Pedang Ular Merah Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

PEDANG ULAR MERAH JILID 19

Ketika mendengar bahwa tentaranya di luar kampung menghadapi bencana maut yang disebar oleh seorang gadis Cou yang amat sakti, ia lalu cepat berlari keluar bersama Ang Hwa dan kebetulan sekali bertemu dengan seorang gadis yang bukan lain adalah Suma Eng!

Untung Eng Eng tidak mengenal perwira ini, akan tetapi ia tidak perduli siapa adanya perwira ini. Dengan kebencian luar biasa karena perwira ini yang memimpin orangnya membakar semua rumah di dalam kampung, Eng Eng lalu maju menerjang dengan pedang merahnya. Ketika perwira itu menangkis dengan sebatang pedang yang bercahaya putih barulah Eng Eng melihat mukanya dan mengenalnya.

"Kau...??" tanyanya dengan tertegun akan tetapi segera disusul dengan kata-kata yang menunjukkan kebencian besar, "Bangsat jahanam! Sekarang tiba saatnya aku mencabut nyawamu!"

Juga Tiong Kiat kaget sekali ketika melihat bagwa gadis yang mengamuk itu bukan lain adalah Suma Eng. Pantas saja para perajuritnya kocar kacir karena yang dihadapi adalah Eng Eng, gadis yang telah dikenal baik kelihaiannya ini!

"Sim-taihiap, dia inilah perempuan hina yang telah melukaiku! Lekas kau robohkan dia untukku!" kata Ang Hwa sambil maju membantu Tiong Kiat dengan pedangnya.

"Anjing betina, kau belum mampus?" Eng Eng membentak gemas. "baiklah biar sekarang kau mampus bersama anjing jantan ini!"

la lalu memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga Ang Hwa terpaksa melompat mundur karena silau matanya. Ia tidak sekuat Tiong Kiat yang dapat menangkis dan menghadapi pedang merah itu. Adapun Tiong Kiat sendiri menjadi serba salah dan bingung. Pertemuan dengan Eng Eng Ini benar-benar tak pernah disangkanya, ia tidak takut terhadap ilmu pedang gadis ini, karena biarpun harus diakui bahwa Eng Eng lihai sekali ilmu pedangnya, namun ia yang kini sudah menyempurnakan Ang-coa-kiamsut dari Kim-liong-pai, tak usah takut akan kalah.

Yang menggelisahkannya adalah kenyataannya bahwa hatinya tidak mengijinkannya untuk melukai apa lagi membunuh gadis yang dicintainya. Baru melihat gadis ini membantu suku bangsa Cou yang memberontak saja, hatinya telah menjadi sakit dan tenaganya Iemas. Ah, bagaimana gadis ini sampai menjadi tersesat dan membantu pemberontak?

Sebaliknya, Eng Eng yang membenci setengah mati kepada pemuda ini, menyerang dengan nekad tidak memperdulikan keselamatannya sendiri. Ang Hwa kini hanya memaki-maki sambil menyerang kadang kadang saja dari belakang karena ia tidak berani menghadapi gadis ini dengan langsung. la mengharapkan agar Tiong Kiat dapat mengalahkan gadis ini.

Melihat sepak terjang Eng Eng, makin sedihlah hati Tiong Kiat. Ia maklum bahwa gadis ini bersedia mengadu nyawa dengan dia dan kenyataan betapa hebatnya kebencian gadis itu terhadapnya. Benar-benar membuat ia sering kali tak dapat tidur di waktu malam.

Sekarang kembali Eng Eng telah memperlihatkan kebenciannya dengan serangan-serangan maut yang benar-benar berbahaya, tidak saja berbahaya baginya, bahkan juga berbahaya bagi Eng Eng sendiri. Gadis itu melakukan serangan dengan sepenuh tenaga dan kepandaiannya, sama sekali tidak perduli lagi bahwa serangan-serangan hebat itu membuat sebagian pertahanannya banyak terbuka.

Tiong Kiat maklum bahwa kalau diteruskan mau tidak mau iapun harus mengadu nyawa. Kalau bukan dia, tentu gadis ini yang menggeletak tidak bernyawa menjadi korban pedang pusaka. Dan hal ini ia tidak menghendakinya. Ia cinta kepada Eng Eng, akan tetapi ia lebih cinta kepada diri sendiri. Melihat beberapa orang pembantunya berada di situ, ia lalu berseru keras,

"Keluarkan perintah menarik mundur pasukan! Kejar keluarga musuh yang melarikan diri, tangkap mereka semua!”

Tiong Kiat ketika memberi perintah membakari rumah tadi mendapat kenyataan bahwa di situ tidak terdapat seorangpun keluarga bangsa Cou, maka sekarang ia mendapat akal baru. la dapat menduga bahwa Piloko tentu mengantar keluarga itu mengungsi buktinya semenjak tadi ia tidak melihat kepala suku bangsa Cou itu.

Dalam keadaan terjepit dalam pertempuran mati-matian melawan Eng Eng, ia sengaja mengeluarkan perintah ini untuk menakut-nakuti hati Eng Eng. Memang siasatnya ini tepat. Mendengar perintah ini Eng Eng menjadi pucat. Betapapun bencinya kepada Tiong Kiat dan betapapun besar nafsunya untuk membunuh pemuda ini, akan tetapi mengingat akan keselamatan keluarga suku bangsa Cou yang terancam, ia melupakan kepentingannya sendiri.

"Jahanam, kejam!" bentaknya marah dan secepat kilat Eng Eng melompat keluar dari dusun itu. Dilihatnya bahwa kawan-kawannya masih bertempur seru melawan musuh yang kini mendapat bantuan dari perajurit perajurit kerajaan yang tadi membakar-bakari itu berada dalam keadaan terdesak hebat.

"Mundur!" teriak gadis itu dan karena ia mengerahkan khikangnya, maka suaranya amat tinggi melengking mengatasi segala kegaduhan pertempuran itu. "Ke selatan, lindungi keluarga!”

Mendengar aba-aba ini, orang-orang suku bangsa Cou lalu cepat melarikan diri ke selatan, Eng Eng sengaja lari paling belakang. Gelombang perajurit musuh yang mencoba untuk mengejar, disambutnya dengan sinar pedangnya yang dengan mudah membabat roboh beberapa orang perajurit, sehingga para pengejar itu menjadi gentar dan mundur. Kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Eng Eng dan kawan-kawannya untuk melarikan diri secepatnya mendaki bukit di selatan itu.

Tiong Kiat dan pasukannya tidak berani mengejar, karena mereka merasa bingung di daerah tak dikenalnya ini, apalagi dalam keadaan segelap itu. Mereka takut akan jebakan-jebakan musuh. Untuk apa mengejar? Bukankah ia telah mendapat kemenangan, telah merampas dusun itu, membakar habis rumah-rumah orang Cou dan mengusir mereka?

Demikian pikir Tiong Kiat. Apalagi fihak orang-orang Cou terdapat Eng Eng yang memimpin, maka semua nafsunya untuk membasmi orang-orang Cou menjadi lenyap. Kalau tidak ada Eng Eng tak dapat disangsikan lagi, Tiong Kiat tentu akan mengejar terus sampai orang terakhir dari suku bangsa Cou terbunuh.

Demikianlah, pada keesokan harinya Tiong Kiat membawa sisa pasukannya yang telah tewas setengahnya lebih itu kembali ke benteng. Ang Hwa berlaku lebih manis kepadanya karena dianggapnya Tiong Kiat telah berhasil membalas dendam, sungguhpun wanita ini masih merasa penasaran karena Eng Eng tak dapat tertawan atau terbunuh.

Adapun Eng Eng yang memimpin sisa anak buahnya mendaki gunung, setelah mendapat kenyataan bahwa musuh tidak mengejar lagi lalu ia berhenti dan mengumpulkan perajuritnya. Ternyata bahwa jumlah mereka tinggal lima puluh orang lagi, Eng Eng merasa berduka sekali karena dalam pertempuran ini, ternyata hampir lima puluh orang telah tewas!

Tiga puluh orang di dalam dusun dan dua puluh di luar dusun. Dan di antara lima puluh orang yang dapat melarikan diri, terdapat pula yang luka-luka. Hampir saja gadis yang gagah ini mengucurkan air matanya. Sambil menggigit bibir Eng Eng bersumpah di dalam hatinya bahwa sewaktu-waktu ia pasti akan dapat membekuk batang leher Tiong Kiat dan sekarang lebih banyak lagi alasan baginya untuk membalas sakit hatinya terhadap pemuda itu.

Mereka beristirahat di lereng gunung dan menjelang fajar, dari atas bukit turunlah Piloko dan sepuluh orang kawannya. Malam tadi ia melihat dari atas bukit betapa dusun mereka terbakar. Hati mereka gelisah sekali akan tetapi apakah daya mereka? Piloko tidak berani meninggalkan keluarga yang berada di puncak bukit, maka dengan hati gelisah sekaIi ia menanti sambil menghibur orang-orang perempuan yang mulai menangis dan mengeluh panjang pendek melihat dusun mereka terbakar itu.

Ketika bertemu ayah angkatnya, Eng Eng memeluk Piloko dan menjatuhkan mukanya pada dada ayah angkat ini. Keduanya merasa terharu sekali.

"Ayah... aku tak dapat mempertahankan... kampung kita... dan lima puluh orang kawan-kawan kita..."

Piloko tak dapat berkata sesuatu, hanya menepuk-nepuk pundak anak angkatnya sebagai usaha menghibur. "Bunga dewa tak perlu berkecil hati!" tiba-tiba seorang diantara para perajurit berkata,

"Biarpun dusun kita terbakar dan beberapa kawan kita gugur, akan tetapi jumlah korban di fihak musuh Iebih banyak lagi! Kita harus merasa bangga karena baru kali ini tentara kerajaan yang terkenal gagah perkasa, ternyata menghadapi kita mereka menderita kerugian lebih besar, biarpun tadinya jumlah mereka dua kali lebih besar daripada jumlah kita!”

Mendengar ucapan ini, semua orang menyatakan setuju, bahkan Piloko sendiri lalu menghibur Eng Eng dengan gagah.

"Ucapan tadi benar, anakku. Mengapa kita harus berkecil hati? Mati dalam perang guna membela bangsa dan mempertahankan kehormatan bangsa adalah mati yang amat berharga. Laki-laki gagah yang manakah tidak ingin gugur di dalam peperangan membela tanah air dan bangsa? Percayalah, arwah dari kawan-kawan kita yang tewas, pada saat ini tentu tersenyum-senyum melihat betapa mereka tidak tewas dengan sia-sia, bahwa pertempuran yang menewaskan mereka itu ternyata membawa kemenangan.”

Terbangun semangat Eng Eng mendengar ini. "Ayah kau benar sekali. Maafkan kelemahan hatiku. Dusun yang sudah musnah biarlah, kita sekarang mencari tempat dan membangun lagi."

"Marilah kita naik ke puncak dan membuat pertahanan di sana. Siapa tahu kaIau-kalau musuh akan mengejar kita." kata Piloko.

Maka naiklah mereka ke atas bukit itu, disambut oleh tangisan keluarga-keluarga yang tidak melihat suami atau ayah mereka ikut datang! Eng Eng dan Piloko dengan bantuan Yamani menghibur keluarga yang kehilangan ayah atau suami dengan berbagai kata-kata bersemangat. Di dalam perjalanan mendaki bukit ini, dengan girang sekali Eng Eng mendapat kenyataan bahwa gunung ini amat suburnya dan amat baik untuk dijadikan tempat tinggal bagi keluarga besar itu.

Puncaknya yang bertanah subur dan luasnya beberapa li itu dikelilingi oleh jurang yang amat terjal dan jalan satu-satunya untuk naik hanya melalui jalan batu karang yang kanan kirinya penuh dengan hutan-hutan di dalam jurang. Hanya puncak-puncak pohon saja yang sampai di jalan batu karang itu. Selain jalan batu karang ini, tidak ada jalan yang dapat membawa orang sampai ke puncak!

"Ayah, tempat ini bagus sekali! Dengan menduduki puncak, biarpun diserang oleh ribuan musuh, kita dapat menghancurkan mereka dengan amat mudahnya!" kata Eng Eng.

Piloko adalah seorang yang semenjak kecilnya seringkali menghadapi pertempuran-pertempuran. Sekali pandang saja ia maklum akan maksud kata-kata anak angkatnya ini. Ia mengangguk-angguk membenarkan. Memang dengan penjagaan beberapa belas orang saja di puncak, di atas jalan tunggal itu bersenjata batu-batu dan panah, mereka akan dapat menghalau musuh dengan amat mudah.

Jalan itu tidak berapa lebar, hanya dapat dinaiki oleh sejajar yang terdiri dari lima orang. Biarpun musuh berjumlah banyak, namun hanya lima orang yang dapat maju paling depan dan sebelum tiba di puncak, dari atas dengan mudah saja orang dapat melempar batu untuk membuat orang orang atau musuh yang mencoba naik itu terusir pergi!

Sekali lagi sibuklah suku bangsa Cou ini membangun gubuk gubuk di atas puncak. Dengan amat girang mereka mendapat kenyataan bahwa di puncak yang subur itu banyak terdapat pohon-pohon buah dan juga binatang-binatang hutan, Eng Eng lalu mengatur penjagaan di atas mulut jalan tunggal itu dan tempat itu dijaga oleh dua puluh orang secara bergilir dan terus menerus siang malam!

Semenjak mereka tinggal di atas puncak bukit itu, telah dua kali pasukan Ouigour dan pasukan dari Oei-ciangkun mencoba untuk mendaki ke atas, akan tetapi dengan amat mudahnya mereka ini dihalau dan terpaksa membatalkan niatnya ketika dari atas jalan tunggal itu menggelinding batu-batu bagaikan hujan lebatnya! Jalan naik lain telah dicari, akan tetapi sia-sia belaka sehingga akhirnya tidak ada lagi pasukan musuh yang berani naik.

"Aku harus mengajukan protes kepada Kaisar Tai Cung atas serangan-serangan tentara kerajaan yang membantu Ouigour!" kata Piloko dengan marah dan penasaran sekali.

"Bagaimana kalau kau nanti ditangkap di kota raja?" tanya Eng Eng kuatir.

"Tidak mungkin! Tak mungkin kalau dari kerajaan yang besar sudi melakukan kerendahan yang hina itu. Sudah beberapa kali aku bertemu dengan Kaisar Tai Cung dan melihat sikapnya sungguh aku tidak mengerti mengapa sekarang tentaranya mau mengganggu rakyatku. Aku harus pergi ke kota raja dan minta agar segala gangguan ini dihabiskan!"

Karena kehendak Piloko tak dapat dibantah lagi, akhirnya Eng Eng berkata, "Baiklah ayah. Aku akan ikut dengan kau ke kota raja! Biar aku yang menjadi pembela dan pengawalmu. Kita berdua dapat pergi dengan hati aman karena keluarga kita berada di tempat yang sentosa. Bilakah kita berangkat, ayah?"

"Besok!” jawab ayah angkatnya dengan tegas.

Demikianlah pada keesokan harinya, dari atas puncak, melalui jalan tunggal itu, turunlah Piloko yang mengenakan pakaian kebesaran bersama Eng Eng. Mereka mempergunakan ilmu lari cepat dan turun dari atas gunung itu, langsung menuju ke selatan, kota raja untuk menghadap Kaisar Tai Cung!

Ketika Tiong Kiat dan Ang Hwa kembali ke benteng membawa berita kemenangan yang telah berhasiI membasmi dusun orang-orang Cou dan mengusir mereka ke puncak gunung, Huayen-khan merasa gembira sekali. Juga Oei Sun menjadi gembira karena ternyata bahwa Tiong Kiat merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan, tetapi Go-bi Ngo-koai-tung dan Oei Sun menjadi penasaran sekali ketika mendengar bahwa gadis gagah perkasa yang membantu Piloko bukan lain adalah Suma Eng, nona yang pernah tertawan oleh mereka itu.

"Nah apa kataku dulu?” kata Oei ciangkun kepada Go bi Ngo-koai-tung dengan suara menyesal setelah mereka berada sendiri, "nona itu hanya mendatangkan kesulitan belaka. Kalau dulu kita tidak melepaskannya, tidak nanti kita sampai kehilangan seratus orang dalam pertempuran itu."

Thian It Tosu menarik napas panjang. "Mungkin dia tidak tahu bahwa tentara yang membantu Huayen-khan adalah tentara kita. Kalau kemarin kita yang maju, belum tentu ia suka melawan kita. Akan tetapi sudahlah sekarang Piloko sudah kehilangan banyak orang dan ia telah mengungsi di atas puncak bukit. Apakah artinya beberapa orang Cou itu bagi gerakan kita?"

Akan tetapi ternyata Huayen khan tidak berpikir demikian. Kepala suku bangsa Ouigour ini masih belum merasa puas kalau belum dapat melenyapkan Piloko dari muka bumi ini. Oleh karena itu, diam-diam ia lalu memimpin orang-orangnya untuk menyerbu ke atas gunung. Akan tetapi, ternyata ia menerima hukuman berat dari usaha ini, karena dari atas turunlah batu bagaikan hujan yang melukai banyak orang-orangnya bahkan ada beberapa orang perajurit tewas karena terjungkal ke dalam jurang!

Kembali Huayen-khan minta pertolongan Oei Sun yang menyuruh sepasukan tentara menyerang ke atas gunung. Sama saja, pasukan inipun menderita karena hujan batu dan semenjak itu, Oei-ciangkun maupun Huayen-khan tidak berani lagi mengganggu benteng di puncak gunung dari orang-orang Cou ini.

Sementara itu, Ang Hwa tetap saja mendekati Sim Tiong Kiat tanpa mengenal malu lagi sehingga tak seorangpun di antara orang-orang yang berada di benteng itu tidak tahu akan adanya hubungan antara perwira she Sim yang baru ini dengan Si bunga Merah, isteri dari Huayen-khan, kepala suku bangsa Ouigour yang sudah tua itu.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Pada suatu hari, selagi Tiong Kiat duduk di ruang dalam bersama Ang Hwa, Huayen khan dan Go bi ngo koai tung, seorang penjaga datang memberi laporan bahwa di luar benteng terdapat lima orang tosu yang minta bertemu dengan Sim Tiong Kiat.

Pemuda itu mengerutkan kening. Pada waktu itu, Oei-ciangkun sedang pergi keluar benteng, katanya untuk urusan dinas yang tak diketahui olehnya, dan Oei-ciangkun telah menyerahkan komando tertinggi kepadanya sebagai wakil Oei ciangkun. Siapakah tosu-tosu yang datang mencarinya? Tiong Kiat menjadi bimbang, lalu ia bertanya!

"Siapakah mereka itu? Datang dari mana dan perlu apa mencari aku?”

"Kami sudah bertanya Sim ciangkun. Akan tetapi tosu-tosu yang kelihatan galak itu hanya menjawab bahwa mereka ingin bertemu dengan orang yang bernama Sim Tiong Kiat. Mereka tidak mau memberi tahu sama sekali siapa adanya mereka."

Tiong Kiat menjadi makin curiga.

"Sim ciangkun," tiba-tiba Thian It Tosu, orang pertama dari Go-bi Ngo-koai-tung berkata, "mengapa ciangkun ragu-ragu? Keluarlah dan jumpai orang-orang itu. Biar pinto berlima mengantar ciangkun dengan diam-diam dan pinto berlima mengintai dari balik pintu gerbang. Kalau terjadi sesuatu yang mencurigakan, tentu pinto berlima takkan tinggal diam."

"Aku tidak takut sama sekali terhadap siapapun juga, ngowi totiang, hanya aku tadi merasa ragu-ragu apakah baik aku meninggalkan benteng selagi Oei cangkun tidak ada?"

"Kalau mereka dipersilakan masuk, akan lebih kurang baik lagi." kata Huayen-khan yang menaruh curiga.

Akhirnya keluarlah Tiong Kiat, dikawani oleh Ang Hwa yang tidak mau ditinggal, sedangkan Huayen-khan tentu saja bersembunyi di dalam tidak mau memperlihatkan diri, oleh karena ia takut kalau-kalau ada yang melihat ia bersekongkol dengan Oei-ciangkun. Adapun Go bi Ngo-koai-tung lalu mengintai dari belakang daun pintu gerbang yang lebar dan diam-diam mereka menjadi terkejut ketika melihat siapa adanya lima orang tosu itu!

Akan tetapi, baik Tiong Kiat maupun Ang Hwa, tidak mengenal tosu-tosu ini. Tiong Kiat yang melihat lima orang tosu setengah tua yang berdiri dengan tenang dan berjajar rapi sambil memandang tajam, cepat keluar dari pintu dan merangkapkan kedua tangannya.

Setelah memberi hormat, ia berkata, "Tidak tahu siapakah ngo-wi totiang yang terhormat dan kehormatan manakah yang diberikan kepada orang seperti aku sehingga ngowi jauh-jauh datang mencariku?"

Gan Tian Cu dan empat orang sutenya, lima tokoh Kun-lun pai itu saling pandang dan saking herannya, Gan Tian Cu berkata perlahan kepada adik-adik seperguruannya. "Memang serupa benar, pantas saja banyak orang salah duga!"

Tentu saja Tiong Kiat tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh tosu itu, akan tetapi Gan Tian Cu segera memandangnya dengan mata tajam dan membentak.

"Ang coa kiam ketahuilah bahwa pinto berlima datang dari Kun-lun-pai! Tentu kau masih ingat kepada murid kami yang bernama Lo Ban Tek yang kau bunuh secara sewenang-wenang di kota Ikiang! Pinto berlima datang untuk minta pertanggungan jawabmu atas perbuatan-perbuatanmu yang terkutuk!”

Berbeda dengan Tiong Han ketika menghadapi tuduhan kelima orang tosu ini, Tiong Kiat tersenyum mengejek dan bertanya, "Aha, jadi tegasnya kalian berlima ini jauh-jauh datang dari Kun-lun-san hanya untuk membalas dendam atas kematian Lo Ban Tek manusia kasar itu? Apakah yang hendak kalian lakukan terhadapku? Hendak membunuhku?"

Mendengar pertanyaan yang merupakan tantangan ini, merahlah wajah Gan Tian Cu. "Orang she Sim, kami datang untuk membawamu ke Kun-lun-san agar kau menerima putusan dan hukuman dari para ketua Kun lun-pai. Kalau kau melawan, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!”

"Tosu sombong! Aku Sim Tiong Kiat tidak pernah takut kepada siapapun juga! Benar aku telah membunuh Lo Ban Tek karena ia yang datang mencari dan menantangku. Ia mampus karena memang kepandaiannya masih rendah, kalau dia lebih pandai dari padaku, bukankah aku yang akan mati di tangannya? Kalau seandainya aku yang akan mati, apakah kalian ini juga mau ribut-ribut mengurus perkara ini? Ah, benar-benar kalian ini pendeta-pendeta yang telah kehilangan keadilan, dan hanya bertindak menuruti nafsu hati dan membela golongan sendiri."

"Bisa saja kau memutar lidah, pemuda penuh dosa! Kalau Lo Ban Tek tewas dalam sebuah pibu, biarpun yang dihadapi dalam pibu itu seorang muda jahat seperti engkau, kami takkan sudi mengotorkan tangan kepadamu. Akan tetapi, murid kami itu tewas karena hendak membela kebenaran dan hendak memberantas manusia jahat seperti engkau. Bagaimana kami takkan turun tangan? Sudahlah, manusia cabul dan jahat, lebih baik kau menyerah dan ikut dengan kami ke Kun-lun-san, dari pada kami terpaksa harus menggunakan kekerasan."

Sebagai jawaban atas ucapan ini, Tiong Kiat tertawa bergelak dan sekali tangan kanannya bergerak. Hui liong-kiam (Pedang Naga Terbang) telah berada di tangannya, berkilau terkena cahaya matahari.

"Hendak kulihat sampai di mana sih kepandaian dari orang Kun-lun-pai maka kalian menjadi sesombong ini? Apakah kalian hendak maju bersama? Silakan, aku tidak takut!" Tiong Kiat sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk memanaskan hati para pendeta itu.

Gan Tian Cu melompat maju dan mencabut pedang dengan tangan kanan dan sebuah hudtim (kebutan) dengan tangan kiri. "Ang coa-kiam kami masih memandang muka Lui Thian Sianjin yang kami hormati maka kami masih bersikap ramah dan murah terhadapmu. Akan tetapi sikapmu yang kurang ajar ini menghapus semua penghormatan yang masih ada dalam hati kami! Lui Thian Sianjin pasti akan memaafkan kami apabila ia melihat sikap muridnya yang murtad!"

"Sudahlah, tosu tua, untuk apa banyak mengobrol lagi? Pergunakan pisau pemotong rumput dan pengusir lalat itu kalau kau memang berani!” Sambil berkata demikian, dengan sikap amat menghina Tiong Kiat lalu menggerak-gerakkan pedangnya di depan muka pendeta itu.

Gan Tian Cu marah sekali dan cepat ia lalu menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah tenggorokan Tiong Kiat sedangkan kebutan di tangan kiri menyusul dengan sebuah serangan menotok ke arah lambung. Inilah gerak tipu yang disebut Ji-liong jut tong (Dua Naga Keluar dari Gua) yang amat lihai.

Pedang di tangan Gan Tian Cu adalah sebatang pedang pusaka juga dan kini digerakkan dengan cepat sehingga hanya merupakan sinar kehijauan menyambar ke arah tenggorokan lawan, sedangkan kebutan itu biarpun nampaknya lemas dan lembut, namun digerakkan oleh tangan Gan Tian Cu yang memiliki tenaga lweekang cukup tinggi, kini menjadi semacam senjata penotok yang lebih keras dari pada baja dan amat berbahaya!

Tiong Kiat maklum bahwa hudtim ini bahkan lebih berbahaya dari pada pedang itu. Serangan pedang itu sekali kelit saja dapat dihindarkan, akan tetapi belum tentu dengan kebutannya. Karena biarpun dapat dikelit, ujung kebutan itu tiba-tiba dapat digerakkan menjadi lemas untuk menyambar ke arah leher atau pundak. Akan tetapi, tidak percuma Tiong Kiat sudah menyempurnakan ilmu pedang Ang-coa-kiam-sut dari kitab ilmu pedang yang benar-benar amat lihai.

Kalau tokoh besar ilmu persilatan menghadapi Tiong Kiat dengan senjata lain, mungkin akan dapat ia mengimbangi ilmu pedang pemuda jago Kim-liong-pai ini. Akan tetapi, Gan Tian Cu mempergunakan pedang pula, dan biarpun telah dibantu pula oleh permainan hudtimnya yang juga amat lihai, namun menghadapi ilmu pedang dari pemuda ini, sebentar saja Gan Tian Cu maklum bahwa ilmu pedang Kun lun kiam hoat masih kalah lihai!

Ketika menghadapi serangan dengan gerak tipu Ji-liong-jut-tong tadi, Tiong Kiat cepat menundukkan tubuhnya dan pedangnya dari kiri diputar ke kanan, sekaligus membabat ke arah pedang dan kebutan lawan dengan gerak tipu yang disebut angcoa-sin-jau (Ular Merah Mengulur Pinggang).

Yang nampak hanya sinar putih panjang dan kuat saja menyambar dari kiri ke kanan dan terdengar suara keras dua kali ketika Hui-liong-kiam itu membentur pedang dan kebutan di tangan Gan Tian Cu. Kedua pihak merasa betapa benturan itu mengakibatkan tenaga mereka menjadi tergetar dan kesemutan, tanda bahwa Iweekang dari pemuda ini sudah mencapai tingkat yang tidak berada di sebelah bawah tingkat Gan Tian Cu.

Gan Tian Cu merasa betapa pedangnya ketika terbentur oleh pedang lawannya, pedangnya itu mengeluarkan bunyi aneh dan terpentalnya seperti tertendang. Ia maklum bahwa ilmu pedang lawannya ini benar-benar lihai sekali dan pedang yang dipegang oleh pemuda itu ketika digerakkan, agak menggetar dan mempunyai gaya atau tenaga menendang.

Hebat sekali! Akan tetapi Gan Tian Cu adalah tokoh kelas dua di Kun lun-pai, maka tentu saja ia tidak mau tunduk dan tidak merasa takut menghadapi lawan yang masih muda ini. Sambil berseru keras, ia lalu mengeluarkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang paling istimewa. Juga hudtimnya digerakkan dengan gencar sekali sehingga kini hudtim dan pedang seakan-akan telah berobah menjadi enam buah senjata yang menyerang dari segala jurusan.

Tiong Kiat merasa terkejut juga. Ia maklum bahwa seandainya ia belum memperdalam ilmu pedangnya dari kitab yang dirampasnya dari Tiong Han, agaknya ia takkan dapat menangkan pendeta yang kosen ini. Baiknya ia telah mempelajari ilmu pedang sampai seluruhnya dan telah menemukan jurus rahasia yang belum pernah dipelajarinya dari Lui Thian Sianjin.

Kini ia mengeluarkan jurus-jurus ini yang ternyata bukan main hebatnya. Tubuhnya lenyap dalam bungkusan sinar pedang yang menjadi amat panjang, lebar dan kuat sekali bagaikan seekor naga sakti yang bermain-main diantara awan yang ditimbulkan oleh kebutan dan pedang lawannya!

Benar saja menghadapi ilmu pedang Ang coa-kiamsut yang dimainkan dengan sempurna ini, Gan Tian Cu mengeluh dan menjadi amat kaget. Betapapun ia mengerahkan tenaga dan kepandaian, tetap saja terdesak hebat, dan tidak sanggup membalas, hanya mempertahankan diri saja, itupun dengan susah payah!

Empat orang sutenya yang menyaksikan, betapa suheng mereka terdesak hebat dan terancam bahaya, mengingat bahwa pertempuran itu bukan semacam pibu yang tak boleh dibantu, melainkan semacam penangkapan atas diri seorang penjahat yang lihai, segera mencabut pedang dan menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran!

Betapapun lihainya Tiong Kiat menghadapi lima orang tokoh Kun-lun-pai ini ia menjadi kewalahan juga. Harus diketahui bahwa lima orang ini kepandaiannya tidak kalah olehnya baik ginkang maupun Iweekangnya. Pemuda ini hanya menang dalam hal ilmu pedang, dan keunggulan dalam memainkan pedang inilah yang membuat ia dapat mendesak Gan Tian Cu. Akan tetapi, kini dikeroyok lima tentu saja ia menjadi sibuk juga.

"Sim ciangkun, jangan kuatir, kami membantu!"

Berbareng dengan terdengarnya seruan ini, dari balik pintu gerbang benteng melayang keluar lima bayangan orang yang cepat sekali gerakannya dan lima batang tongkat bambu dengan gerakan luar biasa telah menahan lima pedang dari Gan Tian Cu dan empat orang sutenya.

"Sungguh menggelikan! Tosu ternama dari Kun lun pai mengeroyok seorang muda! Mana ada aturan ini?” kata Thian It Tosu setelah lima orang tosu dari Kun-lun-pai itu menjadi terkejut dan melompat mundur. Lima orang tosu Kun lun-pai kini berhadapan dengan lima orang tosu yang bukan lain adalah Go-bi Ngo-koai-tung!

Gan Tian Cu dan empat orang sutenya memandang dan biarpun mereka belum pernah melihat Go bi Ngo-koai tung namun melihat jumlah mereka lima orang dan senjata mereka tongkat bambu, Gan Tian Cu dapat menduga-duga lalu mengangkat tangan memberi hormat.

"Kalau pinto tidak salah lihat, bukankah pinto berhadapan dengan Go-bi Ngo-koai-tung yang terhormat?"

Thian It Tosu tertawa bergelak. "Bagus Gan Tian Cu, kau memang bermata tajam. Kami berlima memang datang dari Go-bi dan tongkat buruk ini memang telah berhasil mengangkat nama kami. Pinto mendengar bahwa Gan Tian Cu adalah tokoh tingkat dua dari Kun lun-pai, seorang yang amat lihai dan menjunjung tinggi aturan di dunia kang-ouw. Akan tetapi hari ini pinto benar-benar melihat keganjilan yang amat lucu. Bagaimana Gan Tian Cu yang menganggap diri sebagai seorang diantara pemimpin partai Kun-lun yang besar mengeroyok seorang pemuda yang telah menjadi perwira kerajaan? Gan Tian Cu tidak tahukah kau bahwa orang tidak boleh memusuhi seorang perwira kerajaan? Apakah kau dan kawan-kawanmu ini mempunyai maksud untuk memberontak?”

Bukan main marahnya Gan Tian Cu dan sute-sutenya mendengar ucapan ini. ”Go-bi Ngo-koai! Sesungguhnya terbalik sama sekali pertanyaan yang kau ucapkan itu. Semestinya kami yang berhak bertanya kepada kalian berlima. Siapakah orangnya di dunia kang-ouw yang belum pernah mendengar nama Ang coa kiam Sim Tiong Kiat? Apakah benar-benar kalian berlima tidak mempunyai telinga dan mata? Perlukah kiranya kami beberkan semua kejahatan yang telah dilakukan oleh Ang coa kiam? Kita semua telah mengaku menjadi pendekar-pendekar yang memiliki kepandaian, yang semenjak keciI mempelajari ilmu silat untuk dipergunakan sebagai penegak keadilan dan kebesaran. Ang coa kiam adalah seorang pemuda yang jahat dan telah banyak mendatangkan keonaran dan banyak melakukan dosa, mengapa sekarang dapat bertemu dengan kalian di benteng ini? Bagaimana ia dapat menjadi seorang perwira kerajaan? Apakah benar-benar kalian tidak pernah mendengar tentang semua kejahatannya?”

Thian It Tosu tersenyum dan berkata dengan tenang. ”Gan Tian Cu, manusia manakah di dunia ini yang tidak jahat dan berdosa? Pinto tidak suka membongkar-bongkar rahasia dan kesalahan orang, apalagi Sim-ciangkun! Biar apapun juga yang hendak kau katakan tentang dia, buktinya sekarang Sim ciangkun telah menjadi seorang perwira, yang berarti bahwa dia telah berada di jalan benar, menjadi seorang gagah yang setia dan membela negara! Bagiku, seratus kali lebih baik seorang berdosa yang kembali ke jalan benar daripada seorang yang mengaku-aku suci akan tetapi belum tahu bagaimana isi perutnya!”

Tentu saja Gan Tian Cu dan sute-sutenya tahu betul bahwa mereka telah disindir dan dimaki habis-habisan oleh Thian It Tosu, maka marahlah Gan Tian Cu.

”Go-bi Ngo koai! Kami berlima datang untluk berurusan dengan Ang coa kiam Sim Tiong Kiat dan sama sekali kami tidak mempunyai sangkut paut dengan kalian berlima! Maafkan, kami tidak ada banyak waktu lagi untuk mengobrol dengan kalian!”

Setelah berkata demikian, Gan Tian Cu dan empat orang sutenya lalu menyerbu lagi dan menyerang Tiong Kiat yang telah siap sedia. Pemuda ini biarpun maklum bahwa lima orang lawannya amat sukar dan berat dilawan, namun ia tidak mau minta tolong kepada Go bi Ngo koai-tung. Kecuali kalau mereka turun tangan sendiri tanpa diminta, tentu saja dia takkan menolaknya. Kini melihat serangan kelima orang tosu itu, iapun menggerakkan pedangnya sambil membentak,

”Tosu tosu siluman, apa kau kira aku takut menghadapi kalian berlima?”

Kembali pertempuran hebat terjadi. Akan tetapi tentu saja melihat Tiong Kiat berada dalam bahaya, Thian It Tosu dan para sutenya tidak mau tinggal diam begitu saja. Mereka lalu menggerakkan tongkat dan menyerbu membantu Tiong Kiat sehingga pertempuran menjadi makin seru.

Akan tetapi kali ini pertempuran tak seimbang lagi. Kepandaian Go-bi Ngo koai Tung cukup tinggi, tidak berselisih banyak dengan tingkat kepandaian lima orang tokoh Kun-lun-pai itu. Maka serbuan mereka yang membantui Tiong Kiat tentu saja membuat Gan Tian Cu dan empat orang adik seperguruannya menjadi kewalahan dan terdesak hebat.

”Go-bi Ngo koai, tidak kelirukah pandanganku?” tiba tiba Gan Tian Cu sambil menangkis tongkat Thian It Tosu berseru keras. ”Ilmu tongkatmu mengingatkan aku akan ilmu tongkat dari Pek lian kauw!”

Seruan yang keras ini tidak saja membuat Go bi Ngo-koai-tung menjadi terkejut, bahkan Tiong Kiat sendiri pun menjadi kaget sekali sehingga ia melompat mundur dan menunda penyerangannya sambil memandang dengan mata mengandung penuh pertanyaan ke arah Go bi Ngo koai tung.

Nama Pek-lian-kauw memang amat terkenal di kalangan kang-ouw dan tak seorangpun yang tidak mengingat nama ini dengan hati penuh kebencian. Pek-lian-kauw di masa jayanya telah banyak mengorbankan orang-orang gagah, diadu domba dan juga diseretnya ke dalam jurang kehinaan, bahkan perkumpulan ini telah mengadakan pemberontakan besar.

Go bi Ngo koai tung menghadapi lima orang tosu Kun-lun-pai itu dengan mata menyala-nyala saking marahnya. ”Gan Tian Cu, mulutmu benar-benar busuk! Apa hubungannya Pek lian kauw dengan pertempuran ini? Kita orang-orang gagah harus dapat melihat kenyataan di depan mata, tidak menyinggung urusan yang telah lalu! Sekarang kami berlima adalah sahabat, pembantu, dan pelindung dari panglima Oei yang mengepalai pasukan besar dari tentara kerajaan. Kami adalah orang-orang yang membela negara dan kalian bertempur dengan kami karena kalian hendak berkhianat hendak mengganggu seorang perwira!”

Gan Tian Cu tertawa bergelak. ”Ha ha ha! Apa jadinya kalau pemimpin tentara terdiri dari pelarian-pelarian Pek-lian-kauw dan penjahat-penjahat wanita seperti Ang-coa-kiam? Ha ha ha! Go-bi Ngo-koai tung, pantas saja Ang-coa-kiam lari ke tempat ini, tidak tahunya ada orang-orang macam kalian di sini!”

”Tosu bangsat, tutup mulutmu!” teriak Thian It Tosu, sambil maju menyerang dengan tongkat bambunya.

Gan Tian Cu menangkis dan kini lima orang tosu dari Kun-lun-pai itu bertempur melawan lima orang tosu dari Go-bi-san yang sesungguhnya adalah pelarian-pelarian dari Pek-lian-kauw ini! Bukan main ramainya pertempuran ini, dan Tiong Kiat hanya berdiri dengan pedang di tangan, ragu-ragu untuk maju bergerak. Ia masih merasa heran dan terkejut mendengar bahwa Go-bi Ngo-koai-tung adalah pelarian-pelarian Pek Iian kauw, maka ia tidak tahu harus berbuat apa.

Sudah terang bahwa Gan Tian Cu dan kawan-kawannya adalah musuh-musuhnya yang hendak mencelakakannya, akan tetapi kalau betul Go bi Ngo-koai-tung itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw, ia sendiri merasa sangsi dan juga ngeri untuk membantu mereka!

Gobi Ngo koai tung merasa mendongkol sekali melihat betapa Tiong Kiat berdiri saja seperti patung batu dan tidak membantu mereka. Akan tetapi ternyata bahwa ilmu tongkat dari Go-bi Ngo koai ini benar-benar Iihai sekali. Kalau saja bekas-bekas pengurus Pek-lian-kauw itu hanya bersilat biasa saja, mempergunakan ilmu silat yang wajar, belum tentu Gan Tian Cu dan adik-adiknya akan kalah. Akan tetapi Go-bi Ngo-koai-tung tidak percuma pernah menjadi pengurus-pengurus dari Pek-Iian-kauw, agama gelap yang menipu rakyat berdasarkan ilmu hitam.

Kini menghadapi lawan tangguh, diam-diam Thian It Tosu memberi tanda rahasia kepada adik-adiknya dan berobahlah ilmu silat mereka. Terdengar mereka mengeluarkan bisikan-bisikan perlahan seperti berdoa dan tiba-tiba Gan Tian Cu dan adik-adik seperguruannya melihat dengan hati gelisah dan kaget betapa lima orang lawan mereka itu nampak makin lama makin tinggi besar dan tongkat bambu mereka juga menjadi amat besar dan panjang!

Pedang Ular Merah Jilid 19

PEDANG ULAR MERAH JILID 19

Ketika mendengar bahwa tentaranya di luar kampung menghadapi bencana maut yang disebar oleh seorang gadis Cou yang amat sakti, ia lalu cepat berlari keluar bersama Ang Hwa dan kebetulan sekali bertemu dengan seorang gadis yang bukan lain adalah Suma Eng!

Untung Eng Eng tidak mengenal perwira ini, akan tetapi ia tidak perduli siapa adanya perwira ini. Dengan kebencian luar biasa karena perwira ini yang memimpin orangnya membakar semua rumah di dalam kampung, Eng Eng lalu maju menerjang dengan pedang merahnya. Ketika perwira itu menangkis dengan sebatang pedang yang bercahaya putih barulah Eng Eng melihat mukanya dan mengenalnya.

"Kau...??" tanyanya dengan tertegun akan tetapi segera disusul dengan kata-kata yang menunjukkan kebencian besar, "Bangsat jahanam! Sekarang tiba saatnya aku mencabut nyawamu!"

Juga Tiong Kiat kaget sekali ketika melihat bagwa gadis yang mengamuk itu bukan lain adalah Suma Eng. Pantas saja para perajuritnya kocar kacir karena yang dihadapi adalah Eng Eng, gadis yang telah dikenal baik kelihaiannya ini!

"Sim-taihiap, dia inilah perempuan hina yang telah melukaiku! Lekas kau robohkan dia untukku!" kata Ang Hwa sambil maju membantu Tiong Kiat dengan pedangnya.

"Anjing betina, kau belum mampus?" Eng Eng membentak gemas. "baiklah biar sekarang kau mampus bersama anjing jantan ini!"

la lalu memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga Ang Hwa terpaksa melompat mundur karena silau matanya. Ia tidak sekuat Tiong Kiat yang dapat menangkis dan menghadapi pedang merah itu. Adapun Tiong Kiat sendiri menjadi serba salah dan bingung. Pertemuan dengan Eng Eng Ini benar-benar tak pernah disangkanya, ia tidak takut terhadap ilmu pedang gadis ini, karena biarpun harus diakui bahwa Eng Eng lihai sekali ilmu pedangnya, namun ia yang kini sudah menyempurnakan Ang-coa-kiamsut dari Kim-liong-pai, tak usah takut akan kalah.

Yang menggelisahkannya adalah kenyataannya bahwa hatinya tidak mengijinkannya untuk melukai apa lagi membunuh gadis yang dicintainya. Baru melihat gadis ini membantu suku bangsa Cou yang memberontak saja, hatinya telah menjadi sakit dan tenaganya Iemas. Ah, bagaimana gadis ini sampai menjadi tersesat dan membantu pemberontak?

Sebaliknya, Eng Eng yang membenci setengah mati kepada pemuda ini, menyerang dengan nekad tidak memperdulikan keselamatannya sendiri. Ang Hwa kini hanya memaki-maki sambil menyerang kadang kadang saja dari belakang karena ia tidak berani menghadapi gadis ini dengan langsung. la mengharapkan agar Tiong Kiat dapat mengalahkan gadis ini.

Melihat sepak terjang Eng Eng, makin sedihlah hati Tiong Kiat. Ia maklum bahwa gadis ini bersedia mengadu nyawa dengan dia dan kenyataan betapa hebatnya kebencian gadis itu terhadapnya. Benar-benar membuat ia sering kali tak dapat tidur di waktu malam.

Sekarang kembali Eng Eng telah memperlihatkan kebenciannya dengan serangan-serangan maut yang benar-benar berbahaya, tidak saja berbahaya baginya, bahkan juga berbahaya bagi Eng Eng sendiri. Gadis itu melakukan serangan dengan sepenuh tenaga dan kepandaiannya, sama sekali tidak perduli lagi bahwa serangan-serangan hebat itu membuat sebagian pertahanannya banyak terbuka.

Tiong Kiat maklum bahwa kalau diteruskan mau tidak mau iapun harus mengadu nyawa. Kalau bukan dia, tentu gadis ini yang menggeletak tidak bernyawa menjadi korban pedang pusaka. Dan hal ini ia tidak menghendakinya. Ia cinta kepada Eng Eng, akan tetapi ia lebih cinta kepada diri sendiri. Melihat beberapa orang pembantunya berada di situ, ia lalu berseru keras,

"Keluarkan perintah menarik mundur pasukan! Kejar keluarga musuh yang melarikan diri, tangkap mereka semua!”

Tiong Kiat ketika memberi perintah membakari rumah tadi mendapat kenyataan bahwa di situ tidak terdapat seorangpun keluarga bangsa Cou, maka sekarang ia mendapat akal baru. la dapat menduga bahwa Piloko tentu mengantar keluarga itu mengungsi buktinya semenjak tadi ia tidak melihat kepala suku bangsa Cou itu.

Dalam keadaan terjepit dalam pertempuran mati-matian melawan Eng Eng, ia sengaja mengeluarkan perintah ini untuk menakut-nakuti hati Eng Eng. Memang siasatnya ini tepat. Mendengar perintah ini Eng Eng menjadi pucat. Betapapun bencinya kepada Tiong Kiat dan betapapun besar nafsunya untuk membunuh pemuda ini, akan tetapi mengingat akan keselamatan keluarga suku bangsa Cou yang terancam, ia melupakan kepentingannya sendiri.

"Jahanam, kejam!" bentaknya marah dan secepat kilat Eng Eng melompat keluar dari dusun itu. Dilihatnya bahwa kawan-kawannya masih bertempur seru melawan musuh yang kini mendapat bantuan dari perajurit perajurit kerajaan yang tadi membakar-bakari itu berada dalam keadaan terdesak hebat.

"Mundur!" teriak gadis itu dan karena ia mengerahkan khikangnya, maka suaranya amat tinggi melengking mengatasi segala kegaduhan pertempuran itu. "Ke selatan, lindungi keluarga!”

Mendengar aba-aba ini, orang-orang suku bangsa Cou lalu cepat melarikan diri ke selatan, Eng Eng sengaja lari paling belakang. Gelombang perajurit musuh yang mencoba untuk mengejar, disambutnya dengan sinar pedangnya yang dengan mudah membabat roboh beberapa orang perajurit, sehingga para pengejar itu menjadi gentar dan mundur. Kesempatan ini dipergunakan sebaiknya oleh Eng Eng dan kawan-kawannya untuk melarikan diri secepatnya mendaki bukit di selatan itu.

Tiong Kiat dan pasukannya tidak berani mengejar, karena mereka merasa bingung di daerah tak dikenalnya ini, apalagi dalam keadaan segelap itu. Mereka takut akan jebakan-jebakan musuh. Untuk apa mengejar? Bukankah ia telah mendapat kemenangan, telah merampas dusun itu, membakar habis rumah-rumah orang Cou dan mengusir mereka?

Demikian pikir Tiong Kiat. Apalagi fihak orang-orang Cou terdapat Eng Eng yang memimpin, maka semua nafsunya untuk membasmi orang-orang Cou menjadi lenyap. Kalau tidak ada Eng Eng tak dapat disangsikan lagi, Tiong Kiat tentu akan mengejar terus sampai orang terakhir dari suku bangsa Cou terbunuh.

Demikianlah, pada keesokan harinya Tiong Kiat membawa sisa pasukannya yang telah tewas setengahnya lebih itu kembali ke benteng. Ang Hwa berlaku lebih manis kepadanya karena dianggapnya Tiong Kiat telah berhasil membalas dendam, sungguhpun wanita ini masih merasa penasaran karena Eng Eng tak dapat tertawan atau terbunuh.

Adapun Eng Eng yang memimpin sisa anak buahnya mendaki gunung, setelah mendapat kenyataan bahwa musuh tidak mengejar lagi lalu ia berhenti dan mengumpulkan perajuritnya. Ternyata bahwa jumlah mereka tinggal lima puluh orang lagi, Eng Eng merasa berduka sekali karena dalam pertempuran ini, ternyata hampir lima puluh orang telah tewas!

Tiga puluh orang di dalam dusun dan dua puluh di luar dusun. Dan di antara lima puluh orang yang dapat melarikan diri, terdapat pula yang luka-luka. Hampir saja gadis yang gagah ini mengucurkan air matanya. Sambil menggigit bibir Eng Eng bersumpah di dalam hatinya bahwa sewaktu-waktu ia pasti akan dapat membekuk batang leher Tiong Kiat dan sekarang lebih banyak lagi alasan baginya untuk membalas sakit hatinya terhadap pemuda itu.

Mereka beristirahat di lereng gunung dan menjelang fajar, dari atas bukit turunlah Piloko dan sepuluh orang kawannya. Malam tadi ia melihat dari atas bukit betapa dusun mereka terbakar. Hati mereka gelisah sekali akan tetapi apakah daya mereka? Piloko tidak berani meninggalkan keluarga yang berada di puncak bukit, maka dengan hati gelisah sekaIi ia menanti sambil menghibur orang-orang perempuan yang mulai menangis dan mengeluh panjang pendek melihat dusun mereka terbakar itu.

Ketika bertemu ayah angkatnya, Eng Eng memeluk Piloko dan menjatuhkan mukanya pada dada ayah angkat ini. Keduanya merasa terharu sekali.

"Ayah... aku tak dapat mempertahankan... kampung kita... dan lima puluh orang kawan-kawan kita..."

Piloko tak dapat berkata sesuatu, hanya menepuk-nepuk pundak anak angkatnya sebagai usaha menghibur. "Bunga dewa tak perlu berkecil hati!" tiba-tiba seorang diantara para perajurit berkata,

"Biarpun dusun kita terbakar dan beberapa kawan kita gugur, akan tetapi jumlah korban di fihak musuh Iebih banyak lagi! Kita harus merasa bangga karena baru kali ini tentara kerajaan yang terkenal gagah perkasa, ternyata menghadapi kita mereka menderita kerugian lebih besar, biarpun tadinya jumlah mereka dua kali lebih besar daripada jumlah kita!”

Mendengar ucapan ini, semua orang menyatakan setuju, bahkan Piloko sendiri lalu menghibur Eng Eng dengan gagah.

"Ucapan tadi benar, anakku. Mengapa kita harus berkecil hati? Mati dalam perang guna membela bangsa dan mempertahankan kehormatan bangsa adalah mati yang amat berharga. Laki-laki gagah yang manakah tidak ingin gugur di dalam peperangan membela tanah air dan bangsa? Percayalah, arwah dari kawan-kawan kita yang tewas, pada saat ini tentu tersenyum-senyum melihat betapa mereka tidak tewas dengan sia-sia, bahwa pertempuran yang menewaskan mereka itu ternyata membawa kemenangan.”

Terbangun semangat Eng Eng mendengar ini. "Ayah kau benar sekali. Maafkan kelemahan hatiku. Dusun yang sudah musnah biarlah, kita sekarang mencari tempat dan membangun lagi."

"Marilah kita naik ke puncak dan membuat pertahanan di sana. Siapa tahu kaIau-kalau musuh akan mengejar kita." kata Piloko.

Maka naiklah mereka ke atas bukit itu, disambut oleh tangisan keluarga-keluarga yang tidak melihat suami atau ayah mereka ikut datang! Eng Eng dan Piloko dengan bantuan Yamani menghibur keluarga yang kehilangan ayah atau suami dengan berbagai kata-kata bersemangat. Di dalam perjalanan mendaki bukit ini, dengan girang sekali Eng Eng mendapat kenyataan bahwa gunung ini amat suburnya dan amat baik untuk dijadikan tempat tinggal bagi keluarga besar itu.

Puncaknya yang bertanah subur dan luasnya beberapa li itu dikelilingi oleh jurang yang amat terjal dan jalan satu-satunya untuk naik hanya melalui jalan batu karang yang kanan kirinya penuh dengan hutan-hutan di dalam jurang. Hanya puncak-puncak pohon saja yang sampai di jalan batu karang itu. Selain jalan batu karang ini, tidak ada jalan yang dapat membawa orang sampai ke puncak!

"Ayah, tempat ini bagus sekali! Dengan menduduki puncak, biarpun diserang oleh ribuan musuh, kita dapat menghancurkan mereka dengan amat mudahnya!" kata Eng Eng.

Piloko adalah seorang yang semenjak kecilnya seringkali menghadapi pertempuran-pertempuran. Sekali pandang saja ia maklum akan maksud kata-kata anak angkatnya ini. Ia mengangguk-angguk membenarkan. Memang dengan penjagaan beberapa belas orang saja di puncak, di atas jalan tunggal itu bersenjata batu-batu dan panah, mereka akan dapat menghalau musuh dengan amat mudah.

Jalan itu tidak berapa lebar, hanya dapat dinaiki oleh sejajar yang terdiri dari lima orang. Biarpun musuh berjumlah banyak, namun hanya lima orang yang dapat maju paling depan dan sebelum tiba di puncak, dari atas dengan mudah saja orang dapat melempar batu untuk membuat orang orang atau musuh yang mencoba naik itu terusir pergi!

Sekali lagi sibuklah suku bangsa Cou ini membangun gubuk gubuk di atas puncak. Dengan amat girang mereka mendapat kenyataan bahwa di puncak yang subur itu banyak terdapat pohon-pohon buah dan juga binatang-binatang hutan, Eng Eng lalu mengatur penjagaan di atas mulut jalan tunggal itu dan tempat itu dijaga oleh dua puluh orang secara bergilir dan terus menerus siang malam!

Semenjak mereka tinggal di atas puncak bukit itu, telah dua kali pasukan Ouigour dan pasukan dari Oei-ciangkun mencoba untuk mendaki ke atas, akan tetapi dengan amat mudahnya mereka ini dihalau dan terpaksa membatalkan niatnya ketika dari atas jalan tunggal itu menggelinding batu-batu bagaikan hujan lebatnya! Jalan naik lain telah dicari, akan tetapi sia-sia belaka sehingga akhirnya tidak ada lagi pasukan musuh yang berani naik.

"Aku harus mengajukan protes kepada Kaisar Tai Cung atas serangan-serangan tentara kerajaan yang membantu Ouigour!" kata Piloko dengan marah dan penasaran sekali.

"Bagaimana kalau kau nanti ditangkap di kota raja?" tanya Eng Eng kuatir.

"Tidak mungkin! Tak mungkin kalau dari kerajaan yang besar sudi melakukan kerendahan yang hina itu. Sudah beberapa kali aku bertemu dengan Kaisar Tai Cung dan melihat sikapnya sungguh aku tidak mengerti mengapa sekarang tentaranya mau mengganggu rakyatku. Aku harus pergi ke kota raja dan minta agar segala gangguan ini dihabiskan!"

Karena kehendak Piloko tak dapat dibantah lagi, akhirnya Eng Eng berkata, "Baiklah ayah. Aku akan ikut dengan kau ke kota raja! Biar aku yang menjadi pembela dan pengawalmu. Kita berdua dapat pergi dengan hati aman karena keluarga kita berada di tempat yang sentosa. Bilakah kita berangkat, ayah?"

"Besok!” jawab ayah angkatnya dengan tegas.

Demikianlah pada keesokan harinya, dari atas puncak, melalui jalan tunggal itu, turunlah Piloko yang mengenakan pakaian kebesaran bersama Eng Eng. Mereka mempergunakan ilmu lari cepat dan turun dari atas gunung itu, langsung menuju ke selatan, kota raja untuk menghadap Kaisar Tai Cung!

Ketika Tiong Kiat dan Ang Hwa kembali ke benteng membawa berita kemenangan yang telah berhasiI membasmi dusun orang-orang Cou dan mengusir mereka ke puncak gunung, Huayen-khan merasa gembira sekali. Juga Oei Sun menjadi gembira karena ternyata bahwa Tiong Kiat merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan, tetapi Go-bi Ngo-koai-tung dan Oei Sun menjadi penasaran sekali ketika mendengar bahwa gadis gagah perkasa yang membantu Piloko bukan lain adalah Suma Eng, nona yang pernah tertawan oleh mereka itu.

"Nah apa kataku dulu?” kata Oei ciangkun kepada Go bi Ngo-koai-tung dengan suara menyesal setelah mereka berada sendiri, "nona itu hanya mendatangkan kesulitan belaka. Kalau dulu kita tidak melepaskannya, tidak nanti kita sampai kehilangan seratus orang dalam pertempuran itu."

Thian It Tosu menarik napas panjang. "Mungkin dia tidak tahu bahwa tentara yang membantu Huayen-khan adalah tentara kita. Kalau kemarin kita yang maju, belum tentu ia suka melawan kita. Akan tetapi sudahlah sekarang Piloko sudah kehilangan banyak orang dan ia telah mengungsi di atas puncak bukit. Apakah artinya beberapa orang Cou itu bagi gerakan kita?"

Akan tetapi ternyata Huayen khan tidak berpikir demikian. Kepala suku bangsa Ouigour ini masih belum merasa puas kalau belum dapat melenyapkan Piloko dari muka bumi ini. Oleh karena itu, diam-diam ia lalu memimpin orang-orangnya untuk menyerbu ke atas gunung. Akan tetapi, ternyata ia menerima hukuman berat dari usaha ini, karena dari atas turunlah batu bagaikan hujan yang melukai banyak orang-orangnya bahkan ada beberapa orang perajurit tewas karena terjungkal ke dalam jurang!

Kembali Huayen-khan minta pertolongan Oei Sun yang menyuruh sepasukan tentara menyerang ke atas gunung. Sama saja, pasukan inipun menderita karena hujan batu dan semenjak itu, Oei-ciangkun maupun Huayen-khan tidak berani lagi mengganggu benteng di puncak gunung dari orang-orang Cou ini.

Sementara itu, Ang Hwa tetap saja mendekati Sim Tiong Kiat tanpa mengenal malu lagi sehingga tak seorangpun di antara orang-orang yang berada di benteng itu tidak tahu akan adanya hubungan antara perwira she Sim yang baru ini dengan Si bunga Merah, isteri dari Huayen-khan, kepala suku bangsa Ouigour yang sudah tua itu.

Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama

Pada suatu hari, selagi Tiong Kiat duduk di ruang dalam bersama Ang Hwa, Huayen khan dan Go bi ngo koai tung, seorang penjaga datang memberi laporan bahwa di luar benteng terdapat lima orang tosu yang minta bertemu dengan Sim Tiong Kiat.

Pemuda itu mengerutkan kening. Pada waktu itu, Oei-ciangkun sedang pergi keluar benteng, katanya untuk urusan dinas yang tak diketahui olehnya, dan Oei-ciangkun telah menyerahkan komando tertinggi kepadanya sebagai wakil Oei ciangkun. Siapakah tosu-tosu yang datang mencarinya? Tiong Kiat menjadi bimbang, lalu ia bertanya!

"Siapakah mereka itu? Datang dari mana dan perlu apa mencari aku?”

"Kami sudah bertanya Sim ciangkun. Akan tetapi tosu-tosu yang kelihatan galak itu hanya menjawab bahwa mereka ingin bertemu dengan orang yang bernama Sim Tiong Kiat. Mereka tidak mau memberi tahu sama sekali siapa adanya mereka."

Tiong Kiat menjadi makin curiga.

"Sim ciangkun," tiba-tiba Thian It Tosu, orang pertama dari Go-bi Ngo-koai-tung berkata, "mengapa ciangkun ragu-ragu? Keluarlah dan jumpai orang-orang itu. Biar pinto berlima mengantar ciangkun dengan diam-diam dan pinto berlima mengintai dari balik pintu gerbang. Kalau terjadi sesuatu yang mencurigakan, tentu pinto berlima takkan tinggal diam."

"Aku tidak takut sama sekali terhadap siapapun juga, ngowi totiang, hanya aku tadi merasa ragu-ragu apakah baik aku meninggalkan benteng selagi Oei cangkun tidak ada?"

"Kalau mereka dipersilakan masuk, akan lebih kurang baik lagi." kata Huayen-khan yang menaruh curiga.

Akhirnya keluarlah Tiong Kiat, dikawani oleh Ang Hwa yang tidak mau ditinggal, sedangkan Huayen-khan tentu saja bersembunyi di dalam tidak mau memperlihatkan diri, oleh karena ia takut kalau-kalau ada yang melihat ia bersekongkol dengan Oei-ciangkun. Adapun Go bi Ngo-koai-tung lalu mengintai dari belakang daun pintu gerbang yang lebar dan diam-diam mereka menjadi terkejut ketika melihat siapa adanya lima orang tosu itu!

Akan tetapi, baik Tiong Kiat maupun Ang Hwa, tidak mengenal tosu-tosu ini. Tiong Kiat yang melihat lima orang tosu setengah tua yang berdiri dengan tenang dan berjajar rapi sambil memandang tajam, cepat keluar dari pintu dan merangkapkan kedua tangannya.

Setelah memberi hormat, ia berkata, "Tidak tahu siapakah ngo-wi totiang yang terhormat dan kehormatan manakah yang diberikan kepada orang seperti aku sehingga ngowi jauh-jauh datang mencariku?"

Gan Tian Cu dan empat orang sutenya, lima tokoh Kun-lun pai itu saling pandang dan saking herannya, Gan Tian Cu berkata perlahan kepada adik-adik seperguruannya. "Memang serupa benar, pantas saja banyak orang salah duga!"

Tentu saja Tiong Kiat tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh tosu itu, akan tetapi Gan Tian Cu segera memandangnya dengan mata tajam dan membentak.

"Ang coa kiam ketahuilah bahwa pinto berlima datang dari Kun-lun-pai! Tentu kau masih ingat kepada murid kami yang bernama Lo Ban Tek yang kau bunuh secara sewenang-wenang di kota Ikiang! Pinto berlima datang untuk minta pertanggungan jawabmu atas perbuatan-perbuatanmu yang terkutuk!”

Berbeda dengan Tiong Han ketika menghadapi tuduhan kelima orang tosu ini, Tiong Kiat tersenyum mengejek dan bertanya, "Aha, jadi tegasnya kalian berlima ini jauh-jauh datang dari Kun-lun-san hanya untuk membalas dendam atas kematian Lo Ban Tek manusia kasar itu? Apakah yang hendak kalian lakukan terhadapku? Hendak membunuhku?"

Mendengar pertanyaan yang merupakan tantangan ini, merahlah wajah Gan Tian Cu. "Orang she Sim, kami datang untuk membawamu ke Kun-lun-san agar kau menerima putusan dan hukuman dari para ketua Kun lun-pai. Kalau kau melawan, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan!”

"Tosu sombong! Aku Sim Tiong Kiat tidak pernah takut kepada siapapun juga! Benar aku telah membunuh Lo Ban Tek karena ia yang datang mencari dan menantangku. Ia mampus karena memang kepandaiannya masih rendah, kalau dia lebih pandai dari padaku, bukankah aku yang akan mati di tangannya? Kalau seandainya aku yang akan mati, apakah kalian ini juga mau ribut-ribut mengurus perkara ini? Ah, benar-benar kalian ini pendeta-pendeta yang telah kehilangan keadilan, dan hanya bertindak menuruti nafsu hati dan membela golongan sendiri."

"Bisa saja kau memutar lidah, pemuda penuh dosa! Kalau Lo Ban Tek tewas dalam sebuah pibu, biarpun yang dihadapi dalam pibu itu seorang muda jahat seperti engkau, kami takkan sudi mengotorkan tangan kepadamu. Akan tetapi, murid kami itu tewas karena hendak membela kebenaran dan hendak memberantas manusia jahat seperti engkau. Bagaimana kami takkan turun tangan? Sudahlah, manusia cabul dan jahat, lebih baik kau menyerah dan ikut dengan kami ke Kun-lun-san, dari pada kami terpaksa harus menggunakan kekerasan."

Sebagai jawaban atas ucapan ini, Tiong Kiat tertawa bergelak dan sekali tangan kanannya bergerak. Hui liong-kiam (Pedang Naga Terbang) telah berada di tangannya, berkilau terkena cahaya matahari.

"Hendak kulihat sampai di mana sih kepandaian dari orang Kun-lun-pai maka kalian menjadi sesombong ini? Apakah kalian hendak maju bersama? Silakan, aku tidak takut!" Tiong Kiat sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk memanaskan hati para pendeta itu.

Gan Tian Cu melompat maju dan mencabut pedang dengan tangan kanan dan sebuah hudtim (kebutan) dengan tangan kiri. "Ang coa-kiam kami masih memandang muka Lui Thian Sianjin yang kami hormati maka kami masih bersikap ramah dan murah terhadapmu. Akan tetapi sikapmu yang kurang ajar ini menghapus semua penghormatan yang masih ada dalam hati kami! Lui Thian Sianjin pasti akan memaafkan kami apabila ia melihat sikap muridnya yang murtad!"

"Sudahlah, tosu tua, untuk apa banyak mengobrol lagi? Pergunakan pisau pemotong rumput dan pengusir lalat itu kalau kau memang berani!” Sambil berkata demikian, dengan sikap amat menghina Tiong Kiat lalu menggerak-gerakkan pedangnya di depan muka pendeta itu.

Gan Tian Cu marah sekali dan cepat ia lalu menyerang dengan pedangnya, menusuk ke arah tenggorokan Tiong Kiat sedangkan kebutan di tangan kiri menyusul dengan sebuah serangan menotok ke arah lambung. Inilah gerak tipu yang disebut Ji-liong jut tong (Dua Naga Keluar dari Gua) yang amat lihai.

Pedang di tangan Gan Tian Cu adalah sebatang pedang pusaka juga dan kini digerakkan dengan cepat sehingga hanya merupakan sinar kehijauan menyambar ke arah tenggorokan lawan, sedangkan kebutan itu biarpun nampaknya lemas dan lembut, namun digerakkan oleh tangan Gan Tian Cu yang memiliki tenaga lweekang cukup tinggi, kini menjadi semacam senjata penotok yang lebih keras dari pada baja dan amat berbahaya!

Tiong Kiat maklum bahwa hudtim ini bahkan lebih berbahaya dari pada pedang itu. Serangan pedang itu sekali kelit saja dapat dihindarkan, akan tetapi belum tentu dengan kebutannya. Karena biarpun dapat dikelit, ujung kebutan itu tiba-tiba dapat digerakkan menjadi lemas untuk menyambar ke arah leher atau pundak. Akan tetapi, tidak percuma Tiong Kiat sudah menyempurnakan ilmu pedang Ang-coa-kiam-sut dari kitab ilmu pedang yang benar-benar amat lihai.

Kalau tokoh besar ilmu persilatan menghadapi Tiong Kiat dengan senjata lain, mungkin akan dapat ia mengimbangi ilmu pedang pemuda jago Kim-liong-pai ini. Akan tetapi, Gan Tian Cu mempergunakan pedang pula, dan biarpun telah dibantu pula oleh permainan hudtimnya yang juga amat lihai, namun menghadapi ilmu pedang dari pemuda ini, sebentar saja Gan Tian Cu maklum bahwa ilmu pedang Kun lun kiam hoat masih kalah lihai!

Ketika menghadapi serangan dengan gerak tipu Ji-liong-jut-tong tadi, Tiong Kiat cepat menundukkan tubuhnya dan pedangnya dari kiri diputar ke kanan, sekaligus membabat ke arah pedang dan kebutan lawan dengan gerak tipu yang disebut angcoa-sin-jau (Ular Merah Mengulur Pinggang).

Yang nampak hanya sinar putih panjang dan kuat saja menyambar dari kiri ke kanan dan terdengar suara keras dua kali ketika Hui-liong-kiam itu membentur pedang dan kebutan di tangan Gan Tian Cu. Kedua pihak merasa betapa benturan itu mengakibatkan tenaga mereka menjadi tergetar dan kesemutan, tanda bahwa Iweekang dari pemuda ini sudah mencapai tingkat yang tidak berada di sebelah bawah tingkat Gan Tian Cu.

Gan Tian Cu merasa betapa pedangnya ketika terbentur oleh pedang lawannya, pedangnya itu mengeluarkan bunyi aneh dan terpentalnya seperti tertendang. Ia maklum bahwa ilmu pedang lawannya ini benar-benar lihai sekali dan pedang yang dipegang oleh pemuda itu ketika digerakkan, agak menggetar dan mempunyai gaya atau tenaga menendang.

Hebat sekali! Akan tetapi Gan Tian Cu adalah tokoh kelas dua di Kun lun-pai, maka tentu saja ia tidak mau tunduk dan tidak merasa takut menghadapi lawan yang masih muda ini. Sambil berseru keras, ia lalu mengeluarkan ilmu pedang Kun-lun-pai yang paling istimewa. Juga hudtimnya digerakkan dengan gencar sekali sehingga kini hudtim dan pedang seakan-akan telah berobah menjadi enam buah senjata yang menyerang dari segala jurusan.

Tiong Kiat merasa terkejut juga. Ia maklum bahwa seandainya ia belum memperdalam ilmu pedangnya dari kitab yang dirampasnya dari Tiong Han, agaknya ia takkan dapat menangkan pendeta yang kosen ini. Baiknya ia telah mempelajari ilmu pedang sampai seluruhnya dan telah menemukan jurus rahasia yang belum pernah dipelajarinya dari Lui Thian Sianjin.

Kini ia mengeluarkan jurus-jurus ini yang ternyata bukan main hebatnya. Tubuhnya lenyap dalam bungkusan sinar pedang yang menjadi amat panjang, lebar dan kuat sekali bagaikan seekor naga sakti yang bermain-main diantara awan yang ditimbulkan oleh kebutan dan pedang lawannya!

Benar saja menghadapi ilmu pedang Ang coa-kiamsut yang dimainkan dengan sempurna ini, Gan Tian Cu mengeluh dan menjadi amat kaget. Betapapun ia mengerahkan tenaga dan kepandaian, tetap saja terdesak hebat, dan tidak sanggup membalas, hanya mempertahankan diri saja, itupun dengan susah payah!

Empat orang sutenya yang menyaksikan, betapa suheng mereka terdesak hebat dan terancam bahaya, mengingat bahwa pertempuran itu bukan semacam pibu yang tak boleh dibantu, melainkan semacam penangkapan atas diri seorang penjahat yang lihai, segera mencabut pedang dan menyerbu ke dalam gelanggang pertempuran!

Betapapun lihainya Tiong Kiat menghadapi lima orang tokoh Kun-lun-pai ini ia menjadi kewalahan juga. Harus diketahui bahwa lima orang ini kepandaiannya tidak kalah olehnya baik ginkang maupun Iweekangnya. Pemuda ini hanya menang dalam hal ilmu pedang, dan keunggulan dalam memainkan pedang inilah yang membuat ia dapat mendesak Gan Tian Cu. Akan tetapi, kini dikeroyok lima tentu saja ia menjadi sibuk juga.

"Sim ciangkun, jangan kuatir, kami membantu!"

Berbareng dengan terdengarnya seruan ini, dari balik pintu gerbang benteng melayang keluar lima bayangan orang yang cepat sekali gerakannya dan lima batang tongkat bambu dengan gerakan luar biasa telah menahan lima pedang dari Gan Tian Cu dan empat orang sutenya.

"Sungguh menggelikan! Tosu ternama dari Kun lun pai mengeroyok seorang muda! Mana ada aturan ini?” kata Thian It Tosu setelah lima orang tosu dari Kun-lun-pai itu menjadi terkejut dan melompat mundur. Lima orang tosu Kun lun-pai kini berhadapan dengan lima orang tosu yang bukan lain adalah Go-bi Ngo-koai-tung!

Gan Tian Cu dan empat orang sutenya memandang dan biarpun mereka belum pernah melihat Go bi Ngo-koai tung namun melihat jumlah mereka lima orang dan senjata mereka tongkat bambu, Gan Tian Cu dapat menduga-duga lalu mengangkat tangan memberi hormat.

"Kalau pinto tidak salah lihat, bukankah pinto berhadapan dengan Go-bi Ngo-koai-tung yang terhormat?"

Thian It Tosu tertawa bergelak. "Bagus Gan Tian Cu, kau memang bermata tajam. Kami berlima memang datang dari Go-bi dan tongkat buruk ini memang telah berhasil mengangkat nama kami. Pinto mendengar bahwa Gan Tian Cu adalah tokoh tingkat dua dari Kun lun-pai, seorang yang amat lihai dan menjunjung tinggi aturan di dunia kang-ouw. Akan tetapi hari ini pinto benar-benar melihat keganjilan yang amat lucu. Bagaimana Gan Tian Cu yang menganggap diri sebagai seorang diantara pemimpin partai Kun-lun yang besar mengeroyok seorang pemuda yang telah menjadi perwira kerajaan? Gan Tian Cu tidak tahukah kau bahwa orang tidak boleh memusuhi seorang perwira kerajaan? Apakah kau dan kawan-kawanmu ini mempunyai maksud untuk memberontak?”

Bukan main marahnya Gan Tian Cu dan sute-sutenya mendengar ucapan ini. ”Go-bi Ngo-koai! Sesungguhnya terbalik sama sekali pertanyaan yang kau ucapkan itu. Semestinya kami yang berhak bertanya kepada kalian berlima. Siapakah orangnya di dunia kang-ouw yang belum pernah mendengar nama Ang coa kiam Sim Tiong Kiat? Apakah benar-benar kalian berlima tidak mempunyai telinga dan mata? Perlukah kiranya kami beberkan semua kejahatan yang telah dilakukan oleh Ang coa kiam? Kita semua telah mengaku menjadi pendekar-pendekar yang memiliki kepandaian, yang semenjak keciI mempelajari ilmu silat untuk dipergunakan sebagai penegak keadilan dan kebesaran. Ang coa kiam adalah seorang pemuda yang jahat dan telah banyak mendatangkan keonaran dan banyak melakukan dosa, mengapa sekarang dapat bertemu dengan kalian di benteng ini? Bagaimana ia dapat menjadi seorang perwira kerajaan? Apakah benar-benar kalian tidak pernah mendengar tentang semua kejahatannya?”

Thian It Tosu tersenyum dan berkata dengan tenang. ”Gan Tian Cu, manusia manakah di dunia ini yang tidak jahat dan berdosa? Pinto tidak suka membongkar-bongkar rahasia dan kesalahan orang, apalagi Sim-ciangkun! Biar apapun juga yang hendak kau katakan tentang dia, buktinya sekarang Sim ciangkun telah menjadi seorang perwira, yang berarti bahwa dia telah berada di jalan benar, menjadi seorang gagah yang setia dan membela negara! Bagiku, seratus kali lebih baik seorang berdosa yang kembali ke jalan benar daripada seorang yang mengaku-aku suci akan tetapi belum tahu bagaimana isi perutnya!”

Tentu saja Gan Tian Cu dan sute-sutenya tahu betul bahwa mereka telah disindir dan dimaki habis-habisan oleh Thian It Tosu, maka marahlah Gan Tian Cu.

”Go-bi Ngo koai! Kami berlima datang untluk berurusan dengan Ang coa kiam Sim Tiong Kiat dan sama sekali kami tidak mempunyai sangkut paut dengan kalian berlima! Maafkan, kami tidak ada banyak waktu lagi untuk mengobrol dengan kalian!”

Setelah berkata demikian, Gan Tian Cu dan empat orang sutenya lalu menyerbu lagi dan menyerang Tiong Kiat yang telah siap sedia. Pemuda ini biarpun maklum bahwa lima orang lawannya amat sukar dan berat dilawan, namun ia tidak mau minta tolong kepada Go bi Ngo koai-tung. Kecuali kalau mereka turun tangan sendiri tanpa diminta, tentu saja dia takkan menolaknya. Kini melihat serangan kelima orang tosu itu, iapun menggerakkan pedangnya sambil membentak,

”Tosu tosu siluman, apa kau kira aku takut menghadapi kalian berlima?”

Kembali pertempuran hebat terjadi. Akan tetapi tentu saja melihat Tiong Kiat berada dalam bahaya, Thian It Tosu dan para sutenya tidak mau tinggal diam begitu saja. Mereka lalu menggerakkan tongkat dan menyerbu membantu Tiong Kiat sehingga pertempuran menjadi makin seru.

Akan tetapi kali ini pertempuran tak seimbang lagi. Kepandaian Go-bi Ngo koai Tung cukup tinggi, tidak berselisih banyak dengan tingkat kepandaian lima orang tokoh Kun-lun-pai itu. Maka serbuan mereka yang membantui Tiong Kiat tentu saja membuat Gan Tian Cu dan empat orang adik seperguruannya menjadi kewalahan dan terdesak hebat.

”Go-bi Ngo koai, tidak kelirukah pandanganku?” tiba tiba Gan Tian Cu sambil menangkis tongkat Thian It Tosu berseru keras. ”Ilmu tongkatmu mengingatkan aku akan ilmu tongkat dari Pek lian kauw!”

Seruan yang keras ini tidak saja membuat Go bi Ngo-koai-tung menjadi terkejut, bahkan Tiong Kiat sendiri pun menjadi kaget sekali sehingga ia melompat mundur dan menunda penyerangannya sambil memandang dengan mata mengandung penuh pertanyaan ke arah Go bi Ngo koai tung.

Nama Pek-lian-kauw memang amat terkenal di kalangan kang-ouw dan tak seorangpun yang tidak mengingat nama ini dengan hati penuh kebencian. Pek-lian-kauw di masa jayanya telah banyak mengorbankan orang-orang gagah, diadu domba dan juga diseretnya ke dalam jurang kehinaan, bahkan perkumpulan ini telah mengadakan pemberontakan besar.

Go bi Ngo koai tung menghadapi lima orang tosu Kun-lun-pai itu dengan mata menyala-nyala saking marahnya. ”Gan Tian Cu, mulutmu benar-benar busuk! Apa hubungannya Pek lian kauw dengan pertempuran ini? Kita orang-orang gagah harus dapat melihat kenyataan di depan mata, tidak menyinggung urusan yang telah lalu! Sekarang kami berlima adalah sahabat, pembantu, dan pelindung dari panglima Oei yang mengepalai pasukan besar dari tentara kerajaan. Kami adalah orang-orang yang membela negara dan kalian bertempur dengan kami karena kalian hendak berkhianat hendak mengganggu seorang perwira!”

Gan Tian Cu tertawa bergelak. ”Ha ha ha! Apa jadinya kalau pemimpin tentara terdiri dari pelarian-pelarian Pek-lian-kauw dan penjahat-penjahat wanita seperti Ang-coa-kiam? Ha ha ha! Go-bi Ngo-koai tung, pantas saja Ang-coa-kiam lari ke tempat ini, tidak tahunya ada orang-orang macam kalian di sini!”

”Tosu bangsat, tutup mulutmu!” teriak Thian It Tosu, sambil maju menyerang dengan tongkat bambunya.

Gan Tian Cu menangkis dan kini lima orang tosu dari Kun-lun-pai itu bertempur melawan lima orang tosu dari Go-bi-san yang sesungguhnya adalah pelarian-pelarian dari Pek-lian-kauw ini! Bukan main ramainya pertempuran ini, dan Tiong Kiat hanya berdiri dengan pedang di tangan, ragu-ragu untuk maju bergerak. Ia masih merasa heran dan terkejut mendengar bahwa Go-bi Ngo-koai-tung adalah pelarian-pelarian Pek Iian kauw, maka ia tidak tahu harus berbuat apa.

Sudah terang bahwa Gan Tian Cu dan kawan-kawannya adalah musuh-musuhnya yang hendak mencelakakannya, akan tetapi kalau betul Go bi Ngo-koai-tung itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw, ia sendiri merasa sangsi dan juga ngeri untuk membantu mereka!

Gobi Ngo koai tung merasa mendongkol sekali melihat betapa Tiong Kiat berdiri saja seperti patung batu dan tidak membantu mereka. Akan tetapi ternyata bahwa ilmu tongkat dari Go-bi Ngo koai ini benar-benar Iihai sekali. Kalau saja bekas-bekas pengurus Pek-lian-kauw itu hanya bersilat biasa saja, mempergunakan ilmu silat yang wajar, belum tentu Gan Tian Cu dan adik-adiknya akan kalah. Akan tetapi Go-bi Ngo-koai-tung tidak percuma pernah menjadi pengurus-pengurus dari Pek-Iian-kauw, agama gelap yang menipu rakyat berdasarkan ilmu hitam.

Kini menghadapi lawan tangguh, diam-diam Thian It Tosu memberi tanda rahasia kepada adik-adiknya dan berobahlah ilmu silat mereka. Terdengar mereka mengeluarkan bisikan-bisikan perlahan seperti berdoa dan tiba-tiba Gan Tian Cu dan adik-adik seperguruannya melihat dengan hati gelisah dan kaget betapa lima orang lawan mereka itu nampak makin lama makin tinggi besar dan tongkat bambu mereka juga menjadi amat besar dan panjang!