Pendekar Super Sakti Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PENDEKAR SUPER SAKTI

BAGIAN 05

Han Han memandang dengan hati tegang. Ia maklum bahwa akan terjadi hal yang mengerikan. Ketika ia menoleh ke arah Ma-bin Lo-mo, ia melihat Iblis Muka Kuda itu duduk bersila dan memandang ke arah perahu itu dengan pandang mata dingin dan sikap tak acuh. Si Hwesio dan Si Muka Bopeng juga memandang penuh perhatian, sedangkan orang yang bermuka tengkorak segera berkata lirih kepada Ma-bin Lo-mo.

"Mereka adalah orang-orang dari Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam)!"

"Sikat saja, habiskan mereka!" kata Ma-bin Lo-mo dengan suara dingin sehingga Han Han yang maklum maksudnya menjadi ngeri. Lulu hanya memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi.

"Akan tetapi, Siangkoan-locianpwe, mereka itu adalah orang segolongan..." Si Muka Tengkorak berkata dengan muka berubah, ragu-ragu dan khawatir.

Ma-bin Lo-mo memandang kawannya ini dengan sinar marah. "Orang she Swi, kau ini pembantu macam apakah? Kita sudah berjanji, kalian bertiga yang sudah biasa dengan pelayaran dan tahu jalan menjadi pembantu-pembantuku. Jika perjalanan ini berhasil, kalian akan kuberi masing-masing sejilid kitab ciptaanku mengenai ilmu silat tinggi. Syaratnya kalian harus menurut dan melaksanakan semua perintahku. Sian-kouw yang memilih kalian. Apakah kini engkau hendak membantah? Apakah kau takut menghadapi tikus-tikus itu?"

"Tidak... tidak takut" hanya...

"Cukup! Hadapi mereka, dan sampaikan pesanku agar mereka tiga belas orang itu cepat meloncat ke laut karena perahu mereka akan kutenggelamkan. Dengan demikian, kita tidak membunuh mereka, hanya merusak perahunya."

Han Han bergidik. Gurunya ini benar-benar kejam sekali. Kalau tiga belas orang itu dipaksa meninggalkan perahu dan meloncat ke laut, apa bedanya dengan membunuh mereka? Mereka berada di laut bebas, tidak tampak daratan, mana mungkin mereka dapat berenang menyelamatkan diri? Kalau tidak mati tenggelam tentu akan mati di perut ikan!

Sementara itu, tiga belas orang di atas perahu hitam itu agaknya sudah mengenal Si Muka Tengkorak. Seorang yang tertua di antara mereka, berusia empat puluh tahun dan berjenggot panjang segera mengangkat tangan menjura ke arah Si Muka Tengkorak sambil berkata nyaring.

"Ah, kiranya Swi Coan Lo-enghiong yang membalapkan perahu mengejar kami! Harap Lo-enghiong menerima salam hormat kami yang melakukan perintah ketua kami melakukan pelayaran ini."

"Cu-wi (Tuan Sekalian) melaksanakan perintah apakah maka berlayar sampai disini?" suara Si Muka Tengkorak terdengar dingin.

Pimpinan orang-orang Hek-liong-pang itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Kami menerima tugas rahasia dari Pangcu (Ketua) kami dan bukanlah hak kami untuk menceritakannya kepada siapa juga. Kalau Lo-enghiong ingin mengetahui, hendaknya Lo-enghiong bertanya kepada Pangcu kami sendiri."

"Bukankah kalian disuruh mencari Pulau Es dan menyaingi kami?" Si Muka Tengkorak bertanya, suaranya marah karena biar pun di hatinya ia tidak setuju akan perintah Ma-bin Lo-mo, namun untuk melaksanakan perintah ini ia harus mencari alasan.

Pimpinan rombongan Hek-liong-pang yang berjenggot panjang itu tersenyum dan berkata, "Mana mungkin kami dapat menang bersaing dengan Lo-enghiong? Kami hanya mengandalkan nasib baik Pangcu kami."

"Hemmm, kalian sudah berani mati menyaingi kami mencari Pulau Es, maka jangan sesalkan aku kalau harus mengambil kekerasaan terhadap kalian."

Tiga belas orang Hek-liong-pang itu mengeluarkan seruan marah. Mereka semua mengenal Si Muka Tengkorak dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena selama ini Si Muka Tengkorak bersahabat dengan Pangcu mereka, sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang tua itu akan memusuhi mereka.

"Swi Coan Lo-enghiong! Pulau Es adalah sebuah pulau yang bebas, bahkan pemerintah sendiri belum pernah menguasainya. Siapa pun berhak untuk mencarinya. Kami melaksanakan perintah Pangcu kami, dan Lo-enghiong adalah seorang yang sudah mengenal baik Pangcu kami. Dalam usaha yang bebas ini, bagaimana Lo-enghiong mengatakan kami menyaingi dan Lo-enghiong hendak melarang kami? Harap Lo-enghiong suka ingat akan persahabatan Lo-enghiong dengan Pangcu kami."

"He-hemmm...," Si Muka Tengkorak terbatuk-batuk dan menjadi agak kikuk juga.

Dia tidak takut kepada orang-orang Hek-liong-pang ini. Dan terhadap Pangcu mereka, dia hanya merupakan seorang kenalan saja. Tentu saja ia merasa sungkan, akan tetapi dia pun sudah mengenal siapa Ma-bin Lo-mo dan melanggar janji terhadap kakek sakti ini berarti bunuh diri. Maka ia lalu berkata, "Kalian mentaati perintah, aku pun demikian. Tidak ada jalan lain, kalian harus meninggalkan perahu kalian sekarang juga, karena perahu kalian harus ditenggelamkan di sini!"



Kembali seruan marah dan penasaran keluar dari tiga belas buah mulut dan wajah para rombongan Hek-liong-pang menjadi merah. Si Jenggot Panjang yang tahu bahwa perintah itu merupakan perintah yang mengajak berkelahi, menyangka bahwa tentu di antara orang-orang yang berada di samping Swi Coan itu yang merupakan biang keladinya. Akan tetapi dia tidak mengenal yang lain-lain dan melihat bahwa di situ terdapat dua orang anak dalam keadaan terbelenggu, dia mengerutkan keningnya dan bertanya.

"Kalau kami boleh bertanya, siapakah yang mengeluarkan perintah gila itu? Apakah Losuhu (sebutan untuk hwesio) itu?"

Si Muka Tengkorak Swi Coan tersenyum dan mukanya makin mengerikan karena seperti tengkorak yang dapat tertawa. "Losuhu ini adalah sahabatku yang terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Kek Bu Hwesio seorang tokoh dari Kong-thong-pai."

Tiga belas orang anak buah Hek-liong-pang terkejut. Nama Kek Bu Hwesio memang amat terkenal sebagai seorang tokoh yang menyeleweng dari Kong-thong-pai sehingga terusir dari perkumpulan silat yang besar itu. Mereka semua maklum bahwa hwesio itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

"Ada pun dia itu adalah Ouw Kian yang terkenal dengan julukan Ouw-bin-taihiap (Pendekar Besar Bermuka Hitam)."

Kembali tiga belas orang itu terkejut. Dalam dunia kang-ouw nama Si Muka Bopeng ini sungguh tidak kalah oleh nama besar Kek Bu Hwesio atau bahkan Si Muka Tengkorak sendiri. Ouw-bin-taihiap hanya julukannya saja taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya memiliki cacat yang amat menyolok, yaitu merupakan seorang pendekar yang biar pun suka memusuhi orang-orang golongan liok-lim (perampok dan bajak), namun terkenal pula sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga alias tukang memperkosa wanita). Tak mereka sangka bahwa Si Muka Tengkorak itu kini berkawan dengan orang-orang pandai itu.

"Hemmm, nama besar kedua orang Lo-enghiong ini pun sudah kami dengar sejak lama, namun sepanjang ingatan kami, belum pernah kami dari Hek-liong-pang bentrok dengan mereka. Mengapa mereka sekarang memusuhi kami?"

"Sama sekali tidak memusuhi!" kata Si Muka Tengkorak Swi Coan. "Seperti juga aku, kedua orang sahabatku ini pun hanya pembantu-pembantu yang mentaati perintah beliau ini." Dia menuding ke arah Ma-bin Lo-mo yang masih duduk bersila sambil tidak menghiraukan mereka sama sekali, seperti orang mengantuk.

Kini tiga belas pasang mata memandang ke arah Ma-bin lo-mo dengan heran dan penuh rasa penasaran. Kakek berpakaian hitam itu kelihatannya saja aneh, mukanya amat buruk dan lucu, seperti muka kuda. Akan tetapi mereka belum pernah melihatnya sama sekali. Tiga orang itu biar pun sakti, namun para anak buah Hek-liong-pang yang mengandalkan jumlah banyak masih tidak merasa gentar, apa lagi terhadap kakek asing yang mukanya seperti kuda itu.

"Siapakah locianpwe ini?" tanya Si Jenggot Panjang menyebut locianpwe karena dapat menduga bahwa biar pun mereka belum mengenalnya, namun kakek yang memiliki tiga orang pembantu seperti tiga orang tokoh itu pastilah seorang yang amat tinggi kepandaiannya dan pastilah terkenal.

Swi Coan tersenyum lebar. "Kalian ini orang-orang muda seperti tidak bermata dan tidak bertelinga, masa tidak mengenal Siangkoan-locianpwe dari In-kok-san?"

Si Jenggot Panjang dan para adik seperguruannya memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, namun mereka tidak juga dapat mengingat siapa adanya seorang sakti she Siangkoan yang berdiam di In-kok-san.

Akan tetapi seorang di antara dua wanita itu berkata lirih, "Mukanya... jangan-jangan dia... Ma-bin Lo-mo....” Tiga belas orang itu terkejut dan memandang makin terbelalak.

Ma-bin Lo-mo menengok dan memandang tiga belas orang itu. "Lihat baik-baik, bukankah mukaku seperti muka kuda? Aku benarlah Si Iblis Ma-bin Lo-mo. Hayo kalian lekas-lekas meloncat ke air. Hal ini hanya kulakukan mengingat kalian telah mengenal Swi Coan."

Tiga belas orang anggota Hek-liong-pang itu benar-benar kaget. Mereka tidak pernah mengira akan berjumpa dengan seorang di antara datuk-datuk persilatan yang kabarnya sudah menyembunyikan diri itu, di antaranya adalah Si Muka Kuda ini. Akan tetapi karena perintah gila itu sama artinya dengan membunuh diri, tentu saja mereka sedapat mungkin hendak membela diri.

"Maaf, Locianpwe. Terpaksa kami tidak dapat meninggalkan perahu, karena kami harus tunduk terhadap perintah Pangcu kami."

"Swi Coan, tidak lekas turun tangan menunggu apa lagi?" Ma-bin Lo-mo membentak kepada tiga orang pembantunya.

"Kalian tidak lekas meloncat meninggalkan perahu?" teriak Si Muka Tengkorak sambil berjalan ke pinggir perahu, diikuti oleh dua orang temannya.

"Suhu! Kalau mereka disuruh meloncat ke air, bukankah hal itu sama saja dengan membunuh mereka? Mereka tidak bersalah, mengapa akan dibunuh?" Han Han yang tidak dapat menahan kemarahannya lagi berteriak nyaring.

"Tutup mulutmu, murid murtad!" bentak Ma-bin Lo-mo marah.

Tentu saja tiga belas orang anggota Hek-liong-pang menjadi terheran-heran mendengar betapa anak laki-laki yang dibelenggu itu menyebut suhu kepada Ma-bin Lo-mo. Murid sendiri dibelenggu seperti itu, apa lagi terhadap orang lain. Alangkah kejamnya Si Muka Kuda itu. Akan tetapi karena mereka semua maklum bahwa kalau meloncat ke air tentu mati, Si Jenggot Panjang berkata.

"Sungguh menakjubkan! Si murid lebih bijaksana dari pada gurunya! Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), karena kami adalah orang-orang yang menjunjung kegagahan dan sebagai anak buah Hek-liong-pang yang menaati perintah Pangcu, juga sebagai orang-orang gagah yang tentu saja hendak mempertahankan nyawa, kami terpaksa akan membela diri dan tidak mau menurut perintah gila itu!"

"Orang-orang muda yang keras kepala!" teriak Ouw Kian si muka Bopeng.

Mereka bertiga sudah meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu Hek-liong-pang itu. Sebagai orang-orang yang lebih tinggi tingkatnya, tiga orang itu tidak mengeluarkan senjata mereka dan hendak memaksa tiga belas orang lawan mereka itu untuk dilempar ke laut.

Akan tetapi mereka kecelik. Tiga belas orang itu adalah tokoh-tokoh pilihan dari Hek-liong-pang dan kini ketua mereka mengutus mereka melakukan pekerjaan yang amat penting, yaitu mencari Pulau Es. Tentu saja ketua Hek-liong-pang tidak mau mengutus anak buah yang kepandaiannya rendah.

Begitu melihat tiga orang kakek yang lihai itu meloncat ke perahu mereka, tiga belas orang itu sudah siap mencabut golok masing-masing dan membentuk sebuah barisan melingkar, merupakan lingkaran yang kokoh kuat, barisan golok yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Begitu tiga orang kakek itu mendarat di perahu mereka, tiga belas orang yang membentuk lingkaran ini sudah bergerak, setengah berlari berputaran sehingga lingkaran itu bergerak-gerak dan tiga orang kakek berada di luar lingkaran.

Ketika tiga orang kakek itu sambil berteriak maju menyerang dengan kedua tangan mereka, hendak mencengkeram seorang lawan dan dilempar ke laut, tangan mereka masing-masing bertemu dengan tiga empat buah golok yang sekaligus menangkis dan membacok secara lihai sekali. Mereka terkejut, cepat mengelak dan hendak membalas dengan hantaman kilat. Namun lingkaran itu bergerak dan mereka berhadapan dengan lain lawan sehingga mereka kembali harus mengubah posisi dan gerakan. Ternyata barisan tiga belas golok ini lihai sekali dan dapat bekerja sama dengan baik, saling membantu dan saling melindungi.

Tiga orang kakek itu mulai berputaran mengelilingi lingkaran itu, melakukan segala usaha untuk menyerang, namun selalu tidak berhasil. Andai kata tiga belas orang anggota Hek-liong-pang itu mau menyerang, tentu mereka bertiga akan dapat ‘memasuki’ pertahanan mereka dan merobohkan seorang di antara mereka. Akan tetapi tiga belas orang itu tahu bahwa tingkat kepandaian lawan mereka jauh lebih tinggi, maka mereka memusatkan perhatian dan tenaga mereka semata-mata untuk pertahanan sehingga kedudukan mereka kuat sekali. Betapa pun tiga orang kakek itu berusaha, selalu serangan mereka gagal, karena setiap serangan seorang di antara mereka berhadapan dengan tiga empat orang yang menangkisnya.

Setelah lewat dua puluh jurus belum juga tiga orang pembantunya merobohkan seorang pun di antara tiga belas orang anggota Hek-liong-pang. Ma-bin Lo-mo menjadi hilang sabar. "Sialan! Kalian menjadi pembantu-pembantuku namun tiada gunanya. Mundur semua!"

Seruan ini segera diturut oleh tiga orang pembantunya yang meloncat kembali ke perahu kecil. Sesungguhnya, kalau mereka itu mau mencabut senjata masing-masing dan mengeluarkan seluruh kepandaian, agaknya mereka akan berhasil. Namun mereka memang setengah hati dalam pertandingan itu, masih agak segan mengingat bahwa Hek-liong-pang bukanlah musuh dan bahkan masih terhitung segolongan.

Ketua Hek-liong-pang yang bernama Ciok Ceng, berjuluk Hek-hai-liong (Naga Laut Hitam) adalah seorang bajak laut dan juga bajak sungai yang terkenal sekali. Dia terkenal sebagai bajak yang hanya mau membajak perahu-perahu saudagar dan pembesar, tidak pernah mengganggu rakyat atau nelayan, dan juga tidak pernah memusuhi orang-orang kang-ouw.

Kini terdengarlah lengking tinggi yang menyeramkan. Tubuh Ma-bin Lo-mo yang tadinya masih duduk bersila, tahu-tahu mencelat ke arah perahu Hek-liong-pang itu dengan gerakan yang cepat sekali. Tiga belas orang itu terkejut melihat tubuh kakek muka kuda itu tahu-tahu sudah menyambar ke arah mereka dan barisan itu cepat bersiap-siap dengan golok melintang di dada.

Akan tetapi mereka menjadi makin terkejut karena kakek itu begitu menotolkan kedua kaki di perahu mereka, perahu itu terguncang keras sehingga kuda-kuda kaki mereka pun menjadi kacau. Pada saat itu Ma-bin Lo-mo melakukan gerakan meloncat seperti terbang mengelilingi mereka dengan kedua lengan bergerak-gerak seperti mendorong. Terdengar pekik-pekik mengerikan dan dalam sekejap mata saja terdengar golok terlepas dari tangan, berjatuhan di lantai perahu berkerontangan disusul robohnya tubuh mereka.

Tiga belas orang itu roboh malang-melintang dan menggeliat-geliat dengan wajah berubah, mula-mula pucat, kemudian makin lama menjadi biru, dan tubuh mereka yang menggeliat-geliat itu menggigil kedinginan. Mereka itu telah menjadi korban pukulan Swat-im Sin-ciang dan akibatnya benar-benar mengerikan sekali. Mereka itu mati tidak hidup pun tidak, melainkan tersiksa oleh rasa nyeri yang diakibatkan oleh hawa dingin yang seolah-olah membuat isi dada mereka membeku!

"Hemmm, kalian memang sudah bosan hidup!" kata Ma-bin Lo-mo.

Kakek sakti ini kemudian menyambar sebatang golok musuh yang berserakan di lantai perahu, dan dengan senjata ini ia meloncat ke kepala perahu, membacok beberapa kali ke lantai dan pecahlah dasar perahu sehingga air mulai menyemprot masuk! Setelah melempar golok itu ke air, ia lalu melompat dengan enaknya ke perahu sendiri. Empat orang kakek itu berdiri di perahu mereka, memandang perahu hitam yang mulai tenggelam, membawa tiga belas orang yang menggeliat-geliat dalam sekarat.

"Ohhh... kejam sekali... aahhh, Koko, aku takut..." Lulu berkata lirih dan mulai menangis.

Han Han hanya menggigit bibir dan diam-diam membuat perbandingan antara kakek yang menjadi gurunya ini dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Sukar ia menentukan siapa di antara kedua orang itu yang lebih kejam hatinya. Memang mereka memiliki ‘pegangan’ yang berbeda, yaitu kalau Kang-thouw-kwi Gak Liat merupakan seorang yang mau tunduk kepada kerajaan Mancu, sedangkan Si Muka Kuda ini menjadi seorang penentang bangsa Mancu. Namun baginya, kedua orang itu merupakan orang-orang yang memiliki pribadi yang amat mengerikan, memiliki watak kejam yang mudah saja membunuhi orang lain seperti orang membunuh semut saja.

Ketika perahu Hek-liong-pang itu tenggelam, Han Han membuang muka, bukan merasa ngeri, tetapi merasa muak. Diam-diam ia mempertebal keinginannya untuk mempelajari ilmu silat sehingga menjadi orang pandai yang kelak akan dapat menentang manusia-manusia iblis seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang dianggap sebagai datuk-datuk golongan hitam ini.

Kembali tiga hari tiga malam telah lewat. Kini mereka benar-benar berada di tengah lautan yang bebas. Kedua orang anak itu kini tidak dibelenggu lagi, karena mereka diharuskan membantu memasak air dan nasi. Han Han dan Lulu bekerja tanpa banyak cakap. Hanya di waktu malam, kalau Lulu kedinginan karena mereka diharuskan tidur di dek yang terbuka, Han Han memeluk adiknya ini untuk menghangatkan tubuh adiknya, menghibur jika adiknya menangis dan ketakutan. Dan pada hari ke empatnya, jadi telah tujuh hari mereka memasuki lautan, perahu tiba di daerah yang banyak pulau-pulaunya. Pulau-pulau kecil yang mulai tampak dari jauh.

"Sudah belasan kali aku berkeliaran di antara pulau-pulau itu selama puluhan tahun yang lalu, namun tak pernah berhasil menemukan Pulau Es," kata Ma-bin Lo-mo kepada tiga orang pembantunya sambil berdiri di kepala perahu dan menghela napas. "Akan tetapi, sekarang kabarnya banyak yang mulai mencari-cari, tentu pulau itu telah muncul pula di permukaan air."

"Apakah dahulu pulau itu tenggelam?" tanya Kek Bu Hwesio dengan nada tertarik.

"Begitulah agaknya. Ada kalanya tenggelam dan ada kalanya timbul. Kalau tidak begitu, masa dahulu dicari oleh banyak orang tidak pernah dapat ditemukan?"

"Siangkoan Locianpwe, benarkah kabarnya bahwa di atas Pulau Es itu dahulu tinggal seorang yang maha sakti?" tanya Si Muka Tengkorak.

"Saya mendengar, manusia dewa Koai-lojin tinggal di sana...?" tanya Ouw Kian si Muka Bopeng.

"Kalian bantu saja aku mendapatkan Pulau Es itu, tak usah banyak tanya-tanya. Kalau berhasil, kitab-kitab ciptaanku akan membuat kalian menjadi orang-orang yang benar-benar lihai, tidak seperti sekarang ini, mengalahkan tiga belas ekor tikus Hek-liong-pang saja masih sulit."

"Ada perahu lagi...!" Terlambat Han Han menutup mulut Lulu dengan tangannya.

Empat orang itu sudah menengok ke belakang dan benar saja, tampak sebuah perahu besar sekali datang dengan cepatnya dari arah belakang. Kalau Han Han yang melihatnya, dia tentu tidak akan mau memberi tahu karena ia khawatir kalau-kalau penumpang-penumpang perahu itu akan menjadi korban kekejaman Ma-bin Lo-mo lagi. Akan tetapi mereka sudah mendengar dan sudah melihat datangnya perahu itu, maka ia pun hanya ikut memandang dengan kening berkerut.

Seperti juga tiga hari yang lalu ketika perahu Hek-liong-pang itu muncul, kini Ma-bin Lo-mo menggunakan kekuatan pandang matanya untuk meneliti perahu besar itu dan suaranya terdengar tegang ketika ia berkata.

"Wah, sekali ini perahu Mancu! Kalian bertiga harus bersiap-siap dan jangan seperti anak kecil seperti ketika menghadapi Hek-liong-pang. Kurasa Setan Botak berada di kapal itu dan kita harus bersiap untuk bertempur mati-matian. Lawan yang sekarang ini tidak boleh dipandang rendah."

"Setan Botak ? Kang-thouw-kwi...?" Si Muka Tengkorak Swi Coan berkata dengan suara gentar. Menggelikan sekali bagi Han Han melihat orang yang mukanya buas mengerikan seperti itu kini kelihatan ketakutan!

"Tak usah khawatir! Gak Liat adalah lawanku dan kalian hanya menghadapi orang-orang Mancu. Gak Liat tidak akan begitu bodoh untuk membawa orang-orang kang-ouw membantunya. Dia sendiri mengilar untuk mendapatkan pulau itu, dan hanya membonceng kepada orang-orang Mancu. Ha-ha-ha!"

Sekali ini pun dugaan Ma-bin Lo-mo amat tepat. Perahu besar itu perahu Kerajaan Mancu dan karena besar dan layarnya banyak, amat laju dan sebentar saja perahu Ma-bin Lo-mo tersusul. Setelah makin dekat, tiga orang kakek itu pun dapat melihat seorang botak berdiri di kepala perahu, sedangkan anak buah perahu besar itu terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang tinggi besar berpakaian perwira-perwira Mancu!

"Bagus! Hanya tiga puluh orang perwira Mancu! Tiga belas orang Hek-liong-pang tadi masih lebih berat kalau dibandingkan dengan tiga puluh ekor anjing Mancu. Kalian bertiga sikat habis mereka, dan mengenai Setan Botak, akulah lawannya!" kata Ma-bin Lo-mo penuh semangat. "Mereka berada di sekitar daerah ini, kalau begitu tujuan kita tidak keliru. Pasti Pulau Es berada di sekitar tempat ini. Perwira-perwira Mancu itu tidak akan membuang waktu sia-sia kalau belum tahu dengan pasti."

Pada saat itu, biar pun jarak di antara kedua perahu itu masih jauh, terdengar suara yang terbawa angin, jelas dan mengandung getaran amat kuatnya!

"Ha-ha-ha-ha! Iblis Muka Kuda, engkau di sana itu? Ha-ha-ha, bagus sekali! Aku akan setengah mati kegirangan menyaksikan engkau mampus di tengah lautan!”

Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Ouw Kian terkejut sekali. Seorang yang memiliki khikang begitu kuat, yang dapat mengirim suara menerobos angin laut sehingga dalam jarak sejauh itu dapat terdengar begitu jelas, adalah seorang lawan yang amat berat! Akan tetapi kegelisahan mereka lenyap dan terganti kagum ketika mereka melihat Ma-bin Lo-mo berdiri di kepala perahu sambil mengeluarkan suaranya yang didorong oleh khikang yang amat kuat. Suara itu terdengar perlahan saja oleh tiga orang itu, akan tetapi menggetar dan penuh tenaga mukjizat.

"Gak Liat Si Setan Botak! Engkau menggiring anjing-anjing Mancu ke sini? Bagus, dekatkan perahumu dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menjadi santapan ikan! Ada pun anjing-anjing Mancu itu, suruh mereka mengeroyok!"

"Ha-ha-ha, Ma-bin Lo-mo, apakah kau kira aku begitu bodoh? Kulihat kau membawa pembantu-pembantu. Si Muka Tengkorak, Si Hwesio Palsu, dan Si Muka Bopeng! Para Ciangkun yang datang bersamaku tentu tidak mau merendahkan diri bertanding melawan pembantu-pembantumu. Ha-ha-ha! Kau sendiri tentu akan mampus kalau melawanku, akan tetapi ada pekerjaan penting yang lebih berharga bagiku. Maka menyesal sekali aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Iblis Muka Kuda! Sekarang mampuslah bersama para pembantumu!"

Setelah terdengar suara Kang-thouw-kwi ini, dari perahu para perwira Mancu itu meluncur banyak anak panah yang tertuju kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Namun dengan kibasan tangan mereka, empat orang kakek sakti itu dapat meruntuhkan semua anak panah yang menyambar mereka. Ada pun Han Han cepat menarik tangan Lulu diajak bertiarap di atas dek perahu, kemudian sambil merangkak Han Han menggandeng Lulu, hendak diajak mengungsi dan bersembunyi di dalam kamar perahu. Melihat ini Si Muka Tengkorak lalu menendang kedua orang anak itu roboh.

"Belenggu mereka, agar jangan mengganggu!" kata Ma-bin Lo-mo yang teringat bahwa Han Han pernah menjadi kacung Setan Botak dan khawatir kalau-kalau murid murtad itu akan berkhianat. Si Muka Tengkorak cepat melaksanakan perintah ini, mengikat tubuh kedua orang anak dengan tangan mereka ditelikung ke belakang, kemudian melemparkan mereka di sudut lantai perahu.

"Ha-ha-ha, Setan Botak! Anak panah-anak panah macam ini kau kirim kepada kami? Boleh habiskan anak panah-anak panah semua anjing Mancu!" Ma-bin Lo-mo tertawa mengejek untuk memanaskan hati lawan agar perahunya makin mendekat sehingga ia bersama tiga orang pembantunya dapat meloncat dan menyerbu.

Ia percaya bahwa tiga orang pembantunya pasti akan dapat mengalahkan para perwira Mancu dan agaknya hal itu diketahui pula oleh Kang-thouw-kwi. Akan tetapi ternyata Kang-thouw-kwi amat cerdik dan biar pun para perwira Mancu membujuk dengan hati panas untuk mendekatkan perahu, Si Setan Botak menolaknya, bahkan lalu memberi saran untuk melepas anak panah berapi!

Serangan ini dilakukan dan terkejutlah Ma-bin Lo-mo. Tak disangkanya musuh akan menggunakan akal keji ini. Setelah puluhan batang anak panah yang membawa kain berminyak dan berkobar itu datang meluncur berhamburan, dia dan tiga orang yang membantunya menjadi repot sekali. Selain harus menangkis dan menghindarkan diri, mereka harus pula berusaha memadamkan api yang dibawa anak panah menancap pada bilik perahu dan pada layar.

"Celaka, perahu terbakar!" seru Kek Bu Hwesio.

Dan benar saja, tiga orang itu kekurangan tenaga untuk memadamkan api yang mulai membakar perahu. Mereka masih terus berusaha, namun akhirnya bilik perahu itu dimakan api. Api berkobar besar dan mengancam untuk membakar semua yang berada di perahu.

"Kita harus meninggalkan perahu!" seru Ma-bin Lo-mo. "Putuskan pengapung perahu dari bambu di kanan kiri dan pergunakan untuk penyelamat diri!"

Tiga orang pembantunya yang sudah panik itu cepat melompat dari atas perahu yang terbakar. Mula-mula Si Muka Tengkorak yang lebih dahulu meloncat ke air, disusul oleh Si Muka Bopeng yang tadinya berusaha memadamkan api di atas atap bilik. Dari atas atap bilik ia melayang turun ke air dengan gerakan seperti hendak terbang. Ada pun Kek Bu Hwesio yang tangannya gosong terjilat api, cepat meloncat pula ke air.

Tiga orang ini mematahkan bambu pengapung perahu di kanan kiri dan menggunakan bambu-bambu itu untuk menyelamatkan diri dari bahaya tenggelam. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri sudah masuk ke dalam bilik yang berkobar, dan keluar kembali membawa sebuah ember. Ember yang disangkanya berisi minyak yang disediakan untuk memasang lampu itu ia siramkan ke atas tubuh Han Han dan Lulu sambil tertawa, "Aku tidak berhak menghukummu, biarlah sekarang kalian ikut berkobar bersama perahu!" Setelah menyiramkan isi ember yang disangkanya minyak itu, Ma-bin Lo-mo melompat ke air menyusul kawan-kawannya.

Han Han segera mengerti bahwa dalam keadaan marah dan panik itu Ma-bin Lo-mo telah keliru ambil. Di dalam bilik hanya terdapat sebuah ember yang terisi minyak dan belasan ember terisi air, yaitu air persediaan untuk minum. Begitu disiram, Han Han tahu bahwa yang membasahi dia dan Lulu bukanlah minyak, melainkan air. Diam-diam ia menjadi geli dan girang, akan tetapi hanya sebentar. Bagaimana dia bisa girang kalau bahaya api itu sedemikian hebatnya? Melompat ke air berarti mati tenggelam karena kedua tangan mereka terbelenggu. Tidak melompat akan mati terbakar.

"Koko... aku takut.... api itu akan membakar kita...”

Tiba-tiba saja air laut bergelombang hebat dan sinar matahari tertutup mendung tebal yang tanpa mereka sadari sejak tadi telah mengumpul. Di udara yang gelap oleh mendung itu tampak kilat menyambar-nyambar. Agaknya langit menjadi marah menyaksikan ulah manusia-manusia yang berwatak bejat itu. Atau kebetulan sajakah pada saat itu badai mulai mengamuk? Tak ada manusia yang dapat menjawab, namun kenyataannya ombak makin membesar dan langit makin gelap.

"Lulu, lekas berdiri, contohlah aku. Kita bakar belenggu kita pada api!" kata Han Han sambil bangkit berdiri dan mendekati api yang membakar bilik perahu.

Dia mendekatkan belenggu tangannya pada api dan hal ini dapat ia lakukan dengan mudah karena begitu terjilat api, otomatis tenaga inti Hwi-yang Sinkang yang sudah berada di tubuhnya bekerja sehingga kedua tangannya tidak terasa panas sama sekali, bahkan hangat-hangat nyaman! Akan tetapi ketika Lulu mencoba untuk mencontoh kakaknya, ia menjerit dan cepat-cepat menarik kembali tangannya yang untung belum terlanjur terbakar.

Han Han dapat membebaskan belenggu tangan yang sudah terbakar. Cepat ia lalu melepaskan ikatan adiknya. "Hayo kita meloncat ke air!" teriak Han Han.

"Tidak...! Aku takut...!" kata Lulu sambil menangis dan menutupi mukanya agar jangan terlihat olehnya gelombang hebat yang seolah-olah hendak menelannya itu.

Angin menderu keras dan Han Han berteriak melawan suara angin, "Apakah kau ingin terbakar api?"

Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar kilat menyambar di atas kepala, keras sekali dan kedua orang anak itu dengan gerakan reflex yang tak disengaja sudah bertiarap di atas lantai perahu sambil menutup kedua telinga dengan tangan. Ketika mereka merangkak dan hendak bangkit kembali, tiba-tiba Lulu berteriak.

"Hujan...!"

Bukan air hujan, melainkan percikan air gelombang yang mengamuk. Perahu menjadi miring dan banyak air menyiram perahu sehingga bilik yang terbakar itu segera padam. Makin keras perahu terayun, makin hebat gelombang mengamuk dan makin gelaplah langit. Han Han yang dilempar ke dek oleh guncangan perahu, cepat menyeret tangan adiknya, dibawa memasuki bilik perahu yang sudah tidak terbakar lagi.

Ia berhasil menyeret tubuh Lulu yang menggigil itu ke dalam bilik. Biar pun perahu masih terayun-ayun sehingga tubuh mereka menabrak kanan kiri dinding, namun tidak ada bahaya mereka terlempar ke luar perahu. Babak-bundas tubuh mereka, terutama Lulu, dan benturan terakhir membuat kepala Lulu terbanting pada dinding sehingga anak itu roboh pingsan di pelukan Han Han.

Han Han sendiri sudah payah mempertahankan diri. Ketika dia bersama tubuh Lulu terbanting ke kanan, ia melihat dua buah kitab di dekatnya. Ia mengira bahwa itu tentulah kitab yang ditinggalkan oleh Sepasang Pedang Iblis, maka ia cepat mengambilnya dan memasukkannya kembali ke balik bajunya. Pada saat itu ia terbanting lagi ke kanan dan kepeningan membuat Han Han meramkan mata. Namun dalam keadaan yang setengah pingsan itu ia masih selalu teringat kepada Lulu yang dipeluknya erat-erat di dadanya.

Han Han tak dapat mengira-ngira, entah berapa lamanya badai mengamuk. Cuaca selalu gelap sehingga tidak ada bedanya antara siang dan malam, hanya ia tahu bahwa badai mengamuk lama sekali, terlalu lama. Untung bahwa di luar kesadarannya, Han Han memiliki daya tahan yang tidak lumrah manusia biasa. Badai itu mengamuk sampai dua hari dua malam, dan selama itu Lulu menggeletak dalam keadaan setengah pingsan, hanya sebentar-sebentar mengerang lalu ‘tertidur’ lagi. Namun Han Han tetap sadar!

Keadaan amat tenangnya ketika perahu berhenti terayun dan cuaca menjadi terang kembali. Han Han baru merasa betapa tubuhnya nyeri semua, tulang-tulang tubuhnya seperti remuk-remuk. Terdengar suara Lulu merintih perlahan.

"Bangunlah, Adikku, bangunlah. Badai sudah berhenti," bisiknya dan Lulu membuka matanya perlahan.

"Han-ko…, apakah kita sudah... sudah mati...? Tubuhku lemas sekali dan semua terasa sakit..."

Han Han merasa kasihan sekali. "Kita masih hidup, Lulu."

Ia mencari-cari dalam bilik yang sudah rusak keadaannya. Alangkah girang hatinya ketika ia menemukan guci arak milik Ma-bin Lo-mo. Guci ini terbuat dari pada perak dan tertutup rapat-rapat sehingga biar pun terguncang dan terlempar-lempar, tidak rusak dan isinya tidak terbuang. Ia cepat membuka tutup guci dan menuangkan sedikit arak ke mulut adiknya. Lulu meneguk arak dan tersedak, terbatuk-batuk. Akan tetapi hawa yang hangat memasuki tubuhnya dan anak itu biar pun masih amat lemah sudah dapat bangkit dan duduk, malah kemudian berkata, "Perutku lapar...”

Han Han tertawa dan pada saat itu ia pun baru sadar betapa perutnya amat perih dan lapar. Ia lalu membongkar-bongkar semua barang yang terjungkir balik di dalam bilik itu, mencari-cari perbekalan makanan Ma-bin Lo-mo dan akhirnya dengan girang ia menemukan beberapa potong roti kering. Biar pun roti ini sudah basah oleh air laut dan terasa asin, namun cukup lumayan untuk pengisi perut yang kosong, mencegah kematian karena kelaparan.

Setelah terisi roti dan arak, tenaga mereka agak pulih kembali. Han Han lalu menggandeng tangan adiknya diajak keluar dari bilik itu. Mereka mengintai ke luar dan melihat bahwa mereka berada di laut bebas, tidak tampak lagi pulau-pulau kecil, tidak tampak sama sekali perahu besar milik Kang-thouw-kwi. Han Han berusaha mencari-cari Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, akan tetapi tak tampak pula bayangan mereka. Tentu mereka sudah tenggelam, pikirnya. Dan perahu besar milik perwira-perwira Mancu itu tentu telah hanyut jauh oleh badai yang mengamuk.

Hatinya agak lega karena kini dia dan adiknya terbebas dari pada ancaman manusia-manusia iblis itu. Akan tetapi ancaman maut yang lebih mengerikan berada di depan mata. Mereka tidak mempunyai persediaan makanan cukup, terutama sekali air minum. Selain itu, perahu sudah rusak sehingga tidak dapat dikemudikan, layarnya pun sudah tinggal sedikit di bagian atasnya saja, juga tidak tampak ada daratan yang dekat. Betapa mungkin mereka dapat hidup di atas perahu rusak ini? Mereka akan mati kelaparan dan Han Han tidak tahu apa yang dapat ia lakukan untuk menyelamatkan diri dari pada ancaman maut ini.

Memang, kalau menurut perhitungan akal budi manusia, agaknya nasib dua orang anak itu sudah dapat dipastikan tewas di atas perahu itu. Tidak ada jaIan ke luar lagi dan akal manusia tidak akan dapat menyelamatkan mereka. Akan tetapi nyawa manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Apa bila Tuhan menghendaki seseorang mati, biar pun orang itu memiliki nyawa seribu rangkap, memiliki kesaktian, memiliki segala-galanya dia akan mati juga karena tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membebaskannya dari pada kehendak Tuhan. Kalau Tuhan sudah menentukan dia mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, maut tetap akan datang menjemput.

Sebaliknya, jika Tuhan belum menghendaki seseorang mati, biar pun tampaknya sudah tidak ada harapan baginya, namun ia tetap akan lolos dari ancaman maut. Demikianlah pula dengan halnya Han Han dan Lulu. Kedua orang anak ini sama sekali tidak mempunyai daya untuk lolos dari keadaan itu. Namun pada malam harinya, tiba-tiba saja turun hujan sehingga mereka dapat membasahi tenggorokan yang sudah mengering dan membengkak! Dan hujan ini disusul dengan tiupan angin yang mengguncang air sehingga ombak datang bergulung-gulung.

Han Han dan Lulu kembali bersembunyi di dalam bilik perahu yang sudah rusak, saling berpelukan dan menghadapi kematian yang agaknya sekali ini takkan dapat mereka hindarkan lagi. Mereka merasa betapa perahu itu bergerak, dilontarkan oleh gelombang air laut. Lulu tidak dapat menangis lagi, hanya memeluk pinggang Han Han, menyembunyikan mukanya di dada kakaknya sambil berbisik dengan suara gemetar.

"Kita mati, Koko... kita mati... akan tetapi jangan tinggalkan aku... kita bersama…”

Suara dan ucapan Lulu itu mendatangkan rasa puas dan lega di hati Han Han. Apa pun yang akan terjadi, dia tidak sendirian, dia mempunyai seorang adik yang mencintanya dan yang dicinta. Dia tidak akan merasa penasaran biar pun dia akan mati, asal dia dapat mati bersama Lulu agar di mana pun juga, ia akan dapat mengawani dan melindungi adiknya ini.

Karena tubuh mereka sudah amat lemah, kepala pening dan pikiran mereka menjadi lemah pula, mereka tidak tahu lagi berapa lama mereka berdekapan di dalam bilik. Perahu itu diombang-ambingkan terus dan cuaca menjadi gelap, kemudian berubah terang, gelap lagi sampai lama sekali dan tiba-tiba mereka terlempar dan menumbuk dinding. Perahu itu membentur sesuatu!

Han Han membuka matanya dan melihat bahwa cuaca sudah menjadi terang. Ada sinar menerobos masuk ke dalam bilik dan hawa udara amatlah dinginnya. Perahu itu tidak bergerak lagi.

"Lulu, badai sudah berhenti lagi… mari… mari kita keluar..." kata Han Han dengan suara lemah.

Lulu membuka matanya. Ia merasa nyaman dan senang dalam pelukan Han Han, seperti dinina-bobokkan dan ia merasa malas untuk bangun, malas untuk membuka mata. Ingin rasanya ia memejamkan mata dan tidur selamanya dalam keadaan seperti itu. Ia takut akan melihat dan menemukan hal-hal yang mengerikan kalau membuka matanya.

"Lulu... mari kita keluar.... Kita harus berusaha untuk mendarat..."

"Oohhh... lebih senang begini, Koko...." Lulu mempererat rangkulannya pada pinggang Han Han dan sama sekali tidak mau membuka matanya.

Han Han menunduk dan ketika ia melihat wajah adiknya yang kurus dan amat pucat seperti mayat itu, hatinya seperti ditusuk rasanya. Entah mengapa ia seperti mendapat firasat bahwa kalau didiamkannya saja keadaan adiknya ini, tak lama lagi ia akan kehilangan Lulu!

Maka ia menguncang pundak Lulu dan berkata keras. "Tidak! Selama nyawa masih di badan kita, kita harus berusaha! Bangunlah, Adikku sayang. Jangan takut, Kakakmu akan selalu berada di sampingmu!"

Lulu membuka matanya dan seperti seorang yang baru bangun dari mimpi buruk ia mengejap-ngejapkan matanya, seolah-olah silau melihat cahaya terang yang memasuki bilik perahu. Kemudian dengan tubuh lemas ia bangkit dan menggandeng tangan kakaknya. Ketika Han Han menariknya berdiri, Lulu menuding ke lantai dan berkata.

"Koko, kitab-kitabmu tercecer..."

Han Han menunduk dan ia terheran. Ia meraba-raba pinggangnya dan mendapat kenyataan bahwa kitab-kitabnya memang tidak berada di saku bajunya sebelah dalam lagi. Akan tetapi, mengapa ada tiga buah kitab? Bukankah Sepasang Pedang Iblis memberinya dua buah kitab yang sudah disatukan? Ia berjongkok dan mengambil kitab-kitab itu.

Yang sebuah adalah kitab tebal dan ternyata adalah dua buah kitab yang disatukan, kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi yang dua buah lagi adalah kitab-kitab yang baru dilihatnya saat itu. Kini mengertilah ia bahwa dua buah kitab yang dia simpan di balik bajunya ketika perahu terbakar, adalah dua buah kitab yang baru inilah. Sekilas pandang ia membaca judul dua buah kitab itu.

Yang sebuah berjudul ‘Menghimpun Tenaga Im-kang’ dan yang kedua berjudul ‘Berlatih Semedhi dan Lweekang’, keduanya ditulis oleh Ma-bin Lo-mo. Mengertilah ia kini bahwa dua buah kitab itulah yang agaknya oleh Ma-bin Lo-mo dijanjikan kepada tiga orang pembantunya. Tentu ada sebuah kitab lagi yang entah lenyap di mana, akan tetapi ia tidak peduli. Ia mengambil tiga buah kitab itu dan menggandeng tangan Lulu diajak keluar dari bilik.

Ketika muncul di luar bilik perahu, mereka mengeluarkan seruan kaget, kagum dan juga girang. Kiranya perahu rusak itu telah terdampar di antara kepulauan yang kelihatannya aneh sekali, serba putih! Bahkan pohon-pohon yang tampak di situ diliputi salju. Pulau Es! Pikiran ini memasuki ingatan Han Han dan ia diserang rasa girang yang amat luar biasa sehingga terhuyung ke depan.

"Pulau Es...! Lulu, kita berada di Pulau Es !" Han Han berteriak-teriak dan menarik tangan Lulu untuk keluar dari perahu itu, lupa akan kelemahan tubuhnya dan lupa bahwa Lulu tidak berkepandaian.

Han Han yang menarik tangan adiknya itu membawanya melompat turun dari perahu ke atas daratan yang tertutup salju. Untung bahwa salju itu merupakan tilam yang lunak sehingga mereka tidak terluka ketika jatuh bergulingan. Mereka bahkan tertawa-tawa karena merasa bahwa kini mereka akan tertolong.

“Kita selamat…! Kita mendarat...!” seru Han Han sambil tertawa-tawa dan napasnya terengah-engah.

Anak ini dengan keadaan tubuhnya yang tidak lumrah telah berhari-hari dapat bertahan terhadap segala kesengsaraan, dan semua itu terdorong oleh semangatnya untuk menyelamatkan Lulu. Kini setelah kekuatan yang luar biasa dan yang tadinya ia pergunakan untuk mempertahankan dirinya itu mendapat jalan ke luar karena kelegaan dan kegembiraannya, ia tiba-tiba menjadi lemah sekali dan bernapas pun menjadi sukar. Ia berjalan maju, tersandung-sandung sambil tertawa-tawa, diikuti dari belakang oleh Lulu yang terus memegangi tangan kirinya. Tiba-tiba Han Han yang tertawa-tawa itu terguling roboh menelungkup di atas salju. Tiga buah kitab yang tadi dipegang di tangan kanannya terlepas.

"Koko...! Han-ko....! Ah, Han-ko, bangunlah..." Lulu mengguncang-guncang tubuh kakaknya, akan tetapi Han Han tidak bergerak.

Melihat kakaknya seperti itu, Lulu menjerit-jerit dan menangis tanpa mengeluarkan air mata karena sudah terlalu banyak menangis dan matanya sudah terlalu kering sehingga agaknya tidak mempunyai air mata lagi.

"Han-ko...! Jangan mati, Han-ko.... Jangan tinggalkan aku...!" Lulu menjerit-jerit dan memeluki tubuh Han Han.

“Gerrrrr……!”

Suara gerengan yang menggetarkan pulau itu membuat Lulu terkejut sekali dan anak ini mengangkat mukanya yang tadi ia letakkan di atas punggung Han Han. Ketika ia bangkit dan mengangkat muka, matanya terbelalak lebar sekali, mulutnya ternganga dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi seperti kertas. Tidak ada suara keluar dari mulutnya. Lulu menjadi begitu kaget dan ngeri sehingga ia sudah kehilangan suaranya, hanya melongo seperti orang mimpi atau kehilangan akal.

Di depannya, dekat sekali, berdiri seekor binatang yang amat besar, seekor beruang yang berbulu putih. Beruang itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya, besar dan tinggi sekali, mengeluarkan suara menggereng-gereng dan matanya yang merah itu sejenak memandang ke arah perahu yang terdampar, kemudian menunduk dan memandang kepada Han Han dan Lulu. Mulutnya yang terbuka itu memperlihatkan rongga mulut dan lidah yang merah dan gigi bertaring yang putih, kuat dan meruncing. Setelah menggereng beberapa kali, binatang besar itu lalu menurunkan kedua kaki depannya, merangkak menghampiri Han Han.

"Ohhhhh, tidak... jangan…!" Lulu menggeleng kepalanya. "Jangan mengganggu Han-ko...!"

Memang luar biasa sekali cinta kasih bocah ini terhadap kakak angkatnya. Andai kata tidak ada kekhawatirannya terhadap Han Han, tentu ia sudah roboh pingsan seketika itu juga saking ngerinya. Kini melihat beruang itu mendekati Han Han, Lulu melupakan rasa takutnya dan berusaha mengusir beruang itu dengan suara dan gerakan tangan!

Namun beruang itu agaknya tidak mempedulikan Lulu, menggunakan kedua kaki depan seperti sepasang lengan manusia, memondong tubuh Han Han dengan amat ringannya, kemudian bangkit berdiri lagi dan berjalan terseok-seok sambil memondong tubuh Han Han yang masih pingsan!

Lulu terbelalak, seperti terpesona. Beruang itu tidak menggigit Han Han, tidak mengganggunya, malah memondong dan seperti hendak menolongnya! Ia pun lalu bangkit perlahan, mengambil tiga buah kitab yang tertinggal di situ, kemudian berjalan perlahan-lahan mengikuti beruang itu. Dia merasa terlalu takut kalau beruang itu menjadi marah dan mengganggu Han Han, maka Lulu melangkah maju tanpa mengeluarkan suara, bahkan setengah menahan napas karena mengkhawatirkan keselamatan kakaknya.

Betapa indahnya dunia ini kalau perasaan kasih sayang yang begitu murni dan berada dalam hati setiap orang manusia itu diperkembangkan! Betapa sucinya cinta kasih sehingga dalam detik-detik yang mengancam diri sendiri, orang masih lupa akan bahaya yang mengancam diri pribadi, bahkan mengkhawatirkan keselamatan orang yang dikasihinya. Cinta kasih murni ini sajalah yang mampu mengalahkan dan mengusir kelemahan utama manusia, yaitu mementingkan diri pribadi (egoisme). Cinta kasih adalah suatu sifat yang suci, sebuah di antara sifat Tuhan Yang Maha Kasih.

Beruang putih atau beruang es itu berjalan terus membawa Han Han ke tengah pulau. Dalam kekhawatirannya akan keselamatan kakaknya, Lulu yang sebetulnya sudah amat lemah itu kini dapat berjalan terus mengikuti beruang itu sampai ke tengah pulau. Padahal tadi, melangkah setindak pun sudah terasa amat berat bagi tubuhnya yang kurang makan sampai berhari-hari dan telah mengalami kesengsaraan hebat itu.

Alangkah heran hati Lulu ketika ia melihat sebuah bangunan yang cukup besar di tengah pulau dan ke arah bangunan itulah beruang besar tadi membawa Han Han. Jantungnya berdebar tegang. Kalau ada rumahnya, tentu ada orangnya! Orang macam apakah yang tinggal di pulau kosong ini? Lulu terus mengikuti beruang itu yang membawa Han Han memasuki bangunan, terus masuk ke dalam. Lulu melongo.

Bangunan itu amat indahnya, dibuat dengan gaya seni yang luar biasa. Akan tetapi ia tidak sempat untuk mengagumi semua itu karena matanya mencari-cari penghuni rumah itu. Kosong dan sunyi saja. Dan beruang itu membawa Han Han masuk ke sebuah kamar yang besar, kemudian membaringkan tubuh Han Han di atas sebuah pembaringan yang bertilam kain berbulu tebal.

Kamar itu pun bersih dan dindingnya penuh dengan tulisan-tulisan tangan yang indah-indah. Di sudut kamar itu terdapat sebuah tempat perapian. Lulu yang tidak tahu harus berbuat apa, duduk di tepi pembaringan, memegang tangan Han Han dan mengguncang-guncangnya. Namun Han Han seperti orang tertidur pulas, tidak juga terbangun. Dengan ketakutan yang makin meningkat, Lulu mengikuti gerakan-gerakan beruang itu dengan pandang matanya dan ia makin terbelalak keheranan.

Beruang itu benar-benar luar biasa sekali, seperti manusia saja. Kini binatang yang berdiri seperti manusia itu menghampiri perapian, kaki depannya yang tergantung di depan dengan kaku itu lalu mengambil kayu kering, dilemparkannya ke perapian dan dituangkannya minyak di atas perapian. Semua ini dilakukan dengan jepitan kedua tangan atau kedua kaki depannya yang besar. Kemudian binatang itu mengambil dua batang pedang pendek yang tadinya tergantung di dinding, di atas perapian.

Lulu menahan pekiknya dengan tangan. Kiranya beruang itu hendak menyembelih dia dan Han Han, pikirnya dengan hati ngeri. Ia melihat betapa beruang itu, mencengkeram sepasang pedang dengan kedua kaki depannya, kemudian membuat gerakan seperti orang bersilat pedang. Dua batang pedang itu berkelebat menjadi sinar putih dan saling bertemu, menerbitkan suara yang nyaring sekali.

“Cringgggg...!”

Bunga api muncrat di dekat perapian, menyambar kayu yang sudah basah oleh minyak dan menyala-lah kayu itu di dalam tungku. Beruang itu dengan mulut menyeringai lalu mengembalikan sepasang pedang tadi, digantungkan di atas dinding. Kemudian binatang itu menambahkan kayu kering sehingga api dalam tungku membesar dan terusirlah hawa dingin setelah hawa panas api di tungku itu mulai terasa oleh Lulu. Beruang itu lalu memandang Lulu, mengeluarkan suara gerengan pendek kemudian keluar dari kamar.

Lulu seperti baru sadar dari mimpi, mengguncang-guncang pundak Han Han. "Koko...! Koko…! Bangunlah... Ada… ada binatang aneh...!" Akan tetapi Han Han belum juga sadar sehingga akhirnya Lulu menangis di atas dada kakaknya.

Akan tetapi ia segera menghentikan tangisnya karena beruang itu sudah kembali memasuki kamar. Mulutnya menggigit daun-daunan yang membeku dan kedua kaki depannya membawa benda putih membeku sebesar kepala orang. Ia menurunkan semua itu di atas meja dekat perapian, kemudian ia menoleh ke arah Lulu dan kembali mengeluarkan suara gerengan-gerengan, kedua kaki depannya bergerak-gerak seperti seorang gagu kalau hendak menyatakan sesuatu.

Lulu adalah seorang gadis cilik yang cerdik juga. Kini ia mulai dapat mengerti bahwa binatang itu sama sekali tidaklah jahat. "Apakah kehendakmu?" katanya perlahan sambil turun dari pembaringan dan menghampiri beruang itu.

Binatang itu kelihatan girang, lalu menuding ke arah dinding di mana terdapat perabot-perabot dapur yang cukup, terbuat dari pada perak. Ia menuding ke arah panci dan Lulu mengerti bahwa agaknya dia disuruh masak. Mungkin daun itu adalah obat untuk menyembuhkan kakaknya! Teringat akan hal ini, cepat dia mengambil panci itu dan membawanya ke depan beruang yang kini mengambil sebongkah es yang ia masukkan ke dalam panci, kemudian dengan suara "arrhh-arrhh-urrhh-urrhhh" ia menunjuk ke perapian.

Lulu tidak mengerti mengapa dia disuruh masak es, akan tetapi ia melakukannya juga, mendekati tungku dan menaruh panci itu di atas perapian. Ketika es di dalam panci mencair menjadi air, barulah anak ini mengerti dan menjadi girang sekali. Cepat ia mengambil air dalam panci itu dan menghampiri Han Han untuk memberi minum kakaknya yang ia tahu, seperti juga dia, amat kehausan. Akan tetapi ia kaget sekali ketika tiba-tiba beruang yang besar itu melompat dengan ringannya, menghadang dan melarang dia menghampiri Han Han, lalu menunjuk-nunjuk dengan kaki depannya ke arah tungku.

"Paman beruang, aku mau memberi minum Han-ko, mengapa tidak boleh?"

Beruang itu hanya menggereng-gereng dan menunjuk ke arah tungku perapian. Kini rasa takut Lulu terhadap binatang itu sudah lenyap karena dia makin merasa yakin bahwa binatang ini tidaklah jahat dan tentu ada tersembunyi maksud-maksud baik dalam semua perbuatannya ini. Ia lalu menghampiri tungku dan menduga bahwa binatang itu menghendaki dia masak terus air dari es itu, maka ia meletakkan panci di atas api dan beruang itu mengangguk-angguk! Lulu kini mengerti. Agaknya air itu harus dimasak sampai mendidih lebih dulu sebelum diminumkannya kepada kakaknya. Akan tetapi dugaannya keliru karena kini binatang itu mengambil daun-daun beku dari atas atas meja dan memasukkan daun-daun itu ke dalam panci air.

"Ah, kiranya disuruh masak obat untuk Han-ko? Begitukah, Paman Beruang?"

Beruang itu mengangguk-angguk dan Lulu menjadi girang sehingga anak ini lalu memeluk perut beruang yang gendut dan mendekapkan mukanya pada dada yang bidang dan kuat itu. Beruang itu mengeluarkan suara ngak ngak nguk nguk dan kaki depannya yang kiri dengan gerakan halus mengusap rambut kepala Lulu!

Bocah ini menjadi girang sekali dan cepat-cepat ia menambah kayu pada perapian sehingga tak lama kemudian daun-daun beku itu termasak dan air berubah menjadi kemerahan. Setelah air masakan daun ini tinggal sedikit, beruang itu memberi tanda supaya Lulu memberi minum Han Han dengan air obat itu. Air yang tadinya mendidih sebentar saja menjadi dingin dan Lulu cepat memberi minum obat itu dengan hati-hati, menuangkannya ke dalam mulut Han Han setelah ia membuka dengan paksa mulut itu dengan tangan kirinya.

Hatinya girang sekali karena biar pun keadaannya amat lemas, ternyata Han Han dapat menelan obat itu. Kemudian atas isyarat-isyarat binatang yang luar biasa itu, Lulu memasak benda putih biasa itu. Lulu memasak benda putih yang ternyata adalah segumpal gandum yang kemudian dimasak menjadi bubur encer. Mulailah anak yang amat mencinta kakaknya itu menyuapkan bubur ke mulut Han Han yang sudah dapat bergerak, namun agaknya masih belum sadar betul itu. Setelah Han Han tertidur dengan wajah agak merah, barulah Lulu teringat untuk makan dan minum. Kemudian ia pun menggeletak tertidur di atas pembaringan di dekat kaki Han Han.

Atas perawatan yang tekun dari Lulu yang selalu diberi petunjuk oleh beruang es yang luar biasa itu, dalam waktu sepekan saja Han Han telah sembuh dari sakitnya. Setelah sadar benar, dengan terheran-heran Han Han mendengarkan cerita Lulu tentang beruang es itu dan Han Han tanpa ragu-ragu lalu bangkit memeluk binatang itu yang mengeluarkan suara seperti orang kegirangan! Setelah Han Han pulih kembali kesehatannya, barulah ia bersama Lulu mengadakan pemeriksaan, diantar oleh beruang putih.

Bangunan itu cukup besar dan mewah sekali. Mempunyai banyak kamar yang serba lengkap. Kamar dimana Han Han dibaringkan adalah kamar dapur, lengkap dengan perabot dapurnya. Ada tiga buah kamar tidur yang indah dan lengkap, ada pula ruangan yang amat luas untuk belajar ilmu silat, ada pula sebuah ‘taman’ yang aneh karena di situ bunga-bunga tidak dapat tumbuh subur dan hanya beberapa macam tetumbuhan saja yang dapat hidup karena di situ selalu diliputi es dan salju. Taman ini terhias dengan batu-batu yang bentuknya indah, dengan jembatan-jembatan kayu yang mungil dan pondok kecil yang di buat dengan gaya seni indah.

Ternyata pula bahwa satu-satunya makhluk hidup yang tinggal di pulau itu hanyalah beruang es itulah. Pantas saja kalau binatang itu menjadi kegirangan karena sekaligus ia memperoleh dua orang teman! Dan tentu saja hal ini dapat dirasakan oleh beruang itu yang agaknya dahulu telah dipelihara orang.

Yang amat menarik perhatian Han Han adalah sebuah kamar perpustakaan di mana terdapat banyak sekali kitab-kitab yang aneh-aneh dan hebat-hebat. Kitab-kitab pelajaran ilmu silat, pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi-tinggi tersusun rapi di lemari buku yang besar. Kini dia mulai mengerti mengapa orang-orang kang-ouw berlomba untuk menemukan Pulau Es ini. Kiranya untuk kitab-kitab inilah!

Han Han dapat menduga bahwa yang pernah tinggal di tempat aneh ini tentulah seorang manusia sakti. Hal ini bukan hanya dapat dilihat dari adanya kitab-kitab itu, melainkan dengan mudah dapat menduga dari keadaan beruang putih itu. Hanya seorang sakti saja yang mampu menundukkan dan melatih binatang itu menjadi seekor binatang yang luar biasa, selain cerdik seperti manusia, juga memiliki tenaga yang hebat dan gerak-geriknya tangkas seperti seorang ahli silat yang pandai.

Mula-mula Han Han dan Lulu merasa seolah-olah mereka menjadi pencuri-pencuri yang memasuki rumah orang. Akan tetapi karena pulau itu benar-benar kosong, maka mereka menjadi biasa dan menganggap bahwa rumah yang mewah seperti istana itu sebagai rumah sendiri.

Kamar pertama adalah kamar yang paling besar. Perlengkapannya tidaklah sangat mewah, namun menyenangkan. Dinding kamar ini penuh dengan tulisan-tulisan yang berbentuk sajak dan Han Han amat kagum membaca sajak-sajak ini yang selain mengandung filsafat yang dalam-dalam dan pandangan yang amat luas dan bijaksana, juga ditulis amat indah.

Di bagian lain dari dinding bertulis di rumah itu, ia mendapatkan tulisan-tulisan yang sifatnya mengandung keluh-kesah, sajak-sajak duka yang membayangkan kepatahan hati. Kemudian di dalam laci sebuah meja di kamar pertama itu ia mendapatkan pula beberapa sampul surat dari kain yang dibungkus rapat dalam sebuah kantung karet. Di luar bungkusan karet ada tulisannya: ‘Diharap yang menemukan ini menyampaikannya kepada yang berkepentingan’.

Sajak terbesar yang berada di dalam kamar pertama ditulis dengan cara yang lain dari pada sajak-sajak dan tulisan-tulisan lain. Kalau tulisan lain dilakukan dengan alat tulis biasa, adalah sajak terbesar ini entah ditulis dengan apa, akan tetapi kenyataannya huruf itu seperti diukir dalam dinding. Amat indah goresannya, amat kuat dan bunyi sajaknya sukar dimengerti atau diselami oleh Han Han yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun itu.

Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapa pun juga,
cinta segi tiga tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!


Membaca sajak-sajak dan tulisan-tulisan yang memenuhi dinding rumah indah itu, Han Han hanya dapat menduga bahwa penghuni rumah ini tentulah seorang sakti yang ahli pula dalam kesusastraan, namun seorang yang banyak mengalami penderitaan dalam hidupnya sehingga tulisan-tulisannya membayangkan hati yang merana dan berduka.

Ada pun kamar yang ke dua dan ke tiga menunjukkan dengan jelas bahwa kamar-kamar itu adalah kamar wanita. Selain bersih dan mewah, juga berbau harum dan di situ masih lengkap dengan segala benda keperluan wanita, dari pakaian-pakaian sutera yang indah-indah, perhiasan emas permata sampai alat-alat kecantikan dan alat-alat menjahit dan menyulam! Tentu saja Lulu menjadi girang sekali dan menempati sebuah di antara kedua kamar ini. Juga di kamar pertama terdapat pakaian-pakaian pria sehingga kedua orang anak itu tidak perlu khawatir lagi tentang kebutuhan pakaian.

Mengenai keperluan makan, kedua orang anak itu pun sama sekali tidak khawatir. Atas ‘petunjuk’ beruang es, di dalam gudang di bawah tanah terdapat banyak sekali gandum yang dibekukan dan tidak pernah menjadi rusak. Selain ini juga lengkap terdapat bumbu-bumbu masak. Ada pun untuk keperluan daging, amat mudah didapat berkat bantuan beruang es. Binatang ini adalah seekor mahluk yang amat ahli menangkap ikan laut. Dengan demikian, segala keperluan hidup kedua orang anak itu sudah tersedia lengkap dan mulai hari itu, Han Han dan Lulu memasuki hidup baru yang amat aneh, terasing dari pada dunia ramai.

Mulailah Han Han menggembleng diri sendiri dan adiknya dengan pelajaran ilmu dari kitab-kitab yang banyak terdapat di situ. Kitab pelajaran melatih lweekang, bersemedhi dan dasar-dasar ilmu silat tinggi. Akan tetapi bagi Han Han sendiri terdapat kesulitan. Begitu membuka dan mempelajari kitab-kitab yang ditinggalkan oleh manusia sakti penghuni Pulau Es, kepalanya menjadi pening dan hatinya mendingin, sama sekali ia tidak tertarik.

Sebaliknya, ketika ia membaca dua buah kitab yang ia temukan di dalam perahu, kitab tulisan Ma-bin Lo-mo, ia dapat melatihnya dengan mudah! Selain itu, ketika ia mulai membuka kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis, ia menjadi bingung dan terheran-heran karena kitab itu ditulis dengan huruf-huruf yang sama sekali tidak dikenalnya! Huruf-hurufnya amat aneh, dengan coretan-coretan yang tak dapat dibaca sama sekali!

Akan tetapi Han Han memiliki kecerdikan yang tidak wajar. Ia mengingat pesan kakek Pedang Iblis Jantan, mengingat kembali kata-kata yang dibisikkan di dekat telinganya. "Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun."

Ia membuka dua kitab yang disatukan itu, memeriksa huruf-hurufnya dan mengingat bisikan itu. Sebentar saja Han Han sudah tersenyum kegirangan. Kiranya huruf-huruf itu sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga tanpa memiliki kuncinya, takkan dapat dibaca orang. Dengan mengingat kuncinya, maka setiap huruf dapat ditambah atau dibuang titik mau pun coretannya dan akhirnya ia dapat mengenal huruf-huruf itu! Dengan tekun Han Han lalu mulai membaca kitab-kitab itu, kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis dan kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, bahkan lalu mulai melatih diri dengan cara-cara yang tersebut dalam kitab-kitab peninggalan para datuk golongan sesat ini.

Karena pada dasarnya Han Han melatih diri dengan ilmu-ilmu sesat, maka tentu saja ia lebih mudah menggembleng diri dengan ilmu sesat. Tanpa disadarinya, ia telah mengisi dirinya dengan ilmu dari manusia-manusia sesat dan yang ternyata amat cocok dengan dirinya yang sebenarnya telah menjadi tidak normal sebagai akibat ketika ia disiksa para perwira Mancu dan kepalanya dibenturkan dinding, sedangkan perasaan hati dan pikirannya menghadapi peristiwa mala petaka hebat yang menimpa keluarganya.

Ada pun Lulu yang juga mulai belajar ilmu karena bercita-cita untuk membalas kematian keluarganya, dibimbing oleh Han Han, namun anak yang masih ‘bersih’ ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan ilmu yang didapat dari kitab-kitab peninggalan manusia sakti penghuni Pulau Es. Hanya sukar sekali baginya karena kitab-kitab itu mengandung ilmu-ilmu yang amat tinggi, sedangkan sebelum belajar ia sama sekali tidak memiliki dasar apa-apa. Baiknya Han Han pernah dipimpin oleh Lauw-pangcu, maka biar pun amat terbatas dan secara meraba-raba dan ngawur, sedikit banyak dapat juga Lulu memperoleh kemajuan.

Mula-mula, Han Han mencari di antara kitab-kitab dalam perpustakaan dan menemukan kitab pelajaran siulian dan berlatih napas yang sesuai dengan ajaran Lauw-pangcu. Ia lalu menyuruh Lulu melatih diri melalui kitab ini. Untung bahwa sebagai puteri seorang perwira, sejak kecil Lulu sudah diajar membaca sehingga lebih mudah bagi Han Han untuk membimbingnya. Dan didasari hati mendendam karena kematian orang tuanya, ditambah pula dengan meniru watak Han Han yang keras hati dan tak mengenal jerih payah, Lulu berlatih dengan tekun sekali sehingga biar pun bakatnya dalam ilmu ini tidak sehebat bakat Han Han yang memang luar biasa, dapat juga ia merasakan hasilnya.

Biasanya, semenjak berdiam di pulau yang amat dingin itu, Lulu melindungi tubuhnya dengan pakaian-pakaian dari bulu yang terdapat dalam kamar yang ditempatinya. Akan tetapi berkat latihan-latihannya, setelah dua tahun anak itu dapat mengerahkan sinkang yang mulai terkumpul di tubuhnya untuk melawan hawa dingin. Hanya kalau hawa luar biasa dinginnya, ia terpaksa masih mengenakan baju bulu yang hangat.

Setelah tubuh Lulu menjadi kuat dan gerakannya menjadi lincah, Han Han mulai memberi petunjuk kepadanya tentang pelajaran memasang kuda-kuda dan gerakan langkah kaki. Mulailah Lulu belajar silat dari sebuah kitab yang mengajarkan ilmu silat tangan kosong. Ilmu silat ini amat tinggi tingkatnya seperti juga semua kitab yang berada di situ. Tentu saja karena dasar yang dimiliki Lulu terlampau rendah, maka dia hanya dapat menguasai gerakan-gerakannya saja, sedangkan intinya hanya dapat ia petik sebagian kecil.

Kemajuan Lulu menggirangkan hati anak itu sendiri yang mengira bahwa kini dia telah menjadi seorang ‘ahli silat’ dan yang kelak, kalau mereka berhasil keluar dari tempat terasing ini, dapat ia pergunakan untuk membalas dendam. Ada pun Han Han yang melatih diri dengan penggabungan ilmu dalam kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, Sepasang Pedang Iblis, dicampur dengan latihan-latihannya ketika ia ‘mencuri’ ilmu dari Kang-thouw-kwi, menjadi tersesat tidak karuan.

Secara ngawur ia telah dapat melatih dirinya sehingga memperoleh kemajuan yang aneh dan mengerikan. Kalau seorang ahli lain melatih diri dengan sinkang berdasarkan pengerahan tenaga sakti di tubuh yang dapat dipergunakan untuk membangkitkan tenaga Yan-kang atau Im-kang, Han Han sebaliknya malah membenamkan diri dalam cengkeraman hawa sakti Im-kang karena ia melatih diri dengan menggunakan hawa dingin sebagai ujian.

Sebetulnya, dengan inti dari Ilmu Hwi-yang Sinkang yang ia curi dari Kang-thouw-kwi, Han Han dapat membuat tubuhnya terasa panas untuk mengatasi hawa dingin di pulau itu, sungguh pun hal ini akan merupakan sebuah cara yang berbahaya karena ia seolah-olah melawan dingin dengan kekuatan sinkang-nya. Kalau dia menang, dia tidak akan kedinginan, akan tetapi kalau sampai kalah, dia yang menggunakan Yang-kang secara ngawur akan terancam bahaya maut.

Untung bahwa dia tidak sampai terancam bahaya ini karena dia memulai latihannya dengan menggunakan kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo dan Sepasang Pedang Iblis. Kitab Ma-bin Lo-mo mengajarkan tentang menghimpun tenaga Im-kang dan karena di dalam diri Han Han telah terkandung tenaga mukjizat, begitu ia bersemedhi dan mulai melatih diri, sebentar saja ia dapat menghimpun tenaga ‘dingin’ ini.

Berlatih menghimpun tenaga dingin di dalam hawa yang dinginnya seperti Pulau Es itu, pada hari-hari pertama merupakan siksaan hebat pada tubuhnya. Darahnya seolah-olah menjadi beku dan hampir saja Han Han beberapa kali terancam maut kalau saja Lulu tidak selalu menjaganya. Kalau sudah melihat kakaknya menggigil kedinginan, mukanya membiru seperti itu, Lulu cepat turun tangan, menyelimuti tubuh kakaknya dengan baju bulu, atau membuat api unggun di dekat kakaknya, atau mengguncang-guncang tubuh Han Han sehingga terpaksa Han Han menyudahi latihannya menghimpun tenaga dingin.

Akan tetapi Han Han memiliki kekerasaan hati yang tidak lumrah manusia biasa. Dia tidak pernah merasa kapok dan selalu berlatih Im-kang di waktu hawa sedang dinginnya sehingga akhirnya ia dapat membuat keadaan tubuhnya lebih dingin dari pada hawa dingin di luar tubuhnya. Karena dia membuat suhu tubuhnya lebih dingin dari pada suhu di luar tubuh, setelah latihannya matang ia malah merasa bahwa hawa yang amat dingin, yang bagi orang lain akan tak tertahankan itu masih kurang dingin! Setelah berlatih tiga tahun lamanya, di waktu hawa di Pulau Es itu amat dingin, Han Han mulai berlatih sambil membuka sepatunya dan pakaiannya!

Demikianlah, dengan ditemani beruang es yang merupakan teman bermain, bahkan teman berlatih silat yang amat tangguh bagi Lulu, kedua orang anak itu hidup terasing dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu aneh tanpa bimbingan sehingga kepandaian yang mereka peroleh amatlah aneh bagi umum!

Setelah tinggal di Pulau Es selama tiga tahun, Han Han dan Lulu menganggap pulau itu seperti milik mereka sendiri dan makin banyak mereka mengenal istana itu, makin tebal keyakinan mereka bahwa dahulu tempat ini merupakan tempat tinggal orang-orang sakti dan bahwa kemudian terjadi hal-hal yang amat hebat di situ sehingga kemudian ditinggalkan para penghuninya.

Akan tetapi selama tiga tahun itu, Han Han dan Lulu tidak pernah menemukan sesuatu yang menceritakan tentang para penghuni itu. Tulisan-tulisan di dinding hanya berupa sajak-sajak yang selain mengandung filsafat-filsafat hidup, juga membayangkan kepahitan dan penderitaan batin si penulisnya namun tidak pernah menyinggung soal nama mau pun riwayat mereka yang dahulu tinggal di istana Pulau Es itu.

"Ah, Paman Beruang! Kalau saja engkau mampu bicara, tentu ceritamu tentang para penghuni istana Pulau Es ini amat menarik hati," kata Han Han sambil mengelus bulu putih lengan binatang itu.

"Mungkin dia sudah berkali-kali bercerita kepada kita dengan gerakan-gerakannya. Sayang kita yang tidak mengerti," kata Lulu sambil tertawa.

"Boleh jadi!" kata pula Han Han, juga tertawa setelah memandang wajah adik angkatnya penuh kagum. Kini Lulu telah menjadi seorang gadis cilik dan jelas tampak betapa manis dan cantik anak ini. Matanya yang lebar itu bersinar-sinar, mulutnya kelihatan manis dengan lesung pipit di pipi kiri.

“Benarkah, Paman Beruang? Apa sih yang hendak kau ceritakan kepada kami tentang manusia-manusia sakti yang telah melimpahkan kebaikan kepada kami sehingga kami ditinggali segala kemewahan ini?”

"Nguk-ngukk... ger-gerrrrr...!” Lulu meniru suara beruang itu dan menggerak-gerakkan kedua lengannya dengan lagak seperti beruang itu sehingga Han Han menjadi tertawa geli.

Mendadak beruang itu menggereng, lalu menyergap hendak mencengkeram pundak Lulu. Akan tetapi dengan sigap sekali Lulu miringkan tubuhnya sehingga cengkeraman itu luput.

"Ihhh, salah sangka selalu kau, Paman Beruang! Aku tidak ingin mengajak kau berkelahi!" kata Lulu. Melihat gadis cilik itu tidak balas menyerangnya, beruang itu pun hilang semangatnya dan tidak menyerang terus.

Mendadak terdengar desir angin yang amat keras sampai salju-salju beterbangan dan dari tempat yang agak tinggi itu tampak air laut dari jauh bergelombang besar. Lulu dan Han Han memandang ke arah laut sambil melindungi muka dari hantaman salju tipis yang terbawa angin. Keduanya teringat akan peristiwa tiga tahun yang lalu ketika mereka diombang-ambingkan perahu yang menjadi permainan badai. Angin cepat sekali berubah, makin membesar dan suaranya berdesir menakutkan.

"Agaknya badai akan mengamuk lagi…!" kata Han Han.

Biar pun mereka tidak perlu mengkhawatirkan badai karena sekarang berada di tengah Pulau Es, namun teringat akan pengalamannya tiga tahun yang lalu, Lulu merasa ngeri juga. Mendadak beruang es itu mengeluarkan bunyi pekik yang belum pernah mereka dengar selama ini. Pekik ini seperti suara yang mengandung kecemasan dan tiba-tiba Han Han dan Lulu terkejut karena binatang besar itu telah menyambar tangan mereka dan menarik mereka memasuki istana.

"Paman beruang, bukan waktunya untuk main-main!" Lulu berusaha untuk merenggut tangannya.

"Dia tidak main-main, Lulu. Dia ketakutan dan mengajak kita masuk. Tentu ada sebabnya. Hayo kita ikut dia masuk!" kata Han Han dan berlari-larianlah mereka memasuki istana.

Akan tetapi beruang itu sambil mengeluarkan suara mengeluh panjang mendorong-dorong untuk terus masuk dan menuruni anak tangga yang membawa mereka ke dalam gudang di bawah tanah, yaitu gudang tempat penyimpanan bahan makanan. Setelah mereka tiba di gudang bawah tanah ini, beruang es itu lalu berjingkrak-jingkrak seperti mabuk atau ketakutan, dan menuding-nuding ke arah dinding sebelah belakang sambil membuat gerakan seperti mendorong dengan kedua lengannya ke arah dinding.

"Apa maksudnya?" tanya Han Han.

"Aneh sekali, dia seperti minta kita mendorong dinding. Padahal kalau memang begitu, tenaganya yang amat besar tentu lebih berhasil dari pada kita," jawab Lulu dan anak ini lalu menghampiri dinding, mengerahkan tenaga dan berusaha mendorong seperti yang diperlihatkan dengan gerakan oleh binatang itu. Akan tetapi dinding itu tetap tidak bergerak.

"Eh, Paman Beruang. Kalau memang harus didorong, kau bantulah aku!" kata Lulu rnendongkol karena tidak mengerti maksud binatang itu.

Han Han menghampiri dinding itu, membantu Lulu mencoba untuk mendorongnya. Akan tetapi tiba-tiba beruang itu memegang pundaknya dan menariknya ke belakang, lalu menggereng-gereng dan menggeleng-geleng kepala, kemudian membuat gerakan mendorong lagi dari jauh sambil menuding-nuding ke arah Han Han. Mereka telah tiga tahun bergaul dengan binatang itu dan sedikit banyak sudah dapat mengerti bahasa gerakan ini.

"Han-ko, agaknya Paman Beruang minta engkau yang mendorong dinding!" kata Lulu.

Han Han mengerutkan kening. “Tidak, aku tadi mendorong dia tarik ke belakang. Ah, jangan-jangan dinding ini ada rahasianya dan harus didorong dengan hawa sinkang dari jarak jauh. Mundurlah, Lulu."

Ketika mendengar ini dan melihat Lulu mundur, beruang itu mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara seperti kalau dia sedang bersenang hati. Makin yakin hati Han Han dan ia lalu mundur. Dalam jarak satu meter ia lalu menekuk kedua lututnya, memusatkan perhatian, menahan napas, mengerahkan hawa sinkang di dasar perut dan disalurkan ke arah kedua lengannya lalu mendorong ke arah dinding. Karena setiap hari selama tiga tahun ini ia melatih hawa sakti Im-kang, tentu saja ketika mempergunakan dorongan ini ia pun otomatis mempergunakan Im-kang.

Kemajuan yang diperoleh Han Han selama berlatih tiga tahun ini amatlah hebatnya. Hawa dingin yang amat dahsyat menyambar dari kedua tangannya yang mendorong itu dan dinding yang terbuat dari baja itu tergetar hebat, akan tetapi tidak ada perubahan apa-apa. Yang sebelah kirinya tergetar keras, akan tetapi yang sebelah kanan tidak tergoyang sedikit pun.

"Bagus! Sudah tergetar, Koko! Coba lagi, lebih kuat!" kata Lulu setengah berteriak, mengharapkan untuk membuka rahasia tempat ini dan ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi.

Sementara itu suara badai mengamuk di luar istana terdengar amat santer dan angin malah masuk sampai ke tempat itu. Dapat dibayangkan betapa hebatnya badai itu mengamuk kalau angin dan suaranya sampai memasuki ruangan di bawah tanah itu!

Han Han sudah siap untuk mencoba lagi, akan tetapi beruang itu menggereng-gereng marah dan menggerak-gerakkan kedua kaki depan tanda tidak setuju, akan tetapi masih tetap membuat gerakan mendorong-derong dinding. Han Han tidak jadi mendorong lagi, lalu mempergunakan pikirannya. Memang dia harus mendorong, akan tetapi agaknya keliru cara menggunakan sinkang. Kalau dorongan ini hanya membutuhkan tenaga kasar, tentu binatang itu sendiri akan sanggup melakukannya, karena dalam hal tenaga kasar, beruang itu jauh lebih menang dibandingkan dia.

Tentu harus menggunakan sinking, akan tetapi mengapa salah? Tiba-tiba ia teringat. Ah, dia melatih sinkang-nya berdasarkan ilmu-ilmu dari Ma-bin Lo-mo yang ia gabungkan dengan ilmu dari kitab Sepasang Pedang Iblis, yaitu mempergunakan Im-kang. Inilah agaknya yang menjadi kesalahannya. Tentu saja ilmu dari penghuni istana di Pulau Es ini berbeda sinkang-nya dengan Ma-bin Lo-mo.

Akan tetapi, tenaga sinkang ada dua macam, kalau tidak hawa sakti dingin tentu hawa sakti panas, yaitu Yang-kang. Dia sudah mencuri ilmu ini dari Kang-thouw-kwi, akan tetapi sudah tiga tahun ia tidak pernah melatih Yang-kang. Betapa pun juga, Han Han masih belum melupakan untuk mempergunakan tenaga yang keluar dari hawa sakti itu. Latihan-latihannya dengan batu bintang dan dengan nyala api tulang manusia sudah cukup mantang.

“Apakah dengan tenaga Yang-kang?" Ia bertanya kepada diri sendiri, sedangkan Lulu hanya memandang, tidak berani mengganggu karena maklum bahwa kakaknya sedang berusaha keras untuk membuka rahasia dinding ini.

Han Han kembali menekuk kedua lututnya, kemudian ia berdiam sampai lama, berusaha mengobarkan hawa Yang-kang di tubuhnya. Memang amat sukar dan sebentar saja peluh membasahi muka dan lehernya, akan tetapi ternyata ia berhasil karena kedua tangannya mulai menjadi panas, bahkan mengepulkan asap! Lulu terbelalak kagum dan beruang itu meloncat ke belakang ketakutan.

Memang luar biasa sekali anak ini. Keadaan jasmaninya yang tidak wajar lagi menimbulkan kekuatan mukjizat dan kekuatan kemauannya bukan main besarnya sehingga hawa sakti di tubuhnya itu lebih dikuasai kemauannya dari pada kematangan latihannya. Setelah merasa kedua lengannya menggetar-getar dengan hawa panas seperti dahulu kalau ia berlatih secara diam-diam di daerah terlarang belakang istana Pangeran Ouwyang Cin Kok, Han Han lalu melakukan gerakan mendorong untuk kedua kalinya ke arah dinding itu.

Kembali dinding itu tergetar hebat seperti tadi. Akan tetapi sekali ini yang tergetar hebat adalah bagian dinding di sebelah kanannya, sedangkan di sebelah kiri sama sekali tidak bergerak, menjadi sebaliknya dari pada tadi. Beruang itu mulai ‘mengomel’ lagi dan membanting-banting kaki belakang seperti orang marah, lalu menuding-nuding Han Han lagi sambil menggunakan gerakan mendorong-dorong. Han Han menjadi bingung. Kalau dengan Im-kang dan Yang-kang keduanya gagal, habis cara bagaimana ia harus mendorong dinding itu? Sementara itu, kini angin yang masuk dengan santer membawa pula butiran-butiran es yang keras sehingga mengejutkan mereka.

"Han-ko, apa bedanya doronganmu yang pertama dengan yang ke dua?" Tiba-tiba Lulu yang sejak tadi memperhatikan itu bertanya.

“Yang pertama menggunakan hawa sakti dingin, yang kedua menggunakan hawa sakti panas."

Lulu bertepuk tangan dan wajahnya berseri. "Ah, sekarang aku mengerti! Ketika engkau menggunakan Im-kang yang pertama tadi, dinding sebelah kiri yang terguncang hebat sedangkan yang kanan tidak bergerak. Sebaliknya, ketika kau menggunakan Yang-kang, dinding di kanan yang tergetar sedangkan yang kiri tidak. Sekarang, kau doronglah dengan kedua hawa sakti Im dan Yang. Kalau lengan kirimu mendorong dengan Im-kang ke sebelah kiri dinding dan lengan kananmu mendorong dengan Yang-kang ke sebelah kanan, tentu akan terbuka rahasia ini, Koko!"

"Agaknya engkau benar, akan tetapi betapa mungkin menggunakan dua hawa sakti yang berlawanan secara berbareng?"

“Mengapa tidak mungkin Koko? Kita pernah membaca kitab tentang ilmu silat Im-yang-kun yang berada diperpustakaan. Bukankah ilmu itu pun mempergunakan dua macam sinkang?"

"Benar, dan sepasang kitab Suhu dan Subo yang diberikan kepadaku pun mengandung tenaga yang berlawanan. Akan tetapi hal itu dimainkan oleh dua orang, tentu saja dapat. Kalau aku seorang diri harus mengerahkan tenaga yang berlawanan, betapa mungkin? Aku belum pernah belajar tentang itu!"

"Koko, engkau seorang yang paling cerdik dan pandai di seluruh dunia ini! Apa yang tidak mungkin bagimu? Cobalah, engkau tentu bisa! Lihat, badai makin hebat mengamuk! Butiran-butiran es seperti peluru dan aku harus selalu menangkis, akan tetapi butiran-butiran itu hancur kalau mengenai tubuhmu dan kau seperti tidak merasakan! Koko, aku dapat menduga bahwa tentu ada tempat persembunyian rahasia dan Paman Beruang agaknya hendak mengajak kita bersembunyi di tempat itu!"

Han Han menoleh dan melihat betapa beruang itu repot menutupi mukanya agar jangan terkena hantaman butiran-butiran es yang kalau mengenai matanya atau hidungnya tentu akan mengakibatkan luka. Binatang ini ketakutan dan mengeluarkan bunyi seperti anak kucing.

“Harus kucoba,” pikirnya.

Mulailah ia menekuk kedua lututnya, menghadapi dinding dan mulailah ia mengatur hawa sinkang yang disalurkan dari pusarnya, naik ke atas dan dia mencoba untuk membaginya menjadi dua hawa sakti Im dan Yang. Sesungguhnya hanya orang yang sinkangnya sudah amat tinggi saja yang akan dapat mengerahkan Im-kang dan Yang-kang secara berbareng. Di luar kesadarannya, Han Han telah memiliki tenaga sinkang yang amat kuat.

Akan tetapi karena dia belum pernah berlatih di bawah bimbingan ahli, maka ia repot sekali membagi sinking ini. Kedua tenaga sakti itu menarik-narik, kadang-kadang menjadi Im-kang semua yang amat hebat sehingga tubuhnya menggigil kedinginan, kadang-kadang Yang-kang menang kuat dan semua tenaga menjadi hawa sakti yang panas dan membuat kepalanya mengepulkan asap! Ia merasa tersiksa sekali, dadanya sampai terasa nyeri dan napasnya terengah-engah.

Akan tetapi ketika ia hendak membatalkan usahanya yang sia-sia ini dan melirik ke arah Lulu, ia melihat adiknya itu memandang kepadanya penuh kekaguman dan penuh kepercayaan. Hal ini memberi kekuatan luar biasa kepadanya dan cukup memberi dia kenekatan untuk berusaha sampai berhasil, biar pun dia akan menderita sampai mati sekali pun. Memang hebat sekali tenaga kemauan hati Han Han. Tenaga mukjizat inilah yang membuat ia memiliki kekuatan pada matanya sehingga tanpa belajar ia telah mempunyai kepandaian menundukkan kemauan dan semangat orang lain!

Kini tenaga kemauannya ini ia tujukan ke dalam dan biar pun ia belum pernah melatih untuk mengendalikan sinkang, kini ia berusaha lagi untuk ‘mencegah’ sinkangnya menjadi dua macam. Sekali ini dia berhasil! Akan tetapi keadaannya seperti seorang yang mengendalikan dua ekor kuda yang berlawanan larinya, sehingga ia harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada melawan sinkang sendiri agar jangan sampai menyeleweng ke kanan atau ke kiri! Kembali ia mendorong dengan kedua lengan yang berlawanan hawa saktinya.

Dinding itu tergetar hebat, terdengar keras sampai mengeluarkan suara dan disusul suara berderit aneh kemudian.… dinding itu terpecah menjadi dua bagian dan terbuka seperti ada tenaga rahasia mendorongnya ke kanan kiri!

"Kau berhasil, Han-ko...!!" Lulu bersorak akan tetapi kegirangannya segera berubah menjadi kaget ketika melihat .tubuh Han Han roboh terguling. Lulu cepat melompat dan berhasil memeluk tubuh kakaknya sehingga Han Han tidak sampai terbanting.

Beruang itu pun berseru girang, akan tetapi ia lalu menyambar tubuh Han Han, dipondongnya dan ia menunjuk-nunjuk ke bawah di mana terdapat anak tangga dari batu, memberi isyarat kepada Lulu untuk menuruni anak tangga sedangkan dia sendiri sambil memondong tubuh Han Han mengikuti dari belakang dengan wajah takut-takut.

Lulu yang menjadi cemas melihat kakaknya pingsan segera menuruni anak tangga tanpa ragu-ragu, karena ingin segera dapat menolong kakaknya yang dipondong beruangnya. Melihat kakaknya dipondong beruang itu, teringatlah ia beberapa tahun yang lalu ketika mula-mula mereka datang, hanya bedanya, kalau dahulu dia yang mengikuti binatang itu, sekarang dialah yang berjalan di depan.

Anak tangga itu amat dalam, dua kali lebih dalam dari pada anak tangga yang menuju ke gudang bawah tanah. Dan ketika ia sampai di dasar anak tangga, Lulu menjadi bengong. Tentu ia sudah bersorak gembira kalau saja tidak ingat akan keadaan kakaknya. Ruangan yang berada di dasar tangga itu benar-benar mempesonakan sekali, jauh lebih indah dari pada semua ruangan di atas! Benda-benda yang berada di situ berkilauan, terbuat dari pada emas dan perak.

Beruang itu sudah menurunkan tubuh Han Han ke atas lantai yang terbuat dari pada batu putih bersih dan mengkilap, kemudian beruang itu berlari ke tengah ruangan dan menjatuhkan diri berlutut di depan tiga buah patung yang terbuat dari pada batu pualam. Berlutut sambil mengeluarkan suara seperti menangis.

Biar pun merasa heran sekali, akan tetapi Lulu tidak lagi memperhatikan binatang itu, tidak pula memperhatikan ruangan yang indah karena semua perhatiannya telah ia curahkan kepada Han Han yang menggeletak terlentang di atas tanah. Ia berlutut di dekat kakaknya dan memeriksa. Alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kulit muka kakaknya itu berwarna dua macam! Yang kanan berwarna hitam seperti terbakar gosong, ada pun yang kiri berwarna putih kebiruan seperti muka mayat. Han Han rebah tak bergerak, dan napasnya tinggal satu-satu.

"Koko…, Han-ko.... Aahhhh, Koko...!" Lulu memeluk tubuh kakaknya dan menjadi kebingungan.

Akan tetapi ia lalu teringat bahwa kakaknya tentu menderita luka di sebelah dalam akibat dari pengerahan sinkang yang dibagi menjadi dua hawa sakti tadi. Ia sudah banyak membaca kitab tentang latihan sinkang, bahkan dia sendiri sudah melatih diri di bawah bimbingan kakaknya. Yang ia latih adalah sebuah kitab dari perpustakaan di istana Pulau Es itu yang sesuai dengan latihan yang pernah dipelajari Han Han dari Lauw-pangcu. Tanpa mereka sadari, kalau Han Han menggembleng diri dengan ilmu kaum sesat, adalah Lulu malah melatih diri dengan ilmu kaum bersih!

Melihat keadaan kakaknya sekarang ini, Lulu teringat akan ilmu memindahkan sinkang ke tubuh orang lain untuk membantu orang itu. Maka biar pun latihannya belum matang benar, Lulu tanpa ragu-ragu lagi duduk bersila dan menempelkan kedua telapak tangannya ke dada dan perut Han Han, kemudian ia mengheningkan cipta, bersemedhi mengumpulkan semua tenaga dalam di tubuhnya yang ia paksa keluar melalui kedua tangannya memasuki tubuh Han Han!

Han Han siuman dan merasa betapa ada hawa hangat yang halus lembut memasuki dadanya. Ketika ia membuka mata dan melihat betapa Lulu bersila meramkan mata dan menempelkan kedua telapak tangan ke badannya, ia menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap adiknya ini makin mendalam.

"Cukuplah, Lulu. Jangan menyia-nyiakan sinkangmu yang masih belum kuat," katanya halus sambil mendorong kedua tangan Lulu perlahan-lahan.

Lulu membuka matanya, akan tetapi menutup mulutnya yang sudah akan bertanya ketika ia melihat betapa kakaknya bangkit dan bersila sambil meramkan mata. Ia tahu bahwa kakaknya sedang mengerahkan tenaga untuk mengobati diri sendiri dan perlahan-lahan muka kakaknya yang tadinya berwarna dua kini menjadi pulih kembali. Hatinya menjadi lega dan mulailah dia menyapu keadaan sekeliling ruangan yang indah itu dengan pandang matanya.

Ruangan itu benar-benar amat indah. Di tengah ruangan terdapat tiga buah patung. Yang tengah merupakan seorang laki-laki yang tampan sekali, akan tetapi bagian kepalanya, di dahi, terdapat dua buah lubang seolah-olah bagian kepala patung ini ada yang menusuknya dengan senjata dua kali. Di sebelah kiri patung pria ini adalah sebuah patung wanita, cantik jelita dengan tubuh ramping dan dengan wajah lemah lembut, akan tetapi sebelah kakinya buntung! Ada pun yang berada paling kanan adalah patung seorang wanita yang juga cantik jelita, lebih tinggi dari pada wanita buntung, akan tetapi kecantikan wanita di kanan ini bercampur dengan kekerasan hati dan kekejaman yang terbayang pada wajah cantik itu. Hanya patung inilah yang tidak ada cacatnya.

Tiba-tiba Lulu tertawa. Memang lucu melihat tingkah laku beruang es ketika itu. Binatang ini seperti kesurupan atau telah menjadi gila. Kadang-kadang ia lari dan menjatuhkan diri di depan patung pria, memeluk kaki patung itu, mengeluarkan suara seperti menangis, kemudian berlutut di depan patung wanita buntung, berdongak ke atas memandang wajah patung itu dengan wajah membayangkan rasa sayang, akan tetapi selalu ia kembali ke patung sebelah kanan dan ia berlutut di depan wanita cantik tanpa cacat itu sambil mengangguk-angguk dan membentur-benturkan kepala ke lantai dan mengeluarkan suara seperti sedang ketakutan. Melihat beruang itu berlutut di depan tiga patung dengan tiga macam tingkah laku, kelihatan lucu bukan main sehingga Lulu tertawa.

Han Han membuka matanya. Ia pun terpesona akan keindahan ruangan itu dan kini tahulah ia mengapa beruang itu mengajak mereka ke situ. Dari tempat ini tidak terdengar lagi suara badai mengamuk dan mereka memang aman dari pada gangguan suara dan ancaman hujan butiran es keras yang beterbangan seperti peluru. Akan tetapi, melihat beruang itu seperti gila berlutut di depan tiga buah patung itu, ia memandang terbelalak dan hatinya berdebar keras. Tidak salah lagi, tentu patung-patung itu adalah patung dari para penghuni istana Pulau Es yang telah meninggalkan kesemuanya untuk dia dan Lulu! Sudah meninggal duniakah mereka bertiga itu? Ia bangkit lalu menggandeng tangan Lulu, dan berbisik.

"Lulu, jangan sembrono. Kurasa mereka itu adalah patung dari pada Locianpwe yang dahulu menjadi penghuni Istana Pulau Es. Mari kita memberi hormat...”

Lulu menurut dan sambil bergandengan tangan mereka menghampiri tengah ruangan itu. Melihat betapa tiga buah patung itu menggambarkan seorang laki-laki muda dan tampan serta dua orang wanita yang cantik jelita seperti puteri-puteri istana, Han Han terbelalak dan meragu. Inikah manusia-manusia sakti yang menjadi penghuni Istana Pulau Es? Akan tetapi, menyaksikan sikap beruang itu, ia tidak ragu-ragu lagi dan ia membimbing tangan Lulu dan diajaknya adiknya itu berlutut di depan ketiga patung itu sambil berkata.

"Teecu Sie Han dan Sie Lulu mohon ampun kepada Sam-wi Locianpwe bahwa teecu berdua berani mendiami Istana Pulau Es tanpa ijin Sam-wi, dan teecu berdua menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan yang ditinggalkan Sam-wi Locianpwe untuk keperluan teecu berdua."

Beruang itu kelihatan girang sekali melihat Han Han dan Lulu berlutut. Ia pun berlutut di depan patung pria itu dan mengeluarkan suara menguik-nguik seolah-olah ia pun menceritakan bahwa dua orang anak-anak itu adalah orang baik-baik dan selama ini menjadi sahabat-sahabatnya!

"Koko, mengapa aku bernama Sie Lulu?" Lulu berbisik setelah mereka bangkit dan melihat-lihat keadaan ruangan yang indah itu.

"Habis, engkau Adikku. Kalau tidak ber-she Sie seperti aku, mau pakai she apa lagi?"

"Koko, para Locianpwe yang katanya orang-orang sakti, kenapa masih begitu muda-muda dan kelihatan seperti orang-orang lemah?"

"Hussshhh, jangan berkata demikian, Lulu. Kau lihat beruang itu mengenal majikan-majikannya, kiranya tidak salah lagi. Dahulu mereka adalah penghuni istana ini, entah berapa puluh tahun yang lalu. Menurut percakapan tokoh-tokoh yang kudengar, Pulau Es ini dicari sejak puluhan tahun yang lalu dan Kim Cu Suci pernah mendongeng bahwa di sini dahulu dikabarkan tinggal seorang manusia yang maha sakti seperti dewa..."

“Ah... Cici Kim Cu yang baik itu sekarang tentu sudah menjadi seorang gadis jelita. Dia mencintamu, Koko...!"

"Husssh, yang bukan-bukan saja kau ini! Kau tahu apa tentang cinta! Di tempat sesuci ini jangan bicara begitu…"

Kembali mereka berdua memperhatikan tiga buah patung batu pualam itu dan melihat betapa kini beruang itu duduk mendeprok di dekat kaki patung pria dengan sikap anteng dan tenang, juga sikap binatang itu jelas menunjukkan ketaatan dan penghormatan yang mendalam.

Patung-patung itu amat indah buatannya, halus dan seolah-olah hidup. Dan Han Han yang mempelajari wajah patung-patung itu melihat betapa mata patung pria itu mengandung kebijaksanaan yang luar biasa, mendatangkan rasa kagum dan tunduk. Patung wanita kaki buntung cantik sekali, membayangkan kehalusan budi dan sepasang matanya seolah-olah memancarkan kasih sayang yang amat besar. Akan tetapi yang paling menarik hatinya adalah patung wanita cantik di sebelah kanan.

Harus ia akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan wanita secantik ini, cantik dan menggairahkan sehingga Han Han yang mulai dewasa itu berdebar jantungnya, seakan-akan ia terangsang oleh wajah cantik dan bentuk tubuh yang elok itu. Ia kagum dan sekiranya patung wanita itu benar-benar hidup, tentu ia akan suka mengabdi kepada wanita ini asal dapat selalu berdekatan. Sifat keras hati dan ganas yang terbayang pada bibir yang penuh dan mata yang lebar indah itu baginya malah menambah daya tarik.

Menjelang senja, badai di luar Istana Pulau Es itu mereda dan mereka pun keluar dari tempat rahasia itu. Han Han mengajak Lulu memberi hormat lagi kepada tiga patung itu sambil berlutut. Kemudian, didahului oleh beruang yang agaknya telah tahu bahwa badai telah berhenti, mereka keluar, mendaki anak tangga rahasia. Setibanya di luar, seperti digerakkan tenaga gaib, dinding yang tadinya terbuka itu dapat menutup sendiri! Tentu saja Han Han dan Lulu menjadi terkejut dan merasa seram. Adakah mahluk tersembunyi di tempat itu yang menutupkan dinding baja ini? Mereka diam-diam mengambil keputusan untuk tidak memasuki tempat rahasia itu lagi kalau tidak amat perlu, karena kehadiran mereka seolah-olah mengganggu ketenteraman dan kesunyian tiga patung yang indah itu.

******************

Ke manakah perginya perahu Mancu yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat pada tiga tahun yang lalu ketika perahu itu bertemu dengan perahu Ma-bin Lo-mo? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan licik sekali Kang-thouw-kwi dapat mengalahkan Ma-bin Lo-mo dengan anak panah-anak panah berapi sehingga perahu Ma-bin Lo-mo terbakar dan memaksa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya meloncat ke laut meninggalkan perahu yang terbakar.

Si Setan Botak tertawa bergelak, suara ketawanya yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya itu terbawa angin laut dan terdengar sampai jauh, seperti suara ketawa iblis laut sendiri. Ada pun Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, dapat menghindari maut dengan jalan mengapungkan diri berpegangan kepada bambu-bambu yang mereka renggut putus dari perahu, yaitu bambu-bambu pengapung yang dipasang di kanan kiri perahu yang terbakar itu.

Pada saat itu, badai mulai mengamuk dan Gak Liat bersama anak buahnya terlalu repot dan sibuk menyelamatkan perahu mereka melawan ombak membadai sehingga mereka tidak melihat betapa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya mempergunakan kekuatan tangan mereka untuk mendayung bambu-bambu pengapung itu mendekati perahu Mancu itu. Tidak melihat betapa empat orang sakti itu akhirnya berhasil menempel di tubuh perahu dan berpegang kuat-kuat sehingga betapa pun badai mengamuk dan perahu itu diayun dan diguncangkan, mereka tetap menempel pada tubuh perahu seperti empat ekor lintah menempel di perut kerbau.

Setelah badai mereda, perahu itu dibawa jauh dari sekumpulan pulau-pulau itu dan terdampar di sebuah pulau kecil yang kosong. Gak Liat dan anak buahnya lalu mendarat dan para perwira Mancu itu lalu mempergunakan sebuah alat teropong untuk menyelidiki keadaan sekitar pulau itu. Tiba-tiba seorang di antara para perwira itu berseru keras dalam bahasa Mancu dan menunjukkan teropongnya ke arah utara.

Sekali meloncat, Gak Liat sudah tiba di dekat perwira ini dan menyambar teropongnya. Biar pun dia memiliki ilmu tinggi dan pandang matanya jauh lebih awas dari pada mata orang biasa, namun dibandingkan dengan kekuatan teropong itu ia masih kalah jauh. Ia lalu memakai teropong itu dan menujukan pandangannya ke utara, kemudian ia berkata girang.

“Tidak salah lagi! Itulah Pulau Es! Kita berhasil...!” teriaknya.

Tentu saja hatinya girang ketika ia melihat sebuah pulau yang putih diliputi salju dan melihat samar-samar sebuah bangunan indah di tengah pulau, di bagian yang agak tingi. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan ngeri dan empat orang perwira Mancu roboh terjungkal dan tewas seketika.

Seperti iblis-iblis penghuni pulau, muncullah empat orang kakek yang pakaiannya basah kuyup. Biar pun keadaan empat orang kakek ini cukup payah karena terlalu lama terendam di air laut, namun mereka itu dapat dikenal sebagai Ma-bin Lo-mo, Si Muka Tengkorak Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Si Muka Bopeng Ouw Kian! Mereka herhasil mendarat pula dan begitu muncul, mereka berempat menyerang empat orang perwira yang roboh dan tewas seketika!

“Iblis Muka Kuda! Engkau masih belum mampus?" teriak Setan Botak dengan nyaring dan terheran-heran.

"Si Botak yang buruk! Bukan aku, melainkan engkaulah yang akan mampus!" balas Ma-bin Lo-mo yang segera maju menerjang Si Setan Botak. Ada pun tiga orang pembantunya sudah dikurung oleh dua puluh enam orang perwira Mancu.

Terjadilah pertandingan hebat dan mati-matian di pulau kosong itu. Terjangan Ma-bin Lo-mo sudah disambut dengan tangkisan Kang-thouw-kwi. Dua buah lengan yang amat kuat bertemu dan keduanya terpental ke belakang. Biar pun hawa sakti yang tersalur di tangan mereka berlawanan dan amat berbeda, yang seorang adalah ahli Yang-kang dan yang ke dua adalah ahli Im-kang, namun karena tingkat mereka sudah amat tinggi dan seimbang, keduanya terpental keras dan masing-masing harus mengakui bahwa lawan tldak boleh dipandang ringan. Maka mereka segera saling menggempur dengan hati-hati sekali, karena mereka maklum bahwa satu kali saja terkena pukulan lawan, berarti bahaya maut mengancam nyawa mereka.

Pertandingan antara tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo yang dikeroyok dua puluh enam orang perwira Mancu juga berjalan dengan sengit dan mati-matian. Para perwira itu bukanlah prajurit-prajurit sembarangan, melainkan perwira-perwira pilihan yang sengaja diutus oleh kaisar untuk mencari Pulau Es di bawah pimpinan Setan Botak. Mereka mengeroyok dengan senjata golok mereka secara teratur dan tidak serampangan karena mereka pun tahu bahwa tiga orang itu adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi.

Kalau saja tiga orang sakti itu berada dalam keadaan segar seperti biasa, biar pun dikeroyok dua puluh enam orang, tipis harapan bagi para perwira itu untuk dapat menang. Akan tetapi tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo itu telah mengalami penderitaan hebat ketika mereka menempel pada tubuh perahu yang diombang-ambingkan gelombang lautan.

Gempuran-gempuran air laut membuat mereka lelah sekali, kehabisan tenaga, ditambah ketegangan yang mengerikan, sehingga kini ketika mereka menghadapi pertempuran, tenaga mereka tinggal setengahnya. Hal inilah yang membuat mereka terdesak hebat dan terancam. Sampai puluhan jurus, mereka bertiga belum juga mampu merobohkan seorang di antara para perwira yang bekerja sama secara rapi dan membalas dengan serangan-serangan berganda yang ganas.

Antara Gak Liat Si Setan Botak dan Siangkoan Lee Si Iblis Muka Kuda terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Keduanya sekali ini dapat melanjutkan pertandingan beberapa tahun yang lalu dan sungguh pun mereka itu merupakan dua di antara para datuk yang enggan untuk saling bermusuhan, apa lagi saling membunuh, namun pertandingan sekali ini lain lagi sifatnya.

Pulau Es sudah tampak di depan mata, dan satu sama lain merupakan penghalang terbesar untuk dapat memiliki semua pusaka di pulau itu yang diidam-idamkan oleh golongan kang-ouw seluruhnya, baik dari kaum bersih mau pun kaum sesat. Mereka ini para tokoh kang-ouw, sudah tahu bahwa Pulau Es itu merupakan tempat bertapa Koai-lojin, seorang manusia setengah dewa yang memiliki kesaktian luar biasa dan yang telah meninggalkan benda-benda pusaka termasuk kitab-kitab pelajaran segala macam ilmu di pulau itu. Karena ingin mendapatkan benda pusaka, kini Gak Liat dan Siangkoan Lee bertanding mati-matian, maklum bahwa sebelum berhasil menewaskan lawan berat ini, tak mungkin mereka itu akan dapat mencapai idam-idaman hati masing-masing.

Setelah lewat kurang lebih satu jam, pertandingan antara Gak Liat dan Siangkoan Lee masih berlangsung seru dan sukar untuk diduga siapa di antara mereka yang lebih unggul dan akan mencapai kemenangan. Memang sudah tentu sekali seorang di antara mereka akan kalah, akan tetapi hal ini tentu akan terjadi lama sekali, mungkin sehari penuh, atau dua bahkan tiga hari. Dan dapat diduga pula bahwa kalau sampai terjadi seorang di antara mereka kalah dan tewas, dia yang menang tentu takkan keluar sebagai pemenang yang utuh, sedikitnya tentu akan mengalami luka-luka parah.

Namun dalam pertempuran kurang lebih satu jam itu telah terjadi perubahan pada pertandingan antara dua orang pembantu Ma-bin Lo-mo dengan para perwira. Tiga orang sakti itu mengamuk hebat sekali, melupakan kelelahan tubuh nereka karena mereka maklum bahwa kalau mereka tidak dapat keluar sebagai pemenang, mereka akan tewas di pulau kosong itu.

Swi Coan si muka tengkorak sudah menggunakan senjatanya yang ampuh, sebuah thi-pian, yaitu sebatang pecut besi yang biasanya ia libatkan di pinggang sebagai sabuk. Pecut besi itu kini menyambar-nyambar dan mengeluarkan suara meledak-ledak seperti halilintar yang menyambar-nyambar di atas kepala para pengeroyoknya yang amat banyak jumlahnya itu.

Ada pun Kek Bu Hwesio, tokoh Kong-thong-pai yang meyeleweng itu menggunakan senjatanya yang kelihatan sederhana namun sesungguhnya tidak kalah ampuhnya, yaitu jubahnya sendiri yang kini ia lolos dan dipergunakan sebagai senjata. Jangan dipandang ringan senjata ini, karena di tangan pendeta kosen ini, jubah itu dapat menjadi lemas dan dipakai melibat senjata lawan, juga dapat menjadi kaku seperti sebatang tongkat baja.

Ouw Kian si muka bopeng telah mempergunakan senjata pedang, sebatang pedang yang lemas sekali, tipis namun amat keras dan tajam sehingga ketika dimainkan, berubah menjadi segulung sinar putih yang membentuk lingkaran-lingkaran dan melindungi tubuhnya dari atas ke bawah dari hujan golok yang dilancarkan oleh para pengeroyoknya.

Betapa pun lihainya tiga orang tokoh ini dengan senjata-senjata mereka yang ampuh, namun jumlah pengeroyok terlalu banyak sehingga setiap kali senjata-senjata mereka itu menyambar, tentu akan bertemu dengan tangkisan delapan sampai sembilan batang golok di tangan para perwira Mancu yang rata-rata memiliki tenaga besar. Setelah pertandingan ini berjalan kurang lebih satu jam, mereka itu masing-masing telah menewaskan dua pengeroyok sehingga ada enam orang perwira yang roboh tewas, akan tetapi mereka bertiga pun tidak luput dari pada luka-luka bacokan golok.

Biar pun luka-luka itu tidak parah, hanya merobek kulit dan melukai sedikit daging, namun darah yang keluar membuat mereka menjadi makin lemas dan mulailah mereka merasa khawatir karena kalau dilanjutkan, agaknya mereka itu sendiri akan roboh biar pun mungkin mereka akan dapat menewaskan lebih banyak lawan lagi. Dengan demikian, keadaan tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo ini terancam bahaya, sedangkan keadaan Ma-bin Lo-mo sendiri pun belum pasti, kesempatannya untuk menang masih setengah-tengah atau paling banyak dia hanya menang seusap saja.

Pertandingan yang berlangsung amat serunya ini membuat mereka semua tidak sempat memperhatikan soal-soal lain yang terjadi di sekitar pulau kosong itu. Tidak tahu betapa dari sebelah belakang pulau mendarat pula sebuah perahu layar yang keadaannya pun tidak lebih baik dari pada perahu Mancu, dan jelas tampak bekas-bekas amukan badai sehingga layar perahu ini sebagian kecil robek-robek, tiangnya ada sebuah yang patah. Tidak melihat betapa dari perahu ini meloncat turun ke darat tujuh orang yang gerakannya ringan dan gesit, tanda bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka itu terdiri dari tujuh orang kakek yang usianya paling sedikit lima puluh tahun, dan di punggung masing-masing tampak menggemblok sebatang pedang yang gagangnya terukir indah dan dihias ronce-ronce beraneka warna, ada yang merah, hijau, kuning dan biru.

Siapakah mereka ini? Para pembaca sudah mengenal mereka, karena tujuh orang kakek gagah perkasa ini bukan lain adalah Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pedang Siauw-lim-pai), jago-jago pedang dari Siauw-lim-pai yang telah terkenal keampuhan ilmu pedang mereka. Seperti juga para tokoh kang-ouw yang lain, mereka ini tertarik akan Pulau Es. Bahkan sekali ini atas perintah ketua Siauw-lim-pai mereka menggunakan perahu untuk mencari pulau rahasia itu setelah mendengar bahwa pemerintah Mancu juga menaruh minat atas pulau yang mengandung benda-benda pusaka yang amat penting bagi dunia persilatan itu.

Dan seperti juga halnya perahu-perahu Mancu dan Ma-bin Lo-mo, Siauw-lim Chit-kiam ini pun diserang badai sehingga perahu mereka dipermainkan gelombang tanpa mereka dapat berbuat sesuatu yang berarti. Tenaga manusia, betapa pun kuat dan pandainya mereka, akan tampak kecil tak berarti setelah berhadapan dengan kekuasaan alam yang maha hebat. Akhirnya, tanpa mereka kehendaki, perahu mereka juga terdampar pada pulau kosong itu seperti juga perahu Mancu, hanya bedanya, mereka terdampar di pantai yang berlawanan dengan pantai di mana perahu Mancu mendarat.

Siauw-lim Chit-kiam tidak membawa teropong seperti yang dimiliki para perwira Mancu, maka pandangan mata mereka tidak dapat mencapai Pulau Es yang tampak samar-samar dari jauh. Karena ini mereka tidak tahu bahwa Pulau Es yang diidam-idamkan berada tak jauh lagi dari pulau kosong ini. Mereka lalu mendarat dan tiba-tiba mereka melihat pertandingan hebat yang sedang berlangsung di pantai yang berlawanan itu. Sebagai orang-orang gagah tentu saja mereka tertarik sekali menyaksikan pertandingan mati-matian itu, maka tanpa dikomando mereka lalu berloncatan mendekati tempat pertandingan.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang sedang bertanding itu adalah Setan Botak Gak Liat melawan Iblis Muka Kuda Siangkoan Lee, dan banyak sekali perwira Mancu mengeroyok tiga orang kakek yang keadaannya telah payah dan terancam hebat. Siauw-lim Chit-kiam mengenal siapa adanya dua orang kakek sakti yang bertanding mati-matian itu, tahu bahwa mereka itu keduanya adalah datuk-datuk sesat yang berwatak aneh dan kejam luar biasa. Bahkan mereka pun hampir saja tewas di tangan Setan Botak Gak Liat ketika Setan Botak itu membasmi anak buah Lauw-pangcu. Mereka pun tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang datuk kaum sesat yang amat kejam dan jahat, yang tidak patut dijadikan sahabat mau pun sekutu sungguh pun mereka tahu pula betapa kakek sakti ini membenci penjajah Mancu.

Akan tetapi kini menyaksikan pertandingan itu, tidaklah sukar bagi mereka untuk memihak. Bukan sekali-kali karena mereka menaruh simpati kepada Ma-bin Lo-mo, sama sekali tidak. Mereka sebagai tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang bernama bersih dan terkenal sebagai pendekar-pendekar pedang yang gagah tentu saja tidak sudi bersekutu dengan manusia iblis seperti Ma-bin Lo-mo.

Akan tetapi mereka memiliki permusuhan pribadi dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Permusuhan itu timbul ketika keponakan wanita mereka, yaitu Bi-kiam Bhok Khim, anak murid Siauw-lim-pai yang cantik, telah menjadi korban kekejian Gak Liat, telah diperkosa oleh Setan Botak ini. Di samping permusuhan pribadi ini, juga mereka teringat akan pembasmian anak buah Lauw-pangcu oleh Setan Botak. Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan sekarang betapa Gak Liat bersekutu dengan para perwira Mancu, yaitu perwira-perwira penjajah. Tentu saja kenyataan-kenyataan ini memudahkan Siauw-lim Chit-kiam untuk memihak dan serta-merta mereka mencabut pedang sambil menghampiri Gak Liat yang masih bertanding seru melawan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee.

"Kang-thouw-kwi, bersiaplah untuk menerima hukuman atas dosa-dosamu!" bentak Song Kai Sin yang menjadi wakil dari para sute-nya.

Bentakan ini pun merupakan isyarat komando karena serentak mereka bertujuh sudah menggerakkan pedang mereka sehingga tampak sinar pedang mereka bergulung-gulung dan terdengar suara bercuitan nyaring sekali. Gak Liat terkejut bukan main melihat munculnya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang menjadi musuhnya ini. Kalau saja dia tidak sedang menghadapi Ma-bin Lo-mo yang lihai, tentu dia tidak gentar menghadapi Siauw-lim Chit-kiam.

Akan tetapi di situ ada Ma-bin Lo-mo. Dia sudah pernah bertanding melawan Siauw-lim Chit-kiam yang kalau bergabung merupakan lawan yang amat tangguh pula. Kini melihat gulungan sinar pedang itu, ia mengeluarkan seruan keras dan cepat melempar tubuhnya ke belakang, menggunakan tenaga dorongan Ma-bin Lo-mo sehingga tubuhnya terjengkang lalu bergulingan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah meloncat ke depan Song Kai Sin yang berada paling dekat lalu mengirim pukulan Hwi-yang Sin-ciang!

Maklum akan lihainya pukulan ini Song Kai Sin meloncat jauh namun hawa pukulan itu masih menyerempet pundaknya sehingga ia terhuyung. Pada saat itu, enam orang sute-nya sudah menyerang secara berbareng kepada Gak Liat, sedangkan Ma-bin Lo-mo sendiri yang tidak menyia-nyiakan kesempatan sudah mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang kepada Setan Botak itu.

Gak Liat terkejut setengah mati. Ia tahu bahwa pukulan Ma-bin Lo-mo yang paling berbahaya maka ia cepat menangkis dengan lengan kirinya.

“Dukkk!”

Sekali lagi tubuh kedua orang ini terpental dan Gak Liat cepat mengelak sambil mendorong dengan tangannya ke arah enam sinar pedang. Biar pun ia berhasil meloloskan diri dari cengkeraman maut, akan tetapi pundaknya masih tergurat pedang sehingga bajunya robek dan pundaknya berdarah! Pada saat itu sebuah dorongan datang lagi dari Ma-bin Lo-mo. Gak Liat mencoba menangkis, namun gerakannya kurang cepat sehingga ia terdorong ke belakang dan kembali sebuah tusukan pedang mengenai pangkal lengan kirinya. Kakek ini mengeluarkan gerengan keras dan menggulingkan tubuhnya menjauhi para pengeroyoknya.

"Ha-ha-ha." Ma-bin Lo-mo tertawa dan mendadak kakek ini membalik dan mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang kepada tujuh orang Siauw-lim-pai itu.

Serangan ini benar-benar amat tidak terduga sehingga kedua kakak beradik Oei Swan dan Oei Kiong roboh terguling dengan muka menjadi pucat sekali. Untung bahwa pukulan itu ditangkis oleh saudara-saudara mereka sehingga tenaganya banyak berkurang. Mereka hanya terluka di sebelah dalam yang tidak terlalu parah, hanya membuat tubuh mereka menggigil kedinginan, namun setelah bersila sebentar mengerahkan sinkang, rasa dingin itu lenyap!

Siauw-lim Chit-kiam kini bersatu dan mereka kini terpecah menjadi tiga kelompok, tidak bergerak-gerak dan saling memandang, menanti pihak lawan bergerak lebih dulu. Mereka menjadi bingung sendiri karena maklum bahwa mereka tidak boleh saling bantu. Bagi Siauw-lim Chit-kiam, keadaan mereka paling sulit.

Kalau dibuat ukuran, di antara mereka tiga kelompok, kedudukan Siauw-lim Chit-kiam yang paling lemah. Kalau mereka mengeroyok Gak Liat dengan bantuan Ma-bin Lo-mo, tentu mereka akan berhasil membalas dendam dan membunuh Setan Botak, akan tetapi mereka tahu bahwa watak Ma-bin Lo-mo amat aneh sehingga mereka itu akhirnya pasti akan berhadapan dengan Iblis Muka Kuda yang berhati palsu ini! Kalau mereka kini menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Setan Botak membantu mereka, tentu Ma-bin Lo-mo akan dirobohkan, akan tetapi mereka pun akan diserang oleh Gak Liat yang mempunyai banyak kawan perwira-perwira Mancu.

Si Setan Botak Gak Liat yang tadinya merasa khawatir sekali melihat munculnya Siauw-lim Chit-kiam, kini tertawa bergelak melihat Ma-bin Lo-mo menyerang mereka. Ia maklum bahwa bukan sekali-kali hal itu dijakukan oleh Si Muka Kuda karena memiliki rasa setia kawan terhadap dirinya. Sama sekali bukan. Ia tahu bahwa Ma-bin Lo-mo menganggap bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu sebagai pesaing juga dalam memperebutkan pusaka-pusaka Pulau Es! Maka ia tertawa bergelak dan berkata.

"Ha-ha-ha, Iblis Muka Kuda! Kiranya engkau cerdik juga. Pulau Es sudah tampak di depan mata, kalau kita mati-matian saling gempur, akhirnya kita berdua roboh dan enak sekali bagi tikus-tikus Siauw-lim ini. Kita menjadi seperti dua ekor anjing tua memperebutkan tulang dan akhirnya tikus-tikus ini yang akan mendapat tulangnya. Ha-ha-ha!"

Mendengar ini, Siauw-lim Chit-kiam tercengang dan jantung mereka berdebar. Pulau Es sudah di depan mata? Benarkah Pulau Es sudah dekat dengan pulau kosong ini? Ada pun Ma-bin Lo-mo juga bersiap-siap. Kalau tadi ia menyerang Siauw-lim Chit-kiam, bukan sekali-kali ia hendak menolong Gak Liat. Ia melihat Gak Liat sudah terluka sehingga kini pasti ia akan dapat mengalahkan Setan Botak itu.

Ia tahu bahwa setelah ia mengalahkan Setan Botak, tentu tenaganya tinggal sedikit karena lelah dan Siauw-lim Chit-kiam ini bukanlah lawan yang empuk. Dan ia pun tahu bahwa mereka bertujuh ini tentu akan mendahuluinya mengambil pusaka-pusaka Pulau Es kalau tidak dapat ia binasakan bersama dengan Setan Botak. Kini ia meragu dan bersikap hati-hati karena kalau sampai Setan Botak dapat membujuk mereka ini menghadapinya, ia akan celaka!

Pada saat itu, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang setelah mendengar disebutnya Pulau Es lalu mencari-cari dengan pandang mata mereka. Tiba-tiba mereka itu melihat ke kiri dan menjadi bengong. Melihat keadaan mereka ini, Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi ikut pula menengok dan mereka pun terkejut dan melongo. Apakah yang mereka lihat?

Kiranya para perwira yang jumlahnya tinggal dua puluh orang mengeroyok tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo yang sudah terluka dan mulai kehabisan tenaga itu pun sekarang telah menghentikan pertempuran mereka. Akan tetapi mereka itu bukan berhenti bertempur dalam keadaan sewajarnya. Mereka itu masih dalam sikap bertanding, bahkan berhenti di tengah-tengah gerakan silat akan tetapi sudah menjadi kaku seperti berubah menjadi arca-arca batu!

Tahulah orang-orang sakti yang memandang heran bahwa dua puluh orang Mancu dan tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo itu dalam keadaan kaku karena tertotok jalan darah mereka! Kalau dua puluh orang perwira Mancu itu sampai menjadi kaku tertotok, hal ini tidaklah amat mengherankan benar. Akan tetapi tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo adalah orang-orang berilmu tinggi, tidak mudah tertotok begitu saja. Dan hebatnya, mereka itu, dua puluh tiga orang banyaknya, tertotok dalam waktu yang serentak, padahal mereka itu sedang bergerak-gerak cepat dalam pertandingan mati-matian. Manusia mana yang sanggup melakukan totokan seperti itu?

Kenyataan inilah yang membuat mereka makin terbelalak memandang ketika tampak seorang kakek yang bertubuh tegap tinggi muncul di pantai. Sebuah perahu nelayan kecil tampak di belakangnya dan kini kakek ini melangkah perlahan-lahan menuju ke tempat mereka. Kakek itu tidak dapat dilihat mukanya karena tertutup oleh sebuah caping nelayan yang amat lebar. Hanya dapat dilihat betapa pakaiannya amat sederhana, pakaian seorang nelayan miskin. Biar pun kini dia sudah melangkah makin dekat, sembilan orang sakti itu tetap tidak dapat melihat mukanya yang terus terlindungi caping lebar. Langkahnya perlahan dan sikapnya amat tenang, namun kehadirannya ini membuat seorang sakti dan ganas macam Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo sekali pun menjadi bergidik.

Siauw-lim Chit-kiam juga tidak mengenal kakek nelayan ini. Akan tetapi gerak-gerik kakek ini yang penuh dengan ketenangan, wibawa yang seolah-olah tergetar keluar dari sikap kakek ini mengingatkan mereka akan guru mereka, Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Oleh karena itu mereka segera tunduk dan maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang sakti yang menyembunyikan diri. Dipelopori oleh Song Kai Sin, tujuh orang gagah ini menekuk lutut kanan memberi hormat dan berkatalah Song Kai Sin.

"Teecu bertujuh Siauw-lim Chit-kiam menghaturkan hormat kepada Locianpwe dan mohon maaf apa bila teecu sekalian mengganggu tempat kediaman Locianpwe tanpa disengaja. Mohon Locianpwe memperkenalkan diri."

Kakek nelayan itu tetap menyembunyikan mukanya di balik caping lebar dan terdengarlah suaranya yang halus dan penuh getaran kesabaran dan welas asih, "Chit-wi-sicu datang di pulau kosong milik alam, aku nelayan tua mana bisa mempunyai pulau ini? Jauh-jauh menempuh bahaya mencari apa? Lebih baik pulang melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat bagi dunia dan manusia."

Sementara itu, hati Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi menjadi khawatir menyaksikan keadaan kakek ini. Sikap kakek ini jelas membayangkan bahwa kakek ini pasti akan berpihak kepada Siauw-lim Chit-kiam, karena itu mereka pikir lebih baik turun tangan lebih dulu selagi kakek ini tidak memperhatikan. Seperti telah bermufakat terlebih dahulu, kedua orang sakti ini tiba-tiba saja menyerang dari kanan kiri. Setan Botak melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dari arah kanan kakek itu sedangkan dalam detik yang sama, Ma-bin Lo-mo menyerang dengan pukulan Swat-im Sin-ciang dari kiri.

Siauw-lim Chit-kiam terkejut sekali, akan tetapi mereka tidak sempat lagi berbuat apa-apa. Selain itu, menghadapi dua pukulan dahsyat ini, mereka dapat berbuat apakah? Akan tetapi kakek itu dengan sikap tenang sekali mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri.

“Dessss....! Desssss...!”

Dorongan kedua orang kakek sakti dari kanan kiri itu bertemu dengan lengan kakek nelayan yang dikembangkan. Tenaga mukjizat yang tak tampak bertumbuk di udara dan akibatnya hebat sekali. Kakek nelayan masih berdiri tenang dan kini sudah menurunkan kembali kedua lengannya yang dikembangkan, bahkan lalu bersedakap, tetapi Setan Botak dan Iblis Muka Kuda jatuh terduduk. Muka Setan Botak menjadi merah sekali dan kepalanya mengepulkan asap, sedangkan Iblis Muka Kuda menjadi pucat kebiruan mukanya dan tubuhnya menggigil, keduanya cepat bersila mengerahkan sinkang masing-masing untuk memulihkan getaran yang membuat mereka hampir tidak dapat bertahan itu karena tenaga sakti mereka tadi membalik dan menyerang diri mereka sendiri.

Kakek nelayan itu bersenandung, suaranya lirih namun jelas terdengar, "Tenaga Im dan Yang adalah hebat sekali dan Ji-wi telah dapat menguasainya. Sayang, tenaga murni sehebat itu bukan dipergunakan untuk menyebar kebaikan, melainkan untuk memupuk keburukan, sungguh sayang karena akibatnya akan menimpa diri sendiri...”

Setan Botak dan Iblis Muka Kuda itu terbelalak dan mulut mereka berseru kaget, "Koai-lojin....!!"

Pada saat itu, Siauw-lim Chit-kiam yang melihat betapa dua orang kakek iblis itu menyerang Si kakek nelayan sudah siap dengan pedang mereka dan kini melihat kesempatan baik, tujuh sinar pedang menyambar ke arah Setan Botak yang jatuhnya lebih dekat dengan mereka. Kejadian ini amat cepatnya sehingga Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri hanya terbelalak, tak kuasa menghindarkan diri karena dia sendiri masih lemah oleh getaran yang diakibatkan tangkisan kakek nelayan. Ia maklum bahwa nyawanya berada di ujung rambut, maka ia hanya mengeluh dan memandang terbelalak...


BERSAMBUNG KE JILID 06


Pendekar Super Sakti Jilid 05

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

SERIAL BU KEK SIANSU

PENDEKAR SUPER SAKTI

BAGIAN 05

Han Han memandang dengan hati tegang. Ia maklum bahwa akan terjadi hal yang mengerikan. Ketika ia menoleh ke arah Ma-bin Lo-mo, ia melihat Iblis Muka Kuda itu duduk bersila dan memandang ke arah perahu itu dengan pandang mata dingin dan sikap tak acuh. Si Hwesio dan Si Muka Bopeng juga memandang penuh perhatian, sedangkan orang yang bermuka tengkorak segera berkata lirih kepada Ma-bin Lo-mo.

"Mereka adalah orang-orang dari Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam)!"

"Sikat saja, habiskan mereka!" kata Ma-bin Lo-mo dengan suara dingin sehingga Han Han yang maklum maksudnya menjadi ngeri. Lulu hanya memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan terjadi.

"Akan tetapi, Siangkoan-locianpwe, mereka itu adalah orang segolongan..." Si Muka Tengkorak berkata dengan muka berubah, ragu-ragu dan khawatir.

Ma-bin Lo-mo memandang kawannya ini dengan sinar marah. "Orang she Swi, kau ini pembantu macam apakah? Kita sudah berjanji, kalian bertiga yang sudah biasa dengan pelayaran dan tahu jalan menjadi pembantu-pembantuku. Jika perjalanan ini berhasil, kalian akan kuberi masing-masing sejilid kitab ciptaanku mengenai ilmu silat tinggi. Syaratnya kalian harus menurut dan melaksanakan semua perintahku. Sian-kouw yang memilih kalian. Apakah kini engkau hendak membantah? Apakah kau takut menghadapi tikus-tikus itu?"

"Tidak... tidak takut" hanya...

"Cukup! Hadapi mereka, dan sampaikan pesanku agar mereka tiga belas orang itu cepat meloncat ke laut karena perahu mereka akan kutenggelamkan. Dengan demikian, kita tidak membunuh mereka, hanya merusak perahunya."

Han Han bergidik. Gurunya ini benar-benar kejam sekali. Kalau tiga belas orang itu dipaksa meninggalkan perahu dan meloncat ke laut, apa bedanya dengan membunuh mereka? Mereka berada di laut bebas, tidak tampak daratan, mana mungkin mereka dapat berenang menyelamatkan diri? Kalau tidak mati tenggelam tentu akan mati di perut ikan!

Sementara itu, tiga belas orang di atas perahu hitam itu agaknya sudah mengenal Si Muka Tengkorak. Seorang yang tertua di antara mereka, berusia empat puluh tahun dan berjenggot panjang segera mengangkat tangan menjura ke arah Si Muka Tengkorak sambil berkata nyaring.

"Ah, kiranya Swi Coan Lo-enghiong yang membalapkan perahu mengejar kami! Harap Lo-enghiong menerima salam hormat kami yang melakukan perintah ketua kami melakukan pelayaran ini."

"Cu-wi (Tuan Sekalian) melaksanakan perintah apakah maka berlayar sampai disini?" suara Si Muka Tengkorak terdengar dingin.

Pimpinan orang-orang Hek-liong-pang itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Kami menerima tugas rahasia dari Pangcu (Ketua) kami dan bukanlah hak kami untuk menceritakannya kepada siapa juga. Kalau Lo-enghiong ingin mengetahui, hendaknya Lo-enghiong bertanya kepada Pangcu kami sendiri."

"Bukankah kalian disuruh mencari Pulau Es dan menyaingi kami?" Si Muka Tengkorak bertanya, suaranya marah karena biar pun di hatinya ia tidak setuju akan perintah Ma-bin Lo-mo, namun untuk melaksanakan perintah ini ia harus mencari alasan.

Pimpinan rombongan Hek-liong-pang yang berjenggot panjang itu tersenyum dan berkata, "Mana mungkin kami dapat menang bersaing dengan Lo-enghiong? Kami hanya mengandalkan nasib baik Pangcu kami."

"Hemmm, kalian sudah berani mati menyaingi kami mencari Pulau Es, maka jangan sesalkan aku kalau harus mengambil kekerasaan terhadap kalian."

Tiga belas orang Hek-liong-pang itu mengeluarkan seruan marah. Mereka semua mengenal Si Muka Tengkorak dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena selama ini Si Muka Tengkorak bersahabat dengan Pangcu mereka, sungguh mereka tidak menyangka bahwa orang tua itu akan memusuhi mereka.

"Swi Coan Lo-enghiong! Pulau Es adalah sebuah pulau yang bebas, bahkan pemerintah sendiri belum pernah menguasainya. Siapa pun berhak untuk mencarinya. Kami melaksanakan perintah Pangcu kami, dan Lo-enghiong adalah seorang yang sudah mengenal baik Pangcu kami. Dalam usaha yang bebas ini, bagaimana Lo-enghiong mengatakan kami menyaingi dan Lo-enghiong hendak melarang kami? Harap Lo-enghiong suka ingat akan persahabatan Lo-enghiong dengan Pangcu kami."

"He-hemmm...," Si Muka Tengkorak terbatuk-batuk dan menjadi agak kikuk juga.

Dia tidak takut kepada orang-orang Hek-liong-pang ini. Dan terhadap Pangcu mereka, dia hanya merupakan seorang kenalan saja. Tentu saja ia merasa sungkan, akan tetapi dia pun sudah mengenal siapa Ma-bin Lo-mo dan melanggar janji terhadap kakek sakti ini berarti bunuh diri. Maka ia lalu berkata, "Kalian mentaati perintah, aku pun demikian. Tidak ada jalan lain, kalian harus meninggalkan perahu kalian sekarang juga, karena perahu kalian harus ditenggelamkan di sini!"



Kembali seruan marah dan penasaran keluar dari tiga belas buah mulut dan wajah para rombongan Hek-liong-pang menjadi merah. Si Jenggot Panjang yang tahu bahwa perintah itu merupakan perintah yang mengajak berkelahi, menyangka bahwa tentu di antara orang-orang yang berada di samping Swi Coan itu yang merupakan biang keladinya. Akan tetapi dia tidak mengenal yang lain-lain dan melihat bahwa di situ terdapat dua orang anak dalam keadaan terbelenggu, dia mengerutkan keningnya dan bertanya.

"Kalau kami boleh bertanya, siapakah yang mengeluarkan perintah gila itu? Apakah Losuhu (sebutan untuk hwesio) itu?"

Si Muka Tengkorak Swi Coan tersenyum dan mukanya makin mengerikan karena seperti tengkorak yang dapat tertawa. "Losuhu ini adalah sahabatku yang terkenal di dunia kang-ouw, yaitu Kek Bu Hwesio seorang tokoh dari Kong-thong-pai."

Tiga belas orang anak buah Hek-liong-pang terkejut. Nama Kek Bu Hwesio memang amat terkenal sebagai seorang tokoh yang menyeleweng dari Kong-thong-pai sehingga terusir dari perkumpulan silat yang besar itu. Mereka semua maklum bahwa hwesio itu memiliki kepandaian yang tinggi sekali.

"Ada pun dia itu adalah Ouw Kian yang terkenal dengan julukan Ouw-bin-taihiap (Pendekar Besar Bermuka Hitam)."

Kembali tiga belas orang itu terkejut. Dalam dunia kang-ouw nama Si Muka Bopeng ini sungguh tidak kalah oleh nama besar Kek Bu Hwesio atau bahkan Si Muka Tengkorak sendiri. Ouw-bin-taihiap hanya julukannya saja taihiap (pendekar besar), akan tetapi sebetulnya memiliki cacat yang amat menyolok, yaitu merupakan seorang pendekar yang biar pun suka memusuhi orang-orang golongan liok-lim (perampok dan bajak), namun terkenal pula sebagai seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga alias tukang memperkosa wanita). Tak mereka sangka bahwa Si Muka Tengkorak itu kini berkawan dengan orang-orang pandai itu.

"Hemmm, nama besar kedua orang Lo-enghiong ini pun sudah kami dengar sejak lama, namun sepanjang ingatan kami, belum pernah kami dari Hek-liong-pang bentrok dengan mereka. Mengapa mereka sekarang memusuhi kami?"

"Sama sekali tidak memusuhi!" kata Si Muka Tengkorak Swi Coan. "Seperti juga aku, kedua orang sahabatku ini pun hanya pembantu-pembantu yang mentaati perintah beliau ini." Dia menuding ke arah Ma-bin Lo-mo yang masih duduk bersila sambil tidak menghiraukan mereka sama sekali, seperti orang mengantuk.

Kini tiga belas pasang mata memandang ke arah Ma-bin lo-mo dengan heran dan penuh rasa penasaran. Kakek berpakaian hitam itu kelihatannya saja aneh, mukanya amat buruk dan lucu, seperti muka kuda. Akan tetapi mereka belum pernah melihatnya sama sekali. Tiga orang itu biar pun sakti, namun para anak buah Hek-liong-pang yang mengandalkan jumlah banyak masih tidak merasa gentar, apa lagi terhadap kakek asing yang mukanya seperti kuda itu.

"Siapakah locianpwe ini?" tanya Si Jenggot Panjang menyebut locianpwe karena dapat menduga bahwa biar pun mereka belum mengenalnya, namun kakek yang memiliki tiga orang pembantu seperti tiga orang tokoh itu pastilah seorang yang amat tinggi kepandaiannya dan pastilah terkenal.

Swi Coan tersenyum lebar. "Kalian ini orang-orang muda seperti tidak bermata dan tidak bertelinga, masa tidak mengenal Siangkoan-locianpwe dari In-kok-san?"

Si Jenggot Panjang dan para adik seperguruannya memandang dengan mata terbelalak penuh perhatian, namun mereka tidak juga dapat mengingat siapa adanya seorang sakti she Siangkoan yang berdiam di In-kok-san.

Akan tetapi seorang di antara dua wanita itu berkata lirih, "Mukanya... jangan-jangan dia... Ma-bin Lo-mo....” Tiga belas orang itu terkejut dan memandang makin terbelalak.

Ma-bin Lo-mo menengok dan memandang tiga belas orang itu. "Lihat baik-baik, bukankah mukaku seperti muka kuda? Aku benarlah Si Iblis Ma-bin Lo-mo. Hayo kalian lekas-lekas meloncat ke air. Hal ini hanya kulakukan mengingat kalian telah mengenal Swi Coan."

Tiga belas orang anggota Hek-liong-pang itu benar-benar kaget. Mereka tidak pernah mengira akan berjumpa dengan seorang di antara datuk-datuk persilatan yang kabarnya sudah menyembunyikan diri itu, di antaranya adalah Si Muka Kuda ini. Akan tetapi karena perintah gila itu sama artinya dengan membunuh diri, tentu saja mereka sedapat mungkin hendak membela diri.

"Maaf, Locianpwe. Terpaksa kami tidak dapat meninggalkan perahu, karena kami harus tunduk terhadap perintah Pangcu kami."

"Swi Coan, tidak lekas turun tangan menunggu apa lagi?" Ma-bin Lo-mo membentak kepada tiga orang pembantunya.

"Kalian tidak lekas meloncat meninggalkan perahu?" teriak Si Muka Tengkorak sambil berjalan ke pinggir perahu, diikuti oleh dua orang temannya.

"Suhu! Kalau mereka disuruh meloncat ke air, bukankah hal itu sama saja dengan membunuh mereka? Mereka tidak bersalah, mengapa akan dibunuh?" Han Han yang tidak dapat menahan kemarahannya lagi berteriak nyaring.

"Tutup mulutmu, murid murtad!" bentak Ma-bin Lo-mo marah.

Tentu saja tiga belas orang anggota Hek-liong-pang menjadi terheran-heran mendengar betapa anak laki-laki yang dibelenggu itu menyebut suhu kepada Ma-bin Lo-mo. Murid sendiri dibelenggu seperti itu, apa lagi terhadap orang lain. Alangkah kejamnya Si Muka Kuda itu. Akan tetapi karena mereka semua maklum bahwa kalau meloncat ke air tentu mati, Si Jenggot Panjang berkata.

"Sungguh menakjubkan! Si murid lebih bijaksana dari pada gurunya! Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah), karena kami adalah orang-orang yang menjunjung kegagahan dan sebagai anak buah Hek-liong-pang yang menaati perintah Pangcu, juga sebagai orang-orang gagah yang tentu saja hendak mempertahankan nyawa, kami terpaksa akan membela diri dan tidak mau menurut perintah gila itu!"

"Orang-orang muda yang keras kepala!" teriak Ouw Kian si muka Bopeng.

Mereka bertiga sudah meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas perahu Hek-liong-pang itu. Sebagai orang-orang yang lebih tinggi tingkatnya, tiga orang itu tidak mengeluarkan senjata mereka dan hendak memaksa tiga belas orang lawan mereka itu untuk dilempar ke laut.

Akan tetapi mereka kecelik. Tiga belas orang itu adalah tokoh-tokoh pilihan dari Hek-liong-pang dan kini ketua mereka mengutus mereka melakukan pekerjaan yang amat penting, yaitu mencari Pulau Es. Tentu saja ketua Hek-liong-pang tidak mau mengutus anak buah yang kepandaiannya rendah.

Begitu melihat tiga orang kakek yang lihai itu meloncat ke perahu mereka, tiga belas orang itu sudah siap mencabut golok masing-masing dan membentuk sebuah barisan melingkar, merupakan lingkaran yang kokoh kuat, barisan golok yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Begitu tiga orang kakek itu mendarat di perahu mereka, tiga belas orang yang membentuk lingkaran ini sudah bergerak, setengah berlari berputaran sehingga lingkaran itu bergerak-gerak dan tiga orang kakek berada di luar lingkaran.

Ketika tiga orang kakek itu sambil berteriak maju menyerang dengan kedua tangan mereka, hendak mencengkeram seorang lawan dan dilempar ke laut, tangan mereka masing-masing bertemu dengan tiga empat buah golok yang sekaligus menangkis dan membacok secara lihai sekali. Mereka terkejut, cepat mengelak dan hendak membalas dengan hantaman kilat. Namun lingkaran itu bergerak dan mereka berhadapan dengan lain lawan sehingga mereka kembali harus mengubah posisi dan gerakan. Ternyata barisan tiga belas golok ini lihai sekali dan dapat bekerja sama dengan baik, saling membantu dan saling melindungi.

Tiga orang kakek itu mulai berputaran mengelilingi lingkaran itu, melakukan segala usaha untuk menyerang, namun selalu tidak berhasil. Andai kata tiga belas orang anggota Hek-liong-pang itu mau menyerang, tentu mereka bertiga akan dapat ‘memasuki’ pertahanan mereka dan merobohkan seorang di antara mereka. Akan tetapi tiga belas orang itu tahu bahwa tingkat kepandaian lawan mereka jauh lebih tinggi, maka mereka memusatkan perhatian dan tenaga mereka semata-mata untuk pertahanan sehingga kedudukan mereka kuat sekali. Betapa pun tiga orang kakek itu berusaha, selalu serangan mereka gagal, karena setiap serangan seorang di antara mereka berhadapan dengan tiga empat orang yang menangkisnya.

Setelah lewat dua puluh jurus belum juga tiga orang pembantunya merobohkan seorang pun di antara tiga belas orang anggota Hek-liong-pang. Ma-bin Lo-mo menjadi hilang sabar. "Sialan! Kalian menjadi pembantu-pembantuku namun tiada gunanya. Mundur semua!"

Seruan ini segera diturut oleh tiga orang pembantunya yang meloncat kembali ke perahu kecil. Sesungguhnya, kalau mereka itu mau mencabut senjata masing-masing dan mengeluarkan seluruh kepandaian, agaknya mereka akan berhasil. Namun mereka memang setengah hati dalam pertandingan itu, masih agak segan mengingat bahwa Hek-liong-pang bukanlah musuh dan bahkan masih terhitung segolongan.

Ketua Hek-liong-pang yang bernama Ciok Ceng, berjuluk Hek-hai-liong (Naga Laut Hitam) adalah seorang bajak laut dan juga bajak sungai yang terkenal sekali. Dia terkenal sebagai bajak yang hanya mau membajak perahu-perahu saudagar dan pembesar, tidak pernah mengganggu rakyat atau nelayan, dan juga tidak pernah memusuhi orang-orang kang-ouw.

Kini terdengarlah lengking tinggi yang menyeramkan. Tubuh Ma-bin Lo-mo yang tadinya masih duduk bersila, tahu-tahu mencelat ke arah perahu Hek-liong-pang itu dengan gerakan yang cepat sekali. Tiga belas orang itu terkejut melihat tubuh kakek muka kuda itu tahu-tahu sudah menyambar ke arah mereka dan barisan itu cepat bersiap-siap dengan golok melintang di dada.

Akan tetapi mereka menjadi makin terkejut karena kakek itu begitu menotolkan kedua kaki di perahu mereka, perahu itu terguncang keras sehingga kuda-kuda kaki mereka pun menjadi kacau. Pada saat itu Ma-bin Lo-mo melakukan gerakan meloncat seperti terbang mengelilingi mereka dengan kedua lengan bergerak-gerak seperti mendorong. Terdengar pekik-pekik mengerikan dan dalam sekejap mata saja terdengar golok terlepas dari tangan, berjatuhan di lantai perahu berkerontangan disusul robohnya tubuh mereka.

Tiga belas orang itu roboh malang-melintang dan menggeliat-geliat dengan wajah berubah, mula-mula pucat, kemudian makin lama menjadi biru, dan tubuh mereka yang menggeliat-geliat itu menggigil kedinginan. Mereka itu telah menjadi korban pukulan Swat-im Sin-ciang dan akibatnya benar-benar mengerikan sekali. Mereka itu mati tidak hidup pun tidak, melainkan tersiksa oleh rasa nyeri yang diakibatkan oleh hawa dingin yang seolah-olah membuat isi dada mereka membeku!

"Hemmm, kalian memang sudah bosan hidup!" kata Ma-bin Lo-mo.

Kakek sakti ini kemudian menyambar sebatang golok musuh yang berserakan di lantai perahu, dan dengan senjata ini ia meloncat ke kepala perahu, membacok beberapa kali ke lantai dan pecahlah dasar perahu sehingga air mulai menyemprot masuk! Setelah melempar golok itu ke air, ia lalu melompat dengan enaknya ke perahu sendiri. Empat orang kakek itu berdiri di perahu mereka, memandang perahu hitam yang mulai tenggelam, membawa tiga belas orang yang menggeliat-geliat dalam sekarat.

"Ohhh... kejam sekali... aahhh, Koko, aku takut..." Lulu berkata lirih dan mulai menangis.

Han Han hanya menggigit bibir dan diam-diam membuat perbandingan antara kakek yang menjadi gurunya ini dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Sukar ia menentukan siapa di antara kedua orang itu yang lebih kejam hatinya. Memang mereka memiliki ‘pegangan’ yang berbeda, yaitu kalau Kang-thouw-kwi Gak Liat merupakan seorang yang mau tunduk kepada kerajaan Mancu, sedangkan Si Muka Kuda ini menjadi seorang penentang bangsa Mancu. Namun baginya, kedua orang itu merupakan orang-orang yang memiliki pribadi yang amat mengerikan, memiliki watak kejam yang mudah saja membunuhi orang lain seperti orang membunuh semut saja.

Ketika perahu Hek-liong-pang itu tenggelam, Han Han membuang muka, bukan merasa ngeri, tetapi merasa muak. Diam-diam ia mempertebal keinginannya untuk mempelajari ilmu silat sehingga menjadi orang pandai yang kelak akan dapat menentang manusia-manusia iblis seperti Kang-thouw-kwi Gak Liat dan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee yang dianggap sebagai datuk-datuk golongan hitam ini.

Kembali tiga hari tiga malam telah lewat. Kini mereka benar-benar berada di tengah lautan yang bebas. Kedua orang anak itu kini tidak dibelenggu lagi, karena mereka diharuskan membantu memasak air dan nasi. Han Han dan Lulu bekerja tanpa banyak cakap. Hanya di waktu malam, kalau Lulu kedinginan karena mereka diharuskan tidur di dek yang terbuka, Han Han memeluk adiknya ini untuk menghangatkan tubuh adiknya, menghibur jika adiknya menangis dan ketakutan. Dan pada hari ke empatnya, jadi telah tujuh hari mereka memasuki lautan, perahu tiba di daerah yang banyak pulau-pulaunya. Pulau-pulau kecil yang mulai tampak dari jauh.

"Sudah belasan kali aku berkeliaran di antara pulau-pulau itu selama puluhan tahun yang lalu, namun tak pernah berhasil menemukan Pulau Es," kata Ma-bin Lo-mo kepada tiga orang pembantunya sambil berdiri di kepala perahu dan menghela napas. "Akan tetapi, sekarang kabarnya banyak yang mulai mencari-cari, tentu pulau itu telah muncul pula di permukaan air."

"Apakah dahulu pulau itu tenggelam?" tanya Kek Bu Hwesio dengan nada tertarik.

"Begitulah agaknya. Ada kalanya tenggelam dan ada kalanya timbul. Kalau tidak begitu, masa dahulu dicari oleh banyak orang tidak pernah dapat ditemukan?"

"Siangkoan Locianpwe, benarkah kabarnya bahwa di atas Pulau Es itu dahulu tinggal seorang yang maha sakti?" tanya Si Muka Tengkorak.

"Saya mendengar, manusia dewa Koai-lojin tinggal di sana...?" tanya Ouw Kian si Muka Bopeng.

"Kalian bantu saja aku mendapatkan Pulau Es itu, tak usah banyak tanya-tanya. Kalau berhasil, kitab-kitab ciptaanku akan membuat kalian menjadi orang-orang yang benar-benar lihai, tidak seperti sekarang ini, mengalahkan tiga belas ekor tikus Hek-liong-pang saja masih sulit."

"Ada perahu lagi...!" Terlambat Han Han menutup mulut Lulu dengan tangannya.

Empat orang itu sudah menengok ke belakang dan benar saja, tampak sebuah perahu besar sekali datang dengan cepatnya dari arah belakang. Kalau Han Han yang melihatnya, dia tentu tidak akan mau memberi tahu karena ia khawatir kalau-kalau penumpang-penumpang perahu itu akan menjadi korban kekejaman Ma-bin Lo-mo lagi. Akan tetapi mereka sudah mendengar dan sudah melihat datangnya perahu itu, maka ia pun hanya ikut memandang dengan kening berkerut.

Seperti juga tiga hari yang lalu ketika perahu Hek-liong-pang itu muncul, kini Ma-bin Lo-mo menggunakan kekuatan pandang matanya untuk meneliti perahu besar itu dan suaranya terdengar tegang ketika ia berkata.

"Wah, sekali ini perahu Mancu! Kalian bertiga harus bersiap-siap dan jangan seperti anak kecil seperti ketika menghadapi Hek-liong-pang. Kurasa Setan Botak berada di kapal itu dan kita harus bersiap untuk bertempur mati-matian. Lawan yang sekarang ini tidak boleh dipandang rendah."

"Setan Botak ? Kang-thouw-kwi...?" Si Muka Tengkorak Swi Coan berkata dengan suara gentar. Menggelikan sekali bagi Han Han melihat orang yang mukanya buas mengerikan seperti itu kini kelihatan ketakutan!

"Tak usah khawatir! Gak Liat adalah lawanku dan kalian hanya menghadapi orang-orang Mancu. Gak Liat tidak akan begitu bodoh untuk membawa orang-orang kang-ouw membantunya. Dia sendiri mengilar untuk mendapatkan pulau itu, dan hanya membonceng kepada orang-orang Mancu. Ha-ha-ha!"

Sekali ini pun dugaan Ma-bin Lo-mo amat tepat. Perahu besar itu perahu Kerajaan Mancu dan karena besar dan layarnya banyak, amat laju dan sebentar saja perahu Ma-bin Lo-mo tersusul. Setelah makin dekat, tiga orang kakek itu pun dapat melihat seorang botak berdiri di kepala perahu, sedangkan anak buah perahu besar itu terdiri dari kurang lebih tiga puluh orang tinggi besar berpakaian perwira-perwira Mancu!

"Bagus! Hanya tiga puluh orang perwira Mancu! Tiga belas orang Hek-liong-pang tadi masih lebih berat kalau dibandingkan dengan tiga puluh ekor anjing Mancu. Kalian bertiga sikat habis mereka, dan mengenai Setan Botak, akulah lawannya!" kata Ma-bin Lo-mo penuh semangat. "Mereka berada di sekitar daerah ini, kalau begitu tujuan kita tidak keliru. Pasti Pulau Es berada di sekitar tempat ini. Perwira-perwira Mancu itu tidak akan membuang waktu sia-sia kalau belum tahu dengan pasti."

Pada saat itu, biar pun jarak di antara kedua perahu itu masih jauh, terdengar suara yang terbawa angin, jelas dan mengandung getaran amat kuatnya!

"Ha-ha-ha-ha! Iblis Muka Kuda, engkau di sana itu? Ha-ha-ha, bagus sekali! Aku akan setengah mati kegirangan menyaksikan engkau mampus di tengah lautan!”

Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Ouw Kian terkejut sekali. Seorang yang memiliki khikang begitu kuat, yang dapat mengirim suara menerobos angin laut sehingga dalam jarak sejauh itu dapat terdengar begitu jelas, adalah seorang lawan yang amat berat! Akan tetapi kegelisahan mereka lenyap dan terganti kagum ketika mereka melihat Ma-bin Lo-mo berdiri di kepala perahu sambil mengeluarkan suaranya yang didorong oleh khikang yang amat kuat. Suara itu terdengar perlahan saja oleh tiga orang itu, akan tetapi menggetar dan penuh tenaga mukjizat.

"Gak Liat Si Setan Botak! Engkau menggiring anjing-anjing Mancu ke sini? Bagus, dekatkan perahumu dan mari kita bertanding sampai seorang di antara kita menjadi santapan ikan! Ada pun anjing-anjing Mancu itu, suruh mereka mengeroyok!"

"Ha-ha-ha, Ma-bin Lo-mo, apakah kau kira aku begitu bodoh? Kulihat kau membawa pembantu-pembantu. Si Muka Tengkorak, Si Hwesio Palsu, dan Si Muka Bopeng! Para Ciangkun yang datang bersamaku tentu tidak mau merendahkan diri bertanding melawan pembantu-pembantumu. Ha-ha-ha! Kau sendiri tentu akan mampus kalau melawanku, akan tetapi ada pekerjaan penting yang lebih berharga bagiku. Maka menyesal sekali aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Iblis Muka Kuda! Sekarang mampuslah bersama para pembantumu!"

Setelah terdengar suara Kang-thouw-kwi ini, dari perahu para perwira Mancu itu meluncur banyak anak panah yang tertuju kepada Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya. Namun dengan kibasan tangan mereka, empat orang kakek sakti itu dapat meruntuhkan semua anak panah yang menyambar mereka. Ada pun Han Han cepat menarik tangan Lulu diajak bertiarap di atas dek perahu, kemudian sambil merangkak Han Han menggandeng Lulu, hendak diajak mengungsi dan bersembunyi di dalam kamar perahu. Melihat ini Si Muka Tengkorak lalu menendang kedua orang anak itu roboh.

"Belenggu mereka, agar jangan mengganggu!" kata Ma-bin Lo-mo yang teringat bahwa Han Han pernah menjadi kacung Setan Botak dan khawatir kalau-kalau murid murtad itu akan berkhianat. Si Muka Tengkorak cepat melaksanakan perintah ini, mengikat tubuh kedua orang anak dengan tangan mereka ditelikung ke belakang, kemudian melemparkan mereka di sudut lantai perahu.

"Ha-ha-ha, Setan Botak! Anak panah-anak panah macam ini kau kirim kepada kami? Boleh habiskan anak panah-anak panah semua anjing Mancu!" Ma-bin Lo-mo tertawa mengejek untuk memanaskan hati lawan agar perahunya makin mendekat sehingga ia bersama tiga orang pembantunya dapat meloncat dan menyerbu.

Ia percaya bahwa tiga orang pembantunya pasti akan dapat mengalahkan para perwira Mancu dan agaknya hal itu diketahui pula oleh Kang-thouw-kwi. Akan tetapi ternyata Kang-thouw-kwi amat cerdik dan biar pun para perwira Mancu membujuk dengan hati panas untuk mendekatkan perahu, Si Setan Botak menolaknya, bahkan lalu memberi saran untuk melepas anak panah berapi!

Serangan ini dilakukan dan terkejutlah Ma-bin Lo-mo. Tak disangkanya musuh akan menggunakan akal keji ini. Setelah puluhan batang anak panah yang membawa kain berminyak dan berkobar itu datang meluncur berhamburan, dia dan tiga orang yang membantunya menjadi repot sekali. Selain harus menangkis dan menghindarkan diri, mereka harus pula berusaha memadamkan api yang dibawa anak panah menancap pada bilik perahu dan pada layar.

"Celaka, perahu terbakar!" seru Kek Bu Hwesio.

Dan benar saja, tiga orang itu kekurangan tenaga untuk memadamkan api yang mulai membakar perahu. Mereka masih terus berusaha, namun akhirnya bilik perahu itu dimakan api. Api berkobar besar dan mengancam untuk membakar semua yang berada di perahu.

"Kita harus meninggalkan perahu!" seru Ma-bin Lo-mo. "Putuskan pengapung perahu dari bambu di kanan kiri dan pergunakan untuk penyelamat diri!"

Tiga orang pembantunya yang sudah panik itu cepat melompat dari atas perahu yang terbakar. Mula-mula Si Muka Tengkorak yang lebih dahulu meloncat ke air, disusul oleh Si Muka Bopeng yang tadinya berusaha memadamkan api di atas atap bilik. Dari atas atap bilik ia melayang turun ke air dengan gerakan seperti hendak terbang. Ada pun Kek Bu Hwesio yang tangannya gosong terjilat api, cepat meloncat pula ke air.

Tiga orang ini mematahkan bambu pengapung perahu di kanan kiri dan menggunakan bambu-bambu itu untuk menyelamatkan diri dari bahaya tenggelam. Ada pun Ma-bin Lo-mo sendiri sudah masuk ke dalam bilik yang berkobar, dan keluar kembali membawa sebuah ember. Ember yang disangkanya berisi minyak yang disediakan untuk memasang lampu itu ia siramkan ke atas tubuh Han Han dan Lulu sambil tertawa, "Aku tidak berhak menghukummu, biarlah sekarang kalian ikut berkobar bersama perahu!" Setelah menyiramkan isi ember yang disangkanya minyak itu, Ma-bin Lo-mo melompat ke air menyusul kawan-kawannya.

Han Han segera mengerti bahwa dalam keadaan marah dan panik itu Ma-bin Lo-mo telah keliru ambil. Di dalam bilik hanya terdapat sebuah ember yang terisi minyak dan belasan ember terisi air, yaitu air persediaan untuk minum. Begitu disiram, Han Han tahu bahwa yang membasahi dia dan Lulu bukanlah minyak, melainkan air. Diam-diam ia menjadi geli dan girang, akan tetapi hanya sebentar. Bagaimana dia bisa girang kalau bahaya api itu sedemikian hebatnya? Melompat ke air berarti mati tenggelam karena kedua tangan mereka terbelenggu. Tidak melompat akan mati terbakar.

"Koko... aku takut.... api itu akan membakar kita...”

Tiba-tiba saja air laut bergelombang hebat dan sinar matahari tertutup mendung tebal yang tanpa mereka sadari sejak tadi telah mengumpul. Di udara yang gelap oleh mendung itu tampak kilat menyambar-nyambar. Agaknya langit menjadi marah menyaksikan ulah manusia-manusia yang berwatak bejat itu. Atau kebetulan sajakah pada saat itu badai mulai mengamuk? Tak ada manusia yang dapat menjawab, namun kenyataannya ombak makin membesar dan langit makin gelap.

"Lulu, lekas berdiri, contohlah aku. Kita bakar belenggu kita pada api!" kata Han Han sambil bangkit berdiri dan mendekati api yang membakar bilik perahu.

Dia mendekatkan belenggu tangannya pada api dan hal ini dapat ia lakukan dengan mudah karena begitu terjilat api, otomatis tenaga inti Hwi-yang Sinkang yang sudah berada di tubuhnya bekerja sehingga kedua tangannya tidak terasa panas sama sekali, bahkan hangat-hangat nyaman! Akan tetapi ketika Lulu mencoba untuk mencontoh kakaknya, ia menjerit dan cepat-cepat menarik kembali tangannya yang untung belum terlanjur terbakar.

Han Han dapat membebaskan belenggu tangan yang sudah terbakar. Cepat ia lalu melepaskan ikatan adiknya. "Hayo kita meloncat ke air!" teriak Han Han.

"Tidak...! Aku takut...!" kata Lulu sambil menangis dan menutupi mukanya agar jangan terlihat olehnya gelombang hebat yang seolah-olah hendak menelannya itu.

Angin menderu keras dan Han Han berteriak melawan suara angin, "Apakah kau ingin terbakar api?"

Sebagai jawaban, tiba-tiba terdengar kilat menyambar di atas kepala, keras sekali dan kedua orang anak itu dengan gerakan reflex yang tak disengaja sudah bertiarap di atas lantai perahu sambil menutup kedua telinga dengan tangan. Ketika mereka merangkak dan hendak bangkit kembali, tiba-tiba Lulu berteriak.

"Hujan...!"

Bukan air hujan, melainkan percikan air gelombang yang mengamuk. Perahu menjadi miring dan banyak air menyiram perahu sehingga bilik yang terbakar itu segera padam. Makin keras perahu terayun, makin hebat gelombang mengamuk dan makin gelaplah langit. Han Han yang dilempar ke dek oleh guncangan perahu, cepat menyeret tangan adiknya, dibawa memasuki bilik perahu yang sudah tidak terbakar lagi.

Ia berhasil menyeret tubuh Lulu yang menggigil itu ke dalam bilik. Biar pun perahu masih terayun-ayun sehingga tubuh mereka menabrak kanan kiri dinding, namun tidak ada bahaya mereka terlempar ke luar perahu. Babak-bundas tubuh mereka, terutama Lulu, dan benturan terakhir membuat kepala Lulu terbanting pada dinding sehingga anak itu roboh pingsan di pelukan Han Han.

Han Han sendiri sudah payah mempertahankan diri. Ketika dia bersama tubuh Lulu terbanting ke kanan, ia melihat dua buah kitab di dekatnya. Ia mengira bahwa itu tentulah kitab yang ditinggalkan oleh Sepasang Pedang Iblis, maka ia cepat mengambilnya dan memasukkannya kembali ke balik bajunya. Pada saat itu ia terbanting lagi ke kanan dan kepeningan membuat Han Han meramkan mata. Namun dalam keadaan yang setengah pingsan itu ia masih selalu teringat kepada Lulu yang dipeluknya erat-erat di dadanya.

Han Han tak dapat mengira-ngira, entah berapa lamanya badai mengamuk. Cuaca selalu gelap sehingga tidak ada bedanya antara siang dan malam, hanya ia tahu bahwa badai mengamuk lama sekali, terlalu lama. Untung bahwa di luar kesadarannya, Han Han memiliki daya tahan yang tidak lumrah manusia biasa. Badai itu mengamuk sampai dua hari dua malam, dan selama itu Lulu menggeletak dalam keadaan setengah pingsan, hanya sebentar-sebentar mengerang lalu ‘tertidur’ lagi. Namun Han Han tetap sadar!

Keadaan amat tenangnya ketika perahu berhenti terayun dan cuaca menjadi terang kembali. Han Han baru merasa betapa tubuhnya nyeri semua, tulang-tulang tubuhnya seperti remuk-remuk. Terdengar suara Lulu merintih perlahan.

"Bangunlah, Adikku, bangunlah. Badai sudah berhenti," bisiknya dan Lulu membuka matanya perlahan.

"Han-ko…, apakah kita sudah... sudah mati...? Tubuhku lemas sekali dan semua terasa sakit..."

Han Han merasa kasihan sekali. "Kita masih hidup, Lulu."

Ia mencari-cari dalam bilik yang sudah rusak keadaannya. Alangkah girang hatinya ketika ia menemukan guci arak milik Ma-bin Lo-mo. Guci ini terbuat dari pada perak dan tertutup rapat-rapat sehingga biar pun terguncang dan terlempar-lempar, tidak rusak dan isinya tidak terbuang. Ia cepat membuka tutup guci dan menuangkan sedikit arak ke mulut adiknya. Lulu meneguk arak dan tersedak, terbatuk-batuk. Akan tetapi hawa yang hangat memasuki tubuhnya dan anak itu biar pun masih amat lemah sudah dapat bangkit dan duduk, malah kemudian berkata, "Perutku lapar...”

Han Han tertawa dan pada saat itu ia pun baru sadar betapa perutnya amat perih dan lapar. Ia lalu membongkar-bongkar semua barang yang terjungkir balik di dalam bilik itu, mencari-cari perbekalan makanan Ma-bin Lo-mo dan akhirnya dengan girang ia menemukan beberapa potong roti kering. Biar pun roti ini sudah basah oleh air laut dan terasa asin, namun cukup lumayan untuk pengisi perut yang kosong, mencegah kematian karena kelaparan.

Setelah terisi roti dan arak, tenaga mereka agak pulih kembali. Han Han lalu menggandeng tangan adiknya diajak keluar dari bilik itu. Mereka mengintai ke luar dan melihat bahwa mereka berada di laut bebas, tidak tampak lagi pulau-pulau kecil, tidak tampak sama sekali perahu besar milik Kang-thouw-kwi. Han Han berusaha mencari-cari Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, akan tetapi tak tampak pula bayangan mereka. Tentu mereka sudah tenggelam, pikirnya. Dan perahu besar milik perwira-perwira Mancu itu tentu telah hanyut jauh oleh badai yang mengamuk.

Hatinya agak lega karena kini dia dan adiknya terbebas dari pada ancaman manusia-manusia iblis itu. Akan tetapi ancaman maut yang lebih mengerikan berada di depan mata. Mereka tidak mempunyai persediaan makanan cukup, terutama sekali air minum. Selain itu, perahu sudah rusak sehingga tidak dapat dikemudikan, layarnya pun sudah tinggal sedikit di bagian atasnya saja, juga tidak tampak ada daratan yang dekat. Betapa mungkin mereka dapat hidup di atas perahu rusak ini? Mereka akan mati kelaparan dan Han Han tidak tahu apa yang dapat ia lakukan untuk menyelamatkan diri dari pada ancaman maut ini.

Memang, kalau menurut perhitungan akal budi manusia, agaknya nasib dua orang anak itu sudah dapat dipastikan tewas di atas perahu itu. Tidak ada jaIan ke luar lagi dan akal manusia tidak akan dapat menyelamatkan mereka. Akan tetapi nyawa manusia berada sepenuhnya di tangan Tuhan. Apa bila Tuhan menghendaki seseorang mati, biar pun orang itu memiliki nyawa seribu rangkap, memiliki kesaktian, memiliki segala-galanya dia akan mati juga karena tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat membebaskannya dari pada kehendak Tuhan. Kalau Tuhan sudah menentukan dia mati, biar dia bersembunyi di lubang semut, maut tetap akan datang menjemput.

Sebaliknya, jika Tuhan belum menghendaki seseorang mati, biar pun tampaknya sudah tidak ada harapan baginya, namun ia tetap akan lolos dari ancaman maut. Demikianlah pula dengan halnya Han Han dan Lulu. Kedua orang anak ini sama sekali tidak mempunyai daya untuk lolos dari keadaan itu. Namun pada malam harinya, tiba-tiba saja turun hujan sehingga mereka dapat membasahi tenggorokan yang sudah mengering dan membengkak! Dan hujan ini disusul dengan tiupan angin yang mengguncang air sehingga ombak datang bergulung-gulung.

Han Han dan Lulu kembali bersembunyi di dalam bilik perahu yang sudah rusak, saling berpelukan dan menghadapi kematian yang agaknya sekali ini takkan dapat mereka hindarkan lagi. Mereka merasa betapa perahu itu bergerak, dilontarkan oleh gelombang air laut. Lulu tidak dapat menangis lagi, hanya memeluk pinggang Han Han, menyembunyikan mukanya di dada kakaknya sambil berbisik dengan suara gemetar.

"Kita mati, Koko... kita mati... akan tetapi jangan tinggalkan aku... kita bersama…”

Suara dan ucapan Lulu itu mendatangkan rasa puas dan lega di hati Han Han. Apa pun yang akan terjadi, dia tidak sendirian, dia mempunyai seorang adik yang mencintanya dan yang dicinta. Dia tidak akan merasa penasaran biar pun dia akan mati, asal dia dapat mati bersama Lulu agar di mana pun juga, ia akan dapat mengawani dan melindungi adiknya ini.

Karena tubuh mereka sudah amat lemah, kepala pening dan pikiran mereka menjadi lemah pula, mereka tidak tahu lagi berapa lama mereka berdekapan di dalam bilik. Perahu itu diombang-ambingkan terus dan cuaca menjadi gelap, kemudian berubah terang, gelap lagi sampai lama sekali dan tiba-tiba mereka terlempar dan menumbuk dinding. Perahu itu membentur sesuatu!

Han Han membuka matanya dan melihat bahwa cuaca sudah menjadi terang. Ada sinar menerobos masuk ke dalam bilik dan hawa udara amatlah dinginnya. Perahu itu tidak bergerak lagi.

"Lulu, badai sudah berhenti lagi… mari… mari kita keluar..." kata Han Han dengan suara lemah.

Lulu membuka matanya. Ia merasa nyaman dan senang dalam pelukan Han Han, seperti dinina-bobokkan dan ia merasa malas untuk bangun, malas untuk membuka mata. Ingin rasanya ia memejamkan mata dan tidur selamanya dalam keadaan seperti itu. Ia takut akan melihat dan menemukan hal-hal yang mengerikan kalau membuka matanya.

"Lulu... mari kita keluar.... Kita harus berusaha untuk mendarat..."

"Oohhh... lebih senang begini, Koko...." Lulu mempererat rangkulannya pada pinggang Han Han dan sama sekali tidak mau membuka matanya.

Han Han menunduk dan ketika ia melihat wajah adiknya yang kurus dan amat pucat seperti mayat itu, hatinya seperti ditusuk rasanya. Entah mengapa ia seperti mendapat firasat bahwa kalau didiamkannya saja keadaan adiknya ini, tak lama lagi ia akan kehilangan Lulu!

Maka ia menguncang pundak Lulu dan berkata keras. "Tidak! Selama nyawa masih di badan kita, kita harus berusaha! Bangunlah, Adikku sayang. Jangan takut, Kakakmu akan selalu berada di sampingmu!"

Lulu membuka matanya dan seperti seorang yang baru bangun dari mimpi buruk ia mengejap-ngejapkan matanya, seolah-olah silau melihat cahaya terang yang memasuki bilik perahu. Kemudian dengan tubuh lemas ia bangkit dan menggandeng tangan kakaknya. Ketika Han Han menariknya berdiri, Lulu menuding ke lantai dan berkata.

"Koko, kitab-kitabmu tercecer..."

Han Han menunduk dan ia terheran. Ia meraba-raba pinggangnya dan mendapat kenyataan bahwa kitab-kitabnya memang tidak berada di saku bajunya sebelah dalam lagi. Akan tetapi, mengapa ada tiga buah kitab? Bukankah Sepasang Pedang Iblis memberinya dua buah kitab yang sudah disatukan? Ia berjongkok dan mengambil kitab-kitab itu.

Yang sebuah adalah kitab tebal dan ternyata adalah dua buah kitab yang disatukan, kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis. Akan tetapi yang dua buah lagi adalah kitab-kitab yang baru dilihatnya saat itu. Kini mengertilah ia bahwa dua buah kitab yang dia simpan di balik bajunya ketika perahu terbakar, adalah dua buah kitab yang baru inilah. Sekilas pandang ia membaca judul dua buah kitab itu.

Yang sebuah berjudul ‘Menghimpun Tenaga Im-kang’ dan yang kedua berjudul ‘Berlatih Semedhi dan Lweekang’, keduanya ditulis oleh Ma-bin Lo-mo. Mengertilah ia kini bahwa dua buah kitab itulah yang agaknya oleh Ma-bin Lo-mo dijanjikan kepada tiga orang pembantunya. Tentu ada sebuah kitab lagi yang entah lenyap di mana, akan tetapi ia tidak peduli. Ia mengambil tiga buah kitab itu dan menggandeng tangan Lulu diajak keluar dari bilik.

Ketika muncul di luar bilik perahu, mereka mengeluarkan seruan kaget, kagum dan juga girang. Kiranya perahu rusak itu telah terdampar di antara kepulauan yang kelihatannya aneh sekali, serba putih! Bahkan pohon-pohon yang tampak di situ diliputi salju. Pulau Es! Pikiran ini memasuki ingatan Han Han dan ia diserang rasa girang yang amat luar biasa sehingga terhuyung ke depan.

"Pulau Es...! Lulu, kita berada di Pulau Es !" Han Han berteriak-teriak dan menarik tangan Lulu untuk keluar dari perahu itu, lupa akan kelemahan tubuhnya dan lupa bahwa Lulu tidak berkepandaian.

Han Han yang menarik tangan adiknya itu membawanya melompat turun dari perahu ke atas daratan yang tertutup salju. Untung bahwa salju itu merupakan tilam yang lunak sehingga mereka tidak terluka ketika jatuh bergulingan. Mereka bahkan tertawa-tawa karena merasa bahwa kini mereka akan tertolong.

“Kita selamat…! Kita mendarat...!” seru Han Han sambil tertawa-tawa dan napasnya terengah-engah.

Anak ini dengan keadaan tubuhnya yang tidak lumrah telah berhari-hari dapat bertahan terhadap segala kesengsaraan, dan semua itu terdorong oleh semangatnya untuk menyelamatkan Lulu. Kini setelah kekuatan yang luar biasa dan yang tadinya ia pergunakan untuk mempertahankan dirinya itu mendapat jalan ke luar karena kelegaan dan kegembiraannya, ia tiba-tiba menjadi lemah sekali dan bernapas pun menjadi sukar. Ia berjalan maju, tersandung-sandung sambil tertawa-tawa, diikuti dari belakang oleh Lulu yang terus memegangi tangan kirinya. Tiba-tiba Han Han yang tertawa-tawa itu terguling roboh menelungkup di atas salju. Tiga buah kitab yang tadi dipegang di tangan kanannya terlepas.

"Koko...! Han-ko....! Ah, Han-ko, bangunlah..." Lulu mengguncang-guncang tubuh kakaknya, akan tetapi Han Han tidak bergerak.

Melihat kakaknya seperti itu, Lulu menjerit-jerit dan menangis tanpa mengeluarkan air mata karena sudah terlalu banyak menangis dan matanya sudah terlalu kering sehingga agaknya tidak mempunyai air mata lagi.

"Han-ko...! Jangan mati, Han-ko.... Jangan tinggalkan aku...!" Lulu menjerit-jerit dan memeluki tubuh Han Han.

“Gerrrrr……!”

Suara gerengan yang menggetarkan pulau itu membuat Lulu terkejut sekali dan anak ini mengangkat mukanya yang tadi ia letakkan di atas punggung Han Han. Ketika ia bangkit dan mengangkat muka, matanya terbelalak lebar sekali, mulutnya ternganga dan wajahnya yang sudah pucat itu menjadi seperti kertas. Tidak ada suara keluar dari mulutnya. Lulu menjadi begitu kaget dan ngeri sehingga ia sudah kehilangan suaranya, hanya melongo seperti orang mimpi atau kehilangan akal.

Di depannya, dekat sekali, berdiri seekor binatang yang amat besar, seekor beruang yang berbulu putih. Beruang itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya, besar dan tinggi sekali, mengeluarkan suara menggereng-gereng dan matanya yang merah itu sejenak memandang ke arah perahu yang terdampar, kemudian menunduk dan memandang kepada Han Han dan Lulu. Mulutnya yang terbuka itu memperlihatkan rongga mulut dan lidah yang merah dan gigi bertaring yang putih, kuat dan meruncing. Setelah menggereng beberapa kali, binatang besar itu lalu menurunkan kedua kaki depannya, merangkak menghampiri Han Han.

"Ohhhhh, tidak... jangan…!" Lulu menggeleng kepalanya. "Jangan mengganggu Han-ko...!"

Memang luar biasa sekali cinta kasih bocah ini terhadap kakak angkatnya. Andai kata tidak ada kekhawatirannya terhadap Han Han, tentu ia sudah roboh pingsan seketika itu juga saking ngerinya. Kini melihat beruang itu mendekati Han Han, Lulu melupakan rasa takutnya dan berusaha mengusir beruang itu dengan suara dan gerakan tangan!

Namun beruang itu agaknya tidak mempedulikan Lulu, menggunakan kedua kaki depan seperti sepasang lengan manusia, memondong tubuh Han Han dengan amat ringannya, kemudian bangkit berdiri lagi dan berjalan terseok-seok sambil memondong tubuh Han Han yang masih pingsan!

Lulu terbelalak, seperti terpesona. Beruang itu tidak menggigit Han Han, tidak mengganggunya, malah memondong dan seperti hendak menolongnya! Ia pun lalu bangkit perlahan, mengambil tiga buah kitab yang tertinggal di situ, kemudian berjalan perlahan-lahan mengikuti beruang itu. Dia merasa terlalu takut kalau beruang itu menjadi marah dan mengganggu Han Han, maka Lulu melangkah maju tanpa mengeluarkan suara, bahkan setengah menahan napas karena mengkhawatirkan keselamatan kakaknya.

Betapa indahnya dunia ini kalau perasaan kasih sayang yang begitu murni dan berada dalam hati setiap orang manusia itu diperkembangkan! Betapa sucinya cinta kasih sehingga dalam detik-detik yang mengancam diri sendiri, orang masih lupa akan bahaya yang mengancam diri pribadi, bahkan mengkhawatirkan keselamatan orang yang dikasihinya. Cinta kasih murni ini sajalah yang mampu mengalahkan dan mengusir kelemahan utama manusia, yaitu mementingkan diri pribadi (egoisme). Cinta kasih adalah suatu sifat yang suci, sebuah di antara sifat Tuhan Yang Maha Kasih.

Beruang putih atau beruang es itu berjalan terus membawa Han Han ke tengah pulau. Dalam kekhawatirannya akan keselamatan kakaknya, Lulu yang sebetulnya sudah amat lemah itu kini dapat berjalan terus mengikuti beruang itu sampai ke tengah pulau. Padahal tadi, melangkah setindak pun sudah terasa amat berat bagi tubuhnya yang kurang makan sampai berhari-hari dan telah mengalami kesengsaraan hebat itu.

Alangkah heran hati Lulu ketika ia melihat sebuah bangunan yang cukup besar di tengah pulau dan ke arah bangunan itulah beruang besar tadi membawa Han Han. Jantungnya berdebar tegang. Kalau ada rumahnya, tentu ada orangnya! Orang macam apakah yang tinggal di pulau kosong ini? Lulu terus mengikuti beruang itu yang membawa Han Han memasuki bangunan, terus masuk ke dalam. Lulu melongo.

Bangunan itu amat indahnya, dibuat dengan gaya seni yang luar biasa. Akan tetapi ia tidak sempat untuk mengagumi semua itu karena matanya mencari-cari penghuni rumah itu. Kosong dan sunyi saja. Dan beruang itu membawa Han Han masuk ke sebuah kamar yang besar, kemudian membaringkan tubuh Han Han di atas sebuah pembaringan yang bertilam kain berbulu tebal.

Kamar itu pun bersih dan dindingnya penuh dengan tulisan-tulisan tangan yang indah-indah. Di sudut kamar itu terdapat sebuah tempat perapian. Lulu yang tidak tahu harus berbuat apa, duduk di tepi pembaringan, memegang tangan Han Han dan mengguncang-guncangnya. Namun Han Han seperti orang tertidur pulas, tidak juga terbangun. Dengan ketakutan yang makin meningkat, Lulu mengikuti gerakan-gerakan beruang itu dengan pandang matanya dan ia makin terbelalak keheranan.

Beruang itu benar-benar luar biasa sekali, seperti manusia saja. Kini binatang yang berdiri seperti manusia itu menghampiri perapian, kaki depannya yang tergantung di depan dengan kaku itu lalu mengambil kayu kering, dilemparkannya ke perapian dan dituangkannya minyak di atas perapian. Semua ini dilakukan dengan jepitan kedua tangan atau kedua kaki depannya yang besar. Kemudian binatang itu mengambil dua batang pedang pendek yang tadinya tergantung di dinding, di atas perapian.

Lulu menahan pekiknya dengan tangan. Kiranya beruang itu hendak menyembelih dia dan Han Han, pikirnya dengan hati ngeri. Ia melihat betapa beruang itu, mencengkeram sepasang pedang dengan kedua kaki depannya, kemudian membuat gerakan seperti orang bersilat pedang. Dua batang pedang itu berkelebat menjadi sinar putih dan saling bertemu, menerbitkan suara yang nyaring sekali.

“Cringgggg...!”

Bunga api muncrat di dekat perapian, menyambar kayu yang sudah basah oleh minyak dan menyala-lah kayu itu di dalam tungku. Beruang itu dengan mulut menyeringai lalu mengembalikan sepasang pedang tadi, digantungkan di atas dinding. Kemudian binatang itu menambahkan kayu kering sehingga api dalam tungku membesar dan terusirlah hawa dingin setelah hawa panas api di tungku itu mulai terasa oleh Lulu. Beruang itu lalu memandang Lulu, mengeluarkan suara gerengan pendek kemudian keluar dari kamar.

Lulu seperti baru sadar dari mimpi, mengguncang-guncang pundak Han Han. "Koko...! Koko…! Bangunlah... Ada… ada binatang aneh...!" Akan tetapi Han Han belum juga sadar sehingga akhirnya Lulu menangis di atas dada kakaknya.

Akan tetapi ia segera menghentikan tangisnya karena beruang itu sudah kembali memasuki kamar. Mulutnya menggigit daun-daunan yang membeku dan kedua kaki depannya membawa benda putih membeku sebesar kepala orang. Ia menurunkan semua itu di atas meja dekat perapian, kemudian ia menoleh ke arah Lulu dan kembali mengeluarkan suara gerengan-gerengan, kedua kaki depannya bergerak-gerak seperti seorang gagu kalau hendak menyatakan sesuatu.

Lulu adalah seorang gadis cilik yang cerdik juga. Kini ia mulai dapat mengerti bahwa binatang itu sama sekali tidaklah jahat. "Apakah kehendakmu?" katanya perlahan sambil turun dari pembaringan dan menghampiri beruang itu.

Binatang itu kelihatan girang, lalu menuding ke arah dinding di mana terdapat perabot-perabot dapur yang cukup, terbuat dari pada perak. Ia menuding ke arah panci dan Lulu mengerti bahwa agaknya dia disuruh masak. Mungkin daun itu adalah obat untuk menyembuhkan kakaknya! Teringat akan hal ini, cepat dia mengambil panci itu dan membawanya ke depan beruang yang kini mengambil sebongkah es yang ia masukkan ke dalam panci, kemudian dengan suara "arrhh-arrhh-urrhh-urrhhh" ia menunjuk ke perapian.

Lulu tidak mengerti mengapa dia disuruh masak es, akan tetapi ia melakukannya juga, mendekati tungku dan menaruh panci itu di atas perapian. Ketika es di dalam panci mencair menjadi air, barulah anak ini mengerti dan menjadi girang sekali. Cepat ia mengambil air dalam panci itu dan menghampiri Han Han untuk memberi minum kakaknya yang ia tahu, seperti juga dia, amat kehausan. Akan tetapi ia kaget sekali ketika tiba-tiba beruang yang besar itu melompat dengan ringannya, menghadang dan melarang dia menghampiri Han Han, lalu menunjuk-nunjuk dengan kaki depannya ke arah tungku.

"Paman beruang, aku mau memberi minum Han-ko, mengapa tidak boleh?"

Beruang itu hanya menggereng-gereng dan menunjuk ke arah tungku perapian. Kini rasa takut Lulu terhadap binatang itu sudah lenyap karena dia makin merasa yakin bahwa binatang ini tidaklah jahat dan tentu ada tersembunyi maksud-maksud baik dalam semua perbuatannya ini. Ia lalu menghampiri tungku dan menduga bahwa binatang itu menghendaki dia masak terus air dari es itu, maka ia meletakkan panci di atas api dan beruang itu mengangguk-angguk! Lulu kini mengerti. Agaknya air itu harus dimasak sampai mendidih lebih dulu sebelum diminumkannya kepada kakaknya. Akan tetapi dugaannya keliru karena kini binatang itu mengambil daun-daun beku dari atas atas meja dan memasukkan daun-daun itu ke dalam panci air.

"Ah, kiranya disuruh masak obat untuk Han-ko? Begitukah, Paman Beruang?"

Beruang itu mengangguk-angguk dan Lulu menjadi girang sehingga anak ini lalu memeluk perut beruang yang gendut dan mendekapkan mukanya pada dada yang bidang dan kuat itu. Beruang itu mengeluarkan suara ngak ngak nguk nguk dan kaki depannya yang kiri dengan gerakan halus mengusap rambut kepala Lulu!

Bocah ini menjadi girang sekali dan cepat-cepat ia menambah kayu pada perapian sehingga tak lama kemudian daun-daun beku itu termasak dan air berubah menjadi kemerahan. Setelah air masakan daun ini tinggal sedikit, beruang itu memberi tanda supaya Lulu memberi minum Han Han dengan air obat itu. Air yang tadinya mendidih sebentar saja menjadi dingin dan Lulu cepat memberi minum obat itu dengan hati-hati, menuangkannya ke dalam mulut Han Han setelah ia membuka dengan paksa mulut itu dengan tangan kirinya.

Hatinya girang sekali karena biar pun keadaannya amat lemas, ternyata Han Han dapat menelan obat itu. Kemudian atas isyarat-isyarat binatang yang luar biasa itu, Lulu memasak benda putih biasa itu. Lulu memasak benda putih yang ternyata adalah segumpal gandum yang kemudian dimasak menjadi bubur encer. Mulailah anak yang amat mencinta kakaknya itu menyuapkan bubur ke mulut Han Han yang sudah dapat bergerak, namun agaknya masih belum sadar betul itu. Setelah Han Han tertidur dengan wajah agak merah, barulah Lulu teringat untuk makan dan minum. Kemudian ia pun menggeletak tertidur di atas pembaringan di dekat kaki Han Han.

Atas perawatan yang tekun dari Lulu yang selalu diberi petunjuk oleh beruang es yang luar biasa itu, dalam waktu sepekan saja Han Han telah sembuh dari sakitnya. Setelah sadar benar, dengan terheran-heran Han Han mendengarkan cerita Lulu tentang beruang es itu dan Han Han tanpa ragu-ragu lalu bangkit memeluk binatang itu yang mengeluarkan suara seperti orang kegirangan! Setelah Han Han pulih kembali kesehatannya, barulah ia bersama Lulu mengadakan pemeriksaan, diantar oleh beruang putih.

Bangunan itu cukup besar dan mewah sekali. Mempunyai banyak kamar yang serba lengkap. Kamar dimana Han Han dibaringkan adalah kamar dapur, lengkap dengan perabot dapurnya. Ada tiga buah kamar tidur yang indah dan lengkap, ada pula ruangan yang amat luas untuk belajar ilmu silat, ada pula sebuah ‘taman’ yang aneh karena di situ bunga-bunga tidak dapat tumbuh subur dan hanya beberapa macam tetumbuhan saja yang dapat hidup karena di situ selalu diliputi es dan salju. Taman ini terhias dengan batu-batu yang bentuknya indah, dengan jembatan-jembatan kayu yang mungil dan pondok kecil yang di buat dengan gaya seni indah.

Ternyata pula bahwa satu-satunya makhluk hidup yang tinggal di pulau itu hanyalah beruang es itulah. Pantas saja kalau binatang itu menjadi kegirangan karena sekaligus ia memperoleh dua orang teman! Dan tentu saja hal ini dapat dirasakan oleh beruang itu yang agaknya dahulu telah dipelihara orang.

Yang amat menarik perhatian Han Han adalah sebuah kamar perpustakaan di mana terdapat banyak sekali kitab-kitab yang aneh-aneh dan hebat-hebat. Kitab-kitab pelajaran ilmu silat, pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi-tinggi tersusun rapi di lemari buku yang besar. Kini dia mulai mengerti mengapa orang-orang kang-ouw berlomba untuk menemukan Pulau Es ini. Kiranya untuk kitab-kitab inilah!

Han Han dapat menduga bahwa yang pernah tinggal di tempat aneh ini tentulah seorang manusia sakti. Hal ini bukan hanya dapat dilihat dari adanya kitab-kitab itu, melainkan dengan mudah dapat menduga dari keadaan beruang putih itu. Hanya seorang sakti saja yang mampu menundukkan dan melatih binatang itu menjadi seekor binatang yang luar biasa, selain cerdik seperti manusia, juga memiliki tenaga yang hebat dan gerak-geriknya tangkas seperti seorang ahli silat yang pandai.

Mula-mula Han Han dan Lulu merasa seolah-olah mereka menjadi pencuri-pencuri yang memasuki rumah orang. Akan tetapi karena pulau itu benar-benar kosong, maka mereka menjadi biasa dan menganggap bahwa rumah yang mewah seperti istana itu sebagai rumah sendiri.

Kamar pertama adalah kamar yang paling besar. Perlengkapannya tidaklah sangat mewah, namun menyenangkan. Dinding kamar ini penuh dengan tulisan-tulisan yang berbentuk sajak dan Han Han amat kagum membaca sajak-sajak ini yang selain mengandung filsafat yang dalam-dalam dan pandangan yang amat luas dan bijaksana, juga ditulis amat indah.

Di bagian lain dari dinding bertulis di rumah itu, ia mendapatkan tulisan-tulisan yang sifatnya mengandung keluh-kesah, sajak-sajak duka yang membayangkan kepatahan hati. Kemudian di dalam laci sebuah meja di kamar pertama itu ia mendapatkan pula beberapa sampul surat dari kain yang dibungkus rapat dalam sebuah kantung karet. Di luar bungkusan karet ada tulisannya: ‘Diharap yang menemukan ini menyampaikannya kepada yang berkepentingan’.

Sajak terbesar yang berada di dalam kamar pertama ditulis dengan cara yang lain dari pada sajak-sajak dan tulisan-tulisan lain. Kalau tulisan lain dilakukan dengan alat tulis biasa, adalah sajak terbesar ini entah ditulis dengan apa, akan tetapi kenyataannya huruf itu seperti diukir dalam dinding. Amat indah goresannya, amat kuat dan bunyi sajaknya sukar dimengerti atau diselami oleh Han Han yang usianya baru dua belas atau tiga belas tahun itu.

Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
Namun Siansu berkata:
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapa pun juga,
cinta segi tiga tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!


Membaca sajak-sajak dan tulisan-tulisan yang memenuhi dinding rumah indah itu, Han Han hanya dapat menduga bahwa penghuni rumah ini tentulah seorang sakti yang ahli pula dalam kesusastraan, namun seorang yang banyak mengalami penderitaan dalam hidupnya sehingga tulisan-tulisannya membayangkan hati yang merana dan berduka.

Ada pun kamar yang ke dua dan ke tiga menunjukkan dengan jelas bahwa kamar-kamar itu adalah kamar wanita. Selain bersih dan mewah, juga berbau harum dan di situ masih lengkap dengan segala benda keperluan wanita, dari pakaian-pakaian sutera yang indah-indah, perhiasan emas permata sampai alat-alat kecantikan dan alat-alat menjahit dan menyulam! Tentu saja Lulu menjadi girang sekali dan menempati sebuah di antara kedua kamar ini. Juga di kamar pertama terdapat pakaian-pakaian pria sehingga kedua orang anak itu tidak perlu khawatir lagi tentang kebutuhan pakaian.

Mengenai keperluan makan, kedua orang anak itu pun sama sekali tidak khawatir. Atas ‘petunjuk’ beruang es, di dalam gudang di bawah tanah terdapat banyak sekali gandum yang dibekukan dan tidak pernah menjadi rusak. Selain ini juga lengkap terdapat bumbu-bumbu masak. Ada pun untuk keperluan daging, amat mudah didapat berkat bantuan beruang es. Binatang ini adalah seekor mahluk yang amat ahli menangkap ikan laut. Dengan demikian, segala keperluan hidup kedua orang anak itu sudah tersedia lengkap dan mulai hari itu, Han Han dan Lulu memasuki hidup baru yang amat aneh, terasing dari pada dunia ramai.

Mulailah Han Han menggembleng diri sendiri dan adiknya dengan pelajaran ilmu dari kitab-kitab yang banyak terdapat di situ. Kitab pelajaran melatih lweekang, bersemedhi dan dasar-dasar ilmu silat tinggi. Akan tetapi bagi Han Han sendiri terdapat kesulitan. Begitu membuka dan mempelajari kitab-kitab yang ditinggalkan oleh manusia sakti penghuni Pulau Es, kepalanya menjadi pening dan hatinya mendingin, sama sekali ia tidak tertarik.

Sebaliknya, ketika ia membaca dua buah kitab yang ia temukan di dalam perahu, kitab tulisan Ma-bin Lo-mo, ia dapat melatihnya dengan mudah! Selain itu, ketika ia mulai membuka kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis, ia menjadi bingung dan terheran-heran karena kitab itu ditulis dengan huruf-huruf yang sama sekali tidak dikenalnya! Huruf-hurufnya amat aneh, dengan coretan-coretan yang tak dapat dibaca sama sekali!

Akan tetapi Han Han memiliki kecerdikan yang tidak wajar. Ia mengingat pesan kakek Pedang Iblis Jantan, mengingat kembali kata-kata yang dibisikkan di dekat telinganya. "Tambah satu titik di kiri, tambah dua coretan melintang, buang dua titik di bawah, buang satu coretan menurun."

Ia membuka dua kitab yang disatukan itu, memeriksa huruf-hurufnya dan mengingat bisikan itu. Sebentar saja Han Han sudah tersenyum kegirangan. Kiranya huruf-huruf itu sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga tanpa memiliki kuncinya, takkan dapat dibaca orang. Dengan mengingat kuncinya, maka setiap huruf dapat ditambah atau dibuang titik mau pun coretannya dan akhirnya ia dapat mengenal huruf-huruf itu! Dengan tekun Han Han lalu mulai membaca kitab-kitab itu, kitab-kitab peninggalan Sepasang Pedang Iblis dan kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, bahkan lalu mulai melatih diri dengan cara-cara yang tersebut dalam kitab-kitab peninggalan para datuk golongan sesat ini.

Karena pada dasarnya Han Han melatih diri dengan ilmu-ilmu sesat, maka tentu saja ia lebih mudah menggembleng diri dengan ilmu sesat. Tanpa disadarinya, ia telah mengisi dirinya dengan ilmu dari manusia-manusia sesat dan yang ternyata amat cocok dengan dirinya yang sebenarnya telah menjadi tidak normal sebagai akibat ketika ia disiksa para perwira Mancu dan kepalanya dibenturkan dinding, sedangkan perasaan hati dan pikirannya menghadapi peristiwa mala petaka hebat yang menimpa keluarganya.

Ada pun Lulu yang juga mulai belajar ilmu karena bercita-cita untuk membalas kematian keluarganya, dibimbing oleh Han Han, namun anak yang masih ‘bersih’ ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan ilmu yang didapat dari kitab-kitab peninggalan manusia sakti penghuni Pulau Es. Hanya sukar sekali baginya karena kitab-kitab itu mengandung ilmu-ilmu yang amat tinggi, sedangkan sebelum belajar ia sama sekali tidak memiliki dasar apa-apa. Baiknya Han Han pernah dipimpin oleh Lauw-pangcu, maka biar pun amat terbatas dan secara meraba-raba dan ngawur, sedikit banyak dapat juga Lulu memperoleh kemajuan.

Mula-mula, Han Han mencari di antara kitab-kitab dalam perpustakaan dan menemukan kitab pelajaran siulian dan berlatih napas yang sesuai dengan ajaran Lauw-pangcu. Ia lalu menyuruh Lulu melatih diri melalui kitab ini. Untung bahwa sebagai puteri seorang perwira, sejak kecil Lulu sudah diajar membaca sehingga lebih mudah bagi Han Han untuk membimbingnya. Dan didasari hati mendendam karena kematian orang tuanya, ditambah pula dengan meniru watak Han Han yang keras hati dan tak mengenal jerih payah, Lulu berlatih dengan tekun sekali sehingga biar pun bakatnya dalam ilmu ini tidak sehebat bakat Han Han yang memang luar biasa, dapat juga ia merasakan hasilnya.

Biasanya, semenjak berdiam di pulau yang amat dingin itu, Lulu melindungi tubuhnya dengan pakaian-pakaian dari bulu yang terdapat dalam kamar yang ditempatinya. Akan tetapi berkat latihan-latihannya, setelah dua tahun anak itu dapat mengerahkan sinkang yang mulai terkumpul di tubuhnya untuk melawan hawa dingin. Hanya kalau hawa luar biasa dinginnya, ia terpaksa masih mengenakan baju bulu yang hangat.

Setelah tubuh Lulu menjadi kuat dan gerakannya menjadi lincah, Han Han mulai memberi petunjuk kepadanya tentang pelajaran memasang kuda-kuda dan gerakan langkah kaki. Mulailah Lulu belajar silat dari sebuah kitab yang mengajarkan ilmu silat tangan kosong. Ilmu silat ini amat tinggi tingkatnya seperti juga semua kitab yang berada di situ. Tentu saja karena dasar yang dimiliki Lulu terlampau rendah, maka dia hanya dapat menguasai gerakan-gerakannya saja, sedangkan intinya hanya dapat ia petik sebagian kecil.

Kemajuan Lulu menggirangkan hati anak itu sendiri yang mengira bahwa kini dia telah menjadi seorang ‘ahli silat’ dan yang kelak, kalau mereka berhasil keluar dari tempat terasing ini, dapat ia pergunakan untuk membalas dendam. Ada pun Han Han yang melatih diri dengan penggabungan ilmu dalam kitab-kitab Ma-bin Lo-mo, Sepasang Pedang Iblis, dicampur dengan latihan-latihannya ketika ia ‘mencuri’ ilmu dari Kang-thouw-kwi, menjadi tersesat tidak karuan.

Secara ngawur ia telah dapat melatih dirinya sehingga memperoleh kemajuan yang aneh dan mengerikan. Kalau seorang ahli lain melatih diri dengan sinkang berdasarkan pengerahan tenaga sakti di tubuh yang dapat dipergunakan untuk membangkitkan tenaga Yan-kang atau Im-kang, Han Han sebaliknya malah membenamkan diri dalam cengkeraman hawa sakti Im-kang karena ia melatih diri dengan menggunakan hawa dingin sebagai ujian.

Sebetulnya, dengan inti dari Ilmu Hwi-yang Sinkang yang ia curi dari Kang-thouw-kwi, Han Han dapat membuat tubuhnya terasa panas untuk mengatasi hawa dingin di pulau itu, sungguh pun hal ini akan merupakan sebuah cara yang berbahaya karena ia seolah-olah melawan dingin dengan kekuatan sinkang-nya. Kalau dia menang, dia tidak akan kedinginan, akan tetapi kalau sampai kalah, dia yang menggunakan Yang-kang secara ngawur akan terancam bahaya maut.

Untung bahwa dia tidak sampai terancam bahaya ini karena dia memulai latihannya dengan menggunakan kitab peninggalan Ma-bin Lo-mo dan Sepasang Pedang Iblis. Kitab Ma-bin Lo-mo mengajarkan tentang menghimpun tenaga Im-kang dan karena di dalam diri Han Han telah terkandung tenaga mukjizat, begitu ia bersemedhi dan mulai melatih diri, sebentar saja ia dapat menghimpun tenaga ‘dingin’ ini.

Berlatih menghimpun tenaga dingin di dalam hawa yang dinginnya seperti Pulau Es itu, pada hari-hari pertama merupakan siksaan hebat pada tubuhnya. Darahnya seolah-olah menjadi beku dan hampir saja Han Han beberapa kali terancam maut kalau saja Lulu tidak selalu menjaganya. Kalau sudah melihat kakaknya menggigil kedinginan, mukanya membiru seperti itu, Lulu cepat turun tangan, menyelimuti tubuh kakaknya dengan baju bulu, atau membuat api unggun di dekat kakaknya, atau mengguncang-guncang tubuh Han Han sehingga terpaksa Han Han menyudahi latihannya menghimpun tenaga dingin.

Akan tetapi Han Han memiliki kekerasaan hati yang tidak lumrah manusia biasa. Dia tidak pernah merasa kapok dan selalu berlatih Im-kang di waktu hawa sedang dinginnya sehingga akhirnya ia dapat membuat keadaan tubuhnya lebih dingin dari pada hawa dingin di luar tubuhnya. Karena dia membuat suhu tubuhnya lebih dingin dari pada suhu di luar tubuh, setelah latihannya matang ia malah merasa bahwa hawa yang amat dingin, yang bagi orang lain akan tak tertahankan itu masih kurang dingin! Setelah berlatih tiga tahun lamanya, di waktu hawa di Pulau Es itu amat dingin, Han Han mulai berlatih sambil membuka sepatunya dan pakaiannya!

Demikianlah, dengan ditemani beruang es yang merupakan teman bermain, bahkan teman berlatih silat yang amat tangguh bagi Lulu, kedua orang anak itu hidup terasing dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu aneh tanpa bimbingan sehingga kepandaian yang mereka peroleh amatlah aneh bagi umum!

Setelah tinggal di Pulau Es selama tiga tahun, Han Han dan Lulu menganggap pulau itu seperti milik mereka sendiri dan makin banyak mereka mengenal istana itu, makin tebal keyakinan mereka bahwa dahulu tempat ini merupakan tempat tinggal orang-orang sakti dan bahwa kemudian terjadi hal-hal yang amat hebat di situ sehingga kemudian ditinggalkan para penghuninya.

Akan tetapi selama tiga tahun itu, Han Han dan Lulu tidak pernah menemukan sesuatu yang menceritakan tentang para penghuni itu. Tulisan-tulisan di dinding hanya berupa sajak-sajak yang selain mengandung filsafat-filsafat hidup, juga membayangkan kepahitan dan penderitaan batin si penulisnya namun tidak pernah menyinggung soal nama mau pun riwayat mereka yang dahulu tinggal di istana Pulau Es itu.

"Ah, Paman Beruang! Kalau saja engkau mampu bicara, tentu ceritamu tentang para penghuni istana Pulau Es ini amat menarik hati," kata Han Han sambil mengelus bulu putih lengan binatang itu.

"Mungkin dia sudah berkali-kali bercerita kepada kita dengan gerakan-gerakannya. Sayang kita yang tidak mengerti," kata Lulu sambil tertawa.

"Boleh jadi!" kata pula Han Han, juga tertawa setelah memandang wajah adik angkatnya penuh kagum. Kini Lulu telah menjadi seorang gadis cilik dan jelas tampak betapa manis dan cantik anak ini. Matanya yang lebar itu bersinar-sinar, mulutnya kelihatan manis dengan lesung pipit di pipi kiri.

“Benarkah, Paman Beruang? Apa sih yang hendak kau ceritakan kepada kami tentang manusia-manusia sakti yang telah melimpahkan kebaikan kepada kami sehingga kami ditinggali segala kemewahan ini?”

"Nguk-ngukk... ger-gerrrrr...!” Lulu meniru suara beruang itu dan menggerak-gerakkan kedua lengannya dengan lagak seperti beruang itu sehingga Han Han menjadi tertawa geli.

Mendadak beruang itu menggereng, lalu menyergap hendak mencengkeram pundak Lulu. Akan tetapi dengan sigap sekali Lulu miringkan tubuhnya sehingga cengkeraman itu luput.

"Ihhh, salah sangka selalu kau, Paman Beruang! Aku tidak ingin mengajak kau berkelahi!" kata Lulu. Melihat gadis cilik itu tidak balas menyerangnya, beruang itu pun hilang semangatnya dan tidak menyerang terus.

Mendadak terdengar desir angin yang amat keras sampai salju-salju beterbangan dan dari tempat yang agak tinggi itu tampak air laut dari jauh bergelombang besar. Lulu dan Han Han memandang ke arah laut sambil melindungi muka dari hantaman salju tipis yang terbawa angin. Keduanya teringat akan peristiwa tiga tahun yang lalu ketika mereka diombang-ambingkan perahu yang menjadi permainan badai. Angin cepat sekali berubah, makin membesar dan suaranya berdesir menakutkan.

"Agaknya badai akan mengamuk lagi…!" kata Han Han.

Biar pun mereka tidak perlu mengkhawatirkan badai karena sekarang berada di tengah Pulau Es, namun teringat akan pengalamannya tiga tahun yang lalu, Lulu merasa ngeri juga. Mendadak beruang es itu mengeluarkan bunyi pekik yang belum pernah mereka dengar selama ini. Pekik ini seperti suara yang mengandung kecemasan dan tiba-tiba Han Han dan Lulu terkejut karena binatang besar itu telah menyambar tangan mereka dan menarik mereka memasuki istana.

"Paman beruang, bukan waktunya untuk main-main!" Lulu berusaha untuk merenggut tangannya.

"Dia tidak main-main, Lulu. Dia ketakutan dan mengajak kita masuk. Tentu ada sebabnya. Hayo kita ikut dia masuk!" kata Han Han dan berlari-larianlah mereka memasuki istana.

Akan tetapi beruang itu sambil mengeluarkan suara mengeluh panjang mendorong-dorong untuk terus masuk dan menuruni anak tangga yang membawa mereka ke dalam gudang di bawah tanah, yaitu gudang tempat penyimpanan bahan makanan. Setelah mereka tiba di gudang bawah tanah ini, beruang es itu lalu berjingkrak-jingkrak seperti mabuk atau ketakutan, dan menuding-nuding ke arah dinding sebelah belakang sambil membuat gerakan seperti mendorong dengan kedua lengannya ke arah dinding.

"Apa maksudnya?" tanya Han Han.

"Aneh sekali, dia seperti minta kita mendorong dinding. Padahal kalau memang begitu, tenaganya yang amat besar tentu lebih berhasil dari pada kita," jawab Lulu dan anak ini lalu menghampiri dinding, mengerahkan tenaga dan berusaha mendorong seperti yang diperlihatkan dengan gerakan oleh binatang itu. Akan tetapi dinding itu tetap tidak bergerak.

"Eh, Paman Beruang. Kalau memang harus didorong, kau bantulah aku!" kata Lulu rnendongkol karena tidak mengerti maksud binatang itu.

Han Han menghampiri dinding itu, membantu Lulu mencoba untuk mendorongnya. Akan tetapi tiba-tiba beruang itu memegang pundaknya dan menariknya ke belakang, lalu menggereng-gereng dan menggeleng-geleng kepala, kemudian membuat gerakan mendorong lagi dari jauh sambil menuding-nuding ke arah Han Han. Mereka telah tiga tahun bergaul dengan binatang itu dan sedikit banyak sudah dapat mengerti bahasa gerakan ini.

"Han-ko, agaknya Paman Beruang minta engkau yang mendorong dinding!" kata Lulu.

Han Han mengerutkan kening. “Tidak, aku tadi mendorong dia tarik ke belakang. Ah, jangan-jangan dinding ini ada rahasianya dan harus didorong dengan hawa sinkang dari jarak jauh. Mundurlah, Lulu."

Ketika mendengar ini dan melihat Lulu mundur, beruang itu mengangguk-angguk dan mengeluarkan suara seperti kalau dia sedang bersenang hati. Makin yakin hati Han Han dan ia lalu mundur. Dalam jarak satu meter ia lalu menekuk kedua lututnya, memusatkan perhatian, menahan napas, mengerahkan hawa sinkang di dasar perut dan disalurkan ke arah kedua lengannya lalu mendorong ke arah dinding. Karena setiap hari selama tiga tahun ini ia melatih hawa sakti Im-kang, tentu saja ketika mempergunakan dorongan ini ia pun otomatis mempergunakan Im-kang.

Kemajuan yang diperoleh Han Han selama berlatih tiga tahun ini amatlah hebatnya. Hawa dingin yang amat dahsyat menyambar dari kedua tangannya yang mendorong itu dan dinding yang terbuat dari baja itu tergetar hebat, akan tetapi tidak ada perubahan apa-apa. Yang sebelah kirinya tergetar keras, akan tetapi yang sebelah kanan tidak tergoyang sedikit pun.

"Bagus! Sudah tergetar, Koko! Coba lagi, lebih kuat!" kata Lulu setengah berteriak, mengharapkan untuk membuka rahasia tempat ini dan ingin sekali mengetahui apa yang akan terjadi.

Sementara itu suara badai mengamuk di luar istana terdengar amat santer dan angin malah masuk sampai ke tempat itu. Dapat dibayangkan betapa hebatnya badai itu mengamuk kalau angin dan suaranya sampai memasuki ruangan di bawah tanah itu!

Han Han sudah siap untuk mencoba lagi, akan tetapi beruang itu menggereng-gereng marah dan menggerak-gerakkan kedua kaki depan tanda tidak setuju, akan tetapi masih tetap membuat gerakan mendorong-derong dinding. Han Han tidak jadi mendorong lagi, lalu mempergunakan pikirannya. Memang dia harus mendorong, akan tetapi agaknya keliru cara menggunakan sinkang. Kalau dorongan ini hanya membutuhkan tenaga kasar, tentu binatang itu sendiri akan sanggup melakukannya, karena dalam hal tenaga kasar, beruang itu jauh lebih menang dibandingkan dia.

Tentu harus menggunakan sinking, akan tetapi mengapa salah? Tiba-tiba ia teringat. Ah, dia melatih sinkang-nya berdasarkan ilmu-ilmu dari Ma-bin Lo-mo yang ia gabungkan dengan ilmu dari kitab Sepasang Pedang Iblis, yaitu mempergunakan Im-kang. Inilah agaknya yang menjadi kesalahannya. Tentu saja ilmu dari penghuni istana di Pulau Es ini berbeda sinkang-nya dengan Ma-bin Lo-mo.

Akan tetapi, tenaga sinkang ada dua macam, kalau tidak hawa sakti dingin tentu hawa sakti panas, yaitu Yang-kang. Dia sudah mencuri ilmu ini dari Kang-thouw-kwi, akan tetapi sudah tiga tahun ia tidak pernah melatih Yang-kang. Betapa pun juga, Han Han masih belum melupakan untuk mempergunakan tenaga yang keluar dari hawa sakti itu. Latihan-latihannya dengan batu bintang dan dengan nyala api tulang manusia sudah cukup mantang.

“Apakah dengan tenaga Yang-kang?" Ia bertanya kepada diri sendiri, sedangkan Lulu hanya memandang, tidak berani mengganggu karena maklum bahwa kakaknya sedang berusaha keras untuk membuka rahasia dinding ini.

Han Han kembali menekuk kedua lututnya, kemudian ia berdiam sampai lama, berusaha mengobarkan hawa Yang-kang di tubuhnya. Memang amat sukar dan sebentar saja peluh membasahi muka dan lehernya, akan tetapi ternyata ia berhasil karena kedua tangannya mulai menjadi panas, bahkan mengepulkan asap! Lulu terbelalak kagum dan beruang itu meloncat ke belakang ketakutan.

Memang luar biasa sekali anak ini. Keadaan jasmaninya yang tidak wajar lagi menimbulkan kekuatan mukjizat dan kekuatan kemauannya bukan main besarnya sehingga hawa sakti di tubuhnya itu lebih dikuasai kemauannya dari pada kematangan latihannya. Setelah merasa kedua lengannya menggetar-getar dengan hawa panas seperti dahulu kalau ia berlatih secara diam-diam di daerah terlarang belakang istana Pangeran Ouwyang Cin Kok, Han Han lalu melakukan gerakan mendorong untuk kedua kalinya ke arah dinding itu.

Kembali dinding itu tergetar hebat seperti tadi. Akan tetapi sekali ini yang tergetar hebat adalah bagian dinding di sebelah kanannya, sedangkan di sebelah kiri sama sekali tidak bergerak, menjadi sebaliknya dari pada tadi. Beruang itu mulai ‘mengomel’ lagi dan membanting-banting kaki belakang seperti orang marah, lalu menuding-nuding Han Han lagi sambil menggunakan gerakan mendorong-dorong. Han Han menjadi bingung. Kalau dengan Im-kang dan Yang-kang keduanya gagal, habis cara bagaimana ia harus mendorong dinding itu? Sementara itu, kini angin yang masuk dengan santer membawa pula butiran-butiran es yang keras sehingga mengejutkan mereka.

"Han-ko, apa bedanya doronganmu yang pertama dengan yang ke dua?" Tiba-tiba Lulu yang sejak tadi memperhatikan itu bertanya.

“Yang pertama menggunakan hawa sakti dingin, yang kedua menggunakan hawa sakti panas."

Lulu bertepuk tangan dan wajahnya berseri. "Ah, sekarang aku mengerti! Ketika engkau menggunakan Im-kang yang pertama tadi, dinding sebelah kiri yang terguncang hebat sedangkan yang kanan tidak bergerak. Sebaliknya, ketika kau menggunakan Yang-kang, dinding di kanan yang tergetar sedangkan yang kiri tidak. Sekarang, kau doronglah dengan kedua hawa sakti Im dan Yang. Kalau lengan kirimu mendorong dengan Im-kang ke sebelah kiri dinding dan lengan kananmu mendorong dengan Yang-kang ke sebelah kanan, tentu akan terbuka rahasia ini, Koko!"

"Agaknya engkau benar, akan tetapi betapa mungkin menggunakan dua hawa sakti yang berlawanan secara berbareng?"

“Mengapa tidak mungkin Koko? Kita pernah membaca kitab tentang ilmu silat Im-yang-kun yang berada diperpustakaan. Bukankah ilmu itu pun mempergunakan dua macam sinkang?"

"Benar, dan sepasang kitab Suhu dan Subo yang diberikan kepadaku pun mengandung tenaga yang berlawanan. Akan tetapi hal itu dimainkan oleh dua orang, tentu saja dapat. Kalau aku seorang diri harus mengerahkan tenaga yang berlawanan, betapa mungkin? Aku belum pernah belajar tentang itu!"

"Koko, engkau seorang yang paling cerdik dan pandai di seluruh dunia ini! Apa yang tidak mungkin bagimu? Cobalah, engkau tentu bisa! Lihat, badai makin hebat mengamuk! Butiran-butiran es seperti peluru dan aku harus selalu menangkis, akan tetapi butiran-butiran itu hancur kalau mengenai tubuhmu dan kau seperti tidak merasakan! Koko, aku dapat menduga bahwa tentu ada tempat persembunyian rahasia dan Paman Beruang agaknya hendak mengajak kita bersembunyi di tempat itu!"

Han Han menoleh dan melihat betapa beruang itu repot menutupi mukanya agar jangan terkena hantaman butiran-butiran es yang kalau mengenai matanya atau hidungnya tentu akan mengakibatkan luka. Binatang ini ketakutan dan mengeluarkan bunyi seperti anak kucing.

“Harus kucoba,” pikirnya.

Mulailah ia menekuk kedua lututnya, menghadapi dinding dan mulailah ia mengatur hawa sinkang yang disalurkan dari pusarnya, naik ke atas dan dia mencoba untuk membaginya menjadi dua hawa sakti Im dan Yang. Sesungguhnya hanya orang yang sinkangnya sudah amat tinggi saja yang akan dapat mengerahkan Im-kang dan Yang-kang secara berbareng. Di luar kesadarannya, Han Han telah memiliki tenaga sinkang yang amat kuat.

Akan tetapi karena dia belum pernah berlatih di bawah bimbingan ahli, maka ia repot sekali membagi sinking ini. Kedua tenaga sakti itu menarik-narik, kadang-kadang menjadi Im-kang semua yang amat hebat sehingga tubuhnya menggigil kedinginan, kadang-kadang Yang-kang menang kuat dan semua tenaga menjadi hawa sakti yang panas dan membuat kepalanya mengepulkan asap! Ia merasa tersiksa sekali, dadanya sampai terasa nyeri dan napasnya terengah-engah.

Akan tetapi ketika ia hendak membatalkan usahanya yang sia-sia ini dan melirik ke arah Lulu, ia melihat adiknya itu memandang kepadanya penuh kekaguman dan penuh kepercayaan. Hal ini memberi kekuatan luar biasa kepadanya dan cukup memberi dia kenekatan untuk berusaha sampai berhasil, biar pun dia akan menderita sampai mati sekali pun. Memang hebat sekali tenaga kemauan hati Han Han. Tenaga mukjizat inilah yang membuat ia memiliki kekuatan pada matanya sehingga tanpa belajar ia telah mempunyai kepandaian menundukkan kemauan dan semangat orang lain!

Kini tenaga kemauannya ini ia tujukan ke dalam dan biar pun ia belum pernah melatih untuk mengendalikan sinkang, kini ia berusaha lagi untuk ‘mencegah’ sinkangnya menjadi dua macam. Sekali ini dia berhasil! Akan tetapi keadaannya seperti seorang yang mengendalikan dua ekor kuda yang berlawanan larinya, sehingga ia harus mengerahkan seluruh tenaga yang ada melawan sinkang sendiri agar jangan sampai menyeleweng ke kanan atau ke kiri! Kembali ia mendorong dengan kedua lengan yang berlawanan hawa saktinya.

Dinding itu tergetar hebat, terdengar keras sampai mengeluarkan suara dan disusul suara berderit aneh kemudian.… dinding itu terpecah menjadi dua bagian dan terbuka seperti ada tenaga rahasia mendorongnya ke kanan kiri!

"Kau berhasil, Han-ko...!!" Lulu bersorak akan tetapi kegirangannya segera berubah menjadi kaget ketika melihat .tubuh Han Han roboh terguling. Lulu cepat melompat dan berhasil memeluk tubuh kakaknya sehingga Han Han tidak sampai terbanting.

Beruang itu pun berseru girang, akan tetapi ia lalu menyambar tubuh Han Han, dipondongnya dan ia menunjuk-nunjuk ke bawah di mana terdapat anak tangga dari batu, memberi isyarat kepada Lulu untuk menuruni anak tangga sedangkan dia sendiri sambil memondong tubuh Han Han mengikuti dari belakang dengan wajah takut-takut.

Lulu yang menjadi cemas melihat kakaknya pingsan segera menuruni anak tangga tanpa ragu-ragu, karena ingin segera dapat menolong kakaknya yang dipondong beruangnya. Melihat kakaknya dipondong beruang itu, teringatlah ia beberapa tahun yang lalu ketika mula-mula mereka datang, hanya bedanya, kalau dahulu dia yang mengikuti binatang itu, sekarang dialah yang berjalan di depan.

Anak tangga itu amat dalam, dua kali lebih dalam dari pada anak tangga yang menuju ke gudang bawah tanah. Dan ketika ia sampai di dasar anak tangga, Lulu menjadi bengong. Tentu ia sudah bersorak gembira kalau saja tidak ingat akan keadaan kakaknya. Ruangan yang berada di dasar tangga itu benar-benar mempesonakan sekali, jauh lebih indah dari pada semua ruangan di atas! Benda-benda yang berada di situ berkilauan, terbuat dari pada emas dan perak.

Beruang itu sudah menurunkan tubuh Han Han ke atas lantai yang terbuat dari pada batu putih bersih dan mengkilap, kemudian beruang itu berlari ke tengah ruangan dan menjatuhkan diri berlutut di depan tiga buah patung yang terbuat dari pada batu pualam. Berlutut sambil mengeluarkan suara seperti menangis.

Biar pun merasa heran sekali, akan tetapi Lulu tidak lagi memperhatikan binatang itu, tidak pula memperhatikan ruangan yang indah karena semua perhatiannya telah ia curahkan kepada Han Han yang menggeletak terlentang di atas tanah. Ia berlutut di dekat kakaknya dan memeriksa. Alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kulit muka kakaknya itu berwarna dua macam! Yang kanan berwarna hitam seperti terbakar gosong, ada pun yang kiri berwarna putih kebiruan seperti muka mayat. Han Han rebah tak bergerak, dan napasnya tinggal satu-satu.

"Koko…, Han-ko.... Aahhhh, Koko...!" Lulu memeluk tubuh kakaknya dan menjadi kebingungan.

Akan tetapi ia lalu teringat bahwa kakaknya tentu menderita luka di sebelah dalam akibat dari pengerahan sinkang yang dibagi menjadi dua hawa sakti tadi. Ia sudah banyak membaca kitab tentang latihan sinkang, bahkan dia sendiri sudah melatih diri di bawah bimbingan kakaknya. Yang ia latih adalah sebuah kitab dari perpustakaan di istana Pulau Es itu yang sesuai dengan latihan yang pernah dipelajari Han Han dari Lauw-pangcu. Tanpa mereka sadari, kalau Han Han menggembleng diri dengan ilmu kaum sesat, adalah Lulu malah melatih diri dengan ilmu kaum bersih!

Melihat keadaan kakaknya sekarang ini, Lulu teringat akan ilmu memindahkan sinkang ke tubuh orang lain untuk membantu orang itu. Maka biar pun latihannya belum matang benar, Lulu tanpa ragu-ragu lagi duduk bersila dan menempelkan kedua telapak tangannya ke dada dan perut Han Han, kemudian ia mengheningkan cipta, bersemedhi mengumpulkan semua tenaga dalam di tubuhnya yang ia paksa keluar melalui kedua tangannya memasuki tubuh Han Han!

Han Han siuman dan merasa betapa ada hawa hangat yang halus lembut memasuki dadanya. Ketika ia membuka mata dan melihat betapa Lulu bersila meramkan mata dan menempelkan kedua telapak tangan ke badannya, ia menjadi terharu sekali dan rasa sayangnya terhadap adiknya ini makin mendalam.

"Cukuplah, Lulu. Jangan menyia-nyiakan sinkangmu yang masih belum kuat," katanya halus sambil mendorong kedua tangan Lulu perlahan-lahan.

Lulu membuka matanya, akan tetapi menutup mulutnya yang sudah akan bertanya ketika ia melihat betapa kakaknya bangkit dan bersila sambil meramkan mata. Ia tahu bahwa kakaknya sedang mengerahkan tenaga untuk mengobati diri sendiri dan perlahan-lahan muka kakaknya yang tadinya berwarna dua kini menjadi pulih kembali. Hatinya menjadi lega dan mulailah dia menyapu keadaan sekeliling ruangan yang indah itu dengan pandang matanya.

Ruangan itu benar-benar amat indah. Di tengah ruangan terdapat tiga buah patung. Yang tengah merupakan seorang laki-laki yang tampan sekali, akan tetapi bagian kepalanya, di dahi, terdapat dua buah lubang seolah-olah bagian kepala patung ini ada yang menusuknya dengan senjata dua kali. Di sebelah kiri patung pria ini adalah sebuah patung wanita, cantik jelita dengan tubuh ramping dan dengan wajah lemah lembut, akan tetapi sebelah kakinya buntung! Ada pun yang berada paling kanan adalah patung seorang wanita yang juga cantik jelita, lebih tinggi dari pada wanita buntung, akan tetapi kecantikan wanita di kanan ini bercampur dengan kekerasan hati dan kekejaman yang terbayang pada wajah cantik itu. Hanya patung inilah yang tidak ada cacatnya.

Tiba-tiba Lulu tertawa. Memang lucu melihat tingkah laku beruang es ketika itu. Binatang ini seperti kesurupan atau telah menjadi gila. Kadang-kadang ia lari dan menjatuhkan diri di depan patung pria, memeluk kaki patung itu, mengeluarkan suara seperti menangis, kemudian berlutut di depan patung wanita buntung, berdongak ke atas memandang wajah patung itu dengan wajah membayangkan rasa sayang, akan tetapi selalu ia kembali ke patung sebelah kanan dan ia berlutut di depan wanita cantik tanpa cacat itu sambil mengangguk-angguk dan membentur-benturkan kepala ke lantai dan mengeluarkan suara seperti sedang ketakutan. Melihat beruang itu berlutut di depan tiga patung dengan tiga macam tingkah laku, kelihatan lucu bukan main sehingga Lulu tertawa.

Han Han membuka matanya. Ia pun terpesona akan keindahan ruangan itu dan kini tahulah ia mengapa beruang itu mengajak mereka ke situ. Dari tempat ini tidak terdengar lagi suara badai mengamuk dan mereka memang aman dari pada gangguan suara dan ancaman hujan butiran es keras yang beterbangan seperti peluru. Akan tetapi, melihat beruang itu seperti gila berlutut di depan tiga buah patung itu, ia memandang terbelalak dan hatinya berdebar keras. Tidak salah lagi, tentu patung-patung itu adalah patung dari para penghuni istana Pulau Es yang telah meninggalkan kesemuanya untuk dia dan Lulu! Sudah meninggal duniakah mereka bertiga itu? Ia bangkit lalu menggandeng tangan Lulu, dan berbisik.

"Lulu, jangan sembrono. Kurasa mereka itu adalah patung dari pada Locianpwe yang dahulu menjadi penghuni Istana Pulau Es. Mari kita memberi hormat...”

Lulu menurut dan sambil bergandengan tangan mereka menghampiri tengah ruangan itu. Melihat betapa tiga buah patung itu menggambarkan seorang laki-laki muda dan tampan serta dua orang wanita yang cantik jelita seperti puteri-puteri istana, Han Han terbelalak dan meragu. Inikah manusia-manusia sakti yang menjadi penghuni Istana Pulau Es? Akan tetapi, menyaksikan sikap beruang itu, ia tidak ragu-ragu lagi dan ia membimbing tangan Lulu dan diajaknya adiknya itu berlutut di depan ketiga patung itu sambil berkata.

"Teecu Sie Han dan Sie Lulu mohon ampun kepada Sam-wi Locianpwe bahwa teecu berdua berani mendiami Istana Pulau Es tanpa ijin Sam-wi, dan teecu berdua menghaturkan banyak terima kasih atas segala kebaikan yang ditinggalkan Sam-wi Locianpwe untuk keperluan teecu berdua."

Beruang itu kelihatan girang sekali melihat Han Han dan Lulu berlutut. Ia pun berlutut di depan patung pria itu dan mengeluarkan suara menguik-nguik seolah-olah ia pun menceritakan bahwa dua orang anak-anak itu adalah orang baik-baik dan selama ini menjadi sahabat-sahabatnya!

"Koko, mengapa aku bernama Sie Lulu?" Lulu berbisik setelah mereka bangkit dan melihat-lihat keadaan ruangan yang indah itu.

"Habis, engkau Adikku. Kalau tidak ber-she Sie seperti aku, mau pakai she apa lagi?"

"Koko, para Locianpwe yang katanya orang-orang sakti, kenapa masih begitu muda-muda dan kelihatan seperti orang-orang lemah?"

"Hussshhh, jangan berkata demikian, Lulu. Kau lihat beruang itu mengenal majikan-majikannya, kiranya tidak salah lagi. Dahulu mereka adalah penghuni istana ini, entah berapa puluh tahun yang lalu. Menurut percakapan tokoh-tokoh yang kudengar, Pulau Es ini dicari sejak puluhan tahun yang lalu dan Kim Cu Suci pernah mendongeng bahwa di sini dahulu dikabarkan tinggal seorang manusia yang maha sakti seperti dewa..."

“Ah... Cici Kim Cu yang baik itu sekarang tentu sudah menjadi seorang gadis jelita. Dia mencintamu, Koko...!"

"Husssh, yang bukan-bukan saja kau ini! Kau tahu apa tentang cinta! Di tempat sesuci ini jangan bicara begitu…"

Kembali mereka berdua memperhatikan tiga buah patung batu pualam itu dan melihat betapa kini beruang itu duduk mendeprok di dekat kaki patung pria dengan sikap anteng dan tenang, juga sikap binatang itu jelas menunjukkan ketaatan dan penghormatan yang mendalam.

Patung-patung itu amat indah buatannya, halus dan seolah-olah hidup. Dan Han Han yang mempelajari wajah patung-patung itu melihat betapa mata patung pria itu mengandung kebijaksanaan yang luar biasa, mendatangkan rasa kagum dan tunduk. Patung wanita kaki buntung cantik sekali, membayangkan kehalusan budi dan sepasang matanya seolah-olah memancarkan kasih sayang yang amat besar. Akan tetapi yang paling menarik hatinya adalah patung wanita cantik di sebelah kanan.

Harus ia akui bahwa selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan wanita secantik ini, cantik dan menggairahkan sehingga Han Han yang mulai dewasa itu berdebar jantungnya, seakan-akan ia terangsang oleh wajah cantik dan bentuk tubuh yang elok itu. Ia kagum dan sekiranya patung wanita itu benar-benar hidup, tentu ia akan suka mengabdi kepada wanita ini asal dapat selalu berdekatan. Sifat keras hati dan ganas yang terbayang pada bibir yang penuh dan mata yang lebar indah itu baginya malah menambah daya tarik.

Menjelang senja, badai di luar Istana Pulau Es itu mereda dan mereka pun keluar dari tempat rahasia itu. Han Han mengajak Lulu memberi hormat lagi kepada tiga patung itu sambil berlutut. Kemudian, didahului oleh beruang yang agaknya telah tahu bahwa badai telah berhenti, mereka keluar, mendaki anak tangga rahasia. Setibanya di luar, seperti digerakkan tenaga gaib, dinding yang tadinya terbuka itu dapat menutup sendiri! Tentu saja Han Han dan Lulu menjadi terkejut dan merasa seram. Adakah mahluk tersembunyi di tempat itu yang menutupkan dinding baja ini? Mereka diam-diam mengambil keputusan untuk tidak memasuki tempat rahasia itu lagi kalau tidak amat perlu, karena kehadiran mereka seolah-olah mengganggu ketenteraman dan kesunyian tiga patung yang indah itu.

******************

Ke manakah perginya perahu Mancu yang dipimpin oleh Kang-thouw-kwi Gak Liat pada tiga tahun yang lalu ketika perahu itu bertemu dengan perahu Ma-bin Lo-mo? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan licik sekali Kang-thouw-kwi dapat mengalahkan Ma-bin Lo-mo dengan anak panah-anak panah berapi sehingga perahu Ma-bin Lo-mo terbakar dan memaksa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya meloncat ke laut meninggalkan perahu yang terbakar.

Si Setan Botak tertawa bergelak, suara ketawanya yang mengandung tenaga khikang amat kuatnya itu terbawa angin laut dan terdengar sampai jauh, seperti suara ketawa iblis laut sendiri. Ada pun Ma-bin Lo-mo dan tiga orang kawannya, dapat menghindari maut dengan jalan mengapungkan diri berpegangan kepada bambu-bambu yang mereka renggut putus dari perahu, yaitu bambu-bambu pengapung yang dipasang di kanan kiri perahu yang terbakar itu.

Pada saat itu, badai mulai mengamuk dan Gak Liat bersama anak buahnya terlalu repot dan sibuk menyelamatkan perahu mereka melawan ombak membadai sehingga mereka tidak melihat betapa Ma-bin Lo-mo dan tiga orang pembantunya mempergunakan kekuatan tangan mereka untuk mendayung bambu-bambu pengapung itu mendekati perahu Mancu itu. Tidak melihat betapa empat orang sakti itu akhirnya berhasil menempel di tubuh perahu dan berpegang kuat-kuat sehingga betapa pun badai mengamuk dan perahu itu diayun dan diguncangkan, mereka tetap menempel pada tubuh perahu seperti empat ekor lintah menempel di perut kerbau.

Setelah badai mereda, perahu itu dibawa jauh dari sekumpulan pulau-pulau itu dan terdampar di sebuah pulau kecil yang kosong. Gak Liat dan anak buahnya lalu mendarat dan para perwira Mancu itu lalu mempergunakan sebuah alat teropong untuk menyelidiki keadaan sekitar pulau itu. Tiba-tiba seorang di antara para perwira itu berseru keras dalam bahasa Mancu dan menunjukkan teropongnya ke arah utara.

Sekali meloncat, Gak Liat sudah tiba di dekat perwira ini dan menyambar teropongnya. Biar pun dia memiliki ilmu tinggi dan pandang matanya jauh lebih awas dari pada mata orang biasa, namun dibandingkan dengan kekuatan teropong itu ia masih kalah jauh. Ia lalu memakai teropong itu dan menujukan pandangannya ke utara, kemudian ia berkata girang.

“Tidak salah lagi! Itulah Pulau Es! Kita berhasil...!” teriaknya.

Tentu saja hatinya girang ketika ia melihat sebuah pulau yang putih diliputi salju dan melihat samar-samar sebuah bangunan indah di tengah pulau, di bagian yang agak tingi. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan ngeri dan empat orang perwira Mancu roboh terjungkal dan tewas seketika.

Seperti iblis-iblis penghuni pulau, muncullah empat orang kakek yang pakaiannya basah kuyup. Biar pun keadaan empat orang kakek ini cukup payah karena terlalu lama terendam di air laut, namun mereka itu dapat dikenal sebagai Ma-bin Lo-mo, Si Muka Tengkorak Swi Coan, Kek Bu Hwesio, dan Si Muka Bopeng Ouw Kian! Mereka herhasil mendarat pula dan begitu muncul, mereka berempat menyerang empat orang perwira yang roboh dan tewas seketika!

“Iblis Muka Kuda! Engkau masih belum mampus?" teriak Setan Botak dengan nyaring dan terheran-heran.

"Si Botak yang buruk! Bukan aku, melainkan engkaulah yang akan mampus!" balas Ma-bin Lo-mo yang segera maju menerjang Si Setan Botak. Ada pun tiga orang pembantunya sudah dikurung oleh dua puluh enam orang perwira Mancu.

Terjadilah pertandingan hebat dan mati-matian di pulau kosong itu. Terjangan Ma-bin Lo-mo sudah disambut dengan tangkisan Kang-thouw-kwi. Dua buah lengan yang amat kuat bertemu dan keduanya terpental ke belakang. Biar pun hawa sakti yang tersalur di tangan mereka berlawanan dan amat berbeda, yang seorang adalah ahli Yang-kang dan yang ke dua adalah ahli Im-kang, namun karena tingkat mereka sudah amat tinggi dan seimbang, keduanya terpental keras dan masing-masing harus mengakui bahwa lawan tldak boleh dipandang ringan. Maka mereka segera saling menggempur dengan hati-hati sekali, karena mereka maklum bahwa satu kali saja terkena pukulan lawan, berarti bahaya maut mengancam nyawa mereka.

Pertandingan antara tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo yang dikeroyok dua puluh enam orang perwira Mancu juga berjalan dengan sengit dan mati-matian. Para perwira itu bukanlah prajurit-prajurit sembarangan, melainkan perwira-perwira pilihan yang sengaja diutus oleh kaisar untuk mencari Pulau Es di bawah pimpinan Setan Botak. Mereka mengeroyok dengan senjata golok mereka secara teratur dan tidak serampangan karena mereka pun tahu bahwa tiga orang itu adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi.

Kalau saja tiga orang sakti itu berada dalam keadaan segar seperti biasa, biar pun dikeroyok dua puluh enam orang, tipis harapan bagi para perwira itu untuk dapat menang. Akan tetapi tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo itu telah mengalami penderitaan hebat ketika mereka menempel pada tubuh perahu yang diombang-ambingkan gelombang lautan.

Gempuran-gempuran air laut membuat mereka lelah sekali, kehabisan tenaga, ditambah ketegangan yang mengerikan, sehingga kini ketika mereka menghadapi pertempuran, tenaga mereka tinggal setengahnya. Hal inilah yang membuat mereka terdesak hebat dan terancam. Sampai puluhan jurus, mereka bertiga belum juga mampu merobohkan seorang di antara para perwira yang bekerja sama secara rapi dan membalas dengan serangan-serangan berganda yang ganas.

Antara Gak Liat Si Setan Botak dan Siangkoan Lee Si Iblis Muka Kuda terjadilah pertandingan yang seru dan hebat. Keduanya sekali ini dapat melanjutkan pertandingan beberapa tahun yang lalu dan sungguh pun mereka itu merupakan dua di antara para datuk yang enggan untuk saling bermusuhan, apa lagi saling membunuh, namun pertandingan sekali ini lain lagi sifatnya.

Pulau Es sudah tampak di depan mata, dan satu sama lain merupakan penghalang terbesar untuk dapat memiliki semua pusaka di pulau itu yang diidam-idamkan oleh golongan kang-ouw seluruhnya, baik dari kaum bersih mau pun kaum sesat. Mereka ini para tokoh kang-ouw, sudah tahu bahwa Pulau Es itu merupakan tempat bertapa Koai-lojin, seorang manusia setengah dewa yang memiliki kesaktian luar biasa dan yang telah meninggalkan benda-benda pusaka termasuk kitab-kitab pelajaran segala macam ilmu di pulau itu. Karena ingin mendapatkan benda pusaka, kini Gak Liat dan Siangkoan Lee bertanding mati-matian, maklum bahwa sebelum berhasil menewaskan lawan berat ini, tak mungkin mereka itu akan dapat mencapai idam-idaman hati masing-masing.

Setelah lewat kurang lebih satu jam, pertandingan antara Gak Liat dan Siangkoan Lee masih berlangsung seru dan sukar untuk diduga siapa di antara mereka yang lebih unggul dan akan mencapai kemenangan. Memang sudah tentu sekali seorang di antara mereka akan kalah, akan tetapi hal ini tentu akan terjadi lama sekali, mungkin sehari penuh, atau dua bahkan tiga hari. Dan dapat diduga pula bahwa kalau sampai terjadi seorang di antara mereka kalah dan tewas, dia yang menang tentu takkan keluar sebagai pemenang yang utuh, sedikitnya tentu akan mengalami luka-luka parah.

Namun dalam pertempuran kurang lebih satu jam itu telah terjadi perubahan pada pertandingan antara dua orang pembantu Ma-bin Lo-mo dengan para perwira. Tiga orang sakti itu mengamuk hebat sekali, melupakan kelelahan tubuh nereka karena mereka maklum bahwa kalau mereka tidak dapat keluar sebagai pemenang, mereka akan tewas di pulau kosong itu.

Swi Coan si muka tengkorak sudah menggunakan senjatanya yang ampuh, sebuah thi-pian, yaitu sebatang pecut besi yang biasanya ia libatkan di pinggang sebagai sabuk. Pecut besi itu kini menyambar-nyambar dan mengeluarkan suara meledak-ledak seperti halilintar yang menyambar-nyambar di atas kepala para pengeroyoknya yang amat banyak jumlahnya itu.

Ada pun Kek Bu Hwesio, tokoh Kong-thong-pai yang meyeleweng itu menggunakan senjatanya yang kelihatan sederhana namun sesungguhnya tidak kalah ampuhnya, yaitu jubahnya sendiri yang kini ia lolos dan dipergunakan sebagai senjata. Jangan dipandang ringan senjata ini, karena di tangan pendeta kosen ini, jubah itu dapat menjadi lemas dan dipakai melibat senjata lawan, juga dapat menjadi kaku seperti sebatang tongkat baja.

Ouw Kian si muka bopeng telah mempergunakan senjata pedang, sebatang pedang yang lemas sekali, tipis namun amat keras dan tajam sehingga ketika dimainkan, berubah menjadi segulung sinar putih yang membentuk lingkaran-lingkaran dan melindungi tubuhnya dari atas ke bawah dari hujan golok yang dilancarkan oleh para pengeroyoknya.

Betapa pun lihainya tiga orang tokoh ini dengan senjata-senjata mereka yang ampuh, namun jumlah pengeroyok terlalu banyak sehingga setiap kali senjata-senjata mereka itu menyambar, tentu akan bertemu dengan tangkisan delapan sampai sembilan batang golok di tangan para perwira Mancu yang rata-rata memiliki tenaga besar. Setelah pertandingan ini berjalan kurang lebih satu jam, mereka itu masing-masing telah menewaskan dua pengeroyok sehingga ada enam orang perwira yang roboh tewas, akan tetapi mereka bertiga pun tidak luput dari pada luka-luka bacokan golok.

Biar pun luka-luka itu tidak parah, hanya merobek kulit dan melukai sedikit daging, namun darah yang keluar membuat mereka menjadi makin lemas dan mulailah mereka merasa khawatir karena kalau dilanjutkan, agaknya mereka itu sendiri akan roboh biar pun mungkin mereka akan dapat menewaskan lebih banyak lawan lagi. Dengan demikian, keadaan tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo ini terancam bahaya, sedangkan keadaan Ma-bin Lo-mo sendiri pun belum pasti, kesempatannya untuk menang masih setengah-tengah atau paling banyak dia hanya menang seusap saja.

Pertandingan yang berlangsung amat serunya ini membuat mereka semua tidak sempat memperhatikan soal-soal lain yang terjadi di sekitar pulau kosong itu. Tidak tahu betapa dari sebelah belakang pulau mendarat pula sebuah perahu layar yang keadaannya pun tidak lebih baik dari pada perahu Mancu, dan jelas tampak bekas-bekas amukan badai sehingga layar perahu ini sebagian kecil robek-robek, tiangnya ada sebuah yang patah. Tidak melihat betapa dari perahu ini meloncat turun ke darat tujuh orang yang gerakannya ringan dan gesit, tanda bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka itu terdiri dari tujuh orang kakek yang usianya paling sedikit lima puluh tahun, dan di punggung masing-masing tampak menggemblok sebatang pedang yang gagangnya terukir indah dan dihias ronce-ronce beraneka warna, ada yang merah, hijau, kuning dan biru.

Siapakah mereka ini? Para pembaca sudah mengenal mereka, karena tujuh orang kakek gagah perkasa ini bukan lain adalah Siauw-lim Chit-kiam (Tujuh Pedang Siauw-lim-pai), jago-jago pedang dari Siauw-lim-pai yang telah terkenal keampuhan ilmu pedang mereka. Seperti juga para tokoh kang-ouw yang lain, mereka ini tertarik akan Pulau Es. Bahkan sekali ini atas perintah ketua Siauw-lim-pai mereka menggunakan perahu untuk mencari pulau rahasia itu setelah mendengar bahwa pemerintah Mancu juga menaruh minat atas pulau yang mengandung benda-benda pusaka yang amat penting bagi dunia persilatan itu.

Dan seperti juga halnya perahu-perahu Mancu dan Ma-bin Lo-mo, Siauw-lim Chit-kiam ini pun diserang badai sehingga perahu mereka dipermainkan gelombang tanpa mereka dapat berbuat sesuatu yang berarti. Tenaga manusia, betapa pun kuat dan pandainya mereka, akan tampak kecil tak berarti setelah berhadapan dengan kekuasaan alam yang maha hebat. Akhirnya, tanpa mereka kehendaki, perahu mereka juga terdampar pada pulau kosong itu seperti juga perahu Mancu, hanya bedanya, mereka terdampar di pantai yang berlawanan dengan pantai di mana perahu Mancu mendarat.

Siauw-lim Chit-kiam tidak membawa teropong seperti yang dimiliki para perwira Mancu, maka pandangan mata mereka tidak dapat mencapai Pulau Es yang tampak samar-samar dari jauh. Karena ini mereka tidak tahu bahwa Pulau Es yang diidam-idamkan berada tak jauh lagi dari pulau kosong ini. Mereka lalu mendarat dan tiba-tiba mereka melihat pertandingan hebat yang sedang berlangsung di pantai yang berlawanan itu. Sebagai orang-orang gagah tentu saja mereka tertarik sekali menyaksikan pertandingan mati-matian itu, maka tanpa dikomando mereka lalu berloncatan mendekati tempat pertandingan.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa yang sedang bertanding itu adalah Setan Botak Gak Liat melawan Iblis Muka Kuda Siangkoan Lee, dan banyak sekali perwira Mancu mengeroyok tiga orang kakek yang keadaannya telah payah dan terancam hebat. Siauw-lim Chit-kiam mengenal siapa adanya dua orang kakek sakti yang bertanding mati-matian itu, tahu bahwa mereka itu keduanya adalah datuk-datuk sesat yang berwatak aneh dan kejam luar biasa. Bahkan mereka pun hampir saja tewas di tangan Setan Botak Gak Liat ketika Setan Botak itu membasmi anak buah Lauw-pangcu. Mereka pun tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah seorang datuk kaum sesat yang amat kejam dan jahat, yang tidak patut dijadikan sahabat mau pun sekutu sungguh pun mereka tahu pula betapa kakek sakti ini membenci penjajah Mancu.

Akan tetapi kini menyaksikan pertandingan itu, tidaklah sukar bagi mereka untuk memihak. Bukan sekali-kali karena mereka menaruh simpati kepada Ma-bin Lo-mo, sama sekali tidak. Mereka sebagai tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang bernama bersih dan terkenal sebagai pendekar-pendekar pedang yang gagah tentu saja tidak sudi bersekutu dengan manusia iblis seperti Ma-bin Lo-mo.

Akan tetapi mereka memiliki permusuhan pribadi dengan Kang-thouw-kwi Gak Liat. Permusuhan itu timbul ketika keponakan wanita mereka, yaitu Bi-kiam Bhok Khim, anak murid Siauw-lim-pai yang cantik, telah menjadi korban kekejian Gak Liat, telah diperkosa oleh Setan Botak ini. Di samping permusuhan pribadi ini, juga mereka teringat akan pembasmian anak buah Lauw-pangcu oleh Setan Botak. Semua ini ditambah lagi dengan kenyataan sekarang betapa Gak Liat bersekutu dengan para perwira Mancu, yaitu perwira-perwira penjajah. Tentu saja kenyataan-kenyataan ini memudahkan Siauw-lim Chit-kiam untuk memihak dan serta-merta mereka mencabut pedang sambil menghampiri Gak Liat yang masih bertanding seru melawan Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee.

"Kang-thouw-kwi, bersiaplah untuk menerima hukuman atas dosa-dosamu!" bentak Song Kai Sin yang menjadi wakil dari para sute-nya.

Bentakan ini pun merupakan isyarat komando karena serentak mereka bertujuh sudah menggerakkan pedang mereka sehingga tampak sinar pedang mereka bergulung-gulung dan terdengar suara bercuitan nyaring sekali. Gak Liat terkejut bukan main melihat munculnya tujuh orang tokoh Siauw-lim-pai yang menjadi musuhnya ini. Kalau saja dia tidak sedang menghadapi Ma-bin Lo-mo yang lihai, tentu dia tidak gentar menghadapi Siauw-lim Chit-kiam.

Akan tetapi di situ ada Ma-bin Lo-mo. Dia sudah pernah bertanding melawan Siauw-lim Chit-kiam yang kalau bergabung merupakan lawan yang amat tangguh pula. Kini melihat gulungan sinar pedang itu, ia mengeluarkan seruan keras dan cepat melempar tubuhnya ke belakang, menggunakan tenaga dorongan Ma-bin Lo-mo sehingga tubuhnya terjengkang lalu bergulingan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah meloncat ke depan Song Kai Sin yang berada paling dekat lalu mengirim pukulan Hwi-yang Sin-ciang!

Maklum akan lihainya pukulan ini Song Kai Sin meloncat jauh namun hawa pukulan itu masih menyerempet pundaknya sehingga ia terhuyung. Pada saat itu, enam orang sute-nya sudah menyerang secara berbareng kepada Gak Liat, sedangkan Ma-bin Lo-mo sendiri yang tidak menyia-nyiakan kesempatan sudah mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang kepada Setan Botak itu.

Gak Liat terkejut setengah mati. Ia tahu bahwa pukulan Ma-bin Lo-mo yang paling berbahaya maka ia cepat menangkis dengan lengan kirinya.

“Dukkk!”

Sekali lagi tubuh kedua orang ini terpental dan Gak Liat cepat mengelak sambil mendorong dengan tangannya ke arah enam sinar pedang. Biar pun ia berhasil meloloskan diri dari cengkeraman maut, akan tetapi pundaknya masih tergurat pedang sehingga bajunya robek dan pundaknya berdarah! Pada saat itu sebuah dorongan datang lagi dari Ma-bin Lo-mo. Gak Liat mencoba menangkis, namun gerakannya kurang cepat sehingga ia terdorong ke belakang dan kembali sebuah tusukan pedang mengenai pangkal lengan kirinya. Kakek ini mengeluarkan gerengan keras dan menggulingkan tubuhnya menjauhi para pengeroyoknya.

"Ha-ha-ha." Ma-bin Lo-mo tertawa dan mendadak kakek ini membalik dan mengirim pukulan Swat-im Sin-ciang kepada tujuh orang Siauw-lim-pai itu.

Serangan ini benar-benar amat tidak terduga sehingga kedua kakak beradik Oei Swan dan Oei Kiong roboh terguling dengan muka menjadi pucat sekali. Untung bahwa pukulan itu ditangkis oleh saudara-saudara mereka sehingga tenaganya banyak berkurang. Mereka hanya terluka di sebelah dalam yang tidak terlalu parah, hanya membuat tubuh mereka menggigil kedinginan, namun setelah bersila sebentar mengerahkan sinkang, rasa dingin itu lenyap!

Siauw-lim Chit-kiam kini bersatu dan mereka kini terpecah menjadi tiga kelompok, tidak bergerak-gerak dan saling memandang, menanti pihak lawan bergerak lebih dulu. Mereka menjadi bingung sendiri karena maklum bahwa mereka tidak boleh saling bantu. Bagi Siauw-lim Chit-kiam, keadaan mereka paling sulit.

Kalau dibuat ukuran, di antara mereka tiga kelompok, kedudukan Siauw-lim Chit-kiam yang paling lemah. Kalau mereka mengeroyok Gak Liat dengan bantuan Ma-bin Lo-mo, tentu mereka akan berhasil membalas dendam dan membunuh Setan Botak, akan tetapi mereka tahu bahwa watak Ma-bin Lo-mo amat aneh sehingga mereka itu akhirnya pasti akan berhadapan dengan Iblis Muka Kuda yang berhati palsu ini! Kalau mereka kini menghadapi Ma-bin Lo-mo dan Setan Botak membantu mereka, tentu Ma-bin Lo-mo akan dirobohkan, akan tetapi mereka pun akan diserang oleh Gak Liat yang mempunyai banyak kawan perwira-perwira Mancu.

Si Setan Botak Gak Liat yang tadinya merasa khawatir sekali melihat munculnya Siauw-lim Chit-kiam, kini tertawa bergelak melihat Ma-bin Lo-mo menyerang mereka. Ia maklum bahwa bukan sekali-kali hal itu dijakukan oleh Si Muka Kuda karena memiliki rasa setia kawan terhadap dirinya. Sama sekali bukan. Ia tahu bahwa Ma-bin Lo-mo menganggap bahwa orang-orang Siauw-lim-pai itu sebagai pesaing juga dalam memperebutkan pusaka-pusaka Pulau Es! Maka ia tertawa bergelak dan berkata.

"Ha-ha-ha, Iblis Muka Kuda! Kiranya engkau cerdik juga. Pulau Es sudah tampak di depan mata, kalau kita mati-matian saling gempur, akhirnya kita berdua roboh dan enak sekali bagi tikus-tikus Siauw-lim ini. Kita menjadi seperti dua ekor anjing tua memperebutkan tulang dan akhirnya tikus-tikus ini yang akan mendapat tulangnya. Ha-ha-ha!"

Mendengar ini, Siauw-lim Chit-kiam tercengang dan jantung mereka berdebar. Pulau Es sudah di depan mata? Benarkah Pulau Es sudah dekat dengan pulau kosong ini? Ada pun Ma-bin Lo-mo juga bersiap-siap. Kalau tadi ia menyerang Siauw-lim Chit-kiam, bukan sekali-kali ia hendak menolong Gak Liat. Ia melihat Gak Liat sudah terluka sehingga kini pasti ia akan dapat mengalahkan Setan Botak itu.

Ia tahu bahwa setelah ia mengalahkan Setan Botak, tentu tenaganya tinggal sedikit karena lelah dan Siauw-lim Chit-kiam ini bukanlah lawan yang empuk. Dan ia pun tahu bahwa mereka bertujuh ini tentu akan mendahuluinya mengambil pusaka-pusaka Pulau Es kalau tidak dapat ia binasakan bersama dengan Setan Botak. Kini ia meragu dan bersikap hati-hati karena kalau sampai Setan Botak dapat membujuk mereka ini menghadapinya, ia akan celaka!

Pada saat itu, tujuh orang Siauw-lim Chit-kiam yang setelah mendengar disebutnya Pulau Es lalu mencari-cari dengan pandang mata mereka. Tiba-tiba mereka itu melihat ke kiri dan menjadi bengong. Melihat keadaan mereka ini, Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi ikut pula menengok dan mereka pun terkejut dan melongo. Apakah yang mereka lihat?

Kiranya para perwira yang jumlahnya tinggal dua puluh orang mengeroyok tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo yang sudah terluka dan mulai kehabisan tenaga itu pun sekarang telah menghentikan pertempuran mereka. Akan tetapi mereka itu bukan berhenti bertempur dalam keadaan sewajarnya. Mereka itu masih dalam sikap bertanding, bahkan berhenti di tengah-tengah gerakan silat akan tetapi sudah menjadi kaku seperti berubah menjadi arca-arca batu!

Tahulah orang-orang sakti yang memandang heran bahwa dua puluh orang Mancu dan tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo itu dalam keadaan kaku karena tertotok jalan darah mereka! Kalau dua puluh orang perwira Mancu itu sampai menjadi kaku tertotok, hal ini tidaklah amat mengherankan benar. Akan tetapi tiga orang pembantu Ma-bin Lo-mo adalah orang-orang berilmu tinggi, tidak mudah tertotok begitu saja. Dan hebatnya, mereka itu, dua puluh tiga orang banyaknya, tertotok dalam waktu yang serentak, padahal mereka itu sedang bergerak-gerak cepat dalam pertandingan mati-matian. Manusia mana yang sanggup melakukan totokan seperti itu?

Kenyataan inilah yang membuat mereka makin terbelalak memandang ketika tampak seorang kakek yang bertubuh tegap tinggi muncul di pantai. Sebuah perahu nelayan kecil tampak di belakangnya dan kini kakek ini melangkah perlahan-lahan menuju ke tempat mereka. Kakek itu tidak dapat dilihat mukanya karena tertutup oleh sebuah caping nelayan yang amat lebar. Hanya dapat dilihat betapa pakaiannya amat sederhana, pakaian seorang nelayan miskin. Biar pun kini dia sudah melangkah makin dekat, sembilan orang sakti itu tetap tidak dapat melihat mukanya yang terus terlindungi caping lebar. Langkahnya perlahan dan sikapnya amat tenang, namun kehadirannya ini membuat seorang sakti dan ganas macam Kang-thouw-kwi dan Ma-bin Lo-mo sekali pun menjadi bergidik.

Siauw-lim Chit-kiam juga tidak mengenal kakek nelayan ini. Akan tetapi gerak-gerik kakek ini yang penuh dengan ketenangan, wibawa yang seolah-olah tergetar keluar dari sikap kakek ini mengingatkan mereka akan guru mereka, Ceng San Hwesio ketua Siauw-lim-pai. Oleh karena itu mereka segera tunduk dan maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang sakti yang menyembunyikan diri. Dipelopori oleh Song Kai Sin, tujuh orang gagah ini menekuk lutut kanan memberi hormat dan berkatalah Song Kai Sin.

"Teecu bertujuh Siauw-lim Chit-kiam menghaturkan hormat kepada Locianpwe dan mohon maaf apa bila teecu sekalian mengganggu tempat kediaman Locianpwe tanpa disengaja. Mohon Locianpwe memperkenalkan diri."

Kakek nelayan itu tetap menyembunyikan mukanya di balik caping lebar dan terdengarlah suaranya yang halus dan penuh getaran kesabaran dan welas asih, "Chit-wi-sicu datang di pulau kosong milik alam, aku nelayan tua mana bisa mempunyai pulau ini? Jauh-jauh menempuh bahaya mencari apa? Lebih baik pulang melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat bagi dunia dan manusia."

Sementara itu, hati Ma-bin Lo-mo dan Kang-thouw-kwi menjadi khawatir menyaksikan keadaan kakek ini. Sikap kakek ini jelas membayangkan bahwa kakek ini pasti akan berpihak kepada Siauw-lim Chit-kiam, karena itu mereka pikir lebih baik turun tangan lebih dulu selagi kakek ini tidak memperhatikan. Seperti telah bermufakat terlebih dahulu, kedua orang sakti ini tiba-tiba saja menyerang dari kanan kiri. Setan Botak melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dari arah kanan kakek itu sedangkan dalam detik yang sama, Ma-bin Lo-mo menyerang dengan pukulan Swat-im Sin-ciang dari kiri.

Siauw-lim Chit-kiam terkejut sekali, akan tetapi mereka tidak sempat lagi berbuat apa-apa. Selain itu, menghadapi dua pukulan dahsyat ini, mereka dapat berbuat apakah? Akan tetapi kakek itu dengan sikap tenang sekali mengembangkan kedua lengannya ke kanan kiri.

“Dessss....! Desssss...!”

Dorongan kedua orang kakek sakti dari kanan kiri itu bertemu dengan lengan kakek nelayan yang dikembangkan. Tenaga mukjizat yang tak tampak bertumbuk di udara dan akibatnya hebat sekali. Kakek nelayan masih berdiri tenang dan kini sudah menurunkan kembali kedua lengannya yang dikembangkan, bahkan lalu bersedakap, tetapi Setan Botak dan Iblis Muka Kuda jatuh terduduk. Muka Setan Botak menjadi merah sekali dan kepalanya mengepulkan asap, sedangkan Iblis Muka Kuda menjadi pucat kebiruan mukanya dan tubuhnya menggigil, keduanya cepat bersila mengerahkan sinkang masing-masing untuk memulihkan getaran yang membuat mereka hampir tidak dapat bertahan itu karena tenaga sakti mereka tadi membalik dan menyerang diri mereka sendiri.

Kakek nelayan itu bersenandung, suaranya lirih namun jelas terdengar, "Tenaga Im dan Yang adalah hebat sekali dan Ji-wi telah dapat menguasainya. Sayang, tenaga murni sehebat itu bukan dipergunakan untuk menyebar kebaikan, melainkan untuk memupuk keburukan, sungguh sayang karena akibatnya akan menimpa diri sendiri...”

Setan Botak dan Iblis Muka Kuda itu terbelalak dan mulut mereka berseru kaget, "Koai-lojin....!!"

Pada saat itu, Siauw-lim Chit-kiam yang melihat betapa dua orang kakek iblis itu menyerang Si kakek nelayan sudah siap dengan pedang mereka dan kini melihat kesempatan baik, tujuh sinar pedang menyambar ke arah Setan Botak yang jatuhnya lebih dekat dengan mereka. Kejadian ini amat cepatnya sehingga Kang-thouw-kwi Gak Liat sendiri hanya terbelalak, tak kuasa menghindarkan diri karena dia sendiri masih lemah oleh getaran yang diakibatkan tangkisan kakek nelayan. Ia maklum bahwa nyawanya berada di ujung rambut, maka ia hanya mengeluh dan memandang terbelalak...


BERSAMBUNG KE JILID 06