Mahesa Edan Jilid 3 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

MAHESA EDAN
PENDEKAR DARI LIANG KUBUR
KARYA : BASTIAN TITO

Mahesa Edan jilid 3
(Ringkasan Jilid 2)
Dalam usahanya menyelamatkan dara jelita berbaju kuning, Mahesa bertemu dengan Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. Karena merasa menerima budi dari Mahesa, kakek aneh itu mengajarkan tujuh jurus ilmu silat orang buta. Di Bukit Akhirat Mahesa berhasil menemukan gadis baju kuning itu, menyelamatkannya dan membunuh nenek mesum Tjengkir Meni.

Di bukit itu pula Mahesa bertemu dengan pimpinan komplotan penghisap darah yaitu Datuk Iblis Penghisap Darah. Dalam perkelahian Mahesa ditolong oleh Malaikat Maut Berkuda Putih yang punya dendam kesumat dengan Datuk Iblis karena muridnya diculik dan diperkosa oleh Datuk itu. Dari Malaikat Maut Berkuda Putih diketahui kemudian bahwa Datuk Iblis itu adalah Lembu Surah, orang yang harus dicari sesuai dengan tugas yang diberikan Kunti Kendil.Hanya sayang Mahesa terlambat mengetahui dan sang Datuk sudah keburu pergi.

Tiga pengurus Pesantren Nusa Barung dibunuh oleh Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam. Kiyai Jalatunda yang datang untuk menghadapi manusia jahat itu dengan membawa Keris Naga Biru juga dikalahkan dan dalam keadaan sekarat setelah hanyut di kali Ngrowo ditemui oleh Mahesa. Untuk sementara Mahesa menyelamatkan dan memegang Keris Naga Biru. Justru karena senjata ini pula beberapa kali dia mengalami percobaan hendak dibunuh. Ternyata banyak orang-orang pandai di rimba persilatan yang menginginkannya. Diantaranya Karangpandan.

Dengan tipu muslihat licik Karangpandan berhasil meracun Mahesa hingga penuda itu kelak akan mati setelah empat puluh hari. Tetapi setelah menghajar Karangpandan Mahesa berhasil mengetahui obat penawar racun itu.

Karena sakit hati Karangpandan lalu datang ke Pesantren Nusa Berung dan memfitnah bahwa Mahesalah yang telah membunuh Kiyai Jalatunda serta mencuri Keris Naga Biru. Ketika barada di pesantren itu Karangpandan mencuri baberapa kitab ilmu silat dan banda-banda pusaka.

Termakan oleh hasutan Karangpandan, orang-orang pesantren kemudian menyusun rencana untuk menangkap Mahesa. Seorang tokoh silat dari Bali barnama Made Tantre dan bargelar Tangan Dewa Dari Klungkung karena persahabatannya dengan orang-orang pesantren ikut pula membantu.

1.    WAROK GETAH IRENG
Tangan Dewa dari Klungkung tersenyum jumawa, “Sahabatku, katanya menyambuti ucapan Ki Sandakan, “kau keliwat memuji. Ilmu ku cuma sejengkal, pengalamanku cuma secupak. Apakah sebenarnya yang telah terjadi dan melatar belakangi kematian tiga pengurus serta Kiyai Jalatunda?”

Ki Sandakan lalu menuturkan peristiwa itu mulai dari kemunculan Kunti Kendil yang datang untuk minta bantuan menangani persoalan Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam. Kini dengan munculnya seorang lagi murid Kunti Kendil yang telah membunuh Kiyai Jalatunda, rimba persilatan benar-benar dalam keadaan gawat Made Tantre manggut-manggut tanda memahami.

“Memang kalau tidak dibereskan dari sekarang-sekarang, makin banyak orang-orang tak berdosa yang bakal jadi korban mereka. Kita harus menyusun rencana rapi karena yang bakal kita hadapi bukan orang-orang sembarangan.”

“Benar. Karena itu Karangpandan juga berusaha menghimpun beberapa tokoh silat yang dapat kita andalkan dan mau menberi bantuan,” jawab Ki Sandakan pula.

“Itu tidak sulit. Setahuku beberapa tokoh di dunia persilatan memang sejak lama mencari-cari Iblis Gila Tangan Hitam. Maksud baik untuk menyingkirkan angkara muka dari muka bumi ini pasti mendapat lindungan dan berkah para Dewa!”

Ki Sandakan mengangguk lalu mengundang tamunya itu masuk ke dalam bangunan besar guna menikmati sarapan pagi. Hatinya banyak terhibur kini. Kemunculan Made Tantre pasti banyak manfaatnya. Siapa yang tidak kenal dengan manusia berjuluk Tangan Dewa Dari Klungkung itu. Untuk daerah timur nama besarnya disegani kawan dan ditakuti lawan, terutama mereka dari golongan hitam bangsa penjahat dan yang salah jalan. Tokoh silat dari Bali ini memiliki ilmu silat tinggi yang langka di dunia persilatan.

Kita, tinggalkan dulu Pesantren Nusa Barung dengan segala persoalan sakit hati dendam kesumatnya. Kita ikuti kembali perjalanan Mahesa murid Kunti Kendil dari gunung Iyang yang baru beberapa bulan turun gunung tapi telah menemui banyak tantangan dan kesulitan.

Pagi itu Mahesa duduk di puncak sebuah bukit sambil menyaksikan pemandangan indah di lembah. Sawah menghampar luas di bawah sana. Para petani kelihatan tengah menanami padi baru. Disebelah timur sungai kecil mengalir ke ujung lembah. Burung-burung sawah dalam jumlah ratusan beterbangan berkelompok-kelompok. Jauh di sebelah depan kelihatan dua gunung bergandengan.

Walaupun kedua matanya memandangi semua keindahan itu namun pikirannya tidak tertuju ke situ. Ada beberapa hal yang menjadi buah pikirannya. Pertama entah kenapa dia kembali teringat pada gadis berbaju kuning yang pernah ditemuinya. Jelas sejak perpisahan di Bukit Akhirat tempo hari, dia merasa sangat jengkel terhadap gadis itu. Namun untuk melupakannya begitu saja benar-benar sulit bagi pemuda ini.

Hal kedua yang dipikirkannya ialah bagaimana mencari Wirapati dan Lembu Surah, sesuai tugas yang dibarikan gurunya kepadanya. Kemudian yang tak kalah terasa menyesakkan dadanya ialah hasrat untuk pergi ke Probolinggo guna menyelidiki asal-usulnya. Mungkinkah ayahnya masih di situ? Dapatkah dia mencari makam ibunya?

Lalu hal lain yang tak kalah pentingnya ialah persoalan Keris Naga Biru yang kini ada padanya. Demikian banyak orang yang menginginkan senjata itu. Bahkan mereka tak segan-segan untuk membunuhnya. Sebegitu jauh dia masih dapat menyelamatkan senjata tersebut dan juga menyelamatkan jiwanya.

Namun sampai berapa lama dia dapat menghadapi hal berbahaya seperti itu? Sampai kapan dia selalu bisa lolos dari lobang jarum kematian? Dan pemuda ini yakin betul kalau dia akan menghadapi lagi banyak kesulitan serta marabahaya sehubungan dengan adanya Keris Naga Biru itu padanya.

Sesaat dia ingat pada Karangpandan. Tiba-tiba dia menyingkapkan bajunya di bagian perut dan meneliti pusarnya. Warna hijau yang sebalumnya kelihatan pada pusar itu akibat racun jahat yang dimasukkan Karangpandan dalam panggang burung tempo hari kini sudah tak ada lagi. Berarti lelaki itu memang tidak menipu. Racun jahat itu telah sirna oleh tiga helai daun sirih yang dimakannya beberapa hari lalu. Ini membuat dia merasa lega.

Sebelum matahari naik lebih tinggi Mahesa tinggalkan puncak bukit itu, menuruni lembah dan akhirnya sampai di sebuah desa yang saat itu tengah mengadakan pesta sehubungan dengan pengangkatan kepala desa yang baru. Tentu saja ini merupakan satu keuntungan bagi pemuda itu karena tanpa mengeluarkan biaya dia diundang serta oleh penduduk untuk mencicipi makanan apa saja yang terhidang di sebuah lapangan.

Dari pembicaraan orang banyak yang didengarnya Mahesa mengetahui sebenarnya yang terpilih menjadi kepala desa adalah seorang ahli pembuat senjata bernama Empu Larangan. Namun sang empu menolak jabatan itu karena dia lebih senang dengan kesibukan melayani pesanan pembuatan senjata. Memang Empu Larangan terkenal sangat ahli dalam membuat berbagai senjata.

Selain buatannya bagus halus juga dapat dikerjakannya dalam waktu cepat. Demikian banyaknya pesanan yang diterimanya, kadang-kadang hampir tak dapat dilayani. Tidak mengherankan dia lebih suka akan pekerjaannya sekarang yang ditekuninya sejak kecil, daripada menjadi kepala desa. Setelah diadakan pemilihan sekali lagi maka terpilihlah orang lain menduduki jabatan itu.

Mahesa merasakan perutnya gembul. Berbagai makanan telah dihantamnya. Sejak turun gunung baru sekali ini dia melihat makanan demikian banyak, enak-enak dan sebelumnya tak pernah dilihatnya. Seseorang memberikannya sebuah tabung bambu.

“Apa ini tanya Mahesa?"

“Tuak, minumlah. Ini bukan sembarang tuak. Rasanya manis sejuk."

“Apa tuak itu?" Mahesa masih kepingin tahu.

“Sobat muda, kau minum sajalah. Tuak manis begini jarang ada!"

Mahesa lalu meneguk minuman itu. Memang terasa manis dan sejuk. “Ah, boleh juga." katanya. Lalu diteguknya lagi. Ketika habis setengah bumbung bambu tubuhnya terasa hangat dan enteng. Tapi lambat-lambat kepalanya terasa pusing.

“Heh, kau meracuni aku?!" tiba-tiba Mahesa membentak pada orang yang tadi memberinya minuman itu.

Yang dibentak malah tertawa. "Itu bukan racun. Itu tuak! Seharusnya kau tidak meneguknya sekaligus sampai setengah bumbung. Masih untung kau sudah makan banyak. Kalau perutmu kosong dan kau minum sebanyak itu, pasti sudah tadi-tadi kau ngaco!"

Beberapa orang yang ada di dekat situ ikut memandang Mahesa dengan tertawa.

“Anak setan!" maki Mahesa. Dia berdiri terhuyung-huyung, lalu melangkah ke bawah sebatang pohon rindang di tepi lapangan dan duduk di sana sambil memejamkan mata. 

Sementara itu di tengah lapangan berbagai pertunjukan telah dimulai. Orang yang datang semakin banyak. Bukan saja dari desa itu tetapi juga dari desa-desa tetangga. Mahesa tidak tahu entah berapa lama dia tertidur di bawah pohon itu ketika dia mendadak terbangun dan melihat penduduk yang berjubalan menghadiri pesta, berteriak dan berlarian kucar kacir dengan wajah ketakutan. Namun banyak diantara mereka yang tak berani meninggalkan lapangan dan berkumpul di tengah-tengah dengan paras pucat.

Mahesa menguap lebar-lebar lalu berdiri sambil kucak-kucak matanya. Kepalanya yang tadi pusing kini sudah tak terasa lagi. Dia memandang berkeliling. Apakah yang telah terjadi?

Di tengah lapangan, diatas sebuah meja besar yang penuh dengan makanan berdiri seorang lelaki tinggi besar berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Tampangnya kasar galak, ditambah kumis melintang dan cambang bawuk yang lebat. Di pinggangnya tersisip sebilah golok.

Di samping si tinggi besar ini tegak dengan tubuh gemetar seorang lelaki berusia enam puluh tahun, berambut putih. Namanya Ki Kemitir. Dialah kepala desa yang baru terpilih setelah Empu Larangan menolak jadi kepala desa.

Di sekeliling lapangan tampak hampir tiga puluh lelaki yang semuanya berpakaian serba hitam dan menghunus golok. Tampang mereka rata-rata tak kalah buas dengan lelaki yang tegak diatas meja sambil menginjak makanan seenaknya.

“Semua penduduk desa Tegalsari dengar! Aku Warok Getah Ireng mau bicara!" Si muka garang diatas meja berkata nyaring. 

Suaranya keras dan jelas, terdengar sampai ke tempat Mahesa berdiri yang cukup jauh. Pertanda bahwa siapapun adanya manusia bernama Warok Getah Ireng ini dia memiliki tenaga dalam yang tinggi. Sambil berkata begitu Warok Getah Ireng letakkan golok besarnya diatas bahu kepala desa dengan bagian tajam menghadap ke leher sehingga semakin pucat dan semakin menggigillah kepala desa yang baru itu walau dulu kabarnya dia adalah seorang prajurit kerajaan yang cukup memiliki kepandaian silat.

Mahesa melangkah mendekati seorang anak lelaki yang tegak berlindung di balik sebatang pohon. Seperti yang lain anak ini pun kelihatan takut tapi tak berani lari dari situ. “Siapa orang berewokan yang tegak diatas meja itu?" bertanya Mahesa.

Si anak berpaling pada Mahesa. Sesaat wajahnya menunjukkan rasa heran. "Masakan tidak tahu...?" katanya.

“Aku memang tidak tahu. Aku bukan orang sini," menerangkan Mahesa.

Sebelum menjawab anak lelaki itu menoleh dulu ke kiri dan ke kanan, takut kalau-kalau ada yang mendengarkan pembicaraan mereka. “Orang berewok itu kepala rampok ganas. Namanya Getah Ireng!"

“Hemm...!" Mahesa menggumam sambil angguk-anggukkan kepala. Mahesa lalu memandang kembali ke arah tengah lapangan. Menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh Warok Getah Ireng, menunggu apa yang akan terjadi. Dan saat itu memang Getah Ireng kembali membuka mulutnya.

“Kalian penduduk Tegalsari telah mengadakan pemilihan kepala desa tanpa memberitahuku lebih dulu! Apa kalian Iupa atau berpura-pura lupa kalau desa ini salah satu daerah kekuasaanku?! Apapun yang terjadi di sini harus diberitahu dulu padaku!" Warok Getah Ireng delikkan mata dan menoleh pada Ki Kemitir.

"Kepala desa! Jawab pertanyaanku! Mengapa tidak memberitahu lebih dulu?!" Badan golok ditekankan Warok ke bahu kepala desa itu. 

Ki Kemitir semakin pucat, menggigil dan basah celananya. “Maaf Warok. Kami semua memang lupa. Ini tak disengaja Harap dimaafkan.” Suara kepala desa itu bergetar karena sangat takut.

“Lupa dan maaf!" bentak Getah Ireng lalu tertawa. Ketika suara tawanya lenyap dia kembali membentak, “Kurang ajar! Benar-benar kurang ajar! Seharusnya kugorok betang lehermu saat ini! Kubunuhi semua penduduk di sini!"

Ki Kemitir jatuh berlutut. ”Jangan Warok jangan bunuh kami”

“Berdiri!" hardik Getah Ireng.

Setelah kepala desa itu berdiri Warok Getah Ireng kembali pentang suara.

“Baik, aku Warok Getah Ireng akan maafkan apa yang telah terlanjur terjadi! Tapi dengar! Maaf itu tidak kuberikan begitu saja. Harus ada imbalannya. Sejak hari ini, setiap bulan orang-orangku akan datang menemui setiap penduduk desa. Kalian harus membayar sejumlah pajak! Ada yang berani membantah dan minta mampus?'

Tak ada yang buka suara. Bahkan bergerakpun penduduk desa Tegalsari itu seolah-olah takut.

“Sebagai bukti bahwa kalian tunduk dan mau membayar pajak, saat ini juga kalian harus serahkan uang, perhiasan, apa saja yang berharga. Siapa berani menolak akan kubunuh!"

Selesai sang Warok berkata begitu maka lebih dari tiga puluh anak buahnya yang ada di tepi lapangan mengeluarkan sebuah kantong hitam.

“Kepala desa kalian akan memberi contoh bagaimana jadi pembayar pajak yang baik!" berteriak lagi Warok Getah Ireng. Lalu dia ulurkan tangan kanannya yang besar dengan telapak terbuka. "Berikan apa saja yang kau bawa Saat ini. Uang! Dan copot cincinmu itu!"

“Warok…”

“Bangsat! Kau mau membantah?!" Bagian tajam dari golok ditempelkan ke leher kepala desa.

Dalam keadaan tak berdaya begitu rupa Ki Kemitir akhirnya menanggalkan cincin suasa yang dipakainya. Namun sebelum cincin itu diserahkannya pada Warok Getah Ireng, sesosok bayangan putih meIompat ke atas meja besar.

“Kepala rampok jahat! Penduduk disini orang-orang miskin! Kenapa kau tega merampok dan memeras!'


2.    PESTA BERDARAH
WAROK Getah Ireng dan juga semua penduduk yang ada di situ terkesiap kaget melihat ada orang yang berani bicara begitu serta meIompat naik ke atas meja. Memandang ke depan Warok Getah Ireng dapatkan kenyataan bahwa yang barusan berseru dan melompat adalah Empu Larangan, orang tua yang selama ini dikenal sebagai ahli membuat berbagai macam senjata.

Kepala rampok itu beliakkan mata. Dia memberi isyarat pada beberapa orang anak buahnya yang hendak menyerbu ke atas meja. Lalu tertawa gelak-gelak.

“Empu Larangan! Tak kusangka hari ini kau bisa berlagak menjadi pembela rakyat jelata! Kalau tak salah dengar kau tadinya tak mau jabatan kepala desa itu. Kini dengan berlagak sebagai pahlawan apa tergiur kembali oleh jabatan kepala desa?"

“Aku sudah tua dan tak inginkan jabatan apa-apa. Yang aku inginkan dan semua orang di sini inginkan ialah agar kau bawa anak buahmu. Tinggalkan desa ini dan jangan kembali lagi!" jawab Empu Larangan.

Kembali Warok Getah Ireng tertawa panjang. “Empu Larangan," katanya. "Baiknya kau pulang saja dan teruskan pekerjaanmu membuat pisau-pisau dapur!"

Merah padam wajah Empu Larangan. Tapi dia tetap kelihatan sabar. Warok Getah Ireng kembali membuka mulut mengejek.

“Atau mungkin kau sedang kekurangan pesanan. Kalau begitu biar aku berikan pesanan. Tolong buatkan tiga golok besar untuk pemotong kambing!"

“Warok, sudahlah. Pergi dari sini. Biarkan desa ini aman tenteram. Kami di sini hanya orang-orang miskin. Cari saja rezekimu di tempat lain!”

“Empu Larangan, kau berani memerintah dan mengajariku?" si kepala rampok kini kelihatan mulai kehilangan kesabarannya.

“Aku tidak memerintah dan tidak mengajar. Aku hanya minta dengan sangat. Apa yang kau lakukan bukan pekerjaan baik. Lebih bagus kau dan orang-orangmu mengabdikan diri pada Kerajaan menjadi prajurit-prajurit yang berbakti.”

“Oooo tua bangka ini memang pandai bicara. Kau meminta aku pergi, baiklah. Tapi bagaimana kalau aku minta dulu kepalamu?"

“Kepalaku ini tak ada harganya Warok," sahut Empu Larangan.

Seorang anak buah rampok itu tampaknya tak dapat menahan diri lalu melompat seraya menghunus goloknya. “Warok, biar aku yang tebas batang lehernya!"

Warok Getah Ireng tersenyum. "Kau anak buah yang baik. Biar aku omong-omong dulu dengan tua Bangka ini...!" jawab Getah Ireng lalu berpaling pada Empu Larangan. "Orang tua, jika kau merasa kepalamu tak ada harganya lebih baik kau menyingkir dari hadapanku. Dengan begitu umurmu bisa lebih panjang”

Empu Larangan gelengkan kepala. “Aku tak akan pergi dari tempat ini sebelum kau dan anak buahmu pergi lebih dulu”

Marahlah Getah Ireng. "Kalau begitu kau memang pantas dibunuh!"

Golok besar yang tadi diletakkan di atas bahu kepala desa tiba-tiba dikibaskan dan melesat menusuk ke dada Empu Larangan. Orang tua ini sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Namun dengan sigap dia masih bisa melompat ke samping untuk hindarkan dadanya. Akan tetapi sewaktu Getah Ireng memburu dengan serangan kedua berupa bacokan ke bahunya, orang tua ini tak mampu lagi berkelit.

Ki Kemitir berseru ngeri. Orang banyak juga tampak tegang. Satu jengkal lagi mata golok akan memutus buntung bahu kanan Empu Larangan tiba-tiba terjadilah satu hal yang membuat kaget semua orang, terutama Warok Getah Ireng dan anak buahnya. Sebuah batu sebesar kepalan melayang dari arah timur dan menghantam pergelangan tangan kanan Getah Ireng. Kepala rampok ini berteriak kesakitan dan terpaksa lepaskan goloknya. Empu Larangan selamat dari pembunuhan keji!

Sambil pegangi tangannya yang sakit dan mengucurkan darah Warok Getah Ireng berteriak marah. Semua anak buahnya sudah bersiap sedia, memandang ke jurusan datangnya lemparan batu, mencari-cari siapa pelakunya.

“Kurang ajar! Siapa yang berani membokong pemimpin kami secara pengecut! Lekas serahkan diri!"

Salah seorang anak buah rampok berteriak marah. Namun baru saja dia berteriak begitu sebuah benda melayang sebat dan masuk ke dalam mulutnya hingga tercekik megap-megap. Kalau tidak seorang kawannya lekas memukul tengkuknya, pasti dia akan kehabisan nafas. Pukulan tadi membuat benda yang ada dalam mulutnya termuntah ke luar dan jatuh di tanah. Ketika diperhatikan ternyata sebuah kue berbentuk bulat yang banyak terdapat dan dihidangkan di beberapa meja di lapangan pesta itu!

Meski kejadian itu cukup lucu untuk menjadi bahan tertawaan, namun suasana yang begitu tegang mencengkam membuat tak seorang pun berani tertawa ataupun tersenyum. Untuk beberapa lama suasana sunyi senyap.

Warok Getah Ireng memandang kian kemari dengan mata mendelik dan wajah membesi. Lemparan batu yang menghantam tangannya tadi datang dari arah kiri. Sedang lemparan kue yang mengenai anak buahnya dari sebelah depan. Sulit untuk mengetahui siapa pelakunya. Tapi kepala rampok ini tak kehilangan akal. Dia segera berteriak.

“Bangsat Kalian dengar! Aku akan menghitung tiga kali. Jika sampai hitungan terakhir orang yang melempar tidak maju menyerahkan diri, nyawanya tak akan kuampuni. Dan banyak korban yang akan berkaparan di lapangan ini! Satu!"

Getah Ireng mulai menghitung. Tak ada yang bergerak, apalagi maju ke arah kepala rampok itu. Getah Ireng menggeram dalam hati dan memandang berkeliling.

“Dua!" sang Warok berteriak keras. Tetap saja tak ada yang maju memunculkan diri. Setelah menunggu dengan gemas dan beringas Getah Ireng berteriak, "Ini kesempatan terakhir!"

Sama saja. Tetap tak ada yang bergerak. Dengan suara menggeledek kepala rampok ini meneriakkan hitungannya yang ketiga atau terakhir. “Tiga!"

Buk!

Warok Getah Ireng berteriak kesakitan sambil pegangi matanya sebelah kiri. Entah siapa yang melakukan, sebutir telur dilemparkan dan tepat mengenai mata kiri kepala rampok ini.

“Haram jadah!" Getah Ireng merasakan tubuhnya seperti mau meledak oleh amarah. Setelah usap-usap matanya yang terkena lemparan telur rebus tiba-tiba dia menubruk Ki Kemitir. Sebilah belati tahu-tahu sudah tergenggam di tangan kanannya dan ujung pisau itu ditempelkannya ke leher kepala desa Tegalsari, menggores sedikit kulit lehernya hingga mengucurkan darah! Ki Kemitir meringis kesakitan. Warok Getah Ireng tidak perdulikan dan malah berteriak.

“Jika tidak ada yang mau maju dan mengaku telah melempar, kepala desa kalian akan mampus detik ini juga!"

Semua orang terpaku tegang di tempat masing-masing. Dalam kesunyian yang menggantung begitu rupa tiba-tiba terdengar suara orang menguap lalu seorang pemuda berpakaian putih, berikat kepala juga putih melangkah ke arah meja dimana Warok Getah Ireng berada bersama Ki Kemitir dan Empu Larangan. Dia berjalan sambil mengupas kulit telur rebus dan berhenti di depan meja.

“Siapa kau?!" bentak Getah Ireng.

“Eh, bukankah tadi kau berteriak agar ada yang maju?"

“Keparat! Jadi kau yang melempar?"

“Aku tidak tahu. Karena kulihat tidak ada yang mau maju maka aku datang kemari untuk menjadi wakil! Apakah kau masih ingin sebutir telur lagi? Aku lebih baik dari si pelempar itu. Tadi memberikan telur masih berkulit padamu. Sedang aku sudah mengupaskannya!" Pemuda itu acungkan telur rebus yang barusan selesai dikupasnya.

Orang banyak menyaksikan peristiwa itu dengan tercengang heran. Siapa pemuda asing yang berani bicara bergurau seperti itu? Apakah otaknya miring berani berlaku begitu?

Di atas meja wajah Getah Ireng kelihatan merah mengelam. “Buyung sableng! Siapa namamu?!" sentak Getah Ireng.

“Namaku Mahesa!"

“Bunuh pemuda ini!" teriak Getah Ireng pada anak buahnya.

Empat orang anak buah rampok itu melompat. Karena yang mereka lihat hanyalah seorang pemuda kampung yang mereka duga kurang waras maka keempatnya menyerang Mahesa dengan tangan kosong. Namun apa yang terjadi kemudian membuat semua orang menjadi geger.

Keempat orang yang hendak membunuh Mahesa terpental sambil menjerit. Yang pertama muntah darah. Yang kedua ambrol tiga tulang iganya. Rampok berikutnya patah tulang lengannya sedang yang ke empat remuk tulang pinggulnya. Keempatnya berkaparan di tanah sambil merintih kesakitan.

“Bunuh Pergunakan senjata kalian! Tolol!" teriak Getah Ireng meledak marah.

Tiga anak buahnya dengan golok terhunus menyerbu. Mahesa cekal leher pakaian rampok yang tangannya patah dan mengangkat tubuh orang ini demikian rupa hingga melindungi dirinya sendiri. Tentu saja hal ini membuat tiga perampok bersenjata golok jadi bingung. Tak mungkin mereka bisa menyerang kecuali akan mencelakakan kawan sendiri!

Warok Getah Ireng habis kesabarannya. Belati di tangannya ditusukkannya ke leher Ki Kemitir. Tubuh yang mandi darah itu dilemparkannya ke tanah. Lalu dia melompat ke arah Mahesa. Selagi melayang di udara pisau belati yang berlumuran darah itu dilemparkannya ke punggung si pemuda. Mendengar ada sesuatu yang melesat ke arahnya Mahesa cepat menunduk. Belati besar menderu dan menancap di punggung rampok yang barusan dicekalnya.

“Setan alas!" teriak Getah Ireng lalu kirimkan tendangan ke arah Mahesa yang saat itu masih tegak membungkuk.

Mahesa jatuhkan diri ke tanah. Dari bawah dia kemudian tusuk betis Getah Ireng dengan dua ujung jari tangan kanannya hingga kepala rampok ini terpekik kesakitan. Kakinya sebelah kanan seperti kesemutan dan hilang rasa. Mahesa berdiri dan memandang mengejek pada kepala rampok itu.

“Manusia tolol! Kuberi telur maunya digebuk!" Lalu Mahesa caplok telur rebus yang tadi dikupasnya.

Tentu saja Warok Getah Ireng semakin menggelegak amarahnya. Kepala rampok yang ditakuti di daerah timur ini sambar golok salah seorang anak buahnya lalu menyerbu Mahesa dengan bacokan-bacokan ganas. Ternyata permainan golok kepala penjahat ini memang hebat. Golok itu benar-benar berkelebat menderu-deru, memaksa Mahesa untuk tidak main-main lagi menghadapi lawannya. Sementara itu lebih dari dua puluh anak buah rampok mengurung kalangan pertempuran dengan senjata siap di tangan.

Sepuluh jurus berlalu. Sambaran golok Getah Ireng makin ganas. Mahesa tampak terdesak namun sebegitu jauh tak sekalipun senjata lawan mampu merobek pakaiannya apalagi melukai tubuhnya. Di mata anak buah Getah Ireng kejadian ini adalah satu hal luar biasa. Sebelumnya mereka sudah sering menyaksikan, jika pimpinan mereka sudah mengamuk marah seperti saat itu maka lawan yang menjadi bulan-bulanan serangan goloknya pasti sudah terkutung-kutung tubuhnya. Salah seorang dari mereka memberanikan diri berteriak,

“Warok  Biar aku dan kawan-kawan yang mencincang pemuda itu!"

“Diam!" bentak Getah Ireng marah. Selain penasaran dia juga merasa dibuat malu oleh teriakan anak buahnya itu. Dengan menggembor tak kunjung henti dia teruskan menyerbu Mahesa, mendesak ke pinggiran meja.

Wut!

Mata golok menderu ke arah leher pemuda itu. Mahesa jatuhkan diri dan menyusup ke bawah meja besar. Dia berguling ke seberang sana. Begitu sampai di sebelah meja yang lain Warok Getah Ireng sudah menyerbu dengan Iompatan hebat. Mahesa sambar sebuah tetampah besar berisi berbagai macam makanan dan lemparkan ke arah kepala rampok itu. Puluhan kue berhamburan mengenai tubuh Getah Ireng.

Dalam marahnya kepala rampok ini langsung lemparkan goloknya ke arah Mahesa. Si pemuda berhasil mengelakkan dengan mudah namun golok yang dilemparkan melayang menghantam seorang penduduk desa. Orang ini roboh dengan perut tertembus golok!

Hal ini membuat murid Kunti Kendil sadar, kalau tidak segera dihajar kepala rampok yang sudah sering menyusahkan rakyat ini bisa menimbulkan celaka lebih besar lagi. Maka Mahesa memutuskan untuk membereskan lawan ini secepat mungkin. Namun saat itu di hadapannya dilihatnya Getah Ireng menyelinapkan tangan kanannya ke balik pakaian hitamnya. Ketika tangan itu dikeluarkan, dalam genggaman kepala rampok itu kini tergenggam sebuah senjata berbentuk rantai berwarna putih!

Anak buah Getah Ireng terkesiap. Jarang sekali pemimpin mereka mengeluarkan senjata andalan ini. Demikian hebatnyakah pemuda lawannya hingga terpaksa mengeluarkan rantai wesi putih?

3.    EMPU LARANGAN
MAHESA maklum kalau rantai besi yang ada di tangan kepala rampok itu pastilah bukan senjata sembarangan. Namun dia tidak mau menunjukkan sikap malah acuh tak acuh pemuda ini mengambil sepotong kue yang ada di atas meja di samping kirinya lalu memakannnya.

Rahang Getah Ireng nampak menggembung. Dia mulai putar-putar rantai besinya di atas kepala. Makin lama makin cepat, hingga mengeluarkan suara menderu dan menebar sinar putih. “Mampus!" teriak Getah Ireng. Rantai besi di tangannya berkiblat, menggebuk ke arah kepala Mahesa.

Pemuda ini cepat menyingkir dengan melompat ke kiri. Namun besi putih itu kembali datang memburu, cepat sekali. Getah Ireng tak mau memberi kesempatan. Sinar rantainya laksana air hujan, datang bertubi-tubi.

“Anak setan!" maki Mahesa. Dia dipaksa melompat kian kemari untuk menyelamatkan diri. Beberapa kali rantai itu menggebuk meja makanan hingga hancur berantakkan. Mahesa mengambil potongan kayu kaki meja dan pergunakan benda ini sebagai senjata. Namun dalam sekali gebrakan saja kaki meja itu hancur dihantam rantai wesi putih. Sekali waktu rantai besi itu menghantam sebatang pohon hingga patah dan tumbang. Mahesa jadi melengak juga melihat kehebatan senjata lawan dan mulai berpikir-pikir apakah perlu dia mengeluarkan ilmu silat orang buta. Berpikir begitu membuat dia lengah dan rantai besi lawan hampir saja menghantam bahu kirinya.

“Edan!" rutuk Mahesa.

“Anak muda! Pergunakan ini!" satu seruan terdengar.

Mahesa melirik. Yang berseru adalah Empu Larangan sambil melemparkan sebatang tombak besi. Namun selagi tombak itu melayang di udara, belum sempat dijangkau Mahesa, rantai besi di tangan Getah Ireng berhasil memotong dan menghantamnya hingga patah-patah berantakan.

“Pemuda keparat! Sebentar lagi kepalamu akan hancur oleh senjataku!" ujar Getah Ireng yang merasa mendapat angin. Kalau saja kaki kanannya tidak cidera oleh tusukan jari lawannya tadi dia yakin akan dapat menghajar lawannya lebih cepat.

Tiba-tiba Mahesa melihat patahan pohon yang tadi tumbang oleh hantaman senjata Getah Ireng. Batang pohon ini tidak seberapa besar namun ujungnya penuh dengan cabang-cabang dan ranting kecil yang ditumbuhi duri. Ketika digembleng oleh Kunti Kendil di puncak pegunungan Iyang, pemuda ini berhasil memiliki tenaga dalam dan tenaga luar yang ampuh. Karenanya tidak sulit bagi Mahesa untuk mengangkat patahan pohon itu.

Ternyata dengan mempergunakan patahan pohon tersebut sebagai senjata Mahesa bukan saja dapat menjaga jarak dari serangan rantai besi lawan, tapi sekaligus juga dapat mendesak Getah Ireng dengan sodokan-sodokan berbahaya. Kepala rampok itu putar senjatanya demikian rupa hingga sebentar saja ranting-ranting dan cabang pohon yang berduri menjadi patah berguguran.

Namun ketika satu sodokan ujung pohon yang sudah gundul itu dihantamkan Mahesa ke perutnya secara tiba-tiba, kepala rampok ini terlambat berkelit. Ujung pohon masih sempat menyerempet pinggangnya hingga pakaiannya robek dan tubuhnya cidera dalam parah di bagian pinggang sebelah kiri.

Seperti harimau luka Getah Ireng mengamuk. Dia kerahkan seluruh kepandaiannya. Tubuhnya berkelebat kian kemari. Rantai besinya menderu tiada henti. Namun batang pohon yang dipakai lawan sebagai senjata membuat dia sulit mendekati Mahesa. Dia mengambil keputusan untuk menghancurkan pohon itu lebih dulu Sebaliknya Mahesa sengaja menunggu. 

Ketika batang pohon yang di pegangnya tinggal pendek saja, tiba-tiba batang itu dilemparkannya ke arah Getah Ireng. Kepala rampok ini melompat ke samping sambil menggebuk dengan rantainya. Kesempatan justru dipergunakan oleh Mahesa untuk mengirimkan tendangan keras.

Kruk!

Getah Ireng terpekik. Pangkal lengannya sebelah kanan patah. Rantai putihnya jatuh tercampak di tanah. Dia tegak terhuyung-huyung menahan sakit. Beberapa anak buahnya hendak maju menyerang namun ragu-ragu. Apalagi saat itu dilihatnya banyak penduduk yang ada di situ mulai menunjukkan sikap hendak menyerbu dengan mencekal berbagai benda yang dipergunakan sebagai senjata. Melihat ini beberapa orang anggota rampok itu menyelinap melarikan diri. Menyaksikan kawan-kawannya kabur, yang lain pun menjadi takut dan ambil langkah seribu.

Akibatnya, tanpa dapat dicegah kemarahan penduduk ditumpaskan pada Getah Ireng. Puluhan orang datang menyerbu kepala rampok ini. Ada yang meninju dan menendang, ada yang memukul dengan kayu, melempar dengan batu dan menusuk dengan senjata tajam. Dalam waktu sekejap saja Warok Getah Ireng sudah terkapar di tanah dengan tubuh hancur, mengerikan untuk dilihat.

Selesai melampiaskan amarahnya, orang banyak tiba-tiba ingat pada Ki Kemitir, kepala desa mereka yang mati dibunuh Getah Ireng. Mereka segera mengerumuni mayat Ki Kemitir dan menggotongnya ke tepi lapangan. Mahesa yang merasa tak ada kepentingan lagi di tempat itu, apalagi perutnya sudah gembul, melangkahkan kaki untuk pergi. Namun seseorang menegurnya.

“Anak muda, kau mau pergi ke mana? Tunggu dulu!"

Mahesa berpaling. Yang menegur ternyata Empu Larangan. “Orang tua, ada apakah?" tanya Mahesa.

“Kau telah berjasa pada desa kami. Kau tak bisa pergi begitu saja sebelum kami mengucapkan terima kasih!"

Mahesa tertawa. "Aku tidak merasa telah berbuat jasa. Jadi kalian tak perlu berbasa basi menyampaikan terima kasih segala”

“Tunggu. Meski kau orang asing dan masih muda, tapi desa kami perlu orang seperti kau. Jika kuusulkan kau jadi kepala desa di sini, penduduk Tegalsari pasti setuju...”

“Empu, kau ini ada-ada saja," jawab Mahesa. "Apapun alasanmu aku tak mungkin memenuhi permintaanmu. Aku harus pergi”

“Ah sayang," Empu Larangan nampak kecewa. "Memaksamu tentu tak mungkin. Tapi barangkali kau ada satu permintaan...?"

“ltupun kurasa tak ada.”

Empu Larangan tersenyum lalu geleng-gelengkan kepala, “Anak muda, kulihat kau seorang yang bersifat terkadang lucu, terkadang aneh dan tak acuh. Tetapi melihat air mukamu aku tahu, kau banyak menghadapi kesulitan atau mungkin dugaanku salah?"

Mahesa tertawa. "Orang tua!" katanya. "Ternyata kau bukan cuma ahli membuat senjata, tapi juga pandai membaca air muka orang. Aku…" Mahesa tak meneruskan kata-katanya.

“Apakah yang hendak kau katakan anak muda?" Tanya Mpu Larangan.

“Mengingat kau ahli membuat senjata, aku bermaksud meminta tolong."

“Katakanlah apa yang bisa aku tolong. Mudah-mudahan aku dapat sebagai pembalas budi besarmu."

“Empu, kau memang benar. Akhir-akhir ini aku banyak mendapat kesulitan. Penyebabnya ialah sebilah keris mustika. Beberapa kali orang bermaksud mengambilnya dariku. Bahkan mereka tak segan-segan hendak membunuhku!”

“Apa yang ada di benakmu Mahesa? Bolehkah aku lihat keris yang kau katakan itu?"

“Baiklah. Mari…”

Mpu Larangan tinggal di sebelah timur desa Tegalsari. Karena dia hanya hidup sendirian, rumah yang memiliki tiga kamar itu tentu saja terlalu besar baginya. Di halaman belakang rumah terdapat sebuah beranda. Di sinilah terdapat tungku pelebur besi atau baja dan berbagai macam perkakas. Inilah tempat sang Empu mengerjakan pembuatan senjata.

“Nah, perlihatkanlah padaku keris itu." Berkata Empu Larangan begitu mereka sampai di beranda belakang.

Mahesa keluarkan senjata itu dan menyerahkannya pada Empu Larangan. Sesaat orang tua ini jadi terkesiap. Baru ini dia melihat sarung dan hulunya saja lidahnya sudah berdecak kagum. Belum pernah dia melihat ukiran senjata yang demikian halus dan rapi, apalagi bentuk kepala naga yang menjadi hulu senjata itu. Ketika dipegangnya ternyata senjata itu enteng sekali. Perlahan-lahan Empu Larangan cabut senjata itu dari sarungnya.

Tanpa diketahui oleh Mahesa maupun Empu Larangan, satu pantangan telah terjadi. Keris itu hanya boleh dicabut bilamana ada korban yang diinginkan. Kalau dicabut secara sembarangan maka dia akan meminta korban atau nyawa siapa saja!

Empu Larangan memandang tak berkesip ketika melihat sinar biru yang memancar dari badan keris yang berluk tujuh itu. Hawa dingin sejuk menjalar dari gagang keris, terus mengalir ke tangannya, terus ke sekujur tubuh. Perasaan orang tua ini kagum bercampur angker.

“Mahesa," katanya tanpa berpaling pada si pemuda, “ini bukan senjata sembarangan. Kurasa tak ada duanya di dunia. Darimana kau mendapatkannya?"

Mahesa Ialu menuturkan asal usul dari mana dia mendapatkan senjata itu. “Sebelum mati, orang tua yang memberikan senjata itu padaku berkata bahwa keris itu bernama Keris Naga Biru. Sejak keris itu ada padaku, beberapa orang berkepandaian tinggi berusaha merampasnya, bahkan tidak sungkan-sungkan untuk membunuhku. Sayang aku tidak tahu siapa nama orang tua yang memberikan senjata itu padaku, apalagi asal usulnya. Kalau saja aku tahu pasti akan kuserahkan pada pewarisnya yang berhak."

Empu Larangan mengangguk-angguk lalu sarungkan senjata itu kembali. Mahesa meneruskan keterangannya.

“Salah seorang yang sangat menginginkan senjata itu mengaku bernama Karangpandan. Katanya dia utusan dari kraton Surakarta. Katanya Keris Naga Biru itu adalah salah satu dari barang pusaka milik Keraton yang harus dikembalikam ke sana. Apa pendapatmu. Apakah pernah mendengar hal itu?"

Empu Larangan menggeleng. Setahuku Keraton Surakarta memang banyak memiliki benda pusaka. Puluhan, bahkan mungkin ratusan keris. Tapi tak pernah kuketahui ada Keris Naga Biru ini salah satu diantaranya. Aku pernah menerima beberapa kali pesanan dari sana”

“Apakah kau pernah mendengar nama Pangeran Ismoyo” Tanya Mahesa.

EMpu Larangan mendongak, berpikir-pikir. Inilah susahnya. Di sini juga terdapat banyak pangeran. Tapi seingatku tak ada pangeran bernama Ismoyo.”

“Nah kalau begitu Karangpandan berdusta! Pasti dia mempunyai maksud tertentu!”

Empu Larangan tersenyum. "Mahesa, kau masih muda. Ketahuilah di dunia ini banyak manusia yang punya maksud tertentu untuk kepentingan pribadi. Tak jarang mereka mengatasnamakan orang lain atau golongan lain. Apa yang akan terjadi mereka tak perduli. Pokoknya mereka berhasil mencapai tujuan. Terhadap orang-orang seperti ini kita perlu berhati-hati. Mereka lebih buruk dan lebih jahat dari Warok Getah lreng yang mati dikeroyok rakyat di tanah lapang tadi!"

Mahesa mengangguk. "Terima kasih atas nasihatmu, Empu. Menurutmu bagaimana baiknya dengan senjata itu?"

“Yah, tak ada jalan lain. Kau harus memegangnya terus. Sampai suatu ketika kau mengetahui siapa yang berhak dan menyerahkannya padanya.”

“Akupun berpikiran demikian. Namun justru dengan membawa keris itu ke mana-mana nyawaku selalu terancam. Karena akan selalu ada manusia yang menginginkannya. Untuk itulah aku ingin minta pertolonganmu Empu!”

“Aku akan menolong. Katakanlah apa maumu, Mahesa?"

“Tolong buatkan tiruan Keris Naga Biru sebanyak dua buah!"

Empu Larangan membelalak. Lalu dia tertawa gelak-gelak. “Anak muda! Kau cerdik. Aku mengerti maksudmu. Aku mengerti!"

“Tapi ada syaratnya Empu...!" ujar Mahesa pula.

“Eh, apakah itu?"

"Aku tak punya waktu banyak. Kedua keris itu harus selesai dalam waktu satu minggu."

“Mahesa! Kau tidak berolok-olok bukan?"

“Tidak Empu."

Empu Larangan menggeleng. Senjata itu keseluruhannya, sarung, hulu dan badannya merupakan rangkaian yang luar biasa. Tak pernah aku melihat senjata yang dibuat sedemikian baiknya. Kalau kau inginkan waktu satu minggu, tak sanggup aku melakukannya. Satu minggu satu pun kurasa aku tidak mampu!"

“Empu! Kau seorang ahli membuat senjata yang bukan sembarangan. Kau pasti bisa!”

“Tak mungkin Mahesa”

“Kalau begitu terpaksa aku membatalkan permintaanku”

Empu Larangan terdiam. Lalu berkata, Jika kau terus memaksa, aku akan usahakan sepuluh hari untuk dua keris itu. Kurang dari itu aku tak sanggup. Biarlah aku berhutang budi seumur-umur padamu!”

“Baiklah Empu. Aku setuju sepuluh hari. Berarti selama itu pula aku tinggal di rumahmu ini”


4. KORBAN PANTANGAN 
MALAM itu adalah hari ke enam Empu Larangan mengerjakan pembuatan tiruan Keris Naga Biru. Dia telah selesai membuat sarung dan gagang senjata. Jika di perhatikan walaupun pekerjaan Empu ini sangat rapi, tetap saja mutu ukiran sarung dan gagang keris tiruan itu tidak sehalus aslinya. Namun bagi orang yang tidak mengerti dan jika dilihat sepintas tentu tidak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang tiruan.

Larut tengah malam Empu Larangan mulai mengerjakan tiruan dari badan keris berluk tujuh itu. Saat itu hujan rlntik-rintik turun. Udara agak dingin. Empu Larangan meIetakkan Keris Naga Biru tanpa sarung di atas sebuah batu besar di samping tungku pelebur besi. Mahesa duduk di sudut beranda yang agak gelap.

Selama enam hari ini dia boleh dikatakan tidak beranjak dari situ. Bukan hanya sekedar menyaksikan pekerjaan Empu Larangan, tapi sekaligus untuk berjaga-jaga. Cangkir kopi yang terletak di lantai sudah sejak tadi kosong. Pemuda ini mulai merasa mengantuk. Tapi untuk tidur tentu saja dia tidak mau ambil risiko.

Menjelang dinihari tiba-tiba terdengar suara rentak kaki kuda. Suara ini berhenti tepat di depan rumah Empu Larangan. Tak lama kemudian terdengar suara orang mengetuk pintu. Empu Larangan berpaling pada Mahesa. Pemuda ini anggukkan kepala. Ketika sang Empu melangkah mendekatinya dia berkata, "Lihat siapa yang datang. Tapi jangan sekali-kali bawa masuk ke tempat ini!"

Empu Larangan mengangguk dan melangkah ke depan rumah. Ketika pintu dibuka, dua sosok tubuh tinggi besar tegak di hadapannya. Empu Larangan hanya mengenali salah seorang dari tamunya ini. Orang ini adalah tangan kanan Adipati Jombang, bernama Rah Bulus. Banyak orang yang tidak senang dengan manusia ini karena sikapnya yang congkak dan kasar serta suka menurunkan tangan sewenang-wenang. Empu Larangan sendiri merasa tidak senang dengan kemunculan orang ini.

“Rah Bulus, ada apa kau datang malam buta begini?" tanya Empu Larangan.

“Ah orang tua, sungguh sikapmu tidak sopan sekali. Kau tahu aku datang dari jauh. Bukannya menyuruh masuk malah bertanya segala!" Ucapan Rah Bulus itu membuat Empu Larangan tambah tidak enak.

“Aku letih dan butuh istirahat”

“Kau tidak senang dengan kedatanganku Empu? Katakan saja!" Nada suara Rah Bulus mengancam.

“Aku tidak mengatakan begitu”

“Lalu?! Kau bilang letih Empu. Banyak kejadian besar rupanya sejak beberapa waktu yang lalu”

“Apa maksudmu Rah Bulus? Adipati menyuruh aku datang kemari sehubungan dengan kematian Warok Getah Ireng”

“Apa hubungan kematiannya dengan diriku?"

Rah Bulus tertawa. Dia mendorong tubuh Empu Larangan ke samping lalu masuk ke ruangan dalam. Kawannya melangkah mengikuti. Empu Larangan cepat mengejar dan memintas jalan mereka.

“Kau ingin tahu hubungan kematian Getah lreng dengan dirimu? Ketahuilah kau harus mempertanggungjawabkannya. Paling tidak memberi keterangan. Berdasarkan keterangaan Adipati Jombang akan memutuskan tindakan apa yang akan diambil terhadapmu!"

“Tapi bukan aku yang membunuh kepala rampok itu. Rakyat yang merajamnya! Dan kematian itu pantas diterimanya. Kejahatannya sudah lewat takaran. Dia merampok dan membunuh di mana-mana”

Plak!

Satu tamparan melayang ke pipi orang tua itu. Empu Larangan tersungkur. Sambil berpegangan pada sebuah kursi dia berusaha untuk bangun.

“Jangan bicara tentang rakyat. Jangan bicara tentang kejahatan! Walaupun Getah lreng manusia jahat namun di kawasan Kadipaten Jombang ini tak ada seorang pun yang boleh main hakim sendiri! Kau dengar itu orang tua?!"

Empu Larangan tidak menjawab. Dia masih tertegun sambil mengusapi pipinya yang terasa panas dan sakit.

“Empu, kau dengar baik-baik kata-kataku. Pada saat Ki Kemitir mati, kau menjadi sesepuh desa Tegalsari dan bertanggung jawab atas setiap kejadian di desa ini. Warok Getah lreng dibunuh secara sewenang-wenang! secara biadab!”

“ltu akibat yang harus ditanggungnya sendiri! Kau tahu perampok ganas macam apa dia!"

“Kalau orang Iain bertindak ganas, kita tidak boleh melakukan hal yang sama. Di Kadipaten Jombang ini Adipati yang menentukan segala-galanya.“

Empu Larangan tak menjawab Iagi. Percuma dia menukas. Sudah sejak lama semua orang diam-diam mengetahui bahwa antara Warok Getah Ireng dan Adipati Jombang terdapat hubungan keji. Kabarnya Adipati itu dan kaki tangannya menerima separuh dari hasil kejahatan yang dilakukan Warok Getah Ireng dan anak buahnya. Dengan matinya kepala rampok tersebut dan hancurnya gerombolannya maka berarti lenyap pula pemasukan sang Adipati.

“Empu, malam ini juga kau harus ikut aku ke Jombang!”

“Tidak mungkin Rah Bulus."

“Eh, kenapa tidak mungkin?"

“Aku sedang banyak pekerjaan!" Empu Larangan tiba-tiba sadar kalau dia ketelepasan bicara.

“Ha ha ha! Tadi kau bilang letih dan butuh istirahat. Sekarang kau katakan banyak pekerjaan. Aku mau tahu pekerjaan apa yang tengah kau lakukan!" Lalu Rah Bulus melangkah ke ruangan belakang. Empu Larangan berusaha mencegat tapi tubuhnya dilemparkan ke dinding.

Ketika sampai ke beranda tempat pembuatan senjata, serta merta pandangan Rah Bulus terpaku pada sebilah kerls yang terletak di atas batu dan memancarkan sinar biru.

“Astaga Senjata mustika apa ini?" seru Rah Bulus kaget dan kagum. Sekali lompat saja dia sudah sampai di hadapan batu dimana Keris Naga Biru terletak. Namun sesosok tubuh cepat sekali menghadangnya dan berdiri di hadapannya. Rah Bulus kaget dan marah.

“Bangsat! Siapa kau!" sentak tangan kanan Adipati Jombang itu.

“Kunyuk besar! Mulutmu enteng sekali memaki aku bangsat!"

“Setan alas! Kau belum tahu siapa aku! Makan tinjuku ini!"

Rah Bulus hantamkan tinju kanannya. Tapi hanya mengenai tempat kosong karena Mahesa sudah lebih dahulu mengelak. Sebetulnya sebagai tangan kanan Adipati Jombang Rah Bulus memiliki kepandaian tinggi. Namun amarah membuat dia melancarkan pukulan tanpa diperhitungkan hingga mudah dielakkan lawan.

“Rah Bulus!" kawan Rah Bulus berseru. "Bukankah pemuda ini yang kita cari?"

Rah Bulus tersentak. ”Kau benar!"

“Kalau begitu biar aku yang meringkusnya! Kau bereskan urusan dengan Empu Larangan!" Habis berkata begitu kawan Rah Bulus yang bernama Kuni langsung melompat ke hadapan Mahesa.

"Anak muda! Kau mau menyerah secara baik-baik atau perlu kupatahkan dulu tangan kakimu?"

“Anak setan! Tak ada pasal tak ada lantaran kenapa kau hendak menyerangku?" tanya Mahesa.

“Kentut busuk! Gara-garamu penduduk Tegalsari membunuh Getah Ireng secara biadab. Belum lagi anak buahnya yang tewas dan cidera!"

“Oho begitu? Melihat nada bicaramu agaknya ada hubungan tertentu antara orang-orang di Kadipaten Jombang dengan komplotan rampok itu!"

“Bangsat! Rupanya kau minta digebuk!" Dengan beringas Kuni menyerbu Mahesa.

Sementara itu setelah Kuni melompat ke hadapan Mahesa, Rah Bulus kembali alihkan perhatiannya ke Keris Naga Biru yang ada di atas batu. Namun saat itu Empu Larangan bergerak lebih cepat. Keris itu dengan sigap disambarnya.

“Empu, berikan keris itu padaku...!" kata Rah BuIus.

“Tidak, ini bukan punyamu!"

“Heh, aku tidak akan mengambilnya. Hanya mau melihat!" jawab Rah Bulus.

“Apakah tidak cukup melihatnya dari tadi?"

“Tua bangka sialan! Jangan bikin aku marah!"

“Rah Bulus! Bawa kawanmu pergi dari sini. Kalau tidak aku akan berteriak maling! Nasibmu tak akan beda dengan Getah Ireng!" Empu Larangan mengancam.

Rah Bulus tertawa. "Berteriaklah. Aku mau dengar. Berteriaklah yang keras!"

Tiba-tiba lelaki tinggi besar ini melompat sambil ulurkan tangan kanannya untuk merampas Keris Naga Biru. Empu Larangan lari ke kanan namun tangannya masih kena tersambar jari Rah Bulus. Keris yang dipegangnya tersentak ke atas, menoreh kulit lengan Rah Bulus.

“Tua bangka keparat! Kubunuh kau!" teriak Rah Bulus. Tangannya yang tergores keris terasa perih dan panas. Tangannya sebelah kanan ini mendadak seperti lumpuh. Lelaki tinggi besar ini menjadi pucat. Dia memandang dengan mata melotot pada Empu Larangan yang tegak dengan keris di tangan. Pemandangannya berkunang-kubang bahkan mulai gelap.

“Mataku buta! Mataku buta! Aku tak dapat melihat!" teriak Rah Bulus.

Tentu saja teriakannya ini mengejutkan Kuni. Baru saja dia bergerak hendak mendekati Rah Bulus, satu jotosan menghantam mulutnya. Kuni merasakan panasnya darahnya sendiri. Bibirnya pecah. Beberapa buah giginya rontok.

Mahesa jambak rambut lelaki itu. 'Bawa kawanmu itu. Pergi dari sini dan jangan kembali. Berani kembali kalian akan kubunuh!"

Dalam keadaan tak berdaya, dengan susah payah Kuni memapah Rah Bulus keluar dan menaikkannya ke atas kuda. Keduanya meninggalkan rumah Empu Larangan selagi hari masih gelap.

Empu Larangan terduduk di lantai baranda. 'Mahesa, apa yang kita lakukan sekarang? Mereka pasti kembali!"

“Berapa lama perjalanan dari sini ke Jombang pulang balik?” bertanya Mahesa.

“Tiga hari tiga malam kalau berkuda.”

“Kalau begitu kau harus menyelesaikan pembuatan dua bagian tubuh keris tiruan itu dalam waktu tiga hari. Setelah itu kau harus menyingkir dari sini sampai keadaan aman.”

Empu Larangan hanya bisa menarik nafas dalam. Tanpa berkata apa-apa dia kembali ke tempat pekerjaannya.

* * *

KETIKA sampai di Jombang Rah Bulus telah menjadi mayat. Sekujur tubuhnya tampak membiru, kaku dan dingin. Kuni langsung menemui Adipati yang saat itu tengah kedatangan seorang tamu penting. Semula dia hendak marah karena merasa terganggu. Namun setelah Kuni memberi tahu kematian Rah Bulus, dengan kaget Adipati itu segera keluar dari ruangan.

Tamunya, seorang kakek tua bewajah pucat yang pakaiannya hanya berupa selempang kain putih mengikuti. Meski tua tapi gerakan orang ini nampak gesit. Jenazah Rah Bulus dibaringkan diatas sebuah ranjang kayu. Sesaat setelah meneliti jenazah anak buahnya itu Adipati Jombang...

(Halaman 48-49 Hilang)

“Siapa pula ini... kata Mahesa dalam hati. "Tak mungkin orang dari Kadipaten Jombang”

Tiba-tiba bayangan orang di dalam gelap itu kelihatan mengangkat tangan kanannya. Sebuah benda kemudian melesat dan menancap di pintu depan. Ketika Mahesa berpaling lagi ke jurusan gelap dimana orang itu tadi berada, ternyata dia sudah lenyap.

“Aneh!" kata Mahesa. Dia cepat berdiri. Dia tak bermaksud mengejar karena percuma saja. Pemuda itu melangkah ke pintu. Ketika diperhatikan benda yang menancap itu adalah sebatang paku besar. Dibagian ekornya pada seuntai benang terikat selembar kertas. Mahesa mencabut paku itu, membuka lipatan kertas. Ternyata disitu tertera sederetan tulisan. Mahesa membawa kertas itu ke bagian rumah yang agak terang dan membaca apa yang tertulis.

Muridku Mahesa
Sejak kau meninggalkan puncak Iyang banyak hal yang telah kau alami. Ternyata dunia persilatan kini berbeda dengan dunia persilatan dimasa aku muda dulu. Dunia persilatan sekarang jauh lebih ganas, kejam dan busuk. Dunia persilatan kini dipenuhi oleh manusia-manusia berhati keji.
Aku tak ingin kau mendapat celaka. Karenanya aku perlu memberikan banyak tambahan nasihat serta penjelasan. Untuk itu kau harus datang ke Pesantren Nusa Barung pada hari dua belas bulan Sura. Aku akan ada disana. Ingat bulan Sura hari ke dua belas!

Kunti Kendil

Untuk beberapa lamanya Mahesa tegak termenung. Memang benar sejak dia meninggalkan tempat kediaman gurunya banyak hal dan pengalaman telah ditemuinya. Dan akhir-akhir ini keselamatannya selalu terancam. Tapi apakah benar gurunya yang menulis surat itu? 

Siapakah orang yang tadi melemparkan paku dan surat itu dari kegeIapan? Melihat sosok tubuhnya yang terbungkuk-bungkuk memang mirip sosok tubuh Kunti Kendil. Namun aneh mengapa sang guru menyampaikan pesan dengan cara seperti itu. Kenapa tidak langsung menemuinya sendiri?

“Ah, nenek itu memang aneh. Mungkin itu sebabnya dia tak mau menemuiku!" membathin Mahesa walaupun sebenarnya hatinya masih meragu. Surat dan paku itu disimpannya dibalik pakaian lalu dia masuk ke dalam. Di ruang belakang Empu Larangan nampak sibuk menyelesaikan pekerjaannya dengan tekun.

“Empu, aku mengganggumu sebentar..." menegur Mahesa.

“Ya, ada apakah?" tanya sang Empu tanpa berpaling.

“Kau tahu Pesantren Nusa Barung."

“Pernah kudengar nama Pesantren itu?”

“Kau tahu letaknya?"

“Kenapa kau bertanya begitu? Kau mau kesana...?"

“Entahlah, Mungkin sekali!"

Empu Larangan berpaling dan memandang sejurus pada Mahesa lalu melanjutkan pekerjaannya kembali. Sesaat kemudian dia berkata, ”Menurut kabar Pesantren itu terletak di muara Kali Bondoyudo. Beberapa tokoh agama menjadi pemimpin dan pengurus Pesantren itu. Aku tidak ingat nama-nama mereka. Selain ahli dalam bidang agama, orang-orang Pesantren Nusa Berung juga mendalami ilmu silat. Tingkat kepandaian mereka tidak rendah. Hanya itu yang aku tahu!"

Mahesa manggut-manggut.

“Aku harus menyelesaikan pekerjaan ini dengan cepat. Jadi jangan ganggu lagi.”

“Ya, ya. Aku tak akan mengganggu lagi," jawab Mahesa lalu kembali berjaga-jaga di serambi depan rumah. Jika orang-orang Kadipaten Jombang bertindak cepat, paling tidak besok sore mereka baru sampai di desa itu. Kalau Empu Larangan dapat menyelesaikan pekerjaannya besok siang, lalu mengungsikan kakek itu ke satu tempat dia baru merasa lega.

Selagi Mahesa merenung-renung begitu tiba-tiba dia mendengar suara hiruk pikuk di kejauhan. Memandang ke luar, ke arah gelapnya malam yang hendak memasuki pagi itu, Mahesa melihat langit di timur desa kemerah-merahan. Tak berapa lama terdengar teriakan-teriakan

"Api... Api Kebakaran... Kebakaran!"

Ada pula Orang yang berteriak "Petugas-petugas Kadipaten mengamuk! Petugas-petugas Kadipaten membakar rumah penduduk!"

Mahesa tersentak kaget. Benarkah orang-orang Kadipaten Jombang yang membakari rumah penduduk? Bagaimana mereka bisa datang secepat itu? Pasti sebentar lagi mereka akan datang kesitu. Mahesa lari ke dalam, menemui Empu Larangan.

“Empu, orang-orang Kadipaten Jombang sudah datang. Mereka membakari rumah-rumah penduduk di sebelah timur desa!"

“Celaka! Bagaimana mereka bisa datang secepat itu?" seru Empu Larangan kaget sekali.

“Siap-siaplah! Sebentar lagi mereka pasti muncul disini!" Mahesa mengambil Keris Naga Biru, memasukkannya ke balik pinggang pakaian.

"Baru satu keris yang jadi, kau ambillah!" kata Empu Larangan seraya menyerahkan Keris Naga Biru tiruan yang baru sebuah sempat diselesaikannya. "Aku berjanji untuk menyelesaikan dan menyerahkan yang satu lagi nanti!"

“Kau tak usah pikirkan itu Empu. Yang penting sekarang kau harus cepat-cepat pergi. Selamatkan dirimu. Aku akan menunggu mereka disini!"

Empu Larangan bukannya segera angkat kaki malah gelengkan kepala dan berkata, "Ini rumahku. Hidup matiku disini. Kalau aku harus mati, aku harus berkubur disini...!”

“Jangan tolol!" bentak Mahesa. "Lekas pergi!"

“Tidak!"

Hampir saja Mahesa hendak memaki orang tua itu dengan kata-kata  anak setan. Di luar sana terdengar derap kaki kuda banyak sekali. “Mereka sudah datang," desis Mahesa. 

Empu Larangan melompat mengambil dua buah senjata. Sebatang tombak pendek dan sebilah pedang bermata dua.

“Empu, kau tetap disini!" Biar aku yang keluar!' kata Mahesa.

Di luar tiba-tiba terdengar seseorang berteriak. “Empu Larangan! Rumahmu sudah terkurung! Lekas keluar serahkan diri! Serahkan Keris mustika itu!"

Mahesa lari menuju serambi depan. Empu Larangan yang disuruh tetep di belakang malah mengikuti ke luar. Mahesa tak dapat menghalangi lagi karena 
mereka sudah terlihat oleh orang-orang yang datang. Rombongan orang-orang kadipaten Jombang berjumlah lebih dari dua puluh orang. Mereka semua menunggangi kuda. Lebih dari separuhnya membawa obor di tangan kanan. Paling depan kelihatan Kuni bersama seorang kakek bermuka pucat yang mengenakan pakaian selempang kain putih yaitu Loh Jingga.

Kuni yang sebelumnya pernah dihajar Mahesa segera berbisik pada kakek muka pucat di sebelahnya, Pemuda inilah yang jadi biang kerok timbulnya huru hara hingga Warok Getah Ireng mati ditangan penduduk.

“Hemmm... Loh Jingga bergumam. "Hanya seekor tikus cecurut, tak perlu ditakutkan," kata si kakek menganggap rendah.

Kuni kembali membuka mulut. "Empu Larangan! Kami datang untuk menangkapmu serta pemuda ini. Atas nama Adipati Jombang semua yang bersalah harus dihukum. Seluruh rumah penduduk Tegalsari ini akan kami bakar! Dan kau harus menyerahkan Keris Naga Biru itu! Lekas serahkan!”

Kalian manusia-manusia jahat yang lebih biadab dari binatang!" teriak Empu Larangan. "Kalian tidak berhak menangkap siapapun disini. Tidak berhak menghukum penduduk yang tidak bersalah!"

“Tidak berhak?!” ujar Kuni. Orang ini lalu tertawa beringas. "Kalian telah membunuh Warok Getah Ireng dan mencelakai beberapa anak buahnya. Apa itu bukan tindakan biadab? Lalu kalian juga telah membunuh Rah Bulus, pembantu kepercayaan Adipati Jombang! Apa masih ada alasan mengapa Adipati Jombang tidak harus turun tangan menghukum kalian?!"

“Kuni, lebih baik kau bawa anak-anak buahmu pergi. Kalau tidak kutembus kau dengan tombak ini!" teriak Empu Larangan tanpa rasa takut.

Kembali Kuni tertawa. "Tua bangka gila! Kalau kau tidak segera menyerahkan Keris Naga Biru dan bersedia kami bawa ke Jombang, maka rumahmu dan seluruh rumah penduduk disini akan kami bakar!"

Mahesa maju beberapa langkah. “Kalau Keris Naga Biru itu kami serahkan apakah kau dan orang-orangmu bersedia pergi? Membatalkan panangkapan dan tidak melakukan pembakaran?”

Kuni sesaat tertegun. Loh Jingga membisikkan sesuatu kepadanya. Kuni kemudian menjawab, "Baik, serahkan senjata mustika itu. Lalu kami akan pergi!"

Mahesa mengambil Keris Naga Biru tiruan dari balik pinggangnya.

“Mahesa! Jangan percaya pada mulut manusia itu!" mengingatkan Empu Larangan. 

Tapi Loh Jingga saat itu sudah merampas senjata tersebut dari tangan Mahesa. Sesaat kemudian kakek muka pucat ini dan Kuni tertawa gelak-gelak.

“Kuni, kau tunggu apa lagi? Perintahkan anak buahmu membakar rumah Empu itu dan semua rumah penduduk. Jangan repotkan dirimu menangkap kedua monyet itu. Sesuai pesan Adipati bukankah tujuan utama kita mendapatkan Keris Naga Biru!”

Mendengar itu Kuni mengangguk. Dia mengangkat tangannya memberi isyarat pada anak buahnya. Lima buah obor serta merta dilemparkan ke atap rumah Empu Larangan. Lebih selusin petugas-petugas Kadipaten berpencar meleparkan api ke rumah-rumah penduduk. 

“Manusia rendah! Janji kalian ternyata tak dapat dipercaya!" teriak Mahesa marah.

Kuni tertawa galak-gelak. Loh Jingga membedal kudanya. Mahesa berusaha menghalangi tapi Kuni memapas gerakkannya seraya membabatkan golok yang ada di tangan kanannya. Lima orang petugas lainnya ikut menyerang Mahesa, sementara beberapa lainnya menyerbu Empu Larangan. Mehesa jadi naik darah.

'Kuni, gigimu yang rontok kuhajar masih belum tumbuh, kini kau membuat ulah baru. Kau akan rasakan akibatnya!" teriak Mahesa. Dia rundukkan kepala menghindari bacokan golok lalu secepat kilat tarik kaki kanan lawan hingga Kuni terbetot jatuh dari atas kudanya. Selagi tubuhnya melayang Mahesa sudah hantamkan kaki kanannya.

Prak!

Kepala Kuni pecah. Nyawanya melayang sebelum tubuh mencium tanah. Beberapa perajurit Kadipaten yang menyerbu Mahesa menjadi ngeri menyaksikan hal itu dan bersurut mundur. Di samping kiri terdengar pekik Empu Larangan. Mahesa berpaling dan melihat orang tua itu dalam keadaan terluka bahu kirinya dikerubuti empat petugas Kadipaten.

Sekali lompat Mahesa memukul roboh dua pengeroyok. Yang dua lainnya dihajar dengan tangan kiri kanan hingga berkaparan pingsan. Mahesa cepat membawa Empu Larangan ke tempat aman.

Orang-orang Kadipaten yang sudah kehilangan pimpinan mereka, apalagi Loh Jingga saat itu sudah kabur lebih dulu dengan Keris Naga Biru, merasa tak ada gunanya lagi berlama-lama ditempat itu. Beberapa orang berteriak memberi tanda. Mereka kemudian meninggalkan tempat itu sementara rumah-rumah penduduk musnah di makan api, termasuk rumah Empu Larangan.

* * *

ADIPATI Jombang menyambut kedatangan Loh Jingga di tangga Kadipaten. “Kau datang lebih cepat dari yang diperkirakan. Mana yang lain-lain?" tanya sang Adipati begitu Loh Jingga turun dari kudanya.

“Mereka akan menyusul. Apapun yang terjadi dengan mereka tidak usah dipikirkan Adipati. Yang penting kita sudah mendapatkan senjata mustika itu,  kata Joh Jingga.

“Ya, ya. Perduli setan dengan mereka. Jadi kau berhasil mendapatkan Keris Naga Biru itu?" tanya Adipati Jombang.

“Tentu!"

“Sahabatku Loh Jingga! Kau memang Iihay dan cerdik!" kata Adipati Jombang seraya memeluk kakek muka pucat. Keduanya lalu masuk ke dalam. Di sebuah ruangan Loh Jingga mengeluarkan senjata mustika itu dan menyerahkannya pada Adipati Jombang.

“Senjata sakti mandraguna! Senjata mustika! Aku akan jadi tokoh hebat dalam dunia persilatan!" seru Adipati Jombang setengah bersorak.

Sret!

Adipati Jombang cabut keris itu dari sarungnya. Dua pasang mata membelalak. Dua buah kening mengerenyit. Adipati Jombang berpaling pada Loh Jingga.

“Sehabatku. Ternyata senjata ini tidak sehebat seperti yang kudengar. Katanya badan keris mengeluarkan sinar biru. Kau lihat sendiri! Mana sinar biru yang dahsyat angker itu?!"

Sesaat Loh Jingga tak dapat berkata apa-apa. Dia tertegak dengan mulut menganga dan mata terbuka lebar. “ini keris palsu!" katanya keras tapi dengan lidah agak kelu. “Kita tertipu!"

“Kita tertipu!" desis Adipati Jombang mengulang Loh Jingga. "Siapa yang menipu kita, Loh Jingga?"

"Siapa yang menipu kita?" ujar Loh Jingga seraya berpaling menatap pandangan mata tajam Adipati Jombang.

“Apa maksudmu? Aku melihat bayangan rasa tidak suka pada air mukamu dan pada nada suaramu?"

“Ya, ya! Memang aku tidak percaya. Siapa yang telah menipu kita. Katakan!"

“Siapa lagi kalau bukan Empu Larangan dan pemuda keparat bernama Mahesa itu."

Adipati Jombang menyeringai. “Mungkin memang mereka berdua. Tapi mungkin juga engkau!"

“Astaga! Kau menuduhku Adipati?!" seru Loh Jingga dengan muka merah.

“Keris Naga Biru senjata nomor satu dalam dunia persilatan. Siapapun menginginkannya. Karenanya segala sesuatu bisa terjadi. Segala tipu muslihat bisa kejadian."

“Adipati, sepuluh tahun lebih kita bersahabat. Tidak kusangka hatimu bengkok begitu. Sampai menuduhku!"

“Sepuluh tahun lebih kita bersahabat. Memang betul Loh Jingga. Aku juga tak menyangka kalau hatimu seculas itu!"

“Tapi aku tidak menipumu! Senjata itu yang kurampas dari tangan si pemuda!"

“Dan kau tukar dengan yang palsu. Yang asli kau sembunyikan! Bukankah Rah Bulus dulu pernah menerangkan bahwa ketika dia datang ke rumah Empu Larangan, ahli senjata itu kelihatan seperti tengah membuat senjata tiruan!"

“Apapun keterangan Rah Bulus bisa saja disangkut-pautkan. Yang jelas hanya senjata itu yang kudapat dan itu pula yang kuserahkan padamu!!"

Adipati Jombang menghela nafas dalam. Sambil tersenyum sinis dia berkata. “Baiklah sahabatku. Aku memang tidak punya cukup bukti untuk menyatakan bahwa kaulah yang telah menipu. Kau boleh ambil keris palsu ini. Silahkan pergi. Dan jangan kau berani menginjak Kadipaten Jombang seumur hidupmu!”

Tubuh Loh Jingga bergetar mendengar ucapan itu. Keris Naga Biru palsu diambilnya. Lalu dia berkata, "Persahabatan tidak sulit didapat, tapi permusuhanpun tidak pula sukar dicari. Kau telah menganggapku sebagai penipu, berarti sebagai musuh. Kau ingat, tali persahabatan kita dulu bukan aku yang meminta, tapi kau yang mengemis ketika kau minta bantuan agar membujuk Sri Baginda supaya kau dapat jadi Adipati. Hari ini jasa baikku itu kau lupakan, malah menuduhku sebagai penipu. Alangkah pendeknya jalan pikiranmu. Alangkah cupaknya isi hatimu. Tapi tidak apa. Hari ini aku pergi meninggalkan seorang sahabat dengan penuh rasa sakit hati. Dan rasa sakit hati ini tak akan pulih seumur hidupku!"

Habis berkata begitu Loh Jingga lalu gerakkan kedua tangannya. Keris yang ada dalam pegangannya patah tiga. Senjata itu kemudian dibantingkannya ke lantai mar-mar. Lalu kakek muka pucat ini tinggalkan ruangan itu tanpa berpaling lagi.

5. DIHADANG MUKA PUCAT. LAGI-LAGI PAKU BERSURAT

MAHESA meninggalkan desa Tegalsari dengan berbagai perasaan. Penduduk desa di bawah pimpinan Empu Larangan yang masih belum sembuh dari lukanya telah memintanya untuk tidak meninggalkan Tegalsari. Bukan saja karena penduduk di situ menginginkannya jadi kepala desa, tetapi dengan adanya pemuda itu di sana mereka merasa terlindung. Karena bukan mustahil dengan terbunuhnya Kuni serta beberapa petugas Kadipaten, orang-orang Kadipaten akan kembali datang menyerbu.

Memang berat bagi Mahesa untuk meninggalkan Tegalsari apalagi penduduk yang dicekam rasa takut itu berada dalam keadaan menderita akibat rumah-rumah mereka dibakar. Namun jika terlalu menimbang dalam maka kepentingan sendiri tidak akan terselesaikan. Mahesa ingat salah satu nasihat gurunya: "Jangan biarkan perasaanmu mengalahkan pikiran". Maka bagaimanapun tidak tega rasa hatinya akhirnya Mahesa memutuskan untuk pergi.

Dalam perjalanan dia menghitung-hitung telah sekian lama dia meninggalkan puncak Iyang dengan dua tugas utama yang satupun masih belum berhasil dilaksanakannya. Yaitu mencari Wirapati serta Lembu Surah. Hal lain yang selalu ingin dilakukannya ialah mencari jalan menuju Probolinggo guna menyelidiki asal-usulnya.

Dia tak pernah melupakan cerita gurunya Kunti Kendil tentang bagaimana dia dilahirkan dari seorang ibu yang dipendam dalam sebuah kuburan tua. Dia tidak pernah melupakan ibu susunya yang menurut si nenek bernama Wilujeng.

Pikirannya jadi campur aduk bilamana ingat akan Keris Naga Biru yang selalu mendatangkan marabahaya itu dan kini terselip di pinggangnya, berdampingan dengan Keris Naga Biru tiruan serta senjatanya kayu hitam berbentuk papan nisan kuburan! Lalu bila dia ingat pula akan surat aneh yang dikirimkan gurunya agar dia datang ke Pesantren Nusa Barung, mau tak mau Mahesa menjadi bingung. Mana yang harus dilakukannya lebih dulu? Ke mana dia harus pergi?

Pemuda ini akhirnya memutuskan bahwa dia harus pergi ke Probolinggo. Jika dia sudah mengetahui asal-usulnya, jika dia sudah bertemu dengan ayahnya atau sanak kadangnya, jika dia sudah melihat kubur ibunya mungkin dia akan bebas dari beban bathin yang berat itu. Selanjutnya mungkin dia akan lebih leluasa untuk melakukan dua tugas yang diberikan Kunti Kendil.

Untuk menuju Probolinggo jalan terdekat ialah melewati Jombang, terus ke arah timur menyusuri pantai. Mengingat apa yang terjadi di Tegalsari sebenarnya Mahesa merasa kurang aman memasuki Jombang. Setelah memikir masak-masak akhirnya dia memutuskan untuk memasuki kota itu malam hari. Dan ternyata memang aman, dia tak mendapat halangan apa-apa.

Namun sewaktu dia melewati hutan kecil di utara Mojoagung, mendadak sesosok tubuh berkelebat dari balik sebatang pohon besar, menghadang di jalan berdebu. Mahesa hentikan larinya. Memandang ke depan dia kenali siapa orang yang mencegatnya itu, Kakek pucat Loh Jingga!

Setelah dituduh menipu dan diusir Oleh Adipati Jombang, kakek ini menjatuhkan dendam kebenciannya pada Mahesa. Pemuda inilah yang telah menipunya, memberikan Keris Naga Biru tiruan yang tentunya pasti hasil buatan dari Empu Larangan.

Dan secara kebetulan Loh Jingga melihat Mahesa di tepi kota sebelah selatan. Melihat pemuda ini berlari laksana angin, Loh Jingga maklum kalau orang yang dihadapinya itu memiliki ilmu tinggi. Dia tidak berani bertindak gegabah. Secara diam-diam dia menguntit dari belakang. Jauh setelah Mahesa meninggalkan Jombang, di tepi hutan Mojoagung itu, baru dia memunculkan diri menghadang.

“Kakek muka pucat! Kau rupanya," tegur Mahesa. “Kau menghadangku yang sedang jalan. Katakan apa maksudmu baik atau buruk?"

Loh Jingga menyeringai. “Kalau kau tanyakan apakah maksudku baik atau buruk maka jawabku adalah kedua-duanya!"

“Apa maksudmu?" tanya Mahesa tak mengerti.

“Baik, karena aku bersedia mengampunimu. Buruk kalau kau tidak mau menyerahkan Keris Naga Biru yang asli padaku!"

“Lagi-lagi Keris Naga Biru!" kata Mahesa sambil mendengus,

“Kau dengar baik-baik Ucapanku! Karena tipuanmu persahabatanku dengan Adipati Jombang menjadi berantakan. Aku dituduh mencuri senjata yang asli, itu saja sudah cukup bagiku untuk memuntir tanggal kepalamu!"

“Kalau kau yang sudah tua bangka begini masih kena tipu, itu adalah ketololanmu sendiri!"

“Jangan banyak mulut! Serahkan Keris Naga Biru padaku!"

“Aku tidak membawa senjata itu. Empu Larangan yang menyimpannya!”

Loh Jingga tertawa. "Aku tak bisa kau tipu untuk kedua kali. Serahkan senjata mustika itu. Atau aku harus mengambilnya sendiri bersama nyawamu!"

“Sudahlah, aku harus melanjutkan perjalanan. Harap menyingkir."

Loh Jingga gelengkan kepala. Sepasang matanya kelihatan seperti menyala. "Jika kau tetap membandel, keris itu akan kurampas bersama nyawamu!"

“Kakek, melihat pakaianmu yang berupa kain putih tak berjahit dan diselempangkan demikian rupa, aku yakin kau seorang yang mendalami agama. Tapi aneh, orang beragama semacammu menginginkan benda yang bukan hak miliknya...”

“Lalu apakah Keris Naga Biru itu milikmu?!" bentak Loh Jingga.

“Aku tidak pernah ingin memiliki sesuatu yang bukan kepunyaanku!”

“Nah, nah... Kalau begitu lekas serahkan senjata itu. Kau boleh pergi dengan aman, tak kurang suatu apa, dengan nyawa masih di badan!"

Mahesa berpikir-pikir, apakah dia akan menyerahkan lagi satu-satunya Keris Naga Biru tiruan yang saat ini ada di pinggangnya, lalu meninggalkan kakek muka pucat itu. Agaknya sekali ini, walaupun diberikan keris yang palsu si kakek pasti tak akan menduga dia akan ditipu. Kalaupun nanti dia sadar kena ditipu lagi maka dia sudah berada jauh dari tempat itu. Tapi Mahesa punya pertimbangan lain. Setelah menguap lebar-lebar pemuda ini berkata,

“Kalau kau memang inginkan Keris Naga Biru mari kita sama-sama menemui Adipati Jombang.”

Loh Jingga kaget. Tapi juga heran. "Kenapa harus menemui Adipati itu?!" tanyanya.

“Karena senjata itu telah dirampasnya sewaktu aku memasuki Jombang!"

“Dusta! Aku telah menguntitmu terus menerus sejak kau muncul di selatan Jombang!"

Sadar tipuannya tidak mengena Mahesa akhirnya berkata, “Kakek, aku tak punya waktu lama untuk bicara melantur denganmu. Kau mau memberi jalan atau tidak?!"

“Aku telah bersedia mengampuni nyawamu jika kau mau menyerahkan keris sakti itu! Ternyata kau memang tidak mau diurus. Bersiaplah untuk mampus!"

Dari balik pakaiannya Loh Jingga keluarkan sebuah benda. Ketika tangannya digerakkan terdengar suara seperti petir menyambar. Sesuatu melesat ke arah Mahesa. Karena tak menyangka pemuda ini tak sempat menghindar. Pakaiannya robek di sebelah depan. Kulit dadanya luka memanjang mengucurkan darah. Benda di tangan Loh Jingga ternyata sebuah cemeti berbentuk cambuk kuda. Mahesa menggigit bibir menahan sakit. Darah mudanyapun meluap rahangnya menggembung.

“Tua bangka keparat! Manusia rakus! Kau tak lebih dari garong kesiangan yang harus kugebuk!" Mahesa angkat tangan kanannya untuk lepaskan pukuIan, namun secepat kilat cambuk di tangan Loh Jingga berkelebat dan kali ini tepat menggulung lengan kanan Mahesa. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalamnya kakek itu betot cambuknya. Biasanya lawan yang tergulung seperti itu lengannya pasti akan tanggal atau putus. 

Tapi dia menjadi terkejut ketika dilihatnya Mahesa justru memutar lengannya yang tergulung demikian rupa hingga sisa cambuk yang terbentang antara dia dengan pemuda itu menjadi pendek, dan ketika dia membetot ke depan. Selagi dia terpelanting kaget begitu rupa Mahesa pukulkan tangan kirinya.

Loh Jingga kaget bukan main ketika mendengar ada angin deras yang menderu ke arahnya. Cepat kakek ini jatuhkan diri dan terpaksa lepaskan cambuknya. Dia bergulingan di tanah. Ketika berdiri dilihatnya tanah di sampingnya telah membentuk lobang dalam akibat pukulan tangan kosong pemuda itu tadi.

Si kakek jadi tambah pucat mukanya. Tidak disangkanya sama sekali kalau pemuda ini bukan saja memiliki ilmu silat tinggi, tapi juga menyimpan pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi. Dari pada mencari perkara lebih jauh yang mungkin bakal mencelakainya lebih baik dia melupakan saja keinginan untuk memiliki Keris Naga Biru saat itu.

“Mahesa, kalau kau tak mau menyerahkan senjata mustika itu saat ini, tak jadi apa!" kata Loh Jingga pula. "Tapi ingat, kemanapun kau pergi akan selalu kukuntit hingga kau tidak pernah merasa aman!" Loh Jingga lalu putar tubuh.

“Tua bangka butut! Tunggu dulu, hutang nyawa bayar nyawa, hutang budi bayar budi, hutang gebukan bayar gebukan berikut bunganya!" berseru Mahesa.

Seumur hidupnya dia tak pernah memegang cambuk. Ternyata tidak terlalu susah baginya untuk menggunakan senjata itu. Setelah membuat dua kali putaran Mahesa hantamkan cambuk itu ke kaki Loh Jingga. Si kakek yang baru saja bergerak hendak lari jadi terserimpung dan jatuh terjungkal menelungkup di tanah.

Dalam keadaan begini rupa Mahesa mendera punggung dan pantat si kakek empat kali berturut-turut hingga Loh Jingga menjerit kesakitan. Susah payah dia bangkit berdiri dan kembali lari. Mahesa lemparkan cambuk ke depan. Benda ini bergulung di leher Loh Jingga. Penasaran kakek ini balikkan tubuh dan hantamkan kedua telapak tangannya ke arah Mahesa.

Wus! Wus!

Dua gelombang angin menerpa hebat. Mahesa merasakan tubuhnya terhuyung dan cepat melompat ke samping sebelum dua gelombang angin itu melanda tubuhnya. Di belakangnya terdengar suara berderak. Tiga pohon patah dan tumbang terkena hantaman pukulan itu. Ketika berpaling lagi ke kiri, Loh Jingga sudah lenyap. Hanya tetesan-tetesan darahnya yang masih tertinggal di tanah akibat punggung dan pantatnya yang koyak dihantam cambuknya sendiri!

Mahesa dudukkan diri di bawah sebatang pohon besar dan menyeka darah yang keluar dari luka di dadanya. Ternyata luka itu cukup dalam. Dia terpaksa menotok beberapa bagian tubuhnya agar darah berhenti mengucur.

“Kakek sialan!" maki Mahesa kesal dan kesakitan. Baru saja dia habis memaki begitu tiba-tiba sebuah benda melayang dan menancap di batang pohon, sejengkali atas betok kepalanya! Pemuda ini kaget dan cepat melompat. Sepasang matanya berputar liar. Dia hanya melihat dedaunan liar di depan sana bergoyang-goyang, namun tak tampak seseorangpun. Akhirnya dia berbalik dan mendekati pohon tempat dia duduk tadi. Di situ, di batang pohon itu dilihatnya menancap sebuah paku dan sehelai kertas yang terikat dengan benang.

“Surat itu lagi! kata Mahesa dalam hati. Direnggutnya kertas itu. Ketika lipatan dibuka di situ terdapat tulisan berbunyi:

Muridku Mahesa,
Jangan lupa. Hari dua belas bulan Sura.
Kau harus datang ke Pesantren Nusa Barung.

Kunti Kendil

Mahesa keluarkan surat terdahulu yang disimpannya, ketika dibandingkan bentuk tulisan pada kedua surat itu sama.

“Aneh, apakah benar guru yang menulis surat ini?" pikir Mahesa. “Tapi mengapa penyampaiannya begini rupa? Mengapa tidak mau menemuiku. Siapa orang yang melemparkan paku bersurat ini. Dia sendiri atau seorang suruhannya!”

Pemuda ini hanya bisa menarik nafas dalam dan akhirnya tinggalkan tepi hutan Mojoagung itu.


6. TENGKORAK BADAN JERANGKONG
SEJAK MATAHARI tenggelam hujan gerimis turun. Malam cepat sekali datang dan kegelapan menghantui di sepanjang jalan yang ditempuh Mahesa. Akhirnya pemuda ini terpesat memasuki rimba belantara sementara hujan gerimis mulai membesar. Murid Kunti Kendil mengomel dalam hati karena sampai saat itu belum mendapatkan tempat untuk berteduh. Pakaiannya mulai basah kuyup oleh air hujan campur keringat.

Di dalam rimba belantara dia menemukan sebuah jalan kecil. Mahesa ikuti jalan ini sampai akhirnya di sebuah pedataran liar muncul sebuah reruntuhan bangunan candi laksana hantu menghadang perjalanannya. Mahesa segera menuju ke sini. Bagian atap candi itu ternyata hanya tinggal separuh. Mahesa berteduh di bawah reruntuhan atap ini.

Hujan turun makin lebat. Kilat menyambar, guntur menggelegar. Setiap kilat menyambar, Mahesa dapat melihat bahwa dipertengahan candi, hanya sekitar dua meter dari tempatnya tegak berteduh terdapat sebuah arca besar berbentuk gajah bertubuh manusia. Di malam yang gelap, di bawah hujan lebat dan udara yang dingin mencucuk tulang itu, memperhatikan arca besar itu cukup mengundang rasa ngeri.

“Masih jauhkah Probolinggo?" pikir Mahesa. Dia sudah meninggalkan Jombang lebih dari tujuh hari lalu. Namun masih belum menemui pantai. Turut penjelasan orang-orang yang ditanyanya di tengah jalan, jika dia terus menuju ke timur laut dia akan sampai di pantai dan dari situ langsung mengambil jalan sepanjang pantai ke arah timur, maka dia akan sampai di Probolinggo.

Pegal berdiri, Mahesa duduk di lantai, bersandar ke dinding candi. Hujan mulai reda tapi guntur masih menggelegar sesekali dan kilat masih sabung menyabung. Cuping hidung Mahesa tampak kembang kempis. Dia membaui sesuatu di sekitar reruntuhan candi itu. Dia coba mengingat-ingat.

“Bau rokok! Ya bau rokok! Rokok kawung! Aneh! Siapa pula yang merokok di tempat ini?"

Dia tidak melihat seorang lainpun di situ. "Jangan-jangan setan. Tapi apakah setan juga merokok? Gila!" rutuk Mahesa seraya berdiri dan memandang berkeliling. Perutnya terasa lapar dan bau rokok kawung itu membuat perutnya tambah keroncongan.

Sementara itu hujan sudah berhenti. Langit mulai terang dan rembulan setengah lingkaran muncul di balik awan. Sekali lagi kilat menyambar. Bumi terang seketika. Mahesa memandang ke arah arca gajah. Saat itulah untuk pertama kalinya dia melihat ada asap yang mengepul dari bagian bawah arca batu itu.

“Mungkin ada sumber air panas sekitar candi ini, pikir si pemuda. Tapi hati kecilnya membantah sendiri. Kalau memang ada sumber air panas, mengapa asapnya menyebar bau rokok kawung?!”

Dengan penuh rasa ingin tahu tetapi juga agak bergidik murid Kunti Kendil itu melangkah menghampiri arca gajah itu. Lapat-lapat dia mendengar suara dari bawah arca itu. Tak jelas suara apa. Lalu asap rokok kawung semakin banyak yang keluar dari celah batu sebelah bawah. Mahesa ulurkan kedua tangannya menyentuh arca. Dingin dan basah, lalu dia berlutut dan meneliti. Asap rokok kawung itu ternyata memang keluar dari celah sebelah bawah, antara badan arca dengan landasan batu tempat kedudukannya.

“Aneh, benar-benar aneh!" kata si pemuda. Lalu tak sengaja dia mengetuk-ngetuk arca itu di bagian perut.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan lain, dari sebelah bawah dalam. Mahesa dekatkan telinganya ke arca dan mengetuk lagi. Sesaat kemudian terdengar ketukan balasan.

“Setan atau manusia atau binatangkah yang ada di dalam perut arca ini?! Apakah ada ruangan kosong dalam arca?!"

Penasaran Mahesa bardiri kembali dan kini dia coba dorong-dorong badan arca itu. Dorongan ini membuat celah di bagian bawah jadi membesar dan asap rokok tampak mengepul ke luar lebih banyak.

“Kalau tak kupecahkan rahasia yang terkandung di tempat ini biar aku tak beranjak dari sini!" Lalu Mahesa kerahkan tenaganya untuk mendorong arca gajah itu. Sampai keringat sebesar butir-butir jagung meleleh di keningnya, arca tersebut hanya bergeming sedikit sekali.

“Anak setan!" maki murid Kunti Kendil. Kini dia kerahkan tenaga dalamnya. Sampai beberapa kali mencoba, arca yang beratnya ratusan kati itu tetap tak bisa bergeser. Mahesa terduduk di lantai candi. Dia pernah berkelahi belasan jurus. Tapi Ietihnya tidak seperti mendorong arca itu.

“Gila!” Bagaimana caranya menggeser atau membalikkan arca itu?" kata Mahesa pada diri sendiri. Tiba-tiba dia melompat bangun. "Kenapa aku jadi tolol dan lupa?!" si pemuda seperti mengomel.

Dari balik pakaiannya dia keluarkan senjata pemberian Kunti Kendil yaitu sebatang kayu besi hitam berbentuk papan nisan. Dengan senjata itu disaksikannya sendiri dulu bagaimana gurunya menghancurkan sebuah batu besar di puncak lyang. Mahesa pegang erat-erat hulu senjata aneh itu. Dia membuat gerakan berputar setengah lingkaran dan hantamkan kayu besi hitam itu ke bagian kepala arca.

Brak! Byaaar!

Kepala arca yang berbentuk kepala gajah itu hancur berantakan. Mahesa menghantam lagi. Kali ini bagian perut arca. Seperti tadi, bagian perut inipun pecah berkeping-keping. Yang terakhir kali kayu besi hitam itu dipukulkannya kebagian bawah arca. Begitu bagian ini hancur kelihatanlah sebuah lobang besar pada batu kedudukan arca itu. 

Dari dalam lobang mengepul asap rokok banyak sekali. Disusul suara batuk-batuk seperti anjing mengaing. Kemudian sesosok kepala berambut panjang awut-awutan muncul keluar dari dalam lobang batu itu. Di bawah rambut kelihatan muka seperti tengkorak karena hanya tinggal kulit pembalut tulang! Di sela bibirnya terselip rokok kawung. Mahesa menyurut mundur beberapa langkah. Kuduknya terasa dingin. Iblis atau setankah yang punya kepala ini?!

Kemudian kelihatan sepasang tangan yang sangat kurus tanpa daging, diselimuti kulit sangat tipis, menggapai pada tepi lobang batu. Sesaat kemudian sesososk tubuh yang hampir menyerupai jerangkong, hanya mengenakan pakaian yang compang-camping ke luar dari dalam lobang batu itu. Memandang melotot pada Mahesa. Mahesa mundur ke tangga candi. Siap untuk lari.

“Hai! Jangan lari!" Tiba-tiba mahluk seperti jerangkong ini mengeluarkan Suara. Suaranya halus melengking.

“Kau... kau siapa...? Setan atau manusia?”

“Hush! Apakah muka dan tubuhku sedemikian buruk dan menyeramkan hingga kau menduga aku ini setan?"

“Aku..." Mahesa tak bisa meneruskan kata-katanya. Meskipun sosok tubuh itu bicara seperti manusia namun dia tidak yakin kalau saat itu benar-benar berhadapan dengan manusia.

“Ha ha ha! Aku manusia sepertimu. Bukan setan, cuma nasibku jelek!" Si muka tengkorak duduk di tepi lobang. 
Dia mendongak ke langit lalu tertawa panjang. Walau mulutnya terbuka lebar tapi rokok kawung yang ada di bibirnya tidak jatuh seolah-olah lengket. Dia lalu menepuk tepi lobang batu. "Hampir saja aku menjadi penghuni lobang maut ini sampai kiamat! Untung kau datang menolong! Aku berhutang nyawa padamu! Buyung siapakah namamu...?”

“Namaku Mahesa..."

Si muka tengkorak badan jerangkong manggut-manggut. Matanya memandang pada kayu besi hitam yang masih tergenggam di tangan si pemuda. “Apakah kau menghancurkan arca keparat itu dengan kayu aneh itu?" dia bertanya.

Mahesa mengangguk. Si muka tengkorak tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia batuk-batuk. Lalu berkata, "Ah, aku tak tahu sopan basa-basi. Buyung, dingin-dingin begini rasakanlah sedapnya rokok kawungku!" Dari balik pakaiannya yang rombeng dan dekil orang itu keluarkan sebuah kotak berisi rokok kawung. Dia mengambilnya sebatang lalu menyalakannya dan menyerahkannya pada Mahesa. Si pemuda merasa ragu untuk menerimanya.

“Jangan khawatir, cobalah!" si muka tengkorak ulurkan tangannya.

Mahesa terpaksa menerima.

“Nah, coba hisap!"

Mahesa menghisap. Dia terbatuk-batuk. Si muka tengkorak tertawa.

“Kau tentu baru sekali ini merokok. Tidak apa. Kalau sudah beberapa kali kau coba pasti akan terasa nikmatnya. Nih, kau ambillah semua rokok kawung dalam kotak ini. Aku masih ada dua kotak lagi!”

Mahesa ambil kotak yang terbuat dari jerami itu. Setelah dua tiga kali menyedot rokok kawung yang diberikan memang ternyata ada enaknya. Paling tidak dalam udara malam yang dingin itu tubuhnya jadi terasa hangat.

“Buyung, jika menolong jangan tanggung-tanggung...”

“Apa maksudmu, kek? Eh boleh kupanggil kau kakek?"

“Tentu saja. Eh, berapa umurmu buyung?"

“Delapan belas!”

“Nah, umurku lima kali umurmu. Jadi pantas kau memanggil aku kakek." Orang itu lalu tertawa panjang. “Kau harus menolongku untuk kedua kalinya Mahesa!"

“Jika aku bisa...”

“Kau pasti bisa. Aku tahu kau bukan pemuda sembarangan walaupun masih mentah. Kau tahu ilmu totokan? Ayo jawab dan jangan dusta!"

“Sedikit," jawab Mahesa.

Si muka tengkorank tertawa. Sedikit? Aku tak percaya! Lalu dia singkapkan baju rombengnya hingga kelihatan perutnya yang tipis di bagian pusar. “Cepat kau totok pusarku!" si kakek memerintah.

Mahesa meragu.

“Hai! Kau tak dengar apa yang kukatakan?"

Mahesa maju mendekat. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya mencuat lurus lalu bergerak cepat ke depan, menotok ke pusar si kakek. Orang tua ini menggeliat dan keluarkan suara aneh dari mulutnya yang penuh dengan busah ludah. Tiba-tiba dia melompat tinggi sekali, melayang turun berjumpalitan dan jatuh dengan kedua kaki menjejak lantai candi lebih dulu. Di mengangkat kedua tangannya dan tertawa gelak-gelak.

“Kekuatanku pulih sekarang!" Dia sedot rokok kawungnya dalam-dalam. Mulutnya yang peot menggembung. Asap rokok dalam mulutnya menyembur ke depan, mengenai dada Mahesa.

Pemuda ini merasakan tubuhnya di bagian dada seperti didorong batu besar. Dia coba bertahan. Tapi tak bisa. Tubuhnya mencelat satu tombak dan jatuh terguling di reruntuhan tangga candi!

Si kakek tertawa panjang. “Buyung! Terima kasih, terima kasih. Kau benar-benar telah menolongku. Aku bukan seorang yang suka menanam budi. Hari ini juga kau akan…”

“Orang tua, segala hutang budi dan hutang nyawa tak usah kau sebut-sebut. Hanya kebetulan saja aku tersesat ke sini. Bukan aku yang menolongmu, tapi Gusti Allah...” berkata Mahesa.

Si kakek terdiam sesaat. Lalu dia tertawa kembali. “Kau benar, buyung, memang Gusti Allah yang menolongku. Karena dia memang Yang Maha Kuasa! Tapi Gusti Allah mempergunakan tanganmu. Nah kalau kau tidak ada dan tidak kesasar ke mari, setan dari mana yang akan menolongku keluar dari lobang keparat itu. Dua puluh satu hari aku terpendak di sana!"

“Dua puluh satu hari?" mengulang Mahesa, heran dan terkejut

“Betul!"

“Kakek, bagaimana kau bisa masuk ke dalam lobang itu? Dan bagaimana selama dua puluh satu hari terpendam kau masih bisa hidup?"

“Seseorang menjebloskanku ke dalam lobang keparat ini. Lobang lalu ditutupnya dengan arca!"

Mahesa melengak. "Kenapa ada orang begitu jahat memendammu di lobang ini?" tanya Mahesa pula.

“ltulah keanehan dan kehidupan dalam dunia fana ini!" jawab si kakek. "Yang menjebloskanku justru adalah seorang sahabat karibku. Ketamakan membuat dia melakukan itu. Karena ingin memiliki sendiri sebuah kitab silat yang kami temui bersama. Gila! Tapi awas. Tunggu pembalasanku." Si kakek kelihatan geram. Tangan kanannya dipukulkan dan brak! Dinding candi di samping kanan hancur berantakan!

Mahesa menyaksikan dengan mata melotot. Lalu bertanya, "Kek, kalau kau sanggup menghancurkan dinding candi itu, sewaktu terpendam seharusnya kau juga mampu menghancurkan arca yang menutupi lobang itu...”

“ltu benar, jika si keparat busuk itu tidak menotokku lebih dahulu. Sebelum dia menjebloskanku dia menotok pusarku, hingga seluruh kekuatanku luar dalam sirna. Aku hanya mampu sekedar menggerakkan tangan, kaki dan kepala serta mulut dan lidah!"

Mahesa geleng-geleng kepala. “Satu hal yang aku tidak mengerti kek! Bagaimana selama terpendam dua puluh satu hari tanpa makan tanpa minum kau masih bisa hidup?!"

“Buyung, otakmu encer juga sampai bertanya begitu. Kau bukan seorang perokok. Tapi melihat caramu mulai menyedot rokok kawung itu, tak pelak lagi aku punya firasat bahwa kau bakal jadi seorang pecandu rokok kawung sepertiku!"

Mahesa menguap. "Kau belum jawab pertanyaanku, kek. Bagaimana kau masih bisa bertahan hidup?"

“Kau pernah dengar orang berkata, dia lebih baik tidak dapat nasi sehari suntuk daripada tidak merokok?"

Mahesa cuma diam, tak bisa menjawab karena memang tidak pernah mendengar ada orang yang berkata seperti itu.

Si kakek meneruskan. “Nah, ini kejadian padaku! Walau dua puluh satu hari tidak makan, tidak minum, tapi persediaan rokok kawungku cukup banyak! Rokok yang kuhisap terus menerus itulah yang telah menolongku. Walau akhirnya aku jadi kurus kering, bermuka tengkorak berbadan jerangkong seperti ini hingga kau tadi ketakutan, menduga aku setan! Ha ha ha! Betul buyung. ltu kau ucapkan dalam usiamu yang baru delapan belas. Semakin tua usiamu, semakin banyak keanehan yang bakal kau jumpai. Tak jarang keanehan itu berakhir pada kematian. Ah, malam-malam dingin begini aku terlalu banyak bicara. Sebenarnya aku ingin mengobrol lebih lama denganmu. Tapi aku harus pergi sekarang. Selama gunung masih hijau, selama air sungai terus mengalir ke laut, suatu ketika pasti kita akan bertemu lagi. Sebelum pergi, sebagai tanda terima kasih, aku akan menyerahkan sepertiga dari tenaga dalamku padamu!"

“Kakek! Aku tidak minta balas jasa apa-apa!" seru Mahesa melangkah mundur.

Tiba-tiba si kakek melompat. Gerakannya laksana kilat hingga Mahesa tak sempat mengelak. Telapak tangan kanan si kakek tahu-tahu mendarat di dada kirinya, tepat di atas jantung! Mahesa keluarkan seruan kesakitan. Pemandangannya serta merta gelap. Tubuhnya terbanting dan rubuh menelungkup di lantai candi yang basah dan dingin. Dari sela bibirnya kelihatan ludah membuih bercampur darah!

7. ADA UBI ADA TALAS. ADA BUDI ADA BALAS. HUTANG NYAWA DIBAYAR NYAWA
TERIK MATAHARI seperti membakar lantai candi itu sehingga menjadi panas dan membuat Mahesa siuman dari pingsannya. Sebelum dia membuka mata pertama sekali yang dirasakannya adalah rasa asinnya darah pada mulutnya. Dia meludah berkali-kali. Perlahan-lahan pemuda ini membuka kedua matanya dan menjadi terkejut mendapatkan dirinya terbaring di tempat itu. Dia bangkit berdiri dan memandang barkeliling. Lalu mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Ketika matanya sekali lagi membentur lobang batu itu perlahan-lahan ingatannya kembali.

“Kakek aneh itu, kemana dia pergi? Hai, namanya pun aku tak sempat menanyakan!"

Mahesa usap-usap mukanya. Dia menunduk dan meneliti dadanya sebelah kiri. Dada itu kelihatan kemerah-merahan. Malam tadi si kakek telah memukulnya hingga dia jatuh pingsan. Si kakek mengatakan akan memberikan sepertiga tenaga dalamnya. Dengan cara memukul itukah si kakek menepati janjinya?

Jika sekarang dia memang memiliki tambahan tenaga dalam, dengan tangan kosong pasti dia bisa menghancurkan dinding candi yang terbuat dari batu atos tebal itu. Memikir sampai kesitu Mahesa lalu melangkah mendekati dinding. Sambil melangkah dia mengusap pinggangnya. Astaga! Pemuda ini terkejut. Dirabanya kembali pinggangnya. Disingkapnya pakaiannya!

Celaka Keris Naga Biru yang asli dan yang palsu serta kayu besi hitam senjata pemberian gurunya tak ada lagi! Paras pemuda ini serta merta menjadi pucat pasi. Apakah kakek muka tengkorak itu yang telah mencuri dan melarikan ke tiga benda itu? 

Mahesa merasa lebih baik dia kehilangan nyawanya saat itu dari pada menerima kenyataan lenyapnya Keris Naga Biru dan kayu besi hitam. Selagi dia kebingungan begitu rupa tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak. Dari balik dinding candi muncul sesosok tubuh berselempang kain putih.

“Kau mencari benda-benda ini Mahesa..?” Orang berselempang kain putih buka suara.

Mahesa terkejut dan memandang ke depan. Loh Jingga! Dia tegak di depan sana sambil berkacak pinggang dengan tangan kiri sedang tangan kanan memegang Keris Naga Biru asli dan tiruan serta kayu besi hitam berbentuk papan nisan!

“Keparat! Bangsat rendah! Jadi kau pencurinya! Kembalikan ketiga benda itu padaku!" teriak Mahesa. Dia memburu maju tapi Loh Jingga menunggu dengan sikap hendak menghantamkan kayu besi hitam, hingga gerakan Mahesa tertahan.

“Hai! Kenapa kau berhenti? Bukankah kau inginkan ketiga benda ini? Ambillah!" kata Loh Jingga mengejek.

“Anak setan!" serapah Mahesa. Dia hantamkan tangan kanannya, melepaskan Pukulan Api Geledek Menggusur Makam. Sinar merah panas berkiblat.

Loh Jingga kaget. Dia melompat ke samping dan dari samping pukulkan papan kayu besi hitam.

Wut! Wut! Byaar!

Angin hitam yang menggebu keluar dari pukulan papan kayu hitam saling baku hantam dengan sinar merah pukulan yang dilepaskan Mahesa. Sinar merah terpukul mental kesamping, melabrak dinding candi hingga runtuh berantakan.

Di depan sana Loh Jingga kelihatan terpelanting. Papan kayu hitam terlepas dari tangannya. Sebenarnya jika saja Mahesa tidak menerima sepertiga tenaga dalam hebat yang diberikan oleh kakek muka tengkorak itu, maka dalam bentrokan tersebut tidak mungkin dia akan sanggup menghadapi angin pukulan kayu besi. Dalam keadaan seperti itu tentu saja Mahesa belum menyadari kalau tenaga dalamnya telah berlipat ganda.

Melihat kayu hitam terlepas dari tangan Loh Jingga, Mahesa segera memburu untuk mengambilnya. Namun pemuda ini terpaksa membatalkan niatnya karena saat itu lawan telah mencabut Keris Naga Biru dan menyongsongnya dengan satu tusukan ke arah dada!

“Anak setan!" maki Mahesa dan cepat membuang diri ke samping.

Loh Jingga tebaskan keris sakti itu. Sinar biru bertebar mengejar Mahesa. Pemuda ini bergulingan di tanah sambil lepaskan pukulan tangan kosong untuk menahan serangan lawan. Keris di tangan Loh Jingga hanya tampak bergetar sedikit. Sebelum Mahesa sempat berdiri lawan telah memburu dengan tusukan kedua!

Murid Kunti Kendil terpaksa jatuhkan diri. Ketika keris dan tangan lawan lewat di atas kepalanya Mahesa membuat gerakan jari sakti mencengkeram papan nisan. Sekali lengan Loh Jingga kena cengkeram pasti akan hancur sampai ke tulang-tulangnya. Tetapi Keris Naga Biru yang sakti di tangan kakek itu seperti menuntun gerakan silatnya. Sebelum lengannya kena diremas, senjata itu tahu-tahu menukik keubun-ubun Mahesa!

“Edan! Benar-benar anak setan!" teriak Mahesa. Yang bisa dilakukannya ialah menjatuhkan diri kembali ke lantai candi sambil kirimkan tendangan menyapu kaki lawan. Tusukan Keris Naga Biru mengenai tempat kosong. Tapi tendangan Mahesapun hanya mengenai angin karena dengan mudah dapat dielakkan oleh Loh Jingga dengan jalan melompat.

“Ha ha ha.! Mahesa kau boleh memaki anak setan! Sebentar lagi kau yang bakal mati jadi setan penasaran!" Kata-kata Loh Jingga itu membakar amarah Mahesa.

“Bangsat ini rupanya benar-benar menguntit kemana aku pergi. Kalau tiga benda itu tidak dapat kurampas kembali, lebih baik aku mati menyabung nyawa!" Memandang ke depan Mahesa dapatkan Loh Jingga tegak dengan memegang Keris Naga Biru di tangan kanan dan papan kayu besi hitam di tangan kiri. Keris Naga Biru tiruan disisipkannya dibalik selempang. 
Keris Naga Biru telah dicabut dari sarungnya. Pantangan telah dilanggar. Satu nyawa akan menemui kematiannya. Mahesa atau Loh Jingga sendiri!

“Dulu kuminta secara baik-baik, kau tak mau menyerahkan Keris Naga Biru ini. Sekarang rasakan sendiri. Dengan senjata ini kau bakal menemui kematian!" kata Loh Jingga.

Dia berputar-putar mengelilingi Mahesa. Tiba-tiba kakek muka pucat ini membentak keras. Papan kayu besi hitam di tangan kirinya diputar-putar hingga mengeluarkan suara menderu dan menebar sinar hitam. Mahesa kerahkan daya berat tubuhnya pada kedua kaki agar tidak tersapu angin senjata sakti miliknya sendiri itu. Namun dia tak bisa bertahan lama. Makin cepat putaran kayu besi hitam itu, semakin deras terjangan angin. Mahesa merasakan dadanya sesak. Dia terpaksa mundur dan mundur sampai akhirnya tubuhnya tertahan oleh dinding candi.

“Ha ha...! Kau mau lari kemana Mahesa?! Ajal sudah didepan mata! Apa kau tidak berteriak memanggil nama gurumu atau menyebut nama Tuhanmu! Atau mungkin juga memanggil nama ibumu?!"

Kata-kata Loh Jingga itu membuat Mahesa seperti mau meledak. Betapakan tidak! Delapan belas tahun hidup sebagai manusia dia tak pernah mengenal ibunya. Sang ibu yang telah meninggal dunia tanpa dia sempat melihat kuburnya! “Keparat muka pucat! Jangan kau sebut-sebut nama ibuku!" teriak Mahesa.

Seperti kalap dia menyerbu menghadang serangan Loh Jingga. Tangan kiri menghantamkan Pukulan Batu Karang Menghimpit Kuburan sedang tangan kanan lepaskan Pukulan Kincir Air Melabrak Kuburan.

Di lain pihak untuk kedua kalinya kayu besi hitam terlepas dari genggaman Loh Jingga. Kakek ini jatuh terduduk. Mukanya tampak tambah pucat dan dari sela bibirnya mengalir darah. Tapi dia cepat bangkit berdiri. Mukanya membersitkan seringai setan. Keris Naga Biru tergenggam erat dalam tangan kanannya.

Dia melompat ke reruntuhan dinding candi dimana saat itu Mahesa berusaha membebaskan badannya yang tertimbun batu-batu. Dalam keadaan seperti itu tak mungkin bagi Mahesa untuk menyelamatkan diri dari tusukan Keris Naga Biru yang ditikamkan ke lehernya!

“Ah, aku benar-benar terpaksa mati penasaran. Tugas guru tak dapat kuselesaikan, dimana ayahku belum dapat kucari, dimana makam ibuku belum sempat kusambangi.”

Pemuda ini pejamkan matanya. Siap menerima kematian oleh tusukan Keris Naga Biru. Sejengkal lagi senjata sakti beracun itu akan menancap di tenggorokan Mahesa tiba-tiba satu bayangan berkelebat dari samping kiri. Disusul jerit Loh Jingga. Tubuhnya terlempar ke kanan. Keris Naga Biru mental dari pegangannya. Ketika Mahesa membuka kedua matanya dilihatnya kakek muka pucat itu terkapar dekat tangga candi. Kepalanya pecah!

Memandang ke kiri Mahesa dapatkan kakek muka tengkorak tegak enak-enakan sambil menyedot rokok kawungnya. Dia tertawa-tawa melihat Mahesa susah payah melemparkan batu-batu runtuhan candi yang menimbuni tubuhnya.

“Batu-batu itu mempermainkan kau buyung? Mari kutolong!" kata si kakek. Lalu satu demi satu batu-batu itu ditendanginya hingga Mahesa berhasil bangkit dan melangkah terhuyung-huyung.

“Kakek, terima kasih…”

“Ha ha ha! Sungguh benar kata pepatah. Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas. Apakah hutang nyawaku sudah impas kini…?”

“Ah kakek, kenapa segala hutang nyawa yang kau ingat. Yang jelas aku merasa bersyukur kau datang. Kalau tidak kau tolong aku sudah mati di tangan si muka pucat itu!"

“Hai Aku datang kemari bukan untuk menolongmu Mahesa. Hanya kebetulan saja dua kotak rokok kawungku ketinggalan dalam lobang!" Habis berkata begitu kakek muka tengkorak itu masuk ke dalam lobang besar dimana sebelumnya dia dipendam. Ketika keluar dia memegang dua buah kotak jerami penuh berisi rokok kawung. Mahesa ambil Keris Naga Biru yang asli dan papan kayu hitam yang bergeletak di tanah. Lalu menarik Keris Naga Biru tiruan dari pinggang Loh Jingga.

“Buyung, coba kulihat sebentar keris yang memancarkan sinar biru itu!" berkata si kakek muka tengkorak.

Mahesa serahkan Keris Naga Biru yang asli. Si kakek mengamati keris mustika itu dengan tidak hentinya berdecak leletkan lidah. "Belasan tahun aku mendengar nama senjata mustika yang mengagumkan ini. Baru hari ini melihat dengan mata kepala sendiri. Sungguh luar biasa. Tetapi penuh bahaya.”

“Penuh bahaya bagaimana maksudmu kek?" tanya Mahesa.

“Buyung, apakah kau tidak tahu kalau Keris Naga Biru ini mempunyai pantangan?" balik bertanya si kakek muka tengkorak.

Mahesa gelengkan kepala.

“Untung kau masih selamat sampai hari ini. Keris sakti ini mempunyai pantangan. Tidak boleh dicabut sembarangan dari sarungnya. Jika hal itu dilakukan maka harus ada yang menjadi korban. Orang lain atau orang yang mencabutnya!"

Tentu saja keterangan ini membuat Mahesa terkejut. “Kek, aku ingat kini. Sejak aku memegang senjata ini, sudah beberapa orang yang menemui ajalnya!"

Si kakek memasukkan Keris Naga Biru ke dalam sarungnya. Lalu menyerahkannya pada Mahesa seraya berkata, “Buyung, kau simpan dan rawat keris ini baik-baik. Senjata ini mungkin berjodoh denganmu. Senjata ini adalah lambang tali perjodohanmu...”

Mahesa tersentak. “Kek, apa katamu?!" ujar Mahesa setengah berteriak.

Tapi si kakek sudah berkelebat pergi. Hanya bau rokok kawungnya yang masih tertinggal.

“Orang tua aneh. Ada sangkut paut apa keris ini dengan soal jodoh?"

Mendadak saja Mahesa ingat pada dara berbaju kuning yang pernah diselamatkannya dari Tiga Datuk Kembar Bukit Akhirat. "Ah, dimana dia sekarang?” 

Mahesa geleng-geleng kepala. Astaga, lagi-lagi aku lupa menanyakan nama kakek aneh itu! Pemuda ini tepuk-tepuk keningnya sendiri.

8. LELAKI ANEH DI PUNCAK BUKIT
SESUAI DENGAN petunjuk yang didapatnya sepanjang perjalanan, Mahesa menyusuri pantai utara menuju ke timur. Angin laut bertiup keras di pantai yang gersang. Teriknya sinar matahari bukan main. Untuk melepas dahaga Mahesa meneguk habis sebutir air kelapa lalu melanjutkan perjalanan.

Ketika dia ingat akan rokok kawung di kantong pakaiannya, pemuda ini segera mengambil dan menyalakannya. Dia berlari sambil menghisap rokok itu. Seperti yang dikatakan kakek muka tengkorak, kelak dia akan menjadi seorang perokok. Nyatanya memang pemuda ini mulai ketagihan.

Ketika serombongan burung laut terbang ke arah utara, Mahesa sampai di sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pohon kelapa dan pohon-pohon bambu liar. Pada saat itulah sepasang telinganya mendengar suara seruling. Tiupan seruling ini menggema perlahan seperti menyanyikan lagu sedih. 

Entah mengapa suara seruling itu menyentuh hati Mahesa hingga dia memandang berkeliling mencari dimana dan siapa orang yang meniupnya. Sampai sekian lama mencari-cari tetap saja dia tidak menemukan seorangpun di puncak bukit itu.

“Aneh, suaranya jelas dan dekat. Tapi orangnya tak kelihatan!" ujar Mahesa. 

Pemuda ini terus melangkah mencari-cari. Dihadapan serumpun pohon bambu liar dan tinggi langkahnya terhenti. Mendongak ke atas Mahesa melihat satu pemandangan yang hampir tak dapat dipercayanya kalau tidak disaksikannya sendiri.

Diantara tiga batang pohon bambu hijau tampak seorang lelaki berusia sekitar setengah abad lebih dalam sikap duduk bersila tidak beda seperti dia tengah duduk di atas tikar atau lantai. Padahal hanya lutut kirinya saja yang menempel pada batangan bambu sebelah kiri, lalu lutut kanan menempel pada pohon bambu sebelah kanan, dan punggungnya menempel pada batang bambu sebelah belakang.

Orang inilah yang meniup seruling membawakan lagu sedih sambil memejamkan mata. Demikian penuh perasaan dia membawakan lagu itu hingga Mahesa melihat ada air mata yang meluncur dipipinya yang cekung.

Orang ini memakai topi tinggi hitam berhiasan benang emas. Topi seperti ini biasanya dipakai oleh para bangsawan atau pejabat tinggi Kerajaan. Wajahnya cekung kotor, kumis dan janggutnya tak terpelihara. 

Dia sama sekali tidak memakai baju, tapi dilehernya tergantung sebuah kalung tembaga bersepuh emas, bergambar burung bermahkota yang merentangkan kedua sayapnya. Kemudian lelaki aneh ini memakai celana hitam yang panjangnya sampai di betis. Pada kedua sisi celana terdapat benang emas. Celana seperti ini hanya dipakai oleh pejabat Kerajaan atau para bangsawan.

“Manusia aneh," desis Mahesa. Tapi diam-diam dia mengetahui, kalau tidak memiliki kepandaian tinggi mana mungkin orang itu bisa bersila diantara tiga batang bambu.

Sesaat kemudian orang diatas pohon bambu itu hentikan permainan sulingnya. Dia mengusap air mata yang membasahi pipinya tapi kedua matanya masih saja terpejam.

“Bapak, Mahesa memanggil. Permainan sulingmu bagus sekali. Apakah kau tidak mau turun barang sejenak hingga kita dapat berbincang-bincang?"

Orang yang ditegur tidak menjawab. Mahesa mengulangi tegurannya sekali lagi. Tetap saja tak ada jawaban.

“Mungkin dia tuli!" pikir Mahesa.

Setelah menunggu beberapa lama orang diatas sana tetap tak bergerak Mahesa akhirnya memutuskan untuk meninggalkan saja puncak bukit itu. Dia harus segera melanjutkan perjalanan menuju Probolinggo. Namun belum sempat dia melangkah tiba-tiba lelaki diatas pohon bambu perdengarkan satu nyanyian.

Memasuki kota pantang bagiku
Hanya akan menghancurkan hati yang beku
Disinipun aku bisa melakukan sesuatu
Tak dapat ayahnya
Anaknyapun jadi


Mahesa tahan langkahnya. Untuk beberapa lamanya pemuda ini tertegun memandangi lelaki di atas pohon bambu. Kini jelas terlihat ada perobahan pada mimik lelaki itu. Kalau tadi air mukanya tampak sedih, kini terlihat menjadi bengis. Cuping hidungnya mengembang, rahangnya menggembung. Hanya sepasang matanya yang masih terpejam. Kemudian terdengar dia bersenandung kembali.

Lima hari menunggu
Dibawah teriknya sang surya
Disiram hujan diselimut embun
Semua tidak sia-sia
Hari ini dendam terbalaskan
Walau cuma anak tak jadi apa
Dilain waktu biangnya pasti kena


“Orang aneh, nyanyiannyapun aneh!" kata Mahesa. "Aku kawatir walau ilmunya tinggi mungkin otaknya kurang beres…”

Dari atas pohon terdengar lagi suara nyanyian.

Dia datang
Ha…ha..ha
Saat pembalasan telah tiba
Hari ini anaknya
Nanti bapaknya


Untuk pertama kalinya lelaki diatas pohon bambu membuka matanya. Ternyata dia memiliki sepasang mata yang tajam angker. Orang ini memandang ke arah selatan tanpa berkedip. Mahesa putar kepalanya mengikuti arah pandangan orang itu. Di kejauhan, di bawah bukit sana di arah selatan kelihatan meluncur sebuah kereta ditarik oleh dua ekor kuda.

Di sebelah depan dan sebelah belakang kereta dua penunggang kuda bertindak sebagai pengawal. Lalu masih ada lagi seorang yang bersenjatakan keris duduk disamping kusir kereta. Perlahan-lahan, tetapi pasti, rombongan itu mengikuti jalan berdebu menuju puncak bukit.

Lelaki di atas pohon menyeringai. Gigi-giginya kelihatan hitam dan banyak yang sudah tanggal. Perlahan-lahan dia ambil kembali serulingnya dan dekatkan ke bibir. Sesaat kemudian di puncak bukit itu menggema lagi lagu aneh dan sedih. Dan si peniup seruling kembali tampak mengucurkan air mata.

Kereta di bawah sana semakin tinggi naik ke bukit dan akhirnya mencapai puncak dimana Mahesa berada. Orang diatas pohon bambu hentikan permainan sulingnya, lalu sisipkan benda ini di pinggangnya. Kedua tangannya kini dirangkapkan di depan dada. Tiba-tiba Mahesa melihat satu kejadian yang luar biasa.

Dua batang bambu yang bertempelan dengan lutut kiri kanan lelaki aneh itu mendadak merunduk ke bawah hingga melintang tepat di atas jalan tanah di puncak bukit. Orang bertopi hitam masih dalam sikap bersila, tubuhnya meluncur di atas dua batangan bambu itu dan berhenti tepat di atas jalan.

Penunggang kuda sebelah depan dalam terkejut campur herannya terpaksa harus melompat dari kuda tunggangannya karena binatang ini mendadak meronta-ronta dan menaikkan kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Di belakangnya, kusir kereta juga berusaha dengan susah payah menenangkan dua ekor kuda penarik kereta yang tampak gelisah dan meringkik tiada henti.

Pemuda yang duduk disamping kusir, yang berpakaian prajurit dan membekal keris dengan gerakan ringan dan sigap melompat dari atas kereta. Sebuah kepala perempuan berambut hitam, bermata bening mempesona dan berwajah jelita tersembul dari jendela kereta sebelah kanan.

“Wira, ada apakah?" Kenapa kereta berhenti dan kuda-kuda itu seperti ketakutan
?" tanya orang yang ada dalam kereta dan ternyata seorang dara.

Pemuda yang barusan melompat turun dari kereta menjura. "Tak usah kawatir Den Ayu. Hanya seorang gila kesasar bermain-main di puncak bukit ini! Saya akan singkirkan dia!"

Pemuda pengawal itu melangkah besar-besar ke tengah jalan dimana melintang batang-batang bambu yang diduduki lelaki bertopi tinggi. Ketika melewati Mahesa, pengawal ini berpaling. Mahesa sendiri saat itu tengah memandang tak berkedip ke jendela kereta, terpesona oleh kecantikan sang dara bermata bening. Dia ingat pada gadis baju kuning yang berparas cantik yang pernah ditemuinya. Tetapi gadis di dalam kereta itu benar-benar membuat matanya terbuka lebar-lebar.

“Saudara! pengawal muda bernama Wira tiba-tiba menegur. Apakah orang gila di tengah jalan itu kawanmu? Lekas singkirkan dia!"

Mahesa yang asyik memandang Wajah cantik dalam kareta tidak menoleh ataupun menjawab. Pengawal muda itu menjadi marah melihat cara memandang Mahesa.

“Kau tuli atau bagaimana?!" bentaknya.

“Eh, kukira kau bicara dengan siapa," sahut Mahesa pula.

“Lekas singkirkan kawanmu itu dari tengah jalan!"

“Siapa bilang dia kawanku! Kenalpun tidak! Kalau kau mau menyingkirkannya, lakukan sendiri!"

Wira benar-benar jadi naik darah. “Kalau begitu biar kuhajar dia!" katanya, lalu sekali lompat dia sampai di hadapan orang yang duduk di atas dua batang bambu. Dengan tangan kanannya dia mendorong keras-keras bahu orang itu. Dia merasa pasti sekali dorong saja orang yang dianggapnya gila itu akan jatuh ke tanah.

Tapi dia menjadi kaget ketika tubuh kurus yang didorongnya itu tidak bergeming sedikitpun! Tahulah Wira kalau dia tengah berhadapan dengan orang yang bukan sembarangan. Sikapnya jadi berubah lunak.

“Orang pandai," sapanya halus. "Kami tak mau mengganggumu. Tapi kau menghalangi perjalanan kami. Harap kau sudi menepi sebentar. Jika kami sudah lewat kau boleh duduk kembali sesukamu...”

Orang yang disapa tampak menyeringai. Kalian ini tengah menuju kemanakah..?”

“Probolinggo," jawab pengawal muda itu.

Orang bertopi mengangguk-angguk. “Kalian ini rombongan siapakah?”

“Kami para pengawal Kadipaten!”

“Oh... Orang yang dalam kereta itu siapakah?" 
kembali orang yang duduk di atas dua batang bambu bertanya.

Mula-mula Wira tak mau menjawab. Akhirnya dia membuka mulut juga. "Penumpang kereta itu adalah puteri tunggal Adipati Probolinggo. Nah kalau sudah tahu harap kau segera menyingkir. Hari sudah rembang petang, kami harus cepat sampai di Probolinggo…”

“Begitu...?" ujar orang yang menghalang di tengah jalan. Dia tertawa panjang. Dari mulutnya kembali terdengar suara nyanyian seperti tadi. 

Dia datang
Saat pembalasan telah tiba
Hari ini anaknya
Nanti bapaknya


Kusir kereta yang sejak tadi sudah tidak sabaran berseru, “Wira! Mengapa harus pakai sopan santun dengan orang gila itu. Kalau tidak mau menyingkir tendang saja, habis perkara!"

Wira menyeringai. Dia merunduk dan mendekatkan kepalanya ke muka orang itu lalu berkata, "Kau dengar kata-kata kusir kereta itu? Jangan sampai aku terpaksa menurunkan tangan kasar!"

Orang diatas bambu cabut sulingnya dari pinggang. Semula Mahesa mengira orang ini akan memainkan lagi lagu sedihnya. Tapi apa yang kemudian terjadi benar-benar tidak terduga dan mengerikan. Entah kapan dia menggerakkan tangannya tahu-tahu suling itu telah melesat dan laksana sebatang anak panah menancap di leher kusir kereta. Kusir ini mengeluarkan suara seperti binatang disembelih. Tubuhnya terguling ke samping dan jatuh di tanah tanpa berkutik lagi. Mati!


9. LELAKI ANEH MENEBAR MAUT
GADIS cantik di dalam kereta memekik ngeri sambil tutup wajahnya dengan kedua tangan. Sementara Mahesa dan semua orang yang ada disitu terkesiap kaget karena benar-benar tidak menyangka akan terjadi seperti itu. Sesaat puncak bukit itu sehening di pekuburan. Kesunyian dipecahkan oleh bentakan Wira.

“Manusia gila! Kau telah membunuh kusir Kadipaten! Dosamu tak bisa diampuni!"

Pengawal muda itu bergerak cepat. Dia memuntir kedua lengan lelaki di tengah jalan, maksudnya untuk meringkus. Namun hal itu tak pernah kesampaian. Tiba-tiba tangan kiri orang yang hendak diringkus bergerak dan plak! Wira terbanting ke tanah. Ketika Mahesa memperhatikan ternyata pengawal ini telah menemui ajalnya dengan separuh kepala remuk! Kembali terdengar jeritan dari dalam kereta.

“Anak setan! Ganas sekali!" rutuk Mahesa dalam hati. Dia maju mendekat dan berkata dengan nada keras, "Bapak! Apakah kau sadar telah membunuh orang-orang yang tidak berdosa?!"

Sebagai jawaban tiba-tiba orang yang sejak tadi duduk diatas dua batang bambu itu melompat turun. Dua pohon bambu melentur kembali ke kedudukannya semula sedang lelaki bertopi hitam itu memandang garang pada Mahesa. Murid Kunti Kendil tentu saja tak mau menerima nasib seperti kusir kereta atau pengawal muda itu. Dia bersiap siaga sambil kerahkan tenaga dalamnya yang kini berlipat ganda karena menerima tambahan dari kakek muka tengkorak.

Ketika lelaki bertopi itu kembali melangkah, dua orang pengawal yang telah menghunus golok masing-masing segera menyongsong. Tanpa banyak menunggu lagi keduanya segera menyerbu. Satu membacok ke arah kepala, yang lain menusuk ke arah perut! Yang diserang membuat gerakan aneh.

Buk! Duk!

Dua pengawal itu terhempas ke tanah. Menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Yang pertama hancur perutnya dimakan tendangan sedang kawannya remuk dadanya dihantam jotosan.

“Gila!" gumam Mahesa sambil Ieletkan lidah. "Begitu mudah dan enak saja dia membunuhi orang!"

Pandangan mata pembunuh itu kini tertuju pada Mahesa.

“Giliranku kini!" membathin Mahesa.

Tapi di depan sana orang itu tidak bergerak. Dia terus memandangi Mahesa dengan sepasang matanya yang tajam angker. Kemudian dia memalingkan kepalanya dan tanpa mengacuhkan Mahesa lagi dia melangkah mendekati kereta.

Brak

Sekali tangannya membetot, pintu kereta sebelah kiri tanggal berantakan. Gadis dalam kereta menjerit ketakutan. “Ha ha
 ha...! Tidak dapat ayahnya anaknya pun jadi!"

“Gila! Anak setan ini hendak membunuh dara jelita itu!"  Mahesa melompat. Dia tangkap pinggang orang dan maksudnya hendak melemparkan kesamping. Tapi murid Kunti Kendil ini menjadi kaget. Tubuh itu tak bergeming. Dia seperti memeluk pohon raksasa!

Mendapatkan pinggangnya digelung begitu rupa, orang itu menjadi marah. Dia menggereng dan berontak. Meskipun Mahesa tak mampu meggeser tubuhnya, sebaliknya orang ini tidak pula mampu melepaskan rangkulan si pemuda.

“Anak muda! Kaupun minta mampus!" Orang itu lalu pukulkan tangan kanannya ke kepala Mahesa.

Tapi entah mengapa setengah jalan dia tarik pulang pukulannya. Kini Mahesa punya kesempatan untuk balas menyerang. Dengan lutut kirinya dia sodok perut lelaki itu. Yang diserang mengeluh kesakitan. Kedua tangannya dipukulkan ke bawah. Mahesa menyambut dengan balas memukul ke atas, lancarkan Pukulan Sepasang Tombak Menembus Liang Kubur.

Dua pasang lengan saling beradu. Mahesa yang berada di bawah terhempas ke tanah, Dia merasa tubuhnya seperti melesak ditelan bumi. Kedua lengannya tampak merah. Di depannya lelaki itu terjerongkang dan jatuh duduk di tanah. Topinya terlepas dari kepala dan kini kelihatan rambutnya yang putih di gelung ke atas.

Untuk beberapa lamanya dia memandang dengan matanya yang angker lekat-lekat pada Mahesa. Tak ada bayangan rasa sakit pada wajahnya akibat bentrokan lengan tadi. Mahesa bangkit perlahan-lahan. Belum lagi dia sempat tegak dengan betul orang didepannya tahu-tahu sudah melompat bangun dan menerkam ke arahnya.

“Tunggu!" seru Mahesa. Orang itu hentikan serangannya. “Antara kita tak ada silang selisih. Kenapa musti berkelahi?!"

“Siapa suruh kau membantu orang-orang Kadipaten ini?"

“Aku tidak membantu mereka. Aku hanya tidak suka melihat kau membunuhi orang-orang yang tak berdosa.” sahut Mahesa.

“Dosa?!” Ha ha ha! Kau tahu apa tentang dosa! Dunia ini telah digenangi oleh lumpur dosa yang maha busuk! Karenanya perlu dibersihkan!"

“Tapi orang-orang yang barusan kau bunuh itu, mereka punya salah apa...?! Bahkan kulihat kau mau membunuh gadis dalam kereta itu! Hanya iblis yang mau berbuat begitu! Apakah kau iblis?!"

Mulut orang itu terkancing mendengar kata-kata Mahesa.

“Pergilah dari sini. Itu lebih baik bagimu sebelum petugas-petugas Kadipaten datang menangkapmu!" kata Mahesa pula walau dia yakin kalaupun orang-orang Kadipaten datang mereka tak akan sanggup menangkap atau meringkus orang ini.

“Kau siapa?!" bentak orang itu.

“Namaku Mahesa. Dan kau sendiri siapa? Mengapa menebar maut begini rupa? Ada dendam apa kau dengan ayah gadis itu."

“Siapa aku...? Akupun tak tahu," sahut orang itu. Beberapa lama dia kelihatan seperti orang melamun. "Mengapa aku menebar maut tentu ada sebabnya. Dan soal dendam itu. Ah...!" Orang itu tampak seperti lunglai sekujur tubuhnya. Dia melorot jatuh dan berlutut di tanah sambil tutupi mukanya dengan kedua tangan. "Tak ada satu orangpun yang mau tahu dengan diriku. Bahkan Tuhan pun seperti tidak acuh padaku!" Habis berkata begitu orang ini lantas menangis.

Mahesa jadi bingung. Tapi dalam bingungnya dia melihat inilah kesempatan baik untuk menyelamatkan gadis dalam kereta. Dia memberi isyarat dan berbisik, "Tetap dalam kereta. Aku akan melarikanmu ke kota.”

“Tapi... kau sendiri siapa. Apa bukan kawannya pembunuh ini?"

Mahesa melintangkan telunjuknya diatas bibir memberi tanda agar sang dara jangan berkata apa-apa lagi. Lalu dia melompat ke depan kereta, membedal tali kekang. Dua ekor kuda menyentak ke depan dan kereta itu meluncur dengan kecepatan setan meninggalkan puncak bukit.

Di belakang sana orang yang berlutut menangis turunkan kedua tangannya. Pandangan matanya yang tadi tajam angker kini kelihatan sayu. Dipandanginya kereta yang menuruni bukit, makin jauh, makin kecil akhirnya lenyap dibatas titik pandang.

“Ah, mengapa aku tidak sanggup membunuh pemuda itu...?"  desis orang ini. "Kalau saja hatimu tabah untuk bisa memasuki kota, tak perlu semuanya ini terjadi. Pemuda itu betul. Aku telah membunuh orang-orang tak berdosa. Ah, aku suka padanya..”


10. PROBOLINGGO. 
WILANI PUTERI SANG ADIPATI
MAHESA tak pernah menyangka kalau dia akan sampai di Probolinggo dengan membedal kereta seperti itu. Lebih dari selusin prajurit Kadipaten mengurung kereta begitu dia berhenti di tengah halaman. Seseorang menolong turun gadis yang masih ketakutan. Begitu turun gadis ini langsung lari ke dalam gedung Kadipaten. Murid Kunti Kendil bersiap-siap pula hendak turun. Namun sembilan tombak dan tujuh golok ditodongkan ke arahnya oleh para pengawal Kadipaten.

“Anak setan!" maki Mahesa. Dia berpaling ke arah gedung dan berseru memanggil gadis itu. "Saudari!" Tapi sang dara terus lari dan lenyap dibalik pintu besar.

Seorang lelaki berbadan tinggi besar, berkumis melintang dan dada penuh bulu muncul dari sebuah bangunan kecil di ujung halaman. Dia memberi isyarat pada orang-orang yang mengurung Mahesa. Orang-orang ini segera turunkan senjata mereka dan melangkah mundur.

“Anak muda! Kau datang dengan cara mengejutkan. Siapa kau dan bagaimana sampai muncul disini membawa puteri Adipati. Kereta ini ada kusirnya. Dikawal oleh tiga orang pengawal. Dimana mereka semua?!"

“Sobat berkumis melintang! Pertanyaanmu banyak amat. Biar aku turun dulu dari kereta. Pinggangku sakit. Pantatku pedas! Seumur hidup baru kali ini aku naik kereta. Dan jadi kusir pula." Habis berkata begitu Mahesa melompat turun.

“Hem... si kumis melintang manggut-manggut melihat gerakan Mahesa yang begitu enteng.

“Nah, sekarang baru aku bisa memberi keterangan..." kata Mahesa pula.

Namun belum sempat dia meneruskan bicaranya, dari dalam gedung muncul seorang berpakaian bagus, mengenakan topi tinggi dan bersikap penuh wibawa. Inilah Adipati Probolinggo. Disampingnya berdiri seorang perempuan separuh baya merangkul gadis jelita yang tadi diselamatkan Mahesa dari lelaki gila di puncak bukit di luar kota. Sang dara tampak menunjuk ke arah Mahesa.

Dengan langkah-langkah besar Adipati Probolinggo menuruni tangga gedung. Sesaat kemudian dia sudah berhadap-hadapan dengan Mahesa sementara orang-orangnya bergerak mundur dengan sikap penuh hormat, termasuk si tinggi besar berkumis melintang tadi.

“Aku Mangun Aryo, Adipati Probolinggo. Menurut penjelasan puteriku sesuatu telah terjadi di puncak bukit luar kota. Dan kau telah menyelamatkannya."

Mahesa tak segera menjawab. Mulutnya terasa kering. Dia keluarkan sebatang rokok kawung dan menyalakannya. Sikapnya ini tentu saja tidak sopan dimata sang Adipati dan orang-orangnya. Lelaki tinggi besar bernama Rangga yang menjadi kepala pengawal di Kadipaten itu langsung menegur.

“Anak muda! Kau berhadapan dengan Adipati Probolinggo. Sikapmu harus sopan. Matikan rokokmu dan terangkan apa yang terjadi..”

Mahesa cabut rokoknya tapi tidak mematikan apinya. "Aku hanya kebetulan saja berada di puncak bukit itu. Disana ada seorang gila tapi berkepandaian tinggi yang coba menghalangi rombongan Kadipaten. Dia membunuh kusir kereta dan tiga pengawal...”

“Bagaimana kau bisa menyelamatkan puteriku?" bertanya Mangun Aryo. "Jika orang gila itu menurutmu memiliki ilmu tinggi, tentunya kau juga mempunyai isi hingga bisa melepaskan puteriku dari malapetaka.”

Mahesa tersenyum. "Kebetulan saja si gila itu sedang lengah. Lalu kami melarikan diri."

Mangun Aryo manggut-manggut. Dia memberi perintah pada Rangga agar mengirimkan orang untuk mengambil mayat Wira dan kusir kereta serta dua orang pengawal. Lalu pada Mahesa Adipati ini berkata, "Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Sebagai balas budi, jika kau suka, kau boleh tinggal disini dan kuambil sebagai wakil Rangga!"

“Terima kasih Adipati. Ada pekerjaan lain yang harus kuselesaikan. Aku minta diri sekarang!”

“Kau tidak boleh pergi. Kau harus menerima jabatan yang diberikan ayah!"

Satu suara terdengar dari arah belakang. Semua orang sama berpaling dan dapatkan puteri Adipati Mangun Aryo tegak dengan muka merah karena jengah.

“Wilani, masuk kedalam...!" Mangun Aryo menegur.

Gadis itu memutar tubuh dan cepat-cepat masuk ke dalam gedung. Adipati Probolinggo berpaling pada Mahesa. “Jadi kau tak mau menerima jabatan itu anak muda?"

“Maafkan aku Adipati."

“Baiklah, aku tidak memaksa. Sebelum kau pergi apakah kau juga tidak mau memberi tahu namamu?"

“Namaku Mahesa!"

“Kau boleh pergi. Jabatan yang kutawarkan selalu terbuka setiap saat kau mau datang lagi kesini...”

“Terima kasih Adipati...!" Mahesa meninggalkan Kadipaten Probolinggo tanpa mengetahui bahwa Mangun Aryo sang Adipati adalah manusia biang racun penimbul malapetaka bagi kedua orang tuanya, termasuk dirinya sendiri.

Sesaat setelah murid Kuntil Kendil berlalu, Mangun Aryo mendekati Rangga dan berbisik, "Kuntit pemuda itu. Entah mengapa aku menaruh curiga padanya."

“Baik Adipati, saya segera pergi," jawab kepala pengawal Kadipaten itu.

* * *

MAHESA tidak perdulikan perutnya yang terasa lapar ataupun tenggorokannya yang kering. Rokok kawung kini menjadi sahabat karibnya dan selalu terselip di sela bibirnya. Dia melangkah cepat sepanjang jalan yang debunya beterbangan jika angin bertiup kencang. Ketika dia berpapasan dengan seorang tua menarik gerobak, Mahesa tanyakan arah menuju pekuburan. Orang tua itu memberi tahu.

“Apakah itu satu-satunya tanah pemakaman di Probolinggo ini?" tanya Mahesa.

“Kau benar. Makam siapakah yang hendak kau sambangi?" bertanya penarik gerobak.

“Ibuku...!" sahut Mahesa perlahan. Setelah mengucapkan terima kasih dia lalu bergegas pergi.

Namun baru saja dia menyeberangi jalan untuk membelok ke arah yang ditunjukkan penarik gerobak tadi, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki kuda. Sesaat kemudian seekor kuda coklat besar dan gagah tegak di hadapan Mahesa. Mahesa menatap pada penunggangnya. Dia hampir saja tidak mengenali orang itu.

“Saudari, bukankah kau puteri Adipati Probolinggo?" 
Mahesa menegur.

“Kukira kau lupa pada orang yang kau tolong ini," jawab orang di atas kuda. Ternyata dia adalah Wilani, puteri Mangun Aryo yang kini mengenakan baju putih lengan panjang dan celana putih panjang sebatas betis. Rambutnya digulung ke belakang dan diikat dengan sehelai selampai merah jambu. Gagah sekali gadis ini dalam pakaian seperti itu.

Melihat orang seperti sengaja menyusulnya Mahesa lantas bertanya, "Ada apakah Den Ayu?”

“Brengsek si gadis mengumpat. Semua orang memanggilku Den Ayu. Aku muak dengan sebutan itu.”

“Sebutan itu pantas bagimu sebagai puteri Adipati. Lain daripada itu kau memang ayu jelita!”

Wajah sang dara tampak bersemu merah. Mahesa memaki dirinya sendiri dalam hati. Mengapa dia sampai mengeluarkan kata-kata pujian begitu, seperti seorang pemuda ceriwis.

“Tapi aku tidak suka disebut dengan panggilan itu. Namaku Wilani, bukan Den Ayu!”

Mahesa tertawa. ”Aku sih mau saja memanggilmu dengan nama itu. Hanya yang aku ingin tahu kenapa kau mengikutiku?"

“Heh, siapa bilang aku mengikutimu?" Kembali paras Wilani menjadi merah.

“Kalau begitu aku hendak meneruskan perjalanan," kata Mahesa pula. Sebenarnya dia cuma memancing. Dan pancingannya mengena.

“Tunggu dulu...!" seru Wilani.

“Nah... nah! Ada apakah?"

“Aku-tak mengerti!"

“Eh, apa yang kau tidak mengerti?" tanya Mahesa lalu cabut rokok kawungnya dan menguap lebar-lebar.

“Siang bolong begini menguap. Apa kau sudah ngantuk? Tidak malu!”

Mahesa jadi tertawa. Lama-lama dia merasa senang juga pada gadis jelita yang lebih banyak bersikap seperti kekanak-kanakan ini. “Apa yang kau tidak mengerti sobatku?" kembali Mahesa bertanya.

“Hai, apa kau mau bersobat denganku? Mau berteman denganku...?" tanya Wilani.

“Mana ada orang yang menolak berteman dengan gadis secantik dan sebaikmu ini?" ujar Mahesa.

“Ooo, jadi aku ini cantik dan baik menurutmu?" tanya Wilani seraya mengerling.

“Bukan menurutku,“ sahut Mahesa.

Sang dara kaget. "Hai!" serunya. "Lantas menurut siapa?"

“Menurut semua orang!"

Mahesa tertawa lebar. Wilani cemberut. Tapi hatinya senang berbunga-bunga. “Kau juga baik. Pandai mengganggu orang. Apakah kau tinggal di Probolinggo ini?"

Mahesa menggeleng. “Aku dari udik," katanya. "kau belum terangkan soal tidak mengerti tadi."

“Oh ya. Aku tidak mengerti mengapa kau menolak permintaan ayahku untuk dijadikan pembantu Rangga."

“Hemm... Soal itu rupanya. "Aku mempunyai urusan pribadi dan tugas. Hal itu tidak memungkinkan aku menerima kebaikan ayahmu yang berarti aku harus menetap di sini!”

“Tapi kalaupun kau menetap di sini bukan berarti kau tidak bisa menyelesaikan urusan dan menjalankan tugas itu bukan?"

Mahesa tersenyum dan campakkan rokok kawungnya yang tinggal pendek. “Aku tak bisa menceritakan mengapa aku harus menolak tawaran ayahmu...”

Wilani terdiam. Sementara itu orang-orang yang lalu lalang di jalan merasa heran melihat puteri Adipati Probolinggo berada di tengah jalan, bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing. Satu pemandangan yang tak pernah terjadi sebelumnya.

“Sekarang, kau hendak menuju ke manakah?"

Mahesa belum sempat menjawab tiba-tiba seorang penunggang kuda muncul dan menyela di antara mereka. Rangga. Kepala pengawal, Kadipaten.

“Den Ayu, tidak selayaknya Den Ayu bercakap-cakap di tengah jalan. Dengan seorang pemuda asing pula Harap segera pulang."

“Paman Rangga? Apakah ayah yang menyuruhmu kemari?"

“Betul Den Ayu."

“Kalau begitu kau pulanglah duluan. Katakan pada ayah bahwa aku akan pulang jika sudah tiba waktunya...”

“Jika hal itu kusampaikan pada Adipati, aku bakal disemburnya Den Ayu!"

“Perduli amat!" sahut Wilani.

Kelihatannya Rangga tak berani memaksa. Kini dia berpaling pada Mahesa. “Anak muda! Jangan memberi malu puteri dan keluarga Adipati. Perbuatanmu bercakap-cakap di sini sungguh tidak sopan. Lanjutkan perjalananmu!"

Mahesa mengangkat bahu. Dia menyusun jari-jari tangannya dan meletakkannya di kening seperti memberi hormat. Lalu berpaling pada Wilani dan berkata, "Apa yang dikatakannya mungkin betul. Aku terpaksa pergi sekarang. Aku senang berjumpa denganmu Wilani!"

“Pemuda kurang ajar! Berani kau menyebut nama Den Ayu!" bentak Rangga. Tangan kanannya bergerak hendak menampar tapi cepat dipegang oleh Wilani.

Dengan melotot gadis ini berkata, "Paman Rangga! Kau tak bisa menyuruh kawanku itu pergi! Apalagi hendak menamparnya! Apakah perbuatanmu ini sopan?"

“Tapi...”

“Aku minta kau kembali ke Kadipaten. Kalau tidak, Aku akan suruh ayah memotong gajimu bulan ini sekaligus untuk membayar hutangmu padaku! Bagaimana?"

“Den Ayu, aku menjalankan tugas dari ayahmu. Kalau kau membangkang kau pasti akan dimarahi ayahmu!"

Wilani tertawa. "Akan kita lihat apakah ayah nanti benar-benar memarahiku...!" Wilani tahu betul betapa ayahnya sayang sekali padanya yang merupakan anak tunggal semata wayang. 
“Paman, kau tunggu apa lagi? Lekas pulang!"

Rangga geleng-geleng kepala dan putar kudanya. Tapi dia tidak pulang. Di kelokan jalan, dia berlindung di balik sebatang pohon besar dan menunggu di situ. "Heran” kata kepala pengawal Kadipaten ini dalam hatinya. Gadis yang selama ini kelihatan selalu pendiam, seperti pemalu dan amat sopan tingkah lakunya, kini berani-beranian mengejar lelaki dan ngobrol di tengah jalan. Mau dikemanakan muka Adipati? Ah, hari ini agaknya aku bakal mendapat dampratan! Kalau saja aku tidak meminjam uang pada Den Ayu, pasti aku bisa memaksanya pulang!"

“Nah, si pengganggu itu sudah pergi," kata Wilani. “Sekarang kau hendak kemanakah?"

“Aku ada urusan...”

“Boleh aku tahu?"

“Tidak...!"

“Ah, kau jahat!"

Mahesa tertawa. Dia memandang ke langit. Awan hitam tampak bergumpal-gumpal dan udara mulai redup mendung. “Lihat, sebentar lagi hujan akan turun. Sebaiknya kau pulang saja...!" menasihatkan Mahesa.

“Tapi aku kepingin mandi hujan!" jawab Wilani.

Mahesa tepuk keningnya. Hatinya kesal tapi juga ingin tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata sang dara. Sebenarnya dia senang dapat berdua-dua dengan Wilani. Namun selagi dia harus menyelesaikan urusan tentu saja dia tak ingin gadis itu mengikutinya.

“Dengar Wilani. Jika urusanku selesai, aku akan mengunjungimu di Kadipaten!"

“Kapan urusanmu itu selesai? Sehari? Satu bulan atau setahun?"

Mahesa jadi terkancing mulutnya. Benar-benar dia kalah bicara dengan gadis itu. “Aku berjanji. Urusanku tak akan lama. Mungkin besok aku akan datang...”

“Aku tahu hal yang sebenarnya. Katakan saja kau tak mau berteman denganku!"

Mahesa terdiam. Wilani juga membungkam. Akhirnya dara ini membuka mulut. "Biarlah, kalau kau tak sudi akupun tak memaksa. Aku hanya ingin berteman karena aku tak punya kakak tak memiliki adik...”

Hujan gerimis mulai turun.

“Maksudku bukan begitu Wilani. Aku senang sekali berteman denganmu. Dan aku berjanji akan datang besok!”

Gadis itu tak menjawab. Dengan tundukkan kepala dia memutar kudanya. Binatang ini melangkah perlahan karena penunggangnya tidak berusaha untuk membedalnya. Mahesa tarik nafas dalam. Lalu meneruskan perjalanannya kembali. Dia keliru kalau menduga gadis itu benar-benar pulang!


11. PENUTURAN PENJAGA MAKAM. PERTEMUAN TAK TERDUGA
DELAPAN belas tahun yang lewat pedataran luas di timur Probolinggo itu masih merupakan pendataran kosong. Namun kini telah dipenuhi oleh ratusan kuburan. Mahesa sampai di pintu pekuburan tepat sewaktu hujan mulai turun dengan lebat. Dia lari ke sebuah bangunan kayu tak berdinding yang terletak di sudut kanan pekuburan dan berteduh di sini.

Seorang lelaki tua berambut, berkumis dan berjanggut putih yang sudah lebih dulu ada di tempat itu, terbangun dari tidurnya, memandang sesaat pada Mahesa lalu meneruskan tidurnya kembali. Namun sepasang matanya membuka lebar-lebar ketika mencium bau harumnya rokok kawung yang dinyalakan dan dihisap Mahesa.

“Ah, bapak tua, dingin-dingin begini tentunya kaupun tak akan menolak kalau kutawarkan kawung ini!"

Orang tua itu tertawa mengekeh. “Terima kasih-terima kasih...!" katanya. Suaranya agak telo karena seluruh gusinya tidak lagi ditumbuhi gigi.

“Pak tua... kau tinggal sekitar sini?" bertanya Mahesa. 
Sepasang matanya memandang berkeliling. Di bawah siraman hujan lebat itu dia seperti mencari-cari di manakah letak makam ibunya di antara ratusan kuburan yang ada di tempat itu.

“Ya, aku memang tinggal di dekat sini, nak. Aku penjaga tanah makam ini...!" menerangkan si orang tua.

“Ah, kalau begitu kebetulan sekali!" ujar Mahesa.

“Kebetulan bagaimana?"

“Dengar, namaku Mahesa. Aku ingin kau mengingat-ingat masa sekitar delapan belas tahun yang silam...”

“Eh, kata-katamu terasa aneh, nak. Delapan belas tahun lalu tempat ini masih kosong melompong, istriku masih hidup, gigi-gigiku masih utuh. Ha ha Ha!”

“Pak tua, coba kau ingat. Sekitar delapan belas tahun silam itu, apakah pernah terjadi peristiwa aneh dan mengerikan di pekuburan ini?"

Orang tua itu menatap wajah Mahesa sejurus lalu menggelengkan kepala. "Aku tidak ingat. Tapi jika kau bisa menerangkan peristiwa mengerikan macam mana yang kau maksudkan, mungkin aku bisa mengingat-ingat...”

“Turut penuturan yang aku terima, ada seorang perempuan yang dipendam di sebuah makam tua di tempat ini!”

“Hai! ltu rupanya!" Orang tua itu sampai tersentak kaget. Rokok kawungnya terlepas dari sela bibir. "Aku ingat, memang benar. Delapan belas tahun lalu. Suatu malam hujan turun amat lebatnya. Seperti dan selebat saat ini. Paginya seorang anak penggembala kerbau menemukan sesosok mayat perempuan dalam sebuah kuburan tua yang longsor. Perutnya koyak besar. Tanah kuburan yang merah tambah merah oleh darahnya. Anak itu berteriak-teriak ketakutan. Orang banyak berdatangan. Termasuk aku!” Orang tua itu gelengkan kepala. Dia memandang ke arah kejauhan.

Mahesa merasakan dadanya sesak dan tenggorokannya tersekat. Lidahnya terasa kelu ketika dia menyuruh agar orang tua itu melanjutkan penuturannya.

"Ternyata perempuan yang malang itu adalah Wening Muriati, istri Randu Ampel, orang yang tak jadi menduduki jabatan Adipati Probolinggo...”

Sepasang mata Mahesa tampak berkaca-kaca.
“Kemudian bagaimana pak tua?"

“Semula orang banyak menyangka perempuan itu korban keganasan harimau yang pada masa itu memang banyak berkeliaran di sekitar hutan di sekeliling kota. Tapi keliru. Seingat semua orang Wening Muriati saat itu tengah hamil besar. Kini perutnya koyak dan bayi yang dikandungnya tidak ditemukan!"

Mahesa pejamkan mata. Air mata menggelinding di kedua pipinya. “Nak... nak..." Orang tua itu tepuk-tepuk paha Mahesa. "Nak, kenapa kau menangis sesenggukan?”

Mahesa menjawab, "Perempuan bernama Wening Muriati itu adalah ibuku. Dan Randu Ampel pastilah ayahku. Bayi yang lenyap dari perut itu adalah aku sendiri!"

Si orang tua melompat dari duduknya. Mukanya pucat dan tubuhnya bergetar. Dia seperti melihat setan.

“Tak ada yang perlu ditakutkan pak tua. Duduklah kembali...”

“Gusti Allah! Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana hari ini aku bisa bertemu dengan bayi yang lenyap secara aneh itu?!"

“Pak tua, kau tahu di mana Randu Ampel sekarang berada?"

Sampai beberapa lama penjaga makam itu tak bisa membuka suara selain memandang tak berkedip pada Mahesa. “Aku tidak tahu,..!" katanya kemudian. "Tak ada seorangpun yang tahu. Randu Ampel lenyap sejak mayat isterinya ditemukan di pekuburan ini. Rumah besarnya kini ditempati oleh istri muda Mangun Aryo, Adipati Probolinggo!"

Mahesa menggigit bibir.

“Nak, kalau kau memang benar anaknya Wening Muriati dan Randu Ampel, rumah besar itu adalah hakmu...”

Mahesa tak menyahuti. Dia datang ke Probolinggo bukan untuk mencari harta atau rumah, tapi untuk mencari ayahnya dan mengunjungi makam ibunya. Ternyata sang ayah lenyap tanpa rimbanya.

“Pak tua, apakah kau pernah mendengar seorang perempuan bernama Wilujeng?” bertanya Mahesa setelah membisu beberapa lamanya.

“Ah, tentu saja aku ingat nak. Karena bersamaan dengan ditemukannya mayat ibumu, penduduk juga heboh. Wilujeng lenyap bersama bayi perempuannya yang baru berusia satu tahun. Menurut penuturan suaminya, seorang nenek-nenek bertubuh bungkuk bermuka buruk yang menculik. Entah setan entah manusia. Setelah menunggu dan mencari selama enam bulan dan tak kunjung berhasil menemukan istri serta anaknya lelaki itu kemudian meninggalkan Probolinggo dan tak pernah kembali lagi. Namun enam bulan sesudah itu, tahu-tahu Wilujeng dan anaknya yang telah berusia dua tahun muncul di Probolinggo...”

“Bisakah kau menunjukkan di mana rumah perempuan itu?"

“Bisa saja. Tapi Wilujeng sendiri menurut kabar telah menjadi korban keganasan hantu-hantu penghisap darah ketika dia menyambangi seorang anaknya di sebuah desa yang jauh dari sini. Anaknya yang ikut bersamanya untung selamat. Dan kini dia sudah jadi remaja puteri. Kabarnya menjadi seorang ahli silat. Gadis itu tinggal sendirian di rumah orang tuanya. Tapi sering berkelana...”

Hujan masih turun dengan lebat.

“Setelah mayat ibuku ditemui orang, apakah dia lalu dikuburkan di sini?”

Orang tua penjaga pekuburan itu mengangguk. Dia menunjuk ke depan. "Kau lihat pohon kamboja paling tinggi di ujung sana, berbatasan dengan rimba belantara? Di situ ibumu kami kuburkan...”

Mahesa berdiri.

“Eh, kau mau ke mana nak?"

“Ke makam ibuku, pak...”

“Hari masih hujan. Apa tidak sebaiknya ditunggu sampai reda dulu?"

Tapi Mahesa mana mau menunggu? Dadanya sesak sejak tadi. Sekian lama dia memendam rasa, apakah niatnya untuk melihat makam ibunya akan terhalang hanya oleh hujan lebat? Setengah berlari dia menuju ke kuburan dibawah pohon kemboja itu. Orang tua penjaga kubur yang tadi melarang, kini malah ikut-ikutan menyusul berlari di belakang Mahesa.

“Yang ini kuburnya...!" kata orang tua itu begitu sampai di hadapan sebuah makam yang tanahnya sudah hampir rata, ditumbuhi rumput dan semak belukar liar.

Mahesa jatuhkan diri berlutut. Jari-jari tangannya menggapai tanah makam. Air matanya sederas hujan yang turun. Dalam hatinya panggilan ibu... ibu... ibu berulang kali disebutnya.

Penjaga kuburan tampak terharu. Diusap-usapnya punggung Mahesa seraya berkata, "Nak, jangan kau hanyut oleh perasaanmu. Mari kita bersihkan makam ibumu...!"

Kedua orang itu kemudian mencabuti rumput dan semak belukar liar yang tumbuh di atas dan samping-samping makam. Tanah kubur dinaikkan. Di luar sadarnya Mahesa mematahkan batang besar pohon kemboja dan menancapkan patahan ini di kepala makam, membuat si orang tua terkesiap kaget.

“Nak, kau ini siapa sebenarnya? Jika kau tidak mempunyai ilmu mana mungkin mematahkan batang besar itu...”

Mahesa tak menjawab. Dia kembali berlutut di hadapan makam ibunya. Kedua matanya terpejam. Dari sela bibirnya keluar kata-kata yang amat perlahan, tapi masih sempat terdengar oleh si penjaga kuburan.

“lbu, aku Mahesa anakmu datang mengunjungimu. Semoga Gusti Allah memberikan tempat yang paling baik dan senang untukmu di alam barzah sesuai dengan imbalan penderitaan yang kau alami sebelum meninggal. lbu aku berjanji untuk mencari dan membalaskan sakit hatimu atas orang yang telah menganiayamu. Aku berjanji akan mencari ayah. Ibu, aku ingin menamanimu di sini lebih lama. Tapi itu tak mungkin. Aku harus pergi. Mencari manusia penimbul malapetaka itu. Mencari ayah dan menjalankan tugas-tugas yang diberikan guru. Aku harus pergi. Maafkan anakmu ini ibu...!"

Mahesa lalu menciumi tanah makam itu. Ketika dia berdiri, pakaian putihnya penuh kotor oleh tanah merah. Perlahan-lahan dia memutar tubuh dan melangkah ke pintu pekuburan. Si orang tua terus mengikutinya sementara hujan masih terus turun dengan lebat.

Sebenarnya setelah mendengar kata-kata Mahesa di hadapan makam ibunya tadi penjaga kubur itu ingin mengatakan sesuatu. Yaitu bahwa orang yang memendam dan membunuh ibunya adalah ayahnya sendiri. Namun dia tak sampai hati. Disamping itu dia kawatir pemuda itu tak akan percaya, bisa-bisa dia akan mendapat kesulitan. Karenanya niatnya untuk bicara dibatalkannya. Kini mengikuti Mahesa sampai di tengah jalan, orang tua ini akhirnya bertanya.

“Nak, kau mau ke mana sekarang?' Sampai tiga kali orang tua itu bertanya baru Mahesa menjawab.

"Aku tak tahu, pak tua!”

“Bukankah kau tadi ingin melihat rumah perempuan bernama Wilujeng itu?"

Sesaat Mahesa berpikir, akhirnya berkata. "Kalau begitu kau antarlah aku ke sana...”

“Lewat sini nak," orang tua itu mendahului.

Setelah berjalan di bawah hujan lebat beberapa lama akhirnya mereka sampai di hadapan sebuah rumah sederhana. Pintunya terbuka.

“Kurasa ada orang di dalam!” kata penjaga kuburan itu. Kita masuk saja.

Namun baru mereka menaiki beranda, seseorang berpakaian kuning muncul dari pintu depan.

“Nak Kemala, ternyata kau ada di rumah. Aku mengantarkan tamu ini. Katanya dia ingin melihat rumahmu...”

Murid Kunti Kendil jadi terkesiap ketika dia melihat siapa yang berdiri di depannya. Bukan lain dara berbaju kuning yang dulu pernah ditolongnya dari manusia-manusia jahat Tiga Datuk Kembar Dari Bukit Akhirat!

“Saudari... Jadi kau... ujar Mahesa.

“Ya memang aku! Rupanya kau belum puas dan sengaja menguntit aku sampai kemari!" Sepasang mata dara memandang dari atas sampai ke bawah. Tiba-tiba...

Sret!

Dara yang bernama Kemala ini cabut pedangnya. Si penjaga kuburan yang datang mengantar Mahesa tentu saja terkejut dan melangkah mundur.

"Kalian sudah saling kenal?"

Mahesa bungkam. Tadinya dia gembira karena dara yang selalu diingat-ingatnya itu tidak terduga ditemuinya di rumah itu. Tapi hatinya menjadi hambar karena ternyata sang dara masih saja menunjukkan sikap seperti dulu. Kasar dan ketus.

“Aku tidak tahu kalau kau yang tinggal di sini!”

“Jangan dusta! Kalau tidak sengaja menguntit aku kemari tidak nanti kau muncul di sini”

“Nak Kemala... jangan salah sangka...”

“Pak tua, aku menghormatimu. Tapi jangan ikut campur. Kuharap kau tidak ikut bicara!"

Selesai membentak si orang tua Kemala berpaling pada Mahesa. "Katakan apa maksudmu mengikutiku sampai ke sini...?”

“Percuma, kuterangkanpun pasti kau tak percaya," jawab Mahesa. Kesedihannya sehabis dari makam ibunya masih belum pupus. Hatinya tambah terenyuh ketika sang dara memperlakukannya seperti itu. Saat itu hujan mulai reda. Mahesa memasukkan sejumlah uang ke dalam saku pakaian orang tua penjaga kuburan. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia tinggalkan rumah itu.

Setelah Mahesa pergi, orang tua itu sesaat memandang dara berbaju kuning, akhirnya pergi pula dari situ. Kemala hendak memanggil, tapi entah mengapa membatalkan niatnya.

Pada saat Mahesa berada di makam ibunya, semua yang terjadi di situ disaksikan oleh Wilani yang mengintai dari balik sebatang pohon besar. Selagi dia mengintai tiba-tiba Rangga muncul di sampingnya.

“Den Ayu, apa perlunya kau mengikuti pemuda itu sampai di sini berhujan-hujan. Kau harus pulang. Kau tak mau sakit bukan?"

Sebenarnya Wilani ingin memasuki pekuburan itu untuk mengetahui makam siapa yang dikunjungi Mahesa, tapi entah mengapa sekali ini dia mengikuti kata-kata kepala pengawal itu dan berlalu dari tempat itu. Sebaliknya Rangga diam-diam terus mengikuti Mahesa. Setelah Mahesa Edan meninggalkan rumah Kemala dia menemui orang tua penjaga kuburan, menariknya kesatu tempat dan memaksa orang tua ini memberi keterangan. Ketika kembali ke Kadipaten, Mangun Aryo menyambut kepala pengawalnya dengan sikap tidak sabaran.

“Barulah saja puteriku pulang basah kuyup. Kini kau juga muncul dengan basah kuyup. Lekas terangkan hasil penyelidikanmu!"

Rangga lalu memberikan keterangan. Mulai dari dia melihat Wilani bercakap-cakap dengan Mahesa di tengah jalan, sampai kunjungan pemuda itu ke pekuburan.

“Dari pekuburan pemuda itu menuju bekas rumah Wilujeng. Dia bercakap-cakap dengan gadis bernama Kemala. Kelihatannya antara mereka telah saling kenal sebelumnya. Tapi saat itu si gadis kelihatan marah dan mencabut pedangnya. Pemuda itu lalu pergi. Saya mencegat orang tua penjaga makam dan memaksanya memberi keterangan apa saja yang dibicarakan dan dilakukan Mahesa waktu di pekuburan. Ternyata pemuda itu mengunjungi makam Wening Muriati. Perempuan yang delapan belas tahun silam kematiannya menimbulkan kegegeran di Probolinggo ini.”

Adipati Mangun Aryo terkejut. Parasnya berubah. “Kau pasti sekali bahwa pemuda itu mengunjungi makam Wening Muriati, bukan makam orang lain?”

“Saya pasti sekali Adipati," menegaskan Rangga.

Mangun Aryo sesaat tampak berpikir-pikir. Lalu bertanya. "Ada hubungan apa pemuda itu dengan Wening Muniarti?”

“Menurut penjelasan si penjaga makam pemuda itu mengaku sebagai anak Wening Muniarti...”

“Kau tidak salah dengar Rangga?!" Suara Mangun Aryo bergetar dan Rangga melihat wajah Adipati itu berubah pucat.

“Tidak Adipati. Tidak mungkin saya salah dengar. Kalau Adipati tidak percaya, saya bisa membawa penjaga makam itu kemari...!"

“Tidak... tidak perlu,!" jawab Mangun Aryo. Dia melangkah mundar-mandir. "Kalau begitu dia adalah anak Randu Ampel! Luar biasa! Benar-benar tak dapat dipercaya! Siapa menyangka. kalau bayi itu hidup dan kini menjadi seorang pemuda... Ah, berbahaya. Berbahaya...”

“Apa yang berbahaya Adipati?" tanya Rangga.

Mangun Aryo sadar kalau dia sudah ketelepasan bicara. Dipegangnya bahu kepala pengawal itu lalu berkata, "Kau cari pemuda itu kembali. Katakan padanya bahwa dia harus meninggalkan Probolinggo dan tidak boleh kembali. Jika dia membangkang tangkap dan masukkan dalam penjara. Kau dengar Rangga?!”

“Dengar Adipati. Kalau boleh saya bertanya...”

“Kau tak perlu banyak tanya. Kerjakan perintahku!" bentak Mangun Aryo. "Bawa beberapa orang anak buahmu!"

Kepala pengawal itu menjura lalu cepat-cepat tinggalkan Kadipaten bersama dua orang anak buahnya. Atas petunjuk beberapa pejalan kaki akhirnya Mahesa sampai di hadapan rumah bekas kediaman kedua orangtuanya. Rumah ini sebuah rumah besar dengan halaman luas dan ditumbuhi sebatang pohon beringin besar didepannya.

Selagi dia tegak di bawah pohon beringin sambil memandang rumah besar itu dan membayangkan wajah ayah ibu yang tak pernah dilihatnya, tiba-tiba seorang perempuan muda muncul di serambi. Sesaat dia memandangi Mahesa dengan pandangan curiga. Kemudian dia berseru memanggil seseorang.

Yang keluar adalah seorang lelaki berpakaian serba hitam, bermuka bopeng. Perempuan muda yang berparas cantik itu bicara pada si bopeng ini dan menunjuk ke arah Mahesa. Si bopeng lalu melangkah cepat mendatangi Mahesa dan bertolak pinggang di hadapan pemuda itu.

“Gembel kotor!" tegurnya kasar, "Ada apa kau berdiri di sini. Kau hendak mencuri ya?"

Mahesa cabut rokok kawungnya. Asap yang ada dalam mulutnya dihembuskan ke muka si bopeng. Mahesa hampir tak percaya ketika menyaksikan apa yang terjadi. Si muka bopeng terhuyung-huyung ke belakang sambil menjerit dan tekap mukanya. Dari kedua matanya mengucur darah!

Murid Kunti Kencil tidak menyadari bahwa setelah mendapat tambahan tenaga dalam dari kakek muka tengkorak di candi tempo hari maka hembusan rokok yang dilakukannya tidak beda dengan hantaman keras.

“Astaga, kenapa anak setan ini!" ujar Mahesa heran. "Masakan dihembus asap rokok saja sampai mengucurkan darah!" Dengan rasa tak percaya dia menyedot rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke batang pohon beringin. Kini kembali dia melengak. Kulit pohon beringin itu pecah-pecah dan rontok. "Eh, gila!" seru Mahesa. 
Tiba-tiba... wut!

Mahesa merasakan siuran angin dari belakang. Pemuda ini membungkuk dan sebatang golok lewat di atas kepalanya. Ketika dia berpaling, yang menyerangnya ternyata adalah si muka bopeng tadi. Melihat serangannya tidak mengenai sasaran orang itu kembali menyerbu. Goloknya berputar-putar sebat sekali. Tapi tentu saja si bopeng ini bukan lawan Mahesa. Sekali menghantam, terdengar lagi pekik si bopeng. Goloknya lepas. Tulang lengannya retak.

“Gembel keparat!" teriak si bopeng. "Kau tidak tahu rumah siapa di sini! Sebentar lagi orang-orang Kadipaten akan meringkusmu dan menjebloskanmu dalam penjara! Keparat!" Habis berkata begitu si bopeng lalu lari ke jalan. Baru saja sampai di jalan, tiga penunggang kuda muncul.

“Rangga! Kebetulan kau datang! Seorang gembel menimbulkan keonaran di rumah istri muda Adipati. Mungkin juga hendak mencuri atau punya maksud jahat lainnya. Lihat, tanganku dipatahkannya! Mataku dibuatnya cidera!"

“Mana orangnya?!" tanya penunggang kuda di sebelah depan yang ternyata adalah Rangga dan dua anak buahnya.

“ltu di balik pohon!”

Ketika Rangga sampai di balik pohon beringin itu maka diapun berseru, "Aha! Dicari-cari di seluruh kota ternyata kau ada di sini anak muda! Dan berani kau membuat keonaran di rumah istri Adipati Probolinggo? Bahkan berani mencelakai seorang pengawal...!"

“Oh jadi si bopeng itu pengawal rupanya. Kukira jongos!" kata Mahesa seenaknya.

“Bangsat rendah! Ku robek mulutmu!" teriak si bopeng yang menjadi marah, tapi dia tak berani melakukan apa-apa.

“Anak muda, aku Rangga masih mau memberi ampun padamu. Lekas tinggalkan tempat ini. Minggat kau dari Probolinggo dan jangan sekali-kali berani datang lagi kemari!"

“Heh...? Mahesa hisap rokoknya dalam-dalam.

Si bopeng cepat berseru. "Rangga, awas asap rokoknya. Mataku tadi diciderainya dengan hembusan asap itu!"

Karena tidak menyaksikan sendiri tentu saja Rangga tidak percaya pada kata-kata si bopang.

“Ada hak apa kau menetapkan bahwa aku harus meninggalkan kota ini dan tak boleh kembali?!"

“Ini bukan soal hak atau apa! Ini perintah Adipati Probolinggo!"

“Begitu? Lalu kenapa Adipatimu itu mengeluarkan perintah begitu?!" tanya Mahesa pula.

“Anak muda! Jangan buat aku kehilangan kesabaran! Lekas tinggalkan tempat ini!" Suara Rangga menjadi garang.

“Aku tidak mau! Aku masih ingin tinggal sedikit lama di sini. Memandangi rumah besar itu. Dulu itu adalah rumah orang tuaku. Tapi Adipatimu merampasnya dan menghadiahkannya untuk istri mudanya! Bukankah begitu?”

“Pemuda kurang ajar. Mulutmu pantas kusumpal dengan golok ini!"

Tanpa turun dari kudanya kepala pangawal Kadipaten itu cabut goloknya dan tusukkan tepat ke arah mulut Mahesa.



Mahesa Edan Jilid 3

MAHESA EDAN
PENDEKAR DARI LIANG KUBUR
KARYA : BASTIAN TITO

Mahesa Edan jilid 3
(Ringkasan Jilid 2)
Dalam usahanya menyelamatkan dara jelita berbaju kuning, Mahesa bertemu dengan Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. Karena merasa menerima budi dari Mahesa, kakek aneh itu mengajarkan tujuh jurus ilmu silat orang buta. Di Bukit Akhirat Mahesa berhasil menemukan gadis baju kuning itu, menyelamatkannya dan membunuh nenek mesum Tjengkir Meni.

Di bukit itu pula Mahesa bertemu dengan pimpinan komplotan penghisap darah yaitu Datuk Iblis Penghisap Darah. Dalam perkelahian Mahesa ditolong oleh Malaikat Maut Berkuda Putih yang punya dendam kesumat dengan Datuk Iblis karena muridnya diculik dan diperkosa oleh Datuk itu. Dari Malaikat Maut Berkuda Putih diketahui kemudian bahwa Datuk Iblis itu adalah Lembu Surah, orang yang harus dicari sesuai dengan tugas yang diberikan Kunti Kendil.Hanya sayang Mahesa terlambat mengetahui dan sang Datuk sudah keburu pergi.

Tiga pengurus Pesantren Nusa Barung dibunuh oleh Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam. Kiyai Jalatunda yang datang untuk menghadapi manusia jahat itu dengan membawa Keris Naga Biru juga dikalahkan dan dalam keadaan sekarat setelah hanyut di kali Ngrowo ditemui oleh Mahesa. Untuk sementara Mahesa menyelamatkan dan memegang Keris Naga Biru. Justru karena senjata ini pula beberapa kali dia mengalami percobaan hendak dibunuh. Ternyata banyak orang-orang pandai di rimba persilatan yang menginginkannya. Diantaranya Karangpandan.

Dengan tipu muslihat licik Karangpandan berhasil meracun Mahesa hingga penuda itu kelak akan mati setelah empat puluh hari. Tetapi setelah menghajar Karangpandan Mahesa berhasil mengetahui obat penawar racun itu.

Karena sakit hati Karangpandan lalu datang ke Pesantren Nusa Berung dan memfitnah bahwa Mahesalah yang telah membunuh Kiyai Jalatunda serta mencuri Keris Naga Biru. Ketika barada di pesantren itu Karangpandan mencuri baberapa kitab ilmu silat dan banda-banda pusaka.

Termakan oleh hasutan Karangpandan, orang-orang pesantren kemudian menyusun rencana untuk menangkap Mahesa. Seorang tokoh silat dari Bali barnama Made Tantre dan bargelar Tangan Dewa Dari Klungkung karena persahabatannya dengan orang-orang pesantren ikut pula membantu.

1.    WAROK GETAH IRENG
Tangan Dewa dari Klungkung tersenyum jumawa, “Sahabatku, katanya menyambuti ucapan Ki Sandakan, “kau keliwat memuji. Ilmu ku cuma sejengkal, pengalamanku cuma secupak. Apakah sebenarnya yang telah terjadi dan melatar belakangi kematian tiga pengurus serta Kiyai Jalatunda?”

Ki Sandakan lalu menuturkan peristiwa itu mulai dari kemunculan Kunti Kendil yang datang untuk minta bantuan menangani persoalan Wirapati alias Iblis Gila Tangan Hitam. Kini dengan munculnya seorang lagi murid Kunti Kendil yang telah membunuh Kiyai Jalatunda, rimba persilatan benar-benar dalam keadaan gawat Made Tantre manggut-manggut tanda memahami.

“Memang kalau tidak dibereskan dari sekarang-sekarang, makin banyak orang-orang tak berdosa yang bakal jadi korban mereka. Kita harus menyusun rencana rapi karena yang bakal kita hadapi bukan orang-orang sembarangan.”

“Benar. Karena itu Karangpandan juga berusaha menghimpun beberapa tokoh silat yang dapat kita andalkan dan mau menberi bantuan,” jawab Ki Sandakan pula.

“Itu tidak sulit. Setahuku beberapa tokoh di dunia persilatan memang sejak lama mencari-cari Iblis Gila Tangan Hitam. Maksud baik untuk menyingkirkan angkara muka dari muka bumi ini pasti mendapat lindungan dan berkah para Dewa!”

Ki Sandakan mengangguk lalu mengundang tamunya itu masuk ke dalam bangunan besar guna menikmati sarapan pagi. Hatinya banyak terhibur kini. Kemunculan Made Tantre pasti banyak manfaatnya. Siapa yang tidak kenal dengan manusia berjuluk Tangan Dewa Dari Klungkung itu. Untuk daerah timur nama besarnya disegani kawan dan ditakuti lawan, terutama mereka dari golongan hitam bangsa penjahat dan yang salah jalan. Tokoh silat dari Bali ini memiliki ilmu silat tinggi yang langka di dunia persilatan.

Kita, tinggalkan dulu Pesantren Nusa Barung dengan segala persoalan sakit hati dendam kesumatnya. Kita ikuti kembali perjalanan Mahesa murid Kunti Kendil dari gunung Iyang yang baru beberapa bulan turun gunung tapi telah menemui banyak tantangan dan kesulitan.

Pagi itu Mahesa duduk di puncak sebuah bukit sambil menyaksikan pemandangan indah di lembah. Sawah menghampar luas di bawah sana. Para petani kelihatan tengah menanami padi baru. Disebelah timur sungai kecil mengalir ke ujung lembah. Burung-burung sawah dalam jumlah ratusan beterbangan berkelompok-kelompok. Jauh di sebelah depan kelihatan dua gunung bergandengan.

Walaupun kedua matanya memandangi semua keindahan itu namun pikirannya tidak tertuju ke situ. Ada beberapa hal yang menjadi buah pikirannya. Pertama entah kenapa dia kembali teringat pada gadis berbaju kuning yang pernah ditemuinya. Jelas sejak perpisahan di Bukit Akhirat tempo hari, dia merasa sangat jengkel terhadap gadis itu. Namun untuk melupakannya begitu saja benar-benar sulit bagi pemuda ini.

Hal kedua yang dipikirkannya ialah bagaimana mencari Wirapati dan Lembu Surah, sesuai tugas yang dibarikan gurunya kepadanya. Kemudian yang tak kalah terasa menyesakkan dadanya ialah hasrat untuk pergi ke Probolinggo guna menyelidiki asal-usulnya. Mungkinkah ayahnya masih di situ? Dapatkah dia mencari makam ibunya?

Lalu hal lain yang tak kalah pentingnya ialah persoalan Keris Naga Biru yang kini ada padanya. Demikian banyak orang yang menginginkan senjata itu. Bahkan mereka tak segan-segan untuk membunuhnya. Sebegitu jauh dia masih dapat menyelamatkan senjata tersebut dan juga menyelamatkan jiwanya.

Namun sampai berapa lama dia dapat menghadapi hal berbahaya seperti itu? Sampai kapan dia selalu bisa lolos dari lobang jarum kematian? Dan pemuda ini yakin betul kalau dia akan menghadapi lagi banyak kesulitan serta marabahaya sehubungan dengan adanya Keris Naga Biru itu padanya.

Sesaat dia ingat pada Karangpandan. Tiba-tiba dia menyingkapkan bajunya di bagian perut dan meneliti pusarnya. Warna hijau yang sebalumnya kelihatan pada pusar itu akibat racun jahat yang dimasukkan Karangpandan dalam panggang burung tempo hari kini sudah tak ada lagi. Berarti lelaki itu memang tidak menipu. Racun jahat itu telah sirna oleh tiga helai daun sirih yang dimakannya beberapa hari lalu. Ini membuat dia merasa lega.

Sebelum matahari naik lebih tinggi Mahesa tinggalkan puncak bukit itu, menuruni lembah dan akhirnya sampai di sebuah desa yang saat itu tengah mengadakan pesta sehubungan dengan pengangkatan kepala desa yang baru. Tentu saja ini merupakan satu keuntungan bagi pemuda itu karena tanpa mengeluarkan biaya dia diundang serta oleh penduduk untuk mencicipi makanan apa saja yang terhidang di sebuah lapangan.

Dari pembicaraan orang banyak yang didengarnya Mahesa mengetahui sebenarnya yang terpilih menjadi kepala desa adalah seorang ahli pembuat senjata bernama Empu Larangan. Namun sang empu menolak jabatan itu karena dia lebih senang dengan kesibukan melayani pesanan pembuatan senjata. Memang Empu Larangan terkenal sangat ahli dalam membuat berbagai senjata.

Selain buatannya bagus halus juga dapat dikerjakannya dalam waktu cepat. Demikian banyaknya pesanan yang diterimanya, kadang-kadang hampir tak dapat dilayani. Tidak mengherankan dia lebih suka akan pekerjaannya sekarang yang ditekuninya sejak kecil, daripada menjadi kepala desa. Setelah diadakan pemilihan sekali lagi maka terpilihlah orang lain menduduki jabatan itu.

Mahesa merasakan perutnya gembul. Berbagai makanan telah dihantamnya. Sejak turun gunung baru sekali ini dia melihat makanan demikian banyak, enak-enak dan sebelumnya tak pernah dilihatnya. Seseorang memberikannya sebuah tabung bambu.

“Apa ini tanya Mahesa?"

“Tuak, minumlah. Ini bukan sembarang tuak. Rasanya manis sejuk."

“Apa tuak itu?" Mahesa masih kepingin tahu.

“Sobat muda, kau minum sajalah. Tuak manis begini jarang ada!"

Mahesa lalu meneguk minuman itu. Memang terasa manis dan sejuk. “Ah, boleh juga." katanya. Lalu diteguknya lagi. Ketika habis setengah bumbung bambu tubuhnya terasa hangat dan enteng. Tapi lambat-lambat kepalanya terasa pusing.

“Heh, kau meracuni aku?!" tiba-tiba Mahesa membentak pada orang yang tadi memberinya minuman itu.

Yang dibentak malah tertawa. "Itu bukan racun. Itu tuak! Seharusnya kau tidak meneguknya sekaligus sampai setengah bumbung. Masih untung kau sudah makan banyak. Kalau perutmu kosong dan kau minum sebanyak itu, pasti sudah tadi-tadi kau ngaco!"

Beberapa orang yang ada di dekat situ ikut memandang Mahesa dengan tertawa.

“Anak setan!" maki Mahesa. Dia berdiri terhuyung-huyung, lalu melangkah ke bawah sebatang pohon rindang di tepi lapangan dan duduk di sana sambil memejamkan mata. 

Sementara itu di tengah lapangan berbagai pertunjukan telah dimulai. Orang yang datang semakin banyak. Bukan saja dari desa itu tetapi juga dari desa-desa tetangga. Mahesa tidak tahu entah berapa lama dia tertidur di bawah pohon itu ketika dia mendadak terbangun dan melihat penduduk yang berjubalan menghadiri pesta, berteriak dan berlarian kucar kacir dengan wajah ketakutan. Namun banyak diantara mereka yang tak berani meninggalkan lapangan dan berkumpul di tengah-tengah dengan paras pucat.

Mahesa menguap lebar-lebar lalu berdiri sambil kucak-kucak matanya. Kepalanya yang tadi pusing kini sudah tak terasa lagi. Dia memandang berkeliling. Apakah yang telah terjadi?

Di tengah lapangan, diatas sebuah meja besar yang penuh dengan makanan berdiri seorang lelaki tinggi besar berpakaian dan berikat kepala serba hitam. Tampangnya kasar galak, ditambah kumis melintang dan cambang bawuk yang lebat. Di pinggangnya tersisip sebilah golok.

Di samping si tinggi besar ini tegak dengan tubuh gemetar seorang lelaki berusia enam puluh tahun, berambut putih. Namanya Ki Kemitir. Dialah kepala desa yang baru terpilih setelah Empu Larangan menolak jadi kepala desa.

Di sekeliling lapangan tampak hampir tiga puluh lelaki yang semuanya berpakaian serba hitam dan menghunus golok. Tampang mereka rata-rata tak kalah buas dengan lelaki yang tegak diatas meja sambil menginjak makanan seenaknya.

“Semua penduduk desa Tegalsari dengar! Aku Warok Getah Ireng mau bicara!" Si muka garang diatas meja berkata nyaring. 

Suaranya keras dan jelas, terdengar sampai ke tempat Mahesa berdiri yang cukup jauh. Pertanda bahwa siapapun adanya manusia bernama Warok Getah Ireng ini dia memiliki tenaga dalam yang tinggi. Sambil berkata begitu Warok Getah Ireng letakkan golok besarnya diatas bahu kepala desa dengan bagian tajam menghadap ke leher sehingga semakin pucat dan semakin menggigillah kepala desa yang baru itu walau dulu kabarnya dia adalah seorang prajurit kerajaan yang cukup memiliki kepandaian silat.

Mahesa melangkah mendekati seorang anak lelaki yang tegak berlindung di balik sebatang pohon. Seperti yang lain anak ini pun kelihatan takut tapi tak berani lari dari situ. “Siapa orang berewokan yang tegak diatas meja itu?" bertanya Mahesa.

Si anak berpaling pada Mahesa. Sesaat wajahnya menunjukkan rasa heran. "Masakan tidak tahu...?" katanya.

“Aku memang tidak tahu. Aku bukan orang sini," menerangkan Mahesa.

Sebelum menjawab anak lelaki itu menoleh dulu ke kiri dan ke kanan, takut kalau-kalau ada yang mendengarkan pembicaraan mereka. “Orang berewok itu kepala rampok ganas. Namanya Getah Ireng!"

“Hemm...!" Mahesa menggumam sambil angguk-anggukkan kepala. Mahesa lalu memandang kembali ke arah tengah lapangan. Menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh Warok Getah Ireng, menunggu apa yang akan terjadi. Dan saat itu memang Getah Ireng kembali membuka mulutnya.

“Kalian penduduk Tegalsari telah mengadakan pemilihan kepala desa tanpa memberitahuku lebih dulu! Apa kalian Iupa atau berpura-pura lupa kalau desa ini salah satu daerah kekuasaanku?! Apapun yang terjadi di sini harus diberitahu dulu padaku!" Warok Getah Ireng delikkan mata dan menoleh pada Ki Kemitir.

"Kepala desa! Jawab pertanyaanku! Mengapa tidak memberitahu lebih dulu?!" Badan golok ditekankan Warok ke bahu kepala desa itu. 

Ki Kemitir semakin pucat, menggigil dan basah celananya. “Maaf Warok. Kami semua memang lupa. Ini tak disengaja Harap dimaafkan.” Suara kepala desa itu bergetar karena sangat takut.

“Lupa dan maaf!" bentak Getah Ireng lalu tertawa. Ketika suara tawanya lenyap dia kembali membentak, “Kurang ajar! Benar-benar kurang ajar! Seharusnya kugorok betang lehermu saat ini! Kubunuhi semua penduduk di sini!"

Ki Kemitir jatuh berlutut. ”Jangan Warok jangan bunuh kami”

“Berdiri!" hardik Getah Ireng.

Setelah kepala desa itu berdiri Warok Getah Ireng kembali pentang suara.

“Baik, aku Warok Getah Ireng akan maafkan apa yang telah terlanjur terjadi! Tapi dengar! Maaf itu tidak kuberikan begitu saja. Harus ada imbalannya. Sejak hari ini, setiap bulan orang-orangku akan datang menemui setiap penduduk desa. Kalian harus membayar sejumlah pajak! Ada yang berani membantah dan minta mampus?'

Tak ada yang buka suara. Bahkan bergerakpun penduduk desa Tegalsari itu seolah-olah takut.

“Sebagai bukti bahwa kalian tunduk dan mau membayar pajak, saat ini juga kalian harus serahkan uang, perhiasan, apa saja yang berharga. Siapa berani menolak akan kubunuh!"

Selesai sang Warok berkata begitu maka lebih dari tiga puluh anak buahnya yang ada di tepi lapangan mengeluarkan sebuah kantong hitam.

“Kepala desa kalian akan memberi contoh bagaimana jadi pembayar pajak yang baik!" berteriak lagi Warok Getah Ireng. Lalu dia ulurkan tangan kanannya yang besar dengan telapak terbuka. "Berikan apa saja yang kau bawa Saat ini. Uang! Dan copot cincinmu itu!"

“Warok…”

“Bangsat! Kau mau membantah?!" Bagian tajam dari golok ditempelkan ke leher kepala desa.

Dalam keadaan tak berdaya begitu rupa Ki Kemitir akhirnya menanggalkan cincin suasa yang dipakainya. Namun sebelum cincin itu diserahkannya pada Warok Getah Ireng, sesosok bayangan putih meIompat ke atas meja besar.

“Kepala rampok jahat! Penduduk disini orang-orang miskin! Kenapa kau tega merampok dan memeras!'


2.    PESTA BERDARAH
WAROK Getah Ireng dan juga semua penduduk yang ada di situ terkesiap kaget melihat ada orang yang berani bicara begitu serta meIompat naik ke atas meja. Memandang ke depan Warok Getah Ireng dapatkan kenyataan bahwa yang barusan berseru dan melompat adalah Empu Larangan, orang tua yang selama ini dikenal sebagai ahli membuat berbagai macam senjata.

Kepala rampok itu beliakkan mata. Dia memberi isyarat pada beberapa orang anak buahnya yang hendak menyerbu ke atas meja. Lalu tertawa gelak-gelak.

“Empu Larangan! Tak kusangka hari ini kau bisa berlagak menjadi pembela rakyat jelata! Kalau tak salah dengar kau tadinya tak mau jabatan kepala desa itu. Kini dengan berlagak sebagai pahlawan apa tergiur kembali oleh jabatan kepala desa?"

“Aku sudah tua dan tak inginkan jabatan apa-apa. Yang aku inginkan dan semua orang di sini inginkan ialah agar kau bawa anak buahmu. Tinggalkan desa ini dan jangan kembali lagi!" jawab Empu Larangan.

Kembali Warok Getah Ireng tertawa panjang. “Empu Larangan," katanya. "Baiknya kau pulang saja dan teruskan pekerjaanmu membuat pisau-pisau dapur!"

Merah padam wajah Empu Larangan. Tapi dia tetap kelihatan sabar. Warok Getah Ireng kembali membuka mulut mengejek.

“Atau mungkin kau sedang kekurangan pesanan. Kalau begitu biar aku berikan pesanan. Tolong buatkan tiga golok besar untuk pemotong kambing!"

“Warok, sudahlah. Pergi dari sini. Biarkan desa ini aman tenteram. Kami di sini hanya orang-orang miskin. Cari saja rezekimu di tempat lain!”

“Empu Larangan, kau berani memerintah dan mengajariku?" si kepala rampok kini kelihatan mulai kehilangan kesabarannya.

“Aku tidak memerintah dan tidak mengajar. Aku hanya minta dengan sangat. Apa yang kau lakukan bukan pekerjaan baik. Lebih bagus kau dan orang-orangmu mengabdikan diri pada Kerajaan menjadi prajurit-prajurit yang berbakti.”

“Oooo tua bangka ini memang pandai bicara. Kau meminta aku pergi, baiklah. Tapi bagaimana kalau aku minta dulu kepalamu?"

“Kepalaku ini tak ada harganya Warok," sahut Empu Larangan.

Seorang anak buah rampok itu tampaknya tak dapat menahan diri lalu melompat seraya menghunus goloknya. “Warok, biar aku yang tebas batang lehernya!"

Warok Getah Ireng tersenyum. "Kau anak buah yang baik. Biar aku omong-omong dulu dengan tua Bangka ini...!" jawab Getah Ireng lalu berpaling pada Empu Larangan. "Orang tua, jika kau merasa kepalamu tak ada harganya lebih baik kau menyingkir dari hadapanku. Dengan begitu umurmu bisa lebih panjang”

Empu Larangan gelengkan kepala. “Aku tak akan pergi dari tempat ini sebelum kau dan anak buahmu pergi lebih dulu”

Marahlah Getah Ireng. "Kalau begitu kau memang pantas dibunuh!"

Golok besar yang tadi diletakkan di atas bahu kepala desa tiba-tiba dikibaskan dan melesat menusuk ke dada Empu Larangan. Orang tua ini sama sekali tidak memiliki kepandaian silat. Namun dengan sigap dia masih bisa melompat ke samping untuk hindarkan dadanya. Akan tetapi sewaktu Getah Ireng memburu dengan serangan kedua berupa bacokan ke bahunya, orang tua ini tak mampu lagi berkelit.

Ki Kemitir berseru ngeri. Orang banyak juga tampak tegang. Satu jengkal lagi mata golok akan memutus buntung bahu kanan Empu Larangan tiba-tiba terjadilah satu hal yang membuat kaget semua orang, terutama Warok Getah Ireng dan anak buahnya. Sebuah batu sebesar kepalan melayang dari arah timur dan menghantam pergelangan tangan kanan Getah Ireng. Kepala rampok ini berteriak kesakitan dan terpaksa lepaskan goloknya. Empu Larangan selamat dari pembunuhan keji!

Sambil pegangi tangannya yang sakit dan mengucurkan darah Warok Getah Ireng berteriak marah. Semua anak buahnya sudah bersiap sedia, memandang ke jurusan datangnya lemparan batu, mencari-cari siapa pelakunya.

“Kurang ajar! Siapa yang berani membokong pemimpin kami secara pengecut! Lekas serahkan diri!"

Salah seorang anak buah rampok berteriak marah. Namun baru saja dia berteriak begitu sebuah benda melayang sebat dan masuk ke dalam mulutnya hingga tercekik megap-megap. Kalau tidak seorang kawannya lekas memukul tengkuknya, pasti dia akan kehabisan nafas. Pukulan tadi membuat benda yang ada dalam mulutnya termuntah ke luar dan jatuh di tanah. Ketika diperhatikan ternyata sebuah kue berbentuk bulat yang banyak terdapat dan dihidangkan di beberapa meja di lapangan pesta itu!

Meski kejadian itu cukup lucu untuk menjadi bahan tertawaan, namun suasana yang begitu tegang mencengkam membuat tak seorang pun berani tertawa ataupun tersenyum. Untuk beberapa lama suasana sunyi senyap.

Warok Getah Ireng memandang kian kemari dengan mata mendelik dan wajah membesi. Lemparan batu yang menghantam tangannya tadi datang dari arah kiri. Sedang lemparan kue yang mengenai anak buahnya dari sebelah depan. Sulit untuk mengetahui siapa pelakunya. Tapi kepala rampok ini tak kehilangan akal. Dia segera berteriak.

“Bangsat Kalian dengar! Aku akan menghitung tiga kali. Jika sampai hitungan terakhir orang yang melempar tidak maju menyerahkan diri, nyawanya tak akan kuampuni. Dan banyak korban yang akan berkaparan di lapangan ini! Satu!"

Getah Ireng mulai menghitung. Tak ada yang bergerak, apalagi maju ke arah kepala rampok itu. Getah Ireng menggeram dalam hati dan memandang berkeliling.

“Dua!" sang Warok berteriak keras. Tetap saja tak ada yang maju memunculkan diri. Setelah menunggu dengan gemas dan beringas Getah Ireng berteriak, "Ini kesempatan terakhir!"

Sama saja. Tetap tak ada yang bergerak. Dengan suara menggeledek kepala rampok ini meneriakkan hitungannya yang ketiga atau terakhir. “Tiga!"

Buk!

Warok Getah Ireng berteriak kesakitan sambil pegangi matanya sebelah kiri. Entah siapa yang melakukan, sebutir telur dilemparkan dan tepat mengenai mata kiri kepala rampok ini.

“Haram jadah!" Getah Ireng merasakan tubuhnya seperti mau meledak oleh amarah. Setelah usap-usap matanya yang terkena lemparan telur rebus tiba-tiba dia menubruk Ki Kemitir. Sebilah belati tahu-tahu sudah tergenggam di tangan kanannya dan ujung pisau itu ditempelkannya ke leher kepala desa Tegalsari, menggores sedikit kulit lehernya hingga mengucurkan darah! Ki Kemitir meringis kesakitan. Warok Getah Ireng tidak perdulikan dan malah berteriak.

“Jika tidak ada yang mau maju dan mengaku telah melempar, kepala desa kalian akan mampus detik ini juga!"

Semua orang terpaku tegang di tempat masing-masing. Dalam kesunyian yang menggantung begitu rupa tiba-tiba terdengar suara orang menguap lalu seorang pemuda berpakaian putih, berikat kepala juga putih melangkah ke arah meja dimana Warok Getah Ireng berada bersama Ki Kemitir dan Empu Larangan. Dia berjalan sambil mengupas kulit telur rebus dan berhenti di depan meja.

“Siapa kau?!" bentak Getah Ireng.

“Eh, bukankah tadi kau berteriak agar ada yang maju?"

“Keparat! Jadi kau yang melempar?"

“Aku tidak tahu. Karena kulihat tidak ada yang mau maju maka aku datang kemari untuk menjadi wakil! Apakah kau masih ingin sebutir telur lagi? Aku lebih baik dari si pelempar itu. Tadi memberikan telur masih berkulit padamu. Sedang aku sudah mengupaskannya!" Pemuda itu acungkan telur rebus yang barusan selesai dikupasnya.

Orang banyak menyaksikan peristiwa itu dengan tercengang heran. Siapa pemuda asing yang berani bicara bergurau seperti itu? Apakah otaknya miring berani berlaku begitu?

Di atas meja wajah Getah Ireng kelihatan merah mengelam. “Buyung sableng! Siapa namamu?!" sentak Getah Ireng.

“Namaku Mahesa!"

“Bunuh pemuda ini!" teriak Getah Ireng pada anak buahnya.

Empat orang anak buah rampok itu melompat. Karena yang mereka lihat hanyalah seorang pemuda kampung yang mereka duga kurang waras maka keempatnya menyerang Mahesa dengan tangan kosong. Namun apa yang terjadi kemudian membuat semua orang menjadi geger.

Keempat orang yang hendak membunuh Mahesa terpental sambil menjerit. Yang pertama muntah darah. Yang kedua ambrol tiga tulang iganya. Rampok berikutnya patah tulang lengannya sedang yang ke empat remuk tulang pinggulnya. Keempatnya berkaparan di tanah sambil merintih kesakitan.

“Bunuh Pergunakan senjata kalian! Tolol!" teriak Getah Ireng meledak marah.

Tiga anak buahnya dengan golok terhunus menyerbu. Mahesa cekal leher pakaian rampok yang tangannya patah dan mengangkat tubuh orang ini demikian rupa hingga melindungi dirinya sendiri. Tentu saja hal ini membuat tiga perampok bersenjata golok jadi bingung. Tak mungkin mereka bisa menyerang kecuali akan mencelakakan kawan sendiri!

Warok Getah Ireng habis kesabarannya. Belati di tangannya ditusukkannya ke leher Ki Kemitir. Tubuh yang mandi darah itu dilemparkannya ke tanah. Lalu dia melompat ke arah Mahesa. Selagi melayang di udara pisau belati yang berlumuran darah itu dilemparkannya ke punggung si pemuda. Mendengar ada sesuatu yang melesat ke arahnya Mahesa cepat menunduk. Belati besar menderu dan menancap di punggung rampok yang barusan dicekalnya.

“Setan alas!" teriak Getah Ireng lalu kirimkan tendangan ke arah Mahesa yang saat itu masih tegak membungkuk.

Mahesa jatuhkan diri ke tanah. Dari bawah dia kemudian tusuk betis Getah Ireng dengan dua ujung jari tangan kanannya hingga kepala rampok ini terpekik kesakitan. Kakinya sebelah kanan seperti kesemutan dan hilang rasa. Mahesa berdiri dan memandang mengejek pada kepala rampok itu.

“Manusia tolol! Kuberi telur maunya digebuk!" Lalu Mahesa caplok telur rebus yang tadi dikupasnya.

Tentu saja Warok Getah Ireng semakin menggelegak amarahnya. Kepala rampok yang ditakuti di daerah timur ini sambar golok salah seorang anak buahnya lalu menyerbu Mahesa dengan bacokan-bacokan ganas. Ternyata permainan golok kepala penjahat ini memang hebat. Golok itu benar-benar berkelebat menderu-deru, memaksa Mahesa untuk tidak main-main lagi menghadapi lawannya. Sementara itu lebih dari dua puluh anak buah rampok mengurung kalangan pertempuran dengan senjata siap di tangan.

Sepuluh jurus berlalu. Sambaran golok Getah Ireng makin ganas. Mahesa tampak terdesak namun sebegitu jauh tak sekalipun senjata lawan mampu merobek pakaiannya apalagi melukai tubuhnya. Di mata anak buah Getah Ireng kejadian ini adalah satu hal luar biasa. Sebelumnya mereka sudah sering menyaksikan, jika pimpinan mereka sudah mengamuk marah seperti saat itu maka lawan yang menjadi bulan-bulanan serangan goloknya pasti sudah terkutung-kutung tubuhnya. Salah seorang dari mereka memberanikan diri berteriak,

“Warok  Biar aku dan kawan-kawan yang mencincang pemuda itu!"

“Diam!" bentak Getah Ireng marah. Selain penasaran dia juga merasa dibuat malu oleh teriakan anak buahnya itu. Dengan menggembor tak kunjung henti dia teruskan menyerbu Mahesa, mendesak ke pinggiran meja.

Wut!

Mata golok menderu ke arah leher pemuda itu. Mahesa jatuhkan diri dan menyusup ke bawah meja besar. Dia berguling ke seberang sana. Begitu sampai di sebelah meja yang lain Warok Getah Ireng sudah menyerbu dengan Iompatan hebat. Mahesa sambar sebuah tetampah besar berisi berbagai macam makanan dan lemparkan ke arah kepala rampok itu. Puluhan kue berhamburan mengenai tubuh Getah Ireng.

Dalam marahnya kepala rampok ini langsung lemparkan goloknya ke arah Mahesa. Si pemuda berhasil mengelakkan dengan mudah namun golok yang dilemparkan melayang menghantam seorang penduduk desa. Orang ini roboh dengan perut tertembus golok!

Hal ini membuat murid Kunti Kendil sadar, kalau tidak segera dihajar kepala rampok yang sudah sering menyusahkan rakyat ini bisa menimbulkan celaka lebih besar lagi. Maka Mahesa memutuskan untuk membereskan lawan ini secepat mungkin. Namun saat itu di hadapannya dilihatnya Getah Ireng menyelinapkan tangan kanannya ke balik pakaian hitamnya. Ketika tangan itu dikeluarkan, dalam genggaman kepala rampok itu kini tergenggam sebuah senjata berbentuk rantai berwarna putih!

Anak buah Getah Ireng terkesiap. Jarang sekali pemimpin mereka mengeluarkan senjata andalan ini. Demikian hebatnyakah pemuda lawannya hingga terpaksa mengeluarkan rantai wesi putih?

3.    EMPU LARANGAN
MAHESA maklum kalau rantai besi yang ada di tangan kepala rampok itu pastilah bukan senjata sembarangan. Namun dia tidak mau menunjukkan sikap malah acuh tak acuh pemuda ini mengambil sepotong kue yang ada di atas meja di samping kirinya lalu memakannnya.

Rahang Getah Ireng nampak menggembung. Dia mulai putar-putar rantai besinya di atas kepala. Makin lama makin cepat, hingga mengeluarkan suara menderu dan menebar sinar putih. “Mampus!" teriak Getah Ireng. Rantai besi di tangannya berkiblat, menggebuk ke arah kepala Mahesa.

Pemuda ini cepat menyingkir dengan melompat ke kiri. Namun besi putih itu kembali datang memburu, cepat sekali. Getah Ireng tak mau memberi kesempatan. Sinar rantainya laksana air hujan, datang bertubi-tubi.

“Anak setan!" maki Mahesa. Dia dipaksa melompat kian kemari untuk menyelamatkan diri. Beberapa kali rantai itu menggebuk meja makanan hingga hancur berantakkan. Mahesa mengambil potongan kayu kaki meja dan pergunakan benda ini sebagai senjata. Namun dalam sekali gebrakan saja kaki meja itu hancur dihantam rantai wesi putih. Sekali waktu rantai besi itu menghantam sebatang pohon hingga patah dan tumbang. Mahesa jadi melengak juga melihat kehebatan senjata lawan dan mulai berpikir-pikir apakah perlu dia mengeluarkan ilmu silat orang buta. Berpikir begitu membuat dia lengah dan rantai besi lawan hampir saja menghantam bahu kirinya.

“Edan!" rutuk Mahesa.

“Anak muda! Pergunakan ini!" satu seruan terdengar.

Mahesa melirik. Yang berseru adalah Empu Larangan sambil melemparkan sebatang tombak besi. Namun selagi tombak itu melayang di udara, belum sempat dijangkau Mahesa, rantai besi di tangan Getah Ireng berhasil memotong dan menghantamnya hingga patah-patah berantakan.

“Pemuda keparat! Sebentar lagi kepalamu akan hancur oleh senjataku!" ujar Getah Ireng yang merasa mendapat angin. Kalau saja kaki kanannya tidak cidera oleh tusukan jari lawannya tadi dia yakin akan dapat menghajar lawannya lebih cepat.

Tiba-tiba Mahesa melihat patahan pohon yang tadi tumbang oleh hantaman senjata Getah Ireng. Batang pohon ini tidak seberapa besar namun ujungnya penuh dengan cabang-cabang dan ranting kecil yang ditumbuhi duri. Ketika digembleng oleh Kunti Kendil di puncak pegunungan Iyang, pemuda ini berhasil memiliki tenaga dalam dan tenaga luar yang ampuh. Karenanya tidak sulit bagi Mahesa untuk mengangkat patahan pohon itu.

Ternyata dengan mempergunakan patahan pohon tersebut sebagai senjata Mahesa bukan saja dapat menjaga jarak dari serangan rantai besi lawan, tapi sekaligus juga dapat mendesak Getah Ireng dengan sodokan-sodokan berbahaya. Kepala rampok itu putar senjatanya demikian rupa hingga sebentar saja ranting-ranting dan cabang pohon yang berduri menjadi patah berguguran.

Namun ketika satu sodokan ujung pohon yang sudah gundul itu dihantamkan Mahesa ke perutnya secara tiba-tiba, kepala rampok ini terlambat berkelit. Ujung pohon masih sempat menyerempet pinggangnya hingga pakaiannya robek dan tubuhnya cidera dalam parah di bagian pinggang sebelah kiri.

Seperti harimau luka Getah Ireng mengamuk. Dia kerahkan seluruh kepandaiannya. Tubuhnya berkelebat kian kemari. Rantai besinya menderu tiada henti. Namun batang pohon yang dipakai lawan sebagai senjata membuat dia sulit mendekati Mahesa. Dia mengambil keputusan untuk menghancurkan pohon itu lebih dulu Sebaliknya Mahesa sengaja menunggu. 

Ketika batang pohon yang di pegangnya tinggal pendek saja, tiba-tiba batang itu dilemparkannya ke arah Getah Ireng. Kepala rampok ini melompat ke samping sambil menggebuk dengan rantainya. Kesempatan justru dipergunakan oleh Mahesa untuk mengirimkan tendangan keras.

Kruk!

Getah Ireng terpekik. Pangkal lengannya sebelah kanan patah. Rantai putihnya jatuh tercampak di tanah. Dia tegak terhuyung-huyung menahan sakit. Beberapa anak buahnya hendak maju menyerang namun ragu-ragu. Apalagi saat itu dilihatnya banyak penduduk yang ada di situ mulai menunjukkan sikap hendak menyerbu dengan mencekal berbagai benda yang dipergunakan sebagai senjata. Melihat ini beberapa orang anggota rampok itu menyelinap melarikan diri. Menyaksikan kawan-kawannya kabur, yang lain pun menjadi takut dan ambil langkah seribu.

Akibatnya, tanpa dapat dicegah kemarahan penduduk ditumpaskan pada Getah Ireng. Puluhan orang datang menyerbu kepala rampok ini. Ada yang meninju dan menendang, ada yang memukul dengan kayu, melempar dengan batu dan menusuk dengan senjata tajam. Dalam waktu sekejap saja Warok Getah Ireng sudah terkapar di tanah dengan tubuh hancur, mengerikan untuk dilihat.

Selesai melampiaskan amarahnya, orang banyak tiba-tiba ingat pada Ki Kemitir, kepala desa mereka yang mati dibunuh Getah Ireng. Mereka segera mengerumuni mayat Ki Kemitir dan menggotongnya ke tepi lapangan. Mahesa yang merasa tak ada kepentingan lagi di tempat itu, apalagi perutnya sudah gembul, melangkahkan kaki untuk pergi. Namun seseorang menegurnya.

“Anak muda, kau mau pergi ke mana? Tunggu dulu!"

Mahesa berpaling. Yang menegur ternyata Empu Larangan. “Orang tua, ada apakah?" tanya Mahesa.

“Kau telah berjasa pada desa kami. Kau tak bisa pergi begitu saja sebelum kami mengucapkan terima kasih!"

Mahesa tertawa. "Aku tidak merasa telah berbuat jasa. Jadi kalian tak perlu berbasa basi menyampaikan terima kasih segala”

“Tunggu. Meski kau orang asing dan masih muda, tapi desa kami perlu orang seperti kau. Jika kuusulkan kau jadi kepala desa di sini, penduduk Tegalsari pasti setuju...”

“Empu, kau ini ada-ada saja," jawab Mahesa. "Apapun alasanmu aku tak mungkin memenuhi permintaanmu. Aku harus pergi”

“Ah sayang," Empu Larangan nampak kecewa. "Memaksamu tentu tak mungkin. Tapi barangkali kau ada satu permintaan...?"

“ltupun kurasa tak ada.”

Empu Larangan tersenyum lalu geleng-gelengkan kepala, “Anak muda, kulihat kau seorang yang bersifat terkadang lucu, terkadang aneh dan tak acuh. Tetapi melihat air mukamu aku tahu, kau banyak menghadapi kesulitan atau mungkin dugaanku salah?"

Mahesa tertawa. "Orang tua!" katanya. "Ternyata kau bukan cuma ahli membuat senjata, tapi juga pandai membaca air muka orang. Aku…" Mahesa tak meneruskan kata-katanya.

“Apakah yang hendak kau katakan anak muda?" Tanya Mpu Larangan.

“Mengingat kau ahli membuat senjata, aku bermaksud meminta tolong."

“Katakanlah apa yang bisa aku tolong. Mudah-mudahan aku dapat sebagai pembalas budi besarmu."

“Empu, kau memang benar. Akhir-akhir ini aku banyak mendapat kesulitan. Penyebabnya ialah sebilah keris mustika. Beberapa kali orang bermaksud mengambilnya dariku. Bahkan mereka tak segan-segan hendak membunuhku!”

“Apa yang ada di benakmu Mahesa? Bolehkah aku lihat keris yang kau katakan itu?"

“Baiklah. Mari…”

Mpu Larangan tinggal di sebelah timur desa Tegalsari. Karena dia hanya hidup sendirian, rumah yang memiliki tiga kamar itu tentu saja terlalu besar baginya. Di halaman belakang rumah terdapat sebuah beranda. Di sinilah terdapat tungku pelebur besi atau baja dan berbagai macam perkakas. Inilah tempat sang Empu mengerjakan pembuatan senjata.

“Nah, perlihatkanlah padaku keris itu." Berkata Empu Larangan begitu mereka sampai di beranda belakang.

Mahesa keluarkan senjata itu dan menyerahkannya pada Empu Larangan. Sesaat orang tua ini jadi terkesiap. Baru ini dia melihat sarung dan hulunya saja lidahnya sudah berdecak kagum. Belum pernah dia melihat ukiran senjata yang demikian halus dan rapi, apalagi bentuk kepala naga yang menjadi hulu senjata itu. Ketika dipegangnya ternyata senjata itu enteng sekali. Perlahan-lahan Empu Larangan cabut senjata itu dari sarungnya.

Tanpa diketahui oleh Mahesa maupun Empu Larangan, satu pantangan telah terjadi. Keris itu hanya boleh dicabut bilamana ada korban yang diinginkan. Kalau dicabut secara sembarangan maka dia akan meminta korban atau nyawa siapa saja!

Empu Larangan memandang tak berkesip ketika melihat sinar biru yang memancar dari badan keris yang berluk tujuh itu. Hawa dingin sejuk menjalar dari gagang keris, terus mengalir ke tangannya, terus ke sekujur tubuh. Perasaan orang tua ini kagum bercampur angker.

“Mahesa," katanya tanpa berpaling pada si pemuda, “ini bukan senjata sembarangan. Kurasa tak ada duanya di dunia. Darimana kau mendapatkannya?"

Mahesa Ialu menuturkan asal usul dari mana dia mendapatkan senjata itu. “Sebelum mati, orang tua yang memberikan senjata itu padaku berkata bahwa keris itu bernama Keris Naga Biru. Sejak keris itu ada padaku, beberapa orang berkepandaian tinggi berusaha merampasnya, bahkan tidak sungkan-sungkan untuk membunuhku. Sayang aku tidak tahu siapa nama orang tua yang memberikan senjata itu padaku, apalagi asal usulnya. Kalau saja aku tahu pasti akan kuserahkan pada pewarisnya yang berhak."

Empu Larangan mengangguk-angguk lalu sarungkan senjata itu kembali. Mahesa meneruskan keterangannya.

“Salah seorang yang sangat menginginkan senjata itu mengaku bernama Karangpandan. Katanya dia utusan dari kraton Surakarta. Katanya Keris Naga Biru itu adalah salah satu dari barang pusaka milik Keraton yang harus dikembalikam ke sana. Apa pendapatmu. Apakah pernah mendengar hal itu?"

Empu Larangan menggeleng. Setahuku Keraton Surakarta memang banyak memiliki benda pusaka. Puluhan, bahkan mungkin ratusan keris. Tapi tak pernah kuketahui ada Keris Naga Biru ini salah satu diantaranya. Aku pernah menerima beberapa kali pesanan dari sana”

“Apakah kau pernah mendengar nama Pangeran Ismoyo” Tanya Mahesa.

EMpu Larangan mendongak, berpikir-pikir. Inilah susahnya. Di sini juga terdapat banyak pangeran. Tapi seingatku tak ada pangeran bernama Ismoyo.”

“Nah kalau begitu Karangpandan berdusta! Pasti dia mempunyai maksud tertentu!”

Empu Larangan tersenyum. "Mahesa, kau masih muda. Ketahuilah di dunia ini banyak manusia yang punya maksud tertentu untuk kepentingan pribadi. Tak jarang mereka mengatasnamakan orang lain atau golongan lain. Apa yang akan terjadi mereka tak perduli. Pokoknya mereka berhasil mencapai tujuan. Terhadap orang-orang seperti ini kita perlu berhati-hati. Mereka lebih buruk dan lebih jahat dari Warok Getah lreng yang mati dikeroyok rakyat di tanah lapang tadi!"

Mahesa mengangguk. "Terima kasih atas nasihatmu, Empu. Menurutmu bagaimana baiknya dengan senjata itu?"

“Yah, tak ada jalan lain. Kau harus memegangnya terus. Sampai suatu ketika kau mengetahui siapa yang berhak dan menyerahkannya padanya.”

“Akupun berpikiran demikian. Namun justru dengan membawa keris itu ke mana-mana nyawaku selalu terancam. Karena akan selalu ada manusia yang menginginkannya. Untuk itulah aku ingin minta pertolonganmu Empu!”

“Aku akan menolong. Katakanlah apa maumu, Mahesa?"

“Tolong buatkan tiruan Keris Naga Biru sebanyak dua buah!"

Empu Larangan membelalak. Lalu dia tertawa gelak-gelak. “Anak muda! Kau cerdik. Aku mengerti maksudmu. Aku mengerti!"

“Tapi ada syaratnya Empu...!" ujar Mahesa pula.

“Eh, apakah itu?"

"Aku tak punya waktu banyak. Kedua keris itu harus selesai dalam waktu satu minggu."

“Mahesa! Kau tidak berolok-olok bukan?"

“Tidak Empu."

Empu Larangan menggeleng. Senjata itu keseluruhannya, sarung, hulu dan badannya merupakan rangkaian yang luar biasa. Tak pernah aku melihat senjata yang dibuat sedemikian baiknya. Kalau kau inginkan waktu satu minggu, tak sanggup aku melakukannya. Satu minggu satu pun kurasa aku tidak mampu!"

“Empu! Kau seorang ahli membuat senjata yang bukan sembarangan. Kau pasti bisa!”

“Tak mungkin Mahesa”

“Kalau begitu terpaksa aku membatalkan permintaanku”

Empu Larangan terdiam. Lalu berkata, Jika kau terus memaksa, aku akan usahakan sepuluh hari untuk dua keris itu. Kurang dari itu aku tak sanggup. Biarlah aku berhutang budi seumur-umur padamu!”

“Baiklah Empu. Aku setuju sepuluh hari. Berarti selama itu pula aku tinggal di rumahmu ini”


4. KORBAN PANTANGAN 
MALAM itu adalah hari ke enam Empu Larangan mengerjakan pembuatan tiruan Keris Naga Biru. Dia telah selesai membuat sarung dan gagang senjata. Jika di perhatikan walaupun pekerjaan Empu ini sangat rapi, tetap saja mutu ukiran sarung dan gagang keris tiruan itu tidak sehalus aslinya. Namun bagi orang yang tidak mengerti dan jika dilihat sepintas tentu tidak dapat membedakan mana yang asli dan mana yang tiruan.

Larut tengah malam Empu Larangan mulai mengerjakan tiruan dari badan keris berluk tujuh itu. Saat itu hujan rlntik-rintik turun. Udara agak dingin. Empu Larangan meIetakkan Keris Naga Biru tanpa sarung di atas sebuah batu besar di samping tungku pelebur besi. Mahesa duduk di sudut beranda yang agak gelap.

Selama enam hari ini dia boleh dikatakan tidak beranjak dari situ. Bukan hanya sekedar menyaksikan pekerjaan Empu Larangan, tapi sekaligus untuk berjaga-jaga. Cangkir kopi yang terletak di lantai sudah sejak tadi kosong. Pemuda ini mulai merasa mengantuk. Tapi untuk tidur tentu saja dia tidak mau ambil risiko.

Menjelang dinihari tiba-tiba terdengar suara rentak kaki kuda. Suara ini berhenti tepat di depan rumah Empu Larangan. Tak lama kemudian terdengar suara orang mengetuk pintu. Empu Larangan berpaling pada Mahesa. Pemuda ini anggukkan kepala. Ketika sang Empu melangkah mendekatinya dia berkata, "Lihat siapa yang datang. Tapi jangan sekali-kali bawa masuk ke tempat ini!"

Empu Larangan mengangguk dan melangkah ke depan rumah. Ketika pintu dibuka, dua sosok tubuh tinggi besar tegak di hadapannya. Empu Larangan hanya mengenali salah seorang dari tamunya ini. Orang ini adalah tangan kanan Adipati Jombang, bernama Rah Bulus. Banyak orang yang tidak senang dengan manusia ini karena sikapnya yang congkak dan kasar serta suka menurunkan tangan sewenang-wenang. Empu Larangan sendiri merasa tidak senang dengan kemunculan orang ini.

“Rah Bulus, ada apa kau datang malam buta begini?" tanya Empu Larangan.

“Ah orang tua, sungguh sikapmu tidak sopan sekali. Kau tahu aku datang dari jauh. Bukannya menyuruh masuk malah bertanya segala!" Ucapan Rah Bulus itu membuat Empu Larangan tambah tidak enak.

“Aku letih dan butuh istirahat”

“Kau tidak senang dengan kedatanganku Empu? Katakan saja!" Nada suara Rah Bulus mengancam.

“Aku tidak mengatakan begitu”

“Lalu?! Kau bilang letih Empu. Banyak kejadian besar rupanya sejak beberapa waktu yang lalu”

“Apa maksudmu Rah Bulus? Adipati menyuruh aku datang kemari sehubungan dengan kematian Warok Getah Ireng”

“Apa hubungan kematiannya dengan diriku?"

Rah Bulus tertawa. Dia mendorong tubuh Empu Larangan ke samping lalu masuk ke ruangan dalam. Kawannya melangkah mengikuti. Empu Larangan cepat mengejar dan memintas jalan mereka.

“Kau ingin tahu hubungan kematian Getah lreng dengan dirimu? Ketahuilah kau harus mempertanggungjawabkannya. Paling tidak memberi keterangan. Berdasarkan keterangaan Adipati Jombang akan memutuskan tindakan apa yang akan diambil terhadapmu!"

“Tapi bukan aku yang membunuh kepala rampok itu. Rakyat yang merajamnya! Dan kematian itu pantas diterimanya. Kejahatannya sudah lewat takaran. Dia merampok dan membunuh di mana-mana”

Plak!

Satu tamparan melayang ke pipi orang tua itu. Empu Larangan tersungkur. Sambil berpegangan pada sebuah kursi dia berusaha untuk bangun.

“Jangan bicara tentang rakyat. Jangan bicara tentang kejahatan! Walaupun Getah lreng manusia jahat namun di kawasan Kadipaten Jombang ini tak ada seorang pun yang boleh main hakim sendiri! Kau dengar itu orang tua?!"

Empu Larangan tidak menjawab. Dia masih tertegun sambil mengusapi pipinya yang terasa panas dan sakit.

“Empu, kau dengar baik-baik kata-kataku. Pada saat Ki Kemitir mati, kau menjadi sesepuh desa Tegalsari dan bertanggung jawab atas setiap kejadian di desa ini. Warok Getah lreng dibunuh secara sewenang-wenang! secara biadab!”

“ltu akibat yang harus ditanggungnya sendiri! Kau tahu perampok ganas macam apa dia!"

“Kalau orang Iain bertindak ganas, kita tidak boleh melakukan hal yang sama. Di Kadipaten Jombang ini Adipati yang menentukan segala-galanya.“

Empu Larangan tak menjawab Iagi. Percuma dia menukas. Sudah sejak lama semua orang diam-diam mengetahui bahwa antara Warok Getah Ireng dan Adipati Jombang terdapat hubungan keji. Kabarnya Adipati itu dan kaki tangannya menerima separuh dari hasil kejahatan yang dilakukan Warok Getah Ireng dan anak buahnya. Dengan matinya kepala rampok tersebut dan hancurnya gerombolannya maka berarti lenyap pula pemasukan sang Adipati.

“Empu, malam ini juga kau harus ikut aku ke Jombang!”

“Tidak mungkin Rah Bulus."

“Eh, kenapa tidak mungkin?"

“Aku sedang banyak pekerjaan!" Empu Larangan tiba-tiba sadar kalau dia ketelepasan bicara.

“Ha ha ha! Tadi kau bilang letih dan butuh istirahat. Sekarang kau katakan banyak pekerjaan. Aku mau tahu pekerjaan apa yang tengah kau lakukan!" Lalu Rah Bulus melangkah ke ruangan belakang. Empu Larangan berusaha mencegat tapi tubuhnya dilemparkan ke dinding.

Ketika sampai ke beranda tempat pembuatan senjata, serta merta pandangan Rah Bulus terpaku pada sebilah kerls yang terletak di atas batu dan memancarkan sinar biru.

“Astaga Senjata mustika apa ini?" seru Rah Bulus kaget dan kagum. Sekali lompat saja dia sudah sampai di hadapan batu dimana Keris Naga Biru terletak. Namun sesosok tubuh cepat sekali menghadangnya dan berdiri di hadapannya. Rah Bulus kaget dan marah.

“Bangsat! Siapa kau!" sentak tangan kanan Adipati Jombang itu.

“Kunyuk besar! Mulutmu enteng sekali memaki aku bangsat!"

“Setan alas! Kau belum tahu siapa aku! Makan tinjuku ini!"

Rah Bulus hantamkan tinju kanannya. Tapi hanya mengenai tempat kosong karena Mahesa sudah lebih dahulu mengelak. Sebetulnya sebagai tangan kanan Adipati Jombang Rah Bulus memiliki kepandaian tinggi. Namun amarah membuat dia melancarkan pukulan tanpa diperhitungkan hingga mudah dielakkan lawan.

“Rah Bulus!" kawan Rah Bulus berseru. "Bukankah pemuda ini yang kita cari?"

Rah Bulus tersentak. ”Kau benar!"

“Kalau begitu biar aku yang meringkusnya! Kau bereskan urusan dengan Empu Larangan!" Habis berkata begitu kawan Rah Bulus yang bernama Kuni langsung melompat ke hadapan Mahesa.

"Anak muda! Kau mau menyerah secara baik-baik atau perlu kupatahkan dulu tangan kakimu?"

“Anak setan! Tak ada pasal tak ada lantaran kenapa kau hendak menyerangku?" tanya Mahesa.

“Kentut busuk! Gara-garamu penduduk Tegalsari membunuh Getah Ireng secara biadab. Belum lagi anak buahnya yang tewas dan cidera!"

“Oho begitu? Melihat nada bicaramu agaknya ada hubungan tertentu antara orang-orang di Kadipaten Jombang dengan komplotan rampok itu!"

“Bangsat! Rupanya kau minta digebuk!" Dengan beringas Kuni menyerbu Mahesa.

Sementara itu setelah Kuni melompat ke hadapan Mahesa, Rah Bulus kembali alihkan perhatiannya ke Keris Naga Biru yang ada di atas batu. Namun saat itu Empu Larangan bergerak lebih cepat. Keris itu dengan sigap disambarnya.

“Empu, berikan keris itu padaku...!" kata Rah BuIus.

“Tidak, ini bukan punyamu!"

“Heh, aku tidak akan mengambilnya. Hanya mau melihat!" jawab Rah Bulus.

“Apakah tidak cukup melihatnya dari tadi?"

“Tua bangka sialan! Jangan bikin aku marah!"

“Rah Bulus! Bawa kawanmu pergi dari sini. Kalau tidak aku akan berteriak maling! Nasibmu tak akan beda dengan Getah Ireng!" Empu Larangan mengancam.

Rah Bulus tertawa. "Berteriaklah. Aku mau dengar. Berteriaklah yang keras!"

Tiba-tiba lelaki tinggi besar ini melompat sambil ulurkan tangan kanannya untuk merampas Keris Naga Biru. Empu Larangan lari ke kanan namun tangannya masih kena tersambar jari Rah Bulus. Keris yang dipegangnya tersentak ke atas, menoreh kulit lengan Rah Bulus.

“Tua bangka keparat! Kubunuh kau!" teriak Rah Bulus. Tangannya yang tergores keris terasa perih dan panas. Tangannya sebelah kanan ini mendadak seperti lumpuh. Lelaki tinggi besar ini menjadi pucat. Dia memandang dengan mata melotot pada Empu Larangan yang tegak dengan keris di tangan. Pemandangannya berkunang-kubang bahkan mulai gelap.

“Mataku buta! Mataku buta! Aku tak dapat melihat!" teriak Rah Bulus.

Tentu saja teriakannya ini mengejutkan Kuni. Baru saja dia bergerak hendak mendekati Rah Bulus, satu jotosan menghantam mulutnya. Kuni merasakan panasnya darahnya sendiri. Bibirnya pecah. Beberapa buah giginya rontok.

Mahesa jambak rambut lelaki itu. 'Bawa kawanmu itu. Pergi dari sini dan jangan kembali. Berani kembali kalian akan kubunuh!"

Dalam keadaan tak berdaya, dengan susah payah Kuni memapah Rah Bulus keluar dan menaikkannya ke atas kuda. Keduanya meninggalkan rumah Empu Larangan selagi hari masih gelap.

Empu Larangan terduduk di lantai baranda. 'Mahesa, apa yang kita lakukan sekarang? Mereka pasti kembali!"

“Berapa lama perjalanan dari sini ke Jombang pulang balik?” bertanya Mahesa.

“Tiga hari tiga malam kalau berkuda.”

“Kalau begitu kau harus menyelesaikan pembuatan dua bagian tubuh keris tiruan itu dalam waktu tiga hari. Setelah itu kau harus menyingkir dari sini sampai keadaan aman.”

Empu Larangan hanya bisa menarik nafas dalam. Tanpa berkata apa-apa dia kembali ke tempat pekerjaannya.

* * *

KETIKA sampai di Jombang Rah Bulus telah menjadi mayat. Sekujur tubuhnya tampak membiru, kaku dan dingin. Kuni langsung menemui Adipati yang saat itu tengah kedatangan seorang tamu penting. Semula dia hendak marah karena merasa terganggu. Namun setelah Kuni memberi tahu kematian Rah Bulus, dengan kaget Adipati itu segera keluar dari ruangan.

Tamunya, seorang kakek tua bewajah pucat yang pakaiannya hanya berupa selempang kain putih mengikuti. Meski tua tapi gerakan orang ini nampak gesit. Jenazah Rah Bulus dibaringkan diatas sebuah ranjang kayu. Sesaat setelah meneliti jenazah anak buahnya itu Adipati Jombang...

(Halaman 48-49 Hilang)

“Siapa pula ini... kata Mahesa dalam hati. "Tak mungkin orang dari Kadipaten Jombang”

Tiba-tiba bayangan orang di dalam gelap itu kelihatan mengangkat tangan kanannya. Sebuah benda kemudian melesat dan menancap di pintu depan. Ketika Mahesa berpaling lagi ke jurusan gelap dimana orang itu tadi berada, ternyata dia sudah lenyap.

“Aneh!" kata Mahesa. Dia cepat berdiri. Dia tak bermaksud mengejar karena percuma saja. Pemuda itu melangkah ke pintu. Ketika diperhatikan benda yang menancap itu adalah sebatang paku besar. Dibagian ekornya pada seuntai benang terikat selembar kertas. Mahesa mencabut paku itu, membuka lipatan kertas. Ternyata disitu tertera sederetan tulisan. Mahesa membawa kertas itu ke bagian rumah yang agak terang dan membaca apa yang tertulis.

Muridku Mahesa
Sejak kau meninggalkan puncak Iyang banyak hal yang telah kau alami. Ternyata dunia persilatan kini berbeda dengan dunia persilatan dimasa aku muda dulu. Dunia persilatan sekarang jauh lebih ganas, kejam dan busuk. Dunia persilatan kini dipenuhi oleh manusia-manusia berhati keji.
Aku tak ingin kau mendapat celaka. Karenanya aku perlu memberikan banyak tambahan nasihat serta penjelasan. Untuk itu kau harus datang ke Pesantren Nusa Barung pada hari dua belas bulan Sura. Aku akan ada disana. Ingat bulan Sura hari ke dua belas!

Kunti Kendil

Untuk beberapa lamanya Mahesa tegak termenung. Memang benar sejak dia meninggalkan tempat kediaman gurunya banyak hal dan pengalaman telah ditemuinya. Dan akhir-akhir ini keselamatannya selalu terancam. Tapi apakah benar gurunya yang menulis surat itu? 

Siapakah orang yang tadi melemparkan paku dan surat itu dari kegeIapan? Melihat sosok tubuhnya yang terbungkuk-bungkuk memang mirip sosok tubuh Kunti Kendil. Namun aneh mengapa sang guru menyampaikan pesan dengan cara seperti itu. Kenapa tidak langsung menemuinya sendiri?

“Ah, nenek itu memang aneh. Mungkin itu sebabnya dia tak mau menemuiku!" membathin Mahesa walaupun sebenarnya hatinya masih meragu. Surat dan paku itu disimpannya dibalik pakaian lalu dia masuk ke dalam. Di ruang belakang Empu Larangan nampak sibuk menyelesaikan pekerjaannya dengan tekun.

“Empu, aku mengganggumu sebentar..." menegur Mahesa.

“Ya, ada apakah?" tanya sang Empu tanpa berpaling.

“Kau tahu Pesantren Nusa Barung."

“Pernah kudengar nama Pesantren itu?”

“Kau tahu letaknya?"

“Kenapa kau bertanya begitu? Kau mau kesana...?"

“Entahlah, Mungkin sekali!"

Empu Larangan berpaling dan memandang sejurus pada Mahesa lalu melanjutkan pekerjaannya kembali. Sesaat kemudian dia berkata, ”Menurut kabar Pesantren itu terletak di muara Kali Bondoyudo. Beberapa tokoh agama menjadi pemimpin dan pengurus Pesantren itu. Aku tidak ingat nama-nama mereka. Selain ahli dalam bidang agama, orang-orang Pesantren Nusa Berung juga mendalami ilmu silat. Tingkat kepandaian mereka tidak rendah. Hanya itu yang aku tahu!"

Mahesa manggut-manggut.

“Aku harus menyelesaikan pekerjaan ini dengan cepat. Jadi jangan ganggu lagi.”

“Ya, ya. Aku tak akan mengganggu lagi," jawab Mahesa lalu kembali berjaga-jaga di serambi depan rumah. Jika orang-orang Kadipaten Jombang bertindak cepat, paling tidak besok sore mereka baru sampai di desa itu. Kalau Empu Larangan dapat menyelesaikan pekerjaannya besok siang, lalu mengungsikan kakek itu ke satu tempat dia baru merasa lega.

Selagi Mahesa merenung-renung begitu tiba-tiba dia mendengar suara hiruk pikuk di kejauhan. Memandang ke luar, ke arah gelapnya malam yang hendak memasuki pagi itu, Mahesa melihat langit di timur desa kemerah-merahan. Tak berapa lama terdengar teriakan-teriakan

"Api... Api Kebakaran... Kebakaran!"

Ada pula Orang yang berteriak "Petugas-petugas Kadipaten mengamuk! Petugas-petugas Kadipaten membakar rumah penduduk!"

Mahesa tersentak kaget. Benarkah orang-orang Kadipaten Jombang yang membakari rumah penduduk? Bagaimana mereka bisa datang secepat itu? Pasti sebentar lagi mereka akan datang kesitu. Mahesa lari ke dalam, menemui Empu Larangan.

“Empu, orang-orang Kadipaten Jombang sudah datang. Mereka membakari rumah-rumah penduduk di sebelah timur desa!"

“Celaka! Bagaimana mereka bisa datang secepat itu?" seru Empu Larangan kaget sekali.

“Siap-siaplah! Sebentar lagi mereka pasti muncul disini!" Mahesa mengambil Keris Naga Biru, memasukkannya ke balik pinggang pakaian.

"Baru satu keris yang jadi, kau ambillah!" kata Empu Larangan seraya menyerahkan Keris Naga Biru tiruan yang baru sebuah sempat diselesaikannya. "Aku berjanji untuk menyelesaikan dan menyerahkan yang satu lagi nanti!"

“Kau tak usah pikirkan itu Empu. Yang penting sekarang kau harus cepat-cepat pergi. Selamatkan dirimu. Aku akan menunggu mereka disini!"

Empu Larangan bukannya segera angkat kaki malah gelengkan kepala dan berkata, "Ini rumahku. Hidup matiku disini. Kalau aku harus mati, aku harus berkubur disini...!”

“Jangan tolol!" bentak Mahesa. "Lekas pergi!"

“Tidak!"

Hampir saja Mahesa hendak memaki orang tua itu dengan kata-kata  anak setan. Di luar sana terdengar derap kaki kuda banyak sekali. “Mereka sudah datang," desis Mahesa. 

Empu Larangan melompat mengambil dua buah senjata. Sebatang tombak pendek dan sebilah pedang bermata dua.

“Empu, kau tetap disini!" Biar aku yang keluar!' kata Mahesa.

Di luar tiba-tiba terdengar seseorang berteriak. “Empu Larangan! Rumahmu sudah terkurung! Lekas keluar serahkan diri! Serahkan Keris mustika itu!"

Mahesa lari menuju serambi depan. Empu Larangan yang disuruh tetep di belakang malah mengikuti ke luar. Mahesa tak dapat menghalangi lagi karena 
mereka sudah terlihat oleh orang-orang yang datang. Rombongan orang-orang kadipaten Jombang berjumlah lebih dari dua puluh orang. Mereka semua menunggangi kuda. Lebih dari separuhnya membawa obor di tangan kanan. Paling depan kelihatan Kuni bersama seorang kakek bermuka pucat yang mengenakan pakaian selempang kain putih yaitu Loh Jingga.

Kuni yang sebelumnya pernah dihajar Mahesa segera berbisik pada kakek muka pucat di sebelahnya, Pemuda inilah yang jadi biang kerok timbulnya huru hara hingga Warok Getah Ireng mati ditangan penduduk.

“Hemmm... Loh Jingga bergumam. "Hanya seekor tikus cecurut, tak perlu ditakutkan," kata si kakek menganggap rendah.

Kuni kembali membuka mulut. "Empu Larangan! Kami datang untuk menangkapmu serta pemuda ini. Atas nama Adipati Jombang semua yang bersalah harus dihukum. Seluruh rumah penduduk Tegalsari ini akan kami bakar! Dan kau harus menyerahkan Keris Naga Biru itu! Lekas serahkan!”

Kalian manusia-manusia jahat yang lebih biadab dari binatang!" teriak Empu Larangan. "Kalian tidak berhak menangkap siapapun disini. Tidak berhak menghukum penduduk yang tidak bersalah!"

“Tidak berhak?!” ujar Kuni. Orang ini lalu tertawa beringas. "Kalian telah membunuh Warok Getah Ireng dan mencelakai beberapa anak buahnya. Apa itu bukan tindakan biadab? Lalu kalian juga telah membunuh Rah Bulus, pembantu kepercayaan Adipati Jombang! Apa masih ada alasan mengapa Adipati Jombang tidak harus turun tangan menghukum kalian?!"

“Kuni, lebih baik kau bawa anak-anak buahmu pergi. Kalau tidak kutembus kau dengan tombak ini!" teriak Empu Larangan tanpa rasa takut.

Kembali Kuni tertawa. "Tua bangka gila! Kalau kau tidak segera menyerahkan Keris Naga Biru dan bersedia kami bawa ke Jombang, maka rumahmu dan seluruh rumah penduduk disini akan kami bakar!"

Mahesa maju beberapa langkah. “Kalau Keris Naga Biru itu kami serahkan apakah kau dan orang-orangmu bersedia pergi? Membatalkan panangkapan dan tidak melakukan pembakaran?”

Kuni sesaat tertegun. Loh Jingga membisikkan sesuatu kepadanya. Kuni kemudian menjawab, "Baik, serahkan senjata mustika itu. Lalu kami akan pergi!"

Mahesa mengambil Keris Naga Biru tiruan dari balik pinggangnya.

“Mahesa! Jangan percaya pada mulut manusia itu!" mengingatkan Empu Larangan. 

Tapi Loh Jingga saat itu sudah merampas senjata tersebut dari tangan Mahesa. Sesaat kemudian kakek muka pucat ini dan Kuni tertawa gelak-gelak.

“Kuni, kau tunggu apa lagi? Perintahkan anak buahmu membakar rumah Empu itu dan semua rumah penduduk. Jangan repotkan dirimu menangkap kedua monyet itu. Sesuai pesan Adipati bukankah tujuan utama kita mendapatkan Keris Naga Biru!”

Mendengar itu Kuni mengangguk. Dia mengangkat tangannya memberi isyarat pada anak buahnya. Lima buah obor serta merta dilemparkan ke atap rumah Empu Larangan. Lebih selusin petugas-petugas Kadipaten berpencar meleparkan api ke rumah-rumah penduduk. 

“Manusia rendah! Janji kalian ternyata tak dapat dipercaya!" teriak Mahesa marah.

Kuni tertawa galak-gelak. Loh Jingga membedal kudanya. Mahesa berusaha menghalangi tapi Kuni memapas gerakkannya seraya membabatkan golok yang ada di tangan kanannya. Lima orang petugas lainnya ikut menyerang Mahesa, sementara beberapa lainnya menyerbu Empu Larangan. Mehesa jadi naik darah.

'Kuni, gigimu yang rontok kuhajar masih belum tumbuh, kini kau membuat ulah baru. Kau akan rasakan akibatnya!" teriak Mahesa. Dia rundukkan kepala menghindari bacokan golok lalu secepat kilat tarik kaki kanan lawan hingga Kuni terbetot jatuh dari atas kudanya. Selagi tubuhnya melayang Mahesa sudah hantamkan kaki kanannya.

Prak!

Kepala Kuni pecah. Nyawanya melayang sebelum tubuh mencium tanah. Beberapa perajurit Kadipaten yang menyerbu Mahesa menjadi ngeri menyaksikan hal itu dan bersurut mundur. Di samping kiri terdengar pekik Empu Larangan. Mahesa berpaling dan melihat orang tua itu dalam keadaan terluka bahu kirinya dikerubuti empat petugas Kadipaten.

Sekali lompat Mahesa memukul roboh dua pengeroyok. Yang dua lainnya dihajar dengan tangan kiri kanan hingga berkaparan pingsan. Mahesa cepat membawa Empu Larangan ke tempat aman.

Orang-orang Kadipaten yang sudah kehilangan pimpinan mereka, apalagi Loh Jingga saat itu sudah kabur lebih dulu dengan Keris Naga Biru, merasa tak ada gunanya lagi berlama-lama ditempat itu. Beberapa orang berteriak memberi tanda. Mereka kemudian meninggalkan tempat itu sementara rumah-rumah penduduk musnah di makan api, termasuk rumah Empu Larangan.

* * *

ADIPATI Jombang menyambut kedatangan Loh Jingga di tangga Kadipaten. “Kau datang lebih cepat dari yang diperkirakan. Mana yang lain-lain?" tanya sang Adipati begitu Loh Jingga turun dari kudanya.

“Mereka akan menyusul. Apapun yang terjadi dengan mereka tidak usah dipikirkan Adipati. Yang penting kita sudah mendapatkan senjata mustika itu,  kata Joh Jingga.

“Ya, ya. Perduli setan dengan mereka. Jadi kau berhasil mendapatkan Keris Naga Biru itu?" tanya Adipati Jombang.

“Tentu!"

“Sahabatku Loh Jingga! Kau memang Iihay dan cerdik!" kata Adipati Jombang seraya memeluk kakek muka pucat. Keduanya lalu masuk ke dalam. Di sebuah ruangan Loh Jingga mengeluarkan senjata mustika itu dan menyerahkannya pada Adipati Jombang.

“Senjata sakti mandraguna! Senjata mustika! Aku akan jadi tokoh hebat dalam dunia persilatan!" seru Adipati Jombang setengah bersorak.

Sret!

Adipati Jombang cabut keris itu dari sarungnya. Dua pasang mata membelalak. Dua buah kening mengerenyit. Adipati Jombang berpaling pada Loh Jingga.

“Sehabatku. Ternyata senjata ini tidak sehebat seperti yang kudengar. Katanya badan keris mengeluarkan sinar biru. Kau lihat sendiri! Mana sinar biru yang dahsyat angker itu?!"

Sesaat Loh Jingga tak dapat berkata apa-apa. Dia tertegak dengan mulut menganga dan mata terbuka lebar. “ini keris palsu!" katanya keras tapi dengan lidah agak kelu. “Kita tertipu!"

“Kita tertipu!" desis Adipati Jombang mengulang Loh Jingga. "Siapa yang menipu kita, Loh Jingga?"

"Siapa yang menipu kita?" ujar Loh Jingga seraya berpaling menatap pandangan mata tajam Adipati Jombang.

“Apa maksudmu? Aku melihat bayangan rasa tidak suka pada air mukamu dan pada nada suaramu?"

“Ya, ya! Memang aku tidak percaya. Siapa yang telah menipu kita. Katakan!"

“Siapa lagi kalau bukan Empu Larangan dan pemuda keparat bernama Mahesa itu."

Adipati Jombang menyeringai. “Mungkin memang mereka berdua. Tapi mungkin juga engkau!"

“Astaga! Kau menuduhku Adipati?!" seru Loh Jingga dengan muka merah.

“Keris Naga Biru senjata nomor satu dalam dunia persilatan. Siapapun menginginkannya. Karenanya segala sesuatu bisa terjadi. Segala tipu muslihat bisa kejadian."

“Adipati, sepuluh tahun lebih kita bersahabat. Tidak kusangka hatimu bengkok begitu. Sampai menuduhku!"

“Sepuluh tahun lebih kita bersahabat. Memang betul Loh Jingga. Aku juga tak menyangka kalau hatimu seculas itu!"

“Tapi aku tidak menipumu! Senjata itu yang kurampas dari tangan si pemuda!"

“Dan kau tukar dengan yang palsu. Yang asli kau sembunyikan! Bukankah Rah Bulus dulu pernah menerangkan bahwa ketika dia datang ke rumah Empu Larangan, ahli senjata itu kelihatan seperti tengah membuat senjata tiruan!"

“Apapun keterangan Rah Bulus bisa saja disangkut-pautkan. Yang jelas hanya senjata itu yang kudapat dan itu pula yang kuserahkan padamu!!"

Adipati Jombang menghela nafas dalam. Sambil tersenyum sinis dia berkata. “Baiklah sahabatku. Aku memang tidak punya cukup bukti untuk menyatakan bahwa kaulah yang telah menipu. Kau boleh ambil keris palsu ini. Silahkan pergi. Dan jangan kau berani menginjak Kadipaten Jombang seumur hidupmu!”

Tubuh Loh Jingga bergetar mendengar ucapan itu. Keris Naga Biru palsu diambilnya. Lalu dia berkata, "Persahabatan tidak sulit didapat, tapi permusuhanpun tidak pula sukar dicari. Kau telah menganggapku sebagai penipu, berarti sebagai musuh. Kau ingat, tali persahabatan kita dulu bukan aku yang meminta, tapi kau yang mengemis ketika kau minta bantuan agar membujuk Sri Baginda supaya kau dapat jadi Adipati. Hari ini jasa baikku itu kau lupakan, malah menuduhku sebagai penipu. Alangkah pendeknya jalan pikiranmu. Alangkah cupaknya isi hatimu. Tapi tidak apa. Hari ini aku pergi meninggalkan seorang sahabat dengan penuh rasa sakit hati. Dan rasa sakit hati ini tak akan pulih seumur hidupku!"

Habis berkata begitu Loh Jingga lalu gerakkan kedua tangannya. Keris yang ada dalam pegangannya patah tiga. Senjata itu kemudian dibantingkannya ke lantai mar-mar. Lalu kakek muka pucat ini tinggalkan ruangan itu tanpa berpaling lagi.

5. DIHADANG MUKA PUCAT. LAGI-LAGI PAKU BERSURAT

MAHESA meninggalkan desa Tegalsari dengan berbagai perasaan. Penduduk desa di bawah pimpinan Empu Larangan yang masih belum sembuh dari lukanya telah memintanya untuk tidak meninggalkan Tegalsari. Bukan saja karena penduduk di situ menginginkannya jadi kepala desa, tetapi dengan adanya pemuda itu di sana mereka merasa terlindung. Karena bukan mustahil dengan terbunuhnya Kuni serta beberapa petugas Kadipaten, orang-orang Kadipaten akan kembali datang menyerbu.

Memang berat bagi Mahesa untuk meninggalkan Tegalsari apalagi penduduk yang dicekam rasa takut itu berada dalam keadaan menderita akibat rumah-rumah mereka dibakar. Namun jika terlalu menimbang dalam maka kepentingan sendiri tidak akan terselesaikan. Mahesa ingat salah satu nasihat gurunya: "Jangan biarkan perasaanmu mengalahkan pikiran". Maka bagaimanapun tidak tega rasa hatinya akhirnya Mahesa memutuskan untuk pergi.

Dalam perjalanan dia menghitung-hitung telah sekian lama dia meninggalkan puncak Iyang dengan dua tugas utama yang satupun masih belum berhasil dilaksanakannya. Yaitu mencari Wirapati serta Lembu Surah. Hal lain yang selalu ingin dilakukannya ialah mencari jalan menuju Probolinggo guna menyelidiki asal-usulnya.

Dia tak pernah melupakan cerita gurunya Kunti Kendil tentang bagaimana dia dilahirkan dari seorang ibu yang dipendam dalam sebuah kuburan tua. Dia tidak pernah melupakan ibu susunya yang menurut si nenek bernama Wilujeng.

Pikirannya jadi campur aduk bilamana ingat akan Keris Naga Biru yang selalu mendatangkan marabahaya itu dan kini terselip di pinggangnya, berdampingan dengan Keris Naga Biru tiruan serta senjatanya kayu hitam berbentuk papan nisan kuburan! Lalu bila dia ingat pula akan surat aneh yang dikirimkan gurunya agar dia datang ke Pesantren Nusa Barung, mau tak mau Mahesa menjadi bingung. Mana yang harus dilakukannya lebih dulu? Ke mana dia harus pergi?

Pemuda ini akhirnya memutuskan bahwa dia harus pergi ke Probolinggo. Jika dia sudah mengetahui asal-usulnya, jika dia sudah bertemu dengan ayahnya atau sanak kadangnya, jika dia sudah melihat kubur ibunya mungkin dia akan bebas dari beban bathin yang berat itu. Selanjutnya mungkin dia akan lebih leluasa untuk melakukan dua tugas yang diberikan Kunti Kendil.

Untuk menuju Probolinggo jalan terdekat ialah melewati Jombang, terus ke arah timur menyusuri pantai. Mengingat apa yang terjadi di Tegalsari sebenarnya Mahesa merasa kurang aman memasuki Jombang. Setelah memikir masak-masak akhirnya dia memutuskan untuk memasuki kota itu malam hari. Dan ternyata memang aman, dia tak mendapat halangan apa-apa.

Namun sewaktu dia melewati hutan kecil di utara Mojoagung, mendadak sesosok tubuh berkelebat dari balik sebatang pohon besar, menghadang di jalan berdebu. Mahesa hentikan larinya. Memandang ke depan dia kenali siapa orang yang mencegatnya itu, Kakek pucat Loh Jingga!

Setelah dituduh menipu dan diusir Oleh Adipati Jombang, kakek ini menjatuhkan dendam kebenciannya pada Mahesa. Pemuda inilah yang telah menipunya, memberikan Keris Naga Biru tiruan yang tentunya pasti hasil buatan dari Empu Larangan.

Dan secara kebetulan Loh Jingga melihat Mahesa di tepi kota sebelah selatan. Melihat pemuda ini berlari laksana angin, Loh Jingga maklum kalau orang yang dihadapinya itu memiliki ilmu tinggi. Dia tidak berani bertindak gegabah. Secara diam-diam dia menguntit dari belakang. Jauh setelah Mahesa meninggalkan Jombang, di tepi hutan Mojoagung itu, baru dia memunculkan diri menghadang.

“Kakek muka pucat! Kau rupanya," tegur Mahesa. “Kau menghadangku yang sedang jalan. Katakan apa maksudmu baik atau buruk?"

Loh Jingga menyeringai. “Kalau kau tanyakan apakah maksudku baik atau buruk maka jawabku adalah kedua-duanya!"

“Apa maksudmu?" tanya Mahesa tak mengerti.

“Baik, karena aku bersedia mengampunimu. Buruk kalau kau tidak mau menyerahkan Keris Naga Biru yang asli padaku!"

“Lagi-lagi Keris Naga Biru!" kata Mahesa sambil mendengus,

“Kau dengar baik-baik Ucapanku! Karena tipuanmu persahabatanku dengan Adipati Jombang menjadi berantakan. Aku dituduh mencuri senjata yang asli, itu saja sudah cukup bagiku untuk memuntir tanggal kepalamu!"

“Kalau kau yang sudah tua bangka begini masih kena tipu, itu adalah ketololanmu sendiri!"

“Jangan banyak mulut! Serahkan Keris Naga Biru padaku!"

“Aku tidak membawa senjata itu. Empu Larangan yang menyimpannya!”

Loh Jingga tertawa. "Aku tak bisa kau tipu untuk kedua kali. Serahkan senjata mustika itu. Atau aku harus mengambilnya sendiri bersama nyawamu!"

“Sudahlah, aku harus melanjutkan perjalanan. Harap menyingkir."

Loh Jingga gelengkan kepala. Sepasang matanya kelihatan seperti menyala. "Jika kau tetap membandel, keris itu akan kurampas bersama nyawamu!"

“Kakek, melihat pakaianmu yang berupa kain putih tak berjahit dan diselempangkan demikian rupa, aku yakin kau seorang yang mendalami agama. Tapi aneh, orang beragama semacammu menginginkan benda yang bukan hak miliknya...”

“Lalu apakah Keris Naga Biru itu milikmu?!" bentak Loh Jingga.

“Aku tidak pernah ingin memiliki sesuatu yang bukan kepunyaanku!”

“Nah, nah... Kalau begitu lekas serahkan senjata itu. Kau boleh pergi dengan aman, tak kurang suatu apa, dengan nyawa masih di badan!"

Mahesa berpikir-pikir, apakah dia akan menyerahkan lagi satu-satunya Keris Naga Biru tiruan yang saat ini ada di pinggangnya, lalu meninggalkan kakek muka pucat itu. Agaknya sekali ini, walaupun diberikan keris yang palsu si kakek pasti tak akan menduga dia akan ditipu. Kalaupun nanti dia sadar kena ditipu lagi maka dia sudah berada jauh dari tempat itu. Tapi Mahesa punya pertimbangan lain. Setelah menguap lebar-lebar pemuda ini berkata,

“Kalau kau memang inginkan Keris Naga Biru mari kita sama-sama menemui Adipati Jombang.”

Loh Jingga kaget. Tapi juga heran. "Kenapa harus menemui Adipati itu?!" tanyanya.

“Karena senjata itu telah dirampasnya sewaktu aku memasuki Jombang!"

“Dusta! Aku telah menguntitmu terus menerus sejak kau muncul di selatan Jombang!"

Sadar tipuannya tidak mengena Mahesa akhirnya berkata, “Kakek, aku tak punya waktu lama untuk bicara melantur denganmu. Kau mau memberi jalan atau tidak?!"

“Aku telah bersedia mengampuni nyawamu jika kau mau menyerahkan keris sakti itu! Ternyata kau memang tidak mau diurus. Bersiaplah untuk mampus!"

Dari balik pakaiannya Loh Jingga keluarkan sebuah benda. Ketika tangannya digerakkan terdengar suara seperti petir menyambar. Sesuatu melesat ke arah Mahesa. Karena tak menyangka pemuda ini tak sempat menghindar. Pakaiannya robek di sebelah depan. Kulit dadanya luka memanjang mengucurkan darah. Benda di tangan Loh Jingga ternyata sebuah cemeti berbentuk cambuk kuda. Mahesa menggigit bibir menahan sakit. Darah mudanyapun meluap rahangnya menggembung.

“Tua bangka keparat! Manusia rakus! Kau tak lebih dari garong kesiangan yang harus kugebuk!" Mahesa angkat tangan kanannya untuk lepaskan pukuIan, namun secepat kilat cambuk di tangan Loh Jingga berkelebat dan kali ini tepat menggulung lengan kanan Mahesa. Lalu dengan mengerahkan tenaga dalamnya kakek itu betot cambuknya. Biasanya lawan yang tergulung seperti itu lengannya pasti akan tanggal atau putus. 

Tapi dia menjadi terkejut ketika dilihatnya Mahesa justru memutar lengannya yang tergulung demikian rupa hingga sisa cambuk yang terbentang antara dia dengan pemuda itu menjadi pendek, dan ketika dia membetot ke depan. Selagi dia terpelanting kaget begitu rupa Mahesa pukulkan tangan kirinya.

Loh Jingga kaget bukan main ketika mendengar ada angin deras yang menderu ke arahnya. Cepat kakek ini jatuhkan diri dan terpaksa lepaskan cambuknya. Dia bergulingan di tanah. Ketika berdiri dilihatnya tanah di sampingnya telah membentuk lobang dalam akibat pukulan tangan kosong pemuda itu tadi.

Si kakek jadi tambah pucat mukanya. Tidak disangkanya sama sekali kalau pemuda ini bukan saja memiliki ilmu silat tinggi, tapi juga menyimpan pukulan sakti mengandung tenaga dalam tinggi. Dari pada mencari perkara lebih jauh yang mungkin bakal mencelakainya lebih baik dia melupakan saja keinginan untuk memiliki Keris Naga Biru saat itu.

“Mahesa, kalau kau tak mau menyerahkan senjata mustika itu saat ini, tak jadi apa!" kata Loh Jingga pula. "Tapi ingat, kemanapun kau pergi akan selalu kukuntit hingga kau tidak pernah merasa aman!" Loh Jingga lalu putar tubuh.

“Tua bangka butut! Tunggu dulu, hutang nyawa bayar nyawa, hutang budi bayar budi, hutang gebukan bayar gebukan berikut bunganya!" berseru Mahesa.

Seumur hidupnya dia tak pernah memegang cambuk. Ternyata tidak terlalu susah baginya untuk menggunakan senjata itu. Setelah membuat dua kali putaran Mahesa hantamkan cambuk itu ke kaki Loh Jingga. Si kakek yang baru saja bergerak hendak lari jadi terserimpung dan jatuh terjungkal menelungkup di tanah.

Dalam keadaan begini rupa Mahesa mendera punggung dan pantat si kakek empat kali berturut-turut hingga Loh Jingga menjerit kesakitan. Susah payah dia bangkit berdiri dan kembali lari. Mahesa lemparkan cambuk ke depan. Benda ini bergulung di leher Loh Jingga. Penasaran kakek ini balikkan tubuh dan hantamkan kedua telapak tangannya ke arah Mahesa.

Wus! Wus!

Dua gelombang angin menerpa hebat. Mahesa merasakan tubuhnya terhuyung dan cepat melompat ke samping sebelum dua gelombang angin itu melanda tubuhnya. Di belakangnya terdengar suara berderak. Tiga pohon patah dan tumbang terkena hantaman pukulan itu. Ketika berpaling lagi ke kiri, Loh Jingga sudah lenyap. Hanya tetesan-tetesan darahnya yang masih tertinggal di tanah akibat punggung dan pantatnya yang koyak dihantam cambuknya sendiri!

Mahesa dudukkan diri di bawah sebatang pohon besar dan menyeka darah yang keluar dari luka di dadanya. Ternyata luka itu cukup dalam. Dia terpaksa menotok beberapa bagian tubuhnya agar darah berhenti mengucur.

“Kakek sialan!" maki Mahesa kesal dan kesakitan. Baru saja dia habis memaki begitu tiba-tiba sebuah benda melayang dan menancap di batang pohon, sejengkali atas betok kepalanya! Pemuda ini kaget dan cepat melompat. Sepasang matanya berputar liar. Dia hanya melihat dedaunan liar di depan sana bergoyang-goyang, namun tak tampak seseorangpun. Akhirnya dia berbalik dan mendekati pohon tempat dia duduk tadi. Di situ, di batang pohon itu dilihatnya menancap sebuah paku dan sehelai kertas yang terikat dengan benang.

“Surat itu lagi! kata Mahesa dalam hati. Direnggutnya kertas itu. Ketika lipatan dibuka di situ terdapat tulisan berbunyi:

Muridku Mahesa,
Jangan lupa. Hari dua belas bulan Sura.
Kau harus datang ke Pesantren Nusa Barung.

Kunti Kendil

Mahesa keluarkan surat terdahulu yang disimpannya, ketika dibandingkan bentuk tulisan pada kedua surat itu sama.

“Aneh, apakah benar guru yang menulis surat ini?" pikir Mahesa. “Tapi mengapa penyampaiannya begini rupa? Mengapa tidak mau menemuiku. Siapa orang yang melemparkan paku bersurat ini. Dia sendiri atau seorang suruhannya!”

Pemuda ini hanya bisa menarik nafas dalam dan akhirnya tinggalkan tepi hutan Mojoagung itu.


6. TENGKORAK BADAN JERANGKONG
SEJAK MATAHARI tenggelam hujan gerimis turun. Malam cepat sekali datang dan kegelapan menghantui di sepanjang jalan yang ditempuh Mahesa. Akhirnya pemuda ini terpesat memasuki rimba belantara sementara hujan gerimis mulai membesar. Murid Kunti Kendil mengomel dalam hati karena sampai saat itu belum mendapatkan tempat untuk berteduh. Pakaiannya mulai basah kuyup oleh air hujan campur keringat.

Di dalam rimba belantara dia menemukan sebuah jalan kecil. Mahesa ikuti jalan ini sampai akhirnya di sebuah pedataran liar muncul sebuah reruntuhan bangunan candi laksana hantu menghadang perjalanannya. Mahesa segera menuju ke sini. Bagian atap candi itu ternyata hanya tinggal separuh. Mahesa berteduh di bawah reruntuhan atap ini.

Hujan turun makin lebat. Kilat menyambar, guntur menggelegar. Setiap kilat menyambar, Mahesa dapat melihat bahwa dipertengahan candi, hanya sekitar dua meter dari tempatnya tegak berteduh terdapat sebuah arca besar berbentuk gajah bertubuh manusia. Di malam yang gelap, di bawah hujan lebat dan udara yang dingin mencucuk tulang itu, memperhatikan arca besar itu cukup mengundang rasa ngeri.

“Masih jauhkah Probolinggo?" pikir Mahesa. Dia sudah meninggalkan Jombang lebih dari tujuh hari lalu. Namun masih belum menemui pantai. Turut penjelasan orang-orang yang ditanyanya di tengah jalan, jika dia terus menuju ke timur laut dia akan sampai di pantai dan dari situ langsung mengambil jalan sepanjang pantai ke arah timur, maka dia akan sampai di Probolinggo.

Pegal berdiri, Mahesa duduk di lantai, bersandar ke dinding candi. Hujan mulai reda tapi guntur masih menggelegar sesekali dan kilat masih sabung menyabung. Cuping hidung Mahesa tampak kembang kempis. Dia membaui sesuatu di sekitar reruntuhan candi itu. Dia coba mengingat-ingat.

“Bau rokok! Ya bau rokok! Rokok kawung! Aneh! Siapa pula yang merokok di tempat ini?"

Dia tidak melihat seorang lainpun di situ. "Jangan-jangan setan. Tapi apakah setan juga merokok? Gila!" rutuk Mahesa seraya berdiri dan memandang berkeliling. Perutnya terasa lapar dan bau rokok kawung itu membuat perutnya tambah keroncongan.

Sementara itu hujan sudah berhenti. Langit mulai terang dan rembulan setengah lingkaran muncul di balik awan. Sekali lagi kilat menyambar. Bumi terang seketika. Mahesa memandang ke arah arca gajah. Saat itulah untuk pertama kalinya dia melihat ada asap yang mengepul dari bagian bawah arca batu itu.

“Mungkin ada sumber air panas sekitar candi ini, pikir si pemuda. Tapi hati kecilnya membantah sendiri. Kalau memang ada sumber air panas, mengapa asapnya menyebar bau rokok kawung?!”

Dengan penuh rasa ingin tahu tetapi juga agak bergidik murid Kunti Kendil itu melangkah menghampiri arca gajah itu. Lapat-lapat dia mendengar suara dari bawah arca itu. Tak jelas suara apa. Lalu asap rokok kawung semakin banyak yang keluar dari celah batu sebelah bawah. Mahesa ulurkan kedua tangannya menyentuh arca. Dingin dan basah, lalu dia berlutut dan meneliti. Asap rokok kawung itu ternyata memang keluar dari celah sebelah bawah, antara badan arca dengan landasan batu tempat kedudukannya.

“Aneh, benar-benar aneh!" kata si pemuda. Lalu tak sengaja dia mengetuk-ngetuk arca itu di bagian perut.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan lain, dari sebelah bawah dalam. Mahesa dekatkan telinganya ke arca dan mengetuk lagi. Sesaat kemudian terdengar ketukan balasan.

“Setan atau manusia atau binatangkah yang ada di dalam perut arca ini?! Apakah ada ruangan kosong dalam arca?!"

Penasaran Mahesa bardiri kembali dan kini dia coba dorong-dorong badan arca itu. Dorongan ini membuat celah di bagian bawah jadi membesar dan asap rokok tampak mengepul ke luar lebih banyak.

“Kalau tak kupecahkan rahasia yang terkandung di tempat ini biar aku tak beranjak dari sini!" Lalu Mahesa kerahkan tenaganya untuk mendorong arca gajah itu. Sampai keringat sebesar butir-butir jagung meleleh di keningnya, arca tersebut hanya bergeming sedikit sekali.

“Anak setan!" maki murid Kunti Kendil. Kini dia kerahkan tenaga dalamnya. Sampai beberapa kali mencoba, arca yang beratnya ratusan kati itu tetap tak bisa bergeser. Mahesa terduduk di lantai candi. Dia pernah berkelahi belasan jurus. Tapi Ietihnya tidak seperti mendorong arca itu.

“Gila!” Bagaimana caranya menggeser atau membalikkan arca itu?" kata Mahesa pada diri sendiri. Tiba-tiba dia melompat bangun. "Kenapa aku jadi tolol dan lupa?!" si pemuda seperti mengomel.

Dari balik pakaiannya dia keluarkan senjata pemberian Kunti Kendil yaitu sebatang kayu besi hitam berbentuk papan nisan. Dengan senjata itu disaksikannya sendiri dulu bagaimana gurunya menghancurkan sebuah batu besar di puncak lyang. Mahesa pegang erat-erat hulu senjata aneh itu. Dia membuat gerakan berputar setengah lingkaran dan hantamkan kayu besi hitam itu ke bagian kepala arca.

Brak! Byaaar!

Kepala arca yang berbentuk kepala gajah itu hancur berantakan. Mahesa menghantam lagi. Kali ini bagian perut arca. Seperti tadi, bagian perut inipun pecah berkeping-keping. Yang terakhir kali kayu besi hitam itu dipukulkannya kebagian bawah arca. Begitu bagian ini hancur kelihatanlah sebuah lobang besar pada batu kedudukan arca itu. 

Dari dalam lobang mengepul asap rokok banyak sekali. Disusul suara batuk-batuk seperti anjing mengaing. Kemudian sesosok kepala berambut panjang awut-awutan muncul keluar dari dalam lobang batu itu. Di bawah rambut kelihatan muka seperti tengkorak karena hanya tinggal kulit pembalut tulang! Di sela bibirnya terselip rokok kawung. Mahesa menyurut mundur beberapa langkah. Kuduknya terasa dingin. Iblis atau setankah yang punya kepala ini?!

Kemudian kelihatan sepasang tangan yang sangat kurus tanpa daging, diselimuti kulit sangat tipis, menggapai pada tepi lobang batu. Sesaat kemudian sesososk tubuh yang hampir menyerupai jerangkong, hanya mengenakan pakaian yang compang-camping ke luar dari dalam lobang batu itu. Memandang melotot pada Mahesa. Mahesa mundur ke tangga candi. Siap untuk lari.

“Hai! Jangan lari!" Tiba-tiba mahluk seperti jerangkong ini mengeluarkan Suara. Suaranya halus melengking.

“Kau... kau siapa...? Setan atau manusia?”

“Hush! Apakah muka dan tubuhku sedemikian buruk dan menyeramkan hingga kau menduga aku ini setan?"

“Aku..." Mahesa tak bisa meneruskan kata-katanya. Meskipun sosok tubuh itu bicara seperti manusia namun dia tidak yakin kalau saat itu benar-benar berhadapan dengan manusia.

“Ha ha ha! Aku manusia sepertimu. Bukan setan, cuma nasibku jelek!" Si muka tengkorak duduk di tepi lobang. 
Dia mendongak ke langit lalu tertawa panjang. Walau mulutnya terbuka lebar tapi rokok kawung yang ada di bibirnya tidak jatuh seolah-olah lengket. Dia lalu menepuk tepi lobang batu. "Hampir saja aku menjadi penghuni lobang maut ini sampai kiamat! Untung kau datang menolong! Aku berhutang nyawa padamu! Buyung siapakah namamu...?”

“Namaku Mahesa..."

Si muka tengkorak badan jerangkong manggut-manggut. Matanya memandang pada kayu besi hitam yang masih tergenggam di tangan si pemuda. “Apakah kau menghancurkan arca keparat itu dengan kayu aneh itu?" dia bertanya.

Mahesa mengangguk. Si muka tengkorak tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba dia batuk-batuk. Lalu berkata, "Ah, aku tak tahu sopan basa-basi. Buyung, dingin-dingin begini rasakanlah sedapnya rokok kawungku!" Dari balik pakaiannya yang rombeng dan dekil orang itu keluarkan sebuah kotak berisi rokok kawung. Dia mengambilnya sebatang lalu menyalakannya dan menyerahkannya pada Mahesa. Si pemuda merasa ragu untuk menerimanya.

“Jangan khawatir, cobalah!" si muka tengkorak ulurkan tangannya.

Mahesa terpaksa menerima.

“Nah, coba hisap!"

Mahesa menghisap. Dia terbatuk-batuk. Si muka tengkorak tertawa.

“Kau tentu baru sekali ini merokok. Tidak apa. Kalau sudah beberapa kali kau coba pasti akan terasa nikmatnya. Nih, kau ambillah semua rokok kawung dalam kotak ini. Aku masih ada dua kotak lagi!”

Mahesa ambil kotak yang terbuat dari jerami itu. Setelah dua tiga kali menyedot rokok kawung yang diberikan memang ternyata ada enaknya. Paling tidak dalam udara malam yang dingin itu tubuhnya jadi terasa hangat.

“Buyung, jika menolong jangan tanggung-tanggung...”

“Apa maksudmu, kek? Eh boleh kupanggil kau kakek?"

“Tentu saja. Eh, berapa umurmu buyung?"

“Delapan belas!”

“Nah, umurku lima kali umurmu. Jadi pantas kau memanggil aku kakek." Orang itu lalu tertawa panjang. “Kau harus menolongku untuk kedua kalinya Mahesa!"

“Jika aku bisa...”

“Kau pasti bisa. Aku tahu kau bukan pemuda sembarangan walaupun masih mentah. Kau tahu ilmu totokan? Ayo jawab dan jangan dusta!"

“Sedikit," jawab Mahesa.

Si muka tengkorank tertawa. Sedikit? Aku tak percaya! Lalu dia singkapkan baju rombengnya hingga kelihatan perutnya yang tipis di bagian pusar. “Cepat kau totok pusarku!" si kakek memerintah.

Mahesa meragu.

“Hai! Kau tak dengar apa yang kukatakan?"

Mahesa maju mendekat. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya mencuat lurus lalu bergerak cepat ke depan, menotok ke pusar si kakek. Orang tua ini menggeliat dan keluarkan suara aneh dari mulutnya yang penuh dengan busah ludah. Tiba-tiba dia melompat tinggi sekali, melayang turun berjumpalitan dan jatuh dengan kedua kaki menjejak lantai candi lebih dulu. Di mengangkat kedua tangannya dan tertawa gelak-gelak.

“Kekuatanku pulih sekarang!" Dia sedot rokok kawungnya dalam-dalam. Mulutnya yang peot menggembung. Asap rokok dalam mulutnya menyembur ke depan, mengenai dada Mahesa.

Pemuda ini merasakan tubuhnya di bagian dada seperti didorong batu besar. Dia coba bertahan. Tapi tak bisa. Tubuhnya mencelat satu tombak dan jatuh terguling di reruntuhan tangga candi!

Si kakek tertawa panjang. “Buyung! Terima kasih, terima kasih. Kau benar-benar telah menolongku. Aku bukan seorang yang suka menanam budi. Hari ini juga kau akan…”

“Orang tua, segala hutang budi dan hutang nyawa tak usah kau sebut-sebut. Hanya kebetulan saja aku tersesat ke sini. Bukan aku yang menolongmu, tapi Gusti Allah...” berkata Mahesa.

Si kakek terdiam sesaat. Lalu dia tertawa kembali. “Kau benar, buyung, memang Gusti Allah yang menolongku. Karena dia memang Yang Maha Kuasa! Tapi Gusti Allah mempergunakan tanganmu. Nah kalau kau tidak ada dan tidak kesasar ke mari, setan dari mana yang akan menolongku keluar dari lobang keparat itu. Dua puluh satu hari aku terpendak di sana!"

“Dua puluh satu hari?" mengulang Mahesa, heran dan terkejut

“Betul!"

“Kakek, bagaimana kau bisa masuk ke dalam lobang itu? Dan bagaimana selama dua puluh satu hari terpendam kau masih bisa hidup?"

“Seseorang menjebloskanku ke dalam lobang keparat ini. Lobang lalu ditutupnya dengan arca!"

Mahesa melengak. "Kenapa ada orang begitu jahat memendammu di lobang ini?" tanya Mahesa pula.

“ltulah keanehan dan kehidupan dalam dunia fana ini!" jawab si kakek. "Yang menjebloskanku justru adalah seorang sahabat karibku. Ketamakan membuat dia melakukan itu. Karena ingin memiliki sendiri sebuah kitab silat yang kami temui bersama. Gila! Tapi awas. Tunggu pembalasanku." Si kakek kelihatan geram. Tangan kanannya dipukulkan dan brak! Dinding candi di samping kanan hancur berantakan!

Mahesa menyaksikan dengan mata melotot. Lalu bertanya, "Kek, kalau kau sanggup menghancurkan dinding candi itu, sewaktu terpendam seharusnya kau juga mampu menghancurkan arca yang menutupi lobang itu...”

“ltu benar, jika si keparat busuk itu tidak menotokku lebih dahulu. Sebelum dia menjebloskanku dia menotok pusarku, hingga seluruh kekuatanku luar dalam sirna. Aku hanya mampu sekedar menggerakkan tangan, kaki dan kepala serta mulut dan lidah!"

Mahesa geleng-geleng kepala. “Satu hal yang aku tidak mengerti kek! Bagaimana selama terpendam dua puluh satu hari tanpa makan tanpa minum kau masih bisa hidup?!"

“Buyung, otakmu encer juga sampai bertanya begitu. Kau bukan seorang perokok. Tapi melihat caramu mulai menyedot rokok kawung itu, tak pelak lagi aku punya firasat bahwa kau bakal jadi seorang pecandu rokok kawung sepertiku!"

Mahesa menguap. "Kau belum jawab pertanyaanku, kek. Bagaimana kau masih bisa bertahan hidup?"

“Kau pernah dengar orang berkata, dia lebih baik tidak dapat nasi sehari suntuk daripada tidak merokok?"

Mahesa cuma diam, tak bisa menjawab karena memang tidak pernah mendengar ada orang yang berkata seperti itu.

Si kakek meneruskan. “Nah, ini kejadian padaku! Walau dua puluh satu hari tidak makan, tidak minum, tapi persediaan rokok kawungku cukup banyak! Rokok yang kuhisap terus menerus itulah yang telah menolongku. Walau akhirnya aku jadi kurus kering, bermuka tengkorak berbadan jerangkong seperti ini hingga kau tadi ketakutan, menduga aku setan! Ha ha ha! Betul buyung. ltu kau ucapkan dalam usiamu yang baru delapan belas. Semakin tua usiamu, semakin banyak keanehan yang bakal kau jumpai. Tak jarang keanehan itu berakhir pada kematian. Ah, malam-malam dingin begini aku terlalu banyak bicara. Sebenarnya aku ingin mengobrol lebih lama denganmu. Tapi aku harus pergi sekarang. Selama gunung masih hijau, selama air sungai terus mengalir ke laut, suatu ketika pasti kita akan bertemu lagi. Sebelum pergi, sebagai tanda terima kasih, aku akan menyerahkan sepertiga dari tenaga dalamku padamu!"

“Kakek! Aku tidak minta balas jasa apa-apa!" seru Mahesa melangkah mundur.

Tiba-tiba si kakek melompat. Gerakannya laksana kilat hingga Mahesa tak sempat mengelak. Telapak tangan kanan si kakek tahu-tahu mendarat di dada kirinya, tepat di atas jantung! Mahesa keluarkan seruan kesakitan. Pemandangannya serta merta gelap. Tubuhnya terbanting dan rubuh menelungkup di lantai candi yang basah dan dingin. Dari sela bibirnya kelihatan ludah membuih bercampur darah!

7. ADA UBI ADA TALAS. ADA BUDI ADA BALAS. HUTANG NYAWA DIBAYAR NYAWA
TERIK MATAHARI seperti membakar lantai candi itu sehingga menjadi panas dan membuat Mahesa siuman dari pingsannya. Sebelum dia membuka mata pertama sekali yang dirasakannya adalah rasa asinnya darah pada mulutnya. Dia meludah berkali-kali. Perlahan-lahan pemuda ini membuka kedua matanya dan menjadi terkejut mendapatkan dirinya terbaring di tempat itu. Dia bangkit berdiri dan memandang barkeliling. Lalu mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Ketika matanya sekali lagi membentur lobang batu itu perlahan-lahan ingatannya kembali.

“Kakek aneh itu, kemana dia pergi? Hai, namanya pun aku tak sempat menanyakan!"

Mahesa usap-usap mukanya. Dia menunduk dan meneliti dadanya sebelah kiri. Dada itu kelihatan kemerah-merahan. Malam tadi si kakek telah memukulnya hingga dia jatuh pingsan. Si kakek mengatakan akan memberikan sepertiga tenaga dalamnya. Dengan cara memukul itukah si kakek menepati janjinya?

Jika sekarang dia memang memiliki tambahan tenaga dalam, dengan tangan kosong pasti dia bisa menghancurkan dinding candi yang terbuat dari batu atos tebal itu. Memikir sampai kesitu Mahesa lalu melangkah mendekati dinding. Sambil melangkah dia mengusap pinggangnya. Astaga! Pemuda ini terkejut. Dirabanya kembali pinggangnya. Disingkapnya pakaiannya!

Celaka Keris Naga Biru yang asli dan yang palsu serta kayu besi hitam senjata pemberian gurunya tak ada lagi! Paras pemuda ini serta merta menjadi pucat pasi. Apakah kakek muka tengkorak itu yang telah mencuri dan melarikan ke tiga benda itu? 

Mahesa merasa lebih baik dia kehilangan nyawanya saat itu dari pada menerima kenyataan lenyapnya Keris Naga Biru dan kayu besi hitam. Selagi dia kebingungan begitu rupa tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak. Dari balik dinding candi muncul sesosok tubuh berselempang kain putih.

“Kau mencari benda-benda ini Mahesa..?” Orang berselempang kain putih buka suara.

Mahesa terkejut dan memandang ke depan. Loh Jingga! Dia tegak di depan sana sambil berkacak pinggang dengan tangan kiri sedang tangan kanan memegang Keris Naga Biru asli dan tiruan serta kayu besi hitam berbentuk papan nisan!

“Keparat! Bangsat rendah! Jadi kau pencurinya! Kembalikan ketiga benda itu padaku!" teriak Mahesa. Dia memburu maju tapi Loh Jingga menunggu dengan sikap hendak menghantamkan kayu besi hitam, hingga gerakan Mahesa tertahan.

“Hai! Kenapa kau berhenti? Bukankah kau inginkan ketiga benda ini? Ambillah!" kata Loh Jingga mengejek.

“Anak setan!" serapah Mahesa. Dia hantamkan tangan kanannya, melepaskan Pukulan Api Geledek Menggusur Makam. Sinar merah panas berkiblat.

Loh Jingga kaget. Dia melompat ke samping dan dari samping pukulkan papan kayu besi hitam.

Wut! Wut! Byaar!

Angin hitam yang menggebu keluar dari pukulan papan kayu hitam saling baku hantam dengan sinar merah pukulan yang dilepaskan Mahesa. Sinar merah terpukul mental kesamping, melabrak dinding candi hingga runtuh berantakan.

Di depan sana Loh Jingga kelihatan terpelanting. Papan kayu hitam terlepas dari tangannya. Sebenarnya jika saja Mahesa tidak menerima sepertiga tenaga dalam hebat yang diberikan oleh kakek muka tengkorak itu, maka dalam bentrokan tersebut tidak mungkin dia akan sanggup menghadapi angin pukulan kayu besi. Dalam keadaan seperti itu tentu saja Mahesa belum menyadari kalau tenaga dalamnya telah berlipat ganda.

Melihat kayu hitam terlepas dari tangan Loh Jingga, Mahesa segera memburu untuk mengambilnya. Namun pemuda ini terpaksa membatalkan niatnya karena saat itu lawan telah mencabut Keris Naga Biru dan menyongsongnya dengan satu tusukan ke arah dada!

“Anak setan!" maki Mahesa dan cepat membuang diri ke samping.

Loh Jingga tebaskan keris sakti itu. Sinar biru bertebar mengejar Mahesa. Pemuda ini bergulingan di tanah sambil lepaskan pukulan tangan kosong untuk menahan serangan lawan. Keris di tangan Loh Jingga hanya tampak bergetar sedikit. Sebelum Mahesa sempat berdiri lawan telah memburu dengan tusukan kedua!

Murid Kunti Kendil terpaksa jatuhkan diri. Ketika keris dan tangan lawan lewat di atas kepalanya Mahesa membuat gerakan jari sakti mencengkeram papan nisan. Sekali lengan Loh Jingga kena cengkeram pasti akan hancur sampai ke tulang-tulangnya. Tetapi Keris Naga Biru yang sakti di tangan kakek itu seperti menuntun gerakan silatnya. Sebelum lengannya kena diremas, senjata itu tahu-tahu menukik keubun-ubun Mahesa!

“Edan! Benar-benar anak setan!" teriak Mahesa. Yang bisa dilakukannya ialah menjatuhkan diri kembali ke lantai candi sambil kirimkan tendangan menyapu kaki lawan. Tusukan Keris Naga Biru mengenai tempat kosong. Tapi tendangan Mahesapun hanya mengenai angin karena dengan mudah dapat dielakkan oleh Loh Jingga dengan jalan melompat.

“Ha ha ha.! Mahesa kau boleh memaki anak setan! Sebentar lagi kau yang bakal mati jadi setan penasaran!" Kata-kata Loh Jingga itu membakar amarah Mahesa.

“Bangsat ini rupanya benar-benar menguntit kemana aku pergi. Kalau tiga benda itu tidak dapat kurampas kembali, lebih baik aku mati menyabung nyawa!" Memandang ke depan Mahesa dapatkan Loh Jingga tegak dengan memegang Keris Naga Biru di tangan kanan dan papan kayu besi hitam di tangan kiri. Keris Naga Biru tiruan disisipkannya dibalik selempang. 
Keris Naga Biru telah dicabut dari sarungnya. Pantangan telah dilanggar. Satu nyawa akan menemui kematiannya. Mahesa atau Loh Jingga sendiri!

“Dulu kuminta secara baik-baik, kau tak mau menyerahkan Keris Naga Biru ini. Sekarang rasakan sendiri. Dengan senjata ini kau bakal menemui kematian!" kata Loh Jingga.

Dia berputar-putar mengelilingi Mahesa. Tiba-tiba kakek muka pucat ini membentak keras. Papan kayu besi hitam di tangan kirinya diputar-putar hingga mengeluarkan suara menderu dan menebar sinar hitam. Mahesa kerahkan daya berat tubuhnya pada kedua kaki agar tidak tersapu angin senjata sakti miliknya sendiri itu. Namun dia tak bisa bertahan lama. Makin cepat putaran kayu besi hitam itu, semakin deras terjangan angin. Mahesa merasakan dadanya sesak. Dia terpaksa mundur dan mundur sampai akhirnya tubuhnya tertahan oleh dinding candi.

“Ha ha...! Kau mau lari kemana Mahesa?! Ajal sudah didepan mata! Apa kau tidak berteriak memanggil nama gurumu atau menyebut nama Tuhanmu! Atau mungkin juga memanggil nama ibumu?!"

Kata-kata Loh Jingga itu membuat Mahesa seperti mau meledak. Betapakan tidak! Delapan belas tahun hidup sebagai manusia dia tak pernah mengenal ibunya. Sang ibu yang telah meninggal dunia tanpa dia sempat melihat kuburnya! “Keparat muka pucat! Jangan kau sebut-sebut nama ibuku!" teriak Mahesa.

Seperti kalap dia menyerbu menghadang serangan Loh Jingga. Tangan kiri menghantamkan Pukulan Batu Karang Menghimpit Kuburan sedang tangan kanan lepaskan Pukulan Kincir Air Melabrak Kuburan.

Di lain pihak untuk kedua kalinya kayu besi hitam terlepas dari genggaman Loh Jingga. Kakek ini jatuh terduduk. Mukanya tampak tambah pucat dan dari sela bibirnya mengalir darah. Tapi dia cepat bangkit berdiri. Mukanya membersitkan seringai setan. Keris Naga Biru tergenggam erat dalam tangan kanannya.

Dia melompat ke reruntuhan dinding candi dimana saat itu Mahesa berusaha membebaskan badannya yang tertimbun batu-batu. Dalam keadaan seperti itu tak mungkin bagi Mahesa untuk menyelamatkan diri dari tusukan Keris Naga Biru yang ditikamkan ke lehernya!

“Ah, aku benar-benar terpaksa mati penasaran. Tugas guru tak dapat kuselesaikan, dimana ayahku belum dapat kucari, dimana makam ibuku belum sempat kusambangi.”

Pemuda ini pejamkan matanya. Siap menerima kematian oleh tusukan Keris Naga Biru. Sejengkal lagi senjata sakti beracun itu akan menancap di tenggorokan Mahesa tiba-tiba satu bayangan berkelebat dari samping kiri. Disusul jerit Loh Jingga. Tubuhnya terlempar ke kanan. Keris Naga Biru mental dari pegangannya. Ketika Mahesa membuka kedua matanya dilihatnya kakek muka pucat itu terkapar dekat tangga candi. Kepalanya pecah!

Memandang ke kiri Mahesa dapatkan kakek muka tengkorak tegak enak-enakan sambil menyedot rokok kawungnya. Dia tertawa-tawa melihat Mahesa susah payah melemparkan batu-batu runtuhan candi yang menimbuni tubuhnya.

“Batu-batu itu mempermainkan kau buyung? Mari kutolong!" kata si kakek. Lalu satu demi satu batu-batu itu ditendanginya hingga Mahesa berhasil bangkit dan melangkah terhuyung-huyung.

“Kakek, terima kasih…”

“Ha ha ha! Sungguh benar kata pepatah. Ada ubi ada talas. Ada budi ada balas. Apakah hutang nyawaku sudah impas kini…?”

“Ah kakek, kenapa segala hutang nyawa yang kau ingat. Yang jelas aku merasa bersyukur kau datang. Kalau tidak kau tolong aku sudah mati di tangan si muka pucat itu!"

“Hai Aku datang kemari bukan untuk menolongmu Mahesa. Hanya kebetulan saja dua kotak rokok kawungku ketinggalan dalam lobang!" Habis berkata begitu kakek muka tengkorak itu masuk ke dalam lobang besar dimana sebelumnya dia dipendam. Ketika keluar dia memegang dua buah kotak jerami penuh berisi rokok kawung. Mahesa ambil Keris Naga Biru yang asli dan papan kayu hitam yang bergeletak di tanah. Lalu menarik Keris Naga Biru tiruan dari pinggang Loh Jingga.

“Buyung, coba kulihat sebentar keris yang memancarkan sinar biru itu!" berkata si kakek muka tengkorak.

Mahesa serahkan Keris Naga Biru yang asli. Si kakek mengamati keris mustika itu dengan tidak hentinya berdecak leletkan lidah. "Belasan tahun aku mendengar nama senjata mustika yang mengagumkan ini. Baru hari ini melihat dengan mata kepala sendiri. Sungguh luar biasa. Tetapi penuh bahaya.”

“Penuh bahaya bagaimana maksudmu kek?" tanya Mahesa.

“Buyung, apakah kau tidak tahu kalau Keris Naga Biru ini mempunyai pantangan?" balik bertanya si kakek muka tengkorak.

Mahesa gelengkan kepala.

“Untung kau masih selamat sampai hari ini. Keris sakti ini mempunyai pantangan. Tidak boleh dicabut sembarangan dari sarungnya. Jika hal itu dilakukan maka harus ada yang menjadi korban. Orang lain atau orang yang mencabutnya!"

Tentu saja keterangan ini membuat Mahesa terkejut. “Kek, aku ingat kini. Sejak aku memegang senjata ini, sudah beberapa orang yang menemui ajalnya!"

Si kakek memasukkan Keris Naga Biru ke dalam sarungnya. Lalu menyerahkannya pada Mahesa seraya berkata, “Buyung, kau simpan dan rawat keris ini baik-baik. Senjata ini mungkin berjodoh denganmu. Senjata ini adalah lambang tali perjodohanmu...”

Mahesa tersentak. “Kek, apa katamu?!" ujar Mahesa setengah berteriak.

Tapi si kakek sudah berkelebat pergi. Hanya bau rokok kawungnya yang masih tertinggal.

“Orang tua aneh. Ada sangkut paut apa keris ini dengan soal jodoh?"

Mendadak saja Mahesa ingat pada dara berbaju kuning yang pernah diselamatkannya dari Tiga Datuk Kembar Bukit Akhirat. "Ah, dimana dia sekarang?” 

Mahesa geleng-geleng kepala. Astaga, lagi-lagi aku lupa menanyakan nama kakek aneh itu! Pemuda ini tepuk-tepuk keningnya sendiri.

8. LELAKI ANEH DI PUNCAK BUKIT
SESUAI DENGAN petunjuk yang didapatnya sepanjang perjalanan, Mahesa menyusuri pantai utara menuju ke timur. Angin laut bertiup keras di pantai yang gersang. Teriknya sinar matahari bukan main. Untuk melepas dahaga Mahesa meneguk habis sebutir air kelapa lalu melanjutkan perjalanan.

Ketika dia ingat akan rokok kawung di kantong pakaiannya, pemuda ini segera mengambil dan menyalakannya. Dia berlari sambil menghisap rokok itu. Seperti yang dikatakan kakek muka tengkorak, kelak dia akan menjadi seorang perokok. Nyatanya memang pemuda ini mulai ketagihan.

Ketika serombongan burung laut terbang ke arah utara, Mahesa sampai di sebuah bukit yang penuh ditumbuhi pohon kelapa dan pohon-pohon bambu liar. Pada saat itulah sepasang telinganya mendengar suara seruling. Tiupan seruling ini menggema perlahan seperti menyanyikan lagu sedih. 

Entah mengapa suara seruling itu menyentuh hati Mahesa hingga dia memandang berkeliling mencari dimana dan siapa orang yang meniupnya. Sampai sekian lama mencari-cari tetap saja dia tidak menemukan seorangpun di puncak bukit itu.

“Aneh, suaranya jelas dan dekat. Tapi orangnya tak kelihatan!" ujar Mahesa. 

Pemuda ini terus melangkah mencari-cari. Dihadapan serumpun pohon bambu liar dan tinggi langkahnya terhenti. Mendongak ke atas Mahesa melihat satu pemandangan yang hampir tak dapat dipercayanya kalau tidak disaksikannya sendiri.

Diantara tiga batang pohon bambu hijau tampak seorang lelaki berusia sekitar setengah abad lebih dalam sikap duduk bersila tidak beda seperti dia tengah duduk di atas tikar atau lantai. Padahal hanya lutut kirinya saja yang menempel pada batangan bambu sebelah kiri, lalu lutut kanan menempel pada pohon bambu sebelah kanan, dan punggungnya menempel pada batang bambu sebelah belakang.

Orang inilah yang meniup seruling membawakan lagu sedih sambil memejamkan mata. Demikian penuh perasaan dia membawakan lagu itu hingga Mahesa melihat ada air mata yang meluncur dipipinya yang cekung.

Orang ini memakai topi tinggi hitam berhiasan benang emas. Topi seperti ini biasanya dipakai oleh para bangsawan atau pejabat tinggi Kerajaan. Wajahnya cekung kotor, kumis dan janggutnya tak terpelihara. 

Dia sama sekali tidak memakai baju, tapi dilehernya tergantung sebuah kalung tembaga bersepuh emas, bergambar burung bermahkota yang merentangkan kedua sayapnya. Kemudian lelaki aneh ini memakai celana hitam yang panjangnya sampai di betis. Pada kedua sisi celana terdapat benang emas. Celana seperti ini hanya dipakai oleh pejabat Kerajaan atau para bangsawan.

“Manusia aneh," desis Mahesa. Tapi diam-diam dia mengetahui, kalau tidak memiliki kepandaian tinggi mana mungkin orang itu bisa bersila diantara tiga batang bambu.

Sesaat kemudian orang diatas pohon bambu itu hentikan permainan sulingnya. Dia mengusap air mata yang membasahi pipinya tapi kedua matanya masih saja terpejam.

“Bapak, Mahesa memanggil. Permainan sulingmu bagus sekali. Apakah kau tidak mau turun barang sejenak hingga kita dapat berbincang-bincang?"

Orang yang ditegur tidak menjawab. Mahesa mengulangi tegurannya sekali lagi. Tetap saja tak ada jawaban.

“Mungkin dia tuli!" pikir Mahesa.

Setelah menunggu beberapa lama orang diatas sana tetap tak bergerak Mahesa akhirnya memutuskan untuk meninggalkan saja puncak bukit itu. Dia harus segera melanjutkan perjalanan menuju Probolinggo. Namun belum sempat dia melangkah tiba-tiba lelaki diatas pohon bambu perdengarkan satu nyanyian.

Memasuki kota pantang bagiku
Hanya akan menghancurkan hati yang beku
Disinipun aku bisa melakukan sesuatu
Tak dapat ayahnya
Anaknyapun jadi


Mahesa tahan langkahnya. Untuk beberapa lamanya pemuda ini tertegun memandangi lelaki di atas pohon bambu. Kini jelas terlihat ada perobahan pada mimik lelaki itu. Kalau tadi air mukanya tampak sedih, kini terlihat menjadi bengis. Cuping hidungnya mengembang, rahangnya menggembung. Hanya sepasang matanya yang masih terpejam. Kemudian terdengar dia bersenandung kembali.

Lima hari menunggu
Dibawah teriknya sang surya
Disiram hujan diselimut embun
Semua tidak sia-sia
Hari ini dendam terbalaskan
Walau cuma anak tak jadi apa
Dilain waktu biangnya pasti kena


“Orang aneh, nyanyiannyapun aneh!" kata Mahesa. "Aku kawatir walau ilmunya tinggi mungkin otaknya kurang beres…”

Dari atas pohon terdengar lagi suara nyanyian.

Dia datang
Ha…ha..ha
Saat pembalasan telah tiba
Hari ini anaknya
Nanti bapaknya


Untuk pertama kalinya lelaki diatas pohon bambu membuka matanya. Ternyata dia memiliki sepasang mata yang tajam angker. Orang ini memandang ke arah selatan tanpa berkedip. Mahesa putar kepalanya mengikuti arah pandangan orang itu. Di kejauhan, di bawah bukit sana di arah selatan kelihatan meluncur sebuah kereta ditarik oleh dua ekor kuda.

Di sebelah depan dan sebelah belakang kereta dua penunggang kuda bertindak sebagai pengawal. Lalu masih ada lagi seorang yang bersenjatakan keris duduk disamping kusir kereta. Perlahan-lahan, tetapi pasti, rombongan itu mengikuti jalan berdebu menuju puncak bukit.

Lelaki di atas pohon menyeringai. Gigi-giginya kelihatan hitam dan banyak yang sudah tanggal. Perlahan-lahan dia ambil kembali serulingnya dan dekatkan ke bibir. Sesaat kemudian di puncak bukit itu menggema lagi lagu aneh dan sedih. Dan si peniup seruling kembali tampak mengucurkan air mata.

Kereta di bawah sana semakin tinggi naik ke bukit dan akhirnya mencapai puncak dimana Mahesa berada. Orang diatas pohon bambu hentikan permainan sulingnya, lalu sisipkan benda ini di pinggangnya. Kedua tangannya kini dirangkapkan di depan dada. Tiba-tiba Mahesa melihat satu kejadian yang luar biasa.

Dua batang bambu yang bertempelan dengan lutut kiri kanan lelaki aneh itu mendadak merunduk ke bawah hingga melintang tepat di atas jalan tanah di puncak bukit. Orang bertopi hitam masih dalam sikap bersila, tubuhnya meluncur di atas dua batangan bambu itu dan berhenti tepat di atas jalan.

Penunggang kuda sebelah depan dalam terkejut campur herannya terpaksa harus melompat dari kuda tunggangannya karena binatang ini mendadak meronta-ronta dan menaikkan kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Di belakangnya, kusir kereta juga berusaha dengan susah payah menenangkan dua ekor kuda penarik kereta yang tampak gelisah dan meringkik tiada henti.

Pemuda yang duduk disamping kusir, yang berpakaian prajurit dan membekal keris dengan gerakan ringan dan sigap melompat dari atas kereta. Sebuah kepala perempuan berambut hitam, bermata bening mempesona dan berwajah jelita tersembul dari jendela kereta sebelah kanan.

“Wira, ada apakah?" Kenapa kereta berhenti dan kuda-kuda itu seperti ketakutan
?" tanya orang yang ada dalam kereta dan ternyata seorang dara.

Pemuda yang barusan melompat turun dari kereta menjura. "Tak usah kawatir Den Ayu. Hanya seorang gila kesasar bermain-main di puncak bukit ini! Saya akan singkirkan dia!"

Pemuda pengawal itu melangkah besar-besar ke tengah jalan dimana melintang batang-batang bambu yang diduduki lelaki bertopi tinggi. Ketika melewati Mahesa, pengawal ini berpaling. Mahesa sendiri saat itu tengah memandang tak berkedip ke jendela kereta, terpesona oleh kecantikan sang dara bermata bening. Dia ingat pada gadis baju kuning yang berparas cantik yang pernah ditemuinya. Tetapi gadis di dalam kereta itu benar-benar membuat matanya terbuka lebar-lebar.

“Saudara! pengawal muda bernama Wira tiba-tiba menegur. Apakah orang gila di tengah jalan itu kawanmu? Lekas singkirkan dia!"

Mahesa yang asyik memandang Wajah cantik dalam kareta tidak menoleh ataupun menjawab. Pengawal muda itu menjadi marah melihat cara memandang Mahesa.

“Kau tuli atau bagaimana?!" bentaknya.

“Eh, kukira kau bicara dengan siapa," sahut Mahesa pula.

“Lekas singkirkan kawanmu itu dari tengah jalan!"

“Siapa bilang dia kawanku! Kenalpun tidak! Kalau kau mau menyingkirkannya, lakukan sendiri!"

Wira benar-benar jadi naik darah. “Kalau begitu biar kuhajar dia!" katanya, lalu sekali lompat dia sampai di hadapan orang yang duduk di atas dua batang bambu. Dengan tangan kanannya dia mendorong keras-keras bahu orang itu. Dia merasa pasti sekali dorong saja orang yang dianggapnya gila itu akan jatuh ke tanah.

Tapi dia menjadi kaget ketika tubuh kurus yang didorongnya itu tidak bergeming sedikitpun! Tahulah Wira kalau dia tengah berhadapan dengan orang yang bukan sembarangan. Sikapnya jadi berubah lunak.

“Orang pandai," sapanya halus. "Kami tak mau mengganggumu. Tapi kau menghalangi perjalanan kami. Harap kau sudi menepi sebentar. Jika kami sudah lewat kau boleh duduk kembali sesukamu...”

Orang yang disapa tampak menyeringai. Kalian ini tengah menuju kemanakah..?”

“Probolinggo," jawab pengawal muda itu.

Orang bertopi mengangguk-angguk. “Kalian ini rombongan siapakah?”

“Kami para pengawal Kadipaten!”

“Oh... Orang yang dalam kereta itu siapakah?" 
kembali orang yang duduk di atas dua batang bambu bertanya.

Mula-mula Wira tak mau menjawab. Akhirnya dia membuka mulut juga. "Penumpang kereta itu adalah puteri tunggal Adipati Probolinggo. Nah kalau sudah tahu harap kau segera menyingkir. Hari sudah rembang petang, kami harus cepat sampai di Probolinggo…”

“Begitu...?" ujar orang yang menghalang di tengah jalan. Dia tertawa panjang. Dari mulutnya kembali terdengar suara nyanyian seperti tadi. 

Dia datang
Saat pembalasan telah tiba
Hari ini anaknya
Nanti bapaknya


Kusir kereta yang sejak tadi sudah tidak sabaran berseru, “Wira! Mengapa harus pakai sopan santun dengan orang gila itu. Kalau tidak mau menyingkir tendang saja, habis perkara!"

Wira menyeringai. Dia merunduk dan mendekatkan kepalanya ke muka orang itu lalu berkata, "Kau dengar kata-kata kusir kereta itu? Jangan sampai aku terpaksa menurunkan tangan kasar!"

Orang diatas bambu cabut sulingnya dari pinggang. Semula Mahesa mengira orang ini akan memainkan lagi lagu sedihnya. Tapi apa yang kemudian terjadi benar-benar tidak terduga dan mengerikan. Entah kapan dia menggerakkan tangannya tahu-tahu suling itu telah melesat dan laksana sebatang anak panah menancap di leher kusir kereta. Kusir ini mengeluarkan suara seperti binatang disembelih. Tubuhnya terguling ke samping dan jatuh di tanah tanpa berkutik lagi. Mati!


9. LELAKI ANEH MENEBAR MAUT
GADIS cantik di dalam kereta memekik ngeri sambil tutup wajahnya dengan kedua tangan. Sementara Mahesa dan semua orang yang ada disitu terkesiap kaget karena benar-benar tidak menyangka akan terjadi seperti itu. Sesaat puncak bukit itu sehening di pekuburan. Kesunyian dipecahkan oleh bentakan Wira.

“Manusia gila! Kau telah membunuh kusir Kadipaten! Dosamu tak bisa diampuni!"

Pengawal muda itu bergerak cepat. Dia memuntir kedua lengan lelaki di tengah jalan, maksudnya untuk meringkus. Namun hal itu tak pernah kesampaian. Tiba-tiba tangan kiri orang yang hendak diringkus bergerak dan plak! Wira terbanting ke tanah. Ketika Mahesa memperhatikan ternyata pengawal ini telah menemui ajalnya dengan separuh kepala remuk! Kembali terdengar jeritan dari dalam kereta.

“Anak setan! Ganas sekali!" rutuk Mahesa dalam hati. Dia maju mendekat dan berkata dengan nada keras, "Bapak! Apakah kau sadar telah membunuh orang-orang yang tidak berdosa?!"

Sebagai jawaban tiba-tiba orang yang sejak tadi duduk diatas dua batang bambu itu melompat turun. Dua pohon bambu melentur kembali ke kedudukannya semula sedang lelaki bertopi hitam itu memandang garang pada Mahesa. Murid Kunti Kendil tentu saja tak mau menerima nasib seperti kusir kereta atau pengawal muda itu. Dia bersiap siaga sambil kerahkan tenaga dalamnya yang kini berlipat ganda karena menerima tambahan dari kakek muka tengkorak.

Ketika lelaki bertopi itu kembali melangkah, dua orang pengawal yang telah menghunus golok masing-masing segera menyongsong. Tanpa banyak menunggu lagi keduanya segera menyerbu. Satu membacok ke arah kepala, yang lain menusuk ke arah perut! Yang diserang membuat gerakan aneh.

Buk! Duk!

Dua pengawal itu terhempas ke tanah. Menggeliat beberapa kali lalu diam tak berkutik lagi. Yang pertama hancur perutnya dimakan tendangan sedang kawannya remuk dadanya dihantam jotosan.

“Gila!" gumam Mahesa sambil Ieletkan lidah. "Begitu mudah dan enak saja dia membunuhi orang!"

Pandangan mata pembunuh itu kini tertuju pada Mahesa.

“Giliranku kini!" membathin Mahesa.

Tapi di depan sana orang itu tidak bergerak. Dia terus memandangi Mahesa dengan sepasang matanya yang tajam angker. Kemudian dia memalingkan kepalanya dan tanpa mengacuhkan Mahesa lagi dia melangkah mendekati kereta.

Brak

Sekali tangannya membetot, pintu kereta sebelah kiri tanggal berantakan. Gadis dalam kereta menjerit ketakutan. “Ha ha
 ha...! Tidak dapat ayahnya anaknya pun jadi!"

“Gila! Anak setan ini hendak membunuh dara jelita itu!"  Mahesa melompat. Dia tangkap pinggang orang dan maksudnya hendak melemparkan kesamping. Tapi murid Kunti Kendil ini menjadi kaget. Tubuh itu tak bergeming. Dia seperti memeluk pohon raksasa!

Mendapatkan pinggangnya digelung begitu rupa, orang itu menjadi marah. Dia menggereng dan berontak. Meskipun Mahesa tak mampu meggeser tubuhnya, sebaliknya orang ini tidak pula mampu melepaskan rangkulan si pemuda.

“Anak muda! Kaupun minta mampus!" Orang itu lalu pukulkan tangan kanannya ke kepala Mahesa.

Tapi entah mengapa setengah jalan dia tarik pulang pukulannya. Kini Mahesa punya kesempatan untuk balas menyerang. Dengan lutut kirinya dia sodok perut lelaki itu. Yang diserang mengeluh kesakitan. Kedua tangannya dipukulkan ke bawah. Mahesa menyambut dengan balas memukul ke atas, lancarkan Pukulan Sepasang Tombak Menembus Liang Kubur.

Dua pasang lengan saling beradu. Mahesa yang berada di bawah terhempas ke tanah, Dia merasa tubuhnya seperti melesak ditelan bumi. Kedua lengannya tampak merah. Di depannya lelaki itu terjerongkang dan jatuh duduk di tanah. Topinya terlepas dari kepala dan kini kelihatan rambutnya yang putih di gelung ke atas.

Untuk beberapa lamanya dia memandang dengan matanya yang angker lekat-lekat pada Mahesa. Tak ada bayangan rasa sakit pada wajahnya akibat bentrokan lengan tadi. Mahesa bangkit perlahan-lahan. Belum lagi dia sempat tegak dengan betul orang didepannya tahu-tahu sudah melompat bangun dan menerkam ke arahnya.

“Tunggu!" seru Mahesa. Orang itu hentikan serangannya. “Antara kita tak ada silang selisih. Kenapa musti berkelahi?!"

“Siapa suruh kau membantu orang-orang Kadipaten ini?"

“Aku tidak membantu mereka. Aku hanya tidak suka melihat kau membunuhi orang-orang yang tak berdosa.” sahut Mahesa.

“Dosa?!” Ha ha ha! Kau tahu apa tentang dosa! Dunia ini telah digenangi oleh lumpur dosa yang maha busuk! Karenanya perlu dibersihkan!"

“Tapi orang-orang yang barusan kau bunuh itu, mereka punya salah apa...?! Bahkan kulihat kau mau membunuh gadis dalam kereta itu! Hanya iblis yang mau berbuat begitu! Apakah kau iblis?!"

Mulut orang itu terkancing mendengar kata-kata Mahesa.

“Pergilah dari sini. Itu lebih baik bagimu sebelum petugas-petugas Kadipaten datang menangkapmu!" kata Mahesa pula walau dia yakin kalaupun orang-orang Kadipaten datang mereka tak akan sanggup menangkap atau meringkus orang ini.

“Kau siapa?!" bentak orang itu.

“Namaku Mahesa. Dan kau sendiri siapa? Mengapa menebar maut begini rupa? Ada dendam apa kau dengan ayah gadis itu."

“Siapa aku...? Akupun tak tahu," sahut orang itu. Beberapa lama dia kelihatan seperti orang melamun. "Mengapa aku menebar maut tentu ada sebabnya. Dan soal dendam itu. Ah...!" Orang itu tampak seperti lunglai sekujur tubuhnya. Dia melorot jatuh dan berlutut di tanah sambil tutupi mukanya dengan kedua tangan. "Tak ada satu orangpun yang mau tahu dengan diriku. Bahkan Tuhan pun seperti tidak acuh padaku!" Habis berkata begitu orang ini lantas menangis.

Mahesa jadi bingung. Tapi dalam bingungnya dia melihat inilah kesempatan baik untuk menyelamatkan gadis dalam kereta. Dia memberi isyarat dan berbisik, "Tetap dalam kereta. Aku akan melarikanmu ke kota.”

“Tapi... kau sendiri siapa. Apa bukan kawannya pembunuh ini?"

Mahesa melintangkan telunjuknya diatas bibir memberi tanda agar sang dara jangan berkata apa-apa lagi. Lalu dia melompat ke depan kereta, membedal tali kekang. Dua ekor kuda menyentak ke depan dan kereta itu meluncur dengan kecepatan setan meninggalkan puncak bukit.

Di belakang sana orang yang berlutut menangis turunkan kedua tangannya. Pandangan matanya yang tadi tajam angker kini kelihatan sayu. Dipandanginya kereta yang menuruni bukit, makin jauh, makin kecil akhirnya lenyap dibatas titik pandang.

“Ah, mengapa aku tidak sanggup membunuh pemuda itu...?"  desis orang ini. "Kalau saja hatimu tabah untuk bisa memasuki kota, tak perlu semuanya ini terjadi. Pemuda itu betul. Aku telah membunuh orang-orang tak berdosa. Ah, aku suka padanya..”


10. PROBOLINGGO. 
WILANI PUTERI SANG ADIPATI
MAHESA tak pernah menyangka kalau dia akan sampai di Probolinggo dengan membedal kereta seperti itu. Lebih dari selusin prajurit Kadipaten mengurung kereta begitu dia berhenti di tengah halaman. Seseorang menolong turun gadis yang masih ketakutan. Begitu turun gadis ini langsung lari ke dalam gedung Kadipaten. Murid Kunti Kendil bersiap-siap pula hendak turun. Namun sembilan tombak dan tujuh golok ditodongkan ke arahnya oleh para pengawal Kadipaten.

“Anak setan!" maki Mahesa. Dia berpaling ke arah gedung dan berseru memanggil gadis itu. "Saudari!" Tapi sang dara terus lari dan lenyap dibalik pintu besar.

Seorang lelaki berbadan tinggi besar, berkumis melintang dan dada penuh bulu muncul dari sebuah bangunan kecil di ujung halaman. Dia memberi isyarat pada orang-orang yang mengurung Mahesa. Orang-orang ini segera turunkan senjata mereka dan melangkah mundur.

“Anak muda! Kau datang dengan cara mengejutkan. Siapa kau dan bagaimana sampai muncul disini membawa puteri Adipati. Kereta ini ada kusirnya. Dikawal oleh tiga orang pengawal. Dimana mereka semua?!"

“Sobat berkumis melintang! Pertanyaanmu banyak amat. Biar aku turun dulu dari kereta. Pinggangku sakit. Pantatku pedas! Seumur hidup baru kali ini aku naik kereta. Dan jadi kusir pula." Habis berkata begitu Mahesa melompat turun.

“Hem... si kumis melintang manggut-manggut melihat gerakan Mahesa yang begitu enteng.

“Nah, sekarang baru aku bisa memberi keterangan..." kata Mahesa pula.

Namun belum sempat dia meneruskan bicaranya, dari dalam gedung muncul seorang berpakaian bagus, mengenakan topi tinggi dan bersikap penuh wibawa. Inilah Adipati Probolinggo. Disampingnya berdiri seorang perempuan separuh baya merangkul gadis jelita yang tadi diselamatkan Mahesa dari lelaki gila di puncak bukit di luar kota. Sang dara tampak menunjuk ke arah Mahesa.

Dengan langkah-langkah besar Adipati Probolinggo menuruni tangga gedung. Sesaat kemudian dia sudah berhadap-hadapan dengan Mahesa sementara orang-orangnya bergerak mundur dengan sikap penuh hormat, termasuk si tinggi besar berkumis melintang tadi.

“Aku Mangun Aryo, Adipati Probolinggo. Menurut penjelasan puteriku sesuatu telah terjadi di puncak bukit luar kota. Dan kau telah menyelamatkannya."

Mahesa tak segera menjawab. Mulutnya terasa kering. Dia keluarkan sebatang rokok kawung dan menyalakannya. Sikapnya ini tentu saja tidak sopan dimata sang Adipati dan orang-orangnya. Lelaki tinggi besar bernama Rangga yang menjadi kepala pengawal di Kadipaten itu langsung menegur.

“Anak muda! Kau berhadapan dengan Adipati Probolinggo. Sikapmu harus sopan. Matikan rokokmu dan terangkan apa yang terjadi..”

Mahesa cabut rokoknya tapi tidak mematikan apinya. "Aku hanya kebetulan saja berada di puncak bukit itu. Disana ada seorang gila tapi berkepandaian tinggi yang coba menghalangi rombongan Kadipaten. Dia membunuh kusir kereta dan tiga pengawal...”

“Bagaimana kau bisa menyelamatkan puteriku?" bertanya Mangun Aryo. "Jika orang gila itu menurutmu memiliki ilmu tinggi, tentunya kau juga mempunyai isi hingga bisa melepaskan puteriku dari malapetaka.”

Mahesa tersenyum. "Kebetulan saja si gila itu sedang lengah. Lalu kami melarikan diri."

Mangun Aryo manggut-manggut. Dia memberi perintah pada Rangga agar mengirimkan orang untuk mengambil mayat Wira dan kusir kereta serta dua orang pengawal. Lalu pada Mahesa Adipati ini berkata, "Aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Sebagai balas budi, jika kau suka, kau boleh tinggal disini dan kuambil sebagai wakil Rangga!"

“Terima kasih Adipati. Ada pekerjaan lain yang harus kuselesaikan. Aku minta diri sekarang!”

“Kau tidak boleh pergi. Kau harus menerima jabatan yang diberikan ayah!"

Satu suara terdengar dari arah belakang. Semua orang sama berpaling dan dapatkan puteri Adipati Mangun Aryo tegak dengan muka merah karena jengah.

“Wilani, masuk kedalam...!" Mangun Aryo menegur.

Gadis itu memutar tubuh dan cepat-cepat masuk ke dalam gedung. Adipati Probolinggo berpaling pada Mahesa. “Jadi kau tak mau menerima jabatan itu anak muda?"

“Maafkan aku Adipati."

“Baiklah, aku tidak memaksa. Sebelum kau pergi apakah kau juga tidak mau memberi tahu namamu?"

“Namaku Mahesa!"

“Kau boleh pergi. Jabatan yang kutawarkan selalu terbuka setiap saat kau mau datang lagi kesini...”

“Terima kasih Adipati...!" Mahesa meninggalkan Kadipaten Probolinggo tanpa mengetahui bahwa Mangun Aryo sang Adipati adalah manusia biang racun penimbul malapetaka bagi kedua orang tuanya, termasuk dirinya sendiri.

Sesaat setelah murid Kuntil Kendil berlalu, Mangun Aryo mendekati Rangga dan berbisik, "Kuntit pemuda itu. Entah mengapa aku menaruh curiga padanya."

“Baik Adipati, saya segera pergi," jawab kepala pengawal Kadipaten itu.

* * *

MAHESA tidak perdulikan perutnya yang terasa lapar ataupun tenggorokannya yang kering. Rokok kawung kini menjadi sahabat karibnya dan selalu terselip di sela bibirnya. Dia melangkah cepat sepanjang jalan yang debunya beterbangan jika angin bertiup kencang. Ketika dia berpapasan dengan seorang tua menarik gerobak, Mahesa tanyakan arah menuju pekuburan. Orang tua itu memberi tahu.

“Apakah itu satu-satunya tanah pemakaman di Probolinggo ini?" tanya Mahesa.

“Kau benar. Makam siapakah yang hendak kau sambangi?" bertanya penarik gerobak.

“Ibuku...!" sahut Mahesa perlahan. Setelah mengucapkan terima kasih dia lalu bergegas pergi.

Namun baru saja dia menyeberangi jalan untuk membelok ke arah yang ditunjukkan penarik gerobak tadi, tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kaki kuda. Sesaat kemudian seekor kuda coklat besar dan gagah tegak di hadapan Mahesa. Mahesa menatap pada penunggangnya. Dia hampir saja tidak mengenali orang itu.

“Saudari, bukankah kau puteri Adipati Probolinggo?" 
Mahesa menegur.

“Kukira kau lupa pada orang yang kau tolong ini," jawab orang di atas kuda. Ternyata dia adalah Wilani, puteri Mangun Aryo yang kini mengenakan baju putih lengan panjang dan celana putih panjang sebatas betis. Rambutnya digulung ke belakang dan diikat dengan sehelai selampai merah jambu. Gagah sekali gadis ini dalam pakaian seperti itu.

Melihat orang seperti sengaja menyusulnya Mahesa lantas bertanya, "Ada apakah Den Ayu?”

“Brengsek si gadis mengumpat. Semua orang memanggilku Den Ayu. Aku muak dengan sebutan itu.”

“Sebutan itu pantas bagimu sebagai puteri Adipati. Lain daripada itu kau memang ayu jelita!”

Wajah sang dara tampak bersemu merah. Mahesa memaki dirinya sendiri dalam hati. Mengapa dia sampai mengeluarkan kata-kata pujian begitu, seperti seorang pemuda ceriwis.

“Tapi aku tidak suka disebut dengan panggilan itu. Namaku Wilani, bukan Den Ayu!”

Mahesa tertawa. ”Aku sih mau saja memanggilmu dengan nama itu. Hanya yang aku ingin tahu kenapa kau mengikutiku?"

“Heh, siapa bilang aku mengikutimu?" Kembali paras Wilani menjadi merah.

“Kalau begitu aku hendak meneruskan perjalanan," kata Mahesa pula. Sebenarnya dia cuma memancing. Dan pancingannya mengena.

“Tunggu dulu...!" seru Wilani.

“Nah... nah! Ada apakah?"

“Aku-tak mengerti!"

“Eh, apa yang kau tidak mengerti?" tanya Mahesa lalu cabut rokok kawungnya dan menguap lebar-lebar.

“Siang bolong begini menguap. Apa kau sudah ngantuk? Tidak malu!”

Mahesa jadi tertawa. Lama-lama dia merasa senang juga pada gadis jelita yang lebih banyak bersikap seperti kekanak-kanakan ini. “Apa yang kau tidak mengerti sobatku?" kembali Mahesa bertanya.

“Hai, apa kau mau bersobat denganku? Mau berteman denganku...?" tanya Wilani.

“Mana ada orang yang menolak berteman dengan gadis secantik dan sebaikmu ini?" ujar Mahesa.

“Ooo, jadi aku ini cantik dan baik menurutmu?" tanya Wilani seraya mengerling.

“Bukan menurutku,“ sahut Mahesa.

Sang dara kaget. "Hai!" serunya. "Lantas menurut siapa?"

“Menurut semua orang!"

Mahesa tertawa lebar. Wilani cemberut. Tapi hatinya senang berbunga-bunga. “Kau juga baik. Pandai mengganggu orang. Apakah kau tinggal di Probolinggo ini?"

Mahesa menggeleng. “Aku dari udik," katanya. "kau belum terangkan soal tidak mengerti tadi."

“Oh ya. Aku tidak mengerti mengapa kau menolak permintaan ayahku untuk dijadikan pembantu Rangga."

“Hemm... Soal itu rupanya. "Aku mempunyai urusan pribadi dan tugas. Hal itu tidak memungkinkan aku menerima kebaikan ayahmu yang berarti aku harus menetap di sini!”

“Tapi kalaupun kau menetap di sini bukan berarti kau tidak bisa menyelesaikan urusan dan menjalankan tugas itu bukan?"

Mahesa tersenyum dan campakkan rokok kawungnya yang tinggal pendek. “Aku tak bisa menceritakan mengapa aku harus menolak tawaran ayahmu...”

Wilani terdiam. Sementara itu orang-orang yang lalu lalang di jalan merasa heran melihat puteri Adipati Probolinggo berada di tengah jalan, bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing. Satu pemandangan yang tak pernah terjadi sebelumnya.

“Sekarang, kau hendak menuju ke manakah?"

Mahesa belum sempat menjawab tiba-tiba seorang penunggang kuda muncul dan menyela di antara mereka. Rangga. Kepala pengawal, Kadipaten.

“Den Ayu, tidak selayaknya Den Ayu bercakap-cakap di tengah jalan. Dengan seorang pemuda asing pula Harap segera pulang."

“Paman Rangga? Apakah ayah yang menyuruhmu kemari?"

“Betul Den Ayu."

“Kalau begitu kau pulanglah duluan. Katakan pada ayah bahwa aku akan pulang jika sudah tiba waktunya...”

“Jika hal itu kusampaikan pada Adipati, aku bakal disemburnya Den Ayu!"

“Perduli amat!" sahut Wilani.

Kelihatannya Rangga tak berani memaksa. Kini dia berpaling pada Mahesa. “Anak muda! Jangan memberi malu puteri dan keluarga Adipati. Perbuatanmu bercakap-cakap di sini sungguh tidak sopan. Lanjutkan perjalananmu!"

Mahesa mengangkat bahu. Dia menyusun jari-jari tangannya dan meletakkannya di kening seperti memberi hormat. Lalu berpaling pada Wilani dan berkata, "Apa yang dikatakannya mungkin betul. Aku terpaksa pergi sekarang. Aku senang berjumpa denganmu Wilani!"

“Pemuda kurang ajar! Berani kau menyebut nama Den Ayu!" bentak Rangga. Tangan kanannya bergerak hendak menampar tapi cepat dipegang oleh Wilani.

Dengan melotot gadis ini berkata, "Paman Rangga! Kau tak bisa menyuruh kawanku itu pergi! Apalagi hendak menamparnya! Apakah perbuatanmu ini sopan?"

“Tapi...”

“Aku minta kau kembali ke Kadipaten. Kalau tidak, Aku akan suruh ayah memotong gajimu bulan ini sekaligus untuk membayar hutangmu padaku! Bagaimana?"

“Den Ayu, aku menjalankan tugas dari ayahmu. Kalau kau membangkang kau pasti akan dimarahi ayahmu!"

Wilani tertawa. "Akan kita lihat apakah ayah nanti benar-benar memarahiku...!" Wilani tahu betul betapa ayahnya sayang sekali padanya yang merupakan anak tunggal semata wayang. 
“Paman, kau tunggu apa lagi? Lekas pulang!"

Rangga geleng-geleng kepala dan putar kudanya. Tapi dia tidak pulang. Di kelokan jalan, dia berlindung di balik sebatang pohon besar dan menunggu di situ. "Heran” kata kepala pengawal Kadipaten ini dalam hatinya. Gadis yang selama ini kelihatan selalu pendiam, seperti pemalu dan amat sopan tingkah lakunya, kini berani-beranian mengejar lelaki dan ngobrol di tengah jalan. Mau dikemanakan muka Adipati? Ah, hari ini agaknya aku bakal mendapat dampratan! Kalau saja aku tidak meminjam uang pada Den Ayu, pasti aku bisa memaksanya pulang!"

“Nah, si pengganggu itu sudah pergi," kata Wilani. “Sekarang kau hendak kemanakah?"

“Aku ada urusan...”

“Boleh aku tahu?"

“Tidak...!"

“Ah, kau jahat!"

Mahesa tertawa. Dia memandang ke langit. Awan hitam tampak bergumpal-gumpal dan udara mulai redup mendung. “Lihat, sebentar lagi hujan akan turun. Sebaiknya kau pulang saja...!" menasihatkan Mahesa.

“Tapi aku kepingin mandi hujan!" jawab Wilani.

Mahesa tepuk keningnya. Hatinya kesal tapi juga ingin tertawa gelak-gelak mendengar kata-kata sang dara. Sebenarnya dia senang dapat berdua-dua dengan Wilani. Namun selagi dia harus menyelesaikan urusan tentu saja dia tak ingin gadis itu mengikutinya.

“Dengar Wilani. Jika urusanku selesai, aku akan mengunjungimu di Kadipaten!"

“Kapan urusanmu itu selesai? Sehari? Satu bulan atau setahun?"

Mahesa jadi terkancing mulutnya. Benar-benar dia kalah bicara dengan gadis itu. “Aku berjanji. Urusanku tak akan lama. Mungkin besok aku akan datang...”

“Aku tahu hal yang sebenarnya. Katakan saja kau tak mau berteman denganku!"

Mahesa terdiam. Wilani juga membungkam. Akhirnya dara ini membuka mulut. "Biarlah, kalau kau tak sudi akupun tak memaksa. Aku hanya ingin berteman karena aku tak punya kakak tak memiliki adik...”

Hujan gerimis mulai turun.

“Maksudku bukan begitu Wilani. Aku senang sekali berteman denganmu. Dan aku berjanji akan datang besok!”

Gadis itu tak menjawab. Dengan tundukkan kepala dia memutar kudanya. Binatang ini melangkah perlahan karena penunggangnya tidak berusaha untuk membedalnya. Mahesa tarik nafas dalam. Lalu meneruskan perjalanannya kembali. Dia keliru kalau menduga gadis itu benar-benar pulang!


11. PENUTURAN PENJAGA MAKAM. PERTEMUAN TAK TERDUGA
DELAPAN belas tahun yang lewat pedataran luas di timur Probolinggo itu masih merupakan pendataran kosong. Namun kini telah dipenuhi oleh ratusan kuburan. Mahesa sampai di pintu pekuburan tepat sewaktu hujan mulai turun dengan lebat. Dia lari ke sebuah bangunan kayu tak berdinding yang terletak di sudut kanan pekuburan dan berteduh di sini.

Seorang lelaki tua berambut, berkumis dan berjanggut putih yang sudah lebih dulu ada di tempat itu, terbangun dari tidurnya, memandang sesaat pada Mahesa lalu meneruskan tidurnya kembali. Namun sepasang matanya membuka lebar-lebar ketika mencium bau harumnya rokok kawung yang dinyalakan dan dihisap Mahesa.

“Ah, bapak tua, dingin-dingin begini tentunya kaupun tak akan menolak kalau kutawarkan kawung ini!"

Orang tua itu tertawa mengekeh. “Terima kasih-terima kasih...!" katanya. Suaranya agak telo karena seluruh gusinya tidak lagi ditumbuhi gigi.

“Pak tua... kau tinggal sekitar sini?" bertanya Mahesa. 
Sepasang matanya memandang berkeliling. Di bawah siraman hujan lebat itu dia seperti mencari-cari di manakah letak makam ibunya di antara ratusan kuburan yang ada di tempat itu.

“Ya, aku memang tinggal di dekat sini, nak. Aku penjaga tanah makam ini...!" menerangkan si orang tua.

“Ah, kalau begitu kebetulan sekali!" ujar Mahesa.

“Kebetulan bagaimana?"

“Dengar, namaku Mahesa. Aku ingin kau mengingat-ingat masa sekitar delapan belas tahun yang silam...”

“Eh, kata-katamu terasa aneh, nak. Delapan belas tahun lalu tempat ini masih kosong melompong, istriku masih hidup, gigi-gigiku masih utuh. Ha ha Ha!”

“Pak tua, coba kau ingat. Sekitar delapan belas tahun silam itu, apakah pernah terjadi peristiwa aneh dan mengerikan di pekuburan ini?"

Orang tua itu menatap wajah Mahesa sejurus lalu menggelengkan kepala. "Aku tidak ingat. Tapi jika kau bisa menerangkan peristiwa mengerikan macam mana yang kau maksudkan, mungkin aku bisa mengingat-ingat...”

“Turut penuturan yang aku terima, ada seorang perempuan yang dipendam di sebuah makam tua di tempat ini!”

“Hai! ltu rupanya!" Orang tua itu sampai tersentak kaget. Rokok kawungnya terlepas dari sela bibir. "Aku ingat, memang benar. Delapan belas tahun lalu. Suatu malam hujan turun amat lebatnya. Seperti dan selebat saat ini. Paginya seorang anak penggembala kerbau menemukan sesosok mayat perempuan dalam sebuah kuburan tua yang longsor. Perutnya koyak besar. Tanah kuburan yang merah tambah merah oleh darahnya. Anak itu berteriak-teriak ketakutan. Orang banyak berdatangan. Termasuk aku!” Orang tua itu gelengkan kepala. Dia memandang ke arah kejauhan.

Mahesa merasakan dadanya sesak dan tenggorokannya tersekat. Lidahnya terasa kelu ketika dia menyuruh agar orang tua itu melanjutkan penuturannya.

"Ternyata perempuan yang malang itu adalah Wening Muriati, istri Randu Ampel, orang yang tak jadi menduduki jabatan Adipati Probolinggo...”

Sepasang mata Mahesa tampak berkaca-kaca.
“Kemudian bagaimana pak tua?"

“Semula orang banyak menyangka perempuan itu korban keganasan harimau yang pada masa itu memang banyak berkeliaran di sekitar hutan di sekeliling kota. Tapi keliru. Seingat semua orang Wening Muriati saat itu tengah hamil besar. Kini perutnya koyak dan bayi yang dikandungnya tidak ditemukan!"

Mahesa pejamkan mata. Air mata menggelinding di kedua pipinya. “Nak... nak..." Orang tua itu tepuk-tepuk paha Mahesa. "Nak, kenapa kau menangis sesenggukan?”

Mahesa menjawab, "Perempuan bernama Wening Muriati itu adalah ibuku. Dan Randu Ampel pastilah ayahku. Bayi yang lenyap dari perut itu adalah aku sendiri!"

Si orang tua melompat dari duduknya. Mukanya pucat dan tubuhnya bergetar. Dia seperti melihat setan.

“Tak ada yang perlu ditakutkan pak tua. Duduklah kembali...”

“Gusti Allah! Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana hari ini aku bisa bertemu dengan bayi yang lenyap secara aneh itu?!"

“Pak tua, kau tahu di mana Randu Ampel sekarang berada?"

Sampai beberapa lama penjaga makam itu tak bisa membuka suara selain memandang tak berkedip pada Mahesa. “Aku tidak tahu,..!" katanya kemudian. "Tak ada seorangpun yang tahu. Randu Ampel lenyap sejak mayat isterinya ditemukan di pekuburan ini. Rumah besarnya kini ditempati oleh istri muda Mangun Aryo, Adipati Probolinggo!"

Mahesa menggigit bibir.

“Nak, kalau kau memang benar anaknya Wening Muriati dan Randu Ampel, rumah besar itu adalah hakmu...”

Mahesa tak menyahuti. Dia datang ke Probolinggo bukan untuk mencari harta atau rumah, tapi untuk mencari ayahnya dan mengunjungi makam ibunya. Ternyata sang ayah lenyap tanpa rimbanya.

“Pak tua, apakah kau pernah mendengar seorang perempuan bernama Wilujeng?” bertanya Mahesa setelah membisu beberapa lamanya.

“Ah, tentu saja aku ingat nak. Karena bersamaan dengan ditemukannya mayat ibumu, penduduk juga heboh. Wilujeng lenyap bersama bayi perempuannya yang baru berusia satu tahun. Menurut penuturan suaminya, seorang nenek-nenek bertubuh bungkuk bermuka buruk yang menculik. Entah setan entah manusia. Setelah menunggu dan mencari selama enam bulan dan tak kunjung berhasil menemukan istri serta anaknya lelaki itu kemudian meninggalkan Probolinggo dan tak pernah kembali lagi. Namun enam bulan sesudah itu, tahu-tahu Wilujeng dan anaknya yang telah berusia dua tahun muncul di Probolinggo...”

“Bisakah kau menunjukkan di mana rumah perempuan itu?"

“Bisa saja. Tapi Wilujeng sendiri menurut kabar telah menjadi korban keganasan hantu-hantu penghisap darah ketika dia menyambangi seorang anaknya di sebuah desa yang jauh dari sini. Anaknya yang ikut bersamanya untung selamat. Dan kini dia sudah jadi remaja puteri. Kabarnya menjadi seorang ahli silat. Gadis itu tinggal sendirian di rumah orang tuanya. Tapi sering berkelana...”

Hujan masih turun dengan lebat.

“Setelah mayat ibuku ditemui orang, apakah dia lalu dikuburkan di sini?”

Orang tua penjaga pekuburan itu mengangguk. Dia menunjuk ke depan. "Kau lihat pohon kamboja paling tinggi di ujung sana, berbatasan dengan rimba belantara? Di situ ibumu kami kuburkan...”

Mahesa berdiri.

“Eh, kau mau ke mana nak?"

“Ke makam ibuku, pak...”

“Hari masih hujan. Apa tidak sebaiknya ditunggu sampai reda dulu?"

Tapi Mahesa mana mau menunggu? Dadanya sesak sejak tadi. Sekian lama dia memendam rasa, apakah niatnya untuk melihat makam ibunya akan terhalang hanya oleh hujan lebat? Setengah berlari dia menuju ke kuburan dibawah pohon kemboja itu. Orang tua penjaga kubur yang tadi melarang, kini malah ikut-ikutan menyusul berlari di belakang Mahesa.

“Yang ini kuburnya...!" kata orang tua itu begitu sampai di hadapan sebuah makam yang tanahnya sudah hampir rata, ditumbuhi rumput dan semak belukar liar.

Mahesa jatuhkan diri berlutut. Jari-jari tangannya menggapai tanah makam. Air matanya sederas hujan yang turun. Dalam hatinya panggilan ibu... ibu... ibu berulang kali disebutnya.

Penjaga kuburan tampak terharu. Diusap-usapnya punggung Mahesa seraya berkata, "Nak, jangan kau hanyut oleh perasaanmu. Mari kita bersihkan makam ibumu...!"

Kedua orang itu kemudian mencabuti rumput dan semak belukar liar yang tumbuh di atas dan samping-samping makam. Tanah kubur dinaikkan. Di luar sadarnya Mahesa mematahkan batang besar pohon kemboja dan menancapkan patahan ini di kepala makam, membuat si orang tua terkesiap kaget.

“Nak, kau ini siapa sebenarnya? Jika kau tidak mempunyai ilmu mana mungkin mematahkan batang besar itu...”

Mahesa tak menjawab. Dia kembali berlutut di hadapan makam ibunya. Kedua matanya terpejam. Dari sela bibirnya keluar kata-kata yang amat perlahan, tapi masih sempat terdengar oleh si penjaga kuburan.

“lbu, aku Mahesa anakmu datang mengunjungimu. Semoga Gusti Allah memberikan tempat yang paling baik dan senang untukmu di alam barzah sesuai dengan imbalan penderitaan yang kau alami sebelum meninggal. lbu aku berjanji untuk mencari dan membalaskan sakit hatimu atas orang yang telah menganiayamu. Aku berjanji akan mencari ayah. Ibu, aku ingin menamanimu di sini lebih lama. Tapi itu tak mungkin. Aku harus pergi. Mencari manusia penimbul malapetaka itu. Mencari ayah dan menjalankan tugas-tugas yang diberikan guru. Aku harus pergi. Maafkan anakmu ini ibu...!"

Mahesa lalu menciumi tanah makam itu. Ketika dia berdiri, pakaian putihnya penuh kotor oleh tanah merah. Perlahan-lahan dia memutar tubuh dan melangkah ke pintu pekuburan. Si orang tua terus mengikutinya sementara hujan masih terus turun dengan lebat.

Sebenarnya setelah mendengar kata-kata Mahesa di hadapan makam ibunya tadi penjaga kubur itu ingin mengatakan sesuatu. Yaitu bahwa orang yang memendam dan membunuh ibunya adalah ayahnya sendiri. Namun dia tak sampai hati. Disamping itu dia kawatir pemuda itu tak akan percaya, bisa-bisa dia akan mendapat kesulitan. Karenanya niatnya untuk bicara dibatalkannya. Kini mengikuti Mahesa sampai di tengah jalan, orang tua ini akhirnya bertanya.

“Nak, kau mau ke mana sekarang?' Sampai tiga kali orang tua itu bertanya baru Mahesa menjawab.

"Aku tak tahu, pak tua!”

“Bukankah kau tadi ingin melihat rumah perempuan bernama Wilujeng itu?"

Sesaat Mahesa berpikir, akhirnya berkata. "Kalau begitu kau antarlah aku ke sana...”

“Lewat sini nak," orang tua itu mendahului.

Setelah berjalan di bawah hujan lebat beberapa lama akhirnya mereka sampai di hadapan sebuah rumah sederhana. Pintunya terbuka.

“Kurasa ada orang di dalam!” kata penjaga kuburan itu. Kita masuk saja.

Namun baru mereka menaiki beranda, seseorang berpakaian kuning muncul dari pintu depan.

“Nak Kemala, ternyata kau ada di rumah. Aku mengantarkan tamu ini. Katanya dia ingin melihat rumahmu...”

Murid Kunti Kendil jadi terkesiap ketika dia melihat siapa yang berdiri di depannya. Bukan lain dara berbaju kuning yang dulu pernah ditolongnya dari manusia-manusia jahat Tiga Datuk Kembar Dari Bukit Akhirat!

“Saudari... Jadi kau... ujar Mahesa.

“Ya memang aku! Rupanya kau belum puas dan sengaja menguntit aku sampai kemari!" Sepasang mata dara memandang dari atas sampai ke bawah. Tiba-tiba...

Sret!

Dara yang bernama Kemala ini cabut pedangnya. Si penjaga kuburan yang datang mengantar Mahesa tentu saja terkejut dan melangkah mundur.

"Kalian sudah saling kenal?"

Mahesa bungkam. Tadinya dia gembira karena dara yang selalu diingat-ingatnya itu tidak terduga ditemuinya di rumah itu. Tapi hatinya menjadi hambar karena ternyata sang dara masih saja menunjukkan sikap seperti dulu. Kasar dan ketus.

“Aku tidak tahu kalau kau yang tinggal di sini!”

“Jangan dusta! Kalau tidak sengaja menguntit aku kemari tidak nanti kau muncul di sini”

“Nak Kemala... jangan salah sangka...”

“Pak tua, aku menghormatimu. Tapi jangan ikut campur. Kuharap kau tidak ikut bicara!"

Selesai membentak si orang tua Kemala berpaling pada Mahesa. "Katakan apa maksudmu mengikutiku sampai ke sini...?”

“Percuma, kuterangkanpun pasti kau tak percaya," jawab Mahesa. Kesedihannya sehabis dari makam ibunya masih belum pupus. Hatinya tambah terenyuh ketika sang dara memperlakukannya seperti itu. Saat itu hujan mulai reda. Mahesa memasukkan sejumlah uang ke dalam saku pakaian orang tua penjaga kuburan. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi dia tinggalkan rumah itu.

Setelah Mahesa pergi, orang tua itu sesaat memandang dara berbaju kuning, akhirnya pergi pula dari situ. Kemala hendak memanggil, tapi entah mengapa membatalkan niatnya.

Pada saat Mahesa berada di makam ibunya, semua yang terjadi di situ disaksikan oleh Wilani yang mengintai dari balik sebatang pohon besar. Selagi dia mengintai tiba-tiba Rangga muncul di sampingnya.

“Den Ayu, apa perlunya kau mengikuti pemuda itu sampai di sini berhujan-hujan. Kau harus pulang. Kau tak mau sakit bukan?"

Sebenarnya Wilani ingin memasuki pekuburan itu untuk mengetahui makam siapa yang dikunjungi Mahesa, tapi entah mengapa sekali ini dia mengikuti kata-kata kepala pengawal itu dan berlalu dari tempat itu. Sebaliknya Rangga diam-diam terus mengikuti Mahesa. Setelah Mahesa Edan meninggalkan rumah Kemala dia menemui orang tua penjaga kuburan, menariknya kesatu tempat dan memaksa orang tua ini memberi keterangan. Ketika kembali ke Kadipaten, Mangun Aryo menyambut kepala pengawalnya dengan sikap tidak sabaran.

“Barulah saja puteriku pulang basah kuyup. Kini kau juga muncul dengan basah kuyup. Lekas terangkan hasil penyelidikanmu!"

Rangga lalu memberikan keterangan. Mulai dari dia melihat Wilani bercakap-cakap dengan Mahesa di tengah jalan, sampai kunjungan pemuda itu ke pekuburan.

“Dari pekuburan pemuda itu menuju bekas rumah Wilujeng. Dia bercakap-cakap dengan gadis bernama Kemala. Kelihatannya antara mereka telah saling kenal sebelumnya. Tapi saat itu si gadis kelihatan marah dan mencabut pedangnya. Pemuda itu lalu pergi. Saya mencegat orang tua penjaga makam dan memaksanya memberi keterangan apa saja yang dibicarakan dan dilakukan Mahesa waktu di pekuburan. Ternyata pemuda itu mengunjungi makam Wening Muriati. Perempuan yang delapan belas tahun silam kematiannya menimbulkan kegegeran di Probolinggo ini.”

Adipati Mangun Aryo terkejut. Parasnya berubah. “Kau pasti sekali bahwa pemuda itu mengunjungi makam Wening Muriati, bukan makam orang lain?”

“Saya pasti sekali Adipati," menegaskan Rangga.

Mangun Aryo sesaat tampak berpikir-pikir. Lalu bertanya. "Ada hubungan apa pemuda itu dengan Wening Muniarti?”

“Menurut penjelasan si penjaga makam pemuda itu mengaku sebagai anak Wening Muniarti...”

“Kau tidak salah dengar Rangga?!" Suara Mangun Aryo bergetar dan Rangga melihat wajah Adipati itu berubah pucat.

“Tidak Adipati. Tidak mungkin saya salah dengar. Kalau Adipati tidak percaya, saya bisa membawa penjaga makam itu kemari...!"

“Tidak... tidak perlu,!" jawab Mangun Aryo. Dia melangkah mundar-mandir. "Kalau begitu dia adalah anak Randu Ampel! Luar biasa! Benar-benar tak dapat dipercaya! Siapa menyangka. kalau bayi itu hidup dan kini menjadi seorang pemuda... Ah, berbahaya. Berbahaya...”

“Apa yang berbahaya Adipati?" tanya Rangga.

Mangun Aryo sadar kalau dia sudah ketelepasan bicara. Dipegangnya bahu kepala pengawal itu lalu berkata, "Kau cari pemuda itu kembali. Katakan padanya bahwa dia harus meninggalkan Probolinggo dan tidak boleh kembali. Jika dia membangkang tangkap dan masukkan dalam penjara. Kau dengar Rangga?!”

“Dengar Adipati. Kalau boleh saya bertanya...”

“Kau tak perlu banyak tanya. Kerjakan perintahku!" bentak Mangun Aryo. "Bawa beberapa orang anak buahmu!"

Kepala pengawal itu menjura lalu cepat-cepat tinggalkan Kadipaten bersama dua orang anak buahnya. Atas petunjuk beberapa pejalan kaki akhirnya Mahesa sampai di hadapan rumah bekas kediaman kedua orangtuanya. Rumah ini sebuah rumah besar dengan halaman luas dan ditumbuhi sebatang pohon beringin besar didepannya.

Selagi dia tegak di bawah pohon beringin sambil memandang rumah besar itu dan membayangkan wajah ayah ibu yang tak pernah dilihatnya, tiba-tiba seorang perempuan muda muncul di serambi. Sesaat dia memandangi Mahesa dengan pandangan curiga. Kemudian dia berseru memanggil seseorang.

Yang keluar adalah seorang lelaki berpakaian serba hitam, bermuka bopeng. Perempuan muda yang berparas cantik itu bicara pada si bopeng ini dan menunjuk ke arah Mahesa. Si bopeng lalu melangkah cepat mendatangi Mahesa dan bertolak pinggang di hadapan pemuda itu.

“Gembel kotor!" tegurnya kasar, "Ada apa kau berdiri di sini. Kau hendak mencuri ya?"

Mahesa cabut rokok kawungnya. Asap yang ada dalam mulutnya dihembuskan ke muka si bopeng. Mahesa hampir tak percaya ketika menyaksikan apa yang terjadi. Si muka bopeng terhuyung-huyung ke belakang sambil menjerit dan tekap mukanya. Dari kedua matanya mengucur darah!

Murid Kunti Kencil tidak menyadari bahwa setelah mendapat tambahan tenaga dalam dari kakek muka tengkorak di candi tempo hari maka hembusan rokok yang dilakukannya tidak beda dengan hantaman keras.

“Astaga, kenapa anak setan ini!" ujar Mahesa heran. "Masakan dihembus asap rokok saja sampai mengucurkan darah!" Dengan rasa tak percaya dia menyedot rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya ke batang pohon beringin. Kini kembali dia melengak. Kulit pohon beringin itu pecah-pecah dan rontok. "Eh, gila!" seru Mahesa. 
Tiba-tiba... wut!

Mahesa merasakan siuran angin dari belakang. Pemuda ini membungkuk dan sebatang golok lewat di atas kepalanya. Ketika dia berpaling, yang menyerangnya ternyata adalah si muka bopeng tadi. Melihat serangannya tidak mengenai sasaran orang itu kembali menyerbu. Goloknya berputar-putar sebat sekali. Tapi tentu saja si bopeng ini bukan lawan Mahesa. Sekali menghantam, terdengar lagi pekik si bopeng. Goloknya lepas. Tulang lengannya retak.

“Gembel keparat!" teriak si bopeng. "Kau tidak tahu rumah siapa di sini! Sebentar lagi orang-orang Kadipaten akan meringkusmu dan menjebloskanmu dalam penjara! Keparat!" Habis berkata begitu si bopeng lalu lari ke jalan. Baru saja sampai di jalan, tiga penunggang kuda muncul.

“Rangga! Kebetulan kau datang! Seorang gembel menimbulkan keonaran di rumah istri muda Adipati. Mungkin juga hendak mencuri atau punya maksud jahat lainnya. Lihat, tanganku dipatahkannya! Mataku dibuatnya cidera!"

“Mana orangnya?!" tanya penunggang kuda di sebelah depan yang ternyata adalah Rangga dan dua anak buahnya.

“ltu di balik pohon!”

Ketika Rangga sampai di balik pohon beringin itu maka diapun berseru, "Aha! Dicari-cari di seluruh kota ternyata kau ada di sini anak muda! Dan berani kau membuat keonaran di rumah istri Adipati Probolinggo? Bahkan berani mencelakai seorang pengawal...!"

“Oh jadi si bopeng itu pengawal rupanya. Kukira jongos!" kata Mahesa seenaknya.

“Bangsat rendah! Ku robek mulutmu!" teriak si bopeng yang menjadi marah, tapi dia tak berani melakukan apa-apa.

“Anak muda, aku Rangga masih mau memberi ampun padamu. Lekas tinggalkan tempat ini. Minggat kau dari Probolinggo dan jangan sekali-kali berani datang lagi kemari!"

“Heh...? Mahesa hisap rokoknya dalam-dalam.

Si bopeng cepat berseru. "Rangga, awas asap rokoknya. Mataku tadi diciderainya dengan hembusan asap itu!"

Karena tidak menyaksikan sendiri tentu saja Rangga tidak percaya pada kata-kata si bopang.

“Ada hak apa kau menetapkan bahwa aku harus meninggalkan kota ini dan tak boleh kembali?!"

“Ini bukan soal hak atau apa! Ini perintah Adipati Probolinggo!"

“Begitu? Lalu kenapa Adipatimu itu mengeluarkan perintah begitu?!" tanya Mahesa pula.

“Anak muda! Jangan buat aku kehilangan kesabaran! Lekas tinggalkan tempat ini!" Suara Rangga menjadi garang.

“Aku tidak mau! Aku masih ingin tinggal sedikit lama di sini. Memandangi rumah besar itu. Dulu itu adalah rumah orang tuaku. Tapi Adipatimu merampasnya dan menghadiahkannya untuk istri mudanya! Bukankah begitu?”

“Pemuda kurang ajar. Mulutmu pantas kusumpal dengan golok ini!"

Tanpa turun dari kudanya kepala pangawal Kadipaten itu cabut goloknya dan tusukkan tepat ke arah mulut Mahesa.