Arwah Candi Miring

Serial Mimba Purana Satria Lonceng Dewa episode arwah candi miring
Sonny Ogawa
ARWAH CANDI MIRING

Cerita silat Indonesia Serial Mimba Purana Karya Bastian Tito

CANDI MIRING DI BUKIT GERSANG

Udara petang terasa tidak enak. Sang surya sebentar lagi akan tenggelam, menyoroti cahaya kuning kemerahan sementara hujan yang dibawa angin dari selatan mulai turun ke bumi. Bau tanah yang dibasahi air hujan membuat udara terasa pengap, menyekat jalan pernafasan.

Di satu lereng bukit kecil ditumbuhi pohon jati berusia puluhan tahun berlari cepat seorang lelaki bertubuh jangkung, mengenakan baju dan celana hitam. Orang itu memiliki sepasang tangan luar biasa panjang. Gerakannya berlari sungguh mengagumkan karena dua kaki tampak hanya sesekali menjejak tanah. Padahal saat itu di bahu kirinya dia memanggul satu sosok besar mengenakan jubah hijau yang dari ujudnya sulit diduga entah manusia entah mahluk jejadian.

Dari tenggorokan mahluk yang dipanggul itu keluar suara mengorok berkepanjangan. Lebih aneh, orang yang dipanggul tidak memiliki mata, telinga, hidung maupun mulut, tetapi hanya merupakan sayatan panjang yang dijahit dengan benang kasar berwarna hitam. Muka yang angker itu jadi tambah ngeri menggidikkan karena disitu terdapat dua puluh empat robekan luka mengucurkan darah. Dan yang membuat kepala serta wajah itu jadi luar biasa lebih mengerikan adalah karena darah yang mengucur bukan berwarna merah tetapi hijau pekat!

Tiba-tiba dibawah deru hujan, dari mulut cabik dan dijahit serta penuh robekan keluar ucapan. Walau parau diselingi suara menggorok tapi masih cukup jelas.

"Aku merasakan cahaya matahari. Ada air hujan... Sebentar lagi surya akan tenggelam. Kalau malam tiba sebelum kau mencapai candi, tamat riwayatku! Lebih baik kau menggebuk kepalaku sampai hancur saat ini juga!"

"Kanjeng, jangan khawatir. Percaya padaku. Kita berada di kaki bukit Karangdowo sebelah timur. Selewatnya pedataran ditumbuhi alang-alang kita sudah sampai di candi itu..."

Siapa kedua orang itu? Yang berlari sambil memanggul mahluk aneh berjubah hijau bernama Setunggul Langit. Dia adalah anak buah dari mahluk yang dipanggulnya, bernama Gendadaluh dan pada masa itu di Bhumi Mataram lebih dikenal dengan julukan Arwah Muka Hijau.

Diriwayatkan dalam Perawan Sumur Api, Arwah Muka Hijau adalah orang yang mendapatkan gading pertama dari empat Gading Bersurat. Pada tubuh gading tertera tulisan berupa petunjuk bahwa di Bhumi Mataram akan lahir dua bayi. Sang ibu konon berusia tujuh belas tahun dan merupakan perempuan yang telah dipilih Para Dewa, berasal dari desa di sekitar Prambanan. Walau kelak melahirkan dua bayi sang ibu tetap akan perawan sepanjang masa. Disebutkan pula ada empat buah Gading Bersurat yang menjadi sumber berita atas kejadian.

Berdasarkan Gading Bersurat yang ada padanya, yang merupakan Gading Bersurat pertama, ditambah dari kabar yang berhasil disirap dari berbagai penjuru Gendadaluh alias Arwah Muka Hijau memerintahkan dua orang anak buahnya yakni Setunggul Bumi dan Setunggul Langit untuk menyelidiki serta mencari anak perawan pilihan Para Dewa tersebut yang kabarnya diketahui tinggal di Desa Sorogedug di kawasan Prambanan sebelah selatan, bernama Ananthawuri. Tugas mereka selanjutnya adalah menculik lalu menyekap si gadis sampai kelak tiba saatnya dia melahirkan. Dengan demikian jika kelak dua bayi lahir dia akan menguasai dua anak yang dianggap luar biasa bahkan sakti serta keramat itu.

Suatu malam dua anak buah Arwah Muka Hijau itu sampai di Desa Sorogedug namun Ananthawuri telah meninggalkan rumah tanpa seorangpun tahu kemana tujuannya. Kedua anak buah Arwah Muka Hijau berusaha menyelidik dan akhirnya mengetahui kalau Ananthawuri tengah dalam perjalanan menuju Candi Prambanan yang oleh penduduk setempat lebih dikenal dengan nama Candi Loro Jonggrang.

Karena memiliki pantangan tidak boleh menginjakkan kaki di lantai candi, Setunggul Bumi dan Setunggul Langit tidak meneruskan pengejaran masuk ke dalam candi. Keduanya menunggu di halaman candi sampai Ananthawuri keluar. Saat itu di halaman candi mereka bertemu dengan seorang tua bernama Dhana Padmasutra yang mereka duga bertindak sebagai pelindung Ananthawuri. Selain itu orang tua ini adalah seteru bebuyutan dari Arwah Muka Hijau.

Setunggul Bumi dan Setunggul Langit segera menyerang si orang tua. Setunggul langit membunuh Dhana Padmasutra dengan ilmu Serat Arang, yakni berupa sinar sakti yang keluar dari batu segi tiga yang menempel di keningnya.

Sementara Itu di dalam candi, Ananthawuri secara gaib oleh Patung Loro Jonggrang diberikan sebuah batu merah sakti bernama Batu Kaiadungga Setelah batu ditelan maka siapa saja orang yang berniat jahat terhadap anak perawan dari Desa Sorogedug ini, orang tersebut tidak mampu melihat ujudnya.

Sewaktu Ananthawuri keluar dari Candi Loro Jonggrang, gadis ini menemui Dhana Padmasutra dalam keadaan kepala hangus. Sementara sekarat orang tua ini menyuruh Ananthawuri mengambil Kitab Weda dan tongkat kayu miliknya dan memerintahkan cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Tanpa terlihat ujudnya oleh Setunggul Bumi dan Setunggul Langit, Ananthawuri lakukan apa yang diperintahkan Dhana Padmasutra. Walau sosok si gadis tidak kelihatan namun dua orang anak buah Arwah Muka Hijau dapat melihat Kitab Weda dan tongkat kayu melayang di udara. Keduanya segera mengikuti benda-benda itu.

Seperti dikatakan oleh orang tua bernama Dhana Padmasutra, tongkat kayu akan menuntun Ananthawuri kemana dia harus pergi.Ternyata sang tongkat membawa si gadis ke Sumur Api yang letaknya di satu rimba belantara antara Prambanan dan Kali Dengkeng. Di tempat ini Ananthawuri mendengar suara gaib Roh Agung. Suara itu menyuruhnya menyelamatkan diri dari kejaran Setunggul Bumi dan Setunggul Langit dengan cara menceburkan diri masuk ke dalam Sumur Api. Setelah ragu sesaat akhirnya anak perawan ini terjun ke dalam Sumur Api.

Karena gagal mendapatkan Ananthawuri dan khawatir akan menerima hukuman dari Arwah Muka Hijau maka Setunggul Langit menyuruh Setunggul Bumi tetap berjaga-jaga dekat Sumur Api. Siapa tahu Ananthawuri yang tidak jelas keadaannya apakah sudah mati dalam sumur atau masih hidup tahu-tahu muncul keluar kembali. Setunggul Langit sendiri kemudian pergi menemui Arwah Muka Hijau untuk memberi tahu apa yang terjadi.

Arwah Muka Hijau marah besar mendengar keterangan Setunggul Langit. Apa lagi salah satu kancing baju Setunggul Langit tanggal dan lenyap sewaktu bertarung melawan Dhana Padmasutra. Sebagai hukuman Arwah Muka Hijau cabut batu berbentuk segi tiga yang menempel di kening Setunggul Langit yang merupakan batu sakti sumber kekuatan ilmu yang disebut Serat Arang.

Diantar oleh Setunggul Langit, Arwah Muka Hijau sampai di Sumur Api. Setunggul Bumi yang seharusnya berjaga-jaga di dekat sumur tidak kelihatan. Arwah Muka Hijau tidak berusaha mencari di mana atau apa yang telah terjadi dengan Setunggul Bumi. Selagi dia mencari jalan rahasia masuk ke dalam sumur Api tiba-tiba ada suara perempuan disusul melayang jatuhnya tubuh Setunggul Bumi yang telah jadi mayat tanpa kepala. Setunggul Langit berteriak kaget. Sesaat kemudian menyusul kepala Setunggul Bumi mengelinding di tanah.

Didahului suara tertawa kemudian muncul seorang perempuan gemuk bermuka buruk, berkulit hitam mengenakan kemben merah. Pergelangan tangan dan kaki dipasangi gelang berkerincing. Perempuan ini dikenal dengan nama Ratu Dhika Gelang Gelang. Ada yang menyebutnya sebagai Ratu Meong karena kebiasaannya setiap muncul perempuan ini selalu membawa binatang peliharaannya yakni seekor kucing berbulu merah. Konon kucing ini bukan kucing biasa dan luar biasa ganas. Dalam banyak kejadian binatang peliharaan inilah yang membunuh musuh-musuhnya.

Baik Arwah Muka Hijau maupun Ratu Dhika Gelang Gelang saling berusaha mencari tahu maksud apa masing-masing pihak berada di Sumur Api. Setelah terjadi perang mulut saling sindir dan cemooh Arwah Muka Hijau dan Setunggul Langit segera menyerang perempuan gemuk berkulit hitam itu. Atas isyarat yang diberikan Arwah Muka Hijau, Setunggul Langit keluarkan ilmu yang disebut Bubu ikan Berbisa.

Ratu Dhika Gelang Gelang berhasil dijerat masuk ke dalam bubu dan tak mungkin keluar lagi. Namun perempuan cerdik ini mampu membalikkan keadaan. Dengan cara menipu lawan dia menarik Arwah Muka Hijau ke dalam jebakan ikan lalu loloskan diri dari dalam perangkap berbisa itu dengan mempergunakan sosok Arwah Muka Hijau sebagai penjebol jalan keluar. Senjata makan tuan!

Bubu ikan hancur berantakan. Kepala dan wajah Arwah Muka Hijau robek sebanyak dua puluh empat robekan. Dari luka-luka mengerikan itu mengucur darah aneh berwarna hijau kental. Karena bubu ikan mengandung bisa ganas, jika obat penangkalnya tidak didapat sebelum malam tiba maka Arwah Muka Hijau akan menemui ajalnya secara mengenaskan. Menyadari hal ini Arwah Muka Hijau memerintahkan Setunggul Langit.

"Lekas bawa aku ke Candi Miring Aku menyimpan obat penangkal luka berbisa di candi itu! Cepat! Sebelum malam datang aku harus ada di sana. Kalau terlambat nyawaku tidak tertolong lagi! Cepat! Kalau aku selamat semua kesalahanmu akan aku ampuni! Ilmu Serat Arang akan aku kembalikan padamu!"

Setunggul Langit berpacu dengan waktu. Hujan yang turun mulai mereda ketika dia mencapai ujung kawasan yang ditumbuhi alang-alang. Sinar sang surya telah lama redup. Walau belum tenggelam namun udara mulai beranjak gelap. Begitu keluar dari rumpunan terakhir alang-alang ada satu bukit gersang dan dia atas bukit ini tampak sebuah bangunan candi. Candi ini menurut riwayatnya didirikan pada masa tahta Raja Kedua Kerajaan Mataram Kuno yaitu Sri Maharaja Rakai Panangkara. Walau sudah berusia puluhan tahun namun keadaan bangunan masih tampak kokoh. Hanya saja candi yang menghadap ke timur ini berdiri dalam keadaan miring ke kiri pada sisi sebelah selatan.

Konon mengapa candi ini sampai berdiri miring, menurut para sepuh yang masih hidup penyebabnya adalah ketika pekerjaan pembangunan mulai dilaksanakan ada beberapa syarat yang tidak dipenuhi. Antara lain mahluk gaib, semacam mahluk halus dan roh yang konon berada dibawah kekuasaan para arwah dan lebih dulu menjadi penghuni kawasan itu merasa tidak dimintakan izin, tidak diberikan sesajen sebagaimana mustinya. Karena begitu candi selesai dibangun para arwah yang ada ditempat itu memberi peringatan akan ketidak senangan mereka dengan cara mendorong candi ke arah selatan hingga kedudukannya menjadi miring.

Atas kejadian itu maka candi tersebut tidak pernah digunakan apa lagi dihuni. Bahkan namanyapun tidak sempat diberikan. Karenanya penduduk di sekitar kawasan itu memberi nama sendiri yaitu Candi Miring. Karena mengetahui kalau candi tersebut menjadi hunian para mahluk halus dan sering terjadi hal-hal gaib yang menyeramkan maka tidak pernah ada orang yang berani mendekat, apa lagi masuk ke dalamnya. Namun anehnya walau di luar bangunan candi diselimuti debu dan tampak kotor bahkan ada bagian-bagian yang tertutup lumut, di sebelah dalam, kata orang-orang yang pernah melihat dari kejauhan, keadaan candi tampak bersih.

"Hujan telah reda. Sang surya segera lenyap di arah barat. Setunggul Langit, apakah..." Arwah Muka Hijau yang tergeletak di panggulan bahu kiri Setunggul Langit keluarkan suara.

"Kanjeng Arwah Muka Hijau jangan khawatir. Kita sudah sampai di depan candi. Tepat di hadapan pintu gerbang yang menghadap ke arah timur." Setunggul Langit cepat menyahuti ucapan Arwah Muka Hijau. "Kanjeng, aku akan membaringkan dirimu di tanah. Setelah itu harap berikan petunjuk dimana Kanjeng menyimpan obat penangkal bisa bubu ikan itu."

Setunggul Langit membungkuk. Perlahan-lahan dia baringkan tubuh Arwah Muka Hijau di tanah. Lalu telinga kanannya didekatkan ke mulut berjahit mahluk yang dipanggilnya dengan sebutan Kanjeng itu.

Mulut berupa sayatan berjahit benang kasar hitam dan dilumur darah hijau bergerak sedikit. "Masuk dari pintu barat... Dibawah potongan lantai batu yang ketiga dari depan pintu sebelah tengah... ada sebuah lobang. Di dalam lobang terdapat satu lipatan kain berwarna kuning. Di dalam lipatan itu aku menyimpan obat penangkal bisa bubu ikan. Ingat! Kau punya pantangan tidak boleh menginjak lantai candi. Kau mampu melakukan sesuatu menghindari pantangan itu?"

"Mohon petunjukmu Kanjeng." Jawab Setunggul Langit.

"Perhatikan keadaan sekelilingmu. Apakah kau melihat pohon-pohon pisang?"

Setunggul Langit memandang berkeliling. "Aku melihat hanya satu pohon pisang Kanjeng. Keadaannya nyaris mengering..."

"Patahkan tiga daun pisang. Jadikan sebagai tumpuan kakimu. Kau mengerti?"

"Aku mengerti Kanjeng."

"Ada sesuatu yang belum kau mengerti dan kau tidak menanyakan! Manusia tolol!" Arwah Muka Hijau membentak.

"Mohon maafmu Kanjeng. Hal apakah itu?" tanya Setunggul Langit.

"Potongan batu di lantai candi! Kau hanya bisa mengangkatnya dengan mengerahkan ajian Menempel Bumi Menarik Roh!"

"Terima kasih Kanjeng. Aku akan melaksanakan petunjukmu." Kata Setunggul Langit pula. "Begitu aku menemukan lipatan kain kuning berisi obat penangkal racun bubu ikan, aku akan menyerahkan padamu."

Sekali berkelebat Setunggul Langit sudah melesat ke arah pohon pisang, satu-satunya pohon yang tumbuh di bukit gersang itu.

2. ARWAH KETUA

Setunggul Langit bertindak cepat. Begitu sampai di pintu barat Candi Miring yang terletak di puncak bukit gersang dia segera lemparkan tiga pelepah daun pisang ke lantai candi. Daun pisang bertebar membentuk segi tiga mengelilingi potongan batu lantai ke tiga sebelah tengah dari arah ambang pintu. Dengan gerakan ringan anak buah Arwah Muka Hijau ini melesat masuk ke dalam candi. Pada saat melayang turun dua kaki tak bersuara di atas dua daun pisang setengah kering yang menutupi lamtai.

Perlahan-lahan manusia bertangan panjang seperti beruk ini membungkuk, kepala dan pandangan diarahkan pada potongan batu lantai candi yang diapit tiga daun pisang. Di bawah batu ini ada sebuah lobang dimana tersimpan obat penangkal racun bubu ikan milik Arwah Muka Hijau, dikemas dalam lipatan kain kuning.

Seperti yang dipesankan Arwah Muka Hijau, mulut Setunggul Langit mulai berkomat-kamit merapal ajian Menempel Bumi Menarik Roh. Tangan kanan diulur ke bagian atas batu lalu sedikit demi sedikit diturunkan hingga akhirnya telapak tangan menyentuh dan menempel di batu lantai. Begitu telapak tangan bersentuhan dengan potongan batu lantai Setunggul Langit merasa ada getaran disusul rambasan hawa panas. Hawa panas ini bukan saja menyengat telapak tangan, tapi menjalar sampai ke bahu lalu menebar ke seluruh tubuh. Sosok Setunggul Langit bergetar, terhuyung ke depan dan dalam waktu sekejapan telah basah oleh keringat!

Ada kekuatan aneh keluar dari potongan batu lantai. Dengan cepat dia kerahkan tenaga dalam dan ilmu meringankan tubuh. Kalau sampai terjerembab dan kakinya menyentuh lantai candi bukan saja dia yang akan celaka tapi Arwah Muka Hijau juga akan menemui ajal! Begitu berhasil mengimbangi tubuh dan menekan hawa aneh yang keluar dari potongan batu lantai, didahului bentakan keras Setunggul Langit sentakkan tangan kanannya ke atas.

"Kraaakkk!" Potongan batu hitam berbentuk empat persegi panjang tertarik ke atas lalu hancur berkeping-keping.

Di lantai kini kelihatan sebuah lobang batu sedalam dua jengkal. Dari dalam lobang mengepul asap kuning hingga untuk beberapa lama Setunggul Langit tidak dapat melihat apa yang ada di dalamnya, termasuk tentu saja benda yang dicari. Tidak sabaran anak buah Arwah Muka Hijau ini meniup keras ke dalam lobang. Tiupan disertai pengerahan tenaga dalam. Asap kuning tersibak namun tiba-tiba menderu ke atas menghantam muka Setunggul Langit. Anak buah Arwah Muka Hijau ini menjerit kesakitan. Mukanya tampak berubah kuning dan ada butir-butir darah membersit di kulit lalu membasahi wajahnya. Rambut hitam mengkilat yang tadi digulung di atas kepala kini terlepas awut-awutan.

Dalam keadaan terkejut dan kesakitan masih untung dia bisa menahan diri hingga tidak jatuh terjengkang. Setelah mengusap muka beberapa kali dia memandang ke bawah. Asap kuning tak ada lagi. Kini kelihatan jelas keadaan di dalam lobang batu. Pada salah satu sudut lobang tampak satu lipatan kain kuning seukuran setengah telapak tangan.

"Obat penangkal bisa bubu ikan," ucap Setunggul Langit dengan suara bergetar. Sepasang mata mengkilat. "Kalau Kanjeng Arwah Muka Hijau bisa sembuh, aku akan bebas dari hukuman. Ilmu kesaktian Serat Arang akan aku dapat kembali"

Tidak menunggu lebih lama tangan kanannya yang panjang seperti tangan beruk cepat menyambar lipatan kain kuning. Namun nyawanya seolah putus ketika dari dasar lobang tiba-tiba melesat sebuah lengan luar biasa besar dan penuh bulu dengan lima jari tangan seukuran pisang tanduk. Lima kuku membentuk kepala manusia berkepala botak, berkumis menjulai dan berjanggut lebat berkeluk. Bersamaan dengan itu terdengar suara mengorok berkepanjangan.

Setunggul Langit kerahkan tenaga, berusaha lepaskan lengan kanan dari cekalan tangan besar. Namun semakin dia mengerahkan kekuatan lima jari tangan semakin bertambah besar. Lima kuku yang membentuk kepala ikut membesar. Lima buah mulut menyeringai dan lima pasang mata yang lebih banyak putihnya menatap angker menggidikkan.

"Celaka! Mahluk iblis apa ini!" Setunggul Langit angkat tangan kiri, siap menghantam. Tapi!

"Kreekkk!"

Setunggul Langit menjerit keras ketika tulang lengan kanannya yang dicekal berderak remuk lalu tubuhnya terangkat ke udara. Bersamaan dengan melesatnya lengan yang mencekal ke atas, lima kuku berbentuk kepala berubah sepuluh kali lebih besar lalu luar biasa sekali lima kepala itu bergerak saling mendekat dan bergabung membentuk satu kepala seukuran tiga kali manusia biasa! Bersamaan dengan itu muncul bentuk leher, menyusul tubuh lengkap dengan kaki tinggi besar.

Dalam Candi Miring kini berdiri ujud satu mahluk raksasa berkepala botak, berkumis menjulai, berjanggut hitam panjang berkeluk. Sepasang mata besar menjorok keluar, lebih banyak putihnya karena lensa mata yang hitam hanya berupa titik kecil. Demikian tingginya empat menara candi. Mahluk itu mengenakan jubah biru gelap. Bagian atas tidak dikancing hingga tampak dadanya yang penuh bulu. Di atas kepalanya yang botak ada sebuah tanduk yang setiap saat memijar cahaya merah.

"Arwah Ketua!" berseru Setunggul Langit. Suara bergetar, tubuh menggigil. Ketakutan setengah mati.

Mahluk yang disebut Arwah Ketua menyeringai. Dari mulut terus keluar suara mengorok. Hembusan nafasnya membuat mata Setunggul Langit terasa perih. "Manusia puntung neraka, kebencian Para Dewa tujuh lapis langit tujuh lapis bumi! Lipatan kain kuning di dalam lobang adalah milik Arwah Muka Hijau! Apakah dia yang menyuruhmu kesini untuk mengambilnya?! Jawab dan jangan berani berdusta!"

"Arwah Ketua! Ampuni diriku! Ucapanmu betul. Arwah Muka Hijau yang memerintahkan diriku mengambil benda itu. Tapi bukan untuk maksud jahat. Dia dalam keadaan sakarat terkena racun bubu ikan."

"Bukan maksud jahat! Kejahatan telah lahir sebelum malapetaka menimpah dirinya. Hukum Karma Para Dewa bukan main-main. Jangankan Arwah Muka Hijau. Sri Baginda Maharaja Kerajaan Matarampun tidak bisa melawan hukum Sang Hyang Agung!"

"Arwah Ketua..." kata Setunggul Langit, masih ketakutan. "Pimpinan Arwah Muka Hijau dalam keadaan sakarat akibat terkena bisa bubu ikan."

"Bisa bubu ikan! Bukankah itu ilmu kesaktian milik kalian sendiri?!"

"Benar Arwah Ketua. Saat ini..."

"Aku tahu. Saat ini dia di luar menunggumu! Mahluk satu itu sudah banyak berbuat salah!"

"Ampuni kami berdua. Mohon Arwah Ketua menolong pimpinanku terlebih dulu. Kalau dia memang bersalah nanti bisa Arwah Ketua jatuhi hukuman..."

Arwah Ketua menyeringai. "Kata-katamu menunjukkan kau sama belutnya dengan pimpinanmu!"

"Arwah Ketua, aku mohon dengan sangat. Kalau malam keburu datang dan Arwah Muka Hijau belum mendapatkan obat dalam lipatan kain kuning, dia akan menemui ajal..."

Arwah Ketua keluarkan suara mengorok lalu tertawa mengekeh. "Majikanmu pantas menemui ajal karena menyalahi perintah, akibat dari keserakahan sendiri. Dia bakal menerima hukuman berat dariku! Saat ini biar kau yang lebih dulu aku pesiangi!"

"Arwah Ketua! Kau mau berbuat apa! Ampuni diriku. Aku memang mahluk tidak berguna. Namun jika aku kau biarkan hidup aku akan berjanji berbuat kebajikan dijalan yang diterangi Dewa..." teriak Setunggul Langit yang saat itu tangan kanannya masih dicekal dan tubuhnya terangkat sampai satu setengah tombak di udara.

"Dewa Agung memberikan cahaya terang pada semua umat manusia agar tidak tersesat. Tapi kau dan Arwah Muka Hijau sengaja mencari jalan kegelapan!" sambil berucap Arwah Ketua angkat tubuh Setunggul Langit tinggi-tinggi.

"Ampun! Aku mohon..."

Arwah Ketua tidak perdulikan jeritan Setunggul Langit. Tubuh anak buah Arwah Muka Hijau itu dibantingkan ke lantai hingga terkapar, meraung keras menggeliat-geliat karena tulang punggungnya hancur. Dengan kesaktian Setunggul Langit mampu menyembuhkan bagian tubuh yang cidera lalu bangkit berdiri. Namun tanpa disadari saat itu dua telapak kakinya tidak menjejak di atas daun pisang setengah kering namun telah bergeser menginjak lantai batu Candi Miring.

Pantangan besar telah dilanggar! Saat itu juga tubuh kurus Setunggul Langit mengepulkan asap hitam. Jeritannya masih mengaung di dalam bangunan batu itu sementara ujudnya perlahan-lahan mulai dari kaki terus ke atas berubah menjadi cairan hitam. Lelehan cairan hitam merambas masuk ke dalam tanah melalui celah-celah sambungan potongan batu-batu lantai dan akhirnya lenyap tak berbekas.

3. SERATUS TAHUN JADI PENGGANJAL CANDI

Mahluk bernama Arwah Ketua menghembus nafas panjang, mengorok keras lalu tertawa bergelak. Perlahan-lahan kemudian dia membungkuk. Dengan tangan kiri dia mengambil lipatan kain kuning di dalam lobang batu. Lalu melesat ke udara. Di lain kejab dia sudah berada di halaman samping, di depan pintu candi sebelah barat dimana tergeletak tubuh Arwah Muka Hijau dalam keadaan sekarat.

Hidung dan mulut yang berupa benang kasar hitam dari Arwah Muka Hijau bergerak-gerak. Darah hijau kental masih terus mengucur dari dua puluh empat robekan luka, di kepala, muka, leher serta sebagian tubuh. Sementara matahari mulai menggelincir masuk ke ufuk tenggelamnya.

"Aku merasa bau matahari akan segera tenggelam..." ucapan Arwah Muka Hijau tersendat-sendat. "Aku mencium bau... Setunggul Langit... Bukan... Bukan kau yang datang! Aku mendengar suara mengorok." Muka mengerikan Arwah Muka Hijau menggembung lalu menciut. "Arwah Ketua...!"

Mahluk tinggi besar berjubah biru tertawa tergelak. Tanduk di atas kepala yang botak berpijar terang.

"Arwah Ketua... Tolong... Aku mencium bau obat penangkal racun bubu ikan. Apakah kau membawanya. Tolong... berikan padaku cepat...Aku mohon..."

Suara mengorok berhenti. Lalu terdengar suara Arwah Ketua. "Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh! Kau inginkan obat penangkal racun bubu ikan ini?!" sambil bertanya kain lipatan kuning di tangan kiri lalu dia membungkuk dan kipas-kipaskan lipatan kain kuning di depan mata berjahit Arwah Muka Hijau.

"Benar... berikan cepat. Tolong. Aku merasakan matahari akan segera tenggelam. Malam akan datang. Nyawaku hanya tinggal beberapa kejapan mata saja. Arwah Ketua, aku mohon..."

"Kau takut mati rupanya. Ha..ha..ha! Jangan kawatir Arwah Muka Hijau. Aku telah menyediakan tempat sangat baik untukmu jika kelak kau benar-benar sudah menjadi arwah. Tapi aku kira kau tidak perlu dibuat mati cepat-cepat. Lain dari itu kau juga tidak perlu dibuat mati benaran..."

"Arwah Ketua, apa maksudmu. Tolong... Berikan... obat penangkal racun itu."

"Aku akan memberikan. Tapi katakan dulu dimana kau sembunyikan Gading Bersurat yang kau curi dariku!" Kata Arwah Ketua pula lalu mengorok panjang. Tanduk di kepala memancar cahaya merah terang pertanda ada kemarahan dalam diri mahluk bertubuh menyerupai raksasa ini.

"Aku... aku tidak mencuri. Demi Para Dewa aku bersumpah, aku tidak mencuri!"

"Mahluk terkutuk tujuh lapis langit tujuh lapis bumi!" Arwah Ketua menggembor marah. "Beraninya kau bersumpah menyebut nama Para Dewa Agung! Berarti kau tak perlu menunggu tenggelamnya matahari, tidak perlu menanti datangnya malam. Mahluk terkutuk tidak berguna! Biar kuhabisi kau sekarang juga!"

Lima jari tangan Arwah Ketua yang luar biasa besar mencuat lurus mengeluarkan suara berkeretekan. Tangan itu seolah berubah menjadi tombak baja bermata lima! Jangankan tubuh manusia, batu gunung-pun bisa hancur berantakan jika sampai kena ditusuk! Ilmu Tombak Arwah Mata Lima! Melihat ancaman mengerikan itu Arwah Muka Hijau jadi ciut nyalinya.

"Arwah Ketua! Mohon ampunmu. Aku akan mengatakan dimana beradanya Gading Bersurat itu!"

Arwah Ketua menggembor keras. Mulut menyeringai, mata berputar dan tanduk berpijar. Tubuh perlahan-lahan diluruskan. "Aku menunggu penjelasanmu!"

"Gading Bersurat itu aku simpan di lantai Goa Lumut di barat Kali Gondang." Arwah Muka Hijau akhirnya membuka mulut memberi keterangan.

"Demi Dewa Agung kau tidak berdusta?!" tanya Arwah Ketua.

"Aku bersumpah, aku tidak berdusta," jawab Arwah Muka Hijau.

"Kita akan lihat!" kata Arwah Ketua pula lalu tangan kanan diangkat ke atas, lima jari terpentang, telapak membuka seolah siap menerima atau menangkap sesuatu. Mata besar menjorok dipejam. Mulut keluarkan suara mengorok panjang. Setelah hembuskan nafas panjang dia lalu berucap perlahan. "Lantai Goa Lumut! Barat Kali Gondang! Angin bertiup. Udara bergelombang. Segala sesuatu kembali pada pemiliknya! Manusia punya rencana. Para Dewa punya keputusan!"

Arwah Ketua sentakkan tangan kanannya ke belakang. Di kejauhan mendadak terdengar suara mendengung nyaring lalu dari arah timur sebuah benda putih panjang tampak melayang di udara, melesat dan masuk ke dalam genggaman tangan kanan Arwah Ketua. Benda putih panjang itu ternyata adalah Gading Bersurat yang rupanya dicuri dan dipendam Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh di lantai batu Goa Lumut. Arwah Ketua buka sepasang mata besar dan putih. Sesaat dia meneliti benda yang ada di tangan kanan lalu berkata.

"Ternyata kau tidak berdusta Arwah Muka Hijau!"

"Kalau begitu saatnya kau menyerahkan obat penangkal racun itu padaku..." kata Arwah Muka Hijau sambil coba mengulurkan tangan kiri namun karena sangat lemah tangan itu terkulai jatuh.

"Aku harus mengamankan lebih dulu Gading Bersurat ini agar jangan terjadi keserakahan dan kejahatan untuk kedua kalinya. Para Dewa di Swagaloka, aku Arwah Ketua, penjaga Candi Miring warisan leluhur Sri Banginda Maharaja Kerajaan Bhumi Mataram, mohon pertolongan dan perlindungan."

Selesai mengeluarkan ucapan Arwah Ketua lalu buka mulutnya lebar-lebar. Perlahan-lahan Gading Bersurat yang besar dan panjang sekitar tujuh jengkal itu dimasukkan ke dalam mulut hingga akhirnya mendekam di dalam perut!

"Arwah Ketua, aku mohon! Aku telah bicara jujur. Aku telah minta maaf dan ampun. Kau telah mendapatkan Gading Bersurat. Mohon berikan obat penangkal racun itu... Matahari sudah... sudah teng... tenggelam. Ah...!"

Dari kepala Arwah Muka Hijau alias Gendadaluh yang penuh luka robekan mengepul asap hijau. Lalu reekkk... rekkk... rekkk! Jahitan benang kasar hitam pada bagian dimana terletak mata, telinga, hidung dan mulut berputusan. Keadaan mahluk ini semakin mengerikan.

"Arwah Muka Hijau! Kau inginkan kehidupan. Aku akan berikan kehidupan padamu! Tapi untuk keserakahan dan kejahatanmu kau tetap akan menerima hukuman!"

Tangan kiri Arwah Ketua bergerak. Lipatan kain kuning berisi obat sakti mujarab penangkal bisa bubu ikan melesat masuk ke dalam mulut Arwah Muka Hijau yang kini berupa sayatan terbuka. Di saat yang sama di arah barat sang surya telah tenggelam, kegelapan mulai turun.

"Hekkk!" Arwah Muka Hijau keluarkan suara tercekik namun dengan cepat dia menelan lipatan kain berisi obat ada dalam mulutnya. Saat itu juga tubuh mahluk ini memancarkan cahaya biru. Dua puluh empat robekan luka di kepala, wajah, leher dan sebagian tubuhnya serta merta bertaut. Darah hijau di kepala, muka dan tubuh lenyap. Sungguh luar biasa kehebatan obat penangkal racun bubu ikan itu.

"Arwah Ketua, aku berterima kasih kau telah menolongku! Aku bersumpah akan melakukan apa saja yang kau perintahkan!" Dengan satu lompatan kilat Arwah Muka Hijau tegak terhuyung lalu jatuhkan diri, berlutut di hadapan mahluktinggi besar berjubah biru itu.

Arwah Ketua tertawa bergelak. "Arwah Muka Hijau! Kau memang harus melakukan sesuatu untuk menebus dosa kesalahanmu!"

"Aku pasrah Arwah Ketua," jawab Arwah Muka Hijau.

Arwah Ketua angguk-anggukan kepala. Mengumbar suara mengorok lalu memerintah. "Berdiri lurus-lurus dihadapanku!"

Arwah Muka Hijau cepat bangun dan berlutut lalu tegak lurus-lurus. Arwah Ketua meniup. Kejapan itu juga sekujur tubuh Arwah Muka Hijau menjadi kaku tegang tak bisa bergerak. Dia hendak berteriak namun ternyata mulutnyapun tak bisa bersuara! Maki rutuk carut marut menggelegar di dalam dada mahluk ini.

Arwah Ketua geserkan kaki kiri kanan ke tanah. Dua larik asap hitam mengepul. Dari balik kepulan asap muncul dua mahluk kembar tinggi hitam berpakaian putih-putih, lengkap dengan destar putih menyerupai sorban tipis. Begitu berdiri di depan Arwah Ketua keduanya membungkuk lalu sama-sama keluarkan ucapan.

"Kami Arwah Kembar Candi Miring siap melaksanakan perintah Arwah Ketua."

"Benamkan mahluk satu ini di sisi selatan dasar candi. Dia akan menjadi ganjalan Candi Miring selama seratus tahun Saka sebagai hukuman kesalahan yang telah dibuatnya!"

Arwah Muka Hijau berteriak marah. Tapi suara teriakannya tidak keluar. Dua mahluk kembar membungkuk. Lalu dengan gerakan sangat cepat mereka menggotong tubuh Arwah Muka Hijau dan membawanya ke bagian selatan bangunan candi. Tubuh Arwah Muka Hijau secara aneh disusupkan ke dalam tanah di bagian bawah dinding candi yang miring.

"Reeerrrr!" Dinding candi bergetar. Tubuh Arwah Muka Hijau lenyap tak kelihatan lagi!

Arwah Ketua mengorok panjang. Arwah Kembar mendatangi dan bertanya. "Arwah Ketua, apakah ada lagi tugas yang harus kami kerjakan?"

"Awasi Candi Miring dan semua arwah yang gentayangan. Siang apa lagi malam hari. Bilamana kalian melihat ada kejanggalan lekas memberi tahu aku. Aku tak ingin ada lagi pengkhianatan di candi leluhur yang keramat ini. Sekarang kalian boleh pergi."

Arwah Kembar membungkuk lalu tubuh mereka berubah jadi asap hitam dan menyusup lenyap ke dalam tanah pada kaki kiri dan kanan Arwah Ketua. Arwah Ketua sendiri kemudian melesat ke udara, melayang turun di bagian tengah Candi Miring dan lenyap dari pemandangan bersamaan dengan bertiupnya angin malam yang cukup keras membuat tanah kering menebar abu ke berbagai penjuru.

* * *

4. TUJUH BULAN KANDUNGAN GAIB

Sumur Api. Di dalam kamar tempat kediamannya di dasar Sumur Api, Ananthawuri terbangun lebih pagi dari biasanya. Hari itu hari bulan ketujuh dari kehamilan gaib yang terjadi atas anak pe-rawan dari Desa Sorogedug ini. Ketika terbangun dari tidur, begitu menyalangkan mata hidungnya mencium bau harum semerbak di dalam kamar.

"Apakah semalam aku tertidur di dalam taman penuh bunga-bunga yang tengah berkembang dan menebar bau harum?" pikir Ananthawuri.

Perlahan-lahan anak gadis ini bangkit dan duduk di tepi pembaringan. Dia memandang seputar kamar. Dibawah keremangan cahaya pelita kecil pandangan nya melihat sesuatu di meja bulat batu pualam yang terletak di sudut kanan kamar. Ananthawuri segera turun dari tempat tidur, melangkah mendekati meja. Di atas meja ada dua nampan bagus terbuat dari anyaman bambu. Di atas nampan pertama tersusun tujuh macam buah-buahan segar. Lalu di atas nampan kedua terdapat tujuh rupa bunga. Bunga-bunga inilah yang menebar bau harum di dalam kamar. Ananthawuri merenung sejenak. Mengusap perutnya yang besar lalu tersenyum.

"Ibundaku sayang, pasti dia yang menyiapkan buah dan bunga ini. Dia tahu kalau hari ini adalah hari pertama bulan ketujuh kandunganku. Betapa Ibu sangat memperhatikan diriku. Aku harus mengucapkan terima kasih pada Ibu."

Gadis ini lalu melangkah ke pintu. Ketika pintu dibuka, seorang pelayan perempuan yang merawat dan mengurus segala keperluannya Ananthawuri dan saat itu tengah membersihkan ruangan di luar kamar menegur hormat.

"Ajeng Ayu, pagi-pagi sudah bangun. Padahal diluar masih gelap. Mau kemanakah?"

"Mbok Wariti, saya ingin menemui Ibu. Atau biar saya saja yang membangunkan..."

Ananthawuri lalu melangkah ke ujung ruangan dimana terletak kamar Sukantili, ibunya. Wariti walau merasa agak heran namun seperti yang disuruh meneruskan pekerjaannya membersihkan ruangan. Di dalam kamar Ananthawuri menemukan sang ibu masih tertidur pulas. Perlahan-lahan gadis ini duduk di tepi ranjang lalu membungkuk mencium kening ibunya. Ciuman itu membuat Sukantili terbangun dari tidurnya.

"Anakku Ananthawuri, ada apakah?" Sukantili bertanya dengan pandangan menyatakan rasa heran.

"Saya ingin mengucapkan terima kasih. Ibu sangat memperhatikan saya..."

"Aku ibumu. Tentu saja memperhatikan dirimu. Apalagi sejak kita berdua berada di tempat ini... Dan kau tengah hamil pula. Kau ingin berterima kasih? Berterima kasih untuk apa?" Tanya Sukantili pada anak gadisnya.

Ananthawuri tersenyum. "Ibu pura-pura. Bukankah Ibu yang meletakkan buah tujuh macam dan bunga tujuh rupa di atas meja batu pualam dalam kamar saya sebagai pertanda kandungan saya memasuki usia ke tujuh bulan?"

Sukantili terkejut. "Sang Hyang Batara Dewa, Maha Pengasih Maha Penyayang." Sukantili bangun dan duduk di atas tempat tidur lalu memeluk puterinya. "Ibu merasa berdosa anakku. Ibu tahu kau sedang hamil. Tapi tidak ingat kalau kandunganmu hari ini telah memasuki bulan ketujuh..."

"Tapi Ibu meletakkan tujuh macam buah dan tujuh rupa bunga di dalam kamar saya."

"Ananthawuri..." Sukantili menggeleng. "Ibu tidak melakukan hal itu, anakku." Perempuan ini turun dari tempat tidur, memegang lengan puterinya lalu berkata. "Bagaimana bisa terjadi? Anakku, antarkan Ibu ke kamarmu..."

Sampai di dalam kamar anaknya, Sukantili tertegun di depan meja batu pualam di sudut kamar. Matanya memandang tak berkesip pada bunga dan buah segar yang terletak di atas dua buah nampan terbuat dari anyaman bambu. Sesaat kemudian perempuan ini berpaling pada Ananthawuri.

"Ibu tidak melakukan ini anakku. Ibu tidak meletakkan buah dan kembang ini."

"Lalu siapa yang meletakkan?" tanya Ananthawuri yang masih tidak percaya ucapan sang ibu.

Saat itulah tiba-tiba ada suara berucap.

Wahai ibu dan Anak
Kasih Para Dewa tidak perlu dipertanyakan
Hari ini kandungan gaib memasuki bulan ke tujuh
Makanlah tujuh macam buah walaupun hanya satu gigitan
Bersiramlah dengan kembang tujuh rupa walau hanya satu siraman
Kelak anak yang dilahirkan akan membawa kebajikan
Merupakan rakhmat bagi seluruh ummat


"Roh Agung, saya memberanikan diri bertanya. Apakah Kau yang barusan bicara?" Ananthawuri keluarkan ucapan.

Tak ada jawaban. "Roh Agung, siapakah Kau sebenarnya?"

"Ananthawuri, kita pernah bertemu." Mendadak ada jawaban.

"Apakah... Apakah kau orang tua bernama Dhana Padmasutra?"

Tak ada jawaban. Sepi. Ananthawuri dan ibunya tahu siapapun yang tadi bicara saat itu dia sudah tidak ada lagi di dalam kamar itu. Sukantili pegang lengan anak gadis.

"Anakku, kita harus bersyukur. Para Dewa agaknya selalu memperhatikan dirimu. Selagi hari masih gelap, Ibu akan mengantarkanmu ke pancuran. Mandi bersiram dengan bunga tujuh rupa pemberian Yang Kuasa dan Yang Pengasih. Ibu akan meminta pelayan membantumu. Selesai mandi kau kembali ke sini dan menyantap buah-buahan itu."

"Saya menurut apa kata Ibu saja," sahut Ananthawuri. "Namun izinkan dulu saya membaca satu halaman indah dari Kitab Suci Weda yang diberikan orang tua bernama Dhana Padmasutra itu."

Ananthawuri mengeluarkan Kitab Weda milik Dhana Padmasutra dari dalam sebuah lemari. Di dalam lemari ini pula dia menyimpan tongkat kayu milik si orang tua, yang telah menuntunnya hingga sampai ke Sumur Api. Sementara Ananthawuri membaca Kitab dengan khusuk dan suara halus perlahan, sang ibu memperhatikan. Tidak disadari air mata menggulir jatuh ke pipi. Hatinya berkata.

"Kalau saja saudagar Narotungga tidak berlaku keji terhadap mendiang suamiku, diriku serta anak gadisku, pasti saat ini aku dan Ananthawuri masih berada di desa Sorogedug dalam keadaan aman tenteram. Walau hidup miskin namun tinggal di desa merupakan berkat kebahagiaan Dewa Agung yang tiada taranya."

* * *

SUATU malam, tiga puluh hari setelah Ananthawuri bersiram mandi di pancuran di dasar Sumur Api, Sukantili tidak bisa memincingkan mata. Malam telah melewati pertengahan, mulai menjelang pagi. Ibu Ananthawuri ini masih larut dalam kegelisahan hati dan pikiran. Sejak siang entah mengapa ingatannya selalu tertuju pada kampung halamannya di Desa Sorogedug. Terbayang rumah dan halaman walau rumah itu kini hanya tinggal puing-puing hitam reruntuhan akibat dibakar kaki tangan Narotungga.

Teringat akan sawah ladang walau kini tidak ada yang memelihara dan telah berubah ditumbuhi semak belukar serta alang-alang liar. Yang paling menyamak hati perempuan itu adalah telah sekian lama dia tidak pernah lagi menyambangi makam Panggaling, almarhum suaminya. Semasa tinggal di Sorogedug, satu kali dalam seminggu dia selalu datang menziarahi kuburan ayah Ananthawuri itu. Dia seolah merasa berdosa karena sejak berada di dasar Sumur Api dia tidak mungkin lagi berziarah. Bagaimana keadaan makam suaminya itu saat ini. Pasti sudah ditumbuhi rumput dan ilalang liar karena tidak terpelihara.

Sebagaimana terjadi dengan diri anak gadisnya begitu pula yang akan dialami Sukantili. Yaitu dia tidak bisa meninggalkan tempat itu untuk selama-lamanya, kecuali Yang Maha Kuasa menentukan lain. Begitu ucapan yang disampaikan Roh Agung sebelum Ananthawuri menyelamatkan diri dari kejaran Setunggul Langit dan Setunggul Bumi dengan cara menceburkan diri ke dalam Sumur Api.

Walau di tempat itu dia hidup senang bersama anak gadisnya namun sebagai manusia dan perempuan yang punya perasaan dan hati sanubari kadang-kadang muncul keinginan dalam diri perempuan ini untuk mencari tahu bagaimana caranya bisa keluar dari dasar Sumur Api. Seandainya dia bisa keluar, meski hanya beberapa ketika, ingin dia pergi ke Sorogedug, melihat reruntuhan rumahnya, mendatangi makam Panggaling mendiang suaminya. Namun keinginan itu tidak pernah terlaksana. Karena walaupun tampaknya bebas akan tetapi ada perasaan terkungkung dalam diri perempuan ini. Dan dia tidak pernah tahu bagaimana cara bisa keluar dari tempat itu.

Malam itu setelah tidak dapat menahan gelisah Sukantili keluar dari kamar, pergi ke taman. Dia duduk di satu batu datar. Udara malam terasa dingin tapi segar. Paling tidak lebih segar dari keadaan di dalam kamar tidurnya. Di kejauhan terdengar suara curahan air pancuran yang terletak di ujung taman pada satu lereng tanah menurun. Memang dia serasa hidup di alam nyata. Namun dia juga merasakan ada kegaiban membayangi suasana di tempat itu.

Bosan duduk di batu Sukantili berjalan seputar taman. Dia hentikan langkah sewaktu mendengar suara menggelepar di atas kepalanya. Seekor burung berbulu kuning dan merah terbang di udara. Binatang ini hinggap, arahkan kepalanya pada Sukantili seolah sengaja memandang perempuan itu lalu melayang turun di sela bunga-bunga yang sedang mekar dan lenyap dari pemandangan. Sukantili menunggu beberapa lama namun burung itu tidak kunjung keluar.

"Heran, kemana perginya burung itu? Tidak mungkin ada burung bersarang di dalam tanah atau di akar pohon."

Penuh perasaan ingin tahu Sukantili mendekati pohon berbunga Jingga. Keadaan di tempat itu gelap, dia tidak melihat apa-apa. Dia tidak menemukan burung berbulu merah kuning tadi.

"Aneh, kemana lenyapnya burung tadi?" kata Sukantili dalam hati.

Dia memutar tubuh hendak tinggalkan tempat itu. Namun saat itu sepasang bola matanya yang telah lebih biasa memperhatikan ke arah kegelapan tiba-tiba saja melihat satu benda putih sebesar batang kelapa dengan tinggi sekitar selutut manusia. Dia memperhatikan lebih teliti. Ternyata benda putih itu adalah sebuah batu. Sesaat kemudian baru disadarinya kalau akar pohon berbunga Jingga ternyata masuk ke dalam batu putih itu.

"Pohon tumbuh di batu... Tidak pernah kejadian..." Membatin Sukantili.

Dari hanya berdiri Sukantili kini membungkuk, lalu berlutut di tanah. Malah tangan kanan diulur ke arah batu putih. Perempuan ini seperti tidak punya perasaan takut sama sekali. Namun dia terkejut besar, tersentak kaget karena begitu tangannya menyentuh batu putih tiba-tiba terdengar suara menderu halus. Di saat yang sama batu putih memancarkan cahaya terang lalu bergerak berputar. Pada satu kali putaran penuh batu putih dan pohon berbunga Jingga naik ke atas.

Di tanah bekas tegaknya batu putih terlihat satu lobang batu memancarkan cahaya terang kebiruan. Dan di dalam lobang Sukantili melihat ada tangga batu ke arah atas, entah menuju ke mana. Saat itu pula telinga ibu Ananthawuri ini mendengar suara alunan gamelan yang datang dari dalam lobang bercahaya biru. Memandang Sukantili berdiri. berkeliling dia tidak melihat apa-apa kecuali lobang batu di hadapannya.

5 TAKDIR SANG IBU Di dalam lobang batu yang diterangi cahaya biru udara terasa sejuk. Sukantili melangkah menuju ke atas. Anak tangga batu seolah tidak ada habis-habisnya tapi Sukantili tidak merasa letih sedikit-pun. Ketika suara alunan gamelan terdengar perlahan perempuan ini melihat cahaya terang. Ternyata dia telah sampai pada anak tangga yang terakhir yang merupakan ujung lorong batu.

Di depan lorong batu terdapat satu pohon kering sangat besar tak berdaun Pohon ini tumbuh miring di atas satu pedataran pasir berwarna coklat. Di sebelah atas langit membentang biru. Sekelomp k burung melayang terbang ke arah timur. Walau cahaya matahari terasa terik dan menyilaukan namun pemandangan yang terbentang indah sekali.

"Waktu di dasar Sumur Api keadaan masih tengah malam. Di dalam lobang batu aku berjalan tidak lebih lama dari membaca tiga halaman kitab. Mengapa keadaan di luar sini siang hari terang benderang?" Sukantili terheran-heran. Perlahan-lahan dia menjejakkan kaki di atas batang pohon kering, melangkah ke arah pucuk. Saat itulah tiba-tiba terdengar suara.

"Perempuan berpikiran gelisah. Hentikan langkah. Putar tubuhmu. Jangan meneruskan meniti di pohon kering. Kembalilah sebelum terlambat. Dirimu bukan lagi insan duniawi. Kau berada dalam alam Dewani. Kembalilah ke dasar Sumur Api. Maka Dewa Agung akan melindungimu Yang Maha Kuasa akan memberkahimu"

Sukantili tertegun. Namun hanya sesaat. Dilain ketika kakinya kembali melangkah ke arah pucuk pohon kering. Dia seperti tidak memperdulikan suara gaib itu. Dia lebih banyak mengingat kampung halamannya. Desa Sorogedug. Hasratnya untuk melihat rumah dan makam suaminya mendorong dua kakinya melangkah terus di atas batangan pohon kering.

Mendadak langit biru bersih berubah hitam. Cahaya sang surya yang tadi terik menyilaukan kini menjadi redup. Keadaan hampir tidak beda dengan malam hari. Lalu ada suara tiupan angin luar biasa kencang. Pasir di pedataran menggebubu ke udara, bergulung-gulung membentuk ujud-ujud mengerikan. Di atas batang pohon kering tubuh Sukantili bergoyang-goyang. Perempuan ini mulai ketakutan. Dia berusaha membalikkan badan namun saat itu satu gelombang angin luar biasa dahsyat menyapu dirinya hingga terpental ke udara. Sukantili menjerit lalu pingsan tak sadarkan diri.

Ketika siuman Sukantili dapatkan dirinya terbujur di tanah. Keadaan sekitarnya gelap gulita. Di atas langit terbentang kelam pertanda saat itu malam hari. Perlahan-lahan perempuan ini bangun. Memandang berkeliling dia keluarkan seruan tertahan, tersendat setengah menangis. Saat itu ternyata dia tengah terduduk di halaman rumah kediamannya di desa Sorogedug yang kini tinggal puing-puing hitam.

"Dewa Jaganatha Batara Agung. Kau membawaku kembali ke rumah kediamanku..." Sukantili berdiri. Masih kurang percaya dia berjalan mengelilingi reruntuhan rumah. "Tidak keliru... Aku masih bisa mengenali walau sudah runtuh tak berbentuk begini rupa. Ini rumahku..." Ucap Sukantili.

Tiba-tiba perempuan ini ingat akan mendiang suaminya. Tidak menunggu lebih lama dia segera lari ke arah selatan desa hingga akhirnya sampai di satu perkuburan. Jika seseorang berada malam hari di tempat seperti itu pastilah akan merasa ngeri. Namun dalam diri Sukantili tidak ada perasaan takut sama sekali. Dia sampai di hadapan sebuah makam yang sangat tidak terawat. Tanah makam dalam keadaan miring. Rumput liar dan alang-alang bertumbuhan di mana-mana. Batu nisan yang seharusnya menancap di kepala makam kini terguling di tanah. Pada masa itu kebanyakan jenasah di bakar dan abunya ditabur di laut atau di sungai. Namun ada juga jenasah yang di makamkan termasuk jenasah Panggaling, mendiang suami Sukantili.

"Kanda Panggaling..." Terisak-isak Sukantili jatuhkan diri di atas kuburan. "Keadaan memisahkan kita sekian lama. Maafkan diriku karena tidak menziarahi makammu. Kanda, anak kita Ananthawuri. Sesuatu telah terjadi dengan dirinya. Aku..."

Perempuan ini tidak dapat melanjutkan ucapan karena tangis yang sejaktadi tertahan kini menyembur keluar. Didera oleh derita batin serta keadaan tubuh yang tiba-tiba terasa letih, suara tangis Sukantili perlahan-lahan mereda dan akhirnya lenyap sama sekali. Dini hari ketika suasana di perkuburan dipalut kesunyian dan dinginnya udara terasa mencucuk tulang, tiba-tiba dari langit di arah barat tampak satu sinar putih memancar. Tepat di atas perkuburan cahaya putih ini melayang turun lalu menyapu tubuh Sukantili yang masih tertidur di atas makam Panggaling.

"Perempuan bernama Sukantili bangunlah" Tiba-tiba terdengar satu suara menggema di kegelapan malam tanah pekuburan.

Saat itu juga Sukantili tersentak bangun dari tidurnya. Dia belum sempat menyadari kalau dirinya masih di atas kuburan, belum sempat mengingat apa yang sebelumnya terjadi, suara menggema tadi kembali memecah kesunyian.

"Wahai perempuan desa, sungguh sangat disayangkan. Para Dewa telah mengangkat derajat dirimu. Namun belum ada ketulusan dan kepasrahan dalam jiwamu. Larangan Para Dewa Yang disampaikan melalui Roh Agung telah kau abaikan. Padahal sudah ditakdirkan bahwa dirimu. Akan menjadi penghuni Sumur Api. Selama hayat dikandung badan. Kau meninggalkan Sumur Api. Kau meninggalkan puterimu yang sedang mengandung. Yang seharusnya kau dampingi dan jaga baik-baik. Kesalahanmu sungguh besar. Namun Para Dewa berlaku bijaksana. Kaupergi karena kecintaan pada kampung halaman. Desa kediamanmu. Kau pergi karena kecintaan dan hormatmu pada Mendiang suamimu. Malam ini Para Dewa telah mengabulkan keinginanmu. Malam ini kau telah berada di Desa Sorogedug. Malam ini kau telah melihat bekas rumah kediamanmu. Malam ini pula kau telah menziarahi makam suamimu. Sekarang saatnya kehendak Para Dewa Akan berlaku atas dirimu. Kau akan menjadi penghuni pemakaman ini. Mendampingi suamimu untuk selama-lamanya. Kecuali di suatu hari kelak Para Dewa menentukan lain"

Sukantili terkesiap. Perempuan ini sadar apa yang telah terjadi, apa yang telah dilakukannya. Cepat-cepat dia jatuhkan diri. "Dewa Agung, saya mengaku bersalah berani melanggar pantangan, berani melawan takdir. Saya bersedia kembali ke Sumur Api..." Kata Sukantili hanya sampai di situ.

Tiba-tiba cahaya putih yang tadi lenyap kini muncul kembali. Memancar di sekujur tubuhnya. Perlahan-lahan tubuh perempuan ini terangkat ke arah kepala makam. Cahaya putih lenyap. Sosok Sukantili juga sirna. Bersamaan dengan itu di kepala kuburan Panggaling kini terlihat satu pohon melati besar yang puluhan bunganya tengah mengembang. Udara di pemakaman serta merta di penuhi bau harum semerbak kembang melati.

Seekor burung hantu yang sejak tadi mendekam di cabang pohon Kemboja keluarkan suara menguik halus, kembangkan sayap lalu cepat-cepat melayang terbang tinggalkan pemakaman. Keesokan paginya bau harum mewangi yang di tebar kembang melati menarik perhatian orang tua penjaga kuburan yang berada di tempat itu bersama cucunya seorang anak perempuan. Setelah memeriksa kian kemari akhirnya orang tua ini menemu-kan sumber bau wangi itu.

"Cucuku, setahu kakek di tempat ini tidak pernah tumbuh pohon bunga melati. Sekarang..."

"Bunganya putih bagus. Besar-besar dan harum. Aku mau memetiknya Kek..." kata si cucu pula.

"Jangan, ini bunga keramat. Jangan dipetik. Aku sudah sering melihat kembang melati. Tapi tidak ada yang sebesar dan seharum ini... Aku harus menjaga bunga ini baik-baik. Tidak boleh ada tangan jahil yang menyentuhnya."

"Ah kakek, pelitnya." Kata si cucu dengan wajah cemberut lalu tinggalkan kakeknya, mengejar seekor capung yang terbang rendah di sampingnya.

6. PERTAPA GUNUNG MERBABU

Malam itu hujan lebat mencurah bumi. Angin bertiup kencang menebar hawa dingin, membuat pepohonan bergoyang keras dan menimbulkan suara menderu menggidikan berkepanjangan. Di dalam gua batu di lereng Gunung Merbabu, pertapa tua Sedayu Galiwardhana tidak mampu mempertahankan kekhusukan semedinya. Bukan hujan lebat atau hembusan angin deras menggila yang membuat tapanya terganggu. Namun dalam bayangan pelupuk kedua matanya ada dua titik merah yang sejak setengah malaman menyorot memperhatikan gerak-geriknya.

Sedayu Galiwardhana bukan orang sembarangan. Ketinggian ilmu agama dan kesaktiannya sudah diketahui semua orang di Bhumi Mataram. Kerajan sering meminta bantuan dari pertapa yang diam di Gunung Merbabu ini. Namun sekali ini entah kekuatan apa yang ada pada dua titik merah hingga semedi sang pertapa mampu di ganggu dari luar. Karena tidak sanggup lagi bertahan, pertapa ini sudahi semedinya. Sebelum membuka ke dua mata dia berkata dalam hati.

"Para Dewa Agung di Swargaloka. Aku Sedayu Galiwardhana, pertapa di lereng Gunung Merbabu, mohon maaf beribu maaf, mohon ampun beribu ampun. Aku yang lemah ini tidak dapat meneruskan semedi. Ada kehendak alam yang mengganggu diriku. Bukan hujan lebat itu wahai Dewa, bukan pula suara keras tiupan angin. Yang Maha Kuasa, aku mohon untuk keluar meninggalkan alam gaib, meninggalkan alam penuh keramat, ciptaanMu..."

Beberapa saat kemudian orang tua berusia sekitar delapan puluh tahun itu perlahan-lahan membuka kedua matanya. Begitu mata terbuka dia langsung melihat sosok seseorang berdiri di ambang mulut goa, berbasah-basah oleh terpaan air hujan, berdingin-dingin oleh sapuan angin. Dia tidak bisa melihat jelas siapa adanya orang itu, apa lagi mengenali wajahnya karena keadaan yang gelap.

Yang kemudian serta merta menjadi perhatian Sedayu Galiwardhana adalah dua titik merah yang seperti nyala bara di atas kepala orang yang tegak menutupi mulut goa. Dua titik merah inilah yang semalaman tadi menembus tabir alam gaib mengganggu semedinya. Hati sang pertapa berdebar. Dia belum berani memastikan. Maka diapun membuka mulut menyampaikan sapa teguran dengan suara sopan serta lembut.

"Tamu yang berdiri di depan goa. Salam sejahtera untukmu. Semoga Para Dewa memberkati. Hujan begitu deras, angin sangat kencang. Mengapa berdiri di luar sana berbasah-basah berdingin-dingin. Masuklah ke dalam goa."

Dua titik menyala diatas kepala orang yang tegak di depan goa bersinar terang. Orang itu tidak membalas salam atau mengucapkan sesuatu, namun seperti yang diminta sang pertapa dia melangkah masuk ke dalam goa. Lima langkah dari tempat sang pertapa duduk, sang tamu berhenti. Bersamaan dengan itu baru dia keluarkan ucapan.

"Pertapa Gunung Merbabu. Berkat Dewa untuk semua ummat. Termasuk dirimu. Sedayu, apakah kau tidak mengenali diriku?" Suara yang bicara adalah suara orang perempuan.

Debaran di hati sang pertapa merebak ke jantung, membuat jantungnya berdetak keras. "Tadi aku tidak berani memastikan. Tapi sekarang setelah mendengar suaramu baru aku merasa yakin. Izinkan diriku menyebut namamu. Sri Sikaparwathi. Aku sangat gembira dan ini merupakan rakhmat Yang Maha Kuasa hingga kita bisa berjumpa lagi. Maafkan keadaan goaku yang gelap. Bolehkah aku meminjam cahaya terang dari dua mata insan yang ada di atas kepalamu?"

"Kau seorang sakti. Dengan kesaktianmu kau bisa berbuat apa saja. Silahkan Sedayu. Aku memang sudah lama tidak melihat kehebatanmu."

"Maafkan diriku. Orang tua buruk ini tidak bermaksud memamerkan ilmu kepandaian. Aku hanya ingin goa ini dalam keadaan terang agar lebih layak menyambut kedatanganmu. Selain itu aku juga ingin melihat wajahmu. Terakhir kali aku melihat dirimu adalah sekitar enam puluh tahun silam. Apakah kau mengizinkan?"

Perempuan di hadapan pertapa Sedayu Galiwardhana menghela nafas dalam lalu tertawa.

"Ah, suara tawamu tidak berbeda dengan dulu-dulu yang pernah aku dengar. Tapi, apa yang membuatmu tertawa Sri Sikaparwathi?" Bertanya Sedayu Galiwardhana.

"Aku tertawa karena mengapa kita bicara berbasa-basi, memakai segala peradatan seolah kita ini adalah orang-orang penghuni Keraton Mataram!"

"Maafkan diriku. Bukan maksud berbasa-basi. Bukan pula ingin merajuk hati. Sekian puluh tahun tidak pernah bertemu, kau tahu-tahu datang menyambangi. Aku berbahagia, sangat berbahagia. Namun dalam kebahagiaan itu aku mengerti bagaimana menjaga diri. Aku khawatir mungkin saja ada perubahan dalam pikiran dan perubahan dalam sikap."

"Sedayu Galiwardhana. Kau mendengar suaraku. Kau mendengar tawaku. Apa ada perubahan?"

"Aku mendengar dan aku merasakan. Seperti kataku tadi, tak ada perubahan pada suara dan tawamu. Para Dewa memberikan berkat padamu..." jawab Sedayu Galiwardhana Namun dalam batin pertapa ini berkata. "Suara dan tawa tidak berubah. Namun bagaimana dengan sesuatu yang ada di lubuk hati, yang di balut dengan perasaan?"

"Kalau begitu apa lagi yang kira-kira menjadi kekhawatiran dalam dirimu. Apa lagi yang menjadi ganjalan dalam hatimu..."

"Sri Sikaparwathi, terima kasih. Kau memberi keyakinan yang aku khawatirkan berubah dalam diriku. Aku akan membuat terang goa ini agar dapat melihat wajahmu. Izinkan diriku..."

"Izinkan aku duduk di hadapanmu," kata perempuan bernama Sri Sikaparwathi mendahului. Lalu perlahan-lahan dia duduk di lantai goa, tiga langkah di hadapan sang pertapa.

Setelah memperhatikan wajah yang masih tersembunyi dalam kegelapan itu, Sedayu Galiwardhana angkat tangan kanan ke atas, telapak di kembang, diarahkan pada dua titik cahaya merah di atas kepala Sri Sikaparwathi. Dua titik merah pancarkan sinar terang benderang ketika tersentuh dengan getaran halus yang keluar dari telapak tangan Sedayu Galiwardhana. Secara aneh titik bercahaya merah yang tadi hanya ada dua kini bertambah dua lagi menjadi empat. Dua berada di tempat pertama, dua lagi menggantung di udara.

Pertapa tua gerakkan pergelangan tangan kanan, mainkan lima jari tangan seperti jari-jari penari. Perlahan-lahan dua titik merah yang menggantung di udara bergerak ke arah tangannya. Sejarak dua jengkal lagi akan menyentuh telapak tangan, si orang tua gerakan lagi pergelangan tangan, telapak ditadahkan lalu dinaikkan ke atas. Dua titik merah serta merta melesat ke atas, melekat pada atap goa, memancarkan cahaya kemerahan. Goa itu kini menjadi terang benderang.

Perempuan di dalam goa mengerenyit, lindungi mata dengan tangan menahan silaunya cahaya merah terang. "Sedayu, sungguh luar biasa tenaga dalammu. Bukankah kau barusan menerapkan ilmu yang disebut Tangan Dewa Menerangi Bumi?"

Sedayu Galiwardhana seolah tidak mendengar pujian orang. Saat itu sepasang matanya menatap tak berkesip, memperhatikan wajah perempuan yang duduk tiga langkah di hadapannya. Hati orang tua ini diharu biru oleh seribu perasaan. Dalam hati dia berucap. "Enam puluh tahun lalu, wajah ini begitu cantik. Enam puluh tahun lalu setelah dimakan usia, kecantikan itu belum pupus. Rambut yang dulu hitam legam berkilat, kini putih seperti perak, masih tetap dijalin dan digulung di atas kepala. Membuat penampilannya begitu anggun. Raden Cahyo Kumolo, kura-kura sakti di atas kepala sungguh sahabat sangat setia yang menemaninya lebih dari setengah abad. Kesetiaan yang mungkin tidak di dapat dalam diri manusia. Termasuk diriku terhadap dirinya..."

"Sri Sikaparwathi, usia memang membuat manusia tua. Namun dalam kekuatan dirimu aku tidak melihat banyak perbedaan pada wajahmu sejak terakhir aku melihatmu enam puluh tahun silam..."

"Sedayu, kau keliwat memuji. Kau seperti membuang segenggam garam ke dalam air laut yang sudah asin. Aku merasa malu. Tapi aku senang dengan sikapmu. Seperti dulu-dulu kau bicara apa adanya. Maafkan kalau aku telah mengganggu dan memutus semedimu."

"Kehendak dan jalan dari Dewi Agung mempertemukan kita. Apakah perlu ada yang disesalkan?" ujar sang pertapa sambil tersenyum.

Orang duduk di hadapan Sedayu Galiwardhana itu adalah seorang perempuan tua berjubah panjang warna Jingga. Seperti apa yang dilihat sang pertapa, walau telah dimakan usia tujuh puluh tahunan, namun wajah perempuan ini tidak beda dengan wajah perempuan separuh baya. Di pinggang melilit sehelai selendang berwarna kuning. Rambut yang putih panjang dijalin lalu digulung di atas kepala membentuk lingkaran. Dan ini hebatnya!

Di atas kepala itu bertengger seekor kura-kura hijau yang memiliki sepasang mata bercahaya merah. Cahaya merah dua mata inilah yang sejak malam tadi memandang menyoroti Sedayu Galiwardhana yang tengah bertapa bersemadi. Begitu hebatnya sorotan cahaya sepasang mata hingga sang pertapa tidak mampu meneruskan semedinya. Pertapa tua ini maklum kalau cahaya merah yang memancar dari dua mata kura-kura dialiri dengan tenaga dalam mengandung hawa sakti tinggi yang dimiliki perempuan yang menjunjungnya.

"Sri Sikaparwathi, kedatanganmu seolah memberi kehidupan baru padaku. Aku seperti kembali ke alam enam puluh tahun silam..."

Perempuan itu tertawa panjang. "Kau masih pandai berolok-olok. Sedayu, ketahuilah aku membutuhkan waktu hampir tiga purnama untuk mencari dirimu. Aku bertanya pada penghuni Keraton Bhumi Mataram. Mereka semua tahu dirimu namun tidak tahu dimana keberadaanmu..."

"Kalau orang lain yang mencari diriku, aku tidak peduli. Tapi kalau seorang perempuan bernama Sri Sikaparwathi yang mencariku, itulah satu kebahagiaan yang tiada taranya. Nah, bolehkah aku mengetahui gerangan apa yang membuat Dewa Agung menuntun dirimu datang ke goa burukku ini?"

Sri Sikaparwathi memperbaiki duduknya yang bersimpuh di lantai goa. Setelah menatap wajah orang di hadapannya beberapa ketika baru dia menjawab. "Sedayu, aku rasa perlu menjernihkan satu hal. Aku datang bukan untuk membicarakan persoalan kita yang tidak terselesaikan di masa muda..."

Pertapa tua balas menatap, alis bergerak naik tapi mulut terkancing. Dia seperti sengaja menunggu kelanjutan ucapan orang.

"Aku menyesali sikap kerasku ketika kau meminangku, saat itu aku meminta dirimu bersabar sampai Lingga Pati kakak lelakiku menikah lebih dulu. Aku tidak berdaya melawan kemauan orang tua dan juga kungkungan adat. Tapi Lingga Pati tidak kunjung menikah. Kemudian terjadi bencana alam meletusnya gunung berapi yang disusul banjir besar menimpa negeri. Kita terpisah belasan tahun tanpa kabar, tanpa tahu dimana rimba masing-masing. Kemudian Yang Maha Kuasa beberapa kali mempertemukan kita. Namun dari kabar-kabar yang sampai ke telinga kita, telah terjadi saling kesalah pahaman. Aku mendengar kau telah menikah dan kau mendengar aku telah kawin. Kenyataan buktinya lain. Aku tak pernah menikah dengan lelaki manapun. Dan kau tidak pernah kawin dengan perempuan siapapun..."

Ketika Sri Sikaparwathi hentikan ucapannya, Sedayu Galiwardhana pergunakan kesempatan untuk bertanya. "Semua telah terjadi diluar kemampuan kita. Takdir Yang Maha Kuasa lebih berlaku dari pada kehendak manusia. Aku yakin diantara kita sebenarnya tidak ada penyesalan. Karena diantara kita tidak ada yang salah dan tidak ada kedustaan."

"Terima kasih kau berkata begitu Sedayu. Namun demikian aku tetap merasa semua terjadi karena sikapku yang terlalu patuh pada orang tua dan sangat menghormati adat, tidak mau memberi malu keluarga..."

Sedayu Galiwardhana coba tersenyum. "Bukankah itu sikap yang sangat terpuji?" Kata pertapa sakti ini kemudian. Perempuan tua di hadapan sang pertapa tidak menjawab. "Sri Sikaparwathi, tadi kau mengatakan bahwa kau datang bukan untuk membicarakan persoalan kita di masa lalu. Mulai saat ini kita tidak akan mengutik dan mengungkap lagi semua itu. Sekarang bolehkah aku mengetahui gerangan apa yang membawamu hingga sampai ke goadi lereng Gunung Merbabu ini?"

"Peristiwanya terjadi sekitar delapan bulan yang lalu. Sebelum itu telah tersiar kabar di Bhumi Mataram. Apakah kau pernah mendengar riwayat tentang sebuah sumur yang disebut Sumur api?"

"Aku pernah mendengar tapi tidak terlalu memperhatikan. Apa lagi menyelidiki..." jawab Sedayu Galiwardhana.

"Lalu apakah kau juga pernah mendengar riwayat empat buah Gading Bersurat?"

Sedayu Galiwardhana tidak segera menjawab. Dua matanya untuk kesekian kali melirik ke arah dua kaki Sri Sikaparwathi yang bersilang duduk bersilah. Pada telapak kaki kanan perempuan itu, di belakang ibu jari kaki, dia melihat ada satu tahi lalat hitam seujung jari kelingking. Pertapa ini coba mengingat-ingat.

"Aku merasa pasti... Tapi semuanya aku lihat begitu sempurna. Kalau memang ada yang sanggup melakukan benar-benar sakti luar biasa." Sedayu Galiwardhana membatin sambil menatap wajah perempuan di depannya. Kemudian dia sadar kalau barusan orang bertanya.

7. GADING BERSURAT KE EMPAT

Setelah mendehem beberapa kali Sedayu Galiwardhana membuka mulut. "Aku merasa kisah Empat Gading Bersurat itu bukan rahasia lagi di kalangan orang cerdik pandai dan tokoh rimba persilatan di Bhumi Mataram. Kau bertanya, apakah aku tertarik akan hal itu?"

"Aku tidak mau berdusta. Terus terang aku memang tertarik. Aku sempat mengetahui kalau Gading Bersurat yang pertama ada di tangan seorang bernama Gendadaluh yang juga biasa disebut Arwah Muka Hijau. Namun dikabarkan sejak beberapa waktu yang lalu Arwah Muka Hijau lenyap tak tahu rimbanya..."

"Apakah Gading Bersurat yang ada padanya juga ikut lenyap?"

"Betul sekali, Sedayu. Selain itu dua orang anak buah Arwah Muka Hijau juga dikabarkan hilang secara aneh. Entah masih hidup entah sudah menemui ajal." Sri Sikaparwathi hentikan ucapannya sejenak lalu melanjutkan. "Aku memiliki salinan tulisan yang tertera pada Gading Pertama."

"Apakah kau membawanya saat ini?"

Perempuan tua itu mengangguk. Dari saku jubah jingga sebelah kanan dia mengeluarkan secarik kain putih. Lipatan kain putih dibuka lalu dibentang di lantai goa di hadapan Sedayu Galiwardhana. Di atas kain itu terdapat tulisan hitam dalam huruf Palawa. Apa yang tertulis di atas kain putih itu memang sama dengan apa yang tertulis di Gading Bersurat Pertama yang pernah berada di tangan Arwah Muka Hijau.

"Setahuku Gading Bersurat yang ada pada Arwah Muka Hijau adalah milik penghuni Candi Miring di kawasan induk Kali Dengkeng sebelah timur."

Perempuan tua di hadapan Sedayu Galiwardhana tampak setengah tercengang mendengar ucapan sang pertapa. "Kalau begitu besar kemungkinan Gading Bersurat yang pertama itu kini sudah berada kembali di tangan penghuni Candi Miring?"

"Bisa jadi," kata Sedayu Galiwardhana pula. Pertapa ini diam-diam menduga agaknya Sri Sikaparwathi sudah tahu hubungan antara Arwah Muka Hijau dengan penghuni Candi Miring.

"Sedayu, apakah kau tidak ingin membaca apa yang tertulis di kain putih ini?" tanya Sri Sikaparwathi.

Sang pertapa menggeleng. "Aku sudah lama tidak mencampuri urusan duniawi" jawab Sedayu Galiwardhana sambil untuk kesekian kali matanya melirik lagi ke tahi lalat di telapak kaki kanan perempuan tua itu.

Sri Sikaparwathi lipat potongan kain putih dan masukkan kembali ke saku jubah. Lalu dia berkata. "Aku butuh pertolonganmu Sedayu."

"Dalam hal apa?"

"Walau tidak melihat apa lagi memiliki Gading Bersurat yang pertama namun aku telah tahu isinya melalui salinan tulisan di kain putih tadi. Kelak di Bhumi Mataram akan lahir dua anak lelaki yang akan menjadi Kesatria-Kesatria tangguh. Riwayat dan petunjuk selanjutnya ada pada tiga buah Gading Bersurat lainnya. Seorang tokoh bernama Giring Waleyan, berjuluk Raja Ulok diketahui memiliki Gading Bersurat yang ke tiga. Sayang aku tidak tahu apa yang tertulis di situ. Selain itu Giring Waleyan sendiri sudah menemui ajal di bunuh oleh Ratu Dhika Gelang Gelang. Gading Bersurat yang ke tiga ikut lenyap bersama kematian Giring Waleyan."

"Ratu Dhika Gelang Gelang. Setahuku dia telah lama tidak muncul dan seperti diriku dia juga tidak ingin lagi mencampuri urusan dunia, kecuali jika kerajaan membutuhkan bantuannya."

"Sedayu, urusan yang kita bicarakan ini justru memang ada sangkut pautnya dengan Kerajaan Mataram di kemudian hari. Ratu Dhika Gelang Gelang bukan cuma terlibat tapi juga memiliki Gading Bersurat yang ke dua."

"Bagaimana kau tahu hal itu?" tanya Sedayu Galiwardhana.

Yang ditanya tidak menjawab. Sang pertapa lalu berkata. "Ah, aku tidak seharusnya menanyakan hal itu padamu. Sekarang katakan pertolongan apa yang kau harapkan dariku?"

"Kau benar-benar mau dan bersedia menolongku, Sedayu?"

"Apakah kau meragukan? Seandainya kau minta nyawaku sekalipun pasti akan aku berikan," kata pertapa sakti dari Gunung Merbabu yang kekasih di masa muda Sri Sikaparwathi dan saat itu terbawa hanyut oleh perasaan cintanya terhadap Sri Sikaparwathi.

"Aku sungguh bahagia dan berbangga hati mendengar kata-katamu. Aku tahu hatimu tidak pernah berubah terhadap diriku. Kalau kau ingin tahu, begitu juga hati dan perasaanku terhadapmu."

Sedayu Galiwardhana merasa sangat tersentuh hatinya. Perlahan-lahan dia ulurkan kedua tangan memegang dan membelai tangan kanan perempuan yang duduk bersila di hadapannya seraya berkata lirih. Sri Sikaparwathi balas mengusap meremas jari-jari tangan sang pertapa.

"Katakanlah, pertolongan apa yang kau inginkan."

"Gading Bersurat yang ke empat. Itu merupakan Gading yang paling penting. Merupakan penutup sekaligus kunci petunjuk apa yang akan terjadi atau apa yang harus dilakukan. Apakah kau mengetahui dimana keberadaan Gading Bersurat yang ke empat itu Sedayu? Siapa yang memilikinya?"

Pertapa tua berusia delapan puluh tahun itu terkesiap mendengar ucapan dan lebih-lebih pertanyaan Sri Sikaparwathi. Namun sikapnya ini segera disembunyikan dibalik senyum walau dadanya terasa berdebar. Dalam hati dia membatin. "Kalau perempuan ini akan menanyakan hal itu, sungguh aku telah kelepasan ucapan. Apakah aku harus berdusta? Dewa akan mengutuk diriku." kata Sedayu Galiwardhana dengan suara bergetar. "Aku tahu dimana keberadaan Gading Bersurat yang ke empat yang kau tanyakan itu. Namun aku tidak mungkin mengatakan padamu. Aku telah berjanji. Bagiku janji sama dengan sumpah..."

"Sedayu, kau tadi berkata bahwa kau tidak lagi mau mencampuri urusan duniawi..."

"Betul sekali Sika... Ah, sebaiknya kita tidak membicarakan hal ini..."

"Berarti kau tidak bersedia menolongku. Lalu apa gunanya tadi kau berkata penuh gagah. Seandainya aku minta nyawamu sekalipun pasti kau berikan. Aku tidak menduga kau mau berlaku seperti itu padaku." Sri Sikaparwathi tampak sedih. Dia duduk tak bergerak sambil tundukkan kepala.

"Sika, baiklah...Aku akan mengatakan setengah hal yang benar padamu namun tidak mengatakan hal yang setengahnya lagi. Kalau ini merupakan satu dosa aku minta maaf padamu dan mohon ampun pada Yang Maha Kuasa."

"Bukan, bukan suatu dosa Sedayu, tapi kemunafikan pada diri sendiri..."

Pertapa tua itu serasa ditempelak telak pada mukanya. Sesaat dia terdiam lalu akhirnya berkata. "Aku mengerti sikapmu, tapi harap kau juga mengerti sikapku."

"Aku ingin tahu apa setengah dari kebenaran yang hendak kau katakan." Ujar Sri Sikaparwathi pula dengan nada suara agak sinis.

"Gading Bersurat yang ke empat ada padaku."

Sepasang mata Sri Sikaparwathi nampak membesar dan menyorotkan cahaya. Di atas kepalanya kura-kura hijau bernama Raden Cahyo Kumolo ulurkan kepala sementara dua mata yang merah tampak bersinar lebih terang. Binatang ini miringkan kepala sedikit seperti tengah memasang telinga, siap mendengarkan ucapan kedua orang itu.

"Dimana kau menyimpan Gading Bersurat yang keempat itu, Sedayu?"

"Itulah bagian ke dua dari kebenaran yang tidak dapat aku katakan," jawab Sedayu Galiwardhana pula.

Perempuan tua itu terdiam beberapa jurus. Tak selang beberapa lama dia berkata dengan suara bernada sedih. "Baiklah kalau kau tidak mau mengatakan dimana Gading Bersurat yang ke empat itu berada. Sekarang beri tahu aku apa tulisan yang tertera di gading itu."

"Benda itu adalah benda keramat titipan seseorang. Aku tak pernah membaca tulisan yang ada di badan gading."

"Siapa yang menitipkan Gading Bersurat itu padamu?"

"Aku tidak bisa mengatakan..."

Sri Sikaparwathi tertawa. "Berarti besarnya kebenaran yang kau sembunyikan adalah dua pertiga, bukan setengah."

"Aku minta maaf dan mohon pengertianmu..."

"Sedayu, ketahuilah. Maksudku bertanya adalah baik. Semata-mata untuk mendapat petunjuk dalam menjaga keselamatan dua anak yang akan lahir. Sekaligus menyumbangkan sedikit bakti pada Kerajaan Mataram. Tapi jika kau tidak mau mengatakan tidak jadi apa. Aku berterima kasih untuk pertemuan ini. Aku juga sangat berterima kasih untuk sepertiga ucapan kebenaran itu. Sekarang aku mohon diri..."

"Diluar masih hujan. Angin masih kencang. Malam sangat gelap dan dingin. Tunggulah sampai hujan reda."

"Aku sebenarnya ingin berlama-lama di dalam goa ini. Namun masih banyak urusan yang harus kutangani. Aku datang ketika hujan mencurah deras dan angin bertiup kencang serta malam membutakan pemandangan. Kalau aku meninggalkan tempat ini dalam keadaan yang sama, apakah yang harus di takutkan?"

Sri Sikaparwathi bangkit berdiri. Sedayu Galiwardhana ikut bangun dari duduknya. Tiba-tiba dari mulut perempuan tua berjubah Jingga itu keluar suara siulan keras yang berupa satu isyarat rahasia! Saat itu juga seett! Kura-kura besar hijau di atas kepalanya memasukan kepala kedalam tubuh lalu wuuuttt! Binatang sakti ini melesat ke atas. Tubuhnya yang keras menghantam langit-langit goa.

"Braaakkk!"

Atap goa yang merupakan batu tebal dan keras terbongkar hancur berantakan menguak sebuah lubang besar. Kura-kura hijau terus melesat melewati lobang. Sementara air hujan mencurah masuk dan keadaan di dalam goa gelap karena dua titik merah bercahaya ikut musnah. Saat itu samar-samar tampak sebuah benda putih panjang terjatuh dari bagian atap goa yang runtuh dan berlubang. Gading Bersurat ke empat! Sri Sikaparwathi segera melompat menyambar benda tersebut lalu melesat menembus lobang besar di atap goa!

"Sika! Jangan! Kembalikan gading itu!" Teriak Sedayu Galiwardhana menggelegar. Dia tidak bisa percaya orang yang dicintai dan mencintai itu akan berbuat sekeji itu. Mencuri Gading Bersurat ke empat yang disimpannya di dalam lapisan batu tebal atap goa. Namun perempuan itu sudah lenyap melewati lobang.

Sedayu Galiwardhana tidak membuang waktu. Dia segera pula melesat ke udara mengejar Sri Sikaparwathi. Begitu keluar dari lobang di atap goa dan sampai di teppat terbuka, dia hanya melihat kegelapan di bawah curahan hujan lebat. Namun dia tahu kalau perempuan itu masih berada di sekitar situ. Maka diapun berteriak.

"Sika! Aku mohon kembalikan Gading Bersurat! Itu benda titipan orang yang harus aku pertanggung jawabkan!"

Di dalam gelap terdengar suara tertawa panjang. Sedayu Galiwardhana memandang berkeliling. Berusaha mencari tahu dari mana datangnya sumber tertawa. Dia juga berusaha mencari dua titik merah menyala yaitu sepasang mata kura-kura hijau yang ada di atas kepala Sri Sikaparwathi. Namun dia tidak mampu menjajaki.

"Sedayu! Manusia munafik bermulut ular! Kau bilang tidak mencampuri lagi urusan duniawi. Nyatanya kau memiliki Gading Bersurat!"

"Sika! Aku sudah mengatakan benda itu titipan seseorang. Aku hanya tolong menyimpan!"

"Siapa percaya ucapanmu!"

"Sika! Kembalikan Gading Bersurat itu padaku!"

"Kau orang hebat, orang sakti! Tunjukkan kehebatan dan kesaktianmu! Silahkan merampas kembali Gading bersurat dari tanganku kalau kau bisa!"

Sedayu Galiwardhana walaupun seorang pertapa namun tetap saja manusia yang memiliki batas kesabaran. "Perempuan keji! Jangan kira aku tidak tahu kalau kau bukan Sri Sikaparwathi sebenarnya! Kau manusia palsu terkutuk! Sri Sikaparwathi yang asli tidak memiliki tahi lalat di telapak kaki kanannya! Jika kau tidak segera mengembalikan Gading Bersurat itu maka kau tidak akan melihat lagi matahari terbit di timur. Bahkan nyawamu tidak akan selamat sebelum hujan berhenti!"

"Ucapanmu hebat! Tapi berbau kesombongan! Kau sudah bisa menduga kepalsuan diriku! Sekarang buktikan siapa diriku sebenarnya!" Suara Sri Sikaparwathi menantang dalam gelap. Bersamaan dengan lenyapnya suara perempuan itu tiba-tiba sebuah benda memiliki dua titik cahaya merah menyambar ke arah kepalanya. Kura-kura hijau Raden Cahyo Kumolo!

8. SANG KETUA


Sedayu Galiwardhana melihat kenyataan. Siapapun perempuan tua yang tadi menemuinya bukanlah Sri Sikaparwathi asli, melainkan satu mahluk jejadian yang saat itu sulit diduga siapa adanya. Namun satu hal walaupun jejadian dan palsu orang itu memiliki ilmu kepandaian dan kesaktian tinggi. Penyamarannya sangat sempurna, termasuk pemilikan ilmu kesaktian. Sambaran kura-kura hijau, yang tentunya juga merupakan mahluk palsu jejadian merupakan serangan maut karena yang diarah adalah kepala sang pertapa!

Kalau tadi binatang ini sanggup menghancurkan dan membuat berlobang atap goa yang merupakan batu keras dan tebal-tebal, maka kalau sampai mengenai kepala manusia dapat di bayangkan apa yang bakal terjadi. Pertapa sakti dari Gunung Merbabu ini cepat rundukkan kepala sambil dua tangan dipukulkan ke arah kura-kura hijau bermata merah. Dua larik cahaya putih melesat keluar dari tangan. Itulah Pukulan Dua Tangan Dewa Penghancur Petaka.

"Blaaar! Blaaarr!"

Dua nyala putih berpijar di kegelapan malam. Raden Cahyo Kumolo keluarkan suara menguik keras begitu pukulan sakti membuat tubuhnya terpental tujuh tombak ke udara. Namun tidak cidera apa lagi hancur luluh. Padahal batu sebesar rumahpun sanggup dibuat berkeping-keping oleh pukulan sakti yang dilepaskan Sedayu Galiwardhana itu!

Di dalam gelap terdengar suara tawa Sri Sikaparwathi palsu. Di udara sosok kura-kura pancarkan cahaya hijau terang lalu ujudnya berubah menjadi sepuluh kali lebih besar. Didahului suara kuik menggelegar binatang ini melayang turun dengan suara menderu dahsyat. Kepala keluar dari balik punggung yang atos. Mulut menyemburkan cahaya biru sementara dari sepasang mata melesat dua larik cahaya merah.

"Serangan Langit Runtuh Bumi Terbelah! Bagaimana mungkin!" Sedayu Galiwardhana berseru kaget dan tak percaya. Dia mengenali serangan yang dilancarkan kura-kura jejadian yang kini berubah menjadi binatang raksasa itu. Namun dia harus bertindak cepat untuk selamatkan diri sekaligus membalas serangan.

"Satu Jarum Penyelamat Seribu Jarum Penghukum" Pertapa sakti berteriak sambil kibaskan ujung selempang kain putih yang jadi pakaiannya. Dua tangan kemudian disatukan dan diluruskan ke atas.

Sinar biru dan dua sinar merah yang melesat dari kura-kura hijau menyambar dahsyat. Suara gelegarnya seolah meruntuhkan langit dan menggoncang lereng Gunung Merbabu. Goa kediaman Sedayu Gali-wardhana runtuh ambruk. Sesaat sebelumnya tubuh sang pertapa telah lenyap dari pandangan, berubah menjadi sebatang jarum putih, menancap di tanah. Disekitar jarum putih menebar seribu jarum hitam!

Walau hanya batangan-batangan jarum halus dan kecil namun serangan kura-kura sakti tidak sanggup membuatnya luruh apa lagi tercabut dari tanah dan terpental di udara. Jangankan malam hari yang gelap disertai hujan lebat, siang hari dibawah cahaya matahari terang benderang jarum itu sulit terlihat mata. Itu yang terjadi dengan kura-kura hijau bermata merah. Binatang ini walau memiliki kesaktian namun tidak mampu melihat sosok sang pertapa yang telah menjadi jarum.

Untuk beberapa lama dia melayang berputar-putar naik turun di udara. Ketika kura-kura hijau melayang membuat putaran untuk ke sekian kalinya diteruskan dengan gerakan menyerang ke arah Sedayu Galiwardhana tiba-tiba hampir tak kelihatan, hanya mengeluarkan suara menderu halus, ribuan jarum hitam menderu ke udara, menyambar ke arah bagian tubuh sebelah bawahnya yang lunak!

"Raden! Cepat balikkan tubuhmu!" Dalam gelap terdengar suara teriakan Sri Sikaparwathi dibarengi melesatnya satu cahaya Jingga pertanda dia melancarkan satu serangan untuk melindungi kura-kura hijau.

Dengan membalikkan tubuh hingga bagian punggung yang keras atos menghadap ke bawah, perempuan itu yakin benda apapun yang menyerang tidak mampu menembus tubuh Raden Cahyo Kumolo. Selain itu pukulan yang memancarkan sinar Jingga yang dilepaskannya diharapkan mampu menghalangi dan memapas datangnya serangan.

Walau mendengar peringatan sang tuan namun kura-kura hijau terlambat membuat gerakan menyelamatkan diri. Tubuhnya yang kini sepuluh kali lebih besar membuat gerakan menjadi lamban. Sambaran cahaya Jingga yang memiliki kekuatan tenaga dalam tinggi dan berasal dari kebutan lengan jubah Sri Sikaparwathi terlambat menyapu.

Hampir seribu jarum hitam menancap di tubuh sebelah bawah kura-kura yang lunak. Raden Cahyo Kumolo menguik keras, tubuhnya kepulkan asap hitam. Lalu didahului suara letusan dahsyat binatang ini hancur berkeping-keping. Untuk beberapa lamanya udara dibawah hujan lebat itu dirasuki bau sangit daging terbakar. Sementara dalam kegelapan terdengar suara orang merutuk menyumpah-nyumpah. Itulah suara Sri Sikaparwathi.

Jarum putih yang menancap di tanah pancarkan cahaya terang lalu ujudnya kembali berubah ke asal yakni sosok Sedayu Galiwardhana. Pertapa ini memandang berkeliling, menembus kegelapan malam dan curahan air hujan yang masih terus turun mengguyur lereng Gunung Merbabu.

"Perempuan itu... Aku mendengar suaranya merutuk. Dimana dia? Aku harus mendapatkannya sebelum dia sempat membaca tulisan di Gading Bersurat. Dewa Agung! Aku yang bodoh ini mohon pertolonganMu!"

Pertapa itu kembangkan dua tangan ke samping, telapak saling dirapatkan, kaki berjingkat Air hujan segera menggenang di kedua telapak tangan yang ditampungkan. Perlahan-lahan kepala ditundukkan, hidung mencium air hujan yang ada di telapak tangan sambil hati merapal ucapan. "Air hujan, kau datang dari atas langit. Kau turun membasahi bumi. Bimbing diriku pada perempuan tua yang berbasah-basah itu..."

Dua tangan Sedayu Galiwardhana bergetar. Air yang ditampung tiba-tiba muncrat ke atas. Sang pertapa menghela nafas panjang.

"Air hujan aku berterima kasih. Kau telah berusaha membantu. Namun orang itu memiliki kekuatan penolak membendung kekuatan dirimu." Sedayu usapkan dua tangan ke wajah sambil membatin. "Siapa perempuan itu sebenarnya? Kesaktiannya luar biasa. Apakah dia berasal dari Bhumi Mataram ini? Apa yang harus aku lakukan?"

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara mengorok keras disusul jeritan perempuan.

"Itu jeritan Sri Sikaparwathi palsu! Apa yang terjadi dengan dirinya?"

Sedayu Galiwardhana berpaling ke arah suara jeritan namun hanya melihat kegelapan. Pertapa ini bertindak nekad. Dia segera lari menembus hujan, mengejar ke arah datangnya jeritan tadi. Tiba-tiba buuuukkk! Sang pertapa seperti membentur satu dinding karang. Tubuhnya terpental, terguling di tanah gunung yang becek. Sekujur tubuh sampai ke tulang serasa hancur. Benda apa yang barusan telah ditabraknya. Walau hujan lebat dan malam gelap adalah aneh kalau dia sampai tidak melihat benda itu. Apakah ini lagi-lagi Sri Sikaparwathi yang telah membuat celaka?

Perlahan-lahan Sedayu Galiwardhana berdiri. Dia tidak perdulikan keadaan pakaian putih serta tubuhnya yang kotor bergelimang tanah basah. Tiba-tiba dia melihat satu benda tinggi besar menjulang di hadapannya menyerupai tiang raksasa.

"Pasti perempuan jejadian itu!" pikir Sedayu Galiwardhana. Cepat dia kerahkan tenaga dalam dan alirkan hawa sakti ke tangan kanan. Di ujung ibu jari Sedayu Galiwardhana muncul satu cahaya merah membentuk lingkaran bergerigi. Ketika sang pertapa meniup ke depan, lingkaran cahaya ini berubah menjadi besar lalu seperti sebuah roda raksasa melesat ke arah tiang besar lima langkah di hadapannya. Inilah ilmu kesaktian yang disebut Cakra Dewa Membersih Bumi.

"Rrrreettt! Blaaarrr!" Suara menderu seperti gergaji memotong pohon raksasa.

"Brettt...breettt!" Terdengar suara robekan pakaian!

"Kena!" Sedayu Galiwardhana berseru gembira.

Tapi tak ada jeritan kesakitan. Tidak ada teriakan kematian. Malah pertapa ini terkejut ketika tiba-tiba tiang besar yang barusan dihantamnya bergerak sedikit dan gulungan cahaya merah terpental beberapa tombak lalu jatuh lenyap masuk ke dalam tanah!

Sedayu Galiwardhana terperangah. "Yang aku pergunakan adalah ilmu pemberian Dewa! Hanya Dewa pula yang sanggup menghadapinya! Dengan siapa sebenarnya aku tengah berhadapan! Tidak mungkin perempuan durhaka itu! Yang palsu ataupun yang asli!"

Pertapa ini melompat mundur beberapa langkah lalu mendongak memandang ke atas. Dari jarak yang agak jauh ini baru dia dapat melihat lebih jelas mahluk apa sebenarnya benda yang tadi disangkanya tiang raksasa itu. Ternyata satu mahluk luar biasa tinggi dan besar, mengenakan jubah biru yang tampak robek di bagian kaki. Berkepala botak ditancapi sebuah tanduk memancarkan cahaya merah, kumis hitam menjulai! Di tangan kiri mahluk ini memegang sebuah benda putih panjang yang bukan lain adalah Gading Bersurat yang ke empat!

"Hyang Jagat Batara Dewa! Aku memohon ampun tujuh langit ke atas tujuh langit ke bawah!" Sedayu Galiwardhana berseru keras.

Terdengar suara mengorok disusul terpaan angin aneh yang memerihkan mata. Sang pertapa buru-buru letakan dua tangan di atas kepala, tekuk dua lutut seraya mulut berucap. "Kanjeng Arwah Ketua dari Candi Miring! Mohon beribu maaf. Aku tidak tahu kalau kau hadir di tempat ini."

Sosok yang tadi disangka tiang raksasa keluarkan suara mengorok. "Rmm!"

Secara aneh tiang raksasa menciut hingga kini jadi sama besar dan sama tinggi dengan sang pertapa. "Sedayu Galiwardhana, dengan keadaan tubuhku seperti ini kita bisa bicara lebih baik. Bukan begitu? Sekarang katakan apa yang terjadi?" Mahluk raksasa yang barusan berubah diri keluarkan ucapan sambil menyeringai.

"Kanjeng Arwah Ketua, aku mohon maafmu. Aku telah kedatangan seorang perempuan yang mewujudkan diri sebagai Sri Sikaparwathi. Dia berhasil mengambil Gading Bersurat ke empat yang kau titipkan padaku dan aku sembunyikan di dalam atap batu goa."

Mahluk di hadapan Sedayu Galiwardhana keluarkan suara mengorok lalu berdecak beberapa kali. "Luar biasa, hebat sekali mahluk itu kalau dia mampu mengambil Gading Bersurat dari seorang sakti bernama Sedayu Galiwardhana."

Wajah sang pertapa tampak menjadi merah karena malu. Dia usap mukanya berulang kali. Tapi matanya melirik pada benda putih panjang yang ada di tangan kiri orang yang dipanggilnya dengan sebutan Kanjeng Arwah Ketua Itu.

"Aku telah berlaku lalai. Dan aku tidak malu mengatakan bahwa ilmu kepandaian mahluk itu berada di atas tingkat kepandaian yang aku miliki." Sedayu Galiwardhana kembali letakkan ke dua tangan di atas kepala. Dia ingin sekali menanyakan benda putih panjang yang dipegang mahluk itu namun tak berani keluarkan suara.

"Pertapa sahabatku, kau tak perlu berkecil hati. Aku sendiri juga tidak mungkin menghadapi perempuan itu kalau tidak memiliki bekal Batu Asmasewu didalam tubuhku..."

"Kanjeng Arwah Ketua, apa yang terjadi. Apakah perempuan itu..."

"Aku datang tepat pada waktunya. Aku melihatnya ketika berusaha melarikan diri setelah kura-kura sakti peliharaannya kau hancurkan. Dan aku berhasil merampas Gading Bersurat keempat yang diambilnya dari dalam goa kediamanmu."

"Puji syukur untuk para Dewa. Terima kasih kepada para Dewa. Terima kasih kepada Kanjeng Arwah Ketua yang telah sudi datang untuk membantu pertapa bodoh sepertiku ini." Sedayu Galiwardhana membungkuk berulang kali. Lalu dia bertanya. "Kanjeng Arwah Ketua, apakah kau mengetahui kalau perempuan itu bukan Sri Sikaparwathi yang sebenarnya?"

Arwah Ketua anggukkan kepala dan keluarkan suara mengorok panjang. Tanduk di kepala yang botak pancarkan cahaya terang. Saat itu hujan lebat masih terus turun mengguyur Gunung Merbabu. "Lebih dari tahu sahabatku, lebih dari tahu." Kata Arwah Ketua pula.

"Aku tidak bisa menduga siapa adanya manusia itu. Apakah Kanjeng Arwah Ketua mengetahui siapa dirinya?" Bertanya Sedayu Galiwardhana.

"Ketika dia merubah tubuh menjadi sebesar dan setinggi diriku dia berhasil memukul bahu kananku. Namun saat itu juga tubuhnya memancarkan cahaya hitam, bergetar keras lalu menciut kembali ke bentuk semula. Setelah menjerit satu kali dia melarikan diri. Cahaya hitam yang memancar dari tubuhnya menandakan bahwa dia memiliki ilmu hitam. Sebelum dia melarikan diri aku sempat mengusap wajahnya dengan tangan kiri. Sekilas aku lalu melihat wajahnya yang asli. Kau ingin tahu siapa perempuan itu sebenarnya Sedayu?"

"Tentu saja Kanjeng Arwah Ketua. Kalau kau mau memberi tahu." Jawab Sedayu Galiwardhana.

"Dia adalah seorang laki-laki."

9. BATU ASMASEWU

Sedayu Galiwardhana terperangah kaget.

"Namanya Sebayang Kaligantha..."

"Aku benar-benar tidak menduga. Aku pernah mendengar nama itu. Pernah dua kali bertemu dengannya. Bukankah dia anak muda berwajah tampan, Juru Ukiran Batu dan Prastati Keraton Mataram. Hampir semua candi yang ada di Bhumi Mataram dia yang mengurusi pemeliharaan ukirannya."

"Termasuk Candi Miring di bukit gersang tempat kediamanku," kata Arwah Ketua pula.

"Sebayang Kaligantha setahuku tidak memiliki ilmu kesaktian tinggi. Biasa-biasa saja tapi memang kabarnya pemuda itu punya kepandaian khusus yaitu bisa keluar masuk alam gaib..."

"Kabar yang kau dapat itu memang benar Sedayu. Justru kemampuan bisa keluar masuk alam gaib itulah yang membuat dia pada suatu ketika sampai di bekas Kerajaan Hindu tertua di negeri seberang, Kerajaan Kutai di sebuah pulau besar di laut utara. Di sana dia berhasil menemukan sebuah jimat mustika berupa mutiara besar berwarna dua yaitu sebelah hitam dan sebelah putih. Konon jimat sakti itu bernama Mutiara Mahakam. Jimat itu adalah milik para leluhur Kerajaan Kutai. Disimpan di satu tempat tersembunyi dan sangat rahasia dalam sebuah Yupa yaitu batu keramat yang biasa dipergunakan untuk upacara persembahan kepada Para dewa. Jangankan mengambil menyentuhnya saja haram terkutuk pantangannya. Siapa yang berani bahkan baru mencoba saja melakukan hal itu pasti akan menemui ajal. Leher hancur seperti dicekik tangan raksasa, mata membeliak dan lidah menjulur! Sekujur tubuh akan menjadi hitam legam mengerikan! Konon beberapa orang asing berkepandaian tinggi pernah mencoba. Mereka menemui kematian seperti yang aku katakan tadi. Tapi dengan ilmunya Sebayang Kaligantha bisa masuk ke dalam Yupa, mengambil Mutiara Mahakam yang ada di dalamnya. Sesuai dengan warna mutiara sakti itu, hitam dan putih, maka mutiara tersebut bisa dipergunakan untuk kebaikan, tapi juga untuk kejahatan. Ilmu putih dan ilmu hitam. Salah satu kehebatan Mutiara Mahakam itu adalah seperti yang dilakukan Sebayang Kaligantha tadi. Dia bukan saja bisa merubah diri meyerupai setiap orang yang diinginkannya. Tapi dia sekaligus menyerap ilmu kesaktian yang dimiliki orang itu. Dan itu telah dilakukan terhadap Sri Sikaparwathi untuk mengelabui dirinya guna dapat memiliki Gading Bersurat yang keempat..."

"Berbahaya sekali. Berbahaya sekali Kanjeng..." ucap Sedayu Galiwardhana.

"Benar Sedayu, sangat berbahaya. Bukan saja bagi mahluk semacamku dan manusia seperti mu, lebih dari itu sangat berbahaya bagi Kerajaan Mataram. Aku mengetahui hal ini sejak beberapa bulan lalu... Aku mulai curiga ketika Sebayang tidak pernah muncul lagi di candi untuk membersihkan ukiran batu."

"Dengan merubah diri menyerupai Sri Sikaparwathi apakah berarti Sebayang Kaligantha telah membunuh perempuan itu?" tanya Sedayu Galiwardhana pula penuh tegang karena kawatir orang yang dicintainya itu telah tewas di tangan Sebayang Kaligantha.

"Tidak dapat aku pastikan. Mungkin hal itu perlu kau selidiki. Aku ingin kau membantu mencegah jangan sampai Sebayang Kaligantha mampu menguasai dua anak yang kelak dilahirkan sesuai dengan petunjuk dalam Gading Bersurat yang pertama..."

"Kanjeng Arwah Ketua, mohon maafmu. Ketika kau menitipkan Gading Bersurat yang ke empat padaku, aku sudah mengatakan bahwa aku tidak ingin lagi melibatkan diri dalam urusan dunia. Sekedar membantumu menyimpan Gading Bersurat itu tak jadi apa. Namun kalau kini Kanjeng menginginkan diriku terlibat dalam urusan..."

Belum habis pertapa itu bicara Arwah Ketua sudah memotong. Tanduk merah di atas kepalanya yang botak bersinar terang pertanda ada kemarahan di dalam dirinya. "Sedayu, jangan berpikir picik dan bicara sembrono! Yang Maha Kuasa menciptakan alam semesta, termasuk Bhumi Mataram ini adalah untuk menjadi tempat kediaman kita semua. Karenanya kita mempunyai kewajiban untuk berbakti pada negeri, menjaga ketentraman negeri demi untuk kemaslahatan ummat. Setelah Yang Maha Kuasa memberikan pada kita segala macam berkah yang tidak terhitung banyaknya, apakah kita berani berkata bahwa kita tidak ingin berbakti dengan alasan tidak ingin mencampuri urusan duniawi lagi? Sedayu, apakah saat ini kau hidup di alam duniawi atau sudah berada di alam baka? Bahkan roh dan arwah sekalipun yang sudah berada di alam baka masih ingin memberikan bakti pada Bhumi Mataram. Termasuk diriku! Bagaimana kau yang namanya manusia dan masih hidup menolak melakukan itu dengan alasan yang sungguh tidak masuk akal..."

Sedayu Galiwardhana terdiam beberapa jurus. Lalu akhirnya sambil letakkan tangan di atas kepala pertapa ini berkata. "Kanjeng Arwah Ketua, aku mohon maaf. Aku merasa bersalah dan merasa malu atas ucapan dan sikapku selama ini. Aku mohon petunjuk dari Kanjeng Arwah Ketua, apa yang harus aku lakukan?"

Amarah Arwah Ketua dari Candi Miring surut. "Kalau begitu katamu, aku akan memberi tahu," kata Arwah Ketua dari Candi Miring. "Pertama, aku akan memasukkan dan menyalin apa yang tertulis pada Gading Bersurat pertama dan ke empat yang ada padaku ke dalam benakmu, agar kau tahu apa yang bakal terjadi di Bhumi Mataram ini. Berlutut dan angkat kepalamu. Menatap ke langit!"

Sedayu Galiwardhana lakukan apa yang diperintah. Dia berlutut di tanah becek, kepala ditengadahkan, tak peduli air hujan mencurah di atas wajahnya. Arwah Ketua melangkah mendekati. Satu langkah di hadapan sang pertapa mahluk ini buka mulutnya lebar-lebar. Tangan kiri memegang Gading Bersurat ke empat, tangan kanan dimasukkan ke mulut.

Sesaat kemudian dari mulut itu keluar benda putih kekuningan, bulat besar dan panjang. Itulah Gading Bersurat pertama. Seperti diriwayatkan sebelumnya Gading Bersurat pertama yang dicuri Arwah Muka Hijau berhasil didapatkan Arwah Ketua kembali dan dimasukkan ke dalam mulut, disimpan di dalam tubuh. Dua buah Gading Bersurat kini ada di tangan Arwah Ketua, dirapatkan satu sama lain lalu perlahan-lahan ujung lancip dua gading ditempelkan di kening Sedayu Galiwardhana.

Perlahan-lahan pula dua gading disapukan di atas kening pertapa itu hingga mencapai ujung yang tumpul. Pada saat dua gading disapukan, dua larik sinar putih kekuningan memancar dari badan gading, masuk ke dalam kepala Sedayu Galiwardhana. Arwah Ketua tarik tangan yang memegang gading. Mulut dibuka lebar-lebar. Dua gading sekaligus dimasukkan ke dalam mulut dan sesaat kemudian dua benda keramat itu telah lenyap masuk ke dalam tubuhnya. Mahluk ini menepuk bahu Sedayu memberi isyarat agar pertapa itu kembali berdiri.

"Sedayu, tulisan yang ada pada dua Gading Bersurat kini telah menyatu di dalam benakmu. Jika kau ingin mengetahui dan membacanya usapkan tangan kananmu tiga kali berturut-turut di atas kening. Maka dengan kehendak Sang Hyang Widhi Yang Maha Kuasa di telapak tangan kananmu secara gaib akan muncul tulisan yang ada pada dua gading Bersurat. Tulisan itu akan bergerak dari kiri ke kanan dan akan lenyap dengan sendirinya setelah kau selesai membaca. Kau bisa melakukan hal itu beberapa kali kau suka..."

"Dewa Agung. Terima kasih padamu Kanjeng Arwah Ketua. Kau telah mempercayakan keberadaan tulisan keramat itu untuk kubaca kelak. Sekarang apakah yang harus aku lakukan Kanjeng Arwah Ketua?" Bertanya Sedayu Galiwardhana.

"Yang pertama sekali kau lakukan adalah mencari manusia bernama Sebayang Kaligantha. Kau harus bisa mengambil Jimat Mutiara Mahakam yang ada dalam tubuhnya. Setelah kau berhasil mendapatkan jimat itu,serahkan padaku di Candi Miring."

"Apakah untuk itu aku harus membunuh Sebayang Kaligantha? Mohon petunjukmu Kanjeng Arwah Ketua."

"Jika Jimat Mutiara Mahakam sudah berada di tanganmu maka Sebayang Kaligantha tidak ada arti apa-apa lagi. Tidak berguna membunuhnya kecuali dia minta nyawamu dan kau dalam mempertahankan diri."

"Terima kasih Kanjeng Arwah Ketua. Aku masih ada satu pertanyaan. Konon Gading Bersurat ada empat, bertebar di empat penjuru angin. Yang pertama dan ke empat sudah ada pada Kanjeng, salinan tulisan pada dua gading itu juga sudah berada dalam benakku. Bagaimana dengan Gading Bersurat ke dua dan ke tiga? Apakah Kanjeng Arwah Ketua akan memerintahkanku untuk mendapatkannya?"

"Gading Bersurat yang kedua saat ini berada di tangan sahabat kita Ratu Dhika Gelang Gelang. Gading Bersurat ke tiga ada di dalam Sumur Api, di bawah pengawasan Roh Agung. Gading ini ikut jatuh bersama tubuh Giring Waleyan alias Raja Ulo hangus jadi abu, Gading Bersurat tetap utuh. Jadi tak ada gunanya kau mencari dua gading itu."

"Terima kasih atas petunjuk Kanjeng Ketua," kata Sedayu Galiwardhana. "Kanjeng Arwah Ketua, kalau boleh aku bertanya. Dari mana sebenarnya asal muasal Gading Bersurat itu?"

"Itulah pertanyaan yang sulit dijawab Sedayu. Biarlah hal gaib itu menjadi kerahasiaan Para Dewa." Jawab Arwah Ketua. Mahluk ini keluarkan suara mengorok panjang. Lalu bertanya. "Jika kelak kau berhadapan dengan Sebayang Kaligantha, apakah kau mampu menghadapinya dan mengambil Jimat Mutiara Mahakam itu?"

"Kanjeng Arwah Ketua, tadi aku sudah mengakui bahwa ilmu kepandaian manusia satu itu lebih tinggi dari yang aku miliki. Namun itu tidak mendatangkan rasa takut dalam diriku. Aku akan menyambung nyawa untuk mendapatkan jimat itu dan menyerahkan pada Kanjeng."

"Kau manusia jujur. Yang mau mengakui kekurangan. Tapi tetap ingin menunjukkan kesetiaan dalam menjalankan tugas. Sedayu, aku akan meminjamkan Batu Asmasewu padamu agar kau tidaK merasa khawatir dalam menghadapi Sebayang Kaligantha."

"Kanjeng!" Pertapa tua letakkan dua tangan dia atas kepala. "Aku mana berani ketitipan benda mustika sakti itu? Bagaimana kalau sampai kejadian seperti Gading Bersurat yang ke empat?"

Arwah Ketua menyeringai. "Kalau aku sudah berusaha, kau sudah berusaha maka semua kelanjutannya ada di tangan Yang Maha Kuasa. Selama manusia berusaha dan tidak hanya berserah diri saja pada Yang Maha Kuasa, masakan Yang Maha Kuasa tidak memperhatikan, tidak akan menolong?"

"Kata-kata Kanjeng akan saya camkan baik-baik," ucap Sedayu pula seraya membungkuk.

"Ada satu hal yang harus kau ingat, Sedayu. Jika batu ini sudah berada dalam tubuhmu dan kau terpaksa harus membunuh seorang musuh. Maka ketika kau melakukan hal itu punggungmu jangan sekali-kali menghadap ke timur. Kau dengar Sedayu?"

"Aku dengar Kanjeng."

"Kau mengerti?"

"Aku mengerti Kanjeng Arwah Ketua."

"Sekarang menghadaplah ke timur!"

Sedayu Galiwardhana agak bingung. Malam gelap, hujan lebat pula. Dia tidak yakin mana arah timur. Pertapa ini luruskan tangan kanan ke depan, memutar tubuh sambil berucap "Timur... timur... timur" berulang kali. Dia baru berhenti ketika ujung-ujung jari tangannya terasa bergetar.

"Kanjeng Arwah Ketua, saya sudah menghadapke timur." Memberi tahu Sedayu Galiwardhana pada Arwah Ketua yang saat itu berada di belakangnya.

Baru saja ucapannya berakhir tiba-tiba Sedayu Galiwardhana merasakan ada sebuah benda keras menempel di tengkuknya. Bersamaan dengan itu pertapa tua ini merasakan hawa dingin luar biasa menyelimuti dirinya hingga dia menggigil. Tiba-tiba hawa dingin berubah panas. Perubahan yang mendadak ini membuat tubuh Sedayu Galiwardhana desss...desss...desss kepulkan asap putih lalu terkulai ke depan. Sekujur kulit tubuh terutama wajah berubah putih laksana kain kafan.

Sebelum dia bisa berbuat suatu apa, bahkan suarapun tidak sanggup dikeluarkan tiba-tiba satu hantaman keras melanda batok kepalanya sebelah belakang. Pertapa malang ini terkapar di tanah dengan kepala hancur. Sosok Arwah Ketua lenyap! Berubah menjadi seorang perempuan tua berjubah Jingga dengan seekor kura-kura hijau di atas kepala. Itulah Sri Sikaparwathi palsu yang tadi meniru menyerupai Arwah Ketua dari Candi Miring! Perempuan ini mendongak ke langit, membiarkan wajahnya sesaat diterpa air hujan lalu tertawa panjang.

"Pertapa tolol! Kau memang pantas mati dalam ketololanmu! Aku sudah mendapatkan dua Gading Bersurat! Itu sudah cukup! Mataram tidak akan pernah memiliki dua kesatria sakti mandraguna!"

Ketika perempuan tua pembunuh Sedayu Galiwardhana meninggalkan tempat itu, dari balik reruntuhan goa muncul dua orang. Satu pendek gemuk, satu tinggi kurus. Yang pendek membekal sebuah tambur, bermuka bopeng. Si tinggi kurus membawa sebuah seruling. Wajahnya penuh dengan bercak bintik-bintik putih.

"Tam...tam...tam!" Si gendut pukul tambur dengan tangan kanan lalu berteriak. "Oala! Kita datang terlambat... Pertapa itu sudah jadi mayat!"

"Hyang Jagat Bhatara! Mudah-mudahan kita tidak kualat!" Si tinggi kurus menyahuti. Lalu tiup suling keras-keras mengalahkan derasnya deru hujan.

Sementara itu di antara dua gundukan batu yang terbelah seorang yang sejak tadi mendekam keluarkan suara memaki. "Ada orang mati malah menabur tambur! Ada mayat malah meniup seruling! Manusia-manusia jelek edan dari mana yang ke sasar ke sini. Dari ciri-ciri mereka siapa lagi kalau bukan si Tambur Bopeng dan si Suling Burik. Dua manusia jahil! Lebih baik aku cepat-cepat tinggalkan tempat ini. Aku harus bisa mengetahui siapa sebenarnya mahluk yang menyaru sebagai perempuan tua bernama Sri Sikaparwathi itu. Aku harus menemui Arwah Ketua di Candi Miring. Tapi aku akan mencari pemuda itu lebih dulu." Orang itu usap wajahnya yang basah. "Hujan sialan! Dandananku sampai luntur begini! Hik...Hik!" Orang di celah dua gundukan batu berkelebat pergi mengeluarkan suara benda bergemerincing.

"Ada orang!" ucap si pendek bermuka bulat bopeng penabuh tambur.

Si penabuh tambur dan peniup suling serta merta mengejar ke arah gundukan batu. Namun mereka tidak menemukan siapa-siapa selain mencium bau harum.

"Aneh, bagaimana hujan lebat begini bisa ada bau harum?" Kata si gemuk pendek. "Jangan-jangan ada bidadari turun dari langit kesasar ke Gunung Merbabu ini!"

"Kalau memang bidadari aku suka sekali!" menyahuti si tinggi kurus sambil bolang balingkan seruling. "Tapi bagaimana kalau yang kesasar demit perempuan tidak pakai celana?!"

"Ha...ha! Kalau itu aku yang suka!" jawab si gendut. "Aku bisa berteduh di bawah perutnya! Pasti hangat!"

Kedua orang aneh ini lalu tertawa gelak-gelak di dalam gelapnya malam, dibawah hujan lebat. Puas tertawa si pendek berkata.

"Kasihan sahabat tua kita Aki Sedayu. Sebaliknya kita semayamkan jenazahnya sebagaimana mustinya. Untuk membakarnya dalam cuaca begini rupa di tempat ini tidak mungkin. Sebaiknya dikubur saja agar tidak dirusak binatang buas."

"Kau benar, mari kita mulai." Kata lelaki bertubuh tinggi kurus.

Si pendek gemuk mulai menabuh tambur. Si tinggi kurus segera meniup suling mendayu-dayu seperti suara mahluk meratap. Lereng Gunung Merbabu bergetar. Air di tanah becek bergelombang. Deru hujan mereda ditindih suara tiupan seruling. Secara aneh tanah terkuak membentuk lobang. Perlahan-lahan sosok jenazah Sedayu Galiwardhana masuk ke dalam lobang.

Sesaat kemudian tanah menutup kembali. Jenazah sang pertapa lenyap dari pemandangan. Sambil terus meniup seruling si tinggi kurus tandang satu bongkahan batu besar bekas runtuhan goa. Batu ini melayang dan jatuh di tanah dibawah mana jenazah Sedayu Galiwardhana tertimbun.

10. GUCI PENYEDOT PERAWAN

SEJAK ibunya tidak lagi bersamanya Ananthawuri banyak bermenung. Kalau malam sulit baginya untuk tidur. Kalaupun dia bisa memicingkan mata, hanya sebentar saja kemudian terbangun lagi. Kadang-kadang dia sengaja tidur di kamar sang ibu yang kini dalam keadaan kosong, mengharap ingatannya pada ibunya itu bisa berkurang sekaligus menghilangkan kerinduan. Namun di kamar ini rasa sedihnya semakin bertambah. Terbaring seorang diri di atas tempat tidur Ananthawuri sering menitikkan Air mata.

Suatu ketika dia kedatangan Roh Agung. Apa yang diucapkan Roh Agung selalu diingat anak gadis yang kini tengah mengandung memasuki bulan kedelapan.

"Anak perawan yang tengah mengandung. Mengapa bersedih seperti berkabung. Ibumu pergi sesuai dengan kehendak hatinya. Para Dewa telah memberi jalan yang terbaik bagi dirinya."

Ananthawuri memberanikan diri bertanya pada Roh Agung yang muncul dalam bentuk suara. "Roh Agung, pelindung diri saya siang dan malam. Banyak budi dan berkat telah saya terima darimu. Jika saya boleh bertanya dimanakah ibu saya saat ini?"

Roh Agung menjawab. "Anak perawan pilihan Para Dewa. Ibundamu berada di tempat yang terbaik bagi dirinya. Tidak perlu khawatirkan. Para Dewa tahu apa yang Mereka lakukan."

"Wahai Roh Agung. Saya ingin bertemu dengan ibu. Saya ingin dekat dengan dirinya. Saya ingin jika saya melahirkan, ibu ada bersama saya."

"Kau anak yang baik. Tidak pernah melupakan orang tua. Dalam susah dan senang. Segala pujian untuk dirimu. Segala rakhmat dan berkat akan bertambah atas dirimu."

"Tapi apakah ini namanya rakhmat dan berkat jika saya dipisahkan dari Ibu?"

Sunyi, tak ada jawaban.

"Roh Agung, apakah kau masih ada di sini?" Ananthawuri bertanya.

"Ananthawuri, tidak ada yang memisahkan dirimu dengan ibumu. Semua terjadi atas kemauan ibumu sendiri. Dia lebih banyak mengingat kampung halamannya. Itulah keluhuran budi pekertinya. Yang tidak semua orang memiliki. Dia lebih banyak mengingat mendiang ayahmu. Itulah kecintaan yang sejati. Yang diperlihatkan bukan hanya semasa ayahmu masih hidup berkalang badan tapi juga setelah meninggal berkalang tanah. Apa yang dilakukannya bukan kesalahan. Karena memang begitulah sifat manusia. Karena itu pula Para Dewa berlaku bijaksana atas dirinya. Cobaan dan ujian itu adalah suatu rakhmat. Kalau saja manusia mau menyelaminya. Harap kau camkan hal itu baik-baik"

Anak perawan dari Sorogedug itu terdiam. Dia sadar tengah bicara dengan siapa. Sambil tundukkan kepala dan tekapkan dua tangan ke dada dia berkata. "Roh Agung, maafkan saya kalau bicara tidak semestinya. Saya sangat menghormatimu. Saya pasrah apapun yang akan terjadi dengan diri saya. Selama Roh Agung mendampingi saya, saya merasa tidak khawatir..."

"Ananthawuri, di luar Sumur Api banyak orang mencarimu. Untuk maksud baik maupun maksud buruk. Karena itu kau harus berjaga diri. Memperhatikan kandunganmu. Jika kau berjalan-jalan di taman. Jangan sekali-kali berada di dekat pohon yang berbunga Jingga. Itu sangat tidak baik bagi perempuan yang tengah mengandung seperti keadaanmu. Jika tidak perlu benar, jangan berada diluar tempat kediamanmu."

"Roh Agung, terima kasih atas petunjukmu. Saya akan mengingat hal itu baik-baik. Roh Agung ada satu yang ingin saya tanyakan. Apakah Roh Agung kiranya mau menjawab?"

"Apa yang hendak kau tanyakan. Ananthawuri?"

"Menurut hitungan kandungan saya sudah memasuki usia delapan bulan. Tapi mengapa perut saya tetap rata saja? Padahal di desa saya sudah sering melihat, perempuan yang kandungannya baru empat lima bulan saja perutnya sudah besar. Apakah saya benar-benar hamil wahai Roh Agung?"

"Seperti sudah kukatakan. Kehamilan gaib. Atas kehendak Para Dewa. Walau kelak nanti kau melahirkan maka dirimu akan tetap perawan. Apakah kau tidak merasa adanya tanda-tanda kehidupan dalam tubuhmu?"

"Saya memang merasakan ada sesuatu yang bergerak dalam perut saya." Jawab Ananthawuri.

"Itulah tanda-tanda adanya kehidupan dalam tubuhmu. Itulah janin anak yang kelak akan kau lahirkan. Itulah tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang atas dirimu."

"Terima kasih Roh Agung. Saya berterima kasih padamu. Dan berpuji syukur kepada Para Dewa Yang Maha Kuasa."

"Kau anak baik. Itu sebabnya Para Dewa memilihmu sebagai perawan terpuji. Bilamana Para Dewa berkehendak, satu ketika kau pasti akan bertemu lagi dengan ibumu. Sebelum pergi ada satu hal lagi yang harus kau ingat baik-baik. Bilamana kau menemui atau melihat sebuah benda aneh, yang mungkin pernah atau mungkin juga tidak pernah kau lihat di tempat ini sebelumnya, apapun ujud dan keadaannya jangan sekali-kali kau dekati. Apa lagi sampai kau sentuh."

"Hal itu akan saya perhatikan wahai Roh Agung." Jawab Ananthawuri.

"Aku pergi sekarang..."

Anak perawan dari Sorogedug itu membungkuk sambil letakkan dua tangan di atas dada. "Terima kasih Roh Agung. Mohon doa dan perlindunganmu."

Walau ingatan kepada ibunya tidak bisa pupus begitu saja namun kini rasa sedih di hati Ananthawuri agak berkurang. Suatu malam dari jendela kamarnya dia memandang ke arah taman. Ingin hatinya pergi ke sana, membelai dan mencium bunga yang harum yang tengah mengembang. Namun kalau dia ingat akan kata-kata Roh Agung maka hatinya menjadi ragu. Jika berada di taman jangan sekali-kali mendekati setiap pohon berbunga Jingga.

"Aneh, mengapa ada pantangan seperti itu. Apakah bunga jingga menjadi racun bagi diriku yang sedang hamil secara gaib?"

Beberapa hari kemudian ketika Ananthawuri duduk-duduk di belakang jendela kamarnya tiba-tiba ada suara mencicit disusul suara menggelepar. Lalu sebuah benda melayang jatuh di depan jendela. Ananthawuri cepat berdiri memperhatikan. Benda yang jatuh itu ternyata seekor burung mungil berbulu merah, kuning dan biru. Kasihannya binatang ini dalam keadaan mati. Sayap kuncup, dua kaki meregang ke atas.

"Malang sekali nasibmu burung," ucap Ananthawuri. Anak perawan ini keluar dari kamar maksudnya hendak melihat lebih dekat. Sambil memandangi burung yang mati gadis itu membatin. "Tak pernah kulihat burung seperti ini sebelumnya di dasar Sumur Api. Dari mana datangnya?"

Ananthawuri lupa akan ucapan dan peringatan Roh Agung beberapa hari lalu. Gadis itu ulurkan tangan kanan hendak mengusap burung yang mati. Tiba-tiba dia terpekik. Sebelum sempat menyentuh burung mungil mendadak sontak ujud binatang itu berubah menjadi seekor burung hantu besar yang di Bhumi Mataram dikenal dengan nama burung Celepuk.

Ketika Ananthawuri bersurut ujud burung Celepuk berubah lagi menjadi sosok seorang anak kecil tanpa pakaian, bermuka rata tidak memiliki mata, telinga, hidung maupun mulut. Ananthawuri menjerit ngeri. Masih dalam kejut keterperangahannya sosok anak kecil itu dengan cepat berubah pula merupakan ujud seorang nenek serba biru, mulai dari jubah, rambut, wajah serta kulit tubuh. Dengan gerakan cepat nenek ini mengeluarkan sebuah guci tembaga dari balik jubah. Mulut guci diacungkan ke arah Ananthawuri, sambil komat-kamit merapal mantera.

Bersamaan dengan memancarnya sinar terang di badan guci, tiba-tiba tubuh Ananthawuri berubah seperti asap dan tersedot masuk ke arah mulut guci tembaga! Hanya sekejaban lagi tubuh asap Ananthawuri akan masuk ke dalam mulut guci tiba-tiba satu cahaya merah menderu. Nenek berjubah biru terdorong ke belakang. Tangan yang memegang guci tembaga bergetar hebat. Guci berubah seperti bara menyala. Si nenek menjerit dan lepaskan guci tembaga. Sekali lagi tubuhnya diterpa cahaya merah hingga terjengkang di lantai depan jendela.

"Kau datang tanpa perkenan. Kau datang membawa niat jahat. Kau mengundang kemurkaan Para Dewa! Kembali ke bentuk asalmu! Tubuh kasarmu boleh pergi namun nyawamu harus kau tinggalkan di dasar Sumur Api!"

Wusss!

Tubuh si nenek, juga guci tembaga yang tergeletak di lantai dikobari api. Ananthawuri sendiri yang tadi sebagian tubuhnya sempat jadi asap jatuh terguling di lantai merintih kesakitan. Kobaran api yang membakar tubuh si nenek lenyap. Di lantai kemudian tampak sosok burung Celepuk mengepulkan asap. Begitu kepulan asap lenyap, burung Celepuk juga sirna. Dilantai hanya kelihatan genangan cairan merah. Darah!

11. ROH POHON BUNGA MELATI

Seperti diceritakan dalam bab 5 (Takdir Sang Ibu) Sukantili yang tertidur di atas makam suaminya telah kedatangan suara Roh Agung yang menegurnya karena telah meninggalkan Sumur Api. Menyadari perbuatannya yang melanggar ketentuan itu Sukantili mengaku bersalah dan bersedia kembali ke Sumur Api. Namun Para Dewa berkehendak lain. Perempuan itu dijadikan pohon Melati, ditumbuhkan di atas kepala makam Panggaling, suaminya.

Semua kegaiban yang terjadi atas kehendak Yang Maha Kuasa itu disaksikan oleh seekor burung Hantu jantan atau burung Celepuk yang mendekam di salah satu cabang pohon Kemboja tak jauh dari makam. Sementara bau harum puluhan kembang Melati mulai merebak pada malam menjelang pagi itu, si burung Hantu jantan kembangkan sayap, putar mata besarnya beberapa kali lalu melesat dari pohon Kemboja, terbang meninggalkan pemakaman.

Di satu tikungan Kali Opak yang arusnya deras menderu burung Hantu tadi terbang merendah, melayang berputar-putar di bagian kali yang banyak batu-batu besar. Binatang ini tegak tak bergerak di atas sebuah batu berbentuk lancip, menatap ke arah celah antara dua batu besar. Tiba-tiba dari bawah kederasan arus air kali di antara dua celah muncul seekor kura-kura hijau bermata merah.

Binatang ini ternyata berada di atas kepala seorang nenek yang rambutnya putih dijalin melingkari kepala. Dari pakaiannya berupa jubah Jingga jelas kalau dia adalah Sri Sikaparwathi palsu jejadian yang beberapa waktu lalu telah membunuh pertapa Sedayu Galiwardhana di Gunung Merbabu dengan cara merubah diri menyerupai Arwah Ketua dari Candi Miring.

Perempuan tua itu kini berdiri di atas sebuah batu besar. Wajah, tubuh dan pakaiannya basah oleh air kali. Kura-kura di atas kepala yang juga merupakan mahluk palsu jejadian dan bernama Cahyo Kumolo ulurkan kepala, mendongak ke langit dan pancarkan cahaya merah dari kedua matanya. Burung Celepuk jantan di atas batu lancip kembangkan sayap, tundukkan kepala tiga kali berturut-turut lalu kembali mengambil sikap diam tak bergerak dengan sepasang mata bulat besar menatap tak berkedip ke arah kura-kura hijau dan perempuan tua yang menjunjungnya.

"Celepuk Hutan Randugunting, beberapa hari lalu aku telah membunuh pertapa Sedayu Galiwardhana yang diam di Gunung Merbabu. Namun dua malam lalu sahabatmu Celepuk Hutan Randuwangi menemui ajal sewaktu berusaha menerobos Sumur Api. Aku berhasil merampas Gading Bersurat yang ke empat. Gading yang paling penting diantara empat gading yang ada. Namun Para Dewa telah mempergunakan kekuatan dan kekuasaan. Tulisan di Gading Bersurat yang ke empat itu pupus lenyap. Gading kuning panjang dalam keadaan polos, tidak ada satu tulisan huruf Palawa tertera di situ. Tapi aku tidak putus asa. Aku masih membekal beberapa rencana. Sekarang ceritakan bagaimana dengan perintah dan tugas yang aku berikan padamu!"

Burung Hantu di atas batu runcing kembali rentangkan sayap dan membungkuk tiga kali. Saat itu juga sosok burung malam ini berubah menjadi sosok seorang anak kecil berusia sekitar tiga tahun dan tak berpakaian. Si anak membuka mulut, maka terdengar dia berucap. Suaranya memang suara anak-anak tetapi lurus dan jelas.

"Kanjeng Ayu Sri Sikaparwathi, aku sudah lama tahu apa yang terjadi tapi baru sekarang dapat menemui dirimu karena baru tadi malam menjelang pagi ini kau memberi kesempatan padaku untuk bertemu."

"Itu memang kemauanku. Membagi waktu tidak bisa dilakukan secara semrawutan. Salah waktu bisa berarti kehilangan nyawa seperti yang terjadi dengan sahabatmu Celepuk Hutan Randuwangi. Sekarang terangkan bagaimana keberhasilan tugasmu."

"Kanjeng Ayu, setelah Sinuwun Raka Bhumi berhasil menyesatkan janda bernama Sukantili dengan ilmu Menipu Mata Menipu Langkah hingga perempuan itu keluar dari dasar Sumur Api, aku berhasil pula mengetahui apa yang kemudian terjadi dengan dirinya. Para Dewa menghukum Sukantili. Menjadikan perempuan itu sebagai sebatang pohon Melati yang tengah berbunga lebat. Ditancapkan di kepala kuburan mendiang suaminya di pemakaman di luar Desa Sorogedug."

"Kau luar biasa hebat Celepuk Hutan Randugunting. Berarti kita akan mampu menemui jalan rahasia masuk ke dasar Sumur Api..." Sri Sikaparwathi jejadian menatap ke arah langit sebelah timur. "Sayang, sebentar lagi sang surya akan segera muncul. Kau boleh pergi. Tapi besok begitu matahari tenggelam, kau harus berada di tempat ini. Antarkan aku ke kubur suami Sukantili."

"Perintah Kanjeng Ayu akan aku perhatikan dan akan aku lakukan. Sekarang aku mohon diri."

Anak lelaki tanpa pakaian itu kembang kan dua tangan ke samping. Kepala ditundukkan. Saat itu juga dirinya berubah menjadi burung Hantu, melesat ke udara dan lenyap di kegelapan malam.

* * *

MALAM baru saja datang. Di langit tampak bulan sabit menghias langit biru bersih. Bintang-bintang bertaburan berkelip kelip. Kawasan pemakaman di luar Desa Sorogedug di selimuti kesunyian. Sesekali angin malam bertiup agak kencang membuat rerantingan berderik dan daun-daun pepohonan bergemerisik.

Di samping makam Panggaling, suami Sukantili yang juga adalah ayah Ananthawuri berdiri perempuan tua penjunjung kura-kura hijau Sri Sikaparwathi palsu jejadian. Di cabang pohon Kemboja bertengger burung Celepuk Hutan Randugunting yang telah membawa si nenek ke tempat itu.

"Celepuk Hutan Randugunting, kau telah melaksanakan tugas. Kau boleh pergi sekarang. Sesuai janji aku akan memberi teman hidup bagimu. Kau boleh pergi bersamanya. Aku akan memanggilmu kembali jika aku perlukan."

Celepuk Hutan Randugunting kembangkan sayap, kepala menunduk tiga kali. Mata menatap berkesip ke arah perempuan di bawah pohon. Sri Sikaparwathi genggamkan jari-jari tangan kanan. Ketika genggaman dibuka dari tangan si nenek menggelepar keluar seekor burung Celepuk betina. Binatang ini melayang terbang di atas pohon Kemboja, berputar dua kali. Pada putaran yang ke tiga burung Celepuk Randugunting yang bertengger di dahan pohon melesat ke udara, mengikuti Celepuk betina. Kedua burung itu kemudian terbang menghilang ke arah timur.

Hanya sesaat setelah dua ekor burung Celepuk melayang pergi Sri Sikaparwathi segera mendekati pohon bunga Melati yang puluhan bunganya tengah mengembang, menebar bau harum. Di depan pohon yang tumbuh di kepala kubur Panggaling itu si nenek mendudukkan diri, bersila di tanah. Mengosongkan jalan pikiran, mulai melakukan semedi. Lewat tengah malam tubuh perempuan tua ini bergetar. Bersamaan dengan itu dari akar pohon kembang Melati terlihat kepulan asap tipis. Si nenek bangkit berdiri. Dengan mata terpicing dia melangkah memutari pohon Melati sambil mulutnya berucap.

"Langit bersih, bulan sabit menghias malam. Angin lembut sejuk menyapu bumi, mengusap lembut pepohonan. Wahai mahluk perempuan yang ada di dalam pohon bunga Melati, bangunlah dari tidurmu. Aku ingin bercengkrama dengan dirimu. Malam begitu indah, bukankah sungguh enak untuk bicara bercakap-cakap. Wahai mahluk perempuan yang ada dalam pohon bunga Melati, bangun dan keluarlah. Temui diriku. Kita berjodoh untuk bertemu. Wahai mahluk perempuan di dalam pohon bunga Melati, keluarlah. Temui diriku. Kau belum mati, berarti roh dan tubuh kasarmu bisa keluar dari dalam pohon menemui diriku. Kita berjodoh untuk bertemu..."

Kata-kata itu diucapkan berulang kali tiada henti oleh Sri Sikaparwathi hingga larut malam. Menjelang dini hari perlahan-lahan langit yang tadi cerah kini tampak redup tertutup awan. Bulan sabit lenyap dari pemandangan. Kawasan pemakaman kini diselimuti kegelapan. Saat itulah tiba-tiba pohon bunga Melati kelihatan bergoyang.

Mula-mula perlahan, makin lama makin kencang. Puluhan bunga melati luruh, mental berserakan di tanah, sebagian jatuh di atas makam Panggaling. Si nenek merasakan tanah yang dilangkahinya seputar pohon bunga bergetar. Lalu ada hawa aneh menebar bersama kepulan asap tipis. Dia segera hentikan langkah dan membuka mata yang sejak tadi dipejamkan.

Ketika mata terbuka dan pandangan terkembang, di hadapan Sri Sikaparwathi palsu jejadian telah berdiri seorang perempuan separuh baya, berkulit kuning berwajah ayu, mengenakan pakaian berupa kemben dari bahan halus dan bagus. Inilah satu keajaiban gaib yang didasari ilmu kesaktian luar biasa tinggi. Karena perempuan yang berdiri di hadapan si nenek adalah Sukantili, ibu Ananthawuri yang oleh para Dewa telah dirobah menjadi pohon bunga melati dan ditanamkan di depan makam suaminya!

Si nenek tersenyum lalu menyapa. "Perempuan dari dalam pohon bunga, aku bersyukur dan berterima kasih kau akhirnya mau keluar menemui diriku yang buruk ini. Berkat Para Dewa menjadi bagian dirimu. Aku yang sudah tua ini mungkin sudah tumpul pikiran dan lamur pandangan. Kalau aku boleh meyakinkan diri bukankah kau perempuan dari Desa Sorogedug bernama Sukantili?"

Sukantili tidak segera menjawab. Perempuan ini nampak masih terheran-heran. Apalagi melihat kura-kura hijau bermata merah di kepala si nenek. Tercengang ada, takut juga ada. Sebelum Sukantili sadar kalau dia berada di dekat makam suaminya si nenek cepat-cepat bertanya.

"Perempuan ayu yang keluar dari dalam pohon bunga Melati..."

Sukantili terkejut mendengar kata-kata si nenek. "Apa...? Saya keluar dari dalam pohon bunga Melati katamu nek?"

"Betul sekali. Dan namamu adalah Sukantili, berasal dari desa Sorogedug."

Sukantili mengangguk. Heran. Dia tidak mengenal si nenek tapi si nenek banyak tahu mengenai dirinya. "Nek, kau ini siapa?" bertanya Sukantili.

"Tidak penting siapa diriku. Yang lebih utama adalah bahwa kau mempunyai seorang anak gadis bernama Ananthawuri. Benar?"

"Benar. Tapi anak itu..." Wajah Sukantili mendadak tampak sedih, berusaha menahan tangis walau dua matanya tampak sudah merebak berkaca-kaca.

"Aku tahu... aku tahu," memotong Sri Sikaparwathi dengan sikap seperti insan arif bijaksana sementara kura-kura di atas kepalanya angguk-anggukan kepala berulang kali. "Aku tahu apa yang terjadi dengan gadis ayu mu itu. Aku juga tahu kau baru saja meninggalkan Sumur api..."

"Nek, bagaimana kau bisa tahu riwayat diri saya? Kau ini siapa sebenarnya. Apakah kau penjelmaan Dewa atau yang selama ini hadir dengan ujud suara yaitu Roh agung? Saya takut pada kura-kura di atas kepalamu. Binatang itu dari tadi memperhatikan saya dengan matanya yang merah menyala..."

"Kau tak perlu takut pada binatang peliharaanku. Dia sejinak burung merpati. Tapi dia bisa seganas iblis kalau ada yang berani mengganggu diriku. Kau juga tidak perlu menerka siapa diriku. Sukantili, apakah kau ingin kembali ke Sumur Api menemui anak gadismu yang tengah hamil itu?"

Sukantili tertegun sesaat. Sepasang mata perempuan ini membesar. Wajahnya penuh harapan. "Nek, apakah... apakah kau bisa mengembalikan diriku kesana. Walau hanya barang sekejap sudah cukup bagi saya. Setelah menemui anak itu saya ingin kembali ke sini. Tapi jika benar katamu saya tadi keluar dari pohon Melati itu, kalau bisa saya memilih lebih baik tetap berada di Sumur api."

"Sukantili, kau harus percaya padakuJika kau mau kutolong kembali agar bisa bersama anakmu lag maka kau harus menolong aku menunjukan jalan bagaimana caranya bisa masuk ke Sumur Api."

"Saya tidak tahu bagaimana caranya..."

"Kau bisa keluar dari Sumur Api..."

"Semua terjadi diluar kemampuan saya. Diluar sadar saya..." kata Sukantili pula.

"Kau tidak usah khawatir Sukantili. Kau hanya memberi tahu padaku, bagaimana mula-mula kau bisa keluar dari dasar Sumur Api. Lalu kau tentu masih ingat jalan yang kau tempuh hingga kau sampai disini sebelum Para Dewa menjadikanmu sebagai sebatang pohon bunga Melati."

"Saya... Sulit bagaimana saya memastikan kejadiannya. Semua terjadi begitu cepat, serba gaib..."

"Tapi kau tentu masih mengingatnya bukan? Coba kau bayangkan sewaktu kau masih berada di dasar Sumur Api. Apa yang kau lakukan, kau berada dimana saat itu sebelum kau tahu-tahu berada di tempat ini. Cobalah mengingat, aku akan membantu menuntun daya pikirmu." Si nenek lalu tempelkan telapak tangan kirinya di atas kening Sukantili.

Sukantili merasa hawa sejuk memasuki kepalanya. Pemandangannya lebih cerah dan jalan pikirannya lebih terbuka.

"Apakah kau sudah bisa mengingat kembali, Sukantili?" Bertanya Sri Sikaparwathi. "Jika kau ingat katakan perlahan-lahan saja. Tidak usah terburu-buru..."

"Mula-mula saya melihat seekor burung menyusup masuk ke pohon berbunga Jingga. Lalu... ada batu putih. Saya..."

"Tunggu dulu, pohon berbunga Jingga dan batu putih itu terletak dimana? Di dasar Sumur Api sebelah mana?" Sri Sikaparwathi memotong.

"Di dalam taman," jawab Sukantili.

"Hemm... Lanjutkan keteranganmu. Aku gembira jalan pikiranmu ternyata jernih"

"Ternyata pohon berbunga Jingga akarnya ada di batu itu. Saya berlaku lancang. Memegang batu putih. Tiba-tiba batu memancarkan cahaya terang lalu naik ke atas. Di tanah bekas batu tadi berada ada satu lobang. Saya masuk... Tidak saya lebih dulu mendengar suara gamelan. Lalu saya masuk ke dalam lobang. Ada tangga menuju ke atas. Saya berada di sebuah lorong. Di ujung lorong saya menemui sebuah pohon aneh., besar tidak berdaun. Pohon ini tumbuh miring di satu pedataran pasir..."

"Sukantili, sampai kau menemui pohon itu, apakah kau bertemu atau melihat seseorang?" Tanya Sri Sikaparwathi.

Sukantili gelengkan kepala. "Saya tidak melihat siapa-siapa. Tidak ada orang lain. Tapi..."

"Tapi apa?"

"Ketika saya melangkah meniti di pohon beoar ada satu suara menegur agar saya kembali..."

"Kemudian apa yang kau lakukan? Kau mengikuti perintah suara itu?"

"Tidak Nek, saya jalan terus. Tiba-tiba tubuh saya terpental. Mungkin saya pingsan. Karena ketika saya sadarkan diri saya telah berada di halaman depan rumah saya..."

"Lalu bagaimana kejadiannya kau kemudian berada di pemakaman ini dan berubah menjadi pohon bunga Melati?"

"Saya sengaja datang ke makam untuk melihat kubur mendiang suami saya. Mungkin saya terlalu letih. Hingga akhirnya tertidur di atas kuburan. Sewaktu saya terbangun, saya mendengar suara itu lagi..."

"Kau ingat apa yang diucapkan suara itu?"

Sukantili coba mengingat-ingat. "Saya hanya ingat kata-kata yang terakhir. Katanya saya akan menjadi penghuni makam, mendampingi suami saya untuk selama-lamanya. Kecuali jika suatu ketika kelak Para Dewa menentukan lain."

Sri Sikaparwathi menarik nafas lega dan tersenyum. Sambil menepuk-nepuk bahu Sukantili nenek jejadian penjunjung kura-kura ini berkata. "Ketika kau meninggalkan Sumur Api, kau ingat berapa usia kandungan Ananthawuri?"

"Memasuki bulan ke delapan, jawab Sukantili.

"Kau sudah tiga puluh hari menjadi pohon bunga Melati. Berarti sekarang ini Ananthawuri tengah menunggu saat kelahiran bayinya..."

"Saya mohon kepada Para Dewa. Jika Ananthawuri melahirkan saya berada di dekatnya..." kata Sukantili setengah terisak.

"Kau tidak perlu khawatir. Sudah saatnya kita kembali ke Sumur Api. Kau akan membimbing dan membawaku ke sana berdasarkan kesaksian yang kau berikan. Kita akan menempuh jalan yang kau lewati. Perempuan cerdik, sekarang kita sama-sama masuk ke dalam pohon bunga Melati."

Si nenek kemudian memegang lengan Sukantili. Mulutnya berkomat kamit. Kura-kura hijau di atas kepala keluarkan suara mengorok halus. Tiba-tiba sosok Sukantili dan Sri Sikaparwathi berubah menjadi asap. Angin malam bertiup kencang. Pohon bunga Melati bergoyang keras. Dua kepulan asap masuk ke dalam pohon bunga Melati. Begitu asap pupus, pohon bunga itupun lenyap dari pemandangan.

12. PETAKA DI DASAR SUMUR API

SRI SIKAPARWATHI berdiri diujung pe-dataran pasir berwarna coWat. Tangan kiri masih memegang lengan Sukantili yang berdiri di sampingnya. Keadaan di tempat itu terang benderang namun tidak kelihatan sumber cahaya apa lagi keberadaan matahari. Walau suasana tampak tenang-tenang saja namun si nenek tahu betul, setiap saat bahaya bisa muncul mengancam baik yang datang dari luar alam gaib dimana dia berada maupun yang muncul dari tempat itu sendiri.

"Nek, lenganku terasa sakit. Mengapa kau masih memegangi?" Berkata Sukantili sambil berusaha menarik lengan kirinya yang sudah sekian lama masih dipegangi si nenek.

"Aku tahu apa yang aku lakukan." Jawab Sri Sikaparwathi. "Sebelum sampai kesini, selagi masih di alam luar sana aku sudah punya firasat. Ada beberapa orang sakti melakukan pengintaian. Mereka berusaha mengikuti kita. Mereka semua punya maksud jahat. Mencoba ikut menembus masuk ke dalam alam gaib. Namun tidak berhasil. Mereka bisa nekad. Jika tidak bisa mengikuti masuk ke dasar Sumur Api mereka bisa saja membunuhmu agar aku kehilangan arah..."

"Mengapa mereka berbuat begitu Nek?"

"Sudahlah, jangan banyak bertanya dulu."

"Saya takut Nek. Bagaimana kalau saya menemui ajal lebih dulu sebelum sempat bertemu Ananthawuri?"

"Selama kau berada bersamaku kau tak usah kawatir. Aku..."

Belum selesai si nenek berucap tiba-tiba di langit muncul tiga benda bercahaya. Masing-masing cahaya membentuk ekor panjang. Melesat laksana kilat ke arah dirinya dan Sukantili.

"Tiga Iblis Berekor!" seru si nenek. Kura-kura hijau di atas kepala keluarkan suara mengebor keras. Sri Sikaparwathi cepat tarik tangan Sukantili. Dua benda bercahaya menghantam tanah membuat dua lobang besar mengepulkan asap panas di pedataran pasir. Selagi dua perempuan itu jatuh bergulingan di pedataran, benda bercahaya ke tiga menyambar ke arah Sukantili.

"Cahyo Kumolo! Hancurkan iblis ketiga!" Teriak Sri Sikaparwathi.

Saat itu juga kura-kura hijau di atas kepala si nenek menguik keras alu melesat ke arah benda bercahaya ketiga. Hanya beberapa jengkal lagi benda bercahaya yang disebut Iblis Berekor itu akan menghancur luluhkan Sukantili, kura-kura hijau menghadang dan menabrakkan diri. Satu ledakan keras menggetarkan pedataran berpasir coklat. Iblis Berekor ke tiga mental ke udara, hancur menjadi ribuan keping berasap untuk kemudian lenyap dari pemandangan.

Kura-kura hijau sendiri melesat amblas ke dalam tanah sedalam setengah tombak namun masih mampu keluar walau tubuhnya di bagian punggung yang keras atos tampak retak-retak. Binatang ini mengebor dua kali lalu melesat ke atas kepala Sri Sikaparwathi. Si nenek usap punggung kura-kura. Bagian yang retak serta merta bertaut kembali.

"Cahyo Kumolo ingat baik-baik. Orang yang menyerang kita dari alam luar dengan Tiga Iblis Berekor tadi adalah Baduga Wakalaka. Dikenal dengan julukan Maharaja Pagar Langit. Jika urusan disini selesai kita kelak akan mencari manusia itu. Menggantungnya hidup-hidup kaki ke atas kepala ke bawah sampai tubuhnya keluar belatung!"

Kura-kura hijau menguik keras dan anggukan kepala beberapa kali. Sri Sikaparwathi kemudian menolong Sukantili berdiri. Perempuan ini kelihatan sangat ketakutan. Mukanya seputih kertas.

"Sukantili, tenangkan hatimu. Sudah aku katakan selama kau berada bersamaku tidak ada yang perlu kau takutkan. Sekarang coba kau memandang berkeliling. Apakah kau melihat pohon besar kering tak berdaun seperti yang pernah kau ceritakan?"

Sukantili memandang seputar pedataran pasir. Lama dia memperhatikan dan mencari-cari namun pohon besar itu tidak tampak. "Saya tidak melihat pohon itu Nek."

"Aku juga tidak," kata si nenek. "Coba kita lihat sekali lagi bersama-sama."

Kedua orang itu memandang ke berbagai penjuru pedataran. Apa yang mereka cari tidak kelihatan. Pohon besar kering tak berdaun tetap tidak tampak kemanapun pandangan dilayangkan. Sri Sikaparwathi tudingkan ibu jari telunjuk tangan kanan ke kening, dua mata dipejamkan. Dia melihat satu cahaya hijau pekat seolah terbentang di depan hidungnya.

Si nenek keluarkan suara bergumam. Lalu usap punggung kura-kura hijau di atas kepala sambil kerahkan tenaga dalam dan hawa sakti pada dua matanya. Saat itu juga si nenek merasa ada getaran aneh yang membuat kelopak matanya bergerak-gerak keras sekali dan bola mata sakit seperti ditusuk-tusuk. Si nenek keluarkan jeritan keras ketika dari matanya mengucur darah kental.

"Tabir pelindung! Ada tabir pelindung! Ada serangan gelap licik! Kali ini datang dari alam gaib Sumur Api! Kurang ajar! Aku harus mampu menjajal kekuatan lawan." Ucap si nenek.

Dia cepat merapal mantera dan meniup tangan kanan tiga kali berturut-turut. Tangan itu kemudian diusapkan ke matanya. Saat itu juga darah berhenti mengucur, rasa yang menusuk-nusuk juga hilang. Di kejauhan terdengar suara gaungan aneh. Si nenek menyeringai tanda dia berhasil menumbangkan kekuatan gaib yang hendak mencelakai dirinya. Untuk kedua kali Sri Sikaparwathi tiup lagi tangan kanannya tiga kali lalu diusapkan ke mata Sukantili. Kemudian dia berkata.

"Coba kau awasi lagi seluruh pedataran di depanmu. Aku yakin sekarang kau bisa melihat pohon kering tidak berdaun itu."

Sukantili lakukan apa yang dikatakan si nenek. Sesaat kemudian perempuan ini berkata sambil menunjuk ke arah timur. "Nek, itu... pohon keringnya di sebelah sana."

"Aku juga sudah melihat," jawab si nenek. Lalu dia tarik lengan Sukantili.

Dua perempuan itu melesat laksana terbang di atas pedataran pasir. Di lain kejap mereka sudah berada di depan pohon besar kering tidak berdaun yang tumbuh miring di atas pedataran. Tiba-tiba si nenek mendengar suara di kejauhan. Tangan kirinya diletakkan di belakang telinga. Mata membesar dan kepala didongakkan ke atas. Wajahnya berubah tegang.

"Aku mendengar suara bayi menangis. Dua orang..." Ucap Sri Sikaparwathi. "Jangan-jangan..."

Sukantili menatap wajah si nenek. "Saya tidak mendengar apa-apa Nek. Tapi kalau kau benar, mendengar suara tangisan bayi bisa saja anak saya Ananthawuri telah melahirkan." Sukantili cemas. Perempuan ini menatap ke arah pohon kering. "Nek, kita harus berjalan di atas pohon itu. Di ujung sana ada sebuah lobang. Lalu ada tangga..."

"Berarti itu arah jalan masuk ke dasar Sumur Api. Tapi suara tangisan bayi yang aku dengar dari jurusan itu..." Kata Sri Sikaparwathi pula. "Ada apa di balik keanehan ini? Bukan mustahil ada yang tengah merancang tipuan." Si nenek merenung berpikir-pikir. "Suara bayi tadi, pohon besar dan pedataran ini bisa saja tipuan belaka."

"Bagaimana Nek?" Sukantili bertanya.

Sri Sikaparwathi mengambil keputusan. "Kita masuk ke dalam lobang. Cepat! Kau jalan duluan!"

Si nenek melompat ke atas pohon besar sambil menarik Sukantili. Keduanya berjalan meniti pohon besar hingga mencapai bagian akar dimana setahu Sukantili terdapat sebuah lobang besar yang berhubungan dengan tangga batu. Namun begitu sampai di ujung pohon besar itu tidak ada. Yang tampak adalah sebuah batu besar hitam.

"Bagaimana mungkin? Kemana lobangnya? Mengapa ada batu di sini..?" ucap Sukantili.

"Kau tidak membawaku ke tempat yang keliru Sukantili?" tanya Sri Sikaparwathi sementara kura-kura di atas kepalanya mengeluarkan suara mengembor berulang kali, memberi pertanda akan adanya bahaya.

"Saya yakin sekali Nek. Dari sini dulu saya keluar. Disini seharusnya ada lobang batu. Lalu saya melangkah naik, berjalan di atas pohon."

Mendengar kata-kata Sukantili si nenek segera melompat ke atas dan turun lagi ke bawah hingga kini berada di depan Sukantili. Dia memberi isyarat agar Sukantili menjauh ke pertengahan pohon lalu melangkah mendekati batu besar. Kura-kura di atas kepala kembali mengembor memberi tanda. Sri Sikaparwathi tidak menunggu lebih lama. Tangan kanan di angkat ke atas sebatas telinga. Begitu tangan memancarkan cahaya hijau maka dengan gerakan luar biasa cepat dan keras tangan dipukulkan ke arah batu. Cahaya hijau memancar tiga kali lebih terang sebelum menghantam batu besar yang menutupi lobang.

Gelegar dahsyat membahana ketika batu besar hancur lebur menjadi debu bercampur kepingan-kepingan kecil. Pedataran pasir bergetar. Pohon besar yang tumbuh miring berderak keras lalu roboh ke pedataran pasir. Sukantili menjerit. Perempuan itu terpental dan jatuh ke tanah. Sri Sikaparwathi sendiri cepat melesat ke udara. Dia tidak perdulikan teriakkan Sukantili meminta tolong. Sewaktu melompat ke udara dia dapat melihat lobang besar yang kini menganga di bekas batu besar yang telah hancur. Dia juga bisa melihat anak tangga serta cahaya terang kebiruan memancar di dalam lobang.

"Nek, tolong. Pasir coklat ini menelan diriku...!" Sukantili berteriak ketakutan. Getaran-getaran hebat di pedataran membuat pasir menguak bergerak-gerak seperti hendak menelan tubuhnya.

Sri Sikaparwathi hanya berpaling sedikit. Mulut menyeringai keluarkan ucapan. "Perempuan desa tolol! Aku tidak memerlukan dirimu lagi! Aku sudah menemui jalan ke dasar Sumur Api!"

Setelah keluarkan ucapan yang membuat Sukantili terkejut dan tambah ketakutan si nenek melayang turun ke arah lobang batu. Tiba-tiba dari lobang batu terdengar suara mendesis keras. Sesaat kemudian muncul kepala besar bertanduk dua dari satu mahluk luar biasa menyeramkan. Lidah panjang bercabang merah, barisan gigi dan taring runcing putih berlendir, sepasang mata kuning bergaris hitam, dua lobang hidung menghembuskan nafas laksana tiupan angin puting beliung. Sebuah batu permata biru berkilau menempel di kening. Sesaat kemudian setelah kepalanya yang menyembul muncul sosok bersisik tebal berwarna hitam kelabu. Ternyata mahluk yang keluar dari lobang adalah seekor ular luar biasa besar dan panjang.

"Naga Akhirat Raden Culo Dua!" teriak Sri Sikaparwathi yang mengenali ular raksasa itu.

Dia cepat menahan gerakan melayang turun namun terlambat. Ular raksasa telah mendahului melesat ke atas sambil mengangakan mulut yang memiliki daya sedot luar biasa. Sri Sikaparwathi tahu betul apa yang akan terjadi atas dirinya. Sebelum tubuhnya bulat-bulat masuk ke dalam mulut Naga Akhirat Raden Culo Dua, mahluk jejadian ini berteriak pada kura-kura di atas kepalanya.

"Raden! Cepat terbang selamatkan dirimu! Pergunakan ilmu Tangan Dewa Memegang Pahat untuk selamatkan diriku!"

"Wuuttt!" Dengan gerakan cepat luar biasa kura-kura bernama Raden Cahyo Kumolo melesat selamatkan diri.

"Wussss!"

Tubuh Sri Sikaparwathi tersedot masuk ke dalam mulut ular raksasa. Setelah melahap si nenek binatang ini menggeliat lalu membalikkan kepala dan tubuh, siap untuk masuk kembali ke liang batu. Namun di udara kura-kura hijau yang kini telah merubah tubuh menjadi lima kali lebih besar dengan cepat melayang turun lalu melesat sepanjang tubuh sebelah kiri ular raksasa. Pinggiran tubuhnya yang keras dan tajam, tidak beda seperti pahat besar, membeset kulit, tembus sampai ke daging dan menjebol perut ular besar.

"Reerrrrrrttt!"

Naga Akhirat Culo Dua menggelepar sambil keluarkan desisan keras. Tubuhnya yang kena ditoreh robek memanjang. Di antara muncratan darah melesat keluar Sri Sikaparwathi dengan tubuh bergelimang darah.

"Raden kita harus meninggalkan tempat celaka ini! Kita belum gagal! Kita pasti akan mendapatkan dua bayi itu!"

Mendengar teriakan kura-kura hijau kembalikan ukuran badannya ke bentuk semula lalu melesat ke atas kepala si nenek. Tidak tunggu lebih lama Sri Sikaparwathi melompat ke atas pohon besar yang telah tumbang di pedataran, berlari cepat meniti pohon besar lalu melesat ke udara. Dia keluarkan seluruh kesaktian yang dimilikinya untuk bisa keluar dari alam gaib kawasan Sumur Api.

Di pedataran Sukantili duduk bersimpuh. Tubuh dan wajah kotor tertutup pasir coklat. "Roh Agung, Dewa Jagat Bathara... Apakah Kau mendengar suara perempuan yang malang ini. Saya mohon pertolonganMu. Kembalikan saya ke tempat anak saya berada..." Perempuan ini berkata dengan suara terisak sambil menutup wajah dengan ke dua tangan.

Tiba-tiba ada suara menyahuti ucapan Sukantili tadi. "Perempuan bernama Sukantili. Dirimu memang malang dan menderita. Tapi kemalangan dan penderitaan itu adalah karena perbuatan dirimu sendiri. Kesalahan pertama kau meninggalkan dasar Sumur Api walaupun telah dicegah diperingatkan. Kau membuat kesalahan kedua dengan membawa mahluk jahat. Menunjukan jalan ke dasar Sumur Api yang sangat rahasia dan sangat merupakan pantangan. Tangan mencencang bahu memikul. Kau harus pasrah menerima kebijaksanaan para Dewa. Kau dikembalikan ke desa Sorogedug sebagai pohon bunga Melati. Menjaga dan menaungi makam suamimu"

Sukantili jatuhkan diri bersujud di tanah. "Roh Agung, saya mohon ampunMu. Para Dewa, saya mohon belas kasihanmu..."

Tiba-tiba satu cahaya putih muncul menyapu tubuh Sukantili. Kejap itu juga sosok perempuan itu lenyap. Di pemakaman di luar Desa Sorogedug, pohon kembang Melati yang tumbuh di kepala kubur Panggaling yang sebelumnya lenyap kini secara gaib muncul kembali.

* * *

KETIKA keluar dari alam gaib dasar Sumur Api, Sri Sikaparwathi dapatkan diri terdampar di satu rimba belantara. Saat itu siang hari. Namun di dalam rimba yang di tumbuhi pohon-pohon besar berdahan banyak dan berdaun lebat keadaan kelam redup. Udara lembab. Si nenek duduk menjelepok di tanah sambil bersandar ke satu batang pohon. Tubuh dan pakaiannya kotor oleh darah ular yang setengah mengering dan berbau amis. Dia mengelus tubuh kura-kura di atas kepala dan berkata.

"Raden kita masih belum beruntung. Tapi kita tidak boleh putus asa. Kita pasti akan mendapatkan dua bayi itu. Suara tangisan bayi yang aku dengar di dasar Sumur Api adalah suara tipuan untuk memecah perhatian dan memperlambat gerakan kita. Aku yakin anak perawan desa itu masih belum melahirkan. Kita akan mencari jalan untuk mendapatkannya..."

Kura-kura hijau di atas kepala si nenek angguk-anggukan kepala beberapa kali dan mengebor halus. Tiba-tiba dari atas pohon meluncur seekor tikus hutan berwarna hitam. Si nenek baru tahu kehadiran binatang ini ketika si tikus telah masuk ke balik jubah, merayap di dada, turun ke perut terus turun lagi ke bagian terlarang di antara dua pangkal kaki dan mendekam di sana. Jerit si nenek bukan alang kepalang kerasnya. Tubuhnya terlompat sampai kepalanya menghantam cabang pohon sementara kura-kura di atas kepala saking kaget terpental jatuh ke tanah.

"Celaka! Celaka diriku!" Sri Sikaparwathi berteriak berulang kali sambil berjingkrak-jingkrak. Tapi tikus nakal masih saja mendekam di tempat semula.

Tidak sabar dan tidak tahan rasa geli dan jijik nenek ini singsingkan jubahnya tinggi-tinggi.Tangan kanan di susupkan ke atas. Sekali diremas tikus pohon mencicit keras lalu mati dengan tubuh hancur luluh. Si nenek kibas-kibaskan tangan kanannya yang bergelimang darah tikus. Sekujur tubuh merinding. Muka pucat pasi. Perlahan-lahan dia merasa tubuh menjadi lemas. Ada satu hal yang membuatnya sangat ketakutan.

Cahyo Kumolo si kura-kura hijau mendekam tak bergerak di akar pohon. Sepertinya binatang ini tahu apa yang telah terjadi dengan sang tuan. Binatang ini juga merasa tubuhnya lemas, nyaris tak mampu bergerak. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba terdengar suara mengebor keras disertai sambaran angin yang memerihkan mata. Lalu memyusul ucapan lantang.

"Mahluk jejadian! Kesaktianmu begitu luar biasa. Tapi menghadapi seekor tikus pohon kau takut setengah mati! Ha...ha...ha!"

Si nenek memandang berkeliling. Dia tidak melihat orang yang bicara. Maka diapun membentak. "Hantu atau dedemit hutan! Perlihatkan dirimu! Akan aku hancurkan kepalamu!"

Bentakan perempuan tua itu dijawab dengan suara tawa bergelak yang membuat tanah bergetar, ranting dan dahan pohon bergoyang. "Sri Sikaparwathi palsu! Setelah larang-pantangan menimpa dirimu, apa kau masih punya kekuatan dan kesaktian?"

Tampang si nenek menjadi tambah pucat. Kura-kura hijau merangkak perlahan, menyusup ke dalam tanah di bawah akar pohon. Tiba-tiba satu kepala luar biasa besar tergeletak muncul di tanah, hanya tiga langkah dari hadapan si nenek. Kepala inilah tadi agaknya yang mengeluarkan ucapan. Begitu melihat kepala tanpa tubuh Sri Sikaparwathi menjerit keras. Dengan terhuyung-huyung dia coba memutar tubuh, siap untuk melarikan diri. Di atas salah satu pohon tiba-tiba terdengar suara tawa perempuan disertai bunyi benda berkerincingan, membuat Sri Sikaparwathi tambah tercekat.

"Raden, cepat naik ke atas kepalaku!" si nenek menyeru kura-kura hijau. Namun binatang yang sudah lemas tiada daya itu hanya tersuruk diam di bawah akar pohon. Seperti majikan yang memeliharanya, agaknya binatang ini juga telah kehilangan kekuatan dan kesaktiannya.

S E L E S A I

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.