Jago Dari Seberang - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Pendekar Pulau Neraka
Episode Jago Dari Seberang
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar pulau Neraka

SATU

MALAM begitu larut. Sebuah bayangan berkelebat cepat dari satu atap ke atap rumah lainnya. Udara terasa dingin mengigit sampai ke tulang. Rintik air hujan merinai, membuat kebanyakan orang lebih betah berada di dalam rumah. Masih terlihat para prajurit Kerajaan Gantar Angin berkeliaran di setiap sudut kota. Bayangan itu terus berkelebat cepat, dan baru berhenti setelah sampai pada dahan pohon dekat benteng bangunan istana.

Sepasang bola matanya tajam mengamati keadaan dalam sekitar benteng tinggi dan kokoh itu. Dan perhatiannya langsung tertuju pada sebuah jendela besar yang terbuka lebar. Cahaya lampu pelita menerangi hampir seluruh ruangan di balik jendela itu. Tampak seorang pemuda tampan berbaju sutra halus putih bersih, berdiri didepan jendela. Begitu tampannya sehingga wajahnya seperti seorang wanita. Pemuda tampan itu berbalik, dan pada saat itu pula bayangan di atas pohon berkelebat menembus jendela. Pemuda itu terkejut, hampir berteriak. Tapi pemuda itu keburu diringkusnya.

“Jangan berteriak!” dingin suaranya.

Pemuda tampan berbaju putih dengan sulaman benang emas itu diam. Dia tidak lagi berontak. Orang yang meringkusnya pun melepaskan dengan mendorongnya ke depan. Pemuda itu berbalik. Matanya berkilau merayapi seorang laki-laki muda tampan mengenakan baju kulit harimau.

“Kau pasti Pendekar Pulau Neraka…” tebak pemuda itu.
“Benar! Aku Bayu Hanggara, Pendekar Pulau Neraka. Kuharap kau tidak membuat kesulitan, Raden.”

Pemuda tampan itu ternyata Raden Sangga Alam tersenyum mengangguk. Sebentar dia menarik napas panjang, kemudian melangkah mendekati jendela. Raden Sangga Alam menutup jendela kamar itu, kemudian duduk di tepi pembaringan.

“Silahkan duduk,” katanya mempersilahkan Bayu untuk mengambil tempat.
Bayu melirik sebuah kursi, dan menariknya dekat jendela. Segera dihenyakkan bokongnya, duduk di bawah jendela besar itu. Kepalanya sedikit dimiringkan, mencoba mendengarkan suara-suara mencurigakan yang mungkin bisa membahayakan. Pendekar Pulau Neraka itu sadar kalau telah memasuki kandang macan. Sedikit saja melakukan kesalahan, bisa berakibat fatal.

“Aku sering mendengar namamu, Kisanak,” kata Raden Sangga Alam. Lembut suaranya.

“Hm…” Bayu hanya menggumam kecil.

“Terlalu berbahaya jika kau berada di sini. Ayahanda Prabu telah memerintahkan untuk memperketat penjagaan di sekitar istana, baik siang maupun malam. Lebih-lebih Kanda Bantar Gading. Dia benar-benar menghendaki kepalamu,” kata Raden Sangga Alam tidak bermaksud untuk menggertak.

“Hebat…!” desis Bayu tersenyum sinis.

“Apa yang kau inginkan sehingga datang menemuiku, Kisanak?!” tanya Raden Sangga Alam. Suaranya masih terdengar lembut.

“Aku datang untuk menemui Panglima Nampi.”

Raden Sangga Alam tersedak sesaat. Wajahnya berubah mendung. Bayu memperhatikan perubahan wajah itu. Keningnya sedikit berkerut. Sudah bisa diduga kalau telah terjadi sesuatu pada Panglima Nampi. Bayu tahu betul kalau Raden Sangga Alam sangat dekat dengan orang tua berjubah putih itu. Makanya dia datang ke sini untuk menemui Panglima Nampi, melalui Raden Sangga Alam.

“Boleh aku tahu, ada urusan apa kau berkeinginan menemui beliau?” tanya Raden Sangga Alam.

“Urusan pribadi,” sahut Bayu tegas.

“Kau ingin membunuhnya?”

“Tergantung dia sendiri.”

“Ketahuilah, Kisanak. Keadaan Kerajaan Gantar Angin tengah dilanda kekacauan. Ayahanda Prabu menginginkan pekerjaan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan agar cepat selesai. Tapi selalu saja ada yang merintangi, terutama para pemberontak yang tidak menyukai tempat suci itu dirubah kegunaannya. Bahkan mereka juga hendak menggulingkan tahta kerajaan…” kata Raden Sangga Alam.

“Maaf! Urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan suasana di sini,” selak Bayu cepat.

“Senang atau tidak, kau telah tersangkut. Ayahanda Prabu dan Kakang Bantar Gading sudah meecap-mu sebagai ancaman besar melebihi kaum pemberontak. Dan sekarang kau datang hendak mencari Panglima Nampi… Tanpa disadari, kau telah melibatkan dirimu sendiri dalam arus yang terjadi di sini, Kisanak,” lembut namun tegas kata-kata Raden Sangga Alam.

Bayu jadi tertegun mendengar kata-kata itu. Sungguh tidak disadari akan sejauh itu jadinya. Pendekar Pulau Neraka itu tersentak ketika mendengar suara pintu diketuk. Tanpa berpikir banyak lagi, bergegas dia melompat ke palang atap. Raden Sangga Alam tersenyum dan beranjak turun dari pembaringan, lalu melangkah menghampiri pintu dan membukanya.

Ternyata Raden Bantar Gading telah berdiri di ambang pintu dan membukanya bersama dua orang berpakaian aneh dan memegang senjata aneh pula yang berdiri di belakangnya.

“Ada apa, Kanda?” tanya Raden Sangga Alam.

“Dua orang pengawal pribadiku melihat seseorang masuk ke dalam kamarmu,” kata Raden Bantar Gading.

“Tidak ada siapa-siapa di sini,” sahut Raden Sangga Alam.

Raden Bantar Gading menjulurkan kepalanya. Diamatinya keadaan sekeliling kamar itu. Dua orang jago undangan yang kini menjadi pengawal pribadi Raden Bantar Gading, ikut mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan itu. Sejenak mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama mengangkat bahunya.

“Dinda Sangga Alam, benar tidak ada yang masuk ke sini?” Raden Bantar Gading ingin meyakinkan.

“Sejak tadi aku ada di sini. Seperti kau lihat, tidak ada seorang pun masuk ke kamar ini, Kanda,” sahut Raden Sangga Alam tenang.

Raden Bantar Gading memandang dua orang pengawal pribadinya sebentar, kemudian mengegoskan kepalanya. Tanpa berkata apa apa lagi, mereka meninggalkan kamar itu. Raden Sangga Alam segera menutup pintu dan menguncinya. Sedangkan Bayu langsung meluruk turun begitu pintu kamar tertutup lagi. Sebentar mereka saling berpandangan.

Bayu mendekati jendela, dan mengintip ke luar. Tampak beberapa prajurit berjaga-jaga di sekitar jendela kamar itu. Bergegas dia menghampiri pintu, dan mengintip dari lubang di atasnya. Empat orang prajurit juga berjaga-jaga di sana. Bayu menyadari kalau kamar itu sudah dijaga ketat. Itu berarti kehadirannya sudah diketahui.

“Sudah kukatakan, kehadiranmu di sini akan memperburuk keadaan,” kata Raden Sangga Alam.

“Raden, di mana kamar Panglima Nampi?” tanya Bayu tidak perduli dengan keadaan dirinya yang sulit untuk keluar dari kamar itu.

“Semua panglima tidak tinggal di istana. Mereka punya rumah tersendiri di luar lingkungan istana,” jawab Raden Sangga Alam tenang.

“Kalau begitu, di mana rumahnya?”

“Percuma saja kau ke sana, Kisanak. Panglima Nampi tidak ada lagi di rumahnya.”

Bayu mengerutkan dahinya. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata Raden Sangga Alam.

“Paman Nampi tertangkap ketika berada di rumah salah seorang pemimpin pemberontak. Tuduhannya sangat berat, dan mungkin akan dihukum mati. Atau mungkin juga, hukuman itu sudah dilaksanakan. Aku sendiri tidak tahu, bagaimana nasibnya sekarang,” agak lirih suara Raden Sangga Alam.

Lemas seluruh tubuh Bayu mendengar penjelasan itu. Satu-satunya orang yang diharapkan, tidak jelas nasibnya. Jalan yang dilalui kini semakin gelap saja. Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mendekati jendela. Tampak beberapa prajurit masih berdiri berjaga-jaga tidak jauh dari jendela kamar ini. Bayu meminta Raden Sangga Alam untuk membuka jendela itu.

Semua prajurit yang berada di luar jendela serentak membungkuk memberi hormat. Raden Sangga Alam hanya menganggukkan kepala sedikit. Para prajurit itu berbalik membelakangi. Pada kesempatan yang sedikit itu, Bayu segera melesat cepat bagai kilat menembus jendela.

Dalam sekejap mata saja, bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka itu lenyap ditelan kegelapan malam. Tak ada seorang prajurit pun yang mengetauhi. Raden Sangga Alam kembali menutup jendela seraya menarik napas panjang.

*******************

Bayu Hanggara duduk merenung di atas sebongkah batu sebesar kerbau. Pikirannya kusut tidak menentu. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Menembus benteng Istana Gantar Angin? Terlalu besar resikonya. Sedangkan dia tidak tahu, di mana Panglima Nampi sekarang berada. Dan lagi, apakah dia sudah mati atau belum? Sedangkan satu-satunya harapan untuk mengetahui asal-usul Mayang, hanya Panglima Nampi.

Begitu asyiknya melamun, sampai-sampai tidak mengetahui ada seseorang mendekatinya. Bayu baru tahu setelah pundaknya disentuh lembut. Pendekar Pulau Neraka itu menoleh. Seraut wajah cantik tersenyum manis padanya. Bayu menggeser duduknya memberi tempat. Wanita cantik berbaju merah muda itu duduk di sampingnya.

“Maaf, Mayang. Aku belum bisa mencari keterangan tentang dirimu lebih banyak lagi,” kata Bayu. Pelan suaranya.

“Tidak apa, Kakang. Aku tahu kau telah berbuat banyak padaku. Seharusnya aku yang minta maaf, karena telah menyusahkanmu,” sahut Mayang yang juga pelan suaranya.

“Aku telah mencoba menembus benteng istana.”

“Kau bertemu dengan Panglima Nampi?”

“Tidak. Aku hanya bertemu Raden Sangga Alam. Dari dialah aku tahu kalau Panglima Nampi ditangkap. Bahkan sampai saat ini tidak jelas nasibnya.”

“Kakang, apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Aku tidak tahu, Mayang. Orang satu-satunya yang kita harapkan, entah bagaimana nasibnya sekarang. Rasanya kita menghadapi jalan buntu,” keluh Bayu.

“Hanya ada satu cara, Kakang…!” sentak Mayang tiba-tiba.

Bayu menatap wanita di sebelahnya.

“Ratu Kunti Boga.”

“Mustahil…! Tidak ada seorangpun yang tahu, di mana Ratu Kunti Boga disekap. Lagi pula, kita tidak tahu apakah masih hidup atau sudah mati!” ujar Bayu seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Nada suaranya menyiratkan kepasrahan.

“Tapi banyak orang yang bilang, kalau Ratu Kunti Boga masih hidup, Kakang. Dari para pemberontak yang sering datang ke sini, aku tahu kalau Ratu Kunti Boga masih hidup. Dia kini berada di dalam tahanan bawah tanah. Sedangkan yang lainnya sudah tidak ada lagi. Semuanya tewas di tangan algojo.”

“Mayang, kau jangan terpengaruh oleh omongan mereka. Bisa saja mereka bicara hanya untuk menyenangkanmu. Atau, mungkin saja mereka sengaja berkata begitu untuk memanfaatkanmu, karena mereka tahu siapa kau sebenarnya!”

“Mereka bukan orang-orang jahat, Kakang. Mereka berontak karena menuntut hak dan keadilan. Tujuan mereka hanya untuk menggulingkan tahta, dan mengembalikannya pada Ratu Kunti Boga!” bantah Mayang sengit. “Kau terlalu curiga, Kakang. Aku yakin maksud mereka itu suci.”

“Hm…. Jadi kau akan bergabung dengan mereka?” tebak Bayu langsung.

“Terus terang, aku memang berpikir begitu, Kakang.” Mayang mengakui.

“Aku tidak bisa memaksa, apalagi menghalangimu. Kau bebas menentukan jalan hidupmu sendiri,” pelan suara Bayu.

“Kakang. Bukan maksudku untuk menjauhi dirimu. Justru aku berharap kau bersedia membantu mereka. Perjuangan mereka suci, Kakang. Cobalah kau lihat kenyataan yang terjadi di depan kita,” kata Mayang setengah membujuk.

“Aku seorang pendekar, Mayang. Aku bersedia membantu siapa saja, tapi tidak untuk terlibat dalam urusan kerajaan. Kau harus mengerti, Mayang.”

“Aku tahu, Kakang.”

“Mayang, persoalanmu saja belum selesai. Sabarlah sampai asal-usulmu bisa terungkap. Kau juga jangan terlalu dalam melibatkan diri dengan mereka. Carilah keterangan siapa dirimu sebenarnya. Masalahnya, mereka pasti menganggap dirimu putri Ratu Kunti Boga. Hal itu akan membahayakan dirimu sendiri. Itu kalau memang benar kau putri Ratu Kunti Boga! Kalau ternyata bukan…! Apa kau sudah siap menghadapi semuanya?”

“Aku tidak perduli siapa diriku, Kakang. Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang berguna dalam hidupku!” tegas kata-kata Mayang.

Bayu menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sulit untuk memaksa wanita itu lagi. Tekadnya sudah bulat. Bayu merasa semua yang dilakukan hanya sia-sia belaka. Yang jelas dia tidak ingin mengeluh. Baginya itu sudah suatu resiko seorang pendekar kelana hanya saja, di dalam hatinya masih terbetik rasa penasaran. Bayu belum puas kalau belum dapat menuntaskan semua persoalan yang dihadapinya. Meskipun Mayang sendiri sudah tidak ambil perduli lagi terhadap dirinya sendiri. Yang jelas Bayu bertekad untuk tetap meneruskan usahanya.

*******************

Hari itu Bayu menemui Ki Marutadi di Hutan Danaraja sebelah timur. Hampir seluruh Hutan Danaraja telah dikuasai para pemberontak. Semakin hari jumlah mereka semakin bertambah banyak. Kedatangan Bayu tentu saja disambut gembira oleh para pemimpin pemberontak, yang rata-rata bekas pembesar setia Ratu Kunti Boga.

Mereka semua sudah mendengar tentang Pendekar Pulau Neraka dari cerita Ki Maruta. Dan memang nama pendekar itu sudah kondang. Bahkan seluruh rakyat Gantar Angin sudah mendengarnya. Ini bisa saja terjadi, karena Raden Bantar Gading yang dibantu jago-jago dari tanah seberang telah mengumumkan agar seluruh rakyat melaporkan jika melihat Pendekar Pulau Neraka.

“Sudah kuduga kedatanganmu, Kisanak. Aku yakin kau pasti akan datang menemuiku,” ucap Ki Maruta gembira menyambut kedatangan Bayu.

“Aku datang memang untuk menemuimu, Ki Maruta,” sahut Bayu.

“Kau ingin bergabung dengan kami?” tebak Ki Maruta berharap.

Bayu menggeleng-gelengkan kepala, namun bibirnya tersenyum penuh rasa persahabatan. Ki Maruta mendesah panjang. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatinya.

“Maaf, bukannya aku ingin membuatmu kecewa,” kata Bayu, seperti mengetahui perasaan lelaki tua itu.

“Tidak apa. Memang seharusnya aku tidak terlalu berharap banyak padamu,” sahut Ki Maruta pelan.

Bayu merasakan nada kekecewaan pada suara Ki Maruta.

“Lalu, apa maksudmu datang ke sini?” tanya Ki Maruta. “Aku hanya mengharap kejujuranmu, Ki,” sahut Bayu tegas.

“Kejujuranku?”

“Ya! Tentang diri Mayang yang sebenarnya. Aku yakin kau menyembunyikan sesuatu tentang Mayang. Maukah kau berterus terang padaku, Ki?” desak Bayu berharap.

“Apalagi yang kau ketahui tentang Mayang? Aku sendiri merasa kalau Mayang benar-benar putri Gusti Ratu Kunti Boga. Wajahnya memang tidak mirip. Tapi sinar matanya begitu mirip dengan Gusti Ratu Kunti Boga,” jelas KiMaruta, coba meyakinkan Pendekar Pulau Neraka itu.

Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tetap tidak bisa dipercaya begitu saja kata-kata Ki Maruta. Yang diinginkan adalah kepastian, bukan hanya sekedar perasaan hati.

“Hanya ada satu cara untuk mengetahui siapa Mayang sebenarnya, Kisanak. Bebaskan Paman Nampi atau Gusti Ratu Kunti Boga! Hanya mereka yang tahu persis jati diri Mayang,” sambung Ki Maruta.

“Hal itu memang sudah kupikirkan. Hanya masalahnya, aku tidak tahu di mana mereka berada sekarang. Hidup dan matinya pun aku tidak tahu,” sahut Bayu bernada mengeluh.

Ki Maruta menatap dalam-dalam pada pemuda itu. Dirasakan ada nada lain pada suara Pendekar Pulau Neraka. Dia sering mendengar sepak terjang Pendekar Pulau Neraka. Dan kini, setelah berhadapan langsung, laki-laki tua itu merasakan adanya perbedaan yang sangat mencolok.

“Kisanak, boleh aku tahu. Mengapa kau sangat berkeinginan mengetahui diri Mayang sesungguhnya?” tanya Ki Maruta bernada curiga.

Bayu Hanggara tersentak mendengar pertanyaan itu. ditatapnya dalam-dalam wajah laki-laki tua di depannya. Sangat sulit untuk menjawabnya. Dia sendiri tidak tahu, mengapa begitu ingin mengetahui asal-usul Mayang. Belum pernah dialami suatu perasaan penasaran yang amat sangat menghantui dirinya. Bayu sendiri tidak tahu, apa yang menarik pada diri wanita cantik itu.

Pertanyaan Ki Maruta seolah-olah menggugahnya dari alam mimpi yang sangat panjang dan melelahkan. Apa yang dilakukannya selama ini tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Mungkin karena nasib wanita itu yang hampir sama dengannya, sehingga Bayu selalu ingin mengungkap tabir yang menyelimuti diri Mayang. Dan kini Bayu merasa adanya nada kecurigaan pada suara Ki Maruta.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Bayu bangkit berdiri. Tak lama, dia melangkah meninggalkan Ki Maruta yang hanya bisa terpaku. Ada sedikti rasa penyesalan terselip di hati laki-laki tua itu. Dia menyesal karena telah memberi pertanyaan yang mungkin menyinggung perasaan Pendekar Pulau Neraka itu.

“Ah! mudah-mudahan saja dia tidak tersinggung,” desah Ki Maruta dalam hati.

*******************

DUA

Bayu menghentikan langkahnya. Matanya sedikit menyipit melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, dan berwajah kasar, berdiri tegak menghadang jalannya. Di pinggangnya melilit cembuk hitam yang tangkainya berbentuk kepala ular.

“Kau yang bernama Pendekar Pulau Neraka?” besar dan keras suara orang itu bertanya.

“Benar. Dan kau siapa?” Bayu balas bertanya.

“Aku Braga, bekas orang bayaran Raden Bantar Gading,” orang bertubuh tinggi tegap dan berwajah kasar itu memperkenalkan diri.

“Hm… Lantas, apa maksudmu menghadang perjalananku?” tanya Bayu setengah bergumam.

“Aku sering dengar namamu disebut-sebut hampir setiap orang di Gantar Angin ini. Bahkan para prajurit dan jago-jago undangan dari tanah seberang sedang mencarimu,” ungkap Braga.

“Aku tahu itu,” sahut Bayu kalem.

“Karena itu aku sengaja menunggumu di sini.”

“Untuk apa? Menangkapku?” mulai sinis kata-kata Bayu.

“Aku tahu, kau seorang pendekar yang sangat tangguh dan mampu mengatasi segala persoalan seorang diri. Tapi aku datang justru ingin membantumu,” kata Braga serius.

“Hm….” Bayu mengerutkan keningnya.

“Aku memang bukan orang baik-baik. Aku dilahirkan dari keluarga begal, rampok dan pembunuh. Dan pekerjaanku pun adalah pembunuh bayaran. Tapi biar bagaimanapun juga, aku masih punya hati dan perasaan. Aku bersedia melakukan apa saja demi uang…!” kata Braga.

“Maaf, aku tidak punya uang untuk membayarmu,” kata Bayu.

“Bukan uang yang kucari saat ini!”

“O….! Lantas?”

“Sulit kukatakan! Jauh-jauh aku datang ke Gantar Angin ini karena satu pekerjaan mudah dengan bayaran tinggi. Tapi seluruh anak buahku tewas. Bahkan adikku satu-satunya juga tewas di Desa Muara Pening dekat Pesanggrahan Goa Larangan,” pelan suara Braga.

“Rasanya aku tidak kenal denganmu dan adikmu. Dan lagi aku belum pernah ke Desa Muara Pening. Maaf… Mungkin kau salah alamat, jika hal itu kau adukan padaku,” uajr Bayu sopan.
“Kau ingin bertemu dengan Panglima Nampi, kan?”

Bayu menatap tajam laki-laki berwajah kasar di depannya. Sama sekali tidak dimengerti apa yang diinginkan Braga terhadapnya.

“Mungkin kau akan menganggapku berlebihan. Tapi, aku tahu di mana Panglima Nampi berada sekarang,” lanjut Braga.

“Berapa kau dibayar untuk menjebakku?” tanya Bayu sinis.

“Jangan salah sangka, Kisanak. Aku ingin bergabung denganmu karena aku juga punya tujuan. Tujuanku adalah membunuh Raden Bantar Gading yang telah menewaskan adikku satu-satunya. Dia juga yang menyebabkan semua anak buahku tewas! Sekarang ini bukan bayaran yang kuinginkan!” tegas kata-kata Braga.

“Kau dendam?”

“Benar!”

“Mengapa Raden Bantar Gading tidak kau bunuh saja sendiri?”

“Jangan mengolok-olok, Kisanak. Saat ini Raden Bantar Gading selalu dikawal jago-jago dari seberang. Ilmu mereka sangat tinggi. Tidak mungkin kuhadapi seorang diri.”

“Lalu, apa yang dapat kulakukan untukmu?”

“Bukan hanya aku, tapi kita!”

“Rasanya persoalan yang kita hadapi berbeda. Dan lagi, tak ada niatan dalam hatiku untuk membunuh siapapun. Aku sebenarnya hendak meninggalkan Gantar Angin ini. Persoalanku di sini telah selesai. Sekarang aku tidak perduli lagi dengan Panglima Nampi, atau siapa saja. Maaf, aku harus pergi sekarang,” kata Bayu tegas.

“Tunggu dulu,” cegah Braga.

Bayu mengurungkan langkahnya.

“Kau tidak mungkin dapat meninggalkan Gantar Angin begitu saja. Seluruh pelosok sudah dijaga prajurit. Tidak ada seorangpun boleh meninggalkan negeri ini!” jelas suara Braga memberitahu.

Bayu hanya tersenyum saja, kemudian melanjutkan langkahnya. Braga berlari kecil mengejar. Pendekar Pulau Neraka membiarkan saja laki-laki berwajah kasar itu mengikutinya, dan tetap melangkah tanpa menoleh sedikitpun.

“Kenapa kau mengikutiku?” tanya Bayu tanpa menoleh.

“Aku akan ikut bersamamu keluar dari neraka ini,” jawab Braga.

“Bukankah kau ingin membalas kematian adikmu?”

“Percuma! Tidak ada seorang pun yang percaya kepadaku. Lebih baik aku pergi dari pada mati konyol. Nanti setelah berada di luar Gantar Angin, mungkin aku bisa melakukan apa saja. Aku berniat akan mengumpulkan kekuatan, baru menggempur kerajaan ini!”

Bayu hanya tersenyum seraya menggeleng gelengkan kepalanya. Dendam di hati Braga cukup membara. Tapi nyalinya kecil. Hanya kepentingan dirinya sendiri yang lebih menonjol. Mungkin itu memang sudah wataknya. Bahkan rasa sakit hati dan dendam bisa pupus bila keselamatan dirinya terancam. Tidak ada sedikit pun watak ksatria didalam hatinya.

Bayu terus saja melangkah, meskipun Braga mengiktuinya. Dia tidak lagi perduli terhadap laki-laki berwajah kasar itu. kakinya tetap terayun mantap. Bahkan dikerahkan ilmu meringankan tubuh. Merskipun seperti berjalan biasa, tapi kecepatannya melebihi orang berlari. Braga yang mengikuti juga segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

Tapi mendadak Pendekar Pulau Neraka menghentikan langkahnya. Pendengarannya yang setajam elang, menangkap suara desiran halus dari arah samping kanan. Begitu menoleh, sebatang anak panah meluncur deras ke arahnya. Bahkan sebatang lagi mengarah pada Braga.

“Awas…!” seru Bayu keras.

Bayu hanya menggerakkan tangannya untuk menangkap anak panah itu. sementara Braga memiringkan tubuh sedikit ke belakang, sehingga anak panah yang mengancam nyawanya lewat di depan dada. Laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan wajah kasar itu langsung melompat menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Pada saat itu, dari gerumbul semak belukar dan balik pepohonan, muncul sekitar tiga puluh orang berseragam prajurit. Mereka berlompatan dengan senjata terhunus. Bayu mengendarkan pandangannya ke sekeliling. Para prajurit Kerajaan Gantar Angin kini telah mengepung rapat dari segala penjuru.

“Sudah kukatakan, tidak mudah keluar dari sini,” kata Braga setengah berbisik.

“Kau takut?” nada suara Bayu terdengar mengejek.
“Huh Tak seberapa. Dua kali lipatpun aku masih mampu mengahadapinya” dengus Braga pongah.

“Mereka pasti sudah sangat terlatih.”

“Hampir tiga purnama aku di sini, jadi tahu betul kalau prajurit Gantar Angin tidak ada yang memiliki kepandaian tinggi. Para panglimanya saja bisa dihitung dengan jari yang memiliki kepandiaan tinggi.”

“Tapi jangan menganggap remeh mereka. Setiap lawan harus dihadapi hati-hati. Sikap memandang rendah lawan akan membuat kelengahan, dan berakibat fatal,” kata Bayu mengingatkan.

Braga diam saja. Dan percakapan itupun terhenti ketika seorang pemuda tampan muncul. Bibirnya selalu menyunggingkan senyum sinis. Pemuda itu menunggang kuda putih dan dikawal dua orang berpakaian aneh dan bersenjata aneh pula. Mereka juga menunggang kuda yang tinggi kekar.

“Itu Raden Bantar Gading,” kata Braga memberitahu.
“Ya, aku tahu,” jawab Bayu tak berpaling sedikitpun. Pandangannya tajam pada pemuda tampan di atas punggung kuda putih.

“Percuma saja kalian melawan. Tempat ini sudah terkepung,” ujar Raden Bantar Gading, yang tetap berada di atas kuda putihnya.

“Untuk apa menyerah, kalau masih bisa melawan” lantang suara Bayu.

“Hhh Memang tidak ada gunanya bicara denganmu, monyet keparat” geram Raden Bantar Gading.

“Serang! Bunuh mereka…”

Tiga puluh orang prajurit serentak berlompatan sambil menghunus senjata masing-masing. Mereka berteriak disertai semangat bertarung yang berkobar-kobar. Braga segera melepaskan cambuk yang membelit pinggangnya.

“Hiya…”

Ctar!

Suara cambuk hitam itu menggelegar memecah angkasa. Dua orang prajurit langsung ambruk tersambar ujung cambuk itu. Braga berlompatan sambil mengebutkan cambuknya. Sungguh dahsyat, sekali kebutan saja, pasti ada prajurit yang terjungkal. Sementara Bayu pun sibuk melayani para prajurit yang bertarung bagai kesetanan itu. Banjir darah tak terhindarkan lagi. Teriakan, jeritan dan pekik kematian saling susul bercampur dengan gemuruhnya pertempuran.

Satu persatu para prajurit Gantar Angin bergelimpangan berlumuran darah. Mereka memang bukanlah tandingan dua orang yang sudah banyak malang melintang di dalam rimba persilatan. Dalam waktu tidak berapa lama saja, separuh dari mereka telah banyak yang tewas.

“Ayo, maju semua Biar kupercepat kematian kalian” seru Braga keras.

Ctar! Tar!

Braga memainkan cambuknya dengan lincah, diimbangi gerakan kaki dan tubu yangmelentur ringan. Para prajurit yang mengeroyoknya mulai gentar. Mereka jadi ragu-ragu. Akibatnya, malah membuat kematian semakin cepat datangnya. Tanpa ampun lagi Braga membantai para pengeroyoknya.

“Ha ha ha…!” Braga tertawa terbahak-bahak. Sepertinya begitu suka akan pertempuran ini.

“Yeaaa…!”

Satu orang yang mengawal Raden Bantar Gading melompat turun dari punggung kudanya. Lesatannya begitu ringan dan cepat, langsung meluruk ke arah Braga. Senjatanya yang berupa golok raksasa mengibas bagai kilat, menimbulkan suara angin menderu. Braga yang tengah melayani para prajurit yang tersisa, terkejut mendengar deru angin mengarah kepadanya.

“Uts!” Buru-buru dirundukkan kepalanya. Sambaran golok raksasa itu hanya menyambar angin kosong. Braga segera melesat mundur tiga langkah. Agak gentar juga hatinya begitu melihat seorang laki-laki bertubuh besar bagai raksasa, berdiri tegak di depannya. Tangannya menggenggam sebilah golok besar dan panjang.

“He he he…” orang itu terkekeh.

“Ayo maju, monyet jelek!” tantang Braga.

Para prajurit yang tadi mengeroyok Braga, segera berlompatan menyingkir. Mereka langsung membantu teman-temannya yang tengah mengeroyok Bayu. Sementara Braga bersiap-siap menghadapi manusia raksasa itu. Dikebut-kebutkan cambuknya di udara.

“Ha ha ha…!” manusia raksasa itu tertawa terbahak-bahak. Mungkin merasa lucu melihat cambuk kecil sepanjang lengan yang berusaha menakut-nakutinya.
“Jangan gembira dulu, monyet jelek! Rasakan cambukku! Hiyaaa…!”

Ctar!

Ujung cambuk Braga meluruk deras ke arah dada manusia raksasa itu. Hebat! Dia hanya diam saja tanpa bergeming sedikitpun. Tak ampun lagi, ujung cambuk Braga menyengat dadanya, disertai suara ledakan keras.

“Heh…!” Braga tercengang menyaksikan lawannya hanya tersenyum saja. Tak ada luka sedikitpun yang menggores dadanya. Padahal, jelas sekali kalau ujung camuk itu menyengat dada manusia raksasa itu. Padahal ujung cambuk itu penuh duri yang sangat tajam, dan dikebutkan dengan tenaga dalam penuh.

“Gila! Manusia apa dia…?!” dengus Braga.

“He he he…” orang itu hanya terkekeh saja.

Ctar! Tar…!

Dua kali Braga mengayunkan cambuknya disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Tapi manusia raksasa itu hanya terkekeh saja. Bahkan kakinya kini terayun melangkah maju. Sama sekali cambukan itu tidak berarti. Sementara Braga mulai pucat wajahnya. Cambuk kebanggaannya hanya seperti belaian halus bagi manusia raksasa itu. Braga melangkah mundur sambil mengebutkan cambuknya beberapa kali.

“Grrr…!” manusia raksasa itu menggeram bagai binatang buas dan liar.

Wut!

Cepat sekali manusia raksasa itu mengebutkan golok besarnya ke arah leher Braga.

“Ikh” Braga terperangah sesaat. Buru-buru dia merunduk, maka sambaran golok itu lesat di atas kepalanya. Tapi belum sempat diangkat kepalanya, satu tendangan keras telah membuat tubuhnya terpental jauh ke belakang. Braga mengeluh pendek. Punggungnya menghantam sebatang pohon besar hingga hancur. Laki-laki bekas pembunuh bayaran itu bergegas bangkit.

Sementara itu, si Manusia Raksasa sudah melompat menerjang sambil mengayunkan goloknya. Braga membanting tubuhnya ke samping dan bergulingan beberapa kali. Golok raksasa itu menghantam tanah kosong dengan kerasnya.

Braga langsung melesat bangkit. Segera dia melompat sambil mengirimkan dua pukulan geledek disertai satu tendangan bertenaga dalam tinggi. Manusia raksasa itu hanya terdorong satu langkah. Dia menggeram dahsyat, dan berbalik. Braga benar-benar terkesiap karena pukulan dan tendangan beruntunnya tidak berarti bagi manusia raksasa itu.

“Edan! Ilmu apa yang dimilikinya…?!” dengus Braga keheranan.

Manusia raksasa itu kembali menggeram dahsyat. Dikibaskan goloknya dengan cepat ke arah tubuh Braga. Pembunuh bayaran itu melompat ke belakang, sehingga sambaran golok itu tidak menemui sasaran. Dan belum sempat Braga berbuat sesuatu, kembali manusia raksasa menyerang bagai topan. Braga hanya bisa berkelit berlompatan tanpa mampu membalas.

Baik cambuk, pukulan dan tendangannya tidak berarti sama sekali terhadap manusia raksasa itu. Braga benar-benar serba salah menghadapinya. Semua jurus-jurus andalannya sudah dikerahkan, tapi hasilnya sia-sia.

Bahkan kini manusia raksasa itu malah semakin ganas saja. Serangan-serangannya pun semakin gencar dan berbahaya. Braga sudah merasakan betapa dahsyat pukulan manusia raksasa itu. Dan dia tidak ingin lagi coba-coba memapak. Tenaga dalamnya kalah jauh. Bahkan tidak satupun pukulan mautnya yang berarti.

“Graaakh…!” manusia raksasa itu menggeram dahsyat.

Dan pada satu kesempatan, dikibaskan goloknya dengan kecepatan penuh. Braga terperangah sesaat. Buru-buru dia berkelit mengegoskan tubuhnya ke samping. Sambaran golok besar itu berhasil dielakan. Tapi angin sambaran golok membuatnya limbung. Dalam keadaan seperti itu, Braga tidak mungkin menghindari pukulan tangan kiri lawannya.

Pukulan itu telak menghantam dadanya. Braga mengeluh pendek. Dari mulutnya mengucur darah segar. Saat tubuhnya terjajar ke belakang, satu hantaman golok besar membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Braga tidak mampu lagi bersuara. Tubuhnya langsung ambruk terbelah dua. Mati.

“Ha... ha... ha…!” manusia raksasa itu tertawa terbahak-bahak.

Pada saat yang bersamaan, Bayu sudah menyelesaikan pertarungannya melawan prajurit-prajurit Gantar Angin. Betapa terkejutnya Bayu mendapatkan Braga telah tewas dengan tubuh terbelah dua. Gerahamnya bergemeletuk menyaksikan manusia raksasa itu malah tertawa terbahak-bahak dekat mayat Braga.

“Iblis…!” geram Bayu mendesis.

“Pendekar Pulau Neraka! Kau tinggal pilih. Menyerah, atau mengalami nasib yang sama dengan Braga!” ancam Raden Bantar Gading.

“Phuih!” Bayu menyemburkan ludahnya.

Raden Bantar Gading menggerakkan ujung jari telunjuknya. Manusia raksasa itu melompat ke hadapan Pendekar Pulau Neraka. Golok besarnya tersandang di pundak. Bibirnya menyeringai liar mengejek. Bayu menggeser kakinya sedikit ke samping.

“Kau tidak punya waktu untuk berpikir, Pendekar Pulau Neraka!” lantang suara Raden Bantar Gading.

“Majulah, manusia liar! Jauh-jauh kau datang hanya untuk mengantarkan nyawa!” dengus Bayu dingin.

Manusia raksasa itu menoleh ke arah Raden Bantar Gading. Pemuda tampan di atas kuda putih itu menggerakan tangannya di depan leher. Jelas sekali kalau artinya adalah penggal kepala! Manusia raksasa itu tersenyum, lalu melangkah mendekati Pendekar Pulau Neraka. Suara menggeram kecil terdengar menggetarkan.

Cepat sekali dia melompat sambil menghantamkan goloknya ke tubuh Bayu. Tapi hanya dengan memiringkan tubuhnya sedikit, Bayu berhasil mengelakkan tebasan golok itu. Dan tanpa diduga sama sekali, tangan Pendekar Pulau Neraka itu menyodok ke perut.

“Ups…!” Bayu terkejut, karena merasakan seperti menyodok segumpal karet dalam karung. Tangannya kembali terpental. Buru-buru dia melompat mundur dua tindak. Secepat kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melenting tinggi ke udara, lalu meluruk deras sambil melontarkan dua pukulan beruntun.

Des! Des!

Kembali Bayu terkejut, karena manusia raksasa itu tidak bergeming sedikitpun. Padahal pukulan bertenaga itu dalam sangat tinggi. Bahkan Bayu sendiri terpental beberapa depa jauhnya. Pukulannya seperti berbalik dan menghantam dirinya sendiri. Bayu kembali berdiri tegak. Matanya memandang setengah tidak percaya. Sementara si Manusia Raksasa itu menggeram pelan sambil melangkah berat mendekati. Goloknya yang sangat besar diputar-putarnya. Suara angin menderu-deru, membuat jantung serasa akan copot.

“Graghk…!” Manusia raksasa itu menggeram keras, dan dengan cepat dibabatkan senjatanya ke arah kaki Pendekar Pulau Neraka. Namun dengan cepat Bayu telah melenting ke udara sambil mengayunkan kakinya, disertai pengerahan tenaga dalam yang hampir mencapai taraf kesempuranaan. Tendangan itu telak mendarat di wajah si Manusia Raksasa.

“Aaarghk…!” manusia raksasa itu meraung keras.

Dia mundur dua langkah ke belakang. Dan begitu menjejakkan kaki di tanah, Bayu langsung melepaskan satu pukulan dahsyat ke arah dada. Pukulannya tidak terbendung lagi. Tubuh tinggi besar itu terjungkal keras menghantam tanah. Suara berdebum terdengar saat tubuh raksasa itu ambruk. Getarannya bagaikan gempa bumi saja.

Sambil menggeram marah, manusia raksasa itu bangkit berdiri. Diangkat goloknya ke atas kepala. Segera dia berlari cepat seraya mengayunkan senjatanya dengan deras. Bayu melompat ke samping sambil melayangkan pukulan keras menghantam punggung. Kembali manusia raksasa itu meraung dan tersungkur ke tanah, namun dengan cepat bisa bangkit kembali.

Bayu geleng-geleng kepala melihat daya tahan lawannya yang begitu luar biasa. Manusia raksasa itu kembali menerjang seraya mengayunkan goloknya yang sangat besar. Kali ini dia memang mendapat lawan sangat tangguh. Gerakan Bayu ketika berkelit, memang sangat cepat. Bahkan dibarengi dengan satu serangan mengandung tenaga dalam hampir sempurna. Setiap pukulan dan tendangan Pendekar Pulau Neraka, membuat manusia raksasa itu menggereng keras.

“Hup! Hiyaaa…!”

Sambil berteriak keras, Bayu memiringkan tubuhnya dan sedikit membungkuk. Lalu dengan cepat dikibaskan tangan kanannya. Seleret cahaya keperakan melesat dari pergelangan tangan yang dikibaskan. Rupanya Bayu melepaskan senjata andalannya, berupa cakra pipih bergerigi enam, berwarna keperakan. Cakra Maut itu melesat cepat bagai kilat, dan langsung membabat dada si Manusia Raksasa itu.

“Aaarghk…!” manusia raksasa itu meraung keras.

Bayu mengangkat tangannya ke atas. Cakra Maut itu pun kembali melesat dan menempel di pergelangan tangannya. Darah mulai membasahi dada manusia raksasa itu. Dia menggeram dahsyat, lalu kembali menerjang sambil mengayunkan goloknya dari atas kebawah.
“Hiyaaaa…!”

Bayu melompat mundur sambil mengebutkan tangan kanannya. Kembali Cakra Maut melesat bagai kilat dari pergelangan tangannya. Senjata cakra bergerigi enam itu menghentikan terjangan si Manusia Raksasa, karena lehernya telah tertembus senjata Pendekar Pulau Neraka. Darah muncrat keluar dari leher yang berlubang besar itu.

Begitu senjatanya menempel kembali di pergelangan tangan, Bayu melompat cepat sambil berteriak nyaring. Satu tendangan keras menggeledek membuat tubuh raksasa itu jatuh berdebum ke tanah. Bayu menjejak dada lawan dengan lutut, lalu menghajar kepalanya dengan kekuatan penuh.

Prak!

“Aaarghk…!” manusia raksasa itu meraung keras.

Darah segar kembali mengalir keluar dari kepala yang hancur. Bayu langsung melompat bangkit berdiri. Pandangannya tajam pada tubuh besar yang menggelepar-gelepar di tanah. Pendekar Pulau Neraka itu menarik napas panjang, lalu pandangannya beralih pada Raden Bantar Gading. Sementara manusia raksasa itu sudah tidak bergerak-gerak lagi.

TIGA

Orang yang berada di samping Raden Bantar Gading langsung melompat turun dari punggung kudanya. Manis sekali jejakannya di tanah, yang berjarak sekitar satu batang tombak di depan Pendekar Pulau Neraka. Senjatanya yang berbentuk tongkat berujung lima, menyilang di depan dada. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata pemuda berbaju kulit harimau di depannya.

Orang itu bertubuh sedang mengenakan baju ketat merah menyala. Kulit wajahnya putih, cenderung pucat. Sinar matanya menyiratkan kekejaman. Bayu menggeser kakinya dua langkah ke samping. Bisa diukur kalau lawannya kali ini tentu lebih tangguh dari yang pertama.

“Sebaiknya kau pulang saja ke negerimu,” kata Bayu dingin.

“Hm…” orang bersenjata tongkat berujung lima itu hanya menggumam tidak jelas. Kepalanya menoleh ke belakang, ke arah Raden Bantar Gading yang hanya diam menatap Pendekar Pulau Neraka. Kemudian kepala Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu terangguk sedikit. Orang berwajah dingin pucat pun kembali memalingkan mukanya menghadap pada Bayu. Bibirnya yang tipis pucat tersenyum sedikit.

“Hop!” Begitu tangannya mengebutkan senjata ke depan, langsung terasa suatu aliran hawa panas menyengat kulit. Bayu kembali menggeser kakinya selangkah ke samping. Sikapnya tampak lebih berhati-hati menghadapi lawan kali ini. hawa panas yang menyebar dari senjata tongkat berujung lima itu sangat terasa menyengat. Jelas kalau dia memiliki kepandaian tinggi.

“Wufh! Yaaa…!”

Orang berwajah pucat itu cepat menyerang tanpa banyak bicara lagi. Bayu mengegoskan tubuhnya ke samping menghindari tusukan senjata tongkat berujung lima itu. Dengan cepat tangannya terayun ke samping, begitu senjata lawan berada di samping perutnya. Namun tanpa diduga sama sekali, orang itu memutar senjata ke atas.

“Uts!” Bayu cepat merunduk, sehingga tebasan senjata itu lewat di atas kepalanya. Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa berbuat sesuatu, kaki lawan telah melayang deras menghantam pinggangnya.

“Ugh!” Bayu mengeluh pendek. Saat tubuhnya doyong ke samping, satu pukulan keras lawan mendarat di dadanya. Pendekar Pulau Neraka itu terjajar ke belakang. Dadanya terasa sesak seketika. Buru-buru digerakkan tangannya untuk mengusir rasa sesak yang melanda dadanya. Bayu menggelengkan kepalanya beberapa kali, mencoba mengusir kunang-kunang yang memenuhi pelupuk matanya.

“Phuih!” dengan perasaan geram, Pendekar Pulau Neraka menyemburkan ludahnya.

Orang berwajah pucat kaku itu berteriak keras sambil melompat menerjang. Bayu tetap berdiri tegak menanti. Dan pada saat ujung tombak lawannya sudah sedemikian dekat di depan dada, dengan cepat ditangkapnya. Sambil mengerahkan tenaga dalam, tombak yang tertangkap itu diangkat dan dibantingnya ke belakang.

“Akh!” orang berwajah pucat itu memekik tertahan. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah. Sebelum orang berwajah pucat itu sempat bangun, Bayu sudah mengibaskan tangan kanannya. Seleret cahaya keperakan meluncur deras bagai kilat. Orang itu menggulingkan tubuhnya beberapa kali. Senjata cakra keperakan itu pun menghantam tanah. Bayu menarik tangan kanannya ke atas, maka senjatanya kembali melesat ke arahnya. Begitu menempel di pergelangan tangan, kembali dikibaskannya dengan cepat.

“Hiya…!”

Orang berwajah pucat itu buru-buru melesat ke udara sambil mengibaskan senjatanya ke bawah. Sungguh di luar dugaan. Ketika Bayu menjentikkan ujung jarinya, Cakra Maut itu bergerak menyamping, sehingga tidak terjadi benturan antara dua senjata. Dan Cakra Maut itu terus melesat ke udara, langsung menyambar ke arah dada orang berwajah pucat itu.

Masih dalam keadaan tubuh di udara, orang itu memiringkan tubuhnya ke samping. Tapi ujung Cakra Maut sempat menggores bahu kanannya. Bayu mengangkat tangan kananya ke atas, maka senjata cakra kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Orang berwajah pucat itu kembali turun ke bumi. Darah mengucur dari pundak yang tergores cukup dalam oleh Cakra Maut.

“Yeaaah…!” Bayu berteriak lantang.

Baru saja orang berwajah pucat itu menjejakkan kakinya di tanah, Pendekar Pulau Neraka sudah melompat sambil mengirimkan dua pukulan dahsyat beruntun. Orang itu berusaha menghindar, tapi satu pukulan lain tidak mampu dihindari. Dadanya terasa remuk akibat pukulan keras bertenaga dalam hampir sempurna. Tubuhnya terdorong ke belakang sejauh dua batang tombak.

“Mampus kau! Hiyaaa…!” pekik Bayu melengking.nSecepat tangannya bergerak ke depan, secepat itu pula secercah cahaya keperakan melesat ke arah jago dari tanah seberang berwajah pucat itu. Dia tidak mungkin lagi menghindar karena keadaan tubuhnya terluka dan sempoyongan. Cakra Mautpun langsung menembus dadanya hingga ke punggung.

“Aaaakh…!” Di saat tubuh orang itu limbung, Bayu melompat cepat sambil melontarkan satu pukulan keras ke arah dada. Tak pelak lagi, tubuh jago dari seberang itu terjungkal keras menghantam batu sebesar kerbau. Dengan ujung jari kaki, Bayu menyambar senjata lawan dan langsung menangkapnya. Pendekar Pulau Neraka itu melemparkan senjata yang berhasil dirampas seraya mengerahkan tenaga dalam, sebelum jago dari seberang itu bergerak.

Wut!

Senjata tombak berujung lima itu meluncur cepat, dan menembus dada pemiliknya sendiri. Kembali jeritan menyayat terdengar mengantar kematian jago dari seberang itu. sementara Cakra Maut masih melayang diudara, Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas. Cakra Mautpun kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.

“Hm…” Bayu bergumam pelan. Bola matanya tajam memandang ke sekeliling. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram mendapati Raden Bantar Gading sudah tidak ada di tempatnya lagi. Rupanya putra Raja Abiyasa itu melarikan diri saat mengetahui jagonya sudah tidak mampu menandingi Pendekar Pulau Neraka.

“Pengecut!” dengus Bayu geram.

*******************

Raden Bantar Gading memacu kudanya bagai dikejar setan. Debu mengepul di udara diterjang kaki kuda putih itu. sedikitpun Raden Bantar Gading tidak memperlambat lari kudanya. Bahkan digebah semakin cepat begitu memasuki perbatasan kota. Beberapa orang yang melihat, hanya membungkuk dengan kepala mengeleng-geleng.

Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang istana, buru-buru membuka pintu ketika melihat Raden Bantar Gading memacu cepat kudanya ke arah istana. Kuda putih itu tidak mengendur larinya meskipun melewati pintu gerbang. Dua prajurit pengawal hanya mengelus-elus dada saja.

“Hooop…!”

Raden Bantar Gading langsung melompat turun setelah kudanya berhenti di depan tangga istana. Kakinya bergegas melangkah meniti anak tangga dari batu pualam. Para prajurit yang berada di sekitar situ, hanya bisa memandang penuh tanda tanya di dalam hati. Raden Bantar Gading langsung masuk ke dalam Israna Gantar Angin.

“Patih Luminta, di mana Ayahanda Prabu?” tanya Raden Bantar Gading, saat berpapasan dengan seorang laki-laki setengah baya.

“Gusti Prabu sedang beristirahat, Raden,” jawab Patih Luminta.

Raden Bantar Gading kembali melangkah cepat.

“Raden…” Patih Luminta bergegas mengejar.

“Aku harus bertemu Ayahanda sekarang juga!” bentak Raden Bantar Gading.

“Tapi, Raden. Gusti Prabu sudah berpesan agar jangan diganggu,” kata Patih Luminta.

Raden Bantar Gading tidak perduli, dan terus saja melangkah menuju sebuah kamar yang tertutup pintunya. Kamar itu memang tempat beritirahat pribadi ayahnya. Tidak ada seorang pun boleh masuk tanpa seijinnya. Patih Luminta menghalangi langkah Raden Bantar Gading dengan membelakangi pintu.

“Maaf, Raden. Ini perintah Gusti Prabu,” kata Patih Luminta.

“Jangan menghalangiku, Patih. Minggir!” bentak Raden Bantar Gading.

“Raden….”

Raden Bantar Gading mencekal baju Patih Luminta dan mencampakkannya ke samping. Patih Luminta terjerembab ke lantai. Sebentar Raden Bantar Gading menatap tajam laki-laki setengah baya itu, kemudian mendorong pintu yang tertutup.

“Raden, jangan…!” seru Patih Luminta.

Tapi Raden Bantar Gading telah lebih cepat membuka pintu kamar itu dan langsung menerobos masuk. Seketika matanya membeliak dan mulutnya menganga lebar. Jantungnya serasa berhenti berdetak saat mendapati ayahnya tengah bergumul di atas ranjang bersama seorang wanita.

Prabu Abiyasa teerkejut. Buru-buru disambar selimut untuk menutupi tubuhnya. Demikian juga dengan wanita itu, disambarnya kain seadanya untuk menutupi seluruh aurat yang terbuka lebar.

“Lancang! Keluar kau!” bentak Prabu Abiyasa.

Raden Bantar Gading tidak berkata apa-apa, tapi langsung berbalik dan melangkah keluar dari kamar itu. Patih Luminta bergegas menutup pintu kembali. Wajahnya nampak kebingungan melihat Raden Bantar Gading yang berlari cepat meninggalkan kamar pribadi Prabu Abiyasa. Patih Luminta bergegas mengejar putra mahkota itu.

Sementara Raden Bantar Gading terus berlari menuju kaputren. Patih Luminta yang masih berusaha mengejar, menghentikan langkahnya. Tidak mungkin dia boleh masuk ke dalam kaputren. Tempat itu terlarang bagi seorang laki-laki yang bukan keluarga Prabu Abiyasa. Seorang dayang yang akan keluar dari kaputren, hampir jatuh tertabrak Raden Bantar Gading. Dayang itu tertegun sejenak, lalu kembali melangkah keluar. Dia berpapasan dengan Patih Luminta.

“Kenapa Raden Bantar Gading, Paman?” tanya dayang itu.
“Tidak tahulah…” desah Patih Luminta menyahut. “Apa Gusti Permaisuri ada di dalam?”

“Ada.”

“Ya, Tuhan…” keluh Patih Luminta.

“Ada apa, Paman?”

Patih Luminta tidak menjawab. Bergegas dia berbalik, lalu melangkah pergi. Sementara dayang itu hanya memandang dengan kening berkerut. Sebentar Patih Luminta menoleh ke belakang, lalu mengangkat bahunya dan kembali melangkah pergi dari lorong pintu kaputren.

*******************

Raden Bantar Gading tertegun meihat ibunya tengah duduk dikelilingi tujuh orang dayang di taman kaputren. Pemuda itu ingin berbalik, tapi ibunya sudah keburu melihat dan memanggil. Raden Bantar Gading melangkah menghampiri. Kemurungan di wajahnya sulit untuk disembunyikan.

Permaisuri Pramita Wardani memandangi wajah anaknya yang kelihatan murung. Tangannya menggapai lembut dan menggamit jari-jari tangan pemuda itu, lalu membawanya duduk di sampingnya. Raden Bantar Gading tidak tahu harus berkata apa lagi. Semula dia ingin mengatakan adegan yang disaksikan di kamar peristirahatan pribadi ayahnya. Tapi, saat melihat keanggunan dan senyum ibunya, hatinya langsung luluh. Rasanya tidak sanggup untuk menghancurkan hati wanita yang lembut dan anggun ini.

“Ada apa, Anakku? Kau kelihatan murung sekali,” lembut suara Permaisuri Pramita Wardani.
“Tidak apa-apa, Bunda. Nanda hanya ingin bertemu saja,” jawab Raden Bantar Gading pelan. Disembunyikannya suara hatinya dalam-dalam.

Hatinya mendadak menjerit, mendengar kelembutan suara ibunya. Permaisuri Pramita Wardani tersenyum manis. Tangannya mengusap-usap rambut anaknya. Dia mengerti kalau Raden Bantar Gading ingin mengatakan sesuatu, tapi sangat berat untuk diucapkan. Sudah bisa ditebak penyebab kemurungan putranya itu.

“Kau datang tergesa-gesa, dengan wajah murung. Bunda tahu, ada yang ingin kau katakan…” kata Permaisuri Pramita Wardani, tetap lembut suaranya.

“Tidak, Bunda,” jawab Raden Bantar Gading tertahan suaranya.

“Katakanlah,” desak ibunya.

“Bunda…” suara Raden Bantar Gading tercekat di tenggorokan. Sungguh mati, dia tidak sangup menghancurkan perasaan wanita yang dikasihinya. Apalagi seorang wanita yang telah mengandung dan melahirkannya.

Permaisuri Pramita Wardani begitu lembut, dan suci hatinya. Bagaimanapun kasar dan keras hati seseorang, pasti tidak akan tega untuk menyakitinya. Raden Bantar Gading menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian bangkit berdiri dan melangkah cepat meninggalkan kaputren. Permaisuri Pramita Wardani bergegas bangkit, tapi tidak mengejar. Hanya matanya saja yang memandang kepergian puteranya.

Tarikan napasnya berat ketika punggung Raden Bantar Gading tidak terlihat lagi. Pada saat yang sama. Raden Sangga Alam berlari-lari dengan tangan membawa seekor burung kenari. Dia tertegun mendapatkan Permaisuri Pramita Wardani tengah berdiri termenung memandang pintu luar kaputren.

“Bunda…” pelan suara Raden Sangga Alam.

“Oh…!” Permaisuri Pramita Wardani terkejut.

“Maaf. Nanda mengagetkan Bunda,” kata Raden Sangga Alam.

“Oh, tidak. Mana? Kau dapat burung itu?”

“Ini, Bunda. Nanda dapatkan di tembok batas kaputren,” Raden Sangga Alam menyerahkan burung kenari itu.
“Dayang! Masukkan burung ini ke dalam sangkar,” perintah Permaisuri Pramita Wardani begitu menerima burung yang kecil namun bersuara merdu itu.


Seorang dayang muda menerima burung itu, dan membawanya ke dalam sangkar burung kosong berukuran besar. Burung kenari itu langsung berkicau setelah berada di dalam sangkar. Tampaknya memang senang berada di dalam sangkar. Dia berlompatan dari ranting yang satu ke ranting yang lainnya sambil memperdengarkan kicauan merdu.

Permaisuri Pramita Wardani tersenyum melihat keceriaan burung kecil itu. Sedangkan Raden Sangga Alam mengerutkan keningnya sedikit. Bisa dirasakan kalau senyum wanita cantik dan anggun itu amat dipaksakan. Jelas sekali, bibir yang tersenyum itu sedikit bergetar.

“Bunda…” pelan suara Raden Sangga Alam.

Permaisuri Pramita Wardani menoleh.

“Tadi Nanda lihat, Kakang Bantar Gading ada di sini…” kata Raden Sangga Alam terputus.

“Dia hanya ingin melihat Bunda, Anakku,” sahut Permaisuri Pramita Wardani.

“Tapi, tampaknya tergesa-gesa…?”

“Hhh…!” Permaisuri Pramita Wardani menarik napas panjang dan kembali duduk di kursi taman kaputren.

Raden Sangga Alam duduk di depan wanita cantik nan anggun itu. Dia tidak yakin kalau Raden Bantar Gading hanya ingin bertemu saja. Sikapnya yang tergesa-gesa membuatnya bertanya-tanya. Dipandanginya wajah Permaisuri Pramita Wardani dalam dalam.

“Mengapa memandangku seperti itu, Anakku?” tegur Permaisuri Pramita Wardani.

“Bunda begitu anggun di mata Nanda. Tak ada seorang pun yang boleh menyakiti Bunda,” ujar Raden Sangga Alam, agak tertekan suaranya.

Permaisuri Pramita Wardani memandangi dayang-dayang yang duduk bersimpuh di sekitarnya. Tanpa diperintah, mereka segera memberi hormat, lalu bangkit dan pergi meninggalkan tempat itu.

“Kandamu tidak mengatakan apa-apa terhadap Bunda, Anakku. Tapi Bunda yakin ada sesuatu yang ingin dikatakannya,” kata Permaisuri Pramita Wardani pelan.

“Tentang Ayahanda?” tebak Raden Sangga Alam langsung.

“Ah, sudahlah! Dia sudah dewasa dan bisa mengurusi dirinya sendiri.”

Raden Sangga Alam mengangkat bahunya. Dia memang tidak ingin mencampuri urusan pribadi orang. Walapun dia tahu Raden Bantar Gading suka main perempuan, ditambah lagi Ayahnya juga punya kegemaran yang sama, tapi jika melihat Permaisuri Pramita Wardani, hatinya jadi terenyuh.

“Bunda seharusnya bertindak. Ayahanda itu sudah banyak mempunyai selir. Kalau hal ini tetap berlanjut, wibawanya bisa jatuh. Bukannya mustahil para pembesar kerajaan akan membelot jika Ayahanda Prabu tidak memberikan contoh yang baik,” jelas Raden Sangga Alam.

“Apa yang bisa Bunda lakukan, Anakku?” suara Permaisuri Pramita Wardani terdengar pasrah.

“Bicara.”

“Tidak ada gunanya. Kanda Prabu sangat berkuasa. Tidak ada seorangpun yang bisa menentang segala kata dan perbuatannya. Kau ingin Bunda bernasib sama dengan mendiang ibumu? Tidak, Anakku. Bunda tidak ingin meninggalkanmu bersama serigala-serigala itu. Selama aku masih hidup, tidak ada yang bisa mencelakakanmu,” halus, tapi terdengar tegas kata-katanya.

“Maafkan Nanda, Bunda. Bukan maksud Nanda ingin menggurui. Tapi Nanda tidak bisa terus menerus melihat Bunda begini. Nanda hanya ingin melihat Bunda tersenyum bahagia,” kata Raden Sangga Alam.

“Bunda sudah bahagia, Anakku. Bunda selalu tersenyum bila bersamamu. Hanya kau yang bisa membuat Bunda bahagia, Anakku.”

“Hhh… kalau saja Gusti Ratu Kunti Boga tidak tergulingkan…” desah Raden Sangga Alam bergumam lirih.

“Untuk apa kau berkata demikian?” tegur Permaisuri Pramita Wardani.

“Bunda! Apakah keadaan ini bisa berubah jika Gusti Ratu Kunti Boga keluar dari kamar tahanan bawah tanah?” tanya Raden Sangga Alam.

“Entahlah…” desah Permaisuri Pramita Wardani.

“Kerajaan Gantar Angin bakal runtuh kalau keadaannya seperti ini terus.”

“Sudahlah, Anakku. Kau tidak perlu memikirkan kerajaan. Aku tak mau kehilanganmu. Penderitaanku sudah cukup, dan tidak ingin menambahnya lagi. Kau mengerti maksud Bunda, Anakku?”

Raden Sangga Alam mengangguk pelan.

“Pergilah istirahat. Kau pasti lelah.”

Raden Sangga Alam membungkuk memberi hormat, lalu melangkah pergi meninggalkan kaputren. Sementara Permaisuri Pramita Wardani tetap duduk sendiri di taman kaputren. Dayang-dayang kembali menghampirinya setelah Raden Sangga Alam lenyap di balik dinding taman kaputren.

*******************

Raden Bantar Gading melampiaskan kemarahannya pada para pekerja di Bukit Batu. Tidak kurang dari sepuluh orang pekerja, tewas terbabat pedangnya. Bahkan para prajurit yang mencoba untuk meredakan amarahnya, tidak luput dari amukan. Tiga orang prajurit luka parah. Raden Bantar Gading benar-benar marah, kecewa dan sakit hati melihat ayahnya bergumul dengan perempuan lain.

Dia tidak akan ambil peduli jika Ayahandanya bergumul bersama selir. Tapi yang dilihatnya bukan selir, melainkan seorang perempuan yang juga pernah tidur bersamanya. Kemarahannya semakin memuncak ketika mendengar semua percakapan ibunya dengan Raden Sangga Alam.

Dia memang sengaja menyelinap kembali ke kaputren begitu melihat Raden Sangga Alam datang ke taman itu. Hatinya benar-benar terluka melihat kepasrahan ibunya terhadap tindakan suaminya yang sering bermain cinta dengan wanita lain. Meskipun dia sendiri juga gemar dengan wanita-wanita cantik, tapi sulit rasanya untuk menyakiti wanita agung dan suci seperti ibunya.

“Raden…!”

Raden Bantar Gading menoleh. Pedangnya yang sudah terangkat tinggi dan siap untuk dibabatkan ke leher salah seorang pekerja, berhenti di atas kepalanya. Kedua bola matanya berbinar merah melihat Patih Luminta sudah berada tidak jauh dari situ.

“Hentikan, Raden. Tidak ada gunanya membantai mereka. Hentikan, Raden,” pinta Patih Luminta seraya melangkah pelan-pelan mendekati.

Raden Bantar Gading membalikkan tubuhnya. Pedangnya menyilang di depan dada. Kedua bola matanya tetap merah menyala menatap tajam Patih Luminta. “Jangan coba-coba membujukku, Paman Patih!” dengus Raden Bantar Gading.

“Percayalah, Raden. Semua akan beres tanpa harus mengumbar nafsu amarah. Kita bisa bicarakan hal ini baik-baik,” kata Patih Luminta tetap membujuk.

“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Paman Patih!”

“Raden…”

“Pergi! Atau pedangku yang akan mengusirmu!” bentak Raden Bantar Gading.

Patih Luminta berusaha membujuk, dan semakin dekat dengan pemuda itu. Raden Bantar Gading menunjuk dada laki-laki setengah baya dengan ujung pedangnya.

”Selangkah lagi kau mendekat, pedang ini akan mengoyak jantungmu!” ancam Raden Bantar Gading.

Patih Luminta berhenti melangkah. Dipandanginya orang-orang yang berada di sekitarnya. Juga para prajurit yang mulai berjaga-jaga. Laki-laki setengah baya itu mengegoskan kepalanya sedikit. Dan prajurit prajurit itu segera memerintahkan para pekerja untuk menyingkir.

Tidak lama, terdengar derap langkah kaki kaki kuda mendekati Puncak Bukit Batu. Raden Bantar Gading menoleh. Patih Luminta juga mengarahkan pandangannya ke lereng bukit. Tampak serombongan prajurit berkuda mengawal Prabu Abiyasa. Delapan orang jago bayaran dari tanah seberang juga ikut bersama rombongan itu.

Prabu Abiyasa mengangkat tangannya ke atas. Para prajurit pengawal dan delapan orang jago dari seberang menghentikan lari kudanya. Prabu Abiyasa segera melompat dari punggung kuda hitam itu. Dua orang jago bayaran mengikutinya. Mereka berdiri di samping kanan dan kiri Prabu Abiyasa.

“Bantar Gading! Apa yang kau lakukan di sini, heh?” bentak Prabu Abiyasa.

Prabu Abiyasa merayapi beberapa orang yang tergeletak tak bernyawa lagi. Bahkan tiga orang prajurit tengah mengerang dengan tubuh bersimbah darah. Tatapan matanya tajam menusuk ke bola mata Raden Bantar Gading. Dia melangkah mendekat, tapi Raden Bantar Gading mengarahkan ujung pedangnya pada Raja Abiyasa itu.

“Jangan mendekat! Kau bukan ayahku!” bentak Raden Bantar Gading.

“Patih…!” Prabu Abiyasa membentak keras, tanpa menghiraukan ucapan Raden Bantar Gading.

“Hamba, Gusti Prabu…” Patih Luminta mendekat seraya membungkukkan badannya.

“Apa yang kau lakukan terhadap anakku?” tanya Prabu Abiyasa berang.

“Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak melakukan apa-apa. Hamba juga tidak tahu, mengapa Raden Bantar Gading mengamuk dan membantai para pekerja,” sahut Patih Luminta bergetar suaranya.

Prabu Abiyasa mengalihkan pandangannya ke arah Raden Bantar Gading. Sedangkan pemuda itu hanya membalas dengan tatapan dingin, penuh rasa kebencian. Agak bergetar juga hati Prabu Abiyasa melihat tatapan itu.

“Ijinkan hamba untuk meredakan amarahnya, Gusti Prabu.” Kata Patih Luminta.

Prabu Abiyasa tidak menjawab. Dia berbalik, lalu melompat ke punggung kudanya. Sebentar dia menatap Patih Luminta, kemudian beralih pada Raden Bantar Gading.

“Kalian berdua jaga di sini!” perintah Prabu Abiyasa menunjuk dua orang jago dari seberang. Tatapannya kembali mengarahkan pada Patih Luminta. “Bawa dia ke istana. Aku tidak perduli dengan caramu!”

“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Patih Luminta.

Prabu Abiyasa memutar kudanya, lalu menggebahnya meninggalkan Bukit Batu. Patih Luminta berbalik memandang Raden Bantar Gading. Pemuda itu masih menghunus pedangnya di depan dada. Tatapan matanya tetap tajam menusuk. Sementara dua jago dari sebrang melangkah mendekati Patih Luminta.

“Sarungkan kembali peedangmu, Raden. Hamba bersedia mendengar semua keluhan Raden,” bujuk Patih Luminta lagi.

Trek!

Raden Bantar Gading menyarungkan pedangnya. Raut wajahnya masih merah meyimpan amarah. Dia berbalik dan melangkah tanpa bicara sedikitpun. Patih Luminta bergegas mengikuti dari belakang. Sempat diperintahkan pada para prajurit untuk kembali menyuruh orang-orang bekerja.

“Raden…!” panggil Patih Luminta terus melangkah cepat membuntuti.

Raden Bantar Gading tidak menyahut. Dia terus saja melangkah menghampiri kudanya, kemudian melompat naik ke atasnya. Sekali gebah saja, kuda putih itu berlari cepat membelah angin. Patih Luminta langsung melompat ke punggung kudanya, dan menggebah mengikuti Raden Bantar Gading. Sementara para pekerja kembali bekerja memecah batu. Para prajurit juga kembali mengawasi. Beberapa orang mengurus mayat yang bergelimpangan terkena amukan Raden Bantar Gading. Tidak ada seorangpun yang menyadari kalau semua kejadian di situ disaksikan beberapa pasang mata dari tempat yang cukup tersembunyi.

EMPAT

Empat orang yang mengintai dari tempat cukup tersembunyi itu adalah Ki Maruta, Mayang, dan dua orang pemuda yang menyandang pedang di pinggangnya. Mereka mendengar semua pembicaraan dan mengetahui kejadian yang berlangsung di Bukit Batu. Ki Marutamemandang Mayang yang sejak tadi tidak berkata sedikitpun.

“Bagaimana kau bisa mempengaruhi Raden Bantar Gading, Mayang?” tanya Ki Maruta.

Mayang menarik nafas panjang, dan hanya menoleh pada laki-laki tua di sampingnya. Tanpa menjawab pertanyaan itu, Mayang bangkit dan melangkah pergi. Ki Maruta berpesan pada dua pemuda tadi agat tetap mengawasi Bukit Batu. Bergegas diikutinya wanita cantik berbaju merah itu. Mayang menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon cemara yang cukup besar. Ki Maruta berdiri di depannya. Matanya merayapi wajah wanita yang berniat bergabung bersamanya.

“Maaf kalau pertanyaanku menyinggung perasaanmu,” kata Ki Maruta.

“Tidak apa,” sahut Mayang mendesah.

“Seharusnya aku memang tidak berkata begitu,”

Mayang melemparkan senyumnya. “Tidak kusangka kalau Raden Bantar Gading terpengaruh oleh kata-kataku. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa melakukannya. Hhh…!” Mayang menarik nafas panjang. Dia teringat saat-saat manis bersama Raden Bantar Gading.

Masa-masa yang tidak pernah terlupakan. Saat itu hatinya selalu berperang antara cinta.dan tugas yang diberikan seorang laki-laki misterius yang selalu dipanggilnya Eyang. Sampai saat ini pun dia tidak tahu maksud laki-laki berjubah hitam itu. Dia mencintai Raden Bantar Gading, tapi perintah laki-laki berjubah hitam itu selalu terngiang di telinganya.

Sejak kecil dia dijejali dengan cerita tentang keluarga Ratu Kunti Boga. Dan laki-laki berjubah hitam itu selalu mengatakan kalau dirinya adalah puteri Ratu Kunti Boga. Ayahnya terbunuh. Bahkan banyak saudaranya ikut terbunuh atau ditawan di dalam kamar tahanan bawah tanah. Semua itu dilakukan Prabu Abiyasa. Yang paling meyedihkan, kakak laki-lakinya tewas di tangan Raden Bantar Gading di dalam penjara.

Semua cerita itu diperoleh Mayang dari laki-laki misterius berjubah hitam. Mayang memang sempat terpengaruh, lalu membenci Raden Bantar Gading. Tapi semuanya jadi pupus ketika seorang pendekar muda datang membeberkan apa adanya. Tentang laki-laki misterius berjubah hitam yang sebenarnya, sampai saat ini Mayang masih belum mengerti. Untuk apa Panglima Nampi menyamar sebagai seorang misterius? Mengapa dia mengajarkan ilmu olah kanuragan dan menjejalinya dengan cerita cerita yang membuatnya seperti orang lain, bukan dirinya sendiri?

“Mayang…”

“Oh!” Mayang tersentak dari lamunannya.

“Kau melamun?” tegur Ki Maruta.

“Oh… ehm…” Mayang jadi tergagap.

“Aku berterima kasih karena kau telah berhasil memecah-belah keluarga Prabu Abiyasa. Siapapun adanya kau, aku berterima kasih sekali. Keadaan ini bisa melemahkan pertahanan mereka. Sekarang, tugasku adalah menghasut para prajurit yang masih setia kepada Gusti Ratu Kunti Boga atau para pembesar yang kini masih berada di lingkungan istana,” ujar Ki Maruta.

Mayang hanya diam saja. Dia tidak tahu, apakah saat ini harus gembira, atau harus sedih melihat Raden Bantar Gading terguncang jiwanya. Padahal semua yang dikatakannya hanya rekaan saja. Tidak ada kebenarannya sama sekali. Tapi dia sendiri tidak tahu, kejadiannya yang sesungguhnya, sehingga Raden Bantar Gading bisa demikian murkanya. Bahkan tidak mau mengakui ayahnya lagi!

“Tidak lama lagi, tahta Prabu Abiyasa akan runtuh. Dengan demikian kau bisa mengetahui dirimu yang sebenarnya setelah kami dapat menyelamatkan Gusti Ratu Kunti Boga dan Panglima Nampi,” jelas Ki Maruta lagi.

“Terima kasih, Ki,” hanya itu yang bisa diucapkan Mayang. Saat ini dia tidak lagi peduli tentang dirinya yang sebenarnya. Putri Ratu Kunti Boga atau bukan, masa bodoh! Yang jelas, tekadnya adalah meninggalkan Gantar Angin setelah semua kemelut ini berakhir. Dia ingin menjadi dirinya sendiri. Tidak akan terpengaruh pada omongan orang lain lagi.

“Ayo, kita kembali ke Hutan Danaraja. Tidak mungkin kita membebaskan rakyat yang dipaksa bekerja di sana sekarang ini. Kita cari kesempatan lain lagi,” kata Ki Maruta.

Mayang hanya mengangguk saja, kemudian kakinya terayun meninggalkan tempat itu. Ki Maruta bergegas kembali menemui dua orang pemuda yang bertugas mengamati keadaan di sekitar Bukit Batu. Dia ingin mengajak dua orang pemuda itu untuk kembali ke Hutan Danaraja, tempat mereka berkumpul menyusun kekuatan untuk menggulingkan tahta Prabu Abiyasa.

Saat itu, matahari sudah condong ke barat. Dan rakyat yang bekerja paksa memecah batu di Bukit Batu mulai berbenah diri untuk kembali ke barak. Sementara sebagian prajurit juga sudah kembali ke tenda masing-masing. Tak terlihat wajah ceria di antara sekian banyak orang itu. Bahkan para prajurit pun tidak menampakkan wajah yang menyenangkan. Mungkin mereka jenuh, karena seharian hanya berdiam diri tanpa melakukan sesuatu di atas bukit yang gersang dan panas ini.

*******************

Susah payah Patih Luminta membujuk, dan pada akhirnya Raden Bantar Gading bersedia kembali ke istana. Tapi Raden Bantar Gading tetap tidak ingin bertemu ayahnya, meskpun ibunya sendiri ikut membujuk. Masih terngiang kata-kata Mayang padanya. Semula hal itu hanya dianggap sebuah lelucon yang tidak lucu. Tapi setelah melihat dengan mata kepala sendiri, hatinya kontan berontak.

“Aku mengatakan yang sebenarnya, Raden. Aku terpaksa melakukan karena Prabu Abiyasa mengancam. Dia tidak mengijinkan hubungan kita kalau aku tidak bersedia melayaninya,” cerita Mayang waktu itu.

“Tidak mungkin, Mayang. Aku tahu betul, tidak mungkin Ayahanda akan melakukan seperti yang kau ceritakan. Selirnya banyak dan cantik-cantik.” Bantah Raden Bantar Gading.

“Itu hakmu untuk tidak percaya, Raden. Tapi aku paham benar dengan watak ayahmu. Bahkan aku tahu siapa kau sebenarnya. Kau bukan putra Prabu Abiyasa! Putra yang sebenarnya adalah Raden Sangga Alam. Kau hanya anak angkat, Raden.”

“Hhh! Hebat sekali olok-olokmu, Mayang.”

“Kau boleh percaya atau tidak. Terserah. Kalau bukan ayahmu sendiri yang cerita padaku, mana aku percaya? Katanya kau bukan anaknya, oleh sebab itu aku tidak pantas untukmu! Kau bukan pewaris tahta Kerajaan Gantar Angin.”

“Ah, sudahlah, Mayang. Tidak lama lagi aku akan meduduki tahta, dan kau akan menjadi permaisuriku. Sudahlah! Hentikan olok-olokmu,” Raden Bantar Gading tidak percaya.

“Kalau ternyata benar…?”

Raden Bantar Gading hanya tertawa saja. Hal itu hanya dianggap sebuah lelucon yang tidak lucu. Tapi kini kata-kata itu kembali terngiang. Padahal dia telah melupakannya. Raden Bantar Gading menutup muka dengan kedua tangannya.

“Mayang….” Rintihnya lirih. “Maafkan aku, Mayang. Aku terlalu kasar dan terlalu menganggapmu rendah. Kau benar, Mayang. Aku, Ayahku, lebih kotor dari padamu.

Oh….” Rintih Raden Bantar Gading.

Raden Bantar Gading menengadahkan kepalanya. Tampak kedua matanya berkaca kaca. Disesali segala tindak-tanduknya terhadap wanita yang selama ini telah mengisi hidupnya. Wanita yang selalu memperhatikan dengan curahan kasih dan cinta yang murni. Raden Bantar Gading mengutuki dirinya sendiri.

Penyesalan memang datangnya selalu belakangan. Selama ini Raden Bantar Gading selalu menganggap dirinya mulia dan paling tinggi derajatnya, sehingga bisa melakukan apa saja sekehendak hati. Setiap kata yang terucap merupakan perintah yang harus ditaati. Segala keinginannya harus dituruti. Siapa saja yang berani membangkang, pedangnya selalu bicara. Tidak terhitung lagi, berapa nyawa melayang di tangannya. Berapa gadis yang menjadi korban nafsunya. Tapi dari sekian banyak wanita yang pernah dekat dengannya, hanya Mayang yang menjadi perhatiannya. Dan Raden Bantar Gading pun menaruh simpati pada wanita itu. Hanya karena keangkuhannya sehingga dia tidak mengakui secara jujur.

“O, Tuhan…..ampunlah segala dosaku,” kembali Raden Bantar Gading mengaluh lirih.

Raden Bantar Gading menoleh ketika telinganya mendengar langkah kaki menghampiri. Kembali dipalingkan mukanya begitu melihat Raden Sangga Alam menghampiri. Sebentar ditarik napas panjang dan dalam. Dengan punggung tangan, dihapus air bening yang mengalir dari sudut matanya. Tak terasa dia telah menangis menyesali segala perbuatannya.

“Boleh aku bicara padamu, Kakang?” lembut suara Raden Sangga Alam.

Raden Bantar Gading tidak menjawab dan hanya menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Jarang sekali mereka berdua saling bicara. Raden Bantar Gading tidak berpaling sedikitpun. Hatinya merasa malu berhadapan dengan pemuda yang selalu disisihkan dan direndahkannya selama ini.

“Sudah tiga hari ini Kakang tidak mau keluar. Bahkan tidak bersedia bertemu dengan seorangpun. Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Kakang?” tanya Raden Sangga Alam tetap lembut suaranya.

“Pergilah….” Desah Raden Bantar Gading.

“Kakang juga tidak bersedia bicara denganku?”

Lagi-lagi Raden Bantar Gading menarik napas panjang.

“Aku datang bukan untuk membujukmu, Kakang. Sama sekali tidak ada niatan di hatiku. Rasanya sudah lama kita tidak saling bicara. Bagaimanapun juga, kita bersaudara satu Ayah. Saat ini kau sedang mengalami kesusahan, aku juga turut merasakan kesusahanmu, Kakang,” tetap lembut suara Raden Sangga Alam.

“Ah…” desah Raden Bantar Gading.

Kata-kata adik tirinya membuatnya semakin terenyuh. Tanpa berkata apa-apa lagi, Raden Bantar Gading bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan taman itu. Raden Sangga Alam hanya dapat memandang kosong. Hatinya penuh berbagai macam perasaan yang sulit diungkapkan.

*******************

Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, Raden Bantar Gading telah memacu kudanya keluar dari Istana Gantar Angin. Keputusannya mantap untuk meninggalkan segala yang dimiliki dan dinikmati. Tekadnya bulat. Dia harus menemukan kembali wanita yang selama ini telah mengisi hari-harinya. Wanita yang begitu memperhatikannya.

“Raden….tunggu!”

Raden Bantar Gading terkejut ketika mendengar suara panggilan dari belakang. Padahal dia baru saja melewati pintu gerbang istana. Terpaksa dihentikannya laju kudanya, dan menoleh. Tampak Patih Luminta memacu cepat kudanya.

“Raden…. Raden akan ke mana?” tanya Patih Luminta.

“Pergi,” sahut Raden Bantar Gading singkat. Kembali dipacu kudanya dengan cepat.

Patih Luminta mengikuti memacu kudanya di samping pemuda itu. Sebentar dia menoleh ke belakang. Tampak dua perajurit yang berdiri di samping pintu gerbang tengah memandanginya. Sementara Raden Bantar Gading terus memacu kudanya dengan kecepatan sedang tanpa menoleh sedikitpun.

“Ke mana tujuan Raden?” tanya Patih Luminta.

“Ke mana saja aku suka,” dingin jawaban Raden Bantar Gading. “Kenapa kau mengikutiku?”

“Hamba akan menyertai perjalanan Raden,” sahut Patih Luminta.

”Kembali saja ke istana, Paman. Tidak ada gunanya kau mengikutiku.”

“Ke mana pun Raden pergi, hamba tetap akan mengikuti. Hamba tidak peduli seandainya Gusti Prabu murka. Hamba siap menyabung nyawa demi Raden,” tegas kata-kata Patih Luminta.

Raden Bantar Gading menghentikan laju kudanya. Tatapan matanya tajam, menembus langsung ke bola mata laki-laki setengah baya itu. “Sebaiknya Paman kembali saja. Prabu Abiyasa tidak akan tinggal diam. Aku tidak ingin Paman berkorban untukku,” kata Raden Bantar Gading pelan. Hatinya terharu dengan kesetiaan patih ini.

“Hamba tidak peduli, meskipun Gusti Prabu mengerahkan jago-jago dari tanah seberang. Hamba tetap akan setia pada Raden,” tegas jawaban Patih Luminta.
“Selama ini banyak orang yang mengepalkan tangan dibelakangku. Sukar rasanya menerima kesetiaanmu, Paman. Aku bukan orang yang pantas diberi kemuliaan setinggi itu,” lirih suara Raden Bantar Gading.

“Raden terlalu berperasangka terhadap orang lain. Masih banyak orang yang setia dan menyukai Raden. Hanya mereka yang tidak tahu saja yang membenci Raden.” Kata-kata Patih Luminta bernada menghibur.

Raden Bantar Gading hanya tersenyum saja, dan kembali melajukan kudanya. Patih Luminta juga mengikuti dan mensejajarkan langkah kudanya di samping Raden Bantar Gading. Sementara matahari mulai mengintip dari balik Bukit Cemara. Cahayanya yang merah jingga begitu lembut menyapa datangnya fajar. Burung-burung telah sejak tadi meninggalkan sarangnya.

Raden Bantar Gading terus menjalankan kudanya tanpa arah tujuan pasti. Diikuti ke mana langkah kaki kuda menapak. Sementara jalan yang dilalui mulai menyempit. Rumah-rumah mulai jarang terlihat. Sepanjang jalan yang dilalui hanya pohon dan lebatnya semak belukar.

“Raden, bukankah ini Hutan Danaraja…?” pelan suara Patih Luminta.

Raden Bantar Gading kembali menghentikan kudanya. Baru disadarinya kalau sudah mencapai Hutan Danaraja, tempat bersarang pada pemberontak. Belum sempat menyadari lebih lanjut, mendadak sebuah anak panah melesat cepat bagai kilat ke arah Raden Bantar Gading.

“Raden, awas….!” Seru Patih Luminta.

“Hup, hiyaaa…!”

Raden Bantar Gading melenting dari punggung kuda putihnya. Anak panah itu terus melesat lewat di bawah kakinya. Dan begitu kakinya menjejakkan ke tanah, sebatang tombak panjang menyambutnya. Raden Bantar Gading menarik tubuhnya ke samping. Dengan tangkas sekali tangannya menyambut tongkat itu.

Tap!

Tombak sepanjang dua kali tinggi manusia dewasa itu berhasil ditangkap dengan manis. Raden Bantar Gading memutar tombak itu dan melemparkannya ke arah datangnya tombak. Lemparan dengan pengerahan tenaga dalam mengakibatkan tombak meluncur deras.

Srak!

“Aaa…!”

Terdengar satu jeritan melengking menyayat. Sesosok tubuh tersungkur keluar dari semak belukar. Tubuhnya terhunjam tombak yang hampir mengenai Raden Bantar Gading. Tidak berapa lama, dari balik gerumbul semak dan pepohonan bermunculan orang-orang bersenjata tombak, golok dan pedang. Daun daun pepohonan tersibak, dan di atas dahan pohon sudah siap beberapa orang dan anak panah terpasang di busur.

Raden Bantar Gading dan Patih Luminta baru menyadari kalau mereka sudah terkepung. Rasanya tidak mudah untuk dapat keluar dari kepungan yang amat rapat ini. Raden Bantar Gading memandang berkeliling. Tidak kurang dari lima puluh orang mengepung dengan senjata terhunus. Itu pun masih ditambah dua puluh lima orang yang telah siap dengan panah di tangan.

“Tidak ada jalan lain untuk lolos, Raden.” Desah Patih Luminta berbisik. Dia sudah berada di samping Raden Bantar Gading.

Belum sempat Raden Bantar Gading menjawab, dari arah depan muncul lima orang laki-laki dan seorang wanita berbaju merah muda. Raden Bantar Gading terbeliak melihat wanita cantik baju merah mdua itu.

“Mayang….” Desis Raden Bantar Gading.

“Kau sudah terkepung, Raden. Sekali bergerak, nyawamu bisa melayang!” terdengar suara dingin dan datar.

Raden Bantar Gading memandang laki-laki tua yang berbicara tadi. Dia ingat betul, siapa laki-laki tua itu. dia adalah seorang pekerja yang hampir mati di tangannya, kalau saja Raden Sangga Alam tidak menolong. Siapa lagi kalau bukan Ki Maruta.

“Masih ingat dalam ingatanku semua yang kau lakukan terhadap diriku dan seluruh keluargaku,” kata Ki Maruta, agak bergetar suaranya.

“Masih ingat denganku, Raden?” seorang laki-laki yang tangannya buntung ikut bicara.

Raden Bantar Gading mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang tangannya buntung sampai ke bahu. Usianya hampir sebaya dengannya. Dia ingat, laki-laki itu bernama Jalak Sewu. Tangannya buntung karena terbabat pedangnya, ketika Jalak Sewu menolak untuk bekerja di Bukit Batu. Jalak Sewu sebenarnya putra seorang pembesar istana yang setia kepada Ratu Kunti Boga. Seluruh keluarganya habis terbantai. Hanya dia yang masih selamat.

Raden Bantar Gading juga kenal dengan tiga orang lainnya. Mereka dalah bekas panglima setia Ratu Kunti Boga. Dan Ki Maruta sendiri sebenarnya adalah bekas penasehat pribadi Ratu Kunti Boga yang sempat melarikan diri saat Prabu Abiyasa menyerbu dan menggulingkan tahta Kerajaan Gantar Angin.

Pandangan mata Raden Bantar Gading beralih pada satu-satunya wanita yang berdiri di antara lima orang laki-laki pemimpin pemberontak itu. Wanita yang amat dikenalnya, sekaligus mengisi hari-harinya selama ini. Wanita yang selalu dirindukan dalam beberapa hari belakangan ini. Mayang membalas tatapan mata pemuda itu dengan berbagai perasaan bergejolak di hatinya.

“Aku tahu, kalian benci dan dendam padaku. Kalian selalu menginginkan kematianku. Nah kesempatan sudah ada, ayo! Bunuh aku! lantang suara Raden Bantar Gading.

Semua orang yang ada di situ terperanjat ketika Raden Bantar Gading meloloskan pedang dan melemparkannya ke depan. Juga, melepaskan baju luarnya dan dicampakkan begitu saja. Tampak pada pinggangnya berbaris pisau kecil dan sebuah kantung dari perunggu. Semua senjata yang melekat di tubuh Raden Bantar Gading dilepaskannya sendiri.

“Raden….!” Patih Luminta terkejut melihat Raden Bantar Gading tampak pasrah.

“Paman! Kembalilah ke istana dan katakan pada Prabu Abiyasa agar menyerahkan tahta pada Ratu Kunti Boga,” ujar Raden Bantar Gading.

“Raden…” suara Patih Luminta tercekat di tenggorokan.

“Dosa-dosaku sudah terlalu banyak, Paman. Mungkin dengan cara ini sebagian dosaku bisa tertebus,” kata Raden Bantar Gading.

“Kau akan mati dicincang mereka, Raden.”

Raden Bantar Gading tersenyum dan mendorong tubuh Patih Luminta ke samping. Dengan langkah tegap, dia berjalan ke depan. Raden Bantar Gading berdiri tegak dengan dada telanjang. Kedua tangannya merentang ke samping. Sikapnya begitu pasrah.

“Tunggu…!” sentak Mayang ketika Ki Maruta memberi aba-aba pada pasukan panah.

Mayang langsung melompat ke depan, dan berdiri tegak di depan Raden Bantar Gading. Ki Maruta menghentakkan tangannya, maka pasukan panah mengurungkan niatnya untuk membidik. Mayang menghampiri pemuda tampan yang sudah pasrah menjemput maut itu.

“Raden, mengapa ini kau lakukan?” tanya Mayang. Suaranya bergetar agak tertahan.

“Minggirlah, Mayang. Mereka menginginkan nyawaku. Kau pun juga ingin melihat kematianku, bukan? Minggirlah, tidak ada gunanya kau menyelamatkan diriku,” kata Raden Bantar Gading tegas.

“Tidak! Kau tidak boleh mati!” sentak Mayang histeris.

“Mayang…!” seru Ki Maruta.

Mayang membalikkan tubuhnya. “Jika kalian ingin membunuhnya, bunuh aku sekalian!” lantang suara Mayang.

“Kau gila, Mayang!” desis Ki Maruta.

“Sudah kukatakan pada kalian, Raden Bantar Gading tidak jahat! Semua yang dilakukannya hanya karena tekanan dari Prabu Abiyasa!” kata Mayang lantang.

“Omong kosong! Kau jangan coba-coba membelanya, Mayang! Minggirlah!” desis Ki Maruta.

“Mereka benar, Mayang. Pergilah! Tidak ada gunanya kau melindungiku,” pinta Raden Bantar Gading pelan.

“Tidak! Kau tidak boleh mati! Katakan pada mereka kalau kau melakukan semua itu karena terpaksa! Kau takut kehilangan tahta. Katakan pada mereka, Raden. Katakan…!” seru Mayang keras.

“Tidak ada gunanya lagi, Mayang. Semuanya sudah berakhir.”

“Raden… kau…” Mayang menatap wajah Raden Bantar Gadig lekat-lekat.

Belum penah Mayang melihat Raden Bantar Gading seperti ini. Pasrah dan lemah tanpa daya. Seolah-olah dia tidak lagi melihat sosok Raden Bantar Gading yang keras, garang, tegas dan tidak mengenal rasa takut. Sosok yang tidak penah menyerah dengan segala yang terjadi. Tapi sekarang….. rasanya Mayang tidak melihat Raden Bantar Gading seperti yang penah dikenal, dicintai dan dirindukannya, meskipun ada sedikit kebencian di dalam hatinya.

Saat itu Ki Maruta sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dan dua puluh lima orang yang berada di atas pohon, segera siap dengan anak panah terbidik ke arah Raden Bantar Gading. Mereka tinggal menunggu perintah. Sementara Patih Luminta tidak bisa berbuat banyak. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya pun juga bergetar, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu.

LIMA

“Raden….” Suara Mayang tersedak.

“Mundurlah, Mayang. Jangan menangis! Aku mencintaimu,” ucap Raden Bantar Gading lembut.

Jalak Sewu menghampiri Mayang dan mencekal tangannya. Dibawanya Mayang menjauh dari tempat itu. Mayang ingin memberontak, tapi tak kuasa melakukannya. Matanya mulai menitikkan air bening. Sedangkan Raden Bantar Gading hanya tersenyum tenang memandang wanita yang dicintainya itu.

“Tidak…” desis Mayang lirih.

Ki Maruta menghentakkan tangannya ke bawah. Pada saat itu pula dua puluh lima orang langsung melepaskan anak panahnya, dan meluncur keras ke arah tubuh Raden Bantar Gading yang sudah pasrah menerima hukuman itu.

Raden Bantar Gading memejamkan matanya rapat-rapat. Tepat pada saat ujung-ujung anak panah hampir menyentuh tubuhnya, sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar tubuh Raden Bantar Gading. Dua puluh lima anak panah menghujam tanah tempat Raden Bantar Gading berdiri.

“Pendekar Pulau Neraka…!” semua orang yang berada di Hutan Danaraja itu terkejut.

Raden Bantar Gading membuka matanya. Dipandanginya pemuda tampan berbaju kulit harimau di sampingnya. Dia seperti tidak percaya kalau dirinya masih hidup. Sementara pemuda tampan berbaju kulit harimau berdiri tegak, dan melangkah tegak ke depan. Matanya tajam merayapi sektiarnya. Dua puluh lima orang di atas pohon sudah kembali menyiapkan panah.

Pemuda tampan berbaju kulit harimau yang memang adalah Bayu Hanggara itu menatap tajam pada Ki Maruta. Laki-laki tua itu sedikit bergidik menerima sorot mata tajam Pendekar Pulau Neraka.

“Aku melihat semua yang terjadi, dan aku mendengar semua percakapan kalian. Sungguh sangat disayangkan niat yang suci ternyata ternoda oleh perasaan sakit hati dan dendam,” dingin dan lugas kata-kata Bayu.

“Kisanak! Kau sudah mengatakan tidak akan ikut campur. Sekarang mengapa kau mencampuri urusan kami?” lantang suara Ki Maruta.

“Aku memang tidak akan mencampuri urusan kalian di Gantar Angin ini. Tapi aku tidak bisa diam melihat kekejaman di depan mataku,” sahut Bayu tegas.

“Bukan kami yang kejam, tapi dia!” serobot Jalak Sewu geram. “Kau lihat tanganku buntung akibat perbuatannya!”

“Sudah sepantasnya dia mati, Kisanak! Dia bukan lagi manusia, tapi binatang! Iblis…!” sambung Ki Maruta.

“Kau terlalu berlebihan, Ki Maruta. Raden Bantar Gading masih punya perasaan. Dia berbuat kejam bukan karena dorongan hati atau kemauannya sendiri. Apa kalian semua tidak memperhatikan kata-kata Mayang? Apa kalian semua tidak bisa membedakan antara perbuatan kejam yang dilandasi kemauan hati dengan paksaan?” kata Bayu lantang.

“Kisanak! Meskipun aku bukan orang rimba persilatan, tapi aku sering mendengar sepak terjangmu. Kau bicara seolah-olah sebagai dewa keadilan yang bijaksana. Apa kau tidak merasa tindakanmu melebihi manusia iblis?” kata Ki Maruta dingin.

Merah padam wajah Bayu mendengar kata kata yang dingin dan menyakitkan hati itu. Tapi dia berusaha untuk.tidak cepat terpancing amarahnya. Kalau saja yang berkata tadi musuhnya, mungkin sudah sejak tadi dipecahkan kepalanya.

“Kata-katamu sungguh menyakitkan, Ki Maruta,” Bayu menggeram menahan amarah.

“Lebih menyakitkan lagi jika kau tidak segera menyingkir dari sini!” ancam Ki Maruta.

“Aku memang kejam, Ki Maruta. Tapi aku masih punya hati dan perasaan. Tidak buta seperti kau!”

“Setan! Berani kau menghina Penasehat Pribadi Gusti Ratu Kunti Boga!” geram Ki Maruta.

“Kau bukan lagi Penasehat Ratu, tapi orang sakit yang haus kekuasaan!” sinis kata-kata Bayu.

“Beludak! Monyet buntung…! Kubunuh kau, keparat!” Ki Maruta tidak bisa lagi menahan marah. “Serang dia!”

Dua puluh lima anak panah langsung muntah dengan cepat. Bayu Hanggara mendorong tubuh Raden Bantar Gading, dan dengan cepat dikibaskan tangan kanannya. Cakra Maut berwarna keperakan meluncur dan berputar cepat menghancurkan anak-anak panah itu. Lesatan senjata aneh itu demikian cepat, sehingga dalam waktu sekejap dua puluh lima batang anak panah rontok sebelum mencapai sasaran. Bayu melipat tangannya di depan dada begitu senjatanya menempel di pergelangan tangan.

“Mayang, bawa Raden Bantar Gading pergi dari sini,” kata Bayu tegas.

“Kakang…” suara Mayang tercekat.

“Aku akan menyusul. Cepat!”

Mayang memunguti senjata dan baju Raden Bantar Gading yang berserakan di tanah. Kemudian dia menggamit tangan Raden Bantar Gading. Patih Luminta segera menyiapkan kuda dan membawanya pada Raden Bantar Gading.

“Serang! Jangan biarkan keparat itu lolos!” seru Ki Maruta lantang.

Raden Bantar Gading yang sudah berada di atas punggung kudanya, lengsung menarik tangan Mayang. Begitu Mayang telah berada di punggung kuda bersama Raden Bantar Gading, dengan cepat kuda putih itu melesat pergi. Patih Luminta masih belum menggebah kuda meskipun sudah duduk di atas punggung kudanya.

Lima puluh orang dengan senjata bermacam macam, berlompatan mengejar Raden Bantar Gading. Sedangkan pasukan panah menghujaninya dengan anak panah. Bayu langsung melenting merontokkan semua anak panah itu. sementara sekitar delapan orang sudah menyerang Patih Luminta.

Pendekar Pulau Neraka berlompatan dari satu pohon kepohon lain. Akibatnya tubuh-tubuh itupun melayang dan jatuh ke bawah. Mereka yang berada di atas pohon menjadi sasaran pertama Pendekar Pulau Neraka. Setelah tidak ada lagi orang di atas, pemuda berbaju kulit harimau itu cepat meluruk ke tanah ke arah Patih Luminta yang kini tengah sibuk melayani delapan orang.pengeroyoknya.

“Cepat pergi!” seru Bayu keras seraya menghantamkan pukulannya ke salah seorang yang hampir membabat leher Patih Luminta.

“Hiya…! Hiya…!”

Patih Luminta menggebah kudanya dengan cepat. Kuda berwarna coklat tua belang putih itu langsung melesat cepat. Tapi salah seorang sempat melemparkan tombak. Tak pelak lagi, tombak itu menembus punggung Patih Luminta.

“Aaa…!” Patih Luminta menjerit kesakitan. Hampir saja tubuhnya ambruk ke tanah kalau saja Bayu tidak cepat melompat dan menyambarnya. Pendekar Pulau Neraka itu langsung duduk di atas punggung kuda, dan menggebahnya dengan cepat.

Kuda itu terus berlari cepat. Para pemberontak yang dipimpin Ki Maruta berusaha mengejar sambil melemparkan tombak dan menghujani anak panah. Tapi kuda tunggangan Patih Luminta berlari bagaikan lesatan kilat.
Semua senjata yang dilemparkan tidak mencapai sasaran. Ki Maruta memaki-maki dan mengumpat geram. Kesempatan emas untuk membunuh Raden Bantar Gading menjadi kacau dengan munculnya Pendekar Pulau Neraka. Tidak mudah mendapat kesempatan seperti itu sekali lagi.

Bayu Hanggara menghentikan lari kuda setelah yakin betul tidak ada lagi yang mengejarnya. Bergegas dia melompat turun sambil memondong tubuh Patih Luminta. Tombak yang menancap di punggung laki-laki setengah baya itu masih menembus dadanya. Wajah Patih Luminta sudah pucat pasi, dan napasnya tersendat-sendat.

“Kisanak. Tindakan ini sangat membahayakan dirimu,” kata Patih Luminta tersendat.

“Tenanglah, jangan banyak bicara. Aku akan mencabut tombak ini,” kata Bayu seraya membaringkan tubuh Patih Luminta.

“Percuma Kisanak. Tidak ada gunanya… Ugh, ugh!” Patih Luminta mulai terbatuk, dan wajahnya semakin pucat pasi.

Bayu membaringkan miring laki-laki setengah baya itu. Melihat tombak yang tembus dari punggung ke dada, memang tidak ada harapan lagi bagi Patih Luminta untuk bertahan lama. Sudah pasti tombak telah menyayat jantungnya. Bayu diam tidak bertindak apa-apa. Kalau dicabutnya tombak itu, pasti akan mempercepat kematian Patih Luminta.

“Dengar, Kisanak. Ada sesuatu yang hendak ku sampaikan padamu,” kata Patih Luminta sambil meringis menahan sakit di dada dan punggungnya.

“Katakanlah,” sahut Bayu.

“Semua yang terjadi di Gantar Angin ini hanya kepalsuan belaka. Semua orang hanya berpura-pura. Mereka lupa akan diri masing-masing. Mereka telah menjadi orang lain….” Sambung Patih Luminta.

Bayu mengerutkan keningnya. Agak terkejut juga mendengar kata-kata Patih Luminta.

“Kau tidak akan bisa mencari kebenaran di sini. Tidak ada kebenaran dan keadilan di sini. Semuanya palsu dan hanya kepura-puraan yang kau dapatkan,” sambung Patih Luminta.

“Aku tidak mengerti maksudmu, Paman?”

“Aku tahu, sebenarnya kau tengah berusaha mengetahui siapa Mayang sesungguhnya. Kau telah dapatkan orang yang tepat untuk memperoleh keterangan tengang Mayang. Hanya saja orang itu tidak berkata jujur padamu. Bahkan berusaha memperalatmu untuk maksud dan tujuan pribadinya.”

Bayu terdiam menunggu.

“Mayang sebenarnya bukan putri Gusti Ratu Kunti Boga. Dia anak tunggal Ki Maruta….” Lanjut Patih Luminta.

“Benarkah itu, Paman?” Bayu hampir tidak percaya mendengarnya.

“Aku berkata yang sebenarnya, Anak Muda.”

“Lalu, bagaimana sampai bisa terjadi demikian?”

“Ketika Prabu Abiyasa memberontak dan menggulingkan tahta Gusti Ratu Kunti Boga, banyak pembesar dan panglima yang ikut memberontak. Gusti Ratu Kunti Boga berhasil ditawan. Sedangkan suaminya tewas di tiang gantungan. Di samping itu putri satu-satunya yang masih berusia tujuh tahun, lenyap entah ke mana. Hanya satu yang selamat. Dia seorang putra yang baru berusia tiga bulan….”

“Teruskan,” desak Bayu.

“Prabu Abiyasa sama sekali tidak mempunyai seorang putra. Waktu itu aku dan dia mengikat janji. Jika Kerajaan Gantar Angin berhasil direbut, maka anak tunggalku kelak harus menduduki tahta putra mahkota. Prabu Abiyasa setuju. Oleh sebab itulah dia mengangkat anakku menjadi anaknya. Dan aku sendiri diangkat menjadi patih.”

“Siapa nama anakmu?”

“Bantar Gading.”

“Ohhh…”

Patih Luminta terbatuk tiga kali. Keadaannya semakin lemah. Darah terus mengucur deras tak terbentung. Tapi dia masih berusaha bertahan. Dengan suara lemah dan tersendat, kembali diteruskan ceritanya.

“Ahli waris Kerajaan Gantar Angin yang syah, sebenarnya Raden Sangga Alam. Dialah putra Gusti Ratu Kunti Boga yang saat itu baru berusia sekitar tiga bulan. Gusti Permaisuri Pramita Wardani menghendaki anak itu, dan Prabu Abiyasa tidak keberatan. Itu pun setelah aku menyetujuinya, mengingat Raden Sangga Alam tidak tahu menahu tentang semua yang terjadi….” Kembali Patih Luminta terbatuk.

“Apakah Ratu Kunti Boga masih hidup?” tanya Bayu.

“Tidak! Dia sudah meninggal dua tahun yang lalu di dalam kamar tahanan bawah tanah.”

“Lalu, Panglima Nampi?”

“Tidak seorangpun dibiarkan hidup jika dianggap pengkhianat dan bermaksud memberontak. Mungkin Panglima Nampi sudah dihukum mati malam itu juga saat dipergoki berada di rumah Ki Maruta, yang sudah lama dicurigai sebagai pemimpin pemberontak.”

“Apakah Ki Maruta tahu kalau Ratu Kunti Boga sudah tiada?” tanya Bayu lagi.

“Sebenarnya dia tahu.”

“Aneh…. Kenapa dia masih menganggap Ratu Kunti Boga masih hidup. Lagi pula, untuk apa dia tidak mengakui Mayang anaknya?” tanya Bayu.

“Dengar, Bayu. Semua itu hanya siasat saja. Ki Maruta menginginkan anaknya menguasai Gantar Angin. Dan dia memperalat… Akh…!”

“Paman…..! Paman…..!”

Bayu terduduk lemas. Patih Luminta telah menghembuskan napasnya yang terakhir sebelum sempat menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka. Sebagian tabir yang melingkupi Kerajaan Gantar Angin mulai terungkap. Tapi.benak Bayu masih juga diliputi berbagai macam pertanyaan. Dia tidak mengerti akan sikap kebanyakan orang yang selalu berpura-pura. Bahkan tidak mau tahu satu dengan yang lainnya. Bahkan cenderung saling menutupi.

Bayu menolehkan kepalanya ketika mendengar suara dari arah belakang. Tampak Raden Bantar Gading dan Mayang melangkah menghampiri. Mereka berjalan pelan seperti tak ada gairah hidup sama sekali. Pandangan Raden Bantar Gading nanar ke arah mayat Patih Luminta.

“Ayah…” Raden Bantar Gading berdiri tegak memendangi gundukan tanah yang masih baru. Di sampingnya, berdiri Mayang. Sedangkan Bayu memperhatikan dari jarak yang tidak begitu jauh di bawah pohon. Raden Bantar Gading mengangkat kepalanya, lalu berbalik. Sebentar ditatapnya Pendekar Pulau Neraka, lalu kakinya terayun menghampiri. Mayang mengikuti di sampingnya. Wajah mereka tampak tersaput awan hitam.

“Telah kudengar semua pembicaraanmu dengan Ayah,” ujar Raden Bantar Gading pelan.

“Dari mana kau dengar semua pembicaraanku?”

“Aku memang menunggumu di sini. Tadinya aku akan menemuimu langsung, tapi Mayang mencegah,” sahut Raden Bantar Gading.

“Aku menyesal tidak bisa melindunginya,” desah Bayu.

“Kau sudah berbuat banyak, Kakang,” sergah Mayang.
Bayu tersenyum tipis.

“Aku sama sekali tidak tahu kalau selama ini hanya dijadikan boneka mainan,” pelan suara Raden Bantar Gading.

“Sudahlah! Yang penting, sekarang kalian sudah tahu diri masing-masing,” kata Bayu bijaksana.

“Kisanak…”

“Panggil saja aku Bayu,” potong Bayu.

“Terima kasih.”

“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Bayu.

“Entahlah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku….” Suara Raden Bantar Gading terputus.

“Kau ingin membalas kematian ayahmu?” tanya Bayu.

Raden Bantar Gading tidak menjawab, tapi hanya menoleh memandang Mayang.

“Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Rasanya dendam bukan satu-satunya penyelesaian yang baik,” ujar Raden Bantar Gading pelan.

Bayu tersenyum mendengar penuturan itu. namun hatinya tersentuh juga. Dendam memang bukan satu-satunya penyelesaian yang baik. Bahkan selama ini, dia sendiri masih menyimpan dendam. Masih mencari orang-orang yang telah menghancurkan padepokan ayahnya, membunuh ayahnya berikut murid-muridnya. Hingga sekarang dia tidak tahu, apakah ibunya masih hidup atau sudah mati.

“Apa rencana kalian selanjutnya?” tanya Bayu.

“Memulai hidup baru, dan pergi sejauh-jauhnya meninggalkan Gantar Angin,” jawab Raden Bantar Gading mantap.

“Ya. Aku juga akan melupakan semua yang terjadi disini,” sambung Mayang.

“Kalian akan hidup berdua?”

Raden Bantar Gading dan Mayang saling berpandangan, kemudian sama-sama mengangguk sambil senyum tersipu. Bayu menarik napas panjang. Dia tidak tahu, bagaimana perasaannya sekarang. Memang diakui, ada sedikit rasa sesal di hatinya. Masalahnya, dia mulai tertarik terhadap Mayang dan sekarang wanita itu ingin hidup bersama Raden Bantar Gading. Bayu hanya bisa mendesah, dan menarik napas panjang kembali. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Bayu berbalik dan melangkah pergi. Raden Bantar Gading ingin mencegah kepergian Pendekar Pulau Neraka itu, tapi Mayang telah lebih dulu menutup bibir pemuda itu dengan jari tangannya. Raden Bantar Gading mengecup bibir Mayang lembut. Kemudian mereka berpelukan rapat dan mesra. Bayu sempat menoleh, dan hanya tersenyum tanpa berhenti melangkah.

“Hup!” hanya satu kali lesatan saja, Bayu sudah lenyap dari tempat itu.

Saat itu Raden Bantar Gading juga sudah mengajak Mayang meninggalkan tempat ini. Meninggalkan semua yang telah terjadi di Gantar Angin. Mereka melangkah sambil bergandengan tangan. Langkah yang pasti dan mantap untuk memulai hidup baru. Hidup sebagai pasangan yang saling mencintai. Tentu saja dengan menyiramu bunga cinta di hati mereka masing-masing.

Namun baru saja mereka melangkah beberapa depa, mendadak sabatang anak panah melesat cepat dari arah depan. Tepat ketika anak panah berwarna kuning gading itu hampir menyentuh dada Mayang, tangan Raden Bantar Gading menarik tangan Mayang ke belakang. Wanita itu menggeser kakinya berlindung di belakang punggung pemuda itu.

“Hati-hati, Mayang. Aku yakin, tempat ini sudah dikepung para prajurit Gantar Angin,” kata Raden Bantar Gading setengah berbisik.

Raden Bantar Gading mengenali anak panah di tangannya. Anak panah berwarna kuning gading dengan lambang kerajaan pada tangkainya. Pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kepalanya dimiringkan sedikit ke kanan. Tidak ada seorangpun terlihat di sekitar tempat ini. Bahkan tidak ada suara yang mencurigakan terdengar di telinganya. Hanya desiran angin dan gemerisik dedaunan yang terdengar.

Pandangan Raden Bantar Gading tertuju pada sebuah pohon yang sangat besar. Tampak seorang laki-laki berusia sektiar lima puluh tahun berdiri pada salah satu cabang yang cukup besar. Laki-laki itu mengenakan baju hijau ketat dengan pinggang dipenuhi pisau kecil yang berjajar rapi. Raden Bantar Gading kenal betul dengan laki-laki bertampang angker itu. dia adalah salah seorang Panglima Gantar Angin.

“Paman Panglima Jambak! Apa yang kau lakukan disini?” tanya Raden Bantar Gading.

“Hamba ditugaskan Gusti Prabu untuk membawa Raden kembali ke istana,” jawab Panglima Jambak tegas. Tangannya menjentik ke depan dada.

Raden Bantar Gading terkejut. Tiba-tiba saja, hampir lima puluh orang prajurit dan sepuluh punggawa, bermunculan dari balik bukit dengan menunggang kuda. Di tangan mereka masing-masing terdapat busur yang siap dilesatkan. Bahkan empat orang jago bayaran dari tanah seberang ada di antara mereka. Raden Bantar Gading langsung menyadari kalau situasi seperti ini bukan sikap bersahabat dan penghormatan lagi. Prabu Abiyasa sudah menganggapnya sebagai orang yang berbahaya dan harus dilenyapkan seperti para pengkhianat dan pembangkang lainnya.

“Katakan pada Ayahanda Prabu, aku akan menikah dan pergi dari Gantar Angin!” lantang kata-kata Raden Bantar Gading. “Dan kau tidak perlu bersusah-payah membuang-buang nyawa prajurit untuk memaksaku!”

Panglima Jambak meluruk dari atas dahan pohon. Manis sekali kakinya mendarat di depan Raden Bantar Gading. Jarak antara mereka hanya sekitar satu batang tombak saja. Raden Bantar Gading sudah bersiaga penuh. Dia tahu kalau pisau yang berjajar di pinggang panglima itu sangat berbahaya. Panglima Jambak sangat ahli menggunakannya.

“Raden, siapa wanita itu?” tanya Panglima Jambak.

“Dia Mayang, calon istriku!” sahut Raden Bantar Gading mantap.

“Raden, Gusti Prabu tidak akan melarang Raden memiliki calon istri. Gusti Prabu hanya menghendaki Raden kembali ke istana. Hal itu bisa dibicarakan nanti, Raden,” bujuk Panglima Jambak.

“Apa kata-kataku kurang jelas, Paman? Berapa kali aku harus mengatakan? Aku tidak akan pernah kembali lagi ke istana!”

“Maaf, Raden. Gusti Prabu memerintahkan padaku untuk membawamu dengan cara apapun.”

“Kau yang memulainya, bukan?” sinis nada suara Raden Bantar Gading.

“Maaf, Raden. Salah seorang prajuritku tidak bisa menahan diri. Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi, juga tidak akan terulang jika Raden bersedia kembali ke istana,” kata Panglima Jambak.

“Sekali aku katakan tidak, tetap tidak selamanya! Jelas, Paman Panglima?!” tegas jawaban Raden Bantar Gading.

Panglima Jambak menarik napas panjang dan berat, lalu melangkah mundur tiga tindak. “Sebenarnya aku enggan menerima tugas ini, Raden. Tapi semua ini harus kulakukan. Jika aku tidak bisa membujukmu, maka mereka yang akan memaksamu, Raden,” pelan kata-kata Panglima Jambak.

Raden Bantar Gading memandang empat orang jago bayaran dari tanah seberang. Empat orang itu bergerak maju mendekat. Raden Bantar Gading menyadari, dirinya tidak mungkin dapat menandingi mereka. Satu orangpun rasanya sulit. Apalagi kalau empat orang maju sekaligus…? Pandangannya kembali tertuju pada Panglima Jambak.

“Maaf, Raden. Ini perintah Gusti Prabu,” kata Panglima Jambak pelan.

“Majulah, tangkap aku!” sahut Raden Bantar Gading mantap.

“Raden, sebaiknya….”

“Jangan coba-coba membujukku, Paman!” potong Raden Bantar Gading cepat. “Aku tahu, apa yang Ayahanda Prabu titahkan pada kalian. Ayo lakukan! Dan jangan berharap aku akan menyerah begitu saja!”

Panglima Jambak kembali melangkah mundur. Empat orang jago dari tanah seberangpun langsung melompat sambil berteriak keras. Raden Bantar Gading menggeser kakinya ke samping. Sambil menorong tubuh Mayang agar menjauh, dicabut pedangnya.

Sret!

Raden Bantar Gading mengebutkan pedangnya ke depan ketika salah seroang jago seberang itu menusukkan senjatanya ke arah dada. Raden Bantar Gading terkejut, karena tangannya langsung bergetar hebat ketika pedangnya berbenturan dengan senjata lawannya. Belum lagi sempat menarik pulang pedangnya, sebuah tendangan keras dari samping menghantam pergelangan tangan kanannya.

“Akh!” Raden Bantar Gading memekik tertahan. Pedangnya mencelat lepas dari pegangan.

“Kakang…!” seru Mayang terkejut.

Raden Bantar Gading menoleh ke arah wanita itu. Akibatnya dia jadi lengah. Kelengahan ini sangat fatal bagi dirinya. Satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga luar biasa menghantam dadanya. Raden Bantar Gading kembali memekik keras. Tubuhnya terlempar jauh ke belakang.

ENAM

Dari mulutnya mengucur darah kental. Punggungnya menghantam sebuah pohon hingga tumbang. Raden Bantar Gading segera bangkit berdiri. Digeleng-gelengkan kepalanya sebentar, lalu digerak-gerakkan tangannya. Dia mencoba mengusir rasa sesak yang melanda dadanya. Pukulan bertenaga dalam itu hampir membuat tulang-tulang dadanya hancur.

Raden Bantar Gading merasa sesak bernapas. Dia meringis menahan nyeri pada dadanya. Dia tahu kalau salah satu tulang dadanya patah kena pukulan keras bertenaga dalam tadi. Dengan mata merah membara, Raden Bantar Gading mencopot baju luarnya.

“Hiya! Yeaaah…!” Sambil berteriak keras, Raden Bantar Gading mengibaskan kedua tangannya dari arah perut ke depan. Jarum-jarum beracun pun beterbangan bagai hujan ke arah empat orang jago dari tanah seberang itu. Mereka berlompatan sambil memutar senjata masing-masing, menghalau jarum-jarum beracun yang meluncur deras.

Jarum-jarum beracun itu berpentalan ke segala arah. Tidak dinyana sama sekali, jarum-jarum berwarna hitam pekat itu menghantam para prajurit yang berada di sekitar pertarungan. Mereka yang cepat menghindar dan bersembunyi di balik pohon, masih bisa selamat. Tapi terlambat, langsung ambruk dengan tubuh membiru. Jerit dan pekik kematian terdengar membahana. Raden Bantar Gading tersentak kaget. Langsung dihentikan serangan jarum-jarum beracunnya. Tidak kurang dari sepuluh orang prajurit tewas akibat kebodohannya.

“Setan! Kau harus bertanggung jawab atas kematian mereka, Paman Panglima!” bentak Raden Bantar Gading marah.

Panglima Jambak tersentak kaget. Dia juga tidak menyangka kalau sepuluh orang prajuritnya terkapar terkena jarum-jarum beracun nyasar. Raden Bantar Gading tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Dia cepat melompat sambil melontarkan beberapa pisau yang melilit di pinggangnya. Pisau-pisau itu menghujani empat orang jago dari seberang. Dan pada saat mereka sibuk menghalau serangan pisau itu, Raden Bantar Gading melepaskan beberapa pukulan ke arah Panglima Jambak. Pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam penuh itu menimbulkan desiran angin yang sangat kuat dan berhawa panas.

“Hup! Hiyaaa…!

Panglima Jambak bergegas melompat ke samping menghindari serangan Raden Bantar Gading. Disadari kalau putra mahkota itu mengeluarkan ‘Pukulan Gelombang Maut’. Satu jurus yang sangat dahsyat. Angin pukulannya saja mampu menghancurkan sebuah pohon beringin besar. Beberapa batang pohon, kontan hancur terkena sambaran pukulan dahsyat itu.

Raden Bantar Gading benar-benar mengamuk, menhajar siapa saja yang berani mendekat. Panglima Jambak berteriak keras agar para prajuritnya tidak ikut menyerang, sambil sibuk menghindari setiap serangan yang dilancarkan Raden Bantar Gading.

Saat itu empat orang jago dari seberang mengalihkan perhatiannya kepada Mayang. Mereka segera melompat mengurung wanita itu. Tentu saja, hal ini membuat Raden Bantar Gading kian berang. Dia hendak membantu Mayang yang kerepotan menghadapi empat lawannya itu. tapi Panglima Jambak tidak memberi kesempatan kepadanya untuk mendekati Mayang.

“Akh!” tiba-tiba Mayang memekik tertahan. Tubuhnya terjajar ke belakang dengan tangan kiri menekap bahu kanannya. Darah merembes keluar dari sela-sela jarinya. Rupanya salah seorang jago itu berhasil melukai bahu kanan Mayang. Dan sebelum wanita itu sempat berbuat banyak, satu tendangan keras mendarat di punggungnya. Kembali Mayang memekik, dan tubuhnya terjungkal ke tanah.

“Haaat…!” Salah seorang jago dari seberang mengayunkan senjatanya ke arah tubuh Mayang yang tak berdaya di tanah. Hanya sedikit saja Mayang mampu bergerak, tapi senjata orang itu telah membedah perutnya.

“Aaa…!” Mayang menjerit melengking.

“Mayang…!” seru Raden Bantar Gading terperanjat.

Baru saja Raden Bantar Gading melompat hendak memburu Mayang, satu tendangan keras Panglima Jambak membuatnya terjajar mencium tanah. Belum lagi Raden Bantar Gading mampu berdiri tegak, satu pukulan keras telah mendarat di dadanya. Tak sampai di situ, karena lawan telah mengirimkan pukulan dua kali ke punggung. Raden Bantar Gading ambruk ke tanah dengan mulut mengucurkan darah segar.

Panglima Jambak langsung menubruk tubuh Raden Bantar Gading, dan mengikatnya dengan tambang yang dilemparkan salah seroang prajurit. Raden Bantar Gading tidak bisa berkutik lagi. Tangan dan tubuhnya terikat tambang yang cukup besar dan kuat. Dia dipaksa berdiri. Dua orang prajurit mengangkat tubuh pemuda itu dan menghempaskannya di punggung kuda.

“Mayang…!” teriak Raden Bantar Gading mencoba meronta.

Tambang yang mengikat tubuhnya demikian kuat. Sia-sia saja Raden Bantar Gading meronta. Sementara Panglima Jambak, para prajurit, serta empat orang jago dari seberang, sudah berada di atas punggung kuda masing-masing. Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera menggebah kuda meninggalkan tempat itu. Sementara Mayang tetap tergeletak pingsan. Dada dan perutnya terus mengucurkan darah.

*******************

“Ohhh…” suara rintihan lirih terdengar.

“Jangan bergerak dulu! Lukamu belum pulih benar.”

“Oh…! Kakang Bayu…”

“Ya. Aku Bayu, Mayang.”

Mayang kembali memejamkan matanya seraya merintih lirih. Pemuda tampan berbaju kulit harimau duduk bersila di sampingnya. Tumpukan rumput kering dan dedaunan membuat tubuh Mayang terasa hangat. Sementara cahaya api kecil di dekatnya membuat tempat yang menyerupai lorong goa ini jadi semakin hangat. Perlahan-lahan Mayang membuka kelopak matanya.

“Di mana aku?” tanya Mayang.

“Kau lupa tempat ini, Mayang?” Bayu balik bertanya dengan lembut.

Mayang tersenyum tipis. Tentu saja dia tidak lupa karena beberapa hari pernah tinggal di sini bersama seorang gadis yang dibawa Bayu dari Gantar Angin. Tempat yang ditinggali sebelum bergabung dengan para pemberontak.

“Kakang, bagaimana kau bisa membawaku ke sini?” tanya Mayang lagi.

“Aku tidak jadi pergi karena kulihat Ki Maruta bersama orang-orangnya tengah bergerak menuju Gantar Angin. Semula aku ingin memberitahu hal ini pada Raden Bantar Gading. Tapi terlambat! Aku hanya menemukan dirimu tergeletak di antara beberapa mayat prajurit Gantar Angin. Semula kuduga kau sudah tewas. Ternyata setelah ku amati, kau masih bernapas. Tidak ada pikiran lain terlintas di kepalaku, selain membawamu ke sini,” Bayu menceritakan kejadiannya.

“Oh… mereka menangkap Kakang Bantar Gading,” lirih suara Mayang.

“Siapa mereka?”

“Panglima Jambak dan para pengikutnya. Mereka dibantu empat orang asing dan berpakaian aneh. Empat orang itulah yang melukaiku, Kakang,” sahut Mayang.
Bayu menarik napas panjang.
“Kakang! Mereka tidak mengijinkan kami meninggalkan Gantar Angin. Bahkan Prabu Abiyasa menganggap Kakang Bantar Gading pengkhianat. Aku tidak tahu, bagaimana nasib Kakang Bantar Gading. Prabu Abiyasa sangat kejam, Kakang.” Pelan suara Mayang.

Bayu Hanggara menoleh ketika mendengar suara langkah kaki memasuki goa ini. Ternyata gadis berusia sekitar lima belas tahun muncul mendekati. Gadis itu melemparkan senyum kepada Mayang. Mayang pun membalasnya dengan senyuman tipis.

“Aku memintanya kemari untuk merawatmu, Mayang,” kata Bayu pandangan Mayang terarah padanya.

“Ya! Aku juga terkejut mendengar kau terluka, Kak Mayang,” sambung gadis itu.

“Ki Maruta pasti mencarimu,” kata Mayang pelan.

“Tidak ada siapa-siapa lagi di Hutan Danaraja. Mereka semua sudah gila, tidak mempedulikan kamu wanita lagi. Mereka meninggalkannya begitu saja di dalam hutan. Mereka sudah gila kekuasaan” tegas gadis itu mantap.

Mayang kembali terdiam. Dipandanginya wajah Bayu yang diam membisu.

“Aku tahu semuanya! Aku pernah mendengar diam-diam pembicaraan mereka,” sambung gadis itu lagi.

“O…!” Pendekar Pulau Neraka terkejut.

“Ki Maruta adalah penasehat pribadi Gusti Ratu Kunti Boga. Dia sebenarnya adik Prabu Abiyasa. Hm…. Maksudku adik tirinya. Dia sangat berambisi merebut tahta Gantar Angin dan mengangkat dirinya menjadi raja. Mereka semua tahu kalau Ratu Kunti Boga sudah lama meninggal. Dan memang itu yang mereka tunggu,” sambung gadis itu menceritakan.

“Hhh…! Tidak kusangka persoalannya bagitu pelik jadinya. Aku benar-benar muak menghadapi orang yang haus kekuasaan!” desah Bayu setengah bergumam.
“Sebenarnya yang berhak atas Kerajaan Gantar Angin adalah Raden Sangga Alam, karena dialah anak kandung Ratu Kunti Boga. Tapi dia tidak tahu karena….”

“Ya, kami tahu itu,” selak Bayu cepat.

“Kalian sudah tahu?”

Bayu dan Mayang mengangguk.

“Lantas, kenapa diam saja? Kenapa tidak dicegah? Padahal mereka memperebutkan tahta yang bukan haknya!"

“Itu bukan urusanku. Aku….”

“Kau seorang pendekar! Kau pasti bisa mencegah pertumpahan darah!” potong gadis itu.

“Untuk apa? Persoalan yang kuhadapi saja masih banyak.”

“Kakang…” Mayang menengahi.

“Baiklah…” desah Bayu. “Apa yang harus kulakukan?”

“Selamatkan Raden Sangga Alam! Mereka bisa saja menempuh jalan damai dan membagi daerah kekuasaan masing-masing. Kerajaan Gantar Angin tidak mustahil akan runtuh kalau hal itu terjadi. Lebih parah lagi kalau sampai masing-masing ingin berkuasa. Mereka adalah orang-orang kejam dan selalu mementingkan diri sendiri. Rakyat akan selalu sengsara bila salah satu dari mereka menjadi raja. Hanya Raden Sangga Alam yang berhak menduduki tahta!” ujar gadis itu mantap.

Bayu menatap gads itu dengan sinar mata penuh tanda tanya. Ketika ditemukannya di rumah penginapan, gadis itu hendak membunuhnya. Bahkan mengaku sebagai putri pemilik penginapan yang tewas terbunuh Raden Bantar Gading. Dan ketika pertama dibawa ke tempat ini, terlihat masih lugu.

Tapi sekarang, kata-katanya begitu tegas dan teratur rapi. Kata-kata itu meluncur begitu saja, dan bernada penuh wibawa. Rasanya sulit dipercaya bila seorang gadis berusia lima belas tahun mampu begitu lancar bertutur kata. Apalagi hanya seorang gadis pemilik rumah penginapan dan kedai. Gadis itu memang bertubuh kecil wajahnya pun masih terlihat kekanak-kanakan. Tapi dari kata-katanya….. Bayu jadi menaruh curiga, siapa gadis ini sebenarnya? Benarkah dia hanya putri seorang pemilik kedai dan rumah penginapan? Dia mengaku bernama Rintan. Tapi Bayu tidak percaya begitu saja kalau namanya, Rintan.

Bayu jadi teringat ketika gadis itu hampir saja memenggal lehernya dengan golok. Sebuah golok yang cukup besar dan biasa digunakan untuk memotong daging. Golok itu sangat berat. Anehnya, Rintan mampu mengayunkannya dengan cepat dan nampak ringan. Juga ketika meringkusnya, tenaganya luar biasa. Bayu sendiri merasa adanya pengerahan tenaga dalam yang ditahan. Semua itu baru disadarinya sekarang.

“Rintan, berapa usiamu sebenarnya?” tanya Bayu bernada penuh selidik.

“Lima belas,” sahut Rintan.

“Sungguh?”

“Kenapa aku mesti berdusta? Ayah selalu memberiku hadiah tepat pada saat kelahiranku. Katanya untuk mengingatkan usia dan ibuku.”

Bayu menarik napas panjang, kemudian bangkit berdiri. Langkahnya pelan menuju ke mulut goa yang hampir tertutup semak belukar dan rerumputan yang cukup tinggi. “Kau jaga Mayang. Aku akan ke Gantar Angin,” kata Bayu tanpa menoleh.

“Percayalah! Aku pasti merawatnya dengan baik,” sahut Rintan.

Bayu terus saja melangkah keluar dari goa itu. dia segera melesat begitu tiba di luar goa. Dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya tidak terlihat lagi.

*******************

Saat itu senja mulai beranjak turun. Matahari hampir bersembunyi di balik belahan bumi barat. Istana Kerajaan Gantar Angin masih selalu dijaga ketat oleh prajurit bersenjata lengkap. Sementara di dalam sebuah ruangan berdinding batu, Raden Bantar Gading terbelenggu berdiri dengan posisi merapat ke dinding. Rantai baja mengekang tangan dan kakinya. Ruangan itu sangat sempit, dan tidak tertembus cahaya matahari. Lembab sekali. Hanya sebuah obor yang berada di luar ruangan itu yang menerangi samar-samar dari balik jeruji besi.

Raden Bantar Gading memandang seorang lai-laki yang terbaring di lantai batu berdebu dan lembab. Jubah putihnya koyak. Bercak bercak darah kering masih melekat, mengotori jubah dan tubuhnya. Raden Bantar Gading kenal betul, siapa laki-laki itu. dia tidak lain adalah Paman Nampi, salah seorang panglima perang Gantar Angin yang selalu dekat dengan Raden Sangga Alam. Padahal Raden Bantar Gading sendiri yang menjebloskan orang tua itu ke dalam penjara ini. Ternyata, dia memang belum mati. Nasib baik masih berpihak padanya.

Paman Nampi beringsut bangun dan duduk bersandar pada dinding batu berlumut. Pandangannya sayu dan langsung ke arah Raden Bantar Gading. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Entah apa makna senyumannya itu. Punggung tangannya menyeka darah yang hampir mengering di sudur bibirnya.

“Semua orang di sini rupanya sudah tidak waras…”gumam Paman Nampi pelan, hampir tidak terdengar suaranya.

“Paman, apa yang mereka lakukan padamu?” tanya Raden Bantar Gading.

“Seharusnya kau bisa jawab sendiri, Anak Muda,” jawab Paman Nampi yang enggan menyebut nama Raden pada Raden Bantar Gading.

Raden Bantar Gading tidak tersinggung. Disadari kalau dirinya bukan seorang raden, pewaris tahta Kerajaan Gantar Angin. Dia hanya tersenyum kecut mendengar kata-kata sindiran itu.

“Maafkan aku, Paman. Aku memang bodoh, kerdil, dan selalu mementingkan diri sendiri,” kata Raden Bantar Gading polos.

“Tidak perlu menyesali diri. Di dunia ini tidak ada yang sempurna,” masih pelan suara Paman Nampi.

“Ya. Dan aku paling tidak sempurna di antara yang tidak sempurna,” juga pelan suara Raden Bantar Gading.

“Mengapa kau sampai masuk ke dalam neraka ini?” tanya Paman Nampi.

“Aku menentang Ayahanda Prabu, dan mencoba meninggalkan Gantar Angin. aku sadar kalau tindakanku selama ini hanya merugikan orang banyak. Yang tertinggal sekarang hanya rasa sesal. Kini aku bermaksud menebus dosa atas perbuatanku,” lirih sekali nada suara Raden Bantar Gading.

“Penyesalan memang selalu terlambat datangnya.”

“Ya… dan memang tidak ada gunanya untuk disesali.”
“Kenapa kau menentang Prabu Abiyasa?” tanya Paman Nampi lagi.

“Aku tahu siapa diriku. Aku memang tidak berhak atas tahta Gantar Angin. Ada orang yang lebih berhak dari itu semua,” sahut Raden Bantar Gading.

“Kau tahu siapa?”

“Raden Sangga Alam. Dialah yang berhak atas tahta Gantar Angin.”

Paman Nampi terdiam dengan kepala tertunduk.

“Maafkan aku, Paman. Tidak seharusnya aku menjebloskanmu dalam penjara ini,” ucap Raden Bantar Gading penuh penyesalan. “Aku malu! Segala tekad dan tindakan sucimu ku nodai oleh kepicikanku sendiri.”

“Kau tidak picik, Anak Muda. Juga, tidak bodoh. Kau tidak bersalah dalam hal ini. Kau hanya salah satu korban dari permainan manusia-manusia berhati culas, haus kekuasaan, harta benda dan kesenangan duniawi. Hhh… aku sendiri juga kotor, penuh dengan noda.”

Raden Bantar Gading menatap laki-laki tua itu dalam-dalam.

“Aku memang ingin mengembalikan tahta kepada yang lebih berhak. Tapi jalan yang kutempuh sangat kotor. Entah, setan mana yang telah menutupi hati dan mataku. Aku mengambil seroang anak perempuan yang belum genap berusia tujuh tahun, lalu berkerja sama dengan Durati si Selendang Sakti untuk mendidik dan merawat anak itu. Dia kujejali dengan cerita-cerita kosong dan palsu! Aku telah menjerumuskannya ke dalam lembah yang sangat nista….” Pelan sekali suara Paman Nampi.

“Siapa anak itu, Paman?” tanya Raden Bantar Gading dengan dada berdebar.

“Kau tentu telah mengenalnya. Aku benar benar malu pada diriku sendiri, karena telah melibatkan seorang anak yang tidak berdosa dan tidak mengerti apa-apa! Bahkan aku telah membuatnya tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya, asal-usulnya yang sebenarnya. Sungguh terkutuk!”

“Paman apa yang kau maksudkan itu…”

“Ya dia Mayang,” pelan suara Paman Nampi.

“Ahhh…” Raden Bantar Gading mendesah panjang.

“Dia sebenarnya bukan puteri Gusti Ratu Kunti Boga. Namanya pun bukan Mayang. Aku tidak tahu, siapa nama yang sebenarnya. Dia kupungut ketika terjadi pertempuran perebutan kekuasaan oleh Prabu Abiyasa. Dia kuambil ketika berada dalam pelukan seorang wanita yang tewas tertembus panah. Aku kenal wanita itu. Semula, dalam hatiku tidak ada niatan untuk menjadikannya sebagai Mayang. Pikiran itu mendadak timbul saat kudengar putri Ratu Kunti Boga lenyap dalam pertempuran didalam istana. Sampai kini aku tidak tahu di mana dia berada, dan bagaimana kabarnya.”

“Jadi, Mayang yang sebenarnya belum tewas?”

“Ya! Dia hanya hilang.”

“Dan Raden Sangga Alam?”

“Dia waktu itu masih berusia sekitar tiga bulan, lalu dipungut oleh Permaisuri Pramita Wardani sebagai anak. Dan kau sendiri baru berusia tiga tahun. Aku tidak menyalahkanmu jika kau sampai tidak tahu apa-apa tentang dirimu sebenarnya selama ini.”

“Sekarang aku tahu, Paman.”

“Dari mana kau tahu?”

“Ayahku.”

“Prabu Abiyasa?”

“Bukan! Patih Luminta.”

“Dewata Yang Agung….ternyata dia juga masih setia kepada Gusti Ratu Kunti Boga. Benar-benar buta mataku, tidak bisa membedakan mana kawan dan mana lawan! Kukira dia juga haus akan kekuasaan, sehingga berkhianat dan mempuyai perjanjian dengan Prabu Abiyasa!”

Raden Bantar Gading mengangkat kepalanya. Dan pada saat itu matanya sempat melihat bayangan berkelebat di depan jeruji besi yang membatasi ruangan tahanan ini dengan sebuah lorong batu bawah tanah. Raden Bantar Gading menggigit bibirnya. Sungguh tidak disadari kalau ada seseorang yang mendengar semua percakapan ini. Siapa orang itu…?

Raden Bantar Gading tidak tahu, sudah berapa lama berada di kamar tahanan bawah tanah ini. Di dalam ruangan tertutup tanpa cahaya matahari, sangat sulit untuk menghitung waktu. Raden Bantar Gading mengangkat kepalanya ketika mendengar suara pintu besi kamar tahanan ini dibuka.

Dua orang prajurit melangkah masuk. Beberapa prajurit lain menunggu di luar. Dua orang prajurit itu mengangkat Paman Nampi agar berdiri. Laki-laki tua itu sudah tidak punya daya lagi. Apalagi untuk berdiri. Sebentar dipandanginya Raden Bantar Gading.

“Akan dibawa ke mana dia?” tanya Raden Bantar Gading.

“Menjalani hukuman,” sahut salah seorang prajurit.

“Hukuman apa?”

“Raden….” Pelan suara Paman Nampi.

Raden Bantar Gading menatap Paman Nampi dalam-dalam.

“Prabu Abiyasa telah memutuskan bahwa hari ini aku harus menjalani hukuman sebagai pengkhianat,” kata Paman Nampi.

“Tidak…!” desis Raden Bantar Gading. “Tidak! Kau tidak boleh mati…!”

Raden Bantar Gading berusaha memberontak, tapi rantai yang membelenggu tangan dan kakinya begitu kuat. Raden Bantar Gading terus meronta sambil berteriak-teriak. Seorang prajurit bertubuh tegap dan berotot, menghampiri. Tanpa bicara lagi, dilayangkan satu pukulan keras ke perut.

“Hughk!” keluh Raden Bantar Gading.

Rontaan dan teriakannya langsung berhenti. Tubuhnya sedikit membungkuk. Perutnya kini terasa mual, dan matanya berkunang-kunang. Pukulan prajurit itu sungguh keras, meskipun hanya sedikit menggunakan tenaga dalam. Namun akibatnya cukup luar biasa. Seluruh isi perut Raden Bantar Gading serasa akan keluar.

“Jalan!”

Paman Nampi melangkah lesu didorong seroarng prajurit. Raden Bantar Gading mengangkat kepalanya perlahan-lahan. Kedua bola matanya merembang. Pintu kamar tahanan bawah tanah itu kembali tertutup.

“Tidak…” rintihnya lirih. “Maafkan aku, Paman. Seandainya waktu itu aku tidak menangkapmu, tentu kau tidak akan bernasib malang seperti ini….”

Raden Bantar Gading benar-benar menyesali diri. Dimaki-maki dan dirutuki dirinya yang tidak sadar kalau tengah diperalat oleh mereka yang haus kekuasaan dan harta benda duniawi. Benar kata Paman Nampi. Dia hanya dijadikan alat tanpa disadari lebih dahulu.

“Raden….”

Raden Bantar Gading tersentak ketika telinganya mendengar suara bisikan halus. Kembali diangkat kepalanya yang semula tertunduk lesu. Bola matanya langsung membeliak lebar begitu melihat seorang pemuda bertubuh tegap dan berbaju kulit harimau telah berdiri di depan pintu jeruji besi.

“Pendekar Pulau Neraka….” Desis Raden Bantar Gading setengah tidak percaya.


Pemuda tampan bernama Bayu Hanggara itu tersenyum. Dia melangkah mendekati pintu. Tangannya menggenggam dua jeruji besi. Sebentar ditarik napas dalam-dalam lalu mulai ditarik jeruji besi itu.

“Hup!”

Pendekar Pulau Neraka mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membongkar pintu berjeruji besi itu. wajahnya nampak memerah saga, dan otot-ototnya bersembulan ke luar. Jelas sekali kalau dia tengah mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Raden Bantar Gading terlongong begitu pintu jeruji besi terangkat dan terbuka lebar. Pendekar Pulau Neraka bergegas masuk, lalu memutuskan rantai yang membelenggu tangan dan kaki Raden Bantar Gading dengan Cakra Mautnya.

“Cepat keluar sebelum mereka memergoki kita,” kata Pendekar Pulau Neraka.

“Terima kasih,” ucap Raden Bantar Gading seraya cepat melangkah ke luar. “Bagaimana kau bisa sampai ke sini?”

“Dua hari aku menyelidiki tempat ini,” sahut Bayu.
“Dua hari…?!” Raden Bantar Gading terperanjat.

“Nanti kujelaskan. Yang penting sekarang kau harus cepat meninggalkan tempat ini. Aku akan membebaskan Paman Nampi,” potong Bayu cepat.

“Tunggu dulu, aku ikut bersamamu!”

“Kau sanggup?”

“Aku masih bisa melawan sepuluh prajurit sekaligus!”

“Ayolah! Waktu kita tidak banyak!”

TUJUH

Paman Nampi digiring ke atas panggung. Di situ, tiang gantungan siap menunggu dengan tambang melingkar. Seorang prajurit melingkarkan tambang ke lehernya. Tidak kurang lima puluh prajurit berjaga-jaga di sektiar tempat itu. Paman Nampi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada Prabu Abiyasa, dan Raden Sangga Alam. Yang ada hanya para prajurit dan algojo yang siap menggantungnya.

“Tidak perlu! Aku tidak perlu penutup mata!” kata Paman Nampi tegas.

Seroang algojo yang memegang kain hitam penutup mata melangkah mundur,mengurungkan niatnya menutup mata Paman Nampi. Empat orang prajurit menjaga dipanggung gantungan, sedangkan dua orang algojo berada di depan Paman Nampi. Mereka tinggal menunggu perintah dari seorang punggawa yang sudah berdiri di depan panggung gantungan itu.

“Laksanakan!” seru punggawa itu lantang.

Seorang algojo menarik tambang di bawah kaki Paman Nampi, maka papan yang dipijak laki-laki tua itu terbuka ke bawah. Paman Nampi tersentak! Lehernya langsung terasa nyeri. Napasnya mulai terasa terhambat. Tubuhnya menggelepar, sedangkan matanya membeliak lebar. Mulutnya pun tak urung terbuka lebar. Dia berusaha untuk tetap bernapas, tapi semakin sesak dan terasa sulit.

Pada saat yang kritis itu, dua buah bayangan berkelebat cepat. Salah satu bayangan menyambar tubuh Paman Nampi, dan langsung memutuskan tambang yang menjerat leher. Kejadian yang begitu cepat dan tiba-tiba itu, membuat semua prajurit dan algojo hanya terkesiap. Empat orang prajurit yang berada di atas panggung, tiba-tiba terjungkal roboh dengan leher koyak mengucurkan darah.

Dua bayangan itu sangat cepat bergerak dan tahu-tahu sudah lenyap sebelum semua orang yang ada di situ menyadari apa yang terjadi. Mereka seperti terpaku memandang tali gantungan yang putus, tanpa terdapat tubuh Paman Nampi di sana.

“Kejar! Tangkap mereka…!” punggawa yang memimpin hukuman gantung itu berteriak keras.

Semua prajurit yang berada di sekitar tempat itu serempak berlarian ke arah dua bayangan yang membawa Paman Nampi menghilang. Sementara dua roang algojo melompat turun dari panggung gantungan. Mereka menghampiri punggawa itu.

“Bagaimana?” tanya salah seorang algojo.

“Kalian jangan ke mana-mana! Aku akan laporkan hal ini pada Gusti Prabu,” sahut punggawa itu langsung melangkah pergi. Dua orang algojo itu saling berpandangan dan mengangkat bahunya. Tidak ada lagi prajurit yang terlihat. Hanya empat orang saja tergeletak tak bernyawa di atas panggung gantungan.

*******************

“Bodoh!” umpat Prabu Abiyasa sambil menggebrak meja dengan keras.

Meja berukir dari kayu jati yang tebal itu sampai retak, hampir terbelah dua. Punggawa yang melaporkan tentang kejadian di tiang gantungan mengkeret menggigil. Para panglima dan patih yang berada di situ, tidak berani mengangkat wajahnya. Prabu Abiyasa benar-benar marah mendengar kegagalan pelaksanaan hukuman mati bagi Panglima Nampi. Apalagi sampai bisa lolos, diselamatkan dua orang yang tidak jelas siapa orangnya.

“Aku perintahkan pada kalian semua. Cari dan bunuh mereka!” lantang suara Prabu Abiyasa.

“Gusti…” Panglima Jambak mengangkat kepalanya.

“Hamba yakin mereka belum keluar dari benteng istana. Sekitar benteng sudah dikepung para pemberontak.”

“Heh…?!” Prabu Abiyasa terperanjat.

“Ampunkan hamba, Gusti. Semula hamba memang hendak melaporkan hal ini, tapi punggawa lebih dulu datang dan melaporkan kegagalan pelaksanaan hukuman mati itu,” kata Panglima Jambak lagi.

“Panglima! Aku tidak peduli bagaimana caranya! Aku tidak ingin melihat para pemberontak menjarah istana ini. juga, cari pengkhianat itu sampai dapat!” perintah Prabu Abiyasa.

“Hamba laksanakan, Gusti.” Panglima Jambak bergegas keluar diikuti para penglima lainnya. Punggawa itu juga bergegas ke luar.

Di situ tinggal Prabu Abiyasa bersama beberapa patih dan delapan orang jago bayaran dari tanah seberang. Prabu Abiyasa menatap delapan orang berpakaian aneh itu. “Kalian kuperintahkan mencari pengkhianat itu. siapapun dia, bunuh!”

Delapan jago dari tanah seberang membungkuk hormat, lalu melangkah meninggalkan ruangan itu. Prabu Abiyasa juga bergegas pergi. Tinggal sekitar lima orang patih yang masih berada di sana. Mereka hanya saling pandang.

“Mungkin ini akhir dari Gantar Angin….” gumam salah seorang patih pelan.

“Bagaimana tindakan kita?” tanya salah seorang lainnya.

“Tidak perlu ikut campur. Kita semua, hanya jabatannya saja yang patih. Tapi tugas dan pekerjaan sudah ditangani orang-orang Prabu Abiyasa. Kita lihat saja. Siapapun yang duduk di atas tahta, dialah junjungan kita.”

“Setuju!”

“Kalian tidak bisa bersikap demikian.”

Lima orang patih itu terkejut, dan hampir bersamaan menoleh. Wajah mereka langsung pucat pasi begitu melihat Raden Sangga Alam tahu-tahu sudah berada diruangan ini. Pemuda tampan bagai wanita itu melangkah pelan menghampiri. Sikapnya lembut dan bibirnya tidak pernah lepas dari senyuman.

“Kalian adalah orang-orang yang dulu berjanji setia pada Prabu Abiyasa. Sebelumnya, kalian juga mengaku setia pada Ratu Kunti Boga. Dan kini, kalian pasti akan mengatakan setia pada orang yang mungkin akan meruntuhkan tahta Kerajaan Gantar Angin. Sungguh tidak kusangka! Patih-patih Kerajaan Gantar Angin, ternyata bermental penjilat!” lembut suara Raden Sangga Alam, tapi terdengar tegas dan langsung mengena di hati.

“Raden, kami…”

“Tidak perlu berdalih! Sebenarnya kalian lebih berbahaya dari para pemberontak!” potong Raden Sangga Alam.

Lima orang patih itu terdiam menunduk.

“Jika kalian masih menganggap diri kalian manusia, punya hati, dan perasaan, tentu punya rasa malu berada diistana ini,” lanjut Raden Sangga Alam.

Lima orang patih itu saling pandang. Kata-kata Raden Sangga Alam yang lembut dan tegas iu, sangat mengena dihati mereka. Seperti ada yang memberi komando, mereka langsung menjatuhkan diri dan berlutut di depan pemuda tampan berkulit putih bersih itu.

“Ampunkan kami, Raden. Kami tidak tahu harus bersikap bagaimana. Kami tidak punya daya…” kata salah seorang patih.

“Kalian pasti masih punya otak untuk berpikir, dan masih punya hati untuk merasakan. Tentukanlah sendiri langkah yang harus ditempuh. Kalian harus punya sikap tegas dan mampu menilai pantas atau tidaknya junjungan yang harus dihormati dan dipatuhi. Seharusnya kalian sadar bahwa kalian bukan boneka kayu yang dapat dikendalikan tanpa mampu melakukan sesuatu dengan sendirinya.”

“Raden. Hukumlah kami yang bodoh ini.”

“Hukuman bukan jalan satu-satunya.”

“Raden. Kami semua tahu siapa Raden sesungguhnya. Dan kami berjanji setia pada peritnah Raden.”

“Kesetiaan bukan hanya di mulut, tapi perbuatan dan niat hati yang murni.”

“Tunjukkan, apa yang harus kami lakukan.”

“Halangi orang-orang asing itu mengejar Paman Nampi!”

Lima orang patih itu terkejut, sampai mendongakkan kepalanya. Perintah Raden Sangga Alam membuat jantung mereka seperti copot. Dan belum lagi sempat bicara, Raden Sangga Alam sudah berbalik melangkah meninggalkan ruangan itu.

*******************

Raden Sangga Alam tersenyum-senyum masuk ke kamar perisitirahatan pribadinya. Bergegas dikuncinya pintu. Pandangannya langsung tertuju ke pembaringan, tempat seorang laki-laki tua terbujur di sana. Di sampingnya berdiri seorang pemuda mengenakan baju kulit harimau dan seorang pemuda tampan gagah dengan pakaian koyak.

“Aku tidak mau ambil resiko dengan membawa orang lain ke sini,” kata Raden Sangga Alam. “Berikan pil ini pada Paman Nampi.”

Pemuda berbaju koyak dengan wajah babak belur menerima pil berwarna merah dari tangan Raden Sangga Alam, kemudian memasukannya ke mulut Paman Nampi yang terbaring lemah di atas ranjang. Wajah laki-laki tua itu berubah merah, setelah pil tertelan. Sebentar dia menggeliat, lalu diam dengan napas mulai teratur.

“Sebentar lagi kesehatanmu akan pulih,” kata Raden Sangga Alam seraya melangkah mendekati jendela. Pandangannya terarah ke luar.

“Raden…”

“Jangan panggil aku Raden, Kanda Bantar Gading. Meskipun kita sama-sama sudah mengetahui diri masing-masing, aku tetap menganggapmu sebagai kakak,” potong Raden Sangga Alam seraya membalikkan tubuhnya.

Bantar Gading tertunduk. Hatinya merasa malu akan kemuliaan hati Raden Sangga Alam. Benar-benar disesali semua perbuatan yang telah dilakukannya.

“Aku tahu semua tentang diriku, kau dan semua yang telah terjadi di sini. Itu semua berkat jasa besar Pendekar Pulau Neraka,” sambung Raden Sangga Alam seraya memandang Bayu Hanggara.

“Jangan terlalu membesarkan, Raden.” Kata Bayu merendah.

Bantar Gading melirik Bayu. Meskipun belum ada yang memberitahu, tapi sudah dapat diduga kalau semua yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka di sini, tentu berkat bantuan Raden Sangga Alam. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang ruangan bawah tanah selain para keluarga kerajaan, dan para prajurit pilihan. Dan lagi tidak mudah masuk ke sana kalau bukan karena bantuan Raden Sangga Alam.

Perhatian mereka langsung tertumpah pada Paman Nampi yang mulai siuman. Laki-laki tua itu segera beranjak duduk begitu menyadari berada dalam kamar Raden Sangga Alam. Paman Nampi cepat beringsut turun dari pembaringan dan bersimpuh di lantai.

“Bangunlah, Paman. Tidak pantas kau berbuat demikian padaku,” kata Raden Sangga Alam.

“Ampunkan hamba, Raden,” kata Paman Nampi tetap duduk bersila.

“Tidak ada yang harus dimaafkan. Aku tahu kenapa kau selalu merahasiakan semua ini. Aku sungguh berterima kasih karena kau selalu setia pada ibundaku. Bahkan tetap mengabdi padaku dengan memberiku bekal yang cukup,” kata Raden Sangga Alam.

“Raden sudah mengetahui?” Paman Nampi agak terkejut juga.

“Ya,” sahut Raden Sangga Alam kembali melirik Bayu Hanggara.

“Maaf, aku terpaksa menceritakan semuanya. Ini kulakukan demi kalian semua,” ucap Bayu.

“Aku memang sudah memperkirakan. Cepat atau lambat, semuanya pasti terbongkar,” desah Paman Nampi.

“Saat ini benteng istana sudah dikepung para pemberontak. Kalian tidak mungkin dapat meninggalkan kamar ini,” kata Raden Sangga Alam memberi tahu.

Paman Nampi dan Bantar Gading terkejut. Hanya Bayu yang kelihatannya tenang-tenang saja.


“Tidak perlu dicemaskan. Mereka berjuang untukku, untuk keadilan di Gantar Angin ini,” sambung Raden Sangga Alam.

“Tapi…” Bantar Gading teringat Ki Maruta.

“Mereka adalah para penglima dan prajurit setia Ibunda Ratu Kunti Boga yang sempat melarikan diri ketika itu. Aku berhasil menghimpun mereka dalam waktu dua hari ini bersama Pendekar Pulau Neraka, dan sama sekali tidak melibatkan rakyat. Tapi, aku tidak bisa menolak kehadiran pada pemuda yang rela berkorban demi keadilan.”

“Bagaimana dengan kaum pemberontak di Hutan Danaraja?” jawab Bantar Gading.

“Sampai saat ini aku tidak mendengar kabar beritanya,” jawab Raden Sangga Alam.

“Paman! Betulkah kau pernah cerita sewaktu di dalam penjara bahwa para pemberontak yang menghimpun kekuatan di Hutan Danaraja atas prakarsamu? Mengapa mereka tidak membantu?” Bantar Gading menatap Paman Nampi yang sudah duduk di kursi.

“Itulah kesalahanku yang paling fatal! Aku menghimpun kekuatan di Hutan Danaraja dengan mempercayakan kepemimpinan pada Ki Maruta, adik tiri Prabu Abiyasa…!” kata Paman Nampi. Suaranya menyiratkan penyesalan.

“Ki Maruta memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi,” sambung Bayu. “Dia tengah mencari kesempatan, dengan membiarkan bekas-bekas prajurit dan panglima merebut tahta lebih dahulu.”

“Dan semua itu sudah kupikirkan masak-masak,” sambung Raden Sangga Alam. “Sehingga perjuangan ini tidak menjadi sia-sia.”

“Ah! aku bangga sekali padamu, Raden,” desah Paman Nampi terharu.

“Sudahlah, Paman. Semua ini berkat bimbinganmu juga,” Raden Sangga Alam merendah.

“Apa rencana selanjutnya?” tanya Bantar Gading.

Raden Sangga Alam tidak langsung menjawab, tapi malah tersenyum seraya memandang Pendekar Pulau Neraka. Kembali dipandang keadaan di luar jendela. Tampak beberapa prajurit masih tampak sibuk di luar sana. Para panglima pun sibuk mengatur penjagaan. Bahkan ratusan prajurit sudah siap dengan senjata, dan berbaris di alun-alun istana. Mereka benar-benar telah siap menghadapi perang pemberontakan.

*******************

Waktu terus berjalan dengan pasti. Malampun berganti siang. Matahari baru saja menampakkan dirinya di ufuk timur. Dan pada saat itu, Bayu baru saja melompat keluar dari jendela kamar Raden Sangga Alam. Gerakannya sangat ringan. Tubuhnya melenting ke udara lalu hinggap di atas atap. Sambil merapatkan tubuhnya ke atap, matanya yang tajam mengamati sekitarnya.

Pendekar Pulau Neraka itu kembali melentingkan tubuhnya dan meluruk ke bawah. Begitu kakinya menjejak tanah, kembali melesat dan langsung menuju ke arah tembok benteng. Sungguh cepat dan ringan sekali lesatannya. Sekejap saja sudah melewati tembok benteng yang tinggi dan kokoh. Tubuhnya membungkuk, dan kakinya tertekuk ketika mendarat di luar tembok benteng. Seorang laki-laki berusia sektiar tujuh puluh lima tahun berlari-lari menghampiri. Bayu berdiri tegak menanti. Laki-laki tua mengenakan baju putih dan ikat kepala putih itu berhenti di depan Pendekar Pulau Neraka..Di pinggangnya tergantung sebilah pedang.


“Bagaimana, Tuan Pendekar? Kami sudah menunggu perintah,” kata laki-laki tua itu seperti tidak sabar.

“Raden Sangga Alam meminta untuk membatalkan penyerangan,” sahut Bayu.

Laki-laki tua itu terkejut mendengarnya. Harapannya semula, pagi ini juga akan dilakukan penyerangan. Semua prajurit setia Ratu Kunti Boga, ditambah ratusan pemuda sudah tidak sabar menunggu penyerangan.

“Ki Raban! Raden Sangga Alam tetap memerintahkan untuk mengepung sekitar istana ini. rasanya itu memang harus dilakukan, mengingat Prabu Abiyasa masih dibantu delapan orang jago dari tanah seberang. Mereka bukan orang sembarangan! Dan lagi, para prajurit bukanlah tandingan mereka. Maaf, bukannya aku mengecilkan arti para panglima mu,” jelas Bayu.

“Kenapa bisa begitu?” laki-laki tua yang bernama Ki Raban minta penjelasan.

“Masih ada kelompok lain yang menghendaki tahta Kerajaan Gantar Angin. Mereka kini berada di luar lingkungan istana. Raden Sangga Alam mengkhawatirkan kelompok yang satu ini, karena dinilai lebih berbahaya. Sementara keadaan di dalam istana mungkin masih bisa dikuasai. Yang jelas, tidak semua prajurit akan setia pada Prabu Abiyasa. Bahkan sebagian besar adalah para prajurit Panglima Nampi. Sebagian kecil saja yang memang prajurit bawaan Prabu Abiyasa.” Jelas Bayu.

“Lalu, apa yang harus kulakukan?”

“Tetap berada di tempat, dan tingkatkan kewaspadaan. Jangan sampai ada di antara mereka menyusup ke dalam pasukanmu.”

Ki Raban menggeleng-gelengkan kepalanya. Rasanya masih belum bisa mengerti jalan pikiran Raden Sangga Alam. Ki Raban adalah seorang panglima besar yang membawahi para panglima besar pada saat Kerajaan Gantar Angin masih diperintah Ratu Kunti Boga. Tidak terhitung lagi, berapa peperangan telah dijalankannya. Tapi, baru kali ini dia tidak bisa memahami maksud pewaris syah Kerajaan Gantar Angin. Bertahun-tahun saat seperti ini ditunggu-tunggu. Dan begitu tiba masanya, semuanya jadi terhalang. Dia tidak tahu persis, apa yang jadi penghalang utamanya.

Bayu bisa menangkap adanya sedikit kekecewaan dalam sinar mata Ki Raban. Bisa dimengerti kalau saat seperti ini memang sudah lama dinantikannya. Dan sekarang, saat-saat yang seharusnya membangkitkan semangat pepreangan, harus tertunda kembali. Dan ini disebabkan keadaan di dalam benteng istana belum dapat dikuasai sepenuhnya. Pertahanan mereka masih terlalu kuat. Lebih-lebih dengan adanya delapan orang jago dari tanah seberang. Hal itu menjadi bahan pemikiran Raden Sangga Alam. Dia tidak ingin mengorbankan nyawa terlalu banyak, meskipun hal itu tidak mungkin dapat terelakkan. Tapi paling tidak memperkecil jumlahnya.

“Rasanya tidak ada lagi yang harus kusampaikan,” kata Bayu.

“Tunggu dulu, Tuan Pendekar,” cegah Ki Raban ketika Bayu akan berbalik.

Bayu mengurungkan niatnya untuk kembali ke dalam benteng istana.

“Apa yang tengah dilakukan Raden Sangga Alam di dalam?” tanya Ki Raban ingin tahu.

“Menarik kembali orang-orang yang masih setia padanya,” sahut Bayu.

Setelah berkata demikian, Bayu langsung berbalik dan melesat ke atas tembok benteng. Setelah melewati tembok, langsung meluruk ke bawah. Dengan manis kakinya kembali menjejak tanah di dalam tembok Istana Gantar Angin. Namun baru saja hendak melesat lagi, sebuah tombak meluruk ke arahnya.

“Eit!” Bayu Hanggara menarik tubuhnya ke samping, maka tombak itu hanya lewat, menyambut tempat kosong. Belum juga Pendekar Pulau Neraka itu menarik tubuhnya kembali, sebuah bayangan meluruk ke arahnya. Buru-buru Bayu menjatuhkan diri dan bergulingan beberapa kali di tanah, lalu bergegas melompat bangkit. Kelopak matanya agak menyipit begitu melihat empat orang berpakaian aneh sudah berdiri mengepungnya.

DELAPAN

Empat orang itu adalah jago undangan dari tanah seberang. Mereka langsung menyerang tanpa bicara apa-apa. Bayu berlompatan dengan tubuh meliuk-liuk menghindari serangan yang datang secara beruntun dari empat arah. Agak kerepotan juga dia, karena jurus-jurus yang digunakan empat orang itu sangat asing baginya.

“Ugh!” Bayu tidak bisa mengelakkan satu pukulan keras yang mendarat di perutnya. Seketika itu juga dirasakan perutnya mual. Namun dengan cepat dikerahkan hawa murni sehingga rasa mual pada perutnya cepat terusir. Pendekar Pulau Neraka itu mengegoskan kepalanya ke kiri ketika sebuah senjata mendesing ke arah kepalanya. Dengan satu gerakan manis, tangannya bergerak cepat ke samping.

Des!

Orang yang berada di samping, terjengkang ke belakang. Dan pada saat yang sama, kaki Bayu menyepak ke belakang. Satu orang lagi yang berada di belakangnya terjungkal terhantam bagian dadanya. Bayu langsung melesat ke belakang melewati kepala orang yang tengah terhuyung tersepak kakinya.

“Hiyaa…!" Sambil berteriak nyaring, Pendekar Pulau Neraka itu mengirimkan satu pukulan keras ke kapala orang itu. Tak dapat dihindari lagi. Pukulan bertenaga dalam hampir sempurna itu mendarat telak di kepala orang itu.

“Aaa…!” orang itu menjerit keras sambil memegangi kepalanya yang pecah.

Begitu kakinya mendarat di tanah, Bayu langsung mengirimkan dua pukulan geledek beruntun ke punggung dan pinggang orang itu. Satu jeritan panjang menyayat kembali terdengar disertai bunyi tulang-tulang patah. Orang itu menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari kepala yang pecah.

“Giliran kalian bertiga!” dengus Bayu geram. Pendekar Pulau Neraka memiringkan tubuhnya ke kiri setengah membungkuk. Kakinya terpentang agak lebar dan lututnya tertekuk hampir menyentuh tanah. Kemudian tangan kanannya mengibas cepat ke depan. Secercah cahaya keperakan dari senjata Cakra Maut kini melesat bagai kilat.

Cakra Maut itu meluncur deras tidak terbendung lagi ke arah salah seorang jago dari tanah seberang. Orang itu terperangah sesaat, lalu menjerit melengking tinggi. Lehernya koyak hampir putus terpenggal senjata milik Pendekar Pulau Neraka.

“Hiyaaa…!”

Seketika itu juga tubuhnya melesat cepat dan mengayunkan kakinya ke arah dada orang itu. Akibatnya, orang itu terjungkal ambruk ke tanah. Hanya sedikit Bayu mengangkat tangan kanannya. Dan saat senjata cakranya kembali menempel pada pergelangan tangan kanan, kembali dikibaskannya dengan cepat. Cakra Maut itu kembali melesat ke arah salah seorang lagi. Sementara Bayu meluruk deras menyambar satu jago dari seberang yang lain.

Dua orang jago dari seberang itu masih terpaku menyaksikan kematian dua orang temannya yang belum sempat mengeluarkan jurus-jurus andalan mereka. Dan belum juga mereka sempat menyadari, serangan kembali datang dengan cepat. Tentu saja hal ini membuat mereka jadi sibuk menghindari serangan-serangan dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Satu orang menghadapi langsung Pendekar Pulau Neraka, sedangkan seorang lagi berlompatan menghindari terjangan dahsyat Cakra Maut. Sungguh suatu pertarungan yang sangat unik, namun mengandung hawa maut!

“Modar…!” bentak Bayu tiba-tiba. Seketika itu juga dia menggedor tangan kanannya ke depan. Jago dari seberang itu terperangah sesaat, buru-buru di miringkan tubuhnya ke kanan. Namun gedoran tangan Pendekar Pulau Neraka masih sempat mengenai bahu kirinya. Orang itu memekik tertahan. Tubuhnya pun terhuyung ke belakang beberapa langkah.

Bayu tak menyia-nyiakan kesempatan yang sedikit itu. dia segera melompat sambil mengayunkan kaki kanannya. Tendangan yang cepat dan keras, disertai pengerahan tenaga dalam hampir sempurna itu, tidak bisa dielakkan lagi. Tapak kaki Bayu mendarat telak di dada yang terbuka.

“Hugh!” jago dari tanah seberang itu mengeluh pendek.

Belum lagi sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, satu pukulan keras menghantam kepalanya. Jerit melengking terdengar menyayat. Orang itu memegangi kepalanya yang retak. Darah pun mengucur deras dari sela-sela jari tangannya. Pada saat itu, Bayu kembali mendaratkan pukulan mautnya ke arah leher. Lawannya langsung diam tak bergerak-gerak lagi. Sesaat kemudian, tubuhnya ambruk dengan kepala terpisah. Tebasan jari tangan Pendekar Pulau Neraka sungguh luar biasa, karena dapat lebih tajam dari pada sebilah pedang. Serangan Pendekar Pulau Neraka itu tidak tanggung-tanggung lagi. Dikeluarkannya jurus andalan simpanannya yang tidak pernah digunakan sebelumnya. Jurus ‘Pukulan Mata Pedang Dewa’.

“Hhh…!” Bayu mendengus berat seraya memalingkan kepalanya.

Tampak beberapa puluh prajurit Gantar Angin berlarian ke arah pertarungan itu. Rupanya mereka mendengar suara pertarungan, sehingga mengundang mereka untuk ke sana. Kembali Bayu mendengus berat. Segera diangkat tangan kanannya ke atas kepala. Senjata Cakra Maut yang tengah melayang-layang, menyerang seorang jago dari tanah seberang, melesat balik dan langsung menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.

“Nyawamu masih terampuni kali ini, orang asing!” kata Bayu dingin.


Setelah berkata demikian, Bayu langsung melompat cepat ke arah atap bangunan istana. Dan begitu jari kakinya menjejak atap, tubuhnya kembali meluruk turun ke balik tembok istana itu. Beberapa prajurit yang mengejar, kini kehilangan jejak. Sedangkan jago dari seberang yang tersisa, hanya berdiri mematung dengan napas kembang-kempis.

*******************

Bayu langsung menutup jendela kamar pribadi Raden Sangga Alam begitu berada di dalam. Tarikan napasnya masih agak tersenggal. Tubuhnya berbalik, dan langsung menatap Raden Sangga Alam, Bantar Gading dan Paman Nampi. Ketiga orang itu berdiri memandanginya dengan paras wajah menyiratkan suatu kecemasan yang amat sangat.

“Apa yang terjadi, Bayu?” tanya Paman Nampi tidak bisa membendung rasa ingin tahunya.

“Huh…!” Bayu mendengus menghembuskan napas kencang.

“Kau bentrok dengan para prajurit?” tebak Bantar Gading.

“Empat orang asing,” jawab Bayu seraya menghenyakkan tubuhnya di kursi dekat jendela.

“Lalu?” desak Bantar Gading lagi.

“Aku berhasil menewaskan tiga di antaranya. Satu lagi berhasil selamat karena keburu datang prajurit-prajurit sialan itu.”

Bantar Gading dan Paman Nampi saling berpandangan. Sementara Raden Sangga Alam berjalan mondar-mandir dengan tangan terlipat di depan dada. Tampaknya tengah berpikir keras dengan peristiwa yang baru saja dialami Pendekar Pulau Neraka ini. selama masih ada jago-jago undangan dari tanah seberang, memang merupakan satu ganjalan yang sukar dilewati. Jago-jago dari seberang itu rata-rata memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Para panglima kerajaan pun belum tentu sanggup menandinginya. Hanya Pendekar Pulau Neraka saja yang dapat diandalkan. Tapi untuk menghadapi semuanya sekaligus….. Satu hal yang sangat riskan dan terlalu berbahaya.

Raden Sangga Alam menatap Bayu dalam-dalam. Sedangkan Bayu juga balas menatap pemuda tampan bagai wanita itu. Entah apa arti pandangan mereka, seolah-olah tengah berbicara menggunakan kekuatan batin. Sementara Bantar Gading dan Paman Nampi hanya memperhatikan saja dengan pandangan tidak mengerti.

“Tampaknya tidak ada jalan lain. Korban nyawa tidak mungkin lagi dihidnari. Para panglima dan patih yang setia pada Prabu Abiyasa mencium adanya pemberontakan di dalam. Mereka menangkap dan menjebloskan panglima, patih dan para prajurit yang dicurigai akan memberontak,” pelan suara Raden Sangga Alam.

“Perjuangan membutuhkan pengorbanan, Raden,” kata Paman Nampi mulai bisa menangkap kegundahan hati pemuda itu.
“Ya. Perngorbanan yang tidak kecil,” desah Raden Sangga Alam pelan.

Raden Sangga Alam mengalihkan pandangannya ke jendela. Terdengar suara-suara para prajurit yang masih mencari Pendekar Pulau Neraka. Suara-suara itu demikian dekat, dan pasti berada tidak jauh dari jendela kamar itu.

“Hanya satu yang kupikirkan saat ini,” kata Raden Sangga Alam lagi setelah suara-suara itu mulai senyap.

“Apa?” tanya Paman Nampi.

“Jago-jago dari seberang yang diundang Prabu Abiyasa.”

“Serahkan padaku!” sergah Bayu tegas.

“Bayu…” Paman Nampi langsung menatap Pendekar Pulau Neraka itu. “Mereka sangat tangguh. Jurus-jurusnya pun sangat berbeda dengan yang ada di negeri ini. Maaf, bukannya aku mengecilkan arti dirimu, aku hanya mengkhawatirkan kalau-kalau…”

“Terima kasih, Paman.” Cetus Bayu cepat memotong. “Kalian tidak perlu mencemaskan diriku. Memang sudah jadi kewajibanku untuk menghadapi orang-orang asing yang ikut campur dalam urusan kerajaan di sini. Dan aku juga tidak akan ikut bertempur melawan prajurit. Aku hanya mencegah orang-orang asing itu ikut campur!” tegas kata-kata Bayu Hanggara.

“Tuan Pendekar! Aku tidak akan melupakan jasamu yang sangat besar ini,” ucap Raden Sangga Alam terharu.

“Lupakan saja. Yang penting sekarang, Raden harus memberikan tanda untuk memulai peperangan. Mereka yang berada di luar tidak sabar lagi menunggu perintah Raden. Meskipun Ki Raban bisa mengerti, tapi aku khawatir yang lainnya tidak bisa mengendalikan diri,” jelas Bayu lagi.

“Baiklah! Untuk sementara kita kesampingkan dulu kelompok ketiga yang dipimpin Ki Maruta. Hal ini bisa ditanggulangi nanti setelah istana ini dapat kita kuasai,” sahut Raden Sangga Alam.

Setelah berkata begitu, Raden Sangga Alam melangkah keluar dari kamar. Bayu membuka jendela kamar itu dan melompat keluar. Bantar Gading dan Paman Nampi mengikuti keluar dri jendela juga. Untung saja tidak seorang prajurit pun yang berada di sektiar kamar itu, sehingga ketiga orang itu dapat leluasa bergerak.

*******************


Peperangan tak terhindarkan lagi. Begitu Raden Sangga Alam memberi tanda dengan melepas sepasang burung merpati, para prajurit dan pemuda yang setia pada Ratu Kunti Boga langsung menyerbu benteng Istana Kerajaan Gantar Angin. Pekik peperangan dan jerit kematian berbaur jadi datu memecah udara di Kerajaan Gantar Angin.

Para prajurit yang berada di dalam benteng, jumlahnya memang sangat sedikit. Sehingga, dalam waktu tidak berapa lama saja pintu gerbang benteng istana jebol. Tampak Ki Raban memimpin di depan menerobos pintu benteng yang hancur berantakan. Denting senjata bergema mengiringi jerit kematian dan pekik peperangan. Tubuh-tubuh mulai bergelimpangan. Darah bersimbah membasahi tanah Gantar Angin.

Di antara para prajurit dan pemuda rakyat yang tengah bertempur menyabung nyawa, tampak Bayu sedang menghadapi dua orang jago dari seberang. Tidak jauh dari tempat pertarungan itu, terlihat tiga orang jago dari seberang tergeletak dengan tubuh bersimbah darah. Rupanya Pendekar Pulau Neraka telah berhasil membinasakan tiga dari lima jago dari seberang yang tersisa.

Jumlah yang banyak dengan ditambah semangat berkobar-kobar, membuat mereka yang setia pada Ratu Kunti Boga berada di atas angin. Semangat mereka semakin berkobar begitu para panglima, patih, dan prajurit yang ditawan telah dibebaskan Bantar Gading. Mereka langsung menerjunkan diri dalam kancah pertempuran. Suasana jadi semakin tidak menentu. Tidak terhitung lagi, berapa para prajurit setia Prabu Abiyasa yang tewas berlumuran darah.

“Mampuslah kalian!” terdengar bentakan keras Pendekar Pulau Neraka.

“Aaa…!” satu jeritan melengking mengantarkan kematian salah seorang jago dari seberang dengan leher terpenggal.

Bayu berdiri tegak memandang salah seorang jago dari seberang yang tersisa. Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, dan berkulit kuning langsat. Wajahnya cukup tampan, namun sorot matanya mencerminkan kebengisan. Senjata berupa pedang yang kecil dan tipis berwarna keperakan. Perlahan-lahan diangkat pedangnya ke atas kepala. Kedua tangannya memegang gagang pedang erat-erat, lalu tangan kiri mengembang ke samping. Pedang tipis kecil panjang itu terpisah jadi dua bagian. Kini di tangan kanan dan kiri, masing-masing menggenggam satu pedang dengan bentuk dan ukuran yang sama.

“Hiyaaa…!”

Orang itu berteriak nyaring. Seketika itu juga tubuhnya melesat cepat menerjang. Bayu yang sudah siap sejak tadi, memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri menghindari sodokan pedang di tangan kanan lawannya. Kemudian kaki kanannya terangkat menekuk menghindari tebasan pedang di tangan kiri. Dua serangan serentak luput tanpa mengenai sasaran.

“Yaaah…!” Bayu berteriak keras.

Buk!

“Hugh!”

Entah bagaimana mulainya, tahu-tahu Pendekar Pulau Neraka sudah mendorong kedua tangannya ke depan. Dan orang dari seberang itu terdorong beberapa langkah ke belakang. Tangan kirinya menekan dada, sedangkan dari mulutnya menyebur darah kental kehitaman. Tampak didadanya yang terbuka terdapat gambar telapak tangan berwarna hitam kebiru-biruan. Ternyata Bayu melepaskan jurus ‘Pukulan Tapak Beracun’. Satu jurus andalan yang sangat dahsyat, dan dapat berakibat fatal bagi lawan yang terkena pukulan beracun itu.

“Huh! Yeaaah…!”

Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri setengah membungkuk, sedangkan kakinya tertekuk dengan lutut hampir menyentuh tanah. Orang yang pernah bentrok dengan Pendekar Pulau Neraka, pasti dapat menebak kalau dirinya akan melontarkan senjata mautnya yang aneh. Tapi Bayu jadi tertegun, karena lawannya hanya berdiri diam tidak bergerak-gerak.

Belum sempat disadari, tahu-tahu orang asing itu ambruk ke tanah dengan punggung tertembus tombak. Tampak Paman Nampi berdiri tidak jauh dari orang asing itu. Bayu kembali berdiri tegak, mengurungkan niat melontarkan senjata mautnya. Sementara pertempuran masih terus berlangsung. Kelihatan sekali kalau para prajurit Prabu Abiyasa sudah demikian terdesak. Bahkan beberapa prajurit mencoba melarikan diri. Tapi, para prajurit yang dipimpin langsung Ki Raban tidak membiarkan mereka melarikan diri.

“Paman, di mana Raden Sangga Alam?” tanya Bayu yang sejak terjadinya pertempuran tidak melihat kehadiran Raden Sangga Alam.

“Di dalam, bersama beberapa panglima. Mereka tengah mengamankan keluarga kerajaan. Prabu Abiyasa sudah ditawan,” sahut Paman Nampi.

“Kalau begitu, hentikan pertempuran ini!” seru Bayu.

“Tidak mungkin, Bayu! Mereka bukan prajurit terdidik. Lebih banyak rakyat dari pada prajurit sesungguhnya. Biarkan saja mereka melampiaskan dendam dan sakit hati mereka.”

Bayu sempat terhenyak mendengar jawaban Paman Nampi, tapi tidak bisa berbuat apa apa. Dia sudah berjanji tidak mencampuri urusan dalam Kerajaan Gantar Angin. Bayu merasa tidak ada gunanya lagi berlama-lama di lingkungan istana ini. Sementara Paman Nampi sudah kembali terjun dalam kancah pertempuran. Laki-laki tua itu seperti sedang melampiaskan amarah dan rasa sakit hatinya. Mereka yang berani mendekat, habis dibantai tanpa ampun lagi.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera melompat tinggi ke udara. Tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat melewati pagar benteng istana itu. Sekejab saja bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka lenyap dibalik tembok benteng. Sementara pertempuran terus berlangsung. Bahkan di bagian lain, rakyat dan para prajurit setia Ratu Kunti Boga bersorak sorai akan kemenangan yang diraihnya. Gantar Angin benar-benar banjir darah. Perang saudara berkecamuk akibat rasa dendam dan sakit hati yang tak terobati. Rasa dendam itu dilampiaskan dengan membantai para prajurit Prabu Abiyasa yang nyata-nyata sudah tidak mampu lagi mempertahankan diri.

Bayu berdiri tegak di atas sebuah bukit. Tatapan matanya tertuju langsung ke arah Kerajaan Gantar Angin. Dari ketinggian di atas bukit itu bisa dilihat jelas, bagaimana pertempuran berlangsung di dalam benteng istana. Pertempuran yang sudah berubah jadi arena pembantaian dan pelampiasan hati yang tertekan selama ini.

“Hhh! Mereka sudah seperti binatang! Tidak lagi menggunakan otak…!” dengus Bayu berat.

“Kau tidak ikut bertempur, Kakang?”

Bayu tersentak kaget, dan langsung menoleh. Sama sekali Pendekar Pulau Neraka itu tidak menyadari kalau Mayang mengayunkan kakinya mendekati dan berdiri di sampingnya.

“Bagaimana keadaan di sana, Kakang?" tanya Mayang.

“Kau lihat sendiri. Mereka tidak seperti manusia lagi, tapi cenderung bagaikan binatang yang sedang memperebutkan daerah kekuasaan,” sahut Bayu agak tertahan suaranya.

“Seharusnya kau menghentikan pembantaian itu, Kakang,” kata Mayang.

“Percuma! Mereka tidak memerlukan aku lagi. Mereka sudah dikendalikan hawa nafsu dan rasa dendam yang mendalam di dalam hati. Raden Sangga Alam sendiri tidak mampu mengendalikannya.”

“Lalu, bagaimana dengan Kakang Bantar Gading?” tanya Mayang teringat kekasihnya.

“Aku tidak melihat sejak terjadi pertempuran.”

“Oh…..” Mayang mendesah lirih.

Bayu memalingkan kepalanya. Jelas, ada rasa cemas terpancar pada wajah wanita itu. Sangat jelas terlihat, meskipun wajahnya masih pucat. Kondisi tubuh Mayang memang belum pulih benar dari luka-lukanya. Bayu membalikkan tubuhnya saat telinganya mendengar ranting terinjak. Dari dalam semak belukar muncul Rintan. Gadis muda berwajah kekanak-kanakan.

“Rintan, kenapa kau ke sini?” tanya Mayang.

“Aku mencarimu, Kak. Aku cemas, kau belum sembuh benar,” jawab Rintan.

“Sebaiknya kalian kembali saja. Kau masih perlu banyak istirahat, Mayang,” usul Bayu.

“Aku akan menunggu Kakang Bantar Gading di sini,” sahut Mayang tegas.

“Dia pasti datang. Percayalah,” bujuk Bayu.

“Tidak, Kakang Bayu. Perasaanku mengatakan lain. Selama ini seluruh rakyat menganggap Kakang Bantar Gading putra sulung Prabu Abiyasa. Dan kau tahu, tindakannya sangat kejam. Tidak terhitung lagi rakyat yang tewas di ujung pedangnya. Aku yakin mereka akan mengadili Kakang Bantar Gading, dan menghukum mati,” agak tersendat Mayang.

“Jangan berprasangka buruk dulu, Mayang. Dia pasti…”

Bayu belum sempat mengakhiri kata katanya, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat. Ternyata Bantar Gading tahu-tahu sudah berdiri di depan mereka. Mayang segera berlari memburu dan memeluknya. Bayu menarik napas panjang. Dadanya terasa lega melihat Bantar Gading muncul.

“Mayang! Kita harus segera menginggalkan Gantar Angin! Seluruh rakyat tidak mau perduli, dan tetap menuntut agar aku dihukum gantung,” kata Bantar Gading agak tersenggal napasnya.

“Oh, Kakang…” desah Mayang kembali memeluk erat.

“Ayo, cepatlah! Sudah kusiapkan kuda untuk kita,” kata Bantar Gading.

“Kakang…” Mayang melepaskan pelukannya, lalu menoleh pada Pendekar Pulau Neraka dan Rintan.

“Tuan Pendekar, maaf. Bukannya aku tidak memperdulikanmu, tapi keadaan memaksa kita berpisah di sini,” ujar Bantar Gading.

“Pergilah kalau itu sudah menjadi keputusanmu,” kata Bayu tersenyum maklum.

“Ayo, Mayang.”

“Tunggu dulu, Kakang. Bagaimana dengan ayahku?”

“Aku tidak bisa mencegah perintah Raden Sangga Alam. Dia sudah memerintahkan para panglimanya untuk menghabisi para pemberontak. Saat ini pasti tengah terjadi pertempuran di Hutan Danaraja. Maafkan aku, Mayang. Aku bukan lagi orang yang punya hak di Gantar Angin. Bahkan keselamatanku pasti terancam jika masih berada di sini. Kita harus pergi sejauh mungkin dan melupakan semua yang telah terjadi,” jelas Bantar Gading.

Mayang menatap Bayu sebentar, kemudian melangkah pergi setelah Bayu tersenyum dan mengangguk. Sepasang kekasih itu bergegas meninggalkan tempat itu. Tinggal Bayu dan Rintan masih berada di atas puncak bukit ini. Untuk beberapa saat mereka berdiam diri, tidak berkata satu patah kata pun.

“Sudah saatnya kita juga harus berpisah,” kata Rintan pelan setengah mendesah.

“Eh, tunggu!” cegah Bayu menangkap tangan gadis itu.

Rintan berbalik dan menatap langsung bola mata pemuda berbaju kulit harimau itu. Bayu melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan gadis itu.

“Aku tahu siapa kau sebenarnya, Rintan. Kau adalah Mayang, putri Ratu Kunti Boga yang hilang! Dan usiamu tidak lagi lima belas tahun. Hanya wajahmu saja yang terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya,” tebak Bayu.

“Dari mana kau tahu itu?” tanya Rintan terkejut.

“Kau mengaku putri pemilik kedai dan rumah penginapan. Itu yang membuatku merasa penasaran, karena mereka yang mengenal pemilik kedai itu tidak mengatakan, bahwa dia mempunyai anak seorangpun. Bahkan istri saja tidak punya. Aku menyelidiki siapa kau sebenarnya. Kemudian aku bertemu serorang perempuan yang mengaku bernama Nyai Tampik. Dari dialah kuketahui siapa kau sebenarnya,” jelas Bayu.

“Di mana kau bertemu dengan guruku?” Rintan yang ternyata adalah putri Ratu Kunti Boga segera mengakui meskipun tidak menyatakannya secara langsung.

“Di perbatasan sebelah utara. Dia menunggumu dan ingin mengajakmu pulang. Katanya, kau belum sempurna mempelajari ilmu-ilmu yang diturunkannya.”

Rintan langsung diam.

“Rintan….. kenapa kau memasuki Kerajaan Gantar Angin? Dan lagi mengapa kau diam saja di saat saudaramu sedang berjuang mengembalikan tahta yang sesungguhnya,” tanya Bayu ingin tahu.

“Aku hanya ingin melihat keadaan tanah kelahiranku. Dan aku cukup senang karena adikku ternyata mampu menguasai kembali tahta kerajaan. Dalam hatiku, tidak ada minat sama sekali terhadap kedudukan dan kejayaan. Terus terang, aku sudah bertekad untuk mengubur siapa diriku sebenarnya. Di samping itu, aku tahu kalau kau seorang pendekar yang dapat diandalkan untuk membantu adikku. Maaf, kalau tanpa sepengetahuanmu aku terus menggiringmu masuk ke dalam kemelut itu,” Rintan mengakui terus terang.

Bayu jadi bengong. Sama sekali tidak disadarinya kalau gadis yang kelihatan masih terlalu muda itu ternyata memiliki otak yang cerdas. Dia sampai-sampai tidak menyadari kalau sesungguhnya sengaja digiring untuk terlibat. Satu perbuatan yang terencana rapi, hingga tidak terbongkar sedikitpun.

“Rintan, tunggu….!” Bayu tersentak dari rasa terkesimanya.

Tapi terlambat, Rintan sudah melesat cepat meninggalkan bukit itu. gerakannya sangat ringan, cepat luar biasa. Pertanda kalau gadis itu sudah menguasai ilmu meringankan tubuh dengan baik sekali. Bayu menarik napas panjang. Kepalanya menggeleng-geleng begitu memahami semua yang telah terjadi dan dialaminya selama ini. namun bibirnya tersenyum juga.

“Aku boleh bangga dengan kedigdayaanku. Tapi, ternyata ada orang lain yang lebih digdaya dengan otak dan pikirannya. Aku mengaku kalah padamu Rintan…” gumam Bayu tulus.

S E L E S A I

Jago Dari Seberang

Serial Pendekar Pulau Neraka
Episode Jago Dari Seberang
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta

Cerita silat Indonesia Serial Pendekar pulau Neraka

SATU

MALAM begitu larut. Sebuah bayangan berkelebat cepat dari satu atap ke atap rumah lainnya. Udara terasa dingin mengigit sampai ke tulang. Rintik air hujan merinai, membuat kebanyakan orang lebih betah berada di dalam rumah. Masih terlihat para prajurit Kerajaan Gantar Angin berkeliaran di setiap sudut kota. Bayangan itu terus berkelebat cepat, dan baru berhenti setelah sampai pada dahan pohon dekat benteng bangunan istana.

Sepasang bola matanya tajam mengamati keadaan dalam sekitar benteng tinggi dan kokoh itu. Dan perhatiannya langsung tertuju pada sebuah jendela besar yang terbuka lebar. Cahaya lampu pelita menerangi hampir seluruh ruangan di balik jendela itu. Tampak seorang pemuda tampan berbaju sutra halus putih bersih, berdiri didepan jendela. Begitu tampannya sehingga wajahnya seperti seorang wanita. Pemuda tampan itu berbalik, dan pada saat itu pula bayangan di atas pohon berkelebat menembus jendela. Pemuda itu terkejut, hampir berteriak. Tapi pemuda itu keburu diringkusnya.

“Jangan berteriak!” dingin suaranya.

Pemuda tampan berbaju putih dengan sulaman benang emas itu diam. Dia tidak lagi berontak. Orang yang meringkusnya pun melepaskan dengan mendorongnya ke depan. Pemuda itu berbalik. Matanya berkilau merayapi seorang laki-laki muda tampan mengenakan baju kulit harimau.

“Kau pasti Pendekar Pulau Neraka…” tebak pemuda itu.
“Benar! Aku Bayu Hanggara, Pendekar Pulau Neraka. Kuharap kau tidak membuat kesulitan, Raden.”

Pemuda tampan itu ternyata Raden Sangga Alam tersenyum mengangguk. Sebentar dia menarik napas panjang, kemudian melangkah mendekati jendela. Raden Sangga Alam menutup jendela kamar itu, kemudian duduk di tepi pembaringan.

“Silahkan duduk,” katanya mempersilahkan Bayu untuk mengambil tempat.
Bayu melirik sebuah kursi, dan menariknya dekat jendela. Segera dihenyakkan bokongnya, duduk di bawah jendela besar itu. Kepalanya sedikit dimiringkan, mencoba mendengarkan suara-suara mencurigakan yang mungkin bisa membahayakan. Pendekar Pulau Neraka itu sadar kalau telah memasuki kandang macan. Sedikit saja melakukan kesalahan, bisa berakibat fatal.

“Aku sering mendengar namamu, Kisanak,” kata Raden Sangga Alam. Lembut suaranya.

“Hm…” Bayu hanya menggumam kecil.

“Terlalu berbahaya jika kau berada di sini. Ayahanda Prabu telah memerintahkan untuk memperketat penjagaan di sekitar istana, baik siang maupun malam. Lebih-lebih Kanda Bantar Gading. Dia benar-benar menghendaki kepalamu,” kata Raden Sangga Alam tidak bermaksud untuk menggertak.

“Hebat…!” desis Bayu tersenyum sinis.

“Apa yang kau inginkan sehingga datang menemuiku, Kisanak?!” tanya Raden Sangga Alam. Suaranya masih terdengar lembut.

“Aku datang untuk menemui Panglima Nampi.”

Raden Sangga Alam tersedak sesaat. Wajahnya berubah mendung. Bayu memperhatikan perubahan wajah itu. Keningnya sedikit berkerut. Sudah bisa diduga kalau telah terjadi sesuatu pada Panglima Nampi. Bayu tahu betul kalau Raden Sangga Alam sangat dekat dengan orang tua berjubah putih itu. Makanya dia datang ke sini untuk menemui Panglima Nampi, melalui Raden Sangga Alam.

“Boleh aku tahu, ada urusan apa kau berkeinginan menemui beliau?” tanya Raden Sangga Alam.

“Urusan pribadi,” sahut Bayu tegas.

“Kau ingin membunuhnya?”

“Tergantung dia sendiri.”

“Ketahuilah, Kisanak. Keadaan Kerajaan Gantar Angin tengah dilanda kekacauan. Ayahanda Prabu menginginkan pekerjaan pembuatan jalan ke Pesanggrahan Goa Larangan agar cepat selesai. Tapi selalu saja ada yang merintangi, terutama para pemberontak yang tidak menyukai tempat suci itu dirubah kegunaannya. Bahkan mereka juga hendak menggulingkan tahta kerajaan…” kata Raden Sangga Alam.

“Maaf! Urusanku tidak ada sangkut pautnya dengan suasana di sini,” selak Bayu cepat.

“Senang atau tidak, kau telah tersangkut. Ayahanda Prabu dan Kakang Bantar Gading sudah meecap-mu sebagai ancaman besar melebihi kaum pemberontak. Dan sekarang kau datang hendak mencari Panglima Nampi… Tanpa disadari, kau telah melibatkan dirimu sendiri dalam arus yang terjadi di sini, Kisanak,” lembut namun tegas kata-kata Raden Sangga Alam.

Bayu jadi tertegun mendengar kata-kata itu. Sungguh tidak disadari akan sejauh itu jadinya. Pendekar Pulau Neraka itu tersentak ketika mendengar suara pintu diketuk. Tanpa berpikir banyak lagi, bergegas dia melompat ke palang atap. Raden Sangga Alam tersenyum dan beranjak turun dari pembaringan, lalu melangkah menghampiri pintu dan membukanya.

Ternyata Raden Bantar Gading telah berdiri di ambang pintu dan membukanya bersama dua orang berpakaian aneh dan memegang senjata aneh pula yang berdiri di belakangnya.

“Ada apa, Kanda?” tanya Raden Sangga Alam.

“Dua orang pengawal pribadiku melihat seseorang masuk ke dalam kamarmu,” kata Raden Bantar Gading.

“Tidak ada siapa-siapa di sini,” sahut Raden Sangga Alam.

Raden Bantar Gading menjulurkan kepalanya. Diamatinya keadaan sekeliling kamar itu. Dua orang jago undangan yang kini menjadi pengawal pribadi Raden Bantar Gading, ikut mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan itu. Sejenak mereka saling berpandangan, kemudian sama-sama mengangkat bahunya.

“Dinda Sangga Alam, benar tidak ada yang masuk ke sini?” Raden Bantar Gading ingin meyakinkan.

“Sejak tadi aku ada di sini. Seperti kau lihat, tidak ada seorang pun masuk ke kamar ini, Kanda,” sahut Raden Sangga Alam tenang.

Raden Bantar Gading memandang dua orang pengawal pribadinya sebentar, kemudian mengegoskan kepalanya. Tanpa berkata apa apa lagi, mereka meninggalkan kamar itu. Raden Sangga Alam segera menutup pintu dan menguncinya. Sedangkan Bayu langsung meluruk turun begitu pintu kamar tertutup lagi. Sebentar mereka saling berpandangan.

Bayu mendekati jendela, dan mengintip ke luar. Tampak beberapa prajurit berjaga-jaga di sekitar jendela kamar itu. Bergegas dia menghampiri pintu, dan mengintip dari lubang di atasnya. Empat orang prajurit juga berjaga-jaga di sana. Bayu menyadari kalau kamar itu sudah dijaga ketat. Itu berarti kehadirannya sudah diketahui.

“Sudah kukatakan, kehadiranmu di sini akan memperburuk keadaan,” kata Raden Sangga Alam.

“Raden, di mana kamar Panglima Nampi?” tanya Bayu tidak perduli dengan keadaan dirinya yang sulit untuk keluar dari kamar itu.

“Semua panglima tidak tinggal di istana. Mereka punya rumah tersendiri di luar lingkungan istana,” jawab Raden Sangga Alam tenang.

“Kalau begitu, di mana rumahnya?”

“Percuma saja kau ke sana, Kisanak. Panglima Nampi tidak ada lagi di rumahnya.”

Bayu mengerutkan dahinya. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata Raden Sangga Alam.

“Paman Nampi tertangkap ketika berada di rumah salah seorang pemimpin pemberontak. Tuduhannya sangat berat, dan mungkin akan dihukum mati. Atau mungkin juga, hukuman itu sudah dilaksanakan. Aku sendiri tidak tahu, bagaimana nasibnya sekarang,” agak lirih suara Raden Sangga Alam.

Lemas seluruh tubuh Bayu mendengar penjelasan itu. Satu-satunya orang yang diharapkan, tidak jelas nasibnya. Jalan yang dilalui kini semakin gelap saja. Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mendekati jendela. Tampak beberapa prajurit masih berdiri berjaga-jaga tidak jauh dari jendela kamar ini. Bayu meminta Raden Sangga Alam untuk membuka jendela itu.

Semua prajurit yang berada di luar jendela serentak membungkuk memberi hormat. Raden Sangga Alam hanya menganggukkan kepala sedikit. Para prajurit itu berbalik membelakangi. Pada kesempatan yang sedikit itu, Bayu segera melesat cepat bagai kilat menembus jendela.

Dalam sekejap mata saja, bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka itu lenyap ditelan kegelapan malam. Tak ada seorang prajurit pun yang mengetauhi. Raden Sangga Alam kembali menutup jendela seraya menarik napas panjang.

*******************

Bayu Hanggara duduk merenung di atas sebongkah batu sebesar kerbau. Pikirannya kusut tidak menentu. Dia tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukan. Menembus benteng Istana Gantar Angin? Terlalu besar resikonya. Sedangkan dia tidak tahu, di mana Panglima Nampi sekarang berada. Dan lagi, apakah dia sudah mati atau belum? Sedangkan satu-satunya harapan untuk mengetahui asal-usul Mayang, hanya Panglima Nampi.

Begitu asyiknya melamun, sampai-sampai tidak mengetahui ada seseorang mendekatinya. Bayu baru tahu setelah pundaknya disentuh lembut. Pendekar Pulau Neraka itu menoleh. Seraut wajah cantik tersenyum manis padanya. Bayu menggeser duduknya memberi tempat. Wanita cantik berbaju merah muda itu duduk di sampingnya.

“Maaf, Mayang. Aku belum bisa mencari keterangan tentang dirimu lebih banyak lagi,” kata Bayu. Pelan suaranya.

“Tidak apa, Kakang. Aku tahu kau telah berbuat banyak padaku. Seharusnya aku yang minta maaf, karena telah menyusahkanmu,” sahut Mayang yang juga pelan suaranya.

“Aku telah mencoba menembus benteng istana.”

“Kau bertemu dengan Panglima Nampi?”

“Tidak. Aku hanya bertemu Raden Sangga Alam. Dari dialah aku tahu kalau Panglima Nampi ditangkap. Bahkan sampai saat ini tidak jelas nasibnya.”

“Kakang, apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Aku tidak tahu, Mayang. Orang satu-satunya yang kita harapkan, entah bagaimana nasibnya sekarang. Rasanya kita menghadapi jalan buntu,” keluh Bayu.

“Hanya ada satu cara, Kakang…!” sentak Mayang tiba-tiba.

Bayu menatap wanita di sebelahnya.

“Ratu Kunti Boga.”

“Mustahil…! Tidak ada seorangpun yang tahu, di mana Ratu Kunti Boga disekap. Lagi pula, kita tidak tahu apakah masih hidup atau sudah mati!” ujar Bayu seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Nada suaranya menyiratkan kepasrahan.

“Tapi banyak orang yang bilang, kalau Ratu Kunti Boga masih hidup, Kakang. Dari para pemberontak yang sering datang ke sini, aku tahu kalau Ratu Kunti Boga masih hidup. Dia kini berada di dalam tahanan bawah tanah. Sedangkan yang lainnya sudah tidak ada lagi. Semuanya tewas di tangan algojo.”

“Mayang, kau jangan terpengaruh oleh omongan mereka. Bisa saja mereka bicara hanya untuk menyenangkanmu. Atau, mungkin saja mereka sengaja berkata begitu untuk memanfaatkanmu, karena mereka tahu siapa kau sebenarnya!”

“Mereka bukan orang-orang jahat, Kakang. Mereka berontak karena menuntut hak dan keadilan. Tujuan mereka hanya untuk menggulingkan tahta, dan mengembalikannya pada Ratu Kunti Boga!” bantah Mayang sengit. “Kau terlalu curiga, Kakang. Aku yakin maksud mereka itu suci.”

“Hm…. Jadi kau akan bergabung dengan mereka?” tebak Bayu langsung.

“Terus terang, aku memang berpikir begitu, Kakang.” Mayang mengakui.

“Aku tidak bisa memaksa, apalagi menghalangimu. Kau bebas menentukan jalan hidupmu sendiri,” pelan suara Bayu.

“Kakang. Bukan maksudku untuk menjauhi dirimu. Justru aku berharap kau bersedia membantu mereka. Perjuangan mereka suci, Kakang. Cobalah kau lihat kenyataan yang terjadi di depan kita,” kata Mayang setengah membujuk.

“Aku seorang pendekar, Mayang. Aku bersedia membantu siapa saja, tapi tidak untuk terlibat dalam urusan kerajaan. Kau harus mengerti, Mayang.”

“Aku tahu, Kakang.”

“Mayang, persoalanmu saja belum selesai. Sabarlah sampai asal-usulmu bisa terungkap. Kau juga jangan terlalu dalam melibatkan diri dengan mereka. Carilah keterangan siapa dirimu sebenarnya. Masalahnya, mereka pasti menganggap dirimu putri Ratu Kunti Boga. Hal itu akan membahayakan dirimu sendiri. Itu kalau memang benar kau putri Ratu Kunti Boga! Kalau ternyata bukan…! Apa kau sudah siap menghadapi semuanya?”

“Aku tidak perduli siapa diriku, Kakang. Aku hanya ingin melakukan sesuatu yang berguna dalam hidupku!” tegas kata-kata Mayang.

Bayu menarik napas panjang, dan menghembuskannya kuat-kuat. Sulit untuk memaksa wanita itu lagi. Tekadnya sudah bulat. Bayu merasa semua yang dilakukan hanya sia-sia belaka. Yang jelas dia tidak ingin mengeluh. Baginya itu sudah suatu resiko seorang pendekar kelana hanya saja, di dalam hatinya masih terbetik rasa penasaran. Bayu belum puas kalau belum dapat menuntaskan semua persoalan yang dihadapinya. Meskipun Mayang sendiri sudah tidak ambil perduli lagi terhadap dirinya sendiri. Yang jelas Bayu bertekad untuk tetap meneruskan usahanya.

*******************

Hari itu Bayu menemui Ki Marutadi di Hutan Danaraja sebelah timur. Hampir seluruh Hutan Danaraja telah dikuasai para pemberontak. Semakin hari jumlah mereka semakin bertambah banyak. Kedatangan Bayu tentu saja disambut gembira oleh para pemimpin pemberontak, yang rata-rata bekas pembesar setia Ratu Kunti Boga.

Mereka semua sudah mendengar tentang Pendekar Pulau Neraka dari cerita Ki Maruta. Dan memang nama pendekar itu sudah kondang. Bahkan seluruh rakyat Gantar Angin sudah mendengarnya. Ini bisa saja terjadi, karena Raden Bantar Gading yang dibantu jago-jago dari tanah seberang telah mengumumkan agar seluruh rakyat melaporkan jika melihat Pendekar Pulau Neraka.

“Sudah kuduga kedatanganmu, Kisanak. Aku yakin kau pasti akan datang menemuiku,” ucap Ki Maruta gembira menyambut kedatangan Bayu.

“Aku datang memang untuk menemuimu, Ki Maruta,” sahut Bayu.

“Kau ingin bergabung dengan kami?” tebak Ki Maruta berharap.

Bayu menggeleng-gelengkan kepala, namun bibirnya tersenyum penuh rasa persahabatan. Ki Maruta mendesah panjang. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatinya.

“Maaf, bukannya aku ingin membuatmu kecewa,” kata Bayu, seperti mengetahui perasaan lelaki tua itu.

“Tidak apa. Memang seharusnya aku tidak terlalu berharap banyak padamu,” sahut Ki Maruta pelan.

Bayu merasakan nada kekecewaan pada suara Ki Maruta.

“Lalu, apa maksudmu datang ke sini?” tanya Ki Maruta. “Aku hanya mengharap kejujuranmu, Ki,” sahut Bayu tegas.

“Kejujuranku?”

“Ya! Tentang diri Mayang yang sebenarnya. Aku yakin kau menyembunyikan sesuatu tentang Mayang. Maukah kau berterus terang padaku, Ki?” desak Bayu berharap.

“Apalagi yang kau ketahui tentang Mayang? Aku sendiri merasa kalau Mayang benar-benar putri Gusti Ratu Kunti Boga. Wajahnya memang tidak mirip. Tapi sinar matanya begitu mirip dengan Gusti Ratu Kunti Boga,” jelas KiMaruta, coba meyakinkan Pendekar Pulau Neraka itu.

Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Tetap tidak bisa dipercaya begitu saja kata-kata Ki Maruta. Yang diinginkan adalah kepastian, bukan hanya sekedar perasaan hati.

“Hanya ada satu cara untuk mengetahui siapa Mayang sebenarnya, Kisanak. Bebaskan Paman Nampi atau Gusti Ratu Kunti Boga! Hanya mereka yang tahu persis jati diri Mayang,” sambung Ki Maruta.

“Hal itu memang sudah kupikirkan. Hanya masalahnya, aku tidak tahu di mana mereka berada sekarang. Hidup dan matinya pun aku tidak tahu,” sahut Bayu bernada mengeluh.

Ki Maruta menatap dalam-dalam pada pemuda itu. Dirasakan ada nada lain pada suara Pendekar Pulau Neraka. Dia sering mendengar sepak terjang Pendekar Pulau Neraka. Dan kini, setelah berhadapan langsung, laki-laki tua itu merasakan adanya perbedaan yang sangat mencolok.

“Kisanak, boleh aku tahu. Mengapa kau sangat berkeinginan mengetahui diri Mayang sesungguhnya?” tanya Ki Maruta bernada curiga.

Bayu Hanggara tersentak mendengar pertanyaan itu. ditatapnya dalam-dalam wajah laki-laki tua di depannya. Sangat sulit untuk menjawabnya. Dia sendiri tidak tahu, mengapa begitu ingin mengetahui asal-usul Mayang. Belum pernah dialami suatu perasaan penasaran yang amat sangat menghantui dirinya. Bayu sendiri tidak tahu, apa yang menarik pada diri wanita cantik itu.

Pertanyaan Ki Maruta seolah-olah menggugahnya dari alam mimpi yang sangat panjang dan melelahkan. Apa yang dilakukannya selama ini tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Mungkin karena nasib wanita itu yang hampir sama dengannya, sehingga Bayu selalu ingin mengungkap tabir yang menyelimuti diri Mayang. Dan kini Bayu merasa adanya nada kecurigaan pada suara Ki Maruta.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Bayu bangkit berdiri. Tak lama, dia melangkah meninggalkan Ki Maruta yang hanya bisa terpaku. Ada sedikti rasa penyesalan terselip di hati laki-laki tua itu. Dia menyesal karena telah memberi pertanyaan yang mungkin menyinggung perasaan Pendekar Pulau Neraka itu.

“Ah! mudah-mudahan saja dia tidak tersinggung,” desah Ki Maruta dalam hati.

*******************

DUA

Bayu menghentikan langkahnya. Matanya sedikit menyipit melihat seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, dan berwajah kasar, berdiri tegak menghadang jalannya. Di pinggangnya melilit cembuk hitam yang tangkainya berbentuk kepala ular.

“Kau yang bernama Pendekar Pulau Neraka?” besar dan keras suara orang itu bertanya.

“Benar. Dan kau siapa?” Bayu balas bertanya.

“Aku Braga, bekas orang bayaran Raden Bantar Gading,” orang bertubuh tinggi tegap dan berwajah kasar itu memperkenalkan diri.

“Hm… Lantas, apa maksudmu menghadang perjalananku?” tanya Bayu setengah bergumam.

“Aku sering dengar namamu disebut-sebut hampir setiap orang di Gantar Angin ini. Bahkan para prajurit dan jago-jago undangan dari tanah seberang sedang mencarimu,” ungkap Braga.

“Aku tahu itu,” sahut Bayu kalem.

“Karena itu aku sengaja menunggumu di sini.”

“Untuk apa? Menangkapku?” mulai sinis kata-kata Bayu.

“Aku tahu, kau seorang pendekar yang sangat tangguh dan mampu mengatasi segala persoalan seorang diri. Tapi aku datang justru ingin membantumu,” kata Braga serius.

“Hm….” Bayu mengerutkan keningnya.

“Aku memang bukan orang baik-baik. Aku dilahirkan dari keluarga begal, rampok dan pembunuh. Dan pekerjaanku pun adalah pembunuh bayaran. Tapi biar bagaimanapun juga, aku masih punya hati dan perasaan. Aku bersedia melakukan apa saja demi uang…!” kata Braga.

“Maaf, aku tidak punya uang untuk membayarmu,” kata Bayu.

“Bukan uang yang kucari saat ini!”

“O….! Lantas?”

“Sulit kukatakan! Jauh-jauh aku datang ke Gantar Angin ini karena satu pekerjaan mudah dengan bayaran tinggi. Tapi seluruh anak buahku tewas. Bahkan adikku satu-satunya juga tewas di Desa Muara Pening dekat Pesanggrahan Goa Larangan,” pelan suara Braga.

“Rasanya aku tidak kenal denganmu dan adikmu. Dan lagi aku belum pernah ke Desa Muara Pening. Maaf… Mungkin kau salah alamat, jika hal itu kau adukan padaku,” uajr Bayu sopan.
“Kau ingin bertemu dengan Panglima Nampi, kan?”

Bayu menatap tajam laki-laki berwajah kasar di depannya. Sama sekali tidak dimengerti apa yang diinginkan Braga terhadapnya.

“Mungkin kau akan menganggapku berlebihan. Tapi, aku tahu di mana Panglima Nampi berada sekarang,” lanjut Braga.

“Berapa kau dibayar untuk menjebakku?” tanya Bayu sinis.

“Jangan salah sangka, Kisanak. Aku ingin bergabung denganmu karena aku juga punya tujuan. Tujuanku adalah membunuh Raden Bantar Gading yang telah menewaskan adikku satu-satunya. Dia juga yang menyebabkan semua anak buahku tewas! Sekarang ini bukan bayaran yang kuinginkan!” tegas kata-kata Braga.

“Kau dendam?”

“Benar!”

“Mengapa Raden Bantar Gading tidak kau bunuh saja sendiri?”

“Jangan mengolok-olok, Kisanak. Saat ini Raden Bantar Gading selalu dikawal jago-jago dari seberang. Ilmu mereka sangat tinggi. Tidak mungkin kuhadapi seorang diri.”

“Lalu, apa yang dapat kulakukan untukmu?”

“Bukan hanya aku, tapi kita!”

“Rasanya persoalan yang kita hadapi berbeda. Dan lagi, tak ada niatan dalam hatiku untuk membunuh siapapun. Aku sebenarnya hendak meninggalkan Gantar Angin ini. Persoalanku di sini telah selesai. Sekarang aku tidak perduli lagi dengan Panglima Nampi, atau siapa saja. Maaf, aku harus pergi sekarang,” kata Bayu tegas.

“Tunggu dulu,” cegah Braga.

Bayu mengurungkan langkahnya.

“Kau tidak mungkin dapat meninggalkan Gantar Angin begitu saja. Seluruh pelosok sudah dijaga prajurit. Tidak ada seorangpun boleh meninggalkan negeri ini!” jelas suara Braga memberitahu.

Bayu hanya tersenyum saja, kemudian melanjutkan langkahnya. Braga berlari kecil mengejar. Pendekar Pulau Neraka membiarkan saja laki-laki berwajah kasar itu mengikutinya, dan tetap melangkah tanpa menoleh sedikitpun.

“Kenapa kau mengikutiku?” tanya Bayu tanpa menoleh.

“Aku akan ikut bersamamu keluar dari neraka ini,” jawab Braga.

“Bukankah kau ingin membalas kematian adikmu?”

“Percuma! Tidak ada seorang pun yang percaya kepadaku. Lebih baik aku pergi dari pada mati konyol. Nanti setelah berada di luar Gantar Angin, mungkin aku bisa melakukan apa saja. Aku berniat akan mengumpulkan kekuatan, baru menggempur kerajaan ini!”

Bayu hanya tersenyum seraya menggeleng gelengkan kepalanya. Dendam di hati Braga cukup membara. Tapi nyalinya kecil. Hanya kepentingan dirinya sendiri yang lebih menonjol. Mungkin itu memang sudah wataknya. Bahkan rasa sakit hati dan dendam bisa pupus bila keselamatan dirinya terancam. Tidak ada sedikit pun watak ksatria didalam hatinya.

Bayu terus saja melangkah, meskipun Braga mengiktuinya. Dia tidak lagi perduli terhadap laki-laki berwajah kasar itu. kakinya tetap terayun mantap. Bahkan dikerahkan ilmu meringankan tubuh. Merskipun seperti berjalan biasa, tapi kecepatannya melebihi orang berlari. Braga yang mengikuti juga segera mengerahkan ilmu meringankan tubuh.

Tapi mendadak Pendekar Pulau Neraka menghentikan langkahnya. Pendengarannya yang setajam elang, menangkap suara desiran halus dari arah samping kanan. Begitu menoleh, sebatang anak panah meluncur deras ke arahnya. Bahkan sebatang lagi mengarah pada Braga.

“Awas…!” seru Bayu keras.

Bayu hanya menggerakkan tangannya untuk menangkap anak panah itu. sementara Braga memiringkan tubuh sedikit ke belakang, sehingga anak panah yang mengancam nyawanya lewat di depan dada. Laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan wajah kasar itu langsung melompat menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Pada saat itu, dari gerumbul semak belukar dan balik pepohonan, muncul sekitar tiga puluh orang berseragam prajurit. Mereka berlompatan dengan senjata terhunus. Bayu mengendarkan pandangannya ke sekeliling. Para prajurit Kerajaan Gantar Angin kini telah mengepung rapat dari segala penjuru.

“Sudah kukatakan, tidak mudah keluar dari sini,” kata Braga setengah berbisik.

“Kau takut?” nada suara Bayu terdengar mengejek.
“Huh Tak seberapa. Dua kali lipatpun aku masih mampu mengahadapinya” dengus Braga pongah.

“Mereka pasti sudah sangat terlatih.”

“Hampir tiga purnama aku di sini, jadi tahu betul kalau prajurit Gantar Angin tidak ada yang memiliki kepandaian tinggi. Para panglimanya saja bisa dihitung dengan jari yang memiliki kepandiaan tinggi.”

“Tapi jangan menganggap remeh mereka. Setiap lawan harus dihadapi hati-hati. Sikap memandang rendah lawan akan membuat kelengahan, dan berakibat fatal,” kata Bayu mengingatkan.

Braga diam saja. Dan percakapan itupun terhenti ketika seorang pemuda tampan muncul. Bibirnya selalu menyunggingkan senyum sinis. Pemuda itu menunggang kuda putih dan dikawal dua orang berpakaian aneh dan bersenjata aneh pula. Mereka juga menunggang kuda yang tinggi kekar.

“Itu Raden Bantar Gading,” kata Braga memberitahu.
“Ya, aku tahu,” jawab Bayu tak berpaling sedikitpun. Pandangannya tajam pada pemuda tampan di atas punggung kuda putih.

“Percuma saja kalian melawan. Tempat ini sudah terkepung,” ujar Raden Bantar Gading, yang tetap berada di atas kuda putihnya.

“Untuk apa menyerah, kalau masih bisa melawan” lantang suara Bayu.

“Hhh Memang tidak ada gunanya bicara denganmu, monyet keparat” geram Raden Bantar Gading.

“Serang! Bunuh mereka…”

Tiga puluh orang prajurit serentak berlompatan sambil menghunus senjata masing-masing. Mereka berteriak disertai semangat bertarung yang berkobar-kobar. Braga segera melepaskan cambuk yang membelit pinggangnya.

“Hiya…”

Ctar!

Suara cambuk hitam itu menggelegar memecah angkasa. Dua orang prajurit langsung ambruk tersambar ujung cambuk itu. Braga berlompatan sambil mengebutkan cambuknya. Sungguh dahsyat, sekali kebutan saja, pasti ada prajurit yang terjungkal. Sementara Bayu pun sibuk melayani para prajurit yang bertarung bagai kesetanan itu. Banjir darah tak terhindarkan lagi. Teriakan, jeritan dan pekik kematian saling susul bercampur dengan gemuruhnya pertempuran.

Satu persatu para prajurit Gantar Angin bergelimpangan berlumuran darah. Mereka memang bukanlah tandingan dua orang yang sudah banyak malang melintang di dalam rimba persilatan. Dalam waktu tidak berapa lama saja, separuh dari mereka telah banyak yang tewas.

“Ayo, maju semua Biar kupercepat kematian kalian” seru Braga keras.

Ctar! Tar!

Braga memainkan cambuknya dengan lincah, diimbangi gerakan kaki dan tubu yangmelentur ringan. Para prajurit yang mengeroyoknya mulai gentar. Mereka jadi ragu-ragu. Akibatnya, malah membuat kematian semakin cepat datangnya. Tanpa ampun lagi Braga membantai para pengeroyoknya.

“Ha ha ha…!” Braga tertawa terbahak-bahak. Sepertinya begitu suka akan pertempuran ini.

“Yeaaa…!”

Satu orang yang mengawal Raden Bantar Gading melompat turun dari punggung kudanya. Lesatannya begitu ringan dan cepat, langsung meluruk ke arah Braga. Senjatanya yang berupa golok raksasa mengibas bagai kilat, menimbulkan suara angin menderu. Braga yang tengah melayani para prajurit yang tersisa, terkejut mendengar deru angin mengarah kepadanya.

“Uts!” Buru-buru dirundukkan kepalanya. Sambaran golok raksasa itu hanya menyambar angin kosong. Braga segera melesat mundur tiga langkah. Agak gentar juga hatinya begitu melihat seorang laki-laki bertubuh besar bagai raksasa, berdiri tegak di depannya. Tangannya menggenggam sebilah golok besar dan panjang.

“He he he…” orang itu terkekeh.

“Ayo maju, monyet jelek!” tantang Braga.

Para prajurit yang tadi mengeroyok Braga, segera berlompatan menyingkir. Mereka langsung membantu teman-temannya yang tengah mengeroyok Bayu. Sementara Braga bersiap-siap menghadapi manusia raksasa itu. Dikebut-kebutkan cambuknya di udara.

“Ha ha ha…!” manusia raksasa itu tertawa terbahak-bahak. Mungkin merasa lucu melihat cambuk kecil sepanjang lengan yang berusaha menakut-nakutinya.
“Jangan gembira dulu, monyet jelek! Rasakan cambukku! Hiyaaa…!”

Ctar!

Ujung cambuk Braga meluruk deras ke arah dada manusia raksasa itu. Hebat! Dia hanya diam saja tanpa bergeming sedikitpun. Tak ampun lagi, ujung cambuk Braga menyengat dadanya, disertai suara ledakan keras.

“Heh…!” Braga tercengang menyaksikan lawannya hanya tersenyum saja. Tak ada luka sedikitpun yang menggores dadanya. Padahal, jelas sekali kalau ujung camuk itu menyengat dada manusia raksasa itu. Padahal ujung cambuk itu penuh duri yang sangat tajam, dan dikebutkan dengan tenaga dalam penuh.

“Gila! Manusia apa dia…?!” dengus Braga.

“He he he…” orang itu hanya terkekeh saja.

Ctar! Tar…!

Dua kali Braga mengayunkan cambuknya disertai pengerahan tenaga dalam penuh. Tapi manusia raksasa itu hanya terkekeh saja. Bahkan kakinya kini terayun melangkah maju. Sama sekali cambukan itu tidak berarti. Sementara Braga mulai pucat wajahnya. Cambuk kebanggaannya hanya seperti belaian halus bagi manusia raksasa itu. Braga melangkah mundur sambil mengebutkan cambuknya beberapa kali.

“Grrr…!” manusia raksasa itu menggeram bagai binatang buas dan liar.

Wut!

Cepat sekali manusia raksasa itu mengebutkan golok besarnya ke arah leher Braga.

“Ikh” Braga terperangah sesaat. Buru-buru dia merunduk, maka sambaran golok itu lesat di atas kepalanya. Tapi belum sempat diangkat kepalanya, satu tendangan keras telah membuat tubuhnya terpental jauh ke belakang. Braga mengeluh pendek. Punggungnya menghantam sebatang pohon besar hingga hancur. Laki-laki bekas pembunuh bayaran itu bergegas bangkit.

Sementara itu, si Manusia Raksasa sudah melompat menerjang sambil mengayunkan goloknya. Braga membanting tubuhnya ke samping dan bergulingan beberapa kali. Golok raksasa itu menghantam tanah kosong dengan kerasnya.

Braga langsung melesat bangkit. Segera dia melompat sambil mengirimkan dua pukulan geledek disertai satu tendangan bertenaga dalam tinggi. Manusia raksasa itu hanya terdorong satu langkah. Dia menggeram dahsyat, dan berbalik. Braga benar-benar terkesiap karena pukulan dan tendangan beruntunnya tidak berarti bagi manusia raksasa itu.

“Edan! Ilmu apa yang dimilikinya…?!” dengus Braga keheranan.

Manusia raksasa itu kembali menggeram dahsyat. Dikibaskan goloknya dengan cepat ke arah tubuh Braga. Pembunuh bayaran itu melompat ke belakang, sehingga sambaran golok itu tidak menemui sasaran. Dan belum sempat Braga berbuat sesuatu, kembali manusia raksasa menyerang bagai topan. Braga hanya bisa berkelit berlompatan tanpa mampu membalas.

Baik cambuk, pukulan dan tendangannya tidak berarti sama sekali terhadap manusia raksasa itu. Braga benar-benar serba salah menghadapinya. Semua jurus-jurus andalannya sudah dikerahkan, tapi hasilnya sia-sia.

Bahkan kini manusia raksasa itu malah semakin ganas saja. Serangan-serangannya pun semakin gencar dan berbahaya. Braga sudah merasakan betapa dahsyat pukulan manusia raksasa itu. Dan dia tidak ingin lagi coba-coba memapak. Tenaga dalamnya kalah jauh. Bahkan tidak satupun pukulan mautnya yang berarti.

“Graaakh…!” manusia raksasa itu menggeram dahsyat.

Dan pada satu kesempatan, dikibaskan goloknya dengan kecepatan penuh. Braga terperangah sesaat. Buru-buru dia berkelit mengegoskan tubuhnya ke samping. Sambaran golok besar itu berhasil dielakan. Tapi angin sambaran golok membuatnya limbung. Dalam keadaan seperti itu, Braga tidak mungkin menghindari pukulan tangan kiri lawannya.

Pukulan itu telak menghantam dadanya. Braga mengeluh pendek. Dari mulutnya mengucur darah segar. Saat tubuhnya terjajar ke belakang, satu hantaman golok besar membelah tubuhnya menjadi dua bagian. Braga tidak mampu lagi bersuara. Tubuhnya langsung ambruk terbelah dua. Mati.

“Ha... ha... ha…!” manusia raksasa itu tertawa terbahak-bahak.

Pada saat yang bersamaan, Bayu sudah menyelesaikan pertarungannya melawan prajurit-prajurit Gantar Angin. Betapa terkejutnya Bayu mendapatkan Braga telah tewas dengan tubuh terbelah dua. Gerahamnya bergemeletuk menyaksikan manusia raksasa itu malah tertawa terbahak-bahak dekat mayat Braga.

“Iblis…!” geram Bayu mendesis.

“Pendekar Pulau Neraka! Kau tinggal pilih. Menyerah, atau mengalami nasib yang sama dengan Braga!” ancam Raden Bantar Gading.

“Phuih!” Bayu menyemburkan ludahnya.

Raden Bantar Gading menggerakkan ujung jari telunjuknya. Manusia raksasa itu melompat ke hadapan Pendekar Pulau Neraka. Golok besarnya tersandang di pundak. Bibirnya menyeringai liar mengejek. Bayu menggeser kakinya sedikit ke samping.

“Kau tidak punya waktu untuk berpikir, Pendekar Pulau Neraka!” lantang suara Raden Bantar Gading.

“Majulah, manusia liar! Jauh-jauh kau datang hanya untuk mengantarkan nyawa!” dengus Bayu dingin.

Manusia raksasa itu menoleh ke arah Raden Bantar Gading. Pemuda tampan di atas kuda putih itu menggerakan tangannya di depan leher. Jelas sekali kalau artinya adalah penggal kepala! Manusia raksasa itu tersenyum, lalu melangkah mendekati Pendekar Pulau Neraka. Suara menggeram kecil terdengar menggetarkan.

Cepat sekali dia melompat sambil menghantamkan goloknya ke tubuh Bayu. Tapi hanya dengan memiringkan tubuhnya sedikit, Bayu berhasil mengelakkan tebasan golok itu. Dan tanpa diduga sama sekali, tangan Pendekar Pulau Neraka itu menyodok ke perut.

“Ups…!” Bayu terkejut, karena merasakan seperti menyodok segumpal karet dalam karung. Tangannya kembali terpental. Buru-buru dia melompat mundur dua tindak. Secepat kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melenting tinggi ke udara, lalu meluruk deras sambil melontarkan dua pukulan beruntun.

Des! Des!

Kembali Bayu terkejut, karena manusia raksasa itu tidak bergeming sedikitpun. Padahal pukulan bertenaga itu dalam sangat tinggi. Bahkan Bayu sendiri terpental beberapa depa jauhnya. Pukulannya seperti berbalik dan menghantam dirinya sendiri. Bayu kembali berdiri tegak. Matanya memandang setengah tidak percaya. Sementara si Manusia Raksasa itu menggeram pelan sambil melangkah berat mendekati. Goloknya yang sangat besar diputar-putarnya. Suara angin menderu-deru, membuat jantung serasa akan copot.

“Graghk…!” Manusia raksasa itu menggeram keras, dan dengan cepat dibabatkan senjatanya ke arah kaki Pendekar Pulau Neraka. Namun dengan cepat Bayu telah melenting ke udara sambil mengayunkan kakinya, disertai pengerahan tenaga dalam yang hampir mencapai taraf kesempuranaan. Tendangan itu telak mendarat di wajah si Manusia Raksasa.

“Aaarghk…!” manusia raksasa itu meraung keras.

Dia mundur dua langkah ke belakang. Dan begitu menjejakkan kaki di tanah, Bayu langsung melepaskan satu pukulan dahsyat ke arah dada. Pukulannya tidak terbendung lagi. Tubuh tinggi besar itu terjungkal keras menghantam tanah. Suara berdebum terdengar saat tubuh raksasa itu ambruk. Getarannya bagaikan gempa bumi saja.

Sambil menggeram marah, manusia raksasa itu bangkit berdiri. Diangkat goloknya ke atas kepala. Segera dia berlari cepat seraya mengayunkan senjatanya dengan deras. Bayu melompat ke samping sambil melayangkan pukulan keras menghantam punggung. Kembali manusia raksasa itu meraung dan tersungkur ke tanah, namun dengan cepat bisa bangkit kembali.

Bayu geleng-geleng kepala melihat daya tahan lawannya yang begitu luar biasa. Manusia raksasa itu kembali menerjang seraya mengayunkan goloknya yang sangat besar. Kali ini dia memang mendapat lawan sangat tangguh. Gerakan Bayu ketika berkelit, memang sangat cepat. Bahkan dibarengi dengan satu serangan mengandung tenaga dalam hampir sempurna. Setiap pukulan dan tendangan Pendekar Pulau Neraka, membuat manusia raksasa itu menggereng keras.

“Hup! Hiyaaa…!”

Sambil berteriak keras, Bayu memiringkan tubuhnya dan sedikit membungkuk. Lalu dengan cepat dikibaskan tangan kanannya. Seleret cahaya keperakan melesat dari pergelangan tangan yang dikibaskan. Rupanya Bayu melepaskan senjata andalannya, berupa cakra pipih bergerigi enam, berwarna keperakan. Cakra Maut itu melesat cepat bagai kilat, dan langsung membabat dada si Manusia Raksasa itu.

“Aaarghk…!” manusia raksasa itu meraung keras.

Bayu mengangkat tangannya ke atas. Cakra Maut itu pun kembali melesat dan menempel di pergelangan tangannya. Darah mulai membasahi dada manusia raksasa itu. Dia menggeram dahsyat, lalu kembali menerjang sambil mengayunkan goloknya dari atas kebawah.
“Hiyaaaa…!”

Bayu melompat mundur sambil mengebutkan tangan kanannya. Kembali Cakra Maut melesat bagai kilat dari pergelangan tangannya. Senjata cakra bergerigi enam itu menghentikan terjangan si Manusia Raksasa, karena lehernya telah tertembus senjata Pendekar Pulau Neraka. Darah muncrat keluar dari leher yang berlubang besar itu.

Begitu senjatanya menempel kembali di pergelangan tangan, Bayu melompat cepat sambil berteriak nyaring. Satu tendangan keras menggeledek membuat tubuh raksasa itu jatuh berdebum ke tanah. Bayu menjejak dada lawan dengan lutut, lalu menghajar kepalanya dengan kekuatan penuh.

Prak!

“Aaarghk…!” manusia raksasa itu meraung keras.

Darah segar kembali mengalir keluar dari kepala yang hancur. Bayu langsung melompat bangkit berdiri. Pandangannya tajam pada tubuh besar yang menggelepar-gelepar di tanah. Pendekar Pulau Neraka itu menarik napas panjang, lalu pandangannya beralih pada Raden Bantar Gading. Sementara manusia raksasa itu sudah tidak bergerak-gerak lagi.

TIGA

Orang yang berada di samping Raden Bantar Gading langsung melompat turun dari punggung kudanya. Manis sekali jejakannya di tanah, yang berjarak sekitar satu batang tombak di depan Pendekar Pulau Neraka. Senjatanya yang berbentuk tongkat berujung lima, menyilang di depan dada. Tatapan matanya tajam menusuk langsung ke bola mata pemuda berbaju kulit harimau di depannya.

Orang itu bertubuh sedang mengenakan baju ketat merah menyala. Kulit wajahnya putih, cenderung pucat. Sinar matanya menyiratkan kekejaman. Bayu menggeser kakinya dua langkah ke samping. Bisa diukur kalau lawannya kali ini tentu lebih tangguh dari yang pertama.

“Sebaiknya kau pulang saja ke negerimu,” kata Bayu dingin.

“Hm…” orang bersenjata tongkat berujung lima itu hanya menggumam tidak jelas. Kepalanya menoleh ke belakang, ke arah Raden Bantar Gading yang hanya diam menatap Pendekar Pulau Neraka. Kemudian kepala Putra Mahkota Kerajaan Gantar Angin itu terangguk sedikit. Orang berwajah dingin pucat pun kembali memalingkan mukanya menghadap pada Bayu. Bibirnya yang tipis pucat tersenyum sedikit.

“Hop!” Begitu tangannya mengebutkan senjata ke depan, langsung terasa suatu aliran hawa panas menyengat kulit. Bayu kembali menggeser kakinya selangkah ke samping. Sikapnya tampak lebih berhati-hati menghadapi lawan kali ini. hawa panas yang menyebar dari senjata tongkat berujung lima itu sangat terasa menyengat. Jelas kalau dia memiliki kepandaian tinggi.

“Wufh! Yaaa…!”

Orang berwajah pucat itu cepat menyerang tanpa banyak bicara lagi. Bayu mengegoskan tubuhnya ke samping menghindari tusukan senjata tongkat berujung lima itu. Dengan cepat tangannya terayun ke samping, begitu senjata lawan berada di samping perutnya. Namun tanpa diduga sama sekali, orang itu memutar senjata ke atas.

“Uts!” Bayu cepat merunduk, sehingga tebasan senjata itu lewat di atas kepalanya. Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa berbuat sesuatu, kaki lawan telah melayang deras menghantam pinggangnya.

“Ugh!” Bayu mengeluh pendek. Saat tubuhnya doyong ke samping, satu pukulan keras lawan mendarat di dadanya. Pendekar Pulau Neraka itu terjajar ke belakang. Dadanya terasa sesak seketika. Buru-buru digerakkan tangannya untuk mengusir rasa sesak yang melanda dadanya. Bayu menggelengkan kepalanya beberapa kali, mencoba mengusir kunang-kunang yang memenuhi pelupuk matanya.

“Phuih!” dengan perasaan geram, Pendekar Pulau Neraka menyemburkan ludahnya.

Orang berwajah pucat kaku itu berteriak keras sambil melompat menerjang. Bayu tetap berdiri tegak menanti. Dan pada saat ujung tombak lawannya sudah sedemikian dekat di depan dada, dengan cepat ditangkapnya. Sambil mengerahkan tenaga dalam, tombak yang tertangkap itu diangkat dan dibantingnya ke belakang.

“Akh!” orang berwajah pucat itu memekik tertahan. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah. Sebelum orang berwajah pucat itu sempat bangun, Bayu sudah mengibaskan tangan kanannya. Seleret cahaya keperakan meluncur deras bagai kilat. Orang itu menggulingkan tubuhnya beberapa kali. Senjata cakra keperakan itu pun menghantam tanah. Bayu menarik tangan kanannya ke atas, maka senjatanya kembali melesat ke arahnya. Begitu menempel di pergelangan tangan, kembali dikibaskannya dengan cepat.

“Hiya…!”

Orang berwajah pucat itu buru-buru melesat ke udara sambil mengibaskan senjatanya ke bawah. Sungguh di luar dugaan. Ketika Bayu menjentikkan ujung jarinya, Cakra Maut itu bergerak menyamping, sehingga tidak terjadi benturan antara dua senjata. Dan Cakra Maut itu terus melesat ke udara, langsung menyambar ke arah dada orang berwajah pucat itu.

Masih dalam keadaan tubuh di udara, orang itu memiringkan tubuhnya ke samping. Tapi ujung Cakra Maut sempat menggores bahu kanannya. Bayu mengangkat tangan kananya ke atas, maka senjata cakra kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Orang berwajah pucat itu kembali turun ke bumi. Darah mengucur dari pundak yang tergores cukup dalam oleh Cakra Maut.

“Yeaaah…!” Bayu berteriak lantang.

Baru saja orang berwajah pucat itu menjejakkan kakinya di tanah, Pendekar Pulau Neraka sudah melompat sambil mengirimkan dua pukulan dahsyat beruntun. Orang itu berusaha menghindar, tapi satu pukulan lain tidak mampu dihindari. Dadanya terasa remuk akibat pukulan keras bertenaga dalam hampir sempurna. Tubuhnya terdorong ke belakang sejauh dua batang tombak.

“Mampus kau! Hiyaaa…!” pekik Bayu melengking.nSecepat tangannya bergerak ke depan, secepat itu pula secercah cahaya keperakan melesat ke arah jago dari tanah seberang berwajah pucat itu. Dia tidak mungkin lagi menghindar karena keadaan tubuhnya terluka dan sempoyongan. Cakra Mautpun langsung menembus dadanya hingga ke punggung.

“Aaaakh…!” Di saat tubuh orang itu limbung, Bayu melompat cepat sambil melontarkan satu pukulan keras ke arah dada. Tak pelak lagi, tubuh jago dari seberang itu terjungkal keras menghantam batu sebesar kerbau. Dengan ujung jari kaki, Bayu menyambar senjata lawan dan langsung menangkapnya. Pendekar Pulau Neraka itu melemparkan senjata yang berhasil dirampas seraya mengerahkan tenaga dalam, sebelum jago dari seberang itu bergerak.

Wut!

Senjata tombak berujung lima itu meluncur cepat, dan menembus dada pemiliknya sendiri. Kembali jeritan menyayat terdengar mengantar kematian jago dari seberang itu. sementara Cakra Maut masih melayang diudara, Bayu mengangkat tangan kanannya ke atas. Cakra Mautpun kembali menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka.

“Hm…” Bayu bergumam pelan. Bola matanya tajam memandang ke sekeliling. Gerahamnya bergemeletuk menahan geram mendapati Raden Bantar Gading sudah tidak ada di tempatnya lagi. Rupanya putra Raja Abiyasa itu melarikan diri saat mengetahui jagonya sudah tidak mampu menandingi Pendekar Pulau Neraka.

“Pengecut!” dengus Bayu geram.

*******************

Raden Bantar Gading memacu kudanya bagai dikejar setan. Debu mengepul di udara diterjang kaki kuda putih itu. sedikitpun Raden Bantar Gading tidak memperlambat lari kudanya. Bahkan digebah semakin cepat begitu memasuki perbatasan kota. Beberapa orang yang melihat, hanya membungkuk dengan kepala mengeleng-geleng.

Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang istana, buru-buru membuka pintu ketika melihat Raden Bantar Gading memacu cepat kudanya ke arah istana. Kuda putih itu tidak mengendur larinya meskipun melewati pintu gerbang. Dua prajurit pengawal hanya mengelus-elus dada saja.

“Hooop…!”

Raden Bantar Gading langsung melompat turun setelah kudanya berhenti di depan tangga istana. Kakinya bergegas melangkah meniti anak tangga dari batu pualam. Para prajurit yang berada di sekitar situ, hanya bisa memandang penuh tanda tanya di dalam hati. Raden Bantar Gading langsung masuk ke dalam Israna Gantar Angin.

“Patih Luminta, di mana Ayahanda Prabu?” tanya Raden Bantar Gading, saat berpapasan dengan seorang laki-laki setengah baya.

“Gusti Prabu sedang beristirahat, Raden,” jawab Patih Luminta.

Raden Bantar Gading kembali melangkah cepat.

“Raden…” Patih Luminta bergegas mengejar.

“Aku harus bertemu Ayahanda sekarang juga!” bentak Raden Bantar Gading.

“Tapi, Raden. Gusti Prabu sudah berpesan agar jangan diganggu,” kata Patih Luminta.

Raden Bantar Gading tidak perduli, dan terus saja melangkah menuju sebuah kamar yang tertutup pintunya. Kamar itu memang tempat beritirahat pribadi ayahnya. Tidak ada seorang pun boleh masuk tanpa seijinnya. Patih Luminta menghalangi langkah Raden Bantar Gading dengan membelakangi pintu.

“Maaf, Raden. Ini perintah Gusti Prabu,” kata Patih Luminta.

“Jangan menghalangiku, Patih. Minggir!” bentak Raden Bantar Gading.

“Raden….”

Raden Bantar Gading mencekal baju Patih Luminta dan mencampakkannya ke samping. Patih Luminta terjerembab ke lantai. Sebentar Raden Bantar Gading menatap tajam laki-laki setengah baya itu, kemudian mendorong pintu yang tertutup.

“Raden, jangan…!” seru Patih Luminta.

Tapi Raden Bantar Gading telah lebih cepat membuka pintu kamar itu dan langsung menerobos masuk. Seketika matanya membeliak dan mulutnya menganga lebar. Jantungnya serasa berhenti berdetak saat mendapati ayahnya tengah bergumul di atas ranjang bersama seorang wanita.

Prabu Abiyasa teerkejut. Buru-buru disambar selimut untuk menutupi tubuhnya. Demikian juga dengan wanita itu, disambarnya kain seadanya untuk menutupi seluruh aurat yang terbuka lebar.

“Lancang! Keluar kau!” bentak Prabu Abiyasa.

Raden Bantar Gading tidak berkata apa-apa, tapi langsung berbalik dan melangkah keluar dari kamar itu. Patih Luminta bergegas menutup pintu kembali. Wajahnya nampak kebingungan melihat Raden Bantar Gading yang berlari cepat meninggalkan kamar pribadi Prabu Abiyasa. Patih Luminta bergegas mengejar putra mahkota itu.

Sementara Raden Bantar Gading terus berlari menuju kaputren. Patih Luminta yang masih berusaha mengejar, menghentikan langkahnya. Tidak mungkin dia boleh masuk ke dalam kaputren. Tempat itu terlarang bagi seorang laki-laki yang bukan keluarga Prabu Abiyasa. Seorang dayang yang akan keluar dari kaputren, hampir jatuh tertabrak Raden Bantar Gading. Dayang itu tertegun sejenak, lalu kembali melangkah keluar. Dia berpapasan dengan Patih Luminta.

“Kenapa Raden Bantar Gading, Paman?” tanya dayang itu.
“Tidak tahulah…” desah Patih Luminta menyahut. “Apa Gusti Permaisuri ada di dalam?”

“Ada.”

“Ya, Tuhan…” keluh Patih Luminta.

“Ada apa, Paman?”

Patih Luminta tidak menjawab. Bergegas dia berbalik, lalu melangkah pergi. Sementara dayang itu hanya memandang dengan kening berkerut. Sebentar Patih Luminta menoleh ke belakang, lalu mengangkat bahunya dan kembali melangkah pergi dari lorong pintu kaputren.

*******************

Raden Bantar Gading tertegun meihat ibunya tengah duduk dikelilingi tujuh orang dayang di taman kaputren. Pemuda itu ingin berbalik, tapi ibunya sudah keburu melihat dan memanggil. Raden Bantar Gading melangkah menghampiri. Kemurungan di wajahnya sulit untuk disembunyikan.

Permaisuri Pramita Wardani memandangi wajah anaknya yang kelihatan murung. Tangannya menggapai lembut dan menggamit jari-jari tangan pemuda itu, lalu membawanya duduk di sampingnya. Raden Bantar Gading tidak tahu harus berkata apa lagi. Semula dia ingin mengatakan adegan yang disaksikan di kamar peristirahatan pribadi ayahnya. Tapi, saat melihat keanggunan dan senyum ibunya, hatinya langsung luluh. Rasanya tidak sanggup untuk menghancurkan hati wanita yang lembut dan anggun ini.

“Ada apa, Anakku? Kau kelihatan murung sekali,” lembut suara Permaisuri Pramita Wardani.
“Tidak apa-apa, Bunda. Nanda hanya ingin bertemu saja,” jawab Raden Bantar Gading pelan. Disembunyikannya suara hatinya dalam-dalam.

Hatinya mendadak menjerit, mendengar kelembutan suara ibunya. Permaisuri Pramita Wardani tersenyum manis. Tangannya mengusap-usap rambut anaknya. Dia mengerti kalau Raden Bantar Gading ingin mengatakan sesuatu, tapi sangat berat untuk diucapkan. Sudah bisa ditebak penyebab kemurungan putranya itu.

“Kau datang tergesa-gesa, dengan wajah murung. Bunda tahu, ada yang ingin kau katakan…” kata Permaisuri Pramita Wardani, tetap lembut suaranya.

“Tidak, Bunda,” jawab Raden Bantar Gading tertahan suaranya.

“Katakanlah,” desak ibunya.

“Bunda…” suara Raden Bantar Gading tercekat di tenggorokan. Sungguh mati, dia tidak sangup menghancurkan perasaan wanita yang dikasihinya. Apalagi seorang wanita yang telah mengandung dan melahirkannya.

Permaisuri Pramita Wardani begitu lembut, dan suci hatinya. Bagaimanapun kasar dan keras hati seseorang, pasti tidak akan tega untuk menyakitinya. Raden Bantar Gading menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian bangkit berdiri dan melangkah cepat meninggalkan kaputren. Permaisuri Pramita Wardani bergegas bangkit, tapi tidak mengejar. Hanya matanya saja yang memandang kepergian puteranya.

Tarikan napasnya berat ketika punggung Raden Bantar Gading tidak terlihat lagi. Pada saat yang sama. Raden Sangga Alam berlari-lari dengan tangan membawa seekor burung kenari. Dia tertegun mendapatkan Permaisuri Pramita Wardani tengah berdiri termenung memandang pintu luar kaputren.

“Bunda…” pelan suara Raden Sangga Alam.

“Oh…!” Permaisuri Pramita Wardani terkejut.

“Maaf. Nanda mengagetkan Bunda,” kata Raden Sangga Alam.

“Oh, tidak. Mana? Kau dapat burung itu?”

“Ini, Bunda. Nanda dapatkan di tembok batas kaputren,” Raden Sangga Alam menyerahkan burung kenari itu.
“Dayang! Masukkan burung ini ke dalam sangkar,” perintah Permaisuri Pramita Wardani begitu menerima burung yang kecil namun bersuara merdu itu.


Seorang dayang muda menerima burung itu, dan membawanya ke dalam sangkar burung kosong berukuran besar. Burung kenari itu langsung berkicau setelah berada di dalam sangkar. Tampaknya memang senang berada di dalam sangkar. Dia berlompatan dari ranting yang satu ke ranting yang lainnya sambil memperdengarkan kicauan merdu.

Permaisuri Pramita Wardani tersenyum melihat keceriaan burung kecil itu. Sedangkan Raden Sangga Alam mengerutkan keningnya sedikit. Bisa dirasakan kalau senyum wanita cantik dan anggun itu amat dipaksakan. Jelas sekali, bibir yang tersenyum itu sedikit bergetar.

“Bunda…” pelan suara Raden Sangga Alam.

Permaisuri Pramita Wardani menoleh.

“Tadi Nanda lihat, Kakang Bantar Gading ada di sini…” kata Raden Sangga Alam terputus.

“Dia hanya ingin melihat Bunda, Anakku,” sahut Permaisuri Pramita Wardani.

“Tapi, tampaknya tergesa-gesa…?”

“Hhh…!” Permaisuri Pramita Wardani menarik napas panjang dan kembali duduk di kursi taman kaputren.

Raden Sangga Alam duduk di depan wanita cantik nan anggun itu. Dia tidak yakin kalau Raden Bantar Gading hanya ingin bertemu saja. Sikapnya yang tergesa-gesa membuatnya bertanya-tanya. Dipandanginya wajah Permaisuri Pramita Wardani dalam dalam.

“Mengapa memandangku seperti itu, Anakku?” tegur Permaisuri Pramita Wardani.

“Bunda begitu anggun di mata Nanda. Tak ada seorang pun yang boleh menyakiti Bunda,” ujar Raden Sangga Alam, agak tertekan suaranya.

Permaisuri Pramita Wardani memandangi dayang-dayang yang duduk bersimpuh di sekitarnya. Tanpa diperintah, mereka segera memberi hormat, lalu bangkit dan pergi meninggalkan tempat itu.

“Kandamu tidak mengatakan apa-apa terhadap Bunda, Anakku. Tapi Bunda yakin ada sesuatu yang ingin dikatakannya,” kata Permaisuri Pramita Wardani pelan.

“Tentang Ayahanda?” tebak Raden Sangga Alam langsung.

“Ah, sudahlah! Dia sudah dewasa dan bisa mengurusi dirinya sendiri.”

Raden Sangga Alam mengangkat bahunya. Dia memang tidak ingin mencampuri urusan pribadi orang. Walapun dia tahu Raden Bantar Gading suka main perempuan, ditambah lagi Ayahnya juga punya kegemaran yang sama, tapi jika melihat Permaisuri Pramita Wardani, hatinya jadi terenyuh.

“Bunda seharusnya bertindak. Ayahanda itu sudah banyak mempunyai selir. Kalau hal ini tetap berlanjut, wibawanya bisa jatuh. Bukannya mustahil para pembesar kerajaan akan membelot jika Ayahanda Prabu tidak memberikan contoh yang baik,” jelas Raden Sangga Alam.

“Apa yang bisa Bunda lakukan, Anakku?” suara Permaisuri Pramita Wardani terdengar pasrah.

“Bicara.”

“Tidak ada gunanya. Kanda Prabu sangat berkuasa. Tidak ada seorangpun yang bisa menentang segala kata dan perbuatannya. Kau ingin Bunda bernasib sama dengan mendiang ibumu? Tidak, Anakku. Bunda tidak ingin meninggalkanmu bersama serigala-serigala itu. Selama aku masih hidup, tidak ada yang bisa mencelakakanmu,” halus, tapi terdengar tegas kata-katanya.

“Maafkan Nanda, Bunda. Bukan maksud Nanda ingin menggurui. Tapi Nanda tidak bisa terus menerus melihat Bunda begini. Nanda hanya ingin melihat Bunda tersenyum bahagia,” kata Raden Sangga Alam.

“Bunda sudah bahagia, Anakku. Bunda selalu tersenyum bila bersamamu. Hanya kau yang bisa membuat Bunda bahagia, Anakku.”

“Hhh… kalau saja Gusti Ratu Kunti Boga tidak tergulingkan…” desah Raden Sangga Alam bergumam lirih.

“Untuk apa kau berkata demikian?” tegur Permaisuri Pramita Wardani.

“Bunda! Apakah keadaan ini bisa berubah jika Gusti Ratu Kunti Boga keluar dari kamar tahanan bawah tanah?” tanya Raden Sangga Alam.

“Entahlah…” desah Permaisuri Pramita Wardani.

“Kerajaan Gantar Angin bakal runtuh kalau keadaannya seperti ini terus.”

“Sudahlah, Anakku. Kau tidak perlu memikirkan kerajaan. Aku tak mau kehilanganmu. Penderitaanku sudah cukup, dan tidak ingin menambahnya lagi. Kau mengerti maksud Bunda, Anakku?”

Raden Sangga Alam mengangguk pelan.

“Pergilah istirahat. Kau pasti lelah.”

Raden Sangga Alam membungkuk memberi hormat, lalu melangkah pergi meninggalkan kaputren. Sementara Permaisuri Pramita Wardani tetap duduk sendiri di taman kaputren. Dayang-dayang kembali menghampirinya setelah Raden Sangga Alam lenyap di balik dinding taman kaputren.

*******************

Raden Bantar Gading melampiaskan kemarahannya pada para pekerja di Bukit Batu. Tidak kurang dari sepuluh orang pekerja, tewas terbabat pedangnya. Bahkan para prajurit yang mencoba untuk meredakan amarahnya, tidak luput dari amukan. Tiga orang prajurit luka parah. Raden Bantar Gading benar-benar marah, kecewa dan sakit hati melihat ayahnya bergumul dengan perempuan lain.

Dia tidak akan ambil peduli jika Ayahandanya bergumul bersama selir. Tapi yang dilihatnya bukan selir, melainkan seorang perempuan yang juga pernah tidur bersamanya. Kemarahannya semakin memuncak ketika mendengar semua percakapan ibunya dengan Raden Sangga Alam.

Dia memang sengaja menyelinap kembali ke kaputren begitu melihat Raden Sangga Alam datang ke taman itu. Hatinya benar-benar terluka melihat kepasrahan ibunya terhadap tindakan suaminya yang sering bermain cinta dengan wanita lain. Meskipun dia sendiri juga gemar dengan wanita-wanita cantik, tapi sulit rasanya untuk menyakiti wanita agung dan suci seperti ibunya.

“Raden…!”

Raden Bantar Gading menoleh. Pedangnya yang sudah terangkat tinggi dan siap untuk dibabatkan ke leher salah seorang pekerja, berhenti di atas kepalanya. Kedua bola matanya berbinar merah melihat Patih Luminta sudah berada tidak jauh dari situ.

“Hentikan, Raden. Tidak ada gunanya membantai mereka. Hentikan, Raden,” pinta Patih Luminta seraya melangkah pelan-pelan mendekati.

Raden Bantar Gading membalikkan tubuhnya. Pedangnya menyilang di depan dada. Kedua bola matanya tetap merah menyala menatap tajam Patih Luminta. “Jangan coba-coba membujukku, Paman Patih!” dengus Raden Bantar Gading.

“Percayalah, Raden. Semua akan beres tanpa harus mengumbar nafsu amarah. Kita bisa bicarakan hal ini baik-baik,” kata Patih Luminta tetap membujuk.

“Tidak ada yang perlu dibicarakan, Paman Patih!”

“Raden…”

“Pergi! Atau pedangku yang akan mengusirmu!” bentak Raden Bantar Gading.

Patih Luminta berusaha membujuk, dan semakin dekat dengan pemuda itu. Raden Bantar Gading menunjuk dada laki-laki setengah baya dengan ujung pedangnya.

”Selangkah lagi kau mendekat, pedang ini akan mengoyak jantungmu!” ancam Raden Bantar Gading.

Patih Luminta berhenti melangkah. Dipandanginya orang-orang yang berada di sekitarnya. Juga para prajurit yang mulai berjaga-jaga. Laki-laki setengah baya itu mengegoskan kepalanya sedikit. Dan prajurit prajurit itu segera memerintahkan para pekerja untuk menyingkir.

Tidak lama, terdengar derap langkah kaki kaki kuda mendekati Puncak Bukit Batu. Raden Bantar Gading menoleh. Patih Luminta juga mengarahkan pandangannya ke lereng bukit. Tampak serombongan prajurit berkuda mengawal Prabu Abiyasa. Delapan orang jago bayaran dari tanah seberang juga ikut bersama rombongan itu.

Prabu Abiyasa mengangkat tangannya ke atas. Para prajurit pengawal dan delapan orang jago dari seberang menghentikan lari kudanya. Prabu Abiyasa segera melompat dari punggung kuda hitam itu. Dua orang jago bayaran mengikutinya. Mereka berdiri di samping kanan dan kiri Prabu Abiyasa.

“Bantar Gading! Apa yang kau lakukan di sini, heh?” bentak Prabu Abiyasa.

Prabu Abiyasa merayapi beberapa orang yang tergeletak tak bernyawa lagi. Bahkan tiga orang prajurit tengah mengerang dengan tubuh bersimbah darah. Tatapan matanya tajam menusuk ke bola mata Raden Bantar Gading. Dia melangkah mendekat, tapi Raden Bantar Gading mengarahkan ujung pedangnya pada Raja Abiyasa itu.

“Jangan mendekat! Kau bukan ayahku!” bentak Raden Bantar Gading.

“Patih…!” Prabu Abiyasa membentak keras, tanpa menghiraukan ucapan Raden Bantar Gading.

“Hamba, Gusti Prabu…” Patih Luminta mendekat seraya membungkukkan badannya.

“Apa yang kau lakukan terhadap anakku?” tanya Prabu Abiyasa berang.

“Ampun, Gusti Prabu. Hamba tidak melakukan apa-apa. Hamba juga tidak tahu, mengapa Raden Bantar Gading mengamuk dan membantai para pekerja,” sahut Patih Luminta bergetar suaranya.

Prabu Abiyasa mengalihkan pandangannya ke arah Raden Bantar Gading. Sedangkan pemuda itu hanya membalas dengan tatapan dingin, penuh rasa kebencian. Agak bergetar juga hati Prabu Abiyasa melihat tatapan itu.

“Ijinkan hamba untuk meredakan amarahnya, Gusti Prabu.” Kata Patih Luminta.

Prabu Abiyasa tidak menjawab. Dia berbalik, lalu melompat ke punggung kudanya. Sebentar dia menatap Patih Luminta, kemudian beralih pada Raden Bantar Gading.

“Kalian berdua jaga di sini!” perintah Prabu Abiyasa menunjuk dua orang jago dari seberang. Tatapannya kembali mengarahkan pada Patih Luminta. “Bawa dia ke istana. Aku tidak perduli dengan caramu!”

“Hamba, Gusti Prabu,” sahut Patih Luminta.

Prabu Abiyasa memutar kudanya, lalu menggebahnya meninggalkan Bukit Batu. Patih Luminta berbalik memandang Raden Bantar Gading. Pemuda itu masih menghunus pedangnya di depan dada. Tatapan matanya tetap tajam menusuk. Sementara dua jago dari sebrang melangkah mendekati Patih Luminta.

“Sarungkan kembali peedangmu, Raden. Hamba bersedia mendengar semua keluhan Raden,” bujuk Patih Luminta lagi.

Trek!

Raden Bantar Gading menyarungkan pedangnya. Raut wajahnya masih merah meyimpan amarah. Dia berbalik dan melangkah tanpa bicara sedikitpun. Patih Luminta bergegas mengikuti dari belakang. Sempat diperintahkan pada para prajurit untuk kembali menyuruh orang-orang bekerja.

“Raden…!” panggil Patih Luminta terus melangkah cepat membuntuti.

Raden Bantar Gading tidak menyahut. Dia terus saja melangkah menghampiri kudanya, kemudian melompat naik ke atasnya. Sekali gebah saja, kuda putih itu berlari cepat membelah angin. Patih Luminta langsung melompat ke punggung kudanya, dan menggebah mengikuti Raden Bantar Gading. Sementara para pekerja kembali bekerja memecah batu. Para prajurit juga kembali mengawasi. Beberapa orang mengurus mayat yang bergelimpangan terkena amukan Raden Bantar Gading. Tidak ada seorangpun yang menyadari kalau semua kejadian di situ disaksikan beberapa pasang mata dari tempat yang cukup tersembunyi.

EMPAT

Empat orang yang mengintai dari tempat cukup tersembunyi itu adalah Ki Maruta, Mayang, dan dua orang pemuda yang menyandang pedang di pinggangnya. Mereka mendengar semua pembicaraan dan mengetahui kejadian yang berlangsung di Bukit Batu. Ki Marutamemandang Mayang yang sejak tadi tidak berkata sedikitpun.

“Bagaimana kau bisa mempengaruhi Raden Bantar Gading, Mayang?” tanya Ki Maruta.

Mayang menarik nafas panjang, dan hanya menoleh pada laki-laki tua di sampingnya. Tanpa menjawab pertanyaan itu, Mayang bangkit dan melangkah pergi. Ki Maruta berpesan pada dua pemuda tadi agat tetap mengawasi Bukit Batu. Bergegas diikutinya wanita cantik berbaju merah itu. Mayang menyandarkan tubuhnya pada sebatang pohon cemara yang cukup besar. Ki Maruta berdiri di depannya. Matanya merayapi wajah wanita yang berniat bergabung bersamanya.

“Maaf kalau pertanyaanku menyinggung perasaanmu,” kata Ki Maruta.

“Tidak apa,” sahut Mayang mendesah.

“Seharusnya aku memang tidak berkata begitu,”

Mayang melemparkan senyumnya. “Tidak kusangka kalau Raden Bantar Gading terpengaruh oleh kata-kataku. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa melakukannya. Hhh…!” Mayang menarik nafas panjang. Dia teringat saat-saat manis bersama Raden Bantar Gading.

Masa-masa yang tidak pernah terlupakan. Saat itu hatinya selalu berperang antara cinta.dan tugas yang diberikan seorang laki-laki misterius yang selalu dipanggilnya Eyang. Sampai saat ini pun dia tidak tahu maksud laki-laki berjubah hitam itu. Dia mencintai Raden Bantar Gading, tapi perintah laki-laki berjubah hitam itu selalu terngiang di telinganya.

Sejak kecil dia dijejali dengan cerita tentang keluarga Ratu Kunti Boga. Dan laki-laki berjubah hitam itu selalu mengatakan kalau dirinya adalah puteri Ratu Kunti Boga. Ayahnya terbunuh. Bahkan banyak saudaranya ikut terbunuh atau ditawan di dalam kamar tahanan bawah tanah. Semua itu dilakukan Prabu Abiyasa. Yang paling meyedihkan, kakak laki-lakinya tewas di tangan Raden Bantar Gading di dalam penjara.

Semua cerita itu diperoleh Mayang dari laki-laki misterius berjubah hitam. Mayang memang sempat terpengaruh, lalu membenci Raden Bantar Gading. Tapi semuanya jadi pupus ketika seorang pendekar muda datang membeberkan apa adanya. Tentang laki-laki misterius berjubah hitam yang sebenarnya, sampai saat ini Mayang masih belum mengerti. Untuk apa Panglima Nampi menyamar sebagai seorang misterius? Mengapa dia mengajarkan ilmu olah kanuragan dan menjejalinya dengan cerita cerita yang membuatnya seperti orang lain, bukan dirinya sendiri?

“Mayang…”

“Oh!” Mayang tersentak dari lamunannya.

“Kau melamun?” tegur Ki Maruta.

“Oh… ehm…” Mayang jadi tergagap.

“Aku berterima kasih karena kau telah berhasil memecah-belah keluarga Prabu Abiyasa. Siapapun adanya kau, aku berterima kasih sekali. Keadaan ini bisa melemahkan pertahanan mereka. Sekarang, tugasku adalah menghasut para prajurit yang masih setia kepada Gusti Ratu Kunti Boga atau para pembesar yang kini masih berada di lingkungan istana,” ujar Ki Maruta.

Mayang hanya diam saja. Dia tidak tahu, apakah saat ini harus gembira, atau harus sedih melihat Raden Bantar Gading terguncang jiwanya. Padahal semua yang dikatakannya hanya rekaan saja. Tidak ada kebenarannya sama sekali. Tapi dia sendiri tidak tahu, kejadiannya yang sesungguhnya, sehingga Raden Bantar Gading bisa demikian murkanya. Bahkan tidak mau mengakui ayahnya lagi!

“Tidak lama lagi, tahta Prabu Abiyasa akan runtuh. Dengan demikian kau bisa mengetahui dirimu yang sebenarnya setelah kami dapat menyelamatkan Gusti Ratu Kunti Boga dan Panglima Nampi,” jelas Ki Maruta lagi.

“Terima kasih, Ki,” hanya itu yang bisa diucapkan Mayang. Saat ini dia tidak lagi peduli tentang dirinya yang sebenarnya. Putri Ratu Kunti Boga atau bukan, masa bodoh! Yang jelas, tekadnya adalah meninggalkan Gantar Angin setelah semua kemelut ini berakhir. Dia ingin menjadi dirinya sendiri. Tidak akan terpengaruh pada omongan orang lain lagi.

“Ayo, kita kembali ke Hutan Danaraja. Tidak mungkin kita membebaskan rakyat yang dipaksa bekerja di sana sekarang ini. Kita cari kesempatan lain lagi,” kata Ki Maruta.

Mayang hanya mengangguk saja, kemudian kakinya terayun meninggalkan tempat itu. Ki Maruta bergegas kembali menemui dua orang pemuda yang bertugas mengamati keadaan di sekitar Bukit Batu. Dia ingin mengajak dua orang pemuda itu untuk kembali ke Hutan Danaraja, tempat mereka berkumpul menyusun kekuatan untuk menggulingkan tahta Prabu Abiyasa.

Saat itu, matahari sudah condong ke barat. Dan rakyat yang bekerja paksa memecah batu di Bukit Batu mulai berbenah diri untuk kembali ke barak. Sementara sebagian prajurit juga sudah kembali ke tenda masing-masing. Tak terlihat wajah ceria di antara sekian banyak orang itu. Bahkan para prajurit pun tidak menampakkan wajah yang menyenangkan. Mungkin mereka jenuh, karena seharian hanya berdiam diri tanpa melakukan sesuatu di atas bukit yang gersang dan panas ini.

*******************

Susah payah Patih Luminta membujuk, dan pada akhirnya Raden Bantar Gading bersedia kembali ke istana. Tapi Raden Bantar Gading tetap tidak ingin bertemu ayahnya, meskpun ibunya sendiri ikut membujuk. Masih terngiang kata-kata Mayang padanya. Semula hal itu hanya dianggap sebuah lelucon yang tidak lucu. Tapi setelah melihat dengan mata kepala sendiri, hatinya kontan berontak.

“Aku mengatakan yang sebenarnya, Raden. Aku terpaksa melakukan karena Prabu Abiyasa mengancam. Dia tidak mengijinkan hubungan kita kalau aku tidak bersedia melayaninya,” cerita Mayang waktu itu.

“Tidak mungkin, Mayang. Aku tahu betul, tidak mungkin Ayahanda akan melakukan seperti yang kau ceritakan. Selirnya banyak dan cantik-cantik.” Bantah Raden Bantar Gading.

“Itu hakmu untuk tidak percaya, Raden. Tapi aku paham benar dengan watak ayahmu. Bahkan aku tahu siapa kau sebenarnya. Kau bukan putra Prabu Abiyasa! Putra yang sebenarnya adalah Raden Sangga Alam. Kau hanya anak angkat, Raden.”

“Hhh! Hebat sekali olok-olokmu, Mayang.”

“Kau boleh percaya atau tidak. Terserah. Kalau bukan ayahmu sendiri yang cerita padaku, mana aku percaya? Katanya kau bukan anaknya, oleh sebab itu aku tidak pantas untukmu! Kau bukan pewaris tahta Kerajaan Gantar Angin.”

“Ah, sudahlah, Mayang. Tidak lama lagi aku akan meduduki tahta, dan kau akan menjadi permaisuriku. Sudahlah! Hentikan olok-olokmu,” Raden Bantar Gading tidak percaya.

“Kalau ternyata benar…?”

Raden Bantar Gading hanya tertawa saja. Hal itu hanya dianggap sebuah lelucon yang tidak lucu. Tapi kini kata-kata itu kembali terngiang. Padahal dia telah melupakannya. Raden Bantar Gading menutup muka dengan kedua tangannya.

“Mayang….” Rintihnya lirih. “Maafkan aku, Mayang. Aku terlalu kasar dan terlalu menganggapmu rendah. Kau benar, Mayang. Aku, Ayahku, lebih kotor dari padamu.

Oh….” Rintih Raden Bantar Gading.

Raden Bantar Gading menengadahkan kepalanya. Tampak kedua matanya berkaca kaca. Disesali segala tindak-tanduknya terhadap wanita yang selama ini telah mengisi hidupnya. Wanita yang selalu memperhatikan dengan curahan kasih dan cinta yang murni. Raden Bantar Gading mengutuki dirinya sendiri.

Penyesalan memang datangnya selalu belakangan. Selama ini Raden Bantar Gading selalu menganggap dirinya mulia dan paling tinggi derajatnya, sehingga bisa melakukan apa saja sekehendak hati. Setiap kata yang terucap merupakan perintah yang harus ditaati. Segala keinginannya harus dituruti. Siapa saja yang berani membangkang, pedangnya selalu bicara. Tidak terhitung lagi, berapa nyawa melayang di tangannya. Berapa gadis yang menjadi korban nafsunya. Tapi dari sekian banyak wanita yang pernah dekat dengannya, hanya Mayang yang menjadi perhatiannya. Dan Raden Bantar Gading pun menaruh simpati pada wanita itu. Hanya karena keangkuhannya sehingga dia tidak mengakui secara jujur.

“O, Tuhan…..ampunlah segala dosaku,” kembali Raden Bantar Gading mengaluh lirih.

Raden Bantar Gading menoleh ketika telinganya mendengar langkah kaki menghampiri. Kembali dipalingkan mukanya begitu melihat Raden Sangga Alam menghampiri. Sebentar ditarik napas panjang dan dalam. Dengan punggung tangan, dihapus air bening yang mengalir dari sudut matanya. Tak terasa dia telah menangis menyesali segala perbuatannya.

“Boleh aku bicara padamu, Kakang?” lembut suara Raden Sangga Alam.

Raden Bantar Gading tidak menjawab dan hanya menarik napas panjang, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Jarang sekali mereka berdua saling bicara. Raden Bantar Gading tidak berpaling sedikitpun. Hatinya merasa malu berhadapan dengan pemuda yang selalu disisihkan dan direndahkannya selama ini.

“Sudah tiga hari ini Kakang tidak mau keluar. Bahkan tidak bersedia bertemu dengan seorangpun. Apa sebenarnya yang terjadi padamu, Kakang?” tanya Raden Sangga Alam tetap lembut suaranya.

“Pergilah….” Desah Raden Bantar Gading.

“Kakang juga tidak bersedia bicara denganku?”

Lagi-lagi Raden Bantar Gading menarik napas panjang.

“Aku datang bukan untuk membujukmu, Kakang. Sama sekali tidak ada niatan di hatiku. Rasanya sudah lama kita tidak saling bicara. Bagaimanapun juga, kita bersaudara satu Ayah. Saat ini kau sedang mengalami kesusahan, aku juga turut merasakan kesusahanmu, Kakang,” tetap lembut suara Raden Sangga Alam.

“Ah…” desah Raden Bantar Gading.

Kata-kata adik tirinya membuatnya semakin terenyuh. Tanpa berkata apa-apa lagi, Raden Bantar Gading bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan taman itu. Raden Sangga Alam hanya dapat memandang kosong. Hatinya penuh berbagai macam perasaan yang sulit diungkapkan.

*******************

Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, Raden Bantar Gading telah memacu kudanya keluar dari Istana Gantar Angin. Keputusannya mantap untuk meninggalkan segala yang dimiliki dan dinikmati. Tekadnya bulat. Dia harus menemukan kembali wanita yang selama ini telah mengisi hari-harinya. Wanita yang begitu memperhatikannya.

“Raden….tunggu!”

Raden Bantar Gading terkejut ketika mendengar suara panggilan dari belakang. Padahal dia baru saja melewati pintu gerbang istana. Terpaksa dihentikannya laju kudanya, dan menoleh. Tampak Patih Luminta memacu cepat kudanya.

“Raden…. Raden akan ke mana?” tanya Patih Luminta.

“Pergi,” sahut Raden Bantar Gading singkat. Kembali dipacu kudanya dengan cepat.

Patih Luminta mengikuti memacu kudanya di samping pemuda itu. Sebentar dia menoleh ke belakang. Tampak dua perajurit yang berdiri di samping pintu gerbang tengah memandanginya. Sementara Raden Bantar Gading terus memacu kudanya dengan kecepatan sedang tanpa menoleh sedikitpun.

“Ke mana tujuan Raden?” tanya Patih Luminta.

“Ke mana saja aku suka,” dingin jawaban Raden Bantar Gading. “Kenapa kau mengikutiku?”

“Hamba akan menyertai perjalanan Raden,” sahut Patih Luminta.

”Kembali saja ke istana, Paman. Tidak ada gunanya kau mengikutiku.”

“Ke mana pun Raden pergi, hamba tetap akan mengikuti. Hamba tidak peduli seandainya Gusti Prabu murka. Hamba siap menyabung nyawa demi Raden,” tegas kata-kata Patih Luminta.

Raden Bantar Gading menghentikan laju kudanya. Tatapan matanya tajam, menembus langsung ke bola mata laki-laki setengah baya itu. “Sebaiknya Paman kembali saja. Prabu Abiyasa tidak akan tinggal diam. Aku tidak ingin Paman berkorban untukku,” kata Raden Bantar Gading pelan. Hatinya terharu dengan kesetiaan patih ini.

“Hamba tidak peduli, meskipun Gusti Prabu mengerahkan jago-jago dari tanah seberang. Hamba tetap akan setia pada Raden,” tegas jawaban Patih Luminta.
“Selama ini banyak orang yang mengepalkan tangan dibelakangku. Sukar rasanya menerima kesetiaanmu, Paman. Aku bukan orang yang pantas diberi kemuliaan setinggi itu,” lirih suara Raden Bantar Gading.

“Raden terlalu berperasangka terhadap orang lain. Masih banyak orang yang setia dan menyukai Raden. Hanya mereka yang tidak tahu saja yang membenci Raden.” Kata-kata Patih Luminta bernada menghibur.

Raden Bantar Gading hanya tersenyum saja, dan kembali melajukan kudanya. Patih Luminta juga mengikuti dan mensejajarkan langkah kudanya di samping Raden Bantar Gading. Sementara matahari mulai mengintip dari balik Bukit Cemara. Cahayanya yang merah jingga begitu lembut menyapa datangnya fajar. Burung-burung telah sejak tadi meninggalkan sarangnya.

Raden Bantar Gading terus menjalankan kudanya tanpa arah tujuan pasti. Diikuti ke mana langkah kaki kuda menapak. Sementara jalan yang dilalui mulai menyempit. Rumah-rumah mulai jarang terlihat. Sepanjang jalan yang dilalui hanya pohon dan lebatnya semak belukar.

“Raden, bukankah ini Hutan Danaraja…?” pelan suara Patih Luminta.

Raden Bantar Gading kembali menghentikan kudanya. Baru disadarinya kalau sudah mencapai Hutan Danaraja, tempat bersarang pada pemberontak. Belum sempat menyadari lebih lanjut, mendadak sebuah anak panah melesat cepat bagai kilat ke arah Raden Bantar Gading.

“Raden, awas….!” Seru Patih Luminta.

“Hup, hiyaaa…!”

Raden Bantar Gading melenting dari punggung kuda putihnya. Anak panah itu terus melesat lewat di bawah kakinya. Dan begitu kakinya menjejakkan ke tanah, sebatang tombak panjang menyambutnya. Raden Bantar Gading menarik tubuhnya ke samping. Dengan tangkas sekali tangannya menyambut tongkat itu.

Tap!

Tombak sepanjang dua kali tinggi manusia dewasa itu berhasil ditangkap dengan manis. Raden Bantar Gading memutar tombak itu dan melemparkannya ke arah datangnya tombak. Lemparan dengan pengerahan tenaga dalam mengakibatkan tombak meluncur deras.

Srak!

“Aaa…!”

Terdengar satu jeritan melengking menyayat. Sesosok tubuh tersungkur keluar dari semak belukar. Tubuhnya terhunjam tombak yang hampir mengenai Raden Bantar Gading. Tidak berapa lama, dari balik gerumbul semak dan pepohonan bermunculan orang-orang bersenjata tombak, golok dan pedang. Daun daun pepohonan tersibak, dan di atas dahan pohon sudah siap beberapa orang dan anak panah terpasang di busur.

Raden Bantar Gading dan Patih Luminta baru menyadari kalau mereka sudah terkepung. Rasanya tidak mudah untuk dapat keluar dari kepungan yang amat rapat ini. Raden Bantar Gading memandang berkeliling. Tidak kurang dari lima puluh orang mengepung dengan senjata terhunus. Itu pun masih ditambah dua puluh lima orang yang telah siap dengan panah di tangan.

“Tidak ada jalan lain untuk lolos, Raden.” Desah Patih Luminta berbisik. Dia sudah berada di samping Raden Bantar Gading.

Belum sempat Raden Bantar Gading menjawab, dari arah depan muncul lima orang laki-laki dan seorang wanita berbaju merah muda. Raden Bantar Gading terbeliak melihat wanita cantik baju merah mdua itu.

“Mayang….” Desis Raden Bantar Gading.

“Kau sudah terkepung, Raden. Sekali bergerak, nyawamu bisa melayang!” terdengar suara dingin dan datar.

Raden Bantar Gading memandang laki-laki tua yang berbicara tadi. Dia ingat betul, siapa laki-laki tua itu. dia adalah seorang pekerja yang hampir mati di tangannya, kalau saja Raden Sangga Alam tidak menolong. Siapa lagi kalau bukan Ki Maruta.

“Masih ingat dalam ingatanku semua yang kau lakukan terhadap diriku dan seluruh keluargaku,” kata Ki Maruta, agak bergetar suaranya.

“Masih ingat denganku, Raden?” seorang laki-laki yang tangannya buntung ikut bicara.

Raden Bantar Gading mengalihkan pandangannya pada laki-laki yang tangannya buntung sampai ke bahu. Usianya hampir sebaya dengannya. Dia ingat, laki-laki itu bernama Jalak Sewu. Tangannya buntung karena terbabat pedangnya, ketika Jalak Sewu menolak untuk bekerja di Bukit Batu. Jalak Sewu sebenarnya putra seorang pembesar istana yang setia kepada Ratu Kunti Boga. Seluruh keluarganya habis terbantai. Hanya dia yang masih selamat.

Raden Bantar Gading juga kenal dengan tiga orang lainnya. Mereka dalah bekas panglima setia Ratu Kunti Boga. Dan Ki Maruta sendiri sebenarnya adalah bekas penasehat pribadi Ratu Kunti Boga yang sempat melarikan diri saat Prabu Abiyasa menyerbu dan menggulingkan tahta Kerajaan Gantar Angin.

Pandangan mata Raden Bantar Gading beralih pada satu-satunya wanita yang berdiri di antara lima orang laki-laki pemimpin pemberontak itu. Wanita yang amat dikenalnya, sekaligus mengisi hari-harinya selama ini. Wanita yang selalu dirindukan dalam beberapa hari belakangan ini. Mayang membalas tatapan mata pemuda itu dengan berbagai perasaan bergejolak di hatinya.

“Aku tahu, kalian benci dan dendam padaku. Kalian selalu menginginkan kematianku. Nah kesempatan sudah ada, ayo! Bunuh aku! lantang suara Raden Bantar Gading.

Semua orang yang ada di situ terperanjat ketika Raden Bantar Gading meloloskan pedang dan melemparkannya ke depan. Juga, melepaskan baju luarnya dan dicampakkan begitu saja. Tampak pada pinggangnya berbaris pisau kecil dan sebuah kantung dari perunggu. Semua senjata yang melekat di tubuh Raden Bantar Gading dilepaskannya sendiri.

“Raden….!” Patih Luminta terkejut melihat Raden Bantar Gading tampak pasrah.

“Paman! Kembalilah ke istana dan katakan pada Prabu Abiyasa agar menyerahkan tahta pada Ratu Kunti Boga,” ujar Raden Bantar Gading.

“Raden…” suara Patih Luminta tercekat di tenggorokan.

“Dosa-dosaku sudah terlalu banyak, Paman. Mungkin dengan cara ini sebagian dosaku bisa tertebus,” kata Raden Bantar Gading.

“Kau akan mati dicincang mereka, Raden.”

Raden Bantar Gading tersenyum dan mendorong tubuh Patih Luminta ke samping. Dengan langkah tegap, dia berjalan ke depan. Raden Bantar Gading berdiri tegak dengan dada telanjang. Kedua tangannya merentang ke samping. Sikapnya begitu pasrah.

“Tunggu…!” sentak Mayang ketika Ki Maruta memberi aba-aba pada pasukan panah.

Mayang langsung melompat ke depan, dan berdiri tegak di depan Raden Bantar Gading. Ki Maruta menghentakkan tangannya, maka pasukan panah mengurungkan niatnya untuk membidik. Mayang menghampiri pemuda tampan yang sudah pasrah menjemput maut itu.

“Raden, mengapa ini kau lakukan?” tanya Mayang. Suaranya bergetar agak tertahan.

“Minggirlah, Mayang. Mereka menginginkan nyawaku. Kau pun juga ingin melihat kematianku, bukan? Minggirlah, tidak ada gunanya kau menyelamatkan diriku,” kata Raden Bantar Gading tegas.

“Tidak! Kau tidak boleh mati!” sentak Mayang histeris.

“Mayang…!” seru Ki Maruta.

Mayang membalikkan tubuhnya. “Jika kalian ingin membunuhnya, bunuh aku sekalian!” lantang suara Mayang.

“Kau gila, Mayang!” desis Ki Maruta.

“Sudah kukatakan pada kalian, Raden Bantar Gading tidak jahat! Semua yang dilakukannya hanya karena tekanan dari Prabu Abiyasa!” kata Mayang lantang.

“Omong kosong! Kau jangan coba-coba membelanya, Mayang! Minggirlah!” desis Ki Maruta.

“Mereka benar, Mayang. Pergilah! Tidak ada gunanya kau melindungiku,” pinta Raden Bantar Gading pelan.

“Tidak! Kau tidak boleh mati! Katakan pada mereka kalau kau melakukan semua itu karena terpaksa! Kau takut kehilangan tahta. Katakan pada mereka, Raden. Katakan…!” seru Mayang keras.

“Tidak ada gunanya lagi, Mayang. Semuanya sudah berakhir.”

“Raden… kau…” Mayang menatap wajah Raden Bantar Gadig lekat-lekat.

Belum penah Mayang melihat Raden Bantar Gading seperti ini. Pasrah dan lemah tanpa daya. Seolah-olah dia tidak lagi melihat sosok Raden Bantar Gading yang keras, garang, tegas dan tidak mengenal rasa takut. Sosok yang tidak penah menyerah dengan segala yang terjadi. Tapi sekarang….. rasanya Mayang tidak melihat Raden Bantar Gading seperti yang penah dikenal, dicintai dan dirindukannya, meskipun ada sedikit kebencian di dalam hatinya.

Saat itu Ki Maruta sudah mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Dan dua puluh lima orang yang berada di atas pohon, segera siap dengan anak panah terbidik ke arah Raden Bantar Gading. Mereka tinggal menunggu perintah. Sementara Patih Luminta tidak bisa berbuat banyak. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya pun juga bergetar, seolah-olah ingin mengatakan sesuatu.

LIMA

“Raden….” Suara Mayang tersedak.

“Mundurlah, Mayang. Jangan menangis! Aku mencintaimu,” ucap Raden Bantar Gading lembut.

Jalak Sewu menghampiri Mayang dan mencekal tangannya. Dibawanya Mayang menjauh dari tempat itu. Mayang ingin memberontak, tapi tak kuasa melakukannya. Matanya mulai menitikkan air bening. Sedangkan Raden Bantar Gading hanya tersenyum tenang memandang wanita yang dicintainya itu.

“Tidak…” desis Mayang lirih.

Ki Maruta menghentakkan tangannya ke bawah. Pada saat itu pula dua puluh lima orang langsung melepaskan anak panahnya, dan meluncur keras ke arah tubuh Raden Bantar Gading yang sudah pasrah menerima hukuman itu.

Raden Bantar Gading memejamkan matanya rapat-rapat. Tepat pada saat ujung-ujung anak panah hampir menyentuh tubuhnya, sebuah bayangan berkelebat cepat menyambar tubuh Raden Bantar Gading. Dua puluh lima anak panah menghujam tanah tempat Raden Bantar Gading berdiri.

“Pendekar Pulau Neraka…!” semua orang yang berada di Hutan Danaraja itu terkejut.

Raden Bantar Gading membuka matanya. Dipandanginya pemuda tampan berbaju kulit harimau di sampingnya. Dia seperti tidak percaya kalau dirinya masih hidup. Sementara pemuda tampan berbaju kulit harimau berdiri tegak, dan melangkah tegak ke depan. Matanya tajam merayapi sektiarnya. Dua puluh lima orang di atas pohon sudah kembali menyiapkan panah.

Pemuda tampan berbaju kulit harimau yang memang adalah Bayu Hanggara itu menatap tajam pada Ki Maruta. Laki-laki tua itu sedikit bergidik menerima sorot mata tajam Pendekar Pulau Neraka.

“Aku melihat semua yang terjadi, dan aku mendengar semua percakapan kalian. Sungguh sangat disayangkan niat yang suci ternyata ternoda oleh perasaan sakit hati dan dendam,” dingin dan lugas kata-kata Bayu.

“Kisanak! Kau sudah mengatakan tidak akan ikut campur. Sekarang mengapa kau mencampuri urusan kami?” lantang suara Ki Maruta.

“Aku memang tidak akan mencampuri urusan kalian di Gantar Angin ini. Tapi aku tidak bisa diam melihat kekejaman di depan mataku,” sahut Bayu tegas.

“Bukan kami yang kejam, tapi dia!” serobot Jalak Sewu geram. “Kau lihat tanganku buntung akibat perbuatannya!”

“Sudah sepantasnya dia mati, Kisanak! Dia bukan lagi manusia, tapi binatang! Iblis…!” sambung Ki Maruta.

“Kau terlalu berlebihan, Ki Maruta. Raden Bantar Gading masih punya perasaan. Dia berbuat kejam bukan karena dorongan hati atau kemauannya sendiri. Apa kalian semua tidak memperhatikan kata-kata Mayang? Apa kalian semua tidak bisa membedakan antara perbuatan kejam yang dilandasi kemauan hati dengan paksaan?” kata Bayu lantang.

“Kisanak! Meskipun aku bukan orang rimba persilatan, tapi aku sering mendengar sepak terjangmu. Kau bicara seolah-olah sebagai dewa keadilan yang bijaksana. Apa kau tidak merasa tindakanmu melebihi manusia iblis?” kata Ki Maruta dingin.

Merah padam wajah Bayu mendengar kata kata yang dingin dan menyakitkan hati itu. Tapi dia berusaha untuk.tidak cepat terpancing amarahnya. Kalau saja yang berkata tadi musuhnya, mungkin sudah sejak tadi dipecahkan kepalanya.

“Kata-katamu sungguh menyakitkan, Ki Maruta,” Bayu menggeram menahan amarah.

“Lebih menyakitkan lagi jika kau tidak segera menyingkir dari sini!” ancam Ki Maruta.

“Aku memang kejam, Ki Maruta. Tapi aku masih punya hati dan perasaan. Tidak buta seperti kau!”

“Setan! Berani kau menghina Penasehat Pribadi Gusti Ratu Kunti Boga!” geram Ki Maruta.

“Kau bukan lagi Penasehat Ratu, tapi orang sakit yang haus kekuasaan!” sinis kata-kata Bayu.

“Beludak! Monyet buntung…! Kubunuh kau, keparat!” Ki Maruta tidak bisa lagi menahan marah. “Serang dia!”

Dua puluh lima anak panah langsung muntah dengan cepat. Bayu Hanggara mendorong tubuh Raden Bantar Gading, dan dengan cepat dikibaskan tangan kanannya. Cakra Maut berwarna keperakan meluncur dan berputar cepat menghancurkan anak-anak panah itu. Lesatan senjata aneh itu demikian cepat, sehingga dalam waktu sekejap dua puluh lima batang anak panah rontok sebelum mencapai sasaran. Bayu melipat tangannya di depan dada begitu senjatanya menempel di pergelangan tangan.

“Mayang, bawa Raden Bantar Gading pergi dari sini,” kata Bayu tegas.

“Kakang…” suara Mayang tercekat.

“Aku akan menyusul. Cepat!”

Mayang memunguti senjata dan baju Raden Bantar Gading yang berserakan di tanah. Kemudian dia menggamit tangan Raden Bantar Gading. Patih Luminta segera menyiapkan kuda dan membawanya pada Raden Bantar Gading.

“Serang! Jangan biarkan keparat itu lolos!” seru Ki Maruta lantang.

Raden Bantar Gading yang sudah berada di atas punggung kudanya, lengsung menarik tangan Mayang. Begitu Mayang telah berada di punggung kuda bersama Raden Bantar Gading, dengan cepat kuda putih itu melesat pergi. Patih Luminta masih belum menggebah kuda meskipun sudah duduk di atas punggung kudanya.

Lima puluh orang dengan senjata bermacam macam, berlompatan mengejar Raden Bantar Gading. Sedangkan pasukan panah menghujaninya dengan anak panah. Bayu langsung melenting merontokkan semua anak panah itu. sementara sekitar delapan orang sudah menyerang Patih Luminta.

Pendekar Pulau Neraka berlompatan dari satu pohon kepohon lain. Akibatnya tubuh-tubuh itupun melayang dan jatuh ke bawah. Mereka yang berada di atas pohon menjadi sasaran pertama Pendekar Pulau Neraka. Setelah tidak ada lagi orang di atas, pemuda berbaju kulit harimau itu cepat meluruk ke tanah ke arah Patih Luminta yang kini tengah sibuk melayani delapan orang.pengeroyoknya.

“Cepat pergi!” seru Bayu keras seraya menghantamkan pukulannya ke salah seorang yang hampir membabat leher Patih Luminta.

“Hiya…! Hiya…!”

Patih Luminta menggebah kudanya dengan cepat. Kuda berwarna coklat tua belang putih itu langsung melesat cepat. Tapi salah seorang sempat melemparkan tombak. Tak pelak lagi, tombak itu menembus punggung Patih Luminta.

“Aaa…!” Patih Luminta menjerit kesakitan. Hampir saja tubuhnya ambruk ke tanah kalau saja Bayu tidak cepat melompat dan menyambarnya. Pendekar Pulau Neraka itu langsung duduk di atas punggung kuda, dan menggebahnya dengan cepat.

Kuda itu terus berlari cepat. Para pemberontak yang dipimpin Ki Maruta berusaha mengejar sambil melemparkan tombak dan menghujani anak panah. Tapi kuda tunggangan Patih Luminta berlari bagaikan lesatan kilat.
Semua senjata yang dilemparkan tidak mencapai sasaran. Ki Maruta memaki-maki dan mengumpat geram. Kesempatan emas untuk membunuh Raden Bantar Gading menjadi kacau dengan munculnya Pendekar Pulau Neraka. Tidak mudah mendapat kesempatan seperti itu sekali lagi.

Bayu Hanggara menghentikan lari kuda setelah yakin betul tidak ada lagi yang mengejarnya. Bergegas dia melompat turun sambil memondong tubuh Patih Luminta. Tombak yang menancap di punggung laki-laki setengah baya itu masih menembus dadanya. Wajah Patih Luminta sudah pucat pasi, dan napasnya tersendat-sendat.

“Kisanak. Tindakan ini sangat membahayakan dirimu,” kata Patih Luminta tersendat.

“Tenanglah, jangan banyak bicara. Aku akan mencabut tombak ini,” kata Bayu seraya membaringkan tubuh Patih Luminta.

“Percuma Kisanak. Tidak ada gunanya… Ugh, ugh!” Patih Luminta mulai terbatuk, dan wajahnya semakin pucat pasi.

Bayu membaringkan miring laki-laki setengah baya itu. Melihat tombak yang tembus dari punggung ke dada, memang tidak ada harapan lagi bagi Patih Luminta untuk bertahan lama. Sudah pasti tombak telah menyayat jantungnya. Bayu diam tidak bertindak apa-apa. Kalau dicabutnya tombak itu, pasti akan mempercepat kematian Patih Luminta.

“Dengar, Kisanak. Ada sesuatu yang hendak ku sampaikan padamu,” kata Patih Luminta sambil meringis menahan sakit di dada dan punggungnya.

“Katakanlah,” sahut Bayu.

“Semua yang terjadi di Gantar Angin ini hanya kepalsuan belaka. Semua orang hanya berpura-pura. Mereka lupa akan diri masing-masing. Mereka telah menjadi orang lain….” Sambung Patih Luminta.

Bayu mengerutkan keningnya. Agak terkejut juga mendengar kata-kata Patih Luminta.

“Kau tidak akan bisa mencari kebenaran di sini. Tidak ada kebenaran dan keadilan di sini. Semuanya palsu dan hanya kepura-puraan yang kau dapatkan,” sambung Patih Luminta.

“Aku tidak mengerti maksudmu, Paman?”

“Aku tahu, sebenarnya kau tengah berusaha mengetahui siapa Mayang sesungguhnya. Kau telah dapatkan orang yang tepat untuk memperoleh keterangan tengang Mayang. Hanya saja orang itu tidak berkata jujur padamu. Bahkan berusaha memperalatmu untuk maksud dan tujuan pribadinya.”

Bayu terdiam menunggu.

“Mayang sebenarnya bukan putri Gusti Ratu Kunti Boga. Dia anak tunggal Ki Maruta….” Lanjut Patih Luminta.

“Benarkah itu, Paman?” Bayu hampir tidak percaya mendengarnya.

“Aku berkata yang sebenarnya, Anak Muda.”

“Lalu, bagaimana sampai bisa terjadi demikian?”

“Ketika Prabu Abiyasa memberontak dan menggulingkan tahta Gusti Ratu Kunti Boga, banyak pembesar dan panglima yang ikut memberontak. Gusti Ratu Kunti Boga berhasil ditawan. Sedangkan suaminya tewas di tiang gantungan. Di samping itu putri satu-satunya yang masih berusia tujuh tahun, lenyap entah ke mana. Hanya satu yang selamat. Dia seorang putra yang baru berusia tiga bulan….”

“Teruskan,” desak Bayu.

“Prabu Abiyasa sama sekali tidak mempunyai seorang putra. Waktu itu aku dan dia mengikat janji. Jika Kerajaan Gantar Angin berhasil direbut, maka anak tunggalku kelak harus menduduki tahta putra mahkota. Prabu Abiyasa setuju. Oleh sebab itulah dia mengangkat anakku menjadi anaknya. Dan aku sendiri diangkat menjadi patih.”

“Siapa nama anakmu?”

“Bantar Gading.”

“Ohhh…”

Patih Luminta terbatuk tiga kali. Keadaannya semakin lemah. Darah terus mengucur deras tak terbentung. Tapi dia masih berusaha bertahan. Dengan suara lemah dan tersendat, kembali diteruskan ceritanya.

“Ahli waris Kerajaan Gantar Angin yang syah, sebenarnya Raden Sangga Alam. Dialah putra Gusti Ratu Kunti Boga yang saat itu baru berusia sekitar tiga bulan. Gusti Permaisuri Pramita Wardani menghendaki anak itu, dan Prabu Abiyasa tidak keberatan. Itu pun setelah aku menyetujuinya, mengingat Raden Sangga Alam tidak tahu menahu tentang semua yang terjadi….” Kembali Patih Luminta terbatuk.

“Apakah Ratu Kunti Boga masih hidup?” tanya Bayu.

“Tidak! Dia sudah meninggal dua tahun yang lalu di dalam kamar tahanan bawah tanah.”

“Lalu, Panglima Nampi?”

“Tidak seorangpun dibiarkan hidup jika dianggap pengkhianat dan bermaksud memberontak. Mungkin Panglima Nampi sudah dihukum mati malam itu juga saat dipergoki berada di rumah Ki Maruta, yang sudah lama dicurigai sebagai pemimpin pemberontak.”

“Apakah Ki Maruta tahu kalau Ratu Kunti Boga sudah tiada?” tanya Bayu lagi.

“Sebenarnya dia tahu.”

“Aneh…. Kenapa dia masih menganggap Ratu Kunti Boga masih hidup. Lagi pula, untuk apa dia tidak mengakui Mayang anaknya?” tanya Bayu.

“Dengar, Bayu. Semua itu hanya siasat saja. Ki Maruta menginginkan anaknya menguasai Gantar Angin. Dan dia memperalat… Akh…!”

“Paman…..! Paman…..!”

Bayu terduduk lemas. Patih Luminta telah menghembuskan napasnya yang terakhir sebelum sempat menjawab pertanyaan Pendekar Pulau Neraka. Sebagian tabir yang melingkupi Kerajaan Gantar Angin mulai terungkap. Tapi.benak Bayu masih juga diliputi berbagai macam pertanyaan. Dia tidak mengerti akan sikap kebanyakan orang yang selalu berpura-pura. Bahkan tidak mau tahu satu dengan yang lainnya. Bahkan cenderung saling menutupi.

Bayu menolehkan kepalanya ketika mendengar suara dari arah belakang. Tampak Raden Bantar Gading dan Mayang melangkah menghampiri. Mereka berjalan pelan seperti tak ada gairah hidup sama sekali. Pandangan Raden Bantar Gading nanar ke arah mayat Patih Luminta.

“Ayah…” Raden Bantar Gading berdiri tegak memendangi gundukan tanah yang masih baru. Di sampingnya, berdiri Mayang. Sedangkan Bayu memperhatikan dari jarak yang tidak begitu jauh di bawah pohon. Raden Bantar Gading mengangkat kepalanya, lalu berbalik. Sebentar ditatapnya Pendekar Pulau Neraka, lalu kakinya terayun menghampiri. Mayang mengikuti di sampingnya. Wajah mereka tampak tersaput awan hitam.

“Telah kudengar semua pembicaraanmu dengan Ayah,” ujar Raden Bantar Gading pelan.

“Dari mana kau dengar semua pembicaraanku?”

“Aku memang menunggumu di sini. Tadinya aku akan menemuimu langsung, tapi Mayang mencegah,” sahut Raden Bantar Gading.

“Aku menyesal tidak bisa melindunginya,” desah Bayu.

“Kau sudah berbuat banyak, Kakang,” sergah Mayang.
Bayu tersenyum tipis.

“Aku sama sekali tidak tahu kalau selama ini hanya dijadikan boneka mainan,” pelan suara Raden Bantar Gading.

“Sudahlah! Yang penting, sekarang kalian sudah tahu diri masing-masing,” kata Bayu bijaksana.

“Kisanak…”

“Panggil saja aku Bayu,” potong Bayu.

“Terima kasih.”

“Apa yang ingin kau katakan?” tanya Bayu.

“Entahlah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Aku….” Suara Raden Bantar Gading terputus.

“Kau ingin membalas kematian ayahmu?” tanya Bayu.

Raden Bantar Gading tidak menjawab, tapi hanya menoleh memandang Mayang.

“Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Rasanya dendam bukan satu-satunya penyelesaian yang baik,” ujar Raden Bantar Gading pelan.

Bayu tersenyum mendengar penuturan itu. namun hatinya tersentuh juga. Dendam memang bukan satu-satunya penyelesaian yang baik. Bahkan selama ini, dia sendiri masih menyimpan dendam. Masih mencari orang-orang yang telah menghancurkan padepokan ayahnya, membunuh ayahnya berikut murid-muridnya. Hingga sekarang dia tidak tahu, apakah ibunya masih hidup atau sudah mati.

“Apa rencana kalian selanjutnya?” tanya Bayu.

“Memulai hidup baru, dan pergi sejauh-jauhnya meninggalkan Gantar Angin,” jawab Raden Bantar Gading mantap.

“Ya. Aku juga akan melupakan semua yang terjadi disini,” sambung Mayang.

“Kalian akan hidup berdua?”

Raden Bantar Gading dan Mayang saling berpandangan, kemudian sama-sama mengangguk sambil senyum tersipu. Bayu menarik napas panjang. Dia tidak tahu, bagaimana perasaannya sekarang. Memang diakui, ada sedikit rasa sesal di hatinya. Masalahnya, dia mulai tertarik terhadap Mayang dan sekarang wanita itu ingin hidup bersama Raden Bantar Gading. Bayu hanya bisa mendesah, dan menarik napas panjang kembali. Dia tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Bayu berbalik dan melangkah pergi. Raden Bantar Gading ingin mencegah kepergian Pendekar Pulau Neraka itu, tapi Mayang telah lebih dulu menutup bibir pemuda itu dengan jari tangannya. Raden Bantar Gading mengecup bibir Mayang lembut. Kemudian mereka berpelukan rapat dan mesra. Bayu sempat menoleh, dan hanya tersenyum tanpa berhenti melangkah.

“Hup!” hanya satu kali lesatan saja, Bayu sudah lenyap dari tempat itu.

Saat itu Raden Bantar Gading juga sudah mengajak Mayang meninggalkan tempat ini. Meninggalkan semua yang telah terjadi di Gantar Angin. Mereka melangkah sambil bergandengan tangan. Langkah yang pasti dan mantap untuk memulai hidup baru. Hidup sebagai pasangan yang saling mencintai. Tentu saja dengan menyiramu bunga cinta di hati mereka masing-masing.

Namun baru saja mereka melangkah beberapa depa, mendadak sabatang anak panah melesat cepat dari arah depan. Tepat ketika anak panah berwarna kuning gading itu hampir menyentuh dada Mayang, tangan Raden Bantar Gading menarik tangan Mayang ke belakang. Wanita itu menggeser kakinya berlindung di belakang punggung pemuda itu.

“Hati-hati, Mayang. Aku yakin, tempat ini sudah dikepung para prajurit Gantar Angin,” kata Raden Bantar Gading setengah berbisik.

Raden Bantar Gading mengenali anak panah di tangannya. Anak panah berwarna kuning gading dengan lambang kerajaan pada tangkainya. Pemuda itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kepalanya dimiringkan sedikit ke kanan. Tidak ada seorangpun terlihat di sekitar tempat ini. Bahkan tidak ada suara yang mencurigakan terdengar di telinganya. Hanya desiran angin dan gemerisik dedaunan yang terdengar.

Pandangan Raden Bantar Gading tertuju pada sebuah pohon yang sangat besar. Tampak seorang laki-laki berusia sektiar lima puluh tahun berdiri pada salah satu cabang yang cukup besar. Laki-laki itu mengenakan baju hijau ketat dengan pinggang dipenuhi pisau kecil yang berjajar rapi. Raden Bantar Gading kenal betul dengan laki-laki bertampang angker itu. dia adalah salah seorang Panglima Gantar Angin.

“Paman Panglima Jambak! Apa yang kau lakukan disini?” tanya Raden Bantar Gading.

“Hamba ditugaskan Gusti Prabu untuk membawa Raden kembali ke istana,” jawab Panglima Jambak tegas. Tangannya menjentik ke depan dada.

Raden Bantar Gading terkejut. Tiba-tiba saja, hampir lima puluh orang prajurit dan sepuluh punggawa, bermunculan dari balik bukit dengan menunggang kuda. Di tangan mereka masing-masing terdapat busur yang siap dilesatkan. Bahkan empat orang jago bayaran dari tanah seberang ada di antara mereka. Raden Bantar Gading langsung menyadari kalau situasi seperti ini bukan sikap bersahabat dan penghormatan lagi. Prabu Abiyasa sudah menganggapnya sebagai orang yang berbahaya dan harus dilenyapkan seperti para pengkhianat dan pembangkang lainnya.

“Katakan pada Ayahanda Prabu, aku akan menikah dan pergi dari Gantar Angin!” lantang kata-kata Raden Bantar Gading. “Dan kau tidak perlu bersusah-payah membuang-buang nyawa prajurit untuk memaksaku!”

Panglima Jambak meluruk dari atas dahan pohon. Manis sekali kakinya mendarat di depan Raden Bantar Gading. Jarak antara mereka hanya sekitar satu batang tombak saja. Raden Bantar Gading sudah bersiaga penuh. Dia tahu kalau pisau yang berjajar di pinggang panglima itu sangat berbahaya. Panglima Jambak sangat ahli menggunakannya.

“Raden, siapa wanita itu?” tanya Panglima Jambak.

“Dia Mayang, calon istriku!” sahut Raden Bantar Gading mantap.

“Raden, Gusti Prabu tidak akan melarang Raden memiliki calon istri. Gusti Prabu hanya menghendaki Raden kembali ke istana. Hal itu bisa dibicarakan nanti, Raden,” bujuk Panglima Jambak.

“Apa kata-kataku kurang jelas, Paman? Berapa kali aku harus mengatakan? Aku tidak akan pernah kembali lagi ke istana!”

“Maaf, Raden. Gusti Prabu memerintahkan padaku untuk membawamu dengan cara apapun.”

“Kau yang memulainya, bukan?” sinis nada suara Raden Bantar Gading.

“Maaf, Raden. Salah seorang prajuritku tidak bisa menahan diri. Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi, juga tidak akan terulang jika Raden bersedia kembali ke istana,” kata Panglima Jambak.

“Sekali aku katakan tidak, tetap tidak selamanya! Jelas, Paman Panglima?!” tegas jawaban Raden Bantar Gading.

Panglima Jambak menarik napas panjang dan berat, lalu melangkah mundur tiga tindak. “Sebenarnya aku enggan menerima tugas ini, Raden. Tapi semua ini harus kulakukan. Jika aku tidak bisa membujukmu, maka mereka yang akan memaksamu, Raden,” pelan kata-kata Panglima Jambak.

Raden Bantar Gading memandang empat orang jago bayaran dari tanah seberang. Empat orang itu bergerak maju mendekat. Raden Bantar Gading menyadari, dirinya tidak mungkin dapat menandingi mereka. Satu orangpun rasanya sulit. Apalagi kalau empat orang maju sekaligus…? Pandangannya kembali tertuju pada Panglima Jambak.

“Maaf, Raden. Ini perintah Gusti Prabu,” kata Panglima Jambak pelan.

“Majulah, tangkap aku!” sahut Raden Bantar Gading mantap.

“Raden, sebaiknya….”

“Jangan coba-coba membujukku, Paman!” potong Raden Bantar Gading cepat. “Aku tahu, apa yang Ayahanda Prabu titahkan pada kalian. Ayo lakukan! Dan jangan berharap aku akan menyerah begitu saja!”

Panglima Jambak kembali melangkah mundur. Empat orang jago dari tanah seberangpun langsung melompat sambil berteriak keras. Raden Bantar Gading menggeser kakinya ke samping. Sambil menorong tubuh Mayang agar menjauh, dicabut pedangnya.

Sret!

Raden Bantar Gading mengebutkan pedangnya ke depan ketika salah seroang jago seberang itu menusukkan senjatanya ke arah dada. Raden Bantar Gading terkejut, karena tangannya langsung bergetar hebat ketika pedangnya berbenturan dengan senjata lawannya. Belum lagi sempat menarik pulang pedangnya, sebuah tendangan keras dari samping menghantam pergelangan tangan kanannya.

“Akh!” Raden Bantar Gading memekik tertahan. Pedangnya mencelat lepas dari pegangan.

“Kakang…!” seru Mayang terkejut.

Raden Bantar Gading menoleh ke arah wanita itu. Akibatnya dia jadi lengah. Kelengahan ini sangat fatal bagi dirinya. Satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga luar biasa menghantam dadanya. Raden Bantar Gading kembali memekik keras. Tubuhnya terlempar jauh ke belakang.

ENAM

Dari mulutnya mengucur darah kental. Punggungnya menghantam sebuah pohon hingga tumbang. Raden Bantar Gading segera bangkit berdiri. Digeleng-gelengkan kepalanya sebentar, lalu digerak-gerakkan tangannya. Dia mencoba mengusir rasa sesak yang melanda dadanya. Pukulan bertenaga dalam itu hampir membuat tulang-tulang dadanya hancur.

Raden Bantar Gading merasa sesak bernapas. Dia meringis menahan nyeri pada dadanya. Dia tahu kalau salah satu tulang dadanya patah kena pukulan keras bertenaga dalam tadi. Dengan mata merah membara, Raden Bantar Gading mencopot baju luarnya.

“Hiya! Yeaaah…!” Sambil berteriak keras, Raden Bantar Gading mengibaskan kedua tangannya dari arah perut ke depan. Jarum-jarum beracun pun beterbangan bagai hujan ke arah empat orang jago dari tanah seberang itu. Mereka berlompatan sambil memutar senjata masing-masing, menghalau jarum-jarum beracun yang meluncur deras.

Jarum-jarum beracun itu berpentalan ke segala arah. Tidak dinyana sama sekali, jarum-jarum berwarna hitam pekat itu menghantam para prajurit yang berada di sekitar pertarungan. Mereka yang cepat menghindar dan bersembunyi di balik pohon, masih bisa selamat. Tapi terlambat, langsung ambruk dengan tubuh membiru. Jerit dan pekik kematian terdengar membahana. Raden Bantar Gading tersentak kaget. Langsung dihentikan serangan jarum-jarum beracunnya. Tidak kurang dari sepuluh orang prajurit tewas akibat kebodohannya.

“Setan! Kau harus bertanggung jawab atas kematian mereka, Paman Panglima!” bentak Raden Bantar Gading marah.

Panglima Jambak tersentak kaget. Dia juga tidak menyangka kalau sepuluh orang prajuritnya terkapar terkena jarum-jarum beracun nyasar. Raden Bantar Gading tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Dia cepat melompat sambil melontarkan beberapa pisau yang melilit di pinggangnya. Pisau-pisau itu menghujani empat orang jago dari seberang. Dan pada saat mereka sibuk menghalau serangan pisau itu, Raden Bantar Gading melepaskan beberapa pukulan ke arah Panglima Jambak. Pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam penuh itu menimbulkan desiran angin yang sangat kuat dan berhawa panas.

“Hup! Hiyaaa…!

Panglima Jambak bergegas melompat ke samping menghindari serangan Raden Bantar Gading. Disadari kalau putra mahkota itu mengeluarkan ‘Pukulan Gelombang Maut’. Satu jurus yang sangat dahsyat. Angin pukulannya saja mampu menghancurkan sebuah pohon beringin besar. Beberapa batang pohon, kontan hancur terkena sambaran pukulan dahsyat itu.

Raden Bantar Gading benar-benar mengamuk, menhajar siapa saja yang berani mendekat. Panglima Jambak berteriak keras agar para prajuritnya tidak ikut menyerang, sambil sibuk menghindari setiap serangan yang dilancarkan Raden Bantar Gading.

Saat itu empat orang jago dari seberang mengalihkan perhatiannya kepada Mayang. Mereka segera melompat mengurung wanita itu. Tentu saja, hal ini membuat Raden Bantar Gading kian berang. Dia hendak membantu Mayang yang kerepotan menghadapi empat lawannya itu. tapi Panglima Jambak tidak memberi kesempatan kepadanya untuk mendekati Mayang.

“Akh!” tiba-tiba Mayang memekik tertahan. Tubuhnya terjajar ke belakang dengan tangan kiri menekap bahu kanannya. Darah merembes keluar dari sela-sela jarinya. Rupanya salah seorang jago itu berhasil melukai bahu kanan Mayang. Dan sebelum wanita itu sempat berbuat banyak, satu tendangan keras mendarat di punggungnya. Kembali Mayang memekik, dan tubuhnya terjungkal ke tanah.

“Haaat…!” Salah seorang jago dari seberang mengayunkan senjatanya ke arah tubuh Mayang yang tak berdaya di tanah. Hanya sedikit saja Mayang mampu bergerak, tapi senjata orang itu telah membedah perutnya.

“Aaa…!” Mayang menjerit melengking.

“Mayang…!” seru Raden Bantar Gading terperanjat.

Baru saja Raden Bantar Gading melompat hendak memburu Mayang, satu tendangan keras Panglima Jambak membuatnya terjajar mencium tanah. Belum lagi Raden Bantar Gading mampu berdiri tegak, satu pukulan keras telah mendarat di dadanya. Tak sampai di situ, karena lawan telah mengirimkan pukulan dua kali ke punggung. Raden Bantar Gading ambruk ke tanah dengan mulut mengucurkan darah segar.

Panglima Jambak langsung menubruk tubuh Raden Bantar Gading, dan mengikatnya dengan tambang yang dilemparkan salah seroang prajurit. Raden Bantar Gading tidak bisa berkutik lagi. Tangan dan tubuhnya terikat tambang yang cukup besar dan kuat. Dia dipaksa berdiri. Dua orang prajurit mengangkat tubuh pemuda itu dan menghempaskannya di punggung kuda.

“Mayang…!” teriak Raden Bantar Gading mencoba meronta.

Tambang yang mengikat tubuhnya demikian kuat. Sia-sia saja Raden Bantar Gading meronta. Sementara Panglima Jambak, para prajurit, serta empat orang jago dari seberang, sudah berada di atas punggung kuda masing-masing. Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera menggebah kuda meninggalkan tempat itu. Sementara Mayang tetap tergeletak pingsan. Dada dan perutnya terus mengucurkan darah.

*******************

“Ohhh…” suara rintihan lirih terdengar.

“Jangan bergerak dulu! Lukamu belum pulih benar.”

“Oh…! Kakang Bayu…”

“Ya. Aku Bayu, Mayang.”

Mayang kembali memejamkan matanya seraya merintih lirih. Pemuda tampan berbaju kulit harimau duduk bersila di sampingnya. Tumpukan rumput kering dan dedaunan membuat tubuh Mayang terasa hangat. Sementara cahaya api kecil di dekatnya membuat tempat yang menyerupai lorong goa ini jadi semakin hangat. Perlahan-lahan Mayang membuka kelopak matanya.

“Di mana aku?” tanya Mayang.

“Kau lupa tempat ini, Mayang?” Bayu balik bertanya dengan lembut.

Mayang tersenyum tipis. Tentu saja dia tidak lupa karena beberapa hari pernah tinggal di sini bersama seorang gadis yang dibawa Bayu dari Gantar Angin. Tempat yang ditinggali sebelum bergabung dengan para pemberontak.

“Kakang, bagaimana kau bisa membawaku ke sini?” tanya Mayang lagi.

“Aku tidak jadi pergi karena kulihat Ki Maruta bersama orang-orangnya tengah bergerak menuju Gantar Angin. Semula aku ingin memberitahu hal ini pada Raden Bantar Gading. Tapi terlambat! Aku hanya menemukan dirimu tergeletak di antara beberapa mayat prajurit Gantar Angin. Semula kuduga kau sudah tewas. Ternyata setelah ku amati, kau masih bernapas. Tidak ada pikiran lain terlintas di kepalaku, selain membawamu ke sini,” Bayu menceritakan kejadiannya.

“Oh… mereka menangkap Kakang Bantar Gading,” lirih suara Mayang.

“Siapa mereka?”

“Panglima Jambak dan para pengikutnya. Mereka dibantu empat orang asing dan berpakaian aneh. Empat orang itulah yang melukaiku, Kakang,” sahut Mayang.
Bayu menarik napas panjang.
“Kakang! Mereka tidak mengijinkan kami meninggalkan Gantar Angin. Bahkan Prabu Abiyasa menganggap Kakang Bantar Gading pengkhianat. Aku tidak tahu, bagaimana nasib Kakang Bantar Gading. Prabu Abiyasa sangat kejam, Kakang.” Pelan suara Mayang.

Bayu Hanggara menoleh ketika mendengar suara langkah kaki memasuki goa ini. Ternyata gadis berusia sekitar lima belas tahun muncul mendekati. Gadis itu melemparkan senyum kepada Mayang. Mayang pun membalasnya dengan senyuman tipis.

“Aku memintanya kemari untuk merawatmu, Mayang,” kata Bayu pandangan Mayang terarah padanya.

“Ya! Aku juga terkejut mendengar kau terluka, Kak Mayang,” sambung gadis itu.

“Ki Maruta pasti mencarimu,” kata Mayang pelan.

“Tidak ada siapa-siapa lagi di Hutan Danaraja. Mereka semua sudah gila, tidak mempedulikan kamu wanita lagi. Mereka meninggalkannya begitu saja di dalam hutan. Mereka sudah gila kekuasaan” tegas gadis itu mantap.

Mayang kembali terdiam. Dipandanginya wajah Bayu yang diam membisu.

“Aku tahu semuanya! Aku pernah mendengar diam-diam pembicaraan mereka,” sambung gadis itu lagi.

“O…!” Pendekar Pulau Neraka terkejut.

“Ki Maruta adalah penasehat pribadi Gusti Ratu Kunti Boga. Dia sebenarnya adik Prabu Abiyasa. Hm…. Maksudku adik tirinya. Dia sangat berambisi merebut tahta Gantar Angin dan mengangkat dirinya menjadi raja. Mereka semua tahu kalau Ratu Kunti Boga sudah lama meninggal. Dan memang itu yang mereka tunggu,” sambung gadis itu menceritakan.

“Hhh…! Tidak kusangka persoalannya bagitu pelik jadinya. Aku benar-benar muak menghadapi orang yang haus kekuasaan!” desah Bayu setengah bergumam.
“Sebenarnya yang berhak atas Kerajaan Gantar Angin adalah Raden Sangga Alam, karena dialah anak kandung Ratu Kunti Boga. Tapi dia tidak tahu karena….”

“Ya, kami tahu itu,” selak Bayu cepat.

“Kalian sudah tahu?”

Bayu dan Mayang mengangguk.

“Lantas, kenapa diam saja? Kenapa tidak dicegah? Padahal mereka memperebutkan tahta yang bukan haknya!"

“Itu bukan urusanku. Aku….”

“Kau seorang pendekar! Kau pasti bisa mencegah pertumpahan darah!” potong gadis itu.

“Untuk apa? Persoalan yang kuhadapi saja masih banyak.”

“Kakang…” Mayang menengahi.

“Baiklah…” desah Bayu. “Apa yang harus kulakukan?”

“Selamatkan Raden Sangga Alam! Mereka bisa saja menempuh jalan damai dan membagi daerah kekuasaan masing-masing. Kerajaan Gantar Angin tidak mustahil akan runtuh kalau hal itu terjadi. Lebih parah lagi kalau sampai masing-masing ingin berkuasa. Mereka adalah orang-orang kejam dan selalu mementingkan diri sendiri. Rakyat akan selalu sengsara bila salah satu dari mereka menjadi raja. Hanya Raden Sangga Alam yang berhak menduduki tahta!” ujar gadis itu mantap.

Bayu menatap gads itu dengan sinar mata penuh tanda tanya. Ketika ditemukannya di rumah penginapan, gadis itu hendak membunuhnya. Bahkan mengaku sebagai putri pemilik penginapan yang tewas terbunuh Raden Bantar Gading. Dan ketika pertama dibawa ke tempat ini, terlihat masih lugu.

Tapi sekarang, kata-katanya begitu tegas dan teratur rapi. Kata-kata itu meluncur begitu saja, dan bernada penuh wibawa. Rasanya sulit dipercaya bila seorang gadis berusia lima belas tahun mampu begitu lancar bertutur kata. Apalagi hanya seorang gadis pemilik rumah penginapan dan kedai. Gadis itu memang bertubuh kecil wajahnya pun masih terlihat kekanak-kanakan. Tapi dari kata-katanya….. Bayu jadi menaruh curiga, siapa gadis ini sebenarnya? Benarkah dia hanya putri seorang pemilik kedai dan rumah penginapan? Dia mengaku bernama Rintan. Tapi Bayu tidak percaya begitu saja kalau namanya, Rintan.

Bayu jadi teringat ketika gadis itu hampir saja memenggal lehernya dengan golok. Sebuah golok yang cukup besar dan biasa digunakan untuk memotong daging. Golok itu sangat berat. Anehnya, Rintan mampu mengayunkannya dengan cepat dan nampak ringan. Juga ketika meringkusnya, tenaganya luar biasa. Bayu sendiri merasa adanya pengerahan tenaga dalam yang ditahan. Semua itu baru disadarinya sekarang.

“Rintan, berapa usiamu sebenarnya?” tanya Bayu bernada penuh selidik.

“Lima belas,” sahut Rintan.

“Sungguh?”

“Kenapa aku mesti berdusta? Ayah selalu memberiku hadiah tepat pada saat kelahiranku. Katanya untuk mengingatkan usia dan ibuku.”

Bayu menarik napas panjang, kemudian bangkit berdiri. Langkahnya pelan menuju ke mulut goa yang hampir tertutup semak belukar dan rerumputan yang cukup tinggi. “Kau jaga Mayang. Aku akan ke Gantar Angin,” kata Bayu tanpa menoleh.

“Percayalah! Aku pasti merawatnya dengan baik,” sahut Rintan.

Bayu terus saja melangkah keluar dari goa itu. dia segera melesat begitu tiba di luar goa. Dalam sekejap saja, bayangan tubuhnya tidak terlihat lagi.

*******************

Saat itu senja mulai beranjak turun. Matahari hampir bersembunyi di balik belahan bumi barat. Istana Kerajaan Gantar Angin masih selalu dijaga ketat oleh prajurit bersenjata lengkap. Sementara di dalam sebuah ruangan berdinding batu, Raden Bantar Gading terbelenggu berdiri dengan posisi merapat ke dinding. Rantai baja mengekang tangan dan kakinya. Ruangan itu sangat sempit, dan tidak tertembus cahaya matahari. Lembab sekali. Hanya sebuah obor yang berada di luar ruangan itu yang menerangi samar-samar dari balik jeruji besi.

Raden Bantar Gading memandang seorang lai-laki yang terbaring di lantai batu berdebu dan lembab. Jubah putihnya koyak. Bercak bercak darah kering masih melekat, mengotori jubah dan tubuhnya. Raden Bantar Gading kenal betul, siapa laki-laki itu. dia tidak lain adalah Paman Nampi, salah seorang panglima perang Gantar Angin yang selalu dekat dengan Raden Sangga Alam. Padahal Raden Bantar Gading sendiri yang menjebloskan orang tua itu ke dalam penjara ini. Ternyata, dia memang belum mati. Nasib baik masih berpihak padanya.

Paman Nampi beringsut bangun dan duduk bersandar pada dinding batu berlumut. Pandangannya sayu dan langsung ke arah Raden Bantar Gading. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. Entah apa makna senyumannya itu. Punggung tangannya menyeka darah yang hampir mengering di sudur bibirnya.

“Semua orang di sini rupanya sudah tidak waras…”gumam Paman Nampi pelan, hampir tidak terdengar suaranya.

“Paman, apa yang mereka lakukan padamu?” tanya Raden Bantar Gading.

“Seharusnya kau bisa jawab sendiri, Anak Muda,” jawab Paman Nampi yang enggan menyebut nama Raden pada Raden Bantar Gading.

Raden Bantar Gading tidak tersinggung. Disadari kalau dirinya bukan seorang raden, pewaris tahta Kerajaan Gantar Angin. Dia hanya tersenyum kecut mendengar kata-kata sindiran itu.

“Maafkan aku, Paman. Aku memang bodoh, kerdil, dan selalu mementingkan diri sendiri,” kata Raden Bantar Gading polos.

“Tidak perlu menyesali diri. Di dunia ini tidak ada yang sempurna,” masih pelan suara Paman Nampi.

“Ya. Dan aku paling tidak sempurna di antara yang tidak sempurna,” juga pelan suara Raden Bantar Gading.

“Mengapa kau sampai masuk ke dalam neraka ini?” tanya Paman Nampi.

“Aku menentang Ayahanda Prabu, dan mencoba meninggalkan Gantar Angin. aku sadar kalau tindakanku selama ini hanya merugikan orang banyak. Yang tertinggal sekarang hanya rasa sesal. Kini aku bermaksud menebus dosa atas perbuatanku,” lirih sekali nada suara Raden Bantar Gading.

“Penyesalan memang selalu terlambat datangnya.”

“Ya… dan memang tidak ada gunanya untuk disesali.”
“Kenapa kau menentang Prabu Abiyasa?” tanya Paman Nampi lagi.

“Aku tahu siapa diriku. Aku memang tidak berhak atas tahta Gantar Angin. Ada orang yang lebih berhak dari itu semua,” sahut Raden Bantar Gading.

“Kau tahu siapa?”

“Raden Sangga Alam. Dialah yang berhak atas tahta Gantar Angin.”

Paman Nampi terdiam dengan kepala tertunduk.

“Maafkan aku, Paman. Tidak seharusnya aku menjebloskanmu dalam penjara ini,” ucap Raden Bantar Gading penuh penyesalan. “Aku malu! Segala tekad dan tindakan sucimu ku nodai oleh kepicikanku sendiri.”

“Kau tidak picik, Anak Muda. Juga, tidak bodoh. Kau tidak bersalah dalam hal ini. Kau hanya salah satu korban dari permainan manusia-manusia berhati culas, haus kekuasaan, harta benda dan kesenangan duniawi. Hhh… aku sendiri juga kotor, penuh dengan noda.”

Raden Bantar Gading menatap laki-laki tua itu dalam-dalam.

“Aku memang ingin mengembalikan tahta kepada yang lebih berhak. Tapi jalan yang kutempuh sangat kotor. Entah, setan mana yang telah menutupi hati dan mataku. Aku mengambil seroang anak perempuan yang belum genap berusia tujuh tahun, lalu berkerja sama dengan Durati si Selendang Sakti untuk mendidik dan merawat anak itu. Dia kujejali dengan cerita-cerita kosong dan palsu! Aku telah menjerumuskannya ke dalam lembah yang sangat nista….” Pelan sekali suara Paman Nampi.

“Siapa anak itu, Paman?” tanya Raden Bantar Gading dengan dada berdebar.

“Kau tentu telah mengenalnya. Aku benar benar malu pada diriku sendiri, karena telah melibatkan seorang anak yang tidak berdosa dan tidak mengerti apa-apa! Bahkan aku telah membuatnya tidak tahu siapa dirinya yang sebenarnya, asal-usulnya yang sebenarnya. Sungguh terkutuk!”

“Paman apa yang kau maksudkan itu…”

“Ya dia Mayang,” pelan suara Paman Nampi.

“Ahhh…” Raden Bantar Gading mendesah panjang.

“Dia sebenarnya bukan puteri Gusti Ratu Kunti Boga. Namanya pun bukan Mayang. Aku tidak tahu, siapa nama yang sebenarnya. Dia kupungut ketika terjadi pertempuran perebutan kekuasaan oleh Prabu Abiyasa. Dia kuambil ketika berada dalam pelukan seorang wanita yang tewas tertembus panah. Aku kenal wanita itu. Semula, dalam hatiku tidak ada niatan untuk menjadikannya sebagai Mayang. Pikiran itu mendadak timbul saat kudengar putri Ratu Kunti Boga lenyap dalam pertempuran didalam istana. Sampai kini aku tidak tahu di mana dia berada, dan bagaimana kabarnya.”

“Jadi, Mayang yang sebenarnya belum tewas?”

“Ya! Dia hanya hilang.”

“Dan Raden Sangga Alam?”

“Dia waktu itu masih berusia sekitar tiga bulan, lalu dipungut oleh Permaisuri Pramita Wardani sebagai anak. Dan kau sendiri baru berusia tiga tahun. Aku tidak menyalahkanmu jika kau sampai tidak tahu apa-apa tentang dirimu sebenarnya selama ini.”

“Sekarang aku tahu, Paman.”

“Dari mana kau tahu?”

“Ayahku.”

“Prabu Abiyasa?”

“Bukan! Patih Luminta.”

“Dewata Yang Agung….ternyata dia juga masih setia kepada Gusti Ratu Kunti Boga. Benar-benar buta mataku, tidak bisa membedakan mana kawan dan mana lawan! Kukira dia juga haus akan kekuasaan, sehingga berkhianat dan mempuyai perjanjian dengan Prabu Abiyasa!”

Raden Bantar Gading mengangkat kepalanya. Dan pada saat itu matanya sempat melihat bayangan berkelebat di depan jeruji besi yang membatasi ruangan tahanan ini dengan sebuah lorong batu bawah tanah. Raden Bantar Gading menggigit bibirnya. Sungguh tidak disadari kalau ada seseorang yang mendengar semua percakapan ini. Siapa orang itu…?

Raden Bantar Gading tidak tahu, sudah berapa lama berada di kamar tahanan bawah tanah ini. Di dalam ruangan tertutup tanpa cahaya matahari, sangat sulit untuk menghitung waktu. Raden Bantar Gading mengangkat kepalanya ketika mendengar suara pintu besi kamar tahanan ini dibuka.

Dua orang prajurit melangkah masuk. Beberapa prajurit lain menunggu di luar. Dua orang prajurit itu mengangkat Paman Nampi agar berdiri. Laki-laki tua itu sudah tidak punya daya lagi. Apalagi untuk berdiri. Sebentar dipandanginya Raden Bantar Gading.

“Akan dibawa ke mana dia?” tanya Raden Bantar Gading.

“Menjalani hukuman,” sahut salah seorang prajurit.

“Hukuman apa?”

“Raden….” Pelan suara Paman Nampi.

Raden Bantar Gading menatap Paman Nampi dalam-dalam.

“Prabu Abiyasa telah memutuskan bahwa hari ini aku harus menjalani hukuman sebagai pengkhianat,” kata Paman Nampi.

“Tidak…!” desis Raden Bantar Gading. “Tidak! Kau tidak boleh mati…!”

Raden Bantar Gading berusaha memberontak, tapi rantai yang membelenggu tangan dan kakinya begitu kuat. Raden Bantar Gading terus meronta sambil berteriak-teriak. Seorang prajurit bertubuh tegap dan berotot, menghampiri. Tanpa bicara lagi, dilayangkan satu pukulan keras ke perut.

“Hughk!” keluh Raden Bantar Gading.

Rontaan dan teriakannya langsung berhenti. Tubuhnya sedikit membungkuk. Perutnya kini terasa mual, dan matanya berkunang-kunang. Pukulan prajurit itu sungguh keras, meskipun hanya sedikit menggunakan tenaga dalam. Namun akibatnya cukup luar biasa. Seluruh isi perut Raden Bantar Gading serasa akan keluar.

“Jalan!”

Paman Nampi melangkah lesu didorong seroarng prajurit. Raden Bantar Gading mengangkat kepalanya perlahan-lahan. Kedua bola matanya merembang. Pintu kamar tahanan bawah tanah itu kembali tertutup.

“Tidak…” rintihnya lirih. “Maafkan aku, Paman. Seandainya waktu itu aku tidak menangkapmu, tentu kau tidak akan bernasib malang seperti ini….”

Raden Bantar Gading benar-benar menyesali diri. Dimaki-maki dan dirutuki dirinya yang tidak sadar kalau tengah diperalat oleh mereka yang haus kekuasaan dan harta benda duniawi. Benar kata Paman Nampi. Dia hanya dijadikan alat tanpa disadari lebih dahulu.

“Raden….”

Raden Bantar Gading tersentak ketika telinganya mendengar suara bisikan halus. Kembali diangkat kepalanya yang semula tertunduk lesu. Bola matanya langsung membeliak lebar begitu melihat seorang pemuda bertubuh tegap dan berbaju kulit harimau telah berdiri di depan pintu jeruji besi.

“Pendekar Pulau Neraka….” Desis Raden Bantar Gading setengah tidak percaya.


Pemuda tampan bernama Bayu Hanggara itu tersenyum. Dia melangkah mendekati pintu. Tangannya menggenggam dua jeruji besi. Sebentar ditarik napas dalam-dalam lalu mulai ditarik jeruji besi itu.

“Hup!”

Pendekar Pulau Neraka mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membongkar pintu berjeruji besi itu. wajahnya nampak memerah saga, dan otot-ototnya bersembulan ke luar. Jelas sekali kalau dia tengah mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Raden Bantar Gading terlongong begitu pintu jeruji besi terangkat dan terbuka lebar. Pendekar Pulau Neraka bergegas masuk, lalu memutuskan rantai yang membelenggu tangan dan kaki Raden Bantar Gading dengan Cakra Mautnya.

“Cepat keluar sebelum mereka memergoki kita,” kata Pendekar Pulau Neraka.

“Terima kasih,” ucap Raden Bantar Gading seraya cepat melangkah ke luar. “Bagaimana kau bisa sampai ke sini?”

“Dua hari aku menyelidiki tempat ini,” sahut Bayu.
“Dua hari…?!” Raden Bantar Gading terperanjat.

“Nanti kujelaskan. Yang penting sekarang kau harus cepat meninggalkan tempat ini. Aku akan membebaskan Paman Nampi,” potong Bayu cepat.

“Tunggu dulu, aku ikut bersamamu!”

“Kau sanggup?”

“Aku masih bisa melawan sepuluh prajurit sekaligus!”

“Ayolah! Waktu kita tidak banyak!”

TUJUH

Paman Nampi digiring ke atas panggung. Di situ, tiang gantungan siap menunggu dengan tambang melingkar. Seorang prajurit melingkarkan tambang ke lehernya. Tidak kurang lima puluh prajurit berjaga-jaga di sektiar tempat itu. Paman Nampi mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak ada Prabu Abiyasa, dan Raden Sangga Alam. Yang ada hanya para prajurit dan algojo yang siap menggantungnya.

“Tidak perlu! Aku tidak perlu penutup mata!” kata Paman Nampi tegas.

Seroang algojo yang memegang kain hitam penutup mata melangkah mundur,mengurungkan niatnya menutup mata Paman Nampi. Empat orang prajurit menjaga dipanggung gantungan, sedangkan dua orang algojo berada di depan Paman Nampi. Mereka tinggal menunggu perintah dari seorang punggawa yang sudah berdiri di depan panggung gantungan itu.

“Laksanakan!” seru punggawa itu lantang.

Seorang algojo menarik tambang di bawah kaki Paman Nampi, maka papan yang dipijak laki-laki tua itu terbuka ke bawah. Paman Nampi tersentak! Lehernya langsung terasa nyeri. Napasnya mulai terasa terhambat. Tubuhnya menggelepar, sedangkan matanya membeliak lebar. Mulutnya pun tak urung terbuka lebar. Dia berusaha untuk tetap bernapas, tapi semakin sesak dan terasa sulit.

Pada saat yang kritis itu, dua buah bayangan berkelebat cepat. Salah satu bayangan menyambar tubuh Paman Nampi, dan langsung memutuskan tambang yang menjerat leher. Kejadian yang begitu cepat dan tiba-tiba itu, membuat semua prajurit dan algojo hanya terkesiap. Empat orang prajurit yang berada di atas panggung, tiba-tiba terjungkal roboh dengan leher koyak mengucurkan darah.

Dua bayangan itu sangat cepat bergerak dan tahu-tahu sudah lenyap sebelum semua orang yang ada di situ menyadari apa yang terjadi. Mereka seperti terpaku memandang tali gantungan yang putus, tanpa terdapat tubuh Paman Nampi di sana.

“Kejar! Tangkap mereka…!” punggawa yang memimpin hukuman gantung itu berteriak keras.

Semua prajurit yang berada di sekitar tempat itu serempak berlarian ke arah dua bayangan yang membawa Paman Nampi menghilang. Sementara dua roang algojo melompat turun dari panggung gantungan. Mereka menghampiri punggawa itu.

“Bagaimana?” tanya salah seorang algojo.

“Kalian jangan ke mana-mana! Aku akan laporkan hal ini pada Gusti Prabu,” sahut punggawa itu langsung melangkah pergi. Dua orang algojo itu saling berpandangan dan mengangkat bahunya. Tidak ada lagi prajurit yang terlihat. Hanya empat orang saja tergeletak tak bernyawa di atas panggung gantungan.

*******************

“Bodoh!” umpat Prabu Abiyasa sambil menggebrak meja dengan keras.

Meja berukir dari kayu jati yang tebal itu sampai retak, hampir terbelah dua. Punggawa yang melaporkan tentang kejadian di tiang gantungan mengkeret menggigil. Para panglima dan patih yang berada di situ, tidak berani mengangkat wajahnya. Prabu Abiyasa benar-benar marah mendengar kegagalan pelaksanaan hukuman mati bagi Panglima Nampi. Apalagi sampai bisa lolos, diselamatkan dua orang yang tidak jelas siapa orangnya.

“Aku perintahkan pada kalian semua. Cari dan bunuh mereka!” lantang suara Prabu Abiyasa.

“Gusti…” Panglima Jambak mengangkat kepalanya.

“Hamba yakin mereka belum keluar dari benteng istana. Sekitar benteng sudah dikepung para pemberontak.”

“Heh…?!” Prabu Abiyasa terperanjat.

“Ampunkan hamba, Gusti. Semula hamba memang hendak melaporkan hal ini, tapi punggawa lebih dulu datang dan melaporkan kegagalan pelaksanaan hukuman mati itu,” kata Panglima Jambak lagi.

“Panglima! Aku tidak peduli bagaimana caranya! Aku tidak ingin melihat para pemberontak menjarah istana ini. juga, cari pengkhianat itu sampai dapat!” perintah Prabu Abiyasa.

“Hamba laksanakan, Gusti.” Panglima Jambak bergegas keluar diikuti para penglima lainnya. Punggawa itu juga bergegas ke luar.

Di situ tinggal Prabu Abiyasa bersama beberapa patih dan delapan orang jago bayaran dari tanah seberang. Prabu Abiyasa menatap delapan orang berpakaian aneh itu. “Kalian kuperintahkan mencari pengkhianat itu. siapapun dia, bunuh!”

Delapan jago dari tanah seberang membungkuk hormat, lalu melangkah meninggalkan ruangan itu. Prabu Abiyasa juga bergegas pergi. Tinggal sekitar lima orang patih yang masih berada di sana. Mereka hanya saling pandang.

“Mungkin ini akhir dari Gantar Angin….” gumam salah seorang patih pelan.

“Bagaimana tindakan kita?” tanya salah seorang lainnya.

“Tidak perlu ikut campur. Kita semua, hanya jabatannya saja yang patih. Tapi tugas dan pekerjaan sudah ditangani orang-orang Prabu Abiyasa. Kita lihat saja. Siapapun yang duduk di atas tahta, dialah junjungan kita.”

“Setuju!”

“Kalian tidak bisa bersikap demikian.”

Lima orang patih itu terkejut, dan hampir bersamaan menoleh. Wajah mereka langsung pucat pasi begitu melihat Raden Sangga Alam tahu-tahu sudah berada diruangan ini. Pemuda tampan bagai wanita itu melangkah pelan menghampiri. Sikapnya lembut dan bibirnya tidak pernah lepas dari senyuman.

“Kalian adalah orang-orang yang dulu berjanji setia pada Prabu Abiyasa. Sebelumnya, kalian juga mengaku setia pada Ratu Kunti Boga. Dan kini, kalian pasti akan mengatakan setia pada orang yang mungkin akan meruntuhkan tahta Kerajaan Gantar Angin. Sungguh tidak kusangka! Patih-patih Kerajaan Gantar Angin, ternyata bermental penjilat!” lembut suara Raden Sangga Alam, tapi terdengar tegas dan langsung mengena di hati.

“Raden, kami…”

“Tidak perlu berdalih! Sebenarnya kalian lebih berbahaya dari para pemberontak!” potong Raden Sangga Alam.

Lima orang patih itu terdiam menunduk.

“Jika kalian masih menganggap diri kalian manusia, punya hati, dan perasaan, tentu punya rasa malu berada diistana ini,” lanjut Raden Sangga Alam.

Lima orang patih itu saling pandang. Kata-kata Raden Sangga Alam yang lembut dan tegas iu, sangat mengena dihati mereka. Seperti ada yang memberi komando, mereka langsung menjatuhkan diri dan berlutut di depan pemuda tampan berkulit putih bersih itu.

“Ampunkan kami, Raden. Kami tidak tahu harus bersikap bagaimana. Kami tidak punya daya…” kata salah seorang patih.

“Kalian pasti masih punya otak untuk berpikir, dan masih punya hati untuk merasakan. Tentukanlah sendiri langkah yang harus ditempuh. Kalian harus punya sikap tegas dan mampu menilai pantas atau tidaknya junjungan yang harus dihormati dan dipatuhi. Seharusnya kalian sadar bahwa kalian bukan boneka kayu yang dapat dikendalikan tanpa mampu melakukan sesuatu dengan sendirinya.”

“Raden. Hukumlah kami yang bodoh ini.”

“Hukuman bukan jalan satu-satunya.”

“Raden. Kami semua tahu siapa Raden sesungguhnya. Dan kami berjanji setia pada peritnah Raden.”

“Kesetiaan bukan hanya di mulut, tapi perbuatan dan niat hati yang murni.”

“Tunjukkan, apa yang harus kami lakukan.”

“Halangi orang-orang asing itu mengejar Paman Nampi!”

Lima orang patih itu terkejut, sampai mendongakkan kepalanya. Perintah Raden Sangga Alam membuat jantung mereka seperti copot. Dan belum lagi sempat bicara, Raden Sangga Alam sudah berbalik melangkah meninggalkan ruangan itu.

*******************

Raden Sangga Alam tersenyum-senyum masuk ke kamar perisitirahatan pribadinya. Bergegas dikuncinya pintu. Pandangannya langsung tertuju ke pembaringan, tempat seorang laki-laki tua terbujur di sana. Di sampingnya berdiri seorang pemuda mengenakan baju kulit harimau dan seorang pemuda tampan gagah dengan pakaian koyak.

“Aku tidak mau ambil resiko dengan membawa orang lain ke sini,” kata Raden Sangga Alam. “Berikan pil ini pada Paman Nampi.”

Pemuda berbaju koyak dengan wajah babak belur menerima pil berwarna merah dari tangan Raden Sangga Alam, kemudian memasukannya ke mulut Paman Nampi yang terbaring lemah di atas ranjang. Wajah laki-laki tua itu berubah merah, setelah pil tertelan. Sebentar dia menggeliat, lalu diam dengan napas mulai teratur.

“Sebentar lagi kesehatanmu akan pulih,” kata Raden Sangga Alam seraya melangkah mendekati jendela. Pandangannya terarah ke luar.

“Raden…”

“Jangan panggil aku Raden, Kanda Bantar Gading. Meskipun kita sama-sama sudah mengetahui diri masing-masing, aku tetap menganggapmu sebagai kakak,” potong Raden Sangga Alam seraya membalikkan tubuhnya.

Bantar Gading tertunduk. Hatinya merasa malu akan kemuliaan hati Raden Sangga Alam. Benar-benar disesali semua perbuatan yang telah dilakukannya.

“Aku tahu semua tentang diriku, kau dan semua yang telah terjadi di sini. Itu semua berkat jasa besar Pendekar Pulau Neraka,” sambung Raden Sangga Alam seraya memandang Bayu Hanggara.

“Jangan terlalu membesarkan, Raden.” Kata Bayu merendah.

Bantar Gading melirik Bayu. Meskipun belum ada yang memberitahu, tapi sudah dapat diduga kalau semua yang dilakukan Pendekar Pulau Neraka di sini, tentu berkat bantuan Raden Sangga Alam. Tidak ada seorang pun yang tahu tentang ruangan bawah tanah selain para keluarga kerajaan, dan para prajurit pilihan. Dan lagi tidak mudah masuk ke sana kalau bukan karena bantuan Raden Sangga Alam.

Perhatian mereka langsung tertumpah pada Paman Nampi yang mulai siuman. Laki-laki tua itu segera beranjak duduk begitu menyadari berada dalam kamar Raden Sangga Alam. Paman Nampi cepat beringsut turun dari pembaringan dan bersimpuh di lantai.

“Bangunlah, Paman. Tidak pantas kau berbuat demikian padaku,” kata Raden Sangga Alam.

“Ampunkan hamba, Raden,” kata Paman Nampi tetap duduk bersila.

“Tidak ada yang harus dimaafkan. Aku tahu kenapa kau selalu merahasiakan semua ini. Aku sungguh berterima kasih karena kau selalu setia pada ibundaku. Bahkan tetap mengabdi padaku dengan memberiku bekal yang cukup,” kata Raden Sangga Alam.

“Raden sudah mengetahui?” Paman Nampi agak terkejut juga.

“Ya,” sahut Raden Sangga Alam kembali melirik Bayu Hanggara.

“Maaf, aku terpaksa menceritakan semuanya. Ini kulakukan demi kalian semua,” ucap Bayu.

“Aku memang sudah memperkirakan. Cepat atau lambat, semuanya pasti terbongkar,” desah Paman Nampi.

“Saat ini benteng istana sudah dikepung para pemberontak. Kalian tidak mungkin dapat meninggalkan kamar ini,” kata Raden Sangga Alam memberi tahu.

Paman Nampi dan Bantar Gading terkejut. Hanya Bayu yang kelihatannya tenang-tenang saja.


“Tidak perlu dicemaskan. Mereka berjuang untukku, untuk keadilan di Gantar Angin ini,” sambung Raden Sangga Alam.

“Tapi…” Bantar Gading teringat Ki Maruta.

“Mereka adalah para penglima dan prajurit setia Ibunda Ratu Kunti Boga yang sempat melarikan diri ketika itu. Aku berhasil menghimpun mereka dalam waktu dua hari ini bersama Pendekar Pulau Neraka, dan sama sekali tidak melibatkan rakyat. Tapi, aku tidak bisa menolak kehadiran pada pemuda yang rela berkorban demi keadilan.”

“Bagaimana dengan kaum pemberontak di Hutan Danaraja?” jawab Bantar Gading.

“Sampai saat ini aku tidak mendengar kabar beritanya,” jawab Raden Sangga Alam.

“Paman! Betulkah kau pernah cerita sewaktu di dalam penjara bahwa para pemberontak yang menghimpun kekuatan di Hutan Danaraja atas prakarsamu? Mengapa mereka tidak membantu?” Bantar Gading menatap Paman Nampi yang sudah duduk di kursi.

“Itulah kesalahanku yang paling fatal! Aku menghimpun kekuatan di Hutan Danaraja dengan mempercayakan kepemimpinan pada Ki Maruta, adik tiri Prabu Abiyasa…!” kata Paman Nampi. Suaranya menyiratkan penyesalan.

“Ki Maruta memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi,” sambung Bayu. “Dia tengah mencari kesempatan, dengan membiarkan bekas-bekas prajurit dan panglima merebut tahta lebih dahulu.”

“Dan semua itu sudah kupikirkan masak-masak,” sambung Raden Sangga Alam. “Sehingga perjuangan ini tidak menjadi sia-sia.”

“Ah! aku bangga sekali padamu, Raden,” desah Paman Nampi terharu.

“Sudahlah, Paman. Semua ini berkat bimbinganmu juga,” Raden Sangga Alam merendah.

“Apa rencana selanjutnya?” tanya Bantar Gading.

Raden Sangga Alam tidak langsung menjawab, tapi malah tersenyum seraya memandang Pendekar Pulau Neraka. Kembali dipandang keadaan di luar jendela. Tampak beberapa prajurit masih tampak sibuk di luar sana. Para panglima pun sibuk mengatur penjagaan. Bahkan ratusan prajurit sudah siap dengan senjata, dan berbaris di alun-alun istana. Mereka benar-benar telah siap menghadapi perang pemberontakan.

*******************

Waktu terus berjalan dengan pasti. Malampun berganti siang. Matahari baru saja menampakkan dirinya di ufuk timur. Dan pada saat itu, Bayu baru saja melompat keluar dari jendela kamar Raden Sangga Alam. Gerakannya sangat ringan. Tubuhnya melenting ke udara lalu hinggap di atas atap. Sambil merapatkan tubuhnya ke atap, matanya yang tajam mengamati sekitarnya.

Pendekar Pulau Neraka itu kembali melentingkan tubuhnya dan meluruk ke bawah. Begitu kakinya menjejak tanah, kembali melesat dan langsung menuju ke arah tembok benteng. Sungguh cepat dan ringan sekali lesatannya. Sekejap saja sudah melewati tembok benteng yang tinggi dan kokoh. Tubuhnya membungkuk, dan kakinya tertekuk ketika mendarat di luar tembok benteng. Seorang laki-laki berusia sektiar tujuh puluh lima tahun berlari-lari menghampiri. Bayu berdiri tegak menanti. Laki-laki tua mengenakan baju putih dan ikat kepala putih itu berhenti di depan Pendekar Pulau Neraka..Di pinggangnya tergantung sebilah pedang.


“Bagaimana, Tuan Pendekar? Kami sudah menunggu perintah,” kata laki-laki tua itu seperti tidak sabar.

“Raden Sangga Alam meminta untuk membatalkan penyerangan,” sahut Bayu.

Laki-laki tua itu terkejut mendengarnya. Harapannya semula, pagi ini juga akan dilakukan penyerangan. Semua prajurit setia Ratu Kunti Boga, ditambah ratusan pemuda sudah tidak sabar menunggu penyerangan.

“Ki Raban! Raden Sangga Alam tetap memerintahkan untuk mengepung sekitar istana ini. rasanya itu memang harus dilakukan, mengingat Prabu Abiyasa masih dibantu delapan orang jago dari tanah seberang. Mereka bukan orang sembarangan! Dan lagi, para prajurit bukanlah tandingan mereka. Maaf, bukannya aku mengecilkan arti para panglima mu,” jelas Bayu.

“Kenapa bisa begitu?” laki-laki tua yang bernama Ki Raban minta penjelasan.

“Masih ada kelompok lain yang menghendaki tahta Kerajaan Gantar Angin. Mereka kini berada di luar lingkungan istana. Raden Sangga Alam mengkhawatirkan kelompok yang satu ini, karena dinilai lebih berbahaya. Sementara keadaan di dalam istana mungkin masih bisa dikuasai. Yang jelas, tidak semua prajurit akan setia pada Prabu Abiyasa. Bahkan sebagian besar adalah para prajurit Panglima Nampi. Sebagian kecil saja yang memang prajurit bawaan Prabu Abiyasa.” Jelas Bayu.

“Lalu, apa yang harus kulakukan?”

“Tetap berada di tempat, dan tingkatkan kewaspadaan. Jangan sampai ada di antara mereka menyusup ke dalam pasukanmu.”

Ki Raban menggeleng-gelengkan kepalanya. Rasanya masih belum bisa mengerti jalan pikiran Raden Sangga Alam. Ki Raban adalah seorang panglima besar yang membawahi para panglima besar pada saat Kerajaan Gantar Angin masih diperintah Ratu Kunti Boga. Tidak terhitung lagi, berapa peperangan telah dijalankannya. Tapi, baru kali ini dia tidak bisa memahami maksud pewaris syah Kerajaan Gantar Angin. Bertahun-tahun saat seperti ini ditunggu-tunggu. Dan begitu tiba masanya, semuanya jadi terhalang. Dia tidak tahu persis, apa yang jadi penghalang utamanya.

Bayu bisa menangkap adanya sedikit kekecewaan dalam sinar mata Ki Raban. Bisa dimengerti kalau saat seperti ini memang sudah lama dinantikannya. Dan sekarang, saat-saat yang seharusnya membangkitkan semangat pepreangan, harus tertunda kembali. Dan ini disebabkan keadaan di dalam benteng istana belum dapat dikuasai sepenuhnya. Pertahanan mereka masih terlalu kuat. Lebih-lebih dengan adanya delapan orang jago dari tanah seberang. Hal itu menjadi bahan pemikiran Raden Sangga Alam. Dia tidak ingin mengorbankan nyawa terlalu banyak, meskipun hal itu tidak mungkin dapat terelakkan. Tapi paling tidak memperkecil jumlahnya.

“Rasanya tidak ada lagi yang harus kusampaikan,” kata Bayu.

“Tunggu dulu, Tuan Pendekar,” cegah Ki Raban ketika Bayu akan berbalik.

Bayu mengurungkan niatnya untuk kembali ke dalam benteng istana.

“Apa yang tengah dilakukan Raden Sangga Alam di dalam?” tanya Ki Raban ingin tahu.

“Menarik kembali orang-orang yang masih setia padanya,” sahut Bayu.

Setelah berkata demikian, Bayu langsung berbalik dan melesat ke atas tembok benteng. Setelah melewati tembok, langsung meluruk ke bawah. Dengan manis kakinya kembali menjejak tanah di dalam tembok Istana Gantar Angin. Namun baru saja hendak melesat lagi, sebuah tombak meluruk ke arahnya.

“Eit!” Bayu Hanggara menarik tubuhnya ke samping, maka tombak itu hanya lewat, menyambut tempat kosong. Belum juga Pendekar Pulau Neraka itu menarik tubuhnya kembali, sebuah bayangan meluruk ke arahnya. Buru-buru Bayu menjatuhkan diri dan bergulingan beberapa kali di tanah, lalu bergegas melompat bangkit. Kelopak matanya agak menyipit begitu melihat empat orang berpakaian aneh sudah berdiri mengepungnya.

DELAPAN

Empat orang itu adalah jago undangan dari tanah seberang. Mereka langsung menyerang tanpa bicara apa-apa. Bayu berlompatan dengan tubuh meliuk-liuk menghindari serangan yang datang secara beruntun dari empat arah. Agak kerepotan juga dia, karena jurus-jurus yang digunakan empat orang itu sangat asing baginya.

“Ugh!” Bayu tidak bisa mengelakkan satu pukulan keras yang mendarat di perutnya. Seketika itu juga dirasakan perutnya mual. Namun dengan cepat dikerahkan hawa murni sehingga rasa mual pada perutnya cepat terusir. Pendekar Pulau Neraka itu mengegoskan kepalanya ke kiri ketika sebuah senjata mendesing ke arah kepalanya. Dengan satu gerakan manis, tangannya bergerak cepat ke samping.

Des!

Orang yang berada di samping, terjengkang ke belakang. Dan pada saat yang sama, kaki Bayu menyepak ke belakang. Satu orang lagi yang berada di belakangnya terjungkal terhantam bagian dadanya. Bayu langsung melesat ke belakang melewati kepala orang yang tengah terhuyung tersepak kakinya.

“Hiyaa…!" Sambil berteriak nyaring, Pendekar Pulau Neraka itu mengirimkan satu pukulan keras ke kapala orang itu. Tak dapat dihindari lagi. Pukulan bertenaga dalam hampir sempurna itu mendarat telak di kepala orang itu.

“Aaa…!” orang itu menjerit keras sambil memegangi kepalanya yang pecah.

Begitu kakinya mendarat di tanah, Bayu langsung mengirimkan dua pukulan geledek beruntun ke punggung dan pinggang orang itu. Satu jeritan panjang menyayat kembali terdengar disertai bunyi tulang-tulang patah. Orang itu menggelepar di tanah. Darah mengucur deras dari kepala yang pecah.

“Giliran kalian bertiga!” dengus Bayu geram. Pendekar Pulau Neraka memiringkan tubuhnya ke kiri setengah membungkuk. Kakinya terpentang agak lebar dan lututnya tertekuk hampir menyentuh tanah. Kemudian tangan kanannya mengibas cepat ke depan. Secercah cahaya keperakan dari senjata Cakra Maut kini melesat bagai kilat.

Cakra Maut itu meluncur deras tidak terbendung lagi ke arah salah seorang jago dari tanah seberang. Orang itu terperangah sesaat, lalu menjerit melengking tinggi. Lehernya koyak hampir putus terpenggal senjata milik Pendekar Pulau Neraka.

“Hiyaaa…!”

Seketika itu juga tubuhnya melesat cepat dan mengayunkan kakinya ke arah dada orang itu. Akibatnya, orang itu terjungkal ambruk ke tanah. Hanya sedikit Bayu mengangkat tangan kanannya. Dan saat senjata cakranya kembali menempel pada pergelangan tangan kanan, kembali dikibaskannya dengan cepat. Cakra Maut itu kembali melesat ke arah salah seorang lagi. Sementara Bayu meluruk deras menyambar satu jago dari seberang yang lain.

Dua orang jago dari seberang itu masih terpaku menyaksikan kematian dua orang temannya yang belum sempat mengeluarkan jurus-jurus andalan mereka. Dan belum juga mereka sempat menyadari, serangan kembali datang dengan cepat. Tentu saja hal ini membuat mereka jadi sibuk menghindari serangan-serangan dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Satu orang menghadapi langsung Pendekar Pulau Neraka, sedangkan seorang lagi berlompatan menghindari terjangan dahsyat Cakra Maut. Sungguh suatu pertarungan yang sangat unik, namun mengandung hawa maut!

“Modar…!” bentak Bayu tiba-tiba. Seketika itu juga dia menggedor tangan kanannya ke depan. Jago dari seberang itu terperangah sesaat, buru-buru di miringkan tubuhnya ke kanan. Namun gedoran tangan Pendekar Pulau Neraka masih sempat mengenai bahu kirinya. Orang itu memekik tertahan. Tubuhnya pun terhuyung ke belakang beberapa langkah.

Bayu tak menyia-nyiakan kesempatan yang sedikit itu. dia segera melompat sambil mengayunkan kaki kanannya. Tendangan yang cepat dan keras, disertai pengerahan tenaga dalam hampir sempurna itu, tidak bisa dielakkan lagi. Tapak kaki Bayu mendarat telak di dada yang terbuka.

“Hugh!” jago dari tanah seberang itu mengeluh pendek.

Belum lagi sempat menguasai keseimbangan tubuhnya, satu pukulan keras menghantam kepalanya. Jerit melengking terdengar menyayat. Orang itu memegangi kepalanya yang retak. Darah pun mengucur deras dari sela-sela jari tangannya. Pada saat itu, Bayu kembali mendaratkan pukulan mautnya ke arah leher. Lawannya langsung diam tak bergerak-gerak lagi. Sesaat kemudian, tubuhnya ambruk dengan kepala terpisah. Tebasan jari tangan Pendekar Pulau Neraka sungguh luar biasa, karena dapat lebih tajam dari pada sebilah pedang. Serangan Pendekar Pulau Neraka itu tidak tanggung-tanggung lagi. Dikeluarkannya jurus andalan simpanannya yang tidak pernah digunakan sebelumnya. Jurus ‘Pukulan Mata Pedang Dewa’.

“Hhh…!” Bayu mendengus berat seraya memalingkan kepalanya.

Tampak beberapa puluh prajurit Gantar Angin berlarian ke arah pertarungan itu. Rupanya mereka mendengar suara pertarungan, sehingga mengundang mereka untuk ke sana. Kembali Bayu mendengus berat. Segera diangkat tangan kanannya ke atas kepala. Senjata Cakra Maut yang tengah melayang-layang, menyerang seorang jago dari tanah seberang, melesat balik dan langsung menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.

“Nyawamu masih terampuni kali ini, orang asing!” kata Bayu dingin.


Setelah berkata demikian, Bayu langsung melompat cepat ke arah atap bangunan istana. Dan begitu jari kakinya menjejak atap, tubuhnya kembali meluruk turun ke balik tembok istana itu. Beberapa prajurit yang mengejar, kini kehilangan jejak. Sedangkan jago dari seberang yang tersisa, hanya berdiri mematung dengan napas kembang-kempis.

*******************

Bayu langsung menutup jendela kamar pribadi Raden Sangga Alam begitu berada di dalam. Tarikan napasnya masih agak tersenggal. Tubuhnya berbalik, dan langsung menatap Raden Sangga Alam, Bantar Gading dan Paman Nampi. Ketiga orang itu berdiri memandanginya dengan paras wajah menyiratkan suatu kecemasan yang amat sangat.

“Apa yang terjadi, Bayu?” tanya Paman Nampi tidak bisa membendung rasa ingin tahunya.

“Huh…!” Bayu mendengus menghembuskan napas kencang.

“Kau bentrok dengan para prajurit?” tebak Bantar Gading.

“Empat orang asing,” jawab Bayu seraya menghenyakkan tubuhnya di kursi dekat jendela.

“Lalu?” desak Bantar Gading lagi.

“Aku berhasil menewaskan tiga di antaranya. Satu lagi berhasil selamat karena keburu datang prajurit-prajurit sialan itu.”

Bantar Gading dan Paman Nampi saling berpandangan. Sementara Raden Sangga Alam berjalan mondar-mandir dengan tangan terlipat di depan dada. Tampaknya tengah berpikir keras dengan peristiwa yang baru saja dialami Pendekar Pulau Neraka ini. selama masih ada jago-jago undangan dari tanah seberang, memang merupakan satu ganjalan yang sukar dilewati. Jago-jago dari seberang itu rata-rata memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Para panglima kerajaan pun belum tentu sanggup menandinginya. Hanya Pendekar Pulau Neraka saja yang dapat diandalkan. Tapi untuk menghadapi semuanya sekaligus….. Satu hal yang sangat riskan dan terlalu berbahaya.

Raden Sangga Alam menatap Bayu dalam-dalam. Sedangkan Bayu juga balas menatap pemuda tampan bagai wanita itu. Entah apa arti pandangan mereka, seolah-olah tengah berbicara menggunakan kekuatan batin. Sementara Bantar Gading dan Paman Nampi hanya memperhatikan saja dengan pandangan tidak mengerti.

“Tampaknya tidak ada jalan lain. Korban nyawa tidak mungkin lagi dihidnari. Para panglima dan patih yang setia pada Prabu Abiyasa mencium adanya pemberontakan di dalam. Mereka menangkap dan menjebloskan panglima, patih dan para prajurit yang dicurigai akan memberontak,” pelan suara Raden Sangga Alam.

“Perjuangan membutuhkan pengorbanan, Raden,” kata Paman Nampi mulai bisa menangkap kegundahan hati pemuda itu.
“Ya. Perngorbanan yang tidak kecil,” desah Raden Sangga Alam pelan.

Raden Sangga Alam mengalihkan pandangannya ke jendela. Terdengar suara-suara para prajurit yang masih mencari Pendekar Pulau Neraka. Suara-suara itu demikian dekat, dan pasti berada tidak jauh dari jendela kamar itu.

“Hanya satu yang kupikirkan saat ini,” kata Raden Sangga Alam lagi setelah suara-suara itu mulai senyap.

“Apa?” tanya Paman Nampi.

“Jago-jago dari seberang yang diundang Prabu Abiyasa.”

“Serahkan padaku!” sergah Bayu tegas.

“Bayu…” Paman Nampi langsung menatap Pendekar Pulau Neraka itu. “Mereka sangat tangguh. Jurus-jurusnya pun sangat berbeda dengan yang ada di negeri ini. Maaf, bukannya aku mengecilkan arti dirimu, aku hanya mengkhawatirkan kalau-kalau…”

“Terima kasih, Paman.” Cetus Bayu cepat memotong. “Kalian tidak perlu mencemaskan diriku. Memang sudah jadi kewajibanku untuk menghadapi orang-orang asing yang ikut campur dalam urusan kerajaan di sini. Dan aku juga tidak akan ikut bertempur melawan prajurit. Aku hanya mencegah orang-orang asing itu ikut campur!” tegas kata-kata Bayu Hanggara.

“Tuan Pendekar! Aku tidak akan melupakan jasamu yang sangat besar ini,” ucap Raden Sangga Alam terharu.

“Lupakan saja. Yang penting sekarang, Raden harus memberikan tanda untuk memulai peperangan. Mereka yang berada di luar tidak sabar lagi menunggu perintah Raden. Meskipun Ki Raban bisa mengerti, tapi aku khawatir yang lainnya tidak bisa mengendalikan diri,” jelas Bayu lagi.

“Baiklah! Untuk sementara kita kesampingkan dulu kelompok ketiga yang dipimpin Ki Maruta. Hal ini bisa ditanggulangi nanti setelah istana ini dapat kita kuasai,” sahut Raden Sangga Alam.

Setelah berkata begitu, Raden Sangga Alam melangkah keluar dari kamar. Bayu membuka jendela kamar itu dan melompat keluar. Bantar Gading dan Paman Nampi mengikuti keluar dri jendela juga. Untung saja tidak seorang prajurit pun yang berada di sektiar kamar itu, sehingga ketiga orang itu dapat leluasa bergerak.

*******************


Peperangan tak terhindarkan lagi. Begitu Raden Sangga Alam memberi tanda dengan melepas sepasang burung merpati, para prajurit dan pemuda yang setia pada Ratu Kunti Boga langsung menyerbu benteng Istana Kerajaan Gantar Angin. Pekik peperangan dan jerit kematian berbaur jadi datu memecah udara di Kerajaan Gantar Angin.

Para prajurit yang berada di dalam benteng, jumlahnya memang sangat sedikit. Sehingga, dalam waktu tidak berapa lama saja pintu gerbang benteng istana jebol. Tampak Ki Raban memimpin di depan menerobos pintu benteng yang hancur berantakan. Denting senjata bergema mengiringi jerit kematian dan pekik peperangan. Tubuh-tubuh mulai bergelimpangan. Darah bersimbah membasahi tanah Gantar Angin.

Di antara para prajurit dan pemuda rakyat yang tengah bertempur menyabung nyawa, tampak Bayu sedang menghadapi dua orang jago dari seberang. Tidak jauh dari tempat pertarungan itu, terlihat tiga orang jago dari seberang tergeletak dengan tubuh bersimbah darah. Rupanya Pendekar Pulau Neraka telah berhasil membinasakan tiga dari lima jago dari seberang yang tersisa.

Jumlah yang banyak dengan ditambah semangat berkobar-kobar, membuat mereka yang setia pada Ratu Kunti Boga berada di atas angin. Semangat mereka semakin berkobar begitu para panglima, patih, dan prajurit yang ditawan telah dibebaskan Bantar Gading. Mereka langsung menerjunkan diri dalam kancah pertempuran. Suasana jadi semakin tidak menentu. Tidak terhitung lagi, berapa para prajurit setia Prabu Abiyasa yang tewas berlumuran darah.

“Mampuslah kalian!” terdengar bentakan keras Pendekar Pulau Neraka.

“Aaa…!” satu jeritan melengking mengantarkan kematian salah seorang jago dari seberang dengan leher terpenggal.

Bayu berdiri tegak memandang salah seorang jago dari seberang yang tersisa. Seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap, dan berkulit kuning langsat. Wajahnya cukup tampan, namun sorot matanya mencerminkan kebengisan. Senjata berupa pedang yang kecil dan tipis berwarna keperakan. Perlahan-lahan diangkat pedangnya ke atas kepala. Kedua tangannya memegang gagang pedang erat-erat, lalu tangan kiri mengembang ke samping. Pedang tipis kecil panjang itu terpisah jadi dua bagian. Kini di tangan kanan dan kiri, masing-masing menggenggam satu pedang dengan bentuk dan ukuran yang sama.

“Hiyaaa…!”

Orang itu berteriak nyaring. Seketika itu juga tubuhnya melesat cepat menerjang. Bayu yang sudah siap sejak tadi, memiringkan tubuhnya sedikit ke kiri menghindari sodokan pedang di tangan kanan lawannya. Kemudian kaki kanannya terangkat menekuk menghindari tebasan pedang di tangan kiri. Dua serangan serentak luput tanpa mengenai sasaran.

“Yaaah…!” Bayu berteriak keras.

Buk!

“Hugh!”

Entah bagaimana mulainya, tahu-tahu Pendekar Pulau Neraka sudah mendorong kedua tangannya ke depan. Dan orang dari seberang itu terdorong beberapa langkah ke belakang. Tangan kirinya menekan dada, sedangkan dari mulutnya menyebur darah kental kehitaman. Tampak didadanya yang terbuka terdapat gambar telapak tangan berwarna hitam kebiru-biruan. Ternyata Bayu melepaskan jurus ‘Pukulan Tapak Beracun’. Satu jurus andalan yang sangat dahsyat, dan dapat berakibat fatal bagi lawan yang terkena pukulan beracun itu.

“Huh! Yeaaah…!”

Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri setengah membungkuk, sedangkan kakinya tertekuk dengan lutut hampir menyentuh tanah. Orang yang pernah bentrok dengan Pendekar Pulau Neraka, pasti dapat menebak kalau dirinya akan melontarkan senjata mautnya yang aneh. Tapi Bayu jadi tertegun, karena lawannya hanya berdiri diam tidak bergerak-gerak.

Belum sempat disadari, tahu-tahu orang asing itu ambruk ke tanah dengan punggung tertembus tombak. Tampak Paman Nampi berdiri tidak jauh dari orang asing itu. Bayu kembali berdiri tegak, mengurungkan niat melontarkan senjata mautnya. Sementara pertempuran masih terus berlangsung. Kelihatan sekali kalau para prajurit Prabu Abiyasa sudah demikian terdesak. Bahkan beberapa prajurit mencoba melarikan diri. Tapi, para prajurit yang dipimpin langsung Ki Raban tidak membiarkan mereka melarikan diri.

“Paman, di mana Raden Sangga Alam?” tanya Bayu yang sejak terjadinya pertempuran tidak melihat kehadiran Raden Sangga Alam.

“Di dalam, bersama beberapa panglima. Mereka tengah mengamankan keluarga kerajaan. Prabu Abiyasa sudah ditawan,” sahut Paman Nampi.

“Kalau begitu, hentikan pertempuran ini!” seru Bayu.

“Tidak mungkin, Bayu! Mereka bukan prajurit terdidik. Lebih banyak rakyat dari pada prajurit sesungguhnya. Biarkan saja mereka melampiaskan dendam dan sakit hati mereka.”

Bayu sempat terhenyak mendengar jawaban Paman Nampi, tapi tidak bisa berbuat apa apa. Dia sudah berjanji tidak mencampuri urusan dalam Kerajaan Gantar Angin. Bayu merasa tidak ada gunanya lagi berlama-lama di lingkungan istana ini. Sementara Paman Nampi sudah kembali terjun dalam kancah pertempuran. Laki-laki tua itu seperti sedang melampiaskan amarah dan rasa sakit hatinya. Mereka yang berani mendekat, habis dibantai tanpa ampun lagi.

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu segera melompat tinggi ke udara. Tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat melewati pagar benteng istana itu. Sekejab saja bayangan tubuh Pendekar Pulau Neraka lenyap dibalik tembok benteng. Sementara pertempuran terus berlangsung. Bahkan di bagian lain, rakyat dan para prajurit setia Ratu Kunti Boga bersorak sorai akan kemenangan yang diraihnya. Gantar Angin benar-benar banjir darah. Perang saudara berkecamuk akibat rasa dendam dan sakit hati yang tak terobati. Rasa dendam itu dilampiaskan dengan membantai para prajurit Prabu Abiyasa yang nyata-nyata sudah tidak mampu lagi mempertahankan diri.

Bayu berdiri tegak di atas sebuah bukit. Tatapan matanya tertuju langsung ke arah Kerajaan Gantar Angin. Dari ketinggian di atas bukit itu bisa dilihat jelas, bagaimana pertempuran berlangsung di dalam benteng istana. Pertempuran yang sudah berubah jadi arena pembantaian dan pelampiasan hati yang tertekan selama ini.

“Hhh! Mereka sudah seperti binatang! Tidak lagi menggunakan otak…!” dengus Bayu berat.

“Kau tidak ikut bertempur, Kakang?”

Bayu tersentak kaget, dan langsung menoleh. Sama sekali Pendekar Pulau Neraka itu tidak menyadari kalau Mayang mengayunkan kakinya mendekati dan berdiri di sampingnya.

“Bagaimana keadaan di sana, Kakang?" tanya Mayang.

“Kau lihat sendiri. Mereka tidak seperti manusia lagi, tapi cenderung bagaikan binatang yang sedang memperebutkan daerah kekuasaan,” sahut Bayu agak tertahan suaranya.

“Seharusnya kau menghentikan pembantaian itu, Kakang,” kata Mayang.

“Percuma! Mereka tidak memerlukan aku lagi. Mereka sudah dikendalikan hawa nafsu dan rasa dendam yang mendalam di dalam hati. Raden Sangga Alam sendiri tidak mampu mengendalikannya.”

“Lalu, bagaimana dengan Kakang Bantar Gading?” tanya Mayang teringat kekasihnya.

“Aku tidak melihat sejak terjadi pertempuran.”

“Oh…..” Mayang mendesah lirih.

Bayu memalingkan kepalanya. Jelas, ada rasa cemas terpancar pada wajah wanita itu. Sangat jelas terlihat, meskipun wajahnya masih pucat. Kondisi tubuh Mayang memang belum pulih benar dari luka-lukanya. Bayu membalikkan tubuhnya saat telinganya mendengar ranting terinjak. Dari dalam semak belukar muncul Rintan. Gadis muda berwajah kekanak-kanakan.

“Rintan, kenapa kau ke sini?” tanya Mayang.

“Aku mencarimu, Kak. Aku cemas, kau belum sembuh benar,” jawab Rintan.

“Sebaiknya kalian kembali saja. Kau masih perlu banyak istirahat, Mayang,” usul Bayu.

“Aku akan menunggu Kakang Bantar Gading di sini,” sahut Mayang tegas.

“Dia pasti datang. Percayalah,” bujuk Bayu.

“Tidak, Kakang Bayu. Perasaanku mengatakan lain. Selama ini seluruh rakyat menganggap Kakang Bantar Gading putra sulung Prabu Abiyasa. Dan kau tahu, tindakannya sangat kejam. Tidak terhitung lagi rakyat yang tewas di ujung pedangnya. Aku yakin mereka akan mengadili Kakang Bantar Gading, dan menghukum mati,” agak tersendat Mayang.

“Jangan berprasangka buruk dulu, Mayang. Dia pasti…”

Bayu belum sempat mengakhiri kata katanya, tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat cepat. Ternyata Bantar Gading tahu-tahu sudah berdiri di depan mereka. Mayang segera berlari memburu dan memeluknya. Bayu menarik napas panjang. Dadanya terasa lega melihat Bantar Gading muncul.

“Mayang! Kita harus segera menginggalkan Gantar Angin! Seluruh rakyat tidak mau perduli, dan tetap menuntut agar aku dihukum gantung,” kata Bantar Gading agak tersenggal napasnya.

“Oh, Kakang…” desah Mayang kembali memeluk erat.

“Ayo, cepatlah! Sudah kusiapkan kuda untuk kita,” kata Bantar Gading.

“Kakang…” Mayang melepaskan pelukannya, lalu menoleh pada Pendekar Pulau Neraka dan Rintan.

“Tuan Pendekar, maaf. Bukannya aku tidak memperdulikanmu, tapi keadaan memaksa kita berpisah di sini,” ujar Bantar Gading.

“Pergilah kalau itu sudah menjadi keputusanmu,” kata Bayu tersenyum maklum.

“Ayo, Mayang.”

“Tunggu dulu, Kakang. Bagaimana dengan ayahku?”

“Aku tidak bisa mencegah perintah Raden Sangga Alam. Dia sudah memerintahkan para panglimanya untuk menghabisi para pemberontak. Saat ini pasti tengah terjadi pertempuran di Hutan Danaraja. Maafkan aku, Mayang. Aku bukan lagi orang yang punya hak di Gantar Angin. Bahkan keselamatanku pasti terancam jika masih berada di sini. Kita harus pergi sejauh mungkin dan melupakan semua yang telah terjadi,” jelas Bantar Gading.

Mayang menatap Bayu sebentar, kemudian melangkah pergi setelah Bayu tersenyum dan mengangguk. Sepasang kekasih itu bergegas meninggalkan tempat itu. Tinggal Bayu dan Rintan masih berada di atas puncak bukit ini. Untuk beberapa saat mereka berdiam diri, tidak berkata satu patah kata pun.

“Sudah saatnya kita juga harus berpisah,” kata Rintan pelan setengah mendesah.

“Eh, tunggu!” cegah Bayu menangkap tangan gadis itu.

Rintan berbalik dan menatap langsung bola mata pemuda berbaju kulit harimau itu. Bayu melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan gadis itu.

“Aku tahu siapa kau sebenarnya, Rintan. Kau adalah Mayang, putri Ratu Kunti Boga yang hilang! Dan usiamu tidak lagi lima belas tahun. Hanya wajahmu saja yang terlihat lebih muda dari usia yang sebenarnya,” tebak Bayu.

“Dari mana kau tahu itu?” tanya Rintan terkejut.

“Kau mengaku putri pemilik kedai dan rumah penginapan. Itu yang membuatku merasa penasaran, karena mereka yang mengenal pemilik kedai itu tidak mengatakan, bahwa dia mempunyai anak seorangpun. Bahkan istri saja tidak punya. Aku menyelidiki siapa kau sebenarnya. Kemudian aku bertemu serorang perempuan yang mengaku bernama Nyai Tampik. Dari dialah kuketahui siapa kau sebenarnya,” jelas Bayu.

“Di mana kau bertemu dengan guruku?” Rintan yang ternyata adalah putri Ratu Kunti Boga segera mengakui meskipun tidak menyatakannya secara langsung.

“Di perbatasan sebelah utara. Dia menunggumu dan ingin mengajakmu pulang. Katanya, kau belum sempurna mempelajari ilmu-ilmu yang diturunkannya.”

Rintan langsung diam.

“Rintan….. kenapa kau memasuki Kerajaan Gantar Angin? Dan lagi mengapa kau diam saja di saat saudaramu sedang berjuang mengembalikan tahta yang sesungguhnya,” tanya Bayu ingin tahu.

“Aku hanya ingin melihat keadaan tanah kelahiranku. Dan aku cukup senang karena adikku ternyata mampu menguasai kembali tahta kerajaan. Dalam hatiku, tidak ada minat sama sekali terhadap kedudukan dan kejayaan. Terus terang, aku sudah bertekad untuk mengubur siapa diriku sebenarnya. Di samping itu, aku tahu kalau kau seorang pendekar yang dapat diandalkan untuk membantu adikku. Maaf, kalau tanpa sepengetahuanmu aku terus menggiringmu masuk ke dalam kemelut itu,” Rintan mengakui terus terang.

Bayu jadi bengong. Sama sekali tidak disadarinya kalau gadis yang kelihatan masih terlalu muda itu ternyata memiliki otak yang cerdas. Dia sampai-sampai tidak menyadari kalau sesungguhnya sengaja digiring untuk terlibat. Satu perbuatan yang terencana rapi, hingga tidak terbongkar sedikitpun.

“Rintan, tunggu….!” Bayu tersentak dari rasa terkesimanya.

Tapi terlambat, Rintan sudah melesat cepat meninggalkan bukit itu. gerakannya sangat ringan, cepat luar biasa. Pertanda kalau gadis itu sudah menguasai ilmu meringankan tubuh dengan baik sekali. Bayu menarik napas panjang. Kepalanya menggeleng-geleng begitu memahami semua yang telah terjadi dan dialaminya selama ini. namun bibirnya tersenyum juga.

“Aku boleh bangga dengan kedigdayaanku. Tapi, ternyata ada orang lain yang lebih digdaya dengan otak dan pikirannya. Aku mengaku kalah padamu Rintan…” gumam Bayu tulus.

S E L E S A I