Pesanggrahan Goa Larangan - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Pulau Neraka
Episode Pesanggrahan Goa Larangan
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar pulau Neraka

SATU

Tar!

Suara cambuk menggeletar membelah angkasa. Seorang laki-laki muda terjungkal dengan punggung sobek panjang tersengat lidah cambuk. Sosok tubuh muda yang hanya ditutupi celana sebatas lutut itu berusaha bangkit berdiri. Namun satu sengatan cambuk kembali memaksanya menggelepar sambil merintih lirih.

"Pemalas! Bangun, bangsat!" terdengar suara bentakan keras, disusul dengan geletarnya ujung cambuk yang menyengat kulit punggung laki-laki muda itu.

Tar! Tar!

"Akh...!" laki-laki muda itu memekik tertahan.

Dua kali cambukan membuatnya jatuh lunglai tidak sadarkan diri. Dan kini, sebuah tendangan keras membuat tubuhnya terlempar sejauh dua batang tombak. Kejadian itu disaksikan oleh berpuluh-puluh pasang mata dengan kepala tertunduk dan lutut gemetar. Seorang laki-laki muda berwajah tampan, namun sorot matanya menyiratkan kebengisan, duduk angkuh di atas punggung kuda putih. Bibirnya yang tipis selalu tersenyum menyaksikan kekejaman yang sedang berlangsung di pagi ini.

Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang memegang cambuk dari kulit berduri, menghampiri orang yang kini mengge letak tidak sadarkan diri akibat siksaannya itu. Hanya dengan sebelah tangan, diangkatnya tubuh yang bersimbah darah itu. Bagaikan melempar segumpal kapas saja, tubuh yang tidak berdaya itu dibantingnya ke atas bebatuan.

Trak!

Sebelah kaki algojo yang masih memegang cambuk itu menginjak tubuh pemuda yang baru saja terhempas di bebatuan. Darah langsung muncrat keluar dari mulutnya. Laki-laki muda itu tidak sempat lagi mengeluarkan suara. Nyawanya pun segera melayang. Algojo bertubuh tinggi tegap itu melangkah mundur, lalu membungkuk hormat pada pemuda di atas punggung kuda putih.

"Dengar kalian semua! Jika kalian berani membangkang, dan mencoba melarikan diri, maka akan bernasib sama dengan orang tolol itu!" lantang suara pemuda di atas punggung kuda itu sambil menunjuk tubuh yang tak bernyawa lagi.

Puluhan orang di sekelilingnya hanya bisa menunduk tanpa berani bersuara sedikit pun. Sebentar pemuda itu memandang berkeliling, lalu digebah kudanya pelahan. Kuda putih itu bergerak lambat meninggalkan tempat berbatu dan berbukit itu. Sepuluh pengawalnya yang menyandang senjata mengikuti dari belakang. Sedangkan laki-laki bertubuh tinggi besar yang memegang cambuk itu mengebutkan cambuknya ke udara.

Tar!

"Ayo! Kerja lagi!"

Puluhan orang laki-laki, tua dan muda, segera melakukan pekerjaannya kembali, memecah batu-batuan dan mengangkutnya ke bawah bukit. Mereka bekerja tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sesekali mata mereka melirik mayat pemuda yang masih berlumuran darah. Setiap kali melirik, maka hanya suara tarikan napas panjang yang terdengar. Entah apa yang ada dalam benak mereka saat ini. Yang jelas, dari raut wajah mereka tercermin rasa ke terpaksaan dan ketersiksaan yang amat dalam.
Sesekali suara cambuk menggeletar membe lah angkasa, disusul suara pekikan mengaduh. Sepuluh orang bertubuh tinggi tegap, dengan otot-otot yang bersembulan keluar, selalu memainkan cambuknya. Setiap kali ada yang mengeluh, atau berhenti bekerja, cambuklah yang berbicara. Tak ada seorang pun yang berani melawan. Mereka pasrah, meskipun sinar matanya memancarkan ke bencian dan ke inginan memberontak. Namun semuanya hanya dipendam didalam hati saja.

Agak jauh dari tempat perbukitan batu itu, seorang laki-laki muda mengenakan baju dari sutra halus dan indah berdiri memperhatikan dari ke tinggian yang terlindung oleh lebatnya pohon cemara. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih. Pandangan mata mereka tidak lepas ke arah tempat puluhan orang yang bertelanjang dada tengah bekerja keras menghancurkan batu-batuan dan mengangkutnya menuruni tebing bukit berbatu itu.

"Seharusnya mereka diberi istirahat. Lihatlah, mereka sudah terlalu lelah dengan kerja berat seperti itu," kata laki-laki muda berkulit kuning langsat dengan wajah tampan itu. Suaranya halus dan terdengar pelan. Pandangannya tidak beralih ke bukit batu itu.

"Pekerjaan itu harus tepat pada waktunya, Raden," sahut laki-laki tua di sampingnya.

"Tapi dengan kerja paksa seharian penuh tanpa istirahat, bukankah akan menambah beban saja, Paman? Seperti Paman ketahui, sudah lima orang jadi korban, hanya karena tidak tahan dengan kerja berat itu!" bantah pemuda tampan itu.

"Pekerjaan itu memang berat, Raden. Mungkin itulah sebabnya, mengapa Ayahanda Prabu meminta mereka untuk bekerja terus sepanjang hari."

"Aku tidak pe rcaya kalau Ayahanda yang memerintahkan untuk berbuat kejam. Tidak berperikemanusiaan!" wajah pemuda itu menegang.

Laki-laki tua di sampingnya mendesah panjang. Dialihkan pandangannya ke arah lain. Pemuda tampan berbaju indah itu berbalik, lalu menghampiri kudanya yang tertambat tidak jauh dari bibir tebing yang tinggi itu. Dengan satu gerakan yang manis, dia melompat naik ke atas punggung kuda hitam itu. Sedangkan laki-laki tua berjubah putih segera naik ke punggung kuda miliknya sendiri. Pelahan-lahan mereka menggebah kudanya menuruni tebing bukit yang tampak subur dengan pohon cemara menjulang tinggi bagai hendak menggapai langit.

"Akan kubicarakan hal ini pada Ayahanda," kata pemuda itu.

"Raden...!" laki-laki tua itu terkejut.

“Paman Nampi tidak perlu cemas. Paman tidak akan kulibatkan pada persoalan ini. Mereka telah bertindak sewenang-wenang. Aku yakin, Ayahanda tidak memerintahkan bertindak kejam begitu," kata pemuda itu lagi.

"Raden Sangga Alam..., Gusti Ayahanda Prabu sudah menitahkan pekerjaan itu pada Kakanda Raden Bantar Gading. Hamba rasa, Raden tidak perlu turut campur dalam pekerjaan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan. Ampunkan Hamba, Raden. Hamba hanya mengingatkan saja," kata laki-laki tua yang bernama Nampi itu.

Pemuda tampan yang ternyata bernama Raden Sangga Alam itu hanya diam saja. Kata-kata Paman Nampi tadi memang tidak bisa disalahkan. Ayahnya, Raja Abiyasa yang memerintah Kerajaan Gantar Angin sudah memberinya tugas untuk membangun jalan menuju ke Pesanggrahan Goa Larangan pada kakaknya. Dan Raden Sangga Alam hanya diberikan tugas sebagai pendamping saja. Tapi dia tidak pernah melakukan apa-apa. Kakaknya memang tidak pernah memberi satu pun tugas ke padanya, karena menganggapnya masih anak-anak.

Raden Sangga Alam memang menyadari kalau kakaknya lebih tegar dan tegas. Apalagi tingkat ke pandaiannya cukup tinggi. Meskipun demikian, Raden Sangga Alam tidak pernah kalah jika sedang berlatih ilmu olah kanuragan. Sangat disayangkan kalau Ayahanda Prabu Abiyasa lebih menyukai Raden Bantar Gading. Baik bentuk tubuh, sifat, dan segala tingkah laku kedua kakak beradik putra mahkota itu memang sangat berbeda. Di antara ke duanya selalu saja ada pertentangan. Namun demikian mereka saling mencintai. Perbedaan yang menyolok bukanlah halangan untuk bersama-sama, meskipun Raden Sangga Alam selalu mengalah dalam segala hal.

Dua ekor kuda itu terus berjalan pelan menuruni bukit. Sementara matahari semakin tinggi, dengan sinarnya yang terik menyengat kulit. Di se berang Bukit Cemara, puluhan orang masih bekerja di bawah teriknya sang surya. Pekerjaan yang amat berat, dan dilakukan dengan hati tersiksa.

********************

Waktu terus bergulir sesuai dengan kodratnya. Siang pun berganti malam. Suasana di Bukit Cemara tampak sunyi senyap. Kini tidak lagi terdengar suara hantaman palu memecah batu. Juga tidak lagi terdengar ayunan kapak membelah kayu. Hanya suara jangkrik dan binatang malam yang meramaikan suasana malam ini.

Seekor kuda putih melintas di jalan berbatu menuju sebuah rumah yang tidak begitu besar di Kaki Bukit Cemara. Rumah berdinding kayu dan beratapkan daun-daun rumbia itu tampak sepi. Hanya sebuah pelita kecil yang meneranginya. Penunggang kuda itu seorang pemuda tampan bertubuh tegap, berpakaian sutra halus yang indah. Dihentikan laju kuda putihnya tepat didepan pintu rumah itu.

Pemuda itu melompat turun dengan gerakan ringan dan indah. Ayunan kakinya tegap dan pasti mendekati pintu yang tertutup rapat. Belum lagi sempat mengetuk, pintu itu sudah terbuka. Seorang wanita berwajah cantik dengan tubuh ramping terbungkus baju warna merah muda muncul dari ambang pintu. Bibirnya yang merah merekah, mengulas senyuman manis.

"Silakan masuk, Raden," ucap wanita itu lembut, seraya membuka pintu lebar-lebar.

Pemuda tampan dan gagah itu melangkah masuk. Sementara wanita itu menutup pintu kembali setelah pemuda itu berada di dalam. Sebentar kemudian dibesarkannya nyala pelita yang berada tepat di tengah-tengah ruangan. Tampak suatu ruangan yang tidak begitu besar, namun tertata indah. Lantainya beralaskan permadani berbulu tebal. Pada dindingnya penuh dengan hiasan mewah.

Sebuah dipan yang cukup besar nampak se jajar dengan dinding. Dipan yang beralaskan kain sutra halus berwarna biru muda itu kini diduduki oleh pemuda itu pada tepinya. Tangannya menyangga pada bantal berbentuk bulat pipih. Sedangkan wanita cantik itu hanya mengamati saja. Bibirnya tetap menyunggingkan senyum.

"Ada yang datang ke sini, Mayang?" tanya pemuda itu lembut, namun nada suaranya menaruh kecurigaan.

"Hanya Raden Bantar Gading," sahut wanita yang dipanggil Mayang itu.

Pemuda tampan itu tersenyum. Dia tahu kalau Mayang hanya bercanda. Tentu saja, sebab orang yang disebutkan Mayang tadi adalah dirinya sendiri. Pemuda itu merentangkan tangannnya, dan Mayang menghampiri dengan sikap manja. Dibiarkan saja tangan Raden Bantar Gading memeluk pinggangnya yang ramping.

Bau harum tubuh Mayang membelai hidung pemuda itu. Mayang menurut saja ketika Raden Bantar Gading menekannya duduk di sisinya. Raden Bantar Gading menggamit dagu wanita itu, dan mengecup lembut bibirnya. Mayang hanya mendesah seraya memejamkan matanya .

"Ah, Raden...," desah Mayang seraya mendorong lembut dada pemuda itu.

"Ada apa, Mayang?" tanya Raden Bantar Gading lembut. Jari-jari tangannya membelai-belai pipi putih yang halus itu.

Mayang tidak segera menyahut. Digeser duduknya lebih ketengah, lalu dibaringkan tubuhnya di atas dipan itu. Raden Bantar Gading memperhatikan dengan bola mata berputar nakal. Jari-jari tangannya tidak berhenti bermain-main di dada dan seluruh tubuh wanita itu.

"Wajahmu murung sekali, Mayang. Ada yang menyusahkan hatimu? Katakan saja. Aku selalu siap mendengarkan keluhanmu," lembut suara Raden Bantar Gading.

Kembali Mayang hanya mendesah seraya menggeliatkan tubuhnya. Dia bangkit dan duduk memeluk bantal bersulam benang emas. Wajahnya semakin kelihatan murung. Raden Bantar Gading memperhatikannya dengan penuh tanda tanya.

"Katakan, Mayang. Apa yang membuatmu murung?" desah Raden Bantar Gading

"Pekerjaan itu," sahut Mayang pelan, hampir tidak terdengar.

"Pembuatan jalan, maksudmu?"

"Ya..."

"Kenapa? Ayahanda Prabu menghendaki adanya jalan yang langsung ke Pesanggrahan Goa Larangan. Aku rasa wajar jika rakyat mengorbankan tanahnya untuk jalan itu. Toh nantinya berguna untuk mereka juga ."

"Aku tidak peduli dengan mereka."

"Lantas?"

"Aku mengkhawatirkan keselamatanmu."

Raden Bantar Gading tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Mayang tadi. Tenggorokannya serasa tergelitik. Sama sekali tidak diduga kalau Mayang mengkhawatirkan keselamatannya. Padahal tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pekerjaan itu bukanlah hal yang sulit, dan tidak ada yang berani menentangnya.

"Raden...," Mayang menolakkan tubuh Raden Bantar Gading yang hendak memeluknya.

Pemuda itu tidak peduli. Tetap saja tubuh ramping itu direngkuh ke dalam pelukannya. Dengan liar diciuminya wajah dan leher wanita itu. Mayang mendesah dan merintih lirih. Dia tidak kuasa lagi menolak ketika tubuhnya direbahkan. Mayang menggeliat, berusaha melepas pelukan putra mahkota itu.

"Kenapa? Tidak biasanya kau menolakku, Mayang," suara Raden Bantar Gading agak tersengal.

"Raden, aku...."

Mayang tidak bisa melanjutkan kata-kata, karena bibirnya sudah tersumpal bibir Raden Bantar Gading. Dia hanya bisa mendesah lirih dan menggumam tidak jelas. Kembali wanita itu menggeliat, namun kali ini pelukan Raden Bantar Gading demikian kuat. Mayang merintih lirih tidak mampu lagi menolak. Gairahnya mulai bangkit, dan kini malah membalas ke hangatan itu.

Tak ada lagi yang bicara, tak ada lagi kata-kata terdengar. Hanya desah napas dan rintihan tertahan yang mengusik sepinya malam. Sementara di dinding, dua ekor cicak bercengkrama, tidak peduli dengan dua manusia yang bergumul di ranjang beralas kain sutra biru muda itu. Mereka pun asyik bercumbu. Dan sang dewi malam hanya mampu mengintip malu dari balik celah-celah jendela.

"Raden..., akh...!"

"Ohhh...."

********************

Mayang beringsut bangkit dari pembaringan. Dibenahi bajunya sebentar sambil matanya menatap Raden Bantar Gading yang tergolek dengan dada telanjang. Pandangan matanya sayu, menyimpan sejuta rasa yang sulit untuk diungkapkan. Pelahan-lahan wanita itu beringsut turun dan melangkah menjauh. Ayunan kakinya pelan dan ringan menuju pintu. Sebentar dia menoleh menatap Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin yang masih terlelap dalam buaian mimpi indah.

Mayang membuka pintu pelahan-lahan, lalu melangkah ke luar. Angin malam yang dingin langsung menerpa kulit tubuhnya yang putih halus. Wanita itu segera mengayunkan langkahnya setelah menutup pintu pondok itu kembali. Kakinya terus terayun semakin jauh meninggalkan pondok itu tanpa menoleh sedikit pun kebelakang.

Wanita cantik berbaju merah itu baru berhenti setelah tiba di bibir sebuah tebing yang membentuk lembah besar. Dinginnya angin malam membuat tubuhnya sedikit bergidik menggigil. Tatapan matanya lurus memandang jauh kelembah di bawah tebing itu. Kemudian dia berbalik menghadap hutan yang lebat. Tampak kerlip lampu pelita di kejauhan sana. Cahaya pelita dari pondok yang ditinggalkannya.

"Oh...!" Wanita itu menoleh ketika telinganya menangkap suara langkah kaki mendekatinya.

Dari balik ke lebatan hutan di sebelah kanannya, muncul sesosok tubuh berjubah gelap dengan kepala tertutup kain hitam. Wajahnya tidak terlihat jelas, karena kain hitam itu hampir mengurung seluruh kepalanya. Malam yang amat gelap pun membuat tubuh dan wajahnya hanya terlihat hitam.

"Kapan kau laksanakan tugasmu, Mayang?" tanya orang yang tidak jelas wajahnya itu. Suaranya berat dan besar.

Mayang tidak segera menjawah. Sinar matanya memancarkan ke raguan, dan hanya beberapa kali menarik napas panjang dan berat.

"Kau sudah terlalu jauh. Aku tidak suka jika kau lupa dengan tugas utamamu, Mayang. Ingat! Arwah orang tuamu tidak sabar menunggu. Bahkan saudara-saudaramu yang mungkin sudah mati di ruangan sempit bawah tanah. Mereka semua hanya mengharapkanmu. Kau harus bisa mengenyahkan perasaan hatimu. Ingat kata-kataku, Mayang. Tugasmu lebih penting daripada perasaan hati perempuanmu!" kata orang yang berjubah hitam itu lagi.

“Aku mengerti, tapi...," suara Mayang tersekat di tenggbrokan.

"Kau mencintainya?" dingin suara orang itu.

Mayang tidak menjawab. Dia sendiri tidak tahu, apakah mencintainya atau tidak. Tapi Mayang tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Bagaimana pun dia hanya seorang wanita yang membutuhkan belaian kasih seorang pria. Dia ingin mengenyahkan perasaan itu, tapi terasa sulit.

"Kuharap besok kau harus sudah melakukannya. Aku tidak ingin lagi mendengar alasanmu," kata orang itu tegas.

"Tapi...."

"Sudahlah. Tidak ada waktu lagi untuk berdebat! Enyahkan segala perasaan cintamu! Masih banyak laki-laki yang lebih cocok. Dia tidak pantas, dan harus kau lenyapkan. Kau mengerti, Mayang?!"

"Mengerti, Eyang."

"Nah, laksanakan tugasmu dengan baik."

Mayang hanya diam membisu. Orang yang seluruh tubuhnya terbalut kain hitam longgar itu berbalik, lalu melangkah pergi. Mayang masih tetap berdiri tidak bergeming. Matanya terus memandang kepergian orang itu. Sebentar dia menarik napas panjang, lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Langkahnya gontai menuju ke arah pondok kecil yang hanya diterangi sebuah pelita yang redup cahayanya.

DUA

Mayang terkejut setelah membuka pintu pondoknya. Raden Bantar Gading ternyata sudah berdiri menanti dengan pakaian lengkap. Mayang membuka pintu lebar-lebar, dan melangkah masuk. Dia be rusaha memberi senyumannya yang termanis, kemudian duduk dibangku dekat jendela. Sementara Raden Bantar Gading tetap berdiri tegak memperhatikannya.

"Kenapa kau memandangku begitu?" tanya Mayang jengah.

"Dari mana kau?" Raden Bantar Gading balik bertanya.

"Ke luar," sahut Mayang kalem.

"Untuk apa? Menemui laki-laki lain?" agak kasar suara Raden Bantar Gading.

Mayang tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau Raden Bantar Gading berkata kasar seperti itu padanya. Tapi dengan cepat disembunyikan rasa terkejut itu. Senyumnya yang selalu merekah, terlihat agak getir.

"Siapa laki-laki yang kau temui di atas bukit sana?" tanya Raden Bantar Gading tajam.

"Laki-laki mana?" suara Mayang jadi bergetar. Sungguh tidak diduga kalau Raden Bantar Gading tahu bahwa dirinya barusan menemui seseorang di atas bukit sana. Wajah Mayang berubah merah seketika. Matanya tajam menatap langsung ke bola mata putra mahkota itu.

"Kau tidak perlu berpura-pura lagi, Mayang. Kau pikir aku tidak tahu? Kau ke luar diam-diam, lalu menunggu di atas bukit. Di sana kau bicara dengan seseorang. Siapa dia?" agak keras suara Raden Bantar Gading.

"Dia kakekku," sahut Mayang tidak bisa berpura-pura lagi.

"Kau tidak bohong, Mayang?"

"Siapa yang bohong? Dia benar-benar kakekku!" sentak Mayang gusar.

"Sejak kapan kau punya kakek? Sejak kapan kau punya keluarga?" sinis kata-kata Raden Bantar Gading.

Mayang tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap tajam dengan sinar mata yang menusuk sampai ke sudut hati yang paling dalam. Pelahan-lahan wanita cantik berbaju merah muda itu bangkit berdiri.

"Kata-katamu sungguh menyakitkan, Raden...!" agak bergetar suara Mayang. "Aku menghormatimu, karena kau adalah junjunganku. Kau bebas melakukan apa saja terhadap diriku, tapi jangan kau hina diriku seenaknya!"

"Heh...!'? Raden Bantar Gading tersentak kaget.

"Keluarlah, Raden. Sekarang aku berubah pikiran!" bentak Mayang.

""He ...! Kau mengusirku, Mayang?!"

"Ke luar, kataku!"

"O..., rupanya kau telah memperoleh laki-laki yang lebih dariku. Dasar pelacur! Perempuan liar...!"

"Keluar...!" jerit Mayang.

"Baik Aku akan keluar sekarang juga. Tapi ingat. Kau tidak akan bisa bebas berhubungan dengan laki-laki itu. Nyawamu ada di tanganku, Mayang!" ancam Raden Bantar Gading.

Wajah wanita berbaju merah muda itu semakin merah menegang. Kedua telapak tangannya terkepal kaku. Dadanya menggeram menahan amarah yang meluap-luap. Ancaman dan penghinaan yang terlontar dari mulut Raden Bantar Gading, membuat hatinya terluka. Mayang langsung beranjak ke pintu ketika putra mahkota itu ke luar dari dalam pondok ini. Wanita itu menghambur ke pembaringan, dan menangis dengan tubuh menelungkup.

Suara isak tangisnya tersendat. Bahunya berguncang-guncang menahan tangis agar tidak sempat meledak. Cukup lama juga Mayang menguras air matanya. Pelahan dia bangkit dari pembaringan, kemudian melangkah menuju ke jendela. Pandangannya menerawang jauh ke Puncak Bukit Cemara.

"Tuhan..., kenapa aku diciptakan hanya untuk menanggung derita?" lirih suara Mayang di sela-sela isaknya.

Mendadak wanita itu tersentak ketika tiba-tiba pintu pondoknya terbuka. Di ambang pintu sudah berdiri seorang berbaju serba hitam dengan wajah hampir semuanya tertutup kain hitam. Mayang langsung berbalik dan menghapus air matanya. Orang berpakaian serba hitam itu melangkah masuk

"Eyang...," agak tersedak suara Mayang.

"Kau sungguh mengecewakanku, Mayang," berat dan datar suara orang berbaju serba hitam itu.

"Maafkan aku, Eyang. Aku..., aku tidak bisa melakukannya. Aku mencintainya, Eyang."

"Kau masih juga mencintainya setelah dia menghinamu? Mencampakkanmu seperti sampah? Sungguh rendah martabatmu jika hanya diam menerima penghinaan itu!"

Mayang diam saja

"Sejak semula aku sudah tidak setuju dengan caramu, tapi kau tetap bersikap keras. Nah, sekarang apa yang terjadi? Memalukan!"

Mayang tetap diam.

"Mayang, saat ini aku tidak ingin lagi mendengar segala macam alasanmu. Kau harus membunuh dia. Bunuhlah seluruh keluarga Prabu Abiyasa. Ingat, kau adalah pewaris yang syah Kerajaan Gantar Angin. Kau harus menjadi ratu yang besar. Hilangkan semua perasaan cintamu pada Raden Bantar Gading. Aku tidak akan menemuimu lagi sebelum kau bunuh perampok tahta itu! Kau mengerti, Mayang?!" tegas kata-kata orang
berbaju serba hitam itu.

Mayang menganggukkan kepalanya lemah.

"Sekarang saatnya kau melakukan tugasmu. Sementara aku mengacaukan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan," sambung laki-laki berbaju serba hitam itu lagi.

"Baik, Eyang," hanya itu yang bisa diucapkan Mayang.

Laki-laki berbaju serba hitam itu segera berbalik dan melangkah ke luar dari pondok itu. Sementara Mayang tetap berdiri membelakangi jendela. Matanya kosong memandangi punggung laki-laki bersuara berat itu. Entah apa yang ada di dalam benak Mayang saat ini.

********************

Siang itu matahari begitu terik. Sinarnya panas menyengat seluruh permukaan bumi. Di Bukit Batu yang bersebelahan dengan Bukit Cemara, puluhan orang bekerja memecah batu-batuan, dan mengangkutnya kebawah bukit. Mereka bekerja seperti tidak peduli akan teriknya sinar matahari yang membakar kulit.

Tar!

Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap mengayunkan cambuknya pada seorang tua yang terjatuh saat mengangkat batu yang cukup besar. Ujung cambuk itu menggores kulit orang tua itu. Dia hanya mengaduh tertahan, dan tubuhnya terguling di atas bebatuan. Laki-laki tinggi tegap itu kembali mengayunkan cambuknya ke tubuh laki-laki tua tak berdaya itu.

Tar! Tar!

"Pemalas! Ayo, kerja...!" terdengar bentakan keras menggelegar.

"Oh.... Aku tidak kuat lagi, Gusti...," kata laki-laki tua itu lirih.

Tar! Kembali cambuk itu menyengat tubuh tua kurus itu.

"Akh!" laki-laki itu memekik tertahan. Darah mulai mengucur dari tubuhnya yang sobek terkena ujung cambuk. Laki-laki tua itu berusaha bangkit, tapi sebuah tendangan keras membuatnya terjungkal bergulingan. Kembali tubuh renta itu harus menerima hantaman ujung cambuk.

"Tua bangka tidak ada guna! Huh! Sebaiknya kau mampus!" dengus laki-laki tinggi tegap itu seraya mengangkat cambuknya.

"Tunggu...!"

Satu bentakan keras membuat laki-laki tinggi tegap berwajah bengis itu langsung menoleh. Raut wajahnya tampak terkejut melihat kehadiran seorang pemuda berwajah tampan dengan kulit putih halus bagai wanita, yang kini telah berdiri tidak jauh dari tempat itu. Dia mengenakan baju sutra halus yang indah dengan sulaman benang emas. Disampingnya berdiri se orang laki-laki tua berjubah putih.

"Raden Sangga Alam...," suara laki-laki tegap yang memegang cambuk itu agak tergetar.

Pemuda tampan itu bergegas melangkah menghampiri laki-laki tinggi tegap itu. Langkahnya berhenti tepat setengah depa di depannya. Tatapan matanya tajam. Sedangkan laki-laki yang memegang cambuk itu hanya menundukkan kepala saja.

Plak!

"Akh!" laki-laki tinggi tegap itu memekik tertahan.

Wajahnya memerah dan terasa panas kena gamparan tangan yang halus bagai tangan perempuan itu. Tubuhnya sampai berputar sedikit terdorong kebelakang, namun kembali berdiri tegak dengan kepala masih tertunduk. Sementara pemuda tampan itu melangkah menghampiri laki-laki tua kurus yang masih merintih menggeletak di atas bebatuan.

Pemuda itu berlutut dan memeriksa luka-luka di tubuh laki-laki tua kurus itu, ke mudian bangkit dan membalikkan tubuhnya. Sebentar tatapan matanya tajam pada laki-laki tinggi tegap memegang cambuk, kemudian beralih pada laki-laki tua berjubah putih.

"Paman Nampi, bawa orang tua ini ke pondokku," perintah Raden Sangga Alam.

"Baik, Raden," sahut laki-laki tua berjubah putih yang ternyata adalah Paman Nampi, penasehat pribadi Raden Sangga Alam. Dia juga guru dalam ilmu olah kanuragan, sekaligus sebagai abdi setia Putra Mahkota Raden Sangga Alam.

Paman Nampi bergegas menghampiri laki-laki tua kurus itu. Dibantunya laki-laki tua itu untuk bangkit berdiri dan diajaknya pergi. Tapi laki-laki tua itu berhenti melangkah setelah baru saja berjalan sekitar tiga tindak. Matanya sayu menatap pada Raden Sangga Alam. Bibirnya bergetar, seolah-olah ingin mengucapkan sesuatu, namun tidak ada kata-kata yang terdengar keluar.

"Terima kasih, Raden. Biarkan hamba di sini, hamba masih sanggup bekerja," kata laki laki tua itu, yang akhirnya bersuara juga.

"Kau terluka cukup parah. Aku yakin kau tidak akan sanggup lagi meneruskan pekerjaan. Paman Nampi, bawa dia kepondokku," kata Raden Sangga Alam tegas.

"Raden...." Laki-laki tua itu ingin menolak, tapi Paman Nampi cepat membawanya pergi dari tempat itu. Laki-laki tua kurus itu hanya bisa menurut tanpa membantah lagi.

Sementara Raden Sangga Alam menghampiri laki-laki tegap yang memegang cambuk kulit hitam pekat. Sementara para pekerja lainnya, dan beberapa pengawas yang juga memegang cambuk hanya memperhatikan peristiwa itu. Mereka tidak ada yang berani membuka mulut sedikitpun.

"Sekali lagi aku lihat ada kekejaman di sini, kubunuh kau!" dingin suara Raden Sangga Alam.

"Raden...," laki-laki itu ingin membantah.

"Tidak ada alasan! Aku tidak ingin lagi melihat korban akibat kekejaman kalian semua. Mengerti!" potong Raden Sangga Alam.

Tak ada yang berani membantah. Mereka semua hanya tertunduk. Raden Sangga Alam segera berlalu menghampiri kudanya yang tali kekangnya dipegangi oleh seorang pemuda berpakaian seragam prajurit. Paman Nampi sudah berada di punggung kudanya, sedangkan laki-laki tua kurus itu juga sudah berada di atas punggung kuda bersama seorang prajurit.

Raden Sangga Alam melompat ringan keatas punggung kudanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, putra mahkota yang tampan itu menggebah kudanya meninggalkan Bukit Batu itu. Sementara laki-laki tegap yang memegang cambuk masih berdiri memandangi kepergian Raden Sangga Alam yang didampingi oleh Paman Nampi dan enam orang prajurit pengawal.

"Hey! Kenapa berhenti? Ayo kerja lagi!" terdengar bentakan keras dan lantang.

Puluhan orang bertelanjang dada segera melakukan pekerjaannya. Kembali terdengar suara denting batu dipukul. Saat itu laki-laki tegap yang menyiksa seorang tua yang hanya karena terjatuh, membentak-bentak memberi perintah kepada puluhan orang yang tengah bekerja membelah batu. Seorang lagi yang juga bertubuh tegap dan memegang cambuk menghampiri.

"Kenapa tidak kau laporkan saja pada Raden Bantar Gading, Kakang Braga?" tanya orang yang mendekati itu.

"Biar sajalah, Adik Kinca," jawab laki-laki itu yang ternyata bernama Braga.

"Tapi kalau hal ini terus terjadi, bukan tidak mungkin akan menghambat pekerjaan, Kakang," kata Kinca lagi.

"Hhh! Kalau bukan Raden Sangga Alam, sudah kurobek mulutnya tadi," dengus Braga.

Kinca hanya tersenyum tipis. Bisa dimaklumi perasaan Braga saat ini. Memang sungguh menyakitkan bila ditampar didepan orang banyak. Bagi orang-orang seperti mereka yang sudah terbiasa hidup dalam dunia keras berlumur darah, lebih baik bertarung sampai mati daripada dipermalukan di de pan orang banyak begitu. Tamparan keras yang diterima Braga, sama saja tamparan bagi sepuluh orang yang mengawasi pekerjaan itu.

"Bagaimana pun juga, Raden Bantar Gading harus tahu, Kakang," kata Kinca lagi.

Braga masih diam. Wajahnya sebentar merah, sebentar kemudian putih pucat bagai kapas. Napasnya terdengar memburu agak tersengal. Kinca tahu kalau Braga tengah menahan luapan amarah karena dipermalukan oleh Raden Sangga Alam.

Belum lagi Kinca mengeluarkan suara lagi, tiba-tiba dari arah Bukit Cemara, berkelebat sebuah bayangan hitam dengan cepat. Bayangan hitam itu, tahu-tahu mengamuk menghajar orang-orang yang tengah bekerja membelah dan mengangkut batu. Dalam waktu yang amat singkat, lima orang telah menggeletak dengan dada sobek lebar dan dalam. Darah segera mengucur membasahi bumi.

Belum sempat ada yang menyadari, bayangan hitam itu sudah berkelebat kembali. Kali ini sasarannya adalah delapan orang memegang cambuk yang berdiri berkelompok. Gerakan bayangan hitam itu sangat luar biasa cepatnya, sehingga dua orang yang memegang cambuk langsung ambruk dengan leher hampir terpenggal. Saat itu juga, enam orang bertubuh tinggi tegap serentak berlompatan mengepung. Sedangkan Braga dan Kinca masih tetap berdiri memperhatikan.

Trang! Tring!

"Aaakh...!"

Jerit dan pekik kematian terdengar saling susul. Bayangan hitam itu terus berkelebatan dengan cepat, sehingga sukar untuk diikuti dengan mata biasa. Orang-orang yang bertubuh tinggi tegap itu pun tampak ke repotan. Mereka harus membanting diri atau mencelat kebelakang jika terlihat bayangan hitam itu berkelebat menuju ke arahnya.

"Setan! Siapa dia...?" geram Braga melihat dua orang temannya menggeletak tak bernyawa. Tanpa berkata apa-apa lagi, Braga segera melompat menerjang bayangan hitam itu.

Braga yang memiliki ilmu olah kanuragan lumayan, kelihatannya mampu melayani orang berbaju serba hitam itu. Laki-laki tinggi tegap itu berusaha memperhatikan bayangan yang berkelebat. Tapi sangat sulit, karena seluruh tubuh orang itu terselimut kain hitam. Sedangkan, para algojo mengamuk bagaikan banteng yang terlukai.

Rupanya perlawanan Braga membuat bayangan hitam itu agak kerepotan. Namun dengan satu gerakan yang ringan dan indah, dia melenting ke udara dan langsung mencelat menuju ke Bukit Cemara. Dalam sekejap mata saja, bayangan hitam itu sudah lenyap ditelan rimbunnya pohon cemara.

"Siapa dia? Apa maksudnya mengacau di sini?" gumam Braga seperti bertanya untuk dirinya sendiri.

********************

Brak!

Meja ukir dari kayu jati tebal itu sampai rengat dihantam pukulan keras Raden Bantar Gading. Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu tampak merah wajahnya. Matanya berkilat tajam menatap Braga dan Kinca yang berdiri dengan kepala tertunduk di depannya. Sesaat kesunyian menyelimuti ruangan pondok yang tidak begitu besar itu.

"Goblok! Percuma saja kalian kubayar mahal, kalau hanya menghadapi satu orang saja sudah tidak becus!" maki Raden Bantar Gading.

"Tingkat kepandaian orang itu sangat tinggi, Raden," kata Braga coba membela diri.

"Empat orang teman kami tewas dalam waktu singkat, Raden," sambung Kinca.

"Kenapa kalian tidak ikut mampus sekalian?!" geram Raden Bantar Gading.

Braga dan Kinca terdiam. Mereka hanya saling pandang. Mereka memang orang-orang bayaran yang bekerja dengan mempertaruhkan segalanya, termasuk nyawa mereka sendiri. Caci-maki orang yang membayar mereka, sudah bukan hal baru lagi. Semua itu sudah terbiasa, dan dianggap sebagai salah satu resiko menjadi orang bayaran.

"Braga! Kau tahu, siapa orang yang mengacau di Bukit Batu itu?" tanya Raden Bantar Gading tajam.

"Tidak, Raden. Orang itu memakai baju serba hitam. Mukanya pun tertutup kain hitam juga. Sulit untuk mengenalinya, Raden," sahut Braga seraya mengangkat kepalanya sedikit.

"Tapi kau bisa mengenali suaranya, bukan?" desak Raden Bantar Gading.

"Orang itu tidak berkata apa-apa, Raden. Datang langsung mengamuk dan membunuh para pekerja. Kami berusaha menghalau, tapi empat orang teman kami malah tewas," sahut Braga lagi.

"Edan!" dengus Raden Bantar Gading menggeram. Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu bangkit berdiri dari kursinya yang juga terbuat dari kayu jati ukiran. Sinar matanya tetap tajam menusuk. Raut wajahnya menegang, dengan kening sedikit berkerut. Raden Bantar Gading melangkah pelan-pelan menuju kejendela yang cukup besar dan terbuka lebar.

Dan baru saja sampai di muka jendela, mendadak sebuah anak panah melesat bagai kilat ke arahnya. Raden Bantar Gading terperangah sejenak, lalu dengan cepat diegoskan tubuhnya ke samping. Anak panah itu melesat sedikit di depan dadanya, langsung menancap pada tiang penyangga di tengah-tengah ruangan itu. Braga dan Kinca terkejut. Mereka segera melompat ke luar lewat pintu yang juga terbuka lebar.

Raden Bantar Gading meneliti ke adaan di luar sebentar, lalu matanya beralih me natap anak panah yang tertancap di riang penyangga pondok ini. Bergegas dihampiri, dan dicabutnya anak panah itu. Selembar daun lontar terikat di batang anak panah itu. Raden Bantar Gading melepas ikatan daun lontar itu dan membukanya. Kelopak mata Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu membeliak lebar begitu melihat daun lontar itu berisi sebaris kalimat...

'Hentikan pekerjaan kotormu, atau....'

"Setan!" geram Raden Bantar Gading seraya meremas lumat daun lontar berisi ancaman itu.

Pada saat itu Braga dan Kinca masuk ke dalam pondok. Mereka agak heran melihat air muka putra mahkota itu ke lihatan marah luar biasa. Perhatian mereka tertuju pada daun lontar yang hampir lumat di dalam genggaman Raden Bantar Gading.

"Raden...," agak bergetar suara Braga.

"Kalian kembali ke Bukit Batu. Aku akan cari orang lain untuk membantu kalian!" kata Raden Bantar Gading memerintah.

Braga dan Kinca segera membungkuk memberi hormat, lalu bergegas melangkah ke luar dari pondok itu. Sementara Raden Bantar Gading te ap berada di dalam pondok. Dia berjalan mondar-mandir dengan wajah memerah tegang dan ke dua tangannya terkepal erat. Daun lontar di dalam kepalan tangannya sudah hancur bagai tepung.

Begitu terdengar derap kaki kuda dipacu, Raden Bantar Gading bergegas melangkah ke luar. Tampak debu mengepul di kejauhan. Sebentar putra mahkota itu memandangi dua orang bayarannya yang memacu kuda dengan cepat menuju ke Bukit Batu. Raden Bantar Gading segera menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon kenanga. Dengan satu gerakan yang ringan dan indah, tubuhnya melenting dan hinggap di atas punggung kuda putihnya.

"Yeah! Hiya...!"

Raden Bantar Gading langsung menggebah kudanya, agar berlari cepat. Bagaikan sebatang anak panah lepas dari busurnya, kuda putih itu melesat meninggalkan pondok kecil tempat bernaung sementara Raden Bantar Gading. Debu mengepul ke udara terhantam derap kaki kuda. Raden Bantar Gading terus memacu kudanya dengan cepat menuju kearah Utara.

********************

Sementara itu di Bukit Batu, puluhan orang tengah mengerang meregang nyawa. Darah berceceran di segala tempat. Bahkan tidak sedikit yang menggelimpang tidak bernyawa lagi. Tak ada seorang pun yang masih bisa berdiri tegak. Pemandangan di Bukit Batu itu sungguh mengenaskan. Mayat tergeletak di mana-mana. Erangan dan rintihan terdengar lirih tersapu angin. Bau anyir darah menyeruak lubang hidung.

Braga dan Kinca yang baru tiba di bukit itu, langsung melompat turun dari kudanya. Mereka berlarian dengan mata membeliak lebar hampir tidak percaya. Kini, tak ada seorang pun yang masih hidup. Suara erangan yang semula masih terdengar lirih, lenyap bersamaan dengan datangnya dua orang bayaran Raden Bantar Gading itu. Braga dan Kinca memeriksa satu persatu mayat yang bergelimpangan.


"Gila! Siapa yang melakukan ini...?!" geram Braga seperti bertanya kepada dirinya sendiri.

"Semua tewas, Kakang," lapor Kinca.

Braga tidak menyahuti. Matanya memandang ke sekeliling. Empat orang temannya juga sudah menggeletak dengan keadaan tubuh mengenaskan. Kini di Bukit Batu tinggal mereka berdua saja yang masih hidup. Seperti dikomando saja, ke dua orang itu bergerak menjauhi tempat yang penuh mayat bergelimpangan itu.

"Sebaiknya kita laporkan saja hal ini pada Raden Bantar Gading, Kakang," kata Kinca mengusulkan.

Braga tidak segera menyahut. Dia tetap melangkah menghampiri kudanya. Kinca mengikuti. Mereka segera naik ke punggung kudanya masing-masing. Sesaat mereka memandang berkeliling, lalu menjalankan kudanya pelahan-lahan menuruni Lereng Bukit Batu itu.

"Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan pekerjaan ini, Kinca," ujar Braga setelah lama terdiam.

"Maksud Kakang?" tanya Kinca tidak mengerti.

"Bukan sekali ini kita dibayar untuk mengawasi pekerjaan pembuatan jalan. Bahkan yang lebih berat dari ini pun, sering kita lakukan. Tapi aku belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya," jelas Braga setengah bergumam.

"Kau menduga ada maksud tersembunyi di balik pembuatan jalan ini, Kakang?" tebak Kinca.

"Benar, dan kita tidak mengetahuinya," sahut Braga.

Kinca diam merenung. Sementara kuda mereka terus berjalan pelahan-lahan semakin jauh meninggalkan Bukit Batu. Angin yang berhembus masih terasa membawa bau anyir darah dari bukit itu. Sementara matahari yang bersinar terik, tetap memanggang permukaan bumi. Sepertinya tidak peduli dengan kejadian yang berlangsung di bawah siraman cahayanya.

"Lantas, apa yang harus kita lakukan?" tanya Kinca lagi.

"Seorang raja besar seperti Prabu Abiyasa, tidak mungkin melakukan pekerjaan besar tanpa menghasilkan sesuatu yang lebih besar lagi. Lebih-lebih dengan resiko mengorbankan banyak nyawa. Uh! Bodoh sekali aku...! Kenapa tidak terpikirkan sejak semula...?" Braga menepuk keningnya sendiri.

Kinca memandangi dengan kening berkerut. Dia memang memiliki ilmu olah kanuragan yang lumayan, tapi otaknya tidak pernah bisa diajak berpikir jauh dan mendalam. Semua yang dilakukan selalu tergantung dari pemikiran kakaknya, Braga.

"Kau tahu letak Pesanggrahan Goa Larangan, Kinca?" tanya Braga.

"Kalau tidak salah, letaknya di Pantai Utara dekat Desa Muara Pening," jawab Kinca ragu-ragu.

"Kau yakin?"

"Entahlah. Aku juga hanya dengar-dengar saja. Aku sendiri belum pernah kesana," sahut Kinca.

"Kita cari Pesanggrahan Goa Larangan itu, Kinca," kata Braga.

"Lalu, bagaimana dengan mereka yang tewas, Kakang?" tanya Kinca.

"Biarkan saja, nanti juga ada prajurit yang tahu," sahut Braga.

Kinca hanya mengangkat pundaknya saja. Dia percaya kalau kakaknya ini pasti sudah memiliki suatu rencana yang akan menguntungkan, daripada tetap mengikuti Raden Bantar Gading. Kedua laki-laki bayaran itu segera memacu kudanya memutari Lereng Bukit Batu ini. Mereka tidak peduli lagi dengan pekerjaan yang dibebankan padanya. Apalagi terhadap mayat-mayat yang bergelimpangan di Puncak Bukit Batu.

********************

TIGA

Kabar tentang pembantaian yang terjadi di Bukit Batu telah terdengar di telinga Prabu Abiyasa. Tentu saja hal ini meresahkan seluruh rakyat di Kerajaan Gantar Angin. Mereka yang terbantai adalah sebagian dari rakyat Gantar Angin. Sedangkan Raden Bantar Gading segera mengambil tindakan dengan mengerahkan seratus prajurit untuk menjaga di sekitar Bukit Batu. Dia juga mengambil lebih banyak lagi rakyatnya untuk meneruskan pekerjaan pembuatan jalan dari Kerajaan Gantar Angin ke Pesanggrahan Goa Larangan.

Sementara itu, Raden Sangga Alam yang sejak semula tidak menyetujui adanya pembuatan jalan itu, hanya bisa menerka-nerka arti semua peristiwa pembantaian di Bukit Batu. Dia berusaha mendekati ayahnya untuk menghentikan pekerjaan itu. Rupanya, kata-kata Raden Bantar Gading sudah merasuk begitu dalam di hati Prabu Abiyasa. Ternyata usaha Raden Sangga Alam tidak mungkin berhasil dengan cara pendekatan terhadap ayahnya.

"Tampaknya Ayahanda Prabu sudah tidak berkenan lagi mendengar kata-kataku, Paman," kata Raden Sangga Alam saat berdua saja dengan Paman Nampi di taman istana .

"Tapi, bagaimanapun juga, Raden harus bisa mencegah pembuatan jalan itu," kata Paman Nampi.

"Apa lagi yang harus kulakukan, Paman? Pembantaian di Bukit Baru sudah menandakan kalau ada orang lain yang juga tidak senang dengan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan itu. Dan sepertinya, Kanda Bantar Gading mencurigaiku. Ditambah kini, Ayahanda Prabu sudah tidak percaya lagi padaku," keluh Raden Sangga Alam.

"Jangan putus asa dulu, Raden. Masih banyak cara yang bisa ditempuh," kata Paman Nampi memberi semangat.

"Cara apa lagi, Paman? Semua cara yang kutempuh tidak pernah mengorbankan rakyat. Tapi sekarang...," nada suara Raden Sangga Alam terdengar putus asa.

"Yah..., aku sendiri juga menyesalkan ke jadian di Bukit Batu itu, Raden," desah Paman Nampi pelan.

"Siapa orang itu, Paman?" tanya Raden Sangga Alam.

"Menurut keterangan yang kudengar, dia muncul dengan menggunakan baju serba hitam. Orang itu juga telah memberi peringatan sebelumnya," sahut Paman Nampi.

"Dia pasti memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Orang-orang bayaran saja tidak mampu menandinginya," pelan suara Raden Sangga Alam

Paman Nampi diam saja.

"Paman, apakah tidak sebaiknya kita cari tahu tentang orang itu?" usul Raden Sangga Alam.

"Untuk apa?" tanya Paman Nampi agak terkejut.

"Aku yakin, tujuannya sama dengan tujuan kita. Tapi caranya yang berbeda. Kita bisa bergabung dengannya. sehingga tidak menimbulkan korban lebih banyak lagi, Paman," jelas Raden Sangga Alam mengemukakan pikirannya yang mendadak timbul

"Tidak mudah, Raden. Sama saja mencari jarum dipadang luas," kata Paman Nampi.

"Aku yakin bisa menemukannya. Toh kita tidak bermaksud memusuhinya. Bahkan akan mengajaknya bergabung dengan cara yang lebih halus, tanpa mengorbankan rakyat."

Paman Nampi kembali terdiam. Nampaknya usul Raden Sangga Alam sedang dipikirkannya. Namun dari sinar mata laki-laki tua berjubah putih itu seakan-akan menyiratkan ketidakyakinan. Atau mungkin juga tidak setuju akan usul putra ke dua Prabu Abiyasa. Sedangkan Raden Sangga Alam menunggu jawabannya dengan penuh harapan.

"Bagaimana caranya mencari orang itu, Raden?" tanya Paman Nampi pelan. Sepertinya dia tidak yakin dengan pertanyaannya lagi.

"Itulah yang sedang kupikirkan, Paman," sahut Raden Sangga Alam. Pelan suaranya.

"Bagaimana kalau kita cari di sekitar Bukit Cemara?" usul Paman Nampi.

"Tidak mungkin, Paman. Ayahanda tidak mengijinkan aku ke Bukit Cemara lagi. Bahkan Kanda Bantar Gading tidak ingin pekerjaannya dicampuri lagi," keluh Raden Sangga Alam.

"Raden bisa beralasan," kata Paman Nampi.

"Alasan apa?"

"Berburu."

"Pasti Ayahanda memerintahkan satu pasukan untuk mengawalku."

"Tidak jadi masalah. Raden bisa pilih pasukanku. Mereka semua setia padaku, Raden."

"Ah, benar, Paman! Ayahanda Prabu pasti setuju. Prajurit-prajurit Paman sangat terlatih dan selalu terpilih jadi prajurit utama kerajaan," seru Raden Sangga Alam gembira.

"Kapan Raden akan menemui Ayahanda Prabu?"

"Hari ini juga, Paman."

"Jangan! Sebaiknya tiga atau empat hari lagi, agar tidak terlalu menyolok. Lagi pula perhatian Ayahanda Prabu sedang terpusat pada pembuatan jalan kepesanggrahan."

"Baiklah, Paman," sahut Raden Sangga Alam menyerah.

"Untuk sementara, sebaiknya Raden tidak ke luar istana. Biar Paman saja yang mengamati setiap perkembangan di Bukit Batu," kata Paman Nampi lagi.

"Itu juga boleh, Paman."

"Bagus, Raden," Paman Nampi tersenyum lebar.

********************

Tiga hari kemudian, Raden Sangga Alam didampingi Paman Nampi dan tiga puluh orang prajurit bergerak meninggalkan Istana Kerajaan Gantar Angin. Merka semua menunggang kuda tegap dan gagah. Tiga ekor kuda mengangkut beban. Peralatan yang dibawa jelas peralatan berburu. Mereka menuju ke arah hutan yang berlawanan arah dengan Bukit Cemara,

Raden Sangga Alam berkuda paling depan, didampingi Paman Nampi. Sedangkan tiga puluh orang prajurit mengikuti dari belakang. Mereka adalah para prajurit pilihan dan akan melakukan apa saja asal mendapat perintah langsung dari Paman Nampi. Walaupun raja mereka sendiri yang memerintah, tapi jika tidak ada persetujuan dari Paman Nampi, mereka tidak akan melakukannya.

Keistimewaan itulah yang dimiliki para prajurit yang dipimpin Paman Nampi, selaku penasehat khusus sekaligus guru Raden Sangga Alam. Dia juga menjabat sebagai salah satu panglima perang Kerajaan Gantar Angin. Memang, setiap panglima perang memiliki pasukan sendiri-sendiri. Dan tentu saja kemampuannya juga berbeda. Tergantung tingginya tingkat ke pandaian panglima itu sendiri.

"Kenapa tidak langsung ke Bukit Cemara saja, Paman?" tanya Raden Sangga Alam.

"Kita menuju Hutan Danaraja dulu, Raden. Dari sana kita berkemah, lalu memutar arah menuju Bukit Cemara. Kita tinggalkan tenda di Hutan Danaraja dengan beberapa prajurit. Sedangkan prajurit lainnya berburu. Hanya kita berdua yang ke Bukit Cemara," jelas Paman Nampi sambil tangannya menunjuk kedepan.

Raden Sangga Alam kembali diam. Jarak dari Hutan Danaraja ke Bukit Cemara, memang tidak terlalu jauh. Jadi tidak ada salahnya jika berkemah di Hutan Danaraja dengan meninggalkan beberapa prajurit untuk menjaga. Raden Sangga Alam tahu betul akan maksud dan tujuan Paman Nampi.

Mereka terus memacu kuda tanpa berbicara lagi. Hingga tengah hari, baru mereka tiba di Hutan Danaraja. Sebuah hutan yang sangat luas bagai tak bertepi. Seluruh keluarga Kerajaan Gantar Angin memang selalu berburu di hutan itu. Hutan yang menyediakan begitu banyak hewan buruan.

Paman Nampi memilih tempat di tepi sungai untuk mendirikan tenda-tenda. Para prajurit segera mendirikan tenda setelah mendapat perintah Paman Nampi. Sebuah tenda yang cukup besar terpancang dalam waktu sebentar saja, dan dikelilingi beberapa tenda kecil-kecil. Raden Sangga Alam masuk ke dalam tenda yang paling besar itu. Di dalamnya dua orang prajurit yang tengah merapikan, segeramembungkukkan badan, dan segera bergegas ke luar setelah pekerjaannya selesai.

Saat itu Paman Nampi tengah memberikan beberapa perintah pada para prajurit. Laki-laki tua berjubah putih itu baru melangkah masuk ke tenda tempat beristirahat Raden Sangga Alam, setelah selesai memberi beberapa perintah, dan membagi tugas kepada para prajuritnya. Paman Nampi membungkuk memberi hormat, ke mudian duduk di atas permadani yang digelar didalam tenda besar itu. Raden Sangga Alam duduk di atas peraduan yang beralaskan permadani dan bantal-bantal bulat pipih terbungkus kain sutra halus.

"Raden sebaiknya istirahat dulu. Biar aku yang mencari jalan aman ke Bukit Cemara, sekaligus memeriksa keadaan di sana," kata Paman Nampi.

"Baiklah, Paman. Aku pun rasanya ingin sedikit berburu dulu," jawab Raden Sangga Alam.

"Ah, itu lebih baik Raden. Berikan kesan kalau kita memang benar-benar berburu," kata Paman Nampi tersenyum lebar.

"Kapan Paman berangkat?" tanya Raden Sangga Alam.

"Sekarang juga, Raden. Mumpung belum sore..."

"Silakan, Paman."

Paman Nampi bangkit berdiri dan membungkuk hormat. Kemudian dia keluar dari tenda besar itu. Tidak lama kemudian, terdengar suara derap langkah kaki kuda meninggalkan tempat perkemahan itu. Raden Sangga Alam juga segera bangkit berdiri, lalu melangkah ke luar. Dua orang prajurit yang menjaga di depan segera membungkukkan badan memberi hormat.

"Siapkan peralatan, aku ingin berburu sekarang," kata Raden Sangga Alam.

Dua prajurit segera melaksanakan perintah junjungannya. Raden Sangga Alam hanya membawa sepuluh orang prajurit saja, sedangkan sisanya menunggu di perkemahan. Saat itu matahari memang masih berada di atas kepala. Sinarnya yang terik tidak terasa menyengat kulit, karena Hutan Danaraja ini sangat lebat.

Mereka semua tidak menyadari kalau ada sepasang mata mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi. Sepasang mata itu sudah ada sejak rombongan Raden Sangga Alam ke luar dari Istana Kerajaan Gantar Angin. Tapi, pemilik sepasang mata itu juga tidak menyadari kalau kelakuannya ada yang mengetahui. Dia baru sadar saat sebuah bayangan putih berkelebat cepat hampir menyambar tubuhnya.

"Uts !"

Orang yang mengintai Raden Sangga Alam itu membanting tubuhnya kebelakang. Dua kali dia bergulingan sebelum bangkit dengan cepat. Sedangkan bayangan putih yang hampir menyambar tubuhnya, sudah berdiri tegak sekitar dua batang tombak jauhnya di depan. Ternyata bayangan putih itu tidak lain dari Paman Nampi.

"Patih Mara Kobra! Apa yang kau lakukan di sini?!" bentak Paman Nampi.

"Kau tidak perlu tahu, Panglima Nampi!" sahut laki-laki bertubuh tegap. Usianya sekitar empat puluh tahun.
"Hm..., lagakmu sangat mencurigakan. Aku yakin kau bermaksud buruk memata-matai Raden Sangga Alam," gumam Paman Nampi sinis.

"Jangan berlagak suci, Panglima Nampi! Kau pun tidak bermaksud baik membawa Raden Sangga Alam ke Hutan Danaraja ini," balas Patih Mara Kobra.

"Edan! Sejak kapan kau berani menentangku, heh?!" geram Paman Nampi.

"Sejak kau punya niat buruk pada Gusti Prabu Abiyasa!"

"Setan belang!" merah padam wajah Paman Nampi..

Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki tua berjubah putih itu segera melancarkan serangan cepat dan dahsyat. Patih Mara Kobra melompat kesamping, menghindari serangan dahsyat dan cepat itu. Bahkan dengan satu gerakan manis, tangannya menyodok ke arah iga Paman Nampi. Namun dengan cepat tangan panglima kerajaan itu mengibas, memapak sodokan itu.

Trak!

Dua tangan beradu keras, membuat Patih Mara Kobra melompat menjauh dua tindak. Bibirnya meringis menahan nyeri pada pergelangan tangannya. Dia sadar kalau tenaga dalamnya kalah jauh bila dibandingkan dengan panglima kepercayaan Raden Sangga Alam itu. Tapi rupanya Patih Mara Kobra tidak mau peduli. Kembali dia melompat memberikan serangan balasan yang tak kalah cepat dan dahsyatnya. Namun serangan-serangan Patih Mara Kobra dapat dielakkan dengan mudah oleh Paman Nampi. Bahkan beberapa kali Patih Mara Kobra terperangah, karena serangan balik Paman Nampi demikian cepat dan tidak terduga gerakannya.

Pertempuran itu rupanya terde ngar oleh para prajurit yang menjaga perkemahan. Mereka berlari menghampiri. Tapi begitu mengetahui siapa yang tengah bertarung, tidak ada yang berani mendekat. Sementara pertempuran antara dua pembesar Kerajaan Gantar Angin itu terus berlangsung sengit. Patih Mara Kobra tidak tanggung-tanggung lagi. Dia sadar kalau lawan yang dihadapi memiliki kepandaian yang berada diatasnya. Patih Mara Kobra segera mengerahkan jurus-jurus andalannya.

"Hiya...! Hiya...!"

Sulit dipercaya! Pada saat Patih Mara Kobra melancarkan dua pukulan geledek sekaligus, Paman Nampi menerimanya hanya dengan mendorong kedua tangan kedepan. Pada saat itu, dua pasang telapak tangan saling berbenturan dengan keras sehingga menimbulkan suara ledakan dahsyat memekakkan telinga. Tampak Patih Mara Kobra terpental sejauh tiga batang tombak ke belakang. Sedangkan Paman Nampi hanya bergeser sedikit.

"Hugh!" Patih Mara Kobra berusaha bangkit, namun darah kental bersemburan ke luar dari mulutnya. Patih Mara Kobra menatap tajam pada Paman Nampi yang sudah melangkah menghampirinya. Dalam keadaan tubuh terluka dalam akibat adu tenaga dalam, Patih Mara Kobra tidak berdaya lagi. Dipejamkan matanya ketika tangan Paman Nampi te rangkat dengan mengerahkan jurus pukulan maut andalannya.

"Hiya ...!"

"Aaakh...!" Satu teriakan melengking tinggi terdengar memecah ke sunyian Hutan Danaraja ini. Patih Mara Kobra menggelepar sesaat. Dadanya remuk kena pukulan bertenaga dalam tinggi. Hanya sesaat dia mampu bergerak, kemudian diam tidak berkutik lagi. Paman Nampi berbalik memandang para prajuritnya yang berdiri berjajar agak jauh.

"Buang mayatnya ke sungai!" perintah Paman Nampi.

Dua orang prajurit segera menghampiri, dan mengangkat tubuh Patih Mara Kobra yang sudah tidak bernyawa lagi. Mereka menggotongnya menuju sungai yang tidak jauh dari tempat itu. Setelah melemparkan tubuh Patih Mara Kobra, kedua prajurit itu kembali bergabung dengan teman-temannya. Paman Nampi menghampiri dua puluh orang prajuritnya yang setia.

"Ingat! Jangan ada yang menceritakan kejadian ini pada siapa pun, terutama pada Raden Sangga Alam," pesan Paman Nampi.

Kedua puluh prajurit itu mengangguk.

"Kalian kembali bertugas. Anggap saja kejadian tadi tidak pernah ada" kata Paman Nampi lagi.

Tanpa ada yang membantah, ke dua puluh prajurit itu segera berlalu. Sementara Paman Nampi langsung melesat pergi. Gerakannya sangat ringan dan cepat bagaikan kilat. Tidak lama kemudian terdengar suara ringkik kuda, disusul berderapnya langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Tampak debu mengepul dari kerimbunan pepohonan Hutan Danaraja ini.

Suasana pun kembali sunyi senyap, bagai tidak pernah terjadi pertempuran. Dua puluh orang prajurit setia Paman Nampi kembali melakukan tugasnya masing-masing. Tak ada seorang pun yang membicarakan pertarungan itu. Mereka menjalankan tugas dengan mulut terkunci rapat

Paman Nampi memacu cepat kudanya menuju Bukit Cemara yang berada di sebelah Utara Hutan Danaraja. Meskipun hutan yang dilalui cukup lebat, tapi dia tidak juga memperlambat lari kudanya. Dengan lincah dan sangat cekatan, laki-laki tua berjubah putih itu mengendalikan kudanya.

Saat senja baru saja merayap turun, kuda yang ditunggangi Paman Nampi berhenti di Puncak Bukit Cemara. Sejenak laki-laki tua itu memandang kebukit seberang yang hanya terdiri dari batu-batuan bertumpuk itu. Tidak kurang dari seratus orang tengah bekerja memecah dan mengangkat batu dari bukit itu. Sedangkan sekitar dua ratus prajurit berjaga-jaga disekitarnya.

"Hup!"

Paman Nampi melompat dari punggung kudanya ketika melihat seorang Panglima Perang Kerajaan Gantar Angin berada diantara para prajurit di Puncak Bukit Batu itu. Bayangan tubuh Paman Nampi langsung lenyap ditelan kelebatan puncak pohon cemara. Dan kudanya melangkah perlahan meninggalkan tempat itu.

Saat itu, Raden Bantar Gading juga tengah berada diantara para prajurit yang sedang mengawasi para pekerja memecah batu untuk pembuatan jalan menuju Pesanggrahan Goa Larangan. Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu juga didampingi dua orang panglima perang. Mereka adalah Panglima Rapaksa dan Panglima Jampala .

"Berapa lama lagi mereka harus mengangkut batu-batu ini, Raden?" tanya Panglima Jampala.

"Sampai cukup untuk jalan kepesanggrahan," sahut Raden Bantar Gading.

"Rasanya sudah lebih dari cukup, Raden," sergah Panglima Rapaksa.

"Lebih baik berlebihan daripada kekurangan, Paman Panglima," sahut Raden Bantar Gading.

Kedua panglima itu tidak bertanya lagi. Mereka tahu betul watak Raden Bantar Gading yang keras dan tidak pernah mengikuti saran atau pendapat orang lain. Apa yang diperintahkan, harus dilaksanakan tanpa bersedia mendengar bantahan walau dengan alasan apa pun. Tindakannya juga tegas, bahkan cenderung kasar. Bisa juga dikatakan kejam.

Mendadak Raden Bantar Gading dan dua orang panglima perang itu dikejutkan oleh teriakan melengking tinggi yang disusul dengan terjungkalnya dua orang pekerja yang bersimbah darah. Sebuah bayangan hitam berkelebatan cepat menghajar para pekerja yang semuanya hanya rakyat biasa. Suasana tenang itu mendadak berubah jadi penuh jerit dan pekik melengking.

"Kepung! Tangkap setan keparat itu...!" seru Raden Bantar Gading keras.

Dua orang panglima perang, ditambah sekitar lima puluh prajurit serempak berlompatan mengepung orang berbaju hitam dengan kepala terbungkus kain hitam pula. Sedangkan para prajurit lainnya segera mengungsikan para pekerja yang berlarian serabutan menyelamatkan diri. Raden Bantar Gading langsung melompat. Dua kali tubuhnya berputar di udara, lalu dengan manis kakinya menjejak tanah, tepat sekitar dua batang tombak jaraknya dari orang berbaju serba hitam
itu.

"Hm..., rupanya kau punya nyali besar juga, bangsat!" geram Raden Bantar Gading dingin.

"Sudah kuperingatkan, hentikan pekerjaan ini. Tapi kau tetap meneruskannya. Jangan salahkan aku jika seluruh rakyat Gantar Angin musnah!" kata orang berbaju serba hitam itu. Suaranya berat dan datar.

"Siapa kau?" tanya Raden Bantar Gading.

"Hhh! Tak perlu kau tahu siapa aku! Yang jelas tidak akan kubiarkan tangan-tangan kotor menjarah Pesanggrahan Goa Larangan!" sahut orang berbaju serba hitam itu tegas.

"He h! Apa hakmu melarang?"

"Karena aku tidak ingin tempat suci itu jadi tempat maksiat!"

"Setan! Kau telah menghina Kerajaan Gantar Angin! Kau harus mampus, bangsat!" geram Raden Bantar Gading.

Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu langsung memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh orang berbaju serba hitam itu. Teriakan-teriakan peperangan kini terdengar memecah kesunyian Bukit Batu itu. Orang berbaju hitam dengan lincah menghalau setiap serangan yang datang dari segala penjuru. Gerakannya sangat cepat dan sukar diduga arahnya. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sepuluh prajurit sudah menggeletak tidak bernyawa lagi. Darah kembali menyiram Puncak Bukit Batu itu.

Raden Bantar Gading semakin geram menyaksikan para prajuritnya yang tidak mampu menghadang amukan orang itu. Dengan satu teriakan, Raden Bantar Gading melompat menerjang. Pada saat yang bersamaan, dua orang panglima perang juga menyerang orang berbaju serba hitam itu. Terjunnya Raden Bantar Gading dan dua orang panglima perang kerajaan, membuat orang berbaju serba hitam itu sedikit kewalahan. Ketiga lawannya yang baru terjun dalam pertempuran itu rata-rata memiliki tingkat ke pandaian yang cukup tinggi. Jurus-jurusnya pun sangat dahsyat.

"Mampus kau, bangsat...!" bentak Raden Bantar Gading seraya mencabut pedangnya yang selalu tergantung di pinggang.

Begitu pedang tercabut, langsung dibabatkan ke arah leher orang berbaju serba hitam itu. Namun dengan manis sekali, sabetan pedang itu dielakkan hanya dengan menarik leher kebelakang. Tak lama kemudian, Panglima Jampala melepaskan pukulan maut ke arah dada.

"Hiya ...!"

"Uts !" Orang berbaju hitam itu segera melompat mundur kebelakang. Tapi dari arah lain, Panglima Rapaksa ternyata sudah siap dengan satu tendangan geledeknya. Kali ini orang itu tidak bisa berkelit lagi. Pinggangnya tersambar tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Dia hanya mengeluh pendek sedikit meskipun tubuhnya terjajar sekitar satu depa.

"Pisah kepalamu!" seru Raden Bantar Gading.

Di saat orang berbaju hitam itu dalam keadaan tidak seimbang posisi tubuhnya, Raden Bantar Gading mengibaskan pedangnya dengan cepat ke arah leher. Orang berbaju serba hitam itu agak terperangah sejenak, namun dengan cepat dibanting tubuhnya ke tanah. Serangan Raden Bantar Gading luput dari sasaran. Namun putra mahkota itu segera mencecar dengan menusukkan ujung pedangnya kearah tubuh orang berbaju hitam itu.

Beberapa kali orang berbaju hitam itu bergulingan menghindari tusukan ujung pe dang Raden Bantar Gading. Dan pada satu ke sempatan, dia berhasil melentingkan tubuhnya ke udara. Namun, di udara Panglima Jampala sudah melenting seraya melontarkan tendangan menggeledek bertenaga dalam tinggi. Orang berbaju serba hitam itu tidak mampu lagi berkelit, maka dengan telak dadanya terkena hantaman kaki dengan keras.

"Akh!" dia memekik tertahan. Kembali tubuhnya terhempas ke tanah dengan keras. Tampak penutup wajahnya berubah merah pada bagian mulutnya. Dia berusaha bangkit, namun dadanya terasa sesak. Tulang-tulangnya seperti remuk kena tendangan keras bertenaga dalam tinggi itu. Raden Bantar Gading yang melihat lawannya tengah tidak berdaya, segera melompat seraya mengibaskan pedangnya.

"Hiya...!"

Tepat pada saat ujung pedang Raden Bantar Gading hampir merobek dada orang berbaju serba hitam itu, sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar tubuh orang itu. Ujung pedang Raden Bantar Gading membabat angin. Tentu saja hal ini membuat putra mahkota itu berang.

Bayangan yang menyambar tubuh orang berbaju hitam itu demikian cepat, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dite lan lebatnya hutan pohon cemara. Raden Bantar Gading memerintahkan dua orang panglimanya untuk mengejar. Tanpa membantah sedikitpun, dua orang panglima itu segera mengejar dengan mengajak sekitar tiga puluh prajurit. Mereka berlompatan naik ke punggung kuda, dan memacu cepat menuju Bukit Cemara yang banyak ditumbuhi pohon cemara.

"Setan belang...!" maki Raden Bantar Gading sengit.

EMPAT

Siapa sebenarnya orang berbaju serba hitam itu? Dan mengapa menghalangi pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan? Dan siapa pula yang telah menyelamatkan orang berbaju serba hitam itu dari maut? Semua itu masih menjadi pertanyaan yang menjengkelkan Raden Bantar Gading. Tentu saja dia tidak tahu. Apalagi para prajurit yang diperintahkan untuk mengejar, juga tidak akan bisa mene mukannya. Orang berbaju serba hitam itu memang telah diselamatkan oleh seorang pemuda tampan bertubuh tegap mengenakan baju dari kulit harimau.

Pemuda tampan itu membawa orang berbaju serba hitam ke dalam sebuah goa yang letaknya sangat tersembunyi di Puncak Bukit Cemara. Goa kecil yang penuh ditutupi semak dan pepohonan di mulutnya. Tidak ada yang menyangka kalau di situ tersembunyi sebuah goa kecil.

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu membuka kain hitam yang menyelubungi kepala orang itu. Tampak seraut wajah tua, namun bercahaya di balik selubung kain hitam. Rambutnya panjang memutih dan digelung ke atas. Ikat kepala dari logam berwarna kuning keemasan menghias kepalanya. Kumis dan janggutnya juga sudah panjang memutih semua. Saat pemuda itu membuka baju hitam yang menutupi tubuh laki-laki tua itu, tampak sebuah jubah putih tersembunyi di balik baju hitam yang tidak begitu ketat.

"Jangan bergerak dulu! Kau terluka dalam cukup parah," kata pemuda itu ketika laki-laki tua itu akan bangkit.

Laki-laki tua itu ke mbali berbaring di atas tumpukan rumput kering. Sedangkan pemuda tampan berbaju kulit harimau itu memeriksa tubuh yang kelihatan biru memar. Jari-jari tangannya bergerak lincah di se kitar tubuh yang memar. Kemudian ditekan telapak tangan kanannya ke dada laki-laki tua itu.

"Akh...!" laki-laki tua itu memekik tertahan. Dua kali dia memuntahkan darah kental dari mulutnya, lalu terkulai lemas dengan napas memburu agak tersengal. Pemuda itu masih menekan telapak tangannya, menyalurkan hawa murni ke tubuh laki-laki tua itu. Keringat membanjiri kening dan lehernya. Telapak tangan yang menempel di dada kurus itu sedikit bergetar, pertanda tengah mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam laki-laki tua itu.

"Hhh...!" pemuda tampan itu mengeluh panjang seraya menghenyakkan tubuhnya di samping laki-laki tua yang terbaring lemah.

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu melakukan semadi sebentar untuk memulihkan hawa murni yang sudah berkurang tadi. Tidak lama melakukan semadi, kemudian mata pemuda itu merayapi tubuh laki-laki tua yang tetap terbaring dengan kedua matanya yang terbuka. Air mukanya sudah kelihatan cerah. Padahal wajahnya semula pucat seperti mayat. Pelahan laki-laki berjubah putih itu bangkit duduk. Tanpa diminta, dia segera melakukan semadi untuk menormalkan jalan darahnya. Tidak lama laki-laki tua yang kini memakai jubah putih itu melakukan semadi. Kemudian tatapan matanya beralih pada seonggok baju hitam di samping pemuda itu.

"Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawaku, Kisanak," kata laki-laki tua itu.

"Kenapa Kakek bisa sampai bentrok dengan para prajurit itu?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Ceritanya panjang, Kisanak. Tapi karena kau telah menyelamatkan nyawaku, rasanya tidak ada salahnya jika kau mengetahui."

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu diam membisu.

"Aku sebenarnya seorang Panglima Kerajaan Gantar Angin, dan juga penasehat pribadi Raden Sangga Alam, sekaligus gurunya dalam ilmu olah kanuragan. Aku bernama Nampi, tapi kau cukup memanggilku Paman Nampi...."

"Aku Bayu Hanggara," pemuda tampan berbaju kulit harimau itu juga memperkenalkan diri.

"Hm..., aku seperti pernah mendengar namamu. Ah...! Apakah kau yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka?" tebak Paman Nampi.

"Benar," sahut Bayu.

Paman Nampi terdiam dengan mata seolah-olah menyelidik pemuda tampan berbaju kulit harimau didepannya. Dia memang pernah dengar sepak terjang Pendekar Pulau Neraka. Nama pendekar itu sudah sangat kondang dan selalu menggemparkan dalam setiap pemunculannya. Hampir semua tokoh-tokoh rimba persilatan, baik dari golongan putih maupun hitam kesulitan untuk menentukan golongan pendekar itu. Apakah Pendekar Pulau Neraka masuk dalam golongan putih atau hitam? Sepak terjangnya memang sangat membingungkan tokoh-tokoh rimba persilatan.

"Ada apa, Paman?" tanya Bayu agak jengah dipandangi sedemikian rupa.

"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya tidak menyangka bakal bertemu muka dengan seorang pendekar yang kondang dan amat disegani," sahut Paman Nampi.

"Ah, sudahlah...," Bayu merendah. "Ceritakan saja, kenapa Paman bisa bentrok dengan teman sendiri. Bukankah para prajurit itu juga dari Kerajaan Gantar Angin?"

Paman Nampi tidak segera menjawab dan hanya menarik napas panjang. Dibetulkan letak duduknya agar lebih enak. Sementara Bayu menanti dengan sabar. Tapi, dia masih merasa jengah juga setiap kali tatapan mata Paman Nampi bertemu dengan tatapan matanya. Sorot matanya memang menandakan berbagai perasaan yang sulit diterka.

"Mereka memang teman-temanku sendiri...," Paman Nampi memulai. "Dulu, Kerajaan Gantar Angin diperintah oleh seorang ratu bernama Gusti Ratu Kunti Boga. Gusti Ratu hanya memiliki seorang anak perempuan, dari hasil perkawinannya dengan seorang panglima muda yang gagah dan sangat tinggi kepandaiannya. Tapi pada saat anaknya berusia tujuh tahun, malapetaka datang menimpa. Adik tiri Gusti Ratu yang bernama Abiyasa merebut tahta. Dibunuhnya suami Gusti Ratu. Sedangkan Gusti Ratu ditawan dalam penjara bawah tanah, bersama saudaranya yang berjumlah enam orang...," cerita Paman Nampi tentang kemelut yang terjadi di Kerajaan Gantar Angin.

Sementara Bayu Hanggara mendengarkan penuh perhatian.

"Pada saat pemberontakan itu berlangsung, aku sempat menyelamatkan putri Gusti Ratu, dan kubawa ke Bukit Cemara ini. Seorang emban yang setia telah merawatnya. Sedangkan aku mendidiknya berbagai macam ilmu olah kanuragan. Aku berharap, kelak dia bisa mengembalikan keutuhan Kerajaan Gantar Angin seperti semula. Tapi...," Paman Nampi menghentikan kisahnya .

"Ada apa?" desak Bayu.

"Entahlah. Yang jelas, aku merasa gagal dalam mendidiknya. Aku tidak bisa mencegah...," suara Paman Nampi bernada mengeluh.

Bayu tidak mendesak lagi. Bisa dimengerti kalau hal itu tidak pantas untuk dibicarakan. Tapi dia masih belum bisa menghubungkan cerita Paman Nampi dengan pertempuran yang hampir menewaskan laki-laki tua berjubah putih yang kini ada di hadapannya.

"Kulihat Paman membantai para pekerja di Bukit Batu. Kenapa Paman lakukan itu?" tanya Bayu.

“Mereka memang pantas mati karena tidak bisa memegang omongannya sendiri! Padahal, mereka telah bersumpah setia pada Gusti Ratu! Tapi kenyataannya, mereka membantu membuat jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan!" agak tertahan suara Paman Nampi.

"Maaf. Bukannya hendak mencampuri urusanmu, tapi kurasa penilaianmu keliru terhadap mereka," kata Bayu.

"Apa maksudmu, Kisanak?"

"Kupikir mereka juga terpaksa melakukannya."

"Tidak mungkin! Mereka tahu betul kalau Pesanggrahan Goa Larangan tempat yang sangat indah, tapi sangat disucikan. Tempat itu digunakan Gusti Ratu untuk memuja Dewata. Seharusnya mereka sadar kalau pembuatan jalan itu akan mengotori tempat suci itu. Prabu Abiyasa hendak menjadikan Pesanggrahan Goa Larangan sebagai tempat peristirahatan dan tempat berlibur para pembesar. Bukankah itu akan merusak kesucian yang selama ini selalu kami pelihara? Jadi jelas, mereka yang membantu pembuatan jalan itu adalah manusia-manusia kotor yang harus dilenyapkan dari muka bumi!"

"Hm...," gumam Bayu tidak jelas.

Kata-kata Paman Nampi memang jelas dan tegas, sehingga Pendekar Pulau Neraka bisa memahami semua persoalannya. Kini dia tahu, kenapa laki-laki tua berjubah putih itu sangat berang dan gelap mata. Bayu tidak bisa menyalahkan tindakan Paman Nampi. Kelihatannya, tindakan itu semata-mata hanya pelampiasan rasa amarah dan kekecewaan yang lama terpendam didalam hati. Tapi bagi Bayu, tindakan Paman Nampi tidak bisa dibenarkan. Meskipun dia sendiri selalu bertindak tegas, namun tidak membabi-buta dengan membantai penduduk yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan.

"Apakah hanya Paman sendiri yang menentang?" tanya Bayu.

"Tidak. Sebenarnya masih banyak. Hanya saja mereka tidak berani menentang secara terang-terangan. Prabu Abiyasa selalu bertindak tegas, bahkan cenderung kejam pada siapa saja yang mencoba menentangnya," sahut Paman Nampi.

"Dan Paman juga menganggap mereka manusia kotor?"

Paman Nampi tidak segera menjawab. Pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu sungguh tepat, dan langsung menyentuh hati Paman Nampi. Laki-laki tua itu kini diam merenung.

"Bagiku, manusia di mana saja sama. Hanya pangkat dan kedudukan saja yang membedakannya. Maaf, bukannya ingin mencampuri urusan itu terlalu jauh. Masalahnya aku tidak melihat adanya alasan yang tepat sehingga kau bantai orang-orang yang tidak berdosa dan dalam keadaan tertekan," kata Bayu lagi.

"Bagaimana kau bisa berkata begitu, Kisanak? Sedangkan kau sendiri bukan rakyat Gantar Angin."

"Paman sudah tahu, siapa aku sebenarnya. Di dalam kalangan rimba persilatan, hal seperti itu sudah terlalu sering terjadi. Dan aku bisa mengambil kesimpulan hanya dari cerita yang kudengar. Jangan salah kira. Aku bukannya sok pintar dalam hal ini. Ini hanya sekedar uneg-uneg yang ada di dalam kepalaku," sahut Bayu.

"Bisa kau buktikan, Kisanak?"

Bayu hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau pertanyaan itu bernada menantang. Bukan permintaan bantuan. Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri dan melangkah ke luar dari dalam goa ke cil itu. Paman Nampi juga ikut bangkit dan mengikuti pende kar itu. Luka-luka di dalam tubuhnya sudah tidak terasa lagi. Cahaya matahari senja langsung menerpa begitu mereka sampai di depan mulut goa.

"Siapa nama anak Gusti Ratu?" tanya Bayu dengan pandangan tetap lurus kedepan.

"Mayang," jawab Paman Nampi.

"Dia tahu kalau kau seorang panglima?"

"Tidak. Yang diketahuinya, aku adalah orang tua yang telah menyelamatkannya dari malapetaka. Dia selalu memanggilku dengan sebutan Eyang."

"Dia juga tahu namamu?"

"Juga tidak."

"Rupa mu?"

Paman Nampi menggeleng.

"Hebat! Berapa tahun hal itu berlangsung...?"

"Tiga belas tahun. Dan aku selalu menemuinya dengan pakaian hitam yang hampir menutupi seluruh wajahku. Hanya tiga kali dalam satu pekan aku menemuinya. Itu pun hanya untuk mengajarkan jurus-jurus ilmu olah kanuragan, dan terus berlangsung hingga emban pengasuhnya meninggal dunia karena usia tua."


"Di mana dia tinggal?"

"Untuk apa?" Paman Nampi merasa keberatan.

"Kau keberatan...?"

"Tidak! Kau boleh menemuinya di Lereng Bukit Cemara sebelah Barat. Dia tinggal di pondok kecil dan agak tersembunyi letaknya."

"Siapa saja yang tahu selain kau sendiri?"

"Raden Bantar Gading, putra pertama Prabu Abiyasa dan pewaris tahta kerajaan."

Bayu tersenyum tipis. Pertanyaan-pertanyaan tadi sebenarnya merupakan pancingan saja. Kini dia tahu, kenapa Paman Nampi tidak mau menceritakan kekecewaannya pada Mayang. Bisa saja wanita itu jatuh cinta pada orang yang sebenarnya musuh dan harus dilenyapkan. Itu pun juga yang menjadi salah satu sebab, kenapa Paman Nampi sampai bertindak brutal. Laki-laki tua ini memendam rasa kecewa yang bertumpuk Rasa kecewa itu dilampiaskan menjadi kemarahan yang tak terkendalikan.

"Sudah senja. Aku harus kembali ke Hutan Danaraja. Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," kata Paman Nampi.

"Hm, kenapa ke Hutan Danaraja? Bukankah seorang panglima tinggal di dalam lingkungan istana?" agak heran juga Bayu mendengarnya.

"Aku harus menemui Raden Sangga Alam karena dialah satu-satunya putra Prabu Abiyasa yang menentang ayahnya. Hanya sayang dia tidak memiliki kekuasaan untuk menentang, karena lahir dari rahim seorang selir," Paman Nampi tidak ragu-ragu lagi menceritakannya.

"O..., kau menyusun kekuatan di Hutan Danaraja?”

"Oh..., tidak. Aku dan Raden Sangga Alam sedang berburu bersama tiga puluh prajuritku."

Lagi-lagi Bayu tersenyum tipis. Dia tidak mencegah ketika laki-laki tua berjubah putih itu berjalan dengan cepat. Pendekar Pulau Neraka itu tahu kalau Paman Nampi mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dalam waktu sebentar saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan rimbunan pohon cemara yang menutupi seluruh permukaan bukit itu.

"Hm, harus ada orang yang bisa mencegah luapan kemarahan Paman Nampi. Aku tidak yakin, apakah Pendekar Pulau Neraka akan beraksi lagi kali ini...?" gumam Bayu bicara pada dirinya sendiri.

********************

Paman Nampi menemukan kudanya tengah merumput dengan tenang. Dengan kuda tunggangannya itu, dia segera menuju Hutan Danaraja. Paman Nampi memang cekatan dalam mengendalikan kuda. Meskipun dipacu cepat dalam kelebatan hutan, hal itu bukan satu rintangan yang berarti, karena dia adalah panglima perang yang handal. Laki-laki tua berjubah putih itu baru memperlambat laju kudanya setelah berada dekat sekitar perkemahan Raden Sangga Alam.

Suasana senja yang temaram membuat para prajurit harus menyalakan api unggun lebih awal. Apalagi kabut begitu cepat datang, sehingga menutupi cahaya matahari sore ini. Paman Nampi turun dari punggung kudanya, lalu melangkah pelan-pelan sambil menuntun kudanya. Seorang prajurit yang melihat kehadirannya, segera berlari menghampiri. Diambilnya. tali kekang kuda itu dari tangan Paman Nampi. Segera dibawanya pergi ke tempat kuda-kuda lain yang tengah diistirahatkan.

Paman Nampi menghenyakkan tubuhnya di depan perapian. Raden Sangga Alam yang tengah menghadapi perapian sejak tadi, hanya melirik saja. Keningnya sedikit berkerut melihat kemuraman pada airmuka Paman Nampi.

"Ada apa, Paman? Bagaimana suasana di Bukit Batu?" tanya Raden Sangga Alam.

"Hhh...," Paman Nampi menarik napas panjang. Raden Sangga Alam menggeser duduknya mendekat kearah laki-laki tua berjubah putih itu.

"Ada sesuatu yang ditemukan di sana?" tanya Raden Sangga Alam lagi.

"Entahlah. Aku merasa tidak yakin dapat menghentikan rencana Gusti Prabu," sahut Paman Nampi mendesah pelan.

Raden Sangga Alam terkejut mendengar kata-kata bernada putus asa itu. Dipandanginya wajah tua disampingnya dengan penuh selidik. Perasaannya jadi tidak menentu mendapati wajah Paman Nampi begitu murung, tanpa gairah sama sekali.

"Paman. Bagaimanapun juga, rencana Ayahanda Prabu harus dihentikan. Pesanggrahan Goa Larangan adalah tempat suci. Tempat untuk memuja para Dewata. Aku sebenarnya tidak keberatan jika pembuatan jalan itu untuk memperlancar menuju ke pesanggrahan. Tapi, kalau tempat itu juga dirubah dan dihilangkan arti kesuciannya, jelas aku menentang. Walaupun aku hanya anak dari selir, tapi tidak serendah itu, Paman. Aku bersedia mengangkat senjata jika memang keadaannya sudah harus demikian," tegas kata-kata Raden Sangga Alam.

Paman Nampi menoleh. Dipandangnya Raden Sangga Alam dengan bola mata berkaca-kaca. Hatinya sangat terharu mendengar kata-kata pemuda tampan yang seperti wanita itu. Tidak disangkanya kalau Raden Sangga Alam memiliki ketegasan. Lain dengan perawakannya yang kelihatan lemah lembut dan tidak mencerminkan kejantanan seorang laki-laki. Ternyata, dibalik semua itu tersimpan sebentuk hati yang lebih jantan daripada seorang laki-laki bertubuh kekar dan tegap.

Kemuliaan hati Raden Sangga Alam inilah yang membuat Paman Nampi lebih terharu lagi. Sama sekali dia bukan menghasut. Namun jelas, bahwa pemuda itu memang tidak menyetujui kalau tempat suci dirubah ke gunaannya. Kalau saja tidak mengingat pemuda ini putra seorang raja, mungkin Paman Nampi sudah memeluknya.

"Paman, besok pagi sebaiknya kita kembali ke istana. Aku telah mendapat seekor kijang yang gemuk dan akan kupersembahkan pada Ayahanda Prabu. Diistana nanti kita susun lagi rencana berikutnya," sambung Raden Sangga Alam kembali lembut suaranya.

Paman Nampi hanya mengangguk. Raden Sangga Alam bangkit berdiri, kemudian melangkah menuju ketendanya yang dijaga dua orang prajurit pada pintu tenda. Sedangkan Paman Nampi masih duduk dekat perapian. Diangkatnya sedikit kepalanya ketika seorang prajurit menghampiri. Prajurit itu membungkukkan badan.

"Ada apa?" tanya Paman Nampi.

"Patih Amoksa ingin bertemu, Gusti. Beliau menunggu ditenda," lapor prajurit itu.

"Patih Amoksa...!?"

"Benar, Gusti."

Paman Nampi langsung bangkit berdiri. Baru saja dua tindak melangkah, kepalanya menoleh pada prajurit itu. "Apa Raden Sangga Alam tahu?" tanyanya setengah berbisik.

"Tidak! Patih Amoksa datang sebelum Raden Sangga Alam kembali dari berburu."

Paman Nampi bergegas melangkah menuju ketendanya. Seorang prajurit yang menjaga membungkukkan badan. Laki-laki tua berjubah putih itu segera masuk ke dalam tenda itu. Tampak di dalam seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, duduk menunggu di atas permadani. Ketika dia akan bangkit, Paman Nampi lebih dulu mencegah dan segera duduk di depan Patih Amoksa.

"Ada apa?" tanya Paman Nampi langsung.

"Aku membawa berita yang harus disampaikan, Kakang. Penting!" jawab Patih Amoksa setengah berbisik.

"Berita apa?"

"Gusti Prabu Abiyasa mengutus seorang kurir..."

"Jelaskan saja pokoknya," potong Paman Nampi tidak sabar.

"Hm..., Gusti Prabu meminta bantuan jago-jago dari sahabatnya. Kakang tahu, jago-jago dari daratan seberang sangat sukar dicari tandingannya."

"Ya, Tuhan...!" desis Paman Nampi. "Kenapa Gusti Prabu sampai bertindak begitu?"

"Gusti Prabu sudah mencium adanya gerakan pemberontakan, Kakang."

"Apakah dia tahu seluruhnya?"

"Tidak! Tapi Gusti Prabu sudah menyebar banyak telik sandi. Bahkan pasukan khusus pun sudah dikerahkan untuk menumpas pemberontakan itu. Aku khawatir, Kakang. Tindakan para pasukan khusus membabi-buta sehingga rakyat semakin sengsara. Dan kalau sudah demikian, tidak mustahil ada pengkhianatan.

"Kenapa baru sekarang kau laporkan itu, Amoksa?" nada suara Paman Nampi agak menyesali.

"Baru kali ini aku punya kesempatan bertemu denganmu. Itu pun setelah aku mendapat perintah untuk membawa pulang kembali Raden Sangga Alam. Beliau diperintahkan agar segera pulang hari ini juga."

"Kenapa?"

"Gusti Prabu menduga kalau para pemberontak itu bersarang di Bukit Cemara atau sekitar Hutan Danaraja ini."

Paman Nampi menarik napas panjang dan berat. Rasanya tidak mungkin kalau Prabu Abiyasa hanya menduga-duga adanya gerakan pemberontakan. Penyebaran telik sandi dan pengerahan pasukan khusus sudah menandakan kalau beliau sudah mencium dan mengetahui pasti adanya gerakan pemberontakan itu. Apalagi sampai mengirim kurir untuk minta bantuan jago-jago dari seberang. Jadi, jelas sudah kalau Prabu Abiyasa merasa kedudukannya sebagai raja, tengah terancam.

Perasaan Paman Nampi jadi tidak menentu. Kalau sampai pasukan khusus menyebar ke Bukit Cemara, jelas akan membahayakan. Laki-laki tua berjubah putih itu memandang keadaan di luar. Dari sini, tenda Raden Sangga Alam bisa langsung dilihatnya. Sementara gelap sudah menyelimuti seluruh Hutan Danaraja. Hanya api unggun di tengah-tengah perkemahan itu yang menerangi sekitarnya.

"Kakang, aku khawatir Gusti Prabu sudah...."

"Tenanglah, Amoksa," potong Paman Nampi cepat.

"Tapi, Raden Bantar Gading memerintahkan Patih Mara Kobra untuk memata-mataimu."

Paman Nampi tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sungguh tidak disangka kalau Patih Mara Kobra yang sudah tewas di tangannya itu, sengaja memata-matai karena perintah Raden Bantar Gading. Kalau memang demikian, jelas! Prabu Abiyasa dan Raden Bantar Gading sudah menaruh kecurigaan terhadapnya. Dan itu bukan tidak mustahil Raden Sangga Alam akan ikut dicurigai. Karena pemuda itu selalu gigih menentang pembuatan jalan dan perubahan Pesanggrahan Goa Larangan.

"Amoksa, sebaiknya kau segera menemui Raden Sangga Alam. Sedangkan aku akan memerintahkan para prajurit untuk membongkar tenda," kata Paman Nampi.

"Kita kembali ke istana malam ini juga"

"Baik, Kakang."

********************

LIMA

Sementara itu di sebuah pondok di Kaki Bukit Batu, Raden Bantar Gading tengah berbincang-bincang dengan dua orang panglimanya. Saat itu, mereka kedatangan seorang utusan dari Kerajaan Gantar Angin yang membawa surat langsung dari Prabu Abiyasa. Surat itu segera diserahkan kepada Raden Bantar Gading.

Raden Bantar Gading menatap sejenak utusan itu sebelum membuka surat dari ayahnya. Sudah bisa ditebak kalau isi surat itu pasti penting, karena dibawa langsung oleh utusan khusus kepercayaan Prabu Abiyasa. Raden Bantar Gading membuka surat yang tergulung rapi itu, lalu membacanya. Keningnya sedikit berkerut begitu menge ahui isinya. Kembali digulung surat itu dan ditatapnya utusan yang masih menunggu sambil duduk bersimpuh di atas permadani tebal.

"Katakan pada Ayahanda Prabu, bahwa aku akan berangkat malam ini juga," kata Raden Bantar Gading.

Utusan itu memberi hormat, lalu bangkit berdiri. Dua langkah mundur kebelakang, lalu badannya langsung berbalik dan keluar dari pondok itu. Raden Bantar Gading menatap Panglima Jampala dan Panglima Rapaksa yang masih setia menemaninya di ruangan yang tidak terlalu besar ini.

"Ayahanda Prabu memerintahkan, agar aku segera ke Pesanggrahan Goa Larangan," kata Raden Bantar Gading pelan.

"Untuk apa, Raden?" tanya Panglima Jampala.

"Beberapa telik sandi melihat Braga dan Kinca ada disana..."

"Heh! Ada urusan apa mereka ke sana?" ujar Panglima Rapaksa terkejut

"Itulah yang ingin diketahui Ayahanda Prabu. Kalau maksud mereka buruk, aku diperintahkan untuk memenggal kepalanya. Hm..., aku sendiri sebenarnya memang ingin memenggal kepala mereka!"

"Raden! Ijinkan hamba membereskan bangsat pengecut itu!" kata Panglima Jampala.

"Tugas itu langsung ditujukan padaku, Paman Panglima," tolak Raden Bantar Gading tegas.

"Tapi, Raden...," Panglima Jampala ingin membantah.

"Kenapa?" tanya Raden Bantar Gading. Nada suaranya terdengar sinis. Tatapan matanya pun juga lain.

Panglima Jampala menundukkan kepalanya.

"Ayahanda Prabu juga meminta agar kau segera kembali ke istana. Ada tugas penting yang harus segera dilaksanakan, Paman Jampala," kata Raden Bantar Gading tersenyum dingin.

"Hamba, Raden," sahut Panglima Jampala pelan.

"Berangkatlah malam ini juga," perintah Raden Bantar Gading.

Panglima Jampala memberi hormat, lalu bangkit berdiri. Kembali dia memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan pondok itu. Raden Bantar Gading memandangi panglima itu hingga hilang di balik pintu. Tidak lama kemudian terdengar derap langkah kaki kuda menjauhi daerah Kaki Bukit Batu. Kini, Raden Bantar Gading pandangannya beralih pada Panglima Rapaksa.

“Paman Panglima! Kuserahkan pengawasan pekerjaan ini padamu. Aku akan secepatnya kembali setelah membereskan tikus-tikus keparat itu," kata Raden Bantar Gading.

"Hamba, Raden," Panglima Rapaksa memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Dan ada satu tugas berat lagi untukmu."

“Tugas apa, Raden?"

"Kejar Panglima Jampala, lalu bunuh!"

Panglima Rapaksa terkejut setengah mati hingga terdongak memandang putra mahkota itu.

"Panglima Jampala ternyata pengkhianat! Dialah salah satu pemimpin gerombolan pemberontak. Ayahanda Prabu menginginkan kepalanya, dan tugas ini kuserahkan padamu. Kau akan menerima hadiahnya? besar jika berhasil membawa kepala pengkhianat pada Ayahanda Prabu."

"Segera hamba laksanakan, Raden."

"Cepatlah, sebelum jauh."

Panglima Rapaksa bergegas bangkit dan melangkah keluar. Raden Bantar Gading tersenyum, kemudian juga bangkit berdiri dari duduknya. Dengan langkah ringan, dia berjalan keluar dari pondok itu. Dua orang prajurit yang mengawal di depan pintu, langsung membungkuk memberi hormat. Pada saat itu Panglima Rapaksa sudah memacu cepat kudanya menyusul Panglima Jampala.

"Siapkan kuda!" perintah Raden Bantar Gading pada salah seorang prajurit.

"Segera, Raden."

********************

Panglima Rapaksa memacu kudanya bagai dikejar setan. Diambilnya jalan pintas, dengan merambah hutan yang lebat di sekitar Kaki Bukit Batu. Laki-laki tegap berusia sekitar empat puluh tahun itu menghentikan kudanya begitu tiba di tepi sungai yang mengalir tenang bagai sebuah batas antara kotaraja dengan daerah hutan dan berbukit ini. Pandangannya tajam menembus kegelapan malam.

Tampak dari arah depan di sebuah jalan setapak, seseorang tengah menunggang kuda dalam kecepatan sedang. Betapa terkejutnya dia begitu melihat Panglima Rapaksa telah berdiri menghadang. Penunggang kuda yang tak lain dari Panglima Jampala langsung melompat turun ketika Panglima Rapaksa juga turun dari punggung kudanya.

"Kakang Rapaksa! Bukankah kau bersama Raden Bantar Gading?" Panglima Jampala tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Benar. Tapi, sekarang aku sudah berada didepanmu," sahut Panglima Rapaksa.

"Ada apa?"

"Adi Jampala, aku ingin kejujuranmu. Katakan terus terang...," agak tertahan suara Panglima Rapaksa.

"Kakang! Ada apa ini? Kenapa kau berkata seperti itu?"

"Benarkah kau ingin memberontak pada Prabu Abiyasa?" Panglima Rapaksa tidak bisa menahan diri lagi.

"He ...?!" Panglima Jampala terkejut setengah mati.

"Jawab dengan jujur, Adi Jampala."

"Dari mana kau tahu, Kakang?"

"Gusti Prabu sudah mengetahui, dan aku diperintahkan untuk membunuhmu!"

"Hm..., jadi utusan itu datang hanya untuk memberitahu kalau aku salah satu dari pemberontak itu?"

"Kau salah satu pemimpinnya!"

"He! Permainan macam apa ini?"

"Adi Jampala! Aku kenal baik, siapa kau sesungguhnya. Aku sendiri sebenarnya tidak percaya kalau kau adalah salah satu dari pemimpin kaum pemberontak. Katakan terus terang padaku, apakah kau benar-benar pemimpin pemberontak itu?" pinta Panglima Rapaksa.

"Kalau benar, apakah kau tetap akan memenggal kepalaku?" nada suara Panglima Jampala terdengar menantang.

"Maaf, Adi Jampala. Malam ini juga, salah satu diantara kita harus ada yang tewas," sahut Panglima Rapaksa .

"Aku kagum pada kesetiaanmu, Kakang. Tapi sungguh menyesal, kau menumpahkan kesetiaan pada orang yang salah! Prabu Abiyasa tidak berhak atas tahta Kerajaan Gantar Angin. Dia hanya adik tiri, dan seharusnya sudah beruntung diberi jabatan kepala panglima perang. Tapi nyatanya dia serakah! Bahkan sekarang semakin gila dengan menghancurkan tempat suci untuk pemujaan!"

"Menyesal sekali, Adi Jampala. Kita akan berhadapan sebagai lawan," dingin suara Panglima Rapaksa.

"Silakan, jika kau ingin memenggal kepalaku."

"Bersiaplah! Hiyaaa...!" Panglima Rapaksa segera melompat menerjang dengan jurus mautnya.

Panglima Jampala yang sadar tingkat ke pandaiannya dua tingkat di bawah Panglima Rapaksa, harus lebih berrhati-hati. Pertarungan antara dua panglima itu berlangsung sengit. Sementara Raden Bantar Gading memperhatikan sejak tadi dari tempat yang cukup tersembunyi. Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu memang mengikuti kepergian Panglima Rapaksa. Dia memang ingin melihat sendiri kesetiaan panglimanya itu. Kehadiran Raden Bantar Gading memang tidak diketahui oleh dua orang yang tengah menyabung nyawa itu.

Pertarungan antara dua panglima itu semakin sengit. Lima belas jurus sudah terlewati, namun belum ada tanda-tanda yang terdesak. Serangan-serangan yang dilancarkan Panglima Jampala maupun Panglima Rapaksa, sungguh dahsyat. Debu mengepul disekitar pertarungan. Pohon-pohon bertumbangan kena sambaran pukulan atau tendangan yang luput dari sasaran. Batu-batu hancur berkeping-keping. Mereka sama-sama mengerahkan jurus-jurus andalan.

Pada saat memasuki jurus yang ke dua puluh, Panglima Jampala mulai kelihatan terdesak. Beberapa kali pukulan dan tendangan dahsyat dari Panglima Rapaksa hampir menghantam tubuhnya. Panglima Jampala harus jatuh bangun menghindari serangan-serangan yang gencar dan cepat itu. Bahkan kini tidak lagi punya kesempatan untuk balas menyerang.

"Mampus kau! Hiya...!"

Tahu kalau lawannya sudah tidak mampu lagi membalas, Panglima Rapaksa semakin memperhebat serangannya. Hingga pada satu kesempatan yang baik, pukulan telak Panglima Rapaksa berhasil bersarang didada Panglima Jampala.

"Hugh!" Panglima Jampala mengeluh pendek. Tubuhnya terjajar kebelakang sejauh dua batang tombak. Darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Belum sempat panglima yang malang itu mengatur jalan napasnya, Panglima Rapaksa kembali melancarkan beberapa pukulan beruntun. Semampunya Panglima Jampala berkelit menghindar, tapi sebuah pukulan bertenaga dalam tinggi kembali bersarang di tubuhnya.

Panglima Jampala terjungkal keras mencium tanah. Dan pada saat kaki Panglima Rapaksa menjejak dadanya, dia tidak mungkin lagi menghindar. Darah langsung muncrat dari lubang hidung dan mulutnya, begitu kaki Panglima Rapaksa menghantam telak dadanya.

Krek!

Panglima Jampala tidak bisa bersuara lagi. Tulang dadanya remuk terinjak kaki dengan tenaga luar biasa itu. Tubuhnya terkulai lemas. Nyawanya pun langsung terbang melayang saat itu juga. Panglima Rapaksa melangkah mundur. Matanya memandangi mayat Panglima Jampala yang terbujur diam dengan tulang-tulang dada remuk.

Pelahan-lahan Panglima Rapaksa mengeluarkan pedangnya yang tergantung di pinggang, lalu dengan cepat dikibaskan keleher Panglima Jampala. Tak pelak lagi. Sekali tebas saja leher Panglima Jampala terpenggal buntung. Panglima Rapaksa me nyarungkan kembali pedangnya, lalu diangkatnya kepala Panglima Jampala.

"Bagus! Kau memang seorang panglima yang setia, Paman Rapaksa!"

"Raden...!" Panglima Rapaksa terkejut ketika tiba-tiba Raden Bantar Gading muncul.

Panglima Rapaksa segera membungkukkan badan memberi hormat. Raden Bantar Gading melangkah mendekati. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum.

"Biar aku yang menyerahkan kepala pengkhianat itu pada Ayahanda Prabu. Kau kembali saja ke Bukit Batu," kata Raden Bantar Gading.

"Hamba, Raden."

Panglima Rapaksa menyerahkan kepala Panglima Jampala pada Raden Bantar Gading. Setelah membungkuk memberi hormat, Panglima Rapaksa segera menghampiri kudanya. Dengan satu lompatan ringan, panglima tinggi tegap itu naik ke atas punggung kudanya .

Dan pada saat yang tepat, Raden Bantar Gading mengibaskan tangan kirinya. Maka tiga buah jarum berwarna hitam pekat meluncur deras ke arah Panglima Rapaksa dan tidak bisa terelakkan lagi. Dalam waktu yang singkat, Panglima Rapaksa jatuh tersungkur seketika. Kuda tunggangannya pun meringkik sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.

"Raden...," lirih suara Panglima Rapaksa.

"Aku tahu, kau memang seorang panglima yang setia, Paman Rapaksa. Tapi Ayahanda Prabu menghendaki kematianmu," kata Raden Bantar Gading
dingin.

Panglima Rapaksa berusaha merayap, tapi seluruh tubuhnya terasa kaku. Dari hidung dan mulutnya mengucur darah kental kehitaman. Jarum yang dilepaskan Raden Bantar Gading ternyata mengandung racun yang bekerja cepat, sangat dahsyat dan mematikan. Sebentar saja seluruh tubuh Panglima Rapaksa sudah membiru, dan tidak bisa digerakkan lagi.

"Kau bekas Patih Ratu Kunti Boga, Panglima Rapaksa. Ayahanda Prabu menghendaki orang-orang sepertimu agar dilenyapkan," kata Raden Bantar Gading dingin.

"Raden..., aku bukan pengkhianat. Aku setia pada Gusti Prabu Abiyasa," lirih suara Panglima Rapaksa.

"Kau selalu setia pada siapa saja yang berkuasa diKerajaan Gantar Angin. Orang sepertimu tidak patut hidup di dunia. Memang kau sekarang tidak berkhianat. Tapi, begitu para pemberontak mengacau, kau pasti akan berpihak pada mereka! Dan ular sepertimu sudah seharusnya mati!"

"Kau... Kau kejam, Raden!" desis Panglima Rapaksa.
"Ha ha ha..! Sebentar lagi kau akan mampus, Rapaksa !"

Panglima Rapaksa berusaha bangkit, tapi seluruh tubuhnya terasa kaku dan sulit digerakkan. Racun yang menjalar keseluruh aliran darahnya kini membuat jaringan urat syaraf di seluruh tubuhnya mati. Panglima Rapaksa hanya dapat mengumpat di dalam hati. Ada terbersit rasa penyesalannya setelah membunuh Panglima Jampala.

"Selamat tinggal, Panglima Rapaksa. Terimalah kematianmu dengan tenang!" kata Raden Bantar Gading seraya tertawa terbahak-bahak.

"Iblis! Binatang kau...!" geram Panglima Rapaksa.

"Ha ha ha...!"

Raden Bantar Gading kemudian bersiul nyaring. Terdengar suara ringkikan yang disusul dengan munculnya seekor kuda putih dari balik rimbunan pohon. Raden Bantar Gading melesat naik ke punggung kuda putih itu. Dilemparkan kepala Panglima Jampala kedekat Panglima Rapaksa. Kepala tanpa tubuh itu jatuh tepat di depan muka Panglima Rapaksa.

"Terkutuk kau, Raden...!" pekik Panglima Rapaksa.

"Hiya! Hiya...!" Raden Bantar Gading menggebah kudanya. Kuda putih itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Dan..., jatuh tepat di tubuh Panglima Rapaksa.

"Aaakh...!" Panglima Rapaksa menjerit keras.

Beberapa kali kaki depan kuda putih itu menghujam tubuh Panglima Rapaksa, hingga panglima itu tewas. Setelah puas, baru Raden Bantar Gading menghentikan injakan-injakan kaki kudanya. Suara tawanya pecah berderai membelah kesunyian malam. Kuda putih itu melesat cepat bagai sebatang anak panah lepas dari busurnya.

Sementara malam terus merayap semakin jauh. Titik-titik embun menyirami dua onggok mayat yang menggeletak sia-sia. Suara tawa Raden Bantar Gading lenyap, bersama bayangan tubuhnya yang berada di atas punggung seekor kuda putih.

********************

Raden Bantar Gading terus memacu cepat kudanya menuju Lereng Bukit Cemara sebelah Barat. Tujuannya pasti kepondok kecil tempat tinggal Mayang. Sudah beberapa hari ini, sejak pertengkarannya dengan Mayang, dia tidak pernah datang lagi menemui wanita cantik yang selalu menghangatkan tubuhnya. Memang, dalam beberapa hari ini wajah Mayang selalu terbayang di pelupuk matanya. Malam ini ingin dihabiskannya bersama wanita cantik menggairahkan itu, sebelum ke Pesanggrahan Goa Larangan mencari dua orang bayaran.yang melarikan diri meninggalkan tugasnya.

Dalam waktu tidak berapa lama, kuda putih tunggangan Raden Bantar Gading tiba di depan pondok kecil yang hanya diterangi sebuah pelita di ruangan dalam. Raden Bantar Gading segera melompat turun dari punggung kuda. Dengan ayunan kaki pasti, bergegas dihampirinya pintu pondok itu. Dia agak tertegun ketika melihat pintu pondok sedikit terbuka.

Brak!

Hanya sekali pukul saja, pintu pondok itu hancur berantakan. Kelopak matanya membeliak lebar melihat di dalam pondok itu telah duduk seorang pemuda tampan dan gagah mengenakan baju kulit harimau. Sedangkan di atas pembaringan, Mayang tergolek setengah berbaring miring. Tubuhnya hanya ditutupi selembar kain sutra tipis, sehingga menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya yang indah menggairahkan.

"Setan! Dasar pelacur...!" geram Raden Bantar Gading.

Mayang melilitkan kain dengan tenang, lalu bangkit berdiri dari pembaringannya. Sedangkan pemuda tampan berbaju kulit harimau tetap duduk tenang. Sedikit pun tidak mempedulikan kedatangan Raden Bantar Gading.

"Keluar kau!" bentak Raden Bantar Gading menunjuk pemuda berbaju kulit harimau.

Pemuda tampan itu hanya tersenyum tipis. Sedikit pun tidak bergeming. Sedangkan Mayang malah melangkah menghampiri, lalu duduk di pangkuan pemuda itu dengan sikap manja. Tentu saja hal ini membuat Raden Bantar Gading semakin berang. Dengan kasar direnggutnya tangan wanita itu, dan dicampakkannya dengan keras.

"Akh!" Mayang memekik tertahan. Dinding pondok sampai bergetar kena hantam tubuh ramping itu. Pemuda berbaju kulit harimau terkejut melihat kekasaran Raden Bantar Gading terhadap Mayang. Dia melompat bangun dari duduknya. Sinar matanya tajam langsung menusuk ke bola mata putra mahkota itu. Raden Bantar Gading melangkah mundur dua tindak. Hatinya tergetar juga melihat sorot mata yang dingin menusuk itu.

"Siapa kau?" tanya Raden Bantar Gading. Suaranya agak bergetar.

"Namaku Bayu Hanggara!" jawab pemuda berbaju kulit harimau itu dingin.

"Kuminta kau segera keluar, sebelum hilang kesabaranku!" tegas kata-kata Raden Bantar Gading.

"He ! Apa hakmu mengusirku?"

"Keparat! Ini pondokku, dan dia milikku!" Raden Bantar Gading menunjuk Mayang.

"Benar begitu?" Bayu memandang pada Mayang.

"Bohong!" sahut Mayang keras.

"Mayang...!"

"Aku tidak mengenalnya. Dan aku hidup sendiri disini!" sambung Mayang tidak menghiraukan bentakan Raden Bantar Gading.

"Tutup mulutmu, Mayang!" bentak Raden Bantar Gading geram.

"Harusnya kau yang tutup mulut!"

"Perempuan liar! Kubunuh kau!"

"Hhh, ingin kulihat, sampai di mana ke beranianmu," tantang Mayang sinis.

"Keparat! Hiya...!" Raden Bantar Gading tidak bisa lagi menahan luapan amarahnya. Bagai seekor serigala lapar menerkam mangsa, dia melompat hendak menyambar wanita itu. Namun dengan menggeser kakinya sedikit ke samping, Mayang berhasil menghindari sergapan Raden Bantar Gading. Tentu saja hal ini membuat putra mahkota itu semakin meluap amarahnya. Dengan cepat dia berbalik, dan melancarkan pukulan beruntun. Tapi sungguh diluar dugaan, ternyata Mayang mampu menghindari serangan itu dengan manis.

"Heh! Kau...!" Raden Bantar Gading terkejut bukan main. Sama sekali tidak disangka kalau Mayang memiliki ilmu olah kanuragan. Selama ini dia hanya mengenal Mayang sebagai seorang wanita lemah yang hanya bisa melayaninya di atas ranjang. Dan kini ternyata wanita lemah dan selalu hangat di ranjang itu memiliki simpanan, bahkan mampu meredam serangan dengan lincah.

"Kenapa bengong? Ayo, bunuh aku!" tantang Mayang.

"Phuih!" Raden Bantar Gading menyemburkan ludahnya. Sambil menahan perasaan heran bercampur geram, Raden Bantar Gading mencabut pedangnya dan langsung dikibaskan ke arah dada wanita itu. Mayang melompat mundur menghindari tebasan pedang Raden Bantar Gading. Dan pada saat Raden Bantar Gading menarik pedangnya, dengan cepat kaki Mayang melayang ke arah dada pemuda itu.

"Akh!" Raden Bantar Gading memekik kaget. Cepat-cepat putra mahkota itu menarik tubuhnya kebelakang seraya mengibaskan pedangnya. Secepat Mayang menarik kembali kakinya, secepat itu pula dia melontarkan tiga pukulan bertenaga dalam secara bruntun. Wajah Raden Bantar Gading memerah terkesiap. Serangan yang dilancarkan Mayang sungguh diluar dugaan. Tak ada jalan lain, kecuali menghindar dengan berkelit ke kiri dan kekanan.

Raden Bantar Gading bergegas melompat ke luar, setelah ada kesempatan baik Mayang tidak membiarkannya begitu saja. Dia pun segera melenting ke luar. Sedangkan Bayu hanya melangkah ringan saja mengikuti mereka. Di luar pondok, kembali pertarungan berlangsung. Di alam terbuka ini gerakan-gerakan mereka tidak lagi terbatas. Pedang keperakan di tangan Raden Bantar Gading berkelebatan mengurung tubuh wanita itu.

Jurus demi jurus berlangsung cepat. Meskipun Mayang tidak bersenjata, nampaknya masih mampu juga menandingi Raden Bantar Gading yang menggunakan pedang. Namun harus diakui, kalau posisi Mayang saat ini tidak menguntungkan sama sekali. Lebih-lebih dia hanya mengenakan kain yang menutupi tubuhnya. Gerakan-gerakannya jadi terbatas. Tiga kali ujung pedang Raden Bantar Gading mengoyak kain yang menutupi tubuh wanita itu.

"Hm..., tiga jurus lagi Mayang pasti tidak akan mampu menandingi," gumam Bayu yang sejak tadi memperhatikan.

ENAM

“Akh!" Mayang memekik tertahan. Buru-buru dia melompat mundur. Tapi ujung pedang Raden Bantar Gading masih sempat menyentuh bagian dadanya, sehingga kain yang dikenakan hampir melorot turun. Pada saat wanita itu sibuk dengan kainnya, Raden Bantar Gading melompat seraya mengibaskan pedang ke arah leher

"Hiyaaa ...!"

"Hup!" Bayu melentingkan tubuhnya, dan menyentil ujung pedang Raden Bantar Gading. Seluruh tangan putra mahkota itu jadi bergetar kesemutan. Cepat-cepat ditarik kembali pedangnya seraya melompat mundur. Bayu berdiri tegak melindungi Mayang.

"Masuklah, Mayang. Pakai lagi bajumu," kata Bayu lembut.

"Baik Kakang," sahut Mayang menurut.

"Phuih!" Raden Bantar Gading menyemburkan ludahnya sengit.

Mayang melangkah masuk kembali kedalam pondoknya. Sementara Raden Bantar Gading sudah kembali melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Rasa geram, marah, dan cemburu yang meluap-luap membuat serangannya jadi liar dan membabi-buta. Hal ini sempat membuat Bayu sedikit kerepotan. Tapi dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu bisa menguasai keadaan. Sudah bisa diukur sampai di mana tingkat kepandaian putra raja pemberang itu. Beberapa kali ujung pedang Raden Bantar Gading hampir merobek tubuh Bayu. Namun dengan manis sekali Pendekar Pulau Neraka itu mengelak. Hal ini membuat Raden Bantar Gading jadi semakin berang, karena merasa dipermainkan.

"Pergilah, sebelum aku berubah pikiran, Raden!" kata Bayu memperingatkan.

"Kau yang pergi, Setan!" balas Raden Bantar Gading.

"Kau bukan lawanku, Raden! Jangan paksa aku untuk bertindak kejam padamu!"

"Keparat! Mampus kau...!"

Raden Bantar Gading tidak mempedulikan peringatan Bayu dan malah semakin memperhebat serangan-serangannya. Sementara Bayu hanya melayani setengah-setengah. Tapi kini gerahamnya mulai bergemeletuk melihat Raden Bantar Gading tidak mengindahkan peringatannya. Bahkan serangan-serangannya semakin gencar saja.

"Hentikan, Raden!" bentak Bayu gusar.

"Jangan banyak mulut! Kau atau aku yang harus mampus!" dengus Raden Bantar Gading.

"Kau yang memaksaku, Raden!" Bayu jadi kesal.

Raden Bantar Gading benar-benar tidak peduli lagi. Bahkan jarum-jarum beracunnya malah beraksi setiap kali ada kesempatan dan jarak yang cukup. Hal ini semakin membuat Pendekar Pulau Neraka geram. Batas kesabarannya sudah habis. Dia bisa merasakan adanya hawa racun pada jarum-jarum hitam yang dilontarkan Raden Bantar Gading.

"Kau memilih mampus rupanya, Raden!" geram Bayu. Saat itu juga, Bayu segera melenting tinggi ke udara, lalu dengan cepat menukik turun sambil melontarkan dua kali pukulan bertenaga dalam sangat tinggi. Raden Bantar Gading terperangah sesaat. Buru-buru dibanting tubuhnya ke samping, dan bergulingan beberapa kali ditanah. Pukulan Bayu menghantam tanah kosong.

Tanah yang dipijak langsung bergetar bagai terjadi gempa. Debu berkepul tinggi ke angkasa. Mata Raden Bantar Gading terbeliak melihat tanah yang terkena pukulan Pendekar Pulau Neraka itu berlubang besar dan cukup dalam. Belum sempat putra mahkota itu hilang dari rasa terkejutnya, Bayu sudah melompat menerjangnya.

"Hiya ...!"

Des

"Akh...!" Raden Bantar Gading memekik keras. Pukulan keras bertenaga dalam hampir sempurna itu tidak bisa dielakkan lagi. Tubuh Raden Bantar Gading terpental keras kebelakang. Dua pohon yang cukup besar tumbang kena hantam punggungnya. Dan pada pohon ketiga, baru tubuh Raden Bantar Gading melorot turun. Pedang di tangannya pun terlepas dari genggaman.

Raden Bantar Gading berusaha bangkit, tapi dadanya yang sesak seperti terasa hancur, sehingga membuatnya sulit bergerak. Darah segar mengucur deras dari mulutnya. Pandangan matanya berkunang-kunang, dan napasnya tersengal. Seluruh tubuhnya terasa remuk.

"Jangan...!" pekik Mayang ketika Bayu hendak melontarkan kembali pukulan mautnya. Mayang berlari menghampiri Bayu dan berdiri menghadangnya. Tangan Bayu yang sudah terangkat naik, pelahan-lahan turun kembali. Sementara Raden Bantar Gading masih bersandar pada pohon yang hampir tumbang terbentur punggungnya tadi. Mayang berbalik memandang pemuda pongah itu.

"Cepatlah pergi," kata Mayang agak bergetar suaranya .

Sebentar Raden Bantar Gading menatap Mayang dan Bayu bergantian. Tangannya menggapai meraih pedang yang tergolek tidak jauh darinya. Setelah menyarungkan pedangnya kembali, dia berusaha bangkit dengan sisa-sisa kekuatan yang ada. Dadanya kembali terasa sesak setiap kali menggerakkan tubuhnya. Pandangannya pun semakin mengabur. Namun Raden Bantar Gading terus berusaha merayap mendekati kudanya.

Seperti mengetahui kalau majikannya tidak bisa berdiri dengan tegak, kuda putih itu menghampiri. Kepalanya tertunduk hampir menyentuh tanah. Raden Bantar Gading berusaha naik ke punggung kudanya. Langsung direbahkan tubuhnya begitu berada di atas punggung kudanya. Pelahan-lahan kuda putih itu melangkah pergi tanpa diperintah lagi.

"Kenapa kau cegah aku untuk membunuhnya, Mayang?" tanya Bayu setelah mereka berdua berada didalam pondok kembali.

"Dia sebenarnya baik, Kakang. Hanya pengaruh ayahnya begitu kuat, sehingga wataknya jadi keras begitu," jawab Mayang seraya menghenyakkan tubuhnya dipembaringan.

Bayu kembali duduk di kursi dekat jendela. Angin malam yang dingin menerobos masuk dari pintu yang jebol berantakan. Mayang menutupi tubuhnya dengankain tebal berbulu. Dimiringkan tubuhnya untuk memandang pemuda tampan berbaju kulit harimau itu. Sesaat keheningan mencekam menyelimuti mereka berdua.

Tatapan mata wanita cantik itu dibalas Bayu dengan lembut. Mayang memang sudah menceritakan segalanya pada Pendekar Pulau Neraka itu. Lebih-lebih setelah Bayu bercerita kalau dia sudah mengetahui hal itu dari seorang laki-laki yang dipanggil eyang oleh Mayang. Tapi Bayu tidak mengatakan siapa laki-laki tua itu sebenarnya. Bayu hanya ingin mengetahui lebih jelas lagi dari wanita yang dikatakan putri tunggal Ratu Kunti Boga, penguasa yang terguling di Kerajaan Gantar Angin.

Sebenarnya, tadi mereka sudah tahu kalau Raden Bantar Gading datang. Suara derap langkah kaki kuda sudah menandakan kalau Raden Bantar Gading akan muncul. Bukan Bayu yang merencanakan. Tapi memang Mayang sendiri yang langsung melepaskan seluruh bajunya, dan hanya ditutupi dengan selembar kain tipis. Semula Bayu terkejut, tapi akhirnya bisa mengerti dengan tindakan wanita itu. Hasilnya memang nyata, Raden Bantar Gading jadi cemburu buta, sehingga amarahnya meluap. Lebih-lebih setelah mendapat perlawanan sengit dari wanita itu. Amarah Raden Bantar Gading semakin bertambah tidak terkendalikan.

"Kau mencintainya?" tanya Bayu dengan pandangan mata sukar dimengerti.

Mayang tidak langsung menjawab. Kepalanya tertunduk, tidak sanggup membalas tatapan mata Pendekar Pulau Neraka itu. Dia memang mencintai Raden Bantar Gading, tapi tidak mungkin....

"Aku bisa mengerti perasaanmu, Mayang. Aku datang menemuimu bukan untuk mendesak seperti yang dilakukan Eyangmu. Justru ke datanganku ingin membuktikan kebenaran kata-kata laki-laki yang kujumpai, dan mengaku sebagai Eyangmu sekaligus gurumu itu," lembut kata-kata Bayu.

"Sebagian memang ada benarnya, tapi...," kembali Mayang tidak melanjutkan kata-katanya.

"Kenapa, Mayang?"

"Aku.... Aku tidak tahu, sejak kapan berada di tempat ini. Eyang selalu datang dengan baju serba hitam dan wajah hampir tertutup kain hitam. Rasanya kalau bersamanya sejak usia tujuh tahun, aku pasti ingat. Sedangkan aku tidak ingat sama sekali," kata Mayang ragu-ragu.

"Kau masih ingat suasana Istana Kerajaan Gantar Angin?" tanya Bayu mulai merasa mendapat teka-teki lagi. Mayang menggeleng pelahan. Jelas sinar matanya memancarkan keraguan.

"Kau ingat, sejak kecil berada di mana?"

"Yang aku tahu, sejak kecil aku berada di Puncak Bukit Cemara bersama ibu pengasuhku. Dia meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Kemudian aku bertemu dengan Raden Bantar Gading. Dialah yang membuatkan aku pondok disini. Hanya itu, dan tidak ada yang menarik"

"Kau masih ingat wajah Ayah dan Ibumu?"

"Tidak..," kembali Mayang menggeleng.

"Mustahil! Usia tujuh tahun seharusnya kau masih ingat wajah orang tuamu," gumam Bayu tidak percaya.

"Sungguh! Aku tidak tahu, dan tidak ingat sama sekali. Bahkan aku sendiri ragu-ragu, apakah benar aku ini putri Gusti Ratu yang sekarang ditawan dalam kamar bawah tanah bersama saudara-saudaraku.

"Kau pernah ke kotaraja?"

Lagi-lagi Mayang menggeleng.

"Tidak tahu sama sekali suasana dikotaraja?"

"Tidak"

"Aneh...," gumam Bayu pelan, hampir tidak terdengar suaranya. Bayu kembali terdiam. Keterangan yang diperoleh dari Mayang membuatnya berpikir keras. Dirasakan adanya kejanggalan dan keanehan. Tapi itu tidak mungkin dapat terungkap jika tidak mencari keterangan lain di kotaraja. Hanya di sanalah semuanya bisa terungkap, sekaligus mengetahui maksud dan tujuan Paman Nampi yang sebenarnya.

Bayu jadi ragu-ragu dengan kebenaran cerita Paman Nampi. Sebab keterangan yang didapatnya dari laki-laki tua berjubah putih itu banyak yang tidak cocok dengan cerita Mayang sendiri. Terutama tentang keluarga kerajaan. Semuanya masih membingungkan. Hal ini jadi pertanyaan besar di benak Pendekar Pulau Neraka. Bayu bangkit berdiri dari duduknya, kemudian melangkah kepintu yang sudah hancur daunnya.

"Benahi pakaianmu, kita pergi sekarang," kata Bayu seraya melangkah keluar.

"Kemana...?" tanya Mayang seraya melompat turun dari pembaringan.

"Ke kotaraja!" sahut Bayu dari luar.

"Untuk apa ke sana? Eyang pasti tidak akan mengijinkan."

"Kau ingin tahu siapa dirimu, kan?"

Mayang tidak menjawab. Dia termenung sebentar, lalu menyiapkan pakaian beberapa potong dan membungkusnya dengan selembar kain. Bergegas dia melangkah keluar setelah merapikan diri. Bayu sudah menunggu di depan pondok. Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kakinya begitu melihat Mayang keluar dari pondok Mereka berjalan berdampingan tanpa bicara sedikitpun.

********************

Suasana di Kotaraja Kerajaan Gantar Angin tampak ramai. Keramaian itu juga ditandai dengan banyaknya prajurit yang berkeliaran di setiap sudut. Tetapi semua ke ramaian itu berjalan seperti dipaksakan. Wajah-wajah mendung dengan sinar mata kosong tanpa gairah, terpancar dari raut wajah setiap rakyat. Keramaian itu ada karena hari ini adalah hari pasaran, se hingga banyak pedagang dan pendatang yang ingin berjual-beli memadati kota.

Di antara keramaian itu, tampak Bayu dan Mayang berjalan menuju sebuah rumah penginapan yang sekaligus kedai makan. Di tempat itu juga ramai dikunjungi. Bahkan beberapa prajurit terlihat di sana. Dua orang punggawa juga ada. Bayu dan Mayang masuk kedalam kedai itu. Seorang laki-laki tua menghampiri terbungkuk-bungkuk Dia mempersilakan Bayu dan Mayang duduk kemudian menanyakan makanan dan minuman yang dipesan.

Ki Rampit, pemilik kedai dan rumah makan itu bergegas kebelakang setelah Bayu menyebutkan pesanannya. Sementara Mayang mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sungguh tidak disangka kalau kotaraja begini ramai, dan banyak berdiri rumah besar dan indah. Baru kali ini Mayang menyaksikan begitu banyak orang hilir-mudik dengan kesibukannya masing-masing. Ki Rampit datang lagi dengan membawa pesanan yang diminta Bayu. Diletakkan pesanan itu di atas meja dengan sikap sopan. Bibirnya selalu menyunggingkan senyum.

"Tampaknya Kisanak datang dari jauh...," kata Ki Rampit setelah menaruh semua pesanan tamunya dimeja.

"Benar," sahut Bayu

"Kisanak perlu tempat untuk menginap?"

"Ya. Aku agak lama berada di sini," sahut Bayu lagi.
"Di sini juga menyediakan kamar penginapan.

Tapi...."

"Kenapa?"

"Tinggal satu kamar lagi yang tersisa."

"Tidak apa. Kami ini pasangan suami istri," kata Bayu berbohong.

"Oh, kalau begitu aku siapkan dulu kamarnya."

"Terima kasih," ucap Bayu.

Ki Rampit bergegas meninggalkan tamunya itu. Mayang mencubit tangan Bayu. Bola matanya mendelik lebar. Bayu hanya meringis saja. Dia tahu, kenapa Mayang mencubitnya.

"Supaya tidak menyolok. Lagi pula, biar aku lebih leluasa menjaga keselamatanmu," kata Bayu setengah berbisik.

"Tapi...," Mayang mau protes.

"Sudahlah! Di sini nyawamu terancam."

Mayang langsung diam. Matanya sempat melirik beberapa prajurit dan dua orang punggawa yang berada di dalam kedai ini. Sementara Bayu sudah sibuk dengan makanannya. Rasa lapar yang sejak tadi ditahan, membuat Mayang segera melahap hidangannya. Mereka makan tanpa banyak bicara lagi. Sementara kedai ini tidak pernah sepi, selalu saja ada orang yang keluar masuk. Ki Rampit tampak sibuk melayani tamu-tamunya. Namun senyumnya tetap terkembang ramah. Mungkin keramahan inilah yang membuat kedainya ramai dikunjungi, disamping masakannya memang sangat lezat.

Ki Rampit datang lagi ke meja Bayu, setelah Pendekar Pulau Neraka dan Mayang menyelesaikan makannya. Mereka kini menikmati arak manis yang memang selalu disediakan pemilik kedai meskipun tidak termasuk pesanan. Ki Rampit tersenyum dan mengangguk ramah. Bayu membalasnya dengan ramah pula .

"Kamar sudah disiapkan. Silakan, jika Kisanak ingin beristirahat," kata Ki Rampit lagi.

"Bagaimana, Mayang?" tanya Bayu menoleh pada Mayang.

"Bolehlah. Dan lagi, badanku memang sudah pegal," sahut Mayang.

Bayu bangkit berdiri, dan membantu wanita itu berdiri dengan memegang tangannya. Mayang membiarkan saja tangannya digenggam pemuda tampan berbaju kulit harimau itu. Ki Rampit memandanginya dengan bibir tetap terhias senyum. Dia melangkah lebih dulu untuk menunjukkan kamar yang sudah disiapkan. Beberapa perintah yang ditujukan kepada pembantunya meluncur dari bibir laki-laki tua itu.

Bayu dan Mayang berjalan bergandengan tangan mengikuti Ki Rampit. Mereka melewati bagian belakang kedai, dan terus masuk ke dalam satu lorong yang sangat besar. Di kiri dan kanannya terdapat banyak pintu berjajar rapi. Lorong itu bercabang, dan mereka berbelok ke arah kanan. Bayu agak berkerut keningnya ketika Ki Rampit mengajaknya ke luar dari lorong setelah berbelok ke kanan.

Tampak sebuah taman indah, terhampar di bagian belakang rumah penginapan ini. Mereka terus berjalan melintasi taman itu, dan baru berhenti setelah tiba pada satu bangunan yang tidak begitu besar, namun kelihatan terawat rapi. Letaknya memang menyendiri, di antara bangunan-bangunan lain.

"Silakan," kata Ki Rampit seraya membuka pintu.

Bayu mengamati keadaan di dalam. Sungguh indah sekali. Mayang mengayunkan kakinya masuk ke dalam. Dia memutari ruangan yang tidak begitu besar, namun ditata sangat indah. Bangunan itu memang hanya berupa satu kamar saja. Sedangkan Bayu tetap berdiri di ambang pintu. Di sampingnya Ki Rampit masih berdiri menunggu.

"Bukankah ini kamar khusus?" tanya Bayu.

"Benar. Khusus untukmu, Kisanak," sahut Ki Rampit.
"Untukku...?!" Bayu tersentak kaget.

Ki Rampit hanya tersenyum saja, kemudian melangkah masuk ke dalam. Sejenak Bayu masih berdiri di ambang pintu, ke mudian ikut masuk ke dalam. Ki Rampit menutup pintunya dan duduk di kursi dekat pintu. Sementara Mayang sudah merebahkan diri dipembaringan dengan tubuh miring. Bayu berdiri disamping jendela yang langsung menghadap ke taman.

"Aku tahu, kalian berdua pasti datang ke sini," kata Ki Rampit. Bibirnya tetap tersenyum.

Bayu memandang dengan kening sedikit berkerut. Mayang langsung terlonjak bangun dari pembaringan. Dia duduk di tepi pembaringan itu. Kata-kata Ki Rampit membuat jantungnya seperti berhenti berdetak seketika. Sedangkan Bayu hanya diam. Pandangan matanya jadi penuh rasa curiga.

"Bagaimana kau tahu kami akan datang?" tanya Bayu dingin.

Lagi-lagi Ki Rampit hanya tersenyum saja. "Kerajaan Gantar Angin ini tidak terlalu besar. Setiap kali ada peristiwa yang terjadi, selalu cepat tersebar luas. Aku tahu kalau Raden Bantar Gading selalu ke Bukit Cemara, aku juga tahu peristiwa yang terjadi di Bukit Batu...," kata Ki Rampit kalem.

Kata-kata laki-laki tua pemilik kedai itu memang cukup jelas. Tapi, Bayu tidak mau menerima begitu saja. Dia yakin itu bukan alasan yang tepat. Hanya saja. Bayu tidak mau mendesak lebih jauh lagi. Dan kecemasan pun mulai menjalar di hatinya. Kalau memang demikian alasan Ki Rampit, pasti semua orang sudah tahu kedatangannya. Apalagi para prajurit serta punggawa yang ada di kedai! Hal ini bisa jadi kesulitan besar bagi Bayu dan Mayang.

Ki Rampit bangkit berdiri, dan membuka pintu kamar itu. Dia berbalik dan tersenyum pada Bayu.

"Aku tahu kalian bukan pasangan suami istri. Tapi jangan khawatir, tempat ini cukup aman bagi kalian berdua," kata Ki Rampit sebelum meninggalkan kamar itu.

Bayu tersentak kaget. Dia ingin mencegah, tapi Ki Rampit sudah ke buru pergi dengan menutup pintu kamar ini. Bayu hanya bisa mendesah panjang dengan mata menatap lurus pada Mayang. Wanita itu juga membalas tatapan Pendekar Pulau Neraka.

"Kau di sini saja, Mayang. Jangan ke luar dari kamar," kata Bayu seraya bangkit berdiri.

"Kakang mau ke mana?" tanya Mayang.

"Aku akan cari keterangan, siapa Ki Rampit sebenarnya."

Mayang membiarkan saja Pendekar Pulau Neraka itu ke luar dari kamar ini, dan hanya duduk merenung di tepi pembaringan. Wanita itu bangkit berdiri dan melangkah kejendela. Dari sini, ke lihatan Bayu sedang berjalan cepat melintasi taman. Tubuh Pendekar Pulau Neraka itu lenyap di balik lorong kamar penginapan lainnya. Mayang menarik napas panjang, dan kembali berbalik. Dihenyakkan tubuhnya di pembaringan.

Sementara itu Bayu sudah menyusuri lorong yang dikanan kirinya terdapat kamar-kamar sewaan. Langkahnya cepat dan bergegas. Sebentar saja dia sudah sampai di ujung lorong. Tapi saat tangannya hendak membuka pintu, telinganya mendengar suara percakapan dari balik pintu lorong ini. Bayu paham betul akan suara dua orang laki-laki yang sedang berbicara itu. Segera dikerahkan ilmu meringankan tubuh dan ditajamkan telinganya. Suara dua orang itu jelas suara Ki Rampit dan Raden Bantar Gading.

"Kau yakin, kalau mereka adalah Mayang dan Pendekar Pulau Neraka?" terdengar suara Raden Bantar Gading.

"Tidak salah, Raden. Seperti yang Raden katakan, wanitanya cantik, berkulit putih dengan rambut panjang tergelung hitam. Ada andeng-andeng di sudut bibir kanan. Sedangkan yang laki-laki berwajah tampan, tinggi tegap dan memakai baju dari kulit harimau. Bukankah begitu yang Raden katakan?"

"Hm, di mana kau tempatkan mereka?"

"Di kamar biasa, Raden."

"Bagus! Kau ajak Pendekar Pulau Neraka itu ke luar. Biar kubereskan wanita keparat itu!"

"Hamba, Raden."

"Aku tunggu di kamar, lalu kau ajak dia pergi."

"Sekarang, Raden?"

"Iya, sekarang!"

"Baik, Raden."

Pada saat itu, Bayu sudah berlari cepat meninggalkan lorong kamar penginapan itu. Dalam sekejap saja, dia sudah sampai di depan pintu kamar, tempat Mayang menunggu. Bergegas dibukanya pintu kamar itu. Mayang terkejut melihat ke datangan Bayu begitu tergesa-gesa.

"Cepat tinggalkan tempat ini!" kata Bayu.

"Ada apa, Kakang?" tanya Mayang.

Bayu tidak menjawab. Dengan cepat disambarnya tangan wanita itu, dan ditariknya ke luar. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu memondong Mayang sambil melentingkan tubuhnya ke atas atap. Tepat pada saat Pendekar Pulau Neraka membawa Mayang pergi, KiRampit keluar dari lorong. Langkah kakinya bergegas melintasi taman, langsung menuju kamar khusus itu.

Ki Rampit mengetuk pintu yang sedikit terbuka. Tak ada sahutan dari dalam. Pelahan-Iahan didorongnya daun pintu itu. Matanya membeliak lebar begitu mendapati kamar sudah kosong. Buntalan kain milik Mayang masih teronggok di atas pembaringan. Bergegas Ki Rampit berlari meninggalkan kamar itu.

"Raden...! Raden...!" teriaknya memanggil.

Pada saat Ki Rampit hampir mencapai pintu lorong, Raden Bantar Gading muncul dengan tergesa-gesa. Ki Rampit segera menjatuhkan diri berlutut. Napasnya tersengal, seolah baru saja berlari jauh.

"Ada apa?!" tanya Raden Bantar Gading setengah membentak.

"Celaka, Raden. Mereka kabur...." sahut Ki Rampit dengan napas terengah-engah.

"Apa...? !"

"Mereka kabur, Raden," ulang Ki Rampit.

"Bodoh!"

Plak!

Ki Rampit mengaduh begitu telapak tangan Raden Bantar Gading mendarat dipipinya. Laki-laki tua itu terjungkal jatuh. Belum sempat dia bangkit, satu tendangan keras membuat tubuhnya terguling beberapa depa jauhnya. Raden Bantar Gading kembali mendaratkan tendangannya ke tubuh laki-laki tua itu. Benar-benar dilampiaskan kekesalannya.

Tidak puas dengan tendangan. Raden Bantar Gading mengangkat tubuh tua itu. Maka dua pukulan mendarat di tubuh laki-laki tua itu sekaligus. Darah mengucur deras dari mulut dan pelipisnya yang luka. Ki Rampit hanya bisa mengeluh dan merintih lirih. Seluruh tulang-tulangnya terasa remuk redam. Tidak terhitung lagi, berapa pukulan dan tendangan mendarat di wajah dan tubuhnya .

"Mampus kau! Tua bangka tidak ada guna!" geram Raden Bantar Gading.

Sret!

Raden Bantar Gading mencabut pedangnya, dan langsung dikibaskan ke dada kurus kerempeng itu. Ki Rampit tidak mungkin lagi mengelak. Tak pelak lagi, dadanya terbabat ujung pedang Raden Bantar Gading. Ki Rampit menjerit melengking, darahpun muncrat dari luka panjang dan dalam di dadanya.

"Hiya ...!"

"Aaakh...!" Satu jeritan keras melengking mengantarkan nyawa laki-laki tua malang itu. Darah kembali muncrat dari perutnya yang tertembus pedang. Raden Bantar Gading menendang tubuh tua yang tak bernyawa lagi itu. Sambil melangkah pergi, disarungkan kembali pedangnya. Beberapa orang yang mendengar ribut-ribut itu, hanya bisa mengintip dari balik jendela kamar penginapan. Tidak seorang pun yang berani mencegah. Mereka tahu siapa Raden Bantar Gading, yang biasa membunuh orang tanpa berkedip!

********************

TUJUH

"Kakang, turunkan...!" jerit Mayang memberontak.

Bayu berhenti berlari setelah sampai di perbatasan kotaraja. Diturunkan Mayang dari pondongannya. Wanita itu memberengut sambil merapikan bajunya yang kusut. Bayu memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tak ada seorang pun yang terlihat.

"Kenapa buru-buru? Seperti dikejar setan saja!" rungut Mayang.

"Dengar, Mayang: Ini kesalahanmu," kata Bayu tajam.

"Aku...?!" Mayang tidak mengerti.

"Iya! Kalau saja kau biarkan Raden bergajul itu mati, kita bisa bebas masuk ke kotaraja!"

"Kakang, apa sebenarnya yang terjadi?" Mayang masih belum mengerti juga.

"Tidak ada lagi tempat aman bagimu! Raden Bantar Gading sudah memerintahkan siapa saja untuk menjebak dan menangkap kita, terutama kau!"

"Jadi...?"

"Ki Rampit sudah tahu siapa kita sebenarnya dari Raden Bantar Gading. Dia sengaja memberi kamar khusus, sementara Raden Bantar Gading menunggunya di kamar lain," jelas Bayu singkat.

"O.... Pantas dia bisa tahu...," Mayang mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Dunia memang kejam, Mayang. Kau tidak boleh percaya begitu saja pada siapa pun. Sekali kau terjebak, selamanya tidak akan merasa aman."

"Kau juga tidak pernah percaya pada siapa pun?"

"Itu tergantung, Mayang. Kita boleh percaya pada seseorang, tapi jangan sepenuhnya. Coba kalau tadi kita percaya begitu saja pada omongan Ki Rampit...."

"Aku percaya padamu, Kakang," potong Mayang.

"Jangan! Kau belum tahu siapa aku sebenarnya."

"Tidak! Aku tetap percaya padamu."

"Kau begitu polos, Mayang. Kepolosan dirimu bisa menjeratmu. Bahkan bukan tidak mungkin disalahgunakan orang lain. Kau tidak akan merasa diperalat sebelum benar-benar terjerumus."

Mayang terdiam membisu. Pandangan matanya tajam menembus langsung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka itu. Bisa ditebak arah pembicaraan Bayu Hanggara. Mendadak saja hatinya jadi tidak menentu. Kehadiran Bayu seperti sebuah pelita yang menerangi hatinya. Mayang baru sadar kalau selama ini hatinya begitu tertutup dan buta akan keadaan sekelilingnya. Sungguh tidak disadari, bahwa banyak serigala liar berada di sekitarnya. Serigala yang siap mencabik-cabik tubuhnya .

"Kakang, apakah Eyang juga tidak bermaksud baik padaku?" tanya Mayang ragu-ragu.

"Aku tidak mengatakan begitu, Mayang. Yang jelas, saat ini bukan hanya satu dua orang menginginkanmu. Kau juga harus tahu, siapa dirimu sebenarnya," sahut Bayu.

"Aku jadi seperti bukan diriku lagi, Kakang," kata Mayang bergumam.

"Kau tetap Mayang. Hanya saja asal-usulmu harus kau ketahui. Jangan sampai ada orang yang memanfaatkanmu untuk kepentingan pribadi."

"Bagaimana aku bisa tahu?"

"Kau akan tahu, Mayang. Percayalah, pasti masih ada orang yang tahu betul akan asal-usulmu. Kau percaya padaku, Mayang?"

"Tentu."

"Aku akan membantumu."

"Sungguh?"

Bayu mengangguk pasti. Hati Pendekar Pulau Neraka itu tergerak melihat keadaan Mayang yang buta akan riwayat hidupnya sendiri. Hal itu sama dengan keadaan Bayu yang juga tidak tahu dan belum pernah melihat wajah orang tuanya. Meskipun Pendekar Pulau Neraka itu sudah mengetahui asal-usulnya, tapi masih juga belum yakin kalau ibunya sudah tewas dalam kerusuhan di Padepokan Teratai Putih. Sampai saat ini, pusaranya saja belum ditemukan.

Kesamaan nasib antara dirinya dengan Mayang, membuat hati Pendekar Pulau Neraka itu tergerak untuk membantu. Terlepas sampai kapan Bayu bisa mengungkap asal-usul wanita itu. Sedangkan orang-orang yang ingin me manfaatkan kepolosan Mayang saja belum bisa dipastikan. Saat ini Bayu menghadapi dua persoalan yang hampir berlawanan. Dan itu pasti menyangkut keluarga Kerajaan Gantar Angin.

Bayu tersentak dari lamunannya ketika tiba-tiba Mayang menubruk dan memeluknya dengan erat. Sebentar Bayu gelagapan. Buru-buru dilepaskan pelukan wanita itu. Tapi Mayang malah memperketat pelukannya. Bahkan tanpa sungkan-sungkan lagi, diciuminya wajah Pendekar Pulau Neraka itu. Tentu saja hal ini membuat hati Bayu tidak menentu.

"Mayang...," desah Bayu agak tersengal. Dengan halus, Bayu melepaskan pelukan wanita itu. Digeser kakinya dua langkah kebelakang. Sedangkan Mayang tidak melepaskan genggaman tangannya pada tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Bibirnya yang selalu merah merekah, mengulas senyum. Bola matanya berbinar, seperti mata bocah yang baru diberi hadiah.

"Aku gembira, Kakang. Kau telah membuka mata hatiku," kata Mayang.

"Iya, tapi jangan begitu caranya."

"Kau tidak suka?" '

Bayu tidak menjawab. Laki-laki mana yang tidak suka dipeluk wanita cantik seperti ini? Hanya laki-laki bodoh yang menolak. Tapi dalam suasana seperti ini, rasanya Bayu enggan untuk bercinta. Memang diakui, hatinya sempat tergetar saat memandang wajah wanita itu. Lebih-lebih setelah Mayang memeluk dan menciuminya. Rasanya saat itu juga jantung Bayu copot.

"Jangan gembira dulu, Mayang. Perjalananmu masih jauh," kata Bayu agak tertahan suaranya.

"Maafkan aku, Kakang. Aku...," agak tersipu wajah Mayang.

"Lupakan saja."

********************

Malam baru saja beranjak turun menyelimuti bumi. Angin dingin berhembus kencang membawa titik-titik embun. Kabut pun ikut merayap menambah dinginnya udara malam itu. Udara semakin menusuk tulang saat titik-titik air hujan mulai merinai. Tapi, keadaan malam yang tidak ramah itu tidak menghentikan langkah seorang pemuda yang tengah memasuki Kotaraja Kerajaan Gantar Angin.

Pemuda tampan dengan tubuh tinggi tegap itu berjalan melintasi jalan yang cukup lebar dan berbatu Pandangan matanya lurus kedepan, dengan sorot mata mencerminkan kemantapan hati. Tak ada seorang pun yang terlihat di sepanjang jalan. Suasana malam yang dingin dengan rintik air hujan merinai, membuat semua orang lebih senang berada dalam rumah.

"Hm..., sepi. Mudah-mudahan dia ada di rumah," gumamnya pelan.

Langkah kakinya berhenti tepat di depan kedai dan rumah penginapan milik Ki Rampit. Tempat itu kelihatan gelap, tak ada satu pelita pun yang menerangi. Suasana rumah penginapan itu seperti sudah lama tidak berpenghuni. Pemuda tampan itu me langkahkan kakinya mendekati pintu kedai yang tidak tertutup dengan sempurna. Keningnya sedikit berkerut, seraya tangannya mendorong pintu kedai itu.

"Sepi. Ke mana Ki Rampit?" kembali dia bergumam sendiri.

Pelan kakinya terayun masuk ke dalam kedai. Benar-benar sepi, tidak terlihat seorang pun di sini. Keadaannya juga gelap dan tidak teratur. Masih banyak bekas-bekas makanan berserakan di meja. Bahkan beberapa meja dan kursi hancur be rantakan. Pemuda tampan itu mulai menduga-duga, apa yang telah terjadi di kedai ini.

"Jangan-jangan...."

Pemuda itu bergegas melangkah menuju bagian belakang kedai. Dia terus berjalan memasuki lorong yang di kanan kirinya terdapat kamar-kamar untuk disewakan. Semua pintu kamar terbuka lebar. Tidak ada satu pun penyewa yang menghuni di situ. Pemuda itu terus melangkah cepat keluar dari lorong. Mulutnya terbuka, dan matanya membe liak lebar begitu melihat tubuh Ki Rampit menggeletak bersimbah darah di atas rerumputan taman belakang.

Belum sempat pemuda itu menghampiri mayat Ki Rampit, mendadak telinganya menangkap desiran halus dari arah belakang. Dia agak terperangah begitu melihat seorang gadis mengayunkan sebilah golok ke arah kepala. Buru-buru dia merunduk, dan tangannya melayang menyentil golok di atas kepalanya.

"Akh!" gadis muda itu memekik tertahan. Golok ditangannya terlepas dan mental cukup jauh. Belum sempat gadis itu berbuat sesuatu, pemuda tampan berbaju kulit harimau itu sudah menyergapnya, dan langsung memelintir tangannya ke belakang.

"Ah...! Lepaskan...!" jerit gadis itu seraya meronta coba melepaskan diri.

"Aku lepaskan kalau kau mau diam!" dingin suara pemuda itu.

Gadis berbaju biru muda itu langsung diam tidak meronta lagi. Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu melepaskan ringkusannya, dan mendorong tubuh gadis itu kedepan. Gadis yang masih berusia sekitar lima belas tahun itu memijit-mijit pergelangan tangannya. Kedua bola matanya tajam menatap pemuda tampan di depannya.

"Siapa kau? Kenapa menyerangku?" tanya pemuda itu mulai lembut suaranya.

"Huh" gadis itu mendengus ketus.

"Aku tidak bermaksud buruk," kata pemuda itu lagi seraya melirik mayat Ki Rampit. Pemuda itu melangkah menghampiri mayat itu, tapi gadis berbaju biru muda itu sudah melompat menghadang. Tatapan matanya semakin tajam menusuk.

"Jangan sentuh ayahku!" keras suara gadis itu.

"Kau putri Ki Rampit...?"

"Iya!"

"Kenapa kau diamkan saja mayat ayahmu? Kau kan bisa meminta bantuan saudaramu yang lain atau tetangga untuk menguburkannya?"

"Percuma. Tidak ada yang mau!" masih ketus nada suara gadis itu.

"Aneh...!" desis pemuda itu. Tanpa menghiraukan cegahan gadis putri Ki Rampit, pemuda berbaju kulit harimau itu mendekati mayat Ki Rampit, lalu mengangkatnya. Gadis itu seperti terpaku dan tidak mencegah lagi. Malah diikutinya pemuda yang membawa mayat laki-laki tua pemilik kedai dan rumah penginapan itu. Langkah pemuda itu berhenti di samping kamar sewa khusus. Mayat Ki Rampit diletakkan di atas balai balai bambu yang beralaskan tikar daun pandan.

Tanpa menghiraukan putri Ki Rampit, pemuda itu mengambil cangkul di belakang, dan mulai menggali lubang..Agak lama juga dia membuat lubang yang cukup besar di samping rumah sewa itu. Setelah dirasakan cukup dalam, diangkatnya tubuh Ki Rampit untuk dikuburkan. Gadis berbaju biru muda itu mulai terisak begitu tubuh ayahnya mulai tertimbun tanah.

"Ayah...," rintihnya lirih.

Pemuda berbaju kulit harimau itu menghampiri putri Ki Rampit setelah selesai mengubur mayat Ki Rampit Gadis itu diajak masuk ke kamar sewaan khusus, Pemuda itu menyuruhnya duduk di kursi. Dia sendiri kemudian mengambil tempat dekat jendela. Gadis itu masih terisak sesekali. Dengan punggung tangan, dihapusnya air mata yang jatuh menitik ke pipi.

"Siapa namamu?" tanya pemuda itu lembut suaranya.

"Rintan," sahut gadis itu pelan. Hampir tidak terdengar suaranya.

"Aku Bayu. Kau boleh memanggilku, Kakang Bayu," pemuda berbaju kulit harimau itu juga memperkenalkan diri

"Kau bukan orang suruhan Raden Bantar Gading?" Rintan ingin kepastian.

Bayu hanya menggeleng dan tersenyum manis.

"Untuk apa kau datang? Orang-orang Raden Bantar Gading sangat kejam. Kau pasti akan dibunuh bila mereka tahu bahwa kau yang mengubur mayat ayahku. Raden Bantar Gading melarang siapa saja menguburkan jenazah Ayah," kembali Rintan terisak.

"Lalu, saudaramu?"

“Aku anak tunggal, sedangkan Ibu sudah tiga tahun lalu meninggal dunia.”

Bayu terdiam membisu. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram menyaksikan ke kejaman yang berlangsung di depan matanya. Sungguh tak disangka kalau Ki Rampit akan bernasib seperti itu. Semula Bayu menyangka kalau orang tua itu memang sengaja menjebaknya. Ternyata semua itu dilakukan karena terpaksa .

Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri Rintan, dan memeluk dengan penuh perasaan. Rintan semakin keras menangis. Dipeluknya Bayu erat-erat. Kepalanya disembunyikan di dada pemuda itu. Bayu membiarkan Rintan menumpahkan air mata dukanya. Hatinya terenyuh menyaksikan penderitaan yang dialami gadis muda ini.

Bayu membawa Rintan ke hutan perbatasan Kerajaan Gantar Angin. Mayang pun menerima baik gadis itu. Tetapi mereka terpaksa harus tinggal di dalam goa yang sangat tersembunyi. Pendekar Pulau Neraka itu kembali kekotaraja setelah menitipkan Rintan pada Mayang. Dia langsung menuju ke Istana Kerajaan Gantar Angin.

Bangunan istana nan megah itu dikelilingi tembok benteng yang tinggi dan kokoh. Tidak kurang dari seratus prajurit berjaga-jaga di setiap sudut benteng. Cukup sulit untuk menembus ke dalam. Hampir setiap jengkal selalu ada prajurit penjaga. Bayu mempelajari keadaan sekitar istana itu dari atas dahan pohon yang cukup tinggi.

"Hm. Seperti ada pesta di dalam...," gumam Bayu dalam hati.

Di dalam ruangan yang besar dan megah, memang sedang ada pesta. Tidak banyak yang hadir. Hanya para kerabat dan keluarga kerajaan serta pembesar saja. Pesta itu diadakan untuk menyambut jago-jago dari seberang yang diundang secara khusus oleh Prabu Abiyasa.

Ada sekitar sepuluh orang berpakaian aneh dengan senjata beraneka ragam yang mengaku jago-jago dari seberang. Sedangkan Prabu Abiyasa duduk dengan angkuh di atas singgasananya. Di samping kanan dan kirinya duduk Raden Bantar Gading dan Raden Sangga Alam. Tampak jelas kalau Raden Sangga Alam tidak senang akan kehadiran jago-jago dari seberang itu. Sedikit pun bibirnya tidak menyunggingkan senyum.

Prabu Abiyasa bangkit dari duduknya. Semua orang yang ada di ruangan itu langsung diam, kemudian membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Tidak terkecuali sepuluh orang jago yang diundang dari seberang yang juga memberi hormat dengan cara masing-masing.

"Malam ini kita semua berkumpul untuk menyambut ke datangan sepuluh jago yang kuundang. Mereka adalah tokoh yang sukar dicari tandingannya di negaranya masing-masing. Tugas mereka tidak lain untuk mengamankan jalannya pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan...," lantang dan berwibawa kata-kata Prabu Abiyasa.

Tidak ada seorang pun yang berani membuka suara. Semuanya menyimak dengan sikap penuh hormat Mata Prabu Abiyasa merayapi semua orang satu persatu.

"Di samping itu, tugas khusus yang harus mereka jalankan adalah mencari dan membunuh perusuh!" sambung Prabu Abiyasa.

"Ayah...," Raden Bantar Gading menyelak.

"Ada apa, Anakku?"

"Aku inginkan kepala Pendekar Pulau Neraka. Tingkat ke pandaiannya sangat tinggi. Akan kuberi hadiah besar bagi siapa saja di antara mereka yang berhasil memenggal kepala Pendekar Pulau Neraka," kata Raden Bantar Gading.

"Dengar itu! Anakku meminta satu kepala dan akan memberikan hadiah yang sangat besar," sambung Prabu Abiyasa.

Pernyataan Raden Bantar Gading disambut hangat sepuluh orang jago dari seberang yang diundang itu. Bahkan para kerabat dan pembesar istana juga menyambut gembira. Lain halnya dengan Raden Sangga Alam dan Paman Nampi. Mereka hanya diam saja. Dari sikapnya, mereka tidak lagi betah berada dalam ruangan ini. Kegelisahan mulai meyelimuti hati mereka.

Sementara pesta kembali dilanjutkan. Raden Bantar Gading sibuk memberi keterangan tentang ciri-ciri Pendekar Pulau Neraka pada sepuluh orang jago dari seberang itu. Bahkan para patih dan panglima juga menanyakan ciri-ciri Pendekar Pulau Neraka. Mereka juga tertarik dengan hadiah yang dijanjikan Raden Bantar Gading. Tentu saja hal ini membuat putra mahkota itu gembira.

"Ayah. Bolehkah Ananda beristirahat? Rasanya kepala ini pening," kata Raden Sangga Alam yang sudah tidak tahan lagi berada di ruangan itu.

"Pergilah," sahut Prabu Abiyasa.

Raden Sangga Alam beranjak bangkit. Diajaknya Paman Nampi. Laki-laki tua berjubah putih itu memberi hormat pada Prabu Abiyasa, kemudian beranjak pergi mengikuti langkah Raden Sangga Alam. Mereka bergegas meninggalkan ruangan yang besar itu. Raden Sangga Alam langsung masuk ke dalam kamar peristirahatannya. Sedangkan Paman Nampi menunggu didepan pintu. Dia baru melangkah masuk setelah Raden Sangga Alam memanggilnya. Paman Nampi duduk di kursi dekat jendela.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Paman?" tanya Raden Sangga Alam terdengar mengeluh.

Paman Nampi tidak langsung menjawab. Pikirannya kini terpusat pada keinginan Raden Bantar Gading yang menghendaki kepala Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan sudah beberapa hari ini, dia tidak lagi bertemu pendekar muda itu. Bahkan pondok tempat Mayang tinggal juga sudah kosong. Dia tidak tahu, ke mana Mayang pergi. Ada rasa gelisah menyeruak di dalam dadanya dengan hilangnya Mayang.

"Paman...."

"Oh!" Paman Nampi terbangun dari lamunannya.

"Apa yang dipikirkan?" tanya Raden Sangga Alam.

"Tidak, Raden. Aku tidak memikirkan apa-apa," sahut Paman Nampi berdusta.

"Kedatangan jago-jago dari seberang bisa membahayakan, Paman. Kita tidak mungkin lagi dapat mencegah pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan," keluh Raden Sangga Alam.

"Raden..., Ayahanda Prabu memusatkan perhatiannya pada para pemberontak. Jago-jago dari seberang itu sebenarnya ditugaskan untuk menumpas para pemberontak. Bukan untuk menjaga kelancaran pembuatan jalan."

"Tapi tidak semua, Paman. Dua orang dari mereka saja sudah merupakan ancaman besar."

"Memang benar, Raden."

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

"Raden ingat orang tua yang kita tolong?" Paman Nampi balik bertanya.

"Ki Maruta, maksudmu?"

"Benar! Ki Maruta pernah cerita padaku. Dia tahu di mana tempat tinggal para pemberontak."

"Lalu?"

"Ki Maruta percaya kalau Raden selalu menentang Ayahanda Prabu. Baik menentang pembuatan jalan itu, maupun pembongkaran Pesanggrahan Goa Larangan. Bahkan dia berharap Raden mau bergabung dengannya, menyusun kekuatan untuk menggulingkan kekuasaan Prabu Abiyasa. Setelah itu kekuasaan akan kita kembalikan pada Gusti Ratu Kunti Boga," kata Paman Nampi panjang lebar.

"Tidak mungkin, Paman. Aku tidak bisa mengkhianati Ayahanda Prabu," sahut Raden Sangga Alam dengan nada bingung.

"Rasanya hanya itu cara satu-satunya, Raden."

"Tapi...."

"Percayalah padaku, Raden. Rakyat pasti akan berada di pihak Raden. Bahkan bukannya tidak mustahil Raden akan menduduki tahta di Kerajaan Gantar Angin ini."
"Paman! Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi raja .

"Aku tahu, Raden. Demi kebenaran dan keadilan, tidak ada salahnya jika Raden membantu mereka. Lagi pula Ayahanda Prabu tidak pernah mempedulikan Raden. Beliau selalu membanggakan Raden Bantar Gading. Aku yakin jika tahta sampai jatuh ke tangan Raden Bantar Gading, Raden pasti akan mengalami nasib yang sama dengan Gusti Ratu Kunti Boga."

"Aku tidak bisa memutuskannya sekarang, Paman," pelan suara Raden Sangga alam.

"Selama Raden berpikir, aku akan membantu mereka secara diam-diam."

"Jangan, Paman. Terlalu berbahaya! Bisa-bisa...."

"Jangan khawatir, Raden," potong Paman Nampi cepat.

Raden Sangga Alam mengangkat bahunya, kemudian membaringkan tubuhnya dipembaringan. Paman Nampi bangkit berdiri dan me langkah ke luar. Raden Sangga Alam berusaha memejamkan matanya, tapi terasa sulit. Kata-kata Paman Nampi terus-menerus terngiang-ngiang di telinganya.

"Haruskah aku mengkhianati Ayahanda...?" gumam Raden Sangga Alam dalam hati.

DELAPAN

Pembicaraan antara Paman Nampi dan Raden Sangga Alam didengar jelas oleh Bayu Hanggara, yang saat itu tidak jauh dari kamar Raden Sangga Alam. Pendekar Pulau Neraka itu bergegas melompat turun dari atas dahan, dan langsung berlari cepat menjauhi benteng Istana Kerajaan Gantar Angin. Dia baru berhenti berlari setelah tiba di sebuah rumah yang tidak begitu besar.

Rumah dari dinding papan dan beratapkan daun rumbia itu, tampak gelap. Hanya sebuah pelita yang meneranginya. Nyala lampu pelita nampak menari-nari tertiup angin malam. Bayu mendekati pintu yang tertutup rapat. Pelahan diketuknya pintu itu. Matanya tidak pernah lepas mengamari keadaan sekitarnya.

"Siapa...?" terdengar suara dari dalam. Sepertinya suara seorang laki-laki tua yang sedang mengantuk.
Bayu kembali mengetuk pintu itu.

"Sebentar...!"

Tak lama kemudian pintu itu terbuka. Tampak seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering muncul dari ambang pintu. Dia hanya mengenakan kain lusuh yang melilit bagian pinggangnya hingga kebawah. Laki-laki tua yang ternyata Ki Maruta itu terkejut melihat seorang pemuda tampan dan gagah mendatangi rumahnya di tengah malam buta begini.

"Ki Maruta...?" Bayu ingin memastikan.

"Ya ...."

"Maaf, aku telah mengganggu tidurmu."

"Siapa Kisanak, dan ada keperluan apa malam-malam begini?" tanya Ki Maruta.

"Maaf, aku tidak bisa mengatakannya di sini." Secepat Bayu berkata, secepat itu pula jari tangannya bergerak menotok jalan darah laki-laki tua itu. Ki Maruta hanya sempat mengeluh sedikit, sedangkan tubuhnya langsung melorot turun. Bayu cepat-cepat menyangga, dan memanggulnya di pundak. Saat itu juga dia melompat meninggalkan rumah berdinding papan itu. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya lenyap ditelan ke gelapan malam.

Tepat, pada saat bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka yang membawa Ki Maruta pergi, Paman Nampi tiba dengan menunggang kuda. Panglima Perang Kerajaan Gantar Angin itu langsung melompat turun dari punggung kudanya. Dengan langkah tergesa-gesa dia menerobos masuk ke rumah Ki Maruta.

"Ki...! Ki Maruta...!" panggil Paman Nampi.

Keningnya agak berkerut ketika melihat keadaan rumah yang sunyi senyap. Paman Nampi membuka pintu sebuah kamar. Kosong! Tak ada seorang pun dikamar itu. Kemudian dibukanya pintu kamar lainnya. Semua kamar yang diperiksa, kini tak berpenghuni sama sekali.

"Ke mana dia? Jangan-jangan.... Ah! Tidak...! Tidak mungkin!" Paman Nampi bicara pada dirinya sendiri.

Bergegas dia melangkah ke luar. Tapi, baru saja kakinya menjejak di depan pintu, matanya membeliak lebar. Bahkan mulutnya ternganga tanpa ada suara. Tampak di de pannya sudah berdiri sepuluh prajurit yang siap dengan anak panah terbidik. Di belakangnya ada dua puluh prajurit lagi dengan pedang terhunus. Sedangkan di tengah-tengah, berdiri Raden Bantar Gading didampingi dua orang jago undangan dari seberang. Paman Nampi kaget bukan main menghadapi kenyataan ini.

"Untuk apa kau mencari Ki Maruta, Paman?" tanya Raden Bantar Gading dingin. Nada suaranya terdengar sinis.

Paman Nampi tidak bisa menjawab. Kerongkongannya terasa kering.

"Tangkap dia!" perintah Raden Bantar Gading.

"Tunggu....'" sentak Paman Nampi.

Lima orang prajurit yang sudah bergerak maju, jadi menghentikan langkahnya. Mereka pun ragu-ragu untuk melaksanakan perintah itu. Paman Nampi melangkah tiga tindak kedepan.

"Kenapa kalian ingin menangkapku?" tanya Paman Nampi.

"Kau dituduh berkomplot dengan pemberontak, Panglima Nampi!" sahut Raden Bantar Gading.

"Mana buktinya?"

"Malam-malam kau datang ke sini, disaat kami tengah mengadakan pesta. Sedangkan kami tengah mencurigai Ki Maruta sebagai pemimpin pemberontak. Apa itu bukan suatu bukti?"

"Kecurigaan bukan satu bukti!"

"Bagaimana dengan ini?" Raden Bantar Gading mengeluarkan seuntai kalung dengan lambang Kerajaan Gantar Angin. Kalung itu juga sebagai lambang kebesaran kerajaan. Paman Nampi jadi terbeliak melihat kalung itu ada di tangan Raden Bantar Gading. Sepengetahuannya hanya Ratu Kunti Boga yang memiliki kalung itu.

"Dari mana kau dapatkan kalung itu?" tanya Paman Nampi tidak mungkin lagi bersilat lidah.

"Kau tidak perlu tahu dari mana aku mendapatkannya," jawab Raden Bantar Gading. "Tangkap dia! Kalau melawan, bunuh saja!"

Lima orang prajurit yang tadi sudah maju, kini tidak ragu-ragu lagi melaksanakan perintah. Mereka semua memegang rantai dan siap untuk mengikat tubuh Paman Nampi. Tapi laki-laki tua berjubah putih itu bergerak cepat sebelum ke lima prajurit itu berhasil menyentuh tubuhnya .

Jerit melengking terdengar saling susul. Lima orang prajurit itu tidak bisa lagi mengelak. Tubuh mereka ambruk dengan darah mengucur deras. Entah kapan dimulainya, tahu-tahu di tangan Paman Nampi sudah tergenggam sebilah pedang pendek yang ujungnya berlumuran darah.

"Tangkap! Jangan sampai lolos...!" teriak Raden Bantar Gading gusar melihat lima orang prajuritnya tewas dalam sekali gebrak saja. "Bunuh pengkhianat itu!"

Sepuluh prajurit yang sudah siap dengan panah, langsung melepaskan anak panahnya. Paman Nampi segera memutar-mutar pedang pendeknya cepat bagai baling-baling. Anak panah yang meluncur menghujaninya rontok sebelum sampai pada sasaran. Dua orang berpakaian aneh yang jelas adalah jago dari tanah seberang, langsung melompat begitu hujan anak panah terhenti.

Mereka langsung menyerang Paman Nampi dengan dahsyat. Jurus-jurus yang mereka gunakan sungguh aneh, sehingga laki-laki tua berjubah putih itu agak kewalahan juga. Tapi dengan cepat dia dapat menguasai keadaan. Pedang pendeknya berkelebatan cepat mengarah pada bagian-bagian yang mematikan pada tubuh lawannya.

"Hiya...! Yeaaah...!"

Tring! Trang!

Paman Nampi terkejut saat senjatanya beradu dengan senjata salah seorang lawannya. Tangannya seperti kesemutan. Buru-buru dia melompat mundur. Tapi seorang lawannya lagi langsung menyodokkan senjatanya yang berbentuk tombak pendek bermata lima. Paman Nampi buru-buru mengibaskan pedangnya, berusaha menyampok sodokan itu.

Trang!

"Heh!" Paman Nampi kaget bukan main, karena pedangnya terjepit di sela-sela ujung tombak pendek bermata lima itu. Belum lagi sempat menarik pulang senjatanya, satu tendangan dahsyat menghajar samping dadanya.

"Akh! Paman Nampi terpental sejauh dua batang tombak. Pedangnya terlepas dari pegangan. Laki laki tua berjubah putih itu berusaha bangkit, tapi ujung golok besar sudah menempel di tenggorokannya. Bahkan kini disusul dengan ujung tombak yang menekan dadanya. Paman Nampi benar-benar tidak berdaya lagi sekarang.

"Ikat dia!" perintah Raden Bantar Gading.

Tiga orang prajurit segera melaksanakan perintah itu. Mereka mengikat tangan dan tubuh Paman Nampi dengan rantai baja. Laki-laki tua itu dipaksa bangun, dan diseret oleh kuda yang ditunggangi seorang prajurit. Tangan prajurit itu memegang ujung rantai yang mengikat Paman Nampi.

Raden Bantar Gading segera melompat ke punggung kudanya, diikuti dua orang jago dari seberang itu. Para prajurit yang lain segera mengikuti. Sedangkan beberapa di antaranya mengurus mayat-mayat temannya. Paman Nampi tidak bisa lagi berbuat apa apa. Tubuhnya bergelimpangan terseret kuda.

********************

Sementara itu, jauh di perbatasan Kerajaan Gantar Angin. Tepatnya di sebuah hutan yang cukup lebat, Bayu Hanggara berdiri tegak memandang laki-laki tua bernama Ki Maruta yang duduk bersila diatas tumpukan dedaunan. Tidak jauh dari Ki Maruta duduk, dua orang wanita juga duduk berdampingan. Mereka semua memandang pada laki-laki tua itu.

"Aku tidak tahu, apakah kau salah seorang pemimpin atau hanya pengikut kaum pemberontak. Tapi bukan itu yang ingin kuketahui darimu...," kata Bayu tegas.

Ki Maruta mengangkat kepalanya. Tatapan matanya langsung tertuju pada wajah pemuda tampan berbaju kulit harimau di depannya. Bayu menggeser kakinya sedikit ke kanan, lalu duduk di atas batu pipih, tidak jauh dari Mayang dan Rintan duduk.

"Kau kenal dengan ke dua wanita ini?" tanya Bayu.

"Aku hanya kenal satu," sahut Ki Maruta. "Rintan."
"Satunya lagi?"

Ki Maruta tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Mayang lekat-lekat. Tapi kepalanya menggeleng beberapa kali. Dia memang belum pernah melihat Mayang sebelumnya, sehingga sama sekali tidak mengenalnya.

"Kau kenal dengan wanita yang bernama Bibi Durati?" tanya Bayu lagi.

"Tidak," sahut Ki Maruta setelah berpikir sejenak.

Bayu memandang pada Mayang. Wanita itu hanya menundukkan kepala saja.

"Kisanak. Untuk apa kau membawa aku ke sini? Lagi pula, mengapa kau mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang aku tidak mengerti?" selak Ki Maruta.

"Ketahuilah, Ki Maruta. Apa yang kulakukan tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatanmu dalam menghimpun kekuatan untuk menggulingkan tahta Kerajaan Gantar Angin. Ini hanya sekedar ingin menolong wanita itu," Bayu berusaha menjelaskan.

"Kisanak. Aku tidak berkeberatan membantu jika kau bersedia menjelaskan duduk persoalannya," kata Ki Maruta lagi.

Bayu memandang Mayang sekali lagi. Wanita berbaju merah muda itu balas memandang, kemudian kepalanya terangguk sedikit. Sebentar Bayu menarik napas panjang, kemudian mulai menceritakan semua yang diketahuinya tentang diri Mayang. Dan Mayang sendiri pun menambahkan kalau ada kata-kata Bayu yang kurang. Ki Maruta mendengarkannya dengan penuh perhatian.

"Hm, jadi selama ini kau tidak tahu tentang asal-usul dirimu?" tanya Ki Maruta seraya menatap Mayang.

"Ya," sahut Mayang pelan.

"Aneh..., kau tidak tahu asal-usul dirimu. Kau juga tidak tahu orang yang selalu muncul dan mengajarkanmu ilmu olah kanuragan. Benar-benar aneh...," gumam Ki Maruta.

"Tapi sekarang aku tahu siapa dia, Ki," selak Mayang.

"Ya, aku tahu. Panglima Nampi memiliki jurus 'Cakar Maut' yang sangat dahsyat. Apa kau juga diajarkan jurus itu?"

"Benar! Bahkan Bibi Durati juga mengajarkan aku jurus 'Selendang Sakti'."

"Selendang Sakti'...?!" Ki Maruta terkejut setengah mati.

"Ada apa, Ki?" tanya Bayu.

"Kau punya selendangnya?" Ki Maruta tidak menggubris pertanyaan Bayu.

"Ini," Mayang mengeluarkan selembar kain berwarna kuning gading. Selendang itu tampaknya tidak berarti.

Tapi mata Ki Maruta jadi terbeliak begitu melihat ujung selendang tergambar seekor naga bersisik emas. Ki Maruta menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bibir memperdengarkan suara berdecak. Diserahkan kembali selendang itu pada Mayang. Wanita itu menyimpannya kembali ke balik bajunya.

"Kau beruntung, Mayang. Tidak sembarang orang bisa menjadi murid si Selendang Sakti. Bahkan kau kini memiliki benda sakti itu. Ck ck ck...," Ki Maruta kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Siapa si Selendang Sakti itu, Ki?" tanya Bayu.

"Mungkin selama ini kau hanya mengenalnya sebagai Bibi Durati, Mayang. Atau mungkin juga memang itu nama aslinya. Si Selendang Sakti seorang tokoh wanita yang sukar dicari tandingannya. Rasanya sukar untuk dipercaya kalau Panglima Nampi bisa berhubungan dengannya. Bahkan sama-sama merawat dan mendidikmu, Mayang."

"Lalu, siapa sebenarnya aku ini?" tanya Mayang, seperti untuk dirinya sendiri.

"Kau percaya dengan kata-kata Panglima Nampi?" tanya Ki Maruta.

"Entahlah," desah Mayang pelan.

"Gusti Ratu Kunti Boga memang memiliki seorang putri. Pada saat Prabu Abiyasa menggulingkan tahtanya, putri Gusti Ratu Kunti Boga memang baru berusia tujuh tahun, dan hilang tanpa jejak. Tak ada seorang pun yang tahu, di mana dia sampai saat ini. Sedangkan Gusti Ratu Kunti Boga dimasukkan ke dalam tahanan bersama kerabat dan keluarga lainnya."

"Siapa namanya?" tanya Bayu.

"Mayang...," sahut Ki Maruta.

Keterangan Ki Maruta membuat Mayang semakin tidak tahu tentang dirinya. Sedangkan Bayu tidak bisa mencegah Ki Maruta pergi. Yang dibutuhkan memang hanya keterangan dari laki-laki tua itu. Tapi Bayu sempat berpesan agar Ki Maruta tidak kembali ke rumahnya. Kekhawatirannya memang beralasan, karena pihak kerajaan sudah mengetahui tentang dirinya yang berkomplot dengan kaum pemberontak.

Sepeninggal Ki Maruta, Mayang bergegas ke luar dari dalam goa. Bayu langsung mengikutinya. Sementara Rintan hanya diam saja. Dia tidak mengerti sama sekali, meskipun sejak tadi mengikuti terus pembicaraan itu. Macam-macam pertanyaan berkecamuk di benaknya.

"Mayang, tunggu...!"

Mayang menghentikan langkahnya Dia berbalik dan menatap dengan mata berkaca-kaca pada Pendekar Pulau Neraka itu. Bayu menghampiri dan memegang pundaknya. Ditatapnya dalam-dalam bola mata wanita itu.

"Jangan melakukan tindakan yang bisa membahayakan dirimu, Mayang," kata Bayu lembut.

"Aku harus bertemu dengan Panglima Nampi. Hanya dia yang tahu," kata Mayang agak tersedak suaranya .

"Aku mengerti perasaanmu, Mayang. Cobalah mengendalikan diri dan berpikir dengan tenang. Tidak mudah untuk mengetahui asal-usulmu. Sedangkan saat ini nyawamu terancam," bujuk Bayu.

"Kakang! Benarkah aku putri Ratu Kunti Boga?" tanya Mayang pelan.

"Kita akan mencari jawabannya, Mayang."

"Kapan?"

Bayu tidak segera menjawab, dan hanya mendesah panjang sambil mengajak wanita itu kembali ke dalam goa. Sementara Rintan hanya memandang saja dengan tatapan tidak mengerti. Gadis belia itu hanya duduk tanpa mengucapkan satu patah kata pun.

"Mayang! Bukan hanya kau saja yang menderita. Coba lihatlah Rintan. Dia juga sangat menderita karena baru kehilangan ibunya. Bahkan kini ayahnya menyusul. Aku yakin, Rintan juga ingin membalas sakit hatinya. Sama seperti kau. Mungkin juga masih banyak yang lebih menderita lagi darimu. Kau harus berpikir dengan tenang, Mayang. Kendalikan dirimu," lemah lembut Bayu menasehati.

Mayang hanya diam saja. Kata-kata Bayu yang lemah lembut membuat hatinya kembali mencair. Dipandanginya Rintan, dan dihampirinya. Mayang memeluk gadis belia itu. Rintan yang tidak mengerti persoalannya hanya bisa membalas dengan pandangan kosong menatap pada Pendekar Pulau Neraka.

"Aku akan menemui Panglima Nampi, kalian jangan pergi jauh-jauh," kata Bayu berpesan.

Mayang menoleh dan mengangguk.

"Lepas senja nanti, aku akan kembali," ujar Bayu lagi.

"Hati-hati, Kakang," ucap Mayang pelan.

Bayu hanya tersenyum saja, kemudian berbalik dan melangkah keluar dari dalam goa ini. Begitu sampai diluar, dia langsung melesat cepat bagaikan kilat. Sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap. Saat itu matahari baru menampakkan diri di ufuk Timur. Sementara Mayang duduk merenung di dalam goa ditemani Rintan. Dia berharap pendekar Pulau Neraka bisa mengetahui asal-usul dirinya. Mayang tak dapat tenang sebelum mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Hanya Panglima Nampi harapan satu-satunya.

Tapi siapa yang tahu keadaan Panglima Nampi saat ini? Sedangkan kaum pemberontak mulai melancarkan aksinya. Dapatkah Bayu mengungkap diri Mayang yang sebenarnya? Nah, tentunya pembaca semua me nginginkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas bukan? Untuk itu, ikutilah kisah selanjutnya yang sangat seru dan mendebarkan! Serta akan membahas seluruh permasalahan dalam cerita ini secara tuntas, yaitu episode:

Pesanggrahan Goa Larangan

Serial Pendekar Pulau Neraka
Episode Pesanggrahan Goa Larangan
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar pulau Neraka

SATU

Tar!

Suara cambuk menggeletar membelah angkasa. Seorang laki-laki muda terjungkal dengan punggung sobek panjang tersengat lidah cambuk. Sosok tubuh muda yang hanya ditutupi celana sebatas lutut itu berusaha bangkit berdiri. Namun satu sengatan cambuk kembali memaksanya menggelepar sambil merintih lirih.

"Pemalas! Bangun, bangsat!" terdengar suara bentakan keras, disusul dengan geletarnya ujung cambuk yang menyengat kulit punggung laki-laki muda itu.

Tar! Tar!

"Akh...!" laki-laki muda itu memekik tertahan.

Dua kali cambukan membuatnya jatuh lunglai tidak sadarkan diri. Dan kini, sebuah tendangan keras membuat tubuhnya terlempar sejauh dua batang tombak. Kejadian itu disaksikan oleh berpuluh-puluh pasang mata dengan kepala tertunduk dan lutut gemetar. Seorang laki-laki muda berwajah tampan, namun sorot matanya menyiratkan kebengisan, duduk angkuh di atas punggung kuda putih. Bibirnya yang tipis selalu tersenyum menyaksikan kekejaman yang sedang berlangsung di pagi ini.

Laki-laki bertubuh tinggi tegap yang memegang cambuk dari kulit berduri, menghampiri orang yang kini mengge letak tidak sadarkan diri akibat siksaannya itu. Hanya dengan sebelah tangan, diangkatnya tubuh yang bersimbah darah itu. Bagaikan melempar segumpal kapas saja, tubuh yang tidak berdaya itu dibantingnya ke atas bebatuan.

Trak!

Sebelah kaki algojo yang masih memegang cambuk itu menginjak tubuh pemuda yang baru saja terhempas di bebatuan. Darah langsung muncrat keluar dari mulutnya. Laki-laki muda itu tidak sempat lagi mengeluarkan suara. Nyawanya pun segera melayang. Algojo bertubuh tinggi tegap itu melangkah mundur, lalu membungkuk hormat pada pemuda di atas punggung kuda putih.

"Dengar kalian semua! Jika kalian berani membangkang, dan mencoba melarikan diri, maka akan bernasib sama dengan orang tolol itu!" lantang suara pemuda di atas punggung kuda itu sambil menunjuk tubuh yang tak bernyawa lagi.

Puluhan orang di sekelilingnya hanya bisa menunduk tanpa berani bersuara sedikit pun. Sebentar pemuda itu memandang berkeliling, lalu digebah kudanya pelahan. Kuda putih itu bergerak lambat meninggalkan tempat berbatu dan berbukit itu. Sepuluh pengawalnya yang menyandang senjata mengikuti dari belakang. Sedangkan laki-laki bertubuh tinggi besar yang memegang cambuk itu mengebutkan cambuknya ke udara.

Tar!

"Ayo! Kerja lagi!"

Puluhan orang laki-laki, tua dan muda, segera melakukan pekerjaannya kembali, memecah batu-batuan dan mengangkutnya ke bawah bukit. Mereka bekerja tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Sesekali mata mereka melirik mayat pemuda yang masih berlumuran darah. Setiap kali melirik, maka hanya suara tarikan napas panjang yang terdengar. Entah apa yang ada dalam benak mereka saat ini. Yang jelas, dari raut wajah mereka tercermin rasa ke terpaksaan dan ketersiksaan yang amat dalam.
Sesekali suara cambuk menggeletar membe lah angkasa, disusul suara pekikan mengaduh. Sepuluh orang bertubuh tinggi tegap, dengan otot-otot yang bersembulan keluar, selalu memainkan cambuknya. Setiap kali ada yang mengeluh, atau berhenti bekerja, cambuklah yang berbicara. Tak ada seorang pun yang berani melawan. Mereka pasrah, meskipun sinar matanya memancarkan ke bencian dan ke inginan memberontak. Namun semuanya hanya dipendam didalam hati saja.

Agak jauh dari tempat perbukitan batu itu, seorang laki-laki muda mengenakan baju dari sutra halus dan indah berdiri memperhatikan dari ke tinggian yang terlindung oleh lebatnya pohon cemara. Di sampingnya berdiri seorang laki-laki tua berjubah putih. Pandangan mata mereka tidak lepas ke arah tempat puluhan orang yang bertelanjang dada tengah bekerja keras menghancurkan batu-batuan dan mengangkutnya menuruni tebing bukit berbatu itu.

"Seharusnya mereka diberi istirahat. Lihatlah, mereka sudah terlalu lelah dengan kerja berat seperti itu," kata laki-laki muda berkulit kuning langsat dengan wajah tampan itu. Suaranya halus dan terdengar pelan. Pandangannya tidak beralih ke bukit batu itu.

"Pekerjaan itu harus tepat pada waktunya, Raden," sahut laki-laki tua di sampingnya.

"Tapi dengan kerja paksa seharian penuh tanpa istirahat, bukankah akan menambah beban saja, Paman? Seperti Paman ketahui, sudah lima orang jadi korban, hanya karena tidak tahan dengan kerja berat itu!" bantah pemuda tampan itu.

"Pekerjaan itu memang berat, Raden. Mungkin itulah sebabnya, mengapa Ayahanda Prabu meminta mereka untuk bekerja terus sepanjang hari."

"Aku tidak pe rcaya kalau Ayahanda yang memerintahkan untuk berbuat kejam. Tidak berperikemanusiaan!" wajah pemuda itu menegang.

Laki-laki tua di sampingnya mendesah panjang. Dialihkan pandangannya ke arah lain. Pemuda tampan berbaju indah itu berbalik, lalu menghampiri kudanya yang tertambat tidak jauh dari bibir tebing yang tinggi itu. Dengan satu gerakan yang manis, dia melompat naik ke atas punggung kuda hitam itu. Sedangkan laki-laki tua berjubah putih segera naik ke punggung kuda miliknya sendiri. Pelahan-lahan mereka menggebah kudanya menuruni tebing bukit yang tampak subur dengan pohon cemara menjulang tinggi bagai hendak menggapai langit.

"Akan kubicarakan hal ini pada Ayahanda," kata pemuda itu.

"Raden...!" laki-laki tua itu terkejut.

“Paman Nampi tidak perlu cemas. Paman tidak akan kulibatkan pada persoalan ini. Mereka telah bertindak sewenang-wenang. Aku yakin, Ayahanda tidak memerintahkan bertindak kejam begitu," kata pemuda itu lagi.

"Raden Sangga Alam..., Gusti Ayahanda Prabu sudah menitahkan pekerjaan itu pada Kakanda Raden Bantar Gading. Hamba rasa, Raden tidak perlu turut campur dalam pekerjaan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan. Ampunkan Hamba, Raden. Hamba hanya mengingatkan saja," kata laki-laki tua yang bernama Nampi itu.

Pemuda tampan yang ternyata bernama Raden Sangga Alam itu hanya diam saja. Kata-kata Paman Nampi tadi memang tidak bisa disalahkan. Ayahnya, Raja Abiyasa yang memerintah Kerajaan Gantar Angin sudah memberinya tugas untuk membangun jalan menuju ke Pesanggrahan Goa Larangan pada kakaknya. Dan Raden Sangga Alam hanya diberikan tugas sebagai pendamping saja. Tapi dia tidak pernah melakukan apa-apa. Kakaknya memang tidak pernah memberi satu pun tugas ke padanya, karena menganggapnya masih anak-anak.

Raden Sangga Alam memang menyadari kalau kakaknya lebih tegar dan tegas. Apalagi tingkat ke pandaiannya cukup tinggi. Meskipun demikian, Raden Sangga Alam tidak pernah kalah jika sedang berlatih ilmu olah kanuragan. Sangat disayangkan kalau Ayahanda Prabu Abiyasa lebih menyukai Raden Bantar Gading. Baik bentuk tubuh, sifat, dan segala tingkah laku kedua kakak beradik putra mahkota itu memang sangat berbeda. Di antara ke duanya selalu saja ada pertentangan. Namun demikian mereka saling mencintai. Perbedaan yang menyolok bukanlah halangan untuk bersama-sama, meskipun Raden Sangga Alam selalu mengalah dalam segala hal.

Dua ekor kuda itu terus berjalan pelan menuruni bukit. Sementara matahari semakin tinggi, dengan sinarnya yang terik menyengat kulit. Di se berang Bukit Cemara, puluhan orang masih bekerja di bawah teriknya sang surya. Pekerjaan yang amat berat, dan dilakukan dengan hati tersiksa.

********************

Waktu terus bergulir sesuai dengan kodratnya. Siang pun berganti malam. Suasana di Bukit Cemara tampak sunyi senyap. Kini tidak lagi terdengar suara hantaman palu memecah batu. Juga tidak lagi terdengar ayunan kapak membelah kayu. Hanya suara jangkrik dan binatang malam yang meramaikan suasana malam ini.

Seekor kuda putih melintas di jalan berbatu menuju sebuah rumah yang tidak begitu besar di Kaki Bukit Cemara. Rumah berdinding kayu dan beratapkan daun-daun rumbia itu tampak sepi. Hanya sebuah pelita kecil yang meneranginya. Penunggang kuda itu seorang pemuda tampan bertubuh tegap, berpakaian sutra halus yang indah. Dihentikan laju kuda putihnya tepat didepan pintu rumah itu.

Pemuda itu melompat turun dengan gerakan ringan dan indah. Ayunan kakinya tegap dan pasti mendekati pintu yang tertutup rapat. Belum lagi sempat mengetuk, pintu itu sudah terbuka. Seorang wanita berwajah cantik dengan tubuh ramping terbungkus baju warna merah muda muncul dari ambang pintu. Bibirnya yang merah merekah, mengulas senyuman manis.

"Silakan masuk, Raden," ucap wanita itu lembut, seraya membuka pintu lebar-lebar.

Pemuda tampan dan gagah itu melangkah masuk. Sementara wanita itu menutup pintu kembali setelah pemuda itu berada di dalam. Sebentar kemudian dibesarkannya nyala pelita yang berada tepat di tengah-tengah ruangan. Tampak suatu ruangan yang tidak begitu besar, namun tertata indah. Lantainya beralaskan permadani berbulu tebal. Pada dindingnya penuh dengan hiasan mewah.

Sebuah dipan yang cukup besar nampak se jajar dengan dinding. Dipan yang beralaskan kain sutra halus berwarna biru muda itu kini diduduki oleh pemuda itu pada tepinya. Tangannya menyangga pada bantal berbentuk bulat pipih. Sedangkan wanita cantik itu hanya mengamati saja. Bibirnya tetap menyunggingkan senyum.

"Ada yang datang ke sini, Mayang?" tanya pemuda itu lembut, namun nada suaranya menaruh kecurigaan.

"Hanya Raden Bantar Gading," sahut wanita yang dipanggil Mayang itu.

Pemuda tampan itu tersenyum. Dia tahu kalau Mayang hanya bercanda. Tentu saja, sebab orang yang disebutkan Mayang tadi adalah dirinya sendiri. Pemuda itu merentangkan tangannnya, dan Mayang menghampiri dengan sikap manja. Dibiarkan saja tangan Raden Bantar Gading memeluk pinggangnya yang ramping.

Bau harum tubuh Mayang membelai hidung pemuda itu. Mayang menurut saja ketika Raden Bantar Gading menekannya duduk di sisinya. Raden Bantar Gading menggamit dagu wanita itu, dan mengecup lembut bibirnya. Mayang hanya mendesah seraya memejamkan matanya .

"Ah, Raden...," desah Mayang seraya mendorong lembut dada pemuda itu.

"Ada apa, Mayang?" tanya Raden Bantar Gading lembut. Jari-jari tangannya membelai-belai pipi putih yang halus itu.

Mayang tidak segera menyahut. Digeser duduknya lebih ketengah, lalu dibaringkan tubuhnya di atas dipan itu. Raden Bantar Gading memperhatikan dengan bola mata berputar nakal. Jari-jari tangannya tidak berhenti bermain-main di dada dan seluruh tubuh wanita itu.

"Wajahmu murung sekali, Mayang. Ada yang menyusahkan hatimu? Katakan saja. Aku selalu siap mendengarkan keluhanmu," lembut suara Raden Bantar Gading.

Kembali Mayang hanya mendesah seraya menggeliatkan tubuhnya. Dia bangkit dan duduk memeluk bantal bersulam benang emas. Wajahnya semakin kelihatan murung. Raden Bantar Gading memperhatikannya dengan penuh tanda tanya.

"Katakan, Mayang. Apa yang membuatmu murung?" desah Raden Bantar Gading

"Pekerjaan itu," sahut Mayang pelan, hampir tidak terdengar.

"Pembuatan jalan, maksudmu?"

"Ya..."

"Kenapa? Ayahanda Prabu menghendaki adanya jalan yang langsung ke Pesanggrahan Goa Larangan. Aku rasa wajar jika rakyat mengorbankan tanahnya untuk jalan itu. Toh nantinya berguna untuk mereka juga ."

"Aku tidak peduli dengan mereka."

"Lantas?"

"Aku mengkhawatirkan keselamatanmu."

Raden Bantar Gading tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Mayang tadi. Tenggorokannya serasa tergelitik. Sama sekali tidak diduga kalau Mayang mengkhawatirkan keselamatannya. Padahal tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pekerjaan itu bukanlah hal yang sulit, dan tidak ada yang berani menentangnya.

"Raden...," Mayang menolakkan tubuh Raden Bantar Gading yang hendak memeluknya.

Pemuda itu tidak peduli. Tetap saja tubuh ramping itu direngkuh ke dalam pelukannya. Dengan liar diciuminya wajah dan leher wanita itu. Mayang mendesah dan merintih lirih. Dia tidak kuasa lagi menolak ketika tubuhnya direbahkan. Mayang menggeliat, berusaha melepas pelukan putra mahkota itu.

"Kenapa? Tidak biasanya kau menolakku, Mayang," suara Raden Bantar Gading agak tersengal.

"Raden, aku...."

Mayang tidak bisa melanjutkan kata-kata, karena bibirnya sudah tersumpal bibir Raden Bantar Gading. Dia hanya bisa mendesah lirih dan menggumam tidak jelas. Kembali wanita itu menggeliat, namun kali ini pelukan Raden Bantar Gading demikian kuat. Mayang merintih lirih tidak mampu lagi menolak. Gairahnya mulai bangkit, dan kini malah membalas ke hangatan itu.

Tak ada lagi yang bicara, tak ada lagi kata-kata terdengar. Hanya desah napas dan rintihan tertahan yang mengusik sepinya malam. Sementara di dinding, dua ekor cicak bercengkrama, tidak peduli dengan dua manusia yang bergumul di ranjang beralas kain sutra biru muda itu. Mereka pun asyik bercumbu. Dan sang dewi malam hanya mampu mengintip malu dari balik celah-celah jendela.

"Raden..., akh...!"

"Ohhh...."

********************

Mayang beringsut bangkit dari pembaringan. Dibenahi bajunya sebentar sambil matanya menatap Raden Bantar Gading yang tergolek dengan dada telanjang. Pandangan matanya sayu, menyimpan sejuta rasa yang sulit untuk diungkapkan. Pelahan-lahan wanita itu beringsut turun dan melangkah menjauh. Ayunan kakinya pelan dan ringan menuju pintu. Sebentar dia menoleh menatap Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin yang masih terlelap dalam buaian mimpi indah.

Mayang membuka pintu pelahan-lahan, lalu melangkah ke luar. Angin malam yang dingin langsung menerpa kulit tubuhnya yang putih halus. Wanita itu segera mengayunkan langkahnya setelah menutup pintu pondok itu kembali. Kakinya terus terayun semakin jauh meninggalkan pondok itu tanpa menoleh sedikit pun kebelakang.

Wanita cantik berbaju merah itu baru berhenti setelah tiba di bibir sebuah tebing yang membentuk lembah besar. Dinginnya angin malam membuat tubuhnya sedikit bergidik menggigil. Tatapan matanya lurus memandang jauh kelembah di bawah tebing itu. Kemudian dia berbalik menghadap hutan yang lebat. Tampak kerlip lampu pelita di kejauhan sana. Cahaya pelita dari pondok yang ditinggalkannya.

"Oh...!" Wanita itu menoleh ketika telinganya menangkap suara langkah kaki mendekatinya.

Dari balik ke lebatan hutan di sebelah kanannya, muncul sesosok tubuh berjubah gelap dengan kepala tertutup kain hitam. Wajahnya tidak terlihat jelas, karena kain hitam itu hampir mengurung seluruh kepalanya. Malam yang amat gelap pun membuat tubuh dan wajahnya hanya terlihat hitam.

"Kapan kau laksanakan tugasmu, Mayang?" tanya orang yang tidak jelas wajahnya itu. Suaranya berat dan besar.

Mayang tidak segera menjawah. Sinar matanya memancarkan ke raguan, dan hanya beberapa kali menarik napas panjang dan berat.

"Kau sudah terlalu jauh. Aku tidak suka jika kau lupa dengan tugas utamamu, Mayang. Ingat! Arwah orang tuamu tidak sabar menunggu. Bahkan saudara-saudaramu yang mungkin sudah mati di ruangan sempit bawah tanah. Mereka semua hanya mengharapkanmu. Kau harus bisa mengenyahkan perasaan hatimu. Ingat kata-kataku, Mayang. Tugasmu lebih penting daripada perasaan hati perempuanmu!" kata orang yang berjubah hitam itu lagi.

“Aku mengerti, tapi...," suara Mayang tersekat di tenggbrokan.

"Kau mencintainya?" dingin suara orang itu.

Mayang tidak menjawab. Dia sendiri tidak tahu, apakah mencintainya atau tidak. Tapi Mayang tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Bagaimana pun dia hanya seorang wanita yang membutuhkan belaian kasih seorang pria. Dia ingin mengenyahkan perasaan itu, tapi terasa sulit.

"Kuharap besok kau harus sudah melakukannya. Aku tidak ingin lagi mendengar alasanmu," kata orang itu tegas.

"Tapi...."

"Sudahlah. Tidak ada waktu lagi untuk berdebat! Enyahkan segala perasaan cintamu! Masih banyak laki-laki yang lebih cocok. Dia tidak pantas, dan harus kau lenyapkan. Kau mengerti, Mayang?!"

"Mengerti, Eyang."

"Nah, laksanakan tugasmu dengan baik."

Mayang hanya diam membisu. Orang yang seluruh tubuhnya terbalut kain hitam longgar itu berbalik, lalu melangkah pergi. Mayang masih tetap berdiri tidak bergeming. Matanya terus memandang kepergian orang itu. Sebentar dia menarik napas panjang, lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Langkahnya gontai menuju ke arah pondok kecil yang hanya diterangi sebuah pelita yang redup cahayanya.

DUA

Mayang terkejut setelah membuka pintu pondoknya. Raden Bantar Gading ternyata sudah berdiri menanti dengan pakaian lengkap. Mayang membuka pintu lebar-lebar, dan melangkah masuk. Dia be rusaha memberi senyumannya yang termanis, kemudian duduk dibangku dekat jendela. Sementara Raden Bantar Gading tetap berdiri tegak memperhatikannya.

"Kenapa kau memandangku begitu?" tanya Mayang jengah.

"Dari mana kau?" Raden Bantar Gading balik bertanya.

"Ke luar," sahut Mayang kalem.

"Untuk apa? Menemui laki-laki lain?" agak kasar suara Raden Bantar Gading.

Mayang tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau Raden Bantar Gading berkata kasar seperti itu padanya. Tapi dengan cepat disembunyikan rasa terkejut itu. Senyumnya yang selalu merekah, terlihat agak getir.

"Siapa laki-laki yang kau temui di atas bukit sana?" tanya Raden Bantar Gading tajam.

"Laki-laki mana?" suara Mayang jadi bergetar. Sungguh tidak diduga kalau Raden Bantar Gading tahu bahwa dirinya barusan menemui seseorang di atas bukit sana. Wajah Mayang berubah merah seketika. Matanya tajam menatap langsung ke bola mata putra mahkota itu.

"Kau tidak perlu berpura-pura lagi, Mayang. Kau pikir aku tidak tahu? Kau ke luar diam-diam, lalu menunggu di atas bukit. Di sana kau bicara dengan seseorang. Siapa dia?" agak keras suara Raden Bantar Gading.

"Dia kakekku," sahut Mayang tidak bisa berpura-pura lagi.

"Kau tidak bohong, Mayang?"

"Siapa yang bohong? Dia benar-benar kakekku!" sentak Mayang gusar.

"Sejak kapan kau punya kakek? Sejak kapan kau punya keluarga?" sinis kata-kata Raden Bantar Gading.

Mayang tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap tajam dengan sinar mata yang menusuk sampai ke sudut hati yang paling dalam. Pelahan-lahan wanita cantik berbaju merah muda itu bangkit berdiri.

"Kata-katamu sungguh menyakitkan, Raden...!" agak bergetar suara Mayang. "Aku menghormatimu, karena kau adalah junjunganku. Kau bebas melakukan apa saja terhadap diriku, tapi jangan kau hina diriku seenaknya!"

"Heh...!'? Raden Bantar Gading tersentak kaget.

"Keluarlah, Raden. Sekarang aku berubah pikiran!" bentak Mayang.

""He ...! Kau mengusirku, Mayang?!"

"Ke luar, kataku!"

"O..., rupanya kau telah memperoleh laki-laki yang lebih dariku. Dasar pelacur! Perempuan liar...!"

"Keluar...!" jerit Mayang.

"Baik Aku akan keluar sekarang juga. Tapi ingat. Kau tidak akan bisa bebas berhubungan dengan laki-laki itu. Nyawamu ada di tanganku, Mayang!" ancam Raden Bantar Gading.

Wajah wanita berbaju merah muda itu semakin merah menegang. Kedua telapak tangannya terkepal kaku. Dadanya menggeram menahan amarah yang meluap-luap. Ancaman dan penghinaan yang terlontar dari mulut Raden Bantar Gading, membuat hatinya terluka. Mayang langsung beranjak ke pintu ketika putra mahkota itu ke luar dari dalam pondok ini. Wanita itu menghambur ke pembaringan, dan menangis dengan tubuh menelungkup.

Suara isak tangisnya tersendat. Bahunya berguncang-guncang menahan tangis agar tidak sempat meledak. Cukup lama juga Mayang menguras air matanya. Pelahan dia bangkit dari pembaringan, kemudian melangkah menuju ke jendela. Pandangannya menerawang jauh ke Puncak Bukit Cemara.

"Tuhan..., kenapa aku diciptakan hanya untuk menanggung derita?" lirih suara Mayang di sela-sela isaknya.

Mendadak wanita itu tersentak ketika tiba-tiba pintu pondoknya terbuka. Di ambang pintu sudah berdiri seorang berbaju serba hitam dengan wajah hampir semuanya tertutup kain hitam. Mayang langsung berbalik dan menghapus air matanya. Orang berpakaian serba hitam itu melangkah masuk

"Eyang...," agak tersedak suara Mayang.

"Kau sungguh mengecewakanku, Mayang," berat dan datar suara orang berbaju serba hitam itu.

"Maafkan aku, Eyang. Aku..., aku tidak bisa melakukannya. Aku mencintainya, Eyang."

"Kau masih juga mencintainya setelah dia menghinamu? Mencampakkanmu seperti sampah? Sungguh rendah martabatmu jika hanya diam menerima penghinaan itu!"

Mayang diam saja

"Sejak semula aku sudah tidak setuju dengan caramu, tapi kau tetap bersikap keras. Nah, sekarang apa yang terjadi? Memalukan!"

Mayang tetap diam.

"Mayang, saat ini aku tidak ingin lagi mendengar segala macam alasanmu. Kau harus membunuh dia. Bunuhlah seluruh keluarga Prabu Abiyasa. Ingat, kau adalah pewaris yang syah Kerajaan Gantar Angin. Kau harus menjadi ratu yang besar. Hilangkan semua perasaan cintamu pada Raden Bantar Gading. Aku tidak akan menemuimu lagi sebelum kau bunuh perampok tahta itu! Kau mengerti, Mayang?!" tegas kata-kata orang
berbaju serba hitam itu.

Mayang menganggukkan kepalanya lemah.

"Sekarang saatnya kau melakukan tugasmu. Sementara aku mengacaukan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan," sambung laki-laki berbaju serba hitam itu lagi.

"Baik, Eyang," hanya itu yang bisa diucapkan Mayang.

Laki-laki berbaju serba hitam itu segera berbalik dan melangkah ke luar dari pondok itu. Sementara Mayang tetap berdiri membelakangi jendela. Matanya kosong memandangi punggung laki-laki bersuara berat itu. Entah apa yang ada di dalam benak Mayang saat ini.

********************

Siang itu matahari begitu terik. Sinarnya panas menyengat seluruh permukaan bumi. Di Bukit Batu yang bersebelahan dengan Bukit Cemara, puluhan orang bekerja memecah batu-batuan, dan mengangkutnya kebawah bukit. Mereka bekerja seperti tidak peduli akan teriknya sinar matahari yang membakar kulit.

Tar!

Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap mengayunkan cambuknya pada seorang tua yang terjatuh saat mengangkat batu yang cukup besar. Ujung cambuk itu menggores kulit orang tua itu. Dia hanya mengaduh tertahan, dan tubuhnya terguling di atas bebatuan. Laki-laki tinggi tegap itu kembali mengayunkan cambuknya ke tubuh laki-laki tua tak berdaya itu.

Tar! Tar!

"Pemalas! Ayo, kerja...!" terdengar bentakan keras menggelegar.

"Oh.... Aku tidak kuat lagi, Gusti...," kata laki-laki tua itu lirih.

Tar! Kembali cambuk itu menyengat tubuh tua kurus itu.

"Akh!" laki-laki itu memekik tertahan. Darah mulai mengucur dari tubuhnya yang sobek terkena ujung cambuk. Laki-laki tua itu berusaha bangkit, tapi sebuah tendangan keras membuatnya terjungkal bergulingan. Kembali tubuh renta itu harus menerima hantaman ujung cambuk.

"Tua bangka tidak ada guna! Huh! Sebaiknya kau mampus!" dengus laki-laki tinggi tegap itu seraya mengangkat cambuknya.

"Tunggu...!"

Satu bentakan keras membuat laki-laki tinggi tegap berwajah bengis itu langsung menoleh. Raut wajahnya tampak terkejut melihat kehadiran seorang pemuda berwajah tampan dengan kulit putih halus bagai wanita, yang kini telah berdiri tidak jauh dari tempat itu. Dia mengenakan baju sutra halus yang indah dengan sulaman benang emas. Disampingnya berdiri se orang laki-laki tua berjubah putih.

"Raden Sangga Alam...," suara laki-laki tegap yang memegang cambuk itu agak tergetar.

Pemuda tampan itu bergegas melangkah menghampiri laki-laki tinggi tegap itu. Langkahnya berhenti tepat setengah depa di depannya. Tatapan matanya tajam. Sedangkan laki-laki yang memegang cambuk itu hanya menundukkan kepala saja.

Plak!

"Akh!" laki-laki tinggi tegap itu memekik tertahan.

Wajahnya memerah dan terasa panas kena gamparan tangan yang halus bagai tangan perempuan itu. Tubuhnya sampai berputar sedikit terdorong kebelakang, namun kembali berdiri tegak dengan kepala masih tertunduk. Sementara pemuda tampan itu melangkah menghampiri laki-laki tua kurus yang masih merintih menggeletak di atas bebatuan.

Pemuda itu berlutut dan memeriksa luka-luka di tubuh laki-laki tua kurus itu, ke mudian bangkit dan membalikkan tubuhnya. Sebentar tatapan matanya tajam pada laki-laki tinggi tegap memegang cambuk, kemudian beralih pada laki-laki tua berjubah putih.

"Paman Nampi, bawa orang tua ini ke pondokku," perintah Raden Sangga Alam.

"Baik, Raden," sahut laki-laki tua berjubah putih yang ternyata adalah Paman Nampi, penasehat pribadi Raden Sangga Alam. Dia juga guru dalam ilmu olah kanuragan, sekaligus sebagai abdi setia Putra Mahkota Raden Sangga Alam.

Paman Nampi bergegas menghampiri laki-laki tua kurus itu. Dibantunya laki-laki tua itu untuk bangkit berdiri dan diajaknya pergi. Tapi laki-laki tua itu berhenti melangkah setelah baru saja berjalan sekitar tiga tindak. Matanya sayu menatap pada Raden Sangga Alam. Bibirnya bergetar, seolah-olah ingin mengucapkan sesuatu, namun tidak ada kata-kata yang terdengar keluar.

"Terima kasih, Raden. Biarkan hamba di sini, hamba masih sanggup bekerja," kata laki laki tua itu, yang akhirnya bersuara juga.

"Kau terluka cukup parah. Aku yakin kau tidak akan sanggup lagi meneruskan pekerjaan. Paman Nampi, bawa dia kepondokku," kata Raden Sangga Alam tegas.

"Raden...." Laki-laki tua itu ingin menolak, tapi Paman Nampi cepat membawanya pergi dari tempat itu. Laki-laki tua kurus itu hanya bisa menurut tanpa membantah lagi.

Sementara Raden Sangga Alam menghampiri laki-laki tegap yang memegang cambuk kulit hitam pekat. Sementara para pekerja lainnya, dan beberapa pengawas yang juga memegang cambuk hanya memperhatikan peristiwa itu. Mereka tidak ada yang berani membuka mulut sedikitpun.

"Sekali lagi aku lihat ada kekejaman di sini, kubunuh kau!" dingin suara Raden Sangga Alam.

"Raden...," laki-laki itu ingin membantah.

"Tidak ada alasan! Aku tidak ingin lagi melihat korban akibat kekejaman kalian semua. Mengerti!" potong Raden Sangga Alam.

Tak ada yang berani membantah. Mereka semua hanya tertunduk. Raden Sangga Alam segera berlalu menghampiri kudanya yang tali kekangnya dipegangi oleh seorang pemuda berpakaian seragam prajurit. Paman Nampi sudah berada di punggung kudanya, sedangkan laki-laki tua kurus itu juga sudah berada di atas punggung kuda bersama seorang prajurit.

Raden Sangga Alam melompat ringan keatas punggung kudanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, putra mahkota yang tampan itu menggebah kudanya meninggalkan Bukit Batu itu. Sementara laki-laki tegap yang memegang cambuk masih berdiri memandangi kepergian Raden Sangga Alam yang didampingi oleh Paman Nampi dan enam orang prajurit pengawal.

"Hey! Kenapa berhenti? Ayo kerja lagi!" terdengar bentakan keras dan lantang.

Puluhan orang bertelanjang dada segera melakukan pekerjaannya. Kembali terdengar suara denting batu dipukul. Saat itu laki-laki tegap yang menyiksa seorang tua yang hanya karena terjatuh, membentak-bentak memberi perintah kepada puluhan orang yang tengah bekerja membelah batu. Seorang lagi yang juga bertubuh tegap dan memegang cambuk menghampiri.

"Kenapa tidak kau laporkan saja pada Raden Bantar Gading, Kakang Braga?" tanya orang yang mendekati itu.

"Biar sajalah, Adik Kinca," jawab laki-laki itu yang ternyata bernama Braga.

"Tapi kalau hal ini terus terjadi, bukan tidak mungkin akan menghambat pekerjaan, Kakang," kata Kinca lagi.

"Hhh! Kalau bukan Raden Sangga Alam, sudah kurobek mulutnya tadi," dengus Braga.

Kinca hanya tersenyum tipis. Bisa dimaklumi perasaan Braga saat ini. Memang sungguh menyakitkan bila ditampar didepan orang banyak. Bagi orang-orang seperti mereka yang sudah terbiasa hidup dalam dunia keras berlumur darah, lebih baik bertarung sampai mati daripada dipermalukan di de pan orang banyak begitu. Tamparan keras yang diterima Braga, sama saja tamparan bagi sepuluh orang yang mengawasi pekerjaan itu.

"Bagaimana pun juga, Raden Bantar Gading harus tahu, Kakang," kata Kinca lagi.

Braga masih diam. Wajahnya sebentar merah, sebentar kemudian putih pucat bagai kapas. Napasnya terdengar memburu agak tersengal. Kinca tahu kalau Braga tengah menahan luapan amarah karena dipermalukan oleh Raden Sangga Alam.

Belum lagi Kinca mengeluarkan suara lagi, tiba-tiba dari arah Bukit Cemara, berkelebat sebuah bayangan hitam dengan cepat. Bayangan hitam itu, tahu-tahu mengamuk menghajar orang-orang yang tengah bekerja membelah dan mengangkut batu. Dalam waktu yang amat singkat, lima orang telah menggeletak dengan dada sobek lebar dan dalam. Darah segera mengucur membasahi bumi.

Belum sempat ada yang menyadari, bayangan hitam itu sudah berkelebat kembali. Kali ini sasarannya adalah delapan orang memegang cambuk yang berdiri berkelompok. Gerakan bayangan hitam itu sangat luar biasa cepatnya, sehingga dua orang yang memegang cambuk langsung ambruk dengan leher hampir terpenggal. Saat itu juga, enam orang bertubuh tinggi tegap serentak berlompatan mengepung. Sedangkan Braga dan Kinca masih tetap berdiri memperhatikan.

Trang! Tring!

"Aaakh...!"

Jerit dan pekik kematian terdengar saling susul. Bayangan hitam itu terus berkelebatan dengan cepat, sehingga sukar untuk diikuti dengan mata biasa. Orang-orang yang bertubuh tinggi tegap itu pun tampak ke repotan. Mereka harus membanting diri atau mencelat kebelakang jika terlihat bayangan hitam itu berkelebat menuju ke arahnya.

"Setan! Siapa dia...?" geram Braga melihat dua orang temannya menggeletak tak bernyawa. Tanpa berkata apa-apa lagi, Braga segera melompat menerjang bayangan hitam itu.

Braga yang memiliki ilmu olah kanuragan lumayan, kelihatannya mampu melayani orang berbaju serba hitam itu. Laki-laki tinggi tegap itu berusaha memperhatikan bayangan yang berkelebat. Tapi sangat sulit, karena seluruh tubuh orang itu terselimut kain hitam. Sedangkan, para algojo mengamuk bagaikan banteng yang terlukai.

Rupanya perlawanan Braga membuat bayangan hitam itu agak kerepotan. Namun dengan satu gerakan yang ringan dan indah, dia melenting ke udara dan langsung mencelat menuju ke Bukit Cemara. Dalam sekejap mata saja, bayangan hitam itu sudah lenyap ditelan rimbunnya pohon cemara.

"Siapa dia? Apa maksudnya mengacau di sini?" gumam Braga seperti bertanya untuk dirinya sendiri.

********************

Brak!

Meja ukir dari kayu jati tebal itu sampai rengat dihantam pukulan keras Raden Bantar Gading. Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu tampak merah wajahnya. Matanya berkilat tajam menatap Braga dan Kinca yang berdiri dengan kepala tertunduk di depannya. Sesaat kesunyian menyelimuti ruangan pondok yang tidak begitu besar itu.

"Goblok! Percuma saja kalian kubayar mahal, kalau hanya menghadapi satu orang saja sudah tidak becus!" maki Raden Bantar Gading.

"Tingkat kepandaian orang itu sangat tinggi, Raden," kata Braga coba membela diri.

"Empat orang teman kami tewas dalam waktu singkat, Raden," sambung Kinca.

"Kenapa kalian tidak ikut mampus sekalian?!" geram Raden Bantar Gading.

Braga dan Kinca terdiam. Mereka hanya saling pandang. Mereka memang orang-orang bayaran yang bekerja dengan mempertaruhkan segalanya, termasuk nyawa mereka sendiri. Caci-maki orang yang membayar mereka, sudah bukan hal baru lagi. Semua itu sudah terbiasa, dan dianggap sebagai salah satu resiko menjadi orang bayaran.

"Braga! Kau tahu, siapa orang yang mengacau di Bukit Batu itu?" tanya Raden Bantar Gading tajam.

"Tidak, Raden. Orang itu memakai baju serba hitam. Mukanya pun tertutup kain hitam juga. Sulit untuk mengenalinya, Raden," sahut Braga seraya mengangkat kepalanya sedikit.

"Tapi kau bisa mengenali suaranya, bukan?" desak Raden Bantar Gading.

"Orang itu tidak berkata apa-apa, Raden. Datang langsung mengamuk dan membunuh para pekerja. Kami berusaha menghalau, tapi empat orang teman kami malah tewas," sahut Braga lagi.

"Edan!" dengus Raden Bantar Gading menggeram. Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu bangkit berdiri dari kursinya yang juga terbuat dari kayu jati ukiran. Sinar matanya tetap tajam menusuk. Raut wajahnya menegang, dengan kening sedikit berkerut. Raden Bantar Gading melangkah pelan-pelan menuju kejendela yang cukup besar dan terbuka lebar.

Dan baru saja sampai di muka jendela, mendadak sebuah anak panah melesat bagai kilat ke arahnya. Raden Bantar Gading terperangah sejenak, lalu dengan cepat diegoskan tubuhnya ke samping. Anak panah itu melesat sedikit di depan dadanya, langsung menancap pada tiang penyangga di tengah-tengah ruangan itu. Braga dan Kinca terkejut. Mereka segera melompat ke luar lewat pintu yang juga terbuka lebar.

Raden Bantar Gading meneliti ke adaan di luar sebentar, lalu matanya beralih me natap anak panah yang tertancap di riang penyangga pondok ini. Bergegas dihampiri, dan dicabutnya anak panah itu. Selembar daun lontar terikat di batang anak panah itu. Raden Bantar Gading melepas ikatan daun lontar itu dan membukanya. Kelopak mata Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu membeliak lebar begitu melihat daun lontar itu berisi sebaris kalimat...

'Hentikan pekerjaan kotormu, atau....'

"Setan!" geram Raden Bantar Gading seraya meremas lumat daun lontar berisi ancaman itu.

Pada saat itu Braga dan Kinca masuk ke dalam pondok. Mereka agak heran melihat air muka putra mahkota itu ke lihatan marah luar biasa. Perhatian mereka tertuju pada daun lontar yang hampir lumat di dalam genggaman Raden Bantar Gading.

"Raden...," agak bergetar suara Braga.

"Kalian kembali ke Bukit Batu. Aku akan cari orang lain untuk membantu kalian!" kata Raden Bantar Gading memerintah.

Braga dan Kinca segera membungkuk memberi hormat, lalu bergegas melangkah ke luar dari pondok itu. Sementara Raden Bantar Gading te ap berada di dalam pondok. Dia berjalan mondar-mandir dengan wajah memerah tegang dan ke dua tangannya terkepal erat. Daun lontar di dalam kepalan tangannya sudah hancur bagai tepung.

Begitu terdengar derap kaki kuda dipacu, Raden Bantar Gading bergegas melangkah ke luar. Tampak debu mengepul di kejauhan. Sebentar putra mahkota itu memandangi dua orang bayarannya yang memacu kuda dengan cepat menuju ke Bukit Batu. Raden Bantar Gading segera menghampiri kudanya yang tertambat di bawah pohon kenanga. Dengan satu gerakan yang ringan dan indah, tubuhnya melenting dan hinggap di atas punggung kuda putihnya.

"Yeah! Hiya...!"

Raden Bantar Gading langsung menggebah kudanya, agar berlari cepat. Bagaikan sebatang anak panah lepas dari busurnya, kuda putih itu melesat meninggalkan pondok kecil tempat bernaung sementara Raden Bantar Gading. Debu mengepul ke udara terhantam derap kaki kuda. Raden Bantar Gading terus memacu kudanya dengan cepat menuju kearah Utara.

********************

Sementara itu di Bukit Batu, puluhan orang tengah mengerang meregang nyawa. Darah berceceran di segala tempat. Bahkan tidak sedikit yang menggelimpang tidak bernyawa lagi. Tak ada seorang pun yang masih bisa berdiri tegak. Pemandangan di Bukit Batu itu sungguh mengenaskan. Mayat tergeletak di mana-mana. Erangan dan rintihan terdengar lirih tersapu angin. Bau anyir darah menyeruak lubang hidung.

Braga dan Kinca yang baru tiba di bukit itu, langsung melompat turun dari kudanya. Mereka berlarian dengan mata membeliak lebar hampir tidak percaya. Kini, tak ada seorang pun yang masih hidup. Suara erangan yang semula masih terdengar lirih, lenyap bersamaan dengan datangnya dua orang bayaran Raden Bantar Gading itu. Braga dan Kinca memeriksa satu persatu mayat yang bergelimpangan.


"Gila! Siapa yang melakukan ini...?!" geram Braga seperti bertanya kepada dirinya sendiri.

"Semua tewas, Kakang," lapor Kinca.

Braga tidak menyahuti. Matanya memandang ke sekeliling. Empat orang temannya juga sudah menggeletak dengan keadaan tubuh mengenaskan. Kini di Bukit Batu tinggal mereka berdua saja yang masih hidup. Seperti dikomando saja, ke dua orang itu bergerak menjauhi tempat yang penuh mayat bergelimpangan itu.

"Sebaiknya kita laporkan saja hal ini pada Raden Bantar Gading, Kakang," kata Kinca mengusulkan.

Braga tidak segera menyahut. Dia tetap melangkah menghampiri kudanya. Kinca mengikuti. Mereka segera naik ke punggung kudanya masing-masing. Sesaat mereka memandang berkeliling, lalu menjalankan kudanya pelahan-lahan menuruni Lereng Bukit Batu itu.

"Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan pekerjaan ini, Kinca," ujar Braga setelah lama terdiam.

"Maksud Kakang?" tanya Kinca tidak mengerti.

"Bukan sekali ini kita dibayar untuk mengawasi pekerjaan pembuatan jalan. Bahkan yang lebih berat dari ini pun, sering kita lakukan. Tapi aku belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya," jelas Braga setengah bergumam.

"Kau menduga ada maksud tersembunyi di balik pembuatan jalan ini, Kakang?" tebak Kinca.

"Benar, dan kita tidak mengetahuinya," sahut Braga.

Kinca diam merenung. Sementara kuda mereka terus berjalan pelahan-lahan semakin jauh meninggalkan Bukit Batu. Angin yang berhembus masih terasa membawa bau anyir darah dari bukit itu. Sementara matahari yang bersinar terik, tetap memanggang permukaan bumi. Sepertinya tidak peduli dengan kejadian yang berlangsung di bawah siraman cahayanya.

"Lantas, apa yang harus kita lakukan?" tanya Kinca lagi.

"Seorang raja besar seperti Prabu Abiyasa, tidak mungkin melakukan pekerjaan besar tanpa menghasilkan sesuatu yang lebih besar lagi. Lebih-lebih dengan resiko mengorbankan banyak nyawa. Uh! Bodoh sekali aku...! Kenapa tidak terpikirkan sejak semula...?" Braga menepuk keningnya sendiri.

Kinca memandangi dengan kening berkerut. Dia memang memiliki ilmu olah kanuragan yang lumayan, tapi otaknya tidak pernah bisa diajak berpikir jauh dan mendalam. Semua yang dilakukan selalu tergantung dari pemikiran kakaknya, Braga.

"Kau tahu letak Pesanggrahan Goa Larangan, Kinca?" tanya Braga.

"Kalau tidak salah, letaknya di Pantai Utara dekat Desa Muara Pening," jawab Kinca ragu-ragu.

"Kau yakin?"

"Entahlah. Aku juga hanya dengar-dengar saja. Aku sendiri belum pernah kesana," sahut Kinca.

"Kita cari Pesanggrahan Goa Larangan itu, Kinca," kata Braga.

"Lalu, bagaimana dengan mereka yang tewas, Kakang?" tanya Kinca.

"Biarkan saja, nanti juga ada prajurit yang tahu," sahut Braga.

Kinca hanya mengangkat pundaknya saja. Dia percaya kalau kakaknya ini pasti sudah memiliki suatu rencana yang akan menguntungkan, daripada tetap mengikuti Raden Bantar Gading. Kedua laki-laki bayaran itu segera memacu kudanya memutari Lereng Bukit Batu ini. Mereka tidak peduli lagi dengan pekerjaan yang dibebankan padanya. Apalagi terhadap mayat-mayat yang bergelimpangan di Puncak Bukit Batu.

********************

TIGA

Kabar tentang pembantaian yang terjadi di Bukit Batu telah terdengar di telinga Prabu Abiyasa. Tentu saja hal ini meresahkan seluruh rakyat di Kerajaan Gantar Angin. Mereka yang terbantai adalah sebagian dari rakyat Gantar Angin. Sedangkan Raden Bantar Gading segera mengambil tindakan dengan mengerahkan seratus prajurit untuk menjaga di sekitar Bukit Batu. Dia juga mengambil lebih banyak lagi rakyatnya untuk meneruskan pekerjaan pembuatan jalan dari Kerajaan Gantar Angin ke Pesanggrahan Goa Larangan.

Sementara itu, Raden Sangga Alam yang sejak semula tidak menyetujui adanya pembuatan jalan itu, hanya bisa menerka-nerka arti semua peristiwa pembantaian di Bukit Batu. Dia berusaha mendekati ayahnya untuk menghentikan pekerjaan itu. Rupanya, kata-kata Raden Bantar Gading sudah merasuk begitu dalam di hati Prabu Abiyasa. Ternyata usaha Raden Sangga Alam tidak mungkin berhasil dengan cara pendekatan terhadap ayahnya.

"Tampaknya Ayahanda Prabu sudah tidak berkenan lagi mendengar kata-kataku, Paman," kata Raden Sangga Alam saat berdua saja dengan Paman Nampi di taman istana .

"Tapi, bagaimanapun juga, Raden harus bisa mencegah pembuatan jalan itu," kata Paman Nampi.

"Apa lagi yang harus kulakukan, Paman? Pembantaian di Bukit Baru sudah menandakan kalau ada orang lain yang juga tidak senang dengan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan itu. Dan sepertinya, Kanda Bantar Gading mencurigaiku. Ditambah kini, Ayahanda Prabu sudah tidak percaya lagi padaku," keluh Raden Sangga Alam.

"Jangan putus asa dulu, Raden. Masih banyak cara yang bisa ditempuh," kata Paman Nampi memberi semangat.

"Cara apa lagi, Paman? Semua cara yang kutempuh tidak pernah mengorbankan rakyat. Tapi sekarang...," nada suara Raden Sangga Alam terdengar putus asa.

"Yah..., aku sendiri juga menyesalkan ke jadian di Bukit Batu itu, Raden," desah Paman Nampi pelan.

"Siapa orang itu, Paman?" tanya Raden Sangga Alam.

"Menurut keterangan yang kudengar, dia muncul dengan menggunakan baju serba hitam. Orang itu juga telah memberi peringatan sebelumnya," sahut Paman Nampi.

"Dia pasti memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Orang-orang bayaran saja tidak mampu menandinginya," pelan suara Raden Sangga Alam

Paman Nampi diam saja.

"Paman, apakah tidak sebaiknya kita cari tahu tentang orang itu?" usul Raden Sangga Alam.

"Untuk apa?" tanya Paman Nampi agak terkejut.

"Aku yakin, tujuannya sama dengan tujuan kita. Tapi caranya yang berbeda. Kita bisa bergabung dengannya. sehingga tidak menimbulkan korban lebih banyak lagi, Paman," jelas Raden Sangga Alam mengemukakan pikirannya yang mendadak timbul

"Tidak mudah, Raden. Sama saja mencari jarum dipadang luas," kata Paman Nampi.

"Aku yakin bisa menemukannya. Toh kita tidak bermaksud memusuhinya. Bahkan akan mengajaknya bergabung dengan cara yang lebih halus, tanpa mengorbankan rakyat."

Paman Nampi kembali terdiam. Nampaknya usul Raden Sangga Alam sedang dipikirkannya. Namun dari sinar mata laki-laki tua berjubah putih itu seakan-akan menyiratkan ketidakyakinan. Atau mungkin juga tidak setuju akan usul putra ke dua Prabu Abiyasa. Sedangkan Raden Sangga Alam menunggu jawabannya dengan penuh harapan.

"Bagaimana caranya mencari orang itu, Raden?" tanya Paman Nampi pelan. Sepertinya dia tidak yakin dengan pertanyaannya lagi.

"Itulah yang sedang kupikirkan, Paman," sahut Raden Sangga Alam. Pelan suaranya.

"Bagaimana kalau kita cari di sekitar Bukit Cemara?" usul Paman Nampi.

"Tidak mungkin, Paman. Ayahanda tidak mengijinkan aku ke Bukit Cemara lagi. Bahkan Kanda Bantar Gading tidak ingin pekerjaannya dicampuri lagi," keluh Raden Sangga Alam.

"Raden bisa beralasan," kata Paman Nampi.

"Alasan apa?"

"Berburu."

"Pasti Ayahanda memerintahkan satu pasukan untuk mengawalku."

"Tidak jadi masalah. Raden bisa pilih pasukanku. Mereka semua setia padaku, Raden."

"Ah, benar, Paman! Ayahanda Prabu pasti setuju. Prajurit-prajurit Paman sangat terlatih dan selalu terpilih jadi prajurit utama kerajaan," seru Raden Sangga Alam gembira.

"Kapan Raden akan menemui Ayahanda Prabu?"

"Hari ini juga, Paman."

"Jangan! Sebaiknya tiga atau empat hari lagi, agar tidak terlalu menyolok. Lagi pula perhatian Ayahanda Prabu sedang terpusat pada pembuatan jalan kepesanggrahan."

"Baiklah, Paman," sahut Raden Sangga Alam menyerah.

"Untuk sementara, sebaiknya Raden tidak ke luar istana. Biar Paman saja yang mengamati setiap perkembangan di Bukit Batu," kata Paman Nampi lagi.

"Itu juga boleh, Paman."

"Bagus, Raden," Paman Nampi tersenyum lebar.

********************

Tiga hari kemudian, Raden Sangga Alam didampingi Paman Nampi dan tiga puluh orang prajurit bergerak meninggalkan Istana Kerajaan Gantar Angin. Merka semua menunggang kuda tegap dan gagah. Tiga ekor kuda mengangkut beban. Peralatan yang dibawa jelas peralatan berburu. Mereka menuju ke arah hutan yang berlawanan arah dengan Bukit Cemara,

Raden Sangga Alam berkuda paling depan, didampingi Paman Nampi. Sedangkan tiga puluh orang prajurit mengikuti dari belakang. Mereka adalah para prajurit pilihan dan akan melakukan apa saja asal mendapat perintah langsung dari Paman Nampi. Walaupun raja mereka sendiri yang memerintah, tapi jika tidak ada persetujuan dari Paman Nampi, mereka tidak akan melakukannya.

Keistimewaan itulah yang dimiliki para prajurit yang dipimpin Paman Nampi, selaku penasehat khusus sekaligus guru Raden Sangga Alam. Dia juga menjabat sebagai salah satu panglima perang Kerajaan Gantar Angin. Memang, setiap panglima perang memiliki pasukan sendiri-sendiri. Dan tentu saja kemampuannya juga berbeda. Tergantung tingginya tingkat ke pandaian panglima itu sendiri.

"Kenapa tidak langsung ke Bukit Cemara saja, Paman?" tanya Raden Sangga Alam.

"Kita menuju Hutan Danaraja dulu, Raden. Dari sana kita berkemah, lalu memutar arah menuju Bukit Cemara. Kita tinggalkan tenda di Hutan Danaraja dengan beberapa prajurit. Sedangkan prajurit lainnya berburu. Hanya kita berdua yang ke Bukit Cemara," jelas Paman Nampi sambil tangannya menunjuk kedepan.

Raden Sangga Alam kembali diam. Jarak dari Hutan Danaraja ke Bukit Cemara, memang tidak terlalu jauh. Jadi tidak ada salahnya jika berkemah di Hutan Danaraja dengan meninggalkan beberapa prajurit untuk menjaga. Raden Sangga Alam tahu betul akan maksud dan tujuan Paman Nampi.

Mereka terus memacu kuda tanpa berbicara lagi. Hingga tengah hari, baru mereka tiba di Hutan Danaraja. Sebuah hutan yang sangat luas bagai tak bertepi. Seluruh keluarga Kerajaan Gantar Angin memang selalu berburu di hutan itu. Hutan yang menyediakan begitu banyak hewan buruan.

Paman Nampi memilih tempat di tepi sungai untuk mendirikan tenda-tenda. Para prajurit segera mendirikan tenda setelah mendapat perintah Paman Nampi. Sebuah tenda yang cukup besar terpancang dalam waktu sebentar saja, dan dikelilingi beberapa tenda kecil-kecil. Raden Sangga Alam masuk ke dalam tenda yang paling besar itu. Di dalamnya dua orang prajurit yang tengah merapikan, segeramembungkukkan badan, dan segera bergegas ke luar setelah pekerjaannya selesai.

Saat itu Paman Nampi tengah memberikan beberapa perintah pada para prajurit. Laki-laki tua berjubah putih itu baru melangkah masuk ke tenda tempat beristirahat Raden Sangga Alam, setelah selesai memberi beberapa perintah, dan membagi tugas kepada para prajuritnya. Paman Nampi membungkuk memberi hormat, ke mudian duduk di atas permadani yang digelar didalam tenda besar itu. Raden Sangga Alam duduk di atas peraduan yang beralaskan permadani dan bantal-bantal bulat pipih terbungkus kain sutra halus.

"Raden sebaiknya istirahat dulu. Biar aku yang mencari jalan aman ke Bukit Cemara, sekaligus memeriksa keadaan di sana," kata Paman Nampi.

"Baiklah, Paman. Aku pun rasanya ingin sedikit berburu dulu," jawab Raden Sangga Alam.

"Ah, itu lebih baik Raden. Berikan kesan kalau kita memang benar-benar berburu," kata Paman Nampi tersenyum lebar.

"Kapan Paman berangkat?" tanya Raden Sangga Alam.

"Sekarang juga, Raden. Mumpung belum sore..."

"Silakan, Paman."

Paman Nampi bangkit berdiri dan membungkuk hormat. Kemudian dia keluar dari tenda besar itu. Tidak lama kemudian, terdengar suara derap langkah kaki kuda meninggalkan tempat perkemahan itu. Raden Sangga Alam juga segera bangkit berdiri, lalu melangkah ke luar. Dua orang prajurit yang menjaga di depan segera membungkukkan badan memberi hormat.

"Siapkan peralatan, aku ingin berburu sekarang," kata Raden Sangga Alam.

Dua prajurit segera melaksanakan perintah junjungannya. Raden Sangga Alam hanya membawa sepuluh orang prajurit saja, sedangkan sisanya menunggu di perkemahan. Saat itu matahari memang masih berada di atas kepala. Sinarnya yang terik tidak terasa menyengat kulit, karena Hutan Danaraja ini sangat lebat.

Mereka semua tidak menyadari kalau ada sepasang mata mengawasi dari tempat yang cukup tersembunyi. Sepasang mata itu sudah ada sejak rombongan Raden Sangga Alam ke luar dari Istana Kerajaan Gantar Angin. Tapi, pemilik sepasang mata itu juga tidak menyadari kalau kelakuannya ada yang mengetahui. Dia baru sadar saat sebuah bayangan putih berkelebat cepat hampir menyambar tubuhnya.

"Uts !"

Orang yang mengintai Raden Sangga Alam itu membanting tubuhnya kebelakang. Dua kali dia bergulingan sebelum bangkit dengan cepat. Sedangkan bayangan putih yang hampir menyambar tubuhnya, sudah berdiri tegak sekitar dua batang tombak jauhnya di depan. Ternyata bayangan putih itu tidak lain dari Paman Nampi.

"Patih Mara Kobra! Apa yang kau lakukan di sini?!" bentak Paman Nampi.

"Kau tidak perlu tahu, Panglima Nampi!" sahut laki-laki bertubuh tegap. Usianya sekitar empat puluh tahun.
"Hm..., lagakmu sangat mencurigakan. Aku yakin kau bermaksud buruk memata-matai Raden Sangga Alam," gumam Paman Nampi sinis.

"Jangan berlagak suci, Panglima Nampi! Kau pun tidak bermaksud baik membawa Raden Sangga Alam ke Hutan Danaraja ini," balas Patih Mara Kobra.

"Edan! Sejak kapan kau berani menentangku, heh?!" geram Paman Nampi.

"Sejak kau punya niat buruk pada Gusti Prabu Abiyasa!"

"Setan belang!" merah padam wajah Paman Nampi..

Tanpa banyak bicara lagi, laki-laki tua berjubah putih itu segera melancarkan serangan cepat dan dahsyat. Patih Mara Kobra melompat kesamping, menghindari serangan dahsyat dan cepat itu. Bahkan dengan satu gerakan manis, tangannya menyodok ke arah iga Paman Nampi. Namun dengan cepat tangan panglima kerajaan itu mengibas, memapak sodokan itu.

Trak!

Dua tangan beradu keras, membuat Patih Mara Kobra melompat menjauh dua tindak. Bibirnya meringis menahan nyeri pada pergelangan tangannya. Dia sadar kalau tenaga dalamnya kalah jauh bila dibandingkan dengan panglima kepercayaan Raden Sangga Alam itu. Tapi rupanya Patih Mara Kobra tidak mau peduli. Kembali dia melompat memberikan serangan balasan yang tak kalah cepat dan dahsyatnya. Namun serangan-serangan Patih Mara Kobra dapat dielakkan dengan mudah oleh Paman Nampi. Bahkan beberapa kali Patih Mara Kobra terperangah, karena serangan balik Paman Nampi demikian cepat dan tidak terduga gerakannya.

Pertempuran itu rupanya terde ngar oleh para prajurit yang menjaga perkemahan. Mereka berlari menghampiri. Tapi begitu mengetahui siapa yang tengah bertarung, tidak ada yang berani mendekat. Sementara pertempuran antara dua pembesar Kerajaan Gantar Angin itu terus berlangsung sengit. Patih Mara Kobra tidak tanggung-tanggung lagi. Dia sadar kalau lawan yang dihadapi memiliki kepandaian yang berada diatasnya. Patih Mara Kobra segera mengerahkan jurus-jurus andalannya.

"Hiya...! Hiya...!"

Sulit dipercaya! Pada saat Patih Mara Kobra melancarkan dua pukulan geledek sekaligus, Paman Nampi menerimanya hanya dengan mendorong kedua tangan kedepan. Pada saat itu, dua pasang telapak tangan saling berbenturan dengan keras sehingga menimbulkan suara ledakan dahsyat memekakkan telinga. Tampak Patih Mara Kobra terpental sejauh tiga batang tombak ke belakang. Sedangkan Paman Nampi hanya bergeser sedikit.

"Hugh!" Patih Mara Kobra berusaha bangkit, namun darah kental bersemburan ke luar dari mulutnya. Patih Mara Kobra menatap tajam pada Paman Nampi yang sudah melangkah menghampirinya. Dalam keadaan tubuh terluka dalam akibat adu tenaga dalam, Patih Mara Kobra tidak berdaya lagi. Dipejamkan matanya ketika tangan Paman Nampi te rangkat dengan mengerahkan jurus pukulan maut andalannya.

"Hiya ...!"

"Aaakh...!" Satu teriakan melengking tinggi terdengar memecah ke sunyian Hutan Danaraja ini. Patih Mara Kobra menggelepar sesaat. Dadanya remuk kena pukulan bertenaga dalam tinggi. Hanya sesaat dia mampu bergerak, kemudian diam tidak berkutik lagi. Paman Nampi berbalik memandang para prajuritnya yang berdiri berjajar agak jauh.

"Buang mayatnya ke sungai!" perintah Paman Nampi.

Dua orang prajurit segera menghampiri, dan mengangkat tubuh Patih Mara Kobra yang sudah tidak bernyawa lagi. Mereka menggotongnya menuju sungai yang tidak jauh dari tempat itu. Setelah melemparkan tubuh Patih Mara Kobra, kedua prajurit itu kembali bergabung dengan teman-temannya. Paman Nampi menghampiri dua puluh orang prajuritnya yang setia.

"Ingat! Jangan ada yang menceritakan kejadian ini pada siapa pun, terutama pada Raden Sangga Alam," pesan Paman Nampi.

Kedua puluh prajurit itu mengangguk.

"Kalian kembali bertugas. Anggap saja kejadian tadi tidak pernah ada" kata Paman Nampi lagi.

Tanpa ada yang membantah, ke dua puluh prajurit itu segera berlalu. Sementara Paman Nampi langsung melesat pergi. Gerakannya sangat ringan dan cepat bagaikan kilat. Tidak lama kemudian terdengar suara ringkik kuda, disusul berderapnya langkah kaki kuda yang dipacu cepat. Tampak debu mengepul dari kerimbunan pepohonan Hutan Danaraja ini.

Suasana pun kembali sunyi senyap, bagai tidak pernah terjadi pertempuran. Dua puluh orang prajurit setia Paman Nampi kembali melakukan tugasnya masing-masing. Tak ada seorang pun yang membicarakan pertarungan itu. Mereka menjalankan tugas dengan mulut terkunci rapat

Paman Nampi memacu cepat kudanya menuju Bukit Cemara yang berada di sebelah Utara Hutan Danaraja. Meskipun hutan yang dilalui cukup lebat, tapi dia tidak juga memperlambat lari kudanya. Dengan lincah dan sangat cekatan, laki-laki tua berjubah putih itu mengendalikan kudanya.

Saat senja baru saja merayap turun, kuda yang ditunggangi Paman Nampi berhenti di Puncak Bukit Cemara. Sejenak laki-laki tua itu memandang kebukit seberang yang hanya terdiri dari batu-batuan bertumpuk itu. Tidak kurang dari seratus orang tengah bekerja memecah dan mengangkat batu dari bukit itu. Sedangkan sekitar dua ratus prajurit berjaga-jaga disekitarnya.

"Hup!"

Paman Nampi melompat dari punggung kudanya ketika melihat seorang Panglima Perang Kerajaan Gantar Angin berada diantara para prajurit di Puncak Bukit Batu itu. Bayangan tubuh Paman Nampi langsung lenyap ditelan kelebatan puncak pohon cemara. Dan kudanya melangkah perlahan meninggalkan tempat itu.

Saat itu, Raden Bantar Gading juga tengah berada diantara para prajurit yang sedang mengawasi para pekerja memecah batu untuk pembuatan jalan menuju Pesanggrahan Goa Larangan. Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu juga didampingi dua orang panglima perang. Mereka adalah Panglima Rapaksa dan Panglima Jampala .

"Berapa lama lagi mereka harus mengangkut batu-batu ini, Raden?" tanya Panglima Jampala.

"Sampai cukup untuk jalan kepesanggrahan," sahut Raden Bantar Gading.

"Rasanya sudah lebih dari cukup, Raden," sergah Panglima Rapaksa.

"Lebih baik berlebihan daripada kekurangan, Paman Panglima," sahut Raden Bantar Gading.

Kedua panglima itu tidak bertanya lagi. Mereka tahu betul watak Raden Bantar Gading yang keras dan tidak pernah mengikuti saran atau pendapat orang lain. Apa yang diperintahkan, harus dilaksanakan tanpa bersedia mendengar bantahan walau dengan alasan apa pun. Tindakannya juga tegas, bahkan cenderung kasar. Bisa juga dikatakan kejam.

Mendadak Raden Bantar Gading dan dua orang panglima perang itu dikejutkan oleh teriakan melengking tinggi yang disusul dengan terjungkalnya dua orang pekerja yang bersimbah darah. Sebuah bayangan hitam berkelebatan cepat menghajar para pekerja yang semuanya hanya rakyat biasa. Suasana tenang itu mendadak berubah jadi penuh jerit dan pekik melengking.

"Kepung! Tangkap setan keparat itu...!" seru Raden Bantar Gading keras.

Dua orang panglima perang, ditambah sekitar lima puluh prajurit serempak berlompatan mengepung orang berbaju hitam dengan kepala terbungkus kain hitam pula. Sedangkan para prajurit lainnya segera mengungsikan para pekerja yang berlarian serabutan menyelamatkan diri. Raden Bantar Gading langsung melompat. Dua kali tubuhnya berputar di udara, lalu dengan manis kakinya menjejak tanah, tepat sekitar dua batang tombak jaraknya dari orang berbaju serba hitam
itu.

"Hm..., rupanya kau punya nyali besar juga, bangsat!" geram Raden Bantar Gading dingin.

"Sudah kuperingatkan, hentikan pekerjaan ini. Tapi kau tetap meneruskannya. Jangan salahkan aku jika seluruh rakyat Gantar Angin musnah!" kata orang berbaju serba hitam itu. Suaranya berat dan datar.

"Siapa kau?" tanya Raden Bantar Gading.

"Hhh! Tak perlu kau tahu siapa aku! Yang jelas tidak akan kubiarkan tangan-tangan kotor menjarah Pesanggrahan Goa Larangan!" sahut orang berbaju serba hitam itu tegas.

"He h! Apa hakmu melarang?"

"Karena aku tidak ingin tempat suci itu jadi tempat maksiat!"

"Setan! Kau telah menghina Kerajaan Gantar Angin! Kau harus mampus, bangsat!" geram Raden Bantar Gading.

Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu langsung memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh orang berbaju serba hitam itu. Teriakan-teriakan peperangan kini terdengar memecah kesunyian Bukit Batu itu. Orang berbaju hitam dengan lincah menghalau setiap serangan yang datang dari segala penjuru. Gerakannya sangat cepat dan sukar diduga arahnya. Dalam waktu tidak berapa lama saja, sepuluh prajurit sudah menggeletak tidak bernyawa lagi. Darah kembali menyiram Puncak Bukit Batu itu.

Raden Bantar Gading semakin geram menyaksikan para prajuritnya yang tidak mampu menghadang amukan orang itu. Dengan satu teriakan, Raden Bantar Gading melompat menerjang. Pada saat yang bersamaan, dua orang panglima perang juga menyerang orang berbaju serba hitam itu. Terjunnya Raden Bantar Gading dan dua orang panglima perang kerajaan, membuat orang berbaju serba hitam itu sedikit kewalahan. Ketiga lawannya yang baru terjun dalam pertempuran itu rata-rata memiliki tingkat ke pandaian yang cukup tinggi. Jurus-jurusnya pun sangat dahsyat.

"Mampus kau, bangsat...!" bentak Raden Bantar Gading seraya mencabut pedangnya yang selalu tergantung di pinggang.

Begitu pedang tercabut, langsung dibabatkan ke arah leher orang berbaju serba hitam itu. Namun dengan manis sekali, sabetan pedang itu dielakkan hanya dengan menarik leher kebelakang. Tak lama kemudian, Panglima Jampala melepaskan pukulan maut ke arah dada.

"Hiya ...!"

"Uts !" Orang berbaju hitam itu segera melompat mundur kebelakang. Tapi dari arah lain, Panglima Rapaksa ternyata sudah siap dengan satu tendangan geledeknya. Kali ini orang itu tidak bisa berkelit lagi. Pinggangnya tersambar tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Dia hanya mengeluh pendek sedikit meskipun tubuhnya terjajar sekitar satu depa.

"Pisah kepalamu!" seru Raden Bantar Gading.

Di saat orang berbaju hitam itu dalam keadaan tidak seimbang posisi tubuhnya, Raden Bantar Gading mengibaskan pedangnya dengan cepat ke arah leher. Orang berbaju serba hitam itu agak terperangah sejenak, namun dengan cepat dibanting tubuhnya ke tanah. Serangan Raden Bantar Gading luput dari sasaran. Namun putra mahkota itu segera mencecar dengan menusukkan ujung pedangnya kearah tubuh orang berbaju hitam itu.

Beberapa kali orang berbaju hitam itu bergulingan menghindari tusukan ujung pe dang Raden Bantar Gading. Dan pada satu ke sempatan, dia berhasil melentingkan tubuhnya ke udara. Namun, di udara Panglima Jampala sudah melenting seraya melontarkan tendangan menggeledek bertenaga dalam tinggi. Orang berbaju serba hitam itu tidak mampu lagi berkelit, maka dengan telak dadanya terkena hantaman kaki dengan keras.

"Akh!" dia memekik tertahan. Kembali tubuhnya terhempas ke tanah dengan keras. Tampak penutup wajahnya berubah merah pada bagian mulutnya. Dia berusaha bangkit, namun dadanya terasa sesak. Tulang-tulangnya seperti remuk kena tendangan keras bertenaga dalam tinggi itu. Raden Bantar Gading yang melihat lawannya tengah tidak berdaya, segera melompat seraya mengibaskan pedangnya.

"Hiya...!"

Tepat pada saat ujung pedang Raden Bantar Gading hampir merobek dada orang berbaju serba hitam itu, sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar tubuh orang itu. Ujung pedang Raden Bantar Gading membabat angin. Tentu saja hal ini membuat putra mahkota itu berang.

Bayangan yang menyambar tubuh orang berbaju hitam itu demikian cepat, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dite lan lebatnya hutan pohon cemara. Raden Bantar Gading memerintahkan dua orang panglimanya untuk mengejar. Tanpa membantah sedikitpun, dua orang panglima itu segera mengejar dengan mengajak sekitar tiga puluh prajurit. Mereka berlompatan naik ke punggung kuda, dan memacu cepat menuju Bukit Cemara yang banyak ditumbuhi pohon cemara.

"Setan belang...!" maki Raden Bantar Gading sengit.

EMPAT

Siapa sebenarnya orang berbaju serba hitam itu? Dan mengapa menghalangi pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan? Dan siapa pula yang telah menyelamatkan orang berbaju serba hitam itu dari maut? Semua itu masih menjadi pertanyaan yang menjengkelkan Raden Bantar Gading. Tentu saja dia tidak tahu. Apalagi para prajurit yang diperintahkan untuk mengejar, juga tidak akan bisa mene mukannya. Orang berbaju serba hitam itu memang telah diselamatkan oleh seorang pemuda tampan bertubuh tegap mengenakan baju dari kulit harimau.

Pemuda tampan itu membawa orang berbaju serba hitam ke dalam sebuah goa yang letaknya sangat tersembunyi di Puncak Bukit Cemara. Goa kecil yang penuh ditutupi semak dan pepohonan di mulutnya. Tidak ada yang menyangka kalau di situ tersembunyi sebuah goa kecil.

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu membuka kain hitam yang menyelubungi kepala orang itu. Tampak seraut wajah tua, namun bercahaya di balik selubung kain hitam. Rambutnya panjang memutih dan digelung ke atas. Ikat kepala dari logam berwarna kuning keemasan menghias kepalanya. Kumis dan janggutnya juga sudah panjang memutih semua. Saat pemuda itu membuka baju hitam yang menutupi tubuh laki-laki tua itu, tampak sebuah jubah putih tersembunyi di balik baju hitam yang tidak begitu ketat.

"Jangan bergerak dulu! Kau terluka dalam cukup parah," kata pemuda itu ketika laki-laki tua itu akan bangkit.

Laki-laki tua itu ke mbali berbaring di atas tumpukan rumput kering. Sedangkan pemuda tampan berbaju kulit harimau itu memeriksa tubuh yang kelihatan biru memar. Jari-jari tangannya bergerak lincah di se kitar tubuh yang memar. Kemudian ditekan telapak tangan kanannya ke dada laki-laki tua itu.

"Akh...!" laki-laki tua itu memekik tertahan. Dua kali dia memuntahkan darah kental dari mulutnya, lalu terkulai lemas dengan napas memburu agak tersengal. Pemuda itu masih menekan telapak tangannya, menyalurkan hawa murni ke tubuh laki-laki tua itu. Keringat membanjiri kening dan lehernya. Telapak tangan yang menempel di dada kurus itu sedikit bergetar, pertanda tengah mengerahkan hawa murni untuk menyembuhkan luka dalam laki-laki tua itu.

"Hhh...!" pemuda tampan itu mengeluh panjang seraya menghenyakkan tubuhnya di samping laki-laki tua yang terbaring lemah.

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu melakukan semadi sebentar untuk memulihkan hawa murni yang sudah berkurang tadi. Tidak lama melakukan semadi, kemudian mata pemuda itu merayapi tubuh laki-laki tua yang tetap terbaring dengan kedua matanya yang terbuka. Air mukanya sudah kelihatan cerah. Padahal wajahnya semula pucat seperti mayat. Pelahan laki-laki berjubah putih itu bangkit duduk. Tanpa diminta, dia segera melakukan semadi untuk menormalkan jalan darahnya. Tidak lama laki-laki tua yang kini memakai jubah putih itu melakukan semadi. Kemudian tatapan matanya beralih pada seonggok baju hitam di samping pemuda itu.

"Terima kasih. Kau telah menyelamatkan nyawaku, Kisanak," kata laki-laki tua itu.

"Kenapa Kakek bisa sampai bentrok dengan para prajurit itu?" tanya pemuda berbaju kulit harimau itu.

"Ceritanya panjang, Kisanak. Tapi karena kau telah menyelamatkan nyawaku, rasanya tidak ada salahnya jika kau mengetahui."

Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu diam membisu.

"Aku sebenarnya seorang Panglima Kerajaan Gantar Angin, dan juga penasehat pribadi Raden Sangga Alam, sekaligus gurunya dalam ilmu olah kanuragan. Aku bernama Nampi, tapi kau cukup memanggilku Paman Nampi...."

"Aku Bayu Hanggara," pemuda tampan berbaju kulit harimau itu juga memperkenalkan diri.

"Hm..., aku seperti pernah mendengar namamu. Ah...! Apakah kau yang berjuluk Pendekar Pulau Neraka?" tebak Paman Nampi.

"Benar," sahut Bayu.

Paman Nampi terdiam dengan mata seolah-olah menyelidik pemuda tampan berbaju kulit harimau didepannya. Dia memang pernah dengar sepak terjang Pendekar Pulau Neraka. Nama pendekar itu sudah sangat kondang dan selalu menggemparkan dalam setiap pemunculannya. Hampir semua tokoh-tokoh rimba persilatan, baik dari golongan putih maupun hitam kesulitan untuk menentukan golongan pendekar itu. Apakah Pendekar Pulau Neraka masuk dalam golongan putih atau hitam? Sepak terjangnya memang sangat membingungkan tokoh-tokoh rimba persilatan.

"Ada apa, Paman?" tanya Bayu agak jengah dipandangi sedemikian rupa.

"Oh, tidak apa-apa. Aku hanya tidak menyangka bakal bertemu muka dengan seorang pendekar yang kondang dan amat disegani," sahut Paman Nampi.

"Ah, sudahlah...," Bayu merendah. "Ceritakan saja, kenapa Paman bisa bentrok dengan teman sendiri. Bukankah para prajurit itu juga dari Kerajaan Gantar Angin?"

Paman Nampi tidak segera menjawab dan hanya menarik napas panjang. Dibetulkan letak duduknya agar lebih enak. Sementara Bayu menanti dengan sabar. Tapi, dia masih merasa jengah juga setiap kali tatapan mata Paman Nampi bertemu dengan tatapan matanya. Sorot matanya memang menandakan berbagai perasaan yang sulit diterka.

"Mereka memang teman-temanku sendiri...," Paman Nampi memulai. "Dulu, Kerajaan Gantar Angin diperintah oleh seorang ratu bernama Gusti Ratu Kunti Boga. Gusti Ratu hanya memiliki seorang anak perempuan, dari hasil perkawinannya dengan seorang panglima muda yang gagah dan sangat tinggi kepandaiannya. Tapi pada saat anaknya berusia tujuh tahun, malapetaka datang menimpa. Adik tiri Gusti Ratu yang bernama Abiyasa merebut tahta. Dibunuhnya suami Gusti Ratu. Sedangkan Gusti Ratu ditawan dalam penjara bawah tanah, bersama saudaranya yang berjumlah enam orang...," cerita Paman Nampi tentang kemelut yang terjadi di Kerajaan Gantar Angin.

Sementara Bayu Hanggara mendengarkan penuh perhatian.

"Pada saat pemberontakan itu berlangsung, aku sempat menyelamatkan putri Gusti Ratu, dan kubawa ke Bukit Cemara ini. Seorang emban yang setia telah merawatnya. Sedangkan aku mendidiknya berbagai macam ilmu olah kanuragan. Aku berharap, kelak dia bisa mengembalikan keutuhan Kerajaan Gantar Angin seperti semula. Tapi...," Paman Nampi menghentikan kisahnya .

"Ada apa?" desak Bayu.

"Entahlah. Yang jelas, aku merasa gagal dalam mendidiknya. Aku tidak bisa mencegah...," suara Paman Nampi bernada mengeluh.

Bayu tidak mendesak lagi. Bisa dimengerti kalau hal itu tidak pantas untuk dibicarakan. Tapi dia masih belum bisa menghubungkan cerita Paman Nampi dengan pertempuran yang hampir menewaskan laki-laki tua berjubah putih yang kini ada di hadapannya.

"Kulihat Paman membantai para pekerja di Bukit Batu. Kenapa Paman lakukan itu?" tanya Bayu.

“Mereka memang pantas mati karena tidak bisa memegang omongannya sendiri! Padahal, mereka telah bersumpah setia pada Gusti Ratu! Tapi kenyataannya, mereka membantu membuat jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan!" agak tertahan suara Paman Nampi.

"Maaf. Bukannya hendak mencampuri urusanmu, tapi kurasa penilaianmu keliru terhadap mereka," kata Bayu.

"Apa maksudmu, Kisanak?"

"Kupikir mereka juga terpaksa melakukannya."

"Tidak mungkin! Mereka tahu betul kalau Pesanggrahan Goa Larangan tempat yang sangat indah, tapi sangat disucikan. Tempat itu digunakan Gusti Ratu untuk memuja Dewata. Seharusnya mereka sadar kalau pembuatan jalan itu akan mengotori tempat suci itu. Prabu Abiyasa hendak menjadikan Pesanggrahan Goa Larangan sebagai tempat peristirahatan dan tempat berlibur para pembesar. Bukankah itu akan merusak kesucian yang selama ini selalu kami pelihara? Jadi jelas, mereka yang membantu pembuatan jalan itu adalah manusia-manusia kotor yang harus dilenyapkan dari muka bumi!"

"Hm...," gumam Bayu tidak jelas.

Kata-kata Paman Nampi memang jelas dan tegas, sehingga Pendekar Pulau Neraka bisa memahami semua persoalannya. Kini dia tahu, kenapa laki-laki tua berjubah putih itu sangat berang dan gelap mata. Bayu tidak bisa menyalahkan tindakan Paman Nampi. Kelihatannya, tindakan itu semata-mata hanya pelampiasan rasa amarah dan kekecewaan yang lama terpendam didalam hati. Tapi bagi Bayu, tindakan Paman Nampi tidak bisa dibenarkan. Meskipun dia sendiri selalu bertindak tegas, namun tidak membabi-buta dengan membantai penduduk yang tidak mengerti ilmu olah kanuragan.

"Apakah hanya Paman sendiri yang menentang?" tanya Bayu.

"Tidak. Sebenarnya masih banyak. Hanya saja mereka tidak berani menentang secara terang-terangan. Prabu Abiyasa selalu bertindak tegas, bahkan cenderung kejam pada siapa saja yang mencoba menentangnya," sahut Paman Nampi.

"Dan Paman juga menganggap mereka manusia kotor?"

Paman Nampi tidak segera menjawab. Pertanyaan Pendekar Pulau Neraka itu sungguh tepat, dan langsung menyentuh hati Paman Nampi. Laki-laki tua itu kini diam merenung.

"Bagiku, manusia di mana saja sama. Hanya pangkat dan kedudukan saja yang membedakannya. Maaf, bukannya ingin mencampuri urusan itu terlalu jauh. Masalahnya aku tidak melihat adanya alasan yang tepat sehingga kau bantai orang-orang yang tidak berdosa dan dalam keadaan tertekan," kata Bayu lagi.

"Bagaimana kau bisa berkata begitu, Kisanak? Sedangkan kau sendiri bukan rakyat Gantar Angin."

"Paman sudah tahu, siapa aku sebenarnya. Di dalam kalangan rimba persilatan, hal seperti itu sudah terlalu sering terjadi. Dan aku bisa mengambil kesimpulan hanya dari cerita yang kudengar. Jangan salah kira. Aku bukannya sok pintar dalam hal ini. Ini hanya sekedar uneg-uneg yang ada di dalam kepalaku," sahut Bayu.

"Bisa kau buktikan, Kisanak?"

Bayu hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau pertanyaan itu bernada menantang. Bukan permintaan bantuan. Pendekar Pulau Neraka itu bangkit berdiri dan melangkah ke luar dari dalam goa ke cil itu. Paman Nampi juga ikut bangkit dan mengikuti pende kar itu. Luka-luka di dalam tubuhnya sudah tidak terasa lagi. Cahaya matahari senja langsung menerpa begitu mereka sampai di depan mulut goa.

"Siapa nama anak Gusti Ratu?" tanya Bayu dengan pandangan tetap lurus kedepan.

"Mayang," jawab Paman Nampi.

"Dia tahu kalau kau seorang panglima?"

"Tidak. Yang diketahuinya, aku adalah orang tua yang telah menyelamatkannya dari malapetaka. Dia selalu memanggilku dengan sebutan Eyang."

"Dia juga tahu namamu?"

"Juga tidak."

"Rupa mu?"

Paman Nampi menggeleng.

"Hebat! Berapa tahun hal itu berlangsung...?"

"Tiga belas tahun. Dan aku selalu menemuinya dengan pakaian hitam yang hampir menutupi seluruh wajahku. Hanya tiga kali dalam satu pekan aku menemuinya. Itu pun hanya untuk mengajarkan jurus-jurus ilmu olah kanuragan, dan terus berlangsung hingga emban pengasuhnya meninggal dunia karena usia tua."


"Di mana dia tinggal?"

"Untuk apa?" Paman Nampi merasa keberatan.

"Kau keberatan...?"

"Tidak! Kau boleh menemuinya di Lereng Bukit Cemara sebelah Barat. Dia tinggal di pondok kecil dan agak tersembunyi letaknya."

"Siapa saja yang tahu selain kau sendiri?"

"Raden Bantar Gading, putra pertama Prabu Abiyasa dan pewaris tahta kerajaan."

Bayu tersenyum tipis. Pertanyaan-pertanyaan tadi sebenarnya merupakan pancingan saja. Kini dia tahu, kenapa Paman Nampi tidak mau menceritakan kekecewaannya pada Mayang. Bisa saja wanita itu jatuh cinta pada orang yang sebenarnya musuh dan harus dilenyapkan. Itu pun juga yang menjadi salah satu sebab, kenapa Paman Nampi sampai bertindak brutal. Laki-laki tua ini memendam rasa kecewa yang bertumpuk Rasa kecewa itu dilampiaskan menjadi kemarahan yang tak terkendalikan.

"Sudah senja. Aku harus kembali ke Hutan Danaraja. Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," kata Paman Nampi.

"Hm, kenapa ke Hutan Danaraja? Bukankah seorang panglima tinggal di dalam lingkungan istana?" agak heran juga Bayu mendengarnya.

"Aku harus menemui Raden Sangga Alam karena dialah satu-satunya putra Prabu Abiyasa yang menentang ayahnya. Hanya sayang dia tidak memiliki kekuasaan untuk menentang, karena lahir dari rahim seorang selir," Paman Nampi tidak ragu-ragu lagi menceritakannya.

"O..., kau menyusun kekuatan di Hutan Danaraja?”

"Oh..., tidak. Aku dan Raden Sangga Alam sedang berburu bersama tiga puluh prajuritku."

Lagi-lagi Bayu tersenyum tipis. Dia tidak mencegah ketika laki-laki tua berjubah putih itu berjalan dengan cepat. Pendekar Pulau Neraka itu tahu kalau Paman Nampi mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Dalam waktu sebentar saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan rimbunan pohon cemara yang menutupi seluruh permukaan bukit itu.

"Hm, harus ada orang yang bisa mencegah luapan kemarahan Paman Nampi. Aku tidak yakin, apakah Pendekar Pulau Neraka akan beraksi lagi kali ini...?" gumam Bayu bicara pada dirinya sendiri.

********************

Paman Nampi menemukan kudanya tengah merumput dengan tenang. Dengan kuda tunggangannya itu, dia segera menuju Hutan Danaraja. Paman Nampi memang cekatan dalam mengendalikan kuda. Meskipun dipacu cepat dalam kelebatan hutan, hal itu bukan satu rintangan yang berarti, karena dia adalah panglima perang yang handal. Laki-laki tua berjubah putih itu baru memperlambat laju kudanya setelah berada dekat sekitar perkemahan Raden Sangga Alam.

Suasana senja yang temaram membuat para prajurit harus menyalakan api unggun lebih awal. Apalagi kabut begitu cepat datang, sehingga menutupi cahaya matahari sore ini. Paman Nampi turun dari punggung kudanya, lalu melangkah pelan-pelan sambil menuntun kudanya. Seorang prajurit yang melihat kehadirannya, segera berlari menghampiri. Diambilnya. tali kekang kuda itu dari tangan Paman Nampi. Segera dibawanya pergi ke tempat kuda-kuda lain yang tengah diistirahatkan.

Paman Nampi menghenyakkan tubuhnya di depan perapian. Raden Sangga Alam yang tengah menghadapi perapian sejak tadi, hanya melirik saja. Keningnya sedikit berkerut melihat kemuraman pada airmuka Paman Nampi.

"Ada apa, Paman? Bagaimana suasana di Bukit Batu?" tanya Raden Sangga Alam.

"Hhh...," Paman Nampi menarik napas panjang. Raden Sangga Alam menggeser duduknya mendekat kearah laki-laki tua berjubah putih itu.

"Ada sesuatu yang ditemukan di sana?" tanya Raden Sangga Alam lagi.

"Entahlah. Aku merasa tidak yakin dapat menghentikan rencana Gusti Prabu," sahut Paman Nampi mendesah pelan.

Raden Sangga Alam terkejut mendengar kata-kata bernada putus asa itu. Dipandanginya wajah tua disampingnya dengan penuh selidik. Perasaannya jadi tidak menentu mendapati wajah Paman Nampi begitu murung, tanpa gairah sama sekali.

"Paman. Bagaimanapun juga, rencana Ayahanda Prabu harus dihentikan. Pesanggrahan Goa Larangan adalah tempat suci. Tempat untuk memuja para Dewata. Aku sebenarnya tidak keberatan jika pembuatan jalan itu untuk memperlancar menuju ke pesanggrahan. Tapi, kalau tempat itu juga dirubah dan dihilangkan arti kesuciannya, jelas aku menentang. Walaupun aku hanya anak dari selir, tapi tidak serendah itu, Paman. Aku bersedia mengangkat senjata jika memang keadaannya sudah harus demikian," tegas kata-kata Raden Sangga Alam.

Paman Nampi menoleh. Dipandangnya Raden Sangga Alam dengan bola mata berkaca-kaca. Hatinya sangat terharu mendengar kata-kata pemuda tampan yang seperti wanita itu. Tidak disangkanya kalau Raden Sangga Alam memiliki ketegasan. Lain dengan perawakannya yang kelihatan lemah lembut dan tidak mencerminkan kejantanan seorang laki-laki. Ternyata, dibalik semua itu tersimpan sebentuk hati yang lebih jantan daripada seorang laki-laki bertubuh kekar dan tegap.

Kemuliaan hati Raden Sangga Alam inilah yang membuat Paman Nampi lebih terharu lagi. Sama sekali dia bukan menghasut. Namun jelas, bahwa pemuda itu memang tidak menyetujui kalau tempat suci dirubah ke gunaannya. Kalau saja tidak mengingat pemuda ini putra seorang raja, mungkin Paman Nampi sudah memeluknya.

"Paman, besok pagi sebaiknya kita kembali ke istana. Aku telah mendapat seekor kijang yang gemuk dan akan kupersembahkan pada Ayahanda Prabu. Diistana nanti kita susun lagi rencana berikutnya," sambung Raden Sangga Alam kembali lembut suaranya.

Paman Nampi hanya mengangguk. Raden Sangga Alam bangkit berdiri, kemudian melangkah menuju ketendanya yang dijaga dua orang prajurit pada pintu tenda. Sedangkan Paman Nampi masih duduk dekat perapian. Diangkatnya sedikit kepalanya ketika seorang prajurit menghampiri. Prajurit itu membungkukkan badan.

"Ada apa?" tanya Paman Nampi.

"Patih Amoksa ingin bertemu, Gusti. Beliau menunggu ditenda," lapor prajurit itu.

"Patih Amoksa...!?"

"Benar, Gusti."

Paman Nampi langsung bangkit berdiri. Baru saja dua tindak melangkah, kepalanya menoleh pada prajurit itu. "Apa Raden Sangga Alam tahu?" tanyanya setengah berbisik.

"Tidak! Patih Amoksa datang sebelum Raden Sangga Alam kembali dari berburu."

Paman Nampi bergegas melangkah menuju ketendanya. Seorang prajurit yang menjaga membungkukkan badan. Laki-laki tua berjubah putih itu segera masuk ke dalam tenda itu. Tampak di dalam seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, duduk menunggu di atas permadani. Ketika dia akan bangkit, Paman Nampi lebih dulu mencegah dan segera duduk di depan Patih Amoksa.

"Ada apa?" tanya Paman Nampi langsung.

"Aku membawa berita yang harus disampaikan, Kakang. Penting!" jawab Patih Amoksa setengah berbisik.

"Berita apa?"

"Gusti Prabu Abiyasa mengutus seorang kurir..."

"Jelaskan saja pokoknya," potong Paman Nampi tidak sabar.

"Hm..., Gusti Prabu meminta bantuan jago-jago dari sahabatnya. Kakang tahu, jago-jago dari daratan seberang sangat sukar dicari tandingannya."

"Ya, Tuhan...!" desis Paman Nampi. "Kenapa Gusti Prabu sampai bertindak begitu?"

"Gusti Prabu sudah mencium adanya gerakan pemberontakan, Kakang."

"Apakah dia tahu seluruhnya?"

"Tidak! Tapi Gusti Prabu sudah menyebar banyak telik sandi. Bahkan pasukan khusus pun sudah dikerahkan untuk menumpas pemberontakan itu. Aku khawatir, Kakang. Tindakan para pasukan khusus membabi-buta sehingga rakyat semakin sengsara. Dan kalau sudah demikian, tidak mustahil ada pengkhianatan.

"Kenapa baru sekarang kau laporkan itu, Amoksa?" nada suara Paman Nampi agak menyesali.

"Baru kali ini aku punya kesempatan bertemu denganmu. Itu pun setelah aku mendapat perintah untuk membawa pulang kembali Raden Sangga Alam. Beliau diperintahkan agar segera pulang hari ini juga."

"Kenapa?"

"Gusti Prabu menduga kalau para pemberontak itu bersarang di Bukit Cemara atau sekitar Hutan Danaraja ini."

Paman Nampi menarik napas panjang dan berat. Rasanya tidak mungkin kalau Prabu Abiyasa hanya menduga-duga adanya gerakan pemberontakan. Penyebaran telik sandi dan pengerahan pasukan khusus sudah menandakan kalau beliau sudah mencium dan mengetahui pasti adanya gerakan pemberontakan itu. Apalagi sampai mengirim kurir untuk minta bantuan jago-jago dari seberang. Jadi, jelas sudah kalau Prabu Abiyasa merasa kedudukannya sebagai raja, tengah terancam.

Perasaan Paman Nampi jadi tidak menentu. Kalau sampai pasukan khusus menyebar ke Bukit Cemara, jelas akan membahayakan. Laki-laki tua berjubah putih itu memandang keadaan di luar. Dari sini, tenda Raden Sangga Alam bisa langsung dilihatnya. Sementara gelap sudah menyelimuti seluruh Hutan Danaraja. Hanya api unggun di tengah-tengah perkemahan itu yang menerangi sekitarnya.

"Kakang, aku khawatir Gusti Prabu sudah...."

"Tenanglah, Amoksa," potong Paman Nampi cepat.

"Tapi, Raden Bantar Gading memerintahkan Patih Mara Kobra untuk memata-mataimu."

Paman Nampi tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Sungguh tidak disangka kalau Patih Mara Kobra yang sudah tewas di tangannya itu, sengaja memata-matai karena perintah Raden Bantar Gading. Kalau memang demikian, jelas! Prabu Abiyasa dan Raden Bantar Gading sudah menaruh kecurigaan terhadapnya. Dan itu bukan tidak mustahil Raden Sangga Alam akan ikut dicurigai. Karena pemuda itu selalu gigih menentang pembuatan jalan dan perubahan Pesanggrahan Goa Larangan.

"Amoksa, sebaiknya kau segera menemui Raden Sangga Alam. Sedangkan aku akan memerintahkan para prajurit untuk membongkar tenda," kata Paman Nampi.

"Kita kembali ke istana malam ini juga"

"Baik, Kakang."

********************

LIMA

Sementara itu di sebuah pondok di Kaki Bukit Batu, Raden Bantar Gading tengah berbincang-bincang dengan dua orang panglimanya. Saat itu, mereka kedatangan seorang utusan dari Kerajaan Gantar Angin yang membawa surat langsung dari Prabu Abiyasa. Surat itu segera diserahkan kepada Raden Bantar Gading.

Raden Bantar Gading menatap sejenak utusan itu sebelum membuka surat dari ayahnya. Sudah bisa ditebak kalau isi surat itu pasti penting, karena dibawa langsung oleh utusan khusus kepercayaan Prabu Abiyasa. Raden Bantar Gading membuka surat yang tergulung rapi itu, lalu membacanya. Keningnya sedikit berkerut begitu menge ahui isinya. Kembali digulung surat itu dan ditatapnya utusan yang masih menunggu sambil duduk bersimpuh di atas permadani tebal.

"Katakan pada Ayahanda Prabu, bahwa aku akan berangkat malam ini juga," kata Raden Bantar Gading.

Utusan itu memberi hormat, lalu bangkit berdiri. Dua langkah mundur kebelakang, lalu badannya langsung berbalik dan keluar dari pondok itu. Raden Bantar Gading menatap Panglima Jampala dan Panglima Rapaksa yang masih setia menemaninya di ruangan yang tidak terlalu besar ini.

"Ayahanda Prabu memerintahkan, agar aku segera ke Pesanggrahan Goa Larangan," kata Raden Bantar Gading pelan.

"Untuk apa, Raden?" tanya Panglima Jampala.

"Beberapa telik sandi melihat Braga dan Kinca ada disana..."

"Heh! Ada urusan apa mereka ke sana?" ujar Panglima Rapaksa terkejut

"Itulah yang ingin diketahui Ayahanda Prabu. Kalau maksud mereka buruk, aku diperintahkan untuk memenggal kepalanya. Hm..., aku sendiri sebenarnya memang ingin memenggal kepala mereka!"

"Raden! Ijinkan hamba membereskan bangsat pengecut itu!" kata Panglima Jampala.

"Tugas itu langsung ditujukan padaku, Paman Panglima," tolak Raden Bantar Gading tegas.

"Tapi, Raden...," Panglima Jampala ingin membantah.

"Kenapa?" tanya Raden Bantar Gading. Nada suaranya terdengar sinis. Tatapan matanya pun juga lain.

Panglima Jampala menundukkan kepalanya.

"Ayahanda Prabu juga meminta agar kau segera kembali ke istana. Ada tugas penting yang harus segera dilaksanakan, Paman Jampala," kata Raden Bantar Gading tersenyum dingin.

"Hamba, Raden," sahut Panglima Jampala pelan.

"Berangkatlah malam ini juga," perintah Raden Bantar Gading.

Panglima Jampala memberi hormat, lalu bangkit berdiri. Kembali dia memberi hormat sebelum meninggalkan ruangan pondok itu. Raden Bantar Gading memandangi panglima itu hingga hilang di balik pintu. Tidak lama kemudian terdengar derap langkah kaki kuda menjauhi daerah Kaki Bukit Batu. Kini, Raden Bantar Gading pandangannya beralih pada Panglima Rapaksa.

“Paman Panglima! Kuserahkan pengawasan pekerjaan ini padamu. Aku akan secepatnya kembali setelah membereskan tikus-tikus keparat itu," kata Raden Bantar Gading.

"Hamba, Raden," Panglima Rapaksa memberi hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung.

"Dan ada satu tugas berat lagi untukmu."

“Tugas apa, Raden?"

"Kejar Panglima Jampala, lalu bunuh!"

Panglima Rapaksa terkejut setengah mati hingga terdongak memandang putra mahkota itu.

"Panglima Jampala ternyata pengkhianat! Dialah salah satu pemimpin gerombolan pemberontak. Ayahanda Prabu menginginkan kepalanya, dan tugas ini kuserahkan padamu. Kau akan menerima hadiahnya? besar jika berhasil membawa kepala pengkhianat pada Ayahanda Prabu."

"Segera hamba laksanakan, Raden."

"Cepatlah, sebelum jauh."

Panglima Rapaksa bergegas bangkit dan melangkah keluar. Raden Bantar Gading tersenyum, kemudian juga bangkit berdiri dari duduknya. Dengan langkah ringan, dia berjalan keluar dari pondok itu. Dua orang prajurit yang mengawal di depan pintu, langsung membungkuk memberi hormat. Pada saat itu Panglima Rapaksa sudah memacu cepat kudanya menyusul Panglima Jampala.

"Siapkan kuda!" perintah Raden Bantar Gading pada salah seorang prajurit.

"Segera, Raden."

********************

Panglima Rapaksa memacu kudanya bagai dikejar setan. Diambilnya jalan pintas, dengan merambah hutan yang lebat di sekitar Kaki Bukit Batu. Laki-laki tegap berusia sekitar empat puluh tahun itu menghentikan kudanya begitu tiba di tepi sungai yang mengalir tenang bagai sebuah batas antara kotaraja dengan daerah hutan dan berbukit ini. Pandangannya tajam menembus kegelapan malam.

Tampak dari arah depan di sebuah jalan setapak, seseorang tengah menunggang kuda dalam kecepatan sedang. Betapa terkejutnya dia begitu melihat Panglima Rapaksa telah berdiri menghadang. Penunggang kuda yang tak lain dari Panglima Jampala langsung melompat turun ketika Panglima Rapaksa juga turun dari punggung kudanya.

"Kakang Rapaksa! Bukankah kau bersama Raden Bantar Gading?" Panglima Jampala tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Benar. Tapi, sekarang aku sudah berada didepanmu," sahut Panglima Rapaksa.

"Ada apa?"

"Adi Jampala, aku ingin kejujuranmu. Katakan terus terang...," agak tertahan suara Panglima Rapaksa.

"Kakang! Ada apa ini? Kenapa kau berkata seperti itu?"

"Benarkah kau ingin memberontak pada Prabu Abiyasa?" Panglima Rapaksa tidak bisa menahan diri lagi.

"He ...?!" Panglima Jampala terkejut setengah mati.

"Jawab dengan jujur, Adi Jampala."

"Dari mana kau tahu, Kakang?"

"Gusti Prabu sudah mengetahui, dan aku diperintahkan untuk membunuhmu!"

"Hm..., jadi utusan itu datang hanya untuk memberitahu kalau aku salah satu dari pemberontak itu?"

"Kau salah satu pemimpinnya!"

"He! Permainan macam apa ini?"

"Adi Jampala! Aku kenal baik, siapa kau sesungguhnya. Aku sendiri sebenarnya tidak percaya kalau kau adalah salah satu dari pemimpin kaum pemberontak. Katakan terus terang padaku, apakah kau benar-benar pemimpin pemberontak itu?" pinta Panglima Rapaksa.

"Kalau benar, apakah kau tetap akan memenggal kepalaku?" nada suara Panglima Jampala terdengar menantang.

"Maaf, Adi Jampala. Malam ini juga, salah satu diantara kita harus ada yang tewas," sahut Panglima Rapaksa .

"Aku kagum pada kesetiaanmu, Kakang. Tapi sungguh menyesal, kau menumpahkan kesetiaan pada orang yang salah! Prabu Abiyasa tidak berhak atas tahta Kerajaan Gantar Angin. Dia hanya adik tiri, dan seharusnya sudah beruntung diberi jabatan kepala panglima perang. Tapi nyatanya dia serakah! Bahkan sekarang semakin gila dengan menghancurkan tempat suci untuk pemujaan!"

"Menyesal sekali, Adi Jampala. Kita akan berhadapan sebagai lawan," dingin suara Panglima Rapaksa.

"Silakan, jika kau ingin memenggal kepalaku."

"Bersiaplah! Hiyaaa...!" Panglima Rapaksa segera melompat menerjang dengan jurus mautnya.

Panglima Jampala yang sadar tingkat ke pandaiannya dua tingkat di bawah Panglima Rapaksa, harus lebih berrhati-hati. Pertarungan antara dua panglima itu berlangsung sengit. Sementara Raden Bantar Gading memperhatikan sejak tadi dari tempat yang cukup tersembunyi. Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu memang mengikuti kepergian Panglima Rapaksa. Dia memang ingin melihat sendiri kesetiaan panglimanya itu. Kehadiran Raden Bantar Gading memang tidak diketahui oleh dua orang yang tengah menyabung nyawa itu.

Pertarungan antara dua panglima itu semakin sengit. Lima belas jurus sudah terlewati, namun belum ada tanda-tanda yang terdesak. Serangan-serangan yang dilancarkan Panglima Jampala maupun Panglima Rapaksa, sungguh dahsyat. Debu mengepul disekitar pertarungan. Pohon-pohon bertumbangan kena sambaran pukulan atau tendangan yang luput dari sasaran. Batu-batu hancur berkeping-keping. Mereka sama-sama mengerahkan jurus-jurus andalan.

Pada saat memasuki jurus yang ke dua puluh, Panglima Jampala mulai kelihatan terdesak. Beberapa kali pukulan dan tendangan dahsyat dari Panglima Rapaksa hampir menghantam tubuhnya. Panglima Jampala harus jatuh bangun menghindari serangan-serangan yang gencar dan cepat itu. Bahkan kini tidak lagi punya kesempatan untuk balas menyerang.

"Mampus kau! Hiya...!"

Tahu kalau lawannya sudah tidak mampu lagi membalas, Panglima Rapaksa semakin memperhebat serangannya. Hingga pada satu kesempatan yang baik, pukulan telak Panglima Rapaksa berhasil bersarang didada Panglima Jampala.

"Hugh!" Panglima Jampala mengeluh pendek. Tubuhnya terjajar kebelakang sejauh dua batang tombak. Darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Belum sempat panglima yang malang itu mengatur jalan napasnya, Panglima Rapaksa kembali melancarkan beberapa pukulan beruntun. Semampunya Panglima Jampala berkelit menghindar, tapi sebuah pukulan bertenaga dalam tinggi kembali bersarang di tubuhnya.

Panglima Jampala terjungkal keras mencium tanah. Dan pada saat kaki Panglima Rapaksa menjejak dadanya, dia tidak mungkin lagi menghindar. Darah langsung muncrat dari lubang hidung dan mulutnya, begitu kaki Panglima Rapaksa menghantam telak dadanya.

Krek!

Panglima Jampala tidak bisa bersuara lagi. Tulang dadanya remuk terinjak kaki dengan tenaga luar biasa itu. Tubuhnya terkulai lemas. Nyawanya pun langsung terbang melayang saat itu juga. Panglima Rapaksa melangkah mundur. Matanya memandangi mayat Panglima Jampala yang terbujur diam dengan tulang-tulang dada remuk.

Pelahan-lahan Panglima Rapaksa mengeluarkan pedangnya yang tergantung di pinggang, lalu dengan cepat dikibaskan keleher Panglima Jampala. Tak pelak lagi. Sekali tebas saja leher Panglima Jampala terpenggal buntung. Panglima Rapaksa me nyarungkan kembali pedangnya, lalu diangkatnya kepala Panglima Jampala.

"Bagus! Kau memang seorang panglima yang setia, Paman Rapaksa!"

"Raden...!" Panglima Rapaksa terkejut ketika tiba-tiba Raden Bantar Gading muncul.

Panglima Rapaksa segera membungkukkan badan memberi hormat. Raden Bantar Gading melangkah mendekati. Bibirnya yang tipis menyunggingkan senyum.

"Biar aku yang menyerahkan kepala pengkhianat itu pada Ayahanda Prabu. Kau kembali saja ke Bukit Batu," kata Raden Bantar Gading.

"Hamba, Raden."

Panglima Rapaksa menyerahkan kepala Panglima Jampala pada Raden Bantar Gading. Setelah membungkuk memberi hormat, Panglima Rapaksa segera menghampiri kudanya. Dengan satu lompatan ringan, panglima tinggi tegap itu naik ke atas punggung kudanya .

Dan pada saat yang tepat, Raden Bantar Gading mengibaskan tangan kirinya. Maka tiga buah jarum berwarna hitam pekat meluncur deras ke arah Panglima Rapaksa dan tidak bisa terelakkan lagi. Dalam waktu yang singkat, Panglima Rapaksa jatuh tersungkur seketika. Kuda tunggangannya pun meringkik sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi.

"Raden...," lirih suara Panglima Rapaksa.

"Aku tahu, kau memang seorang panglima yang setia, Paman Rapaksa. Tapi Ayahanda Prabu menghendaki kematianmu," kata Raden Bantar Gading
dingin.

Panglima Rapaksa berusaha merayap, tapi seluruh tubuhnya terasa kaku. Dari hidung dan mulutnya mengucur darah kental kehitaman. Jarum yang dilepaskan Raden Bantar Gading ternyata mengandung racun yang bekerja cepat, sangat dahsyat dan mematikan. Sebentar saja seluruh tubuh Panglima Rapaksa sudah membiru, dan tidak bisa digerakkan lagi.

"Kau bekas Patih Ratu Kunti Boga, Panglima Rapaksa. Ayahanda Prabu menghendaki orang-orang sepertimu agar dilenyapkan," kata Raden Bantar Gading dingin.

"Raden..., aku bukan pengkhianat. Aku setia pada Gusti Prabu Abiyasa," lirih suara Panglima Rapaksa.

"Kau selalu setia pada siapa saja yang berkuasa diKerajaan Gantar Angin. Orang sepertimu tidak patut hidup di dunia. Memang kau sekarang tidak berkhianat. Tapi, begitu para pemberontak mengacau, kau pasti akan berpihak pada mereka! Dan ular sepertimu sudah seharusnya mati!"

"Kau... Kau kejam, Raden!" desis Panglima Rapaksa.
"Ha ha ha..! Sebentar lagi kau akan mampus, Rapaksa !"

Panglima Rapaksa berusaha bangkit, tapi seluruh tubuhnya terasa kaku dan sulit digerakkan. Racun yang menjalar keseluruh aliran darahnya kini membuat jaringan urat syaraf di seluruh tubuhnya mati. Panglima Rapaksa hanya dapat mengumpat di dalam hati. Ada terbersit rasa penyesalannya setelah membunuh Panglima Jampala.

"Selamat tinggal, Panglima Rapaksa. Terimalah kematianmu dengan tenang!" kata Raden Bantar Gading seraya tertawa terbahak-bahak.

"Iblis! Binatang kau...!" geram Panglima Rapaksa.

"Ha ha ha...!"

Raden Bantar Gading kemudian bersiul nyaring. Terdengar suara ringkikan yang disusul dengan munculnya seekor kuda putih dari balik rimbunan pohon. Raden Bantar Gading melesat naik ke punggung kuda putih itu. Dilemparkan kepala Panglima Jampala kedekat Panglima Rapaksa. Kepala tanpa tubuh itu jatuh tepat di depan muka Panglima Rapaksa.

"Terkutuk kau, Raden...!" pekik Panglima Rapaksa.

"Hiya! Hiya...!" Raden Bantar Gading menggebah kudanya. Kuda putih itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Dan..., jatuh tepat di tubuh Panglima Rapaksa.

"Aaakh...!" Panglima Rapaksa menjerit keras.

Beberapa kali kaki depan kuda putih itu menghujam tubuh Panglima Rapaksa, hingga panglima itu tewas. Setelah puas, baru Raden Bantar Gading menghentikan injakan-injakan kaki kudanya. Suara tawanya pecah berderai membelah kesunyian malam. Kuda putih itu melesat cepat bagai sebatang anak panah lepas dari busurnya.

Sementara malam terus merayap semakin jauh. Titik-titik embun menyirami dua onggok mayat yang menggeletak sia-sia. Suara tawa Raden Bantar Gading lenyap, bersama bayangan tubuhnya yang berada di atas punggung seekor kuda putih.

********************

Raden Bantar Gading terus memacu cepat kudanya menuju Lereng Bukit Cemara sebelah Barat. Tujuannya pasti kepondok kecil tempat tinggal Mayang. Sudah beberapa hari ini, sejak pertengkarannya dengan Mayang, dia tidak pernah datang lagi menemui wanita cantik yang selalu menghangatkan tubuhnya. Memang, dalam beberapa hari ini wajah Mayang selalu terbayang di pelupuk matanya. Malam ini ingin dihabiskannya bersama wanita cantik menggairahkan itu, sebelum ke Pesanggrahan Goa Larangan mencari dua orang bayaran.yang melarikan diri meninggalkan tugasnya.

Dalam waktu tidak berapa lama, kuda putih tunggangan Raden Bantar Gading tiba di depan pondok kecil yang hanya diterangi sebuah pelita di ruangan dalam. Raden Bantar Gading segera melompat turun dari punggung kuda. Dengan ayunan kaki pasti, bergegas dihampirinya pintu pondok itu. Dia agak tertegun ketika melihat pintu pondok sedikit terbuka.

Brak!

Hanya sekali pukul saja, pintu pondok itu hancur berantakan. Kelopak matanya membeliak lebar melihat di dalam pondok itu telah duduk seorang pemuda tampan dan gagah mengenakan baju kulit harimau. Sedangkan di atas pembaringan, Mayang tergolek setengah berbaring miring. Tubuhnya hanya ditutupi selembar kain sutra tipis, sehingga menampakkan lekuk-lekuk tubuhnya yang indah menggairahkan.

"Setan! Dasar pelacur...!" geram Raden Bantar Gading.

Mayang melilitkan kain dengan tenang, lalu bangkit berdiri dari pembaringannya. Sedangkan pemuda tampan berbaju kulit harimau tetap duduk tenang. Sedikit pun tidak mempedulikan kedatangan Raden Bantar Gading.

"Keluar kau!" bentak Raden Bantar Gading menunjuk pemuda berbaju kulit harimau.

Pemuda tampan itu hanya tersenyum tipis. Sedikit pun tidak bergeming. Sedangkan Mayang malah melangkah menghampiri, lalu duduk di pangkuan pemuda itu dengan sikap manja. Tentu saja hal ini membuat Raden Bantar Gading semakin berang. Dengan kasar direnggutnya tangan wanita itu, dan dicampakkannya dengan keras.

"Akh!" Mayang memekik tertahan. Dinding pondok sampai bergetar kena hantam tubuh ramping itu. Pemuda berbaju kulit harimau terkejut melihat kekasaran Raden Bantar Gading terhadap Mayang. Dia melompat bangun dari duduknya. Sinar matanya tajam langsung menusuk ke bola mata putra mahkota itu. Raden Bantar Gading melangkah mundur dua tindak. Hatinya tergetar juga melihat sorot mata yang dingin menusuk itu.

"Siapa kau?" tanya Raden Bantar Gading. Suaranya agak bergetar.

"Namaku Bayu Hanggara!" jawab pemuda berbaju kulit harimau itu dingin.

"Kuminta kau segera keluar, sebelum hilang kesabaranku!" tegas kata-kata Raden Bantar Gading.

"He ! Apa hakmu mengusirku?"

"Keparat! Ini pondokku, dan dia milikku!" Raden Bantar Gading menunjuk Mayang.

"Benar begitu?" Bayu memandang pada Mayang.

"Bohong!" sahut Mayang keras.

"Mayang...!"

"Aku tidak mengenalnya. Dan aku hidup sendiri disini!" sambung Mayang tidak menghiraukan bentakan Raden Bantar Gading.

"Tutup mulutmu, Mayang!" bentak Raden Bantar Gading geram.

"Harusnya kau yang tutup mulut!"

"Perempuan liar! Kubunuh kau!"

"Hhh, ingin kulihat, sampai di mana ke beranianmu," tantang Mayang sinis.

"Keparat! Hiya...!" Raden Bantar Gading tidak bisa lagi menahan luapan amarahnya. Bagai seekor serigala lapar menerkam mangsa, dia melompat hendak menyambar wanita itu. Namun dengan menggeser kakinya sedikit ke samping, Mayang berhasil menghindari sergapan Raden Bantar Gading. Tentu saja hal ini membuat putra mahkota itu semakin meluap amarahnya. Dengan cepat dia berbalik, dan melancarkan pukulan beruntun. Tapi sungguh diluar dugaan, ternyata Mayang mampu menghindari serangan itu dengan manis.

"Heh! Kau...!" Raden Bantar Gading terkejut bukan main. Sama sekali tidak disangka kalau Mayang memiliki ilmu olah kanuragan. Selama ini dia hanya mengenal Mayang sebagai seorang wanita lemah yang hanya bisa melayaninya di atas ranjang. Dan kini ternyata wanita lemah dan selalu hangat di ranjang itu memiliki simpanan, bahkan mampu meredam serangan dengan lincah.

"Kenapa bengong? Ayo, bunuh aku!" tantang Mayang.

"Phuih!" Raden Bantar Gading menyemburkan ludahnya. Sambil menahan perasaan heran bercampur geram, Raden Bantar Gading mencabut pedangnya dan langsung dikibaskan ke arah dada wanita itu. Mayang melompat mundur menghindari tebasan pedang Raden Bantar Gading. Dan pada saat Raden Bantar Gading menarik pedangnya, dengan cepat kaki Mayang melayang ke arah dada pemuda itu.

"Akh!" Raden Bantar Gading memekik kaget. Cepat-cepat putra mahkota itu menarik tubuhnya kebelakang seraya mengibaskan pedangnya. Secepat Mayang menarik kembali kakinya, secepat itu pula dia melontarkan tiga pukulan bertenaga dalam secara bruntun. Wajah Raden Bantar Gading memerah terkesiap. Serangan yang dilancarkan Mayang sungguh diluar dugaan. Tak ada jalan lain, kecuali menghindar dengan berkelit ke kiri dan kekanan.

Raden Bantar Gading bergegas melompat ke luar, setelah ada kesempatan baik Mayang tidak membiarkannya begitu saja. Dia pun segera melenting ke luar. Sedangkan Bayu hanya melangkah ringan saja mengikuti mereka. Di luar pondok, kembali pertarungan berlangsung. Di alam terbuka ini gerakan-gerakan mereka tidak lagi terbatas. Pedang keperakan di tangan Raden Bantar Gading berkelebatan mengurung tubuh wanita itu.

Jurus demi jurus berlangsung cepat. Meskipun Mayang tidak bersenjata, nampaknya masih mampu juga menandingi Raden Bantar Gading yang menggunakan pedang. Namun harus diakui, kalau posisi Mayang saat ini tidak menguntungkan sama sekali. Lebih-lebih dia hanya mengenakan kain yang menutupi tubuhnya. Gerakan-gerakannya jadi terbatas. Tiga kali ujung pedang Raden Bantar Gading mengoyak kain yang menutupi tubuh wanita itu.

"Hm..., tiga jurus lagi Mayang pasti tidak akan mampu menandingi," gumam Bayu yang sejak tadi memperhatikan.

ENAM

“Akh!" Mayang memekik tertahan. Buru-buru dia melompat mundur. Tapi ujung pedang Raden Bantar Gading masih sempat menyentuh bagian dadanya, sehingga kain yang dikenakan hampir melorot turun. Pada saat wanita itu sibuk dengan kainnya, Raden Bantar Gading melompat seraya mengibaskan pedang ke arah leher

"Hiyaaa ...!"

"Hup!" Bayu melentingkan tubuhnya, dan menyentil ujung pedang Raden Bantar Gading. Seluruh tangan putra mahkota itu jadi bergetar kesemutan. Cepat-cepat ditarik kembali pedangnya seraya melompat mundur. Bayu berdiri tegak melindungi Mayang.

"Masuklah, Mayang. Pakai lagi bajumu," kata Bayu lembut.

"Baik Kakang," sahut Mayang menurut.

"Phuih!" Raden Bantar Gading menyemburkan ludahnya sengit.

Mayang melangkah masuk kembali kedalam pondoknya. Sementara Raden Bantar Gading sudah kembali melompat menyerang Pendekar Pulau Neraka. Rasa geram, marah, dan cemburu yang meluap-luap membuat serangannya jadi liar dan membabi-buta. Hal ini sempat membuat Bayu sedikit kerepotan. Tapi dengan cepat Pendekar Pulau Neraka itu bisa menguasai keadaan. Sudah bisa diukur sampai di mana tingkat kepandaian putra raja pemberang itu. Beberapa kali ujung pedang Raden Bantar Gading hampir merobek tubuh Bayu. Namun dengan manis sekali Pendekar Pulau Neraka itu mengelak. Hal ini membuat Raden Bantar Gading jadi semakin berang, karena merasa dipermainkan.

"Pergilah, sebelum aku berubah pikiran, Raden!" kata Bayu memperingatkan.

"Kau yang pergi, Setan!" balas Raden Bantar Gading.

"Kau bukan lawanku, Raden! Jangan paksa aku untuk bertindak kejam padamu!"

"Keparat! Mampus kau...!"

Raden Bantar Gading tidak mempedulikan peringatan Bayu dan malah semakin memperhebat serangan-serangannya. Sementara Bayu hanya melayani setengah-setengah. Tapi kini gerahamnya mulai bergemeletuk melihat Raden Bantar Gading tidak mengindahkan peringatannya. Bahkan serangan-serangannya semakin gencar saja.

"Hentikan, Raden!" bentak Bayu gusar.

"Jangan banyak mulut! Kau atau aku yang harus mampus!" dengus Raden Bantar Gading.

"Kau yang memaksaku, Raden!" Bayu jadi kesal.

Raden Bantar Gading benar-benar tidak peduli lagi. Bahkan jarum-jarum beracunnya malah beraksi setiap kali ada kesempatan dan jarak yang cukup. Hal ini semakin membuat Pendekar Pulau Neraka geram. Batas kesabarannya sudah habis. Dia bisa merasakan adanya hawa racun pada jarum-jarum hitam yang dilontarkan Raden Bantar Gading.

"Kau memilih mampus rupanya, Raden!" geram Bayu. Saat itu juga, Bayu segera melenting tinggi ke udara, lalu dengan cepat menukik turun sambil melontarkan dua kali pukulan bertenaga dalam sangat tinggi. Raden Bantar Gading terperangah sesaat. Buru-buru dibanting tubuhnya ke samping, dan bergulingan beberapa kali ditanah. Pukulan Bayu menghantam tanah kosong.

Tanah yang dipijak langsung bergetar bagai terjadi gempa. Debu berkepul tinggi ke angkasa. Mata Raden Bantar Gading terbeliak melihat tanah yang terkena pukulan Pendekar Pulau Neraka itu berlubang besar dan cukup dalam. Belum sempat putra mahkota itu hilang dari rasa terkejutnya, Bayu sudah melompat menerjangnya.

"Hiya ...!"

Des

"Akh...!" Raden Bantar Gading memekik keras. Pukulan keras bertenaga dalam hampir sempurna itu tidak bisa dielakkan lagi. Tubuh Raden Bantar Gading terpental keras kebelakang. Dua pohon yang cukup besar tumbang kena hantam punggungnya. Dan pada pohon ketiga, baru tubuh Raden Bantar Gading melorot turun. Pedang di tangannya pun terlepas dari genggaman.

Raden Bantar Gading berusaha bangkit, tapi dadanya yang sesak seperti terasa hancur, sehingga membuatnya sulit bergerak. Darah segar mengucur deras dari mulutnya. Pandangan matanya berkunang-kunang, dan napasnya tersengal. Seluruh tubuhnya terasa remuk.

"Jangan...!" pekik Mayang ketika Bayu hendak melontarkan kembali pukulan mautnya. Mayang berlari menghampiri Bayu dan berdiri menghadangnya. Tangan Bayu yang sudah terangkat naik, pelahan-lahan turun kembali. Sementara Raden Bantar Gading masih bersandar pada pohon yang hampir tumbang terbentur punggungnya tadi. Mayang berbalik memandang pemuda pongah itu.

"Cepatlah pergi," kata Mayang agak bergetar suaranya .

Sebentar Raden Bantar Gading menatap Mayang dan Bayu bergantian. Tangannya menggapai meraih pedang yang tergolek tidak jauh darinya. Setelah menyarungkan pedangnya kembali, dia berusaha bangkit dengan sisa-sisa kekuatan yang ada. Dadanya kembali terasa sesak setiap kali menggerakkan tubuhnya. Pandangannya pun semakin mengabur. Namun Raden Bantar Gading terus berusaha merayap mendekati kudanya.

Seperti mengetahui kalau majikannya tidak bisa berdiri dengan tegak, kuda putih itu menghampiri. Kepalanya tertunduk hampir menyentuh tanah. Raden Bantar Gading berusaha naik ke punggung kudanya. Langsung direbahkan tubuhnya begitu berada di atas punggung kudanya. Pelahan-lahan kuda putih itu melangkah pergi tanpa diperintah lagi.

"Kenapa kau cegah aku untuk membunuhnya, Mayang?" tanya Bayu setelah mereka berdua berada didalam pondok kembali.

"Dia sebenarnya baik, Kakang. Hanya pengaruh ayahnya begitu kuat, sehingga wataknya jadi keras begitu," jawab Mayang seraya menghenyakkan tubuhnya dipembaringan.

Bayu kembali duduk di kursi dekat jendela. Angin malam yang dingin menerobos masuk dari pintu yang jebol berantakan. Mayang menutupi tubuhnya dengankain tebal berbulu. Dimiringkan tubuhnya untuk memandang pemuda tampan berbaju kulit harimau itu. Sesaat keheningan mencekam menyelimuti mereka berdua.

Tatapan mata wanita cantik itu dibalas Bayu dengan lembut. Mayang memang sudah menceritakan segalanya pada Pendekar Pulau Neraka itu. Lebih-lebih setelah Bayu bercerita kalau dia sudah mengetahui hal itu dari seorang laki-laki yang dipanggil eyang oleh Mayang. Tapi Bayu tidak mengatakan siapa laki-laki tua itu sebenarnya. Bayu hanya ingin mengetahui lebih jelas lagi dari wanita yang dikatakan putri tunggal Ratu Kunti Boga, penguasa yang terguling di Kerajaan Gantar Angin.

Sebenarnya, tadi mereka sudah tahu kalau Raden Bantar Gading datang. Suara derap langkah kaki kuda sudah menandakan kalau Raden Bantar Gading akan muncul. Bukan Bayu yang merencanakan. Tapi memang Mayang sendiri yang langsung melepaskan seluruh bajunya, dan hanya ditutupi dengan selembar kain tipis. Semula Bayu terkejut, tapi akhirnya bisa mengerti dengan tindakan wanita itu. Hasilnya memang nyata, Raden Bantar Gading jadi cemburu buta, sehingga amarahnya meluap. Lebih-lebih setelah mendapat perlawanan sengit dari wanita itu. Amarah Raden Bantar Gading semakin bertambah tidak terkendalikan.

"Kau mencintainya?" tanya Bayu dengan pandangan mata sukar dimengerti.

Mayang tidak langsung menjawab. Kepalanya tertunduk, tidak sanggup membalas tatapan mata Pendekar Pulau Neraka itu. Dia memang mencintai Raden Bantar Gading, tapi tidak mungkin....

"Aku bisa mengerti perasaanmu, Mayang. Aku datang menemuimu bukan untuk mendesak seperti yang dilakukan Eyangmu. Justru ke datanganku ingin membuktikan kebenaran kata-kata laki-laki yang kujumpai, dan mengaku sebagai Eyangmu sekaligus gurumu itu," lembut kata-kata Bayu.

"Sebagian memang ada benarnya, tapi...," kembali Mayang tidak melanjutkan kata-katanya.

"Kenapa, Mayang?"

"Aku.... Aku tidak tahu, sejak kapan berada di tempat ini. Eyang selalu datang dengan baju serba hitam dan wajah hampir tertutup kain hitam. Rasanya kalau bersamanya sejak usia tujuh tahun, aku pasti ingat. Sedangkan aku tidak ingat sama sekali," kata Mayang ragu-ragu.

"Kau masih ingat suasana Istana Kerajaan Gantar Angin?" tanya Bayu mulai merasa mendapat teka-teki lagi. Mayang menggeleng pelahan. Jelas sinar matanya memancarkan keraguan.

"Kau ingat, sejak kecil berada di mana?"

"Yang aku tahu, sejak kecil aku berada di Puncak Bukit Cemara bersama ibu pengasuhku. Dia meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Kemudian aku bertemu dengan Raden Bantar Gading. Dialah yang membuatkan aku pondok disini. Hanya itu, dan tidak ada yang menarik"

"Kau masih ingat wajah Ayah dan Ibumu?"

"Tidak..," kembali Mayang menggeleng.

"Mustahil! Usia tujuh tahun seharusnya kau masih ingat wajah orang tuamu," gumam Bayu tidak percaya.

"Sungguh! Aku tidak tahu, dan tidak ingat sama sekali. Bahkan aku sendiri ragu-ragu, apakah benar aku ini putri Gusti Ratu yang sekarang ditawan dalam kamar bawah tanah bersama saudara-saudaraku.

"Kau pernah ke kotaraja?"

Lagi-lagi Mayang menggeleng.

"Tidak tahu sama sekali suasana dikotaraja?"

"Tidak"

"Aneh...," gumam Bayu pelan, hampir tidak terdengar suaranya. Bayu kembali terdiam. Keterangan yang diperoleh dari Mayang membuatnya berpikir keras. Dirasakan adanya kejanggalan dan keanehan. Tapi itu tidak mungkin dapat terungkap jika tidak mencari keterangan lain di kotaraja. Hanya di sanalah semuanya bisa terungkap, sekaligus mengetahui maksud dan tujuan Paman Nampi yang sebenarnya.

Bayu jadi ragu-ragu dengan kebenaran cerita Paman Nampi. Sebab keterangan yang didapatnya dari laki-laki tua berjubah putih itu banyak yang tidak cocok dengan cerita Mayang sendiri. Terutama tentang keluarga kerajaan. Semuanya masih membingungkan. Hal ini jadi pertanyaan besar di benak Pendekar Pulau Neraka. Bayu bangkit berdiri dari duduknya, kemudian melangkah kepintu yang sudah hancur daunnya.

"Benahi pakaianmu, kita pergi sekarang," kata Bayu seraya melangkah keluar.

"Kemana...?" tanya Mayang seraya melompat turun dari pembaringan.

"Ke kotaraja!" sahut Bayu dari luar.

"Untuk apa ke sana? Eyang pasti tidak akan mengijinkan."

"Kau ingin tahu siapa dirimu, kan?"

Mayang tidak menjawab. Dia termenung sebentar, lalu menyiapkan pakaian beberapa potong dan membungkusnya dengan selembar kain. Bergegas dia melangkah keluar setelah merapikan diri. Bayu sudah menunggu di depan pondok. Pendekar Pulau Neraka itu mengayunkan kakinya begitu melihat Mayang keluar dari pondok Mereka berjalan berdampingan tanpa bicara sedikitpun.

********************

Suasana di Kotaraja Kerajaan Gantar Angin tampak ramai. Keramaian itu juga ditandai dengan banyaknya prajurit yang berkeliaran di setiap sudut. Tetapi semua ke ramaian itu berjalan seperti dipaksakan. Wajah-wajah mendung dengan sinar mata kosong tanpa gairah, terpancar dari raut wajah setiap rakyat. Keramaian itu ada karena hari ini adalah hari pasaran, se hingga banyak pedagang dan pendatang yang ingin berjual-beli memadati kota.

Di antara keramaian itu, tampak Bayu dan Mayang berjalan menuju sebuah rumah penginapan yang sekaligus kedai makan. Di tempat itu juga ramai dikunjungi. Bahkan beberapa prajurit terlihat di sana. Dua orang punggawa juga ada. Bayu dan Mayang masuk kedalam kedai itu. Seorang laki-laki tua menghampiri terbungkuk-bungkuk Dia mempersilakan Bayu dan Mayang duduk kemudian menanyakan makanan dan minuman yang dipesan.

Ki Rampit, pemilik kedai dan rumah makan itu bergegas kebelakang setelah Bayu menyebutkan pesanannya. Sementara Mayang mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sungguh tidak disangka kalau kotaraja begini ramai, dan banyak berdiri rumah besar dan indah. Baru kali ini Mayang menyaksikan begitu banyak orang hilir-mudik dengan kesibukannya masing-masing. Ki Rampit datang lagi dengan membawa pesanan yang diminta Bayu. Diletakkan pesanan itu di atas meja dengan sikap sopan. Bibirnya selalu menyunggingkan senyum.

"Tampaknya Kisanak datang dari jauh...," kata Ki Rampit setelah menaruh semua pesanan tamunya dimeja.

"Benar," sahut Bayu

"Kisanak perlu tempat untuk menginap?"

"Ya. Aku agak lama berada di sini," sahut Bayu lagi.
"Di sini juga menyediakan kamar penginapan.

Tapi...."

"Kenapa?"

"Tinggal satu kamar lagi yang tersisa."

"Tidak apa. Kami ini pasangan suami istri," kata Bayu berbohong.

"Oh, kalau begitu aku siapkan dulu kamarnya."

"Terima kasih," ucap Bayu.

Ki Rampit bergegas meninggalkan tamunya itu. Mayang mencubit tangan Bayu. Bola matanya mendelik lebar. Bayu hanya meringis saja. Dia tahu, kenapa Mayang mencubitnya.

"Supaya tidak menyolok. Lagi pula, biar aku lebih leluasa menjaga keselamatanmu," kata Bayu setengah berbisik.

"Tapi...," Mayang mau protes.

"Sudahlah! Di sini nyawamu terancam."

Mayang langsung diam. Matanya sempat melirik beberapa prajurit dan dua orang punggawa yang berada di dalam kedai ini. Sementara Bayu sudah sibuk dengan makanannya. Rasa lapar yang sejak tadi ditahan, membuat Mayang segera melahap hidangannya. Mereka makan tanpa banyak bicara lagi. Sementara kedai ini tidak pernah sepi, selalu saja ada orang yang keluar masuk. Ki Rampit tampak sibuk melayani tamu-tamunya. Namun senyumnya tetap terkembang ramah. Mungkin keramahan inilah yang membuat kedainya ramai dikunjungi, disamping masakannya memang sangat lezat.

Ki Rampit datang lagi ke meja Bayu, setelah Pendekar Pulau Neraka dan Mayang menyelesaikan makannya. Mereka kini menikmati arak manis yang memang selalu disediakan pemilik kedai meskipun tidak termasuk pesanan. Ki Rampit tersenyum dan mengangguk ramah. Bayu membalasnya dengan ramah pula .

"Kamar sudah disiapkan. Silakan, jika Kisanak ingin beristirahat," kata Ki Rampit lagi.

"Bagaimana, Mayang?" tanya Bayu menoleh pada Mayang.

"Bolehlah. Dan lagi, badanku memang sudah pegal," sahut Mayang.

Bayu bangkit berdiri, dan membantu wanita itu berdiri dengan memegang tangannya. Mayang membiarkan saja tangannya digenggam pemuda tampan berbaju kulit harimau itu. Ki Rampit memandanginya dengan bibir tetap terhias senyum. Dia melangkah lebih dulu untuk menunjukkan kamar yang sudah disiapkan. Beberapa perintah yang ditujukan kepada pembantunya meluncur dari bibir laki-laki tua itu.

Bayu dan Mayang berjalan bergandengan tangan mengikuti Ki Rampit. Mereka melewati bagian belakang kedai, dan terus masuk ke dalam satu lorong yang sangat besar. Di kiri dan kanannya terdapat banyak pintu berjajar rapi. Lorong itu bercabang, dan mereka berbelok ke arah kanan. Bayu agak berkerut keningnya ketika Ki Rampit mengajaknya ke luar dari lorong setelah berbelok ke kanan.

Tampak sebuah taman indah, terhampar di bagian belakang rumah penginapan ini. Mereka terus berjalan melintasi taman itu, dan baru berhenti setelah tiba pada satu bangunan yang tidak begitu besar, namun kelihatan terawat rapi. Letaknya memang menyendiri, di antara bangunan-bangunan lain.

"Silakan," kata Ki Rampit seraya membuka pintu.

Bayu mengamati keadaan di dalam. Sungguh indah sekali. Mayang mengayunkan kakinya masuk ke dalam. Dia memutari ruangan yang tidak begitu besar, namun ditata sangat indah. Bangunan itu memang hanya berupa satu kamar saja. Sedangkan Bayu tetap berdiri di ambang pintu. Di sampingnya Ki Rampit masih berdiri menunggu.

"Bukankah ini kamar khusus?" tanya Bayu.

"Benar. Khusus untukmu, Kisanak," sahut Ki Rampit.
"Untukku...?!" Bayu tersentak kaget.

Ki Rampit hanya tersenyum saja, kemudian melangkah masuk ke dalam. Sejenak Bayu masih berdiri di ambang pintu, ke mudian ikut masuk ke dalam. Ki Rampit menutup pintunya dan duduk di kursi dekat pintu. Sementara Mayang sudah merebahkan diri dipembaringan dengan tubuh miring. Bayu berdiri disamping jendela yang langsung menghadap ke taman.

"Aku tahu, kalian berdua pasti datang ke sini," kata Ki Rampit. Bibirnya tetap tersenyum.

Bayu memandang dengan kening sedikit berkerut. Mayang langsung terlonjak bangun dari pembaringan. Dia duduk di tepi pembaringan itu. Kata-kata Ki Rampit membuat jantungnya seperti berhenti berdetak seketika. Sedangkan Bayu hanya diam. Pandangan matanya jadi penuh rasa curiga.

"Bagaimana kau tahu kami akan datang?" tanya Bayu dingin.

Lagi-lagi Ki Rampit hanya tersenyum saja. "Kerajaan Gantar Angin ini tidak terlalu besar. Setiap kali ada peristiwa yang terjadi, selalu cepat tersebar luas. Aku tahu kalau Raden Bantar Gading selalu ke Bukit Cemara, aku juga tahu peristiwa yang terjadi di Bukit Batu...," kata Ki Rampit kalem.

Kata-kata laki-laki tua pemilik kedai itu memang cukup jelas. Tapi, Bayu tidak mau menerima begitu saja. Dia yakin itu bukan alasan yang tepat. Hanya saja. Bayu tidak mau mendesak lebih jauh lagi. Dan kecemasan pun mulai menjalar di hatinya. Kalau memang demikian alasan Ki Rampit, pasti semua orang sudah tahu kedatangannya. Apalagi para prajurit serta punggawa yang ada di kedai! Hal ini bisa jadi kesulitan besar bagi Bayu dan Mayang.

Ki Rampit bangkit berdiri, dan membuka pintu kamar itu. Dia berbalik dan tersenyum pada Bayu.

"Aku tahu kalian bukan pasangan suami istri. Tapi jangan khawatir, tempat ini cukup aman bagi kalian berdua," kata Ki Rampit sebelum meninggalkan kamar itu.

Bayu tersentak kaget. Dia ingin mencegah, tapi Ki Rampit sudah ke buru pergi dengan menutup pintu kamar ini. Bayu hanya bisa mendesah panjang dengan mata menatap lurus pada Mayang. Wanita itu juga membalas tatapan Pendekar Pulau Neraka.

"Kau di sini saja, Mayang. Jangan ke luar dari kamar," kata Bayu seraya bangkit berdiri.

"Kakang mau ke mana?" tanya Mayang.

"Aku akan cari keterangan, siapa Ki Rampit sebenarnya."

Mayang membiarkan saja Pendekar Pulau Neraka itu ke luar dari kamar ini, dan hanya duduk merenung di tepi pembaringan. Wanita itu bangkit berdiri dan melangkah kejendela. Dari sini, ke lihatan Bayu sedang berjalan cepat melintasi taman. Tubuh Pendekar Pulau Neraka itu lenyap di balik lorong kamar penginapan lainnya. Mayang menarik napas panjang, dan kembali berbalik. Dihenyakkan tubuhnya di pembaringan.

Sementara itu Bayu sudah menyusuri lorong yang dikanan kirinya terdapat kamar-kamar sewaan. Langkahnya cepat dan bergegas. Sebentar saja dia sudah sampai di ujung lorong. Tapi saat tangannya hendak membuka pintu, telinganya mendengar suara percakapan dari balik pintu lorong ini. Bayu paham betul akan suara dua orang laki-laki yang sedang berbicara itu. Segera dikerahkan ilmu meringankan tubuh dan ditajamkan telinganya. Suara dua orang itu jelas suara Ki Rampit dan Raden Bantar Gading.

"Kau yakin, kalau mereka adalah Mayang dan Pendekar Pulau Neraka?" terdengar suara Raden Bantar Gading.

"Tidak salah, Raden. Seperti yang Raden katakan, wanitanya cantik, berkulit putih dengan rambut panjang tergelung hitam. Ada andeng-andeng di sudut bibir kanan. Sedangkan yang laki-laki berwajah tampan, tinggi tegap dan memakai baju dari kulit harimau. Bukankah begitu yang Raden katakan?"

"Hm, di mana kau tempatkan mereka?"

"Di kamar biasa, Raden."

"Bagus! Kau ajak Pendekar Pulau Neraka itu ke luar. Biar kubereskan wanita keparat itu!"

"Hamba, Raden."

"Aku tunggu di kamar, lalu kau ajak dia pergi."

"Sekarang, Raden?"

"Iya, sekarang!"

"Baik, Raden."

Pada saat itu, Bayu sudah berlari cepat meninggalkan lorong kamar penginapan itu. Dalam sekejap saja, dia sudah sampai di depan pintu kamar, tempat Mayang menunggu. Bergegas dibukanya pintu kamar itu. Mayang terkejut melihat ke datangan Bayu begitu tergesa-gesa.

"Cepat tinggalkan tempat ini!" kata Bayu.

"Ada apa, Kakang?" tanya Mayang.

Bayu tidak menjawab. Dengan cepat disambarnya tangan wanita itu, dan ditariknya ke luar. Secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu memondong Mayang sambil melentingkan tubuhnya ke atas atap. Tepat pada saat Pendekar Pulau Neraka membawa Mayang pergi, KiRampit keluar dari lorong. Langkah kakinya bergegas melintasi taman, langsung menuju kamar khusus itu.

Ki Rampit mengetuk pintu yang sedikit terbuka. Tak ada sahutan dari dalam. Pelahan-Iahan didorongnya daun pintu itu. Matanya membeliak lebar begitu mendapati kamar sudah kosong. Buntalan kain milik Mayang masih teronggok di atas pembaringan. Bergegas Ki Rampit berlari meninggalkan kamar itu.

"Raden...! Raden...!" teriaknya memanggil.

Pada saat Ki Rampit hampir mencapai pintu lorong, Raden Bantar Gading muncul dengan tergesa-gesa. Ki Rampit segera menjatuhkan diri berlutut. Napasnya tersengal, seolah baru saja berlari jauh.

"Ada apa?!" tanya Raden Bantar Gading setengah membentak.

"Celaka, Raden. Mereka kabur...." sahut Ki Rampit dengan napas terengah-engah.

"Apa...? !"

"Mereka kabur, Raden," ulang Ki Rampit.

"Bodoh!"

Plak!

Ki Rampit mengaduh begitu telapak tangan Raden Bantar Gading mendarat dipipinya. Laki-laki tua itu terjungkal jatuh. Belum sempat dia bangkit, satu tendangan keras membuat tubuhnya terguling beberapa depa jauhnya. Raden Bantar Gading kembali mendaratkan tendangannya ke tubuh laki-laki tua itu. Benar-benar dilampiaskan kekesalannya.

Tidak puas dengan tendangan. Raden Bantar Gading mengangkat tubuh tua itu. Maka dua pukulan mendarat di tubuh laki-laki tua itu sekaligus. Darah mengucur deras dari mulut dan pelipisnya yang luka. Ki Rampit hanya bisa mengeluh dan merintih lirih. Seluruh tulang-tulangnya terasa remuk redam. Tidak terhitung lagi, berapa pukulan dan tendangan mendarat di wajah dan tubuhnya .

"Mampus kau! Tua bangka tidak ada guna!" geram Raden Bantar Gading.

Sret!

Raden Bantar Gading mencabut pedangnya, dan langsung dikibaskan ke dada kurus kerempeng itu. Ki Rampit tidak mungkin lagi mengelak. Tak pelak lagi, dadanya terbabat ujung pedang Raden Bantar Gading. Ki Rampit menjerit melengking, darahpun muncrat dari luka panjang dan dalam di dadanya.

"Hiya ...!"

"Aaakh...!" Satu jeritan keras melengking mengantarkan nyawa laki-laki tua malang itu. Darah kembali muncrat dari perutnya yang tertembus pedang. Raden Bantar Gading menendang tubuh tua yang tak bernyawa lagi itu. Sambil melangkah pergi, disarungkan kembali pedangnya. Beberapa orang yang mendengar ribut-ribut itu, hanya bisa mengintip dari balik jendela kamar penginapan. Tidak seorang pun yang berani mencegah. Mereka tahu siapa Raden Bantar Gading, yang biasa membunuh orang tanpa berkedip!

********************

TUJUH

"Kakang, turunkan...!" jerit Mayang memberontak.

Bayu berhenti berlari setelah sampai di perbatasan kotaraja. Diturunkan Mayang dari pondongannya. Wanita itu memberengut sambil merapikan bajunya yang kusut. Bayu memperhatikan keadaan sekelilingnya. Tak ada seorang pun yang terlihat.

"Kenapa buru-buru? Seperti dikejar setan saja!" rungut Mayang.

"Dengar, Mayang: Ini kesalahanmu," kata Bayu tajam.

"Aku...?!" Mayang tidak mengerti.

"Iya! Kalau saja kau biarkan Raden bergajul itu mati, kita bisa bebas masuk ke kotaraja!"

"Kakang, apa sebenarnya yang terjadi?" Mayang masih belum mengerti juga.

"Tidak ada lagi tempat aman bagimu! Raden Bantar Gading sudah memerintahkan siapa saja untuk menjebak dan menangkap kita, terutama kau!"

"Jadi...?"

"Ki Rampit sudah tahu siapa kita sebenarnya dari Raden Bantar Gading. Dia sengaja memberi kamar khusus, sementara Raden Bantar Gading menunggunya di kamar lain," jelas Bayu singkat.

"O.... Pantas dia bisa tahu...," Mayang mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Dunia memang kejam, Mayang. Kau tidak boleh percaya begitu saja pada siapa pun. Sekali kau terjebak, selamanya tidak akan merasa aman."

"Kau juga tidak pernah percaya pada siapa pun?"

"Itu tergantung, Mayang. Kita boleh percaya pada seseorang, tapi jangan sepenuhnya. Coba kalau tadi kita percaya begitu saja pada omongan Ki Rampit...."

"Aku percaya padamu, Kakang," potong Mayang.

"Jangan! Kau belum tahu siapa aku sebenarnya."

"Tidak! Aku tetap percaya padamu."

"Kau begitu polos, Mayang. Kepolosan dirimu bisa menjeratmu. Bahkan bukan tidak mungkin disalahgunakan orang lain. Kau tidak akan merasa diperalat sebelum benar-benar terjerumus."

Mayang terdiam membisu. Pandangan matanya tajam menembus langsung ke bola mata Pendekar Pulau Neraka itu. Bisa ditebak arah pembicaraan Bayu Hanggara. Mendadak saja hatinya jadi tidak menentu. Kehadiran Bayu seperti sebuah pelita yang menerangi hatinya. Mayang baru sadar kalau selama ini hatinya begitu tertutup dan buta akan keadaan sekelilingnya. Sungguh tidak disadari, bahwa banyak serigala liar berada di sekitarnya. Serigala yang siap mencabik-cabik tubuhnya .

"Kakang, apakah Eyang juga tidak bermaksud baik padaku?" tanya Mayang ragu-ragu.

"Aku tidak mengatakan begitu, Mayang. Yang jelas, saat ini bukan hanya satu dua orang menginginkanmu. Kau juga harus tahu, siapa dirimu sebenarnya," sahut Bayu.

"Aku jadi seperti bukan diriku lagi, Kakang," kata Mayang bergumam.

"Kau tetap Mayang. Hanya saja asal-usulmu harus kau ketahui. Jangan sampai ada orang yang memanfaatkanmu untuk kepentingan pribadi."

"Bagaimana aku bisa tahu?"

"Kau akan tahu, Mayang. Percayalah, pasti masih ada orang yang tahu betul akan asal-usulmu. Kau percaya padaku, Mayang?"

"Tentu."

"Aku akan membantumu."

"Sungguh?"

Bayu mengangguk pasti. Hati Pendekar Pulau Neraka itu tergerak melihat keadaan Mayang yang buta akan riwayat hidupnya sendiri. Hal itu sama dengan keadaan Bayu yang juga tidak tahu dan belum pernah melihat wajah orang tuanya. Meskipun Pendekar Pulau Neraka itu sudah mengetahui asal-usulnya, tapi masih juga belum yakin kalau ibunya sudah tewas dalam kerusuhan di Padepokan Teratai Putih. Sampai saat ini, pusaranya saja belum ditemukan.

Kesamaan nasib antara dirinya dengan Mayang, membuat hati Pendekar Pulau Neraka itu tergerak untuk membantu. Terlepas sampai kapan Bayu bisa mengungkap asal-usul wanita itu. Sedangkan orang-orang yang ingin me manfaatkan kepolosan Mayang saja belum bisa dipastikan. Saat ini Bayu menghadapi dua persoalan yang hampir berlawanan. Dan itu pasti menyangkut keluarga Kerajaan Gantar Angin.

Bayu tersentak dari lamunannya ketika tiba-tiba Mayang menubruk dan memeluknya dengan erat. Sebentar Bayu gelagapan. Buru-buru dilepaskan pelukan wanita itu. Tapi Mayang malah memperketat pelukannya. Bahkan tanpa sungkan-sungkan lagi, diciuminya wajah Pendekar Pulau Neraka itu. Tentu saja hal ini membuat hati Bayu tidak menentu.

"Mayang...," desah Bayu agak tersengal. Dengan halus, Bayu melepaskan pelukan wanita itu. Digeser kakinya dua langkah kebelakang. Sedangkan Mayang tidak melepaskan genggaman tangannya pada tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Bibirnya yang selalu merah merekah, mengulas senyum. Bola matanya berbinar, seperti mata bocah yang baru diberi hadiah.

"Aku gembira, Kakang. Kau telah membuka mata hatiku," kata Mayang.

"Iya, tapi jangan begitu caranya."

"Kau tidak suka?" '

Bayu tidak menjawab. Laki-laki mana yang tidak suka dipeluk wanita cantik seperti ini? Hanya laki-laki bodoh yang menolak. Tapi dalam suasana seperti ini, rasanya Bayu enggan untuk bercinta. Memang diakui, hatinya sempat tergetar saat memandang wajah wanita itu. Lebih-lebih setelah Mayang memeluk dan menciuminya. Rasanya saat itu juga jantung Bayu copot.

"Jangan gembira dulu, Mayang. Perjalananmu masih jauh," kata Bayu agak tertahan suaranya.

"Maafkan aku, Kakang. Aku...," agak tersipu wajah Mayang.

"Lupakan saja."

********************

Malam baru saja beranjak turun menyelimuti bumi. Angin dingin berhembus kencang membawa titik-titik embun. Kabut pun ikut merayap menambah dinginnya udara malam itu. Udara semakin menusuk tulang saat titik-titik air hujan mulai merinai. Tapi, keadaan malam yang tidak ramah itu tidak menghentikan langkah seorang pemuda yang tengah memasuki Kotaraja Kerajaan Gantar Angin.

Pemuda tampan dengan tubuh tinggi tegap itu berjalan melintasi jalan yang cukup lebar dan berbatu Pandangan matanya lurus kedepan, dengan sorot mata mencerminkan kemantapan hati. Tak ada seorang pun yang terlihat di sepanjang jalan. Suasana malam yang dingin dengan rintik air hujan merinai, membuat semua orang lebih senang berada dalam rumah.

"Hm..., sepi. Mudah-mudahan dia ada di rumah," gumamnya pelan.

Langkah kakinya berhenti tepat di depan kedai dan rumah penginapan milik Ki Rampit. Tempat itu kelihatan gelap, tak ada satu pelita pun yang menerangi. Suasana rumah penginapan itu seperti sudah lama tidak berpenghuni. Pemuda tampan itu me langkahkan kakinya mendekati pintu kedai yang tidak tertutup dengan sempurna. Keningnya sedikit berkerut, seraya tangannya mendorong pintu kedai itu.

"Sepi. Ke mana Ki Rampit?" kembali dia bergumam sendiri.

Pelan kakinya terayun masuk ke dalam kedai. Benar-benar sepi, tidak terlihat seorang pun di sini. Keadaannya juga gelap dan tidak teratur. Masih banyak bekas-bekas makanan berserakan di meja. Bahkan beberapa meja dan kursi hancur be rantakan. Pemuda tampan itu mulai menduga-duga, apa yang telah terjadi di kedai ini.

"Jangan-jangan...."

Pemuda itu bergegas melangkah menuju bagian belakang kedai. Dia terus berjalan memasuki lorong yang di kanan kirinya terdapat kamar-kamar untuk disewakan. Semua pintu kamar terbuka lebar. Tidak ada satu pun penyewa yang menghuni di situ. Pemuda itu terus melangkah cepat keluar dari lorong. Mulutnya terbuka, dan matanya membe liak lebar begitu melihat tubuh Ki Rampit menggeletak bersimbah darah di atas rerumputan taman belakang.

Belum sempat pemuda itu menghampiri mayat Ki Rampit, mendadak telinganya menangkap desiran halus dari arah belakang. Dia agak terperangah begitu melihat seorang gadis mengayunkan sebilah golok ke arah kepala. Buru-buru dia merunduk, dan tangannya melayang menyentil golok di atas kepalanya.

"Akh!" gadis muda itu memekik tertahan. Golok ditangannya terlepas dan mental cukup jauh. Belum sempat gadis itu berbuat sesuatu, pemuda tampan berbaju kulit harimau itu sudah menyergapnya, dan langsung memelintir tangannya ke belakang.

"Ah...! Lepaskan...!" jerit gadis itu seraya meronta coba melepaskan diri.

"Aku lepaskan kalau kau mau diam!" dingin suara pemuda itu.

Gadis berbaju biru muda itu langsung diam tidak meronta lagi. Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu melepaskan ringkusannya, dan mendorong tubuh gadis itu kedepan. Gadis yang masih berusia sekitar lima belas tahun itu memijit-mijit pergelangan tangannya. Kedua bola matanya tajam menatap pemuda tampan di depannya.

"Siapa kau? Kenapa menyerangku?" tanya pemuda itu mulai lembut suaranya.

"Huh" gadis itu mendengus ketus.

"Aku tidak bermaksud buruk," kata pemuda itu lagi seraya melirik mayat Ki Rampit. Pemuda itu melangkah menghampiri mayat itu, tapi gadis berbaju biru muda itu sudah melompat menghadang. Tatapan matanya semakin tajam menusuk.

"Jangan sentuh ayahku!" keras suara gadis itu.

"Kau putri Ki Rampit...?"

"Iya!"

"Kenapa kau diamkan saja mayat ayahmu? Kau kan bisa meminta bantuan saudaramu yang lain atau tetangga untuk menguburkannya?"

"Percuma. Tidak ada yang mau!" masih ketus nada suara gadis itu.

"Aneh...!" desis pemuda itu. Tanpa menghiraukan cegahan gadis putri Ki Rampit, pemuda berbaju kulit harimau itu mendekati mayat Ki Rampit, lalu mengangkatnya. Gadis itu seperti terpaku dan tidak mencegah lagi. Malah diikutinya pemuda yang membawa mayat laki-laki tua pemilik kedai dan rumah penginapan itu. Langkah pemuda itu berhenti di samping kamar sewa khusus. Mayat Ki Rampit diletakkan di atas balai balai bambu yang beralaskan tikar daun pandan.

Tanpa menghiraukan putri Ki Rampit, pemuda itu mengambil cangkul di belakang, dan mulai menggali lubang..Agak lama juga dia membuat lubang yang cukup besar di samping rumah sewa itu. Setelah dirasakan cukup dalam, diangkatnya tubuh Ki Rampit untuk dikuburkan. Gadis berbaju biru muda itu mulai terisak begitu tubuh ayahnya mulai tertimbun tanah.

"Ayah...," rintihnya lirih.

Pemuda berbaju kulit harimau itu menghampiri putri Ki Rampit setelah selesai mengubur mayat Ki Rampit Gadis itu diajak masuk ke kamar sewaan khusus, Pemuda itu menyuruhnya duduk di kursi. Dia sendiri kemudian mengambil tempat dekat jendela. Gadis itu masih terisak sesekali. Dengan punggung tangan, dihapusnya air mata yang jatuh menitik ke pipi.

"Siapa namamu?" tanya pemuda itu lembut suaranya.

"Rintan," sahut gadis itu pelan. Hampir tidak terdengar suaranya.

"Aku Bayu. Kau boleh memanggilku, Kakang Bayu," pemuda berbaju kulit harimau itu juga memperkenalkan diri

"Kau bukan orang suruhan Raden Bantar Gading?" Rintan ingin kepastian.

Bayu hanya menggeleng dan tersenyum manis.

"Untuk apa kau datang? Orang-orang Raden Bantar Gading sangat kejam. Kau pasti akan dibunuh bila mereka tahu bahwa kau yang mengubur mayat ayahku. Raden Bantar Gading melarang siapa saja menguburkan jenazah Ayah," kembali Rintan terisak.

"Lalu, saudaramu?"

“Aku anak tunggal, sedangkan Ibu sudah tiga tahun lalu meninggal dunia.”

Bayu terdiam membisu. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram menyaksikan ke kejaman yang berlangsung di depan matanya. Sungguh tak disangka kalau Ki Rampit akan bernasib seperti itu. Semula Bayu menyangka kalau orang tua itu memang sengaja menjebaknya. Ternyata semua itu dilakukan karena terpaksa .

Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri Rintan, dan memeluk dengan penuh perasaan. Rintan semakin keras menangis. Dipeluknya Bayu erat-erat. Kepalanya disembunyikan di dada pemuda itu. Bayu membiarkan Rintan menumpahkan air mata dukanya. Hatinya terenyuh menyaksikan penderitaan yang dialami gadis muda ini.

Bayu membawa Rintan ke hutan perbatasan Kerajaan Gantar Angin. Mayang pun menerima baik gadis itu. Tetapi mereka terpaksa harus tinggal di dalam goa yang sangat tersembunyi. Pendekar Pulau Neraka itu kembali kekotaraja setelah menitipkan Rintan pada Mayang. Dia langsung menuju ke Istana Kerajaan Gantar Angin.

Bangunan istana nan megah itu dikelilingi tembok benteng yang tinggi dan kokoh. Tidak kurang dari seratus prajurit berjaga-jaga di setiap sudut benteng. Cukup sulit untuk menembus ke dalam. Hampir setiap jengkal selalu ada prajurit penjaga. Bayu mempelajari keadaan sekitar istana itu dari atas dahan pohon yang cukup tinggi.

"Hm. Seperti ada pesta di dalam...," gumam Bayu dalam hati.

Di dalam ruangan yang besar dan megah, memang sedang ada pesta. Tidak banyak yang hadir. Hanya para kerabat dan keluarga kerajaan serta pembesar saja. Pesta itu diadakan untuk menyambut jago-jago dari seberang yang diundang secara khusus oleh Prabu Abiyasa.

Ada sekitar sepuluh orang berpakaian aneh dengan senjata beraneka ragam yang mengaku jago-jago dari seberang. Sedangkan Prabu Abiyasa duduk dengan angkuh di atas singgasananya. Di samping kanan dan kirinya duduk Raden Bantar Gading dan Raden Sangga Alam. Tampak jelas kalau Raden Sangga Alam tidak senang akan kehadiran jago-jago dari seberang itu. Sedikit pun bibirnya tidak menyunggingkan senyum.

Prabu Abiyasa bangkit dari duduknya. Semua orang yang ada di ruangan itu langsung diam, kemudian membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Tidak terkecuali sepuluh orang jago yang diundang dari seberang yang juga memberi hormat dengan cara masing-masing.

"Malam ini kita semua berkumpul untuk menyambut ke datangan sepuluh jago yang kuundang. Mereka adalah tokoh yang sukar dicari tandingannya di negaranya masing-masing. Tugas mereka tidak lain untuk mengamankan jalannya pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan...," lantang dan berwibawa kata-kata Prabu Abiyasa.

Tidak ada seorang pun yang berani membuka suara. Semuanya menyimak dengan sikap penuh hormat Mata Prabu Abiyasa merayapi semua orang satu persatu.

"Di samping itu, tugas khusus yang harus mereka jalankan adalah mencari dan membunuh perusuh!" sambung Prabu Abiyasa.

"Ayah...," Raden Bantar Gading menyelak.

"Ada apa, Anakku?"

"Aku inginkan kepala Pendekar Pulau Neraka. Tingkat ke pandaiannya sangat tinggi. Akan kuberi hadiah besar bagi siapa saja di antara mereka yang berhasil memenggal kepala Pendekar Pulau Neraka," kata Raden Bantar Gading.

"Dengar itu! Anakku meminta satu kepala dan akan memberikan hadiah yang sangat besar," sambung Prabu Abiyasa.

Pernyataan Raden Bantar Gading disambut hangat sepuluh orang jago dari seberang yang diundang itu. Bahkan para kerabat dan pembesar istana juga menyambut gembira. Lain halnya dengan Raden Sangga Alam dan Paman Nampi. Mereka hanya diam saja. Dari sikapnya, mereka tidak lagi betah berada dalam ruangan ini. Kegelisahan mulai meyelimuti hati mereka.

Sementara pesta kembali dilanjutkan. Raden Bantar Gading sibuk memberi keterangan tentang ciri-ciri Pendekar Pulau Neraka pada sepuluh orang jago dari seberang itu. Bahkan para patih dan panglima juga menanyakan ciri-ciri Pendekar Pulau Neraka. Mereka juga tertarik dengan hadiah yang dijanjikan Raden Bantar Gading. Tentu saja hal ini membuat putra mahkota itu gembira.

"Ayah. Bolehkah Ananda beristirahat? Rasanya kepala ini pening," kata Raden Sangga Alam yang sudah tidak tahan lagi berada di ruangan itu.

"Pergilah," sahut Prabu Abiyasa.

Raden Sangga Alam beranjak bangkit. Diajaknya Paman Nampi. Laki-laki tua berjubah putih itu memberi hormat pada Prabu Abiyasa, kemudian beranjak pergi mengikuti langkah Raden Sangga Alam. Mereka bergegas meninggalkan ruangan yang besar itu. Raden Sangga Alam langsung masuk ke dalam kamar peristirahatannya. Sedangkan Paman Nampi menunggu didepan pintu. Dia baru melangkah masuk setelah Raden Sangga Alam memanggilnya. Paman Nampi duduk di kursi dekat jendela.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Paman?" tanya Raden Sangga Alam terdengar mengeluh.

Paman Nampi tidak langsung menjawab. Pikirannya kini terpusat pada keinginan Raden Bantar Gading yang menghendaki kepala Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan sudah beberapa hari ini, dia tidak lagi bertemu pendekar muda itu. Bahkan pondok tempat Mayang tinggal juga sudah kosong. Dia tidak tahu, ke mana Mayang pergi. Ada rasa gelisah menyeruak di dalam dadanya dengan hilangnya Mayang.

"Paman...."

"Oh!" Paman Nampi terbangun dari lamunannya.

"Apa yang dipikirkan?" tanya Raden Sangga Alam.

"Tidak, Raden. Aku tidak memikirkan apa-apa," sahut Paman Nampi berdusta.

"Kedatangan jago-jago dari seberang bisa membahayakan, Paman. Kita tidak mungkin lagi dapat mencegah pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan," keluh Raden Sangga Alam.

"Raden..., Ayahanda Prabu memusatkan perhatiannya pada para pemberontak. Jago-jago dari seberang itu sebenarnya ditugaskan untuk menumpas para pemberontak. Bukan untuk menjaga kelancaran pembuatan jalan."

"Tapi tidak semua, Paman. Dua orang dari mereka saja sudah merupakan ancaman besar."

"Memang benar, Raden."

"Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

"Raden ingat orang tua yang kita tolong?" Paman Nampi balik bertanya.

"Ki Maruta, maksudmu?"

"Benar! Ki Maruta pernah cerita padaku. Dia tahu di mana tempat tinggal para pemberontak."

"Lalu?"

"Ki Maruta percaya kalau Raden selalu menentang Ayahanda Prabu. Baik menentang pembuatan jalan itu, maupun pembongkaran Pesanggrahan Goa Larangan. Bahkan dia berharap Raden mau bergabung dengannya, menyusun kekuatan untuk menggulingkan kekuasaan Prabu Abiyasa. Setelah itu kekuasaan akan kita kembalikan pada Gusti Ratu Kunti Boga," kata Paman Nampi panjang lebar.

"Tidak mungkin, Paman. Aku tidak bisa mengkhianati Ayahanda Prabu," sahut Raden Sangga Alam dengan nada bingung.

"Rasanya hanya itu cara satu-satunya, Raden."

"Tapi...."

"Percayalah padaku, Raden. Rakyat pasti akan berada di pihak Raden. Bahkan bukannya tidak mustahil Raden akan menduduki tahta di Kerajaan Gantar Angin ini."
"Paman! Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi raja .

"Aku tahu, Raden. Demi kebenaran dan keadilan, tidak ada salahnya jika Raden membantu mereka. Lagi pula Ayahanda Prabu tidak pernah mempedulikan Raden. Beliau selalu membanggakan Raden Bantar Gading. Aku yakin jika tahta sampai jatuh ke tangan Raden Bantar Gading, Raden pasti akan mengalami nasib yang sama dengan Gusti Ratu Kunti Boga."

"Aku tidak bisa memutuskannya sekarang, Paman," pelan suara Raden Sangga alam.

"Selama Raden berpikir, aku akan membantu mereka secara diam-diam."

"Jangan, Paman. Terlalu berbahaya! Bisa-bisa...."

"Jangan khawatir, Raden," potong Paman Nampi cepat.

Raden Sangga Alam mengangkat bahunya, kemudian membaringkan tubuhnya dipembaringan. Paman Nampi bangkit berdiri dan me langkah ke luar. Raden Sangga Alam berusaha memejamkan matanya, tapi terasa sulit. Kata-kata Paman Nampi terus-menerus terngiang-ngiang di telinganya.

"Haruskah aku mengkhianati Ayahanda...?" gumam Raden Sangga Alam dalam hati.

DELAPAN

Pembicaraan antara Paman Nampi dan Raden Sangga Alam didengar jelas oleh Bayu Hanggara, yang saat itu tidak jauh dari kamar Raden Sangga Alam. Pendekar Pulau Neraka itu bergegas melompat turun dari atas dahan, dan langsung berlari cepat menjauhi benteng Istana Kerajaan Gantar Angin. Dia baru berhenti berlari setelah tiba di sebuah rumah yang tidak begitu besar.

Rumah dari dinding papan dan beratapkan daun rumbia itu, tampak gelap. Hanya sebuah pelita yang meneranginya. Nyala lampu pelita nampak menari-nari tertiup angin malam. Bayu mendekati pintu yang tertutup rapat. Pelahan diketuknya pintu itu. Matanya tidak pernah lepas mengamari keadaan sekitarnya.

"Siapa...?" terdengar suara dari dalam. Sepertinya suara seorang laki-laki tua yang sedang mengantuk.
Bayu kembali mengetuk pintu itu.

"Sebentar...!"

Tak lama kemudian pintu itu terbuka. Tampak seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering muncul dari ambang pintu. Dia hanya mengenakan kain lusuh yang melilit bagian pinggangnya hingga kebawah. Laki-laki tua yang ternyata Ki Maruta itu terkejut melihat seorang pemuda tampan dan gagah mendatangi rumahnya di tengah malam buta begini.

"Ki Maruta...?" Bayu ingin memastikan.

"Ya ...."

"Maaf, aku telah mengganggu tidurmu."

"Siapa Kisanak, dan ada keperluan apa malam-malam begini?" tanya Ki Maruta.

"Maaf, aku tidak bisa mengatakannya di sini." Secepat Bayu berkata, secepat itu pula jari tangannya bergerak menotok jalan darah laki-laki tua itu. Ki Maruta hanya sempat mengeluh sedikit, sedangkan tubuhnya langsung melorot turun. Bayu cepat-cepat menyangga, dan memanggulnya di pundak. Saat itu juga dia melompat meninggalkan rumah berdinding papan itu. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya lenyap ditelan ke gelapan malam.

Tepat, pada saat bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka yang membawa Ki Maruta pergi, Paman Nampi tiba dengan menunggang kuda. Panglima Perang Kerajaan Gantar Angin itu langsung melompat turun dari punggung kudanya. Dengan langkah tergesa-gesa dia menerobos masuk ke rumah Ki Maruta.

"Ki...! Ki Maruta...!" panggil Paman Nampi.

Keningnya agak berkerut ketika melihat keadaan rumah yang sunyi senyap. Paman Nampi membuka pintu sebuah kamar. Kosong! Tak ada seorang pun dikamar itu. Kemudian dibukanya pintu kamar lainnya. Semua kamar yang diperiksa, kini tak berpenghuni sama sekali.

"Ke mana dia? Jangan-jangan.... Ah! Tidak...! Tidak mungkin!" Paman Nampi bicara pada dirinya sendiri.

Bergegas dia melangkah ke luar. Tapi, baru saja kakinya menjejak di depan pintu, matanya membeliak lebar. Bahkan mulutnya ternganga tanpa ada suara. Tampak di de pannya sudah berdiri sepuluh prajurit yang siap dengan anak panah terbidik. Di belakangnya ada dua puluh prajurit lagi dengan pedang terhunus. Sedangkan di tengah-tengah, berdiri Raden Bantar Gading didampingi dua orang jago undangan dari seberang. Paman Nampi kaget bukan main menghadapi kenyataan ini.

"Untuk apa kau mencari Ki Maruta, Paman?" tanya Raden Bantar Gading dingin. Nada suaranya terdengar sinis.

Paman Nampi tidak bisa menjawab. Kerongkongannya terasa kering.

"Tangkap dia!" perintah Raden Bantar Gading.

"Tunggu....'" sentak Paman Nampi.

Lima orang prajurit yang sudah bergerak maju, jadi menghentikan langkahnya. Mereka pun ragu-ragu untuk melaksanakan perintah itu. Paman Nampi melangkah tiga tindak kedepan.

"Kenapa kalian ingin menangkapku?" tanya Paman Nampi.

"Kau dituduh berkomplot dengan pemberontak, Panglima Nampi!" sahut Raden Bantar Gading.

"Mana buktinya?"

"Malam-malam kau datang ke sini, disaat kami tengah mengadakan pesta. Sedangkan kami tengah mencurigai Ki Maruta sebagai pemimpin pemberontak. Apa itu bukan suatu bukti?"

"Kecurigaan bukan satu bukti!"

"Bagaimana dengan ini?" Raden Bantar Gading mengeluarkan seuntai kalung dengan lambang Kerajaan Gantar Angin. Kalung itu juga sebagai lambang kebesaran kerajaan. Paman Nampi jadi terbeliak melihat kalung itu ada di tangan Raden Bantar Gading. Sepengetahuannya hanya Ratu Kunti Boga yang memiliki kalung itu.

"Dari mana kau dapatkan kalung itu?" tanya Paman Nampi tidak mungkin lagi bersilat lidah.

"Kau tidak perlu tahu dari mana aku mendapatkannya," jawab Raden Bantar Gading. "Tangkap dia! Kalau melawan, bunuh saja!"

Lima orang prajurit yang tadi sudah maju, kini tidak ragu-ragu lagi melaksanakan perintah. Mereka semua memegang rantai dan siap untuk mengikat tubuh Paman Nampi. Tapi laki-laki tua berjubah putih itu bergerak cepat sebelum ke lima prajurit itu berhasil menyentuh tubuhnya .

Jerit melengking terdengar saling susul. Lima orang prajurit itu tidak bisa lagi mengelak. Tubuh mereka ambruk dengan darah mengucur deras. Entah kapan dimulainya, tahu-tahu di tangan Paman Nampi sudah tergenggam sebilah pedang pendek yang ujungnya berlumuran darah.

"Tangkap! Jangan sampai lolos...!" teriak Raden Bantar Gading gusar melihat lima orang prajuritnya tewas dalam sekali gebrak saja. "Bunuh pengkhianat itu!"

Sepuluh prajurit yang sudah siap dengan panah, langsung melepaskan anak panahnya. Paman Nampi segera memutar-mutar pedang pendeknya cepat bagai baling-baling. Anak panah yang meluncur menghujaninya rontok sebelum sampai pada sasaran. Dua orang berpakaian aneh yang jelas adalah jago dari tanah seberang, langsung melompat begitu hujan anak panah terhenti.

Mereka langsung menyerang Paman Nampi dengan dahsyat. Jurus-jurus yang mereka gunakan sungguh aneh, sehingga laki-laki tua berjubah putih itu agak kewalahan juga. Tapi dengan cepat dia dapat menguasai keadaan. Pedang pendeknya berkelebatan cepat mengarah pada bagian-bagian yang mematikan pada tubuh lawannya.

"Hiya...! Yeaaah...!"

Tring! Trang!

Paman Nampi terkejut saat senjatanya beradu dengan senjata salah seorang lawannya. Tangannya seperti kesemutan. Buru-buru dia melompat mundur. Tapi seorang lawannya lagi langsung menyodokkan senjatanya yang berbentuk tombak pendek bermata lima. Paman Nampi buru-buru mengibaskan pedangnya, berusaha menyampok sodokan itu.

Trang!

"Heh!" Paman Nampi kaget bukan main, karena pedangnya terjepit di sela-sela ujung tombak pendek bermata lima itu. Belum lagi sempat menarik pulang senjatanya, satu tendangan dahsyat menghajar samping dadanya.

"Akh! Paman Nampi terpental sejauh dua batang tombak. Pedangnya terlepas dari pegangan. Laki laki tua berjubah putih itu berusaha bangkit, tapi ujung golok besar sudah menempel di tenggorokannya. Bahkan kini disusul dengan ujung tombak yang menekan dadanya. Paman Nampi benar-benar tidak berdaya lagi sekarang.

"Ikat dia!" perintah Raden Bantar Gading.

Tiga orang prajurit segera melaksanakan perintah itu. Mereka mengikat tangan dan tubuh Paman Nampi dengan rantai baja. Laki-laki tua itu dipaksa bangun, dan diseret oleh kuda yang ditunggangi seorang prajurit. Tangan prajurit itu memegang ujung rantai yang mengikat Paman Nampi.

Raden Bantar Gading segera melompat ke punggung kudanya, diikuti dua orang jago dari seberang itu. Para prajurit yang lain segera mengikuti. Sedangkan beberapa di antaranya mengurus mayat-mayat temannya. Paman Nampi tidak bisa lagi berbuat apa apa. Tubuhnya bergelimpangan terseret kuda.

********************

Sementara itu, jauh di perbatasan Kerajaan Gantar Angin. Tepatnya di sebuah hutan yang cukup lebat, Bayu Hanggara berdiri tegak memandang laki-laki tua bernama Ki Maruta yang duduk bersila diatas tumpukan dedaunan. Tidak jauh dari Ki Maruta duduk, dua orang wanita juga duduk berdampingan. Mereka semua memandang pada laki-laki tua itu.

"Aku tidak tahu, apakah kau salah seorang pemimpin atau hanya pengikut kaum pemberontak. Tapi bukan itu yang ingin kuketahui darimu...," kata Bayu tegas.

Ki Maruta mengangkat kepalanya. Tatapan matanya langsung tertuju pada wajah pemuda tampan berbaju kulit harimau di depannya. Bayu menggeser kakinya sedikit ke kanan, lalu duduk di atas batu pipih, tidak jauh dari Mayang dan Rintan duduk.

"Kau kenal dengan ke dua wanita ini?" tanya Bayu.

"Aku hanya kenal satu," sahut Ki Maruta. "Rintan."
"Satunya lagi?"

Ki Maruta tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Mayang lekat-lekat. Tapi kepalanya menggeleng beberapa kali. Dia memang belum pernah melihat Mayang sebelumnya, sehingga sama sekali tidak mengenalnya.

"Kau kenal dengan wanita yang bernama Bibi Durati?" tanya Bayu lagi.

"Tidak," sahut Ki Maruta setelah berpikir sejenak.

Bayu memandang pada Mayang. Wanita itu hanya menundukkan kepala saja.

"Kisanak. Untuk apa kau membawa aku ke sini? Lagi pula, mengapa kau mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang aku tidak mengerti?" selak Ki Maruta.

"Ketahuilah, Ki Maruta. Apa yang kulakukan tidak ada sangkut pautnya dengan kegiatanmu dalam menghimpun kekuatan untuk menggulingkan tahta Kerajaan Gantar Angin. Ini hanya sekedar ingin menolong wanita itu," Bayu berusaha menjelaskan.

"Kisanak. Aku tidak berkeberatan membantu jika kau bersedia menjelaskan duduk persoalannya," kata Ki Maruta lagi.

Bayu memandang Mayang sekali lagi. Wanita berbaju merah muda itu balas memandang, kemudian kepalanya terangguk sedikit. Sebentar Bayu menarik napas panjang, kemudian mulai menceritakan semua yang diketahuinya tentang diri Mayang. Dan Mayang sendiri pun menambahkan kalau ada kata-kata Bayu yang kurang. Ki Maruta mendengarkannya dengan penuh perhatian.

"Hm, jadi selama ini kau tidak tahu tentang asal-usul dirimu?" tanya Ki Maruta seraya menatap Mayang.

"Ya," sahut Mayang pelan.

"Aneh..., kau tidak tahu asal-usul dirimu. Kau juga tidak tahu orang yang selalu muncul dan mengajarkanmu ilmu olah kanuragan. Benar-benar aneh...," gumam Ki Maruta.

"Tapi sekarang aku tahu siapa dia, Ki," selak Mayang.

"Ya, aku tahu. Panglima Nampi memiliki jurus 'Cakar Maut' yang sangat dahsyat. Apa kau juga diajarkan jurus itu?"

"Benar! Bahkan Bibi Durati juga mengajarkan aku jurus 'Selendang Sakti'."

"Selendang Sakti'...?!" Ki Maruta terkejut setengah mati.

"Ada apa, Ki?" tanya Bayu.

"Kau punya selendangnya?" Ki Maruta tidak menggubris pertanyaan Bayu.

"Ini," Mayang mengeluarkan selembar kain berwarna kuning gading. Selendang itu tampaknya tidak berarti.

Tapi mata Ki Maruta jadi terbeliak begitu melihat ujung selendang tergambar seekor naga bersisik emas. Ki Maruta menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bibir memperdengarkan suara berdecak. Diserahkan kembali selendang itu pada Mayang. Wanita itu menyimpannya kembali ke balik bajunya.

"Kau beruntung, Mayang. Tidak sembarang orang bisa menjadi murid si Selendang Sakti. Bahkan kau kini memiliki benda sakti itu. Ck ck ck...," Ki Maruta kembali menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Siapa si Selendang Sakti itu, Ki?" tanya Bayu.

"Mungkin selama ini kau hanya mengenalnya sebagai Bibi Durati, Mayang. Atau mungkin juga memang itu nama aslinya. Si Selendang Sakti seorang tokoh wanita yang sukar dicari tandingannya. Rasanya sukar untuk dipercaya kalau Panglima Nampi bisa berhubungan dengannya. Bahkan sama-sama merawat dan mendidikmu, Mayang."

"Lalu, siapa sebenarnya aku ini?" tanya Mayang, seperti untuk dirinya sendiri.

"Kau percaya dengan kata-kata Panglima Nampi?" tanya Ki Maruta.

"Entahlah," desah Mayang pelan.

"Gusti Ratu Kunti Boga memang memiliki seorang putri. Pada saat Prabu Abiyasa menggulingkan tahtanya, putri Gusti Ratu Kunti Boga memang baru berusia tujuh tahun, dan hilang tanpa jejak. Tak ada seorang pun yang tahu, di mana dia sampai saat ini. Sedangkan Gusti Ratu Kunti Boga dimasukkan ke dalam tahanan bersama kerabat dan keluarga lainnya."

"Siapa namanya?" tanya Bayu.

"Mayang...," sahut Ki Maruta.

Keterangan Ki Maruta membuat Mayang semakin tidak tahu tentang dirinya. Sedangkan Bayu tidak bisa mencegah Ki Maruta pergi. Yang dibutuhkan memang hanya keterangan dari laki-laki tua itu. Tapi Bayu sempat berpesan agar Ki Maruta tidak kembali ke rumahnya. Kekhawatirannya memang beralasan, karena pihak kerajaan sudah mengetahui tentang dirinya yang berkomplot dengan kaum pemberontak.

Sepeninggal Ki Maruta, Mayang bergegas ke luar dari dalam goa. Bayu langsung mengikutinya. Sementara Rintan hanya diam saja. Dia tidak mengerti sama sekali, meskipun sejak tadi mengikuti terus pembicaraan itu. Macam-macam pertanyaan berkecamuk di benaknya.

"Mayang, tunggu...!"

Mayang menghentikan langkahnya Dia berbalik dan menatap dengan mata berkaca-kaca pada Pendekar Pulau Neraka itu. Bayu menghampiri dan memegang pundaknya. Ditatapnya dalam-dalam bola mata wanita itu.

"Jangan melakukan tindakan yang bisa membahayakan dirimu, Mayang," kata Bayu lembut.

"Aku harus bertemu dengan Panglima Nampi. Hanya dia yang tahu," kata Mayang agak tersedak suaranya .

"Aku mengerti perasaanmu, Mayang. Cobalah mengendalikan diri dan berpikir dengan tenang. Tidak mudah untuk mengetahui asal-usulmu. Sedangkan saat ini nyawamu terancam," bujuk Bayu.

"Kakang! Benarkah aku putri Ratu Kunti Boga?" tanya Mayang pelan.

"Kita akan mencari jawabannya, Mayang."

"Kapan?"

Bayu tidak segera menjawab, dan hanya mendesah panjang sambil mengajak wanita itu kembali ke dalam goa. Sementara Rintan hanya memandang saja dengan tatapan tidak mengerti. Gadis belia itu hanya duduk tanpa mengucapkan satu patah kata pun.

"Mayang! Bukan hanya kau saja yang menderita. Coba lihatlah Rintan. Dia juga sangat menderita karena baru kehilangan ibunya. Bahkan kini ayahnya menyusul. Aku yakin, Rintan juga ingin membalas sakit hatinya. Sama seperti kau. Mungkin juga masih banyak yang lebih menderita lagi darimu. Kau harus berpikir dengan tenang, Mayang. Kendalikan dirimu," lemah lembut Bayu menasehati.

Mayang hanya diam saja. Kata-kata Bayu yang lemah lembut membuat hatinya kembali mencair. Dipandanginya Rintan, dan dihampirinya. Mayang memeluk gadis belia itu. Rintan yang tidak mengerti persoalannya hanya bisa membalas dengan pandangan kosong menatap pada Pendekar Pulau Neraka.

"Aku akan menemui Panglima Nampi, kalian jangan pergi jauh-jauh," kata Bayu berpesan.

Mayang menoleh dan mengangguk.

"Lepas senja nanti, aku akan kembali," ujar Bayu lagi.

"Hati-hati, Kakang," ucap Mayang pelan.

Bayu hanya tersenyum saja, kemudian berbalik dan melangkah keluar dari dalam goa ini. Begitu sampai diluar, dia langsung melesat cepat bagaikan kilat. Sekejap saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap. Saat itu matahari baru menampakkan diri di ufuk Timur. Sementara Mayang duduk merenung di dalam goa ditemani Rintan. Dia berharap pendekar Pulau Neraka bisa mengetahui asal-usul dirinya. Mayang tak dapat tenang sebelum mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Hanya Panglima Nampi harapan satu-satunya.

Tapi siapa yang tahu keadaan Panglima Nampi saat ini? Sedangkan kaum pemberontak mulai melancarkan aksinya. Dapatkah Bayu mengungkap diri Mayang yang sebenarnya? Nah, tentunya pembaca semua me nginginkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas bukan? Untuk itu, ikutilah kisah selanjutnya yang sangat seru dan mendebarkan! Serta akan membahas seluruh permasalahan dalam cerita ini secara tuntas, yaitu episode: