Janda Pulau Cingkuk

Janda Pulau Cingkuk


BAB SATU

KESERAKAHAN manusia terhadap tahta, apalagi tahta yang dikuasai secara merebut dan tidak sah, pada akhirnya bilamana kehendak Yang Maha Kuasa berlaku maka semua kekuasaan dan keserakahan itu akan menjadi bencana. Itulah yang terjadi dengan Nyi Harum Sarti yang menobatkan diri sebagai Ratu Laut Utara, merampas tahta Kerajaan Laut Utara dari tangan Ayu Lestari, yang menerima warisan syah dari Ratu Sepuh Ratu Pertama Kerajaan Laut Utara.

Nyi Harum Sarti akhirnya menemui kematiannya di tangan Ratu Duyung yang membekal Pedang Naga Suci 212 pemberian Sinto Gendeng. Karena kecintaannya pada Pendekar 212 Wiro Sableng, di saat-saat nyawa akan lepas meninggalkan jazad kasarnya Nyi Harum Sarti masih sempat mengeluarkan ucapan yang sungguh mengharukan namun ditutup dengan kata-kata yang membuat murid Sinto Gendeng menjadi terkesiap dan dingin sekujur tubuhnya.

Dalam keadaan tubuh bersimbah darah Ratu Laut Utara melangkah terhuyung-huyung, berusaha mendekati Wiro. Dua langkah dari hadapan sang pendekar dia tak mampu lagi berjalan, jatuh berlutut tapi kepala masih menatap lurus ke arah Wiro dan mulut masih mampu keluarkan ucapan.

“Wiro. Kasih sayangku padamu bukannya loyang. Kasih sayangku padamu akan aku bawa sampai ke liang lahat. Aku sangat berbahagia karena kau turut menyaksikan kepergianku. Walau di dunia kita tidak bisa bersatu, aku akan menantimu di akhirat...”

Ratu Laut Utara ulurkan tangan kanan, berusaha menyentuh wajah Pendekar 212. Namun tangan itu terkulai jatuh ke tanah. Tubuh kaku tak bergerak tapi mulut masih sanggup mengeluarkan kata-kata walau kali ini suara yang keluar jauh lebih perlahan, tak ada yang mendengar kecuali Wiro.

“Kekasihku, ini bukan akhir dari satu perjalanan. Ini bukan akhir dari segala-galanya. Kita akan bertemu lagi. Karena aku akan menitis masuk ke dalam diri Ken Permata...”

Pendekar 212 serta merta merasa sekujur tubuh mendadak menjadi dingin. Apa barusan dia tidak salah mendengar. Apa dalam keadaan sekarat perempuan itu sadar akan apa yang diucapkannya? Ken Permata adalah puteri Nyi Retno Mantili, istri mendiang Patih Kerajaan Wira Bumi, yang selama ini dicarinya dan sekarang tidak tahu berada di mana.

(Kisah terbunuhnya Ratu Laut Utara alias Nyi Harum Sarti oleh Ratu Duyung dapat dibaca dalam episode sebelumnya berjudul Cinta Tiga Ratu sedang kematian Patih Wira Bumi dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Bayi Satu Suro. Patih kerajaan itu menemui ajal ditangan Pendekar 212 Wiro Sableng dengan golok besar milik Wira Bumi sendiri).

Perlahan-lahan tubuh Ratu Laut Utara terhuyung ke depan lalu tersungkur di tanah. Mahkota emas bertabur batu permata tanggal dari kepala, terjatuh ke tanah. Ratu Sepuh menatap sayu ke depan. Dengan ujung tongkat emasnya dia mengait mahkota yang jatuh lalu menyerahkan pada Ayu Lestari.

“Akhir dari nafsu berkuasa dan keserakahan...” ucap Ratu Pertama Kerajaan Laut Utara ini dalam hati.

Sementara semua orang terdiam dalam pikiran dan hati masing-masing tiba-tiba satu bayangan biru berkelebat Satu tendangan melesat cepat dan deras. Tubuh tak bernyawa Ratu Laut Utara mencelat mental lalu terkapar di tanah. Mulut dan sebagian mukanya tampak hancur mengerikan.

Semua orang tersentak dan berseru kaget. Memandang berkeliling mereka melihat Bidadari Angin Timur yang sejak tadi berdiri di samping Ratu Sepuh tak ada lagi di tempat itu. Wiro ingin sekali mengejar ke arah lenyapnya gadis berambut pirang itu. Namun dalam keadaan seperti itu dia merasa tidak enak melakukan hal itu.

“Dia menendang kepala mayat, apakah karena ada dendam dan sangkut pautnya dengan ucapan Ratu Laut Utara yang mengatakan dirinya janda.” Membatin murid Sinto Gendeng.

Sebelum tewas di tangan Ratu Duyung seperti telah diceritakan sebelumnya dalam episode Cinta Tiga Ratu, Ratu Laut Utara dengan suara lantang setengah berteriak saat itu berkata sehingga semua orang mendengar.

“Wiro, aku tahu kau tidak mencintai gadis bernama Ratu Duyung yang setengah manusia dan setengah ikan itu! Aku juga tahu kau tidak mencintai gadis berambut pirang bernama Bidadari Angin Timur yang janda muda dari Kepala Pengawal Kesultanan Cirebon Tubagus Kesumaputra itu!”

Murid Sinto Gendeng menggaruk kepala.

“Uuhhh...” Bujang Gila Tapak Sakti yang sejak tadi berdiam diri tak dapat menahan sakit, keluarkan suara mengeluh sambil pegangi bagian bawah perutnya yang bengkak melembung akibat sengatan tubuh kalajengking beracun yang dilepas Ning Kameswari atas perintah Datuk Api Batu Neraka salah seorang pembantu kepercayaan Ratu Laut Utara.

Dikisahkan dalam episode Cinta Tiga Ratu, Datuk Api Batu Neraka menemui ajal dibunuh Jin Durna Rawana sedang Ning Kameswari tewas ditendang Ratu Laut Utara.

“Gendut, kau tenanglah barang sebentar...” kata Ratu Sepuh pula.

“Bagaimana bisa tenang Nek. Kau tidak merasakan. Anuku melembung bengkak. Sakitnya seperti ditusuki ratusan jarum api! Delapan puluh tahun hidup di dunia baru kali ini sengsara begini rupa. Kalau tidak percaya apa kau mau lihat sendiri?!”

Habis berkata begitu Bujang Gila Tapak Sakti hendak rorotkan celana komprang hitamnya. Ratu Duyung cepat-cepat melengos. Ayu Lestari melongo kaget dan memandang ke jurusan lain. Nyi Roro Manggut mesem-mesem palingkan kepala tapi setengah-setengah masih melirik juga. Ratu Sepuh angkat tongkat emas di tangan kanan.

“Kalau kau berani kurang ajar, aku gedor barangmu. Kau akan sengsara seumur-umur!”

Bujang Gila Tapak Sakti bergumam dan cemberut kesal mendengar perabotannya akan digedor! Sambil menahan sakit dia mundur dua langkah menjauhi ujung tongkat si nenek yang siap disodokkan ke bagian bawah perutnya.

“Sebelum pergi aku mau bicara dulu dengan nenek satu itu.” Kata Ratu Sepuh lalu melangkah mendekati perempuan yang berambut putihnya dikonde di atas kepala, mengenakan kebaya dan kain putih.

Inilah Nenek Cempaka, pembantu utama Ratu Sepuh ketika dia masih menjadi Ratu Laut Utara yang pertama sebelum menyerahkan tahta kepada Ayu Lestari. Sebelumnya ketika Nyi Harum Sarti sang Ratu Laut Utara palsu merampas tahta memerintahkan nenek sakti ini untuk membunuh Ratu Sepuh, dengan tongkat saktinya yang terbuat dari Ratu Sepuh membuat Nenek Cempaka menjadi patung, kaku tak bergerak. Namun karena masih berada dalam sirapan ilmu hitam Ratu Laut Utara dan tadi sebelumnya dia sudah bergerak hendak menyerang Ratu Sepuh, maka begitu bebas Nenek Cempaka kembali lanjutkan serangannya.

Ratu Sepuh sekali lagi angkat tongkat sakti. Kini ujung tongkat emas diarahkan tepat ke dada Nenek Cempaka sambil mulutnya berucap. “Sudah! Sudah! Buyar! Buyar! Ilmu Hitam masuk ke dalam tanah! Segala kebaikan masuk ke dalam darah!”

Cahaya kuning berkiblat di ujung tongkat emas. Saat itu juga Nenek Cempaka mengeluh seperti kesakitan. Muka berubah pucat Tenung sirapan ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati yang selama ini menguasai dirinya musnah. Begitu sadar nenek itu jatuhkan diri di tanah sambil pegangi dua kaki Ratu Sepuh dia menangis tersedu-sedu.

“Kanjeng Sri Ratu, saya Cempaka mohon maaf dan ampunanmu Sri Ratu. Apapun yang telah terjadi saya siap menerima hukuman.”

“Menghukummu semudah aku membalik telapak tangan. Katakan dulu apa yang telah terjadi?” Ucap Ratu Sepuh.

“Nyi Harum Sarti, dia menenung saya dengan Ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati. Saya berusaha membebaskan diri namun dia memiliki kekuatan ilmu hitam dia atas kemampuan saya...”

“Kalau begitu kejadiannya, kau tidak salah. Manusia yang bersalah telah menerima hukumannya. Bangunlah!”

Ratu Sepuh dan Ayu Lestari menolong Nenek Cempaka bangkit berdiri. Ketiga orang itu berpeluk-pelukan beberapa lama lalu Ratu Sepuh beranjak mendekati Purnama.

“Cucuku manis, tadi kau hendak menyerangku dengan ilmu yang luar biasa hebat. Aku baru hari ini melihatmu. Rasa-rasanya kau bukan orang dari negeri ini. Sekarang ceritakan padaku. Nasib apa yang menimpa dirimu hingga kesasar ke sini dan menjadi kaki tangan Ratu Laut Utara palsu.”

Seperti terhadap Nenek Cempaka, Ratu Sepuh sapukan tongkat emas ke arah kepala Purnama. Saat itu juga Purnama mampu menggerakkan tubuhnya kembali. Begitu bebas gadis dari alam 1200 silam ini segera melanjutkan serangannya yang tadi tertahan yakni hendak melancarkan pukulan Kutuk Alam Gaib Lapis Ke Tujuh.

Kembali Ratu Sepuh angkat tongkat sakti, ujungnya diarahkan ke dada kiri Purnama, mulut berucap. “Sudah! Sudah! Buyar! Buyar! Ilmu hitam masuk ke dalam tanah! Segala kebaikan masuk ke dalam darah!”

Purnama terhuyung-huyung, coba tertahan dan mengimbangi diri namun akhirnya jatuh terduduk di tanah. Mulutnya keluarkan suara mengerang. Dadanya terasa sakit. Wajah yang cantik tampak pucat Sepasang mata menatap ke arah Ratu Sepuh lalu memandang pada orang-orang yang mengelilinginya. Tanpa dibantu siapa-siapa gadis dari Negeri Latanahsilam ini berdiri dan melangkah ke hadapan Ratu Sepuh. Setelah membungkuk dalam-dalam Purnama berkata.

“Ratu Sepuh, saya menghaturkan banyak terima kasih atas semua budi kebaikanmu hingga saat ini saya bisa bergerak dan bicara kembali. Nama saya Purnama. Saya memang datang dari negeri asing seribu dua ratus silam...”

“Ah, hebat sekali!” kata Ratu Sepuh dengan sepasang mata bening memperhatikan Purnama dari ujung rambut sampai ke kaki. “Seribu dua ratus tahun silam lalu. Dan kau masih merupakan seorang gadis cantik jelita. Sungguh luar biasa...”

“Nek, kau keliwat memuji.” Purnama memandang ke arah Wiro, Ratu Duyung dan Nyi Roro Manggut. Lalu kembali menatap Ratu Sepuh. “Nek, para sahabat semua, saya akan mengatakan sesuatu. Yaitu apa yang akan terjadi dengan diri saya. Apa yang saya sampaikan bukan merupakan pembelaan diri. Jika kalian semua menganggap saya bersalah, saya siap menerima hukuman. Dibunuh sekalipun akan saya terima...”

Ratu Sepuh anggukan kepala. Nyi Roro Manggut manggut-manggut beberapa kali. Wiro dan Ratu Duyung diam saja sementara Nenek Cempaka dan Ayu Lestari saling melirik.

“Soal hukuman soal kedua. Yang penting kami ingin tahu mengapa kau berserikat dengan Ratu Laut Utara palsu. Tega mengkhianati para sahabat. Bahkan aku dengar ada seorang nenek sahabat kalian yang menemui ajal di kawasan laut utara...”

“Saya mohon maaf atas semua yang terjadi. Seperti Nenek Cempaka, saya terkena sirap tenung Penyejuk Jiwa Pemikat Hati yang diterapkan oleh Nyi Kuncup Jiwa...”

“Hemm...” Ratu Sepuh bergumam. “Berarti aku akan memberikan pengampunan atas dirimu sama dengan yang aku berikan pada Nenek Cempaka. Tapi antara kau dan aku tidak ada ikatan apa-apa. Hingga aku tidak bisa memberi keputusan seperti halnya dengan Nenek Cempaka. Semua putusan akan diambil oleh teman-temanmu yang ada di sini.” Ratu Sepuh memandang pada Wiro, Ratu Duyung dan Nyi Roro Manggut.

“Purnama, aku memberi maaf padamu.” Pendekar 212 yang pertama kali memberikan jawaban.

“Terima kasih Wiro. Kau mau mengerti dan memaafkan diriku,” kata Purnama pada Pendekar 212.

“Nyi Roro Manggut tiba-tiba keluarkan ucapan. “Ratu Sepuh, mohon maaf. Juga pada semua yang ada disini. Barusan aku mendapat perintah jarak jauh dari Nyai Roro Kidul. Aku dan Ratu Duyung diminta menghadap untuk segera menyerahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru yang telah kami dapatkan dan sebelumnya dirampas oleh Ratu Laut Utara palsu.”

Si Nenek membungkuk memberi hormat pada Ratu Sepuh, Nenek cempaka dan Ayu Lestari. Pada Wiro dia layangkan ejekan dengan pencongkan mulut Lalu tanpa menunggu lebih lama Nyi Roro Manggut tarik tangan Ratu Duyung. Dalam waktu sekejapan saja ke dua orang itu sudah berkelebat jauh ke arah pantai.

BAB DUA

Purnama tampak gelisah. Dia menatap Wiro sebentar lalu berpaling pada Ayu Lestari, Nenek Cempaka dan Ratu Sepuh. “Ratu Sepuh, saya sangat menyesalkan terjadinya keadaan seperti ini. Jika semua memang sudi memaafkan saya maka saya mohon izin pergi dari sini. Sekali lagi saya mengucapkan banyak terima kasih atas segala budi baik Ratu Sepuh, Nenek Cempaka dan sahabat saya yang baru Ratu Laut Utara Ayu Lestari.”

Ayu Lestari dan Nenek Cempaka tersenyum mendengar ucapan Purnama. Namun Ratu Sepuh buru-buru berkata. “Tunggu, jangan pergi dulu. Purnama, walau aku dan Ayu Lestari serta Nenek Cempaka belum berunding, tapi rasanya kami bertiga bisa sepakat untuk menawarkan sesuatu kepadamu.”

“Menawarkan sesuatu? Menawarkan apa Ratu Sepuh?” tanya Purnama.

“Setelah Ratu Laut Utara Nyi Harum Sarti menemui ajal maka kekuasaan di kerajaan Laut Utara kembali kepada pemiliknya yang syah yaitu Ayu Lestari. Aku sebenarnya tidak ingin lagi ikut campur urusan dunia. Apalagi yang menyangkut tahta Kerajaaan. Nenek Cempaka sudah lama uzur dan aku yakin dia juga sama dengan aku, tak mau lagi mengurusi segala sesuatu yang bersangkutan dengan Kerajaan Laut Utara. Namun itu bukan berarti kami akan berlepas tangan bilamana terjadi sesuatu dengan Kerajaan yang aku bangun ini. Aku merasa, di masa depan keadaan akan lebih banyak tantangan. Sebagai penguasa laut utara aku percaya Ayu Lestari akan sanggup menghadapi semua tantangan itu. Namun betapapun dia membutuhkan seorang pembantu sekaligus sahabat yang bisa dipercaya. Kami bertiga, aku, Ayu Lestari, dan Nenek Cempaka telah menemukan calon yang sangat cocok. Yaitu dirimu. Kami harap kau jangan sampai menampik.”

“Untuk beberapa lamanya Purnama tegak tertegun memandang pada ke tiga orang di hadapannya itu sementara di samping lain Bujang Gila Tapak Sakti goyang-goyang kepala sambil menghembus-hembus dan tekap bagian bawah perutnya menahan sakit. Tubuhnya yang berwarna biru mandi keringat. Kopiah kupluk basah kuyup. Kipas kertasnya hilang entah kemana. Serba salah akhirnya si gendut itu duduk di bawah patung dengan dua kaki berkembang. Dada yang gembrot turun naik, mulut meniup-niup seperti ikan. Tangan mengipas-ngipas bagian bawah perut. Dia sama sekali tidak perdulikan apa yang dibicarakan orang.

Pendekar 212 juga terheran-heran mendengar ucapan Ratu Sepuh. Apakah Purnama akan bersedia menerima permintaan nenek sakti yang merupakan Ratu Laut Utara pertama itu? Selama ini dia kian kemari tidak berumah tidak bertempat tinggal tetap. Bukankah memang lebih baik kalau dia mau bermukim di Kerajaan Laut Utara?”

Apa yang terpikir oleh Wiro saat itu sebenarnya juga terlintas dalam benak dan hati Purnama.

“Cucuku cantik, kau hanya tertegun. Apakah tidak akan memberikan jawaban?” Nenek Cempaka kini yang berkata. Rupanya dia juga sangat berkenan dengan gadis dari Latanahsilam ini.

“Saya... saya sudah menanam budi pada semua orang yang ada di sini. Saya belum sempat membalas sudah diberikan lagi budi yang sangat besar. Saya harus memikirkan baik-baik supaya tidak ada yang dikecewakan. Ratu Sepuh, Nenek Cempaka dan Ayu Lestari, apakah saya boleh diberi waktu untuk menjawab?”

“Mengapa kau tidak bisa menjawab sekarang saja, Purnama?” tanya Ayu Lestari.

“Ratu muda sahabatku, saya masih punya satu urusan yang harus saya selesaikan. Maafkan saya Ratu Sepuh. Maafkan saya Nenek Cempaka. Saya harus mencari dan menemui seseorang... Mungkin dua orang.”

Ratu Sepuh yang arif berkata. “Aku mengerti, aku sudah maklum. Baiklah, kami bertiga tidak akan memaksa. Secepatnya kau ada kesempatan temui Ayu Lestari.”

“Kalau begitu apakah saya boleh minta diri sekarang?” tanya Purnama.

“Pergilah. Berlakulah hati-hati. Bukan mustahil masih ada anak buah Nyi Harum Sarti yang tidak kita ketahui masih berkeliaran di sekitar sini.”

Purnama mengangguk, membungkuk hormat pada ketiga orang di hadapannya lalu tinggalkan tempat itu. Ratu Sepuh menghela napas dalam. Lalu berkata setengah berbisik pada Ayu Lestari yang juga didengar oleh Nenek Cempaka.

“Kalau saja dia mau bergabung dengan kita atau paling tidak menunda kepergiannya barang satu hari. Aku punya firasat dia akan menemui halangan besar di perjalanan. Nenek Cempaka, sebentar lagi harap kau ikuti gadis berbaju biru itu.” Habis berkata begitu Ratu Sepuh berpaling pada Wiro. “Pendekar Dua Satu Dua, apakah kau juga hendak cepat-cepat meninggalkan tempat ini?”

Wiro tersenyum dan garuk kepala. “Tidak Ratu Sepuh. Saya tidak akan pergi. Saya masih menunggu sampai Ratu Sepuh menolong sahabat saya si gendut yang sejak tadi kesakitan setengah mati itu.”

“Ahh... aku sampai terlupa dengan sobatmu itu. Mana coba aku lihat apa penyakitnya.” Sambil senyum-senyum Ratu Sepuh dekati Bujang Gila Tapak Sakti yang duduk dengan kaki berkembang di bawah patung. “Anak muda yang konon sudah berusia delapan puluh tahun. Kau memberi tahu tubuhmu sebelah bawah bengkak besar dan sakit bukan main lalu sekujur kulit tubuhmu menjadi biru gara-gara diantuk tujuh ekor kalajengking biru yang dilepas oleh Ning Kameswari anak buah Ratu Laut Utara palsu.”

“Aku sudah menceritakan. Apa kau mau aku bercerita lagi? Aduh Nenek Ratu, aku sudah tidak bisa menahan sakit. Rasanya kepalaku atas bawah mau meledak pecah!”

Ning Kameswari gadis cantik. Jangan-jangan kau bukan diantuk kalajengking tapi diantuk gadis itu. Hik hik hik! Betul?” Rupanya Ratu Sepuh pandai juga bergurau.

“Ratu Sepuh jangan bercanda. Kau bisa dan mau menolongku apa tidak? Kalau tidak biar aku gebuk kepalaku saat ini. Mati rasanya akan lebih baik dari pada kesakitan begini!”

“Jangan marah, apa lagi sampai nekad bunuh diri. Kalau aku tidak bermaksud menolongmu pasti waktu dipantai aku tidak akan menelanmu hidup-hidup. Nah, sekarang buka kakimu lebih lebar. Biar ujung tongkatku tidak meleset menyodok bagian bawah perutmu!”

“Apa Nek?!” ucap Bujang Gila Tapak Sakti sambil cepat-cepat tekap bagian bawah perutnya. “Kau mau menyodok perabotanku yang lagi bengkak dan sakit setengah mati dengan tongkatmu?! Wong edan! Kepalaku saja kau gebuk sampai pecah Nek! Biar beres urusannya! Aku...”

Selagi Bujang Gila Tapak Sakti bicara Ratu Sepuh sodokkan kuat-kuat ujung tongkat emasnya ke bagian bawah perut si gendut ini.

“Dukkk! Dess! Dess! Dess...!”

Bujang Gila Tapak Sakti menjerit setinggi langit. Tubuhnya terpental ke udara. Dari bawah perutnya terdengar tiga kali letupan disertai mengepulnya asap biru. Sebelum jatuh bergedebuk ke tanah si gendut ini menggapai dan berpegangan pada tubuh patung Wiro yang sedang membungkuk meneduhi tubuh patung Ratu Laut Utara. Dua kakinya dikibas-kibas. Patung batu bergoyang-goyang menahan berat tubuh si gendut yang ratusan kati.

Ratu Sepuh ketok pantat Bujang Gila Tapak Sakti dengan ujung tongkat. Membuat pemuda ini terlepas pegangannya dari tubuh patung lalu jatuh bergedebuk menungging di tanah. Dari hidung, telinga dan mulut mengepul asap biru. Sementara dari pantat...

"Butt... butt...butt!" meletup-letup suara kentut yang juga memancarkan asap biru! Dalam keadaan menungging Bujang Gila Tapak Sakti mengerang tiada henti. Tiba-tiba suara erangannya berhenti. Matanya yang belok berputar-putar. Rasa sakit di bagian bawah perut mendadak lenyap. Tubuhnya kini malah terasa sejuk membuat matanya nyaman meram melek.

“Nek, Ratu Sepuh, kau apakan anuku...?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti sambil duduk di tanah. Lalu dia usap-usap bagian bawah perutnya. Belum puas, dua tangan dimasukkan ke balik celana. Meraba kian kemari. Malah kemudian mengucak-ucak. “Eh...” Si Gendut menatap ke arah Ratu Sepuh. “Weehhh, kempes Nek. Kau...”

Si nenek cuma senyum-senyum. Dia mengeluarkan sesuatu dari balik pakaian beludrunya dan melemparkan benda itu pada Bujang Gila Tapak Sakti seraya berseru. “Ambil!”

Bujang Gila Tapak Sakti cepat menangkap benda yang dilemparkan. Ternyata satu kantong terbuat dari kulit binatang.

“Di dalam kantong itu ada obat bubuk. Anumu memang sudah kempes dan sembuh. Tapi sekujur kulit tubuhmu masih tetap biru. Bubuk di dalam kantong itu adalah obat penyembuhnya. Cara pengobatan satu-satunya adalah seseorang harus menaburkan bubuk itu di atas anumu lalu mengusapnya tujuh kali sesuai jumlah kelabang yang menyengat. Sambil mengusap dia harus meniup-niup anumu. Juga tujuh kali...”

“Kau bercanda Nek?!” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.

“Aku menolongmu, bukan bercanda. Bujang Gila, apakah kau sudah beristri? Maksudku jika sudah, maka istrimu bisa melakukan hal itu. Lebih cepat lebih bagus.”

Bujang Gila Tapak Sakti menggeleng. Dia tetap berpikiran si nenek tangah mengenainya. “Aku tidak punya istri Nek.”

“Kalau begitu kekasihmu saja...” kata Ratu Sepuh juga.

“Kekasihku juga aku tidak gablek Nek.”

“Kalau kau tidak punya istri tidak punya kekasih berarti kau harus mencari seorang perempuan untuk menolongmu.” Kata Ratu Sepuh pula.

“Begitu?” Bujang Gila Tapak Sakti tertegun sesaat. Lalu kepalanya dipalingkan pada Ayu Lestari. Mata belok mendelik, mulut menyeringai.

Saat itu juga pewaris syah Kerajaan Laut Utara melompat jauh lalu secepat kilat lari ke arah pantai. Ratu Sepuh melakukan hal sama. Sekali dia ketukkan ujung tongkat emas ke tanah maka tubuhnya berubah menjadi buaya putih besar, melesat tinggi ke udara lalu laksana terbang melesat ke arah pantai sambil umbar tawa cekikikan.

Bujang Gila Tapak Sakti tampak bingung. “Celaka, bagaimana ini. Perempuan mana...” Tiba-tiba pandangannya membentur Nenek Cempaka. “Ah, tidak ada rotan akarpun jadi! Nenek ini kan perempuan juga. Walau sudah tua tapi masih cantik...”

Si nenek yang sudah bisa meraba apa yang ada di benak Bujang Gila tapak Sakti serta merta melangkah mundur sambil mulutnya berucap. ”Oo... Oh... Tidak aku. Jangan aku.” Lalu tidak menunggu lebih lama dia segera berkelebat hendak pergi dari situ.

Namun si gendut lebih cepat. Dia berhasil mencekal tangan kiri si nenek lalu menariknya. Sesaat kemudian Nenek Cempaka sudah berada dalam gendongannya. Perempuan tua itu berteriak-teriak.

“Lepaskan! Lepaskan! Aku tidak mau! Aku tidak mau melakukan itu!”

“Nek, kau harus menolongku.” Kata Bujang Gila Tapak Sakti sambil membawa si nenek ke arah serumpunan semak belukar lebat.

“Tidak! Aku tidak mau!” kembali nenek Cempaka berteriak.

“Ingat Nek, ini pesan Ratu Sepuh!”

“Aku tahu! Tapi dia tidak bilang harus aku yang melakukan!”

“Jangan takut Nek. Perabotanku tidak burik. Juga tidak ada tanduknya. Tapi bagus mulus. Masih kencang Nek! Kata orang aku masih perjaka. Padahal aku tidak tahu apa artinya perjaka. Ha ha ha!”

“Gendut kurang ajar! Kau ini bicara apa?! Lepaskan diriku!”

Bujang Gila Tapak Sakti sampai di balik semak belukar. Jeritan nenek makin keras.

“Tolong Nek. Aku buka celanaku yah?”

“Gendut kurang ajar! Najis!”

“Nek, obatnya sudah aku taburkan. Tinggal kau usap dan kau tiup-tiup...”

“Tidaakkk!”

Wiro yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan tertawa gelak-gelak. “Nenek Cempaka!” teriak Wiro. “Kata Ratu Sepuh usap tujuh kali! Tiup tujuh kali! Jangan kurang jangan lebih! Ha ha ha!”

Tiba-tiba tawanya lenyap ketika pandangannya mengarah pada dua patung yang sedang bersatu badan. Patung dirinya dengan Nyi Harum Sarti. “Patung jahanam! Biar yang satu ini aku bereskan lebih dulu!” Lalu murid Sinto Gendeng ini terapkan ajian Pukulan Sinar Matahari. Begitu tangan kanan menghantam, kiblatan cahaya putih perak panas dan menyilaukan menderu.

“Buk...!” Hanya sekali hantam saja dua patung mesum di atas bukit kecil Pulau Menjangan Kecil hancur berkeping-keping, sama rata dengan tanah!

Di balik semak belukar tidak terdengar lagi jeritan Nenek Cempaka. Juga tak ada suara Bujang Gila Tapak Sakti. Wiro merasa khawatir.

“Jangan-jangan si gendut itu sudah mati konyol diremas perabotannya!” pikir murid Sinto Gendeng. Maka dia berteriak. “Bujang Gila! Apakah urusanmu sudah selesai?”

Dari semak belukar tiba-tiba terdengar jawaban. “Sedikit lagi! Jangan pergi dulu! Tunggu aku! Wah... wah. Sobatku Wiro! Usapannya melebihi nikmatnya usapan anak gadis! Ha ha ha...! Terima kasih Nek. Sekarang tiup Nek. Ingat Ratu Sepuh yang bilang begitu. Harus ditiup Tujuh kali! Nah... nah! Aduh enak, asyik Nek. Sejuk sekali! Ha ha ha!”

********************

BAB TIGA

Ratu Duyung dan Nyi Roro Manggut sampai di pantai selatan Pulau Menjangan Kecil. Dia merasa heran melihat si nenek mengambil jalan yang tidak langsung menuju pantai tapi seperti sengaja melewati bebukitan kecil yang penuh ditumbuhi pepohonan serta semak belukar. Sampai di pantai Nyi Roro Manggut menyelinap ke balik gundukan batu di belakang serumpun pohon bakau. Melihat sikap Nyi Roro Manggut, Ratu Duyung akhirnya membuka mulut bertanya pada si nenek.

“Nyi Roro, apakah kau sungguhan menerima pesan jarak jauh dari Junjungan kita Nyi Roro Kidul? Bahwa kau dan aku agar segera menghadap untuk menyerahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru?”

Nenek bertubuh cebol bermata juling gelung rambut putihnya di atas kepala. Sambil tertawa cengengesan dan usap hidungnya yang pesek rata dia menjawab. “Kau tahu, ini cuma akal-akalanku saja...”

“Mengapa kau berbuat begitu? Takut Bujang Gila Tapak Sakti akan memilihmu untuk mengobati dirinya seperti yang dikatakan Ratu Sepuh?”

“Hik hik!” Nyi Roro Manggut tertawa. “Si gendut itu pasti tidak akan memilih diriku. Masih ada dirimu dan Ayu Lestari. Tapi terus terang itu memang salah satu alasanku mengapa aku mengajakmu cepat-cepat pergi..." Si nenek memandang ke langit. Di arah timur tampak kelompok awan hitam menggumpal tebal, berarak mendekati kawasan laut di dekat pulau Menjangan Kecil.

“Kita tidak bisa meninggalkan Wiro begitu saja Nek. Aku dan dia mati-matian berusaha mendapatkan kembali Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru yang kini sudah kau simpan dalam tubuhmu.”

“Kau tak usah khawatirkan pendekar itu. Cepat atau lambat dia akan bergabung dengan kita. Atau kau cemburu dengan Ayu Lestari?”

“Kau ini ada-ada saja Nek. Coba katakan, apa alasan lain kau cepat-cepat mau pergi.”

“Kau ingat apa yang diucapkan dengan suara keras oleh Nyi Harum Sarti tentang dirimu dan Bidadari Angin Timur?” tanya Nyi Roro Manggut.

“Ah, itu rupanya. Terus terang aku memang merasa heran dan tidak enak. Mengapa Nyi Harum Sarti sampai bermulut ember, keluarkan ucapan seperti itu.”

“Dia ingin mempermalukan kalian di hadapan orang banyak. Sekaligus sengaja memancing di air keruh.”

“Aku memang tidak suka dengan ucapannya yang mengatakan diriku adalah setengah manusia setengah ikan. Tapi aku pikir ujud keadaan diriku memang dulu seperti itu. Jadi walau jengkel aku memilih diam saja.”

“Kau bisa berbuat begitu. Tapi bagaimana dengan Bidadari Angin Timur? Kau mendengar sendiri apa yang diteriakkan Nyi Harum Sarti pada Bidadari Angin Timur sebelum kau membunuh Ratu celaka itu dengan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua. Gadis berambut pirang itu dikatakan janda muda Kepala pengawal Kesultanan Cirebon Tubagus Kesumaputra! Tidak heran kalau Bidadari Angin Timur kemudian menendang hancur mulut dan kepalanya walau Nyi Harum Sarti sudah jadi mayat! Tidak kusangka Bidadari Angin Timur bisa seganas itu. Tapi aku bisa memaklumi. Aku bicara terus terang saja. Si rambut pirang itu cinta setengah mati pada Wiro. Dibilang janda di hadapan Wiro apa tidak sama saja dengan kiamat bagi gadis berambut pirang itu? Apa lagi dia pasti juga sudah menyirap kabar tentang kedatanganmu bersama Wiro menemui Kiai Gede Tapa Pamungkas. Kini semakin banyak penghalang baginya untuk mendapatkan pendekar itu. Kalaupun dia tidak kawin dengan Tubagus Kesumaputra tapi paling tidak dia sudah mau diajak ke Cirebon. Apa itu bukan berarti pengkhianatan kalau dia memang benar-benar mengasihi Wiro? Kalau tidak ada api mana mungkin muncul asap!”

Lama Ratu Duyung terdiam mendengar ucapan Nyi Roro manggut. Akhirnya dengan suara perlahan Ratu Duyung berucap. “Memang aneh dan sangat kurang ajar sikap serta ucapan Nyi Harum Sarti. Tapi bagaimana dia bisa mengeluarkan ucapan seperti itu. Dari mana dia tahu? Apakah benar sahabat kita Bidadari Angin Timur janda dari Kepala Pengawal Kesultanan Cirebon bernama Tubagus Kesumaputra itu? Setahuku Tubagus Kesumaputra sebenarnya adalah pemuda bernama Jatilandak, putera Purnama. Purnama sendiri di negerinya dikenal dengan nama Luhmintari. Kalau Bidadari Angin Timur janda dari Kepala Pengawai, berarti mereka pernah kawin. Lalu kapan kawinnya?”

“Hal siapa sebenarnya Tubagus Kesumaputra itu bagiku tidak jadi persoalan. Yang membuat cerita jadi panjang dan sangat membuat marah Bidadari Angin Timur ialah dari siapa Nyi Harum Sarti alias Ratu Laut Utara palsu mengetahui kalau Bidadari Angin Timur adalah seorang janda!”

Ratu Duyung menatap wajah si nenek beberapa saat lalu meluncur ucapannya. “Aku ingat sekarang Nek. Ketika Nyi Harum Sarti meneriakkan kata-kata yang sangat memalukan itu, wajah Bidadari Angin Timur marah membesi. Rahang menggembung. Dua tangan terkepal. Dia seperti mau menguyah Nyi Harum Sarti sampai lumat dari ujung rambut sampai ujung kaki. Namun sekilas aku melihat juga bagaimana dia melirik tajam penuh kebencian pada Purnama. Kalau ucapan Nyi Harum Sarti benar, aku yakin Bidadari Angin Timur punya prasangka atau tuduhan bahwa Purnama lah yang telah menebar fitnah...”

“Bagaimana kalau itu bukan fitnah, tapi sebenarnya terjadi?” tanya Ratu Duyung yang agaknya terpengaruh dengan ucapan si nenek. Kalau tidak ada api mana mungkin muncul asap.

(Mengenai kisah jandanya Bidadari Angin Timur harap baca episode sebelumnya berjudul Badai laut Utara)

Lalu gadis cantik bermata biru itu menambahkan. “Kalau dipikir-pikir sebenarnya Purnama juga adalah seorang janda dari perkawinannya yang terputus dengan ayah puteranya yang bernama Jatilandak itu. Wiro tahu benar riwayat gadis itu.”

Kepala si nenek manggut-manggut berulang kali. “Bidadari Angin Timur memang pernah lama tidak muncul sejak beberapa waktu belakangan ini. Kemana menghilangnya? Pergi ke Cirebon. Kawin di sana. Lalu bagaimana ceritanya kemudian menjadi janda? Aneh!”

“Aku sendiri pernah tahu Nek,” kata Ratu Duyung pula. “Jatilandak pernah menyelamatkan Bidadari Angin Timur ketika hendak diperkosa oleh satu mahluk dari negeri asalnya. Mahluk itu berjuluk Hantu Muka Dua. Memang agaknya rasa saling menanam budi cukup alasan kalau mereka mau menikah. Tapi mengapa kita para sahabat sampai tidak mengetahui peristiwa perkawinan itu?”

(riwayat hampir diperkosa Bidadari Angin Timur oleh Hantu Muka Dua baca serial Wiro Sableng berjudul Rumah Tanpa Dosa)

Nyi Roro Manggut kembali angguk-anggukan kepala. Sepasang matanya yang juling menatap ke arah pantai dimana berjejer beberapa perahu kayu dan jukung yang keadaannya sudah setengah lapuk karena lama ditinggalkan dan tidak dipergunakan lagi oleh pemiliknya. Dia kembali memandang ke langit. Lalu berkata,

“Langit tampak hitam. Agaknya sebentar lagi hujan lebat akan turun disertai angin kencang. Mungkin badai.” Baru saja si nenek berkata begitu di langit sebelah barat kilat menyambar di susul gelegar guntur.

Ratu Duyung tidak perdulikan keadaan cuaca yang berubah cepat. “Nyi Roro, aku ingin tahu mengapa tadi kita tidak langsung menuju ke pantai. Kau sengaja melewati jalan berputar yang lebih jauh. Mengapa kau berbuat begitu?”

“Aku tidak ingin kehadiran kita di sini diketahui orang atau dilihat orang-orang itu...”

“Orang-orang siapa maksudmu Nyi Roro Manggut?” tanya ratu Duyung pula.

“Bidadari Angin Timur dan Purnama.”

“Bidadari Angin Timur sudah lebih dulu pergi dari kita. Tak mungkin masih berada di pulau ini.”

Nyi Roro Manggut menggeleng. “Dia masih berada sekitar pulau ini. Dia tengah menunggu seseorang. Aku punya firasat sesuatu akan terjadi di sekitar tempat ini. Pasang matamu baik-baik dan pentang telingamu tajam-tajam. Sayang cermin saktimu sudah hancur. Tapi coba kau kerahkan Ilmu Menembus Pandang...”

Baru saja si nenek keluarkan ucapan tiba-tiba dari balik sebuah pulau kecil muncul satu perahu. Penumpangnya mengenakan pakaian biru tipis, rambut pirang panjang melambai lepas tertiup angin. Sekali-kali dia mencelupkan tangan ke dalam air. Perahu melesat deras di permukaan laut. Di satu tempat sejarak belasan tombak dari pantai perahu dihentikan, terombang ambing dipermainkan ombak kecil. Perlahan-lahan penumpang di atas perahu bangkit, tegak sambil rangkapkan dua tangan di atas dada. Mata menatap tajam ke arah pantai.

“Bidadari Angin Timur...” bisik Ratu Duyung.

“Benar,” sahut Nyi Roro Manggut. “Dia tengah menanti kedatangan seseorang. Orang itu aku yakin sebentar lagi akan berada di tempat ini. Aku harap Bidadari Angin Timur tidak mengetahui kehadiran kita di balik batu karang ini.”

“Purnama!” tiba-tiba gadis berambut pirang berpakaian biru tipis yang berdiri di atas perahu di tengah laut berteriak lantang. “Aku tahu kau berada di tepi pantai. Jangan bersembunyi! Aku sudah cukup lama menunggu kemunculanmu! Cepat unjukkan diri! Ada yang perlu kau jawab sebelum aku menghabisi dirimu!”

“Dugaanku tidak keliru!” kata Nyi Roro Manggut. “Tapi aku tidak menduga Bidadari AnginTimur punya dendam begitu hebat hingga dia ingin membunuh Purnama!”

“Kau bilang apa yang terjadi sama dengan kiamat bagi gadis itu. Dan Purnama sangat tersangkut dengan kejadian tersebut.” Ucap Ratu Duyung pula. Dia berpaling ke kanan. “Aku mendengar desiran angin. Aku melihat sesuatu berkelebat di balik deretan pohon kelapa sebelah sana...” bisik Ratu Duyung.

Saat itu juga terlihat seorang perempuan berpakaian biru pekat, rambut digulung di atas kepala, berlari laksana terbang ke arah pantai. Ternyata dia adalah Purnama alias Luhmintari ibu dari Jatilandak alias Tubagus Kesumaputra.

Purnama angkat tangan kirinya ke arah Bidadari Angin Timur yang berada dia atas perahu. “Bidadari Angin Timur! Aku tahu kau akan menungguku. Aku tidak sembunyi. Justru aku memang ingin menemuimu agar bisa diajak bicara! Antara kita mungkin telah terjadi kesalah fahaman!”

“Bukan mungkin! Bukan juga kesalah fahaman! Seseorang telah menghina mempermalukan diriku akibat fitnah yang berasal dari mulutmu!”

“Aku akan menerangkan padamu duduk perkaranya! Kita bersahabat sejak lama. Aku tidak akan bermulut keji seperti yang kau duga. Sesuatu telah terjadi pada diriku!”

“Perempuan liar dari negeri najis!” teriak Bidadari Angin Timur. “Jika kau memang ingin bicara sebelum kematianmu, tunjukkan kehebatanmu! Datang temui aku di sini! Kita bicara di tengah laut ini!”

Ditantang begitu rupa Purnama tidak tinggal diam. Dia melirik ke arah deretan perahu ditepi pasir. Secepat kilat dia melompat mendekati salah satu perahu lalu mendorong ke dalam laut. Begitu berada di dalam air dia terus berenang sambil mendorong perahu. Dua gerakan kakinya yang sebat membuat perahu terdorong pesat di atas permukaan air.

Ketika tinggal beberapa tombak lagi dari perahu yang ditumpangi Bidadari Angin Timur baru Purnama melompat ke atas perahu. Aneh, kepala, tubuh, dan pakaian tidak ada yang basah. Gadis ini telah melindungi tubuh dan pakaian dengan ilmu yang mengeluarkan cahaya biru bergemerlap. Begitu berdiri di atas perahu yang kini berdampingan dan hanya terpisah dengan perahu Bidadari Angin Timur sejarak dua jengkal, Purnama segera keluarkan ucapan.

“Sahabatku Bidadari Angin Timur, kalau kita bicara aku harap kita bicara dengan kepala dingin walau hati panas...”

“Hentikan bicara manismu!” Bentak Bidadari Angin Timur. “Antara kita tidak ada lagi jalinan persahabatan. Karena kau telah membuka aib diriku yang nyata-nyata adalah fitnah dan menyampaikannya pada Ratu Laut Utara keparat bernama Nyi Harum Sarti itu!”

“Aku tidak mengingkari. Aku memang bicara tentang keadaan dirimu setelah gagalnya pernikahanmu dengan Kepala Pengawal Kesultanan Cirebon bernama Tubagus Kesumaputra itu! Nyi Harum Sarti berusaha mengorek banyak keterangan dariku. Dan aku bicara dalam keadaan pikiran tidak waras akibat ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati yang disirapkan seorang nenek anak buah Nyi Harum Sarti atas diriku...”

“Aku tidak peduli ilmu setan apapun yang ditenungkan pada dirimu. Kau tidak bisa membantah kenyataan bahwa sumber fitnah yang sangat keji memalukan itu berasal dari mulutmu!”

“Aku mengakui hal itu. Namun harap kau bisa mengerti...”

“Tutup mulutmu! Jangan terlalu banyak bicara! Aku hanya ingin tahu satu hal lagi! Dari mana kau mengetahui peristiwa gagalnya pernikahanku dengan Kepala Pasukan Kesultanan Cirebon yang sebenarnya adalah anak kandungmu sendiri!”

“Berita baik berita buruk berjalan secepat angin bertiup,” jawab Purnama tanpa mau berterus terang siapa orang yang menjadi sumber cerita peristiwa itu. Seperti diketahui Purnama mendapat penjelasan langsung dari puteranya sendiri yaitu Jatilandak alias Tubagus Kesumaputra. “Kuharap kau mau bersikap penuh pengertian. Walau aku menyadari buruknya diriku ini aku sebenarnya adalah bekas mertuamu juga...”

Mendengar kata-kata Purnama itu wajah Bidadari Angin Timur berubah merah. Rahang menggembung. Dada seperti mau meledak. Sepasang mata berkilat-kilat. Dari mulutnya menyembur tawa melengking panjang yang diakhiri dengan suara mendengus.

“Perempuan jahanam! Kau bukan saja terpesat dari negeri hantu! Tapi juga membuat keonaran di tanah Jawa! Aku tidak pernah nikah dengan anakmu! Aku tidak pernah merasa jadi janda seperti yang kau fitnahkan!”

“Bidadari Angin Timur, aku bersedia bersujud minta maaf padamu. Bukankah lebih baik kita lupakan saja persoalan ini? Semua terjadi bukan karena kemauan kita. Ini gara-gara kejahatan Ratu Laut Utara palsu bersama kaki tangannya!”

“Hebat dan pandai sekali kau mencari kambing hitam!” Tukas Bidadari Angin Timur. “Memang bukan terjadi karena kemauanku. Tapi kemauan busukmu!” Teriak Bidadari Angin Timur. Kepala disentakkan.

“Wutt!” Rambut pirang laksana tabasan golok menyambar ke arah leher Purnama. Jangankan leher manusia, patung batupun akan dibabat putus oleh tebasan rambut pirang yang berubah menjadi kaku keras laksana lempengan besi!

Selagi Purnama menjauhkan diri untuk menghindari serangan. Bidadari Angin Timur kembali lancarkan serangan susulan berupa pukulan tangan mengandung hawa sakti dan tenaga dalam tinggi! Bagi dua orang yang memiliki kepandaian yang sudah mencapai puncaknya, bertarung di daratan adalah satu hal yang biasa. Tapi berkelahi di atas perahu kayu yang mengambang di atas laut sungguh merupakan kejadian yang sangat langka. Walau memiliki kesaktian serta tenaga dalam tinggi, tapi jika tidak berbekal ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, kedua petarung bisa sama-sama celaka!

“Dukkk!” Tangan kanan Bidadari Angin Timur yang melancarkan pukulan ke arah dada beradu dengan lengan kanan Purnama yang dipergunakan untuk menangkis sekaligus dipakai mendorong sebagai serangan balasan.

Dua gadis cantik sama-sama terpekik. Tangan bergetar hebat dan membekas merah biru. Tubuh mereka serentak terhuyung ke belakang akibat keras beradunya dua tangan. Dalam keadaan seperti itu dengan gerakan kilat mengandalkan ilmu meringankan tubuh tinggi. Keduanya melompat ke udara. Sambil melayang turun untuk menjejakkan kaki di atas lantai perahu mereka kembali menabur serangan.

Purnama melepas pukulan Menahan Raga Menyerap Tenaga. Dengan ilmu ini dia mampu membuat lawan menjadi lemas tak berdaya. Jelas gadis dari Latanahsilam ini tidak berniat untuk mencelakakan lawan. Sebaliknya Bidadari Angin Timur yang sudah nekad hendak menghabisi Purnama menghantamkan dua tangan ke arah lawan. Dua larik sinar biru berkiblat. Ilmu kesaktian ini tidak bernama, Nyi Kuncup Jingga pernah mengatakan bahwa sambaran dua cahaya biru itu adalah Pedang Biru Liang Akhirat. Laksana sepasang pedang, dua cahaya biru dengan ganas menyambar ke arah kepala dan dada Purnama. Bila dua cahaya biru mengenai sasaran maka kepala dan dada Purnama akan terbelah!

Di saat bersamaan kilat kembali menyambung di langit dan guntur menggelegar dahsyat. Selagi dua gadis yang bertarung belum sempat menjejakkan kaki dan serangan masing-masing belum saling bentrokan tiba-tiba angin deras turun bergemuruh, bertiup dahsyat membuat air laut membuntal membentuk gelombang luar biasa besar! Dalam keadaan seperti itu dua buah perahu kayu tiba-tiba melesat dari arah pantai. Orang yang berperahu di sisi kanan berteriak.

“Bidadari Angin Timur! Purnama! Jangan tolol bertarung melawan sahabat sendiri! Semua bisa diselesaikan dengan saling bicara!”

Tapi gelombang luar biasa besar keburu menghantam. Empat perahu mencelat ke udara, hancur berkeping-keping. Nyi Roro Manggut cepat melesat menyambar tangan Bidadari Angin Timur sementara Ratu Duyung berusaha menggapai pinggang Purnama. Namun keduanya luput! Ketika gelombang kedua menyapu dan hujan serta angin menderu ganas sementara udara menjadi gelap, ke empat orang itu tidak kelihatan lagi!

********************

BAB EMPAT

Ketika Nyi Roro Manggut dan Ratu Duyung siuman, mereka dapatkan diri terbujur di atas pasir pantai Menjangan Kecil.

“Astaga, apa yang terjadi dengan diriku!” ucap si nenek seraya bangkit duduk. Dia memandang dan meraba dada sendiri, merasa lega karena mengetahui Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru milik Nyai Roro Kidul masih berada dalam tubuhnya.

Di sebelahnya duduk Ratu Duyung sambil mengibas-ngibas rambut yang basah, sepasang mata menatap ke arah laut yang kini berada dalam keadaan tenang. Di atas pasir keping kayu hancuran perahu bertebaran dipermainkan ujung ombak sementara langit cerah tak berawan. Sang surya condong jauh ke barat, memancarkan cahaya kekuningan pertanda saat itu hari telah sore.

“Ada badai sewaktu kita hendak mencegah Bidadari Angin Timur dan Purnama saling berbunuhan.” Ratu Duyung keluarkan ucapan. “Nyi Roro, menurutmu apakah badai itu merupakan badai setan jejadian seperti yang kita alami sebelumnya?”

“Jin pencipta badai yaitu Durna Rawana sudah menemui ajal. Yang tadi adalah badai sungguhan.” Jawab Nyi Roro Manggut. “Kita berdua tergeletak tak sadarkan diri cukup lama di tempat ini.”

Ratu Duyung bangkit berdiri, menatap ke arah laut lepas. Selain pulau-pulau kecil dia tidak melihat apa-apa lagi. “Nek, hatiku sangat kawatir. Apa yang terjadi dengan Purnama dan Bidadari Angin Timur. Jangan-jangan selagi kita tergeletak pingsan di sini kedua orang itu telah saling berbunuhan. Sama-sama menemui ajal!”

“Kalau mereka memang sama-sama sudah menemui ajal. Ada dua kemungkinan. Pertama tubuh mereka hancur berkeping-keping. Berarti kita tidak akan menemui jazad utuh mereka. Kemungkinan kedua jenazah mereka masih dalam keadaan utuh tapi tenggelam ke dasar laut. Paling cepat butuh waktu satu hari satu malam jenazah keduanya baru muncul mengambang di permukaan laut. Apakah kita akan menunggu? Kita masih banyak urusan penting yang harus segera dilaksanakan.”

“Kita tidak bisa menunggu selama itu, Nek. Selain itu aku merasa sangat perlu menemui Wiro terlebih dulu.”

Nyi Roro Manggut tidak menjawab melainkan menatap diam dengan matanya yang jereng ke arah laut.

“Apa yang ada dalam pikiranmu Nek?” tanya ratu Duyung.

“Aku coba mengingat-ingat...” jawab si nenek pula. “Sewaktu gelombang besar menghantam kita, yaitu sebelum kita mampu mencegah terjadinya saling serang pukulan sakti antara Purnama dan Bidadari Angin Timur, aku sekelebatan melihat satu benda putih panjang muncul dari dalam laut, melesat di dalam gulungan gelombang, menyambar ke arah kita...”

“Aku tidak melihat benda itu Nyi Roro,” kata Ratu Duyung pula. “Bisa saja kau tidak melihat Namun aku berpikir, bila cuma gelombang besar yang menghantam kita, tidak mungkin kita sampai terkapar pingsan sekian lama di tepi pantai ini. Aku yakin benda putih panjang itulah yang melepas kekuatan dahsyat membuat kita terpental hingga tidak sadarkan diri.”

“Kalau begitu ucapanmu, bisa saja dua sahabat kita itu telah mengalami celaka oleh benda itu. Tapi benda putih aneh itu mahluk apa gerangan?”

“Aku punya dugaan. Tapi kawatir kalau kesalahan...” ucap si nenek perlahan.

“Katakan saja padaku Nek. Masa kau tidak percaya aku akan menjaga rahasia?”

“Nanti saja. Ini bukan perkara percaya atau tidak percaya.” Jawab Nyi Roro manggut.

Sambil meraba pinggang pakaian di bagian dimana dia menyimpan gulungan Pedang Naga Suci 212 Ratu Duyung berkata. “Kalau begitu sebelum matahari tenggelam sebaiknya kita kembali dulu ke bukit menemui Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti. Lalu dengan mengandalkan Batu Mustika Sakti bersama-sama kembali ke daratan Jawa...” Mendadak ucapan ratu Duyung terputus. Gadis itu terpekik.

“Ada apa?!” tanya Nyi Roro Manggut tersentak kaget.

“Pedang Naga Suci!” sahut Ratu Duyung dengan wajah berubah pucat. “Pedang sakti bergulung itu lenyap! Sebelumnya aku simpan di balik pinggang sini!”

“Celaka! Pasti ada yang mencuri ketika kita dalam keadaan pingsan!” Si nenek lalu membantu memeriksa dan mencari senjata sakti itu namun tidak berhasil ditemukan.

Ratu Duyung terduduk lemas di atas pasir. Mengusap wajah berulang kali. “Apa yang akan kita lakukan sekarang? Kemana harus mencari pedang sakti itu? Senjata itu titipan orang, bukan milikku! Ah mengapa musibah buruk selalu datang tidak berkeputusan. Sebelumnya batu mustika sakti. Kini pedang sakti...”

“Kita sedang apes,” ujar Nyi Roro Manggut pula. “Pedang itu bukan cuma sekedar titipan, tapi lebih penting dari itu adalah tanda ikatan jodohmu dengan murid Sinto Gendeng.”

Ratu Duyung diam saja. Wajahnya yang tadi pucat kini bersemu merah mendengar kata-kata si nenek. Ucapan Nyi Roro Manggut membuat hatinya jadi tambah gelisah tambah kawatir. “Bagaimana kalau kita menyelidik dulu ke bukit kecil di dalam pulau? Siapa tahu Wiro masih ada di sana.” Ratu Duyung akhirnya berkata.

Kedua orang itu segera kembali ke atas bukit tempat dimana mereka sebelumnya bertemu dengan Ratu Laut Utara Nyi Harum Sarti dan Ratu Sepuh. Namun mereka tidak menemui siapapun di situ. Bahkan patung Wiro dan Nyi Harum Sarti juga telah musnah berubah menjadi kepingan bertabur sama rata di atas tanah. Sesaat setelah matahari tenggelam dan malam segera turun Nyi Roro Manggut berkata,

“Kita sudah mencari hampir di seluruh pulau kecil ini. Kau telah mengerahkan ilmu Menembus Pandang. Tapi sia-sia saja semua usaha. Tidak seorangpun ada di pulau ini. Lebih baik kita kembali ke pantai selatan.”

“Nyi Roro, kau berangkatlah duluan ke Kerajaan Laut Selatan. Temui Nyi Roro Kidul dan sampaikan permohonan maafku. Aku tidak bisa ikut bersamamu. Aku harus mencari dan menemukan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua terlebih dulu.”

Nyi Roro Manggut terdiam mendengar ucapan Ratu Duyung itu lalu bertanya. ”Kau mau mencari kemana pedang sakti itu?”

“Aku juga tidak tahu Nyi Roro. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa memberi petunjuk.”

“Dengar ratu Duyung.” Ucap si nenek sambil pegang bahu gadis bermata biru. “Dugaanku ada dua kemungkinan. Pedang itu memang dicuri orang ketika kau tergeletak pingsan di atas pasir. Atau bisa juga terlempar jatuh ke dalam laut sewaktu kita dihantam gelombang besar dan kibasan benda putih panjang.”

“Aku akan berusaha menyelidik. Apapun yang terjadi Pedang Naga Suci Dua Satu Dua harus didapatkan kembali.”

“Aku bisa mengerti tindakanmu. Aku akan memberi tahu Nyai Roro Kidul apa yang terjadi. Aku pergi Sekarang. Hati-hatilah...”

Ratu Duyung mengangguk. “Kau juga hati-hati Nek,” kata si gadis.

Nyi Roro Manggut letakkan tangan kanannya di atas dada dimana tersimpan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Sekati dia menghentakkan kaki kanan ke atas pasir pantai, tubuhnya melesat ke udara lalu melayang laksana terbang ke arah selatan.

********************

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

Apa yang terjadi dengan Purnama dan Bidadari Angin Timur? Pada saat badai muncul dan gelombang besar menghantam, baik Purnama maupun Bidadari Angin Timur telah sama-sama sempat melepas pukulan sakti. Purnama melancarkan pukulan Menahan Raga Menyerap Tenaga yang tidak akan mencelakai lawan, hanya sekedar membuatnya tidak berdaya. Sebaliknya Bidadari Angin Timur yang membekal amarah serta dendam kesumat besar menghantam dengan serangan mematikan yaitu pukulan ilmu Pedang Biru Liang Akhirat.

Walau saat badai menghantam dan membuat kedua gadis itu sama-sama terlempar namun serangan mereka lepaskan masih sempat menghajar ke arah lawan. Akibatnya memang sangat berbahaya. Yaitu Bidadari Angin Timur akan lemas tak berdaya seluruh tubuh sementara Purnama bisa jadi menemui ajal paling tidak ada bagian tubuhnya yang terbabat putus atau terkoyak lebar!

Pada saat itulah benda putih panjang muncul dari dalam air laut, berkelebat ke atas di antara dua gadis yang barusan sama-sama melepas pukulan sakti. Kibasan dahsyat benda putih itu sanggup membuat Bidadari Angin Timur dan Purnama terpental lebih jauh. Meskipun demikian dua gadis tetap mengalami cidera.

Bidadari Angin Timur menjerit keras ketika dia merasa tubuh sebelah kanannya mulai dari ujung jari tangan sampai ke bahu dan terus ke kaki menjadi lemas tak bisa digerakkan lagi. Ketika gelombang besar menghantam dirinya tak ampun gadis ini amblas masuk ke dalam laut. Walau dia memiliki ilmu bisa bertahan lama di dalam air yang didapat dari Kiai Gede Tapa Pamungkas namun dalam keadaan separuh tubuh cidera berat seperti itu dia tak mungkin menggantungkan nyawanya pada ilmu tersebut.

Ketika megap-megap muncul di permukaan air, dia berusaha dan masih sempat menggapai dengan tangan kiri sekeping papan pecahan perahu. Dia tidak menyadari kalau ada benda melekat di atas kepingan papan yang kini menjadi gantungan hidupnya itu. Lalu gelombang kembali menghantam tubuhnya hingga terpental dan diseret jauh ke arah barat.

Akan halnya Purnama, gadis dari alam gaib 1200 tahun silam ini dalam keadaan terpental masih sanggup selamatkan diri dari salah satu cahaya biru yang menyambar ke arahnya. Namun sambaran cahaya biru kedua tak mampu dielakkan. Laksana pedang membabat, cahaya biru masih sempat menyambar pinggulnya sebelah kiri. Darah mengucur dari luka besar di pinggul. Air laut sekitar situ tampak kemerahan. Dia sulit menggerakkan diri, apa lagi berusaha berenang mencapai pantai.

Sebelum pingsan gadis ini berusaha sedapatnya melafatkan ajian bernama Empat Penjuru Air Alam Gaib. Dengan ilmu ini, jika dia mampu membacakan manteranya sampai selesai maka tubuhnya akan mengambang di atas air. Berarti kehidupannya kini tinggal tergantung kemana arus air laut membawa menghanyutkan tubuhnya.

********************

BAB LIMA

Malam Jum'at Kliwon di tanah Jawa. Malam Jum'at yang sama di Pulau Andalas. Langit cerah tak berawan, dihias bulan sabit. Saat itu lewat tengah malam. Di tepi Danau Maninjau, di atas sebuah batu datar dialas selembar kulit kambing putih, Datuk Rao Basaluang Ameh baru saja selesai melakukan sembahyang tahajud dan siap berzikir ketika tiba-tiba di kejauhan terdengar alunan suara serunai memecah kesunyian malam. Sang Datuk angkat kepala. Wajah berubah, hati tercekat, dada berdebar. Perlahan mulutnya berucap.

“Puluhan tahun aku tidak pernah mendengar suara bebunyian itu. Apakah dia yang meniup? Apakah dia yang datang? Ah, mungkinkah dia masih hidup? Adakah kerinduan yang tersemat di hatiku juga ada di hatinya hingga dia datang ke sini?”

Datuk Rao Basaluang Ameh duduk tak bergerak. Mengambil sikap menunggu sambil sepasang matanya yang biru menatap ke arah jauh di kegelapan dari mana datangnya suara tiupan serunai yang mendayu berhiba-hiba, menimbulkan perasaan haru di lubuk hati Datuk Rao Basaluang Ameh. Orang tua yang konon adalah setengah roh manusia dan telah menemui kematian seratus tahun silam ini pegang saluang yaitu seruling khas Minang yang terbuat dari emas dan terselip di pinggang.

Perlahan-lahan dia tarik saluang ini lalu ujungnya ditempelkan ke bibir. Sesaat kemudian suara tiupan saluang menggema di udara malam, menimpali dan saling bersahutan dengan suara serunai. Seolah-olah dua mahluk gaib yang tengah memadu kasih. Di tengah Danau Maninjau, permukaan air tampak bergetar, membentuk gelombang-gelombang halus yang beriringan berarak ke tepian danau.

Untuk beberapa lama dua suara dua bebunyian itu saling bersambut indah di keheningan malam. Begitu menyentuh hati sehingga tanpa sadar butir-butir air mata meluncur jatuh di pipi Datuk Rao Basaluang Ameh. Tangannya yang memegang saluang bergetar dan tiupannya sesekali tertahan-tahan. Jauh di kegelapan ada suara tersendat seperti orang menahan isak dan bersamaan dengan itu suara tiupan serunai terdengar turun naik tak menentu.

Perlahan-lahan Datuk Rao Basaluang Ameh turunkan tangan. Saluang emas diletakkan di atas pangkuan. Mata terus menatap ke arah kegelapan. Mulut berucap gemetar.

“Laras Parantili. Jika memang kau yang datang perlihatkanlah dirimu. Jangan membuat diriku sesak seperti dikurung dalam keranda besi yang hendak ditenggelamkan ke dasar Danau Maninjau.”

Suara tiupan serunai di kegelapan berubah perlahan lalu lenyap sama sekali, tak lama kemudian kelihatan seseorang melangkah keluar dari balik deretan pohon-pohon Kayu Manis berusia ratusan tahun. Orang itu berjalan ke arah batu besar di tepi danau dimana Datuk Rao Basaluang Ameh duduk lalu berhenti. Sang Datuk masih belum bisa melihat jelas. Hatinya berkata.

“Datanglah lebih dekat agar aku bisa melihat dirimu...”

Seperti terdengar suara hati sang Datuk, orang dalam gelap lanjutkan langkah, mendatangi. Hanya sejarak dua belas langkah dari tempatnya duduk, Datuk Rao Basaluang Ameh kini tak ragu lagi. Dia benar-benar mengenali siapa orang yang datang ini. Bukan saja dari raut wajahnya tapi juga dari pakaian yang dikenakan.

“Allah Maha Besar! Aku memanjatkan beribu syukur! Laras Parantili! Benar kau yang datang rupanya!”

Datuk Rao Basaluang Ameh segera berdiri. Saluang Ameh diselipkan di pinggang. Tongkat kayu putih miliknya yang tadi tergeletak di atas tikar kulit kambing diambil lalu cepat turun dari atas batu.

Dua belas langkah di hadapannya berdiri seorang perempuan tua bertubuh tinggi semampai berambut putih perak, disanggul rapi dihias sesusun sunting rendah terbuat dari suasa. Wajahnya bujur telur berhidung mancung. Walau banyak kerut dan sepasang mata agak sembab tanda habis menangis, wajah itu bersih dan masih membayangkan kecantikan dimasa muda. Sehelai selendang biru bergelung di leher, menjulai ke dada.

Perempuan tua itu mengenakan kebaya panjang dalam menyerupai jubah berwarna kuning gelap, penuh dengan taburan sulaman bunga yang terbuat dari sulaman benang perak. Di bawah kebaya panjang kuning dia mengenakan sehelai celana panjang berwarna hitam. Di tangan kanan, sambil diletakkan di atas dada dia memegang sebuah serunai, yaitu bebunyian menyerupai suling tapi agak menggembung dan berkeluk di bagian tengah.

Untuk beberapa lama dua orang itu hanya saling bertatapan. Kemudian Datuk Rao melangkah mendekati namun dua langkah di hadapan perempuan tua itu dia berhenti. Jika menurutkan perasaan hati, saat itu juga sang Datuk ingin sekali memeluk erat perempuan tua berwajah cantik itu.

“Laras Parantili, ini kebesaran Tuhan yang paling indah. Aku tidak menyangka kau akan datang. Ah... Berapa tahun kita tidak pernah berjumpa? Sepuluh... dua puluh... empat puluh tahun...”

“Setengah abad Datuk. Setengah abad kita tak pernah saling bertemu...” menjawab perempuan tua bernama Laras Parantili.

“Setengah abad. Benar sekali. Aku benar-benar berbahagia. Kalau bukan langkah Tuhan yang membimbingmu kemari tentu kita tidak berjumpa malam ini.”

“Disitulah rahasia Kebesaran Allah,” kata Laras Parantili.

“Sejuta puji sejuta syukur!” ucap Datuk Rao Basaluang Ameh. “Laras, mari kita bicara di atas rumah gadang gonjong lima. Aku tidak tahu kau datang dari mana. Tapi yang pasti datang dari tempat yang jauh. Kau pasti lelah. Kau perlu secangkir minuman panas untuk menghangatkan diri. Selain itu kau tentu butuh istirahat...”

Laras Parantili tersenyum. Dia menatap ke arah kejauhan dimana terlihat sebuah rumah panggung besar beratap ijuk dengan gonjong berbentuk tanduk kerbau sebanyak lima buah. “Terima kasih, Datuk. Kau tetap baik dan lembut seperti yang sudah-sudah. Kalau kau tidak keberatan, biar kita bicara di sini saja. Aku tidak ingin mengganggu ketenangan tidur para penghuni gadang.”

Mendengar ucapan orang, Datuk Rao Basaluang Ameh maklum kalau si nenek datang membawa suatu maksud dan maksud itu ingin disampaikan secara cepat. Berarti dia tidak akan lama melihat perempuan yang selama ini selalu dirindukannya itu.

“Laras Parantili, aku tidak akan memaksa kau agar mau naik ke rumah gadang. Namun kalau boleh aku bertanya sudilah mengatakan gerangan maksud kedatanganmu. Apakah ini menyangkut hubungan kita masa lalu?”

“Datuk... pembicaraan kita mungkin akan sampai di sana. Namun berterus terang aku katakan, kedatanganku membawa satu kabar serta tujuan besar.”

Sekilas harapan membayang di wajah Datuk Basaluang Ameh. “Aku gembira mendengar hal itu. Katakanlah. Jika memang perlu kita rundingkan maka akan segera kita bicarakan saat ini juga.”

“Datuk, ketahuilah bahwa kedatanganku membawa satu amanat dari alam gaib, menyangkut mahluk titisan...”

Datuk Rao Basaluang Ameh tatap wajah Laras Parantili. Wajahnya membayangkan tanda tanya.

“Kau pasti belum mengerti. Biar aku lanjutkan ucapan,” kata si nenek pula sambil membetulkan gelungan selendang biru di lehernya. “Aku tahu di dalam rumah gadang tempat kediamanmu saat ini ada seorang anak perempuan berusia menjelang dua tahun. Bernama Ken Permata.”

Datuk Rao Basaluang Ameh sembunyikan keterkejutannya dengan tersenyum. “Lima puluh tahun tidak bertemu, lima puluh tahun tidak pernah datang, bagaimana begitu muncul Laras Parantili mengetahui kalau dirumahku ada seorang anak perempuan berusia hampir dua tahun bernama Ken Permata.”

Sebelum sempat orang tua ini mengatakan sesuatu, si nenek bermuka bulat sudah lebih dulu lanjutkan ucapan. “Anak perempuan itu adalah puteri dari seorang Tumenggung di tanah Jawa bernama Wira Bumi yang kemudian menjadi Patih Kerajaan. Nasib buruk sang Patih, dia tewas di tangan tokoh persilatan golongan putih. Istrinya, ibu dari Ken Permata bernama Nyi Retno Mantili, saat ini masih hidup tapi dalam keadaan tersiksa sengsara karena telah kehilangan ingatan warasnya. Konon perempuan itu masih berada di tanah Jawa.”

“Dia tahu banyak tentang Ken Permata dan kedua orang tuanya,” ucap Datuk Rao dalam hati. Lalu pada si nenek dia berkata. “Laras, tadi kau menyebut-nyebut soal titisan...”

“Ceritaku akan sampai ke sana Datuk.” Jawab si nenek pula dengan suara tenang penuh kesabaran sementara sebaliknya Datuk Rao ingin cepat-cepat mengetahui apa sebenarnya maksud semua ucapan dan kedatangan si nenek.

“Datuk, nasib anak perempuan bernama Ken Permata itu mungkin akan sama buruk dengan apa yang terjadi dengan ibunya jika tidak ada seseorang yang mau turun tangan dan menolong menghindarkan kejadian itu...”

Datuk Rao yang tidak sabaran langsung memutus ucapan dengan bertanya. “Lalu apakah kedatanganmu adalah sebagai orang yang hendak menolong anak perempuan itu?”

“Aku tak kuasa menolong, aku hanya orang yang ketitipan amanat agar anak perempuan itu dapat menerima titisan yang bakal datang atas dirinya. Bagaimana perjalanan hidupnya nanti Yang Maha Kuasa lah yang akan menentukan...”

“Laras parantili, terus terang aku masih belum jelas akan semua apa yang kau katakan ini. Roh siapa yang akan menitis ke dalam diri Ken Permata? Kapan hal itu akan terjadi?”

“Roh yang akan menitis berasal dari diri seorang perempuan usia empat puluh tahun bernama Nyi Harum Sarti. Seorang perempuan yang pernah menduduki tahta Kerajaan Laut Utara sebagai Ratu namun tewas tiga hari yang lalu.”

“Kapan penitisan akan terjadi?” tanya Datuk Rao yang kini menjadi tampak tegang.

“Malam ini. Dan aku dibebankan amanat agar petitisan itu terjadi dengan sebaik-baiknya tanpa halangan.”

“Laras, kau mengatakan roh yang akan menitis ke dalam diri Ken Permata adalah roh seorang ratu dari Kerajaan Laut Utara yang tewas tiga hari lalu.”

“Betul sekail Datuk.” Jawab Laras Parantili.

“Kalau kau mengatakan dia tewas maka aku mempunyai dugaan Ratu itu menemui kematiannya secara tidak wajar. Dibunuh Orang?” tanya Datuk Rao.

“Soal kematiannya, dibunuh atau bukan, siapa yang membunuh rasanya tidaklah penting Datuk. Jika penitisan terjadi maka Ken Permata setelah usianya mencapai tahun ke tiga kelak akan memiliki dasar-dasar ilmu kepandaian tingkat tinggi seperti hawa sakti, tenaga dalam, tenaga luar dan sebagainya.”

“Kalau yang masuk ke dalam diri anak itu adalah ilmu hitam, apakah ada manfaatnya?” tanya Datuk Rao Basaluang Ameh.

“Ilmu putih ilmu hitam tergantung bagaimana seseorang mempergunakannya. Sekalipun menguasai ilmu putih tapi jika digunakan untuk kejahatan maka akan berarti orang itu telah merubah ilmu putih menjadi ilmu hitam.”

Datuk Rao Basaluang merenung beberapa ketika. Dalam hati orang tua ini membatin. “Tadinya aku mengira dia datang untuk berbaik-baik membicarakan hubungan di masa lalu. Ternyata membekal sesuatu maksud yang tidak aku duga. Kalau dia memang ketitipan amanat, dirinya memang tidak bisa disalahkan. Tapi bagaimana hal ini bisa terjadi?”

“Laras, sebelum aku mengizinkan terjadinya penitisan itu, aku minta waktu untuk lebih dulu menyelidiki siapa Nyi Harum Sarti itu sebenarnya...”

“Datuk, mungkin kita tidak punya banyak waktu lagi. Seperti kataku tadi, penitisan tadi akan terjadi malam ini.” Jawab si nenek cantik bernama Laras Parantili sambil menatap ke langit lepas di atas danau.

“Laras, ketahuilah, kesembuhan penyakit jiwa ibu Ken Permata yang bernama Nyi Retno Mantili itu adalah jika dia berhasil menemukan puterinya. Jika sebelum pertemuan si anak sudah ketitisan roh orang lain, aku kawatir seandainya terjadi pertemuan mungkin sekali kesembuhan tidak akan terjadi. Nyi Retno Mantili akan sengsara seumur-umur. Saat ini cucu muridku Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng tengah berusaha mencari Nyi Retno Mantili dan membawanya ke Danau Maninjau ini. Untuk dipertemukan dengan puterinya.”

“Datuk, aku mengerti kekawatiran Datuk, jawab Laras Parantili pula. “Namun apakah Datuk juga memikirkan. Kalau penitisan tidak terlaksana maka akan dua orang yang menderita sengsara yaitu Ken Permata dan Nyi Retno Mantili.”

“Aku tidak sependapat denganmu Laras. Sekarang bukankah lebih baik kita membicarakan soal lain saja...”

Laras Parantili tersenyum. Senyum yang membuat Datuk Rao Basaluang Ameh merasa berbunga-bunga hatinya. “Kalau itu maumu, baiklah Datuk,” kata si nenek pula. Lalu dari balik pakaian kuningnya dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berbalut kain beludru merah yang telah kusam dan koyak di beberapa sudut pertanda kotak ini sudah agak usang dimakan umur.

Melihat kotak yang dipegang Laras Parantili bercahayalah wajah Datuk Rao. “Kotak beludru merah. Dia masih menyimpannya. Berarti dia datang benar-benar karena masih mengingat hubungan kasih sayang di masa muda. Sekali ini dia tidak akan aku biarkan pergi kemana-mana lagi.” Kata Datuk Rao dalam hati. “Laras, aku merasa bahagia kau masih mendambakan diriku...”

Namun semua rasa senang bahagia orang tua sakti ini serta merta sirna ketika Laras Parantili berkata. “Datuk, puluhan tahun aku membawa kotak ini kemana aku pergi. Kujaga baik-baik, seolah aku membawa nyawaku sendiri. Di dalamnya masih tersimpan dua cincin kuning terbuat dari batu Giok. Para tetua kita dulu mengharapkan suatu ketika dua cincin itu akan saling kita jadikan kalung di leher masing-masing sebagai pertanda ikatan perjodohan. Namun setelah setengah abad berlalu apa yang pernah diharapkan tidak pernah terjadi. Aku di timur kau di barat. Aku di selatan kau di utara. Aku membawanya kali ini dengan penuh perasaan sedih. Karena aku akan menyerahkan kotak berisi dua cincin Batu Giok ini padamu. Lebih baik kau yang menyimpannya. Aku harap kau menjadi maklum, penyerahan dua cincin ini sebagai pertanda bahwa kita memang tidak saling berjodoh.”

Datuk Rao Basaluang Ameh seperti dihenyakkan ke bumi. Langit seolah runtuh menimpa kepalanya. “Laras, tunggu dulu. Jangan kau berkata begitu. Malam ini adalah malam berkat Tuhan Yang Maha Besar. Kau datang membawa sepasang cincin. Bukankah ini berarti bahwa kita memang saling berjodoh walau harus menunggu sampai setengah abad?” Datuk Rao tidak berani menerima kotak beludru merah.

“Datuk, aku senang mendengar kata-katamu. Kalau saja kata-kata itu kau ucapkan lima puluh tahun yang lalu. Sebaiknya kau buka dulu kotak itu. Lihat dan periksa, apakah benar dua cincin Giok kuning masih ada di dalamnya dan apakah dalam keadaan baik, tidak retak tidak gumpil?”

“Aku yakin kau telah menjaga kotak ini baik-baik. Aku percaya dua buah cincin Giok kuning tidak kurang suatu apa.”

Datuk Rao lalu mengambil kotak beludru merah dari tangan Laras Palantili dan membuka penutupnya. Begitu tutup kotak dibuka menyemburlah asap kuning pekat berbau busuk. Asap langsung memasuki jalan pernafasan sang Datuk. Orang sakti ini cepat totok dua urat besar dipangkal lehernya namun terlambat. Asap beracun telah melewati tenggorokan dan mengancing dua paru-parunya. Sebelum jatuh pingsan Datuk Rao Basaluang Ameh keluarkan suara menggembor lalu roboh ke tepi Danau Maninjau. Mulut lelehkan cairan kuning!

BAB ENAM

Terang dan hangatnya cahaya mentari pagi menyadarkan Datuk rao Basaluang Ameh dari pingsannya. Telinganya menangkap suara kicau burung. Orang tua ini batuk-batuk beberapa kali, muntahkan cairan kuning. Terhuyung-huyung dia mencoba bangun. Dua kaki sulit digerakkan. Akhirnya dia mampu duduk bersila. Pejamkan mata, tarik dan hembuskan nafas panjang berulang kali. Hawa sakti dialirkan, tenaga dalam dikerahkan. Ada denyutan rasa sakit di dada.

Agaknya masih ada racun asap kuning yang mengendap dalam tubuhnya. Orang tua itu duduk bersila luruskan dada. Dua telapak tangan ditekankan ke tanah. Sesaat kemudian perlahan-lahan tubuhnya melayang naik ke udara. Pada ketinggian lima belas jengkal dari tanah tubuh ini berbalik lalu menukik turun, kaki ke atas kepala ke bawah.

Begitu kepala menyentuh tanah Datuk Rao Basaluang menotok urat besar di dada kiri kanan, pangkal leher serta kedua pelipisnya. Saat itu juga ada hawa aneh menyedot dari dalam tanah. Inilah cara orang sakti ini menguras racun yang mendekam dalam tubuhnya. Selain mengandalkan kemampuan sendiri juga meminjam kekuatan bumi.

Cairan kuning meleleh keluar dari mata, hidung, telinga dan mulut. Setelah itu tubuhnya melayang naik kembali, membalik di udara turun dengan kaki lebih dulu. Orang tua sakti ini telah terlepas dari bahaya besar yakni lumpuh seumur hidup akibat racun jahat kuning!

“Laras Parantili. Tidak kusangka setega ini hati dan perbuatanmu terhadapku...” ucap sang Datuk dalam hati. Dia berdiri dengan lutut masih terasa goyah, memandang berkeliling. Perempuan itu tak ada lagi. Lalu dia melihat kotak beludru merah tergeletak di tanah. Cepat dihampiri dan diperiksa. Kotak ternyata dalam keadaan kosong. Tak ada dua cincin Giok kuning.

“Laras, kau memang tidak membunuhku. Tapi apa yang kau telah lakukan sama saja membuat aku mati dalam hidupku. Ini lebih menyakitkan dari kematian sesungguhnya.”

Tiba-tiba orang tua itu ingat. “Ken Permata. Anak itu...!”

Secepat kilat Datuk Rao menghambur ke arah rumah gadang. Di langkan depan rumah dia menemukan harimau sakti putih besar Datuk Rao Bamato Hijau terbaring mendengkur di lantai.

“Tidak biasanya Datuk tidur di tempat ini. Sesuatu telah terjadi dengan dirinya...”

Datuk Rao cepat memegang kepala binatang itu, mengusap beberapa kali lalu meniup keningnya. Tiba-tiba harimau putih menggereng keras dan melompat bangun. Sepasang matanya yang hijau menatap ke arah Datuk Rao. Sesaat kemudian harimau putih ini rundukkan kepala sambil menggereng halus, mencium kaki Datuk Rao.

“Datuk, aku tahu, aku tahu sesuatu telah terjadi. Ada seseorang menyirapmu, membuat dirimu tertidur tak berdaya. Dan kau mengaku salah...”

Datuk Rao kembali mengusap kepala harimau putih lalu dia melangkah ke arah sebuah kamar di tengah rumah gadang. Di dalam kamar dia menemukan Mande Saleha, perempuan yang merawat dan menjaga Ken Permata terbaring tertelungkup di lantai papan dekat pintu. Tangan kanannya terjulur seperti hendak menggapai sesuatu. Ken Permata sendiri, anak perempuan yang biasa tidur dalam pelukannya tidak ada di dalam kamar itu. Tempat tidur beralas kasur tinggi dua jengkal kosong.

Datuk Rao tepuk punggung Mande Saleha sampai perempuan berusia hampir setengah abad ini terbangun. Begitu matanya nyalang, mulutnya langsung berteriak.

“Datuk! Saya mohon ampunmu...”

“Tenang Saleha. Katakan apa yang terjadi.” Kata Datuk Rao Basaluang Ameh pula. “Dimana Ken Permata?”

“Malam tadi Datuk...” jawab Mande Saleha setengah menahan tangis. Lalu perempuan ini menerangkan. “Malam tadi Ken Permata sudah tidur. Saya masih mengawang-awang, belum bisa memicingkan mata. Tiba-tiba entah mengapa bulu kuduk saya terasa meremang. Saya merasakan ada seorang lain dalam kamar. Saya bangun. Memandang berkeliling. Pandangan saya bertumbuk dengan sosok seorang perempuan berambut putih. Dia tegak tak bergerak di sudut sana. Tubuhnya tinggi. Mengenakan baju panjang kuning berbunga perak. Dia memakai sunting pendek. Ada selendang biru menggelung di lehernya. Meski takut saya masih mampu bertanya menanyakan siapa dirinya. Dia tidak menjawab. Tangan kanannya diangkat, dua jari dituding lurus. Lalu saya melihat ada larikan sinar kuning keluar dari sela jarinya. Saat itu juga saya menggelinding jatuh dari kasur. Meski saya masih sadar namun saya tidak bisa bersuara. Sebagian dari tubuh saya, yang sebelah kiri terasa berat. Lalu perempuan tua membuka jendela lebar-lebar. Saat itu saya melihat satu cahaya putih menyilaukan datang dari luar, masuk ke dalam kamar melalui jendela. Cahaya ini menyelubungi tubuh Ken Permata. Beberapa kali saya lihat tubuh anak itu terangkat ke atas. Lalu cahaya putih lenyap seolah habis diserap masuk oleh Ken Permata. Sebelum jatuh pingsan saya berusaha mencegah tapi tak berhasil.” Selesai memberikan penjelasan Mande Saleha menangis sejadi-jadinya. “Ini kali yang kedua kejadian seperti ini...” katanya di antara tangisnya.

(Baca Bayi Satu Suro dimana Ken Permata diculik oleh Wira Bumi dan Nyai Tumbal Jiwo).

“Saleha, hentikan tangismu. Kalau musibah sudah ditakdirkan datang, tidak ada yang bisa mencegah. Aku akan mencari anak itu...”

Tiba-tiba di kejauhan terdengar suara anak menangis. “Datuk... Itu suara Ken Permata...” Ucap Mande Saleha.

Tidak ditunggu lebih lama Datuk Rao Basaluang Ameh melompat keluar rumah lewat jendela yang terbuka. Berkelebat ke arah terdengar suara tangisan anak kecil. Harimau putih besar mengikuti. Tangisan itu ternyata hanya datang dari dalam goa batu pualam yang menjadi tempat kediaman sekaligus pertapaan Datuk Rao. Ken Permata ditemukan duduk tersandar di dinding goa, menangis menjerit-jerit. Ketika melihat Datuk Rao Basaluang Ameh, anak ini hentikan tangis. Dua matanya yang bening menatap memperhatikan si orang tua.

Datuk Rao melihat pancaran aneh keluar dari mata anak perempuan itu. Juga caranya memandang terasa tidak seperti biasanya. “Cucuku, kau bermain jauh sekali. Mande Saleha sampai menangis mencarimu. Mari kita pulang ke rumah gadang.” Datuk Rao dukung Ken Permata, melangkah cepat kembali ke rumah bergonjong sambil membelai punggung si anak.

“Tubuh anak ini ringan sekali. Tidak seperti biasanya...” kata Datuk Rao dalam hati ketika melangkah sambil menggendong Ken Permata.

Sampai di dalam rumah Ken Permata diberikan pada Mande Saleha yang menyambut si anakdengan menangis keras tapi kali ini merupakan tangis bahagia. Sementara Mande Saleha mendukungnya. Datuk Rao Basaluang Ameh memeriksa keadaan Ken Permata. Mula-mula diperiksa bagian punggung dan kepala sebelah belakang. Lalu diteliti wajahnya serta tangan dan kaki. Tidak ditemui kelainan.

Datuk Rao menyuruh Mande Saleha membaringkan Ken Permata di atas kasur. Dada diperiksa. Tetap tidak ada hal yang mencurigakan. Tapi ketika sang datuk menyingkapkan pakaian di bagian perut Ken Permata disitulah dia melihat tanda biru pada pusar si anak.

Datuk Rao Basaluang Ameh picingkan kedua mata. Menarik nafas panjang berulang kali. Hatinya membatin. “Titisan telah terjadi. Melewati pusar anak ini. Pusar adalah lambang pintu yang senantiasa tertutup. Kalau ada yang mampu membuka maka itu akan terjadi sekali seumur hidup. Berarti aku, atau siapapun tidak bisa mengeluarkan roh dari mahluk yang telah menitis masuk ke dalam tubuh anak ini. Ya Tuhan, ya Robbi. Yang buruk selalu datang dari kami manusia jelata. Yang baik selalu datang dari diriMu. Berilah semua kebaikan pada diri anak ini. Lindungilah dia dalam segala usia, pada segala tempat dan pada setiap kurun waktu.”

********************

BAB TUJUH

Beberapa minggu setelah peristiwa di Pulau Menjangan Kecil. Pada masa itu dunia perdagangan antara pulau Jawa dan Pulau Andalas mengalami kemajuan pesat. Tidak mengherankan kalau Selat Sunda setiap hari siang maupun malam dilayari oleh perahu-perahu dagang besar membawa berbagai macam barang dagangan dan bahan mentah termasuk rempah-rempah. Beberapa negeri asing ikut meramaikan perdagangan dengan mengirim perahu-perahu layar besar.

Kota-kota pelabuhan di pesisir utara pulau Jawa dan pesisir selatan pulau Andalas berkembang menjadi pelabuhan besar dan penting. Kehidupan rakyat yang dulunya hanya bertani maupun jadi nelayan kini banyak yang membuka usaha, ikut berdagang. Tingkat kehidupan penduduk menjadi jauh lebih baik dari pada yang sudah-sudah.

Namun keadaan itu berubah ketika jalur lintas pelayaran Selat Sunda diganggu oleh kaum perompak atau bajak laut. Dengan perahu-perahu layar kecil berkecepatan tinggi mereka menghadang kapal-kapal dagang, mengeroyok dan menjarahnya di tengah lautan. Konon para perompak memiliki senjata api berupa bedil yang mereka rampas dari orang-orang Portugis. Beberapa waktu sebelumnya memang terjadi kejahatan di tengah laut. Namun tidak sesering dan sehebat belakangan ini.

Kabarnya para perompak yang mencari mangsa di kawasan Selat Sunda itu dilakukan oleh komplotan besar. Dan yang membuat seluruh kawasan menjadi geger konon mereka memiliki pimpinan baru seorang perempuan yang dikenal dengan panggilan Janda pulau Cingkuk. Sejak perempuan yang kabarnya memiliki ilmu silat serta kesaktian tinggi dan disebut Janda pulau Cingkuk itu menjadi pimpinan kaum perompak walau kejahatan mereka tambah merajalela namun jarang sekali ada korban yang terbunuh. Paling banyak hanya terluka, itupun tidak parah.

Akibat dari terjadinya penjarahan di tengah laut yang tidak berkeputusan ini arus pelayaran kapal dagang di Selat Sunda hari demi hari jadi jauh berkurang. Perdagangan merosot jatuh. Yang paling dirugikan bukan saja para pedagang dan pemilik kapal layar tapi juga penduduk di sepanjang pesisir utara pulau Jawa sebelah barat dan pesisir selatan pulau Andalas yang selama ini mencari tambahan mata pencaharian dari ramainya perdagangan antar pulau dan antar negeri itu.

Sepak terjang para perompak yang dipimpin oleh janda Pulau Cingkuk itu akhirnya sampai ke pusat Kesultanan Banten. Banten yang punya hubungan dagang berupa jual beli lada dengan para petani dan pedagang di pulau Andalas sebelah selatan menderita kerugian paling besar karena belasan kapal-kapal dagang Kerajaan yang membawa lada dirompak di tengah laut.

Sultan memanggil para pembantunya. Dicari jalan bagaimana cara untuk dapat menumpas para perompak. Diputuskan, sebelum tindakan diambil perlu dilakukan penyelidikan rahasia tentang kekuatan lawan. Siapa saja pimpinan mereka selain Janda Pulau Cingkuk serta dimana pusat persembunyian mereka. Sekitar dua belas orang berkepandaian tinggi disebar sebagai mata-mata, menyamar melakukan tugas itu.

Dari dua belas orang yang berangkat hanya delapan yang kembali. Yang empat orang tidak diketahui kemana raibnya atau apa yang terjadi dengan diri mereka. Berdasarkan penuturan delapan orang yang kembali menghadap Sultan Banten didapat keterangan bahwa para perompak bermarkas di sebuah pulau kecil yang oleh para nelayan disebut Pulau Cingkuk. Jumlah mereka sekitar dua belas orang. Kecuali Janda Pulau Cingkuk tidak terdapat seorang perempuan pun di pulau itu.

Ada dugaan bahwa para perompak yang tentunya mempunyai anak istri itu mempunyai pemukiman rahasia di pulau lain dekat Pulau Cingkuk dimana keluarga mereka tinggal. Sebelum para perompak bermukim di sana, tentunya pulau itu hanya dihuni ratusan kera berbulu coklat. Para nelayan yang jarang berhenti di pulau itu menyebut kera-kera itu dengan nama cingkuk karena sepanjang hari binatang-binatang itu selalu mengeluarkan suara riuh kuk...kuk...kuk. Sejak itu pulau tersebut dikenal dengan nama Pulau Cingkuk.

Letak Pulau Cingkuk agak tersembunyi di antara gugusan pulau-pulau kecil di Selat Sunda, tepatnya di selatan Pulau Rakata Kecil dan di utara Pulau Rakata Besar. Menurut para mata-mata bilamana Kesultanan Banten mengirim pasukan besar untuk menumpas kaum perompak kemungkinan mereka akan terjebak. Karena waktu mereka lewat akan sangat mudah menjadi bulan-bulanan serangan. Apa lagi kalau para perompak memang benar memiliki senjata yang bisa berdentam dan mampu membunuh dari jarak jauh yaitu yang disebut bedil atau senapan. Korban yang jatuh diantara kedua belah pihak akan-berjumlah besar.

Mengenai pemimpin yang bernama Janda Pulau Cingkuk diketahui dia seorang perempuan bertubuh tinggi semampai, berpakaian serba merah. Kepala sampai ke rambut ditutup selendang merah, wajah dilindungi cadar merah. Sebegitu jauh tidak ada seorangpun anak buahnya yang tahu siapa nama perempuan itu sebenarnya. Juga tidak pernah ada yang melihat wajahnya. Namun dari gerak gerik, bentuk tubuh serta suaranya agaknya dia masih sangat muda dan kemungkinan sekali memiliki wajah cantik.

Diberitahukan pula bahwa perempuan itu selain punya ilmu silat dan kesaktian serta gerakan cepat laksana kilat hingga dianggap bisa menghilang, dia juga memiliki sebilah pedang sakti berwarna hijau yang disebut Pedang Lumut Batu. Menurut cerita ketika pertama kali menundukkan Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda yang menjadi pimpinan kaum perompak, Janda Pulau Cingkuk pergunakan pedang sakti dan berhasil mengalahkan pimpinan bajak laut itu bersama hampir dua ratus anak buahnya. Dalam pertempuran hebat tidak ada lawan yang terbunuh sementara Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda hanya tergores luka lengan kirinya.

Menyadari kehebatan perempuan itu yang kalau mau bisa membunuhnya, Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda yang telah berusia enam puluh lima tahun menyatakan menyerah dan tunduk tanpa ada rasa dendam sama sekali. Dia merasa memang sudah saatnya kedudukan sebagai kepala bajak laut digantikan oleh orang lain yang lebih muda dan berkepandaian tinggi. Hanya saja Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda tidak pernah menyangka kalau penggantinya adalah seorang perempuan penuh misteri.

Sejak Janda Pulau Cingkuk memegang tampuk pimpinan gerombolan bajak laut terjadi banyak perubahan pada diri para perompak. Mereka yang tadinya bertampang sangar memelihara kumis lebat dan cambang bawuk lebat serta berambut gondrong, kini rata-rata berwajah klimis. Cara bicara dan sikap mereka yang selama ini kasar kini tampak sopan dan lembut. Selain itu mereka sekarang lebih suka mengenakan pakaian putih-putih dari pada pakaian serba hitam. Ikat kepala kain merah diganti dengan daster atau belangkon bahkan banyak yang memakai peci hitam.

Terbetik pula berita bahwa sebagian besar hasil rampokan di tengah laut ternyata disumbangkan kepada ratusan penduduk miskin di berbagai tempat dalam bentuk uang serta makanan. Yang paling banyak menerima sumbangan tersebut adalah penduduk di bagian selatan Pulau Andalas dan bagian Pulau Jawa terutama rakyat Banten.

“Janda Pulau Cingkuk,” kata Sultan pula menyebut nama pimpinan bajak laut yang malang melintang di Selat Sunda itu. “Perempuan yang penuh rahasia. Dia menjadi kepala gerombolan bajak laut. Namun dibalik kejahatannya dia berbuat kebaikan. Ini seperti cerita seribu satu malam. Dia banyak membantu rakyat miskin termasuk rakyat Banten. Kita tidak bisa mengambil tindakan sembarangan atas dirinya. Tapi bagaimanapun kejahatan harus dihentikan...”

Sultan mengusap dagu, merenung sejenak lalu bertanya pada delapan orang yang duduk di hadapannya. “Ada diantara kalian yang mengetahui siapa dan berasal dari mana perempuan bernama Janda Pulau Cingkuk itu adanya? Dia tidak mungkin muncul secara tiba-tiba.”

Tidak ada yang menjawab karena memang tidak ada yang tahu. “Ada yang pernah melihat wajahnya?” tanya Sultan lagi.

Delapan orang yang ditanya gelengkan kepala. Sultan Banten tersenyum seolah saat itu yang dibicarakan bukanlah satu masalah besar, satu komplotan rampok beranggota ratusan orang, yang telah menjarah puluhan kapal pedagang milik Kesultanan Banten dan membuat Kerajaan kehilangan hasil perdagangan lada dengan daerah di kawasan selatan Pulau Andalas.

“Baiklah, pertemuan aku nyatakan selesai.” Kata Sultan Banten pula. “Kalian semua boleh pergi dan beristirahat disertai ucapan terima kasihku. Ramanda Maulana Yusuf, harap Ramanda tetap di sini dulu. Ada yang akan saya bicarakan.”

Setelah delapan orang itu pergi, sultan Banten berpaling pada Maulana Yusuf, seorang tua arif bijaksana berusia tujuh puluh tahun yang selama ini menjadi penasehat Sultan. Dalam banyak hal Sultan memperlakukan orang tua ini sebagai ayahnya sendiri.

“Ramanda, mendengar semua keterangan orang kita tadi, saya tidak akan menempuh jalan kekerasan. Saya merasa ada sesuatu dibalik semua kejahatan yang terjadi. Terutama sejak perempuan bernama Janda Pulau Cingkuk itu menjadi pimpinan kaum perompak.”

“Sri Paduka Sultan telah mengambil sikap sangat bijaksana. Saya sangat mengharap agar jangan sampai terjadi pertumpahan darah atau jatuh korban,” ucap Maulana Yusuf.

“Mungkin kita bisa mengundang Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda untuk datang kesini dan bicara mewakili pimpinannya. Saya cukup kenal dirinya sebelum dia jadi kepala perompak.”

“Itu rencana bagus. Tapi kalau Ramanda setuju saya ada rencana lain,” kata sultan Banten pula.

“Kalau saya diberi tahu dan jika saya diberi kepercayaan saya bersedia menjalankan rencana itu.”

“Saya belum akan memberi tahu sebelum menerima petunjuk serta keredohan Allah Yang Maha Kuasa. Malam ini saya akan melakukan tirakat. Sholat tahajud, berzikir dan berdoa. Mudah-mudahan Tuhan memberi petunjuk. Menjelang pagi tunggu saya di halaman mesjid kecil.”

********************

Malam itu kawasan Istana Kesultanan Banten diselimuti kesunyian. Di luar tembok Istana hanya ada beberapa perajurit yang meronda sementara di dalam istana tidak ada satu orang pengawalpun kelihatan bertugas. Ini satu pertanda betapa tingginya tingkat keamanan di Kotaraja dan sekitarnya, sekaligus merupakan petunjuk bahwa Kesultanan Banten berada dalam keadaan damai tenteram dan Sang Raja yang tahu bagaimana rakyat mencintai dirinya tidak merasa kawatirakan keselamatannya.

Di dalam kawasan tembok Istana terdapat sebuah mesjid kecil. Disitulah setiap saat Sultan Banten melakukan sholat lima waktu, berdoa dan berzikir serta melaksanakan sembahyang sunat lainnya. Acap kali pula Sultan mengajak permaisuri dan putera puterinya sembahyang bersama berjamaah. Di mesjid itu pula Sultan Banten sering mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuasa, terutama pada saat-saat Sultan membutuhkan petunjuk atas setiap rencana yang akan dilakukannya.

Sementara Sultan Banten masih berada dalam mesjid, dihalaman dibawah kerindangan satu pohon besar, di atas sehelai tikar putih, Maulana Yusuf dengan sabar menunggu Sultan menyelesaikan permohonannya pada Yang Maha Kuasa untuk dberikan petunjuk dalam menghadapi komplotan perampok pimpinan Janda Pulau Cingkuk.

Bertepatan dengan kokok ayam jantan pertama pertanda hari telah pagi dan fajar tak lama lagi segera akan menyingsing, Maulana Yusuf melihat Sultan keluar dari mesjid kecil. Orang tua ini segera berdiri, menggulung tikar lalu melangkah menemui Sultan.

“Ah, Ramanda tentu sudah sangat lama menunggu saya,” Sultan Banten menyapa lebih dulu.

“Apakah Sri Paduka Sultan sudah mendapatkan petunjuk dari Allah Yang Maha Pengasih?” Maulana Yusuf langsung ajukan pertanyaan.

Sultan pegang bahu orang tua itu lalu berkata. “Tolong Ramanda panggilkan pangeran Aji Triyasa.”

“Pangeran Aji Triyasa?” Maulana Yusuf mengulang nama itu. Sultan mengangguk. “Pergilah, saya menunggu di sini. Kalau dia datang kita bicara di dalam mesjid.”

Walau merasa heran karena tidak bisa menduga apa hubungan sang pangeran Aji Triyasa dengan persoalan yang tengah dihadapi namun si orang tua melakukan apa yang dikatakan Sultan.

Aji Triyasa adalah putera adik lelaki Sultan, berarti dia adalah keponakan Sultan. Usianya baru dua puluh dua tahun. Selain bertubuh tegap perkasa dan berwajah tampan dia memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi karena konon selama dua belas tahun digembleng oleh seorang kiai sakti di puncak Gunung Karang dalam berbagai ilmu termasuk ilmu keagamaan.

Sejak kecil Aji Triyasa lebih dekat dengan Suitan dari pada ayah kandungnya. Kepada Sultan pemuda itu sangat hormat dan patuh. Gagah tampan, memiliki ilmu silat dan kesaktian tinggi, mendalami ilmu agama serta budi pekerti baik membuat Sultan memiliki rasa sayang yang berlebihan atas diri keponakannya itu.

Kegagahan Pangeran yang dekat dengan rakyat ini konon telah tersiar ke berbagai penjuru hingga menjadi kerinduan banyak gadis yang ingin melihat diri dan menatap langsung wajahnya. Yang merasa cantik apa lagi puteri bangsawan atau pejabat Kesultanan tentu saja berharap bisa menambat hati sang pangeran dan membawanya ke pelaminan. Sebegitu jauh Pangeran AjiTriyasa belum diketahui telah memiliki seorang gadis yang menjadi pilihan buah hatinya.

********************

BAB DELAPAN

Enam orang perompak yang masing-masing berlindung di balik kelebatan pohon bakau di dua pulau kecil mengapit arus laut jalan masuk menuju Pulau Cingkuk menatap dengan mata besar tak berkesip ke arah sebuah perahu yang tengah meluncur perlahan di atas permukaan air laut.

Sang penumpang duduk di sebelah belakang perahu, di atas bangku yang menyatu dengan badan perahu. Orang itu ternyata adalah pemuda berambut panjang sekuping, mengenakan blangkon biru. Kepala merunduk, dada serta bahu terlihat bidang dan kokoh. Saat itu pemuda yang mengenakan baju lengan panjang dan celana putih-putih sederhana itu tengah asyik membaca kitab keagamaan bertuliskan huruf Arab gundul berjudul “Kasih Allah Sepanjang Zaman, Kasih Ibu Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepanjang Penggalan.”

Gaya sikap pemuda itu seperti seseorang yang tengah pesiar berjalan-jalan. Pemandangan laut di kawasan itu memang indah dengan beberapa pulau kedi bertebaran dimana-mana. Sesekali sekawanan burung terbang melayang rendah di atas permukaan air laut lalu naik membumbung ke udara. Apakah si pemuda tidak menyadari kalau saat itu dia berada di kawasan sarang kediaman Janda Pulau Cingkuk, pimpinan bajak laut Selat Sunda yang ditakuti?

Demikian asyiknya pemuda ini membaca kitab hingga dia tidak sadar kalau perahu akan melewati dua pulau kecil apitan menuju Pulau Cingkuk. Dia juga unjukkan sikap tenang ketika ada suara suitan bersahutan lalu menyusul suara bentakan menggeledek.

“Orang di atas perahu! Hentikan perahu! Berputar balik! Tinggalkan kawasan ini!”

Si pemuda angkat kepala, menatap ke pulau sebelah kanan dari mana tadi datangnya suara membentak. Dia mendengar bentakan namun tidak melihat siapa-siapa. Maka enak saja dia meneruskan menikmati bacaannya.

“Kami sudah memperingatkan! Kau berpura tuli! Terima nasibmu!” Kembali terdengar orang membentak. Kali ini diikuti gelegar suara letusan!

Perahu kecil yang ditumpangi pemuda berblangkon biru bergoncang. Namun dengan sentuhan ringan tangan kiri si pemuda pada pinggiran kiri, perahu itu kembali mengapung tenang.

“Suara apa itu? Baru sekali ini aku mendengar.” Ucap si pemuda dalam hati.

Dia memandang ke pulau kecil dikiri kanan. Kali ini matanya segera melihat orang-orang yang berlindung di balik semak belukar dan pohon bakau. Pemuda itu memandang ke lantai perahu ketika merasa dua kakinya yang mengenakan kasut kulit sapi basah dan dingin. Ternyata air laut sudah memenuhi lantai perahu, menggenang sampai ke mata kaki. Pemuda itu membungkuk memperhatikan. Dia melihat ada sebuah lobang sebesar lingkaran jari telunjuk dan ibu jari tangan pada dinding perahu sebelah depan sekitar setengah jengkal di atas lantai perahu. Dari lobang itulah air laut mengucur masuk.

“Bunyi letusan dan lobang di perahu. Apakah ada hubungannya?”

Pemuda itu berpikir. Lalu dengan tangan kiri dia mematahkan ujung kayu yang ada di bagian depan atas perahu yang di pahat begitu rupa seperti kepala kerbau. Sekali tangan kirinya meremas maka kayu yang keras itu menjadi bongkahan lunak, mudah dibentuk seolah berubah menjadi lilin. Oleh si pemuda bongkahan kayu disumbatkan ke dalam lobang hingga air laut berhenti mengucur masuk.

“Aman sekarang,” kata si pemuda. Dia kembali duduk di bagian belakang perahu. Kitab dibuka lalu kembali membaca. Belum lama membaca mendadak empat buah perahu masing-masing ditumpangi tiga orang lelaki berpakaian serba putih telah menghadang.

Salah satu dari dua belas orang itu menahan bagian depan perahu si pemuda dengan kaki kiri sementara yang lain-lain tegak menghunus golok, enam orang menarik gendewa siap menghamburkan panah dan seorang lagi tegak sambil mengarahkan moncong sebuah besi panjang bergagang kayu yang bukan lain adalah sepucuk bedil.

Pemuda di atas perahu perhatikan kedua belas orang itu. Tidak seorangpun diantara mereka memiliki wajah angker. Juga tidak ada yang memelihara cambang bawuk dan rambut panjang. Kebanyakan dari mereka mengenakan pakaian putih gunting Cina serta kopiah hitam.

“Eh, apakah mereka ini bajak laut perompak anak buah Janda Pulau Cingkuk? Aneh! Tidak satupun dari mereka berwajah seram.” Si pemuda berkata dalam hati. Saat itu kitab yang tadi dibaca sudah dilipat dan dikempit di ketiak kanan.

Lelaki yang memegang bedil di atas perahu terdepan arahkan mulut senjatanya ke dada si pemuda. “Kami sudah memerintahkan agar kau meninggalkan kawasan ini! Mengapa berpura tuli!”

“Kisanak, mohon dimaafkan. Saya datang ke sini tidak membawa maksud buruk. Tadi mungkin saya terlalu asyik membaca.”

Beberapa orang memperhatikan bagian bawah perahu yang telah disumbat sambil berpikir-pikir dengan apa dan bagaimana pemuda itu mampu menyumbat perahu yang bolong. Lelaki memegang bedil memberi tanda pada kawan-kawannya. Perahu bergerak lebih mendekati perahu si pemuda hingga kini ujung bedil bisa ditempelkan ke dada kiri si pemuda, tepat di arah jantung.

“Anak muda, aku dan kawan-kawan tidak perduli apa maksud kedatanganmu ke sini. Kau sudah mendengar apa perintah kami. Ini kawasan terlarang bagi siapa saja. Putar perahumu, tinggalkan tempat ini. Atau aku akan membuat satu lobang besar di dadamu!” jari telunjuk orang yang memegang pemicu bedil bergerak-gerak turun naik, siap melepaskan tembakan.

“Ki sanak harap mau bersabar dulu. Saya akan terangkan maksud kedatanganku ke sini!” Kata si pemuda dengan suara perlahan dan sikap tenang.

“Kami tidak perlu keteranganmu!” Lelaki di perahu sebelah kanan membentak. “Jagran! Lekas kau tembak saja! Tunggu apa lagi?! Atau aku akan suruh teman-teman menembus tubuhnya dengan enam anak panah sekaligus. Pemuda ini bicara manis tapi aku tahu dia sangat berbahaya!”

Jagran adalah orang yang memegang bedil. Agaknya dia yang jadi pimpinan diantara rombongan orang-orang itu.

Tidak peduli apa yang diucapkan orang si pemuda mengambil kitab yang ada dikempitan tangan kanan, membuka lalu mengambil secarik lipatan kertas yang ada di salah satu bagian kitab. “Saya datang membawa surat untuk disampaikan pada seorang paman bernama Barat Sanjaya. Beliau tinggal di Pulau Cingkuk. Paling tidak beliau ada di kawasan ini.”

Jagran berpaling ke arah kawan-kawannya yang sebelas orang. Semua menggelengkan kepala. Tidak ada yang bernama Barat Sanjaya di Pulau Cingkuk! Jangan mengarang cerita! Lekas putar perahumu atau kutembak sekarang juga.”

“Ki sanak, saya yakin kau pasti mampu membunuh saya. Apa lagi dengan senjata berbentuk aneh yang mampu mengeluarkan suara keras berdentam itu.” Sambil berkata si pemuda usap-usap besi bedil dengan tangan kiri. “Saya tidak percaya tidak ada yang bernama Barat Sanjaya di Pulau Cingkuk. Kata mereka yang pernah melihat, orangnya tinggi besar, dulu memelihara rambut sepinggang, dijalin dan digulung di atas kepala. Memelihara cambang bawuk meranggas serta berkumis lebat melintang. Memiliki sepasang mata besar dan merah. Kesukaannya selalu bertelanjang dada. Dada penuh otot dan berbulu. Di bagian kiri dada ada jarahan gambar tengkorak dengan tulang bersilang.” Si pemuda diam sebentar, memperhatikan wajah dua belas orang disekitamya. Dia dapat melihat perubahan pada wajah orang-orang itu. Malah secara sembunyi-sembunyi ada yang saling berbisik. “Nah, apakah orang dengan ciri-ciri seperti yang sayabkatakan itu benar-benar tidak ada di Pulau Cingkuk?”

Dua belas orang termasuk Jagran tidak menjawab, tidak bersuara.

“Jika semua ki sanak di sini tidak ada yang kenal dengan Barat Sanjaya baiklah, saya akan memberi tahu. Orang itu juga dikenal dengan nama Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda.”

Semua kepala tertegak. Semua mata membesar. “Anak muda, kau ini siapa sebenarnya?!” tanya Jagran masih dengan suara keras membentak.

“Saya hanya seorang santri yang bodoh dari kesultanan Banten. Jika kalian tidak mengizinkan saya menemui paman Barat Sanjaya atau Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda tidak jadi apa. Tapi tolong sampaikan surat ini pada beliau. Jika beliau nanti mencari saya, katakan bahwa saya sudah pergi sesuai dengan perintah ki sanak di sini.”

Sehabis berkata begitu pemuda berpakaian putih berblangkon biru ulurkan lipatan kertas pada Jagran seraya berkata, “Jangan lupa mengatakan pada paman Barat Sanjaya atau Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda. Surat ini datang dari Panembahan Maulana Yusuf, orang tua di Kesultanan Banten yang sudah dianggap sebagai kakak sendiri oleh paman Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda.”

Mendengar ucapan si pemuda semua orang terutama Jagran yang memegang bedil jadi terkejut dan berubah wajahnya. Ada bayangan rasa takut. “Anak muda, aku akan ambil surat ini dan serahkan pada pimpinan kami. Tapi kau jangan kemana-mana. Tunggu di sini. Aku akan memberi tahu kedatanganmu pada Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda. Kami tidak tahu kalau nama sebenarnya Hang Damar adalah Barat Sanjaya..."

Jagran dan dua temannya satu perahu segera tinggalkan tempat sementara sembilan orang di atas tiga perahu tetap berada di tempat itu, di atas perahu masing-masing. Sikap mereka tidak lagi garang dan penuh curiga. Golok sudah diselipkan di pinggang. Busur digantung di bahu dan anak panah dimasukkan ke dalam sarangnya.

Tak selang berapa lama Jagran dan tiga kawannya muncul. Dia atas perahu kini, disebelah depan berdiri seorang lelaki tinggi besar bertelanjang dada penuh bulu, hanya mengenakan celana putih dan sabuk kulit hitam besar. Dua tangan dirangkap di depan dada. Sepuluh jari tangan berwarna hitam sampai ke ujung kuku. Pada dada kiri ada jarahan berupa tengkorak bersilang dua tulang. Sepasang mata menatap lurus ke depan. Rambut panjang dijalin dan disusun di atas kepala. Kumis tebal melintang, dagu tertutup janggut tipis rapi, tidak memelihara berewok atau cambang bawuk. Melihat raut wajah usianya sudah cukup lanjut, sekitar enam puluh lima tahun.

Kurang satu tombak dari perahu orang ini tiba-tiba melesat. Di lain saat dia telah berdiri di bagian depan perahu yang ditumpangi pemuda berblangkon biru. Walau tubuhnya besar namun ketika kakinya menginjak lantai perahu, perahu kayu kecil itu sama sekali tidak bergoyang, air laut tidak bergelombang! Sungguh dia memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat! Begitu berhadapan dengan orang tinggi besar ini pemuda berblangkon biru segera menunduk dan memberi salam.

“Paman Hang Damar yang juga saya kenal dengan nama Barat Sanjaya, salam sejahtera untukmu. Assalammualaikum...”

Si tinggi besar bertelanjang dada penuh bulu sesaat terdiam. Sudah lama sekali dia tidak disalami orang seperti itu. Kalau sebelumnya ada rasa tidak senang pada pemuda itu kini perasaan itu jadi mengendur. Setelah menyahuti salam Aji Triyasa, Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda bertanya.

“Anak muda, apakah kau yang membawa surat ini?” Suara si tinggi besar ini keras dan serak tapi tidak menunjukkan keberangasan.

“Benar sekali Paman,” jawab si pemuda.

Dipanggil paman untuk kedua kalinya Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda tersenyum.

“Saya mohon maaf kalau kedatangan saya telah mengganggu ketenangan dan ketentraman paman.”

“Kau sendiri apa hubunganmu dengan Panembahan Maulana Yusuf?”

“Saya hanya seorang santri.” Jawab si pemuda pula.

“Santri?” Dua alis Hang Damar naik ke atas. ”Anak buahku memberi tahu kau mampu menambal lobang besar di dinding perahu dengan menghancurkan kayu perahu, apakah ilmu kepandaian seperti itu diajarkan pada para santri di Banten?”

“Mohon maaf paman. Saat itu memang saya takut sekali. Tetapi Allah menolong saya. Saya tidak sadar telah melakukan apa karena setengah mati takut tenggelam.”

Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda tatap sepasang mata si anak muda, tersenyum lalu membuka lipatan surat yang dibawanya, membacanya sekali lagi dan berkata. “Dalam surat ini, kakakku Panembahan Maulana Yusuf memang tidak mengatakan siapa dirimu. Dia hanya bilang agar aku bisa mempertemukanmu dengan pimpinan kami. Janda Pulau Cingkuk. Sekarang katakan siapa kau sebenarnya?”

“Paman, maaf kalau saya menolak menjawab. Tapi saya akan mengatakan siapa saya hanya kepada pimpinan paman.”

Hang Damar perhatikan si pemuda mulai dari blangkon sampai ke ujung kaki yang tersembunyi di balik genangan air laut di lantai perahu. Dalam hati bekas pimpinan perompak ini membatin. “Sikapnya memang sikap seorang santri. Sopan bersahaja. Sepasang tangannya halus seperti tangan perempuan. Wajah bersih seperti paras seorang gadis. Namun dibalik semua ini aku merasa ada satu kekuatan dahsyat dalam tubuhnya. Aku pernah satu kali melihat wajah Sultan Banten yang gagah dan cakap. Jangan-jangan...”

“Paman, apakah saya diperkenankan menemui pimpinan?” Bertanya si pemuda.

Hang Damar menyeringai, lalu tertawa. Makin lama tawanya makin keras hingga perahu bergoncang keras, air laut mendadak membuntal. Hampir tidak kelihatan telapak tangan kirinya menekan ke bawah ke arah air laut. Tiba-tiba dari bawah air laut bergulung gelombang besar. Saat itu juga perahu dimana kedua orang itu berada melesat terpental ke udara!

Jagran dan anak buahnya berseru kaget menyaksikan apa yang terjadi kemudian. Perahu yang mental ke udara terbelah dua lalu jatuh kembali ke dalam laut. Pada salah satu belahan perahu tegak berdiri Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda. Sementara pemuda berblangkon biru tidak kelihatan, tapi tampak ada tangan kiri yang mencuat ke atas permukaan laut memegang kitab. Tak lama kemudian muncul kepala si pemuda, megap-megap berusaha berenang mencapai belahan perahu kedua.

“Tolong! Tolong! Saya tidak dapat berenang...”

Hang Damar berteriak memberi perintah pada anak buahnya agar segera menolong si pemuda. Maka empat orang terjun ke laut dan menaikkan pemuda yang telah kehilangan blangkonnya itu ke atas perahu. Sekujur tubuh dan pakaian basah kuyup. Hanya kitab bertuliskan huruf Arab gundul “Kasih Allah Sepanjang Zaman, Kasih Ibu Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepanjang Penggalan.” Yang masih berada dalam keadaan kering.

Hang Damar tersenyum. Dalam hati dia membatin. “Aku tadi menjajalnya. Dia memperlihatkan diri seperti tidak punya ilmu kepandaian. Atau mungkin dia cerdik bersandiwara. Aku menaruh curiga anak muda itu memiliki ilmu lebih tinggi dari yang aku punya. Mungkin dia berbahaya, mungkin juga tidak. Kalau bukan Panembahan Maulana Yusuf yang mengirim sudah kuremukkan tubuhnya. Sebelum dia menghadap pimpinan, aku harus memberi salinan pakaian padanya. Lalu sewaktu dia menghadap pimpinan aku harus mengawasinya.”

BAB SEMBILAN

Ketika mendarat di Pulau Cingkuk pemuda yang mengaku santri dari Kesultanan Banten itu melihat hampir seluruh tepian pantai berada dalam keadaan terbuka dan gersang. Tak ada semak belukar tak ada deretan pohon kelapa. Di tempat-tempat tertentu dia melihat gundukan-gundukan batu dan di belakang setiap gundukan terdapat lobang setinggi bahu manusia. Di situ tempat terdapat satu bangunan tinggi terbuat dari bambu. Agaknya semua keadaan ini telah dipersiapkan jika sewaktu-waktu ada serangan.

Sampai saat itu dua belas orang yang tadi naik perahu masih terus melakukan pengawalan atas diri si pemuda. Sang “paman” Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda membawanya ke sebuah goa. Di sini dia diberi pakaian bersih warna biru pengganti pakaian yang basah. Di dalam goa ini si pemuda melihat banyak sekali senjata. Mulai dari pisau dan golok serta pedang, sampai pada busur panah biasa dan panah api. Lalu ada pula senjata yang bisa meletus yang disebut bedil itu. Jumlahnya sekitar dua puluh pucuk.

Setelah berganti pakaian Hang Damar minta si pemuda mengikuti mendaki sebuah bukit kecil. Dua belas orang anggota perompak tidak lagi mengawal. Mereka menyebar ke berbagai arah. Ketika mencapai puncak bukit matahari telah menggelincir ke barat pertanda siang mulai memasuki petang. Memperhatikan ke depan si pemuda hampir tak percaya dengan penglihatannya. Bagian bukit yang membentang di hadapannya merupakan satu pedataran rumput.

Sejarak tiga puluh langkah dari tempatnya berdiri menghampar satu kebun bunga ditumbuhi berbagai macam bunga yang saat itu sedang berkembang mekar. Lalu banyak pohon buah-buahan yang tumbuh berselang seling dan ditata rapi. Dikelilingi oleh taman bunga itu terdapat sebuah mesjid kecil lengkap dengan menara perak yang diatasnya terpancang bulan sabit yang juga terbuat dari perak berkilat.

“Kalau ini adalah sarangnya bajak laut Pulau Cingkuk maka sungguh diluar dugaan. Ada taman... ada pohon bebuahan, ada mesjid...” Si pemuda berkata dalam hati.

Hang Damar pegang bahu anak muda yang tegak terkagum-kagum. “Santri muda,” katanya. Saat ini sholat zuhur sudah datang. Pergilah sembahyang di mesjid kecil itu. Selesai sholat pergilah ke pohon cemara laut yang tumbuh lima berderet di sebelah timur sana. Jika pimpinan bersedia menemuimu dia akan mendatangimu di tempat itu. Jika tidak maka kau harus segera meninggalkan pulau ini.”

“Paman, terima kasih. Sejak kedatangan saya kau telah banyak menolong. Juga terima kasih saya diperkenankan boleh bersembahyang di mesjid yang bagus itu.”

“Mesjid adalah rumah Tuhan. Siapa saja boleh melakukan ibadat di sana.” Habis berkata begitu Hang Damar yang bertelanjang dada segera memutar tubuh. Dua kali kakinya melangkah maka dia telah berada jauh di arah bukit sebelah selatan.

Si pemuda geleng-geleng kepala. “Kalau semua penjahat seperti dia rasanya dunia ini akan aman-aman saja...”

Seperti yang dipesankan Hang Damar, selesai menunaikan sholat zuhur santri muda dari Kesultanan Banten itu segera menuju bukit sebelah timur dimana tumbuh berderet lima pohon cemara laut. Di tempat itu udara terasa sejuk karena angin bertiup sepoi-sepoi basah. Sementara menunggu si pemuda melangkah mundar mandir di samping lima pohon cemara. Setiap dia melangkah di samping pohon cemara sebelah tengah kakinya terasa menginjak tanah yang bagian bawahnya kosong.

“Ada rongga, mungkin juga lobang besar di bawah tanah ini,” pikir si pemuda. Dia memperhatikan berkeliling. Di samping kanan deretan lima pohon cemara tumbuh subur pohon kembang berbentuk terompet berwarna kuning. Selain bentuknya yang indah kembang itu menebar bau harum semerbak. Tiba-tiba pandangan matanya melihat ada satu batu hitam menonjol di bagian bawah pohon bunga terompet. “Aneh, batu itu kelihatan bersih. Sepertinya sering disentuh...”

Karena ingin tahu si pemuda melangkah mendekati. Saat itulah bahunya dipegang orang. Ketika dia tersentak kaget dan berbalik, yang memegang ternyata adalah sang paman, Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda.

“Ah, paman kiranya. Apakah...”

“Kau beruntung. Pimpinan bersedia menemuimu. Sebentar lagi dia datang.” Kata Hang Damar.

Baru saja ucapan dikeluarkan tiba-tiba dari balik pohon cemara paling ujung kiri kelihatan satu bayangan seseorang berpakaian merah. Sesaat kemudian di hadapan si pemuda telah berdiri sosok elok tinggi semampai seorang perempuan yang tubuh dan pakaiannya menebar bau wangi. Perempuan ini mengenakan pakaian ringkas warna merah. Kepala dan wajah ditutup sehelai kain merah. Yang kelihatan hanya sepasang mata bening tajam bercahaya. Di balik punggung menonjol gagang sebilah pedang berbentuk kepala binatang yang tak jelas apa adanya karena tertutup sejenis lapisan tebal bergerunjul berwarna hijau pekat.

Setelah menatap beberapa ketika, si pemuda keluarkan ucapan. “Paman, apakah saya berhadapan dengan pimpinan...?”

Hang Damar mengangguk. Si pemuda cepat-cepat memutar diri menghadap lurus-lurus, kitab dikempit di ketiak kanan lalu rundukkan tubuh dan rapatkan dua tangan di depan kepala. “Saya sangat berterima kasih pimpinan mau menemui saya. Harap sudi menerima salam hormat saya.”

Sepasang mata perempuan berpakaian dan bercadar merah memperhatikan si pemuda tak berkesip. Untuk beberapa lama dia tegak diam tertegun tak bergerak. Dada berdebar. Hati terucap. “Kalau saja kulitnya tidak lebih putih, tubuhnya tidak lebih langsing dan rambutnya tidak lebih pendek. Bagaimana mungkin wajahnya bisa mirip dengan... Ah! Apakah pandangan mataku yang menipu? Pikiranku yang berkhayal atau hatiku yang mengada-ada?”

Si pemuda sadar kalau dirinya diperhatikan berusaha balas memandang. Namun dia hanya bisa melihat sepasang mata bagus yang bercahaya, tidak mampu menembus cadar merah untuk melihat wajah yang terlindung. Hatinya berkata. “Jadi inilah perempuannya yang menyebut diri Janda Pulau Cingkuk. Pimpinan bajak laut yang selama ini malang melintang di kawasan Salat Sunda. Sungguh sulit aku pencaya..."

“Pimpinan, inilah pamuda yang mengaku santri dari Kesultanan Banten. Dia datang membawa surat dari Panembahan Maulana Yusuf. Minta dipertemukan oangan pimpinan..."

“Jadi kau seorang santri? Betul?”

“Betul sekail, pimpinan. Saya mohon maaf kalau...”

“Apakah kau punya nama?” tanya perempuan bercadar merah.

“Nama saya Aji Triyasa.” Jawab si pemuda.

“Apa?!” Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda keluarkan ucapan kaget.

“Ada apa ayahanda Hang Damar?” si cadar merah bertanya.

Kini sang santri muda yang jadi kaget. “Dia menyebut si dada berbulu ayahanda Jadi Hang Damar adalah ayah Janda Pulau Cingkuk? Turut yang aku dengar bukan begitu ceritanya. Lantas mengapa dia menyebut ayahanda.”

“Aji Triyasa! Tunggu dulu!” kata Hang Damar pula. “Aji Triyasa... Aji Triyasa...” Lelaki bertubuh besar berusia enam puluh lima tahun itu mengusap wajahnya sambil menyebut nama si pemuda berulang kali. Otaknya berusaha mengingat-ingat. Tiba-tiba dia berseru. ”Kau... Kau bukan seorang santri! Aku ingat sekarang! Wajahmu! Namamu! Kau adalah salah seorang keponakan Sultan Banten! Kau seorang Pangeran Kesultanan Banten!”

Mendengar ucapan Hang Damar, sang pimpinan alias Janda Pulau Cingkuk secepat kilat melompat. Sekali bergerak tangan kirinya telah menjambak rambut panjang sekuping si pemuda yang bernama Aji Triyasa. Tangan kanan yang dipentang lurus pancarkan cahaya biru redup, siap dihantamkan ke kening si pemuda. Tangan itu bisa berubah jadi palu godam, juga bisa merupakan mata pedang luar biasa tajam. Sekali menggeprak kepala Aji Triyasa bisa remuk atau terbelah!

“Siapa kau adanya! Aku tidak peduli kau keponakan Sultan atau keponakan setan! Katakan apa maksud kedatangan menemui diriku!” Janda Pulau Cingkuk bicara dengan suara keras namun sepasang matanya tidak lepas dari menatap si pemuda bernama Aji Triyasa. Dan setiap dia memandang dadanya terasa berdebar.

Hang Damar tidak tinggal diam. “Pimpinan, serahkan pemuda ini pada saya! Kemungkinan besar dia tengah melakukan tugas mata-mata!” Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda dengan satu gerakan cepat menelikung tangan kanan Aji Triyasa hingga kitab yang dikempitnya terlepas jatuh ke tanah.

Dalam keadaan tangan ditelikung ke punggung dan bisa patah malahan tanggal jika dia berani melawan, si pemuda hanya mampu meringis kesakitan. “Kalau saya telah melakukan kesalahan, betapa pun kecilnya saya ikhlas menerima hukuman. Tapi saya yakin saya tidak melakukan apa-apa. Jangankan melakukan, berpikir jahatpun tidak ada dalam benak dan hati saya. Panembahan Maulana Yusuf bukankah sudah menerangkan dalam suratnya maksud kedatangan saya adalah untuk menemui pimpinan.”

“Aji Triyasa! Katakan apa maksudmu menemui pimpinan kami!” bentak Hang Damar.

“Saya akan mengatakan. Tapi langsung pada pimpinan. Saya tidak ingin ada orang lain berada di tempat ini. Saya tidak ingin ada orang lain ikut mendengar apa yang akan saya sampaikan.”

Mendengar ucapan si pemuda, Janda Pulau Cingkuk dengan cepat menggerakkan tangan. Saat itu juga sekujur tubuh, tangan serta kaki Aji Triyasa menjadi kaku tak bisa digerakkan. Kini dia hanya mampu bicara saja.

“Ayahanda, tak usah kawatir. Silahkan meninggalkan tempat ini. Kalau nanti dia bicara kurang ajar akan saya robek mulutnya!”

“Hati-hati pimpinan,” kata Hang Damar pula. Walau dirinya disebut ayahanda namun terhadap Janda Pulau Cingkuk dia tetap memanggil pimpinan. Dengan melangkah mundur dia menjauhi ke dua orang itu.

Setelah Hang Damar berada sejauh hampir dua puluh tombak Janda Pulau Cingkuk keluarkan ucapan. “Sekarang hanya kita berdua di tempat ini! Katakan rahasia apa yang kau bawa. ke hadapanku. Awas kalau kau berani bicara kurang ajar!”

“Maafkan saya pimpinan. Pertama saya tidak tahu harus memanggilmu apa...”

“Orang-orang memanggilku Janda Pulau Cingkuk. Apa sulitnya bagimu memanggilku dengan nama itu?”

“Terus terang rasanya saya tidak suka menyebutmu dengan nama itu. Tapi jika kau yang menyuruh... Ah, bagaimana ini. Biar saya memanggilmu sahabat saja...”

“Sudah, jangan banyak mulut! Jangan bicara bertele-tele! Katakan maksudmu menemui diriku.” Bentak Janda Pulau Cingkuk.

“Sahabat, sebelum mengatakan, saya mohon beribu maaf. Saya datang menemuimu untuk meminang dirimu sebagai istri...”

“Manusia kurang ajar! Beraninya kau...!” Janda Pulau Cingkuk angkat tangan kanannya.

“Plaakkk!” Satu tamparan keras mendarat di muka Aji Triyasa.

Saking kerasnya tamparan tubuh Aji Triyasa yang berada dalam keadaan kaku akibat totokan sampai melintir. Untung tidak terbanting roboh. Darah meleleh dari luka di sudut kiri bibir. Melihat apa yang terjadi Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda segera mendatangi.

“Pimpinan, ada apa?!” Matanya membeliak merah menyorot. Sepuluh jari tangan yang berwarna hitam dipentang.

“Ayahanda, silahkan kembali ke tempatmu. Saya belum habis bicara dengan orang satu ini.”

“Kau yakin tidak akan apa-apa kutinggal sendirian? tanya Hang Damar.

“Dia masih dalam keadaan tertotok. Ayahanda tidak perlu kawatir.” Janda Pulau Cingkuk mengangguk.

Setelah Hang Damar kembali ketempatnya semula Janda Pulau Cingkuk cabut pedang yang tersembul di balik punggung. Senjata ini bentuknya aneh. Penuh dengan gerunjulan tebal berwarna hijau mulai dari ujung lancip sampai ke gagang. Pedang yang memancarkan cahaya hijau redup ini diletakkan di atas bahu kiri Aji Triyasa. Setiap kejap mata pedang menempel di leher siap menggorok jebol leher pemuda dari Banten itu!

Si pemuda tersenyum. Membuat Janda Pulau Cingkuk jadi geram dan membentak. “Manusia konyol! Mengapa kau tersenyum?!”

“Saya sudah dalam keadaan tertotok. Sahabat masih mau mengancam dengan golok terhunus. Apa perlunya? Apalagi saya datang membawa maksud baik, tidak ada kejahatan yang saya sembunyikan.”

Dibalik cadar merah wajah Janda Pulau Cingkuk berubah merah. “Aji Triyasa, sekalipun kau keponakan Sultan Banten, apa kau kira aku tidak berani menghabisimu?!”

“Sahabat, saya tahu kau seorang berhati mulia. Tidak mungkin akan menggorok batang leher saya.”

“Siapa bilang?” Jawab Janda Pulau Cingkuk sambil menekan mata pedang ke leher si pemuda.

“Saya yang bilang. Karena ada banyak hal yang sahabat ingin tahu dari saya!” Jawab Aji Triyasa pula.

“Nyawa ikan di sekitar pulau ini lebih berharga dari nyawamu!”

“Begitu? Ya sudah, silahkan sahabat membunuh saya sekarang juga! Kalau saya sudah mati silahkan dipanggang, diberi bumbu. Pasti tubuh saya lebih sedap rasanya dari ikan sekitar pulau ini.”

“Kurang ajar!” Rahang Janda Pulau Cingkuk menggembung. Matanya membeliak namun tangan kanannya yang memegang gagang pedang hijau tidak bergerak.

“Berpenampilan halus, bicara halus dan sikap sopan! Tapi mengapa sikapnya hampir sama konyol dengan manusia satu itu!” Janda Pulau Cingkuk menggeram dalam hati.

BAB SEPULUH

Sahabat, mengapa kau ragu membunuhku? Aji Triyasa bertanya.

“Diam! Jangan banyak mulut!” bentak Janda Pulau Cingkuk.

“Kalau begitu perintahmu mulai saat ini saya tidak akan bicara. Saya akan diam seribu bahasa. Anggap saja kau bicara dengan patung!”

“Benar-benar kurang ajar! Katakan apa maksudmu mau meminang diriku jadi istrimu? Kau sengaja hendak menghinaku?!”

Aji Triyasa diam saja.

“Hai! Ayo bicara! Mengapa bungkam?!”

Si pemuda tetap membisu. Janda Pulau Cingkuk ketukkan gagang pedang hijau ke kening si pemuda hingga benjut dan kucurkan darah. Aji Triyasa mengerenyit kesakitan tapi tetap tidak keluarkan suara. Diam-diam perempuan di hadapannya jadi merasa kasihan.

“Aku bertanya mengapa kau tidak menjawab?!”

“Tadi kau memerintahkan agar saya tutup mulut. Apa sekarang sudah boleh bicara?” Aji Triyasa akhirnya bicara juga.

“Manusia konyol! Kau mau bicara apa?!”

“Sahabat, jika kau mau menerima pinanganku, maka kau telah berbuat satu kebajikan besar.”

“Enak saja kau bicara! Siapa yang menyuruhmu datang ke sini?”

“Saya mau sendiri. Selain itu memang ada dorongan dari Kesultanan Banten dalam rangka mencari jalan yang terbaik untuk menghentikan perompakan di Selat Sunda.”

“Aku tidak mengerti maksudmu!” kata Janda Pulau Cingkuk pula.

“Kalau begitu saya akan menjelaskan. Sahabat, sebelum kau menjadi pimpinan para bajak Selat Sunda, banyak kerugian baik harta maupun nyawa manusia yang telah jadi korban. Setelah kau jadi pimpinan memang korban nyawa tidak ada lagi, tapi penjarahan tetap merajalela diperairan Selat Sunda. Semua ini mendatangkan kerugian sangat besar bagi Kesultanan Banten serta penderitaan bagi rakyat. Hubungan dagang dengan beberapa negeri asing menjadi terhenti dan rusak. Kami memang mendengar kabar ada sebagian barang jarahan dijadikan uang dan dibagi-bagi untuk membantu rakyat miskin? Tapi apakah itu ada manfaat dan pahalanya? Menolong orang dengan barang haram? Sultan ingin semua kejahatan itu dihentikan. Saya sendiri melihat tempatmu bukan di sini atau di tengah lautan. Kami semua yakin kau berasal dari orang baik-baik. Karena itu kami bersepakat meminangmu, menjadikan kau sebagai istri saya. Jangan lihat kedudukan saya sebagai Pangeran keponakan Sultan, itu tidak ada arti apa-apa. Saya sama dengan manusia lainnya, sama dengan dirimu. Yang penting kau bisa merubah jalan hidup, menjadi seorang perempuan dan istri baik-baik. Sultan akan memberi pengampunan pada seluruh anak buahmu. Mereka dipersilahkan datang ke Banten dan tinggal di sana Mereka juga boleh memilih tempat kediaman baru yang mereka inginkan. Semua barang jarahan yang ada di tangan mereka silahkan dibagi-bagi sebagai modal hidup baru. Yang penting Selat Sunda menjadi aman, tidak ada lagi pembajakan, tidak ada lagi perompakan. Jika kau mau melakukan itu, bukankah itu satu kebajikan yang sangat besar?”

“Aku seperti bermimpi!” kata Janda Pulau Cingkuk lalu tertawa panjang.

“Sahabat, kau tidak bermimpi. Yang kau hadapi adalah kenyataan!” Kata Aji Triyasa pula.

Janda Pulau Cingkuk geleng-gelengkan kepala. “Luar biasa! Mula-mula kau muncul mengaku sebagai seorang santri. Lalu kenyataannya kau adalah keponakan Sultan Banten. Sekarang kau memperlihatkan dirimu seolah-olah seorang sunan yang tengah menebar ajaran agama.”

“Sahabat, jangan kau salah mengira. Untuk menebar kebaikan, seseorang tidak perlu menjadi Sunan lebih dahulu.”

“Kau pandai bicara! Aku tidak suka pada manusia yang pandai bicara!”

“Sahabat, kau boleh saja tidak suka pada saya. Tapi saya akan tetap ingin meminangmu untuk dijadikan istri.”

“Orang tololpun bisa tahu kalau kau hanya menjalankan siasat busuk!”

“Tidak sahabat, aku tidak berdusta. Kau akan tetap menjadi penguasa kawasan Laut Selatan bersama sekian ratus anak buahmu bagiku tak jadi apa. Tapi apakah itu ada artinya bagimu? Apakah itu tujuan hidupmu? Sementara jalan baik penuh kebajikan dan ketentraman terbentang luas di hadapanmu. Dengar, siapapun kau adanya, aku benar-benar menginginkan kau menjadi istriku.”

“Seorang pemuda yang masih jaka mau kawin dengan seorang janda? Hik hik hik!”

“Apa salahnya?” jawab Aji Triyasa.

“Kita tidak pernah berkenalan sebelumnya. Kau tidak pernah melihat wajahku!”

“Itu betul. Tapi aku yakin, bahkan hakkul yakin kau sahabat adalah seorang yang cantik jelita dan berhati mulia.”

“Bagaimana kalau nanti kau lihat wajahku yang buruk?”

“Saya tetap akan meminangmu.”

“Konyol sekali” Ucap janda Pulau Cingkuk.

Aji Triyasa tertawa. “Apakah kau akan memperlihatkan wajahmu pada saya?” Pemuda itu bertanya.

“Kau akan menyesal!” kata Janda Pulau Cingkuk pula.

“Insya Allah tidak,” jawab si pemuda.

“Kalau begitu buka matamu lebar-lebar!” Janda Pulau Cingkuk berucap lalu dia singkapkan kain merah yang menutupi seluruh wajahnya. Maka kelihatanlah satu wajah yang dipenuhi koreng bernanah, luar biasa mengerikan dan menjijikan.

“Tukak nanah!” kata Aji Triyasa menyebut penyakit di wajah Janda Pulau Cingkuk dengan wajah mengerenyit terkesima.

Janda Pulau Cingkuk tutup kembali wajahnya dengan cadar merah. “Kau sudah lihat wajahku! Apakah kau masih tetap hendak meminangku?”

Lama Aji Triyasa terdiam dan masih memandangi wajah yang sudah tertutup kain merah itu. Perlahan-lahan si pemuda anggukkan kepala dan keluarkan ucapan. “Saya tetap ingin sahabat menjadi istri saya.”

Janda Pulau Cingkuk terperangah dan tersurut satu langkah! “Kau seorang pangeran, seorang keponakan Raja. Tapi otakmu agaknya tidak waras. Kasihan sekali...”

“Terimakasih sahabat berkata begitu. Saya ingin mendengar jawaban dari sahabat atas pinangan saya. Jika sahabat...”

“Pemuda sinting! Dengar dulu ucapanku!” hardik Janda Pulau Cingkuk. “Aku telah membuat aturan. Siapa saja yang melihat wajahku maka dia tidak akan pernah meninggalkan pulau ini untuk selama-lamanya.”

“Tadi saya telah minta di bunuh. Saya ikhlas menemui kematian di tangan sahabat...”

Janda Pulau Cingkuk sarungkan pedang hijau lalu angkat tangan kiri memberi tanda pada Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda.

“Ada apa pimpinan?” tanya Hang Damar begitu sampai di hadapan Janda Pulau Cingkuk.

“Ayahanda, lemparkan manusia satu ini ke Pulau Kerikil. Jangan diberi minum, jangan diberi makan! Jangan dilepas totokannya! Kita tunggu sampai dia berteriak minta ampun atas kekurang ajarannya!”

Hang Damar membungkuk tanda siap menjalankan perintah. Dia lalu bersuit tiga kali. Enam orang anggota bajak segera berdatangan ke tempat itu. Hang Damar lantas berikan perintah yang sama seperti diucapkan Janda Pulau Cingkuk. Aji Triyasa digotong beramai-ramai ke arah pantai tanpa pemuda itu keluarkan sepotong ucapanpun. Dia hanya sempat menatap dengan pandangan mata sayu ke arah Janda Pulau Cingkuk.

Perempuan itu tidak berani balas menatap melainkan memandang berkeliling. Pandangannya kemudian membentur kitab milik Aji Triyasa yang jatuh dan tergeletak di tanah. Janda Pulau Cingkuk lalu membungkuk mengambil kitab itu, memperhatikan sebentar. Dia sangat tertarik namun tidak mampu membaca kitab yang bertuliskan huruf Arab gundul itu.

“Ayahanda, saya tahu ayahanda mengerti bahasa dan tulisan Arab. Apakah ayahanda bisa membaca kitab ini?"

Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda segera mengambil kitab yang diberikan Janda Pulau Cingkuk. Setelah dia membalik-balik dia mengangguk. “Saya bisa membacanya pimpinan.”

“Kitab apa itu?”

“Pimpinan, saya tidak tahu apa isi kitab ini. Namun di bagian depan tertulis Kasih Allah Sepanjang Zaman, Kasih Ibu Sepanjang Jalan, Kasih Anak Sepanjang Penggalan.”

Setelah mendengar nama kitab itu, Janda Pulau Cingkuk terdiam beberapa lama. Lubuk hatinya bersuara pilu. Apakah selama ini aku mengingat dan dekat kepada Allah. Aku tidak tahu siapa ibuku bahkan kedua orang tuaku. Kemudian perempuan itu berkata.

“Ayahanda, maukah ayahanda tolong menyalinkan isi kitab ini ke dalam bahasa Jawa Kuno?”

“Untuk pimpinan saya akan melakukan apa saja,” jawab bekas penguasa kawasan laut Selat Sunda.

********************

Malam hari di atas pembaringan. Janda Pulau Cingkuk dapatkan dirinya sulit memincingkan mata. Dia selalu teringat kejadian siang tadi. Masih terbayang olehnya bagaimana tatapan sepasang mata pemuda bernama Aji Triyasa itu ke arahnya ketika dia digotong untuk di bawa ke Pulau Kerikil.

“Aku tahu semua yang dikatakan pemuda itu adalah benar. Tapi niatnya untuk menjadikan diriku sebagai istri. Dia sebenarnya menginginkan diriku atau menginginkan lenyapnya perompakan di Selat Sunda? Mungkin kedua-duanya. Dia... apakah dia mencintai diriku? Mustahil. Aku belum pernah bertemu sebelumnya. Tadi siang dia telah melihat wajahku. Dan dia masih saja menginginkan diriku jadi istrinya. Apakah dia... Apakah dibalik ini semua ada satu tipu daya? Aku mengetuk keningnya dengan gagang pedang hingga benjutdan berdarah! Ah... Dan kini dia berada di Pulau Kerikil. Seorang diri dalam keadaan tertotok tak berdaya. Dia seorang Pangeran. Dia pasti kedinginan, haus dan juga lapar. Apakah aku telah berlaku kejam?”

Dibuncah oleh berbagai macam pikiran dan duga-duga dalam hati menjelang pagi baru Janda Pulau Cingkuk dapat memejamkan mata dan tertidur. Itupun dia tidak bisa pulas lama karena sebelum fajar menyingsing dia sudah terbangun. Begitu bangun ingatannya kembali pada pemuda bernama Aji Triyasa. Akhirnya dengan diam-diam tanpa diketahui seorangpun termasuk Hang Damar Hantu Laut Selat Sunda melalui jalan rahasia Janda Pulau Cingkuk menyeberang ke Pulau Kerikil yang terletak tak seberapa jauh dari Pulau Cingkuk.

Pulau Kerikil merupakan pulau paling kecil di kawasan kepulauan Rakata. Disebut Pulau Kerikil karena di pulau itu hanya ada timbunan batu kerikil setebal lutut. Tak ada tetumbuhan, tak ada air bahkan binatangpun tak ada yang hidup di situ. Konon timbunan batu kerikil itu terjadi dan berasal dari Pulau Rakata besar yang meletus dan memuntahkan bebatuan termasuk batu kerikil ke kawasan sekitar.

Ketika Janda Pulau Cingkuk sampai di pulau itu dan berkeliling sampai tiga kali namun dia tidak menemukan orang yang dicari. “Aneh, apakah dia tidak sampai ke sini. Atau berhasil melarikan diri?” Perempuan itu dudukkan diri di atas tumpukan batu kerikil.

Janda Pulau Cingkuk sengaja menunggu sampai sang surya terbit. Begitu matahari menyembul dan keadaan di pulau menjadi terang, sekali lagi dia mengelilingi pulau itu namun tetap saja dia tidak menemukan Aji Triyasa.

“Kalau dia ternyata seorang mata-mata, aku harus bersiap-siap. Pasukan Kesultanan Banten bisa saja menyerbu secara tidak terduga...”

Ketika perahu Janda Pulau Cingkuk perlahan-lahan meninggalkan Pulau Kerikil, salah satu lapisan tebal tumpukan kerikil tampak bergerak-gerak. Sesaat kemudian menyeruak muncul satu kepala, memandang tersenyum ke arah perahu yang makin menjauh.

“Janda Pulau Cingkuk, ternyata kau tidak bisa melupakan diriku. Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya. Aku hanya menuruti petunjuk Panembahan Maulana Yusuf yang mendapat penjelasan dari Sultan Banten bahwa kau adalah seorang perempuan muda cantik jelita. Masih muda dan cantik. Bagaimana jalan ceritanya kau menyebut diri sebagai seorang janda?”

********************

BAB SEBELAS

Kita kembali ke pulau Menjangan Kecil. Setelah dengan terpaksa menolong menyembuhkan ”barang antik” Bujang Gila Tapak Sakti untuk beberapa lama Nenek Cempaka terduduk ditanah, mata terpejam, wajah pucat dan dada berdebar. Seumur hidup nenek tidak pernah menyangka akan mendapat pengalaman luar biasa seperti ini.

Bujang Gila Tapak Sakti rapikan celana gombrangnya. Usap-usap bagian bawah perut. Untuk beberapa lama dia pandangi si nenek dengan perasaan iba. Dia tahu tadi waktu mengusap dan meniup barang antiknya! si nenek kelihatan biasa-biasa saja, tetapi sesungguhnya dia telah menguras tenaga dalam dan hawa sakti. Itu sebabnya si nenek tampak kuyu lunglai seperti tubuh yang tidak bertulang.

Sambil mesem-mesem murid Sinto Gendeng dekati Bujang Gila Tapak Sakti lalu berbisik. “Dut, kau harus berterima kasih pada nenek itu. Kalau dia tidak menolong, seumur-umur barangmu akan melendung bengkak dan berwarna biru. Sakit dari pagi sampai malam, dari malam sampai pagi!”

Si gendut mengangguk. “Aku akan melakukan sesuatu. Mudah-mudahan cukup imbal sebagai pembalas budi baiknya.”

Bujang Gila Tapak Sakti lalu dekati si nenek yang masih duduk tak bergerak dan pejamkan mata. Dua telapak tangan digosokan satu sama lain. Dari sela-sela telapak tangan mengepul asap kelabu disusul menebarnya hawa dingin. Perlahan-lahan Bujang Gila Tapak Sakti berlutut dihadapan Nenek Cempaka. Beberapa lama mulutnya komat kamit merapal satu aji kesaktian. Kemudian dua telapak tangan diusapkan ke wajah si nenek, terus ke kepala dan rambut sambil mulut berucap.

“Nek, aku Bujang Gila Tapak Sakti berterima kasih padamu karena kau telah menyembuhkan anuku yang bengkak dan biru. Semoga Tuhan selalu memberkahimu...”

Dua tangan Bujang Gila Tapak Sakti memang memiliki kesaktian luar biasa. Bukan saja mampu menyembuhkan cacat bekas luka, atau membentuk dan membuat sesuatu dari batu dan kayu, tapi juga seperti apa yang dilakukannya terhadap nenek Cempaka, orang kepercayaan Ratu Sepuh Penguasa Laut Utara. Hanya saja ilmu yang satu ini sangat jarang dikeluarkannya.

Begitu diusap mukanya maka wajah si nenek yang tadinya loyo dan keriput kini menjadi kencang bagus tidak beda seperti perempuan yang masih berumur tiga puluh tahun. Selesai kepala dan rambut diusap maka rambut yang tadinya putih tergulung kini menjadi hitam tergerai. Nenek Cempaka telah berubah menjadi seorang perempuan muda yang cantik jelita!

Murid Sinto Gendeng terperangah dan geleng-geleng kepala dan melihat apa yang terjadi, sementara Nenek Cempaka masih terduduk picingkan mata.

“Ayo kita cepat pergi,” bisik Bujang Gila pada Wiro. “Kalau dia keburu sadar siapa dirinya sekarang habis kau digusalnya. Sewaktu masih nenek saja hebat bukan main. Apa lagi sudah muda seperti ini. Hik hik!”

Sambil menahan tawa kedua orang itu segera tinggalkan perempuan tua yang kini berubah muda itu. Di tengah jalan sementara berlari Wiro ingat sesuatu. Dia pegang lengan Bujang Gila Tapak Sakti dan bertanya.

“Sobatku gendut, apakah kau tidak kelupaan sesuatu?”

“Kelupaan apa?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti.

“Kau mengusap wajah dan rambut hingga nenek itu kini jadi perempuan muda cantik jelita. Tapi kau tidak mengusap dadanya.”

“Maksudmu?” Tanya Bujang Gila kurang tanggap.

“Maksudku, wajahnya wajah perempuan muda tapi dadanya masih peot rata...”

Bujang Gila Tapak Sakti hentikan lari. Berpikir-pikir lalu tertawa lebar. “Kau betul Wiro. Ah, kasihan nenek itu. Aku harus kembali...”

“Kurasa tidak perlu. Kapan-kapan kalau kau ketemu dia lagi kau bisa melakukan hal itu. Merubah dadanya yang rata peot menjadi padat menonjol...”

“Tapi aku bisa melakukan dari sini,” kata Bujang Gila Tapak Sakti pula. “Cuma harus memakai perantara. Yaitu dengan cara mengusap dadamu tapi membayangkan si nenek. Mari, aku pinjam dadamu sebentar...”

Lalu Bujang Gila Tapak Sakti gosokkan dua telapak tangan satu sama lain. Seperti tadi asap putih mengepul dan udara terasa dingin. Dua telapak tangan ditempelkan ke dada Wiro, diusap-usap sambil mulut merapal berkomat-kamit. Pikiran membayangkan dada dan wajah si nenek. Tapi celakanya si gendut melakukan hal yang keliru. Dia membayangkan dada dan wajah Wiro.

“Wuttt! Breett!”

Dada baju hitam Pendekar 212 robek kiri kanan. Dua buah benda putih mencuat dari balik robekan. Murid Sinto Gendeng berseru kaget, mulutnya menganga mata membeliak.

“Gendut! Kau melakukan apa? Mengapa dadaku jadi begini?!”

Bujang Gila Tapak sakti tak kalah kejutnya. Matanya yang belok membeliak. “Astaga! Aku melakukan kesalahan!” Ucap Bujang Gila Tapak Sakti lalu tertawa gelak-gelak.

“Jangan tertawa! kembalikan dadaku ke asalnya!” Teriak Wiro yang saat itu dadanya telah berubah menjadi seperti dada perempuan, besar dan kencang!

“Tunggu... sabar! Akan aku perbaiki. Akan aku betulkan!”

Bujang Gila Tapak Sakti kembali gosok-gosok dua telapak tangan. Begitu asap mengepul dua tangan diletakkan di atas dada Wiro dan diusap-usap. Kali ini karena dadanya berbentuk dada perempuan Wiro jadi kegelian dan mengeliat-geliat.

“Kalau kau tidak bisa diam nanti keliru lagi!” Kata Bujang Gila Tapak Sakti pula.

Wiro terpaksa berusaha diam menahan geli.

“Nah sudah! Beres! Dadamu sudah kembali ke bentuk asal. Begitu saja repot!”

Wiro menunduk sambil pegang dadanya. Dia merasa keanehan lain kini. Cepat-cepat baju hitam dibuka lalu berteriak keras. “Bujang Gila sialan! Jangan membuat aku marah! Lihat!”

Si gendut terperangah, sampai tersurut mundur satu langkah. Dada sang pendekar dilihatnya telah berubah menjadi dada seorang nenek-nenek, peot rata dengan dua puting hitam besar ayun-ayunan!

Bujang Gila tak dapat menahan tawa bergelaknya. Dia akan terus tertawa kalau tidak dijambak dan dkepalkan tinju oleh Wiro.

“Gurau mu sudah keterlaluan!” kata Wiro yang ketakutan kalau bentuk dadanya tidak bisa kembali seperti semula. “Kau tahu, aku punya ilmu yang disebut Menahan Darah Memindah jazad. Kau mau kantong menyan dan burung hantumu aku pindahkan ke jidat?!”

“Sobatku gondrong! Jangan segila itu! Semua ini terjadi secara tidak sengaja Tenang, tenang. Akan aku kembalikan. Pasti... Lihat saja.”

Lalu untuk ke tiga kalinya Bujang Gila Tapak Sakti gosokkan dua telapak tangan. Asap putih mengepul lagi. Hawa dingin kembali menebar. Sedikit agak tegang si gendut usapkan dua tangannya ke dada sang pendekar. Sesaat kemudian dua payudara peot datar lenyap. Keadaan dada Wiro kembali ke bentuk semula.

********************

Sebelum Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti mencapai pantai tiba-tiba turun badai. Dalam cuaca buruk dan gelap kedua orang itu memaksa jalan terus. Akibatnya arah yang mereka tuju yakni bagian selatan pulau jadi bergeser mendekati bagian timur. Ketika akhirnya mereka sampai di pantai yang salah badai baru berhenti.

“Tidak ada perahu, tidak ada nelayan. Sebentar lagi malam datang. Kita terpaksa menunggu sampai pagi. Tidak ada gubuk, berarti kita akan tidur di pantai ini dalam udara dingin ditambah guyuran embun.” Berkata Pendekar 212 Wiro Sableng sambil menggaruk kepala.

“Soal udara buruk perlu apa ditakutkan. Kau merasa dingin, aku malah mulai merasa kepanasan. Kipas kertasku hilang entah kemana.” Bujang Gila Tapak Sakti yang memang lekas merasa kepanasan dan keringatan sementara orang lain kedinginan, buka kopiah hitamnya lalu dikipas-kipas ke wajahnya yang keringatan.

“Sobatku gondrong, perihal perahu tidak usah dikawatirkan. Kau boleh ngorok dimana kau suka. Kalau kau bangun aku sudah membuat dua perahu untuk kita layari malam ini juga. Cuma kita mau menuju kemana?”

“Aku masih ada satu urusan besar yang belum rampung,” jawab Wiro.

“Soal perkawinanmu dengan Ratu Duyung yang aku dengar kini bernama Intan itu?”

Wiro tertawa lalu gelengkan kepala. “Aku harus mencari Nyi Retno Mantili dan mempertemukan perempuan itu dengan anaknya yang bernama Ken Permata. Menurut ceritamu kau pernah bertemu Nyi Retno. Lalu diserang oleh seorang kakek bernama Demang Cambuk Item yang ternyata datang bersama Serikat Tiga Momok yang mau memakan hati, jantung serta ginjal Nyi Retno Mantili...”

“Aku sial sekali waktu itu,” menyahuti Bujang Gila Tapak Sakti sambil usap mukanya yang keringatan. “mereka berhasil membawa lari Nyi Retno. Ketika aku bertemu Purnama, gadis dari negeri seribu dua ratus tahun silam itu memberi tahu kalau Nyi Retno ditolong oleh Manusia Paku Sandaka. Katanya perempuan itu dibawa ke tempat kediaman gurunya untuk dinikahi.”

“Hah! Apa? Manusia Paku Sandaka Arto Gampito hendak menikahi Nyi Retno?!”

“Itu yang diceritakan Purnama. Purnama mendapat tahu hal itu dari puteranya bernama Jatilandak. Kabarnya Jatilandak telah menjadi Kepala Pasukan di Kesultanan Cirebon. Kau cemburu atau patah hati kalau Nyi Retno Mantili kawin dengan Manusia Paku?” tanya Bujang Gila Tapak Sakti sambil senyum-senyum. “Ini adalah aneh!”

“Aneh bagaimana?” tanya Wiro.

“Nyi Retno pernah bilang padaku kalau ayah Kemuning, boneka kayu itu adalah dirimu! Apa tidak aneh kalau manusia punya anak boneka kayu? Memangnya kau apakan perempuan itu?”

Wiro tertawa gelak-gelak lalu menggaruk kepala.

“Sebetulnya,” kata Bujang Gila tapak Sakti pula. “Kalau Kakek Segala Tahu tidak menyuruh aku ke laut utara bergabung denganmu, mungkin aku sudah pergi menyelidik dan mencari Nyi Retno Mantili.”

“Kita sudah tahu siapa yang membawa Nyi Retno dan kemana dibawanya. Yang aku tidak mengerti apakah Manusia Paku sengaja menculik dan memaksa Nyi Retno kawin dengannya? Kalau mereka suka sama suka perduli amat. Tapi bukankah lebih baik kalau Nyi Retno lebih dulu bertemu dengan anaknya agar sakit ingatannya bisa disembuhkan?”

"Aku juga kasihan sama Nyi Retno. Kalau sampai dinikahi oleh manusia yang sekujurtubuhnya itu penuh paku. Ihhh! Apa perempuan bertubuh kecil itu tidak akan jebol atas bawah?!” kata Bujang GilaTapak Sakti pula.

(Kisah diculiknya Nyi Retno Mantili dari tangan Bujang Gila Tapak Sakti oleh komplotan yang menamakan diri Serikat Momok Tiga Racun dapat dibaca dalam serial Wiro Sableng berjudul Perjodohan Berdarah. Baca juga episode berjudul Badai Laut Utara)

“Sobatku gendut, sebelum ditolong oleh Ratu Sepuh, kau sempat bersama-sama Bidadari Angin Timur. Selama perjalanan dia bicara apa saja?”

“Buuaaannnyyaaaakk!” jawab Bujang Gila Tapak sakti dengan mulut dimonyongkan lalu tertawa cengengesan.

“Tentang diriku?”

Si gendut menggeleng. “Setiap aku bicara mengenai dirimu, gadis itu kelihatannya tidak mau mendengar. Aku menduga agaknya dia sangat marah atau benci padamu. Mungkin karena tahu kau sudah dijodohkan dengan Ratu Duyung?”

“Perjodohan itu belum terlaksana,” jawab Wiro. “Aku tahu mengapa dia marah dan benci padaku. Ada penyebab lain.”

“Aku tidak tahu urusan orang lain. Tapi kalau kau mau menceritakan, aku juga mau mendengarkan.”

“Asal kau berjanji tidak bermulut ember, menceritakan pada orang lain.” Kata Wiro pula.

“Aku berjanji!” jawab Bujang Gila Tapak Sakti sambil mengangkat tangan kanan ke atas lalu tangan itu ditepukkan ke pantatnya yang gembrot besar hingga mengeluarkan suara keras!

“Waktu itu aku dan Ratu Duyung tengah mengejar Nyi Wulas Pikan yang menyaru menjadi Ratu Duyung. Dia telah memperdayai diriku hingga aku menyerahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru padanya karena mengira dia Ratu Duyung benaran. Di satu tempat Ratu Duyung memberi tahu ada seseorang yang mengikuti. Orang itu menebar bau tubuh dan pakaian yang wangi. Aku yakin dia adalah Bidadari Angin Timur. Lantas saja muncul hasratku hendak menggodanya. Ratu Duyung aku ciumi habis-habisan...”

“Ah, hal itu pasti menyakiti hati Bidadari Angin Timur. Perbuatanmu konyol sekali!”

Wiro menggaruk kepala. “Hal itu sudah terjadi. Tidak ada gunanya disesalkan. Yang jelas setelah kejadian itu Bidadari Angin Timur menghilang. Aku dan Ratu Duyung bisa lebih memusatkan perhatian pada pengejaran atas diri Nyi Wulan Pikan. Sekarang dimana beradanya gadis itu. Dia kabur setelah menendang hancur muka Nyi Harum Sarti. Gara-gara dirinya dikatakan janda Tubagus Kesumaputera alias Jatilandak.”

“Aku rasa kini dia akan membuat perhitungan dengan Purnama. Bidadari Angin Timur telah ditelanjangi di hadapan banyak orang. Dari mana Ratu Laut Utara palsu itu tahu soal diri Bidadari Angin Timur kalau bukan dari Purnama?”

“Berarti apakah dia sudah dinikahi Tubagus Kesumaputera? Kalau memang benar lalu kenapa sesingkat itu menjadi janda? Apa yang terjadi? Mereka cerai hidup atau sang suami menemui kematian?”

“Aku tidak bisa menduga. Aku tidak tahu ceritanya kalau memang sudah kawin atau nikah kapan kawin atau nikahnya. Sayangnya Purnama juga pergi begitu saja. Kau harus menyelidiki hal itu. Karena kalau kau tidak suka dinikahi dengan Ratu Duyung dan lebih suka dengan Bidadari Angin Timur, berarti kau kawin dengan janda kembang bukan dengan anak perawan! Berarti kau dapat bekas orang!”

Wajah Pendekar 212 jadi mengelam merah mendengar kata-kata terakhir Bujang Gila itu.

“Maafkan kalau aku menyinggung perasaanmu. Tapi urusan kawin bukan urusan main-main. Rumah tangga bisa jadi sorga tapi bisa juga jadi neraka...”

“Aku tahu, itu sebabnya kau yang mengaku sudah berusia delapan puluh tahun belum kawin-kawin sampai sekarang.”

Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak hingga sekujur tubuhnya yang gemuk gembrot bergoyang-goyang.

Wiro kembali menggaruk kepala. Lalu berkata. “Aku tahu tempat kediaman guru Manusia Paku. Kita harus segera kesana. Mudah-mudahan tidak terlambat. Katamu kau akan membuat dua perahu. Makin cepat kau lakukan makin baik.”

Bujang GilaTapak sakti memandang berkeliling. Dia menunjuk ke arah sebatang pohon kelapa paling tinggi dan paling besar sejarak tiga tombak dari tempat mereka berdiri. “Aku minta bantuanmu. Tolong kau tumbangkan pohon kelapa itu.”

Wiro tidak menunggu lebih lama. Tanpa beranjak dari tempatnya berdiri dia menghantam bagian bawah pohon kelapa besar dengan pukulan Segulung Ombak Menerpa karang. Jangankan pohon kelapa, batu karang saja bisa dihantam hancur oleh pukulan sakti warisan Sinto Gnedeng itu.

“Braakk!” Bagian paling bawah pohon kelapa besar hancur berkeping-keping. Bagian atas pohon tumbang bergemuruh.

Bujang Gila Tapak Sakti menyeringai. Dua telapak tangan digosok-gosok. Dengan ilmu kesaktiannya dia memang bisa merubah dan membuat batang kelapa besar itu menjadi dua perahu. Ketika si gendut ini mulai hendak bekerja tiba-tiba ada suara perempuan berseru. Datangnya dari arah laut.

“Kalau hanya memerlukan perahu mengapa harus merusak alam? Dua sahabat muda. Aku bisa memberikan perahu ini pada kalian!”

Bujang Gila Tapak Sakti dan Pendekar 212 Wiro Sableng serentak berpaling ke arah kiri. Kedua orang ini sama-sama kaget.

BAB DUA BELAS

Astaga! Dia! ucap Bujang Gila Tapak Sakti. Wajah si gendut ini berubah.

“Sobatku gendut. Dia pura-pura menawarkan perahu. Sebenarnya dia mencarimu. Pasti dia tidak melupakan apa yang tadi siang dilakukannya. Belum satu hari sudah kangen mau mengusap dan meniup perabotanmu lagi! Ha ha...!”

“Eh, apa dia sudah tahu kalau wajahnya sekarang sudah berubah jadi muda?” ucap Bujang GilaTapak Sakti.

“Bagaimana ini, kita mau bilang apa? Menolak saja tawarannya?” Si gendut tampak bingung juga ada rasa takut gara-gara ucapan Wiro tadi.

Tapi Wiro malah membalikkan ucapan. “Tolol kalau kau menolak. Pertama kau tidak perlu susah payah membuat dua perahu. Kedua... Ehem... ini yang penting. Kau bakalan dapat kesenangan. Bukankah kau sendiri yang bilang usapannya lebih hebat dari usapan anak gadis? Ha ha ha!” Wiro tertawa gelak-gelak.

Di tepi pantai, di bagian laut yang dangkal sepinggang tampak sebuah jukung besar. Di atasnya duduk senyum-senyum perempuan muda berwajah cantik yang bukan lain adalah nenek Cempaka yang wajahnya telah dirubah oleh Bujang Gila Tapak Sakti sehingga kini menjadi muda jelita. Perempuan di atas perahu lambaikan tangan.

“Hai! Kenapa kalian kelihatan seperti bingung? Apa mengira aku mau berbuat jahat? Salah seorang dari kalian telah berbuat kebajikan besar padaku walau kini aku jadi rikuh berkeadaan seperti ini.”

“Nenek Cempaka!” Wiro menyahuti. Lalu menggaruk kepala. ”Ah, seharusnya aku tidak memanggilmu Nenek lagi. Aku akan panggil Nyi Cempaka saja ya? Boleh?!”

Perempuan di atas perahu tertawa panjang dan anggukkan kepala. Wiro pegang lengan Bujang Gila Tapak Sakti. “Ayo, orang mau menolong jangan ditolak. Naik saja dulu ke atas perahu. Nanti kalian berdua apa mau main usap-usapan terserah saja. Aku pura-pura tidak melihat.”

Wiro lalu tarik tangan si gendut. Keduanya lari ke pantai lalu melesat masuk ke dalam perahu. Wiro sampai duluan. Dia sengaja memilih bagian perahu di ujung kiri, berseberangan dengan Nyi Cempaka. Bujang Gila Tapak Sakti yang sampai kemudian terpaksa memilih bagian tengah perahu jukung.

Seperti ketika Wiro injakkan kaki di atas jukung, sewaktu hal yang sama dilakukan oleh Bujang Gila Tapak Sakti jukung besar itu tidak bergoyang sama sekali. Begitu berada di dalam perahu si gendut melirik ke dada perempuan di depannya dan merasa gembira karena melihat kini dada pakaian tidak lagi rata tapi tampak membusung. Berarti ilmu yang diterapkannya lewat tubuh Wiro berhasil dilaksanakan.

“Sahabat muda,” kata Nyi Cempaka pada Bujang Gila Tapak Sakti.

“Walau aku rikuh menjadi muda begini, aku sangat berterima kasih, atas apa yang telah kau lakukan terhadap diriku.”

“Aku juga berterima kasih padamu Nyi Cempaka. Kalau bukan kau yang menyembuhkan pasti... hemmm...” Bujang Gila Tapak Sakti tidak teruskan ucapan. Hanya senyum-senyum dan menggeliat ketika dari belakang Wiro menusuk-nusuk pinggangnya.

“Tapi apakah perubahan ini hanya untuk sementara saja? Jangan-jangan sehari dua hari luntur seperti kain murahan.”

“Nyi Cempaka, kau tak usah kawatir. Ilmu yang aku dapat atas kuasa Tuhan bukan ilmu sulap atau ilmu sihir. Keadaan wajah dan tubuhmu akan seperti ini seumur-umur...”

“Gusti Allah Maha Besar! Aku sungguh-sungguh bersyukur atas berkah rakhmat ini.” Kata Nyi Cempaka pula penuh gembira. Nenek tua mana yang tidak akan bahagia kalau dirinya bisa dibuat muda? “Sahabatku, apakah ilmu itu bisa kau terapkan pada semua orang?”

“Tidak Nyi Cempaka. Hal itu hanya bisa terjadi jika dikehendaki dan diredhohi Gusti Allah,” jawab Bujang Gila Tapak Sakti.

“Kalau bisa untuk semua wah, setiap hari ada ratusan nenek-nenek ngantri mencari si gendut ini!” kata Wiro pula.

Nyi Cempaka tertawa. “Sebagai tanda terima kasih, aku mau memberikan sesuatu padamu,” kata Nyi Cempaka pula sambil membuka kancing atas pakaiannya.

Sepasang mata Bujang Gila Tapak Sakti jadi berkilat ketika sempat melihat sebagian dada putih perempuan itu. Dari balik dada pakaian Nyi Cempaka mengeluarkan satu benda yang ternyata adalah sebuah kipas lipat terbuat dari susunan campuran kayu cendana dan kayu besi. Ketika kipas itu dikembangkan oleh Bujang Gila Tapak Sakti bentuknya indah sekali, kuning kayu cendana harum diseling warna hitam kayu besi.

“Terima kasih Nyi, kau baik sekali. Kebetulan kipas kertas bututku rusak dan tercecer entah kemana. Kipas yang kau berikan ini bisa aku pergunakan seumur hidup karena terbuat dari kayu yang kuat.”

“Harap kau mau menjaga baik-baik. Karena kipas itu bukan kipas sembarangan. Bisa kau jadikan senjata, lebih ampuh dari kipas kertasmu yang hilang. Kau bisa menciptakan topan dengan kipas itu. Kau juga bisa melancarkan serangan serangan berupa cahaya kuning hitam dengan kipas itu. Lalu tersembunyi di antara lipatan kayu cendana dan kayu besi ada puluhan jarum beracun yang hanya boleh kau pergunakan sebagai senjata dalam keadaan terdesak. Jarum itu bisa melesat kalau kau menekan bagian bawah gagang kipas.”

“Terima kasih Nyi Cempaka, terima kasih banyak,” ucap Bujang Gila Tapak Sakti. Kipas dilipat dan dibuka beberapa kali. Lalu dengan hati-hati dia coba mengerahkan sedikit tenaga dalam, maka kipas itu pancarkan cahaya kuning muda dan hitam pekat. ”Luar biasa! Aku akan menjaganya baik-baik. Kipas ini boleh aku namakan Kipas Nyi Cempaka?”

Nyi Cempaka tertawa. “Silahkan, kalau kau menyukai namaku itu.”

“Gendut, kau mau memberikan apa pada Nyi Cempaka sebagai tanda terima kasih?” Wiro yang duduk di belakang Bujang Gila Tapak Sakti keluarkan ucapan. Dengan ilmu memindahkan suara Wiro mengiangkan menyambung ucapan ke telinga Bujang Gila Tapak Sakti. “Dut, berikan saja salah satu buahmu buat mainan perempuan itu. Aku bisa melakukan dengan Ilmu Menahan Darah Memindah Jazad.”

Bujang Gila Tapak Sakti pukulkan tangan kanannya ke belakang. Pukulan menghantam tempurung lutut Wiro sebelah kanan hingga murid Sinto Gendeng ini kelojotan kesakitan.

“Ah, aku... aku tidak punya apa-apa. Bagaimana ini?” Si gendut tampak bingung dan seka mukanya yang keringatan.

Nyi Cempaka tersenyum. “Aku tidak mengharapkan pamrih apa-apa. Apa yang telah kau lakukan terhadap diriku rasanya aku menerima seisi dunia ini.”

Sementara ke tiga orang itu bercakap-cakap jukung bergerak perlahan ke tengah laut dan hari telah malam.

“Nyi Cempaka, sebenarnya kau hendak pergi kemana? Kami tidak mau kalau karena menolong kami urusanmu jadi terganggu.”

“Sebentar lagi aku akan meninggalkan kalian berdua. Perahu ini menjadi milik kalian,” jawab Nyi Cempaka. Dia memandang sekeliling lalu memperhatikan laut di sekitarnya. Tiba-tiba di dalam laut kelihatan kilauan cahaya putih kebiruan. ”Aku sudah melihat tanda,” kata Nyi Cempaka pula. “Saat aku akan meninggalkan kalian berdua...”

“Di tengah laut begini? Nyi Cempaka kau mau kemana? Tanya Bujang Gila Tapak Sakti heran. Selain itu entah mengapa kepergian perempuan itu tiba-tiba membuatnya jadi sedih.

“Laut adalah kehidupanku. Sejak dulu laut adalah tempat tinggalku...” Menjelaskan Nyi Cempaka sambil menatap wajah keringatan Bujang Gila Tapak Sakti.

Si gendut putar-putar kopiah hitam kupluk di atas kepalanya. “Lalu, apakah kita... Maksudku kami berdua bisa bertemu lagi denganmu?”

Selama air laut masih hijau, selama langit masih biru kita pasti akan bertemu lagi,” jawab Nyi Cempaka.

Bujang Gila Tapak Sakti berpaling pada Wiro. Pendekar 212 maklum apa yang dirasakan si gendut saat itu. Sobatnya ini tiba-tiba merasa sayang pada nenek yang dirobahnya sendiri menjadi seorang perempuan muda cantik jelita.

“Kalau kau mau ikut Nyi Cempaka melihat-lihat kehidupan di alam laut, aku yakin Nyi Cempaka tidak keberatan membawamu serta. Bukan begitu Nyi Cempaka?” Wiro berkata sambil memandang ke arah Nyi Cempaka dan kedipkan mata kiri.

Nyi Cempaka tersenyum mendengar ucapan Wiro. Bujang Gila Tapak Sakti kembali putar-putar kopiah di atas kepala. Wiro letakkan tumit kaki kirinya di pinggang Bujang Gila Tapak Sakti. Begitu tumit didorong tak ampun lagi si gendut ini terpental jatuh ke dalam laut. Nyi Cempaka tertawa tergelak-gelak lalu melompat ke arah jatuhnya Bujang Gila Tapak Sakti. Kedua orang itu lenyap dari pemandangan.

Tinggal sendirian di atas jukung Pendekar 212 Wiro Sableng tarik nafas dalam-dalam lalu geleng-gelengkan kepala. “Bujang Gila, akalmu panjang juga! Mula-mula kau ketakutan melihat perempuan itu muncul. Kini malah kepicut mau ikutan! Bukan dia yang mau mengusap tapi kau yang kepingin di usap! Ha ha ha!”

Tiba-tiba gelak tawa murid Sinto Gendeng lenyap. Kagetnya bukan alang kepalang ketika satu tangan tiba-tiba mencuat dari dalam laut mengusap bagian bawah perutnya. Sewaktu diperhatikan ternyata itu adalah tangan Bujang Gila Tapak Sakti yang sengaja memunculkan diri untuk menggoda lalu masuk kembali ke dalam laut.

“Sialan! Aku kira Nyi Cempaka yang mengusap!” gerutu Pendekar 212 lalu kembali tertawa gelak-gelak. Namun lagi-lagi tawanya tertahan ketika di samping kanan muncul bayangan perempuan diserta terdengar ucapan berbisik di telinga.

“Kalau kau suka kau boleh berikan salah satu buahmu buat mainanku! Hik hik hik!”

Kaget sang pendekar bukan alang kepalang. Berpaling ke samping dilihatnya wajah Nyi Cempaka tertawa dan kedipkan mata padanya. Lalu sosok perempuan ini lenyap masuk ke dalam laut.

“Aku tidak mengira. Apa yang aku ucapkan dalam hati dia bisa mendengar.” Kata Murid Sinto Gendeng sambil menggaruk kepala.

S E L E S A I


Apa yang selanjutnya terjadi pada Ken Permata? Siapa sebenarnya Janda Pulau Cingkuk. Kemana lenyapnya Pedang Naga suci 212? Bagaimana nasib Purnama setelah terlempar ke dalam laut? Bisakah dia menyelamatkan diri dengan ilmu Empat Penjuru Air Alam Gaib. Ikuti episode berikutnya berjudul:

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.