Mahesa Edan Jilid 4 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Serial Mahesa Edan
Jilid 4

Karya : Bastian Tito

Mahesa Edan jilid 4
Tiba-tiba tubuh orang itu melesat kebwah dan tahu-tahu sudah tegak didepan Mangun Aryo.

"Akulah Randu Ampel yang celakai dengan guna-guna terkutuk delapan belas tahun lalu! Karena kau menginginkan kedudukan Adipati! Kau sudah mendapatkan kedudukan itu! Kau sudah berkuasa. Apa kau sudah puas Mangun Aryo...! Kau... tidak mungkin...!" seru Mangun Aryo. Suaranya kelu.

"Anggaplah Randu Ampel sudah mati. Sekarang yang tegak di depanmu ini adalah setannya. Yang datang untuk membunuhmu...!"


Ringkasan Jilid 3
Mahesa sampai di sebuah desa bernama Tegalsari ketika berlangsung pemilihan Kepala Desa. Disaat yang sama datanglah gerombolan penjahat dibawah pimpinan Warok Getah lreng. Mereka bukan saja melakukan perampokan tetapi juga membunuh Kepala Desa.

Penduduk mendapat semangat dan keberanian ketika Mahesa bertindak menjadi penolong. Warok Getah Ireng akhirnya tewas dibunuh penduduk. Ternyata ada hubungan tertentu antara komplotan penjahat itu dengan Adipati Jombang. Sang Adipati mengirim anak buahnya bernama Rah Bulus untuk menangkap Mahesa dan juga seorang empu bernama Larangan; yang dianggap bertanggung jawab atas kematian kepala rampok Getah Ireng.

Terjadi keributan di rumah Empu Larangan. Rah Bulus menemui ajal tertusuk Keris Naga Biru yang saat itu sedang dibuatkan tiruannya oleh Empu Larangan. Karena ingin memiliki keris Naga Biru tersebut dan sekaligus menghukum penduduk desa, maka Adipati Jombang mengirimkan lebih dari dua puluh prajurit Kadipaten dibawah pimpinan seorang berkepandaian tinggi bernama Loh Jingga. Loh Jingga berhasil merampas Keris Naga Biru. Tetapi ternyata yang didapatnya hanyalah keris tiruan.

Sementara itu secara aneh Mahesa mendapat kiriman surat dari gurunya Kunti Kendil yang isinya menyuruh pemuda itu datang ke Pesantren Nusa Barung pada hari dua belas bulan Sura. Dalam perjaIanan ke Probolinggo Mahesa terpesat ke sebuah reruntuhan candi. Disini dia menolong seorang kakek yang dipendam dalam sebuah lobang dibawah arca gajah.

Ternyata kakek ini bukan orang sembarangan. Dia memberikan sepertiga tenaga dalamnya dengan jalan memukul dada pemuda itu hingga Mahesa pingsan. Ketika Mahesa siuman dari pingsannya didapatinya Keris Naga Biru asli dan yang tiruan serta papan nisan kayu besi hitam yang merupakan senjata sakti aneh dari gurunya telah lenyap.

Yang mencuri rupanya adalah Loh Jingga yang selalu menguntit kemana Mahesa pergi. Dengan senjata-senjata sakti itu Loh Jingga bermaksud membunuh Mahesa. Dalam keadaan hampir menemui ajalnya di tangan kakek jahat itu, muncullah orang tua yang ditolong Mahesa keluar dari lobang dibawah arca. Loh Jingga menemui kematian di tangan orang tua ini.

Mahesa melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. Disebuah bukit diluar kota Probolinggo Mahesa bertemu dengan seorang lelaki aneh yang bermaksud membunuh Wilani, puteri Adipati Probolinggo. Mahesa berhasil menyelamatkan gadis itu dan bertemu dengan Adipati Probolinggo yang tidak disadarinya adalah manusia penimbul malapetaka pada kedua orang tuanya. 

Bahkan Adipati itu menawarkan jabatan sebagai kepala pengawal pada pemuda itu, tetapi ditolak. Dari seorang penjaga pekuburan Mahesa akhirnya berhasil mengetahui makam ibunya, juga mengetahui kisah masa silam kematian ibunya, siapa nama perempuan itu dan siapa nama Ayahnya yang lenyap tak diketahui entah kemana.

Di Probolinggo pula Mahesa bertemu dengan dara berbaju kuning yang selalu diingatnya itu. Sang dara salah sangka, mengira Mahesa sengaja mengikutinya dengan maksud buruk. Hampir terjadi perkelahian. Dari kepala pengawalnya, Adipati Probolinggo kemudian mengetahui bahwa Mahesa adalah putera Randu Ampel. Maka diperintahkannya agar Mahesa meninggalkan Probolinggo. Mahesa menolak. Terjadilah perkelahian antara Mahesa dengan kepala pengawal Kadipaten.


1.    MENGHAJAR ORANG-ORANG KADIPATEN PROBOLINGGO
SEBAGAI kepala pengawal Kadipaten Probolinggo sudah barang tentu Rangga memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. Dia mendapat pelajaran latihan ilmu silat serta ilmu golok dari sebuah perguruan di tenggara Blambangan dan merupakan murid yang pandai. Karena itulah Adipati Mangun Aryo memberikan jabatan itu padanya. Selama Rangga bertugas di Kadipaten Probolinggo keadaan kota dan sekitarnya senantiasa aman.

Dari siuran angin yang keluar dari gerakan serta golok ditangan si tinggi besar Mahesa memaklumi kalau lelaki itu bukan saja memiliki tenaga luar yang kuat tetapi juga mempunyai tenaga dalam yang tidak rendah.
Ketika melihat golok yang ditusukkan ke arah mulutnya. Mahesa berkelebat ke samping lalu membalas dengan satu sodokan ke sisi kanan Rangga. Tapi... wutt!

Golok yang tadi hanya menusuk angin tiba-tiba cepat sekali membabat ke bawah, hanya lewat seujung kuku dari jari Mahesa.

“Anak setan ini rupanya tidak main-main” maki murid Kunti Kendil melompat mundur. Sambil pasang ancang-ancang pemuda ini berkata, “Paman antara kita tak ada permusuhan! Mengapa kau hendak mencelakaiku?!“

Rangga menyeringai. “Kau berani membangkang! Karenanya harus berani tanggung akibat!"

Wutt!

Sekali lagi golok di tangan kepala pengawal itu membabat. Kali ini mengincar batang leher Mahesa hingga pemuda ini harus bergerak cepat selamatkan diri.

“Apakah kau masih belum mau meninggalkan kota ini?!“ bentak Rangga. Diam-diam dia kagum juga dengan ketangkasan si pemuda. Dua kali Mahesa sanggup mengelakkan serangannya.

Sebelum menjawab Mahesa sedot dulu rokok kawungnya dalam-dalam. “Aku sudah bilang, aku ingin tinggal lebih lama disini. Memandangi rumah itu yang menurut penjelasan seseorang dulunya adalah milik orang tuaku!”

“Orang yang memberi keterangan itu tentunya gila! Rumah itu adalah milik Adipati Mangun Aryo! Disitu diam istrinya!”

Tentu saja Rangga tidak tahu akan asal usul rumah besar itu karena dia baru menjadi kepala pengawal sekitar empat tahun setelah terjadinya peristiwa menggegerkan di Probolinggo yakni kematian Wening Muriati dan lenyapnya Randu Ampel.

“Kalaupun ini bukan rumah orang tuaku, apa salahnya aku tegak sebentar di bawah pohon sana!“ menyahuti Mahesa.

“Anak muda, dengar nasihatku. Kau masih ada waktu untuk meninggalkan tempat ini. Dan kau akan selamat! Sebenarnya aku tak mau mencelakaimu!”

“Kalau kau memang tak hendak mencelakaiku, kau kembali saja ke Kadipaten!”

“Tapi aku harus menjaga keselamatan rumah dan isinya. Kau dicurigai bawahanku hendak melakukan sesuatu.“

“Bawahanmu si bopeng itu yang keterlaluan. Kejahatan apa yang aku lakukan di tempat ini?!”

Si bopeng buru-buru membuka mulut. “Rangga! Kenapa harus bicara panjang lebar dengan pemuda keparat itu! Gebuk dia sampai tahu rasa lalu jebloskan dalam penjara!”

Mahesa menyeringai dan memandang sesaat pada orang Itu. “Mukamu jelek. Ternyata hatimu lebih jelek lagi!”

“Mahesa,“ kembali Rangga yang bicara. “Pergilah.”

Mahesa tiupkan asap rokoknya ke atas dan gelengkan kepalanya. Rangga menjadi jengkel.

“Kau memang keras kepala! Jadi perlu diberi pelajaran dan hajaran!" Golok Rangga menderu kembali. Bagian yang diserang adalah dada ke atas, terutama kepala.

“Bunuh dia Rangga! Bunuh!“ teriak si bopeng yang memang sangat mendendam pada Mahesa. Dia merasa gembira melihat Mahesa seperti kelabakan, melompat kian kemari menyelamatkan diri dari kejaran golok. Tapi rasa gembiranya ini tidak lama. Hampir tak kelihatan saking cepatnya, sewaktu mengelakkan serangan golok lawan, Mahesa pergunakan kaki kanannya untuk menendang sambungan lutut kaki kanan depan kuda tunggangan Rangga.

Tulang lutut itu remuk. Binatang itu meringkik keras dan menaikkan ke dua kaki depannya tinggi-tinggi sehingga Rangga terlempar ke atas. Dengan gerakan enteng kepala pengawal ini jungkir balik. Sesaat kemudian dia sudah berada di atas kedua kakinya. Sambil mengeluarkan makian Rangga terus saja menyerbu Mahesa.

“Paman Rangga! Aku masih menghormatimu! Apakah kau tidak mau menghentikan serangan gila ini?!“ Mahesa berseru.

Rangga tidak menjawab. Rahangnya kelihatan menggembung. Goloknya berkelebat ganas, membabat dua kali dan menusuk satu kali. Namun tetap saja tidak menemui sasaran.

“Ah, pemuda ini agaknya memiliki kepandaian tinggi. Siapa dia sebenarnya?” bertanya-tanya Rangga dalam hati.

“Paman Rangga! Kau betulan tidak mau menghentikan seranganmu?!“ Mahesa berseru lagi.

“Berikan dulu kupingmu yang tidak mau mendengar nasihat orang!“ jawab Rangga. Dan goloknya menderu ke samping kiri kepala Mahesa, dengan tujuan hendak membat putus daun telinga anak muda ini. Namun tentu saja tidak semudah itu. Malah sesaat kemudian dia yang kena dihajar oleh Mahesa.

Setelah lagi-lagi golok lawan mengenai tempat kosong, Mahesa melompat ke arah pohon beringin dan bergayut pada akar gantung. Sesaat kemudian tubuhnya berayun melesat sebat ke arah Rangga. Satu tendangan yang tidak terlalu tidak keras, menghantam bahu kanan kepala pengawal ini hingga Rangga terpental dan terguling di tanah. Goloknya jatuh entah kemana!

Kali ini lenyaplah kesabaran Rangga, berganti dengan kemarahan dan juga rasa malu. Selama menjadi kepala pengawal di Kadipaten Probolinggo tak pernah kejadian dia dipecundangi orang. Kini hal itu terjadi justru di depan tiga orang anak buahnya!

Sambil meringis menahan sakit, Rangga memberi isyarat pada dua anak buahnya yang tadi datang bersama-sama. Ketiga orang ini mengurung Mahesa. Rangga dengan tangan kosong sedang dua lainnya dengan golok di tangan.

Mahesa campakkan rokok kawungnya yang tinggal pendek ke tanah lalu berkata mengejek, “Bagus sekali! Tidak sangka kepala pengawal Kadipaten beraninya hanya main keroyok!”

Tampang Rangga menjadi merah mengelam. Dia sengaja memberi isyarat pada kedua anak buahnya untuk ikut menghadapi Mahesa karena dia ingin meringkus pemuda ini hidup-hidup. Diam-diam kepala pengawal ini ingin mengetahui siapa sebenarnya pemuda ini. Mengapa dia ingin memandangi rumah besar yang ditinggal istri muda Mangun Aryo.

Benarkah itu dulu rumah orang tuanya atau hanya alasan karena hendak melakukan suatu kejahatan? Bukan mustahil dia hendak mencuri atau mau menculik istri sang Adipati. Lalu mengapa pula Mangun Aryo ingin agar pemuda ini diusir dari Probolinggo.

“Mahesa, aku tadi sudah bilang. Karena kau berani membangkang, maka harus berani tanggung akibat!“ berkata Rangga, Lalu bersama kedua anak buahnya dia mulai bergerak. Sebenarnya pengawal bermuka bopeng juga ingin turut mengeroyok. Namun bekas hajaran Mahesa membuat dia jeri dan memilih lebih baik jadi penonton sambil tiada hentinya memaki Mahesa dan memberi semangat Rangga serta dua kawannya.

Dua bilah golok datang dari kiri kanan sementara Rangga meIompat dari depan. Diserang seperti itu kelihatan si pemuda membuat gerakan yang tidak disangka. Bukannya dia mengelak, tapi justru merogo kantong mengambil sebatang rokok kawung!

“Ah sialan! Ada rokok tak ada apinya!“ terdengar Mahesa berkata. Bersamanan dengan itu baru dia jatuhkan diri menghindari serangan dua golok. Hal inilah yang diinginkan Rangga. Perhitungannya pada saat si pemuda mengelak dan perhatiannya terpusat pada dua anak buahnya, maka dia melompat dari depan untuk memukul dengan tangan kiri dan menotok dengan tangan kanan. Namun yang kemudian kejadian terjadi membuat kagetnya bukan kepalang.

Seperti seekor anak kucing Mahesa menyelusup dibawah selangkangan Rangga. Kepala pengawal ini merasakan sambaran angin ke balik sabuk besar di pinggangnya, sedang serangannya tadi hanya mengenai angin. Ketika dia berpaling ke belakang, dilihatnya Mahesa tengah menyalakan kawungnya dengan korek api miliknya sendiri!

Selesai menyalakan rokoknya Mahesa lemparkan korek ke arah Rangga seraya mengucapkan terima kasih! Karena malu kepala pengawal ini tak mau menanggapi korek api itu.

“Pemuda ini ilmunya jauh lebih tinggi dariku!“ katanya dalam hati melihat kenyataan itu. “Kalau dia mau, tadi tentu dia bisa memukulku! Tapi bagaimanapun aku harus menangkapnya. Aku harus mengorek keterangan!”

Selagi Mahesa enak-enaknya menyedot rokoknya, Rangga dan dua anak buahnya kembali menyerbu.

“Kalian manusia-manusia tak tahu sopan. Mengganggu kesenangan orang yang sedang merokok!“ kata Mahesa dengan kawung terselip di bibir.

Sebelum ke tiga lawannya datang lebih dekat, pemuda itu datang menyongsong. Tangannya kiri kanan bergerak cepat. Terdengar keluhan pendek dua anak buah Rangga dan tahu-tahu mereka dapatkan dirinya dalam keadaan tertotok!

Rangga sendiri dapatkan bagiannya sesaat kemudian. Kepala Pengawal ini berteriak kesakitan ketika tangan Mahesa menjambak bulu-bulu yang tumbuh didadanya. Rasa sakit membuat Rangga menjadi kalap. Dia ambil dua buah golok yang masih tergenggam di tangan kedua anak buahnya yang saat itu hanya bisa berdiri kaku, lalu dengan sepasang senjata itu dia menyerbu Mahesa.

Kali ini murid Kunti Kendil sambut serangan lawannya dengan gerakan “Makam Sakti Meletus“. Tapi dia tidak mau mengerahkan tenaga dalamnya karena dia memang tidak ingin mencelakai lawan. Kedua tangannya memukul dari bawah ke atas. Untuk kedua kalinya Rangga terpekik. Kedua lengannya yang tertangkis lengan Mahesa sakit seperti patah. Dua golok yang dipegangnya terlepas mental dan kepala pengawal ini jatuh terduduk di tanah!

Mahesa menguap lebar-lebar. Lalu tanpa mengacuhkan ketiga orang itu dan juga si bopeng pemuda ini pergi duduk ke bawah pohon beringin. Seperti tadi dari situ dia memandangi rumah besar di hadapannya. Rangga bangkit perlahan-lahan. Dilepaskannya totokan kedua anak buahnya lalu berkata,

“Kita harus kembali ke Kadipaten memberi tahu hal ini pada Adipati. Kuwung, kau tetap disini mengawasi pemuda itu!”

Si bopeng yang bernama Kuwung karena takut, menjawab, “Tidak, aku juga mau ikut bersama kalian...!”

Saat itu Rangga dan dua anak buahnya telah melarikan diri. Kuwung memandang ke jurusan Mahesa. Dari pada diapa-apakan oleh pemuda itu lebih baik dia menyusul ke Kadipaten.

Sesaat setelah Mahesa duduk di bawah pohon itu, dari dalam rumah besar keluarlah dua orang perempuan. Keduanya berkulit kuning langsat, sama-sama cantik, raut muka mereka seperti kakak adik. Salah seorang dari perempuan ini adalah yang sebelumnya dilihat Mahesa memanggil Kuwung. Mahesa menjadi heran dan cepat-cepat bangkit ketika kedua perempuan itu melangkah ke arahnya.

2. ISTRI MUDA SANG ADIPATI
SETELAH sampai di hadapan Mahesa, kedua perempuan itu sesaat memandangi pemuda ini dari rambut sampai ke kaki. Mereka dapatkan Mahesa berwajah cakap tetapi mengapa pakaiannya penuh bercelemong tanah merah?

Perempuan yang bertubuh agak tinggi, yang menurut perkiraan Mahesa adalah kakak dari perempuan yang satunya ajukan pertanyaan, “Saudara muda, kau siapakah yang begitu berani berkelahi dan mengalahkan kepala pengawal Kadipaten serta anak buahnya...?”

Ditanya seperti itu Mahesa jadi kikuk. Sesaat hanya kedua matanya yang membuka lebar mengagumi kecantikan dua perempuan itu. Kemudian, bukannya menjawab malah ini balik bertanya, “Apakah disitu istri Adipati Mangun Aryo..?”

Perempuan yang berbadan tinggi tampak tersipu-sipu menjawab, “Aku adalah mertua Adipati Mangun Aryo. Anakku ini yang istrinya...”

Mahesa jadi melongo. Perempuan yang bicara itu masih segini muda. Memandang pada perempuan disampingnya yang katanya adalah anaknya, menurut perkiraan Mahesa paling tinggi si anak baru berusia 16 tahun. Terdorong oleh rasa hampir tak percaya Mahesa langsung saja ketelepasan bicara.

“Bagaimana anakmu yang masih sangat muda tega kau kawinkan dengan Mangun Aryo? Kurasa umur Adipati itu tiga kali umur anakmu!”

Perempuan itu menghela nafas dalam. Diwajahnya yang cantik tiba-tiba saja kelihatan bayangan rasa sedih murung yang mendalam. "Sebagai seorang ibu tentu saja aku tidak suka mengawinkan anakku yang baru enam belas tahun ini dengan sang Adipati yang berusia lebih dari lima puluh tahun. Tapi aku terpaksa. Siapa yang berani membantah kehendak orang yang berkuasa. Anakku Mirani dirampasnya tiga tahun lalu ketika dia berumur tiga belas! Kambing tua bernama Mangun Aryo itu benar-benar rakus daun muda!”

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Mahesa.

Ibu Mirani lagi-lagi menarik nafas panjang. “Aku tidak kenal padamu. Tapi melihat bagaimana kau tadi menghajar orang-orang itu aku merasa mungkin sesaknya dada ini sejak tiga tahun lalu akan berkurang jika kuceritakan padamu asal muasalnya sampai Mirani terpaksa dikawinkan dengan Mangun Aryo...”

Mirani, yang tegak disamping ibunya berusaha menarik lengan si ibu sambil berkata, “Ibu, kita masuk saja. Tak layak nasib diriku yang buruk ini diceritakan pada orang ini. Dia bukan sanak bukan kadang kita. .”

Mahesa yang merasa kasihan terhadap Mirani menjawab dengan lembut, “Adik, tentu saja aku tak bermaksud mau tahu rahasia kehidupan orang lain. Tapi semua yang terjadi akhir-akhir ini membuat aku ingin tahu lebih banyak tentang Mangun Aryo. Dia memerintahkan anak buahnya mengusir aku dari Probolinggo. Mengapa.? Tentu ada sebabnya. Nah, sebabnya inilah yang ingin kuketahui...”

Ibu Mirani memandang pada anaknya lalu berkata, “Anakku, selama bertahun-tahun kita hidup terkungkung dirumah besar ini. Kita tak punya sanak keluarga, kita dijauh tetangga dan penduduk. Bahkan aku dicap sebagai penjual anak. Tak ada seorangpun yang mau mendekati. Tak ada tempat mengadu. Orang muda ini memang bukan sanak bukan kadang kita. Tapi aku percaya padanya. Apakah kau tidak ingat akan kematian ayahmu?”

Mendengar kata-kata ibunya itu Mirani menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan menangis terisak-isak.

Sang ibu memandang pada Mahesa, dengan suara parau berkata, “Ayah Mirani meninggal gantung diri. Tak tahan menaggung malu dan tak sanggup melawan kekuasaan Mangun Aryo...!”

Kemudian perempuan itu menerangkan bagaimana pangkal mulanya Mirani jatuh ke tangan Mangun Aryo. Sekitar tiga tahun lalu suaminya pernah meminjam uang pada Adipati itu untuk biaya perluasan sawah, pembelian bibit padi baru dan pembayar ongkos pekerja sewaan. Nasib malang padi yang mulai masak diserang hama. Mereka mengalami kerugian besar, dan tak mampu mengembalikan uang dipinjam sementara dari bulan ke bulan bunga pinjaman semakin berlipat ganda.

Ketika ayah Mirani tak sanggup lagi membayar hutang-hutangnya, datanglah utusan Adipati Probolinggo yakni Rangga. Mereka diberi peringatan yang mengejutkan. Jika dalam tujuh hari hutang berikut bunganya tidak dibayar maka suaminya akan dijebloskan masuk penjara. Kecuali jika Mirani yang berusia tiga belas tahun itu bersedia diambil jadi istri muda. Saat itu meskipun baru berusia tiga belas tahun keadaan tubuh Mirani lebih besar dari anak-anak perempuan sebayanya dan wajahnyapun cantik sekali.

Karena tidak punya daya apa-apa lagi dan selain itu dia tidak sudi memenuhi permintaan Adipati agar anak tunggalnya dijadikan istri muda, akhirnya sang suami terpaksa menyerahkan badan masuk dalam penjara.

Sang anak, karena kecintaannya pada ayahnya, tanpa setahu orang tuanya diam-diam menghubungi Adipati Mangun Aryo dan mengatakan bahwa dia bersedia jadi istri lelaki yang tiga kali lebih tua usianya itu. Sang ayah tentu saja merasa heran ketika pada suatu hari dia dinyatakan bebas dan boleh kembali ke rumah.

Namun sewaktu diketahuinya bahwa Mirani sudah berada dan tinggal serumah dengan Mangun Aryo di Kadipaten, nekadlah lelaki ini. Dengan sebilah keris di tangan dia datang ke Kadipaten. Beberapa orang sahabat menasihatkannya agar tidak berlaku bodoh. Apapun yang dilakukannya tak akan mengembalikan kegadisan puterinya. 

Mungkin karena amarah yang tidak terlepaskan ditambah menanggung malu besar, ayah Mirani memang membatalkan niatnya menyerbu Kadipaten, dia kembali ke rumah tapi pada sore harinya ditemui telah mati menggantung diri dalam kamarnya! Adipati kemudian memindahkan kami ke rumah besar ini. Seorang pengawal ditempatkannya untuk menjaga, kata ibu Mirani mengakhiri kisahnya.

Semula Mahesa hendak mengatakan bahwa rumah besar itu dulu adalah milik orang tuanya. Tapi dia merasa tak ada perlunya dia menerangkan hal itu. Mungkin hanya akan menambah kekalutan kedua ibu dan anak itu. Selain itu diapun tidak punya niat untuk mengambil rumah itu atau tinggal disitu kembali. Dia datang ketempat itu hanya sekedar untuk melepaskan kerinduan.

“Anak muda,“ berkata ibu Mirani. “Sebaiknya kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini. Meskipun kau berhasil mengalahkan orang-orang Kadipaten tadi tapi Mangun Aryo masih memiliki banyak kawan-kawan yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari Rangga. Adipati itu seorang berhati culas. Dia tidak segan-segan melakukan apapun asal niatnya kesampaian!”

Mahesa mengangguk. Lalu dia bertanya. “Setahu kalian, apakah Adipati itu memiliki kepandaian Ilmu silat misalnya?”

Yang menjawab kini adalah Mirani. Untuk pertama kalinya istri muda Adipati ini membuka mulut. “Setahu saya Adipati tidak memiliki kepandaian silat. Tapi dia banyak kawan dari rimba persilatan bahkan golongan perampok atau penjahat. Saya sering mendengar dia menyebut seseorang dengan panggilan Embah. Kalau tidak salah, tiga bulan sekali dia pergi ke sebuah gunung untuk menemui Embah itu...”

“Gunung apa dan dimana letaknya?“ Mahesa kepingin tahu.

“Saya tak tahu nama gunung itu,“ jawab Mirani.

“Sore akan segera berganti malam. Aku harus pergi sekarang!”

“Ya, pergilah agar kau selamat dari orang-orangnya Mangun Aryo!“ kata ibu Mirani.

Mahesa membungkukkan dadanya kepada ibu dan anak itu lalu tinggal kan tempat tersebut.


3.    KEMBALI DIHADANG MAUT
SEJAK Rangga dan dua anak buahnya pergi mencari Mahesa di Kadipaten, Mangun Aryo tidak bisa tenang. Jika benar pemuda bernama Mahesa itu anak Randu Ampel dan Wening Muriati dan kalau Mahesa sampai tahu apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya adalah akibat perbuatannya, tidak mustahil pemuda itu akan menuntut balas. Dan ini tentu saja berbahaya bagi Mangun Aryo.

Selama delapan belas tahun, sejak Randu Ampel lenyap, Mangun Aryo boleh dikatakan merasa tenteram, tak ada bahaya yang mengancam. Dia yakin sekali Randu Ampel sudah menemui kematian. Ketika Rangga dan dua anak buahnya muncul, Adipati itu menyongsong di tangga Kadipaten.

“Kalian temui pemuda itu..?“ tanya Mangun Aryo. Namun sesaat kemudian dilihatnya dada Rangga yang merah serta tampang dua pengawal Kadipaten lainnya yang seperti menanggung sakit. Dan di ujung jalan sana dilihatnya pula Kuwung berlari dan sesaat kemudian sampai di hadapannya terengah-engah. Sesuatu pasti telah terjadi. Mungkinkah pemuda itu mengganggu istri mudanya?

Mangun Aryo berpaling pada Rangga yang saat itu turun dari kudanya. “Cepat Katakan apa yang terjadi!”

“Adipati, kami berhasil menemui pemuda itu. Di rumah den ayu Mirani...”

“Hah! Sedang apa dia disana?!”

“Pemuda itu mengatakan dia datang kesitu hanya untuk memandang rumah tersebut. Katanya dulu rumah itu adalah rumah orang tuanya..!”

Dada Adipati Mangun Aryo berdebar keras. “Rupanya sudah pasti dia anak Randu Ampel,“ kata lelaki ini dalam hati. “Kalian berkelahi..?”

Rangga mengangguk. “Ternyata pemuda itu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Jika dia mau, dia bisa membunuh kami berempat. Kuwung dibuat patah tangannya. Dua anak buah saya juga cidera. Dan saya, Adipati saksikan sendiri. Bulu dada saya dijambaknya sampai rontok...!”

Debaran dada. Mangun Aryo semakin keras. “Celaka! Kalau dia sampai tahu.”

Rangga berkata kembali, “Pemuda itu menolak ketika kami suruh pergi. Karenanya perkelahian tak bisa dihindari. Sesuai perintah Adipati kami berusaha meringkusnya untuk dijebloskan ke penjara. Tapi mohon maafmu, kami tak sanggup melakukannya..”

Dalam hatinya Mangun Aryo berkata lagi “Rangga tidak memiliki kepandaian rendah. Dia dibantu pula oleh dua anak buahnya. Ah... keadaan benar-benar berbahaya bagiku. Aku harus bertindak cepat!“ Mangun Aryo usap keringat yang mengucur di keningnya lalu berkata. Pada dua anak buah Rangga. “Kalian berdua lekas temui Eyang Jaliteng. Minta dia datang kesini malam ini juga. Lekas pergi...!”

Dua petugas Kadipaten itu menjura dan berlalu untuk jalankan perintah, setelah keduanya pergi, pada Rangga Adipati itu berkata, “Besok pagi sebelum matahari terbit kita akan melakukan perjalanan jauh..”

Karena Mangun Aryo tidak mengatakan kemana tujuannya, maka Rangga memberanikan diri bertanya, “Perjalanan jauh kemana, Adipati?”

“Puncak Gunung Bromo..” sahut Mangun Aryo lalu cepat-cepat masuk ke dalam.

Sebelumnya Rangga mengetahui kalau Adipati sering pergi ke puncak Bromo. Dan selama itu sering dia diajak serta. Kepala pengawal ini mengetahui bahwa ada seorang dukun yang punya hubungan dekat dengan atasannya itu dan diam di puncak gunung tersebut.

***

KALAU ketika pertama kali memasuki Probolinggo Mahesa merasakan semangat yang berkobar-kobar, maka sewaktu meninggalkan kota itu dia melangkah gontai sepembawa kakinya seperti kehilangan arah.
Di ufuk barat sang surya membersitkan sinar kuning emas menjelang titik tenggelamnya. Mahesa melangkah sepanjang jalan yang becek. Lapat-lapat dia mendengar suara beduk. Lalu suara orang azan.

“Mau menginap dimana aku malam ini...” Mahesa bertanya pada diri sendiri. Matahari telah lenyap di titik tenggelamnya. Udara mulai gelap. Mahesa hentikan langkahnya ketika dia menyadari bawah di depannya tak ada lagi jalan dan kini membentang sawah. Hidungnya membaui sesuatu yang harum. Dia memandang berkeliling.

Kira-kira seratus tombak dari tempatnya berdiri, dekat pematang sawah yang meninggi kelihatan sebuah dangau. Disitu tampak beberapa orang tengah memanggang sesuatu. Entah mengapa akhirnya Mahesa melangkah ke jurusan dengan itu. Sesampai disana didapatinya dua orang lelaki separuh baya berpakaian hitam-hitam duduk mencangkung. Keduanya asyik memanggang jagung. Jagung panggang inilah yang menebarkan bau harum.

Di lantai dangau, duduk seorang kakek berambut jarang, bermuka peang. Matanya sipit sekali sehingga kelihatan seperti terpejam. Seperti dua orang yang membakar jagung, kakek berkepala sulah ini juga mengenakan pakaian serba hitam. Kedua kakinya digoyang-goyangkan. Mahesa melihat kakek ini memakai gelang bahar pada kedua kakinya.

Tak ada seorangpun yang mengacuhkan kedatangan Mahesa. Seolah-olah ketiganya tidak melihat kehadiran pemuda itu disitu. Yang dua orang terus saja mengipas-ngipas api. Sedang si kakek sambil goyang-goyang kaki terus menyantap jagung panggang yang masih hangat. Cepat sekali kakek ini menyantap jagung itu, padahal giginya tak utuh lagi. Begitu habis salah seorang yang memanggang jagung lemparkan jagung baru pada si kakek. Begitu sampai beberapa kali berturut-turut.

Meskipun perutnya lapar dan sangat ingin mendapatkan jagung itu namun Mahesa ingat pengalamannya sewaktu bertemu dengan Karangpandan dulu. Waktu itu Karangpandan memanggang burung. Karena lapar dia minta seekor. Ternyata burung itu sebelumnya diberi racun. Hampir saja jiwanya melayang.

Dan kini dia berhadapan dengan tiga orang yang tidak dikenalnya. Turut jalan pikirannya Mahesa menduga kakek yang duduk dilantai dangau bersikap aneh. Dan orang-orang berkepandaian tinggi biasanya berlaku demikian. Mahesa akhirnya memutuskan untuk pergi saja dari situ. Namun sebelum pergi dia keluarkan sebatang rokok kawung lalu sambil membungkuk dia berkata,

“Sahabat, aku minta api untuk rokok.“ Mahesa ulurkan tangannya. Ujung rokok didekatkannya ke kayu api yang menyala. Justru pada saat itu terjadilah hal yang sangat mengejutkan dan membuat Mahesa melompat sampai satu tombak.

Onggokan api diatas mana beberapa buah jagung sedang dibakar tiba-tiba saja meledak. Kayu-kayu yang menyala mental bertebaran. Beberapa diantaranya menghantam tubuh Mahesa hingga pakaiannya hangus bolong-bolong dan tubuhnya luka terbakar.

Disaat yang sama terdengar suara tertawa bergelak. Ketika Mahesa menjejakkan kedua kakinya ke tanah kembali dilihatnya di tempat itu kini terdapat enam orang lelaki berpakaian hitam, tujuh dengan si kakek bermuka peang. Dari tempat dan sikap mereka berdiri jelas keenam orang berpakaian hitam itu mengurung Mahesa. Sementara si kakek kelihatan masih terus saja menggeragoti jagung panggang.

“Anak setan keparat!“ maki Mahesa. “Jelas-jelas mereka hendak mencelakaiku! Siapa mereka yang magrib-magrib begini sengaja menungguku disini!”

“Hai!” Mahesa akhirnya berseru karena tak seorangpun dari ketujuh manusia itu yang buka suara atau bergerak. “Aku tidak ada permusuhan dengan kalian! Mengapa kalian hendak mencelakaiku..?”

Kakek diatas dangau turunkan jagung yang sedang dimakannya. Sesaat matanya yang sipit memandang tak berkesip pada Mahesa. Tiba-tiba dia ajukan pertanyaan. “Kau pemuda yang bernama Mahesa..?”

“Betul Kalian siapa?! Mengapa bermaksud jahat terhadapku?”

Kakek itu tertawa panjang. Dia memandang pada enam orang yang mengurung Mahesa dan berteriak, “Kalian sudah dengar siapa namanya! Mau tunggu apa lagi?!“

Kakek ini angkat tangan kanannya ke atas lalu jentikkan ibu jari serta jari tengahnya hingga mengeluarkan suara keras. Saat itu pula keenam orang yang mengurung Mahesa mengeluarkan suara seperti anjing melolong. Lalu ke enamnya bergerak berputar mengelilingi pemuda itu sambil tiada hentinya, mengeluarkan suara.

“ha-hu..ha-hu..ha-hu!”

“Pertunjukan gila apa pula ini?!“ ujar Mahesa.

Putaran enam orang itu makin cepat, makin cepat dan suara ha-hu..ha-hu mereka juga tambah kencang dan tambah cepat. Mahesa merasakan kedua pelipisnya berdenyut. Kepalanya terasa pening dan pemandangannya berkunang.

“Anak setan! Apa yang mereka lakukan ini! Kenapa kepalaku menjadi sakit! Tanah ini seperti bergoyang... Celaka!”

Diatas dangau si kakek letakkan jagung panggangnya diatas pangkuan. Mulutnya kelihatan komat kamit tiada henti. Sepasang matanya memandang menyorot ke arah Mahesa. Saat itu murid Kunti Kendil merasakan kepalanya tambah sakit dan tambah berat. Lututnya goyah. Dia kerahkan tenaga dalam. Tapi terlambat. Tubuhnya keburu jatuh. Dia tergelimpang di tanah antara sadar dan tidak.

Si kakek diatas dangau keluarkan pekik tinggi. Enam buah tombak yang sejak tadi terletak di lantai dangau di belakangnya diambilnya lalu di lemparkannya pada keenam lelaki yang berputar-putar mengelilingi Mahesa. Hebat sekali cara si kakek melemparkan tombak itu. Senjata ini tersebar memencar demikian rupa hingga masing-masing dari keenam orang itu walaupun sambil lari memutar dengan mudah sanggup menangkapnya.

“Tambus!” teriak si kakek.

Enam lelaki yang memegang tombak langsung hunjamkan tombak di tangan masing-masing ke tubuh Mahesa!


4. JALITENG BERTEMU GEMBEL CENGENG SAKTI MATA BUTA

MAHESA melihat enam batang tombak dihunjamkan ke arahnya. Namun dia tidak kuasa untuk menyelamatkan diri. Bahkan bergerakpun dia tak mampu. Kepalanya seperti ditusuk puluhan paku. Sekujur badannya seperti lumpuh.

“Benar-benar dunia ini aneh. Dan keanehan ini berakhir pada kematian!”

Mahesa ingat pada kata-kata kakek muka tengkorak yang diselamatkannya dari lobang maut di bawah arca gajah. Kakek yang kemudian balas menyelamatkannya dari tangan Loh Jingga telah memberikan sepertiga dari tenaga dalamnya. Namun saat itu kekuatan tenaga dalam itu tidak mampu dipergunakannya.

“Anak setan! Aku tidak takut mati. Tapi mengapa harus mati di tangan orang-orang yang tidak kukenal ini? Siapa mereka? Aku tidak punya permusuhan dengan mereka. Dosa apa yang kuperbuat terhadap mereka. Apakah mereka kawan-kawannya Karangpandan atau sahabatnya Loh Jingga. Atau...”

Mahesa tak mampu berpikir lebih panjang. Enam mata tombak yang runcing tajam meluncur deras dan kini hanya tinggal satu jengkal saja lagi dari kepala dan tubuhnya! Pada saat itulah enam buah benda aneh sepanjang satu jengkal melesat dari kegelapan dan sesaat kemudian terdengarlah pekik enam orang berpakaian hitam yang tadi berteriak-teriak sambil berputar mengelilingi Manesa. 

Masing-masing pegangi leher dimana menancap sebatang tangkai padi yang panjangnya sekitar sejengkal. Darah mengucur dari leher yang tertusuk tangkai padi itu. Tiga diantara mereka segera roboh dan bergulingan di pematang sawah lalu tak berkutik lagi, entah pingsan entah mati. Tiga lainnya terhuyung-huyung dan coba berpegangan pada tiang dangau. Dua tergelimpang roboh, yang satu lagi sambil terus menjerit-jerit melarikan diri dan lenyap dalam kegelapan.

Kakek bermuka peang yang tengah mengunyah jagung sambil goyang-goyang kaki di atas dangau mendadak berubah mukanya. Dia bantingkan bonggol jagung yang belum habis dimakannya. Bonggol itu amblas lenyap dalam tanah sawah yang becek. Sepasang matanya yang sipit mencari-cari dalam gelap sementara Mahesa tampak berusaha bangun. Sakit dikepalanya terasa lenyap dan kekuatan tubuhnya kembali pulih.

“Bangsat! Siapa yang berani ikut campur urusan orang? Lekas unjukkan tampang!”

Mahesa sendiri yang saat itu sudah menyadari kalau ada seseorang yang telah menyelamatkan jiwanya, sudah barang tentu juga ingin mengetahui siapa tuan penolongnya itu. Pemuda ini seperti si kakek berpakaian hitam mencari-cari kian kemari.
Dari sebelah kanan terdengar suara tertawa mengekeh. Suaranya dekat sekali tetapi orangnya masih tak kelihatan.

“Jaliteng Jaliteng..! Ternyata jalan hidup dan pekerjaanmu masih tidak berubah...!”

Si kakek diatas dangau terkejut dan cepat melompat turun. Tengkuknya terasa dingin. “Ah, dia lagi! Benarkah“ dia berkata dalam hati.

Sebaliknya Mahesa juga rasa-rasa seperti mengenali suara yang bicara tadi. Tak lama kemudian sesosok tubuh agak terbungkuk-bungkuk muncul dari kegelapan. Ternyata seorang kakek yang berpakaian compang camping penuh tambalan. Kedua matanya buta!

“Kek! Kau…! seru Mahesa ketika mengenali siapa adanya kakek yang datang dan yang barusan menolongnya itu.

Si kakek tertawa. “Malam-malam dingin begini manusia masih saja hendak saling berbunuhan. Mahesa, mana rokokmu. Beri aku sebatang...!”

“Ah!“ Mahesa terkejut. Lalu buru-buru ambil kotak rokok kawungnya dan mengulurkannya pada si kakek. Orang tua bermata buta ini ambil sebatang dan seperti tidak buta dia membungkuk mengambil puntung kayu berapi bekas pembakar jagung lalu menyalakan rokoknya. Dia menyedot rokok kawung itu beberapa kali lalu gelang-gelengkan kepala.

“Nikmat sekali...” kata si kakek mata buta sambil geleng-geleng kepala.

Sementara itu kakek berpakaian hitam berkepala sulah hampir tak bergerak tegak di tempatnya.

“Jaliteng Kemari kau!" kakek mata buta membentak.

Kakek berpakaian hitam langsung pucat mukanya. “Gembel Cengeng Sakti, aku tidak tahu...”

“Sialan. Aku tidak suruh kau bicara! Aku Suruh kau mendekat kemari!“ kembali si kakek mata buta membentak. Ternyata dia adalah tokoh nomor satu dalam dunia persilatan pada masa itu yang dikenal dengan julukan Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. Kakek sakti ini telah mengajarkan Mahesa tujuh jurus silat orang buta. Kakek bernama Jaliteng melangkah ke hadapan Gembel Cengeng. Gembel Cengeng mendongak ke atas. Cuping hidungnya kembang kempis.

“Hem...” gumamnya kemudian. “Ternyata baumu tidak berubah, malah lebih busuk dari dulu-dulu. Pantas kelakuanmupun tidak berubah...! Sungguh menyedihkan!"  Lalu kakek ini keluarkan suara sesenggukan seperti orang menahan tangis. Memang karena sifatnya yang lekas terharu serta suka menangis ini maka dia dijuluki Gembel Cengeng Sakti Mata Buta.

“Gembel Cengeng, aku tidak tahu kalau pemuda ini sahabatmu. Maafkan aku telah ketelepasan tangan...” Kakek bernama Jaliteng kembali berkata.

“Kentut busuk! Kau memang tak pernah bisa berubah. Dan pemuda ini bukan hanya seorang sahabat. Dia kuanggap seperti murid sendiri...!”

“Ah!” Jaliteng membungkuk dalam-dalam. “Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Mohon maafkan...”

“Kenapa kau ingin membunuhnya?!” bertanya Gembel Cengeng lalu sedot kawungnya dalam-dalam.

“Ya, mengapa kau dan orang-orangmu hendak membunuhku?!” Mahesa menimpali. “Antara kita tak ada permusuhan!”

Tenggorokan kakek berkepala sulah bermata sipit itu tampak turun naik. “Aku... Seseorang menyuruhku..” jawab Jaliteng makin ketakutan.

Kakek mata buta tersenyum. “Disuruh dengan menerima upah tentunya..!”

Jaliteng tak menjawab.

“Hai! Lekas katakan. Berapa kau menerima upah!”

“Sepuluh mata uang perak...”jawab Jaliteng.

“Upah yang lumayan.” kata Gembel Cengeng lalu ulurkan tangannya. “Serahkan uang itu padaku..!”

Sesaat Jaliteng tampak ragu-ragu. Namun kemudian dia buru-buru mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik pinggangnya dan menyerahkan benda ini pada si kakek mata buta.

“Gembel Cengeng. Kau sudah terima uangnya, sekarang izinkan aku pergi...”

“Tidak bisa!" hardik kakek mata buta. “Kawanku ini tentu ingin tahu siapa yang mengupahmu untuk membunuhnya. Bukan begitu Mahesa?!”

“Betul! Lekas kau katakan!" ujar Mahesa pula.

“Tak bisa kukatakan. Aku pasti akan dibunuhnya!!” jawab Jaliteng.

“Kalau begitu biar aku yang mendahului membunuhmu!"  kata Gembel Cengeng pula. Lalu dia angkat tangan kanannya tinggi-tinggi.

Jaliteng buru-buru jatuhkan diri berlutut. “Gembel Cengeng Sakti! Ampuni selembar nyawaku. Aku akan katakan. Aku akan katakan padamu. Pada kalian berdua...”

“Lekas katakan!"  sentak Mahesa. Saat itu hendak dicekiknya saja kakek bermuka peang itu.

Jaliteng manggut-manggut lalu buka mulut,
“Yang menyuruh adalah Mangun Aryo. Adipati Probolinggo...!”

Kagetlah Mahesa. “Ternyata dia lagi!" desisnya.

Sementara Gembel Cengeng geleng-geleng kepala tiada henti.

“Kenapa dia ingin membunuhku?!" Mahesa ajukan pertanyaan.

“Kalau itu, kau bunuhpun aku memang tidak tahu. Aku tidak tahu!"  jawab Jaliteng. Lalu dia berpaling pada kakek buta. “Gembel Sakti, izinkan aku pergi sekarang...”

“Enaknya ..!” jawab si mata buta. “Ingat janjimu setahun yang lalu...?”

“Aku... aku ingat...”

“lngat? Bagus! Coba kau katakan apa janiimu saat itu...”

"Aku berjanji tidak lagi menempuh jalan sesat. Tidak akan mempergunakan kepandaian untuk berbuat kejahatan...”

“Apa janjimu jika ternyata kemudian kau melanggarnya?”

“Kau kau akan menghukumku!" jawab Jaliteng. Suaranya serak dan gemetar kini.

“Katakan hukuman apa?!”

“Kau akan melumpuhkan kedua tanganku, kiri kanan...?”

“Bagus! ujar Gembel Sakti. “Lalu malam ini katakan apakah kau telah melanggar janjimu atau tidak...”

Dada Jaliteng sesak. “Aku... aku harus mengakui. Aku telah melanggar janji. Gembel Sakti, aku mohon ampun. Jangan kau lumpuhkan kedua tanganku!" Jaliteng meratap.

Anehnya si kakek mata buta juga kembali terdengar sesenggukan. Tiba-tiba dia membentak, “Bukan aku yang akan memberimu ampun. Tapi sahabatku pemuda ini. Terserah dia. Jika dia minta agar kau dihukum maka aku akan melumpuhkan keduatanganmu. Kecuali jika dia memberi ampun dan maaf padamu...!”

Mendengar itu maka Jaliteng beringsut diatas kedua Iututnya dan membungkuk-bungkuk dihadapan Mahesa. “Anak muda, aku mengaku salah besar terhadapmu. Aku minta agar kau sudi memberi ampun. Demi Iangit dan bumi aku bersumpah tidak akan berbuat kejahatan Iagi...!”

“Anak setan!"  maki Mahesa. “Enak saja kau bersumpah begitu. Kalau mau bersumpah bukan demi Iangit dan bumi. Tapi demi Gusti Allah. Demi Tuhan!”

“Aku bersumpah demi Tuhan. Tak akan Iagi mengulangi kejahatan!" ujar Jaliteng.

Gembel Cengeng Sakti tertawa. “Siapa yang percaya pada janji seorang manusia kadal sepertimu! katanya. “Tapi terserahlah pada kawanku pemuda itu...”

Mahesa merenung sejenak. Akhirnya murid Kunti Kendil ini berkata, “Baiklah. Aku maafkan kau...”

“Terima kasih... terima kasih!" kata Jaliteng berulang kali. “Aku tak akan melupakan kebaikanmu anak muda..."

“Sudah! Tak perlu banyak cakap lagi!" bentak Gembel Cengeng. “Tinggalkan tempat ini dan bawa anak buahmu yang berkaparan itu!”

Jaliteng menjura berulang kali. LaIu bersama dua orang anak buahnya yang masih hidup dia tinggalkan tempat itu. Setelah Jaliteng pergi Mahesa segera menghampiri kakek mata buta dan menjura dalam-dalam.

“Kek, terima kasih kau telah menolong nyawaku. Bagaimana kau bisa terpesat sampai disini...?”

“Aku berjalan sepembawa kakiku jawab Gembel Cengeng. “Aku tidak mengerti, menghadapi ilmu picisan si Jaliteng itu kau bisa kalah. Bahkan hampir mati...”

Mungkin dia mempergunakan ilmu hitam kek. Kepalaku mendadak pusing hebat dan sekujur tubuhku jadi lunglai  menerangkan Mahesa.

“Anak muda, kau memang belum punya pengalaman. Masih hijau dalam dunia persilatan. Padahal bekalmu sudah cukup. Kau lupa akan pelajaran gurumu. Jangan sampai perasaan menguasai pikiran. Jika hal itu saja kau ingat tak mungkin Jaliteng dan anak buahnya bisa mempengaruhi jalan pikiranmu...”

“Ah, kau betul kek. Aku telah berlaku alpa...”

“Kealpaan yang kedua!" berkata lagi si kakek. “Percuma kau kuberi pelajaran ilmu silat orang buta. Kalau kau tutup saja kedua matamu dan tidak memperhatikan gerakan orang yang berputar, lalu menyerang, kau tak bakal celaka! Kenapa kau begitu tolol?!”

Mahesa menggigit bibir. “Kau benar kek," katanya. “Anak setan ini memang tolol. Terima kasih atas petunjukmu...”

Si kakek tertawa. “Aku minta lagi rokokmu!" katanya. Kedua orang itu lalu sama-sama merokok.

“Mahesa!" kata si kakek selang berapa lama kemudian, “kau harus menyelidiki mengapa Adipati Probolinggo ingin membunuhmu!”

Mahesa mengangguk. “Hal itu memang akan kulakukan kek. Ada beberapa kemungkinan. Pertama mungkin karena menganggap aku mengganggu puterinya yang cantik. Kemudian mungkin pula karena cemburu aku mendatangi rumah istri mudanya...”

“Tapi itu bukan berarti tidak ada alasan lain bukan?”

Mahesa mengiyakan.

“Waktu berpisah dulu, apakah kau kemudian berhasil menemui Bukit Akhirat?"  Gembel Cengeng ajukan pertanyaan.

“Berhasil kek. Terima kasih atas petunjukmu.”

“Kau berhasil pula menemui manusia bernama Wirapati itu?”

“Yang itu belum.”

“Lalu apakah kau bertemu dengan manusia bernama Lembu Surah?  tanya si kakek selanjutnya.

“Ya, tapi setelah dia pergi baru aku tahu dia yang bernama Lembu Surah. Dia bergelar Datuk lblis Penghisap Darah...”

“Gelar yang cukup menyeramkan ujar Gembel Cengeng. “Lalu bagaimana kau bisa bertemu dengan Pendekar Muka Tengkorak Suko lnggil...?”

“Siapa itu?"  tanya Mahesa.

“Orang yang mengajarmu merokok kawung ini!”

“Oh, jadi namanya Suko Inggil dan juluknya Pendekar Muka Tengkorak. Ah, dia kakek yang baik. Sama baiknya denganmu." Lalu Mahesa tuturkan pertemuannya dengan si kakek sakti itu di reruntuhan candi. Tak lupa diceritakannya pemberian tenaga dalam secara luar biasa itu.

“Rejekimu besar nian, Mahesa. Sekarang katakan apa yang hendak kau lakukan...?”

“Mencari Mangun Aryo, Adipati keparat itu!" jawab Mahesa pula.

Si kakek tertawa. “Aku sudah duga," katanya. “Hati-hatilah. Mangun Aryo sendiri tidak berbahaya. Dia tidak punya ilmu apa-apa. Tapi dia punya banyak kawan jahat dan berkepandaian tinggi. Satu diantaranya si Jaliteng tadi. “Nah malam tambah dingin, aku harus pergi sekarang...”

“Tunggu dulu kek...!”

Gembel Cengeng kerenyitkan kening. “Pasti ada lagi yang hendak kau tanyakan...”

“Dari pertanyaanmu tadi, tampaknya kau banyak tahu apa yang terjadi di dunia persilatan. Terutama yang menyangkut diriku...”

“Aku orang tua bodoh ini mana tahu banyak. Hanya angin yang meniupkan kabar kemana-mana...”

“Kek, aku menghadapi kesulitan. Aku telah berusaha menempuh satu jalan. Tapi tidak pasti apakah berhasil...”

“Apa kesulitanmu?”

“Saat ini aku membawa sebilah keris mustika bernama Keris Naga Biru. Karena senjata ini aku hampir beberapa kali dibunuh orang. Bagaimana kalau keris ini kutitipkan padamu...?”

Si kakek tertawa. “Tak bisa kuterima permintaanmu itu Mahesa. Mungkin sudah ditakdirkan senjata itu jatuh ketanganmu. Jadi tak perlu kecil hati menghadapi kesulitan...”

“Aku memang tidak takut menghadapi kesulitan. Tapi, apakah kau mengetahui asal usul senjata mustika ini?”

“Tahu banyak. Tapi sayang aku tak ada kesempatan menerangkannaya saat ini. Aku harus cepat-cepat pergi...” Lalu tanpa berkata apa-apa lagi Gembel Cengeng Sakti Mata Buta itu berkelebat pergi.

“Ah kakek itu selalu menggantung setiap keterangan yang diberikan!  kata Mahesa dalam hati. Dia memandangi pakaiannya yang kotor dan robek-robek serta hangus. Akhirnya pandangannya membentur dua butir jagung panggang yang terletak di lantai dangau. Cukup lumayan untuk mengganjal perutnya yang terasa lapar.


5. ISTRI TUA UNTUK TUMBAL
MALAM itu Mahesa tak jadi melanjutkan perjalanannya. Dia kembali memasuki Probolinggo, langsung menuju gedung Kadipaten. Ternyata Mangun Aryo tidak ada di Kadipaten. Seorang pengawal memberi tahu bahwa Adipati itu meninggalkan Kadipaten beberapa saat yang lalu bersama Rangga. Semula Mahesa ingin berusaha menemui Wilani, puteri Adipati Probolinggo itu guna mendapatkan keterangan.

Tetapi gadis itupun tak ada disitu. Akhirnya Mahesa memutuskan untuk menyelidik ke rumah Mirani, istri muda Mangun Aryo. Bukan mustahil Adipati itu ada disana. Baru saja Mahesa meninggalkan Kadipaten, seorang penunggang kuda memapasinya dari depan dan memanggil namanya lalu berhenti. Ternyata Wilani.

“Hai, kau benar-benar manusia berani. Ancaman ayahku tidak kau gubris!" Wilani turun dari kudanya.

“Tak ada satu orangpun yang kutakuti di dunia ini Wilani, tidak juga ayahmu,"  sahut Mahesa. “Cuma ada beberapa hal yang ingin kuketahui. Pertama ayahmu memerintahkan aku meninggalkan Probolinggo. Kenapa? Kedua mengapa dia menginginkan nyawaku. Menyuruh Rangga untuk membunuhku. Malah dia juga menyuruh seorang kakek berkepandaian tinggi bernama Jaliteng...”

Gadis itu tampak terkejut. Perlahan-lahan dia gelengkan kepala. “Aku tidak yakin ayahku sejahat itu. Apa alasannya menyuruh bunuh kau?”

“Justru itu yang ingin kuketahui," sahut Mahesa. “Kau tahu dimana dia berada sekarang?”

Wilani menggeleng.

“Kau habis dari mana?" tanya Mahesa.

“Sahabat, kau tampaknya curiga," ujar Wilani.

“Sudahlah, aku harus pergi...”

“Tunggu dulu Mahesa," kata Wilani seraya menarik bahu pakaian pemuda itu. “Aku tahu kau memiliki kepandaian tinggi sedang ayahku tidak kenal sejurus ilmu silatpun. Apapun yang terjadi kuharap kau tidak menurunkan tangan jahat. Berjanjilah Mahesa!”

“Tak bisa aku berjanji demikian," jawab Mahesa.

“Kalau begitu kau tak ingin meneruskan persahabatan kita!”

“Aku tetap ingin bersahabat denganmu. Semua terserah padamu Wilani. Tetapi tentang urusan dengan ayahmu, aku tak bisa berjanji apa-apa. Benar-benar tak bisa.” 

Habis berkata Mahesa lalu memutar tubuh dan pergi. Di rumah istri mudanya, Mangun Aryopun tidak ada. Kemanakah Adipati itu?

***

Seperti direncanakan sebelumnya, besok pagi Mangun Aryo dan Rangga akan berangkat menuju gunung Bromo. Namun karena merasa tidak tenang, malam itu setelah menemui Jaliteng Adipati itu langsung saja berangkat. Baginya makin cepat pergi makin baik. ltulah sebabnya Mahesa tak berhasil menemukan lelaki itu di Probolinggo.

“Jika kau suka, malam ini kau boleh menginap disini, Mahesa,"  kata ibu Mirani.

Mahesa menggeleng. “Aku harus mencari dan menemui Adipati itu secepatnya," jawab Mahesa. “Mungkin kalian bisa menduga kemana Mangun aryo pergi...”

Ibu dan anak yang berdiri di hadapan Mahesa saat itu saling pandang. Sesaat kemudian Mirani berkata, “Setahu saya, jika tengah menghadapi kesulitan, dia selalu pergi ke gunung. lngat keterangan saya tentang seorang yang biasa disebutnya dengan panggilan Embah..?”

“Aku ingat. Tapi kau tidak tahu nama gunungnya. Mungkin Rangga tahu. Tapi kepala pengawal itu juga ikut bersama Mangun Aryo...”

“Satu-satunya jalan ialah menunggu sampai Adipati kembali," kata ibu Mirani.

Mahesa mengangguk lalu minta diri. Sesaat setelah pemuda itu pergi sang ibu memandang pada anaknya. “Mirani, kalau sampai terjadi hal buruk pada Adipati itu, kau akan jadi janda nak..”

Mirani hanya terdiam lalu masuk ke dalam kamarnya.

***

KlTA tinggalkan Mahesa yang tengah berusaha mencari mangun Aryo. Kita ikuti perjalanan Adipati itu sejak dia meninggalkan Probolinggo bersama Rangga. Dengan hanya beristirahat pada saat-saat tertentu, setelah dua hari dua malam memacu kuda masing-masing, pada pagi hari ke tiga sampailah mereka di kaki gunung Bromo. Seperti yang sudah-sudah, di tempat ini Mangun Aryo menyuruh Rangga menunggunya. Lalu seorang diri dengan jalan kaki Adipati itu menuju puncak gunung.

Lewat tengah hari, dengan tubuh mandi keringat, pakaian kotor letih Mangun Aryo sampai di hadapan bangunan batu bata merah, tempat kediaman dukun sakti bernama Embah Bromo Tunggal. Belum lagi dia sampai ke pintu, satu suara terdengar dari dalam bangunan.

“Saat janji untuk bertemu masih lama. Kowe tahu-tahu muncul. Apakah kowe mempunyai keperluan penting?! Agaknya kowe menghadapi kesulitan Mangun Aryo!”

Adipati Probolinggo itu mempercepat langkahnya langsung masuk ke dalam rumah dan menjatuhkan dirinya di hadapan kakek berambut awut-awutan, berpakaian serba hitam dan bertampang luar biasa bengisnya. Pada lehernya bergelantungan tengkorak-tengkorak kecil.

Tengkorak-tengkorak bayi. Dia duduk di tengah ruangan dan sebatang tongkat yang terbuat dari tulang belulang manusia serta ditempeli potongan-potongan kain terletak di atas pangkuannya. Inilah Embah Bromo Tunggal yang sejak delapan belas tahun lalu menjadi dukun kepercayaan Mangun Aryo.

“Adipati, kowe masih belum membuka mulut beri keterangan!  sang embah kembali bicara.
Benar embah, aku memang tengah menghadapi kesulitan," kata Mangun Aryo pula.

Sang embah menyeringai. “Sebelum kita bicara soal kesulitanmu, ada satu hal yang perlu kuingatkan padamu. Kowe dan aku punya perjanjian bahwa setiap tahun kowe harus menyerahkan tumbal, daging, darah dan nyawa salah seorang anggota keluargamu. Tahun pertama kowe memang menyerahkan seorang keponakan. Tahun kedua seorang bibimu. Tapi tahun-tahun berikutnya selama enam belas kali kowe hanya menyerahkan pembantu-pembantu sebagai tumbal! Lama-lama makhluk peliharaanku menjadi muak! Kowe tahu, darah pembantu-pembantu itu pahit rasanya, dagingnya alot, tulangnya keras! Bulan depan kowe harus menyerahkan anggota keluargamu yang paling dekat. Kowe dengar Mangun Aryo?!”

“Aku dengar embah...”

“Mahluk peliharaanku kali ini minta tumbal puterimu yang bernama Wilani itu!”

Terkejutlah Mangun Aryo mendengar kata-kata Embah Bromo Tunggal. Parasnya berubah pucat. Sebaliknya sang embah hanya ganda tertawa. “Kowe terkejut?”

“Embah," kata Mangun Aryo dengan suara bergetar. “Kau tahu Wilani adalah anakku satu-satunya. Aku mohon tumbal itu dapat digantikan dengan orang lain. Masih keluarga dekatku. malah kakak kandungku sendiri ..”

Embah Bromo Tunggal tertawa bergelak. Lalu setelah mendengus dan unjukkan muka marah dia berkata, “Kakak perempuanmu yang tua dan sakit-sakitan itu. Jangan bicara ngaco Mangun Aryo! Dengar Adipati. Kau hanya ada satu pilihan. Serahkan Mirani istri mudamu!”

“Embah... kau tahu Mirani, aku sangat mengasihinya. Tak mungkin aku sanggup kehilangannya...”

“Kowe benar-benar banyak cingcong Mangun Aryo. Kalau begitu kowe punya nyawa saja yang jadi tumbal...!”

Gemetarlah tubuh Adipati Probolinggo itu. “Embah... Kau... kau boleh ambil istri tuaku. Aku mohon embah!”

"Kowe benar-benar licik Manngun Aryo. Tapi tak apa, tahun ini kamu serahkan istri tuamu. Tahun depan kau tak ada pilihan lain. Istri mudamu atau puterimu. Kau dengar?!”

“Aku dengar embah...”

“Nah, sekarang katakan kesulitan apa yang kowe hadapi!”

“Anak Randu Ampel muncul di Probolinggo...”

“Heh Embah Bromo Tunggal kerenyitkan kening. “Bukankah istrinya mati delapan belas tahun lalu...?”

“Betul embah, tapi ternyata anaknya hidup. Anak itu bernama Mahesa. Tampaknya dia memiliki kepandaian tinggi!”

“Dan itu membuat kowe takut hah?"  Embah Bromo Tunggal tertawa panjang. “Kowe tak usah kawatir. Peliharaanku akan membereskan pemuda itu. Sekarang kowe boleh pergi!"

“Terima kasih embah, terima kasih...!" Mangun Aryo berdiri dan melangkah ke pintu.

“Eit, jangan jadi orang tolol Adipati. Kowe apa tidak kelupaan sesuatu..?”

Mangun Aryo tertegun sesaat. Baru dia ingat. “Maafkan, aku kelupaan embah!" katanya lalu mengeluarkan sebuah kantong kain berisi uang dari balik pakaiannya. Kantong ini kemudian diserahkannya pada Embah Bromo Tunggal.

“Bagus!" kata sang embah seraya tertawa mengekeh. “Jangan lupa memberi makan istrimu banyak-banyak agar daging dan darahnya benar-benar lezat. Makhluk peliharaanku akan menjemputnya bulan depan. Ha ha ha..!”

Dengan langkah gontai dan tubuh keluarkan keringat dingin Adipati Probolinggo itu tinggalkan bangunan di puncak gunung Bromo. Tak dapat dibayangkannya hal yang akan terjadi bulan depan terhadap istri tuanya. Bagaimanapun juga dia masih tetap mencintai istrinya itu. Tetapi segala sesuatunya sudah kasip kini. Kasip sejak dia pertama kali menemui dukun sakti itu delapan belas tahun yang lalu. Yakni ketika meminta sang embah untuk mengguna-gunakan Randu Ampel sampai gila hingga tidak jadi menduduki jabatan Adipati.

***

TAK lama setelah Mangun Aryo meninggalkan kaki gunung Bromo menuju ke puncaknya, Rangga yang ditinggal sendirian menunggui kuda mulai berpikir-pikir. Apakah maksud sang Adipati naik ke puncak gunung itu? Siapa yang hendak ditemuinya disana?

Kepala pengawal itu telah berkali-kali mengantarkan sang Adipati ke gunung tersebut, namun hanya mengantar dan menunggu sampai di kaki gunung. Mangun Aryo tak pernah mengajaknya terus sampai ke puncak. Terdorong oleh rasa ingin tahu maka beberapa saat setelah atasannya itu pergi Rangga diam-diam mengikuti dari belakang.

Ternyata memang di puncak gunung itu terdapat sebuah bangunan. Ketika Mangun Aryo masuk ke dalam bangunan, Rangga menyelinap ke dinding sebelah kanan. Karena bangunan itu terbuat dari batu bata maka sama sekali tak ada lobang untuk mengintai. Jendelapun tak ada. Satu-satunya pintu adalah pintu masuk di sebelah depan. Rangga tak berani mengintai lewat pintu itu, takut ketahuan.

Meskipun tak dapat melihat ke dalam bangunan namun semua pembicaraan yang berlangsung antara Mangun Aryo dan Embah Bromo Tunggal dapat didengar jelas oleh kepala pengawal ini. Tentu saja dia jadi terkejut dan merasa ngeri ketika mendengar tentang mahluk peliharaan yang minta tumbal daging dan darah Sri Muria, istri tua Mangun Aryo. Dengan tubuh menggigil karena ngeri dan juga takut ketahuan, Rangga lalu cepat-cepat meninggalkan puncak Bromo, kembali ke tempat dia menambatkan kuda dan menunggu kedatangan Mangun Aryo.


6. AJAL Dl PUNCAK BUKIT
KEDUA orang itu memacu kuda masing-masing secepat yang bisa mereka lakukan. Kalau Mangun Aryo ingin cepat sampai di Probolinggo karena ingin menyaksikan malapetaka maut yang pasti akan menimpa Mahesa, maka lain halnya dengan Rangga. 

Kepala pengawal ini ingin lekas sampai di gedung Kadipaten lalu menemui istri sang Adipati guna menceritakan apa yang didengarnya. Bagaimanapun juga dia harus berusaha agar Sri Muria dapat diselamatkan dari perbuatan terkutuk manusia penghuni puncak gunung Bromo itu.

Ketika matahari mulai condong ke barat kedua orang itu sampai di daerah berbukit-bukit di luar kota Probolinggo. Udara terasa panas walaupun angin bertiup cukup kencang. Lapat-lapat terdengar suara seruling di kejauhan. Entah mengapa ketika mendengar suara seruling ini Adipati Mangun Aryo merasakan dadanya berdebar.

“Rangga, kau dengar suara suling itu...?”

“Saya dengar Adipati. Tak perlu diperhatikan. Paling-paling anak gembala yang meniupnya jawab Rangga.

“Mungkin kata sang Adipati pula. Namun hatinya tetap terasa tidak enak. Disekitar tempat itu tak ada sawah atau kebun. Di sebelah barat terbentang lautan luas, di sebelah kanan hanya pohon-pohon kelapa dan bambu. Mana mungkin ada anak gembala di tempat seperti itu.

Semakin jauh ke atas bukit, semakin santar terdengar seruling itu. Tepat ketika mencapai puncak bukit, saat itulah Mangun Aryo dan Rangga melihat orang yang meniup suling itu. Serta merta keduanya menghentikan kuda masing-masing dengan pandangan penuh heran. Orang yang meniup suling duduk terapung di antara tiga batang bambu. 

Dia mengenakan celana hitam bergaris kuning dan topi tinggi hitam seperti yang dipakai Mangun Aryo, tetapi sudah lusuh dan kotor. Dia tidak mengenakan baju. Dadanya yang merentangkan kedua sayapnya, terbuat dari tembaga disepuh emas. Wajahnya yang cekung penuh debu. Kumis serta jangutnya meranggas liar tak terpelihara.

“Rangga!" Mangun Aryo berkata dengan suara bergetar. “Aku teringat cerita puteriku. Kalau tidak salah dipuncak bukit ini seminggu lalu dia dihadang oleh seorang gila aneh. Mungkin ini manusianya...”

Rangga memandang lekat-lekat pada orang yang masih terus meniup sulingnya itu. Kepala pengawal ini tahu pasti kalau orang itu memiliki kepandaian sangat tinggi. Diam-diam hatinya pun mulai tidak enak.

“Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, Rangga...”

Kepala pengawal itu mengangguk. Namun tiba tiba dia berkata, “Kalau manusia ini yang dulu melakukan penghadangan, berarti dia yang membunuh Wira dan para pengawal. Kalau begitu dia patut diseret ke Kadipaten dan dihukum!”

“Rangga, dengar. Aku perintahkan untuk segera meneruskan perjalanan. Aku tengah menghadapi urusan besar dan tak mau terkait oleh urusan lain. Siapapun adanya manusia diatas pohon bambu itu perduli setan!”

Mangun Aryo menarik tali kekang kudanya. Namun gerakannya terhenti ketika diatas sana orang aneh itu hentikan tiupan sulingnya. Kini orang itu terdengar menyanyi.

Memasuki kota pantang bagiku
Hanya akan menghancurkan hati yang beku
Dua belas hari menunggu
Tidak sia-sia bagiku

Hari ini akan terbalaskan dendam kesumat
Agar aku bisa tenang menghadap raja akhirat
Dia telah datang
Sakit hati delapan belas tahun pasti terbalaskan
Istriku, kau akan berbaring tenang di kuburmu
Anakku, apa benar engkau ada dan hidup

Orang itu menyanyi sambil mengucurkan air mata.

“Aneh benar-benar aneh!" kata Rangga dalam hati. Dia melirik pada Mangun Aryo dan melihat muka Adipati ini telah berubah pucat.

Pada saat itu diatas pohon bambu terbang melintas seekor burung camar. Orang diatas pohon lemparkan serulingnya ke atas. Terdengar suara mencicit disusul jatuhnya burung dan suling. Orang diatas pohon bambu tangkap sulingnya dengan tangan kanan dan burung camar dengan tangan kiri. 

Setelah selipkan sulingnya di pinggang, orang itu kemudian cabuti bulu-bulu burung. Setelah seluruh bulu dan kulit ari binatang itu terkelupas lalu seolah-olah menyantap burung yang sudah dipanggang atau di goreng, orang itu enak saja mencaplok burung mentah itu. Mulutnya kumat kamit. Darah burung bercucuran membasahi bibir dan dagunya.

“Wong edan!" desis Mangun Aryo sambil meludah jijik. 

Tetapi baru saja dia memaki begitu tiba-tiba orang diatas pohon gerakkan tangannya. Tulang paha burung menderu dan seperti anak panah kecil tulang ini menancap di mata kiri kuda tunggangan sang Adipati. Kesakitan kuda itu melompat tinggi, lalu lari sambil tiada hentinya meringkik. Sementara Mangun Aryo terlempar dari punggungnya dan jatuh terbanting di tanah.

Melihat ini Rangga cepat melompat turun dari kudanya untuk menolong Adipati itu. Namun gerakannya tiba-tiba terhenti. Sepotong tulang burung kembali melesat dari atas pohon bambu, menghantam urat besar di punggungnya. Di lain kejap kepala pengawal yang tinggi besar ini tertegak kaku, tak bisa bergerak. Tapi mulutnya masih bisa cara. Langsung saja dia berteriak.

“Manusia diatas pohon! Kami tidak ada permusuhan denganmu! Mengapa kau menurunkan tangan jahat?!”

Orang bertopi hitam terdengar tertawa panjang. “Kacung Kadipaten! Aku memang tidak ada permusuhan denganmu! Tapi aku ada hutang piutang dengan majikanmu!”

Mangun Aryo melengak. Wajahnya tambah pucat. Sebelumnya dia sama sekali tidak mengenali siapa adanya orang diatas pohon bambu itu. Tapi sedikit demi sedikit dia mulai bisa menduga-duga.

“Orang aneh!" seru Mangun Aryo. “Hutang piutang apa yang ada antara kita. Bertemu kaupun baru hari ini!”

Kembali lelaki di atas pohon tertawa panjang. “Kau mungkin lupa. Aku tidak menyalahkan. Usiamu telah lanjut, mulai pikun! lni soal kejadian delapan belas tahun yang lalu, Mangun Aryo! Ingat kekejian apa yang kau perbuat terhadap seorang lelaki bernama Randu Ampel! Kau tentu tahu pula apa akibat yang terjadi terhadap istrinya...”

“Ah.. Pasti dia!" ujar Mangun Aryo dalam hati.

“Kau ingat atau tidak Mangun Aryo! Lekas jawab!”

“Aku... Banyak kejadian delapan belas tahun lalu. Mana aku bisa ingat semua...”

“Kau pandai berdalih!”

Tiba-tiba tubuh orang itu melesat ke bawah dan tahu-tahu sudah tegak di depan Mangun Aryo. Dia menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang hitam.

“Akulah Randu Ampel yang kau celakai dengan guna-guna terkutuk delapan belas tahun lalu! Karena kau menginginkan kedudukan Adipati! Kau sudah mendapatkan kedudukan itu. Kau sudah berkuasa selama lebih dari delapan belas tahun. Apa kau puas Mangun Aryo...?!”

Mangun Aryo ternganga dan menyurut mundur. “Kau... Tidak mungkin...!" Suara Adipati itu menjadi kelu. “Randu Ampel sudah mati...!”

Orang bermuka cekung menyeringai. “Anggaplah Randu Ampel sudah mati. Sekarang yang tegak di depanmu ini adalah setannya. Yang datang untuk membunuhmu!"

Orang itu ulurkan kedua tangannya hendak mencekik. Mangun Aryo cepat melompat mundur sementara Rangga berteriak,

“Manusia gila! Tinggalkan tempat ini! Jika kau berani menciderai Adipati Probolinggo, kami akan menangkap dan menggantungmu!”

Lelaki yang mengaku bernama Randu Ampel itu dan yang memang sebenarnya adalah Randu Ampel tertawa mengekeh. Dengan langkah perlahan tetapi pasti dia mendekati Mangun Aryo. Adipati ini mundur ketakutan.

“Orang gila! Kau gila! Aku tidak pernah mengguna-gunai siapapun. Kau salah sangka...!”

“Dusta! Hatimu terkutuk! Bejat! Mulutmu busuk!”

“Kau tidak punya bukti bahwa aku yang mencelakaimu!” teriak Mangun Aryo.

“Aku tak perlu bukti. Kalau kau minta bukti, minta pada setan-setan akhirat!" Randu Ampel melompat. Mangun Aryo memutar tubuh siap untuk lari.

“Manusia durjana! Kau mau kabur kemana?!" hardik Randu Ampel. Dia berkelebat mengejar. Kali ini Mangun Aryo tak bisa berkelit lagi. Tangan kanannya tertangkap. Sekali betot saja terdengar suara krak! Mangun Aryo menjerit. Tulang lengannya sebelah kanan remuk sedang persendian bahunya lepas!

“Mana tangan kirimu Mangun Aryo...!”

“Jangan..! Jangan!" jerit Adipati itu. “Randu! Randu Ampel! Dengar! Aku akan berikan apa saja padamu asal kau mengampuni! Aku akan berikan rumah! Sawah! Uang juga...”

“Kau tidak punya rumah Mangun Aryo. Rumahmu adalah rumah Kerajaan. Rumah istri mudamu adalah rumahku. Uangmu adalah uang hasil memeras rakyat. Sawahmu sawah hasil rampasan! Itu yang hendak kau berikan padaku...?!”

“Randu, ampuni aku. Ampuni aku...!”

Mangun Aryo jatuhkan diri berlutut di tanah.

“Apakah istriku yang sudah mati bisa mengampunimu? Apakah bayi yang dikandungnya dan juga mati bisa mengampunimu?!”

“Bayi itu! Anakmu masih hidup..!" seru Mangun Aryo.

Sesaat Randu Ampel tampak terkejut mendengar kata-kata itu. Lalu dia membentak marah, “Ngaco! Kau mengarang cerita dusta untuk minta dikasihani!”

“Aku tidak dusta!" teriak Mangun Aryo.

“Dia tidak dusta!" ikut berteriak Rangga.

Tapi Randu Ampel tidak perduli. Dia bergerak. Kembali terdengar jeritan Adipati itu. Kini tangan kirinya yang dibuat hancur. Kemudian Rangga menyaksikan satu pemandangan yang teramat mengerikan. Randu Ampel mencengkeram perut Mangun Aryo dengan jari-jarinya yang berkuku panjang. Terdengar suara seperti kain robek. Darah muncrat. Usus membusai dari perut Mangun Aryo yang robek besar.

Rangga menjerit ngeri lalu jatuh pingsan dalam keadaan masih tertegak kaku! Tubuh Mangun Aryo terkapar di tanah, berguling-guling kian kemari lalu diam tak bergerak lagi. Randu Ampel usapkan tangan kanannya yang penuh darah ke wajahnya lalu tertawa panjang. Tiba-tiba suara tawa itu berhenti, berganti dengan tangis! Sambil terus menangis Randu Ampel melangkah pergi dan lenyap dikaki bukit yang berbatasan dengan pantai.


7. ANAK PEMBUNUH
KETIKA kepala pengawal itu sadar dari pingsannya sore telah berganti malam. Puncak bukit diselimuti kegelapan. Rangga segera ingat apa yang sebelumnya terjadi. Dicobanya menggerakkan tangan. Dia merasa lega. Ternyata setelah beberapa jam berlalu totokan pada punggungnya punah dengan sendirinya. Cepat-cepat dia bangun dan lari menghampiri mayat Mangun Aryo.

Rangga membuka pakaiannya guna menutupi perut Mangun Aryo yang membusai mengerikan. Mayat Adipati Probolinggo itu dinaikkannya ke atas kuda. Dengan jalan kaki ki Rangga kemudian menggiring binatang ini menuju Probolinggo.

Sesampainya jenazah di Kadipaten dua orang langsung jatuh pingsan yaitu Wilani dan ibunya. Dengan singkat Rangga menceritakan pada beberapa anak buahnya apa yang telah terjadi. Dua orang perajurit yang kelihatannya gagah berani menyatakan hendak memimpin kawan-kawannya mencari si pembunuh. Tapi segera dicegah oleh Rangga.

“Jangankan kalian yang hanya selusin! Dua puluh orangpun belum tentu mampu menghadapi lelaki itu. Lebih baik kita mengurus jenazah Adipati dan menyiapkan upacara penguburannya besok. Seseorang harus mengabarkan kejadian ini ke Kotaraja!”

Malam itu kabar kematian Mangun Aryo segera tersebar luas di seluruh Probolinggo. Ada yang turut berduka, tapi lebih banyak lagi yang menyukuri kematian Adipati itu. Mereka ini adalah dari kelompok yang sejak lama tidak menyenangi Mangun Aryo karena menganggap selama berkuasa Adipati itu lebih banyak mendatangkan kesusahan bagi rakyat banyak. Di rumah istri muda Adipati Probolinggo kabar itu diterima dengan rasa hampir tak percaya. Mirani dan ibunya saling berangkulan. Entah sedih entah gembira.

“Bu, aku ingat kata-katamu beberapa hari lalu," ujar Mirani. “Sekarang aku benar-benar jadi janda...”

Sang ibu mengelus kepala anaknya sambil berkata: “Mungkin ini lebih baik bagimu, nak.”

Malam itu juga Mirani dan ibunya datang ke gedung Kadipaten. Meskipun selama ini mereka tidak berbaikan dengan istri tua Adipati, namun dalam keadaan duka begitu rupa dan merasa senasib, ketiga perempuan itu saling berpelukan dan bertangisan. Wilani duduk menjauh di sudut ruangan. Matanya bengkak karena menangis. Ketika dilihatnya Rangga memasuki ruangan, dia segera memanggil kepala pengawal itu.

“Paman, sekarang kau harus ceritakan apa yang sebenarnya terjadi dengan ayah.”

Sebenarnya tentu saja hal itu tanpa diminta akan diterangkan oleh Rangga. Namun dia tidak mengira akan dimintai penjelasan dihadapan orang banyak. Rangga berpaling pada Sri Muria. Istri Adipati ini mengangguk tanda dia mengizinkan Rangga untuk memberi keterangan. Rangga menceritakan segala kejadian sesuai apa adanya, tidak ditambah tidak pula dikurangi. Selesai memberi penuturan Rangga berpaling pada Wilani,

“Den Ayu, kau ingat pada pemuda bernama Mahesa?”

“Ya. Kenapa dengan dia.?”

“Dia adalah anak Randu Ampel, orang yang membunuh ayahmu...”

Wilani terbelalak. Wajahnya jelas menunjukkan rasa tidak percaya. “Paman tahu hal itu dari orang tua penjaga makam" berkata lagi Rangga.

Wilani menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Perlahan-lahan kedua tangannya itu diturunkan dan jari-jarinya tampak mengepal.

“Benar-benar tidak kusangka. Kalau ayahnya pembunuh, tentu anaknyapun tidak lebih baik dari itu!" Wilani diam sesaat. Lalu meneruskan kata-katanya dengan suara bergetar. “Paman, apapun yang terjadi, berapapun besar biayanya, pembunuh itu harus dicari dan dihukum. Juga pemuda yang bernama Mahesa itu!”

Rangga tidak memberikan jawaban. Tadi dia sudah mengatakan bahwa turut apa yang diucapkan Randu Ampel, antara orang itu dengan Mangun Aryo terdapat silang sengketa dendam kesumat sejak delapan belas tahun yang lalu."

“Paman Kau harus lakukan itu!" terdengar suara Wilani keras.

“Melakukan apa Den Ayu..?”

“Mencari Randu Ampel dan Mahesa..”

“Itu bisa kita lakukan nanti setelah jenazah ayahmu kita selesaikan dan kita antarkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir," jawab Rangga. “Harap kau bersabar dan tabah menghadapi cobaan besar ini, Den Ayu..!”

Wilani tak berkata apa-apa lagi, dia meninggalkan ruangan itu dan masuk ke kamar tidurnya. Kabar kematian Adipati Mangun Aryo itu sampai pula ke telinga Mahesa yang sejak beberapa hari lalu berjaga-jaga menunggu kemunculan Mangun Aryo. Sang Adipati yang ingin menangkap bahkan menyuruh orang untuk membunuhnya kini menemui kematian, menjadi korban pembunuhan. Siapakah yang membunuhnya?

Tergerak oleh rasa ingin tahu, keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mahesa memasuki kota. Dia menyusup diantara orang banyak yang berjubalan di tepi jalan menuju pekuburan, yang ingin melihat rombongan pengantar jenazah dari Kadipaten itu. Sambil menunggu Mahesa berusaha menyirap kabar sebab musabab kematian Mangun Aryo dan siapa pembunuhnya.

Dari pembicaraan orang-orang disekitarnya Mahesa mengetahui kalau Adipati Mangun Aryo mati dibunuh orang dengan cara mengerikan di suatu tempat diluar kota. Tidak jelas siapa pembunuhnya tapi diduga seorang aneh tak dikenal. Ada pula yang mengatakan seorang gila. Yang pasti orang itu memiliki kepandaian tinggi.

Ada pula yang mengatakan Adipati itu mati diterkam harimau liar. Karena itu perutnya robek. Lain orang mengatakan kemungkinan Mangun Aryo jadi korban perampokan, pembicaraan yang bermacam-macam itu membuat Mahesa berkeinginan untuk menemui Rangga. Menurut cerita Adipati itu mengadakan perjalanan bersama dengan kepala pengawalnya tersebut. Apa bukan mustahil Rangga yang membunuh sang Adipati?

Tak berapa lama kemudian di kejauhan kelihatanlah rombongan pengantar jenazah. Di sebelah depan berjalan dua belas orang prajurit Kadipaten dalam dua barisan. Masing-masing berpakaian lengkap seperti mau perang. Membawa tombak dan perisai serta membekal keris pada pinggang. Dibelakang barisan ini menyusul rombongan membawa bendera serta panji-panji yang berjumlah dua puluh orang.

Dibelakangnya, menunggang kuda kelihatan kepala pengawal Kadipaten yaitu Rangga, diikuti oleh dua belas prajurit yang juga menunggang kuda, membawa pedang dipinggang masing-masing. Setelah rombongan prajurit ini, diatas sebuah kereta terbuka yang ditarik dua ekor kuda hitam kelihatan jenazah Adipati Probolinggo didalam peti yang ditutup kain hijau. Di kiri kanan kereta mengawal delapan prajurit berkuda.

Di belakang kereta jenazah, di atas dua buah kereta besar mengikuti rombongan pemain gamelan yang sepanjang jalan terus menerus membawakan lagu-lagu sedih. Setelah itu menyusul dua kereta tertutup. Sebelah depan ditumpangi oleh istri tua almarhum yang kini menjadi janda yaitu Sri Muria bersama puteri tunggalnya Wilani. Kereta kedua ditumpangi oleh Mirani, istri muda sang Adipati yang kini juga telah menjadi janda, duduk dalam kereta bersama ibunya.

Kalau Sri Muria dan Wilani jelas menunjukkan rasa duka cita yang amat dalam maka berlainan dengan Mirani dan lbunya. Anak dan ibu ini memang tampak berduka juga tapi keduanya kelihatan lebih tenang. Sang ibu terdengar berkata.

“Beberapa hari dimuka ibu lebih suka kita meninggalkan Probolinggo. Kembali ke rumah kita di desa. Tinggal di kota ini hanya akan terus membangkitkan kenangan pahit..”

Mirani menarik nafas dalam. Dia melayangkan pandangan ke luar kereta, ketepi jalan yang dipenuhi orang banyak. “Aku hanya ingin bertemu dengan pemuda itu" meluncur kata-kata itu dari mulut Mirani, perlahan tetapi jelas.

“Ah, kau masih saja mengingat Mahesa. Entah dimana dia sekarang. Kau jatuh hati padanya anakku..?”

Wajah Mirani bersemu merah.

“Bagiku dia jauh lebih baik dari Adipati Mangun Aryo...”

Sang ibu tersenyum. Dia tak menyalahkan anaknya. Walaupun Mahesa mungkin berasal dari orang kebanyakan dan terkadang menunjukkan sikap seperti orang bodoh, tetapi pemuda itu memiliki kepandaian tinggi disamping wajah yang tampan.

Sebelumnya Mirani tak pernah mencintai seseorang, tidak juga suaminya Adipati yang telah meninggal itu. Jangankan mencintai, merasakan apa artinya cinta itupun sang anak belum pernah. Setelah bertemu dengan pemuda bernama Mahesa itu mungkin baru perasaan cinta tersebut muncul di lubuk hatinya.

“Anakku, walaupun sekarang kau menjadi janda namun kau masih muda. Tidak sulit bagimu mencari seorang calon suami baru yang kau sukai”

“Aku tak ingin lekas-lekas kawin lagi!" kata Mirani.

“Juga tidak kalau calon suamimu itu Mahesa..?”

“Ibu ini!" kata Mirani dengan bola mata membesar dan pipi memerah.

Di belakang kereta kedua ini berjalan sepuluh orang prajurit, lalu sepuluh orang lagi dengan menunggang kuda. Paling belakang menyusul rombongan penduduk kota yang ingin terus mengantarkan jenazah sampai ke pekuburan. Di sebelah depan, diantara orang banyak itu, kelihatan berjalan kaki seorang kakek berambut jarang, bermata sipit dan berpakaian serba hitam. Kedua kakinya memakai gelang bahar.

Kakek ini bukan lain adalah Eyang Jaliteng yang beberapa lalu hendak membunuh Mahesa di luar kota Probolinggo. Untung saja saat itu muncul Gembel Cengen Sakti Mata Buta, Kalau tidak pasti murid Kunti Kendil itu menemui ajalnya di tangan Jaliteng dan anak buahnya.

Seluruh rombongan bergerak perlahan-lahan sementara matahari pagi mulai terasa hangat menyengat. Di dalam kereta yang membawanya, Wilani masih saja mengucurkan air mata. Sapu tangan yang dibawahnya telah lusuh dan basah. Sesaat setelah mengusap kedua matanya gadis ini memandang ke luar kereta. Begitu banyak rakyat yang berdiri di tepi jalan untuk melihat lewatnya rombongan itu.

Namun puteri Adipati ini tahu betul tidak semua rakyat itu menyukai ayahnya. Kembali air mata berjatuhan ke pipinya. Ketika dia hendak mengusap lagi air mata itu, tiba-tiba pandangannya membentur sesosok kepala yang tersembul diantara kepala banyak orang. Wilani mengusap matanya. Ah, dia tidak salah lihat. Itu kepala Mahesa. Pemuda yang menurut paman Rangga adalah anak dari Randu Ampel, lelaki yang membunuh ayahnya!

Bergetarlah tubuh Wilani. Sampai beberapa hari lalu dia masih mengingat-ingat dan menyukai pemuda itu. Tapi ketika tahu sangkut paut Mahesa dengan pembunuh ayahnya, semua rasa senang itu menjadi pupus dan berganti dengan kebencian dendam kesumat.

Wilani buka pintu kereta lalu melompat turun. Karena dia memakai kain hampir gadis ini terjatuh. Ibunya terkejut dan memanggil. Saat itu Wilani sudah merampas sebilah pedang perajurit berkuda yang mengawal disamping kereta. Lalu sambil teriak dia lari ke arah kerumunan orang banyak.

“Anak pembunuh! Kau harus bayar kematian ayahku dengan nyawamu”

Wilani lari ke arah tempat Mahesa berdiri. Tentu saja orang banyak yang berkumpul di tepi jalan itu menjadi ramai. Dan melihat puteri Adipati berlari sambil berteriak dan membawa pedang, mereka jadi bubar berpencaran, tinggal kini Mahesa seorang diri yang masih tegak disitu dan memandang ke arah Wilani dengan tercengang. Terlebih ketika mendengar teriakan-teriakan yang keluar dari mulut gadis itu.

“Saudara...!" tegur Mahesa.

Wutt!

Pedang di tangan Wilani berkelebat ke arah leher Mahesa. “Eh, ada apa dengan gadis ini. Apa dia mendadak jadi gila?" ujar Mahesa dalam hati.

Walaupun Wilani bukan seorang yang mengerti ilmu silat namun sabatan pedangnya tadi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan mengarah leher tentu saja tetap dapat membunuh Mahesa. Pemuda ini cepat melompat ke samping. Wilani kembali memburu.

Sementara itu rombongan pengantar jenazah yang berada sekitar kereta juga ikut terkejut melihat kejadian itu. Beberapa orang perajurit berkuda dan berjalan kaki serempak bergerak ke tempat Wilani yang tengah memburu seorang pemuda dengan bacokan-bacokan pedang.

Setelah berkali-kali tak berhasil dengan serangannya Wilani menjerit keras dan campakkan pedang ke tanah lalu berteriak pada perajurit-perajurit di sekitarnya.

“Kalian kenapa diam saja?! Tangkap pemuda itu. Dia anak pembunuh ayahku! Tangkap dia!”

Mahesa terbelalak.


8. KEMALA DATANG MEMBANTU
LEBIH dari selusin prajurit segera mengurung Mahesa, enam diantaranya sudah melompat, membuat gerakan untuk menangkapnya.

“Anak setan! maki murid Kunti Kendil. “Kenapa jadi begini urusannya...?! Kenapa dia menyebutku anak pembunuh? Apa betul ayahku yang membunuh Adipati itu? Dimana ayah sekarang. Ah benar-benar urusan gila!”

Karena terkesiap oleh hal yang tidak tersangka-sangka, Mahesa menjadi lengah. Empat orang prajurit Kadipaten berhasil meringkusnya. Dua memegang tangannya kiri kanan, satu mencekal lehernya dari belakang dan prajurit ke empat menodongkan ujung pedang ke tenggorokannya.

Rangga, kepala pengawal Kadipaten baru mengetahui apa yang terjadi di rombongan sebelah belakang ketika tiba-tiba didengarnya gamelan berhenti mengalun. Dia berpaling dan terkejut melihat puteri Adipati tengah menyerang seseorang dengan pedang. Dan orang ini bukan lain adalah bernama Mahesa itu! Segera Rangga putar kudanya.

Namun dia sulit mencari jalan karena orang banyak di tepi jalan kini berjubal ke belakang ingin melihat apa yang terjadi. Terpaksa Rangga melompat dari kudanya dan menyeruak diantara kerumunan orang banyak.

Ketika melihat Mahesa tak berdaya, Wilani pungut kembali pedang yang tadi dicampakkannya lalu secepat kilat menusukkan senjata ini ke perut Mahesa! Sesaat pedang itu akan menembus tubuh Mahesa tiba-tiba seseorang yang datang dari samping menarik tubuh Wilani dan merampas pedangnya. Gadis itu berpaling dan berteriak marah ketika melihat orang yang menarik dan merampas senjatanya bukan lain adalah kepala pengawal Kadipaten.

“Paman Rangga! Kau! Kau berani mencegah aku membunuh anak pembunuh ayahku ini?!”

“Den Ayu Wilani. Tenang, jangan kesusu dan turutkan amarahmu. Dia memang benar anak pembunuh ayahmu. Tapi kita tidak bisa bertindak serampangan. Kita baru bisa menjatuhkan hukuman setelah memeriksanya...”

“Tidak bisa! Dia harus dibunuh saat ini juga. Hutang nyawa bayar nyawa! teriak Wilani.

Rangga membujuk puteri Mangun Aryo itu dan membimbingnya kembali ke arah kereta. “Den Ayu, saya akan bereskan urusan ini. Sebaiknya kau masuk kembali ke dalam kereta bersama ibu. Kita harus menyelesaikan upacara pemakaman ayahmu terlebih dahulu...”

Wilani menggerung menangis. Tapi kata-kata Rangga diikutinya juga dan naik kedalam kereta. Orang banyak yang berjubalan di tempat itu tentu saja tidak pernah menyangka kalau saat itu mereka akan melihat sendiri pemuda yang dituduhkan sebagai anak pembunuh Adipati Probolinggo itu.

Kelompok yang menyukai Adipati berteriak-teriak agar Mahesa langsung saja dibunuh. Sebaliknya penduduk yang sejak lama membenci keluarga Kadipaten balas berteriak dan menganggap Mahesa sebagai pahlawan, penyelamat Probolinggo. Bahkan ada yang berseru agar ayah pemuda itu diangkat! menjadi Adipati. Padahal mereka tidak tahu siapa dan dimana sang ayah sekarang.

“Mahesa,..!" kata Rangga. “Kami harus menangkapmu.”

“Apa salahku?! tanya Mahesa. “Seharusnya kau yang ditangkap karena hendak membunuhku beberapa hari yang lalu...”

“Mungkin kau tidak punya salah apa-apa,..." sahut Rangga. “Kami harus menahanmu, paling tidak sampai ayahmu tertangkap. Dia yang membunuh Adipati Mangun Aryo...”

“Enak saja mulutmu. Apa kau punya bukti..?!”

"Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana ayahmu yang bernama Randu Ampel itu membunuh Adipati!”

Mahesa merasakan tubuhnya bergetar. Tibat-tiba pandangannya membentur sosok tubuh Jaliteng yang tegak disebelah belakang kepala pengawal itu. “Ah, bangsat tua itu. Kalau dia ikut campur pasti sulit bagiku untuk melepaskan diri. Lebih baik aku bertindak sekarang," pikir Mahesa.

Mendadak dari samping kiri terdengar suara perempuan berseru. “Kenapa dia ditangkap?! Apa salahnya?!”

Rangga dan Mahesa berpaling. Mahesa juga Memandang ke jurusan datangnya suara itu. Yang bertanya ternyata adalah Mirani, istri muda Adipati Probolinggo. Kepala pengawal itu geleng-gelengkan kepala. “Den Ayu Mirani, kembalilah masuk ke dalam kereta. Rombongan segera akan melanjutkan perjalanan menuju pemakaman.”

“Tapi pemuda itu! Kenapa dia ditangkap?!" Mirani malah ajukan pertanyaan tanpa mau bergerak dari tempatnya berdiri. Terpaksa Rangga membawa perempuan itu kembali kekereta. Ketika berjalan menuju kereta, dari kereta sebelah depan Wilani munculkan kepalanya dan berteriak marah.

“Paman Rangga! Pasti perempuan ini berkomplot dengan pemuda itu! Kalau tidak kenapa dia membela? Dia juga harus ditangkap!”

“Urusan gila!" memaki Rangga dalam hati. Setelah Mirani masuk ke dalam kereta dia kembali ke tempat Mahesa diringkus. Saat itu Mahesa sudah siap untuk berontak. Baginya tidak sulit untuk menghadapi perajurit-perajurit Kadipaten dan Rangga.

Namun kalau si Jaliteng itu turun tangan keadaan akan jadi lain. Namun gerakan Mahesa untuk membebaskan diri sesaat jadi tertahan ketika pandangannya mendadak bertemu dengan seraut wajah jelita berikat kepala kuning, berpakaian serba kuning.

“Ah, gadis yang selalu kuingat itu!" kata Mahesa. “Ternyata diapun ada disini." Mahesa sunggingkan senyum yang membuat semua orang yang hadir disitu jadi heran. Hendak ditangkap malah tersenyum. Gila agaknya pemuda itu. Mahesa coba-coba mengingat nama gadis baju kuning itu. Kemala! Yang namanya Kemala. Lantas saja Mahesa berkata dengan suara kencang sehingga didengar semua orang.

“Kemala, apakah kau juga hendak turut menangkapku?!”

Sang dara tak menjawab. Saat itu Mahesa melihat kakek berpakaian hitam mulai melangkah mendekati. Saat itu pula Mahesa mulai bergerak. Cepat dan hebat sekali hingga semua orang terkesiap bahkan Ranggapun jadi tertegun karena tak menduga.

Pertama sekali yang dilakukan Mahesa ialah menendang perajurit yang menodongkan pedang ke lehernya. Perajurit ini terlempar ke belakang, senjatanya terlepas. Kemudian dengan satu berontakan keras Mahesa banting dua perajurit yang mencekal tangannya kiri kanan. Untuk merobohkan perajurit yang ke empat, yang mencekal lehernya dari belakang tidak terlalu sulit. Dengan satu sodokan sikut yang membuat tulang iganya patah-patah, perajurit itu berteriak kesakitan dan lepaskan cekalannya.

Rangga seolah-olah sadar apa yang terjadi dan cepat bergerak. Sebenarnya kepala pengawal ini dari perkelahiannya dengan Mahesa tempo hari sudah menyadari bahwa pemuda itu bukan tandingannya. Namun sebagai kepala pengawal dia harus menjalankan tugas, apalagi di depan orang banyak begitu rupa. Disamping itu Rangga seperti tersulut keberaniannya karena melihat kehadiran Eyang Jaliteng di tempat itu.

Namun sebelum kepala pengawal ini sempat melakukan sesuatu, dari samping tiba-tiba dara berbaju kuning mendorong tubuhnya dengan keras sehingga Rangga terpelanting dan jatuh di tengah jalan. Kemala cepat melompat ke hadapan Mahesa dan berteriak, 

“Lari lekas! Selamatkan dirimu!”

Setelah berteriak begitu Kemala lalu berkelebat dan sesaat kemudian dia telah lenyap dibalik kerumunan orang banyak. Sesaat Mahesa tak tahu mau melakukan apa-apa. Namun setelah melihat Kemala melarikan diri dia segera berkelebat pula menyusul. Kalau Kemala menyeruak diantara orang banyak maka Mahesa membuat gerakan melompat yang membuat semua orang kagum. Tubuhnya laksana terbang lewat diatas kepala orang banyak.

“Anak pembunuh. Kau mau lari kemana?" satu bentakan keras terdengar.

Sambil lari Mahesa palingkan kepalanya dan dapatkan Kakek baju hitam bermata sipit yaitu Jaliteng lari mengejarnya. Di depan sana Kemala telah lari jauh lebih dulu, lalu lenyap di tikungan jalan. Di belakang Jaliteng, Rangga dan belasan prajurit berkuda ikut melakukan pengejaran.

Dengan ilmu lari yang dimilikinya Jaliteng memastikan dalam waktu cepat dia akan dapat menangkap pemuda itu secepatnya. Tapi alangkah herannya ketika didapatinya setelah sekian lama, pemuda itu tak sanggup dikejarnya. Dan sesampainya ditikungan jalan Mahesa serta Kemala sudah tak kelihatan lagi. Jalanan sepi. Kiri kanan diapit oleh hutan belantara.

“Keduanya lolos!" kata Jaliteng begitu Rangga dan rombongan pengejar lainnya sampai di tempat itu.

“Eyang, selesai pemakaman kita atur rencana pengejaran. Tidak sulit mencari gadis baju kuning itu. Dia penduduk Probolinggo...!"

Mendengar dengar kata-kata Rangga itu Jaliteng hanya mengangguk. Mereka kembali ke tempat rombongan pengantar Jenazah yang saat itu telah jadi kacau balau karena peristiwa tadi. Setelah rombongan diatur kembali maka merekapun bergerak meneruskan perjalanan menuju tempat pemakaman.

Selepasnya dari tikungan jalanan Kemala membelok memasuki hutan kecil disisi kanan jalan. Mahesapun menuju jurusan ini hingga dalam waktu tak terlalu lama dia berhasil mengejar dara itu. Begitu berhadap-hadapan Mahesa tersenyum lebar dan berkata: “Terima kasih kau tadi membantuku..”

“Kau tak perlu takut terhadap Rangga, dan anak buahnya. Mereka tak akan mampu menangkapmu. Aku tahu itu!" jawab Kemala. Dia berkata tanpa berani memandang Mahesa.

“Tapi kau bakal menghadapi kesulitan dengan kakek berpakaian hitam itu...”

“Beberapa hari lalu dia dan orang-orangnya hendak membunuhku...!" menerangkan Mahesa.

“Apakah kau akan kembali ke Probolinggo?" bertanya Kemala.

“Ah, gadis ini tidak ketus seperti dulu lagi," pikir Mahesa dalam hati. “Mungkin. Aku harus mendapatkan keterangan yang jelas. Mengapa mereka beberapa waktu lalu hendak menangkap dan membunuhku. Lalu setelah Adipati Mangun Aryo mati dibunuh mengapa mereka menyangkut-pautkan hal itu dengan diriku. Apa benar orang bernama Randu Ampel itu yang membunuhnya?”

“Betul Randu Ampel itu ayahmu?" tanya Kemala.

“Begitu keterangan yang kudapat. Aku tengah berusaha mencari dimana dia sekarang...”

“Kalau kau kembali ke Probolinggo, dirimu tak bakal aman. Banyak orang yang telah melihat wajahmu. Satu-satunya tempat yang aman bagimu adalah rumah istri muda Adipati itu. Tak akan ada orang yang akan mencarimu sampai kesana...”

Mahesa tersenyum. Sang dara ternyata memikirkan keselamatan dirinya. Lalu dia berkata, “Kau sendiri juga tak aman kalau kembali ke kota. Rangga dan orang-orangnya pasti akan menangkapmu. Karena telah menolongku tadi, kau akan dianggap bersengkokol denganku...”

“Aku memang tak akan kembali ke kota!" jawab Kemala.

“Lalu kau mau pergi kemana..?” Sang dara tak menjawab.

“Aku harus pergi sekarang,..!" katanya. Lalu untuk pertama kali dia berpaling ke arah Mahesa. Pandangan mereka saling beradu. Banyak rasa dan kata-kata yang tidak terucapkan tapi terkias dalam saling pandang itu.

“Aku akan pergi,..." kata Kemala lagi. “Dan jangan coba mengikutiku...”

“Ah! Kumat lagi penyakit ketus dan curiganya!" kata Mahesa dalam hati.

Kemala berkelebat pergi. Mahesa geleng-gelengkan kepala. Dia teringat pada rokok kawungnya lalu keluarkan sebatang dan menyalakannya. Sesaat kemudian diapun meninggalkan tempat itu.


9. HASRAT SANG JANDA MUDA
MENJELANG tengah hari upacara pemakaman jenazah Adipati Probolinggo selesai. Seluruh rombongan pengantar dan juga rakyat banyak yang mengikuti upacara itu meninggalkan kuburan, kembali ke tempat dan rumah masing-masing. Berbagai macam cerita tentang pembunuhan dan kematian Adipati itu tetap menjadi bahan pembicaraan semua orang dimana-mana. Sesampainya di Kadipaten, Rangga menemui Sri Muria dan berkata.

“Den ayu, sebelum masuk ke kamar untuk istirahat bolehkah saya bicara empat mata...”

“Apa keperluanmu Rangga?”

“Ada sesuatu yang perlu saya beritahu pada den ayu.”

“Sesuatu itu ada sangkut pautnya dengan kematian Adipati?”

“Saya tidak tahu. Mungkin memang ada hubungannya. Cuma yang penting hal ini menyangkut langsung dengan keselamatan den ayu. Ketahuilah jiwa den ayu sedang terancam...”

Tentu saja Sri Muria jadi terkejut. Wajahnya pucat. “Kau tidak main-main Rangga?”

“Saya mana berani main-main den ayu. Saya harap den ayu putri jangan sampai mendengar hal ini”

Sri Muria berpikir sejenak. “Baiklah, katanya kemudian. “Kita bicara di ruang kerja Adipati!" Lalu dia berjalan mendahului.

Setelah sampai di ruangan kerja almarhum Mangun Aryo, Rangga lalu menuturkan tentang kepergiannya ke puncak gunung Bromo bersama Mangun Aryo beberapa hari lalu.

“Adipati telah sering sekali mengajak saya kesana. Tapi selama itu saya hanya disuruh menunggu di kaki gunung. Hari itu saya berbuat lancang. Karena ingin tahu saya diam-diam mengikuti Adipati dan naik ke puncak gunung. Ternyata beliau menemui seseorang. Antara Adipati dan orang itu agaknya terdapat suatu perjanjian. Perjanjian menyangkut pertolongan dan imbalan. Imbalan itu selain berupa uang juga berupa tumbal. Tumbal nyawa manusia!”

“Apa maksudmu Rangga?”

“Den ayu ingat kematian beberapa anggota keluarga Adipati yang terdekat selama belasan tahun ini, termasuk para pembantu?”

“Ya... lalu?”

“Sekarang orang dipuncak gunung itu inginkan nyawa den ayu. Dia akan menyuruh makhluk peliharaannya untuk menagih tumbal itu akhir bulan ini...”

Wajah Sri Muria sepucat kertas. Tubuhnya bergetar dan perempuan ini hampir terpekik mendengar keterangan kepala pengawal itu.

“Saya tidak tahu, apakah dengan meninggalnya Adipati perjanjian itu masih tetap berlaku. Saya kawatir hal itu akan tetap terjadi. Karenanya saya harap den ayu dan dan ayu puteri mengungsi dulu ke tempat lain...”

“Siapakah adanya orang di puncak gunung Bromo itu, Rangga?”

“Saya tidak tahu jelas den ayu. Ada cerita kalau disitu diam seorang dukun sakti...”

“Dukun sakti!" desis Sri Muria. “Jadi selama ini Adipati memelihara dukun...”

“Benar. Hal itu biasa saja den ayu. Biasa bagi orang kita. Terutama bagi seorang pejabat. Demi untuk menjaga keselamatan diri dan jabatannya...”

“Aku harus menceritakan hal ini pada Wilani!”

“Sebaiknya jangan den ayu. Dia masih terlalu muda untuk menghadapi hal-hal seperti ini.”

“Baiklah Rangga. Aku akan memikirkan apa aku mau menerima nasihatmu untuk mengungsi. Aneh... Bagaimana bisa terjadi hal seperti ini!" Sri Muria pejamkan kedua matanya. Ketika Rangga melihat perempuan itu mulai menangis, dia segera tinggalkan kamar tersebut.

***

SESAMPAI di rumah besar kediamannya ibu Mirani berkata pada anaknya. “Kau tentu letih nak. Pergilah istirahat di kamarmu. Tapi jangan lupa rencana kita untuk pulang ke desa!”

“Saya hanya mengikut apa katamu, bu. Tapi apa tidak sebaiknya kita menunggu kabar atau keputusan lebih lanjut dari Kotaraja?”

“Apa maksudmu?”

“Sebagai janda Adipati, walaupun istri kedua, tentu ada tata cara yang harus ditempuh. Saya tidak takut hidup sengsara di desa. Tapi saya tidak sudi kalau sampai matipun Adipati itu terus menerus menimbulkan kesengsaraan pada kita...”

Sang ibu mengusap bahu anaknya lalu menyuruh Mirani masuk ke dalam kamar. Mirani masuk ke dalam kamar, mengunci pintu. Setelah meneguk segelas air putih dia langsung melangkah ke tempat tidur untuk membaringkan diri. Badannya terasa letih sekali. Saat itulah dia melihat sesosok tubuh duduk di sebuah kursi besar yang terletak di sudut kamar. Mirani hampir terpekik. Tetapi orang yang duduk dikursi itu cepat mengangkat tangannya dan tersenyum.

“Kau... Kau berani masuk ke dalam kamarku!”

Mahesa bangkit perlahan-lahan. “Harap maafkan kelancanganku ini. Aku terpaksa datang kesini. Bersembunyi sementara disini sampai hari malam. Aku tidak bermaksud jahat. Aku tidak akan mengganggumu...”

Mirani diam. Hatinya berdebar. Entah mengapa rasa letihnya tiba-tiba saja lenyap. Dia senang melihat pemuda itu kembali. Tapi berduaan dalam kamar seperti itu membuatnya jengah.

“Kau datang kesini untuk mengambil rumahmu ini kembali? Begitu..?”

Mahesa gelengkan kepala. “Aku hanya bersembunyi untuk sementara. Sampai nanti malam. Kalau kau mau tidur dan istirahat, silahkan. Aku tak akan mengganggumu.”

“Mana mungkin tidur jika ada orang lain disini,..!" jawab Mirani. Dia ingat kejadian pagi tadi. “Kenapa orang-orang itu hendak menangkapmu lagi?”

“Mereka menuduh ayahkulah yang telah membunuh Adipati. Aku sendiri tak pernah bertemu ayah sejak dilahirkan. Malam nanti aku akan pergi ke Kadipaten untuk mencari keterangan yang jelas.”

“Kalau kau sampai tertangkap bagaimana?”

Mahesa tersenyum. “Aku akan berusaha untuk tidak tertangkap. Karena itulah aku akan menyelinap malam-malam kesana...”

“Maksudmu sebenarnya bukankah hanya untuk menemui puteri Adipati yang cantik itu..?”

“Ah, gadis itu. Tadinya dia memang baik. Tapi ketika mengetahui ayahku yang membunuh ayahnya, dia jadi sangat membenciku. Bahkan hendak membunuhku!”

“Kalau benar ayahmu yang membunuh Adipati, apa alasannya?" tanya Milani.

“Pasti ada sebabnya. Aku sendiri belum tahu. Justru keterangan itulah yang kuharap bisa kudapat di Kadipaten malam nanti..”

“Setelah kau mendapatkan keterangan itu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Mirani lagi.

“Aku tak tahu. Mungkin berusaha mencari ayahku!" jawab Mahesa. Dan diam-diam dia ingat akan tugas-tugas yang diberikan gurunya. Ada dua tugas tak satupun sampai saat itu dapat dilaksanakannya. Lalu dia teringat pula akan surat sang guru yang menyuruhnya datang ke Pesantren Nusa Barung pada bulan Sura hari ke dua belas.

“Setelah ditinggalkan Adipati, kau sendiri akan berbuat apa?" kini Mahesa yang ganti bertanya.

“Ibu mengusulkan agar kami kembali ke desa. Disana kami masih punya rumah meskipun kecil dan buruk. Tapi rumah sendiri. Juga ada sebidang tanah yang bisa diolah...”

“Jika kalian mau, kalian boleh tinggal terus di rumah ini...!" berkata Mahesa.

“Kau baik sekali. Saya akan katakan hal itu pada ibu. Tapi jika satu waktu kau berumah tangga, punya istri punya anak, apakah kau tidak memikirkan ingin memiliki rumah sendiri. Sebuah rumah besar seperti rumahmu yang sekarang ini..?”

Mahesa tertawa. “Soal kawin belum mampir dikepalaku. Kau sendiri, apa tak terpikir akan kawin lagi..?”

“Paras Mirani kelihatan menjadi kemerah-merahan. Bagaimanapun benciku pada Adipati itu, saya tetap istrinya. Paling tidak harus menunggu sampai empat puluh hari baru memikirkan soal kawin..”

“Misalkan empat puluh hari sudah berlalu. Bagaimana?” Mahesa bertanya lagi.

“Soal itu saya serahkan pada Gusti Allah. Kalau dicari sendiri mungkin tak ada pemuda yang bakal mau dengan seorang perempuan sepertiku yang katanya bekas bandot tua. Padahal..." Mirani tak meneruskan kata-katanya.

“Padahal kenapa?”

Mirani tak menjawab. Malah mulai terisak-isak. Mahesa mendekati perempuan ini dan mengulang pertanyaannya tadi. “Mereka tidak tahu. Tak seorangpun tahu. Bahkan ibu pun tidak..”

Mahesa kerenyitkan kening. “Apa yang tidak semua orang itu tahu?"

"Selama jadi istri Mangun Aryo, kami memang tidur berdua. Dia boleh menjamah tubuhku. Melakukan apa saja dengan kedua tangannya. Tapi dia tak pernah mendapatkan yang satu itu...”

Sebagai pemuda yang belum lama turun gunung dan hampir tak mengenal banyak kehidupan soal manusia terutama hubungan lelaki dan perempuan, tentu saja pemuda ini kurang mengerti apa yang dikatakan Mirani. Maka diapun bertanya polos. “Apa yang satu itu maksudmu?”

“Kau! Kau kurang ajar..!”

“Hai Kenapa kau tiba-tiba mendampratku begitu. Aku hanya ingin tahu dan bertanya..”

“Kau betul-betul tidak tahu apa yang kumaksudkan?”

Mahesa mengangguk.

“Adipati itu tak pernah meniduriku,..!" kata Mirani akhirnya dengan suara lirih. “Saya masih gadis sampai saat ini. Setiap menemaninya tidur, saya selalu membawa sebilah pisau. Setiap dia berhasrat melakukan hal itu saya mengancam membunuhnya. Kalau tidak bisa saya akan bunuh diri..”

Mahesa geleng-gelengkan kepalanya hampir tak percaya. “Kau seorang luar biasa,..!" katanya. Lalu, “Kau tidak menceritakan hal itu kepada siapapun. Mengapa mau mengatakannya padaku..?”

Mirani terdiam. Dia tak bisa menjawab. Ketika dia menjawab juga, dia tak bisa memastikan apakah jawabannya itu betul atau tidak. “Kurasa mungkin kau satu-satunya yang bisa kupercaya..”

Mahesa tertawa.

“Kenapa kau tertawa?”

“Kau tahu apa kata orang tentang kepercayaan? Terlalu cepat percaya bisa membawa kerugian..”

“Biarlah apa yang dikatakan orang itu. Apapun tak selamanya seperti yang dikatakan orang banyak. Selalu ada pengecualian..”

Diam-diam Mahesa memuji kepandaian bicara perempuan yang baru berusia sekitar enam belas tahun ini.

“Kalau kau sudah mendapatkan apa yang kau cari di gedung Kadipaten nanti, kau akan meninggalkan kota ini bukan?”

Mahesa mengangguk.

“Apakah kita akan bertemu lagi?" tanya Mirani.

“Kau masih ingin bertemu denganku..?”

Tanpa malu-malu Mirani menganggukkan kepalanya. Ketika Mahesa memegang kedua bahunya terus saja Mirani menjatuhkan dirinya ke atas dada pemuda itu. Seumur hidupnya baru kali ini Mahesa memeluk tubuh seorang perempuan. Sekujur tubuhnya bergetar dan terasa panas. Bagi Mirani, meskipun sebelumnya pernah dipeluk dan dirangkul oleh Mangun Aryo, namun tidak pernah dia merasa sebahagia seperti dalam pelukan Mahesa saat itu.

“Apakah aku mulai mencintai pemuda ini?" membathin Mirani.

Mahesa sendiri meskipun saat itu jelas memeluk tubuh Mirani namun yang dibayangkannya adalah Kemala, dara cantik berbaju kuning itu. Bayangan wajah Kemala baru lenyap sewaktu dirasakannya Mirani memeluknya tambah kencang dan menciumi dadanya yang terbuka. Mahesa tundukkan kepala menciumi rambut Mirani yang hitam harum.

Sesaat kemudian perempuan itu lepaskan tubuhnya dari pelukan Mahesa dan jatuhkan diri diatas tempat tidur. Mula-mula Mahesa hendak membaringkan pula dirinya disamping perempuan itu. Namun dia ingat dan tak berani bertindak lebih jauh.

Melihat Mahesa tak bergerak dari tempatnya, Mirani bangun kembali. Setelah memandangi pemuda itu beberapa lama dia berkata, “Jangan berprasangka buruk Mahesa. Saya bukan perempuan nakal. Semua kulakukan hanya karena suka padamu. Kau tidak kasihan padaku...?”

“Aku kasihan dan juga suka padamu. Tapi aku tak mau lupa diri. Kalau kau mau tidur, tidurlah. Aku akan duduk di kursi sana menunggu sampai malam tiba..”

Mirani merasa malu sendiri. Dia tak pernah merasakan gejolak yang sedemikian hebatnya seperti saat itu. Dia merasa kecewa dan kepalanya jadi pening. Namun dia juga kagum atas pribadi pemuda itu. Kalau saja dia tidak malu ingin dia mengatakan bahwa dia mengharapkan Mahesa untuk jadi teman hidupnya kelak.

“Setelah urusanmu di Kadipaten selesai, kau mau berjanji untuk kembali lagi kesini malam nanti..?”

“Aku tak mungkin berjanji, Mirani.”

“Kau harus mau, Mahesa!" kata Mirani. Dan dia tak dapat menahan gejolak yang tambah keras dalam dirinya. Selama ini dia selalu bisa bertahan terhadap perilaku Mangun Aryo sewaktu mereka tidur berdua. Ini semata-mata karena dia sangat benci pada lelaki itu.

Tetapi terhadap seorang lelaki yang disukainya seperti pemuda ini, dia bisa gila sendiri kalau tidak mendapat balasan. Mirani berdiri dari tempat tidur. Dia kembali memeluki tubuh Mahesa. Bagaimanapun juga pada akhirnya semua itu membuat Mahesa menjadi terangsang. Keduanya rebah diatas tempat tidur.

Mirani seolah-olah sengaja membimbing tangan pemuda itu untuk menjalari tubuhnya. Mahesa merasakan dadanya seperti mau pecah oleh arus darah yang membara. Matanya membeliak ketika Mirani menanggalkan setagennya, membuka kebaya dalam serta kainnya. Dalam keadaan tanpa pakaian ini dia kemudian memeluki tubuh Mahesa sambil coba melepaskan pakaian si pemuda.

Ketika Mahesa hampir ikut-ikutan lupa tiba-tiba muncul bayangan gurunya. Bayangan ini lenyap dan kini berganti dengan bayangan seorang lelaki dan seorang perempuan yang sebelumnya tak pernah dilihat Mahesa. Kedua orang ini seperti mengatakan sesuatu padanya. Mahesa seperti melihat ayah dan ibunya. Pemuda ini melompat dari tempat tidur dan lari ke kursi di sudut kamar.

“Mahesa, ada apakah?" tanya Mirani. “Kau kelihatan ketakutan. Tak ada yang harus ditakutkan disini..”

Mahesa mengenakan pakaiannya dan berkata, “Pakai bajumu kembali. Kita tidak pantas berbuat begini walaupun kita sama-sama suka melakukannya.”

Mendengar kata-kata itu Mirani jadi tertegun di depan tempat tidur. Semula dia hendak memeluki pemuda itu kembali. Mahesa juga tegak tak bergerak. Memandangi tubuh telanjang yang putih bagus itu sambil menahan dadanya yang terasa menyentak-nyentak. Mirani akhirnya kembali menjatuhkan diri diatas tempat tidur tanpa berusaha untuk mengenakan pakaiannya kembali. Mahesa duduk di sudut ruangan. Kedua matanya dipejamkan. Telinganya mendengar janda muda itu menangis terisak-isak.


10. SANG PEMBUNUH TERNYATA MEMANG AYAHKU
MALAM itu di Kadipaten diadakan upacara selamatan sampai jauh malam. Sesuai dengan kebiasaan upacara seperti itu diadakan terus menerus selama tujuh hari. Lalu diulangi pada hari yang ke 40 ke 100 dan ke 1000.

Setelah para tamu pulang, Sri Muria memanggil Rangga. Keduanya menuju ke ruangan kerja almarhum. Meskipun sebelumnya Rangga telah berpesan agar Wilani tidak perlu mengetahui persoalan tumbal itu namun ketika masuk ke dalam ruangan ternyata gadis itu telah ada disana.

“Aku memutuskan bahwa Wilani juga harus mangetahui semua persoalan ayahnya,  kata Sri Muria. Kepala pangawal itu tak bisa berbuat Iain selain mengiyakan.

“Apakah den ayu sudah mengambil keputusan mengenai rencana mengungsi itu..?”

“Kalau tidak ada jalan lain kita memang terpaksa melakukan haI itu. Hanya tempatnya harus dirahasiakan Rangga. Tak ada satu orangpun yang tahu kecuali kita bertiga..”

“Soal kerahasiaan, den ayu bisa mempercayai saya kapan kita akan berangkat sebaiknya kita tunggu sampai tujuh hari. Tak mungkin mengelak dari orang-orang yang berkunjung kemari untuk melakukan selamatan. Lagi pula akhir hulan yang dikatakan dukun itu masih dua minggu dimuka..”

“Baiklah kalau begitu den ayu...!" kata Rangga. Tapi diam-diam kepala pengawal ini merasa kawatir. Dia takut kalau-kalau kematian Mangun Aryo diketahui oleh orang di puncak Bromo itu hingga mungkin saja dia mengambil nyawa Sri Muria lebih cepat dari yang dijanjikan.

“Ada sesuatu yang perlu kutanyakan!" Wilani membuka mulut setelah sejak tadi berdiam diri saja.

Tapi baru saja selesai berbicara tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan sesosok tubuh berpakaian putih menyelinap masuk kedalam. Tiga orang yang ada diruangan itu keluarkan seruan terkejut. Rangga gerakkan tangan kanan untuk mencabut keris. Tapi sebelum dia sempat menyentuh hulu senjata itu, satu totokan membuat tubuhnya kaku, tak bisa bergerak, tak bisa buka suara. Hal yang sama juga terjadi dengan Sri Muria dan Wilani.

Mahesa tegak di tengah ruangan. Setelah memandang sejurus pada ketiga orang itu diapun berkata. “Dengar, aku tidak akan menyakiti kalian. Aku datang hanya untuk meminta keterangan pada paman Rangga. Keterangan penting agar semua jelas bagiku dan juga bagi kalian. Setelah itu aku akan pergi. Kalian mengerti? Kedipkan mata kalian tanda mengerti..”

Sri Muria dan Rangga mengedipkan mata masing-masing. Wilani tak mau melakukannya. Namun akhirnya tampak juga dia mengedipkan matanya. Mahesa lalu mengurut urat besar di Ieher Rangga. Kepala pengawal ini terbuka jalan suaranya tetapi tubuhnya tetap berada dalam keadaan kaku.

“Paman Rangga, sekarang jawab pertanyaanku yang pertama. Siapa yang menyuruhmu menangkap dan bahkan hendak membunuhku..?”

Kepala pengawal itu tak menjawab.

“Paman, aku berjanji tidak akan menyakiti siapapun di ruangan ini termasuk kau. Tapi aku bersumpah akan menghajarmu jika kau tidak mau memberi keterangan. Siapa?”

“Almarhum Adipati Mangun Aryo!" jawab Rangga akhirnya.

Sepasang mata Sri Muria dan Wilani tampak membesar.

“Kenapa dia menginginkan kematianku?”

“ltu aku tidak tahu..”

“Aku yakin kau tahu. Jangan dusta!” bentak Mahesa.

“Aku tidak tahu pasti. Aku hanya melihat Adipati ketakutan ketika padanya kuceritakan kedatanganmu di kuburan dan bahwa kau adalah anak Wening Muriati.”

“Bagaimana kau tahu aku anaknya perempuan bernama Wening Muriati itu..?”

“Penjaga makam itu yang menerangkan. Dia memberi tahu setelah kupaksa..”

“Sekarang katakan siapa sebenarnya yang membunuh Adipati Mangun Aryo..”

“Ayahmu. Randu Ampel!" jawab Rangga.

“Bagaimana kau tahu ayahku orang yang bernama Randu Amplei itu?" menyelidik terus Mahesa.

“Penjaga makam itu menceritakan semuanya. Dan Adipati juga mengatakan hal itu...”

“Dimana terjadinya pembunuhan itu?”

"Di sebuah puncak bukit, dekat pepohonan bambu liar, di luar kota. Kurasa tidak beda tempatnya dengan kejadian ketika kau menolong den ayu puteri..”

(Halaman 90-91 hilang)

Sepasang mata Mahesa menyipit. “Dukun sakti? Dukun sakti yang diminta oleh Adipatimu untuk mengguna-gunai ayahku...?!”

“Aku tidak tahu pasti. Pada saat itu kudengar Adipati mengatakan ketakutan karena ternyata kau muncul di kota ini. Dia minta orang di puncak gunung itu untuk menolongnya. Dan Orang itu berkata makhluk peliharaannya akan membereskanmu?”

“Mahluk peliharaan macam apa?”

“Itu aku tidak tahu!" jawab Rangga.

“Setelah membunuh Adipati, kemana perginya orang bernama Randu Ampel itu..?”

Rangga menggeleng. “Setelah Adipati dibunuh, aku pingsan tak tahu apa-apa lagi..”

Karena merasa sudah mendapat semua keterangan yang diperlukannya, Mahesa berkata pada Wilani dan Sri Muria.

“Kalian dengar sendiri. Ayahmu yang menanam pohon racun delapan belas tahun lalu dan dia sendiri yang memetik serta memakan buahnya. Ayahku hanya membalaskan sakit hati. Ternyata Adipatimu itu bukan saja ingin merampas jabatan, tapi juga mencelakai ayahku sampai gila sedang ibu harus mati dengan menderita!”

Setelah memandang sesaat pada Rangga, Mahesa lalu melangkah ke pintu. Ketika pintu terbuka sesosok tubuh tahu-tahu sudah berdiri menghalangi langkah Mahesa.

“Anak muda, ternyata kau tak bisa lari jauh dariku. Aku telah berjanji pada Adipati untuk membunuhmu. Jika aku tidak melakukannya, berarti aku berhutang seumur hidup padanya..!”

“Anak setan! Kau belum puas rupanya! Apa tidak ingat aku telah memberimu ampun hingga kawanku kakek buta itu tak jadi melumpuhkan keduatanganmu?!"


11. MALAM BERDARAH Dl KADIPATEN
YANG menghadang Mahesa di pintu ruang kerja Adipati itu ternyata adalah si kakek yang biasa dipanggil dengan sebutan Eyang Jaliteng. Setelah mengelakkan serangan si pemuda, kakek ini balas menyerang. Tangan kirinya mencengkeram ke muka sedang tinju kanan menderu ke dada. Disaat yang sama Rangga berteriak keras-keras hingga terdengar oleh para pengawal Kadipaten. Dua puluh perajurit serta merta mengurung tempat itu.

“Jangan ada yang ikut campur. Aku sendiri yang akan membereskan pemuda ini!" kata Jaliteng hingga tak seorangpun berani melakukan sesuatu.

Selain memiliki ilmu silat tinggi Jaliteng juga memiliki semacam ilmu hitam yang penuh dengan tipu daya licik. Karenanya setelah menggempur lima jurus dia tak sanggup memukul lawannya, dengan marah kakek ini mulai kelihatan komat kamitkan mulutnya. Tiba-tiba Mahesa melihat lawannya lenyap. Tahu-tahu si kakek sudah menyerangnya dari samping atau dari belakang. Beberapa kali Mahesa berhasil mengelakkan serangan aneh itu. Tapi satu kali akhirnya dadanya kena juga terpukul. Mahesa rasakan dadanya seperti hancur. Mulutnya terasa panas dan asin.

Ketika dia meludah, ludahnya merah. Ternyata dia terluka di dalam. Jaliteng tertawa mengekeh sambil bertolak pinggang.
Lalu kembali tubuhnya lenyap dan lancarkan lagi serangan serangan seperti tadi. Sesaat kemudian dia melihat sosok tubuh Jaliteng ada dimana-mana. Semuanya menyerang ke arahnya. Tapi tak dapat diketahui yang mana yang asli dan mana yang hanya bayangan saja.

Buk!

Murid Kunti Kendil tersungkur ke lantai. Pinggul kanannya mungkin remuk ketika dihantam tendangan Jaliteng. Sambil bangun dengan marah Mahesa lepaskan Pukulan “Api Geledek Menggusur Makam” Sinar merah berkiblat. Kakek itu berseru kaget dan bayangan-bayangannya ikut menjerit-Jerit! Sinar merah berkelebat menghantam bayangan-bayangan lalu menghancurkan tembok gedung di sebelah kiri! Dua perajurit roboh jadi korban.

“Ha ha..ha! Kau tak mungkin mengenaiku orang muda. Nyawamu sudah tidak tertolong...!”

“Anak setan@" maki Mahesa. Dia pejamkan kedua matanya dan tegak termiring-miring karena pinggulnya sakit bukan kepalang. Sepasang telinganya kini diandalkan untuk melihat dan mendengar serangan lawan. Pemuda ini siap mainkan Jurus-Jurus Silat Orang Buta!

Si kakek tertawa bergelak. “Dengan mata terbuka saja kau tak sanggup menghadapiku. Apalagi dengan meram begitu rupa! Ilmu apa yang hendak kau keluarkan?!”

Lalu dia memukul ke depan. Enam sosok bayangannya ikut bergerak memukul. Namun kini telinga Mahesa dapat membedakan mana serangan sosok tubuh sebenarnya dan mana yang hanya bayangan. Jelas serangan sosok tubuh yang sebenarnya akan mengeluarkan suara sedang sosok tubuh palsu tidak. Mahesa mendengar deru angin dari samping kiri. Dia memutar tubuh dan memukul.

Buk! Krak!

Jaliteng terpekik. Tubuhnya mencelat. Dia terkapar di lantai lalu berusaha bangun dengan tertatih-tatih. Tulang lengannya sebelah kanan ternyata patah akibat pukulannya tadi ditangkis oleh Mahesa. Selagi dia menahan sakit seperti itu Mahesa sudah datang menyerbu. Kakek ini berkelit kesamping sambil menendang ke arah selangkangan Mahesa. Namun tendangan ini hanya mengenai tempat kosong. Dilain kejap gerakan Mahesa yang seperti gerabak gerubuk itu tahu-tahu dapat mencekal bahu kirinya. Inilah gerakan yang bernama “Si Buta Mencengkeram Langit”

Krak!

Tulang bahu Jaliteng remuk. Untuk kedua kalinya kakek ini menjerit. Dengan menggembor marah kakek ini mengeruk ke balik pakaian hitamnya. Ketika tangan itu dipukulkan ke depan, dua buah pisau hitam mendesing ke arah Mahesa! Selama malang melintang dalam dunia persilatan, jarang sekali Jaliteng mengeluarkan pisau terbangnya itu. Kalaupun dia mengeluarkannya maka pasti akan membawa korban.

Namun malam itu merupakan hari naas baginya. Mahesa berhasil mengelakkan serangan dua pisau terbang itu. Tubuhnya kemudian dijatuhkan kebawah. Dengan gerakan “Si Buta Menabas Puncak Gunung” pemuda ini tendangkan kaki kanannya menyapu kedua kaki Jaliteng. Kakek ini terpental dan terbanting ke lantai. Di saat yang sama kaki kiri Mahesa datang dari depan, tepat menghantam kepala si kakek.

Prak!

Tengkorak kepala Eyang Jaliteng remuk. Tubuhnya terkapar. Kedua kakinya melejang-lejang beberapa kali. Kemudian tubuh itu tak bergerak lagi.

“Perajurit-perajurit tolol!" teriak Rangga ketika menyaksikan kejadian itu. “Kalian tunggu apa?! Lekas sergap dan bunuh pemuda itu! Cincang tubuhnya!" Sampai saat itu dia masih berada dalam keadaan tertotok di bekas ruangan kerja Adipati.

Dua puluh lebih perajurit yang seolan-olah tersadar oleh bentakan itu serta merta menyerbu. Dua puluh senjata diayunkan ke satu arah yaitu kepala atau tubuh Mahesa. Murid Kunti Kendil cepat bergerak untuk selamatkan diri. Dia melompat ke atas. Sambil melompat tendangkan kaki kiri dan pukulkan kedua tangannya.

Satu perajurit terpental dengan tulang-tulang iga patah. Dua lainnya terbanting ke lantai setelah dihantam tinju Mahesa. Yang lain-lain jadi mundur ketakutan. Kesempatan ini tidak disia-siakan Mahesa. Dia berpegangan pada lampu besar yang menjadi pajangan di ruangan itu lalu mengayunkan tubuhnya, melesat ke halaman Kadipaten dan lenyap dalam gelapnya malam.

***

SETELAH lari beberapa ratus langkah meninggalkan gedung Kadipaten Mahesa merasakan pinggulnya yang kena tendangan Jaliteng mendenyut sakit. Rasa sakit ini menjalar sampai ke pinggang dan ke kaki sehingga dia tak bisa lari kencang. Dalam pada itu dadanya yang kena dihantam pukulan terasa menusuk-nusuk di sebelah dalam. Nafasnya menyesak.

Kemudian dirasakannya lagi ada darah naik ke mulutnya. Pemandangannya berkunang. Dia coba kerahkan tenaga dalam. Tapi terlambat. Tubuhnya miring dan jatuh tergelimpang di tengah jalan. Dia Coba bangun namun hanya bisa merangkak. Dadanya semakin sakit.

Saat itu dari ujung jalan terdengar suara derap kaki kuda mendatangi. Sepuluh langkah dari hadapan Mahesa, penunggang kuda hentikan kudanya. Karena jalan itu gelap Mahesa tak dapat melihat atau mengenali wajah orang ini. Dia hanya mengeluh, kalau penunggang kuda itu adalah orang Kadipaten maka tak ada daya baginya untuk menyelamatkan diri. Dalam keadaan seperti itu akhirnya pemuda ini roboh ke tanah.


12. PERTOLONGAN YANG MENGUNDANG CELAKA
KETIKA Mahesa sadar dari pingsannya yang pertama sekali dilihat dan muncul di ruangan pandangannya adalah sebuah wajah cantik. Dia cepat bangun tapi mengerenyit oleh rasa sakit pada dadanya dan ini membuat dia jatuh terbaring kembali diatas tempat tidur.

“Kau...!" desis Mahesa.

Wajah cantik itu tersenyum. “Dimana aku saat ini?" tanya Mahesa sambil tangannya mengusap dadanya yang terasa sakit. Saat itu dia hanya mengenakan celana panjang. Dadanya tampak merah dibagian yang terkena pukulan.

“Tenanglah, kau tak usah kawatir. Kau berada dalam kamarku..”

“Kamarmu?”

Mahesa memandang berkeliling. Ya, dia mengenali tempat itu. Dia pernah berada di kamar itu sebelumnya. Hidungnya mencium semerbak harum bunga melati. Diatas meja di dekat tempat tidur terletak Keris Naga Biru yang asli dan tiruannya. Lalu kayu besi hitam yang berbentuk papan nisan.

“Senjata-senjata itu. Letakkan dekat kepalaku!" ujar Mahesa.

“Kau aman disini Mahesa. Tak ada yang akan mengambil senjata-senjata itu..”

“Bagaimana... bagaimana aku bisa ada disini Mirani..?”

“Kau dalam keadaan sakit. Sebaiknya jangan banyak bicara dulu. Aku sudah siapkan makanan dari tadi pagi. Kau harus makan Mahesa..”

Pemuda itu gelengkan kepala. Mulutnya terasa sakit. Perutnya memang lapar tapi dia tak punya nafsu makan sama sekali. “Rokokku ambilkan rokok!" pintanya.

Mirani geleng-gelengkan kepala. “Kau tahu sudah berapa lama kau terbaring disini? Perutmu kosong. Kau bukannya minta makanan atau air, tapi malah rokok! Paling tidak kau harus minum dulu..”

Mirani mengambilkan gelas berisi air putih sejuk dan meminumkannya pada Mahesa.

“Rokok!" bisiknya kemudian.

Akhirnya Mirani mengambilkan juga kotak rokok pemuda itu dan menyalakannya sebatang. Setelah menyedot rokok itu beberapa kali dia merasa agak tenang dan kembali bertanya, “Katakan bagaimana aku bisa ada disini. Apa ada yang tahu aku dikamarmu ini?”

“Tak ada seorangpun yang tahu...”

“lbumu?”

Mirani menggeleng.

“Kemarin malam katamu?" ujar Mahesa. “Jadi berapa lama aku berada disini?”

“Satu hari satu malam. Sekarang sudah malam pula..”

Tentu saja penjelasan ini membuat Mahesa hampir tak dapat mempercayai. “Teruskan ceritamu tadi, Mirani.”

“Malam itu, setelah kau pergi, kutunggu sampai ibu tidur. Lalu diam-diam aku berganti pakaian dan dengan menunggang kuda aku pergi ke Kadipaten. Apa yang aku kawatirkan ternyata benar. Kau kutemui tergeletak di tengah jalan. Dengan susah payah kunaikkan ke atas punggung kuda lalu kubawa kesini..”

Mahesa ingat malam itu. Sebelum dia pingsan dia masih bisa melihat kemunculan seorang penunggang kuda yang semula disangkanya petugas dari Kadipaten. Mahesa memegang tangan Mirani.

“Jasamu besar sekali. Aku berhutang budi dan nyawa padamu..”

“Jangan sebut itu!" jawab sang janda muda. “Kau tahu, petugas Kadipaten telah menyampaikan pengumuman ke seluruh pelosok kota.”

“Pengumuman apa?" tanya Mahesa sambil menduga-duga.

"Untuk menangkapmu, mati atau hidup. Juga seorang gadis bernama Kemala. Siapa yang berhasil melakukannya mendapat hadiah sepuluh ringgit untuk masing-masing kepala..”

“Jika kau mau kau bisa mendapatkan uang itu!" kata Mahesa pula. Lalu dia menguap lebar-lebar.

Mirani tersenyum. “Pinggulmu lebam biru dan bengkak. Dadamu bertanda merah. Dan tadi malam kau banyak mengeluarkan darah dari mulut..”

“Ya, aku terluka di dalam. Anak setan itu memukulku..”

“Anak setan siapa maksudmu?”

“Kakek bernama Jaliteng. Bergundalnya Mangun Aryo.. Aku tidak kawatir akan keadaan diriku. Aku kasihan pada gadis itu Gadis yang bernama Kemala itu..”

“Dia kekasihmu?" tanya Mirani seperti cemburu.

Mahesa tertawa. “Seorang sahabat. Gara-gara menolongku waktu terjadi kekacauan pada upacara pemakaman Mangun Aryo, kini dia jadi buronan..”

Mirani tampaknya tidak senang membicarakan Kemala. Dia mengalihkan pembicaraan. “Pinggul dan dadamu harus diobati..”

“Ya, bantu aku duduk..”

Mahesa duduk bersila diujung tempat tidur. Kedua tangannya diletakkan di atas paha. Matanya dipejamkan. Entah mengapa tiba-tiba saja terbayang wajah gurunya Kunti Kendil. Dan seolah-olah nenek ini didengarnya berkata,

“Anak setan tolol! Setiap kau menghadapi lawan, kau harus melindungi tubuhmu dengan mengerahkan tenaga dalam!”

Mahesa ingat, ketika dia dipukul oleh Jaliteng di bagian dada, dia sama sekali tidak mengerahkan tenaga dalam karena saat itu disibukkan oleh serangan-serangan aneh lawan. Karena tak bisa memusatkan pikiran Mahesa akhirnya membuka kedua matanya kembali.

“Sudah?" tanya Mirani yang mengira pemuda itu telah selesai.

“Aku tak bisa memusatkan pikiran. Mungkin karena tak biasa jika ada orang di dekatku. Maukah kau keluar dari kamar ini?”

“Ada-ada saja!" kata Mirani dengan sedikit merengut. Namun sesaat kemudian dia keluar juga dari kamar itu.

Mahesa pejamkan kedua matanya kembali dan setelah berhasil memusatkan jalan pikiran, dia mulai berusaha mengatur jalan nafas dan mengerahkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang sakit. Pertama sekali ke bagian dada, lalu ke pinggul.

Ketika Mirani masuk kembali ke dalam kamar itu hari telah larut malam dan didapatinya Mahesa masih duduk bersila dengan mata terpejam. Keringat membasahi badan dan mukanya. Mirani keluarkan sapu tangannya. Maksudnya hendak menyeka keringat itu. Namun dia ingat. Sentuhan tangan mungkin akan membuyarkan pemusatan pikiran pemuda itu. Karenanya dia duduk di sudut kamar dan menunggu disitu sampai akhirnya ketiduran.

Menjelang dinihari baru Mahesa selesai dengan pengerahan tenaga dalamnya. Rasa sakit pada pinggul dan terutama dadanya jauh berkurang. Namun dia sadar kalau luka dalam yang dideritanya cukup parah dan tak dapat dipulihkan dengan cepat. Memandang ke sudut kamar dilihatnya Mirani tertidur nyenyak.

Kemudian matanya membentur makanan yang terletak di meja. Perlahan-lahan Mahesa turun dari tempat tidur dan menyantap sampai habis makanan itu. Selesai makan dia kembali ke tempat tidur dan berbaring. Sekujur badannya terasa letih. Tak selang berapa lama diapun tertidur.

Ketika terbangun Mahesa mendapatkan hari telah siang. Dan didalam kamar itu didapatinya seorang lelaki tegak disamping Mirani. Lelaki ini berusia sekitar lima puluh tahun. Berkulit hitam berbadan tegap liat. Mahesa melirik ke meja di samping tempat tidur. Keris Naga Biru asli dan tiruan serta papan kayu besi hitam kini terletak disitu. Lalu cepat-cepat dia turun dari tempat tidur. Dia memandang pada kedua orang itu. Siapa lelaki tak dikenalnya itu?

“Kau tak usah kawatir Mahesa. ini Ki Tampu. Ahli peramu obat paling terkenal di Probolinggo. Ketika kau tidur tadi dia telah memperhatikan keadaan dada dan pinggulmu. Dia akan membuatkan obat minum serta obat gosok untukmu..”

Mahesa tak berkata apa-apa. Dia tahu Mirani bermaksud baik dan ingin menolongnya. Tapi cara yang ditempuh janda itu tidak disukainya dan ini yang membuat Mahesa merasa tidak enak. Ki Tampu berpaling pada Mirani dan menganggukkan kepalanya.

“Ki Tampu, kau boleh pergi sekarang. Dan jangan lupa antarkan obat itu sebelum sore...”

Lelaki itu kembali mengangguk. Setelah membungkuk dalam-dalam diapun tinggalkan kamar itu. Mirani mengunci pintu kamar dan menghampiri Mahesa sambil tersenyum. Dia merasa gembira dapat melakukan sesuatu untuk menolong pemuda itu.

“Ki Tampu itu, orangnya gagu...”

“Bagaimana dia bisa sampai disini?" Mahesa memotong keterangan Mirani.

“Aku yang menyuruhnya datang kesini. Pelayan kukirim menemui orang itu di kedai obatnya..”

“Apa dia bisa dipercaya? tanya Mahesa.

“Dia adalah sahabat ayahku almarhum. Tak ada yang harus ditakutkan Mahesa..”

“Pelayanmu itu. Yang kau suruh ke kedainya. Apakah juga bisa dipercaya?”

“Kukatakan tak ada yang harus ditakutkan, jawab Mirani. “Apakah kau tak suka aku menolongmu? Lukamu itu, terutama luka pada dadamu sebelah dalam tak mungkin hanya diobati dengan cara bersila seperti yang kau lakukan hampir semalam suntuk. Ki Tampu ahli mengobati segala macam penyakit. Dengan minum obatnya kau pasti sembuh..”

Mahesa diam saja dan duduk termenung di tepi tempat tidur.

“Kau tak senang aku menolongmu?" tanya Mirani lagi.

“Seharusnya kau bicarakan dulu denganku. Kau tahu dengan hadiah besar yang dijanjikan Rangga, ratusan orang akan berlomba untuk mencari tahu dimana aku berada. Seorang sahabat bisa saja tergoda..”
“Kalau begitu batalkan saja rencanaku untuk minta obat tadi Mirani hendak melangkah ke pintu.

Mahesa memegang tangannya dan berkata, “Tak ada gunanya. Mudah-mudahan saja maksud baikmu berjalan lancar...”

Apa yang diharapkan Mahesa itu ternyata tidak menjadi kenyataan.


13. KETERANGAN PELAYAN RUMAH BESAR
LELAKI berseragam perajurit Kadipaten itu melompat dari kudanya, bergegas masuk ke dalam gedung menemui Rangga.

“kau berhasil mengetahui dimana gadis bernama Kemala itu berada?" Rangga langsung bertanya.

“Gadis itu lenyap. Saya sudah menempatkan dua prajurit untuk mengawasi rumahnya. Ada satu berita penting yang harus saya sampaikan”

“Katakan..!”

“Seorang perajurit melaporkan bahwa pelayan dirumah den ayu Mirani kelihatan mengunjungi kedai obat Ki Tampu. Ahli obat ini bersama pelayan itu kemudian tampak mendatangi rumah istri muda almarhum. Tentunya ada seseorang yang sakit di rumah itu..”

“Kau betul. Ada seseorang yang sakit disitu. Siapa? Lalu apa hubungannya dengan tugas yang harus kau jalankan?”

“Den ayu Mirani sendiri pasti tidak karena saya lihat dia satu kali di halaman samping rumah. Mungkin ibunya. Tetapi bukan mustahil pemuda bernama Mahesa itu, yang dalam keadaan sakit, bersembunyi di rumah itu...”

Kepala pengawal Kadipaten yang kini untuk sementara menjadi pejabat paling tinggi di Probolinggo tertawa terbahak.

“Apa hubungan si pemuda dengan penghuni rumah tersebut. Dia bukan sanak bukan kadang. Mana mungkin pula akan bersembunyi disitu. Kau ini ada-ada saja. Sudah pergi sana teruskan tugasmu!”

“Tapi pemimpin, si perajurit menukas, “Kau ingat sewaktu orang-orang kita hendak menangkap Mahesa di tengah jalan menuju pekuburan? Den ayu Mirani mengeluarkan kata-kata yang jelas-jelas membela pemuda itu. Lagi pula bukankah beberapa hari lalu dia terlihat berada di depan rumah istri muda almarhum? Bahkan terjadi perkelahian antara pemimpin dan kawan-kawan dengan dia?”

Rangga terdiam sesaat. Dia coba berpikir-pikir. Namun tak masuk diakalnya kalau antara Mahesa dan penghuni rumah besar itu ada hubungan tertentu. Apalagi kalau sampai Mahesa bersembunyi disana dan diberi bantuan pengobatan pula. Mirani, istri muda almarhum Mangun Aryo sendiri pasti tahu apa akibatnya kalau dia ketahuan menyembunyikan seorang buronan seperti itu. Namun demikian, setelah berpikir sejenak akhirnya Rangga berkata pada Kroto.

“Baiklah, kau dan kawan-kawanmu teruskan pengusutan. Awasi kedai obat Ki Tampu. Juga rumah kediaman den ayu Mirani. Awasi gerak gerik orang-orang yang kalian curigai. Kau kuberi wewenang untuk menanyai si gagu itu. Juga pelayan yang menghubungi Ki Tampu.”

“Akan saya laksanakan pemimpin.”

“Jika kau sampai berhasil menangkap Mahesa atau gadis bernama Kemala itu, pangkatmu akan kunaikkan”

Kroto menjura dan tertawa lebar. “Terima kasih. Tugasakan saya jalankan sebaik-baiknya!”

Seperginya Kroto kepala pengawal Kadipaten itu melangkah mondar-mandir di serambi depan gedung Kadipaten. Sesekali dipelintirnya kumis tebal melintang dibawah hidung. Sesekali tampak pula dia tersenyum. Apakah yang disenyumkannya?

Dengan meninggalnya Mangun Aryo, maka Rangga adalah satu-satunya pejabat paling tinggi di Probolinggo saat itu. Kepala pengawal ini dengan sendirinya sangat mengharapkan pimpinan di Kotaraja akan mengangkatnya sebagai pengganti. Dia merasa punya kesempatan untuk ini. Apalagi kalau dia berhasil menangkap Mahesa dan Kemala. Untuk sementara Randu Ampel bisa dilupakan.

Pada hari kematian Mangun Aryo, Rangga telah mengutus seseorang memberitahukan musibah itu ke Kotaraja. Dalam suratnya yang dibawa utusan dia juga menyatakan bahwa untuk sementara dia memegang pimpinan tertinggi di Kadipaten Probolinggo sampai ada ketentuan lebih lanjut. Rangga juga mengirimkan sepucuk surat pada seorang kenalannya yang dekat dengan orang istana. Isinya meminta bantuan agar maksudnya untuk dapat diangkat jadi Adipati bisa diperlicin.

***

Kroto seorang perajurit berotak cerdik. Setelah dia diberi wewenang untuk melakukan pengusutan lebih lanjut, dua orang kawannya diperintahkan mendatangi rumah istri muda almarhum Mangun Aryo guna menculik pelayan lelaki yang bekerja di rumah itu. Pelayan ini kemudian dibawa ke sebuah tempat di pinggiran kota untuk ditanyai.

“Namamu siapa?" tanya Kroto.

“Singgil!" jawab pelayan itu. Wajahnya menunjukkan ketakutan. Lalu dia bertanya “Kenapa saya dibawa kemari?”

“Dengar Singgil, kau tak akan diapa-apakan kalau mau memberikan keterangan yang kami minta.”

“Keterangan apa?”

“Siapa yang sakit di rumah besar itu?”

“Sakit.? Setahu saya tak ada yang sakit. Den ayu Mirani, ibunya, semua penghuni rumah itu sehat-sehat”

“Jangan berdusta padaku Singgil!" bentak Kroto.

“Saya tidak berdusta.”

“Lalu apa perlunya kau memanggil Ki Tampu, juru obat itu"? ujar Kroto dan kini kedua matanya mulai melotot. Tampangnya menjadi galak. Dia menganggukkan kepala pada kedua anak buahnya. Dua perajurit ini segera menghunus golok masing-masing. Singgil melihat ini jadi tambah ketakutan.

“Hayo jawab Ada apa Ki Tampu datang ke rumah itu?”

“Saya tidak tahu. Saya benar-benar tidak tahu. Den ayu Mirani menyuruh saya memanggilnya. Hanya itu..”

“Ki Tampu dipanggil tentu bukan untuk sekedar bercakap cakap. Pasti ada sangkut paut dengan keahliannya membuat obat dan mengobati orang..”

“Tapi saya tidak berdusta. Tak ada penghuni rumah itu yang sakit!" kata Singgil lalu melirik pada dua perajurit yang memegang golok.

“Kalau begitu ada seseorang lain di rumah itu. Dan orang ini sedang sakit! Kau musti tahu Singgil! Kalau kau berani berdusta akan kusuruh kutung anggota badanmu satu demi satu!”

“Jangan... jangan! Saya tak tahu apa-apa. Saya tidak dusta. Saya juga tidak tahu kalau ada orang lain di rumah itu. Hanya..”

“Hanya apa!" Kroto datang mendekat. Kedua matanya berkilat-kilat.

“Hanya... sejak beberapa hari ini den ayu Mirani jarang keluar kamar. Lebih sering berada dalam kamar tidurnya. Makanpun dilakukannya di kamar...”

“Bagus!" kata Kroto sambil menepuk-nepuk bahu pelayan itu. “Sekarang coba kau ingat-ingat. Kelainan apa lagi yang kau lihat di rumah itu...”

Singgil berpikir-pikir beberapa ketika. “Tak ada kelainan. Cuma pembantu perempuan di rumah itu satu pagi pernah berkata pada saya. Dia merasa heran mengapa sejak beberapa hari ini den ayu selalu membawa dua piring makanan dan dua gelas air ke dalam kamarnya. Pembantu itu juga mengatakan seperti pernah mendengar suara orang batuk dari arah kamar den ayu. Suara lelaki..”

“Hemmm!" Kroto menggumam.

“Saya katakan pada pembantu itu mungkin dia salah dengar. Masak ada orang dalam kamar den ayu. Lelaki pula. Pasti tak mungkin..”

Kroto manggut-manggut. “Sekarang kau boleh pulang. Tapi ingat, kau tidak boleh mengatakan kejadian ini pada siapapun! Jika mulutmu sampai ketelepasan, nyawamupun akan kulepas dari badanmu! Mengerti?!”

“Mengerti, saya mengerti..”

“Pergi sana!”


14. RACUN PELUMPUH
KI TAMPU telah selesai membuat obat yang dipesan Mirani untuk Mahesa. Obat itu terdiri dari dua macam. Yang pertama obat minum, yakni untuk mengobati luka dalam pada bagian dada Mahesa. Obat kedua berbentuk parem, pemakaiannya digosokkan ke bagian pinggul yang cidera.

Sore itu Ki Tampu tengah bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Mirani ketika tiga penunggang kuda muncul dan masuk ke kedainya. Mereka bukan lain Kroto dan dua anak buahnya. Tiga perajurit Kadipaten datang sekaligus tak pernah kejadian. Hal ini membuat Ki Tampu merasa tidak enak.

Namun menyangka kedatangan mereka adalah untuk minta obat maka ahli obat ini menyambut sebagaimana biasanya dia menyambut tamu-tamu lain. Begitu masuk ke dalam kedai, pandangan Kroto langsung tertuju pada sebuah kendi tanah dan sebuah bungkusan kecil yang terletak di atas meja. Dalam kendi tanah itu terdapat cairan jamu sedang dalam bungkusan adalah parem gosok. Keduanya obat untuk Mahesa.

“Ki Tampu, bukankah sore ini kau akan ke rumah istri muda almarhum Adipati Mangun Aryo?"

Pertanyaan langsung yang diucapkan Kroto itu membuat Ki Tampu terkejut. Dalam hatinya lelaki gagu ini bertanya-tanya. Bagaimana petugas ini bisa tahu hal itu? Untuk berdusta Ki Tampu merasa takut. Tapi jika dia memberi keterangan yang sebenarnya, dia tahu apa pula akibatnya. Ahli obat ini menganggukkan kepalanya.

Kroto tersenyum. “Siapa yang sakit di rumah itu, Ki Tampu?”

“Ah, celakalah aku!" keluh Ki Tampu. Dia harus memberikan jawaban. Apa yang harus dikatakannya. Tiba-tiba saja dia dapat akal. Lelaki gagu ini menunjuk kepada bagian perutnya sebelah bawah, lalu menggerakkan tangannya di wajah dan menggoyang-goyangkan tangan kanannya lalu tangan kirinya mengusap-usap perut.

Karena sebelumnya tidak pernah berhubungan dengan orang gagu itu tentu saja bahasa isyarat yang disampaikan Ki Tampu tidak dimengerti oleh Kroto. Dia lalu memanggil istri tukang obat itu untuk memberikan penjelasan dari isyarat-isyarat yang dikatakan suaminya. Sang istri kemudian memberi tahu bahwa suaminya berusaha menjelaskan kalau di rumah istri muda almarhum Mangun Aryo ada perempuan sakit. Sakitnya ini sebenarnya bukan sakit. Tetapi terlambat datang bulan. Karena dia tak mau menjadi hamil maka minta obat untuk pencegahan.

“Siapa yang terlambat datang bulan itu?" tanya Kroto.

Ki Tampu menggerak-gerakkan tangannya ke wajah dan ke dada. Istrinya lalu mengatakan, “Yang terlambat datang bulan adalah den ayu Mirani, istri muda almarhum Adipati...”

Kroto tersenyum. Dia tahu kalau kedua suami istri itu tengah mendustainya. Dia melangkah mendekati meja. “Ini obat-obat yang akan kau berikan pada den ayu Mirani?”

Ki Tampu mengangguk.

“lbu, kau boleh masuk!" kata Kroto pada istri tukang obat itu. Lalu dia memeriksa dua macam obat yang ada diatas meja. Dia berdiri demikian rupa memunggungi Ki Tampu hingga lelaki ini tidak melihat ketika Kroto memasukkan sesuatu ke dalam mulut kendi berisi obat.

Sesaat kemudian Kroto menemui ahli obat itu kembali dan berkata. “Baiklah Ki Tampu. Kau boleh membawa obat ini kepada yang memintanya. Kami hanya melakukan pemeriksaan biasa saja. Kau tahu kedaaan di kota saat ini tidak begitu aman. Ada dua buronan yang tengah dicari-cari...”

Ki Tampu menjura-jura beberapa kali ketika melihat Kroto dan anak buahnya meninggalkan kedai. Setelah ketiga penunggang kuda itu lenyap di ujung jalan barulah Ki Tampu mengambil obat diatas meja dan cepat-cepat meninggalkan kedainya.

Seperti yang diberi tahu Mirani, Ki Tampu datang lewat jalan samping. Ahli obat yang sudah ditunggu-tunggu ini segera dibawa masuk ke dalam kamar dimana Mahesa berada. Dia langsung menyerahkan dua macam obat yang dibawanya kepada Mirani lalu memberi tahu cara pemakaiannya dengan gerakan kedua tangan.

“Apa katanya?" tanya Mahesa.

“Yang dalam kendi tanah itu obat minum. Yang dibungkus parem gosok. Dicampur dulu dengan air panas lalu digosokkan ke pinggulmu yang sakit!  menerangkan Mirani.

Kemudian tampak Ki Tampu menggerakkan kedua tangannya kembali. Mahesa melihat paras Mirani berubah, langsung bertanya. “Ada apa Mirani..?”

“Dia minta agar obat dalam kendi segera kau minum tanpa ada yang bersisa. Lalu aku harus membantumu menggosokkan parem ini. Lalu katanya lagi kau harus cepat meninggalkan rumah ini..”

“Apa yang terjadi Ki Tampu? tanya Mahesa.
Ahli obat itu menjawab dengan gerakan-gerakan tangan dan Mirani kembali menjadi juru penerang.

“Dia tak tahu pasti. Tapi kemungkinan sekali petugas-petugas Kadipaten sudah mengetahui kalau kau bersembunyi disini..”

“Anak setan!" maki Mahesa dalam hati. Dia turun dari tempat tidur sementara Mirani memberikan sejumlah uang pada Ki Tampu yang dengan wajah ketakutan cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

Baru saja Ki Tampu berlalu tiba-tiba ada ketukan dipintu. Mirani melangkah ke pintu tapi tak segera membukanya. Kembali terdengar ketukan.

“Siapa.?”

“Aku!" jawab orang diluar sana.

Mirani agak lega. ltu suara ibunya. “Ada apa bu?”

“Buka pintu. Ada yang hendak kutanyakan padamu..”

Mirani memandang pada Mahesa. Lalu menjawab, “Baik, bu. Saya akan keluar..”

“Mirani, Buka pintu. Lelaki mana yang ada dalam kamarmu itu?!”

Ternyata ibu Mirani sudah mengetahui. Kembali Mirani memandang pada Mahesa. Pemuda ini merasa tak ada gunanya bersembunyi terus dan memberi isyarat agar Mirani membuka pintu. Ketika pintu terbuka dan perempuan itu melihat Mahesa di dalam kamar, berubahlah parasnya. Dia memandang berganti-ganti pada anaknya dan pada Mahesa.

“Sangkaanku!" benar kata perempuan ini. “Kau menyembunyikannya disini. Selain membuat malu, kau tahu apa akibat perbuatanmu ini...?”

“Dulu ibu sendiri pernah menyarankannya untuk bermalam di rumah ini!" memotong Mirani. “Sekarang tiba-tiba saja ibu tidak menyukainya.”

“Di rumah ini! Bukan berarti dia harus tidur sekamar denganmu Mirani! jawab sang ibu. “Dan itu dulu. Sekarang dia sudah menjadi seorang buronan yang dicari petugas-petugas Kadipaten. Yang harus ditangkap hidup atau mati. Kita semua akan menanggung akibatnya bila sampai ketahuan!”

Mirani terdiam.

Mahesa berkata, “Sudahlah. Aku akan segera pergi. Kalian tak usah risau!"

Mirani memandang padanya dan berkata. “Minum habis obat dalam kendi itu. Nanti saya bantu kau memakaikan parem itu...!" Mirani lalu keluar untuk mengambil air panas.

Ibunya sesaat masih tegak dalam kamar itu. Sebelum pergi perempuan itu berkata, “Aku bukannya tidak suka padamu Mahesa. Namun bagaimanapun kau harus tahu peradatan dan menjaga nama baik serta keselamatan penghuni di rumah ini!”

“Aku mengerti. Aku akan segera pergi!" jawab Mahesa. Setelah perempuan itu keluar dia segera meneguk obat yang ada dalam kendi tanah. Tubuhnya terutama dadanya terasa sejuk. Tapi sesaat kemudian dirasakannya sekujur tubuhnya bergetar. Pemandangannya menjadi berkunang. Anggota tubuh dan setiap persendian menjadi lemah. Kendi yang dipegangnya terlepas, jatuh pecah berantakan di lantai. Sedetik kemudian tubuh Mahesa roboh tergelimpang diatas lantai. Dia tak mampu menggerakkan kaki ataupun tangannya.

Mirani terpekik ketika dia masuk kembali ke dalam kamar dan mendapatkan Mahesa terbujur di lantai. Mangkuk berisi air hangat yang dibawanya dicampakkan dan perempuan ini langsung menubruk Mahesa.

“Ada apa..? Apa yang terjadi Mahesa?”

“Obat itu!" desis Mahesa. “Begitu kuminum habis, kepalaku jadi pusing dan aku kehilangan kekuatan. Aku... aku tak bisa menggerakkan kaki tangan. Seseorang telah meracuniku...”

Mirani seperti mau menangis. Karena ada suara rebut-ribut itu ibu Mirani kembali datang kesitu. Bersama anaknya dia menaikkan Mahesa ke tempat tidur.

“Mirani, aku punya firasat orang-orang Kadipaten akan muncul disini...”

“Mereka tidak akan datang!" ujar Mirani. “Jangan takut Mahesa!" Dia masih berusaha menghibur dan membesarkan hati pemuda itu.

Tapi Mahesa tahu pasti orang-orang Kadipaten akan muncul disitu. Dia ingat akan keterangan Ki Tampu. “Senjata-senjata yang diatas meja itu. Dua bilah keris dan kayu hitam berbentuk papan nisan. Tolong. Lekas sembunyikan sebelum mereka datang...”

Mirani cepat melakukan apa yang dikatakan Mahesa. Mahesa coba mengerahkan tenaga dalamnya. Tapi tak bisa. Sekujur tubuhnya telah lumpuh.

“Sebaiknya kau kami sembunyikan di tempat lain!" kata Mirani.

Mahesa tak menjawab. Dia tidak merasa hal itu perlu. Sekali orang-orang Kadipaten datang, rumah itu akan digeIedah. Dia akhirnya akan ditemui juga. Tiba-tiba diluar sana terdengar suara derap kaki kuda banyak sekali. Ketiga orang dalam kamar itu saling pandang.

“Mereka sudah datang,!" desis Mahesa. Mirani dan ibunya tampak ketakutan. Diluar terdengar seseorang berseru. Suara Rangga.

“Mahesa! Menyerahlah! Rumah ini sudah dikurung! Kau tak mungkin lari...!”

“Anak setan!" maki Mahesa. “Aku memang tak mungkin lari!”

Sesaat kemudian pintu kamar terbuka lebar. Rangga masuk bersama tiga orang anak buahnya. Seorang diantaranya adalah Kroto.

15. TERTANGKAP
DENGAN bertolak pinggang Rangga tegak disamping tempat tidur. “Akhirnya kau tertangkap juga Mahesa...” kata kepala pengawal ini dengan senyum mengejek. Diam-diam dia kagum juga akan kelihayan anak buahnya bernama Kroto yang telah berhasil secara diam-diam memasukkan bubuk kedalam obat minum yang dibuat Ki Tampu hingga kini pemuda itu lumpuh sekujur tubuhnya.

“Kalian boleh menangkapku. Matipun aku tidak takut. Tapi jangan ganggu kedua perempuan itu!" kata Manusa.

Rangga tertawa lebar. “Kau tak perlu memberi segala macam nasihat ataupun mengajukan permintaan!" sahut Rangga lalu memberi isyarat pada Kroto. Tiga perajurit kemudian menggotong tubuh Mahesa dan memasukkannya ke dalam sebuah gerobak terbuka yang telah disediakan di depan rumah besar. Sebelum meninggalkan rumah itu Rangga berkata pada Mirani dan ibunya.

“Ternyata kalian berdua telah melakukan kesalahan besar. Menyembunyikan seorang pembunuh buronan Kadipaten. Memandang pada almarhum Adipati, saat ini saya tidak akan melakukan apa-apa. Tergantung nanti keputusan dari Kotaraja. Satu hal harus kalian ketahui. Kalian tidak boleh meninggalkan rumah ini sampai ada ketentuan lebih lanjut. Beberapa petugas akan ditempatkan disini!”

Mahesa dibawa ke Kadipaten dan disekap dalam sebuah ruangan bertembok tebal tanpa jendela dan hanya diterangi dengan sebuah lampu minyak kecil. Tubuhnya dilemparkan ke atas lantai yang hanya dialasi tikar jerami rombeng.

Inilah yang dinamakan penjara Kadipaten. Kalau dia tidak lumpuh bukan satu hal yang sulit bagi Mahesa untuk membobol pintu ruangan itu. Namun keadaannya saat itu sama sekali tidak berdaya. Apalagi Rangga menyuruh pula orang-orangnya mengikat kedua tangan dan kakinya dengan sejenis akar hutan yang alot.

Terguling di lantai Mahesa melihat sesosok tubuh duduk di sudut ruangan. Ketika diperhatikannya ternyata Ki Tampu, si ahli obat. Orang itu sudah lebih dulu ditangkap dan dijebloskan ke tempat itu. Sesaat setelah saling pandang Ki Tampu merangkak mendekati Mahesa. Dia menggerak-gerakkan tangannya.

“Sudahlah! Sampai pagi pun kau menggerakkan tangan aku tidak mengerti apa yang kau coba katakan!" ujar Mahesa.

Sebenarnya saat itu Ki Tampu hendak mengatakan bahwa pasti seseorang telah memasukkan sejenis obat pelumpuh ke dalam obat yang dibuatnya untuk Mahesa. Mendengar kata-kata Mahesa Ki Tampu berhenti menggerak-gerakkan kedua tangannya. Kini dia memegang tubuh pemuda itu di beberapa bagian lalu geleng gelengkan kepala.

Kembali dia gerak-gerakkan tangan menyatakan bahwa obat yang menguasai pemuda itu akan bekerja selama empat puluh hari. Selama itu pula dia berada dalam keadaan lumpuh. Kecuali jika dia mendapatkan obat pemusnah racun pelumpuh itu.

Ki Tampu berusaha hendak membuka ikatan pada kaki dan tangan Mahesa. Tapi pemuda ini berkata, “Tak usah. Tanpa ikatan itupun aku tak berdaya apa-apa. Kalau mereka tahu kau masih berusaha menolongku, mereka akan menambahkan gebukan pada mukamu yang sudah memar itu. Mereka memukulimu bukan?”

Ki Tampu memegang mukanya dan mengangguk. Mahesa tidak tahu sudah berapa lama Ki Tampu berada di tempat itu, juga tidak tau apakah masih siang atau sudah malam. Saat itu pintu terbuka dan seorang perajurit muda masuk membawa sepiring kaleng berisi makanan.

“Ini jatah kalian hari ini. Makanlah!" kata prajurit itu.

“Kami berdua disini. Mana cukup makanan satu piring butut itu. Mana air?!" ujar Mahesa.

“Masih untung kalian diberi makan! Kalian tidak lebih bagus dari anjing buruk pengais tempat sampah! Kalau aku jadi Rangga tak akan kuberi kalian makan satu suap pun!”

“Anak setan!' maki Mahesa. “Sobat muda, siapa namamu?”

Perajurit itu tertawa dan sambil busungkan dada dia menjawab. “Orang-orang memanggilku Soka. Namaku Soka! Ada lagi pertanyaanmu yang lain anjing pasar?!”

“Suatu hari kelak aku akan datang membayar penghinaanmu itu!”

Soka tertawa. “Tentu, kalau saja kau masih hidup. Beberapa hari lagi kau akan dipindahkan ke Kotaraja. Disana kelak kau akan menjalani hukuman gantung!”

“Kentut busuk! Pergilah! Aku muak melihat mukamu!" ujar Mahesa.

Dengan geram Soka menendang muka Mahesa hingga mulutnya berdarah lalu tinggalkan ruangan penyekapan itu.

“Anak setan itu akan menerima bagiannya kelak!" maki Mahesa. Dia berpaling pada Ki Tampu dan berkata, “Kau makanlah apa yang ada dipiring itu. Aku tidak lapar. Tolong ambilkan kotak rokok di pinggang pakaianku dan nyalakan sebatang!”

Ki Tampu mengambilkan rokok yang diminta Mahesa lalu menyalakannya. Melihat makanan yang ada di piring kaleng, ahli pengobatan ini tak ada selera sama sekali. Dia lebih suka minta sebatang rokok dan menghisapnya.

Selama tiga hari disekap ditempat itu, setiap harinya mereka hanya menerima sepiring makanan yang kadang-kadang sudah berbau basi. Pada hari keempat tiga orang perajurit muncul dibawah pimpinan Kroto.

“Hari ini kalian akan dipindahkan ke Kotaraja!' kata Kroto. Lalu pada Ki Tampu dia berkata, “Mungkin kau tak akan pernah kembali ke Probolinggo ini Ki Tampu...”

“Izinkan aku bertemu dengan istriku!" meminta Ki Tampu. Tapi jawaban yang diterimanya adalah sebuah tamparan.

Yang menampar adalah Soka. “Jangan terlalu banyak mulut Ki Tampu!" Lelaki itu kemudian diseretnya keluar ruangan sementara tiga orang menggotong tubuh Mahesa.

Keduanya lalu dimasukkan ke dalam kereta tertutup. Sebelum dimasukkan ke dalam kereta itu Mahesa sempat melihat, diantara orang-orang yang akan mengawalnya dalam perjalanan menuju Kotaraja, kelihatan dua orang lelaki berjubah biru. Dari gerak gerik mereka jelas bahwa keduanya memiliki kepandaian tertentu dan sengaja diandalkan untuk membantu pengawalan sepanjang perjalanan. Mahesa menduga-duga siapakah adanya kedua orang ini. Rangga berdiri dekat pintu kereta. Sebelum pintu ditutup dia berkata pada Mahesa.

“Tak ada yang bakal menyelamatkanmu dari tiang gantungan Mahesa. Selamat jalan...”

“Kalaupun aku mati di tiang gantungan, setanku akan datang kemari untuk mencekikmu!" jawab Mahesa. “Dan nanti kau akan bertemu dengan Adipatimu itu!”

“Keparat!" hardik Rangga. Tamparannya melayang ke muka Mahesa.

Pemuda itu ganda tertawa lalu ludahi muka Rangga dengan ludah yang bercampur darah.

“Bangsat!" Kali ini Rangga hantamkan tinjunya. Namun satu tangan menahan gerakannya. Memandang kesamping Rangga dapatkan salah seorang dari lelaki berjubah biru itu mencekal tangannya.

“Cukup Rangga! Kami harus segera meninggalkan tempat ini...!”


Selanjutnya,

Mahesa Edan Jilid 4

Serial Mahesa Edan
Jilid 4

Karya : Bastian Tito

Mahesa Edan jilid 4
Tiba-tiba tubuh orang itu melesat kebwah dan tahu-tahu sudah tegak didepan Mangun Aryo.

"Akulah Randu Ampel yang celakai dengan guna-guna terkutuk delapan belas tahun lalu! Karena kau menginginkan kedudukan Adipati! Kau sudah mendapatkan kedudukan itu! Kau sudah berkuasa. Apa kau sudah puas Mangun Aryo...! Kau... tidak mungkin...!" seru Mangun Aryo. Suaranya kelu.

"Anggaplah Randu Ampel sudah mati. Sekarang yang tegak di depanmu ini adalah setannya. Yang datang untuk membunuhmu...!"


Ringkasan Jilid 3
Mahesa sampai di sebuah desa bernama Tegalsari ketika berlangsung pemilihan Kepala Desa. Disaat yang sama datanglah gerombolan penjahat dibawah pimpinan Warok Getah lreng. Mereka bukan saja melakukan perampokan tetapi juga membunuh Kepala Desa.

Penduduk mendapat semangat dan keberanian ketika Mahesa bertindak menjadi penolong. Warok Getah Ireng akhirnya tewas dibunuh penduduk. Ternyata ada hubungan tertentu antara komplotan penjahat itu dengan Adipati Jombang. Sang Adipati mengirim anak buahnya bernama Rah Bulus untuk menangkap Mahesa dan juga seorang empu bernama Larangan; yang dianggap bertanggung jawab atas kematian kepala rampok Getah Ireng.

Terjadi keributan di rumah Empu Larangan. Rah Bulus menemui ajal tertusuk Keris Naga Biru yang saat itu sedang dibuatkan tiruannya oleh Empu Larangan. Karena ingin memiliki keris Naga Biru tersebut dan sekaligus menghukum penduduk desa, maka Adipati Jombang mengirimkan lebih dari dua puluh prajurit Kadipaten dibawah pimpinan seorang berkepandaian tinggi bernama Loh Jingga. Loh Jingga berhasil merampas Keris Naga Biru. Tetapi ternyata yang didapatnya hanyalah keris tiruan.

Sementara itu secara aneh Mahesa mendapat kiriman surat dari gurunya Kunti Kendil yang isinya menyuruh pemuda itu datang ke Pesantren Nusa Barung pada hari dua belas bulan Sura. Dalam perjaIanan ke Probolinggo Mahesa terpesat ke sebuah reruntuhan candi. Disini dia menolong seorang kakek yang dipendam dalam sebuah lobang dibawah arca gajah.

Ternyata kakek ini bukan orang sembarangan. Dia memberikan sepertiga tenaga dalamnya dengan jalan memukul dada pemuda itu hingga Mahesa pingsan. Ketika Mahesa siuman dari pingsannya didapatinya Keris Naga Biru asli dan yang tiruan serta papan nisan kayu besi hitam yang merupakan senjata sakti aneh dari gurunya telah lenyap.

Yang mencuri rupanya adalah Loh Jingga yang selalu menguntit kemana Mahesa pergi. Dengan senjata-senjata sakti itu Loh Jingga bermaksud membunuh Mahesa. Dalam keadaan hampir menemui ajalnya di tangan kakek jahat itu, muncullah orang tua yang ditolong Mahesa keluar dari lobang dibawah arca. Loh Jingga menemui kematian di tangan orang tua ini.

Mahesa melanjutkan perjalanan ke Probolinggo. Disebuah bukit diluar kota Probolinggo Mahesa bertemu dengan seorang lelaki aneh yang bermaksud membunuh Wilani, puteri Adipati Probolinggo. Mahesa berhasil menyelamatkan gadis itu dan bertemu dengan Adipati Probolinggo yang tidak disadarinya adalah manusia penimbul malapetaka pada kedua orang tuanya. 

Bahkan Adipati itu menawarkan jabatan sebagai kepala pengawal pada pemuda itu, tetapi ditolak. Dari seorang penjaga pekuburan Mahesa akhirnya berhasil mengetahui makam ibunya, juga mengetahui kisah masa silam kematian ibunya, siapa nama perempuan itu dan siapa nama Ayahnya yang lenyap tak diketahui entah kemana.

Di Probolinggo pula Mahesa bertemu dengan dara berbaju kuning yang selalu diingatnya itu. Sang dara salah sangka, mengira Mahesa sengaja mengikutinya dengan maksud buruk. Hampir terjadi perkelahian. Dari kepala pengawalnya, Adipati Probolinggo kemudian mengetahui bahwa Mahesa adalah putera Randu Ampel. Maka diperintahkannya agar Mahesa meninggalkan Probolinggo. Mahesa menolak. Terjadilah perkelahian antara Mahesa dengan kepala pengawal Kadipaten.


1.    MENGHAJAR ORANG-ORANG KADIPATEN PROBOLINGGO
SEBAGAI kepala pengawal Kadipaten Probolinggo sudah barang tentu Rangga memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. Dia mendapat pelajaran latihan ilmu silat serta ilmu golok dari sebuah perguruan di tenggara Blambangan dan merupakan murid yang pandai. Karena itulah Adipati Mangun Aryo memberikan jabatan itu padanya. Selama Rangga bertugas di Kadipaten Probolinggo keadaan kota dan sekitarnya senantiasa aman.

Dari siuran angin yang keluar dari gerakan serta golok ditangan si tinggi besar Mahesa memaklumi kalau lelaki itu bukan saja memiliki tenaga luar yang kuat tetapi juga mempunyai tenaga dalam yang tidak rendah.
Ketika melihat golok yang ditusukkan ke arah mulutnya. Mahesa berkelebat ke samping lalu membalas dengan satu sodokan ke sisi kanan Rangga. Tapi... wutt!

Golok yang tadi hanya menusuk angin tiba-tiba cepat sekali membabat ke bawah, hanya lewat seujung kuku dari jari Mahesa.

“Anak setan ini rupanya tidak main-main” maki murid Kunti Kendil melompat mundur. Sambil pasang ancang-ancang pemuda ini berkata, “Paman antara kita tak ada permusuhan! Mengapa kau hendak mencelakaiku?!“

Rangga menyeringai. “Kau berani membangkang! Karenanya harus berani tanggung akibat!"

Wutt!

Sekali lagi golok di tangan kepala pengawal itu membabat. Kali ini mengincar batang leher Mahesa hingga pemuda ini harus bergerak cepat selamatkan diri.

“Apakah kau masih belum mau meninggalkan kota ini?!“ bentak Rangga. Diam-diam dia kagum juga dengan ketangkasan si pemuda. Dua kali Mahesa sanggup mengelakkan serangannya.

Sebelum menjawab Mahesa sedot dulu rokok kawungnya dalam-dalam. “Aku sudah bilang, aku ingin tinggal lebih lama disini. Memandangi rumah itu yang menurut penjelasan seseorang dulunya adalah milik orang tuaku!”

“Orang yang memberi keterangan itu tentunya gila! Rumah itu adalah milik Adipati Mangun Aryo! Disitu diam istrinya!”

Tentu saja Rangga tidak tahu akan asal usul rumah besar itu karena dia baru menjadi kepala pengawal sekitar empat tahun setelah terjadinya peristiwa menggegerkan di Probolinggo yakni kematian Wening Muriati dan lenyapnya Randu Ampel.

“Kalaupun ini bukan rumah orang tuaku, apa salahnya aku tegak sebentar di bawah pohon sana!“ menyahuti Mahesa.

“Anak muda, dengar nasihatku. Kau masih ada waktu untuk meninggalkan tempat ini. Dan kau akan selamat! Sebenarnya aku tak mau mencelakaimu!”

“Kalau kau memang tak hendak mencelakaiku, kau kembali saja ke Kadipaten!”

“Tapi aku harus menjaga keselamatan rumah dan isinya. Kau dicurigai bawahanku hendak melakukan sesuatu.“

“Bawahanmu si bopeng itu yang keterlaluan. Kejahatan apa yang aku lakukan di tempat ini?!”

Si bopeng buru-buru membuka mulut. “Rangga! Kenapa harus bicara panjang lebar dengan pemuda keparat itu! Gebuk dia sampai tahu rasa lalu jebloskan dalam penjara!”

Mahesa menyeringai dan memandang sesaat pada orang Itu. “Mukamu jelek. Ternyata hatimu lebih jelek lagi!”

“Mahesa,“ kembali Rangga yang bicara. “Pergilah.”

Mahesa tiupkan asap rokoknya ke atas dan gelengkan kepalanya. Rangga menjadi jengkel.

“Kau memang keras kepala! Jadi perlu diberi pelajaran dan hajaran!" Golok Rangga menderu kembali. Bagian yang diserang adalah dada ke atas, terutama kepala.

“Bunuh dia Rangga! Bunuh!“ teriak si bopeng yang memang sangat mendendam pada Mahesa. Dia merasa gembira melihat Mahesa seperti kelabakan, melompat kian kemari menyelamatkan diri dari kejaran golok. Tapi rasa gembiranya ini tidak lama. Hampir tak kelihatan saking cepatnya, sewaktu mengelakkan serangan golok lawan, Mahesa pergunakan kaki kanannya untuk menendang sambungan lutut kaki kanan depan kuda tunggangan Rangga.

Tulang lutut itu remuk. Binatang itu meringkik keras dan menaikkan ke dua kaki depannya tinggi-tinggi sehingga Rangga terlempar ke atas. Dengan gerakan enteng kepala pengawal ini jungkir balik. Sesaat kemudian dia sudah berada di atas kedua kakinya. Sambil mengeluarkan makian Rangga terus saja menyerbu Mahesa.

“Paman Rangga! Aku masih menghormatimu! Apakah kau tidak mau menghentikan serangan gila ini?!“ Mahesa berseru.

Rangga tidak menjawab. Rahangnya kelihatan menggembung. Goloknya berkelebat ganas, membabat dua kali dan menusuk satu kali. Namun tetap saja tidak menemui sasaran.

“Ah, pemuda ini agaknya memiliki kepandaian tinggi. Siapa dia sebenarnya?” bertanya-tanya Rangga dalam hati.

“Paman Rangga! Kau betulan tidak mau menghentikan seranganmu?!“ Mahesa berseru lagi.

“Berikan dulu kupingmu yang tidak mau mendengar nasihat orang!“ jawab Rangga. Dan goloknya menderu ke samping kiri kepala Mahesa, dengan tujuan hendak membat putus daun telinga anak muda ini. Namun tentu saja tidak semudah itu. Malah sesaat kemudian dia yang kena dihajar oleh Mahesa.

Setelah lagi-lagi golok lawan mengenai tempat kosong, Mahesa melompat ke arah pohon beringin dan bergayut pada akar gantung. Sesaat kemudian tubuhnya berayun melesat sebat ke arah Rangga. Satu tendangan yang tidak terlalu tidak keras, menghantam bahu kanan kepala pengawal ini hingga Rangga terpental dan terguling di tanah. Goloknya jatuh entah kemana!

Kali ini lenyaplah kesabaran Rangga, berganti dengan kemarahan dan juga rasa malu. Selama menjadi kepala pengawal di Kadipaten Probolinggo tak pernah kejadian dia dipecundangi orang. Kini hal itu terjadi justru di depan tiga orang anak buahnya!

Sambil meringis menahan sakit, Rangga memberi isyarat pada dua anak buahnya yang tadi datang bersama-sama. Ketiga orang ini mengurung Mahesa. Rangga dengan tangan kosong sedang dua lainnya dengan golok di tangan.

Mahesa campakkan rokok kawungnya yang tinggal pendek ke tanah lalu berkata mengejek, “Bagus sekali! Tidak sangka kepala pengawal Kadipaten beraninya hanya main keroyok!”

Tampang Rangga menjadi merah mengelam. Dia sengaja memberi isyarat pada kedua anak buahnya untuk ikut menghadapi Mahesa karena dia ingin meringkus pemuda ini hidup-hidup. Diam-diam kepala pengawal ini ingin mengetahui siapa sebenarnya pemuda ini. Mengapa dia ingin memandangi rumah besar yang ditinggal istri muda Mangun Aryo.

Benarkah itu dulu rumah orang tuanya atau hanya alasan karena hendak melakukan suatu kejahatan? Bukan mustahil dia hendak mencuri atau mau menculik istri sang Adipati. Lalu mengapa pula Mangun Aryo ingin agar pemuda ini diusir dari Probolinggo.

“Mahesa, aku tadi sudah bilang. Karena kau berani membangkang, maka harus berani tanggung akibat!“ berkata Rangga, Lalu bersama kedua anak buahnya dia mulai bergerak. Sebenarnya pengawal bermuka bopeng juga ingin turut mengeroyok. Namun bekas hajaran Mahesa membuat dia jeri dan memilih lebih baik jadi penonton sambil tiada hentinya memaki Mahesa dan memberi semangat Rangga serta dua kawannya.

Dua bilah golok datang dari kiri kanan sementara Rangga meIompat dari depan. Diserang seperti itu kelihatan si pemuda membuat gerakan yang tidak disangka. Bukannya dia mengelak, tapi justru merogo kantong mengambil sebatang rokok kawung!

“Ah sialan! Ada rokok tak ada apinya!“ terdengar Mahesa berkata. Bersamanan dengan itu baru dia jatuhkan diri menghindari serangan dua golok. Hal inilah yang diinginkan Rangga. Perhitungannya pada saat si pemuda mengelak dan perhatiannya terpusat pada dua anak buahnya, maka dia melompat dari depan untuk memukul dengan tangan kiri dan menotok dengan tangan kanan. Namun yang kemudian kejadian terjadi membuat kagetnya bukan kepalang.

Seperti seekor anak kucing Mahesa menyelusup dibawah selangkangan Rangga. Kepala pengawal ini merasakan sambaran angin ke balik sabuk besar di pinggangnya, sedang serangannya tadi hanya mengenai angin. Ketika dia berpaling ke belakang, dilihatnya Mahesa tengah menyalakan kawungnya dengan korek api miliknya sendiri!

Selesai menyalakan rokoknya Mahesa lemparkan korek ke arah Rangga seraya mengucapkan terima kasih! Karena malu kepala pengawal ini tak mau menanggapi korek api itu.

“Pemuda ini ilmunya jauh lebih tinggi dariku!“ katanya dalam hati melihat kenyataan itu. “Kalau dia mau, tadi tentu dia bisa memukulku! Tapi bagaimanapun aku harus menangkapnya. Aku harus mengorek keterangan!”

Selagi Mahesa enak-enaknya menyedot rokoknya, Rangga dan dua anak buahnya kembali menyerbu.

“Kalian manusia-manusia tak tahu sopan. Mengganggu kesenangan orang yang sedang merokok!“ kata Mahesa dengan kawung terselip di bibir.

Sebelum ke tiga lawannya datang lebih dekat, pemuda itu datang menyongsong. Tangannya kiri kanan bergerak cepat. Terdengar keluhan pendek dua anak buah Rangga dan tahu-tahu mereka dapatkan dirinya dalam keadaan tertotok!

Rangga sendiri dapatkan bagiannya sesaat kemudian. Kepala Pengawal ini berteriak kesakitan ketika tangan Mahesa menjambak bulu-bulu yang tumbuh didadanya. Rasa sakit membuat Rangga menjadi kalap. Dia ambil dua buah golok yang masih tergenggam di tangan kedua anak buahnya yang saat itu hanya bisa berdiri kaku, lalu dengan sepasang senjata itu dia menyerbu Mahesa.

Kali ini murid Kunti Kendil sambut serangan lawannya dengan gerakan “Makam Sakti Meletus“. Tapi dia tidak mau mengerahkan tenaga dalamnya karena dia memang tidak ingin mencelakai lawan. Kedua tangannya memukul dari bawah ke atas. Untuk kedua kalinya Rangga terpekik. Kedua lengannya yang tertangkis lengan Mahesa sakit seperti patah. Dua golok yang dipegangnya terlepas mental dan kepala pengawal ini jatuh terduduk di tanah!

Mahesa menguap lebar-lebar. Lalu tanpa mengacuhkan ketiga orang itu dan juga si bopeng pemuda ini pergi duduk ke bawah pohon beringin. Seperti tadi dari situ dia memandangi rumah besar di hadapannya. Rangga bangkit perlahan-lahan. Dilepaskannya totokan kedua anak buahnya lalu berkata,

“Kita harus kembali ke Kadipaten memberi tahu hal ini pada Adipati. Kuwung, kau tetap disini mengawasi pemuda itu!”

Si bopeng yang bernama Kuwung karena takut, menjawab, “Tidak, aku juga mau ikut bersama kalian...!”

Saat itu Rangga dan dua anak buahnya telah melarikan diri. Kuwung memandang ke jurusan Mahesa. Dari pada diapa-apakan oleh pemuda itu lebih baik dia menyusul ke Kadipaten.

Sesaat setelah Mahesa duduk di bawah pohon itu, dari dalam rumah besar keluarlah dua orang perempuan. Keduanya berkulit kuning langsat, sama-sama cantik, raut muka mereka seperti kakak adik. Salah seorang dari perempuan ini adalah yang sebelumnya dilihat Mahesa memanggil Kuwung. Mahesa menjadi heran dan cepat-cepat bangkit ketika kedua perempuan itu melangkah ke arahnya.

2. ISTRI MUDA SANG ADIPATI
SETELAH sampai di hadapan Mahesa, kedua perempuan itu sesaat memandangi pemuda ini dari rambut sampai ke kaki. Mereka dapatkan Mahesa berwajah cakap tetapi mengapa pakaiannya penuh bercelemong tanah merah?

Perempuan yang bertubuh agak tinggi, yang menurut perkiraan Mahesa adalah kakak dari perempuan yang satunya ajukan pertanyaan, “Saudara muda, kau siapakah yang begitu berani berkelahi dan mengalahkan kepala pengawal Kadipaten serta anak buahnya...?”

Ditanya seperti itu Mahesa jadi kikuk. Sesaat hanya kedua matanya yang membuka lebar mengagumi kecantikan dua perempuan itu. Kemudian, bukannya menjawab malah ini balik bertanya, “Apakah disitu istri Adipati Mangun Aryo..?”

Perempuan yang berbadan tinggi tampak tersipu-sipu menjawab, “Aku adalah mertua Adipati Mangun Aryo. Anakku ini yang istrinya...”

Mahesa jadi melongo. Perempuan yang bicara itu masih segini muda. Memandang pada perempuan disampingnya yang katanya adalah anaknya, menurut perkiraan Mahesa paling tinggi si anak baru berusia 16 tahun. Terdorong oleh rasa hampir tak percaya Mahesa langsung saja ketelepasan bicara.

“Bagaimana anakmu yang masih sangat muda tega kau kawinkan dengan Mangun Aryo? Kurasa umur Adipati itu tiga kali umur anakmu!”

Perempuan itu menghela nafas dalam. Diwajahnya yang cantik tiba-tiba saja kelihatan bayangan rasa sedih murung yang mendalam. "Sebagai seorang ibu tentu saja aku tidak suka mengawinkan anakku yang baru enam belas tahun ini dengan sang Adipati yang berusia lebih dari lima puluh tahun. Tapi aku terpaksa. Siapa yang berani membantah kehendak orang yang berkuasa. Anakku Mirani dirampasnya tiga tahun lalu ketika dia berumur tiga belas! Kambing tua bernama Mangun Aryo itu benar-benar rakus daun muda!”

“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Mahesa.

Ibu Mirani lagi-lagi menarik nafas panjang. “Aku tidak kenal padamu. Tapi melihat bagaimana kau tadi menghajar orang-orang itu aku merasa mungkin sesaknya dada ini sejak tiga tahun lalu akan berkurang jika kuceritakan padamu asal muasalnya sampai Mirani terpaksa dikawinkan dengan Mangun Aryo...”

Mirani, yang tegak disamping ibunya berusaha menarik lengan si ibu sambil berkata, “Ibu, kita masuk saja. Tak layak nasib diriku yang buruk ini diceritakan pada orang ini. Dia bukan sanak bukan kadang kita. .”

Mahesa yang merasa kasihan terhadap Mirani menjawab dengan lembut, “Adik, tentu saja aku tak bermaksud mau tahu rahasia kehidupan orang lain. Tapi semua yang terjadi akhir-akhir ini membuat aku ingin tahu lebih banyak tentang Mangun Aryo. Dia memerintahkan anak buahnya mengusir aku dari Probolinggo. Mengapa.? Tentu ada sebabnya. Nah, sebabnya inilah yang ingin kuketahui...”

Ibu Mirani memandang pada anaknya lalu berkata, “Anakku, selama bertahun-tahun kita hidup terkungkung dirumah besar ini. Kita tak punya sanak keluarga, kita dijauh tetangga dan penduduk. Bahkan aku dicap sebagai penjual anak. Tak ada seorangpun yang mau mendekati. Tak ada tempat mengadu. Orang muda ini memang bukan sanak bukan kadang kita. Tapi aku percaya padanya. Apakah kau tidak ingat akan kematian ayahmu?”

Mendengar kata-kata ibunya itu Mirani menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan menangis terisak-isak.

Sang ibu memandang pada Mahesa, dengan suara parau berkata, “Ayah Mirani meninggal gantung diri. Tak tahan menaggung malu dan tak sanggup melawan kekuasaan Mangun Aryo...!”

Kemudian perempuan itu menerangkan bagaimana pangkal mulanya Mirani jatuh ke tangan Mangun Aryo. Sekitar tiga tahun lalu suaminya pernah meminjam uang pada Adipati itu untuk biaya perluasan sawah, pembelian bibit padi baru dan pembayar ongkos pekerja sewaan. Nasib malang padi yang mulai masak diserang hama. Mereka mengalami kerugian besar, dan tak mampu mengembalikan uang dipinjam sementara dari bulan ke bulan bunga pinjaman semakin berlipat ganda.

Ketika ayah Mirani tak sanggup lagi membayar hutang-hutangnya, datanglah utusan Adipati Probolinggo yakni Rangga. Mereka diberi peringatan yang mengejutkan. Jika dalam tujuh hari hutang berikut bunganya tidak dibayar maka suaminya akan dijebloskan masuk penjara. Kecuali jika Mirani yang berusia tiga belas tahun itu bersedia diambil jadi istri muda. Saat itu meskipun baru berusia tiga belas tahun keadaan tubuh Mirani lebih besar dari anak-anak perempuan sebayanya dan wajahnyapun cantik sekali.

Karena tidak punya daya apa-apa lagi dan selain itu dia tidak sudi memenuhi permintaan Adipati agar anak tunggalnya dijadikan istri muda, akhirnya sang suami terpaksa menyerahkan badan masuk dalam penjara.

Sang anak, karena kecintaannya pada ayahnya, tanpa setahu orang tuanya diam-diam menghubungi Adipati Mangun Aryo dan mengatakan bahwa dia bersedia jadi istri lelaki yang tiga kali lebih tua usianya itu. Sang ayah tentu saja merasa heran ketika pada suatu hari dia dinyatakan bebas dan boleh kembali ke rumah.

Namun sewaktu diketahuinya bahwa Mirani sudah berada dan tinggal serumah dengan Mangun Aryo di Kadipaten, nekadlah lelaki ini. Dengan sebilah keris di tangan dia datang ke Kadipaten. Beberapa orang sahabat menasihatkannya agar tidak berlaku bodoh. Apapun yang dilakukannya tak akan mengembalikan kegadisan puterinya. 

Mungkin karena amarah yang tidak terlepaskan ditambah menanggung malu besar, ayah Mirani memang membatalkan niatnya menyerbu Kadipaten, dia kembali ke rumah tapi pada sore harinya ditemui telah mati menggantung diri dalam kamarnya! Adipati kemudian memindahkan kami ke rumah besar ini. Seorang pengawal ditempatkannya untuk menjaga, kata ibu Mirani mengakhiri kisahnya.

Semula Mahesa hendak mengatakan bahwa rumah besar itu dulu adalah milik orang tuanya. Tapi dia merasa tak ada perlunya dia menerangkan hal itu. Mungkin hanya akan menambah kekalutan kedua ibu dan anak itu. Selain itu diapun tidak punya niat untuk mengambil rumah itu atau tinggal disitu kembali. Dia datang ketempat itu hanya sekedar untuk melepaskan kerinduan.

“Anak muda,“ berkata ibu Mirani. “Sebaiknya kau lekas-lekas tinggalkan tempat ini. Meskipun kau berhasil mengalahkan orang-orang Kadipaten tadi tapi Mangun Aryo masih memiliki banyak kawan-kawan yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dari Rangga. Adipati itu seorang berhati culas. Dia tidak segan-segan melakukan apapun asal niatnya kesampaian!”

Mahesa mengangguk. Lalu dia bertanya. “Setahu kalian, apakah Adipati itu memiliki kepandaian Ilmu silat misalnya?”

Yang menjawab kini adalah Mirani. Untuk pertama kalinya istri muda Adipati ini membuka mulut. “Setahu saya Adipati tidak memiliki kepandaian silat. Tapi dia banyak kawan dari rimba persilatan bahkan golongan perampok atau penjahat. Saya sering mendengar dia menyebut seseorang dengan panggilan Embah. Kalau tidak salah, tiga bulan sekali dia pergi ke sebuah gunung untuk menemui Embah itu...”

“Gunung apa dan dimana letaknya?“ Mahesa kepingin tahu.

“Saya tak tahu nama gunung itu,“ jawab Mirani.

“Sore akan segera berganti malam. Aku harus pergi sekarang!”

“Ya, pergilah agar kau selamat dari orang-orangnya Mangun Aryo!“ kata ibu Mirani.

Mahesa membungkukkan dadanya kepada ibu dan anak itu lalu tinggal kan tempat tersebut.


3.    KEMBALI DIHADANG MAUT
SEJAK Rangga dan dua anak buahnya pergi mencari Mahesa di Kadipaten, Mangun Aryo tidak bisa tenang. Jika benar pemuda bernama Mahesa itu anak Randu Ampel dan Wening Muriati dan kalau Mahesa sampai tahu apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya adalah akibat perbuatannya, tidak mustahil pemuda itu akan menuntut balas. Dan ini tentu saja berbahaya bagi Mangun Aryo.

Selama delapan belas tahun, sejak Randu Ampel lenyap, Mangun Aryo boleh dikatakan merasa tenteram, tak ada bahaya yang mengancam. Dia yakin sekali Randu Ampel sudah menemui kematian. Ketika Rangga dan dua anak buahnya muncul, Adipati itu menyongsong di tangga Kadipaten.

“Kalian temui pemuda itu..?“ tanya Mangun Aryo. Namun sesaat kemudian dilihatnya dada Rangga yang merah serta tampang dua pengawal Kadipaten lainnya yang seperti menanggung sakit. Dan di ujung jalan sana dilihatnya pula Kuwung berlari dan sesaat kemudian sampai di hadapannya terengah-engah. Sesuatu pasti telah terjadi. Mungkinkah pemuda itu mengganggu istri mudanya?

Mangun Aryo berpaling pada Rangga yang saat itu turun dari kudanya. “Cepat Katakan apa yang terjadi!”

“Adipati, kami berhasil menemui pemuda itu. Di rumah den ayu Mirani...”

“Hah! Sedang apa dia disana?!”

“Pemuda itu mengatakan dia datang kesitu hanya untuk memandang rumah tersebut. Katanya dulu rumah itu adalah rumah orang tuanya..!”

Dada Adipati Mangun Aryo berdebar keras. “Rupanya sudah pasti dia anak Randu Ampel,“ kata lelaki ini dalam hati. “Kalian berkelahi..?”

Rangga mengangguk. “Ternyata pemuda itu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Jika dia mau, dia bisa membunuh kami berempat. Kuwung dibuat patah tangannya. Dua anak buah saya juga cidera. Dan saya, Adipati saksikan sendiri. Bulu dada saya dijambaknya sampai rontok...!”

Debaran dada. Mangun Aryo semakin keras. “Celaka! Kalau dia sampai tahu.”

Rangga berkata kembali, “Pemuda itu menolak ketika kami suruh pergi. Karenanya perkelahian tak bisa dihindari. Sesuai perintah Adipati kami berusaha meringkusnya untuk dijebloskan ke penjara. Tapi mohon maafmu, kami tak sanggup melakukannya..”

Dalam hatinya Mangun Aryo berkata lagi “Rangga tidak memiliki kepandaian rendah. Dia dibantu pula oleh dua anak buahnya. Ah... keadaan benar-benar berbahaya bagiku. Aku harus bertindak cepat!“ Mangun Aryo usap keringat yang mengucur di keningnya lalu berkata. Pada dua anak buah Rangga. “Kalian berdua lekas temui Eyang Jaliteng. Minta dia datang kesini malam ini juga. Lekas pergi...!”

Dua petugas Kadipaten itu menjura dan berlalu untuk jalankan perintah, setelah keduanya pergi, pada Rangga Adipati itu berkata, “Besok pagi sebelum matahari terbit kita akan melakukan perjalanan jauh..”

Karena Mangun Aryo tidak mengatakan kemana tujuannya, maka Rangga memberanikan diri bertanya, “Perjalanan jauh kemana, Adipati?”

“Puncak Gunung Bromo..” sahut Mangun Aryo lalu cepat-cepat masuk ke dalam.

Sebelumnya Rangga mengetahui kalau Adipati sering pergi ke puncak Bromo. Dan selama itu sering dia diajak serta. Kepala pengawal ini mengetahui bahwa ada seorang dukun yang punya hubungan dekat dengan atasannya itu dan diam di puncak gunung tersebut.

***

KALAU ketika pertama kali memasuki Probolinggo Mahesa merasakan semangat yang berkobar-kobar, maka sewaktu meninggalkan kota itu dia melangkah gontai sepembawa kakinya seperti kehilangan arah.
Di ufuk barat sang surya membersitkan sinar kuning emas menjelang titik tenggelamnya. Mahesa melangkah sepanjang jalan yang becek. Lapat-lapat dia mendengar suara beduk. Lalu suara orang azan.

“Mau menginap dimana aku malam ini...” Mahesa bertanya pada diri sendiri. Matahari telah lenyap di titik tenggelamnya. Udara mulai gelap. Mahesa hentikan langkahnya ketika dia menyadari bawah di depannya tak ada lagi jalan dan kini membentang sawah. Hidungnya membaui sesuatu yang harum. Dia memandang berkeliling.

Kira-kira seratus tombak dari tempatnya berdiri, dekat pematang sawah yang meninggi kelihatan sebuah dangau. Disitu tampak beberapa orang tengah memanggang sesuatu. Entah mengapa akhirnya Mahesa melangkah ke jurusan dengan itu. Sesampai disana didapatinya dua orang lelaki separuh baya berpakaian hitam-hitam duduk mencangkung. Keduanya asyik memanggang jagung. Jagung panggang inilah yang menebarkan bau harum.

Di lantai dangau, duduk seorang kakek berambut jarang, bermuka peang. Matanya sipit sekali sehingga kelihatan seperti terpejam. Seperti dua orang yang membakar jagung, kakek berkepala sulah ini juga mengenakan pakaian serba hitam. Kedua kakinya digoyang-goyangkan. Mahesa melihat kakek ini memakai gelang bahar pada kedua kakinya.

Tak ada seorangpun yang mengacuhkan kedatangan Mahesa. Seolah-olah ketiganya tidak melihat kehadiran pemuda itu disitu. Yang dua orang terus saja mengipas-ngipas api. Sedang si kakek sambil goyang-goyang kaki terus menyantap jagung panggang yang masih hangat. Cepat sekali kakek ini menyantap jagung itu, padahal giginya tak utuh lagi. Begitu habis salah seorang yang memanggang jagung lemparkan jagung baru pada si kakek. Begitu sampai beberapa kali berturut-turut.

Meskipun perutnya lapar dan sangat ingin mendapatkan jagung itu namun Mahesa ingat pengalamannya sewaktu bertemu dengan Karangpandan dulu. Waktu itu Karangpandan memanggang burung. Karena lapar dia minta seekor. Ternyata burung itu sebelumnya diberi racun. Hampir saja jiwanya melayang.

Dan kini dia berhadapan dengan tiga orang yang tidak dikenalnya. Turut jalan pikirannya Mahesa menduga kakek yang duduk dilantai dangau bersikap aneh. Dan orang-orang berkepandaian tinggi biasanya berlaku demikian. Mahesa akhirnya memutuskan untuk pergi saja dari situ. Namun sebelum pergi dia keluarkan sebatang rokok kawung lalu sambil membungkuk dia berkata,

“Sahabat, aku minta api untuk rokok.“ Mahesa ulurkan tangannya. Ujung rokok didekatkannya ke kayu api yang menyala. Justru pada saat itu terjadilah hal yang sangat mengejutkan dan membuat Mahesa melompat sampai satu tombak.

Onggokan api diatas mana beberapa buah jagung sedang dibakar tiba-tiba saja meledak. Kayu-kayu yang menyala mental bertebaran. Beberapa diantaranya menghantam tubuh Mahesa hingga pakaiannya hangus bolong-bolong dan tubuhnya luka terbakar.

Disaat yang sama terdengar suara tertawa bergelak. Ketika Mahesa menjejakkan kedua kakinya ke tanah kembali dilihatnya di tempat itu kini terdapat enam orang lelaki berpakaian hitam, tujuh dengan si kakek bermuka peang. Dari tempat dan sikap mereka berdiri jelas keenam orang berpakaian hitam itu mengurung Mahesa. Sementara si kakek kelihatan masih terus saja menggeragoti jagung panggang.

“Anak setan keparat!“ maki Mahesa. “Jelas-jelas mereka hendak mencelakaiku! Siapa mereka yang magrib-magrib begini sengaja menungguku disini!”

“Hai!” Mahesa akhirnya berseru karena tak seorangpun dari ketujuh manusia itu yang buka suara atau bergerak. “Aku tidak ada permusuhan dengan kalian! Mengapa kalian hendak mencelakaiku..?”

Kakek diatas dangau turunkan jagung yang sedang dimakannya. Sesaat matanya yang sipit memandang tak berkesip pada Mahesa. Tiba-tiba dia ajukan pertanyaan. “Kau pemuda yang bernama Mahesa..?”

“Betul Kalian siapa?! Mengapa bermaksud jahat terhadapku?”

Kakek itu tertawa panjang. Dia memandang pada enam orang yang mengurung Mahesa dan berteriak, “Kalian sudah dengar siapa namanya! Mau tunggu apa lagi?!“

Kakek ini angkat tangan kanannya ke atas lalu jentikkan ibu jari serta jari tengahnya hingga mengeluarkan suara keras. Saat itu pula keenam orang yang mengurung Mahesa mengeluarkan suara seperti anjing melolong. Lalu ke enamnya bergerak berputar mengelilingi pemuda itu sambil tiada hentinya, mengeluarkan suara.

“ha-hu..ha-hu..ha-hu!”

“Pertunjukan gila apa pula ini?!“ ujar Mahesa.

Putaran enam orang itu makin cepat, makin cepat dan suara ha-hu..ha-hu mereka juga tambah kencang dan tambah cepat. Mahesa merasakan kedua pelipisnya berdenyut. Kepalanya terasa pening dan pemandangannya berkunang.

“Anak setan! Apa yang mereka lakukan ini! Kenapa kepalaku menjadi sakit! Tanah ini seperti bergoyang... Celaka!”

Diatas dangau si kakek letakkan jagung panggangnya diatas pangkuan. Mulutnya kelihatan komat kamit tiada henti. Sepasang matanya memandang menyorot ke arah Mahesa. Saat itu murid Kunti Kendil merasakan kepalanya tambah sakit dan tambah berat. Lututnya goyah. Dia kerahkan tenaga dalam. Tapi terlambat. Tubuhnya keburu jatuh. Dia tergelimpang di tanah antara sadar dan tidak.

Si kakek diatas dangau keluarkan pekik tinggi. Enam buah tombak yang sejak tadi terletak di lantai dangau di belakangnya diambilnya lalu di lemparkannya pada keenam lelaki yang berputar-putar mengelilingi Mahesa. Hebat sekali cara si kakek melemparkan tombak itu. Senjata ini tersebar memencar demikian rupa hingga masing-masing dari keenam orang itu walaupun sambil lari memutar dengan mudah sanggup menangkapnya.

“Tambus!” teriak si kakek.

Enam lelaki yang memegang tombak langsung hunjamkan tombak di tangan masing-masing ke tubuh Mahesa!


4. JALITENG BERTEMU GEMBEL CENGENG SAKTI MATA BUTA

MAHESA melihat enam batang tombak dihunjamkan ke arahnya. Namun dia tidak kuasa untuk menyelamatkan diri. Bahkan bergerakpun dia tak mampu. Kepalanya seperti ditusuk puluhan paku. Sekujur badannya seperti lumpuh.

“Benar-benar dunia ini aneh. Dan keanehan ini berakhir pada kematian!”

Mahesa ingat pada kata-kata kakek muka tengkorak yang diselamatkannya dari lobang maut di bawah arca gajah. Kakek yang kemudian balas menyelamatkannya dari tangan Loh Jingga telah memberikan sepertiga dari tenaga dalamnya. Namun saat itu kekuatan tenaga dalam itu tidak mampu dipergunakannya.

“Anak setan! Aku tidak takut mati. Tapi mengapa harus mati di tangan orang-orang yang tidak kukenal ini? Siapa mereka? Aku tidak punya permusuhan dengan mereka. Dosa apa yang kuperbuat terhadap mereka. Apakah mereka kawan-kawannya Karangpandan atau sahabatnya Loh Jingga. Atau...”

Mahesa tak mampu berpikir lebih panjang. Enam mata tombak yang runcing tajam meluncur deras dan kini hanya tinggal satu jengkal saja lagi dari kepala dan tubuhnya! Pada saat itulah enam buah benda aneh sepanjang satu jengkal melesat dari kegelapan dan sesaat kemudian terdengarlah pekik enam orang berpakaian hitam yang tadi berteriak-teriak sambil berputar mengelilingi Manesa. 

Masing-masing pegangi leher dimana menancap sebatang tangkai padi yang panjangnya sekitar sejengkal. Darah mengucur dari leher yang tertusuk tangkai padi itu. Tiga diantara mereka segera roboh dan bergulingan di pematang sawah lalu tak berkutik lagi, entah pingsan entah mati. Tiga lainnya terhuyung-huyung dan coba berpegangan pada tiang dangau. Dua tergelimpang roboh, yang satu lagi sambil terus menjerit-jerit melarikan diri dan lenyap dalam kegelapan.

Kakek bermuka peang yang tengah mengunyah jagung sambil goyang-goyang kaki di atas dangau mendadak berubah mukanya. Dia bantingkan bonggol jagung yang belum habis dimakannya. Bonggol itu amblas lenyap dalam tanah sawah yang becek. Sepasang matanya yang sipit mencari-cari dalam gelap sementara Mahesa tampak berusaha bangun. Sakit dikepalanya terasa lenyap dan kekuatan tubuhnya kembali pulih.

“Bangsat! Siapa yang berani ikut campur urusan orang? Lekas unjukkan tampang!”

Mahesa sendiri yang saat itu sudah menyadari kalau ada seseorang yang telah menyelamatkan jiwanya, sudah barang tentu juga ingin mengetahui siapa tuan penolongnya itu. Pemuda ini seperti si kakek berpakaian hitam mencari-cari kian kemari.
Dari sebelah kanan terdengar suara tertawa mengekeh. Suaranya dekat sekali tetapi orangnya masih tak kelihatan.

“Jaliteng Jaliteng..! Ternyata jalan hidup dan pekerjaanmu masih tidak berubah...!”

Si kakek diatas dangau terkejut dan cepat melompat turun. Tengkuknya terasa dingin. “Ah, dia lagi! Benarkah“ dia berkata dalam hati.

Sebaliknya Mahesa juga rasa-rasa seperti mengenali suara yang bicara tadi. Tak lama kemudian sesosok tubuh agak terbungkuk-bungkuk muncul dari kegelapan. Ternyata seorang kakek yang berpakaian compang camping penuh tambalan. Kedua matanya buta!

“Kek! Kau…! seru Mahesa ketika mengenali siapa adanya kakek yang datang dan yang barusan menolongnya itu.

Si kakek tertawa. “Malam-malam dingin begini manusia masih saja hendak saling berbunuhan. Mahesa, mana rokokmu. Beri aku sebatang...!”

“Ah!“ Mahesa terkejut. Lalu buru-buru ambil kotak rokok kawungnya dan mengulurkannya pada si kakek. Orang tua bermata buta ini ambil sebatang dan seperti tidak buta dia membungkuk mengambil puntung kayu berapi bekas pembakar jagung lalu menyalakan rokoknya. Dia menyedot rokok kawung itu beberapa kali lalu gelang-gelengkan kepala.

“Nikmat sekali...” kata si kakek mata buta sambil geleng-geleng kepala.

Sementara itu kakek berpakaian hitam berkepala sulah hampir tak bergerak tegak di tempatnya.

“Jaliteng Kemari kau!" kakek mata buta membentak.

Kakek berpakaian hitam langsung pucat mukanya. “Gembel Cengeng Sakti, aku tidak tahu...”

“Sialan. Aku tidak suruh kau bicara! Aku Suruh kau mendekat kemari!“ kembali si kakek mata buta membentak. Ternyata dia adalah tokoh nomor satu dalam dunia persilatan pada masa itu yang dikenal dengan julukan Gembel Cengeng Sakti Mata Buta. Kakek sakti ini telah mengajarkan Mahesa tujuh jurus silat orang buta. Kakek bernama Jaliteng melangkah ke hadapan Gembel Cengeng. Gembel Cengeng mendongak ke atas. Cuping hidungnya kembang kempis.

“Hem...” gumamnya kemudian. “Ternyata baumu tidak berubah, malah lebih busuk dari dulu-dulu. Pantas kelakuanmupun tidak berubah...! Sungguh menyedihkan!"  Lalu kakek ini keluarkan suara sesenggukan seperti orang menahan tangis. Memang karena sifatnya yang lekas terharu serta suka menangis ini maka dia dijuluki Gembel Cengeng Sakti Mata Buta.

“Gembel Cengeng, aku tidak tahu kalau pemuda ini sahabatmu. Maafkan aku telah ketelepasan tangan...” Kakek bernama Jaliteng kembali berkata.

“Kentut busuk! Kau memang tak pernah bisa berubah. Dan pemuda ini bukan hanya seorang sahabat. Dia kuanggap seperti murid sendiri...!”

“Ah!” Jaliteng membungkuk dalam-dalam. “Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Mohon maafkan...”

“Kenapa kau ingin membunuhnya?!” bertanya Gembel Cengeng lalu sedot kawungnya dalam-dalam.

“Ya, mengapa kau dan orang-orangmu hendak membunuhku?!” Mahesa menimpali. “Antara kita tak ada permusuhan!”

Tenggorokan kakek berkepala sulah bermata sipit itu tampak turun naik. “Aku... Seseorang menyuruhku..” jawab Jaliteng makin ketakutan.

Kakek mata buta tersenyum. “Disuruh dengan menerima upah tentunya..!”

Jaliteng tak menjawab.

“Hai! Lekas katakan. Berapa kau menerima upah!”

“Sepuluh mata uang perak...”jawab Jaliteng.

“Upah yang lumayan.” kata Gembel Cengeng lalu ulurkan tangannya. “Serahkan uang itu padaku..!”

Sesaat Jaliteng tampak ragu-ragu. Namun kemudian dia buru-buru mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik pinggangnya dan menyerahkan benda ini pada si kakek mata buta.

“Gembel Cengeng. Kau sudah terima uangnya, sekarang izinkan aku pergi...”

“Tidak bisa!" hardik kakek mata buta. “Kawanku ini tentu ingin tahu siapa yang mengupahmu untuk membunuhnya. Bukan begitu Mahesa?!”

“Betul! Lekas kau katakan!" ujar Mahesa pula.

“Tak bisa kukatakan. Aku pasti akan dibunuhnya!!” jawab Jaliteng.

“Kalau begitu biar aku yang mendahului membunuhmu!"  kata Gembel Cengeng pula. Lalu dia angkat tangan kanannya tinggi-tinggi.

Jaliteng buru-buru jatuhkan diri berlutut. “Gembel Cengeng Sakti! Ampuni selembar nyawaku. Aku akan katakan. Aku akan katakan padamu. Pada kalian berdua...”

“Lekas katakan!"  sentak Mahesa. Saat itu hendak dicekiknya saja kakek bermuka peang itu.

Jaliteng manggut-manggut lalu buka mulut,
“Yang menyuruh adalah Mangun Aryo. Adipati Probolinggo...!”

Kagetlah Mahesa. “Ternyata dia lagi!" desisnya.

Sementara Gembel Cengeng geleng-geleng kepala tiada henti.

“Kenapa dia ingin membunuhku?!" Mahesa ajukan pertanyaan.

“Kalau itu, kau bunuhpun aku memang tidak tahu. Aku tidak tahu!"  jawab Jaliteng. Lalu dia berpaling pada kakek buta. “Gembel Sakti, izinkan aku pergi sekarang...”

“Enaknya ..!” jawab si mata buta. “Ingat janjimu setahun yang lalu...?”

“Aku... aku ingat...”

“lngat? Bagus! Coba kau katakan apa janiimu saat itu...”

"Aku berjanji tidak lagi menempuh jalan sesat. Tidak akan mempergunakan kepandaian untuk berbuat kejahatan...”

“Apa janjimu jika ternyata kemudian kau melanggarnya?”

“Kau kau akan menghukumku!" jawab Jaliteng. Suaranya serak dan gemetar kini.

“Katakan hukuman apa?!”

“Kau akan melumpuhkan kedua tanganku, kiri kanan...?”

“Bagus! ujar Gembel Sakti. “Lalu malam ini katakan apakah kau telah melanggar janjimu atau tidak...”

Dada Jaliteng sesak. “Aku... aku harus mengakui. Aku telah melanggar janji. Gembel Sakti, aku mohon ampun. Jangan kau lumpuhkan kedua tanganku!" Jaliteng meratap.

Anehnya si kakek mata buta juga kembali terdengar sesenggukan. Tiba-tiba dia membentak, “Bukan aku yang akan memberimu ampun. Tapi sahabatku pemuda ini. Terserah dia. Jika dia minta agar kau dihukum maka aku akan melumpuhkan keduatanganmu. Kecuali jika dia memberi ampun dan maaf padamu...!”

Mendengar itu maka Jaliteng beringsut diatas kedua Iututnya dan membungkuk-bungkuk dihadapan Mahesa. “Anak muda, aku mengaku salah besar terhadapmu. Aku minta agar kau sudi memberi ampun. Demi Iangit dan bumi aku bersumpah tidak akan berbuat kejahatan Iagi...!”

“Anak setan!"  maki Mahesa. “Enak saja kau bersumpah begitu. Kalau mau bersumpah bukan demi Iangit dan bumi. Tapi demi Gusti Allah. Demi Tuhan!”

“Aku bersumpah demi Tuhan. Tak akan Iagi mengulangi kejahatan!" ujar Jaliteng.

Gembel Cengeng Sakti tertawa. “Siapa yang percaya pada janji seorang manusia kadal sepertimu! katanya. “Tapi terserahlah pada kawanku pemuda itu...”

Mahesa merenung sejenak. Akhirnya murid Kunti Kendil ini berkata, “Baiklah. Aku maafkan kau...”

“Terima kasih... terima kasih!" kata Jaliteng berulang kali. “Aku tak akan melupakan kebaikanmu anak muda..."

“Sudah! Tak perlu banyak cakap lagi!" bentak Gembel Cengeng. “Tinggalkan tempat ini dan bawa anak buahmu yang berkaparan itu!”

Jaliteng menjura berulang kali. LaIu bersama dua orang anak buahnya yang masih hidup dia tinggalkan tempat itu. Setelah Jaliteng pergi Mahesa segera menghampiri kakek mata buta dan menjura dalam-dalam.

“Kek, terima kasih kau telah menolong nyawaku. Bagaimana kau bisa terpesat sampai disini...?”

“Aku berjalan sepembawa kakiku jawab Gembel Cengeng. “Aku tidak mengerti, menghadapi ilmu picisan si Jaliteng itu kau bisa kalah. Bahkan hampir mati...”

Mungkin dia mempergunakan ilmu hitam kek. Kepalaku mendadak pusing hebat dan sekujur tubuhku jadi lunglai  menerangkan Mahesa.

“Anak muda, kau memang belum punya pengalaman. Masih hijau dalam dunia persilatan. Padahal bekalmu sudah cukup. Kau lupa akan pelajaran gurumu. Jangan sampai perasaan menguasai pikiran. Jika hal itu saja kau ingat tak mungkin Jaliteng dan anak buahnya bisa mempengaruhi jalan pikiranmu...”

“Ah, kau betul kek. Aku telah berlaku alpa...”

“Kealpaan yang kedua!" berkata lagi si kakek. “Percuma kau kuberi pelajaran ilmu silat orang buta. Kalau kau tutup saja kedua matamu dan tidak memperhatikan gerakan orang yang berputar, lalu menyerang, kau tak bakal celaka! Kenapa kau begitu tolol?!”

Mahesa menggigit bibir. “Kau benar kek," katanya. “Anak setan ini memang tolol. Terima kasih atas petunjukmu...”

Si kakek tertawa. “Aku minta lagi rokokmu!" katanya. Kedua orang itu lalu sama-sama merokok.

“Mahesa!" kata si kakek selang berapa lama kemudian, “kau harus menyelidiki mengapa Adipati Probolinggo ingin membunuhmu!”

Mahesa mengangguk. “Hal itu memang akan kulakukan kek. Ada beberapa kemungkinan. Pertama mungkin karena menganggap aku mengganggu puterinya yang cantik. Kemudian mungkin pula karena cemburu aku mendatangi rumah istri mudanya...”

“Tapi itu bukan berarti tidak ada alasan lain bukan?”

Mahesa mengiyakan.

“Waktu berpisah dulu, apakah kau kemudian berhasil menemui Bukit Akhirat?"  Gembel Cengeng ajukan pertanyaan.

“Berhasil kek. Terima kasih atas petunjukmu.”

“Kau berhasil pula menemui manusia bernama Wirapati itu?”

“Yang itu belum.”

“Lalu apakah kau bertemu dengan manusia bernama Lembu Surah?  tanya si kakek selanjutnya.

“Ya, tapi setelah dia pergi baru aku tahu dia yang bernama Lembu Surah. Dia bergelar Datuk lblis Penghisap Darah...”

“Gelar yang cukup menyeramkan ujar Gembel Cengeng. “Lalu bagaimana kau bisa bertemu dengan Pendekar Muka Tengkorak Suko lnggil...?”

“Siapa itu?"  tanya Mahesa.

“Orang yang mengajarmu merokok kawung ini!”

“Oh, jadi namanya Suko Inggil dan juluknya Pendekar Muka Tengkorak. Ah, dia kakek yang baik. Sama baiknya denganmu." Lalu Mahesa tuturkan pertemuannya dengan si kakek sakti itu di reruntuhan candi. Tak lupa diceritakannya pemberian tenaga dalam secara luar biasa itu.

“Rejekimu besar nian, Mahesa. Sekarang katakan apa yang hendak kau lakukan...?”

“Mencari Mangun Aryo, Adipati keparat itu!" jawab Mahesa pula.

Si kakek tertawa. “Aku sudah duga," katanya. “Hati-hatilah. Mangun Aryo sendiri tidak berbahaya. Dia tidak punya ilmu apa-apa. Tapi dia punya banyak kawan jahat dan berkepandaian tinggi. Satu diantaranya si Jaliteng tadi. “Nah malam tambah dingin, aku harus pergi sekarang...”

“Tunggu dulu kek...!”

Gembel Cengeng kerenyitkan kening. “Pasti ada lagi yang hendak kau tanyakan...”

“Dari pertanyaanmu tadi, tampaknya kau banyak tahu apa yang terjadi di dunia persilatan. Terutama yang menyangkut diriku...”

“Aku orang tua bodoh ini mana tahu banyak. Hanya angin yang meniupkan kabar kemana-mana...”

“Kek, aku menghadapi kesulitan. Aku telah berusaha menempuh satu jalan. Tapi tidak pasti apakah berhasil...”

“Apa kesulitanmu?”

“Saat ini aku membawa sebilah keris mustika bernama Keris Naga Biru. Karena senjata ini aku hampir beberapa kali dibunuh orang. Bagaimana kalau keris ini kutitipkan padamu...?”

Si kakek tertawa. “Tak bisa kuterima permintaanmu itu Mahesa. Mungkin sudah ditakdirkan senjata itu jatuh ketanganmu. Jadi tak perlu kecil hati menghadapi kesulitan...”

“Aku memang tidak takut menghadapi kesulitan. Tapi, apakah kau mengetahui asal usul senjata mustika ini?”

“Tahu banyak. Tapi sayang aku tak ada kesempatan menerangkannaya saat ini. Aku harus cepat-cepat pergi...” Lalu tanpa berkata apa-apa lagi Gembel Cengeng Sakti Mata Buta itu berkelebat pergi.

“Ah kakek itu selalu menggantung setiap keterangan yang diberikan!  kata Mahesa dalam hati. Dia memandangi pakaiannya yang kotor dan robek-robek serta hangus. Akhirnya pandangannya membentur dua butir jagung panggang yang terletak di lantai dangau. Cukup lumayan untuk mengganjal perutnya yang terasa lapar.


5. ISTRI TUA UNTUK TUMBAL
MALAM itu Mahesa tak jadi melanjutkan perjalanannya. Dia kembali memasuki Probolinggo, langsung menuju gedung Kadipaten. Ternyata Mangun Aryo tidak ada di Kadipaten. Seorang pengawal memberi tahu bahwa Adipati itu meninggalkan Kadipaten beberapa saat yang lalu bersama Rangga. Semula Mahesa ingin berusaha menemui Wilani, puteri Adipati Probolinggo itu guna mendapatkan keterangan.

Tetapi gadis itupun tak ada disitu. Akhirnya Mahesa memutuskan untuk menyelidik ke rumah Mirani, istri muda Mangun Aryo. Bukan mustahil Adipati itu ada disana. Baru saja Mahesa meninggalkan Kadipaten, seorang penunggang kuda memapasinya dari depan dan memanggil namanya lalu berhenti. Ternyata Wilani.

“Hai, kau benar-benar manusia berani. Ancaman ayahku tidak kau gubris!" Wilani turun dari kudanya.

“Tak ada satu orangpun yang kutakuti di dunia ini Wilani, tidak juga ayahmu,"  sahut Mahesa. “Cuma ada beberapa hal yang ingin kuketahui. Pertama ayahmu memerintahkan aku meninggalkan Probolinggo. Kenapa? Kedua mengapa dia menginginkan nyawaku. Menyuruh Rangga untuk membunuhku. Malah dia juga menyuruh seorang kakek berkepandaian tinggi bernama Jaliteng...”

Gadis itu tampak terkejut. Perlahan-lahan dia gelengkan kepala. “Aku tidak yakin ayahku sejahat itu. Apa alasannya menyuruh bunuh kau?”

“Justru itu yang ingin kuketahui," sahut Mahesa. “Kau tahu dimana dia berada sekarang?”

Wilani menggeleng.

“Kau habis dari mana?" tanya Mahesa.

“Sahabat, kau tampaknya curiga," ujar Wilani.

“Sudahlah, aku harus pergi...”

“Tunggu dulu Mahesa," kata Wilani seraya menarik bahu pakaian pemuda itu. “Aku tahu kau memiliki kepandaian tinggi sedang ayahku tidak kenal sejurus ilmu silatpun. Apapun yang terjadi kuharap kau tidak menurunkan tangan jahat. Berjanjilah Mahesa!”

“Tak bisa aku berjanji demikian," jawab Mahesa.

“Kalau begitu kau tak ingin meneruskan persahabatan kita!”

“Aku tetap ingin bersahabat denganmu. Semua terserah padamu Wilani. Tetapi tentang urusan dengan ayahmu, aku tak bisa berjanji apa-apa. Benar-benar tak bisa.” 

Habis berkata Mahesa lalu memutar tubuh dan pergi. Di rumah istri mudanya, Mangun Aryopun tidak ada. Kemanakah Adipati itu?

***

Seperti direncanakan sebelumnya, besok pagi Mangun Aryo dan Rangga akan berangkat menuju gunung Bromo. Namun karena merasa tidak tenang, malam itu setelah menemui Jaliteng Adipati itu langsung saja berangkat. Baginya makin cepat pergi makin baik. ltulah sebabnya Mahesa tak berhasil menemukan lelaki itu di Probolinggo.

“Jika kau suka, malam ini kau boleh menginap disini, Mahesa,"  kata ibu Mirani.

Mahesa menggeleng. “Aku harus mencari dan menemui Adipati itu secepatnya," jawab Mahesa. “Mungkin kalian bisa menduga kemana Mangun aryo pergi...”

Ibu dan anak yang berdiri di hadapan Mahesa saat itu saling pandang. Sesaat kemudian Mirani berkata, “Setahu saya, jika tengah menghadapi kesulitan, dia selalu pergi ke gunung. lngat keterangan saya tentang seorang yang biasa disebutnya dengan panggilan Embah..?”

“Aku ingat. Tapi kau tidak tahu nama gunungnya. Mungkin Rangga tahu. Tapi kepala pengawal itu juga ikut bersama Mangun Aryo...”

“Satu-satunya jalan ialah menunggu sampai Adipati kembali," kata ibu Mirani.

Mahesa mengangguk lalu minta diri. Sesaat setelah pemuda itu pergi sang ibu memandang pada anaknya. “Mirani, kalau sampai terjadi hal buruk pada Adipati itu, kau akan jadi janda nak..”

Mirani hanya terdiam lalu masuk ke dalam kamarnya.

***

KlTA tinggalkan Mahesa yang tengah berusaha mencari mangun Aryo. Kita ikuti perjalanan Adipati itu sejak dia meninggalkan Probolinggo bersama Rangga. Dengan hanya beristirahat pada saat-saat tertentu, setelah dua hari dua malam memacu kuda masing-masing, pada pagi hari ke tiga sampailah mereka di kaki gunung Bromo. Seperti yang sudah-sudah, di tempat ini Mangun Aryo menyuruh Rangga menunggunya. Lalu seorang diri dengan jalan kaki Adipati itu menuju puncak gunung.

Lewat tengah hari, dengan tubuh mandi keringat, pakaian kotor letih Mangun Aryo sampai di hadapan bangunan batu bata merah, tempat kediaman dukun sakti bernama Embah Bromo Tunggal. Belum lagi dia sampai ke pintu, satu suara terdengar dari dalam bangunan.

“Saat janji untuk bertemu masih lama. Kowe tahu-tahu muncul. Apakah kowe mempunyai keperluan penting?! Agaknya kowe menghadapi kesulitan Mangun Aryo!”

Adipati Probolinggo itu mempercepat langkahnya langsung masuk ke dalam rumah dan menjatuhkan dirinya di hadapan kakek berambut awut-awutan, berpakaian serba hitam dan bertampang luar biasa bengisnya. Pada lehernya bergelantungan tengkorak-tengkorak kecil.

Tengkorak-tengkorak bayi. Dia duduk di tengah ruangan dan sebatang tongkat yang terbuat dari tulang belulang manusia serta ditempeli potongan-potongan kain terletak di atas pangkuannya. Inilah Embah Bromo Tunggal yang sejak delapan belas tahun lalu menjadi dukun kepercayaan Mangun Aryo.

“Adipati, kowe masih belum membuka mulut beri keterangan!  sang embah kembali bicara.
Benar embah, aku memang tengah menghadapi kesulitan," kata Mangun Aryo pula.

Sang embah menyeringai. “Sebelum kita bicara soal kesulitanmu, ada satu hal yang perlu kuingatkan padamu. Kowe dan aku punya perjanjian bahwa setiap tahun kowe harus menyerahkan tumbal, daging, darah dan nyawa salah seorang anggota keluargamu. Tahun pertama kowe memang menyerahkan seorang keponakan. Tahun kedua seorang bibimu. Tapi tahun-tahun berikutnya selama enam belas kali kowe hanya menyerahkan pembantu-pembantu sebagai tumbal! Lama-lama makhluk peliharaanku menjadi muak! Kowe tahu, darah pembantu-pembantu itu pahit rasanya, dagingnya alot, tulangnya keras! Bulan depan kowe harus menyerahkan anggota keluargamu yang paling dekat. Kowe dengar Mangun Aryo?!”

“Aku dengar embah...”

“Mahluk peliharaanku kali ini minta tumbal puterimu yang bernama Wilani itu!”

Terkejutlah Mangun Aryo mendengar kata-kata Embah Bromo Tunggal. Parasnya berubah pucat. Sebaliknya sang embah hanya ganda tertawa. “Kowe terkejut?”

“Embah," kata Mangun Aryo dengan suara bergetar. “Kau tahu Wilani adalah anakku satu-satunya. Aku mohon tumbal itu dapat digantikan dengan orang lain. Masih keluarga dekatku. malah kakak kandungku sendiri ..”

Embah Bromo Tunggal tertawa bergelak. Lalu setelah mendengus dan unjukkan muka marah dia berkata, “Kakak perempuanmu yang tua dan sakit-sakitan itu. Jangan bicara ngaco Mangun Aryo! Dengar Adipati. Kau hanya ada satu pilihan. Serahkan Mirani istri mudamu!”

“Embah... kau tahu Mirani, aku sangat mengasihinya. Tak mungkin aku sanggup kehilangannya...”

“Kowe benar-benar banyak cingcong Mangun Aryo. Kalau begitu kowe punya nyawa saja yang jadi tumbal...!”

Gemetarlah tubuh Adipati Probolinggo itu. “Embah... Kau... kau boleh ambil istri tuaku. Aku mohon embah!”

"Kowe benar-benar licik Manngun Aryo. Tapi tak apa, tahun ini kamu serahkan istri tuamu. Tahun depan kau tak ada pilihan lain. Istri mudamu atau puterimu. Kau dengar?!”

“Aku dengar embah...”

“Nah, sekarang katakan kesulitan apa yang kowe hadapi!”

“Anak Randu Ampel muncul di Probolinggo...”

“Heh Embah Bromo Tunggal kerenyitkan kening. “Bukankah istrinya mati delapan belas tahun lalu...?”

“Betul embah, tapi ternyata anaknya hidup. Anak itu bernama Mahesa. Tampaknya dia memiliki kepandaian tinggi!”

“Dan itu membuat kowe takut hah?"  Embah Bromo Tunggal tertawa panjang. “Kowe tak usah kawatir. Peliharaanku akan membereskan pemuda itu. Sekarang kowe boleh pergi!"

“Terima kasih embah, terima kasih...!" Mangun Aryo berdiri dan melangkah ke pintu.

“Eit, jangan jadi orang tolol Adipati. Kowe apa tidak kelupaan sesuatu..?”

Mangun Aryo tertegun sesaat. Baru dia ingat. “Maafkan, aku kelupaan embah!" katanya lalu mengeluarkan sebuah kantong kain berisi uang dari balik pakaiannya. Kantong ini kemudian diserahkannya pada Embah Bromo Tunggal.

“Bagus!" kata sang embah seraya tertawa mengekeh. “Jangan lupa memberi makan istrimu banyak-banyak agar daging dan darahnya benar-benar lezat. Makhluk peliharaanku akan menjemputnya bulan depan. Ha ha ha..!”

Dengan langkah gontai dan tubuh keluarkan keringat dingin Adipati Probolinggo itu tinggalkan bangunan di puncak gunung Bromo. Tak dapat dibayangkannya hal yang akan terjadi bulan depan terhadap istri tuanya. Bagaimanapun juga dia masih tetap mencintai istrinya itu. Tetapi segala sesuatunya sudah kasip kini. Kasip sejak dia pertama kali menemui dukun sakti itu delapan belas tahun yang lalu. Yakni ketika meminta sang embah untuk mengguna-gunakan Randu Ampel sampai gila hingga tidak jadi menduduki jabatan Adipati.

***

TAK lama setelah Mangun Aryo meninggalkan kaki gunung Bromo menuju ke puncaknya, Rangga yang ditinggal sendirian menunggui kuda mulai berpikir-pikir. Apakah maksud sang Adipati naik ke puncak gunung itu? Siapa yang hendak ditemuinya disana?

Kepala pengawal itu telah berkali-kali mengantarkan sang Adipati ke gunung tersebut, namun hanya mengantar dan menunggu sampai di kaki gunung. Mangun Aryo tak pernah mengajaknya terus sampai ke puncak. Terdorong oleh rasa ingin tahu maka beberapa saat setelah atasannya itu pergi Rangga diam-diam mengikuti dari belakang.

Ternyata memang di puncak gunung itu terdapat sebuah bangunan. Ketika Mangun Aryo masuk ke dalam bangunan, Rangga menyelinap ke dinding sebelah kanan. Karena bangunan itu terbuat dari batu bata maka sama sekali tak ada lobang untuk mengintai. Jendelapun tak ada. Satu-satunya pintu adalah pintu masuk di sebelah depan. Rangga tak berani mengintai lewat pintu itu, takut ketahuan.

Meskipun tak dapat melihat ke dalam bangunan namun semua pembicaraan yang berlangsung antara Mangun Aryo dan Embah Bromo Tunggal dapat didengar jelas oleh kepala pengawal ini. Tentu saja dia jadi terkejut dan merasa ngeri ketika mendengar tentang mahluk peliharaan yang minta tumbal daging dan darah Sri Muria, istri tua Mangun Aryo. Dengan tubuh menggigil karena ngeri dan juga takut ketahuan, Rangga lalu cepat-cepat meninggalkan puncak Bromo, kembali ke tempat dia menambatkan kuda dan menunggu kedatangan Mangun Aryo.


6. AJAL Dl PUNCAK BUKIT
KEDUA orang itu memacu kuda masing-masing secepat yang bisa mereka lakukan. Kalau Mangun Aryo ingin cepat sampai di Probolinggo karena ingin menyaksikan malapetaka maut yang pasti akan menimpa Mahesa, maka lain halnya dengan Rangga. 

Kepala pengawal ini ingin lekas sampai di gedung Kadipaten lalu menemui istri sang Adipati guna menceritakan apa yang didengarnya. Bagaimanapun juga dia harus berusaha agar Sri Muria dapat diselamatkan dari perbuatan terkutuk manusia penghuni puncak gunung Bromo itu.

Ketika matahari mulai condong ke barat kedua orang itu sampai di daerah berbukit-bukit di luar kota Probolinggo. Udara terasa panas walaupun angin bertiup cukup kencang. Lapat-lapat terdengar suara seruling di kejauhan. Entah mengapa ketika mendengar suara seruling ini Adipati Mangun Aryo merasakan dadanya berdebar.

“Rangga, kau dengar suara suling itu...?”

“Saya dengar Adipati. Tak perlu diperhatikan. Paling-paling anak gembala yang meniupnya jawab Rangga.

“Mungkin kata sang Adipati pula. Namun hatinya tetap terasa tidak enak. Disekitar tempat itu tak ada sawah atau kebun. Di sebelah barat terbentang lautan luas, di sebelah kanan hanya pohon-pohon kelapa dan bambu. Mana mungkin ada anak gembala di tempat seperti itu.

Semakin jauh ke atas bukit, semakin santar terdengar seruling itu. Tepat ketika mencapai puncak bukit, saat itulah Mangun Aryo dan Rangga melihat orang yang meniup suling itu. Serta merta keduanya menghentikan kuda masing-masing dengan pandangan penuh heran. Orang yang meniup suling duduk terapung di antara tiga batang bambu. 

Dia mengenakan celana hitam bergaris kuning dan topi tinggi hitam seperti yang dipakai Mangun Aryo, tetapi sudah lusuh dan kotor. Dia tidak mengenakan baju. Dadanya yang merentangkan kedua sayapnya, terbuat dari tembaga disepuh emas. Wajahnya yang cekung penuh debu. Kumis serta jangutnya meranggas liar tak terpelihara.

“Rangga!" Mangun Aryo berkata dengan suara bergetar. “Aku teringat cerita puteriku. Kalau tidak salah dipuncak bukit ini seminggu lalu dia dihadang oleh seorang gila aneh. Mungkin ini manusianya...”

Rangga memandang lekat-lekat pada orang yang masih terus meniup sulingnya itu. Kepala pengawal ini tahu pasti kalau orang itu memiliki kepandaian sangat tinggi. Diam-diam hatinya pun mulai tidak enak.

“Sebaiknya kita tinggalkan tempat ini, Rangga...”

Kepala pengawal itu mengangguk. Namun tiba tiba dia berkata, “Kalau manusia ini yang dulu melakukan penghadangan, berarti dia yang membunuh Wira dan para pengawal. Kalau begitu dia patut diseret ke Kadipaten dan dihukum!”

“Rangga, dengar. Aku perintahkan untuk segera meneruskan perjalanan. Aku tengah menghadapi urusan besar dan tak mau terkait oleh urusan lain. Siapapun adanya manusia diatas pohon bambu itu perduli setan!”

Mangun Aryo menarik tali kekang kudanya. Namun gerakannya terhenti ketika diatas sana orang aneh itu hentikan tiupan sulingnya. Kini orang itu terdengar menyanyi.

Memasuki kota pantang bagiku
Hanya akan menghancurkan hati yang beku
Dua belas hari menunggu
Tidak sia-sia bagiku

Hari ini akan terbalaskan dendam kesumat
Agar aku bisa tenang menghadap raja akhirat
Dia telah datang
Sakit hati delapan belas tahun pasti terbalaskan
Istriku, kau akan berbaring tenang di kuburmu
Anakku, apa benar engkau ada dan hidup

Orang itu menyanyi sambil mengucurkan air mata.

“Aneh benar-benar aneh!" kata Rangga dalam hati. Dia melirik pada Mangun Aryo dan melihat muka Adipati ini telah berubah pucat.

Pada saat itu diatas pohon bambu terbang melintas seekor burung camar. Orang diatas pohon lemparkan serulingnya ke atas. Terdengar suara mencicit disusul jatuhnya burung dan suling. Orang diatas pohon bambu tangkap sulingnya dengan tangan kanan dan burung camar dengan tangan kiri. 

Setelah selipkan sulingnya di pinggang, orang itu kemudian cabuti bulu-bulu burung. Setelah seluruh bulu dan kulit ari binatang itu terkelupas lalu seolah-olah menyantap burung yang sudah dipanggang atau di goreng, orang itu enak saja mencaplok burung mentah itu. Mulutnya kumat kamit. Darah burung bercucuran membasahi bibir dan dagunya.

“Wong edan!" desis Mangun Aryo sambil meludah jijik. 

Tetapi baru saja dia memaki begitu tiba-tiba orang diatas pohon gerakkan tangannya. Tulang paha burung menderu dan seperti anak panah kecil tulang ini menancap di mata kiri kuda tunggangan sang Adipati. Kesakitan kuda itu melompat tinggi, lalu lari sambil tiada hentinya meringkik. Sementara Mangun Aryo terlempar dari punggungnya dan jatuh terbanting di tanah.

Melihat ini Rangga cepat melompat turun dari kudanya untuk menolong Adipati itu. Namun gerakannya tiba-tiba terhenti. Sepotong tulang burung kembali melesat dari atas pohon bambu, menghantam urat besar di punggungnya. Di lain kejap kepala pengawal yang tinggi besar ini tertegak kaku, tak bisa bergerak. Tapi mulutnya masih bisa cara. Langsung saja dia berteriak.

“Manusia diatas pohon! Kami tidak ada permusuhan denganmu! Mengapa kau menurunkan tangan jahat?!”

Orang bertopi hitam terdengar tertawa panjang. “Kacung Kadipaten! Aku memang tidak ada permusuhan denganmu! Tapi aku ada hutang piutang dengan majikanmu!”

Mangun Aryo melengak. Wajahnya tambah pucat. Sebelumnya dia sama sekali tidak mengenali siapa adanya orang diatas pohon bambu itu. Tapi sedikit demi sedikit dia mulai bisa menduga-duga.

“Orang aneh!" seru Mangun Aryo. “Hutang piutang apa yang ada antara kita. Bertemu kaupun baru hari ini!”

Kembali lelaki di atas pohon tertawa panjang. “Kau mungkin lupa. Aku tidak menyalahkan. Usiamu telah lanjut, mulai pikun! lni soal kejadian delapan belas tahun yang lalu, Mangun Aryo! Ingat kekejian apa yang kau perbuat terhadap seorang lelaki bernama Randu Ampel! Kau tentu tahu pula apa akibat yang terjadi terhadap istrinya...”

“Ah.. Pasti dia!" ujar Mangun Aryo dalam hati.

“Kau ingat atau tidak Mangun Aryo! Lekas jawab!”

“Aku... Banyak kejadian delapan belas tahun lalu. Mana aku bisa ingat semua...”

“Kau pandai berdalih!”

Tiba-tiba tubuh orang itu melesat ke bawah dan tahu-tahu sudah tegak di depan Mangun Aryo. Dia menyeringai memperlihatkan gigi-giginya yang hitam.

“Akulah Randu Ampel yang kau celakai dengan guna-guna terkutuk delapan belas tahun lalu! Karena kau menginginkan kedudukan Adipati! Kau sudah mendapatkan kedudukan itu. Kau sudah berkuasa selama lebih dari delapan belas tahun. Apa kau puas Mangun Aryo...?!”

Mangun Aryo ternganga dan menyurut mundur. “Kau... Tidak mungkin...!" Suara Adipati itu menjadi kelu. “Randu Ampel sudah mati...!”

Orang bermuka cekung menyeringai. “Anggaplah Randu Ampel sudah mati. Sekarang yang tegak di depanmu ini adalah setannya. Yang datang untuk membunuhmu!"

Orang itu ulurkan kedua tangannya hendak mencekik. Mangun Aryo cepat melompat mundur sementara Rangga berteriak,

“Manusia gila! Tinggalkan tempat ini! Jika kau berani menciderai Adipati Probolinggo, kami akan menangkap dan menggantungmu!”

Lelaki yang mengaku bernama Randu Ampel itu dan yang memang sebenarnya adalah Randu Ampel tertawa mengekeh. Dengan langkah perlahan tetapi pasti dia mendekati Mangun Aryo. Adipati ini mundur ketakutan.

“Orang gila! Kau gila! Aku tidak pernah mengguna-gunai siapapun. Kau salah sangka...!”

“Dusta! Hatimu terkutuk! Bejat! Mulutmu busuk!”

“Kau tidak punya bukti bahwa aku yang mencelakaimu!” teriak Mangun Aryo.

“Aku tak perlu bukti. Kalau kau minta bukti, minta pada setan-setan akhirat!" Randu Ampel melompat. Mangun Aryo memutar tubuh siap untuk lari.

“Manusia durjana! Kau mau kabur kemana?!" hardik Randu Ampel. Dia berkelebat mengejar. Kali ini Mangun Aryo tak bisa berkelit lagi. Tangan kanannya tertangkap. Sekali betot saja terdengar suara krak! Mangun Aryo menjerit. Tulang lengannya sebelah kanan remuk sedang persendian bahunya lepas!

“Mana tangan kirimu Mangun Aryo...!”

“Jangan..! Jangan!" jerit Adipati itu. “Randu! Randu Ampel! Dengar! Aku akan berikan apa saja padamu asal kau mengampuni! Aku akan berikan rumah! Sawah! Uang juga...”

“Kau tidak punya rumah Mangun Aryo. Rumahmu adalah rumah Kerajaan. Rumah istri mudamu adalah rumahku. Uangmu adalah uang hasil memeras rakyat. Sawahmu sawah hasil rampasan! Itu yang hendak kau berikan padaku...?!”

“Randu, ampuni aku. Ampuni aku...!”

Mangun Aryo jatuhkan diri berlutut di tanah.

“Apakah istriku yang sudah mati bisa mengampunimu? Apakah bayi yang dikandungnya dan juga mati bisa mengampunimu?!”

“Bayi itu! Anakmu masih hidup..!" seru Mangun Aryo.

Sesaat Randu Ampel tampak terkejut mendengar kata-kata itu. Lalu dia membentak marah, “Ngaco! Kau mengarang cerita dusta untuk minta dikasihani!”

“Aku tidak dusta!" teriak Mangun Aryo.

“Dia tidak dusta!" ikut berteriak Rangga.

Tapi Randu Ampel tidak perduli. Dia bergerak. Kembali terdengar jeritan Adipati itu. Kini tangan kirinya yang dibuat hancur. Kemudian Rangga menyaksikan satu pemandangan yang teramat mengerikan. Randu Ampel mencengkeram perut Mangun Aryo dengan jari-jarinya yang berkuku panjang. Terdengar suara seperti kain robek. Darah muncrat. Usus membusai dari perut Mangun Aryo yang robek besar.

Rangga menjerit ngeri lalu jatuh pingsan dalam keadaan masih tertegak kaku! Tubuh Mangun Aryo terkapar di tanah, berguling-guling kian kemari lalu diam tak bergerak lagi. Randu Ampel usapkan tangan kanannya yang penuh darah ke wajahnya lalu tertawa panjang. Tiba-tiba suara tawa itu berhenti, berganti dengan tangis! Sambil terus menangis Randu Ampel melangkah pergi dan lenyap dikaki bukit yang berbatasan dengan pantai.


7. ANAK PEMBUNUH
KETIKA kepala pengawal itu sadar dari pingsannya sore telah berganti malam. Puncak bukit diselimuti kegelapan. Rangga segera ingat apa yang sebelumnya terjadi. Dicobanya menggerakkan tangan. Dia merasa lega. Ternyata setelah beberapa jam berlalu totokan pada punggungnya punah dengan sendirinya. Cepat-cepat dia bangun dan lari menghampiri mayat Mangun Aryo.

Rangga membuka pakaiannya guna menutupi perut Mangun Aryo yang membusai mengerikan. Mayat Adipati Probolinggo itu dinaikkannya ke atas kuda. Dengan jalan kaki ki Rangga kemudian menggiring binatang ini menuju Probolinggo.

Sesampainya jenazah di Kadipaten dua orang langsung jatuh pingsan yaitu Wilani dan ibunya. Dengan singkat Rangga menceritakan pada beberapa anak buahnya apa yang telah terjadi. Dua orang perajurit yang kelihatannya gagah berani menyatakan hendak memimpin kawan-kawannya mencari si pembunuh. Tapi segera dicegah oleh Rangga.

“Jangankan kalian yang hanya selusin! Dua puluh orangpun belum tentu mampu menghadapi lelaki itu. Lebih baik kita mengurus jenazah Adipati dan menyiapkan upacara penguburannya besok. Seseorang harus mengabarkan kejadian ini ke Kotaraja!”

Malam itu kabar kematian Mangun Aryo segera tersebar luas di seluruh Probolinggo. Ada yang turut berduka, tapi lebih banyak lagi yang menyukuri kematian Adipati itu. Mereka ini adalah dari kelompok yang sejak lama tidak menyenangi Mangun Aryo karena menganggap selama berkuasa Adipati itu lebih banyak mendatangkan kesusahan bagi rakyat banyak. Di rumah istri muda Adipati Probolinggo kabar itu diterima dengan rasa hampir tak percaya. Mirani dan ibunya saling berangkulan. Entah sedih entah gembira.

“Bu, aku ingat kata-katamu beberapa hari lalu," ujar Mirani. “Sekarang aku benar-benar jadi janda...”

Sang ibu mengelus kepala anaknya sambil berkata: “Mungkin ini lebih baik bagimu, nak.”

Malam itu juga Mirani dan ibunya datang ke gedung Kadipaten. Meskipun selama ini mereka tidak berbaikan dengan istri tua Adipati, namun dalam keadaan duka begitu rupa dan merasa senasib, ketiga perempuan itu saling berpelukan dan bertangisan. Wilani duduk menjauh di sudut ruangan. Matanya bengkak karena menangis. Ketika dilihatnya Rangga memasuki ruangan, dia segera memanggil kepala pengawal itu.

“Paman, sekarang kau harus ceritakan apa yang sebenarnya terjadi dengan ayah.”

Sebenarnya tentu saja hal itu tanpa diminta akan diterangkan oleh Rangga. Namun dia tidak mengira akan dimintai penjelasan dihadapan orang banyak. Rangga berpaling pada Sri Muria. Istri Adipati ini mengangguk tanda dia mengizinkan Rangga untuk memberi keterangan. Rangga menceritakan segala kejadian sesuai apa adanya, tidak ditambah tidak pula dikurangi. Selesai memberi penuturan Rangga berpaling pada Wilani,

“Den Ayu, kau ingat pada pemuda bernama Mahesa?”

“Ya. Kenapa dengan dia.?”

“Dia adalah anak Randu Ampel, orang yang membunuh ayahmu...”

Wilani terbelalak. Wajahnya jelas menunjukkan rasa tidak percaya. “Paman tahu hal itu dari orang tua penjaga makam" berkata lagi Rangga.

Wilani menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Perlahan-lahan kedua tangannya itu diturunkan dan jari-jarinya tampak mengepal.

“Benar-benar tidak kusangka. Kalau ayahnya pembunuh, tentu anaknyapun tidak lebih baik dari itu!" Wilani diam sesaat. Lalu meneruskan kata-katanya dengan suara bergetar. “Paman, apapun yang terjadi, berapapun besar biayanya, pembunuh itu harus dicari dan dihukum. Juga pemuda yang bernama Mahesa itu!”

Rangga tidak memberikan jawaban. Tadi dia sudah mengatakan bahwa turut apa yang diucapkan Randu Ampel, antara orang itu dengan Mangun Aryo terdapat silang sengketa dendam kesumat sejak delapan belas tahun yang lalu."

“Paman Kau harus lakukan itu!" terdengar suara Wilani keras.

“Melakukan apa Den Ayu..?”

“Mencari Randu Ampel dan Mahesa..”

“Itu bisa kita lakukan nanti setelah jenazah ayahmu kita selesaikan dan kita antarkan ke tempat peristirahatannya yang terakhir," jawab Rangga. “Harap kau bersabar dan tabah menghadapi cobaan besar ini, Den Ayu..!”

Wilani tak berkata apa-apa lagi, dia meninggalkan ruangan itu dan masuk ke kamar tidurnya. Kabar kematian Adipati Mangun Aryo itu sampai pula ke telinga Mahesa yang sejak beberapa hari lalu berjaga-jaga menunggu kemunculan Mangun Aryo. Sang Adipati yang ingin menangkap bahkan menyuruh orang untuk membunuhnya kini menemui kematian, menjadi korban pembunuhan. Siapakah yang membunuhnya?

Tergerak oleh rasa ingin tahu, keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mahesa memasuki kota. Dia menyusup diantara orang banyak yang berjubalan di tepi jalan menuju pekuburan, yang ingin melihat rombongan pengantar jenazah dari Kadipaten itu. Sambil menunggu Mahesa berusaha menyirap kabar sebab musabab kematian Mangun Aryo dan siapa pembunuhnya.

Dari pembicaraan orang-orang disekitarnya Mahesa mengetahui kalau Adipati Mangun Aryo mati dibunuh orang dengan cara mengerikan di suatu tempat diluar kota. Tidak jelas siapa pembunuhnya tapi diduga seorang aneh tak dikenal. Ada pula yang mengatakan seorang gila. Yang pasti orang itu memiliki kepandaian tinggi.

Ada pula yang mengatakan Adipati itu mati diterkam harimau liar. Karena itu perutnya robek. Lain orang mengatakan kemungkinan Mangun Aryo jadi korban perampokan, pembicaraan yang bermacam-macam itu membuat Mahesa berkeinginan untuk menemui Rangga. Menurut cerita Adipati itu mengadakan perjalanan bersama dengan kepala pengawalnya tersebut. Apa bukan mustahil Rangga yang membunuh sang Adipati?

Tak berapa lama kemudian di kejauhan kelihatanlah rombongan pengantar jenazah. Di sebelah depan berjalan dua belas orang prajurit Kadipaten dalam dua barisan. Masing-masing berpakaian lengkap seperti mau perang. Membawa tombak dan perisai serta membekal keris pada pinggang. Dibelakang barisan ini menyusul rombongan membawa bendera serta panji-panji yang berjumlah dua puluh orang.

Dibelakangnya, menunggang kuda kelihatan kepala pengawal Kadipaten yaitu Rangga, diikuti oleh dua belas prajurit yang juga menunggang kuda, membawa pedang dipinggang masing-masing. Setelah rombongan prajurit ini, diatas sebuah kereta terbuka yang ditarik dua ekor kuda hitam kelihatan jenazah Adipati Probolinggo didalam peti yang ditutup kain hijau. Di kiri kanan kereta mengawal delapan prajurit berkuda.

Di belakang kereta jenazah, di atas dua buah kereta besar mengikuti rombongan pemain gamelan yang sepanjang jalan terus menerus membawakan lagu-lagu sedih. Setelah itu menyusul dua kereta tertutup. Sebelah depan ditumpangi oleh istri tua almarhum yang kini menjadi janda yaitu Sri Muria bersama puteri tunggalnya Wilani. Kereta kedua ditumpangi oleh Mirani, istri muda sang Adipati yang kini juga telah menjadi janda, duduk dalam kereta bersama ibunya.

Kalau Sri Muria dan Wilani jelas menunjukkan rasa duka cita yang amat dalam maka berlainan dengan Mirani dan lbunya. Anak dan ibu ini memang tampak berduka juga tapi keduanya kelihatan lebih tenang. Sang ibu terdengar berkata.

“Beberapa hari dimuka ibu lebih suka kita meninggalkan Probolinggo. Kembali ke rumah kita di desa. Tinggal di kota ini hanya akan terus membangkitkan kenangan pahit..”

Mirani menarik nafas dalam. Dia melayangkan pandangan ke luar kereta, ketepi jalan yang dipenuhi orang banyak. “Aku hanya ingin bertemu dengan pemuda itu" meluncur kata-kata itu dari mulut Mirani, perlahan tetapi jelas.

“Ah, kau masih saja mengingat Mahesa. Entah dimana dia sekarang. Kau jatuh hati padanya anakku..?”

Wajah Mirani bersemu merah.

“Bagiku dia jauh lebih baik dari Adipati Mangun Aryo...”

Sang ibu tersenyum. Dia tak menyalahkan anaknya. Walaupun Mahesa mungkin berasal dari orang kebanyakan dan terkadang menunjukkan sikap seperti orang bodoh, tetapi pemuda itu memiliki kepandaian tinggi disamping wajah yang tampan.

Sebelumnya Mirani tak pernah mencintai seseorang, tidak juga suaminya Adipati yang telah meninggal itu. Jangankan mencintai, merasakan apa artinya cinta itupun sang anak belum pernah. Setelah bertemu dengan pemuda bernama Mahesa itu mungkin baru perasaan cinta tersebut muncul di lubuk hatinya.

“Anakku, walaupun sekarang kau menjadi janda namun kau masih muda. Tidak sulit bagimu mencari seorang calon suami baru yang kau sukai”

“Aku tak ingin lekas-lekas kawin lagi!" kata Mirani.

“Juga tidak kalau calon suamimu itu Mahesa..?”

“Ibu ini!" kata Mirani dengan bola mata membesar dan pipi memerah.

Di belakang kereta kedua ini berjalan sepuluh orang prajurit, lalu sepuluh orang lagi dengan menunggang kuda. Paling belakang menyusul rombongan penduduk kota yang ingin terus mengantarkan jenazah sampai ke pekuburan. Di sebelah depan, diantara orang banyak itu, kelihatan berjalan kaki seorang kakek berambut jarang, bermata sipit dan berpakaian serba hitam. Kedua kakinya memakai gelang bahar.

Kakek ini bukan lain adalah Eyang Jaliteng yang beberapa lalu hendak membunuh Mahesa di luar kota Probolinggo. Untung saja saat itu muncul Gembel Cengen Sakti Mata Buta, Kalau tidak pasti murid Kunti Kendil itu menemui ajalnya di tangan Jaliteng dan anak buahnya.

Seluruh rombongan bergerak perlahan-lahan sementara matahari pagi mulai terasa hangat menyengat. Di dalam kereta yang membawanya, Wilani masih saja mengucurkan air mata. Sapu tangan yang dibawahnya telah lusuh dan basah. Sesaat setelah mengusap kedua matanya gadis ini memandang ke luar kereta. Begitu banyak rakyat yang berdiri di tepi jalan untuk melihat lewatnya rombongan itu.

Namun puteri Adipati ini tahu betul tidak semua rakyat itu menyukai ayahnya. Kembali air mata berjatuhan ke pipinya. Ketika dia hendak mengusap lagi air mata itu, tiba-tiba pandangannya membentur sesosok kepala yang tersembul diantara kepala banyak orang. Wilani mengusap matanya. Ah, dia tidak salah lihat. Itu kepala Mahesa. Pemuda yang menurut paman Rangga adalah anak dari Randu Ampel, lelaki yang membunuh ayahnya!

Bergetarlah tubuh Wilani. Sampai beberapa hari lalu dia masih mengingat-ingat dan menyukai pemuda itu. Tapi ketika tahu sangkut paut Mahesa dengan pembunuh ayahnya, semua rasa senang itu menjadi pupus dan berganti dengan kebencian dendam kesumat.

Wilani buka pintu kereta lalu melompat turun. Karena dia memakai kain hampir gadis ini terjatuh. Ibunya terkejut dan memanggil. Saat itu Wilani sudah merampas sebilah pedang perajurit berkuda yang mengawal disamping kereta. Lalu sambil teriak dia lari ke arah kerumunan orang banyak.

“Anak pembunuh! Kau harus bayar kematian ayahku dengan nyawamu”

Wilani lari ke arah tempat Mahesa berdiri. Tentu saja orang banyak yang berkumpul di tepi jalan itu menjadi ramai. Dan melihat puteri Adipati berlari sambil berteriak dan membawa pedang, mereka jadi bubar berpencaran, tinggal kini Mahesa seorang diri yang masih tegak disitu dan memandang ke arah Wilani dengan tercengang. Terlebih ketika mendengar teriakan-teriakan yang keluar dari mulut gadis itu.

“Saudara...!" tegur Mahesa.

Wutt!

Pedang di tangan Wilani berkelebat ke arah leher Mahesa. “Eh, ada apa dengan gadis ini. Apa dia mendadak jadi gila?" ujar Mahesa dalam hati.

Walaupun Wilani bukan seorang yang mengerti ilmu silat namun sabatan pedangnya tadi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan mengarah leher tentu saja tetap dapat membunuh Mahesa. Pemuda ini cepat melompat ke samping. Wilani kembali memburu.

Sementara itu rombongan pengantar jenazah yang berada sekitar kereta juga ikut terkejut melihat kejadian itu. Beberapa orang perajurit berkuda dan berjalan kaki serempak bergerak ke tempat Wilani yang tengah memburu seorang pemuda dengan bacokan-bacokan pedang.

Setelah berkali-kali tak berhasil dengan serangannya Wilani menjerit keras dan campakkan pedang ke tanah lalu berteriak pada perajurit-perajurit di sekitarnya.

“Kalian kenapa diam saja?! Tangkap pemuda itu. Dia anak pembunuh ayahku! Tangkap dia!”

Mahesa terbelalak.


8. KEMALA DATANG MEMBANTU
LEBIH dari selusin prajurit segera mengurung Mahesa, enam diantaranya sudah melompat, membuat gerakan untuk menangkapnya.

“Anak setan! maki murid Kunti Kendil. “Kenapa jadi begini urusannya...?! Kenapa dia menyebutku anak pembunuh? Apa betul ayahku yang membunuh Adipati itu? Dimana ayah sekarang. Ah benar-benar urusan gila!”

Karena terkesiap oleh hal yang tidak tersangka-sangka, Mahesa menjadi lengah. Empat orang prajurit Kadipaten berhasil meringkusnya. Dua memegang tangannya kiri kanan, satu mencekal lehernya dari belakang dan prajurit ke empat menodongkan ujung pedang ke tenggorokannya.

Rangga, kepala pengawal Kadipaten baru mengetahui apa yang terjadi di rombongan sebelah belakang ketika tiba-tiba didengarnya gamelan berhenti mengalun. Dia berpaling dan terkejut melihat puteri Adipati tengah menyerang seseorang dengan pedang. Dan orang ini bukan lain adalah bernama Mahesa itu! Segera Rangga putar kudanya.

Namun dia sulit mencari jalan karena orang banyak di tepi jalan kini berjubal ke belakang ingin melihat apa yang terjadi. Terpaksa Rangga melompat dari kudanya dan menyeruak diantara kerumunan orang banyak.

Ketika melihat Mahesa tak berdaya, Wilani pungut kembali pedang yang tadi dicampakkannya lalu secepat kilat menusukkan senjata ini ke perut Mahesa! Sesaat pedang itu akan menembus tubuh Mahesa tiba-tiba seseorang yang datang dari samping menarik tubuh Wilani dan merampas pedangnya. Gadis itu berpaling dan berteriak marah ketika melihat orang yang menarik dan merampas senjatanya bukan lain adalah kepala pengawal Kadipaten.

“Paman Rangga! Kau! Kau berani mencegah aku membunuh anak pembunuh ayahku ini?!”

“Den Ayu Wilani. Tenang, jangan kesusu dan turutkan amarahmu. Dia memang benar anak pembunuh ayahmu. Tapi kita tidak bisa bertindak serampangan. Kita baru bisa menjatuhkan hukuman setelah memeriksanya...”

“Tidak bisa! Dia harus dibunuh saat ini juga. Hutang nyawa bayar nyawa! teriak Wilani.

Rangga membujuk puteri Mangun Aryo itu dan membimbingnya kembali ke arah kereta. “Den Ayu, saya akan bereskan urusan ini. Sebaiknya kau masuk kembali ke dalam kereta bersama ibu. Kita harus menyelesaikan upacara pemakaman ayahmu terlebih dahulu...”

Wilani menggerung menangis. Tapi kata-kata Rangga diikutinya juga dan naik kedalam kereta. Orang banyak yang berjubalan di tempat itu tentu saja tidak pernah menyangka kalau saat itu mereka akan melihat sendiri pemuda yang dituduhkan sebagai anak pembunuh Adipati Probolinggo itu.

Kelompok yang menyukai Adipati berteriak-teriak agar Mahesa langsung saja dibunuh. Sebaliknya penduduk yang sejak lama membenci keluarga Kadipaten balas berteriak dan menganggap Mahesa sebagai pahlawan, penyelamat Probolinggo. Bahkan ada yang berseru agar ayah pemuda itu diangkat! menjadi Adipati. Padahal mereka tidak tahu siapa dan dimana sang ayah sekarang.

“Mahesa,..!" kata Rangga. “Kami harus menangkapmu.”

“Apa salahku?! tanya Mahesa. “Seharusnya kau yang ditangkap karena hendak membunuhku beberapa hari yang lalu...”

“Mungkin kau tidak punya salah apa-apa,..." sahut Rangga. “Kami harus menahanmu, paling tidak sampai ayahmu tertangkap. Dia yang membunuh Adipati Mangun Aryo...”

“Enak saja mulutmu. Apa kau punya bukti..?!”

"Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana ayahmu yang bernama Randu Ampel itu membunuh Adipati!”

Mahesa merasakan tubuhnya bergetar. Tibat-tiba pandangannya membentur sosok tubuh Jaliteng yang tegak disebelah belakang kepala pengawal itu. “Ah, bangsat tua itu. Kalau dia ikut campur pasti sulit bagiku untuk melepaskan diri. Lebih baik aku bertindak sekarang," pikir Mahesa.

Mendadak dari samping kiri terdengar suara perempuan berseru. “Kenapa dia ditangkap?! Apa salahnya?!”

Rangga dan Mahesa berpaling. Mahesa juga Memandang ke jurusan datangnya suara itu. Yang bertanya ternyata adalah Mirani, istri muda Adipati Probolinggo. Kepala pengawal itu geleng-gelengkan kepala. “Den Ayu Mirani, kembalilah masuk ke dalam kereta. Rombongan segera akan melanjutkan perjalanan menuju pemakaman.”

“Tapi pemuda itu! Kenapa dia ditangkap?!" Mirani malah ajukan pertanyaan tanpa mau bergerak dari tempatnya berdiri. Terpaksa Rangga membawa perempuan itu kembali kekereta. Ketika berjalan menuju kereta, dari kereta sebelah depan Wilani munculkan kepalanya dan berteriak marah.

“Paman Rangga! Pasti perempuan ini berkomplot dengan pemuda itu! Kalau tidak kenapa dia membela? Dia juga harus ditangkap!”

“Urusan gila!" memaki Rangga dalam hati. Setelah Mirani masuk ke dalam kereta dia kembali ke tempat Mahesa diringkus. Saat itu Mahesa sudah siap untuk berontak. Baginya tidak sulit untuk menghadapi perajurit-perajurit Kadipaten dan Rangga.

Namun kalau si Jaliteng itu turun tangan keadaan akan jadi lain. Namun gerakan Mahesa untuk membebaskan diri sesaat jadi tertahan ketika pandangannya mendadak bertemu dengan seraut wajah jelita berikat kepala kuning, berpakaian serba kuning.

“Ah, gadis yang selalu kuingat itu!" kata Mahesa. “Ternyata diapun ada disini." Mahesa sunggingkan senyum yang membuat semua orang yang hadir disitu jadi heran. Hendak ditangkap malah tersenyum. Gila agaknya pemuda itu. Mahesa coba-coba mengingat nama gadis baju kuning itu. Kemala! Yang namanya Kemala. Lantas saja Mahesa berkata dengan suara kencang sehingga didengar semua orang.

“Kemala, apakah kau juga hendak turut menangkapku?!”

Sang dara tak menjawab. Saat itu Mahesa melihat kakek berpakaian hitam mulai melangkah mendekati. Saat itu pula Mahesa mulai bergerak. Cepat dan hebat sekali hingga semua orang terkesiap bahkan Ranggapun jadi tertegun karena tak menduga.

Pertama sekali yang dilakukan Mahesa ialah menendang perajurit yang menodongkan pedang ke lehernya. Perajurit ini terlempar ke belakang, senjatanya terlepas. Kemudian dengan satu berontakan keras Mahesa banting dua perajurit yang mencekal tangannya kiri kanan. Untuk merobohkan perajurit yang ke empat, yang mencekal lehernya dari belakang tidak terlalu sulit. Dengan satu sodokan sikut yang membuat tulang iganya patah-patah, perajurit itu berteriak kesakitan dan lepaskan cekalannya.

Rangga seolah-olah sadar apa yang terjadi dan cepat bergerak. Sebenarnya kepala pengawal ini dari perkelahiannya dengan Mahesa tempo hari sudah menyadari bahwa pemuda itu bukan tandingannya. Namun sebagai kepala pengawal dia harus menjalankan tugas, apalagi di depan orang banyak begitu rupa. Disamping itu Rangga seperti tersulut keberaniannya karena melihat kehadiran Eyang Jaliteng di tempat itu.

Namun sebelum kepala pengawal ini sempat melakukan sesuatu, dari samping tiba-tiba dara berbaju kuning mendorong tubuhnya dengan keras sehingga Rangga terpelanting dan jatuh di tengah jalan. Kemala cepat melompat ke hadapan Mahesa dan berteriak, 

“Lari lekas! Selamatkan dirimu!”

Setelah berteriak begitu Kemala lalu berkelebat dan sesaat kemudian dia telah lenyap dibalik kerumunan orang banyak. Sesaat Mahesa tak tahu mau melakukan apa-apa. Namun setelah melihat Kemala melarikan diri dia segera berkelebat pula menyusul. Kalau Kemala menyeruak diantara orang banyak maka Mahesa membuat gerakan melompat yang membuat semua orang kagum. Tubuhnya laksana terbang lewat diatas kepala orang banyak.

“Anak pembunuh. Kau mau lari kemana?" satu bentakan keras terdengar.

Sambil lari Mahesa palingkan kepalanya dan dapatkan Kakek baju hitam bermata sipit yaitu Jaliteng lari mengejarnya. Di depan sana Kemala telah lari jauh lebih dulu, lalu lenyap di tikungan jalan. Di belakang Jaliteng, Rangga dan belasan prajurit berkuda ikut melakukan pengejaran.

Dengan ilmu lari yang dimilikinya Jaliteng memastikan dalam waktu cepat dia akan dapat menangkap pemuda itu secepatnya. Tapi alangkah herannya ketika didapatinya setelah sekian lama, pemuda itu tak sanggup dikejarnya. Dan sesampainya ditikungan jalan Mahesa serta Kemala sudah tak kelihatan lagi. Jalanan sepi. Kiri kanan diapit oleh hutan belantara.

“Keduanya lolos!" kata Jaliteng begitu Rangga dan rombongan pengejar lainnya sampai di tempat itu.

“Eyang, selesai pemakaman kita atur rencana pengejaran. Tidak sulit mencari gadis baju kuning itu. Dia penduduk Probolinggo...!"

Mendengar dengar kata-kata Rangga itu Jaliteng hanya mengangguk. Mereka kembali ke tempat rombongan pengantar Jenazah yang saat itu telah jadi kacau balau karena peristiwa tadi. Setelah rombongan diatur kembali maka merekapun bergerak meneruskan perjalanan menuju tempat pemakaman.

Selepasnya dari tikungan jalanan Kemala membelok memasuki hutan kecil disisi kanan jalan. Mahesapun menuju jurusan ini hingga dalam waktu tak terlalu lama dia berhasil mengejar dara itu. Begitu berhadap-hadapan Mahesa tersenyum lebar dan berkata: “Terima kasih kau tadi membantuku..”

“Kau tak perlu takut terhadap Rangga, dan anak buahnya. Mereka tak akan mampu menangkapmu. Aku tahu itu!" jawab Kemala. Dia berkata tanpa berani memandang Mahesa.

“Tapi kau bakal menghadapi kesulitan dengan kakek berpakaian hitam itu...”

“Beberapa hari lalu dia dan orang-orangnya hendak membunuhku...!" menerangkan Mahesa.

“Apakah kau akan kembali ke Probolinggo?" bertanya Kemala.

“Ah, gadis ini tidak ketus seperti dulu lagi," pikir Mahesa dalam hati. “Mungkin. Aku harus mendapatkan keterangan yang jelas. Mengapa mereka beberapa waktu lalu hendak menangkap dan membunuhku. Lalu setelah Adipati Mangun Aryo mati dibunuh mengapa mereka menyangkut-pautkan hal itu dengan diriku. Apa benar orang bernama Randu Ampel itu yang membunuhnya?”

“Betul Randu Ampel itu ayahmu?" tanya Kemala.

“Begitu keterangan yang kudapat. Aku tengah berusaha mencari dimana dia sekarang...”

“Kalau kau kembali ke Probolinggo, dirimu tak bakal aman. Banyak orang yang telah melihat wajahmu. Satu-satunya tempat yang aman bagimu adalah rumah istri muda Adipati itu. Tak akan ada orang yang akan mencarimu sampai kesana...”

Mahesa tersenyum. Sang dara ternyata memikirkan keselamatan dirinya. Lalu dia berkata, “Kau sendiri juga tak aman kalau kembali ke kota. Rangga dan orang-orangnya pasti akan menangkapmu. Karena telah menolongku tadi, kau akan dianggap bersengkokol denganku...”

“Aku memang tak akan kembali ke kota!" jawab Kemala.

“Lalu kau mau pergi kemana..?” Sang dara tak menjawab.

“Aku harus pergi sekarang,..!" katanya. Lalu untuk pertama kali dia berpaling ke arah Mahesa. Pandangan mereka saling beradu. Banyak rasa dan kata-kata yang tidak terucapkan tapi terkias dalam saling pandang itu.

“Aku akan pergi,..." kata Kemala lagi. “Dan jangan coba mengikutiku...”

“Ah! Kumat lagi penyakit ketus dan curiganya!" kata Mahesa dalam hati.

Kemala berkelebat pergi. Mahesa geleng-gelengkan kepala. Dia teringat pada rokok kawungnya lalu keluarkan sebatang dan menyalakannya. Sesaat kemudian diapun meninggalkan tempat itu.


9. HASRAT SANG JANDA MUDA
MENJELANG tengah hari upacara pemakaman jenazah Adipati Probolinggo selesai. Seluruh rombongan pengantar dan juga rakyat banyak yang mengikuti upacara itu meninggalkan kuburan, kembali ke tempat dan rumah masing-masing. Berbagai macam cerita tentang pembunuhan dan kematian Adipati itu tetap menjadi bahan pembicaraan semua orang dimana-mana. Sesampainya di Kadipaten, Rangga menemui Sri Muria dan berkata.

“Den ayu, sebelum masuk ke kamar untuk istirahat bolehkah saya bicara empat mata...”

“Apa keperluanmu Rangga?”

“Ada sesuatu yang perlu saya beritahu pada den ayu.”

“Sesuatu itu ada sangkut pautnya dengan kematian Adipati?”

“Saya tidak tahu. Mungkin memang ada hubungannya. Cuma yang penting hal ini menyangkut langsung dengan keselamatan den ayu. Ketahuilah jiwa den ayu sedang terancam...”

Tentu saja Sri Muria jadi terkejut. Wajahnya pucat. “Kau tidak main-main Rangga?”

“Saya mana berani main-main den ayu. Saya harap den ayu putri jangan sampai mendengar hal ini”

Sri Muria berpikir sejenak. “Baiklah, katanya kemudian. “Kita bicara di ruang kerja Adipati!" Lalu dia berjalan mendahului.

Setelah sampai di ruangan kerja almarhum Mangun Aryo, Rangga lalu menuturkan tentang kepergiannya ke puncak gunung Bromo bersama Mangun Aryo beberapa hari lalu.

“Adipati telah sering sekali mengajak saya kesana. Tapi selama itu saya hanya disuruh menunggu di kaki gunung. Hari itu saya berbuat lancang. Karena ingin tahu saya diam-diam mengikuti Adipati dan naik ke puncak gunung. Ternyata beliau menemui seseorang. Antara Adipati dan orang itu agaknya terdapat suatu perjanjian. Perjanjian menyangkut pertolongan dan imbalan. Imbalan itu selain berupa uang juga berupa tumbal. Tumbal nyawa manusia!”

“Apa maksudmu Rangga?”

“Den ayu ingat kematian beberapa anggota keluarga Adipati yang terdekat selama belasan tahun ini, termasuk para pembantu?”

“Ya... lalu?”

“Sekarang orang dipuncak gunung itu inginkan nyawa den ayu. Dia akan menyuruh makhluk peliharaannya untuk menagih tumbal itu akhir bulan ini...”

Wajah Sri Muria sepucat kertas. Tubuhnya bergetar dan perempuan ini hampir terpekik mendengar keterangan kepala pengawal itu.

“Saya tidak tahu, apakah dengan meninggalnya Adipati perjanjian itu masih tetap berlaku. Saya kawatir hal itu akan tetap terjadi. Karenanya saya harap den ayu dan dan ayu puteri mengungsi dulu ke tempat lain...”

“Siapakah adanya orang di puncak gunung Bromo itu, Rangga?”

“Saya tidak tahu jelas den ayu. Ada cerita kalau disitu diam seorang dukun sakti...”

“Dukun sakti!" desis Sri Muria. “Jadi selama ini Adipati memelihara dukun...”

“Benar. Hal itu biasa saja den ayu. Biasa bagi orang kita. Terutama bagi seorang pejabat. Demi untuk menjaga keselamatan diri dan jabatannya...”

“Aku harus menceritakan hal ini pada Wilani!”

“Sebaiknya jangan den ayu. Dia masih terlalu muda untuk menghadapi hal-hal seperti ini.”

“Baiklah Rangga. Aku akan memikirkan apa aku mau menerima nasihatmu untuk mengungsi. Aneh... Bagaimana bisa terjadi hal seperti ini!" Sri Muria pejamkan kedua matanya. Ketika Rangga melihat perempuan itu mulai menangis, dia segera tinggalkan kamar tersebut.

***

SESAMPAI di rumah besar kediamannya ibu Mirani berkata pada anaknya. “Kau tentu letih nak. Pergilah istirahat di kamarmu. Tapi jangan lupa rencana kita untuk pulang ke desa!”

“Saya hanya mengikut apa katamu, bu. Tapi apa tidak sebaiknya kita menunggu kabar atau keputusan lebih lanjut dari Kotaraja?”

“Apa maksudmu?”

“Sebagai janda Adipati, walaupun istri kedua, tentu ada tata cara yang harus ditempuh. Saya tidak takut hidup sengsara di desa. Tapi saya tidak sudi kalau sampai matipun Adipati itu terus menerus menimbulkan kesengsaraan pada kita...”

Sang ibu mengusap bahu anaknya lalu menyuruh Mirani masuk ke dalam kamar. Mirani masuk ke dalam kamar, mengunci pintu. Setelah meneguk segelas air putih dia langsung melangkah ke tempat tidur untuk membaringkan diri. Badannya terasa letih sekali. Saat itulah dia melihat sesosok tubuh duduk di sebuah kursi besar yang terletak di sudut kamar. Mirani hampir terpekik. Tetapi orang yang duduk dikursi itu cepat mengangkat tangannya dan tersenyum.

“Kau... Kau berani masuk ke dalam kamarku!”

Mahesa bangkit perlahan-lahan. “Harap maafkan kelancanganku ini. Aku terpaksa datang kesini. Bersembunyi sementara disini sampai hari malam. Aku tidak bermaksud jahat. Aku tidak akan mengganggumu...”

Mirani diam. Hatinya berdebar. Entah mengapa rasa letihnya tiba-tiba saja lenyap. Dia senang melihat pemuda itu kembali. Tapi berduaan dalam kamar seperti itu membuatnya jengah.

“Kau datang kesini untuk mengambil rumahmu ini kembali? Begitu..?”

Mahesa gelengkan kepala. “Aku hanya bersembunyi untuk sementara. Sampai nanti malam. Kalau kau mau tidur dan istirahat, silahkan. Aku tak akan mengganggumu.”

“Mana mungkin tidur jika ada orang lain disini,..!" jawab Mirani. Dia ingat kejadian pagi tadi. “Kenapa orang-orang itu hendak menangkapmu lagi?”

“Mereka menuduh ayahkulah yang telah membunuh Adipati. Aku sendiri tak pernah bertemu ayah sejak dilahirkan. Malam nanti aku akan pergi ke Kadipaten untuk mencari keterangan yang jelas.”

“Kalau kau sampai tertangkap bagaimana?”

Mahesa tersenyum. “Aku akan berusaha untuk tidak tertangkap. Karena itulah aku akan menyelinap malam-malam kesana...”

“Maksudmu sebenarnya bukankah hanya untuk menemui puteri Adipati yang cantik itu..?”

“Ah, gadis itu. Tadinya dia memang baik. Tapi ketika mengetahui ayahku yang membunuh ayahnya, dia jadi sangat membenciku. Bahkan hendak membunuhku!”

“Kalau benar ayahmu yang membunuh Adipati, apa alasannya?" tanya Milani.

“Pasti ada sebabnya. Aku sendiri belum tahu. Justru keterangan itulah yang kuharap bisa kudapat di Kadipaten malam nanti..”

“Setelah kau mendapatkan keterangan itu, apa yang akan kau lakukan?" tanya Mirani lagi.

“Aku tak tahu. Mungkin berusaha mencari ayahku!" jawab Mahesa. Dan diam-diam dia ingat akan tugas-tugas yang diberikan gurunya. Ada dua tugas tak satupun sampai saat itu dapat dilaksanakannya. Lalu dia teringat pula akan surat sang guru yang menyuruhnya datang ke Pesantren Nusa Barung pada bulan Sura hari ke dua belas.

“Setelah ditinggalkan Adipati, kau sendiri akan berbuat apa?" kini Mahesa yang ganti bertanya.

“Ibu mengusulkan agar kami kembali ke desa. Disana kami masih punya rumah meskipun kecil dan buruk. Tapi rumah sendiri. Juga ada sebidang tanah yang bisa diolah...”

“Jika kalian mau, kalian boleh tinggal terus di rumah ini...!" berkata Mahesa.

“Kau baik sekali. Saya akan katakan hal itu pada ibu. Tapi jika satu waktu kau berumah tangga, punya istri punya anak, apakah kau tidak memikirkan ingin memiliki rumah sendiri. Sebuah rumah besar seperti rumahmu yang sekarang ini..?”

Mahesa tertawa. “Soal kawin belum mampir dikepalaku. Kau sendiri, apa tak terpikir akan kawin lagi..?”

“Paras Mirani kelihatan menjadi kemerah-merahan. Bagaimanapun benciku pada Adipati itu, saya tetap istrinya. Paling tidak harus menunggu sampai empat puluh hari baru memikirkan soal kawin..”

“Misalkan empat puluh hari sudah berlalu. Bagaimana?” Mahesa bertanya lagi.

“Soal itu saya serahkan pada Gusti Allah. Kalau dicari sendiri mungkin tak ada pemuda yang bakal mau dengan seorang perempuan sepertiku yang katanya bekas bandot tua. Padahal..." Mirani tak meneruskan kata-katanya.

“Padahal kenapa?”

Mirani tak menjawab. Malah mulai terisak-isak. Mahesa mendekati perempuan ini dan mengulang pertanyaannya tadi. “Mereka tidak tahu. Tak seorangpun tahu. Bahkan ibu pun tidak..”

Mahesa kerenyitkan kening. “Apa yang tidak semua orang itu tahu?"

"Selama jadi istri Mangun Aryo, kami memang tidur berdua. Dia boleh menjamah tubuhku. Melakukan apa saja dengan kedua tangannya. Tapi dia tak pernah mendapatkan yang satu itu...”

Sebagai pemuda yang belum lama turun gunung dan hampir tak mengenal banyak kehidupan soal manusia terutama hubungan lelaki dan perempuan, tentu saja pemuda ini kurang mengerti apa yang dikatakan Mirani. Maka diapun bertanya polos. “Apa yang satu itu maksudmu?”

“Kau! Kau kurang ajar..!”

“Hai Kenapa kau tiba-tiba mendampratku begitu. Aku hanya ingin tahu dan bertanya..”

“Kau betul-betul tidak tahu apa yang kumaksudkan?”

Mahesa mengangguk.

“Adipati itu tak pernah meniduriku,..!" kata Mirani akhirnya dengan suara lirih. “Saya masih gadis sampai saat ini. Setiap menemaninya tidur, saya selalu membawa sebilah pisau. Setiap dia berhasrat melakukan hal itu saya mengancam membunuhnya. Kalau tidak bisa saya akan bunuh diri..”

Mahesa geleng-gelengkan kepalanya hampir tak percaya. “Kau seorang luar biasa,..!" katanya. Lalu, “Kau tidak menceritakan hal itu kepada siapapun. Mengapa mau mengatakannya padaku..?”

Mirani terdiam. Dia tak bisa menjawab. Ketika dia menjawab juga, dia tak bisa memastikan apakah jawabannya itu betul atau tidak. “Kurasa mungkin kau satu-satunya yang bisa kupercaya..”

Mahesa tertawa.

“Kenapa kau tertawa?”

“Kau tahu apa kata orang tentang kepercayaan? Terlalu cepat percaya bisa membawa kerugian..”

“Biarlah apa yang dikatakan orang itu. Apapun tak selamanya seperti yang dikatakan orang banyak. Selalu ada pengecualian..”

Diam-diam Mahesa memuji kepandaian bicara perempuan yang baru berusia sekitar enam belas tahun ini.

“Kalau kau sudah mendapatkan apa yang kau cari di gedung Kadipaten nanti, kau akan meninggalkan kota ini bukan?”

Mahesa mengangguk.

“Apakah kita akan bertemu lagi?" tanya Mirani.

“Kau masih ingin bertemu denganku..?”

Tanpa malu-malu Mirani menganggukkan kepalanya. Ketika Mahesa memegang kedua bahunya terus saja Mirani menjatuhkan dirinya ke atas dada pemuda itu. Seumur hidupnya baru kali ini Mahesa memeluk tubuh seorang perempuan. Sekujur tubuhnya bergetar dan terasa panas. Bagi Mirani, meskipun sebelumnya pernah dipeluk dan dirangkul oleh Mangun Aryo, namun tidak pernah dia merasa sebahagia seperti dalam pelukan Mahesa saat itu.

“Apakah aku mulai mencintai pemuda ini?" membathin Mirani.

Mahesa sendiri meskipun saat itu jelas memeluk tubuh Mirani namun yang dibayangkannya adalah Kemala, dara cantik berbaju kuning itu. Bayangan wajah Kemala baru lenyap sewaktu dirasakannya Mirani memeluknya tambah kencang dan menciumi dadanya yang terbuka. Mahesa tundukkan kepala menciumi rambut Mirani yang hitam harum.

Sesaat kemudian perempuan itu lepaskan tubuhnya dari pelukan Mahesa dan jatuhkan diri diatas tempat tidur. Mula-mula Mahesa hendak membaringkan pula dirinya disamping perempuan itu. Namun dia ingat dan tak berani bertindak lebih jauh.

Melihat Mahesa tak bergerak dari tempatnya, Mirani bangun kembali. Setelah memandangi pemuda itu beberapa lama dia berkata, “Jangan berprasangka buruk Mahesa. Saya bukan perempuan nakal. Semua kulakukan hanya karena suka padamu. Kau tidak kasihan padaku...?”

“Aku kasihan dan juga suka padamu. Tapi aku tak mau lupa diri. Kalau kau mau tidur, tidurlah. Aku akan duduk di kursi sana menunggu sampai malam tiba..”

Mirani merasa malu sendiri. Dia tak pernah merasakan gejolak yang sedemikian hebatnya seperti saat itu. Dia merasa kecewa dan kepalanya jadi pening. Namun dia juga kagum atas pribadi pemuda itu. Kalau saja dia tidak malu ingin dia mengatakan bahwa dia mengharapkan Mahesa untuk jadi teman hidupnya kelak.

“Setelah urusanmu di Kadipaten selesai, kau mau berjanji untuk kembali lagi kesini malam nanti..?”

“Aku tak mungkin berjanji, Mirani.”

“Kau harus mau, Mahesa!" kata Mirani. Dan dia tak dapat menahan gejolak yang tambah keras dalam dirinya. Selama ini dia selalu bisa bertahan terhadap perilaku Mangun Aryo sewaktu mereka tidur berdua. Ini semata-mata karena dia sangat benci pada lelaki itu.

Tetapi terhadap seorang lelaki yang disukainya seperti pemuda ini, dia bisa gila sendiri kalau tidak mendapat balasan. Mirani berdiri dari tempat tidur. Dia kembali memeluki tubuh Mahesa. Bagaimanapun juga pada akhirnya semua itu membuat Mahesa menjadi terangsang. Keduanya rebah diatas tempat tidur.

Mirani seolah-olah sengaja membimbing tangan pemuda itu untuk menjalari tubuhnya. Mahesa merasakan dadanya seperti mau pecah oleh arus darah yang membara. Matanya membeliak ketika Mirani menanggalkan setagennya, membuka kebaya dalam serta kainnya. Dalam keadaan tanpa pakaian ini dia kemudian memeluki tubuh Mahesa sambil coba melepaskan pakaian si pemuda.

Ketika Mahesa hampir ikut-ikutan lupa tiba-tiba muncul bayangan gurunya. Bayangan ini lenyap dan kini berganti dengan bayangan seorang lelaki dan seorang perempuan yang sebelumnya tak pernah dilihat Mahesa. Kedua orang ini seperti mengatakan sesuatu padanya. Mahesa seperti melihat ayah dan ibunya. Pemuda ini melompat dari tempat tidur dan lari ke kursi di sudut kamar.

“Mahesa, ada apakah?" tanya Mirani. “Kau kelihatan ketakutan. Tak ada yang harus ditakutkan disini..”

Mahesa mengenakan pakaiannya dan berkata, “Pakai bajumu kembali. Kita tidak pantas berbuat begini walaupun kita sama-sama suka melakukannya.”

Mendengar kata-kata itu Mirani jadi tertegun di depan tempat tidur. Semula dia hendak memeluki pemuda itu kembali. Mahesa juga tegak tak bergerak. Memandangi tubuh telanjang yang putih bagus itu sambil menahan dadanya yang terasa menyentak-nyentak. Mirani akhirnya kembali menjatuhkan diri diatas tempat tidur tanpa berusaha untuk mengenakan pakaiannya kembali. Mahesa duduk di sudut ruangan. Kedua matanya dipejamkan. Telinganya mendengar janda muda itu menangis terisak-isak.


10. SANG PEMBUNUH TERNYATA MEMANG AYAHKU
MALAM itu di Kadipaten diadakan upacara selamatan sampai jauh malam. Sesuai dengan kebiasaan upacara seperti itu diadakan terus menerus selama tujuh hari. Lalu diulangi pada hari yang ke 40 ke 100 dan ke 1000.

Setelah para tamu pulang, Sri Muria memanggil Rangga. Keduanya menuju ke ruangan kerja almarhum. Meskipun sebelumnya Rangga telah berpesan agar Wilani tidak perlu mengetahui persoalan tumbal itu namun ketika masuk ke dalam ruangan ternyata gadis itu telah ada disana.

“Aku memutuskan bahwa Wilani juga harus mangetahui semua persoalan ayahnya,  kata Sri Muria. Kepala pangawal itu tak bisa berbuat Iain selain mengiyakan.

“Apakah den ayu sudah mengambil keputusan mengenai rencana mengungsi itu..?”

“Kalau tidak ada jalan lain kita memang terpaksa melakukan haI itu. Hanya tempatnya harus dirahasiakan Rangga. Tak ada satu orangpun yang tahu kecuali kita bertiga..”

“Soal kerahasiaan, den ayu bisa mempercayai saya kapan kita akan berangkat sebaiknya kita tunggu sampai tujuh hari. Tak mungkin mengelak dari orang-orang yang berkunjung kemari untuk melakukan selamatan. Lagi pula akhir hulan yang dikatakan dukun itu masih dua minggu dimuka..”

“Baiklah kalau begitu den ayu...!" kata Rangga. Tapi diam-diam kepala pengawal ini merasa kawatir. Dia takut kalau-kalau kematian Mangun Aryo diketahui oleh orang di puncak Bromo itu hingga mungkin saja dia mengambil nyawa Sri Muria lebih cepat dari yang dijanjikan.

“Ada sesuatu yang perlu kutanyakan!" Wilani membuka mulut setelah sejak tadi berdiam diri saja.

Tapi baru saja selesai berbicara tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan sesosok tubuh berpakaian putih menyelinap masuk kedalam. Tiga orang yang ada diruangan itu keluarkan seruan terkejut. Rangga gerakkan tangan kanan untuk mencabut keris. Tapi sebelum dia sempat menyentuh hulu senjata itu, satu totokan membuat tubuhnya kaku, tak bisa bergerak, tak bisa buka suara. Hal yang sama juga terjadi dengan Sri Muria dan Wilani.

Mahesa tegak di tengah ruangan. Setelah memandang sejurus pada ketiga orang itu diapun berkata. “Dengar, aku tidak akan menyakiti kalian. Aku datang hanya untuk meminta keterangan pada paman Rangga. Keterangan penting agar semua jelas bagiku dan juga bagi kalian. Setelah itu aku akan pergi. Kalian mengerti? Kedipkan mata kalian tanda mengerti..”

Sri Muria dan Rangga mengedipkan mata masing-masing. Wilani tak mau melakukannya. Namun akhirnya tampak juga dia mengedipkan matanya. Mahesa lalu mengurut urat besar di Ieher Rangga. Kepala pengawal ini terbuka jalan suaranya tetapi tubuhnya tetap berada dalam keadaan kaku.

“Paman Rangga, sekarang jawab pertanyaanku yang pertama. Siapa yang menyuruhmu menangkap dan bahkan hendak membunuhku..?”

Kepala pengawal itu tak menjawab.

“Paman, aku berjanji tidak akan menyakiti siapapun di ruangan ini termasuk kau. Tapi aku bersumpah akan menghajarmu jika kau tidak mau memberi keterangan. Siapa?”

“Almarhum Adipati Mangun Aryo!" jawab Rangga akhirnya.

Sepasang mata Sri Muria dan Wilani tampak membesar.

“Kenapa dia menginginkan kematianku?”

“ltu aku tidak tahu..”

“Aku yakin kau tahu. Jangan dusta!” bentak Mahesa.

“Aku tidak tahu pasti. Aku hanya melihat Adipati ketakutan ketika padanya kuceritakan kedatanganmu di kuburan dan bahwa kau adalah anak Wening Muriati.”

“Bagaimana kau tahu aku anaknya perempuan bernama Wening Muriati itu..?”

“Penjaga makam itu yang menerangkan. Dia memberi tahu setelah kupaksa..”

“Sekarang katakan siapa sebenarnya yang membunuh Adipati Mangun Aryo..”

“Ayahmu. Randu Ampel!" jawab Rangga.

“Bagaimana kau tahu ayahku orang yang bernama Randu Amplei itu?" menyelidik terus Mahesa.

“Penjaga makam itu menceritakan semuanya. Dan Adipati juga mengatakan hal itu...”

“Dimana terjadinya pembunuhan itu?”

"Di sebuah puncak bukit, dekat pepohonan bambu liar, di luar kota. Kurasa tidak beda tempatnya dengan kejadian ketika kau menolong den ayu puteri..”

(Halaman 90-91 hilang)

Sepasang mata Mahesa menyipit. “Dukun sakti? Dukun sakti yang diminta oleh Adipatimu untuk mengguna-gunai ayahku...?!”

“Aku tidak tahu pasti. Pada saat itu kudengar Adipati mengatakan ketakutan karena ternyata kau muncul di kota ini. Dia minta orang di puncak gunung itu untuk menolongnya. Dan Orang itu berkata makhluk peliharaannya akan membereskanmu?”

“Mahluk peliharaan macam apa?”

“Itu aku tidak tahu!" jawab Rangga.

“Setelah membunuh Adipati, kemana perginya orang bernama Randu Ampel itu..?”

Rangga menggeleng. “Setelah Adipati dibunuh, aku pingsan tak tahu apa-apa lagi..”

Karena merasa sudah mendapat semua keterangan yang diperlukannya, Mahesa berkata pada Wilani dan Sri Muria.

“Kalian dengar sendiri. Ayahmu yang menanam pohon racun delapan belas tahun lalu dan dia sendiri yang memetik serta memakan buahnya. Ayahku hanya membalaskan sakit hati. Ternyata Adipatimu itu bukan saja ingin merampas jabatan, tapi juga mencelakai ayahku sampai gila sedang ibu harus mati dengan menderita!”

Setelah memandang sesaat pada Rangga, Mahesa lalu melangkah ke pintu. Ketika pintu terbuka sesosok tubuh tahu-tahu sudah berdiri menghalangi langkah Mahesa.

“Anak muda, ternyata kau tak bisa lari jauh dariku. Aku telah berjanji pada Adipati untuk membunuhmu. Jika aku tidak melakukannya, berarti aku berhutang seumur hidup padanya..!”

“Anak setan! Kau belum puas rupanya! Apa tidak ingat aku telah memberimu ampun hingga kawanku kakek buta itu tak jadi melumpuhkan keduatanganmu?!"


11. MALAM BERDARAH Dl KADIPATEN
YANG menghadang Mahesa di pintu ruang kerja Adipati itu ternyata adalah si kakek yang biasa dipanggil dengan sebutan Eyang Jaliteng. Setelah mengelakkan serangan si pemuda, kakek ini balas menyerang. Tangan kirinya mencengkeram ke muka sedang tinju kanan menderu ke dada. Disaat yang sama Rangga berteriak keras-keras hingga terdengar oleh para pengawal Kadipaten. Dua puluh perajurit serta merta mengurung tempat itu.

“Jangan ada yang ikut campur. Aku sendiri yang akan membereskan pemuda ini!" kata Jaliteng hingga tak seorangpun berani melakukan sesuatu.

Selain memiliki ilmu silat tinggi Jaliteng juga memiliki semacam ilmu hitam yang penuh dengan tipu daya licik. Karenanya setelah menggempur lima jurus dia tak sanggup memukul lawannya, dengan marah kakek ini mulai kelihatan komat kamitkan mulutnya. Tiba-tiba Mahesa melihat lawannya lenyap. Tahu-tahu si kakek sudah menyerangnya dari samping atau dari belakang. Beberapa kali Mahesa berhasil mengelakkan serangan aneh itu. Tapi satu kali akhirnya dadanya kena juga terpukul. Mahesa rasakan dadanya seperti hancur. Mulutnya terasa panas dan asin.

Ketika dia meludah, ludahnya merah. Ternyata dia terluka di dalam. Jaliteng tertawa mengekeh sambil bertolak pinggang.
Lalu kembali tubuhnya lenyap dan lancarkan lagi serangan serangan seperti tadi. Sesaat kemudian dia melihat sosok tubuh Jaliteng ada dimana-mana. Semuanya menyerang ke arahnya. Tapi tak dapat diketahui yang mana yang asli dan mana yang hanya bayangan saja.

Buk!

Murid Kunti Kendil tersungkur ke lantai. Pinggul kanannya mungkin remuk ketika dihantam tendangan Jaliteng. Sambil bangun dengan marah Mahesa lepaskan Pukulan “Api Geledek Menggusur Makam” Sinar merah berkiblat. Kakek itu berseru kaget dan bayangan-bayangannya ikut menjerit-Jerit! Sinar merah berkelebat menghantam bayangan-bayangan lalu menghancurkan tembok gedung di sebelah kiri! Dua perajurit roboh jadi korban.

“Ha ha..ha! Kau tak mungkin mengenaiku orang muda. Nyawamu sudah tidak tertolong...!”

“Anak setan@" maki Mahesa. Dia pejamkan kedua matanya dan tegak termiring-miring karena pinggulnya sakit bukan kepalang. Sepasang telinganya kini diandalkan untuk melihat dan mendengar serangan lawan. Pemuda ini siap mainkan Jurus-Jurus Silat Orang Buta!

Si kakek tertawa bergelak. “Dengan mata terbuka saja kau tak sanggup menghadapiku. Apalagi dengan meram begitu rupa! Ilmu apa yang hendak kau keluarkan?!”

Lalu dia memukul ke depan. Enam sosok bayangannya ikut bergerak memukul. Namun kini telinga Mahesa dapat membedakan mana serangan sosok tubuh sebenarnya dan mana yang hanya bayangan. Jelas serangan sosok tubuh yang sebenarnya akan mengeluarkan suara sedang sosok tubuh palsu tidak. Mahesa mendengar deru angin dari samping kiri. Dia memutar tubuh dan memukul.

Buk! Krak!

Jaliteng terpekik. Tubuhnya mencelat. Dia terkapar di lantai lalu berusaha bangun dengan tertatih-tatih. Tulang lengannya sebelah kanan ternyata patah akibat pukulannya tadi ditangkis oleh Mahesa. Selagi dia menahan sakit seperti itu Mahesa sudah datang menyerbu. Kakek ini berkelit kesamping sambil menendang ke arah selangkangan Mahesa. Namun tendangan ini hanya mengenai tempat kosong. Dilain kejap gerakan Mahesa yang seperti gerabak gerubuk itu tahu-tahu dapat mencekal bahu kirinya. Inilah gerakan yang bernama “Si Buta Mencengkeram Langit”

Krak!

Tulang bahu Jaliteng remuk. Untuk kedua kalinya kakek ini menjerit. Dengan menggembor marah kakek ini mengeruk ke balik pakaian hitamnya. Ketika tangan itu dipukulkan ke depan, dua buah pisau hitam mendesing ke arah Mahesa! Selama malang melintang dalam dunia persilatan, jarang sekali Jaliteng mengeluarkan pisau terbangnya itu. Kalaupun dia mengeluarkannya maka pasti akan membawa korban.

Namun malam itu merupakan hari naas baginya. Mahesa berhasil mengelakkan serangan dua pisau terbang itu. Tubuhnya kemudian dijatuhkan kebawah. Dengan gerakan “Si Buta Menabas Puncak Gunung” pemuda ini tendangkan kaki kanannya menyapu kedua kaki Jaliteng. Kakek ini terpental dan terbanting ke lantai. Di saat yang sama kaki kiri Mahesa datang dari depan, tepat menghantam kepala si kakek.

Prak!

Tengkorak kepala Eyang Jaliteng remuk. Tubuhnya terkapar. Kedua kakinya melejang-lejang beberapa kali. Kemudian tubuh itu tak bergerak lagi.

“Perajurit-perajurit tolol!" teriak Rangga ketika menyaksikan kejadian itu. “Kalian tunggu apa?! Lekas sergap dan bunuh pemuda itu! Cincang tubuhnya!" Sampai saat itu dia masih berada dalam keadaan tertotok di bekas ruangan kerja Adipati.

Dua puluh lebih perajurit yang seolan-olah tersadar oleh bentakan itu serta merta menyerbu. Dua puluh senjata diayunkan ke satu arah yaitu kepala atau tubuh Mahesa. Murid Kunti Kendil cepat bergerak untuk selamatkan diri. Dia melompat ke atas. Sambil melompat tendangkan kaki kiri dan pukulkan kedua tangannya.

Satu perajurit terpental dengan tulang-tulang iga patah. Dua lainnya terbanting ke lantai setelah dihantam tinju Mahesa. Yang lain-lain jadi mundur ketakutan. Kesempatan ini tidak disia-siakan Mahesa. Dia berpegangan pada lampu besar yang menjadi pajangan di ruangan itu lalu mengayunkan tubuhnya, melesat ke halaman Kadipaten dan lenyap dalam gelapnya malam.

***

SETELAH lari beberapa ratus langkah meninggalkan gedung Kadipaten Mahesa merasakan pinggulnya yang kena tendangan Jaliteng mendenyut sakit. Rasa sakit ini menjalar sampai ke pinggang dan ke kaki sehingga dia tak bisa lari kencang. Dalam pada itu dadanya yang kena dihantam pukulan terasa menusuk-nusuk di sebelah dalam. Nafasnya menyesak.

Kemudian dirasakannya lagi ada darah naik ke mulutnya. Pemandangannya berkunang. Dia coba kerahkan tenaga dalam. Tapi terlambat. Tubuhnya miring dan jatuh tergelimpang di tengah jalan. Dia Coba bangun namun hanya bisa merangkak. Dadanya semakin sakit.

Saat itu dari ujung jalan terdengar suara derap kaki kuda mendatangi. Sepuluh langkah dari hadapan Mahesa, penunggang kuda hentikan kudanya. Karena jalan itu gelap Mahesa tak dapat melihat atau mengenali wajah orang ini. Dia hanya mengeluh, kalau penunggang kuda itu adalah orang Kadipaten maka tak ada daya baginya untuk menyelamatkan diri. Dalam keadaan seperti itu akhirnya pemuda ini roboh ke tanah.


12. PERTOLONGAN YANG MENGUNDANG CELAKA
KETIKA Mahesa sadar dari pingsannya yang pertama sekali dilihat dan muncul di ruangan pandangannya adalah sebuah wajah cantik. Dia cepat bangun tapi mengerenyit oleh rasa sakit pada dadanya dan ini membuat dia jatuh terbaring kembali diatas tempat tidur.

“Kau...!" desis Mahesa.

Wajah cantik itu tersenyum. “Dimana aku saat ini?" tanya Mahesa sambil tangannya mengusap dadanya yang terasa sakit. Saat itu dia hanya mengenakan celana panjang. Dadanya tampak merah dibagian yang terkena pukulan.

“Tenanglah, kau tak usah kawatir. Kau berada dalam kamarku..”

“Kamarmu?”

Mahesa memandang berkeliling. Ya, dia mengenali tempat itu. Dia pernah berada di kamar itu sebelumnya. Hidungnya mencium semerbak harum bunga melati. Diatas meja di dekat tempat tidur terletak Keris Naga Biru yang asli dan tiruannya. Lalu kayu besi hitam yang berbentuk papan nisan.

“Senjata-senjata itu. Letakkan dekat kepalaku!" ujar Mahesa.

“Kau aman disini Mahesa. Tak ada yang akan mengambil senjata-senjata itu..”

“Bagaimana... bagaimana aku bisa ada disini Mirani..?”

“Kau dalam keadaan sakit. Sebaiknya jangan banyak bicara dulu. Aku sudah siapkan makanan dari tadi pagi. Kau harus makan Mahesa..”

Pemuda itu gelengkan kepala. Mulutnya terasa sakit. Perutnya memang lapar tapi dia tak punya nafsu makan sama sekali. “Rokokku ambilkan rokok!" pintanya.

Mirani geleng-gelengkan kepala. “Kau tahu sudah berapa lama kau terbaring disini? Perutmu kosong. Kau bukannya minta makanan atau air, tapi malah rokok! Paling tidak kau harus minum dulu..”

Mirani mengambilkan gelas berisi air putih sejuk dan meminumkannya pada Mahesa.

“Rokok!" bisiknya kemudian.

Akhirnya Mirani mengambilkan juga kotak rokok pemuda itu dan menyalakannya sebatang. Setelah menyedot rokok itu beberapa kali dia merasa agak tenang dan kembali bertanya, “Katakan bagaimana aku bisa ada disini. Apa ada yang tahu aku dikamarmu ini?”

“Tak ada seorangpun yang tahu...”

“lbumu?”

Mirani menggeleng.

“Kemarin malam katamu?" ujar Mahesa. “Jadi berapa lama aku berada disini?”

“Satu hari satu malam. Sekarang sudah malam pula..”

Tentu saja penjelasan ini membuat Mahesa hampir tak dapat mempercayai. “Teruskan ceritamu tadi, Mirani.”

“Malam itu, setelah kau pergi, kutunggu sampai ibu tidur. Lalu diam-diam aku berganti pakaian dan dengan menunggang kuda aku pergi ke Kadipaten. Apa yang aku kawatirkan ternyata benar. Kau kutemui tergeletak di tengah jalan. Dengan susah payah kunaikkan ke atas punggung kuda lalu kubawa kesini..”

Mahesa ingat malam itu. Sebelum dia pingsan dia masih bisa melihat kemunculan seorang penunggang kuda yang semula disangkanya petugas dari Kadipaten. Mahesa memegang tangan Mirani.

“Jasamu besar sekali. Aku berhutang budi dan nyawa padamu..”

“Jangan sebut itu!" jawab sang janda muda. “Kau tahu, petugas Kadipaten telah menyampaikan pengumuman ke seluruh pelosok kota.”

“Pengumuman apa?" tanya Mahesa sambil menduga-duga.

"Untuk menangkapmu, mati atau hidup. Juga seorang gadis bernama Kemala. Siapa yang berhasil melakukannya mendapat hadiah sepuluh ringgit untuk masing-masing kepala..”

“Jika kau mau kau bisa mendapatkan uang itu!" kata Mahesa pula. Lalu dia menguap lebar-lebar.

Mirani tersenyum. “Pinggulmu lebam biru dan bengkak. Dadamu bertanda merah. Dan tadi malam kau banyak mengeluarkan darah dari mulut..”

“Ya, aku terluka di dalam. Anak setan itu memukulku..”

“Anak setan siapa maksudmu?”

“Kakek bernama Jaliteng. Bergundalnya Mangun Aryo.. Aku tidak kawatir akan keadaan diriku. Aku kasihan pada gadis itu Gadis yang bernama Kemala itu..”

“Dia kekasihmu?" tanya Mirani seperti cemburu.

Mahesa tertawa. “Seorang sahabat. Gara-gara menolongku waktu terjadi kekacauan pada upacara pemakaman Mangun Aryo, kini dia jadi buronan..”

Mirani tampaknya tidak senang membicarakan Kemala. Dia mengalihkan pembicaraan. “Pinggul dan dadamu harus diobati..”

“Ya, bantu aku duduk..”

Mahesa duduk bersila diujung tempat tidur. Kedua tangannya diletakkan di atas paha. Matanya dipejamkan. Entah mengapa tiba-tiba saja terbayang wajah gurunya Kunti Kendil. Dan seolah-olah nenek ini didengarnya berkata,

“Anak setan tolol! Setiap kau menghadapi lawan, kau harus melindungi tubuhmu dengan mengerahkan tenaga dalam!”

Mahesa ingat, ketika dia dipukul oleh Jaliteng di bagian dada, dia sama sekali tidak mengerahkan tenaga dalam karena saat itu disibukkan oleh serangan-serangan aneh lawan. Karena tak bisa memusatkan pikiran Mahesa akhirnya membuka kedua matanya kembali.

“Sudah?" tanya Mirani yang mengira pemuda itu telah selesai.

“Aku tak bisa memusatkan pikiran. Mungkin karena tak biasa jika ada orang di dekatku. Maukah kau keluar dari kamar ini?”

“Ada-ada saja!" kata Mirani dengan sedikit merengut. Namun sesaat kemudian dia keluar juga dari kamar itu.

Mahesa pejamkan kedua matanya kembali dan setelah berhasil memusatkan jalan pikiran, dia mulai berusaha mengatur jalan nafas dan mengerahkan tenaga dalam ke bagian tubuh yang sakit. Pertama sekali ke bagian dada, lalu ke pinggul.

Ketika Mirani masuk kembali ke dalam kamar itu hari telah larut malam dan didapatinya Mahesa masih duduk bersila dengan mata terpejam. Keringat membasahi badan dan mukanya. Mirani keluarkan sapu tangannya. Maksudnya hendak menyeka keringat itu. Namun dia ingat. Sentuhan tangan mungkin akan membuyarkan pemusatan pikiran pemuda itu. Karenanya dia duduk di sudut kamar dan menunggu disitu sampai akhirnya ketiduran.

Menjelang dinihari baru Mahesa selesai dengan pengerahan tenaga dalamnya. Rasa sakit pada pinggul dan terutama dadanya jauh berkurang. Namun dia sadar kalau luka dalam yang dideritanya cukup parah dan tak dapat dipulihkan dengan cepat. Memandang ke sudut kamar dilihatnya Mirani tertidur nyenyak.

Kemudian matanya membentur makanan yang terletak di meja. Perlahan-lahan Mahesa turun dari tempat tidur dan menyantap sampai habis makanan itu. Selesai makan dia kembali ke tempat tidur dan berbaring. Sekujur badannya terasa letih. Tak selang berapa lama diapun tertidur.

Ketika terbangun Mahesa mendapatkan hari telah siang. Dan didalam kamar itu didapatinya seorang lelaki tegak disamping Mirani. Lelaki ini berusia sekitar lima puluh tahun. Berkulit hitam berbadan tegap liat. Mahesa melirik ke meja di samping tempat tidur. Keris Naga Biru asli dan tiruan serta papan kayu besi hitam kini terletak disitu. Lalu cepat-cepat dia turun dari tempat tidur. Dia memandang pada kedua orang itu. Siapa lelaki tak dikenalnya itu?

“Kau tak usah kawatir Mahesa. ini Ki Tampu. Ahli peramu obat paling terkenal di Probolinggo. Ketika kau tidur tadi dia telah memperhatikan keadaan dada dan pinggulmu. Dia akan membuatkan obat minum serta obat gosok untukmu..”

Mahesa tak berkata apa-apa. Dia tahu Mirani bermaksud baik dan ingin menolongnya. Tapi cara yang ditempuh janda itu tidak disukainya dan ini yang membuat Mahesa merasa tidak enak. Ki Tampu berpaling pada Mirani dan menganggukkan kepalanya.

“Ki Tampu, kau boleh pergi sekarang. Dan jangan lupa antarkan obat itu sebelum sore...”

Lelaki itu kembali mengangguk. Setelah membungkuk dalam-dalam diapun tinggalkan kamar itu. Mirani mengunci pintu kamar dan menghampiri Mahesa sambil tersenyum. Dia merasa gembira dapat melakukan sesuatu untuk menolong pemuda itu.

“Ki Tampu itu, orangnya gagu...”

“Bagaimana dia bisa sampai disini?" Mahesa memotong keterangan Mirani.

“Aku yang menyuruhnya datang kesini. Pelayan kukirim menemui orang itu di kedai obatnya..”

“Apa dia bisa dipercaya? tanya Mahesa.

“Dia adalah sahabat ayahku almarhum. Tak ada yang harus ditakutkan Mahesa..”

“Pelayanmu itu. Yang kau suruh ke kedainya. Apakah juga bisa dipercaya?”

“Kukatakan tak ada yang harus ditakutkan, jawab Mirani. “Apakah kau tak suka aku menolongmu? Lukamu itu, terutama luka pada dadamu sebelah dalam tak mungkin hanya diobati dengan cara bersila seperti yang kau lakukan hampir semalam suntuk. Ki Tampu ahli mengobati segala macam penyakit. Dengan minum obatnya kau pasti sembuh..”

Mahesa diam saja dan duduk termenung di tepi tempat tidur.

“Kau tak senang aku menolongmu?" tanya Mirani lagi.

“Seharusnya kau bicarakan dulu denganku. Kau tahu dengan hadiah besar yang dijanjikan Rangga, ratusan orang akan berlomba untuk mencari tahu dimana aku berada. Seorang sahabat bisa saja tergoda..”
“Kalau begitu batalkan saja rencanaku untuk minta obat tadi Mirani hendak melangkah ke pintu.

Mahesa memegang tangannya dan berkata, “Tak ada gunanya. Mudah-mudahan saja maksud baikmu berjalan lancar...”

Apa yang diharapkan Mahesa itu ternyata tidak menjadi kenyataan.


13. KETERANGAN PELAYAN RUMAH BESAR
LELAKI berseragam perajurit Kadipaten itu melompat dari kudanya, bergegas masuk ke dalam gedung menemui Rangga.

“kau berhasil mengetahui dimana gadis bernama Kemala itu berada?" Rangga langsung bertanya.

“Gadis itu lenyap. Saya sudah menempatkan dua prajurit untuk mengawasi rumahnya. Ada satu berita penting yang harus saya sampaikan”

“Katakan..!”

“Seorang perajurit melaporkan bahwa pelayan dirumah den ayu Mirani kelihatan mengunjungi kedai obat Ki Tampu. Ahli obat ini bersama pelayan itu kemudian tampak mendatangi rumah istri muda almarhum. Tentunya ada seseorang yang sakit di rumah itu..”

“Kau betul. Ada seseorang yang sakit disitu. Siapa? Lalu apa hubungannya dengan tugas yang harus kau jalankan?”

“Den ayu Mirani sendiri pasti tidak karena saya lihat dia satu kali di halaman samping rumah. Mungkin ibunya. Tetapi bukan mustahil pemuda bernama Mahesa itu, yang dalam keadaan sakit, bersembunyi di rumah itu...”

Kepala pengawal Kadipaten yang kini untuk sementara menjadi pejabat paling tinggi di Probolinggo tertawa terbahak.

“Apa hubungan si pemuda dengan penghuni rumah tersebut. Dia bukan sanak bukan kadang. Mana mungkin pula akan bersembunyi disitu. Kau ini ada-ada saja. Sudah pergi sana teruskan tugasmu!”

“Tapi pemimpin, si perajurit menukas, “Kau ingat sewaktu orang-orang kita hendak menangkap Mahesa di tengah jalan menuju pekuburan? Den ayu Mirani mengeluarkan kata-kata yang jelas-jelas membela pemuda itu. Lagi pula bukankah beberapa hari lalu dia terlihat berada di depan rumah istri muda almarhum? Bahkan terjadi perkelahian antara pemimpin dan kawan-kawan dengan dia?”

Rangga terdiam sesaat. Dia coba berpikir-pikir. Namun tak masuk diakalnya kalau antara Mahesa dan penghuni rumah besar itu ada hubungan tertentu. Apalagi kalau sampai Mahesa bersembunyi disana dan diberi bantuan pengobatan pula. Mirani, istri muda almarhum Mangun Aryo sendiri pasti tahu apa akibatnya kalau dia ketahuan menyembunyikan seorang buronan seperti itu. Namun demikian, setelah berpikir sejenak akhirnya Rangga berkata pada Kroto.

“Baiklah, kau dan kawan-kawanmu teruskan pengusutan. Awasi kedai obat Ki Tampu. Juga rumah kediaman den ayu Mirani. Awasi gerak gerik orang-orang yang kalian curigai. Kau kuberi wewenang untuk menanyai si gagu itu. Juga pelayan yang menghubungi Ki Tampu.”

“Akan saya laksanakan pemimpin.”

“Jika kau sampai berhasil menangkap Mahesa atau gadis bernama Kemala itu, pangkatmu akan kunaikkan”

Kroto menjura dan tertawa lebar. “Terima kasih. Tugasakan saya jalankan sebaik-baiknya!”

Seperginya Kroto kepala pengawal Kadipaten itu melangkah mondar-mandir di serambi depan gedung Kadipaten. Sesekali dipelintirnya kumis tebal melintang dibawah hidung. Sesekali tampak pula dia tersenyum. Apakah yang disenyumkannya?

Dengan meninggalnya Mangun Aryo, maka Rangga adalah satu-satunya pejabat paling tinggi di Probolinggo saat itu. Kepala pengawal ini dengan sendirinya sangat mengharapkan pimpinan di Kotaraja akan mengangkatnya sebagai pengganti. Dia merasa punya kesempatan untuk ini. Apalagi kalau dia berhasil menangkap Mahesa dan Kemala. Untuk sementara Randu Ampel bisa dilupakan.

Pada hari kematian Mangun Aryo, Rangga telah mengutus seseorang memberitahukan musibah itu ke Kotaraja. Dalam suratnya yang dibawa utusan dia juga menyatakan bahwa untuk sementara dia memegang pimpinan tertinggi di Kadipaten Probolinggo sampai ada ketentuan lebih lanjut. Rangga juga mengirimkan sepucuk surat pada seorang kenalannya yang dekat dengan orang istana. Isinya meminta bantuan agar maksudnya untuk dapat diangkat jadi Adipati bisa diperlicin.

***

Kroto seorang perajurit berotak cerdik. Setelah dia diberi wewenang untuk melakukan pengusutan lebih lanjut, dua orang kawannya diperintahkan mendatangi rumah istri muda almarhum Mangun Aryo guna menculik pelayan lelaki yang bekerja di rumah itu. Pelayan ini kemudian dibawa ke sebuah tempat di pinggiran kota untuk ditanyai.

“Namamu siapa?" tanya Kroto.

“Singgil!" jawab pelayan itu. Wajahnya menunjukkan ketakutan. Lalu dia bertanya “Kenapa saya dibawa kemari?”

“Dengar Singgil, kau tak akan diapa-apakan kalau mau memberikan keterangan yang kami minta.”

“Keterangan apa?”

“Siapa yang sakit di rumah besar itu?”

“Sakit.? Setahu saya tak ada yang sakit. Den ayu Mirani, ibunya, semua penghuni rumah itu sehat-sehat”

“Jangan berdusta padaku Singgil!" bentak Kroto.

“Saya tidak berdusta.”

“Lalu apa perlunya kau memanggil Ki Tampu, juru obat itu"? ujar Kroto dan kini kedua matanya mulai melotot. Tampangnya menjadi galak. Dia menganggukkan kepala pada kedua anak buahnya. Dua perajurit ini segera menghunus golok masing-masing. Singgil melihat ini jadi tambah ketakutan.

“Hayo jawab Ada apa Ki Tampu datang ke rumah itu?”

“Saya tidak tahu. Saya benar-benar tidak tahu. Den ayu Mirani menyuruh saya memanggilnya. Hanya itu..”

“Ki Tampu dipanggil tentu bukan untuk sekedar bercakap cakap. Pasti ada sangkut paut dengan keahliannya membuat obat dan mengobati orang..”

“Tapi saya tidak berdusta. Tak ada penghuni rumah itu yang sakit!" kata Singgil lalu melirik pada dua perajurit yang memegang golok.

“Kalau begitu ada seseorang lain di rumah itu. Dan orang ini sedang sakit! Kau musti tahu Singgil! Kalau kau berani berdusta akan kusuruh kutung anggota badanmu satu demi satu!”

“Jangan... jangan! Saya tak tahu apa-apa. Saya tidak dusta. Saya juga tidak tahu kalau ada orang lain di rumah itu. Hanya..”

“Hanya apa!" Kroto datang mendekat. Kedua matanya berkilat-kilat.

“Hanya... sejak beberapa hari ini den ayu Mirani jarang keluar kamar. Lebih sering berada dalam kamar tidurnya. Makanpun dilakukannya di kamar...”

“Bagus!" kata Kroto sambil menepuk-nepuk bahu pelayan itu. “Sekarang coba kau ingat-ingat. Kelainan apa lagi yang kau lihat di rumah itu...”

Singgil berpikir-pikir beberapa ketika. “Tak ada kelainan. Cuma pembantu perempuan di rumah itu satu pagi pernah berkata pada saya. Dia merasa heran mengapa sejak beberapa hari ini den ayu selalu membawa dua piring makanan dan dua gelas air ke dalam kamarnya. Pembantu itu juga mengatakan seperti pernah mendengar suara orang batuk dari arah kamar den ayu. Suara lelaki..”

“Hemmm!" Kroto menggumam.

“Saya katakan pada pembantu itu mungkin dia salah dengar. Masak ada orang dalam kamar den ayu. Lelaki pula. Pasti tak mungkin..”

Kroto manggut-manggut. “Sekarang kau boleh pulang. Tapi ingat, kau tidak boleh mengatakan kejadian ini pada siapapun! Jika mulutmu sampai ketelepasan, nyawamupun akan kulepas dari badanmu! Mengerti?!”

“Mengerti, saya mengerti..”

“Pergi sana!”


14. RACUN PELUMPUH
KI TAMPU telah selesai membuat obat yang dipesan Mirani untuk Mahesa. Obat itu terdiri dari dua macam. Yang pertama obat minum, yakni untuk mengobati luka dalam pada bagian dada Mahesa. Obat kedua berbentuk parem, pemakaiannya digosokkan ke bagian pinggul yang cidera.

Sore itu Ki Tampu tengah bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Mirani ketika tiga penunggang kuda muncul dan masuk ke kedainya. Mereka bukan lain Kroto dan dua anak buahnya. Tiga perajurit Kadipaten datang sekaligus tak pernah kejadian. Hal ini membuat Ki Tampu merasa tidak enak.

Namun menyangka kedatangan mereka adalah untuk minta obat maka ahli obat ini menyambut sebagaimana biasanya dia menyambut tamu-tamu lain. Begitu masuk ke dalam kedai, pandangan Kroto langsung tertuju pada sebuah kendi tanah dan sebuah bungkusan kecil yang terletak di atas meja. Dalam kendi tanah itu terdapat cairan jamu sedang dalam bungkusan adalah parem gosok. Keduanya obat untuk Mahesa.

“Ki Tampu, bukankah sore ini kau akan ke rumah istri muda almarhum Adipati Mangun Aryo?"

Pertanyaan langsung yang diucapkan Kroto itu membuat Ki Tampu terkejut. Dalam hatinya lelaki gagu ini bertanya-tanya. Bagaimana petugas ini bisa tahu hal itu? Untuk berdusta Ki Tampu merasa takut. Tapi jika dia memberi keterangan yang sebenarnya, dia tahu apa pula akibatnya. Ahli obat ini menganggukkan kepalanya.

Kroto tersenyum. “Siapa yang sakit di rumah itu, Ki Tampu?”

“Ah, celakalah aku!" keluh Ki Tampu. Dia harus memberikan jawaban. Apa yang harus dikatakannya. Tiba-tiba saja dia dapat akal. Lelaki gagu ini menunjuk kepada bagian perutnya sebelah bawah, lalu menggerakkan tangannya di wajah dan menggoyang-goyangkan tangan kanannya lalu tangan kirinya mengusap-usap perut.

Karena sebelumnya tidak pernah berhubungan dengan orang gagu itu tentu saja bahasa isyarat yang disampaikan Ki Tampu tidak dimengerti oleh Kroto. Dia lalu memanggil istri tukang obat itu untuk memberikan penjelasan dari isyarat-isyarat yang dikatakan suaminya. Sang istri kemudian memberi tahu bahwa suaminya berusaha menjelaskan kalau di rumah istri muda almarhum Mangun Aryo ada perempuan sakit. Sakitnya ini sebenarnya bukan sakit. Tetapi terlambat datang bulan. Karena dia tak mau menjadi hamil maka minta obat untuk pencegahan.

“Siapa yang terlambat datang bulan itu?" tanya Kroto.

Ki Tampu menggerak-gerakkan tangannya ke wajah dan ke dada. Istrinya lalu mengatakan, “Yang terlambat datang bulan adalah den ayu Mirani, istri muda almarhum Adipati...”

Kroto tersenyum. Dia tahu kalau kedua suami istri itu tengah mendustainya. Dia melangkah mendekati meja. “Ini obat-obat yang akan kau berikan pada den ayu Mirani?”

Ki Tampu mengangguk.

“lbu, kau boleh masuk!" kata Kroto pada istri tukang obat itu. Lalu dia memeriksa dua macam obat yang ada diatas meja. Dia berdiri demikian rupa memunggungi Ki Tampu hingga lelaki ini tidak melihat ketika Kroto memasukkan sesuatu ke dalam mulut kendi berisi obat.

Sesaat kemudian Kroto menemui ahli obat itu kembali dan berkata. “Baiklah Ki Tampu. Kau boleh membawa obat ini kepada yang memintanya. Kami hanya melakukan pemeriksaan biasa saja. Kau tahu kedaaan di kota saat ini tidak begitu aman. Ada dua buronan yang tengah dicari-cari...”

Ki Tampu menjura-jura beberapa kali ketika melihat Kroto dan anak buahnya meninggalkan kedai. Setelah ketiga penunggang kuda itu lenyap di ujung jalan barulah Ki Tampu mengambil obat diatas meja dan cepat-cepat meninggalkan kedainya.

Seperti yang diberi tahu Mirani, Ki Tampu datang lewat jalan samping. Ahli obat yang sudah ditunggu-tunggu ini segera dibawa masuk ke dalam kamar dimana Mahesa berada. Dia langsung menyerahkan dua macam obat yang dibawanya kepada Mirani lalu memberi tahu cara pemakaiannya dengan gerakan kedua tangan.

“Apa katanya?" tanya Mahesa.

“Yang dalam kendi tanah itu obat minum. Yang dibungkus parem gosok. Dicampur dulu dengan air panas lalu digosokkan ke pinggulmu yang sakit!  menerangkan Mirani.

Kemudian tampak Ki Tampu menggerakkan kedua tangannya kembali. Mahesa melihat paras Mirani berubah, langsung bertanya. “Ada apa Mirani..?”

“Dia minta agar obat dalam kendi segera kau minum tanpa ada yang bersisa. Lalu aku harus membantumu menggosokkan parem ini. Lalu katanya lagi kau harus cepat meninggalkan rumah ini..”

“Apa yang terjadi Ki Tampu? tanya Mahesa.
Ahli obat itu menjawab dengan gerakan-gerakan tangan dan Mirani kembali menjadi juru penerang.

“Dia tak tahu pasti. Tapi kemungkinan sekali petugas-petugas Kadipaten sudah mengetahui kalau kau bersembunyi disini..”

“Anak setan!" maki Mahesa dalam hati. Dia turun dari tempat tidur sementara Mirani memberikan sejumlah uang pada Ki Tampu yang dengan wajah ketakutan cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

Baru saja Ki Tampu berlalu tiba-tiba ada ketukan dipintu. Mirani melangkah ke pintu tapi tak segera membukanya. Kembali terdengar ketukan.

“Siapa.?”

“Aku!" jawab orang diluar sana.

Mirani agak lega. ltu suara ibunya. “Ada apa bu?”

“Buka pintu. Ada yang hendak kutanyakan padamu..”

Mirani memandang pada Mahesa. Lalu menjawab, “Baik, bu. Saya akan keluar..”

“Mirani, Buka pintu. Lelaki mana yang ada dalam kamarmu itu?!”

Ternyata ibu Mirani sudah mengetahui. Kembali Mirani memandang pada Mahesa. Pemuda ini merasa tak ada gunanya bersembunyi terus dan memberi isyarat agar Mirani membuka pintu. Ketika pintu terbuka dan perempuan itu melihat Mahesa di dalam kamar, berubahlah parasnya. Dia memandang berganti-ganti pada anaknya dan pada Mahesa.

“Sangkaanku!" benar kata perempuan ini. “Kau menyembunyikannya disini. Selain membuat malu, kau tahu apa akibat perbuatanmu ini...?”

“Dulu ibu sendiri pernah menyarankannya untuk bermalam di rumah ini!" memotong Mirani. “Sekarang tiba-tiba saja ibu tidak menyukainya.”

“Di rumah ini! Bukan berarti dia harus tidur sekamar denganmu Mirani! jawab sang ibu. “Dan itu dulu. Sekarang dia sudah menjadi seorang buronan yang dicari petugas-petugas Kadipaten. Yang harus ditangkap hidup atau mati. Kita semua akan menanggung akibatnya bila sampai ketahuan!”

Mirani terdiam.

Mahesa berkata, “Sudahlah. Aku akan segera pergi. Kalian tak usah risau!"

Mirani memandang padanya dan berkata. “Minum habis obat dalam kendi itu. Nanti saya bantu kau memakaikan parem itu...!" Mirani lalu keluar untuk mengambil air panas.

Ibunya sesaat masih tegak dalam kamar itu. Sebelum pergi perempuan itu berkata, “Aku bukannya tidak suka padamu Mahesa. Namun bagaimanapun kau harus tahu peradatan dan menjaga nama baik serta keselamatan penghuni di rumah ini!”

“Aku mengerti. Aku akan segera pergi!" jawab Mahesa. Setelah perempuan itu keluar dia segera meneguk obat yang ada dalam kendi tanah. Tubuhnya terutama dadanya terasa sejuk. Tapi sesaat kemudian dirasakannya sekujur tubuhnya bergetar. Pemandangannya menjadi berkunang. Anggota tubuh dan setiap persendian menjadi lemah. Kendi yang dipegangnya terlepas, jatuh pecah berantakan di lantai. Sedetik kemudian tubuh Mahesa roboh tergelimpang diatas lantai. Dia tak mampu menggerakkan kaki ataupun tangannya.

Mirani terpekik ketika dia masuk kembali ke dalam kamar dan mendapatkan Mahesa terbujur di lantai. Mangkuk berisi air hangat yang dibawanya dicampakkan dan perempuan ini langsung menubruk Mahesa.

“Ada apa..? Apa yang terjadi Mahesa?”

“Obat itu!" desis Mahesa. “Begitu kuminum habis, kepalaku jadi pusing dan aku kehilangan kekuatan. Aku... aku tak bisa menggerakkan kaki tangan. Seseorang telah meracuniku...”

Mirani seperti mau menangis. Karena ada suara rebut-ribut itu ibu Mirani kembali datang kesitu. Bersama anaknya dia menaikkan Mahesa ke tempat tidur.

“Mirani, aku punya firasat orang-orang Kadipaten akan muncul disini...”

“Mereka tidak akan datang!" ujar Mirani. “Jangan takut Mahesa!" Dia masih berusaha menghibur dan membesarkan hati pemuda itu.

Tapi Mahesa tahu pasti orang-orang Kadipaten akan muncul disitu. Dia ingat akan keterangan Ki Tampu. “Senjata-senjata yang diatas meja itu. Dua bilah keris dan kayu hitam berbentuk papan nisan. Tolong. Lekas sembunyikan sebelum mereka datang...”

Mirani cepat melakukan apa yang dikatakan Mahesa. Mahesa coba mengerahkan tenaga dalamnya. Tapi tak bisa. Sekujur tubuhnya telah lumpuh.

“Sebaiknya kau kami sembunyikan di tempat lain!" kata Mirani.

Mahesa tak menjawab. Dia tidak merasa hal itu perlu. Sekali orang-orang Kadipaten datang, rumah itu akan digeIedah. Dia akhirnya akan ditemui juga. Tiba-tiba diluar sana terdengar suara derap kaki kuda banyak sekali. Ketiga orang dalam kamar itu saling pandang.

“Mereka sudah datang,!" desis Mahesa. Mirani dan ibunya tampak ketakutan. Diluar terdengar seseorang berseru. Suara Rangga.

“Mahesa! Menyerahlah! Rumah ini sudah dikurung! Kau tak mungkin lari...!”

“Anak setan!" maki Mahesa. “Aku memang tak mungkin lari!”

Sesaat kemudian pintu kamar terbuka lebar. Rangga masuk bersama tiga orang anak buahnya. Seorang diantaranya adalah Kroto.

15. TERTANGKAP
DENGAN bertolak pinggang Rangga tegak disamping tempat tidur. “Akhirnya kau tertangkap juga Mahesa...” kata kepala pengawal ini dengan senyum mengejek. Diam-diam dia kagum juga akan kelihayan anak buahnya bernama Kroto yang telah berhasil secara diam-diam memasukkan bubuk kedalam obat minum yang dibuat Ki Tampu hingga kini pemuda itu lumpuh sekujur tubuhnya.

“Kalian boleh menangkapku. Matipun aku tidak takut. Tapi jangan ganggu kedua perempuan itu!" kata Manusa.

Rangga tertawa lebar. “Kau tak perlu memberi segala macam nasihat ataupun mengajukan permintaan!" sahut Rangga lalu memberi isyarat pada Kroto. Tiga perajurit kemudian menggotong tubuh Mahesa dan memasukkannya ke dalam sebuah gerobak terbuka yang telah disediakan di depan rumah besar. Sebelum meninggalkan rumah itu Rangga berkata pada Mirani dan ibunya.

“Ternyata kalian berdua telah melakukan kesalahan besar. Menyembunyikan seorang pembunuh buronan Kadipaten. Memandang pada almarhum Adipati, saat ini saya tidak akan melakukan apa-apa. Tergantung nanti keputusan dari Kotaraja. Satu hal harus kalian ketahui. Kalian tidak boleh meninggalkan rumah ini sampai ada ketentuan lebih lanjut. Beberapa petugas akan ditempatkan disini!”

Mahesa dibawa ke Kadipaten dan disekap dalam sebuah ruangan bertembok tebal tanpa jendela dan hanya diterangi dengan sebuah lampu minyak kecil. Tubuhnya dilemparkan ke atas lantai yang hanya dialasi tikar jerami rombeng.

Inilah yang dinamakan penjara Kadipaten. Kalau dia tidak lumpuh bukan satu hal yang sulit bagi Mahesa untuk membobol pintu ruangan itu. Namun keadaannya saat itu sama sekali tidak berdaya. Apalagi Rangga menyuruh pula orang-orangnya mengikat kedua tangan dan kakinya dengan sejenis akar hutan yang alot.

Terguling di lantai Mahesa melihat sesosok tubuh duduk di sudut ruangan. Ketika diperhatikannya ternyata Ki Tampu, si ahli obat. Orang itu sudah lebih dulu ditangkap dan dijebloskan ke tempat itu. Sesaat setelah saling pandang Ki Tampu merangkak mendekati Mahesa. Dia menggerak-gerakkan tangannya.

“Sudahlah! Sampai pagi pun kau menggerakkan tangan aku tidak mengerti apa yang kau coba katakan!" ujar Mahesa.

Sebenarnya saat itu Ki Tampu hendak mengatakan bahwa pasti seseorang telah memasukkan sejenis obat pelumpuh ke dalam obat yang dibuatnya untuk Mahesa. Mendengar kata-kata Mahesa Ki Tampu berhenti menggerak-gerakkan kedua tangannya. Kini dia memegang tubuh pemuda itu di beberapa bagian lalu geleng gelengkan kepala.

Kembali dia gerak-gerakkan tangan menyatakan bahwa obat yang menguasai pemuda itu akan bekerja selama empat puluh hari. Selama itu pula dia berada dalam keadaan lumpuh. Kecuali jika dia mendapatkan obat pemusnah racun pelumpuh itu.

Ki Tampu berusaha hendak membuka ikatan pada kaki dan tangan Mahesa. Tapi pemuda ini berkata, “Tak usah. Tanpa ikatan itupun aku tak berdaya apa-apa. Kalau mereka tahu kau masih berusaha menolongku, mereka akan menambahkan gebukan pada mukamu yang sudah memar itu. Mereka memukulimu bukan?”

Ki Tampu memegang mukanya dan mengangguk. Mahesa tidak tahu sudah berapa lama Ki Tampu berada di tempat itu, juga tidak tau apakah masih siang atau sudah malam. Saat itu pintu terbuka dan seorang perajurit muda masuk membawa sepiring kaleng berisi makanan.

“Ini jatah kalian hari ini. Makanlah!" kata prajurit itu.

“Kami berdua disini. Mana cukup makanan satu piring butut itu. Mana air?!" ujar Mahesa.

“Masih untung kalian diberi makan! Kalian tidak lebih bagus dari anjing buruk pengais tempat sampah! Kalau aku jadi Rangga tak akan kuberi kalian makan satu suap pun!”

“Anak setan!' maki Mahesa. “Sobat muda, siapa namamu?”

Perajurit itu tertawa dan sambil busungkan dada dia menjawab. “Orang-orang memanggilku Soka. Namaku Soka! Ada lagi pertanyaanmu yang lain anjing pasar?!”

“Suatu hari kelak aku akan datang membayar penghinaanmu itu!”

Soka tertawa. “Tentu, kalau saja kau masih hidup. Beberapa hari lagi kau akan dipindahkan ke Kotaraja. Disana kelak kau akan menjalani hukuman gantung!”

“Kentut busuk! Pergilah! Aku muak melihat mukamu!" ujar Mahesa.

Dengan geram Soka menendang muka Mahesa hingga mulutnya berdarah lalu tinggalkan ruangan penyekapan itu.

“Anak setan itu akan menerima bagiannya kelak!" maki Mahesa. Dia berpaling pada Ki Tampu dan berkata, “Kau makanlah apa yang ada dipiring itu. Aku tidak lapar. Tolong ambilkan kotak rokok di pinggang pakaianku dan nyalakan sebatang!”

Ki Tampu mengambilkan rokok yang diminta Mahesa lalu menyalakannya. Melihat makanan yang ada di piring kaleng, ahli pengobatan ini tak ada selera sama sekali. Dia lebih suka minta sebatang rokok dan menghisapnya.

Selama tiga hari disekap ditempat itu, setiap harinya mereka hanya menerima sepiring makanan yang kadang-kadang sudah berbau basi. Pada hari keempat tiga orang perajurit muncul dibawah pimpinan Kroto.

“Hari ini kalian akan dipindahkan ke Kotaraja!' kata Kroto. Lalu pada Ki Tampu dia berkata, “Mungkin kau tak akan pernah kembali ke Probolinggo ini Ki Tampu...”

“Izinkan aku bertemu dengan istriku!" meminta Ki Tampu. Tapi jawaban yang diterimanya adalah sebuah tamparan.

Yang menampar adalah Soka. “Jangan terlalu banyak mulut Ki Tampu!" Lelaki itu kemudian diseretnya keluar ruangan sementara tiga orang menggotong tubuh Mahesa.

Keduanya lalu dimasukkan ke dalam kereta tertutup. Sebelum dimasukkan ke dalam kereta itu Mahesa sempat melihat, diantara orang-orang yang akan mengawalnya dalam perjalanan menuju Kotaraja, kelihatan dua orang lelaki berjubah biru. Dari gerak gerik mereka jelas bahwa keduanya memiliki kepandaian tertentu dan sengaja diandalkan untuk membantu pengawalan sepanjang perjalanan. Mahesa menduga-duga siapakah adanya kedua orang ini. Rangga berdiri dekat pintu kereta. Sebelum pintu ditutup dia berkata pada Mahesa.

“Tak ada yang bakal menyelamatkanmu dari tiang gantungan Mahesa. Selamat jalan...”

“Kalaupun aku mati di tiang gantungan, setanku akan datang kemari untuk mencekikmu!" jawab Mahesa. “Dan nanti kau akan bertemu dengan Adipatimu itu!”

“Keparat!" hardik Rangga. Tamparannya melayang ke muka Mahesa.

Pemuda itu ganda tertawa lalu ludahi muka Rangga dengan ludah yang bercampur darah.

“Bangsat!" Kali ini Rangga hantamkan tinjunya. Namun satu tangan menahan gerakannya. Memandang kesamping Rangga dapatkan salah seorang dari lelaki berjubah biru itu mencekal tangannya.

“Cukup Rangga! Kami harus segera meninggalkan tempat ini...!”


Selanjutnya,