Dewi Tangan Jerangkong - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

DEWI TANGAN JERANGKONG

Cerita silat Indonesia Serial Mimba Purana Karya Bastian Tito

1. MANUSIA JATUH DARI LANGIT

CAHAYA merah sang surya yang tengah menggelincir ke ufuk tenggelamnya membuat pemandangan diatas bukit kecil itu indah sekali. Segala sesuatu diselimuti warna merah kekuningan. Keadaan bertambah menarik sewaktu dari arah barat seorang berkuda putih memacu tunggangannya menuju keatas bukit. Hanya beberapa saat lagi kuda dan penunggang akan tepat sampai di puncak bukit, tiba-tiba di langit terdengar suara ledakan disusul bertaburnya cahaya hitam, merah dan biru. Pada saat taburan tiga cahaya lenyap, dari atas langit terlihat melesat jatuh sebuah benda.

Penunggang kuda putih sertamerta hentikan lari kudanya. Kepala mendongak, mata menatap tak ber-kesip. Dada berdebar tapi sikap tetap tenang. Namun ketika dia telah melihat jelas benda yang jatuh itu, mulutnya keluarkan pekik terkejut. Suara perempuan! "Dewa Bathara Agung! Kalau bukan Kau yang meng-hendaki mana mungkin ada manusia jatuh dari langit!" Setelah berteriak, sekejapan orang di atas kuda putih terkesiap tak bergerak. Tetapi ketika sosok yang mela-yang hanya tinggal satu tombak lagi akan jatuh meng-hantam tanah di puncak bukit, orang ini segera melompat dari atas punggung kuda.

Gerakannya cepat dan ringan seolah terbang. Dua tangan diulur ke depan. Di saat yang tepat dia berhasil menahan dan menangkap sosok orang yang jatuh. Untuk menolak daya dorong yang luar biasa orang yang menangkap tubuh jatuh dengan cepat gulingkan diri di tanah. Hebatnya sesaat kemudian dia sudah mendudukkan tubuh orang yang ditangkapnya ditanah, malah sekaligus menyandarkan di sebatang pohon yang bagian atasnya telah ditebang.

Ketika melihat keadaan orang, perempuan yang menolong keluarkan seruan tercekat. "Nasib diriku malang penuh derita. Tapi orang Ini agaknya jauh lebih sengsara dari aku. Jika aku bisa menolong berarti aku akan membuat satu kebajikan dari tiga kebajikan yang menjadi kewajiban. Apakah dia masih hidup? Mudah-mudahan Para Dewa masih mau memberi jalan padaku..."

Keadaan orang yang terduduk bersandar ke batang pohon itu memang luar biasa. Muka, sebagian dada yang tersingkap, serta pakaian yang dikenakan berwar-na belang tiga yaitu merah, hitam dan biru. Sekujur tubuh dari kepala sampai ke kaki mengepulkan asap. Mata tertutup. Tubuh tidak ada gerakan sama sekali.

"Seorang pemuda..." ucap perempuan yang mengenakan pakaian serba putih, termasuk penutup kepala menyerupai selendang. Ternyata diapun seorang yang masih sangat muda, berwajah cantik jelita, memiliki sepasang alis tebal dan hitam. Perlahan-lahan dia arahkan telinga kirinya ke dada orang yang tersandar tak bergerak di batang pohon. Daun telinga gadis ini bergerak-gerak. "Aku mendengar detak jantung walau perlahan sekali. Dia masih bernafas..."

Mengetahui si pemuda masih hidup dengan cepat si gadis berdiri. Punggung diarahkan menghadap sang surya yang akan tenggelam hingga sekujur tubuh termasuk pakaiannya disaput cahaya merah kekuningan.

"Cahaya mentari kekuatan alam yang berasal dari Yang Maha Kuasa, pembawa segala macam kesembuhan, masuklah ke dalam tubuhku, mengalirlah ke dalam tubuh orang ini. Wahai Para Dewa, berikan kesembuhan padanya."

Lalu dengan suara yang lebih perlahan si gadis merapal beberapa mantera. Kepulan asap yang keluar dari tubuh si pemuda semakin keras hingga tubuh itu bergetar bahkan batang pohon yang disandari ikut menggelegar lalu kraak! Batang pohon terbelah. Kepulan asap di tubuh si pemuda lenyap, berpindah ke batang pohon. Ketika kepulan asap di pohon juga lenyap maka kini batang pohon yang terbelah itu tampak berwarna merah, hitam dan biru sementara tiga warna yang tadi menyelubungi tubuh si pemuda sirna!

Gadis berpakaian putih tarik nafas lega. Dia pergunakan selendang untuk menyeka wajah dan lehernya yang basah oleh keringat. Sambil memperhatikan dia bertanya-tanya dalam hati. "Aneh, mengapa masih belum siuman? Tiga warna yang tadi menyelimuti dirinya pasti satu kekuatan sakti sangat luar biasa!"

Lalu matanya melihat luka di tenggorokan si pemuda dan satu luka lagi yang lebih besar di bagian dada. Berlainan dengan bentuk luka di leher, luka di dada dimana ada bagian daging yang tersembul keluar membuat gadis ini segera maklum, luka itu bukan luka bekas tusukan atau bacokan benda tajam. Tapi ada sesuatu yang justru keluar dari dalam tubuh si pemuda. Dikeluarkan dengan paksa, mem-pergunakan kekuatan ilmu kesaktian luar biasa hebat.

"Luka aneh, melayang jatuh dari langit secara aneh. Lalu ada tiga warna aneh. Siapa pemuda ini...?"

Sepasang mata belum terbuka namun mulut si pemuda tiba-tiba terbatuk-batuk. Dari semburan batuk mengucur keluar darah kental berwarna hitam, menyusul kucuran darah merah segar, lalu berhenti.

"Terima kasih Dewa, kau telah menyelamatkan orang ini!" Ucap si gadis cantik berpakaian serba putih. Walau ingin tahu siapa adanya pemuda itu dan apa yang telah terjadi atas dirinya, namun si gadis agaknya tidak berkehendak berada di tempat itu lebih lama. Dia telah menolong orang, telah berbuat kebajikan dan tidak ingin orang berterima kasih, apalagi sampai mengetahui siapa dirinya. Namun ketika dia bangkit berdiri hendak tinggalkan tempat itu tiba-tiba mulut pemuda yang tersandar ke pohon tiga warna bergerak. Suaranya agak parau sewaktu keluarkan ucapan.

"Dewa memberkati dirimu. Siapapun kau adanya, mohon jangan pergi dulu. Paling tidak beri kesempatan pada diriku untuk mengucapkan terimakasih serta berdoa bagi dirimu untuk perlindungan Yang Maha Kuasa dan kebahagiaan masa depanmu."

Gerakan si gadis tertahan. Ucapan si pemuda yang berkata dengan mata masih terpejam sangat menyentuh hatinya. "...Paling tidak beri kesempatan pada diriku untuk mengucapkan terima kasih serta berdoa bagi dirimu untuk perlindungan Yang Maha Kuasa dan kebahagiaan masa depanmu."

"Dewa Agung, apakah aku ini masih mempunyai masa depan...?" Tidak sadar si gadis keluarkan kata-kata itu. Walau perlahan tapi sempat terdengar oleh si pemuda dan ini yang membuat dia lebih cepat menyalangkan sepasang mata.

Ketika melihat wajah cantik di hadapannya si pemuda keluarkan ucapan. "Dewa di Swargaloka, Kau masih mengasihi diriku. Kau menurunkan seorang bidadari untuk menolongku..."

Si gadis terkesima, lalu cepat-cepat menekap mulut menahan ketawa. Ketika dia membuat gerakan menutup mulut dengan tangan kirinya ini si pemuda melihat bagaimana jari-jari sampai ke pergelangan si gadis hanya merupakan tulang belulang alias tengkorak jerangkong! Tengkuk si pemuda langsung dingin. Wajahnya mendadak sontak pucat pasi.

"Aku bukan bidadari. Juga bukan setan. Jadi kau tak perlu takut..."

Mendengar ucapan si gadis, pemuda itu timbul keberaniannya. Dia ulurkan tangan menyingkap lengan jubah kiri si gadis. Ternyata tangan gadis itu berbentuk jerangkong tulang belulang sampai sebatas siku. "Dewa Jagat Bathara, mengapa tanganmu seperti ini?" Tanya si pemuda. Dia melirik ke tangan kanan si gadis. Ketika pemuda ini ulurkan tangan kembali menyingkapkan lengan jubah putihnya, si gadis tidak berusaha menghindar. Begitu lengan jubah kanan tersingkap ternyata keadaan tangan kanan si gadis sama dengan tangan kiri, hanya tinggal tulang tanps kulit tanpa daging!

"Sahabat penolong, apa yang terjadi dengan kedua tanganmu?" tanya si pemuda dengan pandangan tak berkesip menunjukkan rasa tidak percaya akan apa yang barusan dilihat.

"Harap maafkan diriku. Aku harus cepat-cepat pergi." Kata si gadis pula sengaja mengelak namun pemuda itu sudah berdiri dan memegang lengan kanannya erat-erat

"Aku juga minta maaf. Aku tidak bermaksud menghinamu. Aku juga tidak ingin tahu riwayat orang. Bagaimanapun juga kau adalah orang yang telah menolong menyelamatkan jiwaku. Dengar, namaku Sebayang Kaligantha. Aku pemelihara semua bangunan candi di Bhumi Mataram. Seseorang memiliki kesaktian sangat tinggi mencuri sesuatu dari dalam tubuhku. Raga dan jiwaku kemudian digandakan untuk direncanakan berbuat kejahatan yaitu menghancurkan Kerajaan Mataram. Namun Para Dewa masih menolongku melalui uluran tanganmu."

"Terima kasih kau telah memberi tahu nama..."

"Kau sendiri siapa namamu?" tanya Sebayang Kaligantha. Seperti diketahui pemuda jni adalah kekasih Ratu Dhika Gelang Gelang yang saat itu oleh Roh Agung ditugaskan menjaga Sumur Api yang terletak di sebuah kawasan antara Candi Prambanan dan Kali Dengkeng.

"Harap dimaafkan, aku tidak bisa berada lebih lama di tempat ini..." Si gadis tidak mau memberi tahu nama dan ingin segera tinggalkan tempat itu.

“Kalau begitu kata-katamu aku tidak bisa menahan dirimu. Aku sangat berterima kasih tapi aku juga sangat sedih karena kau pergi begitu saja. Aku berjanji setiap ada kesempatan pada setiap hari aku akan mendatangi sebuah candi dan di situ aku akan mendoakan dirimu! Perlindungan dan berkat Para Dewa akan melimpah menyertai dirimu..."

Gadis berpakaian dan berkerudung putih menatap wajah pemuda itu. Dua pasang mata saling beradu pandang. "Pemuda ini orang baik. Bagaimana orang sebaik dia ada yang mencelakai...?"

Sebayang Kaligantha berpaling ke arah kuda putih yang tegak tak bergerak di atas bukit. Buntutnya mengibas-ngibas kian kemari. "Itu kudamu?"

Si gadis mengangguk.

"Kuda bagus." Memuji Sebayang Kaligantha. "Tapi apakah kau tidak memperhatikan? Binatang itu tidak bisa bergerak. Ke empat kakinya tertancap ke dalam tanah!"

2. LINGKARAN BUDI

SI GADIS terkejut mendengar ucapan Sebayang Kaligantha. Cepat-cepat dia palingkan kepala ke arah kuda dan seruan tertahan serta merta keluar dari mulutnya sewaktu melihat keadaan kuda putih miliknya. Seperti yang dikatakan pemuda itu, kuda putih berdiri di atas tanah bukit dengan empat kaki tenggelam masuk ke dalam tanah hampir sebatas lutut. Binatang ini bukan saja tidak mampu mengeluarkan empat kaki dari dalam tanah, tapi sekujur tubuhnya juga tidak bisa digerakkan kecuali ekor yang mengibas-ngibas. Sigadis cepat mendatangi lalu mengelus tengkuk binatang itu.

"Kudaku Jambul Putih, apa yang terjadi dengan dirimu?" Si gadis menoleh ke arah Sebayang Kaligantha. Lalu bertanya. "Apakah bukan kau yang melakukan ini? Agar aku tidak bisa pergi dari sini?"

"Aku bersumpah! Aku tidak punya ilmu kepandaian apa-apa! Aku tidak sejahat itu! Apalagi kau adalah penolong penyelamat jiwaku! Masakan aku tega berlaku culas! Para Dewa sesungguhnya lebih mengetahui apa yang terjadi!" Jawab Sebayang Kaligantha dengan suara keras.

Si gadis kembali mengusap tengkuk kuda putih. Walau kepala tidak bisa bergerak namun binatang ini mampu meringkik keras. Tiba-tiba batang pohon yang terbelah dimana tadi Sebayang Kaligantha duduk tersandar, memancarkan cahaya terang tiga warna. Cahaya ini melesat ke atas lalu menyambar ke arah gadis dan kuda putih.

"Sahabat penolong awas!" Sebayang Kaligantha berteriak keras. Secepat kilat pemuda ini melompat, lalu mendorong bahu si gadis hingga yang didorong terguling di tanah.

Si gadis selamat dari hantaman cahaya tiga warna tapi kuda putih miliknya mengalami nasib mengerikan. Cahaya tiga warna melanda tubuh besar binatang itu hingga terbelah menjadi empat potongan yang mencelat ke udara, jatuh bergelimpangan di tanah lalu leleh dengan mengepulkan asap! Gadis pemilik kuda menjerit keras. Dia menghambur tapi tidak tahu mau melakukan apa. Akhirnya gadis ini jatuhkan diri, duduk bersimpuh di tanah, kucurkan air mata di hadapan asap yang mengepul. Dia baru palingkan kepala ketika mendengar suara orang batuk berulang kali. Sebayang Kaligantha dilihatnya melangkah terbungkuk-bungkuk menuruni bukit sambil pegangi dada. Sisi kanan pakaiannya tampak kemerah-merahan tanda dia telah terserempet sambaran salah satu cahaya tiga warna.

"Pemuda itu, dia terluka di dalam..." Ucap si gadis. Lalu dengan cepat berdiri dan mengejar. "Sebayang! Tunggu! Jangan pergi dulu!" teriak si gadis memanggil.

Si pemuda batuk dua kali, muntahkan ludah bercampur darah lalu hentikan langkah. Mukanya tampak pucat. Walau hanya pakaiannya yang tampak merah namun si gadis tahu kalau pemuda itu menderita cidera di sebelah dalam.

"Sebayang, kau terluka di dalam. Meski tidak berbahaya tapi kau..."

"Aku tidak apa-apa. Terima kasih kau telah memperhatikan diriku..." Sebayang Kaligantha lanjutkan langkah menuruni lereng bukit sementara di ufuk barat sang surya kelihatan hanya tinggal merupakan bola besar setengah lingkaran merah menyala.

"Aku tidak akan membiarkan kau pergi sebelum mengobati luka dalammu!"

"Sudah aku bilang, aku tidak apa-apa..." Sebayang Kaligantha hentikan ucapan karena saat itu si gadis berpakaian dan berkerudung putih telah melompat ke hadapannya. Dalam keadaan tubuh melayang di udara si gadis angkat tangan kanan. Tangan yang hanya merupakan tulang belulang sebatas siku ke bawah itu diletakkan di atas kepala Sebayang Kaligantha.

"Dess! Desss!"

Si pemuda merasa ada hawa dingin mengalir masuk ke dalam kepala terus menjalar ke bagian dada Yang terluka di sebelah dalam. Dirinya seperti ditimpa batu besar. Tak sanggup menahan pemuda ini akhirnya jatuh terduduk di tanah. Namun saat itu dia merasa tubuhnya sangat segar, pemandangan terang, wajah yang tadi pucat kini kembali berdarah.

"Kau sudah sembuh! Sekarang kalau mau kau boleh pergi." Berucap si gadis.

"Gadis hebat! Dua kali kau menyelamatkan jiwaku," ucap Sebayang Kaligantha tanpa beranjak dari tempatnya terduduk.

"Kalau kita menghitung segala budi, akupun sebenarnya sudah menemui ajal jika tadi kau tidak mendorongku menyelamatkan diriku dari serangan cahaya tiga warna..."

Sebayang Kaligantha tersenyum dan berucap perlahan. "Sangat jelas bagiku kini, hidup ini sebenarnya adalah lingkaran budi dimana manusia tidak bisa berlaku sombong karena dia tidak mungkin hidup seorang diri di muka bumi."

Si gadis terdiam mendengar ucapan pemuda itu. Lalu perlahan-lahan dia berkata. "Aku harap kau jangan bersalah duga. Aku bukan tidak mau memberi tahu nama, aku juga tidak bermaksud sombong meninggalkan dirimu begitu saja. Aku terikat pada kutuk dan sumpah orang tuaku..."

"Apapun yang kau katakan aku percaya dan aku bisa mengerti..." Jawab Sebayang Kaligantha. Karena dia tidak berminat lagi untuk bicara banyak, perlahan-lahan pemuda ini bangun berdiri. Lalu dia membungkuk dalam-dalam seraya berkata. "Aku sekali lagi mengucapkan terima kasih atas budi besarmu telah menolong diriku. Selamat tinggal sahabat. Jaga dirimu baik-baik. Bhumi Mataram saat ini tidak berada dalam keadaan aman. Banyak orang jahat berkeliaran. Diantara mereka ada orang berilmu kesaktian tinggi dan mempergunakan ilmu untuk kejahatan..."

"Tidak, jangan pergi!" Kata si gadis lalu melompat dan menghadang langkah si pemuda, membuat Sebayang Kaligantha menatap terheran-heran. "Sebayang, dengar baik-baik..."

"Aku mendengarkan. Apa yang hendak kau ucapkan?"

"Aku tidak bisa memberi tahu namaku. Karena aku harus merahasiakan diri demi menjaga kehormatan nama ayahku. Tapi jika kau ingin mendengar nasib diriku, aku bersedia menceritakan..."

Sebayang Kaligantha terdiam beberapa ketika. Berpikir-pikir apakah dia perlu mendengar cerita si gadis. Mengingat budi orang akhirnya pemuda ini berucap. "Kalau begitu katamu mari kita mencari tempat yang baik. Di lereng bukit sebelah timur ada dangau, di pinggir sebuah telaga kecil. Kita bisa sampai di sana sebelum matahari tenggelam..."

"Terlalu lama. Kau tunjukkan jalani. Aku bisa membawamu lebih cepat!" Kata si gadis pula. Lalu dengan jari-jari tangan jerangkongnya dia memegang lengan Sebayang Kaligantha. Aneh, walau jelas jari-jari tangan gadis itu hanya merupakan tulang tidak berdaging tidak berkulit namun dia merasa seperti disentuh tangan biasa. Di lain saat si pemuda dapatkan tubuhnya seperti ditarik ke udara. Si gadis berlari laksana terbang karena hanya sesekali menjejakkan kaki di tanah! Kembali Sebayang berpikir.

"Bagaimana gadis semuda ini bisa memiliki ilmu kepandaian begini tinggi. Dia tidak mungkin telah melakukan tapa selama bertahun-tahun. Satu-satunya aku menduga dia mungkin mahluk jejadian..." Memikir sampai di sini Sebayang Kaligantha jadi ngeri sendiri dan berlaku waspada. Sepasang matanya tidak lepas dari mengawasi gerak gerik si gadis. Tidak mustahil tiba-tiba dirinya dibokong hingga dia bisa mati konyol! "Jangan-jangan dia yang telah menjebol dadaku, mencuri Jimat Mutiara Mahakam dari dalam tubuhku..."

3. GOLOK SINGO WILIS

PAGI itu udara cerah sekali. Kadiri dan sekitarnya yang semula diselimuti suasana segar tenang tenteram tiba-tiba dilanda kegegeran. Pangkal sebabnya dua anak lelaki penggembala kambing secara tidak sengaja menemukan mayat perempuan tergantung di cabang pohon, di tempat terpencil, tak jauh dari tikungan Kali Brantas. Dari keadaan tubuh serta pakaian yang sebagian tersingkap jelas kelihatan kalau perempuan yang masih muda itu tengah berada dalam keadaan mengandung. Begitu penduduk Kadiri berdatangan, segera saja mereka mengenali kalau perempuan muda berbadan dua yang mati tergantung di cabang pohon itu adaiah Mundi Wardhani, janda muda yang tinggal bersama orang tuanya di Desa Gampingrejo, tak jauh agak ke utara Kadiri.

Ketika kabar mengenaskan dan menyedihkan itu disampaikan orang kepada Sangga Wikerthi, ayah Mundi Wardhani, lelaki berusia enam puluh tahun ini bukannya segera mendatangi tempat kejadian tapi mengambil sebilah golok pusaka dari dalam sebuah peti kayu. Senjata ini memiliki gagang besi berupa ukiran kepala singa, dengan sepasang daun telinga panjang mencuat ke atas. Inilah golok sakti bernama Singo Wilis. Konon besi pembuat golok ini berasal dari kepundan Gunung Wilis.

Senjata ini telah tersimpan lebih dari dua puluh tahun di dalam peti, tidak pernah disentuh. Walau senjata itu tajam berkilat namun di beberapa bagian tampak noda hitam. Itulah bekas noda darah yang tak sempat dibersihkan dan telah berubah menjadi karat yang kemudian menyatu dengan badan golok, membentuk racun berbahaya. Noda darah merupakan pertanda bahwa senjata ini dimasa lalu telah menelan banyak korban.

Sangga Wikerthi tanpa dapat dicegah segera berangkat menuju Kadiri dengan menunggang kuda. Jeritan sang istri memohon agar dia tidak pergi ke Kadiri tidak diperdulikan. Sebelum pergi Sangga Wikerthi meninggalkan pesan pada beberapa orang teman dan tetangga agar membantu mengurus jenazah anaknya.

"Wikerthi, kemanapun kau pergi jangan sendirian. Aku akan menemanimu." Seorang teman dekat bernama Katu Jingga yang juga tetangga Sangga Wikerthi berkata.

"Aku akan mencari pembunuh anakku! Aku tidak tolol! Anakku tidak mati bunuh diri! Mana mungkin! Dia digantung orang! Dan aku sudah tahu siapa pelakunya! Untuk membunuh manusia durjana itu aku tidak perlu bantuan siapapun!"

Katu Jingga tahu betul siapa sahabatnya itu. Selain ilmunya memang tinggi, jika satu kali Sangga Wikerthi mengucapkan sesuatu maka dia tidak akan melakukan hal lain kecuali melaksanakan niatnya. Kalau dia ingin membunuh seseorang maka dia tidak akan berhenti sebelum orang dimaksud menemui ajal di tangannya! Katu Jingga juga tahu riwayat golok Singo Wilis. Selama puluhan tahun senjata itu tidak pernah keluar dari dalam peti penyimpanan. Kalau hari itu Sangga Wikerthi menghunusnya, berarti paling tidak ada satu korban akan menemui ajal! Namun Katu Jingga merasa was-was. Dia telah bisa menduga siapa yang akan dihabisi Sangga Wikerthi. Sang sahabat merasa kawatir karena orang yang akan dibunuh bukan orang sembarangan. Dalam ilmu silat serta kesaktian orang itu jauh berada di atas tingkat kepandaian sahabatnya Sangga Wikerthi.

"Hati-hatil Wikerthi!" Menasehati Katu Jingga. "Selagi hatimu panas jangan mudah menuduh orang! Siapa menurutmu orang yang telah menggantung anakmu?"

"Orang yang melakukan perbuatan keji durjana itu adalah manusia jahanam yang telah menghamili anakku!" Setelah keluarkan ucapan itu Sangga Wikerthi segera membedal kuda tunggangannya.

Orang banyak di depan rumah jadi geger.

"Aku tahu dia pergi kemana dan mencari siapa!" Kata Katu Jingga pada orang-orang yang menge-lilinginya. "Kalian semua lekas ke Kali Brantas. Ambil dan bawa jenazah Mundi Wardhani. Siapkan upacara perabuan. Aku akan menyusul Wikerthi! Aku kawatir, kalau tidak dicegah akan terjadi pertumpahan darah!" Katu Jingga lalu lari ke kandang kuda.

* * *

BEBERAPA orang lelaki tampak sibuk di halaman rumah besar kediaman Giring Mangkureja di Kadiri. Salah seorang dari mereka menuntun seekor kuda lalu menunggu di depan tangga bersama dua temannya yang juga telah menyiapkan kuda masing-masing. Ketiganya adalah pembantu sekaligus pengawal Giring Mangkureja. Tak lama kemudian dari dalam rumah melangkah keluar seorang lelaki usia sekitar enam puluh tahun, berpakaian bagus namun berambut dan berwajah kusut. Inilah Giring Mang-kureja, saudagar pedagang yang juga memiliki tanah pertanian sangat luas, merupakan orang kaya dan terpandang di Kadiri.

Dia berjalan diikuti dua orang perempuan, satu berusia sudah agak lanjut satunya lagi masih muda. Wajah dua perempuan ini tampak rebak menahan cemas dan tangis. Perempuan yang tua adalah Suri Dhurani, istri tua Giring Mangkureja. Perempuan yang masih muda, bernama Liris Pramawari, gadis yang merupakan anak satu-satunya dari Giring Mangkureja. Seperti dikatakan tadi lelaki ini dikenal sebagai seorang pedagang dan petani kaya terpandang. Selain itu diketahui pula kalau dia memiliki ilmu silat serta kesaktian tinggi.

Ada kabar bahwa jika orang-orang dari satu kerajaan besar di barat akan mendirikan Kerajaan di Kadiri maka Giring Mangkureja akan dipercayakan jabatan Patih Kerajaan. Namun sebegitu jauh riwayat kehidupannya dimata penduduk setempat dianggap kurang baik. Ini disebabkan karena dia banyak mempunyai istri. Baik yang dikawin secara syah maupun yang diam-diam menjadi peliharaannya. Konon salah seorang perempuan yang jadi peliharaannya itu adalah Mundi Wardhani, janda muda puteri Sangga Wikerthi, yang pagi itu ditemui orang mati tergantung di cabang pohon. Baru saja Giring Mangkureja duduk di atas punggung kuda, tiba-tiba dari pintu halaman rumah besar menerobos masuk seorang penunggang kuda yang langsung berteriak!

"Giring Mangkureja! Kau mau pergi kemana?! Setelah membunuh anakku apa kau kira masih bisa hidup lebih lama?!"

Sementara kudanya masih berlari kencang, si penunggang kuda yang bukan lain adalah Sangga Wikerthi, ayah Mundi melesat d i udara. Tangan kanan sudah mencekal golok Singo Wilis, putih berkilat bernoda darah kering hitam. Semua gerakan yang dibuat oleh lelaki yang hampir seumur dengan Giring Mangkureja ini merupakan bukti bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi.

"Sangga Wikerthi! Tahan serangan. Kita bicara dulu! Aku tadinya memang hendak ke Gampingrejo menemuimu!" Teriak Giring Mangkureja sementara anak istrinya berpekikan ketakutan.

"Manusia terkutuk Giring Mangkureja! Kau tak perlu jauh-jauh pergi ke Gampingrejo. Aku sudah datang ke sini untuk menagih nyawamu!" Sangga Wikerthi balas berteriak lalu lelaki yang sudah kalap Ini mana mau menahan serangan. Dia membuat gerakan jungkir balik di udara, tubuh melesat lebih deras, melayang ke bawah menebar serangan golok yang ganas dalam jurus bernama Hantu Dari Langit Menebar Petaka.

Giring Mangkureja sudah lama kenal dengan Sangga Wikerthi. Malah sebenarnya mereka berdua adalah saling bersahabat Melihat jurus serangan yang dilancarkan orang Giring Mangkureja segera maklum kalau Sangga Wikerthi tidak main-main dan memang benar-benar ingin membunuhnya! Hal ini juga diketahui oleh dua orang pengawal. Dengan cepat keduanya mencabut golok masing-masing lalu menerjang menghadapi serangan.

"Traangg! Traangg!"

Dua kali terdengar suara dentrang senjata beradu dan dua kali bunga api memercik di udara. Dua bilah golok mencelat mental. Dua pengawal Giring Mangkureja berteriak kaget. Mereka dengan cepat melompat mundur. Salah seorang di antaranya terbungkuk-bungkuk pegangi tangan yang mengucurkan darah. Dua jari tangan kanannya ternyata telah dibabat putus oleh golok Sangga Wikerthi sewaktu terjadi bentrokan senjata!

Pengawal ke tiga tidak tinggal diam. Dia segera mencabut senjata menyerupai clurit yang terselip di pinggang lalu menghadang gerakan Sangga Wikerthi yang kembali hendak menerjang ke arah Giring Mangkureja. Tapi nasib pengawal yang satu ini lebih buruk dari dua temannya. Setelah cluritnya dibuat patah dua dan mental oleh hantaman golok Singo Wilis, senjata ini terus bersiur deras, berkelebat ganas dan... crasss!

Darah menyembur. Leher sang pengawal nyaris putus! Tubuhnya tak ampun tergelimpang roboh bergelimang darah. Suri Dhurani, istri Giring Mangkureja dan puteri Liris Pramawari sama-sama terpekik.

"Sangga!" teriak Giring Mangkureja. "Buang amarahmu, tenangkan hati! Simpan senjatamu! Aku tahu kau menjadi kalap seperti ini karena kematian puterimu! Kalap boleh saja tapi jangan jadi seperti kemasukan setan! Mundi anakmu tidak mati bunuh diri tapi dibunuh orang!"

"Betul sekali!" teriak Sangga Wikerthi sambil melintangkan golok berlumuran darah di depan dada. Mata mendelik berkilat, rahang menggembung. "Kau berani bicara! Tapi pengecut mengakui kalau kaulah yang telah membunuh puteriku! Kau tidak mau bertanggung jawab atas perbuatanmu menghamili anakku!"

"Tunggu dulu Sangga! Itu cerita tidak betul! Aku dan puterimu sudah merencanakan untuk menikah..."

"Pembunuh terkutuk! Kalau begitu kau nikahi anakku di alam arwah!" bentak Sangga Wikerthi. Tanpa banyak bicara lagi Sangga Wikerthi segera menyerbu Giring Mangkureja dengan golok berlumur darah!

Untuk beberapa jurus lamanya Giring Mangkureja masih mampu menghadapi serangan lawan yang bersenjata golok sementara dia masih mengandalkan tangan kosong. Sambil terus mengelak lelaki ini tiada henti berteriak agar Sangga Wikerthi hentikan serangan dan menyimpan senjatanya. Namun serangan lawan semakin hebat. Satu kali ujung golok di tangan Sangga Wikerthi berhasil merobek baju dan menggores luka di dada Giring Mangkureja. Pedagang dan petani kaya ini langsung merasa dadanya menjadi panas tanda ada hawa jahat masuk ke dalam tubuhnya. Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam untuk memusnahkan. Sambil mengusap goresan luka di dada Giring Mangkureja berkata.

"Sangga! Aku mohon untuk terakhir kali! Hentikan seranganmu! Ada orang lain memancing di air keruh!"

Sangga Wikerthi menyeringai sinis. "Nyawa sudah di depan mata! Masih berusaha mengelabui diriku!"

Golok besar di tangan Sangga Wikerthi disentakkan lurus ke atas. Lalu perlahan-lahan senjata ini ditukik-kan ke bawah. Di saat yang bersamaan golok keluarkan cahaya berpijar. Sesaat kemudian golok itu pancarkan cahaya merah yang berubah menjadi nyala api!

"Hantu Api Menyulut Bumi!" Ucap Giring Mangkureja mengenali jurus ilmu kesaktian yang hendak dikeluarkan Sangga Wikerthi. Dan dia tahu, paling tidak lima orang berkepandaian tinggi pernah menjadi korban oleh jurus serangan ini! Dengan cepat Giring Mangkureja geser dua kaki, dikembangkan begitu rupa sementara dua telapak tangan disatukan dan diletakkan di atas kepala.

"Ayah! Jangan keluarkan Ilmu itu!" Tiba-tiba Liris Pramawari berteriak ketika melihat gerekan yang dilakukan Giring Mangkureja. Rupanya si gadis tahu betul kehebatan ilmu kesaktian sang ayah yang bisa mencelakai lawan. Walau dia sadar ayahnya dalam bahaya namun gadis ini juga tidak ingin orang lain menemui celaka. Namun dua orang yang sedang bertarung sudah disusupi hawa amarah yang membuat hati mereka berubah menjadi sebuas setan!

"Wuttt!" Golok pusaka di tangan Sangga Wikerthi menyambar ke arah Giring Mangkureja.

"Wusss!"

Yang menyerang bukan cuma golok tapi juga nyala kobaran api! Bagian depan kobaran api membentuk sosok kepala singa dengan mulut terbuka! Inilah kehebatan golok Singo Wilis. Lawan akan menghadapi tiga serangan sekaligus. Pertama terkaman singa api jejadian, kedua sambaran kobaran api dan ketiga babatan golok. Melihat serangan lawan yang luar biasa ganas dan menakutkan. Suri Dhurani dan Liris Pramawari menjerit keras.

"Sangga Wikerthi! Aku mohon hentikan perkelahian ini!" teriak Suri Dhurani. Istri Giring Mangkureja ini bukan cuma berteriak tapi juga melompat menghadang datangnya tiga serangan.

"Suri! Lekas menyingkir!" Giring Mangkureja berteriak memberi ingat. Namun terlambat. Tiga serangan Sangga Wikerthi datang luar biasa cepat. Singa jejadian telah lebih dulu menerkam kepala perempuan itu.

"Kreeekkk!"

Lalu wussss! Menyusul sambaran api dan yang terakhir babatan golok di bagian pinggang!

"Ibu" Jeritan Liris Pramawari seolah tembus sampai ke langit.

Giring Mangkureja menggembor keras. Sangga Wikerthi meski tersentak tidak menyangka serangannya mencelakai Suri Dhurani namun kemudian menyeringai. Mulutnya berucap lantang. "Giring Mangkureja! Itu pembalasan dari Mundi Wardhani anakku yang telah kau hamili dan kau bunuh! Sekarang terima pembalasan dariku!"

Saat itu tubuh Suri Dhurani telah tergelimpang di tanah. Kepala yang diterkam singa jejadian tampak tidak berbentuk lagi. Sebagian tubuh hangus sementara di pinggang tampak koyakan luka besar mengerikan. Didahului teriakan menyayat hati Liris Pramawari jatuhkan diri ke tanah, menubruk mayat ibunya.

Giring Mangkureja juga segera hendak merangkul tubuh istrinya namun saat itu Sangga Wikerthi putar pergelangan tangannya yang memegang golok Singo Wilis. Kepala singa jejadian dan kobaran api lenyap. Kini yang kelihatan hanya batangan golok berlumuran darah. Senjata itu keluarkan cahaya berpijar, dibabatkan tiga kali, ke kiri dan ke kanan lalu menyambar ke arah leher Giring Mangkureja. Cahaya berpijar yang keluar dari golok Singo Wilis menyilaukan pandangan mata Giring Mangkureja. Namun lelaki ini tidak bergerak dari tempatnya. Dua kaki merenggang. Dua tangan di atas kepala yang tadi saling dirapatkan tiba-tiba dibuka lalu ditepukkan satu dengan lainnya. Bersamaan dengan itu Giring Mangkureja berteriak.

"Dua Gunung Menutup Pintu Akhirat!"

4. HUKUMAN PARA DEWA

HANYA sejengkal lagi golok sakti akan membabat putus leher Giring Mangkureja mendadak blaarr... blaarr! Di tempat itu secara tiba-tiba muncul dua dinding batu besar berwarna hijau pekat. Saat yang bersamaan terdengar suara menggemuruh hingga tanah bergetar hebat, bangunan dan pepohonan berderak-derak.

Sangga Wikerthi berseru terkejut melihat dua dinding batu hijau pekat muncul di kiri kanannya. Mukanya seputih kapas. "Dewa Bathara Jagat! Jadi manusia terkutuk itu benar-benar memiliki ilmu Dua Gunung Menutup Pintu Akhirat!"

Dengan cepat Sangga Wikerthi melompat ke belakang. Tapi dua kakinya terkunci, laksana dipantek ketanah! Dalam ketakutan yang amat sangat Sangga Wikerthi berteriak keras lalu lemparkan golok Singo Wilis ke arah Giring Mangkureja. Walau dia dapat melukai bahu kiri lawan namun dia tidak mampu selamatkan diri dari serangan Dua Gunung Api Menutup Pintu Akhirat. Dua dinding batu hijau menjepit tubuhnya secepat kilat menyambar.

"Kraaakkkk!"

Sekujur tubuh Sangga Wikerthi tenggelam amblas masuk dalam jepitan dua dinding hijau. Suara jeritannya terdengar sayup-sayup seolah datang dari dalam tanah!

Giring Mangkureja geser dua kaki. Tangan di atas kepala perlahan-lahan diturunkan ke samping. Dua dinding batu bercahaya hijau pekat lenyap dari pandangan mata. Kini di tanah terbujur sosok Sangga Wikerthi dalam ujud mengerikan. Sekujur tubuh lelaki itu hancur sepipih daun pisang! Saat itulah Kutu Jingga sampai di tempat kejadian. Kerabat dari Gampingrejo ini melompat dari punggung kuda sambil berteriak berulang kali. Dia berdiri di hadapan tubuh Sangga Wikerthi tapi begitu ngerinya dia tidak berani memandang ujud jenazah sahabatnya itu.

"Aku terlambat, aku tak kuasa mencegah!" Ucap Katu Jingga sambil gelengkan kepala dan menarik nafas berulang kali. Perlahan-lahan Katu Jingga berpaling ke arah Giring Mangkureja yang saat itu berdiri terhuyung-huyung, luka di bahu masih mengucurkan darah sementara anak perempuan dan seorang pengawal berdiri memegangi tubuhnya.

"Raden Mas Giring Mangkureja, kalian bersahabat. Mengapa tega membunuh Sangga Wikerthi? Apa benar kau telah membunuh pula puterinya Mundi Wardhani?"

Giring Mangkureja menatap sayu ke arah Katu Jingga. Suaranya perlahan ketika berkata. "Kau adalah juga sahabatnya. Selidiki kejadian ini. Mudah-mudahan Para Dewa memberi petunjuk dan kau akan mendapatkan kebenaran." Lalu Giring Mangkureja berpaling pada puterinya. "Bawa aku masuk ke dalam rumah. Tubuhku terasa panas. Luka di dada dan bahuku mengandung racun. Tolong urus cepat jenazah ibumu..."

Sang puteri Liris Pramawari dan pengawal segera memapah Giring Mangkureja masuk ke dalam rumah. Namun baru dua langkah menindak, tiba-tiba ada satu cahaya putih menerangi bagian depan rumah besar. Setelah itu terdengar suara seseorang yang ujudnya tidak kelihatan. Suara itu memiliki gema penuh wibawa.

"Giring Mangkureja, kau baru saja berbuat dosa besar. Mengapa tidak mencari jalan terbaik dalam menyelesaikan perkara. Tetapi malah membunuh Sangga Wikerthi, sahabatmu yang sebenarnya saat ini sudah menjadi ayah mertuamu sendiri. Karena bukankah kau telah menghamili puterinya yang bernama Mundi Wardhani?"

Semua orang yang ada di tempat itu sama-sama terkejut. Yang paling kaget adalah Giring Mangkureja. "Aku mohon bertanya. Siapa yang barusan bicara menegur diriku?" Suara Giring Mangkureja terdengar bergetar.

"Aku Roh Agung, utusan Para Dewa dari Swargaloka."

Mendengar jawaban itu Giring Mangkureja terbelalak. Lalu cepat-cepat jatuhkan diri. Liris Pramawari anak gadisnya ikut pula berlutut di tanah. Katu Jingga yang masih ada di tempat itu serta para penghuni rumah besar yang tadinya hendak mengangkat jenazah Suri Dhurani cepat-cepat melakukan hal yang sama.

"Roh Agung utusan Para Dewa. Aku mengaku telah menghamili Mundi Wardhani, puteri Sangga Wikerthi. Aku juga mengakui telah membunuh sahabatku Sangga Wikerti. Namun Roh Agung, kau tentu mengetahui bahwa aku membunuh lelaki itu dalam keadaan terpaksa. Ketika aku harus menyelamatkan jiwaku dari maksudnya yang hendak membunuh diriku. Dan kau wahai Roh Agung, apakah tidak melihat mayat istriku yang jadi korban keganasan Sangga Wikerthi? Mengapa hal itu tidak menjadi pertanyaan bagimu?"

"Itu adalah jawaban dan alasan yang sangat dicari-cari. Apakah kau tidak menyadari kalau semua kejadian ini berpangkal pada sebab kau menghamili Mundi Wardhani?"

"Aku tahu dan aku sadar. Semua aku lakukan bukan karena niat tidak baik atau pelampiasan nafsu semata. Tapi aku inginkan seorang keturunan lagi. Seorang anak laki-laki. Puluhan tahun memiliki istri bukan hanya satu orang, tapi aku hanya dikaruniai seorang anak perempuan. Yaitu anak perempuan yang saat ini telah remaja gadis bernama Liris Pramawari. Aku mendambakan akan kehadiran seorang anak laki-laki. Ketika Mundi Wardhani hamil, kami sangat berbahagia. Karena kami punya firasat anak yang dikandungnya adalah seorang anak laki-laki. Kami sudah sepakat untuk melangsungkan pernikahan. Hanya saja aku yakin ada pihak ketiga yang memanfaatkan keadaan. Memancing di air keruh. Sengaja membunuh Mundi Wardhani agar diriku yang menjadi korban tuduhan. Aku tidak membunuh perempuan itu. Aku tidak gila membunuh calon istri yang di dalam tubuhnya ada jabang bayi darah dagingku sendiri! Untuk itu aku bersedia bersumpah di hadapan Para Dewa..."

"Giring Mangkureja. Apa kau tidak sadar kalau sumpahmu itu hanya memperkuat pertanda akan ketololan dirimu sendiri? Apa kau kira peristiwa mengerikan itu akan terjadi jika kau mampu menahan nafsu terhadap perempuan? Sudah berapa banyak perempuan yang kau kawini secara syah dan berapa banyak pula yang kau kawini hanya sebagai peliharaan. Giring Mangkureja, jangan berani mempermainkan Para Dewa dengan mencari-cari alasan."

"Roh Agung, aku tidak mempermainkan Para Dewa Para Junjungan, juga tidak sengaja mencari alasan. Aku sudah menerangkan mengapa aku punya banyak istri dan juga perempuan peliharaan. Apakah kau tidak mendengar atau sengaja mengabaikan? Aku mohon kalau diriku memang salah maka agar kesalahan itu dipertimbangkan secara adil!"

Suara tanpa ujud tertawa bergema. "Giring Mangkureja, apa kau kira selama ini Para Dewa tidak berlaku adil? Justru aku diutus untuk melaksanakan keadilan itu! Para Dewa telah memutuskan menghukum dirimu. Selama tujuh tahun kau akan dilempar ke satu tempat terpencil, dan ujudmu akan dirubah menjadi manusia tengkorak alias jerangkong hidup"

Suri Dhurani dan Liris Pramawari terpekik mendengar ucapan Roh Agung itu. Sebaliknya Giring Mangkureja terkulai lemas dan jatuh terduduk di tanah.

"Giring Mangkureja? Apa jawabmu?" Suara tanpa ujud bertanya.

Susah payah Giring Mangkureja tegakkan kepala. "Kalau memang itu menjadi keputusan Para Dewa, aku mana berani menampik. Cuma ada suara di lubuk hatiku saat ini bertanya. Kepada siapa lagi aku akan merunduk atau beteriak minta keadilan? Roh Agung, agaknya akupun tidak bisa berharap banyak padamu! Silahkan hukuman dijatuhkan atas diriku saat ini juga! Aku sungguh merasa bahagia menjadi insan contoh dari satu ketidak adilan!"

Roh Agung keluarkan suara bergumam pertanda merasa tidak senang mendengar ucapan Giring Mangkureja itu. Satu cahaya terang kebiru-biruan mendadak berkiblat di tempat itu. Siap menerpa ke arah Giring Mangkureja. Itulah cahaya jatuhnya hukuman! Liris Pramawari bertindak cepat. Dia melompat memeluk ayahnya. "Siapa saja yang hendak menghukum ayahku, hukum juga diriku! Siapa saja boleh membunuh kami berdua saat ini!" Teriak Liris Pramawari.

5. BAKTI SEORANG ANAK

CAHAYA biru mendadak tertahan menggantung di udara. Sambil terus memeluk ayahnya si gadis berucap dengan suara lantang.

"Roh Agung utusan Para Dewa! Para Dewa di Swargaloka! Keadilan bukanlah segala-galanya! Ayah saya memang bersalah. Tapi kadar kesalahannya tidak seperti yang dituduhkan. Ayah tidak pernah membunuh perempuan bernama Mundi Wardhani itu. Dia membunuh Sangga Wikerthi karena berusaha menyelamatkan nyawa sendiri dari serangan orang. Banyak mata menyaksikan kejadian itu! Juga banyak mata menyaksikan ketika bagaimana Sangga Wikerthi membunuh ibu! Tetapi mengapa ada yang sengaja memicing mata menutup mulut atas kejadian ini. Sebaliknya memperbesar kesalahan hanya pada diri ayah saya! Apakah itu yang dinamakan keadilan!? Apa di jagat ini tidak ada lagi yang namanya kebijaksanaan dalam menilai kesalahan ayahku? Penjatuhan hukuman hanya dari atas ke bawah tanpa yang dibawah boleh membela diri!?"

Baru saja Liris Pramawari mengeluarkan ucapan itu tiba-tiba tanah bergetar seperti dilanda gempa. Entah dari mana datangnya tahu-tahu angin bertiup sangat kencang. Tanpa merasa gentar sama sekali Liris Pramawari melompat berdiri. Dua tangan di angkat tinggi-tinggi ke atas. Lalu gadis ini keluarkan ucapan lantang.

"Alam boleh marah! Para Dewa ingin menunjukkan kekuasaan! Saya tidak bermaksud membangkang apa lagi berani menantang! Ayah saya sudah siap menerima hukuman! Tetapi sebagai anaknya saya punya hak dan harus diberi kesempatan untuk membela ayah saya! Kalau tidak diberi kesempatan maka saya akan melakukan tapa seribu hari di puncak Semeru, biar bumi terbalik langit runtuh laut meluap"

Diam, tak ada yang bicara. Akhirnya terdengar suara Roh Agung. Kali ini agak lembut dari sebelumnya tapi tetap penuh wibawa. "Liris Pramawari, sebelum Para Dewa menjadi murka atas sikap dan ucapanmu, katakan apa yang ada dalam benak dan hati sanubarimu"

"Roh Agung, saya mohon agar ayah saya diampuni atas segala dosanya. Untuk itu saya bersedia menanggung dosa dan menjalani hukuman beliau yang telah diputuskan Para Dewa atas diri ayah!"

"Byaarr!"

Cahaya kebiruan yang sejak tadi menggantung di udara hilang! Saat itu juga tiba-tiba getaran di tanah lenyap, tiupan angin sirna. Tempat itu sesunyi malam buta di pekuburan. Dalam keadaan seperti itu Liris Pramawari jatuhkan diri, bersujud dengan kening diletakkan di tanah. Sepasang mata Giring Mangkureja berkaca-kaca, suaranya terbata-bata ketika berkata.

"Liris anakku, jangan herani menentang kehendak Yang Maha Kuasa. Aku sudah siap menjalani hukuman karena aku memang orang berdosa. Kau tidak pantas membela diriku..."

"Ayah, saya tidak akan beranjak dari tempat ini sebelum Para Dewa mengabulkan permohonan saya!" Ucap si gadis. Lalu keningnya ditekan keras-keras ke tanah. Demikian kerasnya dia menekankan kening hingga kulit keningnya mulai pecah dan mengucurkan darah.

"Liris Pramawari," tiba-tiba terdengar suara Roh Agung. "Para Dewa sangat kecewa dengan ucapan dan tindakanmu! Namun dari sisi kenyataan bagaimana kau telah memperlihatkan bakti terhadap orang tua maka Para Dewa mengabulkan permintaanmu."

Liris Pramawari tidak bergerak dari tempatnya bersujud. Gadis ini keluarkan ucapan. "Roh Agung, saya akan tetap di sini, dalam keadaan seperti ini sampai saya mendengar apa keputusan Para Dewa."

"Wahai anak gadis pembela orang tua. Dengar baik-baik. Inilah keputusan Para Dewa. Ayahmu tidak akan dikucilkan. Ayahmu tidak akan dirobah menjadi mahluk jerangkong. Tapi mulai hari ini kau diperintahkan harus melakukan tiga kebajikan besar. Tiga kebajikan itu harus terlaksana dalam jangka waktu dua belas bulan purnama. Sebelum kau mampu melaksanakan tiga kebajikan itu maka secara perlahan-lahan dirimu akan berubah menjadi jerangkong. Kejadian itu akan dimulai dari lima ujung jari tanganmu. Setiap hari, sedikit demi sedikit bagian tubuhmu itu akan berubah menjadi tulang belulang yang akan terus menjalar naik sampai ke telapak tangan, lengan, bahu terus ke seluruh bagian tubuhmu yang lain termasuk kepala. Bilamana kau tidak pernah mampu melakukan satupun dari tiga kebajikan besar maka selama tujuh tahun kau akan hidup sebagai mahluk jerangkong! Keputusan Para Dewa telah diambil. Ini merupakan sumpah perjanjian! Dan kau tidak bisa menolak!"

Liris Pramawari perlahan-lahan bangkit berdiri. Sambil perhatikan sepuluh jari tangannya dia berkata. Suara dan ucapannya benar-benar tegar. "Terima kasih Roh Agung. Terima kasih wahai Para Dewa. Saya menerima sumpah perjanjian ini!"

"Janji telah diucapkan. Sumpah telah diangkat! Liris Pramawari, berkat Para Dewa menjadi bagianmu. Semoga kau berhasil. Aku pergi sekarang!"

Cahaya putih menyinari tempat itu lalu lenyap bersamaan dengan sirnanya gaung suara Roh Agung.

"Liris anakku, apakah kau sadar kalau mulai saat ini kau telah menempatkan dirimu dalam kehidupan sangat berbahaya...?" Giring Mangkureja berkata dengan air mata berlinangan.

"Ayah," jawab sang puteri. "Tidak ada yang paling saya takutkan kecuali tidak bisa berbakti pada ayah dan ibu. Saya sangat sedih, manusia sesat bernama Sangga Wikerthi itu telah membunuh ibu. Kalau saja ibu masih hidup..."

Perlahan-lahan Giring Mangkureja yang masih terduduk di tanah beringsut mendekati puteri. Tiba-tiba dia peluk tubuh Liris Pramawari kencang-kencang. Bersamaan dengan itu dari tubuhnya memancar cahaya hijau. Cahaya Ini dengan cepat masuk ke dalam badan si gadis. Ketika cahaya hijau lenyap, Giring Mangkureja roboh pingsan ke tanah.

"Ayah, apa yang kau lakukan....?" tanya Liris Pramawari. Dia merasa tubuhnya enteng sekali. Pemandangan jernih dan sangat terang.

Sang ayah diam tidak bergerak, tidak menjawab. Lelaki ini baru saja memindahkan semua ilmu kepandaian dan ilmu kesaktiannya ke dalam diri anaknya! Orang banyak yang sejak tadi terpana berdiam diri menyaksikan apa yang terjadi kini seolah sadar. Sebagian menolong Giring Mangkureja memapah lelaki ini masuk ke dalam rumah. Sebagian lagi mengangkat jenazah Suri Dhurani.

* * *

DI ATAS dangau Sebayang Kaligantha menatap paras cantik gadis di hadapannya Itu beberapa ketika lalu berkata. "Kisah dirimu sungguh luar biasa. Hanya sayang, kau seperti tidak percaya pada diriku. Kau sengaja merahasiakan sesuatu..."

"Maksudmu?" tanya gadis berpakaian putih yang barusan menuturkan riwayat dirinya.

"Sahabat, dalam riwayat yang kau ceritakan, kau sama sekali tidak menyebut nama dirimu, tidak menjelaskan nama kedua orang tuamu, juga nama orang yang telah membunuh ayahmu. Termasuk juga nama perempuan yang mati digantung itu. Lalu kau tidak pula mengatakan tempat kejadian..."

Si gadis menghela nafas dalam. "Selama aku menjalani sumpah yang disertai kewajiban melaksanakan tiga kebajikan besar, aku tidak mungkin menerangkan siapa diriku, siapa kedua orang tuaku. Juga mengenai tempat asal usulku. Aku tetap harus menjaga nama dan kehormatan ayah dan keluarga."

"Apa ayahmu tidak pernah menceritakan siapa orang yang dikatakannya sebagai pembunuh perempuan yang mengandung itu?"

Gadis cantik berpakaian dan berkerudung putih gelengkan kepala. "Ayah tidak pernah menceritakan. Selain itu aku tidak pernah berkesempatan untuk bertanya. Sehari setelah jenazah itu diperabukan, ayah menghilang dari rumah besar. Dia meninggalkan sepucuk surat. Memberi tahu agar dirinya tidak perlu dicari. Dia akan bersunyi diri selama dua belas purnama di satu tempat dan akan kembali bilamana aku telah selesai menjalankan sumpah perjanjian..."

"Kau harus berusaha mencari siapa orang yang telah membunuh perempuan yang mengandung itu. Jika kau berhasil maka berarti kau membongkar kejahatan besar. Ini berarti kau akan membuat satu kebajikan lagi..."

"Kau benar. Mudah-mudahan begitu. Aku akan mengingat baik-baik ucapanmu itu," kata si gadis pula.

Sebayang Kaligantha perhatikan dua tangan yang terlindung di balik Jubah lengan panjang putih. "Sahabat, kau barusan telah berbuat satu kebajikan besar. Menolong diriku. Apakah itu bukan berarti sumpah yang kau jalani sekarang telah berkurang? Maksudku, coba kau singkapkan dua lengan jubah. Aku punya perasaan..."

Sepasang mata si gadis yang bernama Liris Pramawari ini membesar, menatap si pemuda sebentar. "Kau benar..." katanya. Lalu cepat-cepat dia singsingkan lengan jubah sebelah kiri. "Dewa Penuh Asih!" seru si gadis ketika menyaksikan bagaimana tangannya yang sebelumnya berupa tulang belulang sampai sebatas siku kini telah turun hanya sampai pergelangan tangan. Hal yang sama juga terjadi dengan tangan kanannya.

"Yang Maha Kuasa tidak pernah berdusta, tidak pernah ingkar janji. Kita harus Ingat hal itu baik-baik...." Ucap Sebayang Kaligantha. "Sahabat, aku harus meneruskan perjalanan. Ada urusan besar yang harus aku lakukan. Mencari dan menemukan kembali sebuah jimat milikku yang telah dicuri orang. Kita berpisah di sini. Sekali lagi aku sangat berterima kasih padamu..."

Si gadis terdiam sejenak. Wajahnya tampak agak meredup. "Terus terang, aku ingin pergi bersamamu. Tapi kita sama-sama punya urusan. Aku tidak mau mengganggu dirimu. Apakah kita akan bertemu lagi?"

Sebayang Kaligantha tersenyum. "Selama langit masih biru, selama gunung masih hijau dan selama air sungai masih mengalir ke lautan kita pasti akan bertemu lagi," jawab si pemuda.

"Sebayang, aku gembira mendengar ucapanmu itu. Apalagi disampaikan dengan kata-kata yang begitu indah."

"Aku akan selalu mengingat dirimu. Karena kau tidak mau memberi tahu nama, biarlah aku akan menyebut dirimu sebagai Dewi..."

Si gadis tertawa. "Dewi...? Nama yang terlalu bagus untuk diriku. Dewi apa...? Dewi Tangan Jerangkong? Hik...hik...hik." Si gadis masih tertawa. Matanya menatap ke arah dada si pemuda dimana terdapat luka melintang. "Bolehkah aku mengusap dadamu yang luka itu?" si gadis bertanya.

Belum sempat Sebayang Kaligantha menjawab, si gadis ulurkan tangan kanan, lalu tempelkan telapak tangan yang hanya berupa tulang belulang di atas luka. Ketika tangan itu mengusap satu kali maka... wuss! Asap putih mengepul. Sebayang Kaligantha merasakan ada hawa sejuk memasuki tubuhnya. Begitu kepulan asap sirna saat itu pula bekas luka di dada si pemuda lenyap tak berbekas.

"Luar biasa! Kau...!" Sebayang Kaligantha sampai berseru saking kagum sekaligus gembira. Dia ulurkan tangan hendak menyentuh lengan si gadis. Namun gadis itu tidak ada lagi di hadapannya. Memandang ke arah timur Sebayang Kaligantha melihat noktah putih di kejauhan. "Gadis luar biasai Gadis hebat!" Si pemuda gelengkan kepala berulang kali. Dia gadis baik. Aku merasa kasihan. Di usia semuda itu dia harus menghadapi cobaan hidup begitu hebat. Untung saja ayahnya berlaku arif. Memindahkan seluruh ilmu kesaktian pada gadis itu. Dewi Tangan Jerangkong, siapa namamu sebenarnya....?"

6. SUMUR API KEMBALI MEMINTA KORBAN

SEBELUMNYA telah diriwayatkan dalam Pangeran Bunga Bangkai. Pada suatu malam bulan purnama yang telah ditunggu-tunggu, Ananthawuri gadis desa pilihan Para Dewa, secara gaib telah melahirkan dua orang bayi lelaki. Atas kehendak Para Dewa yang disampaikan melalui Roh Agung, bayi sulung yang beranting-anting emas di telinga kiri diberi nama Dirga Purana. Bayi kedua yang merupakan si bungsu dan beranting-anting emas di telinga kanan diberi nama Mimba Purana.

Pada saat dua bayi lahir di kejauhan terdengar suara genta lonceng. Ananthawuri bertanya pada Roh Agung apa artinya suara lonceng itu. Dijawab oleh Roh Agung bahwa suara genta lonceng datang dari Swargaloka tempat kediaman Para Dewa. Merupakan satu pertanda bahwa salah seorang dari dua putera Ananthawuri kelak akan menerima ilmu kesaktian yang bersumber pada Lonceng Gaib pemberian Para Dewa, terbuat dari emas. Di malam yang sama ketika Dirga Purana dan Mimba Purana lahir di Bhumi Mataram, di luar Sumur Api telah berkumpul sembilan orang berkepandaian tinggi yang semua memiliki satu tujuan yaitu berusaha masuk ke dalam dasar sumur untuk mendapatkan dua bayi.

Roh Agung melalui ucapannya pada Ratu Dhika Gelang Gelang setelah sang Ratu menyerang Pangeran Bunga Bangkai di goa di Tegalrejo, sebelumnya sudah mengetahui bahwa akan berkumpul banyak tokoh di Sumur Api. Semua membekal niat jahat yang sama dan berusaha menyusup ke dasar sumur untuk mendapatkan dua bayi. Maka dia memerintahkan Ratu Dhika Gelang Gelang untuk menjaga Sumur Api. Tidak boleh satu orangpun lolos masuk ke dasar Sumur Api, apa lagi sampai terjadi ada bayi yang berhasil diculik dilarikan!

Ratu Dhika Gelang Gelang dengan ilmu kesaktiannya memang berhasil membunuh tiga orang berkepandaian tinggi yang berusaha masuk ke dalam Sumur Api walau dirinya terluka di dalam. Korban pertama Ratu Dhika Gelang Gelang adalah seorang tokoh berjuluk Hantu Mata Iblis bernama Kamara Tunggaibisma. Yang berikutnya adalah sepasang kakek nenek sakti bernama Ametung Warangtilis dan Kunti Jenggala. Namun kucing sakti peliharaannya yaitu Ragil Abang menemui ajal di tangan Ametung Warangtilis.

Ketika Ratu Dhika Gelang Gelang siap mengamuk, enam orang tokoh silat segera mengurung, siap untuk menghabisinya. Kali ini sang Ratu yang konon adalah puteri tertua Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu dari Istri yang ke tiga itu benar-benar terancam keselamatannya. Dia bisa menghabisi semua musuh tapi apakah dia juga mampu selamatkan diri?

Di saat yang sama Pangeran Bunga Bangkai Nalapraya sampai pula di tempat itu diantar dua sahabatnya yakni Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik. Niat sang Pangeran hendak menolong tidak diperdulikan sang Ratu karena dia telah sempat merasa curiga terhadap manusia berkepala aneh itu.

"Dia muncul di sini pasti ada sangkut paut dengan rahasia tersembunyi di dasar Sumur Api?" membatin Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun perempuan bertubuh gemuk mengenakan kemben merah ini tidak bisa berpikir lama. Saat itu enam orang yang mengurungnya telah bergerak menyerbu. Enam larik cahaya maut menyambar!

Ratu Dhika Gelang Gelang mendengus. Dia tahu bahaya besar mengancam. Tapi dia tidak takut! Inilah kehebatan jiwa seorang puteri Kerajaan Mataram! Dua tangan diangkat ke atas, digoyang keras sementara dua kaki dihentakkan ke tanah. Terdengar suara berkerincing riuh sekali. Dua puluh cahaya kuning menyilaukan melesat dari dua puluh kerincing emas yang melingkar di dua pergeiangan tangan dan pergelangan kaki Ratu Dhika Gelang Gelang.

Sesaat lagi akan terjadi bentrokan hebat di udara antara dua puluh cahaya kuning dan enam cahaya penyerang tiba-tiba tam...tam...taml Ada suara gema tambur ditabuh membuat tanah bergetar, mengacau aliran darah. Di saat bersamaan mendengung keras membelah udara suara tiupan seruling, menutup liang telinga, menyumbat jalan pernafasan!

Lalu terjadi satu peristiwa luar biasa hebat! Enam orang yang menyerbu Ratu Dhika Gelang Gelang terangkat ke udara. Seperti ada tangan-tangan raksasa yang tidak kelihatan enam tubuh itu terbang ke tanah. Beberapa orang menghantam gundukan batu. Beberapa lainnya melabrak batang pohon besar. Jerit pekik memenuhi udara. Enam tubuh berkaparan di tanah. Tiga dengan kepala hancur. Dua patah leher, satu lagi dada jebol remuk. Semuanya tentu saja tidak bernyawa lagi!

Untuk beberapa lama keadaan di tempat itu diselimuti kesunyian menggidikkan sebelum direrobek kembali oleh suara tambur dan tiupan seruling. Ratu Dhika Gelang Gelang cepat palingkan kepala kearah datangnya suara tambur dan suling. Dia melihat dua bayangan orang bergerak keluar dari balik bayangan gelap dua pohon besar. Yang pertama adalah lelaki gemuk pendek bermuka bopeng asyik menabuh tambur sambil tertawa cengar-cengir. Di sebelahnya berjalan lelaki tinggi kurus, bermuka burik putih, termonyong-monyong meniup seruling.

"Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik," ucap Ratu Dhika Gelang Gelang dalam hati. Dia tidak begitu suka melihat kehadiran ke dua orang ini. Perasaannya lebih banyak dipenuhi rasa curiga. Dia juga telah menerima pesan dari Arwah Ketua agar mengawasi gerak gerik kedua orang ini. "Tadi aku mendengar suara Pangeran Bunga Bangkai. Dia bicara padaku. Mengatakan aku terluka di dalam. Tapi sekarang mengapa orangnya tidak kelihatan?" Ratu Dhika membatin.

Si Tambur bopeng hentikan menabuh tambur. Si Suling Burik turunkan seruling yang ditiup. "Ratu Dhika Gelang Gelang, mohon dimaafkan kalau kehadiran kami mengganggu ketenteramanmu. Kami bermaksud..."

Walau tidak senang tapi karena sadar orang telah menolong dirinya maka sang Ratu memotong ucapan Si Tambur Bopeng dan berkata sekedar berbasa-basi. "Terima kasih kalian telah menolong diriku dari keroyokan enam manusia tidak berguna itu. Walau sebenarnya aku merasa tidak perlu ditolong..."

Si Tambur Bopeng dan Si Suling EJurik saling pandang dan sama-sama menyeringai. Si Tambur Bopeng tabuh gendangnya keras-keras hingga tubuh gemuk Ratu Dhika Gelang Gelang bergoyang-goyang. "Ratu Dhika Gelang Gelang. Jangan salah menduga. Kami memang tidak bermaksud menolong dirimu!"

"Heh?!" Ratu Dhika Gelang Gelang jadi kerenyitkan kening. Tadi dia sengaja menempelak. Tapi kini sebaliknya tempelakan dibalas orang secara lebih telak! "Kalian hanya datang berdua? Tadi aku mendengar suara orang lain. Aku mengenali suara itu."

"Syukur kalau kau masih mengenali suara sahabatku itu..."

"Tambur Bopeng..."

"Ah, kau tahu namaku!" Si Tambur Bopeng tertawa gembira.

"Tadi kau mengatakan agar aku tidak salah menduga. Karena kalian memang tidak bermaksud menolong diriku. Lalu apa perlunya kalian membunuh enam orang tokoh berkepandaian tinggi yang hendak menyerbu diriku? Hanya sekedar menyombong diri memperlihatkan bahwa kalian berdua punya ilmu jauh lebih tinggi dari enam orang yang kalian bunuh itu?!"

"Ratu Dhika," kini yang bicara Si Suling Burik. "Jangan salah berucap di malam buta begini rupa. Kalau menghabisi riwayat orang baik-baik yang tidak punya salah tidak punya dosa memang itu namanya membunuh. Tapi kalau menghabisi manusia-manusia jahat itu namanya mencari kebenaran menegakkan keadilan!" Si Suling Perak tiup sulingnya satu kali, berpaling pada sahabatnya lalu bertanya. "Bukan begitu sobatku Tambur Bopeng?!"

"Betul sekali! Memang betul!" Jawab Si Tambur Bopeng lalu menabuh tamburnya tiga kali.

"Sudah! Kalau kalian memang tidak bermaksud menolong diriku lalu mengapa membunuh enam manusia yang menyerangku?! Bersombong diri menegakkan kebenaran dan keadilan? Oala! Jangan-jangan kalian membekal niat lebih jahat dari orang-orang itu!"

"Ratu Dhika Gelang Gelang, kami membunuh ke enam orang itu karena diperintah oleh Pangeran yang jadi panutan dan junjungan kami..."

Di dalam gelap Ratu Dhika Gelang Gelang tatap kedua orang dihadapannya itu. "Aku tahu siapa yang kalian maksudkan dengan orang yang kalian panggil Pangeran itu. Tadi aku mendengar suaranya. Tapi sekarang dia tidak berani memperlihatkan diri. Perlu apa bersembunyi?"

"Pangeran kami tidak bersembunyi. Dia hanya tahu diri. Dia mungkin saja menduga Ratu tidak mau bertemu dengan dia. Bukankah kau merasa ada semacam ganjalan dalam dirimu gara-gara kau berlaku keliru, berniat mencelakainya di Goa di Tegalrejo? Bukankah kau merasa teguran Roh Agung seperti menjatuhkan dan memperhina dirimu?"

Ratu Dhika Gelang Gelang terkejut. "Bagaimana kalian tahu kejadian di Tegalrejo? Bagaimana kalian tahu ada teguran dari Roh Agung atas diriku? Kalian berdua ini, siapa sebenarnya?!"

"Ratu Dhika, siapa kami berdua jelas kau sudah tahu. Tapi tidak ada salahnya kami memberi tahu agar lebih jelas. Aku yang gemuk bopeng ini dipanggil dengan nama Si Tambur Bopeng. Dan sobatku yang kurus jelek ini Si Suling Burik..."

"Siapa nama kalian aku sudah lama tahu!" Memotong Ratu Dhika Gelang Gelang dengan suara bernada kesal dan wajah cemberut jengkel. "Yang aku ingin penjelasan apakah kalian berdua ini merupakan utusan Roh Agung, kepercayaan Para Dewa atau..."

Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik tertawa gelak-gelak. "Kami dua insan jelek begini rupa jadi utusan Roh Agung kepercayaan Para Dewa....Ha...ha...ha! Ratu Dhika, kita ini masih sama-sama manusia. Yang bisa susah bisa senang. Yang bisa kelaparan dan kehausan kalau satu hari saja tidak bertemu nasi tidak bertemu air..."

"Sudah, aku tidak butuh celotehanmu. Beritahu sekarang dimana Pangeran yang kalian sebut sebagai junjungan itu?!"

"Pangeran kami sedang duduk di balik pohon besar sana." Jawab Si Suling Burik sambil menunjuk dengan serulingnya ke arah pohon besar di arah kanan.

Tidak menunggu lebih lama Ratu Dhika Gelang Gelang melompat ke balik pohon besar. Saat itulah dia mendengar suara yang membuat dia ingin berteriak gembira! "Meong...."

7. NENEK TUBUH SEPOTONG MENEMBUS SUMUR API

RATU Dhika Gelang Gelang seperti tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Digigitnya bibirnya. Terasa sakit tanda dia tidak bermimpi. Di bawah pohon sana, walau keadaan agak gelap namun dia melihat Pangeran Bunga Bangkai duduk bersandar kebatang pohon sambil mengelus-elus tubuh seekor kucing merah yang bergelung jinak di pangkuannya.

"Ragil Abang, benar kaukah itu yang aku lihat?" Sang Ratu berucap dengan suara tersendat. Tubuh sedikit dibungkukkan, kepala diulur ke depan.

"Meong..." Kucing merah di atas pangkuan Pangeran Bunga Bangkai angkat kepala dan kembali keluarkan suara. Binatang ini jilati tangan kanan Pangeran Bunga Bangkai lalu berdiri dan sekali melompat dia sudah berada di atas bahu kiri Ratu Dhika Gelang Gelang.

Perempuan gemuk ini cepat menangkap kucing merah itu, mengusapnya berulang kali bahkan mendekapnya ke dada dan ke pipi. "Ragil Abang, aku tidak bermimpi? Kau bukan roh jejadian dari kucingku yang sudah menemui kematian lalu hidup kembali?"

"Meong..." Kucing merah besar bernama Ragil Abang jilati pipi Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Dewa Jagat Batharal Ini benar-benar kau! Ragil Abang...!" Kembali Ratu Dhika Gelang Gelang mendekap kucing merah ke dadanya. "Bagaimana mungkin. Aku lihat sendiri kau tergeletak di tanah. Bukankah... bukankah kau sudah menemui ajal? Tewas di tangan kakek jahat bernama Ametung Warangtilis itu?"

"Meong..."

Ratu Dhika usap kepala kucing merah sambil berpaling menatap ke arah Pangeran Sunga Bangkai yang masih duduk di tanah, bersandar ke batang pohon besar. Dia lalu melangkah mendekati sang Pangeran. Setengah membungkuk dia bertanya. "Apakah...apakah kau yang telah menyelamatkan kucingku Ragil Abang?"

Kepala berbentuk bunga bangkai dengan kuncup hijau menjulang ke atas bergerak menggeleng.

"Aku tidak percaya. Jangan kau membuat aku menanggung hutang budi terus-terusan..."

"Sahabat, kita pernah bertemu. Dari dua sahabat yang mengantar aku baru tahu kalau kau adalah keturunan utama para Raja Bhumi Mataram. Aku merasa beruntung bisa mengenal dirimu. Tapi soal selamat menyelamatkan nyawa mahluk hidup kita manusia tidak berdaya memberikan pertolongan kepada sesama mahluk. Kecuali Yang Maha Kuasa menghendaki. Aku tidak menolong menyelamatkan Ragil Abang kucing merah peliharaanmu itu. Namun aku sempat melihat sesuatu terjadi sebelum kakek bernama Ametung Warangtilis menggebuk kepalanya dengan pukulan sakti..."

"Manusia Bunga Bangkai, dua pengiringmu menyebut dirimu Pangeran. Apakah kau seorang Pangeran berasal dari Kerajaan Tarumanegara? Kau pernah menceritakan asal usulmu padaku." Saat itu Ratu Dhika Gelang Gelang ingat bagaimana dia telah berbuat keliru, menyangka mahluk aneh itu telah menipunya dan menjadi penyebab celaka besar yang dialami Sebayang Kaligantha, pemuda kekasihnya. (baca serial sebelumnya berjudul Pangeran Bunga Bangkai) Sebagai akibat kekeliruannya itu Roh Agung telah menghukum memerintahkannya untuk segera pergi ke Sumur Api dan berjaga-jaga hingga tidak satu orangpun menerobos masuk.

Mahluk berkepala bunga bangkai berkuncup hijau keluarkan suara tertawa. "Mereka sahabat-sahabat yang baik. Tapi mereka cuma bicara mengada-ada..."

"Kalau kau tidak mau menjelaskan siapa dirimu sebenarnya tidak jadi apa. Sekarang katakan apa yang terjadi dengan kucing merahku hingga dia selamat dari pukulan Ametung Warangtilis."

"Sesaat sebelum pukulan Ametung Warangtilis mendarat di kepala Ragil Abang, aku melihat ada selarik cahaya putih sangat tipis berkelebat melindungi kepala kucingmu. Pukulan kakek itu memang masih mengenai kepala Ragil Abang tapi hanya membuat binatang itu terkapar pingsan, tidak sampai membunuhnya. Dewa Agung sungguh Maha Pelindung, Maha Asih."

Mendengar keterangan Pangeran Bunga Bangkai Ratu Dhika Gelang Gelang segera membungkuk sambil berulang kali berterima kasih menyebut nama Yang Maha Kuasa.

"Ratu Dhika, dua sahabatku ini telah mengantarkan aku ke tempat ini. Aku tadi melihat satu cahaya merah di kejauhan. Cahaya api yang keluar dari sebuah sumur yang konon bernama Sumur Api. Kau masih ingat ceritaku bahwa aku tengah berusaha mencari istriku, yang aku tidak tahu siapa nama dan dimana beradanya."

"Aku, aku masih ingat..." Jawab Ratu Dhika pula. "Apakah saat ini kau sudah mengetahui dimana keberadaan istrimu itu?"

"Belum dapat kupastikan. Namun aku mulai menduga-duga." Jawab Pangeran Bunga Bangkai. Lalu dia bertanya lagi. "Kau masih ingat ketika aku mengatakan bahwa istriku tengah mengandung dan akan segera melahirkan?"

Kini dada Ratu Dhika Gelang Gelang jadi berdebar keras. Dia tidak bisa menjawab. Hatinya berulang kali mengucap. "Dewa Jagat Bathara... Wahai Yang Maha Kuasa. Petunjuk buruk atau petunjuk baik yang tengah aku hadapi saat ini. Apakah manusia bunga bangkai ini sudah menaruh syak wasangka kalau... Melalui Roh Agung kau telah memerintah diriku untuk menjaga segala kerahasiaan di dalam Sumur Api. Apakah..."

Ratu Dhika tidak teruskan ucapan batin. Dia melihat mahluk di depannya mengeluarkan satu gulungan kain putih dari saku pakaian birunya.

"Kain ini aku dapat dari dua sahabatku Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik," kata Pangeran Bunga Bangkai menjelaskan.

"Kain apa ini...?" tanya sang Ratu.

"Salinan empat Gading Bersurat," jawab Pangeran Bunga Bangkai. "Buka gulungan kain, baca apa yang tertulis di situ..."

Debar jantung Ratu Dhika Gelang Gelang semakin keras. Dalam hati dia berkata. "Aku telah membaca Gading Bersurat pertama, kedua dan ketiga. Tapi Gading Bersurat yang keempat memang belum pernah kuketahui isinya. Kalau Pangeran dari Tarumanegara ini sudah mengetahui secara lengkap, bisa jadi. Aku harus membaca, harus mengetahui. Kalau tidak bisa-bisa... Tapi!"

Sesaat perempuan gemuk keturunan Maharaja Mataram ini tertegun terkesima. Namun akhirnya dia ulurkan tangan kanan untuk mengambil gulungan kain. Hanya saja, sebelum jari-jarinya menyentuh gulungan kain tiba-tiba di kedua telinganya terdengar ngiangan suara Roh Agung!

"Ratu Dhika Gelang Gelang. Kau telah meninggalkan Sumur Api lebih dari seratus langkah. Kau telah melanggar perjanjian! Lekas kembali ke Sumur Api! Sesuatu tengah terjadi di sana!"

Perempuan gemuk berkemben merah itu cepat-cepat tarik tangannya.

"Ada apa?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.

"Aku harus pergi."

Kuncup hijau di kepala Pangeran Bunga Bangkai bergerak-gerak. "Tapi ambil dan baca dulu apa yang tertulis di gulungan kain ini." Kata Pangeran Bunga Bangkai pula, setengah memaksa.

"Tidak usah." Sang Ratu menggeleng lalu cepat bersurut mundur. Dua kali melompat dia sudah berada di dekat Sumur Api.

Seperti yang dikatakan suara mengiang di telinga Ratu Dhika Gelang Gelang, saat itu sesuatu telah terjadi di Sumur Api. Tiga cahaya hitam, merah dan biru membentuk dinding tebal melingkari Sumur Api. Jangankan menembus, tiga langkah saja dari hadapan dinding tiga cahaya itu tubuh gemuk Ratu Dhika Gelang Gelang langsung terpental.

"Celaka! Dari mana munculnya lingkaran tiga cahaya ini?!" Ratu Dhika memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapapun di sekitar tempat itu. Penasaran dia kembali maju mendekati lingkaran dinding tiga warna. Kali ini sambil dorongkan dua tangan dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Dengan kekuatan ilmu kesaktian seperti itu, gunung karang sekalipun bisa dijebol oleh Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun yang terjadi justru kembali tubuhnya mencelat mental, terkapar di tanah, keluarkan suara mengerang sementara darah tampak meleleh keluar dari sela bibir!

Ragil Abang si kucing merah mengeong keras. Agaknya binatang ini juga mengalami cidera di dalam. Setengah sadar setengah pingsan Ratu Dhika Gelang Gelang tiba-tiba melihat ada sosok aneh seorang nenek berjubah hitam, memiliki sepasang mata hijau bercahaya, melayang terbalik di udara rambut menjulai ke bawah riap-riapan. Yang hebatnya, tubuh nenek ini hanya sepotong. Yaitu, yang ada dan kelihatan hanya dari pinggang ke kepala sedang pinggang ke bawah kosong tidak ada apa-apanya!

Dan yang mengerikan, tubuh yang buntung di bagian pinggang itu laksana baru ditabas senjata tajam, tulang putih terpentang, daging merah membusai serta menyipratkan darah! Tubuh sepotong yang terbalik ini melayang cepat menembus lingkaran dinding tiga cahaya laksana menembus angin lalu mencebur masuk ke dalam Sumur Api!

Ratu Dhika Gelang Gelang berteriak keras. Coba berdiri mencegah si jubah hitam. Namun tubuhnya tak bisa berkutik. Dia hanya mampu menunjuk-nunjuk. Saat itulah Pangeran Bunga Bangkai, Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik mendatangi.

"Ratu Dhika... ada apa?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.

Ratu Dhika Gelang Gelang menunjuk ke arah Sumur Api. Terbata-bata dia berkata. "Ada... ada perempuan tua berjubah hitam bermata hijau menyala masuk ke dalam Sumur Api. Tubuhnya hanya sepotong. Dia melayang kepala ke bawah. Celakai Tolong! Perempuan tua itu masuk ke dalam Sumur Api! Lekas cegah sebelum dia masuk ke dasar sumur!"

Perempuan gemuk ini berusaha berdiri namun rubuh kembali! Ragil Abang si kucing merah mengeong keras lalu jilati dua kaki Ratu Dhika Gelang Gelang. Jilatan kucing sakti pada dua kakinya membuat Ratu Dhika Gelang Gelang mampu bergerak dan bangkit berdiri walau agak terhuyung.

Si Tambur Bopeng segera tabuh tambur berdentam-dentam. Si Suling Burik tiup seruling dengan keras. Bumi bergetar. Langit seolah terkuak. Batu-batu di sekitar Sumur Api berderak. Sumur Api bergoncang keras. Nyala api di dalam sumur bergerak turun naik. Asap hitam sesekali mencuat ke atas! Di kejauhan terdengar suara raungan srigala hutan. Namun dinding tiga cahaya tidak bergeming sedikitpun. Malah tiba-tiba dua kayu penabuh tambur di tangan Si Tambur Bopeng terlepas mental. Suling yang dipegang Si Suling Burik melesat ke udara! Kedua orang ini kemudian sama-sama jatuh ke tanah sambil menjerit karena dapatkan tangan masing-masing melepuh seperti disulut api! Melihat apa yang terjadi Pangeran Bunga Bangkai serta merta menerjang ke depan.

"Dess! Desss!"

"Rrrrtttttt! Blaaar!"

Pangeran Bunga Bangkai berhasil menembus masuk melalui dinding bercahaya merah. Namun hanya sampai di situ kemampuannya karena sesaat kemudian tubuhnya terpental. Dia seperti menumbuk gunung! Lalu dinding cahaya tiga warna memancarkan sinar terang. Cahaya biru, hitam dan merah menderu menyambar ke arah Pangeran Bunga Bangkai! Secepat kilat sang Pangeran jatuhkan diri di tanah, bergulingan menjauhi Sumur Api sambil tangan kanan dipukulkan ke arah dinding cahaya berwarna biru.

"Wuuttt Blasss!"

Cahaya tiga warna melesat di atas tubuh Pangeran Bunga Bangkai. Di lain kejap pohon besar tempat tadi dia duduk bersandar telah berubah menjadi kepulan asap merah, biru dan hitam. Lalu... rrtttt! Pohon ini runtuh ke tanah, berubah menjadi tumpukan debu!

Sementara itu satu pukulan sakti bersinar kelabu yang dilepas Pangeran Bunga Bangkai menghantam dasar dinding lingkaran cahaya berwarna biru yang menutupi Sumur Api. Satu dentuman keras meng-gelegar. Sebuah lobang besar mengoyak bagian bawah dinding berwarna biru. Dari lobang ini menyembur angin luar biasa panas yang berasal dari Sumur Api. Pada saat itu pula sayup-sayup terdengar suara bayi menangisi. Pangeran Bunga Bangkai dengan cepat gulingkan diri mendekati Ratu Dhika Gelang Gelang yang saat itu telah mampu berdiri akibat jilatan kucing sakti pada dua kakinya. Namun kucing merah Ragil Abang mengeluarkan suara mengeong terus menerus dan berputar-putar mengelilingi majikannya. Binatang ini tampak geiisah.

"Ratu Dhika Gelang Gelang!" Pangeran Bunga Bangkai berkata. "Aku mendengar suari dua bayi menangis! Datangnya dari arah Sumur Api. Aku ingat salinan tulisan Empat Gading Bersurat. Aku yakin kau mengetahui sesuatu! Katakan padaku!"

Ratu Dhika tak menjawab. Pangeran Bunga Bangkai mendekati. Setengah dia mengulang ucapannya tadi. Perempuan gemuk itu tetap tidak bersuara.

"Ratu Dhika! Mengapa kau tidak menjawab! Kau menyembunyikan sesuatu padaku. Agaknya kau berserikat dengan orang-orang jahat. Aku tidak suka! Aku..."

Mendadak kata-kata Pangeran Bunga Bangkai terputus. Entah kapan dan entah bagaimana kejadiannya di kening Ratu Dhika Gelang Gelang saat itu tahu-tahu menancap sebuah benda berbentuk bulat pipih berwarna biru. Mulut perempuan ini terkancing sementara dua mata terpentang membeliak.

"Dewa Jagat Bathara! Siapa melakukan perbuatan jahat ini?!" Teriak Pangeran Bunga Bangkai. Dia segera hendak merangkul tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang.

Namun saat itu Ragil Abang didahului suara mengeong keras melompat ke atas kepala Ratu Dhika. Dengan gigi-giginya binatang ini mencabut besi bulat pipih bergerigi yang menancap sampai setengahnya di kening Ratu Dhika lalu melompat turun ke tanah, berlari berputar-putar. Pangeran Bunga Bangkai cepat ambil benda itu. Tanpa memperhatikan lebih dulu benda dimasukkan ke dalam saku pakaian.

Anehnya pada lubang bekas tancapan senjata rahasia di kening Ratu Dhika Gelang Gelang sama sekali tidak mengucur darah. Tubuh perempuan gemuk itu mulai bergetar. Kedua mata hanya tinggal putihnya saja. Ketika Pangeran Bunga Bangkai memeluknya tubuh itu terasa panas luar biasa.

"Ratu Dhika... Kau..."

Mulut Ratu Dhika yang sejak tadi tertutup mendadak terbuka. Dan dari dalam mulut itu menyembur keluar cairan berwarna biru.

"Racun jahat! Ratu Dhika! Aku bersumpah akan mencari dan membunuh manusia yang mencelakai dirimu..."

"Manusia Bunga Bangkai..." Suara yang meluncur keluar dari mulut Ratu Dhika Gelang Gelang seolah mendekatkan telinga untuk mendengar lebih jelas. "Ajalku sudah di depan mata. Aku akan mengatakan satu rahasia besar menyangkut dirimu. Rahasia besar yang jika terungkap mungkin bisa mengembalikan keadaan dirimu menjadi manusia wajar seutuhnya. Aku juqa mohon agar kau menyampaikan salamku padu Sabayang Kaligantha. Jika kau bertemu pemuda itu katakan walau aku dan dia tidak berjodoh di dunia fana ini. tapi di alam akhirat aku dan dia pasti akan bersatu dan hidup bahagia. Manusia bunga bangkai. Dengar baik-baik. Aku akan mengatakan satu hal sangat penting bagi diri dan masa depanmu..."

Tiba-tiba tnrdengar suara mengorok keras. Satu tangan luar biasa besar penuh bulu mencuat keluar dari dalam tanah. Tangan ini mengusap wajah Ratu Dhika Gelang Gelang hingga luka di keningnya menutup. Selain itu usapan membuat sepasang mata perempuan itu serta merta terpejam dan mulut yang sedang bicara saat itu juga tertutup rapat.

"Rakadinda Ratu Dhika Gelang Gelang. Kau diperintahkan untuk menjaga Sumur Api. Bukan bicara tidak karuan... Lekas ikut aku! Tinggalkan tempat ini. Sebentar lagi Sumur Api akan meledak!"

Tangan raksasa itu lalu mencekal tengkuk Ratu Dhika Gelang Gelang. Sang Ratu berusaha meronta dan kerahkan tenaga dalam untuk bisa berteriak.

"Jangan! Lepaskan! Aku harus menjaga keselamatan dua ba..."

"Tugasmu di sini sudah selesai karena kebodohanmu sendiri! Aku sudah menyuruh orang lain untuk menangani! Sekarang ada tugas baru yang harus kau lakukan!"

"Wuuttt!"

Tangan raksasa bergerak. Sekali tarik saja tubuh perempuan gemuk itu amblas masuk ke dalam tanah. Ragil Abang mengeong keras karena tidak ikut masuk ke dalam tanah bersama sang majikan. Binatang ini berputar-putar beberapa kali lalu melompat ke atas bahu kiri Pangeran Bunga Bangkai.

8. SUMUR API MELEDAK

KETIKA dinding tebal cahaya tiga warna muncul mengelilingi Sumur Api, sewaktu nenek bertubuh buntung melayang menembus dinding itu dan masuk ke dalam Sumur Api, di satu tempat tersembunyi di balik semak belukar gelap, dua orang kakek nenek mende-kam memperhatikan dengan perasaan tegang apa yang terjadi sambil bicara berbisik-bisik.

"Nenek tubuh sepotong yang mampu masuk ke dalam Sumur Api itu, aku kenal dia. Tapi bagaimana ini bisa terjadi benar-benar tidak masuk akal. Nenek itu sudah menemui ajal sekitar satu purnama lalu. Tubuhnya dibantai hingga terkutung dua oleh seorang musuh bebuyutan yang telah mencarinya lebih dari tiga tahun..." Yang berucap adalah kakek berpakaian selempang kain putih, memegang sebuah kalung menyerupai tasbih besar terbuat dari kayu cendana.

"Sahabatku Gede Kabayana, Jika Yang Maha Kuasa menghendaki, apapun bisa terjadi walau tidak masuk akal kita manusia yang berkepandaian dan berotak dangkal. Siapa adanya nenek bermata hijau menyala yang melayang dengan tubuh terbalik itu?"

Orang di samping si kakek bertanya. Dia adalah seorang nenek berjubah Jingga. Dan di atas kepalanya bertengger seekor kura-kura hijau bermata merah. Sudah dapat diterka kalau nenek ini bukan lain adalah Sri Sikaparwathi dan kura-kura di atas kepalanya bukan binatang sembarangan, biasa dipanggil dengan sebutan Raden Cahyo Kumolo. Seperti diceritakan oleh si nenek pada sahabatnya Gede Kabayana, seseorang yang memiliki ilmu kesaktian luar biasa tinggi telah menggandakan diri dan kura-kura peliharaannya guna berbuat jahat yaitu masuk ke dalam Sumur Api untuk menculik dua bayi yang akan dilahirkan oleh seorang perawan desa pilihan Para Dewa yakni Ananthawuri. Namun hal itu tidak kesampaian. Dengan kekuatan Yang Maha Kuasa si nenek bersama kura-kuranya dilempar keluar dari dasar Sumur Api dalam keadaan cidera, (Baca Arwah Candi Miring)

"Kalau aku boleh tahu, siapa nama dan julukan nenek bertubuh buntung yang kau katakan sudah mati tiga puluh hari lalu itu."

"Namanya Kamara Simpul Melantik. Setahuku dia berasal dari Tabanan. Dia berjuluk Iblis Tujuh Bayangan. Semasa muda banyak berbuat dosa mencelakai dan membunuh orang. Beberapa kerabat Istana Tabanan ikut jadi korbannya. Setelah tua dikejar banyak musuh. Salah seorang dari mereka berhasil menemui dan menghabisinya. Tubuhnya dibantai, dikutung dua dengan senjata pamungkas berupa sebilah clurit raksasa yang telah disiapkan oleh seorang sakti di Pulau Madura selama sepuluh tahun. Mayatnya sebelah atas dilempar masuk ke dalam jurang di tepi laut. Kutungan tubuh sebelah bawah tidak pernah ditemukan."

"Berarti jenazahnya tidak pernah disempurnakan menuju alam akhirat...." Ucap Sri Sikaparwathi.

"Benar..."

"Itulah kesempatan yang dipakai oleh orang jahat berilmu tinggi untuk memanfaatkan dirinya."

"Apa maksudmu sahabatku?" tanya Gede Kabayana pada si nenek.

"Ingat ceritaku bahwa diriku dan kura-kura sakti digandakan oleh seseorang. Kini orang yang sama mencari jalan lain. Tidak lagi dengan cara menggandakan mahluk hidup. Dia pergunakan tubuh yang sudah mati secara tidak sempurna dari seorang sakti. Ini akan lebih berbahaya. Kau saksikan sendiri ternyata dia berhasil! Nenek bernama Kamara Simpul Melantik itu mampu masuk ke dalam Sumur Api dengan mengandalkan ilmu kesaktian yang pernah dimilikinya ditambah ilmu kesaktian sang pengendali."

"Bagaimana kau bisa tahu hal ini dilakukan oleh orang yang sama?" tanya Gede Kabayana.

"Kau lihat dinding melingkar bercahaya tiga warna itu? Merah, hitam dan biru..."

"Aku melihat..."

"Cahaya tiga warna seperti itu yang masuk ke dalam tubuhku ketika orang menggandakan diriku dan Raden Cahyo Kumolo. Bedanya hanya ujud lebih kecil namun daya kekuatan serta bobot kejahatan yang bisa dilakukan hampir tidak berbeda."

Di atas kepala si nenek, kura-kura hijau keluarkan suara mendesis halus.

"Aku ingat sekarang. Malam itu di dalam pondok, sebelum kau mengalami kesembuhan ada cahaya tiga warna keluar dari dalam tubuhmu." Gede Kabayana mengusap tengkuknya yang mendadak terasa dingin. Mulutnya bertanya. 'Menurutmu apakah sang pengendali ada di sekitar sini saat ini?"

"Bisa jadi. Tapi dengan kesaktiannya dia bisa berada dan mengendalikan segala sesuatu dari tempat yang jauh. Mungkin pula dia hanya mengirim orang suruhan atau kaki tangannya."

"Apa yang harus kita lakukan. Berusaha menghalangi nenek berjuluk Iblis Tujuh Bayangan mencapai dasar Sumur Api?"

Si nenek pegang tangan sahabatnya. Lalu berbisik. "Kita berdua memang punya ilmu kepandaian tinggi. Tapi belum cukup tinggi untuk dapat melawan ilmu kesaktian tiga cahaya itu. Lagi pula kalaupun kita bergerak sekarang, kita tidak mungkin mengejarnya..."

Gede Kabayana terdiam.

"Tadinya aku berpikir kita harus menemui satu mahluk alam gaib untuk meminta petunjuk. Tadi mahluk itu ada di sini. Tapi sekarang sudah pergi."

"Mahluk yang mana?" tanya Gede Kabayana. "Tadi dia datang hanya memperlihatkan tangan besar berbulu. Dia yang membawa masuk Ratu Dhika Gelang Gelang ke dalam tanah..."

"Kalau kau kenal dirinya, kita bisa mencarinya!"

"Dia biasa disebut Arwah Ketua. Tinggal di sebuah candi. Kurasa tidak ada gunanya mencari mahluk alam gaib itu sekarang. Apa kau tidak mendengar ucapannya tadi sebelum menghilang ke dalam tanah bersama Ratu Dhika? Sumur Api akan segera meledak."

"Kalau begitu kita harus segera menjauh dari sini!" Gede Kabayana pegang tangan Sri Sikaparwathi.

"Betul. Tapi jangan terlalu jauh. Ada yang masih kita kerjakan di tempat ini. Kau lihat manusia aneh yang kepalanya berupa bunga besar dan kuncup hijau itu? Yang oleh Ratu Dhika disebut Manusia Bunga bangkai? Lalu masih ada dua orang aneh. Si gemuk bermuka bopeng dan si kurus bermuka burik. Keduanya sibuk mencari penabuh tambur dan suling yang tadi mental!"

"Aku mencium bau sesuatu. Bau busuk. Bau itu datang dari mahluk tanpa kepala itu. Ini mengingatkan aku akan sesuatu ketika berada di dalam pondok kediamanmu..."

Gede Kabayana hentikan ucapan. Saat itu tanah yang mereka pijak yang tadinya dingin oleh udara malam kini berubah hangat. Di dalam perut bumi ada suara menggemuruh yang membuat tanah selain panas mulai ikut bergetar. "Sesuatu terjadi di dalam Sumur Api...." Ucap Gede Kabayana.

"Aku tahu," jawab si nenek. "Lekas katakan kejadian apa yang kau ingat sewaktu kau datang kepondokku malam itu?"

"Setelah kau terbangun dari tidurdan aku selesai melakukan samadi, kita berdua mencium bau busuk. Ingat?"

"Aku Ingat! Astaga! Bau busuk itu sama dengan bau busuk yang keluar dari tubuh mahluk tanpa kepala yang ada di depan sana!" Kata Sri Sikaparwathi. "Berarti dialah yang malam itu datang ke dalam pondok tanpa setahu kita." Wajah si nenek berubah tegang membesi. "Jangan-jangan dia mahluk pengendali cahaya tiga warna! Berarti kita harus menghabisinya saat ini juga!"

Gede Kabayana cepat-cepat pegang lengan si nenek. "Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Kalau dia sang pengendali cahaya tiga warna perlu apa berada di tempat ini sementara dia telah mengirim Iblis Tujuh Bayangan ke dalam Sumur Api. Bukankah katamu dia bisa mengendali dari jarak sangat jauh? Lalu apa kau lupa? Sebelum pondokmu diselimuti bau busuk, kura-kura sakti Raden Cahyo Kumolo tidak ada di tempat itu. Setelah pondokmu ditebar bau busuk tahu-tahu binatang sakti itu sudah ada dalam pondok. Berarti mahluk berkepala aneh berbau busuk itulah yang menyelamatkan dan datang membawa kura-kuramu ke dalam pondok. Lalu dia pergi tanpa mau mengganggu aku yang sedang bersemadi dan kau yang tengah tidur. Itu semua berarti dia tidak mengharapkan ucapan terima kasih atau pembalasan budi dan pamrih. Siapapun dia adanya, maka dia bukan mahluk jahat!"

Di atas kepala si nenek kura-kura hijau bermata merah Raden Cahyo Kumolo keluarkan desisan halus. Sri Sikaparwathl usap punggung kura-kura hijau.

"Kau mendesis, apakah itu pertanda bahwa apa yang dikatakan sahabatku Gede Kabayana benar adanya? Mahluk berkepala Bunga Bangkai itu yang menolongmu dan membawa dirimu ke pondok malam itu? Jika benar mendesislah sekali lagi."

Kura-kura hijau di atas kepala si nenek tegakkan kepala, sepasang mata pancarkan cahaya merah dan dari mulutnya keluar desisan panjang.

"Dewa Agung!" mengucap Sri Sikaparwathi. "Aku harus menemui mahluk aneh itu dan menyampaikan terima kasih padanya."

Si nenek gerakkan kaki kanan. Namun belum sempat melangkah tiba-tiba menggelegar satu dentuman keras dan dahsyat Keadaan seperti gunung meletus. Tiga cahaya merah, hitam biru yang melingkari Sumur Api bertabur lalu mencuat ke angkasa hingga langit yang hanya diterangi cahaya suram bulan purnama kini tampak terang benderang. Bersamaan dengan itu batu-batu yang mengelilingi Sumur Api berlesatan ke udara. Tanah di sekitarnya terbongkar. Kobaran lidah api menggebubu ke udara setinggi lima tombak. Pohon-pohon di sekitar tempat kejadian berderak-derak lalu satu demi satu bergelimpangan roboh dengan kulit dan ranting tampak hitam hangus.

Kali kecil tak jauh dari tempat itu seolah ditekan oleh satu kekuatan raksasa melesak amblas dan lenyap. Tebing di kiri kanan kali longsor bergemuruh. Air kali meluap membanjiri kawasan sekitarnya. Dari dalam Sumur Api untuk kedua kalinya terdengar suara letusan. Kali ini lebih keras dan lebih dahsyat.

Sumur Api meledak berkeping-keping membentuk satu jurang luar biasa dalam. Tanah di sekelilingnya terbongkar membentang tujuh lobang sebesar kubangan kerbau. Delapan pohon besar beterbangan ke udara. Semua orang yang ada di tempat itu berpekikan ketika tubuh masing-masing laksana dihantam topan prahara berpelantingan di udara! Sayup-sayup terdengar suara ngeongan Ragil Abang si kucing merah. Binatang ini lari ke arah sosok Pangeran Bunga Bangkai yang terkapar di tanah. Salah satu kaki terhimpit batang pohon besar!

9. MATA KE TIGA MATA DEWA

DIDALAM Sumur Api sosok buntung nenek Kamara Simpul Melantik alias Iblis Tujuh Bayangan melesat turun dengan kepala lebih dahulu. Kobaran api tidak menciderai apa lagi membakar tubuhnya yang dibalut dan dilindungi cahaya sakti tiga warna.

"Duuk!" Kepala mendarat di dasar sumur. Tubuh buntung melesat ke atas seperti membal lalu kembali melayang turun. Kali ini tubuh diputar. Kepala yang sejak tadi berada di sebelah bawah, mengapung di udara, meneteskan cairan darah! Beberapa potong isi perutnya ikut terbujur keluar. Bukan saja mengerikan tapi juga sangat menjijikan.

Sepasang telinga si nenek mencuat ke atas ketika tiba-tiba dia mendengar suara dua bayi menangis di arah kanan. Dua mata pancarkan cahaya hijau terang menggidikkan, si nenek melihat satu pedataran rumput dihias taman bunga yang sedang mengembang. Di seberang taman bunga ada satu bangunan putih berbentuk bagus. Dari bangunan inilah datangnya suara tangisan bayi. Saat itu dasar Sumur Api mulai bergetar. Kobaran api mencuat ke atas berulang kali. Di beberapa tempat tanah tampak retak mengepulkan asap.

Tidak menunggu lebih lama Kamara Simpul Melantik segera melesat ke arah bangunan putih. Tubuhnya laksana angin, menembus dinding bangunan. Sesaat kemudian dia telah berada dalam satu kamar besar dimana seorang gadis cantik duduk di atas ranjang, mendekap ketakutan dua bayi lelaki yang tengah menangis keras. Kepalanya setengah tertunduk.

Itulah Ananthawuri bersama dua bayinya, Dirga Purana dan Mimba Purana. Di atas tempat tidur, di dekat dua bayi terletak sebuah Kitab Weda dan sebatang tongkat kayu. Inilah kitab dan tongkat milik kakek Dhana Padmasutra yang masih dipelihara baik-baik oleh Ananthawuri (Baca serial pertama berjudul Perawan Sumur Api).

Ketika Ananthawuri mengangkat kepala, si nenek terkesiap dan sempat tersurut dua langkah begitu melihat wajah anak perawan dari Sorogedug itu. "Wajahnya, sangat menyerupai patung Loro Jonggrang di Candi Siwa! Bagaimana mungkin! Apakah Batari Durga telah menitiskan ke dalam dirinya? Aku harus bertindak cepat. Para Dewa tidak suka melihat kehadiranku di sini. Mereka lebih senang melihat aku tidak mendapatkan bayi sekalipun harus memusnahkan apa yang ada di dasar Sumur Api termasuk ibu dua bayi!"

Si nenek maju mendekati Ananthawuri. Dia coba tersenyum. Namun senyum yang menyeruak lebih menampilkan sifat kejam jahat. "Anak perawan pilihan Dewa, akhirnya kutemui juga dirimu! Kita berdua bisa bersahabat. Serahkan dua bayi padaku maka aku tidak akan membunuhmu!"

Seperti diketahui, ketika mendatangi patung Loro Jonggrang di Candi Prambanan, patung yang sesaat berubah hidup itu memberikan sebuah batu merah bernama Batu Kaladungga pada Ananthawuri. Dengan menelan batu itu maka siapa saja orang yang mempunyai niat dan ingin berbuah jahat terhadap dirinya tidak akan mampu melihat sosoknya. Namun saat itu kesaktian Batu Kaladungga ternyata masih berada di bawah kesaktian yang dimiliki Kamara Simpul Melantik hingga si nenek tetap saja mampu melihat tubuh nyata Ananthawuri.

Melihat kemunculan nenek buntung bermata hijau menyala yang tidak dikenal dan inginkan dua bayinya Ananthawuri ketakutan setengah mati. "Nenek buntung, jika kau berniat jahat pada diriku dan dua bayiku maka Para Dewa akan mengutukmu. Lekas pergi dari sini!"

Si nenek tertawa. Tubuh buntung yang mengapung di udara bergoyang-goyang. Darah menetes makin banyak dari buntungan di pinggang yang merupakan satu rongga mengerikan. Ujung usus menyembul turun naik. Darah bedelehan! "Perawan tolol! Aku mau lihat Dewamu akan memberi pertolongan apa?"

Didahului teriakan keras tubuh buntung si nenek melesat ke arah Ananthawuri yang berada di tepi tempat tidur mendekapi dua bayi. Tangan kiri kanan bergerak, menyambar. Hanya sesaat lagi dua tangan akan berhasil merampas dua bayi tiba-tiba satu angin kencang bertiup di ruangan itu. Dinding dan atap bangunan tanggal berterbangan. Di tempat yang kini terbuka itu tujuh bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu tujuh manusia cebol telah berdiri memagari Ananthawuri dan dua bayinya!

Kamara Simpul Melantik delikkan mata lalu membentak. "Tujuh setan katai! Sekalipun Dewa mengutus kalian apa kau kira aku takut pada kalian?!" Si nenek mem-bentak garang, sombong takabur.

Tujuh manusia cebol menyeringai lalu sama-sama meniup ke arah si nenek. Saat itu juga tujuh deru angin berwarna biru menghantam silang menyilang membuat sosok buntung Kamara Simpul Melantik terpental sejauh tiga tombak. Pakaian sebelah atas robek, rambut riap-riapan mengepul hangus. Mata kiri terbongkar keluar dari rongga!

Dalam keadaan tubuh masih goyah si nenek angkat dua tangan ke atas, lalu salah satu tangan dipakai mengusap mata kiri. Mata yang hancur mengerikan itu serta merta kembali utuh! Si nenek kini berkomat kamit, melafat mantera. Lalu satu pekik dahsyat menggelegar dari mulutnya. Tubuh buntung berputar kepala ke bawah dan meletup enam kali. Saat itu juga sosoknya yang tadi cuma satu kini bertambah enam, menjadi tujuh semuanya! Inilah Tujuh Bayangan Iblis!

Tujuh manusia cebol kembali menyeringai. Mereka saling memberi isyarat lalu serentak menerjang ke arah tujuh tubuh buntung! Pertarungan serta merta terjadi tapi tidak berlangsung lama. Ketika Tujuh Bayangan Iblis semburkan cahaya hijau dari sepasang mata, tak ampun lagi tujuh manusia cebol berkaparan di tanah, tubuh tercabik-cabik.

Tujuh Bayangan Iblis tertawa mengekeh sambil berkacak pinggang. Dalam keadaan tidak berkutik lagi tiba-tiba tujuh tubuh katai yang tercabik-cabik berubah jadi kepulan asap putih. Sesaat kemudian kepulan asap bergabung menjadi satu. Di lain kejap berubah menjadi seekor ular besar kepala tiga!

"Naga Pratala tunggangan Dewa!" seru Tujuh Bayangan Iblis. Walau terkesiap namun tujuh nenek buntung tidak merasa gentar. Ketika ekor ular kepala tiga menghantam dua dari tujuh sosok buntung hingga hancur berkeping-keping, lima sosok buntung lainnya serta merta menyerbu. Dari lima tubuh buntung ini memancar cahaya tiga warna. Merah, biru dan hitam!

"Wusss!"

Tempat itu bergoncang keras laksana dilanda gempa. Ular besar kepala tiga terpental dengan tubuh terkutung-kutung. Didahului suara raungan keras dan panjang setengah menyerupai raungan srigala setengah menyerupai raungan manusia, sosok ular raksasa itu lenyap dari pemandangan. Lima sosok buntung secara aneh bergerak menjadi satu membentuk sosok asli Kamara Simpul Melantik, namun sosoknya kini menjadi lima kali lebih besar! Dengan gerakan sangat cepat si nenek melayang ke arah Ananthawuri yang masih mendekap dua bayi yang tergolek di atas tempat tidur. Dua tangan dengan lima jari luar biasa besar menyambar ke arah dua bayi.

"Jangan! Dewa Agung! Tolong anak-anak saya!" Jerit Ananthawuri.

Saat itu letusan dahsyat menggelegar di dasar Sumur Api. Tubuh Ananthawuri bergoncang keras lalu jatuh terbanting, kepala membentur keras lantai ruangan hingga kejap itu juga anak perawan ini tergolek tidak sadarkan diri. Dua bayi yang lepas dari dekapan sang ibu bergulingan di atas tempat tidur. Tanpa banyak kesulitan tangan kiri si nenek segera menangkap salah satu dari dua bayi. Ketika dia hendak menangkap bayi ke dua, tiba-tiba entah dari mana datangnya tempat itu dilanda genta suara lonceng! Si nenek merasa sekujur tubuh bergetar, telinga mengiang dahsyat seperti mau pecah. Tubuhnya seolah mau meledak. Dari telinga dan dua lobang hidung darah tampak mengucur. Darah juga merebak pada dua matanya yang hijau.

"Tidak! Aku tidak boleh menyerah! Tidak!" Si nenek berteriak lalu hentakkan tangan kanan ke atas. Saat itu juga dari tubuhnya memancar cahaya tiga warna. Begitu merasa berhasil membendung kekuatan dahsyat suara genta lonceng yang hendak menghancur luluhkan tubuh buntungnya dengan cepat dia ulurkan tangan kanan menyambar bayi kedua yang tergeletak di atas tempat tidur.

Hanya satu jengkal lagi sosok bayi kedua akan tenggelam dalam cengkeraman tangan raksasa si nenek buntung Kamara Simpul Melantik, sementara suara lonceng terus bertalu-talu, tiba-tiba di kening bayi kedua yang beranting-anting di telinga kanan muncul sebuah titik kuning. Titik ini dengan cepat berubah besar dan membentuk sebuah mata. Mata ketiga. Tepat di atas antara dua mata sang bayi! Sesaat mata itu masih terpejam. Namun begitu terbuka maka... wusss! Menyambarlah satu cahaya kuning luar biasa menyilaukan.

"Mata Ketiga! Mata Dewa!" Teriak Kamara Simpul Melantik alias Iblis Tujuh Bayangan yang menyadari apa adanya kejadian gaib itu! Dengan cepat dia melayang mundur sambil putar tubuh. Masih sempat berteriak marah karena tidak berhasil menangkap bayi ke dua. Lalu mulut merapal mantera kesaktian. Cahaya tiga warna memancar di sekujur tubuhnya untuk melindungi diri dari serangan cahaya kuning.

Namun terlambat. Saat itu cahaya kuning sudah mendarat telak di kepalanya yang melayang ke bawah. Dari kepala cahaya ini menebar cepat ke sekujur tubuh buntung. Si nenek menjerit keras. Cahaya tiga warna yang membungkus tubuhnya bergetar bergoyang-goyang pertanda mulai goyah dan tak sanggup bertahan terhadap kehebatan cahaya kuning yang keluar dari mata sang bayi. Perlahan-lahan cahaya tiga warna yang tadinya terang angker luar biasa kini berubah redup lalu lenyap sama sekali!

Kehilangan tiga warna cahaya sakti yang menjadi andalannya tubuh iblis Tujuh Bayangan terlempar kian kemari, mencelat ke udara lalu braak! Si nenek meraung dahsyat. Namun suara raungannya lenyap begitu kepalanya amblas masuk ke dalam tanah sampai ke pundak. Tubuh buntung itu menggeliat-geliat, berusaha melesat keluar dari dalam tanah sementara cahaya kuning yang menyelubungi memancar semakin terang, tambah menyilaukan!

Tiba-tiba... blaarr! Buntungan tubuh Iblis Tujuh Bayangan meledak hancur, bertabur dalam gelapnya udara malam lalu sirna laksana debu ditiup angin! Sesaat sebelum tubuh buntung itu hancur berubah jadi debu, tiba-tiba ada dua kepulan asap aneh. Dari balik kepulan asap sesaat kemudian muncul dua mahluk kembar tinggi hitam berpakaian serba putih lengkap dengan destar putih menyerupai sorban. Genta lonceng sementara itu terus membahana tiada henti.

Dengan gerakan luar biasa cepat mahluk hitam sebelah kiri segera menyambar bayi yang ada di kepitan tangan kiri Iblis Tujuh Bayangan sambil kirimkan satu tendangan. Mahluk hitam kedua dengan sigap mengangkat bayi kedua yang tadi menyemburkan cahaya kuning sakti dari mata ke tiganya, yang saat itu masih tergeletak di atas tempat tidur dan kembali menangis. Setelah menggendong sang bayi, mahluk satu ini kemudian mendukung tubuh Ananthawuri. Lalu pada temannya dia berkata.

"Cepat! Tempat ini sebentar lagi akan meledak! Lekas pergi! Ingat pesan pimpinan! Lari ke arah tujuan! Jangan sekali-kali menoleh ke belakang sekalipun kau mendengar suara ibumu berteriak minta tolong karena hendak digorok orang!"

"Aku mengerti, aku mengerti..." jawab mahluk kembar satunya.

Sekali berkelebat dua mahluk kembar hitam tinggi besar itu serta meria lenyap dari tempat itu. Bersamaan dengan itu suara lonceng ikut menghilang. Namun hanya beberapa saat setelah dua orang kembar lenyap dari dasar Sumur Api yang keadaannya kini sudah setengah rata, tiba-tiba menggelegar dentuman dahsyat! Sumur Api meledak untuk kedua kalinya!

10. PERTEMUAN DALAM BENCANA

LEDAKAN kedua yang terjadi bukan saja menghancurkan Sumur Api tapi juga meluluh lantak sebagian kawasan rimba belantara mulai dari timur Candi Prambanan sampai sepanjang Kali Dengkeng. Sumur Api yang selama ini memancarkan kobaran nyala api terang angker lenyap dan di tempat itu kini terbentang satu jurang sangat dalam. Di langit untuk kesekian kalinya rembulan kembali disaput awan tebal. Dalam udara gelap dan dingin begitu rupa tiba-tiba satu bayangan berpakaian dan berkerudung putih berkelebat. Di satu tempat ketinggian orang ini berhenti, memandang berkeliling.

Angin malam membuat kerudung putih di atas kepala tersibak jatuh ke bahu. Ternyata dia adalah seorang gadis muda belia berwajah cantik. Dengan tangan kanan yang hanya merupakan tulang belulang gadis ini merapikan kerudung putihnya. Pembaca tentu masih ingat. Si gadis jelita bukan lain adalah Liris Pramawari yang oleh Sebayang Kaligantha diberi nama julukan Dewi Tangan Jerangkong. Untuk beberapa lama gadis ini tegak tardiam, menyaksikan kerusakan alam yang sungguh luar biasa. Selain itu dia juga melihat beberapa tubuh bergeletakan. Entah masih hidup entah sudah menemui ajal.

"Aku mendengar letusan luar biasa dahsyat! Tapi tidak ada gunung yang meledak. Ada banjir besar di sebelah timur. Tapi tidak kutemui sungai yang meluap. Pohon-pohon bertumbangan dimana-mana. Ada beberapa tubuh bergelimpangan. Mengapa banyak lobang aneh di tanah? Lalu di sebelah sana ada sebuah jurang. Aku tidak dapat meihat sampai ke dasar kerena begitu dalamnya. Yang Maha Kuasa berbuat sekehendakNya! Apakah bencana ini terjadi akibat kemurkaan Para Dewa atau disebabkan hati dan tangan jahat bangsa manusia juga?" Ucapan hati si gadis terdiam sesaat. Lalu dia ingat. "Sebelum terjadi letusan ke dua, aku mendengar ada suara bayi menangis. Aku juga mendengar suara lonceng bertalu-talu yang membuat tanah bergetar..."

Liris Pramawari coba menembus kegelapan di dalam jurang. Dari asap tipis yang masih mengepul dia bisa mengetahui kalau sebelumnya jurang itu tidak pernah ada. Sulit dia menduga apa sebenarnya yang telah terjadi.

"Kalau aku mengambil hikmah dari kejadian ini, mungkinkah Para Dewa tengah memberi jalan bagiku untuk melakukan kebajikan kedua? Dewa Agung, saya mohon petunjukMu. Apa yang bisa saya lakukan di tempat ini?" Sang dara memandang berkeliling. "Wahai sang kebajikan, dimanakah kau bersembunyi? Aku siap melakukan apa saja. Demi ayahku yang saat ini tidak kuketahui dimana beradanya."

Tiba-tiba si gadis tercekat mendengar suara kucing mengeong. "Di tempat seperti ini, ada kucing berkeliaran...?" Hatinya membatin. Memandang ke kiri Liris Pramawari melihat satu pohon besar tumbang di tanah. Di bawah batang pohon yang hampir dua pemelukan tangan tergeletak satu tubuh manusia, terhimpit di bagian kaki. Seekor kucing merah besar tengah menjilati kaki orang yang tertindih pohon itu. Dengan cepat Liris Pramawari mendatangi. Siap hendak menolong. Namun geraknya langsung terhenti dan wajahnya berubah ketika melihat keadaan sosok tubuh yang tertimpa batang kayu besar itu.

"Kaki yang terhimpit pohon tidak hancur. Tidak ada suara mengerang. Ada tubuh tapi tidak ada kepala. Aku hanya melihat satu bunga besar dan kuncup hijau di bagian tubuh yang seharusnya ada kepala. Jika dia manusia sungguhan betapa malang nasibnya Jika dia mahluk jejadian bukankah mudah saja baginya untuk menyelamatkan diri? Kakinya yang satu bergerak-gerak tanda dia masih hidup! Lalu ada seekor kucing. Menjilati kakinya. Belum pernah aku melihat kucing berbulu merah. Sosoknya besar sekali. Ini bukan kucing biasa. Dua mahluk aneh. Apakah binatang itu peliharaannya...?"

"Orang yang terhimpit pohon, aku tidak melihat kepalamu. Aku melihat kakimu yang satu bergerak-gerak. Aku tidak tahu kau ini mahluk apa. Juga apakah kau masih hidup. Aku akan menolongmu menyingkirkan pohon besar yang menindih kakimu."

Sebenarnya saat itu dengan ilmu kepandaian yang dimilikinya Nalapraya alias Pangeran Bunga Bangkai sanggup melepaskan kakinya dari tindihan batang kayu. Namun sewaktu menyadari ada orang yang datang, mendengar suara dan melihat wajah yang setengah tertutup kerudung putih Itu, mendadak pemuda yang tengah mengalami cobaan berat ini jadi terkesiap. Hatinya bergetar. "Dewa Agung! Suaramu sungguh mirip. Wajahnya ada kesamaan! Apakah... apakah aku telah menemukan dia?"

"Mahluk aneh, aku hendak menolongmu. Mengapa kau tidak menjawab? Kau tidak suka aku tolong?" Liris Pramawari bertanya. "Aku tidak mau kesalahan tangan."

"Istriku... Kaukah itu?" berucap Nalapraya.

Dipanggil istri tentu saja ucapan itu membuat Liris Pramawari terkejut dan tersurut satu langkah. "Hendak ditolong malah bicara aneh! Jangan-jangan kepalamu telah lebih dulu hancur dilanda batang pohon baru kakimu terjepit. Tapi... Ah! Sudahlah! Kau tidak mau ditolong, aku tak bisa berbuat kebajikan. Mau memaksakan bagaimana?"

Tiba-tiba ada suara lain menjawab sambil tertawa. "Ha... ha! Pangeran kami tentu saja suka dan bahagia ditolong oleh gadis secantikmu. Tapi sahabat berhati baik, kau tidak perlu bersusah payah. Biar kami yang menolong. Padahal kami berdua baru saja melesak ke dalam tanah. Lihat, tubuh, pakaian dan muka kami bercelemongan lumpur. Air banjiran, entah dari mana datangnya. Untung bukan air comberan. Ha...ha...ha!"

Liris Pramawari berpaling ke arah datangnya suara orang bicara dan tertawa. Di dalam kegelapan dia melihat dua orang yang memang keadaannya seperti baru tercebur di dalam lumpur. Satu pendek gemuk, satu tinggi kurus. Si gemuk pendek membawa tambur berikut dua penabuh, kawannya yang jangkung memegang sebatang seruling. Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik!

Sesaat kemudian di tempat itu menggelegar suara tambur di tabuh dan suling ditiup. Dari dua bebunyian itu memancar keluar kekuatan aneh yang membuat Liris Pramawari tercengang-cengang ketika me-nyaksikan kekuatan yang tidak kelihatan itu mampu mengangkat batang kayu besar setinggi dua jengkal dari kaki mahluk tanpa kepala lalu digulingkan di tanah.

"Ah, aku gagal berbuat kebajikan kedua... Mungkin Para Dewa belum mengizinkan," kata Liris Pramawari sambil mengusap tangan kirinya dengan tangan kanan. Kedua tangan itu hanya merupakan tulang belulang tanpa daging tanpa kulit sampai sebatas bawah siku. Dia merasa kecewa namun tidak marah pada Si Tambur Bopeng dan Suling Burik. Dia berusaha menghibur diri dengan berkata dalam hati. "Jika sekedar menyelamatkan seseorang dari tindihan pohon mungkin hanya merupakan satu kebajikan kecil. Mungkin itu tidak akan mengurangi bagian tanganku yang cacat."

11. DEWI TANGAN JERANGKONG BERSEDIA DIKAWINI PANGERAN BUNGA BANGKAI

BEGITU kakinya lepas dari himpitan batang pohon, Nalapraya alias Pangeran Bunga Bangkai cepat berdiri dan langsung mendekati Liris Pramawari. "Sahabat berkerudung putih, katakan, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Pangeran Bunga Bangkai sambil kuncup hijau di kepalanya merunduk sedikit seolah berusaha memperhatikan wajah si gadis lekat-lekat. "Aku merasa... Istriku, apa ini bukannya engkau? Aku melihat bayang-bayang dirimu dalam sosok yang ada di hadapanku. Kau mungkin tidak mengenalku karena saat pertemuan kita sebanyak tujuh kali, kepalaku dalam keadaan wajar. Tidak seperti sekarang ini merupakan bunga bangkai dengan kelopak hijau menebar bau busuk menjijikan..."

Kuncup hijau aneh di kepala mahluk itu serta bau busuk yang menyengat membuat Liris Pramawari jauhkan kepalanya. Menyadari hal ini Pangeran Bunga Bangka segera bersurut dua langkah, tahu diri, menjaga jarak.

"Aku tidak kenal siapa kau. Aku yakin kita belum pernah bertemu. Mengapa kau mengira aku istrimu? Aku belum pernah kawin. Usiaku baru mencapai delapan belas..."

"Hampir seusia dengan istriku. Menurut Para Dewa, istriku meski sudah kawin dan melahirkan tetap perawan."

"Aneh bicaramu," ujar Liris Pramawari pula. "Kau harus sadar. Aku bukan istrimu!"

Bunga besar dan kelopak hijau di atas leher Nalapraya bergerak-gerak. "Maafkan diriku..." Nalapraya menghela nafas dalam. Mundur beberapa langkah lagi dan dudukkan diri di tanah. "Aku terlalu berharap setelah sekian lama mencari..." Sang Pangeran lalu keluarkan sebuah benda dari saku pakaian birunya. Ketika dikembang ternyata adalah sehelai cabikan sapu tangan merah muda. "Aku ingin mengingatkan. Apakah kau pernah melihat atau mengenali sapu tangan ini? Kalau kau memiliki potongan yang dari sapu tangan ini maka..."

Liris Pramawari gelengkan kepala berulang kali. "Aku tidak pernah memiliki sapu tangan seperti itu. Apa lagi merupakan sehelai cabikan. Buat apa menyimpan sapu tangan robek?"

Kuncup hijau di atas leher Pangeran Bunga Bangkai bergerak-gerak. Dengan perasaan kecewa robekan sapu tangan merah muda yang pernah diterimanya dari Ananthawuri pada malam terakhir pertemuan mereka, disimpan kembali. Dia tidak merasa perlu menerangkan asal usul cabikan sapu tangan itu. Setelah menarik nafas dalam Pangeran Bunga Bangkai berpaling pada Si Tambur Bopeng dan Si Suling Perak. "Dua sahabat, apakah kita lebih baik segera saja meninggalkan tempat ini?"

"Tunggu, jangan pergi dulu!" tiba-tiba Liris Pramawari berkata. "Aku ingin tahu kenapa keadaanmu seperti ini. Kau bisa bicara, mampu mendengar, dapat melihat. Tapi aku tidak melihat kepala, tidak melihat telinga dan mata serta mulutmu. Lalu dua orang yang berlumuran lumpur itu menyebutmu sebagai Pangeran! Dewa Agung! Bagaimana hal ini bisa terjadi?! Siapa kau ini sebenarnya?"

Pangeran Bunga Bangkai mengusap kuncup hijau berulang kali. "Oh Dewa Agung. Walau kau tidak mengenali potongan sapu tangan merah muda, bagaimana aku lain tidak mempercayai bahwa kau adalah istri yang dipilihkan Para Dewa untukku. Suaramu sangat mirip, wajahmu juga banyak kesamaan. Kalau saja aku boleh menyingkapkan lebih lebar kerudung putih yang menutupi sebagian wajahmu..." Nalapraya ulurkan tangan hendak menyentuh selendang putih di kepala si gadis, namun dia batalkan maksud dan tarik tangannya kembali. "Aku tengah mencari seseorang. Jika dia bukanlah dirimu maka ini adalah satu keajaiban yang membahagiakan diriku..."

"Siapa orang yang kau cari itu?" bertanya Liris Pramawari sementara Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik saat itu telah berdiri di kiri kanan Pangeran Bunga Bangkai.

"Aku... aku mencari istriku..."

"Apa?!" Liris Pramawari tercengang. Sepasang matanya yang bagus menatap penuh tidak percaya. "Kau mengira aku ini istrimu?"

Kuncup hijau bergoyang merunduk.

"Jika kau memang punya seorang istri tentu dia punya nama. Coba katakan namanya. Apa sama dengan namaku? Atau siapa tahu mungkin aku mengenalnya."

"Itulah yang menyulitkan. Aku tidak pernah mengetahui siapa nama istriku."

Liris Pramawari tertawa.

"Kau tertawa, aku tidak heran. Tidak ada orang yang percaya kalau insan sepertiku punya seorang istri. Kau akan lebih terkejut lagi kalau aku katakan istriku sedang mengandung, akan segera melahirkan..."

Liris Pramawari memang benar-benar terkejut hingga dia ternganga lalu cepat-celat pergunakan tangan kanan untuk menutup mulut. Saat itulah Nalapraya melihat keadaan tangan kanan si gadis yang hanya merupakan tulang belulang. Ternyata tangan kirinya juga serupa.

"Sahabat, tanganmu.... Mengapa tanganmu seperti itu?" Pangeran Bunga Bangkai bertanya dengan nada heran juga kasihan.

"Aku menanggung beban dosa kesalahan ayahku. Para Dewa menguji ketahananku dengan hukuman seperti ini. Tubuhku akan menjadi jerangkong jika dalam waktu dua belas purnama aku tidak mampu melakukan tiga kebajikan..."

Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara itu jadi ingat pada nasibnya sendiri. "Apakah ayahmu membunuh seseorang?" Nalapraya bertanya.

"Dia dituduh membunuh seorang perempuan muda yang tengah mengandung..." Menjelaskan Liris Pramawari. "Dia tidak membunuh perempuan itu, ada orang lain yang melakukan. Namun dalam satu pertarungan dahsyat ayahku membunuh ayah si perempuan. Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Mereka bertarung secara kesatria. Satu lawan satu. Kesaktian lawan kesaktian."

"Kau anak yang sangat berbakti pada orang tua. Mau menanggung dosa. Aku sendiri, aku juga dituduh membunuh seseorang. Kau tahu siapa yang mereka katakan aku bunuh? Ayah kandungku! Padahal ayah menemui ajal tertusuk keris yang dipegangnya sendiri ketika aku berusaha mencegah ayah yang hendak menikam ibuku. Nasib mengatakan aku harus menanggung akibat dari perbuatan yang tidaL pernah aku lakukan. Para Dewa telah berlaku adil. Para Dewa masih mengasihi diriku. Aku akan kembali ke ujudku semula jika ada seorang gadis bersedia aku nikahi. Bersedia menjadi istriku..."

"Tadi kau mengatakan sudah beristri. Dan kau sedang mencari istrimu yang sedang mengandung bahkan akan segera melahirkan. Sekarang kau berkata ujudmu bisa kembali seperti semula ka!au ada gadis yang mau kau kawini. Aku tidak mengerti..."

"Ketika Para Dewa menikahkan kami, diriku dalam keadaan wajar. Utuh mulai dari kaki sampai kepala, mulai dari kepala sampai ke kaki. Demikian juga setiap kali aku menemuinya selama tujuh malam berturut-turut. Siapa saja gadisnya, kurasa tidak akan menolak dinikahkan dengan diriku. Namun dengan ujud seperti ini, menurutmu apakah ada gadis yang mau kawin denganku? Itu sebabnya aku harus mencari istriku. Jika dia masih mau kujadikan istridalam keadaan seperti ini maka aku akan kembali keujud semula..."

"Tam...tam...tam!" Tiba-tiba Si Tambur Bopeng menabuh tamburnya. Lalu tertawa gelak-gelak.

"Ada apa?" tanya Pangeran Bunga Bangkai. "Pangeran, kau juga bisa segera kembali ke ujud semula kalau menempuh jalan pintas. Tidak perlu susah-susah mencari istrimu. Tapi langsung saja meminta pada gadis ini apakah dia mau menjadi istrimu. Jika dia mau maka Para Dewa pasti akan mengembalikan ujudmu ke bentuk semula. Ada tubuh ada kepala!"

Semua orang terkesiap mendengar kata-kata Si Tambur Bopeng itu. Untuk beberapa lamanya keadaan di tempat itu menjadi sunyi senyap. Kuncup hijau di atas tubuh Pangeran Bunga Bangkai bergerak-gerak. Si Suling Burik usap-usap sulingnya berulang kali sementara Liris Pramawari menatap tak berkedip ke arah sosok Pangeran Bunga Bangkai. Entah sadar entah tidak mulutnya berucap.

"Aku punya kewajiban melakukan tiga kebajikan. Aku sudah melakukan satu kebajikan. Kalau aku dapat melakukan kebajikan yang kedua mengapa tidak. Kalau aku bisa menolong mengembalikan ujudmu ke bentuk semula hanya dengan sekedar mengatakan aku bersedia menjadi istrimu, mengapa tidak?"

Keadaan di tempat itu, sehabis Liris Pramawari mengeluarkan ucapan kembali dicekam kesunyian. Pada saat itu juga di langit ada satu kilatan cahaya putih. Si Suling Burik mendekati sahabatnya Si Tambur Bopeng lalu berbisik. "Cahaya putih di langit tadi, apakah satu pertanda bahwa Para Dewa akan benar-benar mengembalikan ujud Pangeran Bunga Bangkai kalau gadis ini mau dijadikan istrinya?"

"Yang Maha Kuasa mampu berbuat apa saja. Aku juga tidak menolak kalau gadis ini mau kawin denganku..." Jawab Si Tambur Bopeng dengan berbisik pula.

"Kau gila!"

"Ah, kau cemburu! Ha..ha...ha..."

Sementara dua sahabatnya tertawa Pangeran Bunga Bangkai masih terduduk diam di tanah. Kalau saja dia memiliki kepala dan wajah utuh maka saat itu akan terlihat bagaimana dia menatapi wajah Liris Pramawari dengan pandangan mata tidak berkedip. "Gadis baik..." kata Pangeran Bunga Bangkai dalam hati. "Aku yakin dia bersedia mengawini diriku bukan karena ingin berbuat kebajikan untuk menolong diri sendiri. Tapi ada kejujuran dalam ucapan dan ketulusan di hati sanubari. Sahabat, aku tidak bisa mengkhianati istriku. Kalaupun aku tidak akan pernah menemukannya seumur hidupku, aku tidak akan kawin dengan gadis manapun. Sekalipun dia secantik dan sebaik sepertimu..."

"Sahabat," akhirnya Pangeran Bunga Bangkai berkata sambil bangkit berdiri. "Perkawinan bukanlah sesuatu yang hanya diucapkan di mulut. Perkawinan menyangkut seluruh hati nurani bahkan jiwa raga seseorang. Aku sangat berterima kasih dan terharu mendengar ucapanmu tadi. Kau bersedia kujadikan istri. Itu tidak mungkin kita lakukan..."

"Tidak mungkin? Mengapa tidak Mungkin?" Bertanya Liris Pramawari.

"Aku yakin bukan dengan cara itu Para Dewa akan mengembalikan ujudku. Bukan dengan cara kawin dengan anak perawan lain yang tidak dikehendaki Para Dewa. Aku sangat berterima kasih padamu. Aku dan dua temanku harus segera pergi. Sebelum pagi tiba aku berharap bisa mendapatkan satu petunjuk..."

"Mengapa cepat-cepat pergi. Bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku bersedia menjadi istrimu? Dan aku tidak main-main."

Di langit untuk kedua kalinya muncul kilatan cahaya putih. Si gadis menatap kelangit lalu kembali memandang ke arah Pangeran Bunga Bangkai dan tersenyum. "Aku tahu, Para Dewa telah memberi tanda padamu untuk tidak mengabulkan permintaanku..."

"Sahabat, Para Dewa akan memberkatimu. Aku tidak mungkin mengkhianati seseorang yang telah dipilihkan Para Dewa menjadi istriku. Sekarang kalau saja aku boleh melakukan, aku ingin menolongmu. Ulurkan ke dua tanganmu."

Meski tidak mengerti apa yang hendak dilakukan Pangeran Bunga Bangkai namun Liris Pramawari ulurkan dua tangannya yang hanya merupakan tulang belulang. Sang Pangeran cepat pegang ke dua tangan si gadis. Liris Pramawari merasa adanya kehangatan yang membuat dua tangannya bergetar. Lalu muncul kepulan asap disela-sela dua pasang tangan yang saling bergenggaman itu. Liris Pramawari merasakan hawa hangat berubah menjadi aliran hawa sejuk sekali masuk ke dalam tangannya kiri kanan. Ketika Pangeran Bunga Bangkai melepas pegangan, dua tangan itu telah berubah utuh dan bagus, tidak lagi merupakan tulang belulang atau jerangkong.

12. DUA BAYI DISELAMATKAN

LIRIS Pramawari sampai terpekik karena gembira dan juga terkejut. Saat itu Pangeran Bunga Bangkai sudah melesat masuk ke dalam jurang besar yang gelap gulita sambil menggendong Ragil Abang si kucing merah, diikuti Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik.

"Pangeran, aku yang menginginkan berbuat kebajikan. Tetapi ternyata kau justru yang menolongku..."

Belum habis ucapan si gadis tiba-tiba ada bayangan putih berkelebat. Disusul terdengarnya suara. "Liris Pramawari, bukan begitu cara kesembuhan yang dijanjikan Para Dewa bagimu. Kau tetap harus melakukan dua kebajikan lagi. Ingat itu baik-baik. Namun tetaplah berterima kasih dan bersyukur pada niat baik seseorang yang telah menolongmu."

Si gadis terkejut. Ketika dua tangannya diangkat dan diperhatikan, ternyata dua tangan yang tadi telah berbentuk sempurna itu kini mengepulkan asap dan periahan-lahan kembali ke bentuk yang menakutkan. Berupa tulang belulang tanpa kulit tanpa daging! Sekujur tubuh Liris Pramawari bergoncang. Sepasang matanya membesar namun penuh ketabahan dia berhasil membendung keluarnya air mata.

"Keadilan masih belum berpihak padaku. ." ucap si gadis perlahan. Dalam kepasrahannya, Liris Pramawari malah masih bisa tersenyum. Sungguh seorang gadis berhati baja. "Lingkaran budi....." katanya. Dia ingat pada kata-kata pemuda bernama Sebayang Kaligantha. "Manusia sebenarnya hidup dalam lingkaran budi. Meskipun terkadang budi baik yang begitu indah belum tentu mendapat berkat dari Para Dewa. Namun aku percaya, Para Dewa akan menabung kebaikan mahluk malang tadi untuk menjadi satu berkat di masa depan. Roh Agung, terima kasih. Ternyata kau selalu berada di dekatku..." Meski mulutnya berkata begitu namun di dalam hati Liris Pramawari masih tetap penasaran. Dia lari ke arah jurang dalam dan gelap. Di tepi jurang gadis ini berhenti.

"Dua anak buahnya memanggilnya dengan sebutan Pangeran. Mahluk aneh itu pasti bukan orang sembarangan. Kesetiaannya terhadap istrinya sungguh luar biasa. Selain itu dia memiliki ilmu kesaktian tinggi..." Liris Pramawari rapikan kerudung putih dikepala yang tersingkap tiupan angin. Di pinggir jurang gadis ini lalu berseru. "Pangeran, jika perempuan itu menolak meneruskan menjadi istrimu karena keadaanmu yang seperti itu, ingatlah satu hal! Ada seorang gadis yang bersedia menjadi istrimu! Aku! Jika kita bisa berbagi budi bukankah rakhmat dan berkat Yang Maha Kuasa akan menjadi bagian dan kebahagiaan kita berdua?!"

Liris Pramawari usap wajahnya berulang kali dengan jari-jari tidak berkulit tidak berdaging. Hatinya berkata. "Aku harus bisa berbuat satu kebajikan pada orang ini. Harus!"

Tiba-tiba di langit kembali ada cahaya putih memancar. Liris Pramawari angkat kedua tangannya ke atas. Berteriak lantang. "Roh Agung, aku tahu kau hendak mengatakan sesuatu. Aku tidak pernah melihat ujud dirimu. Aku tidak tahu bagaimana hati dan perasaanmu. Tapi jika seandainya kau seorang manusia seperti diriku maka ucapan dan tindakanmu pasti akan sangat berlainan!"

Terdengar suara tarikan nafas. Lalu sunyi. Tak ada suara yang menjawab. Seperti nekad, tidak menunggu lebih lama Liris Pramawari segera melompat memasuki jurang yang gelap. Namun setengah jalan, selagi melayang turun di dalam jurang tiba-tiba dalam kegelapan dia melihat ada dua sosok hitam besar berpakaian putih justru melesat dari dalam jurang menuju ke atas. Salah seorang memanggul sosok perempuan. Di saat yang sama terdengar suara tangisan dua orang bayi.

Dengan cepat Liris Pramawari membuat gerakan berjungkir balik, lentingkan tubuh ke udara, mengejar ke atas. Di atas jurang, dua orang hitam yang membawa Ananthawuri dan dua bayi berkelebat ke arah timur, si gadis serta merta mengejar kedua orang itu. Dia lupa maksud semula hendak menyelidiki kemana perginya Pangeran Bunga Bangkai dan dua pengiringnya.

Tahu kalau ada orang mengejar, lelaki hitam tinggi besar yang menggendong bayi beranting-anting di telinga kiri berkata pada kembarannya. "Ada yang mengejar!"

"Aku tahu!" sahut lelaki hitam satunya. "Yang mengejar manusia biasa, tidak perlu ditakutkan. Sesaat lagi kita akan segera meninggalkannya!" Lalu orang ini dongakkan kepala sambil menghembus. Saat itu juga ada kepulan asap hitam yang segera berubah menjadi tabir tipis penutup pemandangan.

Liris Pramawari yang tenga melakukan pengejaran jadi terkesiap dan hentikan lari. Saat itu dia tidak bisa memandang ke depan ataupun jurusan lain. Penglihatannya tertutup kabut hitam. "Orang mempergunakan ilmu. Aku tak mampu melihat. Tak bisa meneruskan pengejaran... Apa yang harus aku lakukan?"

Saat itu tiba-tiba di langit di atas kepalanya Liris Pramawari melihat ada cahaya tiga warna melesat. "Ada cahaya tiga warna di langit!" Lelaki tinggi hitam sebelah depan berseru. "Tidak perlu kawatir! Ilmu hitam jahat tidak akan sanggup menembus perlindungan kita! Jangan menoleh ke belakang!"

Sementara dua mahluk kembar itu berjalan cepat, di langit cahaya tiga warna terus mengikuti. "Percepat larimu! Kita hampir sampai! Aku sudah melihat puncak bangunan!" Orang hitam di sebelah depan, yang mendukung bayi dan memanggul Ananthawuri berteriak.

Tiba-tiba jauh di arah belakang terdengar suara perempuan memanggil. "Saka Parengtirtha, kekasihku, kaukah yang berlari di depan sana? Hai, berhentilah barang sebentar. Lima tahun kau pergi begitu saja, apakah tidak lagi ingat padaku? Wahai, berhentilah barang sebentar..."

Mahluk kembar tinggi hitam yang lari di sebelah belakang tersirap. Dua kali larinya tertahan. Di sebelah depan saudara kembarnya berteriak.

"Saka! Jangan perdulikan suara perempuan yang memanggilmu..."

Si hitam tinggi besar bernama Saka Parengtirtha masih lari terus namun kini larinya disertai kebimbangan. "Darka, aku mengenali suara itu. Yang memanggil adalah Juwilla Salimaya kekasihku. Lima tahun lalu aku meninggalkannya begitu saja. Aku merasa berdosa..."

"Jangan terjebak. Itu hanya tipuan. Jangan berhenti. Lari terus!" Menyahut Darka Parengtirtha, si hitam kembar di sebelah depan.

"Tapi...."

"Saka, kau benar! Ini aku. Juwilla Salimaya kekasihmu. Jika tidak lagi suka padaku tidak jadi apa. Aku hanya ingin melihatmu lebih dekat barang sebentar. Lima tahun aku mencarimu. Lima tahun aku merindukanmu. Apakah tidak ada sedikit perasaan yang sama di lubuk hatimu?"

"Saka! Jangan dengarkan! Lari terus! Kita hampir sampai!" berteriak Darka Parengtirtha.

"Darka, izinkan aku barang seketika..."

"Jika kau melanggar pantangan, serahkan bayi itu padaku dan aku akan membunuhmu saat ini juga!"

"Saka, jika saudara kembarmu tega membunuhmu, biar aku minta agar dia membunuh diriku sekalian!" Terdengar suara perempuan di belakang sana yang disusul suara sesenggukan menahan tangis. "Saka, aku tahu kau masih cinta padaku. Berhentilah barang sejenak. Kalau tidak berpalinglah sedikit. Biar aku bisa melihat wajahmu barang sekejap. Agar bisa lenyap rasa rindu ini. Setelah itu jika kau hendak pergi meninggalkan diriku silahkan pergi..."

Saka Parengtirtha lari terus namun langkahnya kini tersaruk-saruk. Saudara kembarmu berulang kali berteriak memberi ingat agar dia tidak berhenti atau berpaling. Lalu terdengar kembali suara perempuan itu. "Saka, sekarang aku sadar kalau kau sebenarnya tidak suka lagi padaku. Aku rasa tidak perlu lagi aku hidup mempermalu diri. Kau lihat pohon besar di depan sana Saka? Aku akan membenturkan kepalaku ke pohon itu!"

Saka dan Darka lari melewati pohon besar. Sesaat kemudian di arah pohon yang sudah dilewati ini terdengar suara braakk! Disertai suara jeritan perempuan. Saka Parengtirtha tidak sanggup lagi bertahan. Kepalanya dipalingkan ke belakang. Saat itulah tiba-tiba... wuus! Cahaya tiga warna yang melayang di langit menukik, menyambar ke arah mahluk tinggi hitam ini.

"Dewa Jagat Bathara!" teriak Darka Parengtirtha. Dalam keadaan memanggul Ananthawuri di bahu kiri dan menggendong bayi di tangan kanan, dengan tangan kirinya Darka merampas bayi dikepitan saudara kembarnya lalu sebelum memutar tubuh dia tendang tubuh Saka agar bisa terhindar dari sambaran cahaya tiga warna. Namun terlambat!

"Wusss!"

Cahaya tiga warna menghantam tubuh Saka Parengtirtha hingga tubuh itu ambruk ke tanah dan leleh mengerikan. Darka Parengtirtha sendiri walau berhasil selamatkan bayi namun kakinya yang menendang masih sempat terkena imbasan cahaya hingga kaki kanan mahluk ini tampak mengelupas merah sampai ke tulang, mulai dari ujung jari sampai ke pertengahan paha! Dalam menanggung sakit luar biasa dan mulut keluarkan jeritan tiada henti Darka Parengtirtha terus berlari sementara bagian tubuhnya yang mengelupas semakin bertambah lebar, menebar ke atas, melebar ke samping.

"Dewa Agung, tolong diriku! Beri kekuatan agar aku bisa sampai ke tujuan menyelamatkan ibu dan dua bayi ini! Jika mereka bisa kuselamatkan, matipun aku pasrah!" Lari Darka Parengtirtha mulai terhuyung-huyung. Setelah melewati satu rimba belantara kecil, dia mulai mendaki sebuah bukit gersang. Mati-matian berusaha mencapai satu bangunan di puncak bukit sementara tubuhnya sedikit demi sedikit berubah leleh!

"Seratus langkah... Kalau saja aku bisa mencapai seratus langkah dari bangunan. Dewa! Aku aku mohon..."

Kekuatan dan kemampuan lelaki tinggi hitam ini sampai ke batasnya. Brukkk! Darka tersungkur di bukit gersang. Hanya sembilan puluh delapan langkah di hadapan bangunan yang hendak dicapainya. Ananthawuri jatuh dari panggulannya, dua bayi terlepas dari gendongan. Saat itu cahaya tiga warna kembali datang menghantam. Di saat yang bersamaan dari pintu dan jendela bangunan candi di atas bukit gersang melesat keluar tujuh cahaya putih berkilauan.

Letusan dahsyat mengguncang puncak bukit gersang ketiga tiga cahaya biru, merah dan hitam berbenturan dengan tujuh larik sinar putih. Tanah bukit retak memanjang. Bangunan candi bergetar hebat. Salah satu menara candi sampai runtuh. Namun secara aneh runtuhan itu menyatu dan bertaut kembali! Di tanah sosok Darka Parengtirtha mengepulkan asap dan mulai meleleh mengerikan. Ananthawuri dan dua bayi tidak kelihatan lagi. Dari dalam candi kemudian terdengar suara bergema.

"Arwah Kembar! Sarka Parengtirtha dan Darka Parengtirtha. Kalian telah menjalankan tugas dengan baik. Arwah kalian akan mendapat tempat yang paling indah di Swargaloka!"

13. TEWASNYA GEDE KABAYANA

KETIKA ledakan kedua terjadi di Sumur Api, Sri Sikaparwathi serta Gede Kabayana yang ada di sekitar tempat itu mengalami cidera. Tekanan udara yang dahsyat membuat keduanya terpental. Sebelum mampu mengimbangi diri goncangan hebat membanting mereka ke tanah, membuat kakek dan nenek itu terkapar dalam keadaan setengah sadar dan sekujur tubuh laksana remuk. Sebenarnya dengan ilmu silat serta ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki, mereka bisa menyelamatkan diri. Namun ledakan yang terjadi bukanlah ledakan biasa. Buktinya Pangeran Bunga Bangkai dan dua pengiringnya yaitu Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik juga mengalami cidera.

Dalam keadaan yang kini sunyi dan gelap Sri Sikaparwathi berusaha bergerak, duduk di tanah, memandang berkeliling. Raden Cahyo Kumolo, kura-kura sakti peliharaannya tampak mendekam di atas satu bongkahan batu besar. Sepasang mata menyinarkan cahaya merah pertanda binatang ini tidak mengalami cidera.

"Sahabatku Gede Kabayana, dimana kau?" si nenek keluarkan suara sambil memandang berkeliling mencari-cari.

"Sika, aku ada di dalam lobang sini. Aku..." Terdengar jawaban parau, agak perlahan. Disusul suara batuk-batuk lalu suara orang menyemburkan muntah.

Si nenek melompat, lari ke arah sebuah lobang besar. Di dasar lobang dia melihat Gede Kabayana tergeletak. Leher sampai ke dada basah oleh darah. Mulut megap-megap, berusaha bernafas dengan susah payah. Dengan cepat Sri Sikaparwathi melompat masuk ke dalam lobang. "Gede Kabayana, apa yang terjadi dengan dirimu?!"

"Seseorang men... yerangku secara gelap. Ada... ada sen... senjata rahasia men... menancap di... dileherku..."

Sri Sikaparwathi tersentak kaget. Dia perhatikan leher Gede Kabayana. Memang benar, di tenggorokan kakek itu menancap sebuah benda. "Dewa Agung, bagaimana bisa terjadi...!" Si nenek mengucap lalu dengan cepat mencabut benda yang menancap di leher Gede Kabayana. Begitu benda dicabut dari luka yang menganga menyembur darah kental berwarna biru. "Kabayana, kau tidak melihat orang yang menyerangmu?"

Yang ditanya hanya bisa menggeleng perlahan. Sri Sikaparwathi perhatikan benda barusan dicabutnya dari leher Gede Kabayana. Ternyata sebuah besi bulat pipih yang pinggirannya bergerigi dan berwarna biru. Senjata rahasia seperti inilah sebelumnya yang pernah menyerang Sebayang Kaligantha dan Ratu Dhika Gelang Gelang serta pernah ditemui dilihat Pangeran Bunga Bangkai.

"Kalau kau tidak menyadari dirimu diserang, berarti terjadinya bersamaan dengan ledakan di Sumur Api..."

"Si..Sika...aku tidak akan bisa bertahan. Rasanya tidak lama lagi..."

"Jangan menyerah pada nasib, sahabatku! Dewa Agung akan menolongmu!" kata Sikaparwathi ketika mendengar ucapan Gede Kabayana. Dengan cepat dia menotok tubuh sahabatnya itu di beberapa tempat termasuk dua di pangkal leher dan satu di ubun-ubun.

"Ter..terima kasih kau ber...berusaha menolongku. Sika, aku seperti melihat Pintu Akhirat sudah terbuka di atas sa...sana..." Kepala Gede Kabayana terkulai. Sepasang matanya menutup. Sri Sikaparwathi pukul-pukul kepalanya sendiri!

"Sahabatku, aku bersumpah akan mencari siapa pembunuhmu!" Setelah menyimpan senjata rahasia yang dicabutnya dari leher Gede Kabayana, nenek ini pegang pinggang sahabatnya itu erat-erat, siap hendak dibawa melompat ke atas lobang. Namun gerakannya tertahan ketika di atas lobang dia mendengar suara kaki orang berlari.

"Sahabat, aku terpaksa harus meninggalkan dirimu... Ada yang akan aku selidiki di atas sana. Aku mendengar suara orang berlari. Aku akan segera kembali!"

Dengan cepat Sri Sikaparwathi melompat ke atas lobang. Begitu sampai di atas dan memandang ke arah jurang, dia melihat seorang perempuan berpakaian dan berkerudung putih berdiri di pinggir jurang sambil berteriak.

"Pangeran, jika perempuan itu menolak meneruskan menjadi istrimu karena keadaanmu yang seperti itu, ingatlah satu hal! Ada seorang gadis yang bersedia menjadi istrimu! Aku! Jika kita bisa berbagi budi bukankah rahkmatdan berkat Yang Maha Kuasa akan menjadi bagian dan kebahagiaan kita berdua?"

"Siapa perempuan berkerudung ini. Dari belakang kelihatannya masih muda. Siapa yang diserunya dengan sebutan Pangeran?" Sri Sikaparwathi membatin. "Mungkin sekali mahluk berkepala aneh itu. Manusia Bunga Bangkai." Si nenek terus memperhatikan orang berpakaian dan berkerudung putih yang bukan lain adalah Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong. "Raden, waktu pertama kita datang tadi, perempuan berkerudung itu belum ada di sini. Bagaimana kalau aku datangi dia. Ada yang ingin kutanyakan."

Si nenek memberi isyarat pada kura-kura hijau bermata merah yang masih mendekam di atas bongkahan batu besar. Melihat isyarat dari sang tuan, Raden Cahyo Kumolo segera melesat dan bertengger di atas kepala si nenek. "Raden, kita akan mendatangi perempuan di pinggir jurang. Kita harus berhati-hati. Bukan mustahil perempuan berkerudung itu adalah mahluk pengendali cahaya tiga warna. Bukan mustahil pula dia kaki tangan mahluk yang telah menggandakan diriku!"

Di atas kepala si nenek kura-kura hijau keluarkan desah perlahan. Si nenek segera melangkah cepat menuju jurang, di bagian mana Liris Pramawari berdiri. Namun sebelum bisa mendekati tiba-tiba si gadis sudah menghambur masuk ke dalam jurang. Selagi nenek ini tertegun tidak menyangka akan apa yang terjadi, tak berselang iama mendadak dari jurang dalam dan gelap melesat keluar tiga sosok tubuh.

Sosok pertama adalah seorang lelaki yang memanggul seorang perempuan di bahu kiri sementara tangan kanan mengepit seorang bayi yang terus menangis. Sosok kedua seorang lelaki lagi yang juga menggendong seorang bayi di tangan kiri. Seperti bayi satunya bayi inipun menangis tiada henti. Orang ketiga bukan laiin adalah perempuan berkerudung putilh tadi. Begitu keluar dari jurang, dua lelaki yang memboyong bayii melarikan diri ke arah timur yang segera diikuti oleh perempuan berkerudung putih. Sri Sikaparwathi terdiam berpikir. Dia ingat pada riwayat Gading Bersurat

"Kabayana, aku akan kembali mengurus jenazahmu!" Si nenek berteriak lalu sekali berkelebat dia sudah lenyap ke arah timur yakni ke jurusan lenyapnya ke tiga orang tadi.

14. ORANG BERMUKA ANJING

ILMU kesaktian yang diberikan Giring Mangkureja kepada puterinya melalui dekapan sebelum mereka berpisah, bukan ilmu sembarangan, termasuk ilmu lari Bayu Sewu yang konon sama dengan kecepatan lari sepuluh ekor kuda! Namun Liris Pramawari merasa penasaran. Setelah berlari cukup lama, sementara hari mulai terang tanah, dia masih belum mampu mengejar dua orang di depannya.

"Aneh, ilmu lari apa yang mereka miliki." Dewi Tangan Jerangkong berkata dalam hati. ketika dia tidak lagi melihat orang yang dikejarnya di sebelah depan, gadis ini andalkan ketajaman pendengaran untuk meneruskan pengejaran melalui suara tangis bayi.

Mentari muncul di ufuk timur dan malam akhirnya berganti siang, Liris Pramawari belum juga melihat orang yang dikejarnya walau jauh di depan sana dia masih mendengar suara tangisan si bayi.

"Aku harus mencari akal agar bisa mengejar. Kalau aku mampu menyelamatkan perempuan atau dua bayi yang diculik, syukur-syukur ketiganya, aku akan membuat satu kebajikan besar. Mungkin bernilai dua kebajikan sekaligus."

Sambil terus lari mengejar Liris Pramawari mengingat-ingat ilmu apa saja yang dimiliki ayahnya dan kini dikuasainya. Setelah cukup lama, gadis ini ingat akan satu ilmu kesaktian bernama Mengirim Suara Menguasai Jalan Pikiran. "Mudah-mudahan aku bisa menerapkan. Dewa Agung, saya mohon pertolonganMu," ucap Liris Pramawari dalam hati. Lalu sambil berlari dia segera menerapkan ilmu kesaktian itu. Dia menghembus tiga kali ke depan dan berkata. "Di depanmu ada sungai. Kau tak bisa menyeberang karena sungai terlalu lebar dan tidak ada perahu. Kau harus berbelok ke kiri. Tapi di arah itu ada bukit liar ditumbuhi banyak pohon berduri. Sebagiannya mengandung racun. Kau harus berbelok lagi ke kiri dan lari lebih cepat."

Kata-kata itu diucapkan Liris Pramawari berulang kali. Pada setiap akhir kalimat dia meniup tiga kali. Sewaktu mulutnya sudah terasa letih merapal berkali-kali, tiba-tiba di depan sana dia melihat ada seseorang berlari sangat cepat ke arahnya. Orang ini mengenakan jubah hitam menjela tanah. Dia sama sekali tidak memanggul perempuan, tidak pula membawa bayi.

"Lain yang aku maksud, lain yang datang!" Liris Pramawari hentikan lari dan menunggu. Bibir mengulum seringai.

Orang yang lari ke arahnya kemudian juga berhenti dan berdiri sejarak delapan langkah di hadapan si gadis. Untuk beberapa ketika Liris Pramawari terkesiap melihat kepala dan wajah orang. Kepala dan wajah yang tampak tua itu bukan merupakan kepala manusia, tapi lebih merupakan kepala seekor anjing tua, berbulu tipis coklat. Sepasang mata menjorok merah dan besar. Hidung kembang kempis menjadi satu dengan mulut yang sangat lebar. Orang ini memiliki dua daun telinga yang senantiasa bergerak-gerak.

"Dia bukan orang yang aku kejar! Ilmuku agaknya telah kesalahan jatuh pada diri orang lain. Melihat gelagatnya dia bukan manusia sembarangan. Tapi kurasa ada sangkut paut dengan apa yang terjadi di kawasan ini..." Pikir Liris Pramawari. "Orang tua. Kau siapa?" tanya si gadis, menegur dengan suara lembut.

"Bukankah kau yang mengirim suara jarak jauh. Memberi tahu arah jalan. Mengacau pikiranku! Ternyata kau menipuku!"

Liris Pramawari terkejut. Sepasang alis sampai terjingkat ke atas. Dia ingin tertawa tapi ditahan. "Kau telah mengacaukan pekerjaanku! Ada yang bakal jadi korban. Tapi orang-orang itu sudah lolos. Sekarang kau yang harus menggantikan nyawa mereka!"

Mendengar ucapan orang, si gadis yang tadinya bersikap lembut berkata. "Kau mau membunuhku tak jadi apa. Tapi coba katakan siapa dirimu? Apa kau punya nama atau punya julukan? Mengapa kepalamu seperti anjing. Apa ibumu anjing bapakmu manusia? Atau terbalik bapakmu anjing ibumu yang manusia?" Sampai di situ Liris Pramawari tidak dapat lagi menahan tawanya. Dia lalu tertawa gelak-gelak.

Muka anjing orang di depan si gadis kaku membesi. Bulu tipis yang menutupi wajahnya meranggas berdiri. Mulut terbuka keluarkan suara mendengus, barisan gigi-gigi merah merupakan sederetan taring luar biasa runcing. Perlahan-lahan orang tua ini gerakkan tangan ke depan. Telapak dibolak-balik dan tiba-tiba tiga buah benda bulat pipih berwarna biru dengan pinggiran bergerigi entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah menempel di atas telapak tangan. Sekali si kakek meniup tiga buah benda bulat pipih melesat deras, menyambar ganas ke arah kepala dan dua bagian tubuh Liris Pramawari.

"Oala! Salahku hanya membuatmu kesasar. Mengapa hukumannya sampai mau membunuh diriku?!" Liris Pramawari jentikkan jari-jari tangannya yang hanya merupakan tiga tulang belulang.

"Tring...tring...tring."

Di udara terdengar suara bedentringan dan bunga api berpijar ketika ujung-ujung jari puteri Giring Mangkureja ini menghantam mental tiga senjata rahasia. Orang berjubah hitam bermuka anjing tua terkejut. Bukan saja karena dapatkan lawan yang cantik dan masih muda belia itu sanggup menjentik mental tiga senjata rahasia, tapi juga ketika melihat lima jari tangan si gadis yang hanya merupakan jerangkong!

"Kau setan kesasar dari mana?!" si kakek membentak.

Liris Pramawari menjawab dengan tawa panjang. "Kau tidak jadi membunuhku?!"

"Tidak kubunuhpun kau akan sengsara seumur hidup!"

"Memangnya kenapa?" tanya Liris Pramawari.

"Lihat tiga jarimu yang tadi kau pakai menjentik senjata yang aku lemparkan. Tapi jari jerangkongmu kini berwarna biru! Pertanda racun sudah menancap dan mulai mengalir dalam darahmu!"

Liris Pramawari terkejut tapi tetap tenang. Dia perhatikan tangan kanannya. Seperti yang dikatakan orang bermuka anjing, tiga ujung jari tangan kanannya memang telah berwarna biru! "Hanya ilmu main-mainan. Kalau anak kecil boleh kau takut-takuti!" Kata Liris Pramawira. Lalu dia gerakkan tangan kirinya, tiga kali berturut-turut.

"Kraak! Kraak! Kraak!"

Tiga ujung jari tangan kanan yang berwarna biru langsung berderak patah. Patahan ujung jari kemudian dilemparkan ke arah orang muka anjing. Satu tepat menancap di pelipis kiri. Liris Pramawari tertawa panjang. "Aku sudah terbebas dari racun! Sekarang dirimu yang sudah keracunan! Hik...hik...hik!"

Orang bermuka anjing terkejut dan marah bukan main. Dengan cepat dia cabut patahan ujung jari mengandung racun yang menancap di pelipis kiri. Pelipis itu kini kelihatan agak membengkak dan mulai berwarna biru. Orang bermuka anjing meraung keras. "Gadis kurang ajar! Terima pembalasanku!"

Orang di hadapan si gadis keluarkan suara raungan keras seperti anjing sungguhan. Lalu dua tangan diluruskan ke depan. Telapak dibolak balik. Seperti tadi di atas dua telapak tangan itu kini terdapat senjata rahasia berupa besi pipih, biru bergerigi dan mengandung racun. Hanya saja kali ini jumlahnya jauh lebih banyak. Sepuluh keping pada masing-masing telapak tangan! Ketika dua tangan disentak-kan, dua puluh senjata rahasia melesat menyambar ke arah kepala dan sekujur tubuh Liris Pramawari.

Liris tanggalkan selendang yang menutupi kepala. Selendang dikebutkan berputar demikian rupa sementara tangan kiri ikut memukul ke depan. Kaki kanan menyentak tanah. Saat itu juga tubuh gadis ini bergerak berputar dan melesat ke udara sambil menebar angin keras menahan datangnya serangan.

"Brett...brett...brett!"

Sebelas senjata rahasia berhasil disapu oleh selendang putih walau selendang sendiri robek dan hancur bertaburan. Enam senjata lainnya mental oleh pukulan tangan kiri. Satu melesat lewat di samping bahu kiri. Satu menyambar ke arah paha kanan dan satu lagi menderu mengarah wajah! Dua serangan terakhir inilah yang sulit dielakkan oleh Liris Pramawari!

Hanya tinggal satu jengkal lagi senjata rahasia yang mengarah wajah akan mendarat tepat di kening Liris Pramawari tiba-tiba ada selarik sinar Jingga dan dua cahaya merah menyambar, menghantam mental bulatan besi pipih biru hingga hancur berkeping-keping! Siapa yang telah memberikan pertolongan?

Liris Pramawari tidak sempat menyelidiki karena masih ada satu senjata rahasia yang menderu mengarah paha. Gadis ini coba lepaskan satu pukulan tangan kosong bertenaga dalam tinggi untuk membuat mental senjata rahasia. Namun saat itu tubuhnya dalam keadaan tidak seimbang. Pukulannya meleset. Si gadis hanya mendesah pasrah.

Di saat yang sangat genting itu tiba-tiba ada benda hijau melesat lalu trang! Besi biru pipih mental. Di saat bersamaan ada suara menguik keras. Raden Cahyo Kumolo! Kura-kura hijau sakti itu tergeletak di tanah. Punggungnya yang merupakan bagian paling keras dan atos nampak gompal, namun tidak ada warna biru di sekitar gompalan pertanda dia tidak terkena racun. Sadar dirinya lagi-lagi ada yang menyelamatkan, Liris Pramawari berteriak.

"Dewa Agung! Terima kasih. Kau menyelamatkan diriku! Kura-kura hijau...." Si gadis mengangkat kura-kura yang tergeletak di tanah lalu berpaling ke arah Sri Sikaparwathi. "Nek...aku berterima kasih pada kalian berdua, hutang budi dan nyawaku setinggi langit sedalam lautan. Tapi mohon maaf, biar aku menyelesaikan urusan dengan manusia bermuka anjing itu!"

Saat itu orang bermuka anjing sudah siap-siap melarikan diri. Liris Pramawari serahkan kura-kura hijau pada si nenek lalu dengan cepat dia mengambil tiga buah besi bulat pipih biru dari sekian banyak yang berjatuhan di tanah. Dia melompat ke orang yang hendak lari.

"Manusia muka anjing, larilah kemana kau suka!" Lalu tangan kanan bergerak siap untuk melempar tiga senjata rahasia beracun.

"Jangan dibunuh! Lebih baik kita menguras keterangan lebih dulu siapa orang itu sebenarnya! Bukankah dia tadi punya niat jahat mengejar dua orang yang keluar dari dalam jurang, membawa perempuan dan dua bayi?! Aku yakin dia juga yang membunuh sahabatku Gede Kabayana!"

Mendengar teriakan Sri Sikaparwathi, Liris Pramawari serta merta batalkan maksud hendak membunuh orang berjubah hitam bermuka anjing. Saat itu si nenek telah terlebih dulu menghadang sementara Raden Cahyo Kumolo mencengkeram tengkuk orang dan mulut bergigi tajam telah menancap di tenggorokan.

"Demi Dewa, kau mohon jangan bunuh diriku!" Orang bermuka anjing berteriak setengah meratap.

"Kami akan menyelamatkan nyawamu. Asal kau mau bicara, apakah kau muncul di tempat ini membekal cahaya tiga warna?" tanya Sri Sikaparwathi.

"Betul, memang aku membekal tiga cahaya sakti itu..."

"Siapa yang menyuruhmu mengejar dua orang yang keluar dari dalam jurang di bekas Sumur Api dan membunuh sahabat nenek ini?" Kini Liris Pramawari yang ajukan pertanyaan.

"Tidak ada yang menyuruh. Aku bekerja sendiri."

"Dari mana kau dapatkan ilmu cahaya tiga warna itu?" tanya Liris.

"Aku bertapa selama dua puluh tahun. Aku..."

"Raden, manusia ini sudah dua kali berdusta." Kata Sri Sikaparwathi pada kura-kura hijau dan giginya masih menancap di leher orang bermuka anjing. "Putuskan lehernya!"

"Jangan! Ampun! Aku akan bicara!" teriak orang bermuka anjing.

"Katakan siapa namamu?" tanya Sri Sikaparwathi.

"Aku Dharma Soma..." Jawab orang yang ditanya.

Baik Liris Pramawari maupun Sri Sikaparwathi tahu kalau orang itu lagi-lagi berdusta.

"Siapa yang membekalimu dengan ilmu cahaya tiga warna?" tanya Sri Sikaparwathi.

"Sri Maharaja Ke Delapan."

"Apa? Siapa?!" Si nenek dan Liris Pramawari bertanya hampir bersamaan.

"Sri Maharaja Ke Delapan." Orang yang ditanya kembali menyebut nama yang sama secara lebih keras.

"Siapa Sri Maharaja Ke Delapan? Jangan kau berani mengarang cerita!" Bentak Liris Pramawari.

"Aku tidak mengarang cerita. Sri Maharaja Ke Delapan adalah..." Orang bermuka anjing itu diam seketika. Lalu tertawa mengekeh. Suara tawa kemudian berganti dengan suara lolongan anjing. Lalu dua tangan dengan sangat cepat, tidak terduga sama sekali bergerak ke atas, mengepruk kepalanya sendiri!

"Praakk!"

Kepala rengkah mengerikan! Nyawa lepas saat itu juga. Tubuh rubuh tertelungkup ke tanah. Kura hijau keluarkan suara menguik lalu melompat ke atas kepala Sri Sikaparwathi. Dalam jengkelnya Liris Pramawari lemparkan tiga senjata rahasia besi bulat pipih yang sejak tadi masih dipegangnya. Tiga senjata rahasia masuk amblas ke dalam tubuh yang sudah tak bernyawa. Saat itu juga terdengar tiga letupan keras. Tiga cahaya merah, biru dan hitam keluar dari tubuh tak berbentuk, mencuat ke langit lalu lenyap dari pemandangan.
S E L E S A I

Apa yang terjadi dengan dua bayi putera Ananthawuri setelah diselamatkan Dua Arwah Kembar yang terpaksa mengorbankan nyawa? Berhasilkah Pangeran Bunga Bangkai menemukan istrinya atau dia terpaksa menerima Liris Pramawari sebagai istri pengganti? Siapa gerangan Sri Maharaja Ke Delapan? Ikutilah Kisah selanjutnya: MERINGKIK DI LEMBAH HANTU

Dewi Tangan Jerangkong

DEWI TANGAN JERANGKONG

Cerita silat Indonesia Serial Mimba Purana Karya Bastian Tito

1. MANUSIA JATUH DARI LANGIT

CAHAYA merah sang surya yang tengah menggelincir ke ufuk tenggelamnya membuat pemandangan diatas bukit kecil itu indah sekali. Segala sesuatu diselimuti warna merah kekuningan. Keadaan bertambah menarik sewaktu dari arah barat seorang berkuda putih memacu tunggangannya menuju keatas bukit. Hanya beberapa saat lagi kuda dan penunggang akan tepat sampai di puncak bukit, tiba-tiba di langit terdengar suara ledakan disusul bertaburnya cahaya hitam, merah dan biru. Pada saat taburan tiga cahaya lenyap, dari atas langit terlihat melesat jatuh sebuah benda.

Penunggang kuda putih sertamerta hentikan lari kudanya. Kepala mendongak, mata menatap tak ber-kesip. Dada berdebar tapi sikap tetap tenang. Namun ketika dia telah melihat jelas benda yang jatuh itu, mulutnya keluarkan pekik terkejut. Suara perempuan! "Dewa Bathara Agung! Kalau bukan Kau yang meng-hendaki mana mungkin ada manusia jatuh dari langit!" Setelah berteriak, sekejapan orang di atas kuda putih terkesiap tak bergerak. Tetapi ketika sosok yang mela-yang hanya tinggal satu tombak lagi akan jatuh meng-hantam tanah di puncak bukit, orang ini segera melompat dari atas punggung kuda.

Gerakannya cepat dan ringan seolah terbang. Dua tangan diulur ke depan. Di saat yang tepat dia berhasil menahan dan menangkap sosok orang yang jatuh. Untuk menolak daya dorong yang luar biasa orang yang menangkap tubuh jatuh dengan cepat gulingkan diri di tanah. Hebatnya sesaat kemudian dia sudah mendudukkan tubuh orang yang ditangkapnya ditanah, malah sekaligus menyandarkan di sebatang pohon yang bagian atasnya telah ditebang.

Ketika melihat keadaan orang, perempuan yang menolong keluarkan seruan tercekat. "Nasib diriku malang penuh derita. Tapi orang Ini agaknya jauh lebih sengsara dari aku. Jika aku bisa menolong berarti aku akan membuat satu kebajikan dari tiga kebajikan yang menjadi kewajiban. Apakah dia masih hidup? Mudah-mudahan Para Dewa masih mau memberi jalan padaku..."

Keadaan orang yang terduduk bersandar ke batang pohon itu memang luar biasa. Muka, sebagian dada yang tersingkap, serta pakaian yang dikenakan berwar-na belang tiga yaitu merah, hitam dan biru. Sekujur tubuh dari kepala sampai ke kaki mengepulkan asap. Mata tertutup. Tubuh tidak ada gerakan sama sekali.

"Seorang pemuda..." ucap perempuan yang mengenakan pakaian serba putih, termasuk penutup kepala menyerupai selendang. Ternyata diapun seorang yang masih sangat muda, berwajah cantik jelita, memiliki sepasang alis tebal dan hitam. Perlahan-lahan dia arahkan telinga kirinya ke dada orang yang tersandar tak bergerak di batang pohon. Daun telinga gadis ini bergerak-gerak. "Aku mendengar detak jantung walau perlahan sekali. Dia masih bernafas..."

Mengetahui si pemuda masih hidup dengan cepat si gadis berdiri. Punggung diarahkan menghadap sang surya yang akan tenggelam hingga sekujur tubuh termasuk pakaiannya disaput cahaya merah kekuningan.

"Cahaya mentari kekuatan alam yang berasal dari Yang Maha Kuasa, pembawa segala macam kesembuhan, masuklah ke dalam tubuhku, mengalirlah ke dalam tubuh orang ini. Wahai Para Dewa, berikan kesembuhan padanya."

Lalu dengan suara yang lebih perlahan si gadis merapal beberapa mantera. Kepulan asap yang keluar dari tubuh si pemuda semakin keras hingga tubuh itu bergetar bahkan batang pohon yang disandari ikut menggelegar lalu kraak! Batang pohon terbelah. Kepulan asap di tubuh si pemuda lenyap, berpindah ke batang pohon. Ketika kepulan asap di pohon juga lenyap maka kini batang pohon yang terbelah itu tampak berwarna merah, hitam dan biru sementara tiga warna yang tadi menyelubungi tubuh si pemuda sirna!

Gadis berpakaian putih tarik nafas lega. Dia pergunakan selendang untuk menyeka wajah dan lehernya yang basah oleh keringat. Sambil memperhatikan dia bertanya-tanya dalam hati. "Aneh, mengapa masih belum siuman? Tiga warna yang tadi menyelimuti dirinya pasti satu kekuatan sakti sangat luar biasa!"

Lalu matanya melihat luka di tenggorokan si pemuda dan satu luka lagi yang lebih besar di bagian dada. Berlainan dengan bentuk luka di leher, luka di dada dimana ada bagian daging yang tersembul keluar membuat gadis ini segera maklum, luka itu bukan luka bekas tusukan atau bacokan benda tajam. Tapi ada sesuatu yang justru keluar dari dalam tubuh si pemuda. Dikeluarkan dengan paksa, mem-pergunakan kekuatan ilmu kesaktian luar biasa hebat.

"Luka aneh, melayang jatuh dari langit secara aneh. Lalu ada tiga warna aneh. Siapa pemuda ini...?"

Sepasang mata belum terbuka namun mulut si pemuda tiba-tiba terbatuk-batuk. Dari semburan batuk mengucur keluar darah kental berwarna hitam, menyusul kucuran darah merah segar, lalu berhenti.

"Terima kasih Dewa, kau telah menyelamatkan orang ini!" Ucap si gadis cantik berpakaian serba putih. Walau ingin tahu siapa adanya pemuda itu dan apa yang telah terjadi atas dirinya, namun si gadis agaknya tidak berkehendak berada di tempat itu lebih lama. Dia telah menolong orang, telah berbuat kebajikan dan tidak ingin orang berterima kasih, apalagi sampai mengetahui siapa dirinya. Namun ketika dia bangkit berdiri hendak tinggalkan tempat itu tiba-tiba mulut pemuda yang tersandar ke pohon tiga warna bergerak. Suaranya agak parau sewaktu keluarkan ucapan.

"Dewa memberkati dirimu. Siapapun kau adanya, mohon jangan pergi dulu. Paling tidak beri kesempatan pada diriku untuk mengucapkan terimakasih serta berdoa bagi dirimu untuk perlindungan Yang Maha Kuasa dan kebahagiaan masa depanmu."

Gerakan si gadis tertahan. Ucapan si pemuda yang berkata dengan mata masih terpejam sangat menyentuh hatinya. "...Paling tidak beri kesempatan pada diriku untuk mengucapkan terima kasih serta berdoa bagi dirimu untuk perlindungan Yang Maha Kuasa dan kebahagiaan masa depanmu."

"Dewa Agung, apakah aku ini masih mempunyai masa depan...?" Tidak sadar si gadis keluarkan kata-kata itu. Walau perlahan tapi sempat terdengar oleh si pemuda dan ini yang membuat dia lebih cepat menyalangkan sepasang mata.

Ketika melihat wajah cantik di hadapannya si pemuda keluarkan ucapan. "Dewa di Swargaloka, Kau masih mengasihi diriku. Kau menurunkan seorang bidadari untuk menolongku..."

Si gadis terkesima, lalu cepat-cepat menekap mulut menahan ketawa. Ketika dia membuat gerakan menutup mulut dengan tangan kirinya ini si pemuda melihat bagaimana jari-jari sampai ke pergelangan si gadis hanya merupakan tulang belulang alias tengkorak jerangkong! Tengkuk si pemuda langsung dingin. Wajahnya mendadak sontak pucat pasi.

"Aku bukan bidadari. Juga bukan setan. Jadi kau tak perlu takut..."

Mendengar ucapan si gadis, pemuda itu timbul keberaniannya. Dia ulurkan tangan menyingkap lengan jubah kiri si gadis. Ternyata tangan gadis itu berbentuk jerangkong tulang belulang sampai sebatas siku. "Dewa Jagat Bathara, mengapa tanganmu seperti ini?" Tanya si pemuda. Dia melirik ke tangan kanan si gadis. Ketika pemuda ini ulurkan tangan kembali menyingkapkan lengan jubah putihnya, si gadis tidak berusaha menghindar. Begitu lengan jubah kanan tersingkap ternyata keadaan tangan kanan si gadis sama dengan tangan kiri, hanya tinggal tulang tanps kulit tanpa daging!

"Sahabat penolong, apa yang terjadi dengan kedua tanganmu?" tanya si pemuda dengan pandangan tak berkesip menunjukkan rasa tidak percaya akan apa yang barusan dilihat.

"Harap maafkan diriku. Aku harus cepat-cepat pergi." Kata si gadis pula sengaja mengelak namun pemuda itu sudah berdiri dan memegang lengan kanannya erat-erat

"Aku juga minta maaf. Aku tidak bermaksud menghinamu. Aku juga tidak ingin tahu riwayat orang. Bagaimanapun juga kau adalah orang yang telah menolong menyelamatkan jiwaku. Dengar, namaku Sebayang Kaligantha. Aku pemelihara semua bangunan candi di Bhumi Mataram. Seseorang memiliki kesaktian sangat tinggi mencuri sesuatu dari dalam tubuhku. Raga dan jiwaku kemudian digandakan untuk direncanakan berbuat kejahatan yaitu menghancurkan Kerajaan Mataram. Namun Para Dewa masih menolongku melalui uluran tanganmu."

"Terima kasih kau telah memberi tahu nama..."

"Kau sendiri siapa namamu?" tanya Sebayang Kaligantha. Seperti diketahui pemuda jni adalah kekasih Ratu Dhika Gelang Gelang yang saat itu oleh Roh Agung ditugaskan menjaga Sumur Api yang terletak di sebuah kawasan antara Candi Prambanan dan Kali Dengkeng.

"Harap dimaafkan, aku tidak bisa berada lebih lama di tempat ini..." Si gadis tidak mau memberi tahu nama dan ingin segera tinggalkan tempat itu.

“Kalau begitu kata-katamu aku tidak bisa menahan dirimu. Aku sangat berterima kasih tapi aku juga sangat sedih karena kau pergi begitu saja. Aku berjanji setiap ada kesempatan pada setiap hari aku akan mendatangi sebuah candi dan di situ aku akan mendoakan dirimu! Perlindungan dan berkat Para Dewa akan melimpah menyertai dirimu..."

Gadis berpakaian dan berkerudung putih menatap wajah pemuda itu. Dua pasang mata saling beradu pandang. "Pemuda ini orang baik. Bagaimana orang sebaik dia ada yang mencelakai...?"

Sebayang Kaligantha berpaling ke arah kuda putih yang tegak tak bergerak di atas bukit. Buntutnya mengibas-ngibas kian kemari. "Itu kudamu?"

Si gadis mengangguk.

"Kuda bagus." Memuji Sebayang Kaligantha. "Tapi apakah kau tidak memperhatikan? Binatang itu tidak bisa bergerak. Ke empat kakinya tertancap ke dalam tanah!"

2. LINGKARAN BUDI

SI GADIS terkejut mendengar ucapan Sebayang Kaligantha. Cepat-cepat dia palingkan kepala ke arah kuda dan seruan tertahan serta merta keluar dari mulutnya sewaktu melihat keadaan kuda putih miliknya. Seperti yang dikatakan pemuda itu, kuda putih berdiri di atas tanah bukit dengan empat kaki tenggelam masuk ke dalam tanah hampir sebatas lutut. Binatang ini bukan saja tidak mampu mengeluarkan empat kaki dari dalam tanah, tapi sekujur tubuhnya juga tidak bisa digerakkan kecuali ekor yang mengibas-ngibas. Sigadis cepat mendatangi lalu mengelus tengkuk binatang itu.

"Kudaku Jambul Putih, apa yang terjadi dengan dirimu?" Si gadis menoleh ke arah Sebayang Kaligantha. Lalu bertanya. "Apakah bukan kau yang melakukan ini? Agar aku tidak bisa pergi dari sini?"

"Aku bersumpah! Aku tidak punya ilmu kepandaian apa-apa! Aku tidak sejahat itu! Apalagi kau adalah penolong penyelamat jiwaku! Masakan aku tega berlaku culas! Para Dewa sesungguhnya lebih mengetahui apa yang terjadi!" Jawab Sebayang Kaligantha dengan suara keras.

Si gadis kembali mengusap tengkuk kuda putih. Walau kepala tidak bisa bergerak namun binatang ini mampu meringkik keras. Tiba-tiba batang pohon yang terbelah dimana tadi Sebayang Kaligantha duduk tersandar, memancarkan cahaya terang tiga warna. Cahaya ini melesat ke atas lalu menyambar ke arah gadis dan kuda putih.

"Sahabat penolong awas!" Sebayang Kaligantha berteriak keras. Secepat kilat pemuda ini melompat, lalu mendorong bahu si gadis hingga yang didorong terguling di tanah.

Si gadis selamat dari hantaman cahaya tiga warna tapi kuda putih miliknya mengalami nasib mengerikan. Cahaya tiga warna melanda tubuh besar binatang itu hingga terbelah menjadi empat potongan yang mencelat ke udara, jatuh bergelimpangan di tanah lalu leleh dengan mengepulkan asap! Gadis pemilik kuda menjerit keras. Dia menghambur tapi tidak tahu mau melakukan apa. Akhirnya gadis ini jatuhkan diri, duduk bersimpuh di tanah, kucurkan air mata di hadapan asap yang mengepul. Dia baru palingkan kepala ketika mendengar suara orang batuk berulang kali. Sebayang Kaligantha dilihatnya melangkah terbungkuk-bungkuk menuruni bukit sambil pegangi dada. Sisi kanan pakaiannya tampak kemerah-merahan tanda dia telah terserempet sambaran salah satu cahaya tiga warna.

"Pemuda itu, dia terluka di dalam..." Ucap si gadis. Lalu dengan cepat berdiri dan mengejar. "Sebayang! Tunggu! Jangan pergi dulu!" teriak si gadis memanggil.

Si pemuda batuk dua kali, muntahkan ludah bercampur darah lalu hentikan langkah. Mukanya tampak pucat. Walau hanya pakaiannya yang tampak merah namun si gadis tahu kalau pemuda itu menderita cidera di sebelah dalam.

"Sebayang, kau terluka di dalam. Meski tidak berbahaya tapi kau..."

"Aku tidak apa-apa. Terima kasih kau telah memperhatikan diriku..." Sebayang Kaligantha lanjutkan langkah menuruni lereng bukit sementara di ufuk barat sang surya kelihatan hanya tinggal merupakan bola besar setengah lingkaran merah menyala.

"Aku tidak akan membiarkan kau pergi sebelum mengobati luka dalammu!"

"Sudah aku bilang, aku tidak apa-apa..." Sebayang Kaligantha hentikan ucapan karena saat itu si gadis berpakaian dan berkerudung putih telah melompat ke hadapannya. Dalam keadaan tubuh melayang di udara si gadis angkat tangan kanan. Tangan yang hanya merupakan tulang belulang sebatas siku ke bawah itu diletakkan di atas kepala Sebayang Kaligantha.

"Dess! Desss!"

Si pemuda merasa ada hawa dingin mengalir masuk ke dalam kepala terus menjalar ke bagian dada Yang terluka di sebelah dalam. Dirinya seperti ditimpa batu besar. Tak sanggup menahan pemuda ini akhirnya jatuh terduduk di tanah. Namun saat itu dia merasa tubuhnya sangat segar, pemandangan terang, wajah yang tadi pucat kini kembali berdarah.

"Kau sudah sembuh! Sekarang kalau mau kau boleh pergi." Berucap si gadis.

"Gadis hebat! Dua kali kau menyelamatkan jiwaku," ucap Sebayang Kaligantha tanpa beranjak dari tempatnya terduduk.

"Kalau kita menghitung segala budi, akupun sebenarnya sudah menemui ajal jika tadi kau tidak mendorongku menyelamatkan diriku dari serangan cahaya tiga warna..."

Sebayang Kaligantha tersenyum dan berucap perlahan. "Sangat jelas bagiku kini, hidup ini sebenarnya adalah lingkaran budi dimana manusia tidak bisa berlaku sombong karena dia tidak mungkin hidup seorang diri di muka bumi."

Si gadis terdiam mendengar ucapan pemuda itu. Lalu perlahan-lahan dia berkata. "Aku harap kau jangan bersalah duga. Aku bukan tidak mau memberi tahu nama, aku juga tidak bermaksud sombong meninggalkan dirimu begitu saja. Aku terikat pada kutuk dan sumpah orang tuaku..."

"Apapun yang kau katakan aku percaya dan aku bisa mengerti..." Jawab Sebayang Kaligantha. Karena dia tidak berminat lagi untuk bicara banyak, perlahan-lahan pemuda ini bangun berdiri. Lalu dia membungkuk dalam-dalam seraya berkata. "Aku sekali lagi mengucapkan terima kasih atas budi besarmu telah menolong diriku. Selamat tinggal sahabat. Jaga dirimu baik-baik. Bhumi Mataram saat ini tidak berada dalam keadaan aman. Banyak orang jahat berkeliaran. Diantara mereka ada orang berilmu kesaktian tinggi dan mempergunakan ilmu untuk kejahatan..."

"Tidak, jangan pergi!" Kata si gadis lalu melompat dan menghadang langkah si pemuda, membuat Sebayang Kaligantha menatap terheran-heran. "Sebayang, dengar baik-baik..."

"Aku mendengarkan. Apa yang hendak kau ucapkan?"

"Aku tidak bisa memberi tahu namaku. Karena aku harus merahasiakan diri demi menjaga kehormatan nama ayahku. Tapi jika kau ingin mendengar nasib diriku, aku bersedia menceritakan..."

Sebayang Kaligantha terdiam beberapa ketika. Berpikir-pikir apakah dia perlu mendengar cerita si gadis. Mengingat budi orang akhirnya pemuda ini berucap. "Kalau begitu katamu mari kita mencari tempat yang baik. Di lereng bukit sebelah timur ada dangau, di pinggir sebuah telaga kecil. Kita bisa sampai di sana sebelum matahari tenggelam..."

"Terlalu lama. Kau tunjukkan jalani. Aku bisa membawamu lebih cepat!" Kata si gadis pula. Lalu dengan jari-jari tangan jerangkongnya dia memegang lengan Sebayang Kaligantha. Aneh, walau jelas jari-jari tangan gadis itu hanya merupakan tulang tidak berdaging tidak berkulit namun dia merasa seperti disentuh tangan biasa. Di lain saat si pemuda dapatkan tubuhnya seperti ditarik ke udara. Si gadis berlari laksana terbang karena hanya sesekali menjejakkan kaki di tanah! Kembali Sebayang berpikir.

"Bagaimana gadis semuda ini bisa memiliki ilmu kepandaian begini tinggi. Dia tidak mungkin telah melakukan tapa selama bertahun-tahun. Satu-satunya aku menduga dia mungkin mahluk jejadian..." Memikir sampai di sini Sebayang Kaligantha jadi ngeri sendiri dan berlaku waspada. Sepasang matanya tidak lepas dari mengawasi gerak gerik si gadis. Tidak mustahil tiba-tiba dirinya dibokong hingga dia bisa mati konyol! "Jangan-jangan dia yang telah menjebol dadaku, mencuri Jimat Mutiara Mahakam dari dalam tubuhku..."

3. GOLOK SINGO WILIS

PAGI itu udara cerah sekali. Kadiri dan sekitarnya yang semula diselimuti suasana segar tenang tenteram tiba-tiba dilanda kegegeran. Pangkal sebabnya dua anak lelaki penggembala kambing secara tidak sengaja menemukan mayat perempuan tergantung di cabang pohon, di tempat terpencil, tak jauh dari tikungan Kali Brantas. Dari keadaan tubuh serta pakaian yang sebagian tersingkap jelas kelihatan kalau perempuan yang masih muda itu tengah berada dalam keadaan mengandung. Begitu penduduk Kadiri berdatangan, segera saja mereka mengenali kalau perempuan muda berbadan dua yang mati tergantung di cabang pohon itu adaiah Mundi Wardhani, janda muda yang tinggal bersama orang tuanya di Desa Gampingrejo, tak jauh agak ke utara Kadiri.

Ketika kabar mengenaskan dan menyedihkan itu disampaikan orang kepada Sangga Wikerthi, ayah Mundi Wardhani, lelaki berusia enam puluh tahun ini bukannya segera mendatangi tempat kejadian tapi mengambil sebilah golok pusaka dari dalam sebuah peti kayu. Senjata ini memiliki gagang besi berupa ukiran kepala singa, dengan sepasang daun telinga panjang mencuat ke atas. Inilah golok sakti bernama Singo Wilis. Konon besi pembuat golok ini berasal dari kepundan Gunung Wilis.

Senjata ini telah tersimpan lebih dari dua puluh tahun di dalam peti, tidak pernah disentuh. Walau senjata itu tajam berkilat namun di beberapa bagian tampak noda hitam. Itulah bekas noda darah yang tak sempat dibersihkan dan telah berubah menjadi karat yang kemudian menyatu dengan badan golok, membentuk racun berbahaya. Noda darah merupakan pertanda bahwa senjata ini dimasa lalu telah menelan banyak korban.

Sangga Wikerthi tanpa dapat dicegah segera berangkat menuju Kadiri dengan menunggang kuda. Jeritan sang istri memohon agar dia tidak pergi ke Kadiri tidak diperdulikan. Sebelum pergi Sangga Wikerthi meninggalkan pesan pada beberapa orang teman dan tetangga agar membantu mengurus jenazah anaknya.

"Wikerthi, kemanapun kau pergi jangan sendirian. Aku akan menemanimu." Seorang teman dekat bernama Katu Jingga yang juga tetangga Sangga Wikerthi berkata.

"Aku akan mencari pembunuh anakku! Aku tidak tolol! Anakku tidak mati bunuh diri! Mana mungkin! Dia digantung orang! Dan aku sudah tahu siapa pelakunya! Untuk membunuh manusia durjana itu aku tidak perlu bantuan siapapun!"

Katu Jingga tahu betul siapa sahabatnya itu. Selain ilmunya memang tinggi, jika satu kali Sangga Wikerthi mengucapkan sesuatu maka dia tidak akan melakukan hal lain kecuali melaksanakan niatnya. Kalau dia ingin membunuh seseorang maka dia tidak akan berhenti sebelum orang dimaksud menemui ajal di tangannya! Katu Jingga juga tahu riwayat golok Singo Wilis. Selama puluhan tahun senjata itu tidak pernah keluar dari dalam peti penyimpanan. Kalau hari itu Sangga Wikerthi menghunusnya, berarti paling tidak ada satu korban akan menemui ajal! Namun Katu Jingga merasa was-was. Dia telah bisa menduga siapa yang akan dihabisi Sangga Wikerthi. Sang sahabat merasa kawatir karena orang yang akan dibunuh bukan orang sembarangan. Dalam ilmu silat serta kesaktian orang itu jauh berada di atas tingkat kepandaian sahabatnya Sangga Wikerthi.

"Hati-hatil Wikerthi!" Menasehati Katu Jingga. "Selagi hatimu panas jangan mudah menuduh orang! Siapa menurutmu orang yang telah menggantung anakmu?"

"Orang yang melakukan perbuatan keji durjana itu adalah manusia jahanam yang telah menghamili anakku!" Setelah keluarkan ucapan itu Sangga Wikerthi segera membedal kuda tunggangannya.

Orang banyak di depan rumah jadi geger.

"Aku tahu dia pergi kemana dan mencari siapa!" Kata Katu Jingga pada orang-orang yang menge-lilinginya. "Kalian semua lekas ke Kali Brantas. Ambil dan bawa jenazah Mundi Wardhani. Siapkan upacara perabuan. Aku akan menyusul Wikerthi! Aku kawatir, kalau tidak dicegah akan terjadi pertumpahan darah!" Katu Jingga lalu lari ke kandang kuda.

* * *

BEBERAPA orang lelaki tampak sibuk di halaman rumah besar kediaman Giring Mangkureja di Kadiri. Salah seorang dari mereka menuntun seekor kuda lalu menunggu di depan tangga bersama dua temannya yang juga telah menyiapkan kuda masing-masing. Ketiganya adalah pembantu sekaligus pengawal Giring Mangkureja. Tak lama kemudian dari dalam rumah melangkah keluar seorang lelaki usia sekitar enam puluh tahun, berpakaian bagus namun berambut dan berwajah kusut. Inilah Giring Mang-kureja, saudagar pedagang yang juga memiliki tanah pertanian sangat luas, merupakan orang kaya dan terpandang di Kadiri.

Dia berjalan diikuti dua orang perempuan, satu berusia sudah agak lanjut satunya lagi masih muda. Wajah dua perempuan ini tampak rebak menahan cemas dan tangis. Perempuan yang tua adalah Suri Dhurani, istri tua Giring Mangkureja. Perempuan yang masih muda, bernama Liris Pramawari, gadis yang merupakan anak satu-satunya dari Giring Mangkureja. Seperti dikatakan tadi lelaki ini dikenal sebagai seorang pedagang dan petani kaya terpandang. Selain itu diketahui pula kalau dia memiliki ilmu silat serta kesaktian tinggi.

Ada kabar bahwa jika orang-orang dari satu kerajaan besar di barat akan mendirikan Kerajaan di Kadiri maka Giring Mangkureja akan dipercayakan jabatan Patih Kerajaan. Namun sebegitu jauh riwayat kehidupannya dimata penduduk setempat dianggap kurang baik. Ini disebabkan karena dia banyak mempunyai istri. Baik yang dikawin secara syah maupun yang diam-diam menjadi peliharaannya. Konon salah seorang perempuan yang jadi peliharaannya itu adalah Mundi Wardhani, janda muda puteri Sangga Wikerthi, yang pagi itu ditemui orang mati tergantung di cabang pohon. Baru saja Giring Mangkureja duduk di atas punggung kuda, tiba-tiba dari pintu halaman rumah besar menerobos masuk seorang penunggang kuda yang langsung berteriak!

"Giring Mangkureja! Kau mau pergi kemana?! Setelah membunuh anakku apa kau kira masih bisa hidup lebih lama?!"

Sementara kudanya masih berlari kencang, si penunggang kuda yang bukan lain adalah Sangga Wikerthi, ayah Mundi melesat d i udara. Tangan kanan sudah mencekal golok Singo Wilis, putih berkilat bernoda darah kering hitam. Semua gerakan yang dibuat oleh lelaki yang hampir seumur dengan Giring Mangkureja ini merupakan bukti bahwa dia memiliki ilmu silat tinggi.

"Sangga Wikerthi! Tahan serangan. Kita bicara dulu! Aku tadinya memang hendak ke Gampingrejo menemuimu!" Teriak Giring Mangkureja sementara anak istrinya berpekikan ketakutan.

"Manusia terkutuk Giring Mangkureja! Kau tak perlu jauh-jauh pergi ke Gampingrejo. Aku sudah datang ke sini untuk menagih nyawamu!" Sangga Wikerthi balas berteriak lalu lelaki yang sudah kalap Ini mana mau menahan serangan. Dia membuat gerakan jungkir balik di udara, tubuh melesat lebih deras, melayang ke bawah menebar serangan golok yang ganas dalam jurus bernama Hantu Dari Langit Menebar Petaka.

Giring Mangkureja sudah lama kenal dengan Sangga Wikerthi. Malah sebenarnya mereka berdua adalah saling bersahabat Melihat jurus serangan yang dilancarkan orang Giring Mangkureja segera maklum kalau Sangga Wikerthi tidak main-main dan memang benar-benar ingin membunuhnya! Hal ini juga diketahui oleh dua orang pengawal. Dengan cepat keduanya mencabut golok masing-masing lalu menerjang menghadapi serangan.

"Traangg! Traangg!"

Dua kali terdengar suara dentrang senjata beradu dan dua kali bunga api memercik di udara. Dua bilah golok mencelat mental. Dua pengawal Giring Mangkureja berteriak kaget. Mereka dengan cepat melompat mundur. Salah seorang di antaranya terbungkuk-bungkuk pegangi tangan yang mengucurkan darah. Dua jari tangan kanannya ternyata telah dibabat putus oleh golok Sangga Wikerthi sewaktu terjadi bentrokan senjata!

Pengawal ke tiga tidak tinggal diam. Dia segera mencabut senjata menyerupai clurit yang terselip di pinggang lalu menghadang gerakan Sangga Wikerthi yang kembali hendak menerjang ke arah Giring Mangkureja. Tapi nasib pengawal yang satu ini lebih buruk dari dua temannya. Setelah cluritnya dibuat patah dua dan mental oleh hantaman golok Singo Wilis, senjata ini terus bersiur deras, berkelebat ganas dan... crasss!

Darah menyembur. Leher sang pengawal nyaris putus! Tubuhnya tak ampun tergelimpang roboh bergelimang darah. Suri Dhurani, istri Giring Mangkureja dan puteri Liris Pramawari sama-sama terpekik.

"Sangga!" teriak Giring Mangkureja. "Buang amarahmu, tenangkan hati! Simpan senjatamu! Aku tahu kau menjadi kalap seperti ini karena kematian puterimu! Kalap boleh saja tapi jangan jadi seperti kemasukan setan! Mundi anakmu tidak mati bunuh diri tapi dibunuh orang!"

"Betul sekali!" teriak Sangga Wikerthi sambil melintangkan golok berlumuran darah di depan dada. Mata mendelik berkilat, rahang menggembung. "Kau berani bicara! Tapi pengecut mengakui kalau kaulah yang telah membunuh puteriku! Kau tidak mau bertanggung jawab atas perbuatanmu menghamili anakku!"

"Tunggu dulu Sangga! Itu cerita tidak betul! Aku dan puterimu sudah merencanakan untuk menikah..."

"Pembunuh terkutuk! Kalau begitu kau nikahi anakku di alam arwah!" bentak Sangga Wikerthi. Tanpa banyak bicara lagi Sangga Wikerthi segera menyerbu Giring Mangkureja dengan golok berlumur darah!

Untuk beberapa jurus lamanya Giring Mangkureja masih mampu menghadapi serangan lawan yang bersenjata golok sementara dia masih mengandalkan tangan kosong. Sambil terus mengelak lelaki ini tiada henti berteriak agar Sangga Wikerthi hentikan serangan dan menyimpan senjatanya. Namun serangan lawan semakin hebat. Satu kali ujung golok di tangan Sangga Wikerthi berhasil merobek baju dan menggores luka di dada Giring Mangkureja. Pedagang dan petani kaya ini langsung merasa dadanya menjadi panas tanda ada hawa jahat masuk ke dalam tubuhnya. Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam untuk memusnahkan. Sambil mengusap goresan luka di dada Giring Mangkureja berkata.

"Sangga! Aku mohon untuk terakhir kali! Hentikan seranganmu! Ada orang lain memancing di air keruh!"

Sangga Wikerthi menyeringai sinis. "Nyawa sudah di depan mata! Masih berusaha mengelabui diriku!"

Golok besar di tangan Sangga Wikerthi disentakkan lurus ke atas. Lalu perlahan-lahan senjata ini ditukik-kan ke bawah. Di saat yang bersamaan golok keluarkan cahaya berpijar. Sesaat kemudian golok itu pancarkan cahaya merah yang berubah menjadi nyala api!

"Hantu Api Menyulut Bumi!" Ucap Giring Mangkureja mengenali jurus ilmu kesaktian yang hendak dikeluarkan Sangga Wikerthi. Dan dia tahu, paling tidak lima orang berkepandaian tinggi pernah menjadi korban oleh jurus serangan ini! Dengan cepat Giring Mangkureja geser dua kaki, dikembangkan begitu rupa sementara dua telapak tangan disatukan dan diletakkan di atas kepala.

"Ayah! Jangan keluarkan Ilmu itu!" Tiba-tiba Liris Pramawari berteriak ketika melihat gerekan yang dilakukan Giring Mangkureja. Rupanya si gadis tahu betul kehebatan ilmu kesaktian sang ayah yang bisa mencelakai lawan. Walau dia sadar ayahnya dalam bahaya namun gadis ini juga tidak ingin orang lain menemui celaka. Namun dua orang yang sedang bertarung sudah disusupi hawa amarah yang membuat hati mereka berubah menjadi sebuas setan!

"Wuttt!" Golok pusaka di tangan Sangga Wikerthi menyambar ke arah Giring Mangkureja.

"Wusss!"

Yang menyerang bukan cuma golok tapi juga nyala kobaran api! Bagian depan kobaran api membentuk sosok kepala singa dengan mulut terbuka! Inilah kehebatan golok Singo Wilis. Lawan akan menghadapi tiga serangan sekaligus. Pertama terkaman singa api jejadian, kedua sambaran kobaran api dan ketiga babatan golok. Melihat serangan lawan yang luar biasa ganas dan menakutkan. Suri Dhurani dan Liris Pramawari menjerit keras.

"Sangga Wikerthi! Aku mohon hentikan perkelahian ini!" teriak Suri Dhurani. Istri Giring Mangkureja ini bukan cuma berteriak tapi juga melompat menghadang datangnya tiga serangan.

"Suri! Lekas menyingkir!" Giring Mangkureja berteriak memberi ingat. Namun terlambat. Tiga serangan Sangga Wikerthi datang luar biasa cepat. Singa jejadian telah lebih dulu menerkam kepala perempuan itu.

"Kreeekkk!"

Lalu wussss! Menyusul sambaran api dan yang terakhir babatan golok di bagian pinggang!

"Ibu" Jeritan Liris Pramawari seolah tembus sampai ke langit.

Giring Mangkureja menggembor keras. Sangga Wikerthi meski tersentak tidak menyangka serangannya mencelakai Suri Dhurani namun kemudian menyeringai. Mulutnya berucap lantang. "Giring Mangkureja! Itu pembalasan dari Mundi Wardhani anakku yang telah kau hamili dan kau bunuh! Sekarang terima pembalasan dariku!"

Saat itu tubuh Suri Dhurani telah tergelimpang di tanah. Kepala yang diterkam singa jejadian tampak tidak berbentuk lagi. Sebagian tubuh hangus sementara di pinggang tampak koyakan luka besar mengerikan. Didahului teriakan menyayat hati Liris Pramawari jatuhkan diri ke tanah, menubruk mayat ibunya.

Giring Mangkureja juga segera hendak merangkul tubuh istrinya namun saat itu Sangga Wikerthi putar pergelangan tangannya yang memegang golok Singo Wilis. Kepala singa jejadian dan kobaran api lenyap. Kini yang kelihatan hanya batangan golok berlumuran darah. Senjata itu keluarkan cahaya berpijar, dibabatkan tiga kali, ke kiri dan ke kanan lalu menyambar ke arah leher Giring Mangkureja. Cahaya berpijar yang keluar dari golok Singo Wilis menyilaukan pandangan mata Giring Mangkureja. Namun lelaki ini tidak bergerak dari tempatnya. Dua kaki merenggang. Dua tangan di atas kepala yang tadi saling dirapatkan tiba-tiba dibuka lalu ditepukkan satu dengan lainnya. Bersamaan dengan itu Giring Mangkureja berteriak.

"Dua Gunung Menutup Pintu Akhirat!"

4. HUKUMAN PARA DEWA

HANYA sejengkal lagi golok sakti akan membabat putus leher Giring Mangkureja mendadak blaarr... blaarr! Di tempat itu secara tiba-tiba muncul dua dinding batu besar berwarna hijau pekat. Saat yang bersamaan terdengar suara menggemuruh hingga tanah bergetar hebat, bangunan dan pepohonan berderak-derak.

Sangga Wikerthi berseru terkejut melihat dua dinding batu hijau pekat muncul di kiri kanannya. Mukanya seputih kapas. "Dewa Bathara Jagat! Jadi manusia terkutuk itu benar-benar memiliki ilmu Dua Gunung Menutup Pintu Akhirat!"

Dengan cepat Sangga Wikerthi melompat ke belakang. Tapi dua kakinya terkunci, laksana dipantek ketanah! Dalam ketakutan yang amat sangat Sangga Wikerthi berteriak keras lalu lemparkan golok Singo Wilis ke arah Giring Mangkureja. Walau dia dapat melukai bahu kiri lawan namun dia tidak mampu selamatkan diri dari serangan Dua Gunung Api Menutup Pintu Akhirat. Dua dinding batu hijau menjepit tubuhnya secepat kilat menyambar.

"Kraaakkkk!"

Sekujur tubuh Sangga Wikerthi tenggelam amblas masuk dalam jepitan dua dinding hijau. Suara jeritannya terdengar sayup-sayup seolah datang dari dalam tanah!

Giring Mangkureja geser dua kaki. Tangan di atas kepala perlahan-lahan diturunkan ke samping. Dua dinding batu bercahaya hijau pekat lenyap dari pandangan mata. Kini di tanah terbujur sosok Sangga Wikerthi dalam ujud mengerikan. Sekujur tubuh lelaki itu hancur sepipih daun pisang! Saat itulah Kutu Jingga sampai di tempat kejadian. Kerabat dari Gampingrejo ini melompat dari punggung kuda sambil berteriak berulang kali. Dia berdiri di hadapan tubuh Sangga Wikerthi tapi begitu ngerinya dia tidak berani memandang ujud jenazah sahabatnya itu.

"Aku terlambat, aku tak kuasa mencegah!" Ucap Katu Jingga sambil gelengkan kepala dan menarik nafas berulang kali. Perlahan-lahan Katu Jingga berpaling ke arah Giring Mangkureja yang saat itu berdiri terhuyung-huyung, luka di bahu masih mengucurkan darah sementara anak perempuan dan seorang pengawal berdiri memegangi tubuhnya.

"Raden Mas Giring Mangkureja, kalian bersahabat. Mengapa tega membunuh Sangga Wikerthi? Apa benar kau telah membunuh pula puterinya Mundi Wardhani?"

Giring Mangkureja menatap sayu ke arah Katu Jingga. Suaranya perlahan ketika berkata. "Kau adalah juga sahabatnya. Selidiki kejadian ini. Mudah-mudahan Para Dewa memberi petunjuk dan kau akan mendapatkan kebenaran." Lalu Giring Mangkureja berpaling pada puterinya. "Bawa aku masuk ke dalam rumah. Tubuhku terasa panas. Luka di dada dan bahuku mengandung racun. Tolong urus cepat jenazah ibumu..."

Sang puteri Liris Pramawari dan pengawal segera memapah Giring Mangkureja masuk ke dalam rumah. Namun baru dua langkah menindak, tiba-tiba ada satu cahaya putih menerangi bagian depan rumah besar. Setelah itu terdengar suara seseorang yang ujudnya tidak kelihatan. Suara itu memiliki gema penuh wibawa.

"Giring Mangkureja, kau baru saja berbuat dosa besar. Mengapa tidak mencari jalan terbaik dalam menyelesaikan perkara. Tetapi malah membunuh Sangga Wikerthi, sahabatmu yang sebenarnya saat ini sudah menjadi ayah mertuamu sendiri. Karena bukankah kau telah menghamili puterinya yang bernama Mundi Wardhani?"

Semua orang yang ada di tempat itu sama-sama terkejut. Yang paling kaget adalah Giring Mangkureja. "Aku mohon bertanya. Siapa yang barusan bicara menegur diriku?" Suara Giring Mangkureja terdengar bergetar.

"Aku Roh Agung, utusan Para Dewa dari Swargaloka."

Mendengar jawaban itu Giring Mangkureja terbelalak. Lalu cepat-cepat jatuhkan diri. Liris Pramawari anak gadisnya ikut pula berlutut di tanah. Katu Jingga yang masih ada di tempat itu serta para penghuni rumah besar yang tadinya hendak mengangkat jenazah Suri Dhurani cepat-cepat melakukan hal yang sama.

"Roh Agung utusan Para Dewa. Aku mengaku telah menghamili Mundi Wardhani, puteri Sangga Wikerthi. Aku juga mengakui telah membunuh sahabatku Sangga Wikerti. Namun Roh Agung, kau tentu mengetahui bahwa aku membunuh lelaki itu dalam keadaan terpaksa. Ketika aku harus menyelamatkan jiwaku dari maksudnya yang hendak membunuh diriku. Dan kau wahai Roh Agung, apakah tidak melihat mayat istriku yang jadi korban keganasan Sangga Wikerthi? Mengapa hal itu tidak menjadi pertanyaan bagimu?"

"Itu adalah jawaban dan alasan yang sangat dicari-cari. Apakah kau tidak menyadari kalau semua kejadian ini berpangkal pada sebab kau menghamili Mundi Wardhani?"

"Aku tahu dan aku sadar. Semua aku lakukan bukan karena niat tidak baik atau pelampiasan nafsu semata. Tapi aku inginkan seorang keturunan lagi. Seorang anak laki-laki. Puluhan tahun memiliki istri bukan hanya satu orang, tapi aku hanya dikaruniai seorang anak perempuan. Yaitu anak perempuan yang saat ini telah remaja gadis bernama Liris Pramawari. Aku mendambakan akan kehadiran seorang anak laki-laki. Ketika Mundi Wardhani hamil, kami sangat berbahagia. Karena kami punya firasat anak yang dikandungnya adalah seorang anak laki-laki. Kami sudah sepakat untuk melangsungkan pernikahan. Hanya saja aku yakin ada pihak ketiga yang memanfaatkan keadaan. Memancing di air keruh. Sengaja membunuh Mundi Wardhani agar diriku yang menjadi korban tuduhan. Aku tidak membunuh perempuan itu. Aku tidak gila membunuh calon istri yang di dalam tubuhnya ada jabang bayi darah dagingku sendiri! Untuk itu aku bersedia bersumpah di hadapan Para Dewa..."

"Giring Mangkureja. Apa kau tidak sadar kalau sumpahmu itu hanya memperkuat pertanda akan ketololan dirimu sendiri? Apa kau kira peristiwa mengerikan itu akan terjadi jika kau mampu menahan nafsu terhadap perempuan? Sudah berapa banyak perempuan yang kau kawini secara syah dan berapa banyak pula yang kau kawini hanya sebagai peliharaan. Giring Mangkureja, jangan berani mempermainkan Para Dewa dengan mencari-cari alasan."

"Roh Agung, aku tidak mempermainkan Para Dewa Para Junjungan, juga tidak sengaja mencari alasan. Aku sudah menerangkan mengapa aku punya banyak istri dan juga perempuan peliharaan. Apakah kau tidak mendengar atau sengaja mengabaikan? Aku mohon kalau diriku memang salah maka agar kesalahan itu dipertimbangkan secara adil!"

Suara tanpa ujud tertawa bergema. "Giring Mangkureja, apa kau kira selama ini Para Dewa tidak berlaku adil? Justru aku diutus untuk melaksanakan keadilan itu! Para Dewa telah memutuskan menghukum dirimu. Selama tujuh tahun kau akan dilempar ke satu tempat terpencil, dan ujudmu akan dirubah menjadi manusia tengkorak alias jerangkong hidup"

Suri Dhurani dan Liris Pramawari terpekik mendengar ucapan Roh Agung itu. Sebaliknya Giring Mangkureja terkulai lemas dan jatuh terduduk di tanah.

"Giring Mangkureja? Apa jawabmu?" Suara tanpa ujud bertanya.

Susah payah Giring Mangkureja tegakkan kepala. "Kalau memang itu menjadi keputusan Para Dewa, aku mana berani menampik. Cuma ada suara di lubuk hatiku saat ini bertanya. Kepada siapa lagi aku akan merunduk atau beteriak minta keadilan? Roh Agung, agaknya akupun tidak bisa berharap banyak padamu! Silahkan hukuman dijatuhkan atas diriku saat ini juga! Aku sungguh merasa bahagia menjadi insan contoh dari satu ketidak adilan!"

Roh Agung keluarkan suara bergumam pertanda merasa tidak senang mendengar ucapan Giring Mangkureja itu. Satu cahaya terang kebiru-biruan mendadak berkiblat di tempat itu. Siap menerpa ke arah Giring Mangkureja. Itulah cahaya jatuhnya hukuman! Liris Pramawari bertindak cepat. Dia melompat memeluk ayahnya. "Siapa saja yang hendak menghukum ayahku, hukum juga diriku! Siapa saja boleh membunuh kami berdua saat ini!" Teriak Liris Pramawari.

5. BAKTI SEORANG ANAK

CAHAYA biru mendadak tertahan menggantung di udara. Sambil terus memeluk ayahnya si gadis berucap dengan suara lantang.

"Roh Agung utusan Para Dewa! Para Dewa di Swargaloka! Keadilan bukanlah segala-galanya! Ayah saya memang bersalah. Tapi kadar kesalahannya tidak seperti yang dituduhkan. Ayah tidak pernah membunuh perempuan bernama Mundi Wardhani itu. Dia membunuh Sangga Wikerthi karena berusaha menyelamatkan nyawa sendiri dari serangan orang. Banyak mata menyaksikan kejadian itu! Juga banyak mata menyaksikan ketika bagaimana Sangga Wikerthi membunuh ibu! Tetapi mengapa ada yang sengaja memicing mata menutup mulut atas kejadian ini. Sebaliknya memperbesar kesalahan hanya pada diri ayah saya! Apakah itu yang dinamakan keadilan!? Apa di jagat ini tidak ada lagi yang namanya kebijaksanaan dalam menilai kesalahan ayahku? Penjatuhan hukuman hanya dari atas ke bawah tanpa yang dibawah boleh membela diri!?"

Baru saja Liris Pramawari mengeluarkan ucapan itu tiba-tiba tanah bergetar seperti dilanda gempa. Entah dari mana datangnya tahu-tahu angin bertiup sangat kencang. Tanpa merasa gentar sama sekali Liris Pramawari melompat berdiri. Dua tangan di angkat tinggi-tinggi ke atas. Lalu gadis ini keluarkan ucapan lantang.

"Alam boleh marah! Para Dewa ingin menunjukkan kekuasaan! Saya tidak bermaksud membangkang apa lagi berani menantang! Ayah saya sudah siap menerima hukuman! Tetapi sebagai anaknya saya punya hak dan harus diberi kesempatan untuk membela ayah saya! Kalau tidak diberi kesempatan maka saya akan melakukan tapa seribu hari di puncak Semeru, biar bumi terbalik langit runtuh laut meluap"

Diam, tak ada yang bicara. Akhirnya terdengar suara Roh Agung. Kali ini agak lembut dari sebelumnya tapi tetap penuh wibawa. "Liris Pramawari, sebelum Para Dewa menjadi murka atas sikap dan ucapanmu, katakan apa yang ada dalam benak dan hati sanubarimu"

"Roh Agung, saya mohon agar ayah saya diampuni atas segala dosanya. Untuk itu saya bersedia menanggung dosa dan menjalani hukuman beliau yang telah diputuskan Para Dewa atas diri ayah!"

"Byaarr!"

Cahaya kebiruan yang sejak tadi menggantung di udara hilang! Saat itu juga tiba-tiba getaran di tanah lenyap, tiupan angin sirna. Tempat itu sesunyi malam buta di pekuburan. Dalam keadaan seperti itu Liris Pramawari jatuhkan diri, bersujud dengan kening diletakkan di tanah. Sepasang mata Giring Mangkureja berkaca-kaca, suaranya terbata-bata ketika berkata.

"Liris anakku, jangan herani menentang kehendak Yang Maha Kuasa. Aku sudah siap menjalani hukuman karena aku memang orang berdosa. Kau tidak pantas membela diriku..."

"Ayah, saya tidak akan beranjak dari tempat ini sebelum Para Dewa mengabulkan permohonan saya!" Ucap si gadis. Lalu keningnya ditekan keras-keras ke tanah. Demikian kerasnya dia menekankan kening hingga kulit keningnya mulai pecah dan mengucurkan darah.

"Liris Pramawari," tiba-tiba terdengar suara Roh Agung. "Para Dewa sangat kecewa dengan ucapan dan tindakanmu! Namun dari sisi kenyataan bagaimana kau telah memperlihatkan bakti terhadap orang tua maka Para Dewa mengabulkan permintaanmu."

Liris Pramawari tidak bergerak dari tempatnya bersujud. Gadis ini keluarkan ucapan. "Roh Agung, saya akan tetap di sini, dalam keadaan seperti ini sampai saya mendengar apa keputusan Para Dewa."

"Wahai anak gadis pembela orang tua. Dengar baik-baik. Inilah keputusan Para Dewa. Ayahmu tidak akan dikucilkan. Ayahmu tidak akan dirobah menjadi mahluk jerangkong. Tapi mulai hari ini kau diperintahkan harus melakukan tiga kebajikan besar. Tiga kebajikan itu harus terlaksana dalam jangka waktu dua belas bulan purnama. Sebelum kau mampu melaksanakan tiga kebajikan itu maka secara perlahan-lahan dirimu akan berubah menjadi jerangkong. Kejadian itu akan dimulai dari lima ujung jari tanganmu. Setiap hari, sedikit demi sedikit bagian tubuhmu itu akan berubah menjadi tulang belulang yang akan terus menjalar naik sampai ke telapak tangan, lengan, bahu terus ke seluruh bagian tubuhmu yang lain termasuk kepala. Bilamana kau tidak pernah mampu melakukan satupun dari tiga kebajikan besar maka selama tujuh tahun kau akan hidup sebagai mahluk jerangkong! Keputusan Para Dewa telah diambil. Ini merupakan sumpah perjanjian! Dan kau tidak bisa menolak!"

Liris Pramawari perlahan-lahan bangkit berdiri. Sambil perhatikan sepuluh jari tangannya dia berkata. Suara dan ucapannya benar-benar tegar. "Terima kasih Roh Agung. Terima kasih wahai Para Dewa. Saya menerima sumpah perjanjian ini!"

"Janji telah diucapkan. Sumpah telah diangkat! Liris Pramawari, berkat Para Dewa menjadi bagianmu. Semoga kau berhasil. Aku pergi sekarang!"

Cahaya putih menyinari tempat itu lalu lenyap bersamaan dengan sirnanya gaung suara Roh Agung.

"Liris anakku, apakah kau sadar kalau mulai saat ini kau telah menempatkan dirimu dalam kehidupan sangat berbahaya...?" Giring Mangkureja berkata dengan air mata berlinangan.

"Ayah," jawab sang puteri. "Tidak ada yang paling saya takutkan kecuali tidak bisa berbakti pada ayah dan ibu. Saya sangat sedih, manusia sesat bernama Sangga Wikerthi itu telah membunuh ibu. Kalau saja ibu masih hidup..."

Perlahan-lahan Giring Mangkureja yang masih terduduk di tanah beringsut mendekati puteri. Tiba-tiba dia peluk tubuh Liris Pramawari kencang-kencang. Bersamaan dengan itu dari tubuhnya memancar cahaya hijau. Cahaya Ini dengan cepat masuk ke dalam badan si gadis. Ketika cahaya hijau lenyap, Giring Mangkureja roboh pingsan ke tanah.

"Ayah, apa yang kau lakukan....?" tanya Liris Pramawari. Dia merasa tubuhnya enteng sekali. Pemandangan jernih dan sangat terang.

Sang ayah diam tidak bergerak, tidak menjawab. Lelaki ini baru saja memindahkan semua ilmu kepandaian dan ilmu kesaktiannya ke dalam diri anaknya! Orang banyak yang sejak tadi terpana berdiam diri menyaksikan apa yang terjadi kini seolah sadar. Sebagian menolong Giring Mangkureja memapah lelaki ini masuk ke dalam rumah. Sebagian lagi mengangkat jenazah Suri Dhurani.

* * *

DI ATAS dangau Sebayang Kaligantha menatap paras cantik gadis di hadapannya Itu beberapa ketika lalu berkata. "Kisah dirimu sungguh luar biasa. Hanya sayang, kau seperti tidak percaya pada diriku. Kau sengaja merahasiakan sesuatu..."

"Maksudmu?" tanya gadis berpakaian putih yang barusan menuturkan riwayat dirinya.

"Sahabat, dalam riwayat yang kau ceritakan, kau sama sekali tidak menyebut nama dirimu, tidak menjelaskan nama kedua orang tuamu, juga nama orang yang telah membunuh ayahmu. Termasuk juga nama perempuan yang mati digantung itu. Lalu kau tidak pula mengatakan tempat kejadian..."

Si gadis menghela nafas dalam. "Selama aku menjalani sumpah yang disertai kewajiban melaksanakan tiga kebajikan besar, aku tidak mungkin menerangkan siapa diriku, siapa kedua orang tuaku. Juga mengenai tempat asal usulku. Aku tetap harus menjaga nama dan kehormatan ayah dan keluarga."

"Apa ayahmu tidak pernah menceritakan siapa orang yang dikatakannya sebagai pembunuh perempuan yang mengandung itu?"

Gadis cantik berpakaian dan berkerudung putih gelengkan kepala. "Ayah tidak pernah menceritakan. Selain itu aku tidak pernah berkesempatan untuk bertanya. Sehari setelah jenazah itu diperabukan, ayah menghilang dari rumah besar. Dia meninggalkan sepucuk surat. Memberi tahu agar dirinya tidak perlu dicari. Dia akan bersunyi diri selama dua belas purnama di satu tempat dan akan kembali bilamana aku telah selesai menjalankan sumpah perjanjian..."

"Kau harus berusaha mencari siapa orang yang telah membunuh perempuan yang mengandung itu. Jika kau berhasil maka berarti kau membongkar kejahatan besar. Ini berarti kau akan membuat satu kebajikan lagi..."

"Kau benar. Mudah-mudahan begitu. Aku akan mengingat baik-baik ucapanmu itu," kata si gadis pula.

Sebayang Kaligantha perhatikan dua tangan yang terlindung di balik Jubah lengan panjang putih. "Sahabat, kau barusan telah berbuat satu kebajikan besar. Menolong diriku. Apakah itu bukan berarti sumpah yang kau jalani sekarang telah berkurang? Maksudku, coba kau singkapkan dua lengan jubah. Aku punya perasaan..."

Sepasang mata si gadis yang bernama Liris Pramawari ini membesar, menatap si pemuda sebentar. "Kau benar..." katanya. Lalu cepat-cepat dia singsingkan lengan jubah sebelah kiri. "Dewa Penuh Asih!" seru si gadis ketika menyaksikan bagaimana tangannya yang sebelumnya berupa tulang belulang sampai sebatas siku kini telah turun hanya sampai pergelangan tangan. Hal yang sama juga terjadi dengan tangan kanannya.

"Yang Maha Kuasa tidak pernah berdusta, tidak pernah ingkar janji. Kita harus Ingat hal itu baik-baik...." Ucap Sebayang Kaligantha. "Sahabat, aku harus meneruskan perjalanan. Ada urusan besar yang harus aku lakukan. Mencari dan menemukan kembali sebuah jimat milikku yang telah dicuri orang. Kita berpisah di sini. Sekali lagi aku sangat berterima kasih padamu..."

Si gadis terdiam sejenak. Wajahnya tampak agak meredup. "Terus terang, aku ingin pergi bersamamu. Tapi kita sama-sama punya urusan. Aku tidak mau mengganggu dirimu. Apakah kita akan bertemu lagi?"

Sebayang Kaligantha tersenyum. "Selama langit masih biru, selama gunung masih hijau dan selama air sungai masih mengalir ke lautan kita pasti akan bertemu lagi," jawab si pemuda.

"Sebayang, aku gembira mendengar ucapanmu itu. Apalagi disampaikan dengan kata-kata yang begitu indah."

"Aku akan selalu mengingat dirimu. Karena kau tidak mau memberi tahu nama, biarlah aku akan menyebut dirimu sebagai Dewi..."

Si gadis tertawa. "Dewi...? Nama yang terlalu bagus untuk diriku. Dewi apa...? Dewi Tangan Jerangkong? Hik...hik...hik." Si gadis masih tertawa. Matanya menatap ke arah dada si pemuda dimana terdapat luka melintang. "Bolehkah aku mengusap dadamu yang luka itu?" si gadis bertanya.

Belum sempat Sebayang Kaligantha menjawab, si gadis ulurkan tangan kanan, lalu tempelkan telapak tangan yang hanya berupa tulang belulang di atas luka. Ketika tangan itu mengusap satu kali maka... wuss! Asap putih mengepul. Sebayang Kaligantha merasakan ada hawa sejuk memasuki tubuhnya. Begitu kepulan asap sirna saat itu pula bekas luka di dada si pemuda lenyap tak berbekas.

"Luar biasa! Kau...!" Sebayang Kaligantha sampai berseru saking kagum sekaligus gembira. Dia ulurkan tangan hendak menyentuh lengan si gadis. Namun gadis itu tidak ada lagi di hadapannya. Memandang ke arah timur Sebayang Kaligantha melihat noktah putih di kejauhan. "Gadis luar biasai Gadis hebat!" Si pemuda gelengkan kepala berulang kali. Dia gadis baik. Aku merasa kasihan. Di usia semuda itu dia harus menghadapi cobaan hidup begitu hebat. Untung saja ayahnya berlaku arif. Memindahkan seluruh ilmu kesaktian pada gadis itu. Dewi Tangan Jerangkong, siapa namamu sebenarnya....?"

6. SUMUR API KEMBALI MEMINTA KORBAN

SEBELUMNYA telah diriwayatkan dalam Pangeran Bunga Bangkai. Pada suatu malam bulan purnama yang telah ditunggu-tunggu, Ananthawuri gadis desa pilihan Para Dewa, secara gaib telah melahirkan dua orang bayi lelaki. Atas kehendak Para Dewa yang disampaikan melalui Roh Agung, bayi sulung yang beranting-anting emas di telinga kiri diberi nama Dirga Purana. Bayi kedua yang merupakan si bungsu dan beranting-anting emas di telinga kanan diberi nama Mimba Purana.

Pada saat dua bayi lahir di kejauhan terdengar suara genta lonceng. Ananthawuri bertanya pada Roh Agung apa artinya suara lonceng itu. Dijawab oleh Roh Agung bahwa suara genta lonceng datang dari Swargaloka tempat kediaman Para Dewa. Merupakan satu pertanda bahwa salah seorang dari dua putera Ananthawuri kelak akan menerima ilmu kesaktian yang bersumber pada Lonceng Gaib pemberian Para Dewa, terbuat dari emas. Di malam yang sama ketika Dirga Purana dan Mimba Purana lahir di Bhumi Mataram, di luar Sumur Api telah berkumpul sembilan orang berkepandaian tinggi yang semua memiliki satu tujuan yaitu berusaha masuk ke dalam dasar sumur untuk mendapatkan dua bayi.

Roh Agung melalui ucapannya pada Ratu Dhika Gelang Gelang setelah sang Ratu menyerang Pangeran Bunga Bangkai di goa di Tegalrejo, sebelumnya sudah mengetahui bahwa akan berkumpul banyak tokoh di Sumur Api. Semua membekal niat jahat yang sama dan berusaha menyusup ke dasar sumur untuk mendapatkan dua bayi. Maka dia memerintahkan Ratu Dhika Gelang Gelang untuk menjaga Sumur Api. Tidak boleh satu orangpun lolos masuk ke dasar Sumur Api, apa lagi sampai terjadi ada bayi yang berhasil diculik dilarikan!

Ratu Dhika Gelang Gelang dengan ilmu kesaktiannya memang berhasil membunuh tiga orang berkepandaian tinggi yang berusaha masuk ke dalam Sumur Api walau dirinya terluka di dalam. Korban pertama Ratu Dhika Gelang Gelang adalah seorang tokoh berjuluk Hantu Mata Iblis bernama Kamara Tunggaibisma. Yang berikutnya adalah sepasang kakek nenek sakti bernama Ametung Warangtilis dan Kunti Jenggala. Namun kucing sakti peliharaannya yaitu Ragil Abang menemui ajal di tangan Ametung Warangtilis.

Ketika Ratu Dhika Gelang Gelang siap mengamuk, enam orang tokoh silat segera mengurung, siap untuk menghabisinya. Kali ini sang Ratu yang konon adalah puteri tertua Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu dari Istri yang ke tiga itu benar-benar terancam keselamatannya. Dia bisa menghabisi semua musuh tapi apakah dia juga mampu selamatkan diri?

Di saat yang sama Pangeran Bunga Bangkai Nalapraya sampai pula di tempat itu diantar dua sahabatnya yakni Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik. Niat sang Pangeran hendak menolong tidak diperdulikan sang Ratu karena dia telah sempat merasa curiga terhadap manusia berkepala aneh itu.

"Dia muncul di sini pasti ada sangkut paut dengan rahasia tersembunyi di dasar Sumur Api?" membatin Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun perempuan bertubuh gemuk mengenakan kemben merah ini tidak bisa berpikir lama. Saat itu enam orang yang mengurungnya telah bergerak menyerbu. Enam larik cahaya maut menyambar!

Ratu Dhika Gelang Gelang mendengus. Dia tahu bahaya besar mengancam. Tapi dia tidak takut! Inilah kehebatan jiwa seorang puteri Kerajaan Mataram! Dua tangan diangkat ke atas, digoyang keras sementara dua kaki dihentakkan ke tanah. Terdengar suara berkerincing riuh sekali. Dua puluh cahaya kuning menyilaukan melesat dari dua puluh kerincing emas yang melingkar di dua pergeiangan tangan dan pergelangan kaki Ratu Dhika Gelang Gelang.

Sesaat lagi akan terjadi bentrokan hebat di udara antara dua puluh cahaya kuning dan enam cahaya penyerang tiba-tiba tam...tam...taml Ada suara gema tambur ditabuh membuat tanah bergetar, mengacau aliran darah. Di saat bersamaan mendengung keras membelah udara suara tiupan seruling, menutup liang telinga, menyumbat jalan pernafasan!

Lalu terjadi satu peristiwa luar biasa hebat! Enam orang yang menyerbu Ratu Dhika Gelang Gelang terangkat ke udara. Seperti ada tangan-tangan raksasa yang tidak kelihatan enam tubuh itu terbang ke tanah. Beberapa orang menghantam gundukan batu. Beberapa lainnya melabrak batang pohon besar. Jerit pekik memenuhi udara. Enam tubuh berkaparan di tanah. Tiga dengan kepala hancur. Dua patah leher, satu lagi dada jebol remuk. Semuanya tentu saja tidak bernyawa lagi!

Untuk beberapa lama keadaan di tempat itu diselimuti kesunyian menggidikkan sebelum direrobek kembali oleh suara tambur dan tiupan seruling. Ratu Dhika Gelang Gelang cepat palingkan kepala kearah datangnya suara tambur dan suling. Dia melihat dua bayangan orang bergerak keluar dari balik bayangan gelap dua pohon besar. Yang pertama adalah lelaki gemuk pendek bermuka bopeng asyik menabuh tambur sambil tertawa cengar-cengir. Di sebelahnya berjalan lelaki tinggi kurus, bermuka burik putih, termonyong-monyong meniup seruling.

"Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik," ucap Ratu Dhika Gelang Gelang dalam hati. Dia tidak begitu suka melihat kehadiran ke dua orang ini. Perasaannya lebih banyak dipenuhi rasa curiga. Dia juga telah menerima pesan dari Arwah Ketua agar mengawasi gerak gerik kedua orang ini. "Tadi aku mendengar suara Pangeran Bunga Bangkai. Dia bicara padaku. Mengatakan aku terluka di dalam. Tapi sekarang mengapa orangnya tidak kelihatan?" Ratu Dhika membatin.

Si Tambur bopeng hentikan menabuh tambur. Si Suling Burik turunkan seruling yang ditiup. "Ratu Dhika Gelang Gelang, mohon dimaafkan kalau kehadiran kami mengganggu ketenteramanmu. Kami bermaksud..."

Walau tidak senang tapi karena sadar orang telah menolong dirinya maka sang Ratu memotong ucapan Si Tambur Bopeng dan berkata sekedar berbasa-basi. "Terima kasih kalian telah menolong diriku dari keroyokan enam manusia tidak berguna itu. Walau sebenarnya aku merasa tidak perlu ditolong..."

Si Tambur Bopeng dan Si Suling EJurik saling pandang dan sama-sama menyeringai. Si Tambur Bopeng tabuh gendangnya keras-keras hingga tubuh gemuk Ratu Dhika Gelang Gelang bergoyang-goyang. "Ratu Dhika Gelang Gelang. Jangan salah menduga. Kami memang tidak bermaksud menolong dirimu!"

"Heh?!" Ratu Dhika Gelang Gelang jadi kerenyitkan kening. Tadi dia sengaja menempelak. Tapi kini sebaliknya tempelakan dibalas orang secara lebih telak! "Kalian hanya datang berdua? Tadi aku mendengar suara orang lain. Aku mengenali suara itu."

"Syukur kalau kau masih mengenali suara sahabatku itu..."

"Tambur Bopeng..."

"Ah, kau tahu namaku!" Si Tambur Bopeng tertawa gembira.

"Tadi kau mengatakan agar aku tidak salah menduga. Karena kalian memang tidak bermaksud menolong diriku. Lalu apa perlunya kalian membunuh enam orang tokoh berkepandaian tinggi yang hendak menyerbu diriku? Hanya sekedar menyombong diri memperlihatkan bahwa kalian berdua punya ilmu jauh lebih tinggi dari enam orang yang kalian bunuh itu?!"

"Ratu Dhika," kini yang bicara Si Suling Burik. "Jangan salah berucap di malam buta begini rupa. Kalau menghabisi riwayat orang baik-baik yang tidak punya salah tidak punya dosa memang itu namanya membunuh. Tapi kalau menghabisi manusia-manusia jahat itu namanya mencari kebenaran menegakkan keadilan!" Si Suling Perak tiup sulingnya satu kali, berpaling pada sahabatnya lalu bertanya. "Bukan begitu sobatku Tambur Bopeng?!"

"Betul sekali! Memang betul!" Jawab Si Tambur Bopeng lalu menabuh tamburnya tiga kali.

"Sudah! Kalau kalian memang tidak bermaksud menolong diriku lalu mengapa membunuh enam manusia yang menyerangku?! Bersombong diri menegakkan kebenaran dan keadilan? Oala! Jangan-jangan kalian membekal niat lebih jahat dari orang-orang itu!"

"Ratu Dhika Gelang Gelang, kami membunuh ke enam orang itu karena diperintah oleh Pangeran yang jadi panutan dan junjungan kami..."

Di dalam gelap Ratu Dhika Gelang Gelang tatap kedua orang dihadapannya itu. "Aku tahu siapa yang kalian maksudkan dengan orang yang kalian panggil Pangeran itu. Tadi aku mendengar suaranya. Tapi sekarang dia tidak berani memperlihatkan diri. Perlu apa bersembunyi?"

"Pangeran kami tidak bersembunyi. Dia hanya tahu diri. Dia mungkin saja menduga Ratu tidak mau bertemu dengan dia. Bukankah kau merasa ada semacam ganjalan dalam dirimu gara-gara kau berlaku keliru, berniat mencelakainya di Goa di Tegalrejo? Bukankah kau merasa teguran Roh Agung seperti menjatuhkan dan memperhina dirimu?"

Ratu Dhika Gelang Gelang terkejut. "Bagaimana kalian tahu kejadian di Tegalrejo? Bagaimana kalian tahu ada teguran dari Roh Agung atas diriku? Kalian berdua ini, siapa sebenarnya?!"

"Ratu Dhika, siapa kami berdua jelas kau sudah tahu. Tapi tidak ada salahnya kami memberi tahu agar lebih jelas. Aku yang gemuk bopeng ini dipanggil dengan nama Si Tambur Bopeng. Dan sobatku yang kurus jelek ini Si Suling Burik..."

"Siapa nama kalian aku sudah lama tahu!" Memotong Ratu Dhika Gelang Gelang dengan suara bernada kesal dan wajah cemberut jengkel. "Yang aku ingin penjelasan apakah kalian berdua ini merupakan utusan Roh Agung, kepercayaan Para Dewa atau..."

Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik tertawa gelak-gelak. "Kami dua insan jelek begini rupa jadi utusan Roh Agung kepercayaan Para Dewa....Ha...ha...ha! Ratu Dhika, kita ini masih sama-sama manusia. Yang bisa susah bisa senang. Yang bisa kelaparan dan kehausan kalau satu hari saja tidak bertemu nasi tidak bertemu air..."

"Sudah, aku tidak butuh celotehanmu. Beritahu sekarang dimana Pangeran yang kalian sebut sebagai junjungan itu?!"

"Pangeran kami sedang duduk di balik pohon besar sana." Jawab Si Suling Burik sambil menunjuk dengan serulingnya ke arah pohon besar di arah kanan.

Tidak menunggu lebih lama Ratu Dhika Gelang Gelang melompat ke balik pohon besar. Saat itulah dia mendengar suara yang membuat dia ingin berteriak gembira! "Meong...."

7. NENEK TUBUH SEPOTONG MENEMBUS SUMUR API

RATU Dhika Gelang Gelang seperti tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Digigitnya bibirnya. Terasa sakit tanda dia tidak bermimpi. Di bawah pohon sana, walau keadaan agak gelap namun dia melihat Pangeran Bunga Bangkai duduk bersandar kebatang pohon sambil mengelus-elus tubuh seekor kucing merah yang bergelung jinak di pangkuannya.

"Ragil Abang, benar kaukah itu yang aku lihat?" Sang Ratu berucap dengan suara tersendat. Tubuh sedikit dibungkukkan, kepala diulur ke depan.

"Meong..." Kucing merah di atas pangkuan Pangeran Bunga Bangkai angkat kepala dan kembali keluarkan suara. Binatang ini jilati tangan kanan Pangeran Bunga Bangkai lalu berdiri dan sekali melompat dia sudah berada di atas bahu kiri Ratu Dhika Gelang Gelang.

Perempuan gemuk ini cepat menangkap kucing merah itu, mengusapnya berulang kali bahkan mendekapnya ke dada dan ke pipi. "Ragil Abang, aku tidak bermimpi? Kau bukan roh jejadian dari kucingku yang sudah menemui kematian lalu hidup kembali?"

"Meong..." Kucing merah besar bernama Ragil Abang jilati pipi Ratu Dhika Gelang Gelang.

"Dewa Jagat Batharal Ini benar-benar kau! Ragil Abang...!" Kembali Ratu Dhika Gelang Gelang mendekap kucing merah ke dadanya. "Bagaimana mungkin. Aku lihat sendiri kau tergeletak di tanah. Bukankah... bukankah kau sudah menemui ajal? Tewas di tangan kakek jahat bernama Ametung Warangtilis itu?"

"Meong..."

Ratu Dhika usap kepala kucing merah sambil berpaling menatap ke arah Pangeran Sunga Bangkai yang masih duduk di tanah, bersandar ke batang pohon besar. Dia lalu melangkah mendekati sang Pangeran. Setengah membungkuk dia bertanya. "Apakah...apakah kau yang telah menyelamatkan kucingku Ragil Abang?"

Kepala berbentuk bunga bangkai dengan kuncup hijau menjulang ke atas bergerak menggeleng.

"Aku tidak percaya. Jangan kau membuat aku menanggung hutang budi terus-terusan..."

"Sahabat, kita pernah bertemu. Dari dua sahabat yang mengantar aku baru tahu kalau kau adalah keturunan utama para Raja Bhumi Mataram. Aku merasa beruntung bisa mengenal dirimu. Tapi soal selamat menyelamatkan nyawa mahluk hidup kita manusia tidak berdaya memberikan pertolongan kepada sesama mahluk. Kecuali Yang Maha Kuasa menghendaki. Aku tidak menolong menyelamatkan Ragil Abang kucing merah peliharaanmu itu. Namun aku sempat melihat sesuatu terjadi sebelum kakek bernama Ametung Warangtilis menggebuk kepalanya dengan pukulan sakti..."

"Manusia Bunga Bangkai, dua pengiringmu menyebut dirimu Pangeran. Apakah kau seorang Pangeran berasal dari Kerajaan Tarumanegara? Kau pernah menceritakan asal usulmu padaku." Saat itu Ratu Dhika Gelang Gelang ingat bagaimana dia telah berbuat keliru, menyangka mahluk aneh itu telah menipunya dan menjadi penyebab celaka besar yang dialami Sebayang Kaligantha, pemuda kekasihnya. (baca serial sebelumnya berjudul Pangeran Bunga Bangkai) Sebagai akibat kekeliruannya itu Roh Agung telah menghukum memerintahkannya untuk segera pergi ke Sumur Api dan berjaga-jaga hingga tidak satu orangpun menerobos masuk.

Mahluk berkepala bunga bangkai berkuncup hijau keluarkan suara tertawa. "Mereka sahabat-sahabat yang baik. Tapi mereka cuma bicara mengada-ada..."

"Kalau kau tidak mau menjelaskan siapa dirimu sebenarnya tidak jadi apa. Sekarang katakan apa yang terjadi dengan kucing merahku hingga dia selamat dari pukulan Ametung Warangtilis."

"Sesaat sebelum pukulan Ametung Warangtilis mendarat di kepala Ragil Abang, aku melihat ada selarik cahaya putih sangat tipis berkelebat melindungi kepala kucingmu. Pukulan kakek itu memang masih mengenai kepala Ragil Abang tapi hanya membuat binatang itu terkapar pingsan, tidak sampai membunuhnya. Dewa Agung sungguh Maha Pelindung, Maha Asih."

Mendengar keterangan Pangeran Bunga Bangkai Ratu Dhika Gelang Gelang segera membungkuk sambil berulang kali berterima kasih menyebut nama Yang Maha Kuasa.

"Ratu Dhika, dua sahabatku ini telah mengantarkan aku ke tempat ini. Aku tadi melihat satu cahaya merah di kejauhan. Cahaya api yang keluar dari sebuah sumur yang konon bernama Sumur Api. Kau masih ingat ceritaku bahwa aku tengah berusaha mencari istriku, yang aku tidak tahu siapa nama dan dimana beradanya."

"Aku, aku masih ingat..." Jawab Ratu Dhika pula. "Apakah saat ini kau sudah mengetahui dimana keberadaan istrimu itu?"

"Belum dapat kupastikan. Namun aku mulai menduga-duga." Jawab Pangeran Bunga Bangkai. Lalu dia bertanya lagi. "Kau masih ingat ketika aku mengatakan bahwa istriku tengah mengandung dan akan segera melahirkan?"

Kini dada Ratu Dhika Gelang Gelang jadi berdebar keras. Dia tidak bisa menjawab. Hatinya berulang kali mengucap. "Dewa Jagat Bathara... Wahai Yang Maha Kuasa. Petunjuk buruk atau petunjuk baik yang tengah aku hadapi saat ini. Apakah manusia bunga bangkai ini sudah menaruh syak wasangka kalau... Melalui Roh Agung kau telah memerintah diriku untuk menjaga segala kerahasiaan di dalam Sumur Api. Apakah..."

Ratu Dhika tidak teruskan ucapan batin. Dia melihat mahluk di depannya mengeluarkan satu gulungan kain putih dari saku pakaian birunya.

"Kain ini aku dapat dari dua sahabatku Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik," kata Pangeran Bunga Bangkai menjelaskan.

"Kain apa ini...?" tanya sang Ratu.

"Salinan empat Gading Bersurat," jawab Pangeran Bunga Bangkai. "Buka gulungan kain, baca apa yang tertulis di situ..."

Debar jantung Ratu Dhika Gelang Gelang semakin keras. Dalam hati dia berkata. "Aku telah membaca Gading Bersurat pertama, kedua dan ketiga. Tapi Gading Bersurat yang keempat memang belum pernah kuketahui isinya. Kalau Pangeran dari Tarumanegara ini sudah mengetahui secara lengkap, bisa jadi. Aku harus membaca, harus mengetahui. Kalau tidak bisa-bisa... Tapi!"

Sesaat perempuan gemuk keturunan Maharaja Mataram ini tertegun terkesima. Namun akhirnya dia ulurkan tangan kanan untuk mengambil gulungan kain. Hanya saja, sebelum jari-jarinya menyentuh gulungan kain tiba-tiba di kedua telinganya terdengar ngiangan suara Roh Agung!

"Ratu Dhika Gelang Gelang. Kau telah meninggalkan Sumur Api lebih dari seratus langkah. Kau telah melanggar perjanjian! Lekas kembali ke Sumur Api! Sesuatu tengah terjadi di sana!"

Perempuan gemuk berkemben merah itu cepat-cepat tarik tangannya.

"Ada apa?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.

"Aku harus pergi."

Kuncup hijau di kepala Pangeran Bunga Bangkai bergerak-gerak. "Tapi ambil dan baca dulu apa yang tertulis di gulungan kain ini." Kata Pangeran Bunga Bangkai pula, setengah memaksa.

"Tidak usah." Sang Ratu menggeleng lalu cepat bersurut mundur. Dua kali melompat dia sudah berada di dekat Sumur Api.

Seperti yang dikatakan suara mengiang di telinga Ratu Dhika Gelang Gelang, saat itu sesuatu telah terjadi di Sumur Api. Tiga cahaya hitam, merah dan biru membentuk dinding tebal melingkari Sumur Api. Jangankan menembus, tiga langkah saja dari hadapan dinding tiga cahaya itu tubuh gemuk Ratu Dhika Gelang Gelang langsung terpental.

"Celaka! Dari mana munculnya lingkaran tiga cahaya ini?!" Ratu Dhika memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapapun di sekitar tempat itu. Penasaran dia kembali maju mendekati lingkaran dinding tiga warna. Kali ini sambil dorongkan dua tangan dengan pengerahan tenaga dalam penuh. Dengan kekuatan ilmu kesaktian seperti itu, gunung karang sekalipun bisa dijebol oleh Ratu Dhika Gelang Gelang. Namun yang terjadi justru kembali tubuhnya mencelat mental, terkapar di tanah, keluarkan suara mengerang sementara darah tampak meleleh keluar dari sela bibir!

Ragil Abang si kucing merah mengeong keras. Agaknya binatang ini juga mengalami cidera di dalam. Setengah sadar setengah pingsan Ratu Dhika Gelang Gelang tiba-tiba melihat ada sosok aneh seorang nenek berjubah hitam, memiliki sepasang mata hijau bercahaya, melayang terbalik di udara rambut menjulai ke bawah riap-riapan. Yang hebatnya, tubuh nenek ini hanya sepotong. Yaitu, yang ada dan kelihatan hanya dari pinggang ke kepala sedang pinggang ke bawah kosong tidak ada apa-apanya!

Dan yang mengerikan, tubuh yang buntung di bagian pinggang itu laksana baru ditabas senjata tajam, tulang putih terpentang, daging merah membusai serta menyipratkan darah! Tubuh sepotong yang terbalik ini melayang cepat menembus lingkaran dinding tiga cahaya laksana menembus angin lalu mencebur masuk ke dalam Sumur Api!

Ratu Dhika Gelang Gelang berteriak keras. Coba berdiri mencegah si jubah hitam. Namun tubuhnya tak bisa berkutik. Dia hanya mampu menunjuk-nunjuk. Saat itulah Pangeran Bunga Bangkai, Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik mendatangi.

"Ratu Dhika... ada apa?" tanya Pangeran Bunga Bangkai.

Ratu Dhika Gelang Gelang menunjuk ke arah Sumur Api. Terbata-bata dia berkata. "Ada... ada perempuan tua berjubah hitam bermata hijau menyala masuk ke dalam Sumur Api. Tubuhnya hanya sepotong. Dia melayang kepala ke bawah. Celakai Tolong! Perempuan tua itu masuk ke dalam Sumur Api! Lekas cegah sebelum dia masuk ke dasar sumur!"

Perempuan gemuk ini berusaha berdiri namun rubuh kembali! Ragil Abang si kucing merah mengeong keras lalu jilati dua kaki Ratu Dhika Gelang Gelang. Jilatan kucing sakti pada dua kakinya membuat Ratu Dhika Gelang Gelang mampu bergerak dan bangkit berdiri walau agak terhuyung.

Si Tambur Bopeng segera tabuh tambur berdentam-dentam. Si Suling Burik tiup seruling dengan keras. Bumi bergetar. Langit seolah terkuak. Batu-batu di sekitar Sumur Api berderak. Sumur Api bergoncang keras. Nyala api di dalam sumur bergerak turun naik. Asap hitam sesekali mencuat ke atas! Di kejauhan terdengar suara raungan srigala hutan. Namun dinding tiga cahaya tidak bergeming sedikitpun. Malah tiba-tiba dua kayu penabuh tambur di tangan Si Tambur Bopeng terlepas mental. Suling yang dipegang Si Suling Burik melesat ke udara! Kedua orang ini kemudian sama-sama jatuh ke tanah sambil menjerit karena dapatkan tangan masing-masing melepuh seperti disulut api! Melihat apa yang terjadi Pangeran Bunga Bangkai serta merta menerjang ke depan.

"Dess! Desss!"

"Rrrrtttttt! Blaaar!"

Pangeran Bunga Bangkai berhasil menembus masuk melalui dinding bercahaya merah. Namun hanya sampai di situ kemampuannya karena sesaat kemudian tubuhnya terpental. Dia seperti menumbuk gunung! Lalu dinding cahaya tiga warna memancarkan sinar terang. Cahaya biru, hitam dan merah menderu menyambar ke arah Pangeran Bunga Bangkai! Secepat kilat sang Pangeran jatuhkan diri di tanah, bergulingan menjauhi Sumur Api sambil tangan kanan dipukulkan ke arah dinding cahaya berwarna biru.

"Wuuttt Blasss!"

Cahaya tiga warna melesat di atas tubuh Pangeran Bunga Bangkai. Di lain kejap pohon besar tempat tadi dia duduk bersandar telah berubah menjadi kepulan asap merah, biru dan hitam. Lalu... rrtttt! Pohon ini runtuh ke tanah, berubah menjadi tumpukan debu!

Sementara itu satu pukulan sakti bersinar kelabu yang dilepas Pangeran Bunga Bangkai menghantam dasar dinding lingkaran cahaya berwarna biru yang menutupi Sumur Api. Satu dentuman keras meng-gelegar. Sebuah lobang besar mengoyak bagian bawah dinding berwarna biru. Dari lobang ini menyembur angin luar biasa panas yang berasal dari Sumur Api. Pada saat itu pula sayup-sayup terdengar suara bayi menangisi. Pangeran Bunga Bangkai dengan cepat gulingkan diri mendekati Ratu Dhika Gelang Gelang yang saat itu telah mampu berdiri akibat jilatan kucing sakti pada dua kakinya. Namun kucing merah Ragil Abang mengeluarkan suara mengeong terus menerus dan berputar-putar mengelilingi majikannya. Binatang ini tampak geiisah.

"Ratu Dhika Gelang Gelang!" Pangeran Bunga Bangkai berkata. "Aku mendengar suari dua bayi menangis! Datangnya dari arah Sumur Api. Aku ingat salinan tulisan Empat Gading Bersurat. Aku yakin kau mengetahui sesuatu! Katakan padaku!"

Ratu Dhika tak menjawab. Pangeran Bunga Bangkai mendekati. Setengah dia mengulang ucapannya tadi. Perempuan gemuk itu tetap tidak bersuara.

"Ratu Dhika! Mengapa kau tidak menjawab! Kau menyembunyikan sesuatu padaku. Agaknya kau berserikat dengan orang-orang jahat. Aku tidak suka! Aku..."

Mendadak kata-kata Pangeran Bunga Bangkai terputus. Entah kapan dan entah bagaimana kejadiannya di kening Ratu Dhika Gelang Gelang saat itu tahu-tahu menancap sebuah benda berbentuk bulat pipih berwarna biru. Mulut perempuan ini terkancing sementara dua mata terpentang membeliak.

"Dewa Jagat Bathara! Siapa melakukan perbuatan jahat ini?!" Teriak Pangeran Bunga Bangkai. Dia segera hendak merangkul tubuh Ratu Dhika Gelang Gelang.

Namun saat itu Ragil Abang didahului suara mengeong keras melompat ke atas kepala Ratu Dhika. Dengan gigi-giginya binatang ini mencabut besi bulat pipih bergerigi yang menancap sampai setengahnya di kening Ratu Dhika lalu melompat turun ke tanah, berlari berputar-putar. Pangeran Bunga Bangkai cepat ambil benda itu. Tanpa memperhatikan lebih dulu benda dimasukkan ke dalam saku pakaian.

Anehnya pada lubang bekas tancapan senjata rahasia di kening Ratu Dhika Gelang Gelang sama sekali tidak mengucur darah. Tubuh perempuan gemuk itu mulai bergetar. Kedua mata hanya tinggal putihnya saja. Ketika Pangeran Bunga Bangkai memeluknya tubuh itu terasa panas luar biasa.

"Ratu Dhika... Kau..."

Mulut Ratu Dhika yang sejak tadi tertutup mendadak terbuka. Dan dari dalam mulut itu menyembur keluar cairan berwarna biru.

"Racun jahat! Ratu Dhika! Aku bersumpah akan mencari dan membunuh manusia yang mencelakai dirimu..."

"Manusia Bunga Bangkai..." Suara yang meluncur keluar dari mulut Ratu Dhika Gelang Gelang seolah mendekatkan telinga untuk mendengar lebih jelas. "Ajalku sudah di depan mata. Aku akan mengatakan satu rahasia besar menyangkut dirimu. Rahasia besar yang jika terungkap mungkin bisa mengembalikan keadaan dirimu menjadi manusia wajar seutuhnya. Aku juqa mohon agar kau menyampaikan salamku padu Sabayang Kaligantha. Jika kau bertemu pemuda itu katakan walau aku dan dia tidak berjodoh di dunia fana ini. tapi di alam akhirat aku dan dia pasti akan bersatu dan hidup bahagia. Manusia bunga bangkai. Dengar baik-baik. Aku akan mengatakan satu hal sangat penting bagi diri dan masa depanmu..."

Tiba-tiba tnrdengar suara mengorok keras. Satu tangan luar biasa besar penuh bulu mencuat keluar dari dalam tanah. Tangan ini mengusap wajah Ratu Dhika Gelang Gelang hingga luka di keningnya menutup. Selain itu usapan membuat sepasang mata perempuan itu serta merta terpejam dan mulut yang sedang bicara saat itu juga tertutup rapat.

"Rakadinda Ratu Dhika Gelang Gelang. Kau diperintahkan untuk menjaga Sumur Api. Bukan bicara tidak karuan... Lekas ikut aku! Tinggalkan tempat ini. Sebentar lagi Sumur Api akan meledak!"

Tangan raksasa itu lalu mencekal tengkuk Ratu Dhika Gelang Gelang. Sang Ratu berusaha meronta dan kerahkan tenaga dalam untuk bisa berteriak.

"Jangan! Lepaskan! Aku harus menjaga keselamatan dua ba..."

"Tugasmu di sini sudah selesai karena kebodohanmu sendiri! Aku sudah menyuruh orang lain untuk menangani! Sekarang ada tugas baru yang harus kau lakukan!"

"Wuuttt!"

Tangan raksasa bergerak. Sekali tarik saja tubuh perempuan gemuk itu amblas masuk ke dalam tanah. Ragil Abang mengeong keras karena tidak ikut masuk ke dalam tanah bersama sang majikan. Binatang ini berputar-putar beberapa kali lalu melompat ke atas bahu kiri Pangeran Bunga Bangkai.

8. SUMUR API MELEDAK

KETIKA dinding tebal cahaya tiga warna muncul mengelilingi Sumur Api, sewaktu nenek bertubuh buntung melayang menembus dinding itu dan masuk ke dalam Sumur Api, di satu tempat tersembunyi di balik semak belukar gelap, dua orang kakek nenek mende-kam memperhatikan dengan perasaan tegang apa yang terjadi sambil bicara berbisik-bisik.

"Nenek tubuh sepotong yang mampu masuk ke dalam Sumur Api itu, aku kenal dia. Tapi bagaimana ini bisa terjadi benar-benar tidak masuk akal. Nenek itu sudah menemui ajal sekitar satu purnama lalu. Tubuhnya dibantai hingga terkutung dua oleh seorang musuh bebuyutan yang telah mencarinya lebih dari tiga tahun..." Yang berucap adalah kakek berpakaian selempang kain putih, memegang sebuah kalung menyerupai tasbih besar terbuat dari kayu cendana.

"Sahabatku Gede Kabayana, Jika Yang Maha Kuasa menghendaki, apapun bisa terjadi walau tidak masuk akal kita manusia yang berkepandaian dan berotak dangkal. Siapa adanya nenek bermata hijau menyala yang melayang dengan tubuh terbalik itu?"

Orang di samping si kakek bertanya. Dia adalah seorang nenek berjubah Jingga. Dan di atas kepalanya bertengger seekor kura-kura hijau bermata merah. Sudah dapat diterka kalau nenek ini bukan lain adalah Sri Sikaparwathi dan kura-kura di atas kepalanya bukan binatang sembarangan, biasa dipanggil dengan sebutan Raden Cahyo Kumolo. Seperti diceritakan oleh si nenek pada sahabatnya Gede Kabayana, seseorang yang memiliki ilmu kesaktian luar biasa tinggi telah menggandakan diri dan kura-kura peliharaannya guna berbuat jahat yaitu masuk ke dalam Sumur Api untuk menculik dua bayi yang akan dilahirkan oleh seorang perawan desa pilihan Para Dewa yakni Ananthawuri. Namun hal itu tidak kesampaian. Dengan kekuatan Yang Maha Kuasa si nenek bersama kura-kuranya dilempar keluar dari dasar Sumur Api dalam keadaan cidera, (Baca Arwah Candi Miring)

"Kalau aku boleh tahu, siapa nama dan julukan nenek bertubuh buntung yang kau katakan sudah mati tiga puluh hari lalu itu."

"Namanya Kamara Simpul Melantik. Setahuku dia berasal dari Tabanan. Dia berjuluk Iblis Tujuh Bayangan. Semasa muda banyak berbuat dosa mencelakai dan membunuh orang. Beberapa kerabat Istana Tabanan ikut jadi korbannya. Setelah tua dikejar banyak musuh. Salah seorang dari mereka berhasil menemui dan menghabisinya. Tubuhnya dibantai, dikutung dua dengan senjata pamungkas berupa sebilah clurit raksasa yang telah disiapkan oleh seorang sakti di Pulau Madura selama sepuluh tahun. Mayatnya sebelah atas dilempar masuk ke dalam jurang di tepi laut. Kutungan tubuh sebelah bawah tidak pernah ditemukan."

"Berarti jenazahnya tidak pernah disempurnakan menuju alam akhirat...." Ucap Sri Sikaparwathi.

"Benar..."

"Itulah kesempatan yang dipakai oleh orang jahat berilmu tinggi untuk memanfaatkan dirinya."

"Apa maksudmu sahabatku?" tanya Gede Kabayana pada si nenek.

"Ingat ceritaku bahwa diriku dan kura-kura sakti digandakan oleh seseorang. Kini orang yang sama mencari jalan lain. Tidak lagi dengan cara menggandakan mahluk hidup. Dia pergunakan tubuh yang sudah mati secara tidak sempurna dari seorang sakti. Ini akan lebih berbahaya. Kau saksikan sendiri ternyata dia berhasil! Nenek bernama Kamara Simpul Melantik itu mampu masuk ke dalam Sumur Api dengan mengandalkan ilmu kesaktian yang pernah dimilikinya ditambah ilmu kesaktian sang pengendali."

"Bagaimana kau bisa tahu hal ini dilakukan oleh orang yang sama?" tanya Gede Kabayana.

"Kau lihat dinding melingkar bercahaya tiga warna itu? Merah, hitam dan biru..."

"Aku melihat..."

"Cahaya tiga warna seperti itu yang masuk ke dalam tubuhku ketika orang menggandakan diriku dan Raden Cahyo Kumolo. Bedanya hanya ujud lebih kecil namun daya kekuatan serta bobot kejahatan yang bisa dilakukan hampir tidak berbeda."

Di atas kepala si nenek, kura-kura hijau keluarkan suara mendesis halus.

"Aku ingat sekarang. Malam itu di dalam pondok, sebelum kau mengalami kesembuhan ada cahaya tiga warna keluar dari dalam tubuhmu." Gede Kabayana mengusap tengkuknya yang mendadak terasa dingin. Mulutnya bertanya. 'Menurutmu apakah sang pengendali ada di sekitar sini saat ini?"

"Bisa jadi. Tapi dengan kesaktiannya dia bisa berada dan mengendalikan segala sesuatu dari tempat yang jauh. Mungkin pula dia hanya mengirim orang suruhan atau kaki tangannya."

"Apa yang harus kita lakukan. Berusaha menghalangi nenek berjuluk Iblis Tujuh Bayangan mencapai dasar Sumur Api?"

Si nenek pegang tangan sahabatnya. Lalu berbisik. "Kita berdua memang punya ilmu kepandaian tinggi. Tapi belum cukup tinggi untuk dapat melawan ilmu kesaktian tiga cahaya itu. Lagi pula kalaupun kita bergerak sekarang, kita tidak mungkin mengejarnya..."

Gede Kabayana terdiam.

"Tadinya aku berpikir kita harus menemui satu mahluk alam gaib untuk meminta petunjuk. Tadi mahluk itu ada di sini. Tapi sekarang sudah pergi."

"Mahluk yang mana?" tanya Gede Kabayana. "Tadi dia datang hanya memperlihatkan tangan besar berbulu. Dia yang membawa masuk Ratu Dhika Gelang Gelang ke dalam tanah..."

"Kalau kau kenal dirinya, kita bisa mencarinya!"

"Dia biasa disebut Arwah Ketua. Tinggal di sebuah candi. Kurasa tidak ada gunanya mencari mahluk alam gaib itu sekarang. Apa kau tidak mendengar ucapannya tadi sebelum menghilang ke dalam tanah bersama Ratu Dhika? Sumur Api akan segera meledak."

"Kalau begitu kita harus segera menjauh dari sini!" Gede Kabayana pegang tangan Sri Sikaparwathi.

"Betul. Tapi jangan terlalu jauh. Ada yang masih kita kerjakan di tempat ini. Kau lihat manusia aneh yang kepalanya berupa bunga besar dan kuncup hijau itu? Yang oleh Ratu Dhika disebut Manusia Bunga bangkai? Lalu masih ada dua orang aneh. Si gemuk bermuka bopeng dan si kurus bermuka burik. Keduanya sibuk mencari penabuh tambur dan suling yang tadi mental!"

"Aku mencium bau sesuatu. Bau busuk. Bau itu datang dari mahluk tanpa kepala itu. Ini mengingatkan aku akan sesuatu ketika berada di dalam pondok kediamanmu..."

Gede Kabayana hentikan ucapan. Saat itu tanah yang mereka pijak yang tadinya dingin oleh udara malam kini berubah hangat. Di dalam perut bumi ada suara menggemuruh yang membuat tanah selain panas mulai ikut bergetar. "Sesuatu terjadi di dalam Sumur Api...." Ucap Gede Kabayana.

"Aku tahu," jawab si nenek. "Lekas katakan kejadian apa yang kau ingat sewaktu kau datang kepondokku malam itu?"

"Setelah kau terbangun dari tidurdan aku selesai melakukan samadi, kita berdua mencium bau busuk. Ingat?"

"Aku Ingat! Astaga! Bau busuk itu sama dengan bau busuk yang keluar dari tubuh mahluk tanpa kepala yang ada di depan sana!" Kata Sri Sikaparwathi. "Berarti dialah yang malam itu datang ke dalam pondok tanpa setahu kita." Wajah si nenek berubah tegang membesi. "Jangan-jangan dia mahluk pengendali cahaya tiga warna! Berarti kita harus menghabisinya saat ini juga!"

Gede Kabayana cepat-cepat pegang lengan si nenek. "Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan. Kalau dia sang pengendali cahaya tiga warna perlu apa berada di tempat ini sementara dia telah mengirim Iblis Tujuh Bayangan ke dalam Sumur Api. Bukankah katamu dia bisa mengendali dari jarak sangat jauh? Lalu apa kau lupa? Sebelum pondokmu diselimuti bau busuk, kura-kura sakti Raden Cahyo Kumolo tidak ada di tempat itu. Setelah pondokmu ditebar bau busuk tahu-tahu binatang sakti itu sudah ada dalam pondok. Berarti mahluk berkepala aneh berbau busuk itulah yang menyelamatkan dan datang membawa kura-kuramu ke dalam pondok. Lalu dia pergi tanpa mau mengganggu aku yang sedang bersemadi dan kau yang tengah tidur. Itu semua berarti dia tidak mengharapkan ucapan terima kasih atau pembalasan budi dan pamrih. Siapapun dia adanya, maka dia bukan mahluk jahat!"

Di atas kepala si nenek kura-kura hijau bermata merah Raden Cahyo Kumolo keluarkan desisan halus. Sri Sikaparwathl usap punggung kura-kura hijau.

"Kau mendesis, apakah itu pertanda bahwa apa yang dikatakan sahabatku Gede Kabayana benar adanya? Mahluk berkepala Bunga Bangkai itu yang menolongmu dan membawa dirimu ke pondok malam itu? Jika benar mendesislah sekali lagi."

Kura-kura hijau di atas kepala si nenek tegakkan kepala, sepasang mata pancarkan cahaya merah dan dari mulutnya keluar desisan panjang.

"Dewa Agung!" mengucap Sri Sikaparwathi. "Aku harus menemui mahluk aneh itu dan menyampaikan terima kasih padanya."

Si nenek gerakkan kaki kanan. Namun belum sempat melangkah tiba-tiba menggelegar satu dentuman keras dan dahsyat Keadaan seperti gunung meletus. Tiga cahaya merah, hitam biru yang melingkari Sumur Api bertabur lalu mencuat ke angkasa hingga langit yang hanya diterangi cahaya suram bulan purnama kini tampak terang benderang. Bersamaan dengan itu batu-batu yang mengelilingi Sumur Api berlesatan ke udara. Tanah di sekitarnya terbongkar. Kobaran lidah api menggebubu ke udara setinggi lima tombak. Pohon-pohon di sekitar tempat kejadian berderak-derak lalu satu demi satu bergelimpangan roboh dengan kulit dan ranting tampak hitam hangus.

Kali kecil tak jauh dari tempat itu seolah ditekan oleh satu kekuatan raksasa melesak amblas dan lenyap. Tebing di kiri kanan kali longsor bergemuruh. Air kali meluap membanjiri kawasan sekitarnya. Dari dalam Sumur Api untuk kedua kalinya terdengar suara letusan. Kali ini lebih keras dan lebih dahsyat.

Sumur Api meledak berkeping-keping membentuk satu jurang luar biasa dalam. Tanah di sekelilingnya terbongkar membentang tujuh lobang sebesar kubangan kerbau. Delapan pohon besar beterbangan ke udara. Semua orang yang ada di tempat itu berpekikan ketika tubuh masing-masing laksana dihantam topan prahara berpelantingan di udara! Sayup-sayup terdengar suara ngeongan Ragil Abang si kucing merah. Binatang ini lari ke arah sosok Pangeran Bunga Bangkai yang terkapar di tanah. Salah satu kaki terhimpit batang pohon besar!

9. MATA KE TIGA MATA DEWA

DIDALAM Sumur Api sosok buntung nenek Kamara Simpul Melantik alias Iblis Tujuh Bayangan melesat turun dengan kepala lebih dahulu. Kobaran api tidak menciderai apa lagi membakar tubuhnya yang dibalut dan dilindungi cahaya sakti tiga warna.

"Duuk!" Kepala mendarat di dasar sumur. Tubuh buntung melesat ke atas seperti membal lalu kembali melayang turun. Kali ini tubuh diputar. Kepala yang sejak tadi berada di sebelah bawah, mengapung di udara, meneteskan cairan darah! Beberapa potong isi perutnya ikut terbujur keluar. Bukan saja mengerikan tapi juga sangat menjijikan.

Sepasang telinga si nenek mencuat ke atas ketika tiba-tiba dia mendengar suara dua bayi menangis di arah kanan. Dua mata pancarkan cahaya hijau terang menggidikkan, si nenek melihat satu pedataran rumput dihias taman bunga yang sedang mengembang. Di seberang taman bunga ada satu bangunan putih berbentuk bagus. Dari bangunan inilah datangnya suara tangisan bayi. Saat itu dasar Sumur Api mulai bergetar. Kobaran api mencuat ke atas berulang kali. Di beberapa tempat tanah tampak retak mengepulkan asap.

Tidak menunggu lebih lama Kamara Simpul Melantik segera melesat ke arah bangunan putih. Tubuhnya laksana angin, menembus dinding bangunan. Sesaat kemudian dia telah berada dalam satu kamar besar dimana seorang gadis cantik duduk di atas ranjang, mendekap ketakutan dua bayi lelaki yang tengah menangis keras. Kepalanya setengah tertunduk.

Itulah Ananthawuri bersama dua bayinya, Dirga Purana dan Mimba Purana. Di atas tempat tidur, di dekat dua bayi terletak sebuah Kitab Weda dan sebatang tongkat kayu. Inilah kitab dan tongkat milik kakek Dhana Padmasutra yang masih dipelihara baik-baik oleh Ananthawuri (Baca serial pertama berjudul Perawan Sumur Api).

Ketika Ananthawuri mengangkat kepala, si nenek terkesiap dan sempat tersurut dua langkah begitu melihat wajah anak perawan dari Sorogedug itu. "Wajahnya, sangat menyerupai patung Loro Jonggrang di Candi Siwa! Bagaimana mungkin! Apakah Batari Durga telah menitiskan ke dalam dirinya? Aku harus bertindak cepat. Para Dewa tidak suka melihat kehadiranku di sini. Mereka lebih senang melihat aku tidak mendapatkan bayi sekalipun harus memusnahkan apa yang ada di dasar Sumur Api termasuk ibu dua bayi!"

Si nenek maju mendekati Ananthawuri. Dia coba tersenyum. Namun senyum yang menyeruak lebih menampilkan sifat kejam jahat. "Anak perawan pilihan Dewa, akhirnya kutemui juga dirimu! Kita berdua bisa bersahabat. Serahkan dua bayi padaku maka aku tidak akan membunuhmu!"

Seperti diketahui, ketika mendatangi patung Loro Jonggrang di Candi Prambanan, patung yang sesaat berubah hidup itu memberikan sebuah batu merah bernama Batu Kaladungga pada Ananthawuri. Dengan menelan batu itu maka siapa saja orang yang mempunyai niat dan ingin berbuah jahat terhadap dirinya tidak akan mampu melihat sosoknya. Namun saat itu kesaktian Batu Kaladungga ternyata masih berada di bawah kesaktian yang dimiliki Kamara Simpul Melantik hingga si nenek tetap saja mampu melihat tubuh nyata Ananthawuri.

Melihat kemunculan nenek buntung bermata hijau menyala yang tidak dikenal dan inginkan dua bayinya Ananthawuri ketakutan setengah mati. "Nenek buntung, jika kau berniat jahat pada diriku dan dua bayiku maka Para Dewa akan mengutukmu. Lekas pergi dari sini!"

Si nenek tertawa. Tubuh buntung yang mengapung di udara bergoyang-goyang. Darah menetes makin banyak dari buntungan di pinggang yang merupakan satu rongga mengerikan. Ujung usus menyembul turun naik. Darah bedelehan! "Perawan tolol! Aku mau lihat Dewamu akan memberi pertolongan apa?"

Didahului teriakan keras tubuh buntung si nenek melesat ke arah Ananthawuri yang berada di tepi tempat tidur mendekapi dua bayi. Tangan kiri kanan bergerak, menyambar. Hanya sesaat lagi dua tangan akan berhasil merampas dua bayi tiba-tiba satu angin kencang bertiup di ruangan itu. Dinding dan atap bangunan tanggal berterbangan. Di tempat yang kini terbuka itu tujuh bayangan biru berkelebat dan tahu-tahu tujuh manusia cebol telah berdiri memagari Ananthawuri dan dua bayinya!

Kamara Simpul Melantik delikkan mata lalu membentak. "Tujuh setan katai! Sekalipun Dewa mengutus kalian apa kau kira aku takut pada kalian?!" Si nenek mem-bentak garang, sombong takabur.

Tujuh manusia cebol menyeringai lalu sama-sama meniup ke arah si nenek. Saat itu juga tujuh deru angin berwarna biru menghantam silang menyilang membuat sosok buntung Kamara Simpul Melantik terpental sejauh tiga tombak. Pakaian sebelah atas robek, rambut riap-riapan mengepul hangus. Mata kiri terbongkar keluar dari rongga!

Dalam keadaan tubuh masih goyah si nenek angkat dua tangan ke atas, lalu salah satu tangan dipakai mengusap mata kiri. Mata yang hancur mengerikan itu serta merta kembali utuh! Si nenek kini berkomat kamit, melafat mantera. Lalu satu pekik dahsyat menggelegar dari mulutnya. Tubuh buntung berputar kepala ke bawah dan meletup enam kali. Saat itu juga sosoknya yang tadi cuma satu kini bertambah enam, menjadi tujuh semuanya! Inilah Tujuh Bayangan Iblis!

Tujuh manusia cebol kembali menyeringai. Mereka saling memberi isyarat lalu serentak menerjang ke arah tujuh tubuh buntung! Pertarungan serta merta terjadi tapi tidak berlangsung lama. Ketika Tujuh Bayangan Iblis semburkan cahaya hijau dari sepasang mata, tak ampun lagi tujuh manusia cebol berkaparan di tanah, tubuh tercabik-cabik.

Tujuh Bayangan Iblis tertawa mengekeh sambil berkacak pinggang. Dalam keadaan tidak berkutik lagi tiba-tiba tujuh tubuh katai yang tercabik-cabik berubah jadi kepulan asap putih. Sesaat kemudian kepulan asap bergabung menjadi satu. Di lain kejap berubah menjadi seekor ular besar kepala tiga!

"Naga Pratala tunggangan Dewa!" seru Tujuh Bayangan Iblis. Walau terkesiap namun tujuh nenek buntung tidak merasa gentar. Ketika ekor ular kepala tiga menghantam dua dari tujuh sosok buntung hingga hancur berkeping-keping, lima sosok buntung lainnya serta merta menyerbu. Dari lima tubuh buntung ini memancar cahaya tiga warna. Merah, biru dan hitam!

"Wusss!"

Tempat itu bergoncang keras laksana dilanda gempa. Ular besar kepala tiga terpental dengan tubuh terkutung-kutung. Didahului suara raungan keras dan panjang setengah menyerupai raungan srigala setengah menyerupai raungan manusia, sosok ular raksasa itu lenyap dari pemandangan. Lima sosok buntung secara aneh bergerak menjadi satu membentuk sosok asli Kamara Simpul Melantik, namun sosoknya kini menjadi lima kali lebih besar! Dengan gerakan sangat cepat si nenek melayang ke arah Ananthawuri yang masih mendekap dua bayi yang tergolek di atas tempat tidur. Dua tangan dengan lima jari luar biasa besar menyambar ke arah dua bayi.

"Jangan! Dewa Agung! Tolong anak-anak saya!" Jerit Ananthawuri.

Saat itu letusan dahsyat menggelegar di dasar Sumur Api. Tubuh Ananthawuri bergoncang keras lalu jatuh terbanting, kepala membentur keras lantai ruangan hingga kejap itu juga anak perawan ini tergolek tidak sadarkan diri. Dua bayi yang lepas dari dekapan sang ibu bergulingan di atas tempat tidur. Tanpa banyak kesulitan tangan kiri si nenek segera menangkap salah satu dari dua bayi. Ketika dia hendak menangkap bayi ke dua, tiba-tiba entah dari mana datangnya tempat itu dilanda genta suara lonceng! Si nenek merasa sekujur tubuh bergetar, telinga mengiang dahsyat seperti mau pecah. Tubuhnya seolah mau meledak. Dari telinga dan dua lobang hidung darah tampak mengucur. Darah juga merebak pada dua matanya yang hijau.

"Tidak! Aku tidak boleh menyerah! Tidak!" Si nenek berteriak lalu hentakkan tangan kanan ke atas. Saat itu juga dari tubuhnya memancar cahaya tiga warna. Begitu merasa berhasil membendung kekuatan dahsyat suara genta lonceng yang hendak menghancur luluhkan tubuh buntungnya dengan cepat dia ulurkan tangan kanan menyambar bayi kedua yang tergeletak di atas tempat tidur.

Hanya satu jengkal lagi sosok bayi kedua akan tenggelam dalam cengkeraman tangan raksasa si nenek buntung Kamara Simpul Melantik, sementara suara lonceng terus bertalu-talu, tiba-tiba di kening bayi kedua yang beranting-anting di telinga kanan muncul sebuah titik kuning. Titik ini dengan cepat berubah besar dan membentuk sebuah mata. Mata ketiga. Tepat di atas antara dua mata sang bayi! Sesaat mata itu masih terpejam. Namun begitu terbuka maka... wusss! Menyambarlah satu cahaya kuning luar biasa menyilaukan.

"Mata Ketiga! Mata Dewa!" Teriak Kamara Simpul Melantik alias Iblis Tujuh Bayangan yang menyadari apa adanya kejadian gaib itu! Dengan cepat dia melayang mundur sambil putar tubuh. Masih sempat berteriak marah karena tidak berhasil menangkap bayi ke dua. Lalu mulut merapal mantera kesaktian. Cahaya tiga warna memancar di sekujur tubuhnya untuk melindungi diri dari serangan cahaya kuning.

Namun terlambat. Saat itu cahaya kuning sudah mendarat telak di kepalanya yang melayang ke bawah. Dari kepala cahaya ini menebar cepat ke sekujur tubuh buntung. Si nenek menjerit keras. Cahaya tiga warna yang membungkus tubuhnya bergetar bergoyang-goyang pertanda mulai goyah dan tak sanggup bertahan terhadap kehebatan cahaya kuning yang keluar dari mata sang bayi. Perlahan-lahan cahaya tiga warna yang tadinya terang angker luar biasa kini berubah redup lalu lenyap sama sekali!

Kehilangan tiga warna cahaya sakti yang menjadi andalannya tubuh iblis Tujuh Bayangan terlempar kian kemari, mencelat ke udara lalu braak! Si nenek meraung dahsyat. Namun suara raungannya lenyap begitu kepalanya amblas masuk ke dalam tanah sampai ke pundak. Tubuh buntung itu menggeliat-geliat, berusaha melesat keluar dari dalam tanah sementara cahaya kuning yang menyelubungi memancar semakin terang, tambah menyilaukan!

Tiba-tiba... blaarr! Buntungan tubuh Iblis Tujuh Bayangan meledak hancur, bertabur dalam gelapnya udara malam lalu sirna laksana debu ditiup angin! Sesaat sebelum tubuh buntung itu hancur berubah jadi debu, tiba-tiba ada dua kepulan asap aneh. Dari balik kepulan asap sesaat kemudian muncul dua mahluk kembar tinggi hitam berpakaian serba putih lengkap dengan destar putih menyerupai sorban. Genta lonceng sementara itu terus membahana tiada henti.

Dengan gerakan luar biasa cepat mahluk hitam sebelah kiri segera menyambar bayi yang ada di kepitan tangan kiri Iblis Tujuh Bayangan sambil kirimkan satu tendangan. Mahluk hitam kedua dengan sigap mengangkat bayi kedua yang tadi menyemburkan cahaya kuning sakti dari mata ke tiganya, yang saat itu masih tergeletak di atas tempat tidur dan kembali menangis. Setelah menggendong sang bayi, mahluk satu ini kemudian mendukung tubuh Ananthawuri. Lalu pada temannya dia berkata.

"Cepat! Tempat ini sebentar lagi akan meledak! Lekas pergi! Ingat pesan pimpinan! Lari ke arah tujuan! Jangan sekali-kali menoleh ke belakang sekalipun kau mendengar suara ibumu berteriak minta tolong karena hendak digorok orang!"

"Aku mengerti, aku mengerti..." jawab mahluk kembar satunya.

Sekali berkelebat dua mahluk kembar hitam tinggi besar itu serta meria lenyap dari tempat itu. Bersamaan dengan itu suara lonceng ikut menghilang. Namun hanya beberapa saat setelah dua orang kembar lenyap dari dasar Sumur Api yang keadaannya kini sudah setengah rata, tiba-tiba menggelegar dentuman dahsyat! Sumur Api meledak untuk kedua kalinya!

10. PERTEMUAN DALAM BENCANA

LEDAKAN kedua yang terjadi bukan saja menghancurkan Sumur Api tapi juga meluluh lantak sebagian kawasan rimba belantara mulai dari timur Candi Prambanan sampai sepanjang Kali Dengkeng. Sumur Api yang selama ini memancarkan kobaran nyala api terang angker lenyap dan di tempat itu kini terbentang satu jurang sangat dalam. Di langit untuk kesekian kalinya rembulan kembali disaput awan tebal. Dalam udara gelap dan dingin begitu rupa tiba-tiba satu bayangan berpakaian dan berkerudung putih berkelebat. Di satu tempat ketinggian orang ini berhenti, memandang berkeliling.

Angin malam membuat kerudung putih di atas kepala tersibak jatuh ke bahu. Ternyata dia adalah seorang gadis muda belia berwajah cantik. Dengan tangan kanan yang hanya merupakan tulang belulang gadis ini merapikan kerudung putihnya. Pembaca tentu masih ingat. Si gadis jelita bukan lain adalah Liris Pramawari yang oleh Sebayang Kaligantha diberi nama julukan Dewi Tangan Jerangkong. Untuk beberapa lama gadis ini tegak tardiam, menyaksikan kerusakan alam yang sungguh luar biasa. Selain itu dia juga melihat beberapa tubuh bergeletakan. Entah masih hidup entah sudah menemui ajal.

"Aku mendengar letusan luar biasa dahsyat! Tapi tidak ada gunung yang meledak. Ada banjir besar di sebelah timur. Tapi tidak kutemui sungai yang meluap. Pohon-pohon bertumbangan dimana-mana. Ada beberapa tubuh bergelimpangan. Mengapa banyak lobang aneh di tanah? Lalu di sebelah sana ada sebuah jurang. Aku tidak dapat meihat sampai ke dasar kerena begitu dalamnya. Yang Maha Kuasa berbuat sekehendakNya! Apakah bencana ini terjadi akibat kemurkaan Para Dewa atau disebabkan hati dan tangan jahat bangsa manusia juga?" Ucapan hati si gadis terdiam sesaat. Lalu dia ingat. "Sebelum terjadi letusan ke dua, aku mendengar ada suara bayi menangis. Aku juga mendengar suara lonceng bertalu-talu yang membuat tanah bergetar..."

Liris Pramawari coba menembus kegelapan di dalam jurang. Dari asap tipis yang masih mengepul dia bisa mengetahui kalau sebelumnya jurang itu tidak pernah ada. Sulit dia menduga apa sebenarnya yang telah terjadi.

"Kalau aku mengambil hikmah dari kejadian ini, mungkinkah Para Dewa tengah memberi jalan bagiku untuk melakukan kebajikan kedua? Dewa Agung, saya mohon petunjukMu. Apa yang bisa saya lakukan di tempat ini?" Sang dara memandang berkeliling. "Wahai sang kebajikan, dimanakah kau bersembunyi? Aku siap melakukan apa saja. Demi ayahku yang saat ini tidak kuketahui dimana beradanya."

Tiba-tiba si gadis tercekat mendengar suara kucing mengeong. "Di tempat seperti ini, ada kucing berkeliaran...?" Hatinya membatin. Memandang ke kiri Liris Pramawari melihat satu pohon besar tumbang di tanah. Di bawah batang pohon yang hampir dua pemelukan tangan tergeletak satu tubuh manusia, terhimpit di bagian kaki. Seekor kucing merah besar tengah menjilati kaki orang yang tertindih pohon itu. Dengan cepat Liris Pramawari mendatangi. Siap hendak menolong. Namun geraknya langsung terhenti dan wajahnya berubah ketika melihat keadaan sosok tubuh yang tertimpa batang kayu besar itu.

"Kaki yang terhimpit pohon tidak hancur. Tidak ada suara mengerang. Ada tubuh tapi tidak ada kepala. Aku hanya melihat satu bunga besar dan kuncup hijau di bagian tubuh yang seharusnya ada kepala. Jika dia manusia sungguhan betapa malang nasibnya Jika dia mahluk jejadian bukankah mudah saja baginya untuk menyelamatkan diri? Kakinya yang satu bergerak-gerak tanda dia masih hidup! Lalu ada seekor kucing. Menjilati kakinya. Belum pernah aku melihat kucing berbulu merah. Sosoknya besar sekali. Ini bukan kucing biasa. Dua mahluk aneh. Apakah binatang itu peliharaannya...?"

"Orang yang terhimpit pohon, aku tidak melihat kepalamu. Aku melihat kakimu yang satu bergerak-gerak. Aku tidak tahu kau ini mahluk apa. Juga apakah kau masih hidup. Aku akan menolongmu menyingkirkan pohon besar yang menindih kakimu."

Sebenarnya saat itu dengan ilmu kepandaian yang dimilikinya Nalapraya alias Pangeran Bunga Bangkai sanggup melepaskan kakinya dari tindihan batang kayu. Namun sewaktu menyadari ada orang yang datang, mendengar suara dan melihat wajah yang setengah tertutup kerudung putih Itu, mendadak pemuda yang tengah mengalami cobaan berat ini jadi terkesiap. Hatinya bergetar. "Dewa Agung! Suaramu sungguh mirip. Wajahnya ada kesamaan! Apakah... apakah aku telah menemukan dia?"

"Mahluk aneh, aku hendak menolongmu. Mengapa kau tidak menjawab? Kau tidak suka aku tolong?" Liris Pramawari bertanya. "Aku tidak mau kesalahan tangan."

"Istriku... Kaukah itu?" berucap Nalapraya.

Dipanggil istri tentu saja ucapan itu membuat Liris Pramawari terkejut dan tersurut satu langkah. "Hendak ditolong malah bicara aneh! Jangan-jangan kepalamu telah lebih dulu hancur dilanda batang pohon baru kakimu terjepit. Tapi... Ah! Sudahlah! Kau tidak mau ditolong, aku tak bisa berbuat kebajikan. Mau memaksakan bagaimana?"

Tiba-tiba ada suara lain menjawab sambil tertawa. "Ha... ha! Pangeran kami tentu saja suka dan bahagia ditolong oleh gadis secantikmu. Tapi sahabat berhati baik, kau tidak perlu bersusah payah. Biar kami yang menolong. Padahal kami berdua baru saja melesak ke dalam tanah. Lihat, tubuh, pakaian dan muka kami bercelemongan lumpur. Air banjiran, entah dari mana datangnya. Untung bukan air comberan. Ha...ha...ha!"

Liris Pramawari berpaling ke arah datangnya suara orang bicara dan tertawa. Di dalam kegelapan dia melihat dua orang yang memang keadaannya seperti baru tercebur di dalam lumpur. Satu pendek gemuk, satu tinggi kurus. Si gemuk pendek membawa tambur berikut dua penabuh, kawannya yang jangkung memegang sebatang seruling. Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik!

Sesaat kemudian di tempat itu menggelegar suara tambur di tabuh dan suling ditiup. Dari dua bebunyian itu memancar keluar kekuatan aneh yang membuat Liris Pramawari tercengang-cengang ketika me-nyaksikan kekuatan yang tidak kelihatan itu mampu mengangkat batang kayu besar setinggi dua jengkal dari kaki mahluk tanpa kepala lalu digulingkan di tanah.

"Ah, aku gagal berbuat kebajikan kedua... Mungkin Para Dewa belum mengizinkan," kata Liris Pramawari sambil mengusap tangan kirinya dengan tangan kanan. Kedua tangan itu hanya merupakan tulang belulang tanpa daging tanpa kulit sampai sebatas bawah siku. Dia merasa kecewa namun tidak marah pada Si Tambur Bopeng dan Suling Burik. Dia berusaha menghibur diri dengan berkata dalam hati. "Jika sekedar menyelamatkan seseorang dari tindihan pohon mungkin hanya merupakan satu kebajikan kecil. Mungkin itu tidak akan mengurangi bagian tanganku yang cacat."

11. DEWI TANGAN JERANGKONG BERSEDIA DIKAWINI PANGERAN BUNGA BANGKAI

BEGITU kakinya lepas dari himpitan batang pohon, Nalapraya alias Pangeran Bunga Bangkai cepat berdiri dan langsung mendekati Liris Pramawari. "Sahabat berkerudung putih, katakan, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Pangeran Bunga Bangkai sambil kuncup hijau di kepalanya merunduk sedikit seolah berusaha memperhatikan wajah si gadis lekat-lekat. "Aku merasa... Istriku, apa ini bukannya engkau? Aku melihat bayang-bayang dirimu dalam sosok yang ada di hadapanku. Kau mungkin tidak mengenalku karena saat pertemuan kita sebanyak tujuh kali, kepalaku dalam keadaan wajar. Tidak seperti sekarang ini merupakan bunga bangkai dengan kelopak hijau menebar bau busuk menjijikan..."

Kuncup hijau aneh di kepala mahluk itu serta bau busuk yang menyengat membuat Liris Pramawari jauhkan kepalanya. Menyadari hal ini Pangeran Bunga Bangka segera bersurut dua langkah, tahu diri, menjaga jarak.

"Aku tidak kenal siapa kau. Aku yakin kita belum pernah bertemu. Mengapa kau mengira aku istrimu? Aku belum pernah kawin. Usiaku baru mencapai delapan belas..."

"Hampir seusia dengan istriku. Menurut Para Dewa, istriku meski sudah kawin dan melahirkan tetap perawan."

"Aneh bicaramu," ujar Liris Pramawari pula. "Kau harus sadar. Aku bukan istrimu!"

Bunga besar dan kelopak hijau di atas leher Nalapraya bergerak-gerak. "Maafkan diriku..." Nalapraya menghela nafas dalam. Mundur beberapa langkah lagi dan dudukkan diri di tanah. "Aku terlalu berharap setelah sekian lama mencari..." Sang Pangeran lalu keluarkan sebuah benda dari saku pakaian birunya. Ketika dikembang ternyata adalah sehelai cabikan sapu tangan merah muda. "Aku ingin mengingatkan. Apakah kau pernah melihat atau mengenali sapu tangan ini? Kalau kau memiliki potongan yang dari sapu tangan ini maka..."

Liris Pramawari gelengkan kepala berulang kali. "Aku tidak pernah memiliki sapu tangan seperti itu. Apa lagi merupakan sehelai cabikan. Buat apa menyimpan sapu tangan robek?"

Kuncup hijau di atas leher Pangeran Bunga Bangkai bergerak-gerak. Dengan perasaan kecewa robekan sapu tangan merah muda yang pernah diterimanya dari Ananthawuri pada malam terakhir pertemuan mereka, disimpan kembali. Dia tidak merasa perlu menerangkan asal usul cabikan sapu tangan itu. Setelah menarik nafas dalam Pangeran Bunga Bangkai berpaling pada Si Tambur Bopeng dan Si Suling Perak. "Dua sahabat, apakah kita lebih baik segera saja meninggalkan tempat ini?"

"Tunggu, jangan pergi dulu!" tiba-tiba Liris Pramawari berkata. "Aku ingin tahu kenapa keadaanmu seperti ini. Kau bisa bicara, mampu mendengar, dapat melihat. Tapi aku tidak melihat kepala, tidak melihat telinga dan mata serta mulutmu. Lalu dua orang yang berlumuran lumpur itu menyebutmu sebagai Pangeran! Dewa Agung! Bagaimana hal ini bisa terjadi?! Siapa kau ini sebenarnya?"

Pangeran Bunga Bangkai mengusap kuncup hijau berulang kali. "Oh Dewa Agung. Walau kau tidak mengenali potongan sapu tangan merah muda, bagaimana aku lain tidak mempercayai bahwa kau adalah istri yang dipilihkan Para Dewa untukku. Suaramu sangat mirip, wajahmu juga banyak kesamaan. Kalau saja aku boleh menyingkapkan lebih lebar kerudung putih yang menutupi sebagian wajahmu..." Nalapraya ulurkan tangan hendak menyentuh selendang putih di kepala si gadis, namun dia batalkan maksud dan tarik tangannya kembali. "Aku tengah mencari seseorang. Jika dia bukanlah dirimu maka ini adalah satu keajaiban yang membahagiakan diriku..."

"Siapa orang yang kau cari itu?" bertanya Liris Pramawari sementara Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik saat itu telah berdiri di kiri kanan Pangeran Bunga Bangkai.

"Aku... aku mencari istriku..."

"Apa?!" Liris Pramawari tercengang. Sepasang matanya yang bagus menatap penuh tidak percaya. "Kau mengira aku ini istrimu?"

Kuncup hijau bergoyang merunduk.

"Jika kau memang punya seorang istri tentu dia punya nama. Coba katakan namanya. Apa sama dengan namaku? Atau siapa tahu mungkin aku mengenalnya."

"Itulah yang menyulitkan. Aku tidak pernah mengetahui siapa nama istriku."

Liris Pramawari tertawa.

"Kau tertawa, aku tidak heran. Tidak ada orang yang percaya kalau insan sepertiku punya seorang istri. Kau akan lebih terkejut lagi kalau aku katakan istriku sedang mengandung, akan segera melahirkan..."

Liris Pramawari memang benar-benar terkejut hingga dia ternganga lalu cepat-celat pergunakan tangan kanan untuk menutup mulut. Saat itulah Nalapraya melihat keadaan tangan kanan si gadis yang hanya merupakan tulang belulang. Ternyata tangan kirinya juga serupa.

"Sahabat, tanganmu.... Mengapa tanganmu seperti itu?" Pangeran Bunga Bangkai bertanya dengan nada heran juga kasihan.

"Aku menanggung beban dosa kesalahan ayahku. Para Dewa menguji ketahananku dengan hukuman seperti ini. Tubuhku akan menjadi jerangkong jika dalam waktu dua belas purnama aku tidak mampu melakukan tiga kebajikan..."

Pangeran dari Kerajaan Tarumanegara itu jadi ingat pada nasibnya sendiri. "Apakah ayahmu membunuh seseorang?" Nalapraya bertanya.

"Dia dituduh membunuh seorang perempuan muda yang tengah mengandung..." Menjelaskan Liris Pramawari. "Dia tidak membunuh perempuan itu, ada orang lain yang melakukan. Namun dalam satu pertarungan dahsyat ayahku membunuh ayah si perempuan. Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Mereka bertarung secara kesatria. Satu lawan satu. Kesaktian lawan kesaktian."

"Kau anak yang sangat berbakti pada orang tua. Mau menanggung dosa. Aku sendiri, aku juga dituduh membunuh seseorang. Kau tahu siapa yang mereka katakan aku bunuh? Ayah kandungku! Padahal ayah menemui ajal tertusuk keris yang dipegangnya sendiri ketika aku berusaha mencegah ayah yang hendak menikam ibuku. Nasib mengatakan aku harus menanggung akibat dari perbuatan yang tidaL pernah aku lakukan. Para Dewa telah berlaku adil. Para Dewa masih mengasihi diriku. Aku akan kembali ke ujudku semula jika ada seorang gadis bersedia aku nikahi. Bersedia menjadi istriku..."

"Tadi kau mengatakan sudah beristri. Dan kau sedang mencari istrimu yang sedang mengandung bahkan akan segera melahirkan. Sekarang kau berkata ujudmu bisa kembali seperti semula ka!au ada gadis yang mau kau kawini. Aku tidak mengerti..."

"Ketika Para Dewa menikahkan kami, diriku dalam keadaan wajar. Utuh mulai dari kaki sampai kepala, mulai dari kepala sampai ke kaki. Demikian juga setiap kali aku menemuinya selama tujuh malam berturut-turut. Siapa saja gadisnya, kurasa tidak akan menolak dinikahkan dengan diriku. Namun dengan ujud seperti ini, menurutmu apakah ada gadis yang mau kawin denganku? Itu sebabnya aku harus mencari istriku. Jika dia masih mau kujadikan istridalam keadaan seperti ini maka aku akan kembali keujud semula..."

"Tam...tam...tam!" Tiba-tiba Si Tambur Bopeng menabuh tamburnya. Lalu tertawa gelak-gelak.

"Ada apa?" tanya Pangeran Bunga Bangkai. "Pangeran, kau juga bisa segera kembali ke ujud semula kalau menempuh jalan pintas. Tidak perlu susah-susah mencari istrimu. Tapi langsung saja meminta pada gadis ini apakah dia mau menjadi istrimu. Jika dia mau maka Para Dewa pasti akan mengembalikan ujudmu ke bentuk semula. Ada tubuh ada kepala!"

Semua orang terkesiap mendengar kata-kata Si Tambur Bopeng itu. Untuk beberapa lamanya keadaan di tempat itu menjadi sunyi senyap. Kuncup hijau di atas tubuh Pangeran Bunga Bangkai bergerak-gerak. Si Suling Burik usap-usap sulingnya berulang kali sementara Liris Pramawari menatap tak berkedip ke arah sosok Pangeran Bunga Bangkai. Entah sadar entah tidak mulutnya berucap.

"Aku punya kewajiban melakukan tiga kebajikan. Aku sudah melakukan satu kebajikan. Kalau aku dapat melakukan kebajikan yang kedua mengapa tidak. Kalau aku bisa menolong mengembalikan ujudmu ke bentuk semula hanya dengan sekedar mengatakan aku bersedia menjadi istrimu, mengapa tidak?"

Keadaan di tempat itu, sehabis Liris Pramawari mengeluarkan ucapan kembali dicekam kesunyian. Pada saat itu juga di langit ada satu kilatan cahaya putih. Si Suling Burik mendekati sahabatnya Si Tambur Bopeng lalu berbisik. "Cahaya putih di langit tadi, apakah satu pertanda bahwa Para Dewa akan benar-benar mengembalikan ujud Pangeran Bunga Bangkai kalau gadis ini mau dijadikan istrinya?"

"Yang Maha Kuasa mampu berbuat apa saja. Aku juga tidak menolak kalau gadis ini mau kawin denganku..." Jawab Si Tambur Bopeng dengan berbisik pula.

"Kau gila!"

"Ah, kau cemburu! Ha..ha...ha..."

Sementara dua sahabatnya tertawa Pangeran Bunga Bangkai masih terduduk diam di tanah. Kalau saja dia memiliki kepala dan wajah utuh maka saat itu akan terlihat bagaimana dia menatapi wajah Liris Pramawari dengan pandangan mata tidak berkedip. "Gadis baik..." kata Pangeran Bunga Bangkai dalam hati. "Aku yakin dia bersedia mengawini diriku bukan karena ingin berbuat kebajikan untuk menolong diri sendiri. Tapi ada kejujuran dalam ucapan dan ketulusan di hati sanubari. Sahabat, aku tidak bisa mengkhianati istriku. Kalaupun aku tidak akan pernah menemukannya seumur hidupku, aku tidak akan kawin dengan gadis manapun. Sekalipun dia secantik dan sebaik sepertimu..."

"Sahabat," akhirnya Pangeran Bunga Bangkai berkata sambil bangkit berdiri. "Perkawinan bukanlah sesuatu yang hanya diucapkan di mulut. Perkawinan menyangkut seluruh hati nurani bahkan jiwa raga seseorang. Aku sangat berterima kasih dan terharu mendengar ucapanmu tadi. Kau bersedia kujadikan istri. Itu tidak mungkin kita lakukan..."

"Tidak mungkin? Mengapa tidak Mungkin?" Bertanya Liris Pramawari.

"Aku yakin bukan dengan cara itu Para Dewa akan mengembalikan ujudku. Bukan dengan cara kawin dengan anak perawan lain yang tidak dikehendaki Para Dewa. Aku sangat berterima kasih padamu. Aku dan dua temanku harus segera pergi. Sebelum pagi tiba aku berharap bisa mendapatkan satu petunjuk..."

"Mengapa cepat-cepat pergi. Bukankah aku sudah mengatakan bahwa aku bersedia menjadi istrimu? Dan aku tidak main-main."

Di langit untuk kedua kalinya muncul kilatan cahaya putih. Si gadis menatap kelangit lalu kembali memandang ke arah Pangeran Bunga Bangkai dan tersenyum. "Aku tahu, Para Dewa telah memberi tanda padamu untuk tidak mengabulkan permintaanku..."

"Sahabat, Para Dewa akan memberkatimu. Aku tidak mungkin mengkhianati seseorang yang telah dipilihkan Para Dewa menjadi istriku. Sekarang kalau saja aku boleh melakukan, aku ingin menolongmu. Ulurkan ke dua tanganmu."

Meski tidak mengerti apa yang hendak dilakukan Pangeran Bunga Bangkai namun Liris Pramawari ulurkan dua tangannya yang hanya merupakan tulang belulang. Sang Pangeran cepat pegang ke dua tangan si gadis. Liris Pramawari merasa adanya kehangatan yang membuat dua tangannya bergetar. Lalu muncul kepulan asap disela-sela dua pasang tangan yang saling bergenggaman itu. Liris Pramawari merasakan hawa hangat berubah menjadi aliran hawa sejuk sekali masuk ke dalam tangannya kiri kanan. Ketika Pangeran Bunga Bangkai melepas pegangan, dua tangan itu telah berubah utuh dan bagus, tidak lagi merupakan tulang belulang atau jerangkong.

12. DUA BAYI DISELAMATKAN

LIRIS Pramawari sampai terpekik karena gembira dan juga terkejut. Saat itu Pangeran Bunga Bangkai sudah melesat masuk ke dalam jurang besar yang gelap gulita sambil menggendong Ragil Abang si kucing merah, diikuti Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik.

"Pangeran, aku yang menginginkan berbuat kebajikan. Tetapi ternyata kau justru yang menolongku..."

Belum habis ucapan si gadis tiba-tiba ada bayangan putih berkelebat. Disusul terdengarnya suara. "Liris Pramawari, bukan begitu cara kesembuhan yang dijanjikan Para Dewa bagimu. Kau tetap harus melakukan dua kebajikan lagi. Ingat itu baik-baik. Namun tetaplah berterima kasih dan bersyukur pada niat baik seseorang yang telah menolongmu."

Si gadis terkejut. Ketika dua tangannya diangkat dan diperhatikan, ternyata dua tangan yang tadi telah berbentuk sempurna itu kini mengepulkan asap dan periahan-lahan kembali ke bentuk yang menakutkan. Berupa tulang belulang tanpa kulit tanpa daging! Sekujur tubuh Liris Pramawari bergoncang. Sepasang matanya membesar namun penuh ketabahan dia berhasil membendung keluarnya air mata.

"Keadilan masih belum berpihak padaku. ." ucap si gadis perlahan. Dalam kepasrahannya, Liris Pramawari malah masih bisa tersenyum. Sungguh seorang gadis berhati baja. "Lingkaran budi....." katanya. Dia ingat pada kata-kata pemuda bernama Sebayang Kaligantha. "Manusia sebenarnya hidup dalam lingkaran budi. Meskipun terkadang budi baik yang begitu indah belum tentu mendapat berkat dari Para Dewa. Namun aku percaya, Para Dewa akan menabung kebaikan mahluk malang tadi untuk menjadi satu berkat di masa depan. Roh Agung, terima kasih. Ternyata kau selalu berada di dekatku..." Meski mulutnya berkata begitu namun di dalam hati Liris Pramawari masih tetap penasaran. Dia lari ke arah jurang dalam dan gelap. Di tepi jurang gadis ini berhenti.

"Dua anak buahnya memanggilnya dengan sebutan Pangeran. Mahluk aneh itu pasti bukan orang sembarangan. Kesetiaannya terhadap istrinya sungguh luar biasa. Selain itu dia memiliki ilmu kesaktian tinggi..." Liris Pramawari rapikan kerudung putih dikepala yang tersingkap tiupan angin. Di pinggir jurang gadis ini lalu berseru. "Pangeran, jika perempuan itu menolak meneruskan menjadi istrimu karena keadaanmu yang seperti itu, ingatlah satu hal! Ada seorang gadis yang bersedia menjadi istrimu! Aku! Jika kita bisa berbagi budi bukankah rakhmat dan berkat Yang Maha Kuasa akan menjadi bagian dan kebahagiaan kita berdua?!"

Liris Pramawari usap wajahnya berulang kali dengan jari-jari tidak berkulit tidak berdaging. Hatinya berkata. "Aku harus bisa berbuat satu kebajikan pada orang ini. Harus!"

Tiba-tiba di langit kembali ada cahaya putih memancar. Liris Pramawari angkat kedua tangannya ke atas. Berteriak lantang. "Roh Agung, aku tahu kau hendak mengatakan sesuatu. Aku tidak pernah melihat ujud dirimu. Aku tidak tahu bagaimana hati dan perasaanmu. Tapi jika seandainya kau seorang manusia seperti diriku maka ucapan dan tindakanmu pasti akan sangat berlainan!"

Terdengar suara tarikan nafas. Lalu sunyi. Tak ada suara yang menjawab. Seperti nekad, tidak menunggu lebih lama Liris Pramawari segera melompat memasuki jurang yang gelap. Namun setengah jalan, selagi melayang turun di dalam jurang tiba-tiba dalam kegelapan dia melihat ada dua sosok hitam besar berpakaian putih justru melesat dari dalam jurang menuju ke atas. Salah seorang memanggul sosok perempuan. Di saat yang sama terdengar suara tangisan dua orang bayi.

Dengan cepat Liris Pramawari membuat gerakan berjungkir balik, lentingkan tubuh ke udara, mengejar ke atas. Di atas jurang, dua orang hitam yang membawa Ananthawuri dan dua bayi berkelebat ke arah timur, si gadis serta merta mengejar kedua orang itu. Dia lupa maksud semula hendak menyelidiki kemana perginya Pangeran Bunga Bangkai dan dua pengiringnya.

Tahu kalau ada orang mengejar, lelaki hitam tinggi besar yang menggendong bayi beranting-anting di telinga kiri berkata pada kembarannya. "Ada yang mengejar!"

"Aku tahu!" sahut lelaki hitam satunya. "Yang mengejar manusia biasa, tidak perlu ditakutkan. Sesaat lagi kita akan segera meninggalkannya!" Lalu orang ini dongakkan kepala sambil menghembus. Saat itu juga ada kepulan asap hitam yang segera berubah menjadi tabir tipis penutup pemandangan.

Liris Pramawari yang tenga melakukan pengejaran jadi terkesiap dan hentikan lari. Saat itu dia tidak bisa memandang ke depan ataupun jurusan lain. Penglihatannya tertutup kabut hitam. "Orang mempergunakan ilmu. Aku tak mampu melihat. Tak bisa meneruskan pengejaran... Apa yang harus aku lakukan?"

Saat itu tiba-tiba di langit di atas kepalanya Liris Pramawari melihat ada cahaya tiga warna melesat. "Ada cahaya tiga warna di langit!" Lelaki tinggi hitam sebelah depan berseru. "Tidak perlu kawatir! Ilmu hitam jahat tidak akan sanggup menembus perlindungan kita! Jangan menoleh ke belakang!"

Sementara dua mahluk kembar itu berjalan cepat, di langit cahaya tiga warna terus mengikuti. "Percepat larimu! Kita hampir sampai! Aku sudah melihat puncak bangunan!" Orang hitam di sebelah depan, yang mendukung bayi dan memanggul Ananthawuri berteriak.

Tiba-tiba jauh di arah belakang terdengar suara perempuan memanggil. "Saka Parengtirtha, kekasihku, kaukah yang berlari di depan sana? Hai, berhentilah barang sebentar. Lima tahun kau pergi begitu saja, apakah tidak lagi ingat padaku? Wahai, berhentilah barang sebentar..."

Mahluk kembar tinggi hitam yang lari di sebelah belakang tersirap. Dua kali larinya tertahan. Di sebelah depan saudara kembarnya berteriak.

"Saka! Jangan perdulikan suara perempuan yang memanggilmu..."

Si hitam tinggi besar bernama Saka Parengtirtha masih lari terus namun kini larinya disertai kebimbangan. "Darka, aku mengenali suara itu. Yang memanggil adalah Juwilla Salimaya kekasihku. Lima tahun lalu aku meninggalkannya begitu saja. Aku merasa berdosa..."

"Jangan terjebak. Itu hanya tipuan. Jangan berhenti. Lari terus!" Menyahut Darka Parengtirtha, si hitam kembar di sebelah depan.

"Tapi...."

"Saka, kau benar! Ini aku. Juwilla Salimaya kekasihmu. Jika tidak lagi suka padaku tidak jadi apa. Aku hanya ingin melihatmu lebih dekat barang sebentar. Lima tahun aku mencarimu. Lima tahun aku merindukanmu. Apakah tidak ada sedikit perasaan yang sama di lubuk hatimu?"

"Saka! Jangan dengarkan! Lari terus! Kita hampir sampai!" berteriak Darka Parengtirtha.

"Darka, izinkan aku barang seketika..."

"Jika kau melanggar pantangan, serahkan bayi itu padaku dan aku akan membunuhmu saat ini juga!"

"Saka, jika saudara kembarmu tega membunuhmu, biar aku minta agar dia membunuh diriku sekalian!" Terdengar suara perempuan di belakang sana yang disusul suara sesenggukan menahan tangis. "Saka, aku tahu kau masih cinta padaku. Berhentilah barang sejenak. Kalau tidak berpalinglah sedikit. Biar aku bisa melihat wajahmu barang sekejap. Agar bisa lenyap rasa rindu ini. Setelah itu jika kau hendak pergi meninggalkan diriku silahkan pergi..."

Saka Parengtirtha lari terus namun langkahnya kini tersaruk-saruk. Saudara kembarmu berulang kali berteriak memberi ingat agar dia tidak berhenti atau berpaling. Lalu terdengar kembali suara perempuan itu. "Saka, sekarang aku sadar kalau kau sebenarnya tidak suka lagi padaku. Aku rasa tidak perlu lagi aku hidup mempermalu diri. Kau lihat pohon besar di depan sana Saka? Aku akan membenturkan kepalaku ke pohon itu!"

Saka dan Darka lari melewati pohon besar. Sesaat kemudian di arah pohon yang sudah dilewati ini terdengar suara braakk! Disertai suara jeritan perempuan. Saka Parengtirtha tidak sanggup lagi bertahan. Kepalanya dipalingkan ke belakang. Saat itulah tiba-tiba... wuus! Cahaya tiga warna yang melayang di langit menukik, menyambar ke arah mahluk tinggi hitam ini.

"Dewa Jagat Bathara!" teriak Darka Parengtirtha. Dalam keadaan memanggul Ananthawuri di bahu kiri dan menggendong bayi di tangan kanan, dengan tangan kirinya Darka merampas bayi dikepitan saudara kembarnya lalu sebelum memutar tubuh dia tendang tubuh Saka agar bisa terhindar dari sambaran cahaya tiga warna. Namun terlambat!

"Wusss!"

Cahaya tiga warna menghantam tubuh Saka Parengtirtha hingga tubuh itu ambruk ke tanah dan leleh mengerikan. Darka Parengtirtha sendiri walau berhasil selamatkan bayi namun kakinya yang menendang masih sempat terkena imbasan cahaya hingga kaki kanan mahluk ini tampak mengelupas merah sampai ke tulang, mulai dari ujung jari sampai ke pertengahan paha! Dalam menanggung sakit luar biasa dan mulut keluarkan jeritan tiada henti Darka Parengtirtha terus berlari sementara bagian tubuhnya yang mengelupas semakin bertambah lebar, menebar ke atas, melebar ke samping.

"Dewa Agung, tolong diriku! Beri kekuatan agar aku bisa sampai ke tujuan menyelamatkan ibu dan dua bayi ini! Jika mereka bisa kuselamatkan, matipun aku pasrah!" Lari Darka Parengtirtha mulai terhuyung-huyung. Setelah melewati satu rimba belantara kecil, dia mulai mendaki sebuah bukit gersang. Mati-matian berusaha mencapai satu bangunan di puncak bukit sementara tubuhnya sedikit demi sedikit berubah leleh!

"Seratus langkah... Kalau saja aku bisa mencapai seratus langkah dari bangunan. Dewa! Aku aku mohon..."

Kekuatan dan kemampuan lelaki tinggi hitam ini sampai ke batasnya. Brukkk! Darka tersungkur di bukit gersang. Hanya sembilan puluh delapan langkah di hadapan bangunan yang hendak dicapainya. Ananthawuri jatuh dari panggulannya, dua bayi terlepas dari gendongan. Saat itu cahaya tiga warna kembali datang menghantam. Di saat yang bersamaan dari pintu dan jendela bangunan candi di atas bukit gersang melesat keluar tujuh cahaya putih berkilauan.

Letusan dahsyat mengguncang puncak bukit gersang ketiga tiga cahaya biru, merah dan hitam berbenturan dengan tujuh larik sinar putih. Tanah bukit retak memanjang. Bangunan candi bergetar hebat. Salah satu menara candi sampai runtuh. Namun secara aneh runtuhan itu menyatu dan bertaut kembali! Di tanah sosok Darka Parengtirtha mengepulkan asap dan mulai meleleh mengerikan. Ananthawuri dan dua bayi tidak kelihatan lagi. Dari dalam candi kemudian terdengar suara bergema.

"Arwah Kembar! Sarka Parengtirtha dan Darka Parengtirtha. Kalian telah menjalankan tugas dengan baik. Arwah kalian akan mendapat tempat yang paling indah di Swargaloka!"

13. TEWASNYA GEDE KABAYANA

KETIKA ledakan kedua terjadi di Sumur Api, Sri Sikaparwathi serta Gede Kabayana yang ada di sekitar tempat itu mengalami cidera. Tekanan udara yang dahsyat membuat keduanya terpental. Sebelum mampu mengimbangi diri goncangan hebat membanting mereka ke tanah, membuat kakek dan nenek itu terkapar dalam keadaan setengah sadar dan sekujur tubuh laksana remuk. Sebenarnya dengan ilmu silat serta ilmu meringankan tubuh yang mereka miliki, mereka bisa menyelamatkan diri. Namun ledakan yang terjadi bukanlah ledakan biasa. Buktinya Pangeran Bunga Bangkai dan dua pengiringnya yaitu Si Tambur Bopeng dan Si Suling Burik juga mengalami cidera.

Dalam keadaan yang kini sunyi dan gelap Sri Sikaparwathi berusaha bergerak, duduk di tanah, memandang berkeliling. Raden Cahyo Kumolo, kura-kura sakti peliharaannya tampak mendekam di atas satu bongkahan batu besar. Sepasang mata menyinarkan cahaya merah pertanda binatang ini tidak mengalami cidera.

"Sahabatku Gede Kabayana, dimana kau?" si nenek keluarkan suara sambil memandang berkeliling mencari-cari.

"Sika, aku ada di dalam lobang sini. Aku..." Terdengar jawaban parau, agak perlahan. Disusul suara batuk-batuk lalu suara orang menyemburkan muntah.

Si nenek melompat, lari ke arah sebuah lobang besar. Di dasar lobang dia melihat Gede Kabayana tergeletak. Leher sampai ke dada basah oleh darah. Mulut megap-megap, berusaha bernafas dengan susah payah. Dengan cepat Sri Sikaparwathi melompat masuk ke dalam lobang. "Gede Kabayana, apa yang terjadi dengan dirimu?!"

"Seseorang men... yerangku secara gelap. Ada... ada sen... senjata rahasia men... menancap di... dileherku..."

Sri Sikaparwathi tersentak kaget. Dia perhatikan leher Gede Kabayana. Memang benar, di tenggorokan kakek itu menancap sebuah benda. "Dewa Agung, bagaimana bisa terjadi...!" Si nenek mengucap lalu dengan cepat mencabut benda yang menancap di leher Gede Kabayana. Begitu benda dicabut dari luka yang menganga menyembur darah kental berwarna biru. "Kabayana, kau tidak melihat orang yang menyerangmu?"

Yang ditanya hanya bisa menggeleng perlahan. Sri Sikaparwathi perhatikan benda barusan dicabutnya dari leher Gede Kabayana. Ternyata sebuah besi bulat pipih yang pinggirannya bergerigi dan berwarna biru. Senjata rahasia seperti inilah sebelumnya yang pernah menyerang Sebayang Kaligantha dan Ratu Dhika Gelang Gelang serta pernah ditemui dilihat Pangeran Bunga Bangkai.

"Kalau kau tidak menyadari dirimu diserang, berarti terjadinya bersamaan dengan ledakan di Sumur Api..."

"Si..Sika...aku tidak akan bisa bertahan. Rasanya tidak lama lagi..."

"Jangan menyerah pada nasib, sahabatku! Dewa Agung akan menolongmu!" kata Sikaparwathi ketika mendengar ucapan Gede Kabayana. Dengan cepat dia menotok tubuh sahabatnya itu di beberapa tempat termasuk dua di pangkal leher dan satu di ubun-ubun.

"Ter..terima kasih kau ber...berusaha menolongku. Sika, aku seperti melihat Pintu Akhirat sudah terbuka di atas sa...sana..." Kepala Gede Kabayana terkulai. Sepasang matanya menutup. Sri Sikaparwathi pukul-pukul kepalanya sendiri!

"Sahabatku, aku bersumpah akan mencari siapa pembunuhmu!" Setelah menyimpan senjata rahasia yang dicabutnya dari leher Gede Kabayana, nenek ini pegang pinggang sahabatnya itu erat-erat, siap hendak dibawa melompat ke atas lobang. Namun gerakannya tertahan ketika di atas lobang dia mendengar suara kaki orang berlari.

"Sahabat, aku terpaksa harus meninggalkan dirimu... Ada yang akan aku selidiki di atas sana. Aku mendengar suara orang berlari. Aku akan segera kembali!"

Dengan cepat Sri Sikaparwathi melompat ke atas lobang. Begitu sampai di atas dan memandang ke arah jurang, dia melihat seorang perempuan berpakaian dan berkerudung putih berdiri di pinggir jurang sambil berteriak.

"Pangeran, jika perempuan itu menolak meneruskan menjadi istrimu karena keadaanmu yang seperti itu, ingatlah satu hal! Ada seorang gadis yang bersedia menjadi istrimu! Aku! Jika kita bisa berbagi budi bukankah rahkmatdan berkat Yang Maha Kuasa akan menjadi bagian dan kebahagiaan kita berdua?"

"Siapa perempuan berkerudung ini. Dari belakang kelihatannya masih muda. Siapa yang diserunya dengan sebutan Pangeran?" Sri Sikaparwathi membatin. "Mungkin sekali mahluk berkepala aneh itu. Manusia Bunga Bangkai." Si nenek terus memperhatikan orang berpakaian dan berkerudung putih yang bukan lain adalah Liris Pramawari alias Dewi Tangan Jerangkong. "Raden, waktu pertama kita datang tadi, perempuan berkerudung itu belum ada di sini. Bagaimana kalau aku datangi dia. Ada yang ingin kutanyakan."

Si nenek memberi isyarat pada kura-kura hijau bermata merah yang masih mendekam di atas bongkahan batu besar. Melihat isyarat dari sang tuan, Raden Cahyo Kumolo segera melesat dan bertengger di atas kepala si nenek. "Raden, kita akan mendatangi perempuan di pinggir jurang. Kita harus berhati-hati. Bukan mustahil perempuan berkerudung itu adalah mahluk pengendali cahaya tiga warna. Bukan mustahil pula dia kaki tangan mahluk yang telah menggandakan diriku!"

Di atas kepala si nenek kura-kura hijau keluarkan desah perlahan. Si nenek segera melangkah cepat menuju jurang, di bagian mana Liris Pramawari berdiri. Namun sebelum bisa mendekati tiba-tiba si gadis sudah menghambur masuk ke dalam jurang. Selagi nenek ini tertegun tidak menyangka akan apa yang terjadi, tak berselang iama mendadak dari jurang dalam dan gelap melesat keluar tiga sosok tubuh.

Sosok pertama adalah seorang lelaki yang memanggul seorang perempuan di bahu kiri sementara tangan kanan mengepit seorang bayi yang terus menangis. Sosok kedua seorang lelaki lagi yang juga menggendong seorang bayi di tangan kiri. Seperti bayi satunya bayi inipun menangis tiada henti. Orang ketiga bukan laiin adalah perempuan berkerudung putilh tadi. Begitu keluar dari jurang, dua lelaki yang memboyong bayii melarikan diri ke arah timur yang segera diikuti oleh perempuan berkerudung putih. Sri Sikaparwathi terdiam berpikir. Dia ingat pada riwayat Gading Bersurat

"Kabayana, aku akan kembali mengurus jenazahmu!" Si nenek berteriak lalu sekali berkelebat dia sudah lenyap ke arah timur yakni ke jurusan lenyapnya ke tiga orang tadi.

14. ORANG BERMUKA ANJING

ILMU kesaktian yang diberikan Giring Mangkureja kepada puterinya melalui dekapan sebelum mereka berpisah, bukan ilmu sembarangan, termasuk ilmu lari Bayu Sewu yang konon sama dengan kecepatan lari sepuluh ekor kuda! Namun Liris Pramawari merasa penasaran. Setelah berlari cukup lama, sementara hari mulai terang tanah, dia masih belum mampu mengejar dua orang di depannya.

"Aneh, ilmu lari apa yang mereka miliki." Dewi Tangan Jerangkong berkata dalam hati. ketika dia tidak lagi melihat orang yang dikejarnya di sebelah depan, gadis ini andalkan ketajaman pendengaran untuk meneruskan pengejaran melalui suara tangis bayi.

Mentari muncul di ufuk timur dan malam akhirnya berganti siang, Liris Pramawari belum juga melihat orang yang dikejarnya walau jauh di depan sana dia masih mendengar suara tangisan si bayi.

"Aku harus mencari akal agar bisa mengejar. Kalau aku mampu menyelamatkan perempuan atau dua bayi yang diculik, syukur-syukur ketiganya, aku akan membuat satu kebajikan besar. Mungkin bernilai dua kebajikan sekaligus."

Sambil terus lari mengejar Liris Pramawari mengingat-ingat ilmu apa saja yang dimiliki ayahnya dan kini dikuasainya. Setelah cukup lama, gadis ini ingat akan satu ilmu kesaktian bernama Mengirim Suara Menguasai Jalan Pikiran. "Mudah-mudahan aku bisa menerapkan. Dewa Agung, saya mohon pertolonganMu," ucap Liris Pramawari dalam hati. Lalu sambil berlari dia segera menerapkan ilmu kesaktian itu. Dia menghembus tiga kali ke depan dan berkata. "Di depanmu ada sungai. Kau tak bisa menyeberang karena sungai terlalu lebar dan tidak ada perahu. Kau harus berbelok ke kiri. Tapi di arah itu ada bukit liar ditumbuhi banyak pohon berduri. Sebagiannya mengandung racun. Kau harus berbelok lagi ke kiri dan lari lebih cepat."

Kata-kata itu diucapkan Liris Pramawari berulang kali. Pada setiap akhir kalimat dia meniup tiga kali. Sewaktu mulutnya sudah terasa letih merapal berkali-kali, tiba-tiba di depan sana dia melihat ada seseorang berlari sangat cepat ke arahnya. Orang ini mengenakan jubah hitam menjela tanah. Dia sama sekali tidak memanggul perempuan, tidak pula membawa bayi.

"Lain yang aku maksud, lain yang datang!" Liris Pramawari hentikan lari dan menunggu. Bibir mengulum seringai.

Orang yang lari ke arahnya kemudian juga berhenti dan berdiri sejarak delapan langkah di hadapan si gadis. Untuk beberapa ketika Liris Pramawari terkesiap melihat kepala dan wajah orang. Kepala dan wajah yang tampak tua itu bukan merupakan kepala manusia, tapi lebih merupakan kepala seekor anjing tua, berbulu tipis coklat. Sepasang mata menjorok merah dan besar. Hidung kembang kempis menjadi satu dengan mulut yang sangat lebar. Orang ini memiliki dua daun telinga yang senantiasa bergerak-gerak.

"Dia bukan orang yang aku kejar! Ilmuku agaknya telah kesalahan jatuh pada diri orang lain. Melihat gelagatnya dia bukan manusia sembarangan. Tapi kurasa ada sangkut paut dengan apa yang terjadi di kawasan ini..." Pikir Liris Pramawari. "Orang tua. Kau siapa?" tanya si gadis, menegur dengan suara lembut.

"Bukankah kau yang mengirim suara jarak jauh. Memberi tahu arah jalan. Mengacau pikiranku! Ternyata kau menipuku!"

Liris Pramawari terkejut. Sepasang alis sampai terjingkat ke atas. Dia ingin tertawa tapi ditahan. "Kau telah mengacaukan pekerjaanku! Ada yang bakal jadi korban. Tapi orang-orang itu sudah lolos. Sekarang kau yang harus menggantikan nyawa mereka!"

Mendengar ucapan orang, si gadis yang tadinya bersikap lembut berkata. "Kau mau membunuhku tak jadi apa. Tapi coba katakan siapa dirimu? Apa kau punya nama atau punya julukan? Mengapa kepalamu seperti anjing. Apa ibumu anjing bapakmu manusia? Atau terbalik bapakmu anjing ibumu yang manusia?" Sampai di situ Liris Pramawari tidak dapat lagi menahan tawanya. Dia lalu tertawa gelak-gelak.

Muka anjing orang di depan si gadis kaku membesi. Bulu tipis yang menutupi wajahnya meranggas berdiri. Mulut terbuka keluarkan suara mendengus, barisan gigi-gigi merah merupakan sederetan taring luar biasa runcing. Perlahan-lahan orang tua ini gerakkan tangan ke depan. Telapak dibolak-balik dan tiba-tiba tiga buah benda bulat pipih berwarna biru dengan pinggiran bergerigi entah dari mana datangnya tahu-tahu sudah menempel di atas telapak tangan. Sekali si kakek meniup tiga buah benda bulat pipih melesat deras, menyambar ganas ke arah kepala dan dua bagian tubuh Liris Pramawari.

"Oala! Salahku hanya membuatmu kesasar. Mengapa hukumannya sampai mau membunuh diriku?!" Liris Pramawari jentikkan jari-jari tangannya yang hanya merupakan tiga tulang belulang.

"Tring...tring...tring."

Di udara terdengar suara bedentringan dan bunga api berpijar ketika ujung-ujung jari puteri Giring Mangkureja ini menghantam mental tiga senjata rahasia. Orang berjubah hitam bermuka anjing tua terkejut. Bukan saja karena dapatkan lawan yang cantik dan masih muda belia itu sanggup menjentik mental tiga senjata rahasia, tapi juga ketika melihat lima jari tangan si gadis yang hanya merupakan jerangkong!

"Kau setan kesasar dari mana?!" si kakek membentak.

Liris Pramawari menjawab dengan tawa panjang. "Kau tidak jadi membunuhku?!"

"Tidak kubunuhpun kau akan sengsara seumur hidup!"

"Memangnya kenapa?" tanya Liris Pramawari.

"Lihat tiga jarimu yang tadi kau pakai menjentik senjata yang aku lemparkan. Tapi jari jerangkongmu kini berwarna biru! Pertanda racun sudah menancap dan mulai mengalir dalam darahmu!"

Liris Pramawari terkejut tapi tetap tenang. Dia perhatikan tangan kanannya. Seperti yang dikatakan orang bermuka anjing, tiga ujung jari tangan kanannya memang telah berwarna biru! "Hanya ilmu main-mainan. Kalau anak kecil boleh kau takut-takuti!" Kata Liris Pramawira. Lalu dia gerakkan tangan kirinya, tiga kali berturut-turut.

"Kraak! Kraak! Kraak!"

Tiga ujung jari tangan kanan yang berwarna biru langsung berderak patah. Patahan ujung jari kemudian dilemparkan ke arah orang muka anjing. Satu tepat menancap di pelipis kiri. Liris Pramawari tertawa panjang. "Aku sudah terbebas dari racun! Sekarang dirimu yang sudah keracunan! Hik...hik...hik!"

Orang bermuka anjing terkejut dan marah bukan main. Dengan cepat dia cabut patahan ujung jari mengandung racun yang menancap di pelipis kiri. Pelipis itu kini kelihatan agak membengkak dan mulai berwarna biru. Orang bermuka anjing meraung keras. "Gadis kurang ajar! Terima pembalasanku!"

Orang di hadapan si gadis keluarkan suara raungan keras seperti anjing sungguhan. Lalu dua tangan diluruskan ke depan. Telapak dibolak balik. Seperti tadi di atas dua telapak tangan itu kini terdapat senjata rahasia berupa besi pipih, biru bergerigi dan mengandung racun. Hanya saja kali ini jumlahnya jauh lebih banyak. Sepuluh keping pada masing-masing telapak tangan! Ketika dua tangan disentak-kan, dua puluh senjata rahasia melesat menyambar ke arah kepala dan sekujur tubuh Liris Pramawari.

Liris tanggalkan selendang yang menutupi kepala. Selendang dikebutkan berputar demikian rupa sementara tangan kiri ikut memukul ke depan. Kaki kanan menyentak tanah. Saat itu juga tubuh gadis ini bergerak berputar dan melesat ke udara sambil menebar angin keras menahan datangnya serangan.

"Brett...brett...brett!"

Sebelas senjata rahasia berhasil disapu oleh selendang putih walau selendang sendiri robek dan hancur bertaburan. Enam senjata lainnya mental oleh pukulan tangan kiri. Satu melesat lewat di samping bahu kiri. Satu menyambar ke arah paha kanan dan satu lagi menderu mengarah wajah! Dua serangan terakhir inilah yang sulit dielakkan oleh Liris Pramawari!

Hanya tinggal satu jengkal lagi senjata rahasia yang mengarah wajah akan mendarat tepat di kening Liris Pramawari tiba-tiba ada selarik sinar Jingga dan dua cahaya merah menyambar, menghantam mental bulatan besi pipih biru hingga hancur berkeping-keping! Siapa yang telah memberikan pertolongan?

Liris Pramawari tidak sempat menyelidiki karena masih ada satu senjata rahasia yang menderu mengarah paha. Gadis ini coba lepaskan satu pukulan tangan kosong bertenaga dalam tinggi untuk membuat mental senjata rahasia. Namun saat itu tubuhnya dalam keadaan tidak seimbang. Pukulannya meleset. Si gadis hanya mendesah pasrah.

Di saat yang sangat genting itu tiba-tiba ada benda hijau melesat lalu trang! Besi biru pipih mental. Di saat bersamaan ada suara menguik keras. Raden Cahyo Kumolo! Kura-kura hijau sakti itu tergeletak di tanah. Punggungnya yang merupakan bagian paling keras dan atos nampak gompal, namun tidak ada warna biru di sekitar gompalan pertanda dia tidak terkena racun. Sadar dirinya lagi-lagi ada yang menyelamatkan, Liris Pramawari berteriak.

"Dewa Agung! Terima kasih. Kau menyelamatkan diriku! Kura-kura hijau...." Si gadis mengangkat kura-kura yang tergeletak di tanah lalu berpaling ke arah Sri Sikaparwathi. "Nek...aku berterima kasih pada kalian berdua, hutang budi dan nyawaku setinggi langit sedalam lautan. Tapi mohon maaf, biar aku menyelesaikan urusan dengan manusia bermuka anjing itu!"

Saat itu orang bermuka anjing sudah siap-siap melarikan diri. Liris Pramawari serahkan kura-kura hijau pada si nenek lalu dengan cepat dia mengambil tiga buah besi bulat pipih biru dari sekian banyak yang berjatuhan di tanah. Dia melompat ke orang yang hendak lari.

"Manusia muka anjing, larilah kemana kau suka!" Lalu tangan kanan bergerak siap untuk melempar tiga senjata rahasia beracun.

"Jangan dibunuh! Lebih baik kita menguras keterangan lebih dulu siapa orang itu sebenarnya! Bukankah dia tadi punya niat jahat mengejar dua orang yang keluar dari dalam jurang, membawa perempuan dan dua bayi?! Aku yakin dia juga yang membunuh sahabatku Gede Kabayana!"

Mendengar teriakan Sri Sikaparwathi, Liris Pramawari serta merta batalkan maksud hendak membunuh orang berjubah hitam bermuka anjing. Saat itu si nenek telah terlebih dulu menghadang sementara Raden Cahyo Kumolo mencengkeram tengkuk orang dan mulut bergigi tajam telah menancap di tenggorokan.

"Demi Dewa, kau mohon jangan bunuh diriku!" Orang bermuka anjing berteriak setengah meratap.

"Kami akan menyelamatkan nyawamu. Asal kau mau bicara, apakah kau muncul di tempat ini membekal cahaya tiga warna?" tanya Sri Sikaparwathi.

"Betul, memang aku membekal tiga cahaya sakti itu..."

"Siapa yang menyuruhmu mengejar dua orang yang keluar dari dalam jurang di bekas Sumur Api dan membunuh sahabat nenek ini?" Kini Liris Pramawari yang ajukan pertanyaan.

"Tidak ada yang menyuruh. Aku bekerja sendiri."

"Dari mana kau dapatkan ilmu cahaya tiga warna itu?" tanya Liris.

"Aku bertapa selama dua puluh tahun. Aku..."

"Raden, manusia ini sudah dua kali berdusta." Kata Sri Sikaparwathi pada kura-kura hijau dan giginya masih menancap di leher orang bermuka anjing. "Putuskan lehernya!"

"Jangan! Ampun! Aku akan bicara!" teriak orang bermuka anjing.

"Katakan siapa namamu?" tanya Sri Sikaparwathi.

"Aku Dharma Soma..." Jawab orang yang ditanya.

Baik Liris Pramawari maupun Sri Sikaparwathi tahu kalau orang itu lagi-lagi berdusta.

"Siapa yang membekalimu dengan ilmu cahaya tiga warna?" tanya Sri Sikaparwathi.

"Sri Maharaja Ke Delapan."

"Apa? Siapa?!" Si nenek dan Liris Pramawari bertanya hampir bersamaan.

"Sri Maharaja Ke Delapan." Orang yang ditanya kembali menyebut nama yang sama secara lebih keras.

"Siapa Sri Maharaja Ke Delapan? Jangan kau berani mengarang cerita!" Bentak Liris Pramawari.

"Aku tidak mengarang cerita. Sri Maharaja Ke Delapan adalah..." Orang bermuka anjing itu diam seketika. Lalu tertawa mengekeh. Suara tawa kemudian berganti dengan suara lolongan anjing. Lalu dua tangan dengan sangat cepat, tidak terduga sama sekali bergerak ke atas, mengepruk kepalanya sendiri!

"Praakk!"

Kepala rengkah mengerikan! Nyawa lepas saat itu juga. Tubuh rubuh tertelungkup ke tanah. Kura hijau keluarkan suara menguik lalu melompat ke atas kepala Sri Sikaparwathi. Dalam jengkelnya Liris Pramawari lemparkan tiga senjata rahasia besi bulat pipih yang sejak tadi masih dipegangnya. Tiga senjata rahasia masuk amblas ke dalam tubuh yang sudah tak bernyawa. Saat itu juga terdengar tiga letupan keras. Tiga cahaya merah, biru dan hitam keluar dari tubuh tak berbentuk, mencuat ke langit lalu lenyap dari pemandangan.
S E L E S A I

Apa yang terjadi dengan dua bayi putera Ananthawuri setelah diselamatkan Dua Arwah Kembar yang terpaksa mengorbankan nyawa? Berhasilkah Pangeran Bunga Bangkai menemukan istrinya atau dia terpaksa menerima Liris Pramawari sebagai istri pengganti? Siapa gerangan Sri Maharaja Ke Delapan? Ikutilah Kisah selanjutnya: MERINGKIK DI LEMBAH HANTU