Asmara Berdarah Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

DIAM-DIAM Hui Song mencela empat orang pemuda mabok-mabokan yang tidak tahu diri ini, tidak mengenal gelagat berani sekali menyinggung dua orang kakek yang sama sekali tidak pernah mengganggu mereka itu. Maka dia khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu marah.

Akan tetapi dari kerling matanya dia dapat melihat bahwa dua orang kakek itu diam saja, seolah-olah tak mendengar percakapan lantang itu dan melanjutkan makan minum tanpa memberi komentar, bahkan sedikit pun juga tak menoleh ke arah meja empat orang yang menyindir mereka itu.

Agaknya sekarang mereka telah selesai makan. Keduanya bangkit berdiri dan membayar harga hidangan kemudian melangkah keluar. Ketika mereka berjalan menuju keluar pintu, mereka melewati meja Hui Song.

Tiba-tiba pemuda itu terkejut bukan main karena ketika dua orang itu lewat, dia merasa ada dua hawa yang sangat berlainan. Si jangkung berjalan di depan dan ketika dia lewat, Hui Song merasakan hawa yang amat panas lewat pula, sebaliknya ketika si gendut yang lewat, ada hawa yang amat dingin. Akan tetapi Hui Song belum menduga buruk, dan dua orang itu kini lewat di dekat meja empat orang muda yang masih bercakap-cakap dengan asyik dan melirik ke arah dua orang kakek itu dengan mulut menyeringai penuh ejekan.

Tidak terjadi sesuatu dan kedua orang kakek itu pun tidak kelihatan bergerak melakukan serangan. Akan tetapi setelah tiba di ambang pintu, mereka menoleh dan tiba-tiba empat orang pemuda itu mengeluarkan teriakan-teriakan kesakitan lantas mereka pun terguling roboh, bahkan kursi-kursi mereka juga terbawa roboh.

Dan semua tamu tentu saja memandang terbelalak melihat betapa empat orang muda itu berkelojotan dengan mata mendelik. Dari mata, hidung, mulut serta telinga mereka keluar darah! Karena tidak menaruh curiga, tidak seorang pun di antara para tamu itu menoleh kepada dua orang kakek. Akan tetapi Hui Song memandang kepada mereka dan melihat betapa kedua kakek itu melepas senyum keji lalu mereka membalik dan terus melangkah lebar keluar dari rumah makan itu.

Hui Song cepat bangkit dari kursinya setelah meninggalkan harga makanan di atas meja. Pada saat melewati empat orang yang kini sudah tidak bergerak lagi dan sudah tewas itu, tanpa memeriksa tahulah dia bahwa empat orang itu tewas karena pukulan beracun atau senjata gelap beracun, maka dia pun langsung saja mengejar keluar. Dia celingukan dan akhirnya dia dapat melihat bayangan dua orang yang dicarinya itu, sudah jauh di depan, mendekati pintu gerbang dusun Lok-cun. Dia pun cepat melakukan pengejaran.

Tepat seperti yang sudah diduganya, dua orang kakek itu ternyata lihai. Begitu tiba di luar dusun, mereka berdua segera berkelebat dan berlari cepat sekali, bagaikan terbang saja! Akan tetapi Hui Song adalah seorang pendekar muda gemblengan yang sudah mewarisi bermacam ilmu yang hebat-hebat.

Apa lagi selama tiga tahun dilatih oleh Si Dewa Kipas, dia sudah memperoleh kemajuan pesat dan latihan beban besi pada kedua kakinya kini sudah membuat ginkang-nya juga memperoleh kemajuan. Ketika dia meloncat dan berlari, tubuhnya sangat ringan dan dia pun dapat berlari amat cepatnya melakukan pengejaran.

Dua orang kakek itu agaknya maklum bahwa ada orang yang mengejar, karena mereka itu tiba-tiba membelok memasuki hutan dan gerakan lari mereka semakin cepat. Hui Song terus mengejar dan akhirnya, karena makin lama jarak di antara mereka semakin dekat, tiba-tiba dua orang yang merasa tidak akan dapat melepaskan diri dari pengejarannya itu, berhenti di sebuah tempat terbuka yang merupakan padang rumput kecil di antara hutan di lereng bukit itu. Mereka berdiri tegak dan mengambil sikap menantang, juga sinar mata mereka membayangkan kemarahan.

Begitu Hui Song tiba di depan mereka, kedua orang kakek itu memandang dengan penuh selidik, kemudian si jangkung yang mukanya kelihatan kering dan galak itu menegur,

"Orang muda, siapakah engkau dan kenapa engkau mengikuti dan mengejar kami?"

Hui Song maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan dua orang pandai. Dia tak mau bersikap sembrono sebelum mengenal mereka dan tahu mengapa mereka membunuh orang-orang sedemikian mudah dan kejinya, maka dia pun menjura dengan hormat.

"Harap ji-wi locianpwe suka memaafkan jika aku bersikap kurang hormat dan melakukan pengejaran. Secara kebetulan aku melihat ji-wi melakukan pembunuhan di dalam restoran terhadap empat orang itu..."

"Hemm, engkau yakin bahwa kami yang membunuh mereka?" tanya si gendut.

"Pembunuhan itu dilakukan dengan serangan beracun dan kiranya hanya ji-wi yang dapat melakukan serangan seperti itu. Mengapa ji-wi membunuh mereka?"

Kedua orang kakek itu saling pandang, nampaknya terkejut melihat betapa pemuda yang pandai berlari cepat ini ternyata bermata tajam. Si jangkung lalu menarik napas panjang dan berkata dengan nada suara menantang,

"Baik, memang kami yang membunuh mereka. Habis, kau mau apa? Siapa engkau?"

Hui Song mulai mengerutkan alisnya. Jawaban dua orang ini sungguh merupakan sebuah tantangan dan sikap mereka bukan seperti sikap orang baik-baik. Akan tetapi dia masih tersenyum dan menjawab, "Namaku Cia Hui Song dan kalau benar ji-wi yang membunuh mereka, aku ingin sekali mengetahui mengapa ji-wi melakukan pembunuhan sedemikian keji. Apakah hanya karena ucapan yang mereka keluarkan di restoran itu?"

"Ha-ha-ha, engkau sudah tahu akan tetapi masih juga bertanya. Telingamu sendiri tentu sudah menangkap penghinaan mereka yang ditujukan kepada kami," kata si gendut dan perutnya bergerak aneh, seperti ada seekor kelinci besar yang hidup di dalam perutnya dan kini berlari ke sana-sini. Melihat ini, Hui Song terkejut. Si gendut ini memiliki sinkang yang amat kuat, pikirnya.

"Jika karena ocehan orang-orang yang mabok saja membuat ji-wi demikian ringan tangan membunuh orang, sekaligus empat nyawa, sungguh aku tidak dapat menerimanya begitu saja," katanya dan sinar matanya mencorong menyambar ke arah wajah dua orang kakek itu yang kelihatan terkejut sekali.

Baru sekarang mereka melihat betapa sepasang mata pemuda itu mencorong seperti itu, juga mereka berpikir-pikir mendengar nama keturunan Cia itu, diam-diam menduga-duga apakah pemuda ini ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai yang juga she Cia.

"Bagus, bagus! Engkau orang muda yang bernyali besar! Kami sudah membunuh empat orang lancang mulut dan kurang ajar itu. Nah, jika engkau tak dapat menerimanya, habis engkau mau apa?" si jangkung menantang lagi sambil bertolak pinggang di sebelah dalam jubahnya dengan cara menyisipkan tangannya ke dalam jubah. Hui Song yang bermata tajam melihat gerakan tak wajar ini dan dia sudah bersikap waspada dan siap siaga.

"Sebagai pembunuh-pembunuh ji-wi harus ikut bersamaku untuk menyerahkan diri kepada petugas keamanan. Kejahatan yang ji-wi lakukan harus diadili."

Dua orang itu saling pandang kemudian tertawa bergelak. "Ha-ha-ha!" Si gendut berkata. "Engkau ini seperti seekor burung yang baru turun dari sarang dan belajar terbang, tidak mengenal peraturan kang-ouw. Bagi kami, hukum berada di tangan kami sendiri. Siapa bersalah terhadap kami akan kami hukum sendiri dan tidak ada pengadilan yang boleh mengadili kami!"

Tentu saja Hui Song sudah mengenal kehidupan dunia kang-ouw yang tidak mengenal hukum pemerintah itu. "Karena itulah maka aku harus menentang kejahatan yang tidak diadili. Ji-wi membunuh orang yang tidak berdosa, tidak mungkin dapat dilepaskan begitu saja tanpa hukuman..."

Tiba-tiba tangan kiri yang tadinya menyusup ke balik jubah itu bergerak. Hui Song cepat meloncat ke samping, membiarkan tiga cahaya menyambar lewat. Itulah pisau-pisau kecil yang menyambar cepat sekali. Dari bau amis yang tercium olehnya ketika pisau-pisau itu lewat, tahulah dia bahwa senjata-senjata rahasia itu beracun.

Akan tetapi yang telah mencabut nyawa empat orang di dalam restoran itu bukan senjata seperti ini, melainkan lebih kecil lagi atau bahkan mungkin juga hanya pukulan jarak jauh yang mengandung racun.

"Kau bocah yang bosan hidup!" melihat pemuda itu dapat menghindarkan serangan gelap kawannya, si gendut segera membentak dan dua tangannya bergerak ke depan, dengan jari-jari terbuka dia memukul dengan gerakan mendorong ke arah dada Hui Song.

Angin pukulan dahsyat menyambar ke depan sambil mengeluarkan hawa dingin! Hui Song mengenal pukulan ampuh yang mengandung sinkang kuat, maka dia pun mengerahkan tenaga dan menyambut dengan kedua tangan pula.

"Syuuuttt...! Dukkk...!"

Dua tenaga dahsyat bertemu di udara dan biar pun tangan mereka belum bersentuhan, masih dalam jarak beberapa senti, akan tetapi benturan tenaga sinkang dahsyat itu sudah memperlihatkan akibatnya. Tubuh si gendut langsung terpental ke belakang dan Hui Song tetap tegak walau pun tubuhnya terguncang hebat.

Dua orang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran, dan mereka pun melompat lantas melarikan diri! Hui Song tidak mau mengejar. Dia maklum bahwa dua orang kakek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amatlah berbahaya mengejar dua orang selihai itu padahal mereka telah melarikan diri dan agaknya tidak menginginkan permusuhan dengan dirinya.

Bagaimana pun juga empat orang itu telah tewas, sementara dia bukan seorang petugas keamanan. Andai kata empat orang itu belum tewas dan berada dalam ancaman bahaya, sudah menjadi tugasnya untuk melindungi mereka. Akan tetapi mereka telah tewas akibat kelancangan mulut mereks sendiri.

Sambil menduga-duga siapa adanya dua orang kakek yang seperti pendeta akan tetapi mempunyai watak yang kejamnya seperti iblis itu, mudah membunuh orang hanya karena urusan amat kecil, dia lalu kembali memasuki dusun Lok-cun. Matahari sudah condong ke barat ketika dia memasuki dusun dan menuju ke rumah penginapan di mana dia sudah menyewa sebuah kamar.

Bagaimana pun juga, hati Hui Song tertarik sekali dengan keadaan dusun ini. Dusun yang sesungguhnya kecil saja akan tetapi cukup ramai karena di sekitar bukit itu terdapat bukit yang menghasilkan banyak rempah-rempah sehingga penduduknya cukup makmur. Yang menarik hatinya adalah munculnya dua orang kakek itu di tempat kecil seperti ini.

Sesudah mandi dan makan malam, dia mencari keterangan dari pelayan penginapan itu tentang keadaan dusun dan terutama sekali dia menyelidiki apakah di tempat itu terdapat kuilnya mengingat bahwa dua orang kakek itu berpakaian seperti pendeta.

"Dahulu memang terdapat sebuah kuil di pinggir dusun sebelah selatan," pelayan itu lalu menerangkan, "akan tetapi semenjak empat lima tahun ini, kuil itu kosong, bahkan tak ada orang yang berani mendekati, terutama sekali pada waktu malam hari."

"Ehh, kenapa?" Hui Song bertanya.

"Karena... tempat itu angker, ada setannya."

"Hemmm, benarkah itu? Ada setannya bagaimana dan mengapa kuil itu ditinggalkan? Ke mana perginya para pendetanya?"

"Kuil itu dahulu adalah cabang kuil Kwan Im Po-sat yang diurus oleh lima orang nikouw, yaitu seorang nikouw tua beserta empat orang muridnya yang usianya kira-kira tiga puluh tahun. Akan tetapi, pada suatu malam terdengar jeritan-jeritan dari kuil itu dan pada esok harinya, kami para penduduk melihat mereka berlima sudah tewas dalam keadaan yang sangat mengerikan!" Pelayan itu bergidik dan kelihatan ketakutan.

"Bagaimana? Terbunuhkah?"

"Mereka terbunuh... dan agaknya iblis-iblis saja yang mampu melakukan pembunuhan itu. Kepala mereka berubah hitam membengkak dan empat orang nikouw muda itu semuanya telanjang bulat."

Hui Song mengerutkan alisnya. Bukan iblis, pikirnya, melainkan orang atau orang-orang yang amat kejam dan jahat, dan bukan tidak mungkin kalau empat orang nikouw muda itu diperkosa penjahat sebelum mereka dibunuh.

"Dan semenjak peristiwa itu, kuil itu dibiarkan kosong dan seperti keteranganmu tadi, kini kuil itu ada setannya? Bagaimana pula itu?"

Pelayan itu mengangguk-angguk. "Para penduduk mengurus jenazah mereka, dan sejak hari itu juga kuil dibiarkan kosong dan tidak ada yang berani tinggal, bahkan mendekati pun tak berani, apa lagi di waktu malam. Sering terdengar suara-suara aneh dan nampak bayangan-bayangan setan di sekitar kuil itu. Bahkan ada beberapa orang pemberani yang mengumpulkan tenaga sebanyak sepuluh orang pernah tidur di sana untuk membuktikan dan mereka semua tertidur pulas atau pingsan tetapi tahu-tahu tubuh mereka digantung di atas pohon, dengan kaki di atas dan kepala di bawah!"

"Mati...?" tanya Hui Song kaget.

"Tidak, hanya pingsan. Akan tetapi tentu saja hal itu membuat kami semua menjadi makin takut dan sejak itu tidak ada orang berani mencoba-coba mendekati kuil di waktu malam, apa lagi tidur di situ."

Mendengar keterangan ini, Hui Song makin tertarik. Hampir yakin hatinya bahwa tempat itu tentu menjadi tempat yang sangat baik bagi orang-orang jahat untuk menyembunyikan diri mereka. Dan dia teringat akan dua orang kakek siang tadi. Bukan tidak mungkin kalau mereka itu pun mempergunakan tempat yang ditakuti orang itu untuk bersembunyi atau setidaknya melewatkan malam.

Malam itu Hui Song keluar dari penginapan dan berjalan menuju ke selatan. Setelah tiba di depan kuil, dia melihat bahwa tempat itu memang terpencil dan sunyi. Gelap sekali di situ, dan kuil itu nampak sunyi kosong dan menyeramkan.

Pohon-pohon besar yang tumbuh di depan dan kanan kiri kuil itu menambah keseraman. Batang-batang pohon itu nampak kehitaman dan cabang serta ranting-ranting yang belum lebat menutupi sebagian genteng kuil yang nampak masih kokoh akan tetapi kotor tidak terpelihara itu.

Memang sebuah tempat yang amat sunyi, juga menyeramkan apa lagi kalau mengandung cerita tentang setan-setan. Baru teringat akan kematian lima orang nikouw itu saja sudah mendatangkan kengerian, apa lagi telah terjadi keanehan pada sepuluh orang pemberani yang pernah tidur di sana. Di pohon-pohon itukah mereka kedapatan tergantung dengan kepala di bawah?

Hui Song mengayun tubuhnya, meloncat ke atas pohon dan mengintai. Sampai beberapa lama dia mengintai dengan bersembunyi di atas cabang, di balik daun-daun lebat. Namun tak nampak sesuatu dan tidak terdengar sesuatu dari dalam kuil. Ketika dia memandang dari atas ke arah empat penjuru, nampak kelap-kelip sinar lampu rumah-rumah agak jauh dari kuil, sedangkan di kuil dan sekelilingnya sunyi saja, sunyi dan gelap.

Malam makin larut dan kini nampak bulan sepotong tersembul naik dari awan-awan gelap yang tadi menutupinya. Awan-awan terakhir meninggalkannya sehingga kini cahaya bulan menerangi pohon dan genteng kuil, cukup terang bagi Hui Song sehingga dia bisa melihat berkelebatnya bayangan orang! Bukan setan, melainkan orang!

Kalau ada penduduk dusun yang kebetulan melihat bayangan itu, tentu akan menyangka bahwa itu adalah bayangan setan karena memang bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya, akan sukar dlikuti oleh pandang mata orang biasa. Kini dia tidak merasa heran kalau muncul cerita tentang setan yang berkeliaran di sekitar kuil itu.

Hui Song melihat seorang gadis cantik berdiri di atas wuwungan kuil, setelah tadi gadis itu menjadi bayangan berkelebatan di bawah, kemudian dengan ringan sekali melayang naik. Dan dia pun terkejut dan terheran sekali.

Dia mengenal gadis ini! Bukan lain adalah gadis penunggang kuda yang tadi melewatinya di luar dusun ketika dia akan memasuki dusun Lok-cun. Kini dia tidak menunggang kuda, melainkan berlompatan dengan gesit dan ringan. Namun pakaian yang dipakainya masih seperti tadi. Gadis yang sederhana akan tetapi manis sekali.

Karena kaget tadi, dan karena ingin memandang lebih jelas, Hui Song membuat gerakan sehingga ranting-ranting dari cabang yang diinjaknya bergoyang lantas daun-daunnya ikut pula bergoyang. Sedikit saja, seperti goyangan angin, namun cukup bagi wanita itu yang segera memandang ke sekeliling untuk dapat melihat ketidak wajaran ini. Hanya ranting-ranting di cabang itu yang bergoyang, sedangkan di malam itu tidak ada angin sedikit pun juga.

"Wuuuttt...! Cit-cittt...!"

Dua sinar putih menyambar ke arah Hui Song ketika gadis itu menggerakkan jari tangan kirinya. Kiranya ada dua batang jarum sulam yang meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah tubuh pemuda itu.

"Aihh... galak amat...!" Hui Song melompat keluar dari balik rumpun daun lantas berdiri di atas wuwungan, berhadapan dengan gadis itu sambil tersenyum. Dua batang jarum dia serahkan kepada gadis itu. "Sayang jarummu ini, nona, engkau akan kehilangan dan tidak dapat melanjutkan pekerjaanmu menyulam." Tadi dia sudah melihat bahwa jarum itu tidak mengandung racun, maka dia pun tidak menyangka buruk.

Dengan pandang mata kagum dan tangan cekatan, gadis itu segera mengambil kembali dua batang jarumnya dan menyimpannya di dalam saku di balik baju luar.

"Siapa kau?"

"Nanti dulu, nona. Kita pernah saling bertemu di luar dusun dan mengapa engkau begitu mudah menyerangku dengan jarum-jarummu? Kalau tadi aku tidak hati-hati kemudian dua jarummu itu menembus kepala atau dadaku, bukankah sekarang ini aku sudah tidak bisa menjawab pertanyaanmu tadi?"

Sejenak sepasang mata yang tajam dan jeli itu menatap wajah Hui Song penuh selidik, dan kekerasan yang tadi membayang di wajah manis itu mulai melembut. Wajah pemuda yang tampan, gagah dan juga penuh senyum itu sangat menarik dan mengagumkan hati gadis ini. Akan tetapi dia masih menaruh curiga.

"Engkau memata-matai dan menyelidiki tempatku!" bentaknya.

Hui Song tersenyum dan kembali pada sepasang mata tajam itu terbayang kekaguman. Sungguh ganteng pemuda ini, apa lagi kalau tersenyum.

"Nona, menurut cerita orang-orang di dusun ini, kuil ini adalah tempat tinggal para setan. Bagaimana bisa menjadi tempat tinggalmu? Aku yakin engkau bukan setan."

"Untuk sementara aku memilih tempat sunyi ini sebagai tempat berteduh, namun engkau malam-malam begini datang dan bersembunyi di dalam pohon, tentu bermaksud buruk. Agaknya engkau mengandalkan sedikit kepandaian menangkap jarum-jarumku tadi. Nah, lihat serangan!" Gadis itu kembali menjadi galak dan tiba-tiba saja melakukan serangan yang cukup keras dan cepat.

"Dukk! Plakk!"

Hui Song menangkis dua kali dan setiap kali ditangkis, tubuh gadis itu terdorong mundur. Hal ini amat mengejutkan hati gadis itu. Tak disangkanya bahwa pemuda ini benar-benar amat lihai, maka dia pun lalu mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya menyambar-nyambar, serangannya semakin hebat dan cepat. Jari-jari tangannya berubah kaku keras dan dia menyelingi pukulan-pukulannya dengan cengkeraman atau totokan ke jalan-jalan darah yang berbahaya.

Akan tetapi Hui Song menghadapi semua serangan itu dengan tenang saja. Ia mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis dan tidak pernah membalas.

"Eiiit, perlahan dulu, nona. Kenapa galak amat? Kita tidak pernah bermusuhan, mengapa engkau menyerangku dengan pukulan-pukulan maut? Eiiit, sayang tidak kena!"

Nona itu semakin penasaran dan tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah sapu tangan sutera putih dari lengan bajunya. Sapu tangan itu dipergunakannya sebagai senjata dan biar pun sapu tangan itu hanya berupa kain sutera tipis lemas, tapi di tangannya berubah menjadi senjata ampuh, kadang kala merupakan cambuk yang melecut dan mengeluarkan suara ledakan, dan kadang-kadang menjadi kaku dan keras seperti besi baja!

Hui Song masih tetap tenang. Sapu tangan sutera itu mungkin berbahaya bagi orang lain, akan tetapi baginya tidak ada artinya. Pula, dia mendapat kenyataan bahwa sapu tangan itu tak mengandung racun, sama seperti jarum-jarum tadi, maka hatinya semakin senang. Seorang gadis manis seperti ini tidak mau berlaku curang, tentu seorang gadis baik-baik, mungkin seorang gadis kang-ouw yang gagah perkasa, seorang pendekar wanita seperti Sui Cin. Dia pun mulai membanding-bandingkan.

Gadis ini juga cantik manis, dan juga galak seperti Sui Cin, akan tetapi apa bila dinilai dari kepandaian silatnya, tentu saja Sui Cin masih lebih lihai, apa lagi sekarang sesudah Sui Cin digembleng oleh Dewa Arak! Dia ingin sekali menguji sampai di mana kemajuan dan kelihaian Sui Cin sekarang.

Gadis itu semakin kagum saja, terbukti dari seruan-seruannya ketika setiap serangannya selalu dapat dihindarkan oleh lawan dengan amat baik. Maka dia pun menyerang semakin nekat. Melihat ini, Hui Song mengerutkan alisnya. Nona ini bukan orang sembarangan, memiliki ilmu silat tinggi, tentu sudah tahu bahwa dia sengaja mengalah dan tidak pernah membalas. Akan tetapi mengapa nona ini nekat menyerang terus?

"Nona, hentikanlah seranganmu ini dan mari kita bicara baik-baik. Di antara kita tidak ada permusuhan. Kalau engkau tidak mau berhenti, terpaksa aku akan membalas!" Terpaksa dia mengancam dan dia telah mengepal tinju kanan, siap untuk membalas serangan jika lawannya tetap berkeras hati tidak mau menyudahi perkelahian itu.

Tiba-tiba saja sapu tangan sutera itu kembali menyambar ke arah muka Hui Song dan kini benda itu menjadi lemas. Karena yang diserang adalah mukanya, juga karena dia sudah mengambil keputusan untuk membalas, maka Hui Song segera menarik tubuh atasnya ke belakang sehingga sapu tangan itu tidak mengenai muka, hanya lewat saja. Akan tetapi tiba-tiba hidungnya mencium aroma yang amat wangi lalu tiba-tiba saja kepalanya pening dan pandang matanya gelap.

"Celaka...!" teriaknya, sadar bahwa sekali ini, entah bagaimana caranya, sapu tangan itu mengandung bubuk beracun yang pada saat dikebutkan telah menyambar dan masuk ke dalam hidungnya, membuat dia keracunan.

"Tukk!" Jari tangan gadis itu sudah menyambar dan menotok pinggang, membuat Hui Song yang sudah setengah pingsan itu seketika menjadi lemas. Dia masih mendengar suara gadis itu terkekeh disusul kata-katanya memuji, "Engkau gagah perkasa..."

Dan dia pun tidak ingat apa-apa lagi. Juga dia tidak sadar sama sekali pada saat gadis itu memondongnya dan membawanya melompat turun dari atas genteng, lalu membawanya masuk ke dalam sebuah kamar dalam kuil itu.

Kalau saja Hui Song tahu siapa adanya gadis ini, tentu dia tidak akan bersikap sembrono dan mengalah seperti tadi. Gadis yang berusia dua puluh empat tahun ini kelihatannya saja cantik manis dan lemah lembut, juga tidak nampak membawa senjata atau bersikap menyeramkan. Akan tetapi sebenarnya dia merupakan seorang tokoh besar dunia hitam pada waktu itu.

Sungguh pun dia baru saja keluar dari tempat pertapaan bersama gurunya, boleh dibilang dia menduduki tempat tinggi di kalangan kaum hitam, terangkat oleh nama gurunya yang ditakuti semua orang di dunia kaum sesat. Dan siapakah gurunya ini? Bukan lain adalah Pangeran Toan Jit Ong atau Si Raja Iblis sendiri!

Walau pun merupakan sepasang tokoh yang mempunyai kesaktian luar biasa, tokoh sakti Toan Jit Ong yang dijuluki Raja Iblis bersama isterinya yang berjuluk Ratu Iblis itu hanya memiliki seorang murid itulah. Sebab itu dapatlah dibayangkan betapa sayangnya mereka kepada murid itu dan tentu saja murid itu digembleng dan diberi pelajaran ilmu-ilmu yang hebat.

Murid itu bernama Gui Siang Hwa, seorang gadis yatim piatu yang dipelihara suami isteri itu sejak berusia sepuluh tahun dan digembleng dengan ilmu-ilmu yang hebat. Selain ahli dalam bermacam ilmu silat, memiliki sinkang kuat dan ginkang yang hebat, juga gadis ini sangat ahli dalam pengolahan dan penggunaan racun, terutama sekali racun yang berbau wangi. Karena pandainya bermain racun wangi ini, juga karena memang dia cantik manis, maka sebentar saja dia memperoleh julukan Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi).

Siang Hwa telah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi dia belum menikah. Biar pun kedua orang gurunya telah membujuknya, akan tetapi dia belum mau menikah karena dia belum menemukan seorang pria yang dianggapnya pantas menjadi suaminya. Akan tetapi karena sejak kecil berada di lingkungan penjahat, wataknya pun menjadi binal dan seperti para penjahat lain, gadis ini pun menjadi budak nafsunya sendiri.

Di luarnya saja kelihatan halus dan sopan, juga alim dan lembut. Akan tetapi, seperti para rekannya, dia pun dapat bertindak sangat kejam, penuh dengan akal dan muslihat busuk, dan terutama sekali, sejak mulai dewasa, dia sudah suka berhubungan dengan pria-pria tampan yang menarik hatinya. Bahkan dia termasuk seorang wanita mata keranjang yang akan mempergunakan segala akal, kalau perlu mempergunakan ilmu kepandaian silatnya yang tinggi untuk berhasil mendapatkan pria yang disukainya.

Seperti yang telah kita ketahui, Toan Jit Ong dan isterinya pada tiga tahun yang lalu telah mengumpulkan para datuk sesat untuk mengadakan pertemuan dan di dalam pertemuan ini Raja Iblis dan isterinya mengangkat diri mereka sendiri menjadi pimpinan para datuk untuk merencanakan pemberontakan.

Pada waktu pertemuan itu diadakan, Siang Hwa masih berusia dua puluh satu tahun dan dia sendiri tidak memperlihatkan diri di dalam pertemuan itu karena dia mempunyai tugas lain yang diberikan gurunya kepadanya. Dia harus bersembunyi dan melakukan penjagaan rahasia bersama belasan orang teman yang menjadi kaki tangan gurunya.

Setelah pertemuan para datuk itu selesai, Raja Iblis dan isterinya lalu menggembleng lagi anak murid mereka sambil mengatur persiapan untuk melakukan rencana pemberontakan mereka. Murid inilah yang diberi tugas untuk mewakili mereka mengadakan pertemuan-pertemuan dan persekutuan rahasia dengan para tokoh dan juga para pembesar penting.

Berkat kecantikan, kecerdikan dan juga kepandaiannya, Siang Hwa dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sekali. Pada waktu itu, sudah banyaklah pembesar-pembesar yang mempunyai kekuatan pasukan, secara diam-diam telah menjadi sekutu para pemberontak yang telah siap siaga sehingga sewaktu-waktu mereka akan dapat mengerahkan pasukan untuk bersama-sama menggempur kota raja dan merampas kekuasaan dari Kaisar Ceng Tek!

Selain membujuk para pembesar untuk bersekutu, juga Siang Hwa bertugas membujuk orang-orang gagah dari kalangan kang-ouw, yang biasanya bahkan menjadi lawan kaum sesat, untuk bekerja sama demi perjuangan membasmi kelaliman! Dalam rangka tugas inilah Siang Hwa berada di dusun Lok-cun itu.

Dara ini menggunakan kuil sunyi yang ditakuti orang itu sebagai tempat tinggal sementara sehingga dia dapat melakukan pertemuan-pertemuan rahasia dengan para pembantunya tanpa dilihat orang. Sungguh tidak disangkanya bahwa malam hari itu dia akan bertemu dengan seorang pemuda yang selain amat tampan dan ganteng, juga amat gagah perkasa sehingga dia sendiri tidak mampu mengalahkannya dengan ilmu silat.

Munculnya pemuda seperti Hui Song ini sungguh di luar dugaan Siang Hwa dan begitu bertemu dia telah jatuh cinta! Inilah pemuda yang selama ini diidam-idamkannya. Banyak sudah dia bertemu dengan pemuda tampan, bahkan sudah sering pula dia menyerahkan diri kepada pria-pria yang disukainya, namun belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan disukainya, yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya.

Akan tetapi para pria itu tidak masuk hitungan, hanya merupakan alat penghiburnya saja untuk melampiaskan nafsunya. Ia hanya mau menjadi isteri seorang pemuda yang selain disukanya juga memiliki kepandaian lebih tinggi darinya, dan pemuda ini sungguh sangat lihai. Maka, terpaksa ia harus mempergunakan akal dan sapu tangannya yang berbahaya itu, yang kalau tidak dikehendakinya merupakan sapu tangan biasa, akan tetapi pada saat ia terdesak, ia dapat menarik alat halus pada sapu tangan itu yang akan membuka tempat penyimpanan bubuk beracun wangi yang amat ampuh.

Selain tugas untuk menghubungi para orang gagah di dunia kang-ouw agar mau bekerja sama menentang kaisar, juga ada suatu tugas rahasia lain yang pada waktu itu sangat mengganggu hati Siang Hwa. Gurunya telah menunjuk dia untuk memimpin teman-teman yang boleh dipercaya dan yang memiliki kepandaian tinggi untuk menyelidiki dan mencari sebuah harta karun yang berada pada sebuah tempat rahasia yang amat sulit dan sukar dikunjungi.

Sudah berkali-kali dia bersama teman-temannya mencoba menyelidiki tempat itu, namun selalu gagal, bahkan beberapa orang temannya berkorban nyawa di tempat itu sedangkan tempat penyimpanan harta karun itu tetap saja belum dapat dia temukan. Gurunya telah berpesan bahwa kalau dia tidak mampu, barulah kedua orang gurunya akan turun tangan sendiri.

Teman-temannya telah menganjurkan dan menasehatkannya untuk melapor kepada Raja dan Ratu Iblis saja bahwa dia dan teman-temannya tidak sanggup lagi. Akan tetapi Siang Hwa adalah seorang gadis yang keras hati dan angkuh. Dia merasa malu apa bila harus menghadap kedua orang gurunya dan melaporkan kegagalannya. Hal ini berarti mengakui kelemahan sendiri! Tidak, dia harus mencoba lagi dan untuk itu dia harus mendapatkan seorang teman yang lihai, setidaknya memiliki tingkat kepandaian, terutama ginkang yang setingkat dengannya!

Di antara para pembantunya ada dua orang kakek yang menjadi orang-orang kepercayaan gurunya. Mereka itu adalah Hui-to Cin-jin (Manusia Sakti Pisau Terbang) dan Kang-thouw Lo-mo (Setan Tua Kepala Baja) yang siang hari tadi sudah pernah berjumpa dengan Hui Song. Mereka adalah dua orang kakek yang tadi membunuh empat orang pemuda mabok di dalam restoran.

Dua orang kakek ini bukan orang sembarangan, bukanlah penjahat biasa. Mereka adalah dua di antara Cap-sha-kui yang tentu saja memiliki kepandaian hebat! Dan dari dua orang kakek inilah Siang Hwa mendengar bahwa di dusun itu muncul seorang pemuda yang lihai sekali, seorang pemuda bernama Cia Hui Song yang bukan hanya mampu menghindarkan diri dari sambaran pissu-pisau maut yang dilempar oleh Hui-to Cin-jin, akan tetapi bahkan sanggup menahan pukulan Kang-thouw Lo-mo yang amat kuat itu.

Mendengar ini, Siang Hwa merasa tertarik sekali, juga curiga. Jangan-jangan pemuda itu adalah mata-mata pihak musuh, pikirnya. Ia tahu bahwa gerakan gurunya mengumpulkan orang-orang kang-ouw dan niat hendak memberontak itu tentu telah terdengar oleh dunia persilatan dan bukan merupakan hal aneh kalau ada pihak yang akan menentangnya.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Ruangan yang menjadi tempat tidur itu tidak berapa luas dan keadaannya pun tidak dapat dibilang bagus, apa lagi mewah. Akan tetapi, jika orang melihat keadaan kuil yang sudah tidak dipakai dan rusak itu, dia akan merasa heran melihat betapa di dalam kuil kosong yang rusak itu ada sebuah kamar di dalamnya, kamar yang cukup teratur dan terawat.

Meski pun sederhana, kamar itu bersih dan berbau harum. Di dalam kamar itu hanya ada sebuah dipan kayu dan sebuah meja kayu. Satu-satunya hiasan hanyalah selembar tirai sutera yang juga dipergunakan sebagai penutup jendela yang sudah berlubang dan daun jendelanya rusak.

Inilah ruangan yang digunakan oleh Siang Hwa untuk menjadi kamar tidurnya, sementara dia bersembunyi di dalam kuil itu. Sesudah berhasil membuat Hui Song pingsan dan tidak berdaya kemudian menawannya, dia membawa pemuda itu ke dalam kamar dan setelah mendudukkan tubuh Hui Song ke atas pembaringan dan mengikat kedua tangan pemuda itu erat-erat, ia lalu menyadarkan Hui Song dengan usapan-usapan pada muka, terutama di depan hidungnya, menggunakan obat bubuk penawar racun yang membuat pemuda itu jatuh pingsan.

Tak lama kemudian, sadarlah Hui Song. Ia menggerakkan cuping hidungnya karena yang pertama terasa olehnya adalah keharuman yang menusuk hidungnya. Lalu dia membuka mata dan terbelalak menatap wajah manis yang berada demikian dekat dengan mukanya. Wajah cantik manis yang berbau harum, dengan sepasang mata setengah terpejam, bibir setengah terbuka, menantang dengan tahi lalat keeil di atas dagu.

Dia terkejut dan otomatis meronta, akan tetapi dia semakin kaget memperoleh kenyataan bahwa kedua lengannya tak dapat digerakkan, terbelenggu pada pergelangan tangannya. Kini dia pun teringat lantas alisnya berkerut, matanya menatap tajam wajah cantik yang amat dekat itu.

Siang Hwa juga merasa bahwa tawanannya telah sadar, maka ia membuka mata menatap sambil tersenyum dan semakin mendekat hingga tangannya menyentuh dada Hui Song. Pemuda itu bergidik saat jari-jari tangan halus itu menyentuh dadanya yang ternyata telah telanjang karena baju di bagian dadanya terbuka.

Jari-jari tangan itu bergerak halus seperti cecak merayap di sepanjang dadanya, membuat Hui Song merasa malu dan canggung, akan tetapi dia sama sekali tak mampu mengelak karena punggungnya bersandar pada kepala dipan dan sepasang lengannya tidak dapat digerakkan, Dia hanya dapat menarik kepalanya ke belakang untuk menjauhi muka manis yang begitu dekat sehingga napas gadis itu menyapu pipinya.

"Ehh...?! Kau... kau perempuan curang!" dia membentak, teringat bagaimana dia sampai tertawan oleh gadis ini.

"Kau... kau laki-laki yang gagah perkasa, seorang jantan perkasa yang mengagumkan hatiku..." Siang Hwa berbisik dan merangkul, mendekap dan membenamkan mukanya di dada yang bidang dan telanjang itu.

Sejenak mereka diam saja dan gadis itu dapat merasakan dan mendengar degup jantung yang sangat kuat dari balik dada itu, sedangkan Hui Song memejamkan kedua matanya. Seluruh tubuhnya tergetar oleh dekapan yang penuh gairah dan nafsu ini. Terasa olehnya betapa dari seluruh tubuh wanita ini bagaikan keluar hawa panas yang membakarnya dan dia pun terpaksa harus mengerahkan sinkang untuk melawan dorongan nafsu yang mulai timbul dalam benaknya.

Pengerahan sinkang ini menolongnya dan dia membuka mata. Pada saat itu dia melihat berkelebatnya bayangan orang di luar jendela! Nampak seorang wanita yang mengintai ke dalam! Penglihatan ini sungguh amat membantunya dan seketika itu pula kegelisahan serta kebimbangannya lenyap. Tidak, dia tidak boleh jatuh ke dalam rayuan gadis jalang ini!

"Pergilah kau, perempuan curang dan jalang!" dia membentak.

Siang Hwa tidak menjadi marah, melainkan memandang dengan sinar mata lembut dan sikap memikat. "Kalau aku menghendaki sejak tadi aku sudah membunuhmu. Akan tetapi tidak, sedikit pun aku tidak ingin membunuhmu, karena itu aku harus menggunakan siasat untuk mengalahkanmu tanpa melukaimu atau membunuh. Kau maafkanlah aku."

"Hemm, siapakah engkau dan mengapa engkau menawanku?"

"Aku... namaku Siang Hwa, Gui Siang Hwa, seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara. Aku ingin sekali bersahabat denganmu, akan tetapi engkau begitu gagah perkasa, tanpa menggunakan akal aku tidak akan dapat merobohkanmu. Engkau... yang bernama Cia Hui Song, bukan?"

Diam-diam pemuda itu terkejut. Kiranya wanita ini bukan saja lihai dan berbahaya, akan tetapi juga cerdik sekali. Dia sendiri belum mengenal gadis ini, bahkan menduga pun tidak dapat siapa gerangan gadis cantik ini, akan tetapi gadis ini sudah mengenal namanya.

"Engkau sudah mengenalku. Engkau tadi bilang ingin bersahabat dengan aku, akan tetapi engkau menyerangku, kemudian merobohkan aku dengan bubuk beracun dan kini malah menawanku, siapa mau percaya omonganmu?"

"Cia-taihiap, aku... begitu melihatmu, kemudian melihat kepandaianmu, aku... suka sekali kepadamu, aku... aku jatuh cinta dan aku ingin sekali bersahabat denganmu. Akan tetapi karena aku takut engkau akan memberontak dan tidak percaya kepadaku, maka terpaksa aku merobohkanmu secara itu dan kalau sekarang engkau berjanji mau menerima uluran tangan dan hatiku, aku tentu akan segera melepaskan ikatan kedua tanganmu..."

"Hemmm, apa yang kau maksudkan dengan uluran tangan dan hati itu?" Hui Song sudah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi dia masih asing dengan istilah-istilah tentang cinta dan memang dia belum berpengalaman tentang wanita.

Siang Hwa tersenyum, mendekat dan meraba lalu mengelus dada telanjang itu, dan dia mendekatkan mukanya, bibirnya bergerak hendak mencari dan mencium bibir pemuda itu. Hui Song terpaksa menarik kepalanya ke belakang dan terdengar gadis itu berbisik,

"Taihiap, uluran tangan dan hatiku adalah penyerahan seluruh jiwa ragaku kepadamu, aku cinta padamu, taihiap..." Dan Siang Hwa tiba-tiba saja mencium bibir Hui Song yang tidak dapat mengelak lagi.

"Perempuan hina tak tahu malu!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar jendela dan mendengar ini, tiba-tiba Siang Hwa melepaskan rangkulannya kemudian sekali meloncat dia sudah keluar dari dalam kamar itu.

Begitu dia tiba di luar kamar, seorang gadis yang manis menyambutnya dengan serangan sepasang pedang mengeluarkan sinar berkilat. Siang Hwa terkejut bukan main. Sebagai seorang ahli silat yang pandai, dia mengenal gerakan pedang yang sangat lihai, maka dia pun segera mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi gadis itu mendesaknya kembali dengan kilatan-kilatan sepasang pedang yang dimainkan secara cepat, indah dan berbahaya.

"Siapa engkau?" Siang Hwa membentak sambil meloncat mundur lagi ke ruangan depan kamarnya yang luas.

"Perempuan hina, aku adalah algojomu yang hendak mengakhiri kecabulanmu!" Gadis itu berteriak semakin marah dan penasaran melihat betapa semua serangannya tidak pernah berhasil. Dia lalu menerjang lagi ke depan dan sepasang pedang di kedua tangannya itu berkelebatan membentuk dua gulungan sinar yang berkilauan.

"Bagus! Ilmu pedangmu bagus juga!" Siang Hwa berseru.

Dan begitu tangan kanannya meraba pinggang, Siang Hwa telah mengeluarkan sebatang pedang yang kebiruan. Kiranya pedangnya itu terbuat dari baja yang tipis sekali, tipis dan lemas sehingga dapat disimpan di pinggang sebagai ikat pinggang! Kemudian, begitu dia mengelebatkan pedangnya, nampak sinar kebiruan.

"Trangg...! Cringg...!"

Gadis itu mengeluarkan seruan kaget. Dengan gerakan aneh dan cepat, pedang kebiruan itu telah menangkis dan begitu membentur sepasang pedangnya, dia merasa betapa dua tangannya kesemutan. Cepat dia meloncat ke belakang sambil terus memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya.

Terdengar Siang Hwa terkekeh. Sekarang dia pun membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang membuat gadis pemegang siang-kiam (sepasang pedang) itu menjadi repot untuk menangkis dan menghindarkan diri dari sambaran sinar biru yang amat lihai itu.

Mendengar suara gadis di luar kamar itu, Hui Song segera mengenalnya. Itulah suara Tan Siang Wi, sumoi-nya! Tentu saja dia segera merasa gelisah sekali karena dia tahu bahwa sumoi-nya bukanlah lawan Siang Hwa yang amat lihai itu. Dia berusaha melepaskan diri, akan tetapi pengaruh obat bius tadi masih melemaskannya dan tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya juga amat kuat.

Dia harus menanti sampai tenaganya pulih kembali akan tetapi saat itu sumoi-nya berada dalam bahaya maut. Dengan pendengarannya dia sudah mendengar suara berdencingan senjata pedang yang saling beradu dan dia pun dapat mengenal gerakan sumoi-nya yang kini mulai kacau dan terdesak, lebih banyak menangkis dari pada menyerang.

"Gui Siang Hwa, jangan celakai sumoi-ku...!" karena khawatir sumoi-nya celaka, akhirnya dia berteriak.

Terdengar suara ketawa merdu wanita itu disusul tangkisan-tangkisan yang menimbulkan suara berdenting. "Hi-hik, kiranya dia adalah sumoi-mu sendiri? Tentu saja aku tidak akan membunuhnya kalau begitu!" Dan suara ini disusul keluhan Tan Siang Wi lalu terdengar jatuhnya tubuh gadis Cin-ling-pai itu.

"Sumoi, awas bubuk beracun obat biusnya!" Kembali Hui Song berteriak dengan khawatir.

Akan tetapi sumoi-nya tidak menjawab dan suasana sudah menjadi sunyi. Yang terdengar hanyalah suara ketawa Siang Hwa dan tak lama kemudian wanita itu masuk lagi ke dalam kamar sambil mengempit tubuh Siang Wi yang sudah pingsan! Kiranya suara terjatuh tadi adalah robohnya Siang Wi terkena obat bius seperti yang pernah dialaminya tadi.

Sambil tersenyum kepada Hui Song, Siang Hwa berkata, "Lihat, jika tidak berat padamu, tentu dia sudah menjadi mayat. Cia-taihiap, dengan perbuatanku tidak membunuh engkau dan sumoi-mu, bukankah sudah cukup bukti bahwa aku ingin bersahabat denganmu?"

Hui Song maklum bahwa pada waktu itu, sebelum dia dapat membebaskan dirinya, maka keselamatan nyawanya serta nyawa sumoi-nya memang berada di tangan gadis lihai ini. "Baiklah, kalau memang benar engkau ingin bersahabat denganku, apa salahnya? Akan tetapi engkau tidak boleh memaksakan kehendakmu mengenai... mengenai cinta. Urusan seperti ini tidak boleh dipaksakan, sama sekali tidak boleh!"

Siang Hwa mengerutkan alisnya. Belum pernah atau jarang sekali ada pria yang menolak cintanya. Hampir semua pria yang disenanginya pasti menyambut cintanya dengan kedua tangan terbuka, sebagian kecil saja karena takut kepadanya dan sebagian besar karena memang mereka tergila-gila oleh kecantikannya.

Akan tetapi pemuda Cin-ling-pai ini, dan dia yakin benar bahwa tentu pemuda she Cia ini adalah pemuda Cin-ling-pai karena ia tadi mengenal beberapa macam gerakan dasar dari Cin-ling-pai, pemuda ini tidak tergila-gila kepadanya, juga sama sekali tidak takut biar pun sudah tertawan dan tidak berdaya! Belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini.

Pemuda gagah perkasa seperti ini selain sangat mengagumkan hatinya dan menjatuhkan hatinya seperti yang belum pernah dialaminya, juga dapat merupakan seorang sahabat dan sekutu yang sangat baik. Gurunya tentu akan girang sekali kalau bisa mendapatkan pembantu seperti Cia Hui Song ini dan mereka tentu akan memujinya sebagai seorang yang pandai menarik tenaga yang amat kuat sebagai sekutu.

Hatinya amat kecewa dan nafsu birahinya yang tadinya telah memuncak itu tiba-tiba saja menjadi menurun banyak. Baiklah, bagaimana pun juga, aku harus dapat memanfaatkan pertemuannya dengan pemuda istimewa ini. Jika tidak bisa menariknya sebagai kekasih, setidaknya untuk saat ini, biarlah dia menariknya sebagai sahabat dan sekutu. Bila sudah menjadi sahabat, dengan perlahan-lahan dia akan dapat merayunya dan dia masih penuh kepercayaan akan kemampuan dirinya dalam hal ini, bahkan hampir merasa yakin bahwa akhirnya pemuda ini akan roboh ke dalam pelukannya juga.

"Cia-taihiap, kau kira aku ini orang macam apakah? Aku tidak biasa memaksakan cinta, dan walau pun aku jatuh hati kepadamu dan mencintamu semenjak pertama kali bertemu, akan tetapi aku hanya berharap engkau akan dapat menerima uluran tangan dan hatiku, tapi aku tidak akan memaksamu. Baiklah, apakah engkau mau berjanji untuk bersahabat denganku?"

Hui Song juga bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis ini lihai dan berbahaya sekali, dan dia tidak dapat memilih dalam keadaan seperti itu. Dia sendiri sudah merasa betapa tenaganya sudah pulih dan dia merasa yakin bahwa kalau dia menghendaki, pada saat itu pun dia akan mampu mengerahkan tenaga dan membebaskan diri dari belenggu.

Akan tetapi, dengan adanya Siang Wi yang masih tak mampu bergerak, akan berbahaya sekali kalau dia melakukan hal itu. Wanita ini hanya minta kepadanya untuk bersahabat, apa salahnya?

"Baiklah, apa salahnya kalau kita bersahabat? Akan tetapi sikapmu tidak seperti hendak bersahabat. Engkau menawan aku dan sumoi..."

"Sabarlah, aku akan membebaskanmu. Dalam keadaan sekacau ini, bagaimana aku tahu bahwa kalian adalah orang baik-baik? Siapa tahu kalau-kalau kalian ini adalah mata-mata dari pihak pemberontak? Apa bila kau mau berjanji menjadi sahabatku dan membantuku dalam satu urusan, aku tentu akan membebaskan engkau dan juga sumoi-mu, dan minta maaf."

Diam-diam Hui Song merasa sangat heran. Wanita ini agaknya tahu pula akan rencana pemberontakan para datuk sesat. Akap tetapi hal ini pun tidaklah berapa aneh. Bukankah berita itu telah tersiar di dunia kang-ouw dan melihat kepandaiannya, wanita ini pun tentu seorang kang-ouw yang lihai dan sudah mendengar pula akan berita itu. Agaknya wanita ini menentang kaum pemberontak, akan tetapi dia harus yakin akan hal ini.....

"Nona, seorang dengan kepandaian seperti engkau ini mana mungkin takut akan segala kekacauan? Dan pemberontakan apa yang nona maksudkan?"

"Hemmm, tidak tahukah engkau bahwa kini ada rencana pemberontakan yang diatur oleh para datuk di dunia kang-ouw?"

Hui Song mengangguk. "Aku sudah mendengar. Bukan datuk kang-ouw, melainkan datuk kaum sesat, bahkan Cap-sha-kui ikut bersatu dan bersekutu dengan para datuk jahat dan dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis!" Hui Song memandang tajam untuk melihat reaksi pada wajah gadis itu.

"Ihh...!" Siang Hwa menarik muka kaget dan ngeri. "Sampai sedemikian jauh dan hebat? Kalau begitu, kerajaan sedang terancam bahaya!"

"Nona, engkau mempunyai kepandaian tinggi, lalu dengan adanya kenyataan ini apakah yang akan kau lakukan? Apakah engkau hendak bergabung dengan mereka yang akan memberontak itu?"

Muka Siang Hwa menjadi merah. Sesungguhnya mukanya merah karena malu dan tidak enak hati, akan tetapi Hui Song mengiranya merah karena marah sehingga diam-diam dia merasa girang dan menduga bahwa gadis ini bukan teman para pemberontak.

"Hemm, Cia-taihiap, apakah engkau juga ingin membantu Cap-sha-kui dan pemberontak-pemberontak itu?" Siang Hwa yang cerdik balas bertanya sambil menatap tajam.

Hui Song menggelengkan kepala. "Aku bukan penjahat dan bukan pula pemberontak, dan aku lebih suka menentang Cap-sha-kui dari pada menjadi sahabat mereka!"

"Bagus, kalau begitu kita sepaham!" Siang Hwa berkata dengan senyum lebar. "Tadinya aku meragukan apakah engkau dan sumoi-mu itu mata-mata pemberontak. Maafkan aku, kalau begitu aku harus membebaskanmu, taihiap." Berkata demikian, dia mendekat dan hendak melepaskan tali yang mengikat kedua pergelangan tangan Hui Song. Akan tetapi dia berhenti dan menatap wajah itu. "Tapi... kau belum berjanji untuk membantuku."

"Setelah kita menjadi sahabat, tentu saja aku akan membantumu, asal saja bukan untuk perkara kejahatan."

"Hemm, apakah engkau belum percaya padaku, taihiap? Aku bukan penjahat. Berjanjilah bahwa engkau akan membantuku, dan aku akan membebaskan kau dan sumoi-mu. Akan tetapi, sumoi-mu tidak boleh ikut serta."

"Mengapa?"

"Urusan itu adalah rahasia diriku sendiri, orang lain, kecuali engkau yang kuminta bantuan tidak boleh tahu."

Hui Song mengangguk, mengerti. Lagi pula, dia pun tidak senang apa bila sumoi-nya ikut mencampuri urusannya. Pertama, watak sumoi-nya itu amat angkuh dan keras sehingga di mana-mana akan mudah menimbulkan keributan dan permusuhan. Kedua, tingkat ilmu kepandaian sumoi-nya, walau pun secara umum dapat dianggap cukup lihai, akan tetapi belum boleh diandalkan apa bila bertemu dengan datuk-datuk sesat. Dan ke tiga, dia tahu betapa sumoi-nya mencintanya dan mengharapkan agar dia menjadi suaminya dan hal ini membuat dia merasa canggung dan tidak enak untuk berhadapan dengan gadis itu.

"Kalau begitu, sekarang juga aku akan membebaskanmu!" Siang Hwa mendekat tapi Hui Song tersenyum.

"Tidak perlu lagi, nona. Kalau aku mau, sejak tadi pun aku sudah bisa membebaskan diri sendiri." Berkata demikian, dia mengerahkan tenaga sinkang, disalurkan pada lengannya dan sekali kedua lengan itu bergerak merenggut, terdengar suara keras, dan belenggu itu pun putus-putus.

"Ihhh...!" Siang Hwa terkejut dan melompat ke belakang, meraba pinggang dan matanya terbelalak.

Akan tetapi Hui Song tersenyum. "Jangan kaget dan tidak perlu khawatir, nona. Aku tadi hanya ingin melihat apakah benar engkau berniat baik maka aku sengaja membiarkan diri terbelenggu."

"Aihh... engkau... benar-benar hebat, taihiap," kata Siang Hwa kagum. "Dan sekarang aku akan membebaskan sumoi-mu," Ia pun cepat menghampiri Siang Wi, menggunakan obat penawar racun bius tadi.

Tidak lama kemudian terdengar Siang Wi mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat gadis yang tadi merayu suheng-nya itu duduk berjongkok di dekatnya, segera Siang Wi mengeluarkan teriakan marah dan langsung saja dia mengirim pukulan-pukulan bertubi ke arah tubuh lawan yang amat dibencinya karena cemburu itu.

Siang Hwa meloncat ke belakang dan mengelak sambil menangkis beberapa kali. Setiap gerakannya amat diperhatikan oleh Hui Song dan pemuda ini diam-diam harus mengakui bahwa tingkat ilmu silat dari Gui Siang Hwa memang sangat tinggi, gerakannya cekatan, cepat sekali dan juga indah biar pun bersifat aneh dan liar. Mudah terlihat olehnya bahwa gerakan gadis itu jauh lebih lihai dari pada gerakan sumoi-nya dan kalau dilanjutkan, tentu sumoi-nya akan kalah walau pun Siang Hwa tidak mempergunakan racun bius.

"Sumoi, hentikan seranganmu!" bentak Hui Song.

Mendengar bentakan ini, Siang Wi menahan serangannya lantas membalik, memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak mengandung sinar marah penasaran. "Suheng, dia... dia... si wanita cabul ini, tak tahu malu dan patut dibunuh!"

"Sumoi, tenanglah. Nona Gui ini adalah orang segolongan, tadi hanya terjadi salah paham antara kami..."

"Tapi... tapi aku tadi melihat dengan mataku sendiri, mendengar dengan telingaku sendiri betapa dia telah menawanmu, dan merayumu secara tak tahu malu..."

"Sstt, sumoi. Sudahlah. Kukatakan tadi hanya salah paham. Kini kami sudah bersahabat, dan kami akan melakukan kerja sama untuk suatu urusan yang tak boleh diketahui orang lain. Oleh karena itu, kuminta agar engkau suka meninggalkan tempat ini sekarang juga. Kembalilah kau ke Cin-ling-san dan jangan ikuti aku lagi."

"Tapi... suheng..."

"Sudahlah, sumoi. Kau jangan banyak membantah. Ketahuilah bahwa kalau tidak berniat baik, kita berdua tadi sudah tewas di tangan nona Gui. Pergilah!"

Tan Siang Wi berdiri dengan muka pucat, kedua tangan dikepal dan kini kedua matanya mulai basah. Dia memandang kepada dua orang itu secara bergantian, tatapan matanya pada Siang Hwa penuh kebencian, tetapi sepasang matanya memancarkan permohonan dan kekecewaan kalau dia memandang suheng-nya.

"Suheng... haruskah aku pergi... Engkau mengusir aku begitu saja?"

Hui Song mengangguk. Ia tak ingin menyakiti hati sumoi-nya, akan tetapi mengingat akan watak sumoi-nya yang keras, dia harus bersikap tegas. Dia sudah berjanji kepada Siang Hwa dan dia tidak boleh melanggar janji itu.

Lagi pula, diam-diam dia menaruh hati curiga terhadap Siang Hwa dan ingin menyelidiki siapa sesungguhnya wanita ini dan peran apa yang dipegangnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu di balik diri wanita ini, karena seorang wanita selihai Siang Hwa tidak mungkin secara kebetulan saja bertemu dengan dia, mengajak bersahabat dan minta bantuannya untuk mengurus sesuatu yang rahasia.

"Sumoi, harap jangan banyak bicara lagi. Pergi dan kembalilah ke Cin-ling-san."

Kini beberapa tetes air mata jatuh menitik. "Suheng... engkau... selalu mengecewakan dan menyakiti hatiku..."

"Maafkan, sumoi..."

Akan tetapi Tan Siang Wi sudah menyambar sepasang pedangnya yang tadi jatuh di atas lantai ketika dia roboh pingsan, lantas berloncatan pergi meninggalkan tempat itu. Sunyi keadaan di dalam ruangan itu setelah Siang Wi pergi hingga akhirnya terdengar tarikan napas panjang dari Siang Hwa.

"Aihh... agaknya dengan kegantengan dan kegagahanmu engkau sudah ditakdirkan untuk menjatuhkan dan mengecewakan hati wanita, taihiap. Hari ini kulihat telah ada dua orang wanita yang menjadi korbanmu. Pertama adalah diriku sendiri, dan yang kedua adalah sumoi-mu tadi!"

Hui Song juga turut menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Siang Wi, sumoi-nya itu. Semenjak kecil sumoi-nya mencintanya dan cinta kanak-kanak itu makin lama semakin kuat dan akhirnya menjadi cinta kasih seorang wanita terhadap seorang pria, cinta kasih yang berharap untuk diikat dan dikukuhkan menjadi perjodohan suami isteri.

Dan dia tahu benar bahwa hatinya tidak mencinta sumoi-nya, biar pun dia sayang kepada sumoi-nya itu yang dianggap sebagai adik sendiri. Akan tetapi gadis di depannya ini? Dia belum mengenalnya benar dan tidak tahu apakah benar gadis ini cinta kepadanya seperti yang diakuinya. Dia harus bersikap hati-hati terhadap wanita ini.

"Maafkan aku kalau memang demikian halnya, nona. Akan tetapi semua itu terjadi tanpa kesengajaan dari pihakku, dan ingat, cinta tidak mungkin dapat dipaksakan."

Siang Hwa tersenyum pahit dan mengangguk-angguk, diam-diam dia semakin kagum dan membayangkan betapa akan nikmatnya kelak apa bila dia sampai berhasil membujuk pria ini menjadi kekasihnya dan berada di dalam dekapannya.

"Aku tidak menyalahkanmu, Cia-taihiap, hanya aku merasa kasihan kepada sumoi-mu itu yang agaknya mencintamu dengan amat mendalam."

"Nona, ingin sekali aku mengetahui bagaimana engkau dapat mengenal namaku?"

Mereka kini duduk berhadapan di atas dua buah bangku yang berada di dalam ruangan itu, terhalang sebuah meja kecil. Siang Hwa tersenyum. "Aku mendengar dari Ciang-tosu dan Ciong-hwesio yang menjadi teman-temanku dalam urusan yang kuminta bantuanmu ini."

Hui Song teringat akan dua orang kakek itu, maka dia pun tersenyum mengejek. "Wah, jangan-jangan dua orang kakek berpakaian tosu dan hwesio yang kejam itu, yang sudah membunuh empat orang muda di dalam restoran dan..."

"Memang betul mereka!" Siang Hwa berkata dengan sikap sungguh-sungguh. "Dan harap taihiap jangan mentertawakan dan salah sangka terhadap mereka! Mereka berdua adalah bekas-bekas tosu dan hwesio dan biar pun kini bukan lagi terikat agama, mereka sudah terbiasa memakai jubah seperti yang dahulu mereka pakai ketika masih menjadi pendeta. Sekarang mereka adalah pertapa-pertapa dan mereka juga turun ke dunia ramai hendak menentang kaum pemberontak."

"Ahh...!" Hui Song terheran dan juga kagum. "Akan tetapi mengapa mereka begitu kejam, menyebar maut di restoran, membunuh empat orang muda yang tidak berdosa?"

Gadis itu tersenyum, manis sekali kalau tersenyum, terutama karena tahi lalat kecil di atas dagu itu. "Orang-orang muda yang tidak berdosa? Taihiap tidak tahu..."

"Mungkin mereka melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanya berupa ejekan kepada mereka yang berpakaian pendeta, dan itu pun dilakukan dalam keadaan mabok."

"Taihiap sudah salah mengerti. Empat orang muda itu tidaklah sebersih itu, bukan seperti yang taihiap kira. Mereka adalah mata-mata kaum pemberontak yang menyamar sebagai pemuda-pemuda pemabokan dan kalau Ciang-tosu dan Ciong-hwesio tidak menggunakan pukulan beracun, mereka tentu tidak gampang dikalahkan dan tempat kami tentu sudah ketahuan, kemudian kami akan diserbu oleh para pemberontak."

Hui Song terbelalak heran, juga terkejut karena sungguh hal itu tidak pernah disangkanya sama sekali.

"Aku merasa gembira sekali bisa bersahabat dengan taihiap, apa lagi akan mendapatkan bantuanmu. Ketika kedua orang locianpwe itu memberi tahu kepadaku tentang diri taihiap, kami bertiga sudah mengambil kesimpulan bahwa tentunya engkau adalah seorang tokoh Cin-ling-pai dan ternyata dugaan kami benar seperti yang taihiap nyatakan sendiri ketika taihiap bicara dengan sumoi taihiap itu dan menyebut-nyebut Cin-ling-san."

"Memang aku adalah putera dari ketua Cin-ling-pai," kata Hui Song yang merasa tak ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya.

"Ahh...!" Gadis itu bangkit dan menjura. "Kalau begitu aku sudah berlaku kurang hormat dan maafkanlah kelancanganku, taihiap."

"Sudahlah, nona. Kedudukan dan nama takkan merubah keadaan seseorang. Sebaiknya nona ceritakan, urusan apakah itu yang membutuhkan bantuanku?"

"Urusan ini sangat penting dan merupakan rahasia, taihiap. Ketahuilah bahwa kami yang mewakili beberapa orang-orang kang-ouw di wilayah selatan, mengutus aku dan dibantu oleh dua orang locianpwe itu untuk menyelidiki sebuah harta karun."

"Hemm..." Hui Song termenung. Tak disangkanya sama sekali bahwa urusan itu hanyalah urusan menyelidiki dan mencari harta karun!

"Ini bukan sembarang harta karun, taihiap. Kalau engkau menyangka bahwa kami adalah orang-orang yang haus akan harta karun, engkau keliru! Ketahuilah bahwa kami mencari harta karun itu justru dalam usaha kami untuk menentang usaha para pemberontak. Para pemberontak itu akan menjadi kuat sekali kalau harta karun itu tidak kita dahului dan kita ambil."

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, nona."

"Begini, taihiap. Tempat di mana harta karun itu berada kini juga sedang diintai oleh para pemberontak. Kabarnya malah Raja dan Ratu Iblis sendiri juga mencarinya. Akan tetapi, kami lebih beruntung karena kami telah dapat menemukan tempat itu. Hanya saja tempat itu sukar didatangi, bahkan aku sudah kehilangan nyawa beberapa orang kawanku ketika mencoba untuk mencari harta karun di tempat itu."

"Ah, begitu berbahayakah? Apa yang menyebabkan bahaya itu?"

"Tempatnya sangat sukar dilalui dan tempat itu terkenal dengan nama Goa Iblis Neraka! Agaknya tempat itu memang sengaja dibuat agar tidak ada orang yang berani memasuki. Kabarnya dahulu dibuat oleh seorang tosu sakti yang mencuri harta karun dari kaisar lalim dan disimpan di tempat itu, dan disediakan untuk mereka yang akan menentang kaisar lalim di kemudian hari. Harta karun itu sudah hampir seribu tahun umurnya dan sampai kini belum juga ada yang berhasil menemukannya."

"Kalau demikian sukarnya, kenapa engkau minta bantuanku? Kalau orang seperti engkau dan teman-temanmu tidak sanggup, mana mungkin aku akan bisa membantumu?"

"Begini, taihiap. Di antara kami hanya aku seorang yang mampu menyeberangi jembatan batu pedang. Kedua locianpwe itu pun hanya sanggup maju belasan meter saja. Dan aku telah menyeberangi jembatan batu pedang itu, akan tetapi selanjutnya aku tidak sanggup menggerakkan batu penutup lubang di sebelah dalam. Aku membutuhkan bantuan orang yang mempunyai ginkang dan sinkang yang melebihi aku dan ternyata engkau amat lihai, jauh melampaui tingkatku dan..."

"Dan dengan mudah aku yang lebih lihai ini tertawan olehmu!" Hui Song mengejek

Siang Hwa lantas tertawa. "Aih, engkau sakit hati benarkah, taihiap? Sudahlah, biar aku mengaku bahwa aku telah bertindak curang dan maafkanlah aku. Nah, rahasia itu sudah kuceritakan dan kalau engkau membantu kami, maka hal itu berarti bahwa engkau sudah menentang para pemberontak. Kalau kelak kita berhasil, berarti kita telah memukul para pemberontak dan melumpuhkan setengah dari kekuatan mereka!"

Tentu saja Hui Song tertarik sekali. Biar pun dua orang kakek itu dianggapnya kejam, dan ternyata tidak dapat dinamakan kejam pula jika empat orang muda itu adalah mata-mata pemberontak, dan biar pun gadis ini pernah bersikap tidak menyenangkan hatinya, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yang menentang pemberontak yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, berarti masih rekan sendiri dalam usahanya menentang para pemberontak.

"Baik, kapan kita berangkat ke sana?"

"Sekarang juga, taihiap."

"Baik, mari kita berangkat, namun lebih dahulu singgah di rumah penginapan karena aku hendak mengambil buntalan pakaianku."

Wanita itu tertawa, pergi ke sebelah kamar dan kembali membawa sebuah buntalan yang terisi semua pakaian Hui Song yang tadi ditinggalkan di dalam kamar rumah penginapan itu.

"Ehh? Bagaimana... kapan..."

"Taihiap, ketika aku mendengar dari kedua locianpwe tentang dirimu, aku merasa tertarik sekali. Aku lalu pergi ke rumah penginapan itu, dan diam-diam memasuki kamarmu. Tapi ternyata engkau tidak ada, maka aku lalu mengambil pakaianmu, kubawa ke sini karena aku bermaksud hendak mencarimu sampai dapat. Ketika kulihat engkau berada di balik pohon, aku segera menyimpan pakaian ini, lalu aku pergi lagi untuk muncul berlarian di atas genteng agar nampak olehmu dan selanjutnya kita bertanding..." Ia terkekeh lirih dan menutupi mulut, gayanya manis sekali. Wajah Hui Song menjadi kemerahan.

"Sudahlah, mari kita pergi."

"Pakaianmu biar disimpan di sini dulu."

Berangkatlah mereka berdua, seperti dua sahabat lama, meninggalkan kuil tua itu setelah Siang Hwa memadamkan penerangan dan menutupkan pintu kamar sederhana itu. Dari luar, kuil itu nampak sunyi dan menyeramkan.

Mereka melakukan perjalanan cepat keluar dusun menuju arah timur. Pada pagi harinya, setelah melakukan perjalanan beberapa jam lamanya, mereka tiba di kaki bukit dan di luar sebuah hutan telah menanti dua orang yang dari jauh sudah dikenal oleh Hui Song, yaitu dua orang kakek yang pernah bertanding dengan dia, si tosu tinggi kurus dan si hwesio gendut!

Kedua orang kakek itu nampak terkejut melihat Hui Song, akan tetapi Siang Hwa segera tersenyum dan memperkenalkan.

"Ji-wi locianpwe jangan khawatir. Cia-tai-hiap sudah menjadi sahabat kita yang sehaluan dan sudah kujelaskan semua tentang ji-wi kepadanya. Cia-taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai dan agaknya dialah yang mempunyai kemampuan untuk membuat usaha kita berhasil."

Kini dua orang itu sikapnya berbeda dengan ketika pertama kali berjumpa dengan Hui Song. Mendengar ucapan Siang Hwa, mereka segera menjura kepada Hui Song dengan sikap hormat dan ramah.

"Cia-taihiap, maafkan kami yang sudah bersikap tidak patut kepadamu," kata Ciang-tosu yang sebenarnya adalah Hui-to Cin-jin, seorang di antara Cap-sha-kui yang belum pernah dikenal Hui Song.

"Ha-ha-ha, peribahasa kuno yang mengatakan bahwa Tidak Berkelahi Maka Tidak Kenal ternyata benar! Cia-taihiap, kita sudah saling bertanding, maka saling mengenal isi perut masing-masing! Ha-ha-ha!" Ciong hwesio yang sesungguhnya adalah Kang-thouw Lo-mo juga berkata.

"Cia-taihiap, harap kau maafkan. Ciang-tosu memang selalu serius dan sebaliknya Ciong-hwesio senang bergurau!" Siang Hwa cepat berkata untuk memberi isyarat kepada kedua orang temannya bahwa ia memperkenalkan mereka kepada Hui Song sebagai Ciang-tosu dan Ciong-hwesio.

"Siancai... memperoleh seorang pembantu seperti Cia-taihiap sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar!" kata Ciang-tosu.

"Omitohud, sungguh pinceng yang tidak becus sehingga merepotkan saja kepada putera ketua Cin-ling-pai," kata pula Ciong-hwesio.

Lalu berangkatlah empat orang itu melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan itu dilakukan secara cepat dan setelah mereka melewati dan menyeberangi Sungai Ching-ho, tibalah mereka di kaki Pegunungan Lu-liang-san yang amat luas itu. Perjalanan sampai ke situ sudah memakan waktu lima hari dan selama lima hari itu, Siang Hwa dan dua orang kakek itu selalu bersikap ramah dan sopan sehingga keraguan dan kecurigaan hati Hui Song semakin menipis.

Gadis itu memang seorang pendekar wanita, pikirnya, tetapi agaknya memiliki kelemahan terhadap lelaki yang menarik hatinya. Ataukah gadis ini memang benar-benar jatuh cinta kepadanya?

Di sepanjang perjalanan Siang Hwa tidak menunjukkan sikap genit. Bujuk rayu yang amat berani, yang dilakukan ketika Hui Song tertawan itu, kini sama sekali tak nampak lagi dan dia hanya kelihatan sangat memperhatikan Hui Song dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, seperti biasanya seorang wanita yang jatuh cinta.

Setelah melewatkan malam di kaki bukit, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat lagi, sekali ini memasuki hutan dan melalui jalan yang amat sukar, naik turun bukit dan jurang, melalui jalan liar berbatu-batu yang runcing dan tajam.

Jelas bahwa orang biasa akan kesulitan melalui jalan seperti itu, dan kalau pun ada orang pandai yang sanggup, untuk apa mereka bersusah payah mendatangi tempat ini? Tanpa tujuan penting, kiranya tak akan ada orang begitu gila untuk menyusahkan diri memasuki daerah yang liar dan sukar dilalui ini.

Setelah matahari naik tinggi, di bawah pimpinan Ciang-tosu yang agaknya mengenal baik jalan liar itu, maka tibalah mereka di daerah berbukit-bukit dan mereka berhenti di depan sebuah bukit yang dikelilingi jurang. Hui Song terbelalak kagum. Bukit ini seperti sebuah rumah besar saja, dan pintunya adalah sebuah goa yang besar.

Agaknya goa ini dahulunya ditutup dengan pintu batu yang amat besar. Akan tetapi pintu batu itu kini sudah terbuka miring dan pada pintu batu yang amat tebal dan beratnya tentu ribuan kati itu terdapat ukiran tulisan tiga huruf yang berbunyi,

GOA IBLIS NERAKA.

Sungguh amat indah, megah namun juga menyeramkan. Siapakah orangnya yang sudah mampu membuat pintu batu seperti itu dan siapa pula yang kuat membukanya? Apa bila mempergunakan tenaga manusia biasa, sedikitnya membutuhkan lima puluh orang yang menggabungkan tenaganya.

Dan goa yang sudah terbuka itu nampak begitu luas, seakan-akan bukan goa melainkan sebuah pintu tembusan menuju ke sebuah dunia yang lain lagi, dunia yang penuh dengan batu-batu raksasa yang bentuknya aneh-aneh, seperti diukir saja. Ataukah ini merupakan istana besar yang dihuni setan?

Empat orang itu begitu terpesona dan asyik memandang ke dalam, berdiri seperti patung-patung di depan goa yang pintunya terbuka itu sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi, sebelum mereka tiba di tempat itu, jauh tinggi di atas pohon terdapat seorang gadis yang mendekam di atas dahan dan bersembunyi di balik daun-daun lebat, mengintai ke arah mereka! Seorang gadis manis yang cantik jelita, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah periang dan bermata kocak, berpakaian sederhana.

Kalau saja Hui Song dapat melihat gadis itu, tentu dia akan berteriak kegirangan karena dara itu adalah wanita yang selama ini selalu terbayang olehnya, dibawa ke dalam mimpi, dan tak pernah dilupakannya. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!

"Sebaiknya kita masuk sekarang saja sebelum gelap," kata Ciang-tosu atau Hui-to Cin-jin sambil menunjuk ke dalam dengan tangan kirinya.

"Mari, taihiap, kita masuk, biar aku yang menjadi penunjuk jalan karena aku yang sudah beberapa kali pernah masuk ke sini!" kata Siang Hwa.

Hui Song yang sudah tertarik sekali mengangguk. Mereka berempat lalu masuk ke dalam goa, Siang Hwa dan Hui Song di depan, diikuti oleh dua orang kakek itu. Setelah mereka berempat masuk, Sui Cin dari atas "Melayang ke bawah. Ya, gerakannya itu mirip seperti seekor burung melayang saja, demikian ringan dan cepatnya.

Ternyata gadis ini sudah jauh berbeda dengan Sui Cin tiga tahun yang lalu. Gerakannya sungguh luar biasa karena dia sudah benar-benar menguasai ilmu Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) dengan baik. Dengan gerakan yang amat sigap, dia pun turut menyelinap masuk ke dalam goa di sebelah sana pintu. Dan ternyata pada bagian dalam itu merupakan daerah yang luas dan berbatu-batu sehingga memudahkan gadis ini untuk menyelinap di antara batu-batu, bersembunyi dan terus membayangi empat orang yang berloncatan di sebelah depan.

Setelah melalui perjalanan berliku-liku di antara batu-batu besar, empat orang itu berhenti di depan terowongan dan memandang ke depan.

"Inilah jembatan batu pedang itu!" kata Siang Hwa dan Hui Song memandang terbelalak ke depan.

Hebat memang. Bukan sebuah jembatan, melainkan lorong yang penuh dengan batu-batu meruncing seperti dibuat oleh tangan manusia sakti saja. Lorong itu begitu penuh dengan batu-batu meruncing ini sehingga untuk melewati lorong itu, satu-satunya jalan haruslah berloncatan dari batu ke batu, di atas ujung-ujung batu runcing laksana pedang itu! Dan untuk mengerjakan ini bukanlah hal yang mudah sebab membutuhkan ginkang yang telah matang sekaligus juga tenaga sinkang yang kuat.

"Nah, di tempat inilah semua teman mogok. Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah pernah mencoba, akan tetapi mereka hanya sampai beberapa meter saja. Aku sendiri sudah tiga kali melewati jembatan ini dengan hasil baik, akan tetapi selanjutnya aku tak sanggup lagi. Di sebelah depan sana terlalu berbahaya dan sukar," Siang Hwa menerangkan.

"Apakah kesukarannya?" Hui Song bertanya.

"Menuturkannya hanya membuang-buang waktu saja dan tidak ada gunanya. Marilah kita melewati jembatan ini dulu, di depan engkau akan dapat melihatnya sendiri, taihiap. Mulai dari sinilah aku memerlukan bantuan seorang seperti engkau maka selanjutnya engkaulah yang memimpin karena kepandaianmu jauh lebih lihai dan dapat dipercaya dari pada aku sendiri."

"Nanti dulu, nona. Selama beberapa hari aku terus mengikutimu dan membantumu tanpa banyak bertanya. Sekarang kita telah tiba di tempat ini dan kukira aku berhak mengetahui segala sesuatu tentang pekerjaan yang kita lakukan. Tempat apakah ini sebenarnya dan harta pusaka itu milik siapakah? Bagaimana pun juga, aku tidak akan mau membantu jika terdapat kenyataan bahwa kita sedang melakukan pencurian atau perampasan."

Mendengar ini, Siang Hwa dan dua orang kakek itu saling pandang dan nampak keraguan pada pandang mata dua orang kakek itu. Akan tetapi Siang Hwa lalu mengangguk dan berkata, "Memang sudah sepatutnya kalau taihiap mengetahuinya, dan orang yang lebih mengetahuinya mengenai harta pusaka itu adalah Ciang-tosu." Dan dia menoleh kepada kakek berpakaian tosu itu. "Ciang-locianpwe, Cia-taihiap adalah orang satu golongan dan satu haluan, tiada salahnya kalau mendengar tentang harta pusaka ini. Harap locianpwe suka menjelaskannya."

"Siancai, sebenarnya cerita mengenai harta pusaka ini merupakan rahasia besar, tadinya rahasia keluarga pinto, kini menjadi rahasia kita yang menentang pemberontakan. Akan tetapi karena Cia-taihiap, biarlah pinto membuka rahasia dan menceritakannya."

Kakek yang berlagak seperti pendeta beragama To itu mulai bercerita. Kiranya dia adalah keturunan Bangsa Mongol, bahkan nenek moyangnya pada hampir dua ratus tahun yang lalu merupakan pejabat tinggi atau ningrat dalam Kerajaan Goan yang berbangsa Mongol.

Asmara Berdarah Jilid 17

DIAM-DIAM Hui Song mencela empat orang pemuda mabok-mabokan yang tidak tahu diri ini, tidak mengenal gelagat berani sekali menyinggung dua orang kakek yang sama sekali tidak pernah mengganggu mereka itu. Maka dia khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu marah.

Akan tetapi dari kerling matanya dia dapat melihat bahwa dua orang kakek itu diam saja, seolah-olah tak mendengar percakapan lantang itu dan melanjutkan makan minum tanpa memberi komentar, bahkan sedikit pun juga tak menoleh ke arah meja empat orang yang menyindir mereka itu.

Agaknya sekarang mereka telah selesai makan. Keduanya bangkit berdiri dan membayar harga hidangan kemudian melangkah keluar. Ketika mereka berjalan menuju keluar pintu, mereka melewati meja Hui Song.

Tiba-tiba pemuda itu terkejut bukan main karena ketika dua orang itu lewat, dia merasa ada dua hawa yang sangat berlainan. Si jangkung berjalan di depan dan ketika dia lewat, Hui Song merasakan hawa yang amat panas lewat pula, sebaliknya ketika si gendut yang lewat, ada hawa yang amat dingin. Akan tetapi Hui Song belum menduga buruk, dan dua orang itu kini lewat di dekat meja empat orang muda yang masih bercakap-cakap dengan asyik dan melirik ke arah dua orang kakek itu dengan mulut menyeringai penuh ejekan.

Tidak terjadi sesuatu dan kedua orang kakek itu pun tidak kelihatan bergerak melakukan serangan. Akan tetapi setelah tiba di ambang pintu, mereka menoleh dan tiba-tiba empat orang pemuda itu mengeluarkan teriakan-teriakan kesakitan lantas mereka pun terguling roboh, bahkan kursi-kursi mereka juga terbawa roboh.

Dan semua tamu tentu saja memandang terbelalak melihat betapa empat orang muda itu berkelojotan dengan mata mendelik. Dari mata, hidung, mulut serta telinga mereka keluar darah! Karena tidak menaruh curiga, tidak seorang pun di antara para tamu itu menoleh kepada dua orang kakek. Akan tetapi Hui Song memandang kepada mereka dan melihat betapa kedua kakek itu melepas senyum keji lalu mereka membalik dan terus melangkah lebar keluar dari rumah makan itu.

Hui Song cepat bangkit dari kursinya setelah meninggalkan harga makanan di atas meja. Pada saat melewati empat orang yang kini sudah tidak bergerak lagi dan sudah tewas itu, tanpa memeriksa tahulah dia bahwa empat orang itu tewas karena pukulan beracun atau senjata gelap beracun, maka dia pun langsung saja mengejar keluar. Dia celingukan dan akhirnya dia dapat melihat bayangan dua orang yang dicarinya itu, sudah jauh di depan, mendekati pintu gerbang dusun Lok-cun. Dia pun cepat melakukan pengejaran.

Tepat seperti yang sudah diduganya, dua orang kakek itu ternyata lihai. Begitu tiba di luar dusun, mereka berdua segera berkelebat dan berlari cepat sekali, bagaikan terbang saja! Akan tetapi Hui Song adalah seorang pendekar muda gemblengan yang sudah mewarisi bermacam ilmu yang hebat-hebat.

Apa lagi selama tiga tahun dilatih oleh Si Dewa Kipas, dia sudah memperoleh kemajuan pesat dan latihan beban besi pada kedua kakinya kini sudah membuat ginkang-nya juga memperoleh kemajuan. Ketika dia meloncat dan berlari, tubuhnya sangat ringan dan dia pun dapat berlari amat cepatnya melakukan pengejaran.

Dua orang kakek itu agaknya maklum bahwa ada orang yang mengejar, karena mereka itu tiba-tiba membelok memasuki hutan dan gerakan lari mereka semakin cepat. Hui Song terus mengejar dan akhirnya, karena makin lama jarak di antara mereka semakin dekat, tiba-tiba dua orang yang merasa tidak akan dapat melepaskan diri dari pengejarannya itu, berhenti di sebuah tempat terbuka yang merupakan padang rumput kecil di antara hutan di lereng bukit itu. Mereka berdiri tegak dan mengambil sikap menantang, juga sinar mata mereka membayangkan kemarahan.

Begitu Hui Song tiba di depan mereka, kedua orang kakek itu memandang dengan penuh selidik, kemudian si jangkung yang mukanya kelihatan kering dan galak itu menegur,

"Orang muda, siapakah engkau dan kenapa engkau mengikuti dan mengejar kami?"

Hui Song maklum bahwa dia sedang berhadapan dengan dua orang pandai. Dia tak mau bersikap sembrono sebelum mengenal mereka dan tahu mengapa mereka membunuh orang-orang sedemikian mudah dan kejinya, maka dia pun menjura dengan hormat.

"Harap ji-wi locianpwe suka memaafkan jika aku bersikap kurang hormat dan melakukan pengejaran. Secara kebetulan aku melihat ji-wi melakukan pembunuhan di dalam restoran terhadap empat orang itu..."

"Hemm, engkau yakin bahwa kami yang membunuh mereka?" tanya si gendut.

"Pembunuhan itu dilakukan dengan serangan beracun dan kiranya hanya ji-wi yang dapat melakukan serangan seperti itu. Mengapa ji-wi membunuh mereka?"

Kedua orang kakek itu saling pandang, nampaknya terkejut melihat betapa pemuda yang pandai berlari cepat ini ternyata bermata tajam. Si jangkung lalu menarik napas panjang dan berkata dengan nada suara menantang,

"Baik, memang kami yang membunuh mereka. Habis, kau mau apa? Siapa engkau?"

Hui Song mulai mengerutkan alisnya. Jawaban dua orang ini sungguh merupakan sebuah tantangan dan sikap mereka bukan seperti sikap orang baik-baik. Akan tetapi dia masih tersenyum dan menjawab, "Namaku Cia Hui Song dan kalau benar ji-wi yang membunuh mereka, aku ingin sekali mengetahui mengapa ji-wi melakukan pembunuhan sedemikian keji. Apakah hanya karena ucapan yang mereka keluarkan di restoran itu?"

"Ha-ha-ha, engkau sudah tahu akan tetapi masih juga bertanya. Telingamu sendiri tentu sudah menangkap penghinaan mereka yang ditujukan kepada kami," kata si gendut dan perutnya bergerak aneh, seperti ada seekor kelinci besar yang hidup di dalam perutnya dan kini berlari ke sana-sini. Melihat ini, Hui Song terkejut. Si gendut ini memiliki sinkang yang amat kuat, pikirnya.

"Jika karena ocehan orang-orang yang mabok saja membuat ji-wi demikian ringan tangan membunuh orang, sekaligus empat nyawa, sungguh aku tidak dapat menerimanya begitu saja," katanya dan sinar matanya mencorong menyambar ke arah wajah dua orang kakek itu yang kelihatan terkejut sekali.

Baru sekarang mereka melihat betapa sepasang mata pemuda itu mencorong seperti itu, juga mereka berpikir-pikir mendengar nama keturunan Cia itu, diam-diam menduga-duga apakah pemuda ini ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai yang juga she Cia.

"Bagus, bagus! Engkau orang muda yang bernyali besar! Kami sudah membunuh empat orang lancang mulut dan kurang ajar itu. Nah, jika engkau tak dapat menerimanya, habis engkau mau apa?" si jangkung menantang lagi sambil bertolak pinggang di sebelah dalam jubahnya dengan cara menyisipkan tangannya ke dalam jubah. Hui Song yang bermata tajam melihat gerakan tak wajar ini dan dia sudah bersikap waspada dan siap siaga.

"Sebagai pembunuh-pembunuh ji-wi harus ikut bersamaku untuk menyerahkan diri kepada petugas keamanan. Kejahatan yang ji-wi lakukan harus diadili."

Dua orang itu saling pandang kemudian tertawa bergelak. "Ha-ha-ha!" Si gendut berkata. "Engkau ini seperti seekor burung yang baru turun dari sarang dan belajar terbang, tidak mengenal peraturan kang-ouw. Bagi kami, hukum berada di tangan kami sendiri. Siapa bersalah terhadap kami akan kami hukum sendiri dan tidak ada pengadilan yang boleh mengadili kami!"

Tentu saja Hui Song sudah mengenal kehidupan dunia kang-ouw yang tidak mengenal hukum pemerintah itu. "Karena itulah maka aku harus menentang kejahatan yang tidak diadili. Ji-wi membunuh orang yang tidak berdosa, tidak mungkin dapat dilepaskan begitu saja tanpa hukuman..."

Tiba-tiba tangan kiri yang tadinya menyusup ke balik jubah itu bergerak. Hui Song cepat meloncat ke samping, membiarkan tiga cahaya menyambar lewat. Itulah pisau-pisau kecil yang menyambar cepat sekali. Dari bau amis yang tercium olehnya ketika pisau-pisau itu lewat, tahulah dia bahwa senjata-senjata rahasia itu beracun.

Akan tetapi yang telah mencabut nyawa empat orang di dalam restoran itu bukan senjata seperti ini, melainkan lebih kecil lagi atau bahkan mungkin juga hanya pukulan jarak jauh yang mengandung racun.

"Kau bocah yang bosan hidup!" melihat pemuda itu dapat menghindarkan serangan gelap kawannya, si gendut segera membentak dan dua tangannya bergerak ke depan, dengan jari-jari terbuka dia memukul dengan gerakan mendorong ke arah dada Hui Song.

Angin pukulan dahsyat menyambar ke depan sambil mengeluarkan hawa dingin! Hui Song mengenal pukulan ampuh yang mengandung sinkang kuat, maka dia pun mengerahkan tenaga dan menyambut dengan kedua tangan pula.

"Syuuuttt...! Dukkk...!"

Dua tenaga dahsyat bertemu di udara dan biar pun tangan mereka belum bersentuhan, masih dalam jarak beberapa senti, akan tetapi benturan tenaga sinkang dahsyat itu sudah memperlihatkan akibatnya. Tubuh si gendut langsung terpental ke belakang dan Hui Song tetap tegak walau pun tubuhnya terguncang hebat.

Dua orang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran, dan mereka pun melompat lantas melarikan diri! Hui Song tidak mau mengejar. Dia maklum bahwa dua orang kakek itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amatlah berbahaya mengejar dua orang selihai itu padahal mereka telah melarikan diri dan agaknya tidak menginginkan permusuhan dengan dirinya.

Bagaimana pun juga empat orang itu telah tewas, sementara dia bukan seorang petugas keamanan. Andai kata empat orang itu belum tewas dan berada dalam ancaman bahaya, sudah menjadi tugasnya untuk melindungi mereka. Akan tetapi mereka telah tewas akibat kelancangan mulut mereks sendiri.

Sambil menduga-duga siapa adanya dua orang kakek yang seperti pendeta akan tetapi mempunyai watak yang kejamnya seperti iblis itu, mudah membunuh orang hanya karena urusan amat kecil, dia lalu kembali memasuki dusun Lok-cun. Matahari sudah condong ke barat ketika dia memasuki dusun dan menuju ke rumah penginapan di mana dia sudah menyewa sebuah kamar.

Bagaimana pun juga, hati Hui Song tertarik sekali dengan keadaan dusun ini. Dusun yang sesungguhnya kecil saja akan tetapi cukup ramai karena di sekitar bukit itu terdapat bukit yang menghasilkan banyak rempah-rempah sehingga penduduknya cukup makmur. Yang menarik hatinya adalah munculnya dua orang kakek itu di tempat kecil seperti ini.

Sesudah mandi dan makan malam, dia mencari keterangan dari pelayan penginapan itu tentang keadaan dusun dan terutama sekali dia menyelidiki apakah di tempat itu terdapat kuilnya mengingat bahwa dua orang kakek itu berpakaian seperti pendeta.

"Dahulu memang terdapat sebuah kuil di pinggir dusun sebelah selatan," pelayan itu lalu menerangkan, "akan tetapi semenjak empat lima tahun ini, kuil itu kosong, bahkan tak ada orang yang berani mendekati, terutama sekali pada waktu malam hari."

"Ehh, kenapa?" Hui Song bertanya.

"Karena... tempat itu angker, ada setannya."

"Hemmm, benarkah itu? Ada setannya bagaimana dan mengapa kuil itu ditinggalkan? Ke mana perginya para pendetanya?"

"Kuil itu dahulu adalah cabang kuil Kwan Im Po-sat yang diurus oleh lima orang nikouw, yaitu seorang nikouw tua beserta empat orang muridnya yang usianya kira-kira tiga puluh tahun. Akan tetapi, pada suatu malam terdengar jeritan-jeritan dari kuil itu dan pada esok harinya, kami para penduduk melihat mereka berlima sudah tewas dalam keadaan yang sangat mengerikan!" Pelayan itu bergidik dan kelihatan ketakutan.

"Bagaimana? Terbunuhkah?"

"Mereka terbunuh... dan agaknya iblis-iblis saja yang mampu melakukan pembunuhan itu. Kepala mereka berubah hitam membengkak dan empat orang nikouw muda itu semuanya telanjang bulat."

Hui Song mengerutkan alisnya. Bukan iblis, pikirnya, melainkan orang atau orang-orang yang amat kejam dan jahat, dan bukan tidak mungkin kalau empat orang nikouw muda itu diperkosa penjahat sebelum mereka dibunuh.

"Dan semenjak peristiwa itu, kuil itu dibiarkan kosong dan seperti keteranganmu tadi, kini kuil itu ada setannya? Bagaimana pula itu?"

Pelayan itu mengangguk-angguk. "Para penduduk mengurus jenazah mereka, dan sejak hari itu juga kuil dibiarkan kosong dan tidak ada yang berani tinggal, bahkan mendekati pun tak berani, apa lagi di waktu malam. Sering terdengar suara-suara aneh dan nampak bayangan-bayangan setan di sekitar kuil itu. Bahkan ada beberapa orang pemberani yang mengumpulkan tenaga sebanyak sepuluh orang pernah tidur di sana untuk membuktikan dan mereka semua tertidur pulas atau pingsan tetapi tahu-tahu tubuh mereka digantung di atas pohon, dengan kaki di atas dan kepala di bawah!"

"Mati...?" tanya Hui Song kaget.

"Tidak, hanya pingsan. Akan tetapi tentu saja hal itu membuat kami semua menjadi makin takut dan sejak itu tidak ada orang berani mencoba-coba mendekati kuil di waktu malam, apa lagi tidur di situ."

Mendengar keterangan ini, Hui Song makin tertarik. Hampir yakin hatinya bahwa tempat itu tentu menjadi tempat yang sangat baik bagi orang-orang jahat untuk menyembunyikan diri mereka. Dan dia teringat akan dua orang kakek siang tadi. Bukan tidak mungkin kalau mereka itu pun mempergunakan tempat yang ditakuti orang itu untuk bersembunyi atau setidaknya melewatkan malam.

Malam itu Hui Song keluar dari penginapan dan berjalan menuju ke selatan. Setelah tiba di depan kuil, dia melihat bahwa tempat itu memang terpencil dan sunyi. Gelap sekali di situ, dan kuil itu nampak sunyi kosong dan menyeramkan.

Pohon-pohon besar yang tumbuh di depan dan kanan kiri kuil itu menambah keseraman. Batang-batang pohon itu nampak kehitaman dan cabang serta ranting-ranting yang belum lebat menutupi sebagian genteng kuil yang nampak masih kokoh akan tetapi kotor tidak terpelihara itu.

Memang sebuah tempat yang amat sunyi, juga menyeramkan apa lagi kalau mengandung cerita tentang setan-setan. Baru teringat akan kematian lima orang nikouw itu saja sudah mendatangkan kengerian, apa lagi telah terjadi keanehan pada sepuluh orang pemberani yang pernah tidur di sana. Di pohon-pohon itukah mereka kedapatan tergantung dengan kepala di bawah?

Hui Song mengayun tubuhnya, meloncat ke atas pohon dan mengintai. Sampai beberapa lama dia mengintai dengan bersembunyi di atas cabang, di balik daun-daun lebat. Namun tak nampak sesuatu dan tidak terdengar sesuatu dari dalam kuil. Ketika dia memandang dari atas ke arah empat penjuru, nampak kelap-kelip sinar lampu rumah-rumah agak jauh dari kuil, sedangkan di kuil dan sekelilingnya sunyi saja, sunyi dan gelap.

Malam makin larut dan kini nampak bulan sepotong tersembul naik dari awan-awan gelap yang tadi menutupinya. Awan-awan terakhir meninggalkannya sehingga kini cahaya bulan menerangi pohon dan genteng kuil, cukup terang bagi Hui Song sehingga dia bisa melihat berkelebatnya bayangan orang! Bukan setan, melainkan orang!

Kalau ada penduduk dusun yang kebetulan melihat bayangan itu, tentu akan menyangka bahwa itu adalah bayangan setan karena memang bayangan itu berkelebat dengan amat cepatnya, akan sukar dlikuti oleh pandang mata orang biasa. Kini dia tidak merasa heran kalau muncul cerita tentang setan yang berkeliaran di sekitar kuil itu.

Hui Song melihat seorang gadis cantik berdiri di atas wuwungan kuil, setelah tadi gadis itu menjadi bayangan berkelebatan di bawah, kemudian dengan ringan sekali melayang naik. Dan dia pun terkejut dan terheran sekali.

Dia mengenal gadis ini! Bukan lain adalah gadis penunggang kuda yang tadi melewatinya di luar dusun ketika dia akan memasuki dusun Lok-cun. Kini dia tidak menunggang kuda, melainkan berlompatan dengan gesit dan ringan. Namun pakaian yang dipakainya masih seperti tadi. Gadis yang sederhana akan tetapi manis sekali.

Karena kaget tadi, dan karena ingin memandang lebih jelas, Hui Song membuat gerakan sehingga ranting-ranting dari cabang yang diinjaknya bergoyang lantas daun-daunnya ikut pula bergoyang. Sedikit saja, seperti goyangan angin, namun cukup bagi wanita itu yang segera memandang ke sekeliling untuk dapat melihat ketidak wajaran ini. Hanya ranting-ranting di cabang itu yang bergoyang, sedangkan di malam itu tidak ada angin sedikit pun juga.

"Wuuuttt...! Cit-cittt...!"

Dua sinar putih menyambar ke arah Hui Song ketika gadis itu menggerakkan jari tangan kirinya. Kiranya ada dua batang jarum sulam yang meluncur bagaikan kilat menyambar ke arah tubuh pemuda itu.

"Aihh... galak amat...!" Hui Song melompat keluar dari balik rumpun daun lantas berdiri di atas wuwungan, berhadapan dengan gadis itu sambil tersenyum. Dua batang jarum dia serahkan kepada gadis itu. "Sayang jarummu ini, nona, engkau akan kehilangan dan tidak dapat melanjutkan pekerjaanmu menyulam." Tadi dia sudah melihat bahwa jarum itu tidak mengandung racun, maka dia pun tidak menyangka buruk.

Dengan pandang mata kagum dan tangan cekatan, gadis itu segera mengambil kembali dua batang jarumnya dan menyimpannya di dalam saku di balik baju luar.

"Siapa kau?"

"Nanti dulu, nona. Kita pernah saling bertemu di luar dusun dan mengapa engkau begitu mudah menyerangku dengan jarum-jarummu? Kalau tadi aku tidak hati-hati kemudian dua jarummu itu menembus kepala atau dadaku, bukankah sekarang ini aku sudah tidak bisa menjawab pertanyaanmu tadi?"

Sejenak sepasang mata yang tajam dan jeli itu menatap wajah Hui Song penuh selidik, dan kekerasan yang tadi membayang di wajah manis itu mulai melembut. Wajah pemuda yang tampan, gagah dan juga penuh senyum itu sangat menarik dan mengagumkan hati gadis ini. Akan tetapi dia masih menaruh curiga.

"Engkau memata-matai dan menyelidiki tempatku!" bentaknya.

Hui Song tersenyum dan kembali pada sepasang mata tajam itu terbayang kekaguman. Sungguh ganteng pemuda ini, apa lagi kalau tersenyum.

"Nona, menurut cerita orang-orang di dusun ini, kuil ini adalah tempat tinggal para setan. Bagaimana bisa menjadi tempat tinggalmu? Aku yakin engkau bukan setan."

"Untuk sementara aku memilih tempat sunyi ini sebagai tempat berteduh, namun engkau malam-malam begini datang dan bersembunyi di dalam pohon, tentu bermaksud buruk. Agaknya engkau mengandalkan sedikit kepandaian menangkap jarum-jarumku tadi. Nah, lihat serangan!" Gadis itu kembali menjadi galak dan tiba-tiba saja melakukan serangan yang cukup keras dan cepat.

"Dukk! Plakk!"

Hui Song menangkis dua kali dan setiap kali ditangkis, tubuh gadis itu terdorong mundur. Hal ini amat mengejutkan hati gadis itu. Tak disangkanya bahwa pemuda ini benar-benar amat lihai, maka dia pun lalu mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya menyambar-nyambar, serangannya semakin hebat dan cepat. Jari-jari tangannya berubah kaku keras dan dia menyelingi pukulan-pukulannya dengan cengkeraman atau totokan ke jalan-jalan darah yang berbahaya.

Akan tetapi Hui Song menghadapi semua serangan itu dengan tenang saja. Ia mengelak ke sana-sini, kadang-kadang menangkis dan tidak pernah membalas.

"Eiiit, perlahan dulu, nona. Kenapa galak amat? Kita tidak pernah bermusuhan, mengapa engkau menyerangku dengan pukulan-pukulan maut? Eiiit, sayang tidak kena!"

Nona itu semakin penasaran dan tiba-tiba dia mengeluarkan sebuah sapu tangan sutera putih dari lengan bajunya. Sapu tangan itu dipergunakannya sebagai senjata dan biar pun sapu tangan itu hanya berupa kain sutera tipis lemas, tapi di tangannya berubah menjadi senjata ampuh, kadang kala merupakan cambuk yang melecut dan mengeluarkan suara ledakan, dan kadang-kadang menjadi kaku dan keras seperti besi baja!

Hui Song masih tetap tenang. Sapu tangan sutera itu mungkin berbahaya bagi orang lain, akan tetapi baginya tidak ada artinya. Pula, dia mendapat kenyataan bahwa sapu tangan itu tak mengandung racun, sama seperti jarum-jarum tadi, maka hatinya semakin senang. Seorang gadis manis seperti ini tidak mau berlaku curang, tentu seorang gadis baik-baik, mungkin seorang gadis kang-ouw yang gagah perkasa, seorang pendekar wanita seperti Sui Cin. Dia pun mulai membanding-bandingkan.

Gadis ini juga cantik manis, dan juga galak seperti Sui Cin, akan tetapi apa bila dinilai dari kepandaian silatnya, tentu saja Sui Cin masih lebih lihai, apa lagi sekarang sesudah Sui Cin digembleng oleh Dewa Arak! Dia ingin sekali menguji sampai di mana kemajuan dan kelihaian Sui Cin sekarang.

Gadis itu semakin kagum saja, terbukti dari seruan-seruannya ketika setiap serangannya selalu dapat dihindarkan oleh lawan dengan amat baik. Maka dia pun menyerang semakin nekat. Melihat ini, Hui Song mengerutkan alisnya. Nona ini bukan orang sembarangan, memiliki ilmu silat tinggi, tentu sudah tahu bahwa dia sengaja mengalah dan tidak pernah membalas. Akan tetapi mengapa nona ini nekat menyerang terus?

"Nona, hentikanlah seranganmu ini dan mari kita bicara baik-baik. Di antara kita tidak ada permusuhan. Kalau engkau tidak mau berhenti, terpaksa aku akan membalas!" Terpaksa dia mengancam dan dia telah mengepal tinju kanan, siap untuk membalas serangan jika lawannya tetap berkeras hati tidak mau menyudahi perkelahian itu.

Tiba-tiba saja sapu tangan sutera itu kembali menyambar ke arah muka Hui Song dan kini benda itu menjadi lemas. Karena yang diserang adalah mukanya, juga karena dia sudah mengambil keputusan untuk membalas, maka Hui Song segera menarik tubuh atasnya ke belakang sehingga sapu tangan itu tidak mengenai muka, hanya lewat saja. Akan tetapi tiba-tiba hidungnya mencium aroma yang amat wangi lalu tiba-tiba saja kepalanya pening dan pandang matanya gelap.

"Celaka...!" teriaknya, sadar bahwa sekali ini, entah bagaimana caranya, sapu tangan itu mengandung bubuk beracun yang pada saat dikebutkan telah menyambar dan masuk ke dalam hidungnya, membuat dia keracunan.

"Tukk!" Jari tangan gadis itu sudah menyambar dan menotok pinggang, membuat Hui Song yang sudah setengah pingsan itu seketika menjadi lemas. Dia masih mendengar suara gadis itu terkekeh disusul kata-katanya memuji, "Engkau gagah perkasa..."

Dan dia pun tidak ingat apa-apa lagi. Juga dia tidak sadar sama sekali pada saat gadis itu memondongnya dan membawanya melompat turun dari atas genteng, lalu membawanya masuk ke dalam sebuah kamar dalam kuil itu.

Kalau saja Hui Song tahu siapa adanya gadis ini, tentu dia tidak akan bersikap sembrono dan mengalah seperti tadi. Gadis yang berusia dua puluh empat tahun ini kelihatannya saja cantik manis dan lemah lembut, juga tidak nampak membawa senjata atau bersikap menyeramkan. Akan tetapi sebenarnya dia merupakan seorang tokoh besar dunia hitam pada waktu itu.

Sungguh pun dia baru saja keluar dari tempat pertapaan bersama gurunya, boleh dibilang dia menduduki tempat tinggi di kalangan kaum hitam, terangkat oleh nama gurunya yang ditakuti semua orang di dunia kaum sesat. Dan siapakah gurunya ini? Bukan lain adalah Pangeran Toan Jit Ong atau Si Raja Iblis sendiri!

Walau pun merupakan sepasang tokoh yang mempunyai kesaktian luar biasa, tokoh sakti Toan Jit Ong yang dijuluki Raja Iblis bersama isterinya yang berjuluk Ratu Iblis itu hanya memiliki seorang murid itulah. Sebab itu dapatlah dibayangkan betapa sayangnya mereka kepada murid itu dan tentu saja murid itu digembleng dan diberi pelajaran ilmu-ilmu yang hebat.

Murid itu bernama Gui Siang Hwa, seorang gadis yatim piatu yang dipelihara suami isteri itu sejak berusia sepuluh tahun dan digembleng dengan ilmu-ilmu yang hebat. Selain ahli dalam bermacam ilmu silat, memiliki sinkang kuat dan ginkang yang hebat, juga gadis ini sangat ahli dalam pengolahan dan penggunaan racun, terutama sekali racun yang berbau wangi. Karena pandainya bermain racun wangi ini, juga karena memang dia cantik manis, maka sebentar saja dia memperoleh julukan Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi).

Siang Hwa telah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi dia belum menikah. Biar pun kedua orang gurunya telah membujuknya, akan tetapi dia belum mau menikah karena dia belum menemukan seorang pria yang dianggapnya pantas menjadi suaminya. Akan tetapi karena sejak kecil berada di lingkungan penjahat, wataknya pun menjadi binal dan seperti para penjahat lain, gadis ini pun menjadi budak nafsunya sendiri.

Di luarnya saja kelihatan halus dan sopan, juga alim dan lembut. Akan tetapi, seperti para rekannya, dia pun dapat bertindak sangat kejam, penuh dengan akal dan muslihat busuk, dan terutama sekali, sejak mulai dewasa, dia sudah suka berhubungan dengan pria-pria tampan yang menarik hatinya. Bahkan dia termasuk seorang wanita mata keranjang yang akan mempergunakan segala akal, kalau perlu mempergunakan ilmu kepandaian silatnya yang tinggi untuk berhasil mendapatkan pria yang disukainya.

Seperti yang telah kita ketahui, Toan Jit Ong dan isterinya pada tiga tahun yang lalu telah mengumpulkan para datuk sesat untuk mengadakan pertemuan dan di dalam pertemuan ini Raja Iblis dan isterinya mengangkat diri mereka sendiri menjadi pimpinan para datuk untuk merencanakan pemberontakan.

Pada waktu pertemuan itu diadakan, Siang Hwa masih berusia dua puluh satu tahun dan dia sendiri tidak memperlihatkan diri di dalam pertemuan itu karena dia mempunyai tugas lain yang diberikan gurunya kepadanya. Dia harus bersembunyi dan melakukan penjagaan rahasia bersama belasan orang teman yang menjadi kaki tangan gurunya.

Setelah pertemuan para datuk itu selesai, Raja Iblis dan isterinya lalu menggembleng lagi anak murid mereka sambil mengatur persiapan untuk melakukan rencana pemberontakan mereka. Murid inilah yang diberi tugas untuk mewakili mereka mengadakan pertemuan-pertemuan dan persekutuan rahasia dengan para tokoh dan juga para pembesar penting.

Berkat kecantikan, kecerdikan dan juga kepandaiannya, Siang Hwa dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sekali. Pada waktu itu, sudah banyaklah pembesar-pembesar yang mempunyai kekuatan pasukan, secara diam-diam telah menjadi sekutu para pemberontak yang telah siap siaga sehingga sewaktu-waktu mereka akan dapat mengerahkan pasukan untuk bersama-sama menggempur kota raja dan merampas kekuasaan dari Kaisar Ceng Tek!

Selain membujuk para pembesar untuk bersekutu, juga Siang Hwa bertugas membujuk orang-orang gagah dari kalangan kang-ouw, yang biasanya bahkan menjadi lawan kaum sesat, untuk bekerja sama demi perjuangan membasmi kelaliman! Dalam rangka tugas inilah Siang Hwa berada di dusun Lok-cun itu.

Dara ini menggunakan kuil sunyi yang ditakuti orang itu sebagai tempat tinggal sementara sehingga dia dapat melakukan pertemuan-pertemuan rahasia dengan para pembantunya tanpa dilihat orang. Sungguh tidak disangkanya bahwa malam hari itu dia akan bertemu dengan seorang pemuda yang selain amat tampan dan ganteng, juga amat gagah perkasa sehingga dia sendiri tidak mampu mengalahkannya dengan ilmu silat.

Munculnya pemuda seperti Hui Song ini sungguh di luar dugaan Siang Hwa dan begitu bertemu dia telah jatuh cinta! Inilah pemuda yang selama ini diidam-idamkannya. Banyak sudah dia bertemu dengan pemuda tampan, bahkan sudah sering pula dia menyerahkan diri kepada pria-pria yang disukainya, namun belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan disukainya, yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya.

Akan tetapi para pria itu tidak masuk hitungan, hanya merupakan alat penghiburnya saja untuk melampiaskan nafsunya. Ia hanya mau menjadi isteri seorang pemuda yang selain disukanya juga memiliki kepandaian lebih tinggi darinya, dan pemuda ini sungguh sangat lihai. Maka, terpaksa ia harus mempergunakan akal dan sapu tangannya yang berbahaya itu, yang kalau tidak dikehendakinya merupakan sapu tangan biasa, akan tetapi pada saat ia terdesak, ia dapat menarik alat halus pada sapu tangan itu yang akan membuka tempat penyimpanan bubuk beracun wangi yang amat ampuh.

Selain tugas untuk menghubungi para orang gagah di dunia kang-ouw agar mau bekerja sama menentang kaisar, juga ada suatu tugas rahasia lain yang pada waktu itu sangat mengganggu hati Siang Hwa. Gurunya telah menunjuk dia untuk memimpin teman-teman yang boleh dipercaya dan yang memiliki kepandaian tinggi untuk menyelidiki dan mencari sebuah harta karun yang berada pada sebuah tempat rahasia yang amat sulit dan sukar dikunjungi.

Sudah berkali-kali dia bersama teman-temannya mencoba menyelidiki tempat itu, namun selalu gagal, bahkan beberapa orang temannya berkorban nyawa di tempat itu sedangkan tempat penyimpanan harta karun itu tetap saja belum dapat dia temukan. Gurunya telah berpesan bahwa kalau dia tidak mampu, barulah kedua orang gurunya akan turun tangan sendiri.

Teman-temannya telah menganjurkan dan menasehatkannya untuk melapor kepada Raja dan Ratu Iblis saja bahwa dia dan teman-temannya tidak sanggup lagi. Akan tetapi Siang Hwa adalah seorang gadis yang keras hati dan angkuh. Dia merasa malu apa bila harus menghadap kedua orang gurunya dan melaporkan kegagalannya. Hal ini berarti mengakui kelemahan sendiri! Tidak, dia harus mencoba lagi dan untuk itu dia harus mendapatkan seorang teman yang lihai, setidaknya memiliki tingkat kepandaian, terutama ginkang yang setingkat dengannya!

Di antara para pembantunya ada dua orang kakek yang menjadi orang-orang kepercayaan gurunya. Mereka itu adalah Hui-to Cin-jin (Manusia Sakti Pisau Terbang) dan Kang-thouw Lo-mo (Setan Tua Kepala Baja) yang siang hari tadi sudah pernah berjumpa dengan Hui Song. Mereka adalah dua orang kakek yang tadi membunuh empat orang pemuda mabok di dalam restoran.

Dua orang kakek ini bukan orang sembarangan, bukanlah penjahat biasa. Mereka adalah dua di antara Cap-sha-kui yang tentu saja memiliki kepandaian hebat! Dan dari dua orang kakek inilah Siang Hwa mendengar bahwa di dusun itu muncul seorang pemuda yang lihai sekali, seorang pemuda bernama Cia Hui Song yang bukan hanya mampu menghindarkan diri dari sambaran pissu-pisau maut yang dilempar oleh Hui-to Cin-jin, akan tetapi bahkan sanggup menahan pukulan Kang-thouw Lo-mo yang amat kuat itu.

Mendengar ini, Siang Hwa merasa tertarik sekali, juga curiga. Jangan-jangan pemuda itu adalah mata-mata pihak musuh, pikirnya. Ia tahu bahwa gerakan gurunya mengumpulkan orang-orang kang-ouw dan niat hendak memberontak itu tentu telah terdengar oleh dunia persilatan dan bukan merupakan hal aneh kalau ada pihak yang akan menentangnya.

********************

cerita silat online karya kho ping hoo

Ruangan yang menjadi tempat tidur itu tidak berapa luas dan keadaannya pun tidak dapat dibilang bagus, apa lagi mewah. Akan tetapi, jika orang melihat keadaan kuil yang sudah tidak dipakai dan rusak itu, dia akan merasa heran melihat betapa di dalam kuil kosong yang rusak itu ada sebuah kamar di dalamnya, kamar yang cukup teratur dan terawat.

Meski pun sederhana, kamar itu bersih dan berbau harum. Di dalam kamar itu hanya ada sebuah dipan kayu dan sebuah meja kayu. Satu-satunya hiasan hanyalah selembar tirai sutera yang juga dipergunakan sebagai penutup jendela yang sudah berlubang dan daun jendelanya rusak.

Inilah ruangan yang digunakan oleh Siang Hwa untuk menjadi kamar tidurnya, sementara dia bersembunyi di dalam kuil itu. Sesudah berhasil membuat Hui Song pingsan dan tidak berdaya kemudian menawannya, dia membawa pemuda itu ke dalam kamar dan setelah mendudukkan tubuh Hui Song ke atas pembaringan dan mengikat kedua tangan pemuda itu erat-erat, ia lalu menyadarkan Hui Song dengan usapan-usapan pada muka, terutama di depan hidungnya, menggunakan obat bubuk penawar racun yang membuat pemuda itu jatuh pingsan.

Tak lama kemudian, sadarlah Hui Song. Ia menggerakkan cuping hidungnya karena yang pertama terasa olehnya adalah keharuman yang menusuk hidungnya. Lalu dia membuka mata dan terbelalak menatap wajah manis yang berada demikian dekat dengan mukanya. Wajah cantik manis yang berbau harum, dengan sepasang mata setengah terpejam, bibir setengah terbuka, menantang dengan tahi lalat keeil di atas dagu.

Dia terkejut dan otomatis meronta, akan tetapi dia semakin kaget memperoleh kenyataan bahwa kedua lengannya tak dapat digerakkan, terbelenggu pada pergelangan tangannya. Kini dia pun teringat lantas alisnya berkerut, matanya menatap tajam wajah cantik yang amat dekat itu.

Siang Hwa juga merasa bahwa tawanannya telah sadar, maka ia membuka mata menatap sambil tersenyum dan semakin mendekat hingga tangannya menyentuh dada Hui Song. Pemuda itu bergidik saat jari-jari tangan halus itu menyentuh dadanya yang ternyata telah telanjang karena baju di bagian dadanya terbuka.

Jari-jari tangan itu bergerak halus seperti cecak merayap di sepanjang dadanya, membuat Hui Song merasa malu dan canggung, akan tetapi dia sama sekali tak mampu mengelak karena punggungnya bersandar pada kepala dipan dan sepasang lengannya tidak dapat digerakkan, Dia hanya dapat menarik kepalanya ke belakang untuk menjauhi muka manis yang begitu dekat sehingga napas gadis itu menyapu pipinya.

"Ehh...?! Kau... kau perempuan curang!" dia membentak, teringat bagaimana dia sampai tertawan oleh gadis ini.

"Kau... kau laki-laki yang gagah perkasa, seorang jantan perkasa yang mengagumkan hatiku..." Siang Hwa berbisik dan merangkul, mendekap dan membenamkan mukanya di dada yang bidang dan telanjang itu.

Sejenak mereka diam saja dan gadis itu dapat merasakan dan mendengar degup jantung yang sangat kuat dari balik dada itu, sedangkan Hui Song memejamkan kedua matanya. Seluruh tubuhnya tergetar oleh dekapan yang penuh gairah dan nafsu ini. Terasa olehnya betapa dari seluruh tubuh wanita ini bagaikan keluar hawa panas yang membakarnya dan dia pun terpaksa harus mengerahkan sinkang untuk melawan dorongan nafsu yang mulai timbul dalam benaknya.

Pengerahan sinkang ini menolongnya dan dia membuka mata. Pada saat itu dia melihat berkelebatnya bayangan orang di luar jendela! Nampak seorang wanita yang mengintai ke dalam! Penglihatan ini sungguh amat membantunya dan seketika itu pula kegelisahan serta kebimbangannya lenyap. Tidak, dia tidak boleh jatuh ke dalam rayuan gadis jalang ini!

"Pergilah kau, perempuan curang dan jalang!" dia membentak.

Siang Hwa tidak menjadi marah, melainkan memandang dengan sinar mata lembut dan sikap memikat. "Kalau aku menghendaki sejak tadi aku sudah membunuhmu. Akan tetapi tidak, sedikit pun aku tidak ingin membunuhmu, karena itu aku harus menggunakan siasat untuk mengalahkanmu tanpa melukaimu atau membunuh. Kau maafkanlah aku."

"Hemm, siapakah engkau dan mengapa engkau menawanku?"

"Aku... namaku Siang Hwa, Gui Siang Hwa, seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara. Aku ingin sekali bersahabat denganmu, akan tetapi engkau begitu gagah perkasa, tanpa menggunakan akal aku tidak akan dapat merobohkanmu. Engkau... yang bernama Cia Hui Song, bukan?"

Diam-diam pemuda itu terkejut. Kiranya wanita ini bukan saja lihai dan berbahaya, akan tetapi juga cerdik sekali. Dia sendiri belum mengenal gadis ini, bahkan menduga pun tidak dapat siapa gerangan gadis cantik ini, akan tetapi gadis ini sudah mengenal namanya.

"Engkau sudah mengenalku. Engkau tadi bilang ingin bersahabat dengan aku, akan tetapi engkau menyerangku, kemudian merobohkan aku dengan bubuk beracun dan kini malah menawanku, siapa mau percaya omonganmu?"

"Cia-taihiap, aku... begitu melihatmu, kemudian melihat kepandaianmu, aku... suka sekali kepadamu, aku... aku jatuh cinta dan aku ingin sekali bersahabat denganmu. Akan tetapi karena aku takut engkau akan memberontak dan tidak percaya kepadaku, maka terpaksa aku merobohkanmu secara itu dan kalau sekarang engkau berjanji mau menerima uluran tangan dan hatiku, aku tentu akan segera melepaskan ikatan kedua tanganmu..."

"Hemmm, apa yang kau maksudkan dengan uluran tangan dan hati itu?" Hui Song sudah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi dia masih asing dengan istilah-istilah tentang cinta dan memang dia belum berpengalaman tentang wanita.

Siang Hwa tersenyum, mendekat dan meraba lalu mengelus dada telanjang itu, dan dia mendekatkan mukanya, bibirnya bergerak hendak mencari dan mencium bibir pemuda itu. Hui Song terpaksa menarik kepalanya ke belakang dan terdengar gadis itu berbisik,

"Taihiap, uluran tangan dan hatiku adalah penyerahan seluruh jiwa ragaku kepadamu, aku cinta padamu, taihiap..." Dan Siang Hwa tiba-tiba saja mencium bibir Hui Song yang tidak dapat mengelak lagi.

"Perempuan hina tak tahu malu!" Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar jendela dan mendengar ini, tiba-tiba Siang Hwa melepaskan rangkulannya kemudian sekali meloncat dia sudah keluar dari dalam kamar itu.

Begitu dia tiba di luar kamar, seorang gadis yang manis menyambutnya dengan serangan sepasang pedang mengeluarkan sinar berkilat. Siang Hwa terkejut bukan main. Sebagai seorang ahli silat yang pandai, dia mengenal gerakan pedang yang sangat lihai, maka dia pun segera mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi gadis itu mendesaknya kembali dengan kilatan-kilatan sepasang pedang yang dimainkan secara cepat, indah dan berbahaya.

"Siapa engkau?" Siang Hwa membentak sambil meloncat mundur lagi ke ruangan depan kamarnya yang luas.

"Perempuan hina, aku adalah algojomu yang hendak mengakhiri kecabulanmu!" Gadis itu berteriak semakin marah dan penasaran melihat betapa semua serangannya tidak pernah berhasil. Dia lalu menerjang lagi ke depan dan sepasang pedang di kedua tangannya itu berkelebatan membentuk dua gulungan sinar yang berkilauan.

"Bagus! Ilmu pedangmu bagus juga!" Siang Hwa berseru.

Dan begitu tangan kanannya meraba pinggang, Siang Hwa telah mengeluarkan sebatang pedang yang kebiruan. Kiranya pedangnya itu terbuat dari baja yang tipis sekali, tipis dan lemas sehingga dapat disimpan di pinggang sebagai ikat pinggang! Kemudian, begitu dia mengelebatkan pedangnya, nampak sinar kebiruan.

"Trangg...! Cringg...!"

Gadis itu mengeluarkan seruan kaget. Dengan gerakan aneh dan cepat, pedang kebiruan itu telah menangkis dan begitu membentur sepasang pedangnya, dia merasa betapa dua tangannya kesemutan. Cepat dia meloncat ke belakang sambil terus memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya.

Terdengar Siang Hwa terkekeh. Sekarang dia pun membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang membuat gadis pemegang siang-kiam (sepasang pedang) itu menjadi repot untuk menangkis dan menghindarkan diri dari sambaran sinar biru yang amat lihai itu.

Mendengar suara gadis di luar kamar itu, Hui Song segera mengenalnya. Itulah suara Tan Siang Wi, sumoi-nya! Tentu saja dia segera merasa gelisah sekali karena dia tahu bahwa sumoi-nya bukanlah lawan Siang Hwa yang amat lihai itu. Dia berusaha melepaskan diri, akan tetapi pengaruh obat bius tadi masih melemaskannya dan tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya juga amat kuat.

Dia harus menanti sampai tenaganya pulih kembali akan tetapi saat itu sumoi-nya berada dalam bahaya maut. Dengan pendengarannya dia sudah mendengar suara berdencingan senjata pedang yang saling beradu dan dia pun dapat mengenal gerakan sumoi-nya yang kini mulai kacau dan terdesak, lebih banyak menangkis dari pada menyerang.

"Gui Siang Hwa, jangan celakai sumoi-ku...!" karena khawatir sumoi-nya celaka, akhirnya dia berteriak.

Terdengar suara ketawa merdu wanita itu disusul tangkisan-tangkisan yang menimbulkan suara berdenting. "Hi-hik, kiranya dia adalah sumoi-mu sendiri? Tentu saja aku tidak akan membunuhnya kalau begitu!" Dan suara ini disusul keluhan Tan Siang Wi lalu terdengar jatuhnya tubuh gadis Cin-ling-pai itu.

"Sumoi, awas bubuk beracun obat biusnya!" Kembali Hui Song berteriak dengan khawatir.

Akan tetapi sumoi-nya tidak menjawab dan suasana sudah menjadi sunyi. Yang terdengar hanyalah suara ketawa Siang Hwa dan tak lama kemudian wanita itu masuk lagi ke dalam kamar sambil mengempit tubuh Siang Wi yang sudah pingsan! Kiranya suara terjatuh tadi adalah robohnya Siang Wi terkena obat bius seperti yang pernah dialaminya tadi.

Sambil tersenyum kepada Hui Song, Siang Hwa berkata, "Lihat, jika tidak berat padamu, tentu dia sudah menjadi mayat. Cia-taihiap, dengan perbuatanku tidak membunuh engkau dan sumoi-mu, bukankah sudah cukup bukti bahwa aku ingin bersahabat denganmu?"

Hui Song maklum bahwa pada waktu itu, sebelum dia dapat membebaskan dirinya, maka keselamatan nyawanya serta nyawa sumoi-nya memang berada di tangan gadis lihai ini. "Baiklah, kalau memang benar engkau ingin bersahabat denganku, apa salahnya? Akan tetapi engkau tidak boleh memaksakan kehendakmu mengenai... mengenai cinta. Urusan seperti ini tidak boleh dipaksakan, sama sekali tidak boleh!"

Siang Hwa mengerutkan alisnya. Belum pernah atau jarang sekali ada pria yang menolak cintanya. Hampir semua pria yang disenanginya pasti menyambut cintanya dengan kedua tangan terbuka, sebagian kecil saja karena takut kepadanya dan sebagian besar karena memang mereka tergila-gila oleh kecantikannya.

Akan tetapi pemuda Cin-ling-pai ini, dan dia yakin benar bahwa tentu pemuda she Cia ini adalah pemuda Cin-ling-pai karena ia tadi mengenal beberapa macam gerakan dasar dari Cin-ling-pai, pemuda ini tidak tergila-gila kepadanya, juga sama sekali tidak takut biar pun sudah tertawan dan tidak berdaya! Belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini.

Pemuda gagah perkasa seperti ini selain sangat mengagumkan hatinya dan menjatuhkan hatinya seperti yang belum pernah dialaminya, juga dapat merupakan seorang sahabat dan sekutu yang sangat baik. Gurunya tentu akan girang sekali kalau bisa mendapatkan pembantu seperti Cia Hui Song ini dan mereka tentu akan memujinya sebagai seorang yang pandai menarik tenaga yang amat kuat sebagai sekutu.

Hatinya amat kecewa dan nafsu birahinya yang tadinya telah memuncak itu tiba-tiba saja menjadi menurun banyak. Baiklah, bagaimana pun juga, aku harus dapat memanfaatkan pertemuannya dengan pemuda istimewa ini. Jika tidak bisa menariknya sebagai kekasih, setidaknya untuk saat ini, biarlah dia menariknya sebagai sahabat dan sekutu. Bila sudah menjadi sahabat, dengan perlahan-lahan dia akan dapat merayunya dan dia masih penuh kepercayaan akan kemampuan dirinya dalam hal ini, bahkan hampir merasa yakin bahwa akhirnya pemuda ini akan roboh ke dalam pelukannya juga.

"Cia-taihiap, kau kira aku ini orang macam apakah? Aku tidak biasa memaksakan cinta, dan walau pun aku jatuh hati kepadamu dan mencintamu semenjak pertama kali bertemu, akan tetapi aku hanya berharap engkau akan dapat menerima uluran tangan dan hatiku, tapi aku tidak akan memaksamu. Baiklah, apakah engkau mau berjanji untuk bersahabat denganku?"

Hui Song juga bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis ini lihai dan berbahaya sekali, dan dia tidak dapat memilih dalam keadaan seperti itu. Dia sendiri sudah merasa betapa tenaganya sudah pulih dan dia merasa yakin bahwa kalau dia menghendaki, pada saat itu pun dia akan mampu mengerahkan tenaga dan membebaskan diri dari belenggu.

Akan tetapi, dengan adanya Siang Wi yang masih tak mampu bergerak, akan berbahaya sekali kalau dia melakukan hal itu. Wanita ini hanya minta kepadanya untuk bersahabat, apa salahnya?

"Baiklah, apa salahnya kalau kita bersahabat? Akan tetapi sikapmu tidak seperti hendak bersahabat. Engkau menawan aku dan sumoi..."

"Sabarlah, aku akan membebaskanmu. Dalam keadaan sekacau ini, bagaimana aku tahu bahwa kalian adalah orang baik-baik? Siapa tahu kalau-kalau kalian ini adalah mata-mata dari pihak pemberontak? Apa bila kau mau berjanji menjadi sahabatku dan membantuku dalam satu urusan, aku tentu akan membebaskan engkau dan juga sumoi-mu, dan minta maaf."

Diam-diam Hui Song merasa sangat heran. Wanita ini agaknya tahu pula akan rencana pemberontakan para datuk sesat. Akap tetapi hal ini pun tidaklah berapa aneh. Bukankah berita itu telah tersiar di dunia kang-ouw dan melihat kepandaiannya, wanita ini pun tentu seorang kang-ouw yang lihai dan sudah mendengar pula akan berita itu. Agaknya wanita ini menentang kaum pemberontak, akan tetapi dia harus yakin akan hal ini.....

"Nona, seorang dengan kepandaian seperti engkau ini mana mungkin takut akan segala kekacauan? Dan pemberontakan apa yang nona maksudkan?"

"Hemmm, tidak tahukah engkau bahwa kini ada rencana pemberontakan yang diatur oleh para datuk di dunia kang-ouw?"

Hui Song mengangguk. "Aku sudah mendengar. Bukan datuk kang-ouw, melainkan datuk kaum sesat, bahkan Cap-sha-kui ikut bersatu dan bersekutu dengan para datuk jahat dan dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis!" Hui Song memandang tajam untuk melihat reaksi pada wajah gadis itu.

"Ihh...!" Siang Hwa menarik muka kaget dan ngeri. "Sampai sedemikian jauh dan hebat? Kalau begitu, kerajaan sedang terancam bahaya!"

"Nona, engkau mempunyai kepandaian tinggi, lalu dengan adanya kenyataan ini apakah yang akan kau lakukan? Apakah engkau hendak bergabung dengan mereka yang akan memberontak itu?"

Muka Siang Hwa menjadi merah. Sesungguhnya mukanya merah karena malu dan tidak enak hati, akan tetapi Hui Song mengiranya merah karena marah sehingga diam-diam dia merasa girang dan menduga bahwa gadis ini bukan teman para pemberontak.

"Hemm, Cia-taihiap, apakah engkau juga ingin membantu Cap-sha-kui dan pemberontak-pemberontak itu?" Siang Hwa yang cerdik balas bertanya sambil menatap tajam.

Hui Song menggelengkan kepala. "Aku bukan penjahat dan bukan pula pemberontak, dan aku lebih suka menentang Cap-sha-kui dari pada menjadi sahabat mereka!"

"Bagus, kalau begitu kita sepaham!" Siang Hwa berkata dengan senyum lebar. "Tadinya aku meragukan apakah engkau dan sumoi-mu itu mata-mata pemberontak. Maafkan aku, kalau begitu aku harus membebaskanmu, taihiap." Berkata demikian, dia mendekat dan hendak melepaskan tali yang mengikat kedua pergelangan tangan Hui Song. Akan tetapi dia berhenti dan menatap wajah itu. "Tapi... kau belum berjanji untuk membantuku."

"Setelah kita menjadi sahabat, tentu saja aku akan membantumu, asal saja bukan untuk perkara kejahatan."

"Hemm, apakah engkau belum percaya padaku, taihiap? Aku bukan penjahat. Berjanjilah bahwa engkau akan membantuku, dan aku akan membebaskan kau dan sumoi-mu. Akan tetapi, sumoi-mu tidak boleh ikut serta."

"Mengapa?"

"Urusan itu adalah rahasia diriku sendiri, orang lain, kecuali engkau yang kuminta bantuan tidak boleh tahu."

Hui Song mengangguk, mengerti. Lagi pula, dia pun tidak senang apa bila sumoi-nya ikut mencampuri urusannya. Pertama, watak sumoi-nya itu amat angkuh dan keras sehingga di mana-mana akan mudah menimbulkan keributan dan permusuhan. Kedua, tingkat ilmu kepandaian sumoi-nya, walau pun secara umum dapat dianggap cukup lihai, akan tetapi belum boleh diandalkan apa bila bertemu dengan datuk-datuk sesat. Dan ke tiga, dia tahu betapa sumoi-nya mencintanya dan mengharapkan agar dia menjadi suaminya dan hal ini membuat dia merasa canggung dan tidak enak untuk berhadapan dengan gadis itu.

"Kalau begitu, sekarang juga aku akan membebaskanmu!" Siang Hwa mendekat tapi Hui Song tersenyum.

"Tidak perlu lagi, nona. Kalau aku mau, sejak tadi pun aku sudah bisa membebaskan diri sendiri." Berkata demikian, dia mengerahkan tenaga sinkang, disalurkan pada lengannya dan sekali kedua lengan itu bergerak merenggut, terdengar suara keras, dan belenggu itu pun putus-putus.

"Ihhh...!" Siang Hwa terkejut dan melompat ke belakang, meraba pinggang dan matanya terbelalak.

Akan tetapi Hui Song tersenyum. "Jangan kaget dan tidak perlu khawatir, nona. Aku tadi hanya ingin melihat apakah benar engkau berniat baik maka aku sengaja membiarkan diri terbelenggu."

"Aihh... engkau... benar-benar hebat, taihiap," kata Siang Hwa kagum. "Dan sekarang aku akan membebaskan sumoi-mu," Ia pun cepat menghampiri Siang Wi, menggunakan obat penawar racun bius tadi.

Tidak lama kemudian terdengar Siang Wi mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat gadis yang tadi merayu suheng-nya itu duduk berjongkok di dekatnya, segera Siang Wi mengeluarkan teriakan marah dan langsung saja dia mengirim pukulan-pukulan bertubi ke arah tubuh lawan yang amat dibencinya karena cemburu itu.

Siang Hwa meloncat ke belakang dan mengelak sambil menangkis beberapa kali. Setiap gerakannya amat diperhatikan oleh Hui Song dan pemuda ini diam-diam harus mengakui bahwa tingkat ilmu silat dari Gui Siang Hwa memang sangat tinggi, gerakannya cekatan, cepat sekali dan juga indah biar pun bersifat aneh dan liar. Mudah terlihat olehnya bahwa gerakan gadis itu jauh lebih lihai dari pada gerakan sumoi-nya dan kalau dilanjutkan, tentu sumoi-nya akan kalah walau pun Siang Hwa tidak mempergunakan racun bius.

"Sumoi, hentikan seranganmu!" bentak Hui Song.

Mendengar bentakan ini, Siang Wi menahan serangannya lantas membalik, memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak mengandung sinar marah penasaran. "Suheng, dia... dia... si wanita cabul ini, tak tahu malu dan patut dibunuh!"

"Sumoi, tenanglah. Nona Gui ini adalah orang segolongan, tadi hanya terjadi salah paham antara kami..."

"Tapi... tapi aku tadi melihat dengan mataku sendiri, mendengar dengan telingaku sendiri betapa dia telah menawanmu, dan merayumu secara tak tahu malu..."

"Sstt, sumoi. Sudahlah. Kukatakan tadi hanya salah paham. Kini kami sudah bersahabat, dan kami akan melakukan kerja sama untuk suatu urusan yang tak boleh diketahui orang lain. Oleh karena itu, kuminta agar engkau suka meninggalkan tempat ini sekarang juga. Kembalilah kau ke Cin-ling-san dan jangan ikuti aku lagi."

"Tapi... suheng..."

"Sudahlah, sumoi. Kau jangan banyak membantah. Ketahuilah bahwa kalau tidak berniat baik, kita berdua tadi sudah tewas di tangan nona Gui. Pergilah!"

Tan Siang Wi berdiri dengan muka pucat, kedua tangan dikepal dan kini kedua matanya mulai basah. Dia memandang kepada dua orang itu secara bergantian, tatapan matanya pada Siang Hwa penuh kebencian, tetapi sepasang matanya memancarkan permohonan dan kekecewaan kalau dia memandang suheng-nya.

"Suheng... haruskah aku pergi... Engkau mengusir aku begitu saja?"

Hui Song mengangguk. Ia tak ingin menyakiti hati sumoi-nya, akan tetapi mengingat akan watak sumoi-nya yang keras, dia harus bersikap tegas. Dia sudah berjanji kepada Siang Hwa dan dia tidak boleh melanggar janji itu.

Lagi pula, diam-diam dia menaruh hati curiga terhadap Siang Hwa dan ingin menyelidiki siapa sesungguhnya wanita ini dan peran apa yang dipegangnya. Dia merasa bahwa ada sesuatu di balik diri wanita ini, karena seorang wanita selihai Siang Hwa tidak mungkin secara kebetulan saja bertemu dengan dia, mengajak bersahabat dan minta bantuannya untuk mengurus sesuatu yang rahasia.

"Sumoi, harap jangan banyak bicara lagi. Pergi dan kembalilah ke Cin-ling-san."

Kini beberapa tetes air mata jatuh menitik. "Suheng... engkau... selalu mengecewakan dan menyakiti hatiku..."

"Maafkan, sumoi..."

Akan tetapi Tan Siang Wi sudah menyambar sepasang pedangnya yang tadi jatuh di atas lantai ketika dia roboh pingsan, lantas berloncatan pergi meninggalkan tempat itu. Sunyi keadaan di dalam ruangan itu setelah Siang Wi pergi hingga akhirnya terdengar tarikan napas panjang dari Siang Hwa.

"Aihh... agaknya dengan kegantengan dan kegagahanmu engkau sudah ditakdirkan untuk menjatuhkan dan mengecewakan hati wanita, taihiap. Hari ini kulihat telah ada dua orang wanita yang menjadi korbanmu. Pertama adalah diriku sendiri, dan yang kedua adalah sumoi-mu tadi!"

Hui Song juga turut menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Siang Wi, sumoi-nya itu. Semenjak kecil sumoi-nya mencintanya dan cinta kanak-kanak itu makin lama semakin kuat dan akhirnya menjadi cinta kasih seorang wanita terhadap seorang pria, cinta kasih yang berharap untuk diikat dan dikukuhkan menjadi perjodohan suami isteri.

Dan dia tahu benar bahwa hatinya tidak mencinta sumoi-nya, biar pun dia sayang kepada sumoi-nya itu yang dianggap sebagai adik sendiri. Akan tetapi gadis di depannya ini? Dia belum mengenalnya benar dan tidak tahu apakah benar gadis ini cinta kepadanya seperti yang diakuinya. Dia harus bersikap hati-hati terhadap wanita ini.

"Maafkan aku kalau memang demikian halnya, nona. Akan tetapi semua itu terjadi tanpa kesengajaan dari pihakku, dan ingat, cinta tidak mungkin dapat dipaksakan."

Siang Hwa tersenyum pahit dan mengangguk-angguk, diam-diam dia semakin kagum dan membayangkan betapa akan nikmatnya kelak apa bila dia sampai berhasil membujuk pria ini menjadi kekasihnya dan berada di dalam dekapannya.

"Aku tidak menyalahkanmu, Cia-taihiap, hanya aku merasa kasihan kepada sumoi-mu itu yang agaknya mencintamu dengan amat mendalam."

"Nona, ingin sekali aku mengetahui bagaimana engkau dapat mengenal namaku?"

Mereka kini duduk berhadapan di atas dua buah bangku yang berada di dalam ruangan itu, terhalang sebuah meja kecil. Siang Hwa tersenyum. "Aku mendengar dari Ciang-tosu dan Ciong-hwesio yang menjadi teman-temanku dalam urusan yang kuminta bantuanmu ini."

Hui Song teringat akan dua orang kakek itu, maka dia pun tersenyum mengejek. "Wah, jangan-jangan dua orang kakek berpakaian tosu dan hwesio yang kejam itu, yang sudah membunuh empat orang muda di dalam restoran dan..."

"Memang betul mereka!" Siang Hwa berkata dengan sikap sungguh-sungguh. "Dan harap taihiap jangan mentertawakan dan salah sangka terhadap mereka! Mereka berdua adalah bekas-bekas tosu dan hwesio dan biar pun kini bukan lagi terikat agama, mereka sudah terbiasa memakai jubah seperti yang dahulu mereka pakai ketika masih menjadi pendeta. Sekarang mereka adalah pertapa-pertapa dan mereka juga turun ke dunia ramai hendak menentang kaum pemberontak."

"Ahh...!" Hui Song terheran dan juga kagum. "Akan tetapi mengapa mereka begitu kejam, menyebar maut di restoran, membunuh empat orang muda yang tidak berdosa?"

Gadis itu tersenyum, manis sekali kalau tersenyum, terutama karena tahi lalat kecil di atas dagu itu. "Orang-orang muda yang tidak berdosa? Taihiap tidak tahu..."

"Mungkin mereka melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanya berupa ejekan kepada mereka yang berpakaian pendeta, dan itu pun dilakukan dalam keadaan mabok."

"Taihiap sudah salah mengerti. Empat orang muda itu tidaklah sebersih itu, bukan seperti yang taihiap kira. Mereka adalah mata-mata kaum pemberontak yang menyamar sebagai pemuda-pemuda pemabokan dan kalau Ciang-tosu dan Ciong-hwesio tidak menggunakan pukulan beracun, mereka tentu tidak gampang dikalahkan dan tempat kami tentu sudah ketahuan, kemudian kami akan diserbu oleh para pemberontak."

Hui Song terbelalak heran, juga terkejut karena sungguh hal itu tidak pernah disangkanya sama sekali.

"Aku merasa gembira sekali bisa bersahabat dengan taihiap, apa lagi akan mendapatkan bantuanmu. Ketika kedua orang locianpwe itu memberi tahu kepadaku tentang diri taihiap, kami bertiga sudah mengambil kesimpulan bahwa tentunya engkau adalah seorang tokoh Cin-ling-pai dan ternyata dugaan kami benar seperti yang taihiap nyatakan sendiri ketika taihiap bicara dengan sumoi taihiap itu dan menyebut-nyebut Cin-ling-san."

"Memang aku adalah putera dari ketua Cin-ling-pai," kata Hui Song yang merasa tak ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya.

"Ahh...!" Gadis itu bangkit dan menjura. "Kalau begitu aku sudah berlaku kurang hormat dan maafkanlah kelancanganku, taihiap."

"Sudahlah, nona. Kedudukan dan nama takkan merubah keadaan seseorang. Sebaiknya nona ceritakan, urusan apakah itu yang membutuhkan bantuanku?"

"Urusan ini sangat penting dan merupakan rahasia, taihiap. Ketahuilah bahwa kami yang mewakili beberapa orang-orang kang-ouw di wilayah selatan, mengutus aku dan dibantu oleh dua orang locianpwe itu untuk menyelidiki sebuah harta karun."

"Hemm..." Hui Song termenung. Tak disangkanya sama sekali bahwa urusan itu hanyalah urusan menyelidiki dan mencari harta karun!

"Ini bukan sembarang harta karun, taihiap. Kalau engkau menyangka bahwa kami adalah orang-orang yang haus akan harta karun, engkau keliru! Ketahuilah bahwa kami mencari harta karun itu justru dalam usaha kami untuk menentang usaha para pemberontak. Para pemberontak itu akan menjadi kuat sekali kalau harta karun itu tidak kita dahului dan kita ambil."

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, nona."

"Begini, taihiap. Tempat di mana harta karun itu berada kini juga sedang diintai oleh para pemberontak. Kabarnya malah Raja dan Ratu Iblis sendiri juga mencarinya. Akan tetapi, kami lebih beruntung karena kami telah dapat menemukan tempat itu. Hanya saja tempat itu sukar didatangi, bahkan aku sudah kehilangan nyawa beberapa orang kawanku ketika mencoba untuk mencari harta karun di tempat itu."

"Ah, begitu berbahayakah? Apa yang menyebabkan bahaya itu?"

"Tempatnya sangat sukar dilalui dan tempat itu terkenal dengan nama Goa Iblis Neraka! Agaknya tempat itu memang sengaja dibuat agar tidak ada orang yang berani memasuki. Kabarnya dahulu dibuat oleh seorang tosu sakti yang mencuri harta karun dari kaisar lalim dan disimpan di tempat itu, dan disediakan untuk mereka yang akan menentang kaisar lalim di kemudian hari. Harta karun itu sudah hampir seribu tahun umurnya dan sampai kini belum juga ada yang berhasil menemukannya."

"Kalau demikian sukarnya, kenapa engkau minta bantuanku? Kalau orang seperti engkau dan teman-temanmu tidak sanggup, mana mungkin aku akan bisa membantumu?"

"Begini, taihiap. Di antara kami hanya aku seorang yang mampu menyeberangi jembatan batu pedang. Kedua locianpwe itu pun hanya sanggup maju belasan meter saja. Dan aku telah menyeberangi jembatan batu pedang itu, akan tetapi selanjutnya aku tidak sanggup menggerakkan batu penutup lubang di sebelah dalam. Aku membutuhkan bantuan orang yang mempunyai ginkang dan sinkang yang melebihi aku dan ternyata engkau amat lihai, jauh melampaui tingkatku dan..."

"Dan dengan mudah aku yang lebih lihai ini tertawan olehmu!" Hui Song mengejek

Siang Hwa lantas tertawa. "Aih, engkau sakit hati benarkah, taihiap? Sudahlah, biar aku mengaku bahwa aku telah bertindak curang dan maafkanlah aku. Nah, rahasia itu sudah kuceritakan dan kalau engkau membantu kami, maka hal itu berarti bahwa engkau sudah menentang para pemberontak. Kalau kelak kita berhasil, berarti kita telah memukul para pemberontak dan melumpuhkan setengah dari kekuatan mereka!"

Tentu saja Hui Song tertarik sekali. Biar pun dua orang kakek itu dianggapnya kejam, dan ternyata tidak dapat dinamakan kejam pula jika empat orang muda itu adalah mata-mata pemberontak, dan biar pun gadis ini pernah bersikap tidak menyenangkan hatinya, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yang menentang pemberontak yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, berarti masih rekan sendiri dalam usahanya menentang para pemberontak.

"Baik, kapan kita berangkat ke sana?"

"Sekarang juga, taihiap."

"Baik, mari kita berangkat, namun lebih dahulu singgah di rumah penginapan karena aku hendak mengambil buntalan pakaianku."

Wanita itu tertawa, pergi ke sebelah kamar dan kembali membawa sebuah buntalan yang terisi semua pakaian Hui Song yang tadi ditinggalkan di dalam kamar rumah penginapan itu.

"Ehh? Bagaimana... kapan..."

"Taihiap, ketika aku mendengar dari kedua locianpwe tentang dirimu, aku merasa tertarik sekali. Aku lalu pergi ke rumah penginapan itu, dan diam-diam memasuki kamarmu. Tapi ternyata engkau tidak ada, maka aku lalu mengambil pakaianmu, kubawa ke sini karena aku bermaksud hendak mencarimu sampai dapat. Ketika kulihat engkau berada di balik pohon, aku segera menyimpan pakaian ini, lalu aku pergi lagi untuk muncul berlarian di atas genteng agar nampak olehmu dan selanjutnya kita bertanding..." Ia terkekeh lirih dan menutupi mulut, gayanya manis sekali. Wajah Hui Song menjadi kemerahan.

"Sudahlah, mari kita pergi."

"Pakaianmu biar disimpan di sini dulu."

Berangkatlah mereka berdua, seperti dua sahabat lama, meninggalkan kuil tua itu setelah Siang Hwa memadamkan penerangan dan menutupkan pintu kamar sederhana itu. Dari luar, kuil itu nampak sunyi dan menyeramkan.

Mereka melakukan perjalanan cepat keluar dusun menuju arah timur. Pada pagi harinya, setelah melakukan perjalanan beberapa jam lamanya, mereka tiba di kaki bukit dan di luar sebuah hutan telah menanti dua orang yang dari jauh sudah dikenal oleh Hui Song, yaitu dua orang kakek yang pernah bertanding dengan dia, si tosu tinggi kurus dan si hwesio gendut!

Kedua orang kakek itu nampak terkejut melihat Hui Song, akan tetapi Siang Hwa segera tersenyum dan memperkenalkan.

"Ji-wi locianpwe jangan khawatir. Cia-tai-hiap sudah menjadi sahabat kita yang sehaluan dan sudah kujelaskan semua tentang ji-wi kepadanya. Cia-taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai dan agaknya dialah yang mempunyai kemampuan untuk membuat usaha kita berhasil."

Kini dua orang itu sikapnya berbeda dengan ketika pertama kali berjumpa dengan Hui Song. Mendengar ucapan Siang Hwa, mereka segera menjura kepada Hui Song dengan sikap hormat dan ramah.

"Cia-taihiap, maafkan kami yang sudah bersikap tidak patut kepadamu," kata Ciang-tosu yang sebenarnya adalah Hui-to Cin-jin, seorang di antara Cap-sha-kui yang belum pernah dikenal Hui Song.

"Ha-ha-ha, peribahasa kuno yang mengatakan bahwa Tidak Berkelahi Maka Tidak Kenal ternyata benar! Cia-taihiap, kita sudah saling bertanding, maka saling mengenal isi perut masing-masing! Ha-ha-ha!" Ciong hwesio yang sesungguhnya adalah Kang-thouw Lo-mo juga berkata.

"Cia-taihiap, harap kau maafkan. Ciang-tosu memang selalu serius dan sebaliknya Ciong-hwesio senang bergurau!" Siang Hwa cepat berkata untuk memberi isyarat kepada kedua orang temannya bahwa ia memperkenalkan mereka kepada Hui Song sebagai Ciang-tosu dan Ciong-hwesio.

"Siancai... memperoleh seorang pembantu seperti Cia-taihiap sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar!" kata Ciang-tosu.

"Omitohud, sungguh pinceng yang tidak becus sehingga merepotkan saja kepada putera ketua Cin-ling-pai," kata pula Ciong-hwesio.

Lalu berangkatlah empat orang itu melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan itu dilakukan secara cepat dan setelah mereka melewati dan menyeberangi Sungai Ching-ho, tibalah mereka di kaki Pegunungan Lu-liang-san yang amat luas itu. Perjalanan sampai ke situ sudah memakan waktu lima hari dan selama lima hari itu, Siang Hwa dan dua orang kakek itu selalu bersikap ramah dan sopan sehingga keraguan dan kecurigaan hati Hui Song semakin menipis.

Gadis itu memang seorang pendekar wanita, pikirnya, tetapi agaknya memiliki kelemahan terhadap lelaki yang menarik hatinya. Ataukah gadis ini memang benar-benar jatuh cinta kepadanya?

Di sepanjang perjalanan Siang Hwa tidak menunjukkan sikap genit. Bujuk rayu yang amat berani, yang dilakukan ketika Hui Song tertawan itu, kini sama sekali tak nampak lagi dan dia hanya kelihatan sangat memperhatikan Hui Song dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, seperti biasanya seorang wanita yang jatuh cinta.

Setelah melewatkan malam di kaki bukit, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat lagi, sekali ini memasuki hutan dan melalui jalan yang amat sukar, naik turun bukit dan jurang, melalui jalan liar berbatu-batu yang runcing dan tajam.

Jelas bahwa orang biasa akan kesulitan melalui jalan seperti itu, dan kalau pun ada orang pandai yang sanggup, untuk apa mereka bersusah payah mendatangi tempat ini? Tanpa tujuan penting, kiranya tak akan ada orang begitu gila untuk menyusahkan diri memasuki daerah yang liar dan sukar dilalui ini.

Setelah matahari naik tinggi, di bawah pimpinan Ciang-tosu yang agaknya mengenal baik jalan liar itu, maka tibalah mereka di daerah berbukit-bukit dan mereka berhenti di depan sebuah bukit yang dikelilingi jurang. Hui Song terbelalak kagum. Bukit ini seperti sebuah rumah besar saja, dan pintunya adalah sebuah goa yang besar.

Agaknya goa ini dahulunya ditutup dengan pintu batu yang amat besar. Akan tetapi pintu batu itu kini sudah terbuka miring dan pada pintu batu yang amat tebal dan beratnya tentu ribuan kati itu terdapat ukiran tulisan tiga huruf yang berbunyi,

GOA IBLIS NERAKA.

Sungguh amat indah, megah namun juga menyeramkan. Siapakah orangnya yang sudah mampu membuat pintu batu seperti itu dan siapa pula yang kuat membukanya? Apa bila mempergunakan tenaga manusia biasa, sedikitnya membutuhkan lima puluh orang yang menggabungkan tenaganya.

Dan goa yang sudah terbuka itu nampak begitu luas, seakan-akan bukan goa melainkan sebuah pintu tembusan menuju ke sebuah dunia yang lain lagi, dunia yang penuh dengan batu-batu raksasa yang bentuknya aneh-aneh, seperti diukir saja. Ataukah ini merupakan istana besar yang dihuni setan?

Empat orang itu begitu terpesona dan asyik memandang ke dalam, berdiri seperti patung-patung di depan goa yang pintunya terbuka itu sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi, sebelum mereka tiba di tempat itu, jauh tinggi di atas pohon terdapat seorang gadis yang mendekam di atas dahan dan bersembunyi di balik daun-daun lebat, mengintai ke arah mereka! Seorang gadis manis yang cantik jelita, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah periang dan bermata kocak, berpakaian sederhana.

Kalau saja Hui Song dapat melihat gadis itu, tentu dia akan berteriak kegirangan karena dara itu adalah wanita yang selama ini selalu terbayang olehnya, dibawa ke dalam mimpi, dan tak pernah dilupakannya. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!

"Sebaiknya kita masuk sekarang saja sebelum gelap," kata Ciang-tosu atau Hui-to Cin-jin sambil menunjuk ke dalam dengan tangan kirinya.

"Mari, taihiap, kita masuk, biar aku yang menjadi penunjuk jalan karena aku yang sudah beberapa kali pernah masuk ke sini!" kata Siang Hwa.

Hui Song yang sudah tertarik sekali mengangguk. Mereka berempat lalu masuk ke dalam goa, Siang Hwa dan Hui Song di depan, diikuti oleh dua orang kakek itu. Setelah mereka berempat masuk, Sui Cin dari atas "Melayang ke bawah. Ya, gerakannya itu mirip seperti seekor burung melayang saja, demikian ringan dan cepatnya.

Ternyata gadis ini sudah jauh berbeda dengan Sui Cin tiga tahun yang lalu. Gerakannya sungguh luar biasa karena dia sudah benar-benar menguasai ilmu Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) dengan baik. Dengan gerakan yang amat sigap, dia pun turut menyelinap masuk ke dalam goa di sebelah sana pintu. Dan ternyata pada bagian dalam itu merupakan daerah yang luas dan berbatu-batu sehingga memudahkan gadis ini untuk menyelinap di antara batu-batu, bersembunyi dan terus membayangi empat orang yang berloncatan di sebelah depan.

Setelah melalui perjalanan berliku-liku di antara batu-batu besar, empat orang itu berhenti di depan terowongan dan memandang ke depan.

"Inilah jembatan batu pedang itu!" kata Siang Hwa dan Hui Song memandang terbelalak ke depan.

Hebat memang. Bukan sebuah jembatan, melainkan lorong yang penuh dengan batu-batu meruncing seperti dibuat oleh tangan manusia sakti saja. Lorong itu begitu penuh dengan batu-batu meruncing ini sehingga untuk melewati lorong itu, satu-satunya jalan haruslah berloncatan dari batu ke batu, di atas ujung-ujung batu runcing laksana pedang itu! Dan untuk mengerjakan ini bukanlah hal yang mudah sebab membutuhkan ginkang yang telah matang sekaligus juga tenaga sinkang yang kuat.

"Nah, di tempat inilah semua teman mogok. Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah pernah mencoba, akan tetapi mereka hanya sampai beberapa meter saja. Aku sendiri sudah tiga kali melewati jembatan ini dengan hasil baik, akan tetapi selanjutnya aku tak sanggup lagi. Di sebelah depan sana terlalu berbahaya dan sukar," Siang Hwa menerangkan.

"Apakah kesukarannya?" Hui Song bertanya.

"Menuturkannya hanya membuang-buang waktu saja dan tidak ada gunanya. Marilah kita melewati jembatan ini dulu, di depan engkau akan dapat melihatnya sendiri, taihiap. Mulai dari sinilah aku memerlukan bantuan seorang seperti engkau maka selanjutnya engkaulah yang memimpin karena kepandaianmu jauh lebih lihai dan dapat dipercaya dari pada aku sendiri."

"Nanti dulu, nona. Selama beberapa hari aku terus mengikutimu dan membantumu tanpa banyak bertanya. Sekarang kita telah tiba di tempat ini dan kukira aku berhak mengetahui segala sesuatu tentang pekerjaan yang kita lakukan. Tempat apakah ini sebenarnya dan harta pusaka itu milik siapakah? Bagaimana pun juga, aku tidak akan mau membantu jika terdapat kenyataan bahwa kita sedang melakukan pencurian atau perampasan."

Mendengar ini, Siang Hwa dan dua orang kakek itu saling pandang dan nampak keraguan pada pandang mata dua orang kakek itu. Akan tetapi Siang Hwa lalu mengangguk dan berkata, "Memang sudah sepatutnya kalau taihiap mengetahuinya, dan orang yang lebih mengetahuinya mengenai harta pusaka itu adalah Ciang-tosu." Dan dia menoleh kepada kakek berpakaian tosu itu. "Ciang-locianpwe, Cia-taihiap adalah orang satu golongan dan satu haluan, tiada salahnya kalau mendengar tentang harta pusaka ini. Harap locianpwe suka menjelaskannya."

"Siancai, sebenarnya cerita mengenai harta pusaka ini merupakan rahasia besar, tadinya rahasia keluarga pinto, kini menjadi rahasia kita yang menentang pemberontakan. Akan tetapi karena Cia-taihiap, biarlah pinto membuka rahasia dan menceritakannya."

Kakek yang berlagak seperti pendeta beragama To itu mulai bercerita. Kiranya dia adalah keturunan Bangsa Mongol, bahkan nenek moyangnya pada hampir dua ratus tahun yang lalu merupakan pejabat tinggi atau ningrat dalam Kerajaan Goan yang berbangsa Mongol.

Loading...