Cinta Bernoda Darah Jilid 10 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

CINTA BERNODA DARAH

JILID 10

Namun hanya segebrakan saja tenaga saktinya dapat mengagetkan Liu Lu Sian, karena di lain saat, segumpal rambut menyambar dan memukul pinggangnya. Bu Sin merasa seakan-akan terpukul sebatang toya yang terbuat dari pada baja. Pinggangnya sakit dan ia terpelanting roboh.

“Kau kejam!” Liu Hwee berseru, menyerang lagi dengan cambuknya yang tadi dilepaskan Liu Lu Siang. Namun kembali rambut kepala wanita tua itu bergerak dan robohlah Liu Hwee terjungkal di dekat Bu Sin.

“Hi-hi-hik, bocah-bocah cilik sudah main cinta-cintaan, biarlah kalian mati bersama agar menjadi dewa-dewi di kahyangan!”

Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam berkelebat dan rambut kepala yang sudah menyambar ke arah tubuh Bu Sin dan Liu Hwee itu buyar seperti tertiup angin keras. Liu Lu Sian kaget, akan tetapi ketika melihat bahwa yang berdiri di depannya adalah Suling Emas, wajahnya berseri-seri dan tertawa kagum. “Bagus! Kau hebat sekali, anakku!”

“Ibu,” kata Suling Emas dengan suara berat. Memang dalam keadaan seperti itu, mulutnya serasa berat menyebut ibu kepada wanita ini, “Harap jangan turun tangan membunuhi orang.”

“Ha-ha-hi-hi-hik! Paman Liu Mo, kau dengar ucapan anakku itu? Begitu gagah perkasa dia, begitu tampan, dan begitu bijaksana. Dia patut menjadi kaisar di Nan-cao, dan aku ketua Beng-kauw. Kau akan kuangkat menjadi penasihat, dan kaisar boneka ini biarlah menjadi perdana menteri anakku!”

Hebat ucapan ini dan semua orang menjadi tegang. Para tamu diam-diam merasa tegang dan gembira karena mengharapkan menyaksikan peristiwa yang hebat. Akan tetapi para anggota Beng-kauw memandang bingung. Mereka merasa serba susah. Betapa pun juga, wanita itu adalah puteri tunggal mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, pendiri dan tokoh utama Beng-kauw.

kho ping hoo episode cinta bernoda darah


"Ibu, tidak boleh kau bilang begitu...!” Suling Emas berseru dengan suara penuh kesedihan.

“Eh, apa kau bilang?” Liu Lu Sian membentak sambil memandang dengan matanya yang bening tajam.

Ketika bertemu pandang dengan ibunya, diam-diam Suling Emas terkejut dan berduka. Sinar mata ibunya itu, sinar mata yang keluar dari sepasang mata yang amat bening dan indah, bukanlah sinar mata manusia yang sehat jiwanya!

“Ibu, harap kau jangan mengganggu kedudukan Kakek Liu Mo. Dan aku... aku tidak mau menjadi kaisar. Sri Baginda yang sekarang menjadi kaisar sudah cukup bijaksana dan tepat....”

“Apa? Jangan kau ikut-ikut! Kau anak kecil tahu apa? Hayo minggir!” Wanita itu membuat gerakan mengancam, seakan-akan seorang ibu mengancam dan menakut-nakuti anaknya yang masih kecil. Suling Emas menarik napas panjang dan melangkah minggir dengan muka merah. Ia merasa malu dan sedih. Terasa ada orang menyentuh tangannya dan ketika ia menengok, ia melihat Bu Sin memandangnya dengan pandang mata penuh iba. Ia menarik kembali tangannya dan membuang muka, lalu meramkan kedua matanya.

Bu Sin tidak berani lagi mengganggu. Pemuda ini tadi telah terlepas dari bahaya maut bersama Liu Hwee dan cepat mereka sudah mengundurkan diri. Luka pukulan segumpal rambut pada punggungnya tidak berat dan ia bersyukur bahwa Suling Emas tadi keburu datang menolong, kalau tidak, dia dan Liu Hwee tentu akan tewas di tangan wanita iblis itu.

Kini semua mata memandang ke tengah lapangan. Kauw Bian Cinjin sudah melangkah maju dengan pecut di tangannya. Langkahnya lebar dan lambat, sikapnya tenang berwibawa, namun tarikan dagu mengeras dan sinar mata tajam berkilat membayangkan kemarahannya. Setelah berhadapan dengan Liu Lu Sian, kakek ini berkata, suaranya lantang berpengaruh.

“Liu Lu Sian, ingatlah siapa kau dan siapa kami! Urusan di antara orang sendiri apa perlunya dipertontonkan orang lain? Tunggu sampai semua tamu pulang, baru kita bereskan urusan pribadi kita!”

Liu Lu Sian memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia tersenyum, masih manis seperti dahulu senyumnya sehingga diam-diam Kauw Bian Cinjin terharu juga. Teringat ia betapa dahulu di waktu Liu Lu Sian masih kecil dan ia sendiri masih muda, gadis cilik itu sering kali ia ajak bermain-main dan kalau menangis ia gendong!

“Hi-hik, kau Susiok (Paman Guru) Kauw Bian Cinjin. Kau orang baik dan Ayah amat sayang kepadamu. Memang kau pintar dan tenagamu amat berguna. Kau akan tetap menjadi pengurus utama di Beng-kauw kalau aku sudah menjadi Kauwcu. Hanya pakaianmu ini harus diganti yang baik, jangan seperti pakaian penggembala begitu! Eh, Susiok, kalau aku sudah menjadi kauwcu dan puteraku menjadi kaisar, dengan kau sebagai pembantu utama, hi-hik, apa sih sukarnya menundukkan kerajaan-kerajaan gurem seperti Wu-yue, Hou-han, dan lain-lain? Malah kita akan menyerbu dan menundukkan Kerajaan Sung Utara, dan terus merampas Khitan!”

“Lu Sian!” Kauw Bian Cinjin membentak, disusul cambuknya meledak di udara.

“Tar-tar-tar!”

Sesaat ia tak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya, kemudian ia berkata, “Lepaskan semua niatmu yang tidak sehat itu. Lekas kau berlutut dan minta ampun kepada Suheng, kepada Beng-kauwcu kita. Kalau tidak, aku sebagai paman gurumu terpaksa akan memberi hajaran kepadamu.”

Sejenak Liu Lu Sian melebarkan matanya seperti orang terheran-heran. Kemudian wajahnya menjadi muram dan ia berkata, “Susiok, biar kau sendiri, kalau hendak menghalangi niatku, terpaksa akan kubunuh.”

“Aaahhhhh...!” Kaow Bian Cinjin lalu lari ke depan peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, berlutut dan sampai lama ia berdiam diri, bibirnya berkemak-kemik. Kemudian ia menambah kayu wangi pada pedupaan sehingga asap wangi mengebul tebal dan tinggi, bergulung-gulung di sekitar peti mati. “Twa-suheng, mohon ampun, hari ini siauwte terpaksa melawan puterimu!”

Setelah berkata demikian, sekali lagi ia menjura, kemudian dengan langkah lebar dan tenang ia kembali menghampiri Liu Lu Sian yang melihat semua perbuatannya tadi sambil tersenyum-senyum.

Suasana menjadi tegang kembali ketika dua orang itu saling berhadapan. Yang paling tegang dan bingung adalah Suling Emas sendiri. Ingin ia mencegah pertempuran ini, akan tetapi apa dayanya? Tak sampai hati ia kalau harus menjadi musuh ibu kandungnya yang puluhan tahun dirindukannya. Sebaliknya, tak mungkin ia membantu ibunya yang dalam hal ini terang telah melakukan perbuatan yang sesat. Saking bingungnya, ia hanya berdiri dengan muka pucat.

“Liu Lu Sian, biar pun kau merupakan puteri tunggal mendiang Twa-suheng Liu Gan yang kuhormati, akan tetapi saat ini kau merupakan orang yang akan merusak kerajaan dan perkumpulan agama yang kami cintai. Oleh karena itu, aku berdiri di hadapanmu sebagai penentang dan siap melawanmu. Arwah mendiang Twa-suheng pasti akan membenarkan sikapku ini.”

“Orang tua keras kepala! Kau kira akan dapat memenangkan aku? Hi-hik, aku bukanlah Tok-siauw-kwi (Setan Cilik Beracun) tiga puluh tahun yang lalu!”

“Kalah menang bukan soal, yang penting aku harus membela Nan-cao dan Beng-kauw dengan taruhan nyawa!” jawab Kauw Bian Cinjin gagah sambil melintangkan cambuknya di depan dada.

Liu Lu Sian tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi. Suara ini luar biasa sekali pengaruhnya. Kalau saja Kam Bian Cinjin yang ‘diserang’ suara ini bukan tokoh besar Beng-kauw, kiranya ia akan roboh tanpa disentuh lagi. Cepat Kauw Bian Cinjin berseru keras dan memutar cambuknya sehingga terdengar angin bersuitan yang melawan pengaruh suara lengking itu.

“Serahkan nyawamu!” bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat sekali, didahului gulungan sinar hitam dari rambutnya yang mengurung tubuh Kauw Bian Cin­jin.

Kakek ini kembali berseru keras dan memutar cambuk, maka terjadilah pertempuran yang amat hebat. Lebih hebat dari pada pertempuran-pertempuran tadi karena sekarang yang bertempur adalah dua orang tokoh Beng-kauw. Betapa pun juga, masing-masing sudah mengenal gerakan lawan sehingga dapat menandinginya. Ilmu cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin amat lihai sehingga di waktu mudanya ia mendapat julukan Cambuk Halilintar. Memang, melihat kakek ini memainkan cambuk, membuat orang yang kurang tinggi kepandaiannya menjadi ngeri dan jeri. Cambuk itu berubah menjadi gulungan sinar yang melingkar-lingkar, bersiutan anginnya dan meledak-ledak di udara disusul sinar memanjang menyambar-nyambar. Hebatnya, tiap lecutan ujung cambuk ini sudah cukup kuat untuk merenggut nyawa lawan!

Betapa pun juga ilmu cambuk Kauw Bian Cinjin ini tentu saja satu sumber dengan ilmu kepandaian mendiang Pat-jiu Sin-ong dan tentu saja Liu Lu Sian mengenal sari ilmu cambuk ini. Apa lagi sekarang wanita itu telah memperdalam ilmunya secara hebat, yaitu semenjak ia minggat dari ayahnya sambil membawa pergi kitab-kitab pusaka. Selama puluhan tahun ini secara sembunyi Liu Lu Sian telah memperdalam ilmunya, malah ia telah berhasil menguasai ilmu gaib Coan-im-i-hun-to dan penggunaan rambut kepalanya merupakan permainan ‘ilmu cambuk’ yang mukjijat karena rambut itu dapat dipakai menjadi puluhan batang cambuk yang bergerak secara berbareng dari jurusan-jurusan yang berlawanan.

Kauw Bian Cinjin dapat menduga akan hal ini. Ketika tadi ia melihat sepak terjang Liu Lu Sian dalam menghadapi It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, lalu melihat tapak tangan merah yang membunuh Cui-beng-kui, ia sudah menduga bahwa puteri suheng-nya ini telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Ia pun maklum tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi ia menjadi nekat untuk membela Beng-kauw yang terang-terangan hendak dikacau oleh Liu Lu Sian. Apa lagi kalau diingat bahwa suheng-nya, Liu Mo bersikap mengalah terhadap Liu Lu Sian. Hanya dia seorang yang dapat mencegah Lu Sian merampas kedudukan Beng-kauwcu, karena kalau ia biarkan dan suheng-nya memberikan kedudukan itu kepada Liu Lu Sian, tentu Beng-kauw akan dibawa masuk jurang kehancuran. Keponakannya ini seperti orang yang tidak waras otaknya, yang sakit jiwanya.

Setelah saling serang dengan hebat sampai puluhan jurus lamanya, tiba-tiba terdengar lengking tinggi dari mulut Liu Lu Sian, disusul gerengan marah Kauw Bian Cinjin. Mereka secara tiba-tiba tidak bergerak lagi. Tadi semua mata menjadi kabur dan silau oleh gerakan-gerakan cepat. Setelah kini keduanya tidak bergerak, semua mata dapat memandang, ternyata cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin sudah saling libat sampai menjadi seperti benang ruwet dengan rambut Liu Lu Sian! Hebatnya, tidak hanya cambuk itu yang terlibat, melainkan juga lengan kanan, pundak dan leher kakek Beng­kauw itu.

“Kauw Bian Cinjin, mengingat hubungan perguruan, aku ampunkan kau asal kau mau menyerah dan menjadi pembantuku!” terdengar suara Liu Lu Sian, ramah dan halus.

“Liu Lu Sian, kau sadarlah dan jangan lanjutkan niatmu mengacau Beng-kauw, dan kau menjadi murid keponakanku yang baik dan akan menerima berkah dan doaku...,” jawab Kauw Bian Cinjin, suaranya tetap lantang berwibawa.

“Tua bangka keras kepala! Dibunuh sayang, tidak dibunuh menjengkelkan! Kau perlu dihajar...!” Tiba-tiba tubuh Kauw Bian Cinjin terangkat naik dan di lain saat tubuhnya telah terbanting ke atas tanah setelah Liu Lu Sian menggerakkan tangan kanannya. Kakek itu terbanting dan pingsan, pipi kanannya terdapat tanda tapak tangan merah!

“Liu Lu Sian, tak perlu kau berlaku kejam terhadap keluarga Beng-kauw sendiri!” Tiba-tiba terdengar Liu Mo berkata sambil berdiri dari tempat duduknya.

“Hemmm, Paman Liu Mo, apakah kau juga hendak menghalangi aku? Ingat, karena kau yang merampas kedudukan Kauwcu, aku tidak akan berlaku lunak seperti terhadap Kauw Bian Cinjin kepadamu!”

Wajah Liu Mo tetap terang dan bibirnya tersenyum. “Keponakanku yang baik, aku sama sekali tidak hendak menghalangimu dan aku sama sekali tidak merampas kedudukan Kauwcu, karena sesungguhnya ayahmu sendiri yang memberikan kepadaku. Oleh karena ayahmu yang menyerahkan kedudukan Kauwcu, kalau kau hendak memintanya, kau harus minta ijin ayahmu lebih dulu!” berkata demikian, Liu Mo menoleh ke arah peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.

“Kalau aku sudah minta ijin kepada ayah, kau suka menyerahkan kedudukan Kauwcu kepadaku?”

“Tentu saja, kalau Suheng mengijinkan!”

Ucapan ini tentu saja membikin semua orang yang hadir menjadi tercengang. Mana bisa orang mati memberi ijin? Akan tetapi Liu Lu Sian segera menghampiri peti mati ayahnya, lalu membungkuk sebagai penghormatan. Hal ini saja sudah membuat para tokoh yang hadir di situ mengerutkan kening. Penghormatan terhadap orang tua merupakan hal yang amat penting, karena hal ini menjadi tanda akan kebaktian seseorang dan karenanya menjadi dasar untuk mengetahui watak seseorang. Liu Lu Sian tidak berlutut, hanya menjura, hal ini tentu saja tidak sepatutnya dan dapat dinilai betapa kasar dan berandalannya watak wanita itu.

“Ayah, aku minta ijin padamu untuk menggantikan kedudukan kauwcu dari agama kita Beng-kauw, dan puteraku menjadi kaisar di Nan-cao!” Suara ini lantang dan terdengar semua orang yang hadir.

Suasana menjadi sunyi sekali setelah Liu Lu Sian mengucapkan permintaannya ini. Tak seorang pun berani mengeluarkan suara, bahkan banyak yang menahan napas untuk menyaksikan apa selanjutnya yang akan terjadi. Apakah Beng-kauw yang sudah demikian tersohor itu akan berganti kauwcu (kepala agama) secara demikian sederhana dan juga kasar? Apakah Kaisar Nan-cao akan ‘di­copot’ dan diganti begitu saja di depan banyak tamu dari seluruh pelosok dunia? Apakah Nan-cao dan Beng-kauw akan diserahkan kepada seorang wanita berwatak iblis seperti Tok-siauw-kui (Iblis Cilik Beracun) yang kini lebih patut di­sebut Tok-kui-bo (Biang Iblis Beracun) itu? Kalau hal ini terjadi, akan gegerlah dunia, karena tadi wanita itu sudah berjanji akan memerangi dan menundukkan semua kerajaan! Dan dengan ilmu kepandaiannya yang demikian hebatnya, hal itu benar-benar merupakan bahaya besar.

Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara ledakan keras dan semua orang menjadi pucat, mulut ternganga dan mata terbelalak memandang ke arah peti mati yang mendadak meledak keras itu. Tutup peti mati pecah berantakan dan... sesosok tubuh yang tinggi besar bangkit dari dalam peti mati, langsung berdiri tegak. Tubuh tinggi besar berpakaian serba putih, bermuka pucat tapi tetap dapat dikenal sebagai muka Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Mata yang terbelalak lebar hampir keluar dari pelupuknya itu seperti bukan mata manusia, dan suaranya terdengar berkumandang seperti suara dari dunia lain ketika mulutnya yang tertarik keras itu bergerak.

“Tiga tahun aku menanti datangnya saat ini... Lu Sian... aku dapat menduga akan hal ini setelah kau mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) dan minggat... hanya aku yang dapat menahanmu. Mari kau ikut aku meninggalkan dunia yang banyak penderitaan ini...!”

Sejenak Liu Lu Slan terhenyak kaget, mundur dua langkah dan mukanya berubah pucat. Akan tetapi beberapa detik kemudian ia agaknya dapat menahan gelora hatinya yang terkejut, karena ia melangkah maju lagi tiga langkah dengan gerakan tenang. Kemudian suaranya terdengar lantang, juga mengandung kumandang seperti terdengar dari dunia lain karena ia juga mempergunakan ilmu mukjijat Coan-im-i-hun-to seperti yang dipergunakan ayahnya tadi.

“Tidak, Ayah. Aku masih ingin hidup, ingin menguasai dunia, ingin mengembangkan Beng-kauw sehingga seluruh manusia di permukaan bumi ini menjadi penganut Beng-kauw semua!”

“Bodoh! Agama yang dipaksakan dengan kekerasan akan hancur sendiri karena para penganutnya akan menjadi penganut palsu. Mari, ikut dengan aku!”

“Ayah, kenapa kau tidak mati sendiri? Aku tidak mau ikut!”

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang disangka telah mati selama tiga tahun lebih itu tertawa, suara ketawanya bergelombang dan kumandangnya datang susul menyusul. Lebih separuh jumlah tamu jatuh bergulingan, tidak kuat menahan getaran suara ketawa bergelombang ini yang seakan-akan membetot semangat mereka sehingga mereka roboh pingsan! Hanya tokoh-tokoh besar saja yang sanggup menahan sehingga tidak roboh terguling, akan tetapi mereka tetap saja harus mengerahkan sinkang dan tergoyang-goyang di atas tempat duduk masing-masing.

“Kau hendak memaksa, Ayah? Aku melawan!” bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya bergerak ke depan, melancarkan pukulan dengan kedua tangannya, dibantu rambut kepalanya. Karena maklum bahwa di dunia ini agaknya hanya ayahnya yang merupakan lawan terberat, maka sekaligus Liu Lu Sian mengeluarkan seluruh tenaganya untuk merobohkan ayahnya yang disangkanya telah mati itu.

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan masih tertawa keras ketika ia mengulur kedua tangannya ke depan. Dua pasang tangan bertemu di udara, sepasang mata Liu Gan makin melotot keluar dan ia tampak kaget sekali, mulutnya mengeluarkan suara....

“Uhhhhh!” dan darah segar tersembur keluar dari mulutnya.

Akan tetapi dari mulut Liu Lu Sian keluar jerit mengerikan, lalu terdengar suara gaduh ketika tubuh dua orang itu roboh menabrak dan menggulingkan peti mati berikut meja sembahyang. Keduanya roboh miring dengan sepasang tangan masih saling menempel, akan tetapi ketika Beng-kauwcu Liu Mo dan yang lain-lain mendekati, mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang ayah dan anak ini telah putus napasnya! Pat-jiu Sin-ong Liu Gan telah memenuhi kehendaknya, yaitu mengajak puterinya bersama-sama meninggalkan dunia.

Sebetulnya hanya Liu Mo seorang yang tahu bahwa suheng-nya itu tiga tahun yang lalu belum mati, melainkan minta supaya dimasukkan peti dan dianggap mati karena sesungguhnya, suheng-nya itu bermaksud menyembunyikan diri dan bertapa, menanti munculnya Liu Lu Sian karena kakek ini sudah dapat membayangkan bahwa puterinya yang binal itu setelah berhasil mencuri Sam-po-cin-keng, di kemudian hari pasti akan menggegerkan dunia.

Suling Emas sudah berlutut di dekat jenazah ibunya, wajahnya muram dan sedih, akan tetapi hatinya lega. Ia pikir lebih baik begini dari pada melihat ibunya hidup membuat kekacauan di dunia. Liu Hwee juga berlutut di situ dan menangis. Tubuh Kauw Bian Cinjin yang terluka hebat, akan tetapi tidak membahayakan nyawanya, telah diangkut ke dalam untuk dirawat. Para anggota Beng-kauw nampak berkabung dan berduka, juga masih tegang oleh peristiwa hebat tadi. Tak seorang pun di antara mereka berani bersuara.

Beng-kauwcu Liu Mo lalu berdiri dan menghadapi para tamunya yang masih tegang, apa lagi mereka yang tadi pingsan dan sudah siuman kembali. “Cu-wi sekalian yang terhormat. Harap Cu-wi maafkan akan segala peristiwa yang tidak kami sengaja ini. Cu-wi maklum bahwa peristiwa ini adalah urusan pribadi Beng-kauw, maka kami harap Cu-wi sekalian sudi memaklumi dan tidak salah faham. Agar ucapan keponakan kami tadi tidak dianggap sebagai sikap Beng-kauw. Kami sebagai ketua Beng-kauw di sini menyatakan dengan tegas bahwa Beng-kauw tidak bermaksud memaksa orang menjadi pemeluknya, dan bahwa Nan-cao sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggu negara tetangga, akan tetapi kami pun pantang diganggu. Kemudian, mengingat akan keadaan yang menimpa kami, maka kami persilakan Cu-wi sekalian kembali ke tempat masing-masing, diikuti ucapan selamat jalan dan terima kasih serta permintaan maaf bahwa kami tidak sempat mengantar.”

Maka bubarlah para tamu. Setelah mereka memberi hormat, berduyun-duyun mereka keluar dari kota raja Nan-cao. Di sepanjang jalan mereka itu ramai membicarakan peristiwa mengerikan yang terjadi di Nan-cao dan mereka merasa puas bahwa mereka mendapat kesempatan menyaksikan hal-hal luar biasa, ketegangan yang mengerikan dan pertempuran-pertempuran tingkat tinggi yang tak mungkin mereka saksikan lagi.

Suling Emas ikut membantu pemakaman ibu dan kakeknya, juga penguburan Cui-beng-kui. Kemudian ia berlutut di depan Beng-kauwcu Liu Mo dan berkata dengan suara sedih. “Saya mintakan maaf atas sepak terjang mendiang Ibu yang telah mengacau Beng-kauw.”

Liu Mo menarik napas panjang dan mengulur tangan mengelus kepala Suling Emas, “Tidak apa, anak baik. Memang Ibumu sejak dahulu begitu, keras hati dan aneh wataknya. Untung bahwa kau agaknya mewarisi watak Ayahmu. Mendiang Ayahmu, Jenderal Kam Si Ek adalah seorang laki-laki sejati, seorang pendekar perkasa yang mengagumkan. Karena itu pula, melihat gelagat adikmu Bu Sin dan anakku Hwee-ji (Anak Hwee), aku akan merasa bahagia sekali kalau mereka dapat terangkap jodoh. Aku serahkan urusan ini kepadamu.”

Suling Emas mengangguk-angguk, “Baiklah. Dan sebagai penebus dosa Ibu, saya akan menyusul Hek-giam-lo ke Khitan untuk minta kembali tongkat Beng-kauw yang dirampasnya.”

Setelah berpamit, Suling Emas mengajak kedua orang adiknya, Bu Sin dan Sian Eng, pergi dari Nan-cao untuk mencari dan menolong Lin Lin, sekalian untuk merampas kembali tongkat Beng-kauw dan untuk mewakili Ibunya menghadapi lima orang Thian-te Liok-koai di puncak Thai-san! Perpisahan yang sederhana, akan tetapi mendatangkan kedukaan dan kesepian di hati Bu Sin dan Liu Hwee. Hanya pandang mata mereka saja saling menyatakan perasaan hati yang mewakili seribu bahasa. Terpisahnya dua hati yang saling mencinta.

********************


Mari kita ikuti pengalaman Lin Lin yang sudah lama kita tinggalkan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, sekeluarnya dari terowongan rahasia dan melihat Cui-beng-kui, Lin Lin lupa akan segalanya saking marahnya melihat pembunuh ayah bunda angkatnya. Maka ia lalu menerjang dan menyerang Cui-beng-kui, malah dibantu oleh Bu Sin dan Sian Eng. Akan tetapi tentu saja mereka bukan lawan Cui-beng-kui yang sakti.

Sebagaimana telah kita ketahui, Lin Lin kemudian ditolong oleh orang-orang Khitan yang secara aneh sekali berhasil membawa pergi Lin Lin berikut pedangnya dan mayat orang-orang Khitan yang tewas di situ. Kiranya orang-orang Khitan itu melakukan gerakan ilmu barisan yang mereka sebut ‘mengacau atau mengail ikan’, berhasil membikin bingung orang-orang yang berada di situ dan dalam kehebohan itu dapat membawa pergi Lin Lin. Memang, orang-orang Khitan ini yang semenjak dahulu merupakan bangsa perantau, pandai sekali berperang gerilya sehingga hanya dua belas orang saja telah berhasil ‘mencuri’ Lin Lin dari depan banyak orang.

Lin Lin sendiri yang ketika itu hampir celaka di tangan Cui-beng-kui kalau saja secara sembunyi tidak ditolong oleh Suling Emas. Hanya ketika melihat orang-orang Khitan itu berlari-lari di sekelilingnya, membuat Lin Lin pening dan entah bagaimana, akhirnya ia ikut berlari-lari dan tahu-tahu ia sudah berlari jauh meninggalkan Nan-cao, tapi selalu berada di dalam kurungan orang-orang Khitan!

Rombongan orang Khitan itu tiada henti-hentinya berlari. Menjelang senja mereka baru berhenti, saat telah tiba jauh di daerah perbatasan kota raja. Lin Lin terengah-engah dan barulah gadis ini sadar sepenuhnya bahwa ia tadi ikut berlari-lari bersama rombongan itu keluar dari kota raja.

“He, kalian ini membawaku ke mana? Antarkan aku kembali ke kota raja Nan-cao. Aku harus bunuh Cui-beng-kui iblis jahat itu!”

Seorang di antara dua belas prajurit Khitan itu, yang paling tua, menjura dengan hormat di depan Lin Lin lalu berkata, “Tuan puteri, susah payah hamba berhasil menyelamatkan Paduka dari bahaya maut. Hamba hanya melakukan perintah. Kalau Paduka kembali ke sana, berarti hanya akan mengorbankan nyawa secara sia-sia.”

“Huh, tidak gampang Cui-beng-kui dapat membunuhku. Suling Emas takkan membiarkan dia membunuhku. Tadi pun Suling Emas membantuku. Hayo antar aku kembali ke sana!”

“Tuan puteri, hamba sekalian tidak berani. Hamba yang membantu mendiang Pak-sin-tung-lociangkun, selain kehilangan beliau, juga kehilangan dua belas orang saudara. Hamba semua hanya melaksanakan perintah Hek-lo-ciangkun, sebaiknya Paduka bicara dengan beliau....”

“Siapa Hek-lo-ciangkun (Panglima Tua Hitam)?” tanya Lin Lin.

“Paduka sendiri yang memerintahkan beliau merampas tongkat...”

“Ohhh, kau maksudkan Hek-giam-lo? Mana dia sekarang? Dia harus membantuku membunuh Cui-beng-kui! Mana dia? Suruh dia ke sini!” Lin Lin membentak-bentak mereka dengan sikap yang agung seakan-akan memang semenjak kecil dia sudah biasa memerintah orang-orang Khitan.

“Hek-lo-ciangkun sudah lama menanti Paduka, Tuan Puteri. Marilah, tidak jauh lagi. Setelah bertemu dengan Hek-lo-ciangkun, Paduka dapat berunding dengannya.”

Lin Lin menganggap omongan ini tepat. “Baik, hayo kita berangkat menemui Hek-giam-lo!”

Maka berangkatiah mereka, sekarang tidak berlarian seperti tadi lagi, melainkan berjalan kaki. Lin Lin di depan bersama pemimpin rombongan, diiringkan oleh yang lain dari belakang. Rombongan itu berjalan dengan langkah tegap, wajah mereka berseri, sama sekali tidak kelihatan berduka walau pun baru saja kehilangan seorang panglima dan dua belas orang kawan. Semangat mereka tinggi dan dalam melangkahkan kaki secara berirama mereka lalu bernyanyi dengan suara lantang dan gagah!

Mula-mula Lin Lin merasa betapa lucu kelakuan mereka ini, akan tetapi lambat laun ia merasa tertarik sekali dan kagum. Agaknya panggilan darahnya membuat ia merasa dekat dengan orang-orang ini, malah sebentar kemudian ia ikut pula mengatur langkah membarengi mereka dan karena lagu itu pendek dan diulang-ulang, beberapa menit kemudian Lin Lin ikut pula bernyanyi bersama mereka! Kata-katanya asing baginya, namun dasar ia cerdas, sebentar saja ia hafal tanpa dapat mengerti maksud kata-katanya. Ikut sertanya Lin Lin dalam barisan ini sambil bernyanyi menambah semangat orang-orang Khitan itu dan suara nyanyian mereka makin keras dan makin bersemangat.

Tak lama kemudian sampailah mereka di tepi sebuah sungai. Inilah Sungai Kan-kiang, sungai yang mengalir menuju ke utara dan menjadi anak sungai atau cabang dari sungai besar Yang-ce-kiang. Pemimpin rombongan mengeluarkan sebuah tanduk, agaknya tanduk rusa yang besar. Ketika ia meniup tanduk itu terdengar bunyi suara yang aneh seperti suara binatang, tidak keras akan tetapi suara itu membawa getaran yang kuat.

Sepuluh menit kemudian, terdengarlah lengking seperti suling dan tampaklah sebuah perahu besar meluncur datang. Di kepala perahu berdiri sesosok tubuh yang berselubung pakaian hitam dengan muka tertutup kedok tengkorak. Hek-giam-lo!

Sebentar kemudian perahu itu minggir dan Lin Lin meloncat ke atas perahu, diikuti oleh dua belas orang pengikutnya. Perahu itu diikatkan pada sebatang pohon. Setelah berada di atas perahu, dua belas orang itu sibuk bekerja, dan agaknya mereka sudah biasa dengan pekerjaan di perahu. Kini anak buah perahu yang tadinya hanya tiga orang, menjadi lima belas orang.

Lin Lin cepat menghampiri Hek-giam-lo. “Bagaimana Hek-giam-lo? Apakah perintahku sudah kau lakukan? Mana tongkat Beng-kauw itu?” berkata Lin Lin dengan sikap memerintah.

Hek-giam-lo membungkuk sedikit, lalu terdengar suaranya dari balik kedok tengkorak. “Berkat bintang Paduka yang terang, tongkat Beng-kauw sudah berhasil hamba rampas, sekarang berada di dalam bilik perahu. Harap Paduka sudi masuk bilik dan beristirahat, sebentar lagi kita berangkat.”

“Berangkat?” Lin Lin terkejut. “Ke mana?”

“Ke mana lagi kalau bukan ke Khitan? Kita pulang, Tuan Puteri.”

“Tidak! Aku perintahkan, tidak pulang ke Khitan sekarang! Hek-giam-lo, kau harus membantuku, kembali ke Nan-cao untuk menghadapi Cui-beng-kui!”

Sejenak tengkorak hitam itu diam saja, bergerak pun tidak, seakan-akan ia termenung. Sukar untuk mengatakan bagaimana perasaannya di saat itu karena wajahnya yang asli tidak nampak. Akan tetapi setelah ia bicara, ternyata bahwa ia menahan kemarahannya.

“Tuan Puteri Yalin, sudah banyak kita kehilangan orang, bahkan sute Pak-sin-tung sampai tewas, semua gara-gara permintaan Paduka yang bukan-bukan! Sekarang hamba tidak dapat memenuhi permintaan Paduka lagi. Kita harus berangkat kembali ke Khitan di mana Sri Baginda sudah menanti-nanti kedatangan Paduka.”

“Tidak! Kau harus menurut perintahku, Hek-giam-lo!”

Si Tengkorak Hitam menggeleng-geleng kepalanya dan mendengus tak acuh.

“Kau lihat apa ini? Kau harus tunduk kepadaku!” Lin Lin mencabut keluar Pedang Besi Kuning dan menodongkannya ke arah Hek-giam-lo. Melihat ini, para anak buah perahu serta-merta menjatuhkan diri berlutut.

Akan tetapi Hek-giam-lo mendengus aneh dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menyergap maju dan tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya menjadi kaku dan pedang itu telah terampas oleh Hek-giam-lo! Tengkorak Hitam itu mengeluarkan suara perintah dalam bahasa Khitan dan lima orang yang berlutut di belakang Lin Lin, tiba-tiba melompat dan menerkam gadis itu, menelikung kedua lengannya ke belakang dan mengikatnya dengan sehelai sabuk sutera yang kuat. Di lain saat, ketika mereka melepaskan Lin Lin, gadis itu sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang tubuh.

Lin Lin terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa orang-orang itu, termasuk Hek-giam-lo akan berani melawannya. Akan tetapi ia tidak takut, malah ia lalu memaki-maki. “Keparat kau, Hek-giam-lo! Awas kau, sesampainya di Khitan, akan kuberi tahu kepada Sri Baginda tentang perlakukanmu yang kurang ajar agar kau mendapat hukuman penggal leher!”

Hek-giam-lo mendengus, kemudian memberi perintah dalam bahasa Khitan. Agaknya ia menyuruh pergi para anak buahnya karena mereka itu seorang demi seorang lalu menghilang ke dalam dan ke balik bilik perahu. Kemudian Hek-giam-lo menghadapi Lin Lin yang berdiri dengan tegak walau pun kedua tangannya terbelenggu.

“Yalin, ucapanmu ini mengingatkan aku akan Ibumu. Dahulu Ibumu juga hendak memenggal leherku, malah ia telah menyiram mukaku dengan racun. Kau tahu aku siapa? Nah, tengoklah baik-baik!” Cepat sekali Hek-giam-lo merenggut kedoknya dan....

Lin Lin menjadi pucat, memandang terbelalak pada wajah seorang laki-laki yang bentuknya tampan gagah, akan tetapi wajah itu mengerikan karena... tidak berkulit lagi! Daging muka itu, atau lebih tepat tulang-tulangnya terbungkus kulit tipis licin, hidung dan bibirnya yang masih bagus bentuknya itu pun menjadi mengerikan dengan kulit tipis berkerut dan putih seakan-akan tidak berdarah. Matanya tidak berbulu lagi, alisnya pun hilang, kepalanya tidak berambut. Benar-benar wajah yang mengerikan, jauh lebih mengerikan dari pada wajah Cui-beng-kui!

“Kau... kau siapa...?” Dengan suara lirih dan penuh kengerian Lin Lin bertanya.

Secepat tadi ketika merenggutkan kedoknya, Hek-giam-lo sudah memasangnya kembali. Kedok tengkorak itu agaknya tidak mengerikan lagi dibandingkan dengan muka yang bersembunyi di balik kedok.

“Hemmm, kau telah melihat wajahku? Wajah yang dahulunya tampan gagah. Karena aku berdosa mencinta Ibumu, aku mendapat perlakuan begini kejam. Ibumu menolak aku, kakaknya sendiri seayah lain ibu, dan dia memilih seorang prajurit biasa menjadi suaminya, yaitu Ayahmu!” Hek-giam-lo diam sejenak, agaknya menahan kemarahannya.

Lin Lin teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin tentang Puteri Mahkota Khitan yang bernama Tayami, yang menurut Kim-lun Seng-jin adalah ibunya. Teringat ia betapa kakek itu bercerita bahwa Puteri Tayami bersama suaminya, seorang prajurit gagah perkasa dan pilihan, gugur dalam perang melawan musuh karena ada saudara-saudara ibunya yang berkhianat. Mengingat ini, serta-merta naik darah panas ke kepalanya dan mulutnya menyerang dengan ejekan.

“Jadi kaukah orangnya yang berkhianat, bersekutu dengan Kerajaan Sung sehingga bangsaku dipukul hancur di Shan-si, dan ibu serta ayahku gugur?” Enak saja mulut Lin Lin menyebut ‘bangsaku’ dan ‘ayah ibuku’, karena memang ia sudah tidak ragu-ragu lagi. Inilah musuh besarnya yang sesungguhnya, orang yang menjadi biang keladi kematian ayah bundanya yang gugur sebagai pejuang bangsa yang gagah perkasa.

“Heh-heh, kau pandai menduga, ya? Memang betul begitulah. Akan tetapi pembalasanku ini tidak berlebihan, kau sudah melihat mukaku yang disiram air beracun oleh Ibumu.”

“Aku tidak percaya! Aku tidak percaya Ibu seganas itu! Kecuali kalau kau melakukan hal yang jahat, untuk membela diri mungkin Ibu terpaksa harus menggunakan racun.”

“Hemmm, kau memang pandai menduga, agaknya arwah Ibumu yang berbisik di dalam hatimu. Aku tidak bersalah, dosaku tidak berarti. Ibumu cantik jelita, seperti engkau begini, dan aku dahulu seorang pria yang tampan dan muda, penuh semangat dan nafsu. Aku hanya memasuki kamar Ibumu, hendak mencumbu rayu, sudah sewajarnya antara pria dan wanita. Tapi dia... dia... ah, semenjak itu aku benci kepadanya!”

Lin Lin dapat membayangkan semua itu, biar pun ia tidak mendapat cerita yang jelas, namun ia dapat menduga apa yang telah terjadi pada masa sebelum ia terlahir di dunia itu.

“Hek-giam-lo, kalau begitu sikapmu tunduk kepadaku hanya pura-pura. Kau menawanku mau apa?”

Secara tidak terduga, Hek-giam-lo kembali menjura dengan penuh penghormatan!

“Ih, tak perlu membadut dan berpura-pura lagi!” bentak Lin Lin.

“Tuan Puteri Yalin, hamba tidak berpura-pura. Hamba Hek-giam-lo hanya mentaati perintah Sri Baginda atau kakak hamba sendiri. Paduka harus hamba bawa ke Khitan dan di sana Paduka akan dikaruniai anugerah sebagai permaisuri menjadi ratu di sisi Sri Baginda kakak hamba.”

“Apa...?” Lin Lin menjerit. “Kalau dia itu kakakmu, dan kau kakak seayah ibuku, berarti kau dan dia itu masih pamanku. Dia paman tua, dia uwakku, masa dia hendak memperisteriku? Gila kau!”

“Heh-heh, tidak ada yang gila, Tuan Puteri. Banyak laki-laki beristerikan wanita muda lagi cantik. Ibu Paduka memang seayah dengan hamba dan Sri Baginda, akan tetapi berlainan ibu, jadi di antara kita sudah bukan apa-apa. Paduka akan menjadi ratu di Khitan, menjadi junjungan di samping Sri Baginda, karena itulah hamba juga menjadi hamba Paduka. Hanya karena Paduka tidak mau suka rela pergi ke Khitan, terpaksa hamba membelenggu Paduka.”

“Gila...! Kau dan semua orang Khitan yang gila ataukah aku yang berubah gila? Raja Khitan, kakakmu itu selamanya belum pernah melihat aku, kenapa dia bersikeras hendak menawanku dan mengambilku sebagai permaisuri? Di dunia ini, mana ada peristiwa yang lebih gila dari pada ini?”

“Paduka akan menyesal mengeluarkan caci maki seperti itu, Tuan Puteri. Kakak hamba Sri Baginda mengambil keputusan ini berdasarkan kebijaksanaan yang luar biasa. Mengingat bahwa Paduka masih keturunan langsung dari kaisar tua, dan banyak panglima tua yang mengharapkan Paduka duduk menjadi yang dipertuan di Khitan, kebijaksanaan yang paling tepat adalah mengangkat Paduka menjadi permaisuri. Sudahlah, harap Paduka sudi mengaso.”

“Tidak! Aku tidak sudi, tidak mau...! Aku tidak sudi pergi ke Khitan!”

Pada saat itu, sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu Lie Bok Liong sudah ada di belakang Lin Lin. Tangan kirinya berusaha merenggut putus sabuk sutera yang mengikat tangan gadis itu, sedangkan tangan kanannya menodongkan pedangnya ke dada Hek-giam-lo!

“Jangan takut, Lin-moi, aku membelamu,” bisik pemuda itu sambil mengerahkan tenaga tangan kirinya untuk melepaskan ikatan kedua tangan Lin Lin.

Gadis itu terkejut sekali. Andai kata Suling Emas yang menolongnya pada saat itu, tentu ia akan merasa bahagia dan girang sekali. Akan tetapi Lie Bok Liong? Ia cukup mengenal sahabat ini dan tahu sampai di mana tingkat kepandaiannya. Tidak jauh selisihnya dengan kepandaiannya sendiri. Mana bisa menang menghadapi Hek-giam-lo yang berdiri dengan tegak dan tak bergerak itu? Tidak saja akan sia-sia usaha pertolongan Bok Liong, malah sebaliknya selain ia sendiri tidak akan tertolong, pemuda ini malah akan menghadapi bahaya pula.

Para anak buah perahu bermunculan, akan tetapi mereka hanya berdiri tertegun, tidak berani turun tangan sebelum menerima perintah Hek-giam-lo yang tampak tenang-tenang itu. Agaknya iblis tengkorak ini sengaja membiarkan Bok Liong melepaskan belenggu Lin Lin, buktinya ia diam saja, hanya berdiri bertolak pinggang seakan-akan ia gentar karena ditodong pedang oleh Lie Bok Liong.

Akhirnya terlepas juga ikatan tangan Lin Lin dan pemuda itu segera menarik tubuh Lin Lin supaya berada di belakangnya, sedangkan ia sendiri memasang kuda-kuda, siap menghadapi lawan. Sikapnya gagah sekali dan pemuda yang tegap ini sudah siap sedia mengorbankan nyawanya untuk membela gadis yang telah merampas hatinya.

Tiba-tiba Lin Lin teringat akan sesuatu dan wajahnya berseri, timbul harapan di hatinya. Tentu, pikirnya, tentu guru pemuda ini ikut datang, kalau tidak, masa Bok Liong akan seberani ini menghadapi Hek-giam-lo?

“Liong-koko, mana gurumu?” bisik Lin Lin penuh harap.

Bok Liong tidak menjawab, matanya bergerak-gerak memandang Hek-giam-lo dan para anak buah Khitan yang bermunculan dan mengurungnya di atas perahu yang lebar itu. Perahu mulai bergoyang sedikit karena pergerakan mereka. Ia tidak dapat menjawab karena memang ia datang tidak bersama suhu-nya. Pemuda ini merasa khawatir sekali ketika melihat Lin Lin lenyap secara aneh bersama orang-orang Khitan. Hatinya sudah terampas oleh senyum dan sinar mata Lin Lin.

Lie Bok Liong pemuda perkasa murid Gan-lopek itu telah jatuh cinta kepada Lin Lin. Karena itu, tanpa mempedulikan lagi peristiwa yang amat aneh dan menyeramkan yang terjadi di ruangan sembahyang Beng-kauw, ia menyelinap pergi dan secepat kilat ia lari menyusul rombongan orang Khitan. Ia terus membayangi mereka sampai mereka tiba di pinggir sungai dan melihat kekasih hatinya itu dihadapkan Hek-giam-lo dan dirampas pedangnya lalu diikat tangannya, Lie Bok Liong lupa segala, menjadi nekat dan cepat ia bertindak untuk menolong Lin Lin. Tentu saja ia cukup maklum betapa lihainya Hek-giamlo, akan tetapi untuk membela Lin Lin yang dipuja di dalam hatinya, jangankan hanya menghadapi seorang Hek-giam-lo, biar di situ ada sepuluh orang Hek-giam-lo sekali pun, ia tidak akan mundur selangkah dan siap mengorbankan nyawanya untuk membela Lin Lin!

Melihat cara Bok Liong menodongkan pedang dengan tubuh agak bergoyang-goyang, Hek-giam-lo mengeluarkan suara mendengus, “Huh, orang muda, mana gurumu Gan-lopek si badut gila itu? Suruh dia yang keluar menghadapi aku!”

Diam-diam Bok Liong terkejut. Dengan melihat cara ia memasang kuda-kuda saja iblis ini sudah mengenal ilmu silatnya, terang bahwa sekarang ia bertemu lawan yang seimbang gurunya. Akan tetapi ia tidak gentar dan tidak menjawab ucapan Hek-giam-lo, melainkan menjawab pertanyaan Lin Lin tadi.

“Lin-moi, jangan takut. Untuk menolongmu dari para iblis ini, tidak usah Suhu yang maju, cukup dengan aku saja.” Kemudian ia menghadap Hek-giam-lo dan berkata lantang.

“Hek-giam-lo, kau seorang Locianpwe yang berilmu tinggi. Tidak seharusnya kau memaksa Nona ini yang tidak mau ikut ke Khitan. Harap kau orang tua suka memandang muka Suhu-ku dan membebaskannya, biarkan dia pergi bersamaku ke mana ia suka. Kelak kalau aku atau Suhu lewat Khitan, tentu tidak lupa singgah untuk menyampaikan terima kasih dan hormat.” Ucapan Bok Liong ini adalah ucapan gagah seorang tokoh kang-ouw terhadap tokoh kang-ouw lain, dan biasanya orang-orang kang-ouw tunduk akan ‘sopan santun’ kang-ouw seperti ini.

Akan tetapi Hek-giam-lo mendengus dan berkata singkat, “Bocah gila, melihat muka tolol gurumu, aku mau ampunkan kau. Hayo lekas kau minggat dari sini dan jangan mengganggu urusan kami. Tuan Puteri Yalina akan ikut bersama kami, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Pergi!” Berbareng dengan ucapan ini, Hek-giam-lo menggerakkan lengan bajunya yang berubah menjadi sinar hitam menyambar ke arah dada Lie Bok Liong.

Tenaga sakti yang dahsyat merupakan angin yang kuat sekali menyambar ke depan. Bok Liong sudah siap sedia, cepat ia lompat menghindar ke samping. Tubuhnya bergoyang-goyang, pinggulnya megal-megol akan tetapi tahu-tahu pedangnya sudah menyelinap di antara sambaran angin, mengirim tusukan balasan ke arah lambung si iblis tengkorak. Diam-diam Hek-giam-lo kaget dan kagum. Jarang sekali terdapat di dunia kang-ouw seorang muda yang dapat menghindarkan serangannya dan seketika dapat balas menyerang. Maklumlah ia bahwa pemuda murid Gan-lopek ini sudah lumayan kepandaiannya. Tentu saja dengan mudah ia dapat menangkis tusukan pedang itu dengan kibasan lengan bajunya.

Ketika pedangnya terkena kibasan ujung lengan baju, hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya. Bok Liong kaget bukan main, namun ia tetap melanjutkan serangannya, kini pedangnya membuat tiga lingkaran lebar yang makin lama makin sempit lalu menjurus ke arah dada lawan. Hebat serangan ini, dan kuat sekali.

Namun dengan mudah pula Hek-giam-lo menghindar, lalu dari samping pukulan jarak jauh dengan ujung lengan baju membuat Bok Liong terhuyung-huyung, hampir menabrak seorang anak buah Khitan. Anehnya, orang Khitan ini sama sekali tidak bergerak atau menyerang, dan ini merupakan bukti betapa teguh mereka memegang disiplin. Tanpa perintah kepala mereka, orang-orang Khitan ini tidak berani sembarangan bergerak. Dan mereka memang betul, karena andai kata ada yang bergerak, hal itu berarti membantu Hek-giam-lo tanpa diperintah dan ini berarti pula menghina tokoh besar itu yang mungkin hukumannya adalah maut!

Lin Lin menjadi kagum melihat perlawanan gigih dari Bok Liong terhadap Hek-giam-lo. Tiba-tiba ia lari menerobos memasuki bilik perahu. Juga orang-orang Khitan mendiamkannya saja, apa lagi gadis itu adalah ‘tuan puteri’ bagi mereka, tanpa ada perintah Hek-giam-lo mereka tidak akan berani mengganggunya sedikit pun juga. Tak lama kemudian Lin Lin sudah berlari ke luar lagi, di tangannya memegang tongkat Beng-kauw yang kepalanya dihias permata ya-beng-cu! Kiranya gadis ini memasuki bilik untuk mencari senjata karena pedangnya sudah terampas oleh Hek-giam-lo. Setelah tiba di luar, ia melihat Bok Liong terkurung sinar hitam yang dibuat oleh lengan baju Hek-giam-lo, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan tongkat Beng-kauw mengemplang dari belakang ke arah kepala Hek-giam-lo!

“Werrrrr!” Tongkat itu lewat dekat kepala ketika Hek-giam-lo menghindar, kemudian sekali lompat iblis tengkorak ini sudah tiba dekat Bok Liong. Lengan baju kiri digerakkan melibat pedang Bok Liong, tangan kanan mengirim pukulan dari atas ke bawah yang kalau mengenai kepala Bok Liong tentu akan pecah seketika.

“Hayaaaaa...!” Bok Liong menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan, pukulan itu menyambar lewat dan....

“Brakkk!” papan perahu terkena pukulan tangan Hek-giam-lo menjadi amblong berlubang besar!

Biar pun Bok Liong sudah terhindar dari pada bahaya maut, namun pedangnya, pedang pusaka Goat-kong-kiam, kini sudah terampas dan berada di tangan si iblis tengkorak! Hek-giam-lo mengeluarkan suara seperti orang tertawa, tangan kanannya bergerak dan pedang rampasan meluncur ke belakang menangkis tongkat Beng-kauw yang sudah menyambarnya lagi.

“Traaanggggg!” Biar pun pedang itu disambitkan untuk menangkis, namun tenaga sambitannya membuat Lin Lin mengaduh karena telapak tangannya terasa panas dan perih, baiknya tongkatnya tidak terlepas. Pedang itu terbentur dan meluncur seperti anak panah ke arah kaki Bok Liong! Pemuda ini cepat melompat menghindar agar jangan sampai kakinya terbabat pedangnya sendiri.

“Cappp!” pedang Goat-kong-kiam menancap sampai setengah lebih di atas papan perahu.

“Bocah gila, lekas minggat. Sekali lagi aku tidak memberi ampun!” kata Hek-giam-lo sambil menggerakkan tangan kiri menyambut tongkat yang kembali telah dipukulkan oleh Lin Lin ke arah kepalanya. Kali ini Hek-giam-lo menerima tongkat itu, menarik lalu mendorong kuat sekali. Lin Lin menjerit dan tubuhnya terlempar... keluar perahu!

“Byurrrrr...!” tubuhnya menimpa air yang muncrat tinggi.

“Tolong... auppp...!” Lin Lin kaget sekali karena tubuhnya kaku, kaki tangannya lumpuh tak dapat digerakkan untuk berenang, maka dengan panik ia minta tolong.

Sesosok bayangan melompat ke air. Dia adalah Bok Liong yang cepat menyelam dan menyambar tubuh Lin Lin yang sudah tenggelam itu, kemudian memeluknya dan membawanya berenang ke pinggir perahu. Tongkat Beng-kauw masih berada di tangan gadis itu yang tidak mau melepaskannya. Dengan agak sukar Bok Liong menyambar pinggiran perahu, lalu menaikkan tubuh Lin Lin, yang masih kaku karena tadi terkena totokan lihai Hek-giam-lo. Ia sendiri meloncat ke atas perahu dan kembali mencabut pedangnya.

“Hek-giam-lo, kau bukan lawanku. Sekali lagi, memandang muka Suhu, harap kau suka membebaskan Lin-moi dan aku. Kalau kau mau berkelahi, lawanlah Suhu, baru sebanding. Akan tetapi kalau kau tidak mau membebaskan Lin-moi, terpaksa aku mengadu nyawa denganmu!”

“Heh, bocah edan! Nona ini adalah Tuan Puteri kami, dia adalah calon Permaisuri Khitan! Kau ini bocah gila berani jatuh hati kepadanya?”

Marahlah Bok Liong. Ia melompat maju dengan serangan pedangnya. Kali ini Hek-giam-lo melibat ujung pedang lawan dengan lengan bajunya, menggerakkan ke bawah dan... tubuh Bok Liong terbanting ke atas papan perahu. Seketika tubuh Bok Liong amblas sampai sepinggang karena kebetulan sekali ia terbanting pada papan yang telah bolong terkena pukulan Hek-giam-lo tadi. Kasihan pemuda itu, ia berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena pinggangnya terjepit sehingga ia seperti seekor tikus masuk perangkap. Namun ia masih memaki-maki, “Hek-giam-lo, kau bunuhlah aku, tapi bebaskan Lin-moi!”

“Tidak dibunuh buat apa?” berkata demikian, Hek-giam-lo menghampiri tubuh Bok Liong yang masih terjepit papan perahu.

Pemuda ini biar pun sudah tidak berdaya, namun pedangnya masih berada di tangan dan ia dengan sikap menantang siap untuk melakukan serangan terakhir dengan senjatanya sebelum tewas, sedikit pun tidak terbayang rasa takut di wajahnya.

“Hek-giam-lo, jangan bunuh dia!” tiba-tiba Lin Lin berseru keras.

Hek-giam-lo menengok ke arah gadis itu yang kini sudah berdiri dengan muka pucat. Iblis itu mendengus, lalu menggumam, “Tidak dibunuh buat apa? Dia kurang ajar, berani mencintai Tuan Puteri, harus dibunuh mati untuk menebus dosanya...!” Setelah berkata demikian Hek-giam-lo melangkah lagi menghampiri Bok Liong.

“Hek-giam-lo, kalau kau membunuhnya, aku tidak sudi ikut ke Khitan!” Kembali Lin Lin berseru.

Tanpa menoleh Hek-giam-lo menjawab dengan suara mengejek, “Hamba dapat memaksa Paduka!”

Karena Hek-giam-lo membacokkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Tubuhnya yang terjepit membuat ia tidak dapat menyerang secara baik, hanya asal membacok saja. Hek-giam-lo mendengus dan tahu-tahu pedang itu sudah terlibat oleh ujung lengan baju sebelah kiri, sedangkan tangan kanan iblis itu sudah bergerak mencengkeram ke arah kepala Bok Liong. Pemuda ini hanya dapat memandang dengan mata mendelik dan dengan sikap gagah menanti detangnya maut dengan mata terpentang lebar.

“Hek-giam-lo, kalau kau bunuh dia, aku akan bunuh diri!” teriak Lin Lin yang sudah kebingungan sekali melihat Bok Liong terancam bahaya maut. Pemuda itu datang untuk menolongnya, tak mungkin sekarang ia diam saja menyaksikan penolongnya terancam kematian yang mengerikan.

Cengkeramen ke arah kepala itu mendadak berubah dan kini yang dicengkeram adalah baju pada punggung Bok Liong. Sekali sentak tubuh pemuda itu sudah keluar dari jepitan papan dan sekali mengayun tangan Hek-giam-lo melemparkan tubuh Bok Liong keluar dari perahu dan....

“Byuuurrrrr...!” untuk kedua kalinya air muncrat tinggi ketika tertimpa tubuh pemuda itu.

Hanya sebentar Bok Liong tenggelam. Segera ia muncul lagi, terengah-engah dan menyemburkan air dari dalam mulutnya. Pedang Goat-kong-kiam masih di tangan kanannya dan dengan mata mendelik marah ia berenang ke arah perahu sambil memaki.

“Hek-giam-lo iblis tukang menakuti anak-anak! Kalau kau tidak membebaskan Lin-moi, aku akan mengadu jiwa denganmu!”

Melihat kenekatan pemuda yang keras kepala ini, Lin Lin bingung dan kaget sekali. Cepat ia berlari ke pinggir perahu dan berseru, “Liong-twako, jangan ke sini lagi! Kau pergilah, sia-sia melawan dia!”

“Lin-moi, tidak bisa aku meninggalkan kau tertawan iblis itu. Kalau perlu aku akan mengadu jiwa, apa artinya kematian? Hidup pun tidak akan berguna bagiku kalau kau mengalami bencana!” Penuh semangat pemuda ini menjawab. Jawaban yang sekaligus menyatakan cinta kasihnya terhadap gadis itu!

Merah seketika wajah Lin Lin dan sejenak ia terharu. Pemuda ini benar-benar hebat, gagah perkasa dan cinta kasihnya terhadap dirinya sudah cukup teruji. Berkali-kali pemuda ini menolongnya dari bencana tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri.

“Jangan, Twako,” katanya, suaranya agak gemetar. “Kau pergilah, aku tidak apa-apa, percayalah. Kelak kita dapat bertemu kembali. Aku minta dengan sangat, jangan kau kembali ke perahu!”

Bok Liong meragu, akan tetapi mendengar suara yang gemetar itu dan melihat wajah Lin Lin yang ketakutan mengkhawatirkan keadaan dan keselamatan dirinya, diam-diam ia merasa bahagia sekali. “Baiklah, Lin-moi, asal kau selamat, aku menurut segala kehendakmu. Tapi, aku akan selalu membayangimu. Awas mereka yang berani mengganggu, aku pasti akan menjungkir-balikkan bumi langit untuk mengadu jiwa!” Setelah berkata demikian, pemuda itu berenang kepinggir.

Setelah mendarat, barulah ia merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua dan ia menggigil kedinginan. Akan tetapi melihat perahu itu meluncur maju menurutkan aliran sungai, ia pun cepat-cepat mengikuti dari tepi sungai. Pemuda ini sudah mengambil keputusan untuk terus mengikuti jejak Lin Lin yang menjadi tawanan orang-orang Khitan. Ia bersikeras untuk membayangi terus, biar pun ia harus berjalan sampai ke Khitan, atau kalau perlu, ia akan terus membayangi sampai ke neraka!

Dapat dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan ini. Yang dibayangi naik perahu, karena perahu itu menurutkan aliran air, maka tidak pernah berhenti. Bok Liong harus mengikuti terus siang malam, dan ia harus menyaksikan dengan tubuh letih betapa para penumpang perahu enak-enakan duduk melengggut, atau harus menyaksikan dengan perut lapar betapa para penumpang perahu makan minum di atas dek. Adapun Lin Lin selalu berada di dalam bilik perahu. Hanya kadang-kadang saja gadis itu keluar dan dengan hati pedih melihat bayangan Bok Liong bergerak di tepi sungai. Hatinya makin terharu dan kasihan melihat pemuda itu, bukan hanya karena kesetiaan dan cinta kasih pemuda itu, melainkan terutama sekali kasihan karena hatinya sendiri tidak akan dapat membalas cinta kasih Bok Liong. Hatinya sendiri, sudah tersangkut oleh sebuah suling yang terbuat dari pada emas.....

********************


Kita tinggalkan dulu Lie Bok Liong yang dengan sengsara membayangi jejak orang-orang Khitan yang menawan Lin Lin sebagai seorang tawanan terhormat karena gadis ini, biar pun hakekatnya amat dibenci oleh Hek-giam-lo, namun sesungguhnya adalah calon ratu yang akan diperisteri oleh Kaisar Khitan. Mari kita mengikuti perjalanan Suling Emas bersama dua orang adiknya, Sian Eng dan Bu Sin.

“Twako, kenapa kau tadi tidak mencegah Lin-moi dibawa pergi orang-orang Khitan? Bagaimana kalau sampai dia mengalami celaka?” di tengah perjalanan Sian Eng menegur Suling Emas.

Suling Emas diam saja, hanya menarik napas panjang. Mereka bertiga berjalan seenaknya, Suling Emas sebagai petunjuk jalan di depan, di belakangnya berjalan Sian Eng dan Bu Sin berjalan di belakang.

“Eng-moi, bagaimana kau bisa menegur Twako seperti itu? Kau tahu sendiri betapa peristiwa hebat susul-menyusul yang menyedihkan hati Twako,” kata Bu Sin.

Terang bahwa Suling Emas menghadapi hal-hal hebat, pertemuan dengan ibunya yang ternyata seorang iblis betina, kemudian kejadian-kejadian berikutnya yang hebat. Tentu saja Suling Emas kurang memperhatikan keadaan Lin Lin.

Kembali Suling Emas menarik napas panjang. “Kalian tidak usah khawatir. Lin Lin berada di tangan suku bangsanya sendiri, takkan diganggu. Melihat gelagatnya, apa lagi mengingat akan pengalaman Adik Sian Eng ketika diculik orang-orang Khitan, agaknya Lin Lin adalah Puteri Khitan yang dahulu dipungut ayah kita. Betapa pun juga, kita akan pergi ke Khitan, merampas kembali tongkat Beng-kauw, sekalian mencari Lin Lin. Menurut pendapatku, sebaiknya kalian pulang dulu ke Cin-ling-san, biar aku mencari Lin Lin, kalau sudah jumpa, akan kuajak dia menyusul ke Cin-ling-san, tentu saja kalau dia mau.”

“Kalau ia mau? Apa maksudmu, Twako?” tanya Sian Eng heran.

Suling Emas tersenyum. “Bukankah dia itu Puteri Khitan? Kalau dia sudah kembali kepada bangsanya dan merasa berhak berada di sana dan tidak mau kembali ke Cin-ling-san, tentu saja kita tidak dapat memaksanya, bukan?”

“Aku ikut, Twako. Aku akan membujuknya! Tidak boleh dia tinggal bersama suku bangsa liar itu!” seru Sian Eng yang sudah pernah dibawa kepada suku bangsa Khitan itu.

“Betul, Twako. Aku dan Eng-moi akan ikut, sekalian untuk meluaskan pengalaman.”

Kembali Suling Emas menarik napas panjang. Baru saja kedua orang adiknya ini mengetahui rahasia bahwa dia sebenarnya adalah Kam Bu Song, dan baru saja mereka berkumpul. Tidak tegalah hatinya untuk mengusir mereka.

“Baiklah, akan tetapi perjalanan amat sukar dan jauh. Pula aku menghadapi banyak rintangan. Setelah keadaanku diketahui semua tokoh kang-ouw, bahwa mendiang Tok-siauw-kui adalah ibuku, agaknya perjalananku tidak akan aman lagi.”

“Mengapa, Twako?”

Suling Emas menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara mengeluh, “Mendiang ibuku... ah tak perlu dibicarakan lagi.” Ia tidak melanjutkan kata-katanya dan ketika Sian Eng hendak bertanya dari belakang Bu Sin menyentuh lengannya dan memberi tanda supaya adiknya ini tidak banyak bertanya.

“Orang-orang Khitan itu tentu berangkat ke utara melalui jalan sungai. Satu-satunya jalan tercepat ke utara hanya melalui Sungai Kan-kiang. Mereka sudah menang dulu tiga hari. Aku tahu jalan tercepat menuju ke Kan-kiang, melalui anak bukit Pek-kee-san (Bukit Ayam Putih). Akan tetapi perjalanannya amat sukar dan jalan turunnya sebelah sana hanya dapat ditempuh melalui sebuah jurang. Jurang ini tidak lebar, hanya sepuluh tombak lebih (dua puluh meter kurang lebih), akan tetapi amat dalam. Dahulu aku memasang sehelai tambang untuk penyeberangan di atas jurang itu. Mari kita melalui jalan itu agar dapat melakukan perjalanan cepat.”

Dua orang adiknya menurut dan mulailah mereka mendaki bukit Pek-kee-san. Memang betul seperti yang dikatakan Suling Emas, perjalanan ini amat sukar. Bukit itu tidak terlalu tinggi, akan tetapi jalan pendakiannya melalui daerah yang sukar sekali. Mereka harus melompati banyak jurang-jurang kecil, melalui daerah batu karang yang tandus dan panas, dengan jalan penuh batu-batu kecil yang bergerak-gerak kalau diinjak, melalui jalan yang licin dan berbahaya. Akan tetapi karena mereka bertiga adalah orang-orang muda yang berilmu tinggi, maka mereka dapat melakukan perjalanan cepat. Hanya Sian Eng yang kadang-kadang harus berpegang pada lengan Suling Emas, karena di antara mereka, hanya Sian Eng yang paling rendah tingkat kepandaiannya. Bu Sin telah mendapatkan kemajuan hebat sekali semenjak ia digembleng oleh kakek sakti di air terjun.

Matahari telah condong ke barat ketika mereka bertiga tiba di tepi jurang yang dimaksudkan, jurang satu-satunya yang akan membawa mereka ke tepi Sungai Kan-kiang setelah mereka berhasil menyeberanginya dan tiba di bukit kecil di seberang. Ngeri keadaan di situ karena tepi jurang itu membuka lubang menganga seakan-akan tak berdasar di bawah kaki mereka. Akan tetapi bukan hal inilah yang membuat Sian Eng memandang dengan muka pucat dan membuat Bu Sin tertegun. Bahkan Suling Emas sendiri mengerutkan keningnya dan mengeluarkan suara seperti kutukan di dalam tenggorokannya. Memang tambang besar dan kuat itu masih melintang di atas jurang, menjadi sehelai jembatan yang luar biasa. Akan tetapi ‘jembatan’ ini tidak kosong!

Di tengahnya, antara lima tombak dari tepi, tampak seorang kakek tinggi kurus gundul dan buruk menyeramkan berdiri di atas kepalanya di atas tambang! Posisi yang amat sukar dan luar biasa. Bukanlah mudah untuk ‘berdiri’ jungkir-balik dengan kepala di atas tambang, kedua lengan bersedakap dan kedua kaki menjulang ke atas, apa lagi tambang itu melintang di atas jurang yang dalamnya ratusan meter! Tapi kakek itu tampak enak-enak saja melenggut, meram melek dan dari mulutnya yang terbuka dan kelihatan gigi kecil-kecil ompong itu keluar dengkur yang keras.

Suling Emas tampak marah. “Hemmm, tak kusangka gangguan dimulai sepagi ini!” gumamnya dan dengan kaki kirinya ia menginjak tambang di tepi jurang, lalu bentaknya keras.

“Lo-tong (Anak Tua)! Apakah kehendakmu menghadang aku di sini dan menjual kepandaian secara tengik begini? Hayo pergi, kalau tidak, jangan salahkan aku kalau aku menendang tubuhmu yang reyot itu ke dasar jurang!”

Bu Sin dan Sian Eng berdiri di belakang Suling Emas dan memandang penuh kengerian. Kalau terjadi pertandingan di atas tambang antara Suling Emas dan kakek yang bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong, seorang di antara Enam Iblis itu, alangkah mengerikan! Mereka maklum dan percaya penuh akan kesaktian kakak mereka, akan tetapi pertandingan dilakukan di atas tambang yang melintang di atas jurang seperti itu, benar-benar amatlah berbahaya, baik bagi yang kalah mau pun bagi yang menang. Sekali saja keseimbangan badan kacau, atau sekali saja kaki terpeleset dan jatuh, jangan harap akan dapat menyelamatkan nyawa, kecuali kalau orang itu mem­punyai sayap seperti burung!

“Heh-heh, Kim-siauw-eng (Suling Emas), kiranya kau anak dari si wanita cabul Tok-siauw-kui, heh-heh-heh!”

Merah wajah Suling Emas. Begitu cepatnya cerita itu tersiar, pikirnya. “Tok-sim Lo-tong tak perlu kau bersusah payah membakar hatiku. Kalau kau berniat menantangku, mari kulayani kau. Untuk apa bertingkah seperti anak-anak padahal kau sudah tua bangka begini?”

“Heh-heh, berani kau melawanku? Di atas tambang ini?”

“Takut apa?” Suling Emas meloncat ke atas tambang dengan gerakan seringan burung walet, lalu menoleh dan berkata kepada kedua orang adiknya, “Jangan kalian menyeberang sebelum aku beri isyarat dari sana.”

Sehabis memberi peringatan kepada adik-adiknya Suling Emas melangkah maju sambil mengeluarkan senjatanya, yaitu sulingnya. Ia maklum bahwa biar pun kelihatan seperti orang tolol, kekanak-kanakan, namun Tok-sim Lo-tong adalah seorang sakti dan jahat sehingga ia dianggap cukup berharga untuk menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Maka ia tidak berani memandang rendah dan sengaja ia mengeluarkan sulingnya.

“Heh-heh-heh!” Tok-sim Lo-tong terkekeh dan tubuhnya bergerak seperti baling-baling berputaran beberapa kali di udara lalu tahu-tahu ia telah berdiri di atas tambang.

Hebat sekali demonstrasinya ini, seakan-akan tambang itu merupakan tanah keras biasa baginya. Begitu kedua kakinya yang telanjang itu menginjak tambang, ia lalu lari ke tengah dan tiba-tiba tubuhnya bergoyang-goyang ke kanan kiri. Jari-jari kakinya mencengkeram tambang dan guncangan-guncangan yang dibuat pada tambang itu membuat tubuh Suling Emas bergoyang-goyang pula, makin lama makin hebat sampai tubuh pendekar ini menjadi miring ke kanan kiri.

Bu Sin dan Sian Eng memandang pucat. Kakek sinting itu berbahaya sekali dan karena kedua kakinya telanjang, tentu saja ia lebih leluasa ‘main-main’ di atas tambang dari pada Suling Emas yang memakai sepatu kulit dengan sol dipasangi baja. Suling Emas dengan sepatunya itu lebih mudah terpeleset, tidak seperti lawannya yang dapat mencengkeram tambang dengan jari-jari kakinya!

“Heh-heh-heh, terjunlah... terjunlah... heh-heh!” Tok-sim Lo-tong terkekeh-kekeh dan guncangannya pada tambang itu makin menghebat sehingga agaknya tak lama lagi Suling Emas takkan dapat menahan dirinya.

Namun Suling Emas bukanlah pendekar sembarangan saja. Biar pun usianya belum tua, namun ia seorang yang selain memiliki kesaktian tinggi, juga ia cerdik sekali di samping wataknya yang tenang dan waspada. Menghadapi akal lawan ini, ia berlaku tenang dan tidak gentar sedikit pun juga. Dengan ilmu lweekang-nya ia dapat membuat kedua kakinya seakan-akan lengket pada tambang dan biar pun tubuhnya tergucang-guncang dan miring ke kanan kiri sampai hampir roboh, namun ia sama sekali tidak dapat terjatuh dari atas tambang.

“Tua bangka curang, cukup permainanmu ini!” tiba-tiba Suling Emas berseru dan tubuhnya melayang ke atas, kedua kakinya terlepas dari tambang!

Hampir Sian Eng berteriak karena hal ini benar-benar berbahaya. Betapa pun saktinya, Suling Emas tidak dapat terbang, bagaimana begitu sembrono berani melepaskan tambang? Tubuhnya tentu akan turun lagi dan bagaimana kalau ia tidak dapat menginjak tambang lagi?

“Heh-heh-heh, kau cari mampus!” teriak Tok-sim Lo-tong dengan girang karena ia melihat kesempatan baik.

Guncangan pada tambangnya makin hebat, dan ia rasa tentu kali ini Suling Emas tidak akan mampu turun lagi di atas tambang. Akan tetapi mendadak ia berseru keras dan melompat ke belakang, berjungkir balik dan seperti baling-baling ia berloncatan terus ke belakang karena sinar yang terang menyambar-nyambar bagaikan patuk burung garuda, mengarah jalan darah paling penting di tubuhnya. Sekali saja ia terkena totokan ujung suling, tentu ia akan menjadi lumpuh dan akibatnya dialah yang akan jatuh ke bawah.

Karena Tok-sim Lo-tong sibuk mengelak inilah maka tambang tidak terguncang-guncang lagi dan tentu saja hal ini sudah diperhitungkan oleh Suling Emas yang dengan mudahnya dapat turun lagi di atas tambang. Kini dialah yang menyerang, terus mendesak lawan dengan sulingnya sehingga kakek gundul itu berseru-seru marah, akan tetapi terpaksa mundur terus sambil berjungkir balik makin lama mendekati tepi seberang jurang.

Mendadak Tok-sim Lo-tong memekik dan tubuhnya melayang tinggi dan cepat, tahu-tahu ia sudah berada di seberang dan kedua tangannya yang kurus itu telah mengangkat sebuah batu karang sebesar kerbau, lalu dilontarkannya batu karang itu ke arah Suling Emas yang masih berada di atas tambang! Serangan hebat dan berbahaya sekali dan sekaligus menyatakan bahwa kakek kurus kering itu benar-benar luar biasa karena dengan mudahnya dapat mengangkat dan melontarkan batu karang yang demikian besarnya.

Namun Suling Emas tidak menjadi gentar atau gugup. Ia merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok, sulingnya berkelebat dan berhasil menotol dan mendorong batu itu dari bawah. Luncuran batu itu menyeleweng lewat di atas kepalanya, lalu meluncur ke bawah. Sampai lama barulah terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah bawah, akan tetapi Suling Emas sama sekali tidak mempedulikannya, tidak melihat sedikit pun ke bawah, melainkan waspada memandang ke arah lawan sambil melangkah maju.

Di seberang lain, Sian Eng meramkan mata saking ngerinya, juga Bu Sin merasa ngeri sekali. Mereka melihat betapa batu karang sebesar kerbau itu menimpa batu-batu di bawah dan hancur berkeping-keping. Dapat dibayangkan betapa tubuh manusia akan hancur lebur kalau terjatuh dari tempat setinggi ini.

Tok-sim Lo-tong agaknya menjadi marah dan penasaran sekali. Sambil meringkik aneh ia menubruk ke arah tambang, agaknya bermaksud memutus tambang itu. Suling Emas dapat menduga niat jahat ini, maka sekali melompat ia telah berada di tepi dan sulingnya berkelebat merupakan sinar terang menusuk ubun-ubun kepala Tok-sim Lo-tong. Terpaksa iblis ini tidak melanjutkan niat jahatnya, sebaliknya ia menggulingkan tubuhnya ke belakang. Sambil bergulingan ini, kedua tangannya tiada hentinya bergerak dan batu-batu besar kecil berhamburan menyambar ke arah Suling Emas bagaikan hujan derasnya.

Hebat memang iblis itu. Sukar dikatakan apakah gerakannya bergulingan itu gerakan mengelak ataukah menyerang, sifatnya mengandung kedua-duanya. Ia bergulingan untuk mengelak dari suling lawan, namun ia pun bergulingan sambil menyerang. Serangan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena semua batu itu besar kecil menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh, bukan sambaran sembarang sambar!

Suling Emas sibuk memutar sulingnya menangkis, malah mengeluarkan kipasnya dan senjata kedua ini banyak berjasa mengebut runtuh batu-batu kecil. Biar pun serangan itu hebat, namun Suling Emas masih sempat berseru ke sebelah belakangnya. “Kalian menyeberanglah!”

Bu Sin dan Sian Eng mendengar seruan yang nyaring luar biasa ini. Mereka lalu mendekati jembatan tambang.

“Kau menyeberang dulu, Eng-moi, biar aku di belakangmu,” kata Bu Sin.

Menyeberang tambang seperti itu bukanlah hal yang terlalu sukar bagi Sian Eng. Hanya tempat dan keadaannyalah yang terlalu mengerikan sehingga jantungnya berdebar tegang, wajahnya agak pucat dan rasa takut menyelubungi hatinya. Melihat betapa kedua kaki adiknya agak menggigil, Bu Sin menyentuh pundaknya dan berkata.

“Jangan takut, adikku. Tidak apa-apa, tambangnya begini besar dan kuat, jaraknya tidak jauh, apa sukarnya? Asal kau jangan memandang ke bawah.”

Sian Eng mengangguk, lalu melangkah maju ke atas tambang, diikuti kakaknya. Dua orang muda ini melangkah hati-hati sekali, mengembangkan kedua lengan ke kanan kiri untuk mengatur keseimbangan tubuh.

Ketika mereka tiba di tengah-tengah ‘jembatan’, mendadak terdengar suara orang tertawa di sebelah belakang mereka. Bu Sin dan Sian Eng kaget, cepat menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat dua orang laki-laki memegang golok, datang tertawa-tawa sambil menggerakkan golok hendak membabat tambang yang mereka injak!

“Twako... tolong...!” Hampir berbareng Bu Sin dan Sian Eng berteriak, akan tetapi hampir putus asa karena pada saat itu Suling Emas masih bertempur seru menghadapi Tok-sim Lo-tong.

Dua batang golok yang tajam menyambar ke arah tambang dan agaknya dalam detik-detik berikutnya tubuh Bu Sin dan Sian Eng akan terbanting hancur lebur di dasar jurang kalau saja pada saat itu tidak terjadi hal yang hebat.

Suling Emas mendengar teriakan adik-adiknya, cepat menengok dan berseru keras, tangan kirinya yang memegang kipas menyambar ke bawah dan di lain detik, dua buah batu kecil telah dilontarkan oleh kipas itu, bagaikan dua butir peluru saja. Menyambarnya dua buah batu kecil itu sama sekali tidak kelihatan saking cepatnya. Tahu-tahu dua orang pemegang golok itu memekik ngeri, mereka terguling roboh dan karena mereka berdiri di tepi jurang, tubuh mereka tak dapat dicegah lagi menggelinding turun dan melayang ke bawah. Hanya terdengar raung mengerikan ketika dua tubuh itu melayang-layang, kemudian sunyi, bahkan terbantingnya tubuh itu ke atas batu-batu runcing di sebelah bawah tidak terdengar sampai ke atas, saking tingginya tempat itu.

Sejenak Sian Eng meramkan mata dan tubuhnya bergoyang-goyang. Ia merasa ngeri dan tegang, kedua kakinya menggigil dan hampir pingsan. Untung baginya, Bu Sin lebih tabah hatinya. Pemuda ini cepat melangkah maju dan menangkap lengan adiknya ketika melihat gadis itu bergoyang-goyang dan tidak dapat bergerak maju.

“Eng-moi, bahaya telah lewat, hayo cepat menyeberang!” katanya sambil mengguncangkan dan mendorong.

Sian Eng sadar kembali, mengeluh lirih lalu melangkah kecil menyeberangi tambang yang tinggal beberapa meter jauhnya itu. Setelah berhasil mencapai tepi penyeberangan luar biasa ini, Bu Sin dan Sian Eng mendapat kenyataan bahwa bukit di seberang sini jauh bedanya dengan bukit di seberang sana. Bukit ini subur, indah dan menyenangkan sekali. Dari atas tampak di lereng gunung itu air sungai bening berkilauan. Itulah Sungai Kan-kiang.

Tentu saja mereka hanya dapat memandang tamasya alam ini sepintas lalu saja karena perhatian mereka segera tertuju ke arah Suling Emas yang masih bertempur melawan Tok-sim Lo-tong. Mereka berdua maklum bahwa dengan tingkat kepandaian mereka, membantu Suling Emas berarti malah mengacaukan gerakan-gerakannya, maka mereka hanya memandang dengan kagum dan juga cemas.

Kakek tinggi kurus itu ternyata lihai bukan main. Ia menghadapi Suling Emas hanya bertangan kosong saja, akan tetapi ternyata segala sesuatu yang berada di dekatnya merupakan senjatanya! Batu-batu besar kecil, ranting-ranting dan dahan, kadang-kadang malah pohon-pohon yang cukup besar dicabutnya dan dimainkan sebagai senjata!

Memang demikianlah keadaan kedua saudara Tok-sim Lo-tong dan suheng-nya, Toat-beng Koai-jin. Mereka berdua ini adalah murid-murid orang sakti, akan tetapi karena sejak kecil hidup di dalam hutan liar, mereka menjadi ganas seperti orang hutan dan cara mereka berkelahi pun kasar dan sederhana. Namun karena gerakan-gerakan mereka berdasarkan ilmu silat tinggi yang luar biasa, maka tentu saja kepandaian mereka hebat.

Suling Emas sudah berhasil mendesaknya, namun belum juga dapat merobohkannya. Ada empat kali sulingnya mengenai sasaran, namun kekebalan kakek kurus itu dapat menahan hantaman suling yang kenanya memang tidak tepat benar.

“Bu Sin, Eng-moi, lekas kalian pergi ke sungai itu dan cari perahu. Aku menyusul segera! Kalau aku belum datang dan kalian sudah mendapat perahu, berangkat saja dulu menurutkan aliran sungai. Lekas!”

Bu Sin dan adiknya heran melihat sikap Suling Emas yang tergesa-gesa dan seperti gugup itu. Terang bahwa Suling Emas tidak akan kalah oleh si kakek kurus, mengapa mengusir mereka pergi cepat-cepat? Akan tetapi kelika melihat pandang mata Suling Emas mengerling tajam ke arah belakang mereka, Bu Sin cepat menengok dan bukan main kagetnya ketika ia melihat beberapa orang berlari cepat menuju ke penyeberangan.

Bahkan yang terdepan, seorang kakek bertelanjang badan hanya pakai cawat seperti Tok-sim Lo-tong, tubuhnya gemuk berpunuk, telah meloncat ke atas tambang dengan kecepatan dan keringanan tubuh yang mengagumkan sekali. Toat-beng Koai-jin! Tahulah Bu Sin sekarang akan maksud Suling Emas. Tentu saja dengan adanya mereka berdua, Suling Emas menjadi kurang leluasa untuk melawan sekian banyak orang pandai, karena disamping harus menandingi mereka, juga harus melindungi kedua adiknya.

“Tapi... kau sendiri... Twako?” Sian Eng mengkhawatirkan kakaknya dan agaknya tidak tega untuk meninggalkan Suling Emas seorang diri menghadapi sekian banyaknya lawan tangguh.

“Pergilah...!” Suling Emas berseru kesal dan Bu Sin lalu menarik tangan Sian Eng, diajak berlari cepat pergi meninggalkan tempat berbahaya itu.

Jalan menuruni bukit hijau ini amat mudah, jauh bedanya dengan bukit di seberang dan karena sungai itu sudah tampak dari lereng tadi, kini dengan mudah Bu Sin dan Sian Eng mengerahkan larinya. Hanya satu jam mereka berlari menuruni bukit dan tibalah mereka di tepi Sungai Kan-kiang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa baru malam tadi perahu yang membawa orang-orang Khitan dan Lin Lin lewat di tempat itu. Memang jalan melalui bukit dan menyeberangi tambang itu merupakan jalan yang amat dekat, jalan memotong yang lurus, tidak seperti jalan sungai yang berbelok-belok.

“Kita menanti di sini, Sin-ko. Ah, Twako menghadapi banyak musuh lihai, bagaimana kalau... kalau dia....”

“Dia tidak akan kalah, Eng-moi. Jangan kau khawatir. Kita harus mentaati pesannya, mari kita mencari perahu.”

“Tapi di sini amat sunyi, mana ada perahu? Pula, kurasa lebih baik kita jangan pergi sebelum Song-twako datang.”

“Twako tadi berpesan supaya kita berangkat dulu, kalau tidak ada perahu, kita bisa mencari ke sebelah hilir sampai dapat. Mari, Eng-moi, Song-twako memesan demikian tentu ada alasannya.”

Tanpa memberi kesempatan lagi kepada Sian Eng untuk membantah, Bu Sin memegang tangannya dan diajak melanjutkan perjalanan, menyusuri tepi sungai itu ke hilir dengan langkah cepat. Tentu saja mereka juga tidak tahu bahwa kira-kira tiga puluh li di sebelah depan sana, Lie Bok Liong juga menyusuri tepi sungai untuk mengikuti perahu besar yang menawan Lin Lin!

Sebetulnya kalau Bu Sin dan Sian Eng melakukan perjalanan cepat dan sengaja mengejar rombongan yang membawa Lin Lin, agaknya dalam waktu setengah hari akan dapat menyusul mereka. Akan tetapi kakak beradik ini tidak tergesa-gesa, bahkan kadang-kadang melambat dengan harapan akan segera dapat tersusul Suling Emas karena betapa pun juga, mereka merasa tidak enak berpisah dari kakak yang sakti ini. Mereka melakukan perjalanan menyusuri sungai sambil setengah menanti munculnya Suling Emas. Dan inilah sebabnya maka jarak antara mereka dan rombongan orang Khitan tetap jauhnya, bahkan makin menjauh karena kadang-kadang perahu besar itu sengaja dipercepat untuk membikin Lie Bok Liong yang mengikutinya dari pantai menjadi makin payah.

Setelah melihat kedua orang adiknya pergi dengan cepat, Suling Emas menjadi lega hatinya. Ia tadi melihat munculnya Toat-beng Koai-jin dan beberapa orang di belakang kakek berpunuk itu yang gerakan-gerakannya cukup membayangkan kepandaian tinggi. Oleh karena inilah maka ia bersikeras menyuruh kedua adiknya pergi lebih dulu, karena ia maklum bahwa menghadapi lawan-lawan setangguh itu, kehadiran Bu Sin dan Sian Eng merupakan bahaya. Sekarang hatinya lega dan sambil tersenyum mengejek ia berkata.

“Tok-sim Lo-tong, karena aku tidak bermusuhan dengan Thian-te Liok-koai, juga denganmu pribadi tidak ada dendam mendendam, mengapa kau bersikeras dan tidak mau membuka mata bahwa sejak tadi aku berlaku murah dan mengalah? Sekarang suheng dan teman-temanmu datang, aku tidak bisa bersikap mengalah lagi!”

Tiba-tiba Suling Emas menggerakkan sulingnya secara aneh, yaitu ia telah mainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat. Ilmu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Awan) ini adalah ilmu kesaktian yang ia terima dari kakek sakti Bu Kek Siansu dan selama ini merupakan ilmu simpanannya karena ilmu gaib ini tidak akan sembarangan ia keluarkan kalau tidak perlu.

Dengan ilmu silatnya yang sudah amat tinggi, tanpa mengeluarkan ilmu simpanan ini pun Suling Emas jarang menemukan tandingan. Akan tetapi karena sekarang ia melihat keadaan mendesak dengan munculnya Toat-beng Koai-jin yang lihai, sedangkan ia harus menyusul kedua orang adiknya, harus segera mencari Lin Lin dan merampas kembali tongkat kebesaran Beng-kauw, maka terpaksa ia mengeluarkan ilmu simpanannya ini untuk menghadapi Tok-sim Lo-tong yang benar-benar lihai dan tangguh itu.

Tok-sim Lo-tong terkesiap, mengeluarkan pekik aneh ketika tiba-tiba matanya menjadi silau. Di depan matanya hanya berkelebatan sinar keemasan dari suling lawan yang bergerak membentuk coret-moret tidak karuan, namun selain indah gayanya, juga mengandung tenaga mukjijat yang sukar ia lawan. Selama hidupnya kakek ini belum pernah gentar menghadapi ilmu silat dari mana pun juga, akan tetapi ia benar-benar kaget sekali menghadapi gerakan aneh yang mengandung getaran mukjijat ini.

Cepat ia mengerahkan tenaga sinkang-nya, dan mengingat bahwa suling bukanlah senjata tajam, Tok-sim Lo-tong lalu mencengkeram dengan tangan kirinya untuk merampas suling sedangkan tangan kanannya mencengkeram pundak lawan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika cengkeramannya pada pundak meleset seperti mencengkeram batu licin saja, sedangkan tangan kiri yang bertemu dengan suling seketika menjadi lumpuh. Cepat ia melempar diri ke belakang, membuat gerakan jungkir balik tiga kali lalu ia menggelinding sampai sepuluh meter lebih jauhnya! Untung ia membuat gerakan ini untuk menolong dirinya, kalau tidak tentu ia akan celaka, sedikitnya akan terluka parah.

Kehebatan jurus yang dikeluarkan Suling Emas ini tidaklah mengherankan. Ia tadi mengeluarkan jurus ilmu silat sakti Hong-in-bun-hoat dengan dasar coretan huruf TO. Huruf ini merupakan huruf sakti, atau huruf ajaib bagi para ahli filsafat. Memang bagi orang biasa, huruf ini berarti JALAN, akan tetapi bagi ahli kebatinan memiliki arti yang lebih mendalam dan luasnya bukan main. Bahkan Nabi Locu dengan kitab To-tik-keng (Tao-te-cing) yang terkenal di seluruh dunia itu mendasarkan filsafat-filsatatnya bersumber pada huruf TO inilah!

Demikian dalam dan penuh rahasia serta gaibnya huruf TO ini sehingga di dalam kitab itu disindirkan bahwa TO tidak dapat diterangkan, tidak dapat disebut, tiada bernama, saking kecilnya tidak tampak, saking besarnya memenuhi alam semesta, lebih gaib dari pada yang gaib, sumber segala yang ada dan tidak ada, semua rahasia! Demikianlah untuk menggambarkan huruf TO ini, dan sebagian kaum cerdik pandai membuatkan arti kata itu sebagai KEKUASAAN TERTINGGI.

Nah, dengan mendasarkan jurusnya pada huruf gaib ini mana bisa Tok-sim Lo-tong menghadapinya? Sekali gebrakan saja, kalau ia tidak cepat-cepat membuang diri ke belakang dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya, tentu ia akan mengalami celaka besar!

Pada saat Tok-sim Lo-tong bergulingan, Toat-beng Koai-jin sudah tiba di tempat itu, bersama tiga orang temannya yang sebetulnya adalah anak buah It-gan Kai-ong. Seperti kita ketahui, kakak beradik liar ini dapat dibujuk oleh It-gan Kai-ong dan menjadi pembantu-pembantunya. Kini mereka berdua, dibantu tiga orang anak buah pengemis itu, memang ditempatkan di situ untuk menghadang perjalanan Suling Emas. Sebagai orang-orang lihai, kedua kakek aneh ini amat sembrono maka tadi yang berada di jembatan tambang hanya Tok-sim Lo-tong, sedangkan Toat-beng Koai-jin yang menganggur menjadi tidak betah, dan mengajak tiga orang pembantu itu memasuki hutan mencari daging binatang.

Toat-beng Koai-jin melihat sutenya bergulingan, cepat menghampiri dan dengan suara khawatir bertanya, “Bagaimana, Sute? Kau tidak apa-apa, kan, Sute? Sakitkah, adikku sayang?” Ia merangkul si kurus itu dan mengelus-ngelus kepalanya yang gundul, sikapnya seperti seorang kakak menghibur adiknya. Dan anehnya, Tok-sim Lo-tong menangis dalam rangkulan suheng-nya! Tangis manja seorang anak kecil!

Ada pun tiga orang pembantu It-gan Kai-ong itu segera menyerbu dengan golok di tangan ketika melihat Suling Emas. Mereka semua maklum akan kelihaian Suling Emas, akan tetapi karena di situ ada Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong, tentu saja mereka berbesar hati dan berani menyerbu.

Pada saat itu tangan Suling Emas masih bergerak melanjutkan coretan-coretan terakhir dari huruf To, hanya dua kali gerakan coretan lagi, namun ini sudah cukup karena terdengar tiga orang itu memekik keras, tubuh mereka terpental didahului golok yang patah-patah, roboh terbanting di atas tanah dan tidak dapat bangun kembali! Karena Suling Emas memang tidak mempunyai niat untuk menunda perjalanannya dengan pertempuran-pertempuran yang tidak beralasan, tanpa menoleh lagi ia lalu melompat dan pergi meninggaikan tempat itu.

“He, Kim-siauw-eng, tunggu! Kau sudah berani mengganggu Sute-ku, beraninya hanya pada anak-anak, hayo kau lawan aku!” bentak Toat-beng Koai-jin sambil melompat berdiri dan melontarkan sebuah batu karang yang besar.

Suling Emas tertawa dan mengelak sehingga batu besar itu dengan suara hiruk-pikuk menimpa pohon yang tumbang seketika. “Kau bilang Tok-sim Lo-tong anak-anak? Ha-ha, anak-anak tua bangka, seperti juga kau. Aku tidak ada waktu banyak, selamat tinggal!” Suling Emas tidak berhenti berlari, tidak pedulikan lagi pada Toat-beng Koai-jin yang memaki-makinya dan mengejarnya bersama Tok-sim Lo-tong.

Karena ginkang dari Suling Emas sudah mencapai tingkat tinggi sekali, sebentar saja ia dapat meninggalkan dua orang pengejarnya dan lari menuruni bukit menuju ke arah Sungai Kan-kiang. Ada pun tiga orang yang dirobohkannya tadi masih belum dapat bangun, biar pun tidak tewas namun masih ‘ngorok’ seperti babi disembelih.

Kalau tadi Sian Eng dan Bu Sin menghabiskan waktu satu jam untuk menuruni bukit itu, bagi Suling Emas hanya membutuhkan belasan menit saja. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat banyak sekali orang menghadangnya di tepi Sungai Kan-kiang. Ia kaget melihat It-gan Kai-ong sudah berada di situ, dan ia heran menyaksikan puluhan orang yang ia kenal sebagai tamu-tamu yang tadinya berkumpul di Nan-cao dan yang sudah meninggalkan Nan-cao dua tiga hari yang lalu. Ada tokoh-tokoh besar wakil dari partai-partai persilatan besar, ada pula hwesio-hwesio Siauw-lim, ada pendeta-pendeta tosu dari Go-bi-pai dan Kong-thong-pai. Dan mereka ini semua rata-rata bersikap kereng dan bermusuh!

“Para sahabat yang baik, nah itulah dia putera tunggal Tok-siauw-kwi! Kalau bukan dia yang harus membayar hutang mendiang ibu kandungnya, siapa lagi?” terdengar It-gan Kai-ong berseru sembil tertawa mengejek.

Kini Suling Emas sudah berhadapan dengan mereka. Melihat semua orang itu siap mengeroyoknya, Suling Emas cepat mengangkat tangan ke atas sambil berkata. “Saudara-saudara sekalian ini bukankah tadinya menjadi tamu-tamu terhormat di Nan-cao? Mengapa tidak lekas kembali ke tempat masing-masing dan menghadangku di sini? Ada urusan apakah?”

Orang banyak itu melangkah maju, dan seperti seribu burung berkicau mereka menjawab dengan ucapan masing­masing. Akan tetapi rata-rata mereka itu marah dan Suling Emas masih sempat mendengar betapa mereka itu menaruh dendam atas perbuatan-perbuatan mendiang ibunya. Ia menjadi bingung, kemudian melihat seorang hwesio tua dari Siauw-lim-pai yang dikenalnya baik ia cepat menegur hwesio itu.

“Cheng San Hwesio, kau mengenal baik padaku dan kiranya cukup maklum bahwa aku selamanya tidak memusuhi Siauw-lim-pai dan lain-lain golongan. Mengapa sekarang terjadi pencegatan ini mengapa pula kau ikut-ikutan hendak memusuhiku? Apakah salahku terhadap Siauw-lim-pai?”

“Hemmm, Suling Emas, memang kau tak pernah memusuhi kami, bahkan kau selalu berbaik dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi kebaikanmu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kejahatan ibu kandungmu. Tiga orang suheng-ku tewas dua puluh tahun yang lalu dan seorang sute-ku diculik ibumu, kemudian tewas pula tidak tentu kuburnya setelah dijadikan barang permainan ibu kandungmu. Dosa itu tak berampun, dan karena ibumu sudah tewas, kaulah yang harus membayar hutangnya! Harap saja kau suka menyerahkan agar pinceng (aku) bawa kau menghadap ketua kami di Siauw-lim!”

“Mana bisa, Cheng San Hwesio!” bantah seorang tosu yang dikenal pula oleh Suling Emas sebagai seorang tokoh Hoa-san bernama Kok Seng Cu. “Pinto (aku) juga mempunyai urusan dengan Suling Emas karena ibunya, Tok-siauw-kui pada puluhan tahun yang lalu mengobrak-obrik Hoa-san, membunuh lima orang suheng-ku, mencuri pedang pusaka dan menghina ketua. Kami berusaha mencarinya selama ini, akan tetapi ia bersembunyi dan sekarang begitu keluar lalu binasa. Perhitungan lama belum dilunaskan, tahun yang lalu di Thai-san, seorang sute pinto bernama Kok Ceng Cu tewas oleh Siang­-mou Sin-ni yang ternyata juga murid Tok-siauw-kui. Hemmm, siapa lagi kalau bukan Suling Emas yang harus mempertanggung-jawabkan? Suling Emas, hayo kau ikut dengan pinto ke Hoa-san!”

“Tidak bisa!” kata seorang hwesio lain yang bermuka hitam bernama Hek Bin Hosiang tokoh Go-bi-pai. “Tok-siau-kui mencuri kitab pusaka Go-bi-pai, tentu diberikan kepada puteranya. Suling Emas, kau kembalikan kitab itu, baru pinceng mau pergi!” Sambil berkata demikian, hwesio muka hitam ini seperti yang lain-lain lalu melangkah maju sambil melintangkan toya baja di tangannya.

Masih banyak yang bicara dan rata-rata mereka itu mengemukakan perbuatan-perbuatan Tok-siauw-kui dan ingin menuntut balas pada Suling Emas. Pendekar ini menjadi kaget, menyesal, sedih dan juga bingung. Tak disangkanya bahwa ibunya yang selama ini menjadi kenangan yang dibela sehingga ia rela meninggalkan ayahnya, hidup terlunta-lunta, ternyata adalah seorang tokoh yang begini banyak musuhnya dan yang telah melakukan banyak perbuatan jahat!

Rasa sesal di hatinya membuat ia ingin menebus dosa itu dengan nyawanya, ingin membiarkan dirinya dikeroyok dan dibunuh, ingin menebus dosa ibunya dengan cucuran darah dan melayangnya nyawa. Akan tetapi, ia masih mempunyai banyak tugas di dunia ini. Apa lagi ia telah berdosa kepada ayah kandungnya, mengira ayahnya yang jahat terhadap ibunya. Kini ibunya yang banyak dosa telah tewas, ayahnya yang agaknya menjadi korban ibunya, yang ditinggal pergi ibunya telah tewas pula. Akan tetapi anak-anak ayahnya masih ada. Bu Sin dan Sian Eng dan juga Lin Lin, ia harus melindungi mereka untuk menebus dosanya sendiri terhadap ayahnya. Pula semua tuduhan terhadap ibunya itu harus ia selidiki dulu.

Dengan sudut matanya Suling Emas melihat orang-orang yang menghadapinya. Ada dua puluh empat orang, belum terhitung It-gan Kai-ong. Mereka itu rata-rata berilmu tinggi dan selain di situ ada It-gan Kai-ong yang tangguh, di sebelah belakang masih datang pula Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Kalau mereka semua maju, biar pun ia tumbuh sepasang sayap, kiranya ia takkan mungkin dapat menandingi mereka!

“Kalian terburu nafsu! Andai kata mendiang ibuku melakukan semua itu, apa hubungannya dengan aku? Aku tidak ada waktu untuk melayani kalian yang sedang mabuk dendam!” Setelah berkata demikian, Suling Emas memutar sulingnya dan melompat jauh, lalu melarikan diri.

Tentu saja ia tidak mau lari ke hilir karena hal itu tentu akan membawa ia ke tempat adik-adiknya dan kalau hal ini terjadi akan berbahayalah bagi adik-adiknya. Maka ia sengaja mengambil jalan yang sebaliknya. Yaitu ke hulu sungai, berlawanan dengan aliran air. Dengan suara gemuruh orang-orang itu melakukan pengejaran sambil mengacung-acungkan senjata masing-masing.

Suling Emas menjadi makin gelisah. Tentu saja ia bisa melawan mereka, dan dengan ilmu silatnya yang tinggi, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk menangkapnya. Akan tetapi, menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang berilmu tinggi tentu saja ia akan terpaksa untuk mengeluarkan ilmu kepandaiannya dan hal ini tentu akan mengakibatkan banyak korban jatuh. Hanya dengan jalan merobohkan dan membunuh ia akan dapat membuka jalan darah dan membebaskan diri, dan hal ini justru sama sekali tidak dikehendakinya. Kalau ia melakukan pembunuhan, berarti ia menambah dosa­dosa ibunya! Berpikir demikian, Suling Emas mempercepat larinya.

Akan tetapi para pengejarnya adalah tokoh-tokoh pilihan dari pelbagai partai persilatan besar yang tentu saja pandai mempergunakan ilmu lari cepat sehingga mereka ini dapat terus melakukan pengejaran dan tidak tertinggal terlalu jauh oleh Suling Emas. Malah tiba-tiba pendekar itu mendengar bentakan tepat di belakangnya, bentakan yang amat nyaring dari seorang wanita.

“Kau harus menebus nyawa ayah yang terbunuh oleh ibumu! Lihat pedang!”

Suling Emas kaget sekali, cepat ia menghindar dengan langkah nyerong. Sinar pedang yang putih seperti perak meluncur lewat di atas pundaknya dan alangkah kagetnya ketika ia melihat seorang wanita cantik berpakaian serba hijau yang menyerangnya itu. Wanita ini cantik dan berwajah kereng, pakaiannya sederhana dari sutera warna hijau, usianya sekitar tiga puluh tahun. Melihat cara pedang bersinar putih perak itu tadi menusuk, Suling Emas menduga bahwa wanita ini tentulah seorang anak murid pilihan dari seorang ahli pedang dan ahli sinkang yang sakti. Gerakan wanita itu ringan bukan main, seakan-akan pandai terbang, dan gerakan pedangnya pun cepat dan seperti kilat menyambar. Hati Suling Emas terkesiap, cepat ia mencabut kipasnya dan menggunakan kebutan kipas untuk mengebut pedang itu tiap kali sinarnya menyambar.

“Kau siapakah, Nona?”

“Aku Bu-eng-sin-kiam (Pedang Sakti Tanpa Bayangan) Tan Lien dari pantai timur. Mendiang ayahku, Tan Hui, tewas di tangan ibu kandungmu yang jahat setelah ia mengelabui ayah sehingga berhasil mewarisi ginkang dari ayah. Ibumu jahat dan palsu, kau harus menebus dosanya!” bentak wanita itu sambil menyerang lagi.

Suling Emas kaget. Ia ingat akan nama basar Tan Hui, jago pedang di pantai timur. “Ayahmu yang berjuluk Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang)?”

“Betul dan sekarang menanti di akhirat untuk menunggu nyawamu!”

Diam-diam Suling Emas mengeluh. Apa lagi setelah melihat para pengejar yang lain sudah datang dekat. Ia tidak tega merobohkan wanita ini. Nama besar Hui-kiam-eng terkenal sebagai pendekar yang berbudi. Kalau pendekar itu tewas di tangan ibu kandungnya dan sekarang anaknya berusaha membalas, bagaimana ia dapat tega merobohkan Tan Lian ini?

“Ibuku yang berbuat, aku tidak tahu apa-apa,” katanya sambil mengebut pergi pedang yang kembali telah menusuknya dengan cepat. “Agaknya kau haus darah, biarlah kuberi sedikit darahku!” Sambil berkata demikian, ketika pedang lawan membacok, Suling Emas sengaja membiarkan ujung bahunya yang kiri terserempet pedang sehingga baju serta kulit dan sedikit daging bahunya robek. Darahnya mengalir membasahi baju, akan tetapi pada saat itu Tan Lian menjadi lumpuh lengan kanannya karena secara lihai sekali Suling Emas membarengi dengan totokan ujung gagang kipas pada jalan darah di dekat siku.

“Maafkan aku!” setelah berkata demikian, kembali Suling Emas membalikkan tubuh dan lari secepatnya sebelum para pengejarnya datang dekat.

Hanya sebentar saja Tan Lian lumpuh lengannya. Totokan itu agaknya oleh Suling Emas sengaja dilakukan perlahan, hanya untuk membuat gadis itu tak berdaya beberapa menit agar ia dapat melarikan diri. Gadis itu berdiri termenung. Ia maklum bahwa kalau Suling Emas tadi menghendaki, ia sudah roboh binasa, dan maklum pulalah ia bahwa agaknya Suling Emas sengaja tadi membiarkan pundaknya terbacok. Tak terasa lagi mukanya berubah merah dan ia memandang sedikit darah yang berada di mata pedangnya.

“Ayah, cukupkah darah ini...?” bisiknya dan dua butir air mata mengalir turun yang cepat diusapnya.

“Dia sudah terluka!”

“Hayo kejar, dia sudah terluka!”

Demikian teriakan para pengejar dan karena tidak ingin orang lain mengetahui keadaannya, Tan Lian terpaksa ikut pula mengejar, seakan-akan terseret oleh gelombang para pengejar itu yang dipanaskan oleh It-gan Kai-ong, Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin yang juga sudah ikut mengejar.

Para pengejar itu, didahului oleh It-gan Kai-ong, kini mulai melepas senjata gelap dari belakang. Bagaikan hujan berbagai macam jarum, piauw atau pelor baja berhamburan menyambar ke arah Suling Emas. Mendengar suara angin senjata-senjata rahasia ini, terpakta Suling Emas membalikkan tubuh dan memutar suling, juga mengibaskan kipasnya.

Ia maklum bahwa senjata-senjata rahasia yang dilepaskan oleh orang-orang sakti itu tak boleh dipandang ringan. Di antara senjata-senjata gelap itu yang terdiri dari pada senjata-senjata rahasia kecil, yang paling menyolok adalah ‘senjata rahasia’ yang dipergunakan sepasang saudara liar, yaitu Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin kerena mereka ini melontarkan batu-batu besar!

Karena maklum akan bahayanya serangan senjata rahasia yang datang bagaikan hujan dan dilepas oleh orang-orang pandai, Suling Emas tidak berani memandang ringan, tidak berani hanya mengandalkan kelincahan untuk mengelak. Terpaksa ia menghadapi senjata-senjata rahasia itu dengan kelitan, tangkisan suling dan kebutan kipasnya. Akan tetapi untuk melakukan hal ini, berarti ia berhenti berlari dan sebentar saja para pengejarnya sudah dapat menyusul dan kembali ia dihujani serangan.

Masih untung baginya, agaknya para pengejar yang kesemuanya menaruh dendam dan ingin berebut menyerangnya itu membuat penyerangan mereka kacau balau, yang satu malah menjadi penghalang gerakan yang lain. Dengan adanya penyerangan yang kacau-balau ini, Suling Emas masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menangkis dan berloncatan, kemudian setelah melihat lowongan, ia melarikan diri lagi. Para musuhnya melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak.

Tidak terlepas dari pandang mata Suling Emas betapa gadis baju hijau puteri Pendekar Pedang Terbang Hui-kiam-eng Tan Hui yang tadi menyerang dan melukai kulit pundaknya, kini hanya menggerak-gerakkan pedang tanpa ikut menyerangnya, hanya memandang dengan sinar mata ragu-ragu dan bingung. Hal ini membuat hatinya lega, sedikitnya ia telah memuaskan hati seorang musuh! Ia amat mengagumi ginkang gadis itu, karena biar pun ilmu pedang gadis baju hijau itu tidak amat berbahaya baginya, namun dengan ginkang seperti itu, pedang di tangan si gadis menjadi ampuh juga, luar biasa cepat gerakannya.

Heran ia memikirkan apakah yang terjadi antara ibu kandungnya dan Pendekar Pedang Terbang itu? Apa pula yang terjadi antara ibunya dengan sekian banyaknya tokoh kang-ouw? Tadi ia mendengar tuduhan-tuduhan yang amat buruk terhadap ibunya. Mengacau markas besar perkumpulan silat yang besar-besar, mencuri kitab pusaka, mempermainkan pria-pria tampan? Benar-benar ia tidak mengerti dan hal-hal yang didengarnya itu membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk pedang beracun. Dengan hati perih Suling Emas terus melarikan diri, diam-diam menyesali nasibnya yang amat buruk.

********************


Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang dikejar-kejar seperti orang buronan oleh dua puluh orang lebih tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti. Mari kita ikuti perjalanan Bu Sin dan Sian Eng yang oleh Suling Emas disuruh melanjutkan perjalanan lebih dulu menurutkan aliran Sungai Kan-kiang. Sepekan sudah mereka melakukan perjalanan dan selama itu mereka makin menjadi gelisah karena Suling Emas belum juga menyusul mereka.

“Sin-ko, mengapa Bu Song Koko belum juga menyusul? Bagaimana kalau dia celaka? Lebih baik kita kembali menengok....”

“Ah, Song-ko seorang sakti, dia akan selamat, Moi-moi!” jawab Bu Sin dengan kening berkerut karena ia sendiri pun merasa gelisah. “Betapa pun juga, dia sudah menyuruh kita berjalan lebih dulu, tak boleh kita tidak mentaati perintahnya.”

“Kalau begitu, kita berhenti saja untuk menunggu kedatangannya!”

“Jangan, Moi-moi, kita harus berjalan terus. Lihat, dari tempat tinggi ini tampak sungai membelok ke kanan, melalui lereng bukit itu. Akan lebih cepat kalau kita memotong jalan melalui puncak bukit di sana. Sebelum malam tiba kurasa kita akan dapat sampai di kaki gunung seberang sana. Kalau sudah sampai di sana, biar nanti aku yang mencari perahu agar tidak melelahkan, sambil menanti Song-twako menyusul.”

Sian Eng tidak berani membantah lagi. Memang dari tempat mereka berdiri, tampak dari tempat tinggi ini sungai Kan-kiang membelok ke kanan dan mengitari puncak bukit. Kalau melakukan perjalanan memotong bukit itu melalui puncaknya, tentu perjalanan menjadi lebih cepat. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepandaian, karena bagi orang biasa, biar pun jarak lebih dekat, akan tetapi mendaki puncak merupakan pekerjaan yang sukar dan memakan waktu lebih lama.

Kakak beradik itu lari mempergunakan ilmu lari cepat, melintas dan mendaki puncak. Matahari telah mulai condong ke arah barat ketika mereka menuruni puncak bukit itu. Tiba-tiba Sian Eng berhenti dan memandang ke bawah, mukanya berubah pucat.

“Sin-ko, itulah tempatnya....”

Bu Sin berhenti, kaget melihat muka adiknya berubah, lalu ia menoleh ke arah yang ditunjuk.

“Tempat apa, Eng-moi?”

“Itu... kuburan tua itu... di sanalah tempat aku diculik si iblis Hek-giam-lo dahulu...! Tak salah lagi, aku ingat betul tempatnya juga berada di lereng seperti itu...”

“Hemmm, kalau begitu tempat itu mungkin menjadi sarang iblis Hek-giam-lo. Eng-moi kita ke sana. Bukankah kakak kita hendak mengejar Hek-giam-lo untuk merampas tongkat pusaka Beng-kauw? Kita harus membantunya!”

“Tapi....”

“Eng-moi, takutkah kau?”

“Iblis itu lihai sekali, Sin-ko.”

“Aku tahu, akan tetapi kita tidak perlu takut. Selain Song-twako berada di belakang kita, juga kita bukanlah orang-orang tiada guna yang tidak mampu bekerja apa-apa. Kita hanya menyelidiki tempat itu, Adikku. Sungguh mengecewakan kalau kita sebagai anak-anak ayah yang berjiwa gagah perkasa, harus menyerahkan segala tugas berbahaya kepada Song-twako. Apakah kita akan tinggal peluk tangan saja sebagai orang-orang yang tidak mempunyai nyali?”

Bangkit semangat Sian Eng. “Sin-ko, aku lupa bahwa kau telah mewarisi ilmu kesaktian dari kakek sakti seperti yang kau ceritakan itu. Dan aku pun bukan seorang gadis lemah. Kau betul, mari kita ke sana, aku masih ingat betul tempatnya!”

Berlarilah kedua orang kakak beradik itu menuruni puncak dan tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah kuburan kuno yang penuh dengan batu-batu bongpai (pusara) berukir. Setelah mencari-cari beberapa lamanya, akhirnya Sian Eng berhenti di depan sebuah bongpai besar yang terhias beberapa buah arca-arca sebesar manusia, arca-arca dari sastrawan-sastrawan terkenal di masa dahulu.

“Di situlah...,” bisiknya sambil menudingkan telunjuknya yang agak gemetar ke arah lantai depan makam, “Di situ terdapat sebuah pintu batu rahasia yang menembus ke terowongan di bawah tanah pekuburan ini.”

“Dahulu ketika kau dibawa masuk, kau tidak melihat orang lain?” tanya Bu Sin. Adiknya menggelengkan kepala.

“Kalau begitu, mari kita selidiki ke sana. Siapa tahu tongkat pusaka itu disembunyikan di tempat ini. Besar kemungkinan si iblis tidak berada di sini, dan mudah-mudahan saja begitu. Kita bisa mengambil tongkatnya kalau benda keramat itu ia sembunyikan di sini. Aku akan girang sekali kalau dapat membantu Song-twako.”

Sian Eng mengangguk setuju dan mereka menghampiri lantai depan makam. Setelah menyelidiki tempat itu, benar saja mereka melihat ada batu lantai yang merupakan pintu penutup, besarnya kurang lebih satu meter persegi. Ketika mereka mencoba untuk mengungkitnya, ternyata batu itu dapat terbuka dan di bawahnya terdapatlah lobang. Tampak pula anak tangga dari batu. Dengan tabah Bu Sin lalu melangkah masuk, diikuti adiknya. Akan tetapi pemuda ini berhenti dan ragu-ragu setelah berjalan beberapa langkah, karena keadaan terowongan itu gelap bukan main.

“Kenapa berhenti?” tanya Sian Eng.

“Gelap sekali, kita harus membuat obor dulu. Mundur, Moi-moi, kita keluar dulu mencari obor.”

Mereka mundur dan keluar kembali. Bu Sin segera mencari bahan kulit pohon yang dapat terbakar lama, membuat obor, menyalakannya dan kembali mereka memasuki terowongan itu. Bu Sin berjalan di depan, obor di tangan, sedangkan Sian Eng berjalan di belakangnya, mereka tidak dapat berjalan cepat. Tanah yang mereka injak agak basah dan licin, juga makin lama terowongan itu makin rendah, hampir kepala Bu Sin tertumbuk batu karang di atas kalau ia tidak membungkuk.

Setelah bergerak melalui beberapa tikungan, Sian Eng berbisik, “Seingatku dahulu terdapat ruangan yang lebar seperti kamar....”

Mereka maju terus, mata dan hidung terasa pedas oleh asap obor. Terowongan di sebelah depan menyempit dan Bu Sin yang berada di depan sudah mulai berjongkok dan merayap.

“Agak terang di sini...,” katanya, gembira karena benar saja, keadaan mulai terang, tidak segelap tadi. “Entah dari mana datangnya sinar terang ini....”

Akan tetapi Sian Eng tidak menjawab dan gadis itu mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh tidak jelas. Kiranya Sian Eng tahu dari mana datangnya sinar terang itu karena ia merasa seperti ada sesuatu di belakangnya. Ketika ia menengok... hampir Sian Eng menjerit dan pingsan. Demikian kaget dan ngerinya sehingga jeritannya hanya keluar sebagai suara ah-uh-ah-uh saja, mukanya pucat matanya terbelalak memandang Hek-giam-lo yang sudah berdiri di belakang mereka! Hek-giam-lo si iblis muka tengkorak berpakaian hitam, berdiri dengan tangan kanan memegang obor dan tangan kiri memegang senjatanya yang mengerikan. Kiranya obor di tangannya itulah yang membuat terowongan itu menjadi terang!

“Eng-moi kau kenapa...?” Bu Sin bertanya ketika mendengar suara aneh adiknya. Ia menoleh dan alangkah herannya ketika ia melihat wajah adiknya pucat, tubuhnya gemetar dan matanya terbelalak menengok ke belakang. Ia cepat menoleh dan... dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika ia melihat apa yang menyebabkan adiknya takut.

“Hek-giam-lo...!” katanya dan pemuda ini membesarkan suaranya, mengusir rasa takut. “Kalau kau memang menjadi tuan rumah tempat ini, mengapa menyambut kedatangan kami dari belakang?”

Iblis bertopeng tengkorak itu mendengus. “Hemmm, maju terus atau... hemmm, kurobek-robek badan kalian di sini juga!”

Tiba-tiba Sian Eng menggerakkan tangannya dan dua buah batu karang melayang ke arah muka dan dada iblis itu. Kiranya gadis ini sudah dapat menenangkan hatinya dan dengan nekat lalu meraih dua buah batu di dekatnya, kemudian menyambitkannya ketika iblis itu sedang bicara. Hek-giam-lo miringkan kepalanya sehingga batu pertama lewat di pinggir kepala, ada pun batu kedua ia terima begitu saja dengan dadanya.

“Brakkk!” batu itu pecah berantakan.

“Gadis lancang, sekali kau tertolong oleh Suling Emas, jangan harap kali ini akan dapat lolos lagi. Hemmm, bagus, biar kau menjadi umpan pancingan untuk Suling Emas. Ha-ha-ha!”

Ketika melihat iblis itu dengan langkah lebar menghampiri Sian Eng yang berada di belakangnya, Bu Sin segera berkata dengan nada penuh ejekan, “Hek-giam-lo, seorang tokoh besar seperti engkau ini, sungguh tak tahu malu melayani seorang wanita seperti adikku! Kalau memang kau gagah, mari kita mencari tempat lapang dan kita bertanding secara laki-laki!”

“Heh-heh, orang muda sombong. Majulah terus, di depan ada tempat luas, boleh kau buktikan betapa kesombonganmu tidak ada isinya!”

Memang bukan maksud Bu Sin untuk menyombong. Ia tadi sengaja mengeluarkan ucapan itu untuk mencegah si iblis mengganggu Sian Eng karena ia maklum bahwa kalau hal ini terjadi, sukarlah baginya untuk melindungi adiknya terhadap iblis yang luar biasa lihainya itu. Dengan begini, setidaknya Sian Eng untuk sementara akan bebas dari pada ancaman dan ia boleh mencari waktu panjang untuk memikirkan akal bagaimana harus melawan iblis ini.

“Marilah, Moi-moi, kau bergeraklah di depanku, sini...”

Sian Eng sudah menjadi putus asa menyaksikan kehebatan si ibils yang menerima sambitannya begitu saja dengan dada, membuat batu itu hancur! Dengan muka pucat ia lalu menyelinap ke depan Bu Sin dan kakak beradik yang sudah tak berdaya ini lari seperti dua ekor tikus masuk jebakan, merangkak maju melalui terowongan yang sempit. Di belakang mereka, tanpa mengeluarkan suara lagi, Hek-giam-lo melangkah dengan gerakan perlahan, lalu merangkak di bagian yang sempit itu di belakang Bu Sin.

Benar saja seperti yang dikatakan Hek-giam-lo, tak lama kemudian terowongan sempit itu berubah menjadi lebar dan beberapa puluh meter kemudian tibalah mereka di sebuah ruangan di bawah tanah yang luas. Selain luas, juga di situ tidak gelap. Agaknya sinar matahari, entah bagaimana, dapat menembus ke tempat itu.

Sejenak timbul akal dalam benak Bu Sin untuk menyerang si iblis secara tiba-tiba dengan membalik dan menggunakan obor sebagai senjata, akan tetapi jiwa satria di hatinya mencegahnya. Serangan seperti itu amat rendah, apa lagi kalau dipikir usaha ini belum tentu akan berhasil terhadap lawan yang sakti ini. Dengan tenang ia lalu mendorong adiknya perlahan, menyuruhnya menjauh ke pinggir, kemudian ia membalikkan tubuhnya menghadapi Hek-giam-lo.

“Nah, Hek-giam-lo,” katanya dengan tenang sambil memadamkan obornya, akan tetapi masih memegangi gagang obor, “Terus terang saja, kami berdua telah lancang memasuki tempatmu ini. Sekarang kau telah berada di sini, apa yang hendak kau lakukan terhadap kami?”

“Orang-orang muda lancang! Katakan apa maksud kalian datang ke sini?”

“Adikku ini mengenal tanah kuburan di atas dan menceritakan bahwa dia pernah kau culik dan kau bawa ke sini. Karena itu aku merasa tertarik dan hendak menyaksikan dengan mata sendiri tempat rahasia ini.”

“Hanya itu?” Hek-giam-lo mendesak.

“Tentu saja kalau kami melihat tongkat pusaka Beng-kauw di tempat ini, akan kami curi kembali dan kami bawa dan kembalikan kepada Beng-kauw,” jawab Bu Sin sejujurnya.

“Hemmm, tidak ada orang luar yang masuk ke sini dapat kembali hidup-hidup. Kalian berani masuk ke sini, bahkan berani mencoba untuk merampas tongkat Beng-kauw? Hu-huh, tak tahu diri. Biar pun kalian adik-adik tiri Suling Emas, apa dikira aku takut? Huh-huh, hendak kulihat apakah Suling Emas berani masuk ke sini. Ha-ha-ha, kalian merupakan umpan-umpan yang baik. Biar dia datang, hendak kulihat!”

“Sombong! Aku pun tidak takut padamu, iblis busuk! Tak usah kakak kami, aku pun sanggup menghadapimu!” Sambil berkata demikian, Bu Sin menggerakkan bekas obor dan menusukkan benda ini ke arah kedok tengkorak itu.

“Huh, bocah bosan hidup!” Si iblis menggerakkan obornya pula, menangkis dengan gerakan perlahan.

“Dukkk!” gagang obor di tangan Bu Sin hancur dan terlepas dari tangan pemuda itu, sedangkan gagang obor di tangan Hek-giam-lo yang tadinya menangkis itu terus bergerak mengemplang kepala Bu Sin. Gerakan ini biar pun dilakukan dengan perlahan, namun cepat dan tak terduga sama sekali sehingga tahu-tahu kepala pemuda itu sudah kena pukul.

“Prakkk!” kini gagang obor di tangan Hek-giam-lo itu yang menjadi patah-patah ketika beradu dengan kepala Bu Sin. Hek-giam-lo mengeluarkan suara mendengus marah.

“Bocah sombong, keras juga kepalamu!” katanya sambil melemparkan sisa gagang obor di tangannya.

Tentu saja iblis itu tidak tahu bahwa Bu Sin telah menerima warisan ilmu kesaktian yang dilatihnya di bawah air terjun yang menimpa kepalanya sehingga bagian kepalanya ini boleh dibilang menjadi sumber dari pada tenaga mukjijat yang dimilikinya akibat latihan aneh itu. Hek-giam-lo tidak tahu bahwa ilmu pemuda ini jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan kepandaiannya, tidak tahu bahwa Bu Sin tidak sempat mengelakkan serangan tadi dan mengira bahwa pemuda itu sengaja menerima pukulan untuk mendemonstrasikan kepandaiannya! Karena mengira bahwa pemuda ini yang ia tahu adalah adik tiri Suling Emas memiliki kesaktian seperti Suling Emas, Hek-giam-lo tidak mau main-main lagi. Senjatanya yang menyeramkan itu sudah ia angkat ke atas kepala!

Tiba-tiba terdengar suara “singgg!” dan Sian Eng sudah mencabut pedangnya, berdiri tegak di depan iblis itu dengan pedang di depan dada, sikapnya gagah, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut. “Iblis sombong, aku pun berani melawan kejahatanmu!”

“Eng-moi, mundur! Dia bukan musuhmu!” kata Bu Sin yang khawatir melihat adiknya menjadi nekat.

“Aku tahu, Koko, akan tetapi dia pun bukan musuhmu. Kalau kita berdua mati melawannya, aku ingin mati lebih dulu dari padamu.”

Diam-diam jantung Bu Sin seperti tertusuk mendengar ini. Ia maklum bahwa adiknya merasa ngeri kalau sampai melihat dia mati terlebih dulu, meninggalkannya seorang diri menghadapi lawan yang demikian sakti dan ganas mengerikan.

“Jangan khawatir, Moi-moi. Kita berdua dapat melawan iblis ini!” katanya dan mencabut pedangnya. “Akan tetapi biarkan aku menghadapinya lebih dulu dan kau keluarlah agar dapat memanggil kalau Song-koko lewat di atas!”

Mendengar ini, Sian Eng menjadi girang dan timbul pula harapannya. Tadinya gadis ini telah putus harapan karena maklum bahwa kakaknya takkan menang menghadapi iblis itu. Satu-satunya orang yang boleh diharapkan dapat menolong mereka hanyalah kakaknya Suling Emas. Dan siapa tahu kalau-kalau Suling Emas sudah benar-benar menyusul dan sampai di atas sana.

“Sin-ko, kau pertahankan dia, biar aku naik menanti Song-koko!” Ia cepat meloncat untuk berlari keluar melalui terowongan itu. Akan tetapi tiba-tiba ia jatuh tergulihg ketika Hek-giam-lo menggerakkan lengan baju ke arahnya sambil mendengus.

“Huh, kau takkan dapat pergi ke mana-mana!”

“Setan, berani kau mengganggu adikku?” Bu Sin sudah memerjang maju dengan pedangnya. Ia mengerahkan tenaga saktinya karena maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang luar biasa lihainya.

“Tranggg!” pedang di tangan Bu Sin terpental dan saking kerasnya Bu Sin memegang pedang, tubuhnya sampai ikut terpental dua meter jauhnya. Telapak tangan kanannya serasa terkupas kulitnya, perih dan panas.

Sian Eng membentak marah sambil menusukkan pedangnya. Akan tetapi sekali tangan kiri Hek-giam-lo bergerak, pedang itu sudah terpukul patah menjadi tiga potong, terpukul oleh ujung lengan baju hitam. Selagi Sian Eng terhuyung-huyung, jari tangan Hek-giam-lo sudah menotoknya, membuat gadis itu roboh terguling tak dapat berkutik lagi.

“Ibils keparat!” bentak lagi Bu Sin yang menerjang dengan nekat.

Ia mengambil keputusan untuk mengadu nyawa sebelum iblis itu dapat mengganggunya atau mengganggu adiknya. Ilmu yang ia warisi dari kakek sakti hanyalah ilmu untuk menghimpun tenaga sakti, akan tetapi ilmu pedangnya sendiri masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan ilmu kepandaian Hek-giam-lo yang terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis Dunia.

Ketika tadi memukul kepala Bu Sin yang mengakibatkan gagang obornya patah, Hek-giam-lo mengira bahwa pemuda itu sakti. Akan tetapi setelah menangkis pedang yang membuat pemuda itu terlempar, Hek-giam-lo tahu bahwa lawannya ini merupakan lawan lunak yang mempunyai tenaga aneh terutama di bagian kepalanya. Hatinya menjadi besar dan ia memandang rendah lagi. Untung bagi Bu Sin dan Sian Eng bahwa si iblis ini tidak menghendaki mereka mati, kalau tidak, sudah pasti keselamatan nyawa mereka tidak akan dapat tertolong lagi.

Menghadapi terjangan Bu Sin kali ini, si iblis tidak menangkis dengan senjatanya yang aneh, melainkan dengan ujung lengan baju kiri seperti ketika ia menghadapi Sian Eng tadi. Ujung lengan baju ini memapaki pedang dan seperti seekor ular hidup ujung lengan itu seketika menggulung dan membelit pedang.

“Aihhhhh!” Bu Sin mengerahkan tenaga sakti sekuatnya dan....

“Brettttt!” putuslah ujung lengan baju hitam itu.

Hek-giam-lo mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka, senjatanya berkelebat mengancam leher Bu Sin. Pemuda ini cepat mengangkat pedang menangkis.

“Trangggg...!” kali ini Bu Sin tidak kuat mempertahankan lagi, pedangnya terpukul patah dan terlepas dari tangannya!

Melihat sinar hitam berkelebat di depan mukanya, Bu Sin cepat mengerahkan ginkang berdasarkan tenaga sakti untuk mengelak. Bagaikan seekor burung terbang, pemuda ini sudah menyelinap ke kiri menerobos di antara sinar hitam untuk menyelamatkan diri. Walau pun gerakannya itu cepat bukan main, akan tetapi ia masih terlambat.

Memang gerakannya tadi menyelamatkan dadanya dari kehancuran ketika ujung lengan baju Hek-giam-lo menyambar dengan kekuatan yang dahsyat itu, namun ia tidak dapat menghindarkan lagi ujung pangkal lengannya keserempet hawa pukulan dahsyat. Bu Sin merasa betapa lengan kanannya seakan-akan lumpuh dan patah-patah, ia terhuyung-huyung dan pada saat itu Hek-giam-lo sudah menotoknya sehingga Bu Sin roboh dan tak dapat bergerak pula!

“Hu-huh, bocah-bocah sombong! Adik-adik Suling Emas kiranya hanya begini saja! Mana dia Suling Emas? Biar dia datang, kurobohkan sekalian!”

“Hek-giam-lo, kalau kakak kami datang, kau pasti akan dihajar mampus!” teriak Sian Eng marah.

Hek-giam-lo tertawa-tawa, kemudian ia melangkah ke ruangan yang berdampingan dengan ruangan itu. Tak lama ia keluar lagi, tangannya membawa sebuah kitab yang tinggal sepotong.

“Kutinggalkan kalian di sini, kalau tidak ada kakak kalian datang menolong, kalian akan membusuk dan menjadi setan-setan penjaga kuburan di sini. Orang-orang tiada gunanya macam kalian, dibunuh juga percuma. Sampaikan salamku kepada Suling Emas dan kalau memang ia berkepandaian, dia boleh minta kembali tongkat Beng-kauw ke Khitan, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Hek-giam-lo lenyap dari tempat itu.

Bu Sin dan Sian Eng berusaha keras untuk membebaskan totokan. Akan tetapi sia-sia belaka, malah makin hebat mereka berusaha, makin payah keadaan mereka. Totokan yang dilakukan Hek-giam-lo atas diri mereka itu amat aneh, membuat seluruh urat mereka lumpuh dan tiap kali mereka mengerahkan sinkang, tubuh serasa dibakar dan nyeri-nyeri. Terpaksa mereka akhirnya tinggal menanti nasib saja, rebah tak berkutik di atas tanah yang lembab.

Bagaimanakah Hek-giam-lo bisa berada di terowongan rahasia itu? Memang tadinya iblis ini berada dalam perahu bersama orang-orang Khitan dan di dalam perahu itu Lin Lin menjadi tuan terhormat. Akan tetapi ketika perahu itu lewat di daerah ini, Hek-giam-lo menyuruh anak buahnya berhenti dan mendarat. Karena tempat ini memang menjadi sarangnya...


BERSAMBUNG KE JILID 11


Cinta Bernoda Darah Jilid 10

CERITA SILAT KARYA KHO PING HOO

CINTA BERNODA DARAH

JILID 10

Namun hanya segebrakan saja tenaga saktinya dapat mengagetkan Liu Lu Sian, karena di lain saat, segumpal rambut menyambar dan memukul pinggangnya. Bu Sin merasa seakan-akan terpukul sebatang toya yang terbuat dari pada baja. Pinggangnya sakit dan ia terpelanting roboh.

“Kau kejam!” Liu Hwee berseru, menyerang lagi dengan cambuknya yang tadi dilepaskan Liu Lu Siang. Namun kembali rambut kepala wanita tua itu bergerak dan robohlah Liu Hwee terjungkal di dekat Bu Sin.

“Hi-hi-hik, bocah-bocah cilik sudah main cinta-cintaan, biarlah kalian mati bersama agar menjadi dewa-dewi di kahyangan!”

Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam berkelebat dan rambut kepala yang sudah menyambar ke arah tubuh Bu Sin dan Liu Hwee itu buyar seperti tertiup angin keras. Liu Lu Sian kaget, akan tetapi ketika melihat bahwa yang berdiri di depannya adalah Suling Emas, wajahnya berseri-seri dan tertawa kagum. “Bagus! Kau hebat sekali, anakku!”

“Ibu,” kata Suling Emas dengan suara berat. Memang dalam keadaan seperti itu, mulutnya serasa berat menyebut ibu kepada wanita ini, “Harap jangan turun tangan membunuhi orang.”

“Ha-ha-hi-hi-hik! Paman Liu Mo, kau dengar ucapan anakku itu? Begitu gagah perkasa dia, begitu tampan, dan begitu bijaksana. Dia patut menjadi kaisar di Nan-cao, dan aku ketua Beng-kauw. Kau akan kuangkat menjadi penasihat, dan kaisar boneka ini biarlah menjadi perdana menteri anakku!”

Hebat ucapan ini dan semua orang menjadi tegang. Para tamu diam-diam merasa tegang dan gembira karena mengharapkan menyaksikan peristiwa yang hebat. Akan tetapi para anggota Beng-kauw memandang bingung. Mereka merasa serba susah. Betapa pun juga, wanita itu adalah puteri tunggal mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, pendiri dan tokoh utama Beng-kauw.

kho ping hoo episode cinta bernoda darah


"Ibu, tidak boleh kau bilang begitu...!” Suling Emas berseru dengan suara penuh kesedihan.

“Eh, apa kau bilang?” Liu Lu Sian membentak sambil memandang dengan matanya yang bening tajam.

Ketika bertemu pandang dengan ibunya, diam-diam Suling Emas terkejut dan berduka. Sinar mata ibunya itu, sinar mata yang keluar dari sepasang mata yang amat bening dan indah, bukanlah sinar mata manusia yang sehat jiwanya!

“Ibu, harap kau jangan mengganggu kedudukan Kakek Liu Mo. Dan aku... aku tidak mau menjadi kaisar. Sri Baginda yang sekarang menjadi kaisar sudah cukup bijaksana dan tepat....”

“Apa? Jangan kau ikut-ikut! Kau anak kecil tahu apa? Hayo minggir!” Wanita itu membuat gerakan mengancam, seakan-akan seorang ibu mengancam dan menakut-nakuti anaknya yang masih kecil. Suling Emas menarik napas panjang dan melangkah minggir dengan muka merah. Ia merasa malu dan sedih. Terasa ada orang menyentuh tangannya dan ketika ia menengok, ia melihat Bu Sin memandangnya dengan pandang mata penuh iba. Ia menarik kembali tangannya dan membuang muka, lalu meramkan kedua matanya.

Bu Sin tidak berani lagi mengganggu. Pemuda ini tadi telah terlepas dari bahaya maut bersama Liu Hwee dan cepat mereka sudah mengundurkan diri. Luka pukulan segumpal rambut pada punggungnya tidak berat dan ia bersyukur bahwa Suling Emas tadi keburu datang menolong, kalau tidak, dia dan Liu Hwee tentu akan tewas di tangan wanita iblis itu.

Kini semua mata memandang ke tengah lapangan. Kauw Bian Cinjin sudah melangkah maju dengan pecut di tangannya. Langkahnya lebar dan lambat, sikapnya tenang berwibawa, namun tarikan dagu mengeras dan sinar mata tajam berkilat membayangkan kemarahannya. Setelah berhadapan dengan Liu Lu Sian, kakek ini berkata, suaranya lantang berpengaruh.

“Liu Lu Sian, ingatlah siapa kau dan siapa kami! Urusan di antara orang sendiri apa perlunya dipertontonkan orang lain? Tunggu sampai semua tamu pulang, baru kita bereskan urusan pribadi kita!”

Liu Lu Sian memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia tersenyum, masih manis seperti dahulu senyumnya sehingga diam-diam Kauw Bian Cinjin terharu juga. Teringat ia betapa dahulu di waktu Liu Lu Sian masih kecil dan ia sendiri masih muda, gadis cilik itu sering kali ia ajak bermain-main dan kalau menangis ia gendong!

“Hi-hik, kau Susiok (Paman Guru) Kauw Bian Cinjin. Kau orang baik dan Ayah amat sayang kepadamu. Memang kau pintar dan tenagamu amat berguna. Kau akan tetap menjadi pengurus utama di Beng-kauw kalau aku sudah menjadi Kauwcu. Hanya pakaianmu ini harus diganti yang baik, jangan seperti pakaian penggembala begitu! Eh, Susiok, kalau aku sudah menjadi kauwcu dan puteraku menjadi kaisar, dengan kau sebagai pembantu utama, hi-hik, apa sih sukarnya menundukkan kerajaan-kerajaan gurem seperti Wu-yue, Hou-han, dan lain-lain? Malah kita akan menyerbu dan menundukkan Kerajaan Sung Utara, dan terus merampas Khitan!”

“Lu Sian!” Kauw Bian Cinjin membentak, disusul cambuknya meledak di udara.

“Tar-tar-tar!”

Sesaat ia tak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya, kemudian ia berkata, “Lepaskan semua niatmu yang tidak sehat itu. Lekas kau berlutut dan minta ampun kepada Suheng, kepada Beng-kauwcu kita. Kalau tidak, aku sebagai paman gurumu terpaksa akan memberi hajaran kepadamu.”

Sejenak Liu Lu Sian melebarkan matanya seperti orang terheran-heran. Kemudian wajahnya menjadi muram dan ia berkata, “Susiok, biar kau sendiri, kalau hendak menghalangi niatku, terpaksa akan kubunuh.”

“Aaahhhhh...!” Kaow Bian Cinjin lalu lari ke depan peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, berlutut dan sampai lama ia berdiam diri, bibirnya berkemak-kemik. Kemudian ia menambah kayu wangi pada pedupaan sehingga asap wangi mengebul tebal dan tinggi, bergulung-gulung di sekitar peti mati. “Twa-suheng, mohon ampun, hari ini siauwte terpaksa melawan puterimu!”

Setelah berkata demikian, sekali lagi ia menjura, kemudian dengan langkah lebar dan tenang ia kembali menghampiri Liu Lu Sian yang melihat semua perbuatannya tadi sambil tersenyum-senyum.

Suasana menjadi tegang kembali ketika dua orang itu saling berhadapan. Yang paling tegang dan bingung adalah Suling Emas sendiri. Ingin ia mencegah pertempuran ini, akan tetapi apa dayanya? Tak sampai hati ia kalau harus menjadi musuh ibu kandungnya yang puluhan tahun dirindukannya. Sebaliknya, tak mungkin ia membantu ibunya yang dalam hal ini terang telah melakukan perbuatan yang sesat. Saking bingungnya, ia hanya berdiri dengan muka pucat.

“Liu Lu Sian, biar pun kau merupakan puteri tunggal mendiang Twa-suheng Liu Gan yang kuhormati, akan tetapi saat ini kau merupakan orang yang akan merusak kerajaan dan perkumpulan agama yang kami cintai. Oleh karena itu, aku berdiri di hadapanmu sebagai penentang dan siap melawanmu. Arwah mendiang Twa-suheng pasti akan membenarkan sikapku ini.”

“Orang tua keras kepala! Kau kira akan dapat memenangkan aku? Hi-hik, aku bukanlah Tok-siauw-kwi (Setan Cilik Beracun) tiga puluh tahun yang lalu!”

“Kalah menang bukan soal, yang penting aku harus membela Nan-cao dan Beng-kauw dengan taruhan nyawa!” jawab Kauw Bian Cinjin gagah sambil melintangkan cambuknya di depan dada.

Liu Lu Sian tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi. Suara ini luar biasa sekali pengaruhnya. Kalau saja Kam Bian Cinjin yang ‘diserang’ suara ini bukan tokoh besar Beng-kauw, kiranya ia akan roboh tanpa disentuh lagi. Cepat Kauw Bian Cinjin berseru keras dan memutar cambuknya sehingga terdengar angin bersuitan yang melawan pengaruh suara lengking itu.

“Serahkan nyawamu!” bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat sekali, didahului gulungan sinar hitam dari rambutnya yang mengurung tubuh Kauw Bian Cin­jin.

Kakek ini kembali berseru keras dan memutar cambuk, maka terjadilah pertempuran yang amat hebat. Lebih hebat dari pada pertempuran-pertempuran tadi karena sekarang yang bertempur adalah dua orang tokoh Beng-kauw. Betapa pun juga, masing-masing sudah mengenal gerakan lawan sehingga dapat menandinginya. Ilmu cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin amat lihai sehingga di waktu mudanya ia mendapat julukan Cambuk Halilintar. Memang, melihat kakek ini memainkan cambuk, membuat orang yang kurang tinggi kepandaiannya menjadi ngeri dan jeri. Cambuk itu berubah menjadi gulungan sinar yang melingkar-lingkar, bersiutan anginnya dan meledak-ledak di udara disusul sinar memanjang menyambar-nyambar. Hebatnya, tiap lecutan ujung cambuk ini sudah cukup kuat untuk merenggut nyawa lawan!

Betapa pun juga ilmu cambuk Kauw Bian Cinjin ini tentu saja satu sumber dengan ilmu kepandaian mendiang Pat-jiu Sin-ong dan tentu saja Liu Lu Sian mengenal sari ilmu cambuk ini. Apa lagi sekarang wanita itu telah memperdalam ilmunya secara hebat, yaitu semenjak ia minggat dari ayahnya sambil membawa pergi kitab-kitab pusaka. Selama puluhan tahun ini secara sembunyi Liu Lu Sian telah memperdalam ilmunya, malah ia telah berhasil menguasai ilmu gaib Coan-im-i-hun-to dan penggunaan rambut kepalanya merupakan permainan ‘ilmu cambuk’ yang mukjijat karena rambut itu dapat dipakai menjadi puluhan batang cambuk yang bergerak secara berbareng dari jurusan-jurusan yang berlawanan.

Kauw Bian Cinjin dapat menduga akan hal ini. Ketika tadi ia melihat sepak terjang Liu Lu Sian dalam menghadapi It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, lalu melihat tapak tangan merah yang membunuh Cui-beng-kui, ia sudah menduga bahwa puteri suheng-nya ini telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Ia pun maklum tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi ia menjadi nekat untuk membela Beng-kauw yang terang-terangan hendak dikacau oleh Liu Lu Sian. Apa lagi kalau diingat bahwa suheng-nya, Liu Mo bersikap mengalah terhadap Liu Lu Sian. Hanya dia seorang yang dapat mencegah Lu Sian merampas kedudukan Beng-kauwcu, karena kalau ia biarkan dan suheng-nya memberikan kedudukan itu kepada Liu Lu Sian, tentu Beng-kauw akan dibawa masuk jurang kehancuran. Keponakannya ini seperti orang yang tidak waras otaknya, yang sakit jiwanya.

Setelah saling serang dengan hebat sampai puluhan jurus lamanya, tiba-tiba terdengar lengking tinggi dari mulut Liu Lu Sian, disusul gerengan marah Kauw Bian Cinjin. Mereka secara tiba-tiba tidak bergerak lagi. Tadi semua mata menjadi kabur dan silau oleh gerakan-gerakan cepat. Setelah kini keduanya tidak bergerak, semua mata dapat memandang, ternyata cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin sudah saling libat sampai menjadi seperti benang ruwet dengan rambut Liu Lu Sian! Hebatnya, tidak hanya cambuk itu yang terlibat, melainkan juga lengan kanan, pundak dan leher kakek Beng­kauw itu.

“Kauw Bian Cinjin, mengingat hubungan perguruan, aku ampunkan kau asal kau mau menyerah dan menjadi pembantuku!” terdengar suara Liu Lu Sian, ramah dan halus.

“Liu Lu Sian, kau sadarlah dan jangan lanjutkan niatmu mengacau Beng-kauw, dan kau menjadi murid keponakanku yang baik dan akan menerima berkah dan doaku...,” jawab Kauw Bian Cinjin, suaranya tetap lantang berwibawa.

“Tua bangka keras kepala! Dibunuh sayang, tidak dibunuh menjengkelkan! Kau perlu dihajar...!” Tiba-tiba tubuh Kauw Bian Cinjin terangkat naik dan di lain saat tubuhnya telah terbanting ke atas tanah setelah Liu Lu Sian menggerakkan tangan kanannya. Kakek itu terbanting dan pingsan, pipi kanannya terdapat tanda tapak tangan merah!

“Liu Lu Sian, tak perlu kau berlaku kejam terhadap keluarga Beng-kauw sendiri!” Tiba-tiba terdengar Liu Mo berkata sambil berdiri dari tempat duduknya.

“Hemmm, Paman Liu Mo, apakah kau juga hendak menghalangi aku? Ingat, karena kau yang merampas kedudukan Kauwcu, aku tidak akan berlaku lunak seperti terhadap Kauw Bian Cinjin kepadamu!”

Wajah Liu Mo tetap terang dan bibirnya tersenyum. “Keponakanku yang baik, aku sama sekali tidak hendak menghalangimu dan aku sama sekali tidak merampas kedudukan Kauwcu, karena sesungguhnya ayahmu sendiri yang memberikan kepadaku. Oleh karena ayahmu yang menyerahkan kedudukan Kauwcu, kalau kau hendak memintanya, kau harus minta ijin ayahmu lebih dulu!” berkata demikian, Liu Mo menoleh ke arah peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.

“Kalau aku sudah minta ijin kepada ayah, kau suka menyerahkan kedudukan Kauwcu kepadaku?”

“Tentu saja, kalau Suheng mengijinkan!”

Ucapan ini tentu saja membikin semua orang yang hadir menjadi tercengang. Mana bisa orang mati memberi ijin? Akan tetapi Liu Lu Sian segera menghampiri peti mati ayahnya, lalu membungkuk sebagai penghormatan. Hal ini saja sudah membuat para tokoh yang hadir di situ mengerutkan kening. Penghormatan terhadap orang tua merupakan hal yang amat penting, karena hal ini menjadi tanda akan kebaktian seseorang dan karenanya menjadi dasar untuk mengetahui watak seseorang. Liu Lu Sian tidak berlutut, hanya menjura, hal ini tentu saja tidak sepatutnya dan dapat dinilai betapa kasar dan berandalannya watak wanita itu.

“Ayah, aku minta ijin padamu untuk menggantikan kedudukan kauwcu dari agama kita Beng-kauw, dan puteraku menjadi kaisar di Nan-cao!” Suara ini lantang dan terdengar semua orang yang hadir.

Suasana menjadi sunyi sekali setelah Liu Lu Sian mengucapkan permintaannya ini. Tak seorang pun berani mengeluarkan suara, bahkan banyak yang menahan napas untuk menyaksikan apa selanjutnya yang akan terjadi. Apakah Beng-kauw yang sudah demikian tersohor itu akan berganti kauwcu (kepala agama) secara demikian sederhana dan juga kasar? Apakah Kaisar Nan-cao akan ‘di­copot’ dan diganti begitu saja di depan banyak tamu dari seluruh pelosok dunia? Apakah Nan-cao dan Beng-kauw akan diserahkan kepada seorang wanita berwatak iblis seperti Tok-siauw-kui (Iblis Cilik Beracun) yang kini lebih patut di­sebut Tok-kui-bo (Biang Iblis Beracun) itu? Kalau hal ini terjadi, akan gegerlah dunia, karena tadi wanita itu sudah berjanji akan memerangi dan menundukkan semua kerajaan! Dan dengan ilmu kepandaiannya yang demikian hebatnya, hal itu benar-benar merupakan bahaya besar.

Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara ledakan keras dan semua orang menjadi pucat, mulut ternganga dan mata terbelalak memandang ke arah peti mati yang mendadak meledak keras itu. Tutup peti mati pecah berantakan dan... sesosok tubuh yang tinggi besar bangkit dari dalam peti mati, langsung berdiri tegak. Tubuh tinggi besar berpakaian serba putih, bermuka pucat tapi tetap dapat dikenal sebagai muka Pat-jiu Sin-ong Liu Gan! Mata yang terbelalak lebar hampir keluar dari pelupuknya itu seperti bukan mata manusia, dan suaranya terdengar berkumandang seperti suara dari dunia lain ketika mulutnya yang tertarik keras itu bergerak.

“Tiga tahun aku menanti datangnya saat ini... Lu Sian... aku dapat menduga akan hal ini setelah kau mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) dan minggat... hanya aku yang dapat menahanmu. Mari kau ikut aku meninggalkan dunia yang banyak penderitaan ini...!”

Sejenak Liu Lu Slan terhenyak kaget, mundur dua langkah dan mukanya berubah pucat. Akan tetapi beberapa detik kemudian ia agaknya dapat menahan gelora hatinya yang terkejut, karena ia melangkah maju lagi tiga langkah dengan gerakan tenang. Kemudian suaranya terdengar lantang, juga mengandung kumandang seperti terdengar dari dunia lain karena ia juga mempergunakan ilmu mukjijat Coan-im-i-hun-to seperti yang dipergunakan ayahnya tadi.

“Tidak, Ayah. Aku masih ingin hidup, ingin menguasai dunia, ingin mengembangkan Beng-kauw sehingga seluruh manusia di permukaan bumi ini menjadi penganut Beng-kauw semua!”

“Bodoh! Agama yang dipaksakan dengan kekerasan akan hancur sendiri karena para penganutnya akan menjadi penganut palsu. Mari, ikut dengan aku!”

“Ayah, kenapa kau tidak mati sendiri? Aku tidak mau ikut!”

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang disangka telah mati selama tiga tahun lebih itu tertawa, suara ketawanya bergelombang dan kumandangnya datang susul menyusul. Lebih separuh jumlah tamu jatuh bergulingan, tidak kuat menahan getaran suara ketawa bergelombang ini yang seakan-akan membetot semangat mereka sehingga mereka roboh pingsan! Hanya tokoh-tokoh besar saja yang sanggup menahan sehingga tidak roboh terguling, akan tetapi mereka tetap saja harus mengerahkan sinkang dan tergoyang-goyang di atas tempat duduk masing-masing.

“Kau hendak memaksa, Ayah? Aku melawan!” bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya bergerak ke depan, melancarkan pukulan dengan kedua tangannya, dibantu rambut kepalanya. Karena maklum bahwa di dunia ini agaknya hanya ayahnya yang merupakan lawan terberat, maka sekaligus Liu Lu Sian mengeluarkan seluruh tenaganya untuk merobohkan ayahnya yang disangkanya telah mati itu.

Pat-jiu Sin-ong Liu Gan masih tertawa keras ketika ia mengulur kedua tangannya ke depan. Dua pasang tangan bertemu di udara, sepasang mata Liu Gan makin melotot keluar dan ia tampak kaget sekali, mulutnya mengeluarkan suara....

“Uhhhhh!” dan darah segar tersembur keluar dari mulutnya.

Akan tetapi dari mulut Liu Lu Sian keluar jerit mengerikan, lalu terdengar suara gaduh ketika tubuh dua orang itu roboh menabrak dan menggulingkan peti mati berikut meja sembahyang. Keduanya roboh miring dengan sepasang tangan masih saling menempel, akan tetapi ketika Beng-kauwcu Liu Mo dan yang lain-lain mendekati, mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang ayah dan anak ini telah putus napasnya! Pat-jiu Sin-ong Liu Gan telah memenuhi kehendaknya, yaitu mengajak puterinya bersama-sama meninggalkan dunia.

Sebetulnya hanya Liu Mo seorang yang tahu bahwa suheng-nya itu tiga tahun yang lalu belum mati, melainkan minta supaya dimasukkan peti dan dianggap mati karena sesungguhnya, suheng-nya itu bermaksud menyembunyikan diri dan bertapa, menanti munculnya Liu Lu Sian karena kakek ini sudah dapat membayangkan bahwa puterinya yang binal itu setelah berhasil mencuri Sam-po-cin-keng, di kemudian hari pasti akan menggegerkan dunia.

Suling Emas sudah berlutut di dekat jenazah ibunya, wajahnya muram dan sedih, akan tetapi hatinya lega. Ia pikir lebih baik begini dari pada melihat ibunya hidup membuat kekacauan di dunia. Liu Hwee juga berlutut di situ dan menangis. Tubuh Kauw Bian Cinjin yang terluka hebat, akan tetapi tidak membahayakan nyawanya, telah diangkut ke dalam untuk dirawat. Para anggota Beng-kauw nampak berkabung dan berduka, juga masih tegang oleh peristiwa hebat tadi. Tak seorang pun di antara mereka berani bersuara.

Beng-kauwcu Liu Mo lalu berdiri dan menghadapi para tamunya yang masih tegang, apa lagi mereka yang tadi pingsan dan sudah siuman kembali. “Cu-wi sekalian yang terhormat. Harap Cu-wi maafkan akan segala peristiwa yang tidak kami sengaja ini. Cu-wi maklum bahwa peristiwa ini adalah urusan pribadi Beng-kauw, maka kami harap Cu-wi sekalian sudi memaklumi dan tidak salah faham. Agar ucapan keponakan kami tadi tidak dianggap sebagai sikap Beng-kauw. Kami sebagai ketua Beng-kauw di sini menyatakan dengan tegas bahwa Beng-kauw tidak bermaksud memaksa orang menjadi pemeluknya, dan bahwa Nan-cao sama sekali tidak bermaksud untuk mengganggu negara tetangga, akan tetapi kami pun pantang diganggu. Kemudian, mengingat akan keadaan yang menimpa kami, maka kami persilakan Cu-wi sekalian kembali ke tempat masing-masing, diikuti ucapan selamat jalan dan terima kasih serta permintaan maaf bahwa kami tidak sempat mengantar.”

Maka bubarlah para tamu. Setelah mereka memberi hormat, berduyun-duyun mereka keluar dari kota raja Nan-cao. Di sepanjang jalan mereka itu ramai membicarakan peristiwa mengerikan yang terjadi di Nan-cao dan mereka merasa puas bahwa mereka mendapat kesempatan menyaksikan hal-hal luar biasa, ketegangan yang mengerikan dan pertempuran-pertempuran tingkat tinggi yang tak mungkin mereka saksikan lagi.

Suling Emas ikut membantu pemakaman ibu dan kakeknya, juga penguburan Cui-beng-kui. Kemudian ia berlutut di depan Beng-kauwcu Liu Mo dan berkata dengan suara sedih. “Saya mintakan maaf atas sepak terjang mendiang Ibu yang telah mengacau Beng-kauw.”

Liu Mo menarik napas panjang dan mengulur tangan mengelus kepala Suling Emas, “Tidak apa, anak baik. Memang Ibumu sejak dahulu begitu, keras hati dan aneh wataknya. Untung bahwa kau agaknya mewarisi watak Ayahmu. Mendiang Ayahmu, Jenderal Kam Si Ek adalah seorang laki-laki sejati, seorang pendekar perkasa yang mengagumkan. Karena itu pula, melihat gelagat adikmu Bu Sin dan anakku Hwee-ji (Anak Hwee), aku akan merasa bahagia sekali kalau mereka dapat terangkap jodoh. Aku serahkan urusan ini kepadamu.”

Suling Emas mengangguk-angguk, “Baiklah. Dan sebagai penebus dosa Ibu, saya akan menyusul Hek-giam-lo ke Khitan untuk minta kembali tongkat Beng-kauw yang dirampasnya.”

Setelah berpamit, Suling Emas mengajak kedua orang adiknya, Bu Sin dan Sian Eng, pergi dari Nan-cao untuk mencari dan menolong Lin Lin, sekalian untuk merampas kembali tongkat Beng-kauw dan untuk mewakili Ibunya menghadapi lima orang Thian-te Liok-koai di puncak Thai-san! Perpisahan yang sederhana, akan tetapi mendatangkan kedukaan dan kesepian di hati Bu Sin dan Liu Hwee. Hanya pandang mata mereka saja saling menyatakan perasaan hati yang mewakili seribu bahasa. Terpisahnya dua hati yang saling mencinta.

********************


Mari kita ikuti pengalaman Lin Lin yang sudah lama kita tinggalkan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, sekeluarnya dari terowongan rahasia dan melihat Cui-beng-kui, Lin Lin lupa akan segalanya saking marahnya melihat pembunuh ayah bunda angkatnya. Maka ia lalu menerjang dan menyerang Cui-beng-kui, malah dibantu oleh Bu Sin dan Sian Eng. Akan tetapi tentu saja mereka bukan lawan Cui-beng-kui yang sakti.

Sebagaimana telah kita ketahui, Lin Lin kemudian ditolong oleh orang-orang Khitan yang secara aneh sekali berhasil membawa pergi Lin Lin berikut pedangnya dan mayat orang-orang Khitan yang tewas di situ. Kiranya orang-orang Khitan itu melakukan gerakan ilmu barisan yang mereka sebut ‘mengacau atau mengail ikan’, berhasil membikin bingung orang-orang yang berada di situ dan dalam kehebohan itu dapat membawa pergi Lin Lin. Memang, orang-orang Khitan ini yang semenjak dahulu merupakan bangsa perantau, pandai sekali berperang gerilya sehingga hanya dua belas orang saja telah berhasil ‘mencuri’ Lin Lin dari depan banyak orang.

Lin Lin sendiri yang ketika itu hampir celaka di tangan Cui-beng-kui kalau saja secara sembunyi tidak ditolong oleh Suling Emas. Hanya ketika melihat orang-orang Khitan itu berlari-lari di sekelilingnya, membuat Lin Lin pening dan entah bagaimana, akhirnya ia ikut berlari-lari dan tahu-tahu ia sudah berlari jauh meninggalkan Nan-cao, tapi selalu berada di dalam kurungan orang-orang Khitan!

Rombongan orang Khitan itu tiada henti-hentinya berlari. Menjelang senja mereka baru berhenti, saat telah tiba jauh di daerah perbatasan kota raja. Lin Lin terengah-engah dan barulah gadis ini sadar sepenuhnya bahwa ia tadi ikut berlari-lari bersama rombongan itu keluar dari kota raja.

“He, kalian ini membawaku ke mana? Antarkan aku kembali ke kota raja Nan-cao. Aku harus bunuh Cui-beng-kui iblis jahat itu!”

Seorang di antara dua belas prajurit Khitan itu, yang paling tua, menjura dengan hormat di depan Lin Lin lalu berkata, “Tuan puteri, susah payah hamba berhasil menyelamatkan Paduka dari bahaya maut. Hamba hanya melakukan perintah. Kalau Paduka kembali ke sana, berarti hanya akan mengorbankan nyawa secara sia-sia.”

“Huh, tidak gampang Cui-beng-kui dapat membunuhku. Suling Emas takkan membiarkan dia membunuhku. Tadi pun Suling Emas membantuku. Hayo antar aku kembali ke sana!”

“Tuan puteri, hamba sekalian tidak berani. Hamba yang membantu mendiang Pak-sin-tung-lociangkun, selain kehilangan beliau, juga kehilangan dua belas orang saudara. Hamba semua hanya melaksanakan perintah Hek-lo-ciangkun, sebaiknya Paduka bicara dengan beliau....”

“Siapa Hek-lo-ciangkun (Panglima Tua Hitam)?” tanya Lin Lin.

“Paduka sendiri yang memerintahkan beliau merampas tongkat...”

“Ohhh, kau maksudkan Hek-giam-lo? Mana dia sekarang? Dia harus membantuku membunuh Cui-beng-kui! Mana dia? Suruh dia ke sini!” Lin Lin membentak-bentak mereka dengan sikap yang agung seakan-akan memang semenjak kecil dia sudah biasa memerintah orang-orang Khitan.

“Hek-lo-ciangkun sudah lama menanti Paduka, Tuan Puteri. Marilah, tidak jauh lagi. Setelah bertemu dengan Hek-lo-ciangkun, Paduka dapat berunding dengannya.”

Lin Lin menganggap omongan ini tepat. “Baik, hayo kita berangkat menemui Hek-giam-lo!”

Maka berangkatiah mereka, sekarang tidak berlarian seperti tadi lagi, melainkan berjalan kaki. Lin Lin di depan bersama pemimpin rombongan, diiringkan oleh yang lain dari belakang. Rombongan itu berjalan dengan langkah tegap, wajah mereka berseri, sama sekali tidak kelihatan berduka walau pun baru saja kehilangan seorang panglima dan dua belas orang kawan. Semangat mereka tinggi dan dalam melangkahkan kaki secara berirama mereka lalu bernyanyi dengan suara lantang dan gagah!

Mula-mula Lin Lin merasa betapa lucu kelakuan mereka ini, akan tetapi lambat laun ia merasa tertarik sekali dan kagum. Agaknya panggilan darahnya membuat ia merasa dekat dengan orang-orang ini, malah sebentar kemudian ia ikut pula mengatur langkah membarengi mereka dan karena lagu itu pendek dan diulang-ulang, beberapa menit kemudian Lin Lin ikut pula bernyanyi bersama mereka! Kata-katanya asing baginya, namun dasar ia cerdas, sebentar saja ia hafal tanpa dapat mengerti maksud kata-katanya. Ikut sertanya Lin Lin dalam barisan ini sambil bernyanyi menambah semangat orang-orang Khitan itu dan suara nyanyian mereka makin keras dan makin bersemangat.

Tak lama kemudian sampailah mereka di tepi sebuah sungai. Inilah Sungai Kan-kiang, sungai yang mengalir menuju ke utara dan menjadi anak sungai atau cabang dari sungai besar Yang-ce-kiang. Pemimpin rombongan mengeluarkan sebuah tanduk, agaknya tanduk rusa yang besar. Ketika ia meniup tanduk itu terdengar bunyi suara yang aneh seperti suara binatang, tidak keras akan tetapi suara itu membawa getaran yang kuat.

Sepuluh menit kemudian, terdengarlah lengking seperti suling dan tampaklah sebuah perahu besar meluncur datang. Di kepala perahu berdiri sesosok tubuh yang berselubung pakaian hitam dengan muka tertutup kedok tengkorak. Hek-giam-lo!

Sebentar kemudian perahu itu minggir dan Lin Lin meloncat ke atas perahu, diikuti oleh dua belas orang pengikutnya. Perahu itu diikatkan pada sebatang pohon. Setelah berada di atas perahu, dua belas orang itu sibuk bekerja, dan agaknya mereka sudah biasa dengan pekerjaan di perahu. Kini anak buah perahu yang tadinya hanya tiga orang, menjadi lima belas orang.

Lin Lin cepat menghampiri Hek-giam-lo. “Bagaimana Hek-giam-lo? Apakah perintahku sudah kau lakukan? Mana tongkat Beng-kauw itu?” berkata Lin Lin dengan sikap memerintah.

Hek-giam-lo membungkuk sedikit, lalu terdengar suaranya dari balik kedok tengkorak. “Berkat bintang Paduka yang terang, tongkat Beng-kauw sudah berhasil hamba rampas, sekarang berada di dalam bilik perahu. Harap Paduka sudi masuk bilik dan beristirahat, sebentar lagi kita berangkat.”

“Berangkat?” Lin Lin terkejut. “Ke mana?”

“Ke mana lagi kalau bukan ke Khitan? Kita pulang, Tuan Puteri.”

“Tidak! Aku perintahkan, tidak pulang ke Khitan sekarang! Hek-giam-lo, kau harus membantuku, kembali ke Nan-cao untuk menghadapi Cui-beng-kui!”

Sejenak tengkorak hitam itu diam saja, bergerak pun tidak, seakan-akan ia termenung. Sukar untuk mengatakan bagaimana perasaannya di saat itu karena wajahnya yang asli tidak nampak. Akan tetapi setelah ia bicara, ternyata bahwa ia menahan kemarahannya.

“Tuan Puteri Yalin, sudah banyak kita kehilangan orang, bahkan sute Pak-sin-tung sampai tewas, semua gara-gara permintaan Paduka yang bukan-bukan! Sekarang hamba tidak dapat memenuhi permintaan Paduka lagi. Kita harus berangkat kembali ke Khitan di mana Sri Baginda sudah menanti-nanti kedatangan Paduka.”

“Tidak! Kau harus menurut perintahku, Hek-giam-lo!”

Si Tengkorak Hitam menggeleng-geleng kepalanya dan mendengus tak acuh.

“Kau lihat apa ini? Kau harus tunduk kepadaku!” Lin Lin mencabut keluar Pedang Besi Kuning dan menodongkannya ke arah Hek-giam-lo. Melihat ini, para anak buah perahu serta-merta menjatuhkan diri berlutut.

Akan tetapi Hek-giam-lo mendengus aneh dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menyergap maju dan tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya menjadi kaku dan pedang itu telah terampas oleh Hek-giam-lo! Tengkorak Hitam itu mengeluarkan suara perintah dalam bahasa Khitan dan lima orang yang berlutut di belakang Lin Lin, tiba-tiba melompat dan menerkam gadis itu, menelikung kedua lengannya ke belakang dan mengikatnya dengan sehelai sabuk sutera yang kuat. Di lain saat, ketika mereka melepaskan Lin Lin, gadis itu sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang tubuh.

Lin Lin terkejut, sama sekali tidak mengira bahwa orang-orang itu, termasuk Hek-giam-lo akan berani melawannya. Akan tetapi ia tidak takut, malah ia lalu memaki-maki. “Keparat kau, Hek-giam-lo! Awas kau, sesampainya di Khitan, akan kuberi tahu kepada Sri Baginda tentang perlakukanmu yang kurang ajar agar kau mendapat hukuman penggal leher!”

Hek-giam-lo mendengus, kemudian memberi perintah dalam bahasa Khitan. Agaknya ia menyuruh pergi para anak buahnya karena mereka itu seorang demi seorang lalu menghilang ke dalam dan ke balik bilik perahu. Kemudian Hek-giam-lo menghadapi Lin Lin yang berdiri dengan tegak walau pun kedua tangannya terbelenggu.

“Yalin, ucapanmu ini mengingatkan aku akan Ibumu. Dahulu Ibumu juga hendak memenggal leherku, malah ia telah menyiram mukaku dengan racun. Kau tahu aku siapa? Nah, tengoklah baik-baik!” Cepat sekali Hek-giam-lo merenggut kedoknya dan....

Lin Lin menjadi pucat, memandang terbelalak pada wajah seorang laki-laki yang bentuknya tampan gagah, akan tetapi wajah itu mengerikan karena... tidak berkulit lagi! Daging muka itu, atau lebih tepat tulang-tulangnya terbungkus kulit tipis licin, hidung dan bibirnya yang masih bagus bentuknya itu pun menjadi mengerikan dengan kulit tipis berkerut dan putih seakan-akan tidak berdarah. Matanya tidak berbulu lagi, alisnya pun hilang, kepalanya tidak berambut. Benar-benar wajah yang mengerikan, jauh lebih mengerikan dari pada wajah Cui-beng-kui!

“Kau... kau siapa...?” Dengan suara lirih dan penuh kengerian Lin Lin bertanya.

Secepat tadi ketika merenggutkan kedoknya, Hek-giam-lo sudah memasangnya kembali. Kedok tengkorak itu agaknya tidak mengerikan lagi dibandingkan dengan muka yang bersembunyi di balik kedok.

“Hemmm, kau telah melihat wajahku? Wajah yang dahulunya tampan gagah. Karena aku berdosa mencinta Ibumu, aku mendapat perlakuan begini kejam. Ibumu menolak aku, kakaknya sendiri seayah lain ibu, dan dia memilih seorang prajurit biasa menjadi suaminya, yaitu Ayahmu!” Hek-giam-lo diam sejenak, agaknya menahan kemarahannya.

Lin Lin teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin tentang Puteri Mahkota Khitan yang bernama Tayami, yang menurut Kim-lun Seng-jin adalah ibunya. Teringat ia betapa kakek itu bercerita bahwa Puteri Tayami bersama suaminya, seorang prajurit gagah perkasa dan pilihan, gugur dalam perang melawan musuh karena ada saudara-saudara ibunya yang berkhianat. Mengingat ini, serta-merta naik darah panas ke kepalanya dan mulutnya menyerang dengan ejekan.

“Jadi kaukah orangnya yang berkhianat, bersekutu dengan Kerajaan Sung sehingga bangsaku dipukul hancur di Shan-si, dan ibu serta ayahku gugur?” Enak saja mulut Lin Lin menyebut ‘bangsaku’ dan ‘ayah ibuku’, karena memang ia sudah tidak ragu-ragu lagi. Inilah musuh besarnya yang sesungguhnya, orang yang menjadi biang keladi kematian ayah bundanya yang gugur sebagai pejuang bangsa yang gagah perkasa.

“Heh-heh, kau pandai menduga, ya? Memang betul begitulah. Akan tetapi pembalasanku ini tidak berlebihan, kau sudah melihat mukaku yang disiram air beracun oleh Ibumu.”

“Aku tidak percaya! Aku tidak percaya Ibu seganas itu! Kecuali kalau kau melakukan hal yang jahat, untuk membela diri mungkin Ibu terpaksa harus menggunakan racun.”

“Hemmm, kau memang pandai menduga, agaknya arwah Ibumu yang berbisik di dalam hatimu. Aku tidak bersalah, dosaku tidak berarti. Ibumu cantik jelita, seperti engkau begini, dan aku dahulu seorang pria yang tampan dan muda, penuh semangat dan nafsu. Aku hanya memasuki kamar Ibumu, hendak mencumbu rayu, sudah sewajarnya antara pria dan wanita. Tapi dia... dia... ah, semenjak itu aku benci kepadanya!”

Lin Lin dapat membayangkan semua itu, biar pun ia tidak mendapat cerita yang jelas, namun ia dapat menduga apa yang telah terjadi pada masa sebelum ia terlahir di dunia itu.

“Hek-giam-lo, kalau begitu sikapmu tunduk kepadaku hanya pura-pura. Kau menawanku mau apa?”

Secara tidak terduga, Hek-giam-lo kembali menjura dengan penuh penghormatan!

“Ih, tak perlu membadut dan berpura-pura lagi!” bentak Lin Lin.

“Tuan Puteri Yalin, hamba tidak berpura-pura. Hamba Hek-giam-lo hanya mentaati perintah Sri Baginda atau kakak hamba sendiri. Paduka harus hamba bawa ke Khitan dan di sana Paduka akan dikaruniai anugerah sebagai permaisuri menjadi ratu di sisi Sri Baginda kakak hamba.”

“Apa...?” Lin Lin menjerit. “Kalau dia itu kakakmu, dan kau kakak seayah ibuku, berarti kau dan dia itu masih pamanku. Dia paman tua, dia uwakku, masa dia hendak memperisteriku? Gila kau!”

“Heh-heh, tidak ada yang gila, Tuan Puteri. Banyak laki-laki beristerikan wanita muda lagi cantik. Ibu Paduka memang seayah dengan hamba dan Sri Baginda, akan tetapi berlainan ibu, jadi di antara kita sudah bukan apa-apa. Paduka akan menjadi ratu di Khitan, menjadi junjungan di samping Sri Baginda, karena itulah hamba juga menjadi hamba Paduka. Hanya karena Paduka tidak mau suka rela pergi ke Khitan, terpaksa hamba membelenggu Paduka.”

“Gila...! Kau dan semua orang Khitan yang gila ataukah aku yang berubah gila? Raja Khitan, kakakmu itu selamanya belum pernah melihat aku, kenapa dia bersikeras hendak menawanku dan mengambilku sebagai permaisuri? Di dunia ini, mana ada peristiwa yang lebih gila dari pada ini?”

“Paduka akan menyesal mengeluarkan caci maki seperti itu, Tuan Puteri. Kakak hamba Sri Baginda mengambil keputusan ini berdasarkan kebijaksanaan yang luar biasa. Mengingat bahwa Paduka masih keturunan langsung dari kaisar tua, dan banyak panglima tua yang mengharapkan Paduka duduk menjadi yang dipertuan di Khitan, kebijaksanaan yang paling tepat adalah mengangkat Paduka menjadi permaisuri. Sudahlah, harap Paduka sudi mengaso.”

“Tidak! Aku tidak sudi, tidak mau...! Aku tidak sudi pergi ke Khitan!”

Pada saat itu, sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali dan tahu-tahu Lie Bok Liong sudah ada di belakang Lin Lin. Tangan kirinya berusaha merenggut putus sabuk sutera yang mengikat tangan gadis itu, sedangkan tangan kanannya menodongkan pedangnya ke dada Hek-giam-lo!

“Jangan takut, Lin-moi, aku membelamu,” bisik pemuda itu sambil mengerahkan tenaga tangan kirinya untuk melepaskan ikatan kedua tangan Lin Lin.

Gadis itu terkejut sekali. Andai kata Suling Emas yang menolongnya pada saat itu, tentu ia akan merasa bahagia dan girang sekali. Akan tetapi Lie Bok Liong? Ia cukup mengenal sahabat ini dan tahu sampai di mana tingkat kepandaiannya. Tidak jauh selisihnya dengan kepandaiannya sendiri. Mana bisa menang menghadapi Hek-giam-lo yang berdiri dengan tegak dan tak bergerak itu? Tidak saja akan sia-sia usaha pertolongan Bok Liong, malah sebaliknya selain ia sendiri tidak akan tertolong, pemuda ini malah akan menghadapi bahaya pula.

Para anak buah perahu bermunculan, akan tetapi mereka hanya berdiri tertegun, tidak berani turun tangan sebelum menerima perintah Hek-giam-lo yang tampak tenang-tenang itu. Agaknya iblis tengkorak ini sengaja membiarkan Bok Liong melepaskan belenggu Lin Lin, buktinya ia diam saja, hanya berdiri bertolak pinggang seakan-akan ia gentar karena ditodong pedang oleh Lie Bok Liong.

Akhirnya terlepas juga ikatan tangan Lin Lin dan pemuda itu segera menarik tubuh Lin Lin supaya berada di belakangnya, sedangkan ia sendiri memasang kuda-kuda, siap menghadapi lawan. Sikapnya gagah sekali dan pemuda yang tegap ini sudah siap sedia mengorbankan nyawanya untuk membela gadis yang telah merampas hatinya.

Tiba-tiba Lin Lin teringat akan sesuatu dan wajahnya berseri, timbul harapan di hatinya. Tentu, pikirnya, tentu guru pemuda ini ikut datang, kalau tidak, masa Bok Liong akan seberani ini menghadapi Hek-giam-lo?

“Liong-koko, mana gurumu?” bisik Lin Lin penuh harap.

Bok Liong tidak menjawab, matanya bergerak-gerak memandang Hek-giam-lo dan para anak buah Khitan yang bermunculan dan mengurungnya di atas perahu yang lebar itu. Perahu mulai bergoyang sedikit karena pergerakan mereka. Ia tidak dapat menjawab karena memang ia datang tidak bersama suhu-nya. Pemuda ini merasa khawatir sekali ketika melihat Lin Lin lenyap secara aneh bersama orang-orang Khitan. Hatinya sudah terampas oleh senyum dan sinar mata Lin Lin.

Lie Bok Liong pemuda perkasa murid Gan-lopek itu telah jatuh cinta kepada Lin Lin. Karena itu, tanpa mempedulikan lagi peristiwa yang amat aneh dan menyeramkan yang terjadi di ruangan sembahyang Beng-kauw, ia menyelinap pergi dan secepat kilat ia lari menyusul rombongan orang Khitan. Ia terus membayangi mereka sampai mereka tiba di pinggir sungai dan melihat kekasih hatinya itu dihadapkan Hek-giam-lo dan dirampas pedangnya lalu diikat tangannya, Lie Bok Liong lupa segala, menjadi nekat dan cepat ia bertindak untuk menolong Lin Lin. Tentu saja ia cukup maklum betapa lihainya Hek-giamlo, akan tetapi untuk membela Lin Lin yang dipuja di dalam hatinya, jangankan hanya menghadapi seorang Hek-giam-lo, biar di situ ada sepuluh orang Hek-giam-lo sekali pun, ia tidak akan mundur selangkah dan siap mengorbankan nyawanya untuk membela Lin Lin!

Melihat cara Bok Liong menodongkan pedang dengan tubuh agak bergoyang-goyang, Hek-giam-lo mengeluarkan suara mendengus, “Huh, orang muda, mana gurumu Gan-lopek si badut gila itu? Suruh dia yang keluar menghadapi aku!”

Diam-diam Bok Liong terkejut. Dengan melihat cara ia memasang kuda-kuda saja iblis ini sudah mengenal ilmu silatnya, terang bahwa sekarang ia bertemu lawan yang seimbang gurunya. Akan tetapi ia tidak gentar dan tidak menjawab ucapan Hek-giam-lo, melainkan menjawab pertanyaan Lin Lin tadi.

“Lin-moi, jangan takut. Untuk menolongmu dari para iblis ini, tidak usah Suhu yang maju, cukup dengan aku saja.” Kemudian ia menghadap Hek-giam-lo dan berkata lantang.

“Hek-giam-lo, kau seorang Locianpwe yang berilmu tinggi. Tidak seharusnya kau memaksa Nona ini yang tidak mau ikut ke Khitan. Harap kau orang tua suka memandang muka Suhu-ku dan membebaskannya, biarkan dia pergi bersamaku ke mana ia suka. Kelak kalau aku atau Suhu lewat Khitan, tentu tidak lupa singgah untuk menyampaikan terima kasih dan hormat.” Ucapan Bok Liong ini adalah ucapan gagah seorang tokoh kang-ouw terhadap tokoh kang-ouw lain, dan biasanya orang-orang kang-ouw tunduk akan ‘sopan santun’ kang-ouw seperti ini.

Akan tetapi Hek-giam-lo mendengus dan berkata singkat, “Bocah gila, melihat muka tolol gurumu, aku mau ampunkan kau. Hayo lekas kau minggat dari sini dan jangan mengganggu urusan kami. Tuan Puteri Yalina akan ikut bersama kami, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Pergi!” Berbareng dengan ucapan ini, Hek-giam-lo menggerakkan lengan bajunya yang berubah menjadi sinar hitam menyambar ke arah dada Lie Bok Liong.

Tenaga sakti yang dahsyat merupakan angin yang kuat sekali menyambar ke depan. Bok Liong sudah siap sedia, cepat ia lompat menghindar ke samping. Tubuhnya bergoyang-goyang, pinggulnya megal-megol akan tetapi tahu-tahu pedangnya sudah menyelinap di antara sambaran angin, mengirim tusukan balasan ke arah lambung si iblis tengkorak. Diam-diam Hek-giam-lo kaget dan kagum. Jarang sekali terdapat di dunia kang-ouw seorang muda yang dapat menghindarkan serangannya dan seketika dapat balas menyerang. Maklumlah ia bahwa pemuda murid Gan-lopek ini sudah lumayan kepandaiannya. Tentu saja dengan mudah ia dapat menangkis tusukan pedang itu dengan kibasan lengan bajunya.

Ketika pedangnya terkena kibasan ujung lengan baju, hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya. Bok Liong kaget bukan main, namun ia tetap melanjutkan serangannya, kini pedangnya membuat tiga lingkaran lebar yang makin lama makin sempit lalu menjurus ke arah dada lawan. Hebat serangan ini, dan kuat sekali.

Namun dengan mudah pula Hek-giam-lo menghindar, lalu dari samping pukulan jarak jauh dengan ujung lengan baju membuat Bok Liong terhuyung-huyung, hampir menabrak seorang anak buah Khitan. Anehnya, orang Khitan ini sama sekali tidak bergerak atau menyerang, dan ini merupakan bukti betapa teguh mereka memegang disiplin. Tanpa perintah kepala mereka, orang-orang Khitan ini tidak berani sembarangan bergerak. Dan mereka memang betul, karena andai kata ada yang bergerak, hal itu berarti membantu Hek-giam-lo tanpa diperintah dan ini berarti pula menghina tokoh besar itu yang mungkin hukumannya adalah maut!

Lin Lin menjadi kagum melihat perlawanan gigih dari Bok Liong terhadap Hek-giam-lo. Tiba-tiba ia lari menerobos memasuki bilik perahu. Juga orang-orang Khitan mendiamkannya saja, apa lagi gadis itu adalah ‘tuan puteri’ bagi mereka, tanpa ada perintah Hek-giam-lo mereka tidak akan berani mengganggunya sedikit pun juga. Tak lama kemudian Lin Lin sudah berlari ke luar lagi, di tangannya memegang tongkat Beng-kauw yang kepalanya dihias permata ya-beng-cu! Kiranya gadis ini memasuki bilik untuk mencari senjata karena pedangnya sudah terampas oleh Hek-giam-lo. Setelah tiba di luar, ia melihat Bok Liong terkurung sinar hitam yang dibuat oleh lengan baju Hek-giam-lo, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menggerakkan tongkat Beng-kauw mengemplang dari belakang ke arah kepala Hek-giam-lo!

“Werrrrr!” Tongkat itu lewat dekat kepala ketika Hek-giam-lo menghindar, kemudian sekali lompat iblis tengkorak ini sudah tiba dekat Bok Liong. Lengan baju kiri digerakkan melibat pedang Bok Liong, tangan kanan mengirim pukulan dari atas ke bawah yang kalau mengenai kepala Bok Liong tentu akan pecah seketika.

“Hayaaaaa...!” Bok Liong menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan, pukulan itu menyambar lewat dan....

“Brakkk!” papan perahu terkena pukulan tangan Hek-giam-lo menjadi amblong berlubang besar!

Biar pun Bok Liong sudah terhindar dari pada bahaya maut, namun pedangnya, pedang pusaka Goat-kong-kiam, kini sudah terampas dan berada di tangan si iblis tengkorak! Hek-giam-lo mengeluarkan suara seperti orang tertawa, tangan kanannya bergerak dan pedang rampasan meluncur ke belakang menangkis tongkat Beng-kauw yang sudah menyambarnya lagi.

“Traaanggggg!” Biar pun pedang itu disambitkan untuk menangkis, namun tenaga sambitannya membuat Lin Lin mengaduh karena telapak tangannya terasa panas dan perih, baiknya tongkatnya tidak terlepas. Pedang itu terbentur dan meluncur seperti anak panah ke arah kaki Bok Liong! Pemuda ini cepat melompat menghindar agar jangan sampai kakinya terbabat pedangnya sendiri.

“Cappp!” pedang Goat-kong-kiam menancap sampai setengah lebih di atas papan perahu.

“Bocah gila, lekas minggat. Sekali lagi aku tidak memberi ampun!” kata Hek-giam-lo sambil menggerakkan tangan kiri menyambut tongkat yang kembali telah dipukulkan oleh Lin Lin ke arah kepalanya. Kali ini Hek-giam-lo menerima tongkat itu, menarik lalu mendorong kuat sekali. Lin Lin menjerit dan tubuhnya terlempar... keluar perahu!

“Byurrrrr...!” tubuhnya menimpa air yang muncrat tinggi.

“Tolong... auppp...!” Lin Lin kaget sekali karena tubuhnya kaku, kaki tangannya lumpuh tak dapat digerakkan untuk berenang, maka dengan panik ia minta tolong.

Sesosok bayangan melompat ke air. Dia adalah Bok Liong yang cepat menyelam dan menyambar tubuh Lin Lin yang sudah tenggelam itu, kemudian memeluknya dan membawanya berenang ke pinggir perahu. Tongkat Beng-kauw masih berada di tangan gadis itu yang tidak mau melepaskannya. Dengan agak sukar Bok Liong menyambar pinggiran perahu, lalu menaikkan tubuh Lin Lin, yang masih kaku karena tadi terkena totokan lihai Hek-giam-lo. Ia sendiri meloncat ke atas perahu dan kembali mencabut pedangnya.

“Hek-giam-lo, kau bukan lawanku. Sekali lagi, memandang muka Suhu, harap kau suka membebaskan Lin-moi dan aku. Kalau kau mau berkelahi, lawanlah Suhu, baru sebanding. Akan tetapi kalau kau tidak mau membebaskan Lin-moi, terpaksa aku mengadu nyawa denganmu!”

“Heh, bocah edan! Nona ini adalah Tuan Puteri kami, dia adalah calon Permaisuri Khitan! Kau ini bocah gila berani jatuh hati kepadanya?”

Marahlah Bok Liong. Ia melompat maju dengan serangan pedangnya. Kali ini Hek-giam-lo melibat ujung pedang lawan dengan lengan bajunya, menggerakkan ke bawah dan... tubuh Bok Liong terbanting ke atas papan perahu. Seketika tubuh Bok Liong amblas sampai sepinggang karena kebetulan sekali ia terbanting pada papan yang telah bolong terkena pukulan Hek-giam-lo tadi. Kasihan pemuda itu, ia berusaha melepaskan diri, namun sia-sia karena pinggangnya terjepit sehingga ia seperti seekor tikus masuk perangkap. Namun ia masih memaki-maki, “Hek-giam-lo, kau bunuhlah aku, tapi bebaskan Lin-moi!”

“Tidak dibunuh buat apa?” berkata demikian, Hek-giam-lo menghampiri tubuh Bok Liong yang masih terjepit papan perahu.

Pemuda ini biar pun sudah tidak berdaya, namun pedangnya masih berada di tangan dan ia dengan sikap menantang siap untuk melakukan serangan terakhir dengan senjatanya sebelum tewas, sedikit pun tidak terbayang rasa takut di wajahnya.

“Hek-giam-lo, jangan bunuh dia!” tiba-tiba Lin Lin berseru keras.

Hek-giam-lo menengok ke arah gadis itu yang kini sudah berdiri dengan muka pucat. Iblis itu mendengus, lalu menggumam, “Tidak dibunuh buat apa? Dia kurang ajar, berani mencintai Tuan Puteri, harus dibunuh mati untuk menebus dosanya...!” Setelah berkata demikian Hek-giam-lo melangkah lagi menghampiri Bok Liong.

“Hek-giam-lo, kalau kau membunuhnya, aku tidak sudi ikut ke Khitan!” Kembali Lin Lin berseru.

Tanpa menoleh Hek-giam-lo menjawab dengan suara mengejek, “Hamba dapat memaksa Paduka!”

Karena Hek-giam-lo membacokkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Tubuhnya yang terjepit membuat ia tidak dapat menyerang secara baik, hanya asal membacok saja. Hek-giam-lo mendengus dan tahu-tahu pedang itu sudah terlibat oleh ujung lengan baju sebelah kiri, sedangkan tangan kanan iblis itu sudah bergerak mencengkeram ke arah kepala Bok Liong. Pemuda ini hanya dapat memandang dengan mata mendelik dan dengan sikap gagah menanti detangnya maut dengan mata terpentang lebar.

“Hek-giam-lo, kalau kau bunuh dia, aku akan bunuh diri!” teriak Lin Lin yang sudah kebingungan sekali melihat Bok Liong terancam bahaya maut. Pemuda itu datang untuk menolongnya, tak mungkin sekarang ia diam saja menyaksikan penolongnya terancam kematian yang mengerikan.

Cengkeramen ke arah kepala itu mendadak berubah dan kini yang dicengkeram adalah baju pada punggung Bok Liong. Sekali sentak tubuh pemuda itu sudah keluar dari jepitan papan dan sekali mengayun tangan Hek-giam-lo melemparkan tubuh Bok Liong keluar dari perahu dan....

“Byuuurrrrr...!” untuk kedua kalinya air muncrat tinggi ketika tertimpa tubuh pemuda itu.

Hanya sebentar Bok Liong tenggelam. Segera ia muncul lagi, terengah-engah dan menyemburkan air dari dalam mulutnya. Pedang Goat-kong-kiam masih di tangan kanannya dan dengan mata mendelik marah ia berenang ke arah perahu sambil memaki.

“Hek-giam-lo iblis tukang menakuti anak-anak! Kalau kau tidak membebaskan Lin-moi, aku akan mengadu jiwa denganmu!”

Melihat kenekatan pemuda yang keras kepala ini, Lin Lin bingung dan kaget sekali. Cepat ia berlari ke pinggir perahu dan berseru, “Liong-twako, jangan ke sini lagi! Kau pergilah, sia-sia melawan dia!”

“Lin-moi, tidak bisa aku meninggalkan kau tertawan iblis itu. Kalau perlu aku akan mengadu jiwa, apa artinya kematian? Hidup pun tidak akan berguna bagiku kalau kau mengalami bencana!” Penuh semangat pemuda ini menjawab. Jawaban yang sekaligus menyatakan cinta kasihnya terhadap gadis itu!

Merah seketika wajah Lin Lin dan sejenak ia terharu. Pemuda ini benar-benar hebat, gagah perkasa dan cinta kasihnya terhadap dirinya sudah cukup teruji. Berkali-kali pemuda ini menolongnya dari bencana tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri.

“Jangan, Twako,” katanya, suaranya agak gemetar. “Kau pergilah, aku tidak apa-apa, percayalah. Kelak kita dapat bertemu kembali. Aku minta dengan sangat, jangan kau kembali ke perahu!”

Bok Liong meragu, akan tetapi mendengar suara yang gemetar itu dan melihat wajah Lin Lin yang ketakutan mengkhawatirkan keadaan dan keselamatan dirinya, diam-diam ia merasa bahagia sekali. “Baiklah, Lin-moi, asal kau selamat, aku menurut segala kehendakmu. Tapi, aku akan selalu membayangimu. Awas mereka yang berani mengganggu, aku pasti akan menjungkir-balikkan bumi langit untuk mengadu jiwa!” Setelah berkata demikian, pemuda itu berenang kepinggir.

Setelah mendarat, barulah ia merasa betapa tubuhnya sakit-sakit semua dan ia menggigil kedinginan. Akan tetapi melihat perahu itu meluncur maju menurutkan aliran sungai, ia pun cepat-cepat mengikuti dari tepi sungai. Pemuda ini sudah mengambil keputusan untuk terus mengikuti jejak Lin Lin yang menjadi tawanan orang-orang Khitan. Ia bersikeras untuk membayangi terus, biar pun ia harus berjalan sampai ke Khitan, atau kalau perlu, ia akan terus membayangi sampai ke neraka!

Dapat dibayangkan betapa sengsaranya perjalanan ini. Yang dibayangi naik perahu, karena perahu itu menurutkan aliran air, maka tidak pernah berhenti. Bok Liong harus mengikuti terus siang malam, dan ia harus menyaksikan dengan tubuh letih betapa para penumpang perahu enak-enakan duduk melengggut, atau harus menyaksikan dengan perut lapar betapa para penumpang perahu makan minum di atas dek. Adapun Lin Lin selalu berada di dalam bilik perahu. Hanya kadang-kadang saja gadis itu keluar dan dengan hati pedih melihat bayangan Bok Liong bergerak di tepi sungai. Hatinya makin terharu dan kasihan melihat pemuda itu, bukan hanya karena kesetiaan dan cinta kasih pemuda itu, melainkan terutama sekali kasihan karena hatinya sendiri tidak akan dapat membalas cinta kasih Bok Liong. Hatinya sendiri, sudah tersangkut oleh sebuah suling yang terbuat dari pada emas.....

********************


Kita tinggalkan dulu Lie Bok Liong yang dengan sengsara membayangi jejak orang-orang Khitan yang menawan Lin Lin sebagai seorang tawanan terhormat karena gadis ini, biar pun hakekatnya amat dibenci oleh Hek-giam-lo, namun sesungguhnya adalah calon ratu yang akan diperisteri oleh Kaisar Khitan. Mari kita mengikuti perjalanan Suling Emas bersama dua orang adiknya, Sian Eng dan Bu Sin.

“Twako, kenapa kau tadi tidak mencegah Lin-moi dibawa pergi orang-orang Khitan? Bagaimana kalau sampai dia mengalami celaka?” di tengah perjalanan Sian Eng menegur Suling Emas.

Suling Emas diam saja, hanya menarik napas panjang. Mereka bertiga berjalan seenaknya, Suling Emas sebagai petunjuk jalan di depan, di belakangnya berjalan Sian Eng dan Bu Sin berjalan di belakang.

“Eng-moi, bagaimana kau bisa menegur Twako seperti itu? Kau tahu sendiri betapa peristiwa hebat susul-menyusul yang menyedihkan hati Twako,” kata Bu Sin.

Terang bahwa Suling Emas menghadapi hal-hal hebat, pertemuan dengan ibunya yang ternyata seorang iblis betina, kemudian kejadian-kejadian berikutnya yang hebat. Tentu saja Suling Emas kurang memperhatikan keadaan Lin Lin.

Kembali Suling Emas menarik napas panjang. “Kalian tidak usah khawatir. Lin Lin berada di tangan suku bangsanya sendiri, takkan diganggu. Melihat gelagatnya, apa lagi mengingat akan pengalaman Adik Sian Eng ketika diculik orang-orang Khitan, agaknya Lin Lin adalah Puteri Khitan yang dahulu dipungut ayah kita. Betapa pun juga, kita akan pergi ke Khitan, merampas kembali tongkat Beng-kauw, sekalian mencari Lin Lin. Menurut pendapatku, sebaiknya kalian pulang dulu ke Cin-ling-san, biar aku mencari Lin Lin, kalau sudah jumpa, akan kuajak dia menyusul ke Cin-ling-san, tentu saja kalau dia mau.”

“Kalau ia mau? Apa maksudmu, Twako?” tanya Sian Eng heran.

Suling Emas tersenyum. “Bukankah dia itu Puteri Khitan? Kalau dia sudah kembali kepada bangsanya dan merasa berhak berada di sana dan tidak mau kembali ke Cin-ling-san, tentu saja kita tidak dapat memaksanya, bukan?”

“Aku ikut, Twako. Aku akan membujuknya! Tidak boleh dia tinggal bersama suku bangsa liar itu!” seru Sian Eng yang sudah pernah dibawa kepada suku bangsa Khitan itu.

“Betul, Twako. Aku dan Eng-moi akan ikut, sekalian untuk meluaskan pengalaman.”

Kembali Suling Emas menarik napas panjang. Baru saja kedua orang adiknya ini mengetahui rahasia bahwa dia sebenarnya adalah Kam Bu Song, dan baru saja mereka berkumpul. Tidak tegalah hatinya untuk mengusir mereka.

“Baiklah, akan tetapi perjalanan amat sukar dan jauh. Pula aku menghadapi banyak rintangan. Setelah keadaanku diketahui semua tokoh kang-ouw, bahwa mendiang Tok-siauw-kui adalah ibuku, agaknya perjalananku tidak akan aman lagi.”

“Mengapa, Twako?”

Suling Emas menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara mengeluh, “Mendiang ibuku... ah tak perlu dibicarakan lagi.” Ia tidak melanjutkan kata-katanya dan ketika Sian Eng hendak bertanya dari belakang Bu Sin menyentuh lengannya dan memberi tanda supaya adiknya ini tidak banyak bertanya.

“Orang-orang Khitan itu tentu berangkat ke utara melalui jalan sungai. Satu-satunya jalan tercepat ke utara hanya melalui Sungai Kan-kiang. Mereka sudah menang dulu tiga hari. Aku tahu jalan tercepat menuju ke Kan-kiang, melalui anak bukit Pek-kee-san (Bukit Ayam Putih). Akan tetapi perjalanannya amat sukar dan jalan turunnya sebelah sana hanya dapat ditempuh melalui sebuah jurang. Jurang ini tidak lebar, hanya sepuluh tombak lebih (dua puluh meter kurang lebih), akan tetapi amat dalam. Dahulu aku memasang sehelai tambang untuk penyeberangan di atas jurang itu. Mari kita melalui jalan itu agar dapat melakukan perjalanan cepat.”

Dua orang adiknya menurut dan mulailah mereka mendaki bukit Pek-kee-san. Memang betul seperti yang dikatakan Suling Emas, perjalanan ini amat sukar. Bukit itu tidak terlalu tinggi, akan tetapi jalan pendakiannya melalui daerah yang sukar sekali. Mereka harus melompati banyak jurang-jurang kecil, melalui daerah batu karang yang tandus dan panas, dengan jalan penuh batu-batu kecil yang bergerak-gerak kalau diinjak, melalui jalan yang licin dan berbahaya. Akan tetapi karena mereka bertiga adalah orang-orang muda yang berilmu tinggi, maka mereka dapat melakukan perjalanan cepat. Hanya Sian Eng yang kadang-kadang harus berpegang pada lengan Suling Emas, karena di antara mereka, hanya Sian Eng yang paling rendah tingkat kepandaiannya. Bu Sin telah mendapatkan kemajuan hebat sekali semenjak ia digembleng oleh kakek sakti di air terjun.

Matahari telah condong ke barat ketika mereka bertiga tiba di tepi jurang yang dimaksudkan, jurang satu-satunya yang akan membawa mereka ke tepi Sungai Kan-kiang setelah mereka berhasil menyeberanginya dan tiba di bukit kecil di seberang. Ngeri keadaan di situ karena tepi jurang itu membuka lubang menganga seakan-akan tak berdasar di bawah kaki mereka. Akan tetapi bukan hal inilah yang membuat Sian Eng memandang dengan muka pucat dan membuat Bu Sin tertegun. Bahkan Suling Emas sendiri mengerutkan keningnya dan mengeluarkan suara seperti kutukan di dalam tenggorokannya. Memang tambang besar dan kuat itu masih melintang di atas jurang, menjadi sehelai jembatan yang luar biasa. Akan tetapi ‘jembatan’ ini tidak kosong!

Di tengahnya, antara lima tombak dari tepi, tampak seorang kakek tinggi kurus gundul dan buruk menyeramkan berdiri di atas kepalanya di atas tambang! Posisi yang amat sukar dan luar biasa. Bukanlah mudah untuk ‘berdiri’ jungkir-balik dengan kepala di atas tambang, kedua lengan bersedakap dan kedua kaki menjulang ke atas, apa lagi tambang itu melintang di atas jurang yang dalamnya ratusan meter! Tapi kakek itu tampak enak-enak saja melenggut, meram melek dan dari mulutnya yang terbuka dan kelihatan gigi kecil-kecil ompong itu keluar dengkur yang keras.

Suling Emas tampak marah. “Hemmm, tak kusangka gangguan dimulai sepagi ini!” gumamnya dan dengan kaki kirinya ia menginjak tambang di tepi jurang, lalu bentaknya keras.

“Lo-tong (Anak Tua)! Apakah kehendakmu menghadang aku di sini dan menjual kepandaian secara tengik begini? Hayo pergi, kalau tidak, jangan salahkan aku kalau aku menendang tubuhmu yang reyot itu ke dasar jurang!”

Bu Sin dan Sian Eng berdiri di belakang Suling Emas dan memandang penuh kengerian. Kalau terjadi pertandingan di atas tambang antara Suling Emas dan kakek yang bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong, seorang di antara Enam Iblis itu, alangkah mengerikan! Mereka maklum dan percaya penuh akan kesaktian kakak mereka, akan tetapi pertandingan dilakukan di atas tambang yang melintang di atas jurang seperti itu, benar-benar amatlah berbahaya, baik bagi yang kalah mau pun bagi yang menang. Sekali saja keseimbangan badan kacau, atau sekali saja kaki terpeleset dan jatuh, jangan harap akan dapat menyelamatkan nyawa, kecuali kalau orang itu mem­punyai sayap seperti burung!

“Heh-heh, Kim-siauw-eng (Suling Emas), kiranya kau anak dari si wanita cabul Tok-siauw-kui, heh-heh-heh!”

Merah wajah Suling Emas. Begitu cepatnya cerita itu tersiar, pikirnya. “Tok-sim Lo-tong tak perlu kau bersusah payah membakar hatiku. Kalau kau berniat menantangku, mari kulayani kau. Untuk apa bertingkah seperti anak-anak padahal kau sudah tua bangka begini?”

“Heh-heh, berani kau melawanku? Di atas tambang ini?”

“Takut apa?” Suling Emas meloncat ke atas tambang dengan gerakan seringan burung walet, lalu menoleh dan berkata kepada kedua orang adiknya, “Jangan kalian menyeberang sebelum aku beri isyarat dari sana.”

Sehabis memberi peringatan kepada adik-adiknya Suling Emas melangkah maju sambil mengeluarkan senjatanya, yaitu sulingnya. Ia maklum bahwa biar pun kelihatan seperti orang tolol, kekanak-kanakan, namun Tok-sim Lo-tong adalah seorang sakti dan jahat sehingga ia dianggap cukup berharga untuk menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Maka ia tidak berani memandang rendah dan sengaja ia mengeluarkan sulingnya.

“Heh-heh-heh!” Tok-sim Lo-tong terkekeh dan tubuhnya bergerak seperti baling-baling berputaran beberapa kali di udara lalu tahu-tahu ia telah berdiri di atas tambang.

Hebat sekali demonstrasinya ini, seakan-akan tambang itu merupakan tanah keras biasa baginya. Begitu kedua kakinya yang telanjang itu menginjak tambang, ia lalu lari ke tengah dan tiba-tiba tubuhnya bergoyang-goyang ke kanan kiri. Jari-jari kakinya mencengkeram tambang dan guncangan-guncangan yang dibuat pada tambang itu membuat tubuh Suling Emas bergoyang-goyang pula, makin lama makin hebat sampai tubuh pendekar ini menjadi miring ke kanan kiri.

Bu Sin dan Sian Eng memandang pucat. Kakek sinting itu berbahaya sekali dan karena kedua kakinya telanjang, tentu saja ia lebih leluasa ‘main-main’ di atas tambang dari pada Suling Emas yang memakai sepatu kulit dengan sol dipasangi baja. Suling Emas dengan sepatunya itu lebih mudah terpeleset, tidak seperti lawannya yang dapat mencengkeram tambang dengan jari-jari kakinya!

“Heh-heh-heh, terjunlah... terjunlah... heh-heh!” Tok-sim Lo-tong terkekeh-kekeh dan guncangannya pada tambang itu makin menghebat sehingga agaknya tak lama lagi Suling Emas takkan dapat menahan dirinya.

Namun Suling Emas bukanlah pendekar sembarangan saja. Biar pun usianya belum tua, namun ia seorang yang selain memiliki kesaktian tinggi, juga ia cerdik sekali di samping wataknya yang tenang dan waspada. Menghadapi akal lawan ini, ia berlaku tenang dan tidak gentar sedikit pun juga. Dengan ilmu lweekang-nya ia dapat membuat kedua kakinya seakan-akan lengket pada tambang dan biar pun tubuhnya tergucang-guncang dan miring ke kanan kiri sampai hampir roboh, namun ia sama sekali tidak dapat terjatuh dari atas tambang.

“Tua bangka curang, cukup permainanmu ini!” tiba-tiba Suling Emas berseru dan tubuhnya melayang ke atas, kedua kakinya terlepas dari tambang!

Hampir Sian Eng berteriak karena hal ini benar-benar berbahaya. Betapa pun saktinya, Suling Emas tidak dapat terbang, bagaimana begitu sembrono berani melepaskan tambang? Tubuhnya tentu akan turun lagi dan bagaimana kalau ia tidak dapat menginjak tambang lagi?

“Heh-heh-heh, kau cari mampus!” teriak Tok-sim Lo-tong dengan girang karena ia melihat kesempatan baik.

Guncangan pada tambangnya makin hebat, dan ia rasa tentu kali ini Suling Emas tidak akan mampu turun lagi di atas tambang. Akan tetapi mendadak ia berseru keras dan melompat ke belakang, berjungkir balik dan seperti baling-baling ia berloncatan terus ke belakang karena sinar yang terang menyambar-nyambar bagaikan patuk burung garuda, mengarah jalan darah paling penting di tubuhnya. Sekali saja ia terkena totokan ujung suling, tentu ia akan menjadi lumpuh dan akibatnya dialah yang akan jatuh ke bawah.

Karena Tok-sim Lo-tong sibuk mengelak inilah maka tambang tidak terguncang-guncang lagi dan tentu saja hal ini sudah diperhitungkan oleh Suling Emas yang dengan mudahnya dapat turun lagi di atas tambang. Kini dialah yang menyerang, terus mendesak lawan dengan sulingnya sehingga kakek gundul itu berseru-seru marah, akan tetapi terpaksa mundur terus sambil berjungkir balik makin lama mendekati tepi seberang jurang.

Mendadak Tok-sim Lo-tong memekik dan tubuhnya melayang tinggi dan cepat, tahu-tahu ia sudah berada di seberang dan kedua tangannya yang kurus itu telah mengangkat sebuah batu karang sebesar kerbau, lalu dilontarkannya batu karang itu ke arah Suling Emas yang masih berada di atas tambang! Serangan hebat dan berbahaya sekali dan sekaligus menyatakan bahwa kakek kurus kering itu benar-benar luar biasa karena dengan mudahnya dapat mengangkat dan melontarkan batu karang yang demikian besarnya.

Namun Suling Emas tidak menjadi gentar atau gugup. Ia merendahkan tubuhnya sampai hampir berjongkok, sulingnya berkelebat dan berhasil menotol dan mendorong batu itu dari bawah. Luncuran batu itu menyeleweng lewat di atas kepalanya, lalu meluncur ke bawah. Sampai lama barulah terdengar suara hiruk-pikuk di sebelah bawah, akan tetapi Suling Emas sama sekali tidak mempedulikannya, tidak melihat sedikit pun ke bawah, melainkan waspada memandang ke arah lawan sambil melangkah maju.

Di seberang lain, Sian Eng meramkan mata saking ngerinya, juga Bu Sin merasa ngeri sekali. Mereka melihat betapa batu karang sebesar kerbau itu menimpa batu-batu di bawah dan hancur berkeping-keping. Dapat dibayangkan betapa tubuh manusia akan hancur lebur kalau terjatuh dari tempat setinggi ini.

Tok-sim Lo-tong agaknya menjadi marah dan penasaran sekali. Sambil meringkik aneh ia menubruk ke arah tambang, agaknya bermaksud memutus tambang itu. Suling Emas dapat menduga niat jahat ini, maka sekali melompat ia telah berada di tepi dan sulingnya berkelebat merupakan sinar terang menusuk ubun-ubun kepala Tok-sim Lo-tong. Terpaksa iblis ini tidak melanjutkan niat jahatnya, sebaliknya ia menggulingkan tubuhnya ke belakang. Sambil bergulingan ini, kedua tangannya tiada hentinya bergerak dan batu-batu besar kecil berhamburan menyambar ke arah Suling Emas bagaikan hujan derasnya.

Hebat memang iblis itu. Sukar dikatakan apakah gerakannya bergulingan itu gerakan mengelak ataukah menyerang, sifatnya mengandung kedua-duanya. Ia bergulingan untuk mengelak dari suling lawan, namun ia pun bergulingan sambil menyerang. Serangan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena semua batu itu besar kecil menyambar ke arah jalan-jalan darah di tubuh, bukan sambaran sembarang sambar!

Suling Emas sibuk memutar sulingnya menangkis, malah mengeluarkan kipasnya dan senjata kedua ini banyak berjasa mengebut runtuh batu-batu kecil. Biar pun serangan itu hebat, namun Suling Emas masih sempat berseru ke sebelah belakangnya. “Kalian menyeberanglah!”

Bu Sin dan Sian Eng mendengar seruan yang nyaring luar biasa ini. Mereka lalu mendekati jembatan tambang.

“Kau menyeberang dulu, Eng-moi, biar aku di belakangmu,” kata Bu Sin.

Menyeberang tambang seperti itu bukanlah hal yang terlalu sukar bagi Sian Eng. Hanya tempat dan keadaannyalah yang terlalu mengerikan sehingga jantungnya berdebar tegang, wajahnya agak pucat dan rasa takut menyelubungi hatinya. Melihat betapa kedua kaki adiknya agak menggigil, Bu Sin menyentuh pundaknya dan berkata.

“Jangan takut, adikku. Tidak apa-apa, tambangnya begini besar dan kuat, jaraknya tidak jauh, apa sukarnya? Asal kau jangan memandang ke bawah.”

Sian Eng mengangguk, lalu melangkah maju ke atas tambang, diikuti kakaknya. Dua orang muda ini melangkah hati-hati sekali, mengembangkan kedua lengan ke kanan kiri untuk mengatur keseimbangan tubuh.

Ketika mereka tiba di tengah-tengah ‘jembatan’, mendadak terdengar suara orang tertawa di sebelah belakang mereka. Bu Sin dan Sian Eng kaget, cepat menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat dua orang laki-laki memegang golok, datang tertawa-tawa sambil menggerakkan golok hendak membabat tambang yang mereka injak!

“Twako... tolong...!” Hampir berbareng Bu Sin dan Sian Eng berteriak, akan tetapi hampir putus asa karena pada saat itu Suling Emas masih bertempur seru menghadapi Tok-sim Lo-tong.

Dua batang golok yang tajam menyambar ke arah tambang dan agaknya dalam detik-detik berikutnya tubuh Bu Sin dan Sian Eng akan terbanting hancur lebur di dasar jurang kalau saja pada saat itu tidak terjadi hal yang hebat.

Suling Emas mendengar teriakan adik-adiknya, cepat menengok dan berseru keras, tangan kirinya yang memegang kipas menyambar ke bawah dan di lain detik, dua buah batu kecil telah dilontarkan oleh kipas itu, bagaikan dua butir peluru saja. Menyambarnya dua buah batu kecil itu sama sekali tidak kelihatan saking cepatnya. Tahu-tahu dua orang pemegang golok itu memekik ngeri, mereka terguling roboh dan karena mereka berdiri di tepi jurang, tubuh mereka tak dapat dicegah lagi menggelinding turun dan melayang ke bawah. Hanya terdengar raung mengerikan ketika dua tubuh itu melayang-layang, kemudian sunyi, bahkan terbantingnya tubuh itu ke atas batu-batu runcing di sebelah bawah tidak terdengar sampai ke atas, saking tingginya tempat itu.

Sejenak Sian Eng meramkan mata dan tubuhnya bergoyang-goyang. Ia merasa ngeri dan tegang, kedua kakinya menggigil dan hampir pingsan. Untung baginya, Bu Sin lebih tabah hatinya. Pemuda ini cepat melangkah maju dan menangkap lengan adiknya ketika melihat gadis itu bergoyang-goyang dan tidak dapat bergerak maju.

“Eng-moi, bahaya telah lewat, hayo cepat menyeberang!” katanya sambil mengguncangkan dan mendorong.

Sian Eng sadar kembali, mengeluh lirih lalu melangkah kecil menyeberangi tambang yang tinggal beberapa meter jauhnya itu. Setelah berhasil mencapai tepi penyeberangan luar biasa ini, Bu Sin dan Sian Eng mendapat kenyataan bahwa bukit di seberang sini jauh bedanya dengan bukit di seberang sana. Bukit ini subur, indah dan menyenangkan sekali. Dari atas tampak di lereng gunung itu air sungai bening berkilauan. Itulah Sungai Kan-kiang.

Tentu saja mereka hanya dapat memandang tamasya alam ini sepintas lalu saja karena perhatian mereka segera tertuju ke arah Suling Emas yang masih bertempur melawan Tok-sim Lo-tong. Mereka berdua maklum bahwa dengan tingkat kepandaian mereka, membantu Suling Emas berarti malah mengacaukan gerakan-gerakannya, maka mereka hanya memandang dengan kagum dan juga cemas.

Kakek tinggi kurus itu ternyata lihai bukan main. Ia menghadapi Suling Emas hanya bertangan kosong saja, akan tetapi ternyata segala sesuatu yang berada di dekatnya merupakan senjatanya! Batu-batu besar kecil, ranting-ranting dan dahan, kadang-kadang malah pohon-pohon yang cukup besar dicabutnya dan dimainkan sebagai senjata!

Memang demikianlah keadaan kedua saudara Tok-sim Lo-tong dan suheng-nya, Toat-beng Koai-jin. Mereka berdua ini adalah murid-murid orang sakti, akan tetapi karena sejak kecil hidup di dalam hutan liar, mereka menjadi ganas seperti orang hutan dan cara mereka berkelahi pun kasar dan sederhana. Namun karena gerakan-gerakan mereka berdasarkan ilmu silat tinggi yang luar biasa, maka tentu saja kepandaian mereka hebat.

Suling Emas sudah berhasil mendesaknya, namun belum juga dapat merobohkannya. Ada empat kali sulingnya mengenai sasaran, namun kekebalan kakek kurus itu dapat menahan hantaman suling yang kenanya memang tidak tepat benar.

“Bu Sin, Eng-moi, lekas kalian pergi ke sungai itu dan cari perahu. Aku menyusul segera! Kalau aku belum datang dan kalian sudah mendapat perahu, berangkat saja dulu menurutkan aliran sungai. Lekas!”

Bu Sin dan adiknya heran melihat sikap Suling Emas yang tergesa-gesa dan seperti gugup itu. Terang bahwa Suling Emas tidak akan kalah oleh si kakek kurus, mengapa mengusir mereka pergi cepat-cepat? Akan tetapi kelika melihat pandang mata Suling Emas mengerling tajam ke arah belakang mereka, Bu Sin cepat menengok dan bukan main kagetnya ketika ia melihat beberapa orang berlari cepat menuju ke penyeberangan.

Bahkan yang terdepan, seorang kakek bertelanjang badan hanya pakai cawat seperti Tok-sim Lo-tong, tubuhnya gemuk berpunuk, telah meloncat ke atas tambang dengan kecepatan dan keringanan tubuh yang mengagumkan sekali. Toat-beng Koai-jin! Tahulah Bu Sin sekarang akan maksud Suling Emas. Tentu saja dengan adanya mereka berdua, Suling Emas menjadi kurang leluasa untuk melawan sekian banyak orang pandai, karena disamping harus menandingi mereka, juga harus melindungi kedua adiknya.

“Tapi... kau sendiri... Twako?” Sian Eng mengkhawatirkan kakaknya dan agaknya tidak tega untuk meninggalkan Suling Emas seorang diri menghadapi sekian banyaknya lawan tangguh.

“Pergilah...!” Suling Emas berseru kesal dan Bu Sin lalu menarik tangan Sian Eng, diajak berlari cepat pergi meninggalkan tempat berbahaya itu.

Jalan menuruni bukit hijau ini amat mudah, jauh bedanya dengan bukit di seberang dan karena sungai itu sudah tampak dari lereng tadi, kini dengan mudah Bu Sin dan Sian Eng mengerahkan larinya. Hanya satu jam mereka berlari menuruni bukit dan tibalah mereka di tepi Sungai Kan-kiang. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa baru malam tadi perahu yang membawa orang-orang Khitan dan Lin Lin lewat di tempat itu. Memang jalan melalui bukit dan menyeberangi tambang itu merupakan jalan yang amat dekat, jalan memotong yang lurus, tidak seperti jalan sungai yang berbelok-belok.

“Kita menanti di sini, Sin-ko. Ah, Twako menghadapi banyak musuh lihai, bagaimana kalau... kalau dia....”

“Dia tidak akan kalah, Eng-moi. Jangan kau khawatir. Kita harus mentaati pesannya, mari kita mencari perahu.”

“Tapi di sini amat sunyi, mana ada perahu? Pula, kurasa lebih baik kita jangan pergi sebelum Song-twako datang.”

“Twako tadi berpesan supaya kita berangkat dulu, kalau tidak ada perahu, kita bisa mencari ke sebelah hilir sampai dapat. Mari, Eng-moi, Song-twako memesan demikian tentu ada alasannya.”

Tanpa memberi kesempatan lagi kepada Sian Eng untuk membantah, Bu Sin memegang tangannya dan diajak melanjutkan perjalanan, menyusuri tepi sungai itu ke hilir dengan langkah cepat. Tentu saja mereka juga tidak tahu bahwa kira-kira tiga puluh li di sebelah depan sana, Lie Bok Liong juga menyusuri tepi sungai untuk mengikuti perahu besar yang menawan Lin Lin!

Sebetulnya kalau Bu Sin dan Sian Eng melakukan perjalanan cepat dan sengaja mengejar rombongan yang membawa Lin Lin, agaknya dalam waktu setengah hari akan dapat menyusul mereka. Akan tetapi kakak beradik ini tidak tergesa-gesa, bahkan kadang-kadang melambat dengan harapan akan segera dapat tersusul Suling Emas karena betapa pun juga, mereka merasa tidak enak berpisah dari kakak yang sakti ini. Mereka melakukan perjalanan menyusuri sungai sambil setengah menanti munculnya Suling Emas. Dan inilah sebabnya maka jarak antara mereka dan rombongan orang Khitan tetap jauhnya, bahkan makin menjauh karena kadang-kadang perahu besar itu sengaja dipercepat untuk membikin Lie Bok Liong yang mengikutinya dari pantai menjadi makin payah.

Setelah melihat kedua orang adiknya pergi dengan cepat, Suling Emas menjadi lega hatinya. Ia tadi melihat munculnya Toat-beng Koai-jin dan beberapa orang di belakang kakek berpunuk itu yang gerakan-gerakannya cukup membayangkan kepandaian tinggi. Oleh karena inilah maka ia bersikeras menyuruh kedua adiknya pergi lebih dulu, karena ia maklum bahwa menghadapi lawan-lawan setangguh itu, kehadiran Bu Sin dan Sian Eng merupakan bahaya. Sekarang hatinya lega dan sambil tersenyum mengejek ia berkata.

“Tok-sim Lo-tong, karena aku tidak bermusuhan dengan Thian-te Liok-koai, juga denganmu pribadi tidak ada dendam mendendam, mengapa kau bersikeras dan tidak mau membuka mata bahwa sejak tadi aku berlaku murah dan mengalah? Sekarang suheng dan teman-temanmu datang, aku tidak bisa bersikap mengalah lagi!”

Tiba-tiba Suling Emas menggerakkan sulingnya secara aneh, yaitu ia telah mainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat. Ilmu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Awan) ini adalah ilmu kesaktian yang ia terima dari kakek sakti Bu Kek Siansu dan selama ini merupakan ilmu simpanannya karena ilmu gaib ini tidak akan sembarangan ia keluarkan kalau tidak perlu.

Dengan ilmu silatnya yang sudah amat tinggi, tanpa mengeluarkan ilmu simpanan ini pun Suling Emas jarang menemukan tandingan. Akan tetapi karena sekarang ia melihat keadaan mendesak dengan munculnya Toat-beng Koai-jin yang lihai, sedangkan ia harus menyusul kedua orang adiknya, harus segera mencari Lin Lin dan merampas kembali tongkat kebesaran Beng-kauw, maka terpaksa ia mengeluarkan ilmu simpanannya ini untuk menghadapi Tok-sim Lo-tong yang benar-benar lihai dan tangguh itu.

Tok-sim Lo-tong terkesiap, mengeluarkan pekik aneh ketika tiba-tiba matanya menjadi silau. Di depan matanya hanya berkelebatan sinar keemasan dari suling lawan yang bergerak membentuk coret-moret tidak karuan, namun selain indah gayanya, juga mengandung tenaga mukjijat yang sukar ia lawan. Selama hidupnya kakek ini belum pernah gentar menghadapi ilmu silat dari mana pun juga, akan tetapi ia benar-benar kaget sekali menghadapi gerakan aneh yang mengandung getaran mukjijat ini.

Cepat ia mengerahkan tenaga sinkang-nya, dan mengingat bahwa suling bukanlah senjata tajam, Tok-sim Lo-tong lalu mencengkeram dengan tangan kirinya untuk merampas suling sedangkan tangan kanannya mencengkeram pundak lawan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika cengkeramannya pada pundak meleset seperti mencengkeram batu licin saja, sedangkan tangan kiri yang bertemu dengan suling seketika menjadi lumpuh. Cepat ia melempar diri ke belakang, membuat gerakan jungkir balik tiga kali lalu ia menggelinding sampai sepuluh meter lebih jauhnya! Untung ia membuat gerakan ini untuk menolong dirinya, kalau tidak tentu ia akan celaka, sedikitnya akan terluka parah.

Kehebatan jurus yang dikeluarkan Suling Emas ini tidaklah mengherankan. Ia tadi mengeluarkan jurus ilmu silat sakti Hong-in-bun-hoat dengan dasar coretan huruf TO. Huruf ini merupakan huruf sakti, atau huruf ajaib bagi para ahli filsafat. Memang bagi orang biasa, huruf ini berarti JALAN, akan tetapi bagi ahli kebatinan memiliki arti yang lebih mendalam dan luasnya bukan main. Bahkan Nabi Locu dengan kitab To-tik-keng (Tao-te-cing) yang terkenal di seluruh dunia itu mendasarkan filsafat-filsatatnya bersumber pada huruf TO inilah!

Demikian dalam dan penuh rahasia serta gaibnya huruf TO ini sehingga di dalam kitab itu disindirkan bahwa TO tidak dapat diterangkan, tidak dapat disebut, tiada bernama, saking kecilnya tidak tampak, saking besarnya memenuhi alam semesta, lebih gaib dari pada yang gaib, sumber segala yang ada dan tidak ada, semua rahasia! Demikianlah untuk menggambarkan huruf TO ini, dan sebagian kaum cerdik pandai membuatkan arti kata itu sebagai KEKUASAAN TERTINGGI.

Nah, dengan mendasarkan jurusnya pada huruf gaib ini mana bisa Tok-sim Lo-tong menghadapinya? Sekali gebrakan saja, kalau ia tidak cepat-cepat membuang diri ke belakang dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya, tentu ia akan mengalami celaka besar!

Pada saat Tok-sim Lo-tong bergulingan, Toat-beng Koai-jin sudah tiba di tempat itu, bersama tiga orang temannya yang sebetulnya adalah anak buah It-gan Kai-ong. Seperti kita ketahui, kakak beradik liar ini dapat dibujuk oleh It-gan Kai-ong dan menjadi pembantu-pembantunya. Kini mereka berdua, dibantu tiga orang anak buah pengemis itu, memang ditempatkan di situ untuk menghadang perjalanan Suling Emas. Sebagai orang-orang lihai, kedua kakek aneh ini amat sembrono maka tadi yang berada di jembatan tambang hanya Tok-sim Lo-tong, sedangkan Toat-beng Koai-jin yang menganggur menjadi tidak betah, dan mengajak tiga orang pembantu itu memasuki hutan mencari daging binatang.

Toat-beng Koai-jin melihat sutenya bergulingan, cepat menghampiri dan dengan suara khawatir bertanya, “Bagaimana, Sute? Kau tidak apa-apa, kan, Sute? Sakitkah, adikku sayang?” Ia merangkul si kurus itu dan mengelus-ngelus kepalanya yang gundul, sikapnya seperti seorang kakak menghibur adiknya. Dan anehnya, Tok-sim Lo-tong menangis dalam rangkulan suheng-nya! Tangis manja seorang anak kecil!

Ada pun tiga orang pembantu It-gan Kai-ong itu segera menyerbu dengan golok di tangan ketika melihat Suling Emas. Mereka semua maklum akan kelihaian Suling Emas, akan tetapi karena di situ ada Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong, tentu saja mereka berbesar hati dan berani menyerbu.

Pada saat itu tangan Suling Emas masih bergerak melanjutkan coretan-coretan terakhir dari huruf To, hanya dua kali gerakan coretan lagi, namun ini sudah cukup karena terdengar tiga orang itu memekik keras, tubuh mereka terpental didahului golok yang patah-patah, roboh terbanting di atas tanah dan tidak dapat bangun kembali! Karena Suling Emas memang tidak mempunyai niat untuk menunda perjalanannya dengan pertempuran-pertempuran yang tidak beralasan, tanpa menoleh lagi ia lalu melompat dan pergi meninggaikan tempat itu.

“He, Kim-siauw-eng, tunggu! Kau sudah berani mengganggu Sute-ku, beraninya hanya pada anak-anak, hayo kau lawan aku!” bentak Toat-beng Koai-jin sambil melompat berdiri dan melontarkan sebuah batu karang yang besar.

Suling Emas tertawa dan mengelak sehingga batu besar itu dengan suara hiruk-pikuk menimpa pohon yang tumbang seketika. “Kau bilang Tok-sim Lo-tong anak-anak? Ha-ha, anak-anak tua bangka, seperti juga kau. Aku tidak ada waktu banyak, selamat tinggal!” Suling Emas tidak berhenti berlari, tidak pedulikan lagi pada Toat-beng Koai-jin yang memaki-makinya dan mengejarnya bersama Tok-sim Lo-tong.

Karena ginkang dari Suling Emas sudah mencapai tingkat tinggi sekali, sebentar saja ia dapat meninggalkan dua orang pengejarnya dan lari menuruni bukit menuju ke arah Sungai Kan-kiang. Ada pun tiga orang yang dirobohkannya tadi masih belum dapat bangun, biar pun tidak tewas namun masih ‘ngorok’ seperti babi disembelih.

Kalau tadi Sian Eng dan Bu Sin menghabiskan waktu satu jam untuk menuruni bukit itu, bagi Suling Emas hanya membutuhkan belasan menit saja. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat banyak sekali orang menghadangnya di tepi Sungai Kan-kiang. Ia kaget melihat It-gan Kai-ong sudah berada di situ, dan ia heran menyaksikan puluhan orang yang ia kenal sebagai tamu-tamu yang tadinya berkumpul di Nan-cao dan yang sudah meninggalkan Nan-cao dua tiga hari yang lalu. Ada tokoh-tokoh besar wakil dari partai-partai persilatan besar, ada pula hwesio-hwesio Siauw-lim, ada pendeta-pendeta tosu dari Go-bi-pai dan Kong-thong-pai. Dan mereka ini semua rata-rata bersikap kereng dan bermusuh!

“Para sahabat yang baik, nah itulah dia putera tunggal Tok-siauw-kwi! Kalau bukan dia yang harus membayar hutang mendiang ibu kandungnya, siapa lagi?” terdengar It-gan Kai-ong berseru sembil tertawa mengejek.

Kini Suling Emas sudah berhadapan dengan mereka. Melihat semua orang itu siap mengeroyoknya, Suling Emas cepat mengangkat tangan ke atas sambil berkata. “Saudara-saudara sekalian ini bukankah tadinya menjadi tamu-tamu terhormat di Nan-cao? Mengapa tidak lekas kembali ke tempat masing-masing dan menghadangku di sini? Ada urusan apakah?”

Orang banyak itu melangkah maju, dan seperti seribu burung berkicau mereka menjawab dengan ucapan masing­masing. Akan tetapi rata-rata mereka itu marah dan Suling Emas masih sempat mendengar betapa mereka itu menaruh dendam atas perbuatan-perbuatan mendiang ibunya. Ia menjadi bingung, kemudian melihat seorang hwesio tua dari Siauw-lim-pai yang dikenalnya baik ia cepat menegur hwesio itu.

“Cheng San Hwesio, kau mengenal baik padaku dan kiranya cukup maklum bahwa aku selamanya tidak memusuhi Siauw-lim-pai dan lain-lain golongan. Mengapa sekarang terjadi pencegatan ini mengapa pula kau ikut-ikutan hendak memusuhiku? Apakah salahku terhadap Siauw-lim-pai?”

“Hemmm, Suling Emas, memang kau tak pernah memusuhi kami, bahkan kau selalu berbaik dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi kebaikanmu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan kejahatan ibu kandungmu. Tiga orang suheng-ku tewas dua puluh tahun yang lalu dan seorang sute-ku diculik ibumu, kemudian tewas pula tidak tentu kuburnya setelah dijadikan barang permainan ibu kandungmu. Dosa itu tak berampun, dan karena ibumu sudah tewas, kaulah yang harus membayar hutangnya! Harap saja kau suka menyerahkan agar pinceng (aku) bawa kau menghadap ketua kami di Siauw-lim!”

“Mana bisa, Cheng San Hwesio!” bantah seorang tosu yang dikenal pula oleh Suling Emas sebagai seorang tokoh Hoa-san bernama Kok Seng Cu. “Pinto (aku) juga mempunyai urusan dengan Suling Emas karena ibunya, Tok-siauw-kui pada puluhan tahun yang lalu mengobrak-obrik Hoa-san, membunuh lima orang suheng-ku, mencuri pedang pusaka dan menghina ketua. Kami berusaha mencarinya selama ini, akan tetapi ia bersembunyi dan sekarang begitu keluar lalu binasa. Perhitungan lama belum dilunaskan, tahun yang lalu di Thai-san, seorang sute pinto bernama Kok Ceng Cu tewas oleh Siang­-mou Sin-ni yang ternyata juga murid Tok-siauw-kui. Hemmm, siapa lagi kalau bukan Suling Emas yang harus mempertanggung-jawabkan? Suling Emas, hayo kau ikut dengan pinto ke Hoa-san!”

“Tidak bisa!” kata seorang hwesio lain yang bermuka hitam bernama Hek Bin Hosiang tokoh Go-bi-pai. “Tok-siau-kui mencuri kitab pusaka Go-bi-pai, tentu diberikan kepada puteranya. Suling Emas, kau kembalikan kitab itu, baru pinceng mau pergi!” Sambil berkata demikian, hwesio muka hitam ini seperti yang lain-lain lalu melangkah maju sambil melintangkan toya baja di tangannya.

Masih banyak yang bicara dan rata-rata mereka itu mengemukakan perbuatan-perbuatan Tok-siauw-kui dan ingin menuntut balas pada Suling Emas. Pendekar ini menjadi kaget, menyesal, sedih dan juga bingung. Tak disangkanya bahwa ibunya yang selama ini menjadi kenangan yang dibela sehingga ia rela meninggalkan ayahnya, hidup terlunta-lunta, ternyata adalah seorang tokoh yang begini banyak musuhnya dan yang telah melakukan banyak perbuatan jahat!

Rasa sesal di hatinya membuat ia ingin menebus dosa itu dengan nyawanya, ingin membiarkan dirinya dikeroyok dan dibunuh, ingin menebus dosa ibunya dengan cucuran darah dan melayangnya nyawa. Akan tetapi, ia masih mempunyai banyak tugas di dunia ini. Apa lagi ia telah berdosa kepada ayah kandungnya, mengira ayahnya yang jahat terhadap ibunya. Kini ibunya yang banyak dosa telah tewas, ayahnya yang agaknya menjadi korban ibunya, yang ditinggal pergi ibunya telah tewas pula. Akan tetapi anak-anak ayahnya masih ada. Bu Sin dan Sian Eng dan juga Lin Lin, ia harus melindungi mereka untuk menebus dosanya sendiri terhadap ayahnya. Pula semua tuduhan terhadap ibunya itu harus ia selidiki dulu.

Dengan sudut matanya Suling Emas melihat orang-orang yang menghadapinya. Ada dua puluh empat orang, belum terhitung It-gan Kai-ong. Mereka itu rata-rata berilmu tinggi dan selain di situ ada It-gan Kai-ong yang tangguh, di sebelah belakang masih datang pula Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Kalau mereka semua maju, biar pun ia tumbuh sepasang sayap, kiranya ia takkan mungkin dapat menandingi mereka!

“Kalian terburu nafsu! Andai kata mendiang ibuku melakukan semua itu, apa hubungannya dengan aku? Aku tidak ada waktu untuk melayani kalian yang sedang mabuk dendam!” Setelah berkata demikian, Suling Emas memutar sulingnya dan melompat jauh, lalu melarikan diri.

Tentu saja ia tidak mau lari ke hilir karena hal itu tentu akan membawa ia ke tempat adik-adiknya dan kalau hal ini terjadi akan berbahayalah bagi adik-adiknya. Maka ia sengaja mengambil jalan yang sebaliknya. Yaitu ke hulu sungai, berlawanan dengan aliran air. Dengan suara gemuruh orang-orang itu melakukan pengejaran sambil mengacung-acungkan senjata masing-masing.

Suling Emas menjadi makin gelisah. Tentu saja ia bisa melawan mereka, dan dengan ilmu silatnya yang tinggi, agaknya tidak akan mudah bagi mereka untuk menangkapnya. Akan tetapi, menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang berilmu tinggi tentu saja ia akan terpaksa untuk mengeluarkan ilmu kepandaiannya dan hal ini tentu akan mengakibatkan banyak korban jatuh. Hanya dengan jalan merobohkan dan membunuh ia akan dapat membuka jalan darah dan membebaskan diri, dan hal ini justru sama sekali tidak dikehendakinya. Kalau ia melakukan pembunuhan, berarti ia menambah dosa­dosa ibunya! Berpikir demikian, Suling Emas mempercepat larinya.

Akan tetapi para pengejarnya adalah tokoh-tokoh pilihan dari pelbagai partai persilatan besar yang tentu saja pandai mempergunakan ilmu lari cepat sehingga mereka ini dapat terus melakukan pengejaran dan tidak tertinggal terlalu jauh oleh Suling Emas. Malah tiba-tiba pendekar itu mendengar bentakan tepat di belakangnya, bentakan yang amat nyaring dari seorang wanita.

“Kau harus menebus nyawa ayah yang terbunuh oleh ibumu! Lihat pedang!”

Suling Emas kaget sekali, cepat ia menghindar dengan langkah nyerong. Sinar pedang yang putih seperti perak meluncur lewat di atas pundaknya dan alangkah kagetnya ketika ia melihat seorang wanita cantik berpakaian serba hijau yang menyerangnya itu. Wanita ini cantik dan berwajah kereng, pakaiannya sederhana dari sutera warna hijau, usianya sekitar tiga puluh tahun. Melihat cara pedang bersinar putih perak itu tadi menusuk, Suling Emas menduga bahwa wanita ini tentulah seorang anak murid pilihan dari seorang ahli pedang dan ahli sinkang yang sakti. Gerakan wanita itu ringan bukan main, seakan-akan pandai terbang, dan gerakan pedangnya pun cepat dan seperti kilat menyambar. Hati Suling Emas terkesiap, cepat ia mencabut kipasnya dan menggunakan kebutan kipas untuk mengebut pedang itu tiap kali sinarnya menyambar.

“Kau siapakah, Nona?”

“Aku Bu-eng-sin-kiam (Pedang Sakti Tanpa Bayangan) Tan Lien dari pantai timur. Mendiang ayahku, Tan Hui, tewas di tangan ibu kandungmu yang jahat setelah ia mengelabui ayah sehingga berhasil mewarisi ginkang dari ayah. Ibumu jahat dan palsu, kau harus menebus dosanya!” bentak wanita itu sambil menyerang lagi.

Suling Emas kaget. Ia ingat akan nama basar Tan Hui, jago pedang di pantai timur. “Ayahmu yang berjuluk Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang)?”

“Betul dan sekarang menanti di akhirat untuk menunggu nyawamu!”

Diam-diam Suling Emas mengeluh. Apa lagi setelah melihat para pengejar yang lain sudah datang dekat. Ia tidak tega merobohkan wanita ini. Nama besar Hui-kiam-eng terkenal sebagai pendekar yang berbudi. Kalau pendekar itu tewas di tangan ibu kandungnya dan sekarang anaknya berusaha membalas, bagaimana ia dapat tega merobohkan Tan Lian ini?

“Ibuku yang berbuat, aku tidak tahu apa-apa,” katanya sambil mengebut pergi pedang yang kembali telah menusuknya dengan cepat. “Agaknya kau haus darah, biarlah kuberi sedikit darahku!” Sambil berkata demikian, ketika pedang lawan membacok, Suling Emas sengaja membiarkan ujung bahunya yang kiri terserempet pedang sehingga baju serta kulit dan sedikit daging bahunya robek. Darahnya mengalir membasahi baju, akan tetapi pada saat itu Tan Lian menjadi lumpuh lengan kanannya karena secara lihai sekali Suling Emas membarengi dengan totokan ujung gagang kipas pada jalan darah di dekat siku.

“Maafkan aku!” setelah berkata demikian, kembali Suling Emas membalikkan tubuh dan lari secepatnya sebelum para pengejarnya datang dekat.

Hanya sebentar saja Tan Lian lumpuh lengannya. Totokan itu agaknya oleh Suling Emas sengaja dilakukan perlahan, hanya untuk membuat gadis itu tak berdaya beberapa menit agar ia dapat melarikan diri. Gadis itu berdiri termenung. Ia maklum bahwa kalau Suling Emas tadi menghendaki, ia sudah roboh binasa, dan maklum pulalah ia bahwa agaknya Suling Emas sengaja tadi membiarkan pundaknya terbacok. Tak terasa lagi mukanya berubah merah dan ia memandang sedikit darah yang berada di mata pedangnya.

“Ayah, cukupkah darah ini...?” bisiknya dan dua butir air mata mengalir turun yang cepat diusapnya.

“Dia sudah terluka!”

“Hayo kejar, dia sudah terluka!”

Demikian teriakan para pengejar dan karena tidak ingin orang lain mengetahui keadaannya, Tan Lian terpaksa ikut pula mengejar, seakan-akan terseret oleh gelombang para pengejar itu yang dipanaskan oleh It-gan Kai-ong, Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin yang juga sudah ikut mengejar.

Para pengejar itu, didahului oleh It-gan Kai-ong, kini mulai melepas senjata gelap dari belakang. Bagaikan hujan berbagai macam jarum, piauw atau pelor baja berhamburan menyambar ke arah Suling Emas. Mendengar suara angin senjata-senjata rahasia ini, terpakta Suling Emas membalikkan tubuh dan memutar suling, juga mengibaskan kipasnya.

Ia maklum bahwa senjata-senjata rahasia yang dilepaskan oleh orang-orang sakti itu tak boleh dipandang ringan. Di antara senjata-senjata gelap itu yang terdiri dari pada senjata-senjata rahasia kecil, yang paling menyolok adalah ‘senjata rahasia’ yang dipergunakan sepasang saudara liar, yaitu Tok-sim Lo-tong dan Toat-beng Koai-jin kerena mereka ini melontarkan batu-batu besar!

Karena maklum akan bahayanya serangan senjata rahasia yang datang bagaikan hujan dan dilepas oleh orang-orang pandai, Suling Emas tidak berani memandang ringan, tidak berani hanya mengandalkan kelincahan untuk mengelak. Terpaksa ia menghadapi senjata-senjata rahasia itu dengan kelitan, tangkisan suling dan kebutan kipasnya. Akan tetapi untuk melakukan hal ini, berarti ia berhenti berlari dan sebentar saja para pengejarnya sudah dapat menyusul dan kembali ia dihujani serangan.

Masih untung baginya, agaknya para pengejar yang kesemuanya menaruh dendam dan ingin berebut menyerangnya itu membuat penyerangan mereka kacau balau, yang satu malah menjadi penghalang gerakan yang lain. Dengan adanya penyerangan yang kacau-balau ini, Suling Emas masih dapat menyelamatkan dirinya dengan menangkis dan berloncatan, kemudian setelah melihat lowongan, ia melarikan diri lagi. Para musuhnya melakukan pengejaran sambil berteriak-teriak.

Tidak terlepas dari pandang mata Suling Emas betapa gadis baju hijau puteri Pendekar Pedang Terbang Hui-kiam-eng Tan Hui yang tadi menyerang dan melukai kulit pundaknya, kini hanya menggerak-gerakkan pedang tanpa ikut menyerangnya, hanya memandang dengan sinar mata ragu-ragu dan bingung. Hal ini membuat hatinya lega, sedikitnya ia telah memuaskan hati seorang musuh! Ia amat mengagumi ginkang gadis itu, karena biar pun ilmu pedang gadis baju hijau itu tidak amat berbahaya baginya, namun dengan ginkang seperti itu, pedang di tangan si gadis menjadi ampuh juga, luar biasa cepat gerakannya.

Heran ia memikirkan apakah yang terjadi antara ibu kandungnya dan Pendekar Pedang Terbang itu? Apa pula yang terjadi antara ibunya dengan sekian banyaknya tokoh kang-ouw? Tadi ia mendengar tuduhan-tuduhan yang amat buruk terhadap ibunya. Mengacau markas besar perkumpulan silat yang besar-besar, mencuri kitab pusaka, mempermainkan pria-pria tampan? Benar-benar ia tidak mengerti dan hal-hal yang didengarnya itu membuat hatinya serasa ditusuk-tusuk pedang beracun. Dengan hati perih Suling Emas terus melarikan diri, diam-diam menyesali nasibnya yang amat buruk.

********************


Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang dikejar-kejar seperti orang buronan oleh dua puluh orang lebih tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti. Mari kita ikuti perjalanan Bu Sin dan Sian Eng yang oleh Suling Emas disuruh melanjutkan perjalanan lebih dulu menurutkan aliran Sungai Kan-kiang. Sepekan sudah mereka melakukan perjalanan dan selama itu mereka makin menjadi gelisah karena Suling Emas belum juga menyusul mereka.

“Sin-ko, mengapa Bu Song Koko belum juga menyusul? Bagaimana kalau dia celaka? Lebih baik kita kembali menengok....”

“Ah, Song-ko seorang sakti, dia akan selamat, Moi-moi!” jawab Bu Sin dengan kening berkerut karena ia sendiri pun merasa gelisah. “Betapa pun juga, dia sudah menyuruh kita berjalan lebih dulu, tak boleh kita tidak mentaati perintahnya.”

“Kalau begitu, kita berhenti saja untuk menunggu kedatangannya!”

“Jangan, Moi-moi, kita harus berjalan terus. Lihat, dari tempat tinggi ini tampak sungai membelok ke kanan, melalui lereng bukit itu. Akan lebih cepat kalau kita memotong jalan melalui puncak bukit di sana. Sebelum malam tiba kurasa kita akan dapat sampai di kaki gunung seberang sana. Kalau sudah sampai di sana, biar nanti aku yang mencari perahu agar tidak melelahkan, sambil menanti Song-twako menyusul.”

Sian Eng tidak berani membantah lagi. Memang dari tempat mereka berdiri, tampak dari tempat tinggi ini sungai Kan-kiang membelok ke kanan dan mengitari puncak bukit. Kalau melakukan perjalanan memotong bukit itu melalui puncaknya, tentu perjalanan menjadi lebih cepat. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepandaian, karena bagi orang biasa, biar pun jarak lebih dekat, akan tetapi mendaki puncak merupakan pekerjaan yang sukar dan memakan waktu lebih lama.

Kakak beradik itu lari mempergunakan ilmu lari cepat, melintas dan mendaki puncak. Matahari telah mulai condong ke arah barat ketika mereka menuruni puncak bukit itu. Tiba-tiba Sian Eng berhenti dan memandang ke bawah, mukanya berubah pucat.

“Sin-ko, itulah tempatnya....”

Bu Sin berhenti, kaget melihat muka adiknya berubah, lalu ia menoleh ke arah yang ditunjuk.

“Tempat apa, Eng-moi?”

“Itu... kuburan tua itu... di sanalah tempat aku diculik si iblis Hek-giam-lo dahulu...! Tak salah lagi, aku ingat betul tempatnya juga berada di lereng seperti itu...”

“Hemmm, kalau begitu tempat itu mungkin menjadi sarang iblis Hek-giam-lo. Eng-moi kita ke sana. Bukankah kakak kita hendak mengejar Hek-giam-lo untuk merampas tongkat pusaka Beng-kauw? Kita harus membantunya!”

“Tapi....”

“Eng-moi, takutkah kau?”

“Iblis itu lihai sekali, Sin-ko.”

“Aku tahu, akan tetapi kita tidak perlu takut. Selain Song-twako berada di belakang kita, juga kita bukanlah orang-orang tiada guna yang tidak mampu bekerja apa-apa. Kita hanya menyelidiki tempat itu, Adikku. Sungguh mengecewakan kalau kita sebagai anak-anak ayah yang berjiwa gagah perkasa, harus menyerahkan segala tugas berbahaya kepada Song-twako. Apakah kita akan tinggal peluk tangan saja sebagai orang-orang yang tidak mempunyai nyali?”

Bangkit semangat Sian Eng. “Sin-ko, aku lupa bahwa kau telah mewarisi ilmu kesaktian dari kakek sakti seperti yang kau ceritakan itu. Dan aku pun bukan seorang gadis lemah. Kau betul, mari kita ke sana, aku masih ingat betul tempatnya!”

Berlarilah kedua orang kakak beradik itu menuruni puncak dan tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah kuburan kuno yang penuh dengan batu-batu bongpai (pusara) berukir. Setelah mencari-cari beberapa lamanya, akhirnya Sian Eng berhenti di depan sebuah bongpai besar yang terhias beberapa buah arca-arca sebesar manusia, arca-arca dari sastrawan-sastrawan terkenal di masa dahulu.

“Di situlah...,” bisiknya sambil menudingkan telunjuknya yang agak gemetar ke arah lantai depan makam, “Di situ terdapat sebuah pintu batu rahasia yang menembus ke terowongan di bawah tanah pekuburan ini.”

“Dahulu ketika kau dibawa masuk, kau tidak melihat orang lain?” tanya Bu Sin. Adiknya menggelengkan kepala.

“Kalau begitu, mari kita selidiki ke sana. Siapa tahu tongkat pusaka itu disembunyikan di tempat ini. Besar kemungkinan si iblis tidak berada di sini, dan mudah-mudahan saja begitu. Kita bisa mengambil tongkatnya kalau benda keramat itu ia sembunyikan di sini. Aku akan girang sekali kalau dapat membantu Song-twako.”

Sian Eng mengangguk setuju dan mereka menghampiri lantai depan makam. Setelah menyelidiki tempat itu, benar saja mereka melihat ada batu lantai yang merupakan pintu penutup, besarnya kurang lebih satu meter persegi. Ketika mereka mencoba untuk mengungkitnya, ternyata batu itu dapat terbuka dan di bawahnya terdapatlah lobang. Tampak pula anak tangga dari batu. Dengan tabah Bu Sin lalu melangkah masuk, diikuti adiknya. Akan tetapi pemuda ini berhenti dan ragu-ragu setelah berjalan beberapa langkah, karena keadaan terowongan itu gelap bukan main.

“Kenapa berhenti?” tanya Sian Eng.

“Gelap sekali, kita harus membuat obor dulu. Mundur, Moi-moi, kita keluar dulu mencari obor.”

Mereka mundur dan keluar kembali. Bu Sin segera mencari bahan kulit pohon yang dapat terbakar lama, membuat obor, menyalakannya dan kembali mereka memasuki terowongan itu. Bu Sin berjalan di depan, obor di tangan, sedangkan Sian Eng berjalan di belakangnya, mereka tidak dapat berjalan cepat. Tanah yang mereka injak agak basah dan licin, juga makin lama terowongan itu makin rendah, hampir kepala Bu Sin tertumbuk batu karang di atas kalau ia tidak membungkuk.

Setelah bergerak melalui beberapa tikungan, Sian Eng berbisik, “Seingatku dahulu terdapat ruangan yang lebar seperti kamar....”

Mereka maju terus, mata dan hidung terasa pedas oleh asap obor. Terowongan di sebelah depan menyempit dan Bu Sin yang berada di depan sudah mulai berjongkok dan merayap.

“Agak terang di sini...,” katanya, gembira karena benar saja, keadaan mulai terang, tidak segelap tadi. “Entah dari mana datangnya sinar terang ini....”

Akan tetapi Sian Eng tidak menjawab dan gadis itu mengeluarkan suara ah-uh-ah-uh tidak jelas. Kiranya Sian Eng tahu dari mana datangnya sinar terang itu karena ia merasa seperti ada sesuatu di belakangnya. Ketika ia menengok... hampir Sian Eng menjerit dan pingsan. Demikian kaget dan ngerinya sehingga jeritannya hanya keluar sebagai suara ah-uh-ah-uh saja, mukanya pucat matanya terbelalak memandang Hek-giam-lo yang sudah berdiri di belakang mereka! Hek-giam-lo si iblis muka tengkorak berpakaian hitam, berdiri dengan tangan kanan memegang obor dan tangan kiri memegang senjatanya yang mengerikan. Kiranya obor di tangannya itulah yang membuat terowongan itu menjadi terang!

“Eng-moi kau kenapa...?” Bu Sin bertanya ketika mendengar suara aneh adiknya. Ia menoleh dan alangkah herannya ketika ia melihat wajah adiknya pucat, tubuhnya gemetar dan matanya terbelalak menengok ke belakang. Ia cepat menoleh dan... dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya ketika ia melihat apa yang menyebabkan adiknya takut.

“Hek-giam-lo...!” katanya dan pemuda ini membesarkan suaranya, mengusir rasa takut. “Kalau kau memang menjadi tuan rumah tempat ini, mengapa menyambut kedatangan kami dari belakang?”

Iblis bertopeng tengkorak itu mendengus. “Hemmm, maju terus atau... hemmm, kurobek-robek badan kalian di sini juga!”

Tiba-tiba Sian Eng menggerakkan tangannya dan dua buah batu karang melayang ke arah muka dan dada iblis itu. Kiranya gadis ini sudah dapat menenangkan hatinya dan dengan nekat lalu meraih dua buah batu di dekatnya, kemudian menyambitkannya ketika iblis itu sedang bicara. Hek-giam-lo miringkan kepalanya sehingga batu pertama lewat di pinggir kepala, ada pun batu kedua ia terima begitu saja dengan dadanya.

“Brakkk!” batu itu pecah berantakan.

“Gadis lancang, sekali kau tertolong oleh Suling Emas, jangan harap kali ini akan dapat lolos lagi. Hemmm, bagus, biar kau menjadi umpan pancingan untuk Suling Emas. Ha-ha-ha!”

Ketika melihat iblis itu dengan langkah lebar menghampiri Sian Eng yang berada di belakangnya, Bu Sin segera berkata dengan nada penuh ejekan, “Hek-giam-lo, seorang tokoh besar seperti engkau ini, sungguh tak tahu malu melayani seorang wanita seperti adikku! Kalau memang kau gagah, mari kita mencari tempat lapang dan kita bertanding secara laki-laki!”

“Heh-heh, orang muda sombong. Majulah terus, di depan ada tempat luas, boleh kau buktikan betapa kesombonganmu tidak ada isinya!”

Memang bukan maksud Bu Sin untuk menyombong. Ia tadi sengaja mengeluarkan ucapan itu untuk mencegah si iblis mengganggu Sian Eng karena ia maklum bahwa kalau hal ini terjadi, sukarlah baginya untuk melindungi adiknya terhadap iblis yang luar biasa lihainya itu. Dengan begini, setidaknya Sian Eng untuk sementara akan bebas dari pada ancaman dan ia boleh mencari waktu panjang untuk memikirkan akal bagaimana harus melawan iblis ini.

“Marilah, Moi-moi, kau bergeraklah di depanku, sini...”

Sian Eng sudah menjadi putus asa menyaksikan kehebatan si ibils yang menerima sambitannya begitu saja dengan dada, membuat batu itu hancur! Dengan muka pucat ia lalu menyelinap ke depan Bu Sin dan kakak beradik yang sudah tak berdaya ini lari seperti dua ekor tikus masuk jebakan, merangkak maju melalui terowongan yang sempit. Di belakang mereka, tanpa mengeluarkan suara lagi, Hek-giam-lo melangkah dengan gerakan perlahan, lalu merangkak di bagian yang sempit itu di belakang Bu Sin.

Benar saja seperti yang dikatakan Hek-giam-lo, tak lama kemudian terowongan sempit itu berubah menjadi lebar dan beberapa puluh meter kemudian tibalah mereka di sebuah ruangan di bawah tanah yang luas. Selain luas, juga di situ tidak gelap. Agaknya sinar matahari, entah bagaimana, dapat menembus ke tempat itu.

Sejenak timbul akal dalam benak Bu Sin untuk menyerang si iblis secara tiba-tiba dengan membalik dan menggunakan obor sebagai senjata, akan tetapi jiwa satria di hatinya mencegahnya. Serangan seperti itu amat rendah, apa lagi kalau dipikir usaha ini belum tentu akan berhasil terhadap lawan yang sakti ini. Dengan tenang ia lalu mendorong adiknya perlahan, menyuruhnya menjauh ke pinggir, kemudian ia membalikkan tubuhnya menghadapi Hek-giam-lo.

“Nah, Hek-giam-lo,” katanya dengan tenang sambil memadamkan obornya, akan tetapi masih memegangi gagang obor, “Terus terang saja, kami berdua telah lancang memasuki tempatmu ini. Sekarang kau telah berada di sini, apa yang hendak kau lakukan terhadap kami?”

“Orang-orang muda lancang! Katakan apa maksud kalian datang ke sini?”

“Adikku ini mengenal tanah kuburan di atas dan menceritakan bahwa dia pernah kau culik dan kau bawa ke sini. Karena itu aku merasa tertarik dan hendak menyaksikan dengan mata sendiri tempat rahasia ini.”

“Hanya itu?” Hek-giam-lo mendesak.

“Tentu saja kalau kami melihat tongkat pusaka Beng-kauw di tempat ini, akan kami curi kembali dan kami bawa dan kembalikan kepada Beng-kauw,” jawab Bu Sin sejujurnya.

“Hemmm, tidak ada orang luar yang masuk ke sini dapat kembali hidup-hidup. Kalian berani masuk ke sini, bahkan berani mencoba untuk merampas tongkat Beng-kauw? Hu-huh, tak tahu diri. Biar pun kalian adik-adik tiri Suling Emas, apa dikira aku takut? Huh-huh, hendak kulihat apakah Suling Emas berani masuk ke sini. Ha-ha-ha, kalian merupakan umpan-umpan yang baik. Biar dia datang, hendak kulihat!”

“Sombong! Aku pun tidak takut padamu, iblis busuk! Tak usah kakak kami, aku pun sanggup menghadapimu!” Sambil berkata demikian, Bu Sin menggerakkan bekas obor dan menusukkan benda ini ke arah kedok tengkorak itu.

“Huh, bocah bosan hidup!” Si iblis menggerakkan obornya pula, menangkis dengan gerakan perlahan.

“Dukkk!” gagang obor di tangan Bu Sin hancur dan terlepas dari tangan pemuda itu, sedangkan gagang obor di tangan Hek-giam-lo yang tadinya menangkis itu terus bergerak mengemplang kepala Bu Sin. Gerakan ini biar pun dilakukan dengan perlahan, namun cepat dan tak terduga sama sekali sehingga tahu-tahu kepala pemuda itu sudah kena pukul.

“Prakkk!” kini gagang obor di tangan Hek-giam-lo itu yang menjadi patah-patah ketika beradu dengan kepala Bu Sin. Hek-giam-lo mengeluarkan suara mendengus marah.

“Bocah sombong, keras juga kepalamu!” katanya sambil melemparkan sisa gagang obor di tangannya.

Tentu saja iblis itu tidak tahu bahwa Bu Sin telah menerima warisan ilmu kesaktian yang dilatihnya di bawah air terjun yang menimpa kepalanya sehingga bagian kepalanya ini boleh dibilang menjadi sumber dari pada tenaga mukjijat yang dimilikinya akibat latihan aneh itu. Hek-giam-lo tidak tahu bahwa ilmu pemuda ini jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan kepandaiannya, tidak tahu bahwa Bu Sin tidak sempat mengelakkan serangan tadi dan mengira bahwa pemuda itu sengaja menerima pukulan untuk mendemonstrasikan kepandaiannya! Karena mengira bahwa pemuda ini yang ia tahu adalah adik tiri Suling Emas memiliki kesaktian seperti Suling Emas, Hek-giam-lo tidak mau main-main lagi. Senjatanya yang menyeramkan itu sudah ia angkat ke atas kepala!

Tiba-tiba terdengar suara “singgg!” dan Sian Eng sudah mencabut pedangnya, berdiri tegak di depan iblis itu dengan pedang di depan dada, sikapnya gagah, sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut. “Iblis sombong, aku pun berani melawan kejahatanmu!”

“Eng-moi, mundur! Dia bukan musuhmu!” kata Bu Sin yang khawatir melihat adiknya menjadi nekat.

“Aku tahu, Koko, akan tetapi dia pun bukan musuhmu. Kalau kita berdua mati melawannya, aku ingin mati lebih dulu dari padamu.”

Diam-diam jantung Bu Sin seperti tertusuk mendengar ini. Ia maklum bahwa adiknya merasa ngeri kalau sampai melihat dia mati terlebih dulu, meninggalkannya seorang diri menghadapi lawan yang demikian sakti dan ganas mengerikan.

“Jangan khawatir, Moi-moi. Kita berdua dapat melawan iblis ini!” katanya dan mencabut pedangnya. “Akan tetapi biarkan aku menghadapinya lebih dulu dan kau keluarlah agar dapat memanggil kalau Song-koko lewat di atas!”

Mendengar ini, Sian Eng menjadi girang dan timbul pula harapannya. Tadinya gadis ini telah putus harapan karena maklum bahwa kakaknya takkan menang menghadapi iblis itu. Satu-satunya orang yang boleh diharapkan dapat menolong mereka hanyalah kakaknya Suling Emas. Dan siapa tahu kalau-kalau Suling Emas sudah benar-benar menyusul dan sampai di atas sana.

“Sin-ko, kau pertahankan dia, biar aku naik menanti Song-koko!” Ia cepat meloncat untuk berlari keluar melalui terowongan itu. Akan tetapi tiba-tiba ia jatuh tergulihg ketika Hek-giam-lo menggerakkan lengan baju ke arahnya sambil mendengus.

“Huh, kau takkan dapat pergi ke mana-mana!”

“Setan, berani kau mengganggu adikku?” Bu Sin sudah memerjang maju dengan pedangnya. Ia mengerahkan tenaga saktinya karena maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang luar biasa lihainya.

“Tranggg!” pedang di tangan Bu Sin terpental dan saking kerasnya Bu Sin memegang pedang, tubuhnya sampai ikut terpental dua meter jauhnya. Telapak tangan kanannya serasa terkupas kulitnya, perih dan panas.

Sian Eng membentak marah sambil menusukkan pedangnya. Akan tetapi sekali tangan kiri Hek-giam-lo bergerak, pedang itu sudah terpukul patah menjadi tiga potong, terpukul oleh ujung lengan baju hitam. Selagi Sian Eng terhuyung-huyung, jari tangan Hek-giam-lo sudah menotoknya, membuat gadis itu roboh terguling tak dapat berkutik lagi.

“Ibils keparat!” bentak lagi Bu Sin yang menerjang dengan nekat.

Ia mengambil keputusan untuk mengadu nyawa sebelum iblis itu dapat mengganggunya atau mengganggu adiknya. Ilmu yang ia warisi dari kakek sakti hanyalah ilmu untuk menghimpun tenaga sakti, akan tetapi ilmu pedangnya sendiri masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan ilmu kepandaian Hek-giam-lo yang terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis Dunia.

Ketika tadi memukul kepala Bu Sin yang mengakibatkan gagang obornya patah, Hek-giam-lo mengira bahwa pemuda itu sakti. Akan tetapi setelah menangkis pedang yang membuat pemuda itu terlempar, Hek-giam-lo tahu bahwa lawannya ini merupakan lawan lunak yang mempunyai tenaga aneh terutama di bagian kepalanya. Hatinya menjadi besar dan ia memandang rendah lagi. Untung bagi Bu Sin dan Sian Eng bahwa si iblis ini tidak menghendaki mereka mati, kalau tidak, sudah pasti keselamatan nyawa mereka tidak akan dapat tertolong lagi.

Menghadapi terjangan Bu Sin kali ini, si iblis tidak menangkis dengan senjatanya yang aneh, melainkan dengan ujung lengan baju kiri seperti ketika ia menghadapi Sian Eng tadi. Ujung lengan baju ini memapaki pedang dan seperti seekor ular hidup ujung lengan itu seketika menggulung dan membelit pedang.

“Aihhhhh!” Bu Sin mengerahkan tenaga sakti sekuatnya dan....

“Brettttt!” putuslah ujung lengan baju hitam itu.

Hek-giam-lo mengeluarkan suara menggereng seperti harimau terluka, senjatanya berkelebat mengancam leher Bu Sin. Pemuda ini cepat mengangkat pedang menangkis.

“Trangggg...!” kali ini Bu Sin tidak kuat mempertahankan lagi, pedangnya terpukul patah dan terlepas dari tangannya!

Melihat sinar hitam berkelebat di depan mukanya, Bu Sin cepat mengerahkan ginkang berdasarkan tenaga sakti untuk mengelak. Bagaikan seekor burung terbang, pemuda ini sudah menyelinap ke kiri menerobos di antara sinar hitam untuk menyelamatkan diri. Walau pun gerakannya itu cepat bukan main, akan tetapi ia masih terlambat.

Memang gerakannya tadi menyelamatkan dadanya dari kehancuran ketika ujung lengan baju Hek-giam-lo menyambar dengan kekuatan yang dahsyat itu, namun ia tidak dapat menghindarkan lagi ujung pangkal lengannya keserempet hawa pukulan dahsyat. Bu Sin merasa betapa lengan kanannya seakan-akan lumpuh dan patah-patah, ia terhuyung-huyung dan pada saat itu Hek-giam-lo sudah menotoknya sehingga Bu Sin roboh dan tak dapat bergerak pula!

“Hu-huh, bocah-bocah sombong! Adik-adik Suling Emas kiranya hanya begini saja! Mana dia Suling Emas? Biar dia datang, kurobohkan sekalian!”

“Hek-giam-lo, kalau kakak kami datang, kau pasti akan dihajar mampus!” teriak Sian Eng marah.

Hek-giam-lo tertawa-tawa, kemudian ia melangkah ke ruangan yang berdampingan dengan ruangan itu. Tak lama ia keluar lagi, tangannya membawa sebuah kitab yang tinggal sepotong.

“Kutinggalkan kalian di sini, kalau tidak ada kakak kalian datang menolong, kalian akan membusuk dan menjadi setan-setan penjaga kuburan di sini. Orang-orang tiada gunanya macam kalian, dibunuh juga percuma. Sampaikan salamku kepada Suling Emas dan kalau memang ia berkepandaian, dia boleh minta kembali tongkat Beng-kauw ke Khitan, ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Hek-giam-lo lenyap dari tempat itu.

Bu Sin dan Sian Eng berusaha keras untuk membebaskan totokan. Akan tetapi sia-sia belaka, malah makin hebat mereka berusaha, makin payah keadaan mereka. Totokan yang dilakukan Hek-giam-lo atas diri mereka itu amat aneh, membuat seluruh urat mereka lumpuh dan tiap kali mereka mengerahkan sinkang, tubuh serasa dibakar dan nyeri-nyeri. Terpaksa mereka akhirnya tinggal menanti nasib saja, rebah tak berkutik di atas tanah yang lembab.

Bagaimanakah Hek-giam-lo bisa berada di terowongan rahasia itu? Memang tadinya iblis ini berada dalam perahu bersama orang-orang Khitan dan di dalam perahu itu Lin Lin menjadi tuan terhormat. Akan tetapi ketika perahu itu lewat di daerah ini, Hek-giam-lo menyuruh anak buahnya berhenti dan mendarat. Karena tempat ini memang menjadi sarangnya...


BERSAMBUNG KE JILID 11