Pendekar Super Sakti Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PENDEKAR SUPER SAKTI BAGIAN 04

Kim Cu memandang gurunya dengan wajah khawatir, karena ia takut kalau-kalau gurunya akan marah dan semua murid maklum betapa akan hebat akibatnya kalau guru itu marah. Akan tetapi aneh. Ma-bin Lo-mo malah tertawa dan suara ketawanya persis kuda yang meringkik-ringkik. Para murid lainnya tidak ada yang merasa heran, akan tetapi Han Han kembali memandang suhu-nya dengan mata terbelalak. Memang gurunya ini seorang aneh, lebih aneh dari pada Setan Botak.

"Pertanyaan yang aneh, akan tetapi sudah semestinya kalau murid-muridku mengenal siapa sesungguhnya guru mereka, terutama sekali Couwsu mereka. Dengarlah baik-baik, murid-muridku, karena sesungguhnya kalian adalah murid-murid dari orang yang bukan sembarangan! Couwsu kalian yang kita puja-puja itu adalah keturunan pangeran, nama lengkapnya adalah Suma Kiat. Ilmu silatnya tinggi bukan main, seperti dewa! Murid-muridnya hanya dua orang, yaitu aku sendiri dan suheng ku yang bernama Suma Hoat, puteranya sendiri, putera tunggalnya. Betapa pun tekun dan rajin aku belajar, namun dibandingkan dengan supek mu (Uwa Gurumu) Suma Hoat itu, aku masih kalah jauh!" Kakek itu menarik napas panjang seolah-olah ceritanya mengingatkan dia akan masa lalu dan membuatnya termenung sejenak.

"Di manakah Supek itu sekarang, suhu?" tanya Kim Cu dengan suara penuh kagum.

"Entahlah, sudah dua puluh tahun lebih aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan tidak pula mendengar namanya. Dia seorang yang suka sekali merantau, seorang petualang tulen yang ingin menikmati hidup ini sebanyak mungkin. Yang terakhir aku bersama Supek kalian itu pergi mencari kakek sakti Koai-lojin untuk mohon bagian ilmu-ilmu yang beliau bagi-bagikan. Aku mendapat dasar-dasar Im-kang sehingga dapat kuciptakan Swat-im Sin-ciang, dan pada saat yang sama Kang-thouw-kwi Gak Liat mendapatkan dasar Yang-kang sehingga ia menciptakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Ada pun Supek kalian itu mendapatkan lebih banyak lagi. Entah mengapa, agaknya Koai-lojin kakek sakti itu menaruh kasih sayang kepada Supek kalian. Ilmunya menjadi amat tinggi dan sampai lama dia menjagoi di antara semua tokoh kangouw. Dia banyak melakukan hal-hal menggemparkan sehingga dimusuhi tokoh-tokoh kangouw, akan tetapi memang itulah sebuah di antara kesukaannya, yaitu berkelahi!"

Semua murid termasuk Han Han mendengarkan dengan kagum.

"Dan suhu sendiri?" tanya Han Han.

"Aku membantu Sukong kalian, kemudian memperoleh kedudukan. Akan tetapi, Sukong kalian banyak dimusuhi orang kangouw, termasuk aku sebagai muridnya yang setia. Mungkin karena petualangan Supek kalian, atau juga karena kedudukan tinggi dan kepandaian Sukong kalian menarik banyak orang gagah menjadi iri dan memusuhinya. Namun Sukong kalian dan aku selalu mempertahankan diri dan selalu berhasil menghalau mereka yang datang memusuhi kami. Akhirnya, setelah Sukong kalian meninggal dunia, aku tidak mau menghadapi sekian banyaknya musuh seorang diri, apa lagi karena Supek kalian yang dapat diandalkan telah pergi merantau entah ke mana. Aku lalu meninggalkan kedudukanku sebagai pembesar tinggi, merantau pula dan akhirnya aku tinggal di sini, apa lagi setelah Kerajaan Beng-tiauw digulingkan oleh bangsa Mancu. Aku ingin menentang Mancu, akan tetapi sendirian saja, mana mungkin berhasil? Banyak tokoh-tokoh besar seperti Gak Liat itu rela dijadikan penjilat penjajah. Aku tidak sudi dan aku lalu mengumpulkan kalian murid-muridku yang keluarganya telah dibasmi orang Mancu untuk kuwarisi kepandaianku agar kelak dapat menjadi patriot-patriot yang perkasa!”

Cerita itu jelas merupakan singkatan saja. Masih banyak hal-hal yang tersembunyi dan tidak diceritakan oleh Ma-bin Lo-mo. Namun yang ia ceritakan adalah bagian-bagian yang baik sehingga para murid menjadi kagum dan bangkit semangat mereka untuk belajar lebih tekun agar kelak dapat berjuang mengusir penjajah yang tidak saja sudah menjajah negara dan bangsa, juga telah membasmi keluarga mereka.

Mulai hari itu Han Han menjadi murid di In-kok-san dan belajar ilmu silat. Mula-mula, ketika menerima pelajaran-pelajaran pokok, ia berlatih dengan tekun. Akan tetapi setahun kemudian, ia merasa bosan karena pelajaran yang diberikan hanya itu-itu saja dan diulang-ulang kembali. Memang benar bahwa kini ia selalu memakai pakaian baik, makan pun tidak pernah kekurangan, banyak teman dan setiap hari berlatih ilmu silat. Akan tetapi diam-diam Han Han menjadi bosan dan ingin sekali ia bebas seperti dahulu.

Hidup menjadi murid Ma-bin Lo-mo merupakan hidup yang telah diatur dan seolah-olah ia telah dapat melihat bagai mana kelak jadinya dengan dirinya kalau ia berada di situ terus. Ia melihat dirinya seolah-olah logam yang digembleng dan dibentuk oleh Ma-bin Lo-mo! Dan dia tidak suka dirinya dibentuk seperti baja. Tidak suka dia hidupnya diatur oleh orang lain, menjadi dewasa menurut kehendak dan bentukan Ma-bin Lo-mo. Ia ingin bebas!

Di antara murid-murid di situ, dia merupakan murid termuda. Bukan muda usia, tetapi muda karena dialah orang terbaru. Maka lima orang murid perempuan di situ adalah suci-sucinya, dan murid-murid laki-laki adalah suheng-suhengnya. Di antara mereka hanya ada tiga orang murid yang paling ia sukai, dan yang merupakan sahabat-sihabatnya.

Pertama tentu saja adalah Kim Cu yang selalu bersikap manis kepadanya. Kedua adalah seorang suci lain yang usianya sebaya dengan Kim Cu, namanya Phoa Ciok Lin, juga seorang anak yatim-piatu yang orang tuanya dibunuh orang-orang Mancu. Ketiga adalah seorang suheng, usianya baru sebelas tahun, setahun lebih muda dari pada Han Han, namanya Gu Lai Kwan, seorang anak yang selalu gembira, penuh keberanian dan pandai bicara. Dengan tiga orang anak-anak inilah Han Han sering kali bermain-main dan berlatih.

Akan tetapi sering kali, kalau Kim Cu yang lebih pandai dari pada mereka berlatih dengan Ciok Lin atau dengan Lai Kwan, Han Han termenung seorang diri, disiksa rasa rindunya akan kebebasan. Ia ingin merantau, ingin melihat kota raja. Cerita tentang supek mereka amat menarik hatinya. Ia ingin seperti supeknya itu, tukang merantau, petualang dan menikmati hidup sebanyak mungkin. Teringat ia akan bunyi sajak yang menganggap bahwa hidup ini laksana anggur, dan selagi hidup sebaiknya meneguk anggur sebanyaknya, sekenyangnya dan sepuasnya!

Sering kali ia termenung, dan kalau sudah demikian Kim Cu yang selalu mendekatinya dan menegur serta menghiburnya. Kim Cu merupakan satu-satunya kawan yang agaknya mengenal keadaannya.

“Kenapa kau selalu murung, Sute?” Pada suatu petang setelah mengaso dari berlatih, Kim Cu bertanya. Mereka duduk di bawah pohon dan Kim Cu menyusuti peluh yang membasahi leher dan dahinya.

“Tidak apa-apa, Suci. Hanya... ah, aku kepingin sekali berjalan-jalan ke luar, turun gunung agar melihat pemandang lain. Bosan rasanya terus-menerus begini, sudah setahun lamanya...”

“Tunggulah sebulan lagi, Sute. Pada hari raya Sin-cia (Musim Semi atau lebih terkenal dengan istilah Tahun Baru Imlek), biasanya Suhu memperkenankan kita untuk turun gunung selama beberapa hari.”

“Syukurlah kalau begitu. Kim-suci, senangkah engkau di sini?”

Gadis cilik yang kini berusia dua belas tahun itu memandang wajah sutenya yang lebih tua setahun dari padanya, lalu tersenyum manis. “Mengapa tidak senang, Sute? Habis ke mana lagi kalau tidak di sini? Aku sudah tidak mempunyai keluarga seorang pun.”

“Suci, engkau telah mendengar riwayatku, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayatmu. Maukah kau menceritakan riwayatmu kepadaku?”

“Apakah yang dapat kuceritakan? Ayah bundaku tinggal di utara, di sebuah dusun dekat kota raja. Kami diserbu orang-orang Mancu. Ayah bundaku dan tiga orang kakakku dibunuh semua. Aku ditolong Suhu dan dibawa ke sini semenjak aku berusia delapan tahun, empat tahun yang lalu. Nah, hanya itulah yang kuingat.”

“Dan semua Suci dan Suheng itu, apakah mereka itu juga yatim-piatu?”

“Benar.”

“Dan semua ditolong Suhu?”

“Begitulah, hanya engkau seorang yang tidak. Karena itu engkau murid istimewa. Menurut Suhu, kelak engkaulah yang paling hebat di antara kita.”

“Wah, jangan memuji, Suci.”

“Sesungguhnyalah, Sute.” Dengan sikap ramah Kim Cu memegang tangan Han Han. “Ada sesuatu yang aneh pada dirimu. Engkau belum pandai silat namun engkau memiliki tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang. Engkau amat kuat dan pandai, akan tetapi engkau selalu menyangkal dan selalu merendahkan diri. Engkau hebat, Sute.”

Muka Han Han menjadi merah dan ia menarik tangannya. Jantungnya berdebar dan ia membenci diri sendiri mengapa ia menjadi begitu girang mendengar pujian Kim Cu. Untuk mengalihkan percakapan, ia cepat bertanya.

“Tiga orang suheng yang cacad itu, apakah mereka menjadi korban orang-orang Mancu?”

“Ah, belum tahukah engkau? Tidak, mereka itu adalah murid-murid yang mengalami hukuman.”

“Hukuman? Siapa yang menghukum mereka?”

“Siapa lagi kalau bukan Suhu? Kumaksudkan, Suhu yang menjatuhkan hukuman, tentu saja murid-murid lain yang melaksanakannya. Siauw-sute itu, yang kedua telinganya buntung, dijatuhi hukuman potong kedua daun telinga karena dia berani melanggar larangan dan mendengarkan Suhu ketika Suhu bercakap-cakap di dalam pondoknya dengan seorang tamu, sahabat Suhu.”

“Wah...!” Han Han juga tahu akan larangan mendengarkan atau mengintai suhu mereka kalau sedang berada di pondok. “Siapa yang melaksanakan?”

“Aku.”

“Hah...?” Han Han memandang sucinya dengan mata terbelalak.

Kim Cu tersenyum geli. “Mengapa?”

“Kau... kau tega melakukan itu...? Kau... mengapa begitu kejam...?”

Kim Cu menggeleng kepala. “Sama sekali tidak, Sute. Aku hanya mentaati perintah Suhu dan syarat utama seorang murid harus taat kepada gurunya. Pula, aku melakukan hal itu sama sekali bukan karena kejam atau tidak tega, melainkan sebagai pelaksanaan hukuman yang harus diterima oleh Siauw-sute. Setelah membuntungi kedua daun telinganya, aku pula yang merawatnya sampai sembuh.”

“Dia... tidak mendendam kepadamu?”

“Ah, tidak sama sekali. Dia mengerti bahwa dia harus menjalani hukuman itu.”

“Dan... yang lengannya buntung?”

“Kwi-suheng? Dia telah mencuri baca kitab milik Suhu tanpa ijin. Hal itu dianggap mencuri dan karena lengannya yang mencuri kitab, maka lengannya dibuntungkan.”

“Yang buntung kakinya?”

“Lai-suheng? Ia hendak minggat, tetapi lalu tertangkap. Karena kakinya yang melarikan diri, maka sebelah kakinya dibuntungkan.”

Han Han bergidik.

Kim Cu berkata lagi, “Akan tetapi cacad mereka tidak menjadi halangan karena Suhu tidak membenci mereka, malah mengajarkan ilmu yang khusus untuk mereka. Kami semua diajar ilmu-ilmu yang khusus disesuaikan dengan keadaan dan bakat kita. Ilmu silat dasar memang sama, akan tetapi perkembangannya berlainan. Suhu memiliki ilmu-ilmu yang amat banyak.”

“Hemmm..., sungguh ganjil. Tamu tadi, yang bicara dengan Suhu di pondok, siapakah dia? Sudah setahun aku tidak pernah melihat ada tamu datang.”

Kini Kim Cu memandang ke kanan kiri, kelihatannya jeri dan takut. “Tamu itu seorang manusia yang hebat, dan kata Suhu ilmunya melampaui tingkat Suhu. Dia itu adalah Ibu Guru dari Suhu...”

“Apa...? Suhu masih mempunyai Ibu Guru? Kalau begitu, dia isteri Suma-sukong itu...?”

Kim Cu mengangguk. “Tidak ada yang tahu jelas. Pernah dalam keadaan mabuk Suhu bercerita bahwa Sukong mempunyai banyak sekali isteri dan agaknya Ibu Guru yang ini adalah isteri yang paling muda. Lihainya bukan main, bahkan Suhu amat takut kepadanya. Suhu masih mencinta kita dan melakukan hukuman berdasarkan pelanggaran. Kalau Sian-kouw itu...”

“Kau menyebutnya Sian-kouw (Ibu Dewi)?”

Kim Cu mengangguk dan menelan ludah, agaknya hatinya tegang membicarakan wanita itu. “Kita para murid Suhu diharuskan taat kepadanya dan menyebutnya Sian-kouw. Namanya tak pernah disebut Suhu, akan tetapi julukannya adalah Toat-beng Ciu-sian-li (Dewi Arak Pencabut Nyawa).”

Han Han bergidik. “Mengapa Ciu-sian-li (Dewi Arak)?”

“Ke mana-mana dia membawa guci arak dan hampir selalu mabuk. Akan tetapi makin mabuk makin lihai dia. Sudahlah, Sute, tidak baik kita bicara tentang Sian-kouw...”

“Kalau begitu kita bicara tentang tokoh-tokoh lain, Suci. Ceritakanlah kepadaku tentang tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw. Aku ingin sekali mendengar dan aku suka mendengar akan petualangan mereka, terutama sekali Supek yang disebut-sebut oleh Suhu, putera dari Sukong itu.”

“Banyak sekali tokoh-tokoh besar yang pernah diceritakan suhu kepada kami. Mengenai tokoh-tokoh yang dikenal Suhu, kiraku Sian-kouw itulah yang paling lihai ilmunya. Menurut Suhu, Sian-kouw banyak mewarisi ilmu silat Sukong. Akan tetapi banyak sekali tokoh-tokoh besar yang penuh rahasia dan amat aneh, yang tidak pernah dikenal Suhu namun sudah terkenal namanya di jaman dahulu.”

“Seperti Koai-lojin (Kakek Aneh) yang pernah disebut Suhu dahulu? Yang suka membagi-bagi ilmu?”

Kim Cu mengangguk. “Benar, dialah merupakan orang pertama yang agaknya menduduki tempat paling atas dari segala golongan. Baik golongan yang menyebut dirinya golongan bersih mau pun golongan yang disebut golongan sesat.”

“Kita ini masuk golongan mana?”

Kim Cu tersenyum. Manis sekali kalau gadis itu tersenyum, pikir Han Han dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah ketika ia sadar bahwa perasaannya ini benar-benar tidak sopan dan tidak patut!

“Kita ini golongan sesat, begitulah menurut pendapat dunia kangouw seperti yang diceritakan Suhu. Akan tetapi, apa artinya sebutan-sebutan itu? Tentu mereka yang tidak suka kepada golongan kita yang menyebutnya sesat. Apakah artinya sesat? Dan siapa yang tidak sesat?”

Han Han menjadi bingung. “Ceritakanlah tentang Koai-lojin itu, Suci.”

“Menurut suhu, dia itu merupakan manusia dewa yang tak diketahui tempat tinggalnya oleh siapa pun. Juga usianya tidak ada yang tahu, mungkin dua ratus tahun, mungkin lebih atau kurang. Tingkat kepandaiannya pun tidak ada yang dapat mengukurnya, akan tetapi seluruh tokoh tingkat tinggi masih membutuhkan ilmu darinya. Juga tidak ada yang tahu dia itu sekarang sudah mati ataukah masih hidup. Sejak dahulu semua tokoh besar selalu mencari-carinya, termasuk Suhu sendiri. Namun tak pernah ada yang berhasil.”

“Seperti dongeng saja...” kata Han Han kagum.

“Memang seperti dongeng, dan bukan hanya nama Koai-lojin itu saja pernah didongengkan suhu. Menurut suhu, dunia kang-ouw pada jaman Sukong masih muda, lebih seratus tahun yang lalu, atau bahkan dua ratus tahun yang lalu, memang seperti dongeng karena, menurut Suhu pada waktu itu hidup tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian silat seperti dewa saja! Suma-sukong sudah hebat kepandaiannya, akan tetapi Ayah Sukong kabarnya lebih luar biasa lagi dan tokoh-tokoh di jaman itu malah banyak yang memiliki ilmu silat aneh-aneh. Yang amat terkenal kabarnya adalah pendekar sakti Suling Emas yang kabarnya menerima ilmu-ilmunya dari manusia dewa Bu Kek Siansu!”

“Manusia Dewa? Namanya Bu Kek Siansu? Mengapa disebut manusia dewa?”

“Entahlah. Siapa tahu? Menurut dongeng Suhu, ada yang mengabarkan bahwa Koai-lojin kakek aneh itu pun menerima ilmu-ilmu dari manusia dewa itu. Masih ada lagi nama-nama tokoh besar dalam dongeng, seperti pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang sesungguhnya adalah Puteri Ratu Khitan. Antara Mutiara Hitam dan Suling Emas ini masih ada pertalian hubungan keluarga yang dekat, entah bagai mana. Akan tetapi menurut suhu, keluarga Suling Emas ini amat hebat dan menurunkan orang-orang yang sukar dilawan. Suma-sukong yang berkepandaian seperti dewa itu pun masih ada hubungan keluarga dengan Pendekar sakti Suling Emas, tapi entah bagai mana.”

Han Han mendengarkan penuh kekaguman dan melamun. Di dunia ini banyak terdapat orang-orang pandai seperti itu. Kalau dia hanya bersembunyi di In-kok-san saja, mana mungkin ia bertemu dengan orang-orang pandai yang kepandaiannya melebihi tingkat Setan Botak atau Setan Muka Kuda yang kini menjadi gurunya?

“Heiiii, Sute dan Sumoi, kenapa kalian enak mengobrol saja? Hayo kita berlatih!” Terdengar seruan Lai Kwan yang datang berlari-lari sambil bergandengan tangan dengan Ciok Lin, menghampiri Kim Cu dan Han Han. Dua orang anak ini lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dengan muka berseri.

“Sie Han Sute bertanya tentang Suma-sukong dan tokoh-tokoh aneh dalam dongeng yang diceritakan Suhu,” kata Kim Cu.

Gu Lai Kwan yang berwatak gembira itu tertawa bergelak dan menepuk-nepuk pundak Han Han. “Eh, Sute, apakah engkau ingin menjadi seorang yang sakti seperti Suma-sukong? Mana mungkin? Ilmu kepandaian suhu tentu saja kurang cukup mengajarmu menjadi seorang sakti seperti Suma-sukong!”

“Agaknya baru mungkin kalau engkau mendapat hadiah ilmu-ilmu dari Koai-lojin, Sute,” Kim Cu ikut pula menggoda. “Atau ketemu dengan manusia dewa Bu Kek Siansu!”

“Ha-ha-ha!” Lai Kwan tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. “Untuk bertemu dengan dewa-dewa dalam dongeng itu, agaknya Sute harus berangkat ke nirwana, karena mereka kini tentu telah berada di sana.”

Han Han diam saja. Akhirnya Kim Cu yang menaruh kasihan menarik tangannya dan berkata menghibur, “Sudahlah, Sute. Jika kita belajar dengan tekun di bawah bimbingan Suhu, kelak pun kita akan dapat menjadi orang-orang gagah. Siapa orangnya yang tak ingin menjadi sakti seperti Suma-sukong? Akan tetapi pada jaman ini kiranya tidak akan ada orangnya yang dapat mengajar kita...”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh yang sekaligus membuat ucapan Kim Cu terputus. “Hih-hih-hih-he-he-he! Dua pasang anak-anak yang elok dan bersemangat! Kalian ingin menjadi seperti Suma Kiat? Akulah orangnya yang akan dapat membimbing kalian menjadi selihai dia, dan mulai saat ini kalian berempat menjadi muridku!”

Empat orang anak itu cepat membalikkan tubuh dan kiranya di depan mereka telah berdiri seorang nenek yang amat aneh. Begitu melihat nenek ini, Kim Cu, Ciok Lin dan Lai Kwan cepat-cepat menjatuhkan diri, berlutut dan mengangguk-angguk penuh hormat sambil menyebut, “Sian-kouw...!”

Kim Cu menarik kaki Han Han dan anak ini pun cepat menjatuhkan diri berlutut di samping Kim Cu. Han Han tadi terkejut mendengar sebutan tiga orang temannya, dan dari bawah ia mengerling ke atas penuh perhatian.

Nenek itu benar-benar amat aneh dan menyeramkan. Melihat wajahnya yang kurus penuh keriput, masih dapat diduga bahwa dahulunya dia tentu seorang wanita cantik sekali. Kini muka itu penuh keriput, rambutnya sudah putih semua terurai ke belakang dan disisir rapi, mukanya bersih dan diselimuti bedak putih, mulut yang tak bergigi lagi itu kelihatan selalu tersenyum, senyum mengejek dan memikat.

Yang hebat adalah kedua telinganya. Kedua telinga ini dihias dengan rantai besar dari perak, yang kanan agak pendek terdiri dari sembilan lingkaran mata rantai, yang kiri dua kali lebih panjang. Mata rantainya besar-besar seperti gelang tangan dan setiap kali kepalanya bergoyang, terdengarlah suara gemerincing yang amat nyaring. Tubuhnya yang kecil langsing itu masih seperti tubuh wanita muda, memakai pakaian dari sutera yang mahal dan mewah sungguh pun potongannya ketinggalan jaman. Di tangan kanannya tampak sebuah guci arak yang mengeluarkan bau harum dan amat keras. Muka yang putih keriputan itu agak merah di kedua pipi dan di pinggir mata, tanda bahwa nenek itu dalam keadaan terpengaruh hawa arak!

“Hi-hi-hik, aku suka mendengar semangat kalian! Aku akan mengajar kalian menjadi seperti Suma Kiat! Hi-hik, yang dua laki-laki akan menjadi seperti Suma Kiat, dan yang dua perempuan akan menjadi seperti aku di waktu muda. Hebat!” Tiba-tiba nenek itu lalu berpaling ke arah pondok dan suaranya melengking nyaring, “Heiiiii, Siangkoan Lee...! Ke sinilah kamu...!”

Ketika berseru memanggil ini, sikap Si Nenek Tua seperti seorang puteri memanggil hambanya. Kemudian ia menenggak araknya dari guci arak, caranya minum arak dengan menggelogok begitu saja dan kasar sehingga ada dua tiga tetes arak tumpah dari ujung bibirnya.

“Teecu datang menghadap...!” Suara ini bergema dan datangnya dari arah pondok disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu Ma-bin Lo-mo sudah berada di situ, berdiri membungkuk penuh hormat kepada nenek tua itu.

“Harap Sian-kouw sudi maafkan, karena tidak tahu akan kedatangan Sian-kouw, maka teecu terlambat menyambut.”

Sikap dan kata-kata Si Muka Kuda benar-benar amat menghormat, seperti seorang murid terhadap ibu gurunya. Hal ini saja sudah menjadi bukti bagi Han Han yang amat memperhatikan sejak tadi bahwa nenek aneh ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat, jauh lebih hebat dari pada kepandaian Si Muka Kuda. Teringat ia akan cerita Kim Cu bahwa nenek ini berjuluk Toat-beng Ciu-sian-li (Dewa Arak Pencabut Nyawa)!

“Siangkoan Lee, aku datang untuk memberitahukan hal penting kepadamu. Akan tetapi lebih dulu aku beritahukan bahwa empat orang anak ini, dua pasang yang elok, mulai saat ini menjadi murid-muridku dan aku sendiri yang akan mendidik mereka menjadi Suma Kiat kecil dan Bu Ci Goat kecil!”

Ma-bin Lo-mo mengangguk. “Terserah kepada Sian-kouw dan hal itu hanya berarti bahwa nasib mereka ini amatlah baik.”

“Karena mereka telah menjadi murid-muridku yang akan kudidik dan latih di tempatmu ini, maka mereka bukan orang lain dan biar mereka ikut mendengarkan. Siangkoan Lee, engkau harus cepat-cepat bersiap karena kini pemerintah Boan (Mancu) sudah mulai berusaha mencari Pulau Es. Celakalah kalau sampai kita kedahuluan mereka! Semua orang gagah juga sudah sibuk dan sudah dimulai lagi perlombaan mencari Pulau Es yang sudah puluhan tahun dianggap lenyap dari permukaan laut itu.”

Ma-bin Lo-mo mengerutkan keningnya dan wajahnya berubah keruh. “Ah, apa saja yang tidak dilakukan anjing-anjing penjajah itu?! Dan sudah tentu Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi pelopor, menjadi anjing penjilat penjajah.”

“Soal Gak Liat mudah saja. Kalau aku turun tangan, apakah dia masih berani banyak cakap lagi? Yang penting, sekarang engkau harus dapat meneliti gerak mereka. Pemerintah baru ini telah membangun sebuah kapal besar. Maka engkau cepat pergilah melakukan persiapan, mencari anak buah dan mengusahakan sebuah perahu besar. Kalau mungkin supaya dapat mulai bekerja sehabis musim semi, jadi paling lama dua bulan lagi.”

Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk.

“Sudahlah, kau boleh membuat persiapan dan aku akan mulai mengajar kouw-koat (teori silat) kepada empat muridku yang tampan-tampan dan manis-manis. Pondok terbesar untuk aku dan murid-muridku!” kata pula Si Nenek.

Ma-bin Lo-mo kembali mengangguk-angguk lalu berkelebat pergi. Nenek itu lalu melangkah ke arah pondok besar sambil memberi isyarat dengan lirikan mata dan senyum yang dahulunya, puluhan tahun yang lalu, tentu akan amat manis tampaknya, akan tetapi sekarang kelihatan menyeramkan seperti kalau orang melihat seorang gila tersenyum-senyum. Empat orang anak itu saling pandag, kemudian Kim Cu yang agaknya paling tabah, juga di antara mereka berempat dialah murid yang tertua dalam kedudukan, memberi tanda dengan anggukan kepala. Tiga orang adik seperguruannya lalu bangkit dan bersama dia mengkuti nenek itu memasuki pondok.

“Kalian semua sudah pernah disumpah, bukan?” tanya nenek ini setelah dia duduk di atas pembaringan di dalam pondok, sedangkan empat orang muridnya itu berlutut di atas lantai.

Empat orang anak itu mengangguk.

“Syarat-syarat dan hukum-hukumnya tidak berubah, hanya kini akulah guru kalian dan aku pula yang akan menjalankan keputusan hukum terhadap setiap pelanggaran. Biar pun kalian menjadi muridku, namun kalian harus tetap menyebut Sian-kouw dan kelak tidak ada yang boleh menyebut namaku sebagai guru. Pelanggaran ini akan dihukum dengan pemenggalan kepala. Tahu?”

Empat orang anak itu mengangguk-angguk kembali, akan tetapi di hatinya Han Han mengomel. Guru macam apa ini? Tidak mau diaku sebagai guru. Mana pertanggungan jawabnya? Timbullah rasa tidak suka di hatinya, akan tetapi karena ia tahu bahwa nenek itu lihai sekali dan dia mulai suka mempelaiari ilmu-ilmu yang aneh-aneh seperti tokoh-tokoh dalam dongeng yang ia dengar dari Kim Cu, maka ia pun menyimpan saja perasaan tak senang itu dalam hatinya.

“Gerak silat boleh kalian latih terus seperti yang telah kalian pelajari dari Siangkoan Lee. Yang penting, aku akan mengajarkan kalian menghimpun sinkang, karena dengan kuatnya sinkang di tubuh, maka kalian akan dapat melatih segala macam ilmu silat dengan mudah. Lihatlah aku! Aku sudah berusia delapan puluh tahun paling sedikit! Akan tetapi lihat wajahku. Masih muda dan cantik, bukan?”

Nenek itu menggoyang-goyang muka ke kanan kiri agar murid-muridnya dapat melihat mukanya dari berbagai jurusan. Kemudian ia bangkit berdiri di atas pembaringan sambil bertolak pinggang dan menggoyang-goyang pinggangnya ke kanan kiri sambil berkata, “Lihat pula tubuhku. Masih seperti seorang dara remaja, bukan? Nah, inilah berkat kekuatan sinkang yang hebat!” Ia duduk kembali.

Han Han tertawa geli di dalam hatinya. Celaka, pikirnya, biar pun lihai, kiranya guru yang baru ini seorang yang miring otaknya!

“Golongan kami mengutamakan Im-kang, karena itulah maka Siangkoan Lee menciptakan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung tenaga Im-kang. Jangan kalian memandang rendah sinkang dingin ini, karena kalau sudah dapat menguasai dengan sempurna, kalian akan dapat membunuh setiap orang lawan hanya dengan sebuah pukulan. Sekali pukul, biar pun tangan tidak mengenai tubuh lawan, cukup membuat darah di tubuh lawan membeku, jantungnya berhenti berdenyut dan tentu dia mampus seketika. Lihat baik-baik ini!”

Nenek itu mengangkat cawannya dan menuangkan arak ke mulut, terus ditelan. Kemudian mulutnya menyemburkan ke atas dan berdetakanlah butir-butir es keluar dari perutnya melalui mulut, bertebaran di atas lantai!

“Im-kang yang sudah amat kuat dapat membuat air panas seketika menjadi butiran es, dapat membuat air membeku, juga darah di tubuh lawan dapat dibikin beku dengan pukulan yang mengandung Im-kang kuat. Nah, sekarang kalian harus mulai belajar semedhi untuk menghimpun Im-kang.”

Setelah memberi pelajaran teori tentang ilmu silat dan semedhi, nenek itu lalu meninggalkan empat orang muridnya di dalam pondok dengan perintah bahwa mereka harus berlatih semedhi dan tidak boleh berhenti sebelum diperintah! Dan ternyata kemudian bahwa nenek itu tidak memerintahkan empat orang muridnya menghentikan latihan siulian sebelum dua hari dua malam!

Dapat dibayangkan betapa hebatnya penderitaan mereka. Bagi Han Han hal seperti itu biasa saja karena memang dalam tubuh anak ini terdapat suatu kelebihan yang tidak wajar, dan dia memiliki kemauan yang luar biasa pula. Akan tetapi tiga orang temannya amat sengsara. Biar pun begitu, Kim Cu dan teman-temannya tidak ada yang berani melanggar karena mereka maklum betapa kejamnya hukuman bagi pelanggar.

“Bagus, kalian memang patut menjadi muridku!” Demikian nenek itu memuji dengan suara gembira.

Dan sesungguhnya nenek itu sama sekali bukan ingin menyiksa empat orang murid barunya, melainkan hendak menguji mereka. Setelah memberi kesempatan mereka makan dan mengaso, nenek itu mulai memberi penjelasan tentang latihan semedhi yang akan dapat menghimpun sinkang mereka, bahkan ia sendiri turun tangan ‘mengisi’ mereka dengan sinkang-nya untuk membuka jalan darah mereka seorang demi seorang.

Akan tetapi ketika tiba giliran Han Han, nenek itu terkejut setengah mati. Seperti tiga orang murid lain, Han Han disuruhnya duduk bersila dan dia lalu menempelkan tangannya pada punggung anak itu, lalu mengerahkan Im-kang untuk disalurkan ke dalam tubuh anak itu, membantu anak itu agar dapat membangkitkan tan-tian yang berada di dalam pusar.

Harus diketahui bahwa setiap manusia mempunyai tan-tian ini, yang merupakan pusat bagi tenaga dalam di tubuh manusia. Hanya bedanya, tanpa latihan maka tan-tian ini akan menjadi lemah dan tidak dapat dipergunakan, hanya melakukan tugas menjaga tubuh manusia dari dalam, bekerja diam-diam menciptakan segala macam obat yang diperlukan oleh tubuh manusia. Namun dengan latihan semedhi dan peraturan napas dengan cara tertentu, tan-tian menjadi kuat dan hawa sakti akan timbul dan dapat dikuasai.

Nenek itu mengerahkan Im-kang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia merasa betapa Im-kang yang ia salurkan itu tiba-tiba ‘macet’ dan berhenti penyalurannya.

“Aihhhhh...! Di mana kau belajar mengerahkan sinkang untuk melawanku?”

Han Han juga kaget. Cepat ia menyimpan kembali hawa yang timbul secara otomatis dan di luar kesadarannya itu sambil berkata, “Maaf, Sian-kouw. Teecu hanya pernah belajar dari Lauw-pangcu dan dari Suhu Siangkoan Lee.”

“Hemmm, kau jauh lebih kuat dari saudara-saudaramu. Sekarang kosongkan tubuhmu dan jangan melawan.”

Kim Cu dan teman-teman lain pada dasarnya belum memiliki sinkang sehingga dapat menerima Im-kang yang tersalur dari nenek itu secara wajar. Berbeda dengan Han Han yang merasa tersiksa sekali, dia merasa betapa tubuhnya dijalari hawa dingin yang seolah-olah hendak meremukkan tulang-tulangnya. Ia memaksa diri tidak melawan akan tetapi ketika Im-kang itu menyusup sampai ke pusarnya, otomatis hawa sakti di pusarnya bergerak dan menolak.

“Nah, latihlah dengan tekun. Engkau masih belum dapat menguasai tenagamu sendiri,” akhirnya nenek itu berkata setelah memberi penjelasan kepada empat orang muridnya.

Cara nenek ini melatih sungguh amat jauh bedanya dengan cara Ma-bin Lo-mo melatih murid-muridnya. Nenek ini melatih secara langsung dan kemajuan yang diperoleh empat orang murid ini memang cepat dan hebat. Akan tetapi bagi Han Han, latihan yang diperolehnya ini amat menyiksa dan ia tidak pernah berhasil karena selalu terjadi pertentangan dan perlawanan dalam tubuhnya antara hawa Im dan hawa Yang, hawa yang dia peroleh dari latihan diam-diam ketika ikut Kang-thouw-kwi.

Dan cara nenek ini memberi contoh melatih siulian juga amat jauh bedanya dengan yang diberikan Lauw-pangcu dan yang ia baca dari kitab-kitab. Misalnya tentang pemusatan pikiran. Lauw-pangcu mengajarnya untuk bersemedhi dengan memusatkan pikiran pada pernapasannya sendiri, yang oleh Lauw-pangcu disebut bersemedhi sambil menunggang naga sakti.

Yang diumpamakan naga sakti adalah pernapasan sendiri yang keluar masuk melalui hidung, dengan napas panjang-panjang sesuai dengan aturan bernapas dalam semedhi. Latihan ini dapat membuat pikirannya terpusat sehingga akhirnya dapat membuat ia mudah menguasai pribadinya sehingga terbukalah jalan untuk menghimpun tenaga sakti di dalam tubuhnya. Sungguh pun cara yang dipergunakan Lauw-pangcu ini berbeda dengan cara-cara yang ia kenal dari kitab kuno, namun tidaklah menyimpang.

Banyak cara yang terdapat dalam kitab-kitab tentang pelajaran semedhi, sesuai dengan kebiasaan dan agama yang mengajarkan soal semedhi. Kaum beragama To menganjurkan agar dalam semedhi, orang selalu menujukan pikirannya kepada Thai-siang-lo-kun dengan mantera yang disebut berulang kali: Gwan-si-thian-cun, Thong-thian-kauw-cu, Thai-siang-lo-kun. Bagi yang beragama Buddha menujukan pikirannya kepada Sang Buddha dan membaca mantera: Lam-bu-hut, Lam-bu-kwat, Lam-bu-ceng. Dan bagi para pemuja Khong-cu menujukan pikiran kepada Thian dengan mantera: Hwi-le-but-si, Hwi-le-but-thing, Hwi-le-but-gan, Hwi-le-but-thong. Kesemuanya itu untuk mencegah agar panca inderanya jangan melantur, agar pikiran jangan menyeleweng sehingga dapat dipusatkan.

Akan tetapi yang diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li lain lagi. Nenek ini menasehatkan agar murid-muridnya dalam bersemedhi mengikuti saja ke mana jalan pikirannya melayang, kemudian kalau sudah mendapat sesuatu yang disenangi, terus-menerus memikirkan hal ini, tidak peduli hal ini dianggap baik atau pun buruk.

“Kalau engkau suka membayangkan tubuh seorang wanita telanjang dan kau menikmati bayangan itu, tujukan pikiranmu ke situ! Kalau engkau menaruh dendam kepada seseorang dan bayangan orang itu selalu tampak, tujukan pikiranmu mengingat dendammu! Yang penting tujukanlah pikiran kepada hal yang menjadi perhatian pikiranmu dan demi kesenangan hatimu. Dengan demikian engkau akan dapat menguasai pikiranmu.”

Memang cara yang aneh, akan tetapi sesungguhnya jauh lebih mudah dilaksanakan dari pada ajaran-ajaran yang lain karena memang pikiran itu amat sukar dikendalikan. Justeru pelajaran nenek itu tidak mengharuskan si murid mengendalikan pikiran, bahkan disuruh membebaskan pikiran ke mana ia melayang!

Tanpa disadarinya, mulailah Han Han tenggelam makin dalam ke cara-cara kaum sesat mengejar ilmu silat dan kesaktian. Dan memang cara yang dipergunakan kaum sesat ini lebih menarik dan lebih mudah dilaksanakan. Makin sering Han Han melatih diri secara ini, makin sukarlah baginya kalau ia hendak memusatkan pikiran melalui atau menggunakan cara-cara kaum bersih seperti yang ia baca dalam kitab atau seperti yang pernah ia latih dibawah bimbingan Lauw-pangcu.

Sebulan lewat dengan cepat. Sin-cia atau perayaan menyambut musim semi tiba. Murid-murid In-kok-san diberi kebebasan selama tiga hari untuk pergi ke mana mereka suka. Mereka malah diberi pakaian-pakaian baru dan diberi bekal uang untuk berfoya-foya ke bawah gunung. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri sedang sibuk mempersiapkan perahu besar untuk melaksanakan tujuan yang diperebutkan kaum kang-ouw, yaitu mencari Pulau Es yang terahasia. Juga Toat-beng Ciu-sian-li tidak tampak di puncak In-kok-san, entah ke mana perginya tidak ada orang mengetahui.

Han Han tadinya diajak oleh Kim Cu untuk berpesiar ke kaki gunung sebelah selatan. Akan tetapi Han Han menolaknya dan seorang diri ia turun dari puncak menuju ke utara. Keadaannya kini jauh bedanya dengan hampir setahun yang lalu. Setahun yang lalu ia berpakaian compang-camping penuh tambalan seperti pakaian seorang pengemis. Akan tetapi kali ini pakaiannya indah dan bersih, rambutnya tersisir rapi dan diikat di atas kepala. Usianya sudah tiga belas tahun dan ia kelihatan tampan dan gagah. Tubuhnya tegap dan berisi, membayangkan kekuatan. Han Han kelihatan seperti seorang kongcu muda yang berpesiar seorang diri, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum-senyum. Berjalan seorang diri, timbul pula kegembiraan hatinya karena ia merasa bebas lepas seperti burung di udara.

Ia melakukan perjalanan menuruni bukit dan menjelang senja ia sudah berada jauh di sebelah utara kaki bukit. Dengan hati gembira Han Han memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Seperti juga kota-kota dan dusun lain pada hari itu, penduduk dusun itu merayakan hari raya Sin-cia dengan meriah. Apa lagi dusun itu merupakan dusun kaum petani. Musim semi merupakan musim yang dinanti-nanti dan dicinta, karena musim ini menjadi harapan para petani agar mendatangkan kemakmuran bagi mereka. Musim semi adalah musim bercocok tanam, maka disambutlah musim semi sebagai menyambut seorang dewa yang membagi-bagikan rejeki kepada mereka.

Menyaksikan kegembiraan dan kemeriahan dusun itu, Han Han menjadi gembira sekali. Wajah semua orang nampak berseri, terutama sekali anak-anak berpakaian serba baru, kelihatan riang gembira, berlari-larian dan bermain-main setelah perut mereka terisi kenyang dengan hidangan-hidangan istimewa, tangan mereka membawa main-mainan yang dihadiahkan oleh orang tua mereka.

Akan tetapi betapa heran hati Han Han ketika ia melalui sebuah rumah gedung yang berpekarangan lebar, ia mendengar suara anak perempuan menangis! Suara tangis ketakutan disusul bentakan-bentakan suara laki-laki kasar dan parau. Saking herannya, apa lagi karena hatinya tergerak penuh rasa iba kepada anak yang menangis, Han Han lupa diri dan memasuki pintu gerbang pekarangan itu. Padahal kalau dalam keadaan biasa, ia tidak akan berani melakukan hal yang tidak sopan ini, memasuki tempat kediaman orang tanpa ijin!

Begitu memasuki pintu gerbang, alis Han Han berkerut. Ia melihat seorang gadis cilik, paling banyak sepuluh tahun usianya, berpakaian compang-camping penuh tambalan sedang berdiri dan menangis, menyusuti air mata yang membasahi kedua pipi yang pucat dengan jari-jari tangannya yang kotor.

Seorang laki-laki yang bermuka kejam, berpakaian sebagai seorang jago silat atau seorang tukang pukul berdiri dengan muka merah di atas anak tangga. Tangan kanannya bertolak pinggang di atas sebatang golok besar yang tergantung di pinggang, tangan kirinya menuding-nuding dengan marahnya sambil membentak-bentak.

“Maling cilik! Bocah hina! Kalau tidak lekas minggat, kuhancurkan kepalamu!”

Anak itu menggigil seluruh tubuhnya. “Aku... tidak mencuri apa-apa...”

“Tidak mencuri, ya? Kau hendak maling buah dan bunga, masih berani bilang tidak mencuri? Mau apa kau memanjat pohon ang-co (korma) tadi?”

“Aku... aku ingin makan buahnya... dan ingin memetik sedikit bunga, masa tidak boleh?”

“Setan alas! Masih banyak membantah?” Laki-laki itu lalu melangkah maju dan mencengkeram baju anak perempuan itu. Sekali ia menggerakkan tangan kiri yang mencengkeram, tubuh anak itu terangkat ke atas.

Anak itu terbelalak ketakutan memandang wajah yang begitu bengis menakutkan, yang amat dekat dengan mukanya. Mata anak perempuan itu amat lebar, dan karena muka dan tubuhnya kurus, mata itu kelihatan makin lebar.

Tiba-tiba laki-laki itu menyeringai. “Eh, engkau cantik juga, ya? Mukamu manis, kulitmu halus putih...! Hemmm, sayang engkau masih begini kecil, dan kurus...” Kini tangan kanan laki-laki itu meraba-raba ke dada anak yang tergantung itu secara kurang ajar.

“Ah, masih terlalu kecil... kalau kau lebih besar dua tahun lagi, hemmm... hebat juga...!”

“Lepaskan aku...! Lepaskan...!” Anak itu meronta-ronta.

“Ha-ha, tentu saja kulepaskan kau. Minggat!” Laki-laki itu lalu melontarkan tubuh itu ke arah pintu gerbang.

Han Han cepat menggerakkan tubuh dan menangkap tubuh anak perempuan itu. Ia lalu menurunkan tubuh anak perempuan yang menggigil ketakutan dan menangis itu, kemudian melangkah maju sambil memandang laki-laki yang kejam tadi dengan sinar mata penuh kebencian.

“Kau manusia berhati keji, pengecut rendah yang hanya berani menghina anak perempuan kecil!” Han Han memaki.

Laki-laki itu terbelalak heran dan kaget ketika melihat tubuh anak perempuan itu tahu-tahu disambar oleh seorang pemuda tanggung. Melihat pakaian pemuda itu, laki-laki yang bekerja sebagai pengawal dan tukang pukul di gedung itu mengira bahwa Han Han adalah putera seorang berpangkat atau hartawan, maka ia berkata.

“Kongcu siapakah dan hendak mencari siapa? Harap jangan pedulikan jembel busuk ini!”

“Keparat! Hayo lekas berlutut dan mohon ampun kepadanya!” Han Han menuding ke arah anak itu.

Merah muka si tukang pukul. “Apa? Engkau siapakah?”

“Aku seorang pelancong yang kebetulan lewat dan menjadi saksi kekejamanmu.”

“Wah-wah, lagaknya. Habis, kau mau apa kalau aku tidak mau minta ampun?” Tukang pukul itu mengejek dan berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Tentu saja ia memandang rendah pemuda tanggung yang kelihatan lemah ini.

“Kalau tidak mau, aku akan memaksamu!”

“Ha-ha-ha! Engkau bosan hidup? Baik, mampuslah!”

Tukang pukul yang mengandalkan kekuatan dan ilmu silatnya ini sudah menerjang maju dengan sebuah tendangan kilat ke arah dada Han Han. Melihat gerakan orang itu masih amat lambat, Han Han tidak menjadi gugup. Ia mengatur langkah, menggerakkan tubuhnya miring mengelak dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ia hantamkan ke arah kaki yang menendang.

“Krakkk...! Aauggghhh...!” Tubuh laki-laki itu terpelanting dan ia meringis kesakitan karena tulang betisnya telah patah!

“Tidak lekas minta ampun?” Han Han membentak dan di dalam hatinya anak ini merasa puas. Wajah laki-laki itu baginya seolah-olah berubah menjadi wajah perwira muka kuning dan muka brewok, dan anak perempuan itu mengingatkan ia akan cici-nya dan juga ibunya yang sudah diperhina dan diperkosa perwira-perwira tadi.

“Setan kecil!” Tukang pukul itu tentu saja tidak mau terima dan biar pun kakinya terasa nyeri, ia sudah meloncat bangun, golok besar terpegang di tangannya.

Sambil menggereng seperti harimau terluka ia meloncat terpincang-pincang, menggunakan goloknya membacok. Biar pun dia pandai ilmu silat, akan tetapi ilmu silatnya hanyalah ilmu silat tukang pukul rendahan, sedangkan Han Han, biar pun tidak pandai silat namun dia telah dibimbing oleh orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Dengan mudah Han Han mengelak dan kini karena dorongan hawa marah, tangan kanannya memukul ke arah kepala orang itu.

“Prokkk...!” Tubuh orang itu terbanting, goloknya terlempar dan kepalanya pecah!

Di luar kesadarannya, Han Han yang amat marah itu telah menggunakan tenaga yang timbul karena latihan Hwi-yang Sin-ciang! Dia terbelalak dengan muka pucat, sejenak seperti arca memandang ke arah mayat orang itu yang menggeletak dengan kepala pecah, muka penuh darah, amat mengerikan.

Tiba-tiba ia mendengar tangis terisak-isak. Cepat ia menoleh dan melihat betapa anak perempuan jembel itu menangis, menggosok-gosok kedua matanya seolah-olah hendak menyembunyikan penglihatan yang menimbulkan takut di hatinya. Han Han tersadar bahwa dia telah membunuh orang, dan tentu akan berakibat hebat. Maka ia cepat meloncat, mendekati anak perempuan itu, menyambar tangannya dan diajaknya anak itu berlari.

“Hayo kita cepat pergi dari sini!” bisiknya

Berlari-larianlah kedua orang anak itu keluar dari dalam dusun. Penduduk dusun yang sedang berpesta-ria merayakan hari Sin-cia tidak ada yang mempedulikan mereka. Dalam suasana pesta seperti itu, memang tidak mengherankan melihat dua orang anak itu berlari-larian yang mereka anggap sebagai dua orang anak yang sedang bergembira dan bermain-main. Pada saat itu tidak terasa keganjilan melihat seorang anak laki-laki berpakaian utuh dan baik belari-lari menggandeng tangan seorang anak perempuan yang pakaiannya seperti anak jembel.

“Aduhhh... aduhhh... kakiku... aahhh, berhenti dulu... napasku mau putus...!” Anak perempuan jembel itu menangis dan merintih-rintih, kakinya terpincang-pincang dan ia tersaruk-saruk ketika diseret oleh gandengan tangan Han Han yang lupa diri dan mempergunakan ilmu lari cepat.

Mereka telah tiba jauh di luar dusun, di tempat sunyi. Han Han berhenti dan melepaskan tangan anak itu. Anak perempuan itu lalu menjatuhkan diri saking lelahnya, duduk dan memijit-mijit kedua kakinya sambil menangis. Han Han berdiri memandangnya.

“Engkau bocah cengeng benar!” katanya dengan suara gemas, akan tetapi sebenarnya, hatinya penuh rasa iba terhadap anak ini. Teringat ia akan keadaannya sendiri dahulu, yang menjadi seorang jembel berkeliaran tanpa teman.

Anak perempuan itu mengangkat muka memandang. Sepasang matanya lebar sekali, lebar dan jeli, memandang dengan sinar mata polos ke wajah Han Han. Air matanya menetes turun ke atas pipi, kemudian terdengar ia berkata, “Apakah engkau juga akan membunuhku?”

Melihat sepasang mata itu, seketika timbul rasa suka di hati Han Han, rasa suka dan kasihan. Wajah dan sikap serta kata-kata anak ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang bocah dusun biasa. Hanya pakaiannya yang jembel, tapi anaknya sendiri tidak patut menjadi jembel. Han Han segera ikut pula duduk di atas rumput dekat anak itu.

“Tentu saja tidak! Engkau siapakah? Di mana rumahmu? Siapa orang tuamu dan mengapa engkau berkeliaran di dusun itu dalam keadaan seperti anak jembel?”

Mendengar pertanyaan ini, anak itu menutupi mukanya dan menangis lagi, kini menangis sesenggukan. Han Han menghela napas dan menggeleng-geleng kepala. Ia sebenarnya jengkel melihat anak ini perengek benar, akan tetapi karena dia pernah mengalami hal-hal yang amat pahit dalam hidupnya, ia dapat memaklumi keadaan anak ini dan bersikap sabar. Ia membiarkan anak itu menangis, kemudian setelah tangis itu agak reda, ia berkata.

“Sudahlah, jangan bersedih. Engkau hidup sebatang-kara, bukan? Kehilangan keluargamu?”

Anak itu mengangguk, pundaknya bergoyang-goyang karena isaknya.

“Nah, aku pun sebatang-kara, aku pun kehilangan keluarga. Biarlah mulai sekarang engkau menjadi adikku, dan aku menjadi kakakmu. Dengan begitu, kita masing-masing mendapatkan seorang saudara, bukan?”

Anak perempuan itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Han Han dengan mata merah dan muka basah. Sejenak mereka berpandangan, anak itu seolah-olah hendak menyelidiki kesungguhan hati Han Han dengan sinar matanya yang bening.

Han Han tersenyum. “Maukah engkau menjadi Adikku?”

Anak itu mengangguk perlahan, kemudian tersenyum pula, senyum di antara isak tangis. Dan hati Han Han makin suka kepada anak ini. Tidak hanya sepasang matanya yang indah bening dan lebar, juga senyumnya membuat sinar matahari menjadi makin cerah!

“Engkau menjadi Adikku dan kusebut engkau Moi-moi, sedangkan kau menyebut aku Koko, namaku Han Han, she Sie. Nah, Moi-moi, sekarang ceritakan, siapakah namamu dan bagai mana kau sampai sebatang-kara dan tiba di tempat ini?”

Sejenak anak itu memandang Han Han dengan mata terbuka lebar, kemudian tiba-tiba ia menubruk dan merangkul Han Han, menangis di atas dada Han Han. Kali ini ia menangis keras, sampai tersedu-sedu. Dan mulut yang kecil itu berbisik, setengah mengerang atau merintih.

“Koko... Han-ko (Kakak Han)... Koko...!”

Han Han menjadi terharu. Ia mengerti bahwa anak perempuan ini sekarang menangis karena mendapat hiburan yang amat mendalam, menyentuh hatinya seolah-olah anak yang tadinya terombang-ambing dipermainkan ombak sehingga dalam keadaan selalu ketakutan dan kengerian, lalu tiba-tiba mendapatkan pegangan yang dapat dijadikan penyelamat. Maka tak terasa lagi Han Han mengedip-ngedipkan kedua matanya agar matanya yang mulai menjadi panas tidak sampai menjatuhkan air mata.

Setelah tangis anak itu mereda, ia lalu memegang kedua pundaknya, mendorong muka dari dadanya, memandangnya dan berkata, “Moi-moi yang baik, sekarang katakan, siapa namamu?”

“Lulu...”

Han Han tercengang. “Eh, namamu lucu sekali! Lulu? Ayahmu she apa?”

“Ayahku seorang pembesar Mancu di kota raja...”

“Haaahhh...?” Han Han benar-benar merasa kaget sekali dan ia memandang wajah Lulu dengan mata terbelalak. Dia ini anak Mancu? Anak pembesar Mancu?

“Ayahmu seorang perwira Mancu?” tanyanya seperti dalam mimpi dan terbayanglah wajah perwira muka kuning. Suaranya mengandung kebencian dan terdengar ketus dan dingin. Kedua tangannya yang masih memegang pundak Lulu mencengkeram.

Lulu terkejut dan meringis kesakitan. Cengkeraman itu tidak terlalu erat, namun cukup menyakitkan. “Ada apakah, Han-ko...?”

Akan tetapi Han Han sudah mendorong tubuh anak itu sehingga terjengkang dan bergulingan. Anehnya, sekali ini Lulu malah tidak menangis, melainkan merangkak bangun dan berdiri menghadapi Han Han dengan matanya yang lebar itu terbelalak.

“Ko-ko, engkau kenapakah?”

“Aku benci orang Mancu!” bentak Han Han sambil membalikkan tubuhnya membelakangi anak itu karena sesungguhnya hatinya penuh penyesalan mengapa ia telah memperlakukan Lulu seperti itu. Melihat sepasang mata itu, ia tidak dapat menahan dan membalikkan tubuh.

Lulu lari menghampiri dan memegang lengan Han Han, sinar matanya yang tajam dan polos itu menjelajahi wajah Han Han penuh pertanyaan.

“Kenapa, Han-ko? Apakah kau membenci aku juga? Engkau begitu baik...”

“Benci, ya, benci! Aku benci semua orang Mancu!”

“Tapi, kenapa...? Tentu ada alasannya. Apakah engkau... pemberontak?”

Kalau bukan Lulu yang ia hadapi, tentu ia sudah meninggalkan anak itu, pergi dan tidak sudi bicara lebih banyak lagi. Akan tetapi pandang mata itu seperti mengikutinya, membuat ia tidak dapat pergi, bahkan kini ia menjawab sebagai penjelasan sikapnya.

“Orang tuaku dibunuh, keluargaku dibasmi oleh orang-orang Mancu! Maka aku benci orang Mancu.”

“Membenci aku juga?”

“Kalau kau orang Mancu, ya!”

“Tapi aku Adikmu!”

“Aku tidak sudi mempunyai Adik seorang Mancu.”

Tiba-tiba Lulu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han, lalu memeluk kedua kakinya. Ia tidak menangis, tapi muka pucat sekali dan Lulu berkata dengan suara gemetar.

“Han-ko, jangan... jangan membenci aku. Aku Adikmu... jangan membenci aku. Aku Adikmu..., dan aku... aku pun sebatang-kara. Ayah bundaku, biar pun juga orang-orang Mancu, mengalami nasib yang sama dengan orang tuamu. Ayah bundaku dibunuh orang, keluargaku dibasmi, dan aku dilepas oleh orang-orang itu hanya dengan maksud agar aku menderita, agar aku menjadi seorang jembel. Malah pakaianku ditanggalkan lalu aku dipaksa memakai pakaian jembel...! Yang melakukan pembasmian keluargaku adalah pemberontak-pemberontak, para pengemis pemberontak, dan... dan... mereka adalah sebangsamu. Akan tetapi... aku tidak membenci semua orang pribumi, tidak membenci engkau, Koko!”

Han Han tertegun mendengar ini. Ia menunduk dan memandang wajah yang tengadah itu dan ia percaya. Perasaannya tertusuk melihat kenyataan bahwa gadis cilik yang keluarganya dibasmi ini tidak membenci semua orang yang sebangsa dengan mereka yang membasmi keluarganya. Memang sungguh tidak adil kalau dia membenci semua orang Mancu, apa lagi gadis cilik ini yang tidak tahu apa-apa. Mereka berdua hanyalah menjadi korban perang yang kejam dan jahat.

“Maafkan aku, Moi-moi...” Ia berkata dan menarik bangun Lulu yang tiba-tiba terisak lagi sambil memeluk Han Han.

Mereka berpelukan dengan perasaan dua orang kakak beradik yang saling menemukan setelah lama berpisah dan hilang. Kemudian Han Han mengajak Lulu melanjutkan perjalanan memasuki hutan, karena ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka dari dusun. Padahal tidak mungkin akan terjadi demikian karena andai kata orang telah mendapatkan mayat si tukang pukul, siapa yang akan menyangka seorang anak kecil seperti dia yang telah membunuhnya?

“Lulu-moi, kau bilang tadi bahwa pembasmi keluargamu adalah kaum pengemis?”

Lulu mengangguk sambil berjalan di sisi Han Han. Mereka bergandengan tangan, atau lebih tepat Lulu yang selalu memegang tangan Han Han, agaknya anak ini khawatir sekali kalau-kalau dia ditinggalkan kakak angkatnya ini.

“Ayah sedang berangkat ke selatan untuk menempati tugas baru di selatan, sekalian memboyong keluarganya, yaitu Ibu, dua orang Kakakku, aku sendiri dan para pelayan. Di tengah jalan kami dihadang oleh sekelompok pengemis, terjadi perang dan rombongan Ayah terbasmi semua. Hanya aku seorang yang tidak dibunuh, melainkan ditukar pakaianku dengan pakaian ini dan disuruh pergi. Para pemberontak itu lihai sekali, semua pengawal Ayah dibunuh. Terutama sekali kepalanya, seorang jembel tua yang membawa tongkat butut, tinggi kurus dan rambutnya riap-riapan. Dialah yang membasmi Ayah Ibuku dan kedua Kakakku, akan tetapi dia pulalah yang melarang anak buahnya membunuhku kemudian membebaskan aku. Dia pembunuh Ayah bunda dan Kakakku. Aku tidak akan lupa kepadanya, dan sekali waktu aku pasti akan membalas semua ini. Aku tidak akan melupakan kakek jembel yang disebut Lauw-pangcu itu!”

Tiba-tiba kaki Han Han tersandung batu sehingga ia membawa Lulu terseret ke depan, terhuyung hampir jatuh.

“Hemmm..., dia...?” kata Han Han dengan jantung berdebar. Pembunuh orang tua dan saudara Lulu ini adalah gurunya, guru pertama, Lauw-pangcu!

“Mengapa? Kau kenal dia Koko?”

“Ya, begitulah.”

“Kau hebat, kau lihai, dapat membunuh tukang pukul tadi. Engkau tentu bukan orang sembarangan, Koko. Maukah kau membalaskan sakit hatiku ini terhadap Lauw-pangcu? Aku kan Adikmu. Mau, bukan?”

“Ah, mudah saja kau bicara, Moi-moi. Untuk dapat membalas musuhmu, juga musuhku, kita membutuhkan kepandaian yang amat tinggi. Marilah engkau ikut bersamaku dan kita belajar sampai menjadi orang-orang pandai, baru kita bicara tentang membalas dendam. Mulai sekarang engkau ikut dengan aku, ke mana pun aku pergi.”

Lulu mempererat pegangannya, hatinya terhibur dan ia sudah tersenyum-senyum lagi. Wajahnya yang manis berseri dan matanya yang lebar itu bersinar-sinar. “Baiklah, Koko. Sampai mati aku tidak mau berpisah darimu.”

Ucapan terakhir ini mengharukan hati Han Han. Mereka melanjutkan perjalanan dan Han Han memutar otaknya. Tidak ada lain jalan lagi. Dia harus membawa Lulu kepada Ma-bin Lo-mo, minta kepada gurunya itu untuk menerima Lulu menjadi murid. Hanya dengan jalan inilah adik angkatnya tidak akan berpisah darinya, dan Lulu akan dapat mempelajari ilmu yang tinggi.

“Sute...!”

Han Han dan Lulu berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Kim Cu yang memanggil Han Han dan anak perempuan ini datang berlari-lari cepat sekali sehingga Lulu memandang penuh kekaguman. Kim Cu memakai pakaian yang indah, dan sebuah bungkusan menempel di punggungnya. Wajah yang ayu itu kemerahan karena ia telah berlarian cepat mengerahkan tenaga ketika dari jauh melihat bayangan Han Han.

“Wah, Sute! Setengah mati aku mencarimu!”

“Ada apakah, Suci? Bukankah waktu libur masih sehari lagi sampai besok?”

“Ada perubahan, Sute. Suhu sendiri yang memerintah aku agar menyusulmu. Kita semua harus kembali sekarang juga karena Suhu hendak pergi jauh. Juga Sian-kouw akan pergi, karena itu kita harus berada di sana. Dan... eh, siapakah dia ini?”

Agaknya karena ketegangan hatinya dan kegembiraannya dapat menemukan orang yang dicari, baru sekarang Kim Cu mendapat kenyataan bahwa di situ ada orang ke tiga, seorang anak perempuan bermata lebar yang berdiri memandangnya penuh kagum dan heran.

“Aku hendak membawa dia menghadap Suhu, agar dapat diterima menjadi murid di In-kok-san.”

“Wah, agaknya tidak akan mudah, Sute. Siapa sih anak ini?”

“Namanya Lulu, seorang bocah Mancu... Heee, tahan, Suci...!”

“Dukkk!” Tubuh Kim Cu terhuyung-huyung ke belakang ketika pukulannya ke arah Lulu ditangkis oleh Han Han. Muka Kim Cu menjadi merah, matanya melotot marah.

“Sute! Apa-apaan ini? Kenapa kau malah melindungi seorang setan cilik Mancu? Melindungi musuh? Biarkan aku membunuh dia!” Kim Cu melangkah maju mendekati Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak ketakutan itu.

“Tidak, Suci. Jangan! Dia ini bukan musuh kita.”

“Siapa bilang bukan kalau dia seorang setan cilik Mancu? Orang-orang Mancu yang telah membasmi keluargaku, dan keluargamu juga!”

“Benar, akan tetapi bukan dia ini yang membasmi keluarga kita, Suci. Sebaliknya keluarga Lulu ini pun terbasmi habis oleh bangsa kita, dan Lulu toh tidak menganggap kita sebagai musuhnya. Kita harus berpikir luas dan adil, Suci. Kalau seseorang melakukan kesalahan lalu seluruh bangsa orang itu dianggap ikut bersalah, alangkah picik dan tidak adilnya ini! Bangsa apa pun juga di dunia ini pasti mempunyai orang-orang yang jahat, termasuk bangsa kita, Suci. Kalau karena kejahatan beberapa gelintir orang-orang itu lalu bangsanya dianggap jahat juga, wah, agaknya dunia ini tidak akan ada bangsa yang baik dan perang akan terus-menerus terjadi. Tidak, Suci. Lulu ini bagi kita bukanlah orang jahat, bukan musuh kita biar pun dia anak seorang perwira Mancu.”

Kim Cu termenung. Memang semenjak berdekatan dengan Han Han, dia tahu betapa sute-nya ini amat pandai, betapa pikiran sute-nya amat luas dan sute-nya mengerti akan segala macam urusan dunia. Hanya ilmu silat sajalah yang agaknya tidak begitu diperhatikan sute-nya dan tingkat sute-nya masih lebih rendah dari pada tingkat murid lainnya.

Ucapan Han Han itu berkesan di dalam hatinya dan sekaligus membuat Kim Cu timbul rasa kasihan kepada Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak. Alangkah indahnya mata itu, pikirnya, dan melihat pakaian Lulu begitu buruk, ia makin kasihan dan lenyaplah semua kemarahannya. Memang Kim Cu seorang anak yang jujur dan wataknya bersahaja, mudah pula menguasai perasaan hatinya.

“Agaknya engkau benar dalam hal ini, Sute. Akan tetapi salah besar kalau engkau hendak membawa Lulu kepada Suhu untuk dijadikan muridnya. Begitu dia bertemu Suhu, dia tentu akan langsung dibunuh tanpa banyak cakap lagi. Engkau harus pulang bersamaku dan kau tidak boleh membawanya ke In-kok-san, Sute.”

“Tidak bisa, Suci. Kalau dia ini tidak bisa ikut dan akan dibunuh Suhu, lebih baik aku tidak kembali ke In-kok-san.”

“Eh, mengapa begitu? Apamukah bocah ini, Sute? Jangan bodoh...”

“Dia ini Adikku!”

“Apa? Adikmu? Anak Mancu ini... mana mungkin Adikmu...?”

“Dia betul Adikku, dan aku Kakaknya. Baru saja kami telah bersaudara. Aku sudah berjanji akan melindunginya, tidak akan berpisah lagi. Dia tidak punya siapa-siapa, hanya aku yang telah menjadi kakaknya, Suci,” kata Han Han, suaranya tetap.

Wajah Kim Cu menjadi berduka. “Sute, kalau kau tidak kembali... bagai mana dengan aku? Aku akan kehilangan...”

“Suci, engkau adalah murid In-kok-san, dan engkau mempunyai banyak saudara-saudara seperguruan. Sedangkan Lulu tidak mempunyai siapa-siapa, dia harus ikut bersamaku. Dan pula, sudah berkali-kali aku katakan bahwa aku tidak betah tinggal lebih lama lagi di In-kok-san. Aku akan pergi bersama Adikku ini, Suci. Harap Suci suka mengingat hubungan baik kita dan membiarkan aku pergi.”

Kim Cu termenung dengan muka sedih. “Kalau engkau tidak kembali, Suhu akan marah sekali. Terutama sekali Sian-kouw. Lupakah kau bahwa kau telah menjadi murid Sian-kouw? Engkau pasti akan dicari Suhu, dan kalau sampai engkau tertangkap... ah, hukumannya mengerikan, Sute.”

“Kalau melarikan diri dan tertawan, hukumannya potong kaki, bukan?”

Lulu mengeluarkan jerit tertahan. “Keji...!”

Kim Cu memandang bocah itu dengan mata marah. “Tidak keji. Ini peraturan dan orang yang berdisiplin saja yang akan mendapatkan kemajuan! Sute, engkau sudah tahu akan hukumannya. Maka harap kau jangan pergi.”

“Biarlah, aku sudah mengambil keputusan. Aku akan melarikan diri bersama Adikku, akan bersembunyi. Kalau sampai tertangkap, terserah. Akan tetapi aku percaya engkau tidak akan mengatakan di mana kau bertemu denganku, Suci.”

Kim Cu menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala. “Aku tidak akan memberi tahu, Sute. Tapi... ah...”

“Sudahlah, Suci. Harap Suci suka kembali. Aku mau pergi sekarang juga. Marilah, Lulu.”

Kim Cu berdiri dengan muka sedih memandang bayangan dua orang itu yang makin menjauh.

“Sute...! Tunggu dulu...!” Kim Cu meloncat dan berlari mengejar.

Han Han membalikkan tubuh, alisnya berkerut. “Suci, benarkah engkau akan melupakan persahabatan dan hendak menghalangi aku?”

Kim Cu maju dan memegang tangan Han Han. Air matanya menitik turun.

“Tidak sama sekali, Sute. Aku... aku hanya mengkhawatirkan engkau. Dan dia ini... ah, setelah dia menjadi Adikmu, mana bisa berpakaian seperti itu? Tunggu dulu...” Gadis cilik ini lalu menurunkan buntalan pakaiannya, mengeluarkan sepasang sepatu cadangan dan satu stel pakaian, diserahkannya kepada Lulu.

“Lulu, kau pakailah ini agar engkau pantas menjadi adik Sie Han Sute.”

Lulu menerima pakaian dan sepatu, memandang terharu, lalu berkata, “Enci, kau baik sekali, dan alangkah mendalam cinta kasihmu terhadap Han-koko...”

“Cihhhhh...! Kanak-kanak bicara tentang cinta! Cinta apa?”

“Engkau mencinta Han-ko, Enci...”

“Hush! Sudahlah...!” Suara Kim Cu mengandung isak dan gadis cilik ini lalu membalikkan tubuh dan lari dari situ dengan gerakan yang amat cepat.

Han Han berdiri melongo, memandang bayangan Kim Cu sampai gadis itu lenyap dari pandang matanya, kemudian ia menoleh kepada Lulu dan berkata, “Apa kau bilang tadi? Cinta? Cinta bagai mana?”

Lulu tersenyum. “Dia sungguh cinta kepadamu, Koko. Dan dia seorang gadis yang baik sekali. Kelak aku akan senang sekali mempunyai seorang soso (kakak ipar) seperti dia.”

“Eh-eh, gilakah engkau?” Entah bagai mana, sungguh pun ia hanya menduga-duga dan hanya mengerti setengah-setengah saja apa yang dimaksudkan Lulu, mukanya menjadi panas dan jantungnya berdebar-debar. “Lebih baik lekas pakai pakaian itu dan kita melanjutkan perjalanan.”

Lulu segera bersembunyi di balik semak-semak untuk bertukar pakaian. Ketika muncul kembali, Han Han memandang kagum. Benar saja. Lulu ternyata adalah seorang gadis cilik yang cantik jelita. Setelah kini pakaiannya bersih dan baik, dia menjadi seorang anak yang manis sekali.

“Kita ke mana, Koko?”

“Hayo ikut sajalah. Aku ingin ke kota raja, akan tetapi belum tahu jalannya!”

“Aku datang dari sana, akan tetapi juga tidak tahu jalannya. Di jalan kita nanti tanya-tanya orang, tentu akan sampai juga.”

Maka pergilah kedua anak ini dengan tergesa-gesa karena Han Han ingin cepat-cepat menjauhkan diri dari In-kok-san. Ia tahu bahwa gurunya, Ma-bin Lo-mo tentu marah sekali dan akan mencarinya, dan kalau yang mengejar dan mencarinya seorang sakti seperti itu, benar-benar tak boleh dibuat main-main.

Juga ia tidak berani sembarangan bertanya-tanya pada orang, bahkan menghindari perjumpaan dengan orang-orang agar tidak meninggalkan jejak. Ia selalu mengambil jalan yang sunyi, keluar masuk hutan, naik turun gunung. Karena perjalanan mengambil jalan yang liar dan sukar ini maka biar pun pakaian yang dipakai Lulu pemberian Kim Cu itu masih bersih dan baik, setelah lewat sebulan mulai robek di pundak dan oleh Lulu ditambal sedapatnya mempergunakan robekan ujung baju yang baginya agak kepanjangan.

Han Han menjadi makin suka kepada Lulu, setelah mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu benar-benar memiliki watak yang menyenangkan. Biar pun usianya baru sembilan atau sepuluh tahun, Lulu adalah seorang anak yang tahu diri, tidak rewel, tidak banyak kehendak, penurut dan juga tahan uji. Ia mentaati segala kehendak Han Han sebagai seorang adik yang baik, bersikap penuh kasih sayang kepada kakaknya ini, dan juga tidak pernah mau ketinggalan kalau Han Han mencari makanan untuk mereka.

Betapa pun lelahnya jika Han Han memaksanya melanjutkan perjalanan yang sukar, gadis cilik ini tak pernah mengeluh, maklum bahwa kakaknya kini menjadi seorang buronan. Ia pun berkali-kaii menyatakan kegelisahannya kalau-kalau kakaknya akan tertangkap oleh guru kakaknya yang dianggapnya seorang manusia keji dan mengerikan.

Banyak ia bertanya tentang Ma-bin Lo-mo dan Han Han juga menceritakan apa yang ia ketahui tentang Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan lain-lain tokoh kang-ouw yang terkenal. Lulu amat tertarik mendengar cerita itu dan berkali-kali menyatakan bahwa ia pun ingin belajar silat agar kelak menjadi seorang yang pandai, sehingga ia akan dapat membalas dendam kepada musuh yang telah membasmi keluarganya.

Harus diakui bahwa Han Han yang semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab, pengertian umumnya sudah amat dalam, bahkan ia tahu akan filsafat-filsafat hidup. Namun karena ia hanyalah seorang bocah, tentu saja wawasannya pun amat terbatas dan banyak hal-hal yang tidak ia ketahui benar intinya. Sedapat mungkin ia berusaha untuk menerangkan Lulu tentang dendam pribadi dan tentang bencana akibat perang.

“Lulu adikku yang baik, kurasa engkau keliru kalau menaruh dendam kepada Lauw-pangcu, karena sesungguhnya dia seorang yang baik, seorang patriot sejati yang gagah perkasa,” katanya hati-hati ketika pada suatu hari mereka mengaso di bawah pohon besar dalam sebuah hutan.

Lulu memandang kakaknya dengan mata lebar dan penuh penasaran. “Koko, keluargamu terbasmi oleh perwira-perwira Mancu seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku. Apakah engkau tidak mendendam kepada perwira-perwira itu?”

“Tentu saja.”

“Kalau engkau menaruh dendam kepada pembasmi keluargamu, mengapa aku tidak boleh mendendam kepada pembasmi keluargaku?”

“Ah, jauh sekali bedanya, Moi-moi. Keluargaku terbasmi oleh orang-orang yang melakukan hal itu menurutkan nafsu mereka pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perang sungguh pun hal ini terjadi dalam perang. Pembasmi-pembasmi keluargaku melakukannya dengan rasa benci dan nafsu pribadi, terdorong oleh watak mereka yang jahat dan kejam. Keluargaku bukanlah musuh mereka dalam perang, dan mereka melakukan pembasmian itu karena dua hal, yaitu ingin memperkosa wanita-wanita dan ingin merampok harta benda! Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh Lauw-pangcu kepada keluargamu. Lauw-pangcu dengan kawan-kawannya adalah pejuang-pejuang yang berusaha menentang bangsa Mancu yang menjajah, dan Ayahmu adalah seorang pembesar Mancu. Tentu saja Lauw-pangcu menganggap keluargamu musuh, bukan musuh pribadi, melainkan musuh negara dan bangsa. Lauw-pangcu melakukan pembasmian bukan berdasarkan kebencian pribadi, melainkan sebagai pelaksanaan tugas perjuangan. Tahukah engkau bahwa dalam sekejap mata saja anak buah Lauw-pangcu yang jumlahnya lima puluh orang lebih dibasmi habis oleh seorang kaki tangan Mancu?”

Lulu merengut dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa pun yang menjadi alasan, akibatnya sama saja, Koko. Apa pun yang menjadi dasar dari pada perbuatan para pembasmi yang kejam itu, akibatnya tiada bedanya, buktinya engkau menjadi yatim-piatu dan aku pun sama juga. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa aku tidak lebih sengsara dari padamu? Apakah karena sebab-sebab itu aku lalu diharuskan memaafkan mereka?”

Ditegur oleh bocah yang matang dalam penderitaan ini, Han Han membungkam, ia tidak dapat menjawab, hanya berkali-kali menghela napas kemudian berkata, “Ah, entahlah, Moi-moi. Memang kalau dipikir-pikir, semua perbuatan yang sifatnya membunuh di dalam perang adalah keji! Perang menimbulkan malapetaka yang mengerikan. Perang membuktikan betapa kejamnya mahluk yang disebut manusia. Perang dan bunuh-membunuh antar manusia dilakukan dengan penuh semangat, demi perjuangan dan cita-cita alasannya. Perjuangan dan cita-cita yang hanya diciptakan oleh beberapa gelintir manusia belaka! Aku tidak tahu, hanya yang kuketahui sekarang, kalau kita sudah memiliki kepandaian, kita harus membasmi orang-orang yang menjadi musuh kita, orang-orang yang kita anggap jahat!”

“Koko, bagaimanakah orang yang jahat itu? Lauw-pangcu dalam anggapanku adalah seorang yang sejahat-jahatnya karena dia telah membuat keluargaku lenyap, telah membuat hidupku merana. Akan tetapi engkau tidak menganggapnya sebagai orang jahat, malah gagah perkasa. Bagaimana ini?”

“Tidak tahulah... tidak tahulah... mungkin kelak kita akan lebih mengerti.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan setelah mereka keluar dari hutan itu, tampaklah sebuah bukit di sebelah depan. Senja telah mendatang dan di dalam cuaca yang sudah suram itu samar-samar tampak dinding di puncak bukit.

“Di puncak bukit itu tentu tempat tinggal para pendeta, kalau tidak kuil tentu sebuah dusun. Sebaiknya kita pergi ke sana. Aku akan bekerja untuk mencarikan beberapa stel pakaian untukmu, Moi-moi.”

“Bukan hanya untukku, Koko, engkau pun perlu akan pakaian cadangan. Lihat, pakaianmu sudah mulai rusak pula. Aku pun dapat bekerja apa saja, kalau perlu membantu di sawah, atau mencuci, membersihkan rumah, apa saja.”

“Engkau puteri seorang pembesar, mana bisa bekerja kasar?”

“Jangan begitu, Koko. Dahulu puteri pembesar, sekarang hanya seorang bocah jemb...”

“Hanya Adikku yang baik dan manis!” Han Han memotong dan mereka tertawa, bergandengan tangan dan mulai mendaki bukit yang tidak berapa tingginya itu. Namun ketika mereka telah tiba di lereng, tak jauh lagi dari puncak di mana tampak dinding putih yang ternyata adalah pagar tembok yang tinggi, Lulu menuding dan berseru.

“Lihat! Kebakaran!”

Benar saja. Api yang berkobar-kobar tampak di balik dinding itu, makin lama makin membesar dan sinar api merah itu memperlihatkan dengan jelas bahwa di balik pagar tembok itu terdapat sekelompok rumah-rumah yang kini terbakar.

“Celaka...! Hayo kita naik terus, sedapat mungkin kita bantu mereka memadamkan api, Moi-moi.”

“Aku... takut..., Koko.”

“Ada aku di sampingmu, takut apa? Hayolah!” Han Han menggandeng tangan adiknya dan dengan bantuan sinar api mereka mendaki terus menuju ke pagar tembok.

Akhirnya mereka tiba di luar pagar tembok dan tiba-tiba Han Han menarik tangan adiknya untuk mendekam dan berlindung di tempat gelap. Dari pintu gerbang yang terbuka mereka dapat melihat ke sebelah dalam perkampungan itu dan keadaan di dalam perkampungan itulah yang membuat Han Han menarik tangan adiknya, diajak bersembunyi.

Kiranya di dalam perkampungan itu terjadi perang tanding yang hebat. Tampak bayangan-bayangan manusia berkelebatan, kilatan-kilatan senjata tajam dan terdengar nyaring suara senjata beradu. Karena disinari api yang membakar rumah, di sana-sini jelas tampak menggeletak mayat-mayat orang, malang-melintang dalam keadaan mandi darah. Mengerikan! Tubuh Lulu menggigil ketika ia merapatkan diri kepada kakaknya, napasnya terengah-engah. Han Han juga merasa tegang, akan tetapi ia mengelus-elus kepala adiknya untuk menenangkannya.



Perang tanding yang lebih banyak terdengar dari pada terlihat itu berlangsung semalam suntuk, demikian pula kebakaran yang agaknya tiada yang berusaha memadamkannya itu. Dapat dibayangkan betapa gelisah dan sengsara dua orang bocah yang bersembunyi di luar tembok. Jerit-jerit ketakutan dan pekik-pekik kematian terdengar oleh mereka, bercampur dengan suara pletak-pletok terbakarnya rumah-rumah yang makin menghebat. Kiranya rumah-rumah dalam perkampungan itu amat berdekatan sehingga setelah api membakar dan tiada usaha memadamkannya, semua dimakan api dan kebakaran itu berlangsung sampai pagi!

Han Han memberanikan hatinya merangkak dan mengintai dari balik pintu gerbang. Matanya menjadi silau menyaksikan berkelebatnya dua sinar putih. Sebagai seorang yang pernah menjadi murid seorang pandai, ia dapat menduga bahwa dua sinar putih itu tentulah sinar senjata yang dimainkan oleh dua orang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dua sinar itu berkelebatan di antara puluhan orang yang mengepungnya dan ia dapat menduga bahwa tentu ada dua orang lihai yang dikeroyok oleh banyak sekali orang. Yang mengerikan hatinya adalah ketika di antara tumpukan mayat ia melihat pula mayat-mayat wanita dan anak-anak kecil.

Semalam suntuk tidak tidur sekejap mata pun, semalam suntuk terus mendekam bersembunyi, namun bagi kedua orang anak itu, agaknya semalam itu lewat dengan amat cepatnya. Tahu-tahu sudah pagi! Dan menjelang pagi, api mulai padam dan ketika mereka mendengarkan, ternyata tidak ada suara apa-apa lagi. Sunyi di dalam perkampungan itu, hanya tampak asap hitam mengepul dan masih ada suara pletak-pletok lirih. Akan tetapi tidak ada suara manusia, tidak ada suara pertempuran.

Han Han bangkit berdiri, akan tetapi terduduk kembali karena ujung bajunya sebelah belakang dipegang erat-erat oleh Lulu yang ketakutan. Han Han menoleh dan melihat betapa tubuh Lulu gemetar, adiknya yang biasanya cerah itu kini pucat dan matanya terbelalak seperti seekor kelinci dikejar harimau. Ia memberi isyarat agar adiknya itu bangkit berdiri, kemudian ia memasuki pintu gerbang itu perlahan-lahan.

Lulu yang masih menggigil ketakutan berjalan di belakangnya, tidak pernah melepaskan ujung bajunya yang belakang. Dua orang anak itu seperti sedang main naga-nagaan, berjalan perlahan dan muka bergerak memandang ke kanan kiri, wajah pucat dan mata terbelalak. Hati siapa tidak akan ngeri menyaksikan keadaan dalam perkampungan itu. Semua pondok habis terbakar, kini menjadi arang dan hanya tinggal asapnya karena sudah tidak ada lagi yang dapat dibakar.

Yang amat mengerikan adalah banyaknya mayat orang berserakan di mana-mana. Ada puluhan orang banyaknya, bahkan mungkin seratus orang lebih. Sebagian besar laki-laki tinggi besar akan tetapi banyak pula wanita-wanita, tua dan muda, ada pula anak-anak. Mereka semua telah mati dengan tubuh terluka lebar, seperti terbabat senjata tajam. Ada yang perutnya pecah, dadanya berlubang, leher hampir putus, dan semua mayat ini mandi darahnya sendiri.

“Han-koko... aku... aku takut hiiii...!” Hampir Lulu tidak dapat melangkahkan kakinya yang menggigil, wajahnya pucat sekali dan sepasang mata yang lebar itu terbelalak.

“Tenanglah, Adikku... aku pun takut, akan tetapi mari kita lihat ke sana.... Eh, dengar... ada orang merintih...! Hayo ke sana, suaranya datang dari belakang puing rumah itu...”

“Aku... aku takut... nge... ngeri...!”

Akan tetapi Han Han sudah menarik tangan adik angkatnya. Melihat sekian banyaknya manusia menjadi mayat, tidak seorang pun yang masih hidup, tidak ada yang merintih atau bergerak, membuat hatinya menjadi tertarik sekali ketika ia mendengar suara merintih itu. Dari jauh ia sudah melihat dua orang yang tidak mati, namun terluka hebat karena dua orang itu masing-masing tertusuk pedang di bagian perut, tertusuk sampai tembus ke punggung! Mengerikan sekali, akan tetapi juga aneh, karena justeru dua orang ini di antara puluhan mayat yang hidup.

Han Han memiliki ketabahan yang luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Biar pun Lulu sudah hampir pingsan saking ngerinya, namun Han Han tidak apa-apa, bahkan ia lalu melepaskan tangan Lulu dan mempercepat langkahnya menghampiri dua orang itu sambil berkata.

“Moi-moi, ada orang terluka. Mari kita tolong mereka...!”

Kasihan sekali Lulu. Sudah takutnya setengah mati, kakaknya melepaskan tangannya dan lari meninggalkannya. Seperti seekor kelinci ketakutan ia lalu memaksa kakinya yang lemas itu untuk lari pula mengejar. “Koko... Han-ko, tunggu aku...!”

Han Han sudah berlutut di dekat dua orang yang terluka itu. Ia memandang dengan kagum dan terheran-heran. Dua orang itu adalah seorang kakek dan seorang nenek. Usia mereka tentu tidak akan kurang dari tujuh puluhan tahun, akan tetapi jelas tampak betapa mereka berdua itu dahulunya tentulah orang-orang yang elok dan gagah.

Kakek itu masih tampak gagah dan tampan, pakaiannya bersih dan dari rambutnya sampai sepatunya terawat rapi. Pakaiannya seperti seorang sastrawan, jenggot dan kumisnya terpelihara baik-baik. Ada pun nenek itu biar pun sudah tua masih nampak cantik, tentu di waktu mudanya merupakan seorang wanita yang jelita. Juga pakaiannya rapi dan bersih. Kakek itu bersandar pada meja batu yang terdapat di taman, sebatang pedang menancap di perutnya sampai tembus punggung. ada pun nenek itu setengah rebah menyandarkan kepala di pundak kanan itu, juga sebatang pedang menancap di dadanya, menembus ke punggung.

Yang mengherankan Han Han, pedang itu sama benar bentuknya, gagangnya juga serupa. Pedang yang amat indah, yang putih berkilau seperti perak. Si nenek menyandarkan kepalanya sambil merintih dan rintihan nenek inilah yang tadi terdengar oleh Han Han. Tangan nenek itu meraba-raba perut kakek yang tertancap pedang. Kakek itu sendiri sama sekali tidak mengeluh, seolah-olah perut yang ditembusi pedang itu tidak terasa nyeri olehnya, dan lengannya merangkul si nenek penuh kasih sayang.

“Tenanglah, Yan Hwa.... Tenanglah menghadapi maut bersamaku, Sumoi (Adik Seperguruan). Tenanglah, Adikku, kekasihku...”

“Oughhh... Suheng (Kakak Seperguruan) aduhhh, Koko (Kanda), kenapa baru sekarang menyebut kekasih...? Aku... aku... selamanya cinta kepadamu, Suheng...”

“Hushhh... ada orang datang, diamlah...”

“Aughhh... ahhh, panas rasa kerongkonganku..., aduh, Kanda, minum... minum...”

Hati Han Han sebenarya sudah tidak mudah lagi terharu. Perasaan hatinya sudah setengah membeku oleh peristiwa hebat yang dialaminya dahulu. Namun kini menyaksikan keadaan kakek dan nenek itu, ia terheran-heran dan juga timbul rasa iba di hatinya.

“Locianpwe, biarlah saya yang mencarikan air minum...!” Tanpa menanti jawaban dua orang yang sedang dalam sekarat itu, ia bangkit dan cepat pergi mencari air.

“Han-ko... tunggu...!” Lulu berteriak dan meloncat pula mengejar kakaknya. Anak kecil ini merasa terlalu ngeri kalau ditinggal sendirian di dekat kakek dan nenek yang sekarat itu.

“Mari kita mencari air minum untuk mereka. Kasihan mereka...,” kata Han Han yang menanti adiknya, lalu menggandeng tangan adiknya.

Sebentar saja mereka mendapatkan sebuah tempat air dan mengisinya dengan air lalu kembali ke dalam taman. Wajah kedua orang tua itu sudah pucat karena darah mereka terus mengucur keluar dari luka di perut dan dada.

“Ini airnya, locianpwe,” kata Han Han.

Ia menyebut locianpwe karena ia dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentulah bukan sembarang orang, bahkan ia menduga bahwa kematian puluhan orang itu tentu ada hubungannya dengan mereka. Ada pun Lulu berdiri di belakang Han Han, terbelalak memandang dua orang yang terluka berat dan sedang saling berpelukan mesra itu.

“Oohhh, mana air...?” Nenek itu mengeluh.

Kakek itu membuka matanya dan sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han. Kakek itu membelalakkan mata, seperti terpesona memandang wajah Han Han, akan tetapi segera menerima tempat air dan memberi minum nenek yang kehausan dan sedang sekarat itu. Air diminum dengan lahap sampai terdengar menggelogok dan sebagian besar tumpah. Nenek itu terengah kepuasan, wajahnya menjadi tenang. Dengan sikap manja ia rebahkan pipi kirinya di atas pundak kakek itu, tangannya memeluk pinggang, matanya merenung seperti orang ngantuk, akan tetapi tidak merintih lagi.

Kakek itu tidak minum, bahkan tiba-tiba ia menggerakkan tangan yang memegang tempat air. Han Han terkejut sekali melihat tempat air itu melayang jauh sekali dan jatuh ke atas tanah, tidak pecah, bahkan air di dalamnya yang masih setengah itu tidak tumpah, muncrat setetes pun tidak, seolah-olah tempat air itu dibawa melayang tangan yang tidak tampak dan diletakkan di tempat itu! Wajah kakek itu kelihatan dingin ketika memandang kepadanya dan bertanya.

“Engkau siapa?”

Han Han adalah seorang anak yang amat kukoai (aneh), bahkan tidak kalah kukoai oleh datuk-datuk persilatan yang bagaimana aneh wataknya sekali pun. Kalau tadi ia merasa iba, kini menyaksikan sikap kakek itu, timbul keberaniannya dan ia pun hanya berdiri sambil memandang. Sinar kemarahan terpancar keluar dari pandang matanya dan ia menjawab, sama kakunya dengan suara kakek itu.

“Namaku Sie Han!” Hanya sekian ia berkata karena tidak ada hasrat hatinya lagi untuk mengetahui siapa adanya kakek dan nenek itu dan apa yang terjadi sehingga mereka terluka seperti itu.

Kembali dua pasang mata beradu pandang dan kakek itu makin terbelalak.

“Eh...! Matamu...!”

“Mataku kenapa?” balas tanya Han Han, makin penasaran.

“Seperti...”

“Mata setan!” Han Han melanjutkan, makin mendongkol dan teringat akan pengalamannya dengan Lauw-pangcu dan juga dengan Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo. Mereka itu semua menyatakan keheranan akan matanya. Lama-lama ia menjadi bosan juga kalau tokoh besar selalu menyebut-nyebut matanya.

Kakek itu menggeleng-geleng kepala, dan aneh... dia tersenyum geli. “Wah, tidak hanya matanya, juga wajahmu dan sikapmu yang kepala batu... akan tetapi pada dasarnya berhati penuh welas asih.... Eh, engkau benar-benar bocah aneh, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang amat baik.”

“Hemmm, locianpwe yang aneh. Bicara tentang sahabat, akan tetapi keadaan locianpwe berdua ini tidak membayangkan bahwa locianpwe baru saja bertemu dengan seorang sahabat,” Han Han menuding ke arah dua batang pedang yang masih menancap di tubuh mereka.

Nenek itu mengangkat muka memandang kakek yang masih dipeluknya. “Koko... siapa bocah setan ini? Perlu apa bicara dengan dia? Mana... mana dia... Jai-hwa-sian?”

“Sabar, Moi-moi... Jai-hwa-sian belum juga datang... ahhh, sayang sekali... kalau sampai kita keburu mampus sebelum dia muncul...”

Han Han terkejut sekali. Tadinya ia merasa geli dan juga iba mendengar betapa dua orang tua renta ini demikian kemesra-mesraan dan menyebut koko dan moi-moi. Akan tetapi mendengar nama Jai-hwa-sian disebut-sebut, ia terkejut.

“Locianpwe mencari Kongkong-ku?”

Kakek itu mengangkat muka memandang, cemberut. “Siapa mencari Kongkong-mu? Siapa itu Kongkong-mu?”

“Jai-hwa-sian...!”

“Hehhh...?”

“Ihhhhh...?”

Kakek dan nenek itu berseru kaget dan kini memandang Han Han yang masih berdiri dengan muka merah. Dia tadi telah kelepasan bicara, mungkin ia mengaku Jai-hwa-sian sebagai kakeknya hanya karena merasa penasaran tidak dipandang mata oleh kakek itu, juga karena ia terkejut dan teringat akan sangkaan Kang-thouw-kwi bahwa dia adalah cucu Jai-hwa-sian.

“Heh, anak setan, siapa nama Kongkong-mu?”

“Namanya Sie Hoat.”

Kakek itu mengerutkan alisnya, sedangkan nenek yang masih lemah itu telah menyandarkan kembali pipinya ke pundak Si Kakek dengan sikap manja.

“Bagaimana kau tahu kakekmu itu berjuluk Jai-hwa-sian?”

“Yang memberi tahu adalah Setan Botak.”

“Setan Botak? Kau maksudkan Setan Botak si...?”

“Siapa lagi kalau bukan Setan Botak Kang-thouw-kwi? Apakah ada Setan Botak ke dua di dunia ini?” kata Han Han, masih panas hatinya, apa lagi karena kakek itu menganggapnya main-main.

Kini mata kakek itu makin terbelalak. Baru sekarang, setelah menghadapi kematian, ia menemukan seorang anak yang begini kukoai, berani memaki Kang-thouw-kwi dengan julukan Setan Botak. Padahal, ratusan orang gagah di dunia kang-ouw akan berpikir-pikir seratus kali lebih dulu untuk berani memaki seperti itu!

“Di mana Kakekmu yang berjuluk Jai-hwa-sian itu sekarang?” Kakek itu mulai menduga-duga, barangkali Jai-hwa-sian benar-benar datang bersama cucunya dan sengaja menyuruh cucunya itu datang lebih dulu. Kalau anak ini benar-benar cucu Jai-hwa-sian, tidaklah begitu aneh kalau berani memaki Kang-thouw-kwi.

Akan tetapi anak itu menggeleng-geleng kepala. “Aku sendiri tidak tahu. Mungkin sudah mati, seperti yang diduga Ayah. Aku sendiri tidak pernah melihatnya, menurut dongeng Ayah sudah puluhan tahun dia pergi merantau...”

“Siapa nama Ayahmu dan di mana tinggalnya?”

“Ayah bemama Sie Bun An, dahulu tinggal di Kam-chi...”

“Sie Bun An? Suma Bun An? Di Kam-chi katamu? Ha-ha-ha-ha-ha, betul juga!” Kakek itu tertawa bergelak sehingga Han Han menjadi heran dan mengira bahwa tentu kakek yang sudah sekarat ini menjadi berubah ingatannya alias menjadi gila.

“Sekarang di mana adanya Ayahmu itu? Di mana Suma Bun An?”

“Locianpwe! Ayahku adalah Sie Bun An, apa ini Suma-suma segala?”

“Ha-ha-ha! Dasar pengecut, mengingkari she apakah berarti dapat membersihkan diri dari noda? Ya-ya, biarlah, Sie Bun An. Di mana dia kalau engkau tidak tahu di mana adanya Kakekmu?”

“Ayah dan sekeluargaku telah dibunuh perwira-perwira Mancu...”

“Ha-ha-ha-ha-ha, hukum karma...! Ha-ha-ha, tak dapat dihindarkan lagi...”

“Locianpwe!” Han Han membentak, marahnya bukan main.

Belum pernah dia menceritakan riwayatnya kepada siapa pun juga dan kalau dia mau menceritakan tentang ayahnya dan keluarganya kepada kakek ini hanyalah karena ia tahu betul bahwa orang yang perutnya sudah tertembus pedang itu takkan dapat hidup lebih lama lagi. Akan tetapi, dia yang sudah berterus terang menceritakan, malah ditertawakan! Inilah yang benar-benar dapat disebut bocengli (tak tahu aturan)!

Akan tetapi kakek itu tidak peduli, malah tertawa terus dan berkata-kata seorang diri, “Ha-ha-ha, hukum karma! Jai-hwa-sian, engkau tak dapat lari dari kenyataan! Engkau orang sesat, datuk sesat, hukum karma pasti mengejarmu, betapa pun engkau baik terhadap kami. Hukum karma akan mengejar setiap manusia, semua perbuatan jahat akan menimbulkan akibat, buah dari pada pohon perbuatan sendiri akan dipetik sendiri... seperti juga kami berdua.... Kami berdua mungkin lebih sesat dari pada engkau, maka buahnya pun lebih pahit... aahhh!” Kakek itu kini menangis terisak-isak!

“Kakek... kenapa menggali hal-hal lampau...? Tidak, buah yang kita petik tidak begitu pahit.... Engkau mati di tanganku, aku mati di tanganmu, kita menemukan kembali cinta kasih, di ambang maut... kita mati dalam cinta... alangkah bahagianya...” Dengan napas terengah-engah nenek itu memeluk leher kakek itu dan mencium bibirnya! Mereka berciuman seperti dua orang muda yang sedang diamuk asmara, berciuman mulut dengan mesra, sedangkan darah menetes-netes dari mulut mereka!

Kini Han Han berdiri melongo. Kemarahan dan penasaran di hatinya lenyap tak berbekas seperti awan ditiup angin. Ia terheran-heran dan memandang terbelalak, menyaingi sepasang mata Lulu yang sejak tadi terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi nenek itu sudah hampir putus napasnya, tidak kuat berciuman lama, dan ia terengah-engah, meletakkan kembali pipi kirinya di atas pundak Si Kakek, bibirnya merah sekali, merah terkena darah, darahnya sendiri dan darah kakek itu. Bibirnya tersenyum, penuh kebahagiaan, penuh pasrah, seperti seorang bayi akan tidur di pangkuan ibunya.

“Moi-moi... anak ini cucunya... kita berikan saja kepadanya, ya?”

“Terserah, Koko... terserah kepadamu. Lekas berikan... aku sudah ingin sekali me-layang pergi bersamamu, Koko...”

Kakek itu kini dengan tangan menggigil merogoh sakunya di sebelah dalam jubahnya. Tangan kirinya mengeluarkan sebuah kitab dari saku bajunya, sedangkan tangan kanannya meraba-raba dan merogoh saku di balik baju Si Nenek, mengeluarkan sebuah kitab pula yang sama bentuk dan warnanya, kekuning-kuningan. Ia menumpuk dua buah kitab itu di tangan kirinya lalu berkata, suaranya sungguh-sungguh, namun lemah sekali.

“Dengar, anak yang bernama Sie Han... dengarlah baik-baik, berlututlah...”

Suara yang lemah menggetar itu mempunyai wibawa yang luar biasa dan Han Han tak dapat membangkangnya. Ia tahu bahwa saat kematian kakek dan nenek itu sudah dekat sekali, maka demi menghormat dua orang yang hendak mati, ia pun berlututlah. Lulu yang tidak disuruh berlutut, namun juga dapat merasakan suasana penuh kengerian dan ketegangan ini, merangkap kedua tangan di depan dada, penuh hormat dan takut-takut.

Dengan tangan gemetar, kakek itu mengangsurkan tangan kirinya yang memegangi dua buah kitab kuning. “Kau terimalah ini... kau simpan baik-baik dalam bajumu! Lekas... jangan bertanya, simpan dulu, nanti kuberi penjelasan...”

Han Han tidak diberi kesempatan membantah. Seperti ada sesuatu yang menggerakkan hatinya, anak ini menerima sepasang kitab yang kecil itu dan langsung ia masukkan ke balik bajunya.

“Dekatkan telingamu...”

Han Han menggeser lututnya, mendekat dan mendengar mulut kakek itu berbisik lirih di dekat telinganya, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.... “Sudah mengertikah engkau?”

Han Han mengangguk dan mencatat pesan itu di dalam hatinya, sungguh pun ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.

“Simpan kitab-kitab itu dan kalau kelak kau dapat bertemu dengan Jai-hwa-sian, berikan kepadanya berikut pesan yang kubisikkan tadi. Berjanjilah sebagai seorang jantan untuk memenuhi pesan kami berdua, pesan dua orang yang mau mati.”

Kembali Han Han penasaran. Tidak percayakah kakek ini kepadanya? “Aku berjanji, locianpwe.”

Kakek itu menarik napas panjang, agaknya hatinya menjadi lega. Keadaannya sudah makin lemah, terutama nenek itu yang kini benar-benar sudah seperti orang tertidur pulas. Kakek itu mengerahkah tenaga, mengembangkan dada, lalu berkata, suaranya tidak selemah tadi, penuh semangat.

“Sie Han, dengarkan baik-baik, tiada banyak waktuku. Ketahuilah bahwa kami berdua dikenal sebagai Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Tidak ada datuk persilatan yang tidak mengenal kami berdua. Kami datang dari utara, menjagoi di empat penjuru. Aku Can Ji Kun bukan sombong, mungkin aku sendiri atau sumoi-ku Ok Yan Hwa ini masih dapat ditandingi orang, akan tetapi kalau kami berdua bergabung menjadi satu, aku Si Iblis Jantan dan dia ini Si Iblis Betina, tidak akan ada orang yang mampu mengalahkan kami...”

“Juga Koai-lojin tidak mampu...?”

Untuk terakhir kalinya kakek yang bernama Can Ji Kun itu terbelalak heran.

“Engkau tahu pula akan Koai-lojin?”

“Hanya mendengar penuturan orang lain. Akan tetapi aku memang bermaksud hendak mencari Koai-lojin,” jawab Han Han sederhana dan sejujurnya.

“Anak, engkau memang anak yang aneh, dan aku makin percaya bahwa kakekmulah Jai-hwa-sian itu. Kulanjutkan penuturanku selagi aku masih kuat bicara. Kami suheng dan sumoi, seperti engkau saksikan sendiri, saling mencinta dan kelihatannya rukun dan saling membela, saling membantu, saling melindungi. Sayang sekali, kenyataannya selama puluhan tahun tidaklah demikian. Kami tidak bisa menjadi suami isteri, tidak bisa menikah karena sumpah kami di depan guru kami...”

“Sumpah apakah, locianpwe?” Han Han bertanya, tertarik hatinya. Juga Lulu yang masih berdiri di belakang Han Han, mendengarkannya dengan hati tertarik dan berkurang rasa ngerinya. Keadaan yang bagaimana mengerikan sekali pun akan kalah oleh biasa, lama-kelamaan hati akan terbiasa juga.

“Guru kami menyumpah bahwa murid-muridnya tidak boleh menikah, kalau dilanggar harus ditebus nyawa...”

“Iihhh... kejam...!” seru Lulu.

“Karena itu, biar pun saling mencinta, kami berdua tidak dapat mengikat tali perjodohan. Hal ini membangkitkan semacam kedukaan, kekecewaan dan akhirnya berubah menjadi kebencian. Kami lalu mulai mengumbar nafsu kebencian ini, kami saling berlomba berebut untuk membunuh-bunuhi orang yang dianggap jahat. Kami tidak pandang bulu, dan karena itulah kami dikenal sebagai Sepasang Pedang Iblis yang telengas. Dusun ini adalah sarang berandal. Dahulu, puluhan tahun yang lalu kami berdua hampir celaka oleh kecurangan perampok-perampok ini, untung ada Jai-hwa-sian yang menolong kami. Karena itu, hari ini kami yang kebetulan mendapatkan sarang mereka, datang membasmi mereka. Akan tetapi kembali kami saling berlomba dan akhirnya kami tidak hanya bersaing, melainkan saling serang sehingga akhirnya... engkau lihat sendiri akibatnya...” Kakek itu mulai lemah suaranya.

Nenek itu membuka mata dan berkata, suaranya seperti orang berbisik, “Memang, jodoh antara kira harus ditebus dengan nyawa, Koko... dan aku... aku girang sekali... aku bahagia...”

Kakek itu mencium kening nenek itu. “Sie Han... Thian (Tuhan) telah mengirim engkau sebagai ahli waris kami... kalau engkau tidak dapat menemukan Jai-hwa-sian, sepasang kitab itu kuberikan kepadamu... engkau... engkau mulai saat ini menjadi murid kami, dan aku girang mempunyai murid seperti engkau...”

Han Han tahu bahwa dua orang itu takkan bebas dari kematian, maka ia tidak mau mengecewakan mereka. Gurunya sudah banyak. Lauw-pangcu, Ma-bin Lo-mo dan yang terakhir Toat-beng Ciu-sian-li. Sekarang ditambah lagi dengan Sepasang Pedang Iblis ini, tak mengapalah. Ia lalu menelungkup sebagai penghormatan dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Teecu (murid) menghaturkan terima kasih kepada Suhu dan Subo (Ibu Guru).”

Akan tetapi kakek itu sudah tidak mempedulikannya karena kini ia mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu. Mereka kembali saling rangkul, saling mencium dan... mereka menghembuskan napas terakhir dalam keadaan seperti bersandar pada meja batu dan kalau saja tidak ada sepasang pedang yang menancap dan menembus tubuh mereka, tentu mereka itu disangka sebagai dua orang yang sedang tenggelam dalam permainan cinta.

“Suhu...! Subo...!” Han Han mengguncang-guncangkan tubuh mereka, seperti orang hendak membangunkan dua orang dari tidur nyenyak. Namun mereka berdua itu tidak akan bangun lagi dan guncangan tubuh mereka itu membuat rangkulan terlepas dan tubuh mereka terguling, satu ke kanan satu ke kiri.

“Me... mereka... sudah mati... oohhh...!” Lulu menahan isaknya, merasa ngeri kembali karena baru sekarang selama hidupnya ia melihat orang menghembuskan napas terakhir.

“Aku harus mengubur mereka...”

“Hayo kita pergi, Han-ko.... Aku takut sekali...”

“Nanti dulu, Lulu. Aku harus mengubur jenazah mereka. Mereka ini adalah Suhu dan Subo. Aku tidak mau menjadi seorang murid yang tidak mengenal budi. Tunggulah sebentar.”

“Kalau begitu, mari kubantu engkau, Han-ko.”

Dua orang anak itu lalu bekerja keras mengggali sebuah lubang di bawah pohon dalam taman itu. Untung bahwa Han Han memiliki tenaga besar yang tidak disadarinya, sehingga dalam waktu beberapa jam, setelah matahari naik tinggi, tergalilah sebuah lubang cukup besar. Lulu juga membantunya, mempergunakan dua buah cangkul yang mereka temukan di dusun yang sudah terbakar itu.

“Pedang-pedang itu bagus sekali!” bisik Lulu.

Han Han menggeleng kepala. “Untuk apa pedang bagi kita, Moi-moi? Pedang itu adalah pedang mereka dan agaknya mereka itu senang sekali terbunuh dengan pedang masing-masing. Biarlah kita mengubur mereka berikut pedang-pedangnya.”

Lulu tidak berani membantu ketika Han Han mengangkat tubuh dua orang tua itu, satu demi satu ke dalam lubang. Akan tetapi ia membantu dengan rajin ketika Han Han menguruk lubang itu dengan tanah galian. Selesailah penguburan sederhana itu, dan Han Han lalu berlutut memberi hormat untuk terakhir kalinya di depan makam suami isteri yang menjadi gurunya. Lulu juga ikut-ikutan berlutut memberi hormat.

“Sekarang kita harus cepat pergi dari sini...,” kata Han Han.

Sebetulnya Lulu telah lelah sekali bekerja setengah hari dan tidak makan, hanya minum air yang bisa mereka dapatkan di bekas dusun itu. Akan tetapi karena ia merasa ngeri untuk berdiam lebih lama lagi di dusun yang penuh mayat bergelimpangan, ia merasa girang diajak pergi dan setengah berlari mereka keluar dari dusun yang terbasmi habis oleh keganasan sepasang manusia aneh itu.

Setelah agak jauh dari dusun itu, Han Han teringat bahwa keadaannya tadi amatlah berbahaya. Puluhan mayat berada di dalam dusun yang terbakar habis, dan yang hidup hanyalah dia dan Lulu! Bagaimana kalau sampai ada orang lain datang ke dusun itu? Tentu dia dan Lulu akan disangka menjadi penyebab kejadian mengerikan itu. Berpikir demikian, ia lalu memegang tangan Lulu dan diajaklah anak itu berlari.

“Aduh... aduh... perlahan-lahan, Koko... kakiku sakit...!”

Akan tetapi Han Han yang kini sadar akan bahaya yang mengancam mereka kalau sampai ada orang tahu, segera berjongkok dan berkata, “Lekas, mari kugendong...”

Lulu sudah merasa lelah sekali, lelah karena semalam tidak tidur, ditambah tadi bekerja keras menggali kuburan, terutama sekali karena mengalami ketegangan hebat. Maka giranglah hatinya ketika kakak angkatnya hendak menggendongnya. Tanpa banyak cakap ia lalu merangkul leher Han Han dari belakang dan mengempit pinggang kakaknya dengan kedua kaki.

Han Han bangkit berdiri lalu lari secepatnya. Tubuh Lulu yang hangat menempel di tubuhnya membuat hatinya merasa girang sekali, merasa bahwa kini ada orang yang menyayangi, yang juga amat disayangnya dan yang harus ia lindungi. Keluarganya sudah habis, dan kini semua rasa sayang terhadap keluarganya itu ia tumpahkan kepada diri Lulu. Sambil merangkul kedua kaki adik angkatnya, ia berlari terus tanpa mengenal lelah. Ia harus pergi sejauh mungkin dari bukit di mana terdapat dusun perampok yang terbasmi habis itu.

Sambil berlari, Han Han teringat akan semua peristiwa tadi. Ia bingung dan terheran-heran. Benarkah kakeknya adalah orang yang berjuluk Jai-hwa-sian itu? Kalau benar, mengapa ayahnya atau ibunya tidak pernah bercerita tentang kakeknya? Pernah ia bertanya tentang kakeknya, namun ayahnya hanya mengatakan bahwa kakeknya sudah pergi jauh tak diketahui tempatnya semenjak ayahnya masih kecil. Yang ia ketahui hanya bahwa kakeknya itu bernama Sie Hoat.

Agaknya tidak mungkin kalau kakeknya itu adalah seorang sakti dan aneh seperti mendiang Can Ji Kun si Iblis Jantan, atau seperti Kang-thouw-kwi dan datuk-datuk lain. Kalau kakeknya seorang sakti, sedikitnya tentu ayahnya seorang yang berkepandaian pula. Akan tetapi ayahnya... ah, hatinya kecewa sekali kalau ia teringat akan ayahnya. Teringat akan segala peristiwa yang menimpa ayahnya. Ayahnya memang tewas sebagai seorang gagah yang membela keluarga, akan tetapi seorang gagah yang lemah dan sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Ayahnya seorang lemah. Mungkinkah ayahnya putera seorang sakti?

Jai-hwa-sian! Dewa Pemetik Bunga! Sudah banyak ia baca, dan ia tahu apa artinya seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu seorang penjahat cabul yang suka memperkosa wanita! Biar pun sakti dan berilmu tinggi, akan tetapi jahat. Dan dia menjadi cucu seorang penjahat cabul? Ah, tak mungkin! Dan ia tidak sudi. Tentu hanya kesalahan tafsir belaka. Bukan! Dia bukan cucu Jai-hwa-sian.

Akan tetapi dia harus memenuhi permintaan Sepasang Pedang Iblis tadi yang telah menjadi gurunya. Dia harus mencari Jai-hwa-sian dan menyerahkan sepasang kitab ilmu pedang itu. Apa pula rahasianya? Han Han memiliki daya ingatan yang amat kuat. Ketika ia mengenangnya kembali, terngiang di telinganya bisikan Can Ji Kun si Iblis Jantan, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.”

Dia tidak tahu apa artinya ucapan itu, akan tetapi dia harus menghafalnya dan tak boleh melupakannya, karena ucapan rahasia itu harus disampaikan pula kepada Jai-hwa-sian bersama sepasang kitab ilmu pedang. Akan tetapi ke mana ia harus mencari Jai-hwa-sian? Dan ke mana ia harus pergi? Suhu-nya yang ke dua, Ma-bin Lo-mo tentu akan mencarinya dan kalau ia sampai ditangkap, celakalah! Dia harus pergi jauh, bersama Lulu. Ke mana? Ke kota raja!

Dengan keputusan hati ini, Han Han melanjutkan larinya. Tanpa ia sadari kedua kakinya sudah lelah sekali. Hanya berkat kemauannya yang keras luar biasa maka ia dapat berlari terus sampai menjelang senja di mana ia tiba di pinggir sebuah sungai yang airnya jernih. Melihat air gemilang inilah yang membuat lemas seluruh persendian tulangnya. Sekali ia melihat air dan merasa haus, terasalah seluruh kebutuhan jasmaninya. Haus, lapar, lelah!

Kakinya tersandung batu dan ia jatuh terguling! Akan tetapi karena teringat kepada Lulu, ia cepat memutar tubuh dan menyambar tubuh adik angkatnya, membiarkan dirinya yang jatuh terbanting di bawah, sedangkan tubuh Lulu tidak sampai terbanting. Bahu dan pundaknya terasa nyeri, akan tetapi ketika ia memandang Lulu yang dipeluknya, ia tertawa.

“Bocah malas! Enak saja kau, ya?” Ia mengomel, akan tetapi yang diomelinya tidak menjawab sama sekali karena sejak tadi Lulu memang sudah tertidur pulas di atas punggung Han Han. Demikian pulas tidurnya sampai dia tidak merasa bahwa dia hampir terbanting jatuh.

Melihat keadaan adiknya, hati Han Han diliputi penuh rasa sayang dan kasihan. Ia lalu merebahkan tubuh anak perempuan itu perlahan-lahan di atas rumput hijau tebal di pinggir sungai, kemudian ia turun ke sungai, mandi dan minum sampai kenyang. Setelah itu ia kembali ke bawah pohon di mana Lulu masih tertidur nyenyak. Ia lalu menanggalkan bajunya dan diselimutkan pada tubuh Lulu karena ia melihat betapa anak itu dalam tidurnya agak menggigil, menarik kedua kakinya sampai lutut menempel ke dada tanda kedinginan.

“Kasihan...,” bisiknya penuh kasih sayang. “Aku harus mencarikan makanan untuknya.”

Akan tetapi pada saat Han Han berdiri dan membalikkan tubuh hendak mencari makan, hampir ia menjerit saking kaget dan cemasnya. Ternyata, tanpa dapat didengarnya sama sekali, di situ telah berdiri Ma-bin Lo-mo! Bukan hanya kakek muka kuda itu sendiri yang datang, melainkan berempat, yaitu ada tiga orang lain lagi yang berdiri seperti arca dengan pandangan mata tak acuh kepada Han Han.

Seorang adalah laki-laki gundul seperti hwesio, kedua seorang laki-laki bermuka tengkorak saking kurusnya, dan yang ketiga seorang laki-laki bermuka bopeng, penuh totol-totol hitam. Usia mereka itu rata-rata lima puluhan tahun, dengan sikap dingin yang menyeramkan. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri memandang kepada Han Han dengan muka bengis!

Han Han bukan seorang penakut. Sama sekali tidak. Rasa takut seakan-akan telah terhapus dari hatinya bersama dengan terbasminya keluarganya. Dan ia memiliki rasa tanggung jawab yang tercipta dari pada pengetahuannya tentang filsafat. Ia cerdik pula, kecerdikan yang timbul dari keadaan tidak wajar setelah ia hampir mati disiksa para perwira di rumahnya yang terbasmi dahulu.

Kini ia pun cepat menggunakan pikirannya, tahu bahwa ia tak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan gurunya yang amat lihai ini. Tahu pula bahwa tiada gunanya melawan atau mencoba untuk melarikan diri. Nasibnya sudah pasti. Akan tetapi dia tidak mau kalau sampai Lulu terbawa-bawa mengalami bencana. Oleh karena itu, cepat pikirannya bekerja dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ma-bin Lo-mo.

“Suhu.”

“Hemmm, murid durhaka! Engkau sadar akan dosamu?”

“Teecu sadar dan teecu tidak menyangkal. Teecu telah melarikan diri dari In-kok-san karena teecu ingin bebas.” Dia tidak mau menyebut terus terang bahwa kepergiannya itu terutama sekali karena ia tidak mau berpisah dari Lulu. “Karena itu, harap suhu suka menjalankan hukuman. Teecu menyerahkan sebelah kaki teecu, akan tetapi setelah hukuman terlaksana, harap Adik angkat teecu ini tidak diganggu dan biarkan teecu bersama dia.” Setelah berkata demikian, Han Han mengubah duduknya, tidak berlutut melainkan duduk dan melonjorkan kedua kakinya untuk dipilih suhu-nya, mana yang akan dibikin buntung!

Diam-diam Ma-bin Lo-mo kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan seorang bocah yang memiliki ketabahan dan kekerasan hati seperti ini! Menyerahkan kaki begitu saja untuk dihukum potong tanpa sedikit pun memperlihatkan hati takut atau gentar, bahkan penyesalan pun tidak, minta maaf pun tidak, melainkan berani bertanggung jawab sepenuhnya!

“Enak saja kau bicara! Karena Sian-kouw yang langsung mengajarmu, dia pula yang berhak menghukummu. Dan bocah ini yang menjadi gara-gara, akan kuhukum sendiri, hukum penggal kepala di depanmu!”

Kaget bukan main hati Han Han. Hal ini sama sekali tak pernah ia sangka-sangka, maka ia lalu menoleh kepada Lulu. Anak perempuan itu agaknya terjaga karena mendengar suara ribut-ribut, membuka matanya, mengucek-ucek mata kemudian memandang dengan sepasang mata lebar kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya. Melihat Han Han duduk bersimpuh, ia seperti merasa bahwa ada hal-hal tidak beres. Cepat ia menubruk kakaknya dan berkata.

“Koko... ada apakah...? Siapakah orang-orang buruk ini?”

“Ssttt, diamlah Moi-moi. Beliau ini adalah guruku dan karena aku sudah bersalah meninggalkan perguruan, kakiku yang harus dihukum potong. Akan tetapi tidak mengapa asal kita tidak saling berpisah...”

“Kakimu dipotong...? Tidak...! Tidak boleh! Wah, kau manusia jahat! Tidak boleh mengganggu Kakakku! Pergi... pergi...!” Lulu yang biasanya penakut itu, mendadak saja menjadi beringas dan galak seperti seekor anak harimau, berdiri menentang Ma-bin Lo-mo dengan mata terbelalak marah.

“Moi-moi, ke sini...! Jangan begitu, aku melarangmu!” Han Han berkata, maklum betapa berbahayanya sikap Lulu itu.

“Tidak, sekali ini aku tidak mau menurutimu, Koko! Aku harus menentang niat keji manusia-manusia jahat ini! Enak saja, masa kaki mau dipotong? Tidak boleh, hayo kalian pergi, kakek-kakek jahat!” Lulu masih berdiri dengan sikap menantang dan matanya yang lebar itu seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya.

Ma-bin Lo-mo memandang Lulu dengan alis berkerut. “Eh, bocah, kau siapakah? Mengapa kau membela muridku yang durhaka ini?”

“Namaku Lulu dan aku telah menjadi adiknya, kakakku Han Han. Tentu saja aku membelanya!”

“Lulu namamu?” Ma-bin Lo-mo menggerakkan lengannya dan tahu-tahu ia sudah menyambar baju di punggung anak itu dan mengangkatnya.

Lulu meronta-ronta dengan mata terbelalak, bergidik ketakutan melihat muka yang seperti kuda itu begitu dekat, mata yang bersinar aneh itu menelitinya.

“Hemmm, namamu Lulu dan mukamu seperti ini, matamu... hemmm, kau anak Mancu, ya?”

Biar pun mulai ketakutan, namun Lulu masih marah.

“Bukan, Suhu... bukan...!” Han Han berteriak, mukanya pucat dan ia mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu.

Akan tetapi alangkah kaget dan gelisahnya ketika ia mendengar Lulu menjawab nyaring, “Benar! Ayahku perwira Mancu dan keluargaku dibasmi orang-orang jahat seperti engkau ini! Lepaskan aku! Lepaskan!”

“Ngekkk!” Lulu dibanting dan anak itu pingsan seketika.

“Suhu! Jangan bunuh dia! Buntungkan kakiku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan bunuh dia!” Han Han berteriak-teriak sambil meloncat maju hendak menolong Lulu yang disangkanya mati.

Sebuah tendangan membuat tubuh Han Han terguling. Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata melotot marah. “Bocah setan! Murid durhaka! Engkau bersahabat malah mengangkat saudara dengan anak seorang perwira Mancu? Keparat! Tak tahu malu! Seharusnya kuhancurkan kepalamu sekarang juga kalau engkau bukan sudah menjadi murid Sian-kouw! Biar Sian-kouw yang akan menghukum dan menyiksamu! Dan bocah Mancu ini...” Ma-bin Lo-mo mengangkat tangan ke atas hendak memukul tubuh Lulu yang sudah pingsan tak bergerak itu.

“Suhu, jangan...!”

Tiba-tiba terdapat perubahan pada wajah Ma-bin Lo-mo. Ia menyeringai dan mengangguk-angguk. “Hemmm..., bagus sekali. Dia anak seorang perwira Mancu, ya? Bagus! Bisa dipakai untuk mengundurkan orang-orang Mancu yang menjadi saingan mencari pulau...”

Ia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan cepat sekali tangannya bergerak dan ia sudah menotok Han Han. Kemudian ia memberi isyarat kepada tiga orang kawannya. Laki-laki muka tengkorak lalu menyambar tubuh Lulu yang sudah lemas dan dikempitnya, ada pun laki-laki yang mukanya bopeng dan bertotol-totol hitam itu lalu menyambar tubuh Han Han yang tak mampu bergerak, juga dikempitnya. Kemudian mereka berempat lalu lari cepat sekali meninggalkan tempat itu.

Kiranya tak jauh dari situ terdapat sebuah perahu yang diikat di pinggir sungai. Mereka melompat ke dalam perahu. Setelah mendayung perahu ke tengah dan layar dipasang, meluncurlah perahu itu menuju ke laut. Han Han dan Lulu diikat kaki tangannya, lalu dilemparkan ke dek perahu, kemudian totokannya dibebaskan. Lulu juga sudah siuman dan mengeluh. Ketika melihat bahwa dia terbelenggu dan terlentang di atas dek perahu, Lulu cepat memandang ke arah kaki Han Han yang juga terbelenggu di sampingnya. Anak ini menarik napas lega dan berbisik.

“Han-ko... syukur kakimu masih utuh....” Anak ini terisak.

“Diamlah Lulu. Jangan menangis...”

“Aku... aku... takut, Koko.”

“Jangan putus harapan. Selama nyawa kita masih ada, tidak perlu kita putus harapan.”

“Tapi... mereka jahat sekali...”

“Hushhh, diamlah...”

Mereka itu seperti dua ekor kelinci muda yang akan disembelih. Hanya mata mereka saja yang dapat bergerak memandangi empat orang itu yang duduk di tengah perahu. Si Muka Bopeng mengemudikan perahu dan yang tiga lainnya duduk diam tak bergerak. Kemudian Ma-bin Lo-mo yang duduknya paling dekat dengan kedua orang anak itu memandang Han Han dan menghela napas panjang seperti orang menyesal sekali. Mulutnya mengomel.

“Murid murtad...! Murid durhaka...!”

Han Han tidak putus harapan. Kalau gurunya itu hendak membunuh Lulu, tentu dilakukannya sejak tadi. Dengan menawan mereka berdua, hal itu menyatakan bahwa untuk sementara ini mereka berdua selamat, tidak akan terbunuh, dan tentu masih dibutuhkan. Dia tidak takut menghadapi hukuman potong kaki, yang dikhawatirkan adalah keselamatan Lulu yang kini telah dikenal sebagai puteri seorang perwira Mancu.

“Suhu, murid sudah mengaku berdosa dan siap menerima hukuman. Akan tetapi Lulu ini sama sekali tidak berdosa, harap Suhu mengampuni anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini.”

“Cerewet! Engkau akan menerima hukuman dari Sian-kouw sendiri, ada pun bocah Mancu itu, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, akan kupenggal di depan matamu!”

“Suhu...!”

“Diam! Kau murid murtad, pengkhiahat yang berkawan dengan musuh! Membuka mulut lagi, akan kutampar mulutmu sampai rusak!”

Han Han tidak bodoh, dan tidak mau lagi membuka mulut. Ma-bin Lo-mo segera bercakap-cakap sambil berbisik-bisik dengan tiga orang kawannya, tidak mempedulikan lagi kepada Han Han dan Lulu.

“Han-ko,” Lulu berbisik. “Dia itu kejam dan jahat, mengapa engkau berguru kepada seorang seperti dia?”

“Hushhh, diamlah, Lulu. Dia sakti sekali, maka aku berguru kepadanya.”

Perahu kecil itu meluncur cepat sekali, dan menjelang malam perahu masuk ke lautan dan mulailah pelayaran yang amat sengsara bagi Han Han dan Lulu. Perahu diombang-ambingkan ombak laut dan kedua orang anak yang tidak biasa naik perahu di laut itu menjadi mabuk laut. Han Han yang telah memiliki sinkang yang amat kuat dapat menahan rasa mabuk itu dan tidak terlalu pening, akan tetapi sungguh kasihan sekali keadaan Lulu. Bocah ini menjadi pening, mukanya pucat sekali dan ia muntah-muntah. Karena tangan kedua orang anak itu dibelunggu ke belakang, maka Han Han tidak dapat menolongnya dan Lulu sendiri terpaksa hanya dapat memutar tubuhnya, rebah miring sehingga muntahannya tidak mengotorkan pakaian.

“Suhu...! Harap tolong membebaskan belenggu tangan Adikku lebih dulu...! Dia...! Dia sakit!”

Ma-bin Lo-mo hanya menengok, lalu memberi isyarat kepada Si Kepala Gundul yang bangkit berdiri menghampiri Lulu. Tangannya bergerak cepat menotok pundak Lulu yang segera menjadi lemas dan... tertidur. Karena tertidur ini maka anak itu tertolong, tidak begitu menderita lagi dan tidak lagi mabuk-mabuk. Han Han bersyukur akan tetapi juga kagum. Kiranya tiga orang kawan gurunya itu pun bukan orang-orang sembarangan dan tentu memiliki kepandaian yang amat lihai.

Malam itu mereka berdua diberi makan dan minum dan untuk keperluan ini mereka dibebaskan sebentar. Setelah makan dan minum, mereka disuruh tidur di dekat dek perahu dengan kedua tangan masih dibelenggu ke belakang tubuh mereka, akan tetapi kaki mereka bebas. Tentu saja dalam keadaan seperti itu Han Han dan Lulu sama sekali tidak dapat tidur pulas. Lulu mulai menangis, akan tetapi dihibur oleh Han Han yang tetap bersemangat tinggi dan berhati besar.

“Lihat, alangkah indahnya pemandangannya, Adikku. Lihat itu di langit, bintang-bintang bertaburan seperti intan berlian. Dan laut amat tenangnya, seolah-olah kita tidak bergerak, ya? Padahal lihat layarnya berkembang dan perahu ini sebetulnya maju cepat sekali.”

Lulu terhibur dan setelah melihat ke kanan kiri yang adanya hanya air yang tertimpa sinar bintang-bintang yang suram, ia bertanya. “Kita ini... dibawa ke mana, Koko?”

“Entahlah, akan tetapi kalau tidak salah, Suhu dan teman-temannya itu sedang mencari sebuah pulau. Pernah aku mendengar para Suheng dan Suci bercerita tentang Pulau Es.”

“Pulau Es? Di mana itu? Mau apa ke sana?” Lulu bertanya, suaranya penuh rasa kekhawatiran.

“Aku sendiri pun tidak tahu. Aku selalu berada di sampingmu, bukan? Selama aku di sampingmu, tidak usah kau takut. Aku akan melindungimu dengan sekuat tenagaku.”

“Koko...!” Lulu menangis.

“Eh, malah menangis. Ada apa?”

“Koko, mengapa kau begini baik kepadaku?” Suara Lulu terisak-isak.

“Aihhh, aneh benar pertanyaanmu. Kau kan Adikku, tentu saja aku baik kepadamu. Di dunia ini aku hanya mempunyai kau, dan kau hanya mempunyai aku.”

“Han-ko...!” Lulu kembali menangis dan anak ini lalu menggeser tubuhnya, merebahkan kepalanya di dada kakak angkatnya itu. Dalam keadaan seperti ini, akhirnya kedua orang anak itu tertidur.

Perahu kecil itu melakukan pelayaran selama tiga hari tiga malam, cepat sekali karena di waktu angin berkurang, mereka berempat menggunakan dayung dan karena mereka berempat merupakan orang-orang sakti yang memiliki sinkang kuat sekali, biar pun hanya didayung, perahu itu meluncur amat cepatnya. Tujuan perahu itu adalah ke arah utara. Kalau air laut sedang tenang, Han Han dan Lulu tidak amat menderita, akan tetapi apa bila perahu dipermainkan gelombang besar, mereka menderita sekali, terutama Lulu.

Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali matahari mulai muncul di permukaan air sebelah timur. Si Muka Bopeng tiba-tiba berseru kaget. "Perahu di sebelah depan!"

Mereka semua memandang, termasuk Han Han dan Lulu. Benar saja, di sebelah depan tampak sebuah perahu yang mengembangkan layarnya, perahu yang bercat hitam, juga layarnya berwarna hitam. Ma-bin Lo-mo memandang ke utara, ke arah perahu itu dan melindungi matanya dari sinar matahari dari kanan. Pandang matanya tajam sekali, lebih tajam dari pada kawan-kawannya, dan setelah memandang dengan pengerahan tenaga sakti pada kedua matanya, ia berkata.

"Perahu itu bukan perahu pemerintah Mancu. Selain tidak begitu besar, juga kulihat tidak ada tentara di atas perahu, hanya ada belasan orang. Juga bukan perahu nelayan, agaknya perahu orang-orang kang-ouw yang akan menjadi saingan kita. Kejar! Kita harus basmi mereka, lebih sedikit saingan lebih baik!"

Layar tambahan dipasang, Si Muka Bopeng memegang kemudi dan tiga orang sakti itu masih menambah kelajuan perahu dengan gerakan dayung mereka. Perahu kecil ini meluncur cepat sekali melakukan pengejaran terhadap perahu yang berada di depan. Tak lama kemudian perahu itu dapat disusul dan agaknya perahu yang berada di depan juga melihat adanya perahu kecil yang menyusul mereka, dan para penumpangnya agaknya tidak merasa takut, buktinya perahu itu tidak melarikan diri, bahkan seolah-olah menanti datangnya perahu kecil yang mengejar.

Akhirnya perahu itu berdekatan, dengan jarak hanya beberapa meter. Kini tampak jelas kebenaran ucapan Ma-bin Lo-mo tadi. Perahu itu bukan perahu pemerintah, juga bukan perahu nelayan. Yang berada di atas perahu itu adalah tiga belas orang, yang sebelas pria yang dua wanita. Kedua orang wanita itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, cantik dan gagah. Sebelas orang pria itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Yang amat mencolok adalah pakaian mereka yang dasarnya berwarna hitam. Mereka semua membawa golok yang tergantung di pinggang dan sikap mereka tampak gagah...


BERSAMBUNG KE JILID 05


Pendekar Super Sakti Jilid 04

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PENDEKAR SUPER SAKTI BAGIAN 04

Kim Cu memandang gurunya dengan wajah khawatir, karena ia takut kalau-kalau gurunya akan marah dan semua murid maklum betapa akan hebat akibatnya kalau guru itu marah. Akan tetapi aneh. Ma-bin Lo-mo malah tertawa dan suara ketawanya persis kuda yang meringkik-ringkik. Para murid lainnya tidak ada yang merasa heran, akan tetapi Han Han kembali memandang suhu-nya dengan mata terbelalak. Memang gurunya ini seorang aneh, lebih aneh dari pada Setan Botak.

"Pertanyaan yang aneh, akan tetapi sudah semestinya kalau murid-muridku mengenal siapa sesungguhnya guru mereka, terutama sekali Couwsu mereka. Dengarlah baik-baik, murid-muridku, karena sesungguhnya kalian adalah murid-murid dari orang yang bukan sembarangan! Couwsu kalian yang kita puja-puja itu adalah keturunan pangeran, nama lengkapnya adalah Suma Kiat. Ilmu silatnya tinggi bukan main, seperti dewa! Murid-muridnya hanya dua orang, yaitu aku sendiri dan suheng ku yang bernama Suma Hoat, puteranya sendiri, putera tunggalnya. Betapa pun tekun dan rajin aku belajar, namun dibandingkan dengan supek mu (Uwa Gurumu) Suma Hoat itu, aku masih kalah jauh!" Kakek itu menarik napas panjang seolah-olah ceritanya mengingatkan dia akan masa lalu dan membuatnya termenung sejenak.

"Di manakah Supek itu sekarang, suhu?" tanya Kim Cu dengan suara penuh kagum.

"Entahlah, sudah dua puluh tahun lebih aku tidak pernah bertemu dengannya, bahkan tidak pula mendengar namanya. Dia seorang yang suka sekali merantau, seorang petualang tulen yang ingin menikmati hidup ini sebanyak mungkin. Yang terakhir aku bersama Supek kalian itu pergi mencari kakek sakti Koai-lojin untuk mohon bagian ilmu-ilmu yang beliau bagi-bagikan. Aku mendapat dasar-dasar Im-kang sehingga dapat kuciptakan Swat-im Sin-ciang, dan pada saat yang sama Kang-thouw-kwi Gak Liat mendapatkan dasar Yang-kang sehingga ia menciptakan pukulan Hwi-yang Sin-ciang. Ada pun Supek kalian itu mendapatkan lebih banyak lagi. Entah mengapa, agaknya Koai-lojin kakek sakti itu menaruh kasih sayang kepada Supek kalian. Ilmunya menjadi amat tinggi dan sampai lama dia menjagoi di antara semua tokoh kangouw. Dia banyak melakukan hal-hal menggemparkan sehingga dimusuhi tokoh-tokoh kangouw, akan tetapi memang itulah sebuah di antara kesukaannya, yaitu berkelahi!"

Semua murid termasuk Han Han mendengarkan dengan kagum.

"Dan suhu sendiri?" tanya Han Han.

"Aku membantu Sukong kalian, kemudian memperoleh kedudukan. Akan tetapi, Sukong kalian banyak dimusuhi orang kangouw, termasuk aku sebagai muridnya yang setia. Mungkin karena petualangan Supek kalian, atau juga karena kedudukan tinggi dan kepandaian Sukong kalian menarik banyak orang gagah menjadi iri dan memusuhinya. Namun Sukong kalian dan aku selalu mempertahankan diri dan selalu berhasil menghalau mereka yang datang memusuhi kami. Akhirnya, setelah Sukong kalian meninggal dunia, aku tidak mau menghadapi sekian banyaknya musuh seorang diri, apa lagi karena Supek kalian yang dapat diandalkan telah pergi merantau entah ke mana. Aku lalu meninggalkan kedudukanku sebagai pembesar tinggi, merantau pula dan akhirnya aku tinggal di sini, apa lagi setelah Kerajaan Beng-tiauw digulingkan oleh bangsa Mancu. Aku ingin menentang Mancu, akan tetapi sendirian saja, mana mungkin berhasil? Banyak tokoh-tokoh besar seperti Gak Liat itu rela dijadikan penjilat penjajah. Aku tidak sudi dan aku lalu mengumpulkan kalian murid-muridku yang keluarganya telah dibasmi orang Mancu untuk kuwarisi kepandaianku agar kelak dapat menjadi patriot-patriot yang perkasa!”

Cerita itu jelas merupakan singkatan saja. Masih banyak hal-hal yang tersembunyi dan tidak diceritakan oleh Ma-bin Lo-mo. Namun yang ia ceritakan adalah bagian-bagian yang baik sehingga para murid menjadi kagum dan bangkit semangat mereka untuk belajar lebih tekun agar kelak dapat berjuang mengusir penjajah yang tidak saja sudah menjajah negara dan bangsa, juga telah membasmi keluarga mereka.

Mulai hari itu Han Han menjadi murid di In-kok-san dan belajar ilmu silat. Mula-mula, ketika menerima pelajaran-pelajaran pokok, ia berlatih dengan tekun. Akan tetapi setahun kemudian, ia merasa bosan karena pelajaran yang diberikan hanya itu-itu saja dan diulang-ulang kembali. Memang benar bahwa kini ia selalu memakai pakaian baik, makan pun tidak pernah kekurangan, banyak teman dan setiap hari berlatih ilmu silat. Akan tetapi diam-diam Han Han menjadi bosan dan ingin sekali ia bebas seperti dahulu.

Hidup menjadi murid Ma-bin Lo-mo merupakan hidup yang telah diatur dan seolah-olah ia telah dapat melihat bagai mana kelak jadinya dengan dirinya kalau ia berada di situ terus. Ia melihat dirinya seolah-olah logam yang digembleng dan dibentuk oleh Ma-bin Lo-mo! Dan dia tidak suka dirinya dibentuk seperti baja. Tidak suka dia hidupnya diatur oleh orang lain, menjadi dewasa menurut kehendak dan bentukan Ma-bin Lo-mo. Ia ingin bebas!

Di antara murid-murid di situ, dia merupakan murid termuda. Bukan muda usia, tetapi muda karena dialah orang terbaru. Maka lima orang murid perempuan di situ adalah suci-sucinya, dan murid-murid laki-laki adalah suheng-suhengnya. Di antara mereka hanya ada tiga orang murid yang paling ia sukai, dan yang merupakan sahabat-sihabatnya.

Pertama tentu saja adalah Kim Cu yang selalu bersikap manis kepadanya. Kedua adalah seorang suci lain yang usianya sebaya dengan Kim Cu, namanya Phoa Ciok Lin, juga seorang anak yatim-piatu yang orang tuanya dibunuh orang-orang Mancu. Ketiga adalah seorang suheng, usianya baru sebelas tahun, setahun lebih muda dari pada Han Han, namanya Gu Lai Kwan, seorang anak yang selalu gembira, penuh keberanian dan pandai bicara. Dengan tiga orang anak-anak inilah Han Han sering kali bermain-main dan berlatih.

Akan tetapi sering kali, kalau Kim Cu yang lebih pandai dari pada mereka berlatih dengan Ciok Lin atau dengan Lai Kwan, Han Han termenung seorang diri, disiksa rasa rindunya akan kebebasan. Ia ingin merantau, ingin melihat kota raja. Cerita tentang supek mereka amat menarik hatinya. Ia ingin seperti supeknya itu, tukang merantau, petualang dan menikmati hidup sebanyak mungkin. Teringat ia akan bunyi sajak yang menganggap bahwa hidup ini laksana anggur, dan selagi hidup sebaiknya meneguk anggur sebanyaknya, sekenyangnya dan sepuasnya!

Sering kali ia termenung, dan kalau sudah demikian Kim Cu yang selalu mendekatinya dan menegur serta menghiburnya. Kim Cu merupakan satu-satunya kawan yang agaknya mengenal keadaannya.

“Kenapa kau selalu murung, Sute?” Pada suatu petang setelah mengaso dari berlatih, Kim Cu bertanya. Mereka duduk di bawah pohon dan Kim Cu menyusuti peluh yang membasahi leher dan dahinya.

“Tidak apa-apa, Suci. Hanya... ah, aku kepingin sekali berjalan-jalan ke luar, turun gunung agar melihat pemandang lain. Bosan rasanya terus-menerus begini, sudah setahun lamanya...”

“Tunggulah sebulan lagi, Sute. Pada hari raya Sin-cia (Musim Semi atau lebih terkenal dengan istilah Tahun Baru Imlek), biasanya Suhu memperkenankan kita untuk turun gunung selama beberapa hari.”

“Syukurlah kalau begitu. Kim-suci, senangkah engkau di sini?”

Gadis cilik yang kini berusia dua belas tahun itu memandang wajah sutenya yang lebih tua setahun dari padanya, lalu tersenyum manis. “Mengapa tidak senang, Sute? Habis ke mana lagi kalau tidak di sini? Aku sudah tidak mempunyai keluarga seorang pun.”

“Suci, engkau telah mendengar riwayatku, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayatmu. Maukah kau menceritakan riwayatmu kepadaku?”

“Apakah yang dapat kuceritakan? Ayah bundaku tinggal di utara, di sebuah dusun dekat kota raja. Kami diserbu orang-orang Mancu. Ayah bundaku dan tiga orang kakakku dibunuh semua. Aku ditolong Suhu dan dibawa ke sini semenjak aku berusia delapan tahun, empat tahun yang lalu. Nah, hanya itulah yang kuingat.”

“Dan semua Suci dan Suheng itu, apakah mereka itu juga yatim-piatu?”

“Benar.”

“Dan semua ditolong Suhu?”

“Begitulah, hanya engkau seorang yang tidak. Karena itu engkau murid istimewa. Menurut Suhu, kelak engkaulah yang paling hebat di antara kita.”

“Wah, jangan memuji, Suci.”

“Sesungguhnyalah, Sute.” Dengan sikap ramah Kim Cu memegang tangan Han Han. “Ada sesuatu yang aneh pada dirimu. Engkau belum pandai silat namun engkau memiliki tenaga sakti Hwi-yang Sin-ciang. Engkau amat kuat dan pandai, akan tetapi engkau selalu menyangkal dan selalu merendahkan diri. Engkau hebat, Sute.”

Muka Han Han menjadi merah dan ia menarik tangannya. Jantungnya berdebar dan ia membenci diri sendiri mengapa ia menjadi begitu girang mendengar pujian Kim Cu. Untuk mengalihkan percakapan, ia cepat bertanya.

“Tiga orang suheng yang cacad itu, apakah mereka menjadi korban orang-orang Mancu?”

“Ah, belum tahukah engkau? Tidak, mereka itu adalah murid-murid yang mengalami hukuman.”

“Hukuman? Siapa yang menghukum mereka?”

“Siapa lagi kalau bukan Suhu? Kumaksudkan, Suhu yang menjatuhkan hukuman, tentu saja murid-murid lain yang melaksanakannya. Siauw-sute itu, yang kedua telinganya buntung, dijatuhi hukuman potong kedua daun telinga karena dia berani melanggar larangan dan mendengarkan Suhu ketika Suhu bercakap-cakap di dalam pondoknya dengan seorang tamu, sahabat Suhu.”

“Wah...!” Han Han juga tahu akan larangan mendengarkan atau mengintai suhu mereka kalau sedang berada di pondok. “Siapa yang melaksanakan?”

“Aku.”

“Hah...?” Han Han memandang sucinya dengan mata terbelalak.

Kim Cu tersenyum geli. “Mengapa?”

“Kau... kau tega melakukan itu...? Kau... mengapa begitu kejam...?”

Kim Cu menggeleng kepala. “Sama sekali tidak, Sute. Aku hanya mentaati perintah Suhu dan syarat utama seorang murid harus taat kepada gurunya. Pula, aku melakukan hal itu sama sekali bukan karena kejam atau tidak tega, melainkan sebagai pelaksanaan hukuman yang harus diterima oleh Siauw-sute. Setelah membuntungi kedua daun telinganya, aku pula yang merawatnya sampai sembuh.”

“Dia... tidak mendendam kepadamu?”

“Ah, tidak sama sekali. Dia mengerti bahwa dia harus menjalani hukuman itu.”

“Dan... yang lengannya buntung?”

“Kwi-suheng? Dia telah mencuri baca kitab milik Suhu tanpa ijin. Hal itu dianggap mencuri dan karena lengannya yang mencuri kitab, maka lengannya dibuntungkan.”

“Yang buntung kakinya?”

“Lai-suheng? Ia hendak minggat, tetapi lalu tertangkap. Karena kakinya yang melarikan diri, maka sebelah kakinya dibuntungkan.”

Han Han bergidik.

Kim Cu berkata lagi, “Akan tetapi cacad mereka tidak menjadi halangan karena Suhu tidak membenci mereka, malah mengajarkan ilmu yang khusus untuk mereka. Kami semua diajar ilmu-ilmu yang khusus disesuaikan dengan keadaan dan bakat kita. Ilmu silat dasar memang sama, akan tetapi perkembangannya berlainan. Suhu memiliki ilmu-ilmu yang amat banyak.”

“Hemmm..., sungguh ganjil. Tamu tadi, yang bicara dengan Suhu di pondok, siapakah dia? Sudah setahun aku tidak pernah melihat ada tamu datang.”

Kini Kim Cu memandang ke kanan kiri, kelihatannya jeri dan takut. “Tamu itu seorang manusia yang hebat, dan kata Suhu ilmunya melampaui tingkat Suhu. Dia itu adalah Ibu Guru dari Suhu...”

“Apa...? Suhu masih mempunyai Ibu Guru? Kalau begitu, dia isteri Suma-sukong itu...?”

Kim Cu mengangguk. “Tidak ada yang tahu jelas. Pernah dalam keadaan mabuk Suhu bercerita bahwa Sukong mempunyai banyak sekali isteri dan agaknya Ibu Guru yang ini adalah isteri yang paling muda. Lihainya bukan main, bahkan Suhu amat takut kepadanya. Suhu masih mencinta kita dan melakukan hukuman berdasarkan pelanggaran. Kalau Sian-kouw itu...”

“Kau menyebutnya Sian-kouw (Ibu Dewi)?”

Kim Cu mengangguk dan menelan ludah, agaknya hatinya tegang membicarakan wanita itu. “Kita para murid Suhu diharuskan taat kepadanya dan menyebutnya Sian-kouw. Namanya tak pernah disebut Suhu, akan tetapi julukannya adalah Toat-beng Ciu-sian-li (Dewi Arak Pencabut Nyawa).”

Han Han bergidik. “Mengapa Ciu-sian-li (Dewi Arak)?”

“Ke mana-mana dia membawa guci arak dan hampir selalu mabuk. Akan tetapi makin mabuk makin lihai dia. Sudahlah, Sute, tidak baik kita bicara tentang Sian-kouw...”

“Kalau begitu kita bicara tentang tokoh-tokoh lain, Suci. Ceritakanlah kepadaku tentang tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw. Aku ingin sekali mendengar dan aku suka mendengar akan petualangan mereka, terutama sekali Supek yang disebut-sebut oleh Suhu, putera dari Sukong itu.”

“Banyak sekali tokoh-tokoh besar yang pernah diceritakan suhu kepada kami. Mengenai tokoh-tokoh yang dikenal Suhu, kiraku Sian-kouw itulah yang paling lihai ilmunya. Menurut Suhu, Sian-kouw banyak mewarisi ilmu silat Sukong. Akan tetapi banyak sekali tokoh-tokoh besar yang penuh rahasia dan amat aneh, yang tidak pernah dikenal Suhu namun sudah terkenal namanya di jaman dahulu.”

“Seperti Koai-lojin (Kakek Aneh) yang pernah disebut Suhu dahulu? Yang suka membagi-bagi ilmu?”

Kim Cu mengangguk. “Benar, dialah merupakan orang pertama yang agaknya menduduki tempat paling atas dari segala golongan. Baik golongan yang menyebut dirinya golongan bersih mau pun golongan yang disebut golongan sesat.”

“Kita ini masuk golongan mana?”

Kim Cu tersenyum. Manis sekali kalau gadis itu tersenyum, pikir Han Han dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah ketika ia sadar bahwa perasaannya ini benar-benar tidak sopan dan tidak patut!

“Kita ini golongan sesat, begitulah menurut pendapat dunia kangouw seperti yang diceritakan Suhu. Akan tetapi, apa artinya sebutan-sebutan itu? Tentu mereka yang tidak suka kepada golongan kita yang menyebutnya sesat. Apakah artinya sesat? Dan siapa yang tidak sesat?”

Han Han menjadi bingung. “Ceritakanlah tentang Koai-lojin itu, Suci.”

“Menurut suhu, dia itu merupakan manusia dewa yang tak diketahui tempat tinggalnya oleh siapa pun. Juga usianya tidak ada yang tahu, mungkin dua ratus tahun, mungkin lebih atau kurang. Tingkat kepandaiannya pun tidak ada yang dapat mengukurnya, akan tetapi seluruh tokoh tingkat tinggi masih membutuhkan ilmu darinya. Juga tidak ada yang tahu dia itu sekarang sudah mati ataukah masih hidup. Sejak dahulu semua tokoh besar selalu mencari-carinya, termasuk Suhu sendiri. Namun tak pernah ada yang berhasil.”

“Seperti dongeng saja...” kata Han Han kagum.

“Memang seperti dongeng, dan bukan hanya nama Koai-lojin itu saja pernah didongengkan suhu. Menurut suhu, dunia kang-ouw pada jaman Sukong masih muda, lebih seratus tahun yang lalu, atau bahkan dua ratus tahun yang lalu, memang seperti dongeng karena, menurut Suhu pada waktu itu hidup tokoh-tokoh yang memiliki ilmu kepandaian silat seperti dewa saja! Suma-sukong sudah hebat kepandaiannya, akan tetapi Ayah Sukong kabarnya lebih luar biasa lagi dan tokoh-tokoh di jaman itu malah banyak yang memiliki ilmu silat aneh-aneh. Yang amat terkenal kabarnya adalah pendekar sakti Suling Emas yang kabarnya menerima ilmu-ilmunya dari manusia dewa Bu Kek Siansu!”

“Manusia Dewa? Namanya Bu Kek Siansu? Mengapa disebut manusia dewa?”

“Entahlah. Siapa tahu? Menurut dongeng Suhu, ada yang mengabarkan bahwa Koai-lojin kakek aneh itu pun menerima ilmu-ilmu dari manusia dewa itu. Masih ada lagi nama-nama tokoh besar dalam dongeng, seperti pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang sesungguhnya adalah Puteri Ratu Khitan. Antara Mutiara Hitam dan Suling Emas ini masih ada pertalian hubungan keluarga yang dekat, entah bagai mana. Akan tetapi menurut suhu, keluarga Suling Emas ini amat hebat dan menurunkan orang-orang yang sukar dilawan. Suma-sukong yang berkepandaian seperti dewa itu pun masih ada hubungan keluarga dengan Pendekar sakti Suling Emas, tapi entah bagai mana.”

Han Han mendengarkan penuh kekaguman dan melamun. Di dunia ini banyak terdapat orang-orang pandai seperti itu. Kalau dia hanya bersembunyi di In-kok-san saja, mana mungkin ia bertemu dengan orang-orang pandai yang kepandaiannya melebihi tingkat Setan Botak atau Setan Muka Kuda yang kini menjadi gurunya?

“Heiiii, Sute dan Sumoi, kenapa kalian enak mengobrol saja? Hayo kita berlatih!” Terdengar seruan Lai Kwan yang datang berlari-lari sambil bergandengan tangan dengan Ciok Lin, menghampiri Kim Cu dan Han Han. Dua orang anak ini lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dengan muka berseri.

“Sie Han Sute bertanya tentang Suma-sukong dan tokoh-tokoh aneh dalam dongeng yang diceritakan Suhu,” kata Kim Cu.

Gu Lai Kwan yang berwatak gembira itu tertawa bergelak dan menepuk-nepuk pundak Han Han. “Eh, Sute, apakah engkau ingin menjadi seorang yang sakti seperti Suma-sukong? Mana mungkin? Ilmu kepandaian suhu tentu saja kurang cukup mengajarmu menjadi seorang sakti seperti Suma-sukong!”

“Agaknya baru mungkin kalau engkau mendapat hadiah ilmu-ilmu dari Koai-lojin, Sute,” Kim Cu ikut pula menggoda. “Atau ketemu dengan manusia dewa Bu Kek Siansu!”

“Ha-ha-ha!” Lai Kwan tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya. “Untuk bertemu dengan dewa-dewa dalam dongeng itu, agaknya Sute harus berangkat ke nirwana, karena mereka kini tentu telah berada di sana.”

Han Han diam saja. Akhirnya Kim Cu yang menaruh kasihan menarik tangannya dan berkata menghibur, “Sudahlah, Sute. Jika kita belajar dengan tekun di bawah bimbingan Suhu, kelak pun kita akan dapat menjadi orang-orang gagah. Siapa orangnya yang tak ingin menjadi sakti seperti Suma-sukong? Akan tetapi pada jaman ini kiranya tidak akan ada orangnya yang dapat mengajar kita...”

Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh yang sekaligus membuat ucapan Kim Cu terputus. “Hih-hih-hih-he-he-he! Dua pasang anak-anak yang elok dan bersemangat! Kalian ingin menjadi seperti Suma Kiat? Akulah orangnya yang akan dapat membimbing kalian menjadi selihai dia, dan mulai saat ini kalian berempat menjadi muridku!”

Empat orang anak itu cepat membalikkan tubuh dan kiranya di depan mereka telah berdiri seorang nenek yang amat aneh. Begitu melihat nenek ini, Kim Cu, Ciok Lin dan Lai Kwan cepat-cepat menjatuhkan diri, berlutut dan mengangguk-angguk penuh hormat sambil menyebut, “Sian-kouw...!”

Kim Cu menarik kaki Han Han dan anak ini pun cepat menjatuhkan diri berlutut di samping Kim Cu. Han Han tadi terkejut mendengar sebutan tiga orang temannya, dan dari bawah ia mengerling ke atas penuh perhatian.

Nenek itu benar-benar amat aneh dan menyeramkan. Melihat wajahnya yang kurus penuh keriput, masih dapat diduga bahwa dahulunya dia tentu seorang wanita cantik sekali. Kini muka itu penuh keriput, rambutnya sudah putih semua terurai ke belakang dan disisir rapi, mukanya bersih dan diselimuti bedak putih, mulut yang tak bergigi lagi itu kelihatan selalu tersenyum, senyum mengejek dan memikat.

Yang hebat adalah kedua telinganya. Kedua telinga ini dihias dengan rantai besar dari perak, yang kanan agak pendek terdiri dari sembilan lingkaran mata rantai, yang kiri dua kali lebih panjang. Mata rantainya besar-besar seperti gelang tangan dan setiap kali kepalanya bergoyang, terdengarlah suara gemerincing yang amat nyaring. Tubuhnya yang kecil langsing itu masih seperti tubuh wanita muda, memakai pakaian dari sutera yang mahal dan mewah sungguh pun potongannya ketinggalan jaman. Di tangan kanannya tampak sebuah guci arak yang mengeluarkan bau harum dan amat keras. Muka yang putih keriputan itu agak merah di kedua pipi dan di pinggir mata, tanda bahwa nenek itu dalam keadaan terpengaruh hawa arak!

“Hi-hi-hik, aku suka mendengar semangat kalian! Aku akan mengajar kalian menjadi seperti Suma Kiat! Hi-hik, yang dua laki-laki akan menjadi seperti Suma Kiat, dan yang dua perempuan akan menjadi seperti aku di waktu muda. Hebat!” Tiba-tiba nenek itu lalu berpaling ke arah pondok dan suaranya melengking nyaring, “Heiiiii, Siangkoan Lee...! Ke sinilah kamu...!”

Ketika berseru memanggil ini, sikap Si Nenek Tua seperti seorang puteri memanggil hambanya. Kemudian ia menenggak araknya dari guci arak, caranya minum arak dengan menggelogok begitu saja dan kasar sehingga ada dua tiga tetes arak tumpah dari ujung bibirnya.

“Teecu datang menghadap...!” Suara ini bergema dan datangnya dari arah pondok disusul berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu Ma-bin Lo-mo sudah berada di situ, berdiri membungkuk penuh hormat kepada nenek tua itu.

“Harap Sian-kouw sudi maafkan, karena tidak tahu akan kedatangan Sian-kouw, maka teecu terlambat menyambut.”

Sikap dan kata-kata Si Muka Kuda benar-benar amat menghormat, seperti seorang murid terhadap ibu gurunya. Hal ini saja sudah menjadi bukti bagi Han Han yang amat memperhatikan sejak tadi bahwa nenek aneh ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat, jauh lebih hebat dari pada kepandaian Si Muka Kuda. Teringat ia akan cerita Kim Cu bahwa nenek ini berjuluk Toat-beng Ciu-sian-li (Dewa Arak Pencabut Nyawa)!

“Siangkoan Lee, aku datang untuk memberitahukan hal penting kepadamu. Akan tetapi lebih dulu aku beritahukan bahwa empat orang anak ini, dua pasang yang elok, mulai saat ini menjadi murid-muridku dan aku sendiri yang akan mendidik mereka menjadi Suma Kiat kecil dan Bu Ci Goat kecil!”

Ma-bin Lo-mo mengangguk. “Terserah kepada Sian-kouw dan hal itu hanya berarti bahwa nasib mereka ini amatlah baik.”

“Karena mereka telah menjadi murid-muridku yang akan kudidik dan latih di tempatmu ini, maka mereka bukan orang lain dan biar mereka ikut mendengarkan. Siangkoan Lee, engkau harus cepat-cepat bersiap karena kini pemerintah Boan (Mancu) sudah mulai berusaha mencari Pulau Es. Celakalah kalau sampai kita kedahuluan mereka! Semua orang gagah juga sudah sibuk dan sudah dimulai lagi perlombaan mencari Pulau Es yang sudah puluhan tahun dianggap lenyap dari permukaan laut itu.”

Ma-bin Lo-mo mengerutkan keningnya dan wajahnya berubah keruh. “Ah, apa saja yang tidak dilakukan anjing-anjing penjajah itu?! Dan sudah tentu Gak Liat Si Setan Botak itu menjadi pelopor, menjadi anjing penjilat penjajah.”

“Soal Gak Liat mudah saja. Kalau aku turun tangan, apakah dia masih berani banyak cakap lagi? Yang penting, sekarang engkau harus dapat meneliti gerak mereka. Pemerintah baru ini telah membangun sebuah kapal besar. Maka engkau cepat pergilah melakukan persiapan, mencari anak buah dan mengusahakan sebuah perahu besar. Kalau mungkin supaya dapat mulai bekerja sehabis musim semi, jadi paling lama dua bulan lagi.”

Ma-bin Lo-mo mengangguk-angguk.

“Sudahlah, kau boleh membuat persiapan dan aku akan mulai mengajar kouw-koat (teori silat) kepada empat muridku yang tampan-tampan dan manis-manis. Pondok terbesar untuk aku dan murid-muridku!” kata pula Si Nenek.

Ma-bin Lo-mo kembali mengangguk-angguk lalu berkelebat pergi. Nenek itu lalu melangkah ke arah pondok besar sambil memberi isyarat dengan lirikan mata dan senyum yang dahulunya, puluhan tahun yang lalu, tentu akan amat manis tampaknya, akan tetapi sekarang kelihatan menyeramkan seperti kalau orang melihat seorang gila tersenyum-senyum. Empat orang anak itu saling pandag, kemudian Kim Cu yang agaknya paling tabah, juga di antara mereka berempat dialah murid yang tertua dalam kedudukan, memberi tanda dengan anggukan kepala. Tiga orang adik seperguruannya lalu bangkit dan bersama dia mengkuti nenek itu memasuki pondok.

“Kalian semua sudah pernah disumpah, bukan?” tanya nenek ini setelah dia duduk di atas pembaringan di dalam pondok, sedangkan empat orang muridnya itu berlutut di atas lantai.

Empat orang anak itu mengangguk.

“Syarat-syarat dan hukum-hukumnya tidak berubah, hanya kini akulah guru kalian dan aku pula yang akan menjalankan keputusan hukum terhadap setiap pelanggaran. Biar pun kalian menjadi muridku, namun kalian harus tetap menyebut Sian-kouw dan kelak tidak ada yang boleh menyebut namaku sebagai guru. Pelanggaran ini akan dihukum dengan pemenggalan kepala. Tahu?”

Empat orang anak itu mengangguk-angguk kembali, akan tetapi di hatinya Han Han mengomel. Guru macam apa ini? Tidak mau diaku sebagai guru. Mana pertanggungan jawabnya? Timbullah rasa tidak suka di hatinya, akan tetapi karena ia tahu bahwa nenek itu lihai sekali dan dia mulai suka mempelaiari ilmu-ilmu yang aneh-aneh seperti tokoh-tokoh dalam dongeng yang ia dengar dari Kim Cu, maka ia pun menyimpan saja perasaan tak senang itu dalam hatinya.

“Gerak silat boleh kalian latih terus seperti yang telah kalian pelajari dari Siangkoan Lee. Yang penting, aku akan mengajarkan kalian menghimpun sinkang, karena dengan kuatnya sinkang di tubuh, maka kalian akan dapat melatih segala macam ilmu silat dengan mudah. Lihatlah aku! Aku sudah berusia delapan puluh tahun paling sedikit! Akan tetapi lihat wajahku. Masih muda dan cantik, bukan?”

Nenek itu menggoyang-goyang muka ke kanan kiri agar murid-muridnya dapat melihat mukanya dari berbagai jurusan. Kemudian ia bangkit berdiri di atas pembaringan sambil bertolak pinggang dan menggoyang-goyang pinggangnya ke kanan kiri sambil berkata, “Lihat pula tubuhku. Masih seperti seorang dara remaja, bukan? Nah, inilah berkat kekuatan sinkang yang hebat!” Ia duduk kembali.

Han Han tertawa geli di dalam hatinya. Celaka, pikirnya, biar pun lihai, kiranya guru yang baru ini seorang yang miring otaknya!

“Golongan kami mengutamakan Im-kang, karena itulah maka Siangkoan Lee menciptakan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang mengandung tenaga Im-kang. Jangan kalian memandang rendah sinkang dingin ini, karena kalau sudah dapat menguasai dengan sempurna, kalian akan dapat membunuh setiap orang lawan hanya dengan sebuah pukulan. Sekali pukul, biar pun tangan tidak mengenai tubuh lawan, cukup membuat darah di tubuh lawan membeku, jantungnya berhenti berdenyut dan tentu dia mampus seketika. Lihat baik-baik ini!”

Nenek itu mengangkat cawannya dan menuangkan arak ke mulut, terus ditelan. Kemudian mulutnya menyemburkan ke atas dan berdetakanlah butir-butir es keluar dari perutnya melalui mulut, bertebaran di atas lantai!

“Im-kang yang sudah amat kuat dapat membuat air panas seketika menjadi butiran es, dapat membuat air membeku, juga darah di tubuh lawan dapat dibikin beku dengan pukulan yang mengandung Im-kang kuat. Nah, sekarang kalian harus mulai belajar semedhi untuk menghimpun Im-kang.”

Setelah memberi pelajaran teori tentang ilmu silat dan semedhi, nenek itu lalu meninggalkan empat orang muridnya di dalam pondok dengan perintah bahwa mereka harus berlatih semedhi dan tidak boleh berhenti sebelum diperintah! Dan ternyata kemudian bahwa nenek itu tidak memerintahkan empat orang muridnya menghentikan latihan siulian sebelum dua hari dua malam!

Dapat dibayangkan betapa hebatnya penderitaan mereka. Bagi Han Han hal seperti itu biasa saja karena memang dalam tubuh anak ini terdapat suatu kelebihan yang tidak wajar, dan dia memiliki kemauan yang luar biasa pula. Akan tetapi tiga orang temannya amat sengsara. Biar pun begitu, Kim Cu dan teman-temannya tidak ada yang berani melanggar karena mereka maklum betapa kejamnya hukuman bagi pelanggar.

“Bagus, kalian memang patut menjadi muridku!” Demikian nenek itu memuji dengan suara gembira.

Dan sesungguhnya nenek itu sama sekali bukan ingin menyiksa empat orang murid barunya, melainkan hendak menguji mereka. Setelah memberi kesempatan mereka makan dan mengaso, nenek itu mulai memberi penjelasan tentang latihan semedhi yang akan dapat menghimpun sinkang mereka, bahkan ia sendiri turun tangan ‘mengisi’ mereka dengan sinkang-nya untuk membuka jalan darah mereka seorang demi seorang.

Akan tetapi ketika tiba giliran Han Han, nenek itu terkejut setengah mati. Seperti tiga orang murid lain, Han Han disuruhnya duduk bersila dan dia lalu menempelkan tangannya pada punggung anak itu, lalu mengerahkan Im-kang untuk disalurkan ke dalam tubuh anak itu, membantu anak itu agar dapat membangkitkan tan-tian yang berada di dalam pusar.

Harus diketahui bahwa setiap manusia mempunyai tan-tian ini, yang merupakan pusat bagi tenaga dalam di tubuh manusia. Hanya bedanya, tanpa latihan maka tan-tian ini akan menjadi lemah dan tidak dapat dipergunakan, hanya melakukan tugas menjaga tubuh manusia dari dalam, bekerja diam-diam menciptakan segala macam obat yang diperlukan oleh tubuh manusia. Namun dengan latihan semedhi dan peraturan napas dengan cara tertentu, tan-tian menjadi kuat dan hawa sakti akan timbul dan dapat dikuasai.

Nenek itu mengerahkan Im-kang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia merasa betapa Im-kang yang ia salurkan itu tiba-tiba ‘macet’ dan berhenti penyalurannya.

“Aihhhhh...! Di mana kau belajar mengerahkan sinkang untuk melawanku?”

Han Han juga kaget. Cepat ia menyimpan kembali hawa yang timbul secara otomatis dan di luar kesadarannya itu sambil berkata, “Maaf, Sian-kouw. Teecu hanya pernah belajar dari Lauw-pangcu dan dari Suhu Siangkoan Lee.”

“Hemmm, kau jauh lebih kuat dari saudara-saudaramu. Sekarang kosongkan tubuhmu dan jangan melawan.”

Kim Cu dan teman-teman lain pada dasarnya belum memiliki sinkang sehingga dapat menerima Im-kang yang tersalur dari nenek itu secara wajar. Berbeda dengan Han Han yang merasa tersiksa sekali, dia merasa betapa tubuhnya dijalari hawa dingin yang seolah-olah hendak meremukkan tulang-tulangnya. Ia memaksa diri tidak melawan akan tetapi ketika Im-kang itu menyusup sampai ke pusarnya, otomatis hawa sakti di pusarnya bergerak dan menolak.

“Nah, latihlah dengan tekun. Engkau masih belum dapat menguasai tenagamu sendiri,” akhirnya nenek itu berkata setelah memberi penjelasan kepada empat orang muridnya.

Cara nenek ini melatih sungguh amat jauh bedanya dengan cara Ma-bin Lo-mo melatih murid-muridnya. Nenek ini melatih secara langsung dan kemajuan yang diperoleh empat orang murid ini memang cepat dan hebat. Akan tetapi bagi Han Han, latihan yang diperolehnya ini amat menyiksa dan ia tidak pernah berhasil karena selalu terjadi pertentangan dan perlawanan dalam tubuhnya antara hawa Im dan hawa Yang, hawa yang dia peroleh dari latihan diam-diam ketika ikut Kang-thouw-kwi.

Dan cara nenek ini memberi contoh melatih siulian juga amat jauh bedanya dengan yang diberikan Lauw-pangcu dan yang ia baca dari kitab-kitab. Misalnya tentang pemusatan pikiran. Lauw-pangcu mengajarnya untuk bersemedhi dengan memusatkan pikiran pada pernapasannya sendiri, yang oleh Lauw-pangcu disebut bersemedhi sambil menunggang naga sakti.

Yang diumpamakan naga sakti adalah pernapasan sendiri yang keluar masuk melalui hidung, dengan napas panjang-panjang sesuai dengan aturan bernapas dalam semedhi. Latihan ini dapat membuat pikirannya terpusat sehingga akhirnya dapat membuat ia mudah menguasai pribadinya sehingga terbukalah jalan untuk menghimpun tenaga sakti di dalam tubuhnya. Sungguh pun cara yang dipergunakan Lauw-pangcu ini berbeda dengan cara-cara yang ia kenal dari kitab kuno, namun tidaklah menyimpang.

Banyak cara yang terdapat dalam kitab-kitab tentang pelajaran semedhi, sesuai dengan kebiasaan dan agama yang mengajarkan soal semedhi. Kaum beragama To menganjurkan agar dalam semedhi, orang selalu menujukan pikirannya kepada Thai-siang-lo-kun dengan mantera yang disebut berulang kali: Gwan-si-thian-cun, Thong-thian-kauw-cu, Thai-siang-lo-kun. Bagi yang beragama Buddha menujukan pikirannya kepada Sang Buddha dan membaca mantera: Lam-bu-hut, Lam-bu-kwat, Lam-bu-ceng. Dan bagi para pemuja Khong-cu menujukan pikiran kepada Thian dengan mantera: Hwi-le-but-si, Hwi-le-but-thing, Hwi-le-but-gan, Hwi-le-but-thong. Kesemuanya itu untuk mencegah agar panca inderanya jangan melantur, agar pikiran jangan menyeleweng sehingga dapat dipusatkan.

Akan tetapi yang diajarkan Toat-beng Ciu-sian-li lain lagi. Nenek ini menasehatkan agar murid-muridnya dalam bersemedhi mengikuti saja ke mana jalan pikirannya melayang, kemudian kalau sudah mendapat sesuatu yang disenangi, terus-menerus memikirkan hal ini, tidak peduli hal ini dianggap baik atau pun buruk.

“Kalau engkau suka membayangkan tubuh seorang wanita telanjang dan kau menikmati bayangan itu, tujukan pikiranmu ke situ! Kalau engkau menaruh dendam kepada seseorang dan bayangan orang itu selalu tampak, tujukan pikiranmu mengingat dendammu! Yang penting tujukanlah pikiran kepada hal yang menjadi perhatian pikiranmu dan demi kesenangan hatimu. Dengan demikian engkau akan dapat menguasai pikiranmu.”

Memang cara yang aneh, akan tetapi sesungguhnya jauh lebih mudah dilaksanakan dari pada ajaran-ajaran yang lain karena memang pikiran itu amat sukar dikendalikan. Justeru pelajaran nenek itu tidak mengharuskan si murid mengendalikan pikiran, bahkan disuruh membebaskan pikiran ke mana ia melayang!

Tanpa disadarinya, mulailah Han Han tenggelam makin dalam ke cara-cara kaum sesat mengejar ilmu silat dan kesaktian. Dan memang cara yang dipergunakan kaum sesat ini lebih menarik dan lebih mudah dilaksanakan. Makin sering Han Han melatih diri secara ini, makin sukarlah baginya kalau ia hendak memusatkan pikiran melalui atau menggunakan cara-cara kaum bersih seperti yang ia baca dalam kitab atau seperti yang pernah ia latih dibawah bimbingan Lauw-pangcu.

Sebulan lewat dengan cepat. Sin-cia atau perayaan menyambut musim semi tiba. Murid-murid In-kok-san diberi kebebasan selama tiga hari untuk pergi ke mana mereka suka. Mereka malah diberi pakaian-pakaian baru dan diberi bekal uang untuk berfoya-foya ke bawah gunung. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri sedang sibuk mempersiapkan perahu besar untuk melaksanakan tujuan yang diperebutkan kaum kang-ouw, yaitu mencari Pulau Es yang terahasia. Juga Toat-beng Ciu-sian-li tidak tampak di puncak In-kok-san, entah ke mana perginya tidak ada orang mengetahui.

Han Han tadinya diajak oleh Kim Cu untuk berpesiar ke kaki gunung sebelah selatan. Akan tetapi Han Han menolaknya dan seorang diri ia turun dari puncak menuju ke utara. Keadaannya kini jauh bedanya dengan hampir setahun yang lalu. Setahun yang lalu ia berpakaian compang-camping penuh tambalan seperti pakaian seorang pengemis. Akan tetapi kali ini pakaiannya indah dan bersih, rambutnya tersisir rapi dan diikat di atas kepala. Usianya sudah tiga belas tahun dan ia kelihatan tampan dan gagah. Tubuhnya tegap dan berisi, membayangkan kekuatan. Han Han kelihatan seperti seorang kongcu muda yang berpesiar seorang diri, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum-senyum. Berjalan seorang diri, timbul pula kegembiraan hatinya karena ia merasa bebas lepas seperti burung di udara.

Ia melakukan perjalanan menuruni bukit dan menjelang senja ia sudah berada jauh di sebelah utara kaki bukit. Dengan hati gembira Han Han memasuki sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Seperti juga kota-kota dan dusun lain pada hari itu, penduduk dusun itu merayakan hari raya Sin-cia dengan meriah. Apa lagi dusun itu merupakan dusun kaum petani. Musim semi merupakan musim yang dinanti-nanti dan dicinta, karena musim ini menjadi harapan para petani agar mendatangkan kemakmuran bagi mereka. Musim semi adalah musim bercocok tanam, maka disambutlah musim semi sebagai menyambut seorang dewa yang membagi-bagikan rejeki kepada mereka.

Menyaksikan kegembiraan dan kemeriahan dusun itu, Han Han menjadi gembira sekali. Wajah semua orang nampak berseri, terutama sekali anak-anak berpakaian serba baru, kelihatan riang gembira, berlari-larian dan bermain-main setelah perut mereka terisi kenyang dengan hidangan-hidangan istimewa, tangan mereka membawa main-mainan yang dihadiahkan oleh orang tua mereka.

Akan tetapi betapa heran hati Han Han ketika ia melalui sebuah rumah gedung yang berpekarangan lebar, ia mendengar suara anak perempuan menangis! Suara tangis ketakutan disusul bentakan-bentakan suara laki-laki kasar dan parau. Saking herannya, apa lagi karena hatinya tergerak penuh rasa iba kepada anak yang menangis, Han Han lupa diri dan memasuki pintu gerbang pekarangan itu. Padahal kalau dalam keadaan biasa, ia tidak akan berani melakukan hal yang tidak sopan ini, memasuki tempat kediaman orang tanpa ijin!

Begitu memasuki pintu gerbang, alis Han Han berkerut. Ia melihat seorang gadis cilik, paling banyak sepuluh tahun usianya, berpakaian compang-camping penuh tambalan sedang berdiri dan menangis, menyusuti air mata yang membasahi kedua pipi yang pucat dengan jari-jari tangannya yang kotor.

Seorang laki-laki yang bermuka kejam, berpakaian sebagai seorang jago silat atau seorang tukang pukul berdiri dengan muka merah di atas anak tangga. Tangan kanannya bertolak pinggang di atas sebatang golok besar yang tergantung di pinggang, tangan kirinya menuding-nuding dengan marahnya sambil membentak-bentak.

“Maling cilik! Bocah hina! Kalau tidak lekas minggat, kuhancurkan kepalamu!”

Anak itu menggigil seluruh tubuhnya. “Aku... tidak mencuri apa-apa...”

“Tidak mencuri, ya? Kau hendak maling buah dan bunga, masih berani bilang tidak mencuri? Mau apa kau memanjat pohon ang-co (korma) tadi?”

“Aku... aku ingin makan buahnya... dan ingin memetik sedikit bunga, masa tidak boleh?”

“Setan alas! Masih banyak membantah?” Laki-laki itu lalu melangkah maju dan mencengkeram baju anak perempuan itu. Sekali ia menggerakkan tangan kiri yang mencengkeram, tubuh anak itu terangkat ke atas.

Anak itu terbelalak ketakutan memandang wajah yang begitu bengis menakutkan, yang amat dekat dengan mukanya. Mata anak perempuan itu amat lebar, dan karena muka dan tubuhnya kurus, mata itu kelihatan makin lebar.

Tiba-tiba laki-laki itu menyeringai. “Eh, engkau cantik juga, ya? Mukamu manis, kulitmu halus putih...! Hemmm, sayang engkau masih begini kecil, dan kurus...” Kini tangan kanan laki-laki itu meraba-raba ke dada anak yang tergantung itu secara kurang ajar.

“Ah, masih terlalu kecil... kalau kau lebih besar dua tahun lagi, hemmm... hebat juga...!”

“Lepaskan aku...! Lepaskan...!” Anak itu meronta-ronta.

“Ha-ha, tentu saja kulepaskan kau. Minggat!” Laki-laki itu lalu melontarkan tubuh itu ke arah pintu gerbang.

Han Han cepat menggerakkan tubuh dan menangkap tubuh anak perempuan itu. Ia lalu menurunkan tubuh anak perempuan yang menggigil ketakutan dan menangis itu, kemudian melangkah maju sambil memandang laki-laki yang kejam tadi dengan sinar mata penuh kebencian.

“Kau manusia berhati keji, pengecut rendah yang hanya berani menghina anak perempuan kecil!” Han Han memaki.

Laki-laki itu terbelalak heran dan kaget ketika melihat tubuh anak perempuan itu tahu-tahu disambar oleh seorang pemuda tanggung. Melihat pakaian pemuda itu, laki-laki yang bekerja sebagai pengawal dan tukang pukul di gedung itu mengira bahwa Han Han adalah putera seorang berpangkat atau hartawan, maka ia berkata.

“Kongcu siapakah dan hendak mencari siapa? Harap jangan pedulikan jembel busuk ini!”

“Keparat! Hayo lekas berlutut dan mohon ampun kepadanya!” Han Han menuding ke arah anak itu.

Merah muka si tukang pukul. “Apa? Engkau siapakah?”

“Aku seorang pelancong yang kebetulan lewat dan menjadi saksi kekejamanmu.”

“Wah-wah, lagaknya. Habis, kau mau apa kalau aku tidak mau minta ampun?” Tukang pukul itu mengejek dan berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Tentu saja ia memandang rendah pemuda tanggung yang kelihatan lemah ini.

“Kalau tidak mau, aku akan memaksamu!”

“Ha-ha-ha! Engkau bosan hidup? Baik, mampuslah!”

Tukang pukul yang mengandalkan kekuatan dan ilmu silatnya ini sudah menerjang maju dengan sebuah tendangan kilat ke arah dada Han Han. Melihat gerakan orang itu masih amat lambat, Han Han tidak menjadi gugup. Ia mengatur langkah, menggerakkan tubuhnya miring mengelak dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka ia hantamkan ke arah kaki yang menendang.

“Krakkk...! Aauggghhh...!” Tubuh laki-laki itu terpelanting dan ia meringis kesakitan karena tulang betisnya telah patah!

“Tidak lekas minta ampun?” Han Han membentak dan di dalam hatinya anak ini merasa puas. Wajah laki-laki itu baginya seolah-olah berubah menjadi wajah perwira muka kuning dan muka brewok, dan anak perempuan itu mengingatkan ia akan cici-nya dan juga ibunya yang sudah diperhina dan diperkosa perwira-perwira tadi.

“Setan kecil!” Tukang pukul itu tentu saja tidak mau terima dan biar pun kakinya terasa nyeri, ia sudah meloncat bangun, golok besar terpegang di tangannya.

Sambil menggereng seperti harimau terluka ia meloncat terpincang-pincang, menggunakan goloknya membacok. Biar pun dia pandai ilmu silat, akan tetapi ilmu silatnya hanyalah ilmu silat tukang pukul rendahan, sedangkan Han Han, biar pun tidak pandai silat namun dia telah dibimbing oleh orang-orang sakti yang berilmu tinggi. Dengan mudah Han Han mengelak dan kini karena dorongan hawa marah, tangan kanannya memukul ke arah kepala orang itu.

“Prokkk...!” Tubuh orang itu terbanting, goloknya terlempar dan kepalanya pecah!

Di luar kesadarannya, Han Han yang amat marah itu telah menggunakan tenaga yang timbul karena latihan Hwi-yang Sin-ciang! Dia terbelalak dengan muka pucat, sejenak seperti arca memandang ke arah mayat orang itu yang menggeletak dengan kepala pecah, muka penuh darah, amat mengerikan.

Tiba-tiba ia mendengar tangis terisak-isak. Cepat ia menoleh dan melihat betapa anak perempuan jembel itu menangis, menggosok-gosok kedua matanya seolah-olah hendak menyembunyikan penglihatan yang menimbulkan takut di hatinya. Han Han tersadar bahwa dia telah membunuh orang, dan tentu akan berakibat hebat. Maka ia cepat meloncat, mendekati anak perempuan itu, menyambar tangannya dan diajaknya anak itu berlari.

“Hayo kita cepat pergi dari sini!” bisiknya

Berlari-larianlah kedua orang anak itu keluar dari dalam dusun. Penduduk dusun yang sedang berpesta-ria merayakan hari Sin-cia tidak ada yang mempedulikan mereka. Dalam suasana pesta seperti itu, memang tidak mengherankan melihat dua orang anak itu berlari-larian yang mereka anggap sebagai dua orang anak yang sedang bergembira dan bermain-main. Pada saat itu tidak terasa keganjilan melihat seorang anak laki-laki berpakaian utuh dan baik belari-lari menggandeng tangan seorang anak perempuan yang pakaiannya seperti anak jembel.

“Aduhhh... aduhhh... kakiku... aahhh, berhenti dulu... napasku mau putus...!” Anak perempuan jembel itu menangis dan merintih-rintih, kakinya terpincang-pincang dan ia tersaruk-saruk ketika diseret oleh gandengan tangan Han Han yang lupa diri dan mempergunakan ilmu lari cepat.

Mereka telah tiba jauh di luar dusun, di tempat sunyi. Han Han berhenti dan melepaskan tangan anak itu. Anak perempuan itu lalu menjatuhkan diri saking lelahnya, duduk dan memijit-mijit kedua kakinya sambil menangis. Han Han berdiri memandangnya.

“Engkau bocah cengeng benar!” katanya dengan suara gemas, akan tetapi sebenarnya, hatinya penuh rasa iba terhadap anak ini. Teringat ia akan keadaannya sendiri dahulu, yang menjadi seorang jembel berkeliaran tanpa teman.

Anak perempuan itu mengangkat muka memandang. Sepasang matanya lebar sekali, lebar dan jeli, memandang dengan sinar mata polos ke wajah Han Han. Air matanya menetes turun ke atas pipi, kemudian terdengar ia berkata, “Apakah engkau juga akan membunuhku?”

Melihat sepasang mata itu, seketika timbul rasa suka di hati Han Han, rasa suka dan kasihan. Wajah dan sikap serta kata-kata anak ini jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang bocah dusun biasa. Hanya pakaiannya yang jembel, tapi anaknya sendiri tidak patut menjadi jembel. Han Han segera ikut pula duduk di atas rumput dekat anak itu.

“Tentu saja tidak! Engkau siapakah? Di mana rumahmu? Siapa orang tuamu dan mengapa engkau berkeliaran di dusun itu dalam keadaan seperti anak jembel?”

Mendengar pertanyaan ini, anak itu menutupi mukanya dan menangis lagi, kini menangis sesenggukan. Han Han menghela napas dan menggeleng-geleng kepala. Ia sebenarnya jengkel melihat anak ini perengek benar, akan tetapi karena dia pernah mengalami hal-hal yang amat pahit dalam hidupnya, ia dapat memaklumi keadaan anak ini dan bersikap sabar. Ia membiarkan anak itu menangis, kemudian setelah tangis itu agak reda, ia berkata.

“Sudahlah, jangan bersedih. Engkau hidup sebatang-kara, bukan? Kehilangan keluargamu?”

Anak itu mengangguk, pundaknya bergoyang-goyang karena isaknya.

“Nah, aku pun sebatang-kara, aku pun kehilangan keluarga. Biarlah mulai sekarang engkau menjadi adikku, dan aku menjadi kakakmu. Dengan begitu, kita masing-masing mendapatkan seorang saudara, bukan?”

Anak perempuan itu menghentikan tangisnya dan memandang kepada Han Han dengan mata merah dan muka basah. Sejenak mereka berpandangan, anak itu seolah-olah hendak menyelidiki kesungguhan hati Han Han dengan sinar matanya yang bening.

Han Han tersenyum. “Maukah engkau menjadi Adikku?”

Anak itu mengangguk perlahan, kemudian tersenyum pula, senyum di antara isak tangis. Dan hati Han Han makin suka kepada anak ini. Tidak hanya sepasang matanya yang indah bening dan lebar, juga senyumnya membuat sinar matahari menjadi makin cerah!

“Engkau menjadi Adikku dan kusebut engkau Moi-moi, sedangkan kau menyebut aku Koko, namaku Han Han, she Sie. Nah, Moi-moi, sekarang ceritakan, siapakah namamu dan bagai mana kau sampai sebatang-kara dan tiba di tempat ini?”

Sejenak anak itu memandang Han Han dengan mata terbuka lebar, kemudian tiba-tiba ia menubruk dan merangkul Han Han, menangis di atas dada Han Han. Kali ini ia menangis keras, sampai tersedu-sedu. Dan mulut yang kecil itu berbisik, setengah mengerang atau merintih.

“Koko... Han-ko (Kakak Han)... Koko...!”

Han Han menjadi terharu. Ia mengerti bahwa anak perempuan ini sekarang menangis karena mendapat hiburan yang amat mendalam, menyentuh hatinya seolah-olah anak yang tadinya terombang-ambing dipermainkan ombak sehingga dalam keadaan selalu ketakutan dan kengerian, lalu tiba-tiba mendapatkan pegangan yang dapat dijadikan penyelamat. Maka tak terasa lagi Han Han mengedip-ngedipkan kedua matanya agar matanya yang mulai menjadi panas tidak sampai menjatuhkan air mata.

Setelah tangis anak itu mereda, ia lalu memegang kedua pundaknya, mendorong muka dari dadanya, memandangnya dan berkata, “Moi-moi yang baik, sekarang katakan, siapa namamu?”

“Lulu...”

Han Han tercengang. “Eh, namamu lucu sekali! Lulu? Ayahmu she apa?”

“Ayahku seorang pembesar Mancu di kota raja...”

“Haaahhh...?” Han Han benar-benar merasa kaget sekali dan ia memandang wajah Lulu dengan mata terbelalak. Dia ini anak Mancu? Anak pembesar Mancu?

“Ayahmu seorang perwira Mancu?” tanyanya seperti dalam mimpi dan terbayanglah wajah perwira muka kuning. Suaranya mengandung kebencian dan terdengar ketus dan dingin. Kedua tangannya yang masih memegang pundak Lulu mencengkeram.

Lulu terkejut dan meringis kesakitan. Cengkeraman itu tidak terlalu erat, namun cukup menyakitkan. “Ada apakah, Han-ko...?”

Akan tetapi Han Han sudah mendorong tubuh anak itu sehingga terjengkang dan bergulingan. Anehnya, sekali ini Lulu malah tidak menangis, melainkan merangkak bangun dan berdiri menghadapi Han Han dengan matanya yang lebar itu terbelalak.

“Ko-ko, engkau kenapakah?”

“Aku benci orang Mancu!” bentak Han Han sambil membalikkan tubuhnya membelakangi anak itu karena sesungguhnya hatinya penuh penyesalan mengapa ia telah memperlakukan Lulu seperti itu. Melihat sepasang mata itu, ia tidak dapat menahan dan membalikkan tubuh.

Lulu lari menghampiri dan memegang lengan Han Han, sinar matanya yang tajam dan polos itu menjelajahi wajah Han Han penuh pertanyaan.

“Kenapa, Han-ko? Apakah kau membenci aku juga? Engkau begitu baik...”

“Benci, ya, benci! Aku benci semua orang Mancu!”

“Tapi, kenapa...? Tentu ada alasannya. Apakah engkau... pemberontak?”

Kalau bukan Lulu yang ia hadapi, tentu ia sudah meninggalkan anak itu, pergi dan tidak sudi bicara lebih banyak lagi. Akan tetapi pandang mata itu seperti mengikutinya, membuat ia tidak dapat pergi, bahkan kini ia menjawab sebagai penjelasan sikapnya.

“Orang tuaku dibunuh, keluargaku dibasmi oleh orang-orang Mancu! Maka aku benci orang Mancu.”

“Membenci aku juga?”

“Kalau kau orang Mancu, ya!”

“Tapi aku Adikmu!”

“Aku tidak sudi mempunyai Adik seorang Mancu.”

Tiba-tiba Lulu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Han, lalu memeluk kedua kakinya. Ia tidak menangis, tapi muka pucat sekali dan Lulu berkata dengan suara gemetar.

“Han-ko, jangan... jangan membenci aku. Aku Adikmu... jangan membenci aku. Aku Adikmu..., dan aku... aku pun sebatang-kara. Ayah bundaku, biar pun juga orang-orang Mancu, mengalami nasib yang sama dengan orang tuamu. Ayah bundaku dibunuh orang, keluargaku dibasmi, dan aku dilepas oleh orang-orang itu hanya dengan maksud agar aku menderita, agar aku menjadi seorang jembel. Malah pakaianku ditanggalkan lalu aku dipaksa memakai pakaian jembel...! Yang melakukan pembasmian keluargaku adalah pemberontak-pemberontak, para pengemis pemberontak, dan... dan... mereka adalah sebangsamu. Akan tetapi... aku tidak membenci semua orang pribumi, tidak membenci engkau, Koko!”

Han Han tertegun mendengar ini. Ia menunduk dan memandang wajah yang tengadah itu dan ia percaya. Perasaannya tertusuk melihat kenyataan bahwa gadis cilik yang keluarganya dibasmi ini tidak membenci semua orang yang sebangsa dengan mereka yang membasmi keluarganya. Memang sungguh tidak adil kalau dia membenci semua orang Mancu, apa lagi gadis cilik ini yang tidak tahu apa-apa. Mereka berdua hanyalah menjadi korban perang yang kejam dan jahat.

“Maafkan aku, Moi-moi...” Ia berkata dan menarik bangun Lulu yang tiba-tiba terisak lagi sambil memeluk Han Han.

Mereka berpelukan dengan perasaan dua orang kakak beradik yang saling menemukan setelah lama berpisah dan hilang. Kemudian Han Han mengajak Lulu melanjutkan perjalanan memasuki hutan, karena ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka dari dusun. Padahal tidak mungkin akan terjadi demikian karena andai kata orang telah mendapatkan mayat si tukang pukul, siapa yang akan menyangka seorang anak kecil seperti dia yang telah membunuhnya?

“Lulu-moi, kau bilang tadi bahwa pembasmi keluargamu adalah kaum pengemis?”

Lulu mengangguk sambil berjalan di sisi Han Han. Mereka bergandengan tangan, atau lebih tepat Lulu yang selalu memegang tangan Han Han, agaknya anak ini khawatir sekali kalau-kalau dia ditinggalkan kakak angkatnya ini.

“Ayah sedang berangkat ke selatan untuk menempati tugas baru di selatan, sekalian memboyong keluarganya, yaitu Ibu, dua orang Kakakku, aku sendiri dan para pelayan. Di tengah jalan kami dihadang oleh sekelompok pengemis, terjadi perang dan rombongan Ayah terbasmi semua. Hanya aku seorang yang tidak dibunuh, melainkan ditukar pakaianku dengan pakaian ini dan disuruh pergi. Para pemberontak itu lihai sekali, semua pengawal Ayah dibunuh. Terutama sekali kepalanya, seorang jembel tua yang membawa tongkat butut, tinggi kurus dan rambutnya riap-riapan. Dialah yang membasmi Ayah Ibuku dan kedua Kakakku, akan tetapi dia pulalah yang melarang anak buahnya membunuhku kemudian membebaskan aku. Dia pembunuh Ayah bunda dan Kakakku. Aku tidak akan lupa kepadanya, dan sekali waktu aku pasti akan membalas semua ini. Aku tidak akan melupakan kakek jembel yang disebut Lauw-pangcu itu!”

Tiba-tiba kaki Han Han tersandung batu sehingga ia membawa Lulu terseret ke depan, terhuyung hampir jatuh.

“Hemmm..., dia...?” kata Han Han dengan jantung berdebar. Pembunuh orang tua dan saudara Lulu ini adalah gurunya, guru pertama, Lauw-pangcu!

“Mengapa? Kau kenal dia Koko?”

“Ya, begitulah.”

“Kau hebat, kau lihai, dapat membunuh tukang pukul tadi. Engkau tentu bukan orang sembarangan, Koko. Maukah kau membalaskan sakit hatiku ini terhadap Lauw-pangcu? Aku kan Adikmu. Mau, bukan?”

“Ah, mudah saja kau bicara, Moi-moi. Untuk dapat membalas musuhmu, juga musuhku, kita membutuhkan kepandaian yang amat tinggi. Marilah engkau ikut bersamaku dan kita belajar sampai menjadi orang-orang pandai, baru kita bicara tentang membalas dendam. Mulai sekarang engkau ikut dengan aku, ke mana pun aku pergi.”

Lulu mempererat pegangannya, hatinya terhibur dan ia sudah tersenyum-senyum lagi. Wajahnya yang manis berseri dan matanya yang lebar itu bersinar-sinar. “Baiklah, Koko. Sampai mati aku tidak mau berpisah darimu.”

Ucapan terakhir ini mengharukan hati Han Han. Mereka melanjutkan perjalanan dan Han Han memutar otaknya. Tidak ada lain jalan lagi. Dia harus membawa Lulu kepada Ma-bin Lo-mo, minta kepada gurunya itu untuk menerima Lulu menjadi murid. Hanya dengan jalan inilah adik angkatnya tidak akan berpisah darinya, dan Lulu akan dapat mempelajari ilmu yang tinggi.

“Sute...!”

Han Han dan Lulu berhenti dan membalikkan tubuh. Kiranya Kim Cu yang memanggil Han Han dan anak perempuan ini datang berlari-lari cepat sekali sehingga Lulu memandang penuh kekaguman. Kim Cu memakai pakaian yang indah, dan sebuah bungkusan menempel di punggungnya. Wajah yang ayu itu kemerahan karena ia telah berlarian cepat mengerahkan tenaga ketika dari jauh melihat bayangan Han Han.

“Wah, Sute! Setengah mati aku mencarimu!”

“Ada apakah, Suci? Bukankah waktu libur masih sehari lagi sampai besok?”

“Ada perubahan, Sute. Suhu sendiri yang memerintah aku agar menyusulmu. Kita semua harus kembali sekarang juga karena Suhu hendak pergi jauh. Juga Sian-kouw akan pergi, karena itu kita harus berada di sana. Dan... eh, siapakah dia ini?”

Agaknya karena ketegangan hatinya dan kegembiraannya dapat menemukan orang yang dicari, baru sekarang Kim Cu mendapat kenyataan bahwa di situ ada orang ke tiga, seorang anak perempuan bermata lebar yang berdiri memandangnya penuh kagum dan heran.

“Aku hendak membawa dia menghadap Suhu, agar dapat diterima menjadi murid di In-kok-san.”

“Wah, agaknya tidak akan mudah, Sute. Siapa sih anak ini?”

“Namanya Lulu, seorang bocah Mancu... Heee, tahan, Suci...!”

“Dukkk!” Tubuh Kim Cu terhuyung-huyung ke belakang ketika pukulannya ke arah Lulu ditangkis oleh Han Han. Muka Kim Cu menjadi merah, matanya melotot marah.

“Sute! Apa-apaan ini? Kenapa kau malah melindungi seorang setan cilik Mancu? Melindungi musuh? Biarkan aku membunuh dia!” Kim Cu melangkah maju mendekati Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak ketakutan itu.

“Tidak, Suci. Jangan! Dia ini bukan musuh kita.”

“Siapa bilang bukan kalau dia seorang setan cilik Mancu? Orang-orang Mancu yang telah membasmi keluargaku, dan keluargamu juga!”

“Benar, akan tetapi bukan dia ini yang membasmi keluarga kita, Suci. Sebaliknya keluarga Lulu ini pun terbasmi habis oleh bangsa kita, dan Lulu toh tidak menganggap kita sebagai musuhnya. Kita harus berpikir luas dan adil, Suci. Kalau seseorang melakukan kesalahan lalu seluruh bangsa orang itu dianggap ikut bersalah, alangkah picik dan tidak adilnya ini! Bangsa apa pun juga di dunia ini pasti mempunyai orang-orang yang jahat, termasuk bangsa kita, Suci. Kalau karena kejahatan beberapa gelintir orang-orang itu lalu bangsanya dianggap jahat juga, wah, agaknya dunia ini tidak akan ada bangsa yang baik dan perang akan terus-menerus terjadi. Tidak, Suci. Lulu ini bagi kita bukanlah orang jahat, bukan musuh kita biar pun dia anak seorang perwira Mancu.”

Kim Cu termenung. Memang semenjak berdekatan dengan Han Han, dia tahu betapa sute-nya ini amat pandai, betapa pikiran sute-nya amat luas dan sute-nya mengerti akan segala macam urusan dunia. Hanya ilmu silat sajalah yang agaknya tidak begitu diperhatikan sute-nya dan tingkat sute-nya masih lebih rendah dari pada tingkat murid lainnya.

Ucapan Han Han itu berkesan di dalam hatinya dan sekaligus membuat Kim Cu timbul rasa kasihan kepada Lulu yang berdiri dengan mata terbelalak. Alangkah indahnya mata itu, pikirnya, dan melihat pakaian Lulu begitu buruk, ia makin kasihan dan lenyaplah semua kemarahannya. Memang Kim Cu seorang anak yang jujur dan wataknya bersahaja, mudah pula menguasai perasaan hatinya.

“Agaknya engkau benar dalam hal ini, Sute. Akan tetapi salah besar kalau engkau hendak membawa Lulu kepada Suhu untuk dijadikan muridnya. Begitu dia bertemu Suhu, dia tentu akan langsung dibunuh tanpa banyak cakap lagi. Engkau harus pulang bersamaku dan kau tidak boleh membawanya ke In-kok-san, Sute.”

“Tidak bisa, Suci. Kalau dia ini tidak bisa ikut dan akan dibunuh Suhu, lebih baik aku tidak kembali ke In-kok-san.”

“Eh, mengapa begitu? Apamukah bocah ini, Sute? Jangan bodoh...”

“Dia ini Adikku!”

“Apa? Adikmu? Anak Mancu ini... mana mungkin Adikmu...?”

“Dia betul Adikku, dan aku Kakaknya. Baru saja kami telah bersaudara. Aku sudah berjanji akan melindunginya, tidak akan berpisah lagi. Dia tidak punya siapa-siapa, hanya aku yang telah menjadi kakaknya, Suci,” kata Han Han, suaranya tetap.

Wajah Kim Cu menjadi berduka. “Sute, kalau kau tidak kembali... bagai mana dengan aku? Aku akan kehilangan...”

“Suci, engkau adalah murid In-kok-san, dan engkau mempunyai banyak saudara-saudara seperguruan. Sedangkan Lulu tidak mempunyai siapa-siapa, dia harus ikut bersamaku. Dan pula, sudah berkali-kali aku katakan bahwa aku tidak betah tinggal lebih lama lagi di In-kok-san. Aku akan pergi bersama Adikku ini, Suci. Harap Suci suka mengingat hubungan baik kita dan membiarkan aku pergi.”

Kim Cu termenung dengan muka sedih. “Kalau engkau tidak kembali, Suhu akan marah sekali. Terutama sekali Sian-kouw. Lupakah kau bahwa kau telah menjadi murid Sian-kouw? Engkau pasti akan dicari Suhu, dan kalau sampai engkau tertangkap... ah, hukumannya mengerikan, Sute.”

“Kalau melarikan diri dan tertawan, hukumannya potong kaki, bukan?”

Lulu mengeluarkan jerit tertahan. “Keji...!”

Kim Cu memandang bocah itu dengan mata marah. “Tidak keji. Ini peraturan dan orang yang berdisiplin saja yang akan mendapatkan kemajuan! Sute, engkau sudah tahu akan hukumannya. Maka harap kau jangan pergi.”

“Biarlah, aku sudah mengambil keputusan. Aku akan melarikan diri bersama Adikku, akan bersembunyi. Kalau sampai tertangkap, terserah. Akan tetapi aku percaya engkau tidak akan mengatakan di mana kau bertemu denganku, Suci.”

Kim Cu menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala. “Aku tidak akan memberi tahu, Sute. Tapi... ah...”

“Sudahlah, Suci. Harap Suci suka kembali. Aku mau pergi sekarang juga. Marilah, Lulu.”

Kim Cu berdiri dengan muka sedih memandang bayangan dua orang itu yang makin menjauh.

“Sute...! Tunggu dulu...!” Kim Cu meloncat dan berlari mengejar.

Han Han membalikkan tubuh, alisnya berkerut. “Suci, benarkah engkau akan melupakan persahabatan dan hendak menghalangi aku?”

Kim Cu maju dan memegang tangan Han Han. Air matanya menitik turun.

“Tidak sama sekali, Sute. Aku... aku hanya mengkhawatirkan engkau. Dan dia ini... ah, setelah dia menjadi Adikmu, mana bisa berpakaian seperti itu? Tunggu dulu...” Gadis cilik ini lalu menurunkan buntalan pakaiannya, mengeluarkan sepasang sepatu cadangan dan satu stel pakaian, diserahkannya kepada Lulu.

“Lulu, kau pakailah ini agar engkau pantas menjadi adik Sie Han Sute.”

Lulu menerima pakaian dan sepatu, memandang terharu, lalu berkata, “Enci, kau baik sekali, dan alangkah mendalam cinta kasihmu terhadap Han-koko...”

“Cihhhhh...! Kanak-kanak bicara tentang cinta! Cinta apa?”

“Engkau mencinta Han-ko, Enci...”

“Hush! Sudahlah...!” Suara Kim Cu mengandung isak dan gadis cilik ini lalu membalikkan tubuh dan lari dari situ dengan gerakan yang amat cepat.

Han Han berdiri melongo, memandang bayangan Kim Cu sampai gadis itu lenyap dari pandang matanya, kemudian ia menoleh kepada Lulu dan berkata, “Apa kau bilang tadi? Cinta? Cinta bagai mana?”

Lulu tersenyum. “Dia sungguh cinta kepadamu, Koko. Dan dia seorang gadis yang baik sekali. Kelak aku akan senang sekali mempunyai seorang soso (kakak ipar) seperti dia.”

“Eh-eh, gilakah engkau?” Entah bagai mana, sungguh pun ia hanya menduga-duga dan hanya mengerti setengah-setengah saja apa yang dimaksudkan Lulu, mukanya menjadi panas dan jantungnya berdebar-debar. “Lebih baik lekas pakai pakaian itu dan kita melanjutkan perjalanan.”

Lulu segera bersembunyi di balik semak-semak untuk bertukar pakaian. Ketika muncul kembali, Han Han memandang kagum. Benar saja. Lulu ternyata adalah seorang gadis cilik yang cantik jelita. Setelah kini pakaiannya bersih dan baik, dia menjadi seorang anak yang manis sekali.

“Kita ke mana, Koko?”

“Hayo ikut sajalah. Aku ingin ke kota raja, akan tetapi belum tahu jalannya!”

“Aku datang dari sana, akan tetapi juga tidak tahu jalannya. Di jalan kita nanti tanya-tanya orang, tentu akan sampai juga.”

Maka pergilah kedua anak ini dengan tergesa-gesa karena Han Han ingin cepat-cepat menjauhkan diri dari In-kok-san. Ia tahu bahwa gurunya, Ma-bin Lo-mo tentu marah sekali dan akan mencarinya, dan kalau yang mengejar dan mencarinya seorang sakti seperti itu, benar-benar tak boleh dibuat main-main.

Juga ia tidak berani sembarangan bertanya-tanya pada orang, bahkan menghindari perjumpaan dengan orang-orang agar tidak meninggalkan jejak. Ia selalu mengambil jalan yang sunyi, keluar masuk hutan, naik turun gunung. Karena perjalanan mengambil jalan yang liar dan sukar ini maka biar pun pakaian yang dipakai Lulu pemberian Kim Cu itu masih bersih dan baik, setelah lewat sebulan mulai robek di pundak dan oleh Lulu ditambal sedapatnya mempergunakan robekan ujung baju yang baginya agak kepanjangan.

Han Han menjadi makin suka kepada Lulu, setelah mendapat kenyataan bahwa gadis cilik itu benar-benar memiliki watak yang menyenangkan. Biar pun usianya baru sembilan atau sepuluh tahun, Lulu adalah seorang anak yang tahu diri, tidak rewel, tidak banyak kehendak, penurut dan juga tahan uji. Ia mentaati segala kehendak Han Han sebagai seorang adik yang baik, bersikap penuh kasih sayang kepada kakaknya ini, dan juga tidak pernah mau ketinggalan kalau Han Han mencari makanan untuk mereka.

Betapa pun lelahnya jika Han Han memaksanya melanjutkan perjalanan yang sukar, gadis cilik ini tak pernah mengeluh, maklum bahwa kakaknya kini menjadi seorang buronan. Ia pun berkali-kaii menyatakan kegelisahannya kalau-kalau kakaknya akan tertangkap oleh guru kakaknya yang dianggapnya seorang manusia keji dan mengerikan.

Banyak ia bertanya tentang Ma-bin Lo-mo dan Han Han juga menceritakan apa yang ia ketahui tentang Ma-bin Lo-mo, Toat-beng Ciu-sian-li dan lain-lain tokoh kang-ouw yang terkenal. Lulu amat tertarik mendengar cerita itu dan berkali-kali menyatakan bahwa ia pun ingin belajar silat agar kelak menjadi seorang yang pandai, sehingga ia akan dapat membalas dendam kepada musuh yang telah membasmi keluarganya.

Harus diakui bahwa Han Han yang semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab, pengertian umumnya sudah amat dalam, bahkan ia tahu akan filsafat-filsafat hidup. Namun karena ia hanyalah seorang bocah, tentu saja wawasannya pun amat terbatas dan banyak hal-hal yang tidak ia ketahui benar intinya. Sedapat mungkin ia berusaha untuk menerangkan Lulu tentang dendam pribadi dan tentang bencana akibat perang.

“Lulu adikku yang baik, kurasa engkau keliru kalau menaruh dendam kepada Lauw-pangcu, karena sesungguhnya dia seorang yang baik, seorang patriot sejati yang gagah perkasa,” katanya hati-hati ketika pada suatu hari mereka mengaso di bawah pohon besar dalam sebuah hutan.

Lulu memandang kakaknya dengan mata lebar dan penuh penasaran. “Koko, keluargamu terbasmi oleh perwira-perwira Mancu seperti yang pernah kau ceritakan kepadaku. Apakah engkau tidak mendendam kepada perwira-perwira itu?”

“Tentu saja.”

“Kalau engkau menaruh dendam kepada pembasmi keluargamu, mengapa aku tidak boleh mendendam kepada pembasmi keluargaku?”

“Ah, jauh sekali bedanya, Moi-moi. Keluargaku terbasmi oleh orang-orang yang melakukan hal itu menurutkan nafsu mereka pribadi, tidak ada sangkut-pautnya dengan perang sungguh pun hal ini terjadi dalam perang. Pembasmi-pembasmi keluargaku melakukannya dengan rasa benci dan nafsu pribadi, terdorong oleh watak mereka yang jahat dan kejam. Keluargaku bukanlah musuh mereka dalam perang, dan mereka melakukan pembasmian itu karena dua hal, yaitu ingin memperkosa wanita-wanita dan ingin merampok harta benda! Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh Lauw-pangcu kepada keluargamu. Lauw-pangcu dengan kawan-kawannya adalah pejuang-pejuang yang berusaha menentang bangsa Mancu yang menjajah, dan Ayahmu adalah seorang pembesar Mancu. Tentu saja Lauw-pangcu menganggap keluargamu musuh, bukan musuh pribadi, melainkan musuh negara dan bangsa. Lauw-pangcu melakukan pembasmian bukan berdasarkan kebencian pribadi, melainkan sebagai pelaksanaan tugas perjuangan. Tahukah engkau bahwa dalam sekejap mata saja anak buah Lauw-pangcu yang jumlahnya lima puluh orang lebih dibasmi habis oleh seorang kaki tangan Mancu?”

Lulu merengut dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Apa pun yang menjadi alasan, akibatnya sama saja, Koko. Apa pun yang menjadi dasar dari pada perbuatan para pembasmi yang kejam itu, akibatnya tiada bedanya, buktinya engkau menjadi yatim-piatu dan aku pun sama juga. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa aku tidak lebih sengsara dari padamu? Apakah karena sebab-sebab itu aku lalu diharuskan memaafkan mereka?”

Ditegur oleh bocah yang matang dalam penderitaan ini, Han Han membungkam, ia tidak dapat menjawab, hanya berkali-kali menghela napas kemudian berkata, “Ah, entahlah, Moi-moi. Memang kalau dipikir-pikir, semua perbuatan yang sifatnya membunuh di dalam perang adalah keji! Perang menimbulkan malapetaka yang mengerikan. Perang membuktikan betapa kejamnya mahluk yang disebut manusia. Perang dan bunuh-membunuh antar manusia dilakukan dengan penuh semangat, demi perjuangan dan cita-cita alasannya. Perjuangan dan cita-cita yang hanya diciptakan oleh beberapa gelintir manusia belaka! Aku tidak tahu, hanya yang kuketahui sekarang, kalau kita sudah memiliki kepandaian, kita harus membasmi orang-orang yang menjadi musuh kita, orang-orang yang kita anggap jahat!”

“Koko, bagaimanakah orang yang jahat itu? Lauw-pangcu dalam anggapanku adalah seorang yang sejahat-jahatnya karena dia telah membuat keluargaku lenyap, telah membuat hidupku merana. Akan tetapi engkau tidak menganggapnya sebagai orang jahat, malah gagah perkasa. Bagaimana ini?”

“Tidak tahulah... tidak tahulah... mungkin kelak kita akan lebih mengerti.”

Mereka melanjutkan perjalanan dan setelah mereka keluar dari hutan itu, tampaklah sebuah bukit di sebelah depan. Senja telah mendatang dan di dalam cuaca yang sudah suram itu samar-samar tampak dinding di puncak bukit.

“Di puncak bukit itu tentu tempat tinggal para pendeta, kalau tidak kuil tentu sebuah dusun. Sebaiknya kita pergi ke sana. Aku akan bekerja untuk mencarikan beberapa stel pakaian untukmu, Moi-moi.”

“Bukan hanya untukku, Koko, engkau pun perlu akan pakaian cadangan. Lihat, pakaianmu sudah mulai rusak pula. Aku pun dapat bekerja apa saja, kalau perlu membantu di sawah, atau mencuci, membersihkan rumah, apa saja.”

“Engkau puteri seorang pembesar, mana bisa bekerja kasar?”

“Jangan begitu, Koko. Dahulu puteri pembesar, sekarang hanya seorang bocah jemb...”

“Hanya Adikku yang baik dan manis!” Han Han memotong dan mereka tertawa, bergandengan tangan dan mulai mendaki bukit yang tidak berapa tingginya itu. Namun ketika mereka telah tiba di lereng, tak jauh lagi dari puncak di mana tampak dinding putih yang ternyata adalah pagar tembok yang tinggi, Lulu menuding dan berseru.

“Lihat! Kebakaran!”

Benar saja. Api yang berkobar-kobar tampak di balik dinding itu, makin lama makin membesar dan sinar api merah itu memperlihatkan dengan jelas bahwa di balik pagar tembok itu terdapat sekelompok rumah-rumah yang kini terbakar.

“Celaka...! Hayo kita naik terus, sedapat mungkin kita bantu mereka memadamkan api, Moi-moi.”

“Aku... takut..., Koko.”

“Ada aku di sampingmu, takut apa? Hayolah!” Han Han menggandeng tangan adiknya dan dengan bantuan sinar api mereka mendaki terus menuju ke pagar tembok.

Akhirnya mereka tiba di luar pagar tembok dan tiba-tiba Han Han menarik tangan adiknya untuk mendekam dan berlindung di tempat gelap. Dari pintu gerbang yang terbuka mereka dapat melihat ke sebelah dalam perkampungan itu dan keadaan di dalam perkampungan itulah yang membuat Han Han menarik tangan adiknya, diajak bersembunyi.

Kiranya di dalam perkampungan itu terjadi perang tanding yang hebat. Tampak bayangan-bayangan manusia berkelebatan, kilatan-kilatan senjata tajam dan terdengar nyaring suara senjata beradu. Karena disinari api yang membakar rumah, di sana-sini jelas tampak menggeletak mayat-mayat orang, malang-melintang dalam keadaan mandi darah. Mengerikan! Tubuh Lulu menggigil ketika ia merapatkan diri kepada kakaknya, napasnya terengah-engah. Han Han juga merasa tegang, akan tetapi ia mengelus-elus kepala adiknya untuk menenangkannya.



Perang tanding yang lebih banyak terdengar dari pada terlihat itu berlangsung semalam suntuk, demikian pula kebakaran yang agaknya tiada yang berusaha memadamkannya itu. Dapat dibayangkan betapa gelisah dan sengsara dua orang bocah yang bersembunyi di luar tembok. Jerit-jerit ketakutan dan pekik-pekik kematian terdengar oleh mereka, bercampur dengan suara pletak-pletok terbakarnya rumah-rumah yang makin menghebat. Kiranya rumah-rumah dalam perkampungan itu amat berdekatan sehingga setelah api membakar dan tiada usaha memadamkannya, semua dimakan api dan kebakaran itu berlangsung sampai pagi!

Han Han memberanikan hatinya merangkak dan mengintai dari balik pintu gerbang. Matanya menjadi silau menyaksikan berkelebatnya dua sinar putih. Sebagai seorang yang pernah menjadi murid seorang pandai, ia dapat menduga bahwa dua sinar putih itu tentulah sinar senjata yang dimainkan oleh dua orang yang amat tinggi ilmu kepandaiannya. Dua sinar itu berkelebatan di antara puluhan orang yang mengepungnya dan ia dapat menduga bahwa tentu ada dua orang lihai yang dikeroyok oleh banyak sekali orang. Yang mengerikan hatinya adalah ketika di antara tumpukan mayat ia melihat pula mayat-mayat wanita dan anak-anak kecil.

Semalam suntuk tidak tidur sekejap mata pun, semalam suntuk terus mendekam bersembunyi, namun bagi kedua orang anak itu, agaknya semalam itu lewat dengan amat cepatnya. Tahu-tahu sudah pagi! Dan menjelang pagi, api mulai padam dan ketika mereka mendengarkan, ternyata tidak ada suara apa-apa lagi. Sunyi di dalam perkampungan itu, hanya tampak asap hitam mengepul dan masih ada suara pletak-pletok lirih. Akan tetapi tidak ada suara manusia, tidak ada suara pertempuran.

Han Han bangkit berdiri, akan tetapi terduduk kembali karena ujung bajunya sebelah belakang dipegang erat-erat oleh Lulu yang ketakutan. Han Han menoleh dan melihat betapa tubuh Lulu gemetar, adiknya yang biasanya cerah itu kini pucat dan matanya terbelalak seperti seekor kelinci dikejar harimau. Ia memberi isyarat agar adiknya itu bangkit berdiri, kemudian ia memasuki pintu gerbang itu perlahan-lahan.

Lulu yang masih menggigil ketakutan berjalan di belakangnya, tidak pernah melepaskan ujung bajunya yang belakang. Dua orang anak itu seperti sedang main naga-nagaan, berjalan perlahan dan muka bergerak memandang ke kanan kiri, wajah pucat dan mata terbelalak. Hati siapa tidak akan ngeri menyaksikan keadaan dalam perkampungan itu. Semua pondok habis terbakar, kini menjadi arang dan hanya tinggal asapnya karena sudah tidak ada lagi yang dapat dibakar.

Yang amat mengerikan adalah banyaknya mayat orang berserakan di mana-mana. Ada puluhan orang banyaknya, bahkan mungkin seratus orang lebih. Sebagian besar laki-laki tinggi besar akan tetapi banyak pula wanita-wanita, tua dan muda, ada pula anak-anak. Mereka semua telah mati dengan tubuh terluka lebar, seperti terbabat senjata tajam. Ada yang perutnya pecah, dadanya berlubang, leher hampir putus, dan semua mayat ini mandi darahnya sendiri.

“Han-koko... aku... aku takut hiiii...!” Hampir Lulu tidak dapat melangkahkan kakinya yang menggigil, wajahnya pucat sekali dan sepasang mata yang lebar itu terbelalak.

“Tenanglah, Adikku... aku pun takut, akan tetapi mari kita lihat ke sana.... Eh, dengar... ada orang merintih...! Hayo ke sana, suaranya datang dari belakang puing rumah itu...”

“Aku... aku takut... nge... ngeri...!”

Akan tetapi Han Han sudah menarik tangan adik angkatnya. Melihat sekian banyaknya manusia menjadi mayat, tidak seorang pun yang masih hidup, tidak ada yang merintih atau bergerak, membuat hatinya menjadi tertarik sekali ketika ia mendengar suara merintih itu. Dari jauh ia sudah melihat dua orang yang tidak mati, namun terluka hebat karena dua orang itu masing-masing tertusuk pedang di bagian perut, tertusuk sampai tembus ke punggung! Mengerikan sekali, akan tetapi juga aneh, karena justeru dua orang ini di antara puluhan mayat yang hidup.

Han Han memiliki ketabahan yang luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Biar pun Lulu sudah hampir pingsan saking ngerinya, namun Han Han tidak apa-apa, bahkan ia lalu melepaskan tangan Lulu dan mempercepat langkahnya menghampiri dua orang itu sambil berkata.

“Moi-moi, ada orang terluka. Mari kita tolong mereka...!”

Kasihan sekali Lulu. Sudah takutnya setengah mati, kakaknya melepaskan tangannya dan lari meninggalkannya. Seperti seekor kelinci ketakutan ia lalu memaksa kakinya yang lemas itu untuk lari pula mengejar. “Koko... Han-ko, tunggu aku...!”

Han Han sudah berlutut di dekat dua orang yang terluka itu. Ia memandang dengan kagum dan terheran-heran. Dua orang itu adalah seorang kakek dan seorang nenek. Usia mereka tentu tidak akan kurang dari tujuh puluhan tahun, akan tetapi jelas tampak betapa mereka berdua itu dahulunya tentulah orang-orang yang elok dan gagah.

Kakek itu masih tampak gagah dan tampan, pakaiannya bersih dan dari rambutnya sampai sepatunya terawat rapi. Pakaiannya seperti seorang sastrawan, jenggot dan kumisnya terpelihara baik-baik. Ada pun nenek itu biar pun sudah tua masih nampak cantik, tentu di waktu mudanya merupakan seorang wanita yang jelita. Juga pakaiannya rapi dan bersih. Kakek itu bersandar pada meja batu yang terdapat di taman, sebatang pedang menancap di perutnya sampai tembus punggung. ada pun nenek itu setengah rebah menyandarkan kepala di pundak kanan itu, juga sebatang pedang menancap di dadanya, menembus ke punggung.

Yang mengherankan Han Han, pedang itu sama benar bentuknya, gagangnya juga serupa. Pedang yang amat indah, yang putih berkilau seperti perak. Si nenek menyandarkan kepalanya sambil merintih dan rintihan nenek inilah yang tadi terdengar oleh Han Han. Tangan nenek itu meraba-raba perut kakek yang tertancap pedang. Kakek itu sendiri sama sekali tidak mengeluh, seolah-olah perut yang ditembusi pedang itu tidak terasa nyeri olehnya, dan lengannya merangkul si nenek penuh kasih sayang.

“Tenanglah, Yan Hwa.... Tenanglah menghadapi maut bersamaku, Sumoi (Adik Seperguruan). Tenanglah, Adikku, kekasihku...”

“Oughhh... Suheng (Kakak Seperguruan) aduhhh, Koko (Kanda), kenapa baru sekarang menyebut kekasih...? Aku... aku... selamanya cinta kepadamu, Suheng...”

“Hushhh... ada orang datang, diamlah...”

“Aughhh... ahhh, panas rasa kerongkonganku..., aduh, Kanda, minum... minum...”

Hati Han Han sebenarya sudah tidak mudah lagi terharu. Perasaan hatinya sudah setengah membeku oleh peristiwa hebat yang dialaminya dahulu. Namun kini menyaksikan keadaan kakek dan nenek itu, ia terheran-heran dan juga timbul rasa iba di hatinya.

“Locianpwe, biarlah saya yang mencarikan air minum...!” Tanpa menanti jawaban dua orang yang sedang dalam sekarat itu, ia bangkit dan cepat pergi mencari air.

“Han-ko... tunggu...!” Lulu berteriak dan meloncat pula mengejar kakaknya. Anak kecil ini merasa terlalu ngeri kalau ditinggal sendirian di dekat kakek dan nenek yang sekarat itu.

“Mari kita mencari air minum untuk mereka. Kasihan mereka...,” kata Han Han yang menanti adiknya, lalu menggandeng tangan adiknya.

Sebentar saja mereka mendapatkan sebuah tempat air dan mengisinya dengan air lalu kembali ke dalam taman. Wajah kedua orang tua itu sudah pucat karena darah mereka terus mengucur keluar dari luka di perut dan dada.

“Ini airnya, locianpwe,” kata Han Han.

Ia menyebut locianpwe karena ia dapat menduga bahwa mereka berdua itu tentulah bukan sembarang orang, bahkan ia menduga bahwa kematian puluhan orang itu tentu ada hubungannya dengan mereka. Ada pun Lulu berdiri di belakang Han Han, terbelalak memandang dua orang yang terluka berat dan sedang saling berpelukan mesra itu.

“Oohhh, mana air...?” Nenek itu mengeluh.

Kakek itu membuka matanya dan sejenak pandang matanya bertemu dengan pandang mata Han Han. Kakek itu membelalakkan mata, seperti terpesona memandang wajah Han Han, akan tetapi segera menerima tempat air dan memberi minum nenek yang kehausan dan sedang sekarat itu. Air diminum dengan lahap sampai terdengar menggelogok dan sebagian besar tumpah. Nenek itu terengah kepuasan, wajahnya menjadi tenang. Dengan sikap manja ia rebahkan pipi kirinya di atas pundak kakek itu, tangannya memeluk pinggang, matanya merenung seperti orang ngantuk, akan tetapi tidak merintih lagi.

Kakek itu tidak minum, bahkan tiba-tiba ia menggerakkan tangan yang memegang tempat air. Han Han terkejut sekali melihat tempat air itu melayang jauh sekali dan jatuh ke atas tanah, tidak pecah, bahkan air di dalamnya yang masih setengah itu tidak tumpah, muncrat setetes pun tidak, seolah-olah tempat air itu dibawa melayang tangan yang tidak tampak dan diletakkan di tempat itu! Wajah kakek itu kelihatan dingin ketika memandang kepadanya dan bertanya.

“Engkau siapa?”

Han Han adalah seorang anak yang amat kukoai (aneh), bahkan tidak kalah kukoai oleh datuk-datuk persilatan yang bagaimana aneh wataknya sekali pun. Kalau tadi ia merasa iba, kini menyaksikan sikap kakek itu, timbul keberaniannya dan ia pun hanya berdiri sambil memandang. Sinar kemarahan terpancar keluar dari pandang matanya dan ia menjawab, sama kakunya dengan suara kakek itu.

“Namaku Sie Han!” Hanya sekian ia berkata karena tidak ada hasrat hatinya lagi untuk mengetahui siapa adanya kakek dan nenek itu dan apa yang terjadi sehingga mereka terluka seperti itu.

Kembali dua pasang mata beradu pandang dan kakek itu makin terbelalak.

“Eh...! Matamu...!”

“Mataku kenapa?” balas tanya Han Han, makin penasaran.

“Seperti...”

“Mata setan!” Han Han melanjutkan, makin mendongkol dan teringat akan pengalamannya dengan Lauw-pangcu dan juga dengan Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo. Mereka itu semua menyatakan keheranan akan matanya. Lama-lama ia menjadi bosan juga kalau tokoh besar selalu menyebut-nyebut matanya.

Kakek itu menggeleng-geleng kepala, dan aneh... dia tersenyum geli. “Wah, tidak hanya matanya, juga wajahmu dan sikapmu yang kepala batu... akan tetapi pada dasarnya berhati penuh welas asih.... Eh, engkau benar-benar bocah aneh, mengingatkan aku akan seorang sahabatku yang amat baik.”

“Hemmm, locianpwe yang aneh. Bicara tentang sahabat, akan tetapi keadaan locianpwe berdua ini tidak membayangkan bahwa locianpwe baru saja bertemu dengan seorang sahabat,” Han Han menuding ke arah dua batang pedang yang masih menancap di tubuh mereka.

Nenek itu mengangkat muka memandang kakek yang masih dipeluknya. “Koko... siapa bocah setan ini? Perlu apa bicara dengan dia? Mana... mana dia... Jai-hwa-sian?”

“Sabar, Moi-moi... Jai-hwa-sian belum juga datang... ahhh, sayang sekali... kalau sampai kita keburu mampus sebelum dia muncul...”

Han Han terkejut sekali. Tadinya ia merasa geli dan juga iba mendengar betapa dua orang tua renta ini demikian kemesra-mesraan dan menyebut koko dan moi-moi. Akan tetapi mendengar nama Jai-hwa-sian disebut-sebut, ia terkejut.

“Locianpwe mencari Kongkong-ku?”

Kakek itu mengangkat muka memandang, cemberut. “Siapa mencari Kongkong-mu? Siapa itu Kongkong-mu?”

“Jai-hwa-sian...!”

“Hehhh...?”

“Ihhhhh...?”

Kakek dan nenek itu berseru kaget dan kini memandang Han Han yang masih berdiri dengan muka merah. Dia tadi telah kelepasan bicara, mungkin ia mengaku Jai-hwa-sian sebagai kakeknya hanya karena merasa penasaran tidak dipandang mata oleh kakek itu, juga karena ia terkejut dan teringat akan sangkaan Kang-thouw-kwi bahwa dia adalah cucu Jai-hwa-sian.

“Heh, anak setan, siapa nama Kongkong-mu?”

“Namanya Sie Hoat.”

Kakek itu mengerutkan alisnya, sedangkan nenek yang masih lemah itu telah menyandarkan kembali pipinya ke pundak Si Kakek dengan sikap manja.

“Bagaimana kau tahu kakekmu itu berjuluk Jai-hwa-sian?”

“Yang memberi tahu adalah Setan Botak.”

“Setan Botak? Kau maksudkan Setan Botak si...?”

“Siapa lagi kalau bukan Setan Botak Kang-thouw-kwi? Apakah ada Setan Botak ke dua di dunia ini?” kata Han Han, masih panas hatinya, apa lagi karena kakek itu menganggapnya main-main.

Kini mata kakek itu makin terbelalak. Baru sekarang, setelah menghadapi kematian, ia menemukan seorang anak yang begini kukoai, berani memaki Kang-thouw-kwi dengan julukan Setan Botak. Padahal, ratusan orang gagah di dunia kang-ouw akan berpikir-pikir seratus kali lebih dulu untuk berani memaki seperti itu!

“Di mana Kakekmu yang berjuluk Jai-hwa-sian itu sekarang?” Kakek itu mulai menduga-duga, barangkali Jai-hwa-sian benar-benar datang bersama cucunya dan sengaja menyuruh cucunya itu datang lebih dulu. Kalau anak ini benar-benar cucu Jai-hwa-sian, tidaklah begitu aneh kalau berani memaki Kang-thouw-kwi.

Akan tetapi anak itu menggeleng-geleng kepala. “Aku sendiri tidak tahu. Mungkin sudah mati, seperti yang diduga Ayah. Aku sendiri tidak pernah melihatnya, menurut dongeng Ayah sudah puluhan tahun dia pergi merantau...”

“Siapa nama Ayahmu dan di mana tinggalnya?”

“Ayah bemama Sie Bun An, dahulu tinggal di Kam-chi...”

“Sie Bun An? Suma Bun An? Di Kam-chi katamu? Ha-ha-ha-ha-ha, betul juga!” Kakek itu tertawa bergelak sehingga Han Han menjadi heran dan mengira bahwa tentu kakek yang sudah sekarat ini menjadi berubah ingatannya alias menjadi gila.

“Sekarang di mana adanya Ayahmu itu? Di mana Suma Bun An?”

“Locianpwe! Ayahku adalah Sie Bun An, apa ini Suma-suma segala?”

“Ha-ha-ha! Dasar pengecut, mengingkari she apakah berarti dapat membersihkan diri dari noda? Ya-ya, biarlah, Sie Bun An. Di mana dia kalau engkau tidak tahu di mana adanya Kakekmu?”

“Ayah dan sekeluargaku telah dibunuh perwira-perwira Mancu...”

“Ha-ha-ha-ha-ha, hukum karma...! Ha-ha-ha, tak dapat dihindarkan lagi...”

“Locianpwe!” Han Han membentak, marahnya bukan main.

Belum pernah dia menceritakan riwayatnya kepada siapa pun juga dan kalau dia mau menceritakan tentang ayahnya dan keluarganya kepada kakek ini hanyalah karena ia tahu betul bahwa orang yang perutnya sudah tertembus pedang itu takkan dapat hidup lebih lama lagi. Akan tetapi, dia yang sudah berterus terang menceritakan, malah ditertawakan! Inilah yang benar-benar dapat disebut bocengli (tak tahu aturan)!

Akan tetapi kakek itu tidak peduli, malah tertawa terus dan berkata-kata seorang diri, “Ha-ha-ha, hukum karma! Jai-hwa-sian, engkau tak dapat lari dari kenyataan! Engkau orang sesat, datuk sesat, hukum karma pasti mengejarmu, betapa pun engkau baik terhadap kami. Hukum karma akan mengejar setiap manusia, semua perbuatan jahat akan menimbulkan akibat, buah dari pada pohon perbuatan sendiri akan dipetik sendiri... seperti juga kami berdua.... Kami berdua mungkin lebih sesat dari pada engkau, maka buahnya pun lebih pahit... aahhh!” Kakek itu kini menangis terisak-isak!

“Kakek... kenapa menggali hal-hal lampau...? Tidak, buah yang kita petik tidak begitu pahit.... Engkau mati di tanganku, aku mati di tanganmu, kita menemukan kembali cinta kasih, di ambang maut... kita mati dalam cinta... alangkah bahagianya...” Dengan napas terengah-engah nenek itu memeluk leher kakek itu dan mencium bibirnya! Mereka berciuman seperti dua orang muda yang sedang diamuk asmara, berciuman mulut dengan mesra, sedangkan darah menetes-netes dari mulut mereka!

Kini Han Han berdiri melongo. Kemarahan dan penasaran di hatinya lenyap tak berbekas seperti awan ditiup angin. Ia terheran-heran dan memandang terbelalak, menyaingi sepasang mata Lulu yang sejak tadi terbelalak penuh kengerian. Akan tetapi nenek itu sudah hampir putus napasnya, tidak kuat berciuman lama, dan ia terengah-engah, meletakkan kembali pipi kirinya di atas pundak Si Kakek, bibirnya merah sekali, merah terkena darah, darahnya sendiri dan darah kakek itu. Bibirnya tersenyum, penuh kebahagiaan, penuh pasrah, seperti seorang bayi akan tidur di pangkuan ibunya.

“Moi-moi... anak ini cucunya... kita berikan saja kepadanya, ya?”

“Terserah, Koko... terserah kepadamu. Lekas berikan... aku sudah ingin sekali me-layang pergi bersamamu, Koko...”

Kakek itu kini dengan tangan menggigil merogoh sakunya di sebelah dalam jubahnya. Tangan kirinya mengeluarkan sebuah kitab dari saku bajunya, sedangkan tangan kanannya meraba-raba dan merogoh saku di balik baju Si Nenek, mengeluarkan sebuah kitab pula yang sama bentuk dan warnanya, kekuning-kuningan. Ia menumpuk dua buah kitab itu di tangan kirinya lalu berkata, suaranya sungguh-sungguh, namun lemah sekali.

“Dengar, anak yang bernama Sie Han... dengarlah baik-baik, berlututlah...”

Suara yang lemah menggetar itu mempunyai wibawa yang luar biasa dan Han Han tak dapat membangkangnya. Ia tahu bahwa saat kematian kakek dan nenek itu sudah dekat sekali, maka demi menghormat dua orang yang hendak mati, ia pun berlututlah. Lulu yang tidak disuruh berlutut, namun juga dapat merasakan suasana penuh kengerian dan ketegangan ini, merangkap kedua tangan di depan dada, penuh hormat dan takut-takut.

Dengan tangan gemetar, kakek itu mengangsurkan tangan kirinya yang memegangi dua buah kitab kuning. “Kau terimalah ini... kau simpan baik-baik dalam bajumu! Lekas... jangan bertanya, simpan dulu, nanti kuberi penjelasan...”

Han Han tidak diberi kesempatan membantah. Seperti ada sesuatu yang menggerakkan hatinya, anak ini menerima sepasang kitab yang kecil itu dan langsung ia masukkan ke balik bajunya.

“Dekatkan telingamu...”

Han Han menggeser lututnya, mendekat dan mendengar mulut kakek itu berbisik lirih di dekat telinganya, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.... “Sudah mengertikah engkau?”

Han Han mengangguk dan mencatat pesan itu di dalam hatinya, sungguh pun ia sama sekali tidak mengerti apa maksudnya.

“Simpan kitab-kitab itu dan kalau kelak kau dapat bertemu dengan Jai-hwa-sian, berikan kepadanya berikut pesan yang kubisikkan tadi. Berjanjilah sebagai seorang jantan untuk memenuhi pesan kami berdua, pesan dua orang yang mau mati.”

Kembali Han Han penasaran. Tidak percayakah kakek ini kepadanya? “Aku berjanji, locianpwe.”

Kakek itu menarik napas panjang, agaknya hatinya menjadi lega. Keadaannya sudah makin lemah, terutama nenek itu yang kini benar-benar sudah seperti orang tertidur pulas. Kakek itu mengerahkah tenaga, mengembangkan dada, lalu berkata, suaranya tidak selemah tadi, penuh semangat.

“Sie Han, dengarkan baik-baik, tiada banyak waktuku. Ketahuilah bahwa kami berdua dikenal sebagai Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Tidak ada datuk persilatan yang tidak mengenal kami berdua. Kami datang dari utara, menjagoi di empat penjuru. Aku Can Ji Kun bukan sombong, mungkin aku sendiri atau sumoi-ku Ok Yan Hwa ini masih dapat ditandingi orang, akan tetapi kalau kami berdua bergabung menjadi satu, aku Si Iblis Jantan dan dia ini Si Iblis Betina, tidak akan ada orang yang mampu mengalahkan kami...”

“Juga Koai-lojin tidak mampu...?”

Untuk terakhir kalinya kakek yang bernama Can Ji Kun itu terbelalak heran.

“Engkau tahu pula akan Koai-lojin?”

“Hanya mendengar penuturan orang lain. Akan tetapi aku memang bermaksud hendak mencari Koai-lojin,” jawab Han Han sederhana dan sejujurnya.

“Anak, engkau memang anak yang aneh, dan aku makin percaya bahwa kakekmulah Jai-hwa-sian itu. Kulanjutkan penuturanku selagi aku masih kuat bicara. Kami suheng dan sumoi, seperti engkau saksikan sendiri, saling mencinta dan kelihatannya rukun dan saling membela, saling membantu, saling melindungi. Sayang sekali, kenyataannya selama puluhan tahun tidaklah demikian. Kami tidak bisa menjadi suami isteri, tidak bisa menikah karena sumpah kami di depan guru kami...”

“Sumpah apakah, locianpwe?” Han Han bertanya, tertarik hatinya. Juga Lulu yang masih berdiri di belakang Han Han, mendengarkannya dengan hati tertarik dan berkurang rasa ngerinya. Keadaan yang bagaimana mengerikan sekali pun akan kalah oleh biasa, lama-kelamaan hati akan terbiasa juga.

“Guru kami menyumpah bahwa murid-muridnya tidak boleh menikah, kalau dilanggar harus ditebus nyawa...”

“Iihhh... kejam...!” seru Lulu.

“Karena itu, biar pun saling mencinta, kami berdua tidak dapat mengikat tali perjodohan. Hal ini membangkitkan semacam kedukaan, kekecewaan dan akhirnya berubah menjadi kebencian. Kami lalu mulai mengumbar nafsu kebencian ini, kami saling berlomba berebut untuk membunuh-bunuhi orang yang dianggap jahat. Kami tidak pandang bulu, dan karena itulah kami dikenal sebagai Sepasang Pedang Iblis yang telengas. Dusun ini adalah sarang berandal. Dahulu, puluhan tahun yang lalu kami berdua hampir celaka oleh kecurangan perampok-perampok ini, untung ada Jai-hwa-sian yang menolong kami. Karena itu, hari ini kami yang kebetulan mendapatkan sarang mereka, datang membasmi mereka. Akan tetapi kembali kami saling berlomba dan akhirnya kami tidak hanya bersaing, melainkan saling serang sehingga akhirnya... engkau lihat sendiri akibatnya...” Kakek itu mulai lemah suaranya.

Nenek itu membuka mata dan berkata, suaranya seperti orang berbisik, “Memang, jodoh antara kira harus ditebus dengan nyawa, Koko... dan aku... aku girang sekali... aku bahagia...”

Kakek itu mencium kening nenek itu. “Sie Han... Thian (Tuhan) telah mengirim engkau sebagai ahli waris kami... kalau engkau tidak dapat menemukan Jai-hwa-sian, sepasang kitab itu kuberikan kepadamu... engkau... engkau mulai saat ini menjadi murid kami, dan aku girang mempunyai murid seperti engkau...”

Han Han tahu bahwa dua orang itu takkan bebas dari kematian, maka ia tidak mau mengecewakan mereka. Gurunya sudah banyak. Lauw-pangcu, Ma-bin Lo-mo dan yang terakhir Toat-beng Ciu-sian-li. Sekarang ditambah lagi dengan Sepasang Pedang Iblis ini, tak mengapalah. Ia lalu menelungkup sebagai penghormatan dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Teecu (murid) menghaturkan terima kasih kepada Suhu dan Subo (Ibu Guru).”

Akan tetapi kakek itu sudah tidak mempedulikannya karena kini ia mengalihkan perhatiannya kepada nenek itu. Mereka kembali saling rangkul, saling mencium dan... mereka menghembuskan napas terakhir dalam keadaan seperti bersandar pada meja batu dan kalau saja tidak ada sepasang pedang yang menancap dan menembus tubuh mereka, tentu mereka itu disangka sebagai dua orang yang sedang tenggelam dalam permainan cinta.

“Suhu...! Subo...!” Han Han mengguncang-guncangkan tubuh mereka, seperti orang hendak membangunkan dua orang dari tidur nyenyak. Namun mereka berdua itu tidak akan bangun lagi dan guncangan tubuh mereka itu membuat rangkulan terlepas dan tubuh mereka terguling, satu ke kanan satu ke kiri.

“Me... mereka... sudah mati... oohhh...!” Lulu menahan isaknya, merasa ngeri kembali karena baru sekarang selama hidupnya ia melihat orang menghembuskan napas terakhir.

“Aku harus mengubur mereka...”

“Hayo kita pergi, Han-ko.... Aku takut sekali...”

“Nanti dulu, Lulu. Aku harus mengubur jenazah mereka. Mereka ini adalah Suhu dan Subo. Aku tidak mau menjadi seorang murid yang tidak mengenal budi. Tunggulah sebentar.”

“Kalau begitu, mari kubantu engkau, Han-ko.”

Dua orang anak itu lalu bekerja keras mengggali sebuah lubang di bawah pohon dalam taman itu. Untung bahwa Han Han memiliki tenaga besar yang tidak disadarinya, sehingga dalam waktu beberapa jam, setelah matahari naik tinggi, tergalilah sebuah lubang cukup besar. Lulu juga membantunya, mempergunakan dua buah cangkul yang mereka temukan di dusun yang sudah terbakar itu.

“Pedang-pedang itu bagus sekali!” bisik Lulu.

Han Han menggeleng kepala. “Untuk apa pedang bagi kita, Moi-moi? Pedang itu adalah pedang mereka dan agaknya mereka itu senang sekali terbunuh dengan pedang masing-masing. Biarlah kita mengubur mereka berikut pedang-pedangnya.”

Lulu tidak berani membantu ketika Han Han mengangkat tubuh dua orang tua itu, satu demi satu ke dalam lubang. Akan tetapi ia membantu dengan rajin ketika Han Han menguruk lubang itu dengan tanah galian. Selesailah penguburan sederhana itu, dan Han Han lalu berlutut memberi hormat untuk terakhir kalinya di depan makam suami isteri yang menjadi gurunya. Lulu juga ikut-ikutan berlutut memberi hormat.

“Sekarang kita harus cepat pergi dari sini...,” kata Han Han.

Sebetulnya Lulu telah lelah sekali bekerja setengah hari dan tidak makan, hanya minum air yang bisa mereka dapatkan di bekas dusun itu. Akan tetapi karena ia merasa ngeri untuk berdiam lebih lama lagi di dusun yang penuh mayat bergelimpangan, ia merasa girang diajak pergi dan setengah berlari mereka keluar dari dusun yang terbasmi habis oleh keganasan sepasang manusia aneh itu.

Setelah agak jauh dari dusun itu, Han Han teringat bahwa keadaannya tadi amatlah berbahaya. Puluhan mayat berada di dalam dusun yang terbakar habis, dan yang hidup hanyalah dia dan Lulu! Bagaimana kalau sampai ada orang lain datang ke dusun itu? Tentu dia dan Lulu akan disangka menjadi penyebab kejadian mengerikan itu. Berpikir demikian, ia lalu memegang tangan Lulu dan diajaklah anak itu berlari.

“Aduh... aduh... perlahan-lahan, Koko... kakiku sakit...!”

Akan tetapi Han Han yang kini sadar akan bahaya yang mengancam mereka kalau sampai ada orang tahu, segera berjongkok dan berkata, “Lekas, mari kugendong...”

Lulu sudah merasa lelah sekali, lelah karena semalam tidak tidur, ditambah tadi bekerja keras menggali kuburan, terutama sekali karena mengalami ketegangan hebat. Maka giranglah hatinya ketika kakak angkatnya hendak menggendongnya. Tanpa banyak cakap ia lalu merangkul leher Han Han dari belakang dan mengempit pinggang kakaknya dengan kedua kaki.

Han Han bangkit berdiri lalu lari secepatnya. Tubuh Lulu yang hangat menempel di tubuhnya membuat hatinya merasa girang sekali, merasa bahwa kini ada orang yang menyayangi, yang juga amat disayangnya dan yang harus ia lindungi. Keluarganya sudah habis, dan kini semua rasa sayang terhadap keluarganya itu ia tumpahkan kepada diri Lulu. Sambil merangkul kedua kaki adik angkatnya, ia berlari terus tanpa mengenal lelah. Ia harus pergi sejauh mungkin dari bukit di mana terdapat dusun perampok yang terbasmi habis itu.

Sambil berlari, Han Han teringat akan semua peristiwa tadi. Ia bingung dan terheran-heran. Benarkah kakeknya adalah orang yang berjuluk Jai-hwa-sian itu? Kalau benar, mengapa ayahnya atau ibunya tidak pernah bercerita tentang kakeknya? Pernah ia bertanya tentang kakeknya, namun ayahnya hanya mengatakan bahwa kakeknya sudah pergi jauh tak diketahui tempatnya semenjak ayahnya masih kecil. Yang ia ketahui hanya bahwa kakeknya itu bernama Sie Hoat.

Agaknya tidak mungkin kalau kakeknya itu adalah seorang sakti dan aneh seperti mendiang Can Ji Kun si Iblis Jantan, atau seperti Kang-thouw-kwi dan datuk-datuk lain. Kalau kakeknya seorang sakti, sedikitnya tentu ayahnya seorang yang berkepandaian pula. Akan tetapi ayahnya... ah, hatinya kecewa sekali kalau ia teringat akan ayahnya. Teringat akan segala peristiwa yang menimpa ayahnya. Ayahnya memang tewas sebagai seorang gagah yang membela keluarga, akan tetapi seorang gagah yang lemah dan sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Ayahnya seorang lemah. Mungkinkah ayahnya putera seorang sakti?

Jai-hwa-sian! Dewa Pemetik Bunga! Sudah banyak ia baca, dan ia tahu apa artinya seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), yaitu seorang penjahat cabul yang suka memperkosa wanita! Biar pun sakti dan berilmu tinggi, akan tetapi jahat. Dan dia menjadi cucu seorang penjahat cabul? Ah, tak mungkin! Dan ia tidak sudi. Tentu hanya kesalahan tafsir belaka. Bukan! Dia bukan cucu Jai-hwa-sian.

Akan tetapi dia harus memenuhi permintaan Sepasang Pedang Iblis tadi yang telah menjadi gurunya. Dia harus mencari Jai-hwa-sian dan menyerahkan sepasang kitab ilmu pedang itu. Apa pula rahasianya? Han Han memiliki daya ingatan yang amat kuat. Ketika ia mengenangnya kembali, terngiang di telinganya bisikan Can Ji Kun si Iblis Jantan, “Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun.”

Dia tidak tahu apa artinya ucapan itu, akan tetapi dia harus menghafalnya dan tak boleh melupakannya, karena ucapan rahasia itu harus disampaikan pula kepada Jai-hwa-sian bersama sepasang kitab ilmu pedang. Akan tetapi ke mana ia harus mencari Jai-hwa-sian? Dan ke mana ia harus pergi? Suhu-nya yang ke dua, Ma-bin Lo-mo tentu akan mencarinya dan kalau ia sampai ditangkap, celakalah! Dia harus pergi jauh, bersama Lulu. Ke mana? Ke kota raja!

Dengan keputusan hati ini, Han Han melanjutkan larinya. Tanpa ia sadari kedua kakinya sudah lelah sekali. Hanya berkat kemauannya yang keras luar biasa maka ia dapat berlari terus sampai menjelang senja di mana ia tiba di pinggir sebuah sungai yang airnya jernih. Melihat air gemilang inilah yang membuat lemas seluruh persendian tulangnya. Sekali ia melihat air dan merasa haus, terasalah seluruh kebutuhan jasmaninya. Haus, lapar, lelah!

Kakinya tersandung batu dan ia jatuh terguling! Akan tetapi karena teringat kepada Lulu, ia cepat memutar tubuh dan menyambar tubuh adik angkatnya, membiarkan dirinya yang jatuh terbanting di bawah, sedangkan tubuh Lulu tidak sampai terbanting. Bahu dan pundaknya terasa nyeri, akan tetapi ketika ia memandang Lulu yang dipeluknya, ia tertawa.

“Bocah malas! Enak saja kau, ya?” Ia mengomel, akan tetapi yang diomelinya tidak menjawab sama sekali karena sejak tadi Lulu memang sudah tertidur pulas di atas punggung Han Han. Demikian pulas tidurnya sampai dia tidak merasa bahwa dia hampir terbanting jatuh.

Melihat keadaan adiknya, hati Han Han diliputi penuh rasa sayang dan kasihan. Ia lalu merebahkan tubuh anak perempuan itu perlahan-lahan di atas rumput hijau tebal di pinggir sungai, kemudian ia turun ke sungai, mandi dan minum sampai kenyang. Setelah itu ia kembali ke bawah pohon di mana Lulu masih tertidur nyenyak. Ia lalu menanggalkan bajunya dan diselimutkan pada tubuh Lulu karena ia melihat betapa anak itu dalam tidurnya agak menggigil, menarik kedua kakinya sampai lutut menempel ke dada tanda kedinginan.

“Kasihan...,” bisiknya penuh kasih sayang. “Aku harus mencarikan makanan untuknya.”

Akan tetapi pada saat Han Han berdiri dan membalikkan tubuh hendak mencari makan, hampir ia menjerit saking kaget dan cemasnya. Ternyata, tanpa dapat didengarnya sama sekali, di situ telah berdiri Ma-bin Lo-mo! Bukan hanya kakek muka kuda itu sendiri yang datang, melainkan berempat, yaitu ada tiga orang lain lagi yang berdiri seperti arca dengan pandangan mata tak acuh kepada Han Han.

Seorang adalah laki-laki gundul seperti hwesio, kedua seorang laki-laki bermuka tengkorak saking kurusnya, dan yang ketiga seorang laki-laki bermuka bopeng, penuh totol-totol hitam. Usia mereka itu rata-rata lima puluhan tahun, dengan sikap dingin yang menyeramkan. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri memandang kepada Han Han dengan muka bengis!

Han Han bukan seorang penakut. Sama sekali tidak. Rasa takut seakan-akan telah terhapus dari hatinya bersama dengan terbasminya keluarganya. Dan ia memiliki rasa tanggung jawab yang tercipta dari pada pengetahuannya tentang filsafat. Ia cerdik pula, kecerdikan yang timbul dari keadaan tidak wajar setelah ia hampir mati disiksa para perwira di rumahnya yang terbasmi dahulu.

Kini ia pun cepat menggunakan pikirannya, tahu bahwa ia tak mungkin dapat meloloskan diri dari tangan gurunya yang amat lihai ini. Tahu pula bahwa tiada gunanya melawan atau mencoba untuk melarikan diri. Nasibnya sudah pasti. Akan tetapi dia tidak mau kalau sampai Lulu terbawa-bawa mengalami bencana. Oleh karena itu, cepat pikirannya bekerja dan ia sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ma-bin Lo-mo.

“Suhu.”

“Hemmm, murid durhaka! Engkau sadar akan dosamu?”

“Teecu sadar dan teecu tidak menyangkal. Teecu telah melarikan diri dari In-kok-san karena teecu ingin bebas.” Dia tidak mau menyebut terus terang bahwa kepergiannya itu terutama sekali karena ia tidak mau berpisah dari Lulu. “Karena itu, harap suhu suka menjalankan hukuman. Teecu menyerahkan sebelah kaki teecu, akan tetapi setelah hukuman terlaksana, harap Adik angkat teecu ini tidak diganggu dan biarkan teecu bersama dia.” Setelah berkata demikian, Han Han mengubah duduknya, tidak berlutut melainkan duduk dan melonjorkan kedua kakinya untuk dipilih suhu-nya, mana yang akan dibikin buntung!

Diam-diam Ma-bin Lo-mo kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia menyaksikan seorang bocah yang memiliki ketabahan dan kekerasan hati seperti ini! Menyerahkan kaki begitu saja untuk dihukum potong tanpa sedikit pun memperlihatkan hati takut atau gentar, bahkan penyesalan pun tidak, minta maaf pun tidak, melainkan berani bertanggung jawab sepenuhnya!

“Enak saja kau bicara! Karena Sian-kouw yang langsung mengajarmu, dia pula yang berhak menghukummu. Dan bocah ini yang menjadi gara-gara, akan kuhukum sendiri, hukum penggal kepala di depanmu!”

Kaget bukan main hati Han Han. Hal ini sama sekali tak pernah ia sangka-sangka, maka ia lalu menoleh kepada Lulu. Anak perempuan itu agaknya terjaga karena mendengar suara ribut-ribut, membuka matanya, mengucek-ucek mata kemudian memandang dengan sepasang mata lebar kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya. Melihat Han Han duduk bersimpuh, ia seperti merasa bahwa ada hal-hal tidak beres. Cepat ia menubruk kakaknya dan berkata.

“Koko... ada apakah...? Siapakah orang-orang buruk ini?”

“Ssttt, diamlah Moi-moi. Beliau ini adalah guruku dan karena aku sudah bersalah meninggalkan perguruan, kakiku yang harus dihukum potong. Akan tetapi tidak mengapa asal kita tidak saling berpisah...”

“Kakimu dipotong...? Tidak...! Tidak boleh! Wah, kau manusia jahat! Tidak boleh mengganggu Kakakku! Pergi... pergi...!” Lulu yang biasanya penakut itu, mendadak saja menjadi beringas dan galak seperti seekor anak harimau, berdiri menentang Ma-bin Lo-mo dengan mata terbelalak marah.

“Moi-moi, ke sini...! Jangan begitu, aku melarangmu!” Han Han berkata, maklum betapa berbahayanya sikap Lulu itu.

“Tidak, sekali ini aku tidak mau menurutimu, Koko! Aku harus menentang niat keji manusia-manusia jahat ini! Enak saja, masa kaki mau dipotong? Tidak boleh, hayo kalian pergi, kakek-kakek jahat!” Lulu masih berdiri dengan sikap menantang dan matanya yang lebar itu seolah-olah mengeluarkan api yang hendak membakar Ma-bin Lo-mo dan tiga orang temannya.

Ma-bin Lo-mo memandang Lulu dengan alis berkerut. “Eh, bocah, kau siapakah? Mengapa kau membela muridku yang durhaka ini?”

“Namaku Lulu dan aku telah menjadi adiknya, kakakku Han Han. Tentu saja aku membelanya!”

“Lulu namamu?” Ma-bin Lo-mo menggerakkan lengannya dan tahu-tahu ia sudah menyambar baju di punggung anak itu dan mengangkatnya.

Lulu meronta-ronta dengan mata terbelalak, bergidik ketakutan melihat muka yang seperti kuda itu begitu dekat, mata yang bersinar aneh itu menelitinya.

“Hemmm, namamu Lulu dan mukamu seperti ini, matamu... hemmm, kau anak Mancu, ya?”

Biar pun mulai ketakutan, namun Lulu masih marah.

“Bukan, Suhu... bukan...!” Han Han berteriak, mukanya pucat dan ia mengkhawatirkan keselamatan adik angkatnya itu.

Akan tetapi alangkah kaget dan gelisahnya ketika ia mendengar Lulu menjawab nyaring, “Benar! Ayahku perwira Mancu dan keluargaku dibasmi orang-orang jahat seperti engkau ini! Lepaskan aku! Lepaskan!”

“Ngekkk!” Lulu dibanting dan anak itu pingsan seketika.

“Suhu! Jangan bunuh dia! Buntungkan kakiku, bunuhlah aku, akan tetapi jangan bunuh dia!” Han Han berteriak-teriak sambil meloncat maju hendak menolong Lulu yang disangkanya mati.

Sebuah tendangan membuat tubuh Han Han terguling. Ma-bin Lo-mo memandangnya dengan mata melotot marah. “Bocah setan! Murid durhaka! Engkau bersahabat malah mengangkat saudara dengan anak seorang perwira Mancu? Keparat! Tak tahu malu! Seharusnya kuhancurkan kepalamu sekarang juga kalau engkau bukan sudah menjadi murid Sian-kouw! Biar Sian-kouw yang akan menghukum dan menyiksamu! Dan bocah Mancu ini...” Ma-bin Lo-mo mengangkat tangan ke atas hendak memukul tubuh Lulu yang sudah pingsan tak bergerak itu.

“Suhu, jangan...!”

Tiba-tiba terdapat perubahan pada wajah Ma-bin Lo-mo. Ia menyeringai dan mengangguk-angguk. “Hemmm..., bagus sekali. Dia anak seorang perwira Mancu, ya? Bagus! Bisa dipakai untuk mengundurkan orang-orang Mancu yang menjadi saingan mencari pulau...”

Ia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan cepat sekali tangannya bergerak dan ia sudah menotok Han Han. Kemudian ia memberi isyarat kepada tiga orang kawannya. Laki-laki muka tengkorak lalu menyambar tubuh Lulu yang sudah lemas dan dikempitnya, ada pun laki-laki yang mukanya bopeng dan bertotol-totol hitam itu lalu menyambar tubuh Han Han yang tak mampu bergerak, juga dikempitnya. Kemudian mereka berempat lalu lari cepat sekali meninggalkan tempat itu.

Kiranya tak jauh dari situ terdapat sebuah perahu yang diikat di pinggir sungai. Mereka melompat ke dalam perahu. Setelah mendayung perahu ke tengah dan layar dipasang, meluncurlah perahu itu menuju ke laut. Han Han dan Lulu diikat kaki tangannya, lalu dilemparkan ke dek perahu, kemudian totokannya dibebaskan. Lulu juga sudah siuman dan mengeluh. Ketika melihat bahwa dia terbelenggu dan terlentang di atas dek perahu, Lulu cepat memandang ke arah kaki Han Han yang juga terbelenggu di sampingnya. Anak ini menarik napas lega dan berbisik.

“Han-ko... syukur kakimu masih utuh....” Anak ini terisak.

“Diamlah Lulu. Jangan menangis...”

“Aku... aku... takut, Koko.”

“Jangan putus harapan. Selama nyawa kita masih ada, tidak perlu kita putus harapan.”

“Tapi... mereka jahat sekali...”

“Hushhh, diamlah...”

Mereka itu seperti dua ekor kelinci muda yang akan disembelih. Hanya mata mereka saja yang dapat bergerak memandangi empat orang itu yang duduk di tengah perahu. Si Muka Bopeng mengemudikan perahu dan yang tiga lainnya duduk diam tak bergerak. Kemudian Ma-bin Lo-mo yang duduknya paling dekat dengan kedua orang anak itu memandang Han Han dan menghela napas panjang seperti orang menyesal sekali. Mulutnya mengomel.

“Murid murtad...! Murid durhaka...!”

Han Han tidak putus harapan. Kalau gurunya itu hendak membunuh Lulu, tentu dilakukannya sejak tadi. Dengan menawan mereka berdua, hal itu menyatakan bahwa untuk sementara ini mereka berdua selamat, tidak akan terbunuh, dan tentu masih dibutuhkan. Dia tidak takut menghadapi hukuman potong kaki, yang dikhawatirkan adalah keselamatan Lulu yang kini telah dikenal sebagai puteri seorang perwira Mancu.

“Suhu, murid sudah mengaku berdosa dan siap menerima hukuman. Akan tetapi Lulu ini sama sekali tidak berdosa, harap Suhu mengampuni anak kecil yang tidak tahu apa-apa ini.”

“Cerewet! Engkau akan menerima hukuman dari Sian-kouw sendiri, ada pun bocah Mancu itu, setelah aku tidak membutuhkannya lagi, akan kupenggal di depan matamu!”

“Suhu...!”

“Diam! Kau murid murtad, pengkhiahat yang berkawan dengan musuh! Membuka mulut lagi, akan kutampar mulutmu sampai rusak!”

Han Han tidak bodoh, dan tidak mau lagi membuka mulut. Ma-bin Lo-mo segera bercakap-cakap sambil berbisik-bisik dengan tiga orang kawannya, tidak mempedulikan lagi kepada Han Han dan Lulu.

“Han-ko,” Lulu berbisik. “Dia itu kejam dan jahat, mengapa engkau berguru kepada seorang seperti dia?”

“Hushhh, diamlah, Lulu. Dia sakti sekali, maka aku berguru kepadanya.”

Perahu kecil itu meluncur cepat sekali, dan menjelang malam perahu masuk ke lautan dan mulailah pelayaran yang amat sengsara bagi Han Han dan Lulu. Perahu diombang-ambingkan ombak laut dan kedua orang anak yang tidak biasa naik perahu di laut itu menjadi mabuk laut. Han Han yang telah memiliki sinkang yang amat kuat dapat menahan rasa mabuk itu dan tidak terlalu pening, akan tetapi sungguh kasihan sekali keadaan Lulu. Bocah ini menjadi pening, mukanya pucat sekali dan ia muntah-muntah. Karena tangan kedua orang anak itu dibelunggu ke belakang, maka Han Han tidak dapat menolongnya dan Lulu sendiri terpaksa hanya dapat memutar tubuhnya, rebah miring sehingga muntahannya tidak mengotorkan pakaian.

“Suhu...! Harap tolong membebaskan belenggu tangan Adikku lebih dulu...! Dia...! Dia sakit!”

Ma-bin Lo-mo hanya menengok, lalu memberi isyarat kepada Si Kepala Gundul yang bangkit berdiri menghampiri Lulu. Tangannya bergerak cepat menotok pundak Lulu yang segera menjadi lemas dan... tertidur. Karena tertidur ini maka anak itu tertolong, tidak begitu menderita lagi dan tidak lagi mabuk-mabuk. Han Han bersyukur akan tetapi juga kagum. Kiranya tiga orang kawan gurunya itu pun bukan orang-orang sembarangan dan tentu memiliki kepandaian yang amat lihai.

Malam itu mereka berdua diberi makan dan minum dan untuk keperluan ini mereka dibebaskan sebentar. Setelah makan dan minum, mereka disuruh tidur di dekat dek perahu dengan kedua tangan masih dibelenggu ke belakang tubuh mereka, akan tetapi kaki mereka bebas. Tentu saja dalam keadaan seperti itu Han Han dan Lulu sama sekali tidak dapat tidur pulas. Lulu mulai menangis, akan tetapi dihibur oleh Han Han yang tetap bersemangat tinggi dan berhati besar.

“Lihat, alangkah indahnya pemandangannya, Adikku. Lihat itu di langit, bintang-bintang bertaburan seperti intan berlian. Dan laut amat tenangnya, seolah-olah kita tidak bergerak, ya? Padahal lihat layarnya berkembang dan perahu ini sebetulnya maju cepat sekali.”

Lulu terhibur dan setelah melihat ke kanan kiri yang adanya hanya air yang tertimpa sinar bintang-bintang yang suram, ia bertanya. “Kita ini... dibawa ke mana, Koko?”

“Entahlah, akan tetapi kalau tidak salah, Suhu dan teman-temannya itu sedang mencari sebuah pulau. Pernah aku mendengar para Suheng dan Suci bercerita tentang Pulau Es.”

“Pulau Es? Di mana itu? Mau apa ke sana?” Lulu bertanya, suaranya penuh rasa kekhawatiran.

“Aku sendiri pun tidak tahu. Aku selalu berada di sampingmu, bukan? Selama aku di sampingmu, tidak usah kau takut. Aku akan melindungimu dengan sekuat tenagaku.”

“Koko...!” Lulu menangis.

“Eh, malah menangis. Ada apa?”

“Koko, mengapa kau begini baik kepadaku?” Suara Lulu terisak-isak.

“Aihhh, aneh benar pertanyaanmu. Kau kan Adikku, tentu saja aku baik kepadamu. Di dunia ini aku hanya mempunyai kau, dan kau hanya mempunyai aku.”

“Han-ko...!” Lulu kembali menangis dan anak ini lalu menggeser tubuhnya, merebahkan kepalanya di dada kakak angkatnya itu. Dalam keadaan seperti ini, akhirnya kedua orang anak itu tertidur.

Perahu kecil itu melakukan pelayaran selama tiga hari tiga malam, cepat sekali karena di waktu angin berkurang, mereka berempat menggunakan dayung dan karena mereka berempat merupakan orang-orang sakti yang memiliki sinkang kuat sekali, biar pun hanya didayung, perahu itu meluncur amat cepatnya. Tujuan perahu itu adalah ke arah utara. Kalau air laut sedang tenang, Han Han dan Lulu tidak amat menderita, akan tetapi apa bila perahu dipermainkan gelombang besar, mereka menderita sekali, terutama Lulu.

Pada hari ke empat, pagi-pagi sekali matahari mulai muncul di permukaan air sebelah timur. Si Muka Bopeng tiba-tiba berseru kaget. "Perahu di sebelah depan!"

Mereka semua memandang, termasuk Han Han dan Lulu. Benar saja, di sebelah depan tampak sebuah perahu yang mengembangkan layarnya, perahu yang bercat hitam, juga layarnya berwarna hitam. Ma-bin Lo-mo memandang ke utara, ke arah perahu itu dan melindungi matanya dari sinar matahari dari kanan. Pandang matanya tajam sekali, lebih tajam dari pada kawan-kawannya, dan setelah memandang dengan pengerahan tenaga sakti pada kedua matanya, ia berkata.

"Perahu itu bukan perahu pemerintah Mancu. Selain tidak begitu besar, juga kulihat tidak ada tentara di atas perahu, hanya ada belasan orang. Juga bukan perahu nelayan, agaknya perahu orang-orang kang-ouw yang akan menjadi saingan kita. Kejar! Kita harus basmi mereka, lebih sedikit saingan lebih baik!"

Layar tambahan dipasang, Si Muka Bopeng memegang kemudi dan tiga orang sakti itu masih menambah kelajuan perahu dengan gerakan dayung mereka. Perahu kecil ini meluncur cepat sekali melakukan pengejaran terhadap perahu yang berada di depan. Tak lama kemudian perahu itu dapat disusul dan agaknya perahu yang berada di depan juga melihat adanya perahu kecil yang menyusul mereka, dan para penumpangnya agaknya tidak merasa takut, buktinya perahu itu tidak melarikan diri, bahkan seolah-olah menanti datangnya perahu kecil yang mengejar.

Akhirnya perahu itu berdekatan, dengan jarak hanya beberapa meter. Kini tampak jelas kebenaran ucapan Ma-bin Lo-mo tadi. Perahu itu bukan perahu pemerintah, juga bukan perahu nelayan. Yang berada di atas perahu itu adalah tiga belas orang, yang sebelas pria yang dua wanita. Kedua orang wanita itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, cantik dan gagah. Sebelas orang pria itu berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Yang amat mencolok adalah pakaian mereka yang dasarnya berwarna hitam. Mereka semua membawa golok yang tergantung di pinggang dan sikap mereka tampak gagah...


BERSAMBUNG KE JILID 05