Pendekar Super Sakti Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PENDEKAR SUPER SAKTI

BAGIAN 17

Perut yang kenyang membuat Han Han mengantuk juga. Memang tubuhnya amat lelah dan sudah beberapa malam ia tidak tidur. Sambil duduk bersandar tiang bambu gubuk itu, Han Han melenggut.

“Huhhhhh... dinginnnnn...!” Suara Hian Ceng membangunkannya.

Han Han melihat api unggun hampir padam. Hawa malam itu memang dingin sekali. Bagi Han Han tentu saja tidak terasa dingin. Dibandingkan dengan hawa di Pulau Es, hawa dingin malam ini di puncak gunung bukan apa-apa!

Akan tetapi ia melihat tubuh gadis yang rebah miring itu agak menggigil. Hian Ceng masih tidur dan mungkin saking dinginnya tadi sampai terucapkan mulutnya. Kedua kakinya ditekuk, kedua lengan memeluk tubuh sendiri, kepala ditundukkan sedalam mungkin sehingga tubuh itu seperti hendak melingkar macam tubuh ular!

Han Han merasa kasihan, lalu menambah kayu pada api unggun. Setelah api unggun membesar, ia lalu mengeluarkan satu stel pakaiannya yang tadi sudah dikeringkan, duduknya digeser mendekati Hian Ceng dan diselimutkanlah pakaiannya itu ke atas tubuh Hian Ceng.

Hian Ceng menghela napas senang, tangannya meraih ‘selimut’ ini dan tanpa disengaja jari-jari tangannya mencengkeram pula tangan Han Han. Ia menarik ‘selimut’ itu makin ke atas dan memeluk pula tangan Han Han. Pemuda ini berdebar jantungnya, akan tetapi tidak berani bergerak, khawatir kalau membangunkan gadis itu sehingga Hian Ceng tentu akan menjadi malu sekali. Maka ia membiarkan saja tangannya dipeluk dan didekap ke atas dada Hian Ceng.

Terasa oleh telapak tangannya betapa jantung gadis itu berdetak halus, betapa dada itu turun naik dengan halus pula, tanda bahwa gadis itu sudah pulas. Namun tangannya didekap dengan kedua tangan oleh gadis itu dan Han Han terpaksa menyandarkan lagi tubuhnya ke dinding, menekan perasaannya, ‘mematikan’ perasaan tangannya yang menumpang dada, lalu ia pun tertidur.

Paginya, kokok ayam hutan dan bau sedap menyengat hidung membuat Han Han terbangun. Ia membuka mata dan cepat menengok ke arah tangannya yang masih terulur ke kanan. Kiranya tangannya itu kini bukan terletak di atas dada Hian Ceng, melainkan di atas tumpukan pakaiannya yang semalam ia selimutkan ke tubuh gadis itu. Ia menengok ke arah kiri dan melihat Hian Ceng dengan wajah segar, agaknya sudah mandi sepagi itu, sedang memanggang daging, agaknya daging kelinci. Mendengar Han Han terbangun, gadis itu menengok dan berkata mencela.

“In-kong, engkau sungguh terlalu. Semalam suntuk tidur sambil duduk saja!”

Han Han menjadi merah mukanya, teringat betapa semalam ia meletakkan tangan di atas dada orang, perbuatan yang sungguh tidak patut sungguh pun tidak ia sengaja.

“Nona, sepagi ini sudah memanggang daging?”

Nona itu tertawa. “Lekaslah mencuci muka, daging sudah hampir matang!”

Han Han tersenyum dan menyambar tongkatnya, berloncatan ke anak sungai yang mengalir dekat gubuk itu. Setelah mencuci muka dan mulut, ia kembali ke gubuk. Hian Ceng sudah menyiapkan panggang daging dan dua cawan besar berisi air panas. Kiranya di sudut gubuk itu memang tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan, tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan.

Setelah selesai makan daging yang sedap, mereka menghirup air panas. Han Han berkata, “Nona, mulai sekarang harap kau hilangkan saja sebutan In-kong itu. Andai kata benar aku pernah menolongmu, namun sudah terbalas impas oleh pertolonganmu yang berkali-kali terhadap aku.”

“Habis, disuruh menyebut apa? Kongcu?”

“Ihhh, orang macam aku mana patut disebut Tuan Muda?”

“Ah, ya! Semestinya aku menyebutmu taihiap!”

“Jangan, sebut saja namaku, atau sebut saja twako karena aku lebih tua dari padamu, Nona.”

“Ah, mana pantas? Aku menjadi tidak sopan kalau begitu!”

“Nona, setelah apa yang kita bersama alami selama ini, menghadapi bahaya maut dan kita sudah seperti sahabat lama, bahkan lebih dari itu, seperti saudara, perlu lagikah kita bersopan-sopan?”

“Hemmm, kalau engkau juga begitu sopan terhadap aku, In-kong, bagaimana aku tidak seharusnya bersikap sopan pula kepadamu? Engkau menyebutku Nona, bukankah itu bersopan-sopan namanya? Kalau engkau menyebutku adik, tentu aku juga akan ikut menyebutmu kakak.”

Han Han tersenyum. Memang harus ia akui kalau berhadapan dengan seorang gadis yang masih asing, dia merasa likat dan janggal, malu-malu dan gugup. “Baiklah, Moi-moi. Baiklah, Ceng-moi (Adik Ceng), dan kau sebut saja Twako kepadaku.”

“Twako siapa? Engkau sudah mengetahui namaku, tetapi aku belum tahu siapakah sebetulnya penolong besarku ini!”

Kembali Han Han tersenyum. Berdekatan dengan Hian Ceng ini benar-benar dapat mendatangkan kegembiraan sekaligus mengusir mendung kedukaan yang selama ini menyelimuti pikirannya, sejak ia kehilangan Lulu.

“Adikku yang baik, namaku Sie Han. Tetapi Lulu dan kawan-kawan baikku menyebutku Han Han.”

“Han-twako!” Dengan sikap manja dan genit dibuat-buat sehingga tampak lucu sekali Hian Ceng lalu menjura dan bersoja kepada Han Han.

Mereka melanjutkan lagi perjalanan itu, naik turun gunung dan pada keesokan harinya, setelah malam tiba, kembali mereka bermalam di puncak terakhir.

“Sekali ini terpaksa kita harus bermalam di bawah pohon, Twako.”

Han Han merobohkan seekor kijang dengan batu dan malam itu perut mereka kenyang dengan daging kijang yang sedap dan gurih, akan tetapi yang dimakan setelah dipanggang tanpa bumbu. Mereka duduk berdekatan melepaskan lelah di bawah pohon, bersandar batang pohon yang amat besar itu. Setelah kini berganti sebutan, Han Han merasa biasa dan tidak begitu likat lagi terhadap Hian Ceng, dan makin sukalah hatinya kepada gadis ini yang dapat mengobati sakit di hatinya karena rindu kepada adiknya.

“Lima tahun yang lalu, kalau tidak ada Paman Thio Kai, aku dan Ayah telah mati di sini,” kata Hian Ceng sambil termenung, teringat akan pengalamannya ketika melakukan perjalanan dengan ayahnya dan lewat serta bermalam di tempat itu.

“Mengapa? Apa yang terjadi?” Han Han menoleh, melihat betapa rambut gadis itu menjadi kekuningan tertimpa sinar bulan yang telah muncul tinggi.

“Kami diserang halimun beracun...”

“Halimun beracun? Apa itu?”

“Aku sendiri tidak tahu, Twako, akan tetapi menurut keterangan Paman Thio kemudian, halimun beracun itu mengandung inti hawa yang tak mungkin tertahan oleh manusia sehingga manusia yang bertemu dengan halimun beracun di atas gunung tentu akan mati membeku kalau tidak mempunyai pengalaman dan dapat cepat menyelamatkan diri seperti yang dilakukan Paman Thio.”

“Apa penolaknya?” Han Han tertarik sekali. “Kan bisa membuat api unggun?”

“Api akan padam karena kayu bakarnya tiba-tiba menjadi dingin membasah. Untung Paman Thio yang sudah biasa menjelajahi gunung-gunung tinggi bahkan pernah mendaki Gunung Himalaya, sudah cepat menuangkan minyak di atas kayu dan membakarnya. Dengan terus menambah minyak, api unggun itu tidak menjadi padam, dan Paman Thio menyuruh kita menggali lubang secepatnya di tanah dekat api unggun. Kami semua berlindung di dalam lubang dan dihangatkan oleh api minyak. Kami selamat, akan tetapi pada keesokan paginya kami mendapatkan sebelas orang teman yang juga diserang halimun beracun itu telah mati dalam keadaan mengerikan. Mereka itu ada yang masih duduk bersila, ada yang memeluk batang pohon, akan tetapi kesemuanya sudah mati kaku dan semua darah di tubuh mereka membeku!”

Han Han tertarik sekali. Ia membayangkan betapa panik dan menderitanya orang-orang yang terserang hawa dingin yang melebihi kekuatan daya tahan tubuh manusia. Orang-orang yang menjadi teman-teman seperjuangan ayah gadis ini tentulah bukan orang sembarangan dan sudah memiliki sinkang yang kuat, namun tetap saja tidak dapat bertahan terhadap serangan hawa dingin dari halimun beracun itu.

“Twako, celaka...!” Tiba-tiba Hian Ceng berteriak kaget.

Han Han cepat menoleh dan baru ia melihat betapa api unggun yang tadi bernyala besar tiba-tiba padam dan tempat itu menjadi gelap. Rambut Hian Ceng tidak bersinar kuning lagi, bahkan makin lama makin tak tampak, sedangkan hawa menjadi luar biasa dinginnya!

“Han-twako... halim... mun... beracun... kita lari saja..., akan tetapi ke mana... yang tidak ada halimunnya...?” Suara Hian Ceng sudah menggigil, agaknya gadis itu takkan dapat bertahan lama. Memang Han Han dapat merasakan betapa dinginnya kabut hitam yang disebut halimun beracun ini.

“Han-twako...!”

“Ceng-moi, tenanglah. Ada aku di sini, jangan khawatir.”

“Di... dinginnn... tak tertahankan...”

“Menggeserlah ke sini, jangan tempelkan punggungmu ke pohon. Biar kubantu engkau melawan dingin.”

Hian Ceng tadi sudah mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi rasanya percuma saja, hawa dingin makin menusuk-nusuk dan telinganya mendengar suara menderu aneh seperti banyak iblis tertawa-tawa. Ia masih dapat mendengar perintah Han Han, maka ia menggeser duduknya ke kiri, mendekati pemuda itu. Tiba-tiba ia merasa betapa sebuah telapak tangan meraba kemudian menempel di punggungnya, tepat di tulang punggung. Belum lama telapak tangan pemuda itu menempel di punggungnya, tiba-tiba ia merasa ada serangkum hawa panas menyengat punggung.

Ia terkejut dan merintih lirih, akan tetapi kemudian hawa panas membakar itu perlahan-lahan membuyar dan tergantilah hawa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya dan terus hawa hangat itu berputaran dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun! Serangan hawa yang tadinya amat dingin itu kini terasa hangat dan nyaman sekali sehingga Hian Ceng menjadi mengantuk bukan main! Tanpa disengaja ia menyandarkan tubuhnya ke belakang dan kepalanya berbantal dada Han Han, matanya sukar dibuka lagi saking mengantuknya! Akan tetapi ada bisikan di dekat telinganya.

“Ceng-moi, jangan tidur... kerahkan sinkang-mu, terima bantuan Yang-kang dariku dan salurkan ke seluruh tubuh, kalau kau tidur, berbahaya...!”

Hian Ceng teringat dan menjadi terkejut. Biar pun ia masih menyandarkan kepalanya, kini ia mengerahkan sinkang-nya dan benar saja, hawa hangat itu yang tadinya berhenti kini mengalir kembali.

Kurang lebih sejam kemudian, Han Han berkata, “Sudah aman... kabut dingin sudah lewat!”

Akan tetapi begitu ia menghentikan pengerahan sinkang-nya, Hian Ceng tak dapat menahan kantuknya dan ia sudah tidur nyenyak berbantal pundak Han Han dan karena kepalanya miring maka dahinya menempel dagu Han Han!

Pemuda ini menghela napas panjang, berbahaya, pikirnya. Benar-benar kekuasaan alam amat dahsyat. Kalau saja ia dahulu tidak tekun berlatih di Pulau Es, agaknya sinkang-nya tidak akan mampu melawan halimun beracun itu. Suara aneh seperti banyak iblis tertawa tadi adalah suara daun-daun yang membeku dan rontok! Kini sinar bulan tampak lagi dan ia menunduk. Wajah Hian Ceng tertimpa sinar bulan, bukan main cantiknya. Jantung pemuda ini berdebar keras dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi panas.

“Alangkah cantiknya... bibir itu... begitu dekat, mata tertutup dihias bulu-bulu mata yang bersatu, kelihatan panjang melentik, kedua pipi yang merah, segar bagaikan buah apel... hawa yang hangat berhembus dari hidung dan mulut yang setengah terbuka. Kalau aku menciumnya, siapa yang tahu?” Demikian terdengar bisikan hatinya dengan suara merayu dan membujuk.

“Gila engkau!” hardik suara lain di dasar hatinya. “Buang jauh-jauh niat busuk, kotor dan cabul itu!”

“Aaahhhhh, siapa bilang kotor dan cabul? Dia begini cantik manis, seperti setangkai bunga atau sebutir buah masak. Betapa sayangnya bunga harum tidak dicium dan buah manis tidak digigit. Hayolah, hanya sekali ciuman di bibir yang menggairahkan itu, apa salahnya? Dia tidak akan marah, karena dia tidak tahu dan...,” suara itu makin lembut, “Andai kata dia tahu sekali pun, dia tidak akan marah. Sinar matanya padamu begitu lembut, membayangkan kagum dan sayang...”

“Tidak!” Suara ke dua membentak. “Seorang gagah menggunakan kesempatan begini, untuk mencuri ciuman!”

“Bukan mencuri...,” bantah suara ke dua halus. “Baru saja engkau menyelamatkan nyawanya dari bahaya maut, dibalas sekali ciuman mesra apa salahnya? Dan ingat, dia sendiri yang menyandarkan kepalanya di bahumu, dia begitu mesra... kau seorang laki-laki muda, masa begitu bodoh...?”

Han Han memandang wajah itu, bibirnya menggigil, matanya menjadi sayu. Bukan main! Wajah itu demikian cantiknya, cantik jelita melebihi segala keindahan yang pernah dilihatnya! Tak dapat menahan lagi dia! Dia harus mencium wajah Hian Ceng, biar pun hanya satu kali, biar pun dengan mencuri. Mulut itu begitu dekat, dia tinggal menunduk sedikit saja dan bibir mereka akan bertemu. Mesra!

Han Han sudah menunduk, tiba-tiba bagaikan kilat berkelebat memasuki otak dan ingatannya, ia terbayang akan peristiwa di Istana Pulau Es ketika dia terpengaruh racun dan dengan penuh gairah dan birahi memuncak, dia dan Lulu juga saling mencumbu, dan saling memeluk cium dan betapa kemudian dia merasa amat menyesal dan untung masih belum terlanjur!

Ketika bibirnya menyentuh bibir Hian Ceng, Han Han teringat dan dengan kaget sekali ia mendapat kenyataan bahwa saat itu ia hendak mengulangi lagi adegan yang dulu ia lakukan bersama Lulu di bawah pengaruh racun! Dan sekarang, tidak ada racun yang mempengaruhi dirinya, namun mengapa ada dorongan yang mukjizat mendesaknya sehingga ia ingin sekali melumat bibir itu penuh nafsu, mencengkeram dan membelai tubuh di depannya ini? Mengapa?

Tiba-tiba Han Han merenggutkan mukanya dari muka gadis itu, membalikkan tubuhnya dan membentak, “Bedebah Suma Hoat...!”

Tangannya yang mengerahkan tenaga sinkang telah menghantam pohon itu sehingga terdengar suara keras, tangannya menerobos masuk ke dalam batang pohon besar sampai sesiku dan pohon itu bergoyang keras, daun-daunnya banyak yang rontok berguguran!

“Aihhhhh...! Ada... ada apa...?” Hian Ceng meloncat kaget dan mundur-mundur melihat Han Han berdiri tegak dengan muka tersinar cahaya bulan, amat menyeramkan. Tiba-tiba gadis ini menjerit lagi ketika Han Han melompat dan menghantam sebatang pohon di sebelah kirinya, kini menggunakan dorongan dengan tenaga sinkang sehingga pohon itu roboh, lalu meloncat ke kanan mendorong roboh pohon lain, mulutnya memaki-maki.

“Si keparat engkau, Suma Hoat...!”

Sudah ada sepuluh batang pohon roboh oleh amukan Han Han.

“Han-koko...!” Seruan yang merupakan jerit melengking ini memasuki telinga Han Han seperti suara Lulu, seketika lemaslah tubuhnya, otot-ototnya seperti dilolos dan ia menoleh dan berbisik.

“Lulu...!” bisiknya mengandung isak.

Hian Ceng menubruk dan merangkulnya, berkata dengan suara penuh kekhawatiran.

“Han-koko...! Kau kenapakah...?”

Han Han mengangkat tangannya, mengelus kepala gadis itu dan hatinya lega. Kini telah minggat nafsu birahi yang tadi membakarnya, telah lenyap dorongan hati yang ia anggap sebagai warisan watak dan darah kakeknya, Jai-hwa-sian Suma Hoat. Kini ia dapat membelai rambut gadis itu tanpa nafsu birahi, sewajarnya timbul dari kasih seperti kalau dia membelai rambut Lulu.

“Tidak apa-apa, Ceng-moi. Tadi aku mengusir setan...”

Tubuh gadis itu menggigil. “Aihhh... betul-betulkah ada iblis yang menggerakkan halimun beracun tadi?”

Han Han mengangguk. Pada saat seperti itu lebih baik dia membohong. Tidak mungkin ia menceritakan keadaan yang sebenarnya. “Agaknya begitulah, Moi-moi. Akan tetapi iblis-iblis itu telah pergi dan kabut dingin telah lenyap. Mari kita membuat api unggun.”

Setelah api unggun menyala dan hawa menjadi hangat, keduanya bersandar pada pohon dan berusaha untuk tidur. Namun Han Han tak dapat memejamkan mata sekejap pun, hatinya masih ngeri kalau ia membayangkan gelora nafsu yang menguasainya tadi. Juga gadis itu tidak tidur lagi, hatinya masih ngeri kalau mengingat halimun beracun.

“Twako, besok kita berpisah, Twako akan ke Cung-king bersama para penjaga yang akan kita temui di kaki gunung besok pagi, dan aku akan mulai mencari adikmu ke Kwang-yang.”

“Hemmm, baiklah, Ceng-moi.”

“Twako, dua kali kau sudah menyelamatkan aku. Pertama menyelamatkan aku dari pada bahaya yang mengerikan sekali, kedua menyelamatkan aku dari pada maut di cengkeraman iblis halimun beracun. Twako, kau sungguh baik sekali...”

“Sudahlah, Moi-moi. Tidak perlu menyebut-nyebut hal itu lagi...” Han Han mendekati api unggun dan menambah kayu sehingga api menyala lebih besar. “Tidurlah...”

“Twako, aku akan mencari adikmu sampai dapat! Sungguh, akan kukerahkan segala kemampuanku untuk mencarinya. Kalau sudah dapat kubawa kepadamu... Twako, kau berjanjilah... kau perbolehkan aku ikut denganmu. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, dan di dekatmu aku merasa aman, merasa tenteram dan senang.”

“Ceng-moi, hal itu belum perlu dibicarakan sekarang. Kau tidurlah...” Suara Han Han terdengar terharu penuh duka, dan kembali pemuda ini menambah kayu pada api unggun sehingga nyalanya makin membesar.

Tiba-tiba Hian Ceng sudah berjongkok di sebelahnya, memegangi kedua lengannya dan berkata, “Han-koko, mengapa engkau berduka lagi? Engkau agaknya menderita sekali... ahhh, percayalah, Koko, aku pasti akan berusaha dengan seluruh jiwa ragaku untuk membahagiakanmu...”

Han Han memandang dan betapa kaget hatinya ketika melihat pandang mata gadis ini persis pula pandang mata Kim Cu, juga pandang mata Sin Lian dan pandang mata mendiang Lu Soan Li! Pandang mata penuh cinta kasih! Cepat ia membuang muka dan merenggut lengannya dengan halus.

“Ceng-moi... maafkan aku, biarkanlah aku sendiri... tidurlah dan besok pagi dapat kita bicarakan lagi...!” Di dalam suaranya terbayang penuh permintaan sehingga gadis itu menjadi kasihan, menarik napas panjang dan kembali ke pohon, bersandar mencoba tidur. Akan tetapi, berkali-kali ia menengok dan memandang Han Han yang duduk menghadapi api unggun, membelakanginya. Baru setelah menjelang pagi gadis itu dapat tidur pulas.

Akan tetapi, ketika sinar matahari yang menembus celah-celah daun mencium pipinya dan membangunkannya, Hian Ceng tidak melihat lagi Han Han berada di situ. Pemuda itu sudah pergi dan di atas tanah dekat api unggun yang sudah padam, Hian Ceng melihat tulisan yang cukup jelas.

Aku ke Cung-king, tak perlu dikawal. Sampai jumpa.

Hian Ceng menghela napas panjang. Dunia terasa sunyi setelah pemuda buntung itu meninggalkannya. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir bahwa Han Han pergi ke Cung-king tanpa pengawal. Pemuda buntung itu bukan manusia biasa, kepandaiannya hebat dan agaknya akan mampu mengatasi segala perkara yang dihadapinya. Hian Ceng kembali menghela napas, teringat akan semua pengalamannya dengan Han Han yang biar pun hanya berkumpul beberapa hari namun amat mengesankan dan menegangkan hatinya.

Ah, ia merasa yakin bahwa Han-koko-nya akan mampu mengatasi segala perkara yang menimpa dirinya, akan tetapi ia ragu-ragu apakah pemuda itu akan dapat mengatasi dirinya sendiri. Pemuda itu kelihatan selalu berduka, dan peristiwa malam itu sungguh mengerikan, ketika pemuda itu berperang dengan ‘iblis’ yang ia dapat menduga tentu berada dalam dirinya sendiri. Pemuda itu sering kali menderita hebat karena di dalam tubuhnya terdapat dua kekuatan yang saling berlawanan!

Dia harus mencari Lulu sampai dapat, membawanya kepada Han Han kemudian dia tidak akan mau berpisah lagi! Setelah mengambil keputusan ini dalam hatinya, Hian Ceng pergi dari situ ke Kwang-yang...

******************


Seperti ketika dia memasuki kota raja Peking, ketika Han Han memasuki Cung-king buntungnya sebelah kakinya tidak menarik perhatian orang karena di Se-cuan pun banyak terdapat penderita cacat akibat perang. Hanya rambutnya yang panjang dan sinar matanya yang tajam luar biasa itulah yang menarik perhatian orang. Sebaliknya, Han Han menjadi kagum ketika ia memasuki kota besar ini karena ia merasa seolah-olah memasuki sebuah dunia yang lain.

Amat jauh bedanya keadaan di kota ini dengan kota-kota lain di luar perbatasan. Bukan hanya cara berpakaian dan rambut, di mana tidak tampak rambut dikuncir seperti di kota-kota jajahan, juga cara mereka itu bicara, pandang mata dan sikap penduduk ini semua bersemangat dan gagah. Belum lama ia memasuki kota Cung-king dan sedang mencari-cari di mana gerangan istana tempat tinggal Bu Sam Kwi, raja muda yang menguasai daerah Se-cuan dan yang namanya terkenal sekali, atau di mana kiranya ia akan dapat bertemu Sin Kiat, tiba-tiba ada orang memegang lengannya dan berkata.

“Sahabat muda, marilah singgah di rumahku. Tentu engkau baru datang dari garis depan, bukan?”

Han Han menengok dan melihat seorang laki-laki setengah tua yang sikapnya ramah sekali. Hatinya terharu ketika melihat bahwa orang ini pun buntung sebelah kakinya, terpincang-pincang dan membawa tongkat seperti dia. Tubuhnya tinggi besar dan kuat, dan seluruh sikapnya jelas membayangkan bahwa orang ini tentu seorang pejuang.

“Terima kasih, Paman. Aku ada perlu penting, tidak mempunyai banyak waktu,” jawab Han Han ramah.

“Kalau begitu, mari kita minum teh hangat di warung itu. Aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang perang. Tentu menarik sekali. Nasib kita sama, sebelah kakiku pun hilang dalam perang. Akan tetapi aku tidak menyesal. Jangankan hanya satu kaki, biar nyawaku sekali pun kurelakan demi membela bangsa dari cengkeraman penjajah!”

Han Han merasa jantungnya tertikam. Dia terharu sekali. Orang ini benar-benar bahagia. Biar kehilangan kaki, tetapi orang ini kehilangan dengan hati rela karena kakinya hilang tidak percuma, namun untuk perjuangan membela bangsa. Kehilangan kakinya bahkan merupakan pupuk bagi suburnya semangat perjuangan. Kalau dia? Kakinya buntung dengan sia-sia. Konyol! Hatinya terharu dan ia tidak dapat menolak lagi. Keduanya terpincang-pincang memasuki warung makan. Penjaga warung menyambut mereka dengan wajah ramah.

Mereka makan bubur ayam dan minum teh panas yang dipesan laki-laki besar buntung itu. Bermacam-macam pertanyaannya yang dijawab dengan singkat saja oleh Han Han. Untuk menyenangkan hati orang itu dan menghindarkan kecurigaan, dia membenarkan bahwa dia kehilangan kaki ketika dia membantu pihak pejuang dalam perang melawan penjajah. Akhirnya Han Han menutup kata-katanya dengan ucapan sungguh-sungguh.

“Paman yang gagah, terima kasih atas keramahanmu. Memang sebetulnya aku bukan anggota pasukan pejuang, akan tetapi kedatanganku ini membawa berita penting sekali yang harus kusampaikan sendiri kepada Bu-ongya. Di manakah istananya?”

Tiba-tiba laki-laki buntung itu bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya dan bertanya dengan suara yang kaku, tidak seramah tadi, “Orang muda, di pihak siapakah kau berdiri? Pangeran Kiu ataukah Raja Muda Bu?”

Han Han menjadi bingung dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, aku tidak di pihak siapa-siapa.”

“Bagus! Mari kita keluar dari sini dan bicara di luar.” Orang itu membayar harga bubur dan teh, menggandeng tangan Han Han dan terpincang-pincang keluar. Karena kini ada dua orang buntung jalan bersama dan bercakap-cakap, hal ini menarik perhatian orang juga, tetapi yang ditujukan kepada mereka adalah mata yang mengandung kasihan.

“Hiante, engkau orang yang baru datang, akan tetapi jasamu sudah jelas karena engkau telah mengorbankan sebelah kaki untuk perjuangan. Kesetiaan dan kebaktianmu terhadap tanah air dan bangsa sudah terbukti. Aku tidak tahu apa yang akan kau sampaikan kepada Bu-ongya, akan tetapi kiranya perlu kuberitahukan kepadamu bahwa di sini terjadi perbedaan paham sehingga timbul tiga macam paham. Pertama adalah paham Bu-ongya yang bertekad untuk berjuang mati-matian sampai titik darah terakhir mempertahankan kerajaannya. Mempertahankan kerajaannya! Mengertikah engkau, Hiante? Dan kedua adalah paham Pangeran Kiu yang menganjurkan agar berdamai, bukan takluk, berdamai dengan penjajah Mancu dengan syarat-syarat yang menguntungkan pihak Se-cuan. Nah, yang ketiga adalah paham yang paling murni, tidak mementingkan diri pribadi, yaitu paham para pejuang yang datang dari luar Se-cuan, yang berjuang demi tanah air dan bangsa, sama sekali tidak ingin menjadi raja atau mendapat kemuliaan. Seperti... seperti engkau dan aku. Nah, selamat berpisah, kalau engkau masih hendak mengunjungi Bu-ongya, hal yang tentu saja tidak mungkin atau akan sulit sekali, nah, itu di sana istananya, yang atapnya menjulang tinggi!” Laki-laki buntung itu lalu meninggalkan Han Han. Pemuda ini berdiri termangu-mangu dan heran mendengarkan keterangan yang diucapkan dalam bisikan-bisikan itu.

Ah, dia tidak peduli akan urusan itu. Yang penting, dia harus menyampaikan rencana penyerbuan tentara Mancu untuk menyelamatkan Se-cuan. Perebutan kekuasaan telah terjadi di mana-mana dan dia tak akan melibatkan diri. Tugasnya hanya menyampaikan rencana Mancu yang merupakan ancaman bagi rakyat Se-cuan, kemudian ia akan mencari Lulu.

Han Han yang telah melangkah, berhenti lagi. Teringat ia akan ucapan laki-laki gagah yang buntung tadi. Laki-laki itu kehilangan kakinya untuk berdarma bakti kepada tanah air dan bangsa. Kalau dia? Kakinya buntung dengan sia-sia! Tidak, dia harus pula menyumbangkan tenaga untuk membantu rakyat dan bangsanya yang terancam penyerbuan Se-cuan. Bala tentara Mancu dibantu orang-orang pandai seperti Setan Botak, Iblis Muka Kuda, Toat-beng Ciu-sian-li dan masih banyak lagi tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.

Mereka itu bukan hanya membantu penjajah, akan tetapi juga terkenal sebagai tokoh-tokoh kaum sesat yang sudah sepatutnya kalau dia tentang. Dia akan membantu Se-cuan, bukan semata-mata untuk ikut melibatkan diri dalam perang yang dibencinya, namun terutama sekali untuk membela rakyat yang akan menderita karena penyerbuan bala tentara Mancu, untuk menentang tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat itu. Bukankah adiknya Lulu juga telah membantu perjuangan Pek-lian Kai-pang? Adiknya benar. Bukan memusuhi bangsa Mancu atau bangsa apa pun juga, melainkan menentang kelaliman dan kejahatan, dari mana pun juga datangnya!

Dengan langkah lebar Han Han menuju ke pintu gerbang besar di depan istana yang cukup megah itu. Beberapa orang penjaga segera menghadangnya, tak lama kemudian ia sudah berhadapan dengan tujuh orang penjaga dengan seorang komandan jaga.

“Ho-han (Orang Gagah) hendak mencari siapakah? Apakah hendak mengunjungi Ho-han Bu-koan?” tanya komandan jaga dengan sikap hormat.

Kalau saja Han Han menjawab dengan anggukan kepala, tentu ia akan diberi jalan karena memang para penjaga sudah biasa melihat orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh memasuki istana untuk pergi ke Ho-han Bu-koan, yaitu sebuah gedung besar yang khusus disediakan oleh Bu Sam Kwi untuk menampung orang-orang gagah dari luar Se-cuan yang melarikan diri ke Se-cuan untuk menggabungkan diri menghadapi penjajah.

Akan tetapi Han Han menggeleng kepala! Bahkan ia lalu menjawab, “Tidak, aku mohon menghadap Bu-ongya.”

Para penjaga itu terkejut dan memandang Han Han penuh perhatian dan kecurigaan. “Ada keperluan apakah hendak menghadap Ongya?”

“Urusan penting yang hanya akan saya sampaikan kepada Bu-ongya sendiri.”

“Tidak begitu mudah, orang muda. Kalau engkau membawa surat penting, katakan dari siapa. Kalau engkau membawa pesan, katakan engkau utusan siapa agar kami dapat melaporkan ke dalam.”

Han Han menggeleng kepala. “Laporkan saja bahwa aku mohon menghadap Bu-ongya untuk keperluan yang amat penting, aku membawa berita yang amat penting bagi keselamatan Se-cuan.”

Ada yang terbelalak mendengar ini, ada pula yang tertawa. Agaknya pemuda ini seorang yang miring otaknya, pikir mereka. Berita apakah yang dapat menyelamatkan Se-cuan? Seolah-olah Se-cuan dapat diancam begitu saja!

Akan tetapi komandan jaga yang dapat menduga bahwa pemuda buntung itu tentu bukan orang sembarangan, melihat sikapnya yang dingin dan sinar mata yang tajam mengerikan itu, lalu berkata.

“Kalau Ho-han hendak menghadap Ongya, harus lebih dulu menghadap ke Ho-han Bu-koan. Mari, silakan, Ho-han!”

Han Han tidak tahu apa itu yang disebut Ho-han Bu-koan (Rumah Silat Kaum Ho-han), tetapi ia pun tidak peduli asal dia diperbolehkan bertemu dengan Bu Sam Kwi untuk melaporkan rencana penyerbuan oleh tentara Mancu seperti yang ia dengarkan dari rapat yang dipimpin Setan Botak. Ia mengangguk dan terpincang-pincang mengikuti komandan jaga itu.

Mereka memasuki pekarangan istana yang lebar dan karena dikawal oleh komandan jaga, maka para penjaga dan pengawal hanya memandang Han Han penuh perhatian. Agaknya mereka merasa heran mengapa ada pemuda pincang hendak pergi ke Ho-han Bu-koan. Selihai-lihainya orang pincang bisa apa sih? Kakinya pun tinggal satu!

Komandan jaga itu membawa Han Han memasuki sebuah gedung yang besar, juga di samping kanan istana. Di depan gedung ini terdapat papan nama dengan huruf-huruf besar dan gagah, tulisan tangan yang indah sekali, hanya empat huruf: HO HAN BU KOAN. Berbeda dengan istana yang bagian depannya penuh dengan penjaga dan pengawal, gedung ini tidak dijaga dan pintunya yang lebar pun terbuka. Komandan jaga mengajak Han Han memasuki pintu. Ruangan depan kosong saja dan komandan itu berkata kepada Han Han.

“Para Ho-han tentu sedang berkumpul di dalam. Mari kita masuk saja, Ho-han!”

Han Han mengangguk dan bersikap waspada, tetapi ia hanya mengikuti komandan jaga itu memasuki ruangan dalam sambil terpincang-pincang dibantu tongkatnya. Begitu melewati pintu tembusan, tampaklah sebuah ruangan yang amat luas dan di situ tampak berkumpul banyak sekali orang. Ada empat puluh orang lebih dengan sikap seenaknya, ada yang duduk di atas meja, ada pula yang duduk bersila di atas tanah dan rebah-rebahan di lantai. Sikap orang-orang kang-ouw yang tidak acuh!

“Apa pun yang terjadi di atasan, apa pun yang mereka perebutkan, kita tidak peduli, yang penting, hancurkan penjajah Mancu!” Terdengar seorang laki-laki tinggi kurus berkata sambil menggunakan sepasang sumpit yang istimewa panjang dan besarnya, sumpit gading, menjemput sepotong daging dari mangkok di atas meja dan melempar daging itu ke mulutnya. Ya, melemparnya karena ia hanya menggerakkan sumpit itu dan dagingnya terlempar memasuki mulutnya yang ternganga, lalu dikunyahnya mengeluarkan suara seperti babi sedang makan! Orang ini yang menarik adalah matanya, karena matanya buta sebelah, hanya sukar dikatakan yang mana yang buta, karena yang kiri hanya tampak putih saja sedangkan yang kanan hanya tampak guratan hitam!

Agaknya mereka sedang membicarakan tentang pertentangan paham antara Bu-ongya dan Pangeran Kiu seperti yang ia dengar dari laki-laki buntung tadi. Munculnya Han Han bersama komandan jaga membuat semua orang menghentikan percakapan dan mereka menengok, memandang ke arah Han Han penuh perhatian dan penyelidikan, agak curiga karena mereka tidak mengenal pemuda buntung ini.

“Harap cu-wi Ho-han (Orang-orang Gagah Sekalian) suka memaafkan. Ho-han muda ini datang dan mengatakan mohon menghadap Ongya karena membawa berita yang penting bagi keselamaian Se-cuan tanpa mau memberi tahu kepada saya. Karena meragukan keterangannya maka saya antar ke sini agar cu-wi dapat menyelidik dan memberi keputusan. Terserah!” Komandan jaga itu lalu keluar dari situ setelah sekali lagi memandang Han Han penuh kecurigaan.

Sejenak sunyi di ruangan itu ketika semua mata ditujukan kepada Han Han. Pemuda ini memandang ke sekeliling, memperhatikan ruangan yang bersih dan indah itu. Di tengah ruangan terdapat permadani berwarna biru tua yang bersih dan indah, dan di dekat pintu terdapat jendela besar yang tidak berdaun, terbuka memperlihatkan sebuah kebun yang indah pula sehingga ruangan ini mendapat hawa dari luar yang amat sejuk. Karena ruangan itu amat bersih, tidak heran orang-orang kang-ouw itu duduk atau rebah di atas lantai begitu saja.

Karena tidak ada orang yang menegurnya, Han Han menjadi tidak sabar dan ia bergerak maju terpincang-pincang ke tengah ruangan, di atas permadani biru tua dan berkata.

“Maafkan saya. Sesungguhnya komandan jaga itu keliru mengantar saya ke sini karena saya tidak mempunyai urusan dengan cu-wi Enghiong sekalian. Saya hanya ingin bertemu dengan Raja Muda Bu Sam Kwi untuk menyampaikan urusan yang amat penting.”

Akan tetapi alangkah heran hati Han Han ketika melihat betapa semua orang memandangnya dengan mata marah, bahkan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang bertubuh kurus dan bermuka pucat sudah meloncat maju menghadapinya di atas permadani biru dan membentak.

“Sahabat yang gagah, perkenalkan namamu!”

Han Han menjadi makin heran. Laki-laki ini bersikap gagah, kata-katanya pun tanpa nada permusuhan sebab menyebutnya sahabat yang gagah, akan tetapi nada suaranya marah! Ia menjura dan menjawab, “Namaku Han Han.”

“Siapa gurumu? Dari golongan mana? Selama berjuang ikut rombongan yang dipimpin siapakah?”

Menghadapi pertanyaan bertubi-tubi seperti seorang hakim memeriksa pesakitan ini, berkerutlah alis Han Han, akan tetapi karena pertanyaan itu diajukan dengan sopan dan semua orang agaknya memperhatikan, ia menganggap bahwa memang sikap orang-orang kang-ouw ini aneh, maka ia pun menjawab singkat.

“Nama guruku tidak boleh kuperkenalkan orang lain, aku bukan dari golongan mana pun dan aku tidak pernah ikut berjuang!”

“Aaahhhhhh...!” Seruan ini terdengar dari banyak mulut dan semua orang memandang dengan penuh kecurigaan, bahkan ada bisikan dari sudut, “Jangan-jangan mata-mata anjing Mancu...!”

Mendengar ini, Han Han mengangkat muka memandang mereka dan berkata lagi, “Aku bukan pejuang, bukan pula mata-mata Mancu, tetapi aku datang untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi Raja Muda Bu Sam Kwi!”

“Manusia sombong!” laki-laki kurus yang berdiri di depannya membentak lagi. “Tidak perlu banyak bicara yang tidak-tidak lagi, aku Sin-jiauw-eng (Garuda Cakar Sakti) Lo Hwat menyambut tantanganmu. Lihat serangan!”

Han Han terkejut sekali karena mendadak orang kurus itu mencengkeram ke arah dadanya. Ia pikir tidak perlu membantah lagi, biarlah kalau dia dianggap sombong dan menantang. Dia pun tidak menangkis atau mengelak, hanya mengerahkan sinkang pada dadanya yang dicengkeram.

Melihat betapa pemuda buntung ini sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis, Sin-jiauw-eng Lo Hwat kaget dan cepat mengubah serangan mencengkeram menjadi dorongan telapak tangan. Dia adalah seorang gagah, tentu saja tidak mau membunuh orang yang tidak mau mempertahankan diri, sungguh pun orang ini telah berani berdiri di atas permadani biru! Han Han sama sekali tidak tahu bahwa sudah menjadi ‘hukum’ di Ho-han Bu-koan itu bahwa siapa yang berdiri di atas permadani biru itu berarti menantang yang hadir untuk pibu (mengadu ilmu silat)!

“Bukkk!”

Tubuh Han Han sedikit pun tidak bergoyang akan tetapi sebaliknya Lo Hwat yang memukulnya dengan dorongan keras malah terjengkang! Semua orang yang hadir mengeluarkan seruan kagum. Lo Hwat terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga lweekang kuat sekali di samping keahliannya mempergunakan jari tangan sebagai cakar garuda. Kini, Si Garuda Cakar Sakti itu memukul dada pemuda buntung ltu dan roboh terjengkang sendiri!

“Aku tidak ingin berkelahi,” kata Han Han.

Akan tetapi Lo Hwat sudah mencelat bangun lagi, matanya menjadi merah saking malu, marah dan penasaran. Dia tadi menaruh kasihan, siapa akan mengira bahwa dia malah dibikin malu oleh bocah buntung ini. Sambil berseru keras ia lalu meloncat ke atas, kemudian dari atas tubuhnya menyambar bagaikan seekor burung garuda, kedua tangannya membentuk cakar, yang kanan mencakar ke arah kepala Han Han sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah pundak.

Han Han menjadi penasaran. Serangan lawan sekali ini amat berbahaya dan kalau dia diam saja, hanya menggunakan sinkang melindungi tubuh, dia tentu akan dianggap menghina atau juga takut. Dengan kaki satu masih berdiri tegak, ia mengelebatkan tongkatnya ke atas. Gerakan tongkatnya cepat bukan main, tahu-tahu sudah menempel kedua lengan lawan dan sekali ia membanting, tubuh Lo Hwat sudah terguling ke atas lantai dan terbanting, sedangkan Lo Hwat ini sama sekali tidak tahu mengapa tubuhnya tiba-tiba jatuh.

Ketika ia memandang, pemuda buntung itu masih berdiri tegak di atas satu kaki, tongkatnya dikempit di bawah ketiak kiri dan kedua lengannya bersedakap! Kemarahan Lo Hwat memuncak. Dia terjatuh di depan pemuda itu dan ketika ia merangkak bangun dan berlutut, tampak seolah-olah ia berlutut di depan pemuda buntung itu! Kemarahan membuat orang menjadi mata getap. Demikian pula dengan Lo Hwat. Dia terkenal sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dua kali ia dirobohkan oleh pemuda buntung ini yang kelihatannya sama sekali tidak bergerak, dijatuhkan di depan sekian banyaknya orang gagah. Inilah yang membuat dia malu dan merasa terhina sehingga kemarahannya membakar hati dan kepala.

Tiba-tiba ia menggereng dan tangan kanannya yang sudah ia kepal dengan pengerahan lweekang sekuatnya, ia pukulkan ke arah pusar Han Han dengan tubuh masih berlutut atau setengah berjongkok. Hebat bukan main pukulan maut ini dan terdengarlah seruan-seruan kaget dari mulut beberapa orang gagah di situ yang menganggap perbuatan Lo Hwat ini melewati batas dan juga amat keji dan curang.

“Desssss!”

Pukulan itu memang hebat sekali karena dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang keluar dari pusar, sedangkan yang dipukul juga bagian yang lemah, yaitu pusar. Tentu saja bagian lemah bagi orang biasa, akan tetapi pemuda buntung itu sama sekali ia tidak mengelak bahkan mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada orang yang gagah akan tetapi berangasan ini. Ia mengerahkan sinkang, menerima pukulan dan mengembalikan hawa yang mendorong pukulan itu kepada penyerangnya. Tenaga dalam itu membalik dan menyerang Lo Hwat sendiri sehingga dia memekik keras dan roboh terlentang di atas permadani dalam keadaan pingsan karena dadanya terluka oleh pukulannya sendiri!

“Omitohud...! Bukan main bocah buntung ini, ilmunya boleh juga!” Dua orang yang berpakaian seperti hwesio, berkepala gundul dan mereka berkalung sarung berwarna kuning, bangkit berdiri dan melangkah maju, yang tinggi besar dan gemuk di depan sedangkan yang kecil pendek kurus di belakangnya.

Akan tetapi, pada saat itu terdengar bentakan keras, “Bocah buntung yang sombong, engkau berani menghina muridku? Biarlah aku mencoba kelihaianmu. Perkenalkan aku, Tok-gan-siucai (Pelajar Bermata Tunggal) Gu Cai Ek!”

Kiranya kakek berusia lima puluhan tahun yang matanya putih satu hitam satu dan yang memegang sumpit gading tadi sudah berdiri di atas permadani menghadapi Han Han. Pemuda ini masih berdiri dengan kaki satu, tongkatnya dikempit dan kedua lengannya bersedakap, dengan suara menyesal berkata.

“Lo-enghiong, aku tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga!”

“Omong kosong! Lihat seranganku!”

Kakek ini sudah menyerang Han Han dengan sepasang sumpit gadingnya yang kini dipegang di kedua tangan. Caranya memegang seperti orang memegang alat tulis dan begitu menyerang ia menotok jalan darah sehingga maklumlah Han Han bahwa orang ini adalah seorang yang ahli mainkan senjata siang-pit (sepasang pensil) dan ahli totok, hanya dia tidak menggunakan pensil melainkan sepasang sumpit gading yang dapat ia pergunakan untuk makan! Mengertilah ia mengapa orang ini memakai julukan Siucai (Pelajar). Karena serangan itu memang hebat, tentu saja jauh lebih lihai dari pada ilmu kepandaian muridnya tadi.

Han Han cepat mengelak. Dia masih bersedakap dan mengempit tongkatnya, hanya kakinya yang tinggal satu itu tiba-tiba mengenjot dan tubuhnya mencelat ke atas.

“Haliiittttt! Eh...?” Si Mata Satu terkejut sekali karena orang yang diserangnya itu tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu sudah pindah ke tempat lain.

Ia cepat mengejar dan kedua senjatanya meluncur cepat, menotok secara bertubi-tubi, memilih jalan darah yang berbahaya. Namun Han Han hanya melawannya dengan berloncatan, mengerahkan sedikit saja dari ilmunya gerak kilat dan semua serangan itu hanya mengenai tempat kosong, bahkan Si Mata Satu itu berkali-kali mengeluarkan seruan bingung dan kaget karena sering kali lawannya lenyap. Dan kasihan sekali dia yang bermata tinggal satu itu kadang-kadang harus menengok ke kanan kiri mencari lawannya!

“Lo-enghiong, aku tidak ingin berkelahi denganmu!” Sudah tiga kali Han Han berkata sabar, akan tetapi makin lama kakek bermata satu ini menjadi makin penasaran dan marah karena semua totokannya luput. Benar-benarkah pemuda buntung ini pandai menghilang seperti setan, ataukah matanya yang tinggal satu ini agaknya sudah tidak awas lagi?

“Cuit-cuit-cuit... sing-singgg...!”

Han Han terkejut karena kini kakek bermata satu itu menggerakkan sepasang gading kecil berbentuk sumpit itu bergerak secara hebat dan aneh, cepat dan juga bertenaga, merupakan dua sinar kecil yang gemerlapan dan membentuk lingkaran-lingkaran yang menutup semua ‘pintu’ di delapan penjuru. Ia kaget dan kagum. Kiranya kakek ini hebat juga ilmu kepandaiannya. Kalau ia mengerahkan seluruh ilmunya gerak kilat, tentu akan menarik perhatian, maka ia pun cepat menggerakkan tongkatnya menangkis.

“Trak-tringgg...!”

“Ayaaaaa...!” Kakek mata satu itu terkejut dan cepat membuat tubuhnya sendiri berputar setengah lingkaran untuk mematahkan tenaga tangkisan lawan yang hampir membuat kedua senjatanya terlempar dari tangan.

“Lo-enghiong hebat, aku kagum dan terima kalah!” Han Han berkata, dan memang ia benar-benar merasa kagum ketika menangkis tadi dan mendapat kenyataan bahwa kepandaian Tok-gan-siucai ini benar-benar tinggi, tidak di sebelah bawah tingkat Lauw-pangcu!

“Cuat-cuat-cuatt...!”

Kembali sepasang sumpit itu melakukan totokan bertubi-tubi dan kini dari jauh saja Han Han sudah dapat merasakan sambaran angin yang kuat, tanda bahwa kakek itu telah menggunakan sinkang dan melawan mati-matian. Ia merasa menyesal sekali. Mengapakah dia selalu dimusuhi oang? Mengapa kehadirannya selalu menimbulkan keributan? Apakah kesalahannya? Memang ia bernasib buruk, selalu sial. Maksud baiknya selalu ditanggapi keliru oleh orang lain sehingga dia selalu dimusuhi orang. Dan kini kakek bermata satu yang lihai ini menyerangnya dengan hebat, melakukan serangan totokan-totokan yang amat berbahaya.

“Mengapa engkau mendesakku?” teriaknya dengan suara berduka, tongkatnya bergerak ke bawah dari bawah ketiaknya ketika tubuhnya meloncat ke atas.

Pada saat itu sumpit gading di tangan kiri Tok-gan-siucai menyambar, disusul sumpit kanannya. Cepat bagaikan kilat menyambar, sebelum tubuhnya turun, Han Han sudah menggerakkan tongkatnya, mengerahkan ginkang yang sudah sempurna sehingga tubuhnya seolah-olah dapat tertahan di udara. Sinkang di tangan yang memegang tongkat amat kuat ketika tongkat berturut-turut menangkis sepasang sumpit, melekatnya dan sekali renggut, Tok-gan-siucai berseru kaget, kedua batang sumpitnya tak dapat ia tahan lagi, terbang lepas dari kedua tangannya dan terus terbang mencelat ke atas, menancap pada langit-langit ruangan itu yang tinggi!

“Omitohud... benar mengagumkan...!”

Kini seruan kagum ini terdengar dari mulut hwesio kurus dan tiba-tiba hwesio itu menggerakkan tangannya ke atas. Angin yang keras menyambar ke langit-langit ketika jubahnya yang lebar pada lengannya itu berkelebat dan... dua batang sumpit yang tadinya menancap ke langit-langit itu tiba-tiba menyambar ke bawah, ke arah Han Han!

Han Han terkejut sekali. Itulah demonstrasi tenaga sinkang yang amat tinggi, dan cepat ia mengulur tangan kanannya menyambut dua batang sumpit itu dengan gerakan seenaknya, kemudian melemparkan sepasang sumpit itu kepada Tok-gan-siucai sambil berkata, “Maaf, Lo-enghiong. Saya tidak ingin berkelahi!”

Tok-gan-siucai sebagai seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman maklum bahwa dia bukanlah lawan pemuda buntung itu, maka ia menyambut sepasang sumpitnya, kemudian menyambar tubuh muridnya yang masih pingsan, membawanya loncat ke pinggir, keluar dari permadani biru. Ia merasa lega ketika memeriksa bahwa muridnya itu hanya pingsan karena tenaga sendiri yang membalik. Ia menotok beberapa jalan darah dan Sin-jiauw-eng Lo Hwat siuman sambil mengeluh perlahan.

“Omitohud, seorang muda yang luar biasa! Biarlah pinceng mencobanya!” Hwesio tinggi besar gendut yang mukanya seperti anak kecil itu menggerakkan kakinya. Tidak kelihatan ia membuat gerakan meloncat, namun tubuhnya seperti terbang ke depan dan sudah berdiri di atas permadani menghadapi Han Han.

“Maaf, Losuhu. Saya benar-benar tidak ingin berkelahi,” kata pula Han Han, kembali terkejut menyaksikan gerakan ini.

“Ha-ha-ha, jangan terlalu merendahkan diri, orang muda. Memang engkau memiliki kepandaian yang patut diperlihatkan dan diuji! Bersiaplah, pinceng menyerang!”

Ucapan ini ditutup dengan gerakan tangan kirinya. Seperti juga gerakan hwesio kecil kurus itu, hwesio gemuk ini juga seperti menggerakkan tangan sembarangan saja, akan tetapi dari balik lengan bajunya yang lebar itu menyambar angin yang kuat luar biasa, mendorong ke arah dada Han Han.

Han Han maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai. Tingkat kekuatan sinkang kedua hwesio aneh ini kiranya tidak di bawah kepandaian Gak Liat, Ma-bin Lo-mo atau bahkan Toat-beng Ciu-sian-li sendiri! Ia heran menyaksikan orang-orang pandai yang berkumpul di tempat ini, maka ia tidak ingin melawan. Cepat tubuhnya mencelat dan pukulan itu lewat di bawah kakinya.

“Bagus! Sinkang-mu hebat, juga ginkangmu amat luar biasa. Belum pernah pinceng menyaksikan gerakan seperti kilat cepatnya itu!” Hwesio gendut itu mulutnya memuji, akan tetapi tangan kirinya kembali menampar dan angin pukulan yang lebih kuat lagi menyambar ke arah tubuh Han Han yang masih di udara.

Akan tetapi dia membelalakkan matanya lebar-lebar ketika melihat betapa tubuh pemuda buntung itu kembali mencelat ke samping, padahal kakinya belum menginjak lantai! Bagaimana mungkin dapat bergerak seperti itu sehingga kembali tamparannya luput? Ia mulai penasaran dan beberapa kali tangan kirinya menampar-nampar dan angin berbunyi bercuitan ketika tamparan itu menyambar dari kanan kiri dan mengejar bayangan Han Han yang terus berpindah-pindah secara aneh.

Semua orang yang berada di situ menjadi silau matanya. Mereka hanya melihat pendeta gendut itu menggerak-gerakkan tangan kirinya seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan mereka tidak dapat melihat lagi tubuh pemuda pincang, atau melihat tubuh pemuda itu berubah menjadi banyak karena mencelat ke sana ke mari dengan amat cepetnya!

Han Han sambil meloncat ke sana-sini memperhatikan pendeta gendut itu dan melihat bahwa sejak tadi hwesio itu hanya menggunakan tangan kirinya untuk mengirim angin pukulan, sedangkan tangan kanannya selalu disembunyikan di bawah jubahnya, menekan pinggang. Bukan main, pikirnya, baru maju tangan kirinya saja sudah begini hebat, apa lagi kalau tangan kanannya yang bergerak.

Dia menaksir bahwa tangan kanan itu tentulah hebat sekali dan agaknya kini masih belum dipergunakan si hwesio sebagai ilmu simpanan atau cadangan yang hanya akan dipergunakan kalau perlu saja. Semenjak ia keluar dari tempat persembunyian gurunya, nenek berkaki buntung, belum pernah ia bertemu lawan yang sepandai ini, maka diam-diam Han Han menjadi gembira dan ingin menguji kemampuannya sendiri, ingin pula melihat bagaimana hebatnya tangan kanan hwesio gendut itu.

Setelah timbul keinginan ini, ketika kakinya turun menotol lantai, ia membuat gerakan untuk mengurangi tenaga pantulan kakinya dengan berjungkir-balik sehingga tubuhnya berjungkir-balik berputaran sampai belasan kali seperti kitiran, barulah kakinya turun ke lantai dan ketika pada saat itu hwesio gendut itu kembali memukul ke arahnya dengan tangan kiri, kini pukulan jarak dekat karena memang Han Han turun di depan hwesio itu yang agaknya ingin pula menguji kekuatan Han Han. Pemuda ini pun menerima pukulan yang merupakan tamparan dengan telapak tangan terbuka itu dengan dorongan telapak tangan kanannya.

“Bresssssi!”

“Omitohud... luar biasa...!”

Tubuh hwesio itu bergoyang-goyang, mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya panas sekali karena ketika menyambut pukulan tadi, Han Han sengaja mengerahkan tenaga inti Hwi-yang Sin-ciang!

Han Han kagum bukan main karena melihat betapa hwesio itu dapat menerima tenaga sakti ini dengan hanya tubuh tergoyang dan merah mukanya. Benar persangkaannya bahwa hwesio itu memiliki kesaktian yang tidak kalah oleh Si Setan Botak Gak Liat!

“Orang muda, engkau menarik sekali. Coba terima ini!”

Hwesio gendut itu tiba-tiba mengeluarkan tangan kanannya dari balik jubah dan alangkah kagetnya hati Han Han melihat tangan itu berwarna biru sekali, biru kehitaman akan tetapi seperti bercahaya! Dan dengan tangan kanan itu kini hwiesio itu menyerangnya! Serangkum tenaga dahsyat memecah hawa udara menyambar ke arah Han Han dengan menimbulkan uap hitam yang panas sekali!

Han Han cepat menggerakkan kakinya menotol lantai dan tubuhnya mencelat dengan kecepatan yang luar biasa sehingga uap hitam itu lewat di bawah kakinya. Akan tetapi kini ia sudah mengenal pukulan itu, yang ia dapat menduga tentulah pukulan itu berdasarkan hawa Yang-kang seperti Hwi-yang Sin-ciang, akan tetapi jauh lebih berbahaya karena uap hitam itu tentu mengandung pengaruh yang luar biasa. Timbul pula keinginannya mencoba.

Tadi ia sengaja menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, karena ia masih belum berani mempergunakan tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, maklum bahwa tenaganya itu luar biasa sekali kuatnya sehingga membahayakan nyawa lawan. Akan tetapi kini, melihat pukulan tangan kanan hwesio itu yang ia duga tentu amat kuat, setelah ia turun, ia menanti hwesio itu memukul lagi.

Hwesio gemuk itu menjadi penasaran sekali. Jarang memang ia mengeluarkan tangan kanannya. Ia merasa malu kalau tangan kanannya yang hitam itu kelihatan orang, maka kalau tidak terpaksa sekali, biar pun dalam pertandingan, ia tidak mengeluarkan tangan kanannya. Kalau sekali ia mengeluarkan tangan kanannya, sekali pukul saja ia harus dapat mencapai kemenangan. Akan tetapi sekali ini, pukulannya yang amat dahsyat itu tidak mengenai sasaran, padahal biasanya, baru terkena tiupan sedikit hawanya saja, tubuh lawan sudah menjadi hangus!

Hwesio gemuk ini bersama temannya yang kurus adalah dua orang tokoh besar di Tibet, pada waktu itu menjadi pembantu yang terpercaya dari Dalai Lama sebagai pendeta besar dan ketua di Tibet. Hwesio gendut itu bernama Thian Kok Lama, terkenal sekali dengan ilmu kepandaiannya yang hebat sinkang-nya yang jarang bertemu tanding, dan tangan kanannya yang mengerikan karena tangan kanannya inilah ia dijuluki Hek-in Hwi-hong-ciang (Tangan Awan Hitam Angin Berapi)!

Ada pun hwesio kurus itu pun bukan orang sembarangan, karena dibandingkan dengan hwesio gemuk, sukar dikatakan, mana yang lebih lihai karena mereka memiliki keahlian sendiri-sendiri. Hwesio kurus ini selain hebat sinkang-nya, juga terkenal sebagai ahli ilmu sihir yang disebut I-hun-to-hoat (semacam hypnotism) yang dapat menguasai semangat lawan, dan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek (Sihir Tangan Sakti)!

Ketika Thian Tok Lama yang sudah terlanjur mengeluarkan tangan kanannya itu tidak mampu mengalahkan Han Han dengan sekali pukul, kini melihat pemuda itu sudah turun lagi, ia cepat mengerahkan tenaga, dari perutnya yang besar langsung dari pusar keluar suara berkokok tiga kali den tangan kanannya yang hitam itu mendorong ke arah Han Han. Bukan main hebatnya pukulan ini. Warna biru kehitaman itu makin mencorong dan uap hitam yang keluar dari telapak tangan itu seolah-olah mengandung api menyala dan terasa amat panasnya sehingga ruangan itu ikut terasa hangat. Pukulan hebat ini sepenuhnya meluncur ke arah dada Han Han.

Timbul kegembiraan Han Han melihat ilmu yang dahsyat ini. Cepat dia mengerahkan sinkang-nya, menggunakan tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, disalurkan lewat tangan kirinya yang mendorong maju menyambut telapak tangan hitam itu. Dengan pukulan macam ini, yang merupakan inti dari Swat-im Sin-ciang yang paling hebat, Han Han mampu memukul air menjadi beku, menjadi bongkah-bongkah es sebesar anak kerbau! Kini dua pukulan sakti yang amat dahsyat itu saling menerjang untuk bertemu!

Hwesio gendut itu, Thian Tok Lama menjadi kaget dan menyesal. Ia merasa sayang kepada pemuda kaki buntung yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu, dan hanya karena penasaran, bukan karena marah atau benci, ia menggunakan tangan kanannya. Tadinya ia mengira bahwa pemuda itu tentu akan menggunakan ilmunya mencelat yang luar biasa itu untuk menghindar. Siapa kira pemuda itu malah menerima pukulannya dengan langsung, menggunakan telapak tangan kirinya! Namun, ia sudah terlanjur memukul dan kalau ditariknya kembali tentu akan membahayakan isi dadanya sendiri, maka terpaksa dia melanjutkan pukulannya dengan hati menyesal karena ia merasa yakin bahwa pemuda itu tentu akan roboh dan tewas, tak mungkin dapat ditolong lagi.

“Desssss... cessshhhhh!”

Semua orang memandang dengan mata terbelalak! Dua telapak tangan bertemu dan berbareng dengan bunyi keras seperti besi panas membara dimasukkan air, tampak asap hitam mengepul dan menggelapkan tempat itu!

“Ihhhh...!” Han Han berseru keras ketika merasa seolah-olah seluruh lengannya menjadi lumpuh dan ia cepat menarik kembali lengannya itu.

“Omitohud...!” Thian Tok Lama juga berseru dan ia pun menarik kembali tangan kanannya, berdiri agak terengah dan kini mukanya menjadi pucat kebiruan dan kedua pundaknya agak menggigil seperti orang terserang dingin yang hebat.

“Ibliskah engkau...?” Thian Tok Lama sekarang mencelat maju dan mengirim tendangan dengan kakinya yang sebesar kaki gajah.

“Wuuuuttt!”

Han Han meloncat, akan tetapi kedua kaki itu biar pun amat besar, telah mengirim tendangan berantai sehingga angin bersiuran. Terpaksa Han Han yang sudah merasa cukup menguji kepandaiannya, mencelat ke pinggir ruangan itu sambil berseru, “Aku tidak ingin berkelahi, kalau cu-wi tidak suka menerimaku biarlah aku pergi dari sini...”

“Tahan...! Jangan berkelahi...! Dia kawan kita sendiri! Eh, Han Han, mengapa ribut-ribut dengan para locianpwe?”

Sesosok bayangan berkelebat dan Wan Sin Kiat telah berada di situ. Han Han menjadi girang sekali, berlari hendak menghampiri Sin Kiat dan melewati permadani biru sambil berpincangan.

“Han Han, jangan menginjak permadani itu!” Sin Kiat berteriak.

Han Han terkejut dan cepat ia mencelat lagi mundur, lalu memandang Sin Kiat yang lari kepadanya sambil mengitari permadani, tidak berani menginjaknya.

“Ah, agaknya ada salah pengertian di sini. Han Han, agaknya engkau tadi menginjak ini.” Sin Kiat tertawa sambil menudingkan telunjuknya ke arah permadani biru.

Han Han mengangguk. Ia teringat bahwa ketika masuk tadi, untuk menghampiri para ho-han yang berada di situ, ia memang telah berdiri di situ. “Ya, aku tadi berdiri di situ, mengapa?”

“Ha-ha-ha, pantas! Ketahuilah bahwa ada peraturan di sini bahwa siapa yang berdiri menginjak permadani ini, berarti dia itu menantang pibu kepada para locianpwe yang hadir di sini.”

“Ohhhhh... maaf...!”

Sin Kiat lalu menjura kepada dua orang pendeta Tibet dan para ho-han sambil berkata, “Mohon cu-wi locianpwe dan para Ho-han suka memaafkan Han Han. Karena dia tidak tahu maka seolah-olah menantang pibu. Dia merupakan sahabat saya yang paling baik dan beberapa kali dia telah membantu para pejuang menghadapi tokoh-tokoh anjing Mancu.”

“Hoa-san Gi-hiap Wan-sicu!” kata Thai Li Lama hwesio Tibet yang bertubuh kurus kering itu. “Kalau dia itu sahabatmu, mengapa dia datang seperti ini? Dia menimbulkan kecurigaan besar!”

“Ah tidak, locianpwe. Dia datang untuk mencari adiknya, dan untuk membantu kita menghadapi tokoh-tokoh penjajah.”

“Hemmm, kalau mencari adiknya dan hendak membantu, mengapa dia berkeras hendak bertemu dengan Bu-ongya?” tiba-tiba Tok-gan-siucai Gu Cai Ek menegur.

Wan Sin Kiat mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Han Han. “Apakah artinya ini, Han Han? Benarkah kau hendak bertemu dengan Ongya?”

“Benar sekali dan memang aku membawa berita yang amat penting!”

“Kalau begitu, ceritakan saja kepada para locianpwe di sini, karena mengenai urusan perjuangan, tidak ada hal yang dirahasiakan untuk para Ho-han di sini.”

Han Han mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku telah mendengar rapat rahasia yang diadakan oleh para perwira Mancu di perbatasan, yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, dihadiri pula oleh wakil-wakil dari Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Mereka membicarakan tentang penyerbuan ke Se-cuan secara besar-besaran dalam waktu dekat...”

“Ahhhhh...! Mana mungkin?” teriak Tok-gan-siucai Gu Cai Ek. “Pemerintah Mancu sedang merayakan ulang tahun ke sepuluh dari kaisar mereka!”

“Karena inilah maka mereka hendak menyerbu! Menggunakan kesempatan selagi di Se-cuan orang mempunyai pendapat seperti pendapat Lo-enghlong tadi sehingga tidak ada persiapan yang baik. Dan kalau saya tidak sudah dibikin kacau oleh serangan-serangan maut di ruangan ini, saya mendengar pula beberapa tempat-tempat yang akan mereka jadikan sasaran penyerbuan!”

“Wah, ini penting sekali! Mari Han Han, kuantar engkau menghadap Ongya!”

Semua orang di ruangan itu menjadi terkejut juga dan Thian Tok Lama malah menjura ke arah Han Han sambil berkata, “Pinceng mengharap taihiap sudi memaafkan kecurigaan kami. Sungguh taihiap merupakan seorang bekas lawan yang paling hebat yang pernah pinceng temukan!”

“Ah, sayalah yang seharusnya minta maaf, locianpwe,” kata Han Han sambil balas menghormat, akan tetapi tangannya lalu ditarik oleh Sin Kiat dan keduanya bergegas keluar dari situ menuju ke istana.

Para ho-han ribut membicarakan pemuda yang buntung itu, dan Thian Tok Lama secara terang-terangan dan jujur mengakui bahwa sukar mencari tandingan pemuda berkaki buntung itu. Dia masih terheran-heran dan diam-diam ia memberi isyarat mata kepada kawannya, lalu mereka berdua meninggalkan tempat itu.

“Kau hebat, Han Han. Thian Tok Lama sendiri sampai memujimu!”

“Ah, kau maksudkan hwesio yang gemuk itu? Dialah yang hebat, agaknya lebih lihai dari pada Toat-beng Ciu-sian-li!” kata Han Han, benar-benar dia kagum sekali.

“Dan dia menyebutmu taihiap!”

Merah wajah Han Han. “Sudahlah. Eh, Sin Kiat, apakah kau sudah mendengar tentang adikku?”

Wajah Sin Kiat yang tampan itu menjadi muram dan dia kelihatan berduka ketika menggeleng kepalanya. “Sungguh menyesal sekali, aku belum berhasil, Han Han.”

Han Han menarik napas panjang. “Ada seorang nona yang sedang mencoba untuk membantu mencarinya, namanya Tan Hian Ceng...”

“Ah, puteri It-ci Sin-mo Tan Sun? Bagus sekali! Dia adalah seorang yang terkenal ahli yang mengenal semua daerah ini. Kalau dia membantu... eh, kenapa?” Sin Kiat heran melihat wajah Han Man menjadi muram.

“Kasihan dia. Ayahnya gugur...”

“Apa? Bagaimana?”

“Nanti saja kuceritakan. Lebih baik sekarang kita menghadap Bu-ongya.”

Sin Kiat menemui kepala pengawal dan karena dia sudah dikenal, maka mereka berdua lalu dikawal menghadap Bu-ongya, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi yang amat terkenal itu. Bu-ongya menerima mereka berdua di dalam ruangan yang besar dan raja muda yang amat terkenal sebagai bekas jenderal yang paling gigih mengadakan perlawanan kepada pemerintah Mancu ini duduk di atas kursi emas dijaga oleh para pengawal pribadinya. Ia sudah mendapat laporan tentang Han Han, tentang sepak terjang pemuda buntung ini di Ho-han Bu-koan, maka ketika Han Han datang terpincang-pincang bersama Sin Kiat, dari jauh ia sudah memandang penuh perhatian dengan wajah berseri.

Sin Kiat memberi hormat dengan menekuk sebelah lututnya dan bersoja, diturut oleh Han Han yang biar pun hanya berkaki satu, namun ia dapat berlutut dengan gerakan wajar sehingga seolah-olah dia tidak buntung.

“Duduklah, ji-wi Ho-han!” kata Bu Sam Kwi dan dua buah kursi disodorkan oleh seorang pengawal. Sin Kiat dan Han Han lalu duduk di atas kursi menghadapi Bu Sam Kwi.

Han Han memandang wajah raja muda itu sejenak, melihat bahwa raja muda itu usianya sudah tua, tentu sudah enam puluh tahunan, akan tetapi masih kelihatan gagah dan tegap, dengan sinar mata yang tajam bersinar-sinar penuh semangat dan keberanian. Di lain pihak, begitu bertemu pandang dengan Han Han dan melihat sinar mata pemuda buntung itu tajam luar biasa, membuat kedua matanya sendiri serasa ditusuk pedang, di dalam hatinya Bu Sam Kwi menjadi kagum sekali, dan lenyaplah keraguan dan ketidak percayaannya ketika tadi mendengar laporan bahwa pemuda ini sanggup menandingi tangan kanan Thian Tok Lama!

“Wan-sicu, siapakah temanmu yang gagah ini?” Bu Sam Kwi bertanya penuh wibawa, akan tetapi juga terdengar halus dan ramah.

Suara seperti ini pandai membujuk dan mengambil hati orang, pikir Han Han, teringat betapa banyaknya tokoh kang-ouw membantu perjuangan raja muda ini dan betapa banyaknya yang telah mengorbankan nyawa, termasuk Lu Soan Li dan baru-baru ini Lauw-pangcu, kemudian ayah dan kedua orang paman Hian Ceng!

“Sahabat baik hamba ini datang dari luar perbatasan dan membawa berita yang amat penting untuk disampaikan Ongya!” kata Sin Kiat.

Memang Bu Sam Kwi amat pandai mengambil hati orang-orang kang-ouw, bahkan bersikap seperti sahabat dengan mereka sehingga ia tidak ragu-ragu untuk bersikap ramah dan merendah, memperlakukan mereka sebagai ‘kawan seperjuangan’.

“Hemmm, siapakah engkau, sicu? Dan berita apakah itu?”

Karena Han Han tidak bermaksud menghambakan diri, maka ia pun tidak suka untuk terlalu merendahkan diri, apa lagi raja muda ini begini manis budi, begini ramah, maka dengan hati lega dan suara biasa ia lalu menjawab.

“Saya bernama Han, she Suma.”

Han Han tidak peduli kepada Sin Kiat yang menoleh memandangnya heran. Memang dia she Suma, mengapa harus disembunyikan? Dia benci she Suma, karena she ini mengingatkan ia akan kakeknya yang menurunkan dia, teringat akan Jai-hwa-sian Suma Hoat. Akan tetapi sebenci-bencinya ia kepada she keluarganya sendiri, ia lebih benci akan sifat pengecut. Dan ia menganggap bahwa menyembunyikan she-nya sendiri dan menggantinya dengan she Sie adalah perbuatan yang pengecut dan memalukan. Karena itulah, di depan raja muda itu ia mengakui she aslinya dan mulai saat itu ia mengambil keputusan untuk mempergunakan she aslinya!

Raja Muda Bu Sam Kwi tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Sungguh tepat sekali. Di jaman seperti ini di mana negara dan bangsa membutuhkan putera-putera Han sejati yang patriotik, yang berjiwa pahlawan, muncul seorang gagah perkasa yang namanya Han! Suma-hohan (Orang Gagah she Suma), berita apakah yang hendak kau laporkan kepadaku?”

Dengan singkat namun jelas Han Han lalu melaporkan, menceritakan semua yang ia dengar dalam rapat yang diadakan oleh para perwira di bawah pimpinan Setan Botak Cak Liat dan menceritakan pula bahwa gerakan penyerbuan yang direncanakan itu siasatnya diatur oleh Puteri Nirahai.

Mendengar ini, berubah wajah Bu Sam Kwi. Tadinya berubah agak pucat akan tetapi segera berobah merah sekali, matanya menjadi beringas, dagunya ditarik kuat dan seluruh sikapnya membayangkan perlawanan. “Si keparat! Memang sudah kudengar nama Nirahai anak selir Khitan dari Raja Mancu itu, kabarnya amat cerdik pandai! Menggunakan selagi mereka berpesta ulang tahun untuk menyergap karena kita tentu sedeng tidak menduganya! Bagus! Kita akan menghadapi dan menghancurkan mereka! Pengawal! Undang para Ho-han dan para panglima untuk berkumpul. Sekarang juga! Wan-sicu, mulai sekarang engkau kuangkat menjadi panglima muda! Suma-sicu, engkau kuangkat menjadi panglima pelopor!”

Han Han hendak membantah akan tetapi lengannya dijawil Sin Kiat yang menatap wajahnya dengan sinar mata penuh semangat, kemudian malah menariknya ke pinggir untuk memberi tempat kepada para panglima dan para tokoh orang gagah yang kini sudah berdatangan memenuhi panggilan Bu Sam Kwi.

Berbeda dengan Wan Sin Kiat yang mendengarkan perundingan dan rencana siasat yang dibicarakan untuk menyambut serbuan tentara Mancu seperti yang dikabarkan oleh Han Han tadi, pemuda buntung ini hanya mendengarkan dengan setengah hati, tidak begitu mengacuhkan karena memang dia tidak tertarik akan hal itu. Dia datang ke Se-cuan dengan tujuan utama mencari adiknya, dan kalau dia membocorkan rahasia para panglima Mancu hanyalah karena dia melihat banyak tokoh-tokoh hitam di pihak Mancu, sedangkan di pihak pejuang banyak terdapat sahabat-sahabatnya, di antaranya yang sudah jelas adalah Wan Sin Kiat, mendiang Lu Soan Li dan Lauw-pangcu, Lauw Sin Lian dan gadis jenaka yang menarik hatinya pula, yaitu Tan Hian Ceng. Karena mengingat akan mereka inilah maka hatinya tentu saja condong membantu Se-cuan dan menentang pemerintah Mancu...



Penyerbuan besar-besaran bala tentara Mancu tiba tepat pada saat dan di tempat-tempat seperti yang dilaporkan Han Han kepada Raja Muda Bu Sam Kwi, dan karena sebelumnya pihak Se-cuan telah membuat persiapan, maka melalui perang mati-matian bala tentara Mancu akhirnya dapat dipukul mundur. Pemerintah Mancu, dalam hal ini diwakili oleh Puteri Nirahai sendiri yang memimpin sebagai ahli siasat, menjadi kecelik.

Bukan saja tiap pasukan yang sudah diatur untuk menyerbu Se-cuan dari beberapa jurusan dalam waktu yang tak tersangka-sangka mengalami perlawanan sengit, juga tokoh-tokoh pandai seperti Kang-thouw-kwi yang memimpin kawan-kawannya, yang diharapkan untuk dapat mengacaukan pertahanan musuh dengan kepandaian mereka, ternyata ‘membentur karang’ karena di Se-cuan terdapat banyak pula orang sakti! Segala usaha Setan Botak Gak Liat gagal total oleh perlawanan tokoh pejuang yang membantu Raja Muda Bu Sam Kwi. Dan yang membuat Setan Botak menjadi kaget, penasaran dan marah adalah sepak terjang pemuda kaki buntung, bekas muridnya, Han Han.

Setelah serbuannya yang berkali-kali dalam beberapa bulan selalu gagal dan ia kehilangan banyak perwira dan prajurit, akhirnya Gak Liat mengirim berita ke kota raja minta bantuan, selain bantuan pasukan yang besar, juga bantuan orang-orang pandai untuk menghadapi pihak musuh yang memiliki banyak jagoan lihai.

Tak lama kemudian, utusannya datang kembali dari kota raja membawa perintah Puteri Nirahai agar penyerangan dihentikan dulu dan pasukan Mancu diharuskan mengurung Se-cuan dengan menjaga tapal batas di timur, selatan dan utara dengan ketat sampai bala bantuan datang.

Karena perintah ini, perang yang biasanya hampir setiap hari terjadi menjadi berhenti dan kedua pihak hanya berjaga-jaga di daerah kekuasaan masing-masing, terhalang deretan pegunungan yang memagari Propinsi Se-cuan. Pihak Se-cuan yang dalam perang ini menjadi pihak yang mempertahankan diri, bernapas lega menyaksikan terhentinya serangan-serangan musuh dan mereka dapat beristirahat sambil menyusun kekuatan baru.

Secara terpaksa sekali Han Han kini ikut berperang menentang pasukan Mancu. Sebagai seorang panglima pelopor, di samping tokoh-tokoh besar lainnya, terutama sekali kedua orang pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti, Han Han memimpin pasukan yang terdiri dari ahli-ahli silat dan sebagian besar adalah kaum pejuang golongan patriot yang berjuang semata-mata membela nusa bangsa tanpa pamrih.

Sesuai pula dengan siasat Bu Sam Kwi, pasukan-pasukan orang gagah ini memang dibentuk untuk menghadapi pasukan-pasukan kuat dan istimewa dari pemerintah Mancu, maka tentu saja Han Han menjadi lega hatinya ketika dalam pertempuran-pertempuran itu ia selalu menghadapi tokoh-tokoh hitam yang memimpin pasukan-pasukan istimewa musuh. Bahkan pernah dalam sebuah pertempuran besar-besaran, ia bertanding melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat, Setan Botak yang lihai dan yang menjadi musuh lamanya itu! Kenyataan bahwa dia melawan tokoh-tokoh sesat inilah yang menghibur hatinya yang selalu merasa tidak enak kalau ia teringat bahwa dia berperang melawan bangsa adiknya!

Setelah perang dihentikan oleh pihak Mancu setelah berbulan-bulan terjadi bentrokan-bentrokan di sepanjang perbatasan, keadaan menjadi sunyi dan para pejuang di Se-cuan menjadi menganggur. Han Han menjadi kesal hatinya. Usahanya mencari Lulu sama sekali tidak berhasil. Bahkan selama terjadi keributan perang, dia tidak pernah bertemu dengan Hian Ceng yang berjanji menyelidiki dan mencari Lulu. Juga Lauw Sin Lian belum masuk ke Se-cuan, ataukah sudah masuk dan melawan musuh di daerah lain? Ataukah tidak sempat memasuki daerah Se-cuan karena perang telah pecah?

Pagi hari itu, selagi Han Han termenung seorang diri dalam hutan, tak jauh dari benteng penjagaan, Wan Sin Kiat datang mengunjunginya. Mendengar panggilan Sin Kiat, Han Han menoleh dan dia memandang kagum. Sahabatnya ini benar-benar amat tampan dan gagah dalam pakaianya sebagai seorang panglima muda!

Tubuh Sin Kiat tinggi besar, dadanya bidang, mukanya tampan dan berwibawa dengan alis tebal hitam dan mata yang bersinar penuh semangat. Jalannya seperti lenggang seekor harimau! Seorang muda yang hebat dan dia akan merasa senang sekali kalau Lulu dapat atau lebih tepat lagi mau menjadi isteri pemuda ini! Dia tahu bahwa Sin Kiat amat mencinta Lulu, akan tetapi bagaimana dengan Lulu?

Dia mengharap mudah-mudahan Lulu dapat menerima cinta kasih Sin Kiat. Kalau adiknya itu mendapatkan pelindung seperti Sin Kiat ini, hatinya akan merasa tenang dan tenteram, tidak seperti sekarang ini. Ah, perlu apa memikirkan tentang perjodohan Lulu kalau bocah itu sendiri sampai sekarang belum dapat ditemukan, bahkan tidak ia ketahui di mana tempatnya, masih hidup ataukah sudah mati? Cepat Han Han mengusir pikiran ini dan ia menyambut Sin Kiat dengan senyum lebar karena ia teringat akan bocah pengemis yang ia beri roti dahulu itu.

“Wah, engkau gagah sekali, Sin Kiat! Sekarang telah terbukti dan tercapai cita-citamu ketika masih kecil.”

“Cita-cita masih kecil? Apa maksudmu?” Sin Kiat duduk di atas batu gunung di depan Han Han yang duduk di atas akar pohon.

“Lupa lagikah engkau dahulu? Pernah engkau mengatakan bahwa engkau bercita-cita menjadi seorang perwira! Dan sekarang engkau telah menjadi panglima!”

Sin Kiat tidak menyambut godaan ini dengan wajah berseri, bahkan keningnya berkerut. Ia menghela napas dan berkata, “Aku teringat akan pengalaman-pengalamanku selama masih kanak-kanak dan ternyata bahwa cita-cita itu tiada bedanya dengan sebuah sarang burung di puncak pohon yang amat diinginkan oleh seorang kanak-kanak. Hati amat gembira dan penuh bayangan indah-indah dan muluk-muluk, penuh ketegangan ketika berusaha untuk memanjat pohon tinggi penuh bahaya, untuk meraih sarang dan mendapatkan anak burung di dalamnya. Dan setelah akhirnya didapatkan, setelah seekor burung tergenggam di tangan? Hanya kegembiraan sebentar saja karena segera disusul oleh kewajiban-kewajiban memelihara agar si anak burung tidak mati. Demikian pula dengan cita-cita, Han Han.”

Han Han membelalakkan mata, kemudian tertawa memandang wajah tampan gagah yang mengerutkan alis tebal itu. “Ha-ha-ha, pengalaman merupakan guru terpandai. Engkau kini pandai menyelami hidup, pandai berfilsafat, Sin Kiat. Memang demikianlah, rangkaian mencari, mendapatkan, memiliki dan memelihara merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Kalau orang sudah memiliki sesuatu, berarti dia dibebani sesuatu karena dia harus menjaga dan memelihara! Makin banyak orang memiliki benda atau apa saja yang disukanya, makin banyak pula beban menindih pundaknya dan membuatnya selalu harus menjaga dan memelihara semua miliknya. Hanya orang yang tidak punya apa-apalah, yang akan enak tidur di waktu malam. Orang yang tidak punya tidak akan khawatir kehilangan! Orang yang punya sekali waktu pasti akan kehilangan!”

Sin Kiat menggaruk-garuk kepalanya. “Hemmm, kalau begitu apakah lebih enak menjadi orang yang tidak mempunyai apa-apa yang disenanginya agar tidak sampai kehilangan?”

Han Han tertawa dan menggeleng kepala. “Manusia menjadi korban dari pada nafsunya sendiri, Sin Kiat. Karena itu, dalam keadaan bagaimana pun juga ia akan selalu menderita. Yang tidak punya akan menderita oleh nafsunya sendiri yang menimbulkan perasaan iri hati. Yang punya akan menderita oleh nafsunya sendiri yang tidak ingin kehilangan miliknya. Hanyalah orang yang telah mampu mengendalikan nafsunya sendiri, yang tidak dikuasai oleh nafsu pribadinya, baik di situ punya atau tidak punya, akan tetap tenang dan bahagia. Dalam keadaan tidak punya, dia tidak kepingin, dalam keadaan punya dia tidak terikat oleh miliknya.”

Wan Sin Kiat mengangguk-angguk, kemudian memandang sahabatnya. Ia bisa melihat kemuraman wajah Han Han. Dia mengerti apa yang menyebabkan sahabatnya ini murung, bukan lain tentulah hal yang juga membuat hatinya selalu berduka, yaitu hal lenyapnya Lulu!

“Han Han, tadi aku mendengar engkau dipuji-puji oleh para ho-han yang melaporkan sepak terjangmu selama musuh menyerbu. Jasamu besar sekali dalam menghadapi musuh, Han Han,” katanya untuk membelokkan perhatian sahabatnya ini agar terhibur.

Akan tetapi Han Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Aku tidak peduli akan itu, Sin Kiat. Engkau tahu bahwa kehadiranku di sini bukan untuk perang. Hanya kebetulan saja aku membantu, melihat betapa bala tentara Mancu menggunakan orang-orang golongan sesat. Akan tetapi engkau tahu bahwa sesungguhnya aku ingin mencari adikku yang sampai kini belum ada beritanya. Hemmm, aku sudah bosan menanti dan karena sekarang barisan Mancu tidak menyerang lagi, aku bermaksud meninggalkan Se-cuan dan mencari Lulu di lain tempat. Aku yakin dia tidak berada di sini, karena kalau dia berjuang, tentu dia sudah dapat kutemukan di sini.”

“Ahh..., kau jangan pergi dulu, Han Han. Tenagamu masih amat dibutuhkan di sini. Para penyelidik melaporkan, kabarnya Puteri Nirahai sendiri akan memimpin penyerbuan ke Se-cuan! Mengingat betapa lihainya puteri itu, dan masih banyak pula pembantunya yang lihai, kuharap engkau akan lebih lama membantu perjuangan melawan penjajah!”

“Di sini pun banyak orang gagah. Dua orang pendeta Lama itu lihai sekali, perlu apa takut? Aku tidak suka perang, apa lagi aku tidak suka menjadi panglima karena memang bukan kehendakku menghambakan diri di sini.”

“Dua orang pendeta itu? Ah, mereka sama sekali tidak boleh diandalkan! Memang mereka itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka adalah sekutu-sekutu dari Pangeran Kiu!”

Han Han teringat akan cerita pejuang yang buntung kakinya, maka ia memandang kepada sahabatnya itu dan bertanya. “Apakah salahnya? Kulihat Pangeran Kiu juga berjuang bahu-membahu dengan Bu-ongya.”

Sin Kiat menggeleng kepala. “Memang sekarang kita semua bersatu dalam menghadapi serbuan barisan Mancu. Akan tetapi sesungguhnya di sebelah dalam timbul keretakan di antara mereka yang memegang pimpinan! Bu-ongya bertekad untuk menentang pemerintah Mancu sampai tenaga terakhir! Sebaliknya, Pangeran Kiu berkali-kali mendesaknya agar suka berdamai saja dengan pihak Mancu.”

Han Han sudah tahu akan hal ini. “Kalau menurut pendapatmu, siapa di antara mereka yang benar?”

“Entahlah, kedua-duanya benar. Bu-ongya hendak melawan terus karena tidak mau melihat tanah air dijajah, ada pun Pangeran Kiu ingin berdamai dengan penjajah karena tidak mau melihat rakyat makin menderita akibat perang.”

“Dan kau sendiri?”

Sin Kiat menggerakkan pundaknya. “Aku adalah seorang pejuang tanpa pamrih, hanya didorong oleh kesadaran akan kewajibanku sebagai searang warga negara untuk membela negaranya!”

“Tapi kau menjadi panglima muda Bu-ongya.”

Wajah Sin Kiat berubah merah dan ia menggeleng-geleng kepala. “Dorongan cita-cita bocah yang terlalu kenyang menderita. Sesungguhnya, seperti kukatakan tadi, setelah kini menjadi panglima aku bosan dan baru aku sadar bahwa sesungguhnya bukan untuk pangkat inilah aku berjuang. Andai kata saat ini juga pangkatku dicabut, aku tetap akan berjuang melawan penjajah.”

“Aku sudah bosan akan semua urusan politik, sudah bosan akan perang, Sin Kiat! Kehadiranku di Se-cuan dan bantuan-bantuanku amatlah bertentangan dengan hatiku sendiri. Mungkin rasa tidak senangku akan perang ini ditimbulkan oleh sepak terjang para pimpinan sendiri. Seperti Raja Muda Bu Sam Kwi sendiri, tak dapat disangkal bahwa dia pernah berkhianat terhadap pemerintah dengan bersekongkol bersama bangsa Mancu menyerbu ke selatan. Akan tetapi karena keadaannya berubah, kini ia melawan bangsa Mancu, bahkan dianggap sebagai pusat pertahanan oleh kaum pejuang! Kemudian aku mendengar pertentangan diam-diam di sini yang tidak lain disebabkan oleh ambisi pribadi masing-masing. Semua ini menjemukan hatiku, Sin Kiat. Aku mulai curiga terhadap orang-orang yang menggunakan kedok yang indah-indah untuk menutupi nafsu pribadi, bersembunyi di balik kata-kata indah seperti perjuangan dan lain-lain sebagai alasan. Kalau saja dalam mengejar cita-cita pribadi orang melakukannya sendiri dengan resiko-resiko ditanggung sendiri, hal itu sudah sewajarnya dan sepatutnya. Akan tetapi dalam perang sungguh merupakan dosa besar sekali karena menyeret laksaan manusia lain yang seolah-olah dipermainkan nyawanya. Aku muak, Sin Kiat, karena itu aku hendak pergi dari sini mencari Lulu.”

Sin Kiat menarik napas panjang. “Bersabarlah, Han Han. Bukankah engkau masih menanti hasil penyelidikan Nona Tan Hian Ceng? Pula, sekarang belum waktunya untuk keluar perbatasan, amat berbahaya. Di Se-cuan sendiri, semua orang adalah pejuang. Di sini orang tidak mengenal arti bebas perang, yang ada hanyalah kawan atau lawan! Dan kalau engkau keluar perbatasan yang kini dikepung ketat oleh barisan Mancu, engkau tentu akan dianggap mata-mata dan akan dikeroyok ribuan orang tentara. Bersabarlah menanti sampai keadaan perang mereda dan sementara itu, harap engkau berhati-hati.”

“Mengapa engkau memperingatkan aku demikian?”

Sin Kiat memandang ke kanan kiri, kemudian berkata lirih, “Agaknya pertentangan paham antara Pangeran Kiu dan Bu-ongya timbul lagi dan makin menghebat dengan adanya pengurungan barisan Mancu. Dan aku tahu bahwa kedua pihak ingin memperebutkan orang-orang pandai kedua pihak masing-masing, maka tentu saja engkau menjadi calon yang amat penting dan menarik untuk mereka perebutkan.”

“Hemmm, aku...? Diperebutkan?”

“Tenagamu yang amat mereka butuhkan, Han Han.”

Pemuda buntung itu menggeleng-geleng kepala. “Aku makin muak. Akan tetapi baiklah, alasan-alasan yang kau kemukakan tadi memang tepat. Aku akan bersabar menanti sampai keadaan mereda.”

“Aku akan pergi mencari Nona Tan Hian Ceng, mungkin dia berada di Wan-sian dan membantu perang di bagian itu. Siapa tahu dia sudah mendengar tentang Nona Lulu.”

Demikianlah, mendengar bujukan dan nasehat Sin Kiat, Han Han kemudian menunda kepergiannya meninggalkan Se-cuan. Akan tetapi dia sudah menjadi makin bosan dan gelisah memikirkan Lulu. Apa lagi pada waktu itu pihak Mancu dan pihak pejuang hanya saling menjaga tapal batas daerah kekuasaan masing-masing, mereka hanya mengirim mata-mata dan para penyelundup untuk saling menyelidiki keadaan masing-masing. Se-cuan dikurung dari timur, utara dan selatan. Satu-satunya daerah luar yang masih dapat dihubungi hanyalah Sin-kiang dan Tibet.

Tepat seperti yang dikhawatirkan Sin Kiat, beberapa hari kemudian Han Han mengalami usaha memperebutkan dirinya ketika pada suatu malam dia diundang oleh Pangeran Kiu ke dalam gedungnya. Han Han yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan pangeran itu merasa heran, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dan pada saat yang ditentukan pergilah ia menghadap Pangeran Kiu di gedungnya.

Berbeda dengan Wan Sin Kiat yang memakai pakaian panglima muda yang indah dan gagah, Han Han tidak pernah mau memakai pakaian kebesaran, sungguh pun dia telah diangkat sendiri oleh Raja Muda Bu Sam Kwi sebagai panglima pasukan pelopor. Kini ia menghadap Pangeran Kiu juga dengan pakaian sederhana, dan terpincang-pincang dibantu tongkat bututnya memasuki istana yang megah itu.

Han Han merasa kaget, heran dan juga malu hati ketika melihat betapa Pangeran Kiu sendiri yang menyambutnya, bersama Thian Tok Lama yang gendut bermuka kekanak-kanakan dan Thai Li Lama yang kurus dan bersinar mata hitam aneh. Ia cepat menjura dengan hormat, dan ia makin heran melihat Pangeran Kiu mendekatinya, memegang tangannya dan berkata.

“Suma-taihiap, tidak perlu melakukan banyak peradatan, marilah kita masuk ke dalam. Aku hendak membicarakan hal yang amat penting dengan taihiap.”

Mereka memasuki ruangan dalam yang indah dan di situ telah tersedia makanan yang serba lengkap dan mewah di atas meja. Pangeran Kiu mempersilahkan Han Han duduk dan beberapa orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik cepat melayani mereka menuangkan arak, kemudian atas isyarat pangeran itu, mereka mundur dan berdiri di sudut kamar menanti perintah.

Setelah menerima suguhan arak beberapa cawan, Han Han lalu bertanya, tanpa menyembunyikan keheranannya dalam suaranya, “Maaf, Pangeran. Sungguh saya merasa amat heran atas undangan Pangeran. Ada urusan penting apakah?”

Pangeran Kiu tertawa bergelak, dan dua orang pendeta Lama itu pun tersenyum.

“Suma-taihiap, ketahuilah bahwa sebetulnya antara engkau dan aku sebenarnya masih ada hubungan keluarga.”

“Ahhh, harap Pangeran tidak berkelakar!” Han Han berkata, tidak percaya sama sekali.

“Aku tidak main-main, taihiap. Dan aku pun baru saja mengetahui akan hal ini dari keterangan Thian Tok Lama,” jawab Pangeran Kiu sambil tersenyum.

Han Han teringat akan peringatan Sin Kiat agar dia berhati-hati. Siapa tahu ada maksud tersembunyi dalam sikap pangeran yang aneh ini, maka ia kemudian menoleh dan memandang wajah pendeta Lama gendut yang ia tahu amat lihai kepandaiannya itu.

“Saya mohon penjelasan,” kata Han Han singkat, ditujukan kepada Pangeran Kiu akan tetapi dia menatap wajah Thian Tok Lama.

Hwesio Lama gendut ini tersenyum, mengangkat cawan dan minum araknya. Sekali teguk arak keras dalam cawan itu pindah ke perutnya, dan sambil meletakkan cawan kosong di atas meja ia berkata, “Maaf, Suma-taihiap. Dalam perang pinceng terpaksa untuk sementara membuang pantangan minum arak dan makan daging. Tentu saja engkau merasa heran sekali mendengar keterangan Pangeran Kiu, bukan? Akan tetapi sesungguhnya begitulah. Engkau masih terhitung keluarga dari Pangeran, dan hal ini dapat dibuktikan kalau saja taihiap tidak menyembunyikan sesuatu dan suka mengaku secara jujur.”

Han Han masih merasa heran dan kini ia memandang tajam, mengerutkan alisnya. “Thian Tok Losuhu, saya tidak menyembunyikan sesuatu.”

Pendeta gendut itu tertawa dan matanya bersinar penuh kagum. “Taihiap pandai sekali menyembunyikan kesaktian dari pandai pula menyembunyikan nama besar. Suma Taihiap, bukankah taihiap ini cucu dari pendekar sakti Suma Hoat?”

Pertanyaan ini diajukan secara tiba-tiba, membuat Han Han terkejut bukan main. Dia memang tidak menyembunyikan nama keturunannya ketika memperkenalkan diri kepada Raja Muda Bu Sam Kwi, mengaku she Suma, akan tetapi untuk mengakui tokoh sesat yang menjadi kakeknya dan terkenal dengan julukan Jai-hwa-sian, yang amat dibencinya itu, benar-benar ia masih merasa berat. Akan tetapi, kini ia berhadapan dengan orang-orang pandai seperti Thian Tok Lama, juga dengan seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, bagaimana akan dapat menyangkal? Selain itu, apa pula perlunya menyangkal?

“Losuhu, bagaimana Losuhu bisa tahu?” Ia balas bertanya, suaranya tenang saja akan tetapi pandang matanya penuh selidik.

Kembali kakek gundul itu tertawa. “Pinceng mengenal baik Kakekmu itu, taihiap, seorang yang gagah perkasa, tampan dan sakti. Melihat wajah taihiap sama dengan melihat wajah Suma Hoat di waktu muda, tentu saja dengan mudah pinceng dapat menduganya. Melihat usiamu, melihat persamaan wajahmu dengan dia, pantasnya taihiap adalah cucunya.”

Diam-diam Han Han merasa betapa hatinya menjadi kecut dan tidak senang. Celaka tiga belas dan sialan, pikirnya. Siapa kira bahwa wajahnya sama benar dengan kakeknya yang amat dibencinya! Akan tetapi dia tidak dapat berbohong, juga tidak mau membohong. Dia tidak senang diketahui orang sebagai cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat, akan tetapi dia juga tidak takut orang mengetahuinya! Memang benar kakeknya seorang penjahat, akan tetapi kakeknya dan dia adalah dua orang lain!

“Memang benar, saya adalah cucunya. Akan tetapi saya masih tidak mengerti apa hubungannya ini dengan Pangeran.”

Pangeran Kiu tertawa bangga. “Ah, Suma-taihiap, atau mulai sekarang lebih baik saya menyebutmu Suma-hiante. Nama besar keluarga Suma sudah menjulang tinggi sampai ke langit selama puluhan tahun...”

“Amat terkenal saking kotor dan jahatnya,” pikir Han Han penuh sesal.

“...sebagai keluarga yang berkuasa, kaya raya, memiliki ilmu kesaktian yang jarang bandingannya, dan yang lebih dari pada itu semua, merupakan keluarga yang setia kepada kerajaan!”

“Hemmm, pujian kosong,” pikir Han Han sungguh pun ia sendiri tidak pernah tahu akan riwayat keluarganya yang terkenal.

“Bahkan pendekar sakti Suling Emas pun masih terhitung anggota Suma ini. Suma Han-hiante, ketahuilah bahwa antara keluarga Suma dan keluarga Kiu terdapat ikatan kekeluargaan pula, yaitu karena seorang di antara selir mendiang Suma Kiat adalah puteri keluarga Kiu. Sedangkan Pangeran Suma Kiat itu adalah ayah dari Kakekmu Suma Hoat. Bukankah dengan demikian, di antara nenek moyang kita masih terdapat hubungan keluarga, Suma-hiante?”

Kepala Han Han menjadi puyeng mendengar keterangan tentang keluarga Suma yang sering kali menimbulkan benci dan penyesalan di hatinya itu. Ia tidak peduii apakah keluarga Suma itu dahulu keluarga bangsawan ataukah keluarga kaya raya, pendeknya nama kakeknya yang berjuluk Jai-hwa-sian telah menghapus semua perasaan mesra di hatinya sebagai anggota keluarga Suma. Kalau dia disuruh memilih, tentu ia akan jauh lebih suka memakai nama keluarga Sie, namun karena dia tidak sudi menyembunyikan nama yang dianggapnya sebagai sifat pengecut, terpaksa ia menggunakan she Suma yang dibencinya itu.

“Apakah hubungannya hal itu dengan panggilan ini, Pangeran? Saya tidak percaya bahwa saya dipanggil hanya untuk mendengar keterangan tentang keluarga nenek moyang ini.”

“Ha-ha-ha! Engkau terlalu kurang sabar, Hiante! Bukankah hal yang menggirangkan ini perlu dirayakan lebih dulu? Marilah kita makan minum, baru nanti kita bicara lagi!”

Karena sikap pangeran itu yang ramah-tamah, ditambah lagi sikap dua orang pendeta Lama yang menghormatnya, Han Han tak dapat mengelak dan mulailah mereka makan minum. Han Han tidak tahu betapa Pangeran Kiu dan kedua orang pendeta Lama itu sering kali bertukar pandang dan isyarat, dan tidak tahu betapa pangeran itu sengaja mendatangkan dua orang pelayan wanita yang baru, yang muda-muda dan amat cantik. Tidak tahu bahwa dua orang pelayan ini sengaja diperintah untuk melayaninya, untuk merayunya dengan gerakan-gerakan lemah gemulai, dengan suara merdu ketika menawarkan arak, dengan sentuhan-sentuhan mesra secara sambil lalu ketika melayaninya.

Han Han merasa kikuk dan canggung, diam-diam mendongkol kepada kedua orang pelayan itu yang dianggapnya genit dan terlalu berani. Akan tetapi dia diam saja, melirik pun tidak kepada dua orang wanita muda yang menyiarkan keharuman dari tubuh mereka, suara-suara merdu memikat dari mulut mereka, dan rangsangan-rangsangan dari sentuhan jari tangan mereka. Han Han tidak tahu bahwa Pangeran Kiu sudah mengatur semua ini, juga ketika serombongan penari yang cantik-cantik datang, menari dan meliak-liukkan tubuh mereka yang ramping dan seperti menantang minta dipeluk, Han Han sama sekali tidak mengira betapa pangeran itu dan dua orang hwesio Lama memandangi setiap gerak-geriknya.

Memang Pangeran Kiu bersama dua orang hwesio Tibet itu kecelik. Mereka tadinya menyangka bahwa sebagai cucu Jai-hwa-sian, pemuda yang buntung kakinya namun memiliki kelihaian melebihi Jai-hwa-sian sendiri ini tentu mewarisi watak kakeknya, suka akan wanita. Karena itu Pangeran Kiu berusaha memikat Han Han dan menyenangkan hatinya dengan wanita-wanita cantik agar pemuda lihai ini dapat terjatuh ke dalam kekuasaannya dan menjadi pembantunya. Siapa kira pemuda itu sama sekali tidak tertarik dan hal ini dapat pula dilihat dari sikap dua orang wanita perayu yang makin lama makin lemas kehabisan semangat.

Pangeran Kiu memberi isyarat sehingga semua penari dan pelayan mundur. Han Han baru bernapas lega, karena tadi, sungguh pun ia menekan perasaan dan tetap tenang, hatinya sudah berdebar tidak karuan. Menghadapi rayuan-rayuan wanita cantik itu baginya lebih menegangkan dari pengeroyokan musuh yang bersenjata tajam.

“Suma Han-hiante, kini tiba saatnya bagi kita. Kita sama mengetahui bahwa di antara kita terdapat hubungan keluarga, maka aku tidak ragu-ragu lagi untuk mengajakmu bicara. Terus terang saja aku mengharapkan bantuanmu, Hiante.”

“Bantuan? Bantuan apakah, Pangeran?”

“Bantuan kepadaku untuk menghadapi musuh-musuhku.”

Han Han memandang pangeran itu, pura-pura heran sungguh pun ia sudah dapat menduganya, mengingat akan penuturan Sin Kiat.

“Pangeran, musuh kita semua bukankah barisan Mancu? Dan saya rasa selama ini saya pun sudah membantu, walau pun hanya sedikit menghadapi tokoh-tokoh pandai di barisan musuh.”

“Bukan hanya itu, Hiante. Musuh yang terbesar bahkan yang kini menjadi sekutu kami. Kumaksudkan, Bu-ongya.”

“Hehhh? Bu-ongya...? Bagaimana ini? Saya tidak mengerti, Pangeran.”

“Thian Tok Lama, harap sukalah memberi penjelasan kepada Suma-hiante,” perintah Pangeran Kiu.

Pendeta Tibet yang gemuk dan bermuka lunak kekanak-kanakan itu kemudian berkata dengan sikap lunak, “Suma-taihiap, biar pun ilmu kepandaianmu amat hebat dan tinggi, akan tetapi karena usiamu yang masih amat muda, tentu engkau belum tahu akan hal yang terjadi puluhan tahun yang lalu dan tidak mengenal siapakah sebetulnya Bu Sam Kwi. Siapakah yang menjadi biang keladi penjajahan? Yang memungkinkan bangsa Mancu datang menyerbu dan menaklukkan seluruh pedalaman? Bukan lain adalah Bu Sam Kwi!”

Kalimat terakhir ini diucapkan dengan tekanan untuk mendatangkan kesan. Akan tetapi mereka semua melihat bahwa pemuda buntung itu tidak tampak kaget dan mendengarkan dengan tenang-tenang saja. Hal ini memang tidak aneh bagi Han Han yang sudah mendengar akan cerita itu. Akan tetapi dua orang pendeta Tibet yang sakti itu mengira bahwa sikap tenang Han Han ini hanya karena pemuda ini sudah pandai menguasai hati dan pikirannya, pandai menguasai perasaannya, maka Thian Tok Lama melanjutkan.

“Pada waktu Kerajaan Beng diserbu bangsa Mancu, kalau semua panglima seperti Bu Sam Kwi dan lain-lain mengerahkan bala tentara mempertahankan, tentu bangsa Mancu dapat dipukul hancur. Akan tetapi sayang, kaisar terakhir Kerajaan Beng amat lemah sehingga para panglima memberontak. Bahkan Bu Sam Kwi yang merupakan pengkhianat terbesar telah bersekutu dengan bangsa Mancu dan menyerbu ke selatan. Berkat bantuan Bu Sam Kwi itulah maka bangsa Mancu berhasil menguasai seluruh pedalaman. Dan sekarang, setelah terlambat, setelah melawan pun tiada gunanya lagi, Bu Sam Kwi menentang bangsa Mancu mati-matian dan semua ini hanyalah untuk mempertahankan kedudukannya sebagai raja muda di Se-cuan!”

Han Han juga sudah mendengar akan hal itu, bahkan dia sudah tahu lebih banyak lagi, misalnya tentang keinginan Pangeran Kiu untuk mengadakan perdamaian dengan pihak Mancu yang tentu saja didasari keinginan mendapatkan kedudukan tinggi yang akan diberikan pemerintah Mancu kepadanya! Akan tetapi karena Han Han tidak peduli akan urusan itu yang dianggapnya bukan urusannya, kini mendengar penuturan Thian Tok Lama lalu bertanya.

“Apakah hubungannya semua itu dengan saya? Dan mengapa diceritakan kepada saya?”

Kini Pangeran Kiu yang melanjutkan. “Suma-hiante, setelah kau mendengar penuturan Thian Tok Lama, tentu engkau sadar bahwa tidak semestinya engkau mengabdi kepada Bu Sam Kwi! Dia seorang yang palsu hatinya! Karena itu, saya mengulurkan tangan kepadamu, sebagai anggota keluarga, untuk membantuku.” Pangeran Kiu memandang tajam penuh selidik.

“Akan tetapi, apakah bedanya? Andai kata saya membantu Pangeran, tentu untuk melawan barisan Mancu.” Han Han pura-pura bertanya.

“Omitohud...! Sungguh mengagumkan. Taihiap yang lihai masih terlalu muda, polos dan bersih!” Thai Li Lama yang kurus berkata.

“Bukan, Hiante. Kuminta agar engkau suka berpihak kepadaku karena sekarang terjadi pertentangan antara pihakku dan pihak Bu Sam Kwi. Engkau tahu bahwa jelek-jelek aku masih keluarga Kerajaan Beng, seorang pangeran dari kerajaan itu, sedangkan Bu Sam Kwi hanyalah seorang panglima yang sudah memberontak dan berkhianat! Kami tidak akan memerangi Kerajaan Mancu lagi, bahkan akan berdamai.”

Han Han pura-pura terheran. “Hemmm, tadi Bu-ongya dipersalahkan ketika bersekutu dengan bangsa Mancu, kenapa sekarang Pangeran hendak bersekutu dengan bangsa Mancu? Bagaimana ini?”

“Jauh bedanya, Hiante! Dahulu tidak semestinya Bu Sam Kwi bersekutu dengan bangsa Mancu, karena Kerajaan Beng masih kuat. Dalam keadaan masih kuat melawan dia bersekutu, itulah pengkhianatan namanya! Sekarang Kerajaan Mancu amat kuat, sudah menguasai seluruh Tiongkok. Kalau kita berdamai, itu adalah menggunakan kecerdikan namanya. Rakyat tidak tersiksa dan menderita oleh perang yang berlarut-larut, dan setelah kita memperoleh kedudukan, mudah bagi kita untuk berusaha menguasai mereka, menanti kesempatan baik untuk menggulingkan musuh. Ini adalah sebuah siasat yang cerdik, tidak melawan secara membuta seperti yang kita lakukan selama ini.”

Han Han mengerutkan keningnya, hatinya muak. Kalau dipikir mendalam, semua itu sama saja. Permainan orang-orang besar yang bercita-cita mencapai kedudukan setinggi-tingginya bagi mereka sendiri. Tiba-tiba ia mengangkat muka, memandang wajah tiga orang itu berganti-ganti dengan pandang mata tajam sehingga Pangeran Kiu dan dua orang pendeta itu terkejut. Sinar mata Han Han seperti menembus jantung mereka. Thai Li Lama, seorang yang ahli dalam ilmu sihir, melihat sinar mata ini menjadi kagum dan terkejut sekali, mulutnya berbisik, “Omitohud...!”

“Pangeran, maafkan kata-kata saya. Akan tetapi, sesungguhnya aku muak akan perang, muak akan urusan orang-orang besar yang saling memperebutkan kursi dan kedudukan. Saya datang ke Se-cuan sesungguhnya bukan untuk berperang, melainkan untuk mencari adik saya yang bernama Lulu, yang saya kira tadinya berada di Se-cuan. Kalau saya ikut membantu peperangan adalah semata-mata ingin membantu para orang gagah dan melawan pasukan Mancu yang datang menyerbu. Kini perang berhenti, adik saya tidak berhasil saya temukan, maka saya pun hendak meninggalkan Se-cuan. Mengenai urusan Pangeran dengan Bu-ongya, saya tidak suka mencampurinya. Perang amat jahat, akan tetapi lebih kotor lagi adalah permainan orang-orang besar yang menggerakkan perang. Demi mencapai cita-cita mereka memperebutkan kedudukan, mereka mengobarkan perang, menciptakan dalih yang muluk-muluk untuk membakar hati rakyat atau menggunakan harta benda untuk menukarnya dengan nyawa rakyat! Perang terjadi, siapakah yang menderita, siapa yang menjadi korban dan siapa yang mati bergelimpangan dalam jumlah puluhan laksa? Bukan lain rakyatlah! Kalau menang? Bukan rakyat yang mengecap nikmat kemenangannya, melainkan orang-orang besar pengejar cita-cita pribadi berkedok demi rakyat itulah yang berpesta-pora, mabuk kemenangan! Kalau kalah? Rakyat yang mati tetap mati, akan tetapi orang-orang besar itu dapat melarikan diri jauh dari tempat perang membawa harta bendanya, atau kalau ditawan pun dapat menjadi sekutu dari yang menang dan memperoleh kedudukan pula, biar pun tidak setinggi seperti kalau menang! Sungguh menyedihkan, namun menjadi kenyataan selama sejarah berkembang. Perang adalah permainan orang-orang besar yang mempermainkan rakyat demi tercapainya cita-cita mereka. Kalau kalah, orang-orang besar itu lebih dulu melarikan diri karena memang tempatnya selalu di belakang, sebaliknya kalau menang mereka pulalah yang lebih dulu lari ke depan saling memperebutkan pahala dan jasa!”

Han Han bicara penuh semangat dan memang di dalam hatinya ia merasa prihatin sekali setelah mengalami bermacam hal sebagai akibat perang. Dia telah melihat rakyat yang melarikan diri mengungsi akibat perang, kehilangan semua miliknya yang tidak seberapa, bahkan banyak yang kehilangan nyawa keluarga dan nyawa sendiri, dikejar-kejar tentara Mancu, diperkosa, disiksa, dibunuh!

Dan orang-orang besar seperti Pangeran Kiu ini dan banyak lagi, enak-enak di Se-cuan, di gedung besar sama sekali aman dari pada penderitaan rakyat kecil, namun masih bicara tentang perjuangan! Bahkan mengatur siasat untuk bersekutu dan berdamai dengan bangsa Mancu! Dan semua itu masih pakai dalih yang muluk-muluk dan baik-baik. Kecerdikan! Agar rakyat tidak tersiksa! Phuhh! Katakan saja demi untuk keselamatannya sendiri, demi untuk kedudukan dan keuntungan diri pribadi! Rakyat pula yang dibawa-bawa. Siapa tidak akan muak?

Wajah kedua orang pendeta Tibet menjadi pucat, dan wajah Pangeran Kiu menjadi merah sekali saking marahnya. Tak mereka sangka pemuda buntung yang mereka harapkan berpihak kepada mereka itu mengeluarkan ucapan seperti itu! Ucapan seorang pengkhianat pula! Bagi mereka, tentu saja segala perbuatan mereka yang sudah-sudah, yang sedang berjalan, mau pun yang akan datang kesemuanya adalah baik dan benar belaka!

“Suma Han! Berani engkau bicara seperti ini?” Pangeran Kiu hampir tak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi Thian Tok Lama cepat berkata.

“Pangeran, harap suka memaafkan ucapan Suma-taihiap. Dia masih muda, darahnya masih panas, tentu saja pandangannya pun dangkal. Betapa pun juga, harus diingat bahwa dia telah berjasa. Biarlah penawaran Pangeran tadi dia pikirkan masak-masak, dan setelah pikirannya tenang, tentu dia akan berpendapat lain.” Kemudian pendeta gendut ini berdiri menjura kepada Han Han sambil berkata.

“Suma-taihiap, pinceng harap taihiap suka pulang dulu dan kami berharap dalam waktu tiga hari taihiap suka mempertimbangkan apa yang kita bicarakan di sini sekarang ini. Di samping itu, pinceng pun akan membantu taihiap mencari dan menyelidiki tentang adik taihiap yang bernama Nona Lulu itu.”

Han Han sadar bahwa ucapannya yang terdorong hati penasaran tadi membikin marah Pangeran Kiu. Dia bangkit berdiri, memberi hormat sambil berkata, “Mohon Pangeran sudi memaafkan saya yang lancang mulut.” Ia lalu mengundurkan diri dan pergi meninggalkan gedung Pangeran Kiu.

******************


Dua hari kemudian ketika sedang termenung menyendiri, telinga Han Han menangkap gerakan orang di sebelah belakang. Dia tahu bahwa yang datang adalah orang yang memiliki ginkang tinggi, akan tetapi dia diam saja, menoleh pun tidak.

“Suma-taihiap...!”

Han Han baru menoleh dan melihat Thian Tok Lama telah berdiri di belakangnya. Cepat ia memberi hormat dan berkata, “Sepagi ini Losuhu sudah datang menemui saya, ada keperluan apakah?”

Thian Tok Lama tertawa. “Kabar baik, taihiap. Kabar baik sekali. Pinceng sudah dapat menemukan adik taihiap.”

Seketika wajah Han Han berseri, dadanya berdebar tegang. “Losuhu! Di mana dia? Benarkah Losuhu bertemu dengan Lulu? Ahhh, terima kasih kepada Thian Yang Maha Kasih. Adikku masih hidup! Losuhu, di mana dia?”

Thian Tok Lama memperlebar senyumnya, diam-diam ia kasihan kepada pemuda ini, kemudian ia menggerak-gerakkan telunjuknya seperti menegur kepada Han Han, “Taihiap, setelah pinceng mengetahui keadaanmu, mendengar siapa adanya adikmu, sungguh pinceng merasa makin kagum dan terharu. Mengertilah pinceng, mengapa taihiap demikian membenci perang, akan tetapi pinceng kagum bahwa pendirian taihiap tetap teguh tak terpengaruh keadaan. Kiranya adik taihiap adalah seorang puteri Mancu! Hemmm...!”

Kalau tadinya Han Han masih curiga dan ragu-ragu apakah benar-benar pendeta Tibet ini tahu di mana adanya Lulu, kini keraguannya menghilang dan ia bertanya dengan suara mendesak, “Losuhu, setelah Losuhu datang menjumpaiku dan mengabarkan tentang Lulu, harap jangan menyiksa perasaanku dan katakanlah, di mana dia?”

“Dia belum lama datang bersama pasukan yang dipimpin oleh Puteri Nirahai. Dia adalah seorang Panglima Mancu, taihiap.”

Han Han membelalakkan matanya. “Aaaahhhhh? Tidak mungkin! Tidak mungkin!”

Pendeta itu memandang tajam. “Mengapa, taihiap? Bukankah Nona Lulu seorang gadis bangsa Mancu?”

“Di mana dia, Losuhu, aku segera menyusulnya!” Han Han berkata penuh gairah.

“Di perbatasan sebelah barat Min-san, di lereng-lereng gunung itulah dia bertugas melakukan penyelidikan.”

“Terima kasih, Losuhu! Terima kasih! Sekarang juga aku hendak berpamit dan pergi!” Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat pergi untuk minta diri dari Bu Sam Kwi. Pemuda itu tidak tahu betapa Thian Tok Lama memandangnya sambil menggeleng kepala dah berkata lirih.

“Sayang... dia pemuda yang lihai sekali... sayang...!”

Bu Sam Kwi tidak dapat menahan ketika Han Han berpamit dan menyatakan meletakkan jabatan dengan alasan ingin keluar dari Se-cuan dan mencari adiknya. Tentu saja dia tidak mengatakan bahwa adiknya kini telah menjadi seorang Panglima Mancu! Ketika ia mendapat perkenan dan keluar dari istana, dia bertemu dengan Wan Sin Kiat.

“Sin Kiat, aku pergi sekarang juga, sudah mendapat perkenan Bu-ongya. Selamat tinggal.”

Sin Kiat memegang lengan sahabatnya itu. “Eh, nanti dulu. Engkau hendak ke manakah, Han Han?”

“Ke mana lagi? Tentu saja mencari Lulu. Kalau lebih lama menanti di sini saja, sampai kapan aku dapat menemukannya?”

Sin Kiat menarik napas panjang. Hatinya pun menyesal sekali mengapa dia tidak mendapat kesempatan untuk pergi sendiri mencari gadis yang telah merobohkan hatinya itu. “Aku pun akan minta ijin dari Ongya untuk membantumu mencarinya.”

“Jangan!” Cepat-cepat Han Han menarik lengannya. “Engkau masih dibutuhkan di sini, biar aku sendiri yang mencarinya.” Setelah berkata demikian, Han Han melesat pergi cepat sekali.

Sin Kiat menarik napas panjang. “Ah, Lulu...!”

Ia lalu mengambil keputusan untuk minta ijin dari atasannya. Perang sedang berhenti, musuh tidak menyerbu. Kesempatan dalam menganggur ini akan ia pergunakan membantu Han Han mencari jejak gadis itu.

Han Han berlari, atau lebih tepat berloncatan cepat sekali menuju ke Pegunungan Min-san yang terletak di perbatasan utara Propinsi Se-cuan. Setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, barulah ia tiba di daerah Pegunungan Min-san itu. Daerah yang sunyi dan di daerah ini pun perang tidak tampak, suasana sepi dan agaknya para penjaga di pihak Se-cuan juga melakukan penjagaan sembunyi-sembunyi di dalam hutan-hutan. Dengan kepandaiannya, Han Han dapat melalui tempat penjagaan dan memasuki hutan-hutan di seberang perbatasan, memasuki daerah musuh di Propinsi Kan-su, di sebelah barat puncak Min-san.

Pada hari ke lima, pagi-pagi ia memasuki sebuah hutan dan hatinya agak bingung mengapa sampai sekian jauhnya belum juga ia menemukan pasukan Mancu. Mulailah ia meragu. Jangan-jangan ia ditipu oleh pendeta Tibet itu! Han Han mengusap peluh di dahinya dengan ujung lengan baju, beristirahat dan berdiri sambil bersandar pada tongkatnya karena ia menjadi bingung, tidak tahu harus mencari ke mana di hutan besar yang sunyi itu.

Tiba-tiba Han Han menghentikan usapannya pada dahi dan leher. Matanya melirik ke kanan kiri, tongkatnya siap di tangan. Ia mendengar gerakan banyak orang makin mendekat, agaknya mengurung tempat itu.

“Wir-wir-sing-sing-singgg!”

Dari arah belakang dan kiri meluncur banyak anak panah ke arah tubuhnya. Han Han menggerakkan tongkatnya dan semua anak panah runtuh. Kemudian bermunculan dari balik-balik pohon di sekelilingnya pasukan yang terdiri dari kurang lebih lima puluh orang! Mereka bersenjata lengkap dan terdengar aba-aba dalam bahasa Mancu disusul serbuan pasukan itu!

“Aku tidak ingin berkelahi! Aku mencari adikku Lulu!” Han Han cepat berseru dan karena ia menggunakan tenaga khikang, maka suaranya nyaring sekali membuat prajurit Mancu terkejut dan langkah kaki mereka tertahan.

“Dia panglima pemberontak Bu! Tangkap! Bunuh saja!” Tiba-tiba terdengar suara yang amat dikenal Han Han, suara Thian Tok Lama!

Mulailah Han Han mengerti bahwa dia memang ditipu! Teringat ia sekarang bahwa Thian Tok Lama termasuk sekutu Pangeran Kiu yang ingin berdamai dengan bangsa Mancu. Kiranya pendeta itu sengaja menjebaknya di sini untuk membunuhnya, dan tentu saja untuk memperlihatkan iktikad baiknya terhadap bangsa Mancu! Han Han menjadi marah, apa lagi ketika dugaannya itu terbukti dengan munculnya Thian Tok Lama, agak jauh dari tempat itu.

Ia melihat pula Thai Li Lama si pendeta Tibet yang kurus, dan yang lebih memarahkan hatinya lagi adalah ketika ia melihat banyak orang-orang sakti yang pernah ia lihat di kota raja ketika ia mengejar Giam Kok Ma, yaitu sepasang saudara Tikus Kuburan dan Si Burung Hantu yang menyeramkan, ditambah lagi dengan beberapa orang tokoh Mancu. Lawan yang berat, pikirnya, apa lagi di situ terdapat dua orang pendeta Tibet yang sudah ia ketahui kelihaiannya!

Betapa pun marahnya, Han Han masih tidak ingin untuk bertempur. Sekali-kali bukan karena takut, melainkan karena dia tidak mau membuang-buang waktu, ingin segera pergi untuk mencari adiknya yang ia yakin tidak berada di tempat ini dan keterangan Thian Tok Lama kepadanya itu palsu, hanya untuk menjebaknya di tempat itu. Maka ia lalu membalik dan meloncat ke belakang. Akan tetapi di belakangnya sudah menjaga pula prajurit-prajurit Mancu. Tiba-tiba bayangan orang tinggi besar menerjangnya dari samping dengan pukulan tangan yang mendatangkan hawa panas dan angin keras!

“Wuuuttttttt!”

Han Han meloncat ke belakang dan pukulan itu menyambar lewat. Akan tetapi pada detik berikutnya, kembali pukulan yang sama hebatnya menyambar dari belakangnya, dan cepat ia kembali mengelak.

“Hemmmm, kiranya Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Masih ada lagikah?” Han Han berkata marah.

“Singgggggg...!”

Sinar merah menyambarnya dan Han Han kembali mengelak dengan mudah. Ternyata di situ telah berdiri pula Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio. Dengan demikian lengkaplah tiga orang murid yang terkenal dari Setan Botak yang sudah mengurungnya bersama puluhan orang prajurit Mancu!

“Hek-pek Giam-ong dan Hiat-ciang Sian-li, aku tidak mencampuri lagi urusan perang, aku hendak mencari adikku dan tidak ingin bertempur. Berilah aku jalan agar aku pergi saja dari sini!” kata Han Han.

Hek-giam-ong yang seperti dua orang saudara seperguruannya tadi memandang Han Han penuh perhatian, terutama sekali ke arah kakinya yang tinggal sebelah, kini berkata dengan suaranya yang parau, sesuai dengan mukanya yang hitam dan tubuhnya yang tinggi besar.

“Han Han, engkau bocah setan sudah buntung kakimu masih menjual lagak. Lebih baik engkau lekas berlutut menyerah menjadi tawanan kami dari pada kami turun tangan membuntungi kakimu yang sebelah lagi!”

Diejek demikian Han Han masih tetap sabar, akan tetapi ia tahu bahwa pertempuran tak mungkin dihindarkan melihat betapa pasukan Mancu itu kini mengepungnya makin ketat dalam jarak dekat, sedangkan tokoh-tokoh sakti yang menyertai penjebakan ini pun menjaga dari empat penjuru.

“Han Han, setelah kakimu buntung, apa sih dayamu menghadapi pasukan kami? Aku sendiri menjadi malu harus bertanding melawan seorang buntung!” kata Pek-giam-ong memandang rendah.

“Minggiriah, biar aku pergi!” Han Han masih bersikap sabar.

“Siuuuttttt... plakkk!”

Tubuh Ma Su Nio terhuyung ke belakang ketika pukulannya tadi ditangkis Han Han seenaknya tanpa menoleh, hanya mengangkat tangan kiri menangkis datangnya pukulan itu dari kiri.

“Sudahlah, aku pergi saja!” Han Han berkata kemudian tubuhnya mencelat ke kanan, menjauhi tiga orang murid Kang-thouw-kwi itu. Ia hendak mendobrak penjagaan para prajurit Mancu yang mengurungnya untuk meloloskan diri.

Melihat ini, enam orang prajurit Mancu bergerak menubruk dan menyerangnya dari segala jurusan, sedangkan jalan keluar telah ditutup oleh penjagaan para prajurit. Han Han tidak melihat jalan keluar, terpaksa ia menggerakkan tangan kanannya mendorong dan enam orang itu terpelanting ke kanan kiri seperti dihempaskan oleh tenaga angin badai yang amat kuat.

Akan tetapi, sebelum Han Han sempat meloncat lagi, terdengar pukulan sakti menyambar dari belakang dan kanan kiri. Hawanya panas bukan main. Kiranya tiga orang murid Setan Botak itu telah menerjangnya dengan marah. Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong menghantamnya dengan pengerahan ilmu pukulan mereka Toat-beng Hwi-ciang sedangkan Ma Su Nio menggunakan ilmu pukulannya yang lebih hebat lagi, yaitu pukulan Hiat-ciang yang mengeluarkan bunyi bercicitan sangat tinggi sehingga membikin anak telinga tergetar.

Ilmu pukulan Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) dari Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong adalah cabang dari ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biar pun kehebatannya tak dapat disamakan dengan Hwi-yang Sin-ciang namun sudah amat dahsyat karena tubuh lawan yang terpukul selain nyawanya melayang juga akan menjadi hangus seperti terbakar kulitnya.

Akan tetapi Hiat-ciang (Tangan Merah) dari Ma Su Nio masih setingkat lebih tinggi lagi dari pada Toat-beng Hwi-ciang. Jika ia menggunakan ilmu ini, sepasang tangan Ma Su Nio menjadi merah darah dan setiap pukulannya selain mengandung hawa panas melebihi pukulan kedua orang kakek, juga membawa bau amis dan mengeluarkan bunyi mencicit tinggi. Berbeda dengan Toat-beng Hwi-ciang yang menghanguskan kulit lawan, pukulan Hiat-ciang ini mengandung racun jahat sekali yang akan meracuni darah lawan hanya oleh hawa pukulan saja, apa lagi kalau sampai bersentuhan atau terkena pukulan tangan merah itu!

Namun, betapa pun lihai dan mengerikan ilmu pukulan dari ketiga orang murid Setan Botak ini, bagi Han Han mereka itu bukan apa-apa. Dia tidak ingin berkelahi, akan tetapi setelah diserang seperti itu, tentu saja dia tidak sabar lagi. Melihat datangnya pukulan dari belakang, kanan dan kiri ini dia mengempit tongkatnya, kakinya yang tinggal sebuah itu berputar sehingga tubuhnya membalik. Tangan kirinya didorongkan ke arah pukulan Ma Su Nio yang berbunyi seperti tikus terjepit sedangkan tangan kanannya membuat gerakan dorongan memutar, sekaligus menghadapi kedua pukulan Hekgiam-ong dan Pek-giam-ong dari depan dan kanan.

“Desssss...!!”

Hawa pukulan yang panas bertumbuk di udara. Terdengar pekik nyaring dan tubuh tiga orang murid Setan Botak itu terbanting dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Han Han tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi tiga orang lawannya itu bergulingan untuk meloncat dan hendak menerobos kepungan, akan tetapi para prajurit Mancu yang sudah menghadangnya telah menubruknya dengan tombak dan golok mereka.

Menghadapi hujan senjata ini, Han Han cepat memutar tongkatnya. Terdengar suara nyaring berkerontangan ketika belasan batang tombak dan golok beterbangan terlepas dari tangan para pemegangnya, bahkan banyak di antara senjata-senjata itu yang patah-patah.

“Setan-setan ganas! Minggirlah, beri jalan! Aku tidak mau berkelahi!” bentak Han Han, akan tetapi tentu saja suaranya tidak dihiraukan orang dan dari depan menyambar belasan batang anak panah sebagai jawaban bentakannya itu.

“Hemmm, benar-benar keparat orang-orang Mancu!” Han Han mulai panas perutnya.

Sekali putar saja, tongkatnya telah meruntuhkan semua anak panah. Para prajurit sudah menyerbu lagi. Ada yang menyerang dengan tombak, pedang, atau golok, akan tetapi banyak pula yang nekat menyerang dengan tangan kosong karena senjatanya telah patah. Mereka menyerang sambil berteriak-teriak, membuat Han Han makin marah.

Empat orang prajurit yang menerjang dari kiri memandang rendah dan merasa girang ketika pemuda buntung itu menyambut terjangan golok mereka dengan tangan kiri yang kosong. Mereka merasa yakin bahwa tentu serbuan mereka sekali ini akan merobohkan atau setidaknya melukai Han Han. Akan tetapi, tiba-tiba ketika tangan kiri pemuda buntung itu digerakkan seperti orang menampar, hawa yang amat dingin menyambar. Tubuh mereka terpelanting ke atas tanah seperti dibanting dan senjata mereka masih tergenggam, akan tetapi empat orang prajurit ini telah menjadi mayat yang darahnya membeku!

Enam orang lain yang datang menerjang dari depan dan kiri disambut dengan tongkat. Demikian cepat gerakan tongkat ini sedangkan tubuh Han Han tetap tidak berpindah tempat, hanya berdiri di atas sebelah kaki, tongkat digerakkan ke arah para pengeroyok. Dalam waktu beberapa detik saja enam orang inipun roboh dan tewas!

“Swinggggg...!”

Han Han cepat merendahkan tubuh, membiarkan sinar pedang yang menusuk ke arah tengkuknya itu lewat di atas kepalanya. Tanpa membalikkan tubuh, tongkatnya lantas menyambar ke belakang, ke arah penyerangnya.

“Trang-tranggg...!”

Tampak api berpijar ketika tongkatnya tertangkis oleh dua batang golok yang digerakkan tenaga kuat. Han Han memutar kaki tunggalnya dan melihat bahwa yang menyerangnya tadi adalah Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio, sedangkan yang menangkis tongkatnya adalah Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Kiranya ketiga orang murid Setan Botak ini sudah bangkit kembali dan kini telah mempergunakan senjata.

Hal ini sebetulnya jarang sekali dilakukan tiga orang itu. Mereka telah menerima gemblengan Kang-thouw-kwi Gak Liat dan telah memiliki ilmu silat tinggi, bahkan kedua orang kakek yang mukanya hitam dan putih itu telah memiliki ilmu pukulan Toat-beng Hwi-ciang, sedangkan Ma Su Nio memiliki Hiat-ciang. Dengan kedua macam ilmu pukulan yang didasari tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang ini, mereka amat percaya akan kemampuan sendiri menghadapi lawan sehingga mereka tidak pernah membutuhkan senjata tajam.

Kedua tangan mereka lebih ampuh dari pada senjata tajam yang mana pun juga. Akan tetapi sekali ini, menghadapi Han Han yang ternyata memiliki tenaga sinkang yang amat luar biasa, jauh lebih kuat dari pada tenaga mereka sehingga mereka itu sama sekali tidak dapat mengandalkan pukulan tangan kosong berdasarkan sinkang, maka setelah mereka bergulingan dan lenyap kepeningan kepala mereka, tiga orang tokoh kaum sesat itu telah menyambar senjata dan menyerang lagi...


BERSAMBUNG KE JILID 18


Pendekar Super Sakti Jilid 17

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PENDEKAR SUPER SAKTI

BAGIAN 17

Perut yang kenyang membuat Han Han mengantuk juga. Memang tubuhnya amat lelah dan sudah beberapa malam ia tidak tidur. Sambil duduk bersandar tiang bambu gubuk itu, Han Han melenggut.

“Huhhhhh... dinginnnnn...!” Suara Hian Ceng membangunkannya.

Han Han melihat api unggun hampir padam. Hawa malam itu memang dingin sekali. Bagi Han Han tentu saja tidak terasa dingin. Dibandingkan dengan hawa di Pulau Es, hawa dingin malam ini di puncak gunung bukan apa-apa!

Akan tetapi ia melihat tubuh gadis yang rebah miring itu agak menggigil. Hian Ceng masih tidur dan mungkin saking dinginnya tadi sampai terucapkan mulutnya. Kedua kakinya ditekuk, kedua lengan memeluk tubuh sendiri, kepala ditundukkan sedalam mungkin sehingga tubuh itu seperti hendak melingkar macam tubuh ular!

Han Han merasa kasihan, lalu menambah kayu pada api unggun. Setelah api unggun membesar, ia lalu mengeluarkan satu stel pakaiannya yang tadi sudah dikeringkan, duduknya digeser mendekati Hian Ceng dan diselimutkanlah pakaiannya itu ke atas tubuh Hian Ceng.

Hian Ceng menghela napas senang, tangannya meraih ‘selimut’ ini dan tanpa disengaja jari-jari tangannya mencengkeram pula tangan Han Han. Ia menarik ‘selimut’ itu makin ke atas dan memeluk pula tangan Han Han. Pemuda ini berdebar jantungnya, akan tetapi tidak berani bergerak, khawatir kalau membangunkan gadis itu sehingga Hian Ceng tentu akan menjadi malu sekali. Maka ia membiarkan saja tangannya dipeluk dan didekap ke atas dada Hian Ceng.

Terasa oleh telapak tangannya betapa jantung gadis itu berdetak halus, betapa dada itu turun naik dengan halus pula, tanda bahwa gadis itu sudah pulas. Namun tangannya didekap dengan kedua tangan oleh gadis itu dan Han Han terpaksa menyandarkan lagi tubuhnya ke dinding, menekan perasaannya, ‘mematikan’ perasaan tangannya yang menumpang dada, lalu ia pun tertidur.

Paginya, kokok ayam hutan dan bau sedap menyengat hidung membuat Han Han terbangun. Ia membuka mata dan cepat menengok ke arah tangannya yang masih terulur ke kanan. Kiranya tangannya itu kini bukan terletak di atas dada Hian Ceng, melainkan di atas tumpukan pakaiannya yang semalam ia selimutkan ke tubuh gadis itu. Ia menengok ke arah kiri dan melihat Hian Ceng dengan wajah segar, agaknya sudah mandi sepagi itu, sedang memanggang daging, agaknya daging kelinci. Mendengar Han Han terbangun, gadis itu menengok dan berkata mencela.

“In-kong, engkau sungguh terlalu. Semalam suntuk tidur sambil duduk saja!”

Han Han menjadi merah mukanya, teringat betapa semalam ia meletakkan tangan di atas dada orang, perbuatan yang sungguh tidak patut sungguh pun tidak ia sengaja.

“Nona, sepagi ini sudah memanggang daging?”

Nona itu tertawa. “Lekaslah mencuci muka, daging sudah hampir matang!”

Han Han tersenyum dan menyambar tongkatnya, berloncatan ke anak sungai yang mengalir dekat gubuk itu. Setelah mencuci muka dan mulut, ia kembali ke gubuk. Hian Ceng sudah menyiapkan panggang daging dan dua cawan besar berisi air panas. Kiranya di sudut gubuk itu memang tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan, tersedia ceret untuk memasak air dan beberapa buah cawan.

Setelah selesai makan daging yang sedap, mereka menghirup air panas. Han Han berkata, “Nona, mulai sekarang harap kau hilangkan saja sebutan In-kong itu. Andai kata benar aku pernah menolongmu, namun sudah terbalas impas oleh pertolonganmu yang berkali-kali terhadap aku.”

“Habis, disuruh menyebut apa? Kongcu?”

“Ihhh, orang macam aku mana patut disebut Tuan Muda?”

“Ah, ya! Semestinya aku menyebutmu taihiap!”

“Jangan, sebut saja namaku, atau sebut saja twako karena aku lebih tua dari padamu, Nona.”

“Ah, mana pantas? Aku menjadi tidak sopan kalau begitu!”

“Nona, setelah apa yang kita bersama alami selama ini, menghadapi bahaya maut dan kita sudah seperti sahabat lama, bahkan lebih dari itu, seperti saudara, perlu lagikah kita bersopan-sopan?”

“Hemmm, kalau engkau juga begitu sopan terhadap aku, In-kong, bagaimana aku tidak seharusnya bersikap sopan pula kepadamu? Engkau menyebutku Nona, bukankah itu bersopan-sopan namanya? Kalau engkau menyebutku adik, tentu aku juga akan ikut menyebutmu kakak.”

Han Han tersenyum. Memang harus ia akui kalau berhadapan dengan seorang gadis yang masih asing, dia merasa likat dan janggal, malu-malu dan gugup. “Baiklah, Moi-moi. Baiklah, Ceng-moi (Adik Ceng), dan kau sebut saja Twako kepadaku.”

“Twako siapa? Engkau sudah mengetahui namaku, tetapi aku belum tahu siapakah sebetulnya penolong besarku ini!”

Kembali Han Han tersenyum. Berdekatan dengan Hian Ceng ini benar-benar dapat mendatangkan kegembiraan sekaligus mengusir mendung kedukaan yang selama ini menyelimuti pikirannya, sejak ia kehilangan Lulu.

“Adikku yang baik, namaku Sie Han. Tetapi Lulu dan kawan-kawan baikku menyebutku Han Han.”

“Han-twako!” Dengan sikap manja dan genit dibuat-buat sehingga tampak lucu sekali Hian Ceng lalu menjura dan bersoja kepada Han Han.

Mereka melanjutkan lagi perjalanan itu, naik turun gunung dan pada keesokan harinya, setelah malam tiba, kembali mereka bermalam di puncak terakhir.

“Sekali ini terpaksa kita harus bermalam di bawah pohon, Twako.”

Han Han merobohkan seekor kijang dengan batu dan malam itu perut mereka kenyang dengan daging kijang yang sedap dan gurih, akan tetapi yang dimakan setelah dipanggang tanpa bumbu. Mereka duduk berdekatan melepaskan lelah di bawah pohon, bersandar batang pohon yang amat besar itu. Setelah kini berganti sebutan, Han Han merasa biasa dan tidak begitu likat lagi terhadap Hian Ceng, dan makin sukalah hatinya kepada gadis ini yang dapat mengobati sakit di hatinya karena rindu kepada adiknya.

“Lima tahun yang lalu, kalau tidak ada Paman Thio Kai, aku dan Ayah telah mati di sini,” kata Hian Ceng sambil termenung, teringat akan pengalamannya ketika melakukan perjalanan dengan ayahnya dan lewat serta bermalam di tempat itu.

“Mengapa? Apa yang terjadi?” Han Han menoleh, melihat betapa rambut gadis itu menjadi kekuningan tertimpa sinar bulan yang telah muncul tinggi.

“Kami diserang halimun beracun...”

“Halimun beracun? Apa itu?”

“Aku sendiri tidak tahu, Twako, akan tetapi menurut keterangan Paman Thio kemudian, halimun beracun itu mengandung inti hawa yang tak mungkin tertahan oleh manusia sehingga manusia yang bertemu dengan halimun beracun di atas gunung tentu akan mati membeku kalau tidak mempunyai pengalaman dan dapat cepat menyelamatkan diri seperti yang dilakukan Paman Thio.”

“Apa penolaknya?” Han Han tertarik sekali. “Kan bisa membuat api unggun?”

“Api akan padam karena kayu bakarnya tiba-tiba menjadi dingin membasah. Untung Paman Thio yang sudah biasa menjelajahi gunung-gunung tinggi bahkan pernah mendaki Gunung Himalaya, sudah cepat menuangkan minyak di atas kayu dan membakarnya. Dengan terus menambah minyak, api unggun itu tidak menjadi padam, dan Paman Thio menyuruh kita menggali lubang secepatnya di tanah dekat api unggun. Kami semua berlindung di dalam lubang dan dihangatkan oleh api minyak. Kami selamat, akan tetapi pada keesokan paginya kami mendapatkan sebelas orang teman yang juga diserang halimun beracun itu telah mati dalam keadaan mengerikan. Mereka itu ada yang masih duduk bersila, ada yang memeluk batang pohon, akan tetapi kesemuanya sudah mati kaku dan semua darah di tubuh mereka membeku!”

Han Han tertarik sekali. Ia membayangkan betapa panik dan menderitanya orang-orang yang terserang hawa dingin yang melebihi kekuatan daya tahan tubuh manusia. Orang-orang yang menjadi teman-teman seperjuangan ayah gadis ini tentulah bukan orang sembarangan dan sudah memiliki sinkang yang kuat, namun tetap saja tidak dapat bertahan terhadap serangan hawa dingin dari halimun beracun itu.

“Twako, celaka...!” Tiba-tiba Hian Ceng berteriak kaget.

Han Han cepat menoleh dan baru ia melihat betapa api unggun yang tadi bernyala besar tiba-tiba padam dan tempat itu menjadi gelap. Rambut Hian Ceng tidak bersinar kuning lagi, bahkan makin lama makin tak tampak, sedangkan hawa menjadi luar biasa dinginnya!

“Han-twako... halim... mun... beracun... kita lari saja..., akan tetapi ke mana... yang tidak ada halimunnya...?” Suara Hian Ceng sudah menggigil, agaknya gadis itu takkan dapat bertahan lama. Memang Han Han dapat merasakan betapa dinginnya kabut hitam yang disebut halimun beracun ini.

“Han-twako...!”

“Ceng-moi, tenanglah. Ada aku di sini, jangan khawatir.”

“Di... dinginnn... tak tertahankan...”

“Menggeserlah ke sini, jangan tempelkan punggungmu ke pohon. Biar kubantu engkau melawan dingin.”

Hian Ceng tadi sudah mengerahkan sinkang-nya, akan tetapi rasanya percuma saja, hawa dingin makin menusuk-nusuk dan telinganya mendengar suara menderu aneh seperti banyak iblis tertawa-tawa. Ia masih dapat mendengar perintah Han Han, maka ia menggeser duduknya ke kiri, mendekati pemuda itu. Tiba-tiba ia merasa betapa sebuah telapak tangan meraba kemudian menempel di punggungnya, tepat di tulang punggung. Belum lama telapak tangan pemuda itu menempel di punggungnya, tiba-tiba ia merasa ada serangkum hawa panas menyengat punggung.

Ia terkejut dan merintih lirih, akan tetapi kemudian hawa panas membakar itu perlahan-lahan membuyar dan tergantilah hawa hangat yang menjalar ke seluruh tubuhnya dan terus hawa hangat itu berputaran dari ujung kaki sampai ke ubun-ubun! Serangan hawa yang tadinya amat dingin itu kini terasa hangat dan nyaman sekali sehingga Hian Ceng menjadi mengantuk bukan main! Tanpa disengaja ia menyandarkan tubuhnya ke belakang dan kepalanya berbantal dada Han Han, matanya sukar dibuka lagi saking mengantuknya! Akan tetapi ada bisikan di dekat telinganya.

“Ceng-moi, jangan tidur... kerahkan sinkang-mu, terima bantuan Yang-kang dariku dan salurkan ke seluruh tubuh, kalau kau tidur, berbahaya...!”

Hian Ceng teringat dan menjadi terkejut. Biar pun ia masih menyandarkan kepalanya, kini ia mengerahkan sinkang-nya dan benar saja, hawa hangat itu yang tadinya berhenti kini mengalir kembali.

Kurang lebih sejam kemudian, Han Han berkata, “Sudah aman... kabut dingin sudah lewat!”

Akan tetapi begitu ia menghentikan pengerahan sinkang-nya, Hian Ceng tak dapat menahan kantuknya dan ia sudah tidur nyenyak berbantal pundak Han Han dan karena kepalanya miring maka dahinya menempel dagu Han Han!

Pemuda ini menghela napas panjang, berbahaya, pikirnya. Benar-benar kekuasaan alam amat dahsyat. Kalau saja ia dahulu tidak tekun berlatih di Pulau Es, agaknya sinkang-nya tidak akan mampu melawan halimun beracun itu. Suara aneh seperti banyak iblis tertawa tadi adalah suara daun-daun yang membeku dan rontok! Kini sinar bulan tampak lagi dan ia menunduk. Wajah Hian Ceng tertimpa sinar bulan, bukan main cantiknya. Jantung pemuda ini berdebar keras dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi panas.

“Alangkah cantiknya... bibir itu... begitu dekat, mata tertutup dihias bulu-bulu mata yang bersatu, kelihatan panjang melentik, kedua pipi yang merah, segar bagaikan buah apel... hawa yang hangat berhembus dari hidung dan mulut yang setengah terbuka. Kalau aku menciumnya, siapa yang tahu?” Demikian terdengar bisikan hatinya dengan suara merayu dan membujuk.

“Gila engkau!” hardik suara lain di dasar hatinya. “Buang jauh-jauh niat busuk, kotor dan cabul itu!”

“Aaahhhhh, siapa bilang kotor dan cabul? Dia begini cantik manis, seperti setangkai bunga atau sebutir buah masak. Betapa sayangnya bunga harum tidak dicium dan buah manis tidak digigit. Hayolah, hanya sekali ciuman di bibir yang menggairahkan itu, apa salahnya? Dia tidak akan marah, karena dia tidak tahu dan...,” suara itu makin lembut, “Andai kata dia tahu sekali pun, dia tidak akan marah. Sinar matanya padamu begitu lembut, membayangkan kagum dan sayang...”

“Tidak!” Suara ke dua membentak. “Seorang gagah menggunakan kesempatan begini, untuk mencuri ciuman!”

“Bukan mencuri...,” bantah suara ke dua halus. “Baru saja engkau menyelamatkan nyawanya dari bahaya maut, dibalas sekali ciuman mesra apa salahnya? Dan ingat, dia sendiri yang menyandarkan kepalanya di bahumu, dia begitu mesra... kau seorang laki-laki muda, masa begitu bodoh...?”

Han Han memandang wajah itu, bibirnya menggigil, matanya menjadi sayu. Bukan main! Wajah itu demikian cantiknya, cantik jelita melebihi segala keindahan yang pernah dilihatnya! Tak dapat menahan lagi dia! Dia harus mencium wajah Hian Ceng, biar pun hanya satu kali, biar pun dengan mencuri. Mulut itu begitu dekat, dia tinggal menunduk sedikit saja dan bibir mereka akan bertemu. Mesra!

Han Han sudah menunduk, tiba-tiba bagaikan kilat berkelebat memasuki otak dan ingatannya, ia terbayang akan peristiwa di Istana Pulau Es ketika dia terpengaruh racun dan dengan penuh gairah dan birahi memuncak, dia dan Lulu juga saling mencumbu, dan saling memeluk cium dan betapa kemudian dia merasa amat menyesal dan untung masih belum terlanjur!

Ketika bibirnya menyentuh bibir Hian Ceng, Han Han teringat dan dengan kaget sekali ia mendapat kenyataan bahwa saat itu ia hendak mengulangi lagi adegan yang dulu ia lakukan bersama Lulu di bawah pengaruh racun! Dan sekarang, tidak ada racun yang mempengaruhi dirinya, namun mengapa ada dorongan yang mukjizat mendesaknya sehingga ia ingin sekali melumat bibir itu penuh nafsu, mencengkeram dan membelai tubuh di depannya ini? Mengapa?

Tiba-tiba Han Han merenggutkan mukanya dari muka gadis itu, membalikkan tubuhnya dan membentak, “Bedebah Suma Hoat...!”

Tangannya yang mengerahkan tenaga sinkang telah menghantam pohon itu sehingga terdengar suara keras, tangannya menerobos masuk ke dalam batang pohon besar sampai sesiku dan pohon itu bergoyang keras, daun-daunnya banyak yang rontok berguguran!

“Aihhhhh...! Ada... ada apa...?” Hian Ceng meloncat kaget dan mundur-mundur melihat Han Han berdiri tegak dengan muka tersinar cahaya bulan, amat menyeramkan. Tiba-tiba gadis ini menjerit lagi ketika Han Han melompat dan menghantam sebatang pohon di sebelah kirinya, kini menggunakan dorongan dengan tenaga sinkang sehingga pohon itu roboh, lalu meloncat ke kanan mendorong roboh pohon lain, mulutnya memaki-maki.

“Si keparat engkau, Suma Hoat...!”

Sudah ada sepuluh batang pohon roboh oleh amukan Han Han.

“Han-koko...!” Seruan yang merupakan jerit melengking ini memasuki telinga Han Han seperti suara Lulu, seketika lemaslah tubuhnya, otot-ototnya seperti dilolos dan ia menoleh dan berbisik.

“Lulu...!” bisiknya mengandung isak.

Hian Ceng menubruk dan merangkulnya, berkata dengan suara penuh kekhawatiran.

“Han-koko...! Kau kenapakah...?”

Han Han mengangkat tangannya, mengelus kepala gadis itu dan hatinya lega. Kini telah minggat nafsu birahi yang tadi membakarnya, telah lenyap dorongan hati yang ia anggap sebagai warisan watak dan darah kakeknya, Jai-hwa-sian Suma Hoat. Kini ia dapat membelai rambut gadis itu tanpa nafsu birahi, sewajarnya timbul dari kasih seperti kalau dia membelai rambut Lulu.

“Tidak apa-apa, Ceng-moi. Tadi aku mengusir setan...”

Tubuh gadis itu menggigil. “Aihhh... betul-betulkah ada iblis yang menggerakkan halimun beracun tadi?”

Han Han mengangguk. Pada saat seperti itu lebih baik dia membohong. Tidak mungkin ia menceritakan keadaan yang sebenarnya. “Agaknya begitulah, Moi-moi. Akan tetapi iblis-iblis itu telah pergi dan kabut dingin telah lenyap. Mari kita membuat api unggun.”

Setelah api unggun menyala dan hawa menjadi hangat, keduanya bersandar pada pohon dan berusaha untuk tidur. Namun Han Han tak dapat memejamkan mata sekejap pun, hatinya masih ngeri kalau ia membayangkan gelora nafsu yang menguasainya tadi. Juga gadis itu tidak tidur lagi, hatinya masih ngeri kalau mengingat halimun beracun.

“Twako, besok kita berpisah, Twako akan ke Cung-king bersama para penjaga yang akan kita temui di kaki gunung besok pagi, dan aku akan mulai mencari adikmu ke Kwang-yang.”

“Hemmm, baiklah, Ceng-moi.”

“Twako, dua kali kau sudah menyelamatkan aku. Pertama menyelamatkan aku dari pada bahaya yang mengerikan sekali, kedua menyelamatkan aku dari pada maut di cengkeraman iblis halimun beracun. Twako, kau sungguh baik sekali...”

“Sudahlah, Moi-moi. Tidak perlu menyebut-nyebut hal itu lagi...” Han Han mendekati api unggun dan menambah kayu sehingga api menyala lebih besar. “Tidurlah...”

“Twako, aku akan mencari adikmu sampai dapat! Sungguh, akan kukerahkan segala kemampuanku untuk mencarinya. Kalau sudah dapat kubawa kepadamu... Twako, kau berjanjilah... kau perbolehkan aku ikut denganmu. Aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi, dan di dekatmu aku merasa aman, merasa tenteram dan senang.”

“Ceng-moi, hal itu belum perlu dibicarakan sekarang. Kau tidurlah...” Suara Han Han terdengar terharu penuh duka, dan kembali pemuda ini menambah kayu pada api unggun sehingga nyalanya makin membesar.

Tiba-tiba Hian Ceng sudah berjongkok di sebelahnya, memegangi kedua lengannya dan berkata, “Han-koko, mengapa engkau berduka lagi? Engkau agaknya menderita sekali... ahhh, percayalah, Koko, aku pasti akan berusaha dengan seluruh jiwa ragaku untuk membahagiakanmu...”

Han Han memandang dan betapa kaget hatinya ketika melihat pandang mata gadis ini persis pula pandang mata Kim Cu, juga pandang mata Sin Lian dan pandang mata mendiang Lu Soan Li! Pandang mata penuh cinta kasih! Cepat ia membuang muka dan merenggut lengannya dengan halus.

“Ceng-moi... maafkan aku, biarkanlah aku sendiri... tidurlah dan besok pagi dapat kita bicarakan lagi...!” Di dalam suaranya terbayang penuh permintaan sehingga gadis itu menjadi kasihan, menarik napas panjang dan kembali ke pohon, bersandar mencoba tidur. Akan tetapi, berkali-kali ia menengok dan memandang Han Han yang duduk menghadapi api unggun, membelakanginya. Baru setelah menjelang pagi gadis itu dapat tidur pulas.

Akan tetapi, ketika sinar matahari yang menembus celah-celah daun mencium pipinya dan membangunkannya, Hian Ceng tidak melihat lagi Han Han berada di situ. Pemuda itu sudah pergi dan di atas tanah dekat api unggun yang sudah padam, Hian Ceng melihat tulisan yang cukup jelas.

Aku ke Cung-king, tak perlu dikawal. Sampai jumpa.

Hian Ceng menghela napas panjang. Dunia terasa sunyi setelah pemuda buntung itu meninggalkannya. Akan tetapi ia tidak merasa khawatir bahwa Han Han pergi ke Cung-king tanpa pengawal. Pemuda buntung itu bukan manusia biasa, kepandaiannya hebat dan agaknya akan mampu mengatasi segala perkara yang dihadapinya. Hian Ceng kembali menghela napas, teringat akan semua pengalamannya dengan Han Han yang biar pun hanya berkumpul beberapa hari namun amat mengesankan dan menegangkan hatinya.

Ah, ia merasa yakin bahwa Han-koko-nya akan mampu mengatasi segala perkara yang menimpa dirinya, akan tetapi ia ragu-ragu apakah pemuda itu akan dapat mengatasi dirinya sendiri. Pemuda itu kelihatan selalu berduka, dan peristiwa malam itu sungguh mengerikan, ketika pemuda itu berperang dengan ‘iblis’ yang ia dapat menduga tentu berada dalam dirinya sendiri. Pemuda itu sering kali menderita hebat karena di dalam tubuhnya terdapat dua kekuatan yang saling berlawanan!

Dia harus mencari Lulu sampai dapat, membawanya kepada Han Han kemudian dia tidak akan mau berpisah lagi! Setelah mengambil keputusan ini dalam hatinya, Hian Ceng pergi dari situ ke Kwang-yang...

******************


Seperti ketika dia memasuki kota raja Peking, ketika Han Han memasuki Cung-king buntungnya sebelah kakinya tidak menarik perhatian orang karena di Se-cuan pun banyak terdapat penderita cacat akibat perang. Hanya rambutnya yang panjang dan sinar matanya yang tajam luar biasa itulah yang menarik perhatian orang. Sebaliknya, Han Han menjadi kagum ketika ia memasuki kota besar ini karena ia merasa seolah-olah memasuki sebuah dunia yang lain.

Amat jauh bedanya keadaan di kota ini dengan kota-kota lain di luar perbatasan. Bukan hanya cara berpakaian dan rambut, di mana tidak tampak rambut dikuncir seperti di kota-kota jajahan, juga cara mereka itu bicara, pandang mata dan sikap penduduk ini semua bersemangat dan gagah. Belum lama ia memasuki kota Cung-king dan sedang mencari-cari di mana gerangan istana tempat tinggal Bu Sam Kwi, raja muda yang menguasai daerah Se-cuan dan yang namanya terkenal sekali, atau di mana kiranya ia akan dapat bertemu Sin Kiat, tiba-tiba ada orang memegang lengannya dan berkata.

“Sahabat muda, marilah singgah di rumahku. Tentu engkau baru datang dari garis depan, bukan?”

Han Han menengok dan melihat seorang laki-laki setengah tua yang sikapnya ramah sekali. Hatinya terharu ketika melihat bahwa orang ini pun buntung sebelah kakinya, terpincang-pincang dan membawa tongkat seperti dia. Tubuhnya tinggi besar dan kuat, dan seluruh sikapnya jelas membayangkan bahwa orang ini tentu seorang pejuang.

“Terima kasih, Paman. Aku ada perlu penting, tidak mempunyai banyak waktu,” jawab Han Han ramah.

“Kalau begitu, mari kita minum teh hangat di warung itu. Aku ingin sekali mendengar penuturanmu tentang perang. Tentu menarik sekali. Nasib kita sama, sebelah kakiku pun hilang dalam perang. Akan tetapi aku tidak menyesal. Jangankan hanya satu kaki, biar nyawaku sekali pun kurelakan demi membela bangsa dari cengkeraman penjajah!”

Han Han merasa jantungnya tertikam. Dia terharu sekali. Orang ini benar-benar bahagia. Biar kehilangan kaki, tetapi orang ini kehilangan dengan hati rela karena kakinya hilang tidak percuma, namun untuk perjuangan membela bangsa. Kehilangan kakinya bahkan merupakan pupuk bagi suburnya semangat perjuangan. Kalau dia? Kakinya buntung dengan sia-sia. Konyol! Hatinya terharu dan ia tidak dapat menolak lagi. Keduanya terpincang-pincang memasuki warung makan. Penjaga warung menyambut mereka dengan wajah ramah.

Mereka makan bubur ayam dan minum teh panas yang dipesan laki-laki besar buntung itu. Bermacam-macam pertanyaannya yang dijawab dengan singkat saja oleh Han Han. Untuk menyenangkan hati orang itu dan menghindarkan kecurigaan, dia membenarkan bahwa dia kehilangan kaki ketika dia membantu pihak pejuang dalam perang melawan penjajah. Akhirnya Han Han menutup kata-katanya dengan ucapan sungguh-sungguh.

“Paman yang gagah, terima kasih atas keramahanmu. Memang sebetulnya aku bukan anggota pasukan pejuang, akan tetapi kedatanganku ini membawa berita penting sekali yang harus kusampaikan sendiri kepada Bu-ongya. Di manakah istananya?”

Tiba-tiba laki-laki buntung itu bangkit berdiri, bersandar pada tongkatnya dan bertanya dengan suara yang kaku, tidak seramah tadi, “Orang muda, di pihak siapakah kau berdiri? Pangeran Kiu ataukah Raja Muda Bu?”

Han Han menjadi bingung dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, aku tidak di pihak siapa-siapa.”

“Bagus! Mari kita keluar dari sini dan bicara di luar.” Orang itu membayar harga bubur dan teh, menggandeng tangan Han Han dan terpincang-pincang keluar. Karena kini ada dua orang buntung jalan bersama dan bercakap-cakap, hal ini menarik perhatian orang juga, tetapi yang ditujukan kepada mereka adalah mata yang mengandung kasihan.

“Hiante, engkau orang yang baru datang, akan tetapi jasamu sudah jelas karena engkau telah mengorbankan sebelah kaki untuk perjuangan. Kesetiaan dan kebaktianmu terhadap tanah air dan bangsa sudah terbukti. Aku tidak tahu apa yang akan kau sampaikan kepada Bu-ongya, akan tetapi kiranya perlu kuberitahukan kepadamu bahwa di sini terjadi perbedaan paham sehingga timbul tiga macam paham. Pertama adalah paham Bu-ongya yang bertekad untuk berjuang mati-matian sampai titik darah terakhir mempertahankan kerajaannya. Mempertahankan kerajaannya! Mengertikah engkau, Hiante? Dan kedua adalah paham Pangeran Kiu yang menganjurkan agar berdamai, bukan takluk, berdamai dengan penjajah Mancu dengan syarat-syarat yang menguntungkan pihak Se-cuan. Nah, yang ketiga adalah paham yang paling murni, tidak mementingkan diri pribadi, yaitu paham para pejuang yang datang dari luar Se-cuan, yang berjuang demi tanah air dan bangsa, sama sekali tidak ingin menjadi raja atau mendapat kemuliaan. Seperti... seperti engkau dan aku. Nah, selamat berpisah, kalau engkau masih hendak mengunjungi Bu-ongya, hal yang tentu saja tidak mungkin atau akan sulit sekali, nah, itu di sana istananya, yang atapnya menjulang tinggi!” Laki-laki buntung itu lalu meninggalkan Han Han. Pemuda ini berdiri termangu-mangu dan heran mendengarkan keterangan yang diucapkan dalam bisikan-bisikan itu.

Ah, dia tidak peduli akan urusan itu. Yang penting, dia harus menyampaikan rencana penyerbuan tentara Mancu untuk menyelamatkan Se-cuan. Perebutan kekuasaan telah terjadi di mana-mana dan dia tak akan melibatkan diri. Tugasnya hanya menyampaikan rencana Mancu yang merupakan ancaman bagi rakyat Se-cuan, kemudian ia akan mencari Lulu.

Han Han yang telah melangkah, berhenti lagi. Teringat ia akan ucapan laki-laki gagah yang buntung tadi. Laki-laki itu kehilangan kakinya untuk berdarma bakti kepada tanah air dan bangsa. Kalau dia? Kakinya buntung dengan sia-sia! Tidak, dia harus pula menyumbangkan tenaga untuk membantu rakyat dan bangsanya yang terancam penyerbuan Se-cuan. Bala tentara Mancu dibantu orang-orang pandai seperti Setan Botak, Iblis Muka Kuda, Toat-beng Ciu-sian-li dan masih banyak lagi tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi.

Mereka itu bukan hanya membantu penjajah, akan tetapi juga terkenal sebagai tokoh-tokoh kaum sesat yang sudah sepatutnya kalau dia tentang. Dia akan membantu Se-cuan, bukan semata-mata untuk ikut melibatkan diri dalam perang yang dibencinya, namun terutama sekali untuk membela rakyat yang akan menderita karena penyerbuan bala tentara Mancu, untuk menentang tokoh-tokoh kang-ouw yang jahat itu. Bukankah adiknya Lulu juga telah membantu perjuangan Pek-lian Kai-pang? Adiknya benar. Bukan memusuhi bangsa Mancu atau bangsa apa pun juga, melainkan menentang kelaliman dan kejahatan, dari mana pun juga datangnya!

Dengan langkah lebar Han Han menuju ke pintu gerbang besar di depan istana yang cukup megah itu. Beberapa orang penjaga segera menghadangnya, tak lama kemudian ia sudah berhadapan dengan tujuh orang penjaga dengan seorang komandan jaga.

“Ho-han (Orang Gagah) hendak mencari siapakah? Apakah hendak mengunjungi Ho-han Bu-koan?” tanya komandan jaga dengan sikap hormat.

Kalau saja Han Han menjawab dengan anggukan kepala, tentu ia akan diberi jalan karena memang para penjaga sudah biasa melihat orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh memasuki istana untuk pergi ke Ho-han Bu-koan, yaitu sebuah gedung besar yang khusus disediakan oleh Bu Sam Kwi untuk menampung orang-orang gagah dari luar Se-cuan yang melarikan diri ke Se-cuan untuk menggabungkan diri menghadapi penjajah.

Akan tetapi Han Han menggeleng kepala! Bahkan ia lalu menjawab, “Tidak, aku mohon menghadap Bu-ongya.”

Para penjaga itu terkejut dan memandang Han Han penuh perhatian dan kecurigaan. “Ada keperluan apakah hendak menghadap Ongya?”

“Urusan penting yang hanya akan saya sampaikan kepada Bu-ongya sendiri.”

“Tidak begitu mudah, orang muda. Kalau engkau membawa surat penting, katakan dari siapa. Kalau engkau membawa pesan, katakan engkau utusan siapa agar kami dapat melaporkan ke dalam.”

Han Han menggeleng kepala. “Laporkan saja bahwa aku mohon menghadap Bu-ongya untuk keperluan yang amat penting, aku membawa berita yang amat penting bagi keselamatan Se-cuan.”

Ada yang terbelalak mendengar ini, ada pula yang tertawa. Agaknya pemuda ini seorang yang miring otaknya, pikir mereka. Berita apakah yang dapat menyelamatkan Se-cuan? Seolah-olah Se-cuan dapat diancam begitu saja!

Akan tetapi komandan jaga yang dapat menduga bahwa pemuda buntung itu tentu bukan orang sembarangan, melihat sikapnya yang dingin dan sinar mata yang tajam mengerikan itu, lalu berkata.

“Kalau Ho-han hendak menghadap Ongya, harus lebih dulu menghadap ke Ho-han Bu-koan. Mari, silakan, Ho-han!”

Han Han tidak tahu apa itu yang disebut Ho-han Bu-koan (Rumah Silat Kaum Ho-han), tetapi ia pun tidak peduli asal dia diperbolehkan bertemu dengan Bu Sam Kwi untuk melaporkan rencana penyerbuan oleh tentara Mancu seperti yang ia dengarkan dari rapat yang dipimpin Setan Botak. Ia mengangguk dan terpincang-pincang mengikuti komandan jaga itu.

Mereka memasuki pekarangan istana yang lebar dan karena dikawal oleh komandan jaga, maka para penjaga dan pengawal hanya memandang Han Han penuh perhatian. Agaknya mereka merasa heran mengapa ada pemuda pincang hendak pergi ke Ho-han Bu-koan. Selihai-lihainya orang pincang bisa apa sih? Kakinya pun tinggal satu!

Komandan jaga itu membawa Han Han memasuki sebuah gedung yang besar, juga di samping kanan istana. Di depan gedung ini terdapat papan nama dengan huruf-huruf besar dan gagah, tulisan tangan yang indah sekali, hanya empat huruf: HO HAN BU KOAN. Berbeda dengan istana yang bagian depannya penuh dengan penjaga dan pengawal, gedung ini tidak dijaga dan pintunya yang lebar pun terbuka. Komandan jaga mengajak Han Han memasuki pintu. Ruangan depan kosong saja dan komandan itu berkata kepada Han Han.

“Para Ho-han tentu sedang berkumpul di dalam. Mari kita masuk saja, Ho-han!”

Han Han mengangguk dan bersikap waspada, tetapi ia hanya mengikuti komandan jaga itu memasuki ruangan dalam sambil terpincang-pincang dibantu tongkatnya. Begitu melewati pintu tembusan, tampaklah sebuah ruangan yang amat luas dan di situ tampak berkumpul banyak sekali orang. Ada empat puluh orang lebih dengan sikap seenaknya, ada yang duduk di atas meja, ada pula yang duduk bersila di atas tanah dan rebah-rebahan di lantai. Sikap orang-orang kang-ouw yang tidak acuh!

“Apa pun yang terjadi di atasan, apa pun yang mereka perebutkan, kita tidak peduli, yang penting, hancurkan penjajah Mancu!” Terdengar seorang laki-laki tinggi kurus berkata sambil menggunakan sepasang sumpit yang istimewa panjang dan besarnya, sumpit gading, menjemput sepotong daging dari mangkok di atas meja dan melempar daging itu ke mulutnya. Ya, melemparnya karena ia hanya menggerakkan sumpit itu dan dagingnya terlempar memasuki mulutnya yang ternganga, lalu dikunyahnya mengeluarkan suara seperti babi sedang makan! Orang ini yang menarik adalah matanya, karena matanya buta sebelah, hanya sukar dikatakan yang mana yang buta, karena yang kiri hanya tampak putih saja sedangkan yang kanan hanya tampak guratan hitam!

Agaknya mereka sedang membicarakan tentang pertentangan paham antara Bu-ongya dan Pangeran Kiu seperti yang ia dengar dari laki-laki buntung tadi. Munculnya Han Han bersama komandan jaga membuat semua orang menghentikan percakapan dan mereka menengok, memandang ke arah Han Han penuh perhatian dan penyelidikan, agak curiga karena mereka tidak mengenal pemuda buntung ini.

“Harap cu-wi Ho-han (Orang-orang Gagah Sekalian) suka memaafkan. Ho-han muda ini datang dan mengatakan mohon menghadap Ongya karena membawa berita yang penting bagi keselamaian Se-cuan tanpa mau memberi tahu kepada saya. Karena meragukan keterangannya maka saya antar ke sini agar cu-wi dapat menyelidik dan memberi keputusan. Terserah!” Komandan jaga itu lalu keluar dari situ setelah sekali lagi memandang Han Han penuh kecurigaan.

Sejenak sunyi di ruangan itu ketika semua mata ditujukan kepada Han Han. Pemuda ini memandang ke sekeliling, memperhatikan ruangan yang bersih dan indah itu. Di tengah ruangan terdapat permadani berwarna biru tua yang bersih dan indah, dan di dekat pintu terdapat jendela besar yang tidak berdaun, terbuka memperlihatkan sebuah kebun yang indah pula sehingga ruangan ini mendapat hawa dari luar yang amat sejuk. Karena ruangan itu amat bersih, tidak heran orang-orang kang-ouw itu duduk atau rebah di atas lantai begitu saja.

Karena tidak ada orang yang menegurnya, Han Han menjadi tidak sabar dan ia bergerak maju terpincang-pincang ke tengah ruangan, di atas permadani biru tua dan berkata.

“Maafkan saya. Sesungguhnya komandan jaga itu keliru mengantar saya ke sini karena saya tidak mempunyai urusan dengan cu-wi Enghiong sekalian. Saya hanya ingin bertemu dengan Raja Muda Bu Sam Kwi untuk menyampaikan urusan yang amat penting.”

Akan tetapi alangkah heran hati Han Han ketika melihat betapa semua orang memandangnya dengan mata marah, bahkan seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang bertubuh kurus dan bermuka pucat sudah meloncat maju menghadapinya di atas permadani biru dan membentak.

“Sahabat yang gagah, perkenalkan namamu!”

Han Han menjadi makin heran. Laki-laki ini bersikap gagah, kata-katanya pun tanpa nada permusuhan sebab menyebutnya sahabat yang gagah, akan tetapi nada suaranya marah! Ia menjura dan menjawab, “Namaku Han Han.”

“Siapa gurumu? Dari golongan mana? Selama berjuang ikut rombongan yang dipimpin siapakah?”

Menghadapi pertanyaan bertubi-tubi seperti seorang hakim memeriksa pesakitan ini, berkerutlah alis Han Han, akan tetapi karena pertanyaan itu diajukan dengan sopan dan semua orang agaknya memperhatikan, ia menganggap bahwa memang sikap orang-orang kang-ouw ini aneh, maka ia pun menjawab singkat.

“Nama guruku tidak boleh kuperkenalkan orang lain, aku bukan dari golongan mana pun dan aku tidak pernah ikut berjuang!”

“Aaahhhhhh...!” Seruan ini terdengar dari banyak mulut dan semua orang memandang dengan penuh kecurigaan, bahkan ada bisikan dari sudut, “Jangan-jangan mata-mata anjing Mancu...!”

Mendengar ini, Han Han mengangkat muka memandang mereka dan berkata lagi, “Aku bukan pejuang, bukan pula mata-mata Mancu, tetapi aku datang untuk menyampaikan berita yang amat penting bagi Raja Muda Bu Sam Kwi!”

“Manusia sombong!” laki-laki kurus yang berdiri di depannya membentak lagi. “Tidak perlu banyak bicara yang tidak-tidak lagi, aku Sin-jiauw-eng (Garuda Cakar Sakti) Lo Hwat menyambut tantanganmu. Lihat serangan!”

Han Han terkejut sekali karena mendadak orang kurus itu mencengkeram ke arah dadanya. Ia pikir tidak perlu membantah lagi, biarlah kalau dia dianggap sombong dan menantang. Dia pun tidak menangkis atau mengelak, hanya mengerahkan sinkang pada dadanya yang dicengkeram.

Melihat betapa pemuda buntung ini sama sekali tidak mengelak mau pun menangkis, Sin-jiauw-eng Lo Hwat kaget dan cepat mengubah serangan mencengkeram menjadi dorongan telapak tangan. Dia adalah seorang gagah, tentu saja tidak mau membunuh orang yang tidak mau mempertahankan diri, sungguh pun orang ini telah berani berdiri di atas permadani biru! Han Han sama sekali tidak tahu bahwa sudah menjadi ‘hukum’ di Ho-han Bu-koan itu bahwa siapa yang berdiri di atas permadani biru itu berarti menantang yang hadir untuk pibu (mengadu ilmu silat)!

“Bukkk!”

Tubuh Han Han sedikit pun tidak bergoyang akan tetapi sebaliknya Lo Hwat yang memukulnya dengan dorongan keras malah terjengkang! Semua orang yang hadir mengeluarkan seruan kagum. Lo Hwat terkenal sebagai seorang yang memiliki tenaga lweekang kuat sekali di samping keahliannya mempergunakan jari tangan sebagai cakar garuda. Kini, Si Garuda Cakar Sakti itu memukul dada pemuda buntung ltu dan roboh terjengkang sendiri!

“Aku tidak ingin berkelahi,” kata Han Han.

Akan tetapi Lo Hwat sudah mencelat bangun lagi, matanya menjadi merah saking malu, marah dan penasaran. Dia tadi menaruh kasihan, siapa akan mengira bahwa dia malah dibikin malu oleh bocah buntung ini. Sambil berseru keras ia lalu meloncat ke atas, kemudian dari atas tubuhnya menyambar bagaikan seekor burung garuda, kedua tangannya membentuk cakar, yang kanan mencakar ke arah kepala Han Han sedangkan yang kiri mencengkeram ke arah pundak.

Han Han menjadi penasaran. Serangan lawan sekali ini amat berbahaya dan kalau dia diam saja, hanya menggunakan sinkang melindungi tubuh, dia tentu akan dianggap menghina atau juga takut. Dengan kaki satu masih berdiri tegak, ia mengelebatkan tongkatnya ke atas. Gerakan tongkatnya cepat bukan main, tahu-tahu sudah menempel kedua lengan lawan dan sekali ia membanting, tubuh Lo Hwat sudah terguling ke atas lantai dan terbanting, sedangkan Lo Hwat ini sama sekali tidak tahu mengapa tubuhnya tiba-tiba jatuh.

Ketika ia memandang, pemuda buntung itu masih berdiri tegak di atas satu kaki, tongkatnya dikempit di bawah ketiak kiri dan kedua lengannya bersedakap! Kemarahan Lo Hwat memuncak. Dia terjatuh di depan pemuda itu dan ketika ia merangkak bangun dan berlutut, tampak seolah-olah ia berlutut di depan pemuda buntung itu! Kemarahan membuat orang menjadi mata getap. Demikian pula dengan Lo Hwat. Dia terkenal sebagai orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dua kali ia dirobohkan oleh pemuda buntung ini yang kelihatannya sama sekali tidak bergerak, dijatuhkan di depan sekian banyaknya orang gagah. Inilah yang membuat dia malu dan merasa terhina sehingga kemarahannya membakar hati dan kepala.

Tiba-tiba ia menggereng dan tangan kanannya yang sudah ia kepal dengan pengerahan lweekang sekuatnya, ia pukulkan ke arah pusar Han Han dengan tubuh masih berlutut atau setengah berjongkok. Hebat bukan main pukulan maut ini dan terdengarlah seruan-seruan kaget dari mulut beberapa orang gagah di situ yang menganggap perbuatan Lo Hwat ini melewati batas dan juga amat keji dan curang.

“Desssss!”

Pukulan itu memang hebat sekali karena dilakukan dengan pengerahan tenaga dalam yang keluar dari pusar, sedangkan yang dipukul juga bagian yang lemah, yaitu pusar. Tentu saja bagian lemah bagi orang biasa, akan tetapi pemuda buntung itu sama sekali ia tidak mengelak bahkan mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada orang yang gagah akan tetapi berangasan ini. Ia mengerahkan sinkang, menerima pukulan dan mengembalikan hawa yang mendorong pukulan itu kepada penyerangnya. Tenaga dalam itu membalik dan menyerang Lo Hwat sendiri sehingga dia memekik keras dan roboh terlentang di atas permadani dalam keadaan pingsan karena dadanya terluka oleh pukulannya sendiri!

“Omitohud...! Bukan main bocah buntung ini, ilmunya boleh juga!” Dua orang yang berpakaian seperti hwesio, berkepala gundul dan mereka berkalung sarung berwarna kuning, bangkit berdiri dan melangkah maju, yang tinggi besar dan gemuk di depan sedangkan yang kecil pendek kurus di belakangnya.

Akan tetapi, pada saat itu terdengar bentakan keras, “Bocah buntung yang sombong, engkau berani menghina muridku? Biarlah aku mencoba kelihaianmu. Perkenalkan aku, Tok-gan-siucai (Pelajar Bermata Tunggal) Gu Cai Ek!”

Kiranya kakek berusia lima puluhan tahun yang matanya putih satu hitam satu dan yang memegang sumpit gading tadi sudah berdiri di atas permadani menghadapi Han Han. Pemuda ini masih berdiri dengan kaki satu, tongkatnya dikempit dan kedua lengannya bersedakap, dengan suara menyesal berkata.

“Lo-enghiong, aku tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga!”

“Omong kosong! Lihat seranganku!”

Kakek ini sudah menyerang Han Han dengan sepasang sumpit gadingnya yang kini dipegang di kedua tangan. Caranya memegang seperti orang memegang alat tulis dan begitu menyerang ia menotok jalan darah sehingga maklumlah Han Han bahwa orang ini adalah seorang yang ahli mainkan senjata siang-pit (sepasang pensil) dan ahli totok, hanya dia tidak menggunakan pensil melainkan sepasang sumpit gading yang dapat ia pergunakan untuk makan! Mengertilah ia mengapa orang ini memakai julukan Siucai (Pelajar). Karena serangan itu memang hebat, tentu saja jauh lebih lihai dari pada ilmu kepandaian muridnya tadi.

Han Han cepat mengelak. Dia masih bersedakap dan mengempit tongkatnya, hanya kakinya yang tinggal satu itu tiba-tiba mengenjot dan tubuhnya mencelat ke atas.

“Haliiittttt! Eh...?” Si Mata Satu terkejut sekali karena orang yang diserangnya itu tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu sudah pindah ke tempat lain.

Ia cepat mengejar dan kedua senjatanya meluncur cepat, menotok secara bertubi-tubi, memilih jalan darah yang berbahaya. Namun Han Han hanya melawannya dengan berloncatan, mengerahkan sedikit saja dari ilmunya gerak kilat dan semua serangan itu hanya mengenai tempat kosong, bahkan Si Mata Satu itu berkali-kali mengeluarkan seruan bingung dan kaget karena sering kali lawannya lenyap. Dan kasihan sekali dia yang bermata tinggal satu itu kadang-kadang harus menengok ke kanan kiri mencari lawannya!

“Lo-enghiong, aku tidak ingin berkelahi denganmu!” Sudah tiga kali Han Han berkata sabar, akan tetapi makin lama kakek bermata satu ini menjadi makin penasaran dan marah karena semua totokannya luput. Benar-benarkah pemuda buntung ini pandai menghilang seperti setan, ataukah matanya yang tinggal satu ini agaknya sudah tidak awas lagi?

“Cuit-cuit-cuit... sing-singgg...!”

Han Han terkejut karena kini kakek bermata satu itu menggerakkan sepasang gading kecil berbentuk sumpit itu bergerak secara hebat dan aneh, cepat dan juga bertenaga, merupakan dua sinar kecil yang gemerlapan dan membentuk lingkaran-lingkaran yang menutup semua ‘pintu’ di delapan penjuru. Ia kaget dan kagum. Kiranya kakek ini hebat juga ilmu kepandaiannya. Kalau ia mengerahkan seluruh ilmunya gerak kilat, tentu akan menarik perhatian, maka ia pun cepat menggerakkan tongkatnya menangkis.

“Trak-tringgg...!”

“Ayaaaaa...!” Kakek mata satu itu terkejut dan cepat membuat tubuhnya sendiri berputar setengah lingkaran untuk mematahkan tenaga tangkisan lawan yang hampir membuat kedua senjatanya terlempar dari tangan.

“Lo-enghiong hebat, aku kagum dan terima kalah!” Han Han berkata, dan memang ia benar-benar merasa kagum ketika menangkis tadi dan mendapat kenyataan bahwa kepandaian Tok-gan-siucai ini benar-benar tinggi, tidak di sebelah bawah tingkat Lauw-pangcu!

“Cuat-cuat-cuatt...!”

Kembali sepasang sumpit itu melakukan totokan bertubi-tubi dan kini dari jauh saja Han Han sudah dapat merasakan sambaran angin yang kuat, tanda bahwa kakek itu telah menggunakan sinkang dan melawan mati-matian. Ia merasa menyesal sekali. Mengapakah dia selalu dimusuhi oang? Mengapa kehadirannya selalu menimbulkan keributan? Apakah kesalahannya? Memang ia bernasib buruk, selalu sial. Maksud baiknya selalu ditanggapi keliru oleh orang lain sehingga dia selalu dimusuhi orang. Dan kini kakek bermata satu yang lihai ini menyerangnya dengan hebat, melakukan serangan totokan-totokan yang amat berbahaya.

“Mengapa engkau mendesakku?” teriaknya dengan suara berduka, tongkatnya bergerak ke bawah dari bawah ketiaknya ketika tubuhnya meloncat ke atas.

Pada saat itu sumpit gading di tangan kiri Tok-gan-siucai menyambar, disusul sumpit kanannya. Cepat bagaikan kilat menyambar, sebelum tubuhnya turun, Han Han sudah menggerakkan tongkatnya, mengerahkan ginkang yang sudah sempurna sehingga tubuhnya seolah-olah dapat tertahan di udara. Sinkang di tangan yang memegang tongkat amat kuat ketika tongkat berturut-turut menangkis sepasang sumpit, melekatnya dan sekali renggut, Tok-gan-siucai berseru kaget, kedua batang sumpitnya tak dapat ia tahan lagi, terbang lepas dari kedua tangannya dan terus terbang mencelat ke atas, menancap pada langit-langit ruangan itu yang tinggi!

“Omitohud... benar mengagumkan...!”

Kini seruan kagum ini terdengar dari mulut hwesio kurus dan tiba-tiba hwesio itu menggerakkan tangannya ke atas. Angin yang keras menyambar ke langit-langit ketika jubahnya yang lebar pada lengannya itu berkelebat dan... dua batang sumpit yang tadinya menancap ke langit-langit itu tiba-tiba menyambar ke bawah, ke arah Han Han!

Han Han terkejut sekali. Itulah demonstrasi tenaga sinkang yang amat tinggi, dan cepat ia mengulur tangan kanannya menyambut dua batang sumpit itu dengan gerakan seenaknya, kemudian melemparkan sepasang sumpit itu kepada Tok-gan-siucai sambil berkata, “Maaf, Lo-enghiong. Saya tidak ingin berkelahi!”

Tok-gan-siucai sebagai seorang tokoh kang-ouw yang berpengalaman maklum bahwa dia bukanlah lawan pemuda buntung itu, maka ia menyambut sepasang sumpitnya, kemudian menyambar tubuh muridnya yang masih pingsan, membawanya loncat ke pinggir, keluar dari permadani biru. Ia merasa lega ketika memeriksa bahwa muridnya itu hanya pingsan karena tenaga sendiri yang membalik. Ia menotok beberapa jalan darah dan Sin-jiauw-eng Lo Hwat siuman sambil mengeluh perlahan.

“Omitohud, seorang muda yang luar biasa! Biarlah pinceng mencobanya!” Hwesio tinggi besar gendut yang mukanya seperti anak kecil itu menggerakkan kakinya. Tidak kelihatan ia membuat gerakan meloncat, namun tubuhnya seperti terbang ke depan dan sudah berdiri di atas permadani menghadapi Han Han.

“Maaf, Losuhu. Saya benar-benar tidak ingin berkelahi,” kata pula Han Han, kembali terkejut menyaksikan gerakan ini.

“Ha-ha-ha, jangan terlalu merendahkan diri, orang muda. Memang engkau memiliki kepandaian yang patut diperlihatkan dan diuji! Bersiaplah, pinceng menyerang!”

Ucapan ini ditutup dengan gerakan tangan kirinya. Seperti juga gerakan hwesio kecil kurus itu, hwesio gemuk ini juga seperti menggerakkan tangan sembarangan saja, akan tetapi dari balik lengan bajunya yang lebar itu menyambar angin yang kuat luar biasa, mendorong ke arah dada Han Han.

Han Han maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai. Tingkat kekuatan sinkang kedua hwesio aneh ini kiranya tidak di bawah kepandaian Gak Liat, Ma-bin Lo-mo atau bahkan Toat-beng Ciu-sian-li sendiri! Ia heran menyaksikan orang-orang pandai yang berkumpul di tempat ini, maka ia tidak ingin melawan. Cepat tubuhnya mencelat dan pukulan itu lewat di bawah kakinya.

“Bagus! Sinkang-mu hebat, juga ginkangmu amat luar biasa. Belum pernah pinceng menyaksikan gerakan seperti kilat cepatnya itu!” Hwesio gendut itu mulutnya memuji, akan tetapi tangan kirinya kembali menampar dan angin pukulan yang lebih kuat lagi menyambar ke arah tubuh Han Han yang masih di udara.

Akan tetapi dia membelalakkan matanya lebar-lebar ketika melihat betapa tubuh pemuda buntung itu kembali mencelat ke samping, padahal kakinya belum menginjak lantai! Bagaimana mungkin dapat bergerak seperti itu sehingga kembali tamparannya luput? Ia mulai penasaran dan beberapa kali tangan kirinya menampar-nampar dan angin berbunyi bercuitan ketika tamparan itu menyambar dari kanan kiri dan mengejar bayangan Han Han yang terus berpindah-pindah secara aneh.

Semua orang yang berada di situ menjadi silau matanya. Mereka hanya melihat pendeta gendut itu menggerak-gerakkan tangan kirinya seperti orang mengebut-ngebutkan kipas dan mereka tidak dapat melihat lagi tubuh pemuda pincang, atau melihat tubuh pemuda itu berubah menjadi banyak karena mencelat ke sana ke mari dengan amat cepetnya!

Han Han sambil meloncat ke sana-sini memperhatikan pendeta gendut itu dan melihat bahwa sejak tadi hwesio itu hanya menggunakan tangan kirinya untuk mengirim angin pukulan, sedangkan tangan kanannya selalu disembunyikan di bawah jubahnya, menekan pinggang. Bukan main, pikirnya, baru maju tangan kirinya saja sudah begini hebat, apa lagi kalau tangan kanannya yang bergerak.

Dia menaksir bahwa tangan kanan itu tentulah hebat sekali dan agaknya kini masih belum dipergunakan si hwesio sebagai ilmu simpanan atau cadangan yang hanya akan dipergunakan kalau perlu saja. Semenjak ia keluar dari tempat persembunyian gurunya, nenek berkaki buntung, belum pernah ia bertemu lawan yang sepandai ini, maka diam-diam Han Han menjadi gembira dan ingin menguji kemampuannya sendiri, ingin pula melihat bagaimana hebatnya tangan kanan hwesio gendut itu.

Setelah timbul keinginan ini, ketika kakinya turun menotol lantai, ia membuat gerakan untuk mengurangi tenaga pantulan kakinya dengan berjungkir-balik sehingga tubuhnya berjungkir-balik berputaran sampai belasan kali seperti kitiran, barulah kakinya turun ke lantai dan ketika pada saat itu hwesio gendut itu kembali memukul ke arahnya dengan tangan kiri, kini pukulan jarak dekat karena memang Han Han turun di depan hwesio itu yang agaknya ingin pula menguji kekuatan Han Han. Pemuda ini pun menerima pukulan yang merupakan tamparan dengan telapak tangan terbuka itu dengan dorongan telapak tangan kanannya.

“Bresssssi!”

“Omitohud... luar biasa...!”

Tubuh hwesio itu bergoyang-goyang, mukanya menjadi merah seperti udang direbus dan ia merasa betapa seluruh tubuhnya panas sekali karena ketika menyambut pukulan tadi, Han Han sengaja mengerahkan tenaga inti Hwi-yang Sin-ciang!

Han Han kagum bukan main karena melihat betapa hwesio itu dapat menerima tenaga sakti ini dengan hanya tubuh tergoyang dan merah mukanya. Benar persangkaannya bahwa hwesio itu memiliki kesaktian yang tidak kalah oleh Si Setan Botak Gak Liat!

“Orang muda, engkau menarik sekali. Coba terima ini!”

Hwesio gendut itu tiba-tiba mengeluarkan tangan kanannya dari balik jubah dan alangkah kagetnya hati Han Han melihat tangan itu berwarna biru sekali, biru kehitaman akan tetapi seperti bercahaya! Dan dengan tangan kanan itu kini hwiesio itu menyerangnya! Serangkum tenaga dahsyat memecah hawa udara menyambar ke arah Han Han dengan menimbulkan uap hitam yang panas sekali!

Han Han cepat menggerakkan kakinya menotol lantai dan tubuhnya mencelat dengan kecepatan yang luar biasa sehingga uap hitam itu lewat di bawah kakinya. Akan tetapi kini ia sudah mengenal pukulan itu, yang ia dapat menduga tentulah pukulan itu berdasarkan hawa Yang-kang seperti Hwi-yang Sin-ciang, akan tetapi jauh lebih berbahaya karena uap hitam itu tentu mengandung pengaruh yang luar biasa. Timbul pula keinginannya mencoba.

Tadi ia sengaja menggunakan Hwi-yang Sin-ciang, karena ia masih belum berani mempergunakan tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, maklum bahwa tenaganya itu luar biasa sekali kuatnya sehingga membahayakan nyawa lawan. Akan tetapi kini, melihat pukulan tangan kanan hwesio itu yang ia duga tentu amat kuat, setelah ia turun, ia menanti hwesio itu memukul lagi.

Hwesio gemuk itu menjadi penasaran sekali. Jarang memang ia mengeluarkan tangan kanannya. Ia merasa malu kalau tangan kanannya yang hitam itu kelihatan orang, maka kalau tidak terpaksa sekali, biar pun dalam pertandingan, ia tidak mengeluarkan tangan kanannya. Kalau sekali ia mengeluarkan tangan kanannya, sekali pukul saja ia harus dapat mencapai kemenangan. Akan tetapi sekali ini, pukulannya yang amat dahsyat itu tidak mengenai sasaran, padahal biasanya, baru terkena tiupan sedikit hawanya saja, tubuh lawan sudah menjadi hangus!

Hwesio gemuk ini bersama temannya yang kurus adalah dua orang tokoh besar di Tibet, pada waktu itu menjadi pembantu yang terpercaya dari Dalai Lama sebagai pendeta besar dan ketua di Tibet. Hwesio gendut itu bernama Thian Kok Lama, terkenal sekali dengan ilmu kepandaiannya yang hebat sinkang-nya yang jarang bertemu tanding, dan tangan kanannya yang mengerikan karena tangan kanannya inilah ia dijuluki Hek-in Hwi-hong-ciang (Tangan Awan Hitam Angin Berapi)!

Ada pun hwesio kurus itu pun bukan orang sembarangan, karena dibandingkan dengan hwesio gemuk, sukar dikatakan, mana yang lebih lihai karena mereka memiliki keahlian sendiri-sendiri. Hwesio kurus ini selain hebat sinkang-nya, juga terkenal sebagai ahli ilmu sihir yang disebut I-hun-to-hoat (semacam hypnotism) yang dapat menguasai semangat lawan, dan ilmu pukulan Sin-kun-hoat-lek (Sihir Tangan Sakti)!

Ketika Thian Tok Lama yang sudah terlanjur mengeluarkan tangan kanannya itu tidak mampu mengalahkan Han Han dengan sekali pukul, kini melihat pemuda itu sudah turun lagi, ia cepat mengerahkan tenaga, dari perutnya yang besar langsung dari pusar keluar suara berkokok tiga kali den tangan kanannya yang hitam itu mendorong ke arah Han Han. Bukan main hebatnya pukulan ini. Warna biru kehitaman itu makin mencorong dan uap hitam yang keluar dari telapak tangan itu seolah-olah mengandung api menyala dan terasa amat panasnya sehingga ruangan itu ikut terasa hangat. Pukulan hebat ini sepenuhnya meluncur ke arah dada Han Han.

Timbul kegembiraan Han Han melihat ilmu yang dahsyat ini. Cepat dia mengerahkan sinkang-nya, menggunakan tenaga inti es yang ia latih di Pulau Es, disalurkan lewat tangan kirinya yang mendorong maju menyambut telapak tangan hitam itu. Dengan pukulan macam ini, yang merupakan inti dari Swat-im Sin-ciang yang paling hebat, Han Han mampu memukul air menjadi beku, menjadi bongkah-bongkah es sebesar anak kerbau! Kini dua pukulan sakti yang amat dahsyat itu saling menerjang untuk bertemu!

Hwesio gendut itu, Thian Tok Lama menjadi kaget dan menyesal. Ia merasa sayang kepada pemuda kaki buntung yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu, dan hanya karena penasaran, bukan karena marah atau benci, ia menggunakan tangan kanannya. Tadinya ia mengira bahwa pemuda itu tentu akan menggunakan ilmunya mencelat yang luar biasa itu untuk menghindar. Siapa kira pemuda itu malah menerima pukulannya dengan langsung, menggunakan telapak tangan kirinya! Namun, ia sudah terlanjur memukul dan kalau ditariknya kembali tentu akan membahayakan isi dadanya sendiri, maka terpaksa dia melanjutkan pukulannya dengan hati menyesal karena ia merasa yakin bahwa pemuda itu tentu akan roboh dan tewas, tak mungkin dapat ditolong lagi.

“Desssss... cessshhhhh!”

Semua orang memandang dengan mata terbelalak! Dua telapak tangan bertemu dan berbareng dengan bunyi keras seperti besi panas membara dimasukkan air, tampak asap hitam mengepul dan menggelapkan tempat itu!

“Ihhhh...!” Han Han berseru keras ketika merasa seolah-olah seluruh lengannya menjadi lumpuh dan ia cepat menarik kembali lengannya itu.

“Omitohud...!” Thian Tok Lama juga berseru dan ia pun menarik kembali tangan kanannya, berdiri agak terengah dan kini mukanya menjadi pucat kebiruan dan kedua pundaknya agak menggigil seperti orang terserang dingin yang hebat.

“Ibliskah engkau...?” Thian Tok Lama sekarang mencelat maju dan mengirim tendangan dengan kakinya yang sebesar kaki gajah.

“Wuuuuttt!”

Han Han meloncat, akan tetapi kedua kaki itu biar pun amat besar, telah mengirim tendangan berantai sehingga angin bersiuran. Terpaksa Han Han yang sudah merasa cukup menguji kepandaiannya, mencelat ke pinggir ruangan itu sambil berseru, “Aku tidak ingin berkelahi, kalau cu-wi tidak suka menerimaku biarlah aku pergi dari sini...”

“Tahan...! Jangan berkelahi...! Dia kawan kita sendiri! Eh, Han Han, mengapa ribut-ribut dengan para locianpwe?”

Sesosok bayangan berkelebat dan Wan Sin Kiat telah berada di situ. Han Han menjadi girang sekali, berlari hendak menghampiri Sin Kiat dan melewati permadani biru sambil berpincangan.

“Han Han, jangan menginjak permadani itu!” Sin Kiat berteriak.

Han Han terkejut dan cepat ia mencelat lagi mundur, lalu memandang Sin Kiat yang lari kepadanya sambil mengitari permadani, tidak berani menginjaknya.

“Ah, agaknya ada salah pengertian di sini. Han Han, agaknya engkau tadi menginjak ini.” Sin Kiat tertawa sambil menudingkan telunjuknya ke arah permadani biru.

Han Han mengangguk. Ia teringat bahwa ketika masuk tadi, untuk menghampiri para ho-han yang berada di situ, ia memang telah berdiri di situ. “Ya, aku tadi berdiri di situ, mengapa?”

“Ha-ha-ha, pantas! Ketahuilah bahwa ada peraturan di sini bahwa siapa yang berdiri menginjak permadani ini, berarti dia itu menantang pibu kepada para locianpwe yang hadir di sini.”

“Ohhhhh... maaf...!”

Sin Kiat lalu menjura kepada dua orang pendeta Tibet dan para ho-han sambil berkata, “Mohon cu-wi locianpwe dan para Ho-han suka memaafkan Han Han. Karena dia tidak tahu maka seolah-olah menantang pibu. Dia merupakan sahabat saya yang paling baik dan beberapa kali dia telah membantu para pejuang menghadapi tokoh-tokoh anjing Mancu.”

“Hoa-san Gi-hiap Wan-sicu!” kata Thai Li Lama hwesio Tibet yang bertubuh kurus kering itu. “Kalau dia itu sahabatmu, mengapa dia datang seperti ini? Dia menimbulkan kecurigaan besar!”

“Ah tidak, locianpwe. Dia datang untuk mencari adiknya, dan untuk membantu kita menghadapi tokoh-tokoh penjajah.”

“Hemmm, kalau mencari adiknya dan hendak membantu, mengapa dia berkeras hendak bertemu dengan Bu-ongya?” tiba-tiba Tok-gan-siucai Gu Cai Ek menegur.

Wan Sin Kiat mengerutkan alisnya dan menoleh kepada Han Han. “Apakah artinya ini, Han Han? Benarkah kau hendak bertemu dengan Ongya?”

“Benar sekali dan memang aku membawa berita yang amat penting!”

“Kalau begitu, ceritakan saja kepada para locianpwe di sini, karena mengenai urusan perjuangan, tidak ada hal yang dirahasiakan untuk para Ho-han di sini.”

Han Han mengangguk-angguk. “Baiklah. Aku telah mendengar rapat rahasia yang diadakan oleh para perwira Mancu di perbatasan, yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat, dihadiri pula oleh wakil-wakil dari Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee dan Toat-beng Ciu-sian-li Bu Ci Goat. Mereka membicarakan tentang penyerbuan ke Se-cuan secara besar-besaran dalam waktu dekat...”

“Ahhhhh...! Mana mungkin?” teriak Tok-gan-siucai Gu Cai Ek. “Pemerintah Mancu sedang merayakan ulang tahun ke sepuluh dari kaisar mereka!”

“Karena inilah maka mereka hendak menyerbu! Menggunakan kesempatan selagi di Se-cuan orang mempunyai pendapat seperti pendapat Lo-enghlong tadi sehingga tidak ada persiapan yang baik. Dan kalau saya tidak sudah dibikin kacau oleh serangan-serangan maut di ruangan ini, saya mendengar pula beberapa tempat-tempat yang akan mereka jadikan sasaran penyerbuan!”

“Wah, ini penting sekali! Mari Han Han, kuantar engkau menghadap Ongya!”

Semua orang di ruangan itu menjadi terkejut juga dan Thian Tok Lama malah menjura ke arah Han Han sambil berkata, “Pinceng mengharap taihiap sudi memaafkan kecurigaan kami. Sungguh taihiap merupakan seorang bekas lawan yang paling hebat yang pernah pinceng temukan!”

“Ah, sayalah yang seharusnya minta maaf, locianpwe,” kata Han Han sambil balas menghormat, akan tetapi tangannya lalu ditarik oleh Sin Kiat dan keduanya bergegas keluar dari situ menuju ke istana.

Para ho-han ribut membicarakan pemuda yang buntung itu, dan Thian Tok Lama secara terang-terangan dan jujur mengakui bahwa sukar mencari tandingan pemuda berkaki buntung itu. Dia masih terheran-heran dan diam-diam ia memberi isyarat mata kepada kawannya, lalu mereka berdua meninggalkan tempat itu.

“Kau hebat, Han Han. Thian Tok Lama sendiri sampai memujimu!”

“Ah, kau maksudkan hwesio yang gemuk itu? Dialah yang hebat, agaknya lebih lihai dari pada Toat-beng Ciu-sian-li!” kata Han Han, benar-benar dia kagum sekali.

“Dan dia menyebutmu taihiap!”

Merah wajah Han Han. “Sudahlah. Eh, Sin Kiat, apakah kau sudah mendengar tentang adikku?”

Wajah Sin Kiat yang tampan itu menjadi muram dan dia kelihatan berduka ketika menggeleng kepalanya. “Sungguh menyesal sekali, aku belum berhasil, Han Han.”

Han Han menarik napas panjang. “Ada seorang nona yang sedang mencoba untuk membantu mencarinya, namanya Tan Hian Ceng...”

“Ah, puteri It-ci Sin-mo Tan Sun? Bagus sekali! Dia adalah seorang yang terkenal ahli yang mengenal semua daerah ini. Kalau dia membantu... eh, kenapa?” Sin Kiat heran melihat wajah Han Man menjadi muram.

“Kasihan dia. Ayahnya gugur...”

“Apa? Bagaimana?”

“Nanti saja kuceritakan. Lebih baik sekarang kita menghadap Bu-ongya.”

Sin Kiat menemui kepala pengawal dan karena dia sudah dikenal, maka mereka berdua lalu dikawal menghadap Bu-ongya, yaitu Raja Muda Bu Sam Kwi yang amat terkenal itu. Bu-ongya menerima mereka berdua di dalam ruangan yang besar dan raja muda yang amat terkenal sebagai bekas jenderal yang paling gigih mengadakan perlawanan kepada pemerintah Mancu ini duduk di atas kursi emas dijaga oleh para pengawal pribadinya. Ia sudah mendapat laporan tentang Han Han, tentang sepak terjang pemuda buntung ini di Ho-han Bu-koan, maka ketika Han Han datang terpincang-pincang bersama Sin Kiat, dari jauh ia sudah memandang penuh perhatian dengan wajah berseri.

Sin Kiat memberi hormat dengan menekuk sebelah lututnya dan bersoja, diturut oleh Han Han yang biar pun hanya berkaki satu, namun ia dapat berlutut dengan gerakan wajar sehingga seolah-olah dia tidak buntung.

“Duduklah, ji-wi Ho-han!” kata Bu Sam Kwi dan dua buah kursi disodorkan oleh seorang pengawal. Sin Kiat dan Han Han lalu duduk di atas kursi menghadapi Bu Sam Kwi.

Han Han memandang wajah raja muda itu sejenak, melihat bahwa raja muda itu usianya sudah tua, tentu sudah enam puluh tahunan, akan tetapi masih kelihatan gagah dan tegap, dengan sinar mata yang tajam bersinar-sinar penuh semangat dan keberanian. Di lain pihak, begitu bertemu pandang dengan Han Han dan melihat sinar mata pemuda buntung itu tajam luar biasa, membuat kedua matanya sendiri serasa ditusuk pedang, di dalam hatinya Bu Sam Kwi menjadi kagum sekali, dan lenyaplah keraguan dan ketidak percayaannya ketika tadi mendengar laporan bahwa pemuda ini sanggup menandingi tangan kanan Thian Tok Lama!

“Wan-sicu, siapakah temanmu yang gagah ini?” Bu Sam Kwi bertanya penuh wibawa, akan tetapi juga terdengar halus dan ramah.

Suara seperti ini pandai membujuk dan mengambil hati orang, pikir Han Han, teringat betapa banyaknya tokoh kang-ouw membantu perjuangan raja muda ini dan betapa banyaknya yang telah mengorbankan nyawa, termasuk Lu Soan Li dan baru-baru ini Lauw-pangcu, kemudian ayah dan kedua orang paman Hian Ceng!

“Sahabat baik hamba ini datang dari luar perbatasan dan membawa berita yang amat penting untuk disampaikan Ongya!” kata Sin Kiat.

Memang Bu Sam Kwi amat pandai mengambil hati orang-orang kang-ouw, bahkan bersikap seperti sahabat dengan mereka sehingga ia tidak ragu-ragu untuk bersikap ramah dan merendah, memperlakukan mereka sebagai ‘kawan seperjuangan’.

“Hemmm, siapakah engkau, sicu? Dan berita apakah itu?”

Karena Han Han tidak bermaksud menghambakan diri, maka ia pun tidak suka untuk terlalu merendahkan diri, apa lagi raja muda ini begini manis budi, begini ramah, maka dengan hati lega dan suara biasa ia lalu menjawab.

“Saya bernama Han, she Suma.”

Han Han tidak peduli kepada Sin Kiat yang menoleh memandangnya heran. Memang dia she Suma, mengapa harus disembunyikan? Dia benci she Suma, karena she ini mengingatkan ia akan kakeknya yang menurunkan dia, teringat akan Jai-hwa-sian Suma Hoat. Akan tetapi sebenci-bencinya ia kepada she keluarganya sendiri, ia lebih benci akan sifat pengecut. Dan ia menganggap bahwa menyembunyikan she-nya sendiri dan menggantinya dengan she Sie adalah perbuatan yang pengecut dan memalukan. Karena itulah, di depan raja muda itu ia mengakui she aslinya dan mulai saat itu ia mengambil keputusan untuk mempergunakan she aslinya!

Raja Muda Bu Sam Kwi tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Sungguh tepat sekali. Di jaman seperti ini di mana negara dan bangsa membutuhkan putera-putera Han sejati yang patriotik, yang berjiwa pahlawan, muncul seorang gagah perkasa yang namanya Han! Suma-hohan (Orang Gagah she Suma), berita apakah yang hendak kau laporkan kepadaku?”

Dengan singkat namun jelas Han Han lalu melaporkan, menceritakan semua yang ia dengar dalam rapat yang diadakan oleh para perwira di bawah pimpinan Setan Botak Cak Liat dan menceritakan pula bahwa gerakan penyerbuan yang direncanakan itu siasatnya diatur oleh Puteri Nirahai.

Mendengar ini, berubah wajah Bu Sam Kwi. Tadinya berubah agak pucat akan tetapi segera berobah merah sekali, matanya menjadi beringas, dagunya ditarik kuat dan seluruh sikapnya membayangkan perlawanan. “Si keparat! Memang sudah kudengar nama Nirahai anak selir Khitan dari Raja Mancu itu, kabarnya amat cerdik pandai! Menggunakan selagi mereka berpesta ulang tahun untuk menyergap karena kita tentu sedeng tidak menduganya! Bagus! Kita akan menghadapi dan menghancurkan mereka! Pengawal! Undang para Ho-han dan para panglima untuk berkumpul. Sekarang juga! Wan-sicu, mulai sekarang engkau kuangkat menjadi panglima muda! Suma-sicu, engkau kuangkat menjadi panglima pelopor!”

Han Han hendak membantah akan tetapi lengannya dijawil Sin Kiat yang menatap wajahnya dengan sinar mata penuh semangat, kemudian malah menariknya ke pinggir untuk memberi tempat kepada para panglima dan para tokoh orang gagah yang kini sudah berdatangan memenuhi panggilan Bu Sam Kwi.

Berbeda dengan Wan Sin Kiat yang mendengarkan perundingan dan rencana siasat yang dibicarakan untuk menyambut serbuan tentara Mancu seperti yang dikabarkan oleh Han Han tadi, pemuda buntung ini hanya mendengarkan dengan setengah hati, tidak begitu mengacuhkan karena memang dia tidak tertarik akan hal itu. Dia datang ke Se-cuan dengan tujuan utama mencari adiknya, dan kalau dia membocorkan rahasia para panglima Mancu hanyalah karena dia melihat banyak tokoh-tokoh hitam di pihak Mancu, sedangkan di pihak pejuang banyak terdapat sahabat-sahabatnya, di antaranya yang sudah jelas adalah Wan Sin Kiat, mendiang Lu Soan Li dan Lauw-pangcu, Lauw Sin Lian dan gadis jenaka yang menarik hatinya pula, yaitu Tan Hian Ceng. Karena mengingat akan mereka inilah maka hatinya tentu saja condong membantu Se-cuan dan menentang pemerintah Mancu...



Penyerbuan besar-besaran bala tentara Mancu tiba tepat pada saat dan di tempat-tempat seperti yang dilaporkan Han Han kepada Raja Muda Bu Sam Kwi, dan karena sebelumnya pihak Se-cuan telah membuat persiapan, maka melalui perang mati-matian bala tentara Mancu akhirnya dapat dipukul mundur. Pemerintah Mancu, dalam hal ini diwakili oleh Puteri Nirahai sendiri yang memimpin sebagai ahli siasat, menjadi kecelik.

Bukan saja tiap pasukan yang sudah diatur untuk menyerbu Se-cuan dari beberapa jurusan dalam waktu yang tak tersangka-sangka mengalami perlawanan sengit, juga tokoh-tokoh pandai seperti Kang-thouw-kwi yang memimpin kawan-kawannya, yang diharapkan untuk dapat mengacaukan pertahanan musuh dengan kepandaian mereka, ternyata ‘membentur karang’ karena di Se-cuan terdapat banyak pula orang sakti! Segala usaha Setan Botak Gak Liat gagal total oleh perlawanan tokoh pejuang yang membantu Raja Muda Bu Sam Kwi. Dan yang membuat Setan Botak menjadi kaget, penasaran dan marah adalah sepak terjang pemuda kaki buntung, bekas muridnya, Han Han.

Setelah serbuannya yang berkali-kali dalam beberapa bulan selalu gagal dan ia kehilangan banyak perwira dan prajurit, akhirnya Gak Liat mengirim berita ke kota raja minta bantuan, selain bantuan pasukan yang besar, juga bantuan orang-orang pandai untuk menghadapi pihak musuh yang memiliki banyak jagoan lihai.

Tak lama kemudian, utusannya datang kembali dari kota raja membawa perintah Puteri Nirahai agar penyerangan dihentikan dulu dan pasukan Mancu diharuskan mengurung Se-cuan dengan menjaga tapal batas di timur, selatan dan utara dengan ketat sampai bala bantuan datang.

Karena perintah ini, perang yang biasanya hampir setiap hari terjadi menjadi berhenti dan kedua pihak hanya berjaga-jaga di daerah kekuasaan masing-masing, terhalang deretan pegunungan yang memagari Propinsi Se-cuan. Pihak Se-cuan yang dalam perang ini menjadi pihak yang mempertahankan diri, bernapas lega menyaksikan terhentinya serangan-serangan musuh dan mereka dapat beristirahat sambil menyusun kekuatan baru.

Secara terpaksa sekali Han Han kini ikut berperang menentang pasukan Mancu. Sebagai seorang panglima pelopor, di samping tokoh-tokoh besar lainnya, terutama sekali kedua orang pendeta Lama dari Tibet yang amat sakti, Han Han memimpin pasukan yang terdiri dari ahli-ahli silat dan sebagian besar adalah kaum pejuang golongan patriot yang berjuang semata-mata membela nusa bangsa tanpa pamrih.

Sesuai pula dengan siasat Bu Sam Kwi, pasukan-pasukan orang gagah ini memang dibentuk untuk menghadapi pasukan-pasukan kuat dan istimewa dari pemerintah Mancu, maka tentu saja Han Han menjadi lega hatinya ketika dalam pertempuran-pertempuran itu ia selalu menghadapi tokoh-tokoh hitam yang memimpin pasukan-pasukan istimewa musuh. Bahkan pernah dalam sebuah pertempuran besar-besaran, ia bertanding melawan Kang-thouw-kwi Gak Liat, Setan Botak yang lihai dan yang menjadi musuh lamanya itu! Kenyataan bahwa dia melawan tokoh-tokoh sesat inilah yang menghibur hatinya yang selalu merasa tidak enak kalau ia teringat bahwa dia berperang melawan bangsa adiknya!

Setelah perang dihentikan oleh pihak Mancu setelah berbulan-bulan terjadi bentrokan-bentrokan di sepanjang perbatasan, keadaan menjadi sunyi dan para pejuang di Se-cuan menjadi menganggur. Han Han menjadi kesal hatinya. Usahanya mencari Lulu sama sekali tidak berhasil. Bahkan selama terjadi keributan perang, dia tidak pernah bertemu dengan Hian Ceng yang berjanji menyelidiki dan mencari Lulu. Juga Lauw Sin Lian belum masuk ke Se-cuan, ataukah sudah masuk dan melawan musuh di daerah lain? Ataukah tidak sempat memasuki daerah Se-cuan karena perang telah pecah?

Pagi hari itu, selagi Han Han termenung seorang diri dalam hutan, tak jauh dari benteng penjagaan, Wan Sin Kiat datang mengunjunginya. Mendengar panggilan Sin Kiat, Han Han menoleh dan dia memandang kagum. Sahabatnya ini benar-benar amat tampan dan gagah dalam pakaianya sebagai seorang panglima muda!

Tubuh Sin Kiat tinggi besar, dadanya bidang, mukanya tampan dan berwibawa dengan alis tebal hitam dan mata yang bersinar penuh semangat. Jalannya seperti lenggang seekor harimau! Seorang muda yang hebat dan dia akan merasa senang sekali kalau Lulu dapat atau lebih tepat lagi mau menjadi isteri pemuda ini! Dia tahu bahwa Sin Kiat amat mencinta Lulu, akan tetapi bagaimana dengan Lulu?

Dia mengharap mudah-mudahan Lulu dapat menerima cinta kasih Sin Kiat. Kalau adiknya itu mendapatkan pelindung seperti Sin Kiat ini, hatinya akan merasa tenang dan tenteram, tidak seperti sekarang ini. Ah, perlu apa memikirkan tentang perjodohan Lulu kalau bocah itu sendiri sampai sekarang belum dapat ditemukan, bahkan tidak ia ketahui di mana tempatnya, masih hidup ataukah sudah mati? Cepat Han Han mengusir pikiran ini dan ia menyambut Sin Kiat dengan senyum lebar karena ia teringat akan bocah pengemis yang ia beri roti dahulu itu.

“Wah, engkau gagah sekali, Sin Kiat! Sekarang telah terbukti dan tercapai cita-citamu ketika masih kecil.”

“Cita-cita masih kecil? Apa maksudmu?” Sin Kiat duduk di atas batu gunung di depan Han Han yang duduk di atas akar pohon.

“Lupa lagikah engkau dahulu? Pernah engkau mengatakan bahwa engkau bercita-cita menjadi seorang perwira! Dan sekarang engkau telah menjadi panglima!”

Sin Kiat tidak menyambut godaan ini dengan wajah berseri, bahkan keningnya berkerut. Ia menghela napas dan berkata, “Aku teringat akan pengalaman-pengalamanku selama masih kanak-kanak dan ternyata bahwa cita-cita itu tiada bedanya dengan sebuah sarang burung di puncak pohon yang amat diinginkan oleh seorang kanak-kanak. Hati amat gembira dan penuh bayangan indah-indah dan muluk-muluk, penuh ketegangan ketika berusaha untuk memanjat pohon tinggi penuh bahaya, untuk meraih sarang dan mendapatkan anak burung di dalamnya. Dan setelah akhirnya didapatkan, setelah seekor burung tergenggam di tangan? Hanya kegembiraan sebentar saja karena segera disusul oleh kewajiban-kewajiban memelihara agar si anak burung tidak mati. Demikian pula dengan cita-cita, Han Han.”

Han Han membelalakkan mata, kemudian tertawa memandang wajah tampan gagah yang mengerutkan alis tebal itu. “Ha-ha-ha, pengalaman merupakan guru terpandai. Engkau kini pandai menyelami hidup, pandai berfilsafat, Sin Kiat. Memang demikianlah, rangkaian mencari, mendapatkan, memiliki dan memelihara merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Kalau orang sudah memiliki sesuatu, berarti dia dibebani sesuatu karena dia harus menjaga dan memelihara! Makin banyak orang memiliki benda atau apa saja yang disukanya, makin banyak pula beban menindih pundaknya dan membuatnya selalu harus menjaga dan memelihara semua miliknya. Hanya orang yang tidak punya apa-apalah, yang akan enak tidur di waktu malam. Orang yang tidak punya tidak akan khawatir kehilangan! Orang yang punya sekali waktu pasti akan kehilangan!”

Sin Kiat menggaruk-garuk kepalanya. “Hemmm, kalau begitu apakah lebih enak menjadi orang yang tidak mempunyai apa-apa yang disenanginya agar tidak sampai kehilangan?”

Han Han tertawa dan menggeleng kepala. “Manusia menjadi korban dari pada nafsunya sendiri, Sin Kiat. Karena itu, dalam keadaan bagaimana pun juga ia akan selalu menderita. Yang tidak punya akan menderita oleh nafsunya sendiri yang menimbulkan perasaan iri hati. Yang punya akan menderita oleh nafsunya sendiri yang tidak ingin kehilangan miliknya. Hanyalah orang yang telah mampu mengendalikan nafsunya sendiri, yang tidak dikuasai oleh nafsu pribadinya, baik di situ punya atau tidak punya, akan tetap tenang dan bahagia. Dalam keadaan tidak punya, dia tidak kepingin, dalam keadaan punya dia tidak terikat oleh miliknya.”

Wan Sin Kiat mengangguk-angguk, kemudian memandang sahabatnya. Ia bisa melihat kemuraman wajah Han Han. Dia mengerti apa yang menyebabkan sahabatnya ini murung, bukan lain tentulah hal yang juga membuat hatinya selalu berduka, yaitu hal lenyapnya Lulu!

“Han Han, tadi aku mendengar engkau dipuji-puji oleh para ho-han yang melaporkan sepak terjangmu selama musuh menyerbu. Jasamu besar sekali dalam menghadapi musuh, Han Han,” katanya untuk membelokkan perhatian sahabatnya ini agar terhibur.

Akan tetapi Han Han menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Aku tidak peduli akan itu, Sin Kiat. Engkau tahu bahwa kehadiranku di sini bukan untuk perang. Hanya kebetulan saja aku membantu, melihat betapa bala tentara Mancu menggunakan orang-orang golongan sesat. Akan tetapi engkau tahu bahwa sesungguhnya aku ingin mencari adikku yang sampai kini belum ada beritanya. Hemmm, aku sudah bosan menanti dan karena sekarang barisan Mancu tidak menyerang lagi, aku bermaksud meninggalkan Se-cuan dan mencari Lulu di lain tempat. Aku yakin dia tidak berada di sini, karena kalau dia berjuang, tentu dia sudah dapat kutemukan di sini.”

“Ahh..., kau jangan pergi dulu, Han Han. Tenagamu masih amat dibutuhkan di sini. Para penyelidik melaporkan, kabarnya Puteri Nirahai sendiri akan memimpin penyerbuan ke Se-cuan! Mengingat betapa lihainya puteri itu, dan masih banyak pula pembantunya yang lihai, kuharap engkau akan lebih lama membantu perjuangan melawan penjajah!”

“Di sini pun banyak orang gagah. Dua orang pendeta Lama itu lihai sekali, perlu apa takut? Aku tidak suka perang, apa lagi aku tidak suka menjadi panglima karena memang bukan kehendakku menghambakan diri di sini.”

“Dua orang pendeta itu? Ah, mereka sama sekali tidak boleh diandalkan! Memang mereka itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka adalah sekutu-sekutu dari Pangeran Kiu!”

Han Han teringat akan cerita pejuang yang buntung kakinya, maka ia memandang kepada sahabatnya itu dan bertanya. “Apakah salahnya? Kulihat Pangeran Kiu juga berjuang bahu-membahu dengan Bu-ongya.”

Sin Kiat menggeleng kepala. “Memang sekarang kita semua bersatu dalam menghadapi serbuan barisan Mancu. Akan tetapi sesungguhnya di sebelah dalam timbul keretakan di antara mereka yang memegang pimpinan! Bu-ongya bertekad untuk menentang pemerintah Mancu sampai tenaga terakhir! Sebaliknya, Pangeran Kiu berkali-kali mendesaknya agar suka berdamai saja dengan pihak Mancu.”

Han Han sudah tahu akan hal ini. “Kalau menurut pendapatmu, siapa di antara mereka yang benar?”

“Entahlah, kedua-duanya benar. Bu-ongya hendak melawan terus karena tidak mau melihat tanah air dijajah, ada pun Pangeran Kiu ingin berdamai dengan penjajah karena tidak mau melihat rakyat makin menderita akibat perang.”

“Dan kau sendiri?”

Sin Kiat menggerakkan pundaknya. “Aku adalah seorang pejuang tanpa pamrih, hanya didorong oleh kesadaran akan kewajibanku sebagai searang warga negara untuk membela negaranya!”

“Tapi kau menjadi panglima muda Bu-ongya.”

Wajah Sin Kiat berubah merah dan ia menggeleng-geleng kepala. “Dorongan cita-cita bocah yang terlalu kenyang menderita. Sesungguhnya, seperti kukatakan tadi, setelah kini menjadi panglima aku bosan dan baru aku sadar bahwa sesungguhnya bukan untuk pangkat inilah aku berjuang. Andai kata saat ini juga pangkatku dicabut, aku tetap akan berjuang melawan penjajah.”

“Aku sudah bosan akan semua urusan politik, sudah bosan akan perang, Sin Kiat! Kehadiranku di Se-cuan dan bantuan-bantuanku amatlah bertentangan dengan hatiku sendiri. Mungkin rasa tidak senangku akan perang ini ditimbulkan oleh sepak terjang para pimpinan sendiri. Seperti Raja Muda Bu Sam Kwi sendiri, tak dapat disangkal bahwa dia pernah berkhianat terhadap pemerintah dengan bersekongkol bersama bangsa Mancu menyerbu ke selatan. Akan tetapi karena keadaannya berubah, kini ia melawan bangsa Mancu, bahkan dianggap sebagai pusat pertahanan oleh kaum pejuang! Kemudian aku mendengar pertentangan diam-diam di sini yang tidak lain disebabkan oleh ambisi pribadi masing-masing. Semua ini menjemukan hatiku, Sin Kiat. Aku mulai curiga terhadap orang-orang yang menggunakan kedok yang indah-indah untuk menutupi nafsu pribadi, bersembunyi di balik kata-kata indah seperti perjuangan dan lain-lain sebagai alasan. Kalau saja dalam mengejar cita-cita pribadi orang melakukannya sendiri dengan resiko-resiko ditanggung sendiri, hal itu sudah sewajarnya dan sepatutnya. Akan tetapi dalam perang sungguh merupakan dosa besar sekali karena menyeret laksaan manusia lain yang seolah-olah dipermainkan nyawanya. Aku muak, Sin Kiat, karena itu aku hendak pergi dari sini mencari Lulu.”

Sin Kiat menarik napas panjang. “Bersabarlah, Han Han. Bukankah engkau masih menanti hasil penyelidikan Nona Tan Hian Ceng? Pula, sekarang belum waktunya untuk keluar perbatasan, amat berbahaya. Di Se-cuan sendiri, semua orang adalah pejuang. Di sini orang tidak mengenal arti bebas perang, yang ada hanyalah kawan atau lawan! Dan kalau engkau keluar perbatasan yang kini dikepung ketat oleh barisan Mancu, engkau tentu akan dianggap mata-mata dan akan dikeroyok ribuan orang tentara. Bersabarlah menanti sampai keadaan perang mereda dan sementara itu, harap engkau berhati-hati.”

“Mengapa engkau memperingatkan aku demikian?”

Sin Kiat memandang ke kanan kiri, kemudian berkata lirih, “Agaknya pertentangan paham antara Pangeran Kiu dan Bu-ongya timbul lagi dan makin menghebat dengan adanya pengurungan barisan Mancu. Dan aku tahu bahwa kedua pihak ingin memperebutkan orang-orang pandai kedua pihak masing-masing, maka tentu saja engkau menjadi calon yang amat penting dan menarik untuk mereka perebutkan.”

“Hemmm, aku...? Diperebutkan?”

“Tenagamu yang amat mereka butuhkan, Han Han.”

Pemuda buntung itu menggeleng-geleng kepala. “Aku makin muak. Akan tetapi baiklah, alasan-alasan yang kau kemukakan tadi memang tepat. Aku akan bersabar menanti sampai keadaan mereda.”

“Aku akan pergi mencari Nona Tan Hian Ceng, mungkin dia berada di Wan-sian dan membantu perang di bagian itu. Siapa tahu dia sudah mendengar tentang Nona Lulu.”

Demikianlah, mendengar bujukan dan nasehat Sin Kiat, Han Han kemudian menunda kepergiannya meninggalkan Se-cuan. Akan tetapi dia sudah menjadi makin bosan dan gelisah memikirkan Lulu. Apa lagi pada waktu itu pihak Mancu dan pihak pejuang hanya saling menjaga tapal batas daerah kekuasaan masing-masing, mereka hanya mengirim mata-mata dan para penyelundup untuk saling menyelidiki keadaan masing-masing. Se-cuan dikurung dari timur, utara dan selatan. Satu-satunya daerah luar yang masih dapat dihubungi hanyalah Sin-kiang dan Tibet.

Tepat seperti yang dikhawatirkan Sin Kiat, beberapa hari kemudian Han Han mengalami usaha memperebutkan dirinya ketika pada suatu malam dia diundang oleh Pangeran Kiu ke dalam gedungnya. Han Han yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan pangeran itu merasa heran, akan tetapi tentu saja tidak berani menolak dan pada saat yang ditentukan pergilah ia menghadap Pangeran Kiu di gedungnya.

Berbeda dengan Wan Sin Kiat yang memakai pakaian panglima muda yang indah dan gagah, Han Han tidak pernah mau memakai pakaian kebesaran, sungguh pun dia telah diangkat sendiri oleh Raja Muda Bu Sam Kwi sebagai panglima pasukan pelopor. Kini ia menghadap Pangeran Kiu juga dengan pakaian sederhana, dan terpincang-pincang dibantu tongkat bututnya memasuki istana yang megah itu.

Han Han merasa kaget, heran dan juga malu hati ketika melihat betapa Pangeran Kiu sendiri yang menyambutnya, bersama Thian Tok Lama yang gendut bermuka kekanak-kanakan dan Thai Li Lama yang kurus dan bersinar mata hitam aneh. Ia cepat menjura dengan hormat, dan ia makin heran melihat Pangeran Kiu mendekatinya, memegang tangannya dan berkata.

“Suma-taihiap, tidak perlu melakukan banyak peradatan, marilah kita masuk ke dalam. Aku hendak membicarakan hal yang amat penting dengan taihiap.”

Mereka memasuki ruangan dalam yang indah dan di situ telah tersedia makanan yang serba lengkap dan mewah di atas meja. Pangeran Kiu mempersilahkan Han Han duduk dan beberapa orang pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik cepat melayani mereka menuangkan arak, kemudian atas isyarat pangeran itu, mereka mundur dan berdiri di sudut kamar menanti perintah.

Setelah menerima suguhan arak beberapa cawan, Han Han lalu bertanya, tanpa menyembunyikan keheranannya dalam suaranya, “Maaf, Pangeran. Sungguh saya merasa amat heran atas undangan Pangeran. Ada urusan penting apakah?”

Pangeran Kiu tertawa bergelak, dan dua orang pendeta Lama itu pun tersenyum.

“Suma-taihiap, ketahuilah bahwa sebetulnya antara engkau dan aku sebenarnya masih ada hubungan keluarga.”

“Ahhh, harap Pangeran tidak berkelakar!” Han Han berkata, tidak percaya sama sekali.

“Aku tidak main-main, taihiap. Dan aku pun baru saja mengetahui akan hal ini dari keterangan Thian Tok Lama,” jawab Pangeran Kiu sambil tersenyum.

Han Han teringat akan peringatan Sin Kiat agar dia berhati-hati. Siapa tahu ada maksud tersembunyi dalam sikap pangeran yang aneh ini, maka ia kemudian menoleh dan memandang wajah pendeta Lama gendut yang ia tahu amat lihai kepandaiannya itu.

“Saya mohon penjelasan,” kata Han Han singkat, ditujukan kepada Pangeran Kiu akan tetapi dia menatap wajah Thian Tok Lama.

Hwesio Lama gendut ini tersenyum, mengangkat cawan dan minum araknya. Sekali teguk arak keras dalam cawan itu pindah ke perutnya, dan sambil meletakkan cawan kosong di atas meja ia berkata, “Maaf, Suma-taihiap. Dalam perang pinceng terpaksa untuk sementara membuang pantangan minum arak dan makan daging. Tentu saja engkau merasa heran sekali mendengar keterangan Pangeran Kiu, bukan? Akan tetapi sesungguhnya begitulah. Engkau masih terhitung keluarga dari Pangeran, dan hal ini dapat dibuktikan kalau saja taihiap tidak menyembunyikan sesuatu dan suka mengaku secara jujur.”

Han Han masih merasa heran dan kini ia memandang tajam, mengerutkan alisnya. “Thian Tok Losuhu, saya tidak menyembunyikan sesuatu.”

Pendeta gendut itu tertawa dan matanya bersinar penuh kagum. “Taihiap pandai sekali menyembunyikan kesaktian dari pandai pula menyembunyikan nama besar. Suma Taihiap, bukankah taihiap ini cucu dari pendekar sakti Suma Hoat?”

Pertanyaan ini diajukan secara tiba-tiba, membuat Han Han terkejut bukan main. Dia memang tidak menyembunyikan nama keturunannya ketika memperkenalkan diri kepada Raja Muda Bu Sam Kwi, mengaku she Suma, akan tetapi untuk mengakui tokoh sesat yang menjadi kakeknya dan terkenal dengan julukan Jai-hwa-sian, yang amat dibencinya itu, benar-benar ia masih merasa berat. Akan tetapi, kini ia berhadapan dengan orang-orang pandai seperti Thian Tok Lama, juga dengan seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, bagaimana akan dapat menyangkal? Selain itu, apa pula perlunya menyangkal?

“Losuhu, bagaimana Losuhu bisa tahu?” Ia balas bertanya, suaranya tenang saja akan tetapi pandang matanya penuh selidik.

Kembali kakek gundul itu tertawa. “Pinceng mengenal baik Kakekmu itu, taihiap, seorang yang gagah perkasa, tampan dan sakti. Melihat wajah taihiap sama dengan melihat wajah Suma Hoat di waktu muda, tentu saja dengan mudah pinceng dapat menduganya. Melihat usiamu, melihat persamaan wajahmu dengan dia, pantasnya taihiap adalah cucunya.”

Diam-diam Han Han merasa betapa hatinya menjadi kecut dan tidak senang. Celaka tiga belas dan sialan, pikirnya. Siapa kira bahwa wajahnya sama benar dengan kakeknya yang amat dibencinya! Akan tetapi dia tidak dapat berbohong, juga tidak mau membohong. Dia tidak senang diketahui orang sebagai cucu Jai-hwa-sian Suma Hoat, akan tetapi dia juga tidak takut orang mengetahuinya! Memang benar kakeknya seorang penjahat, akan tetapi kakeknya dan dia adalah dua orang lain!

“Memang benar, saya adalah cucunya. Akan tetapi saya masih tidak mengerti apa hubungannya ini dengan Pangeran.”

Pangeran Kiu tertawa bangga. “Ah, Suma-taihiap, atau mulai sekarang lebih baik saya menyebutmu Suma-hiante. Nama besar keluarga Suma sudah menjulang tinggi sampai ke langit selama puluhan tahun...”

“Amat terkenal saking kotor dan jahatnya,” pikir Han Han penuh sesal.

“...sebagai keluarga yang berkuasa, kaya raya, memiliki ilmu kesaktian yang jarang bandingannya, dan yang lebih dari pada itu semua, merupakan keluarga yang setia kepada kerajaan!”

“Hemmm, pujian kosong,” pikir Han Han sungguh pun ia sendiri tidak pernah tahu akan riwayat keluarganya yang terkenal.

“Bahkan pendekar sakti Suling Emas pun masih terhitung anggota Suma ini. Suma Han-hiante, ketahuilah bahwa antara keluarga Suma dan keluarga Kiu terdapat ikatan kekeluargaan pula, yaitu karena seorang di antara selir mendiang Suma Kiat adalah puteri keluarga Kiu. Sedangkan Pangeran Suma Kiat itu adalah ayah dari Kakekmu Suma Hoat. Bukankah dengan demikian, di antara nenek moyang kita masih terdapat hubungan keluarga, Suma-hiante?”

Kepala Han Han menjadi puyeng mendengar keterangan tentang keluarga Suma yang sering kali menimbulkan benci dan penyesalan di hatinya itu. Ia tidak peduii apakah keluarga Suma itu dahulu keluarga bangsawan ataukah keluarga kaya raya, pendeknya nama kakeknya yang berjuluk Jai-hwa-sian telah menghapus semua perasaan mesra di hatinya sebagai anggota keluarga Suma. Kalau dia disuruh memilih, tentu ia akan jauh lebih suka memakai nama keluarga Sie, namun karena dia tidak sudi menyembunyikan nama yang dianggapnya sebagai sifat pengecut, terpaksa ia menggunakan she Suma yang dibencinya itu.

“Apakah hubungannya hal itu dengan panggilan ini, Pangeran? Saya tidak percaya bahwa saya dipanggil hanya untuk mendengar keterangan tentang keluarga nenek moyang ini.”

“Ha-ha-ha! Engkau terlalu kurang sabar, Hiante! Bukankah hal yang menggirangkan ini perlu dirayakan lebih dulu? Marilah kita makan minum, baru nanti kita bicara lagi!”

Karena sikap pangeran itu yang ramah-tamah, ditambah lagi sikap dua orang pendeta Lama yang menghormatnya, Han Han tak dapat mengelak dan mulailah mereka makan minum. Han Han tidak tahu betapa Pangeran Kiu dan kedua orang pendeta Lama itu sering kali bertukar pandang dan isyarat, dan tidak tahu betapa pangeran itu sengaja mendatangkan dua orang pelayan wanita yang baru, yang muda-muda dan amat cantik. Tidak tahu bahwa dua orang pelayan ini sengaja diperintah untuk melayaninya, untuk merayunya dengan gerakan-gerakan lemah gemulai, dengan suara merdu ketika menawarkan arak, dengan sentuhan-sentuhan mesra secara sambil lalu ketika melayaninya.

Han Han merasa kikuk dan canggung, diam-diam mendongkol kepada kedua orang pelayan itu yang dianggapnya genit dan terlalu berani. Akan tetapi dia diam saja, melirik pun tidak kepada dua orang wanita muda yang menyiarkan keharuman dari tubuh mereka, suara-suara merdu memikat dari mulut mereka, dan rangsangan-rangsangan dari sentuhan jari tangan mereka. Han Han tidak tahu bahwa Pangeran Kiu sudah mengatur semua ini, juga ketika serombongan penari yang cantik-cantik datang, menari dan meliak-liukkan tubuh mereka yang ramping dan seperti menantang minta dipeluk, Han Han sama sekali tidak mengira betapa pangeran itu dan dua orang hwesio Lama memandangi setiap gerak-geriknya.

Memang Pangeran Kiu bersama dua orang hwesio Tibet itu kecelik. Mereka tadinya menyangka bahwa sebagai cucu Jai-hwa-sian, pemuda yang buntung kakinya namun memiliki kelihaian melebihi Jai-hwa-sian sendiri ini tentu mewarisi watak kakeknya, suka akan wanita. Karena itu Pangeran Kiu berusaha memikat Han Han dan menyenangkan hatinya dengan wanita-wanita cantik agar pemuda lihai ini dapat terjatuh ke dalam kekuasaannya dan menjadi pembantunya. Siapa kira pemuda itu sama sekali tidak tertarik dan hal ini dapat pula dilihat dari sikap dua orang wanita perayu yang makin lama makin lemas kehabisan semangat.

Pangeran Kiu memberi isyarat sehingga semua penari dan pelayan mundur. Han Han baru bernapas lega, karena tadi, sungguh pun ia menekan perasaan dan tetap tenang, hatinya sudah berdebar tidak karuan. Menghadapi rayuan-rayuan wanita cantik itu baginya lebih menegangkan dari pengeroyokan musuh yang bersenjata tajam.

“Suma Han-hiante, kini tiba saatnya bagi kita. Kita sama mengetahui bahwa di antara kita terdapat hubungan keluarga, maka aku tidak ragu-ragu lagi untuk mengajakmu bicara. Terus terang saja aku mengharapkan bantuanmu, Hiante.”

“Bantuan? Bantuan apakah, Pangeran?”

“Bantuan kepadaku untuk menghadapi musuh-musuhku.”

Han Han memandang pangeran itu, pura-pura heran sungguh pun ia sudah dapat menduganya, mengingat akan penuturan Sin Kiat.

“Pangeran, musuh kita semua bukankah barisan Mancu? Dan saya rasa selama ini saya pun sudah membantu, walau pun hanya sedikit menghadapi tokoh-tokoh pandai di barisan musuh.”

“Bukan hanya itu, Hiante. Musuh yang terbesar bahkan yang kini menjadi sekutu kami. Kumaksudkan, Bu-ongya.”

“Hehhh? Bu-ongya...? Bagaimana ini? Saya tidak mengerti, Pangeran.”

“Thian Tok Lama, harap sukalah memberi penjelasan kepada Suma-hiante,” perintah Pangeran Kiu.

Pendeta Tibet yang gemuk dan bermuka lunak kekanak-kanakan itu kemudian berkata dengan sikap lunak, “Suma-taihiap, biar pun ilmu kepandaianmu amat hebat dan tinggi, akan tetapi karena usiamu yang masih amat muda, tentu engkau belum tahu akan hal yang terjadi puluhan tahun yang lalu dan tidak mengenal siapakah sebetulnya Bu Sam Kwi. Siapakah yang menjadi biang keladi penjajahan? Yang memungkinkan bangsa Mancu datang menyerbu dan menaklukkan seluruh pedalaman? Bukan lain adalah Bu Sam Kwi!”

Kalimat terakhir ini diucapkan dengan tekanan untuk mendatangkan kesan. Akan tetapi mereka semua melihat bahwa pemuda buntung itu tidak tampak kaget dan mendengarkan dengan tenang-tenang saja. Hal ini memang tidak aneh bagi Han Han yang sudah mendengar akan cerita itu. Akan tetapi dua orang pendeta Tibet yang sakti itu mengira bahwa sikap tenang Han Han ini hanya karena pemuda ini sudah pandai menguasai hati dan pikirannya, pandai menguasai perasaannya, maka Thian Tok Lama melanjutkan.

“Pada waktu Kerajaan Beng diserbu bangsa Mancu, kalau semua panglima seperti Bu Sam Kwi dan lain-lain mengerahkan bala tentara mempertahankan, tentu bangsa Mancu dapat dipukul hancur. Akan tetapi sayang, kaisar terakhir Kerajaan Beng amat lemah sehingga para panglima memberontak. Bahkan Bu Sam Kwi yang merupakan pengkhianat terbesar telah bersekutu dengan bangsa Mancu dan menyerbu ke selatan. Berkat bantuan Bu Sam Kwi itulah maka bangsa Mancu berhasil menguasai seluruh pedalaman. Dan sekarang, setelah terlambat, setelah melawan pun tiada gunanya lagi, Bu Sam Kwi menentang bangsa Mancu mati-matian dan semua ini hanyalah untuk mempertahankan kedudukannya sebagai raja muda di Se-cuan!”

Han Han juga sudah mendengar akan hal itu, bahkan dia sudah tahu lebih banyak lagi, misalnya tentang keinginan Pangeran Kiu untuk mengadakan perdamaian dengan pihak Mancu yang tentu saja didasari keinginan mendapatkan kedudukan tinggi yang akan diberikan pemerintah Mancu kepadanya! Akan tetapi karena Han Han tidak peduli akan urusan itu yang dianggapnya bukan urusannya, kini mendengar penuturan Thian Tok Lama lalu bertanya.

“Apakah hubungannya semua itu dengan saya? Dan mengapa diceritakan kepada saya?”

Kini Pangeran Kiu yang melanjutkan. “Suma-hiante, setelah kau mendengar penuturan Thian Tok Lama, tentu engkau sadar bahwa tidak semestinya engkau mengabdi kepada Bu Sam Kwi! Dia seorang yang palsu hatinya! Karena itu, saya mengulurkan tangan kepadamu, sebagai anggota keluarga, untuk membantuku.” Pangeran Kiu memandang tajam penuh selidik.

“Akan tetapi, apakah bedanya? Andai kata saya membantu Pangeran, tentu untuk melawan barisan Mancu.” Han Han pura-pura bertanya.

“Omitohud...! Sungguh mengagumkan. Taihiap yang lihai masih terlalu muda, polos dan bersih!” Thai Li Lama yang kurus berkata.

“Bukan, Hiante. Kuminta agar engkau suka berpihak kepadaku karena sekarang terjadi pertentangan antara pihakku dan pihak Bu Sam Kwi. Engkau tahu bahwa jelek-jelek aku masih keluarga Kerajaan Beng, seorang pangeran dari kerajaan itu, sedangkan Bu Sam Kwi hanyalah seorang panglima yang sudah memberontak dan berkhianat! Kami tidak akan memerangi Kerajaan Mancu lagi, bahkan akan berdamai.”

Han Han pura-pura terheran. “Hemmm, tadi Bu-ongya dipersalahkan ketika bersekutu dengan bangsa Mancu, kenapa sekarang Pangeran hendak bersekutu dengan bangsa Mancu? Bagaimana ini?”

“Jauh bedanya, Hiante! Dahulu tidak semestinya Bu Sam Kwi bersekutu dengan bangsa Mancu, karena Kerajaan Beng masih kuat. Dalam keadaan masih kuat melawan dia bersekutu, itulah pengkhianatan namanya! Sekarang Kerajaan Mancu amat kuat, sudah menguasai seluruh Tiongkok. Kalau kita berdamai, itu adalah menggunakan kecerdikan namanya. Rakyat tidak tersiksa dan menderita oleh perang yang berlarut-larut, dan setelah kita memperoleh kedudukan, mudah bagi kita untuk berusaha menguasai mereka, menanti kesempatan baik untuk menggulingkan musuh. Ini adalah sebuah siasat yang cerdik, tidak melawan secara membuta seperti yang kita lakukan selama ini.”

Han Han mengerutkan keningnya, hatinya muak. Kalau dipikir mendalam, semua itu sama saja. Permainan orang-orang besar yang bercita-cita mencapai kedudukan setinggi-tingginya bagi mereka sendiri. Tiba-tiba ia mengangkat muka, memandang wajah tiga orang itu berganti-ganti dengan pandang mata tajam sehingga Pangeran Kiu dan dua orang pendeta itu terkejut. Sinar mata Han Han seperti menembus jantung mereka. Thai Li Lama, seorang yang ahli dalam ilmu sihir, melihat sinar mata ini menjadi kagum dan terkejut sekali, mulutnya berbisik, “Omitohud...!”

“Pangeran, maafkan kata-kata saya. Akan tetapi, sesungguhnya aku muak akan perang, muak akan urusan orang-orang besar yang saling memperebutkan kursi dan kedudukan. Saya datang ke Se-cuan sesungguhnya bukan untuk berperang, melainkan untuk mencari adik saya yang bernama Lulu, yang saya kira tadinya berada di Se-cuan. Kalau saya ikut membantu peperangan adalah semata-mata ingin membantu para orang gagah dan melawan pasukan Mancu yang datang menyerbu. Kini perang berhenti, adik saya tidak berhasil saya temukan, maka saya pun hendak meninggalkan Se-cuan. Mengenai urusan Pangeran dengan Bu-ongya, saya tidak suka mencampurinya. Perang amat jahat, akan tetapi lebih kotor lagi adalah permainan orang-orang besar yang menggerakkan perang. Demi mencapai cita-cita mereka memperebutkan kedudukan, mereka mengobarkan perang, menciptakan dalih yang muluk-muluk untuk membakar hati rakyat atau menggunakan harta benda untuk menukarnya dengan nyawa rakyat! Perang terjadi, siapakah yang menderita, siapa yang menjadi korban dan siapa yang mati bergelimpangan dalam jumlah puluhan laksa? Bukan lain rakyatlah! Kalau menang? Bukan rakyat yang mengecap nikmat kemenangannya, melainkan orang-orang besar pengejar cita-cita pribadi berkedok demi rakyat itulah yang berpesta-pora, mabuk kemenangan! Kalau kalah? Rakyat yang mati tetap mati, akan tetapi orang-orang besar itu dapat melarikan diri jauh dari tempat perang membawa harta bendanya, atau kalau ditawan pun dapat menjadi sekutu dari yang menang dan memperoleh kedudukan pula, biar pun tidak setinggi seperti kalau menang! Sungguh menyedihkan, namun menjadi kenyataan selama sejarah berkembang. Perang adalah permainan orang-orang besar yang mempermainkan rakyat demi tercapainya cita-cita mereka. Kalau kalah, orang-orang besar itu lebih dulu melarikan diri karena memang tempatnya selalu di belakang, sebaliknya kalau menang mereka pulalah yang lebih dulu lari ke depan saling memperebutkan pahala dan jasa!”

Han Han bicara penuh semangat dan memang di dalam hatinya ia merasa prihatin sekali setelah mengalami bermacam hal sebagai akibat perang. Dia telah melihat rakyat yang melarikan diri mengungsi akibat perang, kehilangan semua miliknya yang tidak seberapa, bahkan banyak yang kehilangan nyawa keluarga dan nyawa sendiri, dikejar-kejar tentara Mancu, diperkosa, disiksa, dibunuh!

Dan orang-orang besar seperti Pangeran Kiu ini dan banyak lagi, enak-enak di Se-cuan, di gedung besar sama sekali aman dari pada penderitaan rakyat kecil, namun masih bicara tentang perjuangan! Bahkan mengatur siasat untuk bersekutu dan berdamai dengan bangsa Mancu! Dan semua itu masih pakai dalih yang muluk-muluk dan baik-baik. Kecerdikan! Agar rakyat tidak tersiksa! Phuhh! Katakan saja demi untuk keselamatannya sendiri, demi untuk kedudukan dan keuntungan diri pribadi! Rakyat pula yang dibawa-bawa. Siapa tidak akan muak?

Wajah kedua orang pendeta Tibet menjadi pucat, dan wajah Pangeran Kiu menjadi merah sekali saking marahnya. Tak mereka sangka pemuda buntung yang mereka harapkan berpihak kepada mereka itu mengeluarkan ucapan seperti itu! Ucapan seorang pengkhianat pula! Bagi mereka, tentu saja segala perbuatan mereka yang sudah-sudah, yang sedang berjalan, mau pun yang akan datang kesemuanya adalah baik dan benar belaka!

“Suma Han! Berani engkau bicara seperti ini?” Pangeran Kiu hampir tak dapat menahan kemarahannya, akan tetapi Thian Tok Lama cepat berkata.

“Pangeran, harap suka memaafkan ucapan Suma-taihiap. Dia masih muda, darahnya masih panas, tentu saja pandangannya pun dangkal. Betapa pun juga, harus diingat bahwa dia telah berjasa. Biarlah penawaran Pangeran tadi dia pikirkan masak-masak, dan setelah pikirannya tenang, tentu dia akan berpendapat lain.” Kemudian pendeta gendut ini berdiri menjura kepada Han Han sambil berkata.

“Suma-taihiap, pinceng harap taihiap suka pulang dulu dan kami berharap dalam waktu tiga hari taihiap suka mempertimbangkan apa yang kita bicarakan di sini sekarang ini. Di samping itu, pinceng pun akan membantu taihiap mencari dan menyelidiki tentang adik taihiap yang bernama Nona Lulu itu.”

Han Han sadar bahwa ucapannya yang terdorong hati penasaran tadi membikin marah Pangeran Kiu. Dia bangkit berdiri, memberi hormat sambil berkata, “Mohon Pangeran sudi memaafkan saya yang lancang mulut.” Ia lalu mengundurkan diri dan pergi meninggalkan gedung Pangeran Kiu.

******************


Dua hari kemudian ketika sedang termenung menyendiri, telinga Han Han menangkap gerakan orang di sebelah belakang. Dia tahu bahwa yang datang adalah orang yang memiliki ginkang tinggi, akan tetapi dia diam saja, menoleh pun tidak.

“Suma-taihiap...!”

Han Han baru menoleh dan melihat Thian Tok Lama telah berdiri di belakangnya. Cepat ia memberi hormat dan berkata, “Sepagi ini Losuhu sudah datang menemui saya, ada keperluan apakah?”

Thian Tok Lama tertawa. “Kabar baik, taihiap. Kabar baik sekali. Pinceng sudah dapat menemukan adik taihiap.”

Seketika wajah Han Han berseri, dadanya berdebar tegang. “Losuhu! Di mana dia? Benarkah Losuhu bertemu dengan Lulu? Ahhh, terima kasih kepada Thian Yang Maha Kasih. Adikku masih hidup! Losuhu, di mana dia?”

Thian Tok Lama memperlebar senyumnya, diam-diam ia kasihan kepada pemuda ini, kemudian ia menggerak-gerakkan telunjuknya seperti menegur kepada Han Han, “Taihiap, setelah pinceng mengetahui keadaanmu, mendengar siapa adanya adikmu, sungguh pinceng merasa makin kagum dan terharu. Mengertilah pinceng, mengapa taihiap demikian membenci perang, akan tetapi pinceng kagum bahwa pendirian taihiap tetap teguh tak terpengaruh keadaan. Kiranya adik taihiap adalah seorang puteri Mancu! Hemmm...!”

Kalau tadinya Han Han masih curiga dan ragu-ragu apakah benar-benar pendeta Tibet ini tahu di mana adanya Lulu, kini keraguannya menghilang dan ia bertanya dengan suara mendesak, “Losuhu, setelah Losuhu datang menjumpaiku dan mengabarkan tentang Lulu, harap jangan menyiksa perasaanku dan katakanlah, di mana dia?”

“Dia belum lama datang bersama pasukan yang dipimpin oleh Puteri Nirahai. Dia adalah seorang Panglima Mancu, taihiap.”

Han Han membelalakkan matanya. “Aaaahhhhh? Tidak mungkin! Tidak mungkin!”

Pendeta itu memandang tajam. “Mengapa, taihiap? Bukankah Nona Lulu seorang gadis bangsa Mancu?”

“Di mana dia, Losuhu, aku segera menyusulnya!” Han Han berkata penuh gairah.

“Di perbatasan sebelah barat Min-san, di lereng-lereng gunung itulah dia bertugas melakukan penyelidikan.”

“Terima kasih, Losuhu! Terima kasih! Sekarang juga aku hendak berpamit dan pergi!” Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat pergi untuk minta diri dari Bu Sam Kwi. Pemuda itu tidak tahu betapa Thian Tok Lama memandangnya sambil menggeleng kepala dah berkata lirih.

“Sayang... dia pemuda yang lihai sekali... sayang...!”

Bu Sam Kwi tidak dapat menahan ketika Han Han berpamit dan menyatakan meletakkan jabatan dengan alasan ingin keluar dari Se-cuan dan mencari adiknya. Tentu saja dia tidak mengatakan bahwa adiknya kini telah menjadi seorang Panglima Mancu! Ketika ia mendapat perkenan dan keluar dari istana, dia bertemu dengan Wan Sin Kiat.

“Sin Kiat, aku pergi sekarang juga, sudah mendapat perkenan Bu-ongya. Selamat tinggal.”

Sin Kiat memegang lengan sahabatnya itu. “Eh, nanti dulu. Engkau hendak ke manakah, Han Han?”

“Ke mana lagi? Tentu saja mencari Lulu. Kalau lebih lama menanti di sini saja, sampai kapan aku dapat menemukannya?”

Sin Kiat menarik napas panjang. Hatinya pun menyesal sekali mengapa dia tidak mendapat kesempatan untuk pergi sendiri mencari gadis yang telah merobohkan hatinya itu. “Aku pun akan minta ijin dari Ongya untuk membantumu mencarinya.”

“Jangan!” Cepat-cepat Han Han menarik lengannya. “Engkau masih dibutuhkan di sini, biar aku sendiri yang mencarinya.” Setelah berkata demikian, Han Han melesat pergi cepat sekali.

Sin Kiat menarik napas panjang. “Ah, Lulu...!”

Ia lalu mengambil keputusan untuk minta ijin dari atasannya. Perang sedang berhenti, musuh tidak menyerbu. Kesempatan dalam menganggur ini akan ia pergunakan membantu Han Han mencari jejak gadis itu.

Han Han berlari, atau lebih tepat berloncatan cepat sekali menuju ke Pegunungan Min-san yang terletak di perbatasan utara Propinsi Se-cuan. Setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, barulah ia tiba di daerah Pegunungan Min-san itu. Daerah yang sunyi dan di daerah ini pun perang tidak tampak, suasana sepi dan agaknya para penjaga di pihak Se-cuan juga melakukan penjagaan sembunyi-sembunyi di dalam hutan-hutan. Dengan kepandaiannya, Han Han dapat melalui tempat penjagaan dan memasuki hutan-hutan di seberang perbatasan, memasuki daerah musuh di Propinsi Kan-su, di sebelah barat puncak Min-san.

Pada hari ke lima, pagi-pagi ia memasuki sebuah hutan dan hatinya agak bingung mengapa sampai sekian jauhnya belum juga ia menemukan pasukan Mancu. Mulailah ia meragu. Jangan-jangan ia ditipu oleh pendeta Tibet itu! Han Han mengusap peluh di dahinya dengan ujung lengan baju, beristirahat dan berdiri sambil bersandar pada tongkatnya karena ia menjadi bingung, tidak tahu harus mencari ke mana di hutan besar yang sunyi itu.

Tiba-tiba Han Han menghentikan usapannya pada dahi dan leher. Matanya melirik ke kanan kiri, tongkatnya siap di tangan. Ia mendengar gerakan banyak orang makin mendekat, agaknya mengurung tempat itu.

“Wir-wir-sing-sing-singgg!”

Dari arah belakang dan kiri meluncur banyak anak panah ke arah tubuhnya. Han Han menggerakkan tongkatnya dan semua anak panah runtuh. Kemudian bermunculan dari balik-balik pohon di sekelilingnya pasukan yang terdiri dari kurang lebih lima puluh orang! Mereka bersenjata lengkap dan terdengar aba-aba dalam bahasa Mancu disusul serbuan pasukan itu!

“Aku tidak ingin berkelahi! Aku mencari adikku Lulu!” Han Han cepat berseru dan karena ia menggunakan tenaga khikang, maka suaranya nyaring sekali membuat prajurit Mancu terkejut dan langkah kaki mereka tertahan.

“Dia panglima pemberontak Bu! Tangkap! Bunuh saja!” Tiba-tiba terdengar suara yang amat dikenal Han Han, suara Thian Tok Lama!

Mulailah Han Han mengerti bahwa dia memang ditipu! Teringat ia sekarang bahwa Thian Tok Lama termasuk sekutu Pangeran Kiu yang ingin berdamai dengan bangsa Mancu. Kiranya pendeta itu sengaja menjebaknya di sini untuk membunuhnya, dan tentu saja untuk memperlihatkan iktikad baiknya terhadap bangsa Mancu! Han Han menjadi marah, apa lagi ketika dugaannya itu terbukti dengan munculnya Thian Tok Lama, agak jauh dari tempat itu.

Ia melihat pula Thai Li Lama si pendeta Tibet yang kurus, dan yang lebih memarahkan hatinya lagi adalah ketika ia melihat banyak orang-orang sakti yang pernah ia lihat di kota raja ketika ia mengejar Giam Kok Ma, yaitu sepasang saudara Tikus Kuburan dan Si Burung Hantu yang menyeramkan, ditambah lagi dengan beberapa orang tokoh Mancu. Lawan yang berat, pikirnya, apa lagi di situ terdapat dua orang pendeta Tibet yang sudah ia ketahui kelihaiannya!

Betapa pun marahnya, Han Han masih tidak ingin untuk bertempur. Sekali-kali bukan karena takut, melainkan karena dia tidak mau membuang-buang waktu, ingin segera pergi untuk mencari adiknya yang ia yakin tidak berada di tempat ini dan keterangan Thian Tok Lama kepadanya itu palsu, hanya untuk menjebaknya di tempat itu. Maka ia lalu membalik dan meloncat ke belakang. Akan tetapi di belakangnya sudah menjaga pula prajurit-prajurit Mancu. Tiba-tiba bayangan orang tinggi besar menerjangnya dari samping dengan pukulan tangan yang mendatangkan hawa panas dan angin keras!

“Wuuuttttttt!”

Han Han meloncat ke belakang dan pukulan itu menyambar lewat. Akan tetapi pada detik berikutnya, kembali pukulan yang sama hebatnya menyambar dari belakangnya, dan cepat ia kembali mengelak.

“Hemmmm, kiranya Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Masih ada lagikah?” Han Han berkata marah.

“Singgggggg...!”

Sinar merah menyambarnya dan Han Han kembali mengelak dengan mudah. Ternyata di situ telah berdiri pula Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio. Dengan demikian lengkaplah tiga orang murid yang terkenal dari Setan Botak yang sudah mengurungnya bersama puluhan orang prajurit Mancu!

“Hek-pek Giam-ong dan Hiat-ciang Sian-li, aku tidak mencampuri lagi urusan perang, aku hendak mencari adikku dan tidak ingin bertempur. Berilah aku jalan agar aku pergi saja dari sini!” kata Han Han.

Hek-giam-ong yang seperti dua orang saudara seperguruannya tadi memandang Han Han penuh perhatian, terutama sekali ke arah kakinya yang tinggal sebelah, kini berkata dengan suaranya yang parau, sesuai dengan mukanya yang hitam dan tubuhnya yang tinggi besar.

“Han Han, engkau bocah setan sudah buntung kakimu masih menjual lagak. Lebih baik engkau lekas berlutut menyerah menjadi tawanan kami dari pada kami turun tangan membuntungi kakimu yang sebelah lagi!”

Diejek demikian Han Han masih tetap sabar, akan tetapi ia tahu bahwa pertempuran tak mungkin dihindarkan melihat betapa pasukan Mancu itu kini mengepungnya makin ketat dalam jarak dekat, sedangkan tokoh-tokoh sakti yang menyertai penjebakan ini pun menjaga dari empat penjuru.

“Han Han, setelah kakimu buntung, apa sih dayamu menghadapi pasukan kami? Aku sendiri menjadi malu harus bertanding melawan seorang buntung!” kata Pek-giam-ong memandang rendah.

“Minggiriah, biar aku pergi!” Han Han masih bersikap sabar.

“Siuuuttttt... plakkk!”

Tubuh Ma Su Nio terhuyung ke belakang ketika pukulannya tadi ditangkis Han Han seenaknya tanpa menoleh, hanya mengangkat tangan kiri menangkis datangnya pukulan itu dari kiri.

“Sudahlah, aku pergi saja!” Han Han berkata kemudian tubuhnya mencelat ke kanan, menjauhi tiga orang murid Kang-thouw-kwi itu. Ia hendak mendobrak penjagaan para prajurit Mancu yang mengurungnya untuk meloloskan diri.

Melihat ini, enam orang prajurit Mancu bergerak menubruk dan menyerangnya dari segala jurusan, sedangkan jalan keluar telah ditutup oleh penjagaan para prajurit. Han Han tidak melihat jalan keluar, terpaksa ia menggerakkan tangan kanannya mendorong dan enam orang itu terpelanting ke kanan kiri seperti dihempaskan oleh tenaga angin badai yang amat kuat.

Akan tetapi, sebelum Han Han sempat meloncat lagi, terdengar pukulan sakti menyambar dari belakang dan kanan kiri. Hawanya panas bukan main. Kiranya tiga orang murid Setan Botak itu telah menerjangnya dengan marah. Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong menghantamnya dengan pengerahan ilmu pukulan mereka Toat-beng Hwi-ciang sedangkan Ma Su Nio menggunakan ilmu pukulannya yang lebih hebat lagi, yaitu pukulan Hiat-ciang yang mengeluarkan bunyi bercicitan sangat tinggi sehingga membikin anak telinga tergetar.

Ilmu pukulan Toat-beng Hwi-ciang (Tangan Api Pencabut Nyawa) dari Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong adalah cabang dari ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biar pun kehebatannya tak dapat disamakan dengan Hwi-yang Sin-ciang namun sudah amat dahsyat karena tubuh lawan yang terpukul selain nyawanya melayang juga akan menjadi hangus seperti terbakar kulitnya.

Akan tetapi Hiat-ciang (Tangan Merah) dari Ma Su Nio masih setingkat lebih tinggi lagi dari pada Toat-beng Hwi-ciang. Jika ia menggunakan ilmu ini, sepasang tangan Ma Su Nio menjadi merah darah dan setiap pukulannya selain mengandung hawa panas melebihi pukulan kedua orang kakek, juga membawa bau amis dan mengeluarkan bunyi mencicit tinggi. Berbeda dengan Toat-beng Hwi-ciang yang menghanguskan kulit lawan, pukulan Hiat-ciang ini mengandung racun jahat sekali yang akan meracuni darah lawan hanya oleh hawa pukulan saja, apa lagi kalau sampai bersentuhan atau terkena pukulan tangan merah itu!

Namun, betapa pun lihai dan mengerikan ilmu pukulan dari ketiga orang murid Setan Botak ini, bagi Han Han mereka itu bukan apa-apa. Dia tidak ingin berkelahi, akan tetapi setelah diserang seperti itu, tentu saja dia tidak sabar lagi. Melihat datangnya pukulan dari belakang, kanan dan kiri ini dia mengempit tongkatnya, kakinya yang tinggal sebuah itu berputar sehingga tubuhnya membalik. Tangan kirinya didorongkan ke arah pukulan Ma Su Nio yang berbunyi seperti tikus terjepit sedangkan tangan kanannya membuat gerakan dorongan memutar, sekaligus menghadapi kedua pukulan Hekgiam-ong dan Pek-giam-ong dari depan dan kanan.

“Desssss...!!”

Hawa pukulan yang panas bertumbuk di udara. Terdengar pekik nyaring dan tubuh tiga orang murid Setan Botak itu terbanting dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Han Han tidak menyia-nyiakan kesempatan selagi tiga orang lawannya itu bergulingan untuk meloncat dan hendak menerobos kepungan, akan tetapi para prajurit Mancu yang sudah menghadangnya telah menubruknya dengan tombak dan golok mereka.

Menghadapi hujan senjata ini, Han Han cepat memutar tongkatnya. Terdengar suara nyaring berkerontangan ketika belasan batang tombak dan golok beterbangan terlepas dari tangan para pemegangnya, bahkan banyak di antara senjata-senjata itu yang patah-patah.

“Setan-setan ganas! Minggirlah, beri jalan! Aku tidak mau berkelahi!” bentak Han Han, akan tetapi tentu saja suaranya tidak dihiraukan orang dan dari depan menyambar belasan batang anak panah sebagai jawaban bentakannya itu.

“Hemmm, benar-benar keparat orang-orang Mancu!” Han Han mulai panas perutnya.

Sekali putar saja, tongkatnya telah meruntuhkan semua anak panah. Para prajurit sudah menyerbu lagi. Ada yang menyerang dengan tombak, pedang, atau golok, akan tetapi banyak pula yang nekat menyerang dengan tangan kosong karena senjatanya telah patah. Mereka menyerang sambil berteriak-teriak, membuat Han Han makin marah.

Empat orang prajurit yang menerjang dari kiri memandang rendah dan merasa girang ketika pemuda buntung itu menyambut terjangan golok mereka dengan tangan kiri yang kosong. Mereka merasa yakin bahwa tentu serbuan mereka sekali ini akan merobohkan atau setidaknya melukai Han Han. Akan tetapi, tiba-tiba ketika tangan kiri pemuda buntung itu digerakkan seperti orang menampar, hawa yang amat dingin menyambar. Tubuh mereka terpelanting ke atas tanah seperti dibanting dan senjata mereka masih tergenggam, akan tetapi empat orang prajurit ini telah menjadi mayat yang darahnya membeku!

Enam orang lain yang datang menerjang dari depan dan kiri disambut dengan tongkat. Demikian cepat gerakan tongkat ini sedangkan tubuh Han Han tetap tidak berpindah tempat, hanya berdiri di atas sebelah kaki, tongkat digerakkan ke arah para pengeroyok. Dalam waktu beberapa detik saja enam orang inipun roboh dan tewas!

“Swinggggg...!”

Han Han cepat merendahkan tubuh, membiarkan sinar pedang yang menusuk ke arah tengkuknya itu lewat di atas kepalanya. Tanpa membalikkan tubuh, tongkatnya lantas menyambar ke belakang, ke arah penyerangnya.

“Trang-tranggg...!”

Tampak api berpijar ketika tongkatnya tertangkis oleh dua batang golok yang digerakkan tenaga kuat. Han Han memutar kaki tunggalnya dan melihat bahwa yang menyerangnya tadi adalah Hiat-ciang Sian-li Ma Su Nio, sedangkan yang menangkis tongkatnya adalah Hek-giam-ong dan Pek-giam-ong. Kiranya ketiga orang murid Setan Botak ini sudah bangkit kembali dan kini telah mempergunakan senjata.

Hal ini sebetulnya jarang sekali dilakukan tiga orang itu. Mereka telah menerima gemblengan Kang-thouw-kwi Gak Liat dan telah memiliki ilmu silat tinggi, bahkan kedua orang kakek yang mukanya hitam dan putih itu telah memiliki ilmu pukulan Toat-beng Hwi-ciang, sedangkan Ma Su Nio memiliki Hiat-ciang. Dengan kedua macam ilmu pukulan yang didasari tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang ini, mereka amat percaya akan kemampuan sendiri menghadapi lawan sehingga mereka tidak pernah membutuhkan senjata tajam.

Kedua tangan mereka lebih ampuh dari pada senjata tajam yang mana pun juga. Akan tetapi sekali ini, menghadapi Han Han yang ternyata memiliki tenaga sinkang yang amat luar biasa, jauh lebih kuat dari pada tenaga mereka sehingga mereka itu sama sekali tidak dapat mengandalkan pukulan tangan kosong berdasarkan sinkang, maka setelah mereka bergulingan dan lenyap kepeningan kepala mereka, tiga orang tokoh kaum sesat itu telah menyambar senjata dan menyerang lagi...


BERSAMBUNG KE JILID 18