Rahasia Makam Mahesa - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

RAHASIA MAKAM MAHESA

Karya : Bastian Tito
Rahasia Makam Mahesa

SATU

PRINGGO MINTA KAWIN
RATU MESUM tertawa merdu sambil menggeliakan tubuhnya hingga menambah rangsangan dalam diri pemuda anak pemilik perkebunan tebu yang kaya raya itu.

“Anak Muda, siapa namamu…!” bertanya sang ratu seraya menggelitik telinga pemuda itu dengan ujung lidahnya.

“Pringgo, namaku Pringgo. Nama jelek,” jawab pemuda itu seperti minta dimanja.

“Tidak jelek. Namamu bagus. Kau cakap. Aku suka padamu.”

“Betulkah…?” tanya Pringgo.

“Eh, aku tidak berdusta. Ngg… apakah kau pernah bermesraan dengan perempuan sebelum ketemu aku?”

“Tidak.”

“Pernah tidur dengan perempuan sebelumnya?” tanya sang ratu lagi.

“Apa lagi itu!” sahut Pringgo.

Ratu Mesum tertawa. “Aku tahu kau tidak dusta. Aku akan ajarkan padamu.”

“Ajarkan apa?”

“Lihat saja nanti,” bisik perempuan cantik itu.

“Dengar, aku harus memanggilmu apa? Aku tidak sudi menyebutmu Ratu Mesum,” kata Pringgo pula.

“Terserah kau mau panggil aku apa.”

“Kau berpakaian merah. Bagaimana kalau kupanggil Mawar Merah?”

Perempuan itu kembali tertawa. Hatinya terasa senang juga. Barisan gigi-giginya tampak rata dan putih membuat Pringgo blingsatan dan mencium mulut perempuan itu.

“Aku senang nama itu. Kau boleh panggil aku begitu,” kata sang ratu yang kini diberi nama Mawar Merah.

Sang mawar lalu himpitkan tubuhnya ke badan Pringgo hingga pemuda ini rebah dan keduanya terguling di atas ranjang. Menjelang dinihari, ketika udara di luar dingin sekali, Mawar Merah lepaskan rangkulannya dari tubuh Pringgo lalu turun dari tempat tidur dan kenakan pakaiannya. Begitu selesai berpakaian dia mendekati tempat tidur kembali dan sesaat pandangi wajah Pringgo.

“Anak muda,” kata Mawar Merah dalam hati. “Kau telah memberikan kepuasan padaku. Kau hebat. Tidak seperti laki-laki lain. Lemah pucuk. Kau luar biasa. Sayang, apapun kehebatanmu kau terpaksa harus mati di tanganku!”

Ratu Mesum lalu ulurkan tangan kanannya ke arah leher Pringgo, siap untuk mencekik matinya. Justru saat itu si pemuda tampak membuka kedua matanya, memandang pada perempuan yang sangat memikatnya itu, tersenyum dan berkata,

“Hai, kulihat kau sudah rapi berpakaian….”

Ratu Mesum alias Mawar Merah terpaksa batalkan niatnya untuk membunuh dan tarik pulang tangannya kembali. Pringgo bangun dan duduk di tepi ranjang masih tersenyum tanpa mengetahui bahaya maut yang barusan mengancamnya.

“Kau hendak ke mana, Mawar?”

Sesaat perempuan putih cantik itu tak bisa menjawab. Hanya dalam hati dia berkata, “Aih kenapa aku jadi tak tega membunuh pemuda satu ini?”

“Kau mau pergi ke mana? Kau hendak meninggalkan aku Mawar?” ujar Pringgo lalu berdiri dan menekap pipi perempuan itu dengan kedua tangannya.

“Aku harus pergi Pringgo.”

Pemuda itu kaget. Lalu gelengkan kepalanya. “Tidak Mawar, kau tidak boleh pergi. Dengar, aku akan temukan kau dengan ayah dan ibu. Aku minta akan minta agar kita dikawinkan. Pasti mereka akan menyetujui dan mengadakan pesta besar-besaran. Aku  anak lelaki satu-satunya. Kita akan hidup bahagia Mawar...” 

Ratu Mesum tak menjawab. Hatinya mendorong-dorong agar dia segera membunuh pemuda itu. Tapi entah mangapa sampai saat itu masih juga belum dilakukannya.

“Mawar, kenapa kau diam saja?” tanya Pringgo lalu menciumi wajah perempuan itu.

“Aku tak bisa memenuhi permintaanmu,” menerangkan Mawar Merah.

“Kenapa tidak bisa? Kau tidak suka padaku?”

“Aku suka padamu. Hanya saja… aku terpaksa harus pergi.”

“Terpaksa harus pergi? Bagaimana ini. Aku tak mengerti. Atau sebenarnya kau khawatir orang tuaku tak mau menerimamu sebagai menantu?”

“Bukan, bukan karena alasan itu. Aku benar-benar haus pergi.”

Pringgo lantas saja memeluk tubuh perempuan yang kencang tapi lembut itu erat-erat sambil berulang kali menyebut namanya. Pemuda ini benar-benar takut kehilangan si cantik jelita ini.

“Katakan saja sebenarnya kau tak suka padaku. Kau punya kekasih lain….” Pringgo terduduk lemas di atas tempat tidur sambil menutupkan kedua tangannya ke muka. Dia seperti berusaha menahan tangis. 

Menyaksikan ini hiba juga hati sang ratu yang biasanya keras dan kejam itu. Satu hal yang tak pernah dialaminya sebelumnya. Memang sebelumnya tak ada pemuda yang begitu disukainya seperti yang satu ini. Umumnya mereka menemui ajal di tangannya setelah merasa puas. Mawar Merah membelai rambut Pringgo.

“Kita tak mungkin kawin, Pringgo. Orang tuamu pasti tak setuju. Mereka sama sekali tidak mengenal siapa aku atau asal usulku. Kalau mereka  ingin mengawinkanmu, tentu bukan dengan aku. Tapi dengan seorang gadis turunan bangsawan, kaya raya dan cantik jelita.”

“Tidak! Aku bersumpah tidak akan kawin dengan siapa pun selain kau!”

“Ah, kalau begini jadi repot urusannya,” kata Mawar  Merah dalam hati. “Baiknya kubunuh saja dia saat ini juga!” Perempuan ini lalu luruskan jari-jari tangannya. Ketika dia siap ayunkan pinggiran tangan untuk menghantam hancur kepala pemuda itu tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk orang dari luar.

“Pringgo!” terdengar suara  laki-laki memangil. Suara ayah pemuda itu. “Pringgo, kudengar suara orang di dalam. Kau bercakap-cakap dengan siapa?”

Pringgo kaget, memandang ke pintu. Ratu Mesum tegak dengan waspada. Kalau terpaksa dia tak akan segan-segan membunuh anak dan ayahnya itu. Pringgo kedipkan matanya lalu membuka mulut: 

“Tak ada siapa-siapa di sini ayah. Mungkin ayah mendengar suaraku mengingau.”

Di luar kamar sang ayah termangu sesaat. Sambil ucap-ucap dagunya dia berkata, “Kalau begitu tidurlah kembali. Besok pagi-pagi sekali kita harus pergi ke kebun.”

Sesaat orang tua ini masih berdiri di depan pintu itu dan geleng-gelengkan kepalanya. “Aneh, jelas kudengar anak itu seperti bicara dengan seseorang. Tapi yah, dengan siapa pula dia bicara. Mungkin telinga ini sudah mulai macam-macam.” Lalu orang tua ini tinggalkan ambang pintu kamar puteranya. 

Pringgo berpaling dan tersenyum pada Mawar Merah lalu memeluk perempuan ini seraya berkata, “Mawar, kau tidak akan pergi bukan? Kau tidak boleh meninggalkan aku. Aku akan bahagia jadi suamimu dan kau akan bahagia jadi istriku. Kau harus percaya hal itu. Aku akan cari hal yang baik bagaimana memperkenalkanmu dengan kedua orang tuaku….”

“Eh, kau sungguhan dengan semua ucapanmu itu Pringgo?” tanya Mawar Merah.

“Aku bersedia bersumpah. Atau katakan apa yang harus kulakukan agar kau mau percaya.”

Perlahan-lahan Mawar Merah duduk di tepi tempat tidur. Sekilas dia mengerling pada pemuda yang duduk disampingnya itu. Selintas pikiran tiba-tiba muncul dalam benaknya. Selama ini dia malang melintang menempuh  hidup sepenurut hati dan langkah kakinya. Yaitu di mana ada lelaki culikannya ke waduk Karangkates di mana dia memiliki sebuah rumah besar berkamar tujuh belas.

Untuk ini dia kerap kali haus melakukan perjalanan sangat jauh dan meletihkan. Alangkah baiknya jika selain di Karangkates dia juga mempunyai sebuah rumah lain yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingannya. Jika dia menerima ajakan untuk kawin, bukankah berarti dia akan memiliki rumah bagus, lalu dengan hidup sebagai seorang istri putera pengusaha perkebunan tebu dia mendapat kedudukan terhormat.

Hal ini akan dipergunakannya sebagai kedok untuk menutupi siapa dirinya sebenarnya. Jadi, harta dapat, suami gagah punya dan yang lebih penting secara diam-diam dia bisa meneruskan kesenangannya mencari pemuda gagah pemuas nafsu. Orang-orang dunia persilatan yang mencari-carinya pasti akan sulit menemui jejaknya.

“Mawar,” bisik Pringgo. “Kulihat kau diam saja. Seperti termenung. Kau sama sekali tidak memberi jawaban.”

“Pringgo,” kata Mawar Merah setelah diam sesaat. “Kau seorang pemuda yang baik sekali. Jika kau sungguhan meminta aku jadi istrimu, aku tidak keberatan….”

Mendengar kata-kata itu Pringgo melompat dari tempat tidur, menarik Mawar Merah dan memeluknya sambil berdiri. “Aku tahu. Jawabanmu pasti mau!”

“Ya, aku memang mau. Hanya saja….”

“Hanya saja apa, Mawar?” tanya si pemuda.

“Aku ada syarat.”

“Syarat apa? Rumah bagus, pakaian bagus, harta dan perhiasan?”

“Aku tahu kau pasti dapat mengadakan semua itu,” ujar Mawar Merah. “Tapi bukan syarat itu yang aku minta.”

“Kalau begitu katakan!”

“Aku adalah seorang pengelana. Hidupku lebih banyak di perjalanan dari pada diam di rumah. Jika aku jadi istrimu nanti belum tentu aku bisa merubah sifatku itu. Aku akan pergi ke mana-mana.” 

“Kau boleh pergi ke mana kau suka. Aku akan belikan kau kereta kuda. Lengkap dengan kusir, bahkan ditambah seorang pengawal. Aku akan  menyertaimu ke mana kau pergi….”

Mawar Merah alias Ratu Mesum tersenyum lalu gelengkan kepala. “Aku tidak perlu kereta kuda, kusir ataupun pengawal. Kalau aku pergi aku hanya akan pergi seorang diri...”

“Eh, bagaimana ini. Suami istri tidak boleh pergi sama-sama.” kata Pringgo heran.

“Tentu, tentu kita bisa pergi sama-sama. Tapi jika aku mengurus urusanku sendiri, kau tidak boleh ikut.”

“Apa sih urusanmu itu, Mawar?”

“Aku tak bisa menyatakan padamu Pringgo. Kau mau menerima syarat itu?”

“Ah, berat juga syaratmu itu. Tapi yah. Baiklah. Aku harus mau menerimanya demi cintaku padamu.” lalu Pringgo kembali mencium perempuan itu dan kedua tangannya menjalar kian kemari.

“Itu syarat yang pertama Pringgo. Masih ada syarat lainnya.” terdengar kata-kata Mawar Merah.

“Hem… katakanlah,” ujar Pringgo sementara mukanya dibenamkan di belahan dada kencang perempuan berkulit putih mulus itu.

“Syarat yang kedua, apapun yang aku lakukan setelah kita kawin nanti, kau sama sekali tak boleh bertanya.”

Pringgo angkat wajahnya dan pandangi paras cantik jelita itu beberapa ketika. “Syarat apa pula itu?” ujarnya kemudian.

“Kau mau menerima syarat itu. Atau keberatan?”

“Tentu saja!” sahut Pringgo. Saat itu dia benar-benar sudah jatuh di kaki sang mawar, terpikat pada kecantikan dengan keindahan tubuh yang berada dalam pelukannya itu. Tak ada lagi waktu untuk berpikir-pikir atau menimbang-nimbang. Malah  dia menambahkan.

“Kau boleh berbuat seribu syarat Mawar. Pasti akan kuturuti.”

“Kau memang pemuda baik,” bisik Mawar Merah.  Pakaian yang baru saja dikenakannya ditanggalkannya kembali. Pringgo yang mabuk kepayang langsung menarik perempuan itu kembali dan keduanya berguling-guling lagi di atas tempat tidur.

***
DUA

NYANYIAN ANEH DI DALAM HUTAN
KEDUA ORANG tua Pringgo terkejut bukan main ketika malam itu di meja makan putera satu-satunya itu mengatakan bahwa dia sudah ada gadis pilihan untuk dijadikan calon istri. Dan dia ingin agar pesta perkawinan diadakan secepatnya.

Abadseto, sang ayah sesaat menatap wajah puteranya itu, memandang istrinya sebentar lalu setelah meneguk air putih di dalam gelas besar, lelaki kaya raya pemilik kebun tebu berhektar-hektar ini tersenyum, baru membuka mulut.

“Pringgo, ini benar-benar satu kejutan bagi kami orang tuamu. Tapi ini menunjukkan kenyataan bahwa kau sudah jadi seorang dewasa walau umurnya masih muda belia. Masih hijau kata orang. Berapa usiamu sekarang Pringgo?”

“Delapan belas,” jawab sang anak sementara ibunya hanya duduk berdiam diri.

“Setahu kami kau tidak punya kawan perempuan yang akrab. Calon yang kau katakan itu pastilah seorang gadis cantik hingga kau begitu cepat terpikat dan minta buru-buru dikawinkan!”

“Dia bukan hanya cantik ayah, tapi cantik luar biasa. Kulitnya putih halus. Tanpa cacat sama sekali dari ujung kaki sampai ke rambut.”

“Eh….,” Abadseto pegang bahu puteranya. Sambil tersenyum dia berkata, “Tanpa cacat dari ujung kaki sampai ke rambut katamu. Bagaimana kau bisa tahu pasti hal itu Pringgo?”

Wajah pemuda itu tiba-tiba saja menjadi merah. Sang anak itu tundukkan kepala sedang Abadseto kemudian tertawa gelak-gelak sampai keluarkan air mata.

“Baiklah Pringgo. Aku percaya bahwa gadismu itu cantik jelita. Selangit. Mungkin selangit tembus. Siapa namanya. Di mana tinggalnua dan anak siapa dia….”

Mendengar pertanyaan itu Pringgo jadi agak gugup. “Namanya Mawar Merah,” kata pemuda ini kemudian.

“Wah, nama bagus sekali. Pasti sebagus orangnya. Lalu berasal dari mana dia, siapa orang tuannya?”

“Dia berasal dari selatan. Kedua orang tuanya sudah meninggal selagi dia masih kecil. Dia dibesarkan oleh pamannya. Tapi pamannya meninggal pula tahun silam. Dia sekarang sebatang kara…”

Abadseto tarik nafas dalam. “Anakku,” kata sang ayah. “Kau tentu tahu. Jika aku punya menantu maka palng tidak dia harus sesuai derajatnya dengan kita. Di samping itu yang paling penting kita harus tahu asal-usulnya. Kalau tidak hanya akan memberi malu!”

Pringgo tersenyum. Senyum  itu terasa aneh di mata kedua orang tuanya. “Ayah, apa yang ayah katakan tadi benar semua. Namun itu mungkin hanya berlaku pada zaman ketika ayah seusia saya. Sekarang segala sesuatunya sudah berubah….”

“Berubah? Berubah bagaimana maksudmu, Pringgo?” tanya Abadseto.

“Maksud saya, manusia itu, kebahagiaan hidup itu tidak tergantung dari harta atau dari asal-usul turunan...”

“Celaka!” kata ayah seraya berdiri dan betulkan letak blangkonya. “Kalau kau berkata begitu celaka Pringgo. Apa yang masuk ke dalam benakmu hingga kau punya jalan pikiran seperti itu?”

Pringgo tak menjawab. Dan Abadseto kembali membuka mulut.

“Jika kau berkata begitu lantas apakah kau mau hidup dengan pandangan remeh orang banyak, tanpa harta tanpa uang. Hingga untuk memberi makan dirimu sendiri dan istrimu, belum lagi anakmu, kau tidak mampu melakukannya…?” 

“Maksud saya tidak seperti dan sejauh itu ayah,” menangkis Pringgo.

Ketiganya diam sesaat. Kesunyian kemudian dipecahkan oleh ucapan Pringgo yang mengejutkan kedua orang tuanya. “Besok Mawar akan datang dan saya antar menemui ayah serta ibu….”

“Pringgo!” seru ibu. Lalu  mulut perempuan ini kembali terkancing sedang Abadseto saat itu sudah berdiri dam memandang dengan mata melotot pada anaknya.

“Pringgo! Kau jangan main-main…..”

“Saya tidak main-main ayah. Mawar besok akan datang.”

“Gila! Kau hendak memberi malu keluarga kita! Adat mana pun tak ada perempuan yang datang lebih dulu ke rumah calon suaminya, sendirian pula! Jelas gadismu itu tidak beradat tidak berbangsa! Tidak punya keluarga alias anak luntang lantung. Entah anak haram entah….”

Pringgo jadi panas. Segera dia memotong ucapan ayahnya. “Gadis itu memang orang miskin, tidak berbangsa tidak berharta. Tapi dia bukan anak haram. Dan di atas semua itu saya menyukainya. Saya mencintainya!”

“Cinta. Oladalah Gusti Allah!” kata Abadseto terhenyak ke kursinya. “Jadi cinta! Itulah semua pertimbanganmu minta dikawinkan dengan gadis bernama Mawar Merah itu. Yang tampangnya belum kulihat sama sekali. Tobat Pringgo! Sama saja kau membunuh kami berdua orang tuamu!”

“Ibu tidak bisa menerima kedatangannya dengan cara seperti itu Pringgo. Paling tidak ada sanak ada kadangnya yang harus mengantar.”

“Sekalipun ada sanak kadangnya aku tidak suka menerimanya!” ujar Abadseto menyentak.

“Kau dengar kata-kata ayahmu Pringgo?” ujar sang ibu. Kedua mata perempuan ini mulai berkaca-kaca.

Pringgo berdiri dari kursi. “Baiklah ayah, ibu. Jika ayah dan ibu berdua tidak mau menerimanya berarti juga tidak akan merestui perkawinan kami. Apalagi mengadakan segala macam pesta. Saya terima itu sebagai kenyataan. Besok pagi saya akan pergi meninggalkan rumah ini!”

“Pringgo!” pekik si ibu.

“Pringgo! Kembali!” teriak  Abadseto.

Tapi pemuda itu sudah lari masuk ke dalam kamarnya dan mengunci diri. Di dalam kamar ini sudah ada Mawar Merah, sejak malam tadi memang berada di situ.

“Aku sudah mendengar semua percakapan kalian,” kata Mawar Merah dan duduk di samping Pringgo. “Apa yang kusangka betul semua, bukan?”

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan Mawar,” kata Pringgo perlahan. “Ayahku memang keras. Tapi lihat saja nanti hatinya akan lumer. Jangan lupa, aku anak lelaki satu-satunya. Apa yang aku minta pasti diluluskan.”

***

Apa yang dikatakan Pringgo memang betul. Takut putera tunggal mereka minggat maka dengan berat hati kedua orang tuanya terpaksa menuruti kemauan Pringgo. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali pemuda itu menyiapkan kereta. Dia sendiri yang bertindak sebagai kusir dan meninggalkan rumah besar setelah berpesan kepada kedua orang tuanya agar menunggu sampai dia kembali bersama gadis calon istrinya. 

Baik Abadseto maupun istrinya sama sekali tidak mengetahui kalau Mawar Merah lebih dahulu sudah disembunyikan Pringgo di dalam kereta itu. Si pemuda memacu kereta meninggalkan perkebunan. Di situ tempat dia membelok memasuki hutan lalu hentikan kereta. Seraya membuka pintu kereta pemuda ini berkata,

“Calon pengantinku, keluarlah. Kau tak usah sembunyi lagi. Sebentar lagi kita kembali ke rumah. Kau akan menemui kedua orang tuaku lalu semua akan beres.”

Ratu Mesum alias Mawar Merah yang bersembunyi di lantai kereta berdiri sambil tersenyum. “Kalau saja tidak untuk jadi istrimu tak akan mau aku menyiksa diri seperti  ini.” katanya.

Pringgo tertawa dan cepat dia memeluk serta menciumi perempuan itu. Belum apa-apa menyusul tangannya menggerayang.

“Hus! Kau ini selalu tidak sabaran. Nanti bedak, gincu dan alisku berantakan…” ujar Mawar Merah seraya lepaskan rangkulan Pringgo.

Pemuda ini tertawa gelak-gelak. “Tidak berdandanpun kau tetap cantik,” katanya.

Saat itu sebenarnya Ratu Mesum tengah berusaha menahan dorongan hati jahatnya yang menginginkan agar dia membunuh pemuda itu saat itu juga. Namun ingat akan rencana yang ingin dilakukannya maka niat itu terpaksa diurungkan.

“Kita kembali sekarang?” tanya Pringgo.

“Jangan buru-buru. Orang tuamu nanti curiga,” jawab Mawar Merah.

Pringgo mengangguk menyetujui. Pada saat kedua orang itu saling berdiam diri tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi. Yang menyanyi jelas lebih dari dua atau tiga orang. Dan suara mereka seperti suara anak-anak. Pringgo memandang berkeliling keheranan.

“Aneh! Anak-anak mana pula yang menyanyi itu. Di mana mereka. Bagaimana bisa dan berani masuk dalam hutan ini?” Pringgo  terus mencari-cari ke arah datangnya suara nyanyian itu. Kemudian dia berpaling pada Mawar Merah dan melihat paras calon istrinya itu berubah.

“Mawar, ada apakah? Kau tampak pucat,” Pringgo berkata seraya pegangi tangan perempuan itu. “Kau mengenali suara yang nyanyi itu?”

“Pasti mereka!” desis Ratu Mesum seraya memandang tajam ke arah kerapatan pohon-pohon tinggi di sebelah kirinya.

“Mereka siapa?” tanya Pringgo lagi. 

Ratu Mesum tak menjawab. Yang ada dibenaknya saat itu adalah ingatan akan kejadian di gudang padi beberapa waktu lalu. Ketika orang-orang bersembunyi  melemparinya dengan buah kecapi hingga dia tidak mampu membunuh Iblis Gila Tangan Hitam.

“Sudahlah. Kita kembali saja ke rumahmu, Pringgo!”

“Tidak, aku ingin mendengar seluruh nyanyian itu lebih dulu!” sahut si pemuda. 

Ratu Mesum tak bisa berbuat apa-apa kecuali masuk ke dalam kereta dengan hati kesal tapi juga ada asa khawatir. Selain nyanyian hal apa pula yang akan dilakukan oleh mahluk-mahluk yang tak kelihatan itu. Manusia atau setankah mereka? Dari kerapatan pepohonan tinggi di ujung kiri kembali terdengar suara ramai nyanyian.

Naik kereta bagus
Masuk ke dalam rimba
Menyusun rencana mulus
Mendustai orang tua

Naik kereta kuda
Berdua tertawa-tawa
Hari ini penuh gembira
Besok lusa entah terjadi apa

Warna merah warna indah
Indah kalau itu bunga
Celaka kalau itu warna darah

“Pringgo, ayo kita tinggalkan tempat ini,” kata Ratu Mesum yang jadi tidak enak mendengar kalimat-kalimat dalam nyanyian itu. Dia khawatir kalau-kalau kata-kata dalam nyanyian itu akan  menyerempet dan membuka rahasia dirinya. 

Meskipun merasa aneh dengan kejadian itu namun Pringgo naik juga ke atas kereta. Selagi dia memutar kendaraan itu, dari jendela kereta Ratu Mesum angkat tangan kanannya dan lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah rimbunan pohon di sebelah kiri atas. Yaitu dari jurusan mana tadi dia mendengar datangnya suara nyanyian. Pringgo terkejut  ketika didengarnya suara  patahan cabang-cabang serta ranting-ranting pohon disusul dengan suara pekik ramai sekali. Tapi orang-orang yang berteriak itu tetap tidak kelihatan.

“Rasakan! Paling tidak di antara kalian ada yang celaka!” ujar Ratu Mesum dalam hati. Lalu dia berkata pada Pringgo agar lekas-lekas tinggalkan tempat itu. Namun di depan sana terdengar suara pemuda berteriak.

“Mawar! Aneh! Kuda ini tak mau jalan!” pemuda itu tarik-tarik tali kekang bahkan pukul pinggul kuda penarik kereta. Tetap saja binatang itu tidak mau jalan bahkan bergerakpun tidak. 

Ratu Mesum maklum apa yang terjadi. Dia keluar dari kereta dan memeriksa kuda itu dengan cepat. “Binatang ini ditotok,” dia membatin. Memandang ke tanah dilihatnya sebuah batu kecil. “Hemmm….” Ratu Mesum raba tubuh kuda itu di beberapa bagian. Lalu dia memukul kuda ini di bagian  kuduk. Demikian kerasnya hingga binatang itu meringkik, terlonjak dan lari. Ratu Mesum cepat melompat masuk ke dalam kereta.

“Mawar, apa yang sebenarnya  terjadi?” tanya Pringgo yang masih tidak mengerti.

Ratu Mesum tak mau menceritakan. Dia menjawab, “Pegang saja tali kekang baik-baik. Jangan sampai menabrak. Tak ada apa-apa. Binatang itu mungkin hanya keletihan!”

Karena ingin cepat-cepat sampai agar urusan perkawinannya dengan perempuan itu lekas selesai, Pringgo pun tak bertanya apa-apa lagi.


***
TIGA

PESTA PERKAWINAN BERDARAH
ABADSETO dan istrinya tegak menunggu di tangga langkan depan rumah besar ketika kereta yang dikemudikan putera mereka memasuki pintu halaman. Dengan tersenyum lebar dan penuh bangga Pringgo membuka pintu kereta lebar-lebar lalu menuntun Mawar Merah turun dari kereta langsung membawanya ke hadapan kedua orang tuanya.

“Ayah, ibu. Ini Mawar Merah, calon menantu ayah dan ibu,” kata Pringgo pula.

Baik Abadseto maupun istrinya harus mengakui bahwa Mawar Merah memang memiliki kecantikan luar biasa. Hanya saja di mata mereka gadis itu terlalu menyolok dandannya. Dan kelihatannya orang yang ingin dijadikan istri oleh putera mereka ini berusia lebih tua dari Pringgo sendiri.

Sesuai dengan yang telah diatur lebih dulu maka Mawar Merah menjura hormat menyalami dan mencium tangan kedua orang tua Pringgo. Meskipun agak kaku, sang ibu kemudian membawa calon menantunya itu masuk ke dalam. Bau harum yang keluar dari pakaian dan tubuh Mawar Merah memenuhi ruangan dalam di mana mereka duduk. 

Pembicaraan terasa kurang lancar karena calon pengantin perempuan ini tidak banyak bicara. Pringgo yang lebih sering membuka mulut menjawab segala pertanyaan. Bahkan pemuda ini enak saja berkata agar pesta perkawinan dilangsungkan paling lambat tiga hari dimuka.

“Kalau itu memang mau kalian, kami hanya menurut saja. Lebih cepat tidak selamanya lebih baik. Buruk baiknya kalian sendiri nanti yang akan menanggung. Dan kami orang tua hanya menerima malunya saja,” kata Abadseto. 

Laki-laki ini sudah kesal. Hanya karena sayang pada putera tunggalnya ini saja maka dia mau meluluskan kemauan Pringgo. Sang ibu yang tak banyak bicara akhirnya mengundurkan diri lebih dulu, masuk ke dalam kamar hanya untuk menangis.

Siangnya di rumah besar pemilk perkebunan tebu itu mulai tampak kesibukan luar biasa. Panggung besar berikut tenda dibangun orang. Dua orang juru masak dengan dua lusin pembantu mengatur membuatan makanan dan kue-kue. Beberapa ekor sapi dan belasan ekor kambing, puluhan ayam didatangkan, siap untuk disembelih. Pokoknya pesta besar-besaran memang akan dilangsungkan demi menurut kemauan Pringgo.

Pada hari Jum’at Legi pesta mewah meriah itupun dimulai. Suara gamelan mengalun tiada henti. Tetamu yang datang seperti tak habis-habisnya, malam harinya akan diadakan pula pertunjukan wayang kulit dengan dalang terkenal dari Semarang.

Pengantin lelaki kelihatan selalu tersenyum simpul. Pengantin perempuan tampak tenang dan sesekali juga ikut tersenyum. Dalam hatinya Ratu Mesum hampir tak habis pikir kalau hari itu dia benar-benar akan duduk di pelaminan, jadi pengantin! Namun ketenangannya itu tidak berjalan lama. Senyum simpulnya yang sejak pertama kali datang bersalaman selalu memandang kepadanya sambil berbisik-bisik satu sama lain. 

Ratu Mesum coba mengingat-ingat di mana dia sebelumnya pernah melihat kedua orang itu. Akhirnya dia ingat. Dua lelaki itu adalah dua orang tamu penting pada pesta perkawinan Ungguljati di mana dia menculik pengantin lelaki itu. Melihat gelagat keduanya jangan-jangan mereka mengenali dirinya. Begitu Ratu Mesum berpikir. Karena gerak-gerik kedua tamu itu tak pernah lepas dari perhatian dan sudut mata Ratu Mesum.

Tamu yang memakai belangkon putih berbunga-bunga biru berbisik pada kawannya yang memakai baju lurik coklat bertopi hitam. “Liku, kau ingat peristiwa berdarah pada pesta perkawinan puteri Gede Ageng Kuntjoro di Sumbersari tempo hari?”

“Tentu saja,” jawab kawannya yang bernama Tombo. 

Keduanya adalah pedagang beras terkenal dari daerah selatan. Mereka sempat menghadiri pesta perkawinan Sri Pujiati dengan Ungguljati yang kemudian menjadi kacau bahkan berubah menjadi bencana mengerikan. 

“Siapa yang bisa melupakan kejadian itu. Aku sampai tak bisa makan beberapa hari karena ngeri dan mual membayangi mayat-mayat yang bergelimpangan dan darah bergenangan. Eh, kenapa kau bertanyakan hal itu Tombo?”

“Coba kau perhatikan wajah pengantin perempuan itu. Apa pendapatmu…?” ujar Tombo.

“Tentu saja parasnya cantik jelita. Lucu, kenapa kau bertanya begitu?”

“Coba kau perhatikan baik-baik Liku. Lalu kau ingat-ingat wajah perempuan berjuluk Ratu Mesum yang menjatuhkan malapetaka maut di pesta di Sumbersari itu.”

Mendengar kata-kata kawannya itu Liku kembali memandang wajah pengantin perempuan yang duduk di pelaminan. Astaga! Berubahlah paras Liku dan dia berpaling pada Tombo. Sambil pegangi lengan kawannya Liku yang kini merasakan tengkuknya menjadi dingin lantas berbisik dengan suara bergetar, “Tombo, mataku bisa salah. Tapi ingatanku sekarang terang. Paras pengantin perempuan itu persis sama dengan wajah Ratu Mesum!”

“Nah, sekarang kau tahu apa maksudku menyuruh memperhatikan. Apa pendapatmu?”

“Terus terang, lama-lama berada di sini aku menjadi ngeri. Kalau dia benar-benar Ratu Mesum lebih baik kita angkat kaki dari sini. Tapi, bagaimana dia bisa diambil menantu oleh Abadseto?”

“Ini memang mengherankan. Bagaimana kalau kita cepat-cepat kembali ke Sumbersari melaporkan hal ini pada Pujiati dan ayahnya?”

“Aku setuju rencanamu. Tapi kita harus menyelidik dulu. Jangan sampai kesalahan. Kalau pengantin itu nanti ternyata bukan Ratu Mesum, kita bisa berabe...”

“Lalu apa tindakanmu?” tanya Tombo.

“Kau duduk saja di sini. Aku akan mencari keterangan di kalangan para tamu.” sahut Liku. Kawannya mengangguk. Liku berdiri dan menyeruak di antara tetamu yang berjubalan.

Ditunggu beberapa lama Liku tak muncul. Waktu berjalan terus. Sampai lewat sepenanakan nasi lelaki itu tak juga kembali. Tombo memandang berkeliling mencari-cari. Tak kelihatan sang kawan. Di pelaminan pengantin lelaki duduk seorang diri. Ke mana pengantin perempuan? Rupanya sedang ke belakang, pikir Tombo. 

Tak lama kemudian pengantin perempuan diiringi dua dayang-dayang kecil pengiringnya muncul kembali dan duduk di pelaminan. Juru rias menyeka keringat yang ada di kening pengantin perempuan. Tombo kembali mencari-cari. Liku tak kunjung muncul. Akhirnya dia berdiri, memutuskan untuk mencari. 

Pada saat itulah terjadi kehebohan di dekat dapur. Dua orang pembantu juru masak menemukan sesosok tubuh mengeletak mati. Mukanya hancur tak dapat dikenali. Dengan susah payah Tombo menyeruak diantara orang banyak. Begitu dia sampai di hadapan sosok tubuh yang mengeletak di tanah itu, pucatlah wajah Tombo. Lututnya goyah dan hampir saja dia mengeluarkan seruan. 

Manusia yang telah jadi mayat itu, walaupun mukanya rusak sulit dikenali, namun Tombo jelas mengetahui dari pakaian dan blangkonnya yang bercampak di tanah, orang itu adalah Liku, kawannya. Didorong oleh rasa takut yang amat sangat Tombo bukannya berusaha menolong atau mengangkat jenazah kawannya, malah dia cepat-cepat meninggalkan tempat pesta itu, memacu kudanya sekencang yang bisa dilakukannya, kembali menuju Sumbersari.

***

KEESOKAN harinya pesta yang direncanakan tiga hari tiga malam itu dilanjutkan kembali. Pengantin lelaki dan perempuan duduk bersanding. Tamu kembali pula datang membanjir. Hari ini kebanyakan tamu datang dari jauh. Peristiwa ditemukannya mayat malam tadi sudah terlupakan. Liku yang malang dikuburkan orang di tepi kali. Kelihatannya tak ada yang berusaha mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan lelaki itu. Mengapa dia dibunuh dan siapa pembunuhnya yang kejam.

Menjelang tengah hari serombongan tamu berkuda muncul. Kelihatannya mereka datang dari jauh. Orang-orang ini ternyata adalah rombongan dari Sumbersari. Tombo bertindak sebagai penunjuk jalan. Dalam rombongan itu tampak Gede Ageng Kuntjoro bersama puterinya yang menjadi janda dimalam pengantin yakni Sri Pujiati. Lalu tampak pula dua orang lelaki tua berpakaian serba biru. Kedua kakek ini bukan lain adalah Sepasang Ular Biru, dua tokoh silat yang pernah baku hantam dengan Ratu Mesum di pesta perkawinan Sri Pujiati.

Rombongan dari Sumbersari ini tidak langsung masuk namun menyelinap keperbagai penjuru lalu beberapa saat kemudian berkumpul lagi di pintu depan. Karena terhalang oleh kerapatan orang banyak Ratu Mesum yang duduk di pelaminan tidak dapat melihat kemunculan orang-orang itu.

“Puji, kau yakin pengantin perempuan itu adalah iblis liar yang menculik suamimu tempo hari?” bertanya Gede Ageng Kuntjoro kepada anaknya.

“Saya yakin sekali. Saya tidak akan melupakan tampang perempuan durjana itu!” menyahuti Sri Pujiati.

Sang ayah berpaling pada Sepasang Ular Biru dan bertanya pula untuk menyakinkan. “Menurut kalian bagaimana?”

Wirasona, kakek yang berjanggut menjawab, “Aku dan kawanku Sukat Rampe merasa pasti. Perempuan itu memang dajal yang kita cari-cari! Sekarang kita tunggu apa lagi. Hanya kita harus berhati-hati. Betina liar ini tinggi sekali ilmunya.”

“Kalau begitu mari kita masuk!” kata Gede Ageng Kuntjoro dan melangkah mendahului.

Abadseto dan istrinya yang mendampingi kedua mempelai di pelaminan tidak menaruh perasaan apa-apa ketika melihat empat orang tetamu mendatangi. Seperti tamu-tamu lainnya tentu saja mereka menyangka keempat orang ini adalah tetamu yang datang untuk memberi doa restu ucapan selamat. Namun Abadseto jadi terkejut ketika tiba-tiba Gede Kuntjoro berkata,

“Kisanak, dan kau mempelai perempuan. Kami ingin bicara dengan kalian. Tapi bukan di tempat ini.”

“Eh, kalian ini tetamu dari mana dan datang kemari punya maksud apa?” balik bertanya Abadseto seraya memandang meneliti pada keempat tamunya itu.

Pringgo yang merasa tidak enak dengan sikap orang-orang itu membuka mulut pula. “Ayah, kalau kau tidak kenal dengan mereka, akupun tidak kenal keempatnya. Mereka datang jelas tidak diundang. Tapi punya maksud lain.”

Sri Pujiati kini angkat bicara, “ Kami memang tidak diundang. Kami datang atas kemauan sendiri. Kami punya urusan dengan pengantin perempuan. Tapi agar tidak kesalahan tangan kami ingin tahu dulu siapa nama pengantin perempuan menantumu ini!”

“Gadis lancang!” damprat Pringgo. Sementara itu orang banyak mulai memandang dan memperhatikan orang-orang itu dengan perasaan heran. Mereka berusaha mencuri dengar pembicaraan untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.

“Perlu apa kau ingin tahu nama istriku! Jika tahu tidak diundang mengapa tidak lekas angkat kaki dari sini!”

Sejak tadi pengantin perempuan berdiam diri saja. Tapi otaknya bekerja. Dia tahu jelas siapa orang-orang yang datang itu. Si gadis yang membekal pedang di punggungnya adalah istri pemuda bernama Ungguljati yang pernah diculik lalu dibunuhnya. Lelaki tua itu adalah ayah si pemuda sedang dua orang kakek berpakaian serba biru adalah Sepasang Ular Biru yang pernah bentrokan di pesta perkawinan Ungguljati. 

Kedatangan orang-orang itu pastilah untuk mencarinya guna menuntut balas. Siapa lagi yang melaporkan dirinya kalau bukan dua orang tetamu yang sebelumnya malam tadi ilihatnya bicara kasak-kusuk. Secara diam-diam dia berhasil membunuh orang yang bernama Liku, namun Ratu Mesum tak punya kesempatan untuk menyingkirkan kawannya yang satu lagi.

“Ayah, saya memang kenal dengan orang-orang ini. Mereka rupanya punya urusan penting yang tak bisa ditunda. Sementara ayah ibu serta mas Pringgo tetap di sini, saya akan ajak mereka bicara di ruang atas. Mohon izin kalian.”

Tanpa menunggu jawaban ketiga orang itu pengantin perempuan lalu melangkah ke ruangan dalam di mana terletak tangga menuju tingkat atas. Di bagian belakang gedung besar itu memang terdapat sebuah ruangan besar di sebelah atas. Kesinilah Ratu Mesum membawa keempat tamunya itu. Karena merasa khawatir dan tidak enak, pengantin lelaki segera menyusul.

“Mawar, aku harus menyertaimu. Aku tak percaya pada itikat empat orang tak dikenal ini!” kata Pringgo pula.

“Mas, ini hanya urusan kecil saja. Akan kuselesaikan dengan cepat. Kau tak usah khawatir. Sebaiknya tetap mendampingi ayah dan ibu menunggu para tamu,” kata Ratu Mesum alias Mawar Merah dengan halus. 

Tapi Pringgo tetap bersikeras hendak ikut ke atas. Terpaksa pengantin perempuan itu bicara mengancam. 

“Mas, kau ingat syarat perjanjian kita tempo hari? Jika kau banyak ingin tahu dan tak mau mengikuti kata-kataku, mau mencampuri urusanku sebaiknya perkawinan ini dibatalkan saja!”

“Maksudku…” Pringgo tak meneruskan kata-katanya. Dengan sangat khawatir dia terpaksa kembali ke pelaminan.

“Urusan kecil!” tiba-tiba Sri Pujiati mendamprat. “Enak saja kau berkata begitu. Kami datang ke sini justru untuk urusan darah dan nyawa suami yang kau…”

“Sudahlah!” Ratu Mesum cepat memotong. Dia khawatir ucapan gadis yang menjadi janda di hari perkawinannya itu terdengar oleh orang. “Mari kita ke atas. Tak ada persoalan yang tak bisa diselesaikan. Hanya sayang mengapa dalam urusan ini kau dan ayahmu membawa serta pula dua kambing tua ini?”

Merahlah paras kedua kakek berpakaian biru. Jelas pengantin perempuan itu menghina diri mereka. Namun keduanya terpaksa menahan diri sementara perempuan yang mereka yakini adalah Ratu Mesum telah menaiki tangga.

Ruangan di tingkat atas itu besar sekali, berlantai papan dan tak ada sepotong perabotanpun di situ. Wirasona, kakek berjanggut berbisik pada kawannya, “Melihat keadaan tempat ini kau harus maklum apa maksud perempuan durjana ini membawa kita ke sini. Hati-hati Sukat. Besiap-siaplah!”

Kakek bernama Sukat Rampe mengangguk. Dia cukup waspada. Terlebih ketika dilihat pengantin perempuan bukan saja mengunci pintu, tapi memalangnya sekaligus. Kemudian dia membalik menghadapi keempat orang itu. Dan berkata, 

”Aku tak punya banyak waktu untuk bicara dengan kalian. Tapi kalian ingin tahu siapa namaku bukan? Coba kalian perhatikan baik-baik!”

Habis berkata begitu perempuan itu tanggalkan pakaian pengantinnya. Di balik pakaian pengantin itu kelihatanlah baju merah darah!

“Jadi jelas! Kau adalah Ratu Mesum penculik dan pembunuh suamiku!” teriak Sri Pujiati. Gadis ini segera cabut pedangnya. 

Gede Ageng Kuntjoro ayahnya menghunus keris. Sedang Sepasang Ular Biru pun tidak tinggal diam. Masing-masing loloskan senjata berupa cambuk pendek berwarna hitam berbelang kuning hingga sepintas lalu kelihatan seperti seekor ular. Keempat orang itu menyerbu dengan ganas.

Ratu Mesum maklum dia harus bertindak cepat dan keluarkan seluruh kepandaiannya. Tak ada jalan lain keempat orang itu harus dilenyapkan kalau rahasia dirinya tak mau terbuka di malam pengantin itu. Dia tidak khawatir terhadap Sri Pujiati ataupun ayahnya. Tapi terhadap dua kakek berbaju biru itu dia memang tidak boleh memandang enteng. Dengan kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada Ratu Mesum sambut serangan keempat musuhnya.

Gede Ageng Kuntjoro adalah orang yang pertama sekali terjengkang ke lantai ketika tusukan kerisnya ditangkis Ratu Mesum dengan pukulan keras yang mematahkan tulang lengannya. Sri Pujiati dengan kalap dan penuh dendam menebaskan pedangnya ke leher Ratu Mesum namun dengan mudah dielakkan seraya memukul ke arah kakek di samping kanan yang menghantam dengan cambuk anehnya. Terdengar suara seperti petir menyambar disertai asap hitam kuning ketika cambuk itu berkiblat.

“Kambing tua, kau mampuslah!” bentak Ratu Mesum seraya membungkuk dan lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam dahsyat. 

Wirasona yang menerima serangan balasan itu dibikin kaget. Dia terlalu mempercayai kehebatan senjatanya yang asapnya bisa melukai kulit lawan, karena dia hanya menyingkir sedikit ke samping tapi tetap susupkan ujung cambuknya ke arah leher lawan. Tidak terduga Ratu Mesum justru angkat tangannya untuk menangkap dan membetot cambuk di tangan si kakek. 

Karena tenaga dalam perempuan ini jauh lebih tinggi, ketika si kakek coba mempertahankan diri akibatnya dia ikut terseret ke depan. Sebelum dia sanggup mempertahankan diri, tendangan kaki kanan Ratu Mesum cepat sekali melabrak perutnya. Kakek malang ini keluarkan seruan kematian. Korban kedua jatuh sudah. 

Kalau Sukat Rampe jadi terkesiap kecut melihat kematian kawannya, lain halnya dengan Sri Pujiati. Dengan kalap membabi buta gadis ini menggempur Ratu Mesum dengan serangan pedang yang berkelebat kian kemari, menabur mengurung tubuh lawan.

Sambil tertawa Ratu Mesum berkata, “Gadis cantik tapi tolol. Kau datang kemari hanya mengantar nyawa. Rupanya kau ingin buru-buru menyusul suamimu!”

“Iblis durjana, kalaupun aku mati di tanganmu aku tak gentar. Tidak aku tapi satu hari kelak kau bakal menerima hukuman!”

Ratu Mesum tertawa panjang. “kalau kau memang sudah pasrah untuk mampus aku tak segan-segan lagi menunjukkan pintu akhirat!”

Lalu Ratu Mesum membuat gerakan tubuh seperti hendak menyerbu ke arah Sukat Rampe, namun ia hanya satu tipuan saja. Begitu Sri Pujiati hendak menggempurnya dari samping, dia berbalik menyongsong. Lengan kanan memukul tangan Sri Pujiati yang memegang pedang sedang tangan kiri menjambak rambut gadis itu. Dengan tenaga yang luar biasa Ratu Mesum bantingkan kepala Sri Pujiati ke dinding. Begitu kerasnya hingga kepala gadis itu pecah dan tubuhnya angsrok ke lantai tanpa nyawa lagi!

“Perempuan biadab! Aku mengadu nyawa denganmu!” teriak Sukat Rampe. Mulutnya komat-kamit, entah membaca mentera entah mengeluarkan kutuk serapah. Tubuhnya berkelebat ke depan. Cambuk pendek di tangan kanannya dikiblatkan kian kemari hingga mengeluarkan suara berdentam-dentam dan asap hitam kuning menggebubu menutupi pemandangan. 

Ratu Mesum cepat tutup jalan nafas. Dia maklum kakek satu ini lebih tinggi kepandaiannya dari kawannya yang sudah menemui kematian. Setelah saling baku serang selama empat jurus tiba-tiba. Ratu Mesum melompat tinggi ke atas hampir menyondak langit-langit ruangan. 

Sukat Rampe tahu kalau musuh memiliki kepandaian menebar semacam hawa harum yang bisa membuat lemas dan lumpuh. Sambil tutup jalan nafasnya dia putar cambuk lindungi diri tapi apa lacur ketika dia melihat ke depan dan ke atas, lawan tak tampak lagi. Lenyap entah ke mana. 

Tiba-tiba ada sambaran angin datang dari belakang. Sukat Rampe berpaling seraya hantamkan cambuk di tangan kanan dan lepaskan pukulan tangan kiri. Namun terlambat. Satu pukulan pinggiran telapak tangan yang keras mendarat di pangkal lehernya. Krak! Terdengar suara patahnya tulang leher kakek itu. Tubuhnya roboh ke lantai tanpa bisa berkutik. Mati.

Sudut mata Ratu Mesum menangkap gerakan di samping kiri. Yang bergerak adalah Gede Ageng Kuntjoro yang tengah berusaha bangkit sambil pegangi lengannya yang patah. Ratu Mesum menyeringai dan pungut pedang milik Sri Pujiati yang tercampak di lantai. Senjata itu diacungkannya pada orang tua itu. 

“Kau boleh pilih, mau mati bunuh diri atau minta kubantu!”

“Perempuan terkutuk! Aku memilih bunuh diri!” sahut Gede Ageng Kuntjoro. Lalu dirampasnya senjata itu dari tangan Ratu Mesum. Sikapnya seperti memang mau bunuh diri. Tapi tiba-tiba ujung pedang dibalikkannya, secepat kilat ditusukkan ke perut perempuan itu.

Bret!

Untung Ratu Mesum cepat berkelit. Kalau tidak perutnya pasti kena tembus, itupun pakaian pengantinnya sempat robek. Dengan menggembor marah Ratu Mesum rampas pedang itu dari tangan Gede Ageng Kuntjoro lalu menusukkannya hingga tembus ke punggung. Lelaki ini roboh di lantai dengan pedang masih menancap di dadanya.

Pada saat keributan berlangsung di tingkat atas itu seorang anggota keluarga datang berlari menemui Abadseto dan berkata, “Celaka kakangmas! Aku mendengar suara ribut-ribut di tingkat atas. Seperti perkelahian!”

Mendengar itu Abadseto dan Pringgo langsung melompat dari pelaminan dan lari menaiki tangga. Pringgo sampai di depan pintu ruangan atas lebih dulu. Pintu ini digedornya seraya berteriak. “Mawar! Buka pintu! Apa yang terjadi di dalam!”

“Mawar lekas buka pintu!” Abadseto yang juga sudah sampai di situ ikut berteriak malah coba mendobrak pintu, tapi tak berhasil. Sementara itu sebagian tamu dan para anggota keluarga sudah ikut pula lari menuju pintu tingkat atas itu.

“Mawar! Lekas buka pintu!” teriak Pringgo lagi.

Pintu tiba-tiba terbuka dari dalam. Mawar Merah muncul. Sikapnya tenang saja. Lewat pintu yang terbuka semua mata memandang mendelik ketika menyaksikan empat mayat yang terkapar di lantai. Darah kelihatan di mana-mana!

“Gusti Allah! Apa yang terjadi!” seru Abadseto. Pringgo peluk istrinya. “Mawar! Kau tak apa-apa? Siapa mereka. Apa yang mereka lakukan terhadapmu?!”

“Tiga lelaki itu, dibantu oleh gadis itu berusaha hendak memperkosaku!” jawab Ratu Mesum. Lalu dia tunjukkan pakaian pengantinnya yang robek dibagian dada di sebelah bawah perut. Padahal sebelum dia membuka pintu, dia sempat sendiri yang sengaja merobeknya. Perempuan ini memang cerdik dan licik.


***
EMPAT

HARI KESERATUS
KITA tinggalkan malapetaka berdarah yang terjadi pada pesta perkawinan Ratu Mesum alias Mawar Merah dengan Pringgo, putera Abadseto pengusaha perkebunan tebu kaya raya itu.

Hari itu adalah hari ke seratus. Hari perjanjian untuk bertemu kembali antara Datuk Iblis Penghisap Darah alias Lembu Surah dengan kekasih dimasa mudanya yakni Kunti Kendil, guru Wirapati (Iblis  Gila Tangan Hitam) dan juga guru Mahesa. 

Pagi-pagi sekali Kunti Kendil telah berpakaian rapi dan duduk di cabang pohon tinggi di puncak gunung Iyang. Dari tas pohon itu bukan saja dia dapat mengawasi seantero lamping gunung sampai jauh ke bawah, tapi juga dapat juga memperhatikan setiap orang yang naik dan datang ke tempat kediamannya. Hatinya gembira kerena Lembu Surah sudah berjanji akan datang hari itu. 

Namun diam-diam ada dua kekhawatiran dalam hatinya. Pertama apakah bekas kekasihnya itu benar dan pasti akan datang. Kedua bagaimana dengan Mahesa. Muridna itu telah mengetahui apa yang dulu terjadi seratus hari lalu di sini. Bukan mustahil dia akan datang pula ke puncak Iyang untuk mengetahui kelanjutan peristiwa itu. Jika murid nakal itu datang rusaklah acara pertemuannya dengan Lembu Surah.

Di langit matahari mulai bersinar terik. Namun angin gunung yang sejuk mengalahkan hawa panas sang surya. Kunti Kendil duduk uncang-uncang kaki di cabang pohon. Kedua matanya mulai terkantuk-kantuk. Menjelang tengah lereng gunung dilihatnya sesosok tubuh berlari cepat menuju puncak.

“Aih, akhirnya dia benar-benar muncul!” kata si nenek tertawa lega. Dia siap melompat turun dari atas pohon. Namun ketika dia memandang sekali lagi ke arah sosok tubuh yang mendatangi dan semakin  dekat itu, berubahlah paras keriput perempuan tua ini.

“Edan! Bukan dia!” seru si nenek dengan tenggorokan tercekat. “Dan bukan pula Mahesa murid setan itu! Keparat siapa yang datang ini! Kalau dia tidak segera angkat kaki dari sini terpaksa aku membunuhnya!” Begitu Kunti Kendil merutuk serapah dalam hati.

Tepat ketika dia melompat dan turun ke tanah, orang yang datang dari lereng gunung sampai di dekat tumpukan batu lalu melangkah ke arahnya. Memandangi orang yang datang ini Kunti Kendil coba mengingat-ingat siapa adanya orang itu dan kapan serta di mana dia pernah bertemu. Mungkin mereka pernah berjumpa sekitar puluhan tahun silam.

“Tamu tak diundang dari mana yang berani datang ke puncak Iyang ini?” menegur Kunti Kendil dengan membentak keras.

Orang yang datang tertawa lebar. Seperti tak acuh atas teguran galak itu dia duduk di atas sebuah batu besar. Lalu keluarkan sebatang rokok kawung, menyalakannya, menyedotnya dalam-dalam. Setelah menghembuskan asap rokoknya dia memandang pada Kunti Kendil dan kembali tertawa. Tentu saja sikap orang ini membuat si nenek jadi seperti cacing kepanasan menahan jengkel.

“Aku menegurmu apa kau tuli tidak mendengar?!” hardik Kunti Kendil.

“Aih, nenek tua kau masih saja bawel seperti masa mudamu. Rupanya kau tidak lagi mengenaliku. Memang di usia setua ini tampangku tambah buruk, aku tidak menyalahkanmu, kita hanya pernah bertemu satu kali, empat puluh tiga tahun lalu!”

“Anak setan! Aku tidak tanya segala usia ataupun mempersoalkan tampang burukmu, aku tanya apa kau tuli hingga tidak menjawab mengapa kau datang tanpa diundang!” 

Si kakek kembali tertawa dan sedot rokoknya. Tubuhnya kurus kerempeng. Pakaiannya rombeng dan mukanya menyeramkan karena hanya dilapisi kulit tipis hingga tidak beda dengan tengkorak!

“Kunti Kendil, tentu saja aku tidak tuli,” menjawab si kakek. “Bicara soal undangan, jika segala kedatangan harus memakai surat undangan, berapa ratus ribu surat undangan yang harus dilayangkan orang di dunia ini? Hik hik hik…!”

Dijawab seperti itu tambah jengkellah Kunti Kendil. Dia masih sulit menebak siapa adanya kakek muka jerangkong ini. Anehnya si kakek mengetahui namanya. Dan melihat rokok kawung yang dihisapnya Kunti Kendil ingat pada rokok yang dihisap Mahesa. Bentuk dan jenisnya sama. Jangan-jangan kakek jelek inilah yang mengajarkan kepada muridnya merokok!

“Aku tak ingat siapa dirimu adanya. Empat puluh tiga tahun bukan waktu sebentar. Lagi pula tak ada perlunya aku mengingat-ingat. Katakan saja lekas apa maksud kedatanganmu kemari!”

Kakek muka jerangkong itu  yang bukan lain adalah Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil cabut rokonya dari sela bibir, lalu menjawab “Aku kemari mencari si buyung!”

“Sompret!” maki Kunti Kendil. “Tak ada orok atau anak kecil yang pantas kau panggil si buyung di tempat ini! Jangan bicara ngaco!”

“Nenek cerewet! Kalau tidak ada masakan aku jauh-jauh datang kemari!”

Kunti Kendil menggendeng. “Kalau begitu lekas katakan siapa yang kau maksudkan dengan si buyung itu!” ujar si nenek pula.

“Sahabatku. Muridmu yang bernama Mahesa itu!”

“Hemmm… dia? Mana aku tahu anak setan itu sahabatmu. Dia tak ada di sini!”

“Mungkin kau tahu dimana aku dapat mencarinya?”

“Mana aku tahu. Lagi pula aku tak perduli dia ada di mana. Cuma apa perlumu mencarinya. Maksud baik atau  maksud jahat?!”

“Kalau aku mencari sahabat tentu dengan maksud baik. Aku perlu beberapa keterangan dari dia.”

“Keterangan apa?” tanya Kunti Kendil ingin tahu.

Kakek itu tertawa. “Tak ada salahnya jika kukatakan padamu,” katanya kemudian. “Pertama aku ingin tahu di mana beradanya Roko Nuwu alias dukun bejat berjuluk Embah Bromo Tunggal….”

“Hemmm… apa perlumu mencari dukun itu?” tanya Kunti Kendil.

“Dia mencuri sesuatu dariku. Sesuatu itu harus kukembalikan kepada pemiliknya.” jawab Pendekar Muka Tengkorak.

“Aku tidak tahu di mana dukun keparat itu berada. Nah, katakan apa keperluanmu yang  lain.” kata Kunti Kendil pula.

“Yang lain itu hanyalah untuk ngobrol-ngobrol saja dengan muridmu itu. Lama tak bertemu tentu banyak bahan obrolan!”

“Muridku tak ada di sini. Tempatku ini bukan tempat untuk mengobrol. Karenanya silakan kau angkat kaki dari sini!” ujar Kunti Kendil.

Si kakek hisap sisa rokoknya dalam-dalam lalu campakkan puntung rokoknya ke tanah. Sesaat dia mengusap dagunya lalu memandang ke jurusan timur lantas berkata, “Aku kenal baik dirimu meskipun hanya sekali bertemu. Biasanya kau cukup ramah bertemu dengan orang-orang seangkatan. Hari ini kulihat kau seperti tidak suka menerima tamu yang tak diundang. Rupanya kau tengah menunggu kedatangan seseorang. Dan orang yang kau tunggu itu sudah datang. Baiklah, aku tak mengganggumu lebih lama.” Kakek muka tengkorak itu berdiri lalu sebelum pergi dia berkata, “Jika muridmu si buyung itu muncul di sini, katakan aku si muka tengkorak mencarinya.” Lalu orang tua kerempeng muka jerangkong inipun berkelebat pergi.

“Aneh, bagaimana dia bisa tahu aku tengah menunggu  seseorang,” pikir Kunti Kendil. Baru saja nenek itu berkata begitu sesosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu sudah tegak dihadapannya.

“Kunti Kendil, aku Lembu Surah datang memenuhi janji!”

“Lembu! Aku gembira kau datang!” seru si nenek. Memperhatikan keadaan lelaki  tua itu si nenek tambah gembira. Betapakah tidak. Mukanya yang walaupun masih tertutup topeng berwarna kuning kini tampak lebih kelimis. Pakaiannya rapi, putih bersih bergambar kelabang hitam. Hanya saja dia masih menyandang kantong kulit berisi cairan darah yang biasanya menebar bau busuk. Tapi kali ini cairan busuk itu tidak tercium lagi.

“Aku sudah memutuskan untuk menuruti kemauanmu Kunti. Kupikir tubuh yang sudah bau busuk ini tak akan lama lagi bisa hidup. Mungkin ada baiknya kalau sisa hidup ini kuhabiskan dalam jalan lurus dan baik. Berbuat kebajikan!” Begitu Lembu Surah yang bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah keluarkan kata-katanya dengan polos.

Sepasang mata Kunti Kendil tampak berkaca-kaca. “Jadi kau terima seluruh syarat-syaratku?” tanya si nenek ingin kepastian.

“Kau lihat sendiri aku tak lagi membekal darah busuk itu. Kantung ini berisi tuak kelas rendah yang tak akan memabukkan sekalipun diminum sampai tujuh gentong!” menyahuti Lembu Surah.

“Bagus. Tapi itu baru satu syarat yang kau penuhi. Perjanjian kita tempo hari ada beberapa syarat,” ujar Kunti Kendil. “Kau ingat?”

Lembu Surah Mengangguk. “Memang di sisa usia yang tak seberapa ini tak pantas lagi rasanya terlibat dalam soal bunuh membunuh yang tak kau sukai itu. Aku bersedia tidak melakukan hal itu lagi. Tapi kau harus mengerti. Musuhku terlalu banyak. Sekalipun aku keluar dari kesesatan mereka mungkin akan tetap terus mencariku. Nah jika musuh datang tak mungkin aku berdiam saja….”

“Jika mereka berani datang aku akan katakan pada mereka bahwa kau sudah meninggalkan cara hidup yang sesat itu. Lantas kalau mereka masih keras kepala, tak mau mengerti dan tetap melampiaskan dendam kesumat juga, maka aku sendiri tak akan segan-segan turun tangan membantumu. Hanya bagiku dua syarat tadi itu hanya syarat-syarat pendamping. Yang penting aku ingin tahu apakah kau bersedia mengawiniku…?!”

“Soal itu memang sudah kupikirkan. Ada satu kenyataan yang harus kau sadari Kunti…”

“Kenyataan apa?”

“Kita sudah sangat tua. Malah tua bangka kata orang. Hampir masuk liang kubur. Kalau kita kawin secara resmi tentu akan diketawai orang-orang persilatan…”

“Perduli setan dengan mereka!” tukas Kunti Kendil.

Datuk Iblis tertawa lalu gelengkan kepalanya. “Selama kita merupakan bagian dari dunia persilatan, selama itu pula kita tak bisa lepas dari mereka.”

“Orang-orang persilatan. Huh!” dengus Kunti Kendil. “Jika kita susah apa mereka mau tahu? Jika kita senang mereka menfitnah. Karena itulah aku sudah mengambil keputusan untuk menghabiskan sisa hidup dengan berdiam di puncak Iyang ini saja. Dan tentunya bersamamu sebagai suami istri. Sekalipun memang kita tak perlu kawin resmi seperti yang kau takutkan itu!”

“Kalau begitu urusan kita rampung sudah,” kata Lembu Surah.

Kunti Kendil tersenyum gembira. “Jadi mulai hari ini kau tinggal di sini, Lembu.”

“Mauku begitu. Hanya mungkin hari ini aku tak bisa lama-lama. Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan. Paling lama satu minggu dimuka sudah ada lagi di sini…”

Mendengar hal itu berubahlah paras si nenek. “Kau hendak mempermainkan aku atau bagaimana, Surah?” tanyanya.

Lembu Surah mendekat dan pegang lengan Kunti Kendil. “Kalau aku sudah berjanji, aku tak akan memungkiri. Kalau memang aku ingin mempermainkan  kau atau bicara dusta perlu apa hari ini aku datang kemari?”

Kunti Kendil terdiam. Dia seperti merenung. Sesaat kemudian nenek ini berkata. “Baiklah, aku percaya padamu. Aku sudah membangun  sebuah pondok kayu di puncak sebelah timur. Tidak bagus. Tapi cukup indah buat kita berdua. Kau perlu istirahat Surah. Paling tidak bermalam satu malam, besok pagi-pagi kau boleh pergi. Atau mungkin aku boleh ikut bersamamu?”

Lembu Surah menggeleng. “Tak usah. Lebih baik jika aku menyelesaikan semua urusanku sendiri. Aku khawatir jika kau muncul lagi masalah-masalah baru….” Kakek ini kembali pegang lengan si nenek dan berkata, “Mana, tunjukkan aku pondok barumu itu.” Sambil berpegangan kedua nenek dan kakek ini melangkah menuju arah timur puncak gunung Iyang.


***

Keesokan paginya Lembu Surah meninggalkan puncak Iyang dilepas oleh Kunti Kendil. Pagi tampak cerah, udara sejuk dingin terasa sedap di jalan pernafasan. Karena merasa tidak perlu buru-buru Lembu Surah berlari santai saja. Karena menjelang tengah hari baru dia sampai di kaki gunung Iyang. Mendongak ke atas dia melihat puncak gunung tertutup awan. 

Terbayang olehnya wajah Kunti Kendil. Wajah tanpa kedok kulit tipis yang cantik jelita. Terbayang juga olehnya semua yang terjadi malam tadi. Kakek ini geleng-gelengkan kepala  sambil tersenyum. Lalu dia teruskan perjalanan kembali. Baru saja dia melangkah beberapa belas langkah tiba-tiba dari balik sebuah batu besar terdengar suara orang berkata,

“Dewiku! Pembunuh yang kita tunggu sudah muncul! Mari kita cegat untuk dimintai nyawanya! Waw waw waw!”

Lembu Surah terkejut. Dia kenal betul suara itu. “Ah ini urusan berabe yang tak bisa dielakkan!” keluh si kakek yang memakai topeng kulit tipis berwarna kuning.

Dua sosok tubuh berkelebat dan menghadang di depannya. Yang satu, seperti diduganya adalah Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam, murid Kunti Kendil yang sejak kemarin menjadi istrinya walaupan dalam satu perkawinan tanpa disaksikan siapapun! Orang kedua adalah sama sekali tidak diduganya. Orang ini adalah gadis cantik berpakaian kuning yang dulu pernah digilainya hingga dikejarnya ke mana-mana.

“Ada hubungan apa pemuda gila ini dengan gadis berbaju kuning itu.” membantin Lembu Surah. “Bagaimana dia mengetahui kalau hari ini aku muncul di sini?!”

“Datuk Iblis! Waw waw! Hari ini akhirnya kau tak bisa lolos lagi dari tanganku! Hutang nyawa dibayar nyawa. Apa kau sudah tahu kalau hari ini adalah hari kematianmu?! Waw... waw!”

Lembu Surah tak segera menjawab. Menghadapi Wirapati kali ini tidak sama dengan menghadapi pemuda itu sebelum dia menyatakan  persetujuan hidup sebagai suami istri dengan Kunti Kendil. Dia tidak takut terhadap pemuda ini, namun jika dia bertindak setengah-tengah berarti bisa mencelakakan dirinya sendiri. Sebaliknya jika dia sampai mencelakai pemuda ini, bagaimana urusannya dengan Kunti Kendil nanti?

“Wirapati,” kata Lembu Surah. “Apapun yang terjadi di waktu lalu kau lupakan. Sundari mati adalah akibat dari keadaan yang tak bisa dihindari. Lagi pula satu hal harus kau ketahu. Sejak kemarin aku telah menjadi suami Kunti Kendil….”

“Waw waw! Siapa itu Kunti Kendil. Aku tak perduli. Dan sekalipun kau suaminya setan kepala tujuh tetap saja kau harus menyerahkan nyawamu kepadaku. Baru arwah dewiku bisa tentram dialam baka!”

“Kak Wira, ingat apa janjimu padaku?” untuk pertama kali Kemala membuka mulutnya.

“Waw waw! Apa janjiku, aku tidak ingat!” jawab Wirapati.

“Kau berjanji untuk tidak lagi melakukan pembunuhan!”

“Waw waw! Janji memang harus ditepati. Tapi lihat dulu  urusannya dewiku. Orang enak saja membunuh manusia yang kukasihi lalu apakah kau hanya berpangku tangan?!” tukas Wirapati.

“Yang sudah biarlah berlalu. Mari kita tinggalkan tempat ini,” kata Kemala seraya tarik lengan Wirapati. Namun sekali ini Wirapati tak mau tunduk pada gadis itu.

“Kemala, aku memang berjanji akan mematuhi semua kata-katamu. Waw waw! Tapi demi arwah Sundari, sekali pun bencana menimpa diriku tetap aku harus membuat perhitungan dengan manusia ini!”
“Kalau kau tak patuh aku akan pergi!” mengancam Kemala.

“Pergilah, Waw waw! Tapi kaupun akan kubunuh sekalian!” kata Wirapati. Sepasang matanya tiba-tiba saja membersitkan warna merah mengerikan. Melihat hal ini Kemala segera maklum bahwa Wirapati tidak main-main.

Datuk Iblis alias Lembu Surah juga maklum kalau perkelahian tak bakal bisa dihindari. Cuma satu hal dilihatnya perubahan pada diri Wirapati. Kalau dulu pemuda ini berambut gondrong awut-awutan, berpakaian dekil dan bau, kini Wirapati berpakaian bagus bersih dan rapi. Rambutnya dicukur pendek dan badannya tidak bau. Tampangnya keren cuma kegilaan yang masih lengket di otaknya.

“Kak Wira,” kata Kemala. Dia masih berusaha membujuk, “Kalau kau memang ingin meneruskan membuat perhitungan terserahlah. Hanya kuminta jangan sampai membunuh orang tua ini. Misalnya hanya mencopot tangan kanannya dan membuat cacat seumur hidup, bukankah itu sudah lebih dari cukup?”

Ucapan sang dewi termakan juga oleh Wirapati. “Waw waw! Baiklah,” katanya. “Demi hormat dan cintaku padamu permintamu akan kupenuhi.” Habis berkata begitu Wirapati berpaling pada Lembu Surah dan berkata, “Datuk Iblis, hanya karena permintaan dewiku kuampuni nyawamu! Waw... waw!”

Paras Datuk Iblis yang kuning tampak berubah. Kedua tangannya mengepal tanda dia tengah menekan hawa amarah yang hendak meledak.

“Anak muda. Kalau tidak memandang jalan pikiranmu yang kurang sehat ditambah pula hubunganmu dengan Kunti Kendil dan hubunganku dengan perempuan itu, maka jangan harap mulutmu yang sombong kurang ajar itu bisa selamat dari hajaranku!” 

Datuk Iblis berpaling pada Kemala. Dalam hatinya terasa getaran nafsu melihat kecantikan dan keelokan potongan tubuh gadis ini. Namun mengingat janjinya pada Kunti Kendil untuk menempuh hidup baik-baik, maka dengan cepat dia menekan gelora darahnya dan berkata, “Anak gadis, aku tahu kau bernama Kemala. Dulu aku pernah bermaksud keji padamu. Tapi sekarang kau tak perlu lagi takut padaku. Hanya kuminta agar kau membawa pemuda ini pergi dari sini. Kalau terjadi perkelahian siapapun yang menang tak bakal ada yang untung!”

Kemala tertawa dingin. “Datuk Iblis!” katanya tandas. “Kalau kuingat kematian ibuku oleh anggota kompolatan penghisap darahmu, kalau kuingat pula niat kejimu mengejar aku tempo hari rasanya aku sendiri ingin memenggal batang lehermu! Tapi mengingat janjiku pada pemuda ini maka aku masih bersedia melupakan semua kejadian itu. Tapi jika kau banyak cingcong, jangan menyesal jika aku sampai merubah putusan!”

Melihat dua orang itu tak mungkin dapat dibujuk atau dirubah jalan pikirannya, maka Datuk Iblispun kini tak mau mengalah terus-terusan. Dia tidak sungkan-sungkan lagi dan berkata, “Kalau begitu minta kalian, hari yang cerah ini akan berubah jadi hari buruk!”

“Tua bangka muka kuning!” bentak Wirapati. “Waw... waw! Kau tunggu apa lagi. Lekas tanggalkan tangan kananmu, atau aku sendiri yang akan menebasnya dengan pedang dewiku?!” Wirapati gerakkan tangan kiri seperti hendak mengambil pedang yang tergantung di pinggang Kemala. 

“Edan!” maki Datuk Iblis. Sayang saat itu dia tidak lagi membawa kelabang hitam perenggut jiwa yang biasanya dimasukkan dalam kantong kulit bersama cairan darah busuk. Namun tuak yang kini ada dalam kantong itu tak kalah hebat berbahayanya jika disemburkan. Cuma memang kalah hebat dibandingkan dengan kelabang-kelabang hitam itu.

Melihat si kakek jelas tak mau mengikuti perintahnya maka berkatalah  Wirapati: “Dewiku, manusia ini rupanya tak mau ikut perintah. Waw waw! Terpaksa aku sendiri yang harus mencopot tangan kanannya. Pinjami aku pedangmu. Waw... waw. Kurasa lebih baik jika memakai tangan kosong saja!”

Habis berkata begitu Wirapati lalu melompat ke depan. Tangan kirinya yang hitam cepat sekali berkelebat ke arah tangan kanan Datuk Iblis. Yang diserang menggembor marah, menyingkir ke kiri lalu menghantam dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala pada bagian pelipis Wirapati. Pemuda ini keluarkan suara waw waw. Sambil merunduk dia gerakkan tangan kanannya mencengkeram ke perut Datuk Iblis. Sekali perut itu kena dicengkeram pasti akan robek dan isinya berburaian keluar!

Tapi sang datuk bukan pendekar kemarin. Puluhan tahun dia sudah meyakini ilmu silat tingkat tinggi yang jarang tandingannya. Semua  serangan yang dilancarkan Wirapati menemui kegagalan. Dengan cerdik kakek ini selalu menghindari bentrokan lengan karena dia maklum bagaimana bahaya dia kena racun yang terkandung pada lengan lawan. Sekali dia kena racun itu celakalah dirinya.

Sadar dengan ilmu silat tangan kosong sulit baginya untuk menghadapi Datuk Iblis maka Wirapati lantas mulai lepaskan pukulan-pukulan saktinya. Sinar hitam berkelebat tak kunjung henti setiap Wirapati lepaskan pukulan sakti. Hanya karena memiliki ilmu meringankan tubuh yang lihay. Datuk Iblis mampu mengelakkan semua serangan itu. Namun kakek ini sadar, cepat atau lambat dirinya akan terdesak juga. 

Maka dia segera  buka penutup kantong kulitnya dan teguk tuak dalam kantong itu. Dengan semburan-semburan tuak yang mengandung tenaga dalam bukan saja dia sanggup menangkis serangan pukulan sakti lawan, malah datuk Iblis sempat membuat pakaian Wirapati berlubang-lubang di beberapa bagian dan kulit pemuda ini terasa nyeri akibat luka-luka kecil semburan tuak itu!

“Waw waw! Keparat setan  alas!” maki Wirapati. Sepasang matanya membersitkan sinar merah. Hawa amarah membuat mukanya yang klimis menjadi gelap. Tubuhnya berputar setengah lingkaran. Tiba-tiba tubuh itu melesat aneh. 

Demikian aneh dan cepatnya hingga Datuk Iblis yang sudah banyak pengalaman dan makan asam garam dunia persilatan tak  menduga, terkesiap kaget. Bagaimana pun cepatnya dia menghindar ke samping untuk cari selamat dari tendangan deras kaki kanan lawan, tetap saja tendangan itu masih sempat menyerempet pinggulnya hingga tubuhnya terpuntir melintir! 

Namun bukan tendangan itu yang berbahaya. Justru adalah serangan susulan yang kemudian dilancarkan Wirapati. Serangan susulan ini adalah jotosan tangan kiri yang mengarah ke bahu kanan!

“Gila!” teriak Datuk Iblis. Kedua kakinya dihentakkan ke tanah. Tubuhnya melesat ke kiri. Namun pukulan wirapati yang mengandung tenaga dalam serta racun jahat datang lebih cepat!

Buk!

Datuk Iblis mengeluh tinggi. Tubuhnya terbanting ke kiri. Pakaian putihnya di bagian bahu robek hangus. Kulit bahunya jelas kelihatan menjadi merah lalu berubah hitam. Sesaat kemudian sekujur tubuhnya mulai terasa panas. Ini tanda bahwa racun jahat yang mematikan mulai menjalar dalam peredaran darahnya. Tak ada jalan lain! 

Orang tua ini gigit bibirnya lalu pukulan  tangan kiri ke tulang bahu. Terdengar suara patahnya tulang bahu itu. Tengkuk Kemala merinding ketika melihat bagaimana kakek muka kuning itu kemudian membetot lepas bahu kanannya.

Darah menyembur. Datuk Iblis cepat totok pangkal ketiaknya beberapa kali. Darah yang mancur langsung berhenti. Dia sendiri kemudian jatuh terduduk di tanah, beringsut mendekati sebatang pohon dan bersandar di sana dengan nafas panjang pendek. 

Sepasang matanya memandang menyorot pada Wirapati. Diam-diam kakek ini kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri. Jika pemuda gila itu kembali menyerangnya maka dia akan berjibaku, melompat dan menghantam dengan tangan kiri. 

Saat itu memang Iblis Gila Tangan Hitam yang sudah dirasuk setan untuk membunuh dan melupakan perjanjiannya pada Kemala tampak melangkah mendekati Lembu Surah. Sang Datuk bersiap. Kedua kakinya ditekankan ke tanah untuk membuat lompatan.

“Kakak Wira!” tiba-tiba Kemala buka suara. “Hukuman telah kau jatuhkan. Saatnya kita tinggalkan tempat ini!”

Wirapati hentikan langkahnya. Dia sadar akan janjinya. Lalu mengangguk. “Waw waw! Baik, bagusnya memang kita tinggalkan tempat ini. Mari!”

Kedua orang itu memutar tubuh dan melangkah pergi. Namun baru saja bergerak dua langkah, dari belakang Datuk Iblis yang tak kuasa  menahan sakit hati dendam kesumat hantamkan tangan kirinya. Sinar hitam menggidikkan menggebubu menyambar ke arah tubuh Iblis Gila Tangan Hitam. 

Pemuda gila  ini begitu mendengar ada suara angin menyambar dari  belakang, cepat mendorong Kemala ke samping. Dia sendiri membuang diri ke samping yang lain. Namun gulungan sinar hitam maut yang dilepaskan Datuk Iblis memiliki ujung yang membuntal besar hingga sekalipun sudah menyingkir sebagian tubuh Wirapati tetap saja akan kena dihantam. Dan itu sudah cukup untuk membuat menemui ajal!

“Oladalah! Aku datang terlambat! Anak setan itu telah melakukan pembalasan!” tiba-tiba terdengar seruan dari balik rerumpunan pohon. Menyusul berkiblatnya satu sinar merah yang luar biasa panas dan menyilaukan!

Terdengar suara dentuman. Bumi laksana di guncang gempa. Wirapati dan Kemala jatuh terguling-guling di tanah. Sinar  hitam pukulan Datuk Iblis dan sinar merah yang saling baku hantam di udara berubah jadi asap lalu lenyap.


***
LIMA

TUDUHAN TAK BERAMPUN
DATUK IBLIS terkapar di bawah pohon. Wajahnya dibalik topeng memucat seputih kain kafan! Dari sela bibirnya mengalir darah. Kakek ini terluka parah di dalam. Keadaannya antara sadar dan pingsan. Kedua matanya tertutup. Ini adalah akibat dalam keadaan terluka tadi dia telah memusatkan seluruh tenaga dalam dan lepaskan pukulan sakti, yang merupakan pantangan!

Wirapati bangkit dengan cepat, diikuti oleh Kemala. Keduanya berpaling ke arah  orang yang barusan datang sambil berseru. Yang datang adalah Mahesa. Juga dia pulalah tadi yang melepaskan Pukulan Api Geledek Menggusur Gunung, yang telah menyelamatkan Wirapati.

“Waw waw! Mahesa, lagi-lagi kau menyelamatkan aku dari kematian. Hutang lama belum kulunasi, hari ini aku membuat hutang baru! Waw waw!”

“Jangan sebut segala macam hutang!” tukas Mahesa.

“Kita berada dalam kesulitan! Kalau kakek itu sampai mampus celaka!” Lalu murid Kunti Kendil yang satu ini mendatangi Datuk Iblis dan berjongkok memeriksa. Hatinya lega sedikit ketika mengetahui kakek muka kuning itu masih hidup walaupun keadaannya sangat parah.

“Mahesa! Apa maksudmu kita berada dalam kesulitan?!” Kemala tiba-tiba ajukan pertanyaan.

Sebelum menjawab Mahesa pandangi wajah gadis itu beberapa ketika. Hatinya berdebar. Dara yang selalu dirinduinya itu kini ada dihadapannya. Tapi dia bersama Wirapati. Dan sekian lama telah berlalu sejak keduanya ke mana-mana bersama-sama. Sejauh manakah hubungan kedua orang ini? Apakah mereka telah menempuh hidup seperti dulu Wriapati menggauli Sundari? Diam-diam hati Mahesa merasa luruh.

“Waw waw! Dewiku bertanya! Mengapa kau tak menjawab waw waw!” Wirapati membentak.

Mahesa sadar dari larut perasaannya. “Kakak wirapati, apa kau lupa? Guru pernah mangatakan bahwa segala urusan kita dengan orang tua ini, beliau yang ambil alih. Kini kau telah kelepasan tangan. Mencelakai membuatnya cacat. Aku tak tahu apakah luka tangan dan luka dalamnya sanggup ditahannya!”

“Waw waw! Itu rupanya yang kau takutkan! Mahesa, apa yang kau takutkan tidak membuat aku kecut! Aku tak pernah punya guru. Aku tak tak pernah punya segala macam janji untuk tidak membalaskan dendam kematian Sundari! Waw!”

“Betul, jika kau takut kenapa muncul di sini?!” Kemala ikut bicara.

“Ah, gadis ini sudah menanam sifat-sifat Wirapati,” kata Mahesa dalam hati dengan perasaan sedih. Ketika dia coba memandang mata Kemala, gadis itu tundukkan wajahnya.
“Dewiku, jika Mahesa ingin menolong kakek keparat waw waw itu biar dia melakukan sendiri. Kita tak ada urusan lagi di tempat ini. Dendam sudah terbalaskan! Mari kita pergi dari sini!”

Sebenarnya saat itu Kemala masih ingin bicara dengan Mahesa. Namun karena tangannya telah ditarik oleh Wirapati, terpaksa dia mengikuti. Namun tanpa setahu Wirapati gadis itu menjatuhkan sehelai sapu tangan putih ke tanah. Sesaat Mahesa tegak termangu. Setelah kedua orang itu lenyap pemuda ini  ambil sapu tangan yang tadi dijatuhkan Kemala. Beberapa lamanya diperhatikannya sapu tangan itu. Dibulak-baliknya. Tak ada tanda apa-apa. Sapu tangan itu putih bersih dan wangi.

“Apa maksudnya menjatuhkan sapu tangan ini…?” pikir Mahesa. Karena tak bisa mencari jawaban, sapu tangan itu dilipatnya lalu dimasukkan ke dalam saku pakaiannya. Ketika Mahesa hendak mendekati tubuh Datuk Iblis  kembali, tiba-tiba terdengar suara pekik menggeledek.

“Surah! Siapa yang telah berani mencelakaimu?!”

Mahesa terkejut bukan main. Bukan saja karena teriakan itu demikian dahsyat seperti hendak meruntuhkan langit di atasnya, tetapi karena dia juga mengenali suara itu. Suara gurunya. Suara Kunti Kendil!

Dan memang, di lain kejap si nenek sudah berkelebat sosok tubuhnya di tempat itu. Langsung dia menubruk tubuh Datuk Iblis. Dari mulutnya terdengar suara aneh. Seperti suara menggerung menangis, tetapi seperti suara srigala haus darah di malam buta!

“Surah! Surah…. Aku sudah bilang kau tak usah pergi! Sekarang inilah akibatnya!” Si nenek memeriksa tubuh kekasih yang baru kemarin menjadi suaminya itu lalu cepat melakukan totokan di beberapa bagian. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan dua macam obat. Pertama berupa bubuk yang segera ditebarkannya pada luka di bahu Lembu Surah yang tanggal. Obat kedua berbentuk butiran-butiran hitam. Dua butir obat ini dimasukkannya ke mulut si kakek. Dengan menekan tenggorokannya.

“Surah…. Surah….” Si nenek tak henti-hentinya menyebut nama lelaki itu. Tiba-tiba dia menjerit setinggi langit. Tubuhnya mencelat ke atas.

Brak!

Pohon besar di hadapannya dihantam hingga patah dan tumbang dengan suara ribut. Brak! Pohon kedua rubuh dimakan tendangannya. Hal itu  dilakukannya seperti orang kemasukan setan dan sambil  berteriak-teriak: “Katakan! Katakan Surah! Siapa yang mencelakaimu!” lalu setelah menghantam sebatang pohon lagi, Kunti Kendil tubruk tubuh Lembu Surah, ciumi wajahnya dan kini nenek itu menangis.

Mahesa perhatikan semua kejadian itu. Dia hanya bisa berdiam diri. Jangankan bicara, bergerakpun dia tak berani. Hatinya hiba melihat keadaan gurunya. Namun ini adalah akibat yag harus sanggup diterima jika hidup dalam dunia persilatan. Dunia persilatan yang buas dan kejam.  Akan menjadi sangat berlawanan jika dikaitkan dengan kasih sayang seperti kasih sayang yang dimiliki Kunti Kendil atas diri Lembu Surah itu!

Kunti Kendil peluk tubuh Lembu Surah, lalu  mengangkatnya dan perlahan-lahan memutar tubuh, siap untuk membawa suaminya itu menuju puncak Iyang untuk dirawat. Saat memutar tubuh itulah pandangannya membentur Mahesa. Seolah-olah baru sadar akan kehadiran pemuda itu di situ sepasang mata si nenek mandang lekat-lekat pada muridnya. Mata itu seperti dikobari api yang mengerikan. Pandangan si nenek seperti menembus jantung Mahesa. Pemuda ini  merasakan dadanya berdebar dan tengkuknya menjadi dingin.

“Anak setan! Kau!” Kunti Kendil membentak. Tubuhnya bergetar. Sosok tubuh Lembu Surah yang dibopongnya perlahan-lahan diturunkannya ke tanah sementara kedua matanya tetap memandang lekat ke arah Mahesa. Dari tenggorokan nenek ini terdengar suara seperti air mendidih.

“Jadi kau yang melakukannya!” sentak Kunti Kendil. “Murid laknat! Manusia tidak tahu terima kasih!”

“Nek,” kata Mahesa cepat. “Jangan salah sangka. Bukan aku yang mencelakai Datuk itu….”

“Bukan kau? Haram jadah! Bukan kau katamu!” Kunti Kendil maju selangkah.

Mahesa mundur dua langkah. “Betul, bukan aku!” ujar Mahesa.

Kunti Kendil menyeringai. “Anak setan! Dosamu berlipat ganda. Berani mencelakai suami gurumu dan kini berani berdusta!”

“Nenek, demi Tuhan aku tidak dusta. Bukan aku yang mencelakai suamimu…!”

“Yang kulihat hanya kau seorang di tempat ini! Atau mungkin ada setan yang melakukannya? Tanda-tanda sekitar sini menyatakan adanya bentrokan dua pukulan sakti. Salah satu pukulan itu jelas bagiku adalah pukulan Api Geledek! Nah, murid sundal, apakah kau masih berani  dusta?!”

“Nek, memang betul aku melepaskan pukulan Api Geledek. Tapi bukan untuk mencelakai sang datuk. Dia sudah celaka sebelum aku datang!” menerangkan Mahesa.

Kunti Kendil meludah ke tanah. “Kalau begitu siapa yang mencelakainya? Dan kenapa kau melepaskan pukulan Api Geledek?! Ayo coba kau jelaskan padaku!”

“Nek, seperti kubilang. Ketika aku datang kakek itu sudah terkapar di tanah dengan tangan kanan buntung. Pukulan Api Geledek kulepaskan untuk menolong muridmu Wirapati yang hendak dibokong dari belakang oleh si kakek!”

“Wirapati?!” wajah Kunti Kendil mengerenyit.

“Benar. Agaknya sebelum aku datang antara mereka terjadi perkelahian yang membuat suamimu cidera!”

“Hebat! Pandai sekali kau mengarang cerita bohong!” tukas Kunti Kendil. “Kau katakan terjadi perkelahian antara Wirapati dengan suamiku. Tapi anehnya kau juga mengatakan menolong murid gendeng itu ketika dibokong! Dua keterangan yang berlawanan. Bagaimana aku bisa percaya ceritamu…?”

“Demi Tuhan aku menceritakan apa adanya….”

Muka Kunti Kendil mengelam. “Mahesa….” kata Kunti Kendil dengan suara bergetar.

“Aku memungutmu dari comberan di liang kubur, bukan untuk memberi pelajaran dusta dan membalas air susu dengan air tuba! Dunia memang aneh. Dan keanehan itu harus kau tebus dengan kematianmu!”

Habis berkata begitu Kunti Kendil angkat tangan kanannya. Tangan itu serta merta berubah menjadi merah dan bergetar. Tanda dialiri tenaga dalam sangat tinggi dan siap melepas pukulan sakti Api Geledek!

Mahesa tegak tak bergerak di tempatnya.

“Murid laknat! Sebelum mampus apa ada permintaanmu yang terakhir! Atau ada yang hendak kau katakan!” sentak si nenek. 

Yang terasa dihati Mahesa saat itu adalah pedih teramat sangat mendengar ucapan gurunya tadi. Matanya tampak berkaca-kaca. Dia menahan tangis sebisanya. Dia tak boleh menangis. Dia tak boleh memperlihatkan kelemahannya!

“Kalau aku harus mati di tanganmu, aku pasrah nek. Hanya memang ada kata-kata yang harus kukeluarkan. Pertama, bukan aku yang mencelakai kakek itu. Kedua, aku sangat berterima kasih bahwa kau telah mengambil aku dari comberan. Mungkin itu ataupun diriku tidak pernah meminta untuk diangkat dari comberan itu. Hanya memang murid kurang patuh, tapi rasa hormatku padamu tetap kujunjung tinggi. Aku memang turunan manusia hina, tidak beribu dan bapak entah di mana. Tapi untuk membalas semua budi kebaikkanmu dengan kejahatan tak pernah terlintas dalam benakku. Untuk membalas susu yang kau berikan padaku dengan racun tak akan pernah aku lakukan!”

Mahesa hentikan kata-katanya sejenak. Betapapun dia berusaha menahan diri, tetap saja butir-butir air mata mengelinding jatuh ke pipinya.

“Nah, nek. Aku sudah habis bicara. Jika kau hendak membunuhku saat ini silakan. Aku sudah pasrah!” kata Mahesa kemudian.

Apa yang diucapkan Mahesa itu membuat dada Kunti Kendil berdenyut. Namun saat itu perasaannya lebih banyak dikuasai oleh amarah melihat keadaan Lembu Surah. Puluhan tahun dia menunggu untuk dapat kawin dengan lelaki yang dikasihinya itu. kini, baru satu hari hidup bersama, dia mendapat kenyataan suaminya ditimpa malapetaka yang begitu mengerikan dan mengenaskan!

“Kau pandai bicara!” sentak Kunti Kendil. “Kupikir-pikir terlalu enak jika kau menemui kematian dengan seketika. Aku akan atur kematianmu  berdikit-dikit agar tahu bagaimana pedihnya hatiku melihat suamiku celaka!” 

Dalam hatinya Mahesa menjawab, “Nenek, kau boleh bicara apapun. Aku sudah pasrah untuk mati…” 

Baru saja dia membatin tiba-tiba di telinganya Mahesa mendengar suara ramai sekali namun sehalus nyamuk mengiang.

“Lari… lari… lari…!”

Mahesa ingin memandang berkeliling untuk melihat siapa orang-orang yang berkata itu. suara yang dilayangkan dengan ilmu memindahkan suara jarak jauh hebat luar biasa. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Dia hanya menatap pada gurunya dengan pandangan sayu. Benar-benar menerima nasib untuk mati. Dulu nenek itu yang menolongnya hingga hidup jadi manusia. Kini kalaupun dia hendak merampas kembali nyawanya, mungkin itu memang sudah menjadi haknya.

Tiba-tiba dilihatnya nenek itu berkelebat lenyap dari hadapannya. Lalu tahu-tahu Mahesa merasakan tubuhnya kaku. Si nenek telah menotoknya hingga dia tak mampu bergerak. Tapi kalau suaranya masih tetap lepas. Mahesa tak tahu mengapa gurunya tidak sekaligus  menotok jalan suaranya.

Begitu tubuh pemuda itu kaku, si nenek cepat memanggulnya di bahu kiri. Kemudian dia mengangkat tubuh Lembu Surah. Kakek ini dipanggulnya di bahu kanan. Seperti terbang dia kemudian lari menuju puncak gunung Iyang.

Dalam hatinya Mahesa berkata, “Dia tak mau membunuhku seketika. Seperti katanya tadi dia ingin membunuhku berdikit-dikit. Agaknya dia mau menyiksaku lebih dulu….” 

Disaat dilarikan seperti itu terbayang oleh Mahesa wajah ayahnya yang bernama  Randu Ampel itu. Lalu terbayang pula wajah Wirapati. Dia tak pernah menyesali kakak seperguruannya itu. Walau karena perbuatan Wirapati terhadap Lembu  Surahlah maka kini dia menerima nasib seperti itu. Terakhir sekali terbayang olehnya gadis itu. Lalu mendadak saja dia teringat pada sapu tangan putih bersih yang dijatuhkan gadis itu. Agaknya sampai dia mati dia tak akan mendapatkan jawaban apa arti sapu tangan yang sengaja dicampakan itu. 


***
ENAM


DI SINI DIMAKAMKAN MAHESA
SAMPAI di puncak Iyang Kunti Kendil mencampakkan tubuh Mahesa ke tanah dekat tumpukan kayu. Lalu dia masuk ke dalam pondok dan membaringkan Lembu Surah di atas sebuah kasur kain. Kasur di atas mana semalam mereka bermesraan melepaskan rindu puluhan tahun. Tapi kini keadaan berubah. Lembu Surah terbaring dalam keadaan luka dan cacat. Cacat yang tak bakal pulih seumur hidup.

“Surah…” berbisik Kunti Kendil ke telinga kakek itu. “Walau kau cacat, cintaku padamu tak akan berkurang. Malah bertambah. Aku akan merawatmu. Biarlah aku dipanjangkan umur agar dapat menjagamu baik-baik!”

Entah oleh ucapan itu, entah memang saat itu dia mulai siuman Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah tampak bukakan kedua matanya. Mulutnya tersenyum.

“Kunti…. Kau ada didekatku….”

“YA, aku ada dekatmu. Akan selalu didekatmu, Surah….”

Si kakek tidak membantah ketika Kunti Kendil membuka topeng kulit tipis yang menutupi wajah dan kepalanya. Kini kelihatanlah wajah yang asli. Wajah yang masih gagah serta rambut pendek kelabu. Kunti Kendil usap paras Lembu Surah dan belai rambutnya.

“Kau akan sembuh Surah. Tak usah khawatir. Aku akan merawatmu sampai sembuh. Saat ini sebaiknya kau harus banyak istirahat. Kau tunggulah sebentar di sini. Aku akan menyelesaikan urusan dengan anak setan itu!”

Menyangka yang dimaksud istrinya dengan anak setan adalah Wirapati maka Lembu Surah tak berkata apa-apa. Kedua matanya dipejamkan kembali. Saat itu sekujur tubuhnya terasa sakit terutama pada bahu kanan yang kini kuntung. Tenggorokannya panas sekali seperti ada bara yang menyumpal di situ. 

Sebelum keluar dari pondok, Kunti Kendil mengambil sesuatu dari sebuah peti kayu. Benda itu ternyata seutas tambang tebal dan panjang. Dengan tambang ini diikatnya kedua kaki Mahesa. Ujung tali yang lain dilemparkannya ke sebuah cabang pohon setinggi delapan meter, digantung kaki di atas kepala di bawah!

“Anak setan! Aku selalu menetapi janji. Kalau kau kubilang harus mati berdikit-dikit maka itu harus terjadi! Itu pembalasan yang sangat pantas untuk murid jahat berhati bengkok! Yang tega dan berani mencelakai suami guru sendiri walau sudah dipesan agar tidak turun tangan!”

Dalam keadaan seperti itu, walau jalan suaranya tidak ditotok namun tak sepotong kata-katapun meluncur keluar dari mulut Mahesa sebagai jawaban. Baginya sudah jelas. Apapun yang akan dikatakannya sang guru tak akan mau tahu. Dan bagaimanapun terasa sakit kedua kakinya, bagaimanapun pemandangannya mulai berkunang dan kepalanya mendenyut, jangankan berteriak kesakitan, merintihpun pemuda ini tidak. Dia ingin menghadapi kematian ini dengan tenang. Hanya memang tak pernah diduganya kalau kematian itu akan datang dari tangan gurunya sendiri!

Sambil berkacak pinggang Kunti Kendil pandangi sosok tubuh Mahesa yang tergantung sungsang itu dengan hati puas. Sesaat kemudian dia masuk kembali ke dalam pondok untuk merawat Lembu Surah. Selama satu hari satu malam tubuh Lembu Surah diselimuti hawa panas luar biasa. 

Kakek ini terbujur dengan nafas satu-satu, kedua matanya terus terpicing dan dari mulutnya yang tiada hentinya mengeluarkan suara rintih campur ingauan itu sekali mengalir keluar darah segar. Kunti Kendil maklum sekali, dalam darah suaminya mengalir racun jahat. Karena itulah selama semalam suntuk dia terus berjaga-jaga, membuat beberapa totokan baru di tubuh lelaki tua itu serta memberikan obat-obat tambahan. 

Sebenarnya jika si nenek mau berpikir lebih panjang dia akan menyadari bahwa bukan Mahesa yang mencelakai suaminya karena pemuda itu tidak memiliki ilmu pukulan yang mengandung racun jahat sejenis yang merendam di tubuh Lembu Surah.

Selama satu hari satu malam Kunti Kendil tak keluar-keluar dari dalam pondok, selama itu pula Mahesa tergantung penuh siksa. Dia merasa kepalanya seperti membesar, berat dan seperti mau meledak. Kedua matanya walau dibukanya namun dia tak dapat melihat apa-apa lagi dengan jelas.

Beberapa kali dicobanya mengerahkan tanaga dalam dengan mengatur jalan darah. Namun dalam keadaan tubuh terbalik begitu serta sangat lemah, tak mungkin hal itu dilakukannya. Salah-salah pengerahan tanaga dalam akan menguras tenaganya sia-sia dan lebih mengacukan jalan darahnya.

Sore hari kedua darah mulai tampak mengucur dari hidung dan telinga Mahesa. Dadanya tak bergerak lagi seperti tak ada nafas yang bisa dihirup dan dihembuskannya. Sampai saat itu Kunti Kendil masih mendekam dalam pondok menemani Lembu Surah. Menjelang tengah malam nenek ini merasa lega sedikit karena panas tubuh suaminya mulai menurun. Setelah memberi minum air gunung yang sejuk pada Lembu Surah nenek ini menyempatkan diri keluar pondok melihat Mahesa. Dia melangkah memutari tubuh yang tergantung tak bergerak itu. 

“Hem…. Jadi kau belum mati!” desisnya seraya menusuk jari telunjuknya ke dada pemuda itu hingga tubuh yang tergantung ini bergerak dan bergoyang-goyang kian kemari beberapa kali. “Sebentar lagi maut akan menjemputmu Mahesa! Kalau kau sudah mati baru aku puas! Walau seumur hidup harus menyesal telah mengambilmu jadi murid!” Setalah berkata begitu si nenek masuk kembali ke dalam pondok. 

Keesokan paginya, ketika nenek itu menjenguk lewat pintu pondok dia jadi tersentak kaget dan melompat keluar. Dari mulutnya keluar seruan tertahan. Kedua matanya melotot memandang ke arah cabang pohon besar di mana tubuh Mahesa sebelumnya tergantung. Kini yang tampak hanya tambang yang telah terpotong. Tubuh Mahesa tak ada lagi di situ!

“Edan! Gila! Ke mana lenyapnya anak setan itu!” kata Kunti Kendil setengah berteriak. Dia memandang berkeliling, menyelidik ke atas pepohonan. Tetap saja Mahesa telah gaib. Kunti Kendil melompat dan tarik putus tambang besar yang masih menjulai cabang pohon. Matanya yang tajam mengawasi ujung tambang itu yang jelas putus.

“Seseorang telah melarikan tubuhnya. Entah mau menolong entah mau diapakan! Keparat!” Kunti Kendil banting-banting kaki. “Aneh,  malam tadi aku tidak tidur, berjaga-jaga terus. Bagaimana aku bisa tidak mengetahui ada orang datang dan melarikan anak setan itu?!” 

Kunti Kendil mengerendeng sendiri tapi otaknya juga coba menduga-duga siapa yang telah melakukan hal itu. 

“Kalau bukan orang berkepandaian luar biasa tak mungkin bisa terjadi. Siapa setan alas yang berani kurang ajar. Jangan-jangan si kakek muka tengkorak yang datang beberapa hari lalu!” 

Tuduhan Kunti Kendil jatuh pada Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil. Mengharap si pencuri sosok tubuh muridnya itu masih belum jauh, Kunti Kendil lalu  lari menyelidik sampai ke pertengahan lamping gunung. Namun sia-sia saja. Dengan kesal campur marah dia kembali ke puncak gunung.

“Lebih baik aku tak usah mengurusi anak setan itu lagi. Siapapun yang menolong dan melarikannya, umurnya tak bakal panjang. Merawat suamiku jauh lebih penting!”

Lenyapnya tubuh Mahesa bagi Kunti Kendil bukan saja merupakan satu keanehan, tetapi juga dianggapnya kekurangajaran dan penghinaan. Lebih dari itu dia juga merasa siapapun adanya  orang yang menolong dan melirikan pemuda itu berarti telah melakukan satu  tantangan terhadapnya.

***

Hari ketujuh sejak lenyapnya Mahesa dari puncak gunung Iyang. Keadaan Lembu Surah sudah jauh baik. Luka di bahunya yang buntung mulai mengering. Sisa-sisa racun jahat di tubuhnya sudah musnah. Kakek tua ini bahkan mulai bisa berjalan. Hal ini membuat Kunti Kendil gembira. Pagi itu setelah membuat secangkir kopi untuk Lembu Surah si nenek berkata,

“Surah, aku gembira melihat kau sudah sembuh begini. Hanya saja kau masih perlu istirahat panjang….”

Si kakek yang kini tidak lagi mengenakan topeng kulit tipisnya tersenyum dan menjawab: “Kalau aku sembuh, semua itu adalah berkat rawatanmu, Kunti. Seandainya hal ini terjadi dan kita belum kawin, entah siapa yang bakal menolongku. Mungkin aku sudah menemui ajal seperti anjing hutan di kaki gunung itu…!

Hati si nenek berbunga-bunga mendengar kata-kata suaminya itu, digenggamnya tangan kiri Lembu Surah dengan kedua telapak tangannya. “Surah,” kata si nenek kemudian. “Jika kau tak keberatan, aku akan turun gunung sebentar. Ingin melihat-lihat keadaan sekitar sini….”

“Apa pula yang ingin kau lhat-lihat Kunti? Bukankah lebih baik tetap di sampingku saja?”

Sampai saat itu Kunti Kendil masih tidak menceritakan apa yang telah terjadi di puncak gunung itu. Lembu Surah sendiri merasa-rasa ingat sesuatu, namun hendak bertanya dia masih merasa ragu. Yakni mengenai ucapan Kunti Kendil ketika mereka baru sampai di pondok bahwa perempuan itu hendak menyelesaikan urusan dengan “anak setan”. Apakah istrinya itu betul-betul telah melakukan sesuatu?

“Aku tidak tidak lama Surah. Perasaanku tak enak. Mungkin terjadi sesuatu di luar sana.” 

“Kalau hatimu keras, pergilah. Tapi lekas kembali…” kata Lambu Surah pula.

Seperti sepasang remaja yang baru dimabuk cinta sebelum pergi kedua kakek nenek itu saling berpelukan dulu. Sejak dua hari belakangan ini seperti ada sesuatu yang mendorong Kunti Kendil untuk turun gunung. Karena itulah dia bersikeras untuk pergi menyelidik, walau tidak tahu pasti apa yang akan diselidikinya. Sampai di kaki gunung sebelah timur suasana dilihatnya tenang-tenang saja.

Angin bertiup sejuk. Sesekali terdengar suara kicau burung. Nenek ini melanjutkan perjalanan, memutar ke arah utara. Dari suatu tempat berbatu-batu yang tinggi tiba-tiba Kunti Kendil melihat kepulan asap. Asap ini mengepul dari sebuah lembah kecil yang ditumbuhi rumput hijau. Di pertengahan lembah mengalir  sebuah sungai kecil berair dangkal.

“Ada asap ada manusia!” pikir Kunti Kendil. Segera dia menuruni bebukitan batu itu dan lari ke arah lembah. Tepat ketika dia mencapai sungai kecil itu, disebuah tikungan si nenek mendadak  hentikan larinya. Beberapa langkah di hadapannya tampak sebuah kuburan. Tanahnya masih merah tanda kubur itu masih baru. Di bagian kepala kuburan menancap sebuah papan nisan. Pada papan ini tertera serangkaian tulisan berbunyi:

Di sini dimakamkan Mahesa
Anak manusia yang malang
Yang tak pernah kenal ibu dan kehilangan ayah.
Yang menemui kematian dengan pasrah, Mati disiksa untuk perbuatan yang tak pernah dilakukannya.

Kedua mata Kunti Kendil terbuka lebar dan tak mampu berkesip untuk beberapa lamanya setelah dia membaca  tulisan itu. kedua kakinya laksana dipantek ke tanah.

“Ternyata anak setan itu sudah mati!” kata si nenek dalam hati. “Tapi siapa yang membawa mayatnya ke sini? Siapa yang mengubur dan membuatkan papan nisan bertuliskan kata-kata sialan seperti ini?! Mati disiksa untuk perbuatan yang tak pernah dilakukannya! Gila!”

Kunti Kendil melangkah mondar-mandir di depan makam. Ingin dia mengobrak-abrik menendangi tanah kuburan. Ingin dia mematah menghancurkan papan nisan di kepala makam. Namun hal itu tak dilakukannya. Dia melangkah terus mundar-mandir sambil mengerendeng. Akhirnya nenek ini putar tubuhnya. Hatinya merasa sangat tidak enak. Ada satu pertanyaan kecil di lubuk hatinya. 

Apa benar bukan Mahesa yang mencelakakan Lembu Surah? Pertanyaan itu demikian kecil dan jauh hingga sampai saat itu si nenek tetap berkeyakinan Mahesalah yang telah mencelakai Lembu Surah. Karenanya dia pantas menemui kematian! Cepat-cepat Kunti Kendil kembali menuju pondoknya di puncak gunung.


***
TUJUH


MAKAM ITU LENYAP
PADA hari kedua puluh kesehatan Lembu Surah boleh dikatakan sudah pulih. Dia sudah bisa berjalan bahkan mulai berlatih silat. Dengan hanya memiliki satu tangan keseimbangan tubuhnya berubah total. Gerakan-gerakan tangan kiri perlu dilatih, kedudukan kuda-kuda kedua kaki harus dipelajari lagi. Beruntung saat itu dia bersama Kunti Kendil sehingga si nenek menjadi kawan latihan yang banyak membantu.

Siang itu selesai berlatih silat, Kunti Kendil duduk di sebelah suaminya dan berkata, “Surah, coba kau ingat kembali kejadian di kaki gunung tempo hari. Bisa kau menceritakan kepadaku apa sebenarnya yang berlangsung di tempat itu?”

“Sebenarnya aku sendiripun ada yang hendak kutanyakan. Tentang urusanmu dengan seseorang yang kau sebut anak setan itu, apakah sudah kau selesaikan?” justru Lembu Surah balik bertanya.

“Sudah,” sahut Kunti Kendil perlahan. “Di hari yang sama kau kubawa kemari, anak setan itu juga kubawa ke sini, kugantung kaki ke atas kepala ke bawah. Hanya aneh, mayatnya yang masih tergantung mendadak hilang sekitar sepuluh hari lalu!”

“Kalau tidak digondol harimau atau anjing hutan pasti ada yang mencurinya!” ujar Lembu Surah.

“Di sini tak pernah ada harimau atau anjing hutan. Seseorang memang telah mengambil dan melarikan mayatnya. Makam anak itu kutemukan di sebuah lembah sebelah utara kaki gunung.”

“Aku harus berterima kasih padamu Kunti. Kau telah membalaskan sakit hati dendam kesumatku walau pemuda itu adalah muridmu sendiri. Ini menjadi bukti bagiku bahwa kau mengasihiku di atas segala-galanya!”

Keduanya berdiam diri sesaat. Kemudian terdengar Lembu Surah bertanya yang membuat Kunti Kendil menjadi heran,

“Apa yang kau lakukan terhadap kawannya, gadis berbaju kuning itu?”

Kunti Kendil berpaling dan menatap wajah suaminya beberapa lama. “Gadis berbaju kuning? Gadis yang mana…? Siapa maksudmu Surah?” tanya si nenek kemudian.

“Setahuku gadis itu bernama Kemala. Dia juga punya dendam kesumat tersembunyi terhadapku karena anggota komplotanku membunuh ibunya. Aku tak tahu jelas apa hubungan muridmu itu dengan Kemala. Tapi bisa kuterka mereka lebih dari kawan biasa….”

Kunti Kendil putar duduknya kini tepat-tepat menghadapi Lembu Surah. “Ketika aku menemuimu luka parah di bawah pohon besar di kaki gunung, yang kulihat hanya anak setan itu sendiri. Tak  ada orang lain. Tak ada gadis atau setan baju kuning di tempat ini. Bagaimana kini kau mengatakan murid setan itu berdua dengan seorang gadis berbaju kuning?”

“Tidak Kunti. Ketika aku dihadang, mereka muncul berdua. Sebelum aku jatuh pingsan mereka kemudian pergi. Aku berusaha membokong muridmu dengan sisa tenaga yang ada. Tapi gagal….”

Kunti Kendil pegang bahu suaminya dan menggoyang tubuh kakek itu beberapa kali. “Surah! Coba kau ingat, sebelum kau jatuh pingsan, sebelum kedua orang itu lenyap, apakah ada sesuatu lainnya yang terjadi?!”

Lembu Surah mengangguk. “Aku melihat sinar merah yang amat panas dan menyilaukan. Sudah itu aku tak ingat apa-apa lagi…!”

“Berarti ada tiga orang di tempat itu!” ujar Kunti Kendil yakin sekali.

“Orang ketiga siapa maksudmu?” 

“Orang lain selain muridku dan gadis berbaju kuning itu. Surah, hal ini perlu dibuat terang. Ketika aku datang aku hanya menemuimu dan dia seorang. Lantas ke mana perginya gadis baju kuning yang katamu bernama Kemala itu…?”

“Mungkin saja dia sudah kabur karena tahu kau muncul di situ,” sahut Lembu Surah.

Si nenek menggeleng. Dia merenung sejenak. “Jika memang bukan Mahesa yang mencelakai suamiku, kenapa dia tidak mau menceritakan hal yang sebenarnya? Kenapa dia hanya mengatakan bukan dia yang melakukan? Apakah ada satu rahasia yang coba disembunyikannya atau memang dia benar-benar berdusta…?”

“Kunti, apa yang ada dalam benakmu?” tiba-tiba Lembu Surah bertanya.

“Aku khawatir telah kesalahan tangan Surah…” jawab si nenek dengan suara bergetar  dan tiba-tiba saja dadanya terasa sesak.

“Kesalahan tangan bagaimana?” Lembu Surah tak mengerti.

“Aku mengatakan padamu anak setan itu sudah kuhukum mati, kugantung kaki  ke atas kepala ke bawah. Namun… kau tahu anak setan mana yang kumaksudkan?”

“Tentu saja yang bernama Wirapati, yang berjuluk Iblis Gila Tangan Hitam. Karena memang dialah yang telah menyerangku hingga aku cacat begini!”

Kunti Kendil terlompat dari duduknya. Wajahnya dibalik topeng tipis menjadi pucat. Dari mulutnya terdengar suara seperti melolong. “Jelas aku kesalahan tangan! Jelas aku kesalahan tangan!” katanya berulang kali dan banting-banting kaki!

Lembu Surah berdiri dan pegang bahu si nenek. “Kunti, tenang. Coba jelaskan. Kau telah kesalahan tangan bagaimana…?”

“Surah... Ketika aku muncul di tempat itu yang kutemui adalah kau dan muridku yang bernama Mahesa….”

“Jadi bukan Wirapati?!” 

“Bukan! Mungkin dia sudah kabur duluan bersama gadis baju kuning itu! Mahesa lah yang kubawa kemari dan kugantung!”

Kunti Kendil terduduk di lantai dan tutup wajahnya dengan kedua tangan. Ada suara sesenggukan keluar dari tenggorokannya. 

“Anak itu… kenapa dia tidak mengatakan kejadian yang sesungguhnya?  Kalau dia mengatakan hal yang benar tak mungkin aku memperlakukannya begitu! Dia benar-benar murid baik. Tak ada manusia seperti dia di dunia ini. Ya Tuhan! Aku  membunuh orang yang tak berdosa!”

“Kunti…. Semuanya masih belum jelas. Mungkin Mahesa tidak mati. Ada yang menyelamatkan dan melarikannya….” Lembu Surah mencoba membujuk.

“Tidak. Waktu aku turun gunung sepuluh hari lalu, kutemui makamnya di lembah sana! Dia benar-benar sudah mati Surah. Dan sudah dikuburkan orang!” kata Kunti Kendil. Nenek ini kemudian memekik lalu tegak berdiri. “Aku akan pergi kemakamnya saat ini juga Surah. Aku tidak malu untuk minta maaf padanya sekalipun sudah terlambat dan dia sudah jadi korban kesalahanku!”

“Aku akan menyertaimu Kunti.”

“Sanggupkah kau berlari?”

“Sanggup asal kau jangan lari terlalu kencang.”

Sepasang kakek nenek itu  kemudian lari menuruni puncak gunung Iyang. Karena ingin cepat-cepat sampai di lembah, Kunti Kendil berlari sekencang yang bisa dilakukan, meninggalkan Lembu Surah jauh di belakang. Ketika akhirnya dia sampai di lembah dekat tikungan sungai pemandangan baru yang mengejutkan menyambut kedatangan Kunti Kendil.

Di situ tak ada lagi makam Mahesa. Tanah merah telah sama rata dengan tanah di sekitarnya. Pada salah satu bagian tanah menancap sebuah papan bertuliskan:

Untuk menjaga hal-hal yang tidak di inginkan, makam Mahesa telah dipindahkan ke tempat lain. 

“Apa-apaan artinya ini?!” ujar Kunti Kendil dengan mulut komat-kamit. “Beberapa hari lalu makam itu masih di sini. Kini sudah dipindahkan!” dia berpaling pada Lembu Surah yang barusan sampai dengan nafas mengengah.

“Jangan-jangan ada orang yang sengaja mempermainkanmu, Kunti…” menyahuti si kakek.

“Tak mungkin. Untuk apa…?” tukas Kunti Kendil pula. Tapi kemudian dia berkata: “Kalau memang ada yang berani mengganggu kubur muridku akan kubunuh mereka…?”

“Aneh, memang aneh…” kata Lembu Surah dalam hati lalu pergi duduk di tepi sungai kecil, merendam kedua kakinya di air yang bening dan sejuk. “Apa yang akan kau lakukan sekarang Kunti? Lebih baik kita kembali ke puncak Iyang.”

“Apakah tubuhmu sudah cukup kuat untuk mengadakan perjalanan jauh Surah?”

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak akan kembali ke puncak Iyang. Aku akan menyelidik apa arti semua ini. Mungkin aku terpaksa melakukan perjalanan jauh. Kalau makam anak itu memang dipindahkan, aku harus tahu di mana makamnya sekarang!”

Dalam keadaan seperti itu tentu saja enggan bagi Lembu Surah untuk mengadakan perjalanan. Apalagi saat itu topeng tipis kuningnya tertinggal pula di pondok. Ketika hal itu dikatakannya pada Kunti Kendil si nenek menjawab,

“Kurasa kau tak perlu lagi menyembunyikan diri di balik segala macam topeng kulit ini!”

“Kau sudah siap Surah?”

Lembu Surah mengangguk. “Aku hanya mengikuti apa maumu saja Kunti,” jawabnya. Keduanya lalu tinggalkan lembah tersebut.

***
DELAPAN


SANG PENGANTIN MINGGAT DIHADANG SI TUDUNG MAUT
KITA tinggalkan dulu Kunti Kendil dan Lembu Surah yang mengadakan perjalanan untuk menyingkap misteri dibalik kematian Mahesa. Kita kembali ke pesta perkawinan Ratu Mesum alias Mawar Merah dengan Pringgo.

Abadseto berusaha menutupi apa yang terjadi ditingkat atas rumah besarnya. Secara diam-diam keempat mayat Gede Ageng Kuntjoro, Sri Pujiati dan Sepasang Ular Biru dibawa dengan kereta dan dibuang di sebuah jurang di luar kota. Namun sebagian para tamu yang berjubal di sekitar pintu dan tangga yang mengerikan itu. kabar yang disampaikan dari mulut ke mulut tidak terbendung lagi dan pesta itu tak urung menjadi geger.

Pengantin perempuan mengunci diri dalam kamar. Namun diam-diam tanpa diketahui siapapun dia menyelinap keluar lewat jendela, masih dengan berpakaian pengantin. Yang ingin dilakukannya saat itu adalah mencari Tombo, lelaki yang bersama Liku pertama sekali mengenali dirinya di pesta perkawinan itu. Tombo juga harus dibunuh kalau tidak cerita tentang dirinya akan berkembang lebih luas.

Menurut dugaan Ratu Mesum, Gede Ageng Kuntjoro dan tiga orang lainnya itu pasti datang ke pesta dengan petunjuk Tombo. Berarti Tombo juga hadir di situ. Ratu Mesum mendekam dibalik rerimbunan pohon di sebuah tikungan jalan yang menuju jalan itu. dan memang dia tak menunggu lama.

Setelah Tombo mengetahui bahwa Sri Pujiati dan ayahnya serta Sepasang Ular Biru menemui ajal di tingkat atas rumah besar, dengan ketakutan lelaki ini segera tinggalkan tempat pesta dan memacu kudanya menuju Sumbersari. Dia akan melaporkan kejadian itu pada kepala desa. 

Namun lelaki ini tak pernah sampai ke desanya kembali. Di tikungan jalan  yang gelap kudanya tiba-tiba meringkik keras dan berhenti. Sesosok tubuh melompat keluar dari kegelapan dan mencekal tali kekang kuda hingga binatang ini tersentak dan berhenti berlari.

Tombo yang hampir terlempar berteriak ketakutan ketika melihat sosok tubuh berpakaian pengantin. Wajah cantik itu menyeringai. Tombo seperti melihat setan. Serta merta dia melompat dari punggung kuda untuk melarikan diri. Namun sebelum hal itu sempat dilakukan lima jari tangan yang halus tapi sangat kukuh mencengkeram batang lehernya. Sepasang mata Tombo membeliak. Lidahnya terjulur.

Krak!

Tulang leher lelaki itu hancur. Tubuhnya kemudian terbanting ke tanah tanpa nyawa lagi! Ratu Mesum cepat kembali ke kamar pengantin tepat pada saat pringgo dan keluarga pengantin lelaki lainnya merasa khawatir kalau telah terjadi apa-apa dengan mempelai perempuan itu. Mereka mengetuk pintu dan Pringgo memanggil-manggil nama istrinya. Tak lama kemudian Ratu Mesum membuka pintu. Pringgo dan yang lain-lainnya merasa lega. Dengan alasan bahwa pengantin perempuan tidak enak badan maka dia tidak duduk kembali di pelaminan.

Tiga hari tinggal di rumah besar itu bersama suami mencintainya, Ratu Mesum memperlihatkan sifat pribadinya yang sebenarnya. Dia mulai  bosan dengan Pringgo dan muak dengan sikap lelaki itu yang terlalu memanjakannya seperti anak kecil. Dalam benaknya sudah mulai pula terpikir untuk mencari lelaki lain walau dia belum punya niat untuk meninggalkan Pringgo selama-lamanya. Bagaimanapun suaminya ini bisa diperalat untuk segala kebutuhannya. 

Kalau dihadapan orang lain Ratu Mesum memanggil “mas” pada suaminya, dalam keadaan berdua-dua dia selalu menyebut nama. Suatu malam perempuan ini berkata, “Pringgo, malam ini untuk satu keperluan aku terpaksa meninggalkanmu….”

Pringgo yang baru saja hendak meneguk minuman, letakkan gelas kembali ke  atas meja dan memandang pada istrinya. Dia tersenyum dan berkata, “Kau tidak main-main atau bergurau Mawar…?”

Sang istri tak menjawab. Pringgo lalu pegang bahu perempuan ini dan cium tengkuknya.

“Kau berkata mau pergi, malam-malam. Aneh terdengarnya. Ada apa sebetulnya?”

“Tak ada apa-apa. Jika saja kau ingat syarat yang pernah kita bicarakan dulu sebelum kita menyetujui perkawinan….”

“Tentu saja aku ingat syarat-syaratmu itu Mawar. Namun kita belum lagi satu minggu jadi suami istri. Kau sudah hendak pergi. Malam-malam pula. Apa kata orang tuaku dan bahkan semua orang nanti….?”

“Soal itu pandai engkaulah mengatakannya, Pringgo.”

“Kalau kau pergi untuk satu urusan, dimalam buta. Tentu urusanmu penting luar biasa. Apakah urusanmu itu Mawar?” tanya Pringgo.

“Kita sudah sepakat bahwa kau tak boleh bertanya.”

Mendengar jawaban istrinya itu Pringgo tersenyum namun hatinya mulai jengkel. “Kau tidak boleh pergi!” katanya tandas. “Kalaupun kau terpaksa pergi, aku harus ikut!”

“Semua itu menyalahi syarat yang telah kau terima!”

“Kalau kau memaksa, akupun memaksa tidak mau perduli dengan syarat itu. kau istriku dan kau harus tunduk dengan semua apa yang aku katakan dan putuskan. Merah kataku merah. Putih harus putih! Tak ada istri di Jawa ini yang boleh tidak patuh pada suaminya!”

“Tiga hari baru aku jadi istrimu sudah demikian buruk  sikapmu…”

“Semua karena kekeras kepalamu!” tukas Pringgo. “Sebagai istri kau harus tahu sampai di mana batas-batas hakmu. Kalau larangan baik suami tidak kau indahkan, bagaimana kau mau jadi istri yang baik!”

“Buruk atau baik keadaan  diriku dimatamu, memang begitulah adanya. Yang nyata segala janji dan syarat telah kau langgar. Tak ada gunanya aku tinggal di rumah ini lagi!”

“Lalu apa maumu?!” tanya Pringgo.

Ratu Mesum tak menjawab. Dari dalam lemari diambilnya pakaian merah yang menjadi ciri-ciri khasnya. Dengan cepat dia mengenakan pakaian  itu, lalu berpaling pada Pringgo dan berkata, “Aku datang dengan hanya membawa pakaian ini. Kini aku pergi juga dengan pakaian yang sama. Tidak sepotong harta atau  perhiasan darimupun akan kubawa. Hubungan kita cukup sampai di sini!”

“Mawar! Kau mau kemana? Kau mau berbuat apa?!” 

Dalam hatinya Ratu Mesum berkata, “Masih untung kau tidak kubunuh!”

“Hai! Mawar!” seru Pringgo  ketika dilihatnya istrinya melangkah ke jendela. Sekali hantam saja jendela itu tinggal enselnya dan terpentang lebar. Ratu Mesum melompat keluar. Pringgo cepat mengejar. Baru saja Ratu Mesum menginjakkan kaki di halaman samping, tiba-tiba terdengar suara orang menegur keras.

“Malam-malam buta pengantin baru mau minggat ke mana?!”

Sesosok tubuh melayang turun dari atas genteng rumah besar. Ternyata orang ini tidak sendirian. Dua orang lainnya itu menyusul berkelebat. Namun dibandingkan dengan yang pertama gerakan kedua orang terakhir lebih lamban dan sepasang kaki mereka mengeluarkan suara keras ketika menyentuh tanah.

Ratu Mesum segera maklum, siapapun adanya ketiga orang ini, yang berbahaya  adalah yang pertama sekali melompat turun. Orang ini berpakaian seperti petani,  dengan kain sarung diselempangkan dibahu. Kepalanya memakai topi bambu yang lebar hingga dalam gelap malam tak jelas wajahnya. 

Dua orang yang tegak dikiri kanannya mengenakan pakaian  prajurit kerajaan dengan tanda-tanda bahwa mereka memiliki pangkat cukup tinggi. Masing-masing membekal pedang besar di pinggangnya. Tak satupun dari ketiga orang itu dikenal Ratu Mesum. Namun perempuan ini seperti maklum, siapapun adanya mereka pasti kemunculan mereka ada sangkut pautnya dengan segala perbuatannya dimasa sebelumnya.

“Kalian bertiga bangsa rampok atau maling kesasar?!” bentak Ratu Mesum.

Orang bertudung keluarkan suara tertawa. “Kami bertiga memang rampok. Tapi bukan mau merampok harta bendamu. Karena kami tahu kau tidak punya apa-apa. Jadi yang akan kami rampok adalah jantung dan nyawamu!”

“Manusia-manusia rendah!” Pringgo maju kemuka dan berteriak marah. “Tinggalkan tempat ini. Jangan berani mengganggu istriku!”

Orang bertudung berpaling pada Pringgo. “Anak orang kaya! Kau masih ingusan! Apa kau tahu siapa istrimu ini sebenarnya?!”

“Manusia keparat! Tutup mulutmu!” teriak Ratu Mesum. Berbarengan dengan itu dia lancarkan serangan ganas. Tapi dengan mudah dapat dikelit oleh lawan. “Aih, jelas dia memiliki kepandaian tinggi!”  kata Ratu Mesum dalam hati ketika melihat serangannya yang bukan senbarangan itu mudah dihindari!

“Pringgo!” seru Ratu Mesum. “Kau masuk ke dalam! Tiga rampok kesasar ini akan aku bereskan!”

Tapi Pringgo tak bergerak di tempatnya.

“Mana dia mau disuruh masuk, dia kan ingin mengetahui rahasia dirimu sebenarnya!” kata orang bertudung lalu tertawa mengekeh.

Sebelum orang itu bicara lebih banyak, Ratu Mesum kembali menyerbu. Serangannya yang kedua langsung  dengan pengerahan tenaga dalam dan jurus berbahaya. Yang diserang tak tinggal diam. Dua kawannya disaat itu sudah pula menghunus pedang masing-masing.

“Manusia-manusia rongsokan!” kertak Ratu Mesum. “Aku tidak begitu suka membunuh orang-orang yang aku tidak tahu nama atau asal usulnya. Sebelum mampus lebih baik kalian bertiga jelaskan  diri masing-masing! Juga apa kepentingan kalian sesumbar ingikan nyawaku!”

“Ah, kalau tak dijelaskan memang mungkin kau sudah lupa. Dosa dan kejahatanmu sudah bertumpuk! Namaku tak perlu kau ketahui. Orang menjuluki si Tudung Maut! Dua kawanku ini adalah perwira muda pengawal seorang Pangeran keranton Banyuwangi. Tiga bulan yang silam kau menculik seorang pemuda keponakan Pangeran itu lalu membunuhnya! Nah apa kau ingat sekarang?!”

“Hanya urusan kecil begitu kalian sampai datang mengantar nyawa di malam buta!” dengus Ratu Mesum dan sekilas dia melirik pada Pringgo. Jelas dilihatnya suaminya itu terkejut mendengar ucapan lelaki yang mengaku berjuluk si Tudung Maut.

“Kecil bagimu besar bagi kami. Urusan nyawa orang tak ada yang kecil!” jawab Tudung Maut. Lalu dia ganti membalas serangan Ratu Mesum. 

Dua perwira muda di sampingnya ikut menyerbu  dari kiri kanan. Namun perempuan berkepandaian tinggi ini tidak takut. Dengan melompat ke atas serangan dua pedang dapat dikelitnya sekaligus.

Kemudian didahului oleh suara tertawa melengking, Ratu Mesum menukik ke bawah. Dua jari tangannya yang diluruskan menusuk ke arah  tudung bambu lebar. Yang diserang cepat menunduk. Dari bawah tiba-tiba dia tanggalkan topi bambunya itu dan pukulkan ke atas! 

Serangkum angin dahsyat melanda Ratu Mesum yang masih mengapung di udara. Pakaian merahnya tersingkap lebar hingga kelihatan betis, paha dan auratnya yang terlarang. Ternyata sang ratu tidak memakai apa-apa di balik pakaian merahnya itu. 

Sesaat dua perwira muda merasa darah mereka jadi panas melihat pemandangan itu sedang si Tudung Maut tampak merah wajahnya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ratu Mesum untuk berjungkir balik. Sambil berputar di udara salah satu kakinya meluncur ke arah dada lawan. Si Tudung Maut yang tidak menduga mendapat serangan kilat dan sulit dielakkan itu hanya bisa pergunakan tudungnya untuk menutup bagian dada yang diincar tendangan.

Brak!

Tudung yang terbuat dari bambu itu jebol ditembus kaki kanan Ratu Mesum. Si Tudung Maut terjajar ke belakang tapi dadanya selamat dari kaki lawan. Sebelum Ratu Mesum tarik pulang kakinya, Tudung Maut putar tudung bambunya keras-keras. Ratu Mesum menjerit kesakitan. Ujung-ujung bambu menggurat pergelangan kakinya hingga berdarah.

Mendengar jeritan istrinya dan melihat darah keluar dari pergelangan kaki Mawar Merah, Pringgo menyerbu kalap dan ayunkan tinju ke kepala si Tudung Maut. Tapi dari samping salah seorang perwira mengetuk kepalanya dengan gagang pedang hingga pemuda yang tak punya kepandaian silat apa-apa ini melosoh pingsan ke tanah!

Si Tudung Maut tertawa mengekeh. Dia sudah mendengar lama kehebatan perempuan mesum ini. Namun kalau kini dia mampu menciderainya berarti lawan tidak sehebat apa yang didengarnya. Hal ini membuat lelaki itu menjadi memandang enteng dan lancarkan serangan bertubi-tubi tanpa begitu memperhatikan pertahanan dirinya lagi.

Setiap kelemahan serangan lawan sempat diawasi mata tajam Ratu Mesum. Disatu ketika kembali perempuan ini melompat ke udara. Tubuhnya berputar kencang.

“Awas! Dia hendak tebarkan racun jahat!” seru si Tudung Maut. “Lekas tutup jalan nafas!”

Namun dia tertipu. Ratu Mesum sama sekali belum ingin mengeluarkan senjata andalannya yakni hawa harum yang  mengandung racun pelumpuh. Kedua kakinya melejang-lejang dalam gerakan berubah-ubah. Si Tudung Maut kembali sapukan tudungnya ke atas. Namun lawan tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu di sebelah kiri terdengar pekik salah seorang perwira muda. 

Tubuhnya terkapar di tanah dengan kepala pecah! Perwira yang satu lagi berteriak marah. Putar pedangnya ke atas, berusaha membabat kaki Ratu Mesum. Seranganya luput. Justru dia terpaksa harus menyusul kawannya, menerima nasib yang sama. Tendangan Ratu Mesum menghantam tepat batang tenggorokannya. Perwira ini keluarkan suara seperti sapi disembelih lalu tergelimpang mati! Kini tinggal si Tudung Maut seorang diri.

Ratu Mesum tegak berkacak pinggang. “Apa kau sudah siap untuk mati?” tanyanya pada si Tudung Maut.

“Sombong amat! Apa kau tidak tahu kalau orang sombong lebih cepat mampus?!”

Perempuan itu tertawa panjang. Si Tudung Maut kenakan kembali topi bambunya yang bolong lalu loloskan kain sarung yang diselempangkannya di bahu.

“Aih bagus! Kau membawa kain sarung segala. Itu nanti bisa dipergunakan sebagai kain kafan pembungkus mayatmu!”

Lelaki itu tidak layani ejekan lawannya. Entah kapan dia menggerakan tangan tiba-tiba kain sarung itu melesat dan menebar seperti jaring, siap membuntal tubuh Ratu Mesum. Kaget perempuan ini tidak kepalang. Tidak disangkanya kain sarung yang barusan diejeknya itu bisa berubah menjadi perangkap berbahaya. Cepat dia melompat ke belakang sambil lepaskan satu pukulan dengan tangan kiri dan tangan kanan mencengkeram untuk merobek senjata lawan.

Si Tudung Maut tidak bodoh. Dia bukan pendekar kemarin yang bisa dipercundangi dengan mudah. Namun merasakan angin pukulan yang  keluar dari tangan kiri lawan membuatnya lebih berhati-hati. Ujung kain sarung menyambar berputar mengelakkan cengkeraman tangan kanan lawan lalu dilain kejap kain ini menghantam ke muka Ratu Mesum.

“Kain butut busuk begini hendak diandalkan!” ejek Ratu Mesum. Tubuhnya menerobos  diantara lingkaran kain sarung. Satu hal yang tidak  diduga lawan dan tahu-tahu kedua tangannya sudah melesat kearah leher Tudung Maut.

Terpaksa si Tudung Maut tarik kencang-kencang kain sarungnya. Tubuh Ratu Mesum tergelung ke depan, keduanya lalu jatuh saling himpit. Lelaki itu bangkit lebih dulu, lepaskan topi bambunya lalu dilemparkan ke arah kepala lawan. Tapi bambu itu berputar laksana titiran. Pinggirannya seperti sebuah gerinda tajam. Terpaksa Ratu Mesum gulingkan diri. Tapi bambu menancap di dinding rumah yang terbuat dari kayu jati keras. Dapat dibayangkan kalau topi itu  sempat menyambar kepala sang ratu!

Ratu Mesum memaki panjang pendek. Selagi dia mencoba bangun, lawan sudah kembali menyerbu dengan serangan-serangan ganas. Melihat lawan mundur terus dan merasa dia bisa mendesak, si Tudung Maut pergencar serangannya. Namun semua itu adalah taktik Ratu Mesum untuk menguras tenaga lawan sambil mengintai kelemahan. 

Ketika satu serangan berantai si Tudung Maut hanya mengenai tempat kosong dan tubuhnya terdorong ke kiri, secepat kilat Ratu Mesum menghantam dengan pukulan tangan kosong yang mengeluarkan sinar merah muda. 

Dalam keadaan kedua kaki sudah terlanjur ke depan, tak mungkin bagi si Tudung Maut untuk membuat gerakan mengelak selain langsung jatuhkan diri ke tanah. Justru lawan sudah perhitungkan hal ini dan susul dengan pukulan kedua yang tepat menghantam bahu kiri, sisi dan sebagian dadanya! Si Tudung Maut menjerit keras. Tubuhnya terlempar beberapa langkah. Sebagian badannya kelihatan seperti terbakar. Sebelah matanya menjadi buta. 

Ratu Mesum tertawa panjang. Si Tudung Maut sadar nyawanya tak bakal lama. Dari balik pakaiannya tiba-tiba dia keluarkan sebuah tudung kecil yang juga terbuat dari bambu. Benda ini dilemparkannya ke arah Ratu Mesum. Sang ratu terkesiap kaget, cepat menyingkir. Namun tak urung pinggiran topi sempat menyerempet bahu kirinya. Pakaian merah robek, daging bahunya tersayat dalam dan darah mengucur!

“Setan alas!” rutuk Ratu Mesum. Tubuhnya melesat ke depan. Si Tudung Maut yang tengah meregang nyawa ditendangnya beberapa kali hingga tubuh orang ini remuk terguling-guling. Ratu Mesum robek pinggiran pakaian merahnya. Dengan robekan kain ini dia ikat luka dibahunya. Baru saja dia hendak berkelebat pergi tiba-tiba terdengar suara Pringgo.

“Mawar! Jangan pergi…”

Ratu Mesum berpaling. Dilihatnya Pringgo berdiri sambil pegangi bagian belakang kepalanya yang luka dan benyut, lalu melangkah mendekatinya. “Lelaki keparat!” sentak Ratu Mesum. “Kalau bukan karena kau tak akan bahuku cacat begini rupa!”

“Mawar, aku ikut bersamamu! Jangan pergi sendiri!” kata Pringgo seraya hendak memeluk perempuan itu.

“Kau pergilah lebih dulu kalau memang mau ikut!” Ratu Mesum jotos kuat-kuat dada lelaki itu. darah menyembur dari mulut Pringgo. Tubuhnya terlempar dan roboh tak berkutik lagi.

***
SEMBILAN


PERTEMPURAN DI PANTAI SELATAN
HAMPIR sebulan Kunti Kendil dan Lembu Surah malang melintang di rimba persilatan. Namun keduanya tidak dapat mencari tahu di mana dan ke mana makam Mahesa dipindahkan. Lain dari itu mereka juga tidak berhasil mencari Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam. Tempat kediamannya di Bukit Karang Putih juga sepi. Yang kelihatan hanya  bekas reruntuhan bangunan bambu.

“Aneh, semuanya serba gaib! Seperti ditelan bumi!” kata Kunti Kendil ketika satu malam dia bersama Lembu Surah berhenti di luar sebuah desa.

Lembu Surah tak menjawab. Dia asyik melatih diri, memainkan jurus-jurus silat untuk membiasakan diri dengan keadaan hanya memiliki satu tangan. Kunti Kendil melihat banyak kemajuan pada diri suaminya itu, paling tidak dalam waktu beberapa minggu dimuka dia mampu kembali pada keadaan seperti ketika dia masih memiliki dua tangan utuh.

“Kemana lagi kita akan menyelidiki?” ujar Kunti Kendil lalu menghela nafas dalam.

“Jika aku memberi nasihat, apakah kau mau mendengar?” Lembu Surah hentikan latihannya dan ajukan pertanyaan itu.

“Tergantung nasihat apa dulu.”

“Apa perlu kita mencari Wirapati…?”

Kunti Kendil mendelik. “Gila! Pertanyaan gila!” katanya hampir berteriak. “Jelas-jelas dia mencelakaimu. Membuatmu menjadi cacat seumur hidup. Kini kau bertanya apa perlunya mancari anak setan itu! Apa kau tidak akan menuntut balas?”

Lembu Surah termangu sesaat. Lalu katanya pula, “Kunti, jika kuingat-ingat, dosaku tak dapat ditakar lagi. Mungkin apa yang kualami saat ini sudah menjadi hukuman yang setimpal bagiku. Malah seharusnya aku layak mati. Masih untung tidak membunuhku…”

“Masih untung! Kau bisa berkata begitu karena kau masih hidup….”

“Lebih baik kita melupakan muridmu itu. kita kembali ke gunung Iyang. Tinggal di sana berdua-dua dengan tentram….”

“Surah! Jangan kau lupa. Persoalanmu bukan cuma bersangkutan pada Wirapati.  Tapi juga berkaitan dengan muridku yang satu lagi! Yang mati ditanganku gara-gara anak setan bernama Wirapati  itu. Seumur-umur aku akan merasa berdosa karena telah kesalahan tangan. Satu-satunya jalan untuk menebus adalah menemukan Wirapati dan membunuhnya. Mencincang sampai lumat!”

“Dengan berbuat begitu apakah Mahesa bisa hidup kembali?” tanya Lembu Surah.

“Tentu saja tidak. Tapi hatiku puas! Tak ada hutang piutang yang mengganjal!” sahut Kunti Kendil.

“Kau hanya menurut suara hatimu Kunti. Dan suara hatimu itu dipengaruhi oleh setan!”

Dari ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Lembu Surah jelas kakek berwajah muda ini telah berbeda dari masa ketika dia masih malang melintang dalam dunia persilatan dengan menyandang  gelar Datuk Iblis Penghisap Darah. Agaknya dia kini benar-benar tobat dan ingin menghabiskan sisa hidupnya dalam jalan yang baik.

“Terserah kau mau bilang apa Surah. Dipengaruhi setan. Dipengaruhi iblis! Pokoknya aku tak akan mundur. Aku tetap akan mencari Wirapati. Juga ingin tahu siapa yang mencuri mayat Mahesa. Siapa yang menguburkannya di lembah, lalu kemana mayatnya dipindahkan! Kalau kau merasa keberatan mengikuti perjalanan, kau boleh kembali ke gunung Iyang. Aku baru kembali ke sana jika semua tujuanku tadi berhasil kulaksanakan!”

“Seperti kataku tadi, aku hanya ingin memberi nasihat.  Mau dituruti atau tidak terserah padamu…”

Kunti Kendil seperti tidak mendengarkan ucapan suaminya itu. dia tengah berpikir-pikir.

“Apa yang ada dibenakmu kini Kunti?”

“Pada hari keseratus hari perjanjian kita, sebelum kau datang, pagi harinya muncul seseorang ke tempat kediamanku. Pendekar Muka Tengkorak!”

“Eh, apa urusannya datang ke tempatmu?” tanya Lembu Surah.

“Katanya mencari Mahesa. Aku menaruh curiga, jangan-jangan dia yang mencuri mayat Mahesa. Lalu ketika diketahuinya aku telah menemui makam pemuda itu, cepat-cepat jenazah Mahesa dipindahkannya…”

“Kalau betul dia yang mencuri dan menguburkan, lalu memindahkan mayat muridmu itu, apa perlunya dia membuat papan pengumunan segala!”

“Hai, betul juga katamu itu. apa perlunya. Mungkin untuk membuatku jadi jengkel dan marah. Aku tahu kakek itu suka pada anak setan itu…”

“Apa sebenarnya hubungan muridmu dengan si muka tengkorak itu?”

“Mahesa pernah menyelamatkannya ketika disekap orang dibawah patung batu.  Dia merasa berhutang budi dan nyawa. Anak setan itu dihadiahinya sepersekian dari tenaga dalamnya…” menerangkan Kunti Kendil.

“Pantas, ketika aku pernah menghadapinya kudapati tenaga dalamnya tidak berada dibawahku! Ujar Lembu Surah. “Bagaimana kalau kita cari dan temui dia? Aku yakin banyak keterangan yang bisa dikorek darinya.”

“Mencarinya sama saja sesulit mencari jarum dalam tepung!” sahut Kunti Kendil. Dia lebih suka meneruskan mencari Wirapati.

“Aku tahu di mana monyet tua itu suka muncul. Kalau nasib kita baik kita bakal menemuinya di tempat itu….”

“Di mana?”

“Di pantai selatan. Di perkebunan nipah. Tempat orang membuat rokok kawung….”

Kunti Kendil menimbang-nimbang. Tawa lebar muncul di wajahnya.

“Eh, kenapa kau tertawa. Ada yang lucu?”

Si nenek menggeleng. “Tak ada yang lucu. Apa kau tak ingat kita bisa melakukan sesuatu di selatan?”

“Sesuatu apa?”

“Ingat gunung Wilis?”

“Maksudmu madu lebah putih itu?”

“Apa lagi?!”

“Ah, rupanya kau masih ingin terus muda!” seru Lembu Surah.

“Kau tak suka kalau wajahku tetap cantik dan tubuhku tetap kencang…?”

Lembu Surah tertawa gelak-gelak. “Tentu saja aku menginginkan hal itu Kunti. Dan paling tidak kau pun tetap ingin agar aku ini kuat dan tetap muda!”

Setelah puas tertawa, Lembu Surah bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang kabar dan undangan yang disebar dari mulut ke  mulut. Mengenai pendirian Partai Merapi Perkasa itu….”

“Ada baiknya kita datang ke puncak gunung itu. Pertama, aku ingin tahu siapa orangnya yang punya rencana dan belum apa-apa sudah mengangkat diri jadi Ketua Partai. Kedua, pasti di sana akan berkumpul banyak para jago dan tokoh-tokoh silat. Bukan mustahil Wirapati juga muncul di situ. Hanya sayang saat peresmian berdirinya partai itu masih dua bulan di muka…”

“Karena itulah coba menyirap kabar dan keterangan dari Pendekar Muka Tengkorak lebih dahulu.”

“Aku setuju. Besok pagi-pagi kita berangkat ke selatan,” Kata Kunti Kendil pula.

“Tapi ada satu hal menjadi ganjalan,” kata Lembu Surah. “Topeng kulitku semua tertinggal di pondokmu. Kalau kita muncul berdua-dua seperti ini, rahasia kita akan terbuka!”

“Tak perlu dikhawatirkan hal itu. Biar aku sendiri yang menemui si muka tengkorak  itu. kau tunjukkan saja  tempatnya.”

“Baiklah, tapi hati-hati bicara, Aku masih belum pulih sepenuhnya…” mengingatkan Lembu Surah.

“Siapa takutkan monyet rongsokan itu!” sahut Kunti Kendil.


***

Laut pantai selatan dimusim angin barat seperti saat itu berombak besar. Para nelayan jarang yang berani turun kelaut. Kebanyakan dari mereka bekerja mencari upah pada pemilik pohon-pohon nipah yang biasanya dijadikan daun kawung.

Pagi itu udara cerah sekali. Orang-orang lelaki bekerja memotongi pelepah-pelepah nipah. Orang-orang perempuan dan anak-anak menjunjunginya membawa ke rumah-rumah di sepanjang pantai untuk disiangi. Setelah dikupas dan di siangi, daun-daun nipah itu dijemur sampai kering. Daun yang telah kering inilah kemudian diserahkan pada pemilik pohon nipah, dihitung jumlahnya untuk menentukan upah.

Lembu Surah berdiri dibalik pohon kelapa dan menunjuk ke arah sebuah rumah. “Kau lihat rumah paling besar beratap rumbia, yang ada sumur di perkarangannya itu…?”

Kunti Kendil mengangguk.

“Itu adalah rumah pemilik pohon nipah terbanyak di daerah ini. Pergilah ke sana, tanyakan apakah kakek pengemis kurus ada di situ. Kalau kau tanyakan Pendekar Muka Tengkorak, tak seorangpun tahu. Manusia itu sering muncul di sana untuk meminta rokok kawung berikut tembakau. Dia tak pernah membeli. Entah mengapa orang selalu memberinya, berapapun yang bisa dibawanya. Nah, kau pergilah. Hati-hati, jangan mencari silang sengketa. Kita mencari keterangan, bukan mencari perkara!”

Kunti Kendil kembali mengangguk. Dengan muka yang ditutupi kulit tipis tua keriput, tongkat kayu kering di tangan  kanan dan langkah terbungkuk-bungkuk serta pincang, nenek itu berjalan terseok-seok menuju rumah yang dikatakan Lembu Surah.

Di perkarangan, di depan tangga rumah seorang perempuan separu baya asyik memotongi daun kawung. Melihat si nenek muncul mukanya langsung asam.

“Pengemis lagi! Pengemis lagi! Yang satu masih belum pergi. Sudah datang yang baru!” Perempuan itu mengeluarkan suara mengomel tapi tanpa memandang pada Kunti Kendil.

Tiba-tiba ujung sebuah tongkat menusuk pelahan sambungan siku kanannya. Mendadak sontak detik itu juga tangannya itu terkulai jatuh ke tanah. Bagaimanapun dia berusaha mengumpulkan tenaga untuk mengangkat atau menggerakkan tangan kanannya itu tetap saja dia tak mampu. Pisau yang tadi dipegangnya jatuh.

Kunti Kendil tusuk kembali sambungan siku perempuan itu, detik itu pula tangan kanannya yang tadi berat lumpuh kini kembali seperti semula seolah-olah tak terjadi apa-apa!

“Aku mencari sahabatku si pengemis kurus. Apa dia ada di sini?” Kunti Kendil bertanya sambil goyang-goyangkan tongkat kayunya.

Ketakutan setangah mati perempuan yang ditanya segera berdiri dan hendak lari ke dalam rumah. Tapi cepat sekali bahunya sudah terpegang oleh si nenek.

“Tak usah takut dan jangan berteriak. Aku hanya perlu jawabanmu. Pengemis kurus sahabatku itu ada di sini atau tidak?”

Perempuan separuh baya itu tak bisa membuka mulut. Tapi dia menunjuk ke arah atas pohon ketapang besar yang tumbuh di ujung kiri pekarangan. Kunti Kendil memandang mengikuti arah yang ditunjuk. 

Di atas pohon, pada sebatang cabang besar kelihatan berbaring sesosok tubuh kurus berpakaian compang-camping. Disela bibirnya terselip sebatang rokok kawung besar. Orang ini menghisap rokok itu tanpa mencopot dari bibirnya. Asap rokok mengepul tiada henti. Kedua matanya terpejam. Tampaknya dia asyik sekali menikmati rokok kawungnya.

Kunti Kendil lepaskan pegangannya pada bahu perempuan tadi. Begitu bahunya terlepas, perempuan ini lari pontang-panting ke dalam rumah.

“Pengemis kurus! Turunlah  sebentar. Ada yang hendak kutanyakan!” Kunti Kendil berseru.

Asap rokok mengepul kencang. Sepasang mata masih terpejam. Tubuh kurus itu tidak bergerak. Hanya pakaian robengnya melambai-lambai ditiup angin laut.

“Pengemis kurus! Aku tahu kau tidak tidur dan tidak tuli. Aku tahu kau mendengar kata-kataku. Turunlah!”

Dari atas pohon terdengar suara, “Siapa menyuruh siapa?!”

“Aku Kunti Kendil!” sahut si nenek.

Tubuh di atas pohon itu mendadak miring ke kiri dan jatuh ke bawah, melintang seperti tonggak. Tapi begitu sampai di bawah kedua kakinya tetap saja menjejak tanah lebih dulu. Ketika berdiri rokok kawung masih terselip dan kedua matanya masih terpejam. Kakek ini ternyata memang Pendekar Muka Tengkorak Suro Inggil.

“Setan satu ini banyak tingkahnya!” maki Kunti Kendil dalam hati.

Perlahan-lahan sepasang mata itu kemudian tampak terbuka. Lalu muka yang hanya tinggal kulit pembalut tulang tengkorak itu tampak menyeringai. “Empat puluh tiga tahun tak pernah bertemu. Bertemu beberapa waktu lalu di puncak yang acuh tak acuh. Kini tahu-tahu muncul. Berkata hendak menanyakan sesuatu. Sesuatu itu tentunya yang amat sangat terlalu penting. Begitu bukan…?”

Kembali si kakek menyeringai, membuat si nenek jengkel. Kalau tidak ada keperluan sudah dibentaknya tua bangka kerempeng itu.

“Ada sesuatu yang harus kau terangkan…”

“Heh, sudah datang tak diundang, sekarang bilang harus! Harus!”

Kunti Kendil ingat peristiwa lebih dua bulan lalu ketika si kakek datang ke puncak Iyang dan dia menyambut dengan  rasa tidak senang. Rupanya kali ini Pendekar Muka Tengkorak sengaja hendak membalas. Tanpa perdulikan ejekan orang Kunti Kendil kembali membuka mulut.

“Dua bulan lalu kau datang ke tempatku mencari si buyung. Apakah kau telah menemukan muridku itu…?”

“Seharusnya aku yang menanyakan apakah kau telah mengetahui di mana si buyung itu sekarang…?”

“Jangan pura-pura tidak tahu!” bentak Kunti Kendil. 

Dibentak begitu rupa si kakek tampak tenang. Dia julurkan lidahnya lalu matikan api rokok kawungnya yang telah jadi pendek dengan menekankan bagian yang berapi ke atas lidahnya. Ces! Api rokok mati tapi lidah si kakek tidak apa-apa.

“Tua bangka, jangan pamerkan kepandaian di depanku!” Kunti Kendil malah jadi jengkel. “Kepandaianmu bagus untuk diperlihatkan di depan anak-anak. Kau kelihatan berbakat jadi tukang sulap. Tapi tidak ada harganya diperlihatkan padaku!”

“Bicara soal tukang sulap, sebetulnya kaulah yang lebih cocok disebut tukang sulap Kunti!” tukas Pendekar Muka Tengkorak. “Dulu kau tidak tahu menahu tentang muridmu itu, kini kau datang jauh-jauh hanya untuk menanyakan di mana anak itu. bahkan mendampratku sebagai berpura-pura. Apa yang harus aku pura-purakan pada perempuan tua sejelekmu ini!”

“Sekali lagi kau berani menghinaku, kurobek mulutmu!” mengancam Kunti Kendil.

Si kakek tertawa mengekeh. Lalu hidupkan sebatang rokok kawung kembali. Setelah menyedot rokoknya dalam-dalam kakek ini lantas bertanya, “Sebenarnya apa sih urusanmu datang jauh-jauh kemari?!”

“Aku minta keterangan tentang mayat muridku!” sahut Kunti Kendil.

Mulut ompong Pendekar Muka Tengkorak ternganga. “Muridmu yang mana yang mati?!”

“Anak setan yang kau sebut dengan panggilan si buyung itu!” 

Tubuh Pendekar Muka Tengkorak mencelat ke udara. Rokok di sela bibirnya lepas dan jatuh. Wajahnya mendadak pucat. Begitu turun ke tanah dia pegang bahu Kunti Kendil dan goyangkan berulang-ulang. “Mahesa! Si buyung itu meninggal? Mati?!” teriak si kakek. “Kau bicara benar atau ngaco! Jangan kau berani mempermainkan aku soal nyawa anak itu. Dia sahabat kepada siapa aku berutang nyawa berulang kali!”

Si nenek tepiskan kedua tangan Pendekar Muka Tengkorak dengan memukulnya dengan keras-keras. Dalam keadaan lain mungkin  kakek ini akan mengeluh kesakitan. Namun saat itu rasa terkejut membuat dia seperti tidak merasakan apa-apa.

“Kentut busuk! Beberapa hari sebelum dia meninggal kau muncul di puncak Iyang.  Kemudian jenazahnya lenyap! Tentu ada orang yang mengambil dan melarikannya! Kemudian kutemukan kuburannya di lembah di kaki gunung. Beberapa hari kemudian ketika aku datang lagi ke situ kuburan itu lenyap. Dipindahkan ke tempat lain…”

“Nenek jelek!” ujar Kakek Muka Tengkorak yang menjadi panas karena dimaki kentut busuk tadi. “Jadi kau datang kemari untuk memberi tahu meninggalnya si buyung, aku berterima kasih! Tapi jika kedatanganmu mengandung maksud yang bukan-bukan jangan salahkan kalau aku terpaksa melepas tangan kasar!”

“Oooo… jadi kau mau menantangku?!” si nenek berkacak pinggang. “Dalam sejarah hidupku tak pernah ada orang yang berani menantang berumur lebih lama dari sepeminuman teh!”

Kakek itu menyeringai. Tapi kedua matanya tampak berkaca-kaca. “Berkelahi hidup mati denganmu siapa yang takut. Hanya aku perlu tahu mengapa si buyung itu sampai pendek umurnya. Apakah dia sakit atau dibunuh orang?! Kalau sakit katakan apa sakitnya! Kalau dibunuh katakan siapa pembunuhnya, biar kucari sampai ke liang neraka sekalipun!”

Tentu saja Kunti Kendil tak bisa menjawab pertanyaan  itu. bukan saja akan menyingkap tabir kematian Mahesa, tetapi juga karena dia sendiri memang tak akan mau mengatakan.

“Nenek jelek! Orang bertanya apakah kau tidak mendengar?!” sentak Pendekar  Muka Tengkorak. Dia coba membaca apa yang berada dibalik air muka si nenek, tanpa mengetahui kalau Kunti Kendil mengenakan topeng kulit tipis.

“Jadi kau tidak mencuri mayatnya dari tempatku?”

“Sialan! Tentu saja tidak!” jawab si kakek jengkel. “Sejak kau mengusirku dari puncak Iyang, aku bersumpah tidak akan menjejakkan kaki lagi di tempat itu!”

“Juga bukan kau yang menguburkannya lalu memindahkan mayatnya ke tempat lain?!” bertanya lega Kunti Kendil.

“Tua bangka bawel! Semua jawabanku untukmu adalah tidak! Kau dengar?! Sekarang katakan apa yang terjadi dengan si buyung. Jika kau berani berdusta kupecahkan kepalamu! Tak perduli siapapun kawanmu yang mengantar kemari dan bersembunyi di sana!” Si kakek menunjuk ke arah deretan pohon-pohon nipah dibalik mana Datuk Iblis alias Lembu Surah bersembunyi menunggu.

Kunti Kendil terkejut sekali mendengar kata-kata itu. “Hendak memecahkan kepalaku? Tua bangka sombong! Mari! Aku ingin melihat sampai di mana kerasnya pukulanmu!” Rupanya si nenek juga sudah tak dapat menahan amarahnya.

Kedua orang itupun berhadap-hadapan dan pasang kuda-kuda. Dari tempat persembunyiannya Lembu Surah memaki panjang pendek dan garuk-garuk kepala ketika melihat kedua orang itu berlaga. Tak henti-hentinya dia mengeluh.

“Celaka! Celaka! Kenapa  mereka jadi berkelahi! Bagaimana ini! Apa yang harus kulakukan?!”

Sebagai salah seorang tokoh persilatan tentu saja Lembu Surah mengetahui sampai di mana kehebatan orang tua berjuluk Pendekar  Muka Tengkorak itu. Baik Kunti Kendil maupun dia sendiri tidak berada di atas  kepandaiannya bila dibandingkan dengan orang tua bertubuh jerangkong bermuka tengkorak itu.

Di depan sana dilihatnya debu dan pasir beterbangan akibat gerakan-gerakan kedua orang yang berkelahi. Orang-orang yang tadi bekerja memotong dan menyiangi daun nipah kini hentikan pekerjaan mereka dan berkumpul menyaksikan perkelahian antara dua tua bangka itu.

Setelah sepuluh jurus lebih berhambur serangan gencar, memukul dan menendang namun tak satupun berhasil mengenai lawannya, Kunti Kendil jadi seperti terbakar darahnya oleh hawa amarah. Didahului oleh teriakan keras nenek ini berkelebat. Gerakannya seperti selusin burung yang datang dari dua belas  arah, menyerbu ke satu sasaran yakni Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil. 

Namun orang yang diserang ini tampak tenang saja dan nyalakan sebatang rokok kawung. Dengan rokok itu dia kemudian menghadapi gempuran lawan. Rokok yang menyala di tangan kiri menusuk kian kemari sementara tangan kanan tak tinggal diam dan lebih banyak dipergunakan untuk menangkis. Bila tangkisannya hampir menimbulkan bentrokan, si kakek cepat susupkan tangannya ke atas atau ke bawah lalu selinapkan serangan balasan. Dalam pada itu mulutnya tiada henti menghembuskan asap rokok kawung ke muka lawan.

Bukan saja asap rokok ini membuat pengap pernafasan Kunti Kendil, tapi pemandangannyapun jadi terhalang. Dan si nenek tahu betul jika asap rokok itu sampai mengenai kulitnya, pasti dia akan menderita luka bakar yang mengerikan karena asap itu terdorong oleh kekuatan tanaga dalam yang dahsyat!

Dari tempatnya berdiri Datuk Iblis yang memperhatikan perkalahian itu segera memaklumi, walaupun istrinya tidak mudah untuk dikalahkan, tapi sebaliknya bagi Kunti Kendil mengalahkan si kakek muka  tengkorak juga bukan hal yang mudah, malah mungkin  mustahil. Kalaupun itu sampai terjadi maka kedua orang itu pasti akan sama-sama celaka. Jadi mau tak mau perkelahian itu harus  dilerai dan dihentikan. Tapi bagaimana caranya?! Tak mungkin tanpa tidak melukai salah satu dari antara mereka!

“Aku harus bertindak sebelum mereka mulai keluarkan pukulan-pukulan sakti!” kata Lembu Surah dalam hati. Tangan kirinya satu-satunya tangan yang masih dimilikinya sekarang diusapkannya ke kantong kulit berisi tuak yang ada di pundak kirinya. 

Setelah berpikir sejenak kakek yang kini tidak memakai kedok kulit tipis warna kuning itu teguk tuak dalam kantong lalu melangkah mendekati mereka yang sedang berkelahi. Pada saat mencapai jarak tertentu Lembu Surah semburkan tuak dalam mulutnya. Semburan yang disertai tenaga dalam ini bukan main hebatnya. Tetesan-tetesan tuak tidak beda seperti rangkaian jarum yang melesat.

Pendekar Muka Tengkorak terkesiap ketika mendengar suara berdesing di belakangnya. Tanpa berpaling dia sudah maklum kalau ada orang yang membokong. Siapa lagi kalau bukan temannya si nenek yang tadi diketahuinya bersembunyi di balik pohon-pohon nipah.

“Pengecut curang!” teriak si kakek lalu melompat tinggi ke atas. Di udara dia jungkir balik seraya lepaskan pukulan tangan kosong. Serangkum angin deras menghantam ke arah Lembu Surah. Yang di serang cepat menyingkir ketika pohon nipah di balik mana dia berlindung hancur berantakan, hampir tercabut berikut akarnya dari tanah yang basah oleh air laut.

“Kunti! Tak ada gunanya melayani manusia itu! Mari tinggalkan tempat ini!” teriak Lembu Surah. Lalu tangan kirinya dipukulkan ke depan. Disaat yang sama di arah belakang Kunti Kendil lepaskan pula pukulan Api Geledek Menggusur Makam yang terkenal kehebatannya. Sinar merah berkiblat! 

Jengkelnya si kakek muka tengkorak bukan kepalang. Tapi orang  bertangan buntung itu yang menyerangnya dari belakang, kini ganti si nenek. Terpaksa kakek ini kembali  harus melompat ke udara seraya mulutnya memaki, “Tidak dinyanakan tokoh utama  sepertimu juga bisa berlaku curang! Nyatanya kau bukan saja jelek tapi juga pengecut!”

Kunti Kendil tertawa mengekeh. “Mana ada istilah pengecut dalam diriku, manusia jerangkong!” Lalu dia melambaikan tangan pada Lembu Surah. Tanpa mau menyebut nama suaminya ini dia berseru, “Hai! Mari kita membagi hadiah untuk cacing tanah ini!”

Si nenek menghantam lagi. Kali ini dengan Pukulan Kincir Air Melabrak Kuburan. Sedang Lembu Surah bersamaan dengan itu lepaskan pula pukulan tangan kosong mengandung hawa panas dan angin kencang. Debu dan pasir beterbangan. Daun-daun pepohonan berguguran. Kakek muka tengkorak terjepit diantara dua pukulan sakti itu.

“Sialan! Kalian berdua benar-benar pengecut! Aku terima hadiah kalian! Tapi makan juga hadiahku ini!” teriak Pendekar muka jerangkong itu. Tangan kanannya dipukulkan ke utara, menyambut pukulan Lembu Surah. Tangan kiri menghantam ke selatan, menangkis serangan Kunti Kendil.

Terdengar dua suara berdentum dalam detik hampir bersamaan. Tubuh Pendekar  Muka Tengkorak mencelat dua tombak lalu jatuh ke tanah. Meskipun dia masih sanggup berdiri di atas kedua kakinya namun lututnya goyah dan sesaat kemudian  kakek ini terguling dengan darah tampak mengalir dari mulutnya.

Lembu Surah terpental dan menyangsrang diantara pelepah pohon nipah. Dadanya berdenyut sakit. Luka di bahunya sebelah kiri yang baru saja sembuh tampak koyak dan mengeluarkan darah kembali. Cepat-cepat orang ini keluarkan dirinya dari jepitan pelepah nipah. 

Di sebelah kiri Kunti Kendil tampak tergontai-gontai beberapa lamanya. Dia berusaha mempertahankan diri untuk tidak roboh. Namun sesaat kemudian nenek inipun jatuh berlutut. Walau tak ada darah yang keluar dari tubuhnya akan tetapi sekujur tulang belulang laksana remuk. Dia ulurkan  tangannya ketika Lembu Surah datang membantunya bangkit.

Setelah masing-masing mengatur jalan nafas dan peredaran darah, mengerahkan tenaga dalam untuk mendapatkan kekuatan baru, keduanya kemudian tinggalkan tempat itu, disaksikan oleh pandangan mata penasaran si kakek muka tengkorak.

“Manusia buntung berambut kelabu itu! Gila! Dia tak kalah hebat dari Kunti Kendil. Siapa dia? Aku rasa-rasa pernah mendengar suaranya. Tapi dimana….?


***
SEPULUH


RANDU AMPEL DAN LUMUT BERACUN KAKEK MUKA ARANG YANG MISTERIUS

KITA tinggalkan dulu sepasang kakek nenek Kunti Kendil dan Lembu Surah yang berusaha mencari keterangan di mana mayat Mahesa berada. Kita kembali ke gunung Bromo yaitu pada hari terjadinya pertempuran besar antar Pendekar Muka Tengkorak dengan Embah Bromo Tunggal serta mahkluk-mahkluk jejadiannya. Di mana saat itu Mahesa hampir saja jadi bahan godokan ramuan obat yang tengah dikerjakan oleh dukun terkutuk itu. 

Seperti yang diceritakan sebelumnya di situ terjadi pula perkelahian hebat antara Pendekar Muka Tengkorak dengan Randu Ampel yang tiba-tiba muncul, mengira si kakek adalah Embah Bromo Tunggal dan langsung menempurnya.

Ternyata Randu Ampel telah memiliki ilmu silat tinggi sekali dengan gerakan-gerakan serba aneh. Ayah Mahesa ini hampir saja membunuh si kakek jelangkong kalau tidak dicegah oleh si pemuda. Randu Ampel sendiri kemudian melarikan diri meninggalkan puncak Bromo.

Sekarang mari kita ikuti riwayat perjalanan Randu Ampel lelaki malang yang gagal menjadi Adipati Probolinggo itu, malah ditimpa malapetaka, kehilangan istri serta rusak ingatannya akibat guna-guna Embah Bromo Tunggal yang diperalat oleh Mangun Aryo, yang menginginkan kedudukan Adipati Probolinggo. Dia memang berhasil mendapatkan kedudukan itu namun kemudian setelah delapan belas tahun berlalu, Randu Ampel berhasil mencari dan menemuinya lalu membunuh musuh besarnya itu.

Seperti diketahui sebelum dirinya terkena guna-guna dukun jahat dari puncak Bromo itu Randu Ampel memang memiliki kepandaian silat. Namun hanya silat kampungan yang mengandalkan tenaga luar atau tenaga kasar belaka. Ketika dia muncul dalam keadaan gila delapan belas tahun kemudian, ternyata lelaki ini telah memiliki ilmu silat luar biasa, dan aneh. Di samping itu dia juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi dan ditambah pula dengan tenaga dalam yang luar biasa. Bagaimana dan dari mana Randu Ampel mendapatkan semua ilmu yang aneh dan serba hebat itu?

Kita kembali ke masa sekitar delapan belas tahun yang lalu dari jalinan cerita silat ini. Setelah memendam istrinya (Wening Muriati) di dalam kuburan tua di tepi kota Probolinggo, Randu Ampel tinggalkan pekuburan. Di bawah hujan lebat dan gelap gulitanya malam dia bukan kembali menuju ke kota melainkan lari memasuki rimba belantara yang sangat rapat pepohonannya. 

Sepanjang jalan tubuhnya beberapa kali terantuk batang pohon, tersandung oleh akar yang menyembul dan jatuh, pakaiannya robek-robek tersangkut ranting-ranting sedangan kulit tubuhnya penuh luka dan barut-barut. Namun semua itu seperti tidak dirasakannya. Bahkan sambil lari dia membuka pakaiannya lalu melemparkannya ke tanah. 

Randu Ampel lari  terus bertelanjang dada, tanpa kasut. Hanya mengenakan celana hitam panjang dan topi tinggi hitam serta kalung warna emas bergambar burung. Menjelang pagi, ketika hari mulai terang-terang tanah, Randu Ampel baru hentikan larinya. Dadanya terasa sesak dan dia sulit bernafas. Tubuhnya akhirnya tergelimpang roboh, jatuh pingsan.

Menjelang tengah hari, ketika matahari berusaha menembus sinarnya diantara celah-celah daun pepohonan yang sangat rapat, Randu Ampel siuman dari pingsannya. Begitu sadar, dari mulutnya keluar suara teriakan aneh. Lalu dia bangkit berdiri, bersandar ke sebatang pohon. Sesaat dirasakannya pemandangan berkunang-kunang. Setelah penglihatannya terang, dalam keredupan hutan dia melihat sebuah batu besar diantara semak belukar di hadapannya. Di pertengahan batu besar ini ada sebuah  lobang sepemasukan tubuh manusia.

Melihat lobang itu Randu Ampel terbayang pada lobang longsoran kuburan tua di mana dia telah memendam istrinya hidup-hidup. Kontan  lelaki ini berteriak, “Gila! Semua gila. Aku juga gila! Fitnah! Fitnah kembali kepada fitnah!”

Randu Ampel meludah ke tanah lalu kembali berteriak, “Perempuan gila! Perempuan bangsat! Kau bakal mampus! Mampus…!!!” kakinya dihentakan-hentakkan ke tanah. Kedua tangannya memukul udara kosong di depannya berulang kali. Dia baru berhenti setelah tubuhnya mandi keringat dan terasa lunglai, melosoh ke tanah. Dadanya turun naik, nafasnya kembali sesak. Kedua matanya setengah terpejam antara melihat dan tidak.

Lelaki yang otaknya tidak waras akibat guna-guna dukun jahat dari gunung Bromo itu, tidak menunjukkan sikap apa-apa ketika samar-samar dia melihat sebuah kepala muncul dari lubang batu yang terletak beberapa langkah di depannya.

Orang yang memiliki kepala itu mengenakan penutup kepala dari kain putih hampir menyerupai sorban. Mukanya sangat hitam, seolah-olah dilumuri arang. Tapi janggut, kumis dan alis matanya sebaliknya berwarna putih. Meskipun wajah tua ini tampak biasa-biasa saja namun kesan angker segera dirasakan oleh siapa saja yang melihatnya, kecuali Randu  Ampel yang saat itu tetap tenang-tenang saja.

Seperti seekor ular kepompong kepala bermuka hitam itu meluncur keluar diikuti oleh tubuhnya terus ke kaki. Sesaat kemudian orang ini sudah berdiri di hadapan lobang. Ternyata dia bertubuh tinggi, mengenakan jubah putih. Kedua tangannya sangat panjang dan terjulai di bawah lutut. Sepasang tangan inipun tampak berwarna sangat hitam.

Orang tua ini menatap Randu Ampel dengan wajah mengerenyit. Lalu geleng-gelengkan kepala. Anehnya kemudian dia tampak seperti  tertawa. Matanya meneliti  Randu Ampel dari kepala sampai ke kaki. Perlahan-lahan, antara terdengar dan tiada, dari mulutnya terdengar ucapan,

“Sayang… sayang…. Sudah tua. Tapi apapun adanya, lebih baik dari tidak sama sekali…”

Sosok tubuh hitam tinggi itu bergerak. Gerakannya perlahan saja. Namun di lain kejap dia sudah lenyap. Jika saja Randu Ampel seorang waras, menyaksikan lenyapnya orang tadi laksana ditelan bumi demikian cepatnya tentulah menjadi heran.

Setelah beberapa lama berlalu, ketika hari memasuki rembang petang seperti orang yang baru sadar akan keadaan dirinya dan kembali rasa, Randu Ampel merasakan sekujur tubuhnya sakit. Tulang-tulangnya laksana bertanggalan dari persendian. Luka-luka sekujur tubuhnya terasa perih. Lalu  satu hal lagi, tenggorokannya terasa kering haus, perutnyapun mencucuk lapar.

Dia memandang berkeliling. Tak ada makanan, tak ada air. Yang tampak hanya pohon-pohon besar, berdaun lebat, semak belukar rapat dan tanah yang berlumut. Randu Ampel ulurkan tangan, mengorek lumut di sampingnya. Rasa lapar dan otaknya yang  miring tidak dapat lagi membedakan apakah lumut itu makanan atau bukan. Enak saja benda ini dimasukkannya ke dalam mulut, dikunyah dan ditelan. 

Mula-mula setelah suap pertama ditelannya, diteruskannya dengan suap kedua, ketiga dan seterusnya. Pada suap ke enam Randu Ampel tampak mengerenyit tanda menahan sakit. Perutnya memilin, tubuhnya mendadak menjadi panas dan kepalanya berat serta pemandangnya menghitam gelap. Tubuhnya terkapar pingsan!

Menjelang malam di mana hutan belantara itu kembali disungkup kegelapan yang menghitam, orang tua berkulit hitam bertubuh tinggi itu, entah dari mana tahu-tahu muncul kembali. Dalam kegelapan pandangan matanya seolah-olah bisa menembus. Dia memperhatikan tubuh Randu Ampel yang tergelimpang  di tanah. 

Dengan ujung kakinya yang dibungkus kasut tipis dia menyentuh leher  Randu Ampel. Terasa denyutan urat besar di leher itu meski perlahan sekali. Orang ini tersenyum. Ditinggalkannya tubuh Randu Ampel lalu masuk ke dalam lobang di batu besar. Kalau tadi waktu keluar kepalanya yang tersembul lebih dulu maka kini waktu masuk juga kepalanya yang disorongkan lebih dulu.

Lama sekali Randu Ampel pingsan. Keesokan siangnya baru dia siuman. Dengan susah payah dia duduk bersandar ke pohon. Tubuhnya yang tadinya tegap kini tampak susut cepat sekali. Kedua pipinya mulai mencekung, begitu juga bagian muka di sekitar mata. Tenggorokannya terasa perih dan perutnya lapar sekali.

Karena tak sanggup berdiri lelaki ini kembali menggapai-gapai dengan tangan dan kakinya. Lumut hutan disekitarnya tercongkel, seperti kemarin terus dimakannya. Jika saja otaknya waras, lumut yang membuatnya sakit dan pingsan itu tentu tak akan dimakannya. Setelah makan lumut beberapa kali suap, kembali Randu Ampel merasakan perutnya sakit dan pemandangannya berkunang, lalu pingsan. 

Yang sekali ini rasa sakit dan pingsan tidak separah seperti pertama kali. Begitu siuman yang dilakukan Randu Ampel di luar sadarnya adalah memakan kembali lumut-lumut yang ada disekelilingnya. Sakit lagi, pingsan lagi. Demikian sampai terjadi enam kali. Kali yang ke delapan yakni setelah tujuh kali makan lumut, anehnya Randu Ampel tidak lagi merasakan perutnya sakit. Pemandangannya juga tidak menjadi gelap berkunang. Malah diapun tidak jatuh pingsan.

Dihari kedelapan itulah tiba-tiba orang tua berjubah putih berkulit hitam itu muncul kembali, keluar dari lobang di batu. “Manusia luar biasa…” katanya dalam hati. “Orang lain satu kali saja makan lumut hutan beracun itu pasti sudah menemui ajal! Dia memakannya sampai tujuh kali dan tidak mati! Sekarang tubuhnya kebal segala macam racun. Ah… mungkin dia memang yang berjodoh dengan ilmu itu. Rasanya aku sudah boleh pergi mencari tempat yang  damai menunggu saat yang baik. Seratus dua tahun hidup di dunia ini, apa lagi yang akan kuharapkan selain mati…?”

Untuk pertama kalinya orang tua berwajah hitam itu dekati Randu Ampel dan pegang kepalanya. Dipegang kepalanya seperti itu Randu Ampel berteriak marah. Dia tendangkan kaki kanannya ke depan. Wut! Bukan saja tendangan itu tampak keras tapi juga mengeluarkan angin. Orang tua bermuka hitam hanya menggerakkan tubuhnya sedikit dan tendangan Randu Ampel mengenai tempat kosong.

“Lumut ajaib…” desis orang tua ini. “Bukan saja bisa jadi penangkal racun, tapi sanggup menghimpun tenaga luar biasa!”

“Manusia muka arang!” Randu Ampel membentak. “Apakah kau mau kupendam? Mau kubikin mampus…? Fitnah kembali kepada fitnah! Dukun jahat awas kau! Kau juga akan kubunuh…!”

Si muka hitam terkejut. Untuk pertama kalinya dia seperti menyadari kalau Randu Ampel tidak waras otaknya. Dan dibalik itu dia dapat merasakan adanya satu goncangan jiwa yang sangat luar biasa pada diri Randu Ampel.

“Ah, nasibku mendapatkan orang gila! Mungkin sudah takdir. Tak tahu aku bagaimana jadinya nanti!” membatin orang tua itu dengan hati rawan.

Seperti melenting, tiba-tiba tubuh Randu Ampel mencelat ke atas. Gerakan itu dilakukannya dari keadaan duduk menjelepok di tanah tanpa mengambil sikap duduk lebih dulu. Satu hal yang tak mungkin bisa dilakukan orang pandai manapun juga!

“Astaga!” kejut orang tua berjubah putih muka hitam. Tapi dia juga tersenyum gembira. “Tubuhnya pun ternyata menjadi ringan! Tidak bisa tidak bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah membawanya kemari!”

“Anak manusia!” kata orang tua itu pada Randu Ampel untuk pertama kalinya. “Siapapun adanya kau dan bagaimana adanya keadaan dirimu, aku bersyukur jalan  Tuhan telah membawamu datang kemari. Rupanya sudah takdir kau yang ditunjukNya untuk mendapatkan warisanku itu. sebetulnya aku ingin berada lebih lama lagi bersamamu di sini. Tapi keadaan tak memungkinkan. Aku harus pergi sekarang!”

Wut!

Randu Ampel memukul ke arah dada orang tua itu sambil berteriak-teriak tak karuan. Namun yang dipukul sudah lenyap meninggalkan tempat itu.

Sesaat setelah orang tua itu pergi udara di atas rimba belantara itu berubah mendung. Hujan kemudian turun lebat pohon jambu. Sebatang pohon mangga, pohon pisang dan pepaya. Semua pohon ini sarat dengan buah-buahnya yang masak-masak dan semuanya berbentuk aneh, yakni pendek katai. Rata-rata hanya setinggi pinggang Randu Ampel.

Setelah delapan hari tidak pernah melihat makanan, maka mendapatkan buah-buahan itu tanpa pikir panjang Randu Ampel segera memetik dan memakannya sepuas hati. Semua buah-buahan itu lezat luar biasa, jauh lebih lezat dari buah-buahan serupa yang pernah dimakannya sebelumnya.

Puas makan berbagai macam buah-buahan itu Randu Ampel masuk lebih jauh ke dalam goa. Langkahnya terhenti pada dinding batu besar lebar yang merupakan ujung dari goa itu. pada dinding itu terpampang 17 gambar orang yang tengah memainkan  jurus-jurus silat. Pada sebelah bawah masing-masing gambar terdapat serangkaian tulisan yang merupakan nama jurus lengkap dengan penjelasan.

Randu Ampel yang dulunya hanya tahu ilmu silat kampungan kelas rendahan mundur beberapa langkah untuk lebih dapat memperhatikan keseluruhan dinding lebar itu.

“Ilmu silat fitnah!” teriaknya tiba-tiba. “Mampus! Perempuan itu harus mampus! Mana Mangun Aryo. Juga mana teluh jahat itu…? Fitnah kembali kepada fitnah!” 

Lelaki itu duduk di lantai gua, bersadar ke dinding batu. Saat itulah untuk pertama kalinya dia melihat sederetan tulisan pada sebelah atas dinding goa yang penuh dengan gambar-gambar silat. Tulisan itu berbunyi:

GOA INI BERNAMA GOA KERAMAT TUJUH BELAS. SIAPA YANG MASUK KE DALAMNYA BERARTI BERJODOH DENGAN ILMU SILAT KERAMAT TUJUH BELAS. JIKA DIPAKAI UNTUK KEBAJIKAN DIA AKAN BERMANFAAT. JIKA DIGUNAKAN UNTUK KEJAHATAN DIA AKAN MAKAN DIRI SENDIRI

SATU GAMBAR SATU TAHUN. SATU JURUS SATU TAHUN. TUJUH BELAS GAMBAR TUJUH BELAS TAHUN. TUJUH BELAS JURUS TUJUH BELAS TAHUN. BARANG SIAPA YANG TELAH MEMPELAJARI ILMU SILAT INI. HARAP MENGHAPUS SEMUA GAMBAR DAN TULISAN DENGAN AIR PUTIH DARI MATA AIR 

Tak ada tanda-tanda yang menerangkan siapa yang menulis atau membuat semua gambaran di dinding goa itu. Karena otaknya yang tidak waras, Randu Ampel sama sekali tidak menyadari bahwa saat itu dia telah kejatuhan rezeki besar, mendapatkan sejenis ilmu silat yang langka dalam rimba persilatan masa itu. untuk beberapa lamanya dia duduk seperti itu. kemudian timbul niat dalam hatinya untuk pergi dan keluar dari goa itu. Namun memandang pohon-pohon buah-buahan yang  aneh tapi sarat dengan buah lezat itu hatinya merasa sayang.

“Kalau aku tidak pergi, aku tak akan berhasil mencari manusia keparat itu. kalau aku pergi, sayang buah-buahan itu. Nanti dicuri orang atau binatang…” katanya dalam hati. “Ah, biar nanti saja aku pergi. Di luarpun rasanya masih  hujan…”

Setalah berhari-hari berada dalam goa Keramat Tujuh Belas itu, lambat laun Randu Ampel tertarik juga pada tulisan dan gambar-gambar di dinding. Sambil tertawa-tawa dan terkadang memaki marah tak karuan Randu Ampel coba meniru sikap orang dalam gambar-gambar di dinding. Dia tidak mulai dari urutan gambar pertama tapi dari gambar yang menurutnya bagus. Setelah bosan dia berpindah pada gambar lain.  

Sesuai dengan petunjuk di dinding batu itu seharusnya untuk satu jurus ilmu silat Keramat Tujuh Belas itu dihabiskan waktu satu tahun untuk mempelajari dan menguasainya. Namun karena otaknya yang tidak waras maka Randu Ampel hanya mengikuti kemauan hatinya dan semua gerak yang dicontohnya justru malah terbalik dari gambar dan petunjuk yang ada!

Tujuh belas tahun memendam diri dalam goa keramat itu, telah merobah pisik, jalan pikiran Randu Ampel dan kemampuan Randu Ampel. Bekas calon Adipati Probolinggo itu kini kelihatan berkulit pucat karena jarang tersentuh sinar matahari. Otaknya masih jauh dari waras, namun dalam benaknya sudah terpantek manusia-manusia jahat yang telah mencelakai dirinya dan istrinya, yang akan dicarinya sampai ke manapun. 

Yang paling luar biasa ialah kemampuan yang kini dimiliki lelaki itu, kalau dulu dia hanya memiliki ilmu silat kampungan maka kini dia menjelma menjadi seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang jarang tandingannya. Tubuhnya kebal terhadap semua jenis beracun, tenaga dalamnya luar biasa, ilmu meringankan tubuhnyapun tinggi sekali.

Randu Ampel sendiri tidak menyadari semua kemampuan yang dimilikinya. Dalam hatinya hanya ada satu tujuan, mencari Mangun Aryo. Lalu dukun jahat yang diperalat oleh lelaki itu. Seperti punya firasat dan perhitungan tersendiri, setelah tujuh belas tahun berada dalam goa itu Randu Ampel pada suatu hari memutuskan untuk pergi. Satu hal yang tidak dikerjakannya sebelum pergi ialah, dia lupa  menghapus semua gambar dan tulisan di dinding dengan air putih dari mata air sesuai petunjuk.

Sekeluarnya dari goa itu Randu Ampel seharusnya menuju ke selatan, yakni arah terdekat menuju Probolinggo jika memang dia bermaksud mencari musuh besar Adipati Mangun Aryo. Namun arah yang ditempuhnya justru bertolak belakang, hingga selama beberapa bulan lelaki ini malang melintang antara Kali Grobokan dan kaki gunung Bromo. 

Suatu hari dia tersesat ke sebuah daerah pesawahan yang sangat luas. Di sini dia menemukan seorang anak lelaki penggembala, duduk di punggung kerbaunya sambil meniup suling. Tiupan suling anak ini demikian merdunya hingga  Randu Ampel tercekat. Dia mendatangi anak itu. Melihat orang berpakaian aneh, bertopi tinggi hitam butut, bermuka cekung dan berkumis serta janggut yang meranggas liar, tentu saja anak itu ketakutan dan hendak lari.

“Bocah… kau tak usah takut. Permainan sulingmu bagus sekali. Maukah kau mengajarkan cara memainkannya padaku. Lalu memberikannya padaku…?”

“Orang gila! Aku tidak mau! Lepaskan aku! Ibu…” si anak menjerit. Dan hendak lari. Tapi Randu Ampel cepat menariknya dan si anak tahu-tahu sudah berada dalam gendongannya.

“Bocah, kau dengar. Jika kau mengajarkan dan memberikan suling itu padaku, aku akan bawa kau berlari mengelilingi sawah ini tiga kali putar. Bagaimana…?”

“Tidak! Lepaskan. Aku tidak akan mengajarkan main suling padamu. Kau ambil saja suling ini. Tapi lepaskan diriku! Ibu tolong ada orang gila menangkapku!”

Penasaran Randu Ampel lemparkan pengembala itu kembali ke punggung kerbaunya. Tapi suling si anak sudah diambilnya. Sambil berjalan  di pematang sawah dia coba meniup dan memainkan suling bambu itu. sejak hari itu ke mana-mana dia selalu membawa suling. Beberapa hari kemudian dia sudah pandai memainkan alat tiup itu. Namun lagu yang dimainkannya terdengar aneh, tak  pernah dikenal siapapun sebelumnya!

Kenapa Randu Ampel membujuk bocah penggembala itu dengan imbalan membawanya berlari seputar sawah untuk mendapatkan suling bambu? Hal ini dilakukannya karena secara tidak diduga dia menyadari bahwa dia memiliki kemampuan berlari yang luar biasa. Sekeluarnya dari hutan lelaki itu melanjutkan perjalanan dengan berlari-lari kecil. Tubuhnya terasa enteng. Lari sampai sekian jauh dia tidak merasa letih ataupun sesak nafas. 

Ketika dicobanya berlari lebih cepat, lebih cepat baru lelaki ini mengetahui kalau dia mempunyai kemampuan berlari yang sangat cepat. Sampai saat itu Randu Ampel belum lagi mengetahui dahsyat berupa tenaga dalam di samping ilmu meringankan tubuh serta ilmu silat tingkat tinggi yang hampir sulit dicari tandingannya.

Randu Ampel baru mengetahui kehebatan dirinya sendiri ketika suatu hari dalam perjalanan ke Probolinggo dia dihina lima prajurit Kadipaten Lumajang yang tengah berkemah di luar desa Bantaran.

Saat itu hari masih pagi. Udara cerah dan angin sejuk bertiup dari arah barat. Randu Ampel bergegas menuju ke utara ketika hidungnya yang kini memiliki penciuman tajam mancium bau sesuatu yang sedap. Segera dia memutar langkah ke arah datangnya sumber bau itu. Dia menemui lima orang berpakaian prajurit tengah mengemasi kemah, bersiap untuk pergi. Sebelum pergi mereka menjerang air lebih dulu dan memasak kopi. Bau kopi inilah yang tercium oleh Randu Ampel. Betapa sedapnya kalau diapun dapat meneguk secangkir kopi hangat, harum dan manis.

“Bolehkah aku minta kopi kalian barang secangkir?” tanya Randu Ampel pada orang-orang itu.

Lima prajurit itu berpaling ke arah Randu Ampel. Kelimanya sama tersenyum lalu tanpa mengacuhkan terus mengemasi kemah. Dua orang diantaranya malah sengaja menghirup kopi masing-masing sampai mengeluarkan suara mencapak.

“Hai, aku bertanya boleh minta kopi. Kenapa kalian  diam saja…?”

Salah seorang yang barusan meneguk kopi turunkan cangkir kalengnya dan berkata, “Pengemis busuk! Pegilah! Jangan mengganggu dan jangan membuat aku dan kawan-kawan sampai marah!”

“Wah, aku bukan pengemis. Aku hanya minta secangkir kopi!” sahut Randu Ampel.

Lima prajurit itu tertawa. “Kawan-kawan!” kata yang tadi bicara. “Dia memang bukan pengemis. Tapi orang gila!”

“Betul!” menimpali kawannya yang tegak di samping kanan. “Lihat saja pakaiannya! Kotor lusuh, bau! Tidak pakai baju. Tapi punya kalung dan topi tinggi butut!”

“Mungkin dia pensiunan Adipati yang berubah pikun dan sinting!” yang lain ikut bicara.

Lima prajurit dari Kadipaten Lumajang itu kembali tertawa gelak-gelak.

“Aku bukan orang gila! Juga bukan pensiunan Adipati. Dulu… eng… memang aku pernah mau jadi Adipati!” kata Randu Ampel pula. Dan ini membuat tawa lima orang itu tertawa makin riuh.

“Sudah! Pergilah! Tak ada kopi untukmu!”

“Aku pandai meniup suling! Kalau kumainkan satu lagu untuk kalian apakah kalian mau memberi upah dengan secangkir kopi?” ujar Randu Ampel sambil acung-acungkan suling bambunya.

“Hai! Dia bukan pengemis,  bukan pensiunan Adipati. Tapi tukang ngamen rupanya!” kata prajurit yang tadi menyuruh Randu Ampel pergi.

“Baiklah, coba saja kau perdengarkan satu lagu. Kami mau dengar!”

Mendengar ucapan itu maka Randu Ampel lalu tiup sulingnya. Tiupan suling orang gila mana ada iramanya. Sebentar melengking tinggi, sebentar terdengar parau rendah. Lagunyapun entah lagu apa.

“Sudah! Sudah! Sakit kupingku! Lagumu tak enak. Tiupan sulingmu bisa membuatku muntah. Pergi sana!” 

Randu Ampel hentikan meniup suling. “Tadi kalian berjanji akan memberikan secangkir kopi kalau aku meniup suling!”

“Pengemis gila busuk! Siapa yang berjanji! Pergi sebelum kami pukul!”

Randu Ampel menggeleng. “Tidak, aku mau kopi!” katanya.

“Hem… jadi kau tetap memaksa? Baik! Ulurkan tanganmu. Kembangkan kedua telapak tanganmu dan rapatkan!”

Menyangka orang akan memberikan secangkir kopi Randu Ampel ikuti perintah orang. Sulingnya diselipkan di pinggang. Lalu dia rapatkan  kedua tangannya dan ulurkan ke depan dengan telapak menghadap ke atas.

Orang yang menyuruh dia melakukan hal itu mengambil segenggam kopi dan sedikit gula dari dua buah kantong lalu meletakkannya di atas telapak tangan Randu Ampel. Dari atas perapian yang masih menyala diambilnya kaleng berisi air mendidih. Air ini lalu dituangkannya ke atas telapak tangan Randu Ampel!


Selanjutnya,

Rahasia Makam Mahesa

RAHASIA MAKAM MAHESA

Karya : Bastian Tito
Rahasia Makam Mahesa

SATU

PRINGGO MINTA KAWIN
RATU MESUM tertawa merdu sambil menggeliakan tubuhnya hingga menambah rangsangan dalam diri pemuda anak pemilik perkebunan tebu yang kaya raya itu.

“Anak Muda, siapa namamu…!” bertanya sang ratu seraya menggelitik telinga pemuda itu dengan ujung lidahnya.

“Pringgo, namaku Pringgo. Nama jelek,” jawab pemuda itu seperti minta dimanja.

“Tidak jelek. Namamu bagus. Kau cakap. Aku suka padamu.”

“Betulkah…?” tanya Pringgo.

“Eh, aku tidak berdusta. Ngg… apakah kau pernah bermesraan dengan perempuan sebelum ketemu aku?”

“Tidak.”

“Pernah tidur dengan perempuan sebelumnya?” tanya sang ratu lagi.

“Apa lagi itu!” sahut Pringgo.

Ratu Mesum tertawa. “Aku tahu kau tidak dusta. Aku akan ajarkan padamu.”

“Ajarkan apa?”

“Lihat saja nanti,” bisik perempuan cantik itu.

“Dengar, aku harus memanggilmu apa? Aku tidak sudi menyebutmu Ratu Mesum,” kata Pringgo pula.

“Terserah kau mau panggil aku apa.”

“Kau berpakaian merah. Bagaimana kalau kupanggil Mawar Merah?”

Perempuan itu kembali tertawa. Hatinya terasa senang juga. Barisan gigi-giginya tampak rata dan putih membuat Pringgo blingsatan dan mencium mulut perempuan itu.

“Aku senang nama itu. Kau boleh panggil aku begitu,” kata sang ratu yang kini diberi nama Mawar Merah.

Sang mawar lalu himpitkan tubuhnya ke badan Pringgo hingga pemuda ini rebah dan keduanya terguling di atas ranjang. Menjelang dinihari, ketika udara di luar dingin sekali, Mawar Merah lepaskan rangkulannya dari tubuh Pringgo lalu turun dari tempat tidur dan kenakan pakaiannya. Begitu selesai berpakaian dia mendekati tempat tidur kembali dan sesaat pandangi wajah Pringgo.

“Anak muda,” kata Mawar Merah dalam hati. “Kau telah memberikan kepuasan padaku. Kau hebat. Tidak seperti laki-laki lain. Lemah pucuk. Kau luar biasa. Sayang, apapun kehebatanmu kau terpaksa harus mati di tanganku!”

Ratu Mesum lalu ulurkan tangan kanannya ke arah leher Pringgo, siap untuk mencekik matinya. Justru saat itu si pemuda tampak membuka kedua matanya, memandang pada perempuan yang sangat memikatnya itu, tersenyum dan berkata,

“Hai, kulihat kau sudah rapi berpakaian….”

Ratu Mesum alias Mawar Merah terpaksa batalkan niatnya untuk membunuh dan tarik pulang tangannya kembali. Pringgo bangun dan duduk di tepi ranjang masih tersenyum tanpa mengetahui bahaya maut yang barusan mengancamnya.

“Kau hendak ke mana, Mawar?”

Sesaat perempuan putih cantik itu tak bisa menjawab. Hanya dalam hati dia berkata, “Aih kenapa aku jadi tak tega membunuh pemuda satu ini?”

“Kau mau pergi ke mana? Kau hendak meninggalkan aku Mawar?” ujar Pringgo lalu berdiri dan menekap pipi perempuan itu dengan kedua tangannya.

“Aku harus pergi Pringgo.”

Pemuda itu kaget. Lalu gelengkan kepalanya. “Tidak Mawar, kau tidak boleh pergi. Dengar, aku akan temukan kau dengan ayah dan ibu. Aku minta akan minta agar kita dikawinkan. Pasti mereka akan menyetujui dan mengadakan pesta besar-besaran. Aku  anak lelaki satu-satunya. Kita akan hidup bahagia Mawar...” 

Ratu Mesum tak menjawab. Hatinya mendorong-dorong agar dia segera membunuh pemuda itu. Tapi entah mangapa sampai saat itu masih juga belum dilakukannya.

“Mawar, kenapa kau diam saja?” tanya Pringgo lalu menciumi wajah perempuan itu.

“Aku tak bisa memenuhi permintaanmu,” menerangkan Mawar Merah.

“Kenapa tidak bisa? Kau tidak suka padaku?”

“Aku suka padamu. Hanya saja… aku terpaksa harus pergi.”

“Terpaksa harus pergi? Bagaimana ini. Aku tak mengerti. Atau sebenarnya kau khawatir orang tuaku tak mau menerimamu sebagai menantu?”

“Bukan, bukan karena alasan itu. Aku benar-benar haus pergi.”

Pringgo lantas saja memeluk tubuh perempuan yang kencang tapi lembut itu erat-erat sambil berulang kali menyebut namanya. Pemuda ini benar-benar takut kehilangan si cantik jelita ini.

“Katakan saja sebenarnya kau tak suka padaku. Kau punya kekasih lain….” Pringgo terduduk lemas di atas tempat tidur sambil menutupkan kedua tangannya ke muka. Dia seperti berusaha menahan tangis. 

Menyaksikan ini hiba juga hati sang ratu yang biasanya keras dan kejam itu. Satu hal yang tak pernah dialaminya sebelumnya. Memang sebelumnya tak ada pemuda yang begitu disukainya seperti yang satu ini. Umumnya mereka menemui ajal di tangannya setelah merasa puas. Mawar Merah membelai rambut Pringgo.

“Kita tak mungkin kawin, Pringgo. Orang tuamu pasti tak setuju. Mereka sama sekali tidak mengenal siapa aku atau asal usulku. Kalau mereka  ingin mengawinkanmu, tentu bukan dengan aku. Tapi dengan seorang gadis turunan bangsawan, kaya raya dan cantik jelita.”

“Tidak! Aku bersumpah tidak akan kawin dengan siapa pun selain kau!”

“Ah, kalau begini jadi repot urusannya,” kata Mawar  Merah dalam hati. “Baiknya kubunuh saja dia saat ini juga!” Perempuan ini lalu luruskan jari-jari tangannya. Ketika dia siap ayunkan pinggiran tangan untuk menghantam hancur kepala pemuda itu tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk orang dari luar.

“Pringgo!” terdengar suara  laki-laki memangil. Suara ayah pemuda itu. “Pringgo, kudengar suara orang di dalam. Kau bercakap-cakap dengan siapa?”

Pringgo kaget, memandang ke pintu. Ratu Mesum tegak dengan waspada. Kalau terpaksa dia tak akan segan-segan membunuh anak dan ayahnya itu. Pringgo kedipkan matanya lalu membuka mulut: 

“Tak ada siapa-siapa di sini ayah. Mungkin ayah mendengar suaraku mengingau.”

Di luar kamar sang ayah termangu sesaat. Sambil ucap-ucap dagunya dia berkata, “Kalau begitu tidurlah kembali. Besok pagi-pagi sekali kita harus pergi ke kebun.”

Sesaat orang tua ini masih berdiri di depan pintu itu dan geleng-gelengkan kepalanya. “Aneh, jelas kudengar anak itu seperti bicara dengan seseorang. Tapi yah, dengan siapa pula dia bicara. Mungkin telinga ini sudah mulai macam-macam.” Lalu orang tua ini tinggalkan ambang pintu kamar puteranya. 

Pringgo berpaling dan tersenyum pada Mawar Merah lalu memeluk perempuan ini seraya berkata, “Mawar, kau tidak akan pergi bukan? Kau tidak boleh meninggalkan aku. Aku akan bahagia jadi suamimu dan kau akan bahagia jadi istriku. Kau harus percaya hal itu. Aku akan cari hal yang baik bagaimana memperkenalkanmu dengan kedua orang tuaku….”

“Eh, kau sungguhan dengan semua ucapanmu itu Pringgo?” tanya Mawar Merah.

“Aku bersedia bersumpah. Atau katakan apa yang harus kulakukan agar kau mau percaya.”

Perlahan-lahan Mawar Merah duduk di tepi tempat tidur. Sekilas dia mengerling pada pemuda yang duduk disampingnya itu. Selintas pikiran tiba-tiba muncul dalam benaknya. Selama ini dia malang melintang menempuh  hidup sepenurut hati dan langkah kakinya. Yaitu di mana ada lelaki culikannya ke waduk Karangkates di mana dia memiliki sebuah rumah besar berkamar tujuh belas.

Untuk ini dia kerap kali haus melakukan perjalanan sangat jauh dan meletihkan. Alangkah baiknya jika selain di Karangkates dia juga mempunyai sebuah rumah lain yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingannya. Jika dia menerima ajakan untuk kawin, bukankah berarti dia akan memiliki rumah bagus, lalu dengan hidup sebagai seorang istri putera pengusaha perkebunan tebu dia mendapat kedudukan terhormat.

Hal ini akan dipergunakannya sebagai kedok untuk menutupi siapa dirinya sebenarnya. Jadi, harta dapat, suami gagah punya dan yang lebih penting secara diam-diam dia bisa meneruskan kesenangannya mencari pemuda gagah pemuas nafsu. Orang-orang dunia persilatan yang mencari-carinya pasti akan sulit menemui jejaknya.

“Mawar,” bisik Pringgo. “Kulihat kau diam saja. Seperti termenung. Kau sama sekali tidak memberi jawaban.”

“Pringgo,” kata Mawar Merah setelah diam sesaat. “Kau seorang pemuda yang baik sekali. Jika kau sungguhan meminta aku jadi istrimu, aku tidak keberatan….”

Mendengar kata-kata itu Pringgo melompat dari tempat tidur, menarik Mawar Merah dan memeluknya sambil berdiri. “Aku tahu. Jawabanmu pasti mau!”

“Ya, aku memang mau. Hanya saja….”

“Hanya saja apa, Mawar?” tanya si pemuda.

“Aku ada syarat.”

“Syarat apa? Rumah bagus, pakaian bagus, harta dan perhiasan?”

“Aku tahu kau pasti dapat mengadakan semua itu,” ujar Mawar Merah. “Tapi bukan syarat itu yang aku minta.”

“Kalau begitu katakan!”

“Aku adalah seorang pengelana. Hidupku lebih banyak di perjalanan dari pada diam di rumah. Jika aku jadi istrimu nanti belum tentu aku bisa merubah sifatku itu. Aku akan pergi ke mana-mana.” 

“Kau boleh pergi ke mana kau suka. Aku akan belikan kau kereta kuda. Lengkap dengan kusir, bahkan ditambah seorang pengawal. Aku akan  menyertaimu ke mana kau pergi….”

Mawar Merah alias Ratu Mesum tersenyum lalu gelengkan kepala. “Aku tidak perlu kereta kuda, kusir ataupun pengawal. Kalau aku pergi aku hanya akan pergi seorang diri...”

“Eh, bagaimana ini. Suami istri tidak boleh pergi sama-sama.” kata Pringgo heran.

“Tentu, tentu kita bisa pergi sama-sama. Tapi jika aku mengurus urusanku sendiri, kau tidak boleh ikut.”

“Apa sih urusanmu itu, Mawar?”

“Aku tak bisa menyatakan padamu Pringgo. Kau mau menerima syarat itu?”

“Ah, berat juga syaratmu itu. Tapi yah. Baiklah. Aku harus mau menerimanya demi cintaku padamu.” lalu Pringgo kembali mencium perempuan itu dan kedua tangannya menjalar kian kemari.

“Itu syarat yang pertama Pringgo. Masih ada syarat lainnya.” terdengar kata-kata Mawar Merah.

“Hem… katakanlah,” ujar Pringgo sementara mukanya dibenamkan di belahan dada kencang perempuan berkulit putih mulus itu.

“Syarat yang kedua, apapun yang aku lakukan setelah kita kawin nanti, kau sama sekali tak boleh bertanya.”

Pringgo angkat wajahnya dan pandangi paras cantik jelita itu beberapa ketika. “Syarat apa pula itu?” ujarnya kemudian.

“Kau mau menerima syarat itu. Atau keberatan?”

“Tentu saja!” sahut Pringgo. Saat itu dia benar-benar sudah jatuh di kaki sang mawar, terpikat pada kecantikan dengan keindahan tubuh yang berada dalam pelukannya itu. Tak ada lagi waktu untuk berpikir-pikir atau menimbang-nimbang. Malah  dia menambahkan.

“Kau boleh berbuat seribu syarat Mawar. Pasti akan kuturuti.”

“Kau memang pemuda baik,” bisik Mawar Merah.  Pakaian yang baru saja dikenakannya ditanggalkannya kembali. Pringgo yang mabuk kepayang langsung menarik perempuan itu kembali dan keduanya berguling-guling lagi di atas tempat tidur.

***
DUA

NYANYIAN ANEH DI DALAM HUTAN
KEDUA ORANG tua Pringgo terkejut bukan main ketika malam itu di meja makan putera satu-satunya itu mengatakan bahwa dia sudah ada gadis pilihan untuk dijadikan calon istri. Dan dia ingin agar pesta perkawinan diadakan secepatnya.

Abadseto, sang ayah sesaat menatap wajah puteranya itu, memandang istrinya sebentar lalu setelah meneguk air putih di dalam gelas besar, lelaki kaya raya pemilik kebun tebu berhektar-hektar ini tersenyum, baru membuka mulut.

“Pringgo, ini benar-benar satu kejutan bagi kami orang tuamu. Tapi ini menunjukkan kenyataan bahwa kau sudah jadi seorang dewasa walau umurnya masih muda belia. Masih hijau kata orang. Berapa usiamu sekarang Pringgo?”

“Delapan belas,” jawab sang anak sementara ibunya hanya duduk berdiam diri.

“Setahu kami kau tidak punya kawan perempuan yang akrab. Calon yang kau katakan itu pastilah seorang gadis cantik hingga kau begitu cepat terpikat dan minta buru-buru dikawinkan!”

“Dia bukan hanya cantik ayah, tapi cantik luar biasa. Kulitnya putih halus. Tanpa cacat sama sekali dari ujung kaki sampai ke rambut.”

“Eh….,” Abadseto pegang bahu puteranya. Sambil tersenyum dia berkata, “Tanpa cacat dari ujung kaki sampai ke rambut katamu. Bagaimana kau bisa tahu pasti hal itu Pringgo?”

Wajah pemuda itu tiba-tiba saja menjadi merah. Sang anak itu tundukkan kepala sedang Abadseto kemudian tertawa gelak-gelak sampai keluarkan air mata.

“Baiklah Pringgo. Aku percaya bahwa gadismu itu cantik jelita. Selangit. Mungkin selangit tembus. Siapa namanya. Di mana tinggalnua dan anak siapa dia….”

Mendengar pertanyaan itu Pringgo jadi agak gugup. “Namanya Mawar Merah,” kata pemuda ini kemudian.

“Wah, nama bagus sekali. Pasti sebagus orangnya. Lalu berasal dari mana dia, siapa orang tuannya?”

“Dia berasal dari selatan. Kedua orang tuanya sudah meninggal selagi dia masih kecil. Dia dibesarkan oleh pamannya. Tapi pamannya meninggal pula tahun silam. Dia sekarang sebatang kara…”

Abadseto tarik nafas dalam. “Anakku,” kata sang ayah. “Kau tentu tahu. Jika aku punya menantu maka palng tidak dia harus sesuai derajatnya dengan kita. Di samping itu yang paling penting kita harus tahu asal-usulnya. Kalau tidak hanya akan memberi malu!”

Pringgo tersenyum. Senyum  itu terasa aneh di mata kedua orang tuanya. “Ayah, apa yang ayah katakan tadi benar semua. Namun itu mungkin hanya berlaku pada zaman ketika ayah seusia saya. Sekarang segala sesuatunya sudah berubah….”

“Berubah? Berubah bagaimana maksudmu, Pringgo?” tanya Abadseto.

“Maksud saya, manusia itu, kebahagiaan hidup itu tidak tergantung dari harta atau dari asal-usul turunan...”

“Celaka!” kata ayah seraya berdiri dan betulkan letak blangkonya. “Kalau kau berkata begitu celaka Pringgo. Apa yang masuk ke dalam benakmu hingga kau punya jalan pikiran seperti itu?”

Pringgo tak menjawab. Dan Abadseto kembali membuka mulut.

“Jika kau berkata begitu lantas apakah kau mau hidup dengan pandangan remeh orang banyak, tanpa harta tanpa uang. Hingga untuk memberi makan dirimu sendiri dan istrimu, belum lagi anakmu, kau tidak mampu melakukannya…?” 

“Maksud saya tidak seperti dan sejauh itu ayah,” menangkis Pringgo.

Ketiganya diam sesaat. Kesunyian kemudian dipecahkan oleh ucapan Pringgo yang mengejutkan kedua orang tuanya. “Besok Mawar akan datang dan saya antar menemui ayah serta ibu….”

“Pringgo!” seru ibu. Lalu  mulut perempuan ini kembali terkancing sedang Abadseto saat itu sudah berdiri dam memandang dengan mata melotot pada anaknya.

“Pringgo! Kau jangan main-main…..”

“Saya tidak main-main ayah. Mawar besok akan datang.”

“Gila! Kau hendak memberi malu keluarga kita! Adat mana pun tak ada perempuan yang datang lebih dulu ke rumah calon suaminya, sendirian pula! Jelas gadismu itu tidak beradat tidak berbangsa! Tidak punya keluarga alias anak luntang lantung. Entah anak haram entah….”

Pringgo jadi panas. Segera dia memotong ucapan ayahnya. “Gadis itu memang orang miskin, tidak berbangsa tidak berharta. Tapi dia bukan anak haram. Dan di atas semua itu saya menyukainya. Saya mencintainya!”

“Cinta. Oladalah Gusti Allah!” kata Abadseto terhenyak ke kursinya. “Jadi cinta! Itulah semua pertimbanganmu minta dikawinkan dengan gadis bernama Mawar Merah itu. Yang tampangnya belum kulihat sama sekali. Tobat Pringgo! Sama saja kau membunuh kami berdua orang tuamu!”

“Ibu tidak bisa menerima kedatangannya dengan cara seperti itu Pringgo. Paling tidak ada sanak ada kadangnya yang harus mengantar.”

“Sekalipun ada sanak kadangnya aku tidak suka menerimanya!” ujar Abadseto menyentak.

“Kau dengar kata-kata ayahmu Pringgo?” ujar sang ibu. Kedua mata perempuan ini mulai berkaca-kaca.

Pringgo berdiri dari kursi. “Baiklah ayah, ibu. Jika ayah dan ibu berdua tidak mau menerimanya berarti juga tidak akan merestui perkawinan kami. Apalagi mengadakan segala macam pesta. Saya terima itu sebagai kenyataan. Besok pagi saya akan pergi meninggalkan rumah ini!”

“Pringgo!” pekik si ibu.

“Pringgo! Kembali!” teriak  Abadseto.

Tapi pemuda itu sudah lari masuk ke dalam kamarnya dan mengunci diri. Di dalam kamar ini sudah ada Mawar Merah, sejak malam tadi memang berada di situ.

“Aku sudah mendengar semua percakapan kalian,” kata Mawar Merah dan duduk di samping Pringgo. “Apa yang kusangka betul semua, bukan?”

“Tak ada yang perlu dikhawatirkan Mawar,” kata Pringgo perlahan. “Ayahku memang keras. Tapi lihat saja nanti hatinya akan lumer. Jangan lupa, aku anak lelaki satu-satunya. Apa yang aku minta pasti diluluskan.”

***

Apa yang dikatakan Pringgo memang betul. Takut putera tunggal mereka minggat maka dengan berat hati kedua orang tuanya terpaksa menuruti kemauan Pringgo. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali pemuda itu menyiapkan kereta. Dia sendiri yang bertindak sebagai kusir dan meninggalkan rumah besar setelah berpesan kepada kedua orang tuanya agar menunggu sampai dia kembali bersama gadis calon istrinya. 

Baik Abadseto maupun istrinya sama sekali tidak mengetahui kalau Mawar Merah lebih dahulu sudah disembunyikan Pringgo di dalam kereta itu. Si pemuda memacu kereta meninggalkan perkebunan. Di situ tempat dia membelok memasuki hutan lalu hentikan kereta. Seraya membuka pintu kereta pemuda ini berkata,

“Calon pengantinku, keluarlah. Kau tak usah sembunyi lagi. Sebentar lagi kita kembali ke rumah. Kau akan menemui kedua orang tuaku lalu semua akan beres.”

Ratu Mesum alias Mawar Merah yang bersembunyi di lantai kereta berdiri sambil tersenyum. “Kalau saja tidak untuk jadi istrimu tak akan mau aku menyiksa diri seperti  ini.” katanya.

Pringgo tertawa dan cepat dia memeluk serta menciumi perempuan itu. Belum apa-apa menyusul tangannya menggerayang.

“Hus! Kau ini selalu tidak sabaran. Nanti bedak, gincu dan alisku berantakan…” ujar Mawar Merah seraya lepaskan rangkulan Pringgo.

Pemuda ini tertawa gelak-gelak. “Tidak berdandanpun kau tetap cantik,” katanya.

Saat itu sebenarnya Ratu Mesum tengah berusaha menahan dorongan hati jahatnya yang menginginkan agar dia membunuh pemuda itu saat itu juga. Namun ingat akan rencana yang ingin dilakukannya maka niat itu terpaksa diurungkan.

“Kita kembali sekarang?” tanya Pringgo.

“Jangan buru-buru. Orang tuamu nanti curiga,” jawab Mawar Merah.

Pringgo mengangguk menyetujui. Pada saat kedua orang itu saling berdiam diri tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi. Yang menyanyi jelas lebih dari dua atau tiga orang. Dan suara mereka seperti suara anak-anak. Pringgo memandang berkeliling keheranan.

“Aneh! Anak-anak mana pula yang menyanyi itu. Di mana mereka. Bagaimana bisa dan berani masuk dalam hutan ini?” Pringgo  terus mencari-cari ke arah datangnya suara nyanyian itu. Kemudian dia berpaling pada Mawar Merah dan melihat paras calon istrinya itu berubah.

“Mawar, ada apakah? Kau tampak pucat,” Pringgo berkata seraya pegangi tangan perempuan itu. “Kau mengenali suara yang nyanyi itu?”

“Pasti mereka!” desis Ratu Mesum seraya memandang tajam ke arah kerapatan pohon-pohon tinggi di sebelah kirinya.

“Mereka siapa?” tanya Pringgo lagi. 

Ratu Mesum tak menjawab. Yang ada dibenaknya saat itu adalah ingatan akan kejadian di gudang padi beberapa waktu lalu. Ketika orang-orang bersembunyi  melemparinya dengan buah kecapi hingga dia tidak mampu membunuh Iblis Gila Tangan Hitam.

“Sudahlah. Kita kembali saja ke rumahmu, Pringgo!”

“Tidak, aku ingin mendengar seluruh nyanyian itu lebih dulu!” sahut si pemuda. 

Ratu Mesum tak bisa berbuat apa-apa kecuali masuk ke dalam kereta dengan hati kesal tapi juga ada asa khawatir. Selain nyanyian hal apa pula yang akan dilakukan oleh mahluk-mahluk yang tak kelihatan itu. Manusia atau setankah mereka? Dari kerapatan pepohonan tinggi di ujung kiri kembali terdengar suara ramai nyanyian.

Naik kereta bagus
Masuk ke dalam rimba
Menyusun rencana mulus
Mendustai orang tua

Naik kereta kuda
Berdua tertawa-tawa
Hari ini penuh gembira
Besok lusa entah terjadi apa

Warna merah warna indah
Indah kalau itu bunga
Celaka kalau itu warna darah

“Pringgo, ayo kita tinggalkan tempat ini,” kata Ratu Mesum yang jadi tidak enak mendengar kalimat-kalimat dalam nyanyian itu. Dia khawatir kalau-kalau kata-kata dalam nyanyian itu akan  menyerempet dan membuka rahasia dirinya. 

Meskipun merasa aneh dengan kejadian itu namun Pringgo naik juga ke atas kereta. Selagi dia memutar kendaraan itu, dari jendela kereta Ratu Mesum angkat tangan kanannya dan lepaskan satu pukulan tangan kosong ke arah rimbunan pohon di sebelah kiri atas. Yaitu dari jurusan mana tadi dia mendengar datangnya suara nyanyian. Pringgo terkejut  ketika didengarnya suara  patahan cabang-cabang serta ranting-ranting pohon disusul dengan suara pekik ramai sekali. Tapi orang-orang yang berteriak itu tetap tidak kelihatan.

“Rasakan! Paling tidak di antara kalian ada yang celaka!” ujar Ratu Mesum dalam hati. Lalu dia berkata pada Pringgo agar lekas-lekas tinggalkan tempat itu. Namun di depan sana terdengar suara pemuda berteriak.

“Mawar! Aneh! Kuda ini tak mau jalan!” pemuda itu tarik-tarik tali kekang bahkan pukul pinggul kuda penarik kereta. Tetap saja binatang itu tidak mau jalan bahkan bergerakpun tidak. 

Ratu Mesum maklum apa yang terjadi. Dia keluar dari kereta dan memeriksa kuda itu dengan cepat. “Binatang ini ditotok,” dia membatin. Memandang ke tanah dilihatnya sebuah batu kecil. “Hemmm….” Ratu Mesum raba tubuh kuda itu di beberapa bagian. Lalu dia memukul kuda ini di bagian  kuduk. Demikian kerasnya hingga binatang itu meringkik, terlonjak dan lari. Ratu Mesum cepat melompat masuk ke dalam kereta.

“Mawar, apa yang sebenarnya  terjadi?” tanya Pringgo yang masih tidak mengerti.

Ratu Mesum tak mau menceritakan. Dia menjawab, “Pegang saja tali kekang baik-baik. Jangan sampai menabrak. Tak ada apa-apa. Binatang itu mungkin hanya keletihan!”

Karena ingin cepat-cepat sampai agar urusan perkawinannya dengan perempuan itu lekas selesai, Pringgo pun tak bertanya apa-apa lagi.


***
TIGA

PESTA PERKAWINAN BERDARAH
ABADSETO dan istrinya tegak menunggu di tangga langkan depan rumah besar ketika kereta yang dikemudikan putera mereka memasuki pintu halaman. Dengan tersenyum lebar dan penuh bangga Pringgo membuka pintu kereta lebar-lebar lalu menuntun Mawar Merah turun dari kereta langsung membawanya ke hadapan kedua orang tuanya.

“Ayah, ibu. Ini Mawar Merah, calon menantu ayah dan ibu,” kata Pringgo pula.

Baik Abadseto maupun istrinya harus mengakui bahwa Mawar Merah memang memiliki kecantikan luar biasa. Hanya saja di mata mereka gadis itu terlalu menyolok dandannya. Dan kelihatannya orang yang ingin dijadikan istri oleh putera mereka ini berusia lebih tua dari Pringgo sendiri.

Sesuai dengan yang telah diatur lebih dulu maka Mawar Merah menjura hormat menyalami dan mencium tangan kedua orang tua Pringgo. Meskipun agak kaku, sang ibu kemudian membawa calon menantunya itu masuk ke dalam. Bau harum yang keluar dari pakaian dan tubuh Mawar Merah memenuhi ruangan dalam di mana mereka duduk. 

Pembicaraan terasa kurang lancar karena calon pengantin perempuan ini tidak banyak bicara. Pringgo yang lebih sering membuka mulut menjawab segala pertanyaan. Bahkan pemuda ini enak saja berkata agar pesta perkawinan dilangsungkan paling lambat tiga hari dimuka.

“Kalau itu memang mau kalian, kami hanya menurut saja. Lebih cepat tidak selamanya lebih baik. Buruk baiknya kalian sendiri nanti yang akan menanggung. Dan kami orang tua hanya menerima malunya saja,” kata Abadseto. 

Laki-laki ini sudah kesal. Hanya karena sayang pada putera tunggalnya ini saja maka dia mau meluluskan kemauan Pringgo. Sang ibu yang tak banyak bicara akhirnya mengundurkan diri lebih dulu, masuk ke dalam kamar hanya untuk menangis.

Siangnya di rumah besar pemilk perkebunan tebu itu mulai tampak kesibukan luar biasa. Panggung besar berikut tenda dibangun orang. Dua orang juru masak dengan dua lusin pembantu mengatur membuatan makanan dan kue-kue. Beberapa ekor sapi dan belasan ekor kambing, puluhan ayam didatangkan, siap untuk disembelih. Pokoknya pesta besar-besaran memang akan dilangsungkan demi menurut kemauan Pringgo.

Pada hari Jum’at Legi pesta mewah meriah itupun dimulai. Suara gamelan mengalun tiada henti. Tetamu yang datang seperti tak habis-habisnya, malam harinya akan diadakan pula pertunjukan wayang kulit dengan dalang terkenal dari Semarang.

Pengantin lelaki kelihatan selalu tersenyum simpul. Pengantin perempuan tampak tenang dan sesekali juga ikut tersenyum. Dalam hatinya Ratu Mesum hampir tak habis pikir kalau hari itu dia benar-benar akan duduk di pelaminan, jadi pengantin! Namun ketenangannya itu tidak berjalan lama. Senyum simpulnya yang sejak pertama kali datang bersalaman selalu memandang kepadanya sambil berbisik-bisik satu sama lain. 

Ratu Mesum coba mengingat-ingat di mana dia sebelumnya pernah melihat kedua orang itu. Akhirnya dia ingat. Dua lelaki itu adalah dua orang tamu penting pada pesta perkawinan Ungguljati di mana dia menculik pengantin lelaki itu. Melihat gelagat keduanya jangan-jangan mereka mengenali dirinya. Begitu Ratu Mesum berpikir. Karena gerak-gerik kedua tamu itu tak pernah lepas dari perhatian dan sudut mata Ratu Mesum.

Tamu yang memakai belangkon putih berbunga-bunga biru berbisik pada kawannya yang memakai baju lurik coklat bertopi hitam. “Liku, kau ingat peristiwa berdarah pada pesta perkawinan puteri Gede Ageng Kuntjoro di Sumbersari tempo hari?”

“Tentu saja,” jawab kawannya yang bernama Tombo. 

Keduanya adalah pedagang beras terkenal dari daerah selatan. Mereka sempat menghadiri pesta perkawinan Sri Pujiati dengan Ungguljati yang kemudian menjadi kacau bahkan berubah menjadi bencana mengerikan. 

“Siapa yang bisa melupakan kejadian itu. Aku sampai tak bisa makan beberapa hari karena ngeri dan mual membayangi mayat-mayat yang bergelimpangan dan darah bergenangan. Eh, kenapa kau bertanyakan hal itu Tombo?”

“Coba kau perhatikan wajah pengantin perempuan itu. Apa pendapatmu…?” ujar Tombo.

“Tentu saja parasnya cantik jelita. Lucu, kenapa kau bertanya begitu?”

“Coba kau perhatikan baik-baik Liku. Lalu kau ingat-ingat wajah perempuan berjuluk Ratu Mesum yang menjatuhkan malapetaka maut di pesta di Sumbersari itu.”

Mendengar kata-kata kawannya itu Liku kembali memandang wajah pengantin perempuan yang duduk di pelaminan. Astaga! Berubahlah paras Liku dan dia berpaling pada Tombo. Sambil pegangi lengan kawannya Liku yang kini merasakan tengkuknya menjadi dingin lantas berbisik dengan suara bergetar, “Tombo, mataku bisa salah. Tapi ingatanku sekarang terang. Paras pengantin perempuan itu persis sama dengan wajah Ratu Mesum!”

“Nah, sekarang kau tahu apa maksudku menyuruh memperhatikan. Apa pendapatmu?”

“Terus terang, lama-lama berada di sini aku menjadi ngeri. Kalau dia benar-benar Ratu Mesum lebih baik kita angkat kaki dari sini. Tapi, bagaimana dia bisa diambil menantu oleh Abadseto?”

“Ini memang mengherankan. Bagaimana kalau kita cepat-cepat kembali ke Sumbersari melaporkan hal ini pada Pujiati dan ayahnya?”

“Aku setuju rencanamu. Tapi kita harus menyelidik dulu. Jangan sampai kesalahan. Kalau pengantin itu nanti ternyata bukan Ratu Mesum, kita bisa berabe...”

“Lalu apa tindakanmu?” tanya Tombo.

“Kau duduk saja di sini. Aku akan mencari keterangan di kalangan para tamu.” sahut Liku. Kawannya mengangguk. Liku berdiri dan menyeruak di antara tetamu yang berjubalan.

Ditunggu beberapa lama Liku tak muncul. Waktu berjalan terus. Sampai lewat sepenanakan nasi lelaki itu tak juga kembali. Tombo memandang berkeliling mencari-cari. Tak kelihatan sang kawan. Di pelaminan pengantin lelaki duduk seorang diri. Ke mana pengantin perempuan? Rupanya sedang ke belakang, pikir Tombo. 

Tak lama kemudian pengantin perempuan diiringi dua dayang-dayang kecil pengiringnya muncul kembali dan duduk di pelaminan. Juru rias menyeka keringat yang ada di kening pengantin perempuan. Tombo kembali mencari-cari. Liku tak kunjung muncul. Akhirnya dia berdiri, memutuskan untuk mencari. 

Pada saat itulah terjadi kehebohan di dekat dapur. Dua orang pembantu juru masak menemukan sesosok tubuh mengeletak mati. Mukanya hancur tak dapat dikenali. Dengan susah payah Tombo menyeruak diantara orang banyak. Begitu dia sampai di hadapan sosok tubuh yang mengeletak di tanah itu, pucatlah wajah Tombo. Lututnya goyah dan hampir saja dia mengeluarkan seruan. 

Manusia yang telah jadi mayat itu, walaupun mukanya rusak sulit dikenali, namun Tombo jelas mengetahui dari pakaian dan blangkonnya yang bercampak di tanah, orang itu adalah Liku, kawannya. Didorong oleh rasa takut yang amat sangat Tombo bukannya berusaha menolong atau mengangkat jenazah kawannya, malah dia cepat-cepat meninggalkan tempat pesta itu, memacu kudanya sekencang yang bisa dilakukannya, kembali menuju Sumbersari.

***

KEESOKAN harinya pesta yang direncanakan tiga hari tiga malam itu dilanjutkan kembali. Pengantin lelaki dan perempuan duduk bersanding. Tamu kembali pula datang membanjir. Hari ini kebanyakan tamu datang dari jauh. Peristiwa ditemukannya mayat malam tadi sudah terlupakan. Liku yang malang dikuburkan orang di tepi kali. Kelihatannya tak ada yang berusaha mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi dengan lelaki itu. Mengapa dia dibunuh dan siapa pembunuhnya yang kejam.

Menjelang tengah hari serombongan tamu berkuda muncul. Kelihatannya mereka datang dari jauh. Orang-orang ini ternyata adalah rombongan dari Sumbersari. Tombo bertindak sebagai penunjuk jalan. Dalam rombongan itu tampak Gede Ageng Kuntjoro bersama puterinya yang menjadi janda dimalam pengantin yakni Sri Pujiati. Lalu tampak pula dua orang lelaki tua berpakaian serba biru. Kedua kakek ini bukan lain adalah Sepasang Ular Biru, dua tokoh silat yang pernah baku hantam dengan Ratu Mesum di pesta perkawinan Sri Pujiati.

Rombongan dari Sumbersari ini tidak langsung masuk namun menyelinap keperbagai penjuru lalu beberapa saat kemudian berkumpul lagi di pintu depan. Karena terhalang oleh kerapatan orang banyak Ratu Mesum yang duduk di pelaminan tidak dapat melihat kemunculan orang-orang itu.

“Puji, kau yakin pengantin perempuan itu adalah iblis liar yang menculik suamimu tempo hari?” bertanya Gede Ageng Kuntjoro kepada anaknya.

“Saya yakin sekali. Saya tidak akan melupakan tampang perempuan durjana itu!” menyahuti Sri Pujiati.

Sang ayah berpaling pada Sepasang Ular Biru dan bertanya pula untuk menyakinkan. “Menurut kalian bagaimana?”

Wirasona, kakek yang berjanggut menjawab, “Aku dan kawanku Sukat Rampe merasa pasti. Perempuan itu memang dajal yang kita cari-cari! Sekarang kita tunggu apa lagi. Hanya kita harus berhati-hati. Betina liar ini tinggi sekali ilmunya.”

“Kalau begitu mari kita masuk!” kata Gede Ageng Kuntjoro dan melangkah mendahului.

Abadseto dan istrinya yang mendampingi kedua mempelai di pelaminan tidak menaruh perasaan apa-apa ketika melihat empat orang tetamu mendatangi. Seperti tamu-tamu lainnya tentu saja mereka menyangka keempat orang ini adalah tetamu yang datang untuk memberi doa restu ucapan selamat. Namun Abadseto jadi terkejut ketika tiba-tiba Gede Kuntjoro berkata,

“Kisanak, dan kau mempelai perempuan. Kami ingin bicara dengan kalian. Tapi bukan di tempat ini.”

“Eh, kalian ini tetamu dari mana dan datang kemari punya maksud apa?” balik bertanya Abadseto seraya memandang meneliti pada keempat tamunya itu.

Pringgo yang merasa tidak enak dengan sikap orang-orang itu membuka mulut pula. “Ayah, kalau kau tidak kenal dengan mereka, akupun tidak kenal keempatnya. Mereka datang jelas tidak diundang. Tapi punya maksud lain.”

Sri Pujiati kini angkat bicara, “ Kami memang tidak diundang. Kami datang atas kemauan sendiri. Kami punya urusan dengan pengantin perempuan. Tapi agar tidak kesalahan tangan kami ingin tahu dulu siapa nama pengantin perempuan menantumu ini!”

“Gadis lancang!” damprat Pringgo. Sementara itu orang banyak mulai memandang dan memperhatikan orang-orang itu dengan perasaan heran. Mereka berusaha mencuri dengar pembicaraan untuk mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.

“Perlu apa kau ingin tahu nama istriku! Jika tahu tidak diundang mengapa tidak lekas angkat kaki dari sini!”

Sejak tadi pengantin perempuan berdiam diri saja. Tapi otaknya bekerja. Dia tahu jelas siapa orang-orang yang datang itu. Si gadis yang membekal pedang di punggungnya adalah istri pemuda bernama Ungguljati yang pernah diculik lalu dibunuhnya. Lelaki tua itu adalah ayah si pemuda sedang dua orang kakek berpakaian serba biru adalah Sepasang Ular Biru yang pernah bentrokan di pesta perkawinan Ungguljati. 

Kedatangan orang-orang itu pastilah untuk mencarinya guna menuntut balas. Siapa lagi yang melaporkan dirinya kalau bukan dua orang tetamu yang sebelumnya malam tadi ilihatnya bicara kasak-kusuk. Secara diam-diam dia berhasil membunuh orang yang bernama Liku, namun Ratu Mesum tak punya kesempatan untuk menyingkirkan kawannya yang satu lagi.

“Ayah, saya memang kenal dengan orang-orang ini. Mereka rupanya punya urusan penting yang tak bisa ditunda. Sementara ayah ibu serta mas Pringgo tetap di sini, saya akan ajak mereka bicara di ruang atas. Mohon izin kalian.”

Tanpa menunggu jawaban ketiga orang itu pengantin perempuan lalu melangkah ke ruangan dalam di mana terletak tangga menuju tingkat atas. Di bagian belakang gedung besar itu memang terdapat sebuah ruangan besar di sebelah atas. Kesinilah Ratu Mesum membawa keempat tamunya itu. Karena merasa khawatir dan tidak enak, pengantin lelaki segera menyusul.

“Mawar, aku harus menyertaimu. Aku tak percaya pada itikat empat orang tak dikenal ini!” kata Pringgo pula.

“Mas, ini hanya urusan kecil saja. Akan kuselesaikan dengan cepat. Kau tak usah khawatir. Sebaiknya tetap mendampingi ayah dan ibu menunggu para tamu,” kata Ratu Mesum alias Mawar Merah dengan halus. 

Tapi Pringgo tetap bersikeras hendak ikut ke atas. Terpaksa pengantin perempuan itu bicara mengancam. 

“Mas, kau ingat syarat perjanjian kita tempo hari? Jika kau banyak ingin tahu dan tak mau mengikuti kata-kataku, mau mencampuri urusanku sebaiknya perkawinan ini dibatalkan saja!”

“Maksudku…” Pringgo tak meneruskan kata-katanya. Dengan sangat khawatir dia terpaksa kembali ke pelaminan.

“Urusan kecil!” tiba-tiba Sri Pujiati mendamprat. “Enak saja kau berkata begitu. Kami datang ke sini justru untuk urusan darah dan nyawa suami yang kau…”

“Sudahlah!” Ratu Mesum cepat memotong. Dia khawatir ucapan gadis yang menjadi janda di hari perkawinannya itu terdengar oleh orang. “Mari kita ke atas. Tak ada persoalan yang tak bisa diselesaikan. Hanya sayang mengapa dalam urusan ini kau dan ayahmu membawa serta pula dua kambing tua ini?”

Merahlah paras kedua kakek berpakaian biru. Jelas pengantin perempuan itu menghina diri mereka. Namun keduanya terpaksa menahan diri sementara perempuan yang mereka yakini adalah Ratu Mesum telah menaiki tangga.

Ruangan di tingkat atas itu besar sekali, berlantai papan dan tak ada sepotong perabotanpun di situ. Wirasona, kakek berjanggut berbisik pada kawannya, “Melihat keadaan tempat ini kau harus maklum apa maksud perempuan durjana ini membawa kita ke sini. Hati-hati Sukat. Besiap-siaplah!”

Kakek bernama Sukat Rampe mengangguk. Dia cukup waspada. Terlebih ketika dilihat pengantin perempuan bukan saja mengunci pintu, tapi memalangnya sekaligus. Kemudian dia membalik menghadapi keempat orang itu. Dan berkata, 

”Aku tak punya banyak waktu untuk bicara dengan kalian. Tapi kalian ingin tahu siapa namaku bukan? Coba kalian perhatikan baik-baik!”

Habis berkata begitu perempuan itu tanggalkan pakaian pengantinnya. Di balik pakaian pengantin itu kelihatanlah baju merah darah!

“Jadi jelas! Kau adalah Ratu Mesum penculik dan pembunuh suamiku!” teriak Sri Pujiati. Gadis ini segera cabut pedangnya. 

Gede Ageng Kuntjoro ayahnya menghunus keris. Sedang Sepasang Ular Biru pun tidak tinggal diam. Masing-masing loloskan senjata berupa cambuk pendek berwarna hitam berbelang kuning hingga sepintas lalu kelihatan seperti seekor ular. Keempat orang itu menyerbu dengan ganas.

Ratu Mesum maklum dia harus bertindak cepat dan keluarkan seluruh kepandaiannya. Tak ada jalan lain keempat orang itu harus dilenyapkan kalau rahasia dirinya tak mau terbuka di malam pengantin itu. Dia tidak khawatir terhadap Sri Pujiati ataupun ayahnya. Tapi terhadap dua kakek berbaju biru itu dia memang tidak boleh memandang enteng. Dengan kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada Ratu Mesum sambut serangan keempat musuhnya.

Gede Ageng Kuntjoro adalah orang yang pertama sekali terjengkang ke lantai ketika tusukan kerisnya ditangkis Ratu Mesum dengan pukulan keras yang mematahkan tulang lengannya. Sri Pujiati dengan kalap dan penuh dendam menebaskan pedangnya ke leher Ratu Mesum namun dengan mudah dielakkan seraya memukul ke arah kakek di samping kanan yang menghantam dengan cambuk anehnya. Terdengar suara seperti petir menyambar disertai asap hitam kuning ketika cambuk itu berkiblat.

“Kambing tua, kau mampuslah!” bentak Ratu Mesum seraya membungkuk dan lepaskan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam dahsyat. 

Wirasona yang menerima serangan balasan itu dibikin kaget. Dia terlalu mempercayai kehebatan senjatanya yang asapnya bisa melukai kulit lawan, karena dia hanya menyingkir sedikit ke samping tapi tetap susupkan ujung cambuknya ke arah leher lawan. Tidak terduga Ratu Mesum justru angkat tangannya untuk menangkap dan membetot cambuk di tangan si kakek. 

Karena tenaga dalam perempuan ini jauh lebih tinggi, ketika si kakek coba mempertahankan diri akibatnya dia ikut terseret ke depan. Sebelum dia sanggup mempertahankan diri, tendangan kaki kanan Ratu Mesum cepat sekali melabrak perutnya. Kakek malang ini keluarkan seruan kematian. Korban kedua jatuh sudah. 

Kalau Sukat Rampe jadi terkesiap kecut melihat kematian kawannya, lain halnya dengan Sri Pujiati. Dengan kalap membabi buta gadis ini menggempur Ratu Mesum dengan serangan pedang yang berkelebat kian kemari, menabur mengurung tubuh lawan.

Sambil tertawa Ratu Mesum berkata, “Gadis cantik tapi tolol. Kau datang kemari hanya mengantar nyawa. Rupanya kau ingin buru-buru menyusul suamimu!”

“Iblis durjana, kalaupun aku mati di tanganmu aku tak gentar. Tidak aku tapi satu hari kelak kau bakal menerima hukuman!”

Ratu Mesum tertawa panjang. “kalau kau memang sudah pasrah untuk mampus aku tak segan-segan lagi menunjukkan pintu akhirat!”

Lalu Ratu Mesum membuat gerakan tubuh seperti hendak menyerbu ke arah Sukat Rampe, namun ia hanya satu tipuan saja. Begitu Sri Pujiati hendak menggempurnya dari samping, dia berbalik menyongsong. Lengan kanan memukul tangan Sri Pujiati yang memegang pedang sedang tangan kiri menjambak rambut gadis itu. Dengan tenaga yang luar biasa Ratu Mesum bantingkan kepala Sri Pujiati ke dinding. Begitu kerasnya hingga kepala gadis itu pecah dan tubuhnya angsrok ke lantai tanpa nyawa lagi!

“Perempuan biadab! Aku mengadu nyawa denganmu!” teriak Sukat Rampe. Mulutnya komat-kamit, entah membaca mentera entah mengeluarkan kutuk serapah. Tubuhnya berkelebat ke depan. Cambuk pendek di tangan kanannya dikiblatkan kian kemari hingga mengeluarkan suara berdentam-dentam dan asap hitam kuning menggebubu menutupi pemandangan. 

Ratu Mesum cepat tutup jalan nafas. Dia maklum kakek satu ini lebih tinggi kepandaiannya dari kawannya yang sudah menemui kematian. Setelah saling baku serang selama empat jurus tiba-tiba. Ratu Mesum melompat tinggi ke atas hampir menyondak langit-langit ruangan. 

Sukat Rampe tahu kalau musuh memiliki kepandaian menebar semacam hawa harum yang bisa membuat lemas dan lumpuh. Sambil tutup jalan nafasnya dia putar cambuk lindungi diri tapi apa lacur ketika dia melihat ke depan dan ke atas, lawan tak tampak lagi. Lenyap entah ke mana. 

Tiba-tiba ada sambaran angin datang dari belakang. Sukat Rampe berpaling seraya hantamkan cambuk di tangan kanan dan lepaskan pukulan tangan kiri. Namun terlambat. Satu pukulan pinggiran telapak tangan yang keras mendarat di pangkal lehernya. Krak! Terdengar suara patahnya tulang leher kakek itu. Tubuhnya roboh ke lantai tanpa bisa berkutik. Mati.

Sudut mata Ratu Mesum menangkap gerakan di samping kiri. Yang bergerak adalah Gede Ageng Kuntjoro yang tengah berusaha bangkit sambil pegangi lengannya yang patah. Ratu Mesum menyeringai dan pungut pedang milik Sri Pujiati yang tercampak di lantai. Senjata itu diacungkannya pada orang tua itu. 

“Kau boleh pilih, mau mati bunuh diri atau minta kubantu!”

“Perempuan terkutuk! Aku memilih bunuh diri!” sahut Gede Ageng Kuntjoro. Lalu dirampasnya senjata itu dari tangan Ratu Mesum. Sikapnya seperti memang mau bunuh diri. Tapi tiba-tiba ujung pedang dibalikkannya, secepat kilat ditusukkan ke perut perempuan itu.

Bret!

Untung Ratu Mesum cepat berkelit. Kalau tidak perutnya pasti kena tembus, itupun pakaian pengantinnya sempat robek. Dengan menggembor marah Ratu Mesum rampas pedang itu dari tangan Gede Ageng Kuntjoro lalu menusukkannya hingga tembus ke punggung. Lelaki ini roboh di lantai dengan pedang masih menancap di dadanya.

Pada saat keributan berlangsung di tingkat atas itu seorang anggota keluarga datang berlari menemui Abadseto dan berkata, “Celaka kakangmas! Aku mendengar suara ribut-ribut di tingkat atas. Seperti perkelahian!”

Mendengar itu Abadseto dan Pringgo langsung melompat dari pelaminan dan lari menaiki tangga. Pringgo sampai di depan pintu ruangan atas lebih dulu. Pintu ini digedornya seraya berteriak. “Mawar! Buka pintu! Apa yang terjadi di dalam!”

“Mawar lekas buka pintu!” Abadseto yang juga sudah sampai di situ ikut berteriak malah coba mendobrak pintu, tapi tak berhasil. Sementara itu sebagian tamu dan para anggota keluarga sudah ikut pula lari menuju pintu tingkat atas itu.

“Mawar! Lekas buka pintu!” teriak Pringgo lagi.

Pintu tiba-tiba terbuka dari dalam. Mawar Merah muncul. Sikapnya tenang saja. Lewat pintu yang terbuka semua mata memandang mendelik ketika menyaksikan empat mayat yang terkapar di lantai. Darah kelihatan di mana-mana!

“Gusti Allah! Apa yang terjadi!” seru Abadseto. Pringgo peluk istrinya. “Mawar! Kau tak apa-apa? Siapa mereka. Apa yang mereka lakukan terhadapmu?!”

“Tiga lelaki itu, dibantu oleh gadis itu berusaha hendak memperkosaku!” jawab Ratu Mesum. Lalu dia tunjukkan pakaian pengantinnya yang robek dibagian dada di sebelah bawah perut. Padahal sebelum dia membuka pintu, dia sempat sendiri yang sengaja merobeknya. Perempuan ini memang cerdik dan licik.


***
EMPAT

HARI KESERATUS
KITA tinggalkan malapetaka berdarah yang terjadi pada pesta perkawinan Ratu Mesum alias Mawar Merah dengan Pringgo, putera Abadseto pengusaha perkebunan tebu kaya raya itu.

Hari itu adalah hari ke seratus. Hari perjanjian untuk bertemu kembali antara Datuk Iblis Penghisap Darah alias Lembu Surah dengan kekasih dimasa mudanya yakni Kunti Kendil, guru Wirapati (Iblis  Gila Tangan Hitam) dan juga guru Mahesa. 

Pagi-pagi sekali Kunti Kendil telah berpakaian rapi dan duduk di cabang pohon tinggi di puncak gunung Iyang. Dari tas pohon itu bukan saja dia dapat mengawasi seantero lamping gunung sampai jauh ke bawah, tapi juga dapat juga memperhatikan setiap orang yang naik dan datang ke tempat kediamannya. Hatinya gembira kerena Lembu Surah sudah berjanji akan datang hari itu. 

Namun diam-diam ada dua kekhawatiran dalam hatinya. Pertama apakah bekas kekasihnya itu benar dan pasti akan datang. Kedua bagaimana dengan Mahesa. Muridna itu telah mengetahui apa yang dulu terjadi seratus hari lalu di sini. Bukan mustahil dia akan datang pula ke puncak Iyang untuk mengetahui kelanjutan peristiwa itu. Jika murid nakal itu datang rusaklah acara pertemuannya dengan Lembu Surah.

Di langit matahari mulai bersinar terik. Namun angin gunung yang sejuk mengalahkan hawa panas sang surya. Kunti Kendil duduk uncang-uncang kaki di cabang pohon. Kedua matanya mulai terkantuk-kantuk. Menjelang tengah lereng gunung dilihatnya sesosok tubuh berlari cepat menuju puncak.

“Aih, akhirnya dia benar-benar muncul!” kata si nenek tertawa lega. Dia siap melompat turun dari atas pohon. Namun ketika dia memandang sekali lagi ke arah sosok tubuh yang mendatangi dan semakin  dekat itu, berubahlah paras keriput perempuan tua ini.

“Edan! Bukan dia!” seru si nenek dengan tenggorokan tercekat. “Dan bukan pula Mahesa murid setan itu! Keparat siapa yang datang ini! Kalau dia tidak segera angkat kaki dari sini terpaksa aku membunuhnya!” Begitu Kunti Kendil merutuk serapah dalam hati.

Tepat ketika dia melompat dan turun ke tanah, orang yang datang dari lereng gunung sampai di dekat tumpukan batu lalu melangkah ke arahnya. Memandangi orang yang datang ini Kunti Kendil coba mengingat-ingat siapa adanya orang itu dan kapan serta di mana dia pernah bertemu. Mungkin mereka pernah berjumpa sekitar puluhan tahun silam.

“Tamu tak diundang dari mana yang berani datang ke puncak Iyang ini?” menegur Kunti Kendil dengan membentak keras.

Orang yang datang tertawa lebar. Seperti tak acuh atas teguran galak itu dia duduk di atas sebuah batu besar. Lalu keluarkan sebatang rokok kawung, menyalakannya, menyedotnya dalam-dalam. Setelah menghembuskan asap rokoknya dia memandang pada Kunti Kendil dan kembali tertawa. Tentu saja sikap orang ini membuat si nenek jadi seperti cacing kepanasan menahan jengkel.

“Aku menegurmu apa kau tuli tidak mendengar?!” hardik Kunti Kendil.

“Aih, nenek tua kau masih saja bawel seperti masa mudamu. Rupanya kau tidak lagi mengenaliku. Memang di usia setua ini tampangku tambah buruk, aku tidak menyalahkanmu, kita hanya pernah bertemu satu kali, empat puluh tiga tahun lalu!”

“Anak setan! Aku tidak tanya segala usia ataupun mempersoalkan tampang burukmu, aku tanya apa kau tuli hingga tidak menjawab mengapa kau datang tanpa diundang!” 

Si kakek kembali tertawa dan sedot rokoknya. Tubuhnya kurus kerempeng. Pakaiannya rombeng dan mukanya menyeramkan karena hanya dilapisi kulit tipis hingga tidak beda dengan tengkorak!

“Kunti Kendil, tentu saja aku tidak tuli,” menjawab si kakek. “Bicara soal undangan, jika segala kedatangan harus memakai surat undangan, berapa ratus ribu surat undangan yang harus dilayangkan orang di dunia ini? Hik hik hik…!”

Dijawab seperti itu tambah jengkellah Kunti Kendil. Dia masih sulit menebak siapa adanya kakek muka jerangkong ini. Anehnya si kakek mengetahui namanya. Dan melihat rokok kawung yang dihisapnya Kunti Kendil ingat pada rokok yang dihisap Mahesa. Bentuk dan jenisnya sama. Jangan-jangan kakek jelek inilah yang mengajarkan kepada muridnya merokok!

“Aku tak ingat siapa dirimu adanya. Empat puluh tiga tahun bukan waktu sebentar. Lagi pula tak ada perlunya aku mengingat-ingat. Katakan saja lekas apa maksud kedatanganmu kemari!”

Kakek muka jerangkong itu  yang bukan lain adalah Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil cabut rokonya dari sela bibir, lalu menjawab “Aku kemari mencari si buyung!”

“Sompret!” maki Kunti Kendil. “Tak ada orok atau anak kecil yang pantas kau panggil si buyung di tempat ini! Jangan bicara ngaco!”

“Nenek cerewet! Kalau tidak ada masakan aku jauh-jauh datang kemari!”

Kunti Kendil menggendeng. “Kalau begitu lekas katakan siapa yang kau maksudkan dengan si buyung itu!” ujar si nenek pula.

“Sahabatku. Muridmu yang bernama Mahesa itu!”

“Hemmm… dia? Mana aku tahu anak setan itu sahabatmu. Dia tak ada di sini!”

“Mungkin kau tahu dimana aku dapat mencarinya?”

“Mana aku tahu. Lagi pula aku tak perduli dia ada di mana. Cuma apa perlumu mencarinya. Maksud baik atau  maksud jahat?!”

“Kalau aku mencari sahabat tentu dengan maksud baik. Aku perlu beberapa keterangan dari dia.”

“Keterangan apa?” tanya Kunti Kendil ingin tahu.

Kakek itu tertawa. “Tak ada salahnya jika kukatakan padamu,” katanya kemudian. “Pertama aku ingin tahu di mana beradanya Roko Nuwu alias dukun bejat berjuluk Embah Bromo Tunggal….”

“Hemmm… apa perlumu mencari dukun itu?” tanya Kunti Kendil.

“Dia mencuri sesuatu dariku. Sesuatu itu harus kukembalikan kepada pemiliknya.” jawab Pendekar Muka Tengkorak.

“Aku tidak tahu di mana dukun keparat itu berada. Nah, katakan apa keperluanmu yang  lain.” kata Kunti Kendil pula.

“Yang lain itu hanyalah untuk ngobrol-ngobrol saja dengan muridmu itu. Lama tak bertemu tentu banyak bahan obrolan!”

“Muridku tak ada di sini. Tempatku ini bukan tempat untuk mengobrol. Karenanya silakan kau angkat kaki dari sini!” ujar Kunti Kendil.

Si kakek hisap sisa rokoknya dalam-dalam lalu campakkan puntung rokoknya ke tanah. Sesaat dia mengusap dagunya lalu memandang ke jurusan timur lantas berkata, “Aku kenal baik dirimu meskipun hanya sekali bertemu. Biasanya kau cukup ramah bertemu dengan orang-orang seangkatan. Hari ini kulihat kau seperti tidak suka menerima tamu yang tak diundang. Rupanya kau tengah menunggu kedatangan seseorang. Dan orang yang kau tunggu itu sudah datang. Baiklah, aku tak mengganggumu lebih lama.” Kakek muka tengkorak itu berdiri lalu sebelum pergi dia berkata, “Jika muridmu si buyung itu muncul di sini, katakan aku si muka tengkorak mencarinya.” Lalu orang tua kerempeng muka jerangkong inipun berkelebat pergi.

“Aneh, bagaimana dia bisa tahu aku tengah menunggu  seseorang,” pikir Kunti Kendil. Baru saja nenek itu berkata begitu sesosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu sudah tegak dihadapannya.

“Kunti Kendil, aku Lembu Surah datang memenuhi janji!”

“Lembu! Aku gembira kau datang!” seru si nenek. Memperhatikan keadaan lelaki  tua itu si nenek tambah gembira. Betapakah tidak. Mukanya yang walaupun masih tertutup topeng berwarna kuning kini tampak lebih kelimis. Pakaiannya rapi, putih bersih bergambar kelabang hitam. Hanya saja dia masih menyandang kantong kulit berisi cairan darah yang biasanya menebar bau busuk. Tapi kali ini cairan busuk itu tidak tercium lagi.

“Aku sudah memutuskan untuk menuruti kemauanmu Kunti. Kupikir tubuh yang sudah bau busuk ini tak akan lama lagi bisa hidup. Mungkin ada baiknya kalau sisa hidup ini kuhabiskan dalam jalan lurus dan baik. Berbuat kebajikan!” Begitu Lembu Surah yang bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah keluarkan kata-katanya dengan polos.

Sepasang mata Kunti Kendil tampak berkaca-kaca. “Jadi kau terima seluruh syarat-syaratku?” tanya si nenek ingin kepastian.

“Kau lihat sendiri aku tak lagi membekal darah busuk itu. Kantung ini berisi tuak kelas rendah yang tak akan memabukkan sekalipun diminum sampai tujuh gentong!” menyahuti Lembu Surah.

“Bagus. Tapi itu baru satu syarat yang kau penuhi. Perjanjian kita tempo hari ada beberapa syarat,” ujar Kunti Kendil. “Kau ingat?”

Lembu Surah Mengangguk. “Memang di sisa usia yang tak seberapa ini tak pantas lagi rasanya terlibat dalam soal bunuh membunuh yang tak kau sukai itu. Aku bersedia tidak melakukan hal itu lagi. Tapi kau harus mengerti. Musuhku terlalu banyak. Sekalipun aku keluar dari kesesatan mereka mungkin akan tetap terus mencariku. Nah jika musuh datang tak mungkin aku berdiam saja….”

“Jika mereka berani datang aku akan katakan pada mereka bahwa kau sudah meninggalkan cara hidup yang sesat itu. Lantas kalau mereka masih keras kepala, tak mau mengerti dan tetap melampiaskan dendam kesumat juga, maka aku sendiri tak akan segan-segan turun tangan membantumu. Hanya bagiku dua syarat tadi itu hanya syarat-syarat pendamping. Yang penting aku ingin tahu apakah kau bersedia mengawiniku…?!”

“Soal itu memang sudah kupikirkan. Ada satu kenyataan yang harus kau sadari Kunti…”

“Kenyataan apa?”

“Kita sudah sangat tua. Malah tua bangka kata orang. Hampir masuk liang kubur. Kalau kita kawin secara resmi tentu akan diketawai orang-orang persilatan…”

“Perduli setan dengan mereka!” tukas Kunti Kendil.

Datuk Iblis tertawa lalu gelengkan kepalanya. “Selama kita merupakan bagian dari dunia persilatan, selama itu pula kita tak bisa lepas dari mereka.”

“Orang-orang persilatan. Huh!” dengus Kunti Kendil. “Jika kita susah apa mereka mau tahu? Jika kita senang mereka menfitnah. Karena itulah aku sudah mengambil keputusan untuk menghabiskan sisa hidup dengan berdiam di puncak Iyang ini saja. Dan tentunya bersamamu sebagai suami istri. Sekalipun memang kita tak perlu kawin resmi seperti yang kau takutkan itu!”

“Kalau begitu urusan kita rampung sudah,” kata Lembu Surah.

Kunti Kendil tersenyum gembira. “Jadi mulai hari ini kau tinggal di sini, Lembu.”

“Mauku begitu. Hanya mungkin hari ini aku tak bisa lama-lama. Ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan. Paling lama satu minggu dimuka sudah ada lagi di sini…”

Mendengar hal itu berubahlah paras si nenek. “Kau hendak mempermainkan aku atau bagaimana, Surah?” tanyanya.

Lembu Surah mendekat dan pegang lengan Kunti Kendil. “Kalau aku sudah berjanji, aku tak akan memungkiri. Kalau memang aku ingin mempermainkan  kau atau bicara dusta perlu apa hari ini aku datang kemari?”

Kunti Kendil terdiam. Dia seperti merenung. Sesaat kemudian nenek ini berkata. “Baiklah, aku percaya padamu. Aku sudah membangun  sebuah pondok kayu di puncak sebelah timur. Tidak bagus. Tapi cukup indah buat kita berdua. Kau perlu istirahat Surah. Paling tidak bermalam satu malam, besok pagi-pagi kau boleh pergi. Atau mungkin aku boleh ikut bersamamu?”

Lembu Surah menggeleng. “Tak usah. Lebih baik jika aku menyelesaikan semua urusanku sendiri. Aku khawatir jika kau muncul lagi masalah-masalah baru….” Kakek ini kembali pegang lengan si nenek dan berkata, “Mana, tunjukkan aku pondok barumu itu.” Sambil berpegangan kedua nenek dan kakek ini melangkah menuju arah timur puncak gunung Iyang.


***

Keesokan paginya Lembu Surah meninggalkan puncak Iyang dilepas oleh Kunti Kendil. Pagi tampak cerah, udara sejuk dingin terasa sedap di jalan pernafasan. Karena merasa tidak perlu buru-buru Lembu Surah berlari santai saja. Karena menjelang tengah hari baru dia sampai di kaki gunung Iyang. Mendongak ke atas dia melihat puncak gunung tertutup awan. 

Terbayang olehnya wajah Kunti Kendil. Wajah tanpa kedok kulit tipis yang cantik jelita. Terbayang juga olehnya semua yang terjadi malam tadi. Kakek ini geleng-gelengkan kepala  sambil tersenyum. Lalu dia teruskan perjalanan kembali. Baru saja dia melangkah beberapa belas langkah tiba-tiba dari balik sebuah batu besar terdengar suara orang berkata,

“Dewiku! Pembunuh yang kita tunggu sudah muncul! Mari kita cegat untuk dimintai nyawanya! Waw waw waw!”

Lembu Surah terkejut. Dia kenal betul suara itu. “Ah ini urusan berabe yang tak bisa dielakkan!” keluh si kakek yang memakai topeng kulit tipis berwarna kuning.

Dua sosok tubuh berkelebat dan menghadang di depannya. Yang satu, seperti diduganya adalah Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam, murid Kunti Kendil yang sejak kemarin menjadi istrinya walaupan dalam satu perkawinan tanpa disaksikan siapapun! Orang kedua adalah sama sekali tidak diduganya. Orang ini adalah gadis cantik berpakaian kuning yang dulu pernah digilainya hingga dikejarnya ke mana-mana.

“Ada hubungan apa pemuda gila ini dengan gadis berbaju kuning itu.” membantin Lembu Surah. “Bagaimana dia mengetahui kalau hari ini aku muncul di sini?!”

“Datuk Iblis! Waw waw! Hari ini akhirnya kau tak bisa lolos lagi dari tanganku! Hutang nyawa dibayar nyawa. Apa kau sudah tahu kalau hari ini adalah hari kematianmu?! Waw... waw!”

Lembu Surah tak segera menjawab. Menghadapi Wirapati kali ini tidak sama dengan menghadapi pemuda itu sebelum dia menyatakan  persetujuan hidup sebagai suami istri dengan Kunti Kendil. Dia tidak takut terhadap pemuda ini, namun jika dia bertindak setengah-tengah berarti bisa mencelakakan dirinya sendiri. Sebaliknya jika dia sampai mencelakai pemuda ini, bagaimana urusannya dengan Kunti Kendil nanti?

“Wirapati,” kata Lembu Surah. “Apapun yang terjadi di waktu lalu kau lupakan. Sundari mati adalah akibat dari keadaan yang tak bisa dihindari. Lagi pula satu hal harus kau ketahu. Sejak kemarin aku telah menjadi suami Kunti Kendil….”

“Waw waw! Siapa itu Kunti Kendil. Aku tak perduli. Dan sekalipun kau suaminya setan kepala tujuh tetap saja kau harus menyerahkan nyawamu kepadaku. Baru arwah dewiku bisa tentram dialam baka!”

“Kak Wira, ingat apa janjimu padaku?” untuk pertama kali Kemala membuka mulutnya.

“Waw waw! Apa janjiku, aku tidak ingat!” jawab Wirapati.

“Kau berjanji untuk tidak lagi melakukan pembunuhan!”

“Waw waw! Janji memang harus ditepati. Tapi lihat dulu  urusannya dewiku. Orang enak saja membunuh manusia yang kukasihi lalu apakah kau hanya berpangku tangan?!” tukas Wirapati.

“Yang sudah biarlah berlalu. Mari kita tinggalkan tempat ini,” kata Kemala seraya tarik lengan Wirapati. Namun sekali ini Wirapati tak mau tunduk pada gadis itu.

“Kemala, aku memang berjanji akan mematuhi semua kata-katamu. Waw waw! Tapi demi arwah Sundari, sekali pun bencana menimpa diriku tetap aku harus membuat perhitungan dengan manusia ini!”
“Kalau kau tak patuh aku akan pergi!” mengancam Kemala.

“Pergilah, Waw waw! Tapi kaupun akan kubunuh sekalian!” kata Wirapati. Sepasang matanya tiba-tiba saja membersitkan warna merah mengerikan. Melihat hal ini Kemala segera maklum bahwa Wirapati tidak main-main.

Datuk Iblis alias Lembu Surah juga maklum kalau perkelahian tak bakal bisa dihindari. Cuma satu hal dilihatnya perubahan pada diri Wirapati. Kalau dulu pemuda ini berambut gondrong awut-awutan, berpakaian dekil dan bau, kini Wirapati berpakaian bagus bersih dan rapi. Rambutnya dicukur pendek dan badannya tidak bau. Tampangnya keren cuma kegilaan yang masih lengket di otaknya.

“Kak Wira,” kata Kemala. Dia masih berusaha membujuk, “Kalau kau memang ingin meneruskan membuat perhitungan terserahlah. Hanya kuminta jangan sampai membunuh orang tua ini. Misalnya hanya mencopot tangan kanannya dan membuat cacat seumur hidup, bukankah itu sudah lebih dari cukup?”

Ucapan sang dewi termakan juga oleh Wirapati. “Waw waw! Baiklah,” katanya. “Demi hormat dan cintaku padamu permintamu akan kupenuhi.” Habis berkata begitu Wirapati berpaling pada Lembu Surah dan berkata, “Datuk Iblis, hanya karena permintaan dewiku kuampuni nyawamu! Waw... waw!”

Paras Datuk Iblis yang kuning tampak berubah. Kedua tangannya mengepal tanda dia tengah menekan hawa amarah yang hendak meledak.

“Anak muda. Kalau tidak memandang jalan pikiranmu yang kurang sehat ditambah pula hubunganmu dengan Kunti Kendil dan hubunganku dengan perempuan itu, maka jangan harap mulutmu yang sombong kurang ajar itu bisa selamat dari hajaranku!” 

Datuk Iblis berpaling pada Kemala. Dalam hatinya terasa getaran nafsu melihat kecantikan dan keelokan potongan tubuh gadis ini. Namun mengingat janjinya pada Kunti Kendil untuk menempuh hidup baik-baik, maka dengan cepat dia menekan gelora darahnya dan berkata, “Anak gadis, aku tahu kau bernama Kemala. Dulu aku pernah bermaksud keji padamu. Tapi sekarang kau tak perlu lagi takut padaku. Hanya kuminta agar kau membawa pemuda ini pergi dari sini. Kalau terjadi perkelahian siapapun yang menang tak bakal ada yang untung!”

Kemala tertawa dingin. “Datuk Iblis!” katanya tandas. “Kalau kuingat kematian ibuku oleh anggota kompolatan penghisap darahmu, kalau kuingat pula niat kejimu mengejar aku tempo hari rasanya aku sendiri ingin memenggal batang lehermu! Tapi mengingat janjiku pada pemuda ini maka aku masih bersedia melupakan semua kejadian itu. Tapi jika kau banyak cingcong, jangan menyesal jika aku sampai merubah putusan!”

Melihat dua orang itu tak mungkin dapat dibujuk atau dirubah jalan pikirannya, maka Datuk Iblispun kini tak mau mengalah terus-terusan. Dia tidak sungkan-sungkan lagi dan berkata, “Kalau begitu minta kalian, hari yang cerah ini akan berubah jadi hari buruk!”

“Tua bangka muka kuning!” bentak Wirapati. “Waw... waw! Kau tunggu apa lagi. Lekas tanggalkan tangan kananmu, atau aku sendiri yang akan menebasnya dengan pedang dewiku?!” Wirapati gerakkan tangan kiri seperti hendak mengambil pedang yang tergantung di pinggang Kemala. 

“Edan!” maki Datuk Iblis. Sayang saat itu dia tidak lagi membawa kelabang hitam perenggut jiwa yang biasanya dimasukkan dalam kantong kulit bersama cairan darah busuk. Namun tuak yang kini ada dalam kantong itu tak kalah hebat berbahayanya jika disemburkan. Cuma memang kalah hebat dibandingkan dengan kelabang-kelabang hitam itu.

Melihat si kakek jelas tak mau mengikuti perintahnya maka berkatalah  Wirapati: “Dewiku, manusia ini rupanya tak mau ikut perintah. Waw waw! Terpaksa aku sendiri yang harus mencopot tangan kanannya. Pinjami aku pedangmu. Waw... waw. Kurasa lebih baik jika memakai tangan kosong saja!”

Habis berkata begitu Wirapati lalu melompat ke depan. Tangan kirinya yang hitam cepat sekali berkelebat ke arah tangan kanan Datuk Iblis. Yang diserang menggembor marah, menyingkir ke kiri lalu menghantam dengan pukulan tangan kanan ke arah kepala pada bagian pelipis Wirapati. Pemuda ini keluarkan suara waw waw. Sambil merunduk dia gerakkan tangan kanannya mencengkeram ke perut Datuk Iblis. Sekali perut itu kena dicengkeram pasti akan robek dan isinya berburaian keluar!

Tapi sang datuk bukan pendekar kemarin. Puluhan tahun dia sudah meyakini ilmu silat tingkat tinggi yang jarang tandingannya. Semua  serangan yang dilancarkan Wirapati menemui kegagalan. Dengan cerdik kakek ini selalu menghindari bentrokan lengan karena dia maklum bagaimana bahaya dia kena racun yang terkandung pada lengan lawan. Sekali dia kena racun itu celakalah dirinya.

Sadar dengan ilmu silat tangan kosong sulit baginya untuk menghadapi Datuk Iblis maka Wirapati lantas mulai lepaskan pukulan-pukulan saktinya. Sinar hitam berkelebat tak kunjung henti setiap Wirapati lepaskan pukulan sakti. Hanya karena memiliki ilmu meringankan tubuh yang lihay. Datuk Iblis mampu mengelakkan semua serangan itu. Namun kakek ini sadar, cepat atau lambat dirinya akan terdesak juga. 

Maka dia segera  buka penutup kantong kulitnya dan teguk tuak dalam kantong itu. Dengan semburan-semburan tuak yang mengandung tenaga dalam bukan saja dia sanggup menangkis serangan pukulan sakti lawan, malah datuk Iblis sempat membuat pakaian Wirapati berlubang-lubang di beberapa bagian dan kulit pemuda ini terasa nyeri akibat luka-luka kecil semburan tuak itu!

“Waw waw! Keparat setan  alas!” maki Wirapati. Sepasang matanya membersitkan sinar merah. Hawa amarah membuat mukanya yang klimis menjadi gelap. Tubuhnya berputar setengah lingkaran. Tiba-tiba tubuh itu melesat aneh. 

Demikian aneh dan cepatnya hingga Datuk Iblis yang sudah banyak pengalaman dan makan asam garam dunia persilatan tak  menduga, terkesiap kaget. Bagaimana pun cepatnya dia menghindar ke samping untuk cari selamat dari tendangan deras kaki kanan lawan, tetap saja tendangan itu masih sempat menyerempet pinggulnya hingga tubuhnya terpuntir melintir! 

Namun bukan tendangan itu yang berbahaya. Justru adalah serangan susulan yang kemudian dilancarkan Wirapati. Serangan susulan ini adalah jotosan tangan kiri yang mengarah ke bahu kanan!

“Gila!” teriak Datuk Iblis. Kedua kakinya dihentakkan ke tanah. Tubuhnya melesat ke kiri. Namun pukulan wirapati yang mengandung tenaga dalam serta racun jahat datang lebih cepat!

Buk!

Datuk Iblis mengeluh tinggi. Tubuhnya terbanting ke kiri. Pakaian putihnya di bagian bahu robek hangus. Kulit bahunya jelas kelihatan menjadi merah lalu berubah hitam. Sesaat kemudian sekujur tubuhnya mulai terasa panas. Ini tanda bahwa racun jahat yang mematikan mulai menjalar dalam peredaran darahnya. Tak ada jalan lain! 

Orang tua ini gigit bibirnya lalu pukulan  tangan kiri ke tulang bahu. Terdengar suara patahnya tulang bahu itu. Tengkuk Kemala merinding ketika melihat bagaimana kakek muka kuning itu kemudian membetot lepas bahu kanannya.

Darah menyembur. Datuk Iblis cepat totok pangkal ketiaknya beberapa kali. Darah yang mancur langsung berhenti. Dia sendiri kemudian jatuh terduduk di tanah, beringsut mendekati sebatang pohon dan bersandar di sana dengan nafas panjang pendek. 

Sepasang matanya memandang menyorot pada Wirapati. Diam-diam kakek ini kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kiri. Jika pemuda gila itu kembali menyerangnya maka dia akan berjibaku, melompat dan menghantam dengan tangan kiri. 

Saat itu memang Iblis Gila Tangan Hitam yang sudah dirasuk setan untuk membunuh dan melupakan perjanjiannya pada Kemala tampak melangkah mendekati Lembu Surah. Sang Datuk bersiap. Kedua kakinya ditekankan ke tanah untuk membuat lompatan.

“Kakak Wira!” tiba-tiba Kemala buka suara. “Hukuman telah kau jatuhkan. Saatnya kita tinggalkan tempat ini!”

Wirapati hentikan langkahnya. Dia sadar akan janjinya. Lalu mengangguk. “Waw waw! Baik, bagusnya memang kita tinggalkan tempat ini. Mari!”

Kedua orang itu memutar tubuh dan melangkah pergi. Namun baru saja bergerak dua langkah, dari belakang Datuk Iblis yang tak kuasa  menahan sakit hati dendam kesumat hantamkan tangan kirinya. Sinar hitam menggidikkan menggebubu menyambar ke arah tubuh Iblis Gila Tangan Hitam. 

Pemuda gila  ini begitu mendengar ada suara angin menyambar dari  belakang, cepat mendorong Kemala ke samping. Dia sendiri membuang diri ke samping yang lain. Namun gulungan sinar hitam maut yang dilepaskan Datuk Iblis memiliki ujung yang membuntal besar hingga sekalipun sudah menyingkir sebagian tubuh Wirapati tetap saja akan kena dihantam. Dan itu sudah cukup untuk membuat menemui ajal!

“Oladalah! Aku datang terlambat! Anak setan itu telah melakukan pembalasan!” tiba-tiba terdengar seruan dari balik rerumpunan pohon. Menyusul berkiblatnya satu sinar merah yang luar biasa panas dan menyilaukan!

Terdengar suara dentuman. Bumi laksana di guncang gempa. Wirapati dan Kemala jatuh terguling-guling di tanah. Sinar  hitam pukulan Datuk Iblis dan sinar merah yang saling baku hantam di udara berubah jadi asap lalu lenyap.


***
LIMA

TUDUHAN TAK BERAMPUN
DATUK IBLIS terkapar di bawah pohon. Wajahnya dibalik topeng memucat seputih kain kafan! Dari sela bibirnya mengalir darah. Kakek ini terluka parah di dalam. Keadaannya antara sadar dan pingsan. Kedua matanya tertutup. Ini adalah akibat dalam keadaan terluka tadi dia telah memusatkan seluruh tenaga dalam dan lepaskan pukulan sakti, yang merupakan pantangan!

Wirapati bangkit dengan cepat, diikuti oleh Kemala. Keduanya berpaling ke arah  orang yang barusan datang sambil berseru. Yang datang adalah Mahesa. Juga dia pulalah tadi yang melepaskan Pukulan Api Geledek Menggusur Gunung, yang telah menyelamatkan Wirapati.

“Waw waw! Mahesa, lagi-lagi kau menyelamatkan aku dari kematian. Hutang lama belum kulunasi, hari ini aku membuat hutang baru! Waw waw!”

“Jangan sebut segala macam hutang!” tukas Mahesa.

“Kita berada dalam kesulitan! Kalau kakek itu sampai mampus celaka!” Lalu murid Kunti Kendil yang satu ini mendatangi Datuk Iblis dan berjongkok memeriksa. Hatinya lega sedikit ketika mengetahui kakek muka kuning itu masih hidup walaupun keadaannya sangat parah.

“Mahesa! Apa maksudmu kita berada dalam kesulitan?!” Kemala tiba-tiba ajukan pertanyaan.

Sebelum menjawab Mahesa pandangi wajah gadis itu beberapa ketika. Hatinya berdebar. Dara yang selalu dirinduinya itu kini ada dihadapannya. Tapi dia bersama Wirapati. Dan sekian lama telah berlalu sejak keduanya ke mana-mana bersama-sama. Sejauh manakah hubungan kedua orang ini? Apakah mereka telah menempuh hidup seperti dulu Wriapati menggauli Sundari? Diam-diam hati Mahesa merasa luruh.

“Waw waw! Dewiku bertanya! Mengapa kau tak menjawab waw waw!” Wirapati membentak.

Mahesa sadar dari larut perasaannya. “Kakak wirapati, apa kau lupa? Guru pernah mangatakan bahwa segala urusan kita dengan orang tua ini, beliau yang ambil alih. Kini kau telah kelepasan tangan. Mencelakai membuatnya cacat. Aku tak tahu apakah luka tangan dan luka dalamnya sanggup ditahannya!”

“Waw waw! Itu rupanya yang kau takutkan! Mahesa, apa yang kau takutkan tidak membuat aku kecut! Aku tak pernah punya guru. Aku tak tak pernah punya segala macam janji untuk tidak membalaskan dendam kematian Sundari! Waw!”

“Betul, jika kau takut kenapa muncul di sini?!” Kemala ikut bicara.

“Ah, gadis ini sudah menanam sifat-sifat Wirapati,” kata Mahesa dalam hati dengan perasaan sedih. Ketika dia coba memandang mata Kemala, gadis itu tundukkan wajahnya.
“Dewiku, jika Mahesa ingin menolong kakek keparat waw waw itu biar dia melakukan sendiri. Kita tak ada urusan lagi di tempat ini. Dendam sudah terbalaskan! Mari kita pergi dari sini!”

Sebenarnya saat itu Kemala masih ingin bicara dengan Mahesa. Namun karena tangannya telah ditarik oleh Wirapati, terpaksa dia mengikuti. Namun tanpa setahu Wirapati gadis itu menjatuhkan sehelai sapu tangan putih ke tanah. Sesaat Mahesa tegak termangu. Setelah kedua orang itu lenyap pemuda ini  ambil sapu tangan yang tadi dijatuhkan Kemala. Beberapa lamanya diperhatikannya sapu tangan itu. Dibulak-baliknya. Tak ada tanda apa-apa. Sapu tangan itu putih bersih dan wangi.

“Apa maksudnya menjatuhkan sapu tangan ini…?” pikir Mahesa. Karena tak bisa mencari jawaban, sapu tangan itu dilipatnya lalu dimasukkan ke dalam saku pakaiannya. Ketika Mahesa hendak mendekati tubuh Datuk Iblis  kembali, tiba-tiba terdengar suara pekik menggeledek.

“Surah! Siapa yang telah berani mencelakaimu?!”

Mahesa terkejut bukan main. Bukan saja karena teriakan itu demikian dahsyat seperti hendak meruntuhkan langit di atasnya, tetapi karena dia juga mengenali suara itu. Suara gurunya. Suara Kunti Kendil!

Dan memang, di lain kejap si nenek sudah berkelebat sosok tubuhnya di tempat itu. Langsung dia menubruk tubuh Datuk Iblis. Dari mulutnya terdengar suara aneh. Seperti suara menggerung menangis, tetapi seperti suara srigala haus darah di malam buta!

“Surah! Surah…. Aku sudah bilang kau tak usah pergi! Sekarang inilah akibatnya!” Si nenek memeriksa tubuh kekasih yang baru kemarin menjadi suaminya itu lalu cepat melakukan totokan di beberapa bagian. Dari balik pakaiannya dia mengeluarkan dua macam obat. Pertama berupa bubuk yang segera ditebarkannya pada luka di bahu Lembu Surah yang tanggal. Obat kedua berbentuk butiran-butiran hitam. Dua butir obat ini dimasukkannya ke mulut si kakek. Dengan menekan tenggorokannya.

“Surah…. Surah….” Si nenek tak henti-hentinya menyebut nama lelaki itu. Tiba-tiba dia menjerit setinggi langit. Tubuhnya mencelat ke atas.

Brak!

Pohon besar di hadapannya dihantam hingga patah dan tumbang dengan suara ribut. Brak! Pohon kedua rubuh dimakan tendangannya. Hal itu  dilakukannya seperti orang kemasukan setan dan sambil  berteriak-teriak: “Katakan! Katakan Surah! Siapa yang mencelakaimu!” lalu setelah menghantam sebatang pohon lagi, Kunti Kendil tubruk tubuh Lembu Surah, ciumi wajahnya dan kini nenek itu menangis.

Mahesa perhatikan semua kejadian itu. Dia hanya bisa berdiam diri. Jangankan bicara, bergerakpun dia tak berani. Hatinya hiba melihat keadaan gurunya. Namun ini adalah akibat yag harus sanggup diterima jika hidup dalam dunia persilatan. Dunia persilatan yang buas dan kejam.  Akan menjadi sangat berlawanan jika dikaitkan dengan kasih sayang seperti kasih sayang yang dimiliki Kunti Kendil atas diri Lembu Surah itu!

Kunti Kendil peluk tubuh Lembu Surah, lalu  mengangkatnya dan perlahan-lahan memutar tubuh, siap untuk membawa suaminya itu menuju puncak Iyang untuk dirawat. Saat memutar tubuh itulah pandangannya membentur Mahesa. Seolah-olah baru sadar akan kehadiran pemuda itu di situ sepasang mata si nenek mandang lekat-lekat pada muridnya. Mata itu seperti dikobari api yang mengerikan. Pandangan si nenek seperti menembus jantung Mahesa. Pemuda ini  merasakan dadanya berdebar dan tengkuknya menjadi dingin.

“Anak setan! Kau!” Kunti Kendil membentak. Tubuhnya bergetar. Sosok tubuh Lembu Surah yang dibopongnya perlahan-lahan diturunkannya ke tanah sementara kedua matanya tetap memandang lekat ke arah Mahesa. Dari tenggorokan nenek ini terdengar suara seperti air mendidih.

“Jadi kau yang melakukannya!” sentak Kunti Kendil. “Murid laknat! Manusia tidak tahu terima kasih!”

“Nek,” kata Mahesa cepat. “Jangan salah sangka. Bukan aku yang mencelakai Datuk itu….”

“Bukan kau? Haram jadah! Bukan kau katamu!” Kunti Kendil maju selangkah.

Mahesa mundur dua langkah. “Betul, bukan aku!” ujar Mahesa.

Kunti Kendil menyeringai. “Anak setan! Dosamu berlipat ganda. Berani mencelakai suami gurumu dan kini berani berdusta!”

“Nenek, demi Tuhan aku tidak dusta. Bukan aku yang mencelakai suamimu…!”

“Yang kulihat hanya kau seorang di tempat ini! Atau mungkin ada setan yang melakukannya? Tanda-tanda sekitar sini menyatakan adanya bentrokan dua pukulan sakti. Salah satu pukulan itu jelas bagiku adalah pukulan Api Geledek! Nah, murid sundal, apakah kau masih berani  dusta?!”

“Nek, memang betul aku melepaskan pukulan Api Geledek. Tapi bukan untuk mencelakai sang datuk. Dia sudah celaka sebelum aku datang!” menerangkan Mahesa.

Kunti Kendil meludah ke tanah. “Kalau begitu siapa yang mencelakainya? Dan kenapa kau melepaskan pukulan Api Geledek?! Ayo coba kau jelaskan padaku!”

“Nek, seperti kubilang. Ketika aku datang kakek itu sudah terkapar di tanah dengan tangan kanan buntung. Pukulan Api Geledek kulepaskan untuk menolong muridmu Wirapati yang hendak dibokong dari belakang oleh si kakek!”

“Wirapati?!” wajah Kunti Kendil mengerenyit.

“Benar. Agaknya sebelum aku datang antara mereka terjadi perkelahian yang membuat suamimu cidera!”

“Hebat! Pandai sekali kau mengarang cerita bohong!” tukas Kunti Kendil. “Kau katakan terjadi perkelahian antara Wirapati dengan suamiku. Tapi anehnya kau juga mengatakan menolong murid gendeng itu ketika dibokong! Dua keterangan yang berlawanan. Bagaimana aku bisa percaya ceritamu…?”

“Demi Tuhan aku menceritakan apa adanya….”

Muka Kunti Kendil mengelam. “Mahesa….” kata Kunti Kendil dengan suara bergetar.

“Aku memungutmu dari comberan di liang kubur, bukan untuk memberi pelajaran dusta dan membalas air susu dengan air tuba! Dunia memang aneh. Dan keanehan itu harus kau tebus dengan kematianmu!”

Habis berkata begitu Kunti Kendil angkat tangan kanannya. Tangan itu serta merta berubah menjadi merah dan bergetar. Tanda dialiri tenaga dalam sangat tinggi dan siap melepas pukulan sakti Api Geledek!

Mahesa tegak tak bergerak di tempatnya.

“Murid laknat! Sebelum mampus apa ada permintaanmu yang terakhir! Atau ada yang hendak kau katakan!” sentak si nenek. 

Yang terasa dihati Mahesa saat itu adalah pedih teramat sangat mendengar ucapan gurunya tadi. Matanya tampak berkaca-kaca. Dia menahan tangis sebisanya. Dia tak boleh menangis. Dia tak boleh memperlihatkan kelemahannya!

“Kalau aku harus mati di tanganmu, aku pasrah nek. Hanya memang ada kata-kata yang harus kukeluarkan. Pertama, bukan aku yang mencelakai kakek itu. Kedua, aku sangat berterima kasih bahwa kau telah mengambil aku dari comberan. Mungkin itu ataupun diriku tidak pernah meminta untuk diangkat dari comberan itu. Hanya memang murid kurang patuh, tapi rasa hormatku padamu tetap kujunjung tinggi. Aku memang turunan manusia hina, tidak beribu dan bapak entah di mana. Tapi untuk membalas semua budi kebaikkanmu dengan kejahatan tak pernah terlintas dalam benakku. Untuk membalas susu yang kau berikan padaku dengan racun tak akan pernah aku lakukan!”

Mahesa hentikan kata-katanya sejenak. Betapapun dia berusaha menahan diri, tetap saja butir-butir air mata mengelinding jatuh ke pipinya.

“Nah, nek. Aku sudah habis bicara. Jika kau hendak membunuhku saat ini silakan. Aku sudah pasrah!” kata Mahesa kemudian.

Apa yang diucapkan Mahesa itu membuat dada Kunti Kendil berdenyut. Namun saat itu perasaannya lebih banyak dikuasai oleh amarah melihat keadaan Lembu Surah. Puluhan tahun dia menunggu untuk dapat kawin dengan lelaki yang dikasihinya itu. kini, baru satu hari hidup bersama, dia mendapat kenyataan suaminya ditimpa malapetaka yang begitu mengerikan dan mengenaskan!

“Kau pandai bicara!” sentak Kunti Kendil. “Kupikir-pikir terlalu enak jika kau menemui kematian dengan seketika. Aku akan atur kematianmu  berdikit-dikit agar tahu bagaimana pedihnya hatiku melihat suamiku celaka!” 

Dalam hatinya Mahesa menjawab, “Nenek, kau boleh bicara apapun. Aku sudah pasrah untuk mati…” 

Baru saja dia membatin tiba-tiba di telinganya Mahesa mendengar suara ramai sekali namun sehalus nyamuk mengiang.

“Lari… lari… lari…!”

Mahesa ingin memandang berkeliling untuk melihat siapa orang-orang yang berkata itu. suara yang dilayangkan dengan ilmu memindahkan suara jarak jauh hebat luar biasa. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Dia hanya menatap pada gurunya dengan pandangan sayu. Benar-benar menerima nasib untuk mati. Dulu nenek itu yang menolongnya hingga hidup jadi manusia. Kini kalaupun dia hendak merampas kembali nyawanya, mungkin itu memang sudah menjadi haknya.

Tiba-tiba dilihatnya nenek itu berkelebat lenyap dari hadapannya. Lalu tahu-tahu Mahesa merasakan tubuhnya kaku. Si nenek telah menotoknya hingga dia tak mampu bergerak. Tapi kalau suaranya masih tetap lepas. Mahesa tak tahu mengapa gurunya tidak sekaligus  menotok jalan suaranya.

Begitu tubuh pemuda itu kaku, si nenek cepat memanggulnya di bahu kiri. Kemudian dia mengangkat tubuh Lembu Surah. Kakek ini dipanggulnya di bahu kanan. Seperti terbang dia kemudian lari menuju puncak gunung Iyang.

Dalam hatinya Mahesa berkata, “Dia tak mau membunuhku seketika. Seperti katanya tadi dia ingin membunuhku berdikit-dikit. Agaknya dia mau menyiksaku lebih dulu….” 

Disaat dilarikan seperti itu terbayang oleh Mahesa wajah ayahnya yang bernama  Randu Ampel itu. Lalu terbayang pula wajah Wirapati. Dia tak pernah menyesali kakak seperguruannya itu. Walau karena perbuatan Wirapati terhadap Lembu  Surahlah maka kini dia menerima nasib seperti itu. Terakhir sekali terbayang olehnya gadis itu. Lalu mendadak saja dia teringat pada sapu tangan putih bersih yang dijatuhkan gadis itu. Agaknya sampai dia mati dia tak akan mendapatkan jawaban apa arti sapu tangan yang sengaja dicampakan itu. 


***
ENAM


DI SINI DIMAKAMKAN MAHESA
SAMPAI di puncak Iyang Kunti Kendil mencampakkan tubuh Mahesa ke tanah dekat tumpukan kayu. Lalu dia masuk ke dalam pondok dan membaringkan Lembu Surah di atas sebuah kasur kain. Kasur di atas mana semalam mereka bermesraan melepaskan rindu puluhan tahun. Tapi kini keadaan berubah. Lembu Surah terbaring dalam keadaan luka dan cacat. Cacat yang tak bakal pulih seumur hidup.

“Surah…” berbisik Kunti Kendil ke telinga kakek itu. “Walau kau cacat, cintaku padamu tak akan berkurang. Malah bertambah. Aku akan merawatmu. Biarlah aku dipanjangkan umur agar dapat menjagamu baik-baik!”

Entah oleh ucapan itu, entah memang saat itu dia mulai siuman Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah tampak bukakan kedua matanya. Mulutnya tersenyum.

“Kunti…. Kau ada didekatku….”

“YA, aku ada dekatmu. Akan selalu didekatmu, Surah….”

Si kakek tidak membantah ketika Kunti Kendil membuka topeng kulit tipis yang menutupi wajah dan kepalanya. Kini kelihatanlah wajah yang asli. Wajah yang masih gagah serta rambut pendek kelabu. Kunti Kendil usap paras Lembu Surah dan belai rambutnya.

“Kau akan sembuh Surah. Tak usah khawatir. Aku akan merawatmu sampai sembuh. Saat ini sebaiknya kau harus banyak istirahat. Kau tunggulah sebentar di sini. Aku akan menyelesaikan urusan dengan anak setan itu!”

Menyangka yang dimaksud istrinya dengan anak setan adalah Wirapati maka Lembu Surah tak berkata apa-apa. Kedua matanya dipejamkan kembali. Saat itu sekujur tubuhnya terasa sakit terutama pada bahu kanan yang kini kuntung. Tenggorokannya panas sekali seperti ada bara yang menyumpal di situ. 

Sebelum keluar dari pondok, Kunti Kendil mengambil sesuatu dari sebuah peti kayu. Benda itu ternyata seutas tambang tebal dan panjang. Dengan tambang ini diikatnya kedua kaki Mahesa. Ujung tali yang lain dilemparkannya ke sebuah cabang pohon setinggi delapan meter, digantung kaki di atas kepala di bawah!

“Anak setan! Aku selalu menetapi janji. Kalau kau kubilang harus mati berdikit-dikit maka itu harus terjadi! Itu pembalasan yang sangat pantas untuk murid jahat berhati bengkok! Yang tega dan berani mencelakai suami guru sendiri walau sudah dipesan agar tidak turun tangan!”

Dalam keadaan seperti itu, walau jalan suaranya tidak ditotok namun tak sepotong kata-katapun meluncur keluar dari mulut Mahesa sebagai jawaban. Baginya sudah jelas. Apapun yang akan dikatakannya sang guru tak akan mau tahu. Dan bagaimanapun terasa sakit kedua kakinya, bagaimanapun pemandangannya mulai berkunang dan kepalanya mendenyut, jangankan berteriak kesakitan, merintihpun pemuda ini tidak. Dia ingin menghadapi kematian ini dengan tenang. Hanya memang tak pernah diduganya kalau kematian itu akan datang dari tangan gurunya sendiri!

Sambil berkacak pinggang Kunti Kendil pandangi sosok tubuh Mahesa yang tergantung sungsang itu dengan hati puas. Sesaat kemudian dia masuk kembali ke dalam pondok untuk merawat Lembu Surah. Selama satu hari satu malam tubuh Lembu Surah diselimuti hawa panas luar biasa. 

Kakek ini terbujur dengan nafas satu-satu, kedua matanya terus terpicing dan dari mulutnya yang tiada hentinya mengeluarkan suara rintih campur ingauan itu sekali mengalir keluar darah segar. Kunti Kendil maklum sekali, dalam darah suaminya mengalir racun jahat. Karena itulah selama semalam suntuk dia terus berjaga-jaga, membuat beberapa totokan baru di tubuh lelaki tua itu serta memberikan obat-obat tambahan. 

Sebenarnya jika si nenek mau berpikir lebih panjang dia akan menyadari bahwa bukan Mahesa yang mencelakai suaminya karena pemuda itu tidak memiliki ilmu pukulan yang mengandung racun jahat sejenis yang merendam di tubuh Lembu Surah.

Selama satu hari satu malam Kunti Kendil tak keluar-keluar dari dalam pondok, selama itu pula Mahesa tergantung penuh siksa. Dia merasa kepalanya seperti membesar, berat dan seperti mau meledak. Kedua matanya walau dibukanya namun dia tak dapat melihat apa-apa lagi dengan jelas.

Beberapa kali dicobanya mengerahkan tanaga dalam dengan mengatur jalan darah. Namun dalam keadaan tubuh terbalik begitu serta sangat lemah, tak mungkin hal itu dilakukannya. Salah-salah pengerahan tanaga dalam akan menguras tenaganya sia-sia dan lebih mengacukan jalan darahnya.

Sore hari kedua darah mulai tampak mengucur dari hidung dan telinga Mahesa. Dadanya tak bergerak lagi seperti tak ada nafas yang bisa dihirup dan dihembuskannya. Sampai saat itu Kunti Kendil masih mendekam dalam pondok menemani Lembu Surah. Menjelang tengah malam nenek ini merasa lega sedikit karena panas tubuh suaminya mulai menurun. Setelah memberi minum air gunung yang sejuk pada Lembu Surah nenek ini menyempatkan diri keluar pondok melihat Mahesa. Dia melangkah memutari tubuh yang tergantung tak bergerak itu. 

“Hem…. Jadi kau belum mati!” desisnya seraya menusuk jari telunjuknya ke dada pemuda itu hingga tubuh yang tergantung ini bergerak dan bergoyang-goyang kian kemari beberapa kali. “Sebentar lagi maut akan menjemputmu Mahesa! Kalau kau sudah mati baru aku puas! Walau seumur hidup harus menyesal telah mengambilmu jadi murid!” Setalah berkata begitu si nenek masuk kembali ke dalam pondok. 

Keesokan paginya, ketika nenek itu menjenguk lewat pintu pondok dia jadi tersentak kaget dan melompat keluar. Dari mulutnya keluar seruan tertahan. Kedua matanya melotot memandang ke arah cabang pohon besar di mana tubuh Mahesa sebelumnya tergantung. Kini yang tampak hanya tambang yang telah terpotong. Tubuh Mahesa tak ada lagi di situ!

“Edan! Gila! Ke mana lenyapnya anak setan itu!” kata Kunti Kendil setengah berteriak. Dia memandang berkeliling, menyelidik ke atas pepohonan. Tetap saja Mahesa telah gaib. Kunti Kendil melompat dan tarik putus tambang besar yang masih menjulai cabang pohon. Matanya yang tajam mengawasi ujung tambang itu yang jelas putus.

“Seseorang telah melarikan tubuhnya. Entah mau menolong entah mau diapakan! Keparat!” Kunti Kendil banting-banting kaki. “Aneh,  malam tadi aku tidak tidur, berjaga-jaga terus. Bagaimana aku bisa tidak mengetahui ada orang datang dan melarikan anak setan itu?!” 

Kunti Kendil mengerendeng sendiri tapi otaknya juga coba menduga-duga siapa yang telah melakukan hal itu. 

“Kalau bukan orang berkepandaian luar biasa tak mungkin bisa terjadi. Siapa setan alas yang berani kurang ajar. Jangan-jangan si kakek muka tengkorak yang datang beberapa hari lalu!” 

Tuduhan Kunti Kendil jatuh pada Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil. Mengharap si pencuri sosok tubuh muridnya itu masih belum jauh, Kunti Kendil lalu  lari menyelidik sampai ke pertengahan lamping gunung. Namun sia-sia saja. Dengan kesal campur marah dia kembali ke puncak gunung.

“Lebih baik aku tak usah mengurusi anak setan itu lagi. Siapapun yang menolong dan melarikannya, umurnya tak bakal panjang. Merawat suamiku jauh lebih penting!”

Lenyapnya tubuh Mahesa bagi Kunti Kendil bukan saja merupakan satu keanehan, tetapi juga dianggapnya kekurangajaran dan penghinaan. Lebih dari itu dia juga merasa siapapun adanya  orang yang menolong dan melirikan pemuda itu berarti telah melakukan satu  tantangan terhadapnya.

***

Hari ketujuh sejak lenyapnya Mahesa dari puncak gunung Iyang. Keadaan Lembu Surah sudah jauh baik. Luka di bahunya yang buntung mulai mengering. Sisa-sisa racun jahat di tubuhnya sudah musnah. Kakek tua ini bahkan mulai bisa berjalan. Hal ini membuat Kunti Kendil gembira. Pagi itu setelah membuat secangkir kopi untuk Lembu Surah si nenek berkata,

“Surah, aku gembira melihat kau sudah sembuh begini. Hanya saja kau masih perlu istirahat panjang….”

Si kakek yang kini tidak lagi mengenakan topeng kulit tipisnya tersenyum dan menjawab: “Kalau aku sembuh, semua itu adalah berkat rawatanmu, Kunti. Seandainya hal ini terjadi dan kita belum kawin, entah siapa yang bakal menolongku. Mungkin aku sudah menemui ajal seperti anjing hutan di kaki gunung itu…!

Hati si nenek berbunga-bunga mendengar kata-kata suaminya itu, digenggamnya tangan kiri Lembu Surah dengan kedua telapak tangannya. “Surah,” kata si nenek kemudian. “Jika kau tak keberatan, aku akan turun gunung sebentar. Ingin melihat-lihat keadaan sekitar sini….”

“Apa pula yang ingin kau lhat-lihat Kunti? Bukankah lebih baik tetap di sampingku saja?”

Sampai saat itu Kunti Kendil masih tidak menceritakan apa yang telah terjadi di puncak gunung itu. Lembu Surah sendiri merasa-rasa ingat sesuatu, namun hendak bertanya dia masih merasa ragu. Yakni mengenai ucapan Kunti Kendil ketika mereka baru sampai di pondok bahwa perempuan itu hendak menyelesaikan urusan dengan “anak setan”. Apakah istrinya itu betul-betul telah melakukan sesuatu?

“Aku tidak tidak lama Surah. Perasaanku tak enak. Mungkin terjadi sesuatu di luar sana.” 

“Kalau hatimu keras, pergilah. Tapi lekas kembali…” kata Lambu Surah pula.

Seperti sepasang remaja yang baru dimabuk cinta sebelum pergi kedua kakek nenek itu saling berpelukan dulu. Sejak dua hari belakangan ini seperti ada sesuatu yang mendorong Kunti Kendil untuk turun gunung. Karena itulah dia bersikeras untuk pergi menyelidik, walau tidak tahu pasti apa yang akan diselidikinya. Sampai di kaki gunung sebelah timur suasana dilihatnya tenang-tenang saja.

Angin bertiup sejuk. Sesekali terdengar suara kicau burung. Nenek ini melanjutkan perjalanan, memutar ke arah utara. Dari suatu tempat berbatu-batu yang tinggi tiba-tiba Kunti Kendil melihat kepulan asap. Asap ini mengepul dari sebuah lembah kecil yang ditumbuhi rumput hijau. Di pertengahan lembah mengalir  sebuah sungai kecil berair dangkal.

“Ada asap ada manusia!” pikir Kunti Kendil. Segera dia menuruni bebukitan batu itu dan lari ke arah lembah. Tepat ketika dia mencapai sungai kecil itu, disebuah tikungan si nenek mendadak  hentikan larinya. Beberapa langkah di hadapannya tampak sebuah kuburan. Tanahnya masih merah tanda kubur itu masih baru. Di bagian kepala kuburan menancap sebuah papan nisan. Pada papan ini tertera serangkaian tulisan berbunyi:

Di sini dimakamkan Mahesa
Anak manusia yang malang
Yang tak pernah kenal ibu dan kehilangan ayah.
Yang menemui kematian dengan pasrah, Mati disiksa untuk perbuatan yang tak pernah dilakukannya.

Kedua mata Kunti Kendil terbuka lebar dan tak mampu berkesip untuk beberapa lamanya setelah dia membaca  tulisan itu. kedua kakinya laksana dipantek ke tanah.

“Ternyata anak setan itu sudah mati!” kata si nenek dalam hati. “Tapi siapa yang membawa mayatnya ke sini? Siapa yang mengubur dan membuatkan papan nisan bertuliskan kata-kata sialan seperti ini?! Mati disiksa untuk perbuatan yang tak pernah dilakukannya! Gila!”

Kunti Kendil melangkah mondar-mandir di depan makam. Ingin dia mengobrak-abrik menendangi tanah kuburan. Ingin dia mematah menghancurkan papan nisan di kepala makam. Namun hal itu tak dilakukannya. Dia melangkah terus mundar-mandir sambil mengerendeng. Akhirnya nenek ini putar tubuhnya. Hatinya merasa sangat tidak enak. Ada satu pertanyaan kecil di lubuk hatinya. 

Apa benar bukan Mahesa yang mencelakakan Lembu Surah? Pertanyaan itu demikian kecil dan jauh hingga sampai saat itu si nenek tetap berkeyakinan Mahesalah yang telah mencelakai Lembu Surah. Karenanya dia pantas menemui kematian! Cepat-cepat Kunti Kendil kembali menuju pondoknya di puncak gunung.


***
TUJUH


MAKAM ITU LENYAP
PADA hari kedua puluh kesehatan Lembu Surah boleh dikatakan sudah pulih. Dia sudah bisa berjalan bahkan mulai berlatih silat. Dengan hanya memiliki satu tangan keseimbangan tubuhnya berubah total. Gerakan-gerakan tangan kiri perlu dilatih, kedudukan kuda-kuda kedua kaki harus dipelajari lagi. Beruntung saat itu dia bersama Kunti Kendil sehingga si nenek menjadi kawan latihan yang banyak membantu.

Siang itu selesai berlatih silat, Kunti Kendil duduk di sebelah suaminya dan berkata, “Surah, coba kau ingat kembali kejadian di kaki gunung tempo hari. Bisa kau menceritakan kepadaku apa sebenarnya yang berlangsung di tempat itu?”

“Sebenarnya aku sendiripun ada yang hendak kutanyakan. Tentang urusanmu dengan seseorang yang kau sebut anak setan itu, apakah sudah kau selesaikan?” justru Lembu Surah balik bertanya.

“Sudah,” sahut Kunti Kendil perlahan. “Di hari yang sama kau kubawa kemari, anak setan itu juga kubawa ke sini, kugantung kaki ke atas kepala ke bawah. Hanya aneh, mayatnya yang masih tergantung mendadak hilang sekitar sepuluh hari lalu!”

“Kalau tidak digondol harimau atau anjing hutan pasti ada yang mencurinya!” ujar Lembu Surah.

“Di sini tak pernah ada harimau atau anjing hutan. Seseorang memang telah mengambil dan melarikan mayatnya. Makam anak itu kutemukan di sebuah lembah sebelah utara kaki gunung.”

“Aku harus berterima kasih padamu Kunti. Kau telah membalaskan sakit hati dendam kesumatku walau pemuda itu adalah muridmu sendiri. Ini menjadi bukti bagiku bahwa kau mengasihiku di atas segala-galanya!”

Keduanya berdiam diri sesaat. Kemudian terdengar Lembu Surah bertanya yang membuat Kunti Kendil menjadi heran,

“Apa yang kau lakukan terhadap kawannya, gadis berbaju kuning itu?”

Kunti Kendil berpaling dan menatap wajah suaminya beberapa lama. “Gadis berbaju kuning? Gadis yang mana…? Siapa maksudmu Surah?” tanya si nenek kemudian.

“Setahuku gadis itu bernama Kemala. Dia juga punya dendam kesumat tersembunyi terhadapku karena anggota komplotanku membunuh ibunya. Aku tak tahu jelas apa hubungan muridmu itu dengan Kemala. Tapi bisa kuterka mereka lebih dari kawan biasa….”

Kunti Kendil putar duduknya kini tepat-tepat menghadapi Lembu Surah. “Ketika aku menemuimu luka parah di bawah pohon besar di kaki gunung, yang kulihat hanya anak setan itu sendiri. Tak  ada orang lain. Tak ada gadis atau setan baju kuning di tempat ini. Bagaimana kini kau mengatakan murid setan itu berdua dengan seorang gadis berbaju kuning?”

“Tidak Kunti. Ketika aku dihadang, mereka muncul berdua. Sebelum aku jatuh pingsan mereka kemudian pergi. Aku berusaha membokong muridmu dengan sisa tenaga yang ada. Tapi gagal….”

Kunti Kendil pegang bahu suaminya dan menggoyang tubuh kakek itu beberapa kali. “Surah! Coba kau ingat, sebelum kau jatuh pingsan, sebelum kedua orang itu lenyap, apakah ada sesuatu lainnya yang terjadi?!”

Lembu Surah mengangguk. “Aku melihat sinar merah yang amat panas dan menyilaukan. Sudah itu aku tak ingat apa-apa lagi…!”

“Berarti ada tiga orang di tempat itu!” ujar Kunti Kendil yakin sekali.

“Orang ketiga siapa maksudmu?” 

“Orang lain selain muridku dan gadis berbaju kuning itu. Surah, hal ini perlu dibuat terang. Ketika aku datang aku hanya menemuimu dan dia seorang. Lantas ke mana perginya gadis baju kuning yang katamu bernama Kemala itu…?”

“Mungkin saja dia sudah kabur karena tahu kau muncul di situ,” sahut Lembu Surah.

Si nenek menggeleng. Dia merenung sejenak. “Jika memang bukan Mahesa yang mencelakai suamiku, kenapa dia tidak mau menceritakan hal yang sebenarnya? Kenapa dia hanya mengatakan bukan dia yang melakukan? Apakah ada satu rahasia yang coba disembunyikannya atau memang dia benar-benar berdusta…?”

“Kunti, apa yang ada dalam benakmu?” tiba-tiba Lembu Surah bertanya.

“Aku khawatir telah kesalahan tangan Surah…” jawab si nenek dengan suara bergetar  dan tiba-tiba saja dadanya terasa sesak.

“Kesalahan tangan bagaimana?” Lembu Surah tak mengerti.

“Aku mengatakan padamu anak setan itu sudah kuhukum mati, kugantung kaki  ke atas kepala ke bawah. Namun… kau tahu anak setan mana yang kumaksudkan?”

“Tentu saja yang bernama Wirapati, yang berjuluk Iblis Gila Tangan Hitam. Karena memang dialah yang telah menyerangku hingga aku cacat begini!”

Kunti Kendil terlompat dari duduknya. Wajahnya dibalik topeng tipis menjadi pucat. Dari mulutnya terdengar suara seperti melolong. “Jelas aku kesalahan tangan! Jelas aku kesalahan tangan!” katanya berulang kali dan banting-banting kaki!

Lembu Surah berdiri dan pegang bahu si nenek. “Kunti, tenang. Coba jelaskan. Kau telah kesalahan tangan bagaimana…?”

“Surah... Ketika aku muncul di tempat itu yang kutemui adalah kau dan muridku yang bernama Mahesa….”

“Jadi bukan Wirapati?!” 

“Bukan! Mungkin dia sudah kabur duluan bersama gadis baju kuning itu! Mahesa lah yang kubawa kemari dan kugantung!”

Kunti Kendil terduduk di lantai dan tutup wajahnya dengan kedua tangan. Ada suara sesenggukan keluar dari tenggorokannya. 

“Anak itu… kenapa dia tidak mengatakan kejadian yang sesungguhnya?  Kalau dia mengatakan hal yang benar tak mungkin aku memperlakukannya begitu! Dia benar-benar murid baik. Tak ada manusia seperti dia di dunia ini. Ya Tuhan! Aku  membunuh orang yang tak berdosa!”

“Kunti…. Semuanya masih belum jelas. Mungkin Mahesa tidak mati. Ada yang menyelamatkan dan melarikannya….” Lembu Surah mencoba membujuk.

“Tidak. Waktu aku turun gunung sepuluh hari lalu, kutemui makamnya di lembah sana! Dia benar-benar sudah mati Surah. Dan sudah dikuburkan orang!” kata Kunti Kendil. Nenek ini kemudian memekik lalu tegak berdiri. “Aku akan pergi kemakamnya saat ini juga Surah. Aku tidak malu untuk minta maaf padanya sekalipun sudah terlambat dan dia sudah jadi korban kesalahanku!”

“Aku akan menyertaimu Kunti.”

“Sanggupkah kau berlari?”

“Sanggup asal kau jangan lari terlalu kencang.”

Sepasang kakek nenek itu  kemudian lari menuruni puncak gunung Iyang. Karena ingin cepat-cepat sampai di lembah, Kunti Kendil berlari sekencang yang bisa dilakukan, meninggalkan Lembu Surah jauh di belakang. Ketika akhirnya dia sampai di lembah dekat tikungan sungai pemandangan baru yang mengejutkan menyambut kedatangan Kunti Kendil.

Di situ tak ada lagi makam Mahesa. Tanah merah telah sama rata dengan tanah di sekitarnya. Pada salah satu bagian tanah menancap sebuah papan bertuliskan:

Untuk menjaga hal-hal yang tidak di inginkan, makam Mahesa telah dipindahkan ke tempat lain. 

“Apa-apaan artinya ini?!” ujar Kunti Kendil dengan mulut komat-kamit. “Beberapa hari lalu makam itu masih di sini. Kini sudah dipindahkan!” dia berpaling pada Lembu Surah yang barusan sampai dengan nafas mengengah.

“Jangan-jangan ada orang yang sengaja mempermainkanmu, Kunti…” menyahuti si kakek.

“Tak mungkin. Untuk apa…?” tukas Kunti Kendil pula. Tapi kemudian dia berkata: “Kalau memang ada yang berani mengganggu kubur muridku akan kubunuh mereka…?”

“Aneh, memang aneh…” kata Lembu Surah dalam hati lalu pergi duduk di tepi sungai kecil, merendam kedua kakinya di air yang bening dan sejuk. “Apa yang akan kau lakukan sekarang Kunti? Lebih baik kita kembali ke puncak Iyang.”

“Apakah tubuhmu sudah cukup kuat untuk mengadakan perjalanan jauh Surah?”

“Apa maksudmu?”

“Aku tidak akan kembali ke puncak Iyang. Aku akan menyelidik apa arti semua ini. Mungkin aku terpaksa melakukan perjalanan jauh. Kalau makam anak itu memang dipindahkan, aku harus tahu di mana makamnya sekarang!”

Dalam keadaan seperti itu tentu saja enggan bagi Lembu Surah untuk mengadakan perjalanan. Apalagi saat itu topeng tipis kuningnya tertinggal pula di pondok. Ketika hal itu dikatakannya pada Kunti Kendil si nenek menjawab,

“Kurasa kau tak perlu lagi menyembunyikan diri di balik segala macam topeng kulit ini!”

“Kau sudah siap Surah?”

Lembu Surah mengangguk. “Aku hanya mengikuti apa maumu saja Kunti,” jawabnya. Keduanya lalu tinggalkan lembah tersebut.

***
DELAPAN


SANG PENGANTIN MINGGAT DIHADANG SI TUDUNG MAUT
KITA tinggalkan dulu Kunti Kendil dan Lembu Surah yang mengadakan perjalanan untuk menyingkap misteri dibalik kematian Mahesa. Kita kembali ke pesta perkawinan Ratu Mesum alias Mawar Merah dengan Pringgo.

Abadseto berusaha menutupi apa yang terjadi ditingkat atas rumah besarnya. Secara diam-diam keempat mayat Gede Ageng Kuntjoro, Sri Pujiati dan Sepasang Ular Biru dibawa dengan kereta dan dibuang di sebuah jurang di luar kota. Namun sebagian para tamu yang berjubal di sekitar pintu dan tangga yang mengerikan itu. kabar yang disampaikan dari mulut ke mulut tidak terbendung lagi dan pesta itu tak urung menjadi geger.

Pengantin perempuan mengunci diri dalam kamar. Namun diam-diam tanpa diketahui siapapun dia menyelinap keluar lewat jendela, masih dengan berpakaian pengantin. Yang ingin dilakukannya saat itu adalah mencari Tombo, lelaki yang bersama Liku pertama sekali mengenali dirinya di pesta perkawinan itu. Tombo juga harus dibunuh kalau tidak cerita tentang dirinya akan berkembang lebih luas.

Menurut dugaan Ratu Mesum, Gede Ageng Kuntjoro dan tiga orang lainnya itu pasti datang ke pesta dengan petunjuk Tombo. Berarti Tombo juga hadir di situ. Ratu Mesum mendekam dibalik rerimbunan pohon di sebuah tikungan jalan yang menuju jalan itu. dan memang dia tak menunggu lama.

Setelah Tombo mengetahui bahwa Sri Pujiati dan ayahnya serta Sepasang Ular Biru menemui ajal di tingkat atas rumah besar, dengan ketakutan lelaki ini segera tinggalkan tempat pesta dan memacu kudanya menuju Sumbersari. Dia akan melaporkan kejadian itu pada kepala desa. 

Namun lelaki ini tak pernah sampai ke desanya kembali. Di tikungan jalan  yang gelap kudanya tiba-tiba meringkik keras dan berhenti. Sesosok tubuh melompat keluar dari kegelapan dan mencekal tali kekang kuda hingga binatang ini tersentak dan berhenti berlari.

Tombo yang hampir terlempar berteriak ketakutan ketika melihat sosok tubuh berpakaian pengantin. Wajah cantik itu menyeringai. Tombo seperti melihat setan. Serta merta dia melompat dari punggung kuda untuk melarikan diri. Namun sebelum hal itu sempat dilakukan lima jari tangan yang halus tapi sangat kukuh mencengkeram batang lehernya. Sepasang mata Tombo membeliak. Lidahnya terjulur.

Krak!

Tulang leher lelaki itu hancur. Tubuhnya kemudian terbanting ke tanah tanpa nyawa lagi! Ratu Mesum cepat kembali ke kamar pengantin tepat pada saat pringgo dan keluarga pengantin lelaki lainnya merasa khawatir kalau telah terjadi apa-apa dengan mempelai perempuan itu. Mereka mengetuk pintu dan Pringgo memanggil-manggil nama istrinya. Tak lama kemudian Ratu Mesum membuka pintu. Pringgo dan yang lain-lainnya merasa lega. Dengan alasan bahwa pengantin perempuan tidak enak badan maka dia tidak duduk kembali di pelaminan.

Tiga hari tinggal di rumah besar itu bersama suami mencintainya, Ratu Mesum memperlihatkan sifat pribadinya yang sebenarnya. Dia mulai  bosan dengan Pringgo dan muak dengan sikap lelaki itu yang terlalu memanjakannya seperti anak kecil. Dalam benaknya sudah mulai pula terpikir untuk mencari lelaki lain walau dia belum punya niat untuk meninggalkan Pringgo selama-lamanya. Bagaimanapun suaminya ini bisa diperalat untuk segala kebutuhannya. 

Kalau dihadapan orang lain Ratu Mesum memanggil “mas” pada suaminya, dalam keadaan berdua-dua dia selalu menyebut nama. Suatu malam perempuan ini berkata, “Pringgo, malam ini untuk satu keperluan aku terpaksa meninggalkanmu….”

Pringgo yang baru saja hendak meneguk minuman, letakkan gelas kembali ke  atas meja dan memandang pada istrinya. Dia tersenyum dan berkata, “Kau tidak main-main atau bergurau Mawar…?”

Sang istri tak menjawab. Pringgo lalu pegang bahu perempuan ini dan cium tengkuknya.

“Kau berkata mau pergi, malam-malam. Aneh terdengarnya. Ada apa sebetulnya?”

“Tak ada apa-apa. Jika saja kau ingat syarat yang pernah kita bicarakan dulu sebelum kita menyetujui perkawinan….”

“Tentu saja aku ingat syarat-syaratmu itu Mawar. Namun kita belum lagi satu minggu jadi suami istri. Kau sudah hendak pergi. Malam-malam pula. Apa kata orang tuaku dan bahkan semua orang nanti….?”

“Soal itu pandai engkaulah mengatakannya, Pringgo.”

“Kalau kau pergi untuk satu urusan, dimalam buta. Tentu urusanmu penting luar biasa. Apakah urusanmu itu Mawar?” tanya Pringgo.

“Kita sudah sepakat bahwa kau tak boleh bertanya.”

Mendengar jawaban istrinya itu Pringgo tersenyum namun hatinya mulai jengkel. “Kau tidak boleh pergi!” katanya tandas. “Kalaupun kau terpaksa pergi, aku harus ikut!”

“Semua itu menyalahi syarat yang telah kau terima!”

“Kalau kau memaksa, akupun memaksa tidak mau perduli dengan syarat itu. kau istriku dan kau harus tunduk dengan semua apa yang aku katakan dan putuskan. Merah kataku merah. Putih harus putih! Tak ada istri di Jawa ini yang boleh tidak patuh pada suaminya!”

“Tiga hari baru aku jadi istrimu sudah demikian buruk  sikapmu…”

“Semua karena kekeras kepalamu!” tukas Pringgo. “Sebagai istri kau harus tahu sampai di mana batas-batas hakmu. Kalau larangan baik suami tidak kau indahkan, bagaimana kau mau jadi istri yang baik!”

“Buruk atau baik keadaan  diriku dimatamu, memang begitulah adanya. Yang nyata segala janji dan syarat telah kau langgar. Tak ada gunanya aku tinggal di rumah ini lagi!”

“Lalu apa maumu?!” tanya Pringgo.

Ratu Mesum tak menjawab. Dari dalam lemari diambilnya pakaian merah yang menjadi ciri-ciri khasnya. Dengan cepat dia mengenakan pakaian  itu, lalu berpaling pada Pringgo dan berkata, “Aku datang dengan hanya membawa pakaian ini. Kini aku pergi juga dengan pakaian yang sama. Tidak sepotong harta atau  perhiasan darimupun akan kubawa. Hubungan kita cukup sampai di sini!”

“Mawar! Kau mau kemana? Kau mau berbuat apa?!” 

Dalam hatinya Ratu Mesum berkata, “Masih untung kau tidak kubunuh!”

“Hai! Mawar!” seru Pringgo  ketika dilihatnya istrinya melangkah ke jendela. Sekali hantam saja jendela itu tinggal enselnya dan terpentang lebar. Ratu Mesum melompat keluar. Pringgo cepat mengejar. Baru saja Ratu Mesum menginjakkan kaki di halaman samping, tiba-tiba terdengar suara orang menegur keras.

“Malam-malam buta pengantin baru mau minggat ke mana?!”

Sesosok tubuh melayang turun dari atas genteng rumah besar. Ternyata orang ini tidak sendirian. Dua orang lainnya itu menyusul berkelebat. Namun dibandingkan dengan yang pertama gerakan kedua orang terakhir lebih lamban dan sepasang kaki mereka mengeluarkan suara keras ketika menyentuh tanah.

Ratu Mesum segera maklum, siapapun adanya ketiga orang ini, yang berbahaya  adalah yang pertama sekali melompat turun. Orang ini berpakaian seperti petani,  dengan kain sarung diselempangkan dibahu. Kepalanya memakai topi bambu yang lebar hingga dalam gelap malam tak jelas wajahnya. 

Dua orang yang tegak dikiri kanannya mengenakan pakaian  prajurit kerajaan dengan tanda-tanda bahwa mereka memiliki pangkat cukup tinggi. Masing-masing membekal pedang besar di pinggangnya. Tak satupun dari ketiga orang itu dikenal Ratu Mesum. Namun perempuan ini seperti maklum, siapapun adanya mereka pasti kemunculan mereka ada sangkut pautnya dengan segala perbuatannya dimasa sebelumnya.

“Kalian bertiga bangsa rampok atau maling kesasar?!” bentak Ratu Mesum.

Orang bertudung keluarkan suara tertawa. “Kami bertiga memang rampok. Tapi bukan mau merampok harta bendamu. Karena kami tahu kau tidak punya apa-apa. Jadi yang akan kami rampok adalah jantung dan nyawamu!”

“Manusia-manusia rendah!” Pringgo maju kemuka dan berteriak marah. “Tinggalkan tempat ini. Jangan berani mengganggu istriku!”

Orang bertudung berpaling pada Pringgo. “Anak orang kaya! Kau masih ingusan! Apa kau tahu siapa istrimu ini sebenarnya?!”

“Manusia keparat! Tutup mulutmu!” teriak Ratu Mesum. Berbarengan dengan itu dia lancarkan serangan ganas. Tapi dengan mudah dapat dikelit oleh lawan. “Aih, jelas dia memiliki kepandaian tinggi!”  kata Ratu Mesum dalam hati ketika melihat serangannya yang bukan senbarangan itu mudah dihindari!

“Pringgo!” seru Ratu Mesum. “Kau masuk ke dalam! Tiga rampok kesasar ini akan aku bereskan!”

Tapi Pringgo tak bergerak di tempatnya.

“Mana dia mau disuruh masuk, dia kan ingin mengetahui rahasia dirimu sebenarnya!” kata orang bertudung lalu tertawa mengekeh.

Sebelum orang itu bicara lebih banyak, Ratu Mesum kembali menyerbu. Serangannya yang kedua langsung  dengan pengerahan tenaga dalam dan jurus berbahaya. Yang diserang tak tinggal diam. Dua kawannya disaat itu sudah pula menghunus pedang masing-masing.

“Manusia-manusia rongsokan!” kertak Ratu Mesum. “Aku tidak begitu suka membunuh orang-orang yang aku tidak tahu nama atau asal usulnya. Sebelum mampus lebih baik kalian bertiga jelaskan  diri masing-masing! Juga apa kepentingan kalian sesumbar ingikan nyawaku!”

“Ah, kalau tak dijelaskan memang mungkin kau sudah lupa. Dosa dan kejahatanmu sudah bertumpuk! Namaku tak perlu kau ketahui. Orang menjuluki si Tudung Maut! Dua kawanku ini adalah perwira muda pengawal seorang Pangeran keranton Banyuwangi. Tiga bulan yang silam kau menculik seorang pemuda keponakan Pangeran itu lalu membunuhnya! Nah apa kau ingat sekarang?!”

“Hanya urusan kecil begitu kalian sampai datang mengantar nyawa di malam buta!” dengus Ratu Mesum dan sekilas dia melirik pada Pringgo. Jelas dilihatnya suaminya itu terkejut mendengar ucapan lelaki yang mengaku berjuluk si Tudung Maut.

“Kecil bagimu besar bagi kami. Urusan nyawa orang tak ada yang kecil!” jawab Tudung Maut. Lalu dia ganti membalas serangan Ratu Mesum. 

Dua perwira muda di sampingnya ikut menyerbu  dari kiri kanan. Namun perempuan berkepandaian tinggi ini tidak takut. Dengan melompat ke atas serangan dua pedang dapat dikelitnya sekaligus.

Kemudian didahului oleh suara tertawa melengking, Ratu Mesum menukik ke bawah. Dua jari tangannya yang diluruskan menusuk ke arah  tudung bambu lebar. Yang diserang cepat menunduk. Dari bawah tiba-tiba dia tanggalkan topi bambunya itu dan pukulkan ke atas! 

Serangkum angin dahsyat melanda Ratu Mesum yang masih mengapung di udara. Pakaian merahnya tersingkap lebar hingga kelihatan betis, paha dan auratnya yang terlarang. Ternyata sang ratu tidak memakai apa-apa di balik pakaian merahnya itu. 

Sesaat dua perwira muda merasa darah mereka jadi panas melihat pemandangan itu sedang si Tudung Maut tampak merah wajahnya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ratu Mesum untuk berjungkir balik. Sambil berputar di udara salah satu kakinya meluncur ke arah dada lawan. Si Tudung Maut yang tidak menduga mendapat serangan kilat dan sulit dielakkan itu hanya bisa pergunakan tudungnya untuk menutup bagian dada yang diincar tendangan.

Brak!

Tudung yang terbuat dari bambu itu jebol ditembus kaki kanan Ratu Mesum. Si Tudung Maut terjajar ke belakang tapi dadanya selamat dari kaki lawan. Sebelum Ratu Mesum tarik pulang kakinya, Tudung Maut putar tudung bambunya keras-keras. Ratu Mesum menjerit kesakitan. Ujung-ujung bambu menggurat pergelangan kakinya hingga berdarah.

Mendengar jeritan istrinya dan melihat darah keluar dari pergelangan kaki Mawar Merah, Pringgo menyerbu kalap dan ayunkan tinju ke kepala si Tudung Maut. Tapi dari samping salah seorang perwira mengetuk kepalanya dengan gagang pedang hingga pemuda yang tak punya kepandaian silat apa-apa ini melosoh pingsan ke tanah!

Si Tudung Maut tertawa mengekeh. Dia sudah mendengar lama kehebatan perempuan mesum ini. Namun kalau kini dia mampu menciderainya berarti lawan tidak sehebat apa yang didengarnya. Hal ini membuat lelaki itu menjadi memandang enteng dan lancarkan serangan bertubi-tubi tanpa begitu memperhatikan pertahanan dirinya lagi.

Setiap kelemahan serangan lawan sempat diawasi mata tajam Ratu Mesum. Disatu ketika kembali perempuan ini melompat ke udara. Tubuhnya berputar kencang.

“Awas! Dia hendak tebarkan racun jahat!” seru si Tudung Maut. “Lekas tutup jalan nafas!”

Namun dia tertipu. Ratu Mesum sama sekali belum ingin mengeluarkan senjata andalannya yakni hawa harum yang  mengandung racun pelumpuh. Kedua kakinya melejang-lejang dalam gerakan berubah-ubah. Si Tudung Maut kembali sapukan tudungnya ke atas. Namun lawan tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu di sebelah kiri terdengar pekik salah seorang perwira muda. 

Tubuhnya terkapar di tanah dengan kepala pecah! Perwira yang satu lagi berteriak marah. Putar pedangnya ke atas, berusaha membabat kaki Ratu Mesum. Seranganya luput. Justru dia terpaksa harus menyusul kawannya, menerima nasib yang sama. Tendangan Ratu Mesum menghantam tepat batang tenggorokannya. Perwira ini keluarkan suara seperti sapi disembelih lalu tergelimpang mati! Kini tinggal si Tudung Maut seorang diri.

Ratu Mesum tegak berkacak pinggang. “Apa kau sudah siap untuk mati?” tanyanya pada si Tudung Maut.

“Sombong amat! Apa kau tidak tahu kalau orang sombong lebih cepat mampus?!”

Perempuan itu tertawa panjang. Si Tudung Maut kenakan kembali topi bambunya yang bolong lalu loloskan kain sarung yang diselempangkannya di bahu.

“Aih bagus! Kau membawa kain sarung segala. Itu nanti bisa dipergunakan sebagai kain kafan pembungkus mayatmu!”

Lelaki itu tidak layani ejekan lawannya. Entah kapan dia menggerakan tangan tiba-tiba kain sarung itu melesat dan menebar seperti jaring, siap membuntal tubuh Ratu Mesum. Kaget perempuan ini tidak kepalang. Tidak disangkanya kain sarung yang barusan diejeknya itu bisa berubah menjadi perangkap berbahaya. Cepat dia melompat ke belakang sambil lepaskan satu pukulan dengan tangan kiri dan tangan kanan mencengkeram untuk merobek senjata lawan.

Si Tudung Maut tidak bodoh. Dia bukan pendekar kemarin yang bisa dipercundangi dengan mudah. Namun merasakan angin pukulan yang  keluar dari tangan kiri lawan membuatnya lebih berhati-hati. Ujung kain sarung menyambar berputar mengelakkan cengkeraman tangan kanan lawan lalu dilain kejap kain ini menghantam ke muka Ratu Mesum.

“Kain butut busuk begini hendak diandalkan!” ejek Ratu Mesum. Tubuhnya menerobos  diantara lingkaran kain sarung. Satu hal yang tidak  diduga lawan dan tahu-tahu kedua tangannya sudah melesat kearah leher Tudung Maut.

Terpaksa si Tudung Maut tarik kencang-kencang kain sarungnya. Tubuh Ratu Mesum tergelung ke depan, keduanya lalu jatuh saling himpit. Lelaki itu bangkit lebih dulu, lepaskan topi bambunya lalu dilemparkan ke arah kepala lawan. Tapi bambu itu berputar laksana titiran. Pinggirannya seperti sebuah gerinda tajam. Terpaksa Ratu Mesum gulingkan diri. Tapi bambu menancap di dinding rumah yang terbuat dari kayu jati keras. Dapat dibayangkan kalau topi itu  sempat menyambar kepala sang ratu!

Ratu Mesum memaki panjang pendek. Selagi dia mencoba bangun, lawan sudah kembali menyerbu dengan serangan-serangan ganas. Melihat lawan mundur terus dan merasa dia bisa mendesak, si Tudung Maut pergencar serangannya. Namun semua itu adalah taktik Ratu Mesum untuk menguras tenaga lawan sambil mengintai kelemahan. 

Ketika satu serangan berantai si Tudung Maut hanya mengenai tempat kosong dan tubuhnya terdorong ke kiri, secepat kilat Ratu Mesum menghantam dengan pukulan tangan kosong yang mengeluarkan sinar merah muda. 

Dalam keadaan kedua kaki sudah terlanjur ke depan, tak mungkin bagi si Tudung Maut untuk membuat gerakan mengelak selain langsung jatuhkan diri ke tanah. Justru lawan sudah perhitungkan hal ini dan susul dengan pukulan kedua yang tepat menghantam bahu kiri, sisi dan sebagian dadanya! Si Tudung Maut menjerit keras. Tubuhnya terlempar beberapa langkah. Sebagian badannya kelihatan seperti terbakar. Sebelah matanya menjadi buta. 

Ratu Mesum tertawa panjang. Si Tudung Maut sadar nyawanya tak bakal lama. Dari balik pakaiannya tiba-tiba dia keluarkan sebuah tudung kecil yang juga terbuat dari bambu. Benda ini dilemparkannya ke arah Ratu Mesum. Sang ratu terkesiap kaget, cepat menyingkir. Namun tak urung pinggiran topi sempat menyerempet bahu kirinya. Pakaian merah robek, daging bahunya tersayat dalam dan darah mengucur!

“Setan alas!” rutuk Ratu Mesum. Tubuhnya melesat ke depan. Si Tudung Maut yang tengah meregang nyawa ditendangnya beberapa kali hingga tubuh orang ini remuk terguling-guling. Ratu Mesum robek pinggiran pakaian merahnya. Dengan robekan kain ini dia ikat luka dibahunya. Baru saja dia hendak berkelebat pergi tiba-tiba terdengar suara Pringgo.

“Mawar! Jangan pergi…”

Ratu Mesum berpaling. Dilihatnya Pringgo berdiri sambil pegangi bagian belakang kepalanya yang luka dan benyut, lalu melangkah mendekatinya. “Lelaki keparat!” sentak Ratu Mesum. “Kalau bukan karena kau tak akan bahuku cacat begini rupa!”

“Mawar, aku ikut bersamamu! Jangan pergi sendiri!” kata Pringgo seraya hendak memeluk perempuan itu.

“Kau pergilah lebih dulu kalau memang mau ikut!” Ratu Mesum jotos kuat-kuat dada lelaki itu. darah menyembur dari mulut Pringgo. Tubuhnya terlempar dan roboh tak berkutik lagi.

***
SEMBILAN


PERTEMPURAN DI PANTAI SELATAN
HAMPIR sebulan Kunti Kendil dan Lembu Surah malang melintang di rimba persilatan. Namun keduanya tidak dapat mencari tahu di mana dan ke mana makam Mahesa dipindahkan. Lain dari itu mereka juga tidak berhasil mencari Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam. Tempat kediamannya di Bukit Karang Putih juga sepi. Yang kelihatan hanya  bekas reruntuhan bangunan bambu.

“Aneh, semuanya serba gaib! Seperti ditelan bumi!” kata Kunti Kendil ketika satu malam dia bersama Lembu Surah berhenti di luar sebuah desa.

Lembu Surah tak menjawab. Dia asyik melatih diri, memainkan jurus-jurus silat untuk membiasakan diri dengan keadaan hanya memiliki satu tangan. Kunti Kendil melihat banyak kemajuan pada diri suaminya itu, paling tidak dalam waktu beberapa minggu dimuka dia mampu kembali pada keadaan seperti ketika dia masih memiliki dua tangan utuh.

“Kemana lagi kita akan menyelidiki?” ujar Kunti Kendil lalu menghela nafas dalam.

“Jika aku memberi nasihat, apakah kau mau mendengar?” Lembu Surah hentikan latihannya dan ajukan pertanyaan itu.

“Tergantung nasihat apa dulu.”

“Apa perlu kita mencari Wirapati…?”

Kunti Kendil mendelik. “Gila! Pertanyaan gila!” katanya hampir berteriak. “Jelas-jelas dia mencelakaimu. Membuatmu menjadi cacat seumur hidup. Kini kau bertanya apa perlunya mancari anak setan itu! Apa kau tidak akan menuntut balas?”

Lembu Surah termangu sesaat. Lalu katanya pula, “Kunti, jika kuingat-ingat, dosaku tak dapat ditakar lagi. Mungkin apa yang kualami saat ini sudah menjadi hukuman yang setimpal bagiku. Malah seharusnya aku layak mati. Masih untung tidak membunuhku…”

“Masih untung! Kau bisa berkata begitu karena kau masih hidup….”

“Lebih baik kita melupakan muridmu itu. kita kembali ke gunung Iyang. Tinggal di sana berdua-dua dengan tentram….”

“Surah! Jangan kau lupa. Persoalanmu bukan cuma bersangkutan pada Wirapati.  Tapi juga berkaitan dengan muridku yang satu lagi! Yang mati ditanganku gara-gara anak setan bernama Wirapati  itu. Seumur-umur aku akan merasa berdosa karena telah kesalahan tangan. Satu-satunya jalan untuk menebus adalah menemukan Wirapati dan membunuhnya. Mencincang sampai lumat!”

“Dengan berbuat begitu apakah Mahesa bisa hidup kembali?” tanya Lembu Surah.

“Tentu saja tidak. Tapi hatiku puas! Tak ada hutang piutang yang mengganjal!” sahut Kunti Kendil.

“Kau hanya menurut suara hatimu Kunti. Dan suara hatimu itu dipengaruhi oleh setan!”

Dari ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Lembu Surah jelas kakek berwajah muda ini telah berbeda dari masa ketika dia masih malang melintang dalam dunia persilatan dengan menyandang  gelar Datuk Iblis Penghisap Darah. Agaknya dia kini benar-benar tobat dan ingin menghabiskan sisa hidupnya dalam jalan yang baik.

“Terserah kau mau bilang apa Surah. Dipengaruhi setan. Dipengaruhi iblis! Pokoknya aku tak akan mundur. Aku tetap akan mencari Wirapati. Juga ingin tahu siapa yang mencuri mayat Mahesa. Siapa yang menguburkannya di lembah, lalu kemana mayatnya dipindahkan! Kalau kau merasa keberatan mengikuti perjalanan, kau boleh kembali ke gunung Iyang. Aku baru kembali ke sana jika semua tujuanku tadi berhasil kulaksanakan!”

“Seperti kataku tadi, aku hanya ingin memberi nasihat.  Mau dituruti atau tidak terserah padamu…”

Kunti Kendil seperti tidak mendengarkan ucapan suaminya itu. dia tengah berpikir-pikir.

“Apa yang ada dibenakmu kini Kunti?”

“Pada hari keseratus hari perjanjian kita, sebelum kau datang, pagi harinya muncul seseorang ke tempat kediamanku. Pendekar Muka Tengkorak!”

“Eh, apa urusannya datang ke tempatmu?” tanya Lembu Surah.

“Katanya mencari Mahesa. Aku menaruh curiga, jangan-jangan dia yang mencuri mayat Mahesa. Lalu ketika diketahuinya aku telah menemui makam pemuda itu, cepat-cepat jenazah Mahesa dipindahkannya…”

“Kalau betul dia yang mencuri dan menguburkan, lalu memindahkan mayat muridmu itu, apa perlunya dia membuat papan pengumunan segala!”

“Hai, betul juga katamu itu. apa perlunya. Mungkin untuk membuatku jadi jengkel dan marah. Aku tahu kakek itu suka pada anak setan itu…”

“Apa sebenarnya hubungan muridmu dengan si muka tengkorak itu?”

“Mahesa pernah menyelamatkannya ketika disekap orang dibawah patung batu.  Dia merasa berhutang budi dan nyawa. Anak setan itu dihadiahinya sepersekian dari tenaga dalamnya…” menerangkan Kunti Kendil.

“Pantas, ketika aku pernah menghadapinya kudapati tenaga dalamnya tidak berada dibawahku! Ujar Lembu Surah. “Bagaimana kalau kita cari dan temui dia? Aku yakin banyak keterangan yang bisa dikorek darinya.”

“Mencarinya sama saja sesulit mencari jarum dalam tepung!” sahut Kunti Kendil. Dia lebih suka meneruskan mencari Wirapati.

“Aku tahu di mana monyet tua itu suka muncul. Kalau nasib kita baik kita bakal menemuinya di tempat itu….”

“Di mana?”

“Di pantai selatan. Di perkebunan nipah. Tempat orang membuat rokok kawung….”

Kunti Kendil menimbang-nimbang. Tawa lebar muncul di wajahnya.

“Eh, kenapa kau tertawa. Ada yang lucu?”

Si nenek menggeleng. “Tak ada yang lucu. Apa kau tak ingat kita bisa melakukan sesuatu di selatan?”

“Sesuatu apa?”

“Ingat gunung Wilis?”

“Maksudmu madu lebah putih itu?”

“Apa lagi?!”

“Ah, rupanya kau masih ingin terus muda!” seru Lembu Surah.

“Kau tak suka kalau wajahku tetap cantik dan tubuhku tetap kencang…?”

Lembu Surah tertawa gelak-gelak. “Tentu saja aku menginginkan hal itu Kunti. Dan paling tidak kau pun tetap ingin agar aku ini kuat dan tetap muda!”

Setelah puas tertawa, Lembu Surah bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang kabar dan undangan yang disebar dari mulut ke  mulut. Mengenai pendirian Partai Merapi Perkasa itu….”

“Ada baiknya kita datang ke puncak gunung itu. Pertama, aku ingin tahu siapa orangnya yang punya rencana dan belum apa-apa sudah mengangkat diri jadi Ketua Partai. Kedua, pasti di sana akan berkumpul banyak para jago dan tokoh-tokoh silat. Bukan mustahil Wirapati juga muncul di situ. Hanya sayang saat peresmian berdirinya partai itu masih dua bulan di muka…”

“Karena itulah coba menyirap kabar dan keterangan dari Pendekar Muka Tengkorak lebih dahulu.”

“Aku setuju. Besok pagi-pagi kita berangkat ke selatan,” Kata Kunti Kendil pula.

“Tapi ada satu hal menjadi ganjalan,” kata Lembu Surah. “Topeng kulitku semua tertinggal di pondokmu. Kalau kita muncul berdua-dua seperti ini, rahasia kita akan terbuka!”

“Tak perlu dikhawatirkan hal itu. Biar aku sendiri yang menemui si muka tengkorak  itu. kau tunjukkan saja  tempatnya.”

“Baiklah, tapi hati-hati bicara, Aku masih belum pulih sepenuhnya…” mengingatkan Lembu Surah.

“Siapa takutkan monyet rongsokan itu!” sahut Kunti Kendil.


***

Laut pantai selatan dimusim angin barat seperti saat itu berombak besar. Para nelayan jarang yang berani turun kelaut. Kebanyakan dari mereka bekerja mencari upah pada pemilik pohon-pohon nipah yang biasanya dijadikan daun kawung.

Pagi itu udara cerah sekali. Orang-orang lelaki bekerja memotongi pelepah-pelepah nipah. Orang-orang perempuan dan anak-anak menjunjunginya membawa ke rumah-rumah di sepanjang pantai untuk disiangi. Setelah dikupas dan di siangi, daun-daun nipah itu dijemur sampai kering. Daun yang telah kering inilah kemudian diserahkan pada pemilik pohon nipah, dihitung jumlahnya untuk menentukan upah.

Lembu Surah berdiri dibalik pohon kelapa dan menunjuk ke arah sebuah rumah. “Kau lihat rumah paling besar beratap rumbia, yang ada sumur di perkarangannya itu…?”

Kunti Kendil mengangguk.

“Itu adalah rumah pemilik pohon nipah terbanyak di daerah ini. Pergilah ke sana, tanyakan apakah kakek pengemis kurus ada di situ. Kalau kau tanyakan Pendekar Muka Tengkorak, tak seorangpun tahu. Manusia itu sering muncul di sana untuk meminta rokok kawung berikut tembakau. Dia tak pernah membeli. Entah mengapa orang selalu memberinya, berapapun yang bisa dibawanya. Nah, kau pergilah. Hati-hati, jangan mencari silang sengketa. Kita mencari keterangan, bukan mencari perkara!”

Kunti Kendil kembali mengangguk. Dengan muka yang ditutupi kulit tipis tua keriput, tongkat kayu kering di tangan  kanan dan langkah terbungkuk-bungkuk serta pincang, nenek itu berjalan terseok-seok menuju rumah yang dikatakan Lembu Surah.

Di perkarangan, di depan tangga rumah seorang perempuan separu baya asyik memotongi daun kawung. Melihat si nenek muncul mukanya langsung asam.

“Pengemis lagi! Pengemis lagi! Yang satu masih belum pergi. Sudah datang yang baru!” Perempuan itu mengeluarkan suara mengomel tapi tanpa memandang pada Kunti Kendil.

Tiba-tiba ujung sebuah tongkat menusuk pelahan sambungan siku kanannya. Mendadak sontak detik itu juga tangannya itu terkulai jatuh ke tanah. Bagaimanapun dia berusaha mengumpulkan tenaga untuk mengangkat atau menggerakkan tangan kanannya itu tetap saja dia tak mampu. Pisau yang tadi dipegangnya jatuh.

Kunti Kendil tusuk kembali sambungan siku perempuan itu, detik itu pula tangan kanannya yang tadi berat lumpuh kini kembali seperti semula seolah-olah tak terjadi apa-apa!

“Aku mencari sahabatku si pengemis kurus. Apa dia ada di sini?” Kunti Kendil bertanya sambil goyang-goyangkan tongkat kayunya.

Ketakutan setangah mati perempuan yang ditanya segera berdiri dan hendak lari ke dalam rumah. Tapi cepat sekali bahunya sudah terpegang oleh si nenek.

“Tak usah takut dan jangan berteriak. Aku hanya perlu jawabanmu. Pengemis kurus sahabatku itu ada di sini atau tidak?”

Perempuan separuh baya itu tak bisa membuka mulut. Tapi dia menunjuk ke arah atas pohon ketapang besar yang tumbuh di ujung kiri pekarangan. Kunti Kendil memandang mengikuti arah yang ditunjuk. 

Di atas pohon, pada sebatang cabang besar kelihatan berbaring sesosok tubuh kurus berpakaian compang-camping. Disela bibirnya terselip sebatang rokok kawung besar. Orang ini menghisap rokok itu tanpa mencopot dari bibirnya. Asap rokok mengepul tiada henti. Kedua matanya terpejam. Tampaknya dia asyik sekali menikmati rokok kawungnya.

Kunti Kendil lepaskan pegangannya pada bahu perempuan tadi. Begitu bahunya terlepas, perempuan ini lari pontang-panting ke dalam rumah.

“Pengemis kurus! Turunlah  sebentar. Ada yang hendak kutanyakan!” Kunti Kendil berseru.

Asap rokok mengepul kencang. Sepasang mata masih terpejam. Tubuh kurus itu tidak bergerak. Hanya pakaian robengnya melambai-lambai ditiup angin laut.

“Pengemis kurus! Aku tahu kau tidak tidur dan tidak tuli. Aku tahu kau mendengar kata-kataku. Turunlah!”

Dari atas pohon terdengar suara, “Siapa menyuruh siapa?!”

“Aku Kunti Kendil!” sahut si nenek.

Tubuh di atas pohon itu mendadak miring ke kiri dan jatuh ke bawah, melintang seperti tonggak. Tapi begitu sampai di bawah kedua kakinya tetap saja menjejak tanah lebih dulu. Ketika berdiri rokok kawung masih terselip dan kedua matanya masih terpejam. Kakek ini ternyata memang Pendekar Muka Tengkorak Suro Inggil.

“Setan satu ini banyak tingkahnya!” maki Kunti Kendil dalam hati.

Perlahan-lahan sepasang mata itu kemudian tampak terbuka. Lalu muka yang hanya tinggal kulit pembalut tulang tengkorak itu tampak menyeringai. “Empat puluh tiga tahun tak pernah bertemu. Bertemu beberapa waktu lalu di puncak yang acuh tak acuh. Kini tahu-tahu muncul. Berkata hendak menanyakan sesuatu. Sesuatu itu tentunya yang amat sangat terlalu penting. Begitu bukan…?”

Kembali si kakek menyeringai, membuat si nenek jengkel. Kalau tidak ada keperluan sudah dibentaknya tua bangka kerempeng itu.

“Ada sesuatu yang harus kau terangkan…”

“Heh, sudah datang tak diundang, sekarang bilang harus! Harus!”

Kunti Kendil ingat peristiwa lebih dua bulan lalu ketika si kakek datang ke puncak Iyang dan dia menyambut dengan  rasa tidak senang. Rupanya kali ini Pendekar Muka Tengkorak sengaja hendak membalas. Tanpa perdulikan ejekan orang Kunti Kendil kembali membuka mulut.

“Dua bulan lalu kau datang ke tempatku mencari si buyung. Apakah kau telah menemukan muridku itu…?”

“Seharusnya aku yang menanyakan apakah kau telah mengetahui di mana si buyung itu sekarang…?”

“Jangan pura-pura tidak tahu!” bentak Kunti Kendil. 

Dibentak begitu rupa si kakek tampak tenang. Dia julurkan lidahnya lalu matikan api rokok kawungnya yang telah jadi pendek dengan menekankan bagian yang berapi ke atas lidahnya. Ces! Api rokok mati tapi lidah si kakek tidak apa-apa.

“Tua bangka, jangan pamerkan kepandaian di depanku!” Kunti Kendil malah jadi jengkel. “Kepandaianmu bagus untuk diperlihatkan di depan anak-anak. Kau kelihatan berbakat jadi tukang sulap. Tapi tidak ada harganya diperlihatkan padaku!”

“Bicara soal tukang sulap, sebetulnya kaulah yang lebih cocok disebut tukang sulap Kunti!” tukas Pendekar Muka Tengkorak. “Dulu kau tidak tahu menahu tentang muridmu itu, kini kau datang jauh-jauh hanya untuk menanyakan di mana anak itu. bahkan mendampratku sebagai berpura-pura. Apa yang harus aku pura-purakan pada perempuan tua sejelekmu ini!”

“Sekali lagi kau berani menghinaku, kurobek mulutmu!” mengancam Kunti Kendil.

Si kakek tertawa mengekeh. Lalu hidupkan sebatang rokok kawung kembali. Setelah menyedot rokoknya dalam-dalam kakek ini lantas bertanya, “Sebenarnya apa sih urusanmu datang jauh-jauh kemari?!”

“Aku minta keterangan tentang mayat muridku!” sahut Kunti Kendil.

Mulut ompong Pendekar Muka Tengkorak ternganga. “Muridmu yang mana yang mati?!”

“Anak setan yang kau sebut dengan panggilan si buyung itu!” 

Tubuh Pendekar Muka Tengkorak mencelat ke udara. Rokok di sela bibirnya lepas dan jatuh. Wajahnya mendadak pucat. Begitu turun ke tanah dia pegang bahu Kunti Kendil dan goyangkan berulang-ulang. “Mahesa! Si buyung itu meninggal? Mati?!” teriak si kakek. “Kau bicara benar atau ngaco! Jangan kau berani mempermainkan aku soal nyawa anak itu. Dia sahabat kepada siapa aku berutang nyawa berulang kali!”

Si nenek tepiskan kedua tangan Pendekar Muka Tengkorak dengan memukulnya dengan keras-keras. Dalam keadaan lain mungkin  kakek ini akan mengeluh kesakitan. Namun saat itu rasa terkejut membuat dia seperti tidak merasakan apa-apa.

“Kentut busuk! Beberapa hari sebelum dia meninggal kau muncul di puncak Iyang.  Kemudian jenazahnya lenyap! Tentu ada orang yang mengambil dan melarikannya! Kemudian kutemukan kuburannya di lembah di kaki gunung. Beberapa hari kemudian ketika aku datang lagi ke situ kuburan itu lenyap. Dipindahkan ke tempat lain…”

“Nenek jelek!” ujar Kakek Muka Tengkorak yang menjadi panas karena dimaki kentut busuk tadi. “Jadi kau datang kemari untuk memberi tahu meninggalnya si buyung, aku berterima kasih! Tapi jika kedatanganmu mengandung maksud yang bukan-bukan jangan salahkan kalau aku terpaksa melepas tangan kasar!”

“Oooo… jadi kau mau menantangku?!” si nenek berkacak pinggang. “Dalam sejarah hidupku tak pernah ada orang yang berani menantang berumur lebih lama dari sepeminuman teh!”

Kakek itu menyeringai. Tapi kedua matanya tampak berkaca-kaca. “Berkelahi hidup mati denganmu siapa yang takut. Hanya aku perlu tahu mengapa si buyung itu sampai pendek umurnya. Apakah dia sakit atau dibunuh orang?! Kalau sakit katakan apa sakitnya! Kalau dibunuh katakan siapa pembunuhnya, biar kucari sampai ke liang neraka sekalipun!”

Tentu saja Kunti Kendil tak bisa menjawab pertanyaan  itu. bukan saja akan menyingkap tabir kematian Mahesa, tetapi juga karena dia sendiri memang tak akan mau mengatakan.

“Nenek jelek! Orang bertanya apakah kau tidak mendengar?!” sentak Pendekar  Muka Tengkorak. Dia coba membaca apa yang berada dibalik air muka si nenek, tanpa mengetahui kalau Kunti Kendil mengenakan topeng kulit tipis.

“Jadi kau tidak mencuri mayatnya dari tempatku?”

“Sialan! Tentu saja tidak!” jawab si kakek jengkel. “Sejak kau mengusirku dari puncak Iyang, aku bersumpah tidak akan menjejakkan kaki lagi di tempat itu!”

“Juga bukan kau yang menguburkannya lalu memindahkan mayatnya ke tempat lain?!” bertanya lega Kunti Kendil.

“Tua bangka bawel! Semua jawabanku untukmu adalah tidak! Kau dengar?! Sekarang katakan apa yang terjadi dengan si buyung. Jika kau berani berdusta kupecahkan kepalamu! Tak perduli siapapun kawanmu yang mengantar kemari dan bersembunyi di sana!” Si kakek menunjuk ke arah deretan pohon-pohon nipah dibalik mana Datuk Iblis alias Lembu Surah bersembunyi menunggu.

Kunti Kendil terkejut sekali mendengar kata-kata itu. “Hendak memecahkan kepalaku? Tua bangka sombong! Mari! Aku ingin melihat sampai di mana kerasnya pukulanmu!” Rupanya si nenek juga sudah tak dapat menahan amarahnya.

Kedua orang itupun berhadap-hadapan dan pasang kuda-kuda. Dari tempat persembunyiannya Lembu Surah memaki panjang pendek dan garuk-garuk kepala ketika melihat kedua orang itu berlaga. Tak henti-hentinya dia mengeluh.

“Celaka! Celaka! Kenapa  mereka jadi berkelahi! Bagaimana ini! Apa yang harus kulakukan?!”

Sebagai salah seorang tokoh persilatan tentu saja Lembu Surah mengetahui sampai di mana kehebatan orang tua berjuluk Pendekar  Muka Tengkorak itu. Baik Kunti Kendil maupun dia sendiri tidak berada di atas  kepandaiannya bila dibandingkan dengan orang tua bertubuh jerangkong bermuka tengkorak itu.

Di depan sana dilihatnya debu dan pasir beterbangan akibat gerakan-gerakan kedua orang yang berkelahi. Orang-orang yang tadi bekerja memotong dan menyiangi daun nipah kini hentikan pekerjaan mereka dan berkumpul menyaksikan perkelahian antara dua tua bangka itu.

Setelah sepuluh jurus lebih berhambur serangan gencar, memukul dan menendang namun tak satupun berhasil mengenai lawannya, Kunti Kendil jadi seperti terbakar darahnya oleh hawa amarah. Didahului oleh teriakan keras nenek ini berkelebat. Gerakannya seperti selusin burung yang datang dari dua belas  arah, menyerbu ke satu sasaran yakni Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil. 

Namun orang yang diserang ini tampak tenang saja dan nyalakan sebatang rokok kawung. Dengan rokok itu dia kemudian menghadapi gempuran lawan. Rokok yang menyala di tangan kiri menusuk kian kemari sementara tangan kanan tak tinggal diam dan lebih banyak dipergunakan untuk menangkis. Bila tangkisannya hampir menimbulkan bentrokan, si kakek cepat susupkan tangannya ke atas atau ke bawah lalu selinapkan serangan balasan. Dalam pada itu mulutnya tiada henti menghembuskan asap rokok kawung ke muka lawan.

Bukan saja asap rokok ini membuat pengap pernafasan Kunti Kendil, tapi pemandangannyapun jadi terhalang. Dan si nenek tahu betul jika asap rokok itu sampai mengenai kulitnya, pasti dia akan menderita luka bakar yang mengerikan karena asap itu terdorong oleh kekuatan tanaga dalam yang dahsyat!

Dari tempatnya berdiri Datuk Iblis yang memperhatikan perkalahian itu segera memaklumi, walaupun istrinya tidak mudah untuk dikalahkan, tapi sebaliknya bagi Kunti Kendil mengalahkan si kakek muka  tengkorak juga bukan hal yang mudah, malah mungkin  mustahil. Kalaupun itu sampai terjadi maka kedua orang itu pasti akan sama-sama celaka. Jadi mau tak mau perkelahian itu harus  dilerai dan dihentikan. Tapi bagaimana caranya?! Tak mungkin tanpa tidak melukai salah satu dari antara mereka!

“Aku harus bertindak sebelum mereka mulai keluarkan pukulan-pukulan sakti!” kata Lembu Surah dalam hati. Tangan kirinya satu-satunya tangan yang masih dimilikinya sekarang diusapkannya ke kantong kulit berisi tuak yang ada di pundak kirinya. 

Setelah berpikir sejenak kakek yang kini tidak memakai kedok kulit tipis warna kuning itu teguk tuak dalam kantong lalu melangkah mendekati mereka yang sedang berkelahi. Pada saat mencapai jarak tertentu Lembu Surah semburkan tuak dalam mulutnya. Semburan yang disertai tenaga dalam ini bukan main hebatnya. Tetesan-tetesan tuak tidak beda seperti rangkaian jarum yang melesat.

Pendekar Muka Tengkorak terkesiap ketika mendengar suara berdesing di belakangnya. Tanpa berpaling dia sudah maklum kalau ada orang yang membokong. Siapa lagi kalau bukan temannya si nenek yang tadi diketahuinya bersembunyi di balik pohon-pohon nipah.

“Pengecut curang!” teriak si kakek lalu melompat tinggi ke atas. Di udara dia jungkir balik seraya lepaskan pukulan tangan kosong. Serangkum angin deras menghantam ke arah Lembu Surah. Yang di serang cepat menyingkir ketika pohon nipah di balik mana dia berlindung hancur berantakan, hampir tercabut berikut akarnya dari tanah yang basah oleh air laut.

“Kunti! Tak ada gunanya melayani manusia itu! Mari tinggalkan tempat ini!” teriak Lembu Surah. Lalu tangan kirinya dipukulkan ke depan. Disaat yang sama di arah belakang Kunti Kendil lepaskan pula pukulan Api Geledek Menggusur Makam yang terkenal kehebatannya. Sinar merah berkiblat! 

Jengkelnya si kakek muka tengkorak bukan kepalang. Tapi orang  bertangan buntung itu yang menyerangnya dari belakang, kini ganti si nenek. Terpaksa kakek ini kembali  harus melompat ke udara seraya mulutnya memaki, “Tidak dinyanakan tokoh utama  sepertimu juga bisa berlaku curang! Nyatanya kau bukan saja jelek tapi juga pengecut!”

Kunti Kendil tertawa mengekeh. “Mana ada istilah pengecut dalam diriku, manusia jerangkong!” Lalu dia melambaikan tangan pada Lembu Surah. Tanpa mau menyebut nama suaminya ini dia berseru, “Hai! Mari kita membagi hadiah untuk cacing tanah ini!”

Si nenek menghantam lagi. Kali ini dengan Pukulan Kincir Air Melabrak Kuburan. Sedang Lembu Surah bersamaan dengan itu lepaskan pula pukulan tangan kosong mengandung hawa panas dan angin kencang. Debu dan pasir beterbangan. Daun-daun pepohonan berguguran. Kakek muka tengkorak terjepit diantara dua pukulan sakti itu.

“Sialan! Kalian berdua benar-benar pengecut! Aku terima hadiah kalian! Tapi makan juga hadiahku ini!” teriak Pendekar muka jerangkong itu. Tangan kanannya dipukulkan ke utara, menyambut pukulan Lembu Surah. Tangan kiri menghantam ke selatan, menangkis serangan Kunti Kendil.

Terdengar dua suara berdentum dalam detik hampir bersamaan. Tubuh Pendekar  Muka Tengkorak mencelat dua tombak lalu jatuh ke tanah. Meskipun dia masih sanggup berdiri di atas kedua kakinya namun lututnya goyah dan sesaat kemudian  kakek ini terguling dengan darah tampak mengalir dari mulutnya.

Lembu Surah terpental dan menyangsrang diantara pelepah pohon nipah. Dadanya berdenyut sakit. Luka di bahunya sebelah kiri yang baru saja sembuh tampak koyak dan mengeluarkan darah kembali. Cepat-cepat orang ini keluarkan dirinya dari jepitan pelepah nipah. 

Di sebelah kiri Kunti Kendil tampak tergontai-gontai beberapa lamanya. Dia berusaha mempertahankan diri untuk tidak roboh. Namun sesaat kemudian nenek inipun jatuh berlutut. Walau tak ada darah yang keluar dari tubuhnya akan tetapi sekujur tulang belulang laksana remuk. Dia ulurkan  tangannya ketika Lembu Surah datang membantunya bangkit.

Setelah masing-masing mengatur jalan nafas dan peredaran darah, mengerahkan tenaga dalam untuk mendapatkan kekuatan baru, keduanya kemudian tinggalkan tempat itu, disaksikan oleh pandangan mata penasaran si kakek muka tengkorak.

“Manusia buntung berambut kelabu itu! Gila! Dia tak kalah hebat dari Kunti Kendil. Siapa dia? Aku rasa-rasa pernah mendengar suaranya. Tapi dimana….?


***
SEPULUH


RANDU AMPEL DAN LUMUT BERACUN KAKEK MUKA ARANG YANG MISTERIUS

KITA tinggalkan dulu sepasang kakek nenek Kunti Kendil dan Lembu Surah yang berusaha mencari keterangan di mana mayat Mahesa berada. Kita kembali ke gunung Bromo yaitu pada hari terjadinya pertempuran besar antar Pendekar Muka Tengkorak dengan Embah Bromo Tunggal serta mahkluk-mahkluk jejadiannya. Di mana saat itu Mahesa hampir saja jadi bahan godokan ramuan obat yang tengah dikerjakan oleh dukun terkutuk itu. 

Seperti yang diceritakan sebelumnya di situ terjadi pula perkelahian hebat antara Pendekar Muka Tengkorak dengan Randu Ampel yang tiba-tiba muncul, mengira si kakek adalah Embah Bromo Tunggal dan langsung menempurnya.

Ternyata Randu Ampel telah memiliki ilmu silat tinggi sekali dengan gerakan-gerakan serba aneh. Ayah Mahesa ini hampir saja membunuh si kakek jelangkong kalau tidak dicegah oleh si pemuda. Randu Ampel sendiri kemudian melarikan diri meninggalkan puncak Bromo.

Sekarang mari kita ikuti riwayat perjalanan Randu Ampel lelaki malang yang gagal menjadi Adipati Probolinggo itu, malah ditimpa malapetaka, kehilangan istri serta rusak ingatannya akibat guna-guna Embah Bromo Tunggal yang diperalat oleh Mangun Aryo, yang menginginkan kedudukan Adipati Probolinggo. Dia memang berhasil mendapatkan kedudukan itu namun kemudian setelah delapan belas tahun berlalu, Randu Ampel berhasil mencari dan menemuinya lalu membunuh musuh besarnya itu.

Seperti diketahui sebelum dirinya terkena guna-guna dukun jahat dari puncak Bromo itu Randu Ampel memang memiliki kepandaian silat. Namun hanya silat kampungan yang mengandalkan tenaga luar atau tenaga kasar belaka. Ketika dia muncul dalam keadaan gila delapan belas tahun kemudian, ternyata lelaki ini telah memiliki ilmu silat luar biasa, dan aneh. Di samping itu dia juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi dan ditambah pula dengan tenaga dalam yang luar biasa. Bagaimana dan dari mana Randu Ampel mendapatkan semua ilmu yang aneh dan serba hebat itu?

Kita kembali ke masa sekitar delapan belas tahun yang lalu dari jalinan cerita silat ini. Setelah memendam istrinya (Wening Muriati) di dalam kuburan tua di tepi kota Probolinggo, Randu Ampel tinggalkan pekuburan. Di bawah hujan lebat dan gelap gulitanya malam dia bukan kembali menuju ke kota melainkan lari memasuki rimba belantara yang sangat rapat pepohonannya. 

Sepanjang jalan tubuhnya beberapa kali terantuk batang pohon, tersandung oleh akar yang menyembul dan jatuh, pakaiannya robek-robek tersangkut ranting-ranting sedangan kulit tubuhnya penuh luka dan barut-barut. Namun semua itu seperti tidak dirasakannya. Bahkan sambil lari dia membuka pakaiannya lalu melemparkannya ke tanah. 

Randu Ampel lari  terus bertelanjang dada, tanpa kasut. Hanya mengenakan celana hitam panjang dan topi tinggi hitam serta kalung warna emas bergambar burung. Menjelang pagi, ketika hari mulai terang-terang tanah, Randu Ampel baru hentikan larinya. Dadanya terasa sesak dan dia sulit bernafas. Tubuhnya akhirnya tergelimpang roboh, jatuh pingsan.

Menjelang tengah hari, ketika matahari berusaha menembus sinarnya diantara celah-celah daun pepohonan yang sangat rapat, Randu Ampel siuman dari pingsannya. Begitu sadar, dari mulutnya keluar suara teriakan aneh. Lalu dia bangkit berdiri, bersandar ke sebatang pohon. Sesaat dirasakannya pemandangan berkunang-kunang. Setelah penglihatannya terang, dalam keredupan hutan dia melihat sebuah batu besar diantara semak belukar di hadapannya. Di pertengahan batu besar ini ada sebuah  lobang sepemasukan tubuh manusia.

Melihat lobang itu Randu Ampel terbayang pada lobang longsoran kuburan tua di mana dia telah memendam istrinya hidup-hidup. Kontan  lelaki ini berteriak, “Gila! Semua gila. Aku juga gila! Fitnah! Fitnah kembali kepada fitnah!”

Randu Ampel meludah ke tanah lalu kembali berteriak, “Perempuan gila! Perempuan bangsat! Kau bakal mampus! Mampus…!!!” kakinya dihentakan-hentakkan ke tanah. Kedua tangannya memukul udara kosong di depannya berulang kali. Dia baru berhenti setelah tubuhnya mandi keringat dan terasa lunglai, melosoh ke tanah. Dadanya turun naik, nafasnya kembali sesak. Kedua matanya setengah terpejam antara melihat dan tidak.

Lelaki yang otaknya tidak waras akibat guna-guna dukun jahat dari gunung Bromo itu, tidak menunjukkan sikap apa-apa ketika samar-samar dia melihat sebuah kepala muncul dari lubang batu yang terletak beberapa langkah di depannya.

Orang yang memiliki kepala itu mengenakan penutup kepala dari kain putih hampir menyerupai sorban. Mukanya sangat hitam, seolah-olah dilumuri arang. Tapi janggut, kumis dan alis matanya sebaliknya berwarna putih. Meskipun wajah tua ini tampak biasa-biasa saja namun kesan angker segera dirasakan oleh siapa saja yang melihatnya, kecuali Randu  Ampel yang saat itu tetap tenang-tenang saja.

Seperti seekor ular kepompong kepala bermuka hitam itu meluncur keluar diikuti oleh tubuhnya terus ke kaki. Sesaat kemudian orang ini sudah berdiri di hadapan lobang. Ternyata dia bertubuh tinggi, mengenakan jubah putih. Kedua tangannya sangat panjang dan terjulai di bawah lutut. Sepasang tangan inipun tampak berwarna sangat hitam.

Orang tua ini menatap Randu Ampel dengan wajah mengerenyit. Lalu geleng-gelengkan kepala. Anehnya kemudian dia tampak seperti  tertawa. Matanya meneliti  Randu Ampel dari kepala sampai ke kaki. Perlahan-lahan, antara terdengar dan tiada, dari mulutnya terdengar ucapan,

“Sayang… sayang…. Sudah tua. Tapi apapun adanya, lebih baik dari tidak sama sekali…”

Sosok tubuh hitam tinggi itu bergerak. Gerakannya perlahan saja. Namun di lain kejap dia sudah lenyap. Jika saja Randu Ampel seorang waras, menyaksikan lenyapnya orang tadi laksana ditelan bumi demikian cepatnya tentulah menjadi heran.

Setelah beberapa lama berlalu, ketika hari memasuki rembang petang seperti orang yang baru sadar akan keadaan dirinya dan kembali rasa, Randu Ampel merasakan sekujur tubuhnya sakit. Tulang-tulangnya laksana bertanggalan dari persendian. Luka-luka sekujur tubuhnya terasa perih. Lalu  satu hal lagi, tenggorokannya terasa kering haus, perutnyapun mencucuk lapar.

Dia memandang berkeliling. Tak ada makanan, tak ada air. Yang tampak hanya pohon-pohon besar, berdaun lebat, semak belukar rapat dan tanah yang berlumut. Randu Ampel ulurkan tangan, mengorek lumut di sampingnya. Rasa lapar dan otaknya yang  miring tidak dapat lagi membedakan apakah lumut itu makanan atau bukan. Enak saja benda ini dimasukkannya ke dalam mulut, dikunyah dan ditelan. 

Mula-mula setelah suap pertama ditelannya, diteruskannya dengan suap kedua, ketiga dan seterusnya. Pada suap ke enam Randu Ampel tampak mengerenyit tanda menahan sakit. Perutnya memilin, tubuhnya mendadak menjadi panas dan kepalanya berat serta pemandangnya menghitam gelap. Tubuhnya terkapar pingsan!

Menjelang malam di mana hutan belantara itu kembali disungkup kegelapan yang menghitam, orang tua berkulit hitam bertubuh tinggi itu, entah dari mana tahu-tahu muncul kembali. Dalam kegelapan pandangan matanya seolah-olah bisa menembus. Dia memperhatikan tubuh Randu Ampel yang tergelimpang  di tanah. 

Dengan ujung kakinya yang dibungkus kasut tipis dia menyentuh leher  Randu Ampel. Terasa denyutan urat besar di leher itu meski perlahan sekali. Orang ini tersenyum. Ditinggalkannya tubuh Randu Ampel lalu masuk ke dalam lobang di batu besar. Kalau tadi waktu keluar kepalanya yang tersembul lebih dulu maka kini waktu masuk juga kepalanya yang disorongkan lebih dulu.

Lama sekali Randu Ampel pingsan. Keesokan siangnya baru dia siuman. Dengan susah payah dia duduk bersandar ke pohon. Tubuhnya yang tadinya tegap kini tampak susut cepat sekali. Kedua pipinya mulai mencekung, begitu juga bagian muka di sekitar mata. Tenggorokannya terasa perih dan perutnya lapar sekali.

Karena tak sanggup berdiri lelaki ini kembali menggapai-gapai dengan tangan dan kakinya. Lumut hutan disekitarnya tercongkel, seperti kemarin terus dimakannya. Jika saja otaknya waras, lumut yang membuatnya sakit dan pingsan itu tentu tak akan dimakannya. Setelah makan lumut beberapa kali suap, kembali Randu Ampel merasakan perutnya sakit dan pemandangannya berkunang, lalu pingsan. 

Yang sekali ini rasa sakit dan pingsan tidak separah seperti pertama kali. Begitu siuman yang dilakukan Randu Ampel di luar sadarnya adalah memakan kembali lumut-lumut yang ada disekelilingnya. Sakit lagi, pingsan lagi. Demikian sampai terjadi enam kali. Kali yang ke delapan yakni setelah tujuh kali makan lumut, anehnya Randu Ampel tidak lagi merasakan perutnya sakit. Pemandangannya juga tidak menjadi gelap berkunang. Malah diapun tidak jatuh pingsan.

Dihari kedelapan itulah tiba-tiba orang tua berjubah putih berkulit hitam itu muncul kembali, keluar dari lobang di batu. “Manusia luar biasa…” katanya dalam hati. “Orang lain satu kali saja makan lumut hutan beracun itu pasti sudah menemui ajal! Dia memakannya sampai tujuh kali dan tidak mati! Sekarang tubuhnya kebal segala macam racun. Ah… mungkin dia memang yang berjodoh dengan ilmu itu. Rasanya aku sudah boleh pergi mencari tempat yang  damai menunggu saat yang baik. Seratus dua tahun hidup di dunia ini, apa lagi yang akan kuharapkan selain mati…?”

Untuk pertama kalinya orang tua berwajah hitam itu dekati Randu Ampel dan pegang kepalanya. Dipegang kepalanya seperti itu Randu Ampel berteriak marah. Dia tendangkan kaki kanannya ke depan. Wut! Bukan saja tendangan itu tampak keras tapi juga mengeluarkan angin. Orang tua bermuka hitam hanya menggerakkan tubuhnya sedikit dan tendangan Randu Ampel mengenai tempat kosong.

“Lumut ajaib…” desis orang tua ini. “Bukan saja bisa jadi penangkal racun, tapi sanggup menghimpun tenaga luar biasa!”

“Manusia muka arang!” Randu Ampel membentak. “Apakah kau mau kupendam? Mau kubikin mampus…? Fitnah kembali kepada fitnah! Dukun jahat awas kau! Kau juga akan kubunuh…!”

Si muka hitam terkejut. Untuk pertama kalinya dia seperti menyadari kalau Randu Ampel tidak waras otaknya. Dan dibalik itu dia dapat merasakan adanya satu goncangan jiwa yang sangat luar biasa pada diri Randu Ampel.

“Ah, nasibku mendapatkan orang gila! Mungkin sudah takdir. Tak tahu aku bagaimana jadinya nanti!” membatin orang tua itu dengan hati rawan.

Seperti melenting, tiba-tiba tubuh Randu Ampel mencelat ke atas. Gerakan itu dilakukannya dari keadaan duduk menjelepok di tanah tanpa mengambil sikap duduk lebih dulu. Satu hal yang tak mungkin bisa dilakukan orang pandai manapun juga!

“Astaga!” kejut orang tua berjubah putih muka hitam. Tapi dia juga tersenyum gembira. “Tubuhnya pun ternyata menjadi ringan! Tidak bisa tidak bimbingan Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah membawanya kemari!”

“Anak manusia!” kata orang tua itu pada Randu Ampel untuk pertama kalinya. “Siapapun adanya kau dan bagaimana adanya keadaan dirimu, aku bersyukur jalan  Tuhan telah membawamu datang kemari. Rupanya sudah takdir kau yang ditunjukNya untuk mendapatkan warisanku itu. sebetulnya aku ingin berada lebih lama lagi bersamamu di sini. Tapi keadaan tak memungkinkan. Aku harus pergi sekarang!”

Wut!

Randu Ampel memukul ke arah dada orang tua itu sambil berteriak-teriak tak karuan. Namun yang dipukul sudah lenyap meninggalkan tempat itu.

Sesaat setelah orang tua itu pergi udara di atas rimba belantara itu berubah mendung. Hujan kemudian turun lebat pohon jambu. Sebatang pohon mangga, pohon pisang dan pepaya. Semua pohon ini sarat dengan buah-buahnya yang masak-masak dan semuanya berbentuk aneh, yakni pendek katai. Rata-rata hanya setinggi pinggang Randu Ampel.

Setelah delapan hari tidak pernah melihat makanan, maka mendapatkan buah-buahan itu tanpa pikir panjang Randu Ampel segera memetik dan memakannya sepuas hati. Semua buah-buahan itu lezat luar biasa, jauh lebih lezat dari buah-buahan serupa yang pernah dimakannya sebelumnya.

Puas makan berbagai macam buah-buahan itu Randu Ampel masuk lebih jauh ke dalam goa. Langkahnya terhenti pada dinding batu besar lebar yang merupakan ujung dari goa itu. pada dinding itu terpampang 17 gambar orang yang tengah memainkan  jurus-jurus silat. Pada sebelah bawah masing-masing gambar terdapat serangkaian tulisan yang merupakan nama jurus lengkap dengan penjelasan.

Randu Ampel yang dulunya hanya tahu ilmu silat kampungan kelas rendahan mundur beberapa langkah untuk lebih dapat memperhatikan keseluruhan dinding lebar itu.

“Ilmu silat fitnah!” teriaknya tiba-tiba. “Mampus! Perempuan itu harus mampus! Mana Mangun Aryo. Juga mana teluh jahat itu…? Fitnah kembali kepada fitnah!” 

Lelaki itu duduk di lantai gua, bersadar ke dinding batu. Saat itulah untuk pertama kalinya dia melihat sederetan tulisan pada sebelah atas dinding goa yang penuh dengan gambar-gambar silat. Tulisan itu berbunyi:

GOA INI BERNAMA GOA KERAMAT TUJUH BELAS. SIAPA YANG MASUK KE DALAMNYA BERARTI BERJODOH DENGAN ILMU SILAT KERAMAT TUJUH BELAS. JIKA DIPAKAI UNTUK KEBAJIKAN DIA AKAN BERMANFAAT. JIKA DIGUNAKAN UNTUK KEJAHATAN DIA AKAN MAKAN DIRI SENDIRI

SATU GAMBAR SATU TAHUN. SATU JURUS SATU TAHUN. TUJUH BELAS GAMBAR TUJUH BELAS TAHUN. TUJUH BELAS JURUS TUJUH BELAS TAHUN. BARANG SIAPA YANG TELAH MEMPELAJARI ILMU SILAT INI. HARAP MENGHAPUS SEMUA GAMBAR DAN TULISAN DENGAN AIR PUTIH DARI MATA AIR 

Tak ada tanda-tanda yang menerangkan siapa yang menulis atau membuat semua gambaran di dinding goa itu. Karena otaknya yang tidak waras, Randu Ampel sama sekali tidak menyadari bahwa saat itu dia telah kejatuhan rezeki besar, mendapatkan sejenis ilmu silat yang langka dalam rimba persilatan masa itu. untuk beberapa lamanya dia duduk seperti itu. kemudian timbul niat dalam hatinya untuk pergi dan keluar dari goa itu. Namun memandang pohon-pohon buah-buahan yang  aneh tapi sarat dengan buah lezat itu hatinya merasa sayang.

“Kalau aku tidak pergi, aku tak akan berhasil mencari manusia keparat itu. kalau aku pergi, sayang buah-buahan itu. Nanti dicuri orang atau binatang…” katanya dalam hati. “Ah, biar nanti saja aku pergi. Di luarpun rasanya masih  hujan…”

Setalah berhari-hari berada dalam goa Keramat Tujuh Belas itu, lambat laun Randu Ampel tertarik juga pada tulisan dan gambar-gambar di dinding. Sambil tertawa-tawa dan terkadang memaki marah tak karuan Randu Ampel coba meniru sikap orang dalam gambar-gambar di dinding. Dia tidak mulai dari urutan gambar pertama tapi dari gambar yang menurutnya bagus. Setelah bosan dia berpindah pada gambar lain.  

Sesuai dengan petunjuk di dinding batu itu seharusnya untuk satu jurus ilmu silat Keramat Tujuh Belas itu dihabiskan waktu satu tahun untuk mempelajari dan menguasainya. Namun karena otaknya yang tidak waras maka Randu Ampel hanya mengikuti kemauan hatinya dan semua gerak yang dicontohnya justru malah terbalik dari gambar dan petunjuk yang ada!

Tujuh belas tahun memendam diri dalam goa keramat itu, telah merobah pisik, jalan pikiran Randu Ampel dan kemampuan Randu Ampel. Bekas calon Adipati Probolinggo itu kini kelihatan berkulit pucat karena jarang tersentuh sinar matahari. Otaknya masih jauh dari waras, namun dalam benaknya sudah terpantek manusia-manusia jahat yang telah mencelakai dirinya dan istrinya, yang akan dicarinya sampai ke manapun. 

Yang paling luar biasa ialah kemampuan yang kini dimiliki lelaki itu, kalau dulu dia hanya memiliki ilmu silat kampungan maka kini dia menjelma menjadi seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang jarang tandingannya. Tubuhnya kebal terhadap semua jenis beracun, tenaga dalamnya luar biasa, ilmu meringankan tubuhnyapun tinggi sekali.

Randu Ampel sendiri tidak menyadari semua kemampuan yang dimilikinya. Dalam hatinya hanya ada satu tujuan, mencari Mangun Aryo. Lalu dukun jahat yang diperalat oleh lelaki itu. Seperti punya firasat dan perhitungan tersendiri, setelah tujuh belas tahun berada dalam goa itu Randu Ampel pada suatu hari memutuskan untuk pergi. Satu hal yang tidak dikerjakannya sebelum pergi ialah, dia lupa  menghapus semua gambar dan tulisan di dinding dengan air putih dari mata air sesuai petunjuk.

Sekeluarnya dari goa itu Randu Ampel seharusnya menuju ke selatan, yakni arah terdekat menuju Probolinggo jika memang dia bermaksud mencari musuh besar Adipati Mangun Aryo. Namun arah yang ditempuhnya justru bertolak belakang, hingga selama beberapa bulan lelaki ini malang melintang antara Kali Grobokan dan kaki gunung Bromo. 

Suatu hari dia tersesat ke sebuah daerah pesawahan yang sangat luas. Di sini dia menemukan seorang anak lelaki penggembala, duduk di punggung kerbaunya sambil meniup suling. Tiupan suling anak ini demikian merdunya hingga  Randu Ampel tercekat. Dia mendatangi anak itu. Melihat orang berpakaian aneh, bertopi tinggi hitam butut, bermuka cekung dan berkumis serta janggut yang meranggas liar, tentu saja anak itu ketakutan dan hendak lari.

“Bocah… kau tak usah takut. Permainan sulingmu bagus sekali. Maukah kau mengajarkan cara memainkannya padaku. Lalu memberikannya padaku…?”

“Orang gila! Aku tidak mau! Lepaskan aku! Ibu…” si anak menjerit. Dan hendak lari. Tapi Randu Ampel cepat menariknya dan si anak tahu-tahu sudah berada dalam gendongannya.

“Bocah, kau dengar. Jika kau mengajarkan dan memberikan suling itu padaku, aku akan bawa kau berlari mengelilingi sawah ini tiga kali putar. Bagaimana…?”

“Tidak! Lepaskan. Aku tidak akan mengajarkan main suling padamu. Kau ambil saja suling ini. Tapi lepaskan diriku! Ibu tolong ada orang gila menangkapku!”

Penasaran Randu Ampel lemparkan pengembala itu kembali ke punggung kerbaunya. Tapi suling si anak sudah diambilnya. Sambil berjalan  di pematang sawah dia coba meniup dan memainkan suling bambu itu. sejak hari itu ke mana-mana dia selalu membawa suling. Beberapa hari kemudian dia sudah pandai memainkan alat tiup itu. Namun lagu yang dimainkannya terdengar aneh, tak  pernah dikenal siapapun sebelumnya!

Kenapa Randu Ampel membujuk bocah penggembala itu dengan imbalan membawanya berlari seputar sawah untuk mendapatkan suling bambu? Hal ini dilakukannya karena secara tidak diduga dia menyadari bahwa dia memiliki kemampuan berlari yang luar biasa. Sekeluarnya dari hutan lelaki itu melanjutkan perjalanan dengan berlari-lari kecil. Tubuhnya terasa enteng. Lari sampai sekian jauh dia tidak merasa letih ataupun sesak nafas. 

Ketika dicobanya berlari lebih cepat, lebih cepat baru lelaki ini mengetahui kalau dia mempunyai kemampuan berlari yang sangat cepat. Sampai saat itu Randu Ampel belum lagi mengetahui dahsyat berupa tenaga dalam di samping ilmu meringankan tubuh serta ilmu silat tingkat tinggi yang hampir sulit dicari tandingannya.

Randu Ampel baru mengetahui kehebatan dirinya sendiri ketika suatu hari dalam perjalanan ke Probolinggo dia dihina lima prajurit Kadipaten Lumajang yang tengah berkemah di luar desa Bantaran.

Saat itu hari masih pagi. Udara cerah dan angin sejuk bertiup dari arah barat. Randu Ampel bergegas menuju ke utara ketika hidungnya yang kini memiliki penciuman tajam mancium bau sesuatu yang sedap. Segera dia memutar langkah ke arah datangnya sumber bau itu. Dia menemui lima orang berpakaian prajurit tengah mengemasi kemah, bersiap untuk pergi. Sebelum pergi mereka menjerang air lebih dulu dan memasak kopi. Bau kopi inilah yang tercium oleh Randu Ampel. Betapa sedapnya kalau diapun dapat meneguk secangkir kopi hangat, harum dan manis.

“Bolehkah aku minta kopi kalian barang secangkir?” tanya Randu Ampel pada orang-orang itu.

Lima prajurit itu berpaling ke arah Randu Ampel. Kelimanya sama tersenyum lalu tanpa mengacuhkan terus mengemasi kemah. Dua orang diantaranya malah sengaja menghirup kopi masing-masing sampai mengeluarkan suara mencapak.

“Hai, aku bertanya boleh minta kopi. Kenapa kalian  diam saja…?”

Salah seorang yang barusan meneguk kopi turunkan cangkir kalengnya dan berkata, “Pengemis busuk! Pegilah! Jangan mengganggu dan jangan membuat aku dan kawan-kawan sampai marah!”

“Wah, aku bukan pengemis. Aku hanya minta secangkir kopi!” sahut Randu Ampel.

Lima prajurit itu tertawa. “Kawan-kawan!” kata yang tadi bicara. “Dia memang bukan pengemis. Tapi orang gila!”

“Betul!” menimpali kawannya yang tegak di samping kanan. “Lihat saja pakaiannya! Kotor lusuh, bau! Tidak pakai baju. Tapi punya kalung dan topi tinggi butut!”

“Mungkin dia pensiunan Adipati yang berubah pikun dan sinting!” yang lain ikut bicara.

Lima prajurit dari Kadipaten Lumajang itu kembali tertawa gelak-gelak.

“Aku bukan orang gila! Juga bukan pensiunan Adipati. Dulu… eng… memang aku pernah mau jadi Adipati!” kata Randu Ampel pula. Dan ini membuat tawa lima orang itu tertawa makin riuh.

“Sudah! Pergilah! Tak ada kopi untukmu!”

“Aku pandai meniup suling! Kalau kumainkan satu lagu untuk kalian apakah kalian mau memberi upah dengan secangkir kopi?” ujar Randu Ampel sambil acung-acungkan suling bambunya.

“Hai! Dia bukan pengemis,  bukan pensiunan Adipati. Tapi tukang ngamen rupanya!” kata prajurit yang tadi menyuruh Randu Ampel pergi.

“Baiklah, coba saja kau perdengarkan satu lagu. Kami mau dengar!”

Mendengar ucapan itu maka Randu Ampel lalu tiup sulingnya. Tiupan suling orang gila mana ada iramanya. Sebentar melengking tinggi, sebentar terdengar parau rendah. Lagunyapun entah lagu apa.

“Sudah! Sudah! Sakit kupingku! Lagumu tak enak. Tiupan sulingmu bisa membuatku muntah. Pergi sana!” 

Randu Ampel hentikan meniup suling. “Tadi kalian berjanji akan memberikan secangkir kopi kalau aku meniup suling!”

“Pengemis gila busuk! Siapa yang berjanji! Pergi sebelum kami pukul!”

Randu Ampel menggeleng. “Tidak, aku mau kopi!” katanya.

“Hem… jadi kau tetap memaksa? Baik! Ulurkan tanganmu. Kembangkan kedua telapak tanganmu dan rapatkan!”

Menyangka orang akan memberikan secangkir kopi Randu Ampel ikuti perintah orang. Sulingnya diselipkan di pinggang. Lalu dia rapatkan  kedua tangannya dan ulurkan ke depan dengan telapak menghadap ke atas.

Orang yang menyuruh dia melakukan hal itu mengambil segenggam kopi dan sedikit gula dari dua buah kantong lalu meletakkannya di atas telapak tangan Randu Ampel. Dari atas perapian yang masih menyala diambilnya kaleng berisi air mendidih. Air ini lalu dituangkannya ke atas telapak tangan Randu Ampel!


Selanjutnya,