Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 20 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

20. MENGAPA DIA MENGOBROL CINTA?

Yauw Tek memperkuat rangkulannya dan Li Hong menghela napas panjang. “Aku bahagia sekali, Twako...”

“Engkau juga mencintaiku, bukan?”

“Belum saatnya aku mengatakan itu, tunggulah, Twako, sampai aku dapat mengambil keputusan.” Li Hong lalu melepaskan diri dari rangkulan pemuda itu. “Mari kita kembali ke rumah induk, Twako, tidak baik kalau dilihat orang kita berdua berada di sini malam-malam begini.”

“Engkau benar sekali, Hong-moi. Memang dapat menimbulkan dugaan yang bukan-bukan. Marilah kita kembali ke sana,” kata Yauw Tek dan mereka bergandeng tangan meninggalkan taman menuju ke rumah Ketua Kai-pang.

Li Hong semakin girang dan bangga. Pemuda yang mencintanya itu benar-benar seorang pemuda yang sopan dan menghormatinya. Belum pernah ia dicinta dan diperlakukan laki-laki seperti yang dilakukan Yauw Tek! Ia sudah hampir yakin bahwa ia jatuh cinta kepada pemuda itu, hanya tinggal menanti waktu dan kesempatan saja untuk menyatakan perasaan hatinya secara terbuka. Baru sekali ini Li Hong merasa betapa indahnya suasana. Bahkan awan putih yang mulai menutupi bulan pun tidak mengurangi keindahan itu, Bayang-bayang pohon pun tampak indah serasi, menyenangkan dan hatinya penuh oleh rasa bahagia.

Keindahan bukan terletak pada bendanya, juga bukan pada alat panca-indera, melainkan dalam hati. Kalau batin sudah ditumpulkan oleh bermacam gangguan, maka dia tidak akan mampu merasakan keindahan.

********************

Wajah Li Hong masih berbinar-binar ketika ia memasuki kamar tidurnya. Ceng Ceng yang duduk di atas bangku dalam kamar mereka itu, dan sedang membaca kitab seperti yang biasa ia lakukan sewaktu menganggur, mengangkat muka memandang dan ia melihat keceriaan wajah adik angkatnya.

“Adik Hong, kulihat wajahmu berseri-seri, matamu bersinar dan mulutmu tersenyum manis sekali. Agaknya engkau berbahagia benar, Adikku!”

“Benar, enci Ceng, hatiku sedang merasa bahagia. Terlalu bahagia sehingga jantung ini berdebar seperti hendak memecahkan dada!”

“Aih, apa yang terjadi, Adikku? Aku ikut girang mendengar engkau bahagia, akan tetapi juga ingin tahu sekali. Engkau datang dari manakah dan mengapa kembali ke kamar begini cerah dan gembira?”

“Aku tadi berjalan-jalan di dalam taman, Enci Ceng. Wah, indah sekali taman bunga di sini, apalagi bulan bersinar terang. Aku sungguh berbahagia sekali!”

“Hemm, Hong-moi, pasti terjadi sesuatu denganmu. Masa kalau hanya berjalan-jalan di taman saja membuat engkau demikian bahagia? Apakah yang terjadi denganmu?”

Li Hong tersenyum dan mengerling tajam. “Ah, tidak terjadi apa-apa, Enci. Aku tadi bertemu Yauw-twako dan kami berbincang-bincang...”

“Hemm, apa saja yang kalian perbincangkan sehingga membuat engkau demikian gembira dan bahagia, Adikku?”

“Bermacam-macamlah! Eh, Enci Ceng, ketika aku memasuki taman tadi, aku melihat engkau meninggalkan Yauw-twako di taman! Kalian bercakap-cakap di dalam taman, bukan? Apa saja yang kalian bicarakan?”

Melihat betapa Li Hong memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik, Ceng Ceng tersenyum tenang. “Mengapa engkau bertanya demikian, Adikku? Memang aku bertemu dengan Yauw-twako di sana, akan tetapi pertemuan itu hanya sebentar dan kami bercakap-cakap biasa saja.”

Li Hong menyadari bahwa pertanyaannya memang agak berlebihan, sehingga terdengar seperti orang menaruh curiga. Maka cepat ia merangkul kakak angkatnya itu. “Ah, aku tidak bermaksud apa-apa, Enci. Maafkan aku...! Eh, Enci Ceng yang baik, bagaimana sih rasanya orang jatuh cinta itu?”

“Ih, anak nakal! Mengapa engkau tanyakan hal itu? Bagaimana aku dapat menjawabnya?”

“Ah, Enci Ceng, aku bertanya kepadamu karena engkau pernah merasakannya. Bukankah engkau dan kakakku Pouw Cun Giok saling mencinta? Nah, yang kutanyakan, bagaimana sih rasanya jatuh cinta itu?”

Ceng Ceng menghela napas panjang. “Adikku, kuharap engkau jangan menyinggung tentang Giok-ko. Engkau akan dapat merasakan sendiri kalau jatuh cinta. Akan tetapi, sebagai kakakmu, aku peringatkan engkau, Adikku. Berhati-hatilah jangan terlalu mudah jatuh cinta karena kalau engkau hanya terdorong gairah kemudian salah pilih, jatuh cinta itu mendatangkan duka. Hong-moi, melihat sikap dan mendengar kata-katamu, timbul dugaan di hatiku bahwa tentu ada apa-apa antara engkau dan Yauw-twako. Benarkah?”

“Enci Ceng sayang, aku percaya sepenuhnya kepadamu, maka aku mau bicara terus terang. Memang telah terjadi sesuatu yang teramat penting. Enci Ceng, dia... Yauw-twako... dia mengatakan bahwa dia... dia mencintaiku!” Sepasang pipi yang berkulit halus putih itu kemerahan, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum malu-malu, tampak cantik sekali.

Ceng Ceng tersenyum walaupun hatinya merasa tidak nyaman mendengar pengakuan adik angkatnya itu. Baru saja Yauw Tek mencoba untuk merayunya dan di lain saat pemuda itu kini menyatakan cinta kepada Li Hong! Biarpun sikap pemuda itu baik, sopan, ramah, juga gagah perkasa, akan tetapi mengapa dia seolah mengobral cinta?

“Adikku, lalu bagaimana tanggapanmu? Apakah engkau juga mencintanya?”

“Dia juga menanyakan hal itu, Enci. Akan tetapi aku masih ragu, aku memang amat suka dan kagum kepada Yauw-twako, akan tetapi... aku tidak yakin betul bagaimanakah rasanya kalau jatuh cinta. Maka tadi kutanyakan kepadamu.”

Ceng Ceng merangkul Li Hong. “Li Hong, Adikku, tidak ada salahnya bagi setiap orang untuk jatuh cinta. Bahkan hidup tanpa adanya cinta akan hampa. Sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi seorang gadis apabila ada seorang pemuda yang mencintanya, yang benar-benar mencintanya dengan tulus, bukan sekedar cinta terdorong nafsu gairah berahi, dan pemuda itu juga ia cinta. Akan tetapi, setiap orang gadis haruslah berhati-hati untuk jatuh cinta, harus waspada agar tidak sampai hanyut oleh cinta palsu karena hal itu akhirnya akan menyakitkan sekali. Wanitalah yang paling menderita kalau sampai pasangan yang tadinya saling mencinta itu akhirnya gagal dan berpisah, bahkan saling membenci.”

“Mengapa wanita yang paling menderita, Enci?”

“Memang, pria dan wanita itu sama saja, akan tetapi sudah menjadi kenyataan sejak sejarah berkembang bahwa dalam masalah hubungan antara pria dan wanita, si wanitalah yang berada di pihak lentah. Kalau sebuah perkawinan sampai gagal dan terjadi perceraian, si wanita akan dikecam dan dipandang kurang baik di mata masyarakat, sebutan janda merupakan sebutan yang diucapkan dengan nada mencibir dan dengan prasangka buruk, sedangkan si pria tidak terpengaruh nama atau kehormatannya. Tidak ada yang mencibir kalau seorang duda menikah lagi, akan tetapi kalau seorang janda yang menikah lagi, banyak orang, terutama kaum wanita, akan mencibir dan mengejek.”

“Wah, ini tidak adil! Harus diberantas!” Li Hong seperti terbakar, penasaran dan marah. “Kalau ada laki-laki yang palsu cintanya dan menyia-nyiakan wanita yang tadinya saling mencinta dengannya, akan kupecahkan kepalanya!”

“Husshh, Hong-moi. Tahanlah kemarahanmu. Kalau sampai terlaksana kehendakmu itu, kukira dunia ini akan kehilangan prianya lebih dari setengah jumlahnya!”

Ucapan Ceng Ceng ini mengandung kebenaran karena pada jaman itu, derajat kaum wanita di Cina memang amat rendah. Pada masa itu wanita mudah dikawini dan mudah pula diceraikan, bahkan dihargai seolah barang yang indah dan berharga. Akan tetapi karena cinta kaum prianya pada masa itu seperti yang dikenal umum adalah cinta berahi, maka para pria itu mudah bosan terhadap wanita yang tadinya dicintanya dan yang dulu diperebutkannya dengan taruhan nyawa!

“Aih, Enci Ceng, pendapatmu tentang pria tadi amat menakutkan hatiku. Apakah Yauw-twako termasuk pria seperti itu, yang tidak menghargai wanita, yang palsu cintanya dan mudah bosan sehingga mudah menyia-nyiakan pasangannya? Rasanya aku tidak percaya, Enci!”

“Aku pun mengharap dengan sangat agar Yauw-twako bukan termasuk laki-laki yang palsu cintanya. Apalagi kalau dia menjadi laki-laki pilihan hatimu, laki-laki yang engkau cinta. Kalau sampai dia kelak menyia-nyiakanmu dan ternyata cintanya palsu, aku sendiri yang akan menghajarnya, Hong-moi. Akan tetapi kuharap sebelum terlanjur, engkau sebaiknya berhati-hati dan setelah yakin bahwa cintanya murni dan tulus, baru engkau dapat menerima cintanya.”

Li Hong mengangguk-angguk. “Tadi aku pun mengatakan bahwa aku belum dapat mengambil keputusan apakah aku mencintanya atau tidak, Enci Ceng. Kuharap saja cintanya murni. Aku tidak ingin kelak menderita sengsara karena cinta, seperti yang pernah diderita oleh guruku yang kini menjadi ibu tiriku itu selama belasan tahun.”

“Akan tetapi akhirnya gurumu menemukan kebahagiaan karena sebetulnya cinta ayah kandungmu terhadapnya adalah murni. Sudahlah, Hong-moi, tidak baik membicarakan Yauw-twako. Yang penting engkau berhati-hati dan jangan hanya menuruti keinginan hati, melainkan pergunakan kewaspadaanmu sehingga engkau tidak akan salah pilih.”

Li Hong mengerutkan alisnya ketika memandang wajah kakak angkatnya. Ia menemukan kesedihan tertahan yang tersembunyi di balik ucapan encinya itu. “Enci Ceng, aku yakin bahwa engkau tidak salah pilih ketika engkau saling mencinta dengan kakak misanku Pauw Cun Giok. Dia telah bertunangan karena diikatkan perjodohan itu oleh mendiang gurunya. Kelak, kalau aku bertemu dengan dia, pasti aku akan menegurnya karena dia telah membuatmu menderita dan sedih.”

Mendengar ini, Ceng Ceng tersenyum dan awan kesedihan tadi lenyap dari wajahnya yang jelita dan penuh kelembutan. “Aih, mengapa engkau menyinggung hal itu, Hong-moi? Aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Selalu ingatlah, Hong-moi bahwa hidup di dunia ini hanya ada dua hal yang teramat penting dan yang mempengaruhi seluruh jalan hidupmu. Kedua hal itu adalah menanam dan memetik buahnya. Segala perbuatan kita, termasuk pemikiran dan pengucapan, merupakan benih yang kita tanam. Karena benih itu akan menjadi pohon dan berbuah, maka seyogianya kita menanam benih yang terbaik, berarti kita melakukan perbuatan yang terbaik. Kemudian segala peristiwa yang menimpa diri kita, itu bukan lain adalah memetik buah dari benih kita tanam sendiri. Oleh karena itulah, Hong-moi, semua hal yang menimpa diriku, baik maupun buruk, adalah hasil petikan buah dari pohon yang kutanam sendiri, entah kapan aku menanamnya. Maka, aku tidak perlu bersedih, tidak perlu menyalahkan siapa-siapa karena sudah sepantasnyalah kalau aku memetik dan makan buah dari hasil tanamanku sendiri.”

“Aduh, Enci Ceng, engkau seorang gadis yang luar biasa dan bijaksana sekali!”

“Tidak, Hong-moi. Aku pun tiada bedanya dengan engkau atau siapapun juga, lemah dan mudah terpengaruh. Yang penting kita harus selalu waspada setiap saat, terutama sekali, di samping waspada terhadap segala di luar diri, harus waspada terhadap diri sendiri. Waspada terhadap apa yang kupikirkan, apa yang kukatakan, dan apa yang kulakukan. Kewaspadaan yang terus menerus terhadap diri sendiri ini mendatangkan kebijaksanaan, Adikku, walaupun tidak mungkin manusia itu sempurna, namun setidaknya akan selalu ingat untuk menanam benih terbaik melalui pemikiran, ucapan, dan perbuatan.”

Malam telah larut dan kedua orang gadis itu tidur untuk menjaga kesehatan dan kesiapan diri karena mereka maklum bahwa mereka masih menghadapi banyak tantangan dalam usaha mereka mencari harta karun yang dicuri orang.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali mereka telah siap. Pagi itu adalah saat yang ditentukan oleh tantangan Hek Pek Mo-ko terhadap ketua Ang-tung Kai-pang. Kui-tung Sin-kai sudah berdiri di halaman depan rumahnya, dihadap para anggauta Kai-pang yang berjumlah sekitar seratus orang, tidak termasuk anak bini mereka. Ketua itu mengenakan pakaian tambal-tambalan baru, memegang tongkat merahnya dan tampak gagah berwibawa.

Di sebeiahnya berdiri Yauw Tek, juga mengenakan pakaian tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat merah. Ceng Ceng dan Li Hong yang berada di dekat merasa lucu melihat Yauw Tek, akan tetapi juga harus mereka akui bahwa dengan pakaian pengemis itu pun Yauw Tek tampak tampan dan gagah.

“Para anggauta Kai-pang!” seru ketua itu dengan lantang. “Kami akan turun bukit memenuhi tantangan Hek Pek Mo-ko. Kami hanya mengajak limapuluh orang anak buah. Yang lain, sisanya harus melakukan penjagaan di perkampungan kita. Hari ini semua pekerjaan ditunda dan yang penting adalah menjaga keamanan kampung. Kepada mereka yang mengikuti kami turun bukit, sekali lagi kuperingatkan. Kalian ikut bukan untuk bertempur, melainkan hanya untuk menjaga agar kami yang melakukan pi-bu (adu silat) tidak sampai dikeroyok. Ingat, tanpa adanya perintah dariku, semua dilarang turun tangan menyerang!”

Setelah menyampaikan pesan dan perintahnya, rombongan itu turun bukit. Kui-tung Sin-kai berjalan di depan, ditemani Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong. Di belakang mereka berjalan limapuluh orang anak buah yang semua berpakaian tambal-tambalan dan memegang tongkat merah.

Ketika mereka tiba di tempat dekat hutan di mana kemarin dulu anggauta Kai-pang berkelahi melawan anak buah Hek Pek Mo-ko, rombongan itu melihat rombongan lawan sudah berada di situ. Di depan rombongan itu berdiri dua orang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun yang bukan lain adalah Hek Pek Mo-ko.

Hek Mo-ko bermuka hitam arang, pakaiannya juga hitam tubuhnya sedang dan sikapnya sombong. Sebatang golok besar tergantung di punggungnya dan dia berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek. Di sebelah kirinya berdiri Pek Mo-ko yang lebih muda beberapa tahun. Pek Mo-ko juga bertubuh sedang, akan tetapi mukanya seputih kapur dan pakaiannya juga serba putih. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya juga sombong seperti kakaknya. Di belakang mereka berdiri dua gerombolan orang, ada yang berpakaian serba hitam dan ada yang serba putih. Jumlah mereka sekitar limapuluh orang.

Seperti sudah disepakati sebelumnya, yang maju menghadapi dua orang majikan Bukit Batu itu adalah Kui-tung Sin-kai dan Yauw Tek yang juga berpakaian pengemis dan memegang tongkat merah. Kini mereka berdua berdiri berhadapan dengan, Hek Pek Mo-ko.

Hek Mo-ko yang berwajah hitam sambil tersenyum mengejek berkata dengan nada tinggi hati. “Heh-heh, engkau datang juga memenuhi tantangan kami, Kui-tung Sin-kai!”

Ketua Ang-tung Kai-pang masih bersikap tenang lalu berkata dengan lantang penuh wibawa. “Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, selama ini antara kalian dan kami tidak pernah terjadi permusuhan apa pun dan tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Akan tetapi mendadak ada anak buah kalian yang menghina anak buah kami dan memaki kami sebagai pencuri! Apa sebenarnya niat buruk kalian karena agaknya kalian mendukung anak buah kalian yang jahat itu?”

“Heh-heh-heh-heh!” Pek Mo-ko tertawa dan menudingkan telunjuknya kepada Ketua Kai-pang. “Bukan menuduh sembarangan, karena kami hampir yakin bahwa kalian yang mencuri harta karun Kerajaan Sung itu!”

“Hemm, tuduhan membabi buta! Apa dasar dan alasan maupun buktinya bahwa kami melakukan pencurian itu?”

“Ha-ha-ha, alasannya sudah jelas! Kalian ini hidup sebagai pengemis yang selalu kekurangan makan, tentu saja haus akan harta benda. Kalau yang mencuri itu tinggal di Thai-san ini, seperti pengakuan mereka, siapa lagi pelaku pencurian itu kecuali Ang-tung Kai-pang?” kata Hek Mo-ko.

“Heii! Babi muka hitam dan anjing muka putih! Aku tahu sekarang! Kalian sengaja menuduh Ang-tung Kai-pang untuk mengalihkan perhatian, padahal sebetulnya kalian dua binatang bermulut kotor inilah yang menjadi pencuri!” seru Li Hong.

Tentu saja Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko marah sekali. Belum pernah selama hidup mereka dimaki dengan kata-kata demikian menghina, apalagi oleh seorang gadis muda seperti ini!

“Perempuan keparat!” Hek Mo-ko mendorongkan tangan kanannya ke arah Li Hong yang memakinya. Sinar hitam menyambar ke arah Li Hong, akan tetapi dengan beraninya Li Hong menyambutnya dengan Hek-tok-tong-sim-ciang yang juga mengeluarkan asap hitam.

“Derrrr...!” Hek Mo-ko terkejut ketika merasa betapa hawa pukulannya membalik, sungguhpun Li Hong juga merasa betapa kuatnya pukulan manusia muka hitam itu.

Ketua Kai-pang melangkah maju. “Hek Pek jangan menyerang lain orang. Kita selesaikan urusan antara kita. Kami dari Ang-tung Kai-pang menyambut tantanganmu untuk mengadakan pi-bu di sini. Dengan cara apa kalian hendak mengadu kepandaian? Satu lawan satu? Aku yang akan maju! Kalian maju berdua? Aku akan maju bersama saudara mudaku ini! Ataukah kalian mau secara keroyokan mengerahkan orang-orangmu? Kami juga tidak akan mundur dan sudah siap!”

Hek Mo-ko memandang kepada Yauw Tek penuh perhatian. Dia merasa heran dan curiga melihat betapa teman Ketua Kai-pang itu seorang pemuda tampan dan tidak patut mengenakan pakaian pengemis. “Kui-tung Sin-kai, siapakah pemuda ini? Benarkah dia anggauta Kai-pang? Orang muda, benarkah engkau anggauta Kai-pang dan siapa namamu?”

“Aku anggauta Kai-pang baru dan namaku Yauw Tek,” kata pemuda itu singkat.

Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko saling pandang. Kedua orang ini sudah memperhitungkan dan maklum bahwa kalau mereka bertanding keroyokan, pihak mereka yang akan menderita rugi. Tadi Hek Mo-ko mengalami sendiri betapa gadis muda cantik jelita itu mampu menahan pukulan sinar hitamnya. Padahal dia terkenal dengan pukulan Hek-kong-ciang (Tangan Sinar Hitam) seperti juga Pek Mo-ko terkenal dengan pukulannya yang ampuh Pek-kong-ciang (Tangan Sinar Putih). Nah, di pihak Ang-tung Kai-pang terdapat orang-orang muda yang lihai, semuanya ada tiga orang, berarti di pihak musuh ada empat orang yang tinggi tingkat kepandaiannya. Sedangkan di pihak mereka hanya ada mereka berdua. Juga mereka melihat betapa Ang-tung Kai-pang mengerahkan anggautanya yang jumlahnya sekitar limapuluh orang, sebanding dengan anak buah mereka sendiri.

Hek Pek Mo-ko, keduanya adalah laki-laki yang mata keranjang. Mereka masing-masing telah memiliki lima orang isteri, akan tetapi setiap kali melihat wanita muda yang jelita, mata mereka masih berminyak. Kini, melihat Ceng Ceng dan Li Hong yang memiliki kecantikan luar biasa, jauh melebihi kecantikan wanita yang pernah mereka miliki, tentu saja mereka berdua tertarik sekali. Apalagi melihat seorang di antara dua gadis itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Alangkah senangnya kalau mereka berdua mendapatkan dua orang gadis jelita dan sakti itu sebagai isteri dan pembantu mereka!

“Kui-tung Sin-kai, kami bukan pengecut yang suka mengandalkan keroyokan. Kami menantangmu untuk bertanding satu lawan satu, atau dua lawan dua. Kami berdua yang akan maju. Nah, dari pihakmu siapa yang akan menandingi kami?”

“Aku sendiri dan rekanku Yauw Tek ini yang akan menandingi kalian berdua,” kata Kui-tung Sin-kai menjawab.

“Heh-heh-heh, bagus sekali!” Pek Mo-ko tertawa dengan sikap memandang rendah. “Akan tetapi, sebuah pertandingan harus ada taruhannya! Kui-tung Sin-kai apa yang hendak kaupertaruhkan dalam pi-bu (adu silat) ini...?”

Harta Karun Kerajaan Sung Jilid 20

20. MENGAPA DIA MENGOBROL CINTA?

Yauw Tek memperkuat rangkulannya dan Li Hong menghela napas panjang. “Aku bahagia sekali, Twako...”

“Engkau juga mencintaiku, bukan?”

“Belum saatnya aku mengatakan itu, tunggulah, Twako, sampai aku dapat mengambil keputusan.” Li Hong lalu melepaskan diri dari rangkulan pemuda itu. “Mari kita kembali ke rumah induk, Twako, tidak baik kalau dilihat orang kita berdua berada di sini malam-malam begini.”

“Engkau benar sekali, Hong-moi. Memang dapat menimbulkan dugaan yang bukan-bukan. Marilah kita kembali ke sana,” kata Yauw Tek dan mereka bergandeng tangan meninggalkan taman menuju ke rumah Ketua Kai-pang.

Li Hong semakin girang dan bangga. Pemuda yang mencintanya itu benar-benar seorang pemuda yang sopan dan menghormatinya. Belum pernah ia dicinta dan diperlakukan laki-laki seperti yang dilakukan Yauw Tek! Ia sudah hampir yakin bahwa ia jatuh cinta kepada pemuda itu, hanya tinggal menanti waktu dan kesempatan saja untuk menyatakan perasaan hatinya secara terbuka. Baru sekali ini Li Hong merasa betapa indahnya suasana. Bahkan awan putih yang mulai menutupi bulan pun tidak mengurangi keindahan itu, Bayang-bayang pohon pun tampak indah serasi, menyenangkan dan hatinya penuh oleh rasa bahagia.

Keindahan bukan terletak pada bendanya, juga bukan pada alat panca-indera, melainkan dalam hati. Kalau batin sudah ditumpulkan oleh bermacam gangguan, maka dia tidak akan mampu merasakan keindahan.

********************

Wajah Li Hong masih berbinar-binar ketika ia memasuki kamar tidurnya. Ceng Ceng yang duduk di atas bangku dalam kamar mereka itu, dan sedang membaca kitab seperti yang biasa ia lakukan sewaktu menganggur, mengangkat muka memandang dan ia melihat keceriaan wajah adik angkatnya.

“Adik Hong, kulihat wajahmu berseri-seri, matamu bersinar dan mulutmu tersenyum manis sekali. Agaknya engkau berbahagia benar, Adikku!”

“Benar, enci Ceng, hatiku sedang merasa bahagia. Terlalu bahagia sehingga jantung ini berdebar seperti hendak memecahkan dada!”

“Aih, apa yang terjadi, Adikku? Aku ikut girang mendengar engkau bahagia, akan tetapi juga ingin tahu sekali. Engkau datang dari manakah dan mengapa kembali ke kamar begini cerah dan gembira?”

“Aku tadi berjalan-jalan di dalam taman, Enci Ceng. Wah, indah sekali taman bunga di sini, apalagi bulan bersinar terang. Aku sungguh berbahagia sekali!”

“Hemm, Hong-moi, pasti terjadi sesuatu denganmu. Masa kalau hanya berjalan-jalan di taman saja membuat engkau demikian bahagia? Apakah yang terjadi denganmu?”

Li Hong tersenyum dan mengerling tajam. “Ah, tidak terjadi apa-apa, Enci. Aku tadi bertemu Yauw-twako dan kami berbincang-bincang...”

“Hemm, apa saja yang kalian perbincangkan sehingga membuat engkau demikian gembira dan bahagia, Adikku?”

“Bermacam-macamlah! Eh, Enci Ceng, ketika aku memasuki taman tadi, aku melihat engkau meninggalkan Yauw-twako di taman! Kalian bercakap-cakap di dalam taman, bukan? Apa saja yang kalian bicarakan?”

Melihat betapa Li Hong memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik, Ceng Ceng tersenyum tenang. “Mengapa engkau bertanya demikian, Adikku? Memang aku bertemu dengan Yauw-twako di sana, akan tetapi pertemuan itu hanya sebentar dan kami bercakap-cakap biasa saja.”

Li Hong menyadari bahwa pertanyaannya memang agak berlebihan, sehingga terdengar seperti orang menaruh curiga. Maka cepat ia merangkul kakak angkatnya itu. “Ah, aku tidak bermaksud apa-apa, Enci. Maafkan aku...! Eh, Enci Ceng yang baik, bagaimana sih rasanya orang jatuh cinta itu?”

“Ih, anak nakal! Mengapa engkau tanyakan hal itu? Bagaimana aku dapat menjawabnya?”

“Ah, Enci Ceng, aku bertanya kepadamu karena engkau pernah merasakannya. Bukankah engkau dan kakakku Pouw Cun Giok saling mencinta? Nah, yang kutanyakan, bagaimana sih rasanya jatuh cinta itu?”

Ceng Ceng menghela napas panjang. “Adikku, kuharap engkau jangan menyinggung tentang Giok-ko. Engkau akan dapat merasakan sendiri kalau jatuh cinta. Akan tetapi, sebagai kakakmu, aku peringatkan engkau, Adikku. Berhati-hatilah jangan terlalu mudah jatuh cinta karena kalau engkau hanya terdorong gairah kemudian salah pilih, jatuh cinta itu mendatangkan duka. Hong-moi, melihat sikap dan mendengar kata-katamu, timbul dugaan di hatiku bahwa tentu ada apa-apa antara engkau dan Yauw-twako. Benarkah?”

“Enci Ceng sayang, aku percaya sepenuhnya kepadamu, maka aku mau bicara terus terang. Memang telah terjadi sesuatu yang teramat penting. Enci Ceng, dia... Yauw-twako... dia mengatakan bahwa dia... dia mencintaiku!” Sepasang pipi yang berkulit halus putih itu kemerahan, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum malu-malu, tampak cantik sekali.

Ceng Ceng tersenyum walaupun hatinya merasa tidak nyaman mendengar pengakuan adik angkatnya itu. Baru saja Yauw Tek mencoba untuk merayunya dan di lain saat pemuda itu kini menyatakan cinta kepada Li Hong! Biarpun sikap pemuda itu baik, sopan, ramah, juga gagah perkasa, akan tetapi mengapa dia seolah mengobral cinta?

“Adikku, lalu bagaimana tanggapanmu? Apakah engkau juga mencintanya?”

“Dia juga menanyakan hal itu, Enci. Akan tetapi aku masih ragu, aku memang amat suka dan kagum kepada Yauw-twako, akan tetapi... aku tidak yakin betul bagaimanakah rasanya kalau jatuh cinta. Maka tadi kutanyakan kepadamu.”

Ceng Ceng merangkul Li Hong. “Li Hong, Adikku, tidak ada salahnya bagi setiap orang untuk jatuh cinta. Bahkan hidup tanpa adanya cinta akan hampa. Sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi seorang gadis apabila ada seorang pemuda yang mencintanya, yang benar-benar mencintanya dengan tulus, bukan sekedar cinta terdorong nafsu gairah berahi, dan pemuda itu juga ia cinta. Akan tetapi, setiap orang gadis haruslah berhati-hati untuk jatuh cinta, harus waspada agar tidak sampai hanyut oleh cinta palsu karena hal itu akhirnya akan menyakitkan sekali. Wanitalah yang paling menderita kalau sampai pasangan yang tadinya saling mencinta itu akhirnya gagal dan berpisah, bahkan saling membenci.”

“Mengapa wanita yang paling menderita, Enci?”

“Memang, pria dan wanita itu sama saja, akan tetapi sudah menjadi kenyataan sejak sejarah berkembang bahwa dalam masalah hubungan antara pria dan wanita, si wanitalah yang berada di pihak lentah. Kalau sebuah perkawinan sampai gagal dan terjadi perceraian, si wanita akan dikecam dan dipandang kurang baik di mata masyarakat, sebutan janda merupakan sebutan yang diucapkan dengan nada mencibir dan dengan prasangka buruk, sedangkan si pria tidak terpengaruh nama atau kehormatannya. Tidak ada yang mencibir kalau seorang duda menikah lagi, akan tetapi kalau seorang janda yang menikah lagi, banyak orang, terutama kaum wanita, akan mencibir dan mengejek.”

“Wah, ini tidak adil! Harus diberantas!” Li Hong seperti terbakar, penasaran dan marah. “Kalau ada laki-laki yang palsu cintanya dan menyia-nyiakan wanita yang tadinya saling mencinta dengannya, akan kupecahkan kepalanya!”

“Husshh, Hong-moi. Tahanlah kemarahanmu. Kalau sampai terlaksana kehendakmu itu, kukira dunia ini akan kehilangan prianya lebih dari setengah jumlahnya!”

Ucapan Ceng Ceng ini mengandung kebenaran karena pada jaman itu, derajat kaum wanita di Cina memang amat rendah. Pada masa itu wanita mudah dikawini dan mudah pula diceraikan, bahkan dihargai seolah barang yang indah dan berharga. Akan tetapi karena cinta kaum prianya pada masa itu seperti yang dikenal umum adalah cinta berahi, maka para pria itu mudah bosan terhadap wanita yang tadinya dicintanya dan yang dulu diperebutkannya dengan taruhan nyawa!

“Aih, Enci Ceng, pendapatmu tentang pria tadi amat menakutkan hatiku. Apakah Yauw-twako termasuk pria seperti itu, yang tidak menghargai wanita, yang palsu cintanya dan mudah bosan sehingga mudah menyia-nyiakan pasangannya? Rasanya aku tidak percaya, Enci!”

“Aku pun mengharap dengan sangat agar Yauw-twako bukan termasuk laki-laki yang palsu cintanya. Apalagi kalau dia menjadi laki-laki pilihan hatimu, laki-laki yang engkau cinta. Kalau sampai dia kelak menyia-nyiakanmu dan ternyata cintanya palsu, aku sendiri yang akan menghajarnya, Hong-moi. Akan tetapi kuharap sebelum terlanjur, engkau sebaiknya berhati-hati dan setelah yakin bahwa cintanya murni dan tulus, baru engkau dapat menerima cintanya.”

Li Hong mengangguk-angguk. “Tadi aku pun mengatakan bahwa aku belum dapat mengambil keputusan apakah aku mencintanya atau tidak, Enci Ceng. Kuharap saja cintanya murni. Aku tidak ingin kelak menderita sengsara karena cinta, seperti yang pernah diderita oleh guruku yang kini menjadi ibu tiriku itu selama belasan tahun.”

“Akan tetapi akhirnya gurumu menemukan kebahagiaan karena sebetulnya cinta ayah kandungmu terhadapnya adalah murni. Sudahlah, Hong-moi, tidak baik membicarakan Yauw-twako. Yang penting engkau berhati-hati dan jangan hanya menuruti keinginan hati, melainkan pergunakan kewaspadaanmu sehingga engkau tidak akan salah pilih.”

Li Hong mengerutkan alisnya ketika memandang wajah kakak angkatnya. Ia menemukan kesedihan tertahan yang tersembunyi di balik ucapan encinya itu. “Enci Ceng, aku yakin bahwa engkau tidak salah pilih ketika engkau saling mencinta dengan kakak misanku Pauw Cun Giok. Dia telah bertunangan karena diikatkan perjodohan itu oleh mendiang gurunya. Kelak, kalau aku bertemu dengan dia, pasti aku akan menegurnya karena dia telah membuatmu menderita dan sedih.”

Mendengar ini, Ceng Ceng tersenyum dan awan kesedihan tadi lenyap dari wajahnya yang jelita dan penuh kelembutan. “Aih, mengapa engkau menyinggung hal itu, Hong-moi? Aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Selalu ingatlah, Hong-moi bahwa hidup di dunia ini hanya ada dua hal yang teramat penting dan yang mempengaruhi seluruh jalan hidupmu. Kedua hal itu adalah menanam dan memetik buahnya. Segala perbuatan kita, termasuk pemikiran dan pengucapan, merupakan benih yang kita tanam. Karena benih itu akan menjadi pohon dan berbuah, maka seyogianya kita menanam benih yang terbaik, berarti kita melakukan perbuatan yang terbaik. Kemudian segala peristiwa yang menimpa diri kita, itu bukan lain adalah memetik buah dari benih kita tanam sendiri. Oleh karena itulah, Hong-moi, semua hal yang menimpa diriku, baik maupun buruk, adalah hasil petikan buah dari pohon yang kutanam sendiri, entah kapan aku menanamnya. Maka, aku tidak perlu bersedih, tidak perlu menyalahkan siapa-siapa karena sudah sepantasnyalah kalau aku memetik dan makan buah dari hasil tanamanku sendiri.”

“Aduh, Enci Ceng, engkau seorang gadis yang luar biasa dan bijaksana sekali!”

“Tidak, Hong-moi. Aku pun tiada bedanya dengan engkau atau siapapun juga, lemah dan mudah terpengaruh. Yang penting kita harus selalu waspada setiap saat, terutama sekali, di samping waspada terhadap segala di luar diri, harus waspada terhadap diri sendiri. Waspada terhadap apa yang kupikirkan, apa yang kukatakan, dan apa yang kulakukan. Kewaspadaan yang terus menerus terhadap diri sendiri ini mendatangkan kebijaksanaan, Adikku, walaupun tidak mungkin manusia itu sempurna, namun setidaknya akan selalu ingat untuk menanam benih terbaik melalui pemikiran, ucapan, dan perbuatan.”

Malam telah larut dan kedua orang gadis itu tidur untuk menjaga kesehatan dan kesiapan diri karena mereka maklum bahwa mereka masih menghadapi banyak tantangan dalam usaha mereka mencari harta karun yang dicuri orang.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali mereka telah siap. Pagi itu adalah saat yang ditentukan oleh tantangan Hek Pek Mo-ko terhadap ketua Ang-tung Kai-pang. Kui-tung Sin-kai sudah berdiri di halaman depan rumahnya, dihadap para anggauta Kai-pang yang berjumlah sekitar seratus orang, tidak termasuk anak bini mereka. Ketua itu mengenakan pakaian tambal-tambalan baru, memegang tongkat merahnya dan tampak gagah berwibawa.

Di sebeiahnya berdiri Yauw Tek, juga mengenakan pakaian tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat merah. Ceng Ceng dan Li Hong yang berada di dekat merasa lucu melihat Yauw Tek, akan tetapi juga harus mereka akui bahwa dengan pakaian pengemis itu pun Yauw Tek tampak tampan dan gagah.

“Para anggauta Kai-pang!” seru ketua itu dengan lantang. “Kami akan turun bukit memenuhi tantangan Hek Pek Mo-ko. Kami hanya mengajak limapuluh orang anak buah. Yang lain, sisanya harus melakukan penjagaan di perkampungan kita. Hari ini semua pekerjaan ditunda dan yang penting adalah menjaga keamanan kampung. Kepada mereka yang mengikuti kami turun bukit, sekali lagi kuperingatkan. Kalian ikut bukan untuk bertempur, melainkan hanya untuk menjaga agar kami yang melakukan pi-bu (adu silat) tidak sampai dikeroyok. Ingat, tanpa adanya perintah dariku, semua dilarang turun tangan menyerang!”

Setelah menyampaikan pesan dan perintahnya, rombongan itu turun bukit. Kui-tung Sin-kai berjalan di depan, ditemani Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong. Di belakang mereka berjalan limapuluh orang anak buah yang semua berpakaian tambal-tambalan dan memegang tongkat merah.

Ketika mereka tiba di tempat dekat hutan di mana kemarin dulu anggauta Kai-pang berkelahi melawan anak buah Hek Pek Mo-ko, rombongan itu melihat rombongan lawan sudah berada di situ. Di depan rombongan itu berdiri dua orang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun yang bukan lain adalah Hek Pek Mo-ko.

Hek Mo-ko bermuka hitam arang, pakaiannya juga hitam tubuhnya sedang dan sikapnya sombong. Sebatang golok besar tergantung di punggungnya dan dia berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek. Di sebelah kirinya berdiri Pek Mo-ko yang lebih muda beberapa tahun. Pek Mo-ko juga bertubuh sedang, akan tetapi mukanya seputih kapur dan pakaiannya juga serba putih. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya juga sombong seperti kakaknya. Di belakang mereka berdiri dua gerombolan orang, ada yang berpakaian serba hitam dan ada yang serba putih. Jumlah mereka sekitar limapuluh orang.

Seperti sudah disepakati sebelumnya, yang maju menghadapi dua orang majikan Bukit Batu itu adalah Kui-tung Sin-kai dan Yauw Tek yang juga berpakaian pengemis dan memegang tongkat merah. Kini mereka berdua berdiri berhadapan dengan, Hek Pek Mo-ko.

Hek Mo-ko yang berwajah hitam sambil tersenyum mengejek berkata dengan nada tinggi hati. “Heh-heh, engkau datang juga memenuhi tantangan kami, Kui-tung Sin-kai!”

Ketua Ang-tung Kai-pang masih bersikap tenang lalu berkata dengan lantang penuh wibawa. “Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, selama ini antara kalian dan kami tidak pernah terjadi permusuhan apa pun dan tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Akan tetapi mendadak ada anak buah kalian yang menghina anak buah kami dan memaki kami sebagai pencuri! Apa sebenarnya niat buruk kalian karena agaknya kalian mendukung anak buah kalian yang jahat itu?”

“Heh-heh-heh-heh!” Pek Mo-ko tertawa dan menudingkan telunjuknya kepada Ketua Kai-pang. “Bukan menuduh sembarangan, karena kami hampir yakin bahwa kalian yang mencuri harta karun Kerajaan Sung itu!”

“Hemm, tuduhan membabi buta! Apa dasar dan alasan maupun buktinya bahwa kami melakukan pencurian itu?”

“Ha-ha-ha, alasannya sudah jelas! Kalian ini hidup sebagai pengemis yang selalu kekurangan makan, tentu saja haus akan harta benda. Kalau yang mencuri itu tinggal di Thai-san ini, seperti pengakuan mereka, siapa lagi pelaku pencurian itu kecuali Ang-tung Kai-pang?” kata Hek Mo-ko.

“Heii! Babi muka hitam dan anjing muka putih! Aku tahu sekarang! Kalian sengaja menuduh Ang-tung Kai-pang untuk mengalihkan perhatian, padahal sebetulnya kalian dua binatang bermulut kotor inilah yang menjadi pencuri!” seru Li Hong.

Tentu saja Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko marah sekali. Belum pernah selama hidup mereka dimaki dengan kata-kata demikian menghina, apalagi oleh seorang gadis muda seperti ini!

“Perempuan keparat!” Hek Mo-ko mendorongkan tangan kanannya ke arah Li Hong yang memakinya. Sinar hitam menyambar ke arah Li Hong, akan tetapi dengan beraninya Li Hong menyambutnya dengan Hek-tok-tong-sim-ciang yang juga mengeluarkan asap hitam.

“Derrrr...!” Hek Mo-ko terkejut ketika merasa betapa hawa pukulannya membalik, sungguhpun Li Hong juga merasa betapa kuatnya pukulan manusia muka hitam itu.

Ketua Kai-pang melangkah maju. “Hek Pek jangan menyerang lain orang. Kita selesaikan urusan antara kita. Kami dari Ang-tung Kai-pang menyambut tantanganmu untuk mengadakan pi-bu di sini. Dengan cara apa kalian hendak mengadu kepandaian? Satu lawan satu? Aku yang akan maju! Kalian maju berdua? Aku akan maju bersama saudara mudaku ini! Ataukah kalian mau secara keroyokan mengerahkan orang-orangmu? Kami juga tidak akan mundur dan sudah siap!”

Hek Mo-ko memandang kepada Yauw Tek penuh perhatian. Dia merasa heran dan curiga melihat betapa teman Ketua Kai-pang itu seorang pemuda tampan dan tidak patut mengenakan pakaian pengemis. “Kui-tung Sin-kai, siapakah pemuda ini? Benarkah dia anggauta Kai-pang? Orang muda, benarkah engkau anggauta Kai-pang dan siapa namamu?”

“Aku anggauta Kai-pang baru dan namaku Yauw Tek,” kata pemuda itu singkat.

Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko saling pandang. Kedua orang ini sudah memperhitungkan dan maklum bahwa kalau mereka bertanding keroyokan, pihak mereka yang akan menderita rugi. Tadi Hek Mo-ko mengalami sendiri betapa gadis muda cantik jelita itu mampu menahan pukulan sinar hitamnya. Padahal dia terkenal dengan pukulan Hek-kong-ciang (Tangan Sinar Hitam) seperti juga Pek Mo-ko terkenal dengan pukulannya yang ampuh Pek-kong-ciang (Tangan Sinar Putih). Nah, di pihak Ang-tung Kai-pang terdapat orang-orang muda yang lihai, semuanya ada tiga orang, berarti di pihak musuh ada empat orang yang tinggi tingkat kepandaiannya. Sedangkan di pihak mereka hanya ada mereka berdua. Juga mereka melihat betapa Ang-tung Kai-pang mengerahkan anggautanya yang jumlahnya sekitar limapuluh orang, sebanding dengan anak buah mereka sendiri.

Hek Pek Mo-ko, keduanya adalah laki-laki yang mata keranjang. Mereka masing-masing telah memiliki lima orang isteri, akan tetapi setiap kali melihat wanita muda yang jelita, mata mereka masih berminyak. Kini, melihat Ceng Ceng dan Li Hong yang memiliki kecantikan luar biasa, jauh melebihi kecantikan wanita yang pernah mereka miliki, tentu saja mereka berdua tertarik sekali. Apalagi melihat seorang di antara dua gadis itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Alangkah senangnya kalau mereka berdua mendapatkan dua orang gadis jelita dan sakti itu sebagai isteri dan pembantu mereka!

“Kui-tung Sin-kai, kami bukan pengecut yang suka mengandalkan keroyokan. Kami menantangmu untuk bertanding satu lawan satu, atau dua lawan dua. Kami berdua yang akan maju. Nah, dari pihakmu siapa yang akan menandingi kami?”

“Aku sendiri dan rekanku Yauw Tek ini yang akan menandingi kalian berdua,” kata Kui-tung Sin-kai menjawab.

“Heh-heh-heh, bagus sekali!” Pek Mo-ko tertawa dengan sikap memandang rendah. “Akan tetapi, sebuah pertandingan harus ada taruhannya! Kui-tung Sin-kai apa yang hendak kaupertaruhkan dalam pi-bu (adu silat) ini...?”