Badai Laut Utara

Wiro Sableng. Badai Laut Utara

Badai Laut Utara


BAB SATU

TIGA penunggang kuda memperlambat lari tunggangan masing-masing ketika mencapai sebuah mata air di kaki Gunung Gede sebelah timur. Saat itu sang surya baru saja menggelincir dari titik tertingginya, udara yang sejuk di kawasan itu membuat terik cahaya matahari tidak terasa menyengat.

Penunggang kuda sebelah depan, seorang kakek berjubah kuning, berwajah merah seperti udang rebus dan cuma punya satu alis yaitu di atas mata kiri hentikan kuda dekat mata air diikuti dua temannya. Dari peralatan penutup mata serta tanda-tanda pada pelana yang dimiliki tiga ekor kuda besar agaknya ke tiga penunggangnya bukan orang-orang sembarangan. Paling tidak mempunyai hubungan tertentu dengan Kerajaan di wilayah timur.

"Jika melanjutkan perjalanan dengan berlari, kurasa akan lebih cepat sampai di puncak gunung. Kita bisa meninggalkan kuda di tempat ini. Ada air, banyak rumput. Kelihatannya juga cukup aman. Bagaimana pendapat ki sanak berdua?" Si jubah kuning yang di Keraton Jawa Tengah dikenal dengan panggilan Lor Sakti Alis Tunggal bertanya pada dua temannya.

"Aku setuju saja," jawab kakek bermata juling mengenakan pakaian ringkas biru, lengkap dengan blangkon yang juga berwarna biru. Pada bagian depan blangkon menempel kepala seekor ular yang sudah dikeringkan berwarna hitam belang coklat putih. Dua tangan orang tua ini mulai dari pergelangan sampai ke sepuluh ujung jari berwarna hitam pekat. Di kawasan selatan Jawa Tengah dia dikenal dengan julukan Datuk Ular Jari Petir.

"Aku yang muda menurut apa suka kalian." Orang ketiga membuka mulut. Barisan gigi dilapisi perak hingga jika mulutnya terbuka kelihatan deretan gigi besar berkilat, kumis lebat, janggut tebal dan berewok tebal menutupi seantero wajah.

Orang ini mengenakan pakaian gombrang hitam. Yang hebat di kepalanya menancap puluhan pisau kecil berwarna hijau tanpa gagang. Dari warna pisau yang kehijau-hijauan jelas bahwa senjata itu mengandung racun jahat mematikan. Konon, jangankan manusia, seekor kerbaupun kalau tergores pisau akan kelojotan dan menemui ajal. Luar biasa kalau orangnya sendiri tidak sampai tersentuh racun padahal pisau jelas-jelas menancap di batok kepalanya yang berambut gondrong tebal hitam.

Beberapa tahun lalu orang ini dikenal sebagai kepala rampok kejam yang gentayangan bersama beberapa anak buahnya mencari mangsa di hampir setiap jalan utama menuju Kotaraja. Pada masa itu dia dikenal dengan sebutan Warok Gigi Perak. Yang jadi korban kejahatannya bukan saja para pedagang tapi dia juga berani menyerang dan menjarah para kerabat Keraton.

Dua orang kakek tadi yaitu Lor Sekti Alis Tunggal dan Datuk Ular Jari Petir berhasil membujuknya untuk meninggalkan pekerjaan jahat itu lalu menjadikannya sebagai salah seorang tokoh silat Kerajaan, bermukim di Kotaraja. Julukannya kemudian dirubah menjadi Si Mayat Terbang. Manusia satu ini memiliki tangan kiri yang lebih panjang dari tangan kanan. Hal ini karena dia seorang kidal dan selalu mempergunakan tangan kiri untuk melempar pisau terbang yang jadi senjata andalannya.

Setelah menyegarkan diri dengan meneguk air jernih sejuk dan mencuci muka, ke tiga orang itu duduk di tepi mata air, beristirahat sambil bercakap-cakap. Sementara kuda mereka kini ganti meneguk air sejuk di mata air dan melahap rumput liar yang tumbuh di sekitar tempat itu.

"Kalau tidak mendengar sendiri cerita Wisena, Perajurit Kepala yang bertugas di Gedung Kepatihan itu, aku mana mau percaya bahwa sobat kita Ki Wulur Jumena tewas di tangan seorang perempuan cantik yang konon kabarnya berotak sinting. Dan bukan cuma Ki Wulur Jumena Cagak Lenting sobat kita yang ahli pencari jejak itu juga menjadi korban. Lalu Perwira Tinggi Suko Daluh! Gila! Benar-benar sulit dipercaya!"

Datuk Ular Jari Petir gelengkan kepala berulang kali sambil menggerak-gerakkan sepuluh jari tangannya hingga mengeluarkan suara berkeretekan sementara dua bola matanya yang juling bergerak berputar-putar.

"Kejadian itu memang merupakan satu hal luar biasa," menyahuti Lor Sekti Alis Tunggal. "Tapi jika benar kabar yang kita sirap bahwa perempuan cantik itu adalah murid Kiai Gede Tapa Pamungkas, mengapa harus heran? Kesaktian Kiai itu sudah dianggap setengah Dewa. Karenanya kalau nanti kita berhadapan dengan sang Kiai, kita bicara baik-baik. Kita datang membawa surat perintah dari Kerajaan untuk menangkap muridnya yang bernama Nyi Retno Mantili itu. Padahal setahu semua orang Nyi Retno Mantili adalah istri dari Patih Wira Bumi yang dikabarkan kabur sejak lebih setahun silam gara-gara bayi yang baru dilahirkannya raib diculik orang! Hanya sayang sebelumnya kita tidak pernah berkesempatan melihat wajah istri ketiga mendiang Patih Kerajaan itu."

"Apakah tidak mungkin Patih Kerajaan juga dibunuh oleh Nyi Retno Mantili?" ujar Si Mayat Terbang alias Warok Gigi Perak.

"Banyak orang menduga begitu." Kata Lor Sekti Alis Satu. "Sungguh mengerikan. Pagi itu mayat Patih Kerajaan diantar seseorang dalam peti mati. Leher dalam koadaan putus! Siapa yang mengantar raib tidak diketahui. Ada yang melihat di tempat itu muncul seorang nenek seram bermuka dan berambut merah. Tidak seorangpun mengenal siapa dirinya."

(Baca serial Wiro Sableng berjudul Dendam Mahluk Alam Roh)

"Lalu siapa yang menghabisi Kepala Pengawal Bantarangin dan tokoh silat kerabat kita Ki Luwak Ireng?" tanya Si Mayat Terbang.

"Aku sempat menyaksikan mayat Cagak Lenting, Perwira Tinggi Suko Daluh, Bantarangin, Ki Luwak Ireng. Tubuh mereka seperti dibelah golok raksasa. Namun anehnya pinggiran luka tampak hangus! Senjata apa yang dipergunakan orang untuk membantai mereka?" Ucap Datuk Ular Jari Petir.

"Bukan golok, bukan senjata tajam. Tapi dua larik sinar ganas yang keluar dari sepasang mata boneka kayu milik Nyi Retno Mantili! Wisena si Perajurit Kepala sempat menyaksikan kejadiannya sewaktu Suko Daluh dan Wulur Jumena dihabisi. Wisena juga memberi tahu. Ada seorang pemuda menyertai Nyi Retno sewaktu menyerbu Gedung Kepatihan pada malam pesta besar-besaran itu! Tapi tidak diketahui siapa adanya."

"Gila! Benar-benar ganas dan berbahaya! Boneka Kayu! Mengeluarkan dua larik cahaya yang bisa membunuh!" Si Mayat Terbang remas-remas cambang bawuknya yang lebat meranggas.

Datuk Ular Jari Petir memandang ke langit lalu berkata. "Saatnya kita pergi. Kita harus sampai di tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas sebelum malam datang."

"Tunggu!" Berkata Lor Sekti Alis Tunggal.

"Ada apa?" tanya Si Mayat Terbang sementara Datuk Ular Jari Petir kembali menggerak-gerakkan sepuluh Jari tangan hingga mengeluarkan suara berkeletekkan.

Lor Sekti kakek berjubah kuning muka merah dan cuma punya satu alis itu melintangkan jari telunjuk tangan kiri di atas bibir. "Kau cepat mengawasi tiga ekor kuda. Jangan sampai binatang Itu ada yang meringkik karena gelisah! Lakukan cepat!" Katanya pada Si Mayat Terbang.

Walau tidak mengerti mengapa si kakek berkata begitu namun si berewok bergigi perak ini cepat berdiri dan melakukan apa yang diperintah. Satu demi satu tiga ekor kuda yang tengah merumput diusapi agar berlaku jinak dan tenang.

Lor Sekti Alis Tunggal sendiri kemudian letakkan telinga kirinya di tanah sementara Datuk Ular Jari Petir memperhatikan lalu memandang berkeliling. Sang Datuk kemudian ikutan jongkok dan berbisik.

"Ada orang datang?"

Lor Sekti Alis Tunggal kedipkan mata tanda mengiyakan.

"Seberapa jauh?"

"Cukup jauh. Langkahnya kudengar terkadang tertahan-tahan. Orang ini berjalan seperti tanpa tujuan. Mungkin hatinya sadang gelisah. Tapi jelas dia menuju ke arah sini. Mungkin dia tahu ada mata air di tempat ini. Dia memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa tinggi!" Telingaku hampir sulit membedakan gerak langkah kaki dengan tiupan angin!"

Datuk Ular Jari Petir angkat kepala. Memandang berkeliling. Dia tidak melihat siapa-siapa. Lalu dia membungkuk kembali. "Kau bisa mengetahui yang datang itu lelaki atau perempuan?"

"Saat ini sulit kuketahui. Masih terlalu jauh. Tunggu sebentar lagi. Sobatku, jangan bicara terlalu keras. Orang yang datang agaknya bukan manusia sembarangan. Bisa saja dia mendengar semua pembicaraan kita di sini walau berbisik-bisik."

Karena terlalu lama jongkok menungging di tanah, tidak terasa Datuk Ular Jari Petir tiba-tiba buuutttt pancarkan kentut!

Lor Sekti Alis Tunggal marah sekali tapi tak mau memaki. Perhatiannya pecah. Datuk Ular Jari Petir menyesali kesembronoannya tapi tidak dapat menahan tawa. Agar tawa tidak menyembur kakek ini cepat tutup mulutnya dengan telapak tangan kiri.

Di dekat pohon Si Mayat Terbang sudah mulai keluarkan tawa mengekeh. Tiba-tiba sepasang mata Lor Sekti Alis Tunggal membesar. Kepala diangkat dari tanah. Saat itu juga dia membuat gerakan melompat sambil melesat ke depan, menunjuk dan berteriak.

"Itu orangnya!"

Lor Sekti Alis Tunggal dan Si Mayat Terbang segera ikut berkelebat. Tiga ekor kuda meringkik keras. Sesaat kemudian tiga orang tokoh silat Istana dari timur itu telah mengurung seorang gadis berpakaian biru berwajah cantik tapi pucat dan berambut panjang tergerai kucai.
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng Karya Bastian Tito

BAB DUA

Dapatkan dirinya dikurung dan siap disergap tiga orang tidak dikenal, namun pasti manusia-manusia berkepandaian tinggi, sepasang alis mata bagus gadis berpakaian biru mencuat ke atas. Bibir merah sunggingkan senyum membuat munculnya lesung pipit di kedua pipi. Namun jelas senyum itu membersitkan rasa jengkel.

"Kalian siapa?" Suaranya bertanya datar, sama sekali tidak menunjukkan rasa takut.

Si Mayat Terbang alias Warok Gigi Perak dekati Lor Sekti Alis Tunggal dan berbisik. "Kurasa bukan ini orangnya."

"Aku memang meragukan, tapi lihat, wajahnya cantik. Belum apa-apa dia sudah tersenyum. Hanya perempuan sinting yang tersenyum pada orang yang tidak dikenalnya. Apa lagi kita sudah menunjukkan sikap mengurungi. Ingat keterangan mata-mata Kerajaan? Terakhir sekali perempuan itu terlihat mengenakan pakaian biru, berada di sekitar Gunung Gede ini," jawab si kakek jubah kuning.

"Tapi yang ini rambutnya pirang, tidak hitam," Si Mayat Terbang masih tidak berubah pendapat.

"Bisa saja dia sengaja merubah warna rambutnya agar tidak diketahui siapa jati dirinya." jawab Lor Sekti Alis Tunggal.

Datuk Ular Jari Petir sambil gerak-gerakkan sepuluh jari tangan dan menatap si gadis dengan mata juling, mendengar apa yang saling dibisikkan dua temannya, buru-buru mendatangi dan ikut berbisik.

"Kita harus berhati-hati. Jangan salah tangkap apa lagi sampai salah menggebuk. Perempuan satu ini sama sekali tidak membawa boneka kayu. Kita semua tahu boneka itu merupakan salah satu ciri-ciri Nyi Retno Mantili. Salaln itu kita harus hati-hati. Walau cantik tapi dia menyimpan kepandaian tinggi."

"Kalian bicara berbisik-bisik! Ada apa ini? Siapa kalian?!" kembali gadis cantik berpakaian biru bertanya. Suara tetap datar dan malah kelihatan begitu tenang sementara senyum masih belum pupus di wajahnya

"Biar aku yang menjawab," kata Lor Sekti Alis Tunggal. Lalu dia maju dua langkah mendekati gadis berbaju biru berambut pirang. "Kami bertiga adalah orang-orang utusan Keraton di Jawa Tengah. Kami dalam perjalanan mencari seseorang. Dan seseorang itu kami rasa adalah engkau..."

Belum habis Lor Sekti Alis Tunggal berucap, si cantik berambut pirang yang bukan lain adalah Bidadari Angin Timur angkat tangan kiri memberi tanda agar si kakek jubah kuning berhenti bicara. "Jauh-jauh dari Jawa Tengah, mencari seseorang hanya mengandalkan perasaan! Betapa tololnya!"

Meski tersengat dikatakan tolol namun Lor Sekti Alis Tunggal maju satu langkah sambil ajukan pertanyaan. "Bukankah kau Nyi Retno Mantili, murid Kiai Gede Tapa Pamungkas, Janda mendiang Patih Kerajaan Wira Bumi?”

Mendengar perkataan si kakek beralis satu Bidadari Angin Timur dongakkan kepala lalu tertawa panjang. Begitu tawa dihentikan dia langsung membentak. "Kenal diriku tidak! Mengaku tokoh persilatan Istana! Bertiga menghadang seorang perempuan di tengah jalan! Sungguh perbuatan rendah! Tidak sopan, memalukan!"

"Kau telah membunuh beberapa sahabat kami. Masih bisa tertawa! Malah berani membentak!" Kata Lor Sekti Alis Tunggal dengan mata memandang tak berkesip.

"Melihat tampang kalian aku curiga kalian ini sebenarnya adalah rampok gadungan! Menyingkirlah sebelum aku jadi muak! Cari mangsa lain yang bisa kajian jarah!"

Datuk Ular Jari Petir usap mukanya dengan sepuluh jari tangan lalu berkata. "Kami membawa surat perintah penangkapan atas dirimu! Kau tak mungkin berkilah apa lagi berusaha lolos! Lor Sekti, perlihatkan padanya Surat Perintah Penangkapan dari Kerajaan!"

Dari balik jubah kuningnya kakek bernama Lor Sekti Alis Tunggal keluarkan satu gulungan kain putih. Gulungan dibuka dan dibentang lalu di perlihatkan pada Bidadari Angin Timur! "Silahkan kau baca sendiri!"

Bidadari Angin Timur tertawa geli. "Orang tua beralis satu! Kau yang membawa surat silahkan kau yang membaca!"

Lor Sekti Alis Tunggal Jadi bingung karena dia tidak pandai membaca alias buta huruf! Melihat hal ini Datuk Ular Jari Petir segera mengambil gulungan kain yang sudah terbentang dan membaca tulisan yang tertera keras-keras.

"Atas Nama Hukum Dan Keadilan. Kerajaan dengan ini memerintahkan penangkapan atas diri Nyi Retno Mantili dalam keadaan hidup ataupun mati. Yang bersangkutan diketahui telah membunuh seorang Perwira Tinggi Kerajaan dan beberapa orang tokoh silat Istana. Tertanda atas nama Perwira Tinggi Kerajaan pangeran Aryo Adinegoro/Pejabat Sementara Patih Kerajaan"

Kembali Bidadari Angin Timur umbar tawa panjang. "Aku bisa membuat sepuluh surat perintah penangkapan seperti itu. Menangkap kalian sekaligus bertiga! Sudahlah, kalian semua harap menyingkir. Jangan ngacok di siang bolong! Aku mau melanjutkan perjalanan."

"Apa kau tidak melihat ada Cap Kerajaan di bagian bawah surat tadi? Ini bukan surat palsu! Pangeran Aryo Adinegoro bukan orang sembarangan. Dia adalah putera keempat dari Permaisuri!" Si Mayat Terbang untuk pertama kalinya membuka mulut. Wajahnya yang garang tampak gusar karena merasa tidak dipandang sebelah mata oleh si cantik berambut pirang itu.

Bidadari Angin Timur perhatikan tampang orang. Dalam hati dia membatin, manusia satu ini angker juga! Pisau yang menancap dikepalanya mengandung racun. Tapi dia sendiri tidak keracunan! Aku perlu mengawasi orang ini kalau pertarungan tidak bisa dihindari."

"Aku tidak pernah mengatakan surat itu palsu. Aku hanya tidak percaya pada kalian. Mengaku utusan Kerajaan. Anak buah Pangeran Aryo! Bagaimana aku bisa percaya kalian adalah orang-orang Kerajaan! Tapi diam-diam Bidadari Angin Timur sudah memaklumi kalau ketiga orang tak dikenalnya itu memang adalah orang-orang yang punya hubungan dekat dengan Kerajaan. Ini diketahuinya dari bentuk dan tanda-tanda pada pelana serta penutup mata tiga kuda tunggangan milik mereka.

"Aku Lor Sekti Alis Tunggal. Kakek berpakaian biru ini Datuk Ular Jari Petir dan sahabat muda ini dikenal dengan nama Si Mayat Terbang..."

"Ah, nama kalian hebat-hebat semua. Membuatku kagum! Hik hik hik!" ucapan Bidadari Angin Timur seperti memuji namun mimiknya menunjukkan ejekan. Gadis ini lanjutkan ucapan. "Tapi kalian dengar baik-baik ya. Aku bukan orang yang kalian cari. Aku bukan Nyi Retno Mantili."

"Kau berdusta! Kau sengaja menyamar dengan merubah warna rambutmu!" Berkata Datuk Ular Jari Petir.

Mendengar ucapan orang Bidadari Angin Timur tertawa. "Datuk, kau belum tahu wanginya rambutku!" Sang dara goyangkan kepala. "Silahkan mencium!"

"Settt” Rambut pirang panjang melesat laksana pedang menabas. Bau harum semerbak menebar. Datuk Ular Jari Petir berseru kaget dan marah, buru-buru menyingkir mundur selamatkan hidung dari sambaran ujung rambut.

Sambil tertawa panjang Bidadari Angin Timur menarik putus dua rambut pirangnya lalu dilempar ke arah sang Datuk berblangkon biru. Dua helai rambut yang lemas lembut dan harum itu berubah laksana dua batang kawat baja, melesat ke arah Datuk Ular Jari Petir. Kalau sampai menembus salah satu bagian tubuh, apa lagi kepala bisa jadi perkara Maut!

Meski belum sempat mengimbangi diri namun Datuk Ular dengan sebat pergunakan tangan kiri untuk menangkap dua helai rambut.

"Silahkan kau memeriksa apa rambut pirangku adalah rambut palsu!" Ucap Bidadari Angin Timur.

Dengan mata berkilat Datuk Ular memperhatikan. Dua helai rambut kemudian diremas-remas. Warna pirang tidak luntur. Bagian dalam yang putus-putus berwarna sama dengan warna rambut sebelah luar. Sang Datuk tidak berkata apa-apa hanya pelipisnya tampak bergerak-gerak tanda menahan amarah. Kembali Bidadari Angin Timur tertawa cekikikan.

"Perempuan sinting! Mana boneka kayu yang kau pakai membunuh para tokoh Istana?!" Membentak Si Mayat Terbang. Tangan kiri bergerak-gerak tanda mulai gatal ingin mencabut dan melemparkan pisau terbang beracun.

"Tubuhmu bau! Mulutmu lebih bau lagi! Sudah berapa lama kau tidak mandi? Hik hik hik! Kau kira aku anak kecil yang suka main boneka?!" ejek Bidadari Angin Timur yang membuat lelaki berewokan itu menggereng marah.

Kalau semasa masih jadi warok kepala rampok otak kotor pasti sudah memenuhi kepalanya berhadapan dengan gadis secantik itu dan saat itu juga tentu sudah disergapnya.

"Kau telah membunuh beberapa tokoh silat Istana. Sesuai perintah jika kau tidak menyerahkan diri secara baik-baik maka mayatmu yang akan kami bawa kehadapan Raja!" Lor Sakti Alis Tunggal angkat bicara.

"Tapi kami tidak ingin berlaku sekejam itu."

Bidadari Angin Timur mendengus. "Begitu...? Aku sudah berkata yang sebenarnya. Kalian orang-orang tolol masih ngotot mengira aku Nyi Retno Mantili! Kalau kalian memang Ingin membunuhku, silahkan! Aku mau lihat sampai dimana kehebatan kalian. Saat ini aku memang kepingin mati! Kalau aku sudah mati nanti aku beri tahu pada kalian bagaimana rasanya mati itu! Hik hik hik!"

"Berani menantang! Dasar perempuan sinting! Apa kau kira kami tidak tega membunuhmu?!" teriak Si Mayat Terbang marah. Dia segera gerakkan tangan kiri ke atas kepala dimana puluhan pisau beracun menancap.

Lor Sekti AlisTunggal menahan gerakan Si Mayat Terbang dengan memegang lengan kirinya. Dengan menekan suaranya agar terdengar lebih sabar kakek ini bertanya pada Bidadari AnginTimur. "Jika kau memang bukan Nyi Retno Mantili yang menyamar, lalu siapa dirimu adanya?!"

"Apa perduli kalian siapa diriku?!" Dalam hati Bidadari Angin Timur memaki. "Pikiran sedang kacau balau ada saja orang-orang yang membuatku tambah jengkel!"

Datuk Ular habis sabarnya. Tapi Lor Sekti Alis Tunggal masih berusaha menahan diri. "Nyi Retno Mantili, kami masih menghormati mendiang suamimu Wira Bumi. Kami mohon kau mau menyerah secara baik-baik dan ikut kami ke Jawa Tengah. Kami akan memohon agar hukuman atas dirimu bisa diperingan oleh Sri Sultan."

Mendengar ucapan si kakek Bidadari Angin Timur tertawa bergelak. "Kakek edan muka merah seperti udang rebus! Kapan aku pernah dikawin Wira Bumi! Kapan aku pernah jadi istri Patih Kerajaan...!"

Datuk Ular berbisik pada kambratnya kakek jubah kuning. "Lor Sekti, aku jadi yakin perempuan ini memang Nyi Retno Mantili. Dari kabar yang aku sirap Nyi Retno selalu bicara begitu pada semua orang! Tidak pernah mengakui kalau dia adalah Istri Patih Kerajaan Wira Bumi."

"Kakek budek torek! Apa kau tidak dengar tadi aku bilang aku ini bukan Nyi Retno Mantili?!" Bidadari Angin Timur berkata setengah berteriak.

Kakek berjubah kuning terdiam namun kawannya si blangkon biru Datuk Ular berteriak. "Kawan-kawan. Mari kita tangkap betina satu ini! Kalau melawan jangan ragu-ragu menghabisinya!"

Begitu tiga orang dihadapannya mulai bergerak Bidadari Angin Timur yang memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi serta gerakan luar biasa cepat segera berkelebat. Gerak tubuhnya kelihatan seolah melesat ke atas lalu melayang turun masuk ke dalam air. Dan lenyap!

Lor Sekti Alis Tunggal terkejut. Seumur hidup belum pernah dia melihat orang memiliki kecepatan gerak seluar biasa itu. Bidadari Angin Timur telah mengeluarkan limu meringankan tubuh bernama Ilmu Selaksa Kilat.

"Gila! Dia masuk menghilang ke dalam air!" Berseru Si Mayat Terbang.

"Jangan tertipu!" teriak Datuk Ular Jari Petir. "Perempuan itu tidak masuk ke dalam mata air. Dia pasti mendekam di tempat lain!" Sang Datuk berkata begitu karena dia tidak melihat air menyiprat. Kakek Ini memandang berkeliling, lalu berteriak.

"Dia ada di atas pohon sana!"

Lor Sekti Alis Tunggal dan Si Mayat Terbang memandang ke arah yang ditunjuk Datuk Ular. Ternyata memang benar. Saat itu si gadis berpakaian biru berambut pirang telah berada di atas pohon besar tak jauh dari mata air.

Setelah saling memberi tanda Datuk Ular Jari Petir dan Lor Sekti Alis Tunggal dengan gerakan kilat melepas pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi dan hawa sakti ganas ke atas pohon. Dua larik sinar merah dan hitam menderu. Si Mayat Terbang tak tinggal diam. Sekali tangannya bergerak ke atas kepala, dua pisau terbang melesat ke arah pohon. Saking cepatnya lemparan dua pisau hanya terlihat berupa dua larik cahaya hijau!

"Kurang ajar! Tiga orang itu benar-benar punya niat hendak membunuhku!" Kertak Bidadari Angin Timur.

Dua tangan disilang di depan dada. Sepuluh jari disusun lurus. Sambil mengibaskan dua tangan ke bawah, Bidadari Angin Timur melompat turun. Jungkir balik dua kali di udara.

"Blaarrr! Blaaarrr!"

********************

BAB TIGA

Untuk sementara kita tinggalkan Bidadari Angin Timur yang terancam keselamatannya karena hendak dihabisi oleh tiga tokoh silat Istana dari Jawa Tengah. Di dasar laut utara, dalam satu Istana batu pualam.

Ratu Laut Utara duduk di atas kursi besar berlapis emas. Dalam usia yang sudah empat puluh tahun wajah tetap cantik dan lekuk tubuhnya elok menggairahkan. Apa lagi dia mengenakan pakaian biru panjang ketat yang pada kedua sisinya dibelah tinggi hingga kakinya yang mulus tersingkap putih sampai ke paha terus ke pangkal pinggul.

Setelah merapikan rambut dan letak mahkota emas bertabur batu permata di kepala, sang Ratu arahkan pandangan sepasang bola matanya yang kelabu ke atas meja batu pualam di hadapannya. Di atas meja itu terletak sebuah seloki besar terbuat dari batu pualam berisi cairan berwarna merah. Dalam genangan cairan merah terdapat sebuah benda putih dengan bundaran hitam di sebelah tengah serta serabut-serabut merah di bagian belakang. Benda ini adalah mata kiri Patih Wira Bumi yang dulu dicungkil dan diambil sebagai jaminan bahwa dia tidak akan melanggar janji.

Seperti dituturkan dalam serial Wiro Sableng berjudul Bayi Satu Suro. Wira Bumi dengan diantar oleh Nyai Tumbal Jiwo yang menampilkan diri sebagai Nyi Wulas Pikan telah mendatangi Kerajaan Ratu Laut Utara. Kepada Sang Ratu mereka minta pertolongan agar diberi petunjuk dimana beradanya bayi Nyi Retno Mantili yang bernama Ken Permata. Sebagai imbalan kedua orang itu akan menyerahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru yang telah dicuri Nyai Tumbal Jiwo dari Istana Ratu Laut Selatan Nyai Roro Kidul.

Ratu Laut Utara bersedia menolong namun dengan syarat Wira Bumi harus menyerahkan mata kirinya sebagai jaminan bahwa setelah dia mendapatkan bayi maka dia akan kembali untuk menyerahkan batu mustika sakti dan memperhambakan diri pada Ratu Laut Utara. Karena tidak mungkin mundur lagi akhirnya Wira Bumi pasrah menyerahkan mata kirinya.

Seperti diketahui Wira Bumi bersama Nyai Tumbal Jiwo tidak berhasil mendapatkan bayi Nyi Retno Mantili yang ada di tempat kediaman Datuk Rao Basaluang Ameh di Danau Maninjau Pulau Andalas. Wira Bumi sendiri kemudian menemui ajal ditabas dengan golok oleh Pendekar 212 di Pulau Watu Gilang pada malam perayaan Satu Suro. Bayi Nyi Retno Mantili dibawa kembali oleh Datuk Rao Basaluang Amen ke Danau Maninjau disertai pesan agar kelak Wiro sendiri yang akan menjemputnya.

Di samping meja batu pualam duduk bersimpuh seorang nenek berkepala berbentuk aneh. Bagian atas kepalanya yang berwarna ungu lebih kecil dari kedua pipi. Bibir tebal dower merah seperti dibalut darah sedang sepasang mata bengkak gembung nyaris tertutup. Nenek ini bernama Nyi Kuncup Jingga, merupakan tangan kanan pembantu kepercayaan Ratu Laut Utara. Konon dia mempunyai kelainan yaitu hanya suka pada insan sesama jenis.

Setelah menatap tak berkesip sekian lama pada mata Wira Bumi yang ada di dalam seloki batu pualam, Ratu Laut Utara unjukkan wajah berkerut dan berulang kali menarik nafas dalam. Walau tahu kalau ada sesuatu namun Nyi Kuncup Jingga diam menunggu tidak berani bertanya.

"Nyi Kuncup. Sesuatu telah terjadi dengan orang yang punya mata itu." Berucap Ratu Laut Utara.

"Saya mohon petunjuk Sri Paduka Ratu," kata si nenek pula.

"Wira Bumi Patih Kerajaan telah menemui ajal. Sekitar satu purnama lalu. Perjanjian tidak mungkin diteruskan. Namun apa yang sudah dikatakan harus menjadi kenyataan. Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru yang dikatakan akan diserahkan kepadaku harus kita dapatkan kembali."

Mendengar keterangan sang Ratu, Nyi Kuncup Jingga sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Nenek ini bertepuk tiga kali. Sesaat kemudian muncul dua gadis cantik membawa sebuah dulang terbuat dari perak. Inilah nampan yang disebut Dulang Perak Sejuta Mata. Dulang berisi air berwarna kebiruan diletakkan di atas meja pualam di samping seloki berisi mata kiri Wira Bumi.

Melalui air di dalam dulang Ratu Laut Utara memiliki kemampuan untuk melihat sesuatu di tempat Jauh. Ratu usapkan tangan kanan di atas dulang, asap mengepul. Begitu kepulan asap sirna Ratu Laut Utara memperhatikan cairan dalam dulang tanpa berkesip. Sesaat kemudian Ratu memberi isyarat. Dua gadis mengambil dulang dari atas meja dan tinggalkan tempat itu.

"Nyi Kuncup Jingga..."

"Hamba Sri Paduka Ratu..."

"Menurut apa yang aku lihat, Batu Mustika Angin Laut, Kencana Biru telah berpindah tangan beberapa kali. Namun saat ini batu sakti itu telah berada kembali di tangan nenek serba merah yang dadanya geroak dan tempo hari pernah datang ke sini menemani Wira Bumi..."

"Saya ingat Sri Paduka Ratu. Nenek itu menampilkan diri sebagai perempuan cantik mengaku bernama Nyi Wulas Pikan..."

"Betul... ada kesan bahwa untuk mendapatkan batu sakti itu dia telah merubah diri menjadi seorang gadis bermata biru, Ratu Duyung, orang kepercayaan Ratu Laut Selatan. Kau harus mencari mahluk alam roh yang sebenarnya bernama Nyai Tumbal Jiwo itu. Dapatkan kembali batu sakti itu. Aku tidak ingin batu mustika itu kembali ke Laut Selatan. Aku juga memerintahkan agar kau membunuh Nyai Tumbal Jiwo. Nenek satu itu perlu dikembalikan ke alam roh lapisan ketujuh untuk selama-lamanya. Menurut yang aku lihat dia akan berada di pantai utara tak selang berapa lama. Aku tidak tahu apa keperluannya di tempat itu."

"Perintah Sri Paduka Ratu akan saya laksanakan," kata Nyi Kuncup Jingga lalu bangkit berdiri.

"Ajak serta Ki Ngumpil Sebaki alias Si Lidah Hantu untuk membantumu. Aku menaruh firasat dalam mencari Nyai Tumbal Jiwo kau juga akan berhadapan dengan orang-orang lain berkepandaian tinggi."

"Baik Sri Paduka Ratu. Saya akan menemui Ki Ngumpil Sebaki..."

"Saat ini dia masih bertapa di lapisan ke dua dasar Laut Utara. Tunggu sampai malam tiba saat dia mengakhiri tapanya."

"Baik Sri Paduka Ratu." Nyi Kuncup Jingga membungkuk, siap untuk berlalu dari hadapan sang Ratu.

"Ada satu hal lagi Nyi Kuncup..."

"Hamba Sri Paduka Ratu..."

"Dalam air di Dulang Perak Sejuta Mata aku melihat bayangan Ratu Duyung bersama seorang pemuda berpakaian hitam berambut panjang sebahu. Mereka tengah mencari dan mengejar si pencuri Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Jika Nyai Tumbal Jiwo mengarah ke pantai utara, mereka pasti akan mengejar ke jurusan yang sama. Untuk kedua orang itu aku punya pesan khusus. Jika kau bertemu mereka jangan ragu-ragu untuk membunuh Ratu Duyung. Namun tangkap hidup-hidup pemuda berpakaian hitam. Bawa ke hadapanku."

"Saya mengerti Sri Paduka Ratu. Perintah Sri Paduka Ratu akan saya laksanakan. Namun agar tidak kesalahan tangan, mohon diberi tahu siapakah adanya pemuda berpakaian hitam berambut panjang sebahu itu?"

Ratu Laut Utara tidak segera menjawab. Mata memandang ke arah kejauhan. Air mukanya jelas membayangkan sesuatu lalu dengan suara perlahan mulutnya berucap. "Aku sudah lama menunggu kedatangannya. Aku tidak Ingin Ratu Laut Selatan mendapatkan pemuda itu. Kau pasti pernah mendengar nama dan julukan pemuda itu. Namanya Wiro Sableng. Julukannya Pendekar Kapak Maut Naga Geni Dua Satu Dua..."

"Ah..." Nyi Kuncup Jingga melepas suara kagum lalu anggukkan kepala berulang kali. "Saya akan membunuh Ratu Duyung gadis penggoda itu. Saya akan membawa Pendekar Dua Satu Dua ke hadapan Sri Paduka Ratu. Memang dia teramat pantas untuk bersanding dengan Sri Paduka Ratu. Saya mengerti, bila Sri Paduka Ratu sudah bersama dia maka delapan penjuru angin rimba persilatan di laut dan di daratan akan berada dalam genggaman Sri Paduka Ratu."

Tanpa menoleh pada Nyi Kuncup Jingga. Ratu Laut Utara anggukkan kepala. Sekelumit senyum muncul di wajahnya. Di dalam hati sang Ratu berkata. "Terus terang, aku lebih mementingkan dan mengharapkan pemuda itu dari pada batu mustika sakti."

Kemudian ketika tiba-tiba ada teriakan mengiang di telinganya. Ratu Laut Utara tersentak. Paras berubah, tubuh terlonjak bangkit. Dalam hati dia berkata penuh kebencian. "Ayu Lestari! Tunggu hari kematianmu. Tiga ratus hari tidak lama lagi! Kau akan berkubur di dasar laut utara! Setelah itu tidak akan ada lagi gangguan atas kekuasaanku di Laut Utara ini!"

Ratu Laut Utara tekan lengan kursi kiri kanan. Luar biasa! Didahului suara berdesir saat itu juga kursi besar berlapis emas itu amblas masuk ke dalam lantai batu pualam. Lenyap bersama sosok sang Ratu.

********************

BAB EMPAT

Kembali pada Bidadari Angin Timur yang tengah mendapat serangan tiga musuh tangguh, mengaku utusan Kerajaan di Jawa Tengah dan hendak menangkap dirinya karena dianggap sebagai Nyi Retno Mantili yang telah membunuh seorang Perwira Tinggi dan beberapa tokoh silat Istana.

Dari tangan kanan Datuk Ular Jari Petir menderu selarik sinar hitam sementara pukulan tangan kosong yang dilepaskan Lor Sekti Alis Tunggal mengeluarkan cahaya merah angker. Di saat yang bersamaan dua pisau terbang yang dilempar Si Mayat Terbang melesat sebat dan saking cepatnya lenyap membentuk dua larik sinar hijau menggidikkah.

Di atas pohon, melihat datangnya tiga serangan dahsyat Bidadari Angin Timur cepat silangkan dua tangan di depan dada. Sepuluh jari disentak lurus. Sambil melompat turun dua tangan dihantamkan ke bawah. Dua larik sinar hijau laksana dua pedang membabat menyambar menyambut datangnya serangan. Bersamaan dengan itu dia membuat gerakan jungkir balik dua kali berturut-turut. Semua dilakukan dengan gerakan serba cepat mengandalkan ilmu Selaksa Kilat hingga sosok gadis itu berubah menjadi sekilas cahaya biru.

"Blaarrr! Biaarr!"

Dua letusan keras menggelegar. Tanah bergetar. Air di mata air muncrat ke atas. Cahaya merah, hijau dan hitam bertabur di udara. Meski mampu turun dengan kaki menjejak tanah lebih dulu namun tubuh Bidadari Angin Timur untuk sesaat tampak tergontai-gontai. Wajahnya yang pucat tambah putih.

Di lain pihak Lor Sekti AlisTunggal dan Datuk Ular Jari Petir saling berpegangan tangan agar tidak rubuh. Muka Lor Sekti Alis Tunggal tampak tambah merah sedang tampang Datuk Ular kelihatan kelam membesi. Hanya Si Mayat Terbang yang masih tetap berdiri kokoh karena tenaga dalamnya tidak bertabrakan langsung dengan tenaga dalam Bidadari Angin Timur. Gerakan melompat yang disertai jungkir balik kilat membuat Bidadari Angin Timur mampu mengelakkan serangan dua pisau beracun.

Begitu dua pisau menancap di batang pohon, serta merta kulit pohon yang tadinya coklat kehitaman berubah menjadi hijau. Tiga cahaya mengandungi hawa sakti yang bertebaran ke udara membuat ranting dan daun pohon hangus menghitam, dedaunan jatuh luruh ke tanah.

Dalam hal ilmu meringankan tubuh kelihatannya Bidadari Angin Timur bisa mengatasi kehebatan ke tiga lawan. Namun menghadapi gabungan tiga tenaga dalam terlalu besar bahayanya. Hal Ini disadari oleh Bidadari Angin Timur.

"Aku harus menghajar si berewok ini lebih dulu. Tenaga dalamnya tidak seberapa namun pisau beracunnya sangat berbahaya! Tubuhnya tahan terhadap racun pisau! Aku tahu rahasia kehebatan sekaligus kelemahannya! Ginjal di dalam tubuhnya!"

Apa yang diduga Bidadari Angin Timur memang benar adanya. Si berewok yaitu Si Mayat Terbang memiliki kehebatan luar biasa tidak keracunan oleh pisau yang menancap di batok kepalanya karena dia memiliki semacam penyaring racun yaitu ginjal di dalam tubuhnya. Manusia biasa memiliki dua buah ginjal. Tapi ketika dilahirkan Si Mayat Terbang konon memiliki empat ginjal sekaligus!

Lor Sekti Alis Tunggal diam-diam juga telah mengukur kehebatan lawan. Dia dan kawan-kawan pasti bisa meringkus atau membunuh gadis berambut pirang itu. Namun di antara mereka tidak mustahil ada yang akan jadi korban. Maka kakek bermuka merah keluarkan ucapan membujuk untuk kesekian kalinya

"Nyi Retno, dari pada kau mati percuma harap mau berpikir sekali lagi. Harap kau mau menyerahkan diri secara baik-baik!"

Bidadari Angin Timur sunggingkan senyum mengejek. "Nyali kalian rupanya mulai leleh?"

"Perlu apa bicara lagi panjang lebar dengan calon bangkai!" Teriak Si Mayat Terbang yang kesal dan tidak menyangka lawan sanggup selamatkan diri dari lemparan dua pisau mautnya.

"Kau yang berucap kau yang pertama kali akan jadi mayat!" balas berteriak Bidadari Angin Timur. Sambil berteriak dia renggangkan dua kaki. Tangan kiri diangkat, telapak membuka lebar. Dua mata memandang tiga lawan tak berkedip. Sementara tangan kanan bergerak ke bagian depan pakaian biru di arah perut.

Astaga! Walau sudah tidak lagi muncul sebagal Nyi Bodong ternyata Bidadari Angin Timur masih memiliki ilmu kesaktian Ilmu Pusar Pusara yang didapatnya dari kakek sakti Kiai Munding Suryakala. Bila pakaian biru disingkap di bagian perut, pusar akan mencuat keluar dan dari pusar yang berubah bodong ini akan melesat cahaya biru bernama Geni Biru. Beberapa orang tokoh sakti pernah merasakan kehebatan ilmu kesaktian ini. Satu diantaranya adalah Pangeran Matahari yang dibuat buntung tangan kirinya.

(Baca serial Wiro Sableng berjudul Nyi Bodong dan Perjanjian Dengan Roh)

"Kami para utusan Kerajaan sudah memberi ingat. Jangan salahkan kalau kau mati percuma dan menyesal sampai di liang kubur."

"Tidak apa-apa. Aku tidak akan pernah menyesal karena aku akan membawa kajian ikut serta ke liang kubur!" Jawab Bidadari Angin Timur. Kepala didongak. Dari mulut melesat suara seperti raungan srigala di malam buta lalu di susul dengan suara tawa cekikan. Inilah satu pertanda bahwa Bidadari Angin Timur akan kembali menjadi Nyi Bodong dan keluarkan Ilmu dahsyat Ilmu Pusar Pusara!

Untuk sesaat tiga tokoh silat Kerajaan sempat tercekat. Namun kemudian datuk Ular Jari Petir berteriak. "Pateni!"

Habis berteriak Datuk Ular Jari Petir jentikkan lima jari tangan kanan. Lima sinar hitam pekat menderu menyambar ke arah Bidadari Angin Timur mengeluarkan suara seperti petir menyambar, menebar bau amis darah ular! Bukan itu saja. Kakek berpakaian hitam ini susul serangannya dengan menggerakkan kepala. Dari mulut kepala ular kering yang menempel di bagian depan blangkon biru melesat sinar kuning, menebar bau busuk pertanda dua serangan sang Datuk mengandung racun jahat.

Lor Sekti Alis Tunggal melesat satu tombak ke atas. Masih melayang di udara dia hantamkan tangan kanan ke bawah. Didahului suara seperti tiupan suling dari lengan jubah kakek beralis satu ini berkelebat selarik sinar merah, menebar menyapu berbentuk kipas terkembang. Warok Gigi Perak alias Si Mayat Terbang berteriak garang. Tangan kirinya bergerak dua kali ke atas kepala.

"Bettt! Bettt!" Sepuluh pisau terbang pertama melesat ke arah Bidadari Angin Timur. Sesaat kemudian menyusul sepuluh pisau lagi!

Melihat datangnya serangan laksana air bah ini sungguh berbahaya keselamatan Bidadari Angin Timur. Namun gadis yang diserang tidak unjukkan rasa gentar. Penuh percaya diri dia remas lima jari tangan kiri. Bersamaan dengan itu tangan kanan menyibak baju biru tipis di bagian perut. Pusar tersingkap putih!

"Desss! Wuuuttt!" Selarik sinar biru terang benderang menyilaukan keluar dari pusar bodong Bidadari Angin Timur. Menggebubu ke depan memapas serangan tiga utusan Kerajaan.

Untuk kedua kalinya di tempat itu meggelegar letusan-letusan keras disertai taburan cahaya, hanya saja kali ini disertai pekik semua orang yang terlibat pertarungan. Datuk Ular Jari Petir tersurut lima langkah sambil menggerung kesakitan. Lima jari tangan kanan putus dan leleh.

Lor Sekti Alis Tunggal menjerit keras sambil pegangi dadanya yang robek terbelah. Mukanya yang merah berubah membiru. Darah bergelimang di sekujur tubuh dan dua tangan yang mendekap dada. Kakek berjubah kuning ini memekik satu kali lagi lalu tergelimpang roboh namun tidak segera menemui ajal.

Yang paling mengenaskan adalah Si Mayat Terbang. Pinggangnya nyaris putus disambar sinar Geni Biru. Tiga dari empat ginjalnya hancur. Dalam keadaan tubuh nyaris kutung dan miring ke kiri dia masih berusaha menggapai pisau terbang di atas kepala. Namun tubuhnya yang besar keburu terjungkal. Manusia satu ini melepas nyawa dengan mulut menganga dan mata mendelik sementara darah membasahi hampir sekujur tubuhnya. Tepat seperti yang dikatakan Bidadari Angin Timur. Si Mayat Terbang benar-benar menjadi korban pertama yang menemui ajal di tempat itu.

Dalam keadaan tangan kanan luka parah. Datuk Ular Jari Petir yang sudah putus nyalinya segera melompat ke atas punggung seekor kuda lalu secepat kilat menghambur kabur dari tempat itu.

Walau menemui ajal namun dua kali lemparan pisau yang tadi dilakukan Si Mayat Terbang ternyata hampir menimbulkan malapetaka bagi Bidadari Angin Timur. Dengan ilmu Pusar Pusara Bidadari Angin Timur memang berhasil membuat hancur lebur sepuluh pisau serangan pertama. Namun begitu sambaran Geni Biru lewat dan sirap, serangan sepuluh pisau terbang kedua datang menderu ganas.

Kali ini Didadari Angin Timur tidak mampu menyingkir atau menangkis. Dia masih berusaha pergunakan kecepatan untuk selamatkan diri sambil lepaskan satu pukulan tangan kosong. Hanya enam pisau yang berhasil lolos dan dibuat mental sementara empat sisanya masih terus menyambar ke arah kepala!

"Celaka!" Bidadari Angin Timur berseru kaget dan hanya bisa pasrah menunggu kedatangan empat pisau menancapi wajahnya!

Namun Kuasa dan Kehendak Tuhan masih melindungi gadis berambut pirang itu. Sesaat lagi empat pisau beracun akan menancap di wajahnya yang cantik jelita, tiba-tiba satu mahluk raksasa bertubuh yang terbungkus duri-duri tebal berkelebat di antara pisau yang menyambar dan wajah Bidadari Angin Timur. Si gadis sendiri sampai terpental akibat ditabrak mahluk raksasa itu.

"Tring! Tring! Tring! Tring!"

Empat pisau beracun yang seharusnya menancap di muka Bidadari Angin Timur mencelat mental. Mahluk yang melindungi Bidadari Angin Timur keluarkan suara menggereng. Entah marah entah kesakitan. Mahluk aneh ini yang ternyata adalah seekor landak raksasa memutar tubuh melangkah mendekati Bidadari Angin Timur yang masih tergolek di tanah dengan wajah pucat.

"Bidadari Angin Timur, kau tak apa-apa?" Mahluk berbentuk landak raksasa bertanya. Suaranya ternyata suara manusia. Tiga langkah dari Bidadari Angin Timur tiba-tiba sosok binatang landak ini barubah menjadi seorang pemuda berpakaian coklat. Ikat kepala kain biru yang melilit kening membuat wajahnya yang tampan kelihatan tambah gagah. Namun dibalik ketampanan itu ada bayangan ganjalan derita yang amat dalam.

Melihat siapa yang berdiri di depannya. Bidadari Angin Timur tersentak kaget. Tidak tunggu lebih lama dia segera melompat dan berusaha melarikan lari.

"Bidadari Angin Timur! Jangan lari! Aku hanya ingin bertanya!" Berseru pemuda berpakaian coklat yang bukan lain adalah Tubagus Kesumaputra alias Jatilandak, pemuda dari negeri Latanahsilam yang sejak beberapa lama ini telah menduduki jabatan salah satu Kepala Pasukan Kesultanan Cirebon.

Namun Bidadari Angin Timur tetap meneruskan lari. Si pemuda segera mengejar. Sambil terus memanggil. Namun di satu tempat akhirnya dia hentikan lari lalu berteriak.

"Bidadari Angin Timur, jika kau tidak mau menemuiku aku tidak akan mengejar lagi! Aku hanya ingin bertanya! Mengapa dirimu begitu tega meninggalkan upacara pernikahan kita di Keraton Cirebon? Apa salahku...?!"

Di depan sana, setelah mendengar teriakan si pemuda, Bidadari Angin Timur tiba-tiba hentikkan lari lalu berdiri sambil pejamkan mata dan senderkan kening ke batang sebuah pohon.

"Aku memang tidak boleh menghindar. Kalaupun hari ini aku bisa lari dari dia di kemudian hari pasti dia akan menemuiku. Sebaiknya biar semua masalah diselesaikan saat ini. Aku kasihan padanya. Tapi apakah ada yang kasihan padaku..."

BAB LIMA

Jatilandak dekati Bidadari Angin Timur. Tangan diulurkan hendak mengusap punggung si gadis namun kebimbangan datang dan niat itu dibatalkan.

"Bidadari Angin Timur, aku tidak tahu apa yang terjadi dalam dirimu. Ada apa kau meninggalkan upacara pernikahan kita ketika itu, aku, Sultan serta Ratu Cirebon telah siap menunggu kehadiranmu. Ketika kau tidak muncul semua orang mencari. Ternyata kamar pengantinmu kosong. Dirimu lenyap. Aku tidak mengerti, apakah aku telah membuat kesalahan yang membuatmu tidak suka terhadapku hingga melarikan diri begitu rupa?"

"Tidak, kau tidak berbuat kesalahan apa-apa Tubagus Kesumaputra..." ucap Bidadari Angin Timur dengan suara lirih setengah tersendat.

Si pemuda terdiam sesaat lalu dengan suara perlahan dia berkata. "Namaku Jatiiandak. Tubagus Kesumaputra hanyalah nama pengasih dari orang yang berhiba hati terhadapku..."

Isakan keluar dari mulut Bidadari Angin Timur. Bahu dan dada bergoyang turun naik. "Jatilandak, kalau bicara soal kesalahan, sebenarnya aku yang layak disalahkan..."

"Kalau begitu tidak perlu kita bicara soal kesalahan. Mungkin tidak ada yang salah diantara kita. Mungkin keadaan atau takdir menghendaki demikian. Namun kalau boleh aku mengetahui mengapa hal itu terjadi? Segala sesuatu pasti bersebab. Lalu mengapa kau mengambil sikap dan berlaku seperti itu padaku?"

"Aku tahu aku telah membuat malu besar atas dirimu..."

"Sebesar gunungpun rasa malu itu akan aku panggul di pundakku yang sudah terlalu sering menerima beban ini. Namun hanya satu, aku ingin tahu mengapa kau berbuat seperti itu. Meninggalkan upacara pernikahan kita..."

"Jatilandak, aku tidak bermaksud buruk. Aku hanya..."

"Bidadari Angin Timur, ketika kita bertemu dan kau mau kuajak pergi ke Cirebon, harapan besar terbentang di hadapanku. Ketika aku melamarmu melalui Nyi Rara Santang dan Pangeran Cakrabuana dan kau menerimanya, harapan itu berubah menjadi kenyataan. Tetapi ketika upacara pernikahan digelar, kau lenyap melarikan diri. Kau hancurkan kenyataan itu. Mengapa...?"

Tangis menyembur dari mulut Bidadari Angin Timur. Kepalanya digelengkan beberapa kali. Mulut terbuka tapi tidak sanggup meluncurkan kata-kata.

"Bidadari AnginTimur, jawablah. Mengapa...?"

"Jatiiandak. Maafkan diriku. Aku tidak bisa melakukan hal itu..."

"Tidak bisa melakukan hal apa?"

"Aku tidak mungkin berkhianat..."

"Berkhianat? Berkhianat pada siapa Bidadari Angin Timur?" tanya Jatiiandak dengan dada berdebar.

Sampai saat itu Bidadari Angin Timur masih menempelkan wajahnya ke batang pohon, tidak berani menatap muka si pemuda. "Jatiiandak, kau tahu. Jauh sebelum kita bertemu aku telah lebih dulu mengenal Wiro"

"Ahhh... Sahabatku itu rupanya yang jadi penyebab." Kata Jatiiandak dengan perasaan sangat terpukul. "Kalau kau memang tidak ingin mengkhianatinya karena kau lebih dulu mencintainya, lalu mengapa dulu kau mau aku ajak ke Cirebon, kita sempat berbagi rasa dan kasih, bahkan kau bersedia memenuhi permintaanku untuk melangsungkan pernikahan..."

"Saat aku mau kau ajak pergi, ketika aku menerima lamaranmu, sesungguhnya hatiku sedang goncang, pikiranku tengah kacau. Aku bingung menghadapi hidup ini. Begitu banyak gadis yang mengasihi Wiro selain diriku. Tapi setelah aku berada dalam kesendirian menunggu menjelang saat-saat pernikahan kita, aku merasa diriku telah melakukan satu pengkhianatan. Aku menyadari bahwa aku tidak bisa lari dari kenyataan. Tidak bisa sembunyi dari suara hatiku. Bahwa aku tidak bisa melepaskan diri dari Wiro. Bahwa aku terlalu sangat mencintainya..."

Jatilandak tertunduk lesu. Bumi ini seperti bergetar lalu bergemuruh laksana kiamat membalik dan menghancur luluhkan dirinya. Ketika lututnya goyah dan dia serasa tidak menginjak tanah lagi. Jatilandak jatuh berlutut. Mata yang berkaca-kaca dipejamkan. Dia hanya sempat mendengar suara Bidadari Angin Timur berkata,

"Jatilandak, jika kau bertemu Wiro, sampaikan pesanku. Nyi Retno Mantili berada di tangan Manusia Paku Sandaka Arto Gampito. Dibawa ke tempat kediaman gurunya untuk dinikahi. Jatilandak, aku harus pergi. Maafkan diriku." Lalu suara itu lenyap bersama tiupan angin. Sosok Bidadari Angin Timur Ikut menghilang.

"Gusti Allah, di tanah kelahiranku aku tidak pernah mengenal dirimu. Ketika di tanah Jawa ini aku menemukan Kebesaran dan KeagunganMu, mengapa Kau jatuhkan cobaan yang begini berat padaku? Tuhan... kalau memang ada kesalahanku, aku rela di hukum, matipun aku siap menghadapi. Namun jangan jatuhkan cobaan yang begini berat, yang aku tidak sanggup menerimanya. Aku merasa sudah mati dalam hidupku..."

Sepasang mata Jatilandak berlinangan. Ketika air mata itu hendak jatuh meluncur ke pipi tiba-tiba satu tangan halus memegang pundak kiri pemuda dari negeri 1200 tahun silam ini.

"Bidadari..." ucap Jatilandak dengan suara bergetar dan di wajahnya tampak ada sekilas harapan. Namun harapan itu serta merta sirna.

"Jatilandak, aku ibumu."

Jatilandak terkejut. Mata yang terpicing dibuka lebar-lebar. Kepala dipalingkan. Air mata meluncur jatuh. "Ibu..."

Jatiiandak bangkit berdiri, memeluk perempuan berpakaian biru yang bukan lain adalah Luhmintari alias Purnama.

"Ibu mendengar semua pembicaraan kalian. Kau harus tabah puteraku. Kau harus sadar, cinta itu sebenarnya memang tidak bisa dibagi dan tidak pernah boleh dibagi..."

"Aku percaya pada apa yang kau ucapkan Ibu. Tapi aku juga percaya kalau cinta itu tidak boleh bermuka dua. Cinta harus hitam atau putih. Tidak ada warna kelabu di antara keduanya. Cinta harus berani mengatakan ya atau tidak. Cinta tidak boleh menyembunyikan apapun. Cinta tidak akan menjadi batu sandungan memperhinakan dan mempemalukan orang lain..."

"Jangan berkata begitu Jatiiandak," ucap Purnama dengan berlinangan air mata. "Sejak kita mengenal Gusti Allah kita harus percaya pada perjalanan nasib kita apa yang dinamakan takdir."

"Saya tidak pernah menyesali nasib buruk diri ini Ibu. Namun saya juga tidak pernah lari dari kenyataan. Satu hal saya katakan, saya tidak pernah menyesal menjadi anak ibu."

Ibu dan anak itu saling berpelukan dan sama mencucurkan air mata.

"Anakku, putihkan hatimu, hadapi masa depan dengan hati tabah, dan jiwa tegar. Hari ini kau mungkin merasa kehilangan sesuatu. Besok bisa saja Gusti Allah memberikan pengganti yang jauh lebih bernilai..."

Jatilandak menghela nafas panjang. Lalu berkata. "ibu, bagaimanapun aku harus melupakan semua kejadian ini. Aku sejak lama ingin pergi ke Gunung Tangkuban Perahu."

Purnama terkejut Wajah cantiknya berubah. "Apa?! Kau sengaja kesana hendak bunuh diri? Kau tahu gunung itu dipenuhi belerang. Dan belerang adalah pantang bagi nyawamu! Anakku, apa yang ada di benakmu?"

Jatilandak tersenyum dan mencium kedua belah pipi ibunya. "Aku akan menjadi pertapa sampai ajal datang menjemput."

"Jatilandak... jika kau melakukan hal itu sama saja dengan membunuh diri secara pelan-pelan."

"Gusti Allah melarang umatnya melakukan bunuh diri. Dan aku Jatilandak tidak akan pernah melakukan hal itu."

"Saat ini sulit bagiku mempercayai kata-katamu..."

"Ibu harus percaya pada saya. Saya anak yang bernama Jatilandak terlahir dari seorang Ibu bernama Luhmintari."

"Anakku, bukankah akan lebih baik bagimu jika kau kembali ke Cirebon? Kau sudah dianugerahi jabatan tinggi di Kesultanan itu."

Jatilandak tersenyum. "Jabatan dan pangkat, termasuk harta benda kekayaan hanyalah hiasan dunia. Siapapun kalau mati tidak akan membawa semua itu."

Untuk beberapa lama tempat itu menjadi sunyi karena tidak ada yang bicara.

"Ibu, sebelum meninggalkan ibu aku akan teruskan amanat yang disampaikan Bidadari Angin Timur. Sebelum pergi dia berkata. Jika aku bertemu Wiro harap diberi tahu bahwa Nyi Retno Mantili berada bersama Manusia Paku Sandaka Arto Gampito. Mereka tengah menuju tempat kediaman guru Manusia Paku dan hendak melangsungkan pernikahan."

Jatilandak mencium kening dan pipi Luhmintari sekali lagi lalu tinggalkan tempat itu diikuti linangan air mata sang ibu.

Untuk beberapa lamanya Luhmintari masih berdiri di tempat itu sementara air mata tak kuasa dibendung, meluncur jatuh di atas pipinya yang halus. Perlahan dia berucap. "Anakku, entahlah. Ibu punya firasat nasib diriku dalam mencintai seseorang mungkin tidak akan banyak berbeda dengan apa yang kau alami."

Luhmintari alias Purnama tarik nafas dalam. Lalu kembali mulutnya berucap. "Puteraku Jatilandak, walau kau tidak sempat memiliki Bidadari Angin Timur dalam ikatan perkawinan tapi aku merasa gadis itu telah pernah menjadi istrimu. Dan keadaannya saat ini tidak lebih dari diriku tidak berbeda dengan Nyi Retno Mantili. Dia telah menjadi seorang janda..."

Mendadak Luhmintari alias Purnama merasakan udara sejuk menyelubungi tempat itu. Namun cepat sekali kesejukan ini berubah menjadi hawa dingin luar biasa hingga sekujur tubuhnya mulai bergetar menggigil dan rahang terkancing rapat. Air mata yang bercucuran di atas kedua pipinya berubah membeku!

"Apa yang terjadi? Apakah ada seseorang berbuat jahat terhadap diriku?" pikir Purnama.

Gadis dari Latanahsiiam ini kerahkan hawa sakti panas ke sekujur tubuh. Dia hanya mampu menolak sedikit saja hawa dingin yang membungkus dirinya. Dia coba menggoyang bahu untuk mengeluarkan cahaya biru berkilau yang menjadi pelindung dirinya, namun juga sia-sia. Ketika dia coba menggerakkan kaki dan tubuh, dia hanya sanggup bergerak kaku setengah putaran. Namun itu sudah cukup baginya untuk melihat satu pemandangan aneh yang sulit dipercaya.

"Mahluk aneh di atas semak belukar itu, apakah dia yang membuat tubuhku jadi kaku dingin begini rupa? Apa dia sengaja menyerangku secara diam-diam? Tapi lagaknya mengapa seperti tak acuh saja! Bahkan dia sepertinya tidak mengetahui kehadiranku di sini. Aku kedinginan begini rupa, dia enak saja berbaring berkipas-kipas. Orang berkepandaian tinggi. Tapi tidak pernah kulihat yang seaneh ini..."

BAB ENAM

Diatas semak bertukar sejarak dua belas langkah dari tempatnya berdiri setengah kaku, Purnama melihat seorang pemuda gemuk berkopiah hitam kupluk berbaring dengan mata terpejam sambil berkipas-kipas. Jangankan tubuhnya yang segendut anak kerbau itu, orang biasa saja jika berbaring di atas semak belukar seperti itu, apa lagi sambil berkipas-kipas semak belukarnya pasti rubuh tidak akan mampu menahan berat badan yang ratusan kati!

"Apakah yang aku lihat ini manusia benaran atau dedemit rimba belantara?" pikir Purnama dengan mata mendelik. Lalu dia berteriak memanggil. "Hai! Kau!"

Si gendut di atas samak belukar kelihatan tersentak kaget. Tangan yang mengipas langsung berhenti, tubuh gendut melesat ke udara sampai setinggi setengah tombak. Ketika turun dua kakinya telah menginjak tanah. Ternyata orang ini mengenakan baju terbalik dan celana komprang hitam. Sehelai kain sarung butut tergantung di pundak kiri.

"Hai juga! Siapa kau?!" Balas berseru si gendut yang bukan lain adalah Bujang Gila Tapak Sakti.

"Kau yang siapa?!" balik bertanya Purnama.

Si gendut tertawa, Kopiah kupluk dirapikan. Wajah yang keringatan diusap. "Aku tidak tahu ada orang di sini. Aku lagi enak berkipas-kipas kepanasan. Kau membuat aku kaget! Untung aku tidak sampai kentut atau terkencing! Ha ha ha!"

"Eh... dedemit ini pandai juga bergurau!" kata Purnama dalam hati. "Ha!! Aku tanya kau siapa? Kau Ini manusia atau hantu jejadian?!"

Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak hingga dada dan perutnya yang buncit gembrot bergoyang-goyang. "Seharusnya aku yang bertanya. Kau ini hantu betina, mahluk jejadian atau bidadari yang nyasar ke bumi? Bagaimana ada gadis cantik seperti kau ada di tempat begini rupa?"

"Sudah, jangan banyak bertanya. Terangkan dulu siapa dirimu." Ujar Purnama pula.

"Namaku Bujang Gila Tapak Sakti. Aku kesasar. Habis mengejar orang tapi kehilangan jejak."

"Kau barusan menyerangku dengan hawa dingin. Betul? Tubuhku sampai saat ini masih menggigil dan aku sulit bergerak! Kau punya niat jahat apa padaku?!"

"Hai! Aku tidak punya niat jahat apa-apa Aku tidak menyangka."

"Srott!" Bujang Gila Tapak Sakti buka dan kibaskan kipas kertasnya. Saat itu juga hawa dingin yang menyelimuti sekujur tubuh Purnama lenyap. Hingga Purnama kini bisa bergerak leluasa seperti semula sebaliknya si gendut tampak berkipas-kipas tiada henti. Diperhatikan memang tubuhnya keringatan dan bajunya basah kuyup.

"Kau tadi bilang mengejar orang tapi kehilangan jejak. Kau mengejar siapa? Pasti mengejar perempuan!"

"Betul, kau ini tahu saja" Bujang Gila Tapak Sakti lalu tertawa mengekeh.

"Perempuan tentu ada namanya? Kau tak mau memberi tahu?" Purnama mendesak. Diam-diam dia punya dugaan baru.

"Kalau aku beritahupun kau belum tentu kenal. Buat apa membicarakan orang yang kau tidak kenal?"

"Kalau aku kenal bagaimana? Mungkin aku bisa menolongmu."

"Menolong apa?"

"Memberi tahu kemana larinya orang itu!"

"Eh," Bujang Gila Tapak Sakti angkat kopiah hitamnya ke atas. Garuk-garuk kepala sebentar lalu mengusap muka yang keringatan dan berkata. "Baik, aku akan ceritakan padamu apa yang kejadian."

Lalu keponakan Dewa Ketawa ini menuturkan riwayat pertemuannya dengan Nyi Retno Mantili. "Setelah aku kena gampar Kiai Gede Tapa Pamungkas, muncul seorang gadis cantik berotak tidak waras membawa boneka kayu bernama Kemuning yang diakuinya sebagai anak yang berayah Wiro Sableng."

Walau sudah tahu siapa adanya gadis yang diceritakan si gendut itu tapi Purnama diam saja. terus mendengarkan.

"Pertama kali muncul dia menggodaku. MengataKan aku terong peot..." Bujang Gila Tapak Sakti tertawa mengekeh baru melanjutkan ceritanya. "Aku memanggil gadis itu Sobatku Ayu. Dia mengaku murid Kiai Gede Tapa Pamungkas yang menamparku itu. Rupanya dia juga lagi kesal pada sang Kiai. Dia tidak mau aku antar ke tempat kediaman Kiai. Dia mau ikut aku kemana saja. Dia bercerita kalau Kiai jadi Mak Comblang mau menjodohkan sahabatku Wiro dengan Ratu Duyung yang disebutnya si mata kelereng. Katanya di tempat kediaman Kiai sebelum itu juga ada gadis-gadis yang dibencinya. Ada yang bernama Luhrembulan yang mengaku sudah menikah dengan Wiro. Aku tahu gadis itu bohong..."

"Kebohongan itu sudah berakhir. Aku telah membunuh Luhrembulan."

Bujang Gila Tapak Sakti terkejut. "Apa? Bagaimana kejadiannya? Di mana? Eh, kau ini siapa sebenarnya?"

"Sudah teruskan dulu ceritamu," kata Purnama pula.

"Menurut Sobatku Ayu itu di tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas juga ada seorang gadis bernama Purnama..."

"Aku orangnya!"

Kembali Bujang Gila hentikan cerita karena kaget Kopiah hitam dibenamkan dalam-dalam hingga hampir menutupi mata yang melotot besar. "Sobatku Ayu juga menyebut seorang gadis bernama Nyi Wulas Pikan. Gadis itu sempat bertemu denganku di sungai. Ketika aku tengah memegang Pedang Naga Suci Dua Satu Dua..."

"Senjata sakti itu setahuku adalah milik Kiai Gede Tapa Pamungkas."

"Aku tahu," kata si gendut ialu mulai berkipas-kipas lagi karena kepanasan. "Entah bagaimana kejadiannya rupanya senjata itu adalah hasil curian seseorang yang sempat jatuh ke tangan Nyi Wulas Pikan. Gadis ini hendak merayuku agar mau memberikan ilmu sakti hawa dingin supaya dia bisa memegang pedang."

"Kau berikan ilmu itu padanya? Pasti! Karena aku menduga kau sudah kecantol!"

Bujang Gila Tapak Sakti tertawa dan gelengkan kepala. "Aku tidak tolol. Salain itu Kiai Gede Tapa Pamungkas keburu datang mengambil pedang sementara Nyi Wulas Pikan melarikan diri."

"Jadi gadis itu yang tengah kau kejar?"

"Bukan, bukan dia. Yang aku kejar dan cari adalah Sobatku Ayu yang diculik orang itu."

"Diculik orang? Siapa yang menculik?" tanya Purnama. "Bagaimana kejadiannya?"

Bujang Gila Tapak Sakti lalu menceritakan peristiwa munculnya Demang Cambuk Item, kakek sakti bersenjata cambuk hitam yang dijadikan andalan oleh manusia jahat yang menamakan diri Serikat Momok Tiga Racun yang hendak membedol jantung, hati dan ginjal Sobatku Ayu.

"Perkelahian segera saja pecah. Aku dikeroyok empat orang. Meski aku bisa bertahan dan mungkin berhasil membunuh salah seorang dari mereka namun Sobatku Ayu mereka bawa kabur. Aku tak berhasil mengejar penculik-penculik jahanam itu." Bujang Gila Tapak Sakti tampak sedih.

"Apa kau suka dengan Sobatku Ayu itu?" tanya Purnama.

"Ya, walau sinting tapi dia enak diajak bicara. Ucapannya lucu-lucu membuat aku yang jarang ketawa bisa terpingkal-pingkal." Bujang Gila Tapak Sakti putar-putar peci hitam di atas kepala. Tangan kiri terus berkipas-kipas. Tiba-tiba dia ingat sesuatu. "Eh. tadi kau bilang mau memberi tahu kemana lenyapnya Sobatku Ayu itu."

Purnama lantas saja ingat pesan Jatilandak. "Sobatmu Ayu itu saat ini berada di tangan seorang manusia aneh. Sekujur tubuhnya penuh ditancapi paku baja. Orang-orang memanggilnya Manusia Paku. Mahluk ini membawa sobatmu itu ke tempat kediaman gurunya. Mereka mau menikah di sana!"

"Manusia Paku?" Bujang Gila Tapak Sakti kembali benamkan kopiah hitamnya hingga menutupi mata. "Aku tahu manusia satu itu. Aku juga tahu dimana kediaman gurunya. Di sebuah jurang. Tapi waduh! Jauh sekali dari sini. Di Jawa Tengah. Ah biar! Aku harus mengejar ke sana! Kalau benar Sobatku Ayu mau dinikahi. Kalau dipateni bagaimana?!" (dipateni=dibunuh) Si gendut ini segera putar tubuh.

"Eh, tunggu dulu. Kau mau kemana?" tanya Purnama.

"Mengejar Sobatku Ayu. Mendatangi tempat kediaman guru Manusia Paku."

"Apakah kau tidak kepingin tahu siapa nama Sobatmu Ayu itu? Siapa dia sebenarnya?"

"Aku mau. Katakan padaku. Eh, kau juga jadi sobatku mulai sekarang. Nah, katakan siapa nama Sobatku Ayu itu?"

"Namanya Nyi Retno Mantili. Dia adalah janda mendiang Wira Bumi, Patih Kerajaan yang tewas oleh Wiro sobatmu itu."

"Eh, apa...?! Apa?!" Sepasang mata belok Bujang Gila Tapak Sakti jadi bartambah besar. Mulut ternganga. "Kalau begitu aku harus mencari pemuda sableng itu. Dia pasti tahu kemana Sobatku Ayu dibawa kabur orang."

"Aku sudah bilang kalau Nyi Retno Mantili dibawa ke tempat kediaman gurunya oleh Manusia Paku. Kau tidak percaya ucapanku?"

"Ya, ya. Aku percaya." Jawab Bujang Gila Tapak Sakti.

"Lalu mengapa mau mencari Wiro segala? Lagi pula saat ini mungkin dia masih berada di tempat kediaman Kiai Gede Tapa Pamungkas. Membicarakan persoalan perjodohannya dengan Ratu Duyung."

"Apa?!" Mata pemuda gendut itu kembali membeliak. "Wiro mau kawin dengan Ratu Duyung?! Ha ha ha!"

"Kenapa kau tertawa?" tanya Purnama.

"Tidak. Tidak kenapa-napa! Sobatku aku pergi dulu! Aku mau jalan jauh. Ke Jawa Tengah!"

Si gendut tinggalkan tempat itu. Langkahnya lamban seperti terhuyung. Namun sesaat kemudian sosoknya sudah lenyap dari pemandangan.

Ditinggal sendiri Purnama jadi berpikir. Apakah akan kembali ke puncak Gunung Gede atau mengikuti si gendut tadi. "Kalau dia mau bersahabat denganku, mengapa tidak? Kelihatannya walau gendut dan tolol tapi aku yakin dia bukan manusia sembarangan. Kurasa lebih baik aku mengikuti kemana dia pergi."

Purnama memutuskan untuk mengejar Bujang Gila Tapak Sakti. Sesaat ketika dia hendak meninggalkan tempat itu tiba-tiba telinganya menangkap suara bentakan-bentakan keras.

"Ada orang berkelahi," ucap Purnama. Gadis dari Latanahsiiam ini jadi bimbang. Apakah akan meneruskan niat semula mengejar Bujang Gila Tapak Sakti atau menyelidik ke arah datangnya suara-suara bentakan itu.

Di kejauhan Purnama melihat kiblatan-kiblatan cahaya pukulan sakti disertai suara luruhnya ranting dan dedaunan serta tumbangnya pohon! Pertanda siapapun yang sedang baku hantam mereka adalah orang-orang berkepandaian tinggi. Akhirnya Purnama berkelebat ke kiri, memilih mendatangi tempat perkelahian.

********************

BAB TUJUH

Perkelahian hebat itu terjadi di satu kaki bukit kecil, dekat perkebunan tebu, tak jauh dari sebuah rumah tua tak beratap dan nyaris roboh. Dua kakek nenek menggempur dahsyat perempuan muda berpakaian ringkas warna kelabu dengan serangan-serangan mematikan. Karena perempuan berpakaian kelabu membelakangi, Purnama tidak bisa melihat wajahnya. Namun dari perawakan serta warna pakaian hatinya jadi berdetak. Dugaannya keras. Sementara itu dua kakek nenek memang tidak dikenalnya.

"Tapi aneh. Kalau memang dia mengapa jurus-jurus Ilmu silatnya lain sama sekali?" Purnama bertanya-tanya dalam hati dan terus memperhatikan jalannya perkelahian.

Si nenek yang menyerang adalah seorang yang serba ungu, mulai dari warna pakaian sampai kulit tangan dan kulit muka. Kepala lebar di sebelah bawah, kuncup mengecil di bagian atas. Bibir dower merah laksana dibasahi darah. Mata menggembung bengkak. Dia dikenal dengan nama Nyi Kuncup Jingga, salah seorang pembantu kepercayaan dan tangan kanan Ratu Laut Utara.

Seperti dituturkan sebelumnya Ratu Laut Utara memerintahkan Nyi Kuncup Jingga untuk mencari dan mendapatkan kembali Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru yang dibawa oleh Wira Bumi dan Nyai Tumbal Jiwo. Dalam penglihatan Ratu Laut Utara melalui Dulang Sejuta Mata, ada petunjuk bahwa batu mustika itu sekarang berada di tangan Ratu Duyung jejadian dan saat itu diduga akan datang ke pantai laut utara.

Ratu Laut Utara meminta Nyi Kuncup Jingga agar membawa serta seorang kakek bernama Ki Ngumpil Sebaki alias Si Lidah Hantu. Sebelum mencapai daratan pantai utara. Ratu Laut Utara melalui ucapan jarak jauh memberi tahu kalau Ratu Duyung jejadian saat itu ternyata masih berada di arah timur kaki Gunung Gede. Maka Nyi Kuncup Jingga dan Ki Ngumpil Sebaki diperintahkan langsung agar menuju kawasan Gunung Gede.

Dua tokoh anak buah Ratu Laut Utara itu, dua hari kemudian setelah keberangkatannya dari laut utara dengan petunjuk jarak jauh yang terus diberikan oleh Ratu Laut Utara akhirnya memang berhasil menemukan Ratu Duyung jejadian di kawasan perkebunan tebu, tak jauh dan Desa Karangtengah di arah timur Gunung Gede.

Saat itu menjelang tengah hari tak lama setelah Ratu Duyung jejadian alias Nyai Tumbal Jiwo berhasil mendapatkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru dengan cara mengelabui Wiro. Dengan mengandalkan kesaktian batu mustika itu dia bersiap-siap untuk segera kembali ke Kotaraja di Jawa Tengah. Namun di tengah jalan dia bertemu dengan serombongan pemain tonil atau sandiwara keliling. Salah seorang pemuda gagah yang ada dalam rombongan itu membuat si nenek mesum ini tertarik kepincut dan otak kotor bermain di hati serta benaknya.

"Wiro yang aku harapkan bakal jadi kekasih pemuas diriku tak kunjung kuketahui berada dimana sekarang kebetulan ada rejeki besar. Sayang sekali kalau disia-siakan." Begitu Nyai Tumbal Jiwo membatin dalam hati.

Saat itu Nyai Tumbal Jiwo yang masih menampilkan diri sebagai Ratu Duyung tidak pernah menyadari kalau kecerobohannya itu kelak harus di bayar dengan sangat mahal. Kalau saja dia langsung melesat ke Kotaraja, malapetaka tidak akan terjadi atas dirinya.

Rombongan sandiwara keliling "Jaka Lelana" terdiri dari dua belas pemuda dan tiga orang gadis cantik. Mereka menunggang kuda dan membawa tiga buah gerobak besar berisi alat alat tetabuhan dan perlengkapan sandiwara lainnya. Rombongan serta merta berhenti ketika mereka melihat seorang gadis berpakaian kelabu, berambut hitam sepinggang, wajah cantik dihias sapasang bola mata biru berdiri dipinggir jalan. Empat pemuda segera turun dari kuda.

"Raden Ayu dari mana berjalan seorang diri ditempat sepi. Hendak menuju kemana gerangan?"

Seorang pemuda menyapa sementara tiga temannya memperhatikan dengan penuh takjub. Seumur hidup tidak pernah mereka melihat seorang dara begini cantik dan memiliki sepasang mata biru. Sendirian pula di jalan sepi!

"Ah, kalian pemuda baik semua. Menyapa aku yang sedang kebingungan karena tersesat dalam perjalanan. Aku bermaksud pergi ke Cilarata. Tapi saat ini aku tidak tahu berada dimana." Menerangkan Ratu Duyung jejadian sambil menebar senyum dan layangkan kerlingan mata menggoda.

"Kami dalam perjalanan ke timur dan akan melewati Cilarata. Kalau Raden Ayu mau, kami Kakang-Kakang semua pasti akan memberikan tumpangan." Kata pemuda yang pertama kali menyapa.

"Baik sekali kalian semua. Aku sangat berterima kasih. Tapi sebelum ikut bersama kalian, apakah aku boleh bicara dulu dengan pemuda yang berpakaian hitam berikat kepala merah yang menunggang kuda coklat di sebelah sana itu?" Ratu Duyung Jejadian naikkan alis, goyangkan kepala ke arah pemuda yang duduk tenang-tenang saja dia atas kuda dekat gerobak pada barisan kedua.

Empat pemuda tampak kecewa. Namun mereka tidak bisa berbuat apa karena pemuda yang dimaksud adalah pimpinan mereka. Salah seorang dari empat pemuda segera menemui sang pimpinan.

"Raden Gumilar, gadis cantik di pinggir jalan itu ingin bicara dengan Raden."

"Hemm.... Begitu?" ujar Gumilar Kartasuwita sambil memandang ke arah depan. Saat itu Ratu Duyung jejadian telah melangkah dan agaknya sengaja menunggu di balik sebuah pohon besar. Pemuda pimpinan rombongan sandiwara keliling ini segera menjalankan kudanya ke balik pohon. Di balik pohon Ratu Duyung Jejadian menyambut dengan senyum manis.

"Maafkan kalau diriku menghambat perjalananmu bersama rombongan."

"Tidak apa-apa. Den Ayu. Saya senang bisa berkenalan denganmu. Ada apakah?" Tanya Gumilar Kartasuwita.

"Aku kira kau tidak bersedia menemui diriku yang buruk ini."

"Jangan merendah begitu Den Ayu. Kami semua heran melihat ada seorang gadis cantik seperti Den Ayu berada seorang diri di jalan sepi ini. Den Ayu tahu, kawasan ini sering menjadi tempat lewat para begal kejam. Mereka bukan cuma merampok harta benda orang tapi juga tak segan-segan merampas nyawa korbannya."

"Kalau pemuda gagah seperti mu ada bersamaku siapa yang takut pada segala macam begal dan rampok?" kata Ratu Duyung jejadian pula yang membuat dada Gumilar Kartasuwita jadi berbunga-bunga.

"Den Ayu, terus terang saya belum pernah menemui gadis secantik Den Ayu ini. Apa lagi yang memiliki sepasang mata berwarna biru..."

"Kau pemuda gagah yang jujur." Kata Ratu Duyung jejadian. "Dengar, aku ingin menyampaikan sesuatu. Aku tak ingin ada orang lain mendengar. Maukah kau turun dari kudamu?" Ratu Duyung berucap manja sambil tidak lupa melayangkan senyum dan kerling mata memikat.

Gumilar Kartasuwita melompat turun dari kuda coklat. Sementara anggota rombongan menunggu seperti tak sabar. Beberapa pemuda bermaksud hendak mengintip apa yang terjadi di balik pohon besar namun beberapa orang lainnya melarang. Tak lama kemudian Gumilar Kartasuwita keluar dari balik pohon.

"Kalian semua!" serunya. "Lanjutkan perjalanan! Tunggu aku di Cilarata. Aku akan membicarakan sesuatu dengan sahabat baru ini. Dia bermaksud mau menjadi anggota sandiwara keliling Jaka Lelana."

Mendengar ucapan sang pimpinan semua anggota rombongan sandiwara keliling bersorak gembira. Lalu mereka segera tinggalkan tempat itu.

Di balik pohon, Gumilar Kartasuwita berkata. "Den Ayu, kalau Den Ayu memang suka pada saya dan ingin kita melakukan hal itu, kita harus mencari tempat yang cocok."

"Kau tentu lebih tahu keadaan di sini. Terserah kau mau kemana, aku mengikut saja," kata Ratu Duyung pula lalu sandarkan wajah ke dada bidang si pemuda, membuat darah Gumilar Kartasuwita jadi bergelora.

Sambil membelai rambut hitam panjang si gadis pemimpin rombongan sandiwara keliling Jaka Lelana ini berbisik. "Di perkebunan tebu sana ada sebuah pondok. Kalau Den Ayu suka..."

"Tentu saja aku suka!" kata Ratu Duyung jejadian sambil tertawa manja "Rasanya aku sudah tidak tahan. Apakah aku mulai saja membuka pakaianku sekarang?" Ratu Duyung Jejadian singkapkan pakaiannya di sebelah atas hingga dadanya yang busung tersingkap putih.

"Jangan, nanti di pondok itu saja." Jawab Gumilar Kartasuwita yang jadi gugup melihat keelokan dada si gadis yang begitu berani.

Ratu Duyung tertawa panjang. Tarik lengan si pemuda. Namun sebelum keduanya sempat memasuki deretan pohon tebu di perkebunan tiba-tiba dua orang berkelebat. Salah seorang membentak.

"Jangan ada yang berani bergerak!" Suara laki-laki.

Orang kedua seorang perempuan susul menghardik. "Ratu Duyung! Serakan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru padaku!"

Ratu Duyung Jejadian hentikan langkah, juga pemuda di sebelahnya. Dua kakek nenek berdiri di hadapannya. Ratu Duyung jejadian tidak mengenali siapa adanya si kakek namun si nenek tidak asing lagi. Apa lagi barusan dia menyebut-nyebut Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru, membuat wajah Ratu Duyung jejadian jadi berubah.

"Den Ayu, siapa dua orang tua ini? Mengapa mereka menghadang kita?" bisik Gumilar Kartasuwita.

Sebelum Ratu Duyung jejadian sempat menjawab si nenek sudah lebih dulu membuka mulut. "Pemuda keren, aku tahu kau tidak ada sangkut paut dengan urusan kami. Karenanya aku masih memberi hati. Lekas tinggalkan tempat Ini!" Memberi ingat si nenek yang adalah Nyi Kuncup Jingga pembantu utama Ratu Laut Utara.

"Kurasa Den Ayu ini tidak punya kesalahan apa-apa pada nenek berdua. Aku mohon..."

"Diam! Tutup mulutmu!" bentak Nyi Kuncup Jingga.

Ki Ngumpil Sebaki berkata. "Anak muda kau tak tahu siapa adanya gadis ini. Pergilah demi keselamatanmu."

"Kalian yang harus pergi!" jawab Gumilar Kartasuwita.

"Kalau begitu ya weeiis! Sudah nasibmu anak muda! Hik hik hik!" kata Nyi Kuncup Jingga sembari tutup ucapannya dengan tawa panjang. Dia memberi tanda pada kakek di sampingnya.

Ki Ngumpil Sebaki menyeringai. Begitu seringai lenyap mulut dibuka, dari tenggorokan keluar suara menggembor keras. Bersamaan dengan itu dari mulut yang terbuka melesat lidah merah panjang. Laksana cambuk raksasa benda Ini melesat kedepan, menjirat leher Gumilar Kartasuwita. Lidah Hantu!

"Kreekk" Tulang leher pimpinan sandiwara keliling Jaka Lelana ini berderak hancur. Tubuhnya kemudian terangkat ke atas lalu dibanting ke bawah, kepala lebih dulu.

"Braakk!"bKini giliran kepala si pemuda yang remuk menghantam tanah. Gumilar Kartasuwita terkapar tak bernyawa lagi. Sekujur tubuh berubah menjadi merah dan kepulkan asap. Sungguh mengerikan!

"Wuuuttt!" Benda panjang merah yang adalah lidah melesat masuk kembali ke dalam mulut. Ratu Duyung jejadian menjerit marah.

********************

BAB DELAPAN

Nyi Kuncup Jingga tertawa mengekeh. "Ratu Duyung, apa yang kau saksikan cukup menjadi peringatan. Sekarang apakah kau masih tidak mau menyerahkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru?"

"Tua bangka keparat! Apa salah pemuda itu! Kau mampus lebih dulu!" teriak Ratu Duyung jejadian lalu lima tangannya dijentikkan ke arah Nyi Kuncup Jingga yang kembali tertawa bergelak.

Lima larik sinar merah mendera udara, melesat ke arah lima bagian tubuh Nyi Kuncup Jingga. Itulah pukulan Lima Jari Akhirat.

"Nyi Kuncup awas!" teriak Ki Ngumpil Besaki seraya dengan cepat mendorong si nenek ke samping. Lalu sambil menghindar kakek ini balas menghantam dengan pukulan sakti bernama Perangkap Raga Penjerat Jiwa.

Pukulan sakti ini merupakan satu serangan untuk melumpuhkan dan meringkus lawan. Karena begitu larikan sinar hitam melesat keluar dari tangan si kakek, sinar langsung menebar membentuk jaring samar. Sekali sosok Ratu Duyung jejadian masuk terperangkap ke dalam jaring, ilmu kepandaian apapun yang dimiliki tidak akan memungkinkannya lolos!

Lima larik sinar merah pukulan sakti Lima Jari Akhirat saling hantam di udara dengan jaring hitam Perangkap Raga Penjerat Jiwa. Dentuman dahsyat membuat tanah bergetar hebat. Tiga orang yang ada di tempat itu sama-sama terhuyung sementara pecahan sinar hitam dan merah bertabur melabrak pohon. Ranting dan dedaunan hangus, batang pohon berderak patah lalu tumbang dengan suara bergemuruh.

Mereka yang bertarung sama-sama tercekat. Ki Ngumpil Sebaki baru sekali ini mengalami ilmu kesaktiannya yang bernama Perangkap Raga Penjerat Jiwa tidak mampu meringkus musuh. Sebaiknya Ratu Duyung jejadian alias Nyai Tumbal Jiwo terperangah menyaksikan Pukulan Lima Jari Akhirat tidak dapat menyentuh sosok lawan! Sementara Nyi Kuncup Jingga tertegun dengan wajah berubah pucat!

Gagal menghantam lawan dengan Pukulan lima jari Akhirat Ratu Duyung jejadian membuat gerakan berputar sambil dua tangan diangkat siap melepas pukulan Angin Roh Pengantar Kematian. Ketika berputar itulah Purnama yang sudah berada di tempat itu dapat melihat jelas wajah Ratu Duyung jejadian.

"Memang dia..." ucap Purnama dalam hati. Namun matanya yang tajam dan naluri yang kuat membuat dia merasakan satu kelainan. "Aku harus yakin dulu. Salah menduga bisa menimbulkan malapetaka besar! Jurus ilmu silatnya berbeda. Pukulan saktinya Juga lain. Lalu ucapan kasar yang tidak bisa dikeluarkan Ratu Duyung..."

Gadis gadis dari alam 1200 tahun silam ini lalu menengadah, menyedot udara dengan kerahkan hawa sakti di Jalan pernafasannya. Dia menerapkan ilmu yang disebut Nafas Sepanjang Badan. Dengan ilmu ini Purnama segera mengetahui bahwa gadis bermata biru berpakaian ringkas kelabu itu bukanlah Ratu Duyung yang asli.

"Dia mahluk dari alam roh! Dua orang tua itu sebenarnya dalam keadaan bahaya. Mereka tidak mungkin mampu membunuhnya kecuali..."

Saat itu Ki Ngumpil Sebaki mengangkat tangan kanannya dan berseru. "Aku bicara untuk terakhir kali. Kami tahu siapa kau sebenarnya. Kau bukan Ratu Duyung asli. Kau mahluk Jejadian yang sengaja meniru menyamar Jadi Ratu Duyung! Kami tahu kau membekal Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Batu itu bukan milikmu! Sesuai perjanjian darah dan nyawa kami yang berhak menguasainya. Serahkan pada kami dan kau boleh pergi tanpa kurang suatu apa!"

"Ah, kakek nenek itu sudah tahu siapa adanya orang yang mereka hadapi." Kata Purnama dalam hati.b"Yang jadi pertanyaan bagaimana batu sakti milik Nyai Roro Kidul bisa berada di tangan Ratu Duyung jejadian. Bukankah terakhir kali ada pada Wiro?"

Mendengar ucapan Ki Ngumpil Sebaki Ratu Duyung jejadian tertawa panjang. "Aku tahu nyali kalian sudah mulai lumer. Tadinya dengan sekali gebrak mengira bisa mempecundangi diriku lalu merampas batu mustika! Sekarang tahu kehebatan diriku kalian mencoba membujuk! Baik. Aku akan berikan apa yang kalian minta. Tapi katakan dulu siapa kalian adanya!"

Dua kakek nenek saling pandang lalu sama gelengkan kepala. "Siapa kami tidak penting. Yang penting cepat serahkan apa yang kami minta! Atau kami akan mengirimmu ke alam gelap-gulita untuk selama-lamanya!"

Ratu Duyung jejadian alias Nyai Tumbal Jiwo tertawa melengking. Dua tangan yang sejak tadi diangkat dipukulkan ke arah sepasang lawan melipat pukulan sakti bernama Angin Roh Pengantar Kematian.

Ki Ngumpil Sebaki dan Nyi Kuncup Jingga terkesiap kaget begitu mendengar dari arah depan dua suara menggemuruh dashyat mendatangi laksana dua batu raksasa bergelinding siap menggilas melumat mereka.

"Ki Ngumpil, lekas keluarkan pukulan Gelombang Laut Utara!" teriak Nyi Kuncup Jingga.

Dua kakek nenek membungkuk sambil dua tangan diputar-putar ke depan. Saat itu juga suara gemuruh serangan Ratu Duyung Jejadian ditandingi dengan menggelegarnya suara deru dahsyat laksana gelombang raksasa bergulung menerpa. Apapun yang ada di hadapannya akan hancur luluh!

Ratu Duyung Jejadian berteriak kaget ketika di depannya dia melihat tempat itu telah berubah menjadi lautan luas dan empat gelombang besar bergulung ke arahnya setelah lebih dulu melumat pukulan sakti Angin Roh Pengantar Kematian!

"Tua bangka jahanam! Kalian kira bisa mengalahkan diriku!"

Teriak Ratu Duyung jejadian marah. Sambil melompat setinggi dua tombak ke udara dia menyembur. Saat itu Juga asap hitam menggebubu ke arah Ki Ngumpil Sebaki dan Nyi Kuncup Jingga. Selagi dua orang tua itu kelagapan dan merasa perih mata masing-masing akibat serangan Asap Roh Mencari Pahala yang tadi disemburkan lawan. Ratu Duyung Jejadian melesat turun sambil kirim dua tendangan dengan kaki kanan dan kaki kiri dalam jurus atau tendangan maut bernama Kaki Roh Menjebol Karang.

Dua pembantu utama kepercayaan Ratu Laut Utara terbeliak kaget ketika merasa kepulan asap hitami membuat kepala mereka berdenyut sakit laksana mau meledak dan sepasang mata perih luar biasa seperti akan beriasatan keluar dari rongganya. Dalam keadaan seperti itu mereka masih mampu melihat dua kaki tiba-tiba menderu dahsyat ke arah jidat masing-masing!

Nyi Kuncup Jingga berteriak pasrah karena memang tidak punya kesempatan untuk selamatkan diri. Ki Ngumpil Sebaki meski mendelik kaget masih bisa pergunakan dua tangan berusaha menangkis. Namun apa lacur!

"Kraakk!" Lengan kiri Ki Ngumpil Sebaki patah. Si kakek menjerit keras. Tendangan lawan yang tak sanggup ditangkis terus menggeledek ke arah keningnya!

Di kejauhan, Ratu Laut Utara yang terus menerus memantau keberadaan dan keadaan kedua pembantu utamanya itu terkejut ketika dia merasakan bahwa Ki Ngumpil Sebaki dan Nyi Kuncup Jingga berada dalam malapetaka besar yang bisa merenggut nyawa mereka. Tidak tunggu lebih lama Ratu Laut Utara melesat ke permukaan samudra. Dua tangan kemudian ditepukkan ke atas air laut mengirim ilmu jarak jauh untuk selamatkan dua kakek nenek. Namun mendadak usahanya untuk menolong dua pembantu itu dibatalkan. Dia melihat dua cahaya biru telah lebih dulu melindungi Ki Ngumpil Sebaki dan Nyi Kuncup Jingga.

"Siapa orang sakti yang menolong dua anak buahku?" Sang Ratu bertanya dalam hati. "Aku berhutang besar padanya. Lalu... wuttt!

Dia menyusup masuk kembali ke dalam dasar samudera kawasan laut utara! Langsung menuju ruang rahasia tempat dia biasa melakukan samadi di atas sebuah batu berwarna putih tanpa selembar benangpun menutupi auratnya. Selarik cahaya keunguan tiba-tiba muncul menyelubungi sekujur tubuh sang Ratu. Namun hanya satu kejapan, cahaya Itu mendadak lenyap. Ratu Laut Utara tersentak dan buka dua mata yang terpejam.

"Aneh, mengapa aku melihat bayangan pendekar itu. Tapi dia tidak sendirian. Jalur warna menandakan mereka tengah menuju ke arah utara. Jika mereka mengarah ke sini dalam waktu beberapa hari pasti akan sampai. Aku Juga melihat beberapa titik samar begemerlap. Jauh di arah selatan dan timur. Siapa lagi gerangan yang akan mendatangi kawasan laut utara Ini? Apakah mereka datang membawa kebaikan atau mencari mati? Aku mencium bau air laut. Aku mendengar suara gelombang membahana tiada henti dan tiupan angin seperti badai mengamuk. Firasat mengatakan ada bahaya bakal datang."

********************

BAB SEMBILAN

Hanya sekejapan mata lagi kepala Nyi Kuncup Jingga dan Ki Ngumpil Besaki akan hancur dimakan tendangan Kaki Roh Menjebol Karang dan keduanya bakal menemui kematian secara mengerikan, tiba-tiba dua rangkum cahaya biru begemerlap menyelubungi tubuh dua kakek nenek ini mulai dari kepala sampai ujung kaki.

"Dess! Desss!"

Dua kaki Ratu Duyung jejadian laksana menghantam dinding karet. Mahluk alam roh ini terpekik. Tubuh terpental. Setelah membuat jungkiran dua kali di udara baru dia berhasil jejakkan kaki di tanah. Tubuh bergetar goyang. Dua kaki yang tadi dipakai menendang tampak bengkak membiru sampai pergelangan.

Sementara itu dua kakak nenek dengan muka pucat saling pandang Nyi Kuncup Jingga berkata. "Ki Ngumpil, ada orang menyelamatkan kita."

"Aku tahu, aku merasa bersyukur." Jawab Ki Ngumpil Sebaki. Dua orang tua ini memandang berkeliling.

"Jahanam kurang ajar! Siapa berani mati mencampuri urusan ku!" teriak Ratu Duyung Jejadian. Cepat dia kerahkan hawa sakti ke kaki yang bengkak lalu salurkan tenaga dalam pada tangan kiri kanan.

Saat itu tiba-tiba berkelebat satu bayangan biru disusui tawa panjang, ditutup dengan ucapan lantang. "Ratu Duyung tidak pernah bicara kasar dan kotor. Mahluk alam roh! Aku tahu siapa kau! Kembalikan benda yang kau curi jika itu memang milik dua kakek nenek ini!"

Melihat siapa yang berdiri beberapa langkah di hadapannya, berubahlah paras Ratu Duyung jejadian.b"Jahanam ini lagi! Aku tidak mungkin melawannya. Dia mahluk alam roh tiga tingkat di atas kekuatanku! Lebih baik aku segera angkat kaki dari tempat ini!"

Ratu Duyung jejadian angkat tangan kiri. "Jika kau meminta benda yang diinginkan dua kakek nenek itu, apa sulitnya menyerahkan. Tapi ini berarti perkara habis sampai di sini!"

Habis berkata begitu Ratu Duyung jejadian usap tangan kiri yang tadi diangkat ke atas dada. Satu cahaya biru begemerlap. Sebuah benda berbentuk bulat lonjong sebesar telur ayam tergenggam di tangan kiri.

"Kalian inginkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru?! Ini ambillah!"

Ratu Duyung jejadian lemparkan benda bercahaya biru di tangan kirinya ke arah Ki Ngumpil Sebaki. Purnama memperhatikan. Di balik cahaya biru itu terlihat selarik sinar hijau redup. Cepat-cepat gadis dari alam 1200 tahun silam Ini berteriak.

"Tidak perlu diambil! Itu batu mustika palsu. Yang asli masih ada dalam tubuhnya!"

Saat itu Ratu Duyung jejadian telah memutar diri dan berkelebat cepat hendak tinggalkan tempat itu. Namun gerakannya segera di hadang oleh Purnama.

"Aku pernah mencabik-cabik tubuhmu! Kalau sekali ini aku lakukan lagi kau akan tenggelam selama-lamanya di alam roh! Setahuku batu mustika sakti Itu adalah milik Ratu Laut Selatan. Kau mau menyerahkan batu mustika asli padaku atau memilih mati!"

Ratu Duyung Jejadian menggembor marah. "Bangsat perempuan! Aku memilih mampus bersamamu!" Teriaknya. Lalu dua tangan secara berbarengan dihantamkan ke arah Purnama, lancarkan serangan Telapak Roh.

Dua larik cahaya merah berkiblat. Dua tangan mendadak berubah panjang. Dua telapak siap mendarat di dada Purnama. Jika sampai mengenal sasaran sekujur tubuh Pumama akan tenggelam dalam racun jahat yang sulit diobati. Wiro adalah salah satu yang pernah menjadi korban pukulan ganas ini. Namun kali ini serangan yang dilancarkan Jauh lebih ganas.

(Baca serial Wiro Sableng berjudul Bayi Satu Suro)

Saat itu Juga kekuatan yang melindungi tubuh Purnama pancarkan cahaya biru begemertap. Begitu dua bahunya digoyang, cahaya biru melesat keluar dari tubuh, menyambar ke arah Ratu Duyung Jejadian. Yang diserang menangkis dengan semburan hawa sakti namun tidak ada gunanya. Karena mendahului gerakan lawan Purnama telah melepas pukulan bernama Menahan Raga Menyerap Tenaga. Inilah Ilmu totokan Jarak Jauh alam gaib 1200 tahun silam. Saat Itu Juga sekujur tubuh Ratu Duyung Jejadian mendadak sontak menjadi kaku tak bisa bergerak tak mampu bersuara.

"Ha hu ha hu!"

Saat itu Purnama kembali lepaskan serangan berikutnya yang merupakan serangan pamungkas yaitu Kutuk Alam Gaib Lapis Ke Tujuh. Boleh dikatakan selama ini Purnama tidak pernah mengeluarkan Ilmu pukulan sakti itu. Kecuali ketika dulu dia menghajar Nyai Tumbal Jiwo hingga tubuhnya tercabik-cabik dan membuat guru Patih Wira Bumi itu tidak mampu muncul memperlihatkan sosok nyata selama puluhan hari. Kini Purnama kembali menyerang dengan pukulan tersebut dan sekail Ini tidak ada ampun lagi bagi mahluk alam roh yang tadinya bersarang di sebuah makam di pekuburan Kebonagung di luar Kotaraja itu.

Begitu pukulan Kutuk Alam Gaib Lapis Ke Tujuh menghantam tubuhnya, cahaya merah berkiblat. Tubuh Ratu Duyung Jejadian terbongkar hancur tercabik-cabik. Satu lolongan menggidikkan laksana keluar dari jurang dalam menggelegar dan bergaung di tempat itu. itulah lolong akhir kehidupan di alam nyata. Di saat hampir bersamaan di kejauhan terdengar suara lolongan lain ramai sekali. Itu adalah suara lolongan sekian banyak mahluk menyambut kedatangan roh yang baru dihajar dan kembali masuk ka alam gaib.

Anehnya tubuh Ratu Duyung Jejadian yang tercabik-cabik sesaat kemudian menyatu kembali, membentuk ujud sosok seorang nenek angker yang serba merah dengan dada geroak bergelimang darah.

"Nyi Tumbal Jiwo!" ucap Nyi Kuncup Jingga setengah berteriak.

Dari dada geroak Nyi Tumbal Jiwo meluncur Jatuh ke tanah sebuah benda biru lonjong sebesar telur ayam. Purnama bermaksud mengambil benda itu namun Nyi Kuncup Jingga bertindak menyambar lebih cepat. Sosok Nyi Tumbal Jiwo kemudian seperti lilin lumer, dan lenyap dari pandangan mata. Di tempat itu yang tinggal hanyalah tebaran bau busuk yang membuat semua orang terasa mau muntah.

Tiba-tiba baik Nyi Kuncup Jingga maupun Ki Ngumpil Sebaki mendengar suara mengiang di telinga mereka Ratu Laut Utara mengirimkan ucapan dari jauh.

"Jatuhkan diri kalian. Berlutut. Dan kau Nyi Kuncup Jingga terapkan ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati. Cium kakinya. Cium kakinya! Jangan serahkan batu mustika! Kalian harus bisa membawanya ke hadapanku! Harus!"

Dua kakak nenek saling pandang seketika, sama memberi isyarat dengan kedipan mata lalu melompat ke hadapan Purnama, jatuhkan diri berlutut. Nyi Kuncup Jingga keluarkan ucapan.

"Gadis cantik. Kenalpun kami belum. Namun kau bukan saja telah menyelamatkan jiwa kami berdua, malah juga telah menolong kami mendapatkan batu sakti itu kembali."

Purnama membuka mulut. "Setahuku batu itu bukankah milik..."

Belum selesai Purnama berucap Nyi Kuncup Jingga telah jatuhkan diri, sujud di tanah lalu mencium kaki kanan gadis cantik dari Latanahsilam itu.

"Kami berdua, aku Nyi Kuncup Jingga dan Ki Ngumpil Sebaki sebagai tanda terima kasih memperhambakan diri padamu. Kau adalah Junjungan kami. Kami mohon dengan sangat siapapun Raden Ayu adanya sudilah mengikuti kami ke tempat kediaman kami di laut utara. Kami akan memperkenalkan Den Ayu dengan pimpinan kami Ratu Laut Utara..."

Purnama kerenyitkan kening. "Ratu Laut Utara?"

"Betul Junjungan! Jika beliau berkenan Junjungan akan diangkat menjadi pembantu utama. Kami berdua akan sangat sedih kalau Den Ayu menolak permintaan kami."

Sambil mencium kaki Pumama seperti yang diperintahkan suara mengiang, Nyi Kuncup Jingga kerahkan Ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati. Saat itu juga satu hawa sejuk memasuki kaki kanan Pumama, menjalar ke seluruh tubuhnya sampai ke atas kepala. Gadis ini merasakan satu kelegaan luar biasa. Dia tidak menyadari kalau saat itu ada satu kekuatan gaib yang datang dari dasar laut utara perlahan-lahan mulai menguasai dirinya.

"Aku tak mungkin ikut kalian. Aku hanya ingin batu itu..."

"Raden Ayu, saat ini kau adalah Junjungan kami. Apa katamu akan kami turuti. Namun sekali ini jangan menolak, ikutlah bersama kami ke laut utara. Kau akan melihat satu kehidupan lain yang rasanya akan jauh lebih baik bagi diri Den Ayu."

Nyi Kuncup Jingga bicara sambil hidung masih mencium kaki kanan Purnama sementara tangan kanannya mengelus-elus betis putih bagus gadis dari Latanahsilam itu. Seperti diketahui nenek ini mempunyai kelainan yaitu hanya suka pada insan sejenis. Sementara itu Ki Ngumpil Sebaki pergunakan kesempatan merobek salah satu ujung pakaiannya. Dengan sobekan ini dia ikat dan gulung lengan kirinya yang patah lalu dia membuat totokan di beberapa tempat hingga rasa sakit jauh berkurang.

Pumama tersenyum, ilmu yang diterapkan si nenek telah bekerja. Dipegangnya bahu Nyi Kuncup Jingga. "Nek, bangunlah. Tak pantas kau bersujud dan mencium kakiku. Aku akan memenuhi permintaan kalian. Sebenarnya aku masih banyak urusan. Namun tidak ada salahnya mengikuti kalian barang dua tiga hari..."

Mendengar ucapan Purnama Nyi Kuncup Jingga segera usapkan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru ke dadanya. Saat itu juga batu sakti tersebut masuk ke dalam tubuhnya. Lalu dengan cepat si nenek bangkit berdiri diikuti Ki Ngumpil Sebaki. Keduanya berdiri dan membungkuk berulang kali sambil mengucapkan terima kasih tiada henti.

"Terima kasih Junjungan.Terima kasih!"

Nyi Kuncup Jingga pegang lengan kanan Ki Ngumpil Sebaki, sementara tangan yang lain memegang tangan kiri Purnama. Dengan mengandalkan kesaktian Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru dia membawa kedua orang itu melesat ke udara dan lenyap dari pemandangan.

Bersamaan dengan melesatnya ke tiga orang itu, muncul si gendut Bujang Gila Tapak Sakti. Pemuda ini banting-banting kaki hingga tanah bergetar. "Aku terlambat! Sial! Aku terlambat!" Sambil berkipas-kipas keponakan Dewa Ketawa ini terus mengomel. "Edan, aneh! Mengapa Purnama mau-mauan ikut ke dua kakek nenek itu? Padahal Jelas-jelas mereka bilang mau membawanya ke utara menemui Ratu Laut Utara! Ratu golongan hitam pengacau rimba persilatan! Kalau saja tadi aku tidak nyelonong pergi meninggalkannya..."

Seperti diceritakan sebelumnya setelah bertemu Purnama, karena ingin melanjutkan mencari dan mengejar Nyi Retno Mantili, Bujang Gila Tapak Sakti meninggalkan Purnama begitu aaja. Namun setelah cukup jauh berlari pemuda ini berpikir-pikir. Mencari Nyi Retno Mantili belum tentu ketemu. Lebih baik dia kembali ke tempat Purnama.

"Aku tak mau kehilangan dua burung sekaligus!" ucap si gendut pula.

Namun sayang, ketika kembali ke tempat dia meninggalkan Pumama, gadis cantik itu telah pergi bersama Nyi Kuncup Jingga dan Ki Ngumpil Sebaki. "Sial! Aku benar-benar kehilangan dua burung sekaligus!" Bujang Gila Tapak Sakti putar-putar kopiah kupiuk di atas kepalanya.

Tiba-tiba tempat itu dibuncah oleh berisik suara kerontangan kaleng. Bujang Gila Tapak Sakti terlonjak kaget dan buru-buru tutup dua telinganya yang terasa sakit.

"Setan alas! Orang gila dari mana membuatku kaget tak karuan!"

Terdengar suara tawa mengekeh. "Untung kau hanya kehilangan dua burung di udara. Bagaimana kalau burungmu sendiri ikutan hilang? Ha ha ha! Tapi coba kau periksa dulu! Jangan-jangan burungmu yang di dalam celana itu juga memang sudah minggat kabur! Ha ha ha!"

Suara tawa dibarengi suara kerontang keras membuat Bujang Gila Tapak Sakti memaki panjang pendek dan kembali menutup kedua telinga. Walau memaki dan merasa sakit pada dua telinga namun si gendut ini turunkan dua tangan, menarik bagian depan celana gombrongnya, delikkan mata memperhatikan. Dia merasa lega lalu berteriak.

"Masih ada! Burungku masih ada! Tidak minggat! Tidak kabur! Ha ha ha!" Mendadak Bujang Gila Tapak Sakti hentikan ketawa. "Siapa yang barusan bicara? Siapa yang barusan membuat suara berisik?! Setan rimba belantara! Jangan berani mempermainkan diriku!"

Bujang Gila Tapak Sakti angkat tangan kanannya ke udara lalu diputar-putar tiada henti. Putaran tangan menimbulkan suara berdesing. Saat itu juga udara mendadak berubah dingin, makin dingin dan makin dingin.

"Aku mau lihat. Masakan tidak mau unjukkan tampang!"

Tak lama kemudian terdengar suara orang menggigil. Lalu suara berisik seperti tadi. Hanya saja kali ini lebih perlahan lalu lenyap dan kembali muncul suara menggigil tadi. Dari atas pohon di bawah mana Bujang Gila Tapak Sakti berdiri sambil terus mengebutkan tangan tiba-tiba mengucur cairan kuning hangat, tepat mengenai pundak kanan pemuda gendut.

"Heh... apa ini? Mengapa ada cairan yang mengucur dari atas?"

Bujang Gila pergunakan tangan kiri untuk mengusap cairan. "Cairan hangat..."

Perlahan-lahan si gendut dekatkan tangan kirinya ke hidung. Begitu dia mencium bau cairan hangat yang membasahi tangan kirinya maka meledaklah marahnya.

"Jahanam sial kurang ajar! Siapa berani mengencingiku!"

"Gendut! Salahmu sendiri. Udara dingin membuat aku tidak tahan kencing! Ha ha ha! Kalau kau tidak menghentikan gerakan tangan kananmu, aku akan terus mengguyurmu dengan air kencing! "Ha ha ha!"

Bujang Gila Tapak Sakti masih terus memaki tapi tangan kanan berhenti diputar lalu perlahan-lahan diturunkan sambil kepala mendongak ke atas pohon. Di saat yang sama dari atas pohon melayang turun sesosok tubuh dan di lain kejap sudah berdiri di hadapan Bujang Gila Tapak Sakti.

Ternyata dia adalah seorang kakek mengenakan caping bambu lebar. Pakaian dekil rombeng banyak tambalan. Tangan kiri memegang tongkat kayu butut sekaligus memegang buntalan. Tangan kanan memegang sebuah kaleng rombeng yang diisi batu. Orang tua ini sesaat masih keluarkan suara menggigil kedinginan. Namun bagitu udara dingin lenyap dia tertawa mengekeh dan karontangkan kembali kaleng rombeng di tangan kanannya!

Si gendut berteriak marah. Telinganya seperti mau meledak! "Tua bangka keparat! Kau mau membunuhku dengan ilmu setan kaleng rombeng"

Mendadak Bujang Gila Tapak Sakti hentikan makian. Matanya yang belok tampak tambah besar. Dia membungkuk sedikit, mengintip ke bawah caping. Dia kini melihat jelas wajah si orang tua. Dan dua mata putih buta!

"Eh, orang tua kurang ajar! Kau... kau bukankah kau manusia jahil yang dijuluki Kakek Segala Tahu?"

Si kakek tertawa gelak-gelak. "Percuma matamu belok besar kalau tidak mengenal diriku! Ha ha ha!"

********************

BAB SEPULUH

Kita ikuti kembali perjalanan Pendekar 212 Wiro Sableng bersama Ratu Duyung yang tengah mengejar si pencuri Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru yang tak lain adalah Nyai Tumbal Jiwo alias Nyi Wulas Pikan yang menyaru menjadi Ratu Duyung palsu.

Dari Desa Jatiwalu mereka bergerak ke arah timur. Ilmu lari serta ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi yang mereka miliki sangat menolong. Bilamana bosan melakukan perjalanan di darat mereka melanjutkan dengan menyewa perahu mengarungi beberapa sungai hingga akhirnya sampai di muara Kali Comal. Dari sini keduanya bergerak ke arah timur menyusuri pesisir pantai utara hingga akhirnya sampai di satu teluk kecil dekat sebuah desa bernama Bonang yang terletak di barat laut Demak.

Sepanjang perjalanan Ratu Duyung tiada henti memeriksa lewat cermin sakti. Adanya hubungan gaib antara sang Ratu dengan batu mustika sakti yang dicuri membuat gadis bermata biru ini mampu mengetahui di arah mana keberadaan benda yang dicuri orang itu.

Di dalam cermin Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru terlihat berupa titik biru sebesar beras yang selalu berkedap kedip. Titik biru ini didampingi satu titik hitam dengan kebesaran yang sama. Titik hitam merupakan pertanda orang atau mahluk yang memegang batu sakti. Selain itu di bagian bawah cermin sekali-sekali terlihat pula satu titik putih berkedap kedip.

Dua hari lalu titik hitam lenyap dari permukaan cermin. Bersamaan dengan itu muncul tiga titik hijau mendampingi titik biru. Dua titik hijau berkedap kedip sementara titik hijau ketiga tidak.

Ratu Duyung segera memberi tahu. "Wiro sesuatu telah terjadi..." Ratu Duyung memperlihatkan cermin pada Pendekar 212 dan menunjuk pada titik biru yang berkedap-kedip. "Titik biru pertanda batu mustika sakti. Titik hitam yang ada sebelumnya merupakan tanda orang yang memegang batu. Kini titik hitam lenyap. Berarti batu mustika berpindah tangan pada orang lain. Sesuatu terjadi dengan si titik hitam. Aku yakin orang Ini telah menemui ajal."

Wiro memperhatikan permukaan cermin sakti lalu berkata. "Intan, tiga titik hijau pendatang baru, aku punya dugaan tiga titik hijau secara bersamaan bergerak ke bagian atas cermin. Mungkin arah utara?"

"Pendapatku sama dengan kau. Tiga titik hijau bergerak ke utara. Ke arah laut bersama-sama dengan titik biru. Besar kemungkinan ini berarti titik biru atau batu mustika sakti milik Nyai Roro Kidul itu kini berada dibawah penguasaan tiga titik hijau."

"Aku melihat dua titik berkedip-kedip, yang satu tidak. Kau bisa menduga siapa mereka?" tanya Wiro pula.

"Yang dua adalah manusia biasa seperti kita. Titik yang ketiga yang tidak berkedip menyatakan dia adalah mahluk alam gaib. Kesaktian cermin tidak mampu menembus dirinya secara utuh. Dan jika mereka menuju ke utara..."

"Intan, aku secara tolol menyerahkan batu mustika pada mahluk yang mewujudkan diri seperti dirimu. Sesuatu terjadi dengan orang itu. Batu mustika berpindah tangan. Menurutmu salah satu dari tiga titik hijau adalah mahluk alam gaib. Kau bisa menduga siapa?"

Ratu Duyung memilih tak mau menjawab. Dia gelengkan kepala Lalu menatap ke arah cermin. Tiga titik hijau dan titik biru mendadak lenyap dari permukaan cermin. Ratu Duyung segera memberi tahu. "Wiro, titik biru dan tiga titik hijau lenyap dari dalam cermin!"

"Intan, apa artinya itu?" tanya Wiro.

"Orang-orang itu siapapun mereka adanya tidak ada lagi di daratan tanah Jawa ini." Menjawab Ratu Duyung.

"Terbang ke langit?"

"Bisa jadi. Tapi yang lebih kuduga mereka lenyap masuk ke dalam laut."

Wiro menatap wajah cantik bermata biru itu sambil menggaruk kepala. Mulutnya berucap perlahan, mengulang kata-kata Ratu Duyung. "Lenyap masuk ke dalam laut" Sambil terus menggaruk kepala Wiro melangkah mundar-mandir di depan Ratu Duyung dan bicara sendirian. "Kalau titik biru juga lenyap, berarti batu mustika milik Nyai Roro Kidul ikut dibawa masuk ke dalam laut. Mengapa mereka masuk ke laut?" Wiro hentikan langkah dan berpaling pada Ratu Duyung. "Intan, kalau mereka masuk ke dalam laut, bukan mustahil mereka memang tinggal di dalam laut. Laut utara. Kau bisa menduga siapa mereka?"

"Kau pernah mendengar yang namanya Ratu Laut Utara?" balik bertanya Ratu Duyung.

Wiro tersenyum. Sebenarnya dia sudah menduga namun murid Sinto Gendang ini tidak mau langsung keluarkan pendapat. Dia ingin mengetahui lebih dulu apa yang ada di benak gadis cantik bermata biru itu. Ternyata mereka punya jalan pikiran yang sama.

"Aku mengenal Ratu yang nama aslinya Ayu Lestari. Namun Nyi Roro Manggut pernah memberi tahu kalau Ratu yang asli itu telah disekap oleh seorang perempuan yang kini mengangkat dirinya sebagai Ratu Laut Utara."

(Baca serial Wiro Sableng berjudul Sang Pembunuh, baca Juga Pembalasan Ratu Laut Utara)

"Perempuan yang mengangkat diri sebagai Ratu Laut Utara itu sebenarnya berasal dari Laut Selatan. Bernama Nyi Harum Sarti. Dia masih kerabat dekat Nyai Roro Kidul. Semasa berada di Laut Selatan dia menjadi orang kepercayaan Nyai. Selain diberi ilmu agar tetap awet muda yaitu seusia perempuan empat puluh tahun, kepadanya Ratu juga memberikan banyak ilmu kesaktian. Setelah merasa memiliki Ilmu yang cukup, tanpa bicara atau pamit dia meninggalkan Laut Selatan. Dia pergi ke Laut Utara, berhasil mengalahkan dan menyekap Ratu asli lalu mengangkat diri sebagai penguasa baru di Laut Utara. Walau Nyai Roro Kidul sangat menyesalkan perbuatan Nyi Harum Sarti namun tidak pernah mengambil tindakan apa-apa. Dengan Ratu terdahulu hubungan Kerajaan Laut Utara dan Kerajaan Laut Selatan sangat baik. Sebaliknya setelah Nyi Harum Sarti berkuasa di Utara sering ada silang sengketa, banyak terjadi perkara bagi Nyai Roro Kidul dan Ratu Laut Utara membujuk beberapa orang pembantu utama Nyai agar mau bergabung dengan dirinya. Salah seorang yang aku ingat adalah Pengging Kuntala Kepala Pengawal Tembok Karang Abadi..."

"Kau telah menamatkan riwayat manusia satu itu.," kata Wiro pula.

(Baca sarial Wiro Sablang berjudul Sang Pembunuh)

Ratu Duyung mengangguk. Lalu berkata. "Selain itu Ratu Laut Utara juga berusaha mencuri benda-benda pusaka dan membuat berbagai macam kekacauan... Astaga!"

"Ada apa Intan?" tanya Wiro yang sejak memberi nama Intan pada Ratu Duyung kini selalu menyebut si cantik bermata biru tersebut dengan nama baru itu.

“Kalau batu mustika sakti milik Nyai Roro Kidul ikut masuk ke dalam laut utara, berarti setelah dicuri dari istana bawah laut Nyai Roro Kidul, batu mustika itu kini berada dalam kekuasaan Ratu Laut Utara..."

"Jangan-jangan orang yang menyamar sebagai dirimu itu adalah salah satu kaki tangan Ratu Laut Utara."

"Bisa jadi," jawab Ratu Duyung. Dia melirik ke arah cermin. "Urusan bisa benar-benar menjadi pelik."

"Intan, kita mengejar ke tempat yang tidak keliru. Aku punya tanggung jawab untuk mendapatkan batu mustika milik Nyai Roro Kidul itu." Kata Wiro pula.

"Satu-satunya cara adalah kita harus mampu menyusup ke tempat kediaman Ratu Laut Utara. Rasanya itu bukan pekerjaan sulit. Namun kita tidak boleh menganggap rendah kekuatan musuh. Kesaktian dan kekuatan Ratu Laut Utara dimasa silam jauh berbeda dengan keadaannya sekarang. Aku merasa yakin akan berkecamuk sesuatu yang dahsyat"

"Apapun yang terjadi aku harus dapat mengambil batu mustika milik Nyai Roro Kidul. Sekaligus Jika bisa menolong sahabatku Ayu Lestari yang disekap Ratu Laut Utara. Aku tahu kira-kira letak Istana Ratu Laut Utara. Aku sudah pernah ke sana."

"Wiro, tak usah kau mempersalahkan diri sendiri. Mendapatkan batu mustika itu kembali menjadi tanggung jawab kita berdua. Tapi coba kau lihat lagi ke dalam cermin sakti ini." Ratu Duyung mendekatkan cermin sakti ke arah Wiro.

Murid Sinto Gendeng memperhatikan. "Eh., tadi cermin ini sudah bersih. Sekarang mengapa tahu-tahu ada lagi titik hijau. Satu titik berkedip bergerak dari arah barat. Cepat sekali. Bergerak ke bagian atas cermin berarti menuju arah utara. Dua titik hijau lagi mendatangi dari arah bawah cermin. Yang satu berkedip, satunya tidak. Berarti ada lagi satu mahluk alam gaib yang gentayangan. Dua titik ini juga bergerak ke arah utara."

"Dugaanku semakin keras bakal terjadi sesuatu di laut utara. Sebaiknya saat ini aku segera menghubungi Ratu untuk mendapatkan petunjuk."

Ratu Duyung simpan cermin sakti di balik pakaian lalu memandang berkeliling. Di satu bagian tanah yang agak ketinggian dia duduk bersila. Dua tangan diletakkan di atas paha kiri kanan, kepala sedikit diangkat dan sepasang mata dipejamkan.

Sementara Ratu Duyung bersamadi untuk mendapatkan hubungan dengan Nyai Roro Kidul diam-diam Wlro memperhatikan. Walau agak pucat dan membayangkan keletihan namun wajah gadis itu tampak begitu anggun. Rambut di bagian depan kepala yang jatuh menjulai kening membuat wajahnya tampak lebih menawan. Entah mengapa saat itu Wiro tiba-tiba ingat akan ucapan Bunga, gadis alam roh sesaat setelah dia dan Ratu Duyung berhasil mengeluarkan Bunga dari dalam sekapan Gud Setan. Waktu itu Bunga berkata.

"Diluar diriku aku tahu begitu banyak gadis yang mencintai dirimu. Aku tidak tahu bagaimana perasaanmu terhadap mereka. Tapi jika kelak di kemudian hari kau ingin memilih salah satu dari mereka sebagai teman hidupmu, jatuhkanlah pilihanmu pada Ratu Duyung. Jaga dia baik-baik..."

(Baca serial Wiro Sableng berjudul Kutukan Sang Badik)

Sambil terus menatap wajah cantik itu Wiro berpikir. "Mengapa Bunga mengatakan harus dia? Bukan Bidadari Angin Timur. Bukan pula Anggini. Mengapa Kiai Gede Tapa Pamungkas dan juga Eyang Sinto serta Kakek Tua Gila punya pendapat yang sama? Bahkan Kiai Gede Tapa Pamungkas hendak menyerahkan Pedang Naga Suci Dua Satu Dua padanya."

Kilas kenangan demi kenangan, suka dan duka di masa lalu bersama Ratu Duyung terbayang satu persatu. Wiro coba merenung.

"Aku tahu, ada satu kelebihan dalam diri gadis ini. Hatinya begitu polos, begitu tulus. Mulutnya tidak banyak berucap namun pandangan mata serta sikapnya yang lembut menyiratkan pribadi dirinya. Aku tidak keliru memberinya nama intan. Hatinya seputih kilau cahaya permata..."

Saat itu sebenarnya Ratu Duyung telah selesai semadi dan berhubungan dengan Nyai Roro Kidul. Ketika dia membuka mata, dia melihat Wiro tengah menatap memperhatikan dirinya. Ratu Duyung cepat pejamkan mata berpura-pura terus bersamadi tapi mata tidak seluruhnya dipejamkan. Masih terdapat serambut celah dimana dia bisa balas melihat dan memperhatikan Wiro.

"Agaknya dari tadi dia telah memperhatikan diriku. Apa yang ada dalam hatinya?" Sang Ratu merasa dada berdebar.

Wiro sendiri bukannya tidak tahu kalau gadis bermata biru itu berpura-pura samadi tapi sebenarnya memperhatikan dirinya. Sambil menggaruk kepala dia melirik ke arah serumpun pohon perdu berdaun lebat. Seekor ular keket hijau menempel di atas selembar daun. Murid Sinto Gendeng senyum-senyum. Pikiran jahil muncul di benaknya. Dia pura-pura menggeliat. Tapi bersamaan dengan itu dua jari tangan kanan yang telah dialiri tenaga dalam diarahkan pada daun yang ada ular keketnya.

"Tess!" Tangkal daun putus. Wiro sentakkan dua jari tangan ke belakang. Saat itu juga daun melayang ke bawah tapi tidak jatuh ke tanah melainkan meluncur dan jatuh tepat di atas paha kiri Ratu Duyung yang masih duduk bersila. Melihat ular keket menggeliat-liat di atas daun, gadis bermata biru ini langsung menjerit dan melompat dari duduknya. Muka pucat tubuh keluarkan keringat dingin.

"Intan, ada apa?" Wiro pura-pura bertanya dan cepat mendatangi.

"Kau keterlaluan. Kau mempermainkan aku!" Kata Ratu Duyung sambil tinju kanannya dipukul-pukulkan ke dada Wiro.

Wiro tertawa. Sambil merangkul dan mengusap punggung si gadis dia berkata. "Kita berdua terlalu tegang oleh keadaan. Sesekali harus ada selingan agar otak tidak leleh! Sudah... sudah."

"Ular keketnya mana. Buang dulu... aku jijik."

"Ularnya sudah jatuh waktu kau melompat tadi." jawab Wiro.

"Kau dusta! Pasti masih menempel di celanaku."

"Sial, tidak tahu dia. Ular keket benaran justru menempel dalam celanaku!" kata Wiro dalam hati lalu tertawa gelak-gelak.

"Kenapa kau tertawa?" Tanya Ratu Duyung. "Kau masih mempermainkanku!"

"Tidak, tidak ada apa-apa. Ayo kita lanjutkan perjalanan." Jawab Wiro pula sambil senyum-senyum.

"Tidak, aku harus memberitahukan sesuatu lebih dulu padamu." Kata Ratu Duyung pula.

"Memberitahukan apa?" tanya Wiro. "Ada seseorang saat ini mengintip kita."

"Hemm... begitu?" Wiro memandang berkeliling. Lalu bertanya. "Laki-laki atau perempuan?"

"Aku mencium bau wangi pakaian dan tubuhnya. Tidakkah kau mencium."

"Kalau dia wangi berarti yang mengintip itu seorang perempuan. Aku akan melakukan sesuatu biar dia penasaran!"

Habis berkata begitu Pendekar 212 lalu peluk tubuh Ratu Duyung erat-erat, ciumi wajah dan kecup bibirnya hingga si gadis bergetar sekujur tubuh dan sambil balas mendekap kencang dia berkata kelagapan.

"Wiro, kau ini..." Namun suara Ratu Duyung lenyap begitu kecupan Wiro kembali mendarat di bibirnya.

Di balik kerapatan semak belukar, tak jauh dari tempat itu seorang gadis cantik seperti mau pingsan ketika melihat ciuman bertubi-tubi yang dilakukan Wiro terhadap Ratu Duyung. Mulutnya berucap tersendat.

"Ya Tuhan, jangan-jangan Kiai itu sudah menikahkan mereka di puncak Gunung Gede! Wiro tak pernah berbuat sepeti itu. Gadis itu juga tidak sebinal yang aku ketahui. Atau mungkin mereka sengaja..."

Tidak menunggu lebih lama gadis yang mengintip balikkan tubuh dan berkelebat cepat tinggalkan tempat itu. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca. Sementara air mata jatuh bercucuran di kedua pipi si gadis terus-terusan membatin.

"Apa yang harus aku lakukan? Kemana aku harus pergi? Tuhan, berat nian cobaan yang Kau berikan. Aku telah menghancurkan harapan seorang untuk menggapai harapan baru. Ternyata aku menggapai kehampaan. Tuhan apakah Engkau telah menjatuhkan Hukum Karma atas diriku?"

Tiba-tiba si gadis hentikan lari. Walau perasaan dan pikirannya saat itu kacau balau namun indera pendengaran dan penglihatan tidak terpengaruh. Satu bayangan besar berkelebat di jalan setapak di belakang barisan pepohonan. Si gadis cepat menyelinap. Dia terkejut ketika mengenali siapa yang lewat di depan sana.

"Eh, si gendut Bujang Gila Tapak Sakti. Lama aku tidak bertemu, lama tidak mendengar riwayatnya. Dia seperti terburu-buru. Mau kemana?"

Yang lewat di jalan setapak memang Bujang Gila Tapak Sakti. Gerakannya seperti melangkah biasa saja. Malah sambil berkipas-kipas. Namun sesaat kemudian dia sudah lenyap dari pemandangan.

"Pasti ada urusan besar. Dari pada tidak tahu mau berbuat apa dan mau pergi kemana baiknya aku ikuti saja si gendut tadi."

Lalu gadis cantik yang sedang kalut itu segera berkelebat ke arah lenyapnya Bujang Gila Tapak Sakti.

********************

BAB SEBELAS

Malam buta menjelang pagi Bujang Gila Tapak Sakti sampai di pantai utara. Tubuhnya yang gemuk basah oleh keringat langsung dibaringkan di atas pasir. Dia merasa sejuk enak setiap air laut mengguyur dirinya.

"Sial dua hari dua malam menempuh perjalanan jauh! Kalau tidak mengingat pesan kakek buta si kaleng rombeng itu, tidak akan mau aku berbuat tolol seperti ini!" Bujang Gila Tapak Sakti bicara mengomel sendiri.

"Gendut! Dari dulu kau memang tolol! Apa baru sekarang menyadari?!"

Tiba-tiba satu suara perempuan menyahuti. Membuat Bujang Gila Tapak Sakti tersentak bangun, duduk di atas pasir. Matanya yang belok memandang ke arah sosok seorang gadis cantik berpakaian biru berambut pirang riap-riapan, berdiri dalam bayang kegelapan.

"Eh, aku seperti mengenali suaramu! Rambutmu, harum bau tubuhmu juga! Tapi bukan mustahil kau ini mahluk jejadian dari dasar laut!"

Si gadis tertawa cekikikan. "Matamu sudah lamur! Apa kau tidak mengenali diriku?!"

"Astaga!" Dari duduk Bujang Gila Tapak Sakti bangkit berdiri. Dia maju dua langkah. Kepala dikedepankan. "Bidadari Angin Timur! Memang kau rupanya! Mengapa kau ada di sini? Heh, jangan-jangan kau selama ini mengikutiku! Sekarang aku baru sadar!"

Si gadis yang memang Bidadari Angin Timur tersenyum lalu menjawab. "Kau betul. Aku memang mengikutimu. Tadinya aku sudah kecapaian dan jengkel. Tidak tahu kau ini mau kemana. Kau seperti tidak sampai-sampai ke tujuan. Kau sendiri mengapa datang ke kawasan laut utara ini? Ada seorang gadis kecintaanmu yang hendak kau temui?"

Bujang Gila Tapak Sakti tertawa gelak-gelak hingga tubuhnya yang gembrot bergoyang-goyang. Air laut mengucur dari pakaiannya yang basah. Si gendut tanggalkan kopiah hitamnya yang basah lalu dikibas-kibas.

"Dua hari lalu aku bertemu Kakek Segala Tahu. Dia minta aku datang ke pantai utara. Arah pulau Karimunjawa..."

Bidadari Angin Timur heran mendengar ucapan Bujang Gila Tapak Sakti. "Setahuku di dasar laut pulau Karimun adalah tempat kediaman Ratu Laut Utara. Jadi dia yang hendak kau temui Rupanya kau telah menjalin hubungan dengan perempuan itu?"

"Kalau Ratu itu mau padaku, aku juga mau-mau saja," jawab Bujang Gila Tapak Sakti lalu tertawa mengekeh. "Tapi dengar dulu ceritaku. Menurut Kakek Segala Tahu aku harus cepat ke sini untuk membantu Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng dan Ratu Duyung menghadapi Ratu Laut Utara."

"Ada silang sengketa apa Wiro dengan Ratu Laut Utara?"

"Kata Kakek Segala Tahu, Ratu Laut Utara telah menguasai sebuah batu mustika milik Ratu Laut Selatan..."

"Dua Ratu Laut saling bermusuhan. Mengapa kau mau saja ikut campur. Biarkan mereka menyelesaikan urusan sendiri-sendiri..."

"Hemm..." Bujang Gila Tapak Sakti keluarkan suara bergumam. Lalu sambil senyum-senyum dia berkata "Aku tahu mengapa sepertinya kau tidak perduli. Aku tahu mengapa kau seolah ingin dua Ratu itu saling tempur dan celaka sendiri. Bukankah itu karena kau tahu dua Ratu itu sama-sama menyukai Wiro? Betul begitu? Ha ha ha!"

Bidadari Angin Timur unjukkan wajah cemberut.

"Sobatku rambut pirang. Soal batu mustika itu aku tidak mau tahu. Tapi yang dikawatirkan Kakek Segala Tahu adalah bahwa Ratu Laut Utara sudah sejak lama punya rencana jahat ingin menguasai rimba persilatan tanah Jawa. Beberapa tokoh silat berhasil dibujuk ikut menjadi kaki tangannya. Yang tidak mau tunduk disekap. Termasuk Ratu Laut Utara yang asli. Sesuatu yang dahsyat akan terjadi di kawasan ini. Kakek kaleng rombeng itu menyuruhku ke sini. Aku diberi beberapa petunjuk."

"Menurutmu apakah Wiro dan Ratu Duyung sudah sampai di kawasan ini atau sudah lebih dulu masuk ke dasar laut tempat Istana Ratu Laut Utara?" tanya Bidadari Angin Timur pula.

"Aku tidak tahu. Aku harus buru-buru menyeberang ke Pulau Karimunjawa. Sebelum matahari muncul aku harus sudah sampai di sana..."

"Aku ikut bersamamu!"

Si gendut tertawa. "Boleh-boleh saja. Tapi aku tidak mau satu perahu denganmu!"

"Eh, apa maksudmu?" Bidadari Angin Timur heran.

Bujang Gila Tapak Sakti tidak menjawab melainkan melangkah ke tepi pantai dimana terdapat sebuah perahu. Sekali tandang perahu itu terpental dan masuk ke dalam air. Si gendut menyusul melompat ke dalam laut. Bukannya dia naik ke atas perahu tapi perahu malah dibalikkan lalu dia menyusup ke bawah perahu yang terbalik itu. Sesaat kemudian perahu bergerak meluncur ke tengah laut.

"Hai! Tunggu!" teriak Bidadari Angin Timur. Dia memandang berkeliling. Tak ada perahu lain di sekitar situ. Berarti dia harus naik di perahu yang sama!

Dari bawah perahu muncul kepala berkopiah kupluk Bujang Gila Tapak Sakti. "Aku sudah bilang tidak mau satu perahu denganmu! Tapi kalau kau memaksa silahkan naik di atas perahu. Kau di atas aku di bawah. Enak kan? Ha ha ha!" Kepala si gendut lenyap di bawah perahu dan perahu itu terus meluncur.

"Gendut edan! Kau kira aku tidak berani menerima tantanganmu!" Bidadari Angin Timur yang memiliki ilmu meringankan tubuh tinggi serta kecepatan bergerak luar biasa. Dia melesat di permukaan air laut. Sesaat kemudian dia sudah berdiri di atas perahu yang terbalik!

********************

Istana besar Kerajaan Bawah Laut Ratu Laut Utara. Dalam sebuah ruangan yang dikelilingi dinding batu memancarkan cahaya biru terang beberapa orang berkumpul. Ruangan ini merupakan satu tempat rahasia, yang tidak sembarang orang boleh masuk. Agaknya saat itu tengah berlangsung satu pertemuan sangat penting.

Orang pertama yang hadir di situ tentu saja adalah Ratu Laut Utara. Dia duduk di sebuah kursi berlapis perak, dikelilingi beberapa pembantu kepercayaan. Di samping kiri sang Ratu duduk seorang gadis cantik berpakaian biru, berambut hitam lepas yang bukan lain adalah Purnama.

Seperti diceritakan sebelumnya dengan menerapkan ilmu yang disebut Ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati Nyi Kuncup Jingga pembantu kepercayaan Ratu Laut Utara berhasil menundukkan Pumama dan membujuk gadis sakti ini sekaligus membawanya ke Istana Bawah Laut menemui Ratu Laut Utara.

Di sebelah kiri gadis dari alam 1200 tahun silam ini berdiri Nyi Kuncup Jingga dan Ki Ngumpil Sebaki alias SI Lidah Hantu yang lengan kirinya tampak dibalut.

Di samping kanan Ratu Laut Utara berdiri seorang tua bersorban dan berjubah putih Rambut putih menjulai panjang, diikat kedepan disatukan dengan kumis serta janggut. Yang aneh dari kakek ini adalah mulutnya yang sangat lebar. Dalam keadaan terkancing mulut itu memanjang dari bagian bawah telinga kiri sampai bawah telinga sebelah kanan. Tenggorokan senantiasa bergerak turun naik seperti dia tengah menelan sesuatu.

Urat-urat besar di lehernya tampak menyembul merah. Sementara dari lobang hidung dan liang telinga mengepul tipis asap berwarna kemerahan. Asap ini menebar hawa panas hingga ruangan terasa hangat. Sikap si kakak berdiri seperti patung, diam tak bergerak dengan wajah menengadah ke arah langit langit ruangan. Namun sepasang telinganya menangkap setiap pembicaraan yang terjadi di tempat itu. Semua orang dalam Istana Bawah Laut Ratu Laut Utara mengenal kakek ini dengan nama panggilan Datuk Api Batu Neraka.

Siapa nama sebenarnya tidak ada yang tahu. Dia merupakan salah seorang pembantu Ratu Laut Utara yang diam di satu pulau kecil di utara Pulau Karimunjawa. Dia Jarang berada di Istana Ratu Laut Utara kalau tidak ada urusan yang luar biasa penting.

Di dalam ruangan tidak ada pengawal tidak ada pelayan. Ini berarti pertemuan itu benar-benar bersifat rahasia dan hanya mereka yang sangat dipercaya yang boleh hadir, termasuk Purnama. Walau baru dikenal namun agaknya sang Ratu sudah menaruh kepercayaan penuh pada gadis alam gaib ini. Di bawah Ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati sang Ratu punya rencana untuk mempergunakan ilmu kesaktian gadis alam gaib itu dalam menghadapi Ratu Duyung dan Pendekar 212.

Di hadapan Ratu Laut Utara saat Itu ada satu meja kecil terbuat dari batu pualam. Di atas meja terletak sebuah dulang perak berisi air. Inilah dulang atau nampan bernama Dulang Perak Sejuta Mata. Melalui air di dalam dulang Ratu Laut Utara mampu melihat keadaan di laut utara bahkan jauh sampai ke daratan pada arah atau jurus delapan penjuru angin.

Biasanya air di dalam dulang perak senantiasa berwarna kebiruan namun saat itu sesekali air tampak berubah kemerahan. Ratu Laut Utara memberi Isyarat pada Nyi Kuncup Jingga agar mendekat. Setelah nenek bermuka ungu berada di dekatnya Ratu Laut Utara berkata.

"Air di dalam dulang bersemu merah. Jelas ada bahaya mengancam. Urusan sebenarnya hanya dengan Ratu Duyung yang ditemani Pendekar Dua Satu Dua. Mengapa banyak tamu tak diundang ikut berdatangan?"

"Mereka datang mencari kematian!" kata Nyi Kuncup Jingga sambil tangannya diletakkan di bahu Purnama lalu mengelus tengkuk gadis ini.

"Aku melihat jelas keadaan di luar. Ratu Duyung dan Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng saat ini telah berada di pantai utara. Sang surya belum terbit. Mereka tengah bersiap-siap melakukan sesuatu. Aku melihat Pendekar Dua Satu Dua duduk bersila di pasir pantai. Ada pancaran cahaya biru keluar dari tubuhnya. Ratu Laut Utara mendadak hentikan ucapan. Wajahnya sangat tercekat.

"Nyi Kuncup, aku ingin mencocokkan apa yang aku ketahui dengan apa yang kau ketahui. Kau tahu apa yang tengah dilakukan pendekar itu?"

Nyi Kuncup Jingga memperhatikan kedalam dulang perak. Wajah nenek tua berwarna ungu ini berubah. "Sri Paduka Ratu. Pendekar Dua Satu Dua tengah bersiap-siap menerapkan Ilmu Meraga Sukma! Dengan ilmu kesaktian itu dia memang mampu masuk ke bagian manapun dari Istana Kerajaan Bawah Laut ini!"

Ratu Laut Utara terdiam sesaat lalu berkata. "Pendekar itu boleh meraga dengan seratus bahkan seribu sukma. Kita akan menangkalnya. Membuat sukmanya tidak bisa kembali ke dalam raga untuk selama lamanya. Kita akan menyekapnya dalam Istana ini! Seumur-umur dia akan aku jadikan pendamping tapi tunduk di bawah telapak kakiku! Ratu kembali memperhatikan cairan biru di dalam dulang perak. Sesaat kemudian dia berucap.

"Ternyata Nyi Roro Manggut ikut muncul. Dia datang bersama seorang nenek yang aku tidak kenal. Dari tanda-tanda yang kulihat nenek satu ini mungkin mahluk dari alam roh."

"Sri Paduka Ratu, saya mohon saat Ini juga kita membentengi diri. Mengirim orang untuk menghadang mereka sebelum mendatangi Istana kita." Berkata Nyi Kuncup Jingga.

"Serahkan semua itu padaku. Aku... Astaga!" Ratu Laut Utara terlonjak bangkit dari duduknya. Lalu perlahan-lahan surut duduk kembali. Wajahnya yang cantik sesaat berubah kelam.

"Ada apa Sri Paduka Ratu?" tanya Ki Ngumpil Sebaki sementara Datuk Api Batu Neraka turunkan kepala yang sejak ladl mendongak lalu melirik ka arah dulang perak.

"Aku melihat masih ada dua orang lagi muncul di dalam air Dulang Perak Sejuta Mata. Mereka malah telah berada di pantai Pulau Karimunjawa! Yang pertama seorang gemuk luar biasa yang aku tidak ketahui siapa adanya. Datuk coba kau lihat. Mungkin kau mengenali orang ini..."

Datuk Api Batu Neraka tundukkan kepala, menatap ke dalam air biru di dulang perak. Setelah meluruskan tubuhnya kembali dia berkata. "Pemuda gemuk berkopiah hitam kupluk itu aku kenal dengan nama Bujang Gila Tapak Sakti. Dia memang bersahabat dengan Pendekar Dua Satu Dua dan Ratu Duyung." Suara si kakek sember. mungkin karena mulutnya yang sangat lebar mulai dari telinga kiri sampai telinga kanan.

"Manusia pengecut! Datang membawa komplotan!"

"Tidak usah dipikirkan Sri Paduka Ratu. Saya yang akan menghadapi Bujang Gila Tapak Sakti. ilmu kesaktiannya memang tinggi. Namun saya tahu kelemahannya. Bisakah Sri Paduka Ratu meminjamkan Ning Kameswari barang beberapa ketika?"

Ratu Laut Utara menatap wajah kakek berjubah dan bersorban putih itu. Lalu tersenyum. "Aku tahu maksudmu Datuk. Aku tahu..."

"Orang kedua yang muncul bersama si gendut itu apakah Sri Paduka Ratu sudah mengetahui siapa dia adanya? Kalau beium biar saya mengatakan."

"Aku sudah tahu Datuk. Gadis berambut pirang itu bukankah dia yang bernama Bidadari Angin Timur? Aku sudah lama mendengar kehebatannya. Kali ini agaknya tiba saat aku dapat menjajal!"

"Sri Paduka Ratu, jika terjadi apa-apa Sri Paduka tetap berada dalam Istana ini. Biarkan kami menghadapi orang-orang itu. Mereka datang membawa angin. Mereka akan segera menuai badai!" Ucap Datuk Api Batu Neraka pula.

"Kita harus menyusun siasat sekarang juga!" Kata Ratu Laut Utara. "Datuk, kau pergi ke Pulau Karimunjawa. Sesuai permintaanmu aku boleh membawa Ning Kameswari ke pulau itu. Kau harus mampu membunuh pemuda bernama Bujang Gila Tapak Sakti."

Sang Ratu berpaling pada Nyi Kuncup Jingga dan Ki Ngumpil Sebaki. "Kalian cepat pergi ke arah selatan. Hadang Nyi Roro Manggut dan nenek alam roh yang Ikut bersamanya." Lalu sambil memegang bahu Pumama Ratu Laut Utara berkata. "Kau ikut bersamaku ke pantai utara. Tugasmu membunuh Ratu Duyung. Aku akan menghadapi Pendekar Dua Satu Dua." Habis berkata bogitu Ratu Laut Utara bertepuk tiga kali.

"Wusss!" Saat Ku juga mengepul asap kuning di ruangan. Lalu dengan cepat asap membentuk sosok satu mahluk tinggi besar berkepala botak yang sekujur tubuh tertutup bulu lebat, memiliki dua tanduk di kening, mengenakan cawat. Saking tingginya kepala hampir menyondak langit-langit ruangan sementara dua tangan menjulai hampir menyentuh lantai. Dari sela bibir tebal mencuat dua taring runcing yang senantiasa meneteskan cairan merah.

Batok kepala mengepulkan asap biru. Pada kening terdapat mata ke tiga yang selalu berkedap kedip tiada henti. Kecuali tiga buah matanya yang merah bagian lain dari tubuh mulai dari kepala sampai ke kaki berwarna kuning. Setelah mengusap cairan merah yang membasahi mulut dan dagunya, mahluk dahsyat ini jatuhkan diri. Membungkuk tiga kali sebelum berkata.

"Sri Paduka Ratu, aku Jin Duma Rawana siap menunggu perintah Sri Paduka."

Ternyata mahluk dahsyat ini adalah sebangsa Jin yang berada di bawah kekuasaan Ratu Laut Utara.

"Jin Duma Rawana! Kerajaan Laut Utara tengah menghadapi ancaman besar. Kami semua akan meninggalkan Istana menghadapi musuh jahat. Kau kutugaskan untuk menjaga Istana. Bunuh siapa saja orang luar yang berani datang mendekati tempat ini. Selain itu perintahkan seratus anak buahmu untuk meniup badai ke arah delapan penjuru angin kawasan laut Utara. Sekarang juga!"

Jin bernama Duma Rawana membungkuk tiga kali. "Ucapan Sri Paduka Ratu aku dengar. Perintah segera aku lakukan. Jin Duma Rawana mohon diri!"

"Wusss!" Sosok tinggi besar berbulu menyeramkan itu berubah menjadi asap kuning lalu lenyap dari pemandangan.

Pada saat di ruangan itu hanya tinggal Ratu Laut Utara berdua dengan Purnama, tiba-tiba satu cahaya biru menyambar lalu traangg! Dulang perak di atas meja hancur berantakan.

"Kurang ajar! Orang-orang Laut Selatan telah mulai menyerang!" teriak Ratu Laut Utara marah. Dia cepat pegang lengan Purnama dan usapkan tangan kiri ke dada dimana tersimpan Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru. Keduanya serta merta melesat keluar dari dalam ruangan. Begitu menyembul di permukaan laut Ratu Laut Utara berkata.

"Ingat, kau harus membunuh Ratu Duyung. Aku menghadapi Pendekar Dua Satu Dua Wiro Sableng! Kau mengerti?"

"Saya mengerti Ratu." Jawab Purnama.

"Bila urusan ini selesai, seperti yang aku janjikan kau akan kujadikan Wakilku."

"Terimakaslh Ratu," kata Purnama pula yang sampai saat itu masih berada di bawah pengaruh Ilmu Penyejuk Jiwa Pemikat Hati.

"Astaga..."

"Ada apa Ratu?"

"Apakah kau merasakan air laut tiba-tiba berubah dingin seperti es?!" ucap Ratu Laut Utara.

"Ini pasti pekerjaan pemuda bernama Bujang Gila Tapak Sakti itu. Ratu, kita harus segera keluar dari dalam laut sebelum tubuh kita menjadi beku!"

Ratu Laut Utara cepat mengusap dada. Batu Mustika di dalam tubuhnya bersinar terang.

"Wutttt! Wuuutt!"

Seperti anak panah lepas dari busurnya dua perempuan cantik itu melesat ke arah pantai utara tanah Jawa.

********************

BAB DUA BELAS

Pendekar 212 Wiro Sableng duduk bersila di atas pasir. Ombak bergulung dan memecah di pantai tiada henti. Angin laut bertiup dingin. Keadaan masih gelap. Sesuai petunjuk Nyai Roro Kidul yang diterima Ratu Duyung melalui samadi dia siap untuk meraga sukma dan selanjutnya masuk ke dalam Istana Bawah Laut Ratu Laut Utara.

"Intan, aku sudah siap..." Wiro memberi tahu Ratu Duyung.

"Wiro, tunggu dulu. Ada sesuatu yang tidak wajar" jawab Ratu Duyung. Gadis bermata biru ini menatap ke arah timur. "Saat ini seharusnya fajar sudah menyingsing. Namun ada satu kekuatan menutupi udara di kawasan sebelah timur. Aku mendengar sesuatu. Seperti suara puluhan seruling ditiup secara berbarengan. Datangnya dari berbagai penjuru..."

"Aku mendengar suara menderu. Dahsyat sekali." kata Wiro. "Intan, lihat ke tangah laut. Ombak bergemuruh menjulang tinggi. Deru angin semakin kencang. Hujan mulai turun. Sebentar lagi akan turun badai hebat. Tapi aku rasa ini bukan badai kemauan alam. Ada satu kekuatan dahsyat dari dalam laut memaksakan kehendak."

Saat itu Ratu Duyung telah mengeluarkan cermin sakti dan memperhatikan permukaan cermin. "Hai! Apa yang terjadi? Cerminku membentuk titik buta!" Ratu Duyung berseru kaget

"Apa maksudmu Intan?" tanya Wiro seraya menarik tangan kanan Ratu Duyung, mendekatkan cermin ke arahnya. Murid Sinto Gendeng melihat betapa cermin sakti itu kini terlihat hitam kelam! "Ada kekuatan dahsyat mencekal ilmu kesaktianmu. Mungkin ini pembalasan musuh setelah kau menghancurkan peralatan pelihat jarak jauh milik Ratu Laut Utara," ucap Wiro lalu kerahkan tenaga dalam ke tangan yang memegang lengan si gadis maksudnya untuk bantu mengembalikan kekuatan dan kesaktian cermin.

"Jangan!" teriak Ratu Duyung. "Cermin ini bisa hancur! Sebaiknya kau segera menerapkan Ilmu Meraga Sukma!"

Tidak menunggu lebih lama Wiro cepat lakukan apa yang dikatakan Ratu Duyung. Dia kembali duduk bersila di tanah. Dua tangan disilang di atas dada. Mata dipejam. Pikiran dikosongkan. Setelah mengucap Bismillahirrohmanirrohim tiga kali Wiro susul dengan ucapan Meraga Sukma, juga tiga kali. Sekejap kemudian tubuh kasar Pendekar 212 Wiro Sableng diam membatu dan pancarkan cahaya biru. Dari tubuh itu kemudian membayang keluar satu sosok samar, langsung melesat ke dalam laut.

Di saat bersamaan hujan lebat mencurah turun. Laut seperti hendak terbongkar. Ombak membubung tinggi ke udara lalu bergulung ganas ke pantai memporak porandakan segala apa yang menghalangi. Angin bertiup menderu mengerikan, membongkar pasir sepanjang pantai dan menerbangkannya ke udara membuat keadaan menjadi gelap sementara sang surya masih belum muncul! Raga kasar Pendekar 212 masih terduduk bersila seolah menyatu dengan bumi hingga tidak bergeming dari kedudukannya.

"Badai setan!" Seseorang berteriak di kejauhan.

Sewaktu sukma Wiro molesat ke dalam laut utara. Ratu Duyung segera menyusul melompat namun gerakannya tertahan ketika beberapa tombak di samping kanan dia melihat dua perempuan melesat laksana terbang dipermukaan laut, menembus amukan gelombang dan deru badai angin serta tebaran pasir pantai. Keduanya mengenakan pakaian biru.

Walau cuma sekelebatan namun Ratu Duyung masih sempat mengenali. Perempuan di ujung kanan adalah musuh bebuyutan Ratu Agung Nyai Roro Kidul yaitu Ratu Laut Utara. Yang membuat Ratu Duyung terkejut bukan kepalang adalah ketika mengenali perempuan di samping Ratu Laut Utara. Purnama! Gadis dari Latanahsilam! Keduanya melesat ke arah sosok Wiro yang masih duduk bersila di pasir pantai.

"Luar biasa aneh! Bagaimana Purnama bisa bersama dengan Ratu Laut Utara? Mereka punya hubungan apa? Sejak kapan?!"

Sesaat Ratu Duyung menjadi bingung. Apakah dia akan meneruskan mengikuti Wiro masuk ke dalam laut atau mengurungkan niat. Terlebih ketika dia melihat di tangan kanan Ratu Laut Utara ada sebuah benda kuning sepanjang tiga jengkal berujung runcing!

"Bambu kuning pencekal ilmu Meraga Sukma!" ucap Ratu Duyung dengan suara bergetar. Dia tahu apa yang hendak dilakukan Ratu Laut Utara. Secepat kilat gadis bermata biru ini melesat menghadang untuk melindungi raga Pendekar 212. Namun terlambat. Ratu Laut Utara sampai lebih dulu ke tempat sosok Wiro duduk bersila.

"Craass!"

Ratu Duyung terpekik! Bambu kuning di tangan kanan ditusukkan Ratu Laut Utara ke leher Wiro. Masuk di leher kiri, tembus ke leher kanan! Anehnya tidak ada darah mengucur. Tidak ada jerit kesakitan keluar dari mulut sang pendekar. Namun kejapan itu juga laksana kehilangan bobot, sambaran angin dahsyat membuat sosok Wiro terpental ke arah laut. Selagi melayang di udara gulungan ombak besar datang menerpa hingga tubuh sang pendekar kembali terpental, berguling di pasir pantai dan terkapar di depan satu gundukan batu.

"Wiro!" teriak Ratu Duyung seraya mengejar. Namun sebelum sempat mencapai Wiro, Ratu Laut Utara telah lebih dulu menyambar tubuh Pendekar 212 dan berkelebat ke arah timur.

"Perempuan jahat. Jangan harap kau bisa lari!" teriak Ratu Duyung dan cepat mengejar. Namun mendadak berkelebat seseorang, menghadang!

Sepasang mata biru Ratu Duyung membeliak. tak percaya melihat siapa yang berdiri di hadapannya sambil sunggingkan senyum mengejek.

"Purnma sahabatku! Aku tidak bisa percaya. Kau bergabung dengan orang-orang laut utara! Kau menjadi kaki tangan Ratu Laut Utara!" Ucap Ratu Duyung dengan suara bergetar.

"Aku tidak melihat ada salahnya kau bergabung dengan orang-orang laut selatan. Lalu apakah ada salahnya kalau aku bergabung dengan orang-orang laut utara?!"

"Gila" Apa yang terjadi dengan dirimu! Kau mengkhianati para sahabat! Kau mongkhianati Wiro!" Teriak Ratu Duyung marah sekali.

"Aku mungkin mengkhianati kalian. Tapi aku tidak mengkhianati Wiro. Dia akan segera menjadi pimpinan kami di Kerajaan Laut Utara!"

Rahang Ratu Duyung menggembung. Bola matanya yang biru laksana dikobari api. "Apa yang terjadi dengan gadis alam gaib ini? Dia tidak seperti dirinya.." Ratu Duyung membatin. "Purnama, kau sadar apa yang kau perbuat?" tanya Ratu Duyung.

Jawaban Purnama justru mengejutkan. "Ratu Duyung, aku diberi wewenang untuk membunuhmu! Aku memberi kesempatan padamu! Pergilah sebelum hal itu aku lakukan!"

"Mati di tanganmu? Siapa takut!" Ratu Duyung hilang sabarnya. Sebelum dirinya diserang dan dicelakai lebih baik dia segera bertindak. Dua perempuan cantik itu serta merta terlibat dalam pertarungan hebat. Tiga jurus berlalu cepat tanpa masing-masing mampu mendesak apa lagi memukul lawan.

Purnama melompat mundur. Bahu digoyang, mulut meniup. Saat itu juga dari tubuhnya melesat cahaya biru begemerlap. Cahaya ini dengan cepat menebar menelikung tubuh Ratu Duyung. Inilah serangan yang disebut Menahan Raga Menyerap Tenaga. Dengan ilmu Ini Purnama bermaksud membuat Ratu Duyung lemas tak berdaya baru dihabisi.

Diserang begitu rupa Ratu Duyung tak tinggal diam. Dengan cepat gadis bermata biru ini gerakkan tangan kanan, disapukan dari kiri ke kanan. Selarik sinar biru pekat menderu membentuk kipas. Inilah pukulan Genta Biru Menatap Langit. Di kejauhan terdengar suara genta bergema. Sesaat kemudian terdengar dentuman keras begitu dua sinar pukulan yang saling dilepas dua gadis cantik bertabrakan di udara.

Ratu Duyung terpekik kaget ketika dapatkan dirinya terhuyung ke belakang dan nyaris jatuh duduk di tanah kalau dia tidak cepat imbangi badan. Di depannya Purnama terjengkang di pasir, masih bisa tersenyum walau wajahnya tampak pucat.

"Aku tidak menyangka dia memiliki kekuatan tenaga dalam setingkat di atasku," membatin Purnama.

Tiupan badai yang semakin kencang membuat tubuh dua gadis bergoyang-goyang.

"Purnama, bagaimanapun kau adalah sahabatku! Jika kau tidak mau sadar aku terpaksa menurunkan tangan keras padamu!"

Purnama tertawa panjang mendengar kata-kata Ratu Duyung. "Jangan membalik kenyataan. Aku yang tadi telah lebih dulu bersedia mengampuni selembar nyawamu! Ternyata kau keras kepala. Sekarang aku tidak punya belas kasihan lagi terhadapmu! Aku hanya akan ikut bersedih jika kelak Wiro meratapi kematianmu!"

Selesai keluarkan ucapan Purnama berteriak keras. Dua telapak tangan saling dirapatkan lalu diangkat sampai di atas kening. Ketika dua telapak tangan saling diputar,tiba-tiba seettt! Sosok Purnama melesat ke bawah, masuk ke dalam tanah sampai sebatas bahu! Ternyata gadis dari Latanahsilam ini telah mengeluar-kan ilmu yang disebut Menyusup Bumi Menghancur Bala. Ilmu kesaktiaan ini memungkinkannya menyerap sedalam tiga lapis bumi kandungan kekuatan tenaga dalam luar biasa hebat. Dua tangan ditepuk.

"Settt!" Sosok Purnama melesat keluar dari dalam tanah. Dengan mengandalkan kekuatan dan kesaktian yang telah berlipat ganda Purnama menendang ke arah Ratu Duyung sambil melepas pukulan Kutuk Alam Gaib Lapis Ke Tujuh! Jangankan manusia biasa. Mahluk alam roh saja bisa hancur tercabik-cabik oleh pukulan ini sebagaimana yang terjadi dengan Nyai Tumbal Jiwo. Sinar biru angker berkiblat menggidikkan.

Tadinya Ratu Duyung masih belum percaya kalau Purnama benar-benar punya niat membunuhnya. Namun melihat serangan yang dilancarkan Purnama yang diketahuinya adalah salah satu serangan maut paling ganas yang sulit dicari bandingnya dalam rimba persilatan. Ratu Duyung segera pukulkan dua tangan secara menyilang ke depan. Bersamaan dengan itu sepasang matanya membesar lalu dikedipkan. Empat larik sinar biru menderu. Dua melesat dari sepasang mata, dua keluar dari dua ujung tangan!

"Bumm! Buummm! Blaarr! Blaarr!"

Dua jeritan keras menggema di udara namun serta merta lenyap ditelan deru badai. Purnama terkapar di pasir, tak sanggup bergerak. Ada garis hangus bersilang di dada pakaian dan juga di keningnya. Dan mulutnya keluar suara erangan. Tubuh menggeliat lalu berusaha bangkit namun jatuh terduduk, mata membeliak badan lemas.

Sejarak tujuh langkah dari tempat Purnama berada Ratu Duyung terduduk bersimpuh di pasir. Walau wajah tampak segar namun darah mengucur dari telinga, hidung serta mulut. Tiba-tiba gadis ini berteriak keras. Tubuhnya melesat sejajar di atas pasir. Tangan kanan membentuk tinju di arahkan kedepan. Sesaat lagi pukulan Genta Laut Selatan yang dilepaskan Ratu Duyung akan mendarat dan menghancurkan kepala Purnama tiba-tiba dua orang berkelebat dibawa deru badai dan tebaran pasir. Salah seorang berteriak.

"Tahan serangan! Jangan pukul!"

Ratu Duyung merasa ada yang mencekal tangan kanannya lalu tubuhnya didorong hingga terguling di pasir. Pukulan Genta Laut Selatan yang tadi dilepaskan menghantam udara kosong, membuat tebaran pasir berpijar merah!

Di tempat lain Purnama merasakan dua totokan melanda pangkal lehernya. Tubuhnya serta merta memancarkan cahaya biru pelindung diri namun terlambat. Dua totokan lagi mendarat di punggung. Gadis alam gaib ini melosoh ke pasir. Tubuh tak mampu bergerak. Mulut masih bisa bersuara dan mata masih sanggup melihat serta mengenali.

"Nek..."

Satu totokan lagi bersarang di ubun-ubun Purnama. Kali ini membuat dia tidak ingat apa-apa Lagi.

"Nenek Kembaran Ketiga! Kau jaga Ratu Duyung! Aku akan mengejar Ratu Laut Utara! Dia menculik Wiro. Aku juga melihat ada bayangan batu mustika sakti di dadanya!" Orang yang berada di samping Ratu Duyung yang ternyata adalah Nyi Roro Manggut berteriak pada nenek satunya yakni Kembaran Ketiga Eyang Sepuh Kembar Tilu.

"Nyi Roro Manggut kau saja yang menolongnya! Kau lebih tahu dari pada aku! Biar aku yang mengejar Ratu Laut Utara!" Kata Nenek Kembaran Ketiga lalu tanpa menunggu lagi dia berkelebat ke arah timur, ke arah lenyapnya Ratu Laut Utara yang memboyong Pendekar 212.

********************

Di pantai selatan Pulau Karimunjawa, Bujang Gila Tapak Sakti masuk ke dalam laut sampai sebahu. Kopiah hitam dibenamkan dalam-dalam agar tidak diterbangkan tiupan angin badai. Di belakangnya Bidadari Angin Timur berdiri sambil tempelkan dua telapak tangan ke punggung si gendut, memberi tambahan aliran tenaga dalam.

Asap kelabu luar biasa dingin mengepul keluar dari telinga, hidung dan mulut si gendut. Hawa dingin yang keluar dari dalam tubuh pemuda sakti menderu dahsyat, bukan saja menahan terpaan badai tapi sekaligus mengalir masuk ke dalam laut, mencapai dasar samudera tempat terletaknya Istana Bawah Laut Ratu Laut Utara.

Bangunan Istana laksana dipendam dalam gumpalan es. Gundukan-gundukan putih menyerupai salju menggumpal dimana-mana. Siapapun mahluk yang ada di dalam Istana kalau tidak sanggup melawan hawa dingin akan menemui kematian jika tidak segera selamatkan diri naik ke atas permukaan laut. Puluhan pengawal dan pelayan, lelaki dan perempuan berlesatan ke atas mencari selamat. Banyak diantara mereka menemui ajal secara mengenaskan.

Mahluk Jin Duma Rawana yang duduk berjaga-jaga di atas salah satu dari tiga menara Istana mulai gelisah. Dia tahu saat itu hanya dia sendirian berada di kawasan Istana. Kegelisahannya bukan saja disebabkan oleh hawa dingin yang sudah mencucuk masuk ke dalam tubuhnya. Tapi Juga karena di atas sana dia tidak lagi mendengar suara tiupan seratus anak buahnya yang diperintahkan untuk menciptakan badai.

"Apa yang terjadi dengan diriku? Mengapa air laut berubah sangat dingin? Apa yang terjadi dengan seratus anak buahku?" Jin bertubuh tinggi besar dan bertampang angker ini berpikir. Ketika hawa dingin semakin hebat Duma Rawana segera melesat ke atas.

Begitu sampai di udara terbuka jin ini tersentak kaget. Dia tidak melihat seorangpun dari sekian banyak anak buahnya. Yang tampak puluhan benda putih mengapung di permukaan laut. Badai masih berkecamuk tapi tidak sehebat sebelumnya. Penuh curiga Duma Rawana dekati satu dari sekian banyak benda putih. Dia meraba. Terasa dingin. Tangan kanan digerakkan memukul.

"Braakk!" Benda putih hancur berantakan lalu leleh masuk ke dalam air laut. Ternyata benda putih itu adalah lapisan es yang membungkus tubuh anak buahnya, Jin bertubuh seukuran manusia, berkepala botak bermata merah dan bermulut lebar. Begitu lapisan es tanggal jin ini menggeliat, keluarkan suara mengerang lalu semburkan cairan merah. Sesaat kemudian sosoknya lenyap dalam kegelapan.

"Kurang ajar! Ada orang pandai membunuh peliharaanku!" Duma Rawana bertindak cepat. Semua benda putih yang mengapung dipermukaan laut dihancurkan. Dari seratus anak buahnya hanya enam puluh dua orang yang masih hidup.

"Kalian semua lekas menghilang! Lakukan tiupan badai dari alam gaib! Aku akan mencari jahanam yang telah membunuh kawan-kawan kalian!"

Mendengar ucapan pimpinan mereka. Enam puluh dua jin keluarkan sahutan berupa suara seperti anjing meraung lalu tubuh mereka serta merta lenyap. Tak lama kemudian badai yang tadi mulai agak mereda kini kembali menderu namun tidak sedahsyat kejadian sebelumnya.

Tiga mata Jin Duma Rawana memandang menembus gelap. Berusaha mencari sumber bencana yang telah membunuh tiga puluh delapan anak buahnya. Tiba-tiba satu bayangan putih melesat. Yang muncul ternyata adalah Datuk Api Batu Neraka menggendong seorang gadis cantik yang dikenalnya bernama Ning Kameswari. Sang Datuk mengenakan sepasang terompah lebar yang membuat dia mampu berdiri dan melesat di atas air laut.

"Jin Duma Rawana! Lekas kembali ke Istana!" Datuk Api Batu Neraka memerintah.

Jin Durna Rawana sebenarnya tidak begitu suka terhadap sang Datuk, apa lagi diperintah seperti itu. Selain itu dia sejak lama tertarik pada Ning Kameswari merasa cemburu melihat sang Datuk menggendong tubuh si gadis. Di dalam Istana Kerajaan Laut Utara sebenarnya Ning Kameswari adalah juga kekasih gelap dan mesum Nyi Kuncup Jingga yang diketahui hanya punya selera sesama jenis.

"Datuk, ada yang tidak beres di atas sini..."

"Urusan di permukaan laut utara adalah tanggung jawabku! Aku bilang kau kembali ke istana harap segera kau lakukan!" Bentak Datuk bermulut lebar. Suaranya menggema diantara deru badai.

"Tiga puluh delapan anak buahku menemui kematian! Apa itu menjadi tanggung jawabmu?!" teriak Jin Duma Rawana.

"Istana lebih penting dari anak buahmu! Pendekar Dua Satu Dua sudah meraga sukma dan saat ini tengah menyusup menuju Istana!"

"Dimana Ratu Laut Utara?!" tanya Jin Duma Rawana.

"Dimana Sri Paduka Ratu berada bukan urusanmu! Lakukan apa yang aku katakan atau aku akan minta Sri Paduka Ratu mengirimmu ke dasar samudera laut utara lapis ketiga!"

"Datuk keparat! Satu ketika aku akan membuat perhitungan denganmu. Akan kurobek mulutmu sampai ke belakang kepala!" Maki Jin Duma Rawana lalu berbalik dan melesat masuk ke dalam laut.

Tak selang berapa lama Datuk Api Batu Neraka telah sampai di pantai selatan Pulau Karimunjawa. Dia memilih satu tempat ketinggian agar dapat melihat Jelas keadaan di pantai. Walau saat itu badai membuncah dan sang surya belum muncul, sang Datuk dapat melihat dua orang berada dalam laut. Jarak mereka hanya terpisah sekitar dua puluh langkah.

"Bujang Gila Tapak Sakti dan Bidadari Angin Timur..." ucap Datuk Api Batu Neraka Perlahan-lahan dia turunkan Ning Kameswari ke tanah. "Kita masih punya sedikit waktu. Ning Kameswari, apa kau suka kita bercinta sekarang?" Tiba-tiba sang Datuk berucap.

Si gadis mengusap janggut si kakek. "Datuk, aku lebih suka menjalankan tugas lebih dulu. Kalau sampai ketahuan Sri Paduka Ratu kita berbuat lalai, kita semua bisa celaka."

"Aku senang mendengar ucapanmu yang penuh tanggung jawab itu. Sekarang pergilah. Lakukan apa yang aku katakan. Tapi awas, jangan membuat aku jadi cemburu. Begitu tubuh si gendut itu panas kelojotan kau lekas kembali ke sini. Aku akan menyambung pekerjaanmu. Sebentar lagi Sri Paduka Ratu akan muncul untuk menantang dan memancing gadis bernama Bidadari Angin Timur itu. Sebelum pergi coba aku periksa dulu tabung yang kau bawa."

Ning Kameswari, gadis cantik yang jadi salah satu pembantu Ratu Laut Utara serahkan sebuah tabung bambu yang torgnntung di pinggangnya. Datuk Api Batu Neraka membuka kain tebal penutup tabung lalu memperhatikan. Dalam kegelapan dia masih bisa melihat tujuh ekor kalajengking biru bergerak-gerak di dalam tabung bambu...

S E L E S A I


Apakah Batu Mustika Angin Laut Kencana Biru berhasil diambil kembali dari tangan Ratu Laut Utara? Apakah Bujang Gila Tapak Sakti mampu menyelamatkan diri dari bahaya besar yang mengancamnya?

Bagaimana pula riwayat Nyi Retno Mantili yang dibawa oleh Manusia Paku untuk dinikahi? Sanggupkah Pendekar 212 Wiro Sableng masuk kembali ke dalam raganya yang telah ditancapi bambu kuning oleh Ratu Laut Utara?

Ikuti serial Wiro Sableng berikutnya yang berjudul:

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.