini...?" tanya Pendekar Pulau Neraka, seakan menyesali perbuatan Wulan.

"Panjang ceritanya, Kakang," sahut Wulan singkat, dengan nada suara agak mendesah.

"Lalu, apa yang kau cari dari mereka?"

Wulan tidak langsung menjawab. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan kuat.

Sementara itu terlihat pemuda berbaju putih yang berdiri di depan bangunan padepokan sudah memutar tubuhnya berbalik. Dan dia terus melangkah masuk ke dalam lebatnya pepohonan di puncak Bukit Angsa. Dan orang-orang di atas pagar benteng padepokan tampak menurunkan busur panah, saat melihat pemuda berbaju putih itu sudah tidak ada lagi.

Wulan sendiri segera berbalik dan melangkah hendak meninggalkan Pendekar Pulau Neraka. Namun baru saja dia berjalan beberapa langkah, Bayu mencekal pergelangan tangannya. Gadis itu terpaksa berhenti. Wajahnya berpaling sedikit dan langsung menatap Pendekar Pulau Neraka dengan sinar mata yang cukup tajam.

"Sebaiknya kau jangan ikut campur dalam persoalan ini, Kakang. Aku tak mau namamu rusak karena membela diriku," ujar Wulan dengan suara datar.

"Tidak, sebelum kau ceritakan semuanya dengan jujur padaku," pinta Bayu tegas.

"Aku tidak bisa, Kakang. Masih ada yang lebih berhak daripada aku," tolak Wulan halus.

"Siapa?" desak Bayu.

"Kakang Perbawa," sahut Wulan terus terang.

"Ajak aku menemuinya," pinta Bayu.

"Aku minta jangan sekarang, Kakang. Nanti saja kalau semuanya sudah selesai. Tinggal sedikit lagi...," jawab Wulan, meminta pengertian Pendekar Pulau Neraka.

"Wulan...! Kau sadar apa yang selama ini sudah kau lakukan?"

"Aku tahu. Tidak ada seorang pun yang menekanku. Aku sadar semua yang aku lakukan."

"Kau tahu siapa mereka yang menjadi buruanmu?"

Wulan hanya menganggukkan kepalanya perlahan.

"Kau tahu apa akibatnya...?"

"Semua sudah kuperhitungkan baik dan buruknya, Kakang. Percayalah, kalau semuanya sudah selesai, nama Sepasang Bangau Putih akan menghilang sendiri begitu saja. Kalaupun masih ada, akan harum namanya," kata Wulan masih meminta pengertian Pendekar Pulau Neraka.

"Wulan...."

"Sudahlah, Kakang! Nanti aku temui kau lagi kalau semuanya sudah selesai," cepat Wulan memotong.

Gadis itu menyerahkan Tiren kembali pada Pendekar Pulau Neraka. Setelah memberikan se-nyuman yang manis, Wulan langsung melesat pergi dengan kecepatan luar biasa. Hingga dalam sekejap mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap bagai tertelan angin. Bayu tampak terpana melihatnya.

"Hebat..! Dari mana dia mendapatkan kepandaian yang begitu tinggi...?" desis Bayu, bertanya-tanya sendiri di dalam hatinya.

Bayu tahu kalau kepandaian yang dimiliki Wulan masih bisa ditakar. Dan dia tahu kalau tingkat kepandaian yang dimiliki gadis itu tidak akan sanggup melesat begitu cepat seperti bayangan. Kecepatan gerak yang dilakukannya membuat Bayu untuk beberapa saat tercengang keheranan.

"Tentu ada sesuatu yang sudah terjadi pada dirinya. Hm..., aku harus tahu. Wulan tidak boleh terperangkap dalam peristiwa yang bisa membuat dirinya hancur. Dia masih muda, masa depannya masih terlalu panjang. Aku harus bisa mencegah sebelum dia terlanjur jauh dalam kesesatan," ujar Bayu dalam hati.


***


Sementara itu Wulan yang juga bernama Untari sudah kembali bersama Perbawa. Kedua anak muda yang selama ini menjadi bahan pembicaraan di kalangan orang-orang persilatan itu masih belum beranjak jauh dari bangunan Padepokan Teratai Emas. Entah berapa lama mereka berdiri memandangi bangunan yang masih tetap terjaga dengan ketat itu.

Sementara matahari sudah mulai condong ke sebelah barat. Sinarnya juga sudah mulai terasa tidak terik lagi. Cahayanya yang keemasan kini terasa lembut menyapu kulit.

"Mereka benar-benar mempersiapkan diri untuk menyambut kita...," ujar Untari setengah bergumam, seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Ya, kurasa mereka sudah bergabung di sini," sambut Perbawa.

"Aku rasa itu malah bagus, Kakang. Tidak perlu lagi kita bersusah payah mencari mereka. Tinggal kita hancurkan saja mereka semua di sini," kata Untari lagi.

"Justru itu yang sulit, Untari. Kau lihat sendiri, kekuatan mereka berlipat ganda. Untuk mendekatinya saja sudah sulit,"

"Harus ada cara yang tepat untuk menembus ke dalam. Masih ada waktu untuk memikirkannya, Kakang. Tapi kita harus tetap memperhatikan, jangan sampai ada yang keluar atau masuk ke sana," kata Untari lagi.

"Kau punya cara?" tanya Perbawa.

Untari tidak langsung menjawab. Dia hanya diam sambil terus memandangi bangunan padepokan yang seperti benteng pertahanan dari dijaga sangat ketat itu. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis ini sekarang. Sedangkan Perbawa sendiri tampak tidak menginginkan jawaban dari pertanyaannya tadi. Dia seakan sudah tahu kalau Untari juga belum punya cara yang tepat untuk menerobos masuk ke Padepokan Teratai Emas.

Dan untuk beberapa saat lamanya mereka kembali terdiam membisu. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terdengar Perbawa menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kuat. Untari melirik sedikit pada pemuda yang ada di sebelah kirinya ini.

"Ada apa, Kakang?" tanya Untari menegur.

"Tidak ada apa-apa," sahut Perbawa agak mendesah.

Untari kembali diam.

"Untari, kau sudah temui temanmu itu?" tanya Perbawa tiba-tiba, mengalihkan pembicaraan.

"Kakang Bayu, maksudmu...?" Untari menegaskan.

"Ya."

"Sudah. Kenapa...?"

"Apa dia bisa membantu kita menghadapi mereka?" tanya Perbawa seperti tidak dipikirkan lagi.

Entah kenapa, Untari malah tersenyum mendengar pertanyaan itu. Dia memutar tubuhnya berbalik, dan melangkah mendekati sebuah pohon besar, dengan akar-akarnya bersembularf di permukaan tanah. Gadis itu duduk di atas sebatang akar yang cukup besar. Sementara Perbawa hanya memperhati-kannya. Dia kemudian duduk di atas rerumputan, membelakangi Padepokan Teratai Emas yang masih kelihatan lengang, tapi terjaga ketat.

"Dia seorang pendekar, Kakang. Dia tidak akan bisa begitu saja dipengaruhi. Dia akan membantu kalau memang dipandang perlu. Kalau memang dia merasa perlu membantu kita, tanpa diminta pun pasti akan turun tangan sendiri," kata Untari menjelaskan.

"Dia tahu permasalahannya?" tanya Perbawa lagi.

"Belum," sahut Untari singkat.

"Kau tidak katakan?"

"Sedikit."

"Lalu, apa tanggapannya?"

"Dia malah memintaku agar meninggalkan semua ini. Katanya kita berada di pihak yang salah."

"Kau pasti tidak mengatakan alasannya kenapa kita memburu mereka," agak ketus nada suara Perbawa.

Untari hanya menggelengkan kepalanya perlahan.

"Seharusnya kau katakan saja padanya, Untari. Aku yakin, kalau dia sudah tahu yang sebenarnya, dia akan berpihak pada kita. Kau tahu, Untari.... Dengan sikapnya yang seperti itu, dia bisa saja berpihak pada mereka. Dan kalau itu terjadi...," Perbawa tidak melanjutkan.

"Kau sepertinya takut pada Pendekar Pulau Neraka, Kakang. Kenapa...?" tukas Untari.

"Aku bukannya takut, tapi Ki Sarpakenaka sendiri sudah berpesan, bahwa kita harus menghindari bentrokan dengan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan kalau perlu, kita harus bisa merebut hatinya agar dia berpihak pada kita, Untari. Apa kau sudah lupa pada pesannya...?" ujar Perbawa mengingatkan.

Untari tampak terdiam saja. Jelas dia tidak bisa melupakan kata-kata terakhir Ki Sarpakenaka yang sudah menurunkan ilmu Bangau Putih padanya. Memang Ki Sarpakenaka pernah menyebut nama Pendekar Pulau Neraka. Mereka diminta meng-hindarinya, kalau tidak bisa menarik pendekar itu untuk berpihak padanya. Namun Untari tidak tahu, kenapa guru mereka berpesan seperti itu.

"Kau masih ingat pesannya, Untari...?" tanya Perbawa membangunkan lamunan gadis itu.

"Ya...," sahut Untari pelan, dengan suara agak mendesah. "Tapi aku tidak mengerti, kenapa Ki Sarpakenaka sepertinya takut pada Pendekar Pulau Neraka...?"

"Ki Sarpakenaka bukannya takut."

"Lalu, kenapa...?"

Belum juga Perbawa bisa menjawab pertanyaan Untari, tiba-tiba terdengar suara yang langsung menjawab pertanyaan gadis itu. Keduanya tersentak kaget, dan langsung berlompatan berdiri. Seketika kedua bola mata Sepasang Bangau Putih terbeliak. Di depan mereka tahu-tahu sudah berdiri seorang pemuda berbaju kulit harimau, dengan seekor monyet kecil di pundak kanannya.

"Bayu...," desis Untari agak bergetar suaranya.

"Pendekar Pulau Neraka...."

Pemuda yang mengenakan baju dari kulit harimau itu memang Pendekar Pulau Neraka. Dengan bibir menyunggingkan senyuman, dia melangkah meng-hampiri Sepasang Bangau Putih. Saat itu monyet kecil yang ada di pundaknya langsung melompat turun, dan berlari sambil mencerecet ribut menghampiri Untari. Gadis itu segera mengambil Tiren dan langsung menggendongnya di dada.

"Seharusnya kau katakan padaku, kalau kau mendapat ilmu-ilmu Bangau Putih dari Ki Sarpakenaka, " kata Bayu dengan suara ringan, sambil menatap Untari.

Untari hanya terdiam. Perbawa juga ikut memandangi gadis itu.

"Kau kenal dengan guruku...?" tanya Perbawa ingin tahu.

"Aku memang tidak kenal. Tapi Ki Sarpakenaka sudah tentu kenal denganku. Dan dia juga pasti tahu siapa guruku. Karena antara dia dan guruku masih bersaudara," sahut Bayu menjeleskan.

Baik Untari maupun Perbawa jadi terlongong bengong. Mereka tak menyangka, kalau Ki Sarpakenaka dan guru Pendekar Pulau Neraka ternyata bersaudara. Dan sudah barang tentu mereka juga bisa dikatakan bersaudara. Namun dari pandangan matanya, Perbawa tampak tidak percaya dengan semua yang baru dikatakan Bayu.

"Aku tahu nama Ki Sarpakenaka dari guruku. Sebenarnya aku juga dipesan untuk menemuinya. Tapi sampai sekarang aku tidak pernah bertemu dengannya. Karena dari dia aku bisa tahu siapa-siapa saja musuh guruku yang belum bisa kutemukan," ujar Bayu lagi menjelaskan.

"Kalau memang antara gurumu dengan Ki Sarpakenaka bersaudara, itu berarti kita memiliki musuh yang sama, Pendekar Pulau Neraka," tukas Perbawa.

"Ah, jangan panggil aku begitu! Panggil saja aku seperti yang Wulan lakukan padaku!" pinta Bayu merendah.

"Wulan...?"

Perbawa kembali menatap pada Untari. "Aku memang bernama Wulan, Kakang Perbawa. Tapi aku juga bernama Untari," kata Wulan seraya menoleh ke arah Perbawa.

"Eh, mana yang benar ini...?" sentak Perbawa.

"Keduanya benar. Terserah kalian saja mau memanggilku apa," sahut Untari tetap kalem.

Kali ini Perbawa dan Bayu saling berpandangan. Mereka mengenal gadis ini dengan nama yang berlainan. Sudah barang tentu sulit untuk bisa me-nyamakan panggilan lagi. Sedangkan Wulan tidak peduli dengan namanya sendiri.

"Bagaimana...?" tanya Bayu meminta pendapat Perbawa.

"Terserah kau saja, Kakang," sahut Perbawa langsung membiasakan diri menuakan Pendekar Pulau Neraka.

"Ya, kita panggil saja dia...," Bayu tidak melanjutkan.

"Wulan Untari...."

"Cocok!" sambut Bayu sambil tersenyum. "Eh, kenapa bergabung begitu...?" sentak Wulan.

"Kau punya dua nama, Wulan. Jadi apa salahnya kalau digabungkan...?" ujar Bayu kalem.

"Benar, Wulan. Lagi pula, kedua namamu tidak hilang," sambung Perbawa yang langsung memanggil gadis itu dengan nama Wulan.

"Terserah kalian sajalah...!" dengus Wulan tidak peduli.

Dan kedua pemuda itu tersenyum. Wulan sendiri tampaknya tak lagi mempedulikan hal itu. Baru pada kedua pemuda ini dia memberikan nama yang berlainan. Padahal di tempat-rempat lain, entah sudah berapa nama yang digunakan untuk dirinya. Dan memang tidak ada seorang pun yang tahu nama gadis ini sebenarnya. Karena kemunculannya juga sudah menggunakan nama begitu banyak, hingga pernah dikenal dengan julukan Gadis Seribu Nama.


Namun sekarang nama julukan itu sudah tidak terdengar lagi di kalangan rimba persilatan. Gadis Seribu Nama seakan menghilang begitu saja. Dan kini yang muncul Sepasang Bangau Putih, julukan yang sudah membuat geger rimba persilatan.

"Aku rasa tidak perlu lagi mempersoalkan nama Wulan sekarang. Aku ingin tahu, kenapa kalian sampai mengejar mereka...?" tanya Bayu setelah beberapa saat terdiam.

"Panjang ceritanya, Kakang," sahut Perbawa.

"Ceritakan saja! Kalau memang alasan kalian benar, aku tak akan segan-segan membantu," kata Bayu mantap.

Seketika itu juga wajah Perbawa langsung cerah mendengar kesediaan Pendekar Pulau Neraka untuk membantu tugas mereka. Dan tanpa banyak bicara lagi, Perbawa langsung menceritakan pada Bayu hal yang membuat mereka melakukan sepak terjang selama ini. Bayu mendengarkan dengan penuh perhatian. Sementara Wulan sendiri sudah tidak peduli lagi, karena keasyikan bermain dengan Tiren. Monyet kecil berbulu hitam sahabat Pendekar Pulau Neraka.


www.sonnyogawa.com


LIMA

"Jadi mereka yang membunuh istri Ki Sarpakenaka dan membuatnya tidak memiliki kaki lagi...?" ujar Bayu setelah Perbawa selesai dengan ceritanya.

"Benar, Kakang. Sekarang Ki Sarpakenaka sudah tidak ada lagi. Namun guru berpesan agar kami berdua membalaskan dendamnya," sahut Perbawa.

"Hm..., siapa sebenarnya mereka?" tanya Bayu dengan suara agak bergumam.

"Sebagian dari mereka adalah para begal Bukit Setan, Kakang," selak Wulan.

"Oh, kau tahu dari mana...?" tanya Bayu agak terkejut

"Tiga orang dari mereka aku kenali. Tapi mereka sudah mati semuanya. Dan yang sekarang ini, para pemimpin yang dulunya menguasai daerah selatan. Mereka tentunya lebih tangguh dan sulit dihadapi," kata Wulan menjelaskan lagi.

"Hm, tinggal berapa orang lagi mereka?" tanya Bayu.

"Lima," sahut Perbawa. "Sekarang mereka berkumpul semua di sini. Juga semua murid-muridnya," sambung Wulan.

"Dan kalian akan menghadapinya dengan berdua saja...?"

Perbawa dan Wulan Untari bersamaan meng-anggukkan kepala. Bayu tampak menggeleng-gelengkan kepala. Walaupun belum pernah bertemu, tapi dia sering mendengar lima orang tokoh persilatan yang menguasai daerah selatan. Sudah barang tentu mereka tidak bisa dipandang dengan sebelah mata. Sehingga tidak mungkin menghadapi mereka hanya dengan bertiga. Sebab, jumlah murid mereka yang kini berkumpul di Padepokan Teratai Emas ini, bisa lebih dari dua ratus orang. Setangguh apa pun kepandaian yang dimiliki mereka bertiga, tidak akan mungkin menghadapi lawan sebanyak itu. Apalagi di antara mereka ada lima tokoh persilatan yang pernah menguasai daerah selatan. Bayu merasa itu hanya mimpi belaka.

"Apa yang akan kalian lakukan sekarang?" tanya Bayu setelah cukup lama terdiam.

"Yaaah..., tunggu sampai mereka lengah," sahut Wulan seraya mengangkat bahunya sedikit

"Kalian sudah cukup banyak berbuat Sebaiknya tinggalkan saja mereka," kata Bayu lagi menyarankan.

"Apa...?! Tidak...!" sentak Wulan dengan mata mendelik. "Kau pikir semua ini akan berakhir begitu saja, selama mereka masih hidup...? Tidak! Aku tak akan berhenti sebelum mereka semua kuhancurkan!"

"Benar, Kakang. Semua yang sudah kami lakukan tidak akan berhenti sebelum mereka semua lenyap dari muka bumi ini. Kami sudah berjanji untuk mem-balas dendam kematian istri guru kami. Tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi," sambung Perbawa membela Wulan Untari.

"Tapi kalian tidak mungkin menghadapi mereka semua hanya berdua saja. Pikirkan itu...!" kata Bayu menyarankan.

"Itulah yang sedang kami pikirkan, Kakang. Harus ada cara yang tepat untuk menghancurkan mereka semua," kata Wulan Untari.

"Lalu, apa rencanamu?" tanya Bayu.

Wulan tidak langsung menjawab. Dia hanya mengangkat bahunya sedikit.

"Aku akan menyelidiki dulu kekuatan mereka malam nanti," kata Perbawa.

"Sudah jelas kekuatan mereka lebih dari dua ratus orang. Apa lagi yang akan kau selidiki, Perbawa...?" ujar Bayu menegaskan.

"Paling tidak, malam nanti aku bisa mengurangi sedikit jumlah mereka. Aku akan terus bergerak dengan sembunyi-sembunyi, sampai kekuatan mereka benar-benar berkurang dan bisa ditembus dengan mudah," sahut Perbawa mengemukakan rencananya.

"Lalu..., kau sendiri bagaimana, Wulan?" tanya

Bayu sambil menatap pada Wulan Untari.

"Mungkin sama seperti yang Kakang Perbawa lakukan. Tapi aku bergerak dari arah lain," sahut Wulan Untari langsung menyetujui rencana Perbawa.

Bayu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dalam rimba persilatan, tindakan yang mereka rencanakan itu bisa dikatakan pengecut. Memang tidak ada jalan lain bagi Sepasang Bangau Putih untuk mengurangi kekuatan lawan. Namun Bayu tidak ingin nama Sepasang Bangau Putih rusak hanya karena mengikuti rasa dendam di hati guru mereka, yang terbawa sampai mati tanpa dapat melaksanakan pembalasan-nya.

"Kalau kalian setuju, aku punya rencana yang tak akan merusak nama kalian berdua," kata Bayu.

"Apa rencanamu, Kakang...?"


***


"Edan...! Kau akan biarkan begitu saja murid-muridnya? Membiarkan mereka tetap hidup berkeliaran dan melakukan kejahatan dengan bebas...? Tidak! Aku tak akan membiarkan itu terjadi, Kakang," sentak Wulan Untari begitu mendengar rencana yang diutarakan Bayu.

"Tapi dengan menantang pemimpin mereka, nama kalian bisa lebih harum lagi," kata Bayu beralasan.

"Maaf, Kakang...," selak Perbawa. "Kami berdua harus melenyapkan mereka tanpa sisa. Dan itu sesuai dengan apa yang sudah mereka lakukan pada guru kami serta murid-muridnya. Hanya Ki Sarpakenaka waktu itu masih bisa menyelamatkan diri. Sedangkan istri, anak-anak serta semua murid-nya mereka bantai tanpa ampun lagi. Jadi semua yang sudah kami lakukan berdua, sesuai dengan perbuatan mereka, Kakang."

"Dendam tidak akan menyelesaikan masalah," ujar Bayu pelan.

"Karena itu, Kakang. Kalau membiarkan satu orang muridnya saja tetap hidup, persoalan ini tak akan selesai. Kami berdua sudah berjanji tak akan lagi berpetualang dalam dendam kalau mereka sudah lenyap semuanya," kata Perbawa lagi.

"Jadi kalian tetap akan melaksanakan...?" tanya Bayu ingin ketegasan.

"Benar," sahut Perbawa mantap.

"Dengan mempertaruhkan nama baik kalian...?" tegas Bayu lagi.

Sepasang Bangau Putih itu mengangguk dengan mantap. Bayu tidak bisa lagi berbuat apa-apa. Dan hanya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kuat. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk melunakkan hati Sepasang Bangau Putih. Dendam guru mereka sudah terbawa sampai ke relung hati yang paling dalam dan mendarah daging. Sehingga sulit untuk bisa dipisahkan lagi. Dengan cara apa pun, mereka tetap akan membalaskan dendam sang Guru.

Tidak ada yang dapat dibicarakan lagi. Mereka terdiam bergelut dengan pikiran masing-masing. Sementara Perbawa sudah kembali memperhatikan barftjunan Padepokan Teratai Emas yang seperti sebuah benteng pertahanan, terjaga ketat itu. Diakui, memang tidak mudah untuk menembus ke dalam sana. Terlebih lagi beberapa perguruan sudah bergabung menjadi satu, hingga kekuatan yang ada dalam padepokan itu demikian besar.

Bayu kini duduk di samping Wulan Untari. Gadis itu masih asyik bermain dengan Tiren. Digelitiknya perut monyet itu hingga bergulingan di atas rerumputan sambil mencerecet ribut. Wulan baru berhenti bercanda dengan Tiren saat Bayu menepuk lembut pundaknya. Dia mengambil monyet kecil itu, dan ditaruh di pangkuannya.

"Bagaimana kau bisa menjadi murid Ki Sarpakenaka, Wulan?" tanya Bayu dengan suara pelan, hingga Perbawa yang berada cukup jauh tidak mendengar.

"Aku menemukannya sudah hampir mati, dengan luka-luka yang parah. Aku merawatnya sampai dia sembuh. Tapi aku tak bisa menyembuhkan kelumpuhan pada kedua kakinya, hingga dia tidak bisa jalan lagi," ujar Wulan menceritakan pertemuan-nya dengan Ki Sarpakenaka.

"Kau tahu kenapa dia sampai terluka begitu?" tanya Bayu lagi.

"Ya, dia menceritakan padaku," sahut Wulan Untari.

"Lalu...?"

"Setelah sembuh, dia memintaku untuk mencari seorang muridnya yang sedang mengembara. Aku melaksanakan semua perintahnya. Aku bertemu dengan Kakang Perbawa dan membawanya pulang pada gurunya. Semula Kakang Perbawa ingin langsung membalas kekalahan gurunya. Tapi Ki Sarpakenaka tidak mengizinkan. Akhirnya kami berdua diberi jurus-jurus Sepasang Bangau Putih. Juga pedang ini...," sambung Wulan menyentuh pedang di pundaknya.

Bayu mengangguk-anggukkan kepala. Dirinya kini baru mengerti, kenapa kepandaian yang dimiliki Wulan begitu pesat berkembang. Memang tidak mengherankan, karena gadis itu menemukan seorang tokoh sakti yang memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi. Dan Bayu tahu kalau kepandaian yang dimiliki Ki Sarpakenaka hanya berada setingkat di bawah kepandaian yang dimiliki gurunya sendiri.

Ki Sarpakenaka mungkin tidak akan sampai kalah begitu, kalau saja lawan-lawannya tidak bermain curang dan dikeroyok sepuluh orang yang ber-kepandaian tinggi. Bayu juga bisa mengerti kalau api dendam yang ada di dalam dada Perbawa tidak bisa dipadamkan begitu saja. Dia juga tidak akan mem-biarkan orang-orang yang sudah membuat gurunya cacat, hidup lebih lama lagi. Namun tindakan yang dilakukannya tidak seperti yang dilakukan Perbawa dan Wulan Untari sekarang ini. Mereka benar-benar menghancurleburkan semuanya tanpa seorang pun dibiarkan tetap hidup. Bahkan murid-murid yang tidak tahu persoalannya juga dihancurkan tanpa sisa.

"Aku sudah bersumpah untuk membantu Kakang Perbawa menghancurkan mereka. Bahkan Ki Sarpakenaka sendiri sudah berpesan, aku tidak boleh berpisah dengan Kakang Perbawa," sambung Wulan Untari.

Bayu tetap diam. Dia bisa mengerti semua yang dikatakan Wulan barusan. Dirinya tahu jurus-jurus Bangau Putih bisa lebih dahsyat lagi kalau dikerahkan secara bersamaan. Dan tidak bisa dilakukan oleh satu orang, karena jurus itu memang harus berpasangan. Ki Sarpakenaka sendiri bisa dikalahkan oleh lawan-lawannya, karena mereka tahu kelemahan jurus Bangau Putih. Mereka membunuh istrinya lebih dulu, hingga jurus Bangau Putih yang dikuasai Ki Sarpakenaka tidak berarti. Akhirnya dengan mudah mereka bisa mengalahkannya.

"Aku sebenarnya berharap, kau bersedia membantuku menghadapi mereka, Kakang," ujar Wulan Untari dengan suaranya yang pelan, namun jelas sekali bernada mengharapkan kesediaan Pendekar Pulau Neraka.

Bayu tampak diam saja membisu. Entah apa yang ada di dalam hatinya saat ini.

"Wulan, sini...!" panggil Perbawa tiba-tiba.

Wulan langsung beranjak bangkit berdiri, dan menyerahkan Tiren pada Pendekar Pulau Neraka. Bergegas dia menghampiri pemuda itu. Perbawa langsung menunjuk, begitu Wulan berada dekat di sampingnya. Sementara Bayu hanya memperhatikan tanpa berkeinginan mendekati mereka. Dia me-masang pendengarannya dengan tajam, agar bisa mendengar apa yang dibicarakan Sepasang Bangau Putih.

"Mereka tentu akan mencari kita, Kakang," kata Wulan pelan, seperti berbisik.

"Aku akan menghadang mereka," kata Perbawa mantap.

"Kau sanggup sendiri saja?" tanya Wulan.

"Paling hanya dua puluh orang, Wulan."

"Tapi hati-hati, Kakang. Mungkin itu hanya jebakan saja," Wulan memperingatkan.

Pada saat itu, keluar lagi satu kelompok yang berjumlah sekitar dua puluh orang. Mereka bergerak dengan arah yang berlawanan dengan kelompok yang pertama.

"Itu bagianku, Kakang," ujar Wulan langsung dengan bibir tersenyum. "Kita tunggu dulu sampai mereka cukup jauh dari benteng itu," kata Perbawa.

Sepasang Bangau Putih tampak tersenyum, melihat dua kelompok yang masing-masing berjum-lah sekitar dua puluh orang keluar dari lingkungan padepokan. Kedua kelompok itu bergerak menuju arah yang berlawanan. Entah apa maksud mereka keluar dari padepokan. Mungkin memang benar dugaan Wulan Untari barusan. Mereka memang sengaja keluar mencari Sepasang Bangau Putih. Atau hanya suatu jebakan untuk memancing Sepasang Bangau Putih keluar dari persembunyiannya.

"Ayo, Kakang! Kita bergerak sekarang," ajak Wulan Untari.

"Hup...!"
"Hap!"

Tanpa membuang-buang waktu mereka langsung saja melesat dengan cepat, ke arah tujuannya masing-masing. Dan pada saat itu Bayu segera mengambil alih tempat mereka tadi berdiri. Dari tempat yang agak tinggi ini, dia bisa melihat dengan jelas, Sepasang Bangau Putih bergerak terpisah, menghampiri dua kelompok lawan yang juga terpisah dengan arah berlawanan. Namun pada saat itu juga.... "Heh...?!"


***


Apa yang disaksikan Bayu, membuat kedua bola matanya terbeliak lebar, seperti melihat ribuan hantu yang akan menghancurkan dunia ini. Bersamaan dengan melesatnya Sepasang Bangau Putin, dari dalam padepokan keluar empat orang tokoh persilatan yang sedang mereka kejar. Keempat orang itu memisahkan diri ke arah yang berbeda. Dan pada saat itu juga, sekitar tiga puluh orang yang dipimpin langsung oleh Ki Denggis bergerak menuju ke arah Pendekar Pulau Neraka berdiri.

"Gila...! Rupanya mereka lebih cepat bertindak. Ini bisa berbahaya bagi Wulan dan Perbawa. Tidak..."

Bayu tidak bisa lagi berpikir lebih jauh. Saat itu Ki Denggis yang diikuti sekitar tiga puluh orang sudah dekat dengannya. Mendadak orang tua itu berteriak memberi perintah untuk menyerang Pendekar Pulau Neraka. Hal itu membuat Bayu tidak sempat lagi memperhatikan Wulan Untari dan Perbawa yang juga terkejut melihat kedatangan dua orang buruan mereka masing-masing ke tempat yang berbeda dan berjarak sangat jauh.

"Seraaang...! Bunuh dia...!" teriak Ki Denggis memberi perintah menyerang Pendekar Pulau Neraka.

"Hiyaaa...!" "Yeaaah...!"

"Nguk! Craaakh...!"

"Menjauh dariku, Tiren!" seru Bayu.

"Nguk!"

Tiren langsung melompat turun dari pundak Pendekar Pulau Neraka. Dia segera berlari menjauh, dan naik ke pohon. Sementara Bayu sendiri sudah harus berlompatan, menghindari serangan-serangan yang datang bagai ombak di lautan. Serangan-serangan itu demikian gencar, membuat Bayu tidak punya kesempatan sedikit pun untuk memberikan serangan balasan. Sedangkan Ki Denggis sendiri selalu mencari kesempatan untuk menghantamkan pukulannya di saat pemuda berpakaian kulit harimau itu sibuk menghindari serangan-serang-an mereka.

Di tempat lain, Wulan Untari juga tengah kewalahan menghadapi gempuran dahsyat, dari dua puluh orang murid Padepokan Teratai Emas yang ditambah dua orang tokoh persilatan pimpinan mereka. Keadaan yang sama pun dialami Perbawa. Mereka benar-benar tidak sempat menghindari je-bakan itu. Tidak mungkin lagi bagi keduanya untuk menyatu, karena jarak mereka sangat berjauhan. Akhirnya mereka terpaksa menghadapi lawannya masing-masing seorang diri. Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus menggunakan Cakra Maut untuk bisa keluar dari keroyokan yang cukup banyak itu.

Jeritan-jeritan panjang melengking dan menyayat pun seketika terdengar saling sambung. Dan baru beberapa saat saja pertarungan itu berlangsung, Bayu sudah merobohkan lebih dari sepuluh orang lawannya. Sementara Ki Denggis semakin mem-perhebat serangan-serangannya. Dia selalu mencari kelengahan Pendekar Pulau Neraka. Namun tampak-nya tidak mudah untuk memasukkan serangannya, karena setiap gerakan yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka memang sulit diduga dan hampir tidak terlihat dengan pandangan mata biasa.

Satu persaru Bayu berhasil merobohkan lawanlawannya. Hingga akhirnya tinggal sekitar lima orang ditambah dengan Ki Denggis yang mulai kelihatan gentar. Namun tiba-tiba terdengar suara genderang dipukul bertalu-talu dari arah bangunan Padepokan Teratai Emas.

"Cepat tinggalkan dia...!" teriak Ki Denggis tiba-tiba.

"Hup! Yeaaah...!"

Tanpa membuang waktu lagi, Ki Denggis langsung melesat meninggalkan Pendekar Pulau Neraka dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Kelima orang anak buahnya yang tersisa tidak sempat mengikuti. Karena dengan gerakan yang begitu cepat, Bayu memberikan pukulan-pukulan beruntun dan mengandung tenaga dalam. Seketika lima orang itu menjerit keras, dan ambruk dengan nyawa melayang.

"Keparat...!"

Bayu menggeram melihat Ki Denggis sudah masuk kembali ke dalam benteng Padepokan Teratai Emas. Dan dia jadi tersentak kaget setengah mati, begitu melihat Wulan terseret masuk ke dalam benteng itu. Sementara Perbawa tampak menggeletak di antara mayat-mayat lawannya. Dari tempat itu lawan yang masih hidup bergerak cepat masuk kembali ke benteng padepokan.



"Hup!"

Pendekar Pulau Neraka bergegas menghampiri Perbawa yang sudah berlumuran darah, tapi tampak masih bergerak. Sebentar saja Bayu sudah sampai. Dia langsung mendekati Perbawa yang masih bergerak hidup.

"Oh...?!"

Bayu terkejut setengah mati, melihat hampir sekujur tubuh Perbawa sudah terluka. Darah mengalir deras dari luka-luka yang menganga. Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka mengangkat dan membawa pergi dari tempat itu. Dan pada saat Bayu melesat, Perbawa terkulai pingsan.

Bayu membawa Perbawa ke tempat yang cukup jauh dan aman dari jangkauan orang-orang Teratai Emas, yang kini dibantu oleh tiga padepokan sahabatnya. Dia merebahkan tubuh pemuda itu di atas rerumputan yang cukup tebal, di bawah pohon rindang. Sehingga terlindung dari sengatan sinar matahari yang sudah condong ke arah barat.

Bayu memberikan totokan di beberapa bagian tubuh Perbawa. Darah yang semula mengalir pun seketika terhenti. Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka bekerja merawat luka-luka di tubuh Perbawa. Dia juga menyalurkan hawa mumi untuk membantu Perbawa mengembalikan tenaga dalamnya. Sehingga dapat bertahan, meskipun luka-luka yang dideritanya cukup parah.

"Aku akan membawamu pada tabib, Perbawa. Kau harus sembuh...," ujar Bayu dengan suara berdesis di telinga Perbawa.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera membawa pemuda itu. Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna tingkatan-nya, Pendekar Pulau Neraka bergerak dengan cepat menuruni lereng Bukit Angsa. Dia tidak ingat pada monyet kecil sahabatnya yang ditinggalkan di puncak bukit itu. Bayu terus berlari menuruni lereng bukit membawa Perbawa yang teriuka cukup parah.


***


ENAM

Sementara itu di dalam lingkungan Padepokan Teratai Emas, tubuh Wulan Untari telah diikat pada tongkat kayu, tepat di tengah-tengah halaman padepokan yang sangat luas. Tampak wajahnya sudah sembab membiru, akibat terkena beberapa pukulan. Dan di sudut bibirnya darah kering masih melekat. Baju yang dikenakannya juga sudah terkoyak. Sehingga beberapa bagian tubuhnya yang berkulit putih mulus terlihat, membuat puluhan pasang mata yang ada di dalam padepokan itu tidak berkedip memandanginya.

Kepala gadis itu terkulai, seakan dia sudah tidak bernyawa lagi. Hanya gerakan perlahan dadanya yang menandakan Wulan masih hidup. Saat itu dari dalam bangunan besar yang merupakan bangunan utama Padepokan Teratai Emas, keluar Nyai Kantil bersama Ki Denggis dan tiga orang tua lainnya. Diikuti sekitar sepuluh orang laki-laki bertubuh tegap, yang merupa-kan sepuluh orang murid andalan Nyai Kantil, Ketua Padepokan Teratai Emas. Mereka melangkah meng-hampiri Wulan yang terikat dengan kepala terkulai di tonggak kayu. Sementara itu matahari sudah hampir tenggelam di balik peraduannya. Cahayanya yang redup, seakan ikut merasakan penderitaan yang dialami Gadis Seribu Nama ini.

Nyai Kantil menunjuk ember kayu yang ada di depan Wulan Untari. Seorang muridnya langsung menghampiri, dan mengambil ember kayu itu. Tanpa banyak bicara lagi, dia menumpahkan semua air di dalam ember itu ke tubuh Wulan. Membuat gadis itu jadi gelagapan setengah mati. Dia langsung meringis, merasa nyeri pada seluruh tubuhnya yang penuh luka tersiram air dingin ini. Namun sesaat saja sinar matanya sudah menyorot tajam pada orang-orang tua yang berada tepat di depannya.

"Siapa namamu, Cah Ayu...?" tanya Ki Denggis.

Wulan tidak langsung menjawab. Ditatapnya laki-laki tua itu dengan sinar mata yang tajam. Kemudian memandangi yang lainnya. Di sebelah Ki Denggis berdiri Nyai Kantil. Dan di belakang mereka ada dua tiga orang lelaki tua lagi yang usianya mungkin sebaya dengan Ki Denggis. Wulan Untari tahu kalau mereka adalah Ki Tampul, Ki Balung, dan Ki Rampak. Semua memang satu kelompok dengan Ki Denggis dan Nyai Kantil. Dan mereka inilah yang menjadi buruan pembalasan dendam Ki Sarpakenaka.

"Siapa namamu, Nisanak...?" Ki Denggis me-ngulangi pertanyaannya lagi.

"Nama yang mana yang kau inginkan...?" balas Wulan ketus.

"Aku tanya namamu...," agak ditekan nada suara Ki Denggis.

"Banyak," sahut Wulan Untari smis. "Mana yang kau inginkan...? Untari, Cempaka, Wulan, Melati, atau kau ingin memberiku nama lain...? Aku tidak keberatan."

Kening Ki Denggis jadi berkerut mendengar jawaban gadis int. Sementara Nyai Kantil langsung tahu kalau gadis ini tentu yang dikenal dengan nama julukan si Gadis Seribu Nama. Dan dia jadi ingat dengan peristiwa di Bukit Setan. Nyai Kantil langsung membisikkannya pada Ki Denggis. Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepala dengan senyuman lebar terkembang di bibirnya. Entah apa arti senyumannya itu.

"Kau tentu si Gadis Seribu Nama. Benar...?" ujar Ki Denggis dengan bibir masih menyunggingkan senyuman.

Wulan Untari hanya mencibirkan bibirnya. Tatapan matanya masih terlihat tajam, bersorot langsung ke bola mata Ki Denggis yang berada tepat di depannya.

"Kalau memang kau benar si Gadis Seribu Nama, itu berarti tidak ada lagi pengadilan di sini. Kau tahu apa maksudku...?" ujar Ki Denggis lagi.

Wulan masih tetap diam membisu dengan tatapan mata yang tajam sekali, bersorot langsung ke bola mata laki-laki tua di depannya ini. Namun sebentar kemudian dia menatap dengan bola mata berapi-api pada Nyai Kantil yang tadi mengenalinya lebih dulu. Wulan yakin kalau perempuan tua ini ada ketika dia hampir mati dan temoda di Bukit Setan. Hanya saja dia tidak sempat mengenalinya waktu itu.

"Bagaimana...?" tanya Ki Denggis meminta pendapat pada yang lainnya.

"Ya.... Bagaimana lagi...?" desah Nyai Kantil sambil mengangkat bahunya.

"Dia bisa menjadi duri dalam daging kita, Kakang. Sudah pantas kalau dia mendapat hukuman mati," selak Ki Balung.

Ki Denggis mengangguk-anggukkan kepala dengan bibir tersenyum menatap gadis di depannya. Kemudian dia memutar tubuh berbalik, dan melangkah pergi meninggalkan si Gadis Seribu Nama. Namun baru beberapa langkah, terdengar perintahnya pada murid-murid Padepokan Teratai Emas.

"Kalian boleh lakukan apa saja padanya, sebelum dia mendapat hukuman besok pagi," kata Ki Denggis.

Seketika itu juga seluruh wajah Wulan Untari berubah pucat pasi seperti mayat. Dia tahu apa yang dimaksudkan Ki Denggis barusan. Terbayang lagi peristiwa di Bukit Setan. Wulan tidak ingin peristiwa itu terulang lagi sekarang. Dan dia sadar tidak ada lagi keajaiban seperti yang pernah dialaminya dulu, hingga dirinya tetap suci dan bertahan hidup sampai sekarang.

"Keparat kau, Denggis! Akan kubunuh kau...!" teriak Wulan memaki.

"Ha ha ha...!"

Ki Denggis hanya tertawa terbahak-bahak, seakan tidak menghiraukan makian gadis itu. Dia terus berjalan ke dalam bangunan besar padepokan, diikuti Nyai Kantil dan yang lainnya. Sementara itu puluhan laki-laki sudah mengelilingi Gadis Seribu Nama. Pandangan mata mereka begitu liar, melahap seluruh tubuh yang sudah sebagian terbuka, dengan pakaian yang tercabik akibat pertarungan tadi. Kulit tubuh Wulan yang putih dan halus, membuat tenggorokan mereka turun naik menahan gejolak nafsu yang seketika itu juga menggelegar liar. Melihat mereka sudah begitu dekat, seluruh tubuh Wulan merasa bergidik. Dan wajahnya semakin pucat seperti mayat. Suara-suara tawa penuh mengejek terus terdengar di telinganya.

"Kubunuh kalian kalau berani menyentuhku...!" bentak Wulan mengancam.

Namun dalam keadaan tubuh terikat seperti ini, tentu saja ancamannya hanya disambut dengan seringai dan tawa terkekeh. Wulan sadar kalau ke-adaannya memang tidak menguntungkan dirinya sama sekali. Dan dia tahu, tidak akan ada lagi keajaiban yang bisa menolongnya dari kesulitan ini Dia merasa lebih baik langsung mati, daripada harus ternoda dan terhina seperti ini. Dia tidak rela tangan-tangan mereka menjamah tubuhnya. Namun apa daya, tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Sementara mereka sudah semakin mendekat dengan sinar mata penuh nafsu yang membara tanpa dapat dibendung lagi.

Kini, Wulan hanya bisa berharap ada satu keajaiban lagi yang membantunya melepaskan diri dari siksaan yang bakal dialami. Dia tidak sanggup lagi memandang mereka yang sudah dirasuki hawa nafsu menggejolak membara di dalam dada. Pandangan yang liar menjilati sekujur tubuh yang sudah terkoyak pakaiannya. Wulan benar-benar tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Hatinya sudah pasrah, apa pun yang akan terjadi.

Namun pada saat yang sangat kritis itu, tiba-tiba saja...

"Craaakh...!"

"Oh...?!"


***


Wulan tersentak kaget, ketika tiba-tiba terdengar suara nyaring yang sudah dikenalnya dengan baik. Belum sempat ada seorang pun yang bisa menyadari, tahu-tahu sudah terlihat sebuah bayangan hitam kecil meluruk deras dari atas. Dan langsung hinggap pada tonggak kayu yang mengikat Gadis Seribu Nama ini dengan tambang yang cukup besar. Wulan melirik sedikit dengan kepala menoleh ke belakang.

"Tiren...," desisnya, begitu melihat seekor monyet tengah menggigit tambang yang mengikat tubuhnya.

Gigi-gigi Tiren yang tajam dan bertaring, dengan mudah memutuskan tambang itu, hingga WuIan terlepas dari ikatannya. Tanpa banyak membuang waktu lagi, Wulan segera melompat menerjang dua orang laki-laki yang berada tepat di depannya. Dua kali pukulannya dilepaskan dengan kecepatan tinggi, disertai pengerahan tenaga dalam yang masih tersisa. Begitu cepat terjangannya, sehingga dua orang itu tidak sempat lagi bergerak.

Begkh!
Des!
"Akh...!"
"Aaaa...!"

Keduanya menjerit melengking, begitu dada dan kepala mereka terkena pukulan yang keras dan bertenaga dalam.

"Hup! Hiyaaa...!"

Tanpa membuang-buang waktu, Wulan langsung melentingkan tubuhnya ke atas dengan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatannya. Dan gadis itu langsung meluruk deras ke belakang orang-orang yang sudah mau mengeroyoknya. Begitu kakinya menyentuh tanah, dengan cepat sekali dia melesat tinggi ke atas. Langsung naik ke pagar benteng yang mengelilingi padepokan.

Dua orang yang berada di atas pagar benteng itu tersentak kaget setengah mati. Mereka tidak sempat berbuat sesuatu. Wulan sudah memberikan pukulan-pukulan beruntun yang begitu cepat, disertai dengan pengerahan tenaga dalam. Seketika kedua orang yang memegang busur itu terbanting jatuh dengan keras sekali, disertai suara jeritan melengking dan menyayat hati. Sementara Wulan sempat melihat Tiren sudah naik ke atas pagar dengan tangkas sekali. Monyet kecil itu langsung melompat keluar melalui dahan pohon yang menjuntai melewati pagar benteng padepokan itu.

"Akan kuhancurkan kalian semua! Hiyaaa...!"

Sambil membentak nyaring, Wulan langsung melompat keluar dari atas pagar benteng padepokan. Ringan sekali kedua kakinya menjejak tanah diluar benteng. Dia langsung berlari cepat dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi, menjauhi padepokan itu. Sementara dari atas pohon, Tiren terus mengikuti melalui dahan pohon yang satu ke dahan pohon lainnya. Begitu ringan gerakan monyet kecil itu. Sehingga dalam waktu sebentar saja dia sudah jauh meninggalkan benteng Padepokan Teratai Emas. Sedangkan Wulan terus berlari dengan kecepatan tinggi, menembus hutan yang cukup lebat di puncak bukit itu.

Berhasilnya Wulan melepaskan diri, membuat keadaan di dalam lingkungan Padepokan Teratai Emas gempar. Ki Denggis yang mendapat laporan jadi berang setengah mati. Bahkan Nyai Kantil memarahi semua muridnya. Tidak ada yang bisa dilakukan mereka, kecuali berusaha mengejar si Gadis Seribu Nama itu keluar dari benteng padepokan. Tapi mana mungkin bisa terkejar? Wulan sudah begitu jauh pergi masuk ke dalam hutan. Jejaknya pun tidak terlihat lagi, karena saat itu matahari sudah tenggelam di balik peraduannya. Sehingga pencarian mereka hanya pekerjaan sia-sia belaka.

Lolosnya Wulan tidak hanya menimbulkan kegeraman di hati Ki Denggis, melainkan juga membuat mereka gelisah. Terlebih lagi mereka tidak menemukan tubuh Perbawa di tempatnya, yang mereka tinggalkan dengan tubuh terluka parah. Nyai Kantil langsung memberi perintah pada murid-muridnya untuk mengadakan penjagaan lebih ketat lagi. Bahkan Ki Balung, Ki Tampul, dan Ki Rampak juga memerintahkan para muridnya untuk memperkuat pertahanan Padepokan Teratai Emas. Ki Denggis sendiri memutuskan untuk tetap mencari Wulan di sekitar bagian luar padepokan. Dia merasa yakin kalau gadis itu tidak bisa lagi berlari jauh dengan tubuh yang terluka. Dia tampaknya tidak menyadari kalau luka yang diderita Wulan tidak seberapa parah. Dan gadis itu sudah jauh berada di lereng Bukit Angsa bersama Tiren, sahabat kecil Pendekar Pulau Neraka yang membuat keajaiban bagi dirinya.


***


Di pinggir sebuah telaga di lereng Bukit Angsa, Wulan membersihkan darah kering yang melekat di tubuhnya. Dia juga mengganti pakaiannya yang sudah koyak. Dia memang membawa pakaian ganti disimpan di pelana kudanya yang ditinggalkan di tepi telaga itu. Namun pakaian penggantinya pun tetap berwarna putih.

Selesai membersihkan diri, Wulan melakukan semadi, ditemani Tiren yang duduk dekat di depannya. Monyet kecil itu tampak diam saja memperhatikan Wulan melakukan semadi untuk memulihkan kembali tenaga dan kekuatannya yang berkurang jauh, akibat pertarungannya sore tadi.

Sementara itu Pendekar Pulau Neraka sudah berada kembali di puncak Bukit Angsa. Dia berada tidak jauh dari bangunan Padepokan Teratai Emas yang seperti benteng pertahanan. Entah sudah berapa lama dia mengamati keadaan di sekitar padepokan itu. Tujuannya sudah pasti, akan mem-bebaskan Wulan Untari yang ditawan di dalam sana. Dirinya tidak tahu kalau Gadis Seribu Nama itu sudah keluar ditolong Tiren.

Ketika Pendekar Pulau Neraka baru saja mau melangkah mendekati bangunan Padepokan Teratai Emas, tiba-tiba saja....

"Apa yang kau cari di sini, Kisanak...?"

"Heh...?!"

Pendekar Pulau Neraka terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara berat dari arah belakang. Dan belum sempat dia memutar tubuhnya berbalik, tahu-tahu sudah terasa desiran angin kencang dari belakang. Bayu tidak sempat lagi menyadari apa yang terjadi. Tahu-tahu satu pukulan keras dan bertenaga dalam tinggi sudah menghantam punggungnya.

Diegkh!
"Akh...!"

Pendekar Pulau Neraka tersungkur jatuh mencium tanah. Tubuhnya bergulingan beberapa kali hingga menumbangkan dua batang pohon. Namun cepat dia bisa bangkit berdiri dan memutar tubuhnya berbalik. Pada saat itu juga, sebuah bayangan berkelebat begitu cepat menerjangnya.

"Haiiittt...!"

Cepat Bayu memiringkan tubuh ke kanan, hingga terjangan bayangan itu tidak sampai mengenainya. Dengan cepat Bayu mengibaskan tangan kiri, men-coba untuk menghantam bayangan yang lewat di sebelah kirinya. Namun hantamannya lewat tanpa mengenai sasaran sedikit pun. Pemuda berambut gondrong itu cepat memutar tubuh berbalik, tepat di saat bayangan yang menyerangnya juga berputar balik menghadapinya.

"Ki Denggis...," desis Bayu langsung mengenali orang itu.

"Mau apa kau datang ke sini?" bentak Ki Denggis.

"Aku mau bebaskan Wulan," sahut Bayu tegas.

"Ha ha ha...!" Ki Denggis tertawa terbahak-bahak.

Suara tawanya begitu keras menggelegar, mem-buat telinga Bayu terasa pekak seakan hendak pecah. Bayu bisa merasakan kalau suara tawa itu disertai dengan pengerahan tenaga dalam, hingga dia terpaksa harus melawannya dengan pengerahan tenaga dalam juga.

"Dia sudah mampus! Dan kau datang juga mengantarkan nyawa!" bentak Ki Denggis lantang.

"Keparat...! Kau harus menebus nyawanya...!" dengus Bayu geram, mendengar Wulan Untari sudah mati di padepokan itu.

"Ha ha ha...!"

Ki Denggis hanya tertawa terbahak-bahak. Seakan dia merasa menang sudah membuat Pendekar Pulau Neraka jadi berang. Bayu memang marah mendengar Wulan Untari sudah mati. Wajahnya langsung memerah. Namun Pendekar Pulau Neraka ternyata tidak mudah terpancing begitu saja. Walau hatinya sudah membara, dia tetap benlsaha tenang.

"Kedatanganmu akan menemaninya di neraka, Bocah...!" desis Ki Denggis dingin menggetarkan.

Bayu hanya diam dengan geraham bergemeletuk menahan geram. Dia tetap menunjukkan ketenangan, walau Ki Denggis sudah berusaha keras memancing kemarahannya.

Melihat Pendekar Pulau Neraka tetap bersikap tenang, wajah Ki Denggis tampak meregang kaku menahan geram.

"Mampus kau, Bocah Keparat! Hiyaaattt...!"

Sambil membentak keras, Ki Denggis melesat cepat bagai kilat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Satu pukulan yang sangat keras dan bertenaga dalam tinggi langsung dilepaskan tepat mengarah ke dada pemuda berbaju kulit harimau itu. Namun sedikit pun Bayu tidak terlihat berusaha menghindari. Begitu pukulan tangan kanan orang tua itu hampir menghantam dadanya, tiba-tiba saja Bayu meng-angkat tangan kanan ke depan dada. Hingga...

Plak!
"Akh...!"


***


Ki Denggis terpekik, saat pukulannya menghantam pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Di pergelangan tangan kanan pemuda itu menempel Cakra Maut yang menjadi senjata andalannya. Sudah barang tentu Ki Dejiggis merasa seluruh tulang tangannya seperti remuk berpatahan menghantam senjata maut itu.

Dan belum sempat dia berbuat sesuatu, Bayu sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek dengan gerakan secepat kilat. Kecepatan tendangan geledek Pendekar Pulau Neraka itu tidak dapat lagi terlihat, hingga Ki Denggis sama sekali tidak dapat berkelit menghindarinya.

Buk!
"Ugkh...!"

Ki Denggis terbungkuk sambil mengeluarkan keluhan pendek, begitu tendangan dahsyat Pendekar Pulau Neraka menghantam tepat di perutnya. Bersamaan dengan itu Bayu melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam, menghantam telak wajah lawan.

Plak!
"Akh...!"

Untuk kedua kalinya Ki Denggis memekik kesakitan, begitu wajahnya seakan diremukkan dengan pukulan menggeledek Pendekar Pulau Neraka. Begitu kerasnya, hingga membuat orang tua itu terhuyung-huyung ke belakang. Tampak darah mengalir sangat deras dari kedua lubang hidung dan mulutnya.

Sementara Bayu sama sekali tidak memberi kesempatan pada lawan. Sambil membentak keras menggelegar, Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan kanannya, dengan tubuh agak membungkuk doyong ke kiri.

"Yeaaah...!"
Slap!

Seketika itu juga, Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan melesat dengan kecepatan bagai kilat. Sementara Ki Denggis sendiri belum bisa menguasai keadaan dirinya, hingga dia tidak dapat lagi menghindari sambaran senjata dahsyat berbentuk lempengan persegi enam itu.

Crabb!
"Aaaa...!"

Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar memecah kesunyian di puncak Bukit Angsa. Ki Denggis terhuyung-huyung ke belakang, dengan Cakra Maut membenam dalam di dadanya. Darah seketika muncrat, menyemburat dengan deras sekali, begitu Cakra Maut melesat keluar bersamaan dengan menghentaknya tangan Bayu ke atas kepala. Senjata itu kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.

Sementara Ki Denggis masih terhuyung-huyung memegangi dadanya yang beriubang dan berlumuran darah. Tidak lama kemudian, tubuhnya, ambruk dengan keras sekali menghantam tanah.

Dan hanya sebentar dia bergerak menggeliat meregang nyawa. Kemudian mengejang kaku, dan diam tidak bergerak-gerak lagi. Ki Denggis tewas seketika.

Jeritan Ki Denggis yang keras dan melengking sebelum tewas tadi, terdengar sampai ke dalam benteng Padepokan Teratai Emas. Semua orang yang ada di dalam bangunan seperti benteng itu jadi tersentak kaget. Dan mereka yang berada di atas pagar benteng melihat kematian Ki Denggis di tangan seorang pemuda berbaju kulit harimau, tidak jauh di sebelah kanan depan padepokan. Orang-orang itu berteriak keras memberitahu pemimpin mereka yang juga sudah keluar dari dalam bangunan utama padepokan, ketika mendengar jeritan panjang kematian Ki Denggis tadi.

Sementara Pendekar Pulau Neraka segera melesat dengan cepat, masuk kembali ke hutan, tepat di saat puluhan orang bersama Nyai Kantil dan tiga orang sahabatnya keluar dari dalam padepokan. Mereka langsung menuju ke tempat Ki Denggis bertarung dengan Pendekar Pulau Neraka.

Mereka tidak dapat lagi menahan kemarahan, mendapati Ki Denggis tewas dengan dada berlubang berlumuran darah. Pemimpin-pemimpin padepokan itu langsung memerintahkan para muridnya menyebar, mencari pembunuh Ki Denggis.

Tidak ada seorang pun yang berani membantah. Mereka segera melaksanakan perintah, walau di dalam hati mencuat kegentaran.


***


TUJUH

Tidak ada seorang pun yang menyadari kalau sebenarnya Bayu berputar mengelilingi bangunan Padepokan Teratai Emas. Sehingga kini dia sudah ada di bagian belakang bangunan itu. Bayu melihat kalau bagian belakang tidak terjaga dengan ketat. Tanpa banyak kesulitan, Pendekar Pulau Neraka melompat naik ke atas pagar benteng yang tinggi.

"Hup!"

Mengagumkan sekali ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Hanya sekali genjot, dia melesat tinggi ke atas, dan tahu-tahu sudah berada di atas pagar benteng padepokan. Hanya sebentar saja dia mengamati keadaan sekitarnya. Kemudian dengan gerakan yang ringan sekali, tubuhnya melompat turun dari atas pagar benteng. Sedikit pun tidak terdengar suara saat kedua telapak kakinya menjejak tanah. Bayu cepat merundukkan tubuh, ketika melihat dua orang berjalan dari arah samping bangunan utama padepokan menuju ke bagian belakang.

"Hep!"

Kembali Bayu melesat dengan kecepatan tinggi sekali. Sehingga, tahu-tahu dirinya sudah berada di belakang kedua orang penjaga itu. Sebelum ada yang menyadari, Bayu sudah memberikan satu totokan tepat pada tengkuk mereka, hingga tanpa bersuara lagi, kedua orang itu ambruk tidak sadarkan diri. Sebentar Bayu mengamati keadaan sekitarnya. Kemudian dia kembali melentingkan tubuh ke atas, langsung hinggap di atas atap bangunan utama Padepokan Teratai Emas.

Saat itu juga kening Bayu jadi berkerut. Dia melihat di tengah-tengah halaman depan padepokan terdapat sebatang tonggak dengan tambang yang menggeletak di sekitarnya. Di sekitar tonggak itu juga banyak terdapat tumpukan ranting kering. Sepertinya padepokan ini sedang mempersiapkan sebuah hukuman bakar hidup-hidup. Namun tidak ada seorang pun yang terikat pada tonggak kayu itu.

"Hm..., apakah Wulan bisa menyelamatkan diri? Siapa yang menyelamatkannya...?" pikir Bayu, bertanya-tanya sendiri di dalam hati. "Atau mungkin mereka mengurungnya di tempat lain...?"

Bayu berpikir keras mencari segala kemungkinan yang terjadi pada diri si Gadis Seribu Nama itu. Beberapa saat dia masih mengedarkan pandangan berkeliling, merayapi keadaan sekitarnya yang terjaga dengan ketat di bagian depan.

"Hm, sebaiknya aku periksa dulu seluruh tempat di sini selagi masih malam," gumam Bayu bicara sendiri di dalam hati.

Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Pulau Neraka langsung bergerak seperti seekor kucing, memeriksa setiap bagian di lingkungan padepokan yang seperti benteng pertahanan ini. Dengan ilmu meringankan tubuh yang dikuasainya, membuat setiap gerakan langkahnya tidak menimbulkan suara sedikit pun. Sehingga tidak ada seorang pun penjaga yang mengetahuinya.

Bayu bergerak cepat memeriksa sampai ke bagian dalam bangunan utama, dan beberapa bangunan lainnya yang ada di lingkungan benteng Padepokan Teratai Emas. Sudah seluruh bagian ditelitinya, tapi Bayu tidak juga menemukan di mana adanya Wulan Untari. Kini dia kembali ke bagian belakang padepokan. Kemudian melesat keluar melompati pagar benteng yang tinggi dan kokoh itu. Keadaan yang gelap, membuat gerakan Pendekar Pulau Neraka bisa lebih leluasa. Sebentar saja dirinya sudah berada di luar padepokan.

"Aku yakin Wulan sudah bisa menyelamatkan diri," gumam Bayu bicara pada diri sendiri, setelah berada di luar lingkungan benteng padepokan.

Beberapa saat dia memperhatikan padepokan yang masih tenaga cjengan ketat itu. Kemudian dia mengayunkan kaki meninggalkan Padepokan Teratai Emas. Cepat sekali dia berjalan, karena meng-gunakan ilmu meringankan tubuh. Sehingga sebentar saja dia sudah jauh dari padepokan milik Nyai Kantil itu.

Sementara itu Nyai Kantil memerintahkan murid-muridnya membawa masuk mayat Ki Denggis. Kemudian bersama ketiga sahabatnya dia membicarakan keadaan yang semakin terasa memburuk. Mereka merasa bahwa keadaan seperti ini tidak akan cepat berakhir, sebelum Sepasang Bangau Putih bisa dilenyapkan untuk selamanya. Dan sekarang ini, tidak diketahui di mana mereka berada. Meski begitu, tokoh-tokoh tua itu merasa sedikit lega, karena sudah bisa membuat lawan-lawan mereka terpencar-pencar. Nyai Kantil sudah tahu kalau kedua anak muda itu adalah murid Ki Sarpakenaka, yang memiliki ilmu Bangau Putih. Mereka, juga tahu kelemahannya, hingga memisahkan keduanya untuk mendapatkan kelemahan ilmu Bangau Putih itu.

Sedangkan Bayu yang merasa yakin kalau Wulan Untari sudah selamat dari tangan musuh-musuhnya, berusaha mencari gadis itu di sekitar puncak Bukit Angsa. Bahkan dia terus mencari sampai ke lereng bukit. Namun sampai jauh malam, tidak juga dia bisa menemukan jejak si Gadis Seribu Nama itu. Wulan seakan lenyap tertelan bumi di malam yang gelap tanpa bulan dan bintang ini. Bayu tetap mencari gadis itu di sekitar lereng Bukit Angsa. Dia bertekad akan terus mencari sampai Wulan Untari ditemukan, meskipun hanya tinggal jasadnya. Tekad itu terus membara di dada Pendekar Pulau Neraka, hingga tidak peduli malam terus merambat semakin larut. Tidak peduli udara di seluruh bu itu sudah terasa begitu dingin menusuk sampai ke tulang.


***


Matahari baru saja muncul dari balik bukit. Cahayanya menerangi sekitar Bukit Angsa yang keli-hatan sunyi dan lengang. Sementara tidak jauh dari kaki bukit itu, Perbawa duduk bersila dengan sikap bersemadi di sebuah ruangan kecil, dalam sebuah pondok yang sederhana. Di depan pemuda itu duduk bersila seorang laki-laki tua berjubah putih yang sudah memutih semua rambut dan janggutnya. Orang tua itu tidak lepas memandangi Perbawa yang masih bersemadi memulihkan kekuatan dan tenaga di dalam tubuhnya.

Orang tua itu tampak tersenyum, saat melihat Perbawa membuka kelopak matanya. Dia langsung menyodorkan semangkuk air putih yang sejak tadi ada di depannya. Tanpa ragu-ragu lagi, Perbawa menerima mangkuk dari tanah Hat itu. Lalu meneguk habis semua air di dalamnya. Dia meletakkan mangkuk yang sudah kosong di atas balai bambu yang didudukinya.

"Terima kasih, Ki Marunta," ucap Perbawa.

"Bagaimana? Sudah enak kan tubuhmu...?" tanya orang tua yang bernama Ki Marunta itu.

"Aku merasa seperti hidup kembali dari kematian, Ki. Terima kasih, kau sudah menolong menyembuh-kan lukaku," sahut Perbawa.

"Syukurlah...! Aku senang kalau kau sudah sehat kembali," ujar Ki Marunta.

Perbawa melihat pakaiannya teronggok di sebelah-nya dalam keadaan sudah bersih. Ki Marunta ter-senyum melihat Perbawa mengambil pakaian dan langsung mengenakannya. Pedangnya disampirkan ke punggung. Pemuda itu turun dari balai bambu yang hanya beralaskan selembar tikar lusuh. Dia berlutut di depan Ki Marunta. Tapi orang tua itu cepat menyentuh pundak Perbawa dan membangunkannya.

"Tidak perlu kau bersikap begitu padaku, Perbawa. Aku senang kalau kau sudah sembuh dan pulih seperti sedia kala," kata Ki Marunta lembut.

"Di mana Kakang Bayu, Ki?" tanya Perbawa, begitu teringat dengan Pendekar Pulau Neraka yang membawanya ke tabib tua ini semalam.

"Dia kembali ke Bukit Angsa. Katanya mau membebaskan adikmu yang ditawan mereka," sahut Ki Marunta.

"Oh, Wulan.... Dia ditawan mereka...?"

Perbawa tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Dia tidak tahu kalau Wulan Untari ter-tangkap.

"Kau tunggu saja di sini sampai Bayu kembali," kata Ki Marunta.

"Tapi, Ki. Aku harus membantunya. Kekuatan mereka besar sekali," kata Perbawa.

"Aku kenal betul siapa Bayu.. Aku yakin dia tak akan berbuat gegabah menyelamatkan adikmu. Percayalah, dia pasti kembali bersama adikmu yang ditawan mereka!" kata Ki Marunta menyabarkan.

Walaupun perasaannya tidak bisa tenang, Perbawa tidak mau mengecewakan hati tabib tua yang sudah menolong nyawanya ini. Dia kembali duduk di tepi balai bambu. Namun Ki Marunta malah bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan yang berukuran kecil itu. Perbawa mengikutinya dari belakang. Keduanya langsung keluar dari gubuk kecil yang sangat sederhana itu. Mereka kemudian duduk di bangku yang terbuat dari bambu di depan rumah. Sebuah pohon beringin melindungi mereka dari sengatan sinar matahari.

"Sudah berapa lama kau kenal dengan Kakang Bayu, Ki?" tanya Perbawa setelah beberapa saat mereka terdiam.

"Lama juga...," sahut Ki Marunta tanpa memalingkan pandangannya sedikit pun dari puncak Bukit Angsa.

"Apakah dia seorang pendekar tangguh, Ki?" tanya Perbawa lagi, ingin tahu siapa sebenarnya pemuda, berbaju kulit harimau itu.

"Benar, Perbawa. Kepandaian yang dimilikinya sukar dicari tandingannya. Dan dia itu dikenal dengan nama Pendekar Pulau Neraka," sahut Ki Marunta menjelaskan.

"Pendekar Pulau Neraka...?" .

Lagi-lagi Perbawa terkejut, meskipun sebelumnya sudah tahu kalau pemuda berbaju kulit harimau itu Pendekar Pulau Neraka. Sebab kemarin Untari telah menjelaskannya tentang pendekar muda yang sangat disegani semua orang di kalangan rimba persilatan itu. Sering dia mendengar sepak terjang Pendekar Pulau Neraka, tapi baru kali ini dirinya yakin, setelah mendengar dari Ki Marunta, bahwa ternyata pendekar muda digdaya itu yang menyelamatkan nyawanya dari kematian di puncak Bukit Angsa. Pantas saja Ki Marunta begitu percaya pada Bayu, karena kemampuannya bisa diandalkan untuk menembus benteng pertahanan Padepokan Teratai Emas.

"Ki, itu mereka...!" seru Perbawa tiba-tiba.

Ki Marunta hanya tersenyum saja melihat Bayu berjalan sambil menggendong seorang gadis berbaju putih yang terkulai lemah seperti mati. Melihat keadaan Wulan seperti itu, Perbawa jadi terkesiap. Bergegas dia mengejar Pendekar Pulau Neraka. Perbawa langsung menggantikan Bayu menggendong Wulan dan membawanya ke pondok Ki Marunta.

"Dia masih hidup?" tanya Ki Marunta langsung, begitu kedua pemuda ini sampai di depannya.

"Masih, Ki," sahut Bayu.

"Bawa dia ke dalam, Perbawa!" pinta Ki Marunta.

Perbawa segera membawa Wulan Untari masuk ke pondok tabib tua ini. Sementara Bayu menunggu di luar bersama Tiren yang tetap berada di pundaknya. Tidak lama Perbawa keluar lagi. Dia langsung duduk di samping Pendekar Pulau Neraka.

"Untung kau cepat menyelamatkannya, Kakang. Tapi keadaannya tidak separah dari yang aku derita," kata Perbawa.

Bayu hanya menghembuskan napasnya panjang-panjang. Pandangannya tertuju lurus ke arah puncak Bukit Angsa. Perbawa juga terdiam membisu. Matanya juga memandang ke arah yang sama. Entah apa yang ada di dalam benak kedua pemuda itu.

Sementara Ki Marunta sibuk mengobati luka-luka yang diderita Wulan Untari di dalam pondoknya.


***


Dua hari Wulan Untari berada dalam perawatan tabib tua Ki Marunta. Keadaan gadis itu sudah kembali pulih seperti semula. Selama dua hari itu, Bayu pun terus menyelidiki keadaan di Padepokan Teratai Emas. Sedangkan Perbawa harus menunggui Wulan hingga gadis itu benar-benar pulih keadaannya. Dan setiap kali Bayu kembali ke pondok Ki Marunta, dia selalu mengatakan kalau Keadaan di puncak Bukit Angsa masih tetap sama. Bahkan penjagaannya semakin bertambah ketat. Bukan hanya di dalam saja, penjagaan juga dilakukan di luar bangunan padepokan yang seperti benteng pertahanan itu.

"Lalu, bagaimana kita menembusnya...?" tanya Wulan Untari, ketika sore itu mereka berkumpul di depan pondok Ki Marunta.

Bayu hanya diam mendengar pertanyaan Wulan. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakannya untuk menyenangkan hati gadis ini. Karena memang tidak ada satu cara pun yang terbaik untuk menembus ketatnya penjagaan di Padepokan Teratai Emas. Namun Bayu juga tidak ingin membuat Sepasang Bangau Putih jadi kecewa. Dia merasa sudah terlalu dalam mencampuri urusan mereka. Apa pun yang terjadi, dirinya sudah berada di pihak Sepasang Bangau Putih.

"Malam nanti kita ke sana. Kita coba menembus pertahanan mereka," kata Bayu memutuskan.

"Kau sudah punya cara, Bayu?" tanya Ki Marunta yang ikut dalam pembicaraan itu.

"Belum, Ki," sahut Bayu.

"Lalu, bagaimana kau akan menembus pertahanan mereka?" tanya Ki Marunta lagi.

"Mudah-mudahan saja malam nanti pertahanan mereka berkurang," sahut Bayu seraya tersenyum.

Ki Marunta mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia seakan bisa memahami arti senyuman Pendekar Pulau Neraka itu. Sedangkan Wulan Untari dan Perbawa hanya saling berpandangan. Mereka memang tidak bisa mengetahui jalan pikiran Pendekar Pulau Neraka. Mereka terus diliputi kebimbangan, karena tidak tahu cara yang tepat untuk menembus pertahanan yang ketat di Padepokan Teratai Emas.

"Sebaiknya kalian persiapkan diri untuk malam nanti," kata Bayu seraya menatap pada Wulan Untari dan Perbawa.

"Benar, mungkin saja malam nanti kalian akan menguras seluruh kemampuan yang kalian miliki," sambung Ki Marunta.

"Tapi ingat, kalian jangan lagi terpisah. Kalian bisa lemah dan mudah ditaklukkan kalau terpisah. Ingat dengan pengalaman yang sudah terjadi pada diri kalian sendiri. Bukankah hal itu sudah pernah terjadi pada guru kalian?" tukas Bayu memperingat kan.


Wulan dan Perbawa hanya menganggukkan kepala. Sudah tentu keduanya tidak mau lagi mengulangi kesalahan yang hampir saja membuat nyawa mereka berdua melayang.

"Pergilah kalian ke belakang! Ada tempat yang cocok untuk kalian mempersiapkan diri," ujar Ki Marunta.

Sebentar kedua anak muda yang dijuluki Sepasang Bangau Putih itu saling berpandangan. Kemudian mereka beranjak pergi dari depan pondok tabib tua Ki Marunta. Keduanya langsung menuju ke belakang melalui jalan samping pondok. Sementara Bayu hanya memandangi dengan bibir menyunggingkan senyuman.

Tidak lama kemudian, sudah terdengar teriakan-teriakan kedua anak muda itu berlatih, mempersiapkan diri untuk menghadapi orang-orang di Padepokan Teratai Emas. Bayu kembali memandang pada Ki Marunta. Terlihat kepala orang tua itu bergerak terangguk-angguk perlahan-lahan beberapa kali.

"Kenapa kau sembunyikan hal sebenarnya pada mereka, Bayu?" tanya Ki Marunta langsung menegur Pendekar Pulau Neraka itu.

"Aku tidak ingin mereka menganggap enteng lawan-lawannya, Ki. Mereka sudah melakukan kesalahan sekali. Dan aku tidak ingin kesalahan itu terulang kembali. Biar mereka menganggap lawan kali ini merupakan lawan yang berat," sahut Bayu.

"Tapi sebenarnya kau sudah mengurangi kekuatan mereka, kan...?" desak Ki Marunta.

"Ya.... Begitulah, Ki. Aku sudah mengurangi tiga orang dari kekuatan mereka. Tinggal Nyai Kantil dan Ki Rampak saja yang belum. Juga orang-orang mereka kini tinggal sedikit lagi," sahut Bayu.

"Selama dua hari ini kau sudah mengurangi kekuatan mereka begitu banyak...?" Kali ini Ki Marunta jadi terlongong heran.

"Sebenarnya kekuatan mereka tidak seberapa, Ki. Hanya saja Perbawa dan Wulan terlalu yakin akan kemampuannya sendiri, hingga mereka menganggap kecil lawan-lawannya. Dan itu satu kesalahan yang sangat besar. Kesalahan itu tidak boleh terulang kembali kalau keduanya ingin berhasil menumpas mereka," kata Bayu menjelaskan.

"Kau memang pintar, Bayu," puji Ki Marunta.

"Sebenarnya aku sendiri tidak ingin mencampuri urusan ini, Ki. Tapi karena guru mereka adalah sahabat guruku, bahkan bisa dikatakan bersaudara, jadi aku tidak bisa melihat mereka menghadapi bahaya sendiri. Bagaimanapun aku harus turun tangan membantu. Dan mereka memang sudah pantas mendapat ganjaran seperti itu. Apalagi tujuan mereka mendirikan padepokan, untuk memperkuat diri dan mengulangi kejayaan mereka di masa lalu. Kau bisa bayangkan, Ki. Bagaimana kalau mereka benar-benar kuat dan menguasai seluruh rimba persilatan...? Dunia ini akan hancur kalau sampai orang-orang seperti mereka menguasainya," panjang lebar Bayu menjelaskan.

Ki Marunta. hanya mengangguk-anggukkan kepala mendengar penuturan Pendekar Pulau Neraka itu. Dia sendiri sebenarnya sudah tahu kalau Nyai Kantil dan yang lainnya mendirikan padepokan hanya untuk membangun kembali kekuatan dan kejayaan masa lalunya. Orang tua itu sebenarnya senang kalau orang-orang itu dapat dihancurkan sebelum bisa menguasai seluruh dunia ini dengan menyebar kejahatan di mana-mana. Apalagi dalam persoalan ini, Pendekar Pulau Neraka ikut campur tangan. Walaupun kehadirannya tanpa disengaja. Dan mungkin ini memang sudah menjadi kehendak Sang Hyang Widi, yang tidak menginginkan orang-orang seperti Nyai Kantil dan Ki Denggis menguasai dunia yang memang sudah hancur ini.

"Aku pergi dulu, Ki," ujar Bayu tiba-tiba seraya bangkit berdiri.

"Kau mau ke mana, Bayu?" tanya Ki Marunta.

"Aku akan mengurangi kekuatan mereka sedikit lagi untuk malam nanti," sahut Bayu seraya tersenyum.

"Hati-hatilah kau, Bayu! Jangan sampai kau celaka karenanya," ujar Ki Marunta menasihati.

Bayu hanya tersenyum. Setelah dia menjura mem-beri hormat pada orang tua itu, kakinya langsung saja terayun melangkah pergi meninggalkannya. Ki Marunta hanya memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka. Sementara dari belakang pondoknya masih terdengar teriakan-teriakan Sepasang Bangau Putih yang sedang mempersiapkan diri untuk pertarungan malam nanti di Padepokan Teratai Emas.

Ki Marunta baru beranjak ke belakang pondoknya, setelah tidak lagi melihat Pendekar Pulau Neraka yang lenyap tertelan lebatnya hutan di kaki Bukit Angsa.


www.sonnyogawa.com


DELAPAN

MALAM begitu pekat. Tidak sedikit pun terlihat cahaya bintang maupun bulan di langit yang gelap berselimut awan hitam menggumpal. Angin yang berhembus di seluruh daerah Bukit Angsa terasa begitu dingin menusuk sampai ke tulang. Namun keadaan alam yang seakan tidak ramah ini, sama sekali tidak menghalangi tiga orang pendekar muda yang menuju ke puncak bukit itu. Mereka melangkah dengan ayunan kaki yang mantap, tanpa peduli kegelapan menyelimuti sekitarnya. Tidak peduli terpaan angin dingin yang menggigilkan. Tidak peduli dengan kabut yang menghalangi pandangan mata. Mereka terus melangkah dengan hati mantap mendaki lereng bukit yang menghitam pekat terselimut kabut.

Langkah mereka baru berhenti setelah sampai di depan sebuah bangunan padepokan. Tampak bangunan itu seperti tidak terjaga dengan ketat. Keadaannya lengang sekali. Seakan-akan bangunan besar bagai benteng itu sudah ditinggalkan penghuni-nya. Sepasang Bangau Putih yang mengapit Pendekar Pulau Neraka jadi saling berpandangan melihat keadaan yang sungguh di luar dugaan. Tidak seperti ketika pertama kali mereka datang ke tempat ini, penjagaannya ketat sekali. Bahkan kini di atas pagar benteng, tidak terlihat seorang pun di sana dengan anak panah siap dilepaskan dari busurnya.

"Jangan-jangan mereka sudah pergi...," gumam Wulan Untari.

"Mungkin juga ini jebakan," selak Perbawa. "Kita harus hati-hati dengan keadaan seperti ini."

Sepasang Bangau Putih itu terus menduga-duga. Sedangkan Bayu nampak diam saja. Dia tahu kalau kekuatan yang dimiliki Nyai Kantil dan Ki Rampak tidak bisa lagi mengatur penjagaan yang ketat di dalam bangunan benteng padepokan itu. Dan murid-murid yang mereka miliki juga tidak seberapa lagi jumlahnya. Sudah barang tentu keadaan di Padepokan Teratai Emas sunyi, seperti tidak ber-penghuni lagi.

"Ayo, kita dekati!" ajak Bayu. Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Pulau Neraka melangkah mendekati bangunan Padepokan Teratai Emas. Sementara Perbawa dan Wulan Untari mengikuti dari belakang, setelah mereka saling berpandangan sejenak. Tanpa ada halangan apa pun, mereka sampai di depan pintu gerbang benteng padepokan itu. Sebentar Bayu mengamati. Kemudian....

"Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka berteriak. keras menggelegar. Dan bagaikan kilat dia mengibaskan tangan kanannya ke depan, bersamaan dengan tubuhnya yang bergerak membungkuk. Seketika Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan kanannya melesat dengan kecepatan bagai kilat. Senjata maut andalan Pendekar Pulau Neraka itu langsung menghantam pintu gerbang Padepokan Teratai Emas.

Glarrr!

Sungguh dahsyat sekali senjata Pendekar Pulau Neraka itu. Pintu gerbang yang tebal seketika hancur berkeping-keping diterjangnya. Dan senjata bundar bersegi enam itu melesat balik, langsung menempel di pergelangan tangan kanan Bayu yang terangkat ke atas kepala.

"Hup!"

Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Pulau Neraka langsung melesat dengan cepat sekali menerobos pintu gerbang yang sudah hancur berkeping-keping. Namun begitu kakinya menjejak tanah, seketika puluhan batang anak panah menyam-butnya dengan gencar bagai hujan.

"Hup! Yeaaah...!"

Cepat sekali Bayu melentingkan tubuh ke atas, dan berputaran menghindari terjangan panah yang menghujaninya. Tangan kanannya mengibas dengan cepat, menyampok anak-anak panah itu dengan Cakra Maut yang menempel dipergelangan.

Sementara Sepasang Bangau Putih juga sudah menerobos ke dalam bangunan benteng Padepokan Teratai Emas. Mereka langsung melompat sambil mencabut pedang dan menghalau panah-panah yang menghujani Pendekar Pulau Neraka. Tidak satu batang anak panah pun yang bisa menembus tubuh mereka. Bahkan pendekar-pendekar muda itu mampu menerobos, dan langsung menghantam murid-murid Padepokan Teratai Emas ini.

"Hiyaaaa...!"
"Yeaaaah...!"


***


Jeritan-jeritan panjang menyayat seketika terdengar bersahutan. Disusul dengan ambruknya tubuh-tubuh bersimbah darah. Bayu dan Sepasang Bangau Putih memang bukan tandingan mereka. Hingga dalam waktu singkat saja sudah tidak terhitung lagi berapa orang yang mati terkapar berlumuran darah. Sementara itu Bayu sudah mendekati bangunan utama Padepokan Teratai Emas. Namun, begitu dia hendak menerobos ke dalam bangunan itu, mendadak saja melesat dua bayangan dan langsung menerjangnya.

"Hup! Yeaaah...!"

Dengan cepat Bayu melenting ke atas, hingga dua bayangan yang menerjangnya lewat sedikit di bawah tubuhnya yang berputaran di udara. Manis sekali Pendekar Pulau Neraka menjejakkan kaki kembali ke tanah. Cepat dia memutar tubuh berbalik, bersamaan dengan meluruknya dua orang tua ke arahnya dengan kecepatan tinggi.

"Hiyaaa...!"

Pendekar Pulau Neraka langsung mengebutkan tangan kanannya ke depan. Dan bersamaan dengan itu dia melesat ke atas, lalu meluruk deras ke arah Nyai Kantil. Satu pukulan menggeledek yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi seketika dilepaskan dengan cepat sekali. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan pemuda berbaju kulit harimau itu, membuat Nyai Kantil jadi terbeliak kaget setengah mati. Sementara itu Ki Rampak terpaksa harus berjumpalitan menghindari serangan Cakra Maut yang bagai memiliki mata, berkelebatan mengincar tubuhnya.

"Hap!"

Nyai Kantil cepat meliukkan tubuhnya, menghindari pukulan yang dilepaskan pemuda berbaju kulit harimau itu. Namun tanpa diduga sama sekali, Bayu memutar tubuhnya dengan cepat sambil melepaskan satu tendangan menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Serangan beruntun yang dilancarkan dengan kecepatan tinggi itu membuat lawan tidak dapat lagi menghindari.

Diegkh!
"Akh...!"

Perempuan tua itu memekik keras agak tertahan, begitu tendangan yang dilepaskan Bayu menghantam telak dadanya. Tubuh perempuan tua itu terpental cukup jauh ke belakang dan dengan keras sekali menghantam tanah. Kembali Nyai Kantil memekik keras agak tertahan. Pada saat yang bersamaan, Bayu menghentakkan tangan kanan ke arah perempuan tua itu. Seketika Cakra Maut yang sedang menyerang Ki Rampak langsung berputar arah dengan cepat, memburu Nyai Kantil.

Wusss!

Begitu cepatnya Cakra Maut melesat, membuat Nyai Kantil tidak punya kesempatan lagi menghindar. Terlebih lagi dia belum bisa mengurangi rasa nyeri yang menghantam dadanya, akibat tendangan keras Pendekar Pulau Neraka tadi. Hingga...,

Crab!
"Aaaa...!"

Nyai Kantil menjerit melengking ketika Cakra Maut menghujam deras dadanya hingga langsung melesat keluar lagi melalui punggung. Perempuan tua itu terhuyung-huyung ke belakang dengan darah berhamburan deras dari lubang di dada dan punggungnya. Hanya beberapa saat perempuan tua itu masih mampu bertahan berdiri. Kemudian tubuhnya ambruk menggelimpang ke tanah. Sebentar dia menggeliat meregang nyawa. Kemudian mengejang kaku, dan diam tidak bergerak-gerak lagi-

Kematian Nyai Kantil membuat Ki Rampak tampak pucat dan tegang. Kegentaran seketika menyelimuti seluruh rongga dadanya. Sementara Bayu berdiri tegak dengan Cakra Maut sudah kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Dalam pandangan Ki Rampak, Pendekar Pulau Neraka bagaikan sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawanya.

Sementara di lain tempat, tampak Sepasang Bangau Putih sudah menguasai jalannya pertarungan. Tidak ada lagi yang bisa menahan gempuran sepasang pendekar muda itu. Jeritan-jeritan kematian pun terus terdengar saling sambut menggiriskan hati. Namun Perbawa dan Wulan Untari benar-benar tidak memberi kesempatan pada lawan-lawannya untuk tetap hidup. Walaupun tidak ada lagi yang sanggup menahan gempurannya, mereka tetap menghajar semua lawan tanpa memberi ampun sedikit pun. Hingga jeritan-jeritan kematian pun terus terdengar saling sambut.

Sementara Ki Rampak sendiri tidak punya pilihan lain lagi. Walau sudah menyadari tidak akan mampu menghadapi Pendekar Pulau Neraka, dia tetap melompat melakukan serangan.


***


Malam yang dingin ini terasa hangat di puncak Bukit Angsa. Jeritan-jeritan kematian terus terdengar sating sambut dan menyayat. Sementara Wulan Untari sudah meninggalkan lawan-lawannya. Dengan sebuah obor, dia membakar seluruh bangunan Padepokan Teratai Emas.

Api cepat sekali berkobar membakar seluruh bangunan padepokan di puncak Bukit Angsa itu. Membuat suasananya yang memang sudah hangat semakin bertambah panas membara. Api yang melumat habis bangunan padepokan membuat suasana seakan bagai berada dalam neraka. Sementara Bayu masih menghadapi Ki Rampak yang menyerangnya dengan gencar. Orang tua itu seakan tidak ingin memberi kesempatan pada Pendekar Pulau Neraka untuk memberikan serangan balasan.

"Berikan dia padaku, Kakang...!"

Bayu cepat melompat ke belakang, ketika melihat Wulan Untari melesat dengan cepat sekali menerjang Ki Rampak. Dengan pedangnya, Wulan mencecar, hingga orang tua itu terpaksa harus berjumpalitan menghindariya. Dan kali ini Ki Rampak sendiri yang tidak punya kesempatan untuk melakukan serangan. Gempuran yang dilakukan Wulan begitu cepat dan beruntun, membuat dirinya kian terdesak.

Sementara Bayu terpaksa harus jadi penonton. Dia melihat kalau Perbawa sudah hampir menyelesaikan pertarungannya. Hanya tinggal lima orang yang menjadi lawannya. Namun dalam waktu tidak berapa lama, pemuda itu sudah dapat menghabiskan lawan-lawannya tanpa tersisa seorang pun. Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, Perbawa langsung melompat membantu Wulan Untari menyerang Ki Rampak.

"Gunakan jurus Bangau Putih, Untari...!" seru Perbawa.

"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"

Sepasang Bangau Putih langsung mengerahkan jurus andalan mereka yang begitu cepat. Serangan-serangan mereka sangat beruntun dan silih berganti, membuat Ki Rampak semakin kelabakan menghadapinya. Sementara Bayu yang kini hanya menjadi penonton, bisa melihat kalau Ki Rampak tidak akan mampu bertahan lebih lama menghadapi serangan Sepasang Bangau Putih yang begitu gencar dan silih berganti dengan cepat.

"Awas kaki...!" seru Perbawa tiba-tiba.

Wuttt!
"Heh ..?!
Ups!"

Ki Rampak terkejut setengah mati, ketika tiba-tiba pedang Perbawa berkelebat cepat mengarah ke kakinya. Cepat dia melompat ke atas menghindari serangan lawan. Dan pada saat yang bersamaan, Wulan Untari sudah melesat ke atas sambil menghunjamkan pedangnya tepat ke dada orang tua itu. Begitu cepat serangan yang hampir bersamaan itu membuat Ki Rampak tidak dapat lagi menghindari hunjaman pedang Wulan Untari. Dan....

Jreps!
"Aaaa...!"

Orang tua itu menjerit nyaring, ketika pedang di tangan Wulan Untari menghunjam dalam sekali ke dadanya, hingga langsung tembus ke punggung. Dan ketika Wulan mencabutnya, darah menyemburat keluar dari dada orang tua itu.

Tampak Ki Rampak terhuyung-huyung sambil men-dekap dadanya. Dan pada saat itu, Perbawa sudah melompat sambil berteriak keras menggelegar. Dan secepat kilat dikibaskan pedangnya tepat mengarah ke leher lawan yang sudah tidak mungkin lagi bisa berkelit menghindarinya.

Cras!

Tidak ada lagi suara jeritan terdengar, ketika pedang Perbawa menebas leher Ki Rampak hingga buntung. Kepala orang tua itu jatuh menggelinding ke tanah. Sementara tubuhnya beberapa saat masih bisa berdiri, tapi kemudian jatuh menggelimpang di antara mayat-mayat yang sudah sejak tadi memenuhi halaman depan Padepokan Teratai Emas. Hanya beberapa saat tubuh yang sudah tidak berkepala itu menggelepar. Setelah itu diam tidak bergerak-gerak lagi. Darah terus berhamburan keluar dari dada, punggung, dan lehemya yang sudah buntung.

Sepasang Bangau Putih segera menghampiri Bayu yang sejak tadi hanya memperhatikan tindakan mereka. Sementara itu, api semakin besar berkobar menghanguskan seluruh bangunan Padepokan Teratai Emas. Cahayanya seakan menerangi seluruh puncak Bukit Angsa yang gelap berselimut kabut tebal. Udara yang tadi terasa dingin, kini hangat oleh kobaran api yang membakar hangus seluruh bangunan padepokan.

"Ayo, kita pergi!" ajak Bayu.

Tanpa menunggu jawaban lagi, Pendekar Pulau Neraka melangkah meninggalkan padepokan yang sudah hancur itu. Sepasang Bangau Putih pun segera beranjak pergi tanpa banyak bicara lagi. Dendam mereka benar-benar sudah terbalas. Entah apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Sedangkan Bayu sendiri terus berjalan tanpa mengucap sepatah kata pun. Dia juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya melihat tindakan pendekar-pendekar muda itu dalam membalaskan dendam guru mereka.


SELESAI

Episode Selanjutnya PERISAI KULIT NAGA