Pedang Ular Merah Jilid 21 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG ULAR MERAH JILID 21

Oei Sun segera menyimpan kembali ilmunya dan berkata sambil tertawa. "Saudara Tiong Kiat, terus terang saja aku sendiri pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek-lian-kauw. Kau lihat, Pek-lian-kauw adalah sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi dan dulu dibasmi hanya karena hasutan orang-orang yang merasa iri hati dan yang berkali-kali dikalahkan oleh Pek-lian kauw."

"Akan tetapi… aku mendengar bahwa perkumpulan itu telah melakukan kejahatan-kejahatan hebat..." kata Tiong Kiat.

Thian It Tosu tertawa bergelak. "Ha ha ha. Sim-ciangkun, kau benar-benar masih hijau dan belum berpengalaman. Mana ada orang-orang yang membenci sesuatu membicarakan soal-soal baik tentang yang dibencinya? Kami akui bahwa tentu saja ada dahulu anggota-anggota Pek-lian-kauw yang jahat dan menyeleweng akan tetapi dunia manakah yang tidak ada kambing hitamnya? Menurut pandanganmu, Sim-ciangkun, apakah pinto berlima dan juga Oei ciangkun ini patut disebut orang-orang jahat?"

Tiong Kiat harus mengakui kebenaran kata-kata ini dan kini ia tidak begitu benci lagi mendengar nama Pek-lian-kauw. Kemudian dengan amat pandainya Thian It tosu dan Oei Sun memuji-muji Pek-Iian-kauw dan menyatakan penyesalannya terhadap pemerintah yang dapat dihasut oleh orang jahat sehingga Pek-lian-kauw dibasmi.

Tiong Kiat diam-diam terkena juga oleh bujukan dan hasutan ini dan diikutinya pula bahwa pemerintah kurang bijaksana dalam urusannya menghadapi Pek-Iian-kauw. Apalagi setelah Thian It Tosu menyatakan hendak memberi pelajaran ilmu gaib kepadanya, makin sukalah hati Tiong Kiat terhadap orang orang Pek-lian-kauw yang dianggapnya benar-benar orang gagah yang setia terhadap negara dan bangsa!

********************

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Telah lama kita meninggalkan Tiong Han, pemuda bernasib malang yang banyak mengalami penderitaan batin karena perbuatan adiknya yang amat disayanginya itu. Semenjak pertemuannya dengan sumoinya, Can Kui Hwa yang sudah mendapat jodoh dengan pemuda Un Leng dan mendengar penuturan sumoinya itu tentang perlakuan Tiong Kiat terhadapnya, Tiong Han merasa makin sedih dan juga gemas.

Bagaimana Tiong Kiat sampai menjadi demikian jahat? Aku harus dapat mencarinya, aku harus menangkapnya dan membawanya kepada suhu! Pikiran Tiong Han sudah tetap, karena kalau makin banyak adiknya melakukan perbuatan jahat, ia merasa bertanggung jawab juga dan merasa ikut berdosa.

Sampai berbulan-bulan ia merantau mencari jejak adiknya, dan akhirnya ia mendengar bahwa Tiong Kiat telah menjadi seorang perwira! Tentu saja ia merasa heran sekali akan tetapi oleh karena berita ini ia terima dari orang-orang suku bangsa lain yang tinggal di utara dan keterangan mereka itu hanya samar-samar ia belum percaya benar. Betapapun juga, ia lalu mengejar ke utara.

Dari seorang di antara para pedagang yang seringkali melakukan perjalanan jauh ke utara, ia mendengar tentang seorang perwira yang bekerja dalam benteng panglima Oei di dekat Sungai Sungari. Tiong Han masih belum percaya kalau adiknya bisa menjadi perwira akan tetapi oleh karena tidak tahu harus mencari ke mana ia pergi juga ke daerah itu.

Di sepanjang jalan ia mendengar tentang pertempuran antara suku bangsa Cou melawan suku bangsa Ouigour, akan tetapi berita ini tidak begitu menarik perhatiannya, ia hanya bertanya-tanya di mana adanya benteng dari panglima she Oei yang menjaga tapal batas sebelah utara ini.

Pada suatu pagi, tibalah ia di kota yang hanya terpisah sepuluh li dari benteng di mana orang yang dicarinya berada! Kota ini kecil saja akan tetapi di situ banyak terdapat orang-orang berdagang atau lebih tepat bertukar barang dengan penduduk di utara ini. Juga terdapat rumah-rumah makan dan rumah-rumah penginapan.

Ketika Tiong Han memasuki kota ini, ia menjumpai keganjilan-keganjilan ketika beberapa orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan belum pernah dilihatnya selama hidup, ketika bertemu dengan dia lalu memberi hormat! Akan tetapi oleh karena sudah terlalu sering mengalami hal aneh, Tiong Han bahkan menjadi girang sekali karena yakinlah bahwa Tiong Kiat pasti berada di tempat yang tidak jauh!

Ia maklum bahwa orang-orang yang memberi hormat kepadanya itu tentu mengira bahwa dia adalah Tiong Kiat. Akan tetapi, untuk kesekian kalinya, ia mengalami hal yang tidak enak saja yang ditimbulkan oleh persamaan mukanya dengan adiknya yang manis itu. Ketika ia berjalan dengan tindakan tenang di depan sebuah toko obat, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua melompat keluar dari toko itu, mencabut golok dan menyerangnya dengan kalap sambil berseru,

”Bangsat rendah! Kembalikan anakku...!"

Orang yang kalap itu menyerangnya dari samping dengan golok dibacokkan ke arah dadanya. Tentu saja serangan ini sama sekali tak membikin gugup pada Tiong Han, akan tetapi benar-benar membuatnya merasa kaget dan heran. Ia cepat mengelak dan berkata,

"Sahabat, perlahan dulu. Ada urusan baik dibicarakan dulu, jangan terburu nafsu menyerang orang di jalan!”

"Manusia tidak tahu malu! Iblis bermuka manusia mau bicara apalagi? Hanya ada dua pilihan bagimu, hidupkan kembali anakku atau kau harus mampus menyusul anakku...!" Dan kembali golok yang agaknya telah berhari-hari di asah sehingga menjadi berkilat tajamnya itu menyambar ke arah leher Tiong Han.

Kembali dengan amat mudahnya serangan itu dapat dielakkan oleh Tiong Han dan karena pemuda ini merasa mendongkoI juga dengan sekali menggerakkan tangan ia melakukan tipu gerakan Kim-liong-jiauw (Naga Emas Mengulur Kuku) dan dengan amat mudahnya terampaslah golok itu dari tangan penyerang.

”Sabar… sabar, sahabat. Jangan main-main dengan golok tajam" sambil berkata demikian Tiong Han menjepit golok itu di antara tangannya dan sekali ia mengerahkan tenaga, terdengar bunyi pletak dan patahlah golok itu pada tengah-tengahnya. Ia melempar potongan golok itu ke atas tanah.

Akan tetapi baru saja ia hendak menghadapi penyerangnya untuk ditanyai keterangan tentang kelakuannya yang aneh ini datanglah berlari-lari lima orang tentara yang cepat memberi hormat kepadanya dan tanpa banyak cakap, lima orang tentara itu lalu menyeret kedua tangan penyerang itu.

"Bangsat she Sim...! Biarpun aku akan mati lihat saja, rohku akan menjadi setan penasaran dan akan mengejarmu selalu...! Kau perusak rumah tangga, pengganggu wanita, kau manusia…"

Baru saja memaki sampai di situ, seorang di antara lima orang penangkapnya itu mengayun tangan menampar mulutnya. Orang itu mengeluh dan menundukkan mukanya. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya!

Melihat orang itu diseret-seret dan mendengar kata-katanya, Tiong Han dapat menduga bahwa kembali Tiong Kiat telah membuat gara-gara. Ia merasa kasihan sekali kepada orang tua itu. Dengan beberapa lompatan saja ia telah dapat mengejar.

"Lepaskan dia!" serunya dengan keras. Ia telah siap sedia untuk memukul tentara yang lima orang banyaknya itu kalau mereka melawan, akan tetapi kembali mereka memberi hormat, dan hanya memandang dengan terheran.

"Akan tetapi... Sim-ciangkun..." kata seorang diantara mereka.

Tiong Han merasa sebal sekali. Ia maklum bahwa Tiong Kiat agaknya benar-benar telah menjadi seorang perwira dan lima orang tentara ini tentulah anak buahnya.

"Lepaskan dia, dan pergilah kalian!" Ia berseru lagi dengan marah.

Lima orang itu lalu mengangkat pundak lalu meninggalkan tempat ini tanpa berani banyak cakap lagi. Adapun orang tua itu kini memandang kepada Tiong Han dengan mata terbelalak.

"Kau melepaskan aku... Apakah kau hendak menghukum aku dengan tanganmu sendiri ? Orang muda tidak berbudi, jangan kau kira bahwa aku takut mati setelah apa yang kau lakukan terhadap puteriku!"

Tanpa bertanya lagi Tiong Han sudah dapat menduga apa yang telah dilakukan oleh Tiong Kiat terhadap puteri dari orang ini. Mukanya berobah merah saking marah dan gemasnya terhadap Tiong Kiat.

"Sudahlah, lebih baik kau pulang saja. Orang yang berbuat dosa pasti akan mendapatkan hukumannya!"

Setelah berkata demikian, Tiong Han lalu meninggalkan orang itu yang menjadi begitu terheran-heran mendengar ucapan Tiong Han tadi sehingga ia hanya berdiri dengan mulut melongo di tengah jalan!

Sementara itu, Tiong Han melanjutkan perjalanannya. Ia ingin sekali bertanya kepada orang tadi di mana ia dapat menjumpai Tiong kiat tetapi ia tidak ingin mendengar kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Tiong Kiat. Lebih baik bertanya kepada orang lain saja pikirnya.

Ketika melihat sebuah rumah makan yang cukup besar, masuklah Tiong Han ke dalam rumah makan itu. Ia memesan makanan dengan sikap biasa sungguhpun pelayan yang membungkuk-bungkuk di depannya dengan luar biasa hormatnya itu menimbulkan sebal dalam hatinya. Hem, agaknya semua orang di tempat ini menghormat sekali kepada Tiong Kiat, kecuali orang yang menyerangnya tadi tentunya.

Di dalam restoran itu telah banyak tamu dan ada beberapa orang berpakaian perwira duduk di sudut sambil bersendau gurau. Ketika Tiong Han masuk, mereka memandang dan ada yang tersenyum, akan tetapi tak lama kemudian mereka saling pandang dengan muka menyatakan keheranan besar. Mereka hanya memandang saja dan amat memperhatikan Tiong Han, akan tetapi pemuda ini pura-pura tidak melihat mereka dan makan masakan pesanannya dengan tenang.

Setelah ia selesai makan dan hendak keluar dari rumah makan itu, tiba-tiba tiga orang perwira yang semenjak tadi melihatnya, berdiri dan menghampirinya.

"Ah, Sim ciangkun, apakah benar-benar kau tidak kenal lagi kepada kami? Kami kira kau tadi main-main, akan tetapi ternyata sampai sekarang benar-benar tidak menyapa kami. Benar-benar lucu sekali kau ini, keluar dari benteng dengan pakaian preman, dan berlaku pura-pura tidak mengenal kawan. Apakah artinya ini?"

Tiong Han mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Sam wi ciangkun, kalian telah salah lihat. Sim ciangkun kiranya masih berada di dalam benteng, dan aku sendiripun ingin sekali menjumpainya. Maukah sam-wi menolongku untuk menemui Sim-ciangkun, adikku itu!”

Untuk sesaat, ketiga orang perwira itu tertegun dan mengira bahwa pemuda ini memang benar Sim Tiong Kiat yang masih berpura-pura atau hendak menggoda mereka. Akan tetapi setelah melihat kesungguhan tarikan wajah Tiong Han, mereka saling pandang lalu berkata,

”Marilah ikut kami ke benteng."

Tiga orang perwira itu lalu mengajak Tiong Han keluar dari rumah makan dan langsung menuju ke benteng di luar kota. Tiong Han berdebar jantungnya. Akhirnya dapat juga ia mendapatkan tempat persembunyian adiknya itu dan bermacam-macam pikiran teraduk di dalam kepalanya, memikirkan dan membayangkan bagaimana penyambutan Tiong Kiat kepadanya. Bagaimana kalau Tiong Kiat melawan?

Aku harus melakukan pertempuran mati-matian kali ini, pikir Tiong Han sambiI menggigit bibirnya. Tentu kepandaiannya telah amat maju dengan bantuan kitab ilmu pedang itu akan tetapi belum tentu aku kalah olehnya. Kali ini, ia turut ke Liong-san menghadap suhu dengan baik-baik, atau aku akan bertempur mati-matian!

Ia tidak tahu sama sekali bahwa Tiong Kiat sudah dapat menduga kedatangannya ini! Tadi ketika ia masih makan di rumah makan lima orang tentara yang tadi menangkap orang yang menyerangnya ketika kembali ke dalam benteng dan melihat Tiong Kiat, mereka menjadi heran sekali dan cepat menceritakan pengalaman mereka kepada Sim ciangkun.

Tiong Kiat terkejut sekali dan menjadi pucat, akan tetapi ia segera menetapkan hatinya dan berkata, "Aku memang mempunyai seorang saudara yang sama benar mukanya dengan aku. Di mana dia sekarang?"

"Kami tidak tahu, Sim ciangkun. Mungkin masih di dalam kota. la amat lihai… dan... dan dia sengaja melepaskan orang she Phoa itu!"

"Sudahlah jangan banyak cakap, dan jangan mencampuri urusanku." Tiong Kiat membentak sehingga lima orang tentara itu cepat-cepat meninggalkan perwira yang mereka segani ini.

Tiong Kiat menggigit-gigit bibirnya, kebiasaan yang dilakukan apabila ia sedang gelisah. la merasa malu terhadap kakaknya, karena lagi-lagi kakaknya mendengar tentang perbuatan yang tidak patut, bahkan kakaknya pula yang hampir saja menjadi korban.

Tadinya ia hendak membanggakan kedudukannya kepada Tiong Han, hendak memperlihatkan kepada kakaknya itu bahwa betapapun juga, dia kini telah memiIih jalan baik dan terhormat, telah menjadi seorang perwira pembela nusa bangsa. Akan tetapi, apa yang didapati oleh Tiong Han? Baru saja muncul di dekat benteng telah diserang oleh orang she Phoa itu karena orang she Phoa itu marah dan menaruh hati dendam kepadanya!

Tiong Kiat teringat betapa ia telah mempermainkan anak gadis she Phoa itu sehingga gadis itu mengandung. Karena malu dan mendapat kenyataan bahwa Tiong Kiat tidak mau mengawininya, gadis itu lalu membunuh diri dengan menggantung diri di dalam kamarnya. Tiong Kiat sudah mendengar betapa ayah dari gadis itu amat marah dan mengancam hendak menyerangnya apabila bertemu.

Oleh karena itu, jarang sekali Tiong Kiat pergi ke kota itu, takut kalau kalau orang she Phoa itu menimbulkan ribut yang akan memalukannya saja. Dan tidak disangka-sangkanya sekarang orang she Phoa itu bertemu dengan Tiong Han dan menyerangnya! Ah, alangkah akan marahnya Tiong Han, kakaknya yang baik budi itu. Dan Tiong Kiat menjadi amat kecewa terhadap diri sendiri. Mengapa aku tak dapat menahan nafsu jahatku? Mengapa aku tidak bisa menjadi sebaik dia?

Sudah terlambat, pikirnya. Langkah pertama telah membawanya ke jalan sesat, yakni ketika ia mengadakan hubungan dengan sumoinya, Kui Hwa. Setelah itu, terpaksa ia melakukan perjalanan di atas jalan yang sesat. Ah, kalau saja bisa menjadi istriku... ia mengeluh. Dengan nona itu disampingku, aku akan mendapat kekuatan baru, mendapat semangat baru dan aku berani menghadapi dunia dan mencari jalan baru yang baik.

Akan tetapi, kembali ia mengeluh sedih. Ia telah merusak kebahagiaan sendiri, ia telah melenyapkan kemungkinan dan pengharapannya untuk dapat menjadi suami dari seorang gadis seperti Suma Eng. la telah menyakiti hati gadis itu, bahkan kini gadis itu telah menjadi pembantu dari Piloko, telah menjadi musuhnya! Ah, ia mau menukarkan apa saja, bahkan kedudukannya sebagai perwira, bahkan mengurangi usianya, asal saja ia dapat bersatu dan berbaik dengan Suma Eng yang berada di puncak gunung, tempat suku bangsa Cou bertahan itu!

Demikianlah, pikiran Tiong Kiat melamun dan melayang-layang tidak keruan. Selagi ia duduk bertopang dagu, ia dikejutkan oleh Oei Sun dan Go-bi Ngo koai tung yang datang dengan tiba-tiba. Oei Sun berkata,

"Saudaraku yang baik, mengapa kau melamun saja? Di luar telah menanti kakakmu. Ah, hampir saja aku dan Ngo-wi suhu ini tidak percaya akan pandangan mata sendiri. Kakakmu itu begitu sama dengan kau!”

"Benar, Sim ciangkun, memang aneh sekali. Belum pernah pinto melihat persamaan muka dan bentuk badan seperti kau dan pemuda yang menantimu di luar itu." Kata Thian lt Tosu. Juga tosu yang lain, Thian Ji Tosu dan adik-adiknya, ikut menyatakan keheranan mereka.

"Akan tetapi, agaknya dia tidak mempunyai maksud yang baik, Sim ciangkun.” kata Thian Ngo Tosu, orang termuda dari Go-bi Ngo koai-tung.

Tiong Kiat memandang kepada enam orang itu dengan tajam, lalu berkata sungguh-sungguh. "Betapapun juga, dia adalah kakakku, orang yang gagah perkasa dan baik, jauh lebih baik dari padaku. Oleh karena itu, apa pun yang terjadi antara dia dan aku, kuharap Iak-wi jangan ikut campur."

Oei Sun dan kawan-kawannya saling pandang, kemudian panglima pemberontak ini berkata sambil tersenyum. ”Siapa yang hendak mencampuri urusan dua orang kakak beradik? Apalagi dua orang saudara kembar seperti kau dan saudaramu itu, Sim ciangkun. Asal saja dia tidak akan mengganggumu."

Tiong Kiat lalu bertindak keluar dan betul saja, Tiong Han sudah berdiri di luar pintu gerbang benteng, berdiri dengan sikapnya yang keren, tenang, dan juga gagah. Di luar tahu semua orang, baik Tiong Han maupun Tiong Kiat merasai keharuan besar di dalam dada masing-masing ketika keduanya saling pandang. Hubungan darah mereka masih terlampau dekat sehingga tak mungkin dapat dilenyapkan oleh watak dan keadaan yang berlainan jauh sekali itu.

"Han-ko...! Sampai begini jauh kau masih mencariku juga?" pertanyaan dari Tiong Kiat ini mengandung penyesalan besar dan juga mengandung teguran mengapa kakaknya itu tidak menaruh kasihan kepadanya.

"Tiong Kiat, sampai ke ujung nerakapun aku akan mencarimu, karena aku sudah bersumpah akan membawamu kembali ke Liong-San." Jawab Tiong Han dengan suara tenang akan tetapi perlahan karena ia kuatir kalau-kalau suaranya yang mengandung keharuan itu akan terdengar oleh adiknya.

"Han-ko, kau terlalu sekali! Apakah kau tidak mau memberi kesempatan kepada adikmu sendiri untuk merobah kehidupannya? Aku memang pernah melakukan kesesatan, akan tetapi kau lihatlah, Han-ko."

Tiong Kiat menunduk dan memandang ke arah pakaiannya dan mencoba tersenyum ramah kepada kakaknya. "Lihatlah, bukankah adikmu gagah sekali memakai pakaian perwira ini? Han-ko, berilah kesempatan kepadaku. Aku hendak merobah hidupku, bahkan sudah kurobahnya. Bukankah aku sekarang sudah menjadi seorang baik-baik? Menjadi seorang perwira yang mengabdi kepada negara?"

Akan tetapi Tiong Han menggelengkan kepalanya dengan muka sedih. "Kau takkan berobah, adikku. Hanya pakaianmu saja yang berobah. Lupakah kau kepada gadis anak pemilik toko obat? Kau takkan berobah, Tiong Kiat, sayang sekali!"

Merahlah wajah Tiong Kiat, mendengar disebutnya gadis ini. "Kau maksudkan orang gila she Phoa itu? Ah, Han-ko, dia adalah seorang yang miring otaknya, dan…"

"Tiong Kiat! Miring otaknya atau tidak, sudah terang bahwa kau masih mengumbar nafsu jahatmu. Dan akupun tidak datang untuk mengurus perkara orang itu. Lebih baik kau ikut dengan aku, bertemu dengan suhu. Mungkin sekali suhu akan memaafkan kau, atau akan memberi jalan yang baik."

"Han-ko, sekali lagi, aku memohon kau menaruh kasihan kepada adikmu. Aku mengaku bahwa aku telah melakukan banyak dosa dan bahwa seringkali aku tak dapat mengendalikan nafsu yang menguasai diriku. Akan tetapi, Han-ko. Kalau kau membawaku kepada suhu, tentu aku akan dibunuh. Aku tidak takut mati. Han-ko... akan tetapi biarkanlah aku menebus dosa-dosaku dengan mati di medan pertempuran sebagai seorang pahlawan bangsa. Han-ko, kita adalah keturunan seorang pahlawan, seperti yang pernah dikatakan suhu, ayah kitapun seorang pahlawan dan aku…"

“Tutup mulut! Jangan kau menyebut-nyebut nama ayah! Kau tidak berhak menjadi puteranya setelah kau mencemarkan nama keluarga dengan semua perbuatanmu yang terkutuk!”

Tiong Han benar-benar marah, kemarahan yang timbul dari kesedihan hebat karena diingatkan kepada ayahnya. Semenjak kecil ia menjadi kakak, ayah dan ibu terhadap adiknya ini dan sekarang adiknya ternyata menjadi seorang jahat sekali dan ia sendiri mendapat tugas untuk membawanya untuk dihukum! Siapa yang takkan bersedih dan hancur hatinya?

Tiong Kiat memang memiliki watak yang palsu. Sikap yang minta dikasihani tadi sebetulnya hanya setengah pura-pura saja. Ia hanya ingin menjaga agar kakaknya itu tidak melanjutkan niatnya menangkapnya dan suka pergi lagi dengan aman. Sebetulnya ia sama sekali tidak takut, bahkan ia merasa yakin bahwa ia akan dapat melawan kakaknya kini. Tidak percuma kitab ilmu pedang Ang-coa-kiamsut berada di tangannya sedemikian lamanya. Kini mendengar ucapan Tiong Han timbul juga marahnya. Nampaklah kini senyumnya senyum mengejek yang semenjak dahulu dimilikinya senyum jahat yang sudah dikenal baik oleh Tiong Han.

"Han-ko, kau memang sungguh terlalu! Kau mendesak padaku tanpa mengenal kasihan dan ampun. Sungguh percuma mempunyai seorang kakak seperti kau! Kau tidak tahu bahwa sebetulnya aku masih sayang kepadamu dan aku minta dengan baik-baik agar kau jangan mengganggu aku lagi. Han-ko, terus terang saja, sekarang kepandaian adikmu bukan seperti dulu lagi. Kau takkan menang bertanding ilmu pedang melawan aku dan selain dari pada itu aku adalah seorang perwira. Di dalam benteng ini terdapat ribuan orang perajurit yang akan mengeroyokmu atas perintahku belum lagi adanya perwira-perwira yang kepandaiannya bahkan tidak di bawah kepandaianku! Kau pergilah, Han-ko."

Akan tetapi kembali Tiong Han menggelengkan kepalanya. "Aku hanya mau pergi kalau kau suka ikut, Tiong Kiat. Dosamu telah terlalu banyak dan sudah menjadi kewajibanku untuk membawamu kembali kepada suhu, biarpun untuk tugas itu aku harus menggeletak tak bernyawa di sini aku takkan mundur setapakpun."

"Kau benar-benar keras kepala, Han-ko. Betapapun juga tentu saja aku masih berat nyawaku dari pada nyawamu. Nah, majulah, hendak kulihat bagaimana kau akan mengalahkan aku?" kata Tiong Kiat akhirnya sambil mencabut pedangnya yang berkilauan putih, yakni pedang Hui-liong-kiam yang dulu ia terima dari Tiong Han.

"Kali ini kau atau aku, Tiong Kiat!" kata Tiong Han yang cepat mencabut pedang Ang-coa-kiam.

Untuk sesaat keduanya saling pandang dengan harapan terakhir kalau-kalau saudaranya akan mengalah, akan tetapi setelah mereka yakin bahwa pandang mata masing-masing yang bernyala dan bersemangat itu, hampir berbareng keduanya lalu maju menerjang, menggerakkan pedang dengan hebat!

Sebentar saja, keduanya lenyap ditelan gelombang sinar pedang merah dan putih yang saling membelit. Bukan main hebatnya pertandingan antara dua orang murid terpandai dari Kim liong-san ini.

Sebetulnya kalau dinilai dari kepandaiannya mungkin Tiong Kiat masih menang tingkat. Memang pemuda ini lebih baik bakatnya dari pada kakaknya maka dengan kitab Ang-coa-kiamsut berada di tangannya, ia telah mewarisi seluruh ilmu pedang itu dan gerakannya juga lebih lemas dan cepat dari pada Tiong Han. Akan tetapi, Tiong Han memiliki ketenangan dan tenaga serta semangatnya agak lebih menang.

Hal ini bukan karena Tiong Kiat kurang melatih tenaga Iweekang dan semangat, melainkan karena pemuda ini banyak main gila maka tanpa disadarinya, tenaga Iweekangnya banyak melorot. Kemenangan dalam hal inilah yang membuat Tiong Han dapat mengimbangi permainan pedang adiknya yang benar-benar lihai itu.

Pertempuran sudah berjalan seratus jurus dan biarpun dengan pedang Hui-liong kiam Tiong Kiat sudah mulai dapat mendesak pedang Ang coa kiam di tangan kakaknya, namun napasnya mulai senin kemis dan peluhnya telah membasahi jidatnya.

Telah sejak tadi Oei Sun dan Go-bi Ngo-koai-tung berada di tempat itu menyaksikan pertempuran yang bukan main hebatnya ini. Mereka menonton bagaikan kena pesona karena sesungguhnya belum pernah mereka menyaksikan pertandingan pedang sehebat itu. Apalagi pedang yang dimainkan oleh sepasang saudara kembar ini mengeluarkan sinar putih dan merah sehingga nampak sekali kehebatan ilmu pedang itu.

Tadinya Oei Sun dan kelima orang pendeta itu tidak mau mencampuri urusan Tiong Kiat sebagaimana yang telah dipesan oleh perwira muda itu, dan ketika melihat betapa pedang Tiong Kiat mampu mendesak hebat lawannya, merekapun berdiri menonton saja dengan kagum. Akan tetapi ketika Go-bi Ngo koai melihat Tiong Kiat yang hampir kehabisan napas dan berpeluh, sedangkan lawannya masih tenang dan kuat, mereka mengerutkan kening.

"Lawan dari Sim ciangkun ini tidak boleh dibuat main-main. Kalau kita tidak membantu dan Sim-ciangkun roboh binasa, bukankah merupakan satu kerugian besar?" kata Thian It Tosu kepada adik-adiknya.

Mereka menyatakan setuju dan diam-diam Iima orang tosu ini mengeluarkan tongkat masing-masing, siap sedia untuk menyerbu.

Oei Sun mendapat sebuah pikiran baik. "Jangan bunuh dia…" katanya perlahan. "Tangkap saja, siapa tahu kita akan dapat mempergunakan tenaganya pula!”

Thian It Tosu mengangguk dan setelah memberi isarat kepada adik-adiknya mereka bersama lalu menyerbu dan tiba-tiba menyerang Tiong Han dengan hebat sekali.

"Ngowi totiang jangan membantuku!” Tiong Kiat masih mencoba untuk berseru keras lalu disambungnya "Jangan bunuh dia!"

Akan tetapi, kelima orang pendeta itu sudah bergerak dan serangan mereka yang dilakukan berbareng, ditambah serangan dari Tiong Kiat sendiri, membuat Tiong Han kewalahan sekali. Ia masih mencoba untuk memutar pedang merahnya guna membabat putus tongkat-tongkat itu, akan tetapi ternyata lima tongkat butut itu tidak dapat terbabat putus! Tentu saja ia menjadi kaget sekali dan biarpun ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, menghadapi keroyokan ini ia amat terdesak dan keadaannya amat berbahaya.

"Ngowi totiang jangan celakai saudaraku!” Tiong Kiat masih mencoba untuk mencegah lima orang pendeta Pek-Iian-kauw itu, akan tetapi terlambat karena Tiong Han melepaskan Ang Coa kiam dan roboh dengan tubuh lemas. Ia telah terkena totokan tongkat Thian It Tosu yang amat lihai.

"Pinto terpaksa merobohkannya, Sim ciangkun karena keadaanmu tadi amat berbahaya. Mana bisa kami mendiamkannya saja?" kata Thian It Tosu.

"Dan pula, apapun juga yang menjadi sebab pertempuran dan perselisihanmu dengan saudaramu, sebagai seorang gagah ia harus mengerti bahwa melawan seorang perwira berarti memberontak terhadap kaisar! Untuk perbuatannya ini ia harus dijatuhi hukuman militer!” kata Oei Sun kepada Tiong Kiat.

Tiong Kiat menjadi pucat wajahnya. Ia menengok ke arah Tiong Han yang masih rebah tak dapat bergerak itu dan rasa iba memenuhi dadanya. "Jangan, Oei ciangkun. Kuminta kepadamu, demi persahabatan kita, jangan kau menjatuhkan hukuman kepada kakakku ini. Ia memang keras hati akan tetapi… ia jauh lebih baik dari padaku. Harap kau suka ampunkan dan lepaskan dia…"

Oei Sun memungut pedang Ang coa kiam yang tadi terlepas dari tangan Tiong Han, ”Pedang bagus…!” katanya.

"ltu adalah Ang coa-kiam pedang pusaka perguruan kami." kata Tiong Kiat.

Oei Sun tercengang, lalu memberikan pedang itu kepada Tiong Kiat. "Jadi pedang inikah yang telah mengangkat namamu sehingga kau dijuluki Ang coa-kiam, Sim ciangkun? Kalau begitu, harus kau yang memiliki pedang ini."

Tiong Kiat menerima pedang itu dan tidak berkata sesuatu, hanya memandang kepada Oei Sun sambil mengharapkan keputusan tentang kakaknya.

"Saudara Sim, biarpun kakakmu sudah melakukan pelanggaran dan dengan mengacau di depan benteng berarti ia telah menghina aku dan pasukanku, akan tetapi kalau saja dia suka membantu kita dan berbakti kepada negara, tentu dengan sukahati aku akan membebaskannya dari segala hukuman."

Tiong Kiat berpikir sejenak dan berserilah mukanya. Mengapa tidak? Kalau Tiong Han dapat mengikuti jejaknya, menjadi seorang perwira, tentu hubungan mereka menjadi baik kembali dan ia tak usah takut menghadapi pembalasan dari fihak Kun lun pai atau musuh-musuh yang lain. Ia lalu menghampiri kakaknya dan cepat membebaskan totokan yang dilakukan oleh Thian It Tosu tadi. Tiong Han menggeliat dan setelah jalan darahnya pulih kembali, ia lalu melompat bangun, Tiong Kiat segera memeluknya.

"Han-ko, dengarkah kau tadi? Oei ciangkun yang bijaksana dan budiman ini tidak saja suka mengampuni kesalahanmu, bahkan ia bersedia mengangkatmu menjadi seorang perwira seperti aku. Han-ko, marilah kita lupakan yang sudah-sudah dan kita bersama membuka hidup baru di sini mengikuti jejak mendiang ayah kita!”

Tiong Han memandang kepada Oei Sun dan kepada lima orang pendeta yang merobohkan dia tadi. la mencoba tersenyum, akan tetapi senyumnya pahit.

"Tak kusangka bahwa di dalam benteng terdapat pendeta yarg lihai dan tak pernah kukira pula bahwa orang-orang pemerintah suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Sebuah tugas dari suhu yang diserahkan kepadaku saja sampai hari ini aku tak dapat memenuhinya, bagaimana aku dapat menerima tugas lain dari pemerintah? Tidak, Tiong Kiat jangan kau mencoba membujukku. Kalau kau suka ikut dengan aku ke Liong-san, mungkin kelak aku akan kembali ke sini untuk menghaturkan terima kasih kepada kawan-kawanmu ini, dan mungkin pula aku akan menggantikan kau mengabdi kepada negara!"

"Benar-benar keras kepala, Ngo wi totiang, tangkap saja dia, akan kuberi hukuman yang layak!" kata Oei Sun.

Go-bi Ngo-koai tung bergerak, akan tetapi Tiong Kiat melompat dan mencegah mereka.

"Jangan…! Oei ciangkun, jangan tahan dan hukum dia! Harap kau memandang mukaku!"

Oei Sun mengangkat pundaknya, "Kau terlalu lemah, Sim ciangkun. Biarlah memandang mukamu, aku maafkan dia. Akan tetapi pedangnya harus dirampas, jangan kau kembalikan kepadanya. Orang keras kepala seperti ini berbahaya sekali membawa pedang pusaka. Nah suruhlah dia pergi dari sini!"

Tiong Kiat memandang kepada kakaknya dan tak sampai hatinya untuk mengusirnya. Ia merasa kasihan sekali, akan tetapi yang dikasihani memandang tajam dan keras.

"Baik Tiong Kiat, kali ini aku mengaku kalah dan gagal. Akan tetapi, sekali aku telah bersumpah, aku tetap akan melanjutkan usahaku dan tugasku ini. Pasti akan datang saatnya aku membawamu kembali ke Liong san menghadap suhu!" setelah berkata demikian, Tiong Han memutar tubuhnya dan berlari pergi.

Malu, sedih, dan kecewa rasa hati Tiong Han setelah ia meninggalkan benteng panglima Oei. la telah gagal menangkap Tiong Kiat, bahkan pedang Ang coa kiam telah dirampas. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaikan seorang yang kehilangan semangat ia berjalan masuk keluar hutan, lupa lelah lupa lapar dan lupa tidur. Berhari-hari ia berjalan tak tentu tujuan. Ia maklum bahwa dalam hal ilmu pedang, sekarang Tiong Kiat sudah lebih pandai dari padanya. Untuk menghadapi Tiong Kiat seorang diri saja, sudah merupakan hal yang amat berat dan belum tentu ia akan dapat menangkan adiknya.

Apalagi sekarang keadaan Tiong Kiat amat kuat. Selain telah menjadi seorang perwira yang dilindungi oleh undang-undang dan tidak boleh diserang oleh orang biasa, juga disamping itu masih ada lagi orang-orang pandai seperti lima orang pendeta itu di dalam benteng yang selalu akan membantu Tiong Kiat. Bagaimana ia akan dapat menunaikan tugasnya? Bagaimana ia akan bisa menangkan Tiong Kiat?

Tiong Han benar-benar merasa bingung dan serba salah. Kalau ia nekad menyerbu lagi untuk menghadapi Tiong Kiat akan merupakan usaha yang sia-sia belaka, bahkan ia akan mendapat malu lagi. Untuk kembali kepada suhunya, ia tidak berani. Ketika ia sedang berjalan dengan tubuh terasa lemas dan pikiran melayang jauh, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Bangsat muda, bagus sekali kau datang mengantarkan nyawa!”

Tiong Han terkejut sekali dan cepat mengangkat muka. Ternyata dihadapannya telah berdiri seorang nenek tua yang memandangnya dengan mata merah sekali. Nenek ini rambutnya telah putih, digelung ke belakang dan mukanya kelihatan galak sekali, apa lagi sepasang matanya yang mengeluarkan sinar berapi itu. Pakaiannya seperti pakaian pertapa dari kain putih yang kasar. Nenek ini berdiri dan memegang sebatang tongkat yang bengkak-bengkok dan kepalanya berbentuk aneh seperti kepala naga.

Tiong Han tidak mengenal nenek ini, akan tetapi melihat sikap dan pandang mata nenek yang luar biasa itu, ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan seorang yang pandai. Cepat pemuda ini lalu mengangkat kedua tangannya memberi hormat sambil berkata,

"Maafkan teecu kalau teecu tidak tahu dengan siapakah teecu berhadapan? Dan kesaIahan apa pulakah yang teecu lakukan sehingga membikin marah kepada suthay?”

Mendengar ucapan yang sopan dan sikap yang ramah ini, nenek itu menjadi makin marah. "Bangsat bermulut manis! Dengan wajahmu yang tampan dan mulutmu yang manis itu agaknya kau telah menipu dan membujuk banyak wanita! Kedosaanmu telah bertumpuk-tumpuk, dan manusia macam kau ini amat berbahaya! Tidak saja kau telah melempari nama perguruanmu dengan kotoran, bahkan kau juga membawa-bawa nama pemilik pedang Hui liong kiam yang telah kaucemarkan! Hayo kaukeluarkan Hui liong kiam dan kaukembalikan kepadaku!"

"Suthai… maaf... teecu tidak membawa Hui-liong kiam… sudah teecu berikan…"

Tiong Han berkata gagap dan ia menjadi bingung sekali. Tak dapat ia menceritakan bahwa Hui-liong kiam telah ia berikan kepada Tiong Kiat, dan iapun dapat menduga bahwa kembali nenek ini salah lihat disangkanya ia adalah Tiong Kiat. Akan tetapi anehnya, mengapa nenek ini tahu bahwa dia telah menerima pedang Hui liong kiam yang sudah lama diberikannya kepada Tiong Kiat? Siapakah nenek ini? Tiba-tiba teringatlah ia dan mukanya menjadi berseri.

"Ah, pernah Lui piauwsu bercerita tentang dia…" pikirnya, kemudian ia menjura lagi sambil berkata. "Apakah teecu bukannya berhadapan dengan Pat jiu Toanio Li Bie Hong yang ternama?"

Tiba-tiba nenek itu tertawa dan suara ketawanya merdu dan nyaring seperti suara ketawa seorang gadis muda. Akan tetapi tiba-tiba ia berkata dengan suara bentakan marah sekali.

"Orang jahat, jangan coba berpura-pura. Dulu aku masih memberi ampun kepadamu akan tetapi sekarang jangan harap lagi!" Dan sebelum Tiong Han dapat berjaga diri tahu-tahu tongkat yang panjang itu melayang dan menyambar ke arah kepalanya!

Tiong Han terkejut sekali. Sambaran tongkat itu biarpun masih jauh telah mendatangkan angin pukulan yang hebat sekali. Maklumlah dia bahwa sekali saja kepalanya terkena pukulan tongkat ini, nyawanya takkan dapat tertolong lagi. Ia cepat membuang diri kebelakang dan kemudian melompat menjauhkan diri. Akan tetapi ternyata bahwa Pat jiu Toanio telah berada dihadapannya tanpa ia ketahui kapan bergeraknya. Sekali lagi tongkat nyonya tua itu bergerak, kini menotok ke arah dadanya.

Tiong Han benar-benar merasa bingung, ia tidak mempunyai pedang lagi. Sedangkan seandainya Ang-coa kiam berada di tangannya juga tak mungkin ia dapat menangkan nenek yang gerakan tongkatnya luar biasa sekali ini, apalagi kini ia bertangan kosong. Menghadapi serangan tongkat kedua ini kembali ia mengelak ke kiri akan tetapi sungguh tak disangka sama sekali karena tongkat itu tiba-tiba diputar dan kini yang berbentuk kepala naga itu menyerangnya dengan kecepatan yang tak dapat diduga.

Sebelum Tiong Han dapat mengelak, tongkat itu telah mengenai bajunya. Akan tetapi Tiong Han bukanlah seorang pemuda yang hanya memiliki ilmu silat biasa saja. la telah digembleng hebat oleh Lui Thian Sianjin. Cepat ia mengumpulkan tenaga Iweekangnya ke arah paha kanannya yang disambar tongkat sambil membarengi menggunakan kedua tangan menyampok tongkat itu.

Ketika tongkat itu mengenai paha, tongkat itu membal kembali karena paha Tiong Han telah menjadi keras dan kuat seperti karet dan dibantu oleh sampokannya, tongkat itu terpental.

"Bagus, kepandaianmu tidak jelek, sayang watakmu kotor sekali!" Setelah berkata demikian Pat jiu toanio lalu memutar tongkatnya dengan cepat sekali.

Berkali-kali Tiong Han minta agar supaya nenek itu suka mendengarkan bicaranya akan tetapi semua kata-katanya tidak diperdulikan, bahkan didengarpun tidak oleh nenek yang sudah marah ini. Pat jiu toanio memang mempunyai watak keras dan aneh dan penjahat-penjahat ia tidak mengenal ampun. Apalagi terhadap penjahat muda yang disangkanya Sim Tiong Kiat ini. Ia sengaja mencari-cari Tiong Kiat untuk diberi hukuman.

Pedang Ular Merah Jilid 21

PEDANG ULAR MERAH JILID 21

Oei Sun segera menyimpan kembali ilmunya dan berkata sambil tertawa. "Saudara Tiong Kiat, terus terang saja aku sendiri pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek-lian-kauw. Kau lihat, Pek-lian-kauw adalah sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang memiliki kepandaian tinggi dan dulu dibasmi hanya karena hasutan orang-orang yang merasa iri hati dan yang berkali-kali dikalahkan oleh Pek-lian kauw."

"Akan tetapi… aku mendengar bahwa perkumpulan itu telah melakukan kejahatan-kejahatan hebat..." kata Tiong Kiat.

Thian It Tosu tertawa bergelak. "Ha ha ha. Sim-ciangkun, kau benar-benar masih hijau dan belum berpengalaman. Mana ada orang-orang yang membenci sesuatu membicarakan soal-soal baik tentang yang dibencinya? Kami akui bahwa tentu saja ada dahulu anggota-anggota Pek-lian-kauw yang jahat dan menyeleweng akan tetapi dunia manakah yang tidak ada kambing hitamnya? Menurut pandanganmu, Sim-ciangkun, apakah pinto berlima dan juga Oei ciangkun ini patut disebut orang-orang jahat?"

Tiong Kiat harus mengakui kebenaran kata-kata ini dan kini ia tidak begitu benci lagi mendengar nama Pek-lian-kauw. Kemudian dengan amat pandainya Thian It tosu dan Oei Sun memuji-muji Pek-Iian-kauw dan menyatakan penyesalannya terhadap pemerintah yang dapat dihasut oleh orang jahat sehingga Pek-lian-kauw dibasmi.

Tiong Kiat diam-diam terkena juga oleh bujukan dan hasutan ini dan diikutinya pula bahwa pemerintah kurang bijaksana dalam urusannya menghadapi Pek-Iian-kauw. Apalagi setelah Thian It Tosu menyatakan hendak memberi pelajaran ilmu gaib kepadanya, makin sukalah hati Tiong Kiat terhadap orang orang Pek-lian-kauw yang dianggapnya benar-benar orang gagah yang setia terhadap negara dan bangsa!

********************

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Telah lama kita meninggalkan Tiong Han, pemuda bernasib malang yang banyak mengalami penderitaan batin karena perbuatan adiknya yang amat disayanginya itu. Semenjak pertemuannya dengan sumoinya, Can Kui Hwa yang sudah mendapat jodoh dengan pemuda Un Leng dan mendengar penuturan sumoinya itu tentang perlakuan Tiong Kiat terhadapnya, Tiong Han merasa makin sedih dan juga gemas.

Bagaimana Tiong Kiat sampai menjadi demikian jahat? Aku harus dapat mencarinya, aku harus menangkapnya dan membawanya kepada suhu! Pikiran Tiong Han sudah tetap, karena kalau makin banyak adiknya melakukan perbuatan jahat, ia merasa bertanggung jawab juga dan merasa ikut berdosa.

Sampai berbulan-bulan ia merantau mencari jejak adiknya, dan akhirnya ia mendengar bahwa Tiong Kiat telah menjadi seorang perwira! Tentu saja ia merasa heran sekali akan tetapi oleh karena berita ini ia terima dari orang-orang suku bangsa lain yang tinggal di utara dan keterangan mereka itu hanya samar-samar ia belum percaya benar. Betapapun juga, ia lalu mengejar ke utara.

Dari seorang di antara para pedagang yang seringkali melakukan perjalanan jauh ke utara, ia mendengar tentang seorang perwira yang bekerja dalam benteng panglima Oei di dekat Sungai Sungari. Tiong Han masih belum percaya kalau adiknya bisa menjadi perwira akan tetapi oleh karena tidak tahu harus mencari ke mana ia pergi juga ke daerah itu.

Di sepanjang jalan ia mendengar tentang pertempuran antara suku bangsa Cou melawan suku bangsa Ouigour, akan tetapi berita ini tidak begitu menarik perhatiannya, ia hanya bertanya-tanya di mana adanya benteng dari panglima she Oei yang menjaga tapal batas sebelah utara ini.

Pada suatu pagi, tibalah ia di kota yang hanya terpisah sepuluh li dari benteng di mana orang yang dicarinya berada! Kota ini kecil saja akan tetapi di situ banyak terdapat orang-orang berdagang atau lebih tepat bertukar barang dengan penduduk di utara ini. Juga terdapat rumah-rumah makan dan rumah-rumah penginapan.

Ketika Tiong Han memasuki kota ini, ia menjumpai keganjilan-keganjilan ketika beberapa orang yang sama sekali tidak dikenalnya dan belum pernah dilihatnya selama hidup, ketika bertemu dengan dia lalu memberi hormat! Akan tetapi oleh karena sudah terlalu sering mengalami hal aneh, Tiong Han bahkan menjadi girang sekali karena yakinlah bahwa Tiong Kiat pasti berada di tempat yang tidak jauh!

Ia maklum bahwa orang-orang yang memberi hormat kepadanya itu tentu mengira bahwa dia adalah Tiong Kiat. Akan tetapi, untuk kesekian kalinya, ia mengalami hal yang tidak enak saja yang ditimbulkan oleh persamaan mukanya dengan adiknya yang manis itu. Ketika ia berjalan dengan tindakan tenang di depan sebuah toko obat, tiba-tiba seorang laki-laki setengah tua melompat keluar dari toko itu, mencabut golok dan menyerangnya dengan kalap sambil berseru,

”Bangsat rendah! Kembalikan anakku...!"

Orang yang kalap itu menyerangnya dari samping dengan golok dibacokkan ke arah dadanya. Tentu saja serangan ini sama sekali tak membikin gugup pada Tiong Han, akan tetapi benar-benar membuatnya merasa kaget dan heran. Ia cepat mengelak dan berkata,

"Sahabat, perlahan dulu. Ada urusan baik dibicarakan dulu, jangan terburu nafsu menyerang orang di jalan!”

"Manusia tidak tahu malu! Iblis bermuka manusia mau bicara apalagi? Hanya ada dua pilihan bagimu, hidupkan kembali anakku atau kau harus mampus menyusul anakku...!" Dan kembali golok yang agaknya telah berhari-hari di asah sehingga menjadi berkilat tajamnya itu menyambar ke arah leher Tiong Han.

Kembali dengan amat mudahnya serangan itu dapat dielakkan oleh Tiong Han dan karena pemuda ini merasa mendongkoI juga dengan sekali menggerakkan tangan ia melakukan tipu gerakan Kim-liong-jiauw (Naga Emas Mengulur Kuku) dan dengan amat mudahnya terampaslah golok itu dari tangan penyerang.

”Sabar… sabar, sahabat. Jangan main-main dengan golok tajam" sambil berkata demikian Tiong Han menjepit golok itu di antara tangannya dan sekali ia mengerahkan tenaga, terdengar bunyi pletak dan patahlah golok itu pada tengah-tengahnya. Ia melempar potongan golok itu ke atas tanah.

Akan tetapi baru saja ia hendak menghadapi penyerangnya untuk ditanyai keterangan tentang kelakuannya yang aneh ini datanglah berlari-lari lima orang tentara yang cepat memberi hormat kepadanya dan tanpa banyak cakap, lima orang tentara itu lalu menyeret kedua tangan penyerang itu.

"Bangsat she Sim...! Biarpun aku akan mati lihat saja, rohku akan menjadi setan penasaran dan akan mengejarmu selalu...! Kau perusak rumah tangga, pengganggu wanita, kau manusia…"

Baru saja memaki sampai di situ, seorang di antara lima orang penangkapnya itu mengayun tangan menampar mulutnya. Orang itu mengeluh dan menundukkan mukanya. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya!

Melihat orang itu diseret-seret dan mendengar kata-katanya, Tiong Han dapat menduga bahwa kembali Tiong Kiat telah membuat gara-gara. Ia merasa kasihan sekali kepada orang tua itu. Dengan beberapa lompatan saja ia telah dapat mengejar.

"Lepaskan dia!" serunya dengan keras. Ia telah siap sedia untuk memukul tentara yang lima orang banyaknya itu kalau mereka melawan, akan tetapi kembali mereka memberi hormat, dan hanya memandang dengan terheran.

"Akan tetapi... Sim-ciangkun..." kata seorang diantara mereka.

Tiong Han merasa sebal sekali. Ia maklum bahwa Tiong Kiat agaknya benar-benar telah menjadi seorang perwira dan lima orang tentara ini tentulah anak buahnya.

"Lepaskan dia, dan pergilah kalian!" Ia berseru lagi dengan marah.

Lima orang itu lalu mengangkat pundak lalu meninggalkan tempat ini tanpa berani banyak cakap lagi. Adapun orang tua itu kini memandang kepada Tiong Han dengan mata terbelalak.

"Kau melepaskan aku... Apakah kau hendak menghukum aku dengan tanganmu sendiri ? Orang muda tidak berbudi, jangan kau kira bahwa aku takut mati setelah apa yang kau lakukan terhadap puteriku!"

Tanpa bertanya lagi Tiong Han sudah dapat menduga apa yang telah dilakukan oleh Tiong Kiat terhadap puteri dari orang ini. Mukanya berobah merah saking marah dan gemasnya terhadap Tiong Kiat.

"Sudahlah, lebih baik kau pulang saja. Orang yang berbuat dosa pasti akan mendapatkan hukumannya!"

Setelah berkata demikian, Tiong Han lalu meninggalkan orang itu yang menjadi begitu terheran-heran mendengar ucapan Tiong Han tadi sehingga ia hanya berdiri dengan mulut melongo di tengah jalan!

Sementara itu, Tiong Han melanjutkan perjalanannya. Ia ingin sekali bertanya kepada orang tadi di mana ia dapat menjumpai Tiong kiat tetapi ia tidak ingin mendengar kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Tiong Kiat. Lebih baik bertanya kepada orang lain saja pikirnya.

Ketika melihat sebuah rumah makan yang cukup besar, masuklah Tiong Han ke dalam rumah makan itu. Ia memesan makanan dengan sikap biasa sungguhpun pelayan yang membungkuk-bungkuk di depannya dengan luar biasa hormatnya itu menimbulkan sebal dalam hatinya. Hem, agaknya semua orang di tempat ini menghormat sekali kepada Tiong Kiat, kecuali orang yang menyerangnya tadi tentunya.

Di dalam restoran itu telah banyak tamu dan ada beberapa orang berpakaian perwira duduk di sudut sambil bersendau gurau. Ketika Tiong Han masuk, mereka memandang dan ada yang tersenyum, akan tetapi tak lama kemudian mereka saling pandang dengan muka menyatakan keheranan besar. Mereka hanya memandang saja dan amat memperhatikan Tiong Han, akan tetapi pemuda ini pura-pura tidak melihat mereka dan makan masakan pesanannya dengan tenang.

Setelah ia selesai makan dan hendak keluar dari rumah makan itu, tiba-tiba tiga orang perwira yang semenjak tadi melihatnya, berdiri dan menghampirinya.

"Ah, Sim ciangkun, apakah benar-benar kau tidak kenal lagi kepada kami? Kami kira kau tadi main-main, akan tetapi ternyata sampai sekarang benar-benar tidak menyapa kami. Benar-benar lucu sekali kau ini, keluar dari benteng dengan pakaian preman, dan berlaku pura-pura tidak mengenal kawan. Apakah artinya ini?"

Tiong Han mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Sam wi ciangkun, kalian telah salah lihat. Sim ciangkun kiranya masih berada di dalam benteng, dan aku sendiripun ingin sekali menjumpainya. Maukah sam-wi menolongku untuk menemui Sim-ciangkun, adikku itu!”

Untuk sesaat, ketiga orang perwira itu tertegun dan mengira bahwa pemuda ini memang benar Sim Tiong Kiat yang masih berpura-pura atau hendak menggoda mereka. Akan tetapi setelah melihat kesungguhan tarikan wajah Tiong Han, mereka saling pandang lalu berkata,

”Marilah ikut kami ke benteng."

Tiga orang perwira itu lalu mengajak Tiong Han keluar dari rumah makan dan langsung menuju ke benteng di luar kota. Tiong Han berdebar jantungnya. Akhirnya dapat juga ia mendapatkan tempat persembunyian adiknya itu dan bermacam-macam pikiran teraduk di dalam kepalanya, memikirkan dan membayangkan bagaimana penyambutan Tiong Kiat kepadanya. Bagaimana kalau Tiong Kiat melawan?

Aku harus melakukan pertempuran mati-matian kali ini, pikir Tiong Han sambiI menggigit bibirnya. Tentu kepandaiannya telah amat maju dengan bantuan kitab ilmu pedang itu akan tetapi belum tentu aku kalah olehnya. Kali ini, ia turut ke Liong-san menghadap suhu dengan baik-baik, atau aku akan bertempur mati-matian!

Ia tidak tahu sama sekali bahwa Tiong Kiat sudah dapat menduga kedatangannya ini! Tadi ketika ia masih makan di rumah makan lima orang tentara yang tadi menangkap orang yang menyerangnya ketika kembali ke dalam benteng dan melihat Tiong Kiat, mereka menjadi heran sekali dan cepat menceritakan pengalaman mereka kepada Sim ciangkun.

Tiong Kiat terkejut sekali dan menjadi pucat, akan tetapi ia segera menetapkan hatinya dan berkata, "Aku memang mempunyai seorang saudara yang sama benar mukanya dengan aku. Di mana dia sekarang?"

"Kami tidak tahu, Sim ciangkun. Mungkin masih di dalam kota. la amat lihai… dan... dan dia sengaja melepaskan orang she Phoa itu!"

"Sudahlah jangan banyak cakap, dan jangan mencampuri urusanku." Tiong Kiat membentak sehingga lima orang tentara itu cepat-cepat meninggalkan perwira yang mereka segani ini.

Tiong Kiat menggigit-gigit bibirnya, kebiasaan yang dilakukan apabila ia sedang gelisah. la merasa malu terhadap kakaknya, karena lagi-lagi kakaknya mendengar tentang perbuatan yang tidak patut, bahkan kakaknya pula yang hampir saja menjadi korban.

Tadinya ia hendak membanggakan kedudukannya kepada Tiong Han, hendak memperlihatkan kepada kakaknya itu bahwa betapapun juga, dia kini telah memiIih jalan baik dan terhormat, telah menjadi seorang perwira pembela nusa bangsa. Akan tetapi, apa yang didapati oleh Tiong Han? Baru saja muncul di dekat benteng telah diserang oleh orang she Phoa itu karena orang she Phoa itu marah dan menaruh hati dendam kepadanya!

Tiong Kiat teringat betapa ia telah mempermainkan anak gadis she Phoa itu sehingga gadis itu mengandung. Karena malu dan mendapat kenyataan bahwa Tiong Kiat tidak mau mengawininya, gadis itu lalu membunuh diri dengan menggantung diri di dalam kamarnya. Tiong Kiat sudah mendengar betapa ayah dari gadis itu amat marah dan mengancam hendak menyerangnya apabila bertemu.

Oleh karena itu, jarang sekali Tiong Kiat pergi ke kota itu, takut kalau kalau orang she Phoa itu menimbulkan ribut yang akan memalukannya saja. Dan tidak disangka-sangkanya sekarang orang she Phoa itu bertemu dengan Tiong Han dan menyerangnya! Ah, alangkah akan marahnya Tiong Han, kakaknya yang baik budi itu. Dan Tiong Kiat menjadi amat kecewa terhadap diri sendiri. Mengapa aku tak dapat menahan nafsu jahatku? Mengapa aku tidak bisa menjadi sebaik dia?

Sudah terlambat, pikirnya. Langkah pertama telah membawanya ke jalan sesat, yakni ketika ia mengadakan hubungan dengan sumoinya, Kui Hwa. Setelah itu, terpaksa ia melakukan perjalanan di atas jalan yang sesat. Ah, kalau saja bisa menjadi istriku... ia mengeluh. Dengan nona itu disampingku, aku akan mendapat kekuatan baru, mendapat semangat baru dan aku berani menghadapi dunia dan mencari jalan baru yang baik.

Akan tetapi, kembali ia mengeluh sedih. Ia telah merusak kebahagiaan sendiri, ia telah melenyapkan kemungkinan dan pengharapannya untuk dapat menjadi suami dari seorang gadis seperti Suma Eng. la telah menyakiti hati gadis itu, bahkan kini gadis itu telah menjadi pembantu dari Piloko, telah menjadi musuhnya! Ah, ia mau menukarkan apa saja, bahkan kedudukannya sebagai perwira, bahkan mengurangi usianya, asal saja ia dapat bersatu dan berbaik dengan Suma Eng yang berada di puncak gunung, tempat suku bangsa Cou bertahan itu!

Demikianlah, pikiran Tiong Kiat melamun dan melayang-layang tidak keruan. Selagi ia duduk bertopang dagu, ia dikejutkan oleh Oei Sun dan Go-bi Ngo koai tung yang datang dengan tiba-tiba. Oei Sun berkata,

"Saudaraku yang baik, mengapa kau melamun saja? Di luar telah menanti kakakmu. Ah, hampir saja aku dan Ngo-wi suhu ini tidak percaya akan pandangan mata sendiri. Kakakmu itu begitu sama dengan kau!”

"Benar, Sim ciangkun, memang aneh sekali. Belum pernah pinto melihat persamaan muka dan bentuk badan seperti kau dan pemuda yang menantimu di luar itu." Kata Thian lt Tosu. Juga tosu yang lain, Thian Ji Tosu dan adik-adiknya, ikut menyatakan keheranan mereka.

"Akan tetapi, agaknya dia tidak mempunyai maksud yang baik, Sim ciangkun.” kata Thian Ngo Tosu, orang termuda dari Go-bi Ngo koai-tung.

Tiong Kiat memandang kepada enam orang itu dengan tajam, lalu berkata sungguh-sungguh. "Betapapun juga, dia adalah kakakku, orang yang gagah perkasa dan baik, jauh lebih baik dari padaku. Oleh karena itu, apa pun yang terjadi antara dia dan aku, kuharap Iak-wi jangan ikut campur."

Oei Sun dan kawan-kawannya saling pandang, kemudian panglima pemberontak ini berkata sambil tersenyum. ”Siapa yang hendak mencampuri urusan dua orang kakak beradik? Apalagi dua orang saudara kembar seperti kau dan saudaramu itu, Sim ciangkun. Asal saja dia tidak akan mengganggumu."

Tiong Kiat lalu bertindak keluar dan betul saja, Tiong Han sudah berdiri di luar pintu gerbang benteng, berdiri dengan sikapnya yang keren, tenang, dan juga gagah. Di luar tahu semua orang, baik Tiong Han maupun Tiong Kiat merasai keharuan besar di dalam dada masing-masing ketika keduanya saling pandang. Hubungan darah mereka masih terlampau dekat sehingga tak mungkin dapat dilenyapkan oleh watak dan keadaan yang berlainan jauh sekali itu.

"Han-ko...! Sampai begini jauh kau masih mencariku juga?" pertanyaan dari Tiong Kiat ini mengandung penyesalan besar dan juga mengandung teguran mengapa kakaknya itu tidak menaruh kasihan kepadanya.

"Tiong Kiat, sampai ke ujung nerakapun aku akan mencarimu, karena aku sudah bersumpah akan membawamu kembali ke Liong-San." Jawab Tiong Han dengan suara tenang akan tetapi perlahan karena ia kuatir kalau-kalau suaranya yang mengandung keharuan itu akan terdengar oleh adiknya.

"Han-ko, kau terlalu sekali! Apakah kau tidak mau memberi kesempatan kepada adikmu sendiri untuk merobah kehidupannya? Aku memang pernah melakukan kesesatan, akan tetapi kau lihatlah, Han-ko."

Tiong Kiat menunduk dan memandang ke arah pakaiannya dan mencoba tersenyum ramah kepada kakaknya. "Lihatlah, bukankah adikmu gagah sekali memakai pakaian perwira ini? Han-ko, berilah kesempatan kepadaku. Aku hendak merobah hidupku, bahkan sudah kurobahnya. Bukankah aku sekarang sudah menjadi seorang baik-baik? Menjadi seorang perwira yang mengabdi kepada negara?"

Akan tetapi Tiong Han menggelengkan kepalanya dengan muka sedih. "Kau takkan berobah, adikku. Hanya pakaianmu saja yang berobah. Lupakah kau kepada gadis anak pemilik toko obat? Kau takkan berobah, Tiong Kiat, sayang sekali!"

Merahlah wajah Tiong Kiat, mendengar disebutnya gadis ini. "Kau maksudkan orang gila she Phoa itu? Ah, Han-ko, dia adalah seorang yang miring otaknya, dan…"

"Tiong Kiat! Miring otaknya atau tidak, sudah terang bahwa kau masih mengumbar nafsu jahatmu. Dan akupun tidak datang untuk mengurus perkara orang itu. Lebih baik kau ikut dengan aku, bertemu dengan suhu. Mungkin sekali suhu akan memaafkan kau, atau akan memberi jalan yang baik."

"Han-ko, sekali lagi, aku memohon kau menaruh kasihan kepada adikmu. Aku mengaku bahwa aku telah melakukan banyak dosa dan bahwa seringkali aku tak dapat mengendalikan nafsu yang menguasai diriku. Akan tetapi, Han-ko. Kalau kau membawaku kepada suhu, tentu aku akan dibunuh. Aku tidak takut mati. Han-ko... akan tetapi biarkanlah aku menebus dosa-dosaku dengan mati di medan pertempuran sebagai seorang pahlawan bangsa. Han-ko, kita adalah keturunan seorang pahlawan, seperti yang pernah dikatakan suhu, ayah kitapun seorang pahlawan dan aku…"

“Tutup mulut! Jangan kau menyebut-nyebut nama ayah! Kau tidak berhak menjadi puteranya setelah kau mencemarkan nama keluarga dengan semua perbuatanmu yang terkutuk!”

Tiong Han benar-benar marah, kemarahan yang timbul dari kesedihan hebat karena diingatkan kepada ayahnya. Semenjak kecil ia menjadi kakak, ayah dan ibu terhadap adiknya ini dan sekarang adiknya ternyata menjadi seorang jahat sekali dan ia sendiri mendapat tugas untuk membawanya untuk dihukum! Siapa yang takkan bersedih dan hancur hatinya?

Tiong Kiat memang memiliki watak yang palsu. Sikap yang minta dikasihani tadi sebetulnya hanya setengah pura-pura saja. Ia hanya ingin menjaga agar kakaknya itu tidak melanjutkan niatnya menangkapnya dan suka pergi lagi dengan aman. Sebetulnya ia sama sekali tidak takut, bahkan ia merasa yakin bahwa ia akan dapat melawan kakaknya kini. Tidak percuma kitab ilmu pedang Ang-coa-kiamsut berada di tangannya sedemikian lamanya. Kini mendengar ucapan Tiong Han timbul juga marahnya. Nampaklah kini senyumnya senyum mengejek yang semenjak dahulu dimilikinya senyum jahat yang sudah dikenal baik oleh Tiong Han.

"Han-ko, kau memang sungguh terlalu! Kau mendesak padaku tanpa mengenal kasihan dan ampun. Sungguh percuma mempunyai seorang kakak seperti kau! Kau tidak tahu bahwa sebetulnya aku masih sayang kepadamu dan aku minta dengan baik-baik agar kau jangan mengganggu aku lagi. Han-ko, terus terang saja, sekarang kepandaian adikmu bukan seperti dulu lagi. Kau takkan menang bertanding ilmu pedang melawan aku dan selain dari pada itu aku adalah seorang perwira. Di dalam benteng ini terdapat ribuan orang perajurit yang akan mengeroyokmu atas perintahku belum lagi adanya perwira-perwira yang kepandaiannya bahkan tidak di bawah kepandaianku! Kau pergilah, Han-ko."

Akan tetapi kembali Tiong Han menggelengkan kepalanya. "Aku hanya mau pergi kalau kau suka ikut, Tiong Kiat. Dosamu telah terlalu banyak dan sudah menjadi kewajibanku untuk membawamu kembali kepada suhu, biarpun untuk tugas itu aku harus menggeletak tak bernyawa di sini aku takkan mundur setapakpun."

"Kau benar-benar keras kepala, Han-ko. Betapapun juga tentu saja aku masih berat nyawaku dari pada nyawamu. Nah, majulah, hendak kulihat bagaimana kau akan mengalahkan aku?" kata Tiong Kiat akhirnya sambil mencabut pedangnya yang berkilauan putih, yakni pedang Hui-liong-kiam yang dulu ia terima dari Tiong Han.

"Kali ini kau atau aku, Tiong Kiat!" kata Tiong Han yang cepat mencabut pedang Ang-coa-kiam.

Untuk sesaat keduanya saling pandang dengan harapan terakhir kalau-kalau saudaranya akan mengalah, akan tetapi setelah mereka yakin bahwa pandang mata masing-masing yang bernyala dan bersemangat itu, hampir berbareng keduanya lalu maju menerjang, menggerakkan pedang dengan hebat!

Sebentar saja, keduanya lenyap ditelan gelombang sinar pedang merah dan putih yang saling membelit. Bukan main hebatnya pertandingan antara dua orang murid terpandai dari Kim liong-san ini.

Sebetulnya kalau dinilai dari kepandaiannya mungkin Tiong Kiat masih menang tingkat. Memang pemuda ini lebih baik bakatnya dari pada kakaknya maka dengan kitab Ang-coa-kiamsut berada di tangannya, ia telah mewarisi seluruh ilmu pedang itu dan gerakannya juga lebih lemas dan cepat dari pada Tiong Han. Akan tetapi, Tiong Han memiliki ketenangan dan tenaga serta semangatnya agak lebih menang.

Hal ini bukan karena Tiong Kiat kurang melatih tenaga Iweekang dan semangat, melainkan karena pemuda ini banyak main gila maka tanpa disadarinya, tenaga Iweekangnya banyak melorot. Kemenangan dalam hal inilah yang membuat Tiong Han dapat mengimbangi permainan pedang adiknya yang benar-benar lihai itu.

Pertempuran sudah berjalan seratus jurus dan biarpun dengan pedang Hui-liong kiam Tiong Kiat sudah mulai dapat mendesak pedang Ang coa kiam di tangan kakaknya, namun napasnya mulai senin kemis dan peluhnya telah membasahi jidatnya.

Telah sejak tadi Oei Sun dan Go-bi Ngo-koai-tung berada di tempat itu menyaksikan pertempuran yang bukan main hebatnya ini. Mereka menonton bagaikan kena pesona karena sesungguhnya belum pernah mereka menyaksikan pertandingan pedang sehebat itu. Apalagi pedang yang dimainkan oleh sepasang saudara kembar ini mengeluarkan sinar putih dan merah sehingga nampak sekali kehebatan ilmu pedang itu.

Tadinya Oei Sun dan kelima orang pendeta itu tidak mau mencampuri urusan Tiong Kiat sebagaimana yang telah dipesan oleh perwira muda itu, dan ketika melihat betapa pedang Tiong Kiat mampu mendesak hebat lawannya, merekapun berdiri menonton saja dengan kagum. Akan tetapi ketika Go-bi Ngo koai melihat Tiong Kiat yang hampir kehabisan napas dan berpeluh, sedangkan lawannya masih tenang dan kuat, mereka mengerutkan kening.

"Lawan dari Sim ciangkun ini tidak boleh dibuat main-main. Kalau kita tidak membantu dan Sim-ciangkun roboh binasa, bukankah merupakan satu kerugian besar?" kata Thian It Tosu kepada adik-adiknya.

Mereka menyatakan setuju dan diam-diam Iima orang tosu ini mengeluarkan tongkat masing-masing, siap sedia untuk menyerbu.

Oei Sun mendapat sebuah pikiran baik. "Jangan bunuh dia…" katanya perlahan. "Tangkap saja, siapa tahu kita akan dapat mempergunakan tenaganya pula!”

Thian It Tosu mengangguk dan setelah memberi isarat kepada adik-adiknya mereka bersama lalu menyerbu dan tiba-tiba menyerang Tiong Han dengan hebat sekali.

"Ngowi totiang jangan membantuku!” Tiong Kiat masih mencoba untuk berseru keras lalu disambungnya "Jangan bunuh dia!"

Akan tetapi, kelima orang pendeta itu sudah bergerak dan serangan mereka yang dilakukan berbareng, ditambah serangan dari Tiong Kiat sendiri, membuat Tiong Han kewalahan sekali. Ia masih mencoba untuk memutar pedang merahnya guna membabat putus tongkat-tongkat itu, akan tetapi ternyata lima tongkat butut itu tidak dapat terbabat putus! Tentu saja ia menjadi kaget sekali dan biarpun ia telah mengerahkan seluruh kepandaiannya, menghadapi keroyokan ini ia amat terdesak dan keadaannya amat berbahaya.

"Ngowi totiang jangan celakai saudaraku!” Tiong Kiat masih mencoba untuk mencegah lima orang pendeta Pek-Iian-kauw itu, akan tetapi terlambat karena Tiong Han melepaskan Ang Coa kiam dan roboh dengan tubuh lemas. Ia telah terkena totokan tongkat Thian It Tosu yang amat lihai.

"Pinto terpaksa merobohkannya, Sim ciangkun karena keadaanmu tadi amat berbahaya. Mana bisa kami mendiamkannya saja?" kata Thian It Tosu.

"Dan pula, apapun juga yang menjadi sebab pertempuran dan perselisihanmu dengan saudaramu, sebagai seorang gagah ia harus mengerti bahwa melawan seorang perwira berarti memberontak terhadap kaisar! Untuk perbuatannya ini ia harus dijatuhi hukuman militer!” kata Oei Sun kepada Tiong Kiat.

Tiong Kiat menjadi pucat wajahnya. Ia menengok ke arah Tiong Han yang masih rebah tak dapat bergerak itu dan rasa iba memenuhi dadanya. "Jangan, Oei ciangkun. Kuminta kepadamu, demi persahabatan kita, jangan kau menjatuhkan hukuman kepada kakakku ini. Ia memang keras hati akan tetapi… ia jauh lebih baik dari padaku. Harap kau suka ampunkan dan lepaskan dia…"

Oei Sun memungut pedang Ang coa kiam yang tadi terlepas dari tangan Tiong Han, ”Pedang bagus…!” katanya.

"ltu adalah Ang coa-kiam pedang pusaka perguruan kami." kata Tiong Kiat.

Oei Sun tercengang, lalu memberikan pedang itu kepada Tiong Kiat. "Jadi pedang inikah yang telah mengangkat namamu sehingga kau dijuluki Ang coa-kiam, Sim ciangkun? Kalau begitu, harus kau yang memiliki pedang ini."

Tiong Kiat menerima pedang itu dan tidak berkata sesuatu, hanya memandang kepada Oei Sun sambil mengharapkan keputusan tentang kakaknya.

"Saudara Sim, biarpun kakakmu sudah melakukan pelanggaran dan dengan mengacau di depan benteng berarti ia telah menghina aku dan pasukanku, akan tetapi kalau saja dia suka membantu kita dan berbakti kepada negara, tentu dengan sukahati aku akan membebaskannya dari segala hukuman."

Tiong Kiat berpikir sejenak dan berserilah mukanya. Mengapa tidak? Kalau Tiong Han dapat mengikuti jejaknya, menjadi seorang perwira, tentu hubungan mereka menjadi baik kembali dan ia tak usah takut menghadapi pembalasan dari fihak Kun lun pai atau musuh-musuh yang lain. Ia lalu menghampiri kakaknya dan cepat membebaskan totokan yang dilakukan oleh Thian It Tosu tadi. Tiong Han menggeliat dan setelah jalan darahnya pulih kembali, ia lalu melompat bangun, Tiong Kiat segera memeluknya.

"Han-ko, dengarkah kau tadi? Oei ciangkun yang bijaksana dan budiman ini tidak saja suka mengampuni kesalahanmu, bahkan ia bersedia mengangkatmu menjadi seorang perwira seperti aku. Han-ko, marilah kita lupakan yang sudah-sudah dan kita bersama membuka hidup baru di sini mengikuti jejak mendiang ayah kita!”

Tiong Han memandang kepada Oei Sun dan kepada lima orang pendeta yang merobohkan dia tadi. la mencoba tersenyum, akan tetapi senyumnya pahit.

"Tak kusangka bahwa di dalam benteng terdapat pendeta yarg lihai dan tak pernah kukira pula bahwa orang-orang pemerintah suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Sebuah tugas dari suhu yang diserahkan kepadaku saja sampai hari ini aku tak dapat memenuhinya, bagaimana aku dapat menerima tugas lain dari pemerintah? Tidak, Tiong Kiat jangan kau mencoba membujukku. Kalau kau suka ikut dengan aku ke Liong-san, mungkin kelak aku akan kembali ke sini untuk menghaturkan terima kasih kepada kawan-kawanmu ini, dan mungkin pula aku akan menggantikan kau mengabdi kepada negara!"

"Benar-benar keras kepala, Ngo wi totiang, tangkap saja dia, akan kuberi hukuman yang layak!" kata Oei Sun.

Go-bi Ngo-koai tung bergerak, akan tetapi Tiong Kiat melompat dan mencegah mereka.

"Jangan…! Oei ciangkun, jangan tahan dan hukum dia! Harap kau memandang mukaku!"

Oei Sun mengangkat pundaknya, "Kau terlalu lemah, Sim ciangkun. Biarlah memandang mukamu, aku maafkan dia. Akan tetapi pedangnya harus dirampas, jangan kau kembalikan kepadanya. Orang keras kepala seperti ini berbahaya sekali membawa pedang pusaka. Nah suruhlah dia pergi dari sini!"

Tiong Kiat memandang kepada kakaknya dan tak sampai hatinya untuk mengusirnya. Ia merasa kasihan sekali, akan tetapi yang dikasihani memandang tajam dan keras.

"Baik Tiong Kiat, kali ini aku mengaku kalah dan gagal. Akan tetapi, sekali aku telah bersumpah, aku tetap akan melanjutkan usahaku dan tugasku ini. Pasti akan datang saatnya aku membawamu kembali ke Liong san menghadap suhu!" setelah berkata demikian, Tiong Han memutar tubuhnya dan berlari pergi.

Malu, sedih, dan kecewa rasa hati Tiong Han setelah ia meninggalkan benteng panglima Oei. la telah gagal menangkap Tiong Kiat, bahkan pedang Ang coa kiam telah dirampas. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bagaikan seorang yang kehilangan semangat ia berjalan masuk keluar hutan, lupa lelah lupa lapar dan lupa tidur. Berhari-hari ia berjalan tak tentu tujuan. Ia maklum bahwa dalam hal ilmu pedang, sekarang Tiong Kiat sudah lebih pandai dari padanya. Untuk menghadapi Tiong Kiat seorang diri saja, sudah merupakan hal yang amat berat dan belum tentu ia akan dapat menangkan adiknya.

Apalagi sekarang keadaan Tiong Kiat amat kuat. Selain telah menjadi seorang perwira yang dilindungi oleh undang-undang dan tidak boleh diserang oleh orang biasa, juga disamping itu masih ada lagi orang-orang pandai seperti lima orang pendeta itu di dalam benteng yang selalu akan membantu Tiong Kiat. Bagaimana ia akan dapat menunaikan tugasnya? Bagaimana ia akan bisa menangkan Tiong Kiat?

Tiong Han benar-benar merasa bingung dan serba salah. Kalau ia nekad menyerbu lagi untuk menghadapi Tiong Kiat akan merupakan usaha yang sia-sia belaka, bahkan ia akan mendapat malu lagi. Untuk kembali kepada suhunya, ia tidak berani. Ketika ia sedang berjalan dengan tubuh terasa lemas dan pikiran melayang jauh, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Bangsat muda, bagus sekali kau datang mengantarkan nyawa!”

Tiong Han terkejut sekali dan cepat mengangkat muka. Ternyata dihadapannya telah berdiri seorang nenek tua yang memandangnya dengan mata merah sekali. Nenek ini rambutnya telah putih, digelung ke belakang dan mukanya kelihatan galak sekali, apa lagi sepasang matanya yang mengeluarkan sinar berapi itu. Pakaiannya seperti pakaian pertapa dari kain putih yang kasar. Nenek ini berdiri dan memegang sebatang tongkat yang bengkak-bengkok dan kepalanya berbentuk aneh seperti kepala naga.

Tiong Han tidak mengenal nenek ini, akan tetapi melihat sikap dan pandang mata nenek yang luar biasa itu, ia dapat menduga bahwa ia tentu berhadapan dengan seorang yang pandai. Cepat pemuda ini lalu mengangkat kedua tangannya memberi hormat sambil berkata,

"Maafkan teecu kalau teecu tidak tahu dengan siapakah teecu berhadapan? Dan kesaIahan apa pulakah yang teecu lakukan sehingga membikin marah kepada suthay?”

Mendengar ucapan yang sopan dan sikap yang ramah ini, nenek itu menjadi makin marah. "Bangsat bermulut manis! Dengan wajahmu yang tampan dan mulutmu yang manis itu agaknya kau telah menipu dan membujuk banyak wanita! Kedosaanmu telah bertumpuk-tumpuk, dan manusia macam kau ini amat berbahaya! Tidak saja kau telah melempari nama perguruanmu dengan kotoran, bahkan kau juga membawa-bawa nama pemilik pedang Hui liong kiam yang telah kaucemarkan! Hayo kaukeluarkan Hui liong kiam dan kaukembalikan kepadaku!"

"Suthai… maaf... teecu tidak membawa Hui-liong kiam… sudah teecu berikan…"

Tiong Han berkata gagap dan ia menjadi bingung sekali. Tak dapat ia menceritakan bahwa Hui-liong kiam telah ia berikan kepada Tiong Kiat, dan iapun dapat menduga bahwa kembali nenek ini salah lihat disangkanya ia adalah Tiong Kiat. Akan tetapi anehnya, mengapa nenek ini tahu bahwa dia telah menerima pedang Hui liong kiam yang sudah lama diberikannya kepada Tiong Kiat? Siapakah nenek ini? Tiba-tiba teringatlah ia dan mukanya menjadi berseri.

"Ah, pernah Lui piauwsu bercerita tentang dia…" pikirnya, kemudian ia menjura lagi sambil berkata. "Apakah teecu bukannya berhadapan dengan Pat jiu Toanio Li Bie Hong yang ternama?"

Tiba-tiba nenek itu tertawa dan suara ketawanya merdu dan nyaring seperti suara ketawa seorang gadis muda. Akan tetapi tiba-tiba ia berkata dengan suara bentakan marah sekali.

"Orang jahat, jangan coba berpura-pura. Dulu aku masih memberi ampun kepadamu akan tetapi sekarang jangan harap lagi!" Dan sebelum Tiong Han dapat berjaga diri tahu-tahu tongkat yang panjang itu melayang dan menyambar ke arah kepalanya!

Tiong Han terkejut sekali. Sambaran tongkat itu biarpun masih jauh telah mendatangkan angin pukulan yang hebat sekali. Maklumlah dia bahwa sekali saja kepalanya terkena pukulan tongkat ini, nyawanya takkan dapat tertolong lagi. Ia cepat membuang diri kebelakang dan kemudian melompat menjauhkan diri. Akan tetapi ternyata bahwa Pat jiu Toanio telah berada dihadapannya tanpa ia ketahui kapan bergeraknya. Sekali lagi tongkat nyonya tua itu bergerak, kini menotok ke arah dadanya.

Tiong Han benar-benar merasa bingung, ia tidak mempunyai pedang lagi. Sedangkan seandainya Ang-coa kiam berada di tangannya juga tak mungkin ia dapat menangkan nenek yang gerakan tongkatnya luar biasa sekali ini, apalagi kini ia bertangan kosong. Menghadapi serangan tongkat kedua ini kembali ia mengelak ke kiri akan tetapi sungguh tak disangka sama sekali karena tongkat itu tiba-tiba diputar dan kini yang berbentuk kepala naga itu menyerangnya dengan kecepatan yang tak dapat diduga.

Sebelum Tiong Han dapat mengelak, tongkat itu telah mengenai bajunya. Akan tetapi Tiong Han bukanlah seorang pemuda yang hanya memiliki ilmu silat biasa saja. la telah digembleng hebat oleh Lui Thian Sianjin. Cepat ia mengumpulkan tenaga Iweekangnya ke arah paha kanannya yang disambar tongkat sambil membarengi menggunakan kedua tangan menyampok tongkat itu.

Ketika tongkat itu mengenai paha, tongkat itu membal kembali karena paha Tiong Han telah menjadi keras dan kuat seperti karet dan dibantu oleh sampokannya, tongkat itu terpental.

"Bagus, kepandaianmu tidak jelek, sayang watakmu kotor sekali!" Setelah berkata demikian Pat jiu toanio lalu memutar tongkatnya dengan cepat sekali.

Berkali-kali Tiong Han minta agar supaya nenek itu suka mendengarkan bicaranya akan tetapi semua kata-katanya tidak diperdulikan, bahkan didengarpun tidak oleh nenek yang sudah marah ini. Pat jiu toanio memang mempunyai watak keras dan aneh dan penjahat-penjahat ia tidak mengenal ampun. Apalagi terhadap penjahat muda yang disangkanya Sim Tiong Kiat ini. Ia sengaja mencari-cari Tiong Kiat untuk diberi hukuman.