Pedang Ular Merah Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG ULAR MERAH JILID 18

Karena anak-anak panah ini datangnya berbareng maka Eng Eng lalu mengeluarkan suara keras dan tubuhnya bergerak amat mengagumkan dan mengherankan. Sekali bergerak saja, kedua kakinya dengan tendangan berantai telah memukul runtuh dua batang anak panah, dan lagi yang menuju ke arah dadanya dapat ditangkap oleh kedua tangannya dan yang menuju ke kepalanya dapat dielakkan sambil menundukkan mukanya!

Selagi semua orang terheran-heran, Eng Eng berseru lagi dengan nyaring, "Keledai tua, kau makanlah sendiri anak panahmu!” sambil berkata demikian, dua tangannya terayun ke depan dan dua batang anak panah yang tadi ditangkap dengan tangannya kini melayang bagaikan kilat menyambar ke arah pemiliknya.

Huayen-khan masih bengong menyaksikan kelihaian Eng Eng menghindarkan diri dari serangan lima batang anak panahnya. Kini melihat sinar terang menyambar ke arah perutnya, ia kaget sekali dan cepat ia lalu melompat turun dari kudanya karena tidak ada jalan untuk menangkis atau mengelak lagi. Ia selamat dari tusukan anak panahnya, akan tetapi kudanya yang berbulu abu-abu meringkik keras lalu roboh, keempat kakinya berkelojotan lalu diam!

Ternyata bahwa Eng Eng melepaskan dua batang anak panah yang disambitkannya itu kedua jurusan, sebatang ke arah Huayen khan dan yang kedua ke arah kuda itu yang tepat mengenai dada dan menembus jantung!

Bukan main marahnya Huayen khan melihat kejadian ini. Saking marahnya, ia sampai menjadi lupa mempergunakan pikiran sehat lagi. Bila ia tidak begitu marah, tentu ia dapat mengetahui bahwa gadis di depannya ini sama sekali tidak boleh dibuat permainan dan tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi ia sedang marah sekali dan nama Huayen-khan bukanlah nama yang baru saja muncul. Dia adalah seorang tokoh yang amat terkenal, bahkan bangsa Mongol dan Tartar sendiri merasa keder mendengar nama ini.

Orang-orang Mongol memberi julukan 'Panah setan' kepadanya, sedangkan orang-orang Tartar memberi nama poyokan 'Golok Peminum darah'. Tentu saja kini baru bertemu pertama kali sudah diperhina dan dipermainkan oleh seorang gadis muda, kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok besarnya dan menerjang maju sambil berseru keras. Dalam kemarahan dan juga kesombongannya ia memandang ringan kepada lawan ini, sehingga ia lupa memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerbu.

Oleh karena semua anggota pasukannya amat takut dan taat kepada Huayen-khan yang galak dan keras, maka mereka tidak ada yang berani turun tangan dan hanya menanti sampai kepala mereka merobohkan gadis fihak musuh yang lancang dan berani itu. Akan tetapi ternyata kali ini Huayen khan kecele besar sekali. Baru saja goloknya menyambar, tiba-tiba berkelebat sinar merah dan ia merasa seakan-akan pangkal lengannya akan copot dari pundaknya!

Lengannya tergetar hebat dan matanya menjadi silau oleh cahaya api yang berpijar keluar dari goloknya yang beradu dengan pedang merah di tangan nona itu. Ketika ia cepat menarik kembali golok besarnya, ternyata golok besarnya itu rompal sedikit karena beradu dengan pedang itu. Bukan main kagetnya hati Huayen-khan. Golok besarnya adalah sebuah golok pusaka yang ampuh dan keras, bagaimana sekarang sampai dapat gompal sedikit ketika beradu dengan pedang nona yang nampaknya amat tipis dan tidak kuat itu?

Akan tetapi Eng Eng tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak melamun, karena segera pedang merah di tangannya itu berobah menjadi segulung sinar merah yang bergulung-gulung bagaikan seekor naga merah mengamuk!

Huayen khan bukan anak kemarin sore yang baru kali ini menghadapi lawan tangguh, maka ia cepat memutar goloknya, mengimbangi kecepatan gerakan lawan dan sambil menangkis dan mengelak, iapun membalas dengan serangan-serangan kilat yang tak kalah berbahayanya.

Akan tetapi, baru bertempur lima belas jurus saja, seperti orang-orang lain yang pernah menghadapi Eng Eng dalam pertempuran, kepala Huayen-khan telah menjadi pening dan pandangan matanya kabur. Ia menjadi bingung sekali karena sesungguhnya gerakan pedang dari gadis ini luar biasa anehnya.

Tampaknya demikian kacaunya seperti orang mabok memutar pedang, tetapi di dalam kekacau balauan ini tersembunyi daya tempur yang luar biasa kuatnya, gerakannya kacau, akan tetapi setiap serangan amat cepat dan berbahaya sedangkan ilmu silat pedang yang nampak kacau balau itu ternyata amat sukar untuk dipecahkan dan amat sukar untuk diserang.

Setelah ia dapat mempertahankan diri sampai dua puluh jurus, Ang Hwa yang melihat keadaan suaminya mulai terdesak hebat dan bingung oleh sinar pedang yang merah itu, menjadi tidak sabar. Sambil mengeluarkan suara keras ia lalu melompat turun dari kudanya, menghunus pedangnya dan menyerbu. Melihat betapa Eng Eng dikeroyok, piloko hendak turun tangan. Akan tetapi, Eng Eng berseru,

“Saudara Piloko, biarlah dua ekor anjing ini kau serahkan kepadaku. Lebih baik kau pimpin kawan-kawan untuk mengusir musuh-musuhmu itu!"

Piloko tidak berani membantah, maka ia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Mulailah orang orang Cou itu bersorak sambil menyerbu orang-orang Ouigour yang tidak menyangka-nyangka sama sekali. Terjadilah perang tanding yang amat ramai dan hebat, perang tanding yang kacau balau di luar pintu gerbang dusun itu. Piloko dan isterinya mengamuk hebat, memimpin kawan-kawan mereka menyerbu musuh yang menjadi kacau karena tidak mendapat pimpinan dari kepala mereka.

Adapun Huayen-khan dan Ang Hwa yang mengeroyok Eng Eng, tiba-tiba menjadi terkejut sekali ketika Eng Eng mengeluarkan pekik yang nyaring dan gerakan pedang merahnya makin hebat saja. Sekali sabet sambil mengerahkan tenaga, golok di tangan Huayen khan patah sampai di gagangnya dan ketika kakinya terayun ke arah Ang Hwa, nyonya muda ini menjerit ngeri dan tubuhnya terpental sampai tiga tombak jauhnya.

Baiknya Ang Hwa pernah mendapat latihan ilmu Iweekang yang cukup tinggi dari cabang persilatan Kun-lun pai, maka biarpun ia menderita luka di dalam lambung dan mulutnya mengeluarkan darah, namun ketika tertendang tadi ia masih sempat mengerahkan tenaga penolakan hingga lukanya tidak membahayakan nyawanya. Akan tetapi, sepak terjang Eng Eng ini sudah cukup membuat hati mereka menjadi gentar sekali.

"Serang dia !” seru Huayen khan kepada para pembantunya yang segera menyerbu dan mengeroyok Eng Eng.

Sebentar saja Eng Eng dikeroyok oleh sepuluh orang Ouigour yang terkenal memiliki kepandaian lumayan. Akan tetapi, begitu pedang Eng Eng menyambar-nyambar di sana-sini terdengar seruan kesakitan, disusul robohnya orang-orang yang mengeroyoknya. Dalam beberapa gebrakan saja Eng Eng telah membabat roboh lima orang pengeroyok dengan cara sama mudahnya dengan orang membabat rumput saja!

Huayen khan yang pergi menolong istrinya menjadi makin gelisah melihat betapa orang-orangnya banyak yang menjadi korban dan tewas dalam pertempuran itu. la segera memondong tubuh Ang Hwa yang masih pingsan dan melompat ke atas kuda putih, kuda tunggangan Ang Hwa yang terkenal baik dan cepat sekali larinya, lalu berseru,

"Mundur semua!"

Setelah memberi aba-aba mundur ini, Huayen-khan lalu membalapkan kudanya lari dari tempat itu. Piloko dan Yamani tidak berani mengejar, adapun Eng Eng yang tadinya ingin mengejar dan menewaskan dua orang itu, tidak mempunyai kesempatan karena ia masih dikeroyok dan dikurung oleh orang orang Ouigour. Ketika ia berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok dengan sekali serangan sehingga yang lain menjadi jerih dan mundur, ternyata kuda putih yang ditunggangi oleh Huayen-Khan telah lenyap dari situ, hanya suara derap kakinya saja terdengar sudah amat jauh.

Orang-orang Ouigour ketika mendengar aba-aba yang dikeluarkan oleh Huayen-khan tidak mau membuang banyak waktu lagi, lalu melarikan diri meninggalkan mereka yang tewas dan terluka. Pertempuran kali ini adalah pertempuran pertama yang mendatangkan kemenangan besar sekali bagi fihak bangsa Cou, maka tentu saja mereka menjadi amat gembira.

Makin kagumlah semua orang terhadap Eng Eng, bahkan malam itu lalu diadakan perayaan untuk merayakan kemenangan itu serta untuk menghormati Eng Eng. Dalam perayaan ini, Piloko dan Yamani mengajukan usul, yakni mengangkat Eng Eng sebagai kepala suku bangsa Cou! Akan tetapi Eng Eng cepat menolak dengan manis sambil berkata,

"Kalian ini sungguh keterlaluan. Bagaimana seorang gadis muda yang bodoh seperti aku hendak dijadikan kepala suku bangsa? Memang tak perlu kusangkal lagi bahwa mungkin dalam ilmu silat, aku mempunyai kepandaian paling tinggi diantara kalian semua. Akan tetapi, kepandaian silat saja masih belum bisa membikin orang menjadi seorang kepala suku bangsa! Bagaimana aku berani menerimanya? Untuk mengatur diriku sendiri yang sebatang kara ini saja bagiku masih amat membingungkan, bagaimana aku harus mengatur penghidupan ratusan orang? Ah, tidak, saudara piloko, maafkan saja, pengangkatan ini aku sama sekali tidak berani terima.”

Tiba-tiba Piloko menangis sambil berkata dengan perlahan, akan tetapi terdengar oleh semua orang yang berkumpul di situ. "Ah, memang nasib bangsaku amat buruk. Agaknya sudah menjadi takdir bahwa suku bangsa Cou harus lenyap dari muka bumi ini. Tadinya kita mengira bahwa Bunga Dewa akan membebaskan kita dari penderitaan dan kehancuran, akan tetapi setelah dia menolak, sama artinya dengan keputusan dari langit bahwa bangsa Cou harus lenyap. Kalau Suma Iihiap tidak mau memimpin kita, akhirnya tentu kita akan ditinggalkan dan... kalau sampai terjadi hal demikian, lalu bangsa Ouigour atau bangsa lain menyerang kita, apa yang dapat kita lakukan? Sudahlah… memang sudah nasib kita yang amat buruk, keselamatan kita hanya tergantung kepada Suma lihiap saja dan sekarang dia tidak mau menerima permintaan kita…"

Ucapan ini dikeluarkan dengan suara terisak-isak tertahan sehingga semua orang menjadi terharu dan di sana-sini terdengar suara tangis orang-orang perempuan, termasuk Yamani.

Eng Eng menarik napas panjang. "Saudara Piloko, kau tidak adil! Dengan omonganmu ini, bukankah berarti bahwa kalian hendak mengikat diriku disini? Aku sendiri sudah cukup menderita, hidup sebatang kara, tidak tentu tujuan, tidak tahu apakah yang akan terjadi dengan diriku, ditambah kalian hendak mengikat aku di sini, lalu apakah aku tidak berhak pula untuk mencari kebahagiaan hidup? Semenjak kecil aku sudah hidup penuh kepahitan, kegetiran, kesengsaraan dan sekarang…setelah aku berjasa... ah, masihkah aku harus menambah beban hidupku dengan memikirkan kehidupan ratusan orang bangsamu…?”

Bicara sampai di sini, Eng Eng teringat akan keadaannya sendiri dan karena terharunya, menangislah gadis pendekar ini! Ia menubruk dan merangkul Yamani, lalu menangis tersedu-sedu, belum pernah ia menangis sesedih itu. Gadis perkasa ini memang selamanya belum pernah menjadi demikian sedihnya, dan baru kali ini, ditengah orang-orang yang bersimpati kepadanya, yang memilihnya sebagai kepala, ia demikian terharu sehingga ia menangis dengan hati terasa bagai diremas-remas!

"Diamlah, nak. Maafkan kami yang terlalu mengingat keadaan sendiri. Diamlah, anakku yang baik, kau memang pantas dikasihani." kata Yamani sambil mendekap kepala gadis itu.

Eng Eng makin merasa terharu dan mendengar hiburan ini, tangisnya makin menjadi. Ia merasa betapa suara Yamani itu penuh dengan kasih sayang, dan ia yang selama ini merasa rindu akan kasih sayang seorang ibu, kini tiba-tiba merasa bahwa alangkah baiknya dan senangnya kalau Yamani menjadi ibunya!

"Tidak, tidak. Kalian tidak salah apa-apa, memang sudah seharusnya aku melindungi dan membantu kalian orang-orang baik dan tertindas ini. Biarlah aku menjadi anakmu, biarpun aku tidak menjadi kepala, akan tetapi sebagai anakmu aku akan membelamu. Siapa saja yang berani mengganggu ayah bundaku juga bangsaku, akan kuhajar habis-habisan!”

Ucapan ini dikeluarkan dalam bahasa Cou maka semua orang dapat mendengar dan mengerti artinya. Bukan main girangnya semua orang, terutama sekali Piloko dan Yamani sendiri. Mereka saling pandang dan hampir tak dapat mempercayai pendengaran mereka. Yamani lalu memeluk Eng Eng sambil berkata,

"Anakku... Eng Eng anakku sayang…"

"Aku... dan juga kau, ayah. Jangan khawatir, aku akan memberi latihan ilmu silat kepada kawan-kawan kita. Sebelum keadaan kawan-kawan kuat dan boleh diandalkan, aku takkan meninggalkan kalian semua."

Bukan main girangnya Piloko mendengar betapa gadis pendekar ini menyebutnya ayah. Wajahnya berseri-seri. la merasa seakan-akan anaknya yang dulu telah meninggal dunia karena sakit kini telah hidup kembali. Matanya yang biasanya bermuram ini kini menitikkan dua butir air mata.

"Anakku, kau baik sekali. Terima kasih kepada Dewa yang agung yang telah mengirim bunga dewa kepadaku. Alangkah besar kehormatan yang kunikmati dapat menjadi ayah dari bunga dewa !”

Setelah berkata demikian, Piloko lalu berlutut dengan kedua tangan terangkat ke atas sebagai penghormatan dan pernyataan terima kasih kepada penghuni langit! Melihat hal ini, Yamani dan semua orang yang berada di situ, lalu ikut pula berlutut seperti yang dilakukan oleh Piloko.

Melihat kesungguhan wajah dan sikap mereka, Eng Eng merasa betapa tulang rusuknya menjadi dingin, maka iapun lalu ikut berlutut seperti yang dilakukan oleh ayah dan Ibu angkatnya serta sekalian orang Cou yang berada di situ.

Mulai hari itu, Eng Eng mulai melatih ilmu silat lebih lanjut kepada orang-orang Cou yang belajar makin giat dan rajin lagi sehingga mereka mendapat kemajuan pesat.

Selama itu tidak nampak gangguan lagi dari fihak Ouigour sehingga orang orang Cou hidup dengan aman dan tenteram, menyangka bahwa Huayen-khan telah mendapat hajaran dan tidak berani muncul lagi. Akan tetapi dugaan mereka ini sebetulnya salah sekali, karena orang seperti Huayen-khan tak mungkin dapat mengalah begitu saja. Baiknya hal ini dapat diduga oleh Eng Eng yang sengaja untuk sementara waktu tidak mau meninggalkan Piloko dan anak buahnya.

Sementara itu, para penyelidik yang disuruh oleh Piloko untuk mencari jejak Sim Tiong Kiat seperti yang dikehendaki oleh Eng Eng ternyata kembali nihil. Mereka telah merantau ke selatan sampai ke kota raja, akan tetapi tidak dapat mencari pemuda itu di kota raja atau kota-kota lain.

Hal ini tentu saja amat mengecewakan hati Eng Eng dan membuat dia makin malas untuk mencari Tiong Kiat, karena setelah lima orang penyelidik itu merantau ke selatan dan mencari-cari tidak juga berhasil dia sendiri yang tak begitu mengenal daerah ini, harus mencari ke manakah?

Akan tetapi ia tidak putus asa karena nama Ang coa kiam Sim Tiong Kiat adalah nama yang mulai terkenal di kalangan kang ouw sedangkan anak buah Piloko telah minta pertolongan orang orang gagah di kalangan kang-ouw untuk memberi berita ke utara apa bila sewaktu-waktu mendengar tentang penjahat muda itu. Eng Eng merasa yakin bahwa sekali waktu ia pasti akan berhadapan muka dengan pemuda musuh besarnya itu!

Sama sekali ia tidak pernah mengimpi bahwa pada waktu itu, Tiong Kiat tidak berada di tempat jauh, bahkan sama sekali tak pernah menduga bahwa tak lama lagi ia akan berhadapan muka sama muka dengan pemuda itu dalam keadaan yang amat tak tersangka!

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dalam rencana dan usaha mereka untuk berkhianat, Oei Sun atau Oei ciangkun bersama Go bi Ngo-koai tung, diam-diam mengadakan pesekutuan rahasia dengan Huayen-khan pemimpin suku bangsa Ouigour dan juga diam-diam telah mengadakan perjanjian dengan bangsa Mongol di utara.

Huayen-khan dan Ang Hwa yang menderita kekalahan hebat dari Piloko yang dibantu Eng Eng, menjadi amat sakit hati dan mereka teringat kepada Oei-ciangkun. Setelah mengadakan perundingan mereka itu lalu membawa sisa pasukan menuju ke benteng di lereng bukit dekat kota Hong-bun.

Kedatangan mereka diterima dengan baik oleh Oei-ciangkun dan Gobi Ngo koai-tung akan tetapi Sim Tiong Kiat merasa tidak enak juga ketika ia melihat kedatangan Huayen-khan dan Ang Hwa yang pernah bertempur dengan dia. Sebaliknya kepala suku bangsa Ouigour itu menjadi kaget sekali melihat Sim Tiong Kiat berada di dalam benteng ikut pula menyambutnya, bahkan telah mengenakan pakaian sebagai seorang perwira! Akan tetapi Ang Hwa memandang dengan wajah berseri lalu berkata girang.

"Ah, tidak tahunya Sim taihiap sudah berada di sini pula! Sungguh menggirangkan sekali. Kalau aku tahu sudah dulu-dulu aku datang ke sini. Mengapa kau tidak memberi kabar tentang adanya Sim-taihiap di sini, Oei ciangkun?" katanya kemudian sambil mengerIing tajam ke arah Oei-ciangkun.

Oei Sun tertegun. Panglima ini dapat menduga bahwa tentu dahulu pernah terjadi sesuatu antara Sim Tiong Kiat dan nyonya yang cabul ini.

"Siapa tahu bahwa kalian sudah saling mengenal?" tanyanya menggoda.

"Kami sudah saling mengenal dengan baik sekali!" jawab Ang Hwa sambil menyambar Tiong Kiat dengan sinar matanya yang tajam.

Ketika Oei Sun menengok ke arah Huayen khan, orang tua ini mengangguk dan berkata, "Kenalan lama, kenalan baik!"

Kemudian ia lalu menarik tangan Oei ciangkun diajak masuk ke dalam, meninggalkan isterinya bersama Tiong Kiat. Setelah berada di dalam, ia berbisik kepada Oei Sun.

"Oei ciangkun, bagaimana pemuda itu bisa menjadi seorang perwiramu? Kenal betulkah kau kepadanya? Setahuku, ia amat setia kepada kaisar!"

Dengan singkat dan cepat Huayen khan lalu menuturkan peristiwa keributan di dalam tendanya dahulu, di mana Tiong Kiat menyatakan tetap setia kepada kaisar sehingga menolak tawaran Huayen-khan yang memberikan istrinya untuk melayaninya!

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Oei Sun mengangguk-angguk. "Aku sudah menduga demikian, akan tetapi belum tentu ia betul-betul bersetia. Orang yang sudah menjadi jai-hwa-cat dan sudah suka menjalani jalan hek-to (jalan hitam, penjahat) tak mungkin dapat mempunyai hati setia. Aku amat sayang akan kepandaiannya yang tinggi dan perlahan-lahan aku sedang menarik dan membujuknya. Kalau sampai dia bisa berobah sikap dan membantu kita, bukankah dia merupakan tenaga yang amat baiknya?"

Huayen-khan mengangguk-angguk. "Memang demikianlah kehendakku dahulu, akan tetapi Ang Hwa tidak berhasil sehingga diantara dia dan kami bahkan timbul pertempuran hebat. Terus terang saja, akupun merasa kagum sekali melihat ilmu silatnya."

Oei Sun memandang keluar di mana Ang Hwa dengan sikap yang genit dan menarik sedang bercakap-cakap dengan Tiong Kiat. Tak dapat disangkal lagi dan amat mudah dilihat betapa pemuda itu memandang kepada Ang Hwa dengan mata amat tertarik. Oei ciangkun tersenyum dan berkata,

"Kurasa Ang Hwa bukannya tidak berhasil sama sekali. Kau lihat saja bukankah ikan emas itu sudah masuk dalam perangkapnya?"

Huayen khan juga memandang keluar dan iapun dapat melihat betapa sesungguhnya Tiong Kiat amat tertarik oleh Ang Hwa dan sedang memandang kepada nyonya muda itu dengan mesra.

"Huayen-khan sebetulnya apakah keperluanmu datang ke benteng? Melihat wajahmu dan semua orang orangmu agaknya kau telah mengalami kekecewaan besar."

"Kekecewaan? Bukan hanya kecewa, bahkan aku telah mengalami kekalahan besar, banyak orangku tewas bahkan Ang Hwa sendiri hampir saja tewas dalam peperangan itu."

Oei ciangkun terkejut. "Apa katamu? Apakah rombonganmu telah bertemu dengan pasukan dari kota raja?"

"Kami telah dipukul habis-habisan oleh orang-orang Cou."

"Apa? Piloko? Tak mungkin, bagaimana dia bisa memukul pasukanmu?"

"Inilah yang amat menyebalkan! Kalau pasukan kota raja yang mengalahkan pasukanku itu sih tidak berapa menjengkelkan. Akan tetapi pasukan Cou! Ah, sungguh bisa bikin orang mati karena gemas. Pasukan Cou sekarang rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi dan diantara mereka terdapat seorang gadis Han yang luar biasa lihainya sehingga aku dan Ang Hwa hampir saja celaka di dalam tangannya." Huayen khan lalu menceritakan tentang pertempuran itu.

Oei-ciangkun makin terheran. "Apakah gadis itu masih muda, cantik dan langsing, berpedang merah?"

Kini Huayen-khan yang terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu? Betul, memang gadis itu cantik jelita, tidak kalah oleh Ang Hwa dan pedang merahnya lihai sekali."

Oei-ciangkun tak perlu menceritakan kepada Huayen-khan tentang Eng Eng yang pernah tertawan olehnya, hanya berkata setelah berpikir sebentar. "Bagus sekali, aku mempunyai pikiran yang amat baik. Mengapa kita tidak mengadukan Sim ciangkun dengan gadis pembela Piloko itu? Dengan jalan demikian, bukankah sekali tepuk mendapat dua ekor burung? Di satu fihak kita dapat menguji kesetiaan Sim-ciangkun kepadaku, dan kedua kita dapat pula membalaskan sakit hatimu terhadap orang-orang Cou. Juga mereka itu perlu dibasmi karena kalau tidak akan mendatangkan bahaya di hari kemudian bagi rencana kita!"

Akan tetapi, ketika Oei-ciangkun dan Huayen-khan mengadakan perundingan dengan Go-bi Ngo koai-tung, pada saat itu juga Ang Hwa sendiri telah berhasil menawan hati Tiong Kiat untuk kedua kalinya dan nyonya muda ini dengan sikap yang amat menarik menuturkan bahwa ia dihina oleh Piloko sehingga hampir saja nyawanya melayang.

Tiong Kiat yang mulai mabok oleh kecantikan dan gaya Ang Hwa, tanpa disadarinya telah memberi kesanggupan bahwa ia tak akan membiarkan sakit hati itu dan akan membunuh Piloko. Tiong Kiat mengeluarkan janji ini karena ia telah mendengar dari Oei ciangkun betapa Piloko adalah kepala suku bangsa Cou yang hendak memberontak dan membikin kekacauan hingga sudah patut dibasmi.

Go-bi Ngo-koai-tung menganggap usul Oei ciangkun untuk menyuruh Tiong Kiat membantu orang-orang Ouigour membasmi Piloko dan anak buahnya amat baik. Demikianlah, beramai-ramai mereka lalu mendatangi Tiong Kiat yang sedang bercakap-cakap dengan amat asyiknya dengan Ang Hwa.

"Sim ciangkun." Oei Sun mulai berkata dengan muka sungguh-sungguh, "seperti pernah kukatakan kepadamu, orang-orang Cou yang dikepalai oleh Piloko amat jahat dan berbahaya. Sekarang Piloko telah melatih orang-orangnya dan baru saja ia telah menyerang Huayen khan dan menimbulkan banyak kematian dan kerusakan. Kalau tidak lekas-lekas dibasmi, tentu kelak orang-orang Cou itu akan berani menyerang benteng kita, bahkan mungkin sekali akan berani memasuki tembok besar dan mengganggu rakyat. Oleh karena itu, aku harap kau suka memimpin sepasukan perajurit, bersama-sama dengan pasukan Ouigour yang menjadi penunjuk jalan, menggempur orang-orang Cou itu. Kalau mungkin bunuh atau tawan Piloko atau setidaknya biarlah merasai kelihaian kita."

Sambil mengerling ke arah Ang Hwa, Tiong Kiat menjawab. "Baiklah, Oei ciangkun. Urusan orang-orang Cou ini mudah saja, biarlah aku yang akan membikin beres. Bilakah aku berangkat?"

Hampir berbareng Huayen-khan dan Oei ciangkun berkata,

"Sekarang juga, lebih cepat lebih baik."

Akan tetapi tiba-tiba Ang Hwa berkata, "Lebih baik besok pagi saja, karena pasukan kita perlu beristirahat. Lagi pula, akupun akan ikut sendiri untuk membalas dendam!"

Kerling mata yang penuh arti dari nyonya muda ini ke arah suaminya membuat Huayen-khan diam-diam menghela napas. Ia maklum bahwa isterinya telah jatuh hati kepada pemuda she Sim ini dan iapun tahu sepenuhnya bahwa istrinya menghendaki agar diperbolehkan berdekatan dengan Sim Tiong Kiat!

"Memang betul juga," akhirnya Huayen-khan, suami tua bangka ini berkata, "pasukan kami yang telah terpukul itu amat lelah dan perlu beristirahat."

Demikianlah, selanjutnya dapat diduga bahwa Tiong Kiat telah terjerumus dalam perangkap yang di pasang oleh Huayen khan dan Ang Hwa. Pemuda itu tergila-gila kepada Ang Hwa yang sengaja bersikap amat manis kepadanya. Kini Tiong Kiat tidak menolak seperti dulu, karena kalau dulu ia anggap sikap manis Ang Hwa itu untuk menyeretnya ke jurang penghianatan terhadap kaisarnya.

Kini nyonya muda yang cantik ini bersikap manis karena memang suka kepadanya, dan karena mengharapkan bantuannya untuk membalas dendam kepada bangsa Cou. Dan menurut anggapan Tiong Kiat, Piloko dan pasukannya memang pantas digempur da dibinasakan agar jangan mengganggu dan mengacau rakyat!

Pada keesokan harinya, berangkatlah Tiong Kiat memimpin sepasukan perajurit yang berjumlah dua ratus orang, didahului oleh sepasukan kecil perajurit Ouigour sebagai penunjuk jalan. Ang Hwa tetap berada di dekatnya. Hal ini disetujui oleh Huayen khan dan Oei ciangkun, karena diam-diam Ang Hwa merupakan seorang penilik untuk menyaksikan bagaimana sikap pemuda itu dalam menghadapi Piloko dan gadis pendekar yang membelanya.

Mereka tiba di hutan dekat dengan dusun yang menjadi tempat tinggal orang-orang Cou dan di situ mereka berhenti. Tiong Kiat mengadakan perundingan dengan Ang Hwa dan orang-orang Ouigour yang menjadi pembantu Huayen khan.

"Lebih baik kita serbu mereka malam hari ini juga." usul Ang Hwa yang sudah tak sabar lagi menanti lebih lama.

"Hal itu berbahaya sekali." kata Tiong Kiat yang biarpun belum mempunyai pengalaman dalam perang, namun sudah mempelajari siasat-siasat peperangan dari Oei ciangkun. "Mereka lebih faham tentang keadaan daerah ini. Pertempuran di malam hari yang gelap ditempat yang belum kita ketahui baik keadaannya, amat berbahaya bagi pasukan kita. Lebih baik kita menanti di hutan ini sampai besok pagi baru menyerang."

"Apa sukarnya?" Ang Hwa berkata dengan bibir cemberut dan pandangan mata mengejek. "Apa kau takut? Jumlah tentara kita lebih banyak, kita serbu kampung mereka dengan tiba-tiba dan kalau mereka lari kita lalu bakar rumah-rumah mereka. Bukankah hal itu akan menjadi beres? Serahkan saja Piloko kepadaku dan kau menghadapi gadis liar yang membantunya itu. “

Dikatakan takut dan diejek oleh kekasihnya yang baru ini, panaslah hati Tiong Kiat. Ia maklum bahwa memang sesungguhnya pasukannya tidak usah takut kalah, akan tetapi bertempur dalam gelap itu akan menjatuhkan lebih banyak korban di fihaknya, dan hal ini tadinya hendak dicegahnya.

"Baiklah, kita serbu sekarang!"

Setelah berkata demikian, Tiong Kiat lalu memberi aba-aba dan menyerbulah pasukan kerajaan yang dua ratus orang jumlahnya, dibantu oleh tiga puluh orang lebih pasukan Ouigour yang hendak menuntut balas. Jauh sebelum pasukan ini tiba di dusun tempat tinggal orang Cou, penduduk kampung itu telah mendengar berita tentang penyerbuan ini dari para peronda. Piloko dan Eng Eng cepat mengatur persiapan.

"Ayah," Kata Eng Eng di tengah-tengah kesibukan itu. "kau bawalah teman keluarga wanita dan anak-anak menyingkir ke arah gunung di sebelah selatan itu. Biar aku memimpin kawan kawan untuk mempertahankan diri!”

Piloko maklum bahwa siasat Eng Eng ini memang tepat. Dari penjaga dan peronda, mereka mendengar bahwa penyerbu-penyerbu itu berjumlah dua ratus orang lebih, maka kalau keluarga tidak diungsikan lebih dulu, maka akan berbahaya sekali keadaannya. Di samping menghadapi musuh, juga mereka terpaksa harus melindungi keluarga mereka. Kalau keluarga mereka sudah diungsikan lebih dulu ke atas gunung, tentu pertahanan akan dapat dilakukan lebih kuat lagi.

Tanpa banyak cakap lagi Piloko Ialu mengumpulkan semua keluarga yang sudah siap pula mengangkut barang-barang yang terpenting seperti pakaian dan lain lain kemudian dengan hanya membawa sepuluh orang kawan laki-laki, Piloko lalu mengajak mereka keluar dari pintu gerbarg sebelah selatan dan melarikan diri di malam gelap menuju ke gunung di sebelah selatan.

Mereka tidak berani mempergunakan obor, oleh karena hal ini tentu akan terlihat oleh musuh. Karena mereka sudah paham akan daerah itu, biarpun di malam gelap, dapat juga mereka mencari jalan dan bergerak maju dengan cepat.

Adapun Eng Eng cepat mengatur persiapan. Ia memasang barisan pertahanan di kanan kiri depan pintu gerbang utara dari mana penyerbu itu datang, dan diam-diam ia memasang barisan panah di dalam kampung, bersembunyi di belakang rumah-rumah sebanyak tiga puluh orang ahli anak panah. la telah mengatur siasatnya dengan suara gagah dan nyaring.

“Kawan-kawan, musuh yang datang menurut laporan adalah orang-orang Ouigour yang dibantu oleh tentara kerajaan. Aku sendiri bingung mendengar bagaimana tentara kerajaan sampai membantu perbuatan orang Ouigour yang memusuhi kita, akan tetapi tak perlu hal itu dibicarakan lagi. Sekarang dengarlah baik-baik. Pihak musuh berjumlah dua ratus orang lebih berarti dua kali lebih banyak dari pada kita. Orang-orang yang bersembunyi di luar kampung, apabila nanti melihat mereka menyerbu, jangan bergerak dulu dan biarkan sebagian dari tentara musuh memasuki kampung. Setelah itu barulah aku akan memberi tanda menyerang. Adapun kawan-kawan yang bersembunyi di dalam kampung, begitu melihat musuh masuk, harus segera mengerjakan busur dan anak panah menyerang dari balik-balik rumah. Akan tetapi harap hati-hati, tiap kali sepuluh batang anak panah harus segera mencari tempat persembunyian lain. kalian sudah dilatih dan sudah tahu bagaimana harus berbuat!”

Demikianlah, orang-orang Cou yang gagah berani ini menanti datangnya musuh dengan hati berdebar. Mereka sama sekali tidak merasa gelisah dan takut karena mereka berbesar hati dengan adanya 'Bunga Dewa' di tengah-tengah mereka, apa lagi setelah Eng Eng berkata sebagai penutup pesannya.

"Jumlah mereka lebih banyak, akan tetapi kita tak perlu takut! Akan kita perlihatkan bahwa kita bangsa Cou tidak takut mati dan tidak boleh dibuat permainan!"

Barisan penyerbu menjadi girang ketika melihat keadaan di luar kampung ini sunyi saja. Mereka mengira bahwa orang-orang Cou tentu sudah tidur nyenyak, maka sambil menghunus senjata mereka menyerbu ke dalam dusun melalui pintu gerbang utara yang mereka robohkan. Di dalam serbuan itu, Eng Eng dari tempat sembunyinya hanya melihat seorang perwira Han bersama Ang Hwa memimpin barisan menyerbu ke dalam, akan tetapi karena gelap ia tidak tahu bahwa perwira itu sebetulnya Sim Tiong Kiat.

Setelah tentara musuh yang memasuki kampung kira-kira ada lima puluh orang tiba-tiba Eng Eng mengeluarkan pekik yang amat nyaring dan ia sendiri lalu melompat turun dari sebuah pohon di mana ia bersembunyi! Kawan-kawannyapun mengeluarkan pekik dahsyat dan keluarlah seratus orang Cou menyerang musuh yang baru datang.

Perang hebat terjadi dan ternyata keadaan sungguh terbalik. Bukan orang-orang Cou yang kaget menghadapi serbuan tiba-tiba, melainkan para penyeranglah yang benar-benar menjadi kaget karena diserang secara tiba-tiba oleh orang-orang Cou dari kanan kiri!

Dan berbareng dengan keributan hebat di luar kampung itu, ketika Tiong Kiat hendak membawa keluar kembali pasukannya tiba-tiba beberapa orang perajuritnya terjungkal dengan dada tertembus anak panah. Kacau balau keadaan dalam kampung dan Tiong Kiat menjadi pucat. Mereka telah terjebak dan terkurung! la lalu melompat turun dari kudanya dan memberi perintah.

"Lepas api bakar semua rumah!"

Hebat sekali pertempuran di luar kampung. Kurang lebih seratus lima puluh tentara Han dibantu oleh tiga puluh tentara Ouigour diserang secara tiba-tiba oleh orang-orang Cou yang jumlahnya hanya tujuh puluh orang lebih. Eng Eng mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Kemana saja tubuhnya bergerak, dan pedangnya berkelebat, terdengar pekik mengerikan disusul oleh robohnya seorang tentara kerajaan atau tentara Ouigour!

Juga kawan-kawannya mempergunakan ilmu golok yang mereka pelajari untuk mengadakan perlawanan sengit. Kalau saja yang menyerang itu semua adalah bangsa Ouigour biarpun jumlahnya lebih banyak, tak dapat ragukan lagi bahwa orang-orang Cou ini pasti akan memperoleh kemenangan besar.

Akan tetapi yang mereka hadapi adalah tentara kerajaan dan kali ini Tiong Kiat membawa pasukan pilihan yang rata-rata anggotanya telah mempelajari ilmu silat dengan amat baiknya, maka pertempuran itu berjalan seru dan ramai sekali. Hanya Eng Eng saja seorang yang merupakan pencabut nyawa yang tak dapat dihalangi lagi. Baik perajurit biasa maupun perwira muda dari tentara kerajaan atau tentara Ouigour, apabila kebetulan berhadapan dengan gadis ini, tak dapat menahan lebih dari tiga gebrakan! Pasti akan terjungkal dalam keadaan tewas!

Kegagahan luar biasa inilah yang membuat pertempuran itu menjadi seimbang, karena selain sepak terjang gadis pedang merah ini membikin gentar hati pasukan musuh, juga membesarkan semangat orang-orang Cou yang bertempur penuh semangat dan tak kenal takut!

Bertumpuk-tumpuk mayat dan orang terluka ditimbulkan oleh pertempuran ini, korban yang jatuh fihak penyerbu banyak sekali, dan juga fihak Cou banyak jatuh korban sehingga Eng Eng mulai merasa kuatir. Tak disangkanya bahwa fihak penyerbu benar-benar lihai dan rata-rata memiliki ilmu silat yang terlatih. Ia menjadi marah sekali melihat betapa fihaknya sudah banyak berkurang dan bagaikan seorang gila Eng Eng memutar pedangnya lebih cepat lagi sambil berseru berkali-kali.

"Akan kubasmi kalian anjing-anjing rendah!"

Makin banyak korban yang roboh di bawah sambaran pedangnya dan makin jerihlah para pengeroyoknya. Akan tetapi tiba-tiba Eng Eng melihat cahaya terang dari dalam kampung yang makin lama makin besar. Ketika ia menengok, alangkah kagetnya melihat bahwa kampung itu telah menjadi lautan api. Api bernyala tinggi dan asap telah memenuhi udara, bergulung-gulung di atas kampung yang menjadi terang.

"Terkutuk, mereka membakar rumah-rumah!" seru Eng Eng dengan pucat dan bagaikan seekor burung walet terbang, ia meninggalkan pengeroyok-pengeroyoknya, melompat cepat dan berlari masuk ke dalam kampung.

Tepat di pintu gerbang, ia bertemu dengan dua orang yang juga berlari keluar dari dalam kampung. Mereka ini bukan lain adalah Tiong Kiat dan Ang Hwa! Juga Tiong Kiat dengan amat kaget mendengar dari seorang perajurit bahwa di luar anak buahnya telah diamuk oleh seorang gadis yang amat gagah perkasa dan bahwa banyak sekali perajuritnya yang tewas oleh gadis ini.

Tiong Kiat telah berhasiI membakar semua rumah dan membunuh semua tentara Cou yang tadi bersembunyi di belakang rumah rumah dengan anak panah mereka, sungguhpun untuk tiga puluh orang musuh itu ia kehilangan hampir semua perajuritnya yang telah memasuki dusun!

Pedang Ular Merah Jilid 18

PEDANG ULAR MERAH JILID 18

Karena anak-anak panah ini datangnya berbareng maka Eng Eng lalu mengeluarkan suara keras dan tubuhnya bergerak amat mengagumkan dan mengherankan. Sekali bergerak saja, kedua kakinya dengan tendangan berantai telah memukul runtuh dua batang anak panah, dan lagi yang menuju ke arah dadanya dapat ditangkap oleh kedua tangannya dan yang menuju ke kepalanya dapat dielakkan sambil menundukkan mukanya!

Selagi semua orang terheran-heran, Eng Eng berseru lagi dengan nyaring, "Keledai tua, kau makanlah sendiri anak panahmu!” sambil berkata demikian, dua tangannya terayun ke depan dan dua batang anak panah yang tadi ditangkap dengan tangannya kini melayang bagaikan kilat menyambar ke arah pemiliknya.

Huayen-khan masih bengong menyaksikan kelihaian Eng Eng menghindarkan diri dari serangan lima batang anak panahnya. Kini melihat sinar terang menyambar ke arah perutnya, ia kaget sekali dan cepat ia lalu melompat turun dari kudanya karena tidak ada jalan untuk menangkis atau mengelak lagi. Ia selamat dari tusukan anak panahnya, akan tetapi kudanya yang berbulu abu-abu meringkik keras lalu roboh, keempat kakinya berkelojotan lalu diam!

Ternyata bahwa Eng Eng melepaskan dua batang anak panah yang disambitkannya itu kedua jurusan, sebatang ke arah Huayen khan dan yang kedua ke arah kuda itu yang tepat mengenai dada dan menembus jantung!

Bukan main marahnya Huayen khan melihat kejadian ini. Saking marahnya, ia sampai menjadi lupa mempergunakan pikiran sehat lagi. Bila ia tidak begitu marah, tentu ia dapat mengetahui bahwa gadis di depannya ini sama sekali tidak boleh dibuat permainan dan tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Akan tetapi ia sedang marah sekali dan nama Huayen-khan bukanlah nama yang baru saja muncul. Dia adalah seorang tokoh yang amat terkenal, bahkan bangsa Mongol dan Tartar sendiri merasa keder mendengar nama ini.

Orang-orang Mongol memberi julukan 'Panah setan' kepadanya, sedangkan orang-orang Tartar memberi nama poyokan 'Golok Peminum darah'. Tentu saja kini baru bertemu pertama kali sudah diperhina dan dipermainkan oleh seorang gadis muda, kemarahannya memuncak. Ia mencabut golok besarnya dan menerjang maju sambil berseru keras. Dalam kemarahan dan juga kesombongannya ia memandang ringan kepada lawan ini, sehingga ia lupa memberi aba-aba kepada pasukannya untuk menyerbu.

Oleh karena semua anggota pasukannya amat takut dan taat kepada Huayen-khan yang galak dan keras, maka mereka tidak ada yang berani turun tangan dan hanya menanti sampai kepala mereka merobohkan gadis fihak musuh yang lancang dan berani itu. Akan tetapi ternyata kali ini Huayen khan kecele besar sekali. Baru saja goloknya menyambar, tiba-tiba berkelebat sinar merah dan ia merasa seakan-akan pangkal lengannya akan copot dari pundaknya!

Lengannya tergetar hebat dan matanya menjadi silau oleh cahaya api yang berpijar keluar dari goloknya yang beradu dengan pedang merah di tangan nona itu. Ketika ia cepat menarik kembali golok besarnya, ternyata golok besarnya itu rompal sedikit karena beradu dengan pedang itu. Bukan main kagetnya hati Huayen-khan. Golok besarnya adalah sebuah golok pusaka yang ampuh dan keras, bagaimana sekarang sampai dapat gompal sedikit ketika beradu dengan pedang nona yang nampaknya amat tipis dan tidak kuat itu?

Akan tetapi Eng Eng tidak memberi kesempatan kepadanya untuk banyak melamun, karena segera pedang merah di tangannya itu berobah menjadi segulung sinar merah yang bergulung-gulung bagaikan seekor naga merah mengamuk!

Huayen khan bukan anak kemarin sore yang baru kali ini menghadapi lawan tangguh, maka ia cepat memutar goloknya, mengimbangi kecepatan gerakan lawan dan sambil menangkis dan mengelak, iapun membalas dengan serangan-serangan kilat yang tak kalah berbahayanya.

Akan tetapi, baru bertempur lima belas jurus saja, seperti orang-orang lain yang pernah menghadapi Eng Eng dalam pertempuran, kepala Huayen-khan telah menjadi pening dan pandangan matanya kabur. Ia menjadi bingung sekali karena sesungguhnya gerakan pedang dari gadis ini luar biasa anehnya.

Tampaknya demikian kacaunya seperti orang mabok memutar pedang, tetapi di dalam kekacau balauan ini tersembunyi daya tempur yang luar biasa kuatnya, gerakannya kacau, akan tetapi setiap serangan amat cepat dan berbahaya sedangkan ilmu silat pedang yang nampak kacau balau itu ternyata amat sukar untuk dipecahkan dan amat sukar untuk diserang.

Setelah ia dapat mempertahankan diri sampai dua puluh jurus, Ang Hwa yang melihat keadaan suaminya mulai terdesak hebat dan bingung oleh sinar pedang yang merah itu, menjadi tidak sabar. Sambil mengeluarkan suara keras ia lalu melompat turun dari kudanya, menghunus pedangnya dan menyerbu. Melihat betapa Eng Eng dikeroyok, piloko hendak turun tangan. Akan tetapi, Eng Eng berseru,

“Saudara Piloko, biarlah dua ekor anjing ini kau serahkan kepadaku. Lebih baik kau pimpin kawan-kawan untuk mengusir musuh-musuhmu itu!"

Piloko tidak berani membantah, maka ia lalu memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Mulailah orang orang Cou itu bersorak sambil menyerbu orang-orang Ouigour yang tidak menyangka-nyangka sama sekali. Terjadilah perang tanding yang amat ramai dan hebat, perang tanding yang kacau balau di luar pintu gerbang dusun itu. Piloko dan isterinya mengamuk hebat, memimpin kawan-kawan mereka menyerbu musuh yang menjadi kacau karena tidak mendapat pimpinan dari kepala mereka.

Adapun Huayen-khan dan Ang Hwa yang mengeroyok Eng Eng, tiba-tiba menjadi terkejut sekali ketika Eng Eng mengeluarkan pekik yang nyaring dan gerakan pedang merahnya makin hebat saja. Sekali sabet sambil mengerahkan tenaga, golok di tangan Huayen khan patah sampai di gagangnya dan ketika kakinya terayun ke arah Ang Hwa, nyonya muda ini menjerit ngeri dan tubuhnya terpental sampai tiga tombak jauhnya.

Baiknya Ang Hwa pernah mendapat latihan ilmu Iweekang yang cukup tinggi dari cabang persilatan Kun-lun pai, maka biarpun ia menderita luka di dalam lambung dan mulutnya mengeluarkan darah, namun ketika tertendang tadi ia masih sempat mengerahkan tenaga penolakan hingga lukanya tidak membahayakan nyawanya. Akan tetapi, sepak terjang Eng Eng ini sudah cukup membuat hati mereka menjadi gentar sekali.

"Serang dia !” seru Huayen khan kepada para pembantunya yang segera menyerbu dan mengeroyok Eng Eng.

Sebentar saja Eng Eng dikeroyok oleh sepuluh orang Ouigour yang terkenal memiliki kepandaian lumayan. Akan tetapi, begitu pedang Eng Eng menyambar-nyambar di sana-sini terdengar seruan kesakitan, disusul robohnya orang-orang yang mengeroyoknya. Dalam beberapa gebrakan saja Eng Eng telah membabat roboh lima orang pengeroyok dengan cara sama mudahnya dengan orang membabat rumput saja!

Huayen khan yang pergi menolong istrinya menjadi makin gelisah melihat betapa orang-orangnya banyak yang menjadi korban dan tewas dalam pertempuran itu. la segera memondong tubuh Ang Hwa yang masih pingsan dan melompat ke atas kuda putih, kuda tunggangan Ang Hwa yang terkenal baik dan cepat sekali larinya, lalu berseru,

"Mundur semua!"

Setelah memberi aba-aba mundur ini, Huayen-khan lalu membalapkan kudanya lari dari tempat itu. Piloko dan Yamani tidak berani mengejar, adapun Eng Eng yang tadinya ingin mengejar dan menewaskan dua orang itu, tidak mempunyai kesempatan karena ia masih dikeroyok dan dikurung oleh orang orang Ouigour. Ketika ia berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok dengan sekali serangan sehingga yang lain menjadi jerih dan mundur, ternyata kuda putih yang ditunggangi oleh Huayen-Khan telah lenyap dari situ, hanya suara derap kakinya saja terdengar sudah amat jauh.

Orang-orang Ouigour ketika mendengar aba-aba yang dikeluarkan oleh Huayen-khan tidak mau membuang banyak waktu lagi, lalu melarikan diri meninggalkan mereka yang tewas dan terluka. Pertempuran kali ini adalah pertempuran pertama yang mendatangkan kemenangan besar sekali bagi fihak bangsa Cou, maka tentu saja mereka menjadi amat gembira.

Makin kagumlah semua orang terhadap Eng Eng, bahkan malam itu lalu diadakan perayaan untuk merayakan kemenangan itu serta untuk menghormati Eng Eng. Dalam perayaan ini, Piloko dan Yamani mengajukan usul, yakni mengangkat Eng Eng sebagai kepala suku bangsa Cou! Akan tetapi Eng Eng cepat menolak dengan manis sambil berkata,

"Kalian ini sungguh keterlaluan. Bagaimana seorang gadis muda yang bodoh seperti aku hendak dijadikan kepala suku bangsa? Memang tak perlu kusangkal lagi bahwa mungkin dalam ilmu silat, aku mempunyai kepandaian paling tinggi diantara kalian semua. Akan tetapi, kepandaian silat saja masih belum bisa membikin orang menjadi seorang kepala suku bangsa! Bagaimana aku berani menerimanya? Untuk mengatur diriku sendiri yang sebatang kara ini saja bagiku masih amat membingungkan, bagaimana aku harus mengatur penghidupan ratusan orang? Ah, tidak, saudara piloko, maafkan saja, pengangkatan ini aku sama sekali tidak berani terima.”

Tiba-tiba Piloko menangis sambil berkata dengan perlahan, akan tetapi terdengar oleh semua orang yang berkumpul di situ. "Ah, memang nasib bangsaku amat buruk. Agaknya sudah menjadi takdir bahwa suku bangsa Cou harus lenyap dari muka bumi ini. Tadinya kita mengira bahwa Bunga Dewa akan membebaskan kita dari penderitaan dan kehancuran, akan tetapi setelah dia menolak, sama artinya dengan keputusan dari langit bahwa bangsa Cou harus lenyap. Kalau Suma Iihiap tidak mau memimpin kita, akhirnya tentu kita akan ditinggalkan dan... kalau sampai terjadi hal demikian, lalu bangsa Ouigour atau bangsa lain menyerang kita, apa yang dapat kita lakukan? Sudahlah… memang sudah nasib kita yang amat buruk, keselamatan kita hanya tergantung kepada Suma lihiap saja dan sekarang dia tidak mau menerima permintaan kita…"

Ucapan ini dikeluarkan dengan suara terisak-isak tertahan sehingga semua orang menjadi terharu dan di sana-sini terdengar suara tangis orang-orang perempuan, termasuk Yamani.

Eng Eng menarik napas panjang. "Saudara Piloko, kau tidak adil! Dengan omonganmu ini, bukankah berarti bahwa kalian hendak mengikat diriku disini? Aku sendiri sudah cukup menderita, hidup sebatang kara, tidak tentu tujuan, tidak tahu apakah yang akan terjadi dengan diriku, ditambah kalian hendak mengikat aku di sini, lalu apakah aku tidak berhak pula untuk mencari kebahagiaan hidup? Semenjak kecil aku sudah hidup penuh kepahitan, kegetiran, kesengsaraan dan sekarang…setelah aku berjasa... ah, masihkah aku harus menambah beban hidupku dengan memikirkan kehidupan ratusan orang bangsamu…?”

Bicara sampai di sini, Eng Eng teringat akan keadaannya sendiri dan karena terharunya, menangislah gadis pendekar ini! Ia menubruk dan merangkul Yamani, lalu menangis tersedu-sedu, belum pernah ia menangis sesedih itu. Gadis perkasa ini memang selamanya belum pernah menjadi demikian sedihnya, dan baru kali ini, ditengah orang-orang yang bersimpati kepadanya, yang memilihnya sebagai kepala, ia demikian terharu sehingga ia menangis dengan hati terasa bagai diremas-remas!

"Diamlah, nak. Maafkan kami yang terlalu mengingat keadaan sendiri. Diamlah, anakku yang baik, kau memang pantas dikasihani." kata Yamani sambil mendekap kepala gadis itu.

Eng Eng makin merasa terharu dan mendengar hiburan ini, tangisnya makin menjadi. Ia merasa betapa suara Yamani itu penuh dengan kasih sayang, dan ia yang selama ini merasa rindu akan kasih sayang seorang ibu, kini tiba-tiba merasa bahwa alangkah baiknya dan senangnya kalau Yamani menjadi ibunya!

"Tidak, tidak. Kalian tidak salah apa-apa, memang sudah seharusnya aku melindungi dan membantu kalian orang-orang baik dan tertindas ini. Biarlah aku menjadi anakmu, biarpun aku tidak menjadi kepala, akan tetapi sebagai anakmu aku akan membelamu. Siapa saja yang berani mengganggu ayah bundaku juga bangsaku, akan kuhajar habis-habisan!”

Ucapan ini dikeluarkan dalam bahasa Cou maka semua orang dapat mendengar dan mengerti artinya. Bukan main girangnya semua orang, terutama sekali Piloko dan Yamani sendiri. Mereka saling pandang dan hampir tak dapat mempercayai pendengaran mereka. Yamani lalu memeluk Eng Eng sambil berkata,

"Anakku... Eng Eng anakku sayang…"

"Aku... dan juga kau, ayah. Jangan khawatir, aku akan memberi latihan ilmu silat kepada kawan-kawan kita. Sebelum keadaan kawan-kawan kuat dan boleh diandalkan, aku takkan meninggalkan kalian semua."

Bukan main girangnya Piloko mendengar betapa gadis pendekar ini menyebutnya ayah. Wajahnya berseri-seri. la merasa seakan-akan anaknya yang dulu telah meninggal dunia karena sakit kini telah hidup kembali. Matanya yang biasanya bermuram ini kini menitikkan dua butir air mata.

"Anakku, kau baik sekali. Terima kasih kepada Dewa yang agung yang telah mengirim bunga dewa kepadaku. Alangkah besar kehormatan yang kunikmati dapat menjadi ayah dari bunga dewa !”

Setelah berkata demikian, Piloko lalu berlutut dengan kedua tangan terangkat ke atas sebagai penghormatan dan pernyataan terima kasih kepada penghuni langit! Melihat hal ini, Yamani dan semua orang yang berada di situ, lalu ikut pula berlutut seperti yang dilakukan oleh Piloko.

Melihat kesungguhan wajah dan sikap mereka, Eng Eng merasa betapa tulang rusuknya menjadi dingin, maka iapun lalu ikut berlutut seperti yang dilakukan oleh ayah dan Ibu angkatnya serta sekalian orang Cou yang berada di situ.

Mulai hari itu, Eng Eng mulai melatih ilmu silat lebih lanjut kepada orang-orang Cou yang belajar makin giat dan rajin lagi sehingga mereka mendapat kemajuan pesat.

Selama itu tidak nampak gangguan lagi dari fihak Ouigour sehingga orang orang Cou hidup dengan aman dan tenteram, menyangka bahwa Huayen-khan telah mendapat hajaran dan tidak berani muncul lagi. Akan tetapi dugaan mereka ini sebetulnya salah sekali, karena orang seperti Huayen-khan tak mungkin dapat mengalah begitu saja. Baiknya hal ini dapat diduga oleh Eng Eng yang sengaja untuk sementara waktu tidak mau meninggalkan Piloko dan anak buahnya.

Sementara itu, para penyelidik yang disuruh oleh Piloko untuk mencari jejak Sim Tiong Kiat seperti yang dikehendaki oleh Eng Eng ternyata kembali nihil. Mereka telah merantau ke selatan sampai ke kota raja, akan tetapi tidak dapat mencari pemuda itu di kota raja atau kota-kota lain.

Hal ini tentu saja amat mengecewakan hati Eng Eng dan membuat dia makin malas untuk mencari Tiong Kiat, karena setelah lima orang penyelidik itu merantau ke selatan dan mencari-cari tidak juga berhasil dia sendiri yang tak begitu mengenal daerah ini, harus mencari ke manakah?

Akan tetapi ia tidak putus asa karena nama Ang coa kiam Sim Tiong Kiat adalah nama yang mulai terkenal di kalangan kang ouw sedangkan anak buah Piloko telah minta pertolongan orang orang gagah di kalangan kang-ouw untuk memberi berita ke utara apa bila sewaktu-waktu mendengar tentang penjahat muda itu. Eng Eng merasa yakin bahwa sekali waktu ia pasti akan berhadapan muka dengan pemuda musuh besarnya itu!

Sama sekali ia tidak pernah mengimpi bahwa pada waktu itu, Tiong Kiat tidak berada di tempat jauh, bahkan sama sekali tak pernah menduga bahwa tak lama lagi ia akan berhadapan muka sama muka dengan pemuda itu dalam keadaan yang amat tak tersangka!

Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dalam rencana dan usaha mereka untuk berkhianat, Oei Sun atau Oei ciangkun bersama Go bi Ngo-koai tung, diam-diam mengadakan pesekutuan rahasia dengan Huayen-khan pemimpin suku bangsa Ouigour dan juga diam-diam telah mengadakan perjanjian dengan bangsa Mongol di utara.

Huayen-khan dan Ang Hwa yang menderita kekalahan hebat dari Piloko yang dibantu Eng Eng, menjadi amat sakit hati dan mereka teringat kepada Oei-ciangkun. Setelah mengadakan perundingan mereka itu lalu membawa sisa pasukan menuju ke benteng di lereng bukit dekat kota Hong-bun.

Kedatangan mereka diterima dengan baik oleh Oei-ciangkun dan Gobi Ngo koai-tung akan tetapi Sim Tiong Kiat merasa tidak enak juga ketika ia melihat kedatangan Huayen-khan dan Ang Hwa yang pernah bertempur dengan dia. Sebaliknya kepala suku bangsa Ouigour itu menjadi kaget sekali melihat Sim Tiong Kiat berada di dalam benteng ikut pula menyambutnya, bahkan telah mengenakan pakaian sebagai seorang perwira! Akan tetapi Ang Hwa memandang dengan wajah berseri lalu berkata girang.

"Ah, tidak tahunya Sim taihiap sudah berada di sini pula! Sungguh menggirangkan sekali. Kalau aku tahu sudah dulu-dulu aku datang ke sini. Mengapa kau tidak memberi kabar tentang adanya Sim-taihiap di sini, Oei ciangkun?" katanya kemudian sambil mengerIing tajam ke arah Oei-ciangkun.

Oei Sun tertegun. Panglima ini dapat menduga bahwa tentu dahulu pernah terjadi sesuatu antara Sim Tiong Kiat dan nyonya yang cabul ini.

"Siapa tahu bahwa kalian sudah saling mengenal?" tanyanya menggoda.

"Kami sudah saling mengenal dengan baik sekali!" jawab Ang Hwa sambil menyambar Tiong Kiat dengan sinar matanya yang tajam.

Ketika Oei Sun menengok ke arah Huayen khan, orang tua ini mengangguk dan berkata, "Kenalan lama, kenalan baik!"

Kemudian ia lalu menarik tangan Oei ciangkun diajak masuk ke dalam, meninggalkan isterinya bersama Tiong Kiat. Setelah berada di dalam, ia berbisik kepada Oei Sun.

"Oei ciangkun, bagaimana pemuda itu bisa menjadi seorang perwiramu? Kenal betulkah kau kepadanya? Setahuku, ia amat setia kepada kaisar!"

Dengan singkat dan cepat Huayen khan lalu menuturkan peristiwa keributan di dalam tendanya dahulu, di mana Tiong Kiat menyatakan tetap setia kepada kaisar sehingga menolak tawaran Huayen-khan yang memberikan istrinya untuk melayaninya!

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Oei Sun mengangguk-angguk. "Aku sudah menduga demikian, akan tetapi belum tentu ia betul-betul bersetia. Orang yang sudah menjadi jai-hwa-cat dan sudah suka menjalani jalan hek-to (jalan hitam, penjahat) tak mungkin dapat mempunyai hati setia. Aku amat sayang akan kepandaiannya yang tinggi dan perlahan-lahan aku sedang menarik dan membujuknya. Kalau sampai dia bisa berobah sikap dan membantu kita, bukankah dia merupakan tenaga yang amat baiknya?"

Huayen-khan mengangguk-angguk. "Memang demikianlah kehendakku dahulu, akan tetapi Ang Hwa tidak berhasil sehingga diantara dia dan kami bahkan timbul pertempuran hebat. Terus terang saja, akupun merasa kagum sekali melihat ilmu silatnya."

Oei Sun memandang keluar di mana Ang Hwa dengan sikap yang genit dan menarik sedang bercakap-cakap dengan Tiong Kiat. Tak dapat disangkal lagi dan amat mudah dilihat betapa pemuda itu memandang kepada Ang Hwa dengan mata amat tertarik. Oei ciangkun tersenyum dan berkata,

"Kurasa Ang Hwa bukannya tidak berhasil sama sekali. Kau lihat saja bukankah ikan emas itu sudah masuk dalam perangkapnya?"

Huayen khan juga memandang keluar dan iapun dapat melihat betapa sesungguhnya Tiong Kiat amat tertarik oleh Ang Hwa dan sedang memandang kepada nyonya muda itu dengan mesra.

"Huayen-khan sebetulnya apakah keperluanmu datang ke benteng? Melihat wajahmu dan semua orang orangmu agaknya kau telah mengalami kekecewaan besar."

"Kekecewaan? Bukan hanya kecewa, bahkan aku telah mengalami kekalahan besar, banyak orangku tewas bahkan Ang Hwa sendiri hampir saja tewas dalam peperangan itu."

Oei ciangkun terkejut. "Apa katamu? Apakah rombonganmu telah bertemu dengan pasukan dari kota raja?"

"Kami telah dipukul habis-habisan oleh orang-orang Cou."

"Apa? Piloko? Tak mungkin, bagaimana dia bisa memukul pasukanmu?"

"Inilah yang amat menyebalkan! Kalau pasukan kota raja yang mengalahkan pasukanku itu sih tidak berapa menjengkelkan. Akan tetapi pasukan Cou! Ah, sungguh bisa bikin orang mati karena gemas. Pasukan Cou sekarang rata-rata memiliki kepandaian yang tinggi dan diantara mereka terdapat seorang gadis Han yang luar biasa lihainya sehingga aku dan Ang Hwa hampir saja celaka di dalam tangannya." Huayen khan lalu menceritakan tentang pertempuran itu.

Oei-ciangkun makin terheran. "Apakah gadis itu masih muda, cantik dan langsing, berpedang merah?"

Kini Huayen-khan yang terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu? Betul, memang gadis itu cantik jelita, tidak kalah oleh Ang Hwa dan pedang merahnya lihai sekali."

Oei-ciangkun tak perlu menceritakan kepada Huayen-khan tentang Eng Eng yang pernah tertawan olehnya, hanya berkata setelah berpikir sebentar. "Bagus sekali, aku mempunyai pikiran yang amat baik. Mengapa kita tidak mengadukan Sim ciangkun dengan gadis pembela Piloko itu? Dengan jalan demikian, bukankah sekali tepuk mendapat dua ekor burung? Di satu fihak kita dapat menguji kesetiaan Sim-ciangkun kepadaku, dan kedua kita dapat pula membalaskan sakit hatimu terhadap orang-orang Cou. Juga mereka itu perlu dibasmi karena kalau tidak akan mendatangkan bahaya di hari kemudian bagi rencana kita!"

Akan tetapi, ketika Oei-ciangkun dan Huayen-khan mengadakan perundingan dengan Go-bi Ngo koai-tung, pada saat itu juga Ang Hwa sendiri telah berhasil menawan hati Tiong Kiat untuk kedua kalinya dan nyonya muda ini dengan sikap yang amat menarik menuturkan bahwa ia dihina oleh Piloko sehingga hampir saja nyawanya melayang.

Tiong Kiat yang mulai mabok oleh kecantikan dan gaya Ang Hwa, tanpa disadarinya telah memberi kesanggupan bahwa ia tak akan membiarkan sakit hati itu dan akan membunuh Piloko. Tiong Kiat mengeluarkan janji ini karena ia telah mendengar dari Oei ciangkun betapa Piloko adalah kepala suku bangsa Cou yang hendak memberontak dan membikin kekacauan hingga sudah patut dibasmi.

Go-bi Ngo-koai-tung menganggap usul Oei ciangkun untuk menyuruh Tiong Kiat membantu orang-orang Ouigour membasmi Piloko dan anak buahnya amat baik. Demikianlah, beramai-ramai mereka lalu mendatangi Tiong Kiat yang sedang bercakap-cakap dengan amat asyiknya dengan Ang Hwa.

"Sim ciangkun." Oei Sun mulai berkata dengan muka sungguh-sungguh, "seperti pernah kukatakan kepadamu, orang-orang Cou yang dikepalai oleh Piloko amat jahat dan berbahaya. Sekarang Piloko telah melatih orang-orangnya dan baru saja ia telah menyerang Huayen khan dan menimbulkan banyak kematian dan kerusakan. Kalau tidak lekas-lekas dibasmi, tentu kelak orang-orang Cou itu akan berani menyerang benteng kita, bahkan mungkin sekali akan berani memasuki tembok besar dan mengganggu rakyat. Oleh karena itu, aku harap kau suka memimpin sepasukan perajurit, bersama-sama dengan pasukan Ouigour yang menjadi penunjuk jalan, menggempur orang-orang Cou itu. Kalau mungkin bunuh atau tawan Piloko atau setidaknya biarlah merasai kelihaian kita."

Sambil mengerling ke arah Ang Hwa, Tiong Kiat menjawab. "Baiklah, Oei ciangkun. Urusan orang-orang Cou ini mudah saja, biarlah aku yang akan membikin beres. Bilakah aku berangkat?"

Hampir berbareng Huayen-khan dan Oei ciangkun berkata,

"Sekarang juga, lebih cepat lebih baik."

Akan tetapi tiba-tiba Ang Hwa berkata, "Lebih baik besok pagi saja, karena pasukan kita perlu beristirahat. Lagi pula, akupun akan ikut sendiri untuk membalas dendam!"

Kerling mata yang penuh arti dari nyonya muda ini ke arah suaminya membuat Huayen-khan diam-diam menghela napas. Ia maklum bahwa isterinya telah jatuh hati kepada pemuda she Sim ini dan iapun tahu sepenuhnya bahwa istrinya menghendaki agar diperbolehkan berdekatan dengan Sim Tiong Kiat!

"Memang betul juga," akhirnya Huayen-khan, suami tua bangka ini berkata, "pasukan kami yang telah terpukul itu amat lelah dan perlu beristirahat."

Demikianlah, selanjutnya dapat diduga bahwa Tiong Kiat telah terjerumus dalam perangkap yang di pasang oleh Huayen khan dan Ang Hwa. Pemuda itu tergila-gila kepada Ang Hwa yang sengaja bersikap amat manis kepadanya. Kini Tiong Kiat tidak menolak seperti dulu, karena kalau dulu ia anggap sikap manis Ang Hwa itu untuk menyeretnya ke jurang penghianatan terhadap kaisarnya.

Kini nyonya muda yang cantik ini bersikap manis karena memang suka kepadanya, dan karena mengharapkan bantuannya untuk membalas dendam kepada bangsa Cou. Dan menurut anggapan Tiong Kiat, Piloko dan pasukannya memang pantas digempur da dibinasakan agar jangan mengganggu dan mengacau rakyat!

Pada keesokan harinya, berangkatlah Tiong Kiat memimpin sepasukan perajurit yang berjumlah dua ratus orang, didahului oleh sepasukan kecil perajurit Ouigour sebagai penunjuk jalan. Ang Hwa tetap berada di dekatnya. Hal ini disetujui oleh Huayen khan dan Oei ciangkun, karena diam-diam Ang Hwa merupakan seorang penilik untuk menyaksikan bagaimana sikap pemuda itu dalam menghadapi Piloko dan gadis pendekar yang membelanya.

Mereka tiba di hutan dekat dengan dusun yang menjadi tempat tinggal orang-orang Cou dan di situ mereka berhenti. Tiong Kiat mengadakan perundingan dengan Ang Hwa dan orang-orang Ouigour yang menjadi pembantu Huayen khan.

"Lebih baik kita serbu mereka malam hari ini juga." usul Ang Hwa yang sudah tak sabar lagi menanti lebih lama.

"Hal itu berbahaya sekali." kata Tiong Kiat yang biarpun belum mempunyai pengalaman dalam perang, namun sudah mempelajari siasat-siasat peperangan dari Oei ciangkun. "Mereka lebih faham tentang keadaan daerah ini. Pertempuran di malam hari yang gelap ditempat yang belum kita ketahui baik keadaannya, amat berbahaya bagi pasukan kita. Lebih baik kita menanti di hutan ini sampai besok pagi baru menyerang."

"Apa sukarnya?" Ang Hwa berkata dengan bibir cemberut dan pandangan mata mengejek. "Apa kau takut? Jumlah tentara kita lebih banyak, kita serbu kampung mereka dengan tiba-tiba dan kalau mereka lari kita lalu bakar rumah-rumah mereka. Bukankah hal itu akan menjadi beres? Serahkan saja Piloko kepadaku dan kau menghadapi gadis liar yang membantunya itu. “

Dikatakan takut dan diejek oleh kekasihnya yang baru ini, panaslah hati Tiong Kiat. Ia maklum bahwa memang sesungguhnya pasukannya tidak usah takut kalah, akan tetapi bertempur dalam gelap itu akan menjatuhkan lebih banyak korban di fihaknya, dan hal ini tadinya hendak dicegahnya.

"Baiklah, kita serbu sekarang!"

Setelah berkata demikian, Tiong Kiat lalu memberi aba-aba dan menyerbulah pasukan kerajaan yang dua ratus orang jumlahnya, dibantu oleh tiga puluh orang lebih pasukan Ouigour yang hendak menuntut balas. Jauh sebelum pasukan ini tiba di dusun tempat tinggal orang Cou, penduduk kampung itu telah mendengar berita tentang penyerbuan ini dari para peronda. Piloko dan Eng Eng cepat mengatur persiapan.

"Ayah," Kata Eng Eng di tengah-tengah kesibukan itu. "kau bawalah teman keluarga wanita dan anak-anak menyingkir ke arah gunung di sebelah selatan itu. Biar aku memimpin kawan kawan untuk mempertahankan diri!”

Piloko maklum bahwa siasat Eng Eng ini memang tepat. Dari penjaga dan peronda, mereka mendengar bahwa penyerbu-penyerbu itu berjumlah dua ratus orang lebih, maka kalau keluarga tidak diungsikan lebih dulu, maka akan berbahaya sekali keadaannya. Di samping menghadapi musuh, juga mereka terpaksa harus melindungi keluarga mereka. Kalau keluarga mereka sudah diungsikan lebih dulu ke atas gunung, tentu pertahanan akan dapat dilakukan lebih kuat lagi.

Tanpa banyak cakap lagi Piloko Ialu mengumpulkan semua keluarga yang sudah siap pula mengangkut barang-barang yang terpenting seperti pakaian dan lain lain kemudian dengan hanya membawa sepuluh orang kawan laki-laki, Piloko lalu mengajak mereka keluar dari pintu gerbarg sebelah selatan dan melarikan diri di malam gelap menuju ke gunung di sebelah selatan.

Mereka tidak berani mempergunakan obor, oleh karena hal ini tentu akan terlihat oleh musuh. Karena mereka sudah paham akan daerah itu, biarpun di malam gelap, dapat juga mereka mencari jalan dan bergerak maju dengan cepat.

Adapun Eng Eng cepat mengatur persiapan. Ia memasang barisan pertahanan di kanan kiri depan pintu gerbang utara dari mana penyerbu itu datang, dan diam-diam ia memasang barisan panah di dalam kampung, bersembunyi di belakang rumah-rumah sebanyak tiga puluh orang ahli anak panah. la telah mengatur siasatnya dengan suara gagah dan nyaring.

“Kawan-kawan, musuh yang datang menurut laporan adalah orang-orang Ouigour yang dibantu oleh tentara kerajaan. Aku sendiri bingung mendengar bagaimana tentara kerajaan sampai membantu perbuatan orang Ouigour yang memusuhi kita, akan tetapi tak perlu hal itu dibicarakan lagi. Sekarang dengarlah baik-baik. Pihak musuh berjumlah dua ratus orang lebih berarti dua kali lebih banyak dari pada kita. Orang-orang yang bersembunyi di luar kampung, apabila nanti melihat mereka menyerbu, jangan bergerak dulu dan biarkan sebagian dari tentara musuh memasuki kampung. Setelah itu barulah aku akan memberi tanda menyerang. Adapun kawan-kawan yang bersembunyi di dalam kampung, begitu melihat musuh masuk, harus segera mengerjakan busur dan anak panah menyerang dari balik-balik rumah. Akan tetapi harap hati-hati, tiap kali sepuluh batang anak panah harus segera mencari tempat persembunyian lain. kalian sudah dilatih dan sudah tahu bagaimana harus berbuat!”

Demikianlah, orang-orang Cou yang gagah berani ini menanti datangnya musuh dengan hati berdebar. Mereka sama sekali tidak merasa gelisah dan takut karena mereka berbesar hati dengan adanya 'Bunga Dewa' di tengah-tengah mereka, apa lagi setelah Eng Eng berkata sebagai penutup pesannya.

"Jumlah mereka lebih banyak, akan tetapi kita tak perlu takut! Akan kita perlihatkan bahwa kita bangsa Cou tidak takut mati dan tidak boleh dibuat permainan!"

Barisan penyerbu menjadi girang ketika melihat keadaan di luar kampung ini sunyi saja. Mereka mengira bahwa orang-orang Cou tentu sudah tidur nyenyak, maka sambil menghunus senjata mereka menyerbu ke dalam dusun melalui pintu gerbang utara yang mereka robohkan. Di dalam serbuan itu, Eng Eng dari tempat sembunyinya hanya melihat seorang perwira Han bersama Ang Hwa memimpin barisan menyerbu ke dalam, akan tetapi karena gelap ia tidak tahu bahwa perwira itu sebetulnya Sim Tiong Kiat.

Setelah tentara musuh yang memasuki kampung kira-kira ada lima puluh orang tiba-tiba Eng Eng mengeluarkan pekik yang amat nyaring dan ia sendiri lalu melompat turun dari sebuah pohon di mana ia bersembunyi! Kawan-kawannyapun mengeluarkan pekik dahsyat dan keluarlah seratus orang Cou menyerang musuh yang baru datang.

Perang hebat terjadi dan ternyata keadaan sungguh terbalik. Bukan orang-orang Cou yang kaget menghadapi serbuan tiba-tiba, melainkan para penyeranglah yang benar-benar menjadi kaget karena diserang secara tiba-tiba oleh orang-orang Cou dari kanan kiri!

Dan berbareng dengan keributan hebat di luar kampung itu, ketika Tiong Kiat hendak membawa keluar kembali pasukannya tiba-tiba beberapa orang perajuritnya terjungkal dengan dada tertembus anak panah. Kacau balau keadaan dalam kampung dan Tiong Kiat menjadi pucat. Mereka telah terjebak dan terkurung! la lalu melompat turun dari kudanya dan memberi perintah.

"Lepas api bakar semua rumah!"

Hebat sekali pertempuran di luar kampung. Kurang lebih seratus lima puluh tentara Han dibantu oleh tiga puluh tentara Ouigour diserang secara tiba-tiba oleh orang-orang Cou yang jumlahnya hanya tujuh puluh orang lebih. Eng Eng mengamuk bagaikan seekor naga sakti. Kemana saja tubuhnya bergerak, dan pedangnya berkelebat, terdengar pekik mengerikan disusul oleh robohnya seorang tentara kerajaan atau tentara Ouigour!

Juga kawan-kawannya mempergunakan ilmu golok yang mereka pelajari untuk mengadakan perlawanan sengit. Kalau saja yang menyerang itu semua adalah bangsa Ouigour biarpun jumlahnya lebih banyak, tak dapat ragukan lagi bahwa orang-orang Cou ini pasti akan memperoleh kemenangan besar.

Akan tetapi yang mereka hadapi adalah tentara kerajaan dan kali ini Tiong Kiat membawa pasukan pilihan yang rata-rata anggotanya telah mempelajari ilmu silat dengan amat baiknya, maka pertempuran itu berjalan seru dan ramai sekali. Hanya Eng Eng saja seorang yang merupakan pencabut nyawa yang tak dapat dihalangi lagi. Baik perajurit biasa maupun perwira muda dari tentara kerajaan atau tentara Ouigour, apabila kebetulan berhadapan dengan gadis ini, tak dapat menahan lebih dari tiga gebrakan! Pasti akan terjungkal dalam keadaan tewas!

Kegagahan luar biasa inilah yang membuat pertempuran itu menjadi seimbang, karena selain sepak terjang gadis pedang merah ini membikin gentar hati pasukan musuh, juga membesarkan semangat orang-orang Cou yang bertempur penuh semangat dan tak kenal takut!

Bertumpuk-tumpuk mayat dan orang terluka ditimbulkan oleh pertempuran ini, korban yang jatuh fihak penyerbu banyak sekali, dan juga fihak Cou banyak jatuh korban sehingga Eng Eng mulai merasa kuatir. Tak disangkanya bahwa fihak penyerbu benar-benar lihai dan rata-rata memiliki ilmu silat yang terlatih. Ia menjadi marah sekali melihat betapa fihaknya sudah banyak berkurang dan bagaikan seorang gila Eng Eng memutar pedangnya lebih cepat lagi sambil berseru berkali-kali.

"Akan kubasmi kalian anjing-anjing rendah!"

Makin banyak korban yang roboh di bawah sambaran pedangnya dan makin jerihlah para pengeroyoknya. Akan tetapi tiba-tiba Eng Eng melihat cahaya terang dari dalam kampung yang makin lama makin besar. Ketika ia menengok, alangkah kagetnya melihat bahwa kampung itu telah menjadi lautan api. Api bernyala tinggi dan asap telah memenuhi udara, bergulung-gulung di atas kampung yang menjadi terang.

"Terkutuk, mereka membakar rumah-rumah!" seru Eng Eng dengan pucat dan bagaikan seekor burung walet terbang, ia meninggalkan pengeroyok-pengeroyoknya, melompat cepat dan berlari masuk ke dalam kampung.

Tepat di pintu gerbang, ia bertemu dengan dua orang yang juga berlari keluar dari dalam kampung. Mereka ini bukan lain adalah Tiong Kiat dan Ang Hwa! Juga Tiong Kiat dengan amat kaget mendengar dari seorang perajurit bahwa di luar anak buahnya telah diamuk oleh seorang gadis yang amat gagah perkasa dan bahwa banyak sekali perajuritnya yang tewas oleh gadis ini.

Tiong Kiat telah berhasiI membakar semua rumah dan membunuh semua tentara Cou yang tadi bersembunyi di belakang rumah rumah dengan anak panah mereka, sungguhpun untuk tiga puluh orang musuh itu ia kehilangan hampir semua perajuritnya yang telah memasuki dusun!