Cinta Bernoda Darah Jilid 09 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

CINTA BERNODA DARAH

JILID 09

Mereka cepat berlari-lari ke belakang dan melihat dua orang berpakaian pelayan menggeletak tak bernyawa lagi dan di situ berdiri seorang laki-laki tua yang bersikap gagah, berpakaian sederhana, kepalanya tertutup topi lebar, tangannya memegang senjata pecut. Dialah Kauw Bian Cinjin, sute dari Beng-kauw yang bertugas menyambut tamu!

“Maaf, Cu-wi enghiong dari Kerajaan Sung tentu mengalami banyak kaget karena gara-gara pengkhianat dua orang pelayan ini. Syukur ada Gan-lopek yang datang lebih dulu menyampaikan obat penawar. Lohu (aku yang tua) atas nama Beng-kauw menghaturkan maaf atas keteledoran ini.” Ia menjura dengan hormat kepada Ouwyang Swan.

Panglima tua ini cepat balas menghormat. “Kiranya ada pengkhianatan, akan tetapi sebetulnya apakah yang terjadi? Siapakah yang menaruh racun dalam makanan untuk kami, Cinjin?”

Kakek Beng-kauw itu tersenyum sabar dan menggeleng kepala. “Banyak terjadi hal aneh, Ciangkun (Panglima), yang agaknya ditujukan untuk mengotori nama Beng-kauw. Kami sedang melakukan penyelidikan, karena itu hal ini masih menjadi rahasia. Akan tetapi percayalah, semua ketidak-wajaran yang terjadi, pasti bukan dari kami datangnya dan kalau ada anak buah kami yang terbawa-bawa, kami tidak ragu-ragu untuk memberi hukuman seperti yang kulakukan kepada dua orang pelayan ini. Nah, selamat pagi dan sekali lagi maaf!” Setelah berkata demikian, Kauw Bian Cinjin membunyikan cambuknya satu kali.

“Tarrr!” maka muncullah dua orang anak buah Beng-kauw yang segera mengangkat dua jenazah itu dan pergi tanpa mengeluarkan kata-kata. Kauw Bian Cinjin menjura kepada para tamu dan berjalan pergi.

Ouwyang Seng dan anak buahnya saling pandang, lalu kembali ke ruangan, tiada hentinya membicarakan hal yang aneh itu. Tak lama kemudian dua orang pelayan baru datang untuk membersihkan tempat itu dan menggantinya dengan makanan baru. Panglima Sung itu dan teman-temannya lalu melanjutkan makan pagi untuk kemudian bersiap-siap pergi ke tempat sembahyangan guna memberi hormat kepada arwah mendiang ketua Beng-kauwcu yang tersohor, yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan..


cinta Bernoda darah jilid 09


Kita kembali mengikuti Lin Lin. Malam hari itu ia dan Pak-sin-tung, dikawal pula oleh dua puluh empat orang Khitan yang berkepandaian tinggi secara sembunyi, telah mendatangi ruangan sembahyang. Melihat Suling Emas berada di ruangan itu bersama tokoh-tokoh Beng-kauw sibuk mengatur ruangan sembahyangan di mana terdapat sebuah peti mati yang besar dan panjang, melihat pula betapa Beng-kauwcu masih memegang tongkatnya yang berhiaskan ya-beng-cu permata yang mengeluarkan sinar itu, Lin Lin kecewa sekali. Ia dapat menduga bahwa Hek-giam-lo tentu belum berhasil merampas tongkat itu. Selain kecewa juga ia melihat kesempatan terbuka baginya untuk membebaskan diri dari Pak-sin-tung karena Suling Emas berada di situ, maka dengan nekad ia menyelinap masuk melalui pintu belakang ruangan sembahyang itu yang merupakan sebuah bangunan besar, megah dan seram.

Pak-sin-tung kaget sekali karena kakek ini sudah mendengar bahwa bangunan ruangan sembahyang ini adalah bagian terlarang yang tidak boleh sekali-kali dimasuki orang. Jangankan orang luar, bahkan para anggota Beng-kauw sendiri ia dengar tidak berani memasukinya. Sekarang Lin Lin masuk melalui pintu kecil itu!

Tadinya ia hanya bersembunyi sambil mengintai, menanti munculnya gadis itu dan ia siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi karena sampai lama gadis itu tidak muncul, maka kegelisahannya memuncak. Ia lalu bergerak dengan hati-hati, meninggalkan tempat sembunyinya dan dengan beberapa kali loncatan yang tidak mengeluarkan suara, ia telah berada di depan pintu kecil. Alangkah kagetnya ketika ia membaca tanda-tanda larangan bahkan ancaman hukuman bagi orang yang berani memasuki pintu itu.

Betapa pun gagahnya Pak-sin-tung, ia cukup maklum akan keangkeran Beng-kauw, maka ia mundur lagi, tidak berani masuk. Dengan hati gelisah, kembali ia bersembunyi dan mengintai ke arah ruangan yang masih sibuk.

Lin Lin memasuki lorong yang amat gelap dan hawanya dingin sekali. Ia berjalan terus, meraba-raba dengan kedua kakinya, berlaku hati-hati. Ia mulai merasa seram ketika lorong yang panjang itu terus berada dalam kegelapan dan dinginnya makin menyusup tulang, seakan-akan ia berada di dalam lorong yang ditutup es. Mulailah ia ragu-ragu dan takut, siap untuk memutar tubuh dan kembali. Akan tetapi ia teringat bahwa di belakangnya, Pak-sin-tung dan dua puluh empat orang Khitan siap untuk memaksanya ke Khitan! Ingat akan ini, ia mengeraskan hati dan melangkah maju terus.

Tiba-tiba ia tersentak kaget. Ada suara bercicit aneh di dalam gelap, suara yang mula-mula terdengar di atas, kemudian terdengar di sebelah bawah. Ia berhenti, bulu tengkuknya meremang. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara itu makin mendekat, terdengar di bawah kakinya. Dengan mengeraskan hatinya yang kebat-kebit ia melangkah lagi, kakinya agak menggigil. Tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu dan.....

“Cuittttt!” terdengar suara keras.

Lin Lin meloncat ke atas, semangatnya serasa melayang meninggalkan tubuhnya ketika ia tahu bahwa suara itu suara tikus-tikus dan bahwa ia tadi menginjak tikus. Hampir ia pingsan. Celaka baginya karena di antara segala benda dan makhluk di dunia ini, hanya tikuslah yang paling ia takuti. Setan ia tidak takut, iblis akan dilawannya, harimau akan diterjangnya, akan tetapi tikus? Menggigil ia dibuatnya.

Saking jijik dan takutnya, Lin Lin memutar tubuh dan pulang balik setengah berlari. Akan tetapi anehnya, sampai lama ia tidak juga sampai di pintu kecil tadi. Ia telah salah jalan, tidak tahu bahwa lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan. Lin Lin telah tersesat ke dalam liku-liku jalan di bawah tanah.

Kegelisahan tercampur rasa ngeri dan takut akan tikus-tikus yang agaknya banyak terdapat di jalan terowongan gelap itu agak berkurang ketika Lin Lin tiba-tiba dapat melihat cahaya remang-remang di sebelah depan! Ia berlari terus, hatinya lega. Tak salah lagi, pikirnya, tentu di depan itu terdapat jalan ke luar. Benar saja, lorong itu makin lama makin lebar dan cahaya menjadi makin terang.

Tiba-tiba terdengar suara mendesis dari sebelah kanan dan sebuah bayangan panjang kecil menyambarnya. Lin Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning berkelebat ketika pedangnya membacok ke arah bayangan ini.

“Crakkk!” Lin Lin berdiri dengan mata terbelalak ketika melihat benda hitam itu kiranya adalah seekor ular hitam! Agaknya ular ini tadi kaget melihat kedatangannya dan menyerang. Kini tubuh ular itu menjadi dua potong dan bagian ekornya melilit-lilit tubuh sendiri. Lin Lin menyimpan kembali pedangnya dan melangkah maju dengan hati-hati.

Setelah berjalan maju sejauh tiga puluh meter, ia berhenti. Di depannya adalah sebuah ruangan besar dan cahaya yang sebagian menerangi lorong tadi ternyata adalah cahaya matahari yang masuk melalui sebuah jendela yang lebar, berjeruji baja dan tingginya dari lantai kurang lebih dua meter. Tiba-tiba mata gadis itu terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat ketika pandang matanya meluncur ke bawah dan bertemu dengan tumpukan peti-peti mati yang jumlahnya ada tujuh buah.

Peti-peti mati itu bentuknya biasa, akan tetapi di bagian kepalanya terukir muka binatang yang menyeramkan, seperti muka iblis. Kemudian Lin Lin dapat menenangkan hatinya. Mengapa harus takut, pikirnya. Peti-peti mati kosong itu tentulah persediaan bagi keluarga kaisar atau para pimpinan Beng-kauw. Tadi ia kaget karena melihat bentuk dan model peti-peti yang berjajar dan bertumpuk itu sama benar dengan peti mati yang berada di ruangan sembahyang.

“Ah, benda mati, hanya terbuat dari pada kayu dan kosong, takut apa?” dengan suara hati menenangkan ini Lin Lin melangkah maju, sengaja tidak mau memperhatikan peti-peti mati itu, lalu sibuk mencari jalan ke luar.

Ia bingung dan heran. Ruangan ini tidak berpintu! Akan tetapi dari balik ruji jendela itu ia melihat atap sebuah rumah. Agaknya ruangan ini merupakan tempat terakhir dari jalan terowongan, dan melihat peti-peti mati itu, agaknya memang dijadikan semacam tempat penyimpanan peti mati, semacam gudang. Akan tetapi, kalau memang demikian, mengapa tidak ada pintunya yang menembus ke bangunan lain? Apakah untuk memasuki ruangan ini orang harus melalui jalan terowongan yang berliku-liku, banyak cabang dan rahasianya dan selain jauh, juga demikian gelapnya? Tak masuk akal!

Ia melangkah maju dan menghampiri dinding, meraba-raba. Mungkin ada pintu rahasia.

“Kriiittttt...!”

Lin Lin menengok, bulu tengkuknya berdiri. Jelas ia mendengar suara itu, seperti sebuah pintu karatan dibuka, atau... sebuah tutup peti! Akan tetapi tumpukan peti-peti mati itu tidak bergerak. Tiba-tiba Lin Lin meloncat dan hampir ia menjerit. Seekor tikus besar lari ke luar dari bawah peti mati sambil mencicit lari melalui bawah kakinya.

Dengan hati berdebar-debar Lin Lin menenangkan hatinya sendiri. Hanya seekor tikus! Ia menggerakkan kedua pundak seperti orang kedinginan karena timbul rasa jijik dan gelinya. Akan tetapi segera wajahnya berubah. Biasanya tikus takut melihat manusia dan tentu akan bersembunyi. Mengapa tikus yang sudah sembunyi di bawah tumpukan peti mati itu malah ke luar dari tempat sembunyinya dan melarikan diri lewat dekat kakinya? Hanya satu hal yang memungkinkan kejadian ini. Tikus juga takut akan sesuatu. Takut sesuatu di dalam peti mati. Dan suara berkerit tadi!

“Ah, tidak ada setan di siang hari!” pikir Lin Lin menabahkan hati, kemudian dengan penuh kegemasan ia melangkah maju mendekati tumpukan peti mati.

Ia tersenyum. “Nah, tidak ada apa-apa, peti mati kayu yang kosong. Apa sih yang harus ditakuti?” katanya perlahan sambil menepuk-nepuk peti mati yang paling atas.

Setelah kengeriannya lenyap dan keberaniannya timbul kembali, gadis ini sengaja hendak memeriksa terus. Tangan kanannya memegang gelang baja yang dipasang di atas tutup peti mati yang paling atas, lalu mengerahkan tenaga membukanya untuk menyatakan bahwa peti mati itu memang kosong.

Peti mati itu terbuka tutupnya, mengeluarkan suara seperti tadi, berkerit karena engselnya berkarat. Sedikit demi sedikit tutup itu terbuka, karena amat berat sehingga Lin Lin harus mengerahkan tenaga. Ia tersenyum sambil memandang ke dalam peti mati dan... Lin Lin melepaskan gelang baja dan terhuyung mundur, terus mundur sampai punggungnya menyentuh dinding dingin. Matanya terbelalak lebar, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil dan mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara. Apa yang dilihatnya? Sesosok mayat di dalam peti, muka mayat yang pucat kurus dan lebih hebat lagi... tangan mayat yang hanya tulang terbungkus kulit itu bergerak menyangga tutup peti mati! Mayat itu bergerak dan hidup!

Dapat dibayangkan betapa kaget, ngeri dan takutnya hati Lin Lin melihat peti mati itu bergoyang-goyang, tutupnya setengah terbuka sehingga tampak kepala mayat, kemudian peti mati itu meloncat turun dari tumpukan, muka mayat yang mengerikan menjenguk ke luar dan lengan kirinya keluar pula dari bawah tutup.

Lin Lin menggerakkan tangan kanan meraih gagang pedang, akan tetapi pada saat itu terdengar lengking tinggi mengerikan, seperti suara suling, keluar dari mulut itu. Tiba-tiba Lin Lin menggigil kaki tangannya, tak dapat lagi mencabut pedang. Suara itu selain mengandung pengaruh melumpuhkan, juga mengingatkan ia akan sesuatu.

“Kau... kau...,” suaranya tenggelam dalam lengkingan yang panjang dan nyaring, kemudian gadis ini menjadi lemas dan terguling, pingsan! Kekagetan mengingat bahwa ia berhadapan dengan pembunuh ayah ibu angkatnya, yaitu setan peti mati dengan suara seperti suling, ditambah kengeriannya tak dapat tertahankan oleh Lin Lin.

Suara lengking itu berhenti, peti mati yang tadinya berada di tumpukan paling atas, kini sudah berada di bawah, tidak bergerak-gerak lagi. Akan tetapi tutup peti mati terbuka makin lebar oleh lengan yang kurus. Dengan gerakan perlahan mengerikan, ‘setan’ itu keluar dari dalam peti mati. Ia seorang laki-laki tinggi, kurus sekali seperti tengkorak terbungkus kulit. Kepalanya gundul, matanya tak pernah berkedip, hidungnya besar dan panjang melengkung ke bawah, mulutnya seperti orang menangis. Tubuh yang kurus itu terbungkus pakaian yang robek di sana-sini, sepatunya juga sudah butut. Muka yang pucat dan tak bergerak-gerak itu memang tak pantas menjadi muka manusia hidup, lebih patut menjadi muka mayat. Akan tetapi kenyataan bahwa ia dapat bergerak, menandakan bahwa ia masih hidup. Inilah kiranya yang disebut mayat hidup!

Mayat hidup itu berjalan perlahan menghampiri Lin Lin, terbungkuk berdiri memandang ke arah muka gadis itu. Mulutnya mengeluarkan suara “ah-ah-uh-uh” seperti orang setengah tertawa setengah menangis, kemudian ia membungkuk dan dengan sebelah tangan saja ia mengangkat tubuh Lin Lin dengan ringannya, menghampiri peti mati yang bertumpuk, membuka tutup peti mati teratas lalu... memasukkan tubuh Lin Lin ke dalam peti mati itu dan menutupnya kembali!

Setelah melakukan hal ini, ia kembali mengeluarkan suara seperti tadi dan kini bibirnya bergerak seperti orang tersenyum iblis, kemudian ia melompat masuk ke dalam peti matinya yang dapat bergerak-gerak meloncat ke atas tumpukan peti mati. Dalam sekejap mata, peti-peti mati itu sudah bertumpuk seperti tadi dan keadaan di dalam ruangan itu sunyi tak terdengar apa-apa lagi.

********************

Di ruangan sembahyang telah mulai ramai dengan para tamu yang berdatangan untuk memberi penghormatan. Mereka itu seperti juga Lin Lin, terkejut dan heran melihat adanya peti mati besar yang berada di tengah ruangan, di belakang meja sembahyang. Bukankah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua pertama dan pendiri Beng-kauw itu telah meninggal dunia seribu hari yang lalu? Bagaimana sekarang peti matinya masih berada di sini? Apakah selama tiga tahun ini peti matinya tidak dikubur? Pertanyaan-pertanyaan ini terkandung di hati setiap orang pengunjung, akan tetapi mereka tidak berani bertanya dan dengan penuh hormat mereka memasang hio dan memberi hormat ke arah peti mati yang membujur di tengah ruangan. Asap hio makin banyak dan tebal mengebul memenuhi ruangan, membawa bau harum.

Di sebelah kanan peti mati berdiri ketua Beng-kauw sendiri, yang menerima penghormatan dan membalas dengan sikap hormat kepada setiap orang tamu yang bersembahyang. Di sebelah kiri peti mati berdiri Liu Hwee dan di belakangnya berjajar para pembantu pimpinan Beng-kauw. Mereka ini pun membalas penghormatan para tamu. Yang berdatangan adalah tamu-tamu terhormat, wakil-wakil dari kerajaan lain. Tokoh-tokoh kang-ouw belum ada yang tampak. Hari masih terlampau pagi agaknya. Akan tetapi Suling Emas sudah kelihatan duduk di ujung kursi kehormatan. Di sebelahnya duduk Bu Sin yang bercakap-cakap dengannya sambil tersenyum-senyum dan wajahnya berseri-seri.

“Sungguh, Song-koko (Kakak Song), kau telah mempermainkan kami adik-adikmu bertiga secara hebat! Setengah mati kami mencarimu, sampai mengalami hal-hal yang sengsara dan berbahaya. Mengapa kau tidak mengaku terus terang bahwa pendekar besar Suling Emas adalah kakak kami Kam Bu Song?”

Suling Emas menahan senyumnya sehingga mukanya tampak berduka, lalu ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata. “Bu Sin, aku sudah hampir lupa akan orang yang bernama seperti itu. Bagiku, aku adalah Suling Emas....”

Bu Sin mengeluarkan sebuah gelang emas, “Twako (Kakak Tertua), biar pun kau sudah melupakan kami, sebaliknya kami tidak melupakanmu. Ayah kita selalu ingat kepadamu, berusaha susah payah mencarimu, bahkan di hari terakhir beliau meninggalkan pesan agar kami bertiga mencarimu dan memberikan benda ini kepadamu. Twako apakah kau berani bilang bahwa kau melupakan benda ini?” Ia menyerahkan gelang emas itu kepada Suling Emas.

Melihat benda ini, Suling Emas berubah mukanya, menerima dan mengamat-amatinya. Ia membaca dua buah huruf yang berbunyi BU SONG terukir pada gelang emas kecil itu. Ia meramkan matanya untuk beberapa detik lamanya, agaknya untuk membayangkan ketika ia masih kanak-kanak, membayangkan ayah bundanya, ketika ia membuka kembali matanya, Bu Sin melihat betapa bola matanya itu agak membasah, dan ia menjadi terharu. Suling Emas mempermainkan gelang itu dengan kedua tangannya, seakan-akan heran bagaimana benda sekecil itu dahulu dapat menghias lengan tangannya.

“Bu Sin...,” katanya kemudian, perlahan sekali setengah berbisik, “kau keliru kalau kau menyangka aku melupakan semua. Tidak, aku tidak pernah melupakan Ayah, biar pun harus kuakui bahwa aku juga tidak dapat lupa betapa Ayah berpisah dari Ibu, dan menikah lagi. Juga... aku girang sekali bertemu dengan kalian bertiga, tapi... Bu Sin, kupesan kepadamu, jangan membuka rahasia bahwa aku adalah kakak kalian, belum lagi tiba saatnya. Kelak mungkin....”

Pada saat itu Suling Emas tiba-tiba menghentikan kata-katanya dan matanya memandang ke luar ruangan. Bu Sin juga cepat memandang dan ia melihat dengan mata terbelalak ke arah makhluk yang kini menghampiri meja sembahyang, menjura dan suaranya terdengar parau dan bergema seakan-akan suara yang datang dari balik kubur.

“Pat-jiu Sin-ong, tiga tahun mati, petimu masih belum dikubur, benar-benar membikin aku merasa kagum.” Ia lalu melangkah maju menghampiri peti mati, mengamat-amati dengan mata terbelalaknya.

Menyeramkan sekali iblis ini bagi Bu Sin yang baru kali ini menyaksikannya, seorang manusia tapi mukanya adalah muka tengkorak, pakaiannya serba hitam. Kalau ia bukan tengkorak hidup, tentulah seorang manusia yang memakai kedok tengkorak yang menyeramkan.

“Hek-giam-lo, terima kasih atas penghormatan terhadap kami,” kata Beng-kauwcu Liu Mo. “Kau datang mewakili Kerajaan Khitan ataukah atas nama pribadimu sendiri?”

“Khitan tidak ada urusan mau pun permusuhan dengan Nan-cao, Hek-giam-lo juga tidak ada permusuhan dengan Beng-kauw, apa lagi bedanya? Sepuluh tahun yang lalu, dalam pertandingan yang cukup adil, aku dikalahkan Pat-jiu Sin-ong, sayang dia sudah mati tiga tahun yang lalu. Akan tetapi karena peti matinya masih berada di sini, apa salahnya aku melihat sejenak wajah dari bekas sahabatku?” Memang sepuluh tahun yang lalu, Hek-giam-lo pernah dikalahkan dalam adu kesaktian oleh mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.

Beng-kauwcu Liu Mo tentu saja cukup tahu akan wataknya yang seperti iblis dan aneh sekali. Akan tetapi mendengar bahwa iblis ini hendak membuka peti mati kakaknya, ia terkejut dan marah sekali. Dengan gerak-geriknya yang tenang, ia menggerakkan kakinya mendekat, siap mencegah dengan cara apa pun juga agar iblis hitam tidak melakukan perbuatan yang lancang ini.

“Hek-giam-lo, mengingat akan hubungan di antara kita, harap kau suka lepaskan tanganmu dari peti mati dan jangan mengganggunya.”

Akan tetapi secara tiba-tiba sekali Hek-giam-lo membalikkan tubuh dan... kedua tangannya memukul dengan gerakan hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat ke arah pusar dan dada Beng-kauwcu Liu Mo! Pukulan ini selain dahsyat dan sakti, juga dilakukan tiba-tiba di luar dugaan, karena seluruh perhatian ketua Beng-kauw itu tadinya ditujukan ke arah peti mati yang hendak dijaganya dari gangguan Hek-giam-lo. Siapa duga, bukan peti mati yang diserang melainkan dirinya.

Kalau saja bukan Beng-kauwcu Liu Mo yang menghadapi serangan kilat yang mematikan ini, tentu dia yang diserang Hek-giam-lo akan kalah. Para tamu dan para pimpinan Beng-kauw sudah mengeluarkan seruan tertahan saking kaget dan gelisahnya. Akan tetapi, biar pun dalam keadaan berbahaya sekali, Beng-kauwcu Liu Mo tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Ia mengangkat kedua tangan, secepatnya digerakkan menangkis pukulan sambil membanting tubuh ke belakang.

Kiranya pukulan Hek-giam-lo itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu iblis hitam ini sudah menubruk dari samping dan sekali renggut, tongkat di tangan Beng-kauwcu itu telah dirampasnya. Ia melompat ke luar dari ruangan itu sambil tertawa bergelak.

“Manusia curang...!” Suling Emas berseru marah, akan tetapi karena tidak ada perintah dari tuan rumah, ia hanya bangkit berdiri dari tempat duduknya dan memandang marah.

“Hek-giam-lo, kembalikan tongkat kami!” Dengan gerakan ringan Beng-kauwcu Liu Mo melayang ke luar mengejar, akan tetapi tiba-tiba dari samping kiri menyambar sebatang tongkat dengan tenaga dahsyat pula. Beng-kauwcu Liu Mo yang sudah siap segera mengelak dan ia berhadapan dengan seorang kakek yang buntung kedua kakinya. Kakek ini bukan lain adalah Pak-sin-tung, adik seperguruan Hek-giam-lo.

“Kauwcu, tidak perlu mengejar dia,” kata kakek buntung ini. “Ketahuiah, tongkatmu itu hanya dipinjam, terpaksa dirampas untuk memenuhi permintaan Tuan Puteri kerajaan kami yang ingin meminjamnya sebentar!”

Pada saat itu Suling Emas sudah berada di belakang Beng-kauwcu Liu Mo, juga anak buah Beng-kauw sudah ikut mengejar. Para tamu yang tertarik akan peristiwa hebat itu pun tidak mau ketinggalan, ikut pula mengejar hendak menonton. Mereka kini seakan-akan telah pindah dari ruangan sembahyang ke ruangan depan, lalu otomatis membentuk lingkaran lebar dan mengurung Pak-sin-tung yang ditemani oleh enam orang anak buahnya yang muncul dari tempat-tempat sembunyi mereka.

Seperti kita ketahui, Pak-sin-tung yang mengantar Lin Lin tidak berani mengikuti gadis itu yang memasuki pintu kecil yang menembus terowongan, lalu menanti dan mengintai di situ sampai keesokan harinya. Demikian pula para anak buah yang dua puluh empat orang itu, diam-diam bersiap di tempat persembunyian masing-masing sehingga melihat Pak-sin-tung kini mewakili Hek-giam-lo menghadapi ketua Beng-kauw, enam orang di antara mereka muncul mengawaninya.

“Siapa kau?” Beng-kauwcu Liu Mo menegur, memandang tajam kepada kakek yang berdiri di atas sepasang tongkat dan enam orang laki-laki di belakang kakek ini yang tampak gagah bersemangat.

Memang, Pak-sin-tung tidaklah sepopuler Hek-giam-lo, karena kalau Hek-giam-lo suka merantau dan membuat geger dunia kang-ouw, adalah Pak-sin-tung berdiam di Khitan sebagai pengawal kaisar di Khitan, jarang sekali keluar dari Khitan. Karena inilah maka Beng-kauwcu Liu Mo tidak mengenalnya.

Pak-sin-tung menjura. “Kauwcu, saya yang rendah disebut orang Pak-sin-tung. Hek-giam-lo adalah suheng-ku, karena itulah terpaksa saya berlaku kurang ajar mencegahmu mengejar suheng.”

Merah muka ketua Beng-kauw itu. Ia memang tidak bisa bicara. Terhadap Hek-gim-lo, ia masih mau turun tangan. Akan tetapi terhadap seorang yang kurang terkenal seperti Pak-sin-tung ini, betapa pun lihai Pak-sin-tung ia merasa enggan. Ketua Beng-kauw ini bertepuk tangan tiga kali, suara tepukan tangan ini amat nyaring seperti diadunya dua buah piring baja sehingga diam-diam Pak-sin-tung kaget bukan main karena tepukan tangan ini saja sudah membayangkan kehebatan tenaga dalam ketua Beng-kauw itu.

Beberapa detik kemudian, berkelebatlah bayangan orang dan tahu-tahu Kauw Bian Cinjin sudah berada di situ, menjura di depan Beng-kauwcu sambil berkata penuh hormat, “Mohon maaf atas kelambatan siauwte sehingga si jahat Hek-giam-lo mendapat kesempatan untuk berbuat kurang ajar. Harap Kauwcu sudi mundur dan biarkan siauwte membereskan si buntung ini.”

Seperti biasa, sikap Kauw Bian Cinjin juga tenang sekali, akan tetapi di dalam ketenangannya, kakek berpakaian sederhana bertopi caping yang memegang pecut ini memperlihatkan gerak-gerik yang lincah bertenaga dan sikap yang berwibawa. Memang terkenallah di Nan-cao, apa lagi di kalangan para pimpinan Beng-kauw bahwa Kauw Bian Cinjin inilah yang menjamin lancar dan beresnya segala sesuatu mengenai Beng-kauw.

Biar pun kepandaian dan kesaktiannya tidak melampaui suheng-nya, yaitu Liu Mo sendiri, namun ia terkenal cerdik, waspada, dan luas pandangannya. Andai kata ia tidak sedang sibuk menyelidiki berbagai peristiwa yang mengacau di Nan-cao pada saat itu, tentu ia berada di dekat ketuanya dan kalau tadi ia hadir, kiranya Hek-giam-lo akan menghadapi kesukaran besar dalam merampas tongkat. Tadi pun ia hanya dapat melakukan itu karena melakukan penyerangan gelap lalu melarikan diri dan para pengejarnya dihadang oleh Pak-sin-tung.

Dengan sikap angker Kauw Bian Cinjin menghadapi Pak-sin-tung yang masih tersenyum-senyum. “Pak-sin-tung, kami tahu bahwa kau adalah sute Hek-giam-lo dan bahwa dari Khitan kau datang secara sembunyi. Kiranya kau dan suheng-mu merencanakan perampasan tongkat ketua kami. Pak-sin-tung, siapakah yang harus mempertanggung-jawabkan perbuatan rendah ini? Pribadi kau dan Hek-giam-lo, ataukah Kerajaan Khitan?”

Tak enak juga hati Pak-sin-tung menghadapi sikap serius ini, apa lagi nama Kerajaan Khitan dibawa-bawa. “Terus terang saja, Kauw Bian Cinjin, kerajaan kami tidak tahu-menahu, akan tetapi peminjaman tongkat itu adalah atas perintah Tuan Puteri kami yang kebetulan kami jumpai di antara para tamu di sini. Beliau yang ingin meminjam tongkat itu.”

“Wah, adikmu yang bikin gara-gara...!” Suling Emas berbisik kepada Bu Sin yang sudah berada di sampingnya. Pemuda ini tadi pun bersama para tamu lain ikut berlari ke luar dan ia segera mengambil tempat di dekat kakaknya. “Kau tunggu di sini, biar kucari dia!” Sebelum Bu Sin dapat mengerti apa yang dimaksudkan Suling Emas, pendekar aneh itu telah berkelebat dan lenyap dari situ.

Sementara itu, Kauw Bian Cinjin menoleh dan memandang ke arah para tamu, lalu berteriak lantang. “Kami mohon dengan hormat kehadiran Pek-bin-ciangkun sebagai wakil dari Khitan!”

Semua orang memandang dan muncullah seorang kakek tinggi besar bermuka putih, bersikap gagah dan berpakaian serba hijau. Ia menghadapi Kauw Bian Cinjin dengan sikap gagah seorang perwira tinggi peperangan yang memberi hormat dan berkata, suaranya lantang dan agak kaku karena memang ia seorang Khitan asli, “Semua ucapan Pak-sin-tung benar belaka. Urusan pagi hari ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan Kerajaan Khitan dan sepenuhnya adalah tanggung jawab Hek-giam-lo dan Pak-sin-tung berdua.”

“Bagus, kami pun memang tidak ingin membawa-bawa pihak yang tidak bersalah. Pek-bin-ciangkun, sebagai wakil dari Khitan kau telah melihat sendiri bahwa sekali-kali bukan kami pihak Beng-kauw mau pun Kerajaan Nan-cao tidak menghormat tamu apa lagi wakil kerajaan lain, melainkan karena orang telah berbuat keterlaluan terpaksa kami bertindak. Silakan Ciangkun kembali ke tempat duduk.” Setelah wakil Khitan itu mengundurkan diri, Kauw Bian Cinjin menggerakkan pecutnya, menghadapi Pak-sin-tung.

“Pak-sin-tung, karena jelas bahwa kau dan orang-orangmu membantu Hek-giam-lo maka kalian bersama Hek-giam-lo yang berani menghina ketua Beng-kauw harus dihukum. Menyerahlah, dan kami akan mempertimbangkan dengan adil tentang hukuman. Jika melawan, maka kami akan menggunakan kekerasaan.”

“Ha-ha-ha, Kauw Bian Cinjin, omongan dan sikapmu benar-benar lucu sekali!” Pak-sin-tung tertawa bergelak. “Siapa tidak tahu bahwa orang-orang seperti kita yang menjunjung kegagahan, berbuat apa yang kita suka dan sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya? Suheng telah meminjam tongkat Beng-kauwcu atas perintah Puteri junjungan kami, aku telah mencegah kalian mengejarnya untuk membantu agar perintah itu terlaksana. Nah, segala kejadian memang disengaja, untuk menyerah tentu saja pantang bagi Pak-sin-tung. Terserah kau mau apa!”

Kauw Bian Cinjin agaknya ragu-ragu karena mengingat bahwa mereka sedang melakukan sembahyang, ragu-ragu untuk bertindak pada hari yang dianggap keramat itu. Akan tetapi ketika menoleh ke arah ketua Beng-kauw, Beng-kauwcu Liu Mo berkata perlahan. “Sute, kehormatan Beng-kauw dilanggar orang, di depan peti mati mendiang twa-suheng yang mulia. Kalau tidak diperlihatkan keangkeran kita, Beng-kauw akan diperhina orang. Hukum mati dia!”

“Tar-tar-tar!” cambuk atau pecut panjang di tangan Kauw Bian Cinjin berbunyi tiga kali. Kakek ini sudah melangkah maju sambil membentak, “Pak-sin-tung, terimalah hukuman Beng-kauw!”

Pak-sin-tung tertawa bergelak dan melihat gulungan sinar hitam kecil panjang yang mengeluarkan suara bercuitan menyambar ke arahnya, cepat ia mengangkat tongkat kirinya menangkis. Terdengar bunyi nyaring sekali ketika dua senjata ini beradu, disusul mengebulnya asap putih. Agaknya saking kerasnya pertemuan pecut dan tongkat, sampai mengakibatkan panas yang hampir membakar tongkat!

Pak-sin-tung terhuyung-huyung ke belakang, namun segera dapat membalas dengan serangan tongkat kanan lalu disusul lagi dengan tongkat kiri. Hebat dan aneh memang serangan Pak-sin-tung. Tongkat-tongkat itu adalah pengganti kakinya, akan tetapi ia dapat mempergunakannya susul-menyusul sehingga seakan-akan tubuhnya tergantung di udara tanpa kaki! Tidak saja serangan-serangannya cepat dan aneh gerakannya, akan tetapi juga kedua batang tongkat itu menyambar dengan hawa pukulan dahsyat sehingga para penonton deretan terdepan merasa betapa angin pukulan menyambar-nyambar menggerakkan rambut dan baju mereka. Dari sini saja sudah dapat dibuktikan bahwa julukan Pak­sin-tung (Tongkat Sakti dari Utara) tidaklah kosong belaka.

Akan tetapi ternyata wakil Beng-kauw itu pun amat hebat kepandaiannya, malah agaknya menang setingkat dibandingkan dengan Pak-sin-tung. Kauw Bian Cinjin adalah adik seperguruan mendiang Pat-jiu Sin-ong dan ketua Beng-kauw yang sekarang. Ilmu silatnya tinggi sekali, maka kakak seperguruannya mempercayakan semua urusan penting kepadanya. Pecut di tangan kakek ini tampaknya memang hanya sebuah pecut biasa yang sering kali dipergunakan oleh penggembala-penggembala kerbau menggiring ternak ke kandang. Memang di waktu menganggur, Kauw Bian Cinjin suka menggembala kerbau-kerbaunya yang berjumlah banyak.

Akan tetapi ia bukanlah penggembala biasa, dan tentu saja pecutnya juga bukan pecut biasa, melainkan sebuah cambuk yang terbuat dari rambut monyet besar yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya. Cambuknya ini tidak dapat terbabat putus oleh senjata tajam mana pun juga dan mengandung hawa panas seperti api ketika digerakkan untuk menyerang, sebaliknya di waktu dipergunakan untuk menangkis, mengandung hawa lemas dingin sehingga mudah menyedot habis tenaga serangan lawan.

Betapapun pandai nya, menghadapi Pak-sin-tung, Kauw Bian Cinjin bertemu dengan lawan tangguh yang tidak mudah ia kalahkan begitu saja. Tongkat dan cambuk saling sambar berganti-ganti merupakan tangan-tangan maut yang pasti akan merenggut nyawa apa bila lengah sedikit saja. Puluhan jurus telah lewat dan sedikit demi sedikit Kauw Bian Cinjin mendesak lawannya. Gulungan sinar hitam dari pecutnya makin melebar, membentuk lingkaran-lingkaran yang mengurung lawan sehingga sinar tongkat dari Pak-sin-tung makin menyempit dan kehilangan ruang gerak.

“Ciuuuuuttt!” Tiba-tiba cambuk itu berubah menjadi sebuah lingkaran besar, memutar-mutar mengitari dua pasang tongkat.

Baiknya Pak-sin-tung segera cepat dapat merenggut lepas tongkat kirinya karena kalau sampai kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu terlibat pecut, tentu ia akan roboh karena tidak berkaki lagi! Akan tetapi tongkat kanannya telah terlibat pecut sedemikian eratnya sehingga tidak akan mungkin terlepas lagi.

Pak-sin-tung mengeluarkan bentakan keras sekali sambil menggerakkan tongkat kanannya. Ia telah mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya untuk merenggut lepas tongkatnya dan... bukan tongkatnya yang terlepas melainkan tubuh Kam Bian Cinjin yang terlempar ke atas berikut pecut dan tongkat itu! Tongkatnya tidak terlepas dari libatan pecut, melainkan terlepas dari pegangannya.

Kiranya ketika ia mengerahkan tenaga yang amat kuat untuk merenggut tongkat ke atas, Kauw Bin Cinjin mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas dan tenaga renggutan lawannya ia tambahi dengan tenaganya sendiri untuk merampas tongkat. Kemudian, selagi Pak-sin-tung kaget dan terkesiap, dari atas udara Kauw Sian Cinjin menggerakkan tangan kanannya. Tongkat yang tadinya terlibat pecut, kini meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, tak dapat dicegah oleh apa pun juga!

Pak-sin-tung yang hanya berdiri di atas sebatang tongkat, tidak mampu menangkis atau mengelak lagi karena tidak keburu, maka terdengar suara mengerikan ketika tongkatnya sendiri menerobos dadanya sehingga tembus. Tubuhnya terjengkang ke belakang, akan tetapi tidak terus rebah melainkan tertahan oleh tongkat yang menembus dadanya, sehingga tubuh itu seakan-akan bersandar. Ia mati seketika, tubuhnya bagian depan tiada tanda darah sama sekali, akan tetapi dari punggungnya mengucur darah di sepanjang tongkat yang menahan tubuhnya.

Enam orang Khitan yang melihat keadaan pemimpin mereka seperti itu, segera maju menyerbu Kauw Bian Cinjin. Kakek ini dengan tenangnya menggerakkan cambuknya dan....

“Tar-tar-tar...!” terdengar bunyi enam kali dan... enam orang Khitan itu roboh tak berkutik lagi karena nyawa mereka pun sudah menyusul Pak-sin-tung.

Hening di sekeliling tempat itu, akan tetapi hanya untuk sesaat setelah enam orang itu roboh. Semua mata memandang ke arah tujuh sosok mayat yang malang-melintang di atas tanah. Kauw Bian Cin­jin menghela napas panjang sambil mengikatkan cambuknya di pinggang, membuka capingnya dan mengebuti dada dan muka dengan caping. Rambutnya sudah dua warna, panjang dan digelung ke atas seperti seorang tosu. Kalau tadi ia tampak angker berwibawa dengan caping, sekarang ia tampak alim seperti seorang pertapa.

Belasan orang telah melangkah maju. Kauw Bian Cinjin memandang dan ternyata mereka ini adalah Pek-bin-ciangkun perwira tinggi wakil Khitan dan para pengawalnya. Semua tamu makin tegang, mengira bahwa wakil-wakil Khitan tentu akan menuntut balas, pertempuran akan makin menghebat. Akan tetapi mereka keliru. Pek-bin-ciangkun menjura ke arah Kaw Bian Cinjin dan berkata, suaranya lantang, tegas, tapi sama sekali tidak membayangkan kemarahan.

“Cinjin, Pak-sin-tung dan enam orang pembantunya telah melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw dan telah terhukum mati, akan tetapi menurut penilaian kami, mereka mati sebagai laki-laki sejati dan karena mereka adalah orang-orang Khitan, kami akan membawa pergi dan mengurus jenazah mereka. Ini bukan permintaan melainkan pemberitahuan karena apa pun yang terjadi, kami akan melakukannya juga, kalau perlu dengan taruhan nyawa. Sekarang ijinkan kami pergi dan terima kasih atas penyambutan Kerajaan Nan-cao dan juga Beng-kauw selama kami menjadi tamu di sini.” Ia menjura dengan hormat.

Kauw Bian Cinjin balas menjura dan berkata, nadanya menyesal. “Mereka memang orang-orang gagah, dan Ciangkun memang berhak mengurus mayat mereka. Maaf akan semua peristiwa yang sesungguhnya tidak kami kehendaki ini. Sebagai wakil Beng-kauw saya haturkan terima kasih dan selamat jalan.”

Pek-bin-ciangkun memberi hormat ke arah ketua Beng-kauw dan juga ke arah Kaisar Nan-cao yang semenjak tadi duduk dan menonton penuh perhatian. Kemudian perwira Khitan ini memimpin anak buahnya membawa pergi tujuh mayat itu pergi meninggalkan Nan-cao.

Seperginya rombongan ini, para tamu menjadi berisik, apa lagi ketika mereka melihat munculnya pengemis mata satu It-gan Kai-ong secara tiba-tiba. Kakek pengemis ini tahu-tahu sudah berada di depan Kauw Bian Cinjin dan mengeluarkan suara mengejek. “Aha, Beng-kauw telah memperlakukan para tamunya dengan baik sekali, sekalian memperlihatkan kehebatan Beng-kauw. Agaknya Pat-jiu Sin-ong sejak dulu haus darah sehingga untuk menyembahyangi rohnya pun harus mempergunakan darah tujuh orang manusia. Heh-heh-heh!”

Sirap semua suara berisik tadi dan keadaan kembali menjadi tegang. Apa lagi ketika di belakang It-gan Kai-ong itu tampak dua orang tokoh mengerikan, dua orang di antara Thian-te Liok-koai, yaitu Toat-beng Koai-jin si iblis berpunuk dan Tok-sim Lo-tong yang membawa-bawa ular. Iblis kakak beradik ini hanya berdiri sambil memandang liar dan kadang-kadang saling pandang dan tertawa-tawa. Benar-benar mereka ini merupakan manusia-manusia yang tidak normal dan amat menyeramkan.

Melihat munculnya It-gan Kai-ong sudah mendatangkan rasa marah di dalam hati Kauw Bian Cinjin, apa lagi mendengar ucapannya yang mengejek dan menghina tadi. Dengan muka merah dan suara lantang wakil ketua Beng-kauw itu berkata, sambil memandang sekeliling.

“It-gan Kai-ong, kami tahu bahwa kau datang ke sini dengan niat busuk yang sedianya akan kami rahasiakan. Akan tetapi karena kau telah membuka mulut, biarlah aku menjawabmu. Orang-orang dari Khitan, biar pun mereka melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw, namun harus kami akui bahwa mereka adalah manusia-manusia jantan yang patut dihormati, kecuali Hek-giam-lo si curang. Akan tetapi, kami sama sekali tidak dapat menghormat dan menghargai orang macam It-gan Kai-ong dan sekutunya yang datang dihormat sebagai tamu akan tetapi sebaliknya melakukan usaha-usaha khianat untuk merusak nama baik Nan-cao dan Beng-kauw. It-gan Kai-ong, apakah kau hendak menyangkal kata-kataku?” Kauw Bian Cinjin memandang tajam, berdiri tegak dan gagah.

It-gan Kai-ong menyeringai. Matanya yang hanya sebuah itu melayang ke arah Kaisar Nan-cao dan ketua Beng-kauw yang tetap duduk diam tak bergerak. Kemudian ia menotok-notokkan tongkatnya ke atas tanah dan meludah ke kiri. “Cuhhh, anak kecil bicara besar! Tuduhanmu membabi buta itu apa buktinya?”

Kauw Bian Cinjin memutar tubuh ke arah ketua Beng-kauw dan Kaisar Nan-cao yang duduk bersanding. “Kauwcu, bolehkan siauwte membuka sekalian semua rahasia agar didengar oleh para tamu yang terhormat?”

Beng-kauwcu Liu Mo bicara perlahan dengan kaisar, agaknya mereka berunding, kemudian keduanya mengangguk.

Kauw Bian Cinjin kembali menghadapi It-gan Kai-ong, lalu berkata lantang. “Harap para tamu mendengarnya! Di antara Cu-wi (Tuan-tuan sekalian) yang hadir sebagai tamu terhormat dan datang dengan hati bersih, terdapat orang-orang yang datang dengan membawa niat busuk, di antaranya It-gan Kai-ong. Ada usaha mengadu domba kita dengan Kerajaan Sung, dengan cara mencuri sebagian barang sumbangan Kerajaan Sung dan mengganti batu-batu pemata dengan batu-batu biasa. Ini adalah hasil kerja orang-orang Hou-han yang dalam hal ini masih dapat kami maafkan dan kami telah menghukum orang-orang kami sendiri yang bersekutu dengan orang-orang Hou-han, mengingat bahwa maksud dari Hou-han hanya hendak menarik kami menjadi sekutunya dalam memusuhi Kerajaan Sung! Akan tetapi ada usaha yang lebih busuk lagi dalam hal memusuhi Kerajaan Sung, yaitu ada usaha untuk meracuni semua wakil dari Kerajaan Sung!”

Semua tamu menjadi berisik. Kagetlah mereka bahwa diam-diam telah terjadi hal yang demikian hebat, padahal suasananya tetap gembira dan tenang saja. Hal ini membuktikan bahwa Nan-cao di bawah Beng-kauw benar-benar pandai menyimpan rahasia dan pandai pula mengatasi keadaan. It-gan Kai-ong hanya menyeringai dan kadang-kadang meludah ke kanan kiri seperti sengaja hendak menghina si pembicara.

“Baiknya usaha busuk itu dapat digagalkan oleh Empek Gan yang mulia.” Semua orang tertawa dan mata mereka mencari-cari, namun tidak tampak mata hidung Empek Gan.

“Siapakah yang melakukah usaha busuk ini? Tidak lain adalah kaki tangan It-gan Kai-ong! Malah Tok-sim Lo-tong juga telah dipergunakan untuk menghalang-halangi campur tangan Empek Gan!”

Semua orang memandang kakek tinggi kurus bersikap kanak-kanak yang telanjang tapi iblis ini tidak mempedulikan itu semua, enak-enak bermain dengan ularnya. Ada pun It-gan Kai-ong kembali menotokkan tongkatnya ke tanah. “Kauw Bian Cinjin, jangan sembarangan membuka mulut. Apa buktinya tuduhan-tuduhan itu?” Mata yang tinggal sebelah itu mengeluarkan sinar kemarahan.

Kauw Bian Cinjin tersenyum. “Buktinya memang sukar diadakan karena kami telah membunuh orang-orang kami sendiri yang berkhianat dan dapat kau pikat untuk bersekutu. Akan tetapi, It-gan Kai-ong, ada sebuah perbuatan lagi yang jahat dan dapat dibuktikan. Kau telah menculik puteri Beng-kauwcu!”

Orang-orang menjadi ribut lagi. Tentu saja mereka semua tahu siapa puteri Beng-kauwcu, yaitu gadis cantik jelita yang menjadi penyambut tamu, gadis yang pakaiannya hitam putih dan aneh.

Akan tetapi It-gan Kai-ong tetap terkekeh mengejek. “Omongan bau! Semua omonganmu bau dan bohong! Tidak ada saksi tidak ada bukti, apakah Beng-kauw bisanya hanya menuduh dan memfitnah tanpa bukti?”

Tiba-tiba terdengar suara merdu nyaring, “Aku di sini, kakek jahat. Apakah kau hendak menyangkal lagi?” Dan dari sebelah dalam ruangan berlarilah Liu Hwee bersama Bu Sin, menuju ke pekarangan itu.

Kiranya tadi ketika It-gan Kai-ong muncul, Liu Hwee cepat mencari Bu Sin dan memberi isyarat kepada pemuda ini untuk menyembunyikan diri, menanti saat baik untuk muncul membantu paman gurunya membuka rahasia It-gan Kai-ong. Melihat munculnya gadis itu, bukan main kaget dan herannya It-gan Kai-ong sehingga ia berdiri memandang dengan mulut bengong.

Tiba-tiba kakek pengemis itu tertawa terkekeh-kekeh. “Ho-ho-ho, sama sekali tidak ada hubungannya! Nona ini kutahan karena memang dia berani menyerang teman-temanku. Tentang meracuni utusan Sung, ha-ha-ha, orang Beng-kauw, apakah kau sudah mabuk? Aku orang dari Kerajaan Wu-yue yang selalu menjadi sahabat Sung sejak dahulu, malah aku pun sudah banyak membantu Kerajaan Sung. Mana mungkin aku berusaha mengganggu utusan Sung? Harap saudara-saudara utusan Kerajaan Sung memberi penjelasan!” Matanya yang hanya sebuah itu mencari-cari di antara tamu.

Dua orang panglima dari Kerajaan Sung melompat ke depan. Mereka ini adalah perwira tinggi Ouwyang Swan dan pembantunya, Tan Hun. Ouwyang Swan sejenak memandang ke arah It-gan Kai-ong, kemudian menghadapi Kauw Bian Cinjin sambil berkata.

“Cinjin, memang ada usaha untuk meracuni kami. Akan tetapi kami dapat memastikan bahwa bukan It-gan Kai-ong yang melakukannya, juga kami tak dapat menduga beliau mencampuri urusan busuk ini, karena beliau adalah sahabat baik kami. Terus terang saja, secara diam-diam It-gan Kai-ong malah ikut mengawasi dan melindungi barang sumbangan kami, dari utara ke sini.”

It-gan Kai-ong tertawa lagi terbahak-bahak. “Ho-ho-ho, bukankah jelas sekarang bahwa Beng-kauw memfitnah orang? Siapa tidak mengerti akan akal busuk ini? Ho-ho, bagi orang yang otaknya beku, tentu saja mudah dikelabui dan mengira Beng-kauw merupakan tuan rumah yang paling bersih dan baik. Akan tetapi sebetulnya semua telah diatur! Siapa tidak tahu bahwa kehilangan emas permata sumbangan Kerajaan Sung itu sebetulnya dilakukan oleh orang-orang Beng-kauw sendiri? Semua sudah mendengar tentang peti mati yang berisi mayat orang Beng-kauw sendiri, keributan yang terjadi di rumah pemondokan utusan Hou-han. Dua orang Beng-kauw, kabarnya bernama Su Ban Ki dan Ciu Kang, dibunuh oleh peti mati hidup! Ho-ho-ho, siapa lagi si peti mati hidup kalau bukan si iblis Cui-beng-kui (Iblis Pengejar Roh)? Dan sudah lama dunia kang-ouw menduga bahwa Cui-beng-kui adalah orang Beng-kauw! Kemudian terdengar lagi dua orang pelayan yang melayani utusan Sung berusaha meracuni para tamu dari Sung, juga terbunuh mati oleh Kauw Bian Cinjin sendiri. Apa artinya ini semua? Bukan lain karena semua itu adalah akal busuk orang-orang Beng-kauw sendiri yang diatur oleh Kauw Bian Cinjin!”

Hening di situ setelah mendengar ucapan panjang lebar ini. Hebat, pikir para tamu. Keadaan diputar balik, kalau tadi It-gan Kai-ong dituduh, sekarang si kakek mata satu berbalik menjadi penuduh dan menimpakan semua kesalahan kepada Beng-kauw. Suasana menjadi tegang sekali dan kini semua mata ditujukan kepada Kauw Bian Cinjin untuk mendengar apa yang akan menjadi jawaban wakil ketua Beng-kauw itu.

“It-gan Kai-ong, tidak percuma kau dijuluki seorang di antara Thian-te Liok-koai!” jawab Kauw Bian Cinjin. “Akan tetapi semua omonganmu hanya pemutar-balikan fakta belaka, tanpa dasar dan bukti...”

“Ho-ho-ho, dengar baik-baik, Kauw Bian Cinjin! Kau menuduh yang bukan-bukan kepada para tamu yang jauh-jauh datang untuk menyampaikan hormat. Kalau memang semua ini bukan buatan Beng-kauw sendiri, mengapa semua orang yang bersalah dibunuh? Coba yang mencuri barang sumbangan, yang menaruh racun pada makanan, tidak dibunuh, tentu mereka dapat dipaksa mengaku siapa yang berdiri di balik ini semua! Tapi Cui-beng-kui serta-merta membunuh dua orang murid Beng-kauw, dan kau sendiri membunuh dua orang pelayan. Terang sekali kau memang sengaja mengatur ini untuk mengadu domba para utusan agar negara-negara dan kerajaan-kerajaan saling bermusuhan. Kalau kerajaan-kerajaan lain bermusuhan dan lemah, tentu Beng-kauw akan menjagoi dunia! Siapa tidak tahu akan akal busukmu?”

Para tamu menjadi ribut saling bicara sendiri ketika mendengar ucapan ini, ada yang membenarkan It-gan Kai-ong ada pula yang menentangnya. Agaknya Kauw Bian Cinjin yang pendiam dan tenang itu kalah bicara oleh si raja pengemis.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian sastrawan, bertubuh tinggi tegap bermuka tampan, telah berada di situ dan berkata. “It-gan Kai-ong, di mana-mana kau menimbulkan keributan belaka! Kepada orang lain kau boleh memutar lidah, akan tetapi kepadaku tidak mungkin! Aku sudah mengenal isi perutmu!”

“Suling Emas, kau mau apa? Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Ataukah sekarang pendekar gagah perkasa Suling Emas telah menjadi kaki tangan Beng-kauw pula?” ejek It-gan Kai-ong.

Toat-beng Koai-jin mengeluarkan suara menggereng ketika melihat campur tangannya Suling Emas sambil berkata, “Suling Emas masih ada perhitungan denganku!”

Suling Emas tidak mempedulikan kakek telanjang berpunuk, juga tidak pedulikan ejekan It-gan Kai-ong, melainkan ia memandang ke arah para tamu yang kini sudah memenuhi tempat itu sambil berkata, “Cu-wi sekalian sudah mengenal akan watak jahat iblis ini, maka harap jangan mempercaya ocehannya. Pada hakekatnya, dia diperalat oleh muridnya yang bernama Suma Boan. Siapa tidak mengenal putera pangeran ini di Kerajaan Sung? Suma Boan itulah, dengan bantuan gurunya ini, berusaha menggunakan akal untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan dengan Kerajaan Sung agar Kerajaan Sung menjadi lemah dan dia berkesempatan merebut tahta kerajaan. Siauwte (aku) mempunyai hubungan baik dengan panglima-panglima Sung, tahu benar akan keadaan di sana dan sudah lama aku mengawas-awasi jejak guru dan murid pengkhianat ini....”

“Suling Emas, tutup mulutmu! Kalau kau hendak mencari perkara denganku, tak perlu di sini. Kau ini seorang jantan atau seorang perempuan bawel? Ataukah kau sudah diperalat pula oleh Beng-kauw? Ho-ho, agaknya ada sesuatu rahasia di antara kau dan Beng-kauw! Majulah, jangan kira aku takut terhadapmu!”

“Kau tadi bilang, bukan di sini tempat kita bertanding. Mari kita pilih tempat yang sunyi, jangan di tempat suci ini.”

“Tempat suci? Beng-kauw suci? Ho-ho-ho, siapa tidak tahu akan rahasia Beng-kauw yang kotor?” It-gan Kai-ong yang kini merasa terdesak sengaja hendak merendahkan Beng-kauw agar para tamu lebih percaya kepadanya. “Siapa tidak mendengar akan keganasan mendiang Pat-jiu Sin-ong? Siapa pula tidak mendengar sepak terjang puterinya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian? Ha-ha-ha, setan cilik yang cantik itu, yang menjatuhkan hati banyak laki-laki yang jahat seperti setan berbisa....”

Tiba-tiba semua orang terkejut karena secara mengherankan sekali, dari dalam ruangan itu terdengar suara melengking tinggi, disusul dengan munculnya sebuah peti mati yang berloncat-loncatan, berguling-gulingan secara cepat dan aneh ke tempat itu. Sambil bergerak meloncat-loncat, peti mati ini mengeluarkan bunyi melengking tinggi menyedihkan, namun yang membuat banyak tamu yang kurang tinggi kepandaiannya, roboh lemas di atas tanah. Suara itu seakan-akan menusuk hati mereka dan melumpuhkan kedua kaki, hanya mereka yang sinkang­nya sudah kuat, cepat mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi jantung dan menahan getaran yang melumpuhkan ini.

“Cui-beng-kui... ho-ho-ho, akhirnya kau muncul juga!” It-gan Kai-ong sambil tertawa-tawa girang. “Nah, sekarang yang hadir semua dapat menyaksikan bahwa Beng-kauw adalah tempat sembunyi Cui-beng-kui. Apakah ini bukan menjadi tanda benarnya dugaanku tadi?”

Peti mati itu kini terletak di pekarangan, empat meter jauhnya dari It-gan Kai-ong. Suara melengking berhenti dan diganti suara yang agaknya terdengar dari dunia lain, bergema menyeramkan. “It-gan Kai-ong manusia sombong! Mulut kotormu menyinggung-nyinggung nama wanita yang semulianya di dunia ini, tak mungkin aku mendiamkannya begitu saja. It-gan Kai-ong, hari ini adalah hari kematianmu, bersiaplah!”

It-gan Kai-ong adalah seorang di antara Enam Iblis, tentu saja ia sama sekali tidak gentar menghadapi ucapan ini. Malah ia tertawa terpingkal-pingkal, menotok-notokkan tongkatnya ke tanah, lalu berkata sambil meludah. “Cui-beng-kui, bukan aku yang akan mati, akan tetapi peti matimu kini betul-betul akan terisi mayat. Cuh-cuh-cuh!” Tiga kali ia meludah ke arah peti mati, akan tetapi tiga kali pula ludahnya menyeleweng, tidak mengenai peti mati melainkan mengenai tanah yang berlubang-lubang oleh air ludahnya.

“Krrriiiiittttt!” tutup peti mati terbuka perlahan dari dalam.

Semua tamu, terutama yang muda-muda dan bukan jago kawakan menjadi pucat memandang ke arah peti mati. Juga para jagoan tua yang sudah lama mendengar nama Cui-beng-kui memandang penuh perhatian, hati mereka tegang. Selamanya belum pernah iblis ini keluar dari peti mati, selalu kalau ‘beraksi’ tentu dari peti matinya. Sekarang peti mati terbuka, Cui-beng-kui akan tampak wujudnya, siapa yang tidak akan tegang hatinya. Bahkan para tokoh Beng-kauw sendiri menjadi tegang, memandang penuh perhatian. Munculnya Cui-beng-kui ini tadi saja sudah mengherankan hati para pimpinan Beng-kauw dan juga kaisar sendiri, karena hal ini tidak mereka duga-duga. Selama ini sepak terjang Cui-beng-kui penuh rahasia dan tak ada yang tahu di mana ia bersembunyi.

Tutup peti mati terbuka makin lebar, perlahan-lahan dan mengeluarkan bunyi. Mula-mula tampak sebuah lengan yang kurus dan berkulit putih pucat penuh keriput, dengan kuku-kuku jari tangan yang panjang-panjang. Lengan ini menutup peti, terus menyangga ke atas sehingga tutup itu akhirnya terbuka semua. Semua mata memandang, leher memanjang dan... sesosok tubuh yang tinggi kurus bangkit dari dalam peti mati! Bagi penonton yang kurang kuat hatinya, penglihatan ini akan cukup membuat ia roboh pingsan saking ngeri dan takutnya.

Cui-beng-kui kiranya seorang laki-laki yang kepalanya gundul, mukanya pucat seperti muka mayat, pakaiannya putih hanya merupakan kain putih dibelit-belitkan di tubuh, dari lutut sampai ke leher, kaki dan lengannya telanjang dan kurus sekali seperti tampak tulang-tulangnya membayang di balik kulit keriput dan tipis. Seperti juga kuku-kuku jari tangannya, kuku kakinya juga panjang, runcing melengkung.

Yang menarik adalah sikap Kaisar Nan-cao dan ketua Beng-kauw. Mereka tiba-tiba melompat berdiri, mata terbelalak dan muka berubah.

“Kau... Thai Kun...!” seru Beng-kauwcu Liu Mo, matanya memandang seperti tak percaya.

“Ma-ciangkun (Panglima) Ma...!” Kaisar Nan-cao juga berseru perlahan.

Manusia yang seperti mayat hidup itu hanya memutar tubuh menghadap ke arah kaisar dan ketua Beng-kauw lalu mengangguk sedikit, tak acuh. Sekarang terbukalah rahasia Iblis Pengejar Roh (Cui-beng-kui) ini, dan mengertilah orang-orang Beng-kauw akan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh iblis ini secara mengerikan. Kiranya iblis ini adalah Ma Thai Kun, seorang panglima besar puluhan tahun yang lalu dari Kerajaan Nan-cao, seorang yang memiliki kepandaian tinggi karena masih terhitung adik seperguruan sendiri dari Pat-jiu Sin-ong dan Beng-kauwcu Liu Mo!

Panglima she Ma ini dahulu menjadi jagoan istana Nan-cao dan ia adalah seorang di antara banyak pria yang tergila-gila kepada Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, puteri dari suheng-nya sendiri. Setelah Liu Lu Sian memilih Kam Si Ek Jenderal Kerajaan Hou-han, maka panglima ini lalu menghilang dan tak seorang pun tahu di mana ia berada. Siapa nyana sekarang panglima itu muncul kembali dalam keadaan yang begitu mengerikan, dan kiranya Cui-beng-kui, seorang di antara Enam Iblis itu adalah bekas panglima ini.

Kauw Bian Cinjin yang mengepalai penyelidikannya dan tentu saja tahu pula akan kematian Su Ban Ki dan Ciu Kang, kematian yang aneh karena dilakukan oleh peti mati hidup yang ia duga tentulah Cui-beng-kui, baru sekarang mengerti mengapa Cui-beng-kui mencampuri urusan ini. Diam-diam ia bersyukur bahwa biar pun Ma Thai Kun kini sudah berubah menjadi iblis, namun agaknya masih memiliki kesetiaan terhadap Nan-cao sehingga turun tangan membunuh dua orang pengkhianat itu.

“Ma-suheng, biarkan siauwte menghadapi iblis jembel ini!” seru Kauw Bian Cinjin.

Ia terhitung adik seperguruan Cui-beng-kui. Mereka adalah empat orang saudara seperguruan. Yang pertama adalah mendiang Liu Gan, kedua ketua Beng-kauw sekarang, Liu Mo yang masih adik kandung Liu Gan, ketiga adalah Ma Thai Kun dan keempat Kauw Bian Cin­jin. Kauw Bian Cinjin bersama Liu Mo telah memperdalam ilmunya sehingga jauh melampaui dua tiga puluh tahun yang lalu, maka kini Kauw Bian Cinjin meragukan apakah suheng-nya yang puluhan tahun menghilang itu akan mampu menandingi It-gan Kai-ong yang ia tahu amat sakti. Ia sendiri pun masih ragu-ragu apakah ia akan menang, akan tetapi kalau Ma Thai Kun kepandaiannya masih seperti dua puluh lima tahun yang lalu, tentu jauh di bawah tingkatnya.

“Mundurlah!” Cui-beng-kui mendengus, dan dengan langkah-langkah kaku ia menghampiri It-gan Kai-ong. “Siapa menghina dia harus mati di tanganku!”

It-gan Kai-ong tertawa bergelak, “Ho­ho-ho-heh-heh, makin terbukti sekarang betapa bobroknya moral orang-orang Beng-kauw! Cui-beng-kui, kau disebut suheng oleh Kauw Bian Cinjin, berarti kau juga sute dari mendiang Pat-jiu Sin-ong dan kau terhitung paman guru Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian. Akan tetapi agaknya kau pun tergila-gila kepada murid keponakan yang jelita itu, ha-ha-ha!”

“Majulah jembel busuk. Hendak kubuktikan apakah kau patut menerima julukan sejajar dengan aku!” kata mayat hidup itu.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara bentakan nyaring sekali, bentakan seorang gadis yang melompat keluar dari dalam ruangan sembahyang, sebatang pedang bersinar kuning telanjang di tangannya. “Cui-beng-kui, kau pembunuh ayah, terimalah pembalasanku!” Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet yang amat lincah, Lin Lin melompati kepala banyak tamu, langsung menyerbu ke tengah lapangan menghadapi Cui-beng-kui. Gadis ini kelihatan marah sekali, sepasang matanya berkilat-kilat, kedua pipinya merah, bibirnya cemberut, pedang di tangan kanannya menggetar.

“Kau siapa? Jangan kira setelah kau dibebaskan, kau boleh bicara sesukamu. Siapa ayahmu?”

“Iblis busuk, setahun lebih kucari-cari kau, setan peti mati bersuling! Hayo katakan, bukankah kau pembunuh ayahku Kam Si Ek bersama isterinya dan seorang tamunya setahun yang lalu di Ting-chun?”

“Ho-ho, heh-heh, kiranya kau sudah membunuh sainganmu, Jenderal Kam Si Ek yang berhasil merenggut Tok-siauw-kwi dari tanganmu?” It-gan Kai-ong terkekeh-kekeh sambil mundur. “Hendak kulihat bagaimana kau akan dapat membereskan setan cilik ini, Cui-beng-kui. Aku menanti giliran!”

Muka yang pucat dan tak pernah bergerak kulitnya itu kini sepenuhnya menghadapi Lin Lin, membuat gadis itu merasa ngeri juga. Ia teringat akan pengalamannya di dalam ruangan peti mati yang menyeramkan. Seperti telah kita ketahui, ketika Lin Lin memasuki ruangan peti mati melalui terowongan rahasia, ia melihat peti mati yang mendadak dapat ‘hidup’ sehingga ia roboh pingsan, lalu ia telah dimasukkan ke dalam sebuah peti mati kosong oleh Cui-beng-kui!

Untung tidak lama Lin Lin pingsan di dalam peti mati. Ia siuman beberapa menit kemudian dan dapat dibayangkan betapa bingungnya ketika ia mendapatkan dirinya berada di tempat yang gelap gulita sehingga matanya seakan-akan buta. Melihat jari tangan sendiri pun tidak tampak! Ia meraba-raba dan teringatlah ia akan pengalamannya tadi. Hatinya berdebar. Iblis dalam peti mati itu! Sekarang ia pun berada di dalam peti mati. Tahulah ia bahwa ia telah ditawan oleh iblis tadi dan dimasukkan peti mati.

Dengan menabahkan hatinya, Lin Lin mendorong penutup peti itu terbuka. Ia melihat sinar terang, akan tetapi hampir saja ia jatuh pingsan kembali ketika melihat seorang laki-laki gundul, sebetulnya tak patut disebut orang laki-laki, melainkan lebih pantas disebut mayat hidup, berdiri terbungkuk di dekat peti di mana ia rebah. Muka itu pucat tak berdarah dan seperti kedok. Muka mayat! Kedua ujung bibir tertarik ke bawah, hidungnya panjang bengkok ke bawah.....

Akan tetapi Lin Lin teringat bahwa iblis ini adalah pembunuh ayah ibu angkatnya. Tidak salah lagi kali ini. Mendiang ibu angkatnya sebelum menghembuskan napas terakhir menyebut-nyebut tentang iblis dalam peti mati yang mengeluarkan suara seperti suling. Ingatan ini sekaligus mengusir semua rasa takut dan ngeri.

“Iblis jahat, kau pembunuh ayah ibuku...!” teriaknya dan Lin Lin bergerak hendak melompat ke luar dari dalam peti.

Akan tetapi iblis itu menggerakkan kedua tangan, menekan pundak Lin Lin dan gadis ini seketika tak dapat menggerakkan lagi kaki tangannya yang seakan-akan menjadi lumpuh.

“Hemmm, bagus sekali. Kau puteri mereka? Kebetulan sekali, kau cantik dan muda. Kau harus menebus hutang ayahmu, kau harus mengawani aku di sini, menghiburku, sampai kau atau aku mampus...,” suara iblis itu berbisik-bisik, mendesis-desis mengerikan dan kini mukanya makin mendekati muka Lin Lin, tangan yang tadinya menekan pundak kini bergerak ke arah leher dan dada.

Saking ngeri dan takutnya, Lin Lin menjerit keras. Suara jeritannya terdengar gemanya dari jauh, agaknya melalui lorong rahasia yang gelap itu. Akan tetapi hanya satu kali Lin Lin dapat menjerit karena di lain detik ibils itu sudah menotoknya, membuat ia selain tak mampu meronta, juga tak dapat mengeluarkan suara lagi. Dalam keadaan setengah pingsan Lin Lin merasa betapa dua buah lengan yang keras karena hanya tulang terbungkus kulit, yang dingin menjijikkan, akan tetapi amat kuat, memondongnya ke luar dari dalam peti.

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Lin Lin itu, tiba-tiba menyambar hawa dingin yang membawa datang bau semerbak harum mewangi, kemudian terdengar suara yang sama dinginnya. “Ma-susiok (Paman Guru Ma), kau hendak berbuat apa?”

Iblis itu yang tadinya sudah melangkah dua tindak, mendadak berhenti, memutar tubuhnya, dan memandang kepada seorang wanita rambut panjang riap-riapan yang tahu-tahu sudah berada di depannya. Wanita yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi yang wajahnya masih cantik jelita, terutama sepasang matanya yang seperti mata burung hong. Rambutnya hitam panjang sekali tidak disanggul, pakaiannya serba hitam sehingga tangan dan lehernya yang tak tertutup kelihatan makin putih.

Sejenak iblis itu tertegun, kemudian tubuhnya menggigil dan kedua tangannya gemetar sehingga tubuh Lin Lin terlepas dari pondongannya, membuat gadis ini jatuh dan bergulingan. Lin Lin terguling agak jauh, akan tetapi mukanya menghadap ke atas sehingga ia dapat menyaksikan pertemuan dua orang aneh itu.

“... Lu... Lu Sian...!” dengan sukar sekali akhirnya iblis itu mengeluarkan suara.

Jantung Lin Lin berdebar keras mendengar disebutnya nama ini dan ia makin memperhatikan wanita itu. Cantik memang, biar pun sudah tua, masih cantik jelita. Lebih cantik dari pada ibu angkatnya, ibu Sian Eng dan Bu Sin. Inikah isteri pertama ayah angkatnya? Inikah ibu sekandung dari Kam Bu Song, kakaknya yang lenyap? Inikah, menurut penuturan bibi gurunya Kui Lan Nikouw, wanita puteri ketua Beng-kauw yang berjuluk Tok-siauw-kwi?

“Hemmm, Ma-susiok, dengan perbuatanmu ini, apakah kau masih ada muka untuk tetap mengaku bahwa kau mencintaiku sampai kau mati? Huh, katanya kau pun sama saja dengan laki-laki lain, berhati palsu, pandai pura-pura, mengobral sumpah!”

“Tidak... tidak... Lu Sian, aku... bertahun-tahun aku menyiksa diri, aku menantimu... aku bersetia padamu... Lu Sian, apakah kedatanganmu ini menjadi tanda tiba saatnya aku mengecap kebahagiaanku, melewatkan hidup yang tak berapa lama lagi ini? Apakah timbul rasa iba di hatimu dan meyakinkan kau bahwa cintaku padamu murni?”

“Huh, tak perlu bermanis bibir, Susiok. Mau kau apakan gadis itu tadi?”

“Eh... aku... terus-terang saja... karena tak tertahankan lagi kesunyian ini... melihat gadis itu tadi... hampir saja... tapi untung kau segera datang, Lu Sian. Terima kasih! Setelah kau di sini, apa artinya gadis ini bagiku? Biar seribu orang bidadari turun, aku tidak pedulikan mereka asal kau....”

“Sudahlah, tak perlu banyak membujuk rayu. Kita bukan orang-orang muda belia. Susiok, di luar terjadi keributan. It-gan Kai-ong mengacau, kalau kau tidak memperlihatkan jasa terhadap Beng-kauw, mana aku percaya bahwa kau betul mencintaiku?”

“Lu Sian, aku tahu, selama ini kepandaianmu sudah hebat sekali, jauh melampaui kemampuanku. Mengapa kau tidak membasmi mereka yang mengacau? Aku... aku malu bertemu dengan orang-orang....”

“Hemmm, tentang permintaanmu mengawani kau di sini, baru akan kupertimbangkan kalau kau mau membuat jasa. Kalau tidak, jangan harap! Malah aku akan mengusir kau dari tempat ini!”

Terdengar iblis itu mengeluh dan diam-diam Lin Lin merasa kasihan sekali. Gadis muda ini telah menyaksikan adegan yang amat mengharukan, adegan tentang cinta kasih yang demikian mendalam. Heran ia mengapa iblis itu biar pun sudah tua, tetap tidak melupakan kasihnya yang demikian mendalam. Dan ia merasa terharu dan kasihan melihat iblis yang hampir saja mencelakakannya itu mengeluh dan melangkah perlahan-lahan ke tempatnya, yaitu peti matinya yang terbuka lebar.

Namun hanya sebentar saja rasa kasihan ini, karena segera ia teringat bahwa iblis itu adalah pembunuh ayah bundanya yang selama ini dicari-carinya. Pembunuh kejam yang harus ia balas, apa lagi tadi telah menghinanya dan hampir saja mencelakainya.

Iblis yang bukan lain adalah Ma Thai Kun, bekas Panglima Nan-cao dan yang sekarang terkenal dengan julukan Cui-beng-kui ini, dengan suara keluhan yang kemudian melengking seperti suara suling memasuki peti matinya, kemudian peti mati itu bergerak-gerak ke arah dinding. Tangannya terjulur keluar peti, menekan di ujung bawah kiri dinding itu dan terdengarlah suara berkerit yang disusul dengan terbukanya sebuah lubang pada dinding itu, lubang bundar dengan garis tengah satu meter.

“Lu Sian, aku mentaati permintaanmu...,” terdengar suara dari dalam peti yang meluncur cepat keluar melalui lubang itu. Lubang rahasia itu segera tertutup kembali dengan sendirinya.

Wanita berambut panjang itu menarik napas panjang, kemudian ia memandang Lin Lin. Tiba-tiba tangannya bergerak dan seketika Lin Lin terbebas dari totokan. Ia cepat meloncat bangun, menyambar pedangnya yang menggeletak di dekat peti mati yang tadi menjadi ‘tempat tidurnya’.

“Bibi, terima kasih atas pertolongan Bibi...,” Lin Lin berkata dengan suara perlahan, karena ia masih ragu-ragu bagaimana ia harus menyebut wanita ini. Kam Si Ek adalah ayah angkatnya. Kalau wanita ini isteri Kam Si Ek, berarti juga ibu angkatnya. Akan tetapi ia tidak berani menyebut ibu, maka lalu menyebut saja bibi.

“Kau anak Kam Si Ek? Ibumu Bwe Hwa?”

“Bukan, Bibi. Kam Si Ek adalah ayah angkatku. Bersama dua orang saudara angkat, aku pergi mencari Kakak Kam Bu Song. Bukankah Bibi ini ibu Kakak Kam Bu Song...?”

Akan tetapi wanita itu tidak menjawab, kelihatan termenung. Tiba-tiba ia bertanya. “Bukankah cintanya amat besar kepadaku? Biar pun sudah menjadi mayat hidup, ia masih mencintaku. Cinta yang murni....” Ia menarik napas lagi.

“Cinta bernoda darah!” Lin Lin berkata suaranya berubah dingin.

“Apa kau bilang...?” Wanita itu agaknya heran.

“Cintanya bernoda darah! Ia telah membunuh ayah dan ibu angkatku!”

“Hemmm, bocah, kau tahu apa? Itu karena cemburu yang ditahan-tahan di samping cinta kasihnya yang mendalam. Mana ada cinta tanpa cemburu? Ia tidak mengganggu selembar rambut Kam Si Ek selama masih menjadi suamiku, selama masih mencintaku. Akan tetapi setelah mendengar Kam Si Ek berpisah dariku, malah mengawini seorang wanita lain, nah, timbullah dendamnya dan dibunuhnya mereka.”

“Betapa pun juga, dia musuh besarku, harus kubalas dendam ini!”

Wanita itu mengeluarkan suara ketawa halus. “Kau...? Membalas padanya? Hik-hik, lucu sekali. Sesukamulah!” Tiba-tiba saja wanita rambut panjang itu berkelebat dan lenyap dari depan Lin Lin, meninggalkan bau harum yang menyengat hidung.

Lin Lin tidak mempedulikan hal itu lagi, ia cepat menghampiri dinding dan mencari alat rahasianya. Baiknya ia tadi melihat tangan Cui-beng-kui menekan ujung kiri bawah dinding, maka sekarang ia dapat melihat sebuah benda bundar sebesar ibu jari kaki terpasang di sudut itu. Cepat benda ini didorongnya sambil mengerahkan tenaga dan... terdengarlah suara berkerit seperti tadi dan dinding itu berlubang.

Lin Lin menerobos masuk dengan pedang di depan dada, siap menghadapi segala ancaman dari depan. Kiranya lubang itu merupakan lorong sempit. Ia merangkak terus dan setelah lewat dua puluh meter, ia melompat keluar dari terowongan ini ke dalam sebuah ruangan di mana terdapat sebuah pintu besar yang menembus ke ruangan sembahyang!

Demikianlah, pada saat Cui-beng-kui sedang berbantah dengan It-gan Kai-ong, secara tiba-tiba Lin Lin muncul dan serta merta gadis ini menghadapi Cui-beng-kui dan memaki-makinya sebagai pembunuh ayah ibu angkatnya. Cui-beng-kui adalah seorang iblis yang berkepandaian tinggi. Selain terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis juga ia bekas panglima tertinggi Kerajaan Nan-cao.

Tentu saja ia menjadi marah sekali ketika seorang gadis remaja berani memaki-makinya di depan orang banyak, apa lagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis ini adalah gadis yang membuat ia tadi kesalahan terhadap kekasihnya, Liu Lu Sian. “Betul aku yang membunuh jahanam Kam Si Ek dan isterinya. Kau mau apa? Bocah lancang, kau punya kepandaian apa berani berlagak di depanku?”

“Cui-beng-kui! Biar akan melayang nyawaku, aku pertaruhkan untuk membalas kematian ayah ibu angkatku!” bentak Lin Lin dan pedangnya menyambar.

“Cringgg!”

Lin Lin terhuyung ke belakang dan matanya memandang terbelalak. Kalau ia tidak mengalami sendiri, mana ia dapat percaya? Pedangnya yang menyambar leher tadi telah ditangkis oleh kuku-kuku jari tangan mayat hidup itu! Betapa mungkin kuku jari dapat membuat pedangnya terpental dan ia terhuyung?

“Lin-moi, jangan lepaskan dia!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis lain berkelebat ke dalam kalangan pertempuran dengan pedang di tangan.

“Enci Eng, hati-hati, dia lihai sekali!” Lin Lin girang melihat Sian Eng muncul dan membantunya, akan tetapi juga khawatir akan keselamatan Sian Eng karena ia maklum bahwa kepandaian enci-nya itu masih jauh terlalu rendah untuk ikut menghadapi iblis yang sakti ini.

“Eng-moi! Lin-moi! Jangan takut, aku datang!” Bu Sin melompat dengan pedang di tangan pula. Pemuda ini sejak munculnya Lin Lin tadi, sudah ingin sekali membantu adiknya, akan tetapi Liu Hwee memegang lengannya dan mencegahnya sambil mengatakan bahwa Cui-beng-kui bukanlah lawannya. Akan tetapi melihat kedua orang adiknya sudah berada di sana menghadapi pembunuh orang tuanya, tentu saja Bu Sin tak dapat tinggal diam lagi. Ia memaksa diri dan meloncat ke kalangan pertempuran menemani kedua orang adiknya.

“Heh, bagus sekali! Kalian ini anak-anak Kam Si Ek si keparat? Mari kuantar kalian menyusul orang tuamu!” Setelah berkata demikian, Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking nyaring tinggi seperti suara suling, disusul tubuhnya yang bergerak ke depan dengan kedua lengan menampar ke arah Bu Sin bertiga.

Pukulan ini mengandung hawa pukulan jarak jauh yang dahsyat sampai terdengar angin bersiutan menyambar-nyambar. Bu Sin cepat mengerahkan sinkang-nya namun ia tetap terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang. Lin Lin cepat mengerahkan Khong-in-ban-kin dan berhasil mengelak. Akan tetapi Sian Eng biar pun sudah mengerahkan sinkang, tetap saja ia terguling roboh!

“Keparat, rasakan pedangku!” Lin Lin yang berhasil mengelak tadi kini cepat menggerak-gerakkan pedang menerjang sambil mainkan ilmunya Khong-in-liu-san. Pedangnya menjadi segulung sinar bundar yang cemerlang, bagaikan bola api melayang ke arah Cui-beng-kui.

“Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus!” Cui-beng-kui memuji.

Pujian ini sudah membuktikan bahwa ilmu yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin itu memang bukan ilmu rendah. Sayang bagi Lin Lin bahwa ia kurang matang dalam latihan dan tentu saja, dibandingkan dengan Cui-beng-kui, ia kalah beberapa tingkat. Ketika pedangnya menyambar leher, kembali kuku jari tangan iblis itu menangkis pedang dan sekaligus tangan kanan yang berkuku runcing itu mencengkeram ke arah perutnya!

Lin Lin terkejut bukan main. Pedangnya yang tertahan kuku itu seakan-akan menempel. Ia tidak dapat menangkis, juga tidak dapat mengelak, sedangkan jari-jari tangan kanan yang berkuku runcing mengerikan itu mengancam perutnya yang tak terlindungi lagi! Pada saat itu, dalam keadaan terancam bahaya maut, Lin Lin menoleh ke arah Suling Emas, mengharapkan bantuan pendekar sakti ini. Ia melihat Suling Emas menggerakkan tangan kanan dan... Cui-beng-kui meloncat mundur dua langkah, terpaksa melepaskan Lin Lin yang juga cepat membanting diri ke belakang dan bergulingan.

“Keparat, siapa main gila...?!” Cui-beng-kui mendengus marah, memandang ke arah kiri dari mana datangnya batu kecil yang demikian kuat melayang dan mengancam urat nadi pergelangan tangannya tadi.

Akan tetapi pada saat itu telah berloncatan masuk enam orang Khitan yang langsung menyerbunya dengan senjata di tangan. Seorang di antara mereka berseru. “Keparat, berani kau menyerang Tuan Puteri kami yang mulia?”

Cui-beng-kui tercengang, akan tetapi juga timbul kemarahannya. Golok dan pedang yang menerjangnya bagaikan hujan itu ia sambut dengan kedua tangannya.

“Trang-tring-trang-tring...!” terdengar bunyi nyaring ketika senjata-senjata tajam itu beterbangan, kemudian disusul teriakan mengerikan ketika Cui-beng-kui berhasil mencengkeram tubuh dua orang Khitan.

Terdengar suara mengerikan dari daging robek dan dua orang ini roboh mandi darah, dada dan perut mereka robek, isinya berantakan keluar semua! Biar pun senjata mereka sudah terpental, menyaksikan dua orang kawannya tewas, empat orang Khitan yang lain dengan nekat menyerbu. Orang-orang Khitan terkenal gagah berani dan setia kawan, hal yang membuat suku bangsa ini menjadi kuat.

Enam orang yang menyerbu Cui-beng-kui ini adalah enam orang di antara dua puluh empat orang pengikut Pak-sin-tung yang terbagi menjadi empat kelompok, masing-masing terdiri dari enam orang. Sekelompok sudah tewas semua ketika membela Pak-sin-tung, kini kelompok kedua membela Lin Lin. Akan tetapi mereka pun sama sekali bukan tandingan Cui-beng-kui. Berturut-turut terdengar suara mengerikan dan empat orang Khitan yang mengeroyok iblis itu roboh pula dengan isi perut berantakan.

Mendadak dua belas orang Khitan yang lain datang menyerbu, akan tetapi bukan untuk menyerang Cui-beng-kui. Mereka mengeluarkan suara teriakan-teriakan aneh, berlari ke sana ke mari seperti orang melakukan tarian yang membingungkan. Teriakan-teriakan mereka seperti orang-orang menangis, melolong panjang dan tubuh mereka berloncat-loncatan mengitari sekeliling tempat itu.

Cui-beng-kui sendiri dan para tamu merasa terheran-heran karena belum pernah mereka menyaksikan ‘upacara’ macam ini. Tiba-tiba dua belas orang Khitan yang tadinya bersimpang-siur tanpa pernah saling bertabrakan itu, berubah menjadi barisan memanjang dan lari ke luar dari tempat itu sambil berteriak-teriak pula. Setelah mereka pergi, barulah semua orang terheran-heran, karena kepergian mereka ternyata tanpa disangka-sangka, telah membawa pergi pula mayat enam orang Khitan tadi, termasuk Lin Lin!

Mula-mula tidak ada yang menyangka bahwa gadis itu pun ikut pergi, karena dalam keadaan kacau-balau itu tidak terlihat Lin Lin ikut pergi. Akan tetapi ketika Bu Sin dan Sian Eng mencari adik mereka ini, ternyata Lin Lin tidak berada di situ dan barulah mereka menduga bahwa tentu Lin Lin ikut pergi dengan rombongan orang Khitan itu sebagai tuan puteri mereka! Selagi mereka kebingungan dan hendak nekat menerjang Cui-beng-kui pembunuh orang tua mereka, tiba-tiba Suling Emas sudah berada di belakang mereka dan berkata perlahan.

“Bu Sin, Sian Eng, mundurlah. Dia bukan lawanmu.”

“Twako, dia... dia pembunuh ayah ibu...!” Bu Sin membantah.

Sian Eng terharu mendengar kakaknya menyebut ‘twako’ kepada Suling Emas. Kini semua keraguannya lenyap. Jelas bahwa Suling Emas adalah kakaknya, Kam Bu Song yang selama ini mereka cari-cari, dan Bu Sin sudah mengetahuinya pula. Dengan terharu dan air mata berlinang ia memegang lengan Suling Emas, berkata perlahan. “Kau... kau Kakak Bu Song?”

Suling Emas tunduk memandang wajah cantik itu, lalu merangkul pundaknya dan mengelus rambut kepalanya. “Sian Eng, adikku, apakah baru sekarang kau tahu? Kalian berdua jangan melawannya, dia amat lihai, bukan lawan kalian.”

“Song-koko, kau majulah, balaskan kematian ayah kita...!” Sian Eng berkata.

Suling Emas tersenyum duka, lalu menggerakkan mukanya memandang ke arah depan. “Tenanglah dan lihat, dia bertemu tanding.”

Ketika mereka memandang, kiranya sambil tertawa-tawa It-gan Kai-ong sudah maju lagi berhadapan dengan Cui-beng-kui. Di belakangnya sekarang berdiri Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong!

“Hemmm, jembel busuk. Apakah kau hendak mengeroyok? Aku tidak takut, biar dua orang liar ini maju membantumu!” kata Cui-bengkui, nadanya mengejek.

“Ho-ho-heh-heh, aku tidak marah lagi padamu, Cui-beng-kui! Cara kau membereskan lawan-lawanmu benar-benar menyenangkan, cocok sekali kau menjadi seorang di antara Enam Iblis! Tak boleh kita saling basmi. Enam iblis harus tetap utuh. Tentang penentuan siapa paling unggul, nanti bulan lima malam kelima belas kita main-main di puncak Thai-san, Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia) akan bertemu dan saling menguji kepandaian di sana.”

“Hemmm, kau masih berani memaki Liu Lu Sian?”

“Ho-ho-ho, aku tidak memakinya lagi. Musuhmu bukan aku, melainkan keluarga she Kam. Kita Thian-te Liok-koai semua memusuhi Kerajaan Sung yang sombong. Sayang hanya Nan-cao yang tidak mau tahu, terlalu tenggelam dalam keangkuhan sendiri. Tanpa persatuan kerajaan-kerajaan kecil, mana dapat melawan? Mereka yang keenakan tenggelam, tentu kelak akan tahu rasa kalau Kerajaan Sung sudah menyerbu dan merampas kerajaan-kerajaannya. Cui-beng-kui orang Nan-cao, Siang-mou Sin-ni orang Hou-han, Hek-giam-lo orang Khitan, aku sendiri dari Wu-yueh, sedangkan Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dari pulau kosong di Lam-hai. Kenapa kita saling bertentangan? Lebih baik Thian-te Liok-koai bersatu untuk menumbangkan pemerintah Sung. Hal ini selain akan mengangkat tinggi-tinggi nama Thian-te Liok-koai, juga akan membebaskan kerajaan-kerajaan kecil dari pada ancaman Sung Utara!”

Ucapan It-gan Kai-ong ini bergema di tengah-tengah kesunyian para tamu yang mendengarnya. Kata-kata itu agaknya termakan betul di hati mereka. Hanya utusan Kerajaan Sung yang menjadi pucat lalu merah mukanya, tanda bahwa mereka terkejut dan marah. Selama ini, mereka menganggap It-gan Kai-ong se­bagai tokoh sakti yang tidak memusuhi Sung, karena semua tahu belaka bahwa kakek ini adalah guru dari Suma Boan, seorang putera Pangeran Sung. Siapa kira di tempat ini, disaksikan oleh para utusan dari semua pelosok, kakek pengemis ini mengeluarkan kata-kata seperti itu!

Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu disambung berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Sukar diikuti pandang mata gerakan ini dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita berambut panjang, cantik jelita, rambutnya riap-riapan. Siapa lagi kalau bukan Siang-mou Sin-ni! Dari rambutnya yang panjang terurai ini tersebar bau harum semerbak.

“Aku setuju dengan ucapan It-gan Kai-ong! Hi-hik, baru kali ini selamanya aku cocok dengan pendapat kakek jembel busuk ini! Kerajaan Hou-han selalu menyambut setiap uluran menghadapi Sung!”

Makin tegang keadaan di situ, terutama di antara para utusan Sung. Mereka ini diam-diam memperhatikan wajah para tamu, dan tentu saja mereka mengharapkan agar tidak banyak yang menyetujui ucapan permusuhan yang dicetuskan oleh It-gan Kai-ong terhadap Sung itu.

“Ho-ho-heh-heh! Bagus sekali, dewi cantik Siang-mou Sin-ni juga telah setuju! Nah, Cui-beng-kui, mau tunggu apa lagi kau? Di antara Thian-te Liok-koai, sudah ada empat tokoh yang setuju. Aku yakin yang kelima, yaitu Hek-giam-lo, tentu akan setuju pula. Orang-orang Khitan selamanya tidak menaruh hati suka terhadap Sung Utara!”

Hati Ouwyang Swan, Panglima Sung yang menjadi utusan kerajaannya, makin gelisah. Bukan gelisah karena nasib dia dan rombongannya, melainkan sebagai seorang panglima dan patriot sejati, ia gelisah akan nasib negaranya. Kalau cetusan permusuhan terhadap Sung ini berhasil, negaranya akan dikeroyok dari segenap penjuru. Ia tahu bahwa kalau Enam Iblis itu membantu pihak lawan, akan berbahaya sekali. Otomatis pandang matanya mencari-cari Suling Emas. Ia tahu bahwa pendekar sakti ini amat baik hubungannya dengan Kerajaan Sung.

“It-gan Kai-ong, jangan membuka mulut kotor di sini!” tiba-tiba Suling Emas berkata dengan suara nyaring. “Nan-cao dengan Beng-kauw mengadakan peringatan dan mengundang semua tamu tanpa memandang perbedaan, tidak nanti para pimpinan Beng-kauw yang bijaksana mendengar ocehanmu yang berbisa!”

Kemudian pendekar ini menghadapi Cui-beng-kui dan dengan suara hormat ia berkata, “Locianpwe, harap jangan mendengarkan obrolan mulut berbisa It-gan Kai-ong. Semua itu adalah rencana jembel busuk itu dengan muridnya, Suma Boan yang mempunyai rencana memukul Kerajaan Sung dari dalam dan merampas kekuasaan. Hanya orang-orang bodoh saja yang dapat diperalat oleh It-gan Kai-ong dengan rencana busuknya. Locianpwe sebagai bekas panglima ketua dapat memaklumi rencana busuk seperti itu.”

Hening sejenak mengikuti ucapan Suling Emas yang lantang ini. Kemudian terdengar It-gan Kai-ong terkekeh. “Ho-ho-heh-heh, Cui-beng-kui tokoh besar Thian-te Liok-koai, mana bisa dibujuk seorang bocah dengan lidah tak bertulang? Cui-beng-kui, kau tentu tahu siapa dia? Dialah yang disebut Suling Emas, bocah sombong yang mengandalkan kepandaian beberapa ilmu yang diwarisinya dari Kim-mo Tai-su. Tapi, kau tentu tidak menduga bahwa dia ini sebetulnya bernama Kam Bu Song, keturunan satu-satunya dari bekas kekasihmu Liu Lu Sian dan Kam Si Ek. Heh-heh, dia ini anak musuh besarmu, dialah buah dari pada percintaan antara kekasihmu dan jenderal itu.”

Mendadak Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking tinggi dan serta-merta ia menubruk Suling Emas dengan serangan maut dari kuku-kuku jari tangannya! Suling Emas sendiri kaget setengah mati mendengar betapa It-gan Kai-ong membuka rahasianya. Ia tidak tahu bahwa kakek itu mendengar rahasia ini dari Suma Boan yang bersama Sian Eng telah dapat mengetahui rahasia Suling Emas. Kini hal itu dijadikan senjata oleh It-gan Kai-ong untuk membakar hati Cui-beng-kui dan berhasillah usahanya. Cui-beng-kui yang merasa amat sakit hati terhadap mendiang Kam Si Ek yang merampas kekasihnya, kini marah sekali mendengar bahwa Suling Emas adalah anak jenderal itu bersama kekasihnya, Liu Lu Sian.

Namun Suling Emas bukanlah seorang lemah. Jauh dari pada itu, ia malah seorang sakti yang memiliki ilmu tinggi, menghadapi serangan mendadak yang amat dahsyat itu ia berlaku tenang. Cepat kakinya menendang bumi dan tubuhnya melayang ke belakang menghindari terjangan hebat.

“Locianpwe, sabarlah. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Pertama karena....” Terpaksa ia menghentikan kata-katanya karena pada saat itu Cui-beng-kui sudah menubruk dengan tangan kanan memukul ke arah dada sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala! Hebatnya bukan kepalang serangan ini, apa lagi dibarengi bentakan yang demikian nyaringnya sehingga banyak tamu yang kurang kuat roboh lemas!

Suling Emas terkejut. Ia sendiri merasa betapa jantungnya tergetar oleh bentakan ini dan maklumlah ia bahwa mungkin selama puluhan tahun bersembunyi di dalam peti mati telah mendatangkan semacam tenaga gaib yang amat mukjijat dalam bentakan mayat hidup itu. Ia maklum bahwa kalau ia mengadu tenaga menangkis, tenaga sinkang-nya akan berkurang oleh suara bentakan yang melengking tinggi mengerikan itu. Kembali ia meloncat ke samping menghindarkan diri sambil mencabut sulingnya.

Begitu ia menggerakkan sulingnya, terdengarlah suara melengking kedua yang jauh bedanya. Kalau suara melengking yang keluar dari kerongkongan Cui-beng-kui terdengar kasar seakan-akan hendak mencopot jantung memecahkan anak telinga, adalah lengking yang keluar dari suling Suling Emas terdengar lemah gemulai, halus lembut dan merdu, namun juga mengandung tenaga mukjijat yang seakan-akan mencopoti semua urat syaraf dalam tubuh. Kembali banyak tamu terguling roboh, merintih-rintih, merasa seluruh tubuh seperti ditusuk-tusuk jarum.

“... karena kau adalah tokoh Nan-cao,” suara Suling Emas terdengar jelas mengatasi dua suara melengking. “Kedua, karena kesetiaanmu terhadap ibuku sehingga kau rela hidup menderita....”

Kembali ia menghentikan kata-katanya karena serangan Cui-beng-kui makin dahsyat. Gerakan kedua lengan tangan Ciu-beng-kui merupakan lingkaran-lingkaran yang mematikan semua jalan ke luar, tak mungkin kali ini Suling Emas mengelak lagi. Terpaksa pendekar sakti ini mengerahkan tenaga, menangkis dengan sulingnya sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka didorongkan ke depan menyambut pukulan tangan kanan lawan.

Lengking suara Cui-beng-kui berubah menjadi pekik kemarahan dan kesakitan ketika tangan kirinya terpukul suling dari samping. Agaknya ia merasa sakit, maka dengan kemarahan besar ia memusatkan tenaganya pada tangan kanan yang disambut tangan kiri Suling Emas.

“Desssss...!” telapak tangan Suling Emas bertemu dengan tangan Cui-beng-kui.

Pertemuan dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan ini akibatnya luar biasa. Sejenak keduanya seakan-akan tertahan dan tangan mereka saling tempel melekat, akan tetapi beberapa detik kemudian, keduanya terhuyung ke belakang. Suling Emas tak dapat menahan dirinya, terjungkal dengan muka pucat, sedangkan Cui-beng-kui terhuyung-huyung dan berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya menggigil.

Bu Sin dan Sian Eng cepat menghampiri kakak mereka itu, membantunya bangun. Suling Emas meramkan mata sebentar, kemudian tersenyum, membuka mata dan menggoyang-goyangkan kepalanya. “Mundurlah kalian... aku tidak apa-apa...,” katanya, siap untuk menghadapi Cui-beng-kui yang ganas.

Dengan wajah penuh kekhawatiran, Bu Sin dan Sian Eng mundur. Suling Emas sudah berdiri dan kini dia merasa penasaran. Mayat hidup itu tidak tahu diri, pikirnya. Tidak tahu bahwa ia sebagai orang muda sudah mengalah banyak. Ia berlaku sungkan karena mengingat akan ibunya, ingat bahwa orang ini adalah seorang yang sengsara hidupnya karena cinta kasihnya terhadap ibunya. Inilah sebabnya mengapa ia masih berlaku sabar sungguh pun ia tahu bahwa orang ini adalah pembunuh ayahnya.

Ia sudah banyak mengalah. Siapa kira, Cui-beng-kui malah menggunakan kesempatan selagi ia mengalah itu untuk mencelakainya, dengan melontarkan pukulan tadi. Ia dapat menduga, itulah pukulan maut yang kata orang disebut Cui-beng-ciang (Pukulan Pengejar Roh), yang selalu menjadi buah percakapan para tokoh tingkat tinggi dengan hati kagum karena selama ini belum pernah ada yang sanggup mengatasi pukulan maut itu! Dengan pukulan ini pula Cui-beng-kui mengangkat namanya menjadi seorang di antara Enam Iblis. Dan sekarang iblis itu telah menggunakan pukulan ini terhadapnya!

“Iblis tua, kau tidak tahu dihormat orang muda!” katanya perlahan dan timbul niat untuk memberi hajaran kepada Cui-beng-kui.

Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti dan memandang tajam. Tidak hanya Suling Emas yang tertegun heran, juga para tokoh besar yang hadir di situ tertegun karena telinga mereka yang terlatih mendengar suara yang terlampau tinggi untuk dapat ditangkap telinga biasa. Suara ini makin lama makin kuat dan sudah tampak banyak orang di kalangan tamu yang roboh pingsan! Tidak hanya yang berkepandaian rendah, bahkan yang cukup pandai pun tidak kuat menahan getaran yang tiba-tiba menguasai seluruh tubuh mereka itu. Sebentar saja, puluhan orang tamu menggeletak pingsan. Hal ini mengejutkan semua orang sakti yang berada di situ.

Ketua Beng-kauw sendiri tampak duduk tak bergerak mengerutkan keningnya, kelihatan mengerahkan tenaga batin untuk menolak pengaruh seperti pembawaan iblis ini. Namun diam-diam ia bertukar pandang dengan sutenya, Kauw Bian Cinjin, karena timbul dugaan di dalam hatinya. Nyata dari pandang matanya, kiranya Kauw Bian Cinjin juga merasakan hal yang sama dan mempunyai dugaan sama pula.

Mereka itu sebagai tokoh-tokoh tertinggi Beng-kauw hanya pernah mendengar mendiang Pat-jiu Sin-ong, suheng mereka, mendongeng tentang guru besar Beng-kauw yang memiliki kesaktian sebagai dewa-dewa di langit! Di antara kesaktian-kesaktian itu, kata Pat-jiu Sin-ong, yang pernah dilihat oleh ketua Beng-kauw pertama itu adalah ilmu yang disebut Coan-im-i-hun-to, yaitu ilmu mengirim suara gaib merampas semangat.

Ilmu ini merupakan cabang dari pada ilmu Sin-gan-i-hun-to, semacam ilmu merampas semangat melalui pandang mata (Hypnotism?), hanya bedanya, yang pertama menggunakan khikang yang disalurkan melalui getaran suara dalam untuk mempengaruhi orang lain, sedangkan yang kedua lebih menggantungkan kepada kekuatan yang disalurkan melalui pandang mata. Menurut dongeng yang diceritakan mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, guru besar Beng-kauw dapat mempergunakan Coan-im-i-hun-to sedemikian hebatnya sehingga dengan suara itu dapat meruntuhkan burung-burung yang sedang terbang dan dapat menundukkan dan memanggil datang semua binatang buas di dalam hutan.

Kini mereka mendengar suara bernada begitu tinggi dengan getaran aneh yang amat kuat, tentu saja timbul dugaan, apakah ini gerangan yang disebut Coan-im-i-hun-to? Kalau benar demikian, siapakah orangnya yang sanggup menggunakannya? Mendiang Pat-jiu Sin-ong sendiri menurut pengakuannya hanya dapat menggunakan sepersepuluh bagian saja. Suara yang dikeluarkannya masih didengar telinga biasa dan daya serangnya pun tidak begitu kuat. Akan tetapi yang sekarang menggunakan ilmu itu sekaligus dapat membikin puluhan orang tamu yang semua ahli silat belaka, roboh pingsan!

Kalau dua orang tokoh Beng-kauw itu menduga-duga, maka tokoh-tokoh lain, termasuk orang-orang sakti seperti It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin, Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, Suling Emas dan lain-lain, menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tentu saja dengan sinkang yang amat kuat, mereka tidak terpengaruh terlalu hebat oleh getaran suara itu.

Tiba-tiba terdengar suara merdu halus, mengambang di atas getaran tadi. “Ma-susiok (Paman Guru Ma), berani kau mengganggu anakku?”

Suling Emas sedang sibuk mengurut dan menotok jalan darah di belakang pundak dan tengkuk Sian Eng yang juga roboh pingsan oleh suara tadi, sedangkan Bu Sin di dekat Sian Eng duduk bersila meramkan mata mengerahkan tenaga dalam seperti yang ia pelajari dari kakek sakti sehingga ia terbebas dari pada pengaruh Coan-im-i-hun-to. Ketika mendengar suara ini, Suling Emas menjadi pucat mukanya. Cepat ia melompat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan... kedua kaki pendekar ini menggigil!

Kini semua mata tertuju ke arah pintu dalam ruangan sembahyang karena dari dalam pintu itu keluarlah seorang wanita, langkahnya perlahan dan ringan seakan-akan tidak menginjak lantai. Munculnya wanita ini mengakhiri suara dan getaran tadi. Langkahnya ringan, sikapnya agung dan pribadinya mendatangkan kesan yang bermacam-macam. Ia sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya, namun masih cantik jelita mengagumkan. Bentuk mukanya yang manis berkulit putih, memerah dadu di kedua pipinya, hidungnya kecil mancung, mulutnya kecil dengan bibir merah dan indah bentuknya, seperti gendewa terpentang. Sepasang matanya menyaingi mata burung hong yang sedang birahi, dihias bulu mata panjang hitam melentik, dilindungi sepasang alis kecil panjang menjungat ke atas di bagian ujungnya, dagunya meruncing dan sedikit pun tidak tampak tanda-tanda keriput. Hanya pada rambutnya terdapat tanda usia tua. Rambutnya tebal dan panjang terurai sampai ke lutut, menutupi seluruh tubuh bagian belakang, akan tetapi rambut itu sudah tampak berwarna dua karena banyaknya rambut putih terselip di sana-sini.

Hanya tiga orang saja di seluruh ruangan itu yang mengetahui dengan pasti siapa wanita ini. Pertama adalah Beng-kauwcu Liu Mo, karena kakek ini memang tahu bahwa keponakannya yang selama puluhan tahun lenyap dari dunia ramai, beberapa tahun yang lalu ini telah kembali dan bersembunyi di lorong-lorong rahasia yang merupakan terowongan di bawah tanah. Juga Liu Hwee, puteri ketua Beng-kauw, tahu akan hal ini dan seperti pernah diceritakan di bagian depan ketika melarikan diri bersama Bu Sin, Liu Hwee mengajak Bu Sin melalui bagian di mana bersembunyi wanita itu. Orang ketiga yang tahu akan wanita ini adalah Cui-beng-kui, karena wanita ini adalah kekasihnya dan merupakan satu-satunya orang yang paling ia cinta, ia segani dan ia takuti di seluruh dunia ini.

Masih ada seorang lagi yang hanya menduga-duga dengan ragu-ragu dan dengan jantung berdebar keras serta kedua kaki menggigil, yaitu Suling Emas sendiri. Inikah ibu kandungnya? Ia memeras ingatannya. Ketika ia berusia kurang lebih sembilan tahun, ibunya pergi meninggalkan ia dan ayahnya. Pergi tanpa pamit dan tidak ada yang tahu ke mana perginya, malah semenjak itu sampai saat ini belum pernah ia bertemu muka. Ia ingat bahwa dahulu ibunya seorang wanita cantik jelita. Ketika pada saat itu tercium olehnya bau harum semerbak yang juga tercium oleh semua orang pada saat wanita itu muncul, teringatiah Suling Emas. Tak salah lagi, inilah ibu kandungnya. Bau wangi seperti ini pula yang tak pernah ia lupakan, bau ibunya dulu.

Akan tetapi ia menahan perasaannya sehingga lidahnya yang sudah bergerak, bibirnya yang sudah gemetar hendak meneriakkan panggilan itu ia tahan. Matanya memandang sayu, penuh keharuan, penuh kedukaan, dan penuh kehausan kasih sayang ibu.

Wanita itu memang bukan lain adalah Tok-siauw-kui Lu Lu Sian, yang pada tiga puluhan tahun yang lalu menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjangnya yang ganas, dengan ilmu silatnya yang tinggi, dan dengan kecantikannya yang luar biasa. Selama berpisah atau bercerai dari Kam Si Ek, dunia kang-ouw tidak mendengar lagi namanya, namun bagi mereka yang berurusan dengannya, tentu saja tidak akan dapat melupakan wanita hebat ini.

Kini semua orang memandangnya. Yang sudah mengenalnya terkejut, yang belum mengenalnya menduga-duga siapa gerangan wanita yang dapat menggunakan ilmunya sedemikian hebat sehingga dengan suaranya saja dapat membikin pingsan puluhan orang. Liu Lu Sian melangkah maju terus, langkahnya lambat akan tetapi ada sesuatu yang amat mengerikan tersembunyi di balik kecantikannya, di balik langkah yang lemah gemulai, di balik sikap yang agung. Sepasang matanya menyapu para tamu dengan tak acuh, dan kedua kakinya terus melangkah menghampiri Cui-beng-kui.

Iblis yang biasanya menyeramkan hati setiap orang itu kini berdiri dengan kedua kaki menggigil, sinar matanya mengandung takut yang amat hebat, punggungnya membungkuk-bungkuk dan dari bibir mayatnya itu keluar ucapan lemah tersendat-sendat, “Tidak... tidak... Lu Sian... jangan kau benci padaku... ah, ampunkanlah aku... jangan benci....”

“Berani kau menggunakan Cui-beng-ciang mencoba membunuhnya?” kembali Liu Lu Sian berkata lirih, terus melangkah mendekati.

“Ti... tidak... Lu Sian... aku benci karena dia... dia putera Si Ek. Jangan... jangan pandang aku seperti itu... Lu Sian... kau ampunkan aku... kau bunuhlah aku... tapi jangan benci...!”

Semua orang melongo. Benar-benar sebuah adegan yang aneh, lucu, juga mengharukan. Kiranya iblis itu bukan takut akan keselamatannya, melainkan takut kalau-kalau wanita yang dicintanya itu membencinya! Dari adegan itu sudah dapat dibayangkan betapa besar dan mendalam cinta kasih iblis itu terhadap Liu Lu Sian!

Cui-beng-kui mundur-mundur, terus diikuti Liu Lu Sian dan akhirnya mereka berdiri berhadapan, saling menentang pandang. Wanita itu tersenyum dan semua orang tersirap darahnya. Senyum itu masih manis luar biasa karena semua giginya masih utuh. Akan tetapi entah bagaimana, di balik senyum ini terbayang sesuatu yang tidak semestinya, yang membikin orang bergidik, yang meremangkan bulu roma, seperti senyum seorang siluman!

“Tidak, Ma Thai Kun, betapa aku dapat membencimu? Dahulu aku memang benci padamu karena kau mendesak-desakku dengan cinta kasihmu yang membikin aku gemas dan benci karena rupamu buruk. Aku lebih baik memilih Kam Si Ek yang tampan dan gagah, dan memilih pria-pria lain yang tampan. Akan tetapi cinta kasih mereka itu semua palsu belaka, hanya cinta kasihmu yang murni, Ma Thai Kun. Kalau dahulu aku memilihmu, tidak akan terjadi seperti sekarang ini, hidupku penuh pahit getir dan kekecewaan. Ma Thai Kun, biarlah orang-orang tiada guna ini semua menyaksikan bahwa sekarang aku menerima cintamu, aku menerima cinta kasihmu yang suci murni!”

Semua orang melongo. Benar-benar adegan yang luar biasa di mana seorang wanita tua menyatakan cinta kasih kepada kakek yang seperti iblis. Adegan roman yang tidak romantis, bahkan lucu dan menyeramkan. Ingin mereka itu tertawa, namun tidak ada yang berani membuka mulut. Mereka tetap melongo dan mulut mereka terbuka makin lebar ketika melihat betapa Cui-beng-kui menangis!

Iblis itu menangis, melangkah maju dan merangkul Liu Lu Sian. Di antara tangisnya terdengar ia berkata, “Terima kasih... terima kasih Lu Sian, aku cinta padamu....”

Wanita cantik jelita itu kemudian menyambut muka mayat hidup itu dengan sebuah ciuman mesra, terdengar kata-katanya, “Aku menciummu sebagai tanda penerimaan cinta kasihmu, akan tetapi aku harus membunuhmu karena kau telah mengganggu anakku....” Ucapan ini disusul ciuman, akan tetapi ciuman ini merupakan ciuman maut bagi Cui-beng-kui karena tiba-tiba tubuhnya berkelojotan kaku.

Ketika wanita itu melepaskan rangkulannya, ia roboh terguling miring dengan mata melotot. Darah keluar dari semua lubang di tubuhnya, yang tampak mengerikan keluar dari lubang hidung, mulut, dan kedua telinganya. Di punggungnya, di mana tadi kedua tangan Liu Lu Sian memeluknya, tampak tanda tapak tangan dengan sepuluh jari, jelas sekali bekas jari-jari itu terbenam di punggung, meninggalkan cap tangan seperti baru saja punggung itu dicap dengan gambar tangan besi dibakar merah!

“Wah, Thian-te Liok-koai kurang seorang!” terdengar It-gan Kai-ong mengeluh dan membanting ujung tongkatnya di atas tanah. “Tok-siauw-kui, kau boleh menggantikan kedudukannya. Heh-heh, dengan tingkat kepandaianmu, kau cukup berharga menjadi Iblis Dunia dan kehadiranmu menggantikan Cui-beng-kui membuat Thian-te Liok-koai lengkap kembali. Ho-ho-he!”

Memang seorang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong ini memiliki watak yang aneh juga cerdik. Ia maklum bahwa baru saja Tok-siauw-kui Liu Lu Sian memamerkan kepandaiannya sehingga semua orang menjadi kagum. Hal ini akan merendahkan nama besar Thian-te Liok-koai, apa lagi setelah seorang di antara Liok-koai terbunuh oleh wanita itu. Oleh karena inilah maka ia sengaja mengeluarkan ucapan itu sehingga timbul kesan bahwa bagi It-gan Kai-ong dan anggota Liok-koai lainnya, kepandaian Tok-siau-kui itu hanya setingkat dengan kepandaian mereka!

“Tikus busuk, jangan menjual lagak di sini. Pergi!” Liu Lu Sian berkata sambil menggerakkan kaki melayang ke depan dan tangan kanannya bergerak mendorong. Gerakannya kelihatan lambat saja, akan tetapi entah bagaimana, tak dapat diikuti oleh pandangan mereka, tahu-tahu ia telah berada di sebelah atas pundak kanan It-gan Kai-ong dan kedua tangannya dengan jari tangan terbuka menghantam kepala dan punggung!

Hebat bukan main serangan ini. It­gan Kai-ong merasa seakan-akan diserang gelombang ombak dari belakang dan depan. Namun sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan, tentu saja ia tidak mau menyerah mentah-mentah. Tongkatnya sudah berkelebat ke atas menangkis kedua tangan lawan. Ia berhasil menangkis tangan yang menghantam kepala, akan tetapi tangan yang menampar pundak, biar pun dapat ia elakkan sehingga tidak tepat mengenai tempat berbahaya, namun masih saja menyerempetnya.

“Plakkk... brettt!!”

Keduanya melompat mundur. Dalam segebrakan saja sudah tampak kesudahannya yang mengerikan. Untung keduanya memiliki ilmu tinggi, kalau tidak tentu keduanya sudah roboh dan tewas. Lengan kiri Liu Lu Sian tampak berjalur merah akibat tangkisan tongkat, akan tetapi kakek pengemis itu lebih hebat penderitaannya. Baju pada pundaknya bolong besar seperti terbakar dan kulit pundaknya melepuh! Untung sinkang-nya amat kuat sehingga ia berhasil menolak hawa pukulan maut tadi sehingga hanya terluka pada kulitnya saja. Kalau kurang kuat, tentu di pundaknya sudah terdapat ‘cap’ lima jari merah terbakar dan nyawanya melayang!

Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong sudah melangkah maju, sikap mereka jelas hendak membantu It-gan Kai-ong. Akan tetapi kakek pengemis itu menggunakan kedua lengannya mencegah mereka, lalu menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata.

“Bagus, kau memang patut menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Akan tetapi adu kepandaian di antara Liok-koai bukan di sini tempatnya. Untuk menentukan siapa lebih unggul, kau diharapkan ikut datang pada bulan lima malam kelima belas di puncak Thai­san. Yang tidak datang dianggap kalah dan diberi tingkat paling rendah. Ho-ho-heh-heh!”

“Kai-ong, apakah dia tidak diberi hajaran sedikit agar jangan sombong terhadap kita?” Tok-sim Lo-tong berkata sambil ‘sentrap-sentrup’ menyedot isi hidungnya yang mau keluar saja.

“Jangan, Lo-tong. Dia masih terhitung orang dalam dari Beng-kauw, tidak enak kita sebagai tamu membikin ribut. Nah, Beng-kauwcu, selamat tinggal! Tok-siauw-kwi, kalau nanti go-gwe-cap-go (bulan lima tanggal lima belas) kau tidak datang, berarti kau menjadi Liok-koai yang paling bawah tingkatnya!” Setelah berkata demikian, It-gan Kai-ong menggapai muridnya, Suma Boan, diajak pergi dari tempat itu, diikuti oleh Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Berturut-turut para wakil dari Kerajaan Wu-yueh juga berpamitan, karena setelah kakek pengemis yang mereka andalkan itu pergi, otomatis mereka merasa kedudukan mereka amat lemah dan tidak ada perlunya berada di situ lebih lama lagi.

Bu Sin merasa heran dan kaget, juga gemas ketika melihat Suma Boan mendekati tempat mereka dan berkata kepada Sian Eng, “Eng-moi-moi, kau tunggulah, aku pasti akan pergi mengunjungi Kui Lan Nikouw di Cin-ling-san.”

Betapa herannya hati Bu Sin melihat adiknya itu mengangguk dengan muka merah. Setelah Suma Boan pergi, Bu Sin memegang tangan adiknya dan bertanya lirih, setengah berbisik, akan tetapi suaranya mengandung tuntutan keterangan, “Eng-moi, apa artinya ini? Apa hubunganmu dengan keparat itu dan mau apa ia mengunjungi Sukouw (Bibi Guru)?”

Merah sekali muka Sian Eng. Lama ia tidak mampu menjawab, hanya menundukkan muka. Akhirnya ia berkata juga, “Dia... dia hendak melamarku....”

Bu Sin meloncat kaget seperti disengat lebah. “Apa...?!” Wajahnya jelas membayangkan tidak percaya.

“Mengapa kau kaget, Koko? Bukankah itu hal yang biasa saja?”

“Kau bilang biasa? Ah, Moi-moi, mana akalmu yang sehat? Apakah... agaknya kau telah menyetujuinya...?”

“Sudahlah, Koko. Ini bukan urusan kita, terserah keputusan Sukouw saja....”

“Tidak! Kau tidak boleh berjodoh dengan keparat itu! Dia jahat, dia... dia... ah, Eng-moi, bagaimana kau...?”

“Sssttttt, Koko. Kita menjadi perhatian orang. Lihat itu, ada keributan lagi...,” Sian Eng mencegah, merasa bahwa bukan pada tempatnya kalau ia membicarakan soal hubungannya dengan Suma Boan di tempat itu.

Bu Sin menengok dan benar saja. Semua tamu yang tadinya agak kacau oleh keberangkatan beberapa rombongan, kini tenang kembali dan memandang ke arah rombongan tuan rumah karena di situ terjadi hal yang menarik sekali.

“Kita akan bicara tentang ini nanti...,” kata Sian Eng perlahan dan Bu Sin dengan muka keruh terpaksa mengalihkan perhatiannya.

Apakah yang terjadi? Kiranya Liu Lu Sian tadi menoleh ke arah Siang-mou Sin-ni dan berkata ketus. “Kau masih di sini dan tidak lekas angkat kaki?”

Siang-mou Sin-ni melesat dari tempat duduknya dan kini ia berhadapan dengan Liu Lu Sian. Amat menarik melihat dua orang wanita ini berdiri saling berhadapan. Keduanya sama cantiknya, biar pun Siang-mou Sin-ni tentu saja lebih muda dari pada Liu Lu Sian. Keduanya memiliki rambut yang sama panjangnya dan keduanya mengurai rambut di belakang tubuh. Heranlah semua orang ketika dengan sikap amat menghormat, Siang-mou Sin-ni menjura di depan Liu Lu Sian dan berkata.

“Beruntung sekali dapat berjumpa dengan Suthai di sini setelah bertahun-tahun saling berpisah. Semoga Suthai dalam keadaan baik saja.” Tentu saja semua orang terheran. Sebutan suthai (ibu guru) biasanya hanya ditujukan kepada seorang pendeta wanita atau kepada seorang guru. Bagaimanakah iblis wanita Siang-mou Sin-ni menyebut suthai kepada Liu Lu Sian?.

“Kim Bwee, sejak kapan aku menjadi gurumu? Apakah karena satu dua ilmu yang kuberikan kepadamu itu kau lalu boleh menganggap aku sebagai guru? Tidak! Jangan kira kau akan dapat membujukku, mengangkat menjadi gurumu lalu kau ingin aku membantu cita-citamu menguasai Hou-han? Huh, perempuan tak tahu malu. Pergi kau!”

Muka Siang-mou Sin-ni menjadi merah sekali, dan rambutnya yang halus itu tiba-tiba menjadi kaku. Tiba-tiba sikapnya yang menghormat itu lenyap, terganti sikap menantang. Ia mengangkat kedua tangan ke pinggangnya, dengan tangan kanan bertolak pinggang dan tangan kiri menudingkan telunjuk, ia berkata, “Karena menerima ilmu darimu, aku selamanya mengurai rambut dan berterima kasih, menghormatmu sebagai guru. Akan tetapi kau memandang rendah kepadaku. Hemmm, benar-benar kau orang tua yang tidak ingin dihormat!”

Liu Lu Sian tersenyum, lalu melangkah maju sampai dekat sekali dengan Siang-mou Sin-ni. “Bocah! Sekali menggerakkan tangan, aku mampu melempar nyawamu ke neraka! Akan tetapi mengingat beberapa orang di Hou-han, aku masih mengampunimu. Nah, kau mau apa? Mau menyerangku dengan rambutmu? Boleh, lakukanlah!” Tantangan yang menghina sekali.

“Wanita tak kenal budi! Di Hou-han kami memperlakukan kau sebagai orang mulia, menyuguhkan pria-pria yang paling tampan, jejaka-jejaka paling gagah untukmu. Tapi kau membalas dengan penghinaan! Jangan kira Siang-mou Sin-ni masih seperti sepuluh tahun yang lalu. Terimalah ini!”

Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang gemuk hitam dan panjang itu menyambar, merupakan puluhan pecut yang luar biasa kuat dan lihainya. Setiap pecut yang terbuat dari puluhan sampai ratusan helai rambut itu mengarah jalan darah mematikan di tubuh Liu Lu Sian!

Perlu diketahui bahwa meski pun Siang-mou Sin-ni memang sejak kecil melatih diri dengan ilmu silat tinggi, namun ilmu menggunakan rambut ini ia dapat dari Liu Lu Sian. Tentu saja ilmu ini biar pun amat berbahaya bagi orang lain, namun bagi Liu Lu Sian bukan apa-apa lagi. Wanita ini tiba-tiba merendahkan tubuhnya, dari mulutnya keluar lengking tinggi mengerikan, kedua tangannya bergerak-gerak ke depan dan... pecut-pecut rambut itu berkibar-kibar membalik dan menghantam Siang-mou Sin-ni sendiri!

“Ayaaaaa!” Siang-mou Sin-ni kaget dan cepat ia melompat ke atas dan berjungkir balik beberapa kali untuk melenyapkan daya serangan membalik tadi. Ketika ia turun di atas tanah, ternyata sebagian rambutnya yang panjang telah bodol dan berhamburan di atas tanah. Wajahnya berubah pucat, giginya berkerut, dan matanya mendelik.

“Liu Lu Sian! Kau besar hati karena berada di tempat sendiri. Andai kata aku dapat mengalahkanmu, tentu aku akan menghadapi perlawanan anakmu si Suling Emas dan orang-orang Beng-kauw. Aku tunggu nanti Go-gwe Cap-go di puncak Thai-san!” Setelah berkata demikian, Siang-mou Sin-ni berkelebat cepat menghilang dari situ. Tentu saja para utusan Hou-han menjadi sibuk, cepat meninggalkan tempat itu pula tanpa sempat berpamit lagi.

“Bu Song! Ke sini kau...!” Liu Lu Sian kini menoleh kepada Suling Emas dan memanggil dengan suara halus lembut.

Suling Emas berdiri terkesima. Sejak tadi pelbagai perasaan mengaduk hatinya dan teringatlah ia akan masa dahulu di waktu ia masih kecil. Sering kali ayah ibunya saling cekcok. Ketika ibunya pergi, diam-diam ia merasa sedih sekali, karena betapa pun juga, ia lebih cinta ibunya dari pada ayahnya. Oleh karena itulah ketika ayahnya menikah lagi timbul rasa bencinya kepada ayahnya dan rasa sayangnya terhadap ibunya makin menghebat. Di dalam hatinya timbul perasaan bahwa antara ibu dan ayahnya, ayahnyalah yang salah. Oleh karena itu ia minggat meninggalkan ayahnya yang telah menikah lagi.

Pada waktu ibunya pergi meninggalkan ayahnya, ia masih terlalu kecil untuk dapat mengerti sebab-sebabnya. Sekarang setelah iblis wanita yang mengerikan dan mengaku ibunya itu muncul, ia menjadi kecewa dan duka bukan main. Beginikah wanita yang menjadi ibu kandungnya? Kejam, aneh, mengerikan, dan tidak tahu malu? Apa lagi kalau ia teringat akan ucapan Siang-mou Sin-ni tadi di depan ibunya. Ibunya di Hou-han diperlakukan sebagai orang mulia, disuguhi pria-pria paling tampan, jejaka-jejaka paling gagah? Memuakkan! Dan ucapan itu oleh Siang-mou Sin-ni diucapkan dengan lantang di depan demikian banyak orang tokoh kang-ouw! Dan ibunya tidak membantahnya!

“Bu Song, anakku, ke sinilah. Aku Ibumu, aku rindu kepadamu!”

Ucapan ini mengagetkan hatinya, menyeret ia turun dari lamunannya. Hatinya seperti diawut-awut, kecewa, sedih, terharu. Bagaikan seorang terkena pesona, kedua kakinya melangkah maju di luar kehendak hatinya, maju menghampiri wanita tua cantik jelita yang bertahun-tahun menjadi lamunannya ini, menjadi bayangan yang dirindukannya.

Liu Lu Sian memeluk pundaknya yang lebar. “Bu Song anakku... ah, kau sudah begini gagah perkasa! Hi-hi, kau pria paling gagah di seluruh Nan-cao, di seluruh dunia. Kaulah yang patut memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar di Nan-cao, dan aku yang akan memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar dan aku sebagai Beng-kauwcu, Nan-cao akan menjadi negara terkuat di dunia.”

“Ahhhhh...!” Suling Emas terkejut sekali dan tanpa disengaja ia merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ibunya, memandang terbelalak.

Liu Lu Sian menyambar lengan Suling Emas, ditariknya mendekat lalu ia menciumi pipi pemuda itu dengan hidung dan mulutnya sampai mengeluarkan suara berkecupan. Suling Emas menjadi bingung dan sedih, karena perbuatan ibunya itu disaksikan oleh sekian banyak orang dan tampak tidak patut sekali, akan tetapi keharuan hatinya yang amat besar membuat ia tak mampu bergerak dan di hati kecilnya ada perasaan bahagia melihat kasih sayang ibunya yang demikian besar terhadap dirinya.

“Hi-hik, anakku yang gagah perkasa, yang tampan, kepandaianmu hebat juga. Kau patut menjadi Kaisar Nan-cao.” Tiba-tiba ia melepaskan puteranya dan melangkah lebar menghadap Beng-kauwcu dan Kaisar Nan-cao yang duduk dengan muka berubah dan kedua tangan memegangi lengan kursi masing-masing dengan hati tegang.

“Paman Liu Mo, kursi yang kau duduki itu adalah kursiku! Kau orang tua benar-benar keterlaluan dan tak tahu malu sekali. Kapankah ayah mewariskan kedudukan Beng-kauwcu kepadamu? Akulah yang berhak mewarisi kedudukan ketua Beng-kauw, bukan kau! Kau telah merampas hal lain orang!”

Muka Beng-kauwcu Liu Mo sebentar merah sebentar pucat, kedua tangannya yang terletak di atas lengan kursi tampak menggetar. Akan tetapi setelah menarik napas panjang tiga kali, ia berhasil menekan perasaannya dan dengan suara tenang penuh kesabaran ia berkata.

“Lu Sian, tidak ada yang merampas kedudukan Beng-kauwcu. Kedudukan itu tidak pernah dijadikan perebutan di antara kita. Dahulu kau pergi meninggalkan kami, betapa pun kami mencarimu, tidak juga berhasil. Ayahmu meninggal dunia dan kau tidak berada di sini. Hanya aku yang berada di sini dan aku dipilih menggantikan kedudukan Kauwcu, sama sekali bukan merampas. Kalau sekarang kau menghendakinya, aku pun tidak akan kukuh mempertahankan kursi kedudukan itu, Lu Sian.”

Liu Lu Sian tertawa. “Hi-hi-hik, tentu saja harus kau berikan kepadaku, suka mau pun tidak. Andai kata tidak kau berikan, apa sih sukarnya merampas kembali dari tangan kau orang tua? Aku harus menjadi Kauwcu dan dengan kekuasaanku, aku mengangkat puteraku Bu Song menjadi kaisar di Nan-cao!”

“Enci Lu Sian, kau terlalu menghina Ayah!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Liu Hwee sudah melompat ke depan Liu Lu Sian sambil menyerangnya dengan senjatanya yang luar biasa, yaitu sepasang cambuk lemas yang ujungnya diberi bola kecil.

“Hi-hik, bocah ingusan mau kurang ajar? Satu kali aku beri ampun di terowongan ketika kau bermain gila dengan laki-laki, sekarang aku tidak mau memberi ampun!” teriak Liu Lu Sian.

Tubuhnya berkelebatan dan di lain saat ia telah berhasil menjambret sebuah di antara sepasang cambuk itu dan sekali renggut cambuk itu pindah tangan! Dengan sikap mengejek ia melempar cambuk ke samping, kemudian melihat cambuk kedua menyambarnya, ia menangkap ujungnya lagi dan menarik.

Liu Hwee mempertahankan, akan tetapi ia tidak kuat dan tubuhnya terhuyung-huyung. Sambil tertawa-tawa Liu Lu Sian menarik-narik cambuk itu ke sana ke mari, dan ke mana pun juga ia menarik, tubuh Liu Hwee terbawa, terhuyung-huyung. Terlambat gadis ini ketika hendak melepaskan cambuknya karena entah bagaimana cambuk itu sudah melibat pergelangan tangannya dan ia terpaksa terseret ke sana ke mari ketika cambuknya ditarik-tarik.

“Lepaskan dia, wanita jahat!” terdengar bentakan dan Bu Sin sudah menerjang dengan pukulan kedua tangannya yang diarahkan punggung Liu Lu Sian. Pemuda ini tidak dapat menahan kemarahannya ketika melihat betapa Liu Hwee, gadis yang telah merampas hatinya itu dibuat permainan oleh Liu Lu Sian, malah agaknya keselamatannya terancam bahaya.

“Hi-hik, laki-laki ini sudah tergila-gila kepadamu, Liu Hwee!” Wanita berambut panjang itu terkekeh dan tangannya bergerak hendak menangkap lengan Bu Sin.

“Ihhhh...!” Liu Lu Sian berseru kaget ketika tangannya tergetar dan terpental tak berhasil menangkap lengan Bu Sin. Ini adalah karena pemuda itu mempergunakan tenaga sakti yang ia pelajari dari kakek di air terjun.


BERSAMBUNG KE JILID 10


Cinta Bernoda Darah Jilid 09

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

CINTA BERNODA DARAH

JILID 09

Mereka cepat berlari-lari ke belakang dan melihat dua orang berpakaian pelayan menggeletak tak bernyawa lagi dan di situ berdiri seorang laki-laki tua yang bersikap gagah, berpakaian sederhana, kepalanya tertutup topi lebar, tangannya memegang senjata pecut. Dialah Kauw Bian Cinjin, sute dari Beng-kauw yang bertugas menyambut tamu!

“Maaf, Cu-wi enghiong dari Kerajaan Sung tentu mengalami banyak kaget karena gara-gara pengkhianat dua orang pelayan ini. Syukur ada Gan-lopek yang datang lebih dulu menyampaikan obat penawar. Lohu (aku yang tua) atas nama Beng-kauw menghaturkan maaf atas keteledoran ini.” Ia menjura dengan hormat kepada Ouwyang Swan.

Panglima tua ini cepat balas menghormat. “Kiranya ada pengkhianatan, akan tetapi sebetulnya apakah yang terjadi? Siapakah yang menaruh racun dalam makanan untuk kami, Cinjin?”

Kakek Beng-kauw itu tersenyum sabar dan menggeleng kepala. “Banyak terjadi hal aneh, Ciangkun (Panglima), yang agaknya ditujukan untuk mengotori nama Beng-kauw. Kami sedang melakukan penyelidikan, karena itu hal ini masih menjadi rahasia. Akan tetapi percayalah, semua ketidak-wajaran yang terjadi, pasti bukan dari kami datangnya dan kalau ada anak buah kami yang terbawa-bawa, kami tidak ragu-ragu untuk memberi hukuman seperti yang kulakukan kepada dua orang pelayan ini. Nah, selamat pagi dan sekali lagi maaf!” Setelah berkata demikian, Kauw Bian Cinjin membunyikan cambuknya satu kali.

“Tarrr!” maka muncullah dua orang anak buah Beng-kauw yang segera mengangkat dua jenazah itu dan pergi tanpa mengeluarkan kata-kata. Kauw Bian Cinjin menjura kepada para tamu dan berjalan pergi.

Ouwyang Seng dan anak buahnya saling pandang, lalu kembali ke ruangan, tiada hentinya membicarakan hal yang aneh itu. Tak lama kemudian dua orang pelayan baru datang untuk membersihkan tempat itu dan menggantinya dengan makanan baru. Panglima Sung itu dan teman-temannya lalu melanjutkan makan pagi untuk kemudian bersiap-siap pergi ke tempat sembahyangan guna memberi hormat kepada arwah mendiang ketua Beng-kauwcu yang tersohor, yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan..


cinta Bernoda darah jilid 09


Kita kembali mengikuti Lin Lin. Malam hari itu ia dan Pak-sin-tung, dikawal pula oleh dua puluh empat orang Khitan yang berkepandaian tinggi secara sembunyi, telah mendatangi ruangan sembahyang. Melihat Suling Emas berada di ruangan itu bersama tokoh-tokoh Beng-kauw sibuk mengatur ruangan sembahyangan di mana terdapat sebuah peti mati yang besar dan panjang, melihat pula betapa Beng-kauwcu masih memegang tongkatnya yang berhiaskan ya-beng-cu permata yang mengeluarkan sinar itu, Lin Lin kecewa sekali. Ia dapat menduga bahwa Hek-giam-lo tentu belum berhasil merampas tongkat itu. Selain kecewa juga ia melihat kesempatan terbuka baginya untuk membebaskan diri dari Pak-sin-tung karena Suling Emas berada di situ, maka dengan nekad ia menyelinap masuk melalui pintu belakang ruangan sembahyang itu yang merupakan sebuah bangunan besar, megah dan seram.

Pak-sin-tung kaget sekali karena kakek ini sudah mendengar bahwa bangunan ruangan sembahyang ini adalah bagian terlarang yang tidak boleh sekali-kali dimasuki orang. Jangankan orang luar, bahkan para anggota Beng-kauw sendiri ia dengar tidak berani memasukinya. Sekarang Lin Lin masuk melalui pintu kecil itu!

Tadinya ia hanya bersembunyi sambil mengintai, menanti munculnya gadis itu dan ia siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi karena sampai lama gadis itu tidak muncul, maka kegelisahannya memuncak. Ia lalu bergerak dengan hati-hati, meninggalkan tempat sembunyinya dan dengan beberapa kali loncatan yang tidak mengeluarkan suara, ia telah berada di depan pintu kecil. Alangkah kagetnya ketika ia membaca tanda-tanda larangan bahkan ancaman hukuman bagi orang yang berani memasuki pintu itu.

Betapa pun gagahnya Pak-sin-tung, ia cukup maklum akan keangkeran Beng-kauw, maka ia mundur lagi, tidak berani masuk. Dengan hati gelisah, kembali ia bersembunyi dan mengintai ke arah ruangan yang masih sibuk.

Lin Lin memasuki lorong yang amat gelap dan hawanya dingin sekali. Ia berjalan terus, meraba-raba dengan kedua kakinya, berlaku hati-hati. Ia mulai merasa seram ketika lorong yang panjang itu terus berada dalam kegelapan dan dinginnya makin menyusup tulang, seakan-akan ia berada di dalam lorong yang ditutup es. Mulailah ia ragu-ragu dan takut, siap untuk memutar tubuh dan kembali. Akan tetapi ia teringat bahwa di belakangnya, Pak-sin-tung dan dua puluh empat orang Khitan siap untuk memaksanya ke Khitan! Ingat akan ini, ia mengeraskan hati dan melangkah maju terus.

Tiba-tiba ia tersentak kaget. Ada suara bercicit aneh di dalam gelap, suara yang mula-mula terdengar di atas, kemudian terdengar di sebelah bawah. Ia berhenti, bulu tengkuknya meremang. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara itu makin mendekat, terdengar di bawah kakinya. Dengan mengeraskan hatinya yang kebat-kebit ia melangkah lagi, kakinya agak menggigil. Tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu dan.....

“Cuittttt!” terdengar suara keras.

Lin Lin meloncat ke atas, semangatnya serasa melayang meninggalkan tubuhnya ketika ia tahu bahwa suara itu suara tikus-tikus dan bahwa ia tadi menginjak tikus. Hampir ia pingsan. Celaka baginya karena di antara segala benda dan makhluk di dunia ini, hanya tikuslah yang paling ia takuti. Setan ia tidak takut, iblis akan dilawannya, harimau akan diterjangnya, akan tetapi tikus? Menggigil ia dibuatnya.

Saking jijik dan takutnya, Lin Lin memutar tubuh dan pulang balik setengah berlari. Akan tetapi anehnya, sampai lama ia tidak juga sampai di pintu kecil tadi. Ia telah salah jalan, tidak tahu bahwa lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan. Lin Lin telah tersesat ke dalam liku-liku jalan di bawah tanah.

Kegelisahan tercampur rasa ngeri dan takut akan tikus-tikus yang agaknya banyak terdapat di jalan terowongan gelap itu agak berkurang ketika Lin Lin tiba-tiba dapat melihat cahaya remang-remang di sebelah depan! Ia berlari terus, hatinya lega. Tak salah lagi, pikirnya, tentu di depan itu terdapat jalan ke luar. Benar saja, lorong itu makin lama makin lebar dan cahaya menjadi makin terang.

Tiba-tiba terdengar suara mendesis dari sebelah kanan dan sebuah bayangan panjang kecil menyambarnya. Lin Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning berkelebat ketika pedangnya membacok ke arah bayangan ini.

“Crakkk!” Lin Lin berdiri dengan mata terbelalak ketika melihat benda hitam itu kiranya adalah seekor ular hitam! Agaknya ular ini tadi kaget melihat kedatangannya dan menyerang. Kini tubuh ular itu menjadi dua potong dan bagian ekornya melilit-lilit tubuh sendiri. Lin Lin menyimpan kembali pedangnya dan melangkah maju dengan hati-hati.

Setelah berjalan maju sejauh tiga puluh meter, ia berhenti. Di depannya adalah sebuah ruangan besar dan cahaya yang sebagian menerangi lorong tadi ternyata adalah cahaya matahari yang masuk melalui sebuah jendela yang lebar, berjeruji baja dan tingginya dari lantai kurang lebih dua meter. Tiba-tiba mata gadis itu terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat ketika pandang matanya meluncur ke bawah dan bertemu dengan tumpukan peti-peti mati yang jumlahnya ada tujuh buah.

Peti-peti mati itu bentuknya biasa, akan tetapi di bagian kepalanya terukir muka binatang yang menyeramkan, seperti muka iblis. Kemudian Lin Lin dapat menenangkan hatinya. Mengapa harus takut, pikirnya. Peti-peti mati kosong itu tentulah persediaan bagi keluarga kaisar atau para pimpinan Beng-kauw. Tadi ia kaget karena melihat bentuk dan model peti-peti yang berjajar dan bertumpuk itu sama benar dengan peti mati yang berada di ruangan sembahyang.

“Ah, benda mati, hanya terbuat dari pada kayu dan kosong, takut apa?” dengan suara hati menenangkan ini Lin Lin melangkah maju, sengaja tidak mau memperhatikan peti-peti mati itu, lalu sibuk mencari jalan ke luar.

Ia bingung dan heran. Ruangan ini tidak berpintu! Akan tetapi dari balik ruji jendela itu ia melihat atap sebuah rumah. Agaknya ruangan ini merupakan tempat terakhir dari jalan terowongan, dan melihat peti-peti mati itu, agaknya memang dijadikan semacam tempat penyimpanan peti mati, semacam gudang. Akan tetapi, kalau memang demikian, mengapa tidak ada pintunya yang menembus ke bangunan lain? Apakah untuk memasuki ruangan ini orang harus melalui jalan terowongan yang berliku-liku, banyak cabang dan rahasianya dan selain jauh, juga demikian gelapnya? Tak masuk akal!

Ia melangkah maju dan menghampiri dinding, meraba-raba. Mungkin ada pintu rahasia.

“Kriiittttt...!”

Lin Lin menengok, bulu tengkuknya berdiri. Jelas ia mendengar suara itu, seperti sebuah pintu karatan dibuka, atau... sebuah tutup peti! Akan tetapi tumpukan peti-peti mati itu tidak bergerak. Tiba-tiba Lin Lin meloncat dan hampir ia menjerit. Seekor tikus besar lari ke luar dari bawah peti mati sambil mencicit lari melalui bawah kakinya.

Dengan hati berdebar-debar Lin Lin menenangkan hatinya sendiri. Hanya seekor tikus! Ia menggerakkan kedua pundak seperti orang kedinginan karena timbul rasa jijik dan gelinya. Akan tetapi segera wajahnya berubah. Biasanya tikus takut melihat manusia dan tentu akan bersembunyi. Mengapa tikus yang sudah sembunyi di bawah tumpukan peti mati itu malah ke luar dari tempat sembunyinya dan melarikan diri lewat dekat kakinya? Hanya satu hal yang memungkinkan kejadian ini. Tikus juga takut akan sesuatu. Takut sesuatu di dalam peti mati. Dan suara berkerit tadi!

“Ah, tidak ada setan di siang hari!” pikir Lin Lin menabahkan hati, kemudian dengan penuh kegemasan ia melangkah maju mendekati tumpukan peti mati.

Ia tersenyum. “Nah, tidak ada apa-apa, peti mati kayu yang kosong. Apa sih yang harus ditakuti?” katanya perlahan sambil menepuk-nepuk peti mati yang paling atas.

Setelah kengeriannya lenyap dan keberaniannya timbul kembali, gadis ini sengaja hendak memeriksa terus. Tangan kanannya memegang gelang baja yang dipasang di atas tutup peti mati yang paling atas, lalu mengerahkan tenaga membukanya untuk menyatakan bahwa peti mati itu memang kosong.

Peti mati itu terbuka tutupnya, mengeluarkan suara seperti tadi, berkerit karena engselnya berkarat. Sedikit demi sedikit tutup itu terbuka, karena amat berat sehingga Lin Lin harus mengerahkan tenaga. Ia tersenyum sambil memandang ke dalam peti mati dan... Lin Lin melepaskan gelang baja dan terhuyung mundur, terus mundur sampai punggungnya menyentuh dinding dingin. Matanya terbelalak lebar, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil dan mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara. Apa yang dilihatnya? Sesosok mayat di dalam peti, muka mayat yang pucat kurus dan lebih hebat lagi... tangan mayat yang hanya tulang terbungkus kulit itu bergerak menyangga tutup peti mati! Mayat itu bergerak dan hidup!

Dapat dibayangkan betapa kaget, ngeri dan takutnya hati Lin Lin melihat peti mati itu bergoyang-goyang, tutupnya setengah terbuka sehingga tampak kepala mayat, kemudian peti mati itu meloncat turun dari tumpukan, muka mayat yang mengerikan menjenguk ke luar dan lengan kirinya keluar pula dari bawah tutup.

Lin Lin menggerakkan tangan kanan meraih gagang pedang, akan tetapi pada saat itu terdengar lengking tinggi mengerikan, seperti suara suling, keluar dari mulut itu. Tiba-tiba Lin Lin menggigil kaki tangannya, tak dapat lagi mencabut pedang. Suara itu selain mengandung pengaruh melumpuhkan, juga mengingatkan ia akan sesuatu.

“Kau... kau...,” suaranya tenggelam dalam lengkingan yang panjang dan nyaring, kemudian gadis ini menjadi lemas dan terguling, pingsan! Kekagetan mengingat bahwa ia berhadapan dengan pembunuh ayah ibu angkatnya, yaitu setan peti mati dengan suara seperti suling, ditambah kengeriannya tak dapat tertahankan oleh Lin Lin.

Suara lengking itu berhenti, peti mati yang tadinya berada di tumpukan paling atas, kini sudah berada di bawah, tidak bergerak-gerak lagi. Akan tetapi tutup peti mati terbuka makin lebar oleh lengan yang kurus. Dengan gerakan perlahan mengerikan, ‘setan’ itu keluar dari dalam peti mati. Ia seorang laki-laki tinggi, kurus sekali seperti tengkorak terbungkus kulit. Kepalanya gundul, matanya tak pernah berkedip, hidungnya besar dan panjang melengkung ke bawah, mulutnya seperti orang menangis. Tubuh yang kurus itu terbungkus pakaian yang robek di sana-sini, sepatunya juga sudah butut. Muka yang pucat dan tak bergerak-gerak itu memang tak pantas menjadi muka manusia hidup, lebih patut menjadi muka mayat. Akan tetapi kenyataan bahwa ia dapat bergerak, menandakan bahwa ia masih hidup. Inilah kiranya yang disebut mayat hidup!

Mayat hidup itu berjalan perlahan menghampiri Lin Lin, terbungkuk berdiri memandang ke arah muka gadis itu. Mulutnya mengeluarkan suara “ah-ah-uh-uh” seperti orang setengah tertawa setengah menangis, kemudian ia membungkuk dan dengan sebelah tangan saja ia mengangkat tubuh Lin Lin dengan ringannya, menghampiri peti mati yang bertumpuk, membuka tutup peti mati teratas lalu... memasukkan tubuh Lin Lin ke dalam peti mati itu dan menutupnya kembali!

Setelah melakukan hal ini, ia kembali mengeluarkan suara seperti tadi dan kini bibirnya bergerak seperti orang tersenyum iblis, kemudian ia melompat masuk ke dalam peti matinya yang dapat bergerak-gerak meloncat ke atas tumpukan peti mati. Dalam sekejap mata, peti-peti mati itu sudah bertumpuk seperti tadi dan keadaan di dalam ruangan itu sunyi tak terdengar apa-apa lagi.

********************

Di ruangan sembahyang telah mulai ramai dengan para tamu yang berdatangan untuk memberi penghormatan. Mereka itu seperti juga Lin Lin, terkejut dan heran melihat adanya peti mati besar yang berada di tengah ruangan, di belakang meja sembahyang. Bukankah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua pertama dan pendiri Beng-kauw itu telah meninggal dunia seribu hari yang lalu? Bagaimana sekarang peti matinya masih berada di sini? Apakah selama tiga tahun ini peti matinya tidak dikubur? Pertanyaan-pertanyaan ini terkandung di hati setiap orang pengunjung, akan tetapi mereka tidak berani bertanya dan dengan penuh hormat mereka memasang hio dan memberi hormat ke arah peti mati yang membujur di tengah ruangan. Asap hio makin banyak dan tebal mengebul memenuhi ruangan, membawa bau harum.

Di sebelah kanan peti mati berdiri ketua Beng-kauw sendiri, yang menerima penghormatan dan membalas dengan sikap hormat kepada setiap orang tamu yang bersembahyang. Di sebelah kiri peti mati berdiri Liu Hwee dan di belakangnya berjajar para pembantu pimpinan Beng-kauw. Mereka ini pun membalas penghormatan para tamu. Yang berdatangan adalah tamu-tamu terhormat, wakil-wakil dari kerajaan lain. Tokoh-tokoh kang-ouw belum ada yang tampak. Hari masih terlampau pagi agaknya. Akan tetapi Suling Emas sudah kelihatan duduk di ujung kursi kehormatan. Di sebelahnya duduk Bu Sin yang bercakap-cakap dengannya sambil tersenyum-senyum dan wajahnya berseri-seri.

“Sungguh, Song-koko (Kakak Song), kau telah mempermainkan kami adik-adikmu bertiga secara hebat! Setengah mati kami mencarimu, sampai mengalami hal-hal yang sengsara dan berbahaya. Mengapa kau tidak mengaku terus terang bahwa pendekar besar Suling Emas adalah kakak kami Kam Bu Song?”

Suling Emas menahan senyumnya sehingga mukanya tampak berduka, lalu ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata. “Bu Sin, aku sudah hampir lupa akan orang yang bernama seperti itu. Bagiku, aku adalah Suling Emas....”

Bu Sin mengeluarkan sebuah gelang emas, “Twako (Kakak Tertua), biar pun kau sudah melupakan kami, sebaliknya kami tidak melupakanmu. Ayah kita selalu ingat kepadamu, berusaha susah payah mencarimu, bahkan di hari terakhir beliau meninggalkan pesan agar kami bertiga mencarimu dan memberikan benda ini kepadamu. Twako apakah kau berani bilang bahwa kau melupakan benda ini?” Ia menyerahkan gelang emas itu kepada Suling Emas.

Melihat benda ini, Suling Emas berubah mukanya, menerima dan mengamat-amatinya. Ia membaca dua buah huruf yang berbunyi BU SONG terukir pada gelang emas kecil itu. Ia meramkan matanya untuk beberapa detik lamanya, agaknya untuk membayangkan ketika ia masih kanak-kanak, membayangkan ayah bundanya, ketika ia membuka kembali matanya, Bu Sin melihat betapa bola matanya itu agak membasah, dan ia menjadi terharu. Suling Emas mempermainkan gelang itu dengan kedua tangannya, seakan-akan heran bagaimana benda sekecil itu dahulu dapat menghias lengan tangannya.

“Bu Sin...,” katanya kemudian, perlahan sekali setengah berbisik, “kau keliru kalau kau menyangka aku melupakan semua. Tidak, aku tidak pernah melupakan Ayah, biar pun harus kuakui bahwa aku juga tidak dapat lupa betapa Ayah berpisah dari Ibu, dan menikah lagi. Juga... aku girang sekali bertemu dengan kalian bertiga, tapi... Bu Sin, kupesan kepadamu, jangan membuka rahasia bahwa aku adalah kakak kalian, belum lagi tiba saatnya. Kelak mungkin....”

Pada saat itu Suling Emas tiba-tiba menghentikan kata-katanya dan matanya memandang ke luar ruangan. Bu Sin juga cepat memandang dan ia melihat dengan mata terbelalak ke arah makhluk yang kini menghampiri meja sembahyang, menjura dan suaranya terdengar parau dan bergema seakan-akan suara yang datang dari balik kubur.

“Pat-jiu Sin-ong, tiga tahun mati, petimu masih belum dikubur, benar-benar membikin aku merasa kagum.” Ia lalu melangkah maju menghampiri peti mati, mengamat-amati dengan mata terbelalaknya.

Menyeramkan sekali iblis ini bagi Bu Sin yang baru kali ini menyaksikannya, seorang manusia tapi mukanya adalah muka tengkorak, pakaiannya serba hitam. Kalau ia bukan tengkorak hidup, tentulah seorang manusia yang memakai kedok tengkorak yang menyeramkan.

“Hek-giam-lo, terima kasih atas penghormatan terhadap kami,” kata Beng-kauwcu Liu Mo. “Kau datang mewakili Kerajaan Khitan ataukah atas nama pribadimu sendiri?”

“Khitan tidak ada urusan mau pun permusuhan dengan Nan-cao, Hek-giam-lo juga tidak ada permusuhan dengan Beng-kauw, apa lagi bedanya? Sepuluh tahun yang lalu, dalam pertandingan yang cukup adil, aku dikalahkan Pat-jiu Sin-ong, sayang dia sudah mati tiga tahun yang lalu. Akan tetapi karena peti matinya masih berada di sini, apa salahnya aku melihat sejenak wajah dari bekas sahabatku?” Memang sepuluh tahun yang lalu, Hek-giam-lo pernah dikalahkan dalam adu kesaktian oleh mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.

Beng-kauwcu Liu Mo tentu saja cukup tahu akan wataknya yang seperti iblis dan aneh sekali. Akan tetapi mendengar bahwa iblis ini hendak membuka peti mati kakaknya, ia terkejut dan marah sekali. Dengan gerak-geriknya yang tenang, ia menggerakkan kakinya mendekat, siap mencegah dengan cara apa pun juga agar iblis hitam tidak melakukan perbuatan yang lancang ini.

“Hek-giam-lo, mengingat akan hubungan di antara kita, harap kau suka lepaskan tanganmu dari peti mati dan jangan mengganggunya.”

Akan tetapi secara tiba-tiba sekali Hek-giam-lo membalikkan tubuh dan... kedua tangannya memukul dengan gerakan hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat ke arah pusar dan dada Beng-kauwcu Liu Mo! Pukulan ini selain dahsyat dan sakti, juga dilakukan tiba-tiba di luar dugaan, karena seluruh perhatian ketua Beng-kauw itu tadinya ditujukan ke arah peti mati yang hendak dijaganya dari gangguan Hek-giam-lo. Siapa duga, bukan peti mati yang diserang melainkan dirinya.

Kalau saja bukan Beng-kauwcu Liu Mo yang menghadapi serangan kilat yang mematikan ini, tentu dia yang diserang Hek-giam-lo akan kalah. Para tamu dan para pimpinan Beng-kauw sudah mengeluarkan seruan tertahan saking kaget dan gelisahnya. Akan tetapi, biar pun dalam keadaan berbahaya sekali, Beng-kauwcu Liu Mo tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Ia mengangkat kedua tangan, secepatnya digerakkan menangkis pukulan sambil membanting tubuh ke belakang.

Kiranya pukulan Hek-giam-lo itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu iblis hitam ini sudah menubruk dari samping dan sekali renggut, tongkat di tangan Beng-kauwcu itu telah dirampasnya. Ia melompat ke luar dari ruangan itu sambil tertawa bergelak.

“Manusia curang...!” Suling Emas berseru marah, akan tetapi karena tidak ada perintah dari tuan rumah, ia hanya bangkit berdiri dari tempat duduknya dan memandang marah.

“Hek-giam-lo, kembalikan tongkat kami!” Dengan gerakan ringan Beng-kauwcu Liu Mo melayang ke luar mengejar, akan tetapi tiba-tiba dari samping kiri menyambar sebatang tongkat dengan tenaga dahsyat pula. Beng-kauwcu Liu Mo yang sudah siap segera mengelak dan ia berhadapan dengan seorang kakek yang buntung kedua kakinya. Kakek ini bukan lain adalah Pak-sin-tung, adik seperguruan Hek-giam-lo.

“Kauwcu, tidak perlu mengejar dia,” kata kakek buntung ini. “Ketahuiah, tongkatmu itu hanya dipinjam, terpaksa dirampas untuk memenuhi permintaan Tuan Puteri kerajaan kami yang ingin meminjamnya sebentar!”

Pada saat itu Suling Emas sudah berada di belakang Beng-kauwcu Liu Mo, juga anak buah Beng-kauw sudah ikut mengejar. Para tamu yang tertarik akan peristiwa hebat itu pun tidak mau ketinggalan, ikut pula mengejar hendak menonton. Mereka kini seakan-akan telah pindah dari ruangan sembahyang ke ruangan depan, lalu otomatis membentuk lingkaran lebar dan mengurung Pak-sin-tung yang ditemani oleh enam orang anak buahnya yang muncul dari tempat-tempat sembunyi mereka.

Seperti kita ketahui, Pak-sin-tung yang mengantar Lin Lin tidak berani mengikuti gadis itu yang memasuki pintu kecil yang menembus terowongan, lalu menanti dan mengintai di situ sampai keesokan harinya. Demikian pula para anak buah yang dua puluh empat orang itu, diam-diam bersiap di tempat persembunyian masing-masing sehingga melihat Pak-sin-tung kini mewakili Hek-giam-lo menghadapi ketua Beng-kauw, enam orang di antara mereka muncul mengawaninya.

“Siapa kau?” Beng-kauwcu Liu Mo menegur, memandang tajam kepada kakek yang berdiri di atas sepasang tongkat dan enam orang laki-laki di belakang kakek ini yang tampak gagah bersemangat.

Memang, Pak-sin-tung tidaklah sepopuler Hek-giam-lo, karena kalau Hek-giam-lo suka merantau dan membuat geger dunia kang-ouw, adalah Pak-sin-tung berdiam di Khitan sebagai pengawal kaisar di Khitan, jarang sekali keluar dari Khitan. Karena inilah maka Beng-kauwcu Liu Mo tidak mengenalnya.

Pak-sin-tung menjura. “Kauwcu, saya yang rendah disebut orang Pak-sin-tung. Hek-giam-lo adalah suheng-ku, karena itulah terpaksa saya berlaku kurang ajar mencegahmu mengejar suheng.”

Merah muka ketua Beng-kauw itu. Ia memang tidak bisa bicara. Terhadap Hek-gim-lo, ia masih mau turun tangan. Akan tetapi terhadap seorang yang kurang terkenal seperti Pak-sin-tung ini, betapa pun lihai Pak-sin-tung ia merasa enggan. Ketua Beng-kauw ini bertepuk tangan tiga kali, suara tepukan tangan ini amat nyaring seperti diadunya dua buah piring baja sehingga diam-diam Pak-sin-tung kaget bukan main karena tepukan tangan ini saja sudah membayangkan kehebatan tenaga dalam ketua Beng-kauw itu.

Beberapa detik kemudian, berkelebatlah bayangan orang dan tahu-tahu Kauw Bian Cinjin sudah berada di situ, menjura di depan Beng-kauwcu sambil berkata penuh hormat, “Mohon maaf atas kelambatan siauwte sehingga si jahat Hek-giam-lo mendapat kesempatan untuk berbuat kurang ajar. Harap Kauwcu sudi mundur dan biarkan siauwte membereskan si buntung ini.”

Seperti biasa, sikap Kauw Bian Cinjin juga tenang sekali, akan tetapi di dalam ketenangannya, kakek berpakaian sederhana bertopi caping yang memegang pecut ini memperlihatkan gerak-gerik yang lincah bertenaga dan sikap yang berwibawa. Memang terkenallah di Nan-cao, apa lagi di kalangan para pimpinan Beng-kauw bahwa Kauw Bian Cinjin inilah yang menjamin lancar dan beresnya segala sesuatu mengenai Beng-kauw.

Biar pun kepandaian dan kesaktiannya tidak melampaui suheng-nya, yaitu Liu Mo sendiri, namun ia terkenal cerdik, waspada, dan luas pandangannya. Andai kata ia tidak sedang sibuk menyelidiki berbagai peristiwa yang mengacau di Nan-cao pada saat itu, tentu ia berada di dekat ketuanya dan kalau tadi ia hadir, kiranya Hek-giam-lo akan menghadapi kesukaran besar dalam merampas tongkat. Tadi pun ia hanya dapat melakukan itu karena melakukan penyerangan gelap lalu melarikan diri dan para pengejarnya dihadang oleh Pak-sin-tung.

Dengan sikap angker Kauw Bian Cinjin menghadapi Pak-sin-tung yang masih tersenyum-senyum. “Pak-sin-tung, kami tahu bahwa kau adalah sute Hek-giam-lo dan bahwa dari Khitan kau datang secara sembunyi. Kiranya kau dan suheng-mu merencanakan perampasan tongkat ketua kami. Pak-sin-tung, siapakah yang harus mempertanggung-jawabkan perbuatan rendah ini? Pribadi kau dan Hek-giam-lo, ataukah Kerajaan Khitan?”

Tak enak juga hati Pak-sin-tung menghadapi sikap serius ini, apa lagi nama Kerajaan Khitan dibawa-bawa. “Terus terang saja, Kauw Bian Cinjin, kerajaan kami tidak tahu-menahu, akan tetapi peminjaman tongkat itu adalah atas perintah Tuan Puteri kami yang kebetulan kami jumpai di antara para tamu di sini. Beliau yang ingin meminjam tongkat itu.”

“Wah, adikmu yang bikin gara-gara...!” Suling Emas berbisik kepada Bu Sin yang sudah berada di sampingnya. Pemuda ini tadi pun bersama para tamu lain ikut berlari ke luar dan ia segera mengambil tempat di dekat kakaknya. “Kau tunggu di sini, biar kucari dia!” Sebelum Bu Sin dapat mengerti apa yang dimaksudkan Suling Emas, pendekar aneh itu telah berkelebat dan lenyap dari situ.

Sementara itu, Kauw Bian Cinjin menoleh dan memandang ke arah para tamu, lalu berteriak lantang. “Kami mohon dengan hormat kehadiran Pek-bin-ciangkun sebagai wakil dari Khitan!”

Semua orang memandang dan muncullah seorang kakek tinggi besar bermuka putih, bersikap gagah dan berpakaian serba hijau. Ia menghadapi Kauw Bian Cinjin dengan sikap gagah seorang perwira tinggi peperangan yang memberi hormat dan berkata, suaranya lantang dan agak kaku karena memang ia seorang Khitan asli, “Semua ucapan Pak-sin-tung benar belaka. Urusan pagi hari ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan Kerajaan Khitan dan sepenuhnya adalah tanggung jawab Hek-giam-lo dan Pak-sin-tung berdua.”

“Bagus, kami pun memang tidak ingin membawa-bawa pihak yang tidak bersalah. Pek-bin-ciangkun, sebagai wakil dari Khitan kau telah melihat sendiri bahwa sekali-kali bukan kami pihak Beng-kauw mau pun Kerajaan Nan-cao tidak menghormat tamu apa lagi wakil kerajaan lain, melainkan karena orang telah berbuat keterlaluan terpaksa kami bertindak. Silakan Ciangkun kembali ke tempat duduk.” Setelah wakil Khitan itu mengundurkan diri, Kauw Bian Cinjin menggerakkan pecutnya, menghadapi Pak-sin-tung.

“Pak-sin-tung, karena jelas bahwa kau dan orang-orangmu membantu Hek-giam-lo maka kalian bersama Hek-giam-lo yang berani menghina ketua Beng-kauw harus dihukum. Menyerahlah, dan kami akan mempertimbangkan dengan adil tentang hukuman. Jika melawan, maka kami akan menggunakan kekerasaan.”

“Ha-ha-ha, Kauw Bian Cinjin, omongan dan sikapmu benar-benar lucu sekali!” Pak-sin-tung tertawa bergelak. “Siapa tidak tahu bahwa orang-orang seperti kita yang menjunjung kegagahan, berbuat apa yang kita suka dan sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya? Suheng telah meminjam tongkat Beng-kauwcu atas perintah Puteri junjungan kami, aku telah mencegah kalian mengejarnya untuk membantu agar perintah itu terlaksana. Nah, segala kejadian memang disengaja, untuk menyerah tentu saja pantang bagi Pak-sin-tung. Terserah kau mau apa!”

Kauw Bian Cinjin agaknya ragu-ragu karena mengingat bahwa mereka sedang melakukan sembahyang, ragu-ragu untuk bertindak pada hari yang dianggap keramat itu. Akan tetapi ketika menoleh ke arah ketua Beng-kauw, Beng-kauwcu Liu Mo berkata perlahan. “Sute, kehormatan Beng-kauw dilanggar orang, di depan peti mati mendiang twa-suheng yang mulia. Kalau tidak diperlihatkan keangkeran kita, Beng-kauw akan diperhina orang. Hukum mati dia!”

“Tar-tar-tar!” cambuk atau pecut panjang di tangan Kauw Bian Cinjin berbunyi tiga kali. Kakek ini sudah melangkah maju sambil membentak, “Pak-sin-tung, terimalah hukuman Beng-kauw!”

Pak-sin-tung tertawa bergelak dan melihat gulungan sinar hitam kecil panjang yang mengeluarkan suara bercuitan menyambar ke arahnya, cepat ia mengangkat tongkat kirinya menangkis. Terdengar bunyi nyaring sekali ketika dua senjata ini beradu, disusul mengebulnya asap putih. Agaknya saking kerasnya pertemuan pecut dan tongkat, sampai mengakibatkan panas yang hampir membakar tongkat!

Pak-sin-tung terhuyung-huyung ke belakang, namun segera dapat membalas dengan serangan tongkat kanan lalu disusul lagi dengan tongkat kiri. Hebat dan aneh memang serangan Pak-sin-tung. Tongkat-tongkat itu adalah pengganti kakinya, akan tetapi ia dapat mempergunakannya susul-menyusul sehingga seakan-akan tubuhnya tergantung di udara tanpa kaki! Tidak saja serangan-serangannya cepat dan aneh gerakannya, akan tetapi juga kedua batang tongkat itu menyambar dengan hawa pukulan dahsyat sehingga para penonton deretan terdepan merasa betapa angin pukulan menyambar-nyambar menggerakkan rambut dan baju mereka. Dari sini saja sudah dapat dibuktikan bahwa julukan Pak­sin-tung (Tongkat Sakti dari Utara) tidaklah kosong belaka.

Akan tetapi ternyata wakil Beng-kauw itu pun amat hebat kepandaiannya, malah agaknya menang setingkat dibandingkan dengan Pak-sin-tung. Kauw Bian Cinjin adalah adik seperguruan mendiang Pat-jiu Sin-ong dan ketua Beng-kauw yang sekarang. Ilmu silatnya tinggi sekali, maka kakak seperguruannya mempercayakan semua urusan penting kepadanya. Pecut di tangan kakek ini tampaknya memang hanya sebuah pecut biasa yang sering kali dipergunakan oleh penggembala-penggembala kerbau menggiring ternak ke kandang. Memang di waktu menganggur, Kauw Bian Cinjin suka menggembala kerbau-kerbaunya yang berjumlah banyak.

Akan tetapi ia bukanlah penggembala biasa, dan tentu saja pecutnya juga bukan pecut biasa, melainkan sebuah cambuk yang terbuat dari rambut monyet besar yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya. Cambuknya ini tidak dapat terbabat putus oleh senjata tajam mana pun juga dan mengandung hawa panas seperti api ketika digerakkan untuk menyerang, sebaliknya di waktu dipergunakan untuk menangkis, mengandung hawa lemas dingin sehingga mudah menyedot habis tenaga serangan lawan.

Betapapun pandai nya, menghadapi Pak-sin-tung, Kauw Bian Cinjin bertemu dengan lawan tangguh yang tidak mudah ia kalahkan begitu saja. Tongkat dan cambuk saling sambar berganti-ganti merupakan tangan-tangan maut yang pasti akan merenggut nyawa apa bila lengah sedikit saja. Puluhan jurus telah lewat dan sedikit demi sedikit Kauw Bian Cinjin mendesak lawannya. Gulungan sinar hitam dari pecutnya makin melebar, membentuk lingkaran-lingkaran yang mengurung lawan sehingga sinar tongkat dari Pak-sin-tung makin menyempit dan kehilangan ruang gerak.

“Ciuuuuuttt!” Tiba-tiba cambuk itu berubah menjadi sebuah lingkaran besar, memutar-mutar mengitari dua pasang tongkat.

Baiknya Pak-sin-tung segera cepat dapat merenggut lepas tongkat kirinya karena kalau sampai kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu terlibat pecut, tentu ia akan roboh karena tidak berkaki lagi! Akan tetapi tongkat kanannya telah terlibat pecut sedemikian eratnya sehingga tidak akan mungkin terlepas lagi.

Pak-sin-tung mengeluarkan bentakan keras sekali sambil menggerakkan tongkat kanannya. Ia telah mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya untuk merenggut lepas tongkatnya dan... bukan tongkatnya yang terlepas melainkan tubuh Kam Bian Cinjin yang terlempar ke atas berikut pecut dan tongkat itu! Tongkatnya tidak terlepas dari libatan pecut, melainkan terlepas dari pegangannya.

Kiranya ketika ia mengerahkan tenaga yang amat kuat untuk merenggut tongkat ke atas, Kauw Bin Cinjin mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas dan tenaga renggutan lawannya ia tambahi dengan tenaganya sendiri untuk merampas tongkat. Kemudian, selagi Pak-sin-tung kaget dan terkesiap, dari atas udara Kauw Sian Cinjin menggerakkan tangan kanannya. Tongkat yang tadinya terlibat pecut, kini meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, tak dapat dicegah oleh apa pun juga!

Pak-sin-tung yang hanya berdiri di atas sebatang tongkat, tidak mampu menangkis atau mengelak lagi karena tidak keburu, maka terdengar suara mengerikan ketika tongkatnya sendiri menerobos dadanya sehingga tembus. Tubuhnya terjengkang ke belakang, akan tetapi tidak terus rebah melainkan tertahan oleh tongkat yang menembus dadanya, sehingga tubuh itu seakan-akan bersandar. Ia mati seketika, tubuhnya bagian depan tiada tanda darah sama sekali, akan tetapi dari punggungnya mengucur darah di sepanjang tongkat yang menahan tubuhnya.

Enam orang Khitan yang melihat keadaan pemimpin mereka seperti itu, segera maju menyerbu Kauw Bian Cinjin. Kakek ini dengan tenangnya menggerakkan cambuknya dan....

“Tar-tar-tar...!” terdengar bunyi enam kali dan... enam orang Khitan itu roboh tak berkutik lagi karena nyawa mereka pun sudah menyusul Pak-sin-tung.

Hening di sekeliling tempat itu, akan tetapi hanya untuk sesaat setelah enam orang itu roboh. Semua mata memandang ke arah tujuh sosok mayat yang malang-melintang di atas tanah. Kauw Bian Cin­jin menghela napas panjang sambil mengikatkan cambuknya di pinggang, membuka capingnya dan mengebuti dada dan muka dengan caping. Rambutnya sudah dua warna, panjang dan digelung ke atas seperti seorang tosu. Kalau tadi ia tampak angker berwibawa dengan caping, sekarang ia tampak alim seperti seorang pertapa.

Belasan orang telah melangkah maju. Kauw Bian Cinjin memandang dan ternyata mereka ini adalah Pek-bin-ciangkun perwira tinggi wakil Khitan dan para pengawalnya. Semua tamu makin tegang, mengira bahwa wakil-wakil Khitan tentu akan menuntut balas, pertempuran akan makin menghebat. Akan tetapi mereka keliru. Pek-bin-ciangkun menjura ke arah Kaw Bian Cinjin dan berkata, suaranya lantang, tegas, tapi sama sekali tidak membayangkan kemarahan.

“Cinjin, Pak-sin-tung dan enam orang pembantunya telah melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw dan telah terhukum mati, akan tetapi menurut penilaian kami, mereka mati sebagai laki-laki sejati dan karena mereka adalah orang-orang Khitan, kami akan membawa pergi dan mengurus jenazah mereka. Ini bukan permintaan melainkan pemberitahuan karena apa pun yang terjadi, kami akan melakukannya juga, kalau perlu dengan taruhan nyawa. Sekarang ijinkan kami pergi dan terima kasih atas penyambutan Kerajaan Nan-cao dan juga Beng-kauw selama kami menjadi tamu di sini.” Ia menjura dengan hormat.

Kauw Bian Cinjin balas menjura dan berkata, nadanya menyesal. “Mereka memang orang-orang gagah, dan Ciangkun memang berhak mengurus mayat mereka. Maaf akan semua peristiwa yang sesungguhnya tidak kami kehendaki ini. Sebagai wakil Beng-kauw saya haturkan terima kasih dan selamat jalan.”

Pek-bin-ciangkun memberi hormat ke arah ketua Beng-kauw dan juga ke arah Kaisar Nan-cao yang semenjak tadi duduk dan menonton penuh perhatian. Kemudian perwira Khitan ini memimpin anak buahnya membawa pergi tujuh mayat itu pergi meninggalkan Nan-cao.

Seperginya rombongan ini, para tamu menjadi berisik, apa lagi ketika mereka melihat munculnya pengemis mata satu It-gan Kai-ong secara tiba-tiba. Kakek pengemis ini tahu-tahu sudah berada di depan Kauw Bian Cinjin dan mengeluarkan suara mengejek. “Aha, Beng-kauw telah memperlakukan para tamunya dengan baik sekali, sekalian memperlihatkan kehebatan Beng-kauw. Agaknya Pat-jiu Sin-ong sejak dulu haus darah sehingga untuk menyembahyangi rohnya pun harus mempergunakan darah tujuh orang manusia. Heh-heh-heh!”

Sirap semua suara berisik tadi dan keadaan kembali menjadi tegang. Apa lagi ketika di belakang It-gan Kai-ong itu tampak dua orang tokoh mengerikan, dua orang di antara Thian-te Liok-koai, yaitu Toat-beng Koai-jin si iblis berpunuk dan Tok-sim Lo-tong yang membawa-bawa ular. Iblis kakak beradik ini hanya berdiri sambil memandang liar dan kadang-kadang saling pandang dan tertawa-tawa. Benar-benar mereka ini merupakan manusia-manusia yang tidak normal dan amat menyeramkan.

Melihat munculnya It-gan Kai-ong sudah mendatangkan rasa marah di dalam hati Kauw Bian Cinjin, apa lagi mendengar ucapannya yang mengejek dan menghina tadi. Dengan muka merah dan suara lantang wakil ketua Beng-kauw itu berkata, sambil memandang sekeliling.

“It-gan Kai-ong, kami tahu bahwa kau datang ke sini dengan niat busuk yang sedianya akan kami rahasiakan. Akan tetapi karena kau telah membuka mulut, biarlah aku menjawabmu. Orang-orang dari Khitan, biar pun mereka melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw, namun harus kami akui bahwa mereka adalah manusia-manusia jantan yang patut dihormati, kecuali Hek-giam-lo si curang. Akan tetapi, kami sama sekali tidak dapat menghormat dan menghargai orang macam It-gan Kai-ong dan sekutunya yang datang dihormat sebagai tamu akan tetapi sebaliknya melakukan usaha-usaha khianat untuk merusak nama baik Nan-cao dan Beng-kauw. It-gan Kai-ong, apakah kau hendak menyangkal kata-kataku?” Kauw Bian Cinjin memandang tajam, berdiri tegak dan gagah.

It-gan Kai-ong menyeringai. Matanya yang hanya sebuah itu melayang ke arah Kaisar Nan-cao dan ketua Beng-kauw yang tetap duduk diam tak bergerak. Kemudian ia menotok-notokkan tongkatnya ke atas tanah dan meludah ke kiri. “Cuhhh, anak kecil bicara besar! Tuduhanmu membabi buta itu apa buktinya?”

Kauw Bian Cinjin memutar tubuh ke arah ketua Beng-kauw dan Kaisar Nan-cao yang duduk bersanding. “Kauwcu, bolehkan siauwte membuka sekalian semua rahasia agar didengar oleh para tamu yang terhormat?”

Beng-kauwcu Liu Mo bicara perlahan dengan kaisar, agaknya mereka berunding, kemudian keduanya mengangguk.

Kauw Bian Cinjin kembali menghadapi It-gan Kai-ong, lalu berkata lantang. “Harap para tamu mendengarnya! Di antara Cu-wi (Tuan-tuan sekalian) yang hadir sebagai tamu terhormat dan datang dengan hati bersih, terdapat orang-orang yang datang dengan membawa niat busuk, di antaranya It-gan Kai-ong. Ada usaha mengadu domba kita dengan Kerajaan Sung, dengan cara mencuri sebagian barang sumbangan Kerajaan Sung dan mengganti batu-batu pemata dengan batu-batu biasa. Ini adalah hasil kerja orang-orang Hou-han yang dalam hal ini masih dapat kami maafkan dan kami telah menghukum orang-orang kami sendiri yang bersekutu dengan orang-orang Hou-han, mengingat bahwa maksud dari Hou-han hanya hendak menarik kami menjadi sekutunya dalam memusuhi Kerajaan Sung! Akan tetapi ada usaha yang lebih busuk lagi dalam hal memusuhi Kerajaan Sung, yaitu ada usaha untuk meracuni semua wakil dari Kerajaan Sung!”

Semua tamu menjadi berisik. Kagetlah mereka bahwa diam-diam telah terjadi hal yang demikian hebat, padahal suasananya tetap gembira dan tenang saja. Hal ini membuktikan bahwa Nan-cao di bawah Beng-kauw benar-benar pandai menyimpan rahasia dan pandai pula mengatasi keadaan. It-gan Kai-ong hanya menyeringai dan kadang-kadang meludah ke kanan kiri seperti sengaja hendak menghina si pembicara.

“Baiknya usaha busuk itu dapat digagalkan oleh Empek Gan yang mulia.” Semua orang tertawa dan mata mereka mencari-cari, namun tidak tampak mata hidung Empek Gan.

“Siapakah yang melakukah usaha busuk ini? Tidak lain adalah kaki tangan It-gan Kai-ong! Malah Tok-sim Lo-tong juga telah dipergunakan untuk menghalang-halangi campur tangan Empek Gan!”

Semua orang memandang kakek tinggi kurus bersikap kanak-kanak yang telanjang tapi iblis ini tidak mempedulikan itu semua, enak-enak bermain dengan ularnya. Ada pun It-gan Kai-ong kembali menotokkan tongkatnya ke tanah. “Kauw Bian Cinjin, jangan sembarangan membuka mulut. Apa buktinya tuduhan-tuduhan itu?” Mata yang tinggal sebelah itu mengeluarkan sinar kemarahan.

Kauw Bian Cinjin tersenyum. “Buktinya memang sukar diadakan karena kami telah membunuh orang-orang kami sendiri yang berkhianat dan dapat kau pikat untuk bersekutu. Akan tetapi, It-gan Kai-ong, ada sebuah perbuatan lagi yang jahat dan dapat dibuktikan. Kau telah menculik puteri Beng-kauwcu!”

Orang-orang menjadi ribut lagi. Tentu saja mereka semua tahu siapa puteri Beng-kauwcu, yaitu gadis cantik jelita yang menjadi penyambut tamu, gadis yang pakaiannya hitam putih dan aneh.

Akan tetapi It-gan Kai-ong tetap terkekeh mengejek. “Omongan bau! Semua omonganmu bau dan bohong! Tidak ada saksi tidak ada bukti, apakah Beng-kauw bisanya hanya menuduh dan memfitnah tanpa bukti?”

Tiba-tiba terdengar suara merdu nyaring, “Aku di sini, kakek jahat. Apakah kau hendak menyangkal lagi?” Dan dari sebelah dalam ruangan berlarilah Liu Hwee bersama Bu Sin, menuju ke pekarangan itu.

Kiranya tadi ketika It-gan Kai-ong muncul, Liu Hwee cepat mencari Bu Sin dan memberi isyarat kepada pemuda ini untuk menyembunyikan diri, menanti saat baik untuk muncul membantu paman gurunya membuka rahasia It-gan Kai-ong. Melihat munculnya gadis itu, bukan main kaget dan herannya It-gan Kai-ong sehingga ia berdiri memandang dengan mulut bengong.

Tiba-tiba kakek pengemis itu tertawa terkekeh-kekeh. “Ho-ho-ho, sama sekali tidak ada hubungannya! Nona ini kutahan karena memang dia berani menyerang teman-temanku. Tentang meracuni utusan Sung, ha-ha-ha, orang Beng-kauw, apakah kau sudah mabuk? Aku orang dari Kerajaan Wu-yue yang selalu menjadi sahabat Sung sejak dahulu, malah aku pun sudah banyak membantu Kerajaan Sung. Mana mungkin aku berusaha mengganggu utusan Sung? Harap saudara-saudara utusan Kerajaan Sung memberi penjelasan!” Matanya yang hanya sebuah itu mencari-cari di antara tamu.

Dua orang panglima dari Kerajaan Sung melompat ke depan. Mereka ini adalah perwira tinggi Ouwyang Swan dan pembantunya, Tan Hun. Ouwyang Swan sejenak memandang ke arah It-gan Kai-ong, kemudian menghadapi Kauw Bian Cinjin sambil berkata.

“Cinjin, memang ada usaha untuk meracuni kami. Akan tetapi kami dapat memastikan bahwa bukan It-gan Kai-ong yang melakukannya, juga kami tak dapat menduga beliau mencampuri urusan busuk ini, karena beliau adalah sahabat baik kami. Terus terang saja, secara diam-diam It-gan Kai-ong malah ikut mengawasi dan melindungi barang sumbangan kami, dari utara ke sini.”

It-gan Kai-ong tertawa lagi terbahak-bahak. “Ho-ho-ho, bukankah jelas sekarang bahwa Beng-kauw memfitnah orang? Siapa tidak mengerti akan akal busuk ini? Ho-ho, bagi orang yang otaknya beku, tentu saja mudah dikelabui dan mengira Beng-kauw merupakan tuan rumah yang paling bersih dan baik. Akan tetapi sebetulnya semua telah diatur! Siapa tidak tahu bahwa kehilangan emas permata sumbangan Kerajaan Sung itu sebetulnya dilakukan oleh orang-orang Beng-kauw sendiri? Semua sudah mendengar tentang peti mati yang berisi mayat orang Beng-kauw sendiri, keributan yang terjadi di rumah pemondokan utusan Hou-han. Dua orang Beng-kauw, kabarnya bernama Su Ban Ki dan Ciu Kang, dibunuh oleh peti mati hidup! Ho-ho-ho, siapa lagi si peti mati hidup kalau bukan si iblis Cui-beng-kui (Iblis Pengejar Roh)? Dan sudah lama dunia kang-ouw menduga bahwa Cui-beng-kui adalah orang Beng-kauw! Kemudian terdengar lagi dua orang pelayan yang melayani utusan Sung berusaha meracuni para tamu dari Sung, juga terbunuh mati oleh Kauw Bian Cinjin sendiri. Apa artinya ini semua? Bukan lain karena semua itu adalah akal busuk orang-orang Beng-kauw sendiri yang diatur oleh Kauw Bian Cinjin!”

Hening di situ setelah mendengar ucapan panjang lebar ini. Hebat, pikir para tamu. Keadaan diputar balik, kalau tadi It-gan Kai-ong dituduh, sekarang si kakek mata satu berbalik menjadi penuduh dan menimpakan semua kesalahan kepada Beng-kauw. Suasana menjadi tegang sekali dan kini semua mata ditujukan kepada Kauw Bian Cinjin untuk mendengar apa yang akan menjadi jawaban wakil ketua Beng-kauw itu.

“It-gan Kai-ong, tidak percuma kau dijuluki seorang di antara Thian-te Liok-koai!” jawab Kauw Bian Cinjin. “Akan tetapi semua omonganmu hanya pemutar-balikan fakta belaka, tanpa dasar dan bukti...”

“Ho-ho-ho, dengar baik-baik, Kauw Bian Cinjin! Kau menuduh yang bukan-bukan kepada para tamu yang jauh-jauh datang untuk menyampaikan hormat. Kalau memang semua ini bukan buatan Beng-kauw sendiri, mengapa semua orang yang bersalah dibunuh? Coba yang mencuri barang sumbangan, yang menaruh racun pada makanan, tidak dibunuh, tentu mereka dapat dipaksa mengaku siapa yang berdiri di balik ini semua! Tapi Cui-beng-kui serta-merta membunuh dua orang murid Beng-kauw, dan kau sendiri membunuh dua orang pelayan. Terang sekali kau memang sengaja mengatur ini untuk mengadu domba para utusan agar negara-negara dan kerajaan-kerajaan saling bermusuhan. Kalau kerajaan-kerajaan lain bermusuhan dan lemah, tentu Beng-kauw akan menjagoi dunia! Siapa tidak tahu akan akal busukmu?”

Para tamu menjadi ribut saling bicara sendiri ketika mendengar ucapan ini, ada yang membenarkan It-gan Kai-ong ada pula yang menentangnya. Agaknya Kauw Bian Cinjin yang pendiam dan tenang itu kalah bicara oleh si raja pengemis.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian sastrawan, bertubuh tinggi tegap bermuka tampan, telah berada di situ dan berkata. “It-gan Kai-ong, di mana-mana kau menimbulkan keributan belaka! Kepada orang lain kau boleh memutar lidah, akan tetapi kepadaku tidak mungkin! Aku sudah mengenal isi perutmu!”

“Suling Emas, kau mau apa? Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Ataukah sekarang pendekar gagah perkasa Suling Emas telah menjadi kaki tangan Beng-kauw pula?” ejek It-gan Kai-ong.

Toat-beng Koai-jin mengeluarkan suara menggereng ketika melihat campur tangannya Suling Emas sambil berkata, “Suling Emas masih ada perhitungan denganku!”

Suling Emas tidak mempedulikan kakek telanjang berpunuk, juga tidak pedulikan ejekan It-gan Kai-ong, melainkan ia memandang ke arah para tamu yang kini sudah memenuhi tempat itu sambil berkata, “Cu-wi sekalian sudah mengenal akan watak jahat iblis ini, maka harap jangan mempercaya ocehannya. Pada hakekatnya, dia diperalat oleh muridnya yang bernama Suma Boan. Siapa tidak mengenal putera pangeran ini di Kerajaan Sung? Suma Boan itulah, dengan bantuan gurunya ini, berusaha menggunakan akal untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan dengan Kerajaan Sung agar Kerajaan Sung menjadi lemah dan dia berkesempatan merebut tahta kerajaan. Siauwte (aku) mempunyai hubungan baik dengan panglima-panglima Sung, tahu benar akan keadaan di sana dan sudah lama aku mengawas-awasi jejak guru dan murid pengkhianat ini....”

“Suling Emas, tutup mulutmu! Kalau kau hendak mencari perkara denganku, tak perlu di sini. Kau ini seorang jantan atau seorang perempuan bawel? Ataukah kau sudah diperalat pula oleh Beng-kauw? Ho-ho, agaknya ada sesuatu rahasia di antara kau dan Beng-kauw! Majulah, jangan kira aku takut terhadapmu!”

“Kau tadi bilang, bukan di sini tempat kita bertanding. Mari kita pilih tempat yang sunyi, jangan di tempat suci ini.”

“Tempat suci? Beng-kauw suci? Ho-ho-ho, siapa tidak tahu akan rahasia Beng-kauw yang kotor?” It-gan Kai-ong yang kini merasa terdesak sengaja hendak merendahkan Beng-kauw agar para tamu lebih percaya kepadanya. “Siapa tidak mendengar akan keganasan mendiang Pat-jiu Sin-ong? Siapa pula tidak mendengar sepak terjang puterinya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian? Ha-ha-ha, setan cilik yang cantik itu, yang menjatuhkan hati banyak laki-laki yang jahat seperti setan berbisa....”

Tiba-tiba semua orang terkejut karena secara mengherankan sekali, dari dalam ruangan itu terdengar suara melengking tinggi, disusul dengan munculnya sebuah peti mati yang berloncat-loncatan, berguling-gulingan secara cepat dan aneh ke tempat itu. Sambil bergerak meloncat-loncat, peti mati ini mengeluarkan bunyi melengking tinggi menyedihkan, namun yang membuat banyak tamu yang kurang tinggi kepandaiannya, roboh lemas di atas tanah. Suara itu seakan-akan menusuk hati mereka dan melumpuhkan kedua kaki, hanya mereka yang sinkang­nya sudah kuat, cepat mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi jantung dan menahan getaran yang melumpuhkan ini.

“Cui-beng-kui... ho-ho-ho, akhirnya kau muncul juga!” It-gan Kai-ong sambil tertawa-tawa girang. “Nah, sekarang yang hadir semua dapat menyaksikan bahwa Beng-kauw adalah tempat sembunyi Cui-beng-kui. Apakah ini bukan menjadi tanda benarnya dugaanku tadi?”

Peti mati itu kini terletak di pekarangan, empat meter jauhnya dari It-gan Kai-ong. Suara melengking berhenti dan diganti suara yang agaknya terdengar dari dunia lain, bergema menyeramkan. “It-gan Kai-ong manusia sombong! Mulut kotormu menyinggung-nyinggung nama wanita yang semulianya di dunia ini, tak mungkin aku mendiamkannya begitu saja. It-gan Kai-ong, hari ini adalah hari kematianmu, bersiaplah!”

It-gan Kai-ong adalah seorang di antara Enam Iblis, tentu saja ia sama sekali tidak gentar menghadapi ucapan ini. Malah ia tertawa terpingkal-pingkal, menotok-notokkan tongkatnya ke tanah, lalu berkata sambil meludah. “Cui-beng-kui, bukan aku yang akan mati, akan tetapi peti matimu kini betul-betul akan terisi mayat. Cuh-cuh-cuh!” Tiga kali ia meludah ke arah peti mati, akan tetapi tiga kali pula ludahnya menyeleweng, tidak mengenai peti mati melainkan mengenai tanah yang berlubang-lubang oleh air ludahnya.

“Krrriiiiittttt!” tutup peti mati terbuka perlahan dari dalam.

Semua tamu, terutama yang muda-muda dan bukan jago kawakan menjadi pucat memandang ke arah peti mati. Juga para jagoan tua yang sudah lama mendengar nama Cui-beng-kui memandang penuh perhatian, hati mereka tegang. Selamanya belum pernah iblis ini keluar dari peti mati, selalu kalau ‘beraksi’ tentu dari peti matinya. Sekarang peti mati terbuka, Cui-beng-kui akan tampak wujudnya, siapa yang tidak akan tegang hatinya. Bahkan para tokoh Beng-kauw sendiri menjadi tegang, memandang penuh perhatian. Munculnya Cui-beng-kui ini tadi saja sudah mengherankan hati para pimpinan Beng-kauw dan juga kaisar sendiri, karena hal ini tidak mereka duga-duga. Selama ini sepak terjang Cui-beng-kui penuh rahasia dan tak ada yang tahu di mana ia bersembunyi.

Tutup peti mati terbuka makin lebar, perlahan-lahan dan mengeluarkan bunyi. Mula-mula tampak sebuah lengan yang kurus dan berkulit putih pucat penuh keriput, dengan kuku-kuku jari tangan yang panjang-panjang. Lengan ini menutup peti, terus menyangga ke atas sehingga tutup itu akhirnya terbuka semua. Semua mata memandang, leher memanjang dan... sesosok tubuh yang tinggi kurus bangkit dari dalam peti mati! Bagi penonton yang kurang kuat hatinya, penglihatan ini akan cukup membuat ia roboh pingsan saking ngeri dan takutnya.

Cui-beng-kui kiranya seorang laki-laki yang kepalanya gundul, mukanya pucat seperti muka mayat, pakaiannya putih hanya merupakan kain putih dibelit-belitkan di tubuh, dari lutut sampai ke leher, kaki dan lengannya telanjang dan kurus sekali seperti tampak tulang-tulangnya membayang di balik kulit keriput dan tipis. Seperti juga kuku-kuku jari tangannya, kuku kakinya juga panjang, runcing melengkung.

Yang menarik adalah sikap Kaisar Nan-cao dan ketua Beng-kauw. Mereka tiba-tiba melompat berdiri, mata terbelalak dan muka berubah.

“Kau... Thai Kun...!” seru Beng-kauwcu Liu Mo, matanya memandang seperti tak percaya.

“Ma-ciangkun (Panglima) Ma...!” Kaisar Nan-cao juga berseru perlahan.

Manusia yang seperti mayat hidup itu hanya memutar tubuh menghadap ke arah kaisar dan ketua Beng-kauw lalu mengangguk sedikit, tak acuh. Sekarang terbukalah rahasia Iblis Pengejar Roh (Cui-beng-kui) ini, dan mengertilah orang-orang Beng-kauw akan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh iblis ini secara mengerikan. Kiranya iblis ini adalah Ma Thai Kun, seorang panglima besar puluhan tahun yang lalu dari Kerajaan Nan-cao, seorang yang memiliki kepandaian tinggi karena masih terhitung adik seperguruan sendiri dari Pat-jiu Sin-ong dan Beng-kauwcu Liu Mo!

Panglima she Ma ini dahulu menjadi jagoan istana Nan-cao dan ia adalah seorang di antara banyak pria yang tergila-gila kepada Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, puteri dari suheng-nya sendiri. Setelah Liu Lu Sian memilih Kam Si Ek Jenderal Kerajaan Hou-han, maka panglima ini lalu menghilang dan tak seorang pun tahu di mana ia berada. Siapa nyana sekarang panglima itu muncul kembali dalam keadaan yang begitu mengerikan, dan kiranya Cui-beng-kui, seorang di antara Enam Iblis itu adalah bekas panglima ini.

Kauw Bian Cinjin yang mengepalai penyelidikannya dan tentu saja tahu pula akan kematian Su Ban Ki dan Ciu Kang, kematian yang aneh karena dilakukan oleh peti mati hidup yang ia duga tentulah Cui-beng-kui, baru sekarang mengerti mengapa Cui-beng-kui mencampuri urusan ini. Diam-diam ia bersyukur bahwa biar pun Ma Thai Kun kini sudah berubah menjadi iblis, namun agaknya masih memiliki kesetiaan terhadap Nan-cao sehingga turun tangan membunuh dua orang pengkhianat itu.

“Ma-suheng, biarkan siauwte menghadapi iblis jembel ini!” seru Kauw Bian Cinjin.

Ia terhitung adik seperguruan Cui-beng-kui. Mereka adalah empat orang saudara seperguruan. Yang pertama adalah mendiang Liu Gan, kedua ketua Beng-kauw sekarang, Liu Mo yang masih adik kandung Liu Gan, ketiga adalah Ma Thai Kun dan keempat Kauw Bian Cin­jin. Kauw Bian Cinjin bersama Liu Mo telah memperdalam ilmunya sehingga jauh melampaui dua tiga puluh tahun yang lalu, maka kini Kauw Bian Cinjin meragukan apakah suheng-nya yang puluhan tahun menghilang itu akan mampu menandingi It-gan Kai-ong yang ia tahu amat sakti. Ia sendiri pun masih ragu-ragu apakah ia akan menang, akan tetapi kalau Ma Thai Kun kepandaiannya masih seperti dua puluh lima tahun yang lalu, tentu jauh di bawah tingkatnya.

“Mundurlah!” Cui-beng-kui mendengus, dan dengan langkah-langkah kaku ia menghampiri It-gan Kai-ong. “Siapa menghina dia harus mati di tanganku!”

It-gan Kai-ong tertawa bergelak, “Ho­ho-ho-heh-heh, makin terbukti sekarang betapa bobroknya moral orang-orang Beng-kauw! Cui-beng-kui, kau disebut suheng oleh Kauw Bian Cinjin, berarti kau juga sute dari mendiang Pat-jiu Sin-ong dan kau terhitung paman guru Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian. Akan tetapi agaknya kau pun tergila-gila kepada murid keponakan yang jelita itu, ha-ha-ha!”

“Majulah jembel busuk. Hendak kubuktikan apakah kau patut menerima julukan sejajar dengan aku!” kata mayat hidup itu.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara bentakan nyaring sekali, bentakan seorang gadis yang melompat keluar dari dalam ruangan sembahyang, sebatang pedang bersinar kuning telanjang di tangannya. “Cui-beng-kui, kau pembunuh ayah, terimalah pembalasanku!” Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet yang amat lincah, Lin Lin melompati kepala banyak tamu, langsung menyerbu ke tengah lapangan menghadapi Cui-beng-kui. Gadis ini kelihatan marah sekali, sepasang matanya berkilat-kilat, kedua pipinya merah, bibirnya cemberut, pedang di tangan kanannya menggetar.

“Kau siapa? Jangan kira setelah kau dibebaskan, kau boleh bicara sesukamu. Siapa ayahmu?”

“Iblis busuk, setahun lebih kucari-cari kau, setan peti mati bersuling! Hayo katakan, bukankah kau pembunuh ayahku Kam Si Ek bersama isterinya dan seorang tamunya setahun yang lalu di Ting-chun?”

“Ho-ho, heh-heh, kiranya kau sudah membunuh sainganmu, Jenderal Kam Si Ek yang berhasil merenggut Tok-siauw-kwi dari tanganmu?” It-gan Kai-ong terkekeh-kekeh sambil mundur. “Hendak kulihat bagaimana kau akan dapat membereskan setan cilik ini, Cui-beng-kui. Aku menanti giliran!”

Muka yang pucat dan tak pernah bergerak kulitnya itu kini sepenuhnya menghadapi Lin Lin, membuat gadis itu merasa ngeri juga. Ia teringat akan pengalamannya di dalam ruangan peti mati yang menyeramkan. Seperti telah kita ketahui, ketika Lin Lin memasuki ruangan peti mati melalui terowongan rahasia, ia melihat peti mati yang mendadak dapat ‘hidup’ sehingga ia roboh pingsan, lalu ia telah dimasukkan ke dalam sebuah peti mati kosong oleh Cui-beng-kui!

Untung tidak lama Lin Lin pingsan di dalam peti mati. Ia siuman beberapa menit kemudian dan dapat dibayangkan betapa bingungnya ketika ia mendapatkan dirinya berada di tempat yang gelap gulita sehingga matanya seakan-akan buta. Melihat jari tangan sendiri pun tidak tampak! Ia meraba-raba dan teringatlah ia akan pengalamannya tadi. Hatinya berdebar. Iblis dalam peti mati itu! Sekarang ia pun berada di dalam peti mati. Tahulah ia bahwa ia telah ditawan oleh iblis tadi dan dimasukkan peti mati.

Dengan menabahkan hatinya, Lin Lin mendorong penutup peti itu terbuka. Ia melihat sinar terang, akan tetapi hampir saja ia jatuh pingsan kembali ketika melihat seorang laki-laki gundul, sebetulnya tak patut disebut orang laki-laki, melainkan lebih pantas disebut mayat hidup, berdiri terbungkuk di dekat peti di mana ia rebah. Muka itu pucat tak berdarah dan seperti kedok. Muka mayat! Kedua ujung bibir tertarik ke bawah, hidungnya panjang bengkok ke bawah.....

Akan tetapi Lin Lin teringat bahwa iblis ini adalah pembunuh ayah ibu angkatnya. Tidak salah lagi kali ini. Mendiang ibu angkatnya sebelum menghembuskan napas terakhir menyebut-nyebut tentang iblis dalam peti mati yang mengeluarkan suara seperti suling. Ingatan ini sekaligus mengusir semua rasa takut dan ngeri.

“Iblis jahat, kau pembunuh ayah ibuku...!” teriaknya dan Lin Lin bergerak hendak melompat ke luar dari dalam peti.

Akan tetapi iblis itu menggerakkan kedua tangan, menekan pundak Lin Lin dan gadis ini seketika tak dapat menggerakkan lagi kaki tangannya yang seakan-akan menjadi lumpuh.

“Hemmm, bagus sekali. Kau puteri mereka? Kebetulan sekali, kau cantik dan muda. Kau harus menebus hutang ayahmu, kau harus mengawani aku di sini, menghiburku, sampai kau atau aku mampus...,” suara iblis itu berbisik-bisik, mendesis-desis mengerikan dan kini mukanya makin mendekati muka Lin Lin, tangan yang tadinya menekan pundak kini bergerak ke arah leher dan dada.

Saking ngeri dan takutnya, Lin Lin menjerit keras. Suara jeritannya terdengar gemanya dari jauh, agaknya melalui lorong rahasia yang gelap itu. Akan tetapi hanya satu kali Lin Lin dapat menjerit karena di lain detik ibils itu sudah menotoknya, membuat ia selain tak mampu meronta, juga tak dapat mengeluarkan suara lagi. Dalam keadaan setengah pingsan Lin Lin merasa betapa dua buah lengan yang keras karena hanya tulang terbungkus kulit, yang dingin menjijikkan, akan tetapi amat kuat, memondongnya ke luar dari dalam peti.

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Lin Lin itu, tiba-tiba menyambar hawa dingin yang membawa datang bau semerbak harum mewangi, kemudian terdengar suara yang sama dinginnya. “Ma-susiok (Paman Guru Ma), kau hendak berbuat apa?”

Iblis itu yang tadinya sudah melangkah dua tindak, mendadak berhenti, memutar tubuhnya, dan memandang kepada seorang wanita rambut panjang riap-riapan yang tahu-tahu sudah berada di depannya. Wanita yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi yang wajahnya masih cantik jelita, terutama sepasang matanya yang seperti mata burung hong. Rambutnya hitam panjang sekali tidak disanggul, pakaiannya serba hitam sehingga tangan dan lehernya yang tak tertutup kelihatan makin putih.

Sejenak iblis itu tertegun, kemudian tubuhnya menggigil dan kedua tangannya gemetar sehingga tubuh Lin Lin terlepas dari pondongannya, membuat gadis ini jatuh dan bergulingan. Lin Lin terguling agak jauh, akan tetapi mukanya menghadap ke atas sehingga ia dapat menyaksikan pertemuan dua orang aneh itu.

“... Lu... Lu Sian...!” dengan sukar sekali akhirnya iblis itu mengeluarkan suara.

Jantung Lin Lin berdebar keras mendengar disebutnya nama ini dan ia makin memperhatikan wanita itu. Cantik memang, biar pun sudah tua, masih cantik jelita. Lebih cantik dari pada ibu angkatnya, ibu Sian Eng dan Bu Sin. Inikah isteri pertama ayah angkatnya? Inikah ibu sekandung dari Kam Bu Song, kakaknya yang lenyap? Inikah, menurut penuturan bibi gurunya Kui Lan Nikouw, wanita puteri ketua Beng-kauw yang berjuluk Tok-siauw-kwi?

“Hemmm, Ma-susiok, dengan perbuatanmu ini, apakah kau masih ada muka untuk tetap mengaku bahwa kau mencintaiku sampai kau mati? Huh, katanya kau pun sama saja dengan laki-laki lain, berhati palsu, pandai pura-pura, mengobral sumpah!”

“Tidak... tidak... Lu Sian, aku... bertahun-tahun aku menyiksa diri, aku menantimu... aku bersetia padamu... Lu Sian, apakah kedatanganmu ini menjadi tanda tiba saatnya aku mengecap kebahagiaanku, melewatkan hidup yang tak berapa lama lagi ini? Apakah timbul rasa iba di hatimu dan meyakinkan kau bahwa cintaku padamu murni?”

“Huh, tak perlu bermanis bibir, Susiok. Mau kau apakan gadis itu tadi?”

“Eh... aku... terus-terang saja... karena tak tertahankan lagi kesunyian ini... melihat gadis itu tadi... hampir saja... tapi untung kau segera datang, Lu Sian. Terima kasih! Setelah kau di sini, apa artinya gadis ini bagiku? Biar seribu orang bidadari turun, aku tidak pedulikan mereka asal kau....”

“Sudahlah, tak perlu banyak membujuk rayu. Kita bukan orang-orang muda belia. Susiok, di luar terjadi keributan. It-gan Kai-ong mengacau, kalau kau tidak memperlihatkan jasa terhadap Beng-kauw, mana aku percaya bahwa kau betul mencintaiku?”

“Lu Sian, aku tahu, selama ini kepandaianmu sudah hebat sekali, jauh melampaui kemampuanku. Mengapa kau tidak membasmi mereka yang mengacau? Aku... aku malu bertemu dengan orang-orang....”

“Hemmm, tentang permintaanmu mengawani kau di sini, baru akan kupertimbangkan kalau kau mau membuat jasa. Kalau tidak, jangan harap! Malah aku akan mengusir kau dari tempat ini!”

Terdengar iblis itu mengeluh dan diam-diam Lin Lin merasa kasihan sekali. Gadis muda ini telah menyaksikan adegan yang amat mengharukan, adegan tentang cinta kasih yang demikian mendalam. Heran ia mengapa iblis itu biar pun sudah tua, tetap tidak melupakan kasihnya yang demikian mendalam. Dan ia merasa terharu dan kasihan melihat iblis yang hampir saja mencelakakannya itu mengeluh dan melangkah perlahan-lahan ke tempatnya, yaitu peti matinya yang terbuka lebar.

Namun hanya sebentar saja rasa kasihan ini, karena segera ia teringat bahwa iblis itu adalah pembunuh ayah bundanya yang selama ini dicari-carinya. Pembunuh kejam yang harus ia balas, apa lagi tadi telah menghinanya dan hampir saja mencelakainya.

Iblis yang bukan lain adalah Ma Thai Kun, bekas Panglima Nan-cao dan yang sekarang terkenal dengan julukan Cui-beng-kui ini, dengan suara keluhan yang kemudian melengking seperti suara suling memasuki peti matinya, kemudian peti mati itu bergerak-gerak ke arah dinding. Tangannya terjulur keluar peti, menekan di ujung bawah kiri dinding itu dan terdengarlah suara berkerit yang disusul dengan terbukanya sebuah lubang pada dinding itu, lubang bundar dengan garis tengah satu meter.

“Lu Sian, aku mentaati permintaanmu...,” terdengar suara dari dalam peti yang meluncur cepat keluar melalui lubang itu. Lubang rahasia itu segera tertutup kembali dengan sendirinya.

Wanita berambut panjang itu menarik napas panjang, kemudian ia memandang Lin Lin. Tiba-tiba tangannya bergerak dan seketika Lin Lin terbebas dari totokan. Ia cepat meloncat bangun, menyambar pedangnya yang menggeletak di dekat peti mati yang tadi menjadi ‘tempat tidurnya’.

“Bibi, terima kasih atas pertolongan Bibi...,” Lin Lin berkata dengan suara perlahan, karena ia masih ragu-ragu bagaimana ia harus menyebut wanita ini. Kam Si Ek adalah ayah angkatnya. Kalau wanita ini isteri Kam Si Ek, berarti juga ibu angkatnya. Akan tetapi ia tidak berani menyebut ibu, maka lalu menyebut saja bibi.

“Kau anak Kam Si Ek? Ibumu Bwe Hwa?”

“Bukan, Bibi. Kam Si Ek adalah ayah angkatku. Bersama dua orang saudara angkat, aku pergi mencari Kakak Kam Bu Song. Bukankah Bibi ini ibu Kakak Kam Bu Song...?”

Akan tetapi wanita itu tidak menjawab, kelihatan termenung. Tiba-tiba ia bertanya. “Bukankah cintanya amat besar kepadaku? Biar pun sudah menjadi mayat hidup, ia masih mencintaku. Cinta yang murni....” Ia menarik napas lagi.

“Cinta bernoda darah!” Lin Lin berkata suaranya berubah dingin.

“Apa kau bilang...?” Wanita itu agaknya heran.

“Cintanya bernoda darah! Ia telah membunuh ayah dan ibu angkatku!”

“Hemmm, bocah, kau tahu apa? Itu karena cemburu yang ditahan-tahan di samping cinta kasihnya yang mendalam. Mana ada cinta tanpa cemburu? Ia tidak mengganggu selembar rambut Kam Si Ek selama masih menjadi suamiku, selama masih mencintaku. Akan tetapi setelah mendengar Kam Si Ek berpisah dariku, malah mengawini seorang wanita lain, nah, timbullah dendamnya dan dibunuhnya mereka.”

“Betapa pun juga, dia musuh besarku, harus kubalas dendam ini!”

Wanita itu mengeluarkan suara ketawa halus. “Kau...? Membalas padanya? Hik-hik, lucu sekali. Sesukamulah!” Tiba-tiba saja wanita rambut panjang itu berkelebat dan lenyap dari depan Lin Lin, meninggalkan bau harum yang menyengat hidung.

Lin Lin tidak mempedulikan hal itu lagi, ia cepat menghampiri dinding dan mencari alat rahasianya. Baiknya ia tadi melihat tangan Cui-beng-kui menekan ujung kiri bawah dinding, maka sekarang ia dapat melihat sebuah benda bundar sebesar ibu jari kaki terpasang di sudut itu. Cepat benda ini didorongnya sambil mengerahkan tenaga dan... terdengarlah suara berkerit seperti tadi dan dinding itu berlubang.

Lin Lin menerobos masuk dengan pedang di depan dada, siap menghadapi segala ancaman dari depan. Kiranya lubang itu merupakan lorong sempit. Ia merangkak terus dan setelah lewat dua puluh meter, ia melompat keluar dari terowongan ini ke dalam sebuah ruangan di mana terdapat sebuah pintu besar yang menembus ke ruangan sembahyang!

Demikianlah, pada saat Cui-beng-kui sedang berbantah dengan It-gan Kai-ong, secara tiba-tiba Lin Lin muncul dan serta merta gadis ini menghadapi Cui-beng-kui dan memaki-makinya sebagai pembunuh ayah ibu angkatnya. Cui-beng-kui adalah seorang iblis yang berkepandaian tinggi. Selain terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis juga ia bekas panglima tertinggi Kerajaan Nan-cao.

Tentu saja ia menjadi marah sekali ketika seorang gadis remaja berani memaki-makinya di depan orang banyak, apa lagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis ini adalah gadis yang membuat ia tadi kesalahan terhadap kekasihnya, Liu Lu Sian. “Betul aku yang membunuh jahanam Kam Si Ek dan isterinya. Kau mau apa? Bocah lancang, kau punya kepandaian apa berani berlagak di depanku?”

“Cui-beng-kui! Biar akan melayang nyawaku, aku pertaruhkan untuk membalas kematian ayah ibu angkatku!” bentak Lin Lin dan pedangnya menyambar.

“Cringgg!”

Lin Lin terhuyung ke belakang dan matanya memandang terbelalak. Kalau ia tidak mengalami sendiri, mana ia dapat percaya? Pedangnya yang menyambar leher tadi telah ditangkis oleh kuku-kuku jari tangan mayat hidup itu! Betapa mungkin kuku jari dapat membuat pedangnya terpental dan ia terhuyung?

“Lin-moi, jangan lepaskan dia!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis lain berkelebat ke dalam kalangan pertempuran dengan pedang di tangan.

“Enci Eng, hati-hati, dia lihai sekali!” Lin Lin girang melihat Sian Eng muncul dan membantunya, akan tetapi juga khawatir akan keselamatan Sian Eng karena ia maklum bahwa kepandaian enci-nya itu masih jauh terlalu rendah untuk ikut menghadapi iblis yang sakti ini.

“Eng-moi! Lin-moi! Jangan takut, aku datang!” Bu Sin melompat dengan pedang di tangan pula. Pemuda ini sejak munculnya Lin Lin tadi, sudah ingin sekali membantu adiknya, akan tetapi Liu Hwee memegang lengannya dan mencegahnya sambil mengatakan bahwa Cui-beng-kui bukanlah lawannya. Akan tetapi melihat kedua orang adiknya sudah berada di sana menghadapi pembunuh orang tuanya, tentu saja Bu Sin tak dapat tinggal diam lagi. Ia memaksa diri dan meloncat ke kalangan pertempuran menemani kedua orang adiknya.

“Heh, bagus sekali! Kalian ini anak-anak Kam Si Ek si keparat? Mari kuantar kalian menyusul orang tuamu!” Setelah berkata demikian, Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking nyaring tinggi seperti suara suling, disusul tubuhnya yang bergerak ke depan dengan kedua lengan menampar ke arah Bu Sin bertiga.

Pukulan ini mengandung hawa pukulan jarak jauh yang dahsyat sampai terdengar angin bersiutan menyambar-nyambar. Bu Sin cepat mengerahkan sinkang-nya namun ia tetap terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang. Lin Lin cepat mengerahkan Khong-in-ban-kin dan berhasil mengelak. Akan tetapi Sian Eng biar pun sudah mengerahkan sinkang, tetap saja ia terguling roboh!

“Keparat, rasakan pedangku!” Lin Lin yang berhasil mengelak tadi kini cepat menggerak-gerakkan pedang menerjang sambil mainkan ilmunya Khong-in-liu-san. Pedangnya menjadi segulung sinar bundar yang cemerlang, bagaikan bola api melayang ke arah Cui-beng-kui.

“Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus!” Cui-beng-kui memuji.

Pujian ini sudah membuktikan bahwa ilmu yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin itu memang bukan ilmu rendah. Sayang bagi Lin Lin bahwa ia kurang matang dalam latihan dan tentu saja, dibandingkan dengan Cui-beng-kui, ia kalah beberapa tingkat. Ketika pedangnya menyambar leher, kembali kuku jari tangan iblis itu menangkis pedang dan sekaligus tangan kanan yang berkuku runcing itu mencengkeram ke arah perutnya!

Lin Lin terkejut bukan main. Pedangnya yang tertahan kuku itu seakan-akan menempel. Ia tidak dapat menangkis, juga tidak dapat mengelak, sedangkan jari-jari tangan kanan yang berkuku runcing mengerikan itu mengancam perutnya yang tak terlindungi lagi! Pada saat itu, dalam keadaan terancam bahaya maut, Lin Lin menoleh ke arah Suling Emas, mengharapkan bantuan pendekar sakti ini. Ia melihat Suling Emas menggerakkan tangan kanan dan... Cui-beng-kui meloncat mundur dua langkah, terpaksa melepaskan Lin Lin yang juga cepat membanting diri ke belakang dan bergulingan.

“Keparat, siapa main gila...?!” Cui-beng-kui mendengus marah, memandang ke arah kiri dari mana datangnya batu kecil yang demikian kuat melayang dan mengancam urat nadi pergelangan tangannya tadi.

Akan tetapi pada saat itu telah berloncatan masuk enam orang Khitan yang langsung menyerbunya dengan senjata di tangan. Seorang di antara mereka berseru. “Keparat, berani kau menyerang Tuan Puteri kami yang mulia?”

Cui-beng-kui tercengang, akan tetapi juga timbul kemarahannya. Golok dan pedang yang menerjangnya bagaikan hujan itu ia sambut dengan kedua tangannya.

“Trang-tring-trang-tring...!” terdengar bunyi nyaring ketika senjata-senjata tajam itu beterbangan, kemudian disusul teriakan mengerikan ketika Cui-beng-kui berhasil mencengkeram tubuh dua orang Khitan.

Terdengar suara mengerikan dari daging robek dan dua orang ini roboh mandi darah, dada dan perut mereka robek, isinya berantakan keluar semua! Biar pun senjata mereka sudah terpental, menyaksikan dua orang kawannya tewas, empat orang Khitan yang lain dengan nekat menyerbu. Orang-orang Khitan terkenal gagah berani dan setia kawan, hal yang membuat suku bangsa ini menjadi kuat.

Enam orang yang menyerbu Cui-beng-kui ini adalah enam orang di antara dua puluh empat orang pengikut Pak-sin-tung yang terbagi menjadi empat kelompok, masing-masing terdiri dari enam orang. Sekelompok sudah tewas semua ketika membela Pak-sin-tung, kini kelompok kedua membela Lin Lin. Akan tetapi mereka pun sama sekali bukan tandingan Cui-beng-kui. Berturut-turut terdengar suara mengerikan dan empat orang Khitan yang mengeroyok iblis itu roboh pula dengan isi perut berantakan.

Mendadak dua belas orang Khitan yang lain datang menyerbu, akan tetapi bukan untuk menyerang Cui-beng-kui. Mereka mengeluarkan suara teriakan-teriakan aneh, berlari ke sana ke mari seperti orang melakukan tarian yang membingungkan. Teriakan-teriakan mereka seperti orang-orang menangis, melolong panjang dan tubuh mereka berloncat-loncatan mengitari sekeliling tempat itu.

Cui-beng-kui sendiri dan para tamu merasa terheran-heran karena belum pernah mereka menyaksikan ‘upacara’ macam ini. Tiba-tiba dua belas orang Khitan yang tadinya bersimpang-siur tanpa pernah saling bertabrakan itu, berubah menjadi barisan memanjang dan lari ke luar dari tempat itu sambil berteriak-teriak pula. Setelah mereka pergi, barulah semua orang terheran-heran, karena kepergian mereka ternyata tanpa disangka-sangka, telah membawa pergi pula mayat enam orang Khitan tadi, termasuk Lin Lin!

Mula-mula tidak ada yang menyangka bahwa gadis itu pun ikut pergi, karena dalam keadaan kacau-balau itu tidak terlihat Lin Lin ikut pergi. Akan tetapi ketika Bu Sin dan Sian Eng mencari adik mereka ini, ternyata Lin Lin tidak berada di situ dan barulah mereka menduga bahwa tentu Lin Lin ikut pergi dengan rombongan orang Khitan itu sebagai tuan puteri mereka! Selagi mereka kebingungan dan hendak nekat menerjang Cui-beng-kui pembunuh orang tua mereka, tiba-tiba Suling Emas sudah berada di belakang mereka dan berkata perlahan.

“Bu Sin, Sian Eng, mundurlah. Dia bukan lawanmu.”

“Twako, dia... dia pembunuh ayah ibu...!” Bu Sin membantah.

Sian Eng terharu mendengar kakaknya menyebut ‘twako’ kepada Suling Emas. Kini semua keraguannya lenyap. Jelas bahwa Suling Emas adalah kakaknya, Kam Bu Song yang selama ini mereka cari-cari, dan Bu Sin sudah mengetahuinya pula. Dengan terharu dan air mata berlinang ia memegang lengan Suling Emas, berkata perlahan. “Kau... kau Kakak Bu Song?”

Suling Emas tunduk memandang wajah cantik itu, lalu merangkul pundaknya dan mengelus rambut kepalanya. “Sian Eng, adikku, apakah baru sekarang kau tahu? Kalian berdua jangan melawannya, dia amat lihai, bukan lawan kalian.”

“Song-koko, kau majulah, balaskan kematian ayah kita...!” Sian Eng berkata.

Suling Emas tersenyum duka, lalu menggerakkan mukanya memandang ke arah depan. “Tenanglah dan lihat, dia bertemu tanding.”

Ketika mereka memandang, kiranya sambil tertawa-tawa It-gan Kai-ong sudah maju lagi berhadapan dengan Cui-beng-kui. Di belakangnya sekarang berdiri Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong!

“Hemmm, jembel busuk. Apakah kau hendak mengeroyok? Aku tidak takut, biar dua orang liar ini maju membantumu!” kata Cui-bengkui, nadanya mengejek.

“Ho-ho-heh-heh, aku tidak marah lagi padamu, Cui-beng-kui! Cara kau membereskan lawan-lawanmu benar-benar menyenangkan, cocok sekali kau menjadi seorang di antara Enam Iblis! Tak boleh kita saling basmi. Enam iblis harus tetap utuh. Tentang penentuan siapa paling unggul, nanti bulan lima malam kelima belas kita main-main di puncak Thai-san, Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia) akan bertemu dan saling menguji kepandaian di sana.”

“Hemmm, kau masih berani memaki Liu Lu Sian?”

“Ho-ho-ho, aku tidak memakinya lagi. Musuhmu bukan aku, melainkan keluarga she Kam. Kita Thian-te Liok-koai semua memusuhi Kerajaan Sung yang sombong. Sayang hanya Nan-cao yang tidak mau tahu, terlalu tenggelam dalam keangkuhan sendiri. Tanpa persatuan kerajaan-kerajaan kecil, mana dapat melawan? Mereka yang keenakan tenggelam, tentu kelak akan tahu rasa kalau Kerajaan Sung sudah menyerbu dan merampas kerajaan-kerajaannya. Cui-beng-kui orang Nan-cao, Siang-mou Sin-ni orang Hou-han, Hek-giam-lo orang Khitan, aku sendiri dari Wu-yueh, sedangkan Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dari pulau kosong di Lam-hai. Kenapa kita saling bertentangan? Lebih baik Thian-te Liok-koai bersatu untuk menumbangkan pemerintah Sung. Hal ini selain akan mengangkat tinggi-tinggi nama Thian-te Liok-koai, juga akan membebaskan kerajaan-kerajaan kecil dari pada ancaman Sung Utara!”

Ucapan It-gan Kai-ong ini bergema di tengah-tengah kesunyian para tamu yang mendengarnya. Kata-kata itu agaknya termakan betul di hati mereka. Hanya utusan Kerajaan Sung yang menjadi pucat lalu merah mukanya, tanda bahwa mereka terkejut dan marah. Selama ini, mereka menganggap It-gan Kai-ong se­bagai tokoh sakti yang tidak memusuhi Sung, karena semua tahu belaka bahwa kakek ini adalah guru dari Suma Boan, seorang putera Pangeran Sung. Siapa kira di tempat ini, disaksikan oleh para utusan dari semua pelosok, kakek pengemis ini mengeluarkan kata-kata seperti itu!

Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu disambung berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Sukar diikuti pandang mata gerakan ini dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita berambut panjang, cantik jelita, rambutnya riap-riapan. Siapa lagi kalau bukan Siang-mou Sin-ni! Dari rambutnya yang panjang terurai ini tersebar bau harum semerbak.

“Aku setuju dengan ucapan It-gan Kai-ong! Hi-hik, baru kali ini selamanya aku cocok dengan pendapat kakek jembel busuk ini! Kerajaan Hou-han selalu menyambut setiap uluran menghadapi Sung!”

Makin tegang keadaan di situ, terutama di antara para utusan Sung. Mereka ini diam-diam memperhatikan wajah para tamu, dan tentu saja mereka mengharapkan agar tidak banyak yang menyetujui ucapan permusuhan yang dicetuskan oleh It-gan Kai-ong terhadap Sung itu.

“Ho-ho-heh-heh! Bagus sekali, dewi cantik Siang-mou Sin-ni juga telah setuju! Nah, Cui-beng-kui, mau tunggu apa lagi kau? Di antara Thian-te Liok-koai, sudah ada empat tokoh yang setuju. Aku yakin yang kelima, yaitu Hek-giam-lo, tentu akan setuju pula. Orang-orang Khitan selamanya tidak menaruh hati suka terhadap Sung Utara!”

Hati Ouwyang Swan, Panglima Sung yang menjadi utusan kerajaannya, makin gelisah. Bukan gelisah karena nasib dia dan rombongannya, melainkan sebagai seorang panglima dan patriot sejati, ia gelisah akan nasib negaranya. Kalau cetusan permusuhan terhadap Sung ini berhasil, negaranya akan dikeroyok dari segenap penjuru. Ia tahu bahwa kalau Enam Iblis itu membantu pihak lawan, akan berbahaya sekali. Otomatis pandang matanya mencari-cari Suling Emas. Ia tahu bahwa pendekar sakti ini amat baik hubungannya dengan Kerajaan Sung.

“It-gan Kai-ong, jangan membuka mulut kotor di sini!” tiba-tiba Suling Emas berkata dengan suara nyaring. “Nan-cao dengan Beng-kauw mengadakan peringatan dan mengundang semua tamu tanpa memandang perbedaan, tidak nanti para pimpinan Beng-kauw yang bijaksana mendengar ocehanmu yang berbisa!”

Kemudian pendekar ini menghadapi Cui-beng-kui dan dengan suara hormat ia berkata, “Locianpwe, harap jangan mendengarkan obrolan mulut berbisa It-gan Kai-ong. Semua itu adalah rencana jembel busuk itu dengan muridnya, Suma Boan yang mempunyai rencana memukul Kerajaan Sung dari dalam dan merampas kekuasaan. Hanya orang-orang bodoh saja yang dapat diperalat oleh It-gan Kai-ong dengan rencana busuknya. Locianpwe sebagai bekas panglima ketua dapat memaklumi rencana busuk seperti itu.”

Hening sejenak mengikuti ucapan Suling Emas yang lantang ini. Kemudian terdengar It-gan Kai-ong terkekeh. “Ho-ho-heh-heh, Cui-beng-kui tokoh besar Thian-te Liok-koai, mana bisa dibujuk seorang bocah dengan lidah tak bertulang? Cui-beng-kui, kau tentu tahu siapa dia? Dialah yang disebut Suling Emas, bocah sombong yang mengandalkan kepandaian beberapa ilmu yang diwarisinya dari Kim-mo Tai-su. Tapi, kau tentu tidak menduga bahwa dia ini sebetulnya bernama Kam Bu Song, keturunan satu-satunya dari bekas kekasihmu Liu Lu Sian dan Kam Si Ek. Heh-heh, dia ini anak musuh besarmu, dialah buah dari pada percintaan antara kekasihmu dan jenderal itu.”

Mendadak Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking tinggi dan serta-merta ia menubruk Suling Emas dengan serangan maut dari kuku-kuku jari tangannya! Suling Emas sendiri kaget setengah mati mendengar betapa It-gan Kai-ong membuka rahasianya. Ia tidak tahu bahwa kakek itu mendengar rahasia ini dari Suma Boan yang bersama Sian Eng telah dapat mengetahui rahasia Suling Emas. Kini hal itu dijadikan senjata oleh It-gan Kai-ong untuk membakar hati Cui-beng-kui dan berhasillah usahanya. Cui-beng-kui yang merasa amat sakit hati terhadap mendiang Kam Si Ek yang merampas kekasihnya, kini marah sekali mendengar bahwa Suling Emas adalah anak jenderal itu bersama kekasihnya, Liu Lu Sian.

Namun Suling Emas bukanlah seorang lemah. Jauh dari pada itu, ia malah seorang sakti yang memiliki ilmu tinggi, menghadapi serangan mendadak yang amat dahsyat itu ia berlaku tenang. Cepat kakinya menendang bumi dan tubuhnya melayang ke belakang menghindari terjangan hebat.

“Locianpwe, sabarlah. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Pertama karena....” Terpaksa ia menghentikan kata-katanya karena pada saat itu Cui-beng-kui sudah menubruk dengan tangan kanan memukul ke arah dada sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala! Hebatnya bukan kepalang serangan ini, apa lagi dibarengi bentakan yang demikian nyaringnya sehingga banyak tamu yang kurang kuat roboh lemas!

Suling Emas terkejut. Ia sendiri merasa betapa jantungnya tergetar oleh bentakan ini dan maklumlah ia bahwa mungkin selama puluhan tahun bersembunyi di dalam peti mati telah mendatangkan semacam tenaga gaib yang amat mukjijat dalam bentakan mayat hidup itu. Ia maklum bahwa kalau ia mengadu tenaga menangkis, tenaga sinkang-nya akan berkurang oleh suara bentakan yang melengking tinggi mengerikan itu. Kembali ia meloncat ke samping menghindarkan diri sambil mencabut sulingnya.

Begitu ia menggerakkan sulingnya, terdengarlah suara melengking kedua yang jauh bedanya. Kalau suara melengking yang keluar dari kerongkongan Cui-beng-kui terdengar kasar seakan-akan hendak mencopot jantung memecahkan anak telinga, adalah lengking yang keluar dari suling Suling Emas terdengar lemah gemulai, halus lembut dan merdu, namun juga mengandung tenaga mukjijat yang seakan-akan mencopoti semua urat syaraf dalam tubuh. Kembali banyak tamu terguling roboh, merintih-rintih, merasa seluruh tubuh seperti ditusuk-tusuk jarum.

“... karena kau adalah tokoh Nan-cao,” suara Suling Emas terdengar jelas mengatasi dua suara melengking. “Kedua, karena kesetiaanmu terhadap ibuku sehingga kau rela hidup menderita....”

Kembali ia menghentikan kata-katanya karena serangan Cui-beng-kui makin dahsyat. Gerakan kedua lengan tangan Ciu-beng-kui merupakan lingkaran-lingkaran yang mematikan semua jalan ke luar, tak mungkin kali ini Suling Emas mengelak lagi. Terpaksa pendekar sakti ini mengerahkan tenaga, menangkis dengan sulingnya sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka didorongkan ke depan menyambut pukulan tangan kanan lawan.

Lengking suara Cui-beng-kui berubah menjadi pekik kemarahan dan kesakitan ketika tangan kirinya terpukul suling dari samping. Agaknya ia merasa sakit, maka dengan kemarahan besar ia memusatkan tenaganya pada tangan kanan yang disambut tangan kiri Suling Emas.

“Desssss...!” telapak tangan Suling Emas bertemu dengan tangan Cui-beng-kui.

Pertemuan dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan ini akibatnya luar biasa. Sejenak keduanya seakan-akan tertahan dan tangan mereka saling tempel melekat, akan tetapi beberapa detik kemudian, keduanya terhuyung ke belakang. Suling Emas tak dapat menahan dirinya, terjungkal dengan muka pucat, sedangkan Cui-beng-kui terhuyung-huyung dan berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya menggigil.

Bu Sin dan Sian Eng cepat menghampiri kakak mereka itu, membantunya bangun. Suling Emas meramkan mata sebentar, kemudian tersenyum, membuka mata dan menggoyang-goyangkan kepalanya. “Mundurlah kalian... aku tidak apa-apa...,” katanya, siap untuk menghadapi Cui-beng-kui yang ganas.

Dengan wajah penuh kekhawatiran, Bu Sin dan Sian Eng mundur. Suling Emas sudah berdiri dan kini dia merasa penasaran. Mayat hidup itu tidak tahu diri, pikirnya. Tidak tahu bahwa ia sebagai orang muda sudah mengalah banyak. Ia berlaku sungkan karena mengingat akan ibunya, ingat bahwa orang ini adalah seorang yang sengsara hidupnya karena cinta kasihnya terhadap ibunya. Inilah sebabnya mengapa ia masih berlaku sabar sungguh pun ia tahu bahwa orang ini adalah pembunuh ayahnya.

Ia sudah banyak mengalah. Siapa kira, Cui-beng-kui malah menggunakan kesempatan selagi ia mengalah itu untuk mencelakainya, dengan melontarkan pukulan tadi. Ia dapat menduga, itulah pukulan maut yang kata orang disebut Cui-beng-ciang (Pukulan Pengejar Roh), yang selalu menjadi buah percakapan para tokoh tingkat tinggi dengan hati kagum karena selama ini belum pernah ada yang sanggup mengatasi pukulan maut itu! Dengan pukulan ini pula Cui-beng-kui mengangkat namanya menjadi seorang di antara Enam Iblis. Dan sekarang iblis itu telah menggunakan pukulan ini terhadapnya!

“Iblis tua, kau tidak tahu dihormat orang muda!” katanya perlahan dan timbul niat untuk memberi hajaran kepada Cui-beng-kui.

Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti dan memandang tajam. Tidak hanya Suling Emas yang tertegun heran, juga para tokoh besar yang hadir di situ tertegun karena telinga mereka yang terlatih mendengar suara yang terlampau tinggi untuk dapat ditangkap telinga biasa. Suara ini makin lama makin kuat dan sudah tampak banyak orang di kalangan tamu yang roboh pingsan! Tidak hanya yang berkepandaian rendah, bahkan yang cukup pandai pun tidak kuat menahan getaran yang tiba-tiba menguasai seluruh tubuh mereka itu. Sebentar saja, puluhan orang tamu menggeletak pingsan. Hal ini mengejutkan semua orang sakti yang berada di situ.

Ketua Beng-kauw sendiri tampak duduk tak bergerak mengerutkan keningnya, kelihatan mengerahkan tenaga batin untuk menolak pengaruh seperti pembawaan iblis ini. Namun diam-diam ia bertukar pandang dengan sutenya, Kauw Bian Cinjin, karena timbul dugaan di dalam hatinya. Nyata dari pandang matanya, kiranya Kauw Bian Cinjin juga merasakan hal yang sama dan mempunyai dugaan sama pula.

Mereka itu sebagai tokoh-tokoh tertinggi Beng-kauw hanya pernah mendengar mendiang Pat-jiu Sin-ong, suheng mereka, mendongeng tentang guru besar Beng-kauw yang memiliki kesaktian sebagai dewa-dewa di langit! Di antara kesaktian-kesaktian itu, kata Pat-jiu Sin-ong, yang pernah dilihat oleh ketua Beng-kauw pertama itu adalah ilmu yang disebut Coan-im-i-hun-to, yaitu ilmu mengirim suara gaib merampas semangat.

Ilmu ini merupakan cabang dari pada ilmu Sin-gan-i-hun-to, semacam ilmu merampas semangat melalui pandang mata (Hypnotism?), hanya bedanya, yang pertama menggunakan khikang yang disalurkan melalui getaran suara dalam untuk mempengaruhi orang lain, sedangkan yang kedua lebih menggantungkan kepada kekuatan yang disalurkan melalui pandang mata. Menurut dongeng yang diceritakan mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, guru besar Beng-kauw dapat mempergunakan Coan-im-i-hun-to sedemikian hebatnya sehingga dengan suara itu dapat meruntuhkan burung-burung yang sedang terbang dan dapat menundukkan dan memanggil datang semua binatang buas di dalam hutan.

Kini mereka mendengar suara bernada begitu tinggi dengan getaran aneh yang amat kuat, tentu saja timbul dugaan, apakah ini gerangan yang disebut Coan-im-i-hun-to? Kalau benar demikian, siapakah orangnya yang sanggup menggunakannya? Mendiang Pat-jiu Sin-ong sendiri menurut pengakuannya hanya dapat menggunakan sepersepuluh bagian saja. Suara yang dikeluarkannya masih didengar telinga biasa dan daya serangnya pun tidak begitu kuat. Akan tetapi yang sekarang menggunakan ilmu itu sekaligus dapat membikin puluhan orang tamu yang semua ahli silat belaka, roboh pingsan!

Kalau dua orang tokoh Beng-kauw itu menduga-duga, maka tokoh-tokoh lain, termasuk orang-orang sakti seperti It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin, Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, Suling Emas dan lain-lain, menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tentu saja dengan sinkang yang amat kuat, mereka tidak terpengaruh terlalu hebat oleh getaran suara itu.

Tiba-tiba terdengar suara merdu halus, mengambang di atas getaran tadi. “Ma-susiok (Paman Guru Ma), berani kau mengganggu anakku?”

Suling Emas sedang sibuk mengurut dan menotok jalan darah di belakang pundak dan tengkuk Sian Eng yang juga roboh pingsan oleh suara tadi, sedangkan Bu Sin di dekat Sian Eng duduk bersila meramkan mata mengerahkan tenaga dalam seperti yang ia pelajari dari kakek sakti sehingga ia terbebas dari pada pengaruh Coan-im-i-hun-to. Ketika mendengar suara ini, Suling Emas menjadi pucat mukanya. Cepat ia melompat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan... kedua kaki pendekar ini menggigil!

Kini semua mata tertuju ke arah pintu dalam ruangan sembahyang karena dari dalam pintu itu keluarlah seorang wanita, langkahnya perlahan dan ringan seakan-akan tidak menginjak lantai. Munculnya wanita ini mengakhiri suara dan getaran tadi. Langkahnya ringan, sikapnya agung dan pribadinya mendatangkan kesan yang bermacam-macam. Ia sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya, namun masih cantik jelita mengagumkan. Bentuk mukanya yang manis berkulit putih, memerah dadu di kedua pipinya, hidungnya kecil mancung, mulutnya kecil dengan bibir merah dan indah bentuknya, seperti gendewa terpentang. Sepasang matanya menyaingi mata burung hong yang sedang birahi, dihias bulu mata panjang hitam melentik, dilindungi sepasang alis kecil panjang menjungat ke atas di bagian ujungnya, dagunya meruncing dan sedikit pun tidak tampak tanda-tanda keriput. Hanya pada rambutnya terdapat tanda usia tua. Rambutnya tebal dan panjang terurai sampai ke lutut, menutupi seluruh tubuh bagian belakang, akan tetapi rambut itu sudah tampak berwarna dua karena banyaknya rambut putih terselip di sana-sini.

Hanya tiga orang saja di seluruh ruangan itu yang mengetahui dengan pasti siapa wanita ini. Pertama adalah Beng-kauwcu Liu Mo, karena kakek ini memang tahu bahwa keponakannya yang selama puluhan tahun lenyap dari dunia ramai, beberapa tahun yang lalu ini telah kembali dan bersembunyi di lorong-lorong rahasia yang merupakan terowongan di bawah tanah. Juga Liu Hwee, puteri ketua Beng-kauw, tahu akan hal ini dan seperti pernah diceritakan di bagian depan ketika melarikan diri bersama Bu Sin, Liu Hwee mengajak Bu Sin melalui bagian di mana bersembunyi wanita itu. Orang ketiga yang tahu akan wanita ini adalah Cui-beng-kui, karena wanita ini adalah kekasihnya dan merupakan satu-satunya orang yang paling ia cinta, ia segani dan ia takuti di seluruh dunia ini.

Masih ada seorang lagi yang hanya menduga-duga dengan ragu-ragu dan dengan jantung berdebar keras serta kedua kaki menggigil, yaitu Suling Emas sendiri. Inikah ibu kandungnya? Ia memeras ingatannya. Ketika ia berusia kurang lebih sembilan tahun, ibunya pergi meninggalkan ia dan ayahnya. Pergi tanpa pamit dan tidak ada yang tahu ke mana perginya, malah semenjak itu sampai saat ini belum pernah ia bertemu muka. Ia ingat bahwa dahulu ibunya seorang wanita cantik jelita. Ketika pada saat itu tercium olehnya bau harum semerbak yang juga tercium oleh semua orang pada saat wanita itu muncul, teringatiah Suling Emas. Tak salah lagi, inilah ibu kandungnya. Bau wangi seperti ini pula yang tak pernah ia lupakan, bau ibunya dulu.

Akan tetapi ia menahan perasaannya sehingga lidahnya yang sudah bergerak, bibirnya yang sudah gemetar hendak meneriakkan panggilan itu ia tahan. Matanya memandang sayu, penuh keharuan, penuh kedukaan, dan penuh kehausan kasih sayang ibu.

Wanita itu memang bukan lain adalah Tok-siauw-kui Lu Lu Sian, yang pada tiga puluhan tahun yang lalu menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjangnya yang ganas, dengan ilmu silatnya yang tinggi, dan dengan kecantikannya yang luar biasa. Selama berpisah atau bercerai dari Kam Si Ek, dunia kang-ouw tidak mendengar lagi namanya, namun bagi mereka yang berurusan dengannya, tentu saja tidak akan dapat melupakan wanita hebat ini.

Kini semua orang memandangnya. Yang sudah mengenalnya terkejut, yang belum mengenalnya menduga-duga siapa gerangan wanita yang dapat menggunakan ilmunya sedemikian hebat sehingga dengan suaranya saja dapat membikin pingsan puluhan orang. Liu Lu Sian melangkah maju terus, langkahnya lambat akan tetapi ada sesuatu yang amat mengerikan tersembunyi di balik kecantikannya, di balik langkah yang lemah gemulai, di balik sikap yang agung. Sepasang matanya menyapu para tamu dengan tak acuh, dan kedua kakinya terus melangkah menghampiri Cui-beng-kui.

Iblis yang biasanya menyeramkan hati setiap orang itu kini berdiri dengan kedua kaki menggigil, sinar matanya mengandung takut yang amat hebat, punggungnya membungkuk-bungkuk dan dari bibir mayatnya itu keluar ucapan lemah tersendat-sendat, “Tidak... tidak... Lu Sian... jangan kau benci padaku... ah, ampunkanlah aku... jangan benci....”

“Berani kau menggunakan Cui-beng-ciang mencoba membunuhnya?” kembali Liu Lu Sian berkata lirih, terus melangkah mendekati.

“Ti... tidak... Lu Sian... aku benci karena dia... dia putera Si Ek. Jangan... jangan pandang aku seperti itu... Lu Sian... kau ampunkan aku... kau bunuhlah aku... tapi jangan benci...!”

Semua orang melongo. Benar-benar sebuah adegan yang aneh, lucu, juga mengharukan. Kiranya iblis itu bukan takut akan keselamatannya, melainkan takut kalau-kalau wanita yang dicintanya itu membencinya! Dari adegan itu sudah dapat dibayangkan betapa besar dan mendalam cinta kasih iblis itu terhadap Liu Lu Sian!

Cui-beng-kui mundur-mundur, terus diikuti Liu Lu Sian dan akhirnya mereka berdiri berhadapan, saling menentang pandang. Wanita itu tersenyum dan semua orang tersirap darahnya. Senyum itu masih manis luar biasa karena semua giginya masih utuh. Akan tetapi entah bagaimana, di balik senyum ini terbayang sesuatu yang tidak semestinya, yang membikin orang bergidik, yang meremangkan bulu roma, seperti senyum seorang siluman!

“Tidak, Ma Thai Kun, betapa aku dapat membencimu? Dahulu aku memang benci padamu karena kau mendesak-desakku dengan cinta kasihmu yang membikin aku gemas dan benci karena rupamu buruk. Aku lebih baik memilih Kam Si Ek yang tampan dan gagah, dan memilih pria-pria lain yang tampan. Akan tetapi cinta kasih mereka itu semua palsu belaka, hanya cinta kasihmu yang murni, Ma Thai Kun. Kalau dahulu aku memilihmu, tidak akan terjadi seperti sekarang ini, hidupku penuh pahit getir dan kekecewaan. Ma Thai Kun, biarlah orang-orang tiada guna ini semua menyaksikan bahwa sekarang aku menerima cintamu, aku menerima cinta kasihmu yang suci murni!”

Semua orang melongo. Benar-benar adegan yang luar biasa di mana seorang wanita tua menyatakan cinta kasih kepada kakek yang seperti iblis. Adegan roman yang tidak romantis, bahkan lucu dan menyeramkan. Ingin mereka itu tertawa, namun tidak ada yang berani membuka mulut. Mereka tetap melongo dan mulut mereka terbuka makin lebar ketika melihat betapa Cui-beng-kui menangis!

Iblis itu menangis, melangkah maju dan merangkul Liu Lu Sian. Di antara tangisnya terdengar ia berkata, “Terima kasih... terima kasih Lu Sian, aku cinta padamu....”

Wanita cantik jelita itu kemudian menyambut muka mayat hidup itu dengan sebuah ciuman mesra, terdengar kata-katanya, “Aku menciummu sebagai tanda penerimaan cinta kasihmu, akan tetapi aku harus membunuhmu karena kau telah mengganggu anakku....” Ucapan ini disusul ciuman, akan tetapi ciuman ini merupakan ciuman maut bagi Cui-beng-kui karena tiba-tiba tubuhnya berkelojotan kaku.

Ketika wanita itu melepaskan rangkulannya, ia roboh terguling miring dengan mata melotot. Darah keluar dari semua lubang di tubuhnya, yang tampak mengerikan keluar dari lubang hidung, mulut, dan kedua telinganya. Di punggungnya, di mana tadi kedua tangan Liu Lu Sian memeluknya, tampak tanda tapak tangan dengan sepuluh jari, jelas sekali bekas jari-jari itu terbenam di punggung, meninggalkan cap tangan seperti baru saja punggung itu dicap dengan gambar tangan besi dibakar merah!

“Wah, Thian-te Liok-koai kurang seorang!” terdengar It-gan Kai-ong mengeluh dan membanting ujung tongkatnya di atas tanah. “Tok-siauw-kui, kau boleh menggantikan kedudukannya. Heh-heh, dengan tingkat kepandaianmu, kau cukup berharga menjadi Iblis Dunia dan kehadiranmu menggantikan Cui-beng-kui membuat Thian-te Liok-koai lengkap kembali. Ho-ho-he!”

Memang seorang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong ini memiliki watak yang aneh juga cerdik. Ia maklum bahwa baru saja Tok-siauw-kui Liu Lu Sian memamerkan kepandaiannya sehingga semua orang menjadi kagum. Hal ini akan merendahkan nama besar Thian-te Liok-koai, apa lagi setelah seorang di antara Liok-koai terbunuh oleh wanita itu. Oleh karena inilah maka ia sengaja mengeluarkan ucapan itu sehingga timbul kesan bahwa bagi It-gan Kai-ong dan anggota Liok-koai lainnya, kepandaian Tok-siau-kui itu hanya setingkat dengan kepandaian mereka!

“Tikus busuk, jangan menjual lagak di sini. Pergi!” Liu Lu Sian berkata sambil menggerakkan kaki melayang ke depan dan tangan kanannya bergerak mendorong. Gerakannya kelihatan lambat saja, akan tetapi entah bagaimana, tak dapat diikuti oleh pandangan mereka, tahu-tahu ia telah berada di sebelah atas pundak kanan It-gan Kai-ong dan kedua tangannya dengan jari tangan terbuka menghantam kepala dan punggung!

Hebat bukan main serangan ini. It­gan Kai-ong merasa seakan-akan diserang gelombang ombak dari belakang dan depan. Namun sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan, tentu saja ia tidak mau menyerah mentah-mentah. Tongkatnya sudah berkelebat ke atas menangkis kedua tangan lawan. Ia berhasil menangkis tangan yang menghantam kepala, akan tetapi tangan yang menampar pundak, biar pun dapat ia elakkan sehingga tidak tepat mengenai tempat berbahaya, namun masih saja menyerempetnya.

“Plakkk... brettt!!”

Keduanya melompat mundur. Dalam segebrakan saja sudah tampak kesudahannya yang mengerikan. Untung keduanya memiliki ilmu tinggi, kalau tidak tentu keduanya sudah roboh dan tewas. Lengan kiri Liu Lu Sian tampak berjalur merah akibat tangkisan tongkat, akan tetapi kakek pengemis itu lebih hebat penderitaannya. Baju pada pundaknya bolong besar seperti terbakar dan kulit pundaknya melepuh! Untung sinkang-nya amat kuat sehingga ia berhasil menolak hawa pukulan maut tadi sehingga hanya terluka pada kulitnya saja. Kalau kurang kuat, tentu di pundaknya sudah terdapat ‘cap’ lima jari merah terbakar dan nyawanya melayang!

Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong sudah melangkah maju, sikap mereka jelas hendak membantu It-gan Kai-ong. Akan tetapi kakek pengemis itu menggunakan kedua lengannya mencegah mereka, lalu menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata.

“Bagus, kau memang patut menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Akan tetapi adu kepandaian di antara Liok-koai bukan di sini tempatnya. Untuk menentukan siapa lebih unggul, kau diharapkan ikut datang pada bulan lima malam kelima belas di puncak Thai­san. Yang tidak datang dianggap kalah dan diberi tingkat paling rendah. Ho-ho-heh-heh!”

“Kai-ong, apakah dia tidak diberi hajaran sedikit agar jangan sombong terhadap kita?” Tok-sim Lo-tong berkata sambil ‘sentrap-sentrup’ menyedot isi hidungnya yang mau keluar saja.

“Jangan, Lo-tong. Dia masih terhitung orang dalam dari Beng-kauw, tidak enak kita sebagai tamu membikin ribut. Nah, Beng-kauwcu, selamat tinggal! Tok-siauw-kwi, kalau nanti go-gwe-cap-go (bulan lima tanggal lima belas) kau tidak datang, berarti kau menjadi Liok-koai yang paling bawah tingkatnya!” Setelah berkata demikian, It-gan Kai-ong menggapai muridnya, Suma Boan, diajak pergi dari tempat itu, diikuti oleh Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Berturut-turut para wakil dari Kerajaan Wu-yueh juga berpamitan, karena setelah kakek pengemis yang mereka andalkan itu pergi, otomatis mereka merasa kedudukan mereka amat lemah dan tidak ada perlunya berada di situ lebih lama lagi.

Bu Sin merasa heran dan kaget, juga gemas ketika melihat Suma Boan mendekati tempat mereka dan berkata kepada Sian Eng, “Eng-moi-moi, kau tunggulah, aku pasti akan pergi mengunjungi Kui Lan Nikouw di Cin-ling-san.”

Betapa herannya hati Bu Sin melihat adiknya itu mengangguk dengan muka merah. Setelah Suma Boan pergi, Bu Sin memegang tangan adiknya dan bertanya lirih, setengah berbisik, akan tetapi suaranya mengandung tuntutan keterangan, “Eng-moi, apa artinya ini? Apa hubunganmu dengan keparat itu dan mau apa ia mengunjungi Sukouw (Bibi Guru)?”

Merah sekali muka Sian Eng. Lama ia tidak mampu menjawab, hanya menundukkan muka. Akhirnya ia berkata juga, “Dia... dia hendak melamarku....”

Bu Sin meloncat kaget seperti disengat lebah. “Apa...?!” Wajahnya jelas membayangkan tidak percaya.

“Mengapa kau kaget, Koko? Bukankah itu hal yang biasa saja?”

“Kau bilang biasa? Ah, Moi-moi, mana akalmu yang sehat? Apakah... agaknya kau telah menyetujuinya...?”

“Sudahlah, Koko. Ini bukan urusan kita, terserah keputusan Sukouw saja....”

“Tidak! Kau tidak boleh berjodoh dengan keparat itu! Dia jahat, dia... dia... ah, Eng-moi, bagaimana kau...?”

“Sssttttt, Koko. Kita menjadi perhatian orang. Lihat itu, ada keributan lagi...,” Sian Eng mencegah, merasa bahwa bukan pada tempatnya kalau ia membicarakan soal hubungannya dengan Suma Boan di tempat itu.

Bu Sin menengok dan benar saja. Semua tamu yang tadinya agak kacau oleh keberangkatan beberapa rombongan, kini tenang kembali dan memandang ke arah rombongan tuan rumah karena di situ terjadi hal yang menarik sekali.

“Kita akan bicara tentang ini nanti...,” kata Sian Eng perlahan dan Bu Sin dengan muka keruh terpaksa mengalihkan perhatiannya.

Apakah yang terjadi? Kiranya Liu Lu Sian tadi menoleh ke arah Siang-mou Sin-ni dan berkata ketus. “Kau masih di sini dan tidak lekas angkat kaki?”

Siang-mou Sin-ni melesat dari tempat duduknya dan kini ia berhadapan dengan Liu Lu Sian. Amat menarik melihat dua orang wanita ini berdiri saling berhadapan. Keduanya sama cantiknya, biar pun Siang-mou Sin-ni tentu saja lebih muda dari pada Liu Lu Sian. Keduanya memiliki rambut yang sama panjangnya dan keduanya mengurai rambut di belakang tubuh. Heranlah semua orang ketika dengan sikap amat menghormat, Siang-mou Sin-ni menjura di depan Liu Lu Sian dan berkata.

“Beruntung sekali dapat berjumpa dengan Suthai di sini setelah bertahun-tahun saling berpisah. Semoga Suthai dalam keadaan baik saja.” Tentu saja semua orang terheran. Sebutan suthai (ibu guru) biasanya hanya ditujukan kepada seorang pendeta wanita atau kepada seorang guru. Bagaimanakah iblis wanita Siang-mou Sin-ni menyebut suthai kepada Liu Lu Sian?.

“Kim Bwee, sejak kapan aku menjadi gurumu? Apakah karena satu dua ilmu yang kuberikan kepadamu itu kau lalu boleh menganggap aku sebagai guru? Tidak! Jangan kira kau akan dapat membujukku, mengangkat menjadi gurumu lalu kau ingin aku membantu cita-citamu menguasai Hou-han? Huh, perempuan tak tahu malu. Pergi kau!”

Muka Siang-mou Sin-ni menjadi merah sekali, dan rambutnya yang halus itu tiba-tiba menjadi kaku. Tiba-tiba sikapnya yang menghormat itu lenyap, terganti sikap menantang. Ia mengangkat kedua tangan ke pinggangnya, dengan tangan kanan bertolak pinggang dan tangan kiri menudingkan telunjuk, ia berkata, “Karena menerima ilmu darimu, aku selamanya mengurai rambut dan berterima kasih, menghormatmu sebagai guru. Akan tetapi kau memandang rendah kepadaku. Hemmm, benar-benar kau orang tua yang tidak ingin dihormat!”

Liu Lu Sian tersenyum, lalu melangkah maju sampai dekat sekali dengan Siang-mou Sin-ni. “Bocah! Sekali menggerakkan tangan, aku mampu melempar nyawamu ke neraka! Akan tetapi mengingat beberapa orang di Hou-han, aku masih mengampunimu. Nah, kau mau apa? Mau menyerangku dengan rambutmu? Boleh, lakukanlah!” Tantangan yang menghina sekali.

“Wanita tak kenal budi! Di Hou-han kami memperlakukan kau sebagai orang mulia, menyuguhkan pria-pria yang paling tampan, jejaka-jejaka paling gagah untukmu. Tapi kau membalas dengan penghinaan! Jangan kira Siang-mou Sin-ni masih seperti sepuluh tahun yang lalu. Terimalah ini!”

Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang gemuk hitam dan panjang itu menyambar, merupakan puluhan pecut yang luar biasa kuat dan lihainya. Setiap pecut yang terbuat dari puluhan sampai ratusan helai rambut itu mengarah jalan darah mematikan di tubuh Liu Lu Sian!

Perlu diketahui bahwa meski pun Siang-mou Sin-ni memang sejak kecil melatih diri dengan ilmu silat tinggi, namun ilmu menggunakan rambut ini ia dapat dari Liu Lu Sian. Tentu saja ilmu ini biar pun amat berbahaya bagi orang lain, namun bagi Liu Lu Sian bukan apa-apa lagi. Wanita ini tiba-tiba merendahkan tubuhnya, dari mulutnya keluar lengking tinggi mengerikan, kedua tangannya bergerak-gerak ke depan dan... pecut-pecut rambut itu berkibar-kibar membalik dan menghantam Siang-mou Sin-ni sendiri!

“Ayaaaaa!” Siang-mou Sin-ni kaget dan cepat ia melompat ke atas dan berjungkir balik beberapa kali untuk melenyapkan daya serangan membalik tadi. Ketika ia turun di atas tanah, ternyata sebagian rambutnya yang panjang telah bodol dan berhamburan di atas tanah. Wajahnya berubah pucat, giginya berkerut, dan matanya mendelik.

“Liu Lu Sian! Kau besar hati karena berada di tempat sendiri. Andai kata aku dapat mengalahkanmu, tentu aku akan menghadapi perlawanan anakmu si Suling Emas dan orang-orang Beng-kauw. Aku tunggu nanti Go-gwe Cap-go di puncak Thai-san!” Setelah berkata demikian, Siang-mou Sin-ni berkelebat cepat menghilang dari situ. Tentu saja para utusan Hou-han menjadi sibuk, cepat meninggalkan tempat itu pula tanpa sempat berpamit lagi.

“Bu Song! Ke sini kau...!” Liu Lu Sian kini menoleh kepada Suling Emas dan memanggil dengan suara halus lembut.

Suling Emas berdiri terkesima. Sejak tadi pelbagai perasaan mengaduk hatinya dan teringatlah ia akan masa dahulu di waktu ia masih kecil. Sering kali ayah ibunya saling cekcok. Ketika ibunya pergi, diam-diam ia merasa sedih sekali, karena betapa pun juga, ia lebih cinta ibunya dari pada ayahnya. Oleh karena itulah ketika ayahnya menikah lagi timbul rasa bencinya kepada ayahnya dan rasa sayangnya terhadap ibunya makin menghebat. Di dalam hatinya timbul perasaan bahwa antara ibu dan ayahnya, ayahnyalah yang salah. Oleh karena itu ia minggat meninggalkan ayahnya yang telah menikah lagi.

Pada waktu ibunya pergi meninggalkan ayahnya, ia masih terlalu kecil untuk dapat mengerti sebab-sebabnya. Sekarang setelah iblis wanita yang mengerikan dan mengaku ibunya itu muncul, ia menjadi kecewa dan duka bukan main. Beginikah wanita yang menjadi ibu kandungnya? Kejam, aneh, mengerikan, dan tidak tahu malu? Apa lagi kalau ia teringat akan ucapan Siang-mou Sin-ni tadi di depan ibunya. Ibunya di Hou-han diperlakukan sebagai orang mulia, disuguhi pria-pria paling tampan, jejaka-jejaka paling gagah? Memuakkan! Dan ucapan itu oleh Siang-mou Sin-ni diucapkan dengan lantang di depan demikian banyak orang tokoh kang-ouw! Dan ibunya tidak membantahnya!

“Bu Song, anakku, ke sinilah. Aku Ibumu, aku rindu kepadamu!”

Ucapan ini mengagetkan hatinya, menyeret ia turun dari lamunannya. Hatinya seperti diawut-awut, kecewa, sedih, terharu. Bagaikan seorang terkena pesona, kedua kakinya melangkah maju di luar kehendak hatinya, maju menghampiri wanita tua cantik jelita yang bertahun-tahun menjadi lamunannya ini, menjadi bayangan yang dirindukannya.

Liu Lu Sian memeluk pundaknya yang lebar. “Bu Song anakku... ah, kau sudah begini gagah perkasa! Hi-hi, kau pria paling gagah di seluruh Nan-cao, di seluruh dunia. Kaulah yang patut memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar di Nan-cao, dan aku yang akan memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar dan aku sebagai Beng-kauwcu, Nan-cao akan menjadi negara terkuat di dunia.”

“Ahhhhh...!” Suling Emas terkejut sekali dan tanpa disengaja ia merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ibunya, memandang terbelalak.

Liu Lu Sian menyambar lengan Suling Emas, ditariknya mendekat lalu ia menciumi pipi pemuda itu dengan hidung dan mulutnya sampai mengeluarkan suara berkecupan. Suling Emas menjadi bingung dan sedih, karena perbuatan ibunya itu disaksikan oleh sekian banyak orang dan tampak tidak patut sekali, akan tetapi keharuan hatinya yang amat besar membuat ia tak mampu bergerak dan di hati kecilnya ada perasaan bahagia melihat kasih sayang ibunya yang demikian besar terhadap dirinya.

“Hi-hik, anakku yang gagah perkasa, yang tampan, kepandaianmu hebat juga. Kau patut menjadi Kaisar Nan-cao.” Tiba-tiba ia melepaskan puteranya dan melangkah lebar menghadap Beng-kauwcu dan Kaisar Nan-cao yang duduk dengan muka berubah dan kedua tangan memegangi lengan kursi masing-masing dengan hati tegang.

“Paman Liu Mo, kursi yang kau duduki itu adalah kursiku! Kau orang tua benar-benar keterlaluan dan tak tahu malu sekali. Kapankah ayah mewariskan kedudukan Beng-kauwcu kepadamu? Akulah yang berhak mewarisi kedudukan ketua Beng-kauw, bukan kau! Kau telah merampas hal lain orang!”

Muka Beng-kauwcu Liu Mo sebentar merah sebentar pucat, kedua tangannya yang terletak di atas lengan kursi tampak menggetar. Akan tetapi setelah menarik napas panjang tiga kali, ia berhasil menekan perasaannya dan dengan suara tenang penuh kesabaran ia berkata.

“Lu Sian, tidak ada yang merampas kedudukan Beng-kauwcu. Kedudukan itu tidak pernah dijadikan perebutan di antara kita. Dahulu kau pergi meninggalkan kami, betapa pun kami mencarimu, tidak juga berhasil. Ayahmu meninggal dunia dan kau tidak berada di sini. Hanya aku yang berada di sini dan aku dipilih menggantikan kedudukan Kauwcu, sama sekali bukan merampas. Kalau sekarang kau menghendakinya, aku pun tidak akan kukuh mempertahankan kursi kedudukan itu, Lu Sian.”

Liu Lu Sian tertawa. “Hi-hi-hik, tentu saja harus kau berikan kepadaku, suka mau pun tidak. Andai kata tidak kau berikan, apa sih sukarnya merampas kembali dari tangan kau orang tua? Aku harus menjadi Kauwcu dan dengan kekuasaanku, aku mengangkat puteraku Bu Song menjadi kaisar di Nan-cao!”

“Enci Lu Sian, kau terlalu menghina Ayah!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Liu Hwee sudah melompat ke depan Liu Lu Sian sambil menyerangnya dengan senjatanya yang luar biasa, yaitu sepasang cambuk lemas yang ujungnya diberi bola kecil.

“Hi-hik, bocah ingusan mau kurang ajar? Satu kali aku beri ampun di terowongan ketika kau bermain gila dengan laki-laki, sekarang aku tidak mau memberi ampun!” teriak Liu Lu Sian.

Tubuhnya berkelebatan dan di lain saat ia telah berhasil menjambret sebuah di antara sepasang cambuk itu dan sekali renggut cambuk itu pindah tangan! Dengan sikap mengejek ia melempar cambuk ke samping, kemudian melihat cambuk kedua menyambarnya, ia menangkap ujungnya lagi dan menarik.

Liu Hwee mempertahankan, akan tetapi ia tidak kuat dan tubuhnya terhuyung-huyung. Sambil tertawa-tawa Liu Lu Sian menarik-narik cambuk itu ke sana ke mari, dan ke mana pun juga ia menarik, tubuh Liu Hwee terbawa, terhuyung-huyung. Terlambat gadis ini ketika hendak melepaskan cambuknya karena entah bagaimana cambuk itu sudah melibat pergelangan tangannya dan ia terpaksa terseret ke sana ke mari ketika cambuknya ditarik-tarik.

“Lepaskan dia, wanita jahat!” terdengar bentakan dan Bu Sin sudah menerjang dengan pukulan kedua tangannya yang diarahkan punggung Liu Lu Sian. Pemuda ini tidak dapat menahan kemarahannya ketika melihat betapa Liu Hwee, gadis yang telah merampas hatinya itu dibuat permainan oleh Liu Lu Sian, malah agaknya keselamatannya terancam bahaya.

“Hi-hik, laki-laki ini sudah tergila-gila kepadamu, Liu Hwee!” Wanita berambut panjang itu terkekeh dan tangannya bergerak hendak menangkap lengan Bu Sin.

“Ihhhh...!” Liu Lu Sian berseru kaget ketika tangannya tergetar dan terpental tak berhasil menangkap lengan Bu Sin. Ini adalah karena pemuda itu mempergunakan tenaga sakti yang ia pelajari dari kakek di air terjun.


BERSAMBUNG KE JILID 10