Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

RAHASIA LENYAPNYA MAYAT MAHESA

Karya Bastian Tito
Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa

SATU

ORANG GILA KETEMU ORANG GILA
KOPI dan gula dalam telapak tangan Randu Ampel langsung mencair. Air mendidih yang dituangkan mengepulkan asap panas. Lima prajurit Kadipaten Lumajang  mendelik kaget ketika melihat Randu Ampel tetap tegak berdiri tanpa kesakitan.

Tangannya yang disiram air mendidih sama sekali tidak melepuh atau cidera! Malah genangan air panas bercampur kopi dan gula di atas kedua telapak tangannya itu enak saja dihirupnya hingga habis. Sisa-sisa gula dan kopi dijilat-jilatnya dengan ujung lidah.

“Sedap sekali kopi kalian! Aku minta lagi…!” kata Randu Ampel lalu ulurkan kedua tangannya.

Prajurit yang tadi menuangkan air mendidih berpaling pada kawan-kawannya, lalu melangkah mundur. “Jangan-jangan manusia ini mahkluk jejadian…” berbisik salah seorang dari lima prajurit itu.

“Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini cepat-cepat!” kawannya yang disamping kiri balas berbisik.

“Hai! Aku minta kopi, kalian malah pergi!” teriak Randu Ampel ketika melihat lima orang di hadapannya itu mundur, mundur lalu membalikkan tubuh dan lari berhamburan.

“Keparat! Kalian mempermainkanku! Kalian pasti kaki tangan Mangun Aryo!” kembali Randu Ampel berteriak. Kali ini disertai kemarahan. Tubuhnya melompat ke depan, laksana terbang, melayang ke arah lima prajurit yang lari berserabutan itu. “Mampus!”

Duk! Buk!

Dua prajurit mental dan terjerembab di tanah. Yang pertama hancur tengkuknya di hantam tumit Randu Ampel. Yang kedua patah pinggangnya kena tendangan kaki kiri lelaki miring itu.

“Dia membunuh Seta dan Gana!” teriak prajurit di ujung kanan. Bersama kedua tanganya, kalau sebelumnya mereka merasa takut, kini melihat kematian dua kawannya itu, ketiganya berubah marah dan cabut golok masing-masing.

Randu Ampel masih menjilati sisa-sisa gula dan kopi di telapak tangan kanannya ketika ke tiga prajurit itu menyerbunya dari tiga jurusan.

“Jurus ke sembilan!” teriak Randu Ampel coba mengingat jurus silat yang ke sembilan, yang dipelajarinya di dalam goa. Tangan kanannya menghantam ke depan. Tubuhnya dirundukkan. Berbarengan dengan itu kaki kirinya membabat kemuka.

Dua lawan yang mengeroyok menjerit. Yang pertama terbanting ke tanah, muntah darah dan melingkar tak bergerak lagi begitu dadanya kena jotosan. Tulang iganya patah, jantungnya ditembus patahan tulang iga sendiri. Yang satu lagi pecah lambungnya dihantam tendangan. Serangan golok prajurit ke tiga dielakkan mudah dan lewat di atas kepalanya.

Saat itulah Randu Ampel mulai menyadari bahwa dalam dirinya tersimpan satu kekuatan hebat luar biasa. Seperti karanjingan untuk membuktikan kehebatan itu dia menghadang prajurit ke lima yang kini ketakutan setangah mati dan hendak melarikan diri.

“Mau lari? Ha ha! Larilah!” sentak Randu Ampel.

Begitu prajurit itu balikkan tubuh dan lari sejauh setengah tombak Randu Ampel pukulkan tangan kanannya ke depan, ke arah punggung orang yang lari. Sesaat kemudian orang itu mencelat mental dan terguling roboh di tanah. Dia hanya sempat mengeluarkan satu jeritan keras, lalu dia tak berkutik lagi. Mati dengan punggung hancur sampai ke dada!

“Hah?!” Randu Ampel berteriak kaget dan heran! Dia memandang tangan kanannya lalu memandangi lima sosok tubuh yang mati bergelimpangan. Begitu berulag kali dengan rasa tak percaya. Tiba-tiba dia berteriak keras.

“Tanganku kuat! Aku jadi orang hebat! aku punya ilmu! Mangun Aryo! Sekarang mampus kau! Mampus!” lalu Randu Ampel memukul batang pohon di samping kanannya. Braak! Batang itu patah dan pohonnya tumbang Randu Ampel tendangkan kaki kiri ke pohon lain di sebelahnya.Braaak! Pohon itu juga remuk dan tumbang!

“Ha ha ha…! Mangun Aryo! Tunggu pembalasanku! Fitnah kembali kepada fitnah!” teriak Randu Ampel lagi. Diluar sadar, saking girangnya lelaki ini melompat ke atas. “Hup! Hai! Aneh!"

Tubuhnya seperti melayang, tinggi sekali. Karena agak gamang dia menggapai kian kemari sampai akhirnya dia terduduk di atas sebatang cabang pohon yang sangat kecil. Janganlah manusia seekor kucingpun jika bertumpangan di atas cabang kecil itu, pasti cabang tersebut akan terkulai ke bawah bahkan mungkin patah karena cabang itu selain kecil juga sudah lapuk.

Tapi hebatnya justru Randu Ampel bisa duduk. Bahkan ketika gamangnya mulai hilang dan dia mulai biasa, lelaki ini duduk sambil uncang-uncang kaki. Dia ingat pada sulingnya. Keluarkan benda ini dan meniup melengking-lengking!

Begitulah mulai hari itu dalam benak Randu Ampel hanya ada satu tekad untuk dilakukan mencari Mangun Aryo, orang yang bukan saja telah mencelakakan dirinya tetapi juga menjadi penyebab kematian istrinya. Maka diapun melanjutkan perjalanan menuju Probolinggo.

Meskipun otaknya tidak sehat lagi, namun apa yang terjadi delapan belas tahun lalu di Probolinggo tak pernah pupus dalam ingatan Randu Ampel. Peristiwa pembunuhan kejam yang dilakukannya terhadap istrinya di kota itu membuat lelaki ini tidak mau memasuki kota mendatangi rumah kediaman Mangun Aryo yang kini menjadi Adipati itu. Dia berhenti disebuah puncak bukit yang terletak di luar kota. Dia memutuskan menunggu kemungkinan Mangun Aryo di situ.

Memang untuk Probolinggo ada empat jurusan keluar masuk. Pertama di sebelah utara yang menghubungkan kota dengan pantai. Di sebelah timur, lalu di sebelah selatan dan terakhir di sebelah barat. Dari ke empat jurusan itu, yang disebelah baratlah paling ramai di lalui. Setiap orang yang mengambil arah itu pasti akan melewati daerah bebukitan di mana Randu Ampel melakukan pencegatan.

Tetapi sampai beberapa lamakan dia harus mendekam di situ menunggu kemunculan Mangun Aryo? Hal ini agaknya tidak menjadi masalah bagi Randu Ampel. Dia akan menunggu sekalipun sampai gunung Mahameru meletus. Kalau perlu bahkan sampai kiamat!

Belasan hari telah lewat sejak Randu Ampel sampai di puncak bukit diluar kota. Siang hari dia kepanasan. Malam hari kedinginan berselimut embun. Keadaan tubuhnya semakin kotor menjijikan. Tampangnya tambah menyeramkan. Makannya sama sekali tidak menentu. Satu-satunya teman setianya adalah suling bambu yang acap kali ditiupnya dalam irama aneh tak menentu. 

Terkadang dia duduk berteduh di bawah pohon-pohon besar, atau meringkuk tidur di atas cabang-cabangnya yang rindang. Terkadang dia menyusup masuk ke balik batang-batang pohon bambu yang banyak tumbuh di sana. Kalau lagi asyik meniup suling tak jarang dia duduk seperti bersila, mengapung di udara dengan sepasang lutut dan punggung menempel pada tiga batang bambu.

Orang-orang yang melewati bukit itu kebanyakan menduga Randu Ampel hanyalah seorang gila yang datang entah dari mana dan terpesat di situ. Namun banyak juga yang merasa heran melihat bagaimana dia bisa duduk secara aneh diantara tiga batang bambu seperti itu. hanya karena mereka tidak punya banyak waktu untuk menyelidiki maka orang-orang itu akhirnya berlalu begitu saja. Paling-paling sambil gelengkan kepala.

Kesabaran Randu Ampel menunggu musuh besarnya di puncak bukit itu ternyata tidak sia-sia. Pada hari ke tiga belas, disuatu rembang petang Mangun Aryo yang ditemani oleh kepala pengawal Kadipaten yaitu Rangga baru saja kembali dari perjalanan menemui Embah Bromo Tunggal di puncak gunung Bromo.

Di bebukitan kedua orang ini mendengar suara tiupan suling aneh. Semula Rangga menyangka itu hanya tiupan suling seorang penggembala. Tetapi Mangun Aryo berhadapan meniup suling demikian hingga menyakitkan liang telinga dan mendebarkan dada. Begitu sampai dipuncak bukit mereka hantikan kuda dan memandang ke arah pohon-pohon bambu dengan perasaan terkejut, heran tapi sekaligus juga bercampur rasa tidak enak.

Orang yang meniup suling itu mereka saksikan duduk mengapung diantara tiga batang pohon bambu. Dia mengenakan celana hitam bergaris kuning, memakai topi hitam tinggi. Orang ini tidak mengenakan baju. Dilehernya tergantung sebuah kalung bergambar burung bermahkotakan yang merentangkan kedua sayapnya. Wajahnya cekung, kotor penuh debu. Sepasang matanya agak kemerahan. Kumis serta janggutnya meranggas. Keseluruhan tampangnya mengerikan untuk dipandang.

Karena merasa tidak enak, Mangun Aryo mengajak Rangga untuk meninggalkan bukit itu cepat-cepat. Tetapi maksud mereka tertahan karena mendadak orang di atas pohon bambu keluarkan nyanyian aneh. Bait-bait di dalam nyanyian itu jelas mengungkapkan peristiwa delapan belas tahun yang silam.

Ketika Probolinggo dihebohkan oleh peristiwa pembunuhan kejam yang dilakukan Randu Ampel. Siapakah sebenarnya orang gila ini, begitu Mangun Aryo bertanya-tanya. Dalam pada itu orang aneh itu secara mendadak menyerang kuda yang ditunggangi Mangun Aryo hingga binatang itu melompat tinggi lalu melarikan diri. Sementara itu Rangga tiba-tiba pula menjadi kejang karena ditotok secara aneh.

Puncak dari semua keanehan itu meledak ketika orang gila tadi mengatakan bahwa dia adalah Randu Ampel yang dicelakai oleh Mangun Aryo delapan belas tahun silam dengan ilmu hitam hanya karena menginginkan jabatan Adipati Probolinggo.

Sebenarnya Mangun Aryo bukanlah manusia pengecut. Namun menghadapi orang gila seperti itu yang bisa berbuat nekad semaunya, mau tak mau dia mementingkan cari selamat lebih dulu. Maka diapun melarikan diri. Akan tetapi sekali mengejar Randu Ampel berhasil menangkap tangan kanan Adipati Probolinggo itu.

Sekali remas saja hancurlah tulang lengan lelaki itu, persendiannya copot! Satu demi satu anggota tubuh Mangun Aryo dihancur luluhkan. Kemudian dengan kuku jarinya yang panjang keras, Randu Ampel merobek perut musuh besarnya itu hingga isi perutnya berbuaian keluar. Mangun Aryo akhirnya menemui ajal dalam keadaan mengerikan disaksikan oleh kepala pengawalnya.

Setelah membalaskan dendam kesumat dan membunuh Mangun Aryo maka kini muncul niat dibenak Randu Ampel untuk mencari Embah Bromo Tunggal. Dukun jahat inilah yang memegang peranan utama atas bencana yang menimpa diri dan istrinya. Meskipun Mangun Aryo yang punya mau, tetapi jika Embah Bromo Tunggal tidak turun tangan, peristiwa mengerikan itu tak akan terjadi. Karenanya seperti juga Mangun Aryo, dukun keparat itu juga harus mampus.

Tidak sulit bagi Randu Ampel untuk mencari sang dukun, Bromo Tunggal yang nama aslinya Roko Nuwu itu meskipun sering berkeliaran dirimba hijau persilatan tetapi lebih banyak mendekam di tempat kediamannya di puncak gunung Bromo, menunggu orang-orang yang datang meminta “tolong” atau menanti berbagai macam ramuan obat aneh.

Suatu hari, dia tengah kedatangan suruhan Rangga. Padahal saat itu dia sudah siap untuk memasukkan tubuh Mahesa yang berhasil diculiknya kedalam sebuah belanga besar untuk digodok bersama obat yang sedang diramunya. Mendadak muncul Pendekar Muka Tengkorak.

Tokoh silat kelas satu ini sengaja datang ke puncak Bromo untuk menghukum si dukun jahat. Beberapa waktu yang lalu Embah Bromo Tunggal telah menipu Pendekar Muka Tengkorak dan mendekam kakek sakti itu dibawah sebuah arca batu besar. Secara tak sengaja Mahesa kemudian menolong orang tua itu hingga dia kemudian dihadiahi sepertiga tenaga dalam.

Selain menguburnya hidup-hidup dibawah arca batu itu, Embah Bromo Tunggal juga melarikan sebuah kitab silat yang mereka temukan bersama. Perkelahian antara Pendekar Muka Tengkorak dan Embah Bromo Tunggal tidak terelakan lagi. Meskipun si kakek muka tengkorak memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dari lawannya, namun dia tak berdaya ketika Embah Bromo Tunggal keluarkan mahkluk jejadiannya yang bernama Longga.

Selagi Pendekar Muka Tengkorak kelabakan menghadapi mahkluk itu, Embah Bromo Tunggal pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dengan susah payah dan dengan kecerdikan akhirnya Pendekar Muka Tengkorak berhasil memusnahkan Longga.

Baru saja kakek itu berhasil menghancurkan lawan dan sekaligus menyelamatkan Mahesa dari maksud Embah Bromo Tunggal yang ganas mendadak muncullah seorang lelaki berpakaian aneh, tubuh kotor dan muka menyeramkan. Orang ini yang ternyata memiliki kepandaian sangat tinggi celakanya mengira si Pendekar Muka Tengkorak adalah Embah Bromo Tunggal yang tegah dicarinya. Bagaimanapun Pendekar Muka Tengkorak mengatakan bahwa dia bukan Bromo Tunggal si dukun jahat itu, tetap saja orang tersebut tidak percaya.

Maka terjadilah pertempuran antara keduanya. Orang ini, yang bukan lain adalah Randu Ampel memiliki kehebatan luar biasa hingga Pendekar Muka Tengkorak harus bertahan mati-matian. Setelah pukulan jurus berkelahi kakek ini akhirnya tidak dapat mempertahankan diri. Sesaat lagi dia hampir menemui ajal oleh cekikan Randu Ampel, Mahesa yang baru saja siuman dari pingsannya cepat berteriak  memberi tahu bahwa si kakek bukanlah Embah Bromo Tunggal musuh besarnya.

Mendengar teriakan Mahesa itu, apalagi karena dirinya dipanggil dengan sebutan ayah kagetlah Randu Ampel. Dia lepaskan cekikan mautnya di leher Pendekar Muka Tengkorak, memandang sejurus pada Mahesa lalu tanpa berkata apa-apa tinggalkan puncak gunung Bromo. Keseluruhan peristiwa di tempat kediaman Embah Bromo Tunggal itu dapat anda ikuti kembali dalam jilid 4.

Randu Ampel lari meninggalkan puncak gunung Bromo dengan perasaan campur aduk. Pertama dia masih tidak yakin kalau kakek kurus bermuka tengkorak itu bukan si dukun jahat yang delapan belas tahun lalu menjatuhkan musibah keji atas dirinya. Lalu jika dia berkeyakinan begitu mengapa dia mau mengikuti dan mempercayai ucapan pemuda itu? Mengapa dia memanggilnya dengan sebutan ayah? Apa benar pemuda itu anaknya? Seperti ada pancaran hawa aneh dari sepasang mata pemuda itu.

“Seharusnya kubunuh dia! Dia berani menghalangi maksudku membunuh dukun jahat itu!” kata Randu Ampel dalam hati. Kemudian terdengar suaranya tertawa tergelak. “Gila! Semua gila! Isi dunia ini sudah gila semua!”

Lelaki gila berkepandaian tinggi itu tidak sadar entah sudah berapa jauh dan lama berlari. Dia baru berhenti ketika didapatinya hari yang tadi terang kini telah berubah mulai gelap. Ternyata siang telah berganti sore dan sore mulai memasuki malam. Randu Ampel dapatkan dirinya berada di bibir sebuah lembah yang terletak dalam rimba belantara.

Perlahan-lahan dia dudukkan diri di bawah sebatang pohon. Tenggorokannya terasa kering, haus. Dia coba memejamkan mata. Kembali seperti terngiang di telinganya sebutan ayah yang diucapkan pemuda di tempat kediaman Embah Bromo Tunggal itu. Sebutan itu serta pancaran yang keluar dari sepasang mata si pemuda tidak pernah pupus dari dalam dirinya, seperti selalu mengikuti ke mana dia pergi.

Ketika pelahan-lahan Randu Ampel membuka matanya kembali, jauh didasar lembah dilihatnya seperti ada nyala api. Diperhatikannya baik-baik. Memang benar nyala api. Serta merta dia berdiri lalu lari ke bawah lembah, menuju arah nyala api. Sebentar saja dia sudah sampai di tempat itu. 

Di belakang nyala api Randu Ampel melihat seorang perempuan berambut panjang duduk mencangkung. Meski tidak keseluruhan wajahnya diterangi nyala api namun jelas dia memiliki paras ayu, berkulit langsat. Pakaiannya penuh tambalan. Seperti Randu Ampel keadaan dirinya tidak terpelihara.

Perempuan tidak dikenal ini paling tinggi berusia setengah usia Randu Ampel. Dia duduk memegangi sebatang ranting kecil, menghadapi perapian dan asyik membalik-balik benda lonjong berwarna hitam. Rupanya dia tengah memanggang sesuatu. Tetapi ketika Randu Ampel memperhatikan benda yang dipanggang perempuan itu diapun jadi tertawa. Meskipun gila namun Randu Ampel masih dapat membedakan mana makanan dan mana bukan. Perempuan itu tengah memanggang sebuah batu!

“Perempuan gila!” kata Randu Ampel dalam hati. Lalu diapun menegur. "Hai! Untuk apa kau memanggan batu itu? Sampai kapanpun tak akan lunak dan bisa dimakan!”

Orang di depan perapian tidak berpaling ataupun menjawab. Dia terus saja membalik-balikkan batu hitam itu dengan ujung ranting.

“Orang bertanya apakah kau tidak mendengar? Aku yang tuli atau kau yang gagu?!” ujar Randu Ampel.

“Aku tidak gagu, kau tidak tuli. Soalnya siapa bertanya siapa?” tiba-tiba perempuan itu membuka mulut. Suaranya perlahan dingin.

Randu Ampel tertawa. “Namaku Randu Ampel!” katanya memperkenalkan diri.

“Ada banyak orang bernama seperti itu. Kau Randu Ampel yang mana?” tanya si perempuan. Dalam bicara dia sama sekali tidak memandang pada Randu Ampel, melainkan saja menunduk asyik memandangi batu hitam yang dibalik-baliknya di atas potongan-potongan kayu perapian.

“Aku… aku Randu Ampel yang mana ya?” kata lelaki itu seperti bertanya pada diri sendiri. Lalu dijawabnya sendiri. “Mudah saja. Aku Randu Ampel yang gila! Ha ha ha…!”

“Hik hik…!” Perempuan itu ikut-ikutan tertawa. “Kalau begitu kita sama!” katanya kemudian.

“Apanya yang sama?” tanya Randu Ampel.

“Gilanya! Kita sama-sama gila!”

Randu Ampel kerenyitkan kening lalu kembali tertawa. Kali ini tertawa bergelak dan panjang. Perempuan di hadapannya juga ikut tertawa, malah lebih tinggi dan lebih panjang. Ketika Randu Ampel menghentikan tawanya, perempuan itupun hentikan tawanya pula.

“Untuk apa kau memanggang batu itu?” bertanya Randu Ampel.

“Perutku lapar!”

“Heh, memangnya batu itu bisa kau makan?”

“Tidak! Semua orang tahu batu tidak bisa dimakan! Jangan diajukan pertanyaan tolol!”

“Lalu kenapa kau membakarnya?” tanya Randu Ampel. Kalau orang lain memakinya dengan kata-kata tolol begitu mungkin sudah ditendang atau ditamparnya.

“Untuk mengurangi rasa lapar,” jawab perempuan itu.

“Aneh, aku tidak mengerti. Bagaimana mungkin bisa mengurangi lapar dengan jalan membakar batu…?!” Randu Ampel geleng-geleng kepala.

“Kalau begitu rupanya kau memang orang tolol!” kembali perempuan itu memaki Randu Ampel. “Apa kau tidak mendengar ucapan. Membagi pikiran untuk menghilangkan pikiran. Membagi perasaan untuk menghilangkan perasaan….?”

“Ucapan orang gila mana itu?!” ejek Randu Ampel.

“Percuma kau jadi orang gila kalau tidak mengerti ucapan orang gila!” balas mengejek si perempuan. Perempuan itu mencibir seolah-olah mengejek. Lalu katanya. “Pengertiannya mudah saja. Untuk menghilangkan pikiran yang mengganggu kita harus mengarahkan sebagian pikiran pada hal lain. Dengan begitu pikiran yang mengganggu jadi terpecah dan lenyap. Jika ada perasaan yang mengganggu, kita harus mengarahkan perasaan pada hal lain hingga perasaan yang mengganggu jadi musnah! Begitu…!”

“Lalu apa hubungannya perutmu yang lapar dengan batu yang kau panggang!” Randu Ampel tetap masih belum mengerti.

“Benar-benar tolol! Perutku lapar. Berarti ada perasaan lapar yang mengganggu. Lalu kubakar batu ini. Perhatian dan perasaan kini tertuju pada batu. Berarti aku dapat melupakan rasa lapar yang mengganggu…!”

Randu Ampel geleng-geleng kepala. “Kalau sekedar melupakan tak ada artinya,” katanya. “Pada saat kau berhenti membakar batu itu, rasa lapar kembali akan terasa. Malah lebih hebat lagi. Disamping itu tubuhmu akan terasa letih karena mencangkung lama-lama di depan api. Menurut pendapatku yang gila, jika ingin melenyapkan penyakit, harus mencari sumbernya. Kalau tidak percuma saja…..”

Untuk pertama kalinya perempuan yang diajak bicara mengangkat mukanya memandang pada Randu Ampel. Lalu dia tertawa panjang.

“Hai, kenapa kau tertawa?!”

“Ternyata kau tidak keseluruhannya tolol. Kurasa apa yang kau katakan tadi ada benarnya. Menyembuhkan penyakit dengan memusnahkan sumbernya. Menghilangkan lapar dengan menelan makanan. Tapi makanan apa yang bisa didapat dalam rimba belantara keparat ini! Malam-malam begini pula!”

“Mudah saja!” jawab Randu Ampel. Hatinya gembira karena dipuji tidak tolol. Lalu dia ulurkan tangan mengambil batu hitam dari atas perapian.

“Hai! Batu itu panas. Tanganmu melepuh nanti!” seru perempuan itu. 

Randu Ampel menyeringai. Dia pejamkan mata. Dengan tangan kiri memberi isyarat pada perempuan itu untuk berdiam diri. Dan si perempuan menyaksikan dengan heran, tangan Randu Ampel sama sekali tidak melepuh atau cidera meskipun batu yang dipegangnya panas luar biasa!

“Apa yang hendak kau lakukan?!” tanya perempuan itu.

“Sst… diam. Aku akan mencari obat perutmu yang lapar…” sahut Randu Ampel. Sambil pejamkan matanya dia memasang telinga tajam-tajam. Kemudian didengarnya suara itu. Suara desah nafas burung liar yang masih belum tidur. Datang dari pohon besar disebelah belakangnya.

Tanpa berpaling Randu Ampel lemparkan batu hitam di tangan kanannya. Terdengar suara batu itu mengenai sesuatu suara burung memcicit lalu suara tubuhnya jatuh ke tanah. Randu Ampel menyeringai. Buka kedua matanya lalu lari mengambil burung yang barusan jatuh akibat lemparan batunya yang tepat. Binatang itu diperhatikannya pada perempuan di depan perapian, lalu cepat sekali tangannya bergerak menguliti bulu yang membungkus sekujur tubuh binatang itu. Sesaat kemudian burung itu telah terpanggang menyebar menusuk lobang hidung.

“Sudah matang!” kata Randu Ampel tak berapa lama kemudian. Lalu dia memberikan ranting kayu di ujung mana panggang burung itu ditusuknya. “Makanlah, penyakit laparmu pasti sembuh!” kata Randu Ampel dan tertawa gelak-gelak.

“Kau sendiri tidak makan?”

“Aku tidak lapar.”

“Tapi aku tidak suka makan sendirian.”

“Kalau begitu makanlah dulu sepuasmu. Kau boleh berikan sisanya padaku,” jawab Randu Ampel pula.

“Tidak adil begitu. Kita harus makan sama-sama…” lalu entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu burung besar itu telah terbagi dua dan rata. Yang sepotong diserahkan pada Randu Ampel. Ketika Randu Ampel hendak menyantap makanan itu tiba-tiba perempuan itu ulurkan tangan kirinya memegang lengannya.

“Tunggu!” katanya.

“Ada apa?” tanya Randu Ampel. Sentuhan tangan perempuan itu pada lengannya mendatangkan perasaan aneh.

“Apakah kenal atau ada sangkut paut dengan manusia bernama Lembu Surah bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah?”

Randu Ampel menggeleng.

“Apakah kau kenal dengan orang bernama Suwa Permono, bergelar Malaikat Maut Berkuda Putih?”

Kembali Randu Ampel menggeleng. “Siapa kedua orang itu?”

“Yang pertama musuh besarku. Yang kedua guruku.”

“Di mana mereka sekarang?”

“Di mana mereka sekarang itulah yang tengah kuselidiki…”

“Sekarang baiknya kau makan dulu. Tapi sebelum makan aku kepingin tahu apakah kau punya nama?”

Perempuan itu tertawa panjang. “Setiap manusia tentu punya nama. Tapi aku tidak akan memberitahu namaku padamu.”

“Kalau begitu kita tidak bersahabat!” ujar Randu Ampel.

“Heh, apakah kau mau bersahabat denganku?”

“Tentu saja. Kau keberatan?”

Kembali perempuan tadi tertawa. “Kita sama-sama gila. Tak ada salahnya kalau kita bersahabat.”

“Jika begitu katakan namamu!”

“Namaku Puji…”

“Puji apa…?”

“Puji saja…”

“Baiklah. Sekarang mari kita makan.”

Maka kedua orang itupun menyantap burung panggang yang cukup lezat rasanya. Selesai makan Puji berkata, “Kulihat tadi kau pandai sekali menangkap burung dengan melempar. Maukah kau mengajarkan ilmu lempar itu padaku?”

“Tentu saja. Hanya aku ingin tahu dari sini kau mau menuju kemana….”

“Aku harus mencari Datuk Iblis itu. Tapi tidak tahu harus mencari dimana….”

Sesaat Randu Ampel nampak termenung. Lalu katanya. “Akupun tengah mencari musuh besar. Seorang dukun jahat bernama Embah Bromo Tunggal. Beberapa hari lalu aku datang ke tempat kediamannya di puncak Bromo. Tapi di situ terjadi banyak keanehan yang otakku tak sanggup memecahkannya….”

“Jika kau mau menceritakan keanehan apa mungkin aku bisa membantu memecahkannya…” kata Puji pula.

Randu Ampel menyeringai, “Aku sendiri yang punya persoalan tak sanggup memecahkannya. Mana mungkin kau yang tak ada sangkut pautnya…” Perlahan-lahan Randu Ampel berdiri.

“Kau mau ke mana?”

“Aku harus pergi….”

“Kalau begitu aku juga akan pergi. Ikut bersamamu….” Puji pegang lengan Randu Ampel.

Kembali lelaki ini merasakan perasaan aneh akibat sentuhan itu. keduanya melangkah mendaki lereng lembah menuju ke timur. Angin malam bertiup dingin. Sambil melangkah Puji keluarkan satu nyanyian.

Empat tahun mencari guru
Empat tahun tidak ketemu
Empat tahun mencari manusia durjana
Empat tahun tidak bersua
Manusia jahat harus dibunuh
Manusia durjana harus dimusnah
Tidak ada di timur cari ke barat
Tidak ada di selatan cari ke utara

“Nyanyianmu bagus amat,” memuji Randu Ampel. “Apakah kau mau mendengar nyanyianku?”

“Apakah orang gila sepertimu pandai juga menyanyi?”

Randu Ampel tertawa lalu mulai pula menyanyi.

Delapan belas tahun mencari
Di puncak Bromo tidak ditemui
Keanehan membakar sukma
Boleh lari ke segala penjuru
Tangan berdarah tak pernah lari jauh
Kegilaan harus dibayar dengan kegilaan
Kematian harus dibayar dengan kematian

“Aih, ternyata kaupun seorang penyanyi yang tidak jelek. Mari kita nyanyikan lagu-lagumu tadi bersama-sama…”

Randu Ampel tidak menyambuti ajakan Puji malah dia memberi isyarat dan hentikan langkah. “Aku mendengar suara kaki kuda. Ada orang mendatangi ke jurusan sini. Lekas sembunyi!”

Mendengar ucapan itu Puji segera ke balik batang pohon besar. Sebaliknya Randu Ampel pegang pinggang perempuan itu. sekali dia mengenjot tubuh, keduanya melayang ke atas dan sampai di cabang pohon. Puji hendak tertawa cekikikan karena senangnya diajak melayang melompat tinggi seperti itu. tapi Randu Ampel tekap mulutnya. Sesaat kemudian di bawah pohon kelihatan muncul seorang tua berpakaian serba putih, menunggang seekor kuda putih. Dalam gelapnya malam tak jelas kelihatan wajahnya.


***
DUA


PERTEMUAN DENGAN SANG GURU
RANDU AMPEL mendekatkan mukanya ke telinga kiri Puji dan berbisik, “Kau kenal orang itu? Sikapnya mencurigakan….”

“Tampangnya tertutup kegelapan. Rasanya aku pernah melihat kuda putih tunggangnya itu. Tapi lupa entah di mana. Kita turun saja dan menghantam jika memang dia punya niat jahat….”

“Kau punya kepandaian apa hendak menghantam orang? Lelaki itu menunjukkan gerak-gerik seorang jago silat…”

“Kau takut…?” tanya Puji.

“Gila! Aku tidak pernah takut pada siapapun!“ sahut Randu Ampel penasaran. “Kau mau lihat aku memisahkan kepala dan badan orang itu?!”

“Cobalah kalau kau bisa melakukannya!”

“Akan kubuktikan!” ujar Randu Ampel.

Namun baru saja dia siap melompat turun tiba-tiba orang di atas kuda berseru, “Manusia-manusia yang tadi menyanyi. Keluarlah unjukkan diri. Aku butuh beberapa penjelasan!”

“Manusia sompret!” gerutu Puji. “Dia yang perlu kita, seenaknya perintah. Eh Randu, katamu kau hendak memisahkan kepalanya. Tunggu apa lagi?!”

“Kau kurang ajar. Seenaknya saja memanggil aku Randu. Kau tahu perempuan seusiamu pantas jadi anakku!” kini Randu Ampel yang mengomel.

Sebaliknya Puji malah tertawa. “Di dunia yang serba gila ini apakah masih diperlukan adab sopan santun? Bukankan keterbukaan lebih banyak baiknya dari pada sengaja peradatan palsu. Lagi pula siapa yang sudi jadi anakmu? Hik hik…!”

Penunggang kuda di bawah pohon tampak membuka destar putih yang membungkus kepalanya. Tiba-tiba kain destar ini dipukulkannya ke atas. Serangkum angin keras menderu dan braak! Batang pohon yang diduduki Randu Ampel serta Puji patah. Karena orang sudah mengetahui persembunyian mereka, keduanya terpaksa meloncat turun. Orang di atas kuda balikkan diri menyongsong lalu melompat dari punggung kuda. Sesaat dia memandangi wajah Puji. Dia lain kejap terdengar seruannya.

“Ya Tuhan! Puji! Tadipun aku sudah yakin yang menyanyi itu adalah suaramu!” Penunggang kuda berpakaian serba putih dan berjanggut  putih ini melompat hendak memeluk Puji, tapi Randu Ampel cepat menarik tangan perempuan itu hingga si orang tua memeluk angin.

“Tua bangka kurang ajar! Enak saja kau memeluk sahabatku!” bentak Randu Ampel.

Sesaat orang itu memandang pada Randu Ampel. Kemudian dia kembali berpaling pada Puji. “Puji, muridku! Apakah kau tidak mengenali aku lagi? Aku gurumu...! Aku Malaikat Maut Berkuda Putih!” orang tua itu berseru.

“Aku tidak kenal kau! Aku tak pernah kenal segala macam malaikat!” jawab Puji keras.

Kata-kata ini membuat si orang tua yang memang bukan lain adalah guru perempuan itu seperti terhenyak. “Ah, benar jalan pikirannya sudah terganggu. Kasihan muridku. Dia tidak mengenaliku lagi. Bagaimana ini? Siapa pula lelaki berpakaian tak karuan disebelahnya ini?”

“Orang tua, siapapun kau adanya, sahabatku ini mengatakan tidak kenal denganmu. Kenapa tidak lekas-lekas berlalu dari sini?”

Ditegur begitu Malaikat Maut Berkuda Putih jadi penasaran. “Kau sendiri siapa? Apa hakmu menyuruh aku pergi dari sini. Empat tahun aku mencari muridku. Setelah bertemu enak saja kau menyuruhku pergi. Kau yang harus angkat kaki dari sini…!”

“Gila!”

“Kau yang gila! Dan kau membuat muridku tambah gila!” bentak Malaikat Maut Berkuda Putih. “Lepaskan peganganmu pada lengannya. Puji, kemarilah. Aku gurumu. Kau harus ikut bersamaku. Kau perlu dirawat dan diurus baik-baik. Setelah itu kita akan mencari manusia durjana bergelar Datuk Iblis itu. Setelah biang racun malapetaka yang menimpa dirimu!”

Puji terdiam. Ada sekilas ingatan akan satu peristiwa yang menimpa dirinya, tapi kesadaran datangnya sangat lambat ke dalam benak dan hati perempuan ini. Dia hanya tahu tentang seorang musuh besar. Datuk Iblis Penghisap Darah. Yang harus dibunuhnya. Dia juga tahu seorang bernama Malaikat Maut Berkuda Putih. Tapi hanya itu. lain dari itu semuanya serba gelap baginya.

“Puji, kemarilah….” Si orang tua coba memanggil dengan suara lembut. Yang dipanggil gelengkan kepala. Kemudian Puji mulai menangis. Melihat perempuan ini menangis, Randu Ampel jadi marah dan membentak Malaikat Maut Berkuda Putih.

“Kau membuat sahabatku menangis! Kalau kau tidak pergi dari sini kupatahkan batang lehermu!”

“Manusia gila! Kalau tak berpengaruh olehmu, muridku pasti akan mengikuti perintahku! Batang lahermu yang harus patah lebih dahulu!”

Habis berkata begitu Malaikat Maut Berkuda Putih langsung menerjang Randu Ampel. Kedua tangannya meluncur ke arah leher, benar-benar hendak mematahkan batang leher lelaki gila itu. Tetapi apa yang terjadi kemudian membuat Malaikat Maut Berkuda Putih alias Suwo Perwono mengeluarkan seruan tertahan dan kaget setengah mati. 

Selagi kedua tangannya meluncur setengah jalan, belum lagi sempat menyentuh batang leher Randu Ampel, mendadak entah bagaimana kejadiannya kedua tangan Randu Ampel membuat gerakan yang sama dan tahu-tahu sepuluh jari berkuku panjang yang kukuh dan kotor telah mencengkeram lawannya mendadak jadi dua kali lebih panjang hingga lehernyalah yang kena dicekik lebih dulu.

Orang tua berjanggut putih itu meronta coba lepaskan diri. Namun cekikan lawan keras sekali. Nafasnya mulai sesak. Lidahnya seperti mau tercabut keluar dan sepasang matanya mendelik.

“Jangan bunuh dia!” tiba-tiba Puji berteriak.

Disaat yang sama Malaikat Maut Berkuda Putih hantamkan satu jotosan ke dada Randu Ampel. Buk! Jotosan mendarat tepat di pertengahan dada Randu Ampel. Lelaki ini lepaskan cekikannya. Tubuhnya terpental beberapa langkah tapi kemudian berdiri lagi seperti tidak terjadi apa-apa.

Suwo Permono usap batang lehernya dan memandang pada Randu Ampel dengan rasa tak percaya. Pukulan yang dilepaskannya tadi mengerahkan lebih dari dua pertiga tenaga dalam, tetapi lelaki gila itu kelihatannya biasa-biasa saja. Orang lain mungkin sudah muntah darah!

Sebenarnya bukan pukulan orang tua itu yang membuat Randu Ampel melepaskan cekikannya. Tetapi seruan Pujilah yang menyebabkan Randu Ampel tidak meneruskan menghancur luluhkan batang leher Malaikat Maut Berkuda Puith.

“Manusia edan! Siapa kau sebenarnya? Apa hubunganmu dengan muridku?!” bentak orang tua berjanggut putih itu sambil pegangi lehernya yang terasa sakit.

“Aku hanya seorang gila. Perempuan ini sahabatku!” jawab Randu Ampel polos.

“Puji! Kau tidak pantas bersahabat dengan lelaki gila ini!”

“Kenapa tidak? Kami senasib. Dan dia menolongku menangkap burung untuk kami panggang dan santap bersama!”

“Hanya karena panggang burung kau mau bersahabat dengan dia? Gila!”

“Ini memang persahabatan orang-orang gila. Karenanya orang sepertimu tak perlu ikut campur!”

Kata-kata Randu Ampel itu membuat Malaikat Maut Berkuda Putih menjadi marah. Lagi pula dia masih penasaran akibat cekikan tadi. Maka diam-diam dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan. Kemudian lepaskan satu pukulan sakti yang mengeluarkan sinar putih. Pukulan ini menghantam ke arah kepala Randu Ampel. Puji berteriak kaget.

“Orang tua jahat!” teriak perempuan itu lalu melompat sambil kirimkan tendang kaki kanan.

“Puji kau akan kualat berani menyerang gurumu sendiri!” seru Malaikat Maut.

“Tua bangka edan! Siapa bilang kau guruku!” Puji tetap teruskan tendangannya ke perut si orang tua. Namun dengan mudah dapat dielakkan. Sebaliknya pukulan sakti yang dilepaskan Malaikat Maut cepat sekali datangnya ke arah kepala Randu Ampel. Sekali lagi Puji berteriak. Seolah-olah baru sadar kalau dirinya diserang orang. Randu Ampel cabut suling bambu di pinggangnya. Terdengar suara melengking keras ketika suling itu dibabatnya ke depan menyongsong serangan lawan.

Duus!

Sinar putih pukulan sakti mental ke atas, menghantam cabang-cabang pohon hingga hancur bertaburan. Randu Ampel tampak melompat ke atas dan jungkir balik di udara. Dilain kejap terdengar seruan Malaikat Maut ketika ujung suling tiba-tiba menusuk ke arah batok kepalanya. Masih untung dia cepat jatuhkan diri ke samping hingga hanya destar putihnya saja yang kena disodok robek oleh senjata lawan. Pucatlah paras orang tua ini.

“Lelaki gila ini bukan manusia sembarangan! Ternyata ilmunya tinggi sekali! Hampir tembus batok kepalaku!”

“Sahabat,” kata Randu Ampel pada Puji. “Mari kita tinggalkan tempat ini. Orang tua itu hanya mengganggu saja. Perjalanan kita masih jauh….”

Sambil berpegangan tangan kedua orang itu tinggalkan Malaikat Maut Berkuda Putih, membuat si orang tua sesaat itu lagi termangu, namun kemudian cepat-cepat dia mengejar.

“Tunggu! Kalian mau ke mana?!”

“Ke mana kami mau pergi apa urusanmu?!” hardik Puji.

“Puji," membujuk Randu Ampel. “Katakan saja ke mana kita akan pergi. Biar dia tidak mengganggu lagi!”

“Baiklah, akan kukatakan padamu orang tua. Kami pergi mencari manusia bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah! Empat tahun lalu dia menimbulkan bencana atas diriku. Begitu bertemu kami akan membunuhnya!”

“Ah, ternyata muridku ini tidak melupakan peristiwa itu. ternyata dia menyadari kalau harus membuat perhitungan dengan datuk keparat itu!” Lalu dia bertanya. “Kalian akan mencari datuk itu ke mana?”

“Ke delapan penjuru angin. Masakan tidak berhasil!” jawab Puji.

“Dia berkepandaian tinggi. Kau dengan mudah dikalahkannya. Malah dia bisa mendatangkan bencana baru atas dirimu Puji,” memperingatkan sang guru.

“Selama aku pergi dengan sahabatku ini, aku tidak takut dengan siapapun. Dua orang gila masakan kalah dengan seorang datuk bejat!” jawab Puji.

Malaikat Maut Berkuda Putih terdiam. Menyaksikan sendiri tadi kehebatan Randu Ampel dia yakin lelaki gila ini dapat mengalahkan Datuk Iblis. Tetapi dia tahu betul, sang datuk tidak sendirian. Nenek sakti bernama Kunti Kendil itu pasti akan membantunya. Mau tak mau orang tua ini jadi menarik nafas dalam. Lalu berkata: 

“Kalau kalian berdua merasa memang telah cocok seiring sejalan, aku tidak akan melarang. Ketahuilah, aku telah beberapa kali menemui datuk itu. Setiap terjadi perkelahian dia selalu berhasil mengalahkanku. Karenanya kalian berdua harus berhati-hati. Akupun akan mencarinya di lain jurusan. Sebelum manusia bejat itu mampus tidak tentram rasanya hidup ini! Kalian berdua pergilah….”

Sepasang mata orang tua itu tampak berkaca-kaca. Empat tahun lamanya dia mencari muridnya. Setelah bertemu tak banyak yang bisa dilakukannya. Bahkan mereka kini berpisah secara mengecewakan. Yang amat menyedihkan ialah Puji tidak mengenali dirinya lagi sebagai guru.

“Kasihan anak itu. mungkin sudah suratan jalan hidupnya…” kata Malaikat Maut Berkuda Putih. Dia bersiul memanggil kudanya. Beberapa saat dia duduk termenung di punggung binatang ini sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti perjalanan kedua orang gila itu secara diam-diam.


***
TIGA


RAHASIA DIBALIK LENYAPNYA MAYAT MAHESA
DALAM rahasia Makam Mahesa telah dituturkan bagaimana karena kurang periksa dan terdorong oleh cintanya terhadap Lembu Surah Datuk Iblis Penghisap Darah, Kunti Kendil telah menunduh Mahesa yang menyebabkan  celaka atas diri suami si nenek. Pemuda tak berdosa itu digantungkan kaki ke atas kepala ke bawah.

Pada pagi hari ke tiga, ketika Kunti Kendil menyangka Mahesa telah menemui ajal, ternyata sosok tubuh pemuda itu lenyap dari cabang pohon di mana dia digantung.

Kunti Kendil menaruh curiga Pendekar Muka Tengkoraklah yang telah menyelamatkan atau mencuri mayat Mahesa. Setelah Lembu Surah sembuh dari lukanya, kedua orang itu meninggalkan puncak Iyang untuk mencari Pendekar Muka Tengkorak.

Di sebuah lembah sebelumnya si nenek menemukan satu kuburan yang masih baru. Pada papan makam tertulis sederet kalimat yang menyatakan bahwa yang dikubur di tempat itu adalah Mahesa, anak manusia malang yang tak pernah kenal ibu dan kehilangan ayah. Yang menemui kematian karena disiksa untuk perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.

Beberapa hari kemudian ketika Kunti Kendil kembali lagi ke tempat tersebut, makam Mahesa lenyap. Di situ ditemukan sebuah papan pemberitahuan bahwa untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan makam Mahesa dipindahkan ke tempat lain.

Sementara itu dari penjelasan yang didapat Kunti Kendil dari Lembu Surah kemudian diketahui bahwa bukan Mahesa lah yang telah mencelakai lelaki itu, melainkan Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam. Rasa penyesalan yang tidak terkira membuat Kunti Kendil seperti mau gila. Di samping itu tekadnya sudah bulat untuk mencari dan membunuh Wirapati.

Namun yang dilakukannya lebih dulu ialah mencari tahu di mana jenazah Mahesa dipindahkan. Bersama Lembu Surah dia pergi menemui Pendekar Muka Tengkorak untuk mencari keterangan. Karena kakek sakti inilah orang yang terakhir sekali muncul di puncak Iyang sebelum tubuh Mahesa lenyap dari tali gantungan!

Adapun Pendekar Muka Tengkorak ketika ditemui di pantai selatan tampak terkejut begitu mengetahui Mahesa telah meninggal dunia. Karena Kunti Kendil tetap menuduh kakek itu ada sangkut paut dengan lenyapnya mayat si pemuda maka pertengkaran yang disusul dengan perkelahian tidak dapat dihindarkan.

Bagaimanapun hebatnya Kunti Kendil namun perkelahian satu lawan satu melawan si kakek muka tengkorak tidak mungkin dapat dimenangkan dengan mudah. Lembu Surah yang mengetahui hal ini segera membantu istrinya. Dikeroyok dua orang membuat Pendekar Muka Tengkorak terdesak.

Meski akhirnya dia dapat dirobohkan namun dua lawannya terpaksa meninggalkan tanpa berminat lagi meneruskan perkelahian. Sementara Kunti Kendil dan Lembu Surah melanjutkan perjalanan mencari makam Mahesa, kita ungkapkan dulu apa sebenarnya yang terjadi dengan pemuda yang digantung di atas pohon itu.

Dini hari menjelang pagi hari ketiga, ketika Mahesa tidak sadarkan diri lagi, sementara darah mengucur keluar dari hidung  dan telinganya, dikegelapan udara dingin tiba-tiba berkelebat gesit bayangan-bayangan aneh. Cepat sekali gerakannya hingga dalam waktu singkat bayangan ini ternyata adalah tujuh manusia katai telah mengelilingi pohon di mana Mahesa digantung kaki ke atas kepala ke bawah.

“Hitam, lekas panjat pohon. Putuskan tali gantungan!” Orang katai berbaju merah berkata pada orang katai berpakaian hitam. Suaranya halus sekali, hampir sehalus hembusan angin. Hingga Kunti Kendil yang ada di dalam pondok dan masih terbangun sama sekali tidak dapat mendengarkannya.

Si katai berbaju hitam membuat gerakan aneh. Tubuhnya mencelat ke atas cabang pohon. Dia menelungkup di atas cabang ini, ulurkan kepalanya. Dengan gigi-giginya yang kecil-kecil hampir tak dapat dipercaya, sekali mengigit saja tambang yang besar dan kuat itu putus. Di sebelah bawah enam kawannya siap menangkap tubuh Mahesa yang jatuh. Sesaat pemuda ini dibaringkan di tanah. Si katai berbaju coklat letakkan telinganya di dada Mahesa.

“Bagaimana, masih hidup?” tanya si baju merah.

“Jantungnya masih berdegup. Tapi perlahan sekali…” jawab si baju coklat.

“Pemuda malang. Kita harus cepat-cepat membawanya dari sini. Putih, hentikan darah yang keluar dari hidung dan telinganya. Kau Hijau totok dadanya agar jantungnya berdegup lebih kencang!”

Sesuai dengan ucapan si katai baju merah maka orang katai berpakaian putih segera menotok beberapa bagian di belakang kepala Mahesa. Lalu kawannya yang mengenakan pakaian hijau menotok dada pemuda itu.

“Kita pergi sekarang!” kata si merah.

Tubuh Mahesa mereka panggul beramai-ramai. Cepat dan aneh sekali gerakan mereka. Juga tanpa menimbulkan suara. Sesaat kemudian mereka sudah lenyap dari tempat itu.Hampir fajar menyingsing mereka sudah berada jauh dari kaki pegunungan Iyang, memasuki rimba belantara rapat di sebelah selatan.

“Sebelum kita sampai di telaga kecil itu, kita tak boleh berhenti!” berkata si katai baju merah yang lari di sebelah depan. Kawan-kawannya menjawab dengan lebih mempercepat lari.

Akhirnya mereka sampai disebuah telaga kecil berair warna-warni, akibat pantulan daun-daun pepohonan disekitarnya. Dari dalam telaga mengepul asap hangat tanda mata air di telaga itu adalah mata air panas. Tubuh Mahesa dibaringkan ditepi telaga. Si merah memeriksa degup jantung Mahesa. Degup jantung pemuda ini ternyata mulai mengencang namun masih jauh dari normal. 

Ketujuh manusia katai itu tampak berunding sesaat. Kemudian mereka berpencaran. Tiga orang duduk disisi sebelah kiri, tiga lainnya di sebelah kanan sedang yang ke tujuh yakni yang berbaju putih duduk di belakang kepala Mahesa. Ketujuhnya mangulurkan tangan lalu menempelkan telapak tangan masing-masing di atas tubuh dan kening si pemuda. Secara serentak mereka memejamkan mata dan kerahkan tenaga dalam masing-masing untuk kemudian disalurkan pada kedua telapak tangan.

Tubuh Mahesa tampak mengepulkan asap berbau busuk. Ketika orang katai berbaju putih memencet pipinya dari mulut Mahesa yang terbuka membersit keluar darah kental. Melihat darah yang keluar ini, si katai baju merah merasa lega.

“Nyawanya selamat,” katanya. “Tapi kita masih harus melihat apakah dia bakalan lumpuh atau tidak...!"

Seperti maklum akan maksud anggukan itu, orang katai yang disebelahnya yakni yang berpakaian warna biru cepat berdiri. Dia melangkah mendekati sebatang pohon berbatang tinggi lurus. Tangan kanannya bergerak menghantam batang pohon sebelah bawah.

Kraak!

Luar biasa. Tangan yang begitu kecil sanggup menghancurkan batang besar hingga pohon itu tumbang dan jatuh melintang tepat di atas telaga kecil berair panas. Tubuh Mahesa kemudian mereka gotong ke tengah telaga. Kedua tangannya diikatkan ke belakang pada batang pohon sedang sekujur tubuhnya sebatas leher ke bawah di masukkan ke dalam air telaga.

Dua orang katai duduk di kiri kanan kepala pemuda itu sambil bergantian menyiramkan air telaga yang diciduk dengan daun ke atas kepala Mahesa. Sampai sore tiba pemuda itu masih belum siuman. Manusia katai berbaju merah menunjukkan wajah khawatir.

“Jika sampai tengah malam nanti dia tidak sadar, berarti seumur hidupnya dia tetap pingsan dan lumpuh!”

Enam manusia katai lainnya terdiam. Yang berbaju coklat kemudian membuka mulut. “Bagaimana dengan rencana kita untuk memberi pelajaran pada nenek-nenek yang ringan tangan itu…?”

“Rencana tetap kita jalankan tapi baru selewatnya tengah malam nanti. Bila sudah ada kepastian pemuda ini bisa diselamatkan atau tidak. Saat ini nenek itu pasti sudah mengetahui lenyapnya tubuh pemuda ini…”

“Pasti dia kelabakan!” kata si katai baju hitam.

Menjelang tengah malam si katai yang duduk menyirami kepala Mahesa dengan air telaga tiba-tiba terdengar berseru, “Kawan-kawan! Pemuda ini keluarkan suara mengeluh!”

Seruan itu disambut dengan sorak gembira enam manusia katai lainnya. Mereka lari meniti batang pohon dan memperhatikan Mahesa dari dekat. Memang saat itu dari mulut pemuda ini mulai terdengar suara seperti mengerang. Si katai baju merah memijit tubuh Mahesa di beberapa bagian. Tak lama kemudian meskipun sedikit, kelihatan kedua mata Mahesa bergerak.

“Dia mulai membuka mata!” seru salah seorang dari tujuh manusia katai itu.

Si baju merah kembali memijit tubuh Mahesa. Suara erangan pemuda ini makin keras. Matanya membuka tambah lebar. Kemudian terdengar suara air telaga bergemeracak.

“Dia menggerakkan kedua kakinya!” seru si katai baju hitam.

Si katai baju merah menarik nafas lega. “Angkat tubuhnya!”

Ikatan pada kedua tangan Mahesa dilepaskan. Tubuh pemuda ini diangkat dari dalam air lalu dibaringkan ditepi telaga. Dadanya tampak turun naik. Si baju merah kembali memijit beberapa bagian tubuh pemuda itu. Dalam keadaan mulai sadar Mahesa berusaha bangkit. Namun baru sampai duduk tubuhnya terhempas kembali.

“Orang muda, kau masih lemas. Sebaiknya berbaring saja dulu,” kata si katai baju merah.

Seumur hidupnya baru sekali itu Mahesa mendengar suara manusia sehalus suara nyamuk. Benarkah suara manusia atau suara apa? Dibukanya matanya lebih lebar. Yang dilihatnya mula-mula hanya kegelapan. Lalu pohon-pohon besar. Di atas pohon sana tampak langit menghitam. Lalu disampingnya dilihatnya banyak sekali kepala-kepala dan tubuh-tubuh kecil.

“Di mana aku…. Kalian siapa…?” suara pemuda itu serak parau.

“Kawan tak perlu khawatir. Kau berada di tempat aman. Kami semua sahabat-sahabatmu…”

“Ka… kalian ini anak-anak atau…? Kalian manusia atau tuyul…?”

Tujuh manusia katai itu tertawa cekikikan. “Kami bukan tuyul. Kalau tuyul kepalanya gundul!” berkata si katai baju coklat. Kembali kawan-kawannya tertawa riuh oleh ucapan teman-temannya.

“Orang muda, sakit kepalamu akan segera hilang. Minum dulu air telaga ini…” salah seorang dari manusia-manusia katai itu menuangkan air telaga dari dalam daun ke mulut Mahesa. Rasa hausnya kini terobati.

“Aku lapar…” bisik Mahesa.

“Kami tak punya makanan. Besok kalau sudah terang kami akan carikan makanan untukmu. Sekarang sebaiknya kau minum dulu obat ini lalu tidur.”

Si katai baju putih mengeluarkan sebuah obat berbentuk butiran sebesar ujung kelingking. Obat ini dimasukkannya ke dalam mulut Mahesa. Begitu tertelan Mahesa merasakan perutnya panas.

“Kau memberiku racun…?”

“Pemuda tolol! Setelah kami tolong masakan kau kami racuni?!” sahut si katai baju merah. “Sekarang sebaiknya kau tidur,” lalu jari telunjuknya yang kecil ditekankan ke kening Mahesa diantara dua alis. Aneh begitu ditekan begitu Mahesa merasakan matanya menjadi berat. Pemuda ini akhirnya tertidur.

Begitu Mahesa tertidur, si katai baju merah berkata pada kawan-kawannya, “Sekarang empat orang dari kalian lakukan apa yang menjadi rencana kita. Dua lainnya tetap bersamaku di sini menjaga pemuda ini. Hitam, Biru, Coklat dan Hijau, kalian segera berangkat. Cari tempat yang baik. Harus tidak terlalu jauh dari kaki gunung Iyang. Jangan lupa untuk menyalakan api agar asapnya dapat menarik perhatian orang yang kita maksud.”

Maka keempat manusia katai itu segera meninggalkan telaga. Berkelebat dalam kegelapan malam. Keesokan paginya mereka sampai di bagian utara kaki pegunungan Iyang. Daerah ini selain berpemandangan indah, bukit dan lembahnya tidak tertutup rimba belantara rapat seperti di daerah timur atau barat. Karenanya banyak ditempuh orang dalam perjalanan. Di sebuah sungai kecil si hitam dan kawan-kawannya berhenti. Setelah memandang berkeliling sebentar si hitam berkata,

“Tempat ini kurasa cukup baik. Mari kita mulai bekerja.”

Keempat orang itupun menggali tanah merah dari tepi sungai lalu menumpuknya di bagian tepi sungai yang lain sehingga menyerupai berbentuk nisan. Lalu si hijau menggurat sederetan tulisan pada papan itu yang berbunyi:

Di sini dimakamkan Mahesa. Anak manusia yang malang. Yang tak pernah kenal kenal ibu dan kehilangan ayah. Yang menemui kematian dengan pasrah, mati disiksa untuk perbuatan yang tak pernah dilakukannya.

“Beres! Sekarang nyalakan api. Setiap orang yang lewat disekitar lembah ini akan melihat kepulan asap. Pasti akan datang kemari. Kita tunggu saja…”

Empat orang katai itu mengumpulkan kayu-kayu kering. Setelah terkumpul mereka segera menyalakan api. Kepulan asap mengepul tinggi ke udara. Selama empat hari menunggu tak seorangpun muncul di tempat itu. Hari kelima seorang penunggang kuda datang. Orang ini kelihatannya seperti seorang pedagang karena membawa banyak barang. Dia memperhatikan kuburan di tepi sungai itu sebentar lalu melanjutkan perjalanan. Memasuki hari ke tujuh empat orang katai yang menunggu-nunggu di tempat itu mulai merasa jenuh.

“Kalau sampai satu bulan nenek peot itu tidak muncul, kita bisa berlumutan menunggu di sini,” kata si hijau.

“Kayu kering mulai susah dicari. Sejak dua hari ini hujan gerimis turun terus,” menimpali si katai berpakaian hitam.

Tapi si katai berpakaian coklat menjawab memberi semangat. “Kita tak boleh putus asa. Orang yang kita tunggu pasti muncul. Mungkin nenek itu masih mengurusi luka si kakek. Maklum masih pengantin baru. Hik hik hik!” Empat orang katai itu tertawa gelak-gelak.

Pada hari ke delapan, menjelang tengah hari si katai baju hitam yang duduk uncang-uncang kaki di atas cabang pohon tiba-tiba melesat turun ke bawah. Pada tiga temannya dia berkata,

“Ada orang yang datang dari bibir lembah sebelah sana. Gerak-geriknya seperti nenek brengsek itu. Lekas sembunyi!”

Si hijau terlebih dulu menghilangkan jejak-jejak yang bisa menimbulkan kecurigaan. Lalu dia melompat menyusul tiga kawannya ke atas pohon besar, bersembunyi dibalik kerapatan dedaunan. Mereka menunggu. Tak lama kemudian berkelebatlah sesosok berambut putih panjang awut-awutan, bertubuh bungkuk, melangkah terpincang-pincang ke arah tumpukan tanah merah berbentuk kuburan.

Nenek ini yang bukan lain adalah Kunti Kendil, guru Mahesa tegak di depan kubur dengan wajah pucat dan tenggorokan naik turun. Kedua matanya menyipit ketika membaca apa yang tertera pada papan yang ditancapkan di kepala kubur. Dadanya kemudian terasa sesak dan sepasang kakinya bergetar. Mata yang tadi menyipit kini membelalak hampir tak berkesip.

“Jadi… ternyata anak setan itu sudah mati!” kata Kunti Kendil dalam hati. “Heran, siapa yang membawa mayatnya ke sini? Siapa yang menguburkan? Lalu siapa pula yang membuat papan nisan bertuliskan kata-kata sialan itu? mati disiksa untuk perbuatan yang tidak pernah dilakukannya! Gila!”

Kunti Kendil melangkah mondar-mandir di depan makam. Ada rasa ingin menendang kuburan dan papan nisan itu. Namun niat itu tak dilakukannya. Setelah menggerendeng dalam hati nenek ini akhirnya tinggalkan tempat itu, kembali ke pondoknya di puncak pegunungan Iyang.

Hampir tiga minggu kemudian Lembu Surah sembuh dari lukanya. Kini dia menjadi manusia cacat seumur hidup, buntung tangan kanannya sebatas bahu. Pada saat itulah Kunti Kendil mendapat penjelasan bahwa yang mencelakakan suaminya itu bukan Mahesa, melainkan Wirapati. Hal ini sangat mengejutkan si nenek. 

Berarti dia telah kesalahan tangan. Dan orang itu Mahesa kini sudah mati. Makamnya ditemuinya di lembah tiga minggu lalu. Bersama Lembu Surah nenek itu kemudian meninggalkan tempat kediamannya, pergi ke lembah untuk mengunjungi makam muridnya yang malang itu.

Namun yang ditemui Kunti Kendil di tempat itu hanyalah sebuah papan bertuliskan pemberitahuan: Untuk menjaga hal-hal yang tidak di inginkan makam Mahesa telah dipindahkan ke tempat lain! Makam pemuda memang tak ada lagi di tempat tersebut. Lenyap entah ke mana!

Kunti Kendil seperti mau gila. Dia memutuskan untuk tidak kembali ke puncak Iyang. Dia harus mengetahui di mana makam Mahesa kini. Dia menaruh syak wasangka bahwa Pendekar Muka Tengkoraklah yang mencuri mayat muridnya itu, menguburkannya lalu bersama Lembu Surah si nenek mencari kakek muka tengkorak. Sementara itu empat orang katai yang sesungguhnya melakukan semua itu tertawa gelak-gelak.

“Sekarang dia rasakan,” kata si katai baju hijau. “Sebelum nenek itu mengetahui apa sebenarnya yang terjadi selama itu pula dia dihantui rasa menyesal!”


***
EMPAT


KITAB TUJUH JURUS ILMU SILAT ORANG KATAI
TUJUH manusia katai itu duduk mengelilingi Mahesa. Wajah mereka yang tadi ceria dan banyak tawa kini tampak redup. Ini karena mereka tahu bahwa pemuda itu akan segera meninggalkan mereka. Berpisah setelah hampir selama sepuluh hari mereka berkumpul, menolong dan merawat pemuda itu. kini Mahesa telah sembuh dan berniat meninggalkan mereka, pergi untuk berbagai urusan yang harus dilakukannya.

Mahesa pandangi wajah-wajah lucu di hadapannya. Lalu mengeluarkan rokok kawung, membagi-bagikan pada ketujuh orang katai itu dan masing-masing mereka mulai menghisap. Dibagi rokok seperti itu biasanya mereka senang sekali, namun sekali ini nampak wajah mereka tetap muram.

“Sahabat-sahabat,” kata Mahesa, “Aku tahu kalian ingin sama-sama terus. Tetapi itu adalah tidak mungkin. Masing-masing kita punya tugas yang harus dilakukan. Aku pergi tetapi terlebih dulu aku mengucapkan banyak terima kasih. Kalian telah menyelamatkan nyawaku. Kalian kemudian merawatku hingga aku sembuh. Berarti aku berhutang budi dan berhutang nyawa terhadap kalian. Entah kapan aku bisa membalasnya…”

“Kami menolong tidak mengharap balasan. Semua karena kami merasa itu menjadi kewajiban kami…” menjawab si baju merah.

“Aku mengerti. Aku tidak akan melupakan kalian. Kapanpun kita pasti akan bertemu lagi…”

Si baju merah dan kawan-kawanya duduk termangu. Lalu si hitam bertanya, “Apakah kau akan mencari gurumu?”

“Dia pasti tidak ada di puncak Iyang,” jawab Mahesa yang tak mau menjawab ya atau tidak. Namun dalam hatinya tak mau menemui gurunya lagi. Dia lebih suka sang guru mengganggapnya benar-benar sudah mati. Masih seperti terngiang di telinganya ucapan Kunti Kendil sebelum dia digantung: 

“Aku memungutmu dari comberan di liang kubur. Bukan untuk memberi pelajaran dusta dan membalas air susu dengan air tuba!”

Mengingat kata-kata sang guru apakah masih ada guna baginya untuk menemui nenek itu? Mahesa tidak mengetahui kalau sang guru telah menyadari bahwa bukan dialah yang mencelakai Lembu Surah.

“Sahabat-sahabat,” kata Mahesa pada tujuh orang katai. “Aku harus pergi. Sebelum pergi apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk kalian. Sekedar sedikit membalas budi hingga hutangku tidak terlalu berat…?”

Tujuh orang katai itu saling pandang sesaat. Lalu si hijau membuka mulut, “Karena kau yang berkata lebih dulu, maka kamipun tak sungkan untuk mengutarakan sesuatu. Tapi apa yang kami minta ini bukan kami anggap sebagai satu keharusan bagimu untuk melakukannya. Apalagi kalau kau menganggap sebagai balas budi segala….”

“Katakanlah, apa yang bisa kulakukan.”

“Setahun lalu kami kehilangan sebuah kitab. Kitab pelajaran ilmu silat. Kitab itu bernama Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Katai. Merupakan ilmu silat yang sangat langka dan tidak ada duanya di dunia persilatan…”

Mahesa kaget. Dia cabut rokok kawungnya. “Jadi kalian ini memiliki kepandaian silat? Pasti silat yang sangat aneh…!”

“Ah, manusia-manusia pendek seperti kami ini punya kemampuan apa…!” ujar si coklat merendah.

“Aku tidak percaya. Kalian harus memperlihatkan kehebatan kalian padaku!”

Tak satupun orang katai itu bergerak atau menjawab.

“Bukankah kita bersahabat!”

“Apapun ilmu silat atau kepandaian yang kami miliki, bukanlah untuk dipamerkan…” jawab si hijau.

Diam-diam Mahesa mengerahkan tenaga dalamnya. Kesehatannya sudah pulih sempurna. Karenanya dia kini dapat mengumpulkan lebih dari sepertiga tenaga dalamnya di tangan kanan dan dia siap untuk melepaskan Pukulan Api Geledek Menggusur Makam. Namun sebelum tangannya di gerakkan untuk memukul, si baju hitam tampak tersenyum dan berkata,

“Ternyata kau benar-benar sudah sembuh. Mengapa tidak melipat gandakan tenaga dalammu…?”

Mahesa kaget. “Bagaimana anak setan ini mengetahui aku mengerahkan tenaga dalam!” katanya dalam hati.

Dari samping kiri terdengar si merah berkata, “Sahabat apakah kau tidak tahu ada sepotong ranting kecil menyusup di pinggang pakaianmu…?”

Ketika Mahesa memperhatikan pinggang pakaiannya sebelah kiri, astaga! Sepotong ranting kering telah merobek pakaiannya. Ranting itu masih menancap di sana sampai dia kemudian mencabutnya. “Gila! Bagaimana mereka menusuk pakaianku tanpa aku melihat ataupun merasa?! Jika mereka musuhku dan menusukkan dengan pisau berarti ususku sudah membusai!”

“Mahesa, kami tidak punya ilmu apa-apa,” kata si merah. “Yang tadi kami perlihatkan padamu hanya ilmu sulap kampungan.” 

Tetapi Mahesa kini sudah yakin bahwa tujuh manusia katai ini benar-benar memiliki kepandaian luar biasa. Dan mereka berjumlah tujuh orang. Bukan mustahil dunia persilatan ada dalam tangan mereka!

“Hai, tadi kalian bicara tentang kitab silat. Cerita kalian teputus. Lanjutankanlah…” kata Mahesa akhirnya.

“Entah bagaimana kitab itu lenyap setahun lalu. Kami menyelidik kemudian kami ketahui kitab itu ada pada seorang tokoh silat bergelar Pendekar Muka Tengkorak…”

“Pendekar Muka Tengkorak!” Mahesa melengak kaget. “Orang itu mencuri kitab kalian…? Tidak mungkin. Mustahil!”

“Bagaimana kau bisa mengatakan tidak mungkin. Mustahil?!” Tanya sibaju merah.

“Aku kenal baik dengan orang tua itu. Dia bukan pendekar bangsa pencuri. Dia pernah menyelamatkanku beberapa kali. Memang… aku pernah mendengar dia menyebut-nyebut kitab silat. Tapi aku yakin dia tidak mengambilnya dari kalian…”

“Kami juga menduga demikian,” jawab si hitam. “Hanya saja ketika kami ketahui bahwa kitab itu ada padanya, dia lenyap beberapa lama, tak bisa kami ketemukan. Ketika dia muncul lagi kami ketahui kitab itu tak ada padanya. Kami kawatir ada yang telah mencurinya. Kami lihat pendekar tua itu patah salah satu tangannya. Mungkin akibat perkelahian dengan pencuri kitab…”

Mahesa ingat penuturan Pendekar Muka Tengkorak sewaktu di puncak gunung Bromo. Lalu diapun menceritakan.

Mendengar keterangan Mahesa itu maka si baju merahpun berkata, “Jadi dukun jahat bernama Embah Bromo Tunggal itulah yang telah merampas kitab kami dari tangan Pendekar Muka Tengkorak. Berarti dia yang harus dicari. Sahabat Mahesa, maukah kau sedikit mencapaikan diri dan membuang waktu untuk mencari dukun keparat itu? Mendapatkan kitab silat itu kembali dan menyerahkannya pada kami…?”

“Tidak kalian mintapun aku akan melakukannya!” sahut Mahesa. “Dosa dan kebejatan dukun itu sudah selangit tembus. Dia juga yang mencuri Keris Naga Biru, dia pula yang menyebabkan ayah menjadi gila dan membunuh ibu…”

“Kami sudah tahu semua riwayatmu. Tak usah diceritakan lagi…” kata si katai baju putih.

Lagi-lagi Mahesa dibikin kaget. “Bagaimana kalian bisa tahu…?” tanyanya heran.

Si merah tertawa. “Kami bertujuh punya empat belas telinga empat belas mata. Masakan buta akan apa yang terjadi dalam dunia persilatan…?!”

Mahesa hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar jawaban itu. Dia berdiri. “Kalau kitab itu berhasil kudapatkan di mana aku akan menemui kalian?”

“Kami yang akan datang mengambilnya,” jawab si biru.

“Kalau begitu, aku akan pergi sekarang.” Mahesa lalu memeluk satu demi satu ketujuh manusia katai itu.


***

Bagaimanapun setia dan hormatnya Mahesa terhadap gurunya yaitu nenek bernama Kunti Kendil itu, namun dengan adanya kejadian luar biasa yang dialaminya, mau tak mau kini ada perasaan lain di lubuk hati pemuda ini. Perasaan itu bukan satu perasaan membenci atau mendendam terhadap sang guru. Sebaliknya justru perasaan membenci pada dirinya sendiri. 

Mengapa dia dilahirkan ke dunia ini kalau kemudiannya hanya akan menyusahkan orang lain. Kalau kemudian dirinya diperlakukan sangat kejam dan hina, di perlakukan seperti sampah. Malah mungkin sampah lebih berharga, di buang pada tempatnya, dirinya kemudian bisa dan mudah saja dijadikan umpan gantungan. Digantung di atas pohon, kaki ke atas kepala kebawah. Penjahat besarpun tidak akan digantung seperti itu. Dirinya rupanya lebih keji dari penjahat besar!

Bagaimana hal itu bisa terjadi, Mahesa tak habis pikir. Seorang guru yang telah menyelamatkannya lalu memeliharanya selama belasan tahun, memberi pelajaran ilmu silat dan pukulan sakti. Tahu-tahu kemudian menghukumnya secara biadab seperti itu! Apalagi kalau bukan karena dirinya memang tidak berharga dibanding sampah sekalipun!

Dalam hatinya pemuda ini mengambil keputusan untuk tidak mau lagi bertemu dengan gurunya untuk selama-lamanya. Lalu bagaimana dengan dua tugas utama yang harus dijalankannya? Memikir kesitu Mahesa merasa kurang enak. Tugas kedua dia memang merasa bebas dan tak perlu lagi melakukannya. Yakni mencari Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah. Kakek itu akhirnya telah bertemu malah kawin dengan gurunya.

Tetapi bagaimana dengan tugas pertama yaitu membunuh Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam yang adalah kakak seperguruannya sendiri? Jangankan membunuh, malah terakhir sekali dia justru menyelamatkan Wirapati dari serangan membokong yang dilepaskan sang datuk.

Berlari sambil membekal beban pikiran seperti itu membuat Mahesa seolah-olah tidak sadar ke mana arah tujuannya. Ketika hari sore beranjak malam dan udara mulai gelap didapatkannya dirinya berada di hutan alang-alang. Dia memandang berkeliling. Di ujung sebelah selatan dilihatnya deretan bukit memanjang dari barat ke timur yang agaknya tertutup oleh rimba belantara itu dari pada kedinginan di tengah alang-alang. Maka diapun lari menuju bebukitan.

“Aku harus menjauhi pegunungan Iyang,” katanya dalam hati. “Dari pada mencari Wirapati lebih baik aku mencari ayahku sendiri. Lalu mencari kitab ilmu silat orang katai itu. Wirapati mungkin sudah bahagia bersama Kemala…”

Mengingat gadis itu Mahesa menjadi menarik nafas panjang. Dia lalu teringat pula pada sapu tangan putih yang dilemparkan sang dara. Cepat-cepat dia memeriksa ke balik pakaiannya. Ternyata sapu tangan putih itu masih ada padanya meski kini kotor lembab.

Mahesa sampai di bukit di ujung selatan. Tenggorokannya kering dan perutnya terasa lapar. Tubuhnya sangat letih, tetapi keletihan beban pikiran lebih dari pada keletihan aurat tubuhnya. Pemuda ini naik ke atas pohon, tetapi ketika tiba-tiba diantara kelebatan semak belukar dia melihat dua titik menyala. Ketika diperhatikan ternyata sepasang mata seekor harimau besar. Rupanya binatang ini tadi tempat persembunyiannya. Melihat mangsanya berada di atas pohon yang tak mungkin lagi dijangkau raja hutan itu menggereng dan menggaruk-garukkan kaki depannya ke batang pohon.

“Anak setan!” maki Mahesa. “Kau inginkan dagingku. Ini kuberikan air hangat sedap untukmu!” dari atas pohon Mahesa lorotan celananya ke bawah dan sssrrr…! Air kencingnya memancur jatuh tepat ke kepala harimau. Binatang ini mengaum keras, goyangkan kepalanya lalu lari dari tempat itu. Mahesa tertawa lebar. Setelah kucak-kucak matanya pemuda ini segera tertidur. Namun tak selang berapa lama dia terbangun ketika sepasang telinganya menangkap adanya gerakan-gerakan sosok tubuh manusia di bawah pohon.


***
LIMA


SURAT MAUT DI MALAM BUTA
KARENA MALAM gelap sekali Mahesa tidak dapat melihat jelas orang-orang itu, apalagi wajah mereka nasing-masing. Namun setelah mereka membuat perapian kecil, di bawah nyala api yang cukup terang Mahesa memperhatikan orang-orang itu.

Mereka berjumlah lima orang. Yang pertama seorang berpakaian perwira muda, berbadan tidak tinggi tapi memiliki otot-otot menonjol luar biasa. Orang kedua adalah seorang kakek berpakaian hitam. Rambutnya putih awut-awutan, mengingatkan Mahesa pada rambut gurunya Kunti Kendil. Kakek ini memiliki wajah cekung dan rongga mata sangat dalam hingga tampangnya seperti mayat hidup.

Lelaki ke tiga berusia sekitar 40 tahun, bertampang keren berpakaian rapi. Pada pinggangnya terselip sebatang tongkat rotan yang ujungnya berkeluk. Orang ke empat dan ke lima berwajah hampir sama karena keduanya memang kembar dan mengenakan pakaian serta ikat kepala serba merah. Sepasang mata merekapun tampak merah aneh.

“Hampir satu bulan kita mencari dan menyelidik. Kuharap saja keterangan terakhir yang kita dapat adalah benar dan tidak menyesatkan.” Yang bicara adalah lelaki berpakaian perwira muda, berotot kuat. Namanya Sukat Ragil. Dia seorang perwira muda dari keraton Banyuwangi yang tengah menjalankan tugas dan menjadi pimpinan dalam rombongan itu.

Orang berpakaian merah di sebelah kanan, yakni Kembar Merah Tua mencampakkan rokoknya ke tanah lalu berkata, “Selama ini aku dan saudaraku hanya mendengar nama dan cerita saja dari manusia itu. Hampir tak dapat dipercaya ada perempuan sejahat dan sekeji itu.”

“Sahabatku,” bicara lagi Sukat Ragil. “Kau akan segera melihat sendiri tampang perempuan itu. Kuharap saja kau tidak akan terpikat. Dia sangat senang pada lelaki-lelaki muda dan gagah. Seperti kawan kita Parit Teguh ini!”

Orang yang bernama Parit Teguh yaitu lelaki keren berpakaian rapi tampak merah mukanya. “Akupun ingin sekali melihat perempuan itu. Apa benar cantik luar biasa hingga banyak yang tergoda tapi akhirnya jadi korban!”

“Dia bukan hanya cantik,” kata Sukat Ragil lagi. “Tubuhnya mulus menggiurkan, berkulit putih. Serta menghambur bau harum yang membuat lelaki bisa lupa diri…”

“Diantara kita hanya kakek Tulodong Hitam yang pernah melihatnya. Mungkin bisa memberikan keterangan lebih banyak…” kata Kembar Merah Muda.

Orang yang bernama Tulodong Hitam ialah kakek berpakaian hitam itu. “Sebenarnya aku tak mau bicara banyak malam ini. Aku punya firasat ada yang mengintai kita saat ini…”

Karena diantara mereka berlima memang kakek ini yang memiliki kepandaian paling tinggi maka empat orang lainnya sangat mempercayai ucapannya. Langsung keempatnya memandang berkeliling, mengawasi keadaan sekitar situ dengan teliti.

“Saya mencium bau sesuatu…” kata Parit Teguh.

Di atas pohon Mahesa mendekam tak bergerak. “Apakah orang-orang itu tahu aku ada di sini…” pikir si pemuda.

Terdengar suara berkeresek. Tiba-tiba semak belukar di samping kanan bergerak menguak dan sesosok tubuh besar kuning berbelang hitam melompat disertai suara auman dahsyat.

“Raja hutan!” teriak Kembar Merah Tua.

Lima orang itu melompat berpencaran. Parit Teguh cabut tongkatnya. Sepasang Kembar Merah tampak membungkuk memasang kuda-kuda. Kakek berpakaian hitam tampak tegak dengan sikap tetap tenang sementara Sukat Ragil menunggu dengan kedua tinju terkepal. Otot-ototnya nampak mengembung.

Karena terkamannya yang pertama tidak membawa hasil, harimau besar yang beberapa saat sebelumnya juga menyerang Mahesa, kini tampak menggereng. Ekornya bergerak-gerak. Sepasang matanya bergerak kian kemari seolah-olah menimbang-nimbang siapa diantara kelima manusia itu yang hendak diterkamnya.

Tiba-tiba didahului suara mengaum keras, raja hutan itu melompat kearah Parit Teguh. Justru ini kesalahan besar yang dibuat sang raja hutan karena Parit Teguh adalah satu-satunya orang yang saat ini memegang senjata. Begitu harimau besar itu menerkamnya dengan dua kaki depan menyambar ganas. Parit Teguh menghantam dengan tongkatnya.

Kraak!

Kaki kiri harimau patah. Binatang ini terhempas ke kanan, terguling ke dekat perapian dan mengaum dahsyat tidak henti-hentinya. Dia bangun dan siap menyerang kembali. Saat itulah Sukat Ragil melompat dari samping. Tinju kanannya yang besar dan keras menghantam pelipis kiri harimau itu.

Untuk kedua kalinya sang raja hutan terhempas ke tanah. Suara aumannya menggelegar dalam rimba belantara itu. Empat kakinya mencakar-cakar ke atas. Darah tampak mengalir dari pelipisnya yang rengkah. Tak selang berapa lama harimau ini terkulai tak bergerak lagi.

“Hebat sekali pukulan tenaga luar perwira itu,” kata Mahesa yang memperhatikan dari atas pohon.

“Sukat Ragil,” kakek Tulodong Hitam berkata, “Aku harus berterima kasih padamu yang telah memberikan bantal untuk tidur bagiku!” orang tua ini lalu menyeret bangkai harimau itu ke dekat perapian, lalu membaringkan tubuhnya dengan kepala diletakkan di atas tubuh harimau sebagai bantal. Empat orang lainnya kembali duduk mengelilingi perapian.

“Kakek Tulodong,” berkata Kembar Merah Muda. “Sebelum kau tidur apa tidak hendak menerangkan dulu tentang perempuan yang tengah kita buru itu?”

“Apa yang akan kuceritakan,” jawab si orang tua tanpa berubah berbaringnya. “Aku hanya melihatnya satu kali. Itupun tak lama. Waktu itu sebelum dia membunuh Tudung Maut. Tubuhnya semampai. Berkulit putih. Aku yang sudah tua ini harus mengakui belum pernah melihat perempuan bertubuh sebagus dan semulus itu. Parasnya memang cantik walau dandannya agak seronok. Dia selalu muncul dengan pakaian merah tipis hingga bagian-bagian tubuhnya yang terlarang terkadang jelas kelihatan. Di balik semua kemulusan dan kecantikan itu tersembunyi ilmu kepandaian yang luar biasa. Sejauh ini tak satu orangpun sanggup menjatuhkannya. Sebaliknya banyak korban menemui ajal ditangannya. Kita harus berhati-hati jika menemui dan menghadapinya…”

“Kita berlima dia sendirian, masakan tidak sanggup meringkusnya?” ujar Sukat Ragil. Sebagai pimpinan rombongan yang menerima tugas dari keraton Banyuwangi, dia bertanggung jawab penuh akan keberhasilan tugas itu.

Tulodong Hitam tidak mau menjawab langsung kata-kata Sukat Ragil tadi. Dia berkata memberi ingat,  “Perempuan itu bukan saja berilmu tinggi, tetapi juga licik sekali. Ada satu hal yang harus kalian ingat baik-baik. Dia memiliki kepandaian menebar bau harum luar biasa. Sekali seseorang mencium bau itu, tubuhnya akan lemas, jatuh tak mampu bergerak lagi. Saat itulah biasanya dia menghabisi lawannya. Karenanya jika bertempur nanti kalian harus selalu menjaga jalan pernafasan. Jangan sampai mencium bau harum yang ditebarkannya!”

“Turut keterangan yang kita dapat, perempuan itu akan berada di sekitar daerah ini besok. Satu-satunya desa terdekat adalah Bangsalsari. Kita sudah memutuskan untuk datang ke situ karena kemungkinan paling besar dia akan muncul di Bangsalsari. Rencana ini tidak berubah atau ada gagasan lain?”

Tak ada yang menjawab.

“Jadi rencana tetap seperti semula,” kata Sukat Ragil menutup pembicaraan. Lalu dia mencari tempat yang baik untuk membaringkan tubuh.

Namun sebelum sempat memejamkan mata perwira ini tiba-tiba melompat, disusul Tulodong Hitam di sebelah kiri. Keduanya sama-sama melihat sesosok bayangan bergerak dalam kegelapan. Sebelum sempat mengejar bayangan itu telah lanyap. Ketika keduanya melangkah kembali ke perapian, di situ Kembar Merah Muda tampak tengah memungut sehelai kertas yang melayang jatuh dekat perapian. Empat orang lainnya segera mengelilinginya. Di atas kertas merah ternyata ada sederet tulisan, yang justru ditulis oleh orang yang tengah mereka buru.

Aku tahu kalian telah lama mencariku. Sayang malam ini tak punya waktu menemui kalian. Tapi besok akan berjumpa juga. Ratumu menunggu dengan tangan dan paha terbuka. Apakah kalian membekal nyawa cadangan? 

“Keparat! Perempuan busuk!” maki Sukat Ragil.

“Benar-benar mesum!” desis Kembar Merah Tua.

Tulodong Hitam hanya tegak merenung sementara Parit Teguh berdiri sambil menggigit-gigit bibir. Sesaat Kembar Merah Muda masih memegang kertas merah itu. Hidungnya mencium bau harum. Tidak sadar kertas itu didekatkannya ke hidungnya.

“Jangan dicium!” seru Tulodong Hitam.

Tapi terlambat. Bau harum yang mengandung racun pada kertas sudah keburu tercium dan masuk  ke jalan pernafasan Kembar Merah Muda. Dadanya langsung sesak, pemandangan menjadi gelap, sekujur tubuhnya bergetar goyah. Orang ini akhirnya roboh dalam pelukan saudara tuanya. Darah keluar dari mata, hidung dan mulutnya.

“Adikku mati!” teriak Kembar Merah Tua. Suaranya keras sekali tetapi bergetar.

Di kejauhan, entah dibagian mana dalam rimba belantara yang gelap itu terdengar suara tertawa perempuan. Panjang menggidikkan. Kembar Merah Tua lepaskan tubuh adiknya. Melompat untuk mengejar ke arah  datangnya suara tertawa itu. Tapi si kakek Tulodong Hitam cepat memegang bahunya.

“Jangan kejar. Berbahaya!”

“Keparat! Aku akan membunuh perempuan itu. Aku harus membunuhnya!” kata Kembar Merah Tua dengan dua tinju terkepal.

Di atas pohon Mahesa geleng-gelengkan kepala. Sejak tadi semua yang terjadi  di bawah sana dilihat dan didengarnya dengan seksama tak satupun yang terlewat. Tapi bagaimana dia bisa tidak sempat melihat orang yang menyelinap melemparkan surat maut itu?

“Anak setan itu pasti tinggi sekali ilmunya. Benarkah dia seorang perempuan yang cantik? Ingin sekali aku melihatnya. Secantik Kemala kah dia…?”


***
ENAM


SI PENCURI JANTUNG TONGKAT SERATUS BAYANGAN
HUJAN lebat turun ketika mereka memasuki Bangsalsari. “Hujan keparat!” rutuk Kembar Merah Tua. Sejak kematian adiknya yang terpaksa dikubur pagi tadi dalam rimba belantara lelaki ini menunjukkan sikap selalu tak sabar dan sering memaki. Semua karena dendam kesumat terhadap orang yang telah membunuh adiknya.

Bangsalsari merupakan sebuah desa berpenduduk ramai yang terletak jauh di selatan pegunungan Iyang. Di sini terdapat sebuah masjid besar dengan menaranya yang tinggi menjadi kebanggaan penduduk. Setelah mengisi perut di sebuah warung, Kembar Merah Tua, Tulodong Hitam, Parit Teguh dan Sukat Ragil mengelilingi desa untuk mencari orang buruan mereka. Tetapi sampai siang berganti sore perempuan itu tidak mereka temukan.

“Kita harus bersabar,” kata Tulodong Hitam memberi semangat rombongannya yang kini tinggal empat orang itu. “Perempuan itu kurasa memang tidak biasanya muncul di siang hari. Apalagi di tempat ramai Bangsalsari ini. Kita tunggu sampai malam…”

Sukat Ragil membenarkan ucapan si kakek. “Kalau dia mau mengirimkan surat malam tadi, hari ini bukan mustahil dia juga mengikuti gerak-gerik kita. Lalu menanti saat yang baik untuk muncul…”

Hujan yang hampir turun sepanjang hari membuat udara malam itu terasa dingin. Apalagi angin berhembus kencang. Sukat Ragil dan kawan-kawannya berada di bagian desa yang berbukit-bukit. Dalam udara sedingin itu penduduk lebih suka mengunci diri di dalam rumah masing-masing. Keempat orang itu berlari cepat menuruni bebukitan, menuju pusat desa yang masih ramai, yakni sepotong jalan pendek di mana terdapat tiga buah bangunan yang masih terang.

Bangunan pertama sebuah kedai minuman. Sepi, hanya ada seorang tamu duduk menikmati secangkir kopi. Bangunan kedua sebuah warung menjual kebutuhan sehari-hari. Juga sepi. Bangunan terakhir adalah kedai gudek. Lagi-lagi sepi. Hanya ada seorang tamu kelihatan asyik menyantap makanan. Namun ketika memperhatikan tamu yang seorang itu, Sukat Ragil dan kawan-kawannya serta merta terpaku di depan pintu. Tamu itu seorang perempuan berpakaian serba merah duduk menyantap makanan membelakangi pintu.

“Itu dia!” desis Sukat Ragil.

“Kita masuk!” memberi isyarat Tulodong Hitam. Dia melangkah masuk lebih dahulu. Sukat Ragil di samping belakang, menyusul Kembar Merah Tua dan Parit Teguh.

Mendekati meja makan itu Kembar Merah Tua melompat mendahului, langsung menggebrak meja dan menghardik. “Perempuan iblis! Manusia mesum keparat! Kau harus bayar nyawa adikku dengan nyawa busukmu!”

Perempuan yang tengah makan palingkan kepalanya. Astaga! Perempuan itu ternyata seorang nenek-nenek bermuka pucat. Kembar Merah Tua terkesiap. Parit Teguh melengak.

Sukat Ragil mendesis, “Bukan dia….”

Tapi Tulodong Hitam tak bergerak di tempatnya. Sepasang matanya memandang tak berkesip pada wajah tua keriput itu, lalu turun ke tubuh dan sepasang lengannya yang tersembul dibalik pakaian. Ada hal yang aneh disaksikannya. Dan dia segera maklum kalau keanehan itu mengandung bahaya besar. Perempuan itu memiliki wajah tua seorang nenek. Tapi sebaliknya sepasang lengan dan tangannya berkulit putih mulus!

Perempuan yang tengah makan bukannya tidak tahu kalau kakek berpakaian hitam itu telah mencium keanehan pada dirinya. Maka diapun pendengarkan suara tertawa tinggi. Sambil tertawa dia bergerak tangan kirinya ke mukanya.

Sreet! Wajah tua berkeriput itu ternyata sebuah topeng tipis belaka. Ketika topeng itu dibukanya, kelihatanlah wajahnya yang asli.

“Hah! Memang dia!” ujar Sukat Ragil terengah.

Parit Teguh gerakkan tangan kanan memegang tongkat rotan. Kembar Merah Tua kembali hendak menggebrak dan memaki, tetapi perempuan berbaju merah yang memakai mahkota kecil pada kepalanya mendahului berkata.

“Aku sudah lama menunggu di sini. Kukira kalian tidak datang!” lalu perempuan itu berseru memanggil pelayan meminta agar menyiapkan hidangan untuk empat orang itu.

Melihat sikap yang dibuat-buat dan sengaja menghina itu. Kembar Merah Tua tidak dapat menahan amarahnya, kini langsung berteriak. “Perempuan mesum! Kami datang bukan untuk bersantap! Kami kemari untuk mengambil nyawa busukmu!’’

Si baju merah tertawa panjang. Tertawa itu membuat wajahnya tambah cantik. Barisan gigi-giginya yang putih tampak bagus dan lidahnya yang merah basah membuat Parit Teguh tercekat. “Kalian datang dari jauh. Pakaian kalian masih basah. Masakan tak hendak makan dan minum lebih dulu?!”

“Tidak! Kau telah membunuh adikku malam tadi! Kau harus mampus detik ini juga!” hardik Kembar Merah Tua. Lalu menghantam dengan tangan kanan. 

Sasarannya adalah dada perempuan ini, dan dia terkejut karena angin pukulan lawan yang semula dianggap enteng ternyata terasa deras dan menyambar dingin. Cepat-cepat dia menggerakkan kaki kiri, menendang hingga meja terpelanting menghalangi gerakan Kembar Merah Tua. Saking marahnya serangannya dipapasi demikian rupa, Kembar Merah Tua tendang meja kayu itu hingga hancur berkeping-keping. Disaat yang sama Parit Teguh dan Sukat Ragil serta Tulodong Hitam sudah mengepung.

Si baju merah bertolak pinggang, memandang berkeliling dan sambil tersenyum dia berkata, “Bagus… bagus. Kalian sudah terima suratku malam tadi? Bagus! Apakah kalian sudah membawa nyawa cadangan?”

“Betina durjana! Untuk mengambil sepotong nyawa busukmu kami tak perlu membawa nyawa rangkap!” Yang membentak adalah Sukat Ragil.

Si baju merah berpaling ke arah perwira muda ini. Ada cahaya aneh pada matanya. Tak pernah dia melihat lelaki yang memiliki otot sehebat orang ini. Dia lantas tersenyum. “Sejak seminggu lalu aku mengetahui gerak-gerik kalian. Satu hal yang aku masih buta, kalian ini siapa sebenarnya dan mengapa menginginkan kematianku. Kenal dengan kalian pun tidak!”

“Kami rombongan dari keraton Banyuwangi,” yang menjawab Sukat Ragil. “Beberapa bulan lalu kau menculik seorang Pangeran lalu membunuhnya!”

“Hal kedua mengapa kami menginginkan nyawamu,” buka suara Parit Teguh, “Kau juga telah membunuh sahabat kami si Tudung Maut!”

“Hal ketiga!” menimpali Kembar Merah Tua dengan mata berapi-api, “Kau membunuh adikku!”

Si baju merah lagi-lagi tersenyum. Kali ini sambil gelengkan kepala. “Kalian salah sangka. Biar kuberi penjelasan,” katanya sambil melirik pada Parit Teguh dan mengerling pada Sukat Ragil. “Aku tidak menculik Pangeran itu. Dia sendiri yang mau ikut bersamaku. Karena dia tergila-gila padaku. Ketika kusuruh pulang dia lantas putus asa dan bunuh diri!”

“Dusta!” sentak Sukat Ragil. “Mayatnya ditemui tanpa pakaian. Di lehernya ada bekas cekikan. Mana ada orang bunuh diri mencekik dirinya sendiri!”

“Soal dia berpakaian atau tidak ketika mati mana aku tahu. Siapa yang mencekiknya akupun awam!”

“Kami tahu kau licik dan pandai berdalih!” ujar Parit Teguh.

Kembali perempuan baju merah itu melemparkan kerling dan senyum pada lelaki ganteng ini. “Soal sahabatmu yang bergelar si Tudung Maut itu, bukan aku yang membunuh. Dia yang datang malam-malam buta mengganggu ketenteraman orang dan agaknya memang minta mati. Kalau saja aku tahu sebelumnya bahwa dia kawanmu, mungkin aku tidak mengganggunya!” lalu perempuan ini berpaling pada Kembar Merah Tua. “Aku juga tidak merasa membunuh adikmu itu. Salah dia sendiri. Siapa mau-mauan mencium kertas beracun…?! Hik hik hik…!”

“Perempuan keparat! Riwayatmu hanya sampai malam ini!” teriak Kembar Merah Tua lalu menyerbu, tapi gerakkannya ditahan oleh Tulodong Hitam.

Orang tua ini maju selangkah lalu berkata. “Ratu Mesum, kami datang memang untuk menghukummu. Dosa dan kejahatanmu sudah melebihi takaran. Jika kau mau menyerah baik-baik, kami akan bawa kau hidup-hidup ke Banyuwangi. Tapi jika melawan terpaksa kau bakal menemui kematian dalam warung ini!”

Si baju merah yang ternyata adalah Ratu Mesum alias Mawar tertawa panjang. Lidahnya yang basah bergerak kian kemari. “Orang tua macammu memang layak bicara memakai peradatan. Hanya saja semua maksudmu tak bisa kulayani. Sayang kalian tidak membawa nyawa cadangan. Namun aku memberi kesempatan agar kalian pergi saja dari sini demi keselamatan diri masing-masing. Kecuali jika dua kawanmu yang berotot hebat serta yang memegang tongkat itu mau ikut bersamaku, aku tidak keberatan. Hik hik hik!”

“Iblis! Kau memang sudah saatnya mampus!” teriak Kembar Merah Tua. Namun gerakkannya hendak menyerang lagi-lagi dicegah Tulodong Hitam.

Kakek ini berkata, “Aku tak ingin kau mati tanpa mengetahui siapa kami ini…”

“Oh, mau perkenalkan diri? Bagus! Ada baiknya agar kalian tidak menyesal sampai di liang kubur. Ratumu menunggu. Silakan beritahu siapa kalian…”

“Kawanku si baju merah itu adalah orang tertua dari sepasang Kembar Merah. Yang memegang tongkat rotan bernama Parit Teguh, bergelar Tongkat Seratus Bayangan. Yang di sampingku Sukat Ragil, perwira keraton Banyuwangi. Dan aku yang jelek ini Tulodong Hitam alias Si Pencuri Jantung. Nah sudah siapkah kau untuk mati?!”

Ratu Mesum kembali perdengarkan suara tawanya yang panjang dan tinggi. Nama sepasang Kembar Merah ataupun Sukat Ragil sang perwira dari Banyuwangi itu tidak dikenal dan tidak mengejutkannya. Namun dia cukup terkesiap ketika mengetahui si kakek baju hitam adalah manusia yang menyandang gelar Si Pencuri Jantung sedang lelaki gagah berpakaian rapi ternyata adalah Tongkat Seratus Bayangan!

Dia melirik ke arah sepasang tangan si kakek yang ternyata berkuku panjang hitam. Kuku-kuku jari itu telah mengorek puluhan jantung lawan yang rata-rata berkepandaian tinggi. Sedang Tongkat Seratus Bayangan merupakan satu nama besar menggetarkan daerah timur sejak tiga tahun belakangan ini! Meskipun sadar menghadapi lawan-lawan tangguh namun Ratu Mesum yang percaya pada kemampuannya tidak menjadi kecut. Dasar perempuan hidung belang yang tidak boleh melihat lelaki gagah maka dia berkata seenaknya.

“Malam begini dingin, mengapa kita tidak ngobrol menghangatkan diri dengan kopi atau tuak…,” katanya. Lalu menyambung: “Aku bersedia menganggap selesai perkara ini sampai di sini asal saja kau yang bernama Parit Teguh dan yang berotot hebat ini suka ikut bersamaku!”

Paras Parit Teguh jadi merah. Dia harus mengakui belum pernah melihat perempuan secantik dan semulus manusia iblis bergelar Ratu Mesum ini. Sebaliknya Sukat Ragil yang memikul tugas berat tak mau menunggu lebih lama lagi. Setelah memberi isyarat pada Tulodong Hitam dia menyergap dari samping kiri.

Serta merta Kembar Merah Tua menerjang pula dari sebelah kanan, Parit Teguh menusuk dengan tongkat rotannya sedang Tulodong Hitam menyambarkan kuku-kukunya yang hitam panjang. Sesuai dengan gelarnya yakni Si Pencuri Jantung maka setiap serangannya selalu berakhir pada gerakan yang mengarah ke jantung lawan!

Pada gebrakan pertama itu Ratu Mesum segera mengetahui kalau empat lawannya kali ini benar-benar berat. Dia bukan saja harus mempergunakan kepandaian untuk menghadapi mereka, tetapi juga harus memutar akal.

Lima jurus pertama perempuan itu dibuat repot oleh gerakan tongkat Parit Teguh. Tongkat Rotan itu seperti berubah menjadi puluhan banyaknya. Mendesing, menyambar, menusuk, terkadang mengait ke arah bagian badan secara tak terduga. Di samping itu sulit pula diterka mana batang atau bayangan belaka. Beberapa kali ujung tongkat hampir menusuk bahu atau perutnya. Beberapa kali pula ujung tongkat yang lainnya hampir mengait lengan atau lehernya!

Sepuluh jari tangan Tulodong Hitam menggapai, mencengkeram, mengorek tiada henti. Sementara itu pukulan, sikutan dan tendangan yang dilepaskan Sukat Ragil datang bertubi-tubi. Ditambah pula dengan serangan Kembar Merah Tua yang sangat nekad berbahaya karena disertai kebencian dan dendam atas kematian adiknya. Semua itu membuat Ratu Mesum terdesak hebat. 

Namun manusia berpengalaman, bermata jeli dan panjang akal ini masih sanggup melihat titik lemah pada lawan yang menyeroyoknya. Titik-titik lemah ini adalah Kembar Merah Tua dan si perwira Sukat Ragil. Kalau dia bisa menghajar dua lawan ini lebih dulu, rasanya menghadapi si kakek dan Tongkat Seratus Bayangan tidak akan terlalu menyulitkan. Maka Ratu Mesum sambil bertahan lancarkan serangan-serangan mematikan ke arah Kembar Merah Tua atau Sukat Ragil.

Tulodong Hitam yang menghadapi gerakan-gerakan lawan, terpaksa membagi perhatian untuk melindungi dua kawannya yang digempur gencar itu. Terutama Kembar Merah Tua. Lelaki ini berkelahi seperti orang kemasukan setan. Menghamburkan pukulan dan tendangan dengan tenaga dalam tinggi tanpa memperhatikan lagi pertahanan dirinya.

Tiba-tiba Ratu Mesum kumandangkan tawa melengking. Tubuhnya merunduk dan berputar seperti titiran. Tangan kanannya dipukulkan ke depan tetapi terpaksa ditarik karena ujung tongkat Parit Teguh datang menghantam dengan deras. Tapi dengan tangan kiri lalu bertumpu pada senjata lawan diayunkan tubuh untuk melompat ke kiri. Dan buuk!

Kaki kirinya mencium dada Kembar Merah Tua keras sekali. Lelaki ini sampai keluarkan suara seperti muntah. Tubuhnya terlipat ke depan lalu jatuh berlutut. Ada darah mengalir dari sela bibirnya. Tulodong Hitam segera berteriak agar Kembar Merah Tua cepat menyingkir. Namun terlambat. Pukulan tepi telapak tangan sang ratu menghantam lebih dulu. Kembar Merah Tua terbanting ke lantai warung, mengerang sebentar lalu tak berkutik lagi.

Berhasilnya Ratu Mesum membunuh salah satu lawannya tidak didapatnya dengan mudah. Karena untuk itu dia harus menerima jotosan keras Sukat Ragil pada bahunya sebelah kanan. Perempuan ini menggigit bibir menahan sakit. Tulang bahunya serasa remuk. Tubuhnya terhuyung ke kiri.

Kalau dia tidak lekas menyingkir menjauhi tiga lawannya, mungkin kepalanya sudah kena gebuk tongkat rotan di tangan Parit Teguh! Dengan mata berkilat-kilat, memancarkan hawa pembunuhan Ratu Mesum alirkan tenaga dalam ke tangan kiri. Begitu lawan mendatangi maka dia hantamkan ke depan.

“Lekas menyingkir!” teriak Tulodong Hitam ketika dilihatnya sinar merah muda berkiblat.

Wuss! Angin pukulan yang memancarkan sinar merah itu menderu lepas, melabrak dinding warung hingga hangus dan bolong. Begitu pukulan maut itu berhasil dielakkan, Tulodong dan Parit Teguh lekas menyerbu sebelum lawan berkesempatan membuat gerakan baru. Kini meskipun mereka tinggal bertiga, tetapi Tulodong Hitam mampu mengembangkan serangan sehingga kembali Ratu Mesum terdesak.

Beberapa kali perempuan ini coba mengeluarkan ilmu simpanannya yakni membuat gerakan melompat ke atas lalu menghamburkan hawa harum beracun tetapi selalu gagal. Setiap dia siap melompat, ujung tongkat yang berkeluk di tangan Parit Teguh menyambar ganas menarik bahu atau batang lehernya. Mau tak mau Ratu Mesum terpaksa batalkan lompatannya. 

Tetapi dia tidak mau menyerah begitu saja. Dia yang punya seribu akal harus mampu bertempur mengatur jarak menjauhi lawan. Kadang-kadang dia sengaja menyerang tempat-tempat kosong atau membuat gerakan-gerakan aneh lainnya yang sulit diraba lawan. Tahu-tahu tubuhnya sudah berada di belakang lawan, siap untuk menjotos, menendang atau mencengkeram. 

Tetapi tidak terlalu mudah untuk dapat merobohkan tiga lawan ini. Mempercepat gerakan sama dengan menguras tenaga. Setelah sembilan jurus berlalu tanpa dapat menciderai salah seorangpun dari lawannya, kembali Ratu Mesum terdesak.

Breet!

Jurus ke dua puluh empat kuku jari tangan kiri Tulodong hitam menyambar ke dada kiri Ratu Mesum. Perempuan ini terpekik. Saat itu dia masih harus mengelakkan serangan tongkat Parit Teguh yang mengemplang ke kepalanya. Masih untung kedudukan kedua kakinya pada posisi yang cukup tangguh hingga dia mampu membuang diri ke belakang dan hanya baju merahnya saja yang robek. Sebagian dadanya tersingkap. 

Sesaat Parit Teguh dan Sukat Ragil terkesiap melihat dada yang putih dan menonjol besar itu sementara si tua Tulodong Hitam kelihatan menjadi jengah! Hal ini cepat terlihat oleh Ratu Mesum maka diapun lemparkan jeratnya.

“Malam begini dingin dan kita orang-orang tolol pada berkelahi. Dengar, dibagian belakang warung ini ada kamar dengan tempat tidur besar. Aku bersedia melayani kalian…”

“Perempuan busuk! Jangan dengarkan tipuan kejinya!” teriak Tulodong Hitam memotong.

“Aku tidak menipu. Aku memang suka pada kalian. Kau yang tua jika tak Khawatir Parit Teguh dan Sukat Ragil terpengaruh maka Tulodong Hitam cepat kirimkan serangan. Kembali terjadi perkelahian. Ratu Mesum menyumpah dalam hati. Sementara itu bekas pukulan Sukat Ragil pada bahu kanannya terasa bertambah sakit.

“Diberi surga mau neraka! Bersiap-siaplah untuk mampus!” teriak Ratu Mesum. Kembali dia melepaskan pukulan yang mengeluarkan sinar merah. Lalu tubuhnya di putar seperti gasing. Tetapi gerakan selanjutnya dihadang oleh tongkat di tangan Parit Teguh. Ujung tongkat yang berkeluk menyambar batang lehernya hingga dia tak berkesempatan melompat.

“Apa boleh buat! Aku harus menebarkan hawa beracun itu tanpa melompat!” membatin  Ratu Mesum setelah melihat lawan membaca gerakannya. Maka diapun tutup penciumannya dan singsingkan bagian bawah pakaian merahnya.

“Awas! Jangan biarkan dia mengangkat pakaiannya!” Tulodong Hitam berikan peringatan. Dia melompat ke atas untuk mencegah gerakan lawan jika sekiranya Ratu Mesum memaksakan diri melompat. 

Sementara Parit Teguh hantamkan tongkatnya ke arah kedua tangan Ratu Mesum guna mencegah perempuan ini menyibakkan pakaiannya. Dalam pada itu Sukat Ragil tidak hentinya kirimkan serangan berantai. Semua ini membuat Ratu Mesum lagi-lagi terpaksa membatalkan gerakannya dan cari selamat dari ketiga  serangan lawan.

Menyadari dirinya tak punya kesempatan untuk menebarkan hawa beracun sementara tenaganya mulai terkuras. Ratu Mesum keluarkan jurus-jurus simpanannya. Gerakannya tidak secepat sebelumnya namun penuh kekuatan serta tipuan-tipuan mematikan. Dengan cara begini tiga jurus dimuka dia berhasil memukul roboh Sukat Ragil hingga perwira muda ini patah tangan kirinya dan melompat keluar dari kalangan perkelahian.

Saat itulah Ratu Mesum melihat adanya kesempatan untuk menebarkan hawa harum beracunnya. Tubuhnya berputar seperti gasing lalu mencelat ke atas. Akan tetapi lagi-lagi serangannya di patahkan oleh tongkat di tangan Parit Teguh. Lelaki ini lebih cepat dan berhasil mendahului gerakan Ratu Mesum. Ujung tongkatnya yang berkeluk berhasil menggaet batang leher lawan. 

Sekali sentak saja tubuh perempuan ini tertarik keras ke depan. Disaat yang sama Tulodong Hitam sudah menunggu dengan serangan sepuluh jari. Lima jari tangan kiri membuat gerakan merobek ke arah dada kiri sedang lima jari tangan kanan siap membetot isi dada itu.

Ratu Mesum menjerit. Seumur hidupnya baru sekali inilah dia menjerit dan ketakutan seperti itu. Dia tak dapat berbuat apa-apa. Tongkat lawan masih terus menjepit. Kali ini dia tidak sanggup menyelamatkan diri dengan cara apapun. Maka dipusatkannya untuk berjibaku.

Kalau Tulodong Hitam berhasil membunuh dan mencopot jantungnya, maka orang tua inipun harus mati ditangannya. Ratu Mesum pukulkan kedua tangannya ke depan, mengarah perut dan batang tenggorokan Tulodong Hitam. Masih belum cukup, perempuan ini juga miringkan lututnya ke selangkangan kakek itu.

Parit Teguh kaget melihat kejadian ini. Dia yakin Tulodong Hitam berhasil membunuh perempuan ini lebih dulu, tetapi diri si kakekpun tak akan lepas dari bahaya. Dia putar tongkatnya yang masih menggeluh di leher Ratu Mesum. Paling tidak gerakkannya itu akan menahan lajunya serangan perempuan itu. 

Justru saat itulah tiba-tiba lampu minyak dalam warung tersebut mental dan padam dihantam sebuah benda besar. Terdengar pekik Ratu Mesum. Keadaan dalam warung menjadi gelap gulita. Tulodong Hitam mendadak merasakan ada angin yang menyambar dari samping. Tubuhnya terdorong keras dan jatuh terpelanting. Dilain pihak Parit Teguh merasakan ngilu pada tengkuknya. Setelah itu tubuhnya kaku tak bisa digerakkan lagi. Seseorang telah menotoknya dalam gelap.

“Bangsat! Siapa yang berani membokong!” teriak Parit Teguh.

Tulodong Hitam menghambur ke pintu. Maksudnya untuk mencegah jalan keluar hingga siapapun yang tadi masuk bisa dihadang dan dihantamkan di situ. Tetapi dia kecele. Sesosok bayangan putih berkelebat sangat cepat lewat jendela samping warung. Orang ini memanggul sesosok tubuh berpakaian merah. Seseorang telah menyelamatkan dan melarikan Ratu Mesum.


***
TUJUH


SIPENOLONG TERNYATA
RATU MESUM ingin sekali melihat wajah orang yang menolong dan melarikannya. Namun malam begitu gelap. Di samping itu lehernya masih terasa sakit dan kaku akibat tarikan keras tongkat Parit Teguh. Sedang luka dibagian dada akibat cengkeraman kuku-kuku jari Tulodong Hitam masih mengeluarkan darah dan sakitnya bukan alang kepalang seolah-olah jantungnya benar-benar sudah dicopot kakek lihay itu! Sekujur tubuhnya terasa lemas, akhirnya perempuan ini jatuh pingsan di atas bahu penolongnya.

Sawah itu luas sekali. Sejak panen dua minggu lalu keadaannya kini tampak gundul dan tak seorang petanipun tampak ketika orang yang menolong Ratu Mesum sampai di situ. Dia membaringkan tubuh perempuan itu di atas sebuah dangau bambu dan memeriksa luka dibagian dada. Si penolong geleng-gelengkan kepala. Ada dua hal yang membuat dia begitu. 

Pertama melihat luka di tubuh perempuan itu yang berupa empat guratan cukup dalam. Jika luka itu masuk lebih dalam lagi tidak mustahil akan merobek daging sampai ke tulang iga. Bahkan jantungnya. Hal kedua ialah payudara yang putih besar dan keras serta bagian lain dari tubuh yang begitu mulus hampir tidak tertutup saking tipisnya baju merah yang dikenakan.

Setelah menetapkan beberapa totokan darah mudanya yang tergoncang, lelaki itu melakukan beberapa kekuatan baru pada tubuh yang tampak lemah itu, si penolong salurkan tenaga dalamnya yang hangat lewat telapak tangan yang ditempatkan ke bagian perut dan punggung Ratu Mesum. Ketika matahari pagi mulai naik, kabut lenyap, pemandangan di persawahan itu bagus sekali. Dan sang ratu tampak menggerak-gerakkan kedua matanya. 

Sepasang mata itu kemudian terbuka. Yang pertama dilihatnya adalah atap dangau di mana dia berada, lalu sosok tubuh seorang yang duduk memunggunginya, orang ini mengenakan pakaian dan ikat kepala putih. Rambutnya hitam tebal dan gondrong. Ada asap kelihatan. Agaknya orang itu tengah merokok. 

Ratu Mesum dapatkan kepalanya agak pening tetapi tubuhnya yang semalam sangat lemas kini terasa sehat dan kuat kembali. Aneh, tentu ada seseorang yang menolongnya dengan obat atau entah dengan apa. Hanya ada rasa perih pada bagian dadanya sebelah kiri. Perlahan-lahan Ratu Mesum bangkit dan duduk lalu menyapa.

”Hai…! Hai…! Apakah kau yang menolongku tadi malam…?”

Orang yang disapa memutar kepalanya.

“Aih…. Wajahnya gagah sekali. Tapi sedikit kebodohan-bodohan seperti anak-anak…” kata Ratu Mesum dalam hati begitu melihat wajah lelaki itu.

Yang disapa tersenyum sedikit mengangguk. “Kau masih belum sembuh benar. Labih baik berbaring terus…”

“Berbaring malah membuatku jadi lemas…” Ratu Mesum ingat pada rasa peri di dadanya. Ketika diperiksa perempuan ini mengeluarkan keluhan kecil. Darah telah berhenti mengucur tapi luka itu pasti lama baru bisa sembuh. Tiba-tiba perempuan ini menyingkapkan pakaiannya sebelah bawah. 

Lelaki itu jelas dapat melihat sepasang kaki sampai kepaha bahkan sebagian pinggul yang putih mulus, membuat kedua matanya tak mau berkedip. Dari balik pakaiannya perempuan itu mengeluarkan sehelai lipatan kertas kecil. Ketika lipatan kertas dibuka tampak sejenis bubuk putih. Bubuk ini kemudian ditebarkannya di atas lukanya. Aneh, luka yang tadi membuka itu kini kelihatan menutup. Ratu Mesum tampak lega.

“Makan ini…” Si gondrong berambut hitam mengeluarkan sebuah benda hijau bulat sebesar kelereng.

“Apa ini. Tahi kambing…?” Tanya Ratu Mesum.

Lelaki itu tersenyum tapi dalam hati menyumpah. “Ini obat. Bukan tahi kambing. Apa kau suka makan tahi kambing?”

Ratu Mesum tertawa cekikikan. “Obat untuk apa…?”

“Agar lukamu cepat sembuh dan kesehatanmu pulih kembali.”

“Apa kau pernah makan obat ini. Dari siapa kau dapat….?”

“Aku pernah makan. Dari siapa aku dapat kau tak usah tahu. Bukankah kau ingin lekas sembuh…?”

“Kau telah menolongku. Jadi aku harus percaya padamu!” perempuan itu mengambil obat tersebut, langsung menelannya. Setelah pejamkan mata beberapa saat dia kemudian berkata, “Hai, obat mujarab sekali. Pening dikepalaku lenyap. Tubuhku terasa ringan. Masih ada obatnya…?”

“Cukup sekali saja. Terlalu banyak malah bisa jadi penyakit.”

Ratu Mesum manggut-manggut. “Kau telah menolongku. Siapa namamu orang gagah…?” Ratu Mesum menggeser duduknya lebih dekat.

“Mahesa…”

Ratu Mesum mengangguk lagi. “Mengapa kau menolongku?”

Sesaat si penolong yang bukan lain Mahesa adanya tak bisa menjawab.

“Karena kau terpikat oleh kecantikanku…?” ujar Ratu Mesum.

“Anak setan ini enak saja bicaranya!” maki Mahesa dalam hati. “Kau memang cantik. Luar biasa. Tak pernah aku melihat perempuan secantikmu. Malah mungkin kau akan jauh lebih cantik jika tidak berdandan seronok…?”

Ratu Mesum tertawa. “Begitu…? Karena kau yang berkata aku akan menuruti nasihatmu.”

“Nasihat apa?”

“Aku akan dandan wajar-wajar saja. Begitu maumu bukan?”

“Terserah padamu,” sahut Mahesa.

“Hai, kau belum menerangkan mengapa kau menolongku!”

“Yang pasti bukan karena kecantikanmu semata,” jawab Mahesa. “Aku tidak suka melihat ketidakadilan. Seorang dikeroyok lawan. Apalagi perempuan sepertimu. Mana pantas. Dan saat itu kulihat keselamatanmu terancam. Kakek berpakaian hitam itu benar-benar hampir mencuri jantungmu!”

“Aku bersumpah untuk membunuhnya jika bertemu. Juga lelaki keren bersenjata tongkat itu!” kata Ratu Mesum pula.

“Malam tadi, waktu kau melempar surat merah, aku ada ditempat itu. Aku dengar semua pembicaraan mereka. Itu sebabnya aku menguntit gerak-gerik mereka sampai di Bangsalsari. Sebenarnya mengapa mereka ingin membunuhmu…?”

“Jika kau ada di tempat mereka berkemah, pasti kau dengar semua pembicaraan mereka. Jadi sudah tahu mengapa mereka ingin membunuhku!”

Mahesa menggeleng. “Tak banyak yang mereka bicarakan tentang kau.”

“Apa saja?” Tanya Ratu Mesum ingin tahu.

“Bahwa kau seorang perempuan cantik. Lalu banyak lelaki yang terpikat. Juga keliahayanmu menebar hawa harum yang mengandung maut…”

“Nah, kau sudah tahu semua…”

“Belum. Satu diantaranya mengapa mereka ingin membunuhmu.”

Kalau orang lain yang bicara seperti memaksa itu seperti Ratu Mesum mungkin sudah naik darah dan menyerang. Tetapi terhadap pemuda ini sang ratu justru tertawa dan berkata, “Panjang ceritanya. Kelak kau akan tahu juga.”

“Aku tak mengerti mengapa mereka memanggilmu dengan nama Ratu Mesum. Apakah kau benar-benar seorang ratu…?”

Perempuan itu tertawa. “Seorang yang benci pada kita, bisa saja memberi gelar atau julukan jelek seribu macam. Dengar, aku ingin kau menolongku tidak kepalang tanggung…”

“Apa maksudmu?” tanya Mahesa lalu menyalakan sebatang rokok kawung.

“Perutku lapar. Aku juga haus. Maukah kau mencarikan air dan makanan untukku?”

Sebenarnya Ratu Mesum saat itu tidak lapar ataupun haus. Sejak melihat wajah Mahesa perempuan ini langsung tertarik. Dia hanya ingin mengetahui apakah pemuda itu juga tertarik padanya. Karena dia sengaja memancing minta tolong.

Mahesa tak menjawab. Dimana pula bisa mendapatkan air dan makanan pagi-pagi begini? Dia memandang berkeliling. Jauh diujung pesawahan sebelah timur tampak sederatan rumah penduduk.

“Aku akan mencoba ke sana!” kata Mahesa menunjuk ke timur.

“Jangan salahkan kalau aku cuma bisa mendapatkan sejumput nasi basi tanpa ikan dan sekaleng air!”

Ratu Mesum tersenyum. Ternyata pemuda itu mau menolongnya. Mungkin diapun suka padanya.

“Kau tunggu di sini. Jangan ke mana-mana,” kata Mahesa.

“Tinggalkan dulu rokokmu itu. Ingin tahu bagaimana rasanya merokok…”

Terpaksa Mahesa serahkan rokok kawungnya pada Ratu Mesum. Perempuan ini langsung menghisapnya dalam-dalam. “Hai… enak juga…” katanya.

Hanya sesaat setelah Mahesa meninggalkan dangau di persawahan itu, sesosok tubuh berkelebat. Ratu Mesum cepat berpaling dan dia jadi terkejut melihat siapa yang muncul sendirian. Hatinya lega kalau terjadi apa-apa masakan satu lawan satu dia tak bakal menang.

“Kutemui kau di sini!” orang yang datang buka suara sambil melintangkan tongkat rotannya di depan dada. “Siapa orang yang menolongmu itu?”

“Apa perdulimu!” sahut Ratu Mesum. Untuk memastikan bahwa lelaki itu benar-benar datang sendirian dia bertanya, “Mana kawanmu kakek jelek baju hitam itu….?”

“Dia mengejar ke jurusan lain. Aku kemari. Aku beruntung ternyata berhasil menemuimu di sini…”

“Kau tidak beruntung orang gagah. Kau akan mati di tempat ini!”

Lelaki itu tertawa lalu sisipkan tongkatnya ke pinggang.


***
DELAPAN


BERGANTI PAKAIAN BERGANTI NAMA
PARIT TEGUH naik ke atas dangau dan duduk dekat-dekat Ratu Mesum. “Dengar,” katanya hampir berbisik seolah-olah takut ada yang akan mendengar. “Aku akan menganggap urusan kita selesai jika kau mau ikut dan tinggal bersamaku di pantai selatan Banyuwangi…”

“Hemmm…. Lelaki ini terpikat padaku. Dia akan membayar mahal…” kata Ratu Mesum dalam hati.

Orang yang datang ke dangau itu memang adalah Parit Teguh alias Tongkat Seratus Bayangan Hitam berunding. Diputuskan bahwa si kakek akan mengejar ke arah timur sedang Parit Teguh ke arah barat. Sebenarnya lelaki ini sudah melihat arah mana Ratu Mesum dilarikan. Karena itu dia memilih arah barat karena dia memang dia berharap dapat menemui perempuan yang sangat memikat hatinya itu meskipun dia baru saja kawin setahun lalu dengan seorang gadis yang berparas cantik tapi berkulit hitam manis.

Ratu Mesum tertawa sambil rundukkan kepala hampir menyentuh wajah Parit Teguh. Tidak dapat menguasai rangsangannya dalam tubuhnya lantas saja dia mencium pipi Ratu Mesum. Lalu tangan kanannya menjalar ke dada. Seolah-olah hendak memeriksa luka perempuan itu dia bertanya,

“Bagaimana lukamu…?” tapi yang dibelainya bukan luka di tubuh Ratu Mesum, melainkan payudara perempuan itu.

Ratu Mesum menepiskan tangan Parit Teguh. “Luka itu akan segera sembuh. Sebaiknya kita bicarakan dulu urusan kita…”

“Kau mau ikut aku…?”

“Tentu saja. Mana ada perempuan yang tidak suka pada lelaki segagahmu. Tetapi….?”

“Tetapi apa? Katakan syaratmu! Jika kau sampai membantah terpaksa aku meneruskan niat semula. Membunuhmu…!”

“Apa kau betul-betul tega membunuhku…?” Tanya Ratu Mesum sambil mengerling. Lalu perempuan ini merubah duduknya sehingga tubuhnya sebelah bawah tersingkap, membuat silau kedua mata Parit Teguh.

“Kalau kau mau hidup bersamaku, masakan aku akan membunuhmu…”

“Aku bersedia. Hanya saja, apakah yang diharapkan perempuan sepertiku ini dari seorang lelaki gagah sepertimu? Bukan harta bukan kekayaan. Tapi kekuatan…”

“Maksudmu?”

“Maksudku, aku harus menguji kejantanan lebih dulu. Aku tak suka pada lelaki yang akan membuatku merana karena ketagihan…”

Mendengar kata-kata itu Parit Teguh tertawa gelak-gelak. “Kau akan segera mengetahui. Kita berangkat sekarang. Di rumahku di Banguwangi akan kubuktikan…”

Ratu Mesum menggeleng sambil tersenyum. “Aku ingin bukti saat ini juga!” katanya.

“Di sini…?”

“Di kolong dangau ini ada tumpukan jerami kering. Cukup nyaman untuk kita berdua…”

Parit Teguh terbelalak. Tapi ketika Ratu Mesum meluncur turun dari dangau dan masuk ke kolong lalu membaringkan diri di atas tumpukan jerami kering, diapun melompat turun.

“Perempuan luar biasa!” katanya dalam hati. Tubuhnya kejang dirangsang nafsu. Terlebih ketika dilihatnya perempuan itu menggeliat tubuh seperti tidak sabaran.

“Hai! Kenapa hanya celanamu yang kau tanggalkan semua pakaiannya.”

“Bagus begitu… sekarang kemarilah…” Ratu Mesum ulurkan tangan dan kembangkan kedua kaki.

Parit Teguh yang lupa diri langsung saja menjauhkan diri masuk ke dalam pelukkan perempuan itu, balas memeluk dengan kuat dan nafsu. Nafasnya memburu. Tapi tiba-tiba terdengar jerit lelaki ini. Tubuhnya terlempar ke udara, menghantam bagian perutnya sehingga anggota rahasianya remuk. Selagi dia melintir kesakitan, Ratu Mesum sambar tongkat rotannya lalu tekankan batang tongkat tenggorokan Parit Teguh. Lelaki ini tidak berdaya lagi untuk selamatkan diri. Dia menemui ajal dengan lidah terjulur dan mata mendelik!

Ratu Mesum ludahi mayat Parit Teguh. Tongkat yang masih dipegangnya ditusukkan ke perut bugil lelaki itu. Lalu seperti tidak terjadi apa-apa, setelah merapikan pakaiannya dia naik ke atas dengau kembali.

Tak selang berapa lama Mahesa muncul membawa sebuah kendi tanah dan nasi serta sepotong kecil ikan yang dibungkus dalam daun pisang. Tentu saja dia terkejut ketika melihat mayat Parit Teguh yang mati dengan lidah mencelet mata mendelik, perut tertusuk tongkat miliknya sendiri dan bugil.

“Apa yang terjadi?” tanyanya.

“Lelaki itu melakukan pengejaran dan menemuiku di sini. Dia berusaha memikatku, hendak memperkosaku. Dia terima sendiri akibatnya!”

“Gila!” rutuk Mahesa dalam hati. Lalu diserahkannya kendi dan bungkusan nasi. “Makanlah cepat. Setelah itu tinggalkan tempat ini. Bukan mustahil kawannya kakek berbaju hitam itu juga muncul di sini.”

“Apa kau takut?”

Mahesa tak menjawab.

“Kau tak menemaniku makan…?”

“Aku tidak lapar.”

“Tapi aku tidak sudi makan kalau tidak bersamamu!”

“Ah, kolokan sekali perempuan ini!” kata Mahesa dalam hati. Tapi akhirnya dia duduk juga berhadap-hadapan dan menemani perempuan itu makan dari bungkusan nasi yang sama. Memang lain pula nikmatnya makan bersama perempuan cantik walau nasi yang dimakan sedikit dan mulai basi serta ikan hanya secuil, itupun tinggal tulangnya saja.

“Enak makannya…?” tanya Ratu Mesum lalu meneguk air kendi tanah.

“Enak sekali!” jawab Mahesa. Dia menerima kendi yang diulurkan Ratu Mesum lalu menempelkan bibirnya di mulut kendi, pada bekas bibir Ratu Mesum menempel waktu minum tadi. Sisa air dalam kendi dipergunakan perempuan itu untuk mencuci mukanya. Ketika dia mengeluarkan peralatan untuk berhias, Mahesa berkata,

“Kurasa kau tak perlu berdandan…”

“Eh, memang kenapa?”

“Kau akan lebih cantik tanpa berdandan…!”

Jawaban polos pemuda itu membuat Ratu Mesum terkesiap. Entah mengapa kemudian dia menyimpan alat-alat kecantikannya kembali. Ada rasa suka muncul semakin besar dalam hatinya terhadap pemuda ini. Rasa suka yang sekali ini tidak disertai nafsu bejat seperti yang selalu meracuni dirinya ini.

“Aku harus pergi sekarang…” kata Mahesa. Suaranya datar seperti tidak ditunjang oleh hasrat hati yang sesungguhnya.

“Setelah menolongku apakah kau akan meninggalkanku begitu saja?” tanya Ratu Mesum.

“Aku banyak urusan!” kata Mahesa.

“Aku juga. Kalau kita pergi sama-sama bukankah bisa membagi pikiran hingga urusan bisa diselesaikan dengan baik?”

Dalam hati Mahesa berkata, “Mungkin begitu, tapi mungkin juga malah tambah urusan!”

“Aku tahu kau enggan jalan sama-sama. Tapi dengan pakaian seperti ini aku tak bisa membawamu. Terus terang aku suka melihat pakaian tipis itu…” kata Mahesa senyum-senyum. “Namun pakaian itu akan lebih banyak mengundang malapetaka…”

“Kalau saja aku punya pakaian lain…”

Mahesa melemparkan sehelai baju dan celana panjang putih yang selalu dibawanya dalam kantong perbekalan. “Pakai itu,” katanya.

“Sekarang?” Tanya Ratu Mesum.

“Lalu kapan lagi?”

Ratu Mesum mengambil pakaian itu. Biasanya dia tidak akan malu-malu membuka pakaiannya dihadapan lelaki yang disukainya. Namun sekali ini entah mengapa dia merasa jengah dan berkata: “Balikkan tubuhmu, aku mau ganti pakaian.”
Mahesa tertawa lalu membalikkan tubuh sementara Ratu Mesum membuka pakaian merahnya dan mengenakan pakaian yang diberikan Mahesa.

“Nah, dengan pakaian itu kau bukan saja kelihatan cantik, tapi juga gagah!” Mahesa memuji setelah dilihatnya Ratu Mesum selesai berpakaian.

Senang menerima pujian itu Ratu Mesum berkata, “Ada satu hal yang aku kawatirkan mengenakan pakaian seperti ini. Aku tidak bisa lagi menebar hawa harum beracun seperti yang kulakukan dengan baju merah itu…”

Mahesa belum pernah melihat Ratu Mesum menebar hawa harum beracun. Tapi dia punya pertimbangan lain. “Kau harus belajar supaya dapat menebar hawa itu dari kedua ujung lengan pakaianmu. Itu bisa kau lakukan lebih cepat karena tidak perlu membuat gerakan yang merepotkan!”

“Astaga! Kau benar. Mengapa aku tidak memikirkannya dari dulu-dulu…”

“Lalu kau mau kupanggil apa?”

Ratu Mesum ingat pada Pringgo yang memberikan nama Mawar Merah padanya. Semula hendak dikatakannya hal itu namun diputuskannya untuk tidak memberi tahu.

“Masakan kau tidak punya nama?” ujar Mahesa tak percaya.

Ratu Mesum menggigit bibirnya. “Aku memang pernah punya nama. Ayahku yang memberikan. Tapi aku telah bersumpah untuk tidak memakai nama itu lagi…?”

“Memangnya kenapa?”

Ratu Mesum hanya geleng-geleng kepala. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Mahesa terdiam.

“Kalau begitu aku tak akan menanyakan hal itu lagi,” katanya.

“Terserah kau mau memanggil aku apa…” ujar Ratu Mesum.

Mahesa merenung beberapa lama. “Sulit juga memberikan nama yang serasi untuk perempuan secantikmu,” kata pemuda itu. “Aku menemuimu di desa Bangsalsari itu. Bagaimana kalau kau kupanggil Sari saja. Pendek, tapi menawan dan berkesan…”

Sesaat perempuan itu menatap dalam-dalam ke mata Mahesa. Perlahan-lahan diulurkannya tangannya memegang tangan pemuda itu. Mahesa balas memegang. Seumur hidupnya baru kali ini perempuan itu merasakan kebahagiaan berpegang tangan seperti itu. Dan matanya mulai tampak berkaca-kaca.

“Kau perempuan gagah. Kau tak boleh menangis!” kata Mahesa.

“Aku menangis bukan karena sedih. Atau cengeng. Tapi karena bahagia. Aku suka padamu… Mahesa,” kata perempuan itu sejujurnya. Dalam hatinya perempuan ini berjanji jika pemuda itu dapat dijadikan pautan hidupnya, dia akan merubah seluruh kehidupan sesat yang selama ini ditempuhnya.

“Kau suka nama itu?” tanya Mahesa.

“Itu nama bagus. Aku menyukainya… Terima kasih…”

“Kalau begitu kita pergi sekarang,” kata Mahesa seraya berdiri dan ulurkan tangan membimbing Sari.

“Mahesa malam tadi kau menyelamatkanku. Tidak mudah melakukan hal itu. Siapakah kau sebenarnya? Kau pasti seorang pendekar dengan gelar besar…”

“Namaku Mahesa. Aku adalah aku dan tidak punya segala macam gelar…”

“Lalu siapakah gurumu?” tanya Sari.

“Guruku adalah nasibku,” jawab pemuda itu. Kalaupun dia tidak ada masalah dengan Kunti Kendil, tak akan diberitahukannya nama gurunya itu. Apalagi saat itu dia memang punya masalah besar yang membuat dirinya mengambil keputusan untuk tidak mau bertemu lagi dengan sang guru dan untuk selama-lamanya.

Keduanya turun dari dangau. Sesaat Sari memandang pada pakaian merahnya yang ditinggalkannya di lantai dangau itu dengan perasaan sedih. Lalu dia membalikkan tubuh, menyusul Mahesa yang telah melangkah lebih dulu. Namun tiba-tiba perempuan ini berseru,

“Mahesa, ada seseorang menuju kemari!”


***
SEMBILAN


SI PENCURI JANTUNG MASIH PENASARAN
MAHESA cepat berpaling ke arah yang ditunjuk Sari. Dari arah timur saat itu memang tampak seseorang berlari cepat menuju ke tempat mereka. Semakin dekat semakin jelas siapa adanya.

“Rupanya dia tahu juga kalau kita berada di jurusan ini…” kata Sari.

“Kau tetap tenang, biar aku yang melayaninya. Bila urusan ini bisa diselesaikan secara damai itu akan lebih baik…” kata Mahesa. Tapi pemuda ini yakin urusan tidak semudah itu diselesaikan. Apalagi jika orang itu nanti melihat mayat Parit Teguh di kolong dangau.

Yang datang adalah si kakek berpakaian hitam, Tulodong Hitam. Sepasang matanya menatap tajam pada Sari lalu dia menyeringai. “Ratu Mesum, kau boleh bertukar pakaian seribu kali. Kau boleh menyamar ribuan kali tapi mataku tak bisa ditipu…”

“Apa maumu?!” bentak Sari.

“Apa mauku…?! Ha ha ha…!” Kakek itu tertawa gelak-gelak. “Kau masih bisa bertanya begitu? Ha ha ha…?”

Mahesa maju selangkah, “Kakek, kalau kau mau menerima usulku, itu akan lebih baik…”

Tulodong Hitam berpaling pada Mahesa. “Pasti kau manusianya yang mencampuri urusan malam tadi. Berani berbuat berani bertanggung jawab. Kau juga harus menyerahkan jantungmu padaku…”

“Dengar kek. Kau datang jauh-jauh mencapaikan diri untuk satu hal yang tak ada kaitan langsung dengan dirimu!”

“Jelas kau membela perempuan dajal ini! Biar kau kubunuh lebih dulu!” meradang si kakek.

“Tua bangka tolol!” bentak Sari cepat ketika dilihatnya si kakek hendak bergerak menyerang. “Kau tidak lihat ada apa di kolong dangau itu?!”

Ucapan Sari ini membuat Tulodong Hitam berpaling kearah bagian bawah dangau. Berubahlah parasnya begitu melihat mayat Parit Teguh dalam keadaan bugil. Perut ditancapi tongkat, mata mendelik dan lidah mencelet. Rahang si kakek tampak menggembung. Gerahamnya mengeluarkan suara bergemeletak. Didahului oleh pekik penuh amarah Tulodong Hitam langsung melompat menerjang Sari. Tapi gebrakannya ini dipotong oleh Mahesa. Si pemuda dorongkan tangannya ke bahu si kakek hingga orang tua ini terhuyung-huyungan ke kiri.

“Keparat!” Tulodong Hitam marah sekali. Dia membalik dan kini menyerbu Mahesa. Semula Sari ingin sekali masuk dalam kalangan perkelahian untuk membantu Mahesa. Selain itu dia juga punya rasa dendam terhadap kakek baju hitam itu, karena orang tua inilah yang hampir mencelakakannya, menimbulkan cidera pada dadanya. Namun diam-diam diapun ingin sekali untuk menyaksikan ketinggian ilmu pemuda yang entah bagaimana sejak dilihatnya wajahnya pagi tadi langsung saja dia merasa suka kalau tidak mau dikatakan jatuh cinta!

Tulodong Hitam kaget sekali ketika mendapat semua serangannya yang bertubi-tubi tak satupun mengenai sasaran. Lain dari pada itu jelas-jelas dia melihat pemuda lawannya berkelahi tidak sungguh-sungguh. Merasa dihina dianggap enteng. Kakek ini lipat gandakan tenaga dalamnya. Serangannya menggebu laksana hujan. Sepuluh jari kukunya mengeluarkan cahaya hitam dan sambaran angin dingin. Namun sampai lima jurus dimuka tetap saja dia tidak mampu berbuat apa-apa.

“Ah, pemuda ini ternyata benar-benar luar biasa. Si kakek sudah bertempur habis-habisan sebaliknya dia enak-enak saja!” kata Sari dalam hati sambil berdecak kagum. Semakin besarlah rasa sukanya terhadap Mahesa.

Tiba-tiba Tulodong Hitam mengeluarkan suara menggerung seperti harimau lapar. Tubuhnya mencelat ke atas, langsung menukik dari arah belakang. Tangan kanan menghantam dengan satu pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi sedang kaki kiri menyusul membabat ke kepala Mahesa!

Serangan aneh itu membuat Mahesa merunduk seraya lepaskan Pukulan Makam Sakti Meletus dengan tangan kosong. Karena secara aneh pula laksana seekor ikan dalam tanggok tubuh Tulodong Hitam mencelat kembali ke atas dan ketika Mahesa menyadari lawan tahu-tahu datang dari depan, keadaan sudah terlambat.

“Gila!” rutuk Mahesa.

Kaki kanan Tulodong Hitam menyambar cepat sekali ke arah mukanya. Tak ada kesempatan untuk mengelak. Di sana yang kritis itu pemuda ini memainkan Jurus Keempat Ilmu Silat Orang Buta yang didapatnya dari pengemis  Cengeng Sakti Mata Buta. Yakni jurus yang bernama, Si Buta Mencengkeram Langit! Kedua tangan Mahesa melesat ke depan.

Gerakan jurus silat yang dikeluarkan Mahesa memiliki dua keampuhan. Pertama dia meredam daya kekuatan tendangan lawan dan mengalihkan ke bagian lain yang kurang berbahaya yakni ke arah bahu. Kedua, cengkeramannya itu mencederai pergelangan kaki lawan hingga daging kaki Tulodong Hitam terkelupas sedang tulang keringnya remuk.

Tulodong Hitam mengeluh, tubuhnya jungkir balik di udara dan tegak di tanah dengan miring. Sementara Mahesa terdorong keras ke tanah, mukanya selamat dari tendangan maut, hanya tulang bahunya yang terasa sakit! Sari segera menubruk pemuda itu karena menyangka Mahesa cidera berat. Dia merasa lega ketika dapatkan Mahesa sudah lebih dulu melompat dan berdiri.

Kakek berbaju hitam memandang Mahesa dengan sepasang mata berkilat-kilat. Melihat kenyataan ini nyalinya menjadi ciut. Pemuda itu memiliki kepandaian bukan main. Menghadapinya satu lawan satu sulit baginya untuk menang, apalagi kakinya cidera berat begitu rupa. Kalau sampai pula Ratu Mesum membantu si pemuda. Celakalah dia. Memikir sampai disitu, tanpa banyak bicara lagi Tulodong Hitam putar tubuh, tinggalkan tempat itu.

“Mahesa, aku hanya melibatkanmu pada persoalan yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan dirimu…”

Mahesa tersenyum. Kemudian dia termenung. Waktu berkelahi tadi dia telah mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari Kunti Kendil, termasuk pukulan sakti Makam Sakti Meletus. Setelah kejadian si nenek menggantungkannya tempo hari apakah dia masih berhak mempergunakan kepandaian yang diterimanya dari perempuan tua itu? Juga apakah berhak memegang terus kayu hitam berbentuk papan nisan yang pernah diberikan Kunti Kendil sebagai senjata yang ampuh?

“Mahesa… kau memikirkan sesuatu?” terdengar suara Sari serta sentuhan pada lengannya.

Pemuda itu sadar kalau dia barusan hanyut dibawa pikiran. Dipegangnya lengan Sari sesaat. Dia harus mengambil keputusan. Dia tidak boleh mempergunakan ilmu kepandaian yang didapatkannya dari Kunti Kendil. Dia tidak boleh melancarkan pukulan-pukulan sakti yang dipelajarinya dari nenek itu. Segala yang berbau Kunti Kendil harus dikikis habisnya. Bukankah dengan jalan menggantungkannya sesungguhnya nenek itu telah memutuskan hubungan mereka sebagai guru dan murid?!

“Sari, maukah kau mengantarkan aku ke pegunungan Iyang?” Mahesa ajukan pertanyaan itu.

“Kemanapun kau mengajak aku akan ikut bersamamu Mahesa…”

Namun selintas pikiran muncul pula dibenak Mahesa. Jika dia pergi ke puncak Iyang untuk mengembalikan Papan Nisan Kayu Hitam, berarti dia membuka rahasia bahwa sebenarnya dia masih hidup. Bukankan dia lebih suka kalau si nenek menganggapnya sudah mati? Seperti yang telah diatur oleh sahabat-sahabat tujuh orang katai itu?

“Tidak jadi Sari. Kita tidak jadi ke sana…”

“Hai, bagaimana kau berubah pikiran secepat itu?”

Mahesa tak menjawab, melainkan keluarkan Papan Nisan Kayu Hitam. Melihat benda aneh itu Sari kerenyitkan kening keheranan.

“Benda apa itu Mahesa…?”

“Ini senjata aneh pemberian guruku. Tapi sejak beliau memutuskan hubungan sebagai guru dan murid, aku merasa tidak berhak lagi membawa apa lagi mempergunakannya. Aku harus mengubur senjata ini disatu tempat!”

“Aku tidak mengerti Mahesa!”

“Suatu waktu akan kuceritakan semuanya padamu. Mari…”

Mahesa lari kearah selatan, diikuti Sari. Disatu tempat di dalam sebuah hutan kecil, dibawah sebatang pohon lamtorogung Mahesa menggali sebuah lubang. Kayu hitam berbentuk papan nisan itu kemudian dipendam di dalam lubang itu. Juga dikeluarkan obat ampuh berbentuk hijau bulat yang masih bersisa sebuah dari balik pakaiannya dan dicampakkannya ke dalam lobang. Dibantu oleh Sari lobang itu ditimbunnya kembali.

“Selamat tinggal guru. Maafkan segala kesalahanku. Kini aku tak ada beban derita apa-apa lagi!” kata pemuda ini dalam hati. Lalu dipegangnya lengan Sari. Keduanya meninggalkan tempat itu menuju ke barat.


***
SEPULUH


GEROBAK MISTERIUS
DUA ORANG pejalan kaki berpakaian serba putih dan bertopi lebar itu terpaksa melompat ke tepi agar tidak ditabrak sebuah gerobak yang meluncur kencang, ditarik oleh dua ekor kuda besar. Di belakang gerobak mengikuti dua penunggang kuda maupun kusir gerobak masing-masing memiliki tampang, mengenakan pakaian serba biru dan membekal golok besar di punggung masing-masing.

“Anak setan! Manusia-manusia keparat!” maki Mahesa.

“Ingin sekali aku menghajar mereka!” ujar Sari sambil menepuk debu yang mengotori pakaian putihnya.

Saat itu keduanya berada jauh di tenggara Kawah Ijen, menyusuri jalan kecil menuju barat, ke arah gunung Merapi. Menjelang tengah hari mereka sampai di sebuah kota kecil bernama Pasirgambir. Karena perut sama laparnya maka yang pertama sekali mereka cari adalah kedai makanan. Satu-satunya kedai makanan di kota kecil itu terletak di pusat kota. Sampai di depan kedai Mahesa berbisik;

“Gerobak yang di bawah pohon sana, bukankah yang tadi hampir menabrak kita?”

Sari berpaling ke arah pohon yang dimaksudkan Mahesa. Memang benar. Di bawah pohon itu tampak gerobak berikut dua kuda penariknya. Lalu di dekat kereta kelihatan dua orang lelaki berpakaian tegak seperti berjaga-jaga. Baik Mahesa maupun Sari tidak melihat di mana adanya kusir gerobak.

“Jelas dua orang itu mengawal gerobak. Rupanya ada barang penting atau berharga didalam gerobak,” kata Sari.

Bersama Mahesa dia kemudian masuk ke dalam kedai makanan. Ketika mengambil tempat duduk di sudut kiri, mereka melihat lelaki yang menjadi kusir gerobak  duduk di sudut lain, tengah makan dengan lahap. Selesai makan dia pergi ke pintu dan melambaikan tangannya. Sesaat kemudian muncul dua kawannya yang tadi mengawal gerobak.

“Kalian makanlah. Aku akan menjaga gerobak. Cepat. Waktu kita tidak banyak!”

Dua lelaki berpakaian biru masuk ke dalam kedai. Pengemudi gerobak keluar dan ganti berjaga-jaga dekat gerobak.

“Ingin sekali tahu apa isi gerobak itu,” kata Mahesa.

“Cukup sulit. Selain terus dijaga juga bagian belakang gerobak ditutup rapat dengan terpal tebal,” sahut Sari.

“Aku ada akal. Habiskan cepat makananmu!” kata Mahesa. Selesai makan pemuda ini mendekati dua orang berpakaian biru yang baru pula menghabiskan makanannya.

“Kawan,” ujar Mahesa menegur. “Kulihat kalian membawa barang. Bisa kusewa untuk mengangkut barang milikku?”

“Gerobak sudah penuh. Lagi pula kami ingin cepat!” jawab seorang lelaki berpakaian biru.

“Ah sayang. Aku sanggup membayar mahal. Ke mana tujuan kalian?”

“Ke mana tujuan kami itu bukan urusanmu!”
Kedua orang itu berdiri.

Mahesa keluarkan sekeping perak dari saku pakaiannya. “Perak ini untuk kalian, jika aku bisa ikut dengan gerobak kalian…”

Melihat kepingan perak yang begitu besar dan tentu mahal harganya kedua orang itu jadi terkesiap. Keduanya berunding. Yang seorang lalu melangkah ke pintu memanggil kawannya. Sewaktu kusir gerobak mendatangi, diam-diam Sari menyelinap keluar.

“Ada apa?” tanya pengemudi gerobak.

Dua kawannya menerangkan maksud Mahesa yang hendak ikut bersama mereka, membawa sejumlah barang yang membayar dengan kepingan perak besar itu. Mendengar keterangan dua kawannya itu, marahlah pengemudi gerobak.

“Kacoak-kacoak tolol! Jangan mencari penyakit. Urusan kita belum selesai. Terlambat sampai bukan saja kita tak akan mendapat bayaran! Tapi juga hukuman berat! Apa kau lupa hal itu?!”

Mendengar kata-kata pengemudi gerobak yang agaknya menjadi pimpinan dalam rombongan itu dua lelaki berpakaian biru hanya bisa angkat bahu. Tanpa berpaling lagi pada Mahesa keduanya keluar dari kedai makanan, diikuti pengemudi gerobak. Sesaat rombongan itupun berlalu.

Mahesa temui Sari yang tegak di tepi jalan. “Apa yang kau dapat?” tanya pemuda ini. Sari membuka tangan kirinya yang dikepalkan. Pada telapak tangan perempuan ini Mahesa melihat  setumpuk kecil bubuk berwarna hitam dan berkilauan terkena sinar matahari.

“Emas hitam…?” ujar Mahesa sambil perhatikan bubuk itu.

Sari tertawa geli. Perempuan yang lebih banyak pengalaman dari Mahesa ini berkata, “Mana ada emas hitam. Coba kau cium…” Sari mendekatkan telapak tangannya ke hidung Mahesa.

Ketika pemuda ini mencium terasa bau menusuk yang membuatnya hampir terbatuk-batuk. “Bubuk edan celaka apa ini?! Ujar Mahesa lalu gosok-gosok hidungnya.

“Ini bubuk bahan peledak!” kata Sari.

“Bahan peledak?” Mahesa kerenyitkan kening dan perhatikan lagi bubuk di tangan Sari lalu geleng-gelengkan kepala.

“Di gerobak itu kulihat ada delapan karung bubuk seperti ini. Cukup untuk menghancurkan empat buah kota atau dua buah bukit besar atau sebuah gunung!” Sari memberi keterangan lagi.

“Bagaimana kalau kita ikuti rombongan itu!”

“Hai! Itulah yang ingin kulakukan! Mari!”

Maka kedua orang itupun berkelebat melakukan pengejaran. Sari yang berada di depan bertindak cerdik. Dia tidak lari menyusuri jalan biasa tetapi mengambil jalan memotong menuju puncak sebuah bukit. Dari sini mereka dapat meneliti daerah di bawah mereka dengan jelas. Dan gerobak berikut dua pengawalnya segera terlihat di sebelah barat, bergerak menuju ke timur, menempuh satu-satunya jalan yang ada. Di sebuah timur terlihat tiga buah gunung yakni gunung Suket, gunung Pendil lalu gunung Merapi.

“Kita bisa sampai di kaki gunung Suket jauh lebih cepat dan menunggu di situ. Seterusnya kita bayangi gerakan mereka,” kata Sari.

“Kau cerdik!” memuji Mahesa.

“Kau ingat ucapan pengemudi gerobak ketika dua kawannya mengatakan kita hendak ikut mereka? Kusir gerobak itu marah besar. Menyebut soal pembayaran dan hukuman! Nah aku punya dugaan keras ada satu rencana besar dibalik delapan karung bahan peledak itu.”

“Menurutku begitu…”

Keduanya berunding terus sambil menuruni bukit menuju ke timur. Mereka harus menunggu cukup lama di kaki gunung Suket baru rombongan yang mereka intai sampai di situ lalu terus menguntit menuju ke timur. Sampai rembang petang, rombongan yang mereka ikuti hanya berhenti satu kali yakni untuk memberi minum empat ekor kuda di sebuah kali dangkal. Setelah itu rombongan bergerak cepat kembali ke arah timur,melewati kaki gunung Pendil, berputar di sebuah lembah lalu terus lagi ke timur.

“Kurasa mereka menuju gunung Merapi,” kata Mahesa.

Sari hentikan larinya tiba-tiba.

“Ada apa?” tanya Mahesa heran.

“Pernah mendengar rencana pendirian sebuah partai persilatan yang mengambil tempat di gunung Merapi?”

Mahesa menggeleng.

“Kabar itu tersiar sejak dua bulan lalu. Disiarkan dari mulut ke mulut. Semua orang dalam rimba persilatan diundang tanpa terkecuali. Kurasa peresmiannya dalam minggu ini juga.”

“Siapa orang yang punya rencana besar itu?”

“Tak satu orangpun tahu. Yang membuat banyak para tokoh gologan hitam dan putih penasaran ialah terbetiknya berita bahwa yang melakukan peresmian partai persilatan itu langsung saja mengangkat diri sebagai ketua. Padahal siapa dirinya dan sampai di mana kehebatannya tidak diketahui…”

“Kurasa dia pasti memiliki apa-apa. Kalau tidak masakan berani bertindak gegabah begitu. Tidak memandang sebelah matapun pada para tokoh silat di Jawa Timur ini. Menurutmu siapa yang punya kerja ini?”

Sari geleng-geleng kepala. “Tak bisa kuduga. Selain banyak tokoh-tokoh silat  yang lenyap begitu saja dari rimba persilatan, terdapat pula tokoh baru yang coba bikin nama dengan membuat gebrakan-gebrakan tertentu…”

“Seperti kau misalnya!” kata Mahesa menggoda.

Godaan ini membuat Sari menjadi merah wajahnya, terpekik dan langsung menghujani pemuda itu dengan cubitan hingga Mahesa menjerit kesakitan lalu tertawa gelak-gelak. Karena Sari belum menghentikan cubitannya maka Mahesa membalas dengan mengelitik. Kini perempuan itu yang ganti terpekik-pekik. Kegelian tetapi juga senang.

Dia ingat betul kegembiraan itu hanya dirasakan dulu sewaktu masih kecil, bercanda dan bergelut dengan kawan-kawan sebaya. Mengalami kegembiraan seperti itu kembali membuat Sari semakin dalam menyukai Mahesa. Dia tahu pemuda itupun menyukainya.

Dia tahu Mahesa bukan seorang pemuda bodoh yang tidak mengerti kenikmatan apa yang bisa didapat dari hubungan antara lelaki dengan perempuan. Sebegitu jauh Mahesa memperlakukannya dengan baik, malah terlalu sopan. Atau mungkin dia takut terjerat yang bisa membawa kematian baginya seperti laki-laki lainnya?

Berpikir sampai di situ Sari menduga-duga apakah Mahesa tahu betul siapa dirinya di masa lampau? Disamping itu ada satu hal yang membuat Sari heran pada dirinya sendiri. Sebelum mengenal Mahesa dia selalu diracuni oleh nafsu hubungan badan serta nafsu membunuh yang keji. Tetapi sejak dia kenal pemuda ini, sifat itu seperti lenyap tak berbekas. Dia sudah merasa bahagia kalau dapat saling berpegangan tangan dengan Mahesa. Lalu bagaimanakah kalau seandainya Mahesa tak ada disampingnya? Dapatkah dia menguasai dirinya?

“Hai! Apa yang kau lamunkan?!”

Teguran itu membuat Sari terkejut dan tersipu.

“Gerobak itu sudah jauh di depan kita. Mari kita kejar lagi…!” kata Mahesa. Keduanya kembali berlari sementara matahari mulai memasuki ufuk tengelamnya dan gunung Merapi tampak semakin dekat.

Ketika malam tiba rombongan pembawa delapan karung bahan peledak itu membelok memasuki sebuah jalan kecil menuju ke lereng gunung Merapi. Jalan ini kelihatannya baru dan sengaja dibuat. Di satu ketinggian, dimana kuda-kuda penarik gerobak tidak mungkin lagi terus naik, kusir gerobak hentikan kendaraannya lalu keluarkan suara bersuit tiga kali berturut-turut.

Dari kegelapan dari belakang batu-batu gunung yang besar-besar diantara semak belukar liar muncul delapan sosok tubuh yang luar biasa besar dan tinggi. Manusia-manusia ini hanya mengenakan semacam cawat, berambut gondrong, berkumis lebat dan bercambang bawuk. Tampang mereka ganas sekali.

“Kalian terlambat dua jam dari yang ditentukan!” orang tinggi besar paling depan keluarkan suara. Suaranya parau besar.

“Mana mungkin!” menyahuti kusir gerobak. “Perjanjian adalah kami harus sampai di sini beberapa saat setelah malam tiba!”

“Jangan berani melawan ketentuan yang telah ditetapkan Ketua!”

“Kami tidak melawan. Mana uang pembayaran!” kusir gerobak tampak jengkel. Tapi baik dia maupun kawannya diam-diam merasa takut. Kalau pecah perkelahian mereka bertiga walaupun bersenjata golok tidak akan menang melawan delapan raksasa itu.

“Uang pembayaran kau tak usah kawatir. Kami harus periksa dulu isi gerobak itu!” si tinggi besar lalu memberi isyarat pada dua orang kawannya. Yang dua ini menyingkapkan kain terpal penutup gerobak lalu memeriksa isinya. Sesaat kemudian mereka melaporkan semuanya beres. Entah dari mana dia mengambilnya si raksasa yang bertindak sebagai pemimpin tahu-tahu sudah memegang sebuah kantong kain.

“Ini pembayaran kalian!” katanya seraya melemparkan kantong itu ke arah tiga lelaki berpakaian biru. Pengemudi gerobak cepat memungutnya.

“Kalian sudah dapat bayaran. Lekas pergi dari sini!”

Dua pengawal gerobak siap untuk berlalu, tapi pengemudi gerobak merasa was-was lebih dulu membuka kantong kain itu dan memasukkan tangannya ke dalam. Ketika tangan itu dikeluarkan, yang terlihat dalam genggaman jari-jarinya bukan uang atau kepingan logam berharga melainkan batu-batu kecil!

“Penipu!” bentak pengemudi gerobak marah. Dia hunus goloknya. Dua kawannya serta merta pula melakukan hal yang sama.

Delapan manusia tinggi besar itu tertawa gelak-gelak. Mereka masih terus tertawa ketika tiga bilah golok berkelebat ke arah leher, dada dan pinggang mereka. Tahu-tahu!

Kraak! Kraak! Kraak!

Leher pengemudi gerobak dan dua kawannya ditekuk patah. Ketiga orang itu mati detik itu juga.

“Lepaskan kuda-kuda gerobak! Usir bersama kuda-kuda lainnya. Masukan gerobak ke jurang. Lenyapkan setiap tanda-tanda yang mencurigakan. Angkat karung-karung itu ke markas!”

Sesuai dengan perintah pemimpin mereka, dua kuda penarik gerobak dilepas lalu digebrak pergi bersama dua kuda lainnya. Delapan karung di turunkan dari gerobak. Gerobak itu sendiri bersama tiga mayat kemudian ditarik ke satu tempat gelap, lalu diluncurkan ke bawah jurang. Kemudian seperti hanya mengangkat sebuah buntalan ringan, delapan lelaki bercawat itu memanggul masing-masing sebuah karung besar dan berlari cepat ke atas gunung.


***
SEBELAS


SANG KETUA BERJUBAH PUTIH. TEROWONGAN DILERENG GUNUNG
SEBELUM mengenal Mahesa, soal nyawa manusia atau membunuh orang bagi Sari adalah semudah dan sesepele membalikkan telapak tangan. Tidak ada rasa kasihan, apalagi rasa takut. Namun untuk pertama kali tiga orang berpakaian biru itu dipatahkan leher mereka. Sampai-sampai perempuan itu memegang lengan mahesa erat-erat dan tak sadara berbisik,

“Aku ngeri, Mahesa…”

“Seorang ratu sepertimu tidak boleh ngeri!” sahut Mahesa.

Kontan saja satu cubitan menyengat pemuda ini. Hampir Mahesa terpekik kalau tidak cepat-cepat menekap mulutnya sendiri.

“Aku bukan ratu. Namaku Sari!”

Mahesa mengangguk-angguk antara meringis dan tersenyum karena menahan sakit sekaligus  juga geli. Sambil mengelus-elus pinggangnya yang sakit Mahesa memberi isyarat agar mereka segera mengikuti delapan orang bercawat yang membawa delapan karung bubuk peledak itu. Mereka harus bergerak cepat, tetapi juga sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara.

Makin tinggi ke atas semakin dingin udara. Disuatu lereng terjal, delapan orang membawa karung membelok ke kanan. Mahesa dan Sari mengikuti terus. Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah lapangan berdiri semacam pintu gerbang yang dibuat dari batang-batang bambu diberi hiasan daun-daun kepala dan bendera-bendera besar warna-warni.

Bendera-bendera ini juga ada disepanjang tepi lapangan. Pada ujung lapangan terdapat sebuah panggung kayu yang dibangun amat kokoh. Lalu di hadapan panggung tersebut bersusun-susun puluhan batang bambu yang dibentuk menjadi bangku-bangku panjang.

“Apa yang kau katakan mungkin betul Sari. Agaknya di sini akan dilakukan upacara peresmian partai itu…”

Sari mengangguk lalu menunjuk ke depan. “Lihat…” bisiknya.

Delapan orang yang membawa karung berisi bubuk peledak berhenti di tepi lapangan sebelah kiri, dekat samping gunung yang ditumbuhi pohon-pohon berlumut serta batu-batu besar. Mereka menurunkan karung tadi di depan kaki masing-masing. Lalu yang bertindak selaku pimpinan terdengar berteriak.

“Ketua! Kami sudah sampai!”

Suara teriakan orang ini mendatangkan gema yang panjang di seantero lereng gunung tanda dia memiliki tenaga luar biasa. Tahu-tahu sesosok tubuh bungkuk berjubah putih muncul di lereng gunung itu.

“Hai, dari mana mahkluk bungkuk itu muncul?” tanya Sari heran.

“Pasti ada pintu rahasia di lereng situ. Mari kita mencari tempat mengintai lebih dekat agar bisa melihat jelas tampang si bungkuk itu. Tapi hati-hati…”

Mahesa dan Sari bergerak dibalik-balik pepohonan. Pada jarak paling dekat yang bisa mereka capai, keduanya kecewa. Ternyata orang bertubuh bungkuk itu menutupi wajahnya dengan sejenis cadar tipis berwarna hitam.

“Ketua! Kami menunggu perintahmu selanjutnya!” kembali terdengar suara di tinggi besar.

“Lakukan pekerjaan kalian sesuai petunjukku sebelumnya. Ingat, semuanya harus selesai sebelum matahari terbit! Laporkan padaku jika pekerjaan kalian selesai!"

Habis berkata begitu, orang bungkuk berjubah putih itu bergerak ke kiri dan tahu-tahu tubuhnya lenyap seperti ditelan gunung!

Delapan lelaki bertubuh raksasa mengangkat kembali karung-karung berisi bahan peledak itu. Mereka melangkah ke ujung lapangan. Disamping panggung besar terdapat tangga tanah menurun. Di sebelah bawah tangga terlihat sebuah lobang berukuran dua meter persegi yang ditutup dengan papan jati. Papan ini terbuka ketika orang terdepan menekan sebuah tombol rahasia. Lalu satu demi satu ke delapan orang itu memasuki lobang tersebut dan papan jati menutup kembali.

“Bagaimana menurutmu. Kita ikuti mereka sampai ke dalam lobang itu?” tanya Sari.

Mahesa gelengkan kepala. “Tunggu saja sampai mereka keluar. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam sana. Sekali terjebak bisa celaka!”

Ternyata keduanya harus menunggu lama. Pada saat langit di sebelah timur mulai kelihatan kemerahan, papan penutup lobang terbuka. Satu demi satu delapan lelaki raksasa keluar. Yang tadi bertindak sebagai pemimpin kembali berseru. Tak lama kemudia manusia bungkuk itu muncul, si tinggi memberi laporannya.

“Bagus… bagus. Sekarang empat orang dari kalian harus segera ke desa itu. Bawa kemari semua makanan dan minuman yang telah dipesan. Sementara itu aku akan menyiapkan ramuanku. Ingat, pada saat matahari terbit yang berempat itu sudah harus berada di sini!”

Orang bungkuk berjubah putih itu kembali lenyap di lamping gunung. Empat lelaki tinggi besar meninggalkan tempat itu sedang empat lainnya berjaga-jaga di empat sudut lapangan. Seorang diantaranya tepat di dekat lobang yang bertutupkan papan jati.

“Kita harus tahu apa yang ada di bawah lobang itu,” kata Mahesa.

“Penjaga yang satu itu harus disingkirkan dulu!”

“Aku sanggup menotoknya!” kata Sari.

Mahesa punya rencana lain, tapi perempuan itu telah melemparkan sebutir batu yang tepat mengenai urat besar dipangkalan leher lelaki raksasa yang ada dekat lobang. Kontan manusia ini tidak bisa buka suara tidak bisa bergerak. Dengan cepat Mahesa dan sari menyelinap mendekati lobang. Ketika coba dibuka papan jati yang kokoh itu tak bergerak sedikitpun.

“Hantam saja biar jebol!” mengusulkan Sari.

“Jangan bodoh. Sekali mereka melihat kerusakan pada papan ini, kita akan mati konyol di dalam sana. Pasti ada alat rahasia untuk membuka penutup lobang ini…” Mahesa menyelidik dan meraba-raba kian kemari.

Di sudut kiri penutup lobang, tersembunyi diantara kepingan-kepingan batu gunung kelihatan sebuah kayu hitam menonjol kepermukaan. Mahesa menggerak-gerakan kayu ini. Tidak terjadi apa-apa. Tetapi begitu kayu ditekan, perlahan-lahan papan jati penutup lobang membuka. Mahesa melompat masuk, menyusul Sari. Papan jati kemudian menutup dengan sendirinya.

“Edan! Gelap sekali!” desis Mahesa. “Manusia-manusia raksasa itu tak mungkin bergerak leluasa kalau tidak ada penerangan.” Mahesa lalu keluarkan korek api yang biasa dipakainya untuk menyalakan rokok kawung. Sesaat lobang itu menjadi terang.

“Ada obor di dinding sana…” bisik Sari.

Ternyata pada dinding lobang sebelah kanan tergantung delapan buah obor. Mahesa menyalakan dua buah obor. Dengan masing-masing memegang  satu obor kini mereka dapat melihat keadaan dalam lobang itu.

Dari tempat mereka berdiri, lobang itu tampak lurus ke depan sepanjang dua tombak. Lalu membelok ke kanan. Dari sini lobang membentuk terowongan lurus sepanjang puluhan tombak dimuka lobang lain di sebelah kanan. Lalu sepuluh tombak dimuka lobang lain di sebelah kiri. Begitu terus berselang saling sampai delapan lobang. Empat di kiri, empat di kanan. 

Pada setiap lobang yang delapan ini Mahesa dan Sari menemukan sebuah karung berisi bubuk peledak itu. Setiap karung dihubungkan satu dengan lainnya dengan seuntai tali yang dibasahi dengan senjata minyak yang mudah terbakar.

“Hati-hati Sari,” memperingatkan Mahesa. “Tali-tali ini mengandung minyak yang mudak terbakar. Jauhkan obormu!”

Delapan tali dari delapan karung  dibuhul menjadi satu, dihubungkan dengan sebuah tali besar. Tali besar ini melintang sepanjang atap terowongan. Ketika diteliti ternyata menembus ke atas pada ujung sebelah selatan.

“Apa arti semua ini Mahesa…?” tanya Sari.

“Akupun tak dapat menerka,” jawab Mahesa. Otaknya bekerja keras. “Jika kuukur-ukur, delapan karung berisi bubuk peledak itu semuanya berada diatas deretan bangku-bangku panjang yang terbuat dari bambu. Lalu tali besar ini menembus ke atas kira-kira disekitar panggung kayu. Eh, kau benar. Apa artinya semua ini…?”

Saripun berpikir keras. Namun kedua orang itu belum dapat memecahkan rahasia di balik apa yang mereka saksikan di dalam terowongan itu. Dari tiga manusia raksasa itu menemukan kawan mereka yang dekat pintu lobang berada keadaan tertotok mereka mungkin akan menyelidik sampai ke sini.

“Sebaiknya kita cepat-cepat kembali ke lobang jalan masuk tadi.”

Mahesa menyetujui ucapan Sari itu. Keduanya bergegas menuju lobang keluar. Justru pada saat itu di ujung lobang tampak cahaya menyeruak.

“Celaka! Ada yang masuk!” bisik Sari.

“Kurasa mereka sudah mengetahui ada kawan yang dibokong. Matikan obor!”

Sari dan Mahesa meniup pada obor yang mereka bawa. Mahesa lalu menancapkan kayu obor ke tempat semula di dinding terowongan. Di ujung sana kelihatan  dua pasang kaki-kaki besar menuruni lobang. Dua orang lelaki bertubuh raksasa masuk ke dalam terowongan. Mereka menyalakan dua buah obor lalu bergerak lebih ke dalam. Jelas keduanya melakukan penyelidikan. Tak berapa lama keduanya kembali menuju ke lobang keluar. Yang disebelah belakang berkata pada temannya.

“Aneh, tak ada siapa-siapa di dalam sini. Tak ada yang mencurigakan. Semua dalam keadaan semula. Lalu bagaimana si jelek satu itu bisa kaku dan bisu kalau tidak ditotok orang?!”

“Jangan-jangan dia mempermainkan kita!”

“Terlalu edan kalau saat seperti ini ada yang berani bergurau. Apa perlu kejadian ini diberitahu pada Ketua?”

“Kalau diberitahu kita yang bakal didamprat!”

“Jika begitu kurasa ada baiknya kita meneliti sekali lagi seluruh terowongan!”

“Gila! Kita sudah memeriksa setiap jengkal dari terowongan itu. Tikus bahkan setanpun tak bakal luput dari penglihatan kita. Kita tak punya waktu banyak. Hari sudah terang. Lagi pula tidakkah kau lihat sudah ada beberapa tamu yang muncul walau mereka masih belum masuk ke dalam lapangan upacara?”

“Baiklah. Kita keluar saja dari sini!”

Kedua orang itu memadamkan api obor lalu membuka papan jati penutup lobang dan keluar satu demi satu.

Kembali ke dalam terowongan. Mahesa dan Sari melompat turun dari langit-langit terowongan di mana tadi mereka memepetkan diri serata mungkin dengan bersitekan pada dua telapak tangan serta ujung kaki ke dinding paling atas terowongan. Tubuh masing-masing mandi keringat kerena tegang.

“Bagaimana sekarang?” tanya Sari.

“Kita harus menunggu kesempatan. Kita harus keluar dari sini. Jika hari ini benar diadakan upacara peresmian partai itu, pada puncak acara, ketika semua perhatian tertuju pada upacara, kurasa kita punya kesempatan untuk menyelinap keluar dari tempat ini…”

“Lalu kita bergabung dengan para tamu, ikut duduk menyaksikan jalannya upacara!” menyambung Sari.

“Bisa saja begitu. Tapi…” mendadak Mahesa ingat sesuatu. Upacara peresmian partai itu merupakan satu kejadian besar dalam dunia persilatan. Mungkin hanya sekali dalam sepuluh bahkan mungkin sekali dalam dua puluh lima tahun. Tidak dapat tidak akan banyak tetamu yang datang, terdiri dari tokoh-tokoh silat di delapan penjuru angin. 

Bukan mustahil gurunya Mahesa lebih suka menyebut sebagai bekas gurunya yaitu si nenek bernama Kunti Kendil akan datang ke tempat itu. Jika dia muncul pula di antara para tamu, pasti si nenek akan melihatnya. Padahal dia lebih suka bahwa nenek itu menganggapnya sudah mati. Lain dari pada itu besar kemungkinan si dukun jahat Embah Bromo Tunggal ikut hadir. 

Berarti dia bisa memenuhi permintaan tujuh manusia katai untuk mendapatkan kembali kitab silat yang dicuri kakek tersebut. Sekaligus dia juga harus berusaha mendapatkan kembali Keris Naga Biru yang tempo hari dilarikan sang dukun.

Kalau dia tidak ingin dikenali oleh gurunya, hanya ada satu jalan. Dia harus melindungi wajahnya dengan sesuatu. Mungkin dengan topeng atau kain penutup muka. Tetapi di tempat seperti itu di mana pula dia akan mendapatkan topeng atau kain?!

“Hai! Kau seperti memikirkan sesuatu atau melamun?” menegur Sari.

“Tadi kau mengatakan tapi. Tapi apa…?”

“Jika kita muncul di antara para tamu, aku tak ingin tampangku dikenali orang.”

“Hai! Kau malu karena mukamu jelek?!” menggoda Sari.

“Anggap saja begitu,” sahut Mahesa.

“Lalu apa yang hendak kau lakukan?”

“Aku butuh topeng, cadar, kain! Pokoknya apa saja yang bisa menyembunyikan wajahku…”

“Hemm… kalau cuma begituan mengapa harus kawatir?!” ujar Sari.

“Apa maksudmu?” tanya Mahesa.

Dari balik pakaiannya perempuan itu mengeluarkan secarik lembar kain berwarna merah.

“Dari mana kau dapat kain itu?” Mahesa bertanya heran.

“Bekas pakaianku. Waktu melepaskan pakaian merahku di sawah itu, aku sengaja merobek salah satu bagiannya. Sekedar untuk kenang-kenangan. Siapa tahu saat ini besar gunanya!” lalu jari-jari tangan yang  halus mungil perempuan itu bergerak cepat. Merobek, membuhul, merobek lalu membuhul lagi. Tak lama kemudian potongan kain itu telah berubah menjadi kantong. Setiap memiliki dua lobang.

“Kau mau yang mana?” tanya Sari seraya mengoyang-goyangkan kantong itu. Satu di tangan kiri satu lagi di tangan kanan.

“Kau bener-bener cerdik. Pandai dan… dan cantik!” ujar Mahesa lalu menyambar kantong merah di tangan kiri Sari. Kantong langsung disusupkannya ke kepala. Keseluruhan kepalanya mulai dari rambut sampai ke pangkal leher kecuali sepasang mata kini tertutup, tak mungkin dikenali! Sari menyusul menutupi kepalanya dengan kantong kain yang satu lagi.

“Terus terang aku banyak musuh. Sekali mereka mengenali wajahku, mereka akan mencegatku seusai upacara. Lain dari itu, aku tak mau kau cemburu kalau ada pendekar-pendekar muda yang terus-terusan memandangku. Hik hik hik…” perempuan itu tertawa cecikikan.

“Kalau bukan di sini tempatnya, pasti kau kugelitik sampai terkencing-kencing!” kata Mahesa pula. Lalu dia memberi isyarat agar Sari mengikuti. Dengan hati-hati Mahesa mengungkit papan jati penutup lobang dan mengintai.

Di atas panggung saat itu dilihatnya makanan dan minuman terletak dua buah meja panjang. Di sebelah depan meja panjang terdapat satu meja kecil berikut kursi. Baik kursi maupun meja bentuknya bagus sekali. Terbuat dari kayu jati berukiran halus.

Saat itu lebih dari separuh bangku-bangku panjang yang terbuat dari batang-batang  bambu telah terisi oleh tamu. Sayang dari tempat mengintai Mahesa tak dapat melihat dengan jelas wajah-wajah para tamu itu. Kemudian dilihatnya pula delapan lelaki bercawat bertubuh raksasa tegak di delapan sudut lapangan, berarti lobang keluar masuk terowongan itu tidak ada penjaga. 

Setelah meneliti keadaan beberapa lamanya, Mahesa buka lebar-lebar papan jati dan melompat keluar. Sari mengikuti dari belakang. Keduanya lari menuruni lereng gunung menjauhi tempat itu lalu berputar ke selatan akhirnya kembali lagi ke tempat upacara dari arah pintu masuk. 

Orang-orang yang sudah lebih dulu hadir di tempat itu, termasuk delapan manusia raksasa menganggap kedua orang ini adalah dua tamu yang baru datang dan dipersilakan mengambil tempat duduk. Akan halnya kain-kain merah penutup kepala mereka atau penampilan yang aneh-aneh merupakan hal yang terbiasa di kalangan tokoh-tokoh persilatan.

***
DUA BELAS


MISTERI DELAPAN KARUNG BAHAN PELEDAK
MAHESA DAN SARI sengaja mengambil tempat duduk agak ke belakang. Hal ini agar orang banyak yang telah lebih dulu datang tidak memperhatikan  keduanya, sebaliknya mereka bisa memperhatikan para tetamu itu dari belakang.

“Banyak yang kau kenal…?” tanya Mahesa berbisik.

Sari mengangguk. “Banyak, tapi hampir semua orang-orang yang selama ini mencariku. Musuh-musuhku!”

Mahesa melihat Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil duduk lima bangku di depannya. Kakek ini duduk tenang-tenang sambil menghisap rokok kawungnya. Setelah sekian lama tidak bertemu, ingin sekali Mahesa mendatangi orang tua itu. Tetapi tentu saja dia tidak mau dirinya diketahui orang.

Di jurusan lain dilihatnya dua orang lelaki berpakaian kuning membekal keris di pinggang masing-masing. Ketika diperhatikan Mahesa segera mengenali salah seorang diantaranya yakni Made Tantre, pendekar Bali yang bergelar Tangan Dewa Dari Klungkung. Seperti diceritakan dalam jilid ke-6 pendekar ini telah menjadi hitam dan cacat tangan kanannya ketika berkelahi melawan Wirapati.

Mahesa juga melihat kakek berjanggut putih berjuluk Malaikat Maut Berkuda Putih. Kakek itulah dulu yang pernah menyelamatkan jiwanya dari tangan Datuk Iblis Penghisap Darah ketika bertempur di Bukit Akhirat. (Baca jilid-2). Si kakek kelihatan semakin tua. Apakah dia telah berhasil menemui muridnya yang hilang tak tentu rimbanya itu, tanya Mahesa dalam hati.

Sepasang mata Mahesa mencari-cari orang yang paling tak ingin ditemuinya tetapi justru ingin mengetahuinya apakah juga berada di situ. Orang ini bukan lain adalah si nenek gurunya sendiri yakni Kunti Kendil. Mahesa merasa pasti nenek itu tidak ada di situ.

Ada rasa kecewa, tetapi hatinya juga agak lega. Selanjutnya Mahesa coba menemukan apakah dukun jahat Embah Bromo Tunggal berada di tempat tersebut. Diapun tidak melihat manusia satu ini, juga tidak tampak Datuk Iblis Penghisap Darah. Jelas jika tak ada si nenek, Kunti Kendil, tak akan ada pula sang datuk. Bukankah mereka sudah menjadi suami istri?

Mahesa memegang tangan Sari. “Ingat dukun jahat bernama Embah Bromo Tunggal yang kuceritakan padamu itu? Juga pemuda gila berkepandaian tinggi bernama Wirapati bergelar Iblis Gila Tangan Hitam?”

“Mereka ada di sini…?” balik bertanya Sari yang ingin sekali melihat langsung orang-orang itu.

“Mereka tidak ada…” menjelaskan Mahesa. Lalu diapun teringat pada Kemala. Apalagi gadis cantik berbaju kuning yang pernah menjadi kenangannya itu masih bersama-sama Wirapati?

Seorang tamu baru memasuki tempat upacara. Orang ini mengenakan jubah putih dan sorban tinggi. Di tangan kirinya tergenggam seuntai tasbih hijau. Mahesa segera mengenalinya yaitu Ki Sandakan, ketua pesantren Nusa Barung.

“Tak banyak yang menerimaku di sini. Bagaimana kalau kita pergi saja…” kata Mahesa.

Sari tampaknya tidak menyetujui ajakan itu. “Jauh-jauh kita datang kemari. Sudah sampai hendak pergi begitu saja. Bukankah kita ingin tahu partai apa yang akan diresmikan di tempat ini. Siapa ketuanya. Siapa manusia bungkuk misterius bercadar yang membuat acara ini. Lalu kitapun belum memecahkan rahasia terowongan itu.”

“Kalau kau memang suka tetap di sini, aku hanya menurut saja,” kata Mahesa mengalah walau dia kecewa tidak melihat Embah Bromo Tunggal di tempat itu. Berarti dia tidak akan dapat menemukan Keris Naga Biru. Lebih penting dari itu dia tak mungkin mendapatkan kitab ilmu silat tujuh orang katai yang harus dicarinya itu.

“Ada sepasang tamu yang datang…” tiba-tiba Sari berbisik.

Mahesa berpaling. Lututnya bergetar. Dadanya berdebar. Bagaimana tidak. Salah seorang dari tamu itu adalah bekas gurunya, si nenek Kunti Kendil! Perempuan tua ini tampak semakin tua. Pakaiannya kotor, rambutnya awut-awutan. Dia melangkah terpincang-pincang diikuti seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh lima tahun, berambut pendek warna kelabu. 

Mahesa bertanya-tanya dalam hati saja dia ingat! Lelaki itu bukan lain adalah Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah, suami si nenek yang muncul tanpa topeng! Dan Mahesa merasa dadanya lebih sesak karena kedua orang itu duduk hanya terpisah dua bangku di depan mereka!

“Kulihat kau tidak tenang,” berkata Sari sambil menyentuh lengan Mahesa. “Kau kenal kedua tamu yang baru datang itu…?”

Mahesa cepat menggeleng.

“Hai, aku tahu kau gugup. Aku tahu kau pasti kenal nenek jelek dan lelaki gagah berambut kelabu itu!” kata Sari lagi.

Mahesa merasakan tenggorokannya kering dan mulutnya asam. Maka dia keluarkan rokok kawungnya. Ketika hendak menyulut rokok ini mendadak dia mendengar suara halus seperti ngiangan nyamuk di telinganya.

“Pemuda tolol! Dengan merokok begitu sama saja kau membuka kedok siapa dirimu!”

Astaga! Mahesa tersentak kaget. Rokok kawung yang hendak dinyalakan terlepas jatuh dari tangannya. Dia memandang berkeliling. Mencari-cari. Siapa orang yang tadi bicara dengan mengerahkan kepandaian menyampaikan suara jarak jauh! Tak mungkin Kunti Kendil. Tak mungkin pula Lembu Surah. Apalagi si kakek muka tengkorak yang duduk jauh di ujung sana. Lalu siapa? Mahesa kembali memandang berkeliling.

“Siapa yang tengah kau cari?” tanya Sari.

“Ada seseorang bicara dari jauh padaku…” menerangkan Mahesa. Dan pemuda ini memandang berkeliling mencari-cari. Tiba-tiba dia lihat orang itu. Seorang kakek berpakaian compang-camping. Bermata buta dan duduk seperti acuh tak acuh.

“Gembel Cengeng Sakti Mata Buta!” seru Mahesa dalam hati begitu dia mengenali siapa adanya kakek itu. Tokoh sakti yang diketahuinya merupakan tokoh silat nomor satu saat itu. Kakek yang bersifat aneh, mudah menangis inilah yang dulu pernah mengajarkannya jurus-jurus silat yang luar biasa yakni Jurus Ilmu Silat Orang Buta!

“Ah, dia masih seperti dulu-dulu juga. Apakah masih suka main catur? Aku harus menemuinya!” Mahesa lalu berdiri. Namun saat itu pula kembali terdengar suara mengiang di kedua telinganya.

“Lagi-lagi kau bertindak tolol. Tetap duduk di tempatmu! Sekarang bukan saatnya untuk mengobrol!”

Mau tak mau Mahesa terpaksa duduk kembali. Kalau saja dia bisa menyampaikan suara jarak jauh seperti kakek itu banyak hal yang akan ditanyakannya. “Manusia luar biasa! Kedua matanya buta. Kepalaku tertutup kain merah. Aku duduk cukup jauh dari dia. Bagaimana kakek itu bisa mengenali dan mengetahui aku ada di sini? Bagaimana pula dia bisa sampai di tempat upacara ini tanpa ada yang membawanya? Benar-benar luar biasa! Apakah adiknya si mata biru juga hadir di tempat ini?”

Selagi berkata-kata dalam hati seperti itu Mahesa kembali memandang berkeliling. Dilihatnya Pendekar Muka Tengkorak tengah menyalakan lagi sebatang rokok kawung. Semakin asam rasanya mulut Mahesa.

“Anak setan betul! Aku tak bisa merokok. Aku tak bisa mendekati kakek cengeng itu. Bagaimana kalau aku menemui si muka tengkorak?” Mahesa melirik pada Gembel Cengeng Sakti Mata Buta lalu memandang lagi pada kakek muka tengkorak yang asyik menyedot rokok kawungnya tanpa melepaskan rokok itu dari sela bibirnya. 

Angin di lereng gunung itu keras sekali hingga rokok yang baru dinyalakan si kakek padam apinya. Ketika melihat nyala api penyulut rokok itu mendadak Mahesa teringat pada delapan karung peledak yang dihubungkan dengan tali berminyak. Kalau ujung tali itu dibakar. Delapan karung itu berada di dalam tanah, tepat di bawah lapangan di mana hampir seratus tamu duduk menghadiri upacara, termasuk dia dan Sari!

“Gila!” seru Mahesa.

“Hai, siapa yang gila?!” bisik Sari.

Mahesa pegang tangan perempuan itu lalu membawanya duduk menjauh ke sudut lapangan. Diceritakannya apa yang tadi dibayangkannya. Wajah Sari dibalik kain merah jadi berubah.

“Astaga, kalau begitu…. Siapapun yang mengadakan acara peresmian ini pasti mempunyai maksud keji luar biasa! Dia hendak meledakkan gunung ini! Membunuh kita semua!”

Mahesa berdiri, memandang berkeliling dengan cepat. Delapan lelaki bertubuh raksasa dilihatnya masih tegak di tempatnya semula, pada sisi-sisi lapangan.

“Kita harus menyelinap kembali ke dalam terowongan itu,” bisik Mahesa. “Ikuti aku!”

Keduanya segera berdiri, melangkah cepat menuju pintu lapangan. Seorang lelaki tinggi besar bercawat yang berjaga-jaga di sana serta merta menghadang mereka.

“Celaka, agaknya kita terpaksa membuat urusan,” ujar Sari.

“Tenang saja…” sahut Mahesa.

“Dua tamu berkerudung! Kalian mau ke mana?” penjaga itu bertanya.

“Ada barang penting yang harus kami ambil di kaki gunung.”

Orang itu menyeringai. Ternyata gigi-giginya pun besar luar biasa. “Kami tuan rumah punya aturan. Setiap tamu yang sudah datang tidak boleh meninggalkan tempat ini! Kembali ke tempat kalian!”

“Anak setan!” maki Mahesa dalam hati. Tapi dia coba tersenyum. Lalu menjawab. “Memamg kami tahu aturan itu. Ketua juga telah memberitahu pada kami…”

“Ketua? Ketua siapa maksudmu?” tanya si raksasa.

“Ketua siapa lagi kalau bukan ketua kami dan juga ketua kalian! Jangan berpura-pura bodoh!” Mahesa membual dan sekaligus menggertak.

Sesaat orang di hadapannya itu tampak terkesiap. Mahesa segera menyambung, “Barang yang akan kami ambil itu adalah milik dan untuk keperluan Ketua. Akan dipergunakan dalam upacara nanti. Jika kau berani melarangnya kami akan melapor pada Ketua!”

“Ketua tidak pernah mengatakan ada petugas-petugas lain selain aku dan tujuh kawanku!”

“Ketua tidak sebodohmu! Tidak semua urusan diberitahukan pada anak buah. Apa kau tidak percaya?!”

Orang itu semakin ragu. Mahesa kembali menggertak. Dia berpaling pada Sari berkata, “Bertahu Ketua. Kita mendapat halangan dari orang dalam sendiri!”

Sari segera melangkah.

“Tunggu!” kata si tinggi besar bercawat. “Kalian boleh pergi, tapi lekas kembali. Upacara akan segera dimulai!”

“Nah, begitu lebih baik bagimu!” ujar Mahesa.

Diikuti oleh Sari dia segera meninggalkan tempat upacara. Menuruni gunung ke arah selatan lalu membelok ke timur, mengambil jalan berputar dan akhirnya muncul kembali di lereng gunung tepat di belakang panggung. Karena tak ada yang menjaga lobang terowongan tanah, dengan mudah dan cepat keduanya bisa memasuki pintu atau lobang terowongan itu.

Di tempat upacara, mengetahui Mahesa dan kawannya pergi meninggalkannya, si kakek yang bergelar Gembel Cengeng Sakti Mata Buta mulai sesenggukan, lalu menangis tersedu-sedu. Para tamu yang duduk didekatnya tak satupun yang berani menegur. Mereka semua memaklumi kalau yang bersifat dan bersikap aneh itu biasanya adalah tokoh-tokoh kelas satu dalam dunia persilatan.

Entah dari mana sumbernya, saat itu terdengar suara gong dipukul tujuh kali berturut-turut. Para hadirin segera mengarahkan perhatian ke panggung kayu, ke arah mana saat itu melangkah cepat seorang lelaki berpakaian putih. Sulit untuk memperhatikan wajahnya karena tertutup cadar hitam.

Manusia bungkuk ini mengangkat kedua tangannya ke atas. Gong terdengar lagi bertalu delapan kali. Disusul oleh suara tiupan terompet nyaring sekali. Begitu orang bungkuk itu menurunkan kedua tangannya kembali, maka suara terompetpun sirna. Lalu orang ini duduk ke atas kursi berukir yang terletak di belakang sebuah meja kecil.

Diantara para tamu mulai terdengar suara berisik kasak kusuk. Kunti Kendil berpaling pada Lembu Surah dan berbisik, “Lembu, kau tahu siapa adanya orang di atas panggung itu?”

“Sulit diduga. Wajahnya tertutup cadar yang sulit ditembus pandangan mata. Sosok tubuhnya tidak mengatakan apa-apa. Banyak orang yang bungkuk seperti dia. Entah kalau dia bicara nanti. Mungkin aku mengenali suaranya,” jawab Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah yang saat itu hadir dengan wajah aslinya, tanpa topeng tipis.

Tiba-tiba terompet berbunyi lagi. Tinggi dan panjang. Begitu lenyap, orang yang berada di atas panggung tegak dari kursinya.


Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa

RAHASIA LENYAPNYA MAYAT MAHESA

Karya Bastian Tito
Rahasia Lenyapnya Mayat Mahesa

SATU

ORANG GILA KETEMU ORANG GILA
KOPI dan gula dalam telapak tangan Randu Ampel langsung mencair. Air mendidih yang dituangkan mengepulkan asap panas. Lima prajurit Kadipaten Lumajang  mendelik kaget ketika melihat Randu Ampel tetap tegak berdiri tanpa kesakitan.

Tangannya yang disiram air mendidih sama sekali tidak melepuh atau cidera! Malah genangan air panas bercampur kopi dan gula di atas kedua telapak tangannya itu enak saja dihirupnya hingga habis. Sisa-sisa gula dan kopi dijilat-jilatnya dengan ujung lidah.

“Sedap sekali kopi kalian! Aku minta lagi…!” kata Randu Ampel lalu ulurkan kedua tangannya.

Prajurit yang tadi menuangkan air mendidih berpaling pada kawan-kawannya, lalu melangkah mundur. “Jangan-jangan manusia ini mahkluk jejadian…” berbisik salah seorang dari lima prajurit itu.

“Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini cepat-cepat!” kawannya yang disamping kiri balas berbisik.

“Hai! Aku minta kopi, kalian malah pergi!” teriak Randu Ampel ketika melihat lima orang di hadapannya itu mundur, mundur lalu membalikkan tubuh dan lari berhamburan.

“Keparat! Kalian mempermainkanku! Kalian pasti kaki tangan Mangun Aryo!” kembali Randu Ampel berteriak. Kali ini disertai kemarahan. Tubuhnya melompat ke depan, laksana terbang, melayang ke arah lima prajurit yang lari berserabutan itu. “Mampus!”

Duk! Buk!

Dua prajurit mental dan terjerembab di tanah. Yang pertama hancur tengkuknya di hantam tumit Randu Ampel. Yang kedua patah pinggangnya kena tendangan kaki kiri lelaki miring itu.

“Dia membunuh Seta dan Gana!” teriak prajurit di ujung kanan. Bersama kedua tanganya, kalau sebelumnya mereka merasa takut, kini melihat kematian dua kawannya itu, ketiganya berubah marah dan cabut golok masing-masing.

Randu Ampel masih menjilati sisa-sisa gula dan kopi di telapak tangan kanannya ketika ke tiga prajurit itu menyerbunya dari tiga jurusan.

“Jurus ke sembilan!” teriak Randu Ampel coba mengingat jurus silat yang ke sembilan, yang dipelajarinya di dalam goa. Tangan kanannya menghantam ke depan. Tubuhnya dirundukkan. Berbarengan dengan itu kaki kirinya membabat kemuka.

Dua lawan yang mengeroyok menjerit. Yang pertama terbanting ke tanah, muntah darah dan melingkar tak bergerak lagi begitu dadanya kena jotosan. Tulang iganya patah, jantungnya ditembus patahan tulang iga sendiri. Yang satu lagi pecah lambungnya dihantam tendangan. Serangan golok prajurit ke tiga dielakkan mudah dan lewat di atas kepalanya.

Saat itulah Randu Ampel mulai menyadari bahwa dalam dirinya tersimpan satu kekuatan hebat luar biasa. Seperti karanjingan untuk membuktikan kehebatan itu dia menghadang prajurit ke lima yang kini ketakutan setangah mati dan hendak melarikan diri.

“Mau lari? Ha ha! Larilah!” sentak Randu Ampel.

Begitu prajurit itu balikkan tubuh dan lari sejauh setengah tombak Randu Ampel pukulkan tangan kanannya ke depan, ke arah punggung orang yang lari. Sesaat kemudian orang itu mencelat mental dan terguling roboh di tanah. Dia hanya sempat mengeluarkan satu jeritan keras, lalu dia tak berkutik lagi. Mati dengan punggung hancur sampai ke dada!

“Hah?!” Randu Ampel berteriak kaget dan heran! Dia memandang tangan kanannya lalu memandangi lima sosok tubuh yang mati bergelimpangan. Begitu berulag kali dengan rasa tak percaya. Tiba-tiba dia berteriak keras.

“Tanganku kuat! Aku jadi orang hebat! aku punya ilmu! Mangun Aryo! Sekarang mampus kau! Mampus!” lalu Randu Ampel memukul batang pohon di samping kanannya. Braak! Batang itu patah dan pohonnya tumbang Randu Ampel tendangkan kaki kiri ke pohon lain di sebelahnya.Braaak! Pohon itu juga remuk dan tumbang!

“Ha ha ha…! Mangun Aryo! Tunggu pembalasanku! Fitnah kembali kepada fitnah!” teriak Randu Ampel lagi. Diluar sadar, saking girangnya lelaki ini melompat ke atas. “Hup! Hai! Aneh!"

Tubuhnya seperti melayang, tinggi sekali. Karena agak gamang dia menggapai kian kemari sampai akhirnya dia terduduk di atas sebatang cabang pohon yang sangat kecil. Janganlah manusia seekor kucingpun jika bertumpangan di atas cabang kecil itu, pasti cabang tersebut akan terkulai ke bawah bahkan mungkin patah karena cabang itu selain kecil juga sudah lapuk.

Tapi hebatnya justru Randu Ampel bisa duduk. Bahkan ketika gamangnya mulai hilang dan dia mulai biasa, lelaki ini duduk sambil uncang-uncang kaki. Dia ingat pada sulingnya. Keluarkan benda ini dan meniup melengking-lengking!

Begitulah mulai hari itu dalam benak Randu Ampel hanya ada satu tekad untuk dilakukan mencari Mangun Aryo, orang yang bukan saja telah mencelakakan dirinya tetapi juga menjadi penyebab kematian istrinya. Maka diapun melanjutkan perjalanan menuju Probolinggo.

Meskipun otaknya tidak sehat lagi, namun apa yang terjadi delapan belas tahun lalu di Probolinggo tak pernah pupus dalam ingatan Randu Ampel. Peristiwa pembunuhan kejam yang dilakukannya terhadap istrinya di kota itu membuat lelaki ini tidak mau memasuki kota mendatangi rumah kediaman Mangun Aryo yang kini menjadi Adipati itu. Dia berhenti disebuah puncak bukit yang terletak di luar kota. Dia memutuskan menunggu kemungkinan Mangun Aryo di situ.

Memang untuk Probolinggo ada empat jurusan keluar masuk. Pertama di sebelah utara yang menghubungkan kota dengan pantai. Di sebelah timur, lalu di sebelah selatan dan terakhir di sebelah barat. Dari ke empat jurusan itu, yang disebelah baratlah paling ramai di lalui. Setiap orang yang mengambil arah itu pasti akan melewati daerah bebukitan di mana Randu Ampel melakukan pencegatan.

Tetapi sampai beberapa lamakan dia harus mendekam di situ menunggu kemunculan Mangun Aryo? Hal ini agaknya tidak menjadi masalah bagi Randu Ampel. Dia akan menunggu sekalipun sampai gunung Mahameru meletus. Kalau perlu bahkan sampai kiamat!

Belasan hari telah lewat sejak Randu Ampel sampai di puncak bukit diluar kota. Siang hari dia kepanasan. Malam hari kedinginan berselimut embun. Keadaan tubuhnya semakin kotor menjijikan. Tampangnya tambah menyeramkan. Makannya sama sekali tidak menentu. Satu-satunya teman setianya adalah suling bambu yang acap kali ditiupnya dalam irama aneh tak menentu. 

Terkadang dia duduk berteduh di bawah pohon-pohon besar, atau meringkuk tidur di atas cabang-cabangnya yang rindang. Terkadang dia menyusup masuk ke balik batang-batang pohon bambu yang banyak tumbuh di sana. Kalau lagi asyik meniup suling tak jarang dia duduk seperti bersila, mengapung di udara dengan sepasang lutut dan punggung menempel pada tiga batang bambu.

Orang-orang yang melewati bukit itu kebanyakan menduga Randu Ampel hanyalah seorang gila yang datang entah dari mana dan terpesat di situ. Namun banyak juga yang merasa heran melihat bagaimana dia bisa duduk secara aneh diantara tiga batang bambu seperti itu. hanya karena mereka tidak punya banyak waktu untuk menyelidiki maka orang-orang itu akhirnya berlalu begitu saja. Paling-paling sambil gelengkan kepala.

Kesabaran Randu Ampel menunggu musuh besarnya di puncak bukit itu ternyata tidak sia-sia. Pada hari ke tiga belas, disuatu rembang petang Mangun Aryo yang ditemani oleh kepala pengawal Kadipaten yaitu Rangga baru saja kembali dari perjalanan menemui Embah Bromo Tunggal di puncak gunung Bromo.

Di bebukitan kedua orang ini mendengar suara tiupan suling aneh. Semula Rangga menyangka itu hanya tiupan suling seorang penggembala. Tetapi Mangun Aryo berhadapan meniup suling demikian hingga menyakitkan liang telinga dan mendebarkan dada. Begitu sampai dipuncak bukit mereka hantikan kuda dan memandang ke arah pohon-pohon bambu dengan perasaan terkejut, heran tapi sekaligus juga bercampur rasa tidak enak.

Orang yang meniup suling itu mereka saksikan duduk mengapung diantara tiga batang pohon bambu. Dia mengenakan celana hitam bergaris kuning, memakai topi hitam tinggi. Orang ini tidak mengenakan baju. Dilehernya tergantung sebuah kalung bergambar burung bermahkotakan yang merentangkan kedua sayapnya. Wajahnya cekung, kotor penuh debu. Sepasang matanya agak kemerahan. Kumis serta janggutnya meranggas. Keseluruhan tampangnya mengerikan untuk dipandang.

Karena merasa tidak enak, Mangun Aryo mengajak Rangga untuk meninggalkan bukit itu cepat-cepat. Tetapi maksud mereka tertahan karena mendadak orang di atas pohon bambu keluarkan nyanyian aneh. Bait-bait di dalam nyanyian itu jelas mengungkapkan peristiwa delapan belas tahun yang silam.

Ketika Probolinggo dihebohkan oleh peristiwa pembunuhan kejam yang dilakukan Randu Ampel. Siapakah sebenarnya orang gila ini, begitu Mangun Aryo bertanya-tanya. Dalam pada itu orang aneh itu secara mendadak menyerang kuda yang ditunggangi Mangun Aryo hingga binatang itu melompat tinggi lalu melarikan diri. Sementara itu Rangga tiba-tiba pula menjadi kejang karena ditotok secara aneh.

Puncak dari semua keanehan itu meledak ketika orang gila tadi mengatakan bahwa dia adalah Randu Ampel yang dicelakai oleh Mangun Aryo delapan belas tahun silam dengan ilmu hitam hanya karena menginginkan jabatan Adipati Probolinggo.

Sebenarnya Mangun Aryo bukanlah manusia pengecut. Namun menghadapi orang gila seperti itu yang bisa berbuat nekad semaunya, mau tak mau dia mementingkan cari selamat lebih dulu. Maka diapun melarikan diri. Akan tetapi sekali mengejar Randu Ampel berhasil menangkap tangan kanan Adipati Probolinggo itu.

Sekali remas saja hancurlah tulang lengan lelaki itu, persendiannya copot! Satu demi satu anggota tubuh Mangun Aryo dihancur luluhkan. Kemudian dengan kuku jarinya yang panjang keras, Randu Ampel merobek perut musuh besarnya itu hingga isi perutnya berbuaian keluar. Mangun Aryo akhirnya menemui ajal dalam keadaan mengerikan disaksikan oleh kepala pengawalnya.

Setelah membalaskan dendam kesumat dan membunuh Mangun Aryo maka kini muncul niat dibenak Randu Ampel untuk mencari Embah Bromo Tunggal. Dukun jahat inilah yang memegang peranan utama atas bencana yang menimpa diri dan istrinya. Meskipun Mangun Aryo yang punya mau, tetapi jika Embah Bromo Tunggal tidak turun tangan, peristiwa mengerikan itu tak akan terjadi. Karenanya seperti juga Mangun Aryo, dukun keparat itu juga harus mampus.

Tidak sulit bagi Randu Ampel untuk mencari sang dukun, Bromo Tunggal yang nama aslinya Roko Nuwu itu meskipun sering berkeliaran dirimba hijau persilatan tetapi lebih banyak mendekam di tempat kediamannya di puncak gunung Bromo, menunggu orang-orang yang datang meminta “tolong” atau menanti berbagai macam ramuan obat aneh.

Suatu hari, dia tengah kedatangan suruhan Rangga. Padahal saat itu dia sudah siap untuk memasukkan tubuh Mahesa yang berhasil diculiknya kedalam sebuah belanga besar untuk digodok bersama obat yang sedang diramunya. Mendadak muncul Pendekar Muka Tengkorak.

Tokoh silat kelas satu ini sengaja datang ke puncak Bromo untuk menghukum si dukun jahat. Beberapa waktu yang lalu Embah Bromo Tunggal telah menipu Pendekar Muka Tengkorak dan mendekam kakek sakti itu dibawah sebuah arca batu besar. Secara tak sengaja Mahesa kemudian menolong orang tua itu hingga dia kemudian dihadiahi sepertiga tenaga dalam.

Selain menguburnya hidup-hidup dibawah arca batu itu, Embah Bromo Tunggal juga melarikan sebuah kitab silat yang mereka temukan bersama. Perkelahian antara Pendekar Muka Tengkorak dan Embah Bromo Tunggal tidak terelakan lagi. Meskipun si kakek muka tengkorak memiliki ilmu silat yang lebih tinggi dari lawannya, namun dia tak berdaya ketika Embah Bromo Tunggal keluarkan mahkluk jejadiannya yang bernama Longga.

Selagi Pendekar Muka Tengkorak kelabakan menghadapi mahkluk itu, Embah Bromo Tunggal pergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Dengan susah payah dan dengan kecerdikan akhirnya Pendekar Muka Tengkorak berhasil memusnahkan Longga.

Baru saja kakek itu berhasil menghancurkan lawan dan sekaligus menyelamatkan Mahesa dari maksud Embah Bromo Tunggal yang ganas mendadak muncullah seorang lelaki berpakaian aneh, tubuh kotor dan muka menyeramkan. Orang ini yang ternyata memiliki kepandaian sangat tinggi celakanya mengira si Pendekar Muka Tengkorak adalah Embah Bromo Tunggal yang tegah dicarinya. Bagaimanapun Pendekar Muka Tengkorak mengatakan bahwa dia bukan Bromo Tunggal si dukun jahat itu, tetap saja orang tersebut tidak percaya.

Maka terjadilah pertempuran antara keduanya. Orang ini, yang bukan lain adalah Randu Ampel memiliki kehebatan luar biasa hingga Pendekar Muka Tengkorak harus bertahan mati-matian. Setelah pukulan jurus berkelahi kakek ini akhirnya tidak dapat mempertahankan diri. Sesaat lagi dia hampir menemui ajal oleh cekikan Randu Ampel, Mahesa yang baru saja siuman dari pingsannya cepat berteriak  memberi tahu bahwa si kakek bukanlah Embah Bromo Tunggal musuh besarnya.

Mendengar teriakan Mahesa itu, apalagi karena dirinya dipanggil dengan sebutan ayah kagetlah Randu Ampel. Dia lepaskan cekikan mautnya di leher Pendekar Muka Tengkorak, memandang sejurus pada Mahesa lalu tanpa berkata apa-apa tinggalkan puncak gunung Bromo. Keseluruhan peristiwa di tempat kediaman Embah Bromo Tunggal itu dapat anda ikuti kembali dalam jilid 4.

Randu Ampel lari meninggalkan puncak gunung Bromo dengan perasaan campur aduk. Pertama dia masih tidak yakin kalau kakek kurus bermuka tengkorak itu bukan si dukun jahat yang delapan belas tahun lalu menjatuhkan musibah keji atas dirinya. Lalu jika dia berkeyakinan begitu mengapa dia mau mengikuti dan mempercayai ucapan pemuda itu? Mengapa dia memanggilnya dengan sebutan ayah? Apa benar pemuda itu anaknya? Seperti ada pancaran hawa aneh dari sepasang mata pemuda itu.

“Seharusnya kubunuh dia! Dia berani menghalangi maksudku membunuh dukun jahat itu!” kata Randu Ampel dalam hati. Kemudian terdengar suaranya tertawa tergelak. “Gila! Semua gila! Isi dunia ini sudah gila semua!”

Lelaki gila berkepandaian tinggi itu tidak sadar entah sudah berapa jauh dan lama berlari. Dia baru berhenti ketika didapatinya hari yang tadi terang kini telah berubah mulai gelap. Ternyata siang telah berganti sore dan sore mulai memasuki malam. Randu Ampel dapatkan dirinya berada di bibir sebuah lembah yang terletak dalam rimba belantara.

Perlahan-lahan dia dudukkan diri di bawah sebatang pohon. Tenggorokannya terasa kering, haus. Dia coba memejamkan mata. Kembali seperti terngiang di telinganya sebutan ayah yang diucapkan pemuda di tempat kediaman Embah Bromo Tunggal itu. Sebutan itu serta pancaran yang keluar dari sepasang mata si pemuda tidak pernah pupus dari dalam dirinya, seperti selalu mengikuti ke mana dia pergi.

Ketika pelahan-lahan Randu Ampel membuka matanya kembali, jauh didasar lembah dilihatnya seperti ada nyala api. Diperhatikannya baik-baik. Memang benar nyala api. Serta merta dia berdiri lalu lari ke bawah lembah, menuju arah nyala api. Sebentar saja dia sudah sampai di tempat itu. 

Di belakang nyala api Randu Ampel melihat seorang perempuan berambut panjang duduk mencangkung. Meski tidak keseluruhan wajahnya diterangi nyala api namun jelas dia memiliki paras ayu, berkulit langsat. Pakaiannya penuh tambalan. Seperti Randu Ampel keadaan dirinya tidak terpelihara.

Perempuan tidak dikenal ini paling tinggi berusia setengah usia Randu Ampel. Dia duduk memegangi sebatang ranting kecil, menghadapi perapian dan asyik membalik-balik benda lonjong berwarna hitam. Rupanya dia tengah memanggang sesuatu. Tetapi ketika Randu Ampel memperhatikan benda yang dipanggang perempuan itu diapun jadi tertawa. Meskipun gila namun Randu Ampel masih dapat membedakan mana makanan dan mana bukan. Perempuan itu tengah memanggang sebuah batu!

“Perempuan gila!” kata Randu Ampel dalam hati. Lalu diapun menegur. "Hai! Untuk apa kau memanggan batu itu? Sampai kapanpun tak akan lunak dan bisa dimakan!”

Orang di depan perapian tidak berpaling ataupun menjawab. Dia terus saja membalik-balikkan batu hitam itu dengan ujung ranting.

“Orang bertanya apakah kau tidak mendengar? Aku yang tuli atau kau yang gagu?!” ujar Randu Ampel.

“Aku tidak gagu, kau tidak tuli. Soalnya siapa bertanya siapa?” tiba-tiba perempuan itu membuka mulut. Suaranya perlahan dingin.

Randu Ampel tertawa. “Namaku Randu Ampel!” katanya memperkenalkan diri.

“Ada banyak orang bernama seperti itu. Kau Randu Ampel yang mana?” tanya si perempuan. Dalam bicara dia sama sekali tidak memandang pada Randu Ampel, melainkan saja menunduk asyik memandangi batu hitam yang dibalik-baliknya di atas potongan-potongan kayu perapian.

“Aku… aku Randu Ampel yang mana ya?” kata lelaki itu seperti bertanya pada diri sendiri. Lalu dijawabnya sendiri. “Mudah saja. Aku Randu Ampel yang gila! Ha ha ha…!”

“Hik hik…!” Perempuan itu ikut-ikutan tertawa. “Kalau begitu kita sama!” katanya kemudian.

“Apanya yang sama?” tanya Randu Ampel.

“Gilanya! Kita sama-sama gila!”

Randu Ampel kerenyitkan kening lalu kembali tertawa. Kali ini tertawa bergelak dan panjang. Perempuan di hadapannya juga ikut tertawa, malah lebih tinggi dan lebih panjang. Ketika Randu Ampel menghentikan tawanya, perempuan itupun hentikan tawanya pula.

“Untuk apa kau memanggang batu itu?” bertanya Randu Ampel.

“Perutku lapar!”

“Heh, memangnya batu itu bisa kau makan?”

“Tidak! Semua orang tahu batu tidak bisa dimakan! Jangan diajukan pertanyaan tolol!”

“Lalu kenapa kau membakarnya?” tanya Randu Ampel. Kalau orang lain memakinya dengan kata-kata tolol begitu mungkin sudah ditendang atau ditamparnya.

“Untuk mengurangi rasa lapar,” jawab perempuan itu.

“Aneh, aku tidak mengerti. Bagaimana mungkin bisa mengurangi lapar dengan jalan membakar batu…?!” Randu Ampel geleng-geleng kepala.

“Kalau begitu rupanya kau memang orang tolol!” kembali perempuan itu memaki Randu Ampel. “Apa kau tidak mendengar ucapan. Membagi pikiran untuk menghilangkan pikiran. Membagi perasaan untuk menghilangkan perasaan….?”

“Ucapan orang gila mana itu?!” ejek Randu Ampel.

“Percuma kau jadi orang gila kalau tidak mengerti ucapan orang gila!” balas mengejek si perempuan. Perempuan itu mencibir seolah-olah mengejek. Lalu katanya. “Pengertiannya mudah saja. Untuk menghilangkan pikiran yang mengganggu kita harus mengarahkan sebagian pikiran pada hal lain. Dengan begitu pikiran yang mengganggu jadi terpecah dan lenyap. Jika ada perasaan yang mengganggu, kita harus mengarahkan perasaan pada hal lain hingga perasaan yang mengganggu jadi musnah! Begitu…!”

“Lalu apa hubungannya perutmu yang lapar dengan batu yang kau panggang!” Randu Ampel tetap masih belum mengerti.

“Benar-benar tolol! Perutku lapar. Berarti ada perasaan lapar yang mengganggu. Lalu kubakar batu ini. Perhatian dan perasaan kini tertuju pada batu. Berarti aku dapat melupakan rasa lapar yang mengganggu…!”

Randu Ampel geleng-geleng kepala. “Kalau sekedar melupakan tak ada artinya,” katanya. “Pada saat kau berhenti membakar batu itu, rasa lapar kembali akan terasa. Malah lebih hebat lagi. Disamping itu tubuhmu akan terasa letih karena mencangkung lama-lama di depan api. Menurut pendapatku yang gila, jika ingin melenyapkan penyakit, harus mencari sumbernya. Kalau tidak percuma saja…..”

Untuk pertama kalinya perempuan yang diajak bicara mengangkat mukanya memandang pada Randu Ampel. Lalu dia tertawa panjang.

“Hai, kenapa kau tertawa?!”

“Ternyata kau tidak keseluruhannya tolol. Kurasa apa yang kau katakan tadi ada benarnya. Menyembuhkan penyakit dengan memusnahkan sumbernya. Menghilangkan lapar dengan menelan makanan. Tapi makanan apa yang bisa didapat dalam rimba belantara keparat ini! Malam-malam begini pula!”

“Mudah saja!” jawab Randu Ampel. Hatinya gembira karena dipuji tidak tolol. Lalu dia ulurkan tangan mengambil batu hitam dari atas perapian.

“Hai! Batu itu panas. Tanganmu melepuh nanti!” seru perempuan itu. 

Randu Ampel menyeringai. Dia pejamkan mata. Dengan tangan kiri memberi isyarat pada perempuan itu untuk berdiam diri. Dan si perempuan menyaksikan dengan heran, tangan Randu Ampel sama sekali tidak melepuh atau cidera meskipun batu yang dipegangnya panas luar biasa!

“Apa yang hendak kau lakukan?!” tanya perempuan itu.

“Sst… diam. Aku akan mencari obat perutmu yang lapar…” sahut Randu Ampel. Sambil pejamkan matanya dia memasang telinga tajam-tajam. Kemudian didengarnya suara itu. Suara desah nafas burung liar yang masih belum tidur. Datang dari pohon besar disebelah belakangnya.

Tanpa berpaling Randu Ampel lemparkan batu hitam di tangan kanannya. Terdengar suara batu itu mengenai sesuatu suara burung memcicit lalu suara tubuhnya jatuh ke tanah. Randu Ampel menyeringai. Buka kedua matanya lalu lari mengambil burung yang barusan jatuh akibat lemparan batunya yang tepat. Binatang itu diperhatikannya pada perempuan di depan perapian, lalu cepat sekali tangannya bergerak menguliti bulu yang membungkus sekujur tubuh binatang itu. Sesaat kemudian burung itu telah terpanggang menyebar menusuk lobang hidung.

“Sudah matang!” kata Randu Ampel tak berapa lama kemudian. Lalu dia memberikan ranting kayu di ujung mana panggang burung itu ditusuknya. “Makanlah, penyakit laparmu pasti sembuh!” kata Randu Ampel dan tertawa gelak-gelak.

“Kau sendiri tidak makan?”

“Aku tidak lapar.”

“Tapi aku tidak suka makan sendirian.”

“Kalau begitu makanlah dulu sepuasmu. Kau boleh berikan sisanya padaku,” jawab Randu Ampel pula.

“Tidak adil begitu. Kita harus makan sama-sama…” lalu entah kapan tangannya bergerak tahu-tahu burung besar itu telah terbagi dua dan rata. Yang sepotong diserahkan pada Randu Ampel. Ketika Randu Ampel hendak menyantap makanan itu tiba-tiba perempuan itu ulurkan tangan kirinya memegang lengannya.

“Tunggu!” katanya.

“Ada apa?” tanya Randu Ampel. Sentuhan tangan perempuan itu pada lengannya mendatangkan perasaan aneh.

“Apakah kenal atau ada sangkut paut dengan manusia bernama Lembu Surah bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah?”

Randu Ampel menggeleng.

“Apakah kau kenal dengan orang bernama Suwa Permono, bergelar Malaikat Maut Berkuda Putih?”

Kembali Randu Ampel menggeleng. “Siapa kedua orang itu?”

“Yang pertama musuh besarku. Yang kedua guruku.”

“Di mana mereka sekarang?”

“Di mana mereka sekarang itulah yang tengah kuselidiki…”

“Sekarang baiknya kau makan dulu. Tapi sebelum makan aku kepingin tahu apakah kau punya nama?”

Perempuan itu tertawa panjang. “Setiap manusia tentu punya nama. Tapi aku tidak akan memberitahu namaku padamu.”

“Kalau begitu kita tidak bersahabat!” ujar Randu Ampel.

“Heh, apakah kau mau bersahabat denganku?”

“Tentu saja. Kau keberatan?”

Kembali perempuan tadi tertawa. “Kita sama-sama gila. Tak ada salahnya kalau kita bersahabat.”

“Jika begitu katakan namamu!”

“Namaku Puji…”

“Puji apa…?”

“Puji saja…”

“Baiklah. Sekarang mari kita makan.”

Maka kedua orang itupun menyantap burung panggang yang cukup lezat rasanya. Selesai makan Puji berkata, “Kulihat tadi kau pandai sekali menangkap burung dengan melempar. Maukah kau mengajarkan ilmu lempar itu padaku?”

“Tentu saja. Hanya aku ingin tahu dari sini kau mau menuju kemana….”

“Aku harus mencari Datuk Iblis itu. Tapi tidak tahu harus mencari dimana….”

Sesaat Randu Ampel nampak termenung. Lalu katanya. “Akupun tengah mencari musuh besar. Seorang dukun jahat bernama Embah Bromo Tunggal. Beberapa hari lalu aku datang ke tempat kediamannya di puncak Bromo. Tapi di situ terjadi banyak keanehan yang otakku tak sanggup memecahkannya….”

“Jika kau mau menceritakan keanehan apa mungkin aku bisa membantu memecahkannya…” kata Puji pula.

Randu Ampel menyeringai, “Aku sendiri yang punya persoalan tak sanggup memecahkannya. Mana mungkin kau yang tak ada sangkut pautnya…” Perlahan-lahan Randu Ampel berdiri.

“Kau mau ke mana?”

“Aku harus pergi….”

“Kalau begitu aku juga akan pergi. Ikut bersamamu….” Puji pegang lengan Randu Ampel.

Kembali lelaki ini merasakan perasaan aneh akibat sentuhan itu. keduanya melangkah mendaki lereng lembah menuju ke timur. Angin malam bertiup dingin. Sambil melangkah Puji keluarkan satu nyanyian.

Empat tahun mencari guru
Empat tahun tidak ketemu
Empat tahun mencari manusia durjana
Empat tahun tidak bersua
Manusia jahat harus dibunuh
Manusia durjana harus dimusnah
Tidak ada di timur cari ke barat
Tidak ada di selatan cari ke utara

“Nyanyianmu bagus amat,” memuji Randu Ampel. “Apakah kau mau mendengar nyanyianku?”

“Apakah orang gila sepertimu pandai juga menyanyi?”

Randu Ampel tertawa lalu mulai pula menyanyi.

Delapan belas tahun mencari
Di puncak Bromo tidak ditemui
Keanehan membakar sukma
Boleh lari ke segala penjuru
Tangan berdarah tak pernah lari jauh
Kegilaan harus dibayar dengan kegilaan
Kematian harus dibayar dengan kematian

“Aih, ternyata kaupun seorang penyanyi yang tidak jelek. Mari kita nyanyikan lagu-lagumu tadi bersama-sama…”

Randu Ampel tidak menyambuti ajakan Puji malah dia memberi isyarat dan hentikan langkah. “Aku mendengar suara kaki kuda. Ada orang mendatangi ke jurusan sini. Lekas sembunyi!”

Mendengar ucapan itu Puji segera ke balik batang pohon besar. Sebaliknya Randu Ampel pegang pinggang perempuan itu. sekali dia mengenjot tubuh, keduanya melayang ke atas dan sampai di cabang pohon. Puji hendak tertawa cekikikan karena senangnya diajak melayang melompat tinggi seperti itu. tapi Randu Ampel tekap mulutnya. Sesaat kemudian di bawah pohon kelihatan muncul seorang tua berpakaian serba putih, menunggang seekor kuda putih. Dalam gelapnya malam tak jelas kelihatan wajahnya.


***
DUA


PERTEMUAN DENGAN SANG GURU
RANDU AMPEL mendekatkan mukanya ke telinga kiri Puji dan berbisik, “Kau kenal orang itu? Sikapnya mencurigakan….”

“Tampangnya tertutup kegelapan. Rasanya aku pernah melihat kuda putih tunggangnya itu. Tapi lupa entah di mana. Kita turun saja dan menghantam jika memang dia punya niat jahat….”

“Kau punya kepandaian apa hendak menghantam orang? Lelaki itu menunjukkan gerak-gerik seorang jago silat…”

“Kau takut…?” tanya Puji.

“Gila! Aku tidak pernah takut pada siapapun!“ sahut Randu Ampel penasaran. “Kau mau lihat aku memisahkan kepala dan badan orang itu?!”

“Cobalah kalau kau bisa melakukannya!”

“Akan kubuktikan!” ujar Randu Ampel.

Namun baru saja dia siap melompat turun tiba-tiba orang di atas kuda berseru, “Manusia-manusia yang tadi menyanyi. Keluarlah unjukkan diri. Aku butuh beberapa penjelasan!”

“Manusia sompret!” gerutu Puji. “Dia yang perlu kita, seenaknya perintah. Eh Randu, katamu kau hendak memisahkan kepalanya. Tunggu apa lagi?!”

“Kau kurang ajar. Seenaknya saja memanggil aku Randu. Kau tahu perempuan seusiamu pantas jadi anakku!” kini Randu Ampel yang mengomel.

Sebaliknya Puji malah tertawa. “Di dunia yang serba gila ini apakah masih diperlukan adab sopan santun? Bukankan keterbukaan lebih banyak baiknya dari pada sengaja peradatan palsu. Lagi pula siapa yang sudi jadi anakmu? Hik hik…!”

Penunggang kuda di bawah pohon tampak membuka destar putih yang membungkus kepalanya. Tiba-tiba kain destar ini dipukulkannya ke atas. Serangkum angin keras menderu dan braak! Batang pohon yang diduduki Randu Ampel serta Puji patah. Karena orang sudah mengetahui persembunyian mereka, keduanya terpaksa meloncat turun. Orang di atas kuda balikkan diri menyongsong lalu melompat dari punggung kuda. Sesaat dia memandangi wajah Puji. Dia lain kejap terdengar seruannya.

“Ya Tuhan! Puji! Tadipun aku sudah yakin yang menyanyi itu adalah suaramu!” Penunggang kuda berpakaian serba putih dan berjanggut  putih ini melompat hendak memeluk Puji, tapi Randu Ampel cepat menarik tangan perempuan itu hingga si orang tua memeluk angin.

“Tua bangka kurang ajar! Enak saja kau memeluk sahabatku!” bentak Randu Ampel.

Sesaat orang itu memandang pada Randu Ampel. Kemudian dia kembali berpaling pada Puji. “Puji, muridku! Apakah kau tidak mengenali aku lagi? Aku gurumu...! Aku Malaikat Maut Berkuda Putih!” orang tua itu berseru.

“Aku tidak kenal kau! Aku tak pernah kenal segala macam malaikat!” jawab Puji keras.

Kata-kata ini membuat si orang tua yang memang bukan lain adalah guru perempuan itu seperti terhenyak. “Ah, benar jalan pikirannya sudah terganggu. Kasihan muridku. Dia tidak mengenaliku lagi. Bagaimana ini? Siapa pula lelaki berpakaian tak karuan disebelahnya ini?”

“Orang tua, siapapun kau adanya, sahabatku ini mengatakan tidak kenal denganmu. Kenapa tidak lekas-lekas berlalu dari sini?”

Ditegur begitu Malaikat Maut Berkuda Putih jadi penasaran. “Kau sendiri siapa? Apa hakmu menyuruh aku pergi dari sini. Empat tahun aku mencari muridku. Setelah bertemu enak saja kau menyuruhku pergi. Kau yang harus angkat kaki dari sini…!”

“Gila!”

“Kau yang gila! Dan kau membuat muridku tambah gila!” bentak Malaikat Maut Berkuda Putih. “Lepaskan peganganmu pada lengannya. Puji, kemarilah. Aku gurumu. Kau harus ikut bersamaku. Kau perlu dirawat dan diurus baik-baik. Setelah itu kita akan mencari manusia durjana bergelar Datuk Iblis itu. Setelah biang racun malapetaka yang menimpa dirimu!”

Puji terdiam. Ada sekilas ingatan akan satu peristiwa yang menimpa dirinya, tapi kesadaran datangnya sangat lambat ke dalam benak dan hati perempuan ini. Dia hanya tahu tentang seorang musuh besar. Datuk Iblis Penghisap Darah. Yang harus dibunuhnya. Dia juga tahu seorang bernama Malaikat Maut Berkuda Putih. Tapi hanya itu. lain dari itu semuanya serba gelap baginya.

“Puji, kemarilah….” Si orang tua coba memanggil dengan suara lembut. Yang dipanggil gelengkan kepala. Kemudian Puji mulai menangis. Melihat perempuan ini menangis, Randu Ampel jadi marah dan membentak Malaikat Maut Berkuda Putih.

“Kau membuat sahabatku menangis! Kalau kau tidak pergi dari sini kupatahkan batang lehermu!”

“Manusia gila! Kalau tak berpengaruh olehmu, muridku pasti akan mengikuti perintahku! Batang lahermu yang harus patah lebih dahulu!”

Habis berkata begitu Malaikat Maut Berkuda Putih langsung menerjang Randu Ampel. Kedua tangannya meluncur ke arah leher, benar-benar hendak mematahkan batang leher lelaki gila itu. Tetapi apa yang terjadi kemudian membuat Malaikat Maut Berkuda Putih alias Suwo Perwono mengeluarkan seruan tertahan dan kaget setengah mati. 

Selagi kedua tangannya meluncur setengah jalan, belum lagi sempat menyentuh batang leher Randu Ampel, mendadak entah bagaimana kejadiannya kedua tangan Randu Ampel membuat gerakan yang sama dan tahu-tahu sepuluh jari berkuku panjang yang kukuh dan kotor telah mencengkeram lawannya mendadak jadi dua kali lebih panjang hingga lehernyalah yang kena dicekik lebih dulu.

Orang tua berjanggut putih itu meronta coba lepaskan diri. Namun cekikan lawan keras sekali. Nafasnya mulai sesak. Lidahnya seperti mau tercabut keluar dan sepasang matanya mendelik.

“Jangan bunuh dia!” tiba-tiba Puji berteriak.

Disaat yang sama Malaikat Maut Berkuda Putih hantamkan satu jotosan ke dada Randu Ampel. Buk! Jotosan mendarat tepat di pertengahan dada Randu Ampel. Lelaki ini lepaskan cekikannya. Tubuhnya terpental beberapa langkah tapi kemudian berdiri lagi seperti tidak terjadi apa-apa.

Suwo Permono usap batang lehernya dan memandang pada Randu Ampel dengan rasa tak percaya. Pukulan yang dilepaskannya tadi mengerahkan lebih dari dua pertiga tenaga dalam, tetapi lelaki gila itu kelihatannya biasa-biasa saja. Orang lain mungkin sudah muntah darah!

Sebenarnya bukan pukulan orang tua itu yang membuat Randu Ampel melepaskan cekikannya. Tetapi seruan Pujilah yang menyebabkan Randu Ampel tidak meneruskan menghancur luluhkan batang leher Malaikat Maut Berkuda Puith.

“Manusia edan! Siapa kau sebenarnya? Apa hubunganmu dengan muridku?!” bentak orang tua berjanggut putih itu sambil pegangi lehernya yang terasa sakit.

“Aku hanya seorang gila. Perempuan ini sahabatku!” jawab Randu Ampel polos.

“Puji! Kau tidak pantas bersahabat dengan lelaki gila ini!”

“Kenapa tidak? Kami senasib. Dan dia menolongku menangkap burung untuk kami panggang dan santap bersama!”

“Hanya karena panggang burung kau mau bersahabat dengan dia? Gila!”

“Ini memang persahabatan orang-orang gila. Karenanya orang sepertimu tak perlu ikut campur!”

Kata-kata Randu Ampel itu membuat Malaikat Maut Berkuda Putih menjadi marah. Lagi pula dia masih penasaran akibat cekikan tadi. Maka diam-diam dia kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan kanan. Kemudian lepaskan satu pukulan sakti yang mengeluarkan sinar putih. Pukulan ini menghantam ke arah kepala Randu Ampel. Puji berteriak kaget.

“Orang tua jahat!” teriak perempuan itu lalu melompat sambil kirimkan tendang kaki kanan.

“Puji kau akan kualat berani menyerang gurumu sendiri!” seru Malaikat Maut.

“Tua bangka edan! Siapa bilang kau guruku!” Puji tetap teruskan tendangannya ke perut si orang tua. Namun dengan mudah dapat dielakkan. Sebaliknya pukulan sakti yang dilepaskan Malaikat Maut cepat sekali datangnya ke arah kepala Randu Ampel. Sekali lagi Puji berteriak. Seolah-olah baru sadar kalau dirinya diserang orang. Randu Ampel cabut suling bambu di pinggangnya. Terdengar suara melengking keras ketika suling itu dibabatnya ke depan menyongsong serangan lawan.

Duus!

Sinar putih pukulan sakti mental ke atas, menghantam cabang-cabang pohon hingga hancur bertaburan. Randu Ampel tampak melompat ke atas dan jungkir balik di udara. Dilain kejap terdengar seruan Malaikat Maut ketika ujung suling tiba-tiba menusuk ke arah batok kepalanya. Masih untung dia cepat jatuhkan diri ke samping hingga hanya destar putihnya saja yang kena disodok robek oleh senjata lawan. Pucatlah paras orang tua ini.

“Lelaki gila ini bukan manusia sembarangan! Ternyata ilmunya tinggi sekali! Hampir tembus batok kepalaku!”

“Sahabat,” kata Randu Ampel pada Puji. “Mari kita tinggalkan tempat ini. Orang tua itu hanya mengganggu saja. Perjalanan kita masih jauh….”

Sambil berpegangan tangan kedua orang itu tinggalkan Malaikat Maut Berkuda Putih, membuat si orang tua sesaat itu lagi termangu, namun kemudian cepat-cepat dia mengejar.

“Tunggu! Kalian mau ke mana?!”

“Ke mana kami mau pergi apa urusanmu?!” hardik Puji.

“Puji," membujuk Randu Ampel. “Katakan saja ke mana kita akan pergi. Biar dia tidak mengganggu lagi!”

“Baiklah, akan kukatakan padamu orang tua. Kami pergi mencari manusia bergelar Datuk Iblis Penghisap Darah! Empat tahun lalu dia menimbulkan bencana atas diriku. Begitu bertemu kami akan membunuhnya!”

“Ah, ternyata muridku ini tidak melupakan peristiwa itu. ternyata dia menyadari kalau harus membuat perhitungan dengan datuk keparat itu!” Lalu dia bertanya. “Kalian akan mencari datuk itu ke mana?”

“Ke delapan penjuru angin. Masakan tidak berhasil!” jawab Puji.

“Dia berkepandaian tinggi. Kau dengan mudah dikalahkannya. Malah dia bisa mendatangkan bencana baru atas dirimu Puji,” memperingatkan sang guru.

“Selama aku pergi dengan sahabatku ini, aku tidak takut dengan siapapun. Dua orang gila masakan kalah dengan seorang datuk bejat!” jawab Puji.

Malaikat Maut Berkuda Putih terdiam. Menyaksikan sendiri tadi kehebatan Randu Ampel dia yakin lelaki gila ini dapat mengalahkan Datuk Iblis. Tetapi dia tahu betul, sang datuk tidak sendirian. Nenek sakti bernama Kunti Kendil itu pasti akan membantunya. Mau tak mau orang tua ini jadi menarik nafas dalam. Lalu berkata: 

“Kalau kalian berdua merasa memang telah cocok seiring sejalan, aku tidak akan melarang. Ketahuilah, aku telah beberapa kali menemui datuk itu. Setiap terjadi perkelahian dia selalu berhasil mengalahkanku. Karenanya kalian berdua harus berhati-hati. Akupun akan mencarinya di lain jurusan. Sebelum manusia bejat itu mampus tidak tentram rasanya hidup ini! Kalian berdua pergilah….”

Sepasang mata orang tua itu tampak berkaca-kaca. Empat tahun lamanya dia mencari muridnya. Setelah bertemu tak banyak yang bisa dilakukannya. Bahkan mereka kini berpisah secara mengecewakan. Yang amat menyedihkan ialah Puji tidak mengenali dirinya lagi sebagai guru.

“Kasihan anak itu. mungkin sudah suratan jalan hidupnya…” kata Malaikat Maut Berkuda Putih. Dia bersiul memanggil kudanya. Beberapa saat dia duduk termenung di punggung binatang ini sebelum akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti perjalanan kedua orang gila itu secara diam-diam.


***
TIGA


RAHASIA DIBALIK LENYAPNYA MAYAT MAHESA
DALAM rahasia Makam Mahesa telah dituturkan bagaimana karena kurang periksa dan terdorong oleh cintanya terhadap Lembu Surah Datuk Iblis Penghisap Darah, Kunti Kendil telah menunduh Mahesa yang menyebabkan  celaka atas diri suami si nenek. Pemuda tak berdosa itu digantungkan kaki ke atas kepala ke bawah.

Pada pagi hari ke tiga, ketika Kunti Kendil menyangka Mahesa telah menemui ajal, ternyata sosok tubuh pemuda itu lenyap dari cabang pohon di mana dia digantung.

Kunti Kendil menaruh curiga Pendekar Muka Tengkoraklah yang telah menyelamatkan atau mencuri mayat Mahesa. Setelah Lembu Surah sembuh dari lukanya, kedua orang itu meninggalkan puncak Iyang untuk mencari Pendekar Muka Tengkorak.

Di sebuah lembah sebelumnya si nenek menemukan satu kuburan yang masih baru. Pada papan makam tertulis sederet kalimat yang menyatakan bahwa yang dikubur di tempat itu adalah Mahesa, anak manusia malang yang tak pernah kenal ibu dan kehilangan ayah. Yang menemui kematian karena disiksa untuk perbuatan yang tidak pernah dilakukannya.

Beberapa hari kemudian ketika Kunti Kendil kembali lagi ke tempat tersebut, makam Mahesa lenyap. Di situ ditemukan sebuah papan pemberitahuan bahwa untuk menjaga hal-hal yang tak diinginkan makam Mahesa dipindahkan ke tempat lain.

Sementara itu dari penjelasan yang didapat Kunti Kendil dari Lembu Surah kemudian diketahui bahwa bukan Mahesa lah yang telah mencelakai lelaki itu, melainkan Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam. Rasa penyesalan yang tidak terkira membuat Kunti Kendil seperti mau gila. Di samping itu tekadnya sudah bulat untuk mencari dan membunuh Wirapati.

Namun yang dilakukannya lebih dulu ialah mencari tahu di mana jenazah Mahesa dipindahkan. Bersama Lembu Surah dia pergi menemui Pendekar Muka Tengkorak untuk mencari keterangan. Karena kakek sakti inilah orang yang terakhir sekali muncul di puncak Iyang sebelum tubuh Mahesa lenyap dari tali gantungan!

Adapun Pendekar Muka Tengkorak ketika ditemui di pantai selatan tampak terkejut begitu mengetahui Mahesa telah meninggal dunia. Karena Kunti Kendil tetap menuduh kakek itu ada sangkut paut dengan lenyapnya mayat si pemuda maka pertengkaran yang disusul dengan perkelahian tidak dapat dihindarkan.

Bagaimanapun hebatnya Kunti Kendil namun perkelahian satu lawan satu melawan si kakek muka tengkorak tidak mungkin dapat dimenangkan dengan mudah. Lembu Surah yang mengetahui hal ini segera membantu istrinya. Dikeroyok dua orang membuat Pendekar Muka Tengkorak terdesak.

Meski akhirnya dia dapat dirobohkan namun dua lawannya terpaksa meninggalkan tanpa berminat lagi meneruskan perkelahian. Sementara Kunti Kendil dan Lembu Surah melanjutkan perjalanan mencari makam Mahesa, kita ungkapkan dulu apa sebenarnya yang terjadi dengan pemuda yang digantung di atas pohon itu.

Dini hari menjelang pagi hari ketiga, ketika Mahesa tidak sadarkan diri lagi, sementara darah mengucur keluar dari hidung  dan telinganya, dikegelapan udara dingin tiba-tiba berkelebat gesit bayangan-bayangan aneh. Cepat sekali gerakannya hingga dalam waktu singkat bayangan ini ternyata adalah tujuh manusia katai telah mengelilingi pohon di mana Mahesa digantung kaki ke atas kepala ke bawah.

“Hitam, lekas panjat pohon. Putuskan tali gantungan!” Orang katai berbaju merah berkata pada orang katai berpakaian hitam. Suaranya halus sekali, hampir sehalus hembusan angin. Hingga Kunti Kendil yang ada di dalam pondok dan masih terbangun sama sekali tidak dapat mendengarkannya.

Si katai berbaju hitam membuat gerakan aneh. Tubuhnya mencelat ke atas cabang pohon. Dia menelungkup di atas cabang ini, ulurkan kepalanya. Dengan gigi-giginya yang kecil-kecil hampir tak dapat dipercaya, sekali mengigit saja tambang yang besar dan kuat itu putus. Di sebelah bawah enam kawannya siap menangkap tubuh Mahesa yang jatuh. Sesaat pemuda ini dibaringkan di tanah. Si katai berbaju coklat letakkan telinganya di dada Mahesa.

“Bagaimana, masih hidup?” tanya si baju merah.

“Jantungnya masih berdegup. Tapi perlahan sekali…” jawab si baju coklat.

“Pemuda malang. Kita harus cepat-cepat membawanya dari sini. Putih, hentikan darah yang keluar dari hidung dan telinganya. Kau Hijau totok dadanya agar jantungnya berdegup lebih kencang!”

Sesuai dengan ucapan si katai baju merah maka orang katai berpakaian putih segera menotok beberapa bagian di belakang kepala Mahesa. Lalu kawannya yang mengenakan pakaian hijau menotok dada pemuda itu.

“Kita pergi sekarang!” kata si merah.

Tubuh Mahesa mereka panggul beramai-ramai. Cepat dan aneh sekali gerakan mereka. Juga tanpa menimbulkan suara. Sesaat kemudian mereka sudah lenyap dari tempat itu.Hampir fajar menyingsing mereka sudah berada jauh dari kaki pegunungan Iyang, memasuki rimba belantara rapat di sebelah selatan.

“Sebelum kita sampai di telaga kecil itu, kita tak boleh berhenti!” berkata si katai baju merah yang lari di sebelah depan. Kawan-kawannya menjawab dengan lebih mempercepat lari.

Akhirnya mereka sampai disebuah telaga kecil berair warna-warni, akibat pantulan daun-daun pepohonan disekitarnya. Dari dalam telaga mengepul asap hangat tanda mata air di telaga itu adalah mata air panas. Tubuh Mahesa dibaringkan ditepi telaga. Si merah memeriksa degup jantung Mahesa. Degup jantung pemuda ini ternyata mulai mengencang namun masih jauh dari normal. 

Ketujuh manusia katai itu tampak berunding sesaat. Kemudian mereka berpencaran. Tiga orang duduk disisi sebelah kiri, tiga lainnya di sebelah kanan sedang yang ke tujuh yakni yang berbaju putih duduk di belakang kepala Mahesa. Ketujuhnya mangulurkan tangan lalu menempelkan telapak tangan masing-masing di atas tubuh dan kening si pemuda. Secara serentak mereka memejamkan mata dan kerahkan tenaga dalam masing-masing untuk kemudian disalurkan pada kedua telapak tangan.

Tubuh Mahesa tampak mengepulkan asap berbau busuk. Ketika orang katai berbaju putih memencet pipinya dari mulut Mahesa yang terbuka membersit keluar darah kental. Melihat darah yang keluar ini, si katai baju merah merasa lega.

“Nyawanya selamat,” katanya. “Tapi kita masih harus melihat apakah dia bakalan lumpuh atau tidak...!"

Seperti maklum akan maksud anggukan itu, orang katai yang disebelahnya yakni yang berpakaian warna biru cepat berdiri. Dia melangkah mendekati sebatang pohon berbatang tinggi lurus. Tangan kanannya bergerak menghantam batang pohon sebelah bawah.

Kraak!

Luar biasa. Tangan yang begitu kecil sanggup menghancurkan batang besar hingga pohon itu tumbang dan jatuh melintang tepat di atas telaga kecil berair panas. Tubuh Mahesa kemudian mereka gotong ke tengah telaga. Kedua tangannya diikatkan ke belakang pada batang pohon sedang sekujur tubuhnya sebatas leher ke bawah di masukkan ke dalam air telaga.

Dua orang katai duduk di kiri kanan kepala pemuda itu sambil bergantian menyiramkan air telaga yang diciduk dengan daun ke atas kepala Mahesa. Sampai sore tiba pemuda itu masih belum siuman. Manusia katai berbaju merah menunjukkan wajah khawatir.

“Jika sampai tengah malam nanti dia tidak sadar, berarti seumur hidupnya dia tetap pingsan dan lumpuh!”

Enam manusia katai lainnya terdiam. Yang berbaju coklat kemudian membuka mulut. “Bagaimana dengan rencana kita untuk memberi pelajaran pada nenek-nenek yang ringan tangan itu…?”

“Rencana tetap kita jalankan tapi baru selewatnya tengah malam nanti. Bila sudah ada kepastian pemuda ini bisa diselamatkan atau tidak. Saat ini nenek itu pasti sudah mengetahui lenyapnya tubuh pemuda ini…”

“Pasti dia kelabakan!” kata si katai baju hitam.

Menjelang tengah malam si katai yang duduk menyirami kepala Mahesa dengan air telaga tiba-tiba terdengar berseru, “Kawan-kawan! Pemuda ini keluarkan suara mengeluh!”

Seruan itu disambut dengan sorak gembira enam manusia katai lainnya. Mereka lari meniti batang pohon dan memperhatikan Mahesa dari dekat. Memang saat itu dari mulut pemuda ini mulai terdengar suara seperti mengerang. Si katai baju merah memijit tubuh Mahesa di beberapa bagian. Tak lama kemudian meskipun sedikit, kelihatan kedua mata Mahesa bergerak.

“Dia mulai membuka mata!” seru salah seorang dari tujuh manusia katai itu.

Si baju merah kembali memijit tubuh Mahesa. Suara erangan pemuda ini makin keras. Matanya membuka tambah lebar. Kemudian terdengar suara air telaga bergemeracak.

“Dia menggerakkan kedua kakinya!” seru si katai baju hitam.

Si katai baju merah menarik nafas lega. “Angkat tubuhnya!”

Ikatan pada kedua tangan Mahesa dilepaskan. Tubuh pemuda ini diangkat dari dalam air lalu dibaringkan ditepi telaga. Dadanya tampak turun naik. Si baju merah kembali memijit beberapa bagian tubuh pemuda itu. Dalam keadaan mulai sadar Mahesa berusaha bangkit. Namun baru sampai duduk tubuhnya terhempas kembali.

“Orang muda, kau masih lemas. Sebaiknya berbaring saja dulu,” kata si katai baju merah.

Seumur hidupnya baru sekali itu Mahesa mendengar suara manusia sehalus suara nyamuk. Benarkah suara manusia atau suara apa? Dibukanya matanya lebih lebar. Yang dilihatnya mula-mula hanya kegelapan. Lalu pohon-pohon besar. Di atas pohon sana tampak langit menghitam. Lalu disampingnya dilihatnya banyak sekali kepala-kepala dan tubuh-tubuh kecil.

“Di mana aku…. Kalian siapa…?” suara pemuda itu serak parau.

“Kawan tak perlu khawatir. Kau berada di tempat aman. Kami semua sahabat-sahabatmu…”

“Ka… kalian ini anak-anak atau…? Kalian manusia atau tuyul…?”

Tujuh manusia katai itu tertawa cekikikan. “Kami bukan tuyul. Kalau tuyul kepalanya gundul!” berkata si katai baju coklat. Kembali kawan-kawannya tertawa riuh oleh ucapan teman-temannya.

“Orang muda, sakit kepalamu akan segera hilang. Minum dulu air telaga ini…” salah seorang dari manusia-manusia katai itu menuangkan air telaga dari dalam daun ke mulut Mahesa. Rasa hausnya kini terobati.

“Aku lapar…” bisik Mahesa.

“Kami tak punya makanan. Besok kalau sudah terang kami akan carikan makanan untukmu. Sekarang sebaiknya kau minum dulu obat ini lalu tidur.”

Si katai baju putih mengeluarkan sebuah obat berbentuk butiran sebesar ujung kelingking. Obat ini dimasukkannya ke dalam mulut Mahesa. Begitu tertelan Mahesa merasakan perutnya panas.

“Kau memberiku racun…?”

“Pemuda tolol! Setelah kami tolong masakan kau kami racuni?!” sahut si katai baju merah. “Sekarang sebaiknya kau tidur,” lalu jari telunjuknya yang kecil ditekankan ke kening Mahesa diantara dua alis. Aneh begitu ditekan begitu Mahesa merasakan matanya menjadi berat. Pemuda ini akhirnya tertidur.

Begitu Mahesa tertidur, si katai baju merah berkata pada kawan-kawannya, “Sekarang empat orang dari kalian lakukan apa yang menjadi rencana kita. Dua lainnya tetap bersamaku di sini menjaga pemuda ini. Hitam, Biru, Coklat dan Hijau, kalian segera berangkat. Cari tempat yang baik. Harus tidak terlalu jauh dari kaki gunung Iyang. Jangan lupa untuk menyalakan api agar asapnya dapat menarik perhatian orang yang kita maksud.”

Maka keempat manusia katai itu segera meninggalkan telaga. Berkelebat dalam kegelapan malam. Keesokan paginya mereka sampai di bagian utara kaki pegunungan Iyang. Daerah ini selain berpemandangan indah, bukit dan lembahnya tidak tertutup rimba belantara rapat seperti di daerah timur atau barat. Karenanya banyak ditempuh orang dalam perjalanan. Di sebuah sungai kecil si hitam dan kawan-kawannya berhenti. Setelah memandang berkeliling sebentar si hitam berkata,

“Tempat ini kurasa cukup baik. Mari kita mulai bekerja.”

Keempat orang itupun menggali tanah merah dari tepi sungai lalu menumpuknya di bagian tepi sungai yang lain sehingga menyerupai berbentuk nisan. Lalu si hijau menggurat sederetan tulisan pada papan itu yang berbunyi:

Di sini dimakamkan Mahesa. Anak manusia yang malang. Yang tak pernah kenal kenal ibu dan kehilangan ayah. Yang menemui kematian dengan pasrah, mati disiksa untuk perbuatan yang tak pernah dilakukannya.

“Beres! Sekarang nyalakan api. Setiap orang yang lewat disekitar lembah ini akan melihat kepulan asap. Pasti akan datang kemari. Kita tunggu saja…”

Empat orang katai itu mengumpulkan kayu-kayu kering. Setelah terkumpul mereka segera menyalakan api. Kepulan asap mengepul tinggi ke udara. Selama empat hari menunggu tak seorangpun muncul di tempat itu. Hari kelima seorang penunggang kuda datang. Orang ini kelihatannya seperti seorang pedagang karena membawa banyak barang. Dia memperhatikan kuburan di tepi sungai itu sebentar lalu melanjutkan perjalanan. Memasuki hari ke tujuh empat orang katai yang menunggu-nunggu di tempat itu mulai merasa jenuh.

“Kalau sampai satu bulan nenek peot itu tidak muncul, kita bisa berlumutan menunggu di sini,” kata si hijau.

“Kayu kering mulai susah dicari. Sejak dua hari ini hujan gerimis turun terus,” menimpali si katai berpakaian hitam.

Tapi si katai berpakaian coklat menjawab memberi semangat. “Kita tak boleh putus asa. Orang yang kita tunggu pasti muncul. Mungkin nenek itu masih mengurusi luka si kakek. Maklum masih pengantin baru. Hik hik hik!” Empat orang katai itu tertawa gelak-gelak.

Pada hari ke delapan, menjelang tengah hari si katai baju hitam yang duduk uncang-uncang kaki di atas cabang pohon tiba-tiba melesat turun ke bawah. Pada tiga temannya dia berkata,

“Ada orang yang datang dari bibir lembah sebelah sana. Gerak-geriknya seperti nenek brengsek itu. Lekas sembunyi!”

Si hijau terlebih dulu menghilangkan jejak-jejak yang bisa menimbulkan kecurigaan. Lalu dia melompat menyusul tiga kawannya ke atas pohon besar, bersembunyi dibalik kerapatan dedaunan. Mereka menunggu. Tak lama kemudian berkelebatlah sesosok berambut putih panjang awut-awutan, bertubuh bungkuk, melangkah terpincang-pincang ke arah tumpukan tanah merah berbentuk kuburan.

Nenek ini yang bukan lain adalah Kunti Kendil, guru Mahesa tegak di depan kubur dengan wajah pucat dan tenggorokan naik turun. Kedua matanya menyipit ketika membaca apa yang tertera pada papan yang ditancapkan di kepala kubur. Dadanya kemudian terasa sesak dan sepasang kakinya bergetar. Mata yang tadi menyipit kini membelalak hampir tak berkesip.

“Jadi… ternyata anak setan itu sudah mati!” kata Kunti Kendil dalam hati. “Heran, siapa yang membawa mayatnya ke sini? Siapa yang menguburkan? Lalu siapa pula yang membuat papan nisan bertuliskan kata-kata sialan itu? mati disiksa untuk perbuatan yang tidak pernah dilakukannya! Gila!”

Kunti Kendil melangkah mondar-mandir di depan makam. Ada rasa ingin menendang kuburan dan papan nisan itu. Namun niat itu tak dilakukannya. Setelah menggerendeng dalam hati nenek ini akhirnya tinggalkan tempat itu, kembali ke pondoknya di puncak pegunungan Iyang.

Hampir tiga minggu kemudian Lembu Surah sembuh dari lukanya. Kini dia menjadi manusia cacat seumur hidup, buntung tangan kanannya sebatas bahu. Pada saat itulah Kunti Kendil mendapat penjelasan bahwa yang mencelakakan suaminya itu bukan Mahesa, melainkan Wirapati. Hal ini sangat mengejutkan si nenek. 

Berarti dia telah kesalahan tangan. Dan orang itu Mahesa kini sudah mati. Makamnya ditemuinya di lembah tiga minggu lalu. Bersama Lembu Surah nenek itu kemudian meninggalkan tempat kediamannya, pergi ke lembah untuk mengunjungi makam muridnya yang malang itu.

Namun yang ditemui Kunti Kendil di tempat itu hanyalah sebuah papan bertuliskan pemberitahuan: Untuk menjaga hal-hal yang tidak di inginkan makam Mahesa telah dipindahkan ke tempat lain! Makam pemuda memang tak ada lagi di tempat tersebut. Lenyap entah ke mana!

Kunti Kendil seperti mau gila. Dia memutuskan untuk tidak kembali ke puncak Iyang. Dia harus mengetahui di mana makam Mahesa kini. Dia menaruh syak wasangka bahwa Pendekar Muka Tengkoraklah yang mencuri mayat muridnya itu, menguburkannya lalu bersama Lembu Surah si nenek mencari kakek muka tengkorak. Sementara itu empat orang katai yang sesungguhnya melakukan semua itu tertawa gelak-gelak.

“Sekarang dia rasakan,” kata si katai baju hijau. “Sebelum nenek itu mengetahui apa sebenarnya yang terjadi selama itu pula dia dihantui rasa menyesal!”


***
EMPAT


KITAB TUJUH JURUS ILMU SILAT ORANG KATAI
TUJUH manusia katai itu duduk mengelilingi Mahesa. Wajah mereka yang tadi ceria dan banyak tawa kini tampak redup. Ini karena mereka tahu bahwa pemuda itu akan segera meninggalkan mereka. Berpisah setelah hampir selama sepuluh hari mereka berkumpul, menolong dan merawat pemuda itu. kini Mahesa telah sembuh dan berniat meninggalkan mereka, pergi untuk berbagai urusan yang harus dilakukannya.

Mahesa pandangi wajah-wajah lucu di hadapannya. Lalu mengeluarkan rokok kawung, membagi-bagikan pada ketujuh orang katai itu dan masing-masing mereka mulai menghisap. Dibagi rokok seperti itu biasanya mereka senang sekali, namun sekali ini nampak wajah mereka tetap muram.

“Sahabat-sahabat,” kata Mahesa, “Aku tahu kalian ingin sama-sama terus. Tetapi itu adalah tidak mungkin. Masing-masing kita punya tugas yang harus dilakukan. Aku pergi tetapi terlebih dulu aku mengucapkan banyak terima kasih. Kalian telah menyelamatkan nyawaku. Kalian kemudian merawatku hingga aku sembuh. Berarti aku berhutang budi dan berhutang nyawa terhadap kalian. Entah kapan aku bisa membalasnya…”

“Kami menolong tidak mengharap balasan. Semua karena kami merasa itu menjadi kewajiban kami…” menjawab si baju merah.

“Aku mengerti. Aku tidak akan melupakan kalian. Kapanpun kita pasti akan bertemu lagi…”

Si baju merah dan kawan-kawanya duduk termangu. Lalu si hitam bertanya, “Apakah kau akan mencari gurumu?”

“Dia pasti tidak ada di puncak Iyang,” jawab Mahesa yang tak mau menjawab ya atau tidak. Namun dalam hatinya tak mau menemui gurunya lagi. Dia lebih suka sang guru mengganggapnya benar-benar sudah mati. Masih seperti terngiang di telinganya ucapan Kunti Kendil sebelum dia digantung: 

“Aku memungutmu dari comberan di liang kubur. Bukan untuk memberi pelajaran dusta dan membalas air susu dengan air tuba!”

Mengingat kata-kata sang guru apakah masih ada guna baginya untuk menemui nenek itu? Mahesa tidak mengetahui kalau sang guru telah menyadari bahwa bukan dialah yang mencelakai Lembu Surah.

“Sahabat-sahabat,” kata Mahesa pada tujuh orang katai. “Aku harus pergi. Sebelum pergi apakah ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk kalian. Sekedar sedikit membalas budi hingga hutangku tidak terlalu berat…?”

Tujuh orang katai itu saling pandang sesaat. Lalu si hijau membuka mulut, “Karena kau yang berkata lebih dulu, maka kamipun tak sungkan untuk mengutarakan sesuatu. Tapi apa yang kami minta ini bukan kami anggap sebagai satu keharusan bagimu untuk melakukannya. Apalagi kalau kau menganggap sebagai balas budi segala….”

“Katakanlah, apa yang bisa kulakukan.”

“Setahun lalu kami kehilangan sebuah kitab. Kitab pelajaran ilmu silat. Kitab itu bernama Tujuh Jurus Ilmu Silat Orang Katai. Merupakan ilmu silat yang sangat langka dan tidak ada duanya di dunia persilatan…”

Mahesa kaget. Dia cabut rokok kawungnya. “Jadi kalian ini memiliki kepandaian silat? Pasti silat yang sangat aneh…!”

“Ah, manusia-manusia pendek seperti kami ini punya kemampuan apa…!” ujar si coklat merendah.

“Aku tidak percaya. Kalian harus memperlihatkan kehebatan kalian padaku!”

Tak satupun orang katai itu bergerak atau menjawab.

“Bukankah kita bersahabat!”

“Apapun ilmu silat atau kepandaian yang kami miliki, bukanlah untuk dipamerkan…” jawab si hijau.

Diam-diam Mahesa mengerahkan tenaga dalamnya. Kesehatannya sudah pulih sempurna. Karenanya dia kini dapat mengumpulkan lebih dari sepertiga tenaga dalamnya di tangan kanan dan dia siap untuk melepaskan Pukulan Api Geledek Menggusur Makam. Namun sebelum tangannya di gerakkan untuk memukul, si baju hitam tampak tersenyum dan berkata,

“Ternyata kau benar-benar sudah sembuh. Mengapa tidak melipat gandakan tenaga dalammu…?”

Mahesa kaget. “Bagaimana anak setan ini mengetahui aku mengerahkan tenaga dalam!” katanya dalam hati.

Dari samping kiri terdengar si merah berkata, “Sahabat apakah kau tidak tahu ada sepotong ranting kecil menyusup di pinggang pakaianmu…?”

Ketika Mahesa memperhatikan pinggang pakaiannya sebelah kiri, astaga! Sepotong ranting kering telah merobek pakaiannya. Ranting itu masih menancap di sana sampai dia kemudian mencabutnya. “Gila! Bagaimana mereka menusuk pakaianku tanpa aku melihat ataupun merasa?! Jika mereka musuhku dan menusukkan dengan pisau berarti ususku sudah membusai!”

“Mahesa, kami tidak punya ilmu apa-apa,” kata si merah. “Yang tadi kami perlihatkan padamu hanya ilmu sulap kampungan.” 

Tetapi Mahesa kini sudah yakin bahwa tujuh manusia katai ini benar-benar memiliki kepandaian luar biasa. Dan mereka berjumlah tujuh orang. Bukan mustahil dunia persilatan ada dalam tangan mereka!

“Hai, tadi kalian bicara tentang kitab silat. Cerita kalian teputus. Lanjutankanlah…” kata Mahesa akhirnya.

“Entah bagaimana kitab itu lenyap setahun lalu. Kami menyelidik kemudian kami ketahui kitab itu ada pada seorang tokoh silat bergelar Pendekar Muka Tengkorak…”

“Pendekar Muka Tengkorak!” Mahesa melengak kaget. “Orang itu mencuri kitab kalian…? Tidak mungkin. Mustahil!”

“Bagaimana kau bisa mengatakan tidak mungkin. Mustahil?!” Tanya sibaju merah.

“Aku kenal baik dengan orang tua itu. Dia bukan pendekar bangsa pencuri. Dia pernah menyelamatkanku beberapa kali. Memang… aku pernah mendengar dia menyebut-nyebut kitab silat. Tapi aku yakin dia tidak mengambilnya dari kalian…”

“Kami juga menduga demikian,” jawab si hitam. “Hanya saja ketika kami ketahui bahwa kitab itu ada padanya, dia lenyap beberapa lama, tak bisa kami ketemukan. Ketika dia muncul lagi kami ketahui kitab itu tak ada padanya. Kami kawatir ada yang telah mencurinya. Kami lihat pendekar tua itu patah salah satu tangannya. Mungkin akibat perkelahian dengan pencuri kitab…”

Mahesa ingat penuturan Pendekar Muka Tengkorak sewaktu di puncak gunung Bromo. Lalu diapun menceritakan.

Mendengar keterangan Mahesa itu maka si baju merahpun berkata, “Jadi dukun jahat bernama Embah Bromo Tunggal itulah yang telah merampas kitab kami dari tangan Pendekar Muka Tengkorak. Berarti dia yang harus dicari. Sahabat Mahesa, maukah kau sedikit mencapaikan diri dan membuang waktu untuk mencari dukun keparat itu? Mendapatkan kitab silat itu kembali dan menyerahkannya pada kami…?”

“Tidak kalian mintapun aku akan melakukannya!” sahut Mahesa. “Dosa dan kebejatan dukun itu sudah selangit tembus. Dia juga yang mencuri Keris Naga Biru, dia pula yang menyebabkan ayah menjadi gila dan membunuh ibu…”

“Kami sudah tahu semua riwayatmu. Tak usah diceritakan lagi…” kata si katai baju putih.

Lagi-lagi Mahesa dibikin kaget. “Bagaimana kalian bisa tahu…?” tanyanya heran.

Si merah tertawa. “Kami bertujuh punya empat belas telinga empat belas mata. Masakan buta akan apa yang terjadi dalam dunia persilatan…?!”

Mahesa hanya bisa garuk-garuk kepala mendengar jawaban itu. Dia berdiri. “Kalau kitab itu berhasil kudapatkan di mana aku akan menemui kalian?”

“Kami yang akan datang mengambilnya,” jawab si biru.

“Kalau begitu, aku akan pergi sekarang.” Mahesa lalu memeluk satu demi satu ketujuh manusia katai itu.


***

Bagaimanapun setia dan hormatnya Mahesa terhadap gurunya yaitu nenek bernama Kunti Kendil itu, namun dengan adanya kejadian luar biasa yang dialaminya, mau tak mau kini ada perasaan lain di lubuk hati pemuda ini. Perasaan itu bukan satu perasaan membenci atau mendendam terhadap sang guru. Sebaliknya justru perasaan membenci pada dirinya sendiri. 

Mengapa dia dilahirkan ke dunia ini kalau kemudiannya hanya akan menyusahkan orang lain. Kalau kemudian dirinya diperlakukan sangat kejam dan hina, di perlakukan seperti sampah. Malah mungkin sampah lebih berharga, di buang pada tempatnya, dirinya kemudian bisa dan mudah saja dijadikan umpan gantungan. Digantung di atas pohon, kaki ke atas kepala kebawah. Penjahat besarpun tidak akan digantung seperti itu. Dirinya rupanya lebih keji dari penjahat besar!

Bagaimana hal itu bisa terjadi, Mahesa tak habis pikir. Seorang guru yang telah menyelamatkannya lalu memeliharanya selama belasan tahun, memberi pelajaran ilmu silat dan pukulan sakti. Tahu-tahu kemudian menghukumnya secara biadab seperti itu! Apalagi kalau bukan karena dirinya memang tidak berharga dibanding sampah sekalipun!

Dalam hatinya pemuda ini mengambil keputusan untuk tidak mau lagi bertemu dengan gurunya untuk selama-lamanya. Lalu bagaimana dengan dua tugas utama yang harus dijalankannya? Memikir kesitu Mahesa merasa kurang enak. Tugas kedua dia memang merasa bebas dan tak perlu lagi melakukannya. Yakni mencari Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah. Kakek itu akhirnya telah bertemu malah kawin dengan gurunya.

Tetapi bagaimana dengan tugas pertama yaitu membunuh Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam yang adalah kakak seperguruannya sendiri? Jangankan membunuh, malah terakhir sekali dia justru menyelamatkan Wirapati dari serangan membokong yang dilepaskan sang datuk.

Berlari sambil membekal beban pikiran seperti itu membuat Mahesa seolah-olah tidak sadar ke mana arah tujuannya. Ketika hari sore beranjak malam dan udara mulai gelap didapatkannya dirinya berada di hutan alang-alang. Dia memandang berkeliling. Di ujung sebelah selatan dilihatnya deretan bukit memanjang dari barat ke timur yang agaknya tertutup oleh rimba belantara itu dari pada kedinginan di tengah alang-alang. Maka diapun lari menuju bebukitan.

“Aku harus menjauhi pegunungan Iyang,” katanya dalam hati. “Dari pada mencari Wirapati lebih baik aku mencari ayahku sendiri. Lalu mencari kitab ilmu silat orang katai itu. Wirapati mungkin sudah bahagia bersama Kemala…”

Mengingat gadis itu Mahesa menjadi menarik nafas panjang. Dia lalu teringat pula pada sapu tangan putih yang dilemparkan sang dara. Cepat-cepat dia memeriksa ke balik pakaiannya. Ternyata sapu tangan putih itu masih ada padanya meski kini kotor lembab.

Mahesa sampai di bukit di ujung selatan. Tenggorokannya kering dan perutnya terasa lapar. Tubuhnya sangat letih, tetapi keletihan beban pikiran lebih dari pada keletihan aurat tubuhnya. Pemuda ini naik ke atas pohon, tetapi ketika tiba-tiba diantara kelebatan semak belukar dia melihat dua titik menyala. Ketika diperhatikan ternyata sepasang mata seekor harimau besar. Rupanya binatang ini tadi tempat persembunyiannya. Melihat mangsanya berada di atas pohon yang tak mungkin lagi dijangkau raja hutan itu menggereng dan menggaruk-garukkan kaki depannya ke batang pohon.

“Anak setan!” maki Mahesa. “Kau inginkan dagingku. Ini kuberikan air hangat sedap untukmu!” dari atas pohon Mahesa lorotan celananya ke bawah dan sssrrr…! Air kencingnya memancur jatuh tepat ke kepala harimau. Binatang ini mengaum keras, goyangkan kepalanya lalu lari dari tempat itu. Mahesa tertawa lebar. Setelah kucak-kucak matanya pemuda ini segera tertidur. Namun tak selang berapa lama dia terbangun ketika sepasang telinganya menangkap adanya gerakan-gerakan sosok tubuh manusia di bawah pohon.


***
LIMA


SURAT MAUT DI MALAM BUTA
KARENA MALAM gelap sekali Mahesa tidak dapat melihat jelas orang-orang itu, apalagi wajah mereka nasing-masing. Namun setelah mereka membuat perapian kecil, di bawah nyala api yang cukup terang Mahesa memperhatikan orang-orang itu.

Mereka berjumlah lima orang. Yang pertama seorang berpakaian perwira muda, berbadan tidak tinggi tapi memiliki otot-otot menonjol luar biasa. Orang kedua adalah seorang kakek berpakaian hitam. Rambutnya putih awut-awutan, mengingatkan Mahesa pada rambut gurunya Kunti Kendil. Kakek ini memiliki wajah cekung dan rongga mata sangat dalam hingga tampangnya seperti mayat hidup.

Lelaki ke tiga berusia sekitar 40 tahun, bertampang keren berpakaian rapi. Pada pinggangnya terselip sebatang tongkat rotan yang ujungnya berkeluk. Orang ke empat dan ke lima berwajah hampir sama karena keduanya memang kembar dan mengenakan pakaian serta ikat kepala serba merah. Sepasang mata merekapun tampak merah aneh.

“Hampir satu bulan kita mencari dan menyelidik. Kuharap saja keterangan terakhir yang kita dapat adalah benar dan tidak menyesatkan.” Yang bicara adalah lelaki berpakaian perwira muda, berotot kuat. Namanya Sukat Ragil. Dia seorang perwira muda dari keraton Banyuwangi yang tengah menjalankan tugas dan menjadi pimpinan dalam rombongan itu.

Orang berpakaian merah di sebelah kanan, yakni Kembar Merah Tua mencampakkan rokoknya ke tanah lalu berkata, “Selama ini aku dan saudaraku hanya mendengar nama dan cerita saja dari manusia itu. Hampir tak dapat dipercaya ada perempuan sejahat dan sekeji itu.”

“Sahabatku,” bicara lagi Sukat Ragil. “Kau akan segera melihat sendiri tampang perempuan itu. Kuharap saja kau tidak akan terpikat. Dia sangat senang pada lelaki-lelaki muda dan gagah. Seperti kawan kita Parit Teguh ini!”

Orang yang bernama Parit Teguh yaitu lelaki keren berpakaian rapi tampak merah mukanya. “Akupun ingin sekali melihat perempuan itu. Apa benar cantik luar biasa hingga banyak yang tergoda tapi akhirnya jadi korban!”

“Dia bukan hanya cantik,” kata Sukat Ragil lagi. “Tubuhnya mulus menggiurkan, berkulit putih. Serta menghambur bau harum yang membuat lelaki bisa lupa diri…”

“Diantara kita hanya kakek Tulodong Hitam yang pernah melihatnya. Mungkin bisa memberikan keterangan lebih banyak…” kata Kembar Merah Muda.

Orang yang bernama Tulodong Hitam ialah kakek berpakaian hitam itu. “Sebenarnya aku tak mau bicara banyak malam ini. Aku punya firasat ada yang mengintai kita saat ini…”

Karena diantara mereka berlima memang kakek ini yang memiliki kepandaian paling tinggi maka empat orang lainnya sangat mempercayai ucapannya. Langsung keempatnya memandang berkeliling, mengawasi keadaan sekitar situ dengan teliti.

“Saya mencium bau sesuatu…” kata Parit Teguh.

Di atas pohon Mahesa mendekam tak bergerak. “Apakah orang-orang itu tahu aku ada di sini…” pikir si pemuda.

Terdengar suara berkeresek. Tiba-tiba semak belukar di samping kanan bergerak menguak dan sesosok tubuh besar kuning berbelang hitam melompat disertai suara auman dahsyat.

“Raja hutan!” teriak Kembar Merah Tua.

Lima orang itu melompat berpencaran. Parit Teguh cabut tongkatnya. Sepasang Kembar Merah tampak membungkuk memasang kuda-kuda. Kakek berpakaian hitam tampak tegak dengan sikap tetap tenang sementara Sukat Ragil menunggu dengan kedua tinju terkepal. Otot-ototnya nampak mengembung.

Karena terkamannya yang pertama tidak membawa hasil, harimau besar yang beberapa saat sebelumnya juga menyerang Mahesa, kini tampak menggereng. Ekornya bergerak-gerak. Sepasang matanya bergerak kian kemari seolah-olah menimbang-nimbang siapa diantara kelima manusia itu yang hendak diterkamnya.

Tiba-tiba didahului suara mengaum keras, raja hutan itu melompat kearah Parit Teguh. Justru ini kesalahan besar yang dibuat sang raja hutan karena Parit Teguh adalah satu-satunya orang yang saat ini memegang senjata. Begitu harimau besar itu menerkamnya dengan dua kaki depan menyambar ganas. Parit Teguh menghantam dengan tongkatnya.

Kraak!

Kaki kiri harimau patah. Binatang ini terhempas ke kanan, terguling ke dekat perapian dan mengaum dahsyat tidak henti-hentinya. Dia bangun dan siap menyerang kembali. Saat itulah Sukat Ragil melompat dari samping. Tinju kanannya yang besar dan keras menghantam pelipis kiri harimau itu.

Untuk kedua kalinya sang raja hutan terhempas ke tanah. Suara aumannya menggelegar dalam rimba belantara itu. Empat kakinya mencakar-cakar ke atas. Darah tampak mengalir dari pelipisnya yang rengkah. Tak selang berapa lama harimau ini terkulai tak bergerak lagi.

“Hebat sekali pukulan tenaga luar perwira itu,” kata Mahesa yang memperhatikan dari atas pohon.

“Sukat Ragil,” kakek Tulodong Hitam berkata, “Aku harus berterima kasih padamu yang telah memberikan bantal untuk tidur bagiku!” orang tua ini lalu menyeret bangkai harimau itu ke dekat perapian, lalu membaringkan tubuhnya dengan kepala diletakkan di atas tubuh harimau sebagai bantal. Empat orang lainnya kembali duduk mengelilingi perapian.

“Kakek Tulodong,” berkata Kembar Merah Muda. “Sebelum kau tidur apa tidak hendak menerangkan dulu tentang perempuan yang tengah kita buru itu?”

“Apa yang akan kuceritakan,” jawab si orang tua tanpa berubah berbaringnya. “Aku hanya melihatnya satu kali. Itupun tak lama. Waktu itu sebelum dia membunuh Tudung Maut. Tubuhnya semampai. Berkulit putih. Aku yang sudah tua ini harus mengakui belum pernah melihat perempuan bertubuh sebagus dan semulus itu. Parasnya memang cantik walau dandannya agak seronok. Dia selalu muncul dengan pakaian merah tipis hingga bagian-bagian tubuhnya yang terlarang terkadang jelas kelihatan. Di balik semua kemulusan dan kecantikan itu tersembunyi ilmu kepandaian yang luar biasa. Sejauh ini tak satu orangpun sanggup menjatuhkannya. Sebaliknya banyak korban menemui ajal ditangannya. Kita harus berhati-hati jika menemui dan menghadapinya…”

“Kita berlima dia sendirian, masakan tidak sanggup meringkusnya?” ujar Sukat Ragil. Sebagai pimpinan rombongan yang menerima tugas dari keraton Banyuwangi, dia bertanggung jawab penuh akan keberhasilan tugas itu.

Tulodong Hitam tidak mau menjawab langsung kata-kata Sukat Ragil tadi. Dia berkata memberi ingat,  “Perempuan itu bukan saja berilmu tinggi, tetapi juga licik sekali. Ada satu hal yang harus kalian ingat baik-baik. Dia memiliki kepandaian menebar bau harum luar biasa. Sekali seseorang mencium bau itu, tubuhnya akan lemas, jatuh tak mampu bergerak lagi. Saat itulah biasanya dia menghabisi lawannya. Karenanya jika bertempur nanti kalian harus selalu menjaga jalan pernafasan. Jangan sampai mencium bau harum yang ditebarkannya!”

“Turut keterangan yang kita dapat, perempuan itu akan berada di sekitar daerah ini besok. Satu-satunya desa terdekat adalah Bangsalsari. Kita sudah memutuskan untuk datang ke situ karena kemungkinan paling besar dia akan muncul di Bangsalsari. Rencana ini tidak berubah atau ada gagasan lain?”

Tak ada yang menjawab.

“Jadi rencana tetap seperti semula,” kata Sukat Ragil menutup pembicaraan. Lalu dia mencari tempat yang baik untuk membaringkan tubuh.

Namun sebelum sempat memejamkan mata perwira ini tiba-tiba melompat, disusul Tulodong Hitam di sebelah kiri. Keduanya sama-sama melihat sesosok bayangan bergerak dalam kegelapan. Sebelum sempat mengejar bayangan itu telah lanyap. Ketika keduanya melangkah kembali ke perapian, di situ Kembar Merah Muda tampak tengah memungut sehelai kertas yang melayang jatuh dekat perapian. Empat orang lainnya segera mengelilinginya. Di atas kertas merah ternyata ada sederet tulisan, yang justru ditulis oleh orang yang tengah mereka buru.

Aku tahu kalian telah lama mencariku. Sayang malam ini tak punya waktu menemui kalian. Tapi besok akan berjumpa juga. Ratumu menunggu dengan tangan dan paha terbuka. Apakah kalian membekal nyawa cadangan? 

“Keparat! Perempuan busuk!” maki Sukat Ragil.

“Benar-benar mesum!” desis Kembar Merah Tua.

Tulodong Hitam hanya tegak merenung sementara Parit Teguh berdiri sambil menggigit-gigit bibir. Sesaat Kembar Merah Muda masih memegang kertas merah itu. Hidungnya mencium bau harum. Tidak sadar kertas itu didekatkannya ke hidungnya.

“Jangan dicium!” seru Tulodong Hitam.

Tapi terlambat. Bau harum yang mengandung racun pada kertas sudah keburu tercium dan masuk  ke jalan pernafasan Kembar Merah Muda. Dadanya langsung sesak, pemandangan menjadi gelap, sekujur tubuhnya bergetar goyah. Orang ini akhirnya roboh dalam pelukan saudara tuanya. Darah keluar dari mata, hidung dan mulutnya.

“Adikku mati!” teriak Kembar Merah Tua. Suaranya keras sekali tetapi bergetar.

Di kejauhan, entah dibagian mana dalam rimba belantara yang gelap itu terdengar suara tertawa perempuan. Panjang menggidikkan. Kembar Merah Tua lepaskan tubuh adiknya. Melompat untuk mengejar ke arah  datangnya suara tertawa itu. Tapi si kakek Tulodong Hitam cepat memegang bahunya.

“Jangan kejar. Berbahaya!”

“Keparat! Aku akan membunuh perempuan itu. Aku harus membunuhnya!” kata Kembar Merah Tua dengan dua tinju terkepal.

Di atas pohon Mahesa geleng-gelengkan kepala. Sejak tadi semua yang terjadi  di bawah sana dilihat dan didengarnya dengan seksama tak satupun yang terlewat. Tapi bagaimana dia bisa tidak sempat melihat orang yang menyelinap melemparkan surat maut itu?

“Anak setan itu pasti tinggi sekali ilmunya. Benarkah dia seorang perempuan yang cantik? Ingin sekali aku melihatnya. Secantik Kemala kah dia…?”


***
ENAM


SI PENCURI JANTUNG TONGKAT SERATUS BAYANGAN
HUJAN lebat turun ketika mereka memasuki Bangsalsari. “Hujan keparat!” rutuk Kembar Merah Tua. Sejak kematian adiknya yang terpaksa dikubur pagi tadi dalam rimba belantara lelaki ini menunjukkan sikap selalu tak sabar dan sering memaki. Semua karena dendam kesumat terhadap orang yang telah membunuh adiknya.

Bangsalsari merupakan sebuah desa berpenduduk ramai yang terletak jauh di selatan pegunungan Iyang. Di sini terdapat sebuah masjid besar dengan menaranya yang tinggi menjadi kebanggaan penduduk. Setelah mengisi perut di sebuah warung, Kembar Merah Tua, Tulodong Hitam, Parit Teguh dan Sukat Ragil mengelilingi desa untuk mencari orang buruan mereka. Tetapi sampai siang berganti sore perempuan itu tidak mereka temukan.

“Kita harus bersabar,” kata Tulodong Hitam memberi semangat rombongannya yang kini tinggal empat orang itu. “Perempuan itu kurasa memang tidak biasanya muncul di siang hari. Apalagi di tempat ramai Bangsalsari ini. Kita tunggu sampai malam…”

Sukat Ragil membenarkan ucapan si kakek. “Kalau dia mau mengirimkan surat malam tadi, hari ini bukan mustahil dia juga mengikuti gerak-gerik kita. Lalu menanti saat yang baik untuk muncul…”

Hujan yang hampir turun sepanjang hari membuat udara malam itu terasa dingin. Apalagi angin berhembus kencang. Sukat Ragil dan kawan-kawannya berada di bagian desa yang berbukit-bukit. Dalam udara sedingin itu penduduk lebih suka mengunci diri di dalam rumah masing-masing. Keempat orang itu berlari cepat menuruni bebukitan, menuju pusat desa yang masih ramai, yakni sepotong jalan pendek di mana terdapat tiga buah bangunan yang masih terang.

Bangunan pertama sebuah kedai minuman. Sepi, hanya ada seorang tamu duduk menikmati secangkir kopi. Bangunan kedua sebuah warung menjual kebutuhan sehari-hari. Juga sepi. Bangunan terakhir adalah kedai gudek. Lagi-lagi sepi. Hanya ada seorang tamu kelihatan asyik menyantap makanan. Namun ketika memperhatikan tamu yang seorang itu, Sukat Ragil dan kawan-kawannya serta merta terpaku di depan pintu. Tamu itu seorang perempuan berpakaian serba merah duduk menyantap makanan membelakangi pintu.

“Itu dia!” desis Sukat Ragil.

“Kita masuk!” memberi isyarat Tulodong Hitam. Dia melangkah masuk lebih dahulu. Sukat Ragil di samping belakang, menyusul Kembar Merah Tua dan Parit Teguh.

Mendekati meja makan itu Kembar Merah Tua melompat mendahului, langsung menggebrak meja dan menghardik. “Perempuan iblis! Manusia mesum keparat! Kau harus bayar nyawa adikku dengan nyawa busukmu!”

Perempuan yang tengah makan palingkan kepalanya. Astaga! Perempuan itu ternyata seorang nenek-nenek bermuka pucat. Kembar Merah Tua terkesiap. Parit Teguh melengak.

Sukat Ragil mendesis, “Bukan dia….”

Tapi Tulodong Hitam tak bergerak di tempatnya. Sepasang matanya memandang tak berkesip pada wajah tua keriput itu, lalu turun ke tubuh dan sepasang lengannya yang tersembul dibalik pakaian. Ada hal yang aneh disaksikannya. Dan dia segera maklum kalau keanehan itu mengandung bahaya besar. Perempuan itu memiliki wajah tua seorang nenek. Tapi sebaliknya sepasang lengan dan tangannya berkulit putih mulus!

Perempuan yang tengah makan bukannya tidak tahu kalau kakek berpakaian hitam itu telah mencium keanehan pada dirinya. Maka diapun pendengarkan suara tertawa tinggi. Sambil tertawa dia bergerak tangan kirinya ke mukanya.

Sreet! Wajah tua berkeriput itu ternyata sebuah topeng tipis belaka. Ketika topeng itu dibukanya, kelihatanlah wajahnya yang asli.

“Hah! Memang dia!” ujar Sukat Ragil terengah.

Parit Teguh gerakkan tangan kanan memegang tongkat rotan. Kembar Merah Tua kembali hendak menggebrak dan memaki, tetapi perempuan berbaju merah yang memakai mahkota kecil pada kepalanya mendahului berkata.

“Aku sudah lama menunggu di sini. Kukira kalian tidak datang!” lalu perempuan itu berseru memanggil pelayan meminta agar menyiapkan hidangan untuk empat orang itu.

Melihat sikap yang dibuat-buat dan sengaja menghina itu. Kembar Merah Tua tidak dapat menahan amarahnya, kini langsung berteriak. “Perempuan mesum! Kami datang bukan untuk bersantap! Kami kemari untuk mengambil nyawa busukmu!’’

Si baju merah tertawa panjang. Tertawa itu membuat wajahnya tambah cantik. Barisan gigi-giginya yang putih tampak bagus dan lidahnya yang merah basah membuat Parit Teguh tercekat. “Kalian datang dari jauh. Pakaian kalian masih basah. Masakan tak hendak makan dan minum lebih dulu?!”

“Tidak! Kau telah membunuh adikku malam tadi! Kau harus mampus detik ini juga!” hardik Kembar Merah Tua. Lalu menghantam dengan tangan kanan. 

Sasarannya adalah dada perempuan ini, dan dia terkejut karena angin pukulan lawan yang semula dianggap enteng ternyata terasa deras dan menyambar dingin. Cepat-cepat dia menggerakkan kaki kiri, menendang hingga meja terpelanting menghalangi gerakan Kembar Merah Tua. Saking marahnya serangannya dipapasi demikian rupa, Kembar Merah Tua tendang meja kayu itu hingga hancur berkeping-keping. Disaat yang sama Parit Teguh dan Sukat Ragil serta Tulodong Hitam sudah mengepung.

Si baju merah bertolak pinggang, memandang berkeliling dan sambil tersenyum dia berkata, “Bagus… bagus. Kalian sudah terima suratku malam tadi? Bagus! Apakah kalian sudah membawa nyawa cadangan?”

“Betina durjana! Untuk mengambil sepotong nyawa busukmu kami tak perlu membawa nyawa rangkap!” Yang membentak adalah Sukat Ragil.

Si baju merah berpaling ke arah perwira muda ini. Ada cahaya aneh pada matanya. Tak pernah dia melihat lelaki yang memiliki otot sehebat orang ini. Dia lantas tersenyum. “Sejak seminggu lalu aku mengetahui gerak-gerik kalian. Satu hal yang aku masih buta, kalian ini siapa sebenarnya dan mengapa menginginkan kematianku. Kenal dengan kalian pun tidak!”

“Kami rombongan dari keraton Banyuwangi,” yang menjawab Sukat Ragil. “Beberapa bulan lalu kau menculik seorang Pangeran lalu membunuhnya!”

“Hal kedua mengapa kami menginginkan nyawamu,” buka suara Parit Teguh, “Kau juga telah membunuh sahabat kami si Tudung Maut!”

“Hal ketiga!” menimpali Kembar Merah Tua dengan mata berapi-api, “Kau membunuh adikku!”

Si baju merah lagi-lagi tersenyum. Kali ini sambil gelengkan kepala. “Kalian salah sangka. Biar kuberi penjelasan,” katanya sambil melirik pada Parit Teguh dan mengerling pada Sukat Ragil. “Aku tidak menculik Pangeran itu. Dia sendiri yang mau ikut bersamaku. Karena dia tergila-gila padaku. Ketika kusuruh pulang dia lantas putus asa dan bunuh diri!”

“Dusta!” sentak Sukat Ragil. “Mayatnya ditemui tanpa pakaian. Di lehernya ada bekas cekikan. Mana ada orang bunuh diri mencekik dirinya sendiri!”

“Soal dia berpakaian atau tidak ketika mati mana aku tahu. Siapa yang mencekiknya akupun awam!”

“Kami tahu kau licik dan pandai berdalih!” ujar Parit Teguh.

Kembali perempuan baju merah itu melemparkan kerling dan senyum pada lelaki ganteng ini. “Soal sahabatmu yang bergelar si Tudung Maut itu, bukan aku yang membunuh. Dia yang datang malam-malam buta mengganggu ketenteraman orang dan agaknya memang minta mati. Kalau saja aku tahu sebelumnya bahwa dia kawanmu, mungkin aku tidak mengganggunya!” lalu perempuan ini berpaling pada Kembar Merah Tua. “Aku juga tidak merasa membunuh adikmu itu. Salah dia sendiri. Siapa mau-mauan mencium kertas beracun…?! Hik hik hik…!”

“Perempuan keparat! Riwayatmu hanya sampai malam ini!” teriak Kembar Merah Tua lalu menyerbu, tapi gerakkannya ditahan oleh Tulodong Hitam.

Orang tua ini maju selangkah lalu berkata. “Ratu Mesum, kami datang memang untuk menghukummu. Dosa dan kejahatanmu sudah melebihi takaran. Jika kau mau menyerah baik-baik, kami akan bawa kau hidup-hidup ke Banyuwangi. Tapi jika melawan terpaksa kau bakal menemui kematian dalam warung ini!”

Si baju merah yang ternyata adalah Ratu Mesum alias Mawar tertawa panjang. Lidahnya yang basah bergerak kian kemari. “Orang tua macammu memang layak bicara memakai peradatan. Hanya saja semua maksudmu tak bisa kulayani. Sayang kalian tidak membawa nyawa cadangan. Namun aku memberi kesempatan agar kalian pergi saja dari sini demi keselamatan diri masing-masing. Kecuali jika dua kawanmu yang berotot hebat serta yang memegang tongkat itu mau ikut bersamaku, aku tidak keberatan. Hik hik hik!”

“Iblis! Kau memang sudah saatnya mampus!” teriak Kembar Merah Tua. Namun gerakkannya hendak menyerang lagi-lagi dicegah Tulodong Hitam.

Kakek ini berkata, “Aku tak ingin kau mati tanpa mengetahui siapa kami ini…”

“Oh, mau perkenalkan diri? Bagus! Ada baiknya agar kalian tidak menyesal sampai di liang kubur. Ratumu menunggu. Silakan beritahu siapa kalian…”

“Kawanku si baju merah itu adalah orang tertua dari sepasang Kembar Merah. Yang memegang tongkat rotan bernama Parit Teguh, bergelar Tongkat Seratus Bayangan. Yang di sampingku Sukat Ragil, perwira keraton Banyuwangi. Dan aku yang jelek ini Tulodong Hitam alias Si Pencuri Jantung. Nah sudah siapkah kau untuk mati?!”

Ratu Mesum kembali perdengarkan suara tawanya yang panjang dan tinggi. Nama sepasang Kembar Merah ataupun Sukat Ragil sang perwira dari Banyuwangi itu tidak dikenal dan tidak mengejutkannya. Namun dia cukup terkesiap ketika mengetahui si kakek baju hitam adalah manusia yang menyandang gelar Si Pencuri Jantung sedang lelaki gagah berpakaian rapi ternyata adalah Tongkat Seratus Bayangan!

Dia melirik ke arah sepasang tangan si kakek yang ternyata berkuku panjang hitam. Kuku-kuku jari itu telah mengorek puluhan jantung lawan yang rata-rata berkepandaian tinggi. Sedang Tongkat Seratus Bayangan merupakan satu nama besar menggetarkan daerah timur sejak tiga tahun belakangan ini! Meskipun sadar menghadapi lawan-lawan tangguh namun Ratu Mesum yang percaya pada kemampuannya tidak menjadi kecut. Dasar perempuan hidung belang yang tidak boleh melihat lelaki gagah maka dia berkata seenaknya.

“Malam begini dingin, mengapa kita tidak ngobrol menghangatkan diri dengan kopi atau tuak…,” katanya. Lalu menyambung: “Aku bersedia menganggap selesai perkara ini sampai di sini asal saja kau yang bernama Parit Teguh dan yang berotot hebat ini suka ikut bersamaku!”

Paras Parit Teguh jadi merah. Dia harus mengakui belum pernah melihat perempuan secantik dan semulus manusia iblis bergelar Ratu Mesum ini. Sebaliknya Sukat Ragil yang memikul tugas berat tak mau menunggu lebih lama lagi. Setelah memberi isyarat pada Tulodong Hitam dia menyergap dari samping kiri.

Serta merta Kembar Merah Tua menerjang pula dari sebelah kanan, Parit Teguh menusuk dengan tongkat rotannya sedang Tulodong Hitam menyambarkan kuku-kukunya yang hitam panjang. Sesuai dengan gelarnya yakni Si Pencuri Jantung maka setiap serangannya selalu berakhir pada gerakan yang mengarah ke jantung lawan!

Pada gebrakan pertama itu Ratu Mesum segera mengetahui kalau empat lawannya kali ini benar-benar berat. Dia bukan saja harus mempergunakan kepandaian untuk menghadapi mereka, tetapi juga harus memutar akal.

Lima jurus pertama perempuan itu dibuat repot oleh gerakan tongkat Parit Teguh. Tongkat Rotan itu seperti berubah menjadi puluhan banyaknya. Mendesing, menyambar, menusuk, terkadang mengait ke arah bagian badan secara tak terduga. Di samping itu sulit pula diterka mana batang atau bayangan belaka. Beberapa kali ujung tongkat hampir menusuk bahu atau perutnya. Beberapa kali pula ujung tongkat yang lainnya hampir mengait lengan atau lehernya!

Sepuluh jari tangan Tulodong Hitam menggapai, mencengkeram, mengorek tiada henti. Sementara itu pukulan, sikutan dan tendangan yang dilepaskan Sukat Ragil datang bertubi-tubi. Ditambah pula dengan serangan Kembar Merah Tua yang sangat nekad berbahaya karena disertai kebencian dan dendam atas kematian adiknya. Semua itu membuat Ratu Mesum terdesak hebat. 

Namun manusia berpengalaman, bermata jeli dan panjang akal ini masih sanggup melihat titik lemah pada lawan yang menyeroyoknya. Titik-titik lemah ini adalah Kembar Merah Tua dan si perwira Sukat Ragil. Kalau dia bisa menghajar dua lawan ini lebih dulu, rasanya menghadapi si kakek dan Tongkat Seratus Bayangan tidak akan terlalu menyulitkan. Maka Ratu Mesum sambil bertahan lancarkan serangan-serangan mematikan ke arah Kembar Merah Tua atau Sukat Ragil.

Tulodong Hitam yang menghadapi gerakan-gerakan lawan, terpaksa membagi perhatian untuk melindungi dua kawannya yang digempur gencar itu. Terutama Kembar Merah Tua. Lelaki ini berkelahi seperti orang kemasukan setan. Menghamburkan pukulan dan tendangan dengan tenaga dalam tinggi tanpa memperhatikan lagi pertahanan dirinya.

Tiba-tiba Ratu Mesum kumandangkan tawa melengking. Tubuhnya merunduk dan berputar seperti titiran. Tangan kanannya dipukulkan ke depan tetapi terpaksa ditarik karena ujung tongkat Parit Teguh datang menghantam dengan deras. Tapi dengan tangan kiri lalu bertumpu pada senjata lawan diayunkan tubuh untuk melompat ke kiri. Dan buuk!

Kaki kirinya mencium dada Kembar Merah Tua keras sekali. Lelaki ini sampai keluarkan suara seperti muntah. Tubuhnya terlipat ke depan lalu jatuh berlutut. Ada darah mengalir dari sela bibirnya. Tulodong Hitam segera berteriak agar Kembar Merah Tua cepat menyingkir. Namun terlambat. Pukulan tepi telapak tangan sang ratu menghantam lebih dulu. Kembar Merah Tua terbanting ke lantai warung, mengerang sebentar lalu tak berkutik lagi.

Berhasilnya Ratu Mesum membunuh salah satu lawannya tidak didapatnya dengan mudah. Karena untuk itu dia harus menerima jotosan keras Sukat Ragil pada bahunya sebelah kanan. Perempuan ini menggigit bibir menahan sakit. Tulang bahunya serasa remuk. Tubuhnya terhuyung ke kiri.

Kalau dia tidak lekas menyingkir menjauhi tiga lawannya, mungkin kepalanya sudah kena gebuk tongkat rotan di tangan Parit Teguh! Dengan mata berkilat-kilat, memancarkan hawa pembunuhan Ratu Mesum alirkan tenaga dalam ke tangan kiri. Begitu lawan mendatangi maka dia hantamkan ke depan.

“Lekas menyingkir!” teriak Tulodong Hitam ketika dilihatnya sinar merah muda berkiblat.

Wuss! Angin pukulan yang memancarkan sinar merah itu menderu lepas, melabrak dinding warung hingga hangus dan bolong. Begitu pukulan maut itu berhasil dielakkan, Tulodong dan Parit Teguh lekas menyerbu sebelum lawan berkesempatan membuat gerakan baru. Kini meskipun mereka tinggal bertiga, tetapi Tulodong Hitam mampu mengembangkan serangan sehingga kembali Ratu Mesum terdesak.

Beberapa kali perempuan ini coba mengeluarkan ilmu simpanannya yakni membuat gerakan melompat ke atas lalu menghamburkan hawa harum beracun tetapi selalu gagal. Setiap dia siap melompat, ujung tongkat yang berkeluk di tangan Parit Teguh menyambar ganas menarik bahu atau batang lehernya. Mau tak mau Ratu Mesum terpaksa batalkan lompatannya. 

Tetapi dia tidak mau menyerah begitu saja. Dia yang punya seribu akal harus mampu bertempur mengatur jarak menjauhi lawan. Kadang-kadang dia sengaja menyerang tempat-tempat kosong atau membuat gerakan-gerakan aneh lainnya yang sulit diraba lawan. Tahu-tahu tubuhnya sudah berada di belakang lawan, siap untuk menjotos, menendang atau mencengkeram. 

Tetapi tidak terlalu mudah untuk dapat merobohkan tiga lawan ini. Mempercepat gerakan sama dengan menguras tenaga. Setelah sembilan jurus berlalu tanpa dapat menciderai salah seorangpun dari lawannya, kembali Ratu Mesum terdesak.

Breet!

Jurus ke dua puluh empat kuku jari tangan kiri Tulodong hitam menyambar ke dada kiri Ratu Mesum. Perempuan ini terpekik. Saat itu dia masih harus mengelakkan serangan tongkat Parit Teguh yang mengemplang ke kepalanya. Masih untung kedudukan kedua kakinya pada posisi yang cukup tangguh hingga dia mampu membuang diri ke belakang dan hanya baju merahnya saja yang robek. Sebagian dadanya tersingkap. 

Sesaat Parit Teguh dan Sukat Ragil terkesiap melihat dada yang putih dan menonjol besar itu sementara si tua Tulodong Hitam kelihatan menjadi jengah! Hal ini cepat terlihat oleh Ratu Mesum maka diapun lemparkan jeratnya.

“Malam begini dingin dan kita orang-orang tolol pada berkelahi. Dengar, dibagian belakang warung ini ada kamar dengan tempat tidur besar. Aku bersedia melayani kalian…”

“Perempuan busuk! Jangan dengarkan tipuan kejinya!” teriak Tulodong Hitam memotong.

“Aku tidak menipu. Aku memang suka pada kalian. Kau yang tua jika tak Khawatir Parit Teguh dan Sukat Ragil terpengaruh maka Tulodong Hitam cepat kirimkan serangan. Kembali terjadi perkelahian. Ratu Mesum menyumpah dalam hati. Sementara itu bekas pukulan Sukat Ragil pada bahu kanannya terasa bertambah sakit.

“Diberi surga mau neraka! Bersiap-siaplah untuk mampus!” teriak Ratu Mesum. Kembali dia melepaskan pukulan yang mengeluarkan sinar merah. Lalu tubuhnya di putar seperti gasing. Tetapi gerakan selanjutnya dihadang oleh tongkat di tangan Parit Teguh. Ujung tongkat yang berkeluk menyambar batang lehernya hingga dia tak berkesempatan melompat.

“Apa boleh buat! Aku harus menebarkan hawa beracun itu tanpa melompat!” membatin  Ratu Mesum setelah melihat lawan membaca gerakannya. Maka diapun tutup penciumannya dan singsingkan bagian bawah pakaian merahnya.

“Awas! Jangan biarkan dia mengangkat pakaiannya!” Tulodong Hitam berikan peringatan. Dia melompat ke atas untuk mencegah gerakan lawan jika sekiranya Ratu Mesum memaksakan diri melompat. 

Sementara Parit Teguh hantamkan tongkatnya ke arah kedua tangan Ratu Mesum guna mencegah perempuan ini menyibakkan pakaiannya. Dalam pada itu Sukat Ragil tidak hentinya kirimkan serangan berantai. Semua ini membuat Ratu Mesum lagi-lagi terpaksa membatalkan gerakannya dan cari selamat dari ketiga  serangan lawan.

Menyadari dirinya tak punya kesempatan untuk menebarkan hawa beracun sementara tenaganya mulai terkuras. Ratu Mesum keluarkan jurus-jurus simpanannya. Gerakannya tidak secepat sebelumnya namun penuh kekuatan serta tipuan-tipuan mematikan. Dengan cara begini tiga jurus dimuka dia berhasil memukul roboh Sukat Ragil hingga perwira muda ini patah tangan kirinya dan melompat keluar dari kalangan perkelahian.

Saat itulah Ratu Mesum melihat adanya kesempatan untuk menebarkan hawa harum beracunnya. Tubuhnya berputar seperti gasing lalu mencelat ke atas. Akan tetapi lagi-lagi serangannya di patahkan oleh tongkat di tangan Parit Teguh. Lelaki ini lebih cepat dan berhasil mendahului gerakan Ratu Mesum. Ujung tongkatnya yang berkeluk berhasil menggaet batang leher lawan. 

Sekali sentak saja tubuh perempuan ini tertarik keras ke depan. Disaat yang sama Tulodong Hitam sudah menunggu dengan serangan sepuluh jari. Lima jari tangan kiri membuat gerakan merobek ke arah dada kiri sedang lima jari tangan kanan siap membetot isi dada itu.

Ratu Mesum menjerit. Seumur hidupnya baru sekali inilah dia menjerit dan ketakutan seperti itu. Dia tak dapat berbuat apa-apa. Tongkat lawan masih terus menjepit. Kali ini dia tidak sanggup menyelamatkan diri dengan cara apapun. Maka dipusatkannya untuk berjibaku.

Kalau Tulodong Hitam berhasil membunuh dan mencopot jantungnya, maka orang tua inipun harus mati ditangannya. Ratu Mesum pukulkan kedua tangannya ke depan, mengarah perut dan batang tenggorokan Tulodong Hitam. Masih belum cukup, perempuan ini juga miringkan lututnya ke selangkangan kakek itu.

Parit Teguh kaget melihat kejadian ini. Dia yakin Tulodong Hitam berhasil membunuh perempuan ini lebih dulu, tetapi diri si kakekpun tak akan lepas dari bahaya. Dia putar tongkatnya yang masih menggeluh di leher Ratu Mesum. Paling tidak gerakkannya itu akan menahan lajunya serangan perempuan itu. 

Justru saat itulah tiba-tiba lampu minyak dalam warung tersebut mental dan padam dihantam sebuah benda besar. Terdengar pekik Ratu Mesum. Keadaan dalam warung menjadi gelap gulita. Tulodong Hitam mendadak merasakan ada angin yang menyambar dari samping. Tubuhnya terdorong keras dan jatuh terpelanting. Dilain pihak Parit Teguh merasakan ngilu pada tengkuknya. Setelah itu tubuhnya kaku tak bisa digerakkan lagi. Seseorang telah menotoknya dalam gelap.

“Bangsat! Siapa yang berani membokong!” teriak Parit Teguh.

Tulodong Hitam menghambur ke pintu. Maksudnya untuk mencegah jalan keluar hingga siapapun yang tadi masuk bisa dihadang dan dihantamkan di situ. Tetapi dia kecele. Sesosok bayangan putih berkelebat sangat cepat lewat jendela samping warung. Orang ini memanggul sesosok tubuh berpakaian merah. Seseorang telah menyelamatkan dan melarikan Ratu Mesum.


***
TUJUH


SIPENOLONG TERNYATA
RATU MESUM ingin sekali melihat wajah orang yang menolong dan melarikannya. Namun malam begitu gelap. Di samping itu lehernya masih terasa sakit dan kaku akibat tarikan keras tongkat Parit Teguh. Sedang luka dibagian dada akibat cengkeraman kuku-kuku jari Tulodong Hitam masih mengeluarkan darah dan sakitnya bukan alang kepalang seolah-olah jantungnya benar-benar sudah dicopot kakek lihay itu! Sekujur tubuhnya terasa lemas, akhirnya perempuan ini jatuh pingsan di atas bahu penolongnya.

Sawah itu luas sekali. Sejak panen dua minggu lalu keadaannya kini tampak gundul dan tak seorang petanipun tampak ketika orang yang menolong Ratu Mesum sampai di situ. Dia membaringkan tubuh perempuan itu di atas sebuah dangau bambu dan memeriksa luka dibagian dada. Si penolong geleng-gelengkan kepala. Ada dua hal yang membuat dia begitu. 

Pertama melihat luka di tubuh perempuan itu yang berupa empat guratan cukup dalam. Jika luka itu masuk lebih dalam lagi tidak mustahil akan merobek daging sampai ke tulang iga. Bahkan jantungnya. Hal kedua ialah payudara yang putih besar dan keras serta bagian lain dari tubuh yang begitu mulus hampir tidak tertutup saking tipisnya baju merah yang dikenakan.

Setelah menetapkan beberapa totokan darah mudanya yang tergoncang, lelaki itu melakukan beberapa kekuatan baru pada tubuh yang tampak lemah itu, si penolong salurkan tenaga dalamnya yang hangat lewat telapak tangan yang ditempatkan ke bagian perut dan punggung Ratu Mesum. Ketika matahari pagi mulai naik, kabut lenyap, pemandangan di persawahan itu bagus sekali. Dan sang ratu tampak menggerak-gerakkan kedua matanya. 

Sepasang mata itu kemudian terbuka. Yang pertama dilihatnya adalah atap dangau di mana dia berada, lalu sosok tubuh seorang yang duduk memunggunginya, orang ini mengenakan pakaian dan ikat kepala putih. Rambutnya hitam tebal dan gondrong. Ada asap kelihatan. Agaknya orang itu tengah merokok. 

Ratu Mesum dapatkan kepalanya agak pening tetapi tubuhnya yang semalam sangat lemas kini terasa sehat dan kuat kembali. Aneh, tentu ada seseorang yang menolongnya dengan obat atau entah dengan apa. Hanya ada rasa perih pada bagian dadanya sebelah kiri. Perlahan-lahan Ratu Mesum bangkit dan duduk lalu menyapa.

”Hai…! Hai…! Apakah kau yang menolongku tadi malam…?”

Orang yang disapa memutar kepalanya.

“Aih…. Wajahnya gagah sekali. Tapi sedikit kebodohan-bodohan seperti anak-anak…” kata Ratu Mesum dalam hati begitu melihat wajah lelaki itu.

Yang disapa tersenyum sedikit mengangguk. “Kau masih belum sembuh benar. Labih baik berbaring terus…”

“Berbaring malah membuatku jadi lemas…” Ratu Mesum ingat pada rasa peri di dadanya. Ketika diperiksa perempuan ini mengeluarkan keluhan kecil. Darah telah berhenti mengucur tapi luka itu pasti lama baru bisa sembuh. Tiba-tiba perempuan ini menyingkapkan pakaiannya sebelah bawah. 

Lelaki itu jelas dapat melihat sepasang kaki sampai kepaha bahkan sebagian pinggul yang putih mulus, membuat kedua matanya tak mau berkedip. Dari balik pakaiannya perempuan itu mengeluarkan sehelai lipatan kertas kecil. Ketika lipatan kertas dibuka tampak sejenis bubuk putih. Bubuk ini kemudian ditebarkannya di atas lukanya. Aneh, luka yang tadi membuka itu kini kelihatan menutup. Ratu Mesum tampak lega.

“Makan ini…” Si gondrong berambut hitam mengeluarkan sebuah benda hijau bulat sebesar kelereng.

“Apa ini. Tahi kambing…?” Tanya Ratu Mesum.

Lelaki itu tersenyum tapi dalam hati menyumpah. “Ini obat. Bukan tahi kambing. Apa kau suka makan tahi kambing?”

Ratu Mesum tertawa cekikikan. “Obat untuk apa…?”

“Agar lukamu cepat sembuh dan kesehatanmu pulih kembali.”

“Apa kau pernah makan obat ini. Dari siapa kau dapat….?”

“Aku pernah makan. Dari siapa aku dapat kau tak usah tahu. Bukankah kau ingin lekas sembuh…?”

“Kau telah menolongku. Jadi aku harus percaya padamu!” perempuan itu mengambil obat tersebut, langsung menelannya. Setelah pejamkan mata beberapa saat dia kemudian berkata, “Hai, obat mujarab sekali. Pening dikepalaku lenyap. Tubuhku terasa ringan. Masih ada obatnya…?”

“Cukup sekali saja. Terlalu banyak malah bisa jadi penyakit.”

Ratu Mesum manggut-manggut. “Kau telah menolongku. Siapa namamu orang gagah…?” Ratu Mesum menggeser duduknya lebih dekat.

“Mahesa…”

Ratu Mesum mengangguk lagi. “Mengapa kau menolongku?”

Sesaat si penolong yang bukan lain Mahesa adanya tak bisa menjawab.

“Karena kau terpikat oleh kecantikanku…?” ujar Ratu Mesum.

“Anak setan ini enak saja bicaranya!” maki Mahesa dalam hati. “Kau memang cantik. Luar biasa. Tak pernah aku melihat perempuan secantikmu. Malah mungkin kau akan jauh lebih cantik jika tidak berdandan seronok…?”

Ratu Mesum tertawa. “Begitu…? Karena kau yang berkata aku akan menuruti nasihatmu.”

“Nasihat apa?”

“Aku akan dandan wajar-wajar saja. Begitu maumu bukan?”

“Terserah padamu,” sahut Mahesa.

“Hai, kau belum menerangkan mengapa kau menolongku!”

“Yang pasti bukan karena kecantikanmu semata,” jawab Mahesa. “Aku tidak suka melihat ketidakadilan. Seorang dikeroyok lawan. Apalagi perempuan sepertimu. Mana pantas. Dan saat itu kulihat keselamatanmu terancam. Kakek berpakaian hitam itu benar-benar hampir mencuri jantungmu!”

“Aku bersumpah untuk membunuhnya jika bertemu. Juga lelaki keren bersenjata tongkat itu!” kata Ratu Mesum pula.

“Malam tadi, waktu kau melempar surat merah, aku ada ditempat itu. Aku dengar semua pembicaraan mereka. Itu sebabnya aku menguntit gerak-gerik mereka sampai di Bangsalsari. Sebenarnya mengapa mereka ingin membunuhmu…?”

“Jika kau ada di tempat mereka berkemah, pasti kau dengar semua pembicaraan mereka. Jadi sudah tahu mengapa mereka ingin membunuhku!”

Mahesa menggeleng. “Tak banyak yang mereka bicarakan tentang kau.”

“Apa saja?” Tanya Ratu Mesum ingin tahu.

“Bahwa kau seorang perempuan cantik. Lalu banyak lelaki yang terpikat. Juga keliahayanmu menebar hawa harum yang mengandung maut…”

“Nah, kau sudah tahu semua…”

“Belum. Satu diantaranya mengapa mereka ingin membunuhmu.”

Kalau orang lain yang bicara seperti memaksa itu seperti Ratu Mesum mungkin sudah naik darah dan menyerang. Tetapi terhadap pemuda ini sang ratu justru tertawa dan berkata, “Panjang ceritanya. Kelak kau akan tahu juga.”

“Aku tak mengerti mengapa mereka memanggilmu dengan nama Ratu Mesum. Apakah kau benar-benar seorang ratu…?”

Perempuan itu tertawa. “Seorang yang benci pada kita, bisa saja memberi gelar atau julukan jelek seribu macam. Dengar, aku ingin kau menolongku tidak kepalang tanggung…”

“Apa maksudmu?” tanya Mahesa lalu menyalakan sebatang rokok kawung.

“Perutku lapar. Aku juga haus. Maukah kau mencarikan air dan makanan untukku?”

Sebenarnya Ratu Mesum saat itu tidak lapar ataupun haus. Sejak melihat wajah Mahesa perempuan ini langsung tertarik. Dia hanya ingin mengetahui apakah pemuda itu juga tertarik padanya. Karena dia sengaja memancing minta tolong.

Mahesa tak menjawab. Dimana pula bisa mendapatkan air dan makanan pagi-pagi begini? Dia memandang berkeliling. Jauh diujung pesawahan sebelah timur tampak sederatan rumah penduduk.

“Aku akan mencoba ke sana!” kata Mahesa menunjuk ke timur.

“Jangan salahkan kalau aku cuma bisa mendapatkan sejumput nasi basi tanpa ikan dan sekaleng air!”

Ratu Mesum tersenyum. Ternyata pemuda itu mau menolongnya. Mungkin diapun suka padanya.

“Kau tunggu di sini. Jangan ke mana-mana,” kata Mahesa.

“Tinggalkan dulu rokokmu itu. Ingin tahu bagaimana rasanya merokok…”

Terpaksa Mahesa serahkan rokok kawungnya pada Ratu Mesum. Perempuan ini langsung menghisapnya dalam-dalam. “Hai… enak juga…” katanya.

Hanya sesaat setelah Mahesa meninggalkan dangau di persawahan itu, sesosok tubuh berkelebat. Ratu Mesum cepat berpaling dan dia jadi terkejut melihat siapa yang muncul sendirian. Hatinya lega kalau terjadi apa-apa masakan satu lawan satu dia tak bakal menang.

“Kutemui kau di sini!” orang yang datang buka suara sambil melintangkan tongkat rotannya di depan dada. “Siapa orang yang menolongmu itu?”

“Apa perdulimu!” sahut Ratu Mesum. Untuk memastikan bahwa lelaki itu benar-benar datang sendirian dia bertanya, “Mana kawanmu kakek jelek baju hitam itu….?”

“Dia mengejar ke jurusan lain. Aku kemari. Aku beruntung ternyata berhasil menemuimu di sini…”

“Kau tidak beruntung orang gagah. Kau akan mati di tempat ini!”

Lelaki itu tertawa lalu sisipkan tongkatnya ke pinggang.


***
DELAPAN


BERGANTI PAKAIAN BERGANTI NAMA
PARIT TEGUH naik ke atas dangau dan duduk dekat-dekat Ratu Mesum. “Dengar,” katanya hampir berbisik seolah-olah takut ada yang akan mendengar. “Aku akan menganggap urusan kita selesai jika kau mau ikut dan tinggal bersamaku di pantai selatan Banyuwangi…”

“Hemmm…. Lelaki ini terpikat padaku. Dia akan membayar mahal…” kata Ratu Mesum dalam hati.

Orang yang datang ke dangau itu memang adalah Parit Teguh alias Tongkat Seratus Bayangan Hitam berunding. Diputuskan bahwa si kakek akan mengejar ke arah timur sedang Parit Teguh ke arah barat. Sebenarnya lelaki ini sudah melihat arah mana Ratu Mesum dilarikan. Karena itu dia memilih arah barat karena dia memang dia berharap dapat menemui perempuan yang sangat memikat hatinya itu meskipun dia baru saja kawin setahun lalu dengan seorang gadis yang berparas cantik tapi berkulit hitam manis.

Ratu Mesum tertawa sambil rundukkan kepala hampir menyentuh wajah Parit Teguh. Tidak dapat menguasai rangsangannya dalam tubuhnya lantas saja dia mencium pipi Ratu Mesum. Lalu tangan kanannya menjalar ke dada. Seolah-olah hendak memeriksa luka perempuan itu dia bertanya,

“Bagaimana lukamu…?” tapi yang dibelainya bukan luka di tubuh Ratu Mesum, melainkan payudara perempuan itu.

Ratu Mesum menepiskan tangan Parit Teguh. “Luka itu akan segera sembuh. Sebaiknya kita bicarakan dulu urusan kita…”

“Kau mau ikut aku…?”

“Tentu saja. Mana ada perempuan yang tidak suka pada lelaki segagahmu. Tetapi….?”

“Tetapi apa? Katakan syaratmu! Jika kau sampai membantah terpaksa aku meneruskan niat semula. Membunuhmu…!”

“Apa kau betul-betul tega membunuhku…?” Tanya Ratu Mesum sambil mengerling. Lalu perempuan ini merubah duduknya sehingga tubuhnya sebelah bawah tersingkap, membuat silau kedua mata Parit Teguh.

“Kalau kau mau hidup bersamaku, masakan aku akan membunuhmu…”

“Aku bersedia. Hanya saja, apakah yang diharapkan perempuan sepertiku ini dari seorang lelaki gagah sepertimu? Bukan harta bukan kekayaan. Tapi kekuatan…”

“Maksudmu?”

“Maksudku, aku harus menguji kejantanan lebih dulu. Aku tak suka pada lelaki yang akan membuatku merana karena ketagihan…”

Mendengar kata-kata itu Parit Teguh tertawa gelak-gelak. “Kau akan segera mengetahui. Kita berangkat sekarang. Di rumahku di Banguwangi akan kubuktikan…”

Ratu Mesum menggeleng sambil tersenyum. “Aku ingin bukti saat ini juga!” katanya.

“Di sini…?”

“Di kolong dangau ini ada tumpukan jerami kering. Cukup nyaman untuk kita berdua…”

Parit Teguh terbelalak. Tapi ketika Ratu Mesum meluncur turun dari dangau dan masuk ke kolong lalu membaringkan diri di atas tumpukan jerami kering, diapun melompat turun.

“Perempuan luar biasa!” katanya dalam hati. Tubuhnya kejang dirangsang nafsu. Terlebih ketika dilihatnya perempuan itu menggeliat tubuh seperti tidak sabaran.

“Hai! Kenapa hanya celanamu yang kau tanggalkan semua pakaiannya.”

“Bagus begitu… sekarang kemarilah…” Ratu Mesum ulurkan tangan dan kembangkan kedua kaki.

Parit Teguh yang lupa diri langsung saja menjauhkan diri masuk ke dalam pelukkan perempuan itu, balas memeluk dengan kuat dan nafsu. Nafasnya memburu. Tapi tiba-tiba terdengar jerit lelaki ini. Tubuhnya terlempar ke udara, menghantam bagian perutnya sehingga anggota rahasianya remuk. Selagi dia melintir kesakitan, Ratu Mesum sambar tongkat rotannya lalu tekankan batang tongkat tenggorokan Parit Teguh. Lelaki ini tidak berdaya lagi untuk selamatkan diri. Dia menemui ajal dengan lidah terjulur dan mata mendelik!

Ratu Mesum ludahi mayat Parit Teguh. Tongkat yang masih dipegangnya ditusukkan ke perut bugil lelaki itu. Lalu seperti tidak terjadi apa-apa, setelah merapikan pakaiannya dia naik ke atas dengau kembali.

Tak selang berapa lama Mahesa muncul membawa sebuah kendi tanah dan nasi serta sepotong kecil ikan yang dibungkus dalam daun pisang. Tentu saja dia terkejut ketika melihat mayat Parit Teguh yang mati dengan lidah mencelet mata mendelik, perut tertusuk tongkat miliknya sendiri dan bugil.

“Apa yang terjadi?” tanyanya.

“Lelaki itu melakukan pengejaran dan menemuiku di sini. Dia berusaha memikatku, hendak memperkosaku. Dia terima sendiri akibatnya!”

“Gila!” rutuk Mahesa dalam hati. Lalu diserahkannya kendi dan bungkusan nasi. “Makanlah cepat. Setelah itu tinggalkan tempat ini. Bukan mustahil kawannya kakek berbaju hitam itu juga muncul di sini.”

“Apa kau takut?”

Mahesa tak menjawab.

“Kau tak menemaniku makan…?”

“Aku tidak lapar.”

“Tapi aku tidak sudi makan kalau tidak bersamamu!”

“Ah, kolokan sekali perempuan ini!” kata Mahesa dalam hati. Tapi akhirnya dia duduk juga berhadap-hadapan dan menemani perempuan itu makan dari bungkusan nasi yang sama. Memang lain pula nikmatnya makan bersama perempuan cantik walau nasi yang dimakan sedikit dan mulai basi serta ikan hanya secuil, itupun tinggal tulangnya saja.

“Enak makannya…?” tanya Ratu Mesum lalu meneguk air kendi tanah.

“Enak sekali!” jawab Mahesa. Dia menerima kendi yang diulurkan Ratu Mesum lalu menempelkan bibirnya di mulut kendi, pada bekas bibir Ratu Mesum menempel waktu minum tadi. Sisa air dalam kendi dipergunakan perempuan itu untuk mencuci mukanya. Ketika dia mengeluarkan peralatan untuk berhias, Mahesa berkata,

“Kurasa kau tak perlu berdandan…”

“Eh, memang kenapa?”

“Kau akan lebih cantik tanpa berdandan…!”

Jawaban polos pemuda itu membuat Ratu Mesum terkesiap. Entah mengapa kemudian dia menyimpan alat-alat kecantikannya kembali. Ada rasa suka muncul semakin besar dalam hatinya terhadap pemuda ini. Rasa suka yang sekali ini tidak disertai nafsu bejat seperti yang selalu meracuni dirinya ini.

“Aku harus pergi sekarang…” kata Mahesa. Suaranya datar seperti tidak ditunjang oleh hasrat hati yang sesungguhnya.

“Setelah menolongku apakah kau akan meninggalkanku begitu saja?” tanya Ratu Mesum.

“Aku banyak urusan!” kata Mahesa.

“Aku juga. Kalau kita pergi sama-sama bukankah bisa membagi pikiran hingga urusan bisa diselesaikan dengan baik?”

Dalam hati Mahesa berkata, “Mungkin begitu, tapi mungkin juga malah tambah urusan!”

“Aku tahu kau enggan jalan sama-sama. Tapi dengan pakaian seperti ini aku tak bisa membawamu. Terus terang aku suka melihat pakaian tipis itu…” kata Mahesa senyum-senyum. “Namun pakaian itu akan lebih banyak mengundang malapetaka…”

“Kalau saja aku punya pakaian lain…”

Mahesa melemparkan sehelai baju dan celana panjang putih yang selalu dibawanya dalam kantong perbekalan. “Pakai itu,” katanya.

“Sekarang?” Tanya Ratu Mesum.

“Lalu kapan lagi?”

Ratu Mesum mengambil pakaian itu. Biasanya dia tidak akan malu-malu membuka pakaiannya dihadapan lelaki yang disukainya. Namun sekali ini entah mengapa dia merasa jengah dan berkata: “Balikkan tubuhmu, aku mau ganti pakaian.”
Mahesa tertawa lalu membalikkan tubuh sementara Ratu Mesum membuka pakaian merahnya dan mengenakan pakaian yang diberikan Mahesa.

“Nah, dengan pakaian itu kau bukan saja kelihatan cantik, tapi juga gagah!” Mahesa memuji setelah dilihatnya Ratu Mesum selesai berpakaian.

Senang menerima pujian itu Ratu Mesum berkata, “Ada satu hal yang aku kawatirkan mengenakan pakaian seperti ini. Aku tidak bisa lagi menebar hawa harum beracun seperti yang kulakukan dengan baju merah itu…”

Mahesa belum pernah melihat Ratu Mesum menebar hawa harum beracun. Tapi dia punya pertimbangan lain. “Kau harus belajar supaya dapat menebar hawa itu dari kedua ujung lengan pakaianmu. Itu bisa kau lakukan lebih cepat karena tidak perlu membuat gerakan yang merepotkan!”

“Astaga! Kau benar. Mengapa aku tidak memikirkannya dari dulu-dulu…”

“Lalu kau mau kupanggil apa?”

Ratu Mesum ingat pada Pringgo yang memberikan nama Mawar Merah padanya. Semula hendak dikatakannya hal itu namun diputuskannya untuk tidak memberi tahu.

“Masakan kau tidak punya nama?” ujar Mahesa tak percaya.

Ratu Mesum menggigit bibirnya. “Aku memang pernah punya nama. Ayahku yang memberikan. Tapi aku telah bersumpah untuk tidak memakai nama itu lagi…?”

“Memangnya kenapa?”

Ratu Mesum hanya geleng-geleng kepala. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Mahesa terdiam.

“Kalau begitu aku tak akan menanyakan hal itu lagi,” katanya.

“Terserah kau mau memanggil aku apa…” ujar Ratu Mesum.

Mahesa merenung beberapa lama. “Sulit juga memberikan nama yang serasi untuk perempuan secantikmu,” kata pemuda itu. “Aku menemuimu di desa Bangsalsari itu. Bagaimana kalau kau kupanggil Sari saja. Pendek, tapi menawan dan berkesan…”

Sesaat perempuan itu menatap dalam-dalam ke mata Mahesa. Perlahan-lahan diulurkannya tangannya memegang tangan pemuda itu. Mahesa balas memegang. Seumur hidupnya baru kali ini perempuan itu merasakan kebahagiaan berpegang tangan seperti itu. Dan matanya mulai tampak berkaca-kaca.

“Kau perempuan gagah. Kau tak boleh menangis!” kata Mahesa.

“Aku menangis bukan karena sedih. Atau cengeng. Tapi karena bahagia. Aku suka padamu… Mahesa,” kata perempuan itu sejujurnya. Dalam hatinya perempuan ini berjanji jika pemuda itu dapat dijadikan pautan hidupnya, dia akan merubah seluruh kehidupan sesat yang selama ini ditempuhnya.

“Kau suka nama itu?” tanya Mahesa.

“Itu nama bagus. Aku menyukainya… Terima kasih…”

“Kalau begitu kita pergi sekarang,” kata Mahesa seraya berdiri dan ulurkan tangan membimbing Sari.

“Mahesa malam tadi kau menyelamatkanku. Tidak mudah melakukan hal itu. Siapakah kau sebenarnya? Kau pasti seorang pendekar dengan gelar besar…”

“Namaku Mahesa. Aku adalah aku dan tidak punya segala macam gelar…”

“Lalu siapakah gurumu?” tanya Sari.

“Guruku adalah nasibku,” jawab pemuda itu. Kalaupun dia tidak ada masalah dengan Kunti Kendil, tak akan diberitahukannya nama gurunya itu. Apalagi saat itu dia memang punya masalah besar yang membuat dirinya mengambil keputusan untuk tidak mau bertemu lagi dengan sang guru dan untuk selama-lamanya.

Keduanya turun dari dangau. Sesaat Sari memandang pada pakaian merahnya yang ditinggalkannya di lantai dangau itu dengan perasaan sedih. Lalu dia membalikkan tubuh, menyusul Mahesa yang telah melangkah lebih dulu. Namun tiba-tiba perempuan ini berseru,

“Mahesa, ada seseorang menuju kemari!”


***
SEMBILAN


SI PENCURI JANTUNG MASIH PENASARAN
MAHESA cepat berpaling ke arah yang ditunjuk Sari. Dari arah timur saat itu memang tampak seseorang berlari cepat menuju ke tempat mereka. Semakin dekat semakin jelas siapa adanya.

“Rupanya dia tahu juga kalau kita berada di jurusan ini…” kata Sari.

“Kau tetap tenang, biar aku yang melayaninya. Bila urusan ini bisa diselesaikan secara damai itu akan lebih baik…” kata Mahesa. Tapi pemuda ini yakin urusan tidak semudah itu diselesaikan. Apalagi jika orang itu nanti melihat mayat Parit Teguh di kolong dangau.

Yang datang adalah si kakek berpakaian hitam, Tulodong Hitam. Sepasang matanya menatap tajam pada Sari lalu dia menyeringai. “Ratu Mesum, kau boleh bertukar pakaian seribu kali. Kau boleh menyamar ribuan kali tapi mataku tak bisa ditipu…”

“Apa maumu?!” bentak Sari.

“Apa mauku…?! Ha ha ha…!” Kakek itu tertawa gelak-gelak. “Kau masih bisa bertanya begitu? Ha ha ha…?”

Mahesa maju selangkah, “Kakek, kalau kau mau menerima usulku, itu akan lebih baik…”

Tulodong Hitam berpaling pada Mahesa. “Pasti kau manusianya yang mencampuri urusan malam tadi. Berani berbuat berani bertanggung jawab. Kau juga harus menyerahkan jantungmu padaku…”

“Dengar kek. Kau datang jauh-jauh mencapaikan diri untuk satu hal yang tak ada kaitan langsung dengan dirimu!”

“Jelas kau membela perempuan dajal ini! Biar kau kubunuh lebih dulu!” meradang si kakek.

“Tua bangka tolol!” bentak Sari cepat ketika dilihatnya si kakek hendak bergerak menyerang. “Kau tidak lihat ada apa di kolong dangau itu?!”

Ucapan Sari ini membuat Tulodong Hitam berpaling kearah bagian bawah dangau. Berubahlah parasnya begitu melihat mayat Parit Teguh dalam keadaan bugil. Perut ditancapi tongkat, mata mendelik dan lidah mencelet. Rahang si kakek tampak menggembung. Gerahamnya mengeluarkan suara bergemeletak. Didahului oleh pekik penuh amarah Tulodong Hitam langsung melompat menerjang Sari. Tapi gebrakannya ini dipotong oleh Mahesa. Si pemuda dorongkan tangannya ke bahu si kakek hingga orang tua ini terhuyung-huyungan ke kiri.

“Keparat!” Tulodong Hitam marah sekali. Dia membalik dan kini menyerbu Mahesa. Semula Sari ingin sekali masuk dalam kalangan perkelahian untuk membantu Mahesa. Selain itu dia juga punya rasa dendam terhadap kakek baju hitam itu, karena orang tua inilah yang hampir mencelakakannya, menimbulkan cidera pada dadanya. Namun diam-diam diapun ingin sekali untuk menyaksikan ketinggian ilmu pemuda yang entah bagaimana sejak dilihatnya wajahnya pagi tadi langsung saja dia merasa suka kalau tidak mau dikatakan jatuh cinta!

Tulodong Hitam kaget sekali ketika mendapat semua serangannya yang bertubi-tubi tak satupun mengenai sasaran. Lain dari pada itu jelas-jelas dia melihat pemuda lawannya berkelahi tidak sungguh-sungguh. Merasa dihina dianggap enteng. Kakek ini lipat gandakan tenaga dalamnya. Serangannya menggebu laksana hujan. Sepuluh jari kukunya mengeluarkan cahaya hitam dan sambaran angin dingin. Namun sampai lima jurus dimuka tetap saja dia tidak mampu berbuat apa-apa.

“Ah, pemuda ini ternyata benar-benar luar biasa. Si kakek sudah bertempur habis-habisan sebaliknya dia enak-enak saja!” kata Sari dalam hati sambil berdecak kagum. Semakin besarlah rasa sukanya terhadap Mahesa.

Tiba-tiba Tulodong Hitam mengeluarkan suara menggerung seperti harimau lapar. Tubuhnya mencelat ke atas, langsung menukik dari arah belakang. Tangan kanan menghantam dengan satu pukulan tangan kosong yang mengandung tenaga dalam tinggi sedang kaki kiri menyusul membabat ke kepala Mahesa!

Serangan aneh itu membuat Mahesa merunduk seraya lepaskan Pukulan Makam Sakti Meletus dengan tangan kosong. Karena secara aneh pula laksana seekor ikan dalam tanggok tubuh Tulodong Hitam mencelat kembali ke atas dan ketika Mahesa menyadari lawan tahu-tahu datang dari depan, keadaan sudah terlambat.

“Gila!” rutuk Mahesa.

Kaki kanan Tulodong Hitam menyambar cepat sekali ke arah mukanya. Tak ada kesempatan untuk mengelak. Di sana yang kritis itu pemuda ini memainkan Jurus Keempat Ilmu Silat Orang Buta yang didapatnya dari pengemis  Cengeng Sakti Mata Buta. Yakni jurus yang bernama, Si Buta Mencengkeram Langit! Kedua tangan Mahesa melesat ke depan.

Gerakan jurus silat yang dikeluarkan Mahesa memiliki dua keampuhan. Pertama dia meredam daya kekuatan tendangan lawan dan mengalihkan ke bagian lain yang kurang berbahaya yakni ke arah bahu. Kedua, cengkeramannya itu mencederai pergelangan kaki lawan hingga daging kaki Tulodong Hitam terkelupas sedang tulang keringnya remuk.

Tulodong Hitam mengeluh, tubuhnya jungkir balik di udara dan tegak di tanah dengan miring. Sementara Mahesa terdorong keras ke tanah, mukanya selamat dari tendangan maut, hanya tulang bahunya yang terasa sakit! Sari segera menubruk pemuda itu karena menyangka Mahesa cidera berat. Dia merasa lega ketika dapatkan Mahesa sudah lebih dulu melompat dan berdiri.

Kakek berbaju hitam memandang Mahesa dengan sepasang mata berkilat-kilat. Melihat kenyataan ini nyalinya menjadi ciut. Pemuda itu memiliki kepandaian bukan main. Menghadapinya satu lawan satu sulit baginya untuk menang, apalagi kakinya cidera berat begitu rupa. Kalau sampai pula Ratu Mesum membantu si pemuda. Celakalah dia. Memikir sampai disitu, tanpa banyak bicara lagi Tulodong Hitam putar tubuh, tinggalkan tempat itu.

“Mahesa, aku hanya melibatkanmu pada persoalan yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan dirimu…”

Mahesa tersenyum. Kemudian dia termenung. Waktu berkelahi tadi dia telah mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari Kunti Kendil, termasuk pukulan sakti Makam Sakti Meletus. Setelah kejadian si nenek menggantungkannya tempo hari apakah dia masih berhak mempergunakan kepandaian yang diterimanya dari perempuan tua itu? Juga apakah berhak memegang terus kayu hitam berbentuk papan nisan yang pernah diberikan Kunti Kendil sebagai senjata yang ampuh?

“Mahesa… kau memikirkan sesuatu?” terdengar suara Sari serta sentuhan pada lengannya.

Pemuda itu sadar kalau dia barusan hanyut dibawa pikiran. Dipegangnya lengan Sari sesaat. Dia harus mengambil keputusan. Dia tidak boleh mempergunakan ilmu kepandaian yang didapatkannya dari Kunti Kendil. Dia tidak boleh melancarkan pukulan-pukulan sakti yang dipelajarinya dari nenek itu. Segala yang berbau Kunti Kendil harus dikikis habisnya. Bukankah dengan jalan menggantungkannya sesungguhnya nenek itu telah memutuskan hubungan mereka sebagai guru dan murid?!

“Sari, maukah kau mengantarkan aku ke pegunungan Iyang?” Mahesa ajukan pertanyaan itu.

“Kemanapun kau mengajak aku akan ikut bersamamu Mahesa…”

Namun selintas pikiran muncul pula dibenak Mahesa. Jika dia pergi ke puncak Iyang untuk mengembalikan Papan Nisan Kayu Hitam, berarti dia membuka rahasia bahwa sebenarnya dia masih hidup. Bukankan dia lebih suka kalau si nenek menganggapnya sudah mati? Seperti yang telah diatur oleh sahabat-sahabat tujuh orang katai itu?

“Tidak jadi Sari. Kita tidak jadi ke sana…”

“Hai, bagaimana kau berubah pikiran secepat itu?”

Mahesa tak menjawab, melainkan keluarkan Papan Nisan Kayu Hitam. Melihat benda aneh itu Sari kerenyitkan kening keheranan.

“Benda apa itu Mahesa…?”

“Ini senjata aneh pemberian guruku. Tapi sejak beliau memutuskan hubungan sebagai guru dan murid, aku merasa tidak berhak lagi membawa apa lagi mempergunakannya. Aku harus mengubur senjata ini disatu tempat!”

“Aku tidak mengerti Mahesa!”

“Suatu waktu akan kuceritakan semuanya padamu. Mari…”

Mahesa lari kearah selatan, diikuti Sari. Disatu tempat di dalam sebuah hutan kecil, dibawah sebatang pohon lamtorogung Mahesa menggali sebuah lubang. Kayu hitam berbentuk papan nisan itu kemudian dipendam di dalam lubang itu. Juga dikeluarkan obat ampuh berbentuk hijau bulat yang masih bersisa sebuah dari balik pakaiannya dan dicampakkannya ke dalam lobang. Dibantu oleh Sari lobang itu ditimbunnya kembali.

“Selamat tinggal guru. Maafkan segala kesalahanku. Kini aku tak ada beban derita apa-apa lagi!” kata pemuda ini dalam hati. Lalu dipegangnya lengan Sari. Keduanya meninggalkan tempat itu menuju ke barat.


***
SEPULUH


GEROBAK MISTERIUS
DUA ORANG pejalan kaki berpakaian serba putih dan bertopi lebar itu terpaksa melompat ke tepi agar tidak ditabrak sebuah gerobak yang meluncur kencang, ditarik oleh dua ekor kuda besar. Di belakang gerobak mengikuti dua penunggang kuda maupun kusir gerobak masing-masing memiliki tampang, mengenakan pakaian serba biru dan membekal golok besar di punggung masing-masing.

“Anak setan! Manusia-manusia keparat!” maki Mahesa.

“Ingin sekali aku menghajar mereka!” ujar Sari sambil menepuk debu yang mengotori pakaian putihnya.

Saat itu keduanya berada jauh di tenggara Kawah Ijen, menyusuri jalan kecil menuju barat, ke arah gunung Merapi. Menjelang tengah hari mereka sampai di sebuah kota kecil bernama Pasirgambir. Karena perut sama laparnya maka yang pertama sekali mereka cari adalah kedai makanan. Satu-satunya kedai makanan di kota kecil itu terletak di pusat kota. Sampai di depan kedai Mahesa berbisik;

“Gerobak yang di bawah pohon sana, bukankah yang tadi hampir menabrak kita?”

Sari berpaling ke arah pohon yang dimaksudkan Mahesa. Memang benar. Di bawah pohon itu tampak gerobak berikut dua kuda penariknya. Lalu di dekat kereta kelihatan dua orang lelaki berpakaian tegak seperti berjaga-jaga. Baik Mahesa maupun Sari tidak melihat di mana adanya kusir gerobak.

“Jelas dua orang itu mengawal gerobak. Rupanya ada barang penting atau berharga didalam gerobak,” kata Sari.

Bersama Mahesa dia kemudian masuk ke dalam kedai makanan. Ketika mengambil tempat duduk di sudut kiri, mereka melihat lelaki yang menjadi kusir gerobak  duduk di sudut lain, tengah makan dengan lahap. Selesai makan dia pergi ke pintu dan melambaikan tangannya. Sesaat kemudian muncul dua kawannya yang tadi mengawal gerobak.

“Kalian makanlah. Aku akan menjaga gerobak. Cepat. Waktu kita tidak banyak!”

Dua lelaki berpakaian biru masuk ke dalam kedai. Pengemudi gerobak keluar dan ganti berjaga-jaga dekat gerobak.

“Ingin sekali tahu apa isi gerobak itu,” kata Mahesa.

“Cukup sulit. Selain terus dijaga juga bagian belakang gerobak ditutup rapat dengan terpal tebal,” sahut Sari.

“Aku ada akal. Habiskan cepat makananmu!” kata Mahesa. Selesai makan pemuda ini mendekati dua orang berpakaian biru yang baru pula menghabiskan makanannya.

“Kawan,” ujar Mahesa menegur. “Kulihat kalian membawa barang. Bisa kusewa untuk mengangkut barang milikku?”

“Gerobak sudah penuh. Lagi pula kami ingin cepat!” jawab seorang lelaki berpakaian biru.

“Ah sayang. Aku sanggup membayar mahal. Ke mana tujuan kalian?”

“Ke mana tujuan kami itu bukan urusanmu!”
Kedua orang itu berdiri.

Mahesa keluarkan sekeping perak dari saku pakaiannya. “Perak ini untuk kalian, jika aku bisa ikut dengan gerobak kalian…”

Melihat kepingan perak yang begitu besar dan tentu mahal harganya kedua orang itu jadi terkesiap. Keduanya berunding. Yang seorang lalu melangkah ke pintu memanggil kawannya. Sewaktu kusir gerobak mendatangi, diam-diam Sari menyelinap keluar.

“Ada apa?” tanya pengemudi gerobak.

Dua kawannya menerangkan maksud Mahesa yang hendak ikut bersama mereka, membawa sejumlah barang yang membayar dengan kepingan perak besar itu. Mendengar keterangan dua kawannya itu, marahlah pengemudi gerobak.

“Kacoak-kacoak tolol! Jangan mencari penyakit. Urusan kita belum selesai. Terlambat sampai bukan saja kita tak akan mendapat bayaran! Tapi juga hukuman berat! Apa kau lupa hal itu?!”

Mendengar kata-kata pengemudi gerobak yang agaknya menjadi pimpinan dalam rombongan itu dua lelaki berpakaian biru hanya bisa angkat bahu. Tanpa berpaling lagi pada Mahesa keduanya keluar dari kedai makanan, diikuti pengemudi gerobak. Sesaat rombongan itupun berlalu.

Mahesa temui Sari yang tegak di tepi jalan. “Apa yang kau dapat?” tanya pemuda ini. Sari membuka tangan kirinya yang dikepalkan. Pada telapak tangan perempuan ini Mahesa melihat  setumpuk kecil bubuk berwarna hitam dan berkilauan terkena sinar matahari.

“Emas hitam…?” ujar Mahesa sambil perhatikan bubuk itu.

Sari tertawa geli. Perempuan yang lebih banyak pengalaman dari Mahesa ini berkata, “Mana ada emas hitam. Coba kau cium…” Sari mendekatkan telapak tangannya ke hidung Mahesa.

Ketika pemuda ini mencium terasa bau menusuk yang membuatnya hampir terbatuk-batuk. “Bubuk edan celaka apa ini?! Ujar Mahesa lalu gosok-gosok hidungnya.

“Ini bubuk bahan peledak!” kata Sari.

“Bahan peledak?” Mahesa kerenyitkan kening dan perhatikan lagi bubuk di tangan Sari lalu geleng-gelengkan kepala.

“Di gerobak itu kulihat ada delapan karung bubuk seperti ini. Cukup untuk menghancurkan empat buah kota atau dua buah bukit besar atau sebuah gunung!” Sari memberi keterangan lagi.

“Bagaimana kalau kita ikuti rombongan itu!”

“Hai! Itulah yang ingin kulakukan! Mari!”

Maka kedua orang itupun berkelebat melakukan pengejaran. Sari yang berada di depan bertindak cerdik. Dia tidak lari menyusuri jalan biasa tetapi mengambil jalan memotong menuju puncak sebuah bukit. Dari sini mereka dapat meneliti daerah di bawah mereka dengan jelas. Dan gerobak berikut dua pengawalnya segera terlihat di sebelah barat, bergerak menuju ke timur, menempuh satu-satunya jalan yang ada. Di sebuah timur terlihat tiga buah gunung yakni gunung Suket, gunung Pendil lalu gunung Merapi.

“Kita bisa sampai di kaki gunung Suket jauh lebih cepat dan menunggu di situ. Seterusnya kita bayangi gerakan mereka,” kata Sari.

“Kau cerdik!” memuji Mahesa.

“Kau ingat ucapan pengemudi gerobak ketika dua kawannya mengatakan kita hendak ikut mereka? Kusir gerobak itu marah besar. Menyebut soal pembayaran dan hukuman! Nah aku punya dugaan keras ada satu rencana besar dibalik delapan karung bahan peledak itu.”

“Menurutku begitu…”

Keduanya berunding terus sambil menuruni bukit menuju ke timur. Mereka harus menunggu cukup lama di kaki gunung Suket baru rombongan yang mereka intai sampai di situ lalu terus menguntit menuju ke timur. Sampai rembang petang, rombongan yang mereka ikuti hanya berhenti satu kali yakni untuk memberi minum empat ekor kuda di sebuah kali dangkal. Setelah itu rombongan bergerak cepat kembali ke arah timur,melewati kaki gunung Pendil, berputar di sebuah lembah lalu terus lagi ke timur.

“Kurasa mereka menuju gunung Merapi,” kata Mahesa.

Sari hentikan larinya tiba-tiba.

“Ada apa?” tanya Mahesa heran.

“Pernah mendengar rencana pendirian sebuah partai persilatan yang mengambil tempat di gunung Merapi?”

Mahesa menggeleng.

“Kabar itu tersiar sejak dua bulan lalu. Disiarkan dari mulut ke mulut. Semua orang dalam rimba persilatan diundang tanpa terkecuali. Kurasa peresmiannya dalam minggu ini juga.”

“Siapa orang yang punya rencana besar itu?”

“Tak satu orangpun tahu. Yang membuat banyak para tokoh gologan hitam dan putih penasaran ialah terbetiknya berita bahwa yang melakukan peresmian partai persilatan itu langsung saja mengangkat diri sebagai ketua. Padahal siapa dirinya dan sampai di mana kehebatannya tidak diketahui…”

“Kurasa dia pasti memiliki apa-apa. Kalau tidak masakan berani bertindak gegabah begitu. Tidak memandang sebelah matapun pada para tokoh silat di Jawa Timur ini. Menurutmu siapa yang punya kerja ini?”

Sari geleng-geleng kepala. “Tak bisa kuduga. Selain banyak tokoh-tokoh silat  yang lenyap begitu saja dari rimba persilatan, terdapat pula tokoh baru yang coba bikin nama dengan membuat gebrakan-gebrakan tertentu…”

“Seperti kau misalnya!” kata Mahesa menggoda.

Godaan ini membuat Sari menjadi merah wajahnya, terpekik dan langsung menghujani pemuda itu dengan cubitan hingga Mahesa menjerit kesakitan lalu tertawa gelak-gelak. Karena Sari belum menghentikan cubitannya maka Mahesa membalas dengan mengelitik. Kini perempuan itu yang ganti terpekik-pekik. Kegelian tetapi juga senang.

Dia ingat betul kegembiraan itu hanya dirasakan dulu sewaktu masih kecil, bercanda dan bergelut dengan kawan-kawan sebaya. Mengalami kegembiraan seperti itu kembali membuat Sari semakin dalam menyukai Mahesa. Dia tahu pemuda itupun menyukainya.

Dia tahu Mahesa bukan seorang pemuda bodoh yang tidak mengerti kenikmatan apa yang bisa didapat dari hubungan antara lelaki dengan perempuan. Sebegitu jauh Mahesa memperlakukannya dengan baik, malah terlalu sopan. Atau mungkin dia takut terjerat yang bisa membawa kematian baginya seperti laki-laki lainnya?

Berpikir sampai di situ Sari menduga-duga apakah Mahesa tahu betul siapa dirinya di masa lampau? Disamping itu ada satu hal yang membuat Sari heran pada dirinya sendiri. Sebelum mengenal Mahesa dia selalu diracuni oleh nafsu hubungan badan serta nafsu membunuh yang keji. Tetapi sejak dia kenal pemuda ini, sifat itu seperti lenyap tak berbekas. Dia sudah merasa bahagia kalau dapat saling berpegangan tangan dengan Mahesa. Lalu bagaimanakah kalau seandainya Mahesa tak ada disampingnya? Dapatkah dia menguasai dirinya?

“Hai! Apa yang kau lamunkan?!”

Teguran itu membuat Sari terkejut dan tersipu.

“Gerobak itu sudah jauh di depan kita. Mari kita kejar lagi…!” kata Mahesa. Keduanya kembali berlari sementara matahari mulai memasuki ufuk tengelamnya dan gunung Merapi tampak semakin dekat.

Ketika malam tiba rombongan pembawa delapan karung bahan peledak itu membelok memasuki sebuah jalan kecil menuju ke lereng gunung Merapi. Jalan ini kelihatannya baru dan sengaja dibuat. Di satu ketinggian, dimana kuda-kuda penarik gerobak tidak mungkin lagi terus naik, kusir gerobak hentikan kendaraannya lalu keluarkan suara bersuit tiga kali berturut-turut.

Dari kegelapan dari belakang batu-batu gunung yang besar-besar diantara semak belukar liar muncul delapan sosok tubuh yang luar biasa besar dan tinggi. Manusia-manusia ini hanya mengenakan semacam cawat, berambut gondrong, berkumis lebat dan bercambang bawuk. Tampang mereka ganas sekali.

“Kalian terlambat dua jam dari yang ditentukan!” orang tinggi besar paling depan keluarkan suara. Suaranya parau besar.

“Mana mungkin!” menyahuti kusir gerobak. “Perjanjian adalah kami harus sampai di sini beberapa saat setelah malam tiba!”

“Jangan berani melawan ketentuan yang telah ditetapkan Ketua!”

“Kami tidak melawan. Mana uang pembayaran!” kusir gerobak tampak jengkel. Tapi baik dia maupun kawannya diam-diam merasa takut. Kalau pecah perkelahian mereka bertiga walaupun bersenjata golok tidak akan menang melawan delapan raksasa itu.

“Uang pembayaran kau tak usah kawatir. Kami harus periksa dulu isi gerobak itu!” si tinggi besar lalu memberi isyarat pada dua orang kawannya. Yang dua ini menyingkapkan kain terpal penutup gerobak lalu memeriksa isinya. Sesaat kemudian mereka melaporkan semuanya beres. Entah dari mana dia mengambilnya si raksasa yang bertindak sebagai pemimpin tahu-tahu sudah memegang sebuah kantong kain.

“Ini pembayaran kalian!” katanya seraya melemparkan kantong itu ke arah tiga lelaki berpakaian biru. Pengemudi gerobak cepat memungutnya.

“Kalian sudah dapat bayaran. Lekas pergi dari sini!”

Dua pengawal gerobak siap untuk berlalu, tapi pengemudi gerobak merasa was-was lebih dulu membuka kantong kain itu dan memasukkan tangannya ke dalam. Ketika tangan itu dikeluarkan, yang terlihat dalam genggaman jari-jarinya bukan uang atau kepingan logam berharga melainkan batu-batu kecil!

“Penipu!” bentak pengemudi gerobak marah. Dia hunus goloknya. Dua kawannya serta merta pula melakukan hal yang sama.

Delapan manusia tinggi besar itu tertawa gelak-gelak. Mereka masih terus tertawa ketika tiga bilah golok berkelebat ke arah leher, dada dan pinggang mereka. Tahu-tahu!

Kraak! Kraak! Kraak!

Leher pengemudi gerobak dan dua kawannya ditekuk patah. Ketiga orang itu mati detik itu juga.

“Lepaskan kuda-kuda gerobak! Usir bersama kuda-kuda lainnya. Masukan gerobak ke jurang. Lenyapkan setiap tanda-tanda yang mencurigakan. Angkat karung-karung itu ke markas!”

Sesuai dengan perintah pemimpin mereka, dua kuda penarik gerobak dilepas lalu digebrak pergi bersama dua kuda lainnya. Delapan karung di turunkan dari gerobak. Gerobak itu sendiri bersama tiga mayat kemudian ditarik ke satu tempat gelap, lalu diluncurkan ke bawah jurang. Kemudian seperti hanya mengangkat sebuah buntalan ringan, delapan lelaki bercawat itu memanggul masing-masing sebuah karung besar dan berlari cepat ke atas gunung.


***
SEBELAS


SANG KETUA BERJUBAH PUTIH. TEROWONGAN DILERENG GUNUNG
SEBELUM mengenal Mahesa, soal nyawa manusia atau membunuh orang bagi Sari adalah semudah dan sesepele membalikkan telapak tangan. Tidak ada rasa kasihan, apalagi rasa takut. Namun untuk pertama kali tiga orang berpakaian biru itu dipatahkan leher mereka. Sampai-sampai perempuan itu memegang lengan mahesa erat-erat dan tak sadara berbisik,

“Aku ngeri, Mahesa…”

“Seorang ratu sepertimu tidak boleh ngeri!” sahut Mahesa.

Kontan saja satu cubitan menyengat pemuda ini. Hampir Mahesa terpekik kalau tidak cepat-cepat menekap mulutnya sendiri.

“Aku bukan ratu. Namaku Sari!”

Mahesa mengangguk-angguk antara meringis dan tersenyum karena menahan sakit sekaligus  juga geli. Sambil mengelus-elus pinggangnya yang sakit Mahesa memberi isyarat agar mereka segera mengikuti delapan orang bercawat yang membawa delapan karung bubuk peledak itu. Mereka harus bergerak cepat, tetapi juga sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara.

Makin tinggi ke atas semakin dingin udara. Disuatu lereng terjal, delapan orang membawa karung membelok ke kanan. Mahesa dan Sari mengikuti terus. Tak lama kemudian mereka sampai di sebuah lapangan berdiri semacam pintu gerbang yang dibuat dari batang-batang bambu diberi hiasan daun-daun kepala dan bendera-bendera besar warna-warni.

Bendera-bendera ini juga ada disepanjang tepi lapangan. Pada ujung lapangan terdapat sebuah panggung kayu yang dibangun amat kokoh. Lalu di hadapan panggung tersebut bersusun-susun puluhan batang bambu yang dibentuk menjadi bangku-bangku panjang.

“Apa yang kau katakan mungkin betul Sari. Agaknya di sini akan dilakukan upacara peresmian partai itu…”

Sari mengangguk lalu menunjuk ke depan. “Lihat…” bisiknya.

Delapan orang yang membawa karung berisi bubuk peledak berhenti di tepi lapangan sebelah kiri, dekat samping gunung yang ditumbuhi pohon-pohon berlumut serta batu-batu besar. Mereka menurunkan karung tadi di depan kaki masing-masing. Lalu yang bertindak selaku pimpinan terdengar berteriak.

“Ketua! Kami sudah sampai!”

Suara teriakan orang ini mendatangkan gema yang panjang di seantero lereng gunung tanda dia memiliki tenaga luar biasa. Tahu-tahu sesosok tubuh bungkuk berjubah putih muncul di lereng gunung itu.

“Hai, dari mana mahkluk bungkuk itu muncul?” tanya Sari heran.

“Pasti ada pintu rahasia di lereng situ. Mari kita mencari tempat mengintai lebih dekat agar bisa melihat jelas tampang si bungkuk itu. Tapi hati-hati…”

Mahesa dan Sari bergerak dibalik-balik pepohonan. Pada jarak paling dekat yang bisa mereka capai, keduanya kecewa. Ternyata orang bertubuh bungkuk itu menutupi wajahnya dengan sejenis cadar tipis berwarna hitam.

“Ketua! Kami menunggu perintahmu selanjutnya!” kembali terdengar suara di tinggi besar.

“Lakukan pekerjaan kalian sesuai petunjukku sebelumnya. Ingat, semuanya harus selesai sebelum matahari terbit! Laporkan padaku jika pekerjaan kalian selesai!"

Habis berkata begitu, orang bungkuk berjubah putih itu bergerak ke kiri dan tahu-tahu tubuhnya lenyap seperti ditelan gunung!

Delapan lelaki bertubuh raksasa mengangkat kembali karung-karung berisi bahan peledak itu. Mereka melangkah ke ujung lapangan. Disamping panggung besar terdapat tangga tanah menurun. Di sebelah bawah tangga terlihat sebuah lobang berukuran dua meter persegi yang ditutup dengan papan jati. Papan ini terbuka ketika orang terdepan menekan sebuah tombol rahasia. Lalu satu demi satu ke delapan orang itu memasuki lobang tersebut dan papan jati menutup kembali.

“Bagaimana menurutmu. Kita ikuti mereka sampai ke dalam lobang itu?” tanya Sari.

Mahesa gelengkan kepala. “Tunggu saja sampai mereka keluar. Kita tidak tahu apa yang ada di dalam sana. Sekali terjebak bisa celaka!”

Ternyata keduanya harus menunggu lama. Pada saat langit di sebelah timur mulai kelihatan kemerahan, papan penutup lobang terbuka. Satu demi satu delapan lelaki raksasa keluar. Yang tadi bertindak sebagai pemimpin kembali berseru. Tak lama kemudia manusia bungkuk itu muncul, si tinggi memberi laporannya.

“Bagus… bagus. Sekarang empat orang dari kalian harus segera ke desa itu. Bawa kemari semua makanan dan minuman yang telah dipesan. Sementara itu aku akan menyiapkan ramuanku. Ingat, pada saat matahari terbit yang berempat itu sudah harus berada di sini!”

Orang bungkuk berjubah putih itu kembali lenyap di lamping gunung. Empat lelaki tinggi besar meninggalkan tempat itu sedang empat lainnya berjaga-jaga di empat sudut lapangan. Seorang diantaranya tepat di dekat lobang yang bertutupkan papan jati.

“Kita harus tahu apa yang ada di bawah lobang itu,” kata Mahesa.

“Penjaga yang satu itu harus disingkirkan dulu!”

“Aku sanggup menotoknya!” kata Sari.

Mahesa punya rencana lain, tapi perempuan itu telah melemparkan sebutir batu yang tepat mengenai urat besar dipangkalan leher lelaki raksasa yang ada dekat lobang. Kontan manusia ini tidak bisa buka suara tidak bisa bergerak. Dengan cepat Mahesa dan sari menyelinap mendekati lobang. Ketika coba dibuka papan jati yang kokoh itu tak bergerak sedikitpun.

“Hantam saja biar jebol!” mengusulkan Sari.

“Jangan bodoh. Sekali mereka melihat kerusakan pada papan ini, kita akan mati konyol di dalam sana. Pasti ada alat rahasia untuk membuka penutup lobang ini…” Mahesa menyelidik dan meraba-raba kian kemari.

Di sudut kiri penutup lobang, tersembunyi diantara kepingan-kepingan batu gunung kelihatan sebuah kayu hitam menonjol kepermukaan. Mahesa menggerak-gerakan kayu ini. Tidak terjadi apa-apa. Tetapi begitu kayu ditekan, perlahan-lahan papan jati penutup lobang membuka. Mahesa melompat masuk, menyusul Sari. Papan jati kemudian menutup dengan sendirinya.

“Edan! Gelap sekali!” desis Mahesa. “Manusia-manusia raksasa itu tak mungkin bergerak leluasa kalau tidak ada penerangan.” Mahesa lalu keluarkan korek api yang biasa dipakainya untuk menyalakan rokok kawung. Sesaat lobang itu menjadi terang.

“Ada obor di dinding sana…” bisik Sari.

Ternyata pada dinding lobang sebelah kanan tergantung delapan buah obor. Mahesa menyalakan dua buah obor. Dengan masing-masing memegang  satu obor kini mereka dapat melihat keadaan dalam lobang itu.

Dari tempat mereka berdiri, lobang itu tampak lurus ke depan sepanjang dua tombak. Lalu membelok ke kanan. Dari sini lobang membentuk terowongan lurus sepanjang puluhan tombak dimuka lobang lain di sebelah kanan. Lalu sepuluh tombak dimuka lobang lain di sebelah kiri. Begitu terus berselang saling sampai delapan lobang. Empat di kiri, empat di kanan. 

Pada setiap lobang yang delapan ini Mahesa dan Sari menemukan sebuah karung berisi bubuk peledak itu. Setiap karung dihubungkan satu dengan lainnya dengan seuntai tali yang dibasahi dengan senjata minyak yang mudah terbakar.

“Hati-hati Sari,” memperingatkan Mahesa. “Tali-tali ini mengandung minyak yang mudak terbakar. Jauhkan obormu!”

Delapan tali dari delapan karung  dibuhul menjadi satu, dihubungkan dengan sebuah tali besar. Tali besar ini melintang sepanjang atap terowongan. Ketika diteliti ternyata menembus ke atas pada ujung sebelah selatan.

“Apa arti semua ini Mahesa…?” tanya Sari.

“Akupun tak dapat menerka,” jawab Mahesa. Otaknya bekerja keras. “Jika kuukur-ukur, delapan karung berisi bubuk peledak itu semuanya berada diatas deretan bangku-bangku panjang yang terbuat dari bambu. Lalu tali besar ini menembus ke atas kira-kira disekitar panggung kayu. Eh, kau benar. Apa artinya semua ini…?”

Saripun berpikir keras. Namun kedua orang itu belum dapat memecahkan rahasia di balik apa yang mereka saksikan di dalam terowongan itu. Dari tiga manusia raksasa itu menemukan kawan mereka yang dekat pintu lobang berada keadaan tertotok mereka mungkin akan menyelidik sampai ke sini.

“Sebaiknya kita cepat-cepat kembali ke lobang jalan masuk tadi.”

Mahesa menyetujui ucapan Sari itu. Keduanya bergegas menuju lobang keluar. Justru pada saat itu di ujung lobang tampak cahaya menyeruak.

“Celaka! Ada yang masuk!” bisik Sari.

“Kurasa mereka sudah mengetahui ada kawan yang dibokong. Matikan obor!”

Sari dan Mahesa meniup pada obor yang mereka bawa. Mahesa lalu menancapkan kayu obor ke tempat semula di dinding terowongan. Di ujung sana kelihatan  dua pasang kaki-kaki besar menuruni lobang. Dua orang lelaki bertubuh raksasa masuk ke dalam terowongan. Mereka menyalakan dua buah obor lalu bergerak lebih ke dalam. Jelas keduanya melakukan penyelidikan. Tak berapa lama keduanya kembali menuju ke lobang keluar. Yang disebelah belakang berkata pada temannya.

“Aneh, tak ada siapa-siapa di dalam sini. Tak ada yang mencurigakan. Semua dalam keadaan semula. Lalu bagaimana si jelek satu itu bisa kaku dan bisu kalau tidak ditotok orang?!”

“Jangan-jangan dia mempermainkan kita!”

“Terlalu edan kalau saat seperti ini ada yang berani bergurau. Apa perlu kejadian ini diberitahu pada Ketua?”

“Kalau diberitahu kita yang bakal didamprat!”

“Jika begitu kurasa ada baiknya kita meneliti sekali lagi seluruh terowongan!”

“Gila! Kita sudah memeriksa setiap jengkal dari terowongan itu. Tikus bahkan setanpun tak bakal luput dari penglihatan kita. Kita tak punya waktu banyak. Hari sudah terang. Lagi pula tidakkah kau lihat sudah ada beberapa tamu yang muncul walau mereka masih belum masuk ke dalam lapangan upacara?”

“Baiklah. Kita keluar saja dari sini!”

Kedua orang itu memadamkan api obor lalu membuka papan jati penutup lobang dan keluar satu demi satu.

Kembali ke dalam terowongan. Mahesa dan Sari melompat turun dari langit-langit terowongan di mana tadi mereka memepetkan diri serata mungkin dengan bersitekan pada dua telapak tangan serta ujung kaki ke dinding paling atas terowongan. Tubuh masing-masing mandi keringat kerena tegang.

“Bagaimana sekarang?” tanya Sari.

“Kita harus menunggu kesempatan. Kita harus keluar dari sini. Jika hari ini benar diadakan upacara peresmian partai itu, pada puncak acara, ketika semua perhatian tertuju pada upacara, kurasa kita punya kesempatan untuk menyelinap keluar dari tempat ini…”

“Lalu kita bergabung dengan para tamu, ikut duduk menyaksikan jalannya upacara!” menyambung Sari.

“Bisa saja begitu. Tapi…” mendadak Mahesa ingat sesuatu. Upacara peresmian partai itu merupakan satu kejadian besar dalam dunia persilatan. Mungkin hanya sekali dalam sepuluh bahkan mungkin sekali dalam dua puluh lima tahun. Tidak dapat tidak akan banyak tetamu yang datang, terdiri dari tokoh-tokoh silat di delapan penjuru angin. 

Bukan mustahil gurunya Mahesa lebih suka menyebut sebagai bekas gurunya yaitu si nenek bernama Kunti Kendil akan datang ke tempat itu. Jika dia muncul pula di antara para tamu, pasti si nenek akan melihatnya. Padahal dia lebih suka bahwa nenek itu menganggapnya sudah mati. Lain dari pada itu besar kemungkinan si dukun jahat Embah Bromo Tunggal ikut hadir. 

Berarti dia bisa memenuhi permintaan tujuh manusia katai untuk mendapatkan kembali kitab silat yang dicuri kakek tersebut. Sekaligus dia juga harus berusaha mendapatkan kembali Keris Naga Biru yang tempo hari dilarikan sang dukun.

Kalau dia tidak ingin dikenali oleh gurunya, hanya ada satu jalan. Dia harus melindungi wajahnya dengan sesuatu. Mungkin dengan topeng atau kain penutup muka. Tetapi di tempat seperti itu di mana pula dia akan mendapatkan topeng atau kain?!

“Hai! Kau seperti memikirkan sesuatu atau melamun?” menegur Sari.

“Tadi kau mengatakan tapi. Tapi apa…?”

“Jika kita muncul di antara para tamu, aku tak ingin tampangku dikenali orang.”

“Hai! Kau malu karena mukamu jelek?!” menggoda Sari.

“Anggap saja begitu,” sahut Mahesa.

“Lalu apa yang hendak kau lakukan?”

“Aku butuh topeng, cadar, kain! Pokoknya apa saja yang bisa menyembunyikan wajahku…”

“Hemm… kalau cuma begituan mengapa harus kawatir?!” ujar Sari.

“Apa maksudmu?” tanya Mahesa.

Dari balik pakaiannya perempuan itu mengeluarkan secarik lembar kain berwarna merah.

“Dari mana kau dapat kain itu?” Mahesa bertanya heran.

“Bekas pakaianku. Waktu melepaskan pakaian merahku di sawah itu, aku sengaja merobek salah satu bagiannya. Sekedar untuk kenang-kenangan. Siapa tahu saat ini besar gunanya!” lalu jari-jari tangan yang  halus mungil perempuan itu bergerak cepat. Merobek, membuhul, merobek lalu membuhul lagi. Tak lama kemudian potongan kain itu telah berubah menjadi kantong. Setiap memiliki dua lobang.

“Kau mau yang mana?” tanya Sari seraya mengoyang-goyangkan kantong itu. Satu di tangan kiri satu lagi di tangan kanan.

“Kau bener-bener cerdik. Pandai dan… dan cantik!” ujar Mahesa lalu menyambar kantong merah di tangan kiri Sari. Kantong langsung disusupkannya ke kepala. Keseluruhan kepalanya mulai dari rambut sampai ke pangkal leher kecuali sepasang mata kini tertutup, tak mungkin dikenali! Sari menyusul menutupi kepalanya dengan kantong kain yang satu lagi.

“Terus terang aku banyak musuh. Sekali mereka mengenali wajahku, mereka akan mencegatku seusai upacara. Lain dari itu, aku tak mau kau cemburu kalau ada pendekar-pendekar muda yang terus-terusan memandangku. Hik hik hik…” perempuan itu tertawa cecikikan.

“Kalau bukan di sini tempatnya, pasti kau kugelitik sampai terkencing-kencing!” kata Mahesa pula. Lalu dia memberi isyarat agar Sari mengikuti. Dengan hati-hati Mahesa mengungkit papan jati penutup lobang dan mengintai.

Di atas panggung saat itu dilihatnya makanan dan minuman terletak dua buah meja panjang. Di sebelah depan meja panjang terdapat satu meja kecil berikut kursi. Baik kursi maupun meja bentuknya bagus sekali. Terbuat dari kayu jati berukiran halus.

Saat itu lebih dari separuh bangku-bangku panjang yang terbuat dari batang-batang  bambu telah terisi oleh tamu. Sayang dari tempat mengintai Mahesa tak dapat melihat dengan jelas wajah-wajah para tamu itu. Kemudian dilihatnya pula delapan lelaki bercawat bertubuh raksasa tegak di delapan sudut lapangan, berarti lobang keluar masuk terowongan itu tidak ada penjaga. 

Setelah meneliti keadaan beberapa lamanya, Mahesa buka lebar-lebar papan jati dan melompat keluar. Sari mengikuti dari belakang. Keduanya lari menuruni lereng gunung menjauhi tempat itu lalu berputar ke selatan akhirnya kembali lagi ke tempat upacara dari arah pintu masuk. 

Orang-orang yang sudah lebih dulu hadir di tempat itu, termasuk delapan manusia raksasa menganggap kedua orang ini adalah dua tamu yang baru datang dan dipersilakan mengambil tempat duduk. Akan halnya kain-kain merah penutup kepala mereka atau penampilan yang aneh-aneh merupakan hal yang terbiasa di kalangan tokoh-tokoh persilatan.

***
DUA BELAS


MISTERI DELAPAN KARUNG BAHAN PELEDAK
MAHESA DAN SARI sengaja mengambil tempat duduk agak ke belakang. Hal ini agar orang banyak yang telah lebih dulu datang tidak memperhatikan  keduanya, sebaliknya mereka bisa memperhatikan para tetamu itu dari belakang.

“Banyak yang kau kenal…?” tanya Mahesa berbisik.

Sari mengangguk. “Banyak, tapi hampir semua orang-orang yang selama ini mencariku. Musuh-musuhku!”

Mahesa melihat Pendekar Muka Tengkorak Suko Inggil duduk lima bangku di depannya. Kakek ini duduk tenang-tenang sambil menghisap rokok kawungnya. Setelah sekian lama tidak bertemu, ingin sekali Mahesa mendatangi orang tua itu. Tetapi tentu saja dia tidak mau dirinya diketahui orang.

Di jurusan lain dilihatnya dua orang lelaki berpakaian kuning membekal keris di pinggang masing-masing. Ketika diperhatikan Mahesa segera mengenali salah seorang diantaranya yakni Made Tantre, pendekar Bali yang bergelar Tangan Dewa Dari Klungkung. Seperti diceritakan dalam jilid ke-6 pendekar ini telah menjadi hitam dan cacat tangan kanannya ketika berkelahi melawan Wirapati.

Mahesa juga melihat kakek berjanggut putih berjuluk Malaikat Maut Berkuda Putih. Kakek itulah dulu yang pernah menyelamatkan jiwanya dari tangan Datuk Iblis Penghisap Darah ketika bertempur di Bukit Akhirat. (Baca jilid-2). Si kakek kelihatan semakin tua. Apakah dia telah berhasil menemui muridnya yang hilang tak tentu rimbanya itu, tanya Mahesa dalam hati.

Sepasang mata Mahesa mencari-cari orang yang paling tak ingin ditemuinya tetapi justru ingin mengetahuinya apakah juga berada di situ. Orang ini bukan lain adalah si nenek gurunya sendiri yakni Kunti Kendil. Mahesa merasa pasti nenek itu tidak ada di situ.

Ada rasa kecewa, tetapi hatinya juga agak lega. Selanjutnya Mahesa coba menemukan apakah dukun jahat Embah Bromo Tunggal berada di tempat tersebut. Diapun tidak melihat manusia satu ini, juga tidak tampak Datuk Iblis Penghisap Darah. Jelas jika tak ada si nenek, Kunti Kendil, tak akan ada pula sang datuk. Bukankah mereka sudah menjadi suami istri?

Mahesa memegang tangan Sari. “Ingat dukun jahat bernama Embah Bromo Tunggal yang kuceritakan padamu itu? Juga pemuda gila berkepandaian tinggi bernama Wirapati bergelar Iblis Gila Tangan Hitam?”

“Mereka ada di sini…?” balik bertanya Sari yang ingin sekali melihat langsung orang-orang itu.

“Mereka tidak ada…” menjelaskan Mahesa. Lalu diapun teringat pada Kemala. Apalagi gadis cantik berbaju kuning yang pernah menjadi kenangannya itu masih bersama-sama Wirapati?

Seorang tamu baru memasuki tempat upacara. Orang ini mengenakan jubah putih dan sorban tinggi. Di tangan kirinya tergenggam seuntai tasbih hijau. Mahesa segera mengenalinya yaitu Ki Sandakan, ketua pesantren Nusa Barung.

“Tak banyak yang menerimaku di sini. Bagaimana kalau kita pergi saja…” kata Mahesa.

Sari tampaknya tidak menyetujui ajakan itu. “Jauh-jauh kita datang kemari. Sudah sampai hendak pergi begitu saja. Bukankah kita ingin tahu partai apa yang akan diresmikan di tempat ini. Siapa ketuanya. Siapa manusia bungkuk misterius bercadar yang membuat acara ini. Lalu kitapun belum memecahkan rahasia terowongan itu.”

“Kalau kau memang suka tetap di sini, aku hanya menurut saja,” kata Mahesa mengalah walau dia kecewa tidak melihat Embah Bromo Tunggal di tempat itu. Berarti dia tidak akan dapat menemukan Keris Naga Biru. Lebih penting dari itu dia tak mungkin mendapatkan kitab ilmu silat tujuh orang katai yang harus dicarinya itu.

“Ada sepasang tamu yang datang…” tiba-tiba Sari berbisik.

Mahesa berpaling. Lututnya bergetar. Dadanya berdebar. Bagaimana tidak. Salah seorang dari tamu itu adalah bekas gurunya, si nenek Kunti Kendil! Perempuan tua ini tampak semakin tua. Pakaiannya kotor, rambutnya awut-awutan. Dia melangkah terpincang-pincang diikuti seorang lelaki gagah berusia sekitar empat puluh lima tahun, berambut pendek warna kelabu. 

Mahesa bertanya-tanya dalam hati saja dia ingat! Lelaki itu bukan lain adalah Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah, suami si nenek yang muncul tanpa topeng! Dan Mahesa merasa dadanya lebih sesak karena kedua orang itu duduk hanya terpisah dua bangku di depan mereka!

“Kulihat kau tidak tenang,” berkata Sari sambil menyentuh lengan Mahesa. “Kau kenal kedua tamu yang baru datang itu…?”

Mahesa cepat menggeleng.

“Hai, aku tahu kau gugup. Aku tahu kau pasti kenal nenek jelek dan lelaki gagah berambut kelabu itu!” kata Sari lagi.

Mahesa merasakan tenggorokannya kering dan mulutnya asam. Maka dia keluarkan rokok kawungnya. Ketika hendak menyulut rokok ini mendadak dia mendengar suara halus seperti ngiangan nyamuk di telinganya.

“Pemuda tolol! Dengan merokok begitu sama saja kau membuka kedok siapa dirimu!”

Astaga! Mahesa tersentak kaget. Rokok kawung yang hendak dinyalakan terlepas jatuh dari tangannya. Dia memandang berkeliling. Mencari-cari. Siapa orang yang tadi bicara dengan mengerahkan kepandaian menyampaikan suara jarak jauh! Tak mungkin Kunti Kendil. Tak mungkin pula Lembu Surah. Apalagi si kakek muka tengkorak yang duduk jauh di ujung sana. Lalu siapa? Mahesa kembali memandang berkeliling.

“Siapa yang tengah kau cari?” tanya Sari.

“Ada seseorang bicara dari jauh padaku…” menerangkan Mahesa. Dan pemuda ini memandang berkeliling mencari-cari. Tiba-tiba dia lihat orang itu. Seorang kakek berpakaian compang-camping. Bermata buta dan duduk seperti acuh tak acuh.

“Gembel Cengeng Sakti Mata Buta!” seru Mahesa dalam hati begitu dia mengenali siapa adanya kakek itu. Tokoh sakti yang diketahuinya merupakan tokoh silat nomor satu saat itu. Kakek yang bersifat aneh, mudah menangis inilah yang dulu pernah mengajarkannya jurus-jurus silat yang luar biasa yakni Jurus Ilmu Silat Orang Buta!

“Ah, dia masih seperti dulu-dulu juga. Apakah masih suka main catur? Aku harus menemuinya!” Mahesa lalu berdiri. Namun saat itu pula kembali terdengar suara mengiang di kedua telinganya.

“Lagi-lagi kau bertindak tolol. Tetap duduk di tempatmu! Sekarang bukan saatnya untuk mengobrol!”

Mau tak mau Mahesa terpaksa duduk kembali. Kalau saja dia bisa menyampaikan suara jarak jauh seperti kakek itu banyak hal yang akan ditanyakannya. “Manusia luar biasa! Kedua matanya buta. Kepalaku tertutup kain merah. Aku duduk cukup jauh dari dia. Bagaimana kakek itu bisa mengenali dan mengetahui aku ada di sini? Bagaimana pula dia bisa sampai di tempat upacara ini tanpa ada yang membawanya? Benar-benar luar biasa! Apakah adiknya si mata biru juga hadir di tempat ini?”

Selagi berkata-kata dalam hati seperti itu Mahesa kembali memandang berkeliling. Dilihatnya Pendekar Muka Tengkorak tengah menyalakan lagi sebatang rokok kawung. Semakin asam rasanya mulut Mahesa.

“Anak setan betul! Aku tak bisa merokok. Aku tak bisa mendekati kakek cengeng itu. Bagaimana kalau aku menemui si muka tengkorak?” Mahesa melirik pada Gembel Cengeng Sakti Mata Buta lalu memandang lagi pada kakek muka tengkorak yang asyik menyedot rokok kawungnya tanpa melepaskan rokok itu dari sela bibirnya. 

Angin di lereng gunung itu keras sekali hingga rokok yang baru dinyalakan si kakek padam apinya. Ketika melihat nyala api penyulut rokok itu mendadak Mahesa teringat pada delapan karung peledak yang dihubungkan dengan tali berminyak. Kalau ujung tali itu dibakar. Delapan karung itu berada di dalam tanah, tepat di bawah lapangan di mana hampir seratus tamu duduk menghadiri upacara, termasuk dia dan Sari!

“Gila!” seru Mahesa.

“Hai, siapa yang gila?!” bisik Sari.

Mahesa pegang tangan perempuan itu lalu membawanya duduk menjauh ke sudut lapangan. Diceritakannya apa yang tadi dibayangkannya. Wajah Sari dibalik kain merah jadi berubah.

“Astaga, kalau begitu…. Siapapun yang mengadakan acara peresmian ini pasti mempunyai maksud keji luar biasa! Dia hendak meledakkan gunung ini! Membunuh kita semua!”

Mahesa berdiri, memandang berkeliling dengan cepat. Delapan lelaki bertubuh raksasa dilihatnya masih tegak di tempatnya semula, pada sisi-sisi lapangan.

“Kita harus menyelinap kembali ke dalam terowongan itu,” bisik Mahesa. “Ikuti aku!”

Keduanya segera berdiri, melangkah cepat menuju pintu lapangan. Seorang lelaki tinggi besar bercawat yang berjaga-jaga di sana serta merta menghadang mereka.

“Celaka, agaknya kita terpaksa membuat urusan,” ujar Sari.

“Tenang saja…” sahut Mahesa.

“Dua tamu berkerudung! Kalian mau ke mana?” penjaga itu bertanya.

“Ada barang penting yang harus kami ambil di kaki gunung.”

Orang itu menyeringai. Ternyata gigi-giginya pun besar luar biasa. “Kami tuan rumah punya aturan. Setiap tamu yang sudah datang tidak boleh meninggalkan tempat ini! Kembali ke tempat kalian!”

“Anak setan!” maki Mahesa dalam hati. Tapi dia coba tersenyum. Lalu menjawab. “Memamg kami tahu aturan itu. Ketua juga telah memberitahu pada kami…”

“Ketua? Ketua siapa maksudmu?” tanya si raksasa.

“Ketua siapa lagi kalau bukan ketua kami dan juga ketua kalian! Jangan berpura-pura bodoh!” Mahesa membual dan sekaligus menggertak.

Sesaat orang di hadapannya itu tampak terkesiap. Mahesa segera menyambung, “Barang yang akan kami ambil itu adalah milik dan untuk keperluan Ketua. Akan dipergunakan dalam upacara nanti. Jika kau berani melarangnya kami akan melapor pada Ketua!”

“Ketua tidak pernah mengatakan ada petugas-petugas lain selain aku dan tujuh kawanku!”

“Ketua tidak sebodohmu! Tidak semua urusan diberitahukan pada anak buah. Apa kau tidak percaya?!”

Orang itu semakin ragu. Mahesa kembali menggertak. Dia berpaling pada Sari berkata, “Bertahu Ketua. Kita mendapat halangan dari orang dalam sendiri!”

Sari segera melangkah.

“Tunggu!” kata si tinggi besar bercawat. “Kalian boleh pergi, tapi lekas kembali. Upacara akan segera dimulai!”

“Nah, begitu lebih baik bagimu!” ujar Mahesa.

Diikuti oleh Sari dia segera meninggalkan tempat upacara. Menuruni gunung ke arah selatan lalu membelok ke timur, mengambil jalan berputar dan akhirnya muncul kembali di lereng gunung tepat di belakang panggung. Karena tak ada yang menjaga lobang terowongan tanah, dengan mudah dan cepat keduanya bisa memasuki pintu atau lobang terowongan itu.

Di tempat upacara, mengetahui Mahesa dan kawannya pergi meninggalkannya, si kakek yang bergelar Gembel Cengeng Sakti Mata Buta mulai sesenggukan, lalu menangis tersedu-sedu. Para tamu yang duduk didekatnya tak satupun yang berani menegur. Mereka semua memaklumi kalau yang bersifat dan bersikap aneh itu biasanya adalah tokoh-tokoh kelas satu dalam dunia persilatan.

Entah dari mana sumbernya, saat itu terdengar suara gong dipukul tujuh kali berturut-turut. Para hadirin segera mengarahkan perhatian ke panggung kayu, ke arah mana saat itu melangkah cepat seorang lelaki berpakaian putih. Sulit untuk memperhatikan wajahnya karena tertutup cadar hitam.

Manusia bungkuk ini mengangkat kedua tangannya ke atas. Gong terdengar lagi bertalu delapan kali. Disusul oleh suara tiupan terompet nyaring sekali. Begitu orang bungkuk itu menurunkan kedua tangannya kembali, maka suara terompetpun sirna. Lalu orang ini duduk ke atas kursi berukir yang terletak di belakang sebuah meja kecil.

Diantara para tamu mulai terdengar suara berisik kasak kusuk. Kunti Kendil berpaling pada Lembu Surah dan berbisik, “Lembu, kau tahu siapa adanya orang di atas panggung itu?”

“Sulit diduga. Wajahnya tertutup cadar yang sulit ditembus pandangan mata. Sosok tubuhnya tidak mengatakan apa-apa. Banyak orang yang bungkuk seperti dia. Entah kalau dia bicara nanti. Mungkin aku mengenali suaranya,” jawab Lembu Surah alias Datuk Iblis Penghisap Darah yang saat itu hadir dengan wajah aslinya, tanpa topeng tipis.

Tiba-tiba terompet berbunyi lagi. Tinggi dan panjang. Begitu lenyap, orang yang berada di atas panggung tegak dari kursinya.